Arsitektur Nusantara BUKAN Arsitektur Tradisional1 2 josef prijotomo Sepuluh tahun terakhir ini saya mengenalkan sebutan Arsitektur Nusantara sebagai salah satu pengetahuan arsitektur dalam menjelajah dan memahami arsitektur anakbangsa Nusantara yang selama ini sangat dikenal dengan sebutan Arsitektur Tradisional. sudah barang tentu ada alasan dan pertimbangan yang mendasari munculnya sebutan Arsitektur Nusantara itu. Dalam kesempatan yang terhormat ini saya akan mencoba untuk menyampaikan beberapa pertimbangan dan alasan bagi sebutan Arsitektur Nusantara ini. Saya menggunakan tinjauan sejarah dan tinjauan teoretik arsitektur dalam menyampaikan pertimbangan dan alasan tersebut. 01 Apa yang kita ketahui dari sejarah tentang arsitektur sampai dengan abad 15? Yang paling penting untuk kita ketahui bersama adalah hingga abad 15 itu masih belum terjalin hubungan dan komunikasi antara Eropa dengan Asia. Meskipun ada jalur sutera yang merupakan jalur perdagangan Cina, tetapi jalur sutera ini hanya sampai di daerah Timur Tengah dan Turki yang berada di Asia. dari sejarah arsitektur kita mengetahui benar bahwa hingga abad 15 itu, di benua Eropa sudah berlangsung sejumlah langgam atau gaya (seni) arsitektur, mulai dari arsitektur Yunani, Romawi, Kristen Mula atau/dan Byzantium, Romanika, Gothik dan akhirnya Renaisans. Semua langgam arsitektur ini praktis tidak memasuki kawasan Asia, kecuali arsitektur Romawi yang masuk Timur Tengah, tapi sebatas tepi Laut Tengah. Bagaimanakah dengan Asia? Oleh karena belum ada komunikasi dengan Eropa maka dapat dikatakan bahwa langgam arwsitektur Eropa itu tidak dijumpai di Asia. Hingga abad 16 ini, di Asia sudah dapat ditemui sekurangnya tiga arsitektur yang saling berbeda dari daerah yang juga berbeda. Yang pertama adalah arsitektur Cina, yang secara langsung berkembang hingga Korea dan Jepang. Kemudian ada arsitektur India, yang memperlihatkan adanya perluasan penampilan arsitektural hingga di Asia Tenggara. Akhirnya, yang ketiga adalah arsitektur Nusantara, yakni arsitektur yang bertumbuh kembang di Asia Tenggara. Oleh karena sampai dengan abad 15 masih belum ada komuhnikasi dengan Eropa, maka di Cina sebutan untuk bangunan yang di Eropa disebut arsitektur, di Cina disebut jianshu atau jianzhushi/jiànzhùxué 建筑学; sedang yang India disebut Vaastu kala (dan digunakan di India dari abad 6 hingga abad 11); dan di Nusantara masih belum bisa dipastikan sebutannya, dan oleh karena itu bisa saja kita meminjam dari sebutan yang telah dilontarkan oleh almarhum Mangunwijaya yakni sebutan wastu, jadi selengkapnya disebut wastu Nusantara.menyadari bahwa ada empat sebutan yang saling berbeda, maka dapat dimengerti bila kemudian ada empat ciri bangunan Eropa, Cina, India dan Nusantara yang saling berbeda pula. 1 Disipakan untuk dan disajikan dalam Kuliah Tamu di Program Studi Arsitektur Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar pada 29 September 2016 2 Gurubesar Arsitektur di Institut Teknologi Sepuluh Nopember - Surabaya, [email protected] Keadaan wastu di Indonesia yang hingga abad 15 kita sebut sebagai Nusantara memang berbeda dari Eropa, Cina maupun India. Hingga abad 15 ini, Nusantara dikayakan oleh adanya wastu/bangunan batu dan wastu/bangunan kayu. Wastu batu memperlihatkan banyak keserupaan dengan India sehingga para ahli arkeologi jaman colonial Belanda dikatakan bahwa wastu ini adalah karya cipta perancang India yang pergi ke Nusantara untuk menghadirkan wastu batu. Jika keserupaan dijadikan dasar adanya pengaruh India, maka sangat dimungkinkan pula untuk mengatakan bahwa wastu batu yang di Nusantara itu adalah karya para perancang Nusantara. Para perancang Nusantara ini telah menyempatkan diri untuk melakukan studi banding ke India. Sepulang dari India para perancang ini menerapkan pengetahuan wastu batu ini dengan melakukan transformasi dari bangunan kayu menjadi bangunan bercorak kayu pada bangunan batu. Pelipit tegak yang dapat ditemukan pada bagian tubuh candi-candi Jawa Tengah khususnya, dengan terangterangan digarap sebagai ukiran batu yang menggambarkan tiang kayu yang berukir. Kemudian, semua relief yang menggambarkan wanita menunjukkan bahwa di India para wanitanya memiliki buah dada besar dan gerak tubuh yang mudah sekali membangkitkan gairah (khususnya gairah seksual). Tidak demikian halnya dengan yang di Nusantara, buah dada yang kecil dan gerak tubuh yang semampai. Penggarapan relief juga menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok. Di India relief yang dipahatkan di dinding candi hampir tidak menyisakan adanya ruangan kosong karena cenderung dipenuhi dengan sosok manusia dan berbagai obyek berupa barang aatau benda; sebaliknya, di Nusantara penggarapannya senantiasa menampakkan adanya ruangan di antara sosok-sosok manusianya. Dan, bahkan dalam abad 7 di India sudah didirikan universitas milik kerajaan Sriwijaya, Universitas ini menjadi tempat wajib matrikulasi bagi siapa saja dari Asia yang akan mempelajari Hindu dan Budha di India. Dalam hal wastu kayu, memang harus diakui bahwa bukti-bukti sejarah tentang bangunan kayu ini sangat sedikit, dan itu utamanya merupakan relief candi. Walaupun begitu, keberadaan dari wastu kayu tidak perlu diragukan. Dari pertimbangan kemampuan membangun, teknologi yang tersedia, pengetahuan konstruksi, serta ketersediaan kayu dan bahan organic sebagai bahan bangunan, maka penghadiran bangunan dengan menggunakan teknik konstruksi ikat sangat memungkinkan. Perjumpaan dengan anakbangsa Asia Tenggara serta Asia Timur dengan langsungmendukung kemungkinan hadirnya wastu kayu semenjak abad awal Masehi. Mengenai sebutan wastu nusantara (yang berupa wastu batu serta wastu kayu), kita bisa saja menyebut sebagai Arsitektur Nusantara. karena terlanjur terbiasa dengan sebutan ‘arsitektur’ maka demi terbiasa dan kelaziman dapatlah sebutan wastu Nusantara itu dipadankan dengansebutan Arsitektur Nusantara. Pertimbangan lain dapat diberikan yakni dalam hal Wastu Nusantara yang merupakan bangunan dan lingkung-bina yang dipelajari dan dipahami sebagai ilmu bangunan serta seni bangunan; jadi tidak berupa kajian dan pemahaman dalam ilmu kebudayaan (utamanya antropologi dan etnologi/etnografi), sejarah serta arkeologi. Nanti akan dilakukan pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini; namun di sini cukup kiranya untuk mengatakan bahwa sebutan Arsitektur Nsuantara dpat kita berikan bagi bangunan dan lingkung-bina di Nusantara sebelum abad 17, khususnya sebelum Eropa menjajah Nusantara. 02 Meskipun setiap arsitektur adalah bentukan yang berwujud bangunan, akan tetapi tidak setiap atau sebarang bangunan adalah arsitektur. Hal ini dapat dengan mudah dipahami oleh siapa saja. Masalahnya kini, karena tidak sebarang bangunan adalah arsitektur maka bangunan yang bagaimanakah yang dapat dikatakan sebagai arsitektur? Bangunan yang estetik, indah, elok atau mempesona; bangunan yang melambang, berjatidiri; juga bangunan yang penuh dayaguna (fungsional), yang efisien atau efektif; itulah beberapa penjelasan untuk menunjuk pada bangunanbangunan yang dapat dikatakan sebagai arsitektur. Sir Nikolaus Pevsner, yang menulis buku berjudul Outline History of European Architecture di tahun 1943 memantapkan hal itu dalam pernyataannya “bicycle shed is a building; Lincoln Cathedral is a piece of architecture”. Obyek-obyek yang sekualitas, setara dan sebanding dengan Katedral Lincoln adalah arsitektur; bangunan dengan mutu dan tampilan yang istimewa, khas atau tidak sebagaimana biasanya, semua itu adalah arsitektur. Jikalau obyek itu adalah sebagaimana biasanya, bangunan biasa saja; lalu bangunan-bangunan yang sejenis atau semacam dengan bicycle shed –dangau sepeda– yakni bangunan dari kayu dan sangat terkesan sebagai bangunan semi permanen; itulah semua yang bukan arsitektur. Dengan pembedaan seperti itu ula Pevsneer melakukan pembicaraan tentang sejarah arsitektur Eropa. Bangunan-bangunan yang sejenis atau semacam dengan Katedral Lincoln dengan baik sekali dideskripsi olehPevsner, dan mencakup dari jaman Yunani (ratusan tahun sebelum abad Masehi berlaku) sampai dengan jaman Neoklasik (abad 19 awal). Begitulah, semua bangunan yang dibahas oleh Pevsner adalah bangunanbangunan berukuran besar karena perlu menampung ratusan orang, berada di lingkungan kota pada umumnya, dan khususnya di tengah kota. Bangunan dari bata atau batu, dengan mutu bahan yang prima, memperlihatkan kekokohan dan kemantapan; bahan bangunan yang mampu bertahan ratusan tahun lamanya membuat bangunan-bangunannya lalu monumental dan mencerminkan keabadian. Itulah yang dikategorikan sebagai arsitektur dalam lingkungan ilmu arsitektur di Eropa dampai dengan jaman neoklasik. Dalam kurun waktu sampai dengan jaman neoklasik itu, tentunya dapat dikatakan bangunan manakah yang bukan arsitektur. Bangunan-bangunan yang biasa saja, yang seumumnya hadir di kota-kota tetapi tidak tergolong ke dalam arsitektur, bangunan-bangunan di perdesaan, dan sebagian banyak bangunan kayu adalah bangunan-bangunan yang tidak terkategori sebagai arsitektur, karena tidak terkategori ke dalam arsitektur, maka tidak dibacarakan dalam lingkungan arsitektur, dan bahkan tidak dipandang sebagai obyek pengetahuan, seni dan ilmu arsitektur. Harus diakui bahwa bangunan-bangunan yang tidak terkategori ke dalam arsitektur itu ada yang mampu tampil sebagaimana halnya bangunan-bangunan yang dikatakan arsitektur; jadi meskipun bangunan kayu akan tetapi mempesona, artstik, sangat berdaya guna, dan melambangkan masyarakat pemiliknya. Lihat sajalah bangunan-bangunan kayu di Skandinavia dan kawasan yang dulu bernama USSR. Bangunan-bangunan ini merupakan bangunan tradisional dari masing-masing kawasan. Dan memang, bangunan-bangunan ini disebut sebagai bangunan tradisional. Dalam lingkungan pengetahuan, bangunan-bangunan itu menjadi perhatian dan obyek kajian serta pemahaman dari ilmu kebudayaan. Dengan demikian, bangunan yang bermutu prima adalah arsitektur; sedang bangunan dengan mutu biasa saja dan menjadi tradisi dalam membangun adalah bangunan tradisional. Jikalau arsitektur umumnya adalah bangunan bata/batu dan di perkotaan; maka bangunan tradisional adalah bangunan kayu dan di perdesaan. Jikalau arsitektur menjadi obyek pengkajian dan pemahaman dari pengetahuan, seni dan ilmu arsitektur; tidak demikian halnya dengan bangunan tradisional yang dikaji, diteliti dan dipahami dalam pengetahuan, se ni dan ilmu kebudayaan. Sejarah arsitektur Eropa, sejak masa Yunani hingga masa Neoklasik adalah sejarah dari bangunan dan lingkung bina yang tertentu saja, tidak merupakan sejarah dari semua bangunan dan lingkung bina dalam sesuatu masa/jaman tertentu. Bangunan dan lingkung-bina yang tertentu saja yang disebut arsitektur dank arena itu terbicarakan dalam sejarah arsitektur Eropa. Bangunan dan lingkung-bina yang biasa-biasa saja, dan umumnya adalah bangunan kayu, disebut Bangunan Tradisional. Adalah ilmu kebudayaan (antropologi, etnologi/etnografi dan geografi) yang menjadi ‘rumah’ bagi Bangunan Tradisional ini. pemilahan seperti ini pula yang diberlakukan di Hindia Belanda setelah penjajahan Eropa berlangsung semenjak 1800-an. 03 Secara khusus, semenjak Hindia Belanda memasuki 1800-an perlakuan yang diberlakukan adalah sebagaimana perlakuan yang berlaku di Negeri Belanda. Dalam politik, adminstrasi dan bahkan dalam dunia ilmu pengetahuan, perlakuan dan ketentuan yang berlaku di Negeri Belanda diberlakukan pula di Hindia Belanda. Dengan demikian, para insinyur bertanggungjawab atas segala bangunan dan fasilitas pekerjaan umum yangmengikuti dan mematuhi ketentuan ilmu bangunan (bouwkunde) dan seni bangunan (bouwkunst). Di sini pula Arsitektur ditempatkan. Akan tetapi, untuk yangada di Hindia Belanda, ada percandian yang merupakan bangunan batu dan sekaligus bangunan keagamaan;tetapi dengan tampilan dan pendayagunaan yangsangat berbeda dari Arsitektur di Eropa dan Belanda. Untuk itu, percandian tidak dimasukkan ke dalam pengetahuan arsitektur (ilmu bangunan dan seni bangunan), melainkan dalam pengetahuan sejarah dan arkeologi. Bangunan dan lingkung-bina lain yang ada di Hindia Belanda tetapi sangat nyata perbedaannya dari arsitektur, utamanya bangunan-bangunan kayu yang ada di pinggir atau di luar lingkungan kota. Jikalau diEropa bangunan seperti ini dinamakan bangunan tradisional, dan menjadi tanggungjawab dari para ahli kebudayaan pada umumnya. di Hindia Belanda kejadiannya sama dengan yang berlaku di Eropa/Belanda. Demikian beraneka bangunan tradisional yang ada di Hindia Belanda lalu menjadi pusat perhatian dari para ahli antropologi, etnologi/etnografi, geografi, sosiologi dan humaniora lainnya, ringkasnya menjadi tanggungjawab dari bidang pengetahuan dan ilmu kebudayaan. Dalam menangani masyarakat tradisional ini, tidak kalah pentingnya adalah sumbangan dari para misionaris yang menasranikan masyarakat itu. Mereka melakukan penelitian dan pengkajian kebudayaan atas masyarakat yang akan dinasranikan. Secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa semenjak 1800-an tiga jenis bangunan menjadi tanggungjawab dari tiga pengetahuan; jugadalam praktek di lapangan juga menjadi tanggungjawab dari tiga pengetahuan tersebut. Jenis yang pertama adalah bangunan dan lingkung-bina yang sangat Eropa, dan didominasi oleh bangunan bata/batu. Jenis ini dinamakan Arsitektur dan menjadi tanggungjawab dari pengetahuan seni bangunan dan ilmu bangunan (bisa pula disebut ilmu arsitektur). Jenis yang kedua adalah bangunan dan lingkung-bina yang terbuat dari bata/batu, dan dikenal luas dengan sebutan candi, tetapi sangat nyata bedanya dalam tampilan dan pendayagunaannya. Jenis bangunan ini dinamakan monument sejarah atau monument HinduBudha; dalam tanggungjawabnya adalah pengetaahuan sejarah dan arkeologi pada khususnya. Akhirnya, jenis yang ketiga adalah beraneka bangunan kayu yang merupakan karya ‘asli’ masyarakat Nusantara/Hindia Belanda. Jenis ini dinamakan bangunan tradisional dan menjadi tanggungjawab dari pengetahuan ilmu kebudayaan pada umumnya, antropologi dan etnologi/etnografi pada khususnya. Penjenisan seperti setidaknya berlangsung hingga berdirinya fakultas teknik sipil di Bandung, dan karena itu yang monument Hindu-Budha serta bangunan tradisional tidak menjadi matakuliah di fakultas teknik sipil Ini. Memang, meskipun disebut sebagai fakultas teknik sipil, di dalamnya diajarkan materi-materi yang berkenaan dengan ilmu bangunan dan seni bangunan. Dalam dasawarsa 1950 sekolah arsitektur pertama di Indonesia didirikan, dan dalam awal 1960-an terjadilah perubahan penting di sekolah arsitektur ini. Secara resmi diselenggarakan matakuliah sejarah arsitektur yangdikhusukan dalam bangunan tradisional dan Monumen Hindu-Budha. Para pengajar matakuliah ini menyadari sepenuhnya bahwa dunia arsitektur tidak memiliki pengetahuan tentang kedua jenis bangunan tadi. Karena pengajaran harus diberikan, maka para pengajar tadi mengambil bahan-bahan dari ilmu kebudayaan, sejarah Jawa dan arkeologi. Matakuliah ini diberi nama Arsitektur Tradisional. 3Meskipun memakai ‘Arsitektur’ akan tetapi isinya sepenuhnya adalah ilmu kebudayaan, sejarah dan arkeologi; jadi samasekali bukan matakuliah yang berisi ilmu dan seni bangunan, atau ilmu arsitektur. Sampai dengan hari ini masih banyak sekali sekolah arsitektur yang menggunakan sebutan Arsitektur Tradisional dengan isi materi yang ilmu kebudayaan, sejarah dan arkeologi. Bacaan Frick, Heinz (1997): Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia; Kanisius; Yogyakarta Pevsner, Sir Nikolaus (1998 orig. 1943): An Outline History of European Architecture; London Penguin Prijotomo, Josef (2016): Kearifan Nusantara ataukah Kejeniusan Arsitektur Nusantara?; UPT Penerbitan dan Desain, Universitas Katolik Soegijapranata; Semarang 3 Sebenarnya, di kalangan para arsitek professional yang berkarya di Hindia Belanda, dasawarsa 1920-1930-an menjadi masa perdebatan yang seru. Para arsitek yang menghargai keberadaan bangunan tradisional menggunakan sebutan arsitektur tradisional bagi bangunan-bangunan tradisional dan monument HinduBudha. Henri Maclaine Pont dan Thomas Karsten adalah dua nama yang dapat disampaikan di sini.