SOD - Core

advertisement
EFEK PROBIOTIK INDIGENUS PADA PROFIL
IMUNOHISTOKIMIA ANTIOKSIDAN SUPEROKSIDA
DISMUTASE (SOD) DI HATI TIKUS YANG DIPAPAR
ENTEROPATHOGENIC Escherichia coli (EPEC)
FENNY FITRIAN UTAMI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
RINGKASAN
FENNY FITRIAN UTAMI. Efek Probiotik Indigenus pada Profil
Imunohistokimia Antioksidan Superoksida Dismutase (SOD) di Hati Tikus yang
Dipapar Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC). Di bawah bimbingan
TUTIK WRESDIYATI
Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang apabila diberikan pada
jumlah yang tepat dapat bermanfaat bagi kesehatan saluran pencernaan.
Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum merupakan probiotik yang
telah berhasil diisolasi dari daging sapi peranakan Ongol di beberapa pasar
tradisional di daerah Bogor dan telah terbukti secara in vitro bersifat sebagai
probiotik.
EPEC merupakan salah satu penyebab utama diare pada anak-anak di
Indonesia dengan prevalensi kejadiannya 55% dari jumlah anak penderita diare.
Infeksi EPEC di saluran pencernaan membentuk lesio attaching/effacing (A/E
lesion) pada epitel usus dan menyebabkan kerusakan struktur sitoskeletal sel serta
membentuk formasi yang disebut pedestal actin formation. Formasi sel seperti ini
merupakan tanda adanya penyakit dan kerusakan sel. EPEC yang berada di
saluran pencernaan dan sel yang rusak akibat perlekatan EPEC, akan difagosit
oleh makrofag. Proses fagositosis menghasilkan radikal bebas. Antioksidan
merupakan suatu zat yang dapat menetralisir radikal bebas. Enzim copper, zincsuperoksida dismutase (Cu,Zn-SOD) merupakan salah satu enzim antioksidan
endogen yang berperan mengkatalis dismutasi radikal bebas anion superoksida
(O2-) menjadi radikal yang lebih lemah yaitu hidrogen peroksida (H2O2) dan
selanjutnya akan diubah menjadi oksigen (O2) yang lebih stabil dan air (H2O) oleh
glutation peroksidase dan katalase.
Sejauh ini belum banyak laporan secara in vivo tentang efek probiotik
terhadap status antioksidan tubuh. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
menganalisa pengaruh pemberian probiotik L. plantarum dan L. fermentum
terhadap profil imunohistokimia antioksidan superoksida dismutase (Cu,Zn-SOD)
di jaringan hati pada tikus yang dipapar bakteri EPEC.
Sebanyak 90 ekor tikus percobaan dibagi dalam 6 kelompok perlakuan,
yaitu: (A) kontrol negatif, (B) perlakuan L. plantarum, (C) perlakuan
L. fermentum, (D) perlakuan L. plantarum + EPEC, (E) perlakuan L. fermentum +
EPEC, dan (F) perlakuan EPEC (kontrol positif). Dosis Lactobacillus yang diberi
adalah 108 cfu/ml/hari pada hari ke-1 sampai hari ke-21, sedangkan dosis EPEC
yang diberi adalah 106 cfu/ml/hari pada hari ke-8 sampai hari ke-14. Setiap
kelompok perlakuan berjumlah 15 ekor tikus yang akan diterminasi pada 3 waktu
yang berbeda (hari ke-8, 15, dan 22) masing-masing 5 ekor tikus. Setelah organ
hati tikus diperoleh, selanjutnya diproses dan diwarnai dengan pewarnaan
imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD. Hasil pewarnaan imunohistokimia diamati
secara kualitatif dan kuantitatif dengan mikroskop cahaya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian probiotik L. fermentum
selama 2-3 minggu dapat meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan
hati tikus. Sedangkan pemberian probiotik L. plantarum hanya mampu
mempertahankan kandungan enzim antioksidan tersebut seperti pada kondisi
kontrol negatif. Pada tikus yang dipapar EPEC, pemberian probiotik L. fermentum
selama 2-3 minggu dapat meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan
hati tikus. Sedangkan pemberian L. plantarum hanya mampu mempertahankan
kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD pada minggu kedua, lalu kandungan
enzim antioksidan tersebut menurun pada minggu ketiga.
L. fermentum lebih baik dari pada L. plantarum dalam meningkatkan
kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus, baik pada kelompok yang
diberi EPEC maupun tidak.
Kata kunci: Probiotik, Cu,Zn-SOD, Hati, EPEC, Imunohistokimia
ABSTRACT
FENNY FITRIAN UTAMI. The Effect of Indigeneous Probiotic on
Immunohistochemical Profile of Antioxidant Superoxide Dismutase
(SOD) in Liver of Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) Treated Rats.
Under direction of TUTIK WRESDIYATI
The study was conducted to analyze influence of indigeneous probiotic
Lactobacillus plantarum and Lactobacillus fermentum on immunohistochemical
profile of antioxidant superoxide dismutase (SOD) in liver of enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC) treated rats. A total of 90 male rats (Sprague Dawley)
were divided into six groups; (A) negative control, (B) Lactobacillus plantarum
treated group, (C) Lactobacillus fermentum treated group, (D) Lactobacillus
plantarum and EPEC treated group, (E) Lactobacillus fermentum and EPEC
treated group, and (F) EPEC treated group (positive control). The content of
antioxidant copper, zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) was analyzed with
immunohistochemical techniques using monoclonal antibody of Cu,Zn-SOD. The
result showed that L. fermentum increased the content of Cu,Zn-SOD in rat liver
on 2nd and 3rd weeks at both conditions; with and without EPEC treatment.
L. plantarum treatment for 1 week until 3 weeks, could maintain the content of
Cu,Zn-SOD in rat liver tissue as well as negative control. While, in L. plantarum
and EPEC treated group, the content of Cu,Zn-SOD decreased after one week of
EPEC treatment. L. fermentum showed better effect in terms increase the content
of Cu,Zn-SOD in rat liver tissue.
Keywords: Probiotic, Cu,Zn-SOD, Liver, EPEC, Immunohistochemistry
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efek Probiotik Indigenus pada
Profil Imunohistokimia Antioksidan Superoksida Dismutase (SOD) di Hati
Tikus yang Dipapar Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) adalah karya
saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Fenny Fitrian Utami
B04070038
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
EFEK PROBIOTIK INDIGENUS PADA PROFIL
IMUNOHISTOKIMIA ANTIOKSIDAN SUPEROKSIDA
DISMUTASE (SOD) DI HATI TIKUS YANG DIPAPAR
ENTEROPATHOGENIC Escherichia coli (EPEC)
FENNY FITRIAN UTAMI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul
: Efek Probiotik Indigenus pada Profil Imunohistokimia
Antioksidan Superoksida Dismutase (SOD) di Hati Tikus
yang Dipapar Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)
Nama
: Fenny Fitrian Utami
NIM
: B04070038
Program Studi
: Kedokteran Hewan
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D, PAVet
NIP. 19640909 199002 2 001
Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Dr. Nastiti Kusumorini
NIP. 19621205 198703 2 001
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Penulis mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
dengan judul: Efek Probiotik Indigenus pada Profil Imunohistokimia Antioksidan
Superoksida Dismutase (SOD) di Hati Tikus yang Dipapar Enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC), merupakan bagian dari proyek penelitian yang didanai
oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan
Nasional RI melalui program Hibah Kompetensi dengan nomor kontrak:
409/SP2H/DP2M/VI/2010 atas nama Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. Penelitian
ini dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 sampai Juli 2010 di SEAFAST CENTRE
IPB dan Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Penyusunan skripsi ini merupakan suatu proses perjalanan panjang yang
memberikan pembelajaran tiada henti bagi penulis. Penulis mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada Prof. Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D, PAVet selaku
dosen pembimbing skripsi atas ilmu, arahan, kritik, dan saran yang mendukung
terselesaikannya skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Tim
Peneliti Hibah Kompetensi DIKTI: Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S; Prof. Drh.
Tutik Wresdiyati, Ph.D, PAVet; dan Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt, M.Si yang telah
memberikan arahan dan ilmu selama pelaksanaan penelitian.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh. Huda S. Darusman, M.Si
dan Dr. Drh. Hera Maheshwari, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan bimbingan serta semangat kepada penulis sepanjang perjalanan
pendidikan penulis di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Selanjutnya, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Dr. Drh. Choirun ‘Nisa, M.Si, PAVet selaku
dosen penilai seminar, Drh. Wahono Esthi Prasetyaningtiyas, M.Si selaku dosen
moderator seminar, Dr. Drh. Elok Budi Retnani, M.S dan Dr. Drh. Wiwin
Winarsih, M.Si selaku dosen penguji Ujian Akhir Sarjana Kedokteran Hewan,
Dr. Drh. Adi Winarno dan Drh. I Ketut Mudite Adyane, M.Si atas ilmu dan saran
yang telah diberikan untuk penyelesaian skripsi ini. Seluruh dosen FKH IPB yang
telah memberikan ilmu dan nasehat kepada penulis selama berkuliah dan staf
bagian akademik yang telah banyak membantu penulis. Teknisi laboratorium yang
saya hormati; Pak Iwan, Pak Maman, dan Pak Wahyu, terima kasih atas bantuan
dan bimbingan yang telah diberikan selama penelitian berlangsung.
Ungkapan rasa hormat, terima kasih, dan sayang penulis sampaikan kepada
ayahanda tercinta (Alm.), mama tercinta, dan adik-adik tersayang (Ona, Imam,
dan Ade), serta keluarga besar atas kasih sayang yang begitu besar, doa,
keceriaan, dan dukungan yang tidak ternilai harganya baik fisik maupun moril
yang telah diberikan kepada penulis sepanjang perjalanan hidup penulis. Kepada
Anggi Rianto, terima kasih atas semangat yang begitu berharga serta bantuan
yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian sampai penyelesaian skripsi
ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman sepenelitian (Kristina
Dwi Wulandari, Sri Rahmatul Laila, dan Yeni Setiorini) atas kerja sama,
kebersamaan, bantuan, dan waktu untuk bertukar pikiran selama ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Kak Sandra dan Kak Angga atas kerjasama dan
bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian di Laboratorium
Histologi. Kepada sahabat-sahabatku (Sari, Levi, Wulan, Putri, Deni, Ira, Iwan),
terima kasih atas motivasi, semangat, keceriaan, persahabatan, dan semua hal
indah yang telah dilalui bersama selama ini. Sahabat-sahabat Gianuzzi FKH 44,
terima kasih atas kebersamaan, semoga persahabatan tetap terjalin sampai akhir
hayat.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2011
Fenny Fitrian Utami
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Solok pada tanggal 10 November 1989 sebagai anak
pertama dari pasangan Yandraweli, SH (Alm.) dan Yulfitri, SP. Penulis
menamatkan pendidikan SMA pada tahun 2007 di SMAN 1 Gunung Talang
Kabupaten Solok dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis terlibat dalam organisasi
Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar selama 2 periode yakni sebagai staf Divisi
Pendidikan pada periode kepengurusan 2008/2009 dan Sekretaris I pada periode
kepengurusan 2009/2010. Penulis juga aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Fakultas Kedokteran Hewan periode kepengurusan 2008/2009 sebagai staf
Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM). Selain itu, penulis
aktif di organisasi mahasiswa daerah Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang
(IPMM) Bogor pada periode kepengurusan 2008-2009 sebagai staf Bidang
Olahraga. Penulis juga pernah menjadi Sekretaris Umum Kohati pada tahun 2010
dan Ketua Umum Kohati pada tahun 2011 di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Komisariat FKH IPB Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah
Histologi Veteriner I dan Histologi Veteriner II pada tahun ajaran 2009/2010.
Penulis juga mengikuti magang profesi medis veteriner di beberapa instansi,
seperti: Taman Marga Satwa Ragunan dan Pusat Penyelamatan Satwa (PPS)
Cikananga. Penulis memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA)
pada semester 4 sampai dengan semester 8. Bersama dengan tim, penulis lolos
seleksi Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKM-K) yang
memperoleh dana hibah dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) pada
tahun 2008. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian “Efek Probiotik
Indigenus pada Profil Imunohistokimia Antioksidan Superoksida Dismutse (SOD)
di Hati Tikus yang Dipapar Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)” di bawah
bimbingan Prof. Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D, PAVet.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian .............................................................................. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hewan Percobaan.............................................................................
2.2 Hati ..................................................................................................
2.3 Enteropathogenic E.coli (EPEC) ......................................................
2.4 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik ............................................
2.5 Radikal Bebas dan Antioksidan Cu-Zn SOD ....................................
2.6 Imunohistokimia ..............................................................................
2.7 Penelitian Pendahuluan ....................................................................
5
7
9
10
13
15
16
III. METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan Penelitian ...............................................................
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ..........................................................
3.3 Tahapan Penelitian
3.3.1 Hewan Percobaan. .................................................................
3.3.2 Kandang dan Perlengkapan ....................................................
3.3.3 Ransum..................................................................................
3.3.4 Perlakuan terhadap Hewan Percobaan ....................................
3.3.5 Pembuatan Preparat Histologi Jaringan Hati Ttikus ................
3.3.6 Analisis Kandungan SOD Hati Tikus .....................................
18
18
19
20
20
20
22
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 26
V. SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 42
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi ransum standar tikus ................................................................. 20
2 Kelompok tikus percobaan sesuai perlakuan yang diberikan....................... 21
3 Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus percobaan ............. 27
4 Rata-rata jumlah sel hati pada berbagai tingkatan kandungan enzim Cu,ZnSOD pada jaringan hati tikus pada terminasi hari ke-8, hari ke-15, dan hari
ke-22 .......................................................................................................... 30
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Gambaran hati tikus ................................................................................... 8
2 Bentuk infeksi EPEC pada epitel usus ........................................................ 10
3 Mekanisme pertahanan intestinal oleh probiotik ......................................... 11
4 Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia ................................................ 15
5 Diagram alur penelitian .............................................................................. 19
6 Fotomikrograf jaringan hati tikus dengan pewarnaan imunohistokimia
terhadap Cu,Zn-SOD yang menunjukkan perbedaan intensitas warna
coklat yang terbentuk pada jaringan hati ................................................. 29
7 Fotomikrograf jaringan hati tikus dengan pewarnaan imunohistokimia
terhadap Cu,Zn-SOD pada terminasi hari ke-8 ......................................... 31
8 Fotomikrograf jaringan hati dengan pewarnaan imunohistokimia
terhadap Cu,Zn-SOD tikus pada terminasi hari ke-15 ................................. 36
9 Fotomikrograf jaringan hati dengan pewarnaan imunohistokimia
terhadap Cu,Zn-SOD tikus pada terminasi hari ke-22 ................................. 38
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Tahapan Sampling dan Pemrosesan Jaringan Hati Tikus............................. 48
2 Tahapan Pewarnaan Imunohistokimia untuk Analisis Kandungan Cu, ZnSOD di Jaringan Hati Tikus ........................................................................ 50
3 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD positif kuat
(+++).......................................................................................................... 52
4 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD positif
sedang (++) ............................................................................................... 53
5 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD positif
lemah(+)..................................................................................................... 54
6 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD negatif
(-) .............................................................................................................. 55
7 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD positif
kuat (+++) ................................................................................................. 56
8 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD positif
sedang (++) ............................................................................................... 57
9 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD positif
lemah (+) ................................................................................................... 58
10 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD negatif
(-) .............................................................................................................. 59
11 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD positif
kuat (+++) ................................................................................................. 60
xv
12 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD positif
sedang (++) ............................................................................................... 61
13 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD positif
lemah (+).................................................................................................... 62
14 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati tikus pada
terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan Cu,Zn-SOD negatif
(-) .............................................................................................................. 63
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tingginya prevalensi penyakit diare terutama pada anak-anak terjadi hampir
di seluruh negara, termasuk Indonesia. Data dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (LITBANGKES) Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, menunjukkan bahwa secara umum kejadian diare di Indonesia rata-rata
setiap
tahun
adalah
sebesar
2.5%
dari
semua
kelompok
umur.
Tingginya kejadian penyakit tersebut antara lain disebabkan oleh buruknya
higiene makanan dan buruknya sanitasi lingkungan.
Paparan agen patogen di saluran pencernaan dapat menyebabkan berbagai
jenis penyakit, salah satunya diare (Schiller dan Sellin 2006). Diare merupakan
salah satu penyakit gastroenteritis. Diare juga merupakan salah satu penyakit
menular berbasis lingkungan yang penting di Indonesia (LITBANGKES 2008).
Salah satu penyebab utama diare pada anak-anak di Indonesia adalah
enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) dengan prevalensi kejadiannya 55%
dari jumlah anak penderita diare (Budiarti 1997).
Mikroflora saluran pencernaan mempunyai peran dalam kesehatan dan
penyakit. Saluran pencernaan manusia ataupun hewan diperkirakan mengandung
flora normal sampai 1012 bakteri per gram isi saluran pencernaan dan setidaknya
terdiri atas 500 spesies yang sebagian besar merupakan bakteri asam laktat
(Gobarch 2001).
Dewasa ini, bakteri asam laktat (BAL) telah banyak dimanfaatkan oleh
industri pangan dalam menciptakan produk pangan fungsional untuk memelihara
kesehatan saluran pencernaan manusia, misalnya sebagai probiotik. Probiotik
adalah mikroorganisme hidup yang apabila diberikan pada jumlah yang tepat
dapat bermanfaat bagi kesehatan saluran pencernaan (Reid et al. 2003). Probiotik
telah banyak dimanfaatkan dalam penanggulangan berbagai penyakit infeksi
saluran pencernaan di negara-negara maju, seperti menanggulangi diare pada anakanak.
Arief et al. (2008) telah berhasil mengisolasi 10 bakteri asam laktat isolat
lokal yang diambil dari daging sapi peranakan Ongol yang dijual di beberapa
2
pasar tradisional di daerah Bogor, Jawa Barat. Sebanyak 10 bakteri asam laktat ini
telah diuji secara in vitro mempunyai sifat sebagai probiotik. Selanjutnya, hasil
penelitian Astawan et al. (2009) telah menemukan dua bakteri terbaik di antara 10
bakteri asam laktat tersebut, yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus
fermentum. Penemuan bakteri asam laktat isolat lokal sangat penting bagi
Indonesia untuk menghasilkan pangan fungsional dan pakan hewan yang sesuai
dengan kondisi lingkungan Indonesia.
Penelitian lebih lanjut terhadap isolat lokal ini diperlukan untuk menguji
potensi BAL ini sebagai antidiare pada kondisi usus halus yang dipapar
enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) serta melihat efektivitas probiotik ini
dalam meningkatkan kandungan enzim antioksidan intraseluler pada jaringan
akibat terbentuknya radikal bebas sebagai konsekuensi terjadinya diare.
Kegagalan sistem pertahanan mukosa usus dalam memproduksi musin
(sebagai pelumas, barier, dan menghasilkan senyawa antibakteri) dan membentuk
mikrovili (yang mendorong musin dan bakteri keluar dari membran mukosa)
dalam mencegah adhesi EPEC akan mengawali infeksi EPEC. Kegagalan
mekanisme pertahanan tersebut menyebabkan perlekatan bakteri pada permukaan
sel usus inang. Bakteri EPEC melekatkan diri pada mukosa usus halus dan
membentuk koloni pada permukaan sel epitel usus yang terpapar, kemudian
melakukan invasi menembus sel mukosa usus halus. Perlekatan kuat antara sel
bakteri dan sel epitel usus inang akan menyebabkan kerusakan pada aktin dan
mikrovili
sel-sel
mukosa
inang,
sehingga
kemampuan
mukosa
untuk
mengabsorbsi air hilang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya diare (Khutton
et al. 1989).
Lesio yang terjadi pada sel epitel usus yang terinfeksi mengakibatkan
kerusakan struktur sitoskeletal sel dan membentuk formasi yang dikenal dengan
pedestal actin formation di bawah perlekatan EPEC pada epitel usus (Campellone
2003; Smith et al. 2010). Sel epitel yang rusak dan EPEC akan difagosit oleh
makrofag (Tizard 2000). Makrofag merupakan salah satu sel radang yang
berperan dalam proses fagositosis di jaringan (Nishikawa et al. 2000; Forman dan
Martine 2001). Makrofag menghasilkan dan melepaskan molekul mikrobisidal
berupa radikal bebas dalam peristiwa fagositosis (Roitt 2002). Radikal bebas yang
3
terbentuk ini terakumulasi dan saat antioksidan tidak mampu menetralisir, maka
terjadilah kondisi stres oksidatif (Halliwell dan Gutteridge 1999).
Stres oksidatif adalah suatu kondisi terjadinya ketidakseimbangan antara
radikal bebas yang terdapat dalam tubuh, dimana keberadaan radikal-radikal
bebas dalam tubuh melampaui kapasitas antioksidan tubuh. Radikal bebas (free
radical) didefinisikan sebagai molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron
tanpa pasangan pada orbit terluarnya. Antioksidan merupakan suatu zat yang
dapat menetralisir radikal bebas. Antioksidan dibedakan atas antioksidan eksogen
yang diperoleh dari bahan makanan seperti askorbat, tokoferol, karoten, dan lainlain serta antioksidan endogen yang terdiri dari enzim-enzim yang disintesis tubuh
seperti superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase
(Devasagayam et al. 2004). Superoksida dismutase (SOD) merupakan enzim
antioksidan endogen yang menjadi lini pertahanan pertama antioksidan tubuh
dalam melindungi sel dari radikal bebas (Fridovich 1995).
Oleh karena itu, menjaga keseimbangan mikroflora usus sangat penting.
Mengonsumsi probiotik melalui produk-produk pangan merupakan salah satu cara
ideal menjaga keseimbangan mikroflora usus, dan lebih baik lagi jika mikroba
probiotik tersebut berasal dari wilayah lokal atau bersifat indigenus yang lebih
adaptif dengan lingkungan. Saat keseimbangan mikroflora usus terganggu,
keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan juga akan terganggu dan
dampaknya adalah terjadi stress oksidatif.
Sejauh ini belum banyak laporan secara in vivo tentang efek probiotik
terhadap status antioksidan tubuh. Penelitian ini difokuskan pada pengamatan
kandungan enzim antioksidan superoksida dismutase (Cu,Zn-SOD) pada jaringan
hati tikus percobaan yang diberi perlakuan probiotik Lactobacillus plantarum dan
Lactobacillus fermentum serta intervensi enteropathogenic Escherichia coli
(EPEC). Organ hati dipilih sebagai tempat diamatinya perubahan kandungan
Cu,Zn-SOD karena kandungan enzim ini di hati lebih tinggi 10 kali lipat per gram
berat basah dibandingkan keberadaannya pada organ lain di dalam tubuh (Slot
et al. 1986).
4
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisa efek pemberian probiotik bakteri asam
laktat (Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum) pada profil
imunohistokimia antioksidan copper, zinc-superoksida dismutase (Cu,Zn-SOD)
pada jaringan hati tikus yang dipapar bakteri enteropathogenic E. coli (EPEC).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hewan Percobaan
Hewan percobaan atau hewan laboratorium memainkan peranan penting
dalam perkembangan dan kemajuan ilmu biomedis. Hewan percobaan adalah
hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan
model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu
dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Penggunaan hewan
percobaan untuk penelitian banyak dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi,
biokimia, patologi, komperatif zoologi, dan ekologi dalam arti luas. Di bidang
ilmu kedokteran selain untuk penelitian, hewan percobaan juga sering digunakan
untuk keperluan diagnostik (Malole dan Pramono 1989). Jenis-jenis hewan
percobaan meliputi hewan percobaan kecil, misalnya: mencit, tikus, marmut, dan
kelinci; serta hewan percobaan lain, seperti: ayam, itik, babi, satwa primata,
domba, dan kambing (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Pemilihan hewan percobaan untuk penelitian mempertimbangkan beberapa
faktor, terutama tujuan dari penelitian itu sendiri. Misalnya, kelinci merupakan
hewan percobaan yang cocok dan paling sering digunakan untuk penelitian
tentang hiperkolesterolemia, karena kelinci memiliki cadangan lemak tubuh yang
banyak (Sirois 2005) dan peka terhadap kolesterol (Muliasari 2009). Berbeda
dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap pakan kolesterol.
Satwa primata merupakan hewan yang sangat cocok digunakan dalam
penelitian ilmiah yang ada kaitannya dengan manusia, karena satwa primata erat
hubungannya dengan manusia misalnya fisiologi dan patologinya. Tetapi banyak
faktor yang harus dipertimbangkan secara matang sebelum memutuskan hewan
percobaan ini digunakan dalam penelitian, seperti sulitnya pengadaan hewan
(satwa langka), biaya yang tinggi dan pemeliharaan yang rumit, pertimbangan
kemampuan dan keselamatan pekerja dalam hal meng-handling hewan percobaan,
dan resiko tertularnya pekerja laboratorium dari penyakit menular karena satwa
primata dapat membawa organisme penyebab penyakit menular, terlebih virusvirus yang tidak begitu patogenik terhadap hewan tersebut tetapi sangat berbahaya
terhadap manusia (Sirois 2005).
6
Penggunaan hewan percobaan untuk pengujian secara in vivo biasanya
menunjukkan hasil deviasi yang besar dibandingkan dengan pengujian in vitro,
karena adanya variasi individu. Supaya variasi tersebut minimal, hewan-hewan
yang mempunyai spesies yang sama atau strain yang sama, usia yang sama, dan
jenis kelamin yang sama, dipelihara pada kondisi yang sama pula (Malole dan
Pramono 1989).
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah
tikus. Tikus merupakan spesies pertama mamalia yang didomestikasi untuk tujuan
ilmiah karena memiliki daya adaptasi yang baik. Tikus yang diproduksi sebagai
hewan percobaan dan hewan peliharaan adalah tikus putih (Rattus norvegicus).
Rattus norvegicus merupakan salah satu hewan percobaan yang paling sering
digunakan dalam penelitian, karena memiliki karakter fungsional yang baik
sebagai model bagi hewan mamalia (Hedrich 2000).
Rattus norvegicus memiliki ciri-ciri panjang tubuh total 440 mm, panjang
ekor 205 mm, bobot badan 140-500 g dengan rataan 400 g (Myers dan Armitage
2004). Tikus disapih hingga usia 21 hari dan memasuki masa dewasa pada usia
40-60 hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Rattus norvegicus memiliki
beberapa keunggulan, antara lain: penanganan dan pemeliharaan yang mudah
karena tubuhnya kecil, kemampuan reproduksi yang tinggi dengan masa
kebuntingan yang singkat, sehat, bersih, dan cocok untuk berbagai macam
penelitian (Malole dan Pramono 1989). Penelitian yang telah pernah dilakukan
menggunakan Rattus norvegicus adalah penelitian tentang hipertensi, diabetes
insipidus, katarak, obesitas, diabetes melitus, dan lain-lain (Sirois 2005).
Sistem klasifikasi tikus Rattus norvegicus menurut Myers dan Armitage
(2004) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
7
Terdapat tiga galur atau varietas tikus Rattus norvegicus yang biasa
digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague Dawley yang memiliki
kepala kecil, berwarna albino putih, dan ekornya lebih panjang dari badannya.
Galur Wistar, memiliki kepala besar, berwarna putih, dan ekor yang lebih pendek.
Galur Long Evans, lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada
kepala hingga tubuh bagian depan serta warna putih pada tubuh bagian belakang
(Malole dan Pramono 1989).
Penelitian ini juga menggunakan tikus sebagai hewan percobaan. Tikus
yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies Rattus norvegicus (Albino
Norway Rats) galur Sprague Dawley. Rattus norvegicus dipakai karena tergolong
omnivora seperti halnya manusia, dan kebutuhan asam amino esensialnya
menyamai kebutuhan manusia, khususnya anak-anak. Tikus putih dalam keadaan
sehat dapat hidup 2-3 tahun. Satu minggu umur tikus putih ekuivalen dengan 30
minggu umur manusia, sehingga pengaruh zat gizi terhadap pertumbuhan dapat
dipelajari dengan cepat pada tikus putih (Nio 1985).
Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan lain,
yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada
tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga mempermudah proses
pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung, dan tidak mempunyai
kantong empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Selain itu, tikus hanya
mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus menjadi bagian badan
yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme perlindungan lain
adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi bulunya dengan
ludah tersebut (Sirois 2005).
2.2 Hati
Hati merupakan kelenjar sekaligus organ parenkimatis terbesar di dalam
tubuh. Hati tikus terdiri atas 4 lobus (Gambar 1), yaitu lobus medial yang terbagi
menjadi sublobus kanan dan kiri oleh bifurcatio, lobus lateral kanan yang terbagi
menjadi bagian anterior dan posterior, lobus kiri (lobus yang paling besar), dan
lobus kaudatus yang terdiri atas dua sublobus seperti daun di dorsal dan ventral
esofagus pada bagian kurvatura minor lambung (Suckow et al. 2006). Unit
8
fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang
beberapa milimeter dan berdiameter 0.8 sampai 2 milimeter. Lobulus hati
terbentuk mengelilingi vena centralis yang mengalir ke vena hepatica dan
kemudian ke vena cava (Guyton dan Hall 1997). Hati mempunyai beberapa
komponen sel, yaitu hepatosit (sel parenkim), sel sinusoidal (endotel, sel Kupffer,
dan sel lemak), sel haematopoesis, sel saraf, saluran limfatik, dan pembuluh darah
(Maronpot 1999).
LL
ML
RL
CL
Gambar 1 Gambaran hati tikus yang terdiri dari empat lobus; LL = lobus kiri;
ML = lobus medial; RL = lobus kanan; CL = lobus kaudatus.
Sumber : http://www.fibrogenesis.com/content/1/1/6/figure/F2
Komponen struktural utama dari hati adalah sel hati atau hepatosit. Secara
histologis, bentuk hepatosit serupa pada setiap spesies yaitu berbentuk polihedral
dan memiliki satu atau dua inti. Hepatosit bersifat metabolik aktif dan memiliki
banyak mitokondria, ribosom, rough endoplasmic reticulum, dan badan golgi.
Peroksisom, smooth endoplasmic reticulum, dan lisosom juga terdapat pada
sitoplasma. Hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati. Mereka
membentuk lapisan setebal 1 atau 2 sel. Lempeng ini mengarah dari tepian
lobulus ke pusat dan beranastomosis secara bebas. Antara lobulus ini dipisahkan
oleh sinusoid hati (Samuelson 2007).
Sinusoid hati merupakan kapiler yang menghubungkan pembuluh darah
interlobularis, arteri hepatica, dan vena porta ke vena centralis. Sinusoid terdiri
dari 2 tipe sel, yaitu sel endotel (sinusoidal endothelial cells) dan sel Kupffer yang
merupakan makrofag jaringan yang dapat memfagosit bakteri dan benda asing di
aliran darah hati. Di antara sel endotel dan sel hati terdapat ruang sempit yang
9
disebut ruang Disse yang menghubungkan pembuluh limfe di dalam septum
interlobularis. Sel Kupffer mempunyai complement dan reseptor Fc yang dapat
menghilangkan benda asing seperti sel debris dan sisa hasil perombakan sel darah
merah. Selain sel endotel dan sel Kupffer juga terdapat komponen yang disebut
Sel Ito (Ito Cells). Sel tersebut menyimpan banyak retinoid hati dalam droplet
lemak yang banyak terlibat dalam dinamika retinol dalam tubuh (Samuelson
2007).
Fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi: (1) fungsi detoksifikasi, (2) fungsi
metabolisme yang berhubungan dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh
yakni metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, (3) fungsi sekresi dan ekskresi
yang berperan membentuk empedu dan mengalirkan empedu ke saluran
pencernaan (Guyton dan Hall 1997).
Aktivitas SOD tertinggi terdapat dalam hati, kemudian dalam kelenjar
adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus, ovarium,
timus, dan lemak (Chow 1988). Jurczuk et al. (2004) menyebutkan bahwa sistem
pertahanan antioksidan di hati lebih efektif dibandingkan dengan organ lain. Hati
berperan sebagai komponen utama pertahanan tubuh inang serta menginduksi
toleransi terhadap antigen (Kleinman al. 2008).
2.3 Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang,
tidak berspora, dan bersifat fakultatif anaerobik. E. coli merupakan bakteri yang
normal terdapat di dalam usus besar manusia dan hewan berdarah panas dan
dikenal sebagai bakteri yang tidak berbahaya, sehingga sering ditemukan pada
feses.
Bakteri enteropahtogenic E. coli (EPEC) didefinisikan sebagai bakteri yang
memiliki
karakteristik
berikut:
(1)
kemampuan
menimbulkan
diare,
(2) kemampuan memproduksi sebuah bentukan histologi pada epitel usus yang
dikenal
sebagai
lesio
attaching
and
effacing
(A/E
lesion),
dan
(3) ketidakmampuan memproduksi Shiga-like toxin (verocytotoxin). Karakteristik
yang kedua merupakan pembeda antara EPEC dengan strain E. coli penyebab
diare lainnya, yang meliputi enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroaggregative
10
E. coli (EAEC), dan enteroinvasive E. coli (EIEC). Karakteristik yang ketiga
merupakan pembeda EPEC dengan E. coli penghasil Shiga-like toxin (STEC dan
VTEC) dan enterohemorrhagic E. coli (EHEC) (Kaper et al. 2004).
Proses patogenitas EPEC diawali dengan perlekatan bakteri pada sel epitel
usus inang dan membentuk lesi attaching and effacing A/E (Gambar 2).
Perlekatan awal EPEC pada sel epitel usus inang diperantarai oleh bundle-forming
pilus (BFP) diikuti sekresi faktor virulen yang dikenal dengan “molecular
syringe” berupa sistem sekresi tipe III. Salah satu faktor yang disuntikkan adalah
Tir (translicated intimin receptor) yang berfungsi sebagai reseptor membran
plasma untuk perlekatan EPEC. EPEC kemudian mengikat Tir melalui protein
membran luar, intimin. Sinyal transduksi terjadi dalam sel inang, termasuk
aktivasi protein kinase C (PKC), inositol triphosphate (IP3), dan pelepasan Ca2+.
Beberapa protein sitoskeletal termasuk aktin, menjadi tempat melekatnya EPEC.
Pada akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal setelah Tir-intimin
berikatan, dan menghasilkan formasi pedestal-like structure (Lu dan Walker
2001).
Gambar 2 Bentuk infeksi EPEC pada epitel usus.
Sumber : Lu dan Walker (2001)
2.4 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang biasanya ditambahkan ke
dalam pangan dalam jumlah yang tepat sehingga dapat bermanfaat bagi kesehatan
saluran pencernaan (Zubillaga et al. 2001). Naidu (1999) juga menyebutkan
bahwa mikroba probiotik mempunyai hubungan dekat dengan kesehatan saluran
pencernaan inang karena berperan mencegah kolonisasi dan proliferasi mikroba
11
patogen di usus. Definisi FAO/WHO (2002) tentang probiotik adalah
mikroorganisme hidup yang saat dikonsumsi dengan jumlah yang cukup akan
tetap hidup sampai mencapai saluran gastrointenstinal (GI tract) serta
memberikan manfaat kesehatan.
Mekanisme pertahanan intestinal oleh probiotik sebagaimana dikutip dalam
Lu dan Walker (2001) adalah meningkatkan pertahanan inang dengan menduduki
usus, sehingga: (1) mencegah kolonisasi patogen di usus, (2) memproduksi
senyawa antimikroba, volatile fatty acids, dan modifikasi asam empedu yang pada
gilirannya menciptakan lingkungan lumen yang kurang baik untuk pertumbuhan
patogen, dan (3) merangsang respon sel imun dan mengaktivasi respon kekebalan
dan inflamasi. Penyakit pada usus akan terjadi apabila ada faktor yang
mengganggu integritas pertahanan epitel usus.
Gambar 3 Mekanisme pertahanan intestinal oleh probiotik.
Sumber : Lu dan Walker (2001)
Beberapa dekade terakhir, probiotik sudah dikembangkan dan digunakan
sebagai terapi alternatif untuk penyakit diare. Bakteri probiotik yang umum
digunakan untuk kepentingan ini adalah bakteri asam laktat (BAL), namun
sebenarnya mikroba probiotik dapat berupa bakteri Gram positif, bakteri Gram
negatif, khamir, dan fungi (Rolfe 2000). Bakteri asam laktat yang umum
digunakan dan telah terbukti mempunyai efek probiotik pada manusia berasal dari
12
genus Lactobacillus dan Bifidobacterium, antara lain L. achidophilus, L. casei,
L. fermentum, L. plantarum, L. reuteri, B. infantis, B. breve, B. animalis,
B. adolescentis, dan B. longum. Bakteri–bakteri tersebut termasuk bakteri Gram
positif, fakultatif yang normal terdapat dalam usus besar manusia dan sebagian
besar merupakan mikroflora anaerobik (Liong 2007). Efek protektif probiotik
terhadap infeksi usus yang diperlihatkan pada hewan model adalah mekanisme
memproduksi asam, zat antimikroba, hidrogen peroksida, kompetisi nutrisi atau
reseptor adhesi/penempelan, tindakan antitoksin, dan stimulasi sistem kekebalan
tubuh (Marteau et al. 2001).
Kullisaar et al. (2003) telah membuktikan bahwa beberapa strains bakteri
asam laktat tersebut memiliki aktivitas antioksidan dan mampu menurunkan
akumulasi reactive oxygen spesies (ROS)/radikal bebas pada inang, sehingga
berpotensi menurunkan stess oksidatif. Selain itu, Kullisaar et al. (2002)
melaporkan pula bahwa mengkonsumsi susu fermentasi yang mengandung
L. fermentum ME-3 menunjukkan efek antioksidatif dan antiatherogenik.
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang telah dikenal sebagai
probiotik. BAL adalah bakteri Gram positif yang bersifat mikroaerofilik, tidak
berspora, dan mampu memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat. Bakteri
asam laktat termasuk mikroorganisme yang aman jika ditambahkan dalam pangan
karena sifatnya tidak toksik dan tidak menghasilkan toksin, maka disebut food
grade microorganism atau dikenal sebagai
mikroorganisme yang Generally
Recognized As Safe (GRAS) yaitu mikroorganisme yang tidak beresiko terhadap
kesehatan, bahkan beberapa jenis bakteri tersebut berguna bagi kesehatan.
Bakteri probiotik umumnya dimasukkan ke dalam pangan fermentasi
berbasis susu. Untuk dapat dikatakan sebagai probiotik, maka BAL harus
memenuhi syarat antara lain: (1) tahan terhadap asam lambung (pH 1.5-5.0),
(2) stabil terhadap asam empedu dan mampu bertahan hidup selama berada dalam
usus kecil, (3) mampu bertahan (survive) dan berkolonisasi di saluran pencernaan,
(4) mampu mempertahankan suatu keseimbangan mikroflora usus melalui
kompetisi dan inhibisi terhadap kuman-kuman patogen, seperti memproduksi
senyawa antimikroba seperti asam laktat, hidrogen peroksida, dan bakteriosin,
13
(5) tidak patogen dan tidak toksik, (6) stabil selama penyiapan sampai dengan
penggunaan agar dapat disediakan massal dalam industri pangan (Lisal 2005).
2.5 Radikal Bebas dan Antioksidan Cu,Zn-SOD
Radikal bebas (free radical), oksidan (oxidant) yang berupa reactive
nitrogen species (RNS) atau reactive oxygen species (ROS) merupakan molekul
yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan (unpaired
electron) pada orbital luarnya. Elektron yang tidak berpasangan ini akan menjadi
sangat reaktif dalam upaya memperoleh pasangan dengan cara menarik elektron
dari biomakromolekul disekitarnya, seperti protein, asam nukleat, dan asam
deoksiribonukleat (DNA). Oksidasi dan degradasi makromolekul yang merupakan
komponen sel akan mengakibatkan kerusakan pada sel tersebut (Halliwell dan
Gutteridge 1999).
Pada kondisi fisiologis normal, sel memproduksi radikal bebas sebagai
konsekuensi logis terhadap reaksi biokimia dalam kehidupan aerobik. Senyawa
radikal bebas yang terlibat dalam berbagai proses patologik berasal dari berbagai
sumber di antaranya sebagai reaksi reduksi oksidasi (redoks) biokimia yang
melibatkan senyawa oksigen. Reaksi ini terjadi pada sebagian besar proses
metabolisme tubuh normal, tetapi oleh suatu sebab senyawa tersebut terdapat
dalam jumlah yang berlebihan. Senyawa yang dihasilkan dari reaksi ini disebut
senyawa oksigen reaktif yang sebagian berbentuk radikal seperti hidroksil dan
superoksida serta sebagian lagi berbentuk non radikal seperti asam hipokrit,
singlet oksigen, dan hidrogen peroksida (Jhonson dan Giulivi 2005).
Awal terbentuknya radikal bebas adalah dari proses reduksi molekul
oksigen dalam rangkaian transpor elektron dalam mitokondria atau dalam prosesproses lain yang terjadi secara acak dari berbagai proses kimiawi dalam tubuh
yang melibatkan senyawa organik maupun inorganik. Radikal bebas yang
terbentuk mempunyai masa paruh yang sangat pendek, tetapi tetap mempunyai
potensi besar yang dapat merusak sel. Bila reaksi terus berlanjut maka terjadi
suatu reaksi berantai (chain reaction) sampai radikal bebas itu dihilangkan oleh
sistem antioksidan tubuh. Naiknya level radikal bebas atau kurangnya antioksidan
tubuh menyebabkan stress oksidatif. Telah dilaporkan oleh Wresdiyati et al.
14
(2002) dan Wresdiyati et al. (2003), bahwa keadaan stress oksidatif menimbulkan
penurunan kandungan antioksidan copper, zinc-superoksida dismutase (Cu,ZnSOD) pada hati dan ginjal tikus.
Antioksidan adalah senyawa atau bahan bioaktif yang berfungsi mencegah,
menurunkan reaksi oksidasi, memutus, menghambat, menghentikan, dan
menstabilkan radikal bebas (Margaill 2005). Enzim antioksidan intraseluler terdiri
atas enzim katalase, glutation peroksidase, dan superoksida dismutase (SOD).
Superoksida
dismutase
terdiri
atas
3
isoform,
yakni
Cu, Zn-SOD,
Mn-SOD, dan Fe-SOD (Valko et al. 2007).
Superoksida dismutase pertama kali ditemukan oleh Mann dan Keillis pada
tahun 1938 pada saat mengisolasi protein yang berwarna biru dari eritrosit sapi.
Protein tersebut selanjutnya diketahui mengandung Cu. Pada tahun 1968, McCord
dan Fridovich berhasil menemukan adanya aktivitas katalitik dismutase radikal
superoksida pada protein tersebut dan selanjutnya protein yang berhasil
diidentifikasi aktivitas katalitiknya ini dinamai superoksida dismutase (SOD).
Selanjutnya pada tahun 1972, Fridovich juga menemukan Cu,Zn-SOD pada
berbagai tingkatan organisme, seperti yeast atau ragi, Neurospora crassa, bayam,
benih gandum, hati ikan, dan hati ayam. Oleh banyak peneliti selanjutnya protein
ini ditetapkan sebagai antioksidan enzimatis endogen (Fridovich 1995).
Antioksidan superoksida dismutase bekerja mengkatalisis dismutasi anion
superoksida (O2 -) yang merupakan oksigen reaktif menjadi hidrogen peroksida
(H2O2) dan oksigen (O2). Dalam tubuh hewan mamalia, SOD mempunyai
berbagai macam jenis dan lokasi, antara lain Mn-SOD yang terdapat dalam
mitokondria, SOD ekstraseluler, dan Cu,Zn-SOD terdapat pada sitosol dan inti sel
(Yon et al. 2008).
Enzim antioksidan Cu,Zn-SOD merupakan protein enzimatis yang
memiliki berat molekul 32.000 Dalton dan tersusun atas dua subunit identik yang
mengandung sekelompok logam aktif, yaitu atom tembaga (Cu) dan seng (Zn).
Atom Cu pada Cu,Zn-SOD berperan dalam aktivitas enzimatis, sedangkan Zn
berfungsi sebagai stabilisator (Fridovich 1995). Antioksidan Cu,Zn-SOD
merupakan salah satu SOD paling stabil karena setiap subunit tergabung oleh
ikatan non-kovalen dan terangkai oleh ikatan disulfida. Enzim ini mempunyai
15
peranan penting dalam pertahanan tubuh melawan radikal-radikal bebas anion
superoksida atau yang merupakan produk metabolisme parsial oksigen
(Wresdiyati dan Astawan 2004).
2.6 Imunohistokimia
Imunohistokimia adalah metode pewarnaan jaringan yang merupakan
gabungan dari tiga cabang ilmu pengetahuan, yaitu: (1) imunologi, karena prinsip
pewarnaan ini adalah ikatan antigen dan antibodi, (2) histologi, menyangkut
penggunaan preparat dengan ketebalan mikro yang pengamatannya dengan
mikroskop cahaya, dan (3) kimia, karena pewarnaan yang dilakukan berdasarkan
reaksi kimia (Ramos-Vara 2005).
Teknik imunohistokimia yang ditemukan AH Coons pada tahun 1941
adalah teknik identifikasi unsur pokok jaringan secara in situ melalui reaksi
antigen-antibodi spesifik dan diberi label agar terlihat dengan mikroskop. Ikatan
antigen-antibodi sangat spesifik ibarat ikatan kunci dan gembok (lock and key).
Teknik ini menggunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer dan antibodi
sekunder (Ramos-Vara 2005). Antibodi primer yang digunakan pada penelitian ini
adalah antibodi monoklonal terhadap Cu,Zn-SOD dan antibodi sekunder (antiantibodi primer) yang digunakan adalah antibodi yang sudah terkonjugasi dengan
peroksidase (Dako envision peroxidase system atau DEPS). Antibodi sekunder
yang digunakan dapat bereaksi beberapa jenis antibodi monoklonal yang dibuat
dari beberapa jenis hewan.
Prinsip pewarnaan imunohistokimia dapat dilihat pada Gambar 4.
Antibodi primer
SIGMA S2147
Antibodi sekunder
(K1491)
Peroksidase
Antigen
(Cu,Zn-SOD)
DAB + H2O2
Endapan coklat + H2O
Jaringan hati
Gambar 4 Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia.
16
Enzim antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan hati dikenali sebagai antigen
oleh antibodi primer (antibodi monoklonal terhadap Cu,Zn-SOD). Antigen akan
diikat oleh antibodi primer. Selanjutnya, antibodi primer akan berikatan dengan
antibodi sekunder yang telah dikonjugasikan dengan peroksidase (DEPS).
sehingga keberadaan peroksidase ini melambangkan adanya kompleks antigenantibodi. Peroksidase berfungsi mengkatalisis reaksi antara kromogen (diamino
benzidine atau DAB ) dan hidrogen peroksida (H2O2), sehingga terbentuk endapan
berwarna coklat yang menunjukkan keberadaan SOD. Semakin tua intensitas
warna coklatnya berarti semakin banyak kandungan SOD-nya.
2.7 Penelitian Pendahuluan
Arief et al. (2008) telah melakukan isolasi bakteri asam laktat (BAL)
golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa
peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional di daerah Bogor.
Bakteri asam laktat tersebut selanjutnya diuji kemampuannya bertahan pada
kondisi sesuai dengan kondisi saluran pencernaan manusia, antara lain pH, garam
empedu, serta aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen.
Hasil penelitian pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 10
bakteri asam laktat isolat indigenus yang mempunyai kemampuan bertahan pada
pH asam lambung yaitu pH 2 dan pH usus 7.2, serta pada kondisi garam empedu
0.5% sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Kesepuluh BAL tersebut adalah
dari spesies Lactobacillus spp., Lactococcus spp., dan Streptococcus spp. BAL
tersebut memiliki kemampuan bakterisidal terhadap mikroba patogen karena
mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat, serta senyawa
bakteriosin. Selain itu, bakteri asam laktat tersebut juga mempunyai kemampuan
penghambat yang baik terhadap tiga jenis bakteri patogen, yaitu enterotoxigenic
E. coli (ETEC), Salmonella Thypimurium, dan Staphylococcus aureus. Mengacu
pada kriteria probiotik yang dikeluarkan oleh FAO/WHO (2002), kesepuluh isolat
bakteri asam laktat ini layak dikatakan sebagai probiotik.
Sifat fungsional lainnya telah diteliti oleh Astawan et al. (2009) yaitu
mengenai kemampuan bakterisidal dari 10 isolat BAL terhadap bakteri enteropathogenic E. coli (EPEC) secara in vitro. Hasilnya diperoleh dua spesies BAL
17
yang mempunyai kemampuan terbaik sebagai probiotik, yaitu Lactobacillus
plantarum dan Lactobacillus fermentum. Kedua bakteri asam laktat inilah yang
akan dipakai pada penelitian ini.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2009 (sampling sampai
dengan embedding), Februari 2010 (sectioning), dan bulan Juli 2010 (pewarnaan),
bertempat di SEAFAST CENTRE IPB dan Laboratorium Histologi Departemen
Anatomi Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan terdiri atas seperangkat alat bedah (gunting, pinset,
alas bedah), pisau silet, gelas piala, Erlenmeyer, botol sampel, kapas, kertas tissue,
benang, aluminium foil, tissue basket, exhause fan, pipet tetes, pipet mohr,
mikropipet, gelas ukur, cup untuk embedding, gelas objek, cover glass, inkubator,
waterbath, mikrotom putar (rotatory microtom), tabung Eppendorf, kotak
preparat, pensil, dan kamera.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih Albino
Norway Rats (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu
sebanyak 90 ekor berjenis kelamin jantan dengan berat badan berkisar antara 140240 g, bakteri asam laktat (BAL) indigenus isolat lokal yaitu Lactobacillus
plantarum dan Lactobacillus fermentum, kultur bakteri enteropathogenic E. coli
(EPEC), ransum tikus percobaan, (kasein, minyak jagung, mineral mix,
carboximethylcellulose, dan maizena), eter, NaCl fisiologis 0.9%, larutan fiksatif
Bouin (asam pikrat jenuh, formalin, dan asam asetat glasial dengan perbandingan
15:5:1), alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%, xylol, parafin, akuades,
pewarna hematoksilin, entelan, neophren in toluene 2%, phosphate buffered
saline (PBS), metanol, H2O2, serum normal, antibodi primer/monoklonal Cu,ZnSOD (SIGMA S2147), antibodi sekunder Dako envision peroksidase system
(K1491), larutan kromogen diamino benzidine (DAB), air bebas ion (MilliQ),
kertas film, dan label.
19
Alur penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada skema dibawah ini.
Pengujian probiotik sebagai antioksidatif secara in vivo dengan membentuk kelompok tikus
percobaan sebagai berikut:
A. Kontrol negatif (ransum standar)
B. BAL 1 (Lactobacillus plantarum)
C. BAL 1 (Lactobacillus fermentum)
D. BAL 2 (Lactobacillus plantarum) + EPEC
E. BAL 2 (Lactobacillus fermentum) + EPEC
F. Kontrol positif (EPEC)
Kelompok B,C,D,E: cekok BAL
Hari
H0
H8
H15
H22
T2
T3
Kelompok
D,E,F : cekok
EPEC
Terminasi
T1
Analisis kandungan enzim
antioksidan intraseluler (SOD)
pada hati
Diketahui satu BAL probiotik
terbaik dalam meningkatkan
kandungan enzim antioksidan
SOD pada hati tikus
Gambar 5 Diagram alur penelitian.
3.3 Tahapan Perlakuan
3.3.1 Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 90 ekor tikus
putih Albino Norway Rats (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley yang
berumur 5-6 minggu dengan berat badan berkisar 140-240 g dan berjenis kelamin
jantan hasil perkembangbiakkan dari Badan POM RI.
20
3.3.2 Kandang dan Perlengkapan
Kandang hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kandang yang berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5 cm dan berjumlah sesuai dengan
jumlah tikus yang digunakan. Kandang tersebut terbuat dari stainless steel.
Kandang tikus berlokasi pada tempat atau ruangan yang bebas dari suara ribut dan
terjaga dari asap industri dan polutan lainnya. Ruangan tempat kandang tikus
berada mudah dibersihkan dan disanitasi dengan suhu optimum ruangan untuk
tikus adalah 22-24 °C, kelembapan udara 50-60%, dan ventilasi yang cukup,
namun tidak ada jendela yang terbuka.
3.3.3 Ransum
Komposisi ransum basal disusun berdasarkan standar AOAC (Association
of Official Agricultural Chemists) yaitu mengandung karbohidrat, protein, lemak,
mineral, vitamin, dan air. Semua kelompok tikus percobaan diberi ransum standar.
Tabel 1 Komposisi ransum standar tikus
Komponen
Sumber
Jumlah
Protein
Protein kasein
10%
Lemak
Minyak jagung
8%
Mineral
Campuran mineral
5%
Vitamin
Campuran vitamin
1%
Serat
Carboxymethylcellulose
1%
Air
Air
5%
Pati
Maizena (pati jagung)
Sumber : Muchtadi et al. (1992)
% sisanya
Perhitungan
=%
8−
×
%
×
5−
.
×
%
1%
1−
×
5−
%
×
%
100 – (lainnya)
3.3.4 Perlakuan terhadap Hewan Percobaan
Sebanyak 90 ekor tikus percobaan dibagi dalam 6 kelompok perlakuan.
Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 15 ekor tikus yang akan diterminasi pada 3
waktu yang berbeda (hari ke-8, 15, dan 22) masing-masing 5 ekor tikus. Masingmasing kelompok diberi perlakuan seperti pada Tabel 2 dan waktu terminasi dapat
dilihat pada Gambar 5.
21
Tabel 2 Kelompok tikus percobaan sesuai perlakuan yang diberikan
Kelompok
Tikus
A
Perlakuan
Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok akuades mulai
hari ke-1 sampai hari ke- 21 (kontrol negatif)
B
Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok BAL 1
(L. plantarum) mulai hari ke-1 sampai hari ke-21
C
Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok BAL 2
(L. fermentum) mulai hari ke-1 sampai hari ke-21
D
Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok BAL 1
(L. plantarum) mulai hari ke-1 sampai hari ke-21 serta dicekok
EPEC pada hari-8 sampai hari ke-14
E
Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok BAL 2
(L. fermentum) mulai hari ke-1 sampai hari ke-21 serta dicekok
EPEC pada hari-8 sampai hari ke-14
F
Tikus yang diberi ransum standar dan dicekok akuades mulai
hari ke-1 sampai hari ke- 21 serta cekok EPEC pada hari ke-8
sampai hari ke-14 (kontrol positif)
Jumlah BAL yang diberikan sesuai petunjuk Zoumpopolou et al. (2008).
Dua buah kultur dari bakteri asam laktat terpilih (L. plantarum dan L. fermentum)
berumur satu hari pada media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRS Broth) dengan
populasi 108 cfu/ml/hari diberikan sesuai dengan perlakuan kepada tikus
percobaan. Sedangkan populasi EPEC penyebab diare yang diberikan adalah
sebesar 106 cfu/ml/hari, yang didasarkan bahwa dosis infeksi E. coli
enteropatogenik adalah minimal 105 cfu/ml menurut Oyetayo (2004). Setelah
perlakuan tertentu selesai diaplikasikan pada tikus percobaan, dilakukan terminasi
(pengakhiran perlakuan) dengan selang waktu 7 hari. Pembunuhan tikus
dilakukan dengan cara dislokatio cervicalis.
3.3.5 Pembuatan Preparat Histologi Jaringan Hati Tikus
Pembuatan preparat histologi meliputi proses pengambilan jaringan
(sampling),
fiksasi,
dehidrasi,
penjernihan
(clearing),
infiltrasi
parafin,
embedding, pemotongan (sectioning), dan pewarnaan (staining) (Kiernan 1990).
Pada proses terminasi, organ hati tikus diambil kemudian dicuci dengan NaCl
fisiologis 0.9%. Selanjutnya organ dimasukkan ke dalam larutan fiksatif Bouin
22
yang telah disiapkan kurang lebih satu jam sebelum terminasi. Setelah terfiksasi,
organ direndam dalam alkohol 70% (stopping point). Selanjutnya sampel organ
hati dipotong kecil-kecil seperti dadu dan dimasukkan ke dalam tissue basket serta
diberi label dengan kertas film. Sampel jaringan yang telah berada dalam tissue
basket didehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 70%, 80%, 90%,
dan 95% masing-masing selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan dehidrasi dalam
alkohol absolut (100%) I, II, III masing-masing selama 1 jam. Setelah itu,
dilakukan penjernihan (clearing) dalam xylol I, II, dan III masing-masing selama
1 jam dan dilanjutkan dengan infiltrasi parafin cair I, II, III pada suhu 60 °C
selama masing-masing 1 jam.
Tahap selanjutnya adalah embedding, yaitu penanaman jaringan dalam blok
parafin (cetakan) sehingga memudahkan pada saat pemotongan/penyayatan
dengan mikrotom. Blok parafin tersebut kemudian dipotong dengan mikrotom
setebal 4 µm. Proses ini disebut sectioning. Sebelum blok parafin dipasang pada
holder mikrotom, sebaiknya setiap sudut blok diiris sedikit sebagai pembatas
antar potongan sehingga mudah dipisahkan setelah disayat. Hasil potongan
direndam dalam akuades suhu ruang. Setelah ditentukan hasil sayatan terbaik,
sayatan tersebut dimasukkan ke dalam akuades yang dipanaskan dengan suhu
37 °C dalam waterbath. Selanjutnya sayatan jaringan dilekatkan pada gelas objek
dan diberi label (untuk pewarnaan imunohistokimia, jaringan dilekatkan pada
gelas objek dengan agen perekat neophren in toluene). Setelah itu, sediaan
diinkubasi dalam inkubator selama lebih kurang 24 jam.
Proses berikutnya adalah pewarnaan (staining). Pewarnaan diawali dengan
deparafinisasi dengan cara merendam gelas preparat dalam xylol III, II, I secara
berurutan selama masing-masing 5 menit. Selanjutnya rehidrasi dilakukan dengan
merendam preparat dalam alkohol bertingkat mulai dari alkohol absolut III, II, I,
95%, 90%, 80%, 70% selama masing-masing 5 menit, kemudan dilanjutkan
dengan perendaman preparat dalam air kran selama 5 menit dan dalam akuades
selama 3 menit.
 Pewarnaan Imunohistokimia Superoksida Dismutase (Cu,Zn-SOD)
Pewarnaan ini dilakukan untuk mengamati kandungan enzim Cu,Zn-SOD
pada jaringan hati tikus percobaan. Dalam pewarnaan imunohistokimia terdapat
23
tahapan awal yang harus dilakukan, yaitu preparasi gelas objek dan pelapisan
(coating) gelas objek dengan neofren in tholuene 2%. Setelah prosedur
deparafinisasi dan rehidrasi dilakukan, tahap selanjutnya adalah penghilangan
peroksidase endogen menggunakan substrat metanol (30 ml) yang dicampur
dengan H2O2 (0.3 ml) atau 3% H2O2 dalam metanol (disiapkan sesaat sebelum
gelas objek dimasukkan) dengan cara mencelupkan gelas preparat dan dibiarkan
dalam keadaan gelap selama 15 menit. Kemudian dilakukan pencucian dengan
akuades dan phosphate buffer saline (PBS) masing-masing 2 kali selama 10
menit. Selanjutnya permukaan sediaan di sekitar
jaringan dikeringkan
menggunakan kertas tissue dengan tetap menjaga jaringan untuk tidak kering,
kemudian preparat disusun sejajar secara mendatar dalam kotak lembab untuk
selanjutnya ditetesi 50-60 µl normal serum untuk masing-masing preparat. Kotak
kemudian ditutup rapat dan diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 °C selama
60 menit. Tujuan penetesan normal serum adalah untuk menutupi bagian antigen
yang tidak spesifik pada jaringan agar tidak mengacaukan reaksi. Selanjutnya
dilakukan pencucian preparat dengan PBS sebanyak 3 kali selama masing-masing
5 menit.
Tahap selanjutnya adalah penetesan antibodi primer (monoclonal antibody)
Cu,Zn-SOD (SIGMA S2147) sebanyak 50-60 µl pada masing-masing preparat,
lalu diinkubasi pada suhu 4 °C selama dua malam. Setelah diinkubasi, gelas
preparat dicuci kembali dengan PBS sebanyak tiga kali masing-masing 10 menit,
kemudian ditetesi antibodi sekunder DEPS sebanyak 50-60 µl per preparat pada
suasana gelap dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 60 menit. Sediaan dicuci
dengan PBS masing-masing 3 kali selama 5 menit kemudian ditetesi larutan
kromogen DAB pada kondisi gelap dan di tutup selama 30 menit pada suhu ruang.
Selanjutnya preparat dicuci dengan air bebas ion (milliQ) dan kemudian dilakukan
pengecekan dengan mikroskop cahaya. Adanya warna coklat menunjukkan hasil
positif.
Proses
selanjutnya
adalah
counterstain
menggunakan
pewarna
hematoksilin untuk mewarnai sel yang tidak menghasilkan Cu,Zn-SOD dan
dilanjutkan dengan dehidrasi pada alkohol bertingkat 70%, 80%, 90%, 95%,
absolut I, dan absolut II masing-masing beberapa detik serta absolut III selama 1
menit, dilanjutkan clearing dengan xylol I dan II selama beberapa detik serta xylol
24
III selama 1 menit. Proses diakhiri dengan mounting (penutupan sediaan dengan
cover glass) menggunakan entelan.
Preparat yang telah selesai diwarnai diamati dengan mikroskop cahaya pada
lensa objektif 20x pada tiap preparat. Pemotretan juga dilakukan dengan
pembesaran lensa objektif 20x pada preparat jaringan hati tersebut sebanyak enam
lapang pandang secara acak pada setiap preparat.
3.3.6 Analisis Kandungan SOD Hati Tikus
Analisis kandungan enzim superoksida dismutase (SOD) dilakukan dengan
metode imunohistokimia. Pewarnaan imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD
dilakukan untuk mendeteksi sel-sel penghasil Cu,Zn-SOD
yang dapat
menunjukkan jumlah sel penghasil serta kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD.
Pengamatan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan mikroskop
cahaya dengan perbesaran lensa obyektif 20x.
Pengamatan Cu,Zn-SOD secara kualitatif dilakukan pada sitoplasma dan
inti sel hati dengan melihat intensitas warna coklat dan distribusinya pada seluruh
bagian setiap preparat yang diamati. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop
cahaya pada perbesaran objektif 10x. Semakin tua dan semakin merata warna
coklatnya berarti mengandung semakin banyak Cu,Zn-SOD. Penilaian dilakukan
dengan memberikan tanda (+). Semakin banyak tanda (+) berarti kandungan
enzim Cu,Zn-SOD semakin banyak dan merata di seluruh bagian jaringan hati.
Pengamatan secara kuantitatif dilakukan pada inti sel hati berdasarkan
berbagai tingkatan kandungan warna coklat yang terbentuk tiap lapang pandang
pada perbesaran objektif 20x. Keberadaan enzim Cu,Zn-SOD ditunjukkan oleh
tanda (+), semakin banyak tanda (+) berarti semakin tinggi kandungan enzim
tersebut. Ada empat tingkatan hasil reaksi, yaitu positif kuat (+++, inti sel hati
berwarna coklat tua), positif sedang (++, inti sel hati berwarna coklat sedang),
positif lemah (+, inti sel hati berwarna coklat muda campur biru), dan reaksi
negatif (-, inti sel hati berwarna biru). Perhitungan dilakukan pada enam lapang
pandang yang berbeda yang dipilih secara acak pada setiap preparat jaringan.
Hasil pengamatan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan hati secara
25
kuantitatif ini dianalisis dengan ANOVA dan apabila terdapat perbedaan yang
nyata akan dilakukan uji Lanjutan Duncan (Wresdiyati et al. 2010).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pewarnaan imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD dilakukan untuk melihat
kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus pada setiap
kelompok perlakuan. Enzim Cu,Zn-SOD merupakan enzim antioksidan endogen
yang mempunyai peranan penting dalam melindungi sel dari serangan radikal
bebas dan secara tidak langsung dapat menjaga keseimbangan oksigen yang
bersifat toksik (Wresdiyati et al. 2002). Enzim Cu,Zn-SOD mengkatalis dismutasi
radikal bebas anion superoksida (O2 -) menjadi radikal yang lebih lemah yaitu
hidrogen peroksida (H2O2) dan selanjutnya akan diubah menjadi oksigen (O2)
yang lebih stabil dan air (H2O) oleh glutation peroksidase dan katalase (Finkel dan
Holbrook 2000).
Reaksi positif dari pewarnaan imunohistokimia terhadap enzim Cu,Zn-SOD
divisualisasikan berupa produk reaksi warna coklat di jaringan hati. Intensitas dan
distribusi warna coklat menujukkan kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD
pada jaringan hati. Semakin tua dan merata warna coklat yang terbentuk berarti
kandungan enzim Cu,Zn-SOD semakin banyak/tinggi. Sel yang bereaksi negatif
atau tidak mengandung enzim Cu,Zn-SOD ditunjukkan dengan warna biru.
Pengamatan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan secara
kualitatif dilakukan dengan melihat intensitas warna coklat pada seluruh bagian
jaringan hati. Sedangkan pengamatan secara kuantitatif dilakukan dengan
menghitung inti sel hati yang dibedakan pada beberapa tingkatan warna coklat,
yakni positif kuat (+++, coklat tua), positif sedang (++, coklat sedang), positif
lemah (+, coklat muda campur biru), dan reaksi negatif (-, biru).
Pengamatan secara kualitatif terhadap jaringan hati pada terminasi hari ke-8
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kandungan enzim Cu,Zn-SOD antar
kelompok perlakuan (Tabel 3). Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati
tikus kelompok perlakuan bakteri asam laktat (BAL) L. plantarum, L. fermentum,
L. plantarum + EPEC, dan L. fermentum + EPEC relatif sama dengan kelompok
kontrol negatif dan kontrol positif (Gambar 7). Hal ini berarti L. plantarum dan
L. fermentum belum mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada
jaringan hati tikus pada minggu pertama pemberian kedua jenis bakteri asam
27
laktat tersebut. Selain itu, tidak adanya perbedaan kandungan enzim Cu,Zn-SOD
pada kelompok kontrol positif dengan kelompok perlakuan lain dapat terjadi
karena kelompok kontrol positif belum dicekok EPEC pada minggu pertama.
Tabel 3 Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus percobaan
Kelompok perlakuan
Kandungan Cu,Zn-SOD
Terminasi hari ke-8, sebelum pemberian EPEC (T1)
T1A
++
T1B
++
T1C
++
T1D
++
T1E
++
T1F
++
Terminasi hari ke-15, satu minggu setelah pemberian EPEC (T2)
T2A
++
T2B
++
T2C
+++
T2D
++
T2E
++++
T2F
+/-
Terminasi hari ke-22, satu minggu setelah pemberian EPEC dari luar dihentikan (T3)
T3A
++
T3B
++
T3C
+++
T3D
+
T3E
++++
T3F
+/-
Ket: Tanda (+) menunjukkan adanya kandungan enzim Cu,Zn-SOD. Semakin banyak
tanda (+) berarti semakin tinggi kandungan enzim tersebut. A = kelompok kontrol
negatif (perlakuan ransum standar); B = kelompok perlakuan L. plantarum;
C = kelompok perlakuan L. fermentum; D = kelompok perlakuan L. plantarum +
EPEC; E = kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC; F = kelompok kontrol positif
(perlakuan EPEC).
Kemudian pada terminasi hari ke-15, terdapat perbedaan kandungan enzim
Cu,Zn-SOD pada setiap kelompok perlakuan (Gambar 8). Secara kualitatif
kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC memiliki kandungan enzim Cu,ZnSOD paling tinggi, terlihat dari intensitas warna coklat yang terbentuk pada
kelompok perlakuan ini lebih kuat dibandingkan kelompok lain. Hal ini berarti
28
L. fermentum mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada
kelompok yang diberi paparan EPEC pada hari ke-8 sampai hari ke-14. Kelompok
perlakuan L. fermentum memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD tertinggi kedua
setelah kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC. Ini berarti bahwa perlakuan
L. fermentum selama 2 minggu dapat meningkatkan kandungan enzim Cu,ZnSOD di jaringan hati tikus.
Selanjutnya, dari pengamatan secara kualitatif terlihat bahwa kelompok
perlakuan L. plantarum kandungan enzim Cu,Zn-SOD-nya sama dengan
kelompok kontrol negatif. Hal ini berarti perlakuan L. plantarum selama 2 minggu
hanya mampu mempertahankan dan tidak meningkatkan kandungan enzim Cu,ZnSOD di jaringan hati tikus. Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus
kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC juga sama dengan kelompok kontrol
negatif, berarti pemberian L. plantarum pada tikus yang memperoleh paparan
EPEC pada hari ke-8 sampai hari ke-14 dapat mempertahankan kandungan enzim
antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus. Kelompok yang memiliki
kandungan enzim Cu,Zn-SOD paling rendah adalah kelompok dengan perlakuan
EPEC atau kontrol positif. Hal ini dapat terjadi karena enzim antioksidan yang ada
di jaringan hati telah digunakan untuk menetralkan radikal bebas yang terbentuk,
selain itu juga karena kelompok kontrol positif tidak diberi BAL.
Pada terminasi hari ke-22, pengamatan secara kualitatif menunjukkan
bahwa kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC memiliki kandungan enzim
Cu,Zn-SOD paling tinggi dibandingkan kelompok lain (Gambar 9). Hal ini berarti
pemberian L. fermentum masih mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,ZnSOD setelah paparan EPEC sebelumnya pada hari ke-8 sampai hari ke-14.
Kelompok perlakuan L. fermentum memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD
tertinggi kedua. Hal ini menunjukkan bahwa L. fermentum memiliki kemampuan
meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD.
Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan L. plantarum
sama dengan kelompok kontrol negatif, berarti pemberian L. plantarum mampu
mempertahankan dan belum mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD
di jaringan hati hingga minggu ketiga pemberian L. plantarum. Sedangkan
kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok L. plantarum yang dalam
29
sejarahnya pernah dipapar EPEC pada hari ke-8 sampai hari ke-14 lebih rendah
dari pada kelompok kontrol negatif, namun kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada
kelompok ini tetap lebih baik dari pada pada kelompok yang hanya dipapar EPEC.
Kelompok kontrol positif memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD paling rendah
dibandingkan kelompok lain. Hal ini terjadi karena enzim antioksidan Cu,ZnSOD di jaringan hati hampir habis terpakai untuk melawan radikal bebas yang
terbentuk. Selain itu, rendahnya kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati
juga disebabkan karena kelompok tersebut tidak diberi BAL.
Untuk memperjelas pengamatan kualitatif di atas, dilakukan pengamatan
secara kuantitatif terhadap inti sel hati. Pengamatan secara kuantitatif dilakukan
dengan menghitung jumlah inti sel hati pada setiap tingkatan warna coklat yang
terbentuk. Perbedaan tingkatan warna coklat pada jaringan hati dapat dilihat pada
Gambar 6. Hasil perhitungan terhadap inti sel hati setiap tingkatan warna coklat
yang terbentuk disajikan pada Tabel 4. Hasil perhitungan tersebut dianalisis
dengan uji statistik ANOVA dan uji lanjut Duncan yang dapat dilihat pada
Lampiran 3-14.
Keterangan:
+++
= positif kuat (inti sel hati berwarna coklat tua)
++
= positif sedang (inti sel hari berwarna coklat sedang)
+
= positif lemah (inti sel hati berwarna coklat bercampur biru)
= negatif (inti sel hati berwarna biru)
Gambar 6 Fotomikrograf jaringan hati tikus dengan pewarnaan imunohistokimia
terhadap Cu,Zn-SOD yang menunjukkan perbedaan tingkatan warna
coklat yang terbentuk pada inti sel hati. Skala 50 µm.
30
Tabel 4 Rataan jumlah sel hati pada berbagai tingkatan kandungan enzim Cu,ZnSOD pada jaringan hati tikus pada terminasi hari ke-8, hari ke-15, dan
hari ke-22
Kelompok
perlakuan
Rataan jumlah inti sel hati tikus pada berbagai tingkatan kandungan
Cu,Zn-SOD per lapang pandang pada perbesaran 20x
+++
++
+
-
Terminasi hari ke-8, sebelum pemberian EPEC (T1)
T1A
43.83 ± 2.14a
61.17 ± 2.86a
2.67 ± 0.82b
1.50 ± 0.84a.b
T1B
44.67 ± 1.03a
62.50 ±1.52a
2.50 ± 1.64b
1.50 ± 0.84a.b
T1C
43.33 ± 1.75a
61.00 ±1.55a
2.67 ± 1.21b
2.17 ± 0.75b
T1D
43.17 ± 1.33a
61.33 ±1.63a
1.50 ± 0.55a.b
0.67 ± 0.52a
T1E
43.33 ± 1.75a
60.33 ±1.37a
1.00 ± 1.09a
1.17 ± 0.75a
T1F
43.17 ± 2.48a
60.83 ±1.72a
0.83 ± 0.41a
0.67 ± 0.52a
Terminasi hari ke-15, satu minggu setelah pemberian EPEC (T2)
T2A
39.83 ± 1.83b
66.33 ± 1.86c
0.33 ± 0.52a
0.50 ± 0.55a
T2B
38.00 ± 2.10b
66.83 ± 1.47c
2.83 ± 2.23b.c
0.67 ± 0.52a
T2C
75.50 ± 3.33c
35.67 ± 2.25b
1.50 ± 0.84a.b
0.83 ± 0.75a
T2D
37.17 ± 1.47b
73.83 ± 2.79d
1.33 ± 1.21a.b
1.33 ± 1.37a
T2E
97.33 ± 2.16d
15.00 ± 2.60a
0.67 ± 0.82a
0.83 ± 0.98a
T2F
12.83 ± 1.72a
94.83± 1.47e
3.50 ± 1.64c
3.00 ± 0.63b
Terminasi hari ke-22, satu minggu setelah pemberian EPEC dari luar dihentikan (T3)
T3A
41.33 ± 2.87c
66.50 ± 4.50c
2.83 ± 0.75b
1.33 ± 1.21a
T3B
38.00 ± 2.76c
74.83 ± 1.60d
2.17 ± 0.75a.b
1.50 ± 1.38a
T3C
54.50 ± 2.74d
51.17 ± 2.48b
2.83 ± 0.98b
1.50 ± 1.05a
T3D
26.00 ± 1.67b
81.67 ± 2.25e
5.00 ± 1.09c
2.00 ± 0.63a
T3E
93.67 ± 5.71e
18.67 ± 1.37a
1.33 ± 0.82a
1.67 ± 1.97a
T3F
7.17 ± 0.75a
88.83 ± 1.17f
10.67 ± 1.21d
7.00 ± 2.19b
Keterangan:
Uji statistika (Anova dan Duncan) dilakukan pada setiap tingkatan warna setiap
waktu terminasi yang sama. Notasi yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan nilai yang berbeda nyata. +++ = positif kuat; ++ = positif sedang;
+ = positif lemah; - = negatif. A=kelompok kontrol negatif (perlakuan ransum
standar); B = kelompok perlakuan L. plantarum; C = kelompok perlakuan
L. fermentum; D = kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC; E = kelompok
perlakuan L. fermentum + EPEC; F = kelompok kontrol positif (perlakuan EPEC).
Pada terminasi hari ke-8, secara statistika kelompok kontrol negatif, L. plantarum,
L. fermentum, L. plantarum + EPEC, L. fermentum + EPEC, dan kontrol positif
menunjukkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
antar kelompok perlakuan (Gambar 7). Hal ini terlihat dari jumlah inti sel hati
yang bereaksi positif kuat (+++) dan positif sedang (++) pada setiap kelompok
31
Gambar 7 Fotomikrograf jaringan hati tikus dengan pewarnaan imunohistokimia
terhadap Cu,Zn-SOD pada terminasi hari ke-8. Skala = 50 µm. T1A =
kontrol negatif; T1B = perlakuan L. plantarum; T1C = perlakuan
L. fermentum; T1D = perlakuan L. plantarum + EPEC; T1E =
perlakuan L. fermentum + EPEC; T1F = kontrol positif. Terlihat
kandungan Cu,Zn-SOD relatif sama antar kelompok perlakuan.
perlakuan tidak berbeda nyata secara statistika. Tikus kelompok perlakuan bakteri
asam laktat (BAL) L. plantarum, L. fermentum, L. plantarum + EPEC, dan
L. fermentum + EPEC menunjukkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang tidak
berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan tikus kelompok kontrol negatif dan kontrol
positif. Hal ini berarti kedua Lactobacillus tersebut belum mampu meningkatkan
32
kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus selama 1 minggu pemberian
probiotik. Selain itu, kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan
kontrol positif tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kelompok kontrol negatif. Hal
ini karena kelompok kontrol positif tersebut belum diberi EPEC sebelum
terminasi hari ke-8, sehingga kelompok kontrol negatif dan kontrol positif
mendapat perlakuan yang sama pada hari ke-1 sampai hari ke-7, yakni ransum
standar.
Terminasi hari ke-15 menunjukkan perbedaan kandungan enzim Cu,ZnSOD yang sangat nyata (p<0.01) di jaringan hati tikus antar kelompok perlakuan
(Gambar 8). Uji lanjut Duncan menunjukkan kelompok perlakuan L. fermentum +
EPEC memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang paling tinggi secara sangat
nyata (p<0.01) di jaringan hati tikus dibandingkan kelompok perlakuan lain. Hal
ini berarti, pemberian L. fermentum selama 2 minggu mampu meningkatkan
kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati pada kelompok yang diberi paparan
EPEC.
Mikelsaar et al. (2008) pernah menguji kemampuan L. fermentum ME-3
dalam meningkatkan aktivitas antioksidatif tubuh yang diinfeksi Helycobacter
pylori dan menunjukkan aktivitas antioksidatif yang tinggi. Mikelsaar dan Zilmer
(2009) juga melaporkan bahwa L. fermentum memiliki kemampuan ganda, yakni
sebagai antimikrobial dan antioksidatif. Inilah yang membuat L. fermentum unik
diantara strain Lactobacillus lainnya. Kemampuan antimikrobial yang dimiliki
L. fermentum dapat melawan patogen di saluran pencernaan, dan kemampuan
antioksidatif-nya
bermanfaat
mempertahankan
dan
meningkatkan
status
antioksidan tubuh bagi organisme yang mengonsumsinya. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan tingginya kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati pada tikus
yang diberi L. fermentum dan diinfeksi EPEC.
Kehadiran EPEC dalam usus halus akan memicu proses fagositosis oleh sel
radang. Salah satu sel radang yang berperan dalam fagositosis di jaringan adalah
makrofag (Nishikawa et al. 2000; Forman dan Martine 2001). Makrofag
mengeluarkan radikal bebas dalam peristiwa fagositosis (Roitt 2002). Radikal
bebas yang terbentuk ini terakumulasi dan saat antioksidan tidak mampu
menetralisir, maka terjadilah kondisi stres oksidatif. Paparan mikroorganisme
33
yang menyebabkan stres oksidatif dapat menyebabkan peningkatan produksi
sistem pertahanan antioksidan untuk menetralisir radikal bebas yang terbentuk
(Halliwell dan Gutteridge 1999). Dengan adanya paparan EPEC pada hari ke-8
sampai hari ke-14 pada kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC akan
menggertak pertahanan antioksidan tubuh, ditambah lagi aktivitas antioksidatif
yang dimiliki oleh L. fermentum, maka hal seperti di atas dapat menjelaskan
mengapa status enzim antioksidan Cu,Zn-SOD sangat tinggi pada kelompok
perlakuan L. fermentum + EPEC pada terminasi hari ke-15.
Selanjutnya, kelompok perlakuan yang memiliki kandungan enzim Cu,ZnSOD tertinggi kedua setelah kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC adalah
kelompok perlakuan L. fermentum. Hal ini berarti pemberian L. fermentum selama
2 minggu mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati
tikus. Wang et al. (2009) menyebutkan bahwa L. fermentum memiliki aktivitas
antioksidatif. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa L. fermentum mampu
meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus.
Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus kelompok perlakuan
L. fermentum tidak setinggi kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC.
Tingginya kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus kelompok
perlakuan L. fermentum + EPEC dapat dijelaskan sebagai berikut, selain
L. fermentum memang memiliki aktivitas antioksidatif seperti yang dijelaskan
Mikelsaar dan Zilmer (2009) dan Wang et al. (2009) diatas, keberadaan EPEC
juga dapat menggertak sistem pertahanan antioksidan tubuh, sehingga antioksidan
dihasilkan lebih banyak. Inilah yang menyebabkan kandungan enzim antioksidan
Cu,Zn-SOD kelompok perlakuan L. fermentum yang tidak diberi paparan EPEC
tidak setinggi kelompok perlakuan L. fermentum yang diberi paparan EPEC.
Berbeda dengan kelompok perlakuan L. fermentum, kandungan enzim
Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan L. plantarum pada terminasi hari ke-15
tidak berbeda nyata secara statistika dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini
terlihat dari reaksi positif kuat (+++) kelompok perlakuan L. plantarum tidak
berbeda nyata (p<0.01) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Ini berarti
perlakuan L. plantarum selama 2 minggu belum mampu meningkatkan kandungan
enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus.
34
Begitu pula dengan kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC, kandungan
enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok ini tidak berbeda nyata (p<0.01) dengan
kelompok kontrol negatif. Hal ini berarti, walaupun ada paparan EPEC pada hari
ke-8 sampai hari ke-14, L. plantarum tetap mampu mempertahankan kandungan
enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus.
Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok L. plantarum tidak setinggi
kelompok L. fermentum. Aktivitas anti Helicobacter pylori dari metabolit yang
dihasilkan dari L. plantarum yang diisolasi dari kubis putih telah dilaporkan oleh
Rokka et al. (2006). Amin et al. (2009) juga telah melaporkan potensi
antimikrobial yang dimiliki oleh L. plantarum yang diisolasi dari sayur segar
dalam melawan infeksi B. anthracis. Hal seperti diatas juga dapat menjelaskan
potensi L. plantarum yang diisolasi dari daging sapi Ongol di pasar-pasar daerah
Bogor pada penelitian ini memiliki aktivitas antibakteri terhadap EPEC. Metabolit
yang dihasilkan oleh L. plantarum berperan sebagai anti-EPEC, sehingga
kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus dapat dipertahankan. Namun
tidak ada laporan bahwa L. plantarum memiliki aktivitas antioksidatif. Penjelasan
inilah yang mungkin menyebabkan kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD
pada kelompok L. plantarum tidak setinggi kelompok L. fermentum.
Kelompok perlakuan EPEC atau kontrol positif pada terminasi hari ke-15,
secara statistika menunjukkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang paling rendah
diantara kelompok-kelompok perlakuan lain. Hal ini terlihat dari analisis statistik
pada reaksi positif kuat (+++) yang menunjukkan nilai paling rendah secara
sangat nyata (p<0.01) serta reaksi negatif (-) dan reaksi positif sedang (++) yang
paling tinggi secara sangat nyata (p<0.01) dibandingkan kelompok lainnya.
Usus merupakan portal masuknya bakteri. Bakteri EPEC yang masuk ke
saluran pencernaan akan membentuk koloni di usus. Keberadaan koloni EPEC di
saluran pencernaan akan mengundang sistem pertahanan tubuh berupa sel-sel
fagosit seperti makrofag untuk memfagosit bakteri EPEC tersebut. Selama proses
fagositosis, sel-sel fagosit memproduksi radikal bebas berupa reactive oxygen
species (ROS) maupun reactive nitrogen spesies (RNS), seperti hidrogen
peroksida (H2O2), nitrit oksida (NO), dan anion superoksida (O2 -) (Truusalu et al.
2008). Untuk menetralisir tingginya kadar radikal bebas, akan terjadi peningkatan
35
penggunaan enzim antioksidan superoksida dismutase untuk menetralisis radikalradikal bebas anion superoksida yang terbentuk tersebut (Yan dan Polk 2008).
Oleh karena itu, kelompok perlakuan EPEC kandungan SOD-nya rendah.
Perlekatan bakteri pada sel epitel usus inang akan membentuk lesi attaching
and effacing (A/E Lesion). Salah satu faktor yang disuntikkan oleh EPEC pada sel
epitel inang adalah adalah Tir (translicated intimin receptor) yang berfungsi
sebagai reseptor membran plasma untuk perlekatan EPEC. EPEC kemudian
mengikat Tir melalui protein membran luar yang disebut intimin. Beberapa
protein sitoskeletal termasuk aktin, menjadi tempat melekatnya EPEC. Pada
akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal setelah Tir-intimin berikatan,
dan menghasilkan formasi pedestal formation (Goosney et al. 2000). Secara
histologi, lesio A/E merupakan tanda adanya penyakit (Songer dan Post 2005).
Setelah attaching (melekat) pada sel epitel usus inang, enteropathogenic
E. coli ini melakukan effacement (penghilangan) mikrovili, menyebabkan
enterosit prematur, mengelupaskan sel epitel, dan menjadikan sel menjadi bentuk
abnormal. Erosi epitel dapat terjadi, sehingga terjadi kerusakan epitel usus (Black
2004). Peningkatan jumlah sel yang rusak pada kelompok yang diberi perlakuan
EPEC dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel radang, karena perubahan
struktur sekecil apapun yang terjadi pada sel akan dikenali oleh sel radang sebagai
benda asing untuk segera dimusnahkan (difagosit) (Tizard 2000). Dengan kondisi
sel epitel usus halus yang tidak normal tersebut, akan memudahkan bakteri
merusak sel epitel lebih lanjut dan melakukan invasi menembus mukosa usus
(Scaletsky et al. 1996). Apabila invasi tersebut sampai pada lapisan yang lebih
dalam hingga ke lapisan yang terdapat pembuluh darah, maka bakteri mungkin
saja bisa ikut masuk ke peredaran darah.
Bakteri di usus dapat masuk ke peredaran darah intestinal dan ikut bersama
aliran darah menuju berbagai lokasi organ tubuh. Kejadian seperti ini disebut
bakterimia. Beberapa strain E. coli dapat menyebar ekstraintestinal dan
menyebabkan infeksi ekstraintestinal sepeti infeksi traktus urinaria dan meningitis
neonatal (Wold et al. 1992). Bakterimia adalah keadaan dimana ikutnya bakteri
36
Gambar 8
Fotomikrograf jaringan hati tikus dengan pewarnaan
imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD pada terminasi hari ke-15.
Skala = 50 µm. T2A = kontrol negatif; T2B = perlakuan L.
plantarum; T2C = perlakuan L. fermentum; T2D = perlakuan L.
plantarum + EPEC; T2E = perlakuan L. fermentum + EPEC; T2F =
kontrol positif. Terlihat bahwa kandungan Cu,Zn-SOD pada
kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC paling tinggi diantara
kelompok lain; kelompok perlakuan L. fermentum memiliki
kandungan Cu,Zn-SOD tertinggi kedua; kandungan Cu,Zn-SOD
kelompok perlakuan L. plantarum dan L. plantarum + EPEC sama
dengan kontrol negatif; kelompok kontrol positif memiliki
kandungan Cu,Zn-SOD paling rendah.
37
dalam peredaran darah. Setiap peredaran darah akan melewati hati (Songer dan
Post 2005). Karena E. coli memiliki kecenderungan untuk tinggal di berbagai
organ, bakteri yang terdapat dalam peredaran darah dapat singgah di hati.
Keberadaan bakteri di hati ini akan menggertak mekanisme pertahanan inang
dengan aktivasi sel-sel fagosit. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa sel fagosit
tersebut akan mengeluarkan molekul-molekul toksik berupa radikal dalam proses
fagositosis.
Keberadaan bakteri di jaringan akan menggertak sistem pertahanan
antioksidan tubuh (Halliwell dan Gutteridge 1999). Antioksidan superoksida
dismutase yang ada di hati dikerahkan untuk menetralisir radikal anion
superoksida yang terbentuk. Namun, apabila infeksi EPEC tetap berlanjut dan
terus menghasilkan radikal bebas dalam proses memfagositnya, maka pertahanan
antioksidan di hati tidak mampu lagi menetralisir radikal bebas yang ada.
Sehingga kandungan SOD di jaringan hati menjadi sedikit pada kelompok yang
diinfeksi EPEC saja. Berbeda dengan kelompok yang diinfeksi EPEC namun
diberi probiotik L. fermentum, gertakan sistem antioksidan jaringan oleh hadirnya
radikal bebas akibat infeksi EPEC membuat kandungan enzim SOD di hati
menjadi meningkat, ditambah lagi aktivitas antioksidatif yang dimiliki oleh
L. fermentum. Oleh karena itu, kandungan SOD di jaringan hati tikus yang
diinfeksi EPEC dan L. fermentum lebih tinggi dari pada kelompok yang diberi
EPEC saja.
Terminasi hari ke-22 menunjukkan bahwa kandungan enzim antioksidan
Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC paling tinggi secara
sangat nyata (p<0.01) dibandingkan dengan kelompok lain (Gambar 9). Hal ini
berarti pemberian L. fermentum selama 3 minggu masih mampu meningkatkan
kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus setelah 1 (satu) minggu
paparan EPEC dari luar dihentikan.
Selain itu, kelompok tikus yang diberi perlakuan L. fermentum memiliki
kandungan enzim Cu,Zn-SOD lebih tinggi secara sangat nyata (p<0.01)
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini berarti pemberian
L. fermentum secara tunggal selama 3 minggu masih mampu meningkatkan
kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati.
38
Gambar 9 Fotomikrograf jaringan hati dengan pewarnaan imunohistokimia
terhadap Cu,Zn-SOD tikus pada terminasi hari ke-22. Skala = 50 µm.
T3A = kontrol negatif; T3B = perlakuan L. plantarum;
T3C = perlakuan L. fermentum; T3D = perlakuan L. plantarum +
EPEC; T3E = perlakuan L. fermentum + EPEC; T3F = kontrol positif.
Terlihat kandungan Cu,Zn-SOD pada kelompok L. fermentum +
EPEC paling tinggi diantara kelompok perlakuan lainnya; kelompok
perlakuan L. fermentum tertinggi kedua; kelompok perlakuan
L. plantarum sama dengan kontrol negatif; kelompok L. plantarum +
EPEC lebih rendah dari pada kontrol negatif; kelompok kontrol positif
memiliki kandungan Cu,Zn-SOD paling rendah.
39
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Truusalu et al. (2008) menjelaskan
bahwa aplikasi L. fermentum ME-3 dapat menekan kelebihan stres oksidatif yang
terjadi akibat banyaknya radikal bebas yang dikeluarkan selama proses
fagositosis. Netralisasi dari produksi superoksida oleh superoksida dismutase
(SOD) merupakan satu dari kemungkinan mekanisme dalam mencegah
berlanjutnya stres oksidatif.
Analisis statistika terhadap kelompok perlakuan L. plantarum menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata (p<0.01) dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini
berarti perlakuan L. plantarum selama 3 minggu tetap belum mampu
meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus.
Kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC, secara statistika menunjukkan
kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang lebih rendah daripada kelompok kontrol
negatif, namun lebih tinggi dari pada kelompok kontrol positf. Hal ini terlihat dari
reaksi positif kuat (+++) pada kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC lebih
rendah secara sangat nyata (p<0.01) dibandingkan dengan kelompok kontrol
negatif pada terminasi hari ke-22, namun lebih tinggi secara sangat nyata (p<0.01)
dari pada kelompok kontrol positif. Ini berarti pemberian L. plantarum selama 3
minggu tidak mampu lagi mempertahankan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada
tikus yang diberi paparan EPEC pada minggu sebelumnya. Namun, pemberian
L. plantarum tetap lebih baik dibandingkan hanya perlakuan EPEC saja.
Secara statistika, kelompok kontrol positif pada terminasi hari ke-22
menunjukkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD paling rendah secara sangat nyata
(p<0.01) diantara kelompok-kelompok perlakuan lainnya. Setelah tidak dilakukan
lagi pemberian EPEC pada hari ke-15 sampai hari ke-21, rendahnya kandungan
enzim Cu,Zn-SOD pada terminasi hari ke-22 mungkin disebabkan oleh belum
tuntasnya eliminasi EPEC dari saluran pencernaan tikus yang diberi EPEC pada
hari ke-8 sampai dengan hari ke-14, sehingga masih terdapat koloni EPEC di
saluran pencernaan tikus percobaan. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena
kelompok ini tidak diberi bakteri asam laktat (BAL).
Kandun dan Chin (2000) melaporkan bahwa masa inkubasi EPEC adalah 912 jam dan menurut dokter Otto (2009) dapat mencapai 3-4 hari, bahkan dapat
terjadi 1-8 hari. Masa penularan EPEC dapat berlangsung lama dan masih dapat
40
ditemukan pada pasien sampai dengan 3 minggu setelah sembuh (Kandun dan
Chin 2000). Jadi berdasarkan penjelasan di atas, 1 (satu) minggu pasca pemberian
EPEC, EPEC belum tereliminasi dari tubuh. Selain itu, berdasarkan penelitian
Suhesti (2010), 1 minggu setelah paparan EPEC dari luar dihentikan, diare masih
terjadi, artinya EPEC yang merupakan penyebab diare belum tereliminasi secara
tuntas dari tubuh tikus. Penjelasan di atas merupakan penyebab masih rendahnya
kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati pada tikus yang pernah dipapar
EPEC 1 minggu sebelumnya.
Superoksida dismutase (SOD) merupakan metaloenzim yang membutuhkan
seng (Zn) sebagai kestabilan strukturnya dan tembaga (Cu) untuk aktivitas
enzimatiknya (Eriyamremu et al. 2008). Kerusakan sel enterosit karena infeksi
EPEC yang digambarkan pada struktur pedestal epitel usus dapat menyebabkan
maldigesti dan malabsorpsi, sehingga menurunkan kapasitas penyerapan bahanbahan makanan oleh mukosa intestin (Black 2004). Cu dan Zn yang terkandung
dalam pakan tidak terserap sempurna. Cu dan Zn yang merupakan prekursor
pembentukan enzim Cu,Zn-SOD tidak tersedia, sehingga pembentukan enzim
Cu,Zn-SOD tidak dapat terjadi. Oleh karena itu, kelompok yang diberi paparan
EPEC kandungan enzim Cu,Zn-SOD-nya rendah.
Pemberian probiotik L. plantarum pada minggu pertama sampai minggu
ketiga menunjukkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang sama dengan kondisi
normal (kontrol negatif). Hal ini berarti L. plantarum kurang memiliki aktivitas
antioksidatif sehingga tidak terjadi peningkatan kandungan enzim antioksidan ini
di jaringan hati tikus.
Pada terminasi hari ke-15 dan hari ke-22, kelompok perlakuan L. fermentum
+ EPEC dan L. fermentum memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang lebih
tinggi dari pada kelompok perlakuan L. plantarum dan L. plantarum + EPEC. Hal
ini menunjukkan bahwa L. fermentum lebih baik dari pada L. plantarum dalam hal
kemampuan melawan EPEC dan meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di
jaringan hati tikus. Sehingga probiotik L. fermentum lebih disarankan untuk
meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD baik pada tikus yang diinfeksi EPEC
maupun tidak.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1.
Pemberian probiotik L. fermentum selama 2-3 minggu dapat
meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus.
Sedangkan
pemberian
probiotik
L.
plantarum
hanya
mampu
mempertahankan kandungan enzim antioksidan tersebut seperti pada
kondisi kontrol negatif.
2.
Pada tikus yang dipapar EPEC, pemberian probiotik L. fermentum
selama 2-3 minggu dapat meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD
di jaringan hati tikus. Sedangkan pemberian L. plantarum hanya
mampu mempertahankan kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD
pada minggu kedua, lalu kandungan enzim antioksidan tersebut
menurun pada minggu ketiga.
3.
L. fermentum lebih baik dari pada L. plantarum dalam hal kemampuan
meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus, baik
pada kelompok yang dipapar EPEC maupun tidak.
5.2 Saran
1.
Perlu dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan L. fermentum dan
L. plantarum ini sebagai salah satu komponen dalam produk pangan
fungsional dan pakan hewan.
2.
Perlu dilakukan penelitian mengenai efek L. fermentum dan
L. plantarum dalam mencegah infeksi patogen lain seperti Salmonella
spp., Shigella sp., dll.
DAFTAR PUSTAKA
Amin M, Jorfi M, Khosravi AD, Samarbafzadeh AR, Seikh AF. 2009. Isolation
and Identification of Lactobacillus casei and Lactobacillus platarum from
plants by PCR and detection of their antibacterial activity. J Bio Sci
9(8):810-814.
Arief II, Maheswari RRA, Suryati T. 2008. Aktifitas antimikroba bakteri asam
laktat yang diisolasi dari daging sapi. [Makalah]. Bogor: Departemen IPTP
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Astawan M, Wresdiyati T, Arief II, Usmiati S. 2009. Seleksi isolat indigenus
bakteri probiotik untuk immunomodulator dan aplikasinya dalam
pengembangan yoghurt sinbiotik sebagai pangan fungsional antidiare.
[Makalah]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Black JG. 2004. Microbiology: Principle and Exploration Edisi 6. Virginia : John
Wiley and Sons Inc.
Budiarti S. 1997. Pelekatan pada sel Hep-2 dan keragaman serotipe O Escherichia
coli Enteropatogenik isolat Indonesia. J Berkala Ilmu Kedokteran 29:105110.
Campellone KG, Leong JM. 2003. Tails of two Tirs: actin pedestal formation by
enteropathogenic E.coli and enterohemorrhagic E.coli O157:H7e. Cur Op
Microbiol 6(1):82-90.
Chow CK. 1988. Cellular Antioksidant Defense Mechanism Volume III. Boca
Raton: CRC Press Inc.
Devasagayam TPA, Tilak JC, Boloor KK, Sane KS, Ghaskadbi SS, Lele RD.
2004. Free Radical and antioxidant in human health: Current status and
future prospect. JAPI 52(10):794-804.
Eriyamremu GE, Ojimogho SE, Asagba SO, Lolodi O. 2008. Changes in brain,
liver,and kidney lipid peroxidation, antioxidant enzymes and ATPases of
rabbits exposed to cadmium ocularly. J Bio Sci 8(1):67-73.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2002. Guidelines for the Evaluation
of Probiotics in Food. Canada: Food and Agriculture Organization of United
Nation.
Finkel T, Holbrook NJ. 2000. Oxidant, oxidative stress, and the biology of ageing.
Nature 408 : 239-247.
Forman HJ, Martine T. 2001. Redox signaling in macrophages. Mol Aspects Med
22(4-5):189-216.
Fridovich I. 1995. Superoxide radicals and SODs. Ann Rev Biochem 64:97-112.
Gobarch SL. 2001. Microbiology of the Gastrointestinal
http://www.gsbs.utmb.edu/microbook/ch095.htm [23 Juni 2010].
Tract.
43
Goosney Dl, Gruenheid S. Finlay BB. 2000. Gut Feeling: Enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC) interaction with host. Ann Rev Dev Biol 16:173189.
Guyton AG, Hall JE. 1997. Text Book of Medical Physiology. Penerjemah Irawati
Setiawan dkk. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Halliwell B, Gutteridge JMC. 1999. Free Radical in Biology and Medicine.
Oxford University Press.
Hedrich HJ. 2000. Histoty, Strains, and Models. Di dalam: Krinke GJ. The
Laboratory Rats. California: Academic Press.
Johnson F, Giulivi C. 2005. Superoxide dismutases and their impact upon human
health. Mol Aspects Med 26:340-352.
Jurczuk M, Brzoska MM, Moniuszko JJ, Galazyn SM, Kulikowska KE. 2004.
Antioxidant enzymes activity and lipid peroxidation in liver and kidney of
rats exposed to cadmium and ethanol. Food Chem Toxicol 42:429-438.
Kandun IN, Chin J, editor. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit. Jakarta:
Bhakti Husada.
Kaper JB, Nataro JP, Mobley HL. 2004. Pathogenic Escherichia coli. Nat Rev
Microbiol 2:123-140.
Khutton S, Baldwin T, Wiiliams PH, Mc Nersh AS. 1989. Actin Accumulation at
Sites of Bacterial Adhesion to Tissue Culture Cell: Basis of a new
diagnostic test for enteropathogen and enterohemoraghic Escherichia coli.
Infect Immun 57:1290-1298.
Kiernan JA. 1990. Histological dan Histochemical Methods: Theory and Practice.
Second Edition. Oxford: Pergamon Press.
Kleinman RE, Goulet OJ, Mieli-Vergani G, Sanderson IR, Sherman P, Shneider
BL. 2008. Walker’s Pediatric Gastrintestinal Disease. Volume Two.
Hamilton: BC Decker Inc.
Kullisaar T, Zilmer M, Mikelsaar M, Vihalemm T, Annuk H, Kairance C, Kilk A.
2002. Two Antioxidative Lactobacilli Strains as Promising Probiotics. Int J
Food Microbiol 72:215-224.
Kullisaar T, Songisepp E, Mikelsaar M, Zilmer K, Vihalemm T, Zilmer M. 2003.
Antioxidative probiotic fermented goat’s milk decreases oxidative stressmediated atherogenicity in Human. J Nutr 90:449-456.
Liong MT. 2007. Probiotics: a critical review of their potential role as
antihypertensives, immune modulators, hypocholesterolemics, and
perimenopousal treatments. Nutr Rev 65(7):316-328.
Lisal JS. 2005. Konsep probiotik dan prebiotik untuk modulasi mikrobiota usus
besar. J Med Nus 26(4): 259-262.
[LITBANGKES] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
2008.
Analisis
Faktor
Risiko Penyakit Berbasis Lingkungan yang
Berhubungan
dengan
Kematian
Anak
di
Kabupaten
Sukabumi
Jawa
Barat.
44
http://www.litbang.depkes.go.id/download/penelusuran/hsr/HSR2007.pdf
[20 Agustus 2010].
Lu L, Walker WA. 2001. Pathologic and physiologic interactions of bacteria with
the gastrointestinal epithelium. Am J Clin Nutr 73:1124S–30S.
Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di
Laboratorium. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Margaill I. 2005. Antioxidant strategies in the treatment of stroke. Free Rad Biol
Med 39(4):429-443
Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. USA: Cache River Press.
Marteau PR, de Vrese M, Schrezeenmeier CCJ. 2001. Protection from
gastrointestinal diseases with the use of probiotics. Am J Clin Nutr 73:
430-436.
Mikelsaar M, Hütt P, Kullisaar T, Zilmer K, Zilmer M. 2008. Double benefit
claim for antimicrobial and antioxidative probiotic. Microb Ecol Health Dis
20:184-188.
Mikelsaar M, Zilmer M. 2009. Lactobacillus fermentum ME-3 – an antimicrobial
and antioxidative probiotic. Microb Ecol Health Dis 21:1-27.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Metoda Kimia, Biokimia dan Biologi
dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Petunjuk Laboratorium. Bogor:
PAU Pangan dan Gizi IPB.
Muliasari A. 2009. Konsentrasi Lipid Peroksida Hati Kelinci Hiperlipidemia yang Diberi
Senyawa Hipolipidemik. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Myers P, Armitage D. 2004. Rattus norvegicus.
http://animaldiversity.
ummz.umich.edu/site/accounts/information/Rattus_norvegicus.html [26 Juli
2011].
Naidu AS, Bidlack WR, Clemens RA. 1999. Probiotic spectra of lactic acid
bacteria. Crit Rev Food Sci Technol 38:13-126.
Nishikawa T et al. 2000. Normalizing mitochondrial superoxide production
blocks three pathways of hyperglycaemic damage. Nature 404:787–790.
Nio, OK. 1985. Cara menentukan kualitas protein suatu bahan makanan: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. J Cermin
Dunia Kedokteran (37):62-64.
Otto. 2009. Kolitis. www.suaradokter.com/2009/06/kolitis. [3 Juni 2011].
Oyetayo VO. 2004. Performance of rats dosed with faecal strains of Lactobacillus
acidophilus and experimentally challenged with Escherichia coli. Afr J
Biotechnol 3(8):409-411.
Ramos-Vara JA. 2005. Technical aspect if immunohistochemistry. Vet Pathol
42:405-426.
Reid G, Jass J, Sebulsky MT, McCormick JK. 2003. Potential uses of probiotics in
clinical practice. Clin Microbiol 4:658-672.
45
Roitt IM. 2002. Imunologi Ed 8. Jakarta: WidyaMedika.
Rolfe RD. 2000. The role of probiotic culture in the control of gastrointestinal
health. J Nutr 130:396-402.
Rokka S, Pihlanto A, Korhonen H, Joutsjoki V. 2006. In Vitro growth inhibition
of Helicobacter pylory by Lactobacilli belonging to the Lactobacilllus
plantarum group. J Appl Microbiol 43:508-513.
Samuelson DA. 2007. Text Book of Veterinary Histology. Philadelphia: Saunders.
Scaletsky IC, Pedroso MZ, Fagundes-Neto V. 1996. Attaching and effacing
enteropathogenic E. coli O18ab invades epithelial cells and causes persistent
diarrhea. Infect Immunol 64 (11):4876-4881.
Schiller LR, Sellin JH. 2006. Diarrhea. Di dalam: Feldman M, Friedman LS,
Brandt LJ, editor. Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology,
Diagnosis and Management. Philadelphia: Saunders.
Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine: Principle and Procedures. USA:
Elsevier Inc.
Slot JW, Geuze HJ, Bruze AF, Crapo JD. 1986. Intracelluler localization of the
copper-zinc and manganese superoxide dismutase in rat liver parenchymal
cell: Laboratory Investigation. J Tech Meth Pathol 55(3):363-371.
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press.
Smith K, Humphreys D, Hume PJ, Koronakis V. 2010. Enteropathogenic
Escherichia coli recruits the cellular inositol phosphatase SHIP2 to regulate
actin-pedestal formation. Cell Host Microb 7:13–24.
Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology. USA: Elsevier Inc.
Suckow MA, Weisbrtoth SH, Franklin CL, editor. 2006. The Laboratory Rat 2nd
Edition. USA: Elsevier Inc.
Suhesti Eri. 2010. Dampak Pemberian Bakteri Asam Laktat Probiotik Indigenus
terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan yang Dipapar Enteropatogenik
Escherichia coli (EPEC). [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Tizard IR. 2000. Veterinary Immunology: An introduction 7th edition.
Philadelphia: Saunders.
Truusalu K, Mikelsaar RH, Naaber P, Karki T, Kullisaar T, Zilmer M, Mikelsaar
M. 2008. Eradication of Salmonella Thypimurium infection in a murine
model of thypod fever with the combination of probiotic Lactobacillus
fermentum ME-3 and ofloxacin. BMC Microbiology 8:132.
Valko M, Leibfritz D, Moncol J, Cronin MTD, Mazur M, Telser J. 2007. Free
radicals and antioxidants in normal physiological functions and human
disease. Int J Biochem Cell Biol 39:44-84.
Wang AN, Yi XW, Yu HF, Dong B, Qiao SY. 2009. Free radicals scavenging
activity of Lactobacillus fermentum in vitro and its antioxidative effect on
growing-finishing pigs. J Appl Microbiol 107:1140-1148.
46
Wold AE, Caugant DA, Lidin-Janson G, de Man P. Svanborg C. 1992. Resident
colonic Escherichia coli strains frequently display uropathogenic
characteristic. J Infect Dis 165:46-52.
Wresdiyati T, Mamba K, Adnyane IKM, Aisyah US. 2002. The effect of stress
condition on the intracellular antioxidant copper, zinc-superoxide dismutase
(Cu, Zn-SOD) in the rat kidney: an immunohistochemical study. Hayati J
Bio Sci 9(3): 85-88.
Wresdiyati T, Astawan M, Adnyane IKM. 2003. Aktivitas anti inflamasi oleoresin
(zingiber officinale ) pada ginjal tikus yang mengalami perlakuan stress. J
Teknol Indstr Pangan 14(2):113-120.
Wresdiyati T, Astawan M. 2004. Deteksi secara imunohistokimia antioksidan
superoksida dismutase (SOD) pada jaringan tikus hiperkolesterolemia.
Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Hayati J Bio
Sci 13(3):85-89.
Wresdiyati T, Sinulingga Ts, Zulfanedi Y. 2010. Effect of Mamordica charantia
L. Powder on Antioxidant Superoxide Dismutase in Liver and Kidney of
Diabetic Rats. Hayati J Bio Sci 17(2):53-57.
Yan F, Polk DB. 2008. Mechanisms of Probiotic Regulation of Host Homeostasis.
Di dalam: Michail S, Sherman PM. Probiotics in Pediatric Medicine pp 5268. Totowa: Humana Press.
Yon JM, Baek IJ, Lee SR, Kim MR, Lee BJ, Yun YW, Nam SY. 2008.
Immunohistochemical identification and quantitative analysis of
cytoplasmic Cu,Zn superoxide dismutase in mouse organogenesis. J Vet Sci
9(3):233-240.
Zoumpopoulou G, Foligne B, Christodoulouk, Gnangette C, Pot B, Tsakalidov E.
2008. Lactobacillus fermentum ACA-DC 179 displays probiotics potential
in vitro and protect against trinitrobenzen sulfonic acid (TNBS) induced
colitis and salmonella infection in marine models. Inf J Food Microbiol
12:18-19.
Zubillaga M, Weill R, Postaire E, Goldman C, Caro R, Boccio J. 2001. Effect of
probitics and functionan foods and their use in different disease. Nutr
Research 21: 569-579.
LAMPIRAN
48
Lampiran 1 Tahapan Sampling dan Pemrosesan Jaringan Hati Tikus
tikus dibunuh, darah
dikeluarkan
pengambilan jaringan hati
celupkan ke NaCl
fisiologis
fiksasi
larutan Bouin @ 24 jam
dehidrasi
alkohol 70%, 80%, 90%,
dan 95% (@ 24 jam)
dehidrasi
alkohol absolut I, II, dan
III (@ 1 jam)
penjernihan (clearing)
xylol I, II, dan III
(@ 1 jam)
infiltrasi parafin
parafin I, II, dan III
(@ 1 jam)
embedding
blok potong dengan mikrotom
hasil potongan dibentangkan
dalam akuades suhu ruang
bentangkan dalam akuades
(37 °C)
49
sayatan jaringan hati di
tempelkan pada objek gelas
inkubasi (40 °C, ± 24 jam)
50
Lampiran 2 Tahapan Pewarnaan Imunohistokimia untuk Analisis
Kandungan Cu, Zn-SOD di Jaringan Hati Tikus
deparafinisasi
xylol II, II, dan I
(@ 3 menit)
rehidrasi
alkohol absolut III, II,
dan I (@ 3 menit)
rehidrasi
alkohol 95%, 90%, 80% ,
dan 70% (@ 3 menit)
dicuci dengan air kran (3-5menit) dan MilliQ
(5-10 menit)
dicelupkan ke dalam 0.5 mL H2O2 dalam 50 mL
metanol (15 menit, suasana gelap)
dicuci dengan MilliQ 2x (@10-15 menit) dan PBS
2x (@ 5-10 menit)
diinkubasi dengan 50-60 µl serum normal
(60 menit, 37 °C)
dicuci dengan PBS 3x (@ 5-10menit)
diinkubasi dengan 50-60 µl antibodi
primer/monoklonal Cu, Zn-SOD (48 jam, 4 °C)
dicuci dengan PBS 3x (@ 5-10 menit)
51
diinkubasi dengan 50-60 µl antibodi sekunder Dako
Envision Peroxidase System (60 menit, 37 °C,
suasana gelap)
dicuci dengan PBS 3x (@ 5-10 menit)
diteteskan larutan DAB
(30 menit)
dicek di bawah mikroskop
counterstain dengan pewarna
hematoxilin
dehidrasi
alkohol 70%, 80%, 90%, dan
95% (@ 1-3 menit)
dehidrasi
alkohol absolut I, II, dan III
(@ 1-3 menit)
dijernihkan ulang
(clearing)
xylol I, II, dan III
(@ 5 menit)
di-mounting
entelan
diamati di bawah mikroskop
52
Lampiran 3
Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan
Cu,Zn-SOD positif kuat (+++)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Jumlah inti sel hati
Source
Type III Sum
of Squares
a
df
Mean Square
Model
68403.417
11
6218.492
Perlakuan
10.250
5
2.050
Ulangan
10.917
5
2.183
Error
87.583
25
3.503
Total
68491.000
36
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,998)
F
1.775E3
.585
.623
Sig.
.000
.711
.683
53
Lampiran 4
Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan
Cu,Zn-SOD positif sedang (++)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Jumlah inti sel hati
Source
Type III Sum of
Squares
df
Mean Square
Model
134844.306a
11
12258.573
Perlakuan
15.806
5
3.161
Ulangan
17.139
5
3.428
Error
84.694
25
3.388
Total
134929.000
36
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,999)
F
3.618E3
.933
1.012
Sig.
.000
.477
.432
54
Lampiran 5
Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan
Cu,Zn-SOD positif lemah (+)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Jumlah inti sel hati
Type III Sum of
Squares
Source
df
Mean Square
a
Model
153.639
11
13.967
Perlakuan
21.806
5
4.361
Ulangan
7.139
5
1.428
Error
25.361
25
1.014
Total
179.000
36
a. R Squared = ,858 (Adjusted R Squared = ,796)
Post Hoc Tests
Perlakuan
Homogeneous Subsets
Jumlah inti sel hati
Duncan
Subset
Perlakuan
N
1
T1F
T1E
T1D
T1B
T1C
T1A
Sig.
6
6
6
6
6
6
.8333
1.0000
1.5000
.290
2
1.5000
2.5000
2.6667
2.6667
.077
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1,014.
F
13.768
4.299
1.407
Sig.
.000
.006
.256
55
Lampiran 6
Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-8 dengan intensitas kandungan
Cu,Zn-SOD negatif (-)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Jumlah inti sel hati
Type III Sum of
Squares
Source
df
Mean Square
a
Model
69.222
11
Perlakuan
9.889
5
Ulangan
.556
5
Error
14.778
25
Total
84.000
36
a. R Squared = ,824 (Adjusted R Squared = ,747)
6.293
1.978
.111
.591
Post Hoc Tests
Perlakuan
Homogeneous Subsets
Jumlah inti sel hati
Duncan
Perlakuan
N
T1D
T1F
T1E
T1A
T1B
T1C
Sig.
6
6
6
6
6
6
Subset
1
.6667
.6667
1.1667
1.5000
1.5000
.104
2
1.5000
1.5000
2.1667
.168
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,591.
F
10.646
3.346
.188
Sig.
.000
.019
.964
56
Lampiran 7
Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan
Cu,Zn-SOD positif kuat (+++)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Jumlah inti sel hati
Source
Type III Sum of
Squares
df
Mean Square
Model
118515.222a
11
10774.111
Perlakuan
28104.222
5
5620.844
Ulangan
10.556
5
2.111
Error
132.778
25
5.311
Total
118648.000
36
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,998)
Post Hoc Tests
Perlakuan
Homogeneous Subsets
Jumlah inti sel hati
Duncan
Perlakuan N
T2F
T2D
T2B
T2A
T2C
T2E
Sig.
Subset
1
2
3
4
6 12.8333
6
37.1667
6
38.0000
6
39.8333
6
75.5000
6
97.3333
1.000
.068
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 5,311.
F
2.029E3
1.058E3
.397
Sig.
.000
.000
.846
57
Lampiran 8
Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan
Cu,Zn-SOD positif sedang (++)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Jumlah inti sel hati
Source
Type III Sum of
Squares
df
Mean Square
a
Model
148860.750
11
13532.795
Perlakuan
24595.583
5
4919.117
Ulangan
8.917
5
1.783
Error
128.250
25
5.130
Total
148989.000
36
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,999)
F
2.638E3
958.892
.348
Post Hoc Tests
Perlakuan
Homogeneous Subsets
Jumlah inti sel hati
Duncan
Perlakuan N
T2E
T2C
T2A
T2B
T2D
T2F
Sig.
Subset
1
2
3
4
5
6 15.0000
6
35.6667
6
66.3333
6
66.8333
6
73.8333
6
94.8333
1.000
1.000
.705
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 5,130.
Sig.
.000
.000
.879
58
Lampiran 9
Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan
Cu,Zn-SOD positif lemah (+)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Jumlah inti sel hati
Source
Type III Sum of
Squares
df
Mean Square
a
Model
164.639
11
14.967
Perlakuan
45.806
5
9.161
Ulangan
15.472
5
3.094
Error
38.361
25
1.534
Total
203.000
36
a. R Squared = ,811 (Adjusted R Squared = ,728)
Post Hoc Tests
Perlakuan
Homogeneous Subsets
Jumlah inti sel hati
Duncan
Perlakuan
N
T2A
T2E
T2D
T2C
T2B
T2F
Sig.
6
6
6
6
6
6
Subset
1
.3333
.6667
1.3333
1.5000
.147
2
1.3333
1.5000
2.8333
.057
3
2.8333
3.5000
.360
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1,534.
F
9.754
5.970
2.017
Sig.
.000
.001
.111
59
Lampiran 10 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-15 dengan intensitas kandungan
Cu,Zn-SOD negatif (-)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Jumlah inti sel hati
Type III Sum of
Squares
Source
df
Mean Square
a
Model
78.639
11
Perlakuan
25.806
5
Ulangan
1.472
5
Error
20.361
25
Total
99.000
36
a. R Squared = ,794 (Adjusted R Squared = ,704)
7.149
5.161
.294
.814
Post Hoc Tests
Perlakuan
Homogeneous Subsets
Jumlah inti sel hati
Duncan
Perlakuan
N
T2A
T2B
T2E
T2C
T2D
T2F
Sig.
6
6
6
6
6
6
Subset
1
2
.5000
.6667
.8333
.8333
1.3333
.164
3.0000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,814.
F
8.778
6.337
.362
Sig.
.000
.001
.870
60
Lampiran 11 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan
Cu,Zn-SOD positif kuat (+++)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Jumlah inti sel hati
Type III Sum of
Squares
Source
df
Mean Square
a
Model
93797.556
11
8527.051
Perlakuan
25793.889
5
5158.778
Ulangan
56.556
5
11.311
Error
240.444
25
9.618
Total
94038.000
36
a. R Squared = ,997 (Adjusted R Squared = ,996)
Post Hoc Tests
Perlakuan
Homogeneous Subsets
Jumlah inti sel hati
Duncan
Perlakuan N
T3F
T3D
T3B
T3A
T3C
T3E
Sig.
Subset
1
2
3
4
5
6 7.1667
6
26.0000
6
38.0000
6
41.3333
6
54.5000
6
93.6667
1.000 1.000
.074
1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 9,618.
F
886.593
536.379
1.176
Sig.
.000
.000
.349
61
Lampiran 12
Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas
kandungan Cu,Zn-SOD positif sedang (++)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Jumlah inti sel hati
Source
Type III Sum of
Squares
df
Mean Square
a
Model
165322.222
11
15029.293
Perlakuan
19627.889
5
3925.578
Ulangan
24.889
5
4.978
Error
161.778
25
6.471
Total
165484.000
36
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,999)
F
Sig.
2.323E3
606.631
.769
Post Hoc Tests
Perlakuan
Homogeneous Subsets
Jumlah inti sel hati
Duncan
Perlakuan N
Subset
1
2
3
4
5
6
T3E
6 18.6667
T3C
6
51.1667
T3A
6
66.5000
T3B
6
74.8333
T3D
6
81.6667
T3F
6
88.8333
Sig.
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 6,471.
.000
.000
.581
62
Lampiran 13 Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas kandungan
Cu,Zn-SOD positif lemah (+)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Jumlah inti sel hati
Source
Type III Sum of
Squares
df
Mean Square
a
Model
974.306
11
88.573
Perlakuan
351.139
5
70.228
Ulangan
6.472
5
1.294
Error
20.694
25
.828
Total
995.000
36
a. R Squared = ,979 (Adjusted R Squared = ,970)
Post Hoc Tests
Perlakuan
Homogeneous Subsets
Jumlah inti sel hati
Duncan
Perlakuan
N
Subset
1
2
3
4
T3E
6 1.3333
T3B
6 2.1667 2.1667
T3A
6
2.8333
T3C
6
2.8333
T3D
6
5.0000
T3F
6
10.6667
Sig.
.125
.242
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,828.
F
107.001
84.839
1.564
Sig.
.000
.000
.207
63
Lampiran 14
Uji statistik (Anova) dengan SPSS untuk jumlah inti sel hati
tikus pada terminasi hari ke-22 dengan intensitas
kandungan Cu,Zn-SOD negatif (-)
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Jumlah inti sel hati
Source
Type III Sum of
Squares
df
Mean Square
a
Model
383.667
11
34.879
Perlakuan
147.333
5
29.467
Ulangan
11.333
5
2.267
Error
56.333
25
2.253
Total
440.000
36
a. R Squared = ,872 (Adjusted R Squared = ,816)
Post Hoc Tests
Perlakuan
Homogeneous Subsets
Jumlah inti sel hati
Duncan
Perlakuan
N
Subset
1
2
T3A
6
1.3333
T3B
6
1.5000
T3C
6
1.5000
T3E
6
1.6667
T3D
6
2.0000
T3F
6
7.0000
Sig.
.499
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 2,253.
F
15.479
13.077
1.006
Sig.
.000
.000
.435
Download