GAMBARAN DARAH IKAN MAS (Cyprinus carpio Linn) STRAIN SINYONYA YANG BERASAL DARI DAERAH CIAMPEA-BOGOR ORNELLA VONTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK ORNELLA VONTI. Gambaran Darah Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) Strain Sinyonya Yang Berasal dari Daerah Ciampea-Bogor. Di bawah bimbingan RISA TIURIA dan ANITA ESFANDIARI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil beberapa parameter hematologi pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya dari CiampeaBogor. Enam ekor ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya digunakan dalam penelitian ini. Sampel darah diambil dari vena caudalis sebanyak 0,5 ml untuk dilakukan pemeriksaan terhadap nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin, jumlah eritrosit dan diferensiasi leukosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari preparat ulas darah ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang dapat dilihat adalah eritrosit, limfosit, monosit, heterofil dan eosinofil. Ikan mas yang diperiksa memiliki rata-rata nilai hematokrit 29,30+4,68 (21-34%), konsentrasi hemoglobin 8,3+1,78 (6,4-10,8 g%) dan jumlah eritrosit 2,50+1,20 (1,67-4,47)x106 sel/mm3. Ketiga parameter eritrosit tersebut masih dalam kisaran normal. Persentase limfosit rata-rata ikan mas yang diperiksa 55,29+10,27%, lebih rendah dari kisaran normal, sedangkan persentase rata-rata monosit dan heterofil masing-masing adalah 9,43+3,58% dan 19,71+8,46%, lebih tinggi dari kisaran normal. Jumlah eosinofil rata-rata ikan mas 0,57+0,82%, dan masih dalam kisaran normal. GAMBARAN DARAH IKAN MAS (Cyprinus carpio Linn) STRAIN SINYONYA YANG BERASAL DARI DAERAH CIAMPEA-BOGOR SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Oleh: ORNELLA VONTI B04104179 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 “Dan ada kekalahan. Tak seorangpun dapat menghindarinya. Tapi lebih baik kalah dalam beberapa pertarungan demi impian-impianmu, daripada kalah tanpa mengetahui apa yang kau perjuangkan” (Paulo Coelho). “Kaulah busur, dan anak-anakmulah, anak panah yang meluncur. Sang pemanah maka tau sasaran bidikan keabadian, dia merentangmu dengan kekuasanNya, hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat” (Kahlil Gibran). Dalam keheningan malam, diam berbicara Berkesah sungai deras di tengah hutan Tertutup kabut pekat dan dingin Menembus bak onak duri Terasa gema pun membisu Tersela oleh harum bisikan nafas malam Karena ada sebuah tanya Yang berdegup di balik bukit Mungkin karena keresahan Terhirup di dalam kesesakan pepohonan Hingga menutup jalan cahaya Ke arah matanya yang elok Terhimpit oleh bayangan senja yang mengintip Di baliknya fajar menggegap Menggertak ke dalam cermin mimpi Menangis angin berseru, memanggil Sang Putra cahaya Lalu mendekatlah bagai buih ombak lembut Cahaya yang mengenakan mahkotanya Menyingkapkan semua mimpi buruk Dan mengisinya dengan keindahan langit biru (Dedicated for Son of the light) LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Gambaran Darah Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) Strain Sinyonya Yang Berasal dari Daerah CiampeaBogor. Nama Mahasiswa : Ornella Vonti NIM : B04104179 Disetujui Drh. Risa Tiuria, M.S, PhD Pembimbing I Dr. drh. Anita Esfandiari, M.Si Pembimbing II Diketahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH IPB Tanggal lulus : KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Tritunggal, karena atas penyertaan, berkat dan kasih-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun setelah penulis melakukan penelitian di Laboratorium Helmintologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan kesehatan Masyarakat Veteriner dan Laboratorium Patologi Klinik, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada 1. Drh. Risa Tiuria, MS, PhD selaku dosen pembimbing pertama yang telah begitu banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan saran yang sangat membantu penulis dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi selaku dosen pembimbing kedua yang telah membimbing, membantu dan memberikan pengetahuan mendalam kepada penulis, erat kaitannya dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. 3. Dr. drh Ariyani S Satyaningtijas, MSc selaku dosen penguji dalam ujian akhir skripsi atas banyak masukan dan koreksian yang sangat berharga bagi penulisan skripsi ini. 4. Dr. drh. Damiana Rita Ekastuti, MS sebagai dosen penilai dan Dr. drh. Fajar Satrija, MSc sebagai moderator dalam seminar yang telah memberikan banyak saran dan masukan dalam penulisan. 5. My Beloved Family: Mama, Papa, AU, Akoh Inyoh, AIH, young brother Gie, Ci Utin, Ci Usan, Ko Tommy yang telah ada untuk memberikan doa, tempat berlindung secara fisik maupun mental dengan penuh kasih sayang. 6. Pak Eman, Bu Tiawati dan Pak Jajat yang banyak membantu selama penelitian. 7. Pdt. Nugroho atas doa dan bimbingannya. 8. Chipo yang telah memberikan masukan berharga bagi penulis. 9. Teman-teman satu penelitian yang telah saling membantu dan bekerja sama : Asri, Mones, Uya, Ina, Nope, Sio, Linong, Arie, Arios, Debby, Ivan dan Dwi. 10. Ai, Chubi, Teteg, Loren, Memey, Ven2, Bagus, Dika, Candut, Tongki, Sherly, Willin, Tari, Sius, Bertha, Yuli, Jane, anak-anak PF&PMK, serta teman-teman Asteroidea ‘41 atas segala dukungannya. 11. Shella, Marini, Donna, Helen untuk doa dan dukungan yang telah diberikan. 12. Kepada mereka yang telah membantu dan tidak mungkin disebutkan satupersatu, penulis juga mengucapkan terima kasih. Terlepas dari kekurangan yang ada penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi mereka yang memerlukan. Bogor, September 2008 Penulis RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 2 November 1986 sebagai anak sulung dari dua bersaudara, dari Bapak Tatang Tjahjaman Sandjaja dan Ibu Liem Mey Lien. Pendidikan dasar ditempuh di SDK 6 BPK Penabur Bandung tahun 1992-1998, kemudian dilanjutkan pada SLTPK 5 BPK Penabur Bandung pada tahun 1998 sampai 2001. Pendidikan menengah atas ditempuh di SMU Trinitas Bandung dari tahun 2001 sampai 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswi IPB pada Fakultas Kedokteran Hewan tahun 2004 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama mengenyam pendidikan di IPB, penulis pernah menjadi salah satu pengurus Persekutuan Fakultas FKH, sekretaris Veterinary Japanese Club (VJC), anggota UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, anggota Paduan Suara Gita Klinika FKH, anggota HIMPRO HKSA dan HIMPRO Satwa liar. Penulis juga pernah menjadi ketua panitia Natal PF FKH dan pernah berpartisipasi dalam pelaksanan pengobatan massal eliminasi Filariasis di kota Bogor. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... ….ix DAFTAR TABEL .......................................................................................... …..x DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ….xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. …xii PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................. …...1 Tujuan Penelitian ............................................................................................. .......2 Manfaat Penelitian ........................................................................................... .......2 TINJAUAN PUSTAKA Ikan mas (Cprinus Carpio Linn) strain Sinyonya Sejarah ikan mas .................................................................................. .......3 Morfologi ikan mas .............................................................................. .......4 Strain ikan mas.............................................................................................5 Taksonomi ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya ............ .......5 Parameter kualitas air untuk ikan mas..........................................................6 Pakan ikan mas.............................................................................................7 Siklus reproduksi..........................................................................................7 Parasit pada ikan Kecacingan pada ikan .......................................................................... .......9 Virus pada ikan...........................................................................................11 Protozoa pada ikan ............................................................................... .....12 Bakteri pada ikan.................................................................................. .....14 Darah ................................................................................................................ .....14 Eritrosit................................................................................................. .....16 Leukosit ................................................................................................ .....18 Limfosit............. ................................................................................... .....18 Monosit............. ................................................................................... .....20 Heterofil....... ........................................................................................ .....21 Eosinofil.................... ........................................................................... .....22 Basofil........................................................................................................23 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................................... .....24 Bahan dan Alat Penelitian ................................................................................ ….24 Metode Penelitian Koleksi sampel darah ikan ................................................................... .....24 Pembuatan preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa ................ .....25 Jumlah eritrosit ..................................................................................... .....25 Pemeriksaan nilai hematokrit ............................................................... .....26 Pemeriksaan konsentrasi hemoglobin .................................................. .....26 HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi sel darah pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya .. .....27 Eritrosit................................................................................................. .....27 Limfosit ................................................................................................ .....28 Monosit ................................................................................................ .....28 Heterofil ............................................................................................... .....29 Eosinofil ............................................................................................... .....29 Nilai hematokrit ............................................................................................... .....30 Konsentrasi hemoglobin................................................................................... .....31 Jumlah eritrosit ................................................................................................. .....33 Diferensiasi leukosit ......................................................................................... .....35 Persentase monosit ............................................................................... .....38 Persentase limfosit ............................................................................... .....39 Persentase heterofil .............................................................................. .....40 Persentase eosinofil....................................................................................40 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...................................................................................................... .....42 Saran.......................................................................................................................42 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR TABEL Halaman 1. Nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin dan jumlah eritrosit ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya .................................. ….30 2. Persentase (%) masing-masing jenis sel leukosit pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya……………………………………36 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Common carp/ikan mas (Cyprinus carpio Linn) ...................................... .......3 2. Limfosit pada darah ikan........................................................................... .....19 3. Monosit pada darah ikan ........................................................................... .....20 4. Heterofil pada darah ikan zebrafish .......................................................... .....21 5a. Eosinofil pada darah ikan zebrafish .......................................................... .....22 5b. Eosinofil pada darah ikan Salminus maxillosus. ..................................... .....22 6. Morfologi sel darah pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya: limfosit, eritrosit, heterofil, monosit, eosinofil…………………..27 7. Nilai hematokrit pada ikan mas strain Sinyonya …………………………....31 8. Perbandingan konsentrasi hemoglobin pada masing-masing ikan mas strain Sinyonya…………………………………………………………32 9. Jumlah eritrosit pada masing-masing ikan mas strain Sinyonya …...……....33 10. Persentase (%) masing-masing jenis sel leukosit ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang diperiksa………………..…...37 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Metode penghitungan eritrosit per mm3...................................................... ….47 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki beraneka macam kekayaan sumber daya perairan. Produksi ikan di Indonesia memberikan dampak positif yang signifikan pada sektor ekonomi. Salah satu jenis ikan air tawar yang umum dikonsumsi dan dibudidayakan yaitu ikan mas (Cyprinus carpio Linn). Ikan mas (Cyprinus Carpio Linn) merupakan jenis ikan air tawar yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, pemeliharaannya mudah dan banyak diminati masyarakat karena dagingnya enak dan gurih serta kandungan proteinnya cukup tinggi (Retno 2008). Ikan ini menyebar hampir di semua tempat budidaya ikan air tawar di seluruh provinsi di Indonesia. Bahkan di beberapa daerah tertentu seperti di Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, budidaya ikan mas telah menjadi sumber mata pencarian masyarakat setempat (Lingga 2002). Mengingat pentingnya masalah epizootika di Indonesia yang menghantam sektor perikanan beberapa dekade belakangan ini (sebagai contoh, merebaknya kasus Myxobolus pyriformis pada tahun 1951; Lernaea cyprinacea pada tahun 1953; dan Aeromonas sp. pada tahun 1980, yang menyebabkan hilangnya 125 triliun ikan mas (Oswald & Hulse 1982), maka perlu tindak lanjut upaya pengoptimalan perkembangbiakan dan pertumbuhan yang dapat direalisasikan dengan penerapan kesehatan dan diagnosis penyakit. Selain menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar, beberapa agen penyakit pada ikan juga diduga dapat menular pada manusia. Beberapa contohnya adalah Vibrio cholera dan Salmonella sp. (Oswald & Hulse 1982). Penyakitpenyakit seperti Epizootic haematopoietic necrosis, Infectious haematopoietic necrosis, Spring viraemia of carp, Viral haemorrhagic septicaemia, Infectious pancreatic Epizootic necrosis, ulcerative Infectious syndrome, Bacterial salmon kidney anaemia, disease (Renibacterium salmoninarum), Gyrodactylosis (Gyrodactylus salaris) dan Red sea bream iridoviral disease bahkan telah masuk kedalam list OIE sebagai disease notifiable (OIE 2006). Untuk mencegah masuknya penyakit ikan yang berbahaya, maka perlu adanya karantina ikan yang mengatur mengenai: (1) syarat sertifikasi kesehatan ikan bagi negara pengekspor, (2) inspeksi ikan yang akan diimpor, termasuk laboratorium uji sampel ikan, (3) perlakuan dan observasi ikan, (4) terjaminnya keamanan air ikan yang dipelihara, (5) pengawasan sanitasi lingkungan, (6) penolakan bagi ikan yang tidak memenuhi kriteria kesehatan (Oswald & Hulse 1982). Pemeriksaan hematologi dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk membantu diagnosis penyakit pada ikan dengan efektif dan cepat. Oleh karena itu studi tentang gambaran darah, dalam hal ini profil beberapa parameter hematologi pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn), khususnya ikan mas strain Sinyonya perlu dilakukan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil beberapa parameter hematologi pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya dari CiampeaBogor yang meliputi jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan diferensiasi leukosit (persentase limfosit, monosit, heterofil, eosinofil dan basofil). Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang profil beberapa parameter hematologi pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya. TINJAUAN PUSTAKA Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya Sejarah ikan mas Ikan mas (Gambar 1) sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina. Di Indonesia ikan mas mulai dipelihara sekitar tahun 1920 (Sutanmuda 2007). Ikan mas yang pertama kali masuk ke Indonesia berasal dari daratan Eropa dan China, kemudian berkembang menjadi ikan budidaya yang sangat penting. Ikan mas berkembang membentuk beberapa ras atau strain. Strain-strain yang ada terbentuk secara alami maupun rekayasa dalam waktu cukup lama. Ras-ras ikan mas berwarna gelap diduga berasal dari Eropa dan warna terang berasal dari China (Suseno 1994). Gambar 1. Common carp/ikan mas (Cyprinus carpio Linn) (Anonim 2008b) Dua ras ikan mas yaitu ras Galisia (karper Gajah) dan ras Frankisia (karper Kaca) yang berasal dari Belanda dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1927 dan 1930. Dua ras ini sangat disukai karena memiliki kualitas daging yang baik, memiliki duri yang sedikit dan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan ras lokal. Pada tahun 1974, Indonesia mengimpor ikan mas ras Taiwan, ras Jerman, dan ras Fancy carp masing-masing dari Taiwan, Jeman dan Jepang. Pada tahun 1977 diimpor lagi ikan mas ras Yamato dan ras Koi dari Jepang. Dalam perjalanannya ikan-ikan tersebut ada yang disilangkan dengan ras Lokal dan hanya beberapa saja yang masih dapat ditemukan ras murninya, misalnya ikan mas Koi. Indonesia memiliki beberapa ras Lokal seperti ras Sinyonya, Punten Majalaya, Merah, Biru, Hijau, Putih, Hitam, Kumpay dan Kancra domas. Pada awalnya ikan mas termasuk ikan liar. Karena memiliki sifat mudah berkembang biak dalam berbagai jenis dan kualitas air tawar, maka ikan ini menyebar ke seluruh dunia (Santoso 1999). Morfologi ikan mas Tubuh ikan mas agak memanjang dan memipih tegak (compressed). Mulut terletak di ujung tengah dan dapat disembulkan (protaktil). Bagian anterior mulut terdapat dua pasang sungut. Secara umum permukaan tubuh ikan mas tertutup oleh sisik. Sisik ikan mas relatif besar dan digolongkan ke dalam sisik tipe sikloid (Suseno 1994). Ikan mas biasanya memiliki 7 sirip, yaitu sepasang sirip (pektoral dan pelvis) dan sirip tunggal (dorsal, anal dan kaudal) yang berfungsi untuk integritas dan keseimbangan dalam pergerakan ikan. Kulit pada beberapa spesies ikan dapat berfungsi untuk respirasi (Hoole et al. 2001). Sirip punggung (dorsal) berukuran relatif panjang dengan bagian belakang berjari-jari keras, dan sirip terakhir yaitu sirip ketiga dan keempat bergerigi. Letak permukaan sirip punggung berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral), sedangkan sirip anus yang terakhir bergerigi. Linea lateralis (gurat sisi) terletak di pertengahan tubuh, melintang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor. Gigi kerongkongan terdiri dari tiga baris yang berbentuk gigi geraham (Suseno 1994). Pada ikan stadium larva, permukaan kulit merupakan komponen penting untuk respirasi. Pada ikan dewasa, respirasi melalui kulit berfungsi lokal dengan organ respirasi utama adalah insang. Insang terdiri dari lengkungan berbentuk kubah keras yang tersusun atas tulang dan tulang rawan. Pada lengkungan ini terdapat filamen-filamen, dan dari setiap filamen terdapat lamela-lamela yang bertonjolan pada setiap sisinya. Lamela di insang berfungsi untuk pertukaran oksigen. Lamela ini disusun dari sel-sel epitel eksternal dan sel-sel pillar yang memfasilitasi aliran darah pada insang. Jarak antara air dengan darah di insang pada ikan adalah 2 µm (Hoole et al. 2001). Strain ikan mas Saat ini ikan mas mempunyai banyak strain. Sampai saat ini sudah terdapat sepuluh ikan mas yang dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologinya. Perbedaan sifat dan ciri dari setiap strain disebabkan oleh adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan kolam, musim dan cara pemeliharaan yang terlihat dari penampilan bentuk fisik, bentuk tubuh dan warna. Ciri-ciri dari beberapa strain ikan mas adalah sebagai berikut: (1) Ikan mas Punten memiliki sisik berwarna hijau gelap, potongan badan paling pendek, bagian punggung tinggi melebar, mata agak menonjol, gerakannya gesit, perbandingan antara panjang dan tinggi badan 2,3:1; (2) Ikan mas Majalaya memiliki sisik berwarna hijau keabu-abuan dengan tepi sisik lebih gelap, punggung tinggi, badan relatif pendek, gerakan lamban, bila diberi pakan suka berenang di permukaan air, perbandingan panjang dengan tinggi badan 3,2:1; (3) Ikan mas Sinyonya memiliki sisik berwarna kuning muda, badan relatif panjang, matanya pada ikan muda tidak menonjol, sedangkan ikan dewasa bermata sipit, gerakan lamban, lebih suka berada di permukaan air, perbandingan panjang dengan tinggi badan 3,6:1; (4) Ikan mas Taiwan memiliki sisik berwarna hijau kekuning-kuningan, badan relatif panjang, penampang punggung membulat, mata agak menonjol, gerakan lebih gesit dan aktif, perbandingan panjang dengan tinggi badan 3,5:1 (Sutanmuda 2007). Taksonomi ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya. Menurut Sannin (1984), ikan mas dapat diklasifikasikan ke dalam Kingdom Animalia, Filum Chordata, Subfilum Pisces, Kelas Osteichtyes , Subkelas Teleostei, Ordo Ostariophysi, Sub Ordo Cyprinoidea, Family Cyprinidae, Subfamili Cyprininae, Genus Cyprinus, dan Spesies Cyprinus carpio Linn. Hagfish dan lamprey termasuk ke dalam kelas ikan Agnata, yang dikarakteristikkan dengan tidak adanya rahang dengan mulut berbentuk bulat di sebelah anterior. Lubang hidung berbentuk tunggal dan terletak di sebelah dorsal. Selain itu, faring memiliki 7 atau lebih celah insang yang terbuka secara tidak langsung. Notokorda (tongkat gelatinosa yang dapat menjadi kaku, terletak di dorsal, dan hanya ada selama beberapa stadium pertumbuhan) persisten dan dilengkapi vertebrae kartilago secara tidak sempurna. Agnata tidak memiliki sistem porta ginjal dan hidup dengan menghisap cairan atau organ tubuh ikan lain dengan mulutnya yang berbentuk bulat (Brotowidjoyo 1989). Condrichthyes adalah kelas ikan yang dikarakteristikkan dengan adanya mulut ventral yang disokong dengan rahang. Terdapat dua pasang sirip, dimana sirip kaudal kebanyakan heteroserkal (lobus dorsal lebih besar). Ruang hidung berpasangan, dengan faring memiliki 5-7 celah insang (pada chimaera, faring tertutup oleh operkulum tunggal). Skeleton terdiri dari tulang rawan dan memiliki kulit yang tertutup oleh sisik plakoid (yang berasal dari kombinasi mesoderem dan ektoderem). Sebagian notokorda diganti oleh vertebrata yang lengkap. Pada ikan dewasa terdapat mesonefros, dengan sistem porta pada ginjal. Usus memiliki katup-katup spiral didalamnya. Kelamin terpisah dengan fertilisasi dilakukan secara eksternal (ovipar) atau internal (ovovivipar). Semua jenis ini hidup di laut, yakni ikan hiu, ikan pari dan ikan lonceng/chimaera (Brotowidjoyo 1989). Osteichtyes adalah kelas ikan berahang, yang dikarakteristikkan dengan skeleton yang seluruhnya bertulang menulang. Kraniumnya merupakan cranium tulang rawan (kondrokranium) yang dilengkapi oleh tulang dermal untuk membentuk tengkorak majemuk. Tipe sisiknya adalah ganoid, sikloid, ktenoid, atau tidak bersisik. Pada stadium embrio ada 6 celah insang, pada dewasa bisanya tinggal 4 celah yang tertutup oleh operkulum. Biasanya ada gelembung renang yang kadang berhubungan dengan faring. Notokorda ditempati oleh vertebrae yang menulang. Otak terdiri dari 5 bagian dengan 10 pasang saraf kranial. Pada ikan dewasa terdapat mesonefros dan memiliki system portal renal. Pada ikan yang lebih primitive bentuknya, terdapat katup spiral dalam ususnya. Contonhnya, antara lain: Sturgeon (Acipenser), ikan lele, belut, bader, tuna, ikan paru, kuda laut, ikan mas, ikan salmon, ikan sardine, ikan terbang, dan lainnya (Brotowidjoyo 1989). Parameter kualitas air untuk ikan mas. Suhu air maksimum yang masih dapat ditoleransi oleh Cyprinidae adalah 280C. Sebagaimana ikan yang hidup di daerah tropis, ikan mas, terutama Goldfish, dapat bertahan pada suhu yang hampir membeku hingga suhu 300C. Semakin tinggi suhu air, maka kandungan oksigen terlarut akan semakin sedikit. Sebaliknya jika suhu air semakin rendah maka kandungan oksigen terlarut akan semakin besar. Oksigen terlarut minimal 50% dari 8 mg/LO2 dan 100% dari 5 mg/LO2. Semakin tinggi temperatur air, akan meningkatkan metabolisme tubuh ikan, sehingga produksi ammonia meningkat. Total ammonia maksimum di lingkungan adalah 0,2 mg/L NH4+, sedangkan kisaran normal pH adalah 6-9. Total maksimum residu klorin pada air adalah 0,005 mg/L HOCl. Suhu yang sangat rendah juga tidak baik karena akan menyebabkan hipotermia. Oksigen terlarut pada suhu air yang rendah lebih tinggi dibandingkan pada suhu tinggi, namun suhu air yang terlalu rendah akan menurunkan denyut jantung dan frekuensi respirasi. Hal tersebut akan menyebabkan ikan mengalami hipoksia. Hipoksia akan menimbulkan reaksi hipotermia, yang meliputi penurunan frekuensi respirasi dan penurunan koordinasi ikan sewaktu berenang. Selain itu, suhu lingkungan yang terlalu rendah akan menurunkan fungsi sistem kekebalan, sehingga ikan lebih rentan terhadap infeksi oleh bakteri dan jamur (Hoole et al. 2001). Ketidaksesuaian berbagai parameter kualitas air pada ikan, seperti pH dan zat-zat kimia lainnya dapat menyebabkan stres (Hoole et al. 2001). Kondisi stress akan meningkatkan kadar kortisol di dalam darah, dan akan menyebabkan depresi pada sistem kekebalan (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006). Pakan ikan mas Ikan mas termasuk golongan ikan pemakan segala/omnivora (Santoso 1999). Pakan ikan mas pada umumnya adalah makrofita dan alga berfilamen, disamping zooplankton, larva serangga dan moluska (Hoole at al. 2001). Ikan mas muda (10 cm) senang memakan jasad hewan atau tumbuhan yang tumbuh di dasar kolam seperti chironomidae, olighochaeta, tubificidae, epimidae dan trichoptera (Santoso 1999). Siklus reproduksi Induk ikan mas betina yang dapat dipijahkan berumur 1,5-3 tahun dengan bobot minimum 1,5 kg/ekor, sedangkan induk jantan berumur 6 bulan ke atas dengan bobot minimum 0,5 kg/ekor. Badan tidak cacat, termasuk sirip, dengan sisik yang besar dan letaknya teratur. Kepala relatif kecil dibandingkan panjang badan. Tubuh relatif besar sehingga mampu menghasilkan banyak telur. Pangkal ekor normal (pangkal ekor lebih panjang dibandingkan dengan tingginya), lebar dan tebal. Induk betina yang dewasa kelamin ditandai dengan gerakan yang lamban, perut membesar ke arah belakang, jika diraba terasa lunak, lubang anus agak membengkak atau menonjol, dan bila perut diurut (striping) perlahan ke arah anus akan keluar cairan berwarna kuning kemerahan. Induk jantan gerakannnya lincah, badannya langsing, dan jika perut diurut akan keluar cairan sperma berwarna putih seperti susu. Dalam persiapan pemijahan, perbandingan induk jantan dan betina adalah 1:1 (kg/m2), artinya untuk satu ekor induk betina berbobot 2 kg/ekor maka jumlah induk jantan adalah 3 ekor dengan bobot 600700 g/ekor (Mantau et al. 2004). Siklus reproduksi ikan mas dimulai di dalam gonad, yaitu ovarium pada ikan betina dan testis pada ikan jantan. Dari ovarium dihasilkan telur dan dari testis akan di hasilkan spermatozoa. Perkawinan ikan mas dapat terjadi sepanjang tahun karena tidak mengenal musim. Biasanya perkawinan ikan mas terjadi pada malam hari sampai menjelang fajar. Telur ikan mas akan menempel pada rumput, daun, atau material penutup kolam. Telur ikan mas berbentuk bulat, bening, dan ukuran yang bervariasi menurut umur dan berat badan induk. Diameter telur ikan mas antara 1,5-1,8 mm dan beratnya antara 0,17-0,20 mg. Embrio yang tumbuh dalam telur yang sudah dibuahi akan menetas menjadi larva setelah 2-3 hari. Larva ikan mas biasanya menempel dan bergerak vertikal. Ciri morfologinya antara lain berukuran panjang antara 0,5-0,6 mm dan beratnya antara 0,18-20,0mg (Lingga 2002). Larva ikan mas memerlukan pakan yang sesuai dengan ukuran mulutnya, seperti plankton dan susupensi kuning telur ayam (pakan buatan). Larva kemudian berkembang menjadi benih (2-3 cm) dan diberi pakan tepung pelet (Mantau et al. 2004). Setelah 2-3 minggu, benih tumbuh menjadi burayak. Burayak ini memiliki ukuran 1-3 cm dan beratnya sekitar 0,1-0,5 g. Dua sampai tiga minggu kemudian burayak tumbuh menjadi putihan. Putihan ini berukuran antara 3-5 cm dan beratnya antara 0,5-2,5 g. Putihan secara alami tumbuh terus dan setelah tiga bulan menjadi gelondongan dan beratnya akan mencapai 100 gr per ekornya. Setelah enam bulan ikan jantan dapat mencapai 0,5 kg dan dalam 15 bulan ikan betina dapat mencapai 1,5 kg. (Lingga 2002). Parasit pada ikan Kecacingan pada ikan Monogenea adalah kelas parasit cacing pipih, dimana sebagian besar anggotanya merupakan ektoparasit pada vertebrata berdarah dingin/poikilotermal seperti amphibi dan ikan (Hoole et al. 2001). Cacing ini dikarakterisasikan dengan adanya opisthaptor, yaitu organ perlekatan di bagian posterior (Buchmann & Bresciani 2001). Organ ini dilengkapi dengan dua kait besar yang terletak di tengah dan dikelilingi dengan 12-16 kait-kait yang lebih kecil di tepinya sehingga membentuk seperti mahkota. Kait-kait tersebut berfungsi agar cacing dapat melekat dengan kuat pada inangnya (Hoole et al. 2001). Buchmann dan Bresciani (2006) melaporkan bahwa beberapa keluarga Monogenea yang menyebabkan penyakit pada Ancyrocephalidae, ikan, yaitu Dactylogyridae, Tetraonchidae, Pseudodactylogyridae, Diplectanidae, Gyrodactilydae, Anoplodiscidae, Microbothriidae, Capsalidae, Diclidophoridae, Discocotylidae, Microcotylidae. Dactylogyrus vastator dan Dactylogyrus extensus biasanya dijumpai pada Cyprinus carpio dan Carassius auratus, sedangkan Dactylogyrus minutes pada Cyprinus carpio. Ketiga Monogenea tersebut memiliki habitat pada insang ikan dan endemik terutama di daerah Asia. Digenea (trematoda) adalah cacing pipih yang mampu menginfeksi beragam jenis hewan. Cacing ini bisanya memiliki dua batil hisap, yaitu batil hisap ventral yang berfungsi sebagai perlekatan antara cacing dengan inangnya, serta batil hisap oral yang terletak di ujung anterior (Hoole et al. 2001). Digenea yang berkontribusi menyebabkan infeksi parah pada insang adalah Centrocestus spp, dan pada otot dan jaringan adalah Bolbophorus spp (Paperna dan Dzikowski 2006). Cestoda adalah endoparasit yang dikarakterisasikan dengan adanya skoleks (bagian kepala) untuk melekatnya cacing dengan inang, serta strobila yang terbagi menjadi segmen-segmen proglotid (Buchmann & Bresciani 2001). Beberapa Famili Cestoda yang menginfeksi ikan adalah Amphilinidea, Caryophylidea, Pseudophylidea, Proteocephalidea. Ikan mas adalah inang definitif dari Bothriocephalus spp. (Pseudophylidea), Caryphyllaeus spp. dan Khawia sp. (Pseudophylidea). Cestoda yang menjadi perhatian utama adalah Diphyllobothrium, terutama Diphyllobothrium latum yang tersebar luas di seluruh dunia, terdapat di otot ikan dan juga dapat menginfeksi manusia (Dick et al. 2006). Nematoda merupakan cacing yang berbentuk silindris panjang yang ramping dan tidak bersegmen (Buchmann & Bresciani 2001). Nematoda menyerang ikan, antara lain famili Dioctophymatidae, Capillariidae dan Cystiopsidae. Nematoda merupakan cacing yang banyak diteliti, sehingga varietasnya yang bermacam-macam telah diketahui secara luas. Beberapa contoh Nematoda pada ikan antara lain Capillaria pterophylii, Anisakis simplex, dan Camallanus truncates (Molnar et al. 2006). Adapun Trematoda yang merupakan fish-borne disease adalah Clonorchis sinensis. Rute infeksinya adalah dengan memakan metaserkaria yang berada di otot dan subkutan jaringan ikan. Cacing ini banyak terdapat pada ikan air tawar yang sebagian besar adalah Famili Ciprinidae. Pada keadaan terinfeksi oleh cacing ini, terjadi peningkatan persentase eosinofil (5-20%). Cestoda yang menjadi fishborne disease adalah Diphyllobothrium, sedangkan nematoda adalah Capillaria philippinenis yang menyebabkan Capillariasis, Gnathostoma penyebab Gnathostomiasis, serta Anisakis, Pseudoterranova dan Contracaecum yang menyebabkan Anisakiasis (Ko 2006). Infeksi parasit dapat menyebabkan gangguan patologis, yang diindikasikan dengan beberapa gejala klinis, yaitu kelesuan, anoreksia dan inflamasi. Anoreksia adalah menurunnya nafsu makan dan asupan pakan. Adanya parasit yang menginfeksi akan menyebabkan kerusakan jaringan pada ikan terinfeksi. Beberapa parasit ikan melepaskan enzim yang merusak tekstur dan menurunkan kualitas daging ikan (Buchmann & Bresciani 2001). Pada mamalia, proses inflamasi ditandai dengan panas, kemerahan, edema, sakit dan kehilangan fungsi. Proses inflamasi pada ikan termasuk rumit dan melibatkan banyak faktor, yakni: (1) terjadinya peningkatan aliran darah menuju daerah terinfeksi, (2) edema, merupakan peningkatan cairan berlebihan di antara sel dan dapat terjadi di ruang abdomen (ascites), (3) fibrosis yang disebabkan karena infeksi berkepanjangan, (5) hemorrhagi, yang menyebabkan penurunan kadar hemoglobin sehingga menimbulkan anemia, (6) nekrosis jaringan, (7) sirosis pada hati akibat infeksi kronis parasit, (8) splenomegali dan hepatomegali, (9) beberapa infeksi parasit dapat menimbulkan kelainan pada tulang punggung seperti lordosis atau skoliosis. Buchmann & Bresciani (2001). Virus pada ikan Infeksi oleh virus banyak ditemukan pada ikan. Salah satu contoh virus yang terdapat di dalam darah ikan adalah Viral Erythrocytic Necrosis (VEN). Pada banyak kasus, VEN muncul tanpa diikuti gejala eksternal yang terlihat dan bersifat kronis. Pemeriksaan VEN dapat dilakukan dengan melihat gambaran pada ulas darah. Gambaran darah yang mengindikasikan adanya VEN adalah adanya badan inklusi pada sitoplasma eritrosit dan dapat dilihat dengan mikroskop cahaya. Badan inklusi berbentuk bulat (0.8-4 µm), dan berwarna merah muda atau magenta dengan pewarnaan Giemsa. Virus ini masuk ke dalam kelompok icosahedral cytoplasmic deoxyribovirus (ICDV), dan berdasarkan badan inklusinya diklasifikasikan ke dalam iridovirus. Akibat-akibat lain yang dapat ditimbulkan oleh virus ini adalah adanya anemia (nilai hematokrit kurang dari 5%), hemolitik anemia, hemosiderosis dan eritroblastosis. Perubahan lain yang ditemukan adalah perubahan degeneratif eritrosit, meliputi perubahan lokasi inti, dan vakuolisasi pada sitoplasma (Dannevig & Thorud 1999). Kematian ikan karena VEN biasanya rendah, tetapi kemungkinan dapat meningkat jika infeksi terjadi bersama-sama dengan vibriosis atau penyakit oleh bakteri pada ginjal (Evelyn & Traxler 1978 dalam Dannevig dan Thorud 1999). Kematian tinggi berkaitan dengan epizootika dari VEN pernah dilaporkan hanya pada ikan Pasifik Herring (Meyers et al. 1986 dalam Dannevig dan Thorud 1999). Selain itu, ada juga penyakit Viral Infectious Salmon Anemia (ISA) yang dapat didiagnosis berdasarkan perubahan histopatologi dan hematologi. Pemeriksaan hematologi, dengan melihat nilai hematokrit dibawah 10%, adanya leukopenia, degenerasi eritrosit dan eritroblastosis, dapat menjadi diagnosis penunjang penyakit ini (Dannevig & Thorud 1999). Virus lainnya yang telah dilaporkan menyerang ikan adalah infectious pancreatic necrosis virus (IPNV), infectious haematopoietic necrosis virus (IHNV), viral haemorrhagic septicemia virus (VHSV), salmon pancreas disease virus dan channel catfish virus (CCV), serta spring viraemia of carp (SVC) yang terutama menyerang ikan mas (Woo & Bruno 1999). Protozoa pada ikan Beberapa Protozoa yang menyerang ikan adalah Diplomonadida (Hexamita dan Spironucleus) dan Kinetoplastea (Ichthyobodo, Cryptobia dan Trypanosoma). Protozoa tersebut merupakan protozoa yang memiliki flagella (Lee 1985 dalam Woo 2006). Kebanyakan spesies protozoa ditemukan pada darah/cairan tubuh, saluran pencenaan dan organ internal. Protozoa lainnya adalah Ichtyobodo necatrix, menyebabkan Ichtyobodosis yang dapat menyerang ikan air laut dan air tawar termasuk Ciprinidae (Woo 2006). Penyakit yang disebabkan oleh Hexamita dan Spironucleus disebut penyakit ‘hole-in-the-head’ pada ikan salmon, ikan mas dan ikan hias akuarium. Spironucleus telah dilaporkan bersifat sporadik pada beberapa ikan termasuk ikan mas, dan bersifat sistemik. Infeksi sistemik pada Hexamita juga telah dilaporkan, dengan tropozoit ditemukan di dalam darah, jaringan dan organ. Sedikitnya ada 20 spesies Hexamita dan 10 spesies Spironucleus (Woo 2006). Secara umum infeksi Spironucleus terjadi melalui ingesti kista atau tropozoit. Parasit berada di dalam darah pada 1-8 minggu setelah infeksi (fase darah), setelah itu menghilang dari sirkulasi darah dan menuju organ internal, rongga mata dan otot (fase jaringan). Parasit ini memperbanyak diri melalui pembelahan biner di dalam darah setelah menginfeksi inang definitif, dimana jumlahnya akan meningkat 2-4 minggu pertama. Kematian dapat terjadi, baik sepanjang fase darah maupun fase jaringan (Woo 2006). Cryptobia spp. adalah parasit pada ikan air tawar dan air laut. Parasit ini dapat sebagai ektoparasit (di permukaan tubuh dan/atau insang) dan endoparasit (di saluran pencernaan atau dalam darah). Bentuknya oval hingga seperti pita dan memiliki dua flagella di anterior (satu flagella memanjang hingga ke arah posterior). Morfologi Cryptobia spp. mirip dengan Trypanosoma, dimana perbedaan terletak pada siklus hidup keduanya. Transmisi Trypanosoma kepada inang definitif tidak langsung, diperantarai oleh lintah sehingga disebut spesies haematozoik. Hal ini berbeda dengan transmisi Cryptobia yang terjadi secara langsung sehingga disebut spesies non-haematozoik. Cryptobia salmositica dapat menyebabkan anemia mikrositik dan hipokromik, dimana sel darah merah berbentuk tidak oval lagi dan ada penurunan konsentrasi hemoglobin (Woo 2006). Cryptobiosis menurut Stinhagen et al. (1990) dalam Woo (2006) menyebabkan peningkatan jumlah granuloblast dan granulosit, dan memuncak pada hari ke 44 setelah infeksi. Trypanosoma danilewskyi adalah spesies Trypanosoma yang pertama kali dideskripsikan dari ulas darah Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) di Eropa oleh Laveran dan Mesnil (1904) dalam Woo (2006). Parasit ditemukan sepanjang fase akut melalui pemeriksaan ulas darah yang telah diwarnai dengan pewarnaan Giemsa, sedangkan pada awal atau dalam masa infeksi kronis dapat dideteksi melalui pemeriksaan hematokrit. Ikan yang terinfeksi oleh Trypanosoma vittati dan Trypanosoma maguri akan mengalami penurunan jumlah sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin. Jumlah sel darah merah yang belum matang/abnormal dan jumlah sel darah putih total akan lebih tinggi pada ikan yang terinfeksi (Woo 2006). Selain Diplomonadida dan Kinetoplastea, terdapat Filum Apicomplexa yang juga menyerang ikan. Beberapa diantaranya adalah Haemogregarina, Cyrilia dan Desseria dari Famili Haemogregarinidae; Dactylosoma dan Babesiosoma dari Famili Dactylosomatidae; Eimeria, Goussia, Crystallospora, Calyptospora dari Famili Eimeriidae; Cryptosporidium, Haematractidium dan Haemohormidium dari Famili Cryptosporidiidae. Haemogregarina dan Cyrilia spp. terdapat di dalam sel darah merah, fase perkembangannya di dalam dan di luar eritrosit. Famili Dactylosomatidae hanya diketahui perkembangannya pada stadium intraeritrosit merogoni dan gamogoni (parasitemia di dalam tubuh ikan berakhir hingga mencapai 7 bulan). Haemohormidium berbentuk amoeboid, oval atau bulat di dalam sitoplasma eritrosit (Molnar 2006). Bakteri pada ikan Beberapa bakteri pada ikan yang menimbulkan penyakit adalah: (1) Renibacterium salmoninarum yang menyebabkan bakterial kidney disease (BKD), (2) dua jenis bakteri gram positif yang merupakan bakteri patogen yang sangat penting adalah Enterococcus seriolicida dan Streptococcus iniae, (3) Mycobacterium penyebab Mycobacteriosis dan Nocardia sebagai penyebab Nocardiosis, (4) Aeromonas salmonicida dan Aeromonas hydrophila, (5) Yersini ruckeri yang menyebabkan Enteric redmouth disease, (6) Vibrio spp. yang menyebabkan Vibriosis, (7) Flavobacterium spp sebagai penyebab penyakit Flavobakterial, (8) Pseudomonas, bakteri ini pada umumnya dapat bersifat oportunistik patogen atau menyebabkan infeksi sekunder. Selain itu ada pula Serratia dan Proteus yang bersifat oportunistik patogen, (9) bakteri asam laktat seperti Lactobacillus atau Carnobacterium, yang dapat juga menyebabkan kondisi penyakit pada ikan (Woo & Bruno 1999). Darah Darah merupakan bagian penting dari sistem transpor di dalam tubuh. Darah merupakan jaringan yang berbentuk cair yang dialirkan melalui saluran vaskular, terdiri dari dua komponen yaitu plasma dan sel-sel darah. Darah ikan tersusun atas cairan plasma dan sel-sel darah yang terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Di dalam plasma darah terkandung garam-garam anorganik (natrium klorida, natrium bikarbonat dan natrium fosfat), protein (dalam bentuk albumin, globulin, dan fibrinogen), lemak (dalam bentuk lesitin dan kolesterol) serta zat-zat lainnya misalnya hormon, vitamin, enzim dan nutrien (Affandi & Tang 2002). Darah memiliki fungsi untuk transpor nutrien, oksigen dan karbondioksida, menjaga keseimbangan suhu tubuh dan berperan penting dalam sistem pertahanan tubuh (Rastogi 1997 dalam Ariaty 1991). Secara fungsional, trombosit berperan dalam pembekuan darah. Monosit berfungsi sebagai makrofag, limfosit berfungsi sebagai penghasil antibodi untuk melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh dan neutrofil mempunyai fungsi fagositik (Yasutake & Wales 1983 dalam Affandi & Tang 2002). Proses pembentukan darah/hematopoiesis (eritrosit/eritropoiesis dan leukosit/leukopoiesis) pada ikan berasal dari sel prekursor hemositoblast yang dapat berasal dari bermacam-macam organ, namun biasanya akan matang setelah memasuki sirkulasi darah. Pada Hagfish/ikan hantu, darah primer dibentuk di selubung mesodermal pada organ usus (Jordan & Speidel 1930 dalam Moyle & Cech 1988). Percy dan Potter (1976) dalam Moyle dan Cech (1988) juga melaporkan bahwa sel darah pada Lamprey dewasa (Lamptera) disintesis dari jaringan lemak di daerah dorsal saraf. Ikan elasmobranch memproduksi sel darah dari organ Leydig (terletak di daerah esophagus), organ epigonal (sekitar gonad) dan organ limpa. Sel granulosit dan limfosit pada ikan hiu Etmopterus spinax dibentuk dari organ Leydig (Mattisson & Fange 1982 dalam Moyle & Cech 1988). Berbeda dengan ikan hiu Ginglyostoma cirratum yang memiliki sangat sedikit organ tersebut, sehingga sel granulosit dan limfosit berasal dari organ epigonal. Bagian pulpa putih limpa memproduksi lebih banyak limfosit, sedangkan pulpa merah memproduksi eritrosit dan beberapa granulosit (Mattisson & Fange 1981 dalam Moyle & Cech 1988). Limpa pada ikan elasmobranch (subkelas dari ikan Condrichthyes) dan teleostei (subkelas dari ikan Osteichtyes) menyediakan sel darah melalui inervasi otonomik yang diakibatkan oleh kondisi stres. Sebagai contoh adalah hipoksia yang menstimulasi organ limpa untuk berkontraksi (Fange & Nillson 1985 dalam Moyle & Cech 1988). Selain akibat stimulasi saraf, stimulasi hormon (adrenergik atau kolinergik) juga menyebabkan kontraksi limpa pada ikan Atlantik cod (Gadus morhua) seperti dilaporkan oleh Nilson dan Grove (1974) dalam Moyle dan Cech (1988). Organ limpa memproduksi sel darah merah yang terdiri dari eritrosit yang belum matang ataupun sel-sel yang akan berdiferensiasi menjadi eritrosit setelah memasuki sirkulasi darah (Fange & Johansson-Sjobeck 1975 dalam Moyle & Cech 1988). Proses hematopoiesis pada ikan teleostei terutama terjadi di organ ginjal dan limpa (Satchell 1971 dalam Moyle & Cech 1988), mengingat jaringan lymphomyeloid (pembentuk limfosit dan granulosit) juga ditemukan di daerah cranium ikan holocephalans (Chimaera) dan ikan sturgeons (Acipenser). Untuk sturgeons, selain di daerah cranium juga terdapat di sekeliling organ jantung (Fange 1984 dalam Moyle & Cech 1988). Kelenjar timus merupakan jaringan lymphomyeloid lainnya pada banyak ikan muda yang berahang, namun seringkali mengalami regresi pada individu yang telah mengalami kematangan seksual (Fange 1984 dalam Moyle & Cech 1988). Sejumlah leukosit ditemukan pada kulit dan insang (Iger & Wendelaar Bonga 1994 dalam Van Muiswinkel & Vervoorn 2006), yang mengindikasikan bahwa sistem imun mukosal telah berkembang pada ikan. Sumsum tulang, bursa Fabricius, Peyer’s patches dan limfonodus yang terdapat pada unggas dan/atau mamalia, tidak dijumpai pada ikan. Ikan-ikan besar seperti Agnatha mempunyai volume darah yang lebih besar dibandingkan dengan spesies ikan lainnya. Condrichthyes mempunyai volume darah sebanyak 6,6% dari berat badan, sedangkan Osteichtyes seperti condrestei, halostei, dan teleostei (untuk spesies ikan air tawar dan ikan air laut) mempunyai volume lebih dari 3% dari berat badan (Randall 1970 dalam Affandi & Tang 2002). Darah akan mengalami perubahan komposisi, terutama apabila terkena infeksi. Adanya gangguan di dalam tubuh ikan diperlihatkan oleh adanya perubahan pada gambaran darah, seperti nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin, jumlah sel darah putih total dan jumlah sel darah merah (Lagler et al. 1977 dalam Affandi & Tang 2002). Eritrosit Eritrosit pada ikan berinti, berbentuk oval dengan kedua ujungnya membulat (Canfield 2006). Eritrosit yang sudah matang berukuran panjang 13-16 mikron dan lebar 7-10 mikron. Eritrosit mempunyai sitoplasma yang homogen dengan ulasan pewarnaan Giemsa. Inti eritrosit terletak di tengah-tengah, berbentuk oval, berwarna merah keunguan dan mempunyai kromatin yang kompak (Affandi & Tang2002). Ukuran sel yang belum matang lebih kecil dibandingkan dengan sel yang sudah matang (Canfield 2006). Secara umum, erirosit merupakan sel yang jumlahnya paling banyak di dalam darah ikan, yaitu di atas 4 juta/mm3, sedangkan untuk ikan mas (Cyprinus carpio Linn) adalah 1.43x106 sel/mm3 (Houston & Dewilde 1968 dalam Moyle & Cech 1988). Canfield (2006) melaporkan bahwa ukuran eritrosit bervariasi pada setiap ordo ikan yang berbeda. Semakin rendah ordo, maka ukuran eritrosit akan semakin besar. Menurut Moyle & Cech (1988), terdapat variasi ukuran yang sangat luas di antara spesies ikan itu sendiri. Eritrosit memiliki inti yang berfungsi untuk mengikat oksigen (Affandi & Tang2002). Selain itu eritrosit berisi hemoglobin yang berfungsi mengangkut oksigen dari insang ke jaringan. Hemoglobin merupakan alat transpor oksigen dan karbondioksida yang terdapat di dalam eritrosit (Moyle & Cech 1988). Faktor yang mempengaruhi produksi sel darah merah adalah kebutuhan oksigen yang bervariasi pada ikan dan kondisi lingkungan. Darah yang memiliki kadar sel darah merah yang rendah, harus memompakan darah lebih banyak ke seluruh tubuhnya, dibandingkan dengan darah yang memiliki kadar sel darah merah tinggi. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan tubuh ikan terhadap oksigen dan energi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Cameron & Davis (1970) dalam Moyle & Cech (1988), diketahui bahwa kondisi anemia menyebabkan peningkatan secara signifikan pada volume darah yang dipompa oleh jantung. Perubahan suhu musim yang ekstrim juga akan mengubah metabolisme respirasi (kebutuhan respiratori meningkat) yang menyebabkan perubahan jumlah sel darah merah (termasuk konsentrasi hemoglobin). Namun jika kebutuhan oksigen dalam darah relatif rendah, seperti perubahan suhu yang tidak signifikan dan aktivitas ikan rendah, maka jumlah sel darah merah akan turun. Selain itu faktor lingkungan lain seperti polutan juga mampu mempengaruhi jumlah sel darah merah di dalam darah (Moyle & Cech 1988). Carbalo et al. (1995) melaporkan bahwa polutan (tembaga, ammonia, sianida dan nitrit) akan meningkatkan jumlah kortisol di dalam plasma. Kortisol akan menginduksi system saraf dan hormon sehingga terjadi peningkatan jumlah sel darah merah (Moyle & Cech 1988). Eritrosit yang belum matang sering (Retikulosit) ditemukan, khususnya pada ikan trout. Sel-sel darah merah yang belum matang biasanya kurang elliptikal dan mempunyai sitoplasma berwarna abu-abu kebiru-biruan. Inti sel darah merah yang belum matang tidak sepadat sel darah merah yang matang (Affandi & Tang 2002). Eritrosit mengandung hemoglobin yang ditemukan pada seluruh jenis ikan kecuali pada ikan Chaenichthydae (ice fish) dan larva ikan sidat (Leptocephalus larvae), dimana pada ikan-ikan tersebut darah tidak berwarna. Secara umum eritrosit ikan memiliki ukuran yang berbeda-beda untuk setiap spesies (Affandi & Tang 2002). Leukosit Leukosit memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan sel darah merah, yaitu berkisar antara 20.000/mm3 hingga 150.000/mm3 (Moyle & Cech 1988). Bentuk sel darah putih menurut Lagler et al. (1977) dalam Affandi & Tang (2002) adalah lonjong hingga bulat. Guyton & Hall (1997) melaporkan bahwa leukosit terdiri dari agranulosit (monosit dan limfosit) dan granulosit (heterofil, eosinofi dan basofil). Leukosit memiliki bermacam-macam fungsi, erat kaitannya untuk menghilangkan benda asing (termasuk mikroorganisme patogen). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah leukosit adalah kondisi dan kesehatan tubuh ikan (Moyle & Cech 1988). Infiltrasi granulosit muncul 12-24 jam setelah diinjeksi oleh bakteri pada ikan rainbow trout. Setelah itu persentase granulosit dan makrofag akan meningkat hingga 2-4 hari (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006). Limfosit Limfosit (Gambar 2) muncul dalam jumlah besar dalam pembuluh limfe di duktus torakokus pada mamalia. Pada ikan juga agak mirip, yaitu terdapat sejumlah limfosit di pembuluh limfe, sebagian besar di neural duktus limfatikus (Ardelli & Woo 2006). Ada beberapa macam penampilan dan ukuran limfosit, yakni kecil, medium, hingga ukuran besar (Canfield 2006). Semakin besar limfosit, maka semakin banyak jumlah sitoplasma yang dimilikinya (Feldman et al. 2000). Limfosit Gambar 2. Limfosit pada darah ikan (www.aqualex.org 2008) Seperti pada mamalia, ikan memiliki sel T dan sel B, dimana secara morfologi tidak dapat dibedakan jika menggunakan mikroskop cahaya. Kedua bentuk sel ini sama-sama memiliki ukuran inti besar, yang mengisi hampir seluruh sel. Jumlah limfosit yang bersirkulasi pada ikan adalah 12x103 limfosit/mm3 (Ellis 1986 dalam Affandi & Tang 2002). Kelenjar timus dimiliki oleh semua kelas ikan kecuali Agnatha (ikan yang tidak memiliki rahang), misalnya Hagfish dan lamprey. Berbeda dengan mamalia, ikan memiliki sangat sedikit bahkan tidak ada sumsum tulang dan limfonodus. Bagian depan ginjal berfungsi sebagai organ limfoid utama, dengan timus dan limpa berfungsi sebagai organ limfoid sekunder. Limfosit di dalam timus pada ikan, setelah dewasa bermigrasi menuju limpa (Ardelli & Woo 2006). Limfosit B dibentuk di dalam organ ginjal pada ikan, sedangkan pada mamalia berasal dari sumsum tulang dan pada bangsa burung berasal dari Bursa Fabrisius. Seperti pada vertebrata yang tingkatannya lebih tinggi, limfosit B dapat dibedakan berdasarkan tampilan immunoglobulinnya, serta dari sekresi antibodi sebagai respon dari adanya rangsangan antigen (Ardelli & Woo 2006). Persentase limfosit ikan berkisar antara 71,12–82,88% dari total leukosit yang bersirkulasi (Affandi dan Tang 2002). Menurut Svobodová & Vykusová (1991), persentase limfosit pada ikan mas berkisar antara 76-97,5%. Monosit Monosit merupakan sel besar yang terdiri dari sitoplasma berwarna biru keabu-abuan hingga biru yang menempati sedikitnya sebagian isi sel. Bentuk intinya bervariasi, mulai dari bulat hingga oval dan bahkan kadang bertakuk atau berlekuk (Feldman et al. 2000). Monosit (Gambar 3) pada umumnya ditemukan di dalam sirkulasi darah, dan dalam jumlah sedikit di dalam limfonodus, limpa, sumsum tulang dan jaringan penunjang pada vertebrata yang lebih tinggi tingkatannya. Monosit bermigrasi dari sirkulasi darah menuju ke jaringan ketika menerima rangsangan yang sesuai dengan reseptornya. Monosit yang belum matang dapat meninggalkan sirkulasi darah, menuju dan menetap di jaringan, lalu berkembang menjadi matang, yang dikenal sebagai sel fagositik makrofag (Ardelli & Woo 2006). Monosit Gambar 3. Monosit pada darah ikan (www.aqualex.org 2008) Monosit pada umumnya memiliki bentuk outline (tepi luar) sel yang irregular hingga bentuk seperti pseudopoda (Moyle & Cech 1988). Lebih jauh Feldman et al. (2000) melaporkan bahwa monosit memiliki sifat fagositik, dipengaruhi oleh sitokin, serta berpartisipasi pada banyak respon imun. Bentuk mononuklear fagosit adalah bentuk umum monosit pada inflamasi kronis. Monosit pada ikan mas (Cyprinus carpio) berisikan banyak organel, dengan berbagai variasi ukuran granul (Bielek 1988 dalam Ardelli & Woo 2006). Jumlah monosit di dalam populasi sel darah putih sedikit, namun jumlah akan meningkat jika ada substansi asing pada jaringan atau sirkulasi (Moyle & Cech 1988). Feldman et al. (2000) melaporkan bahwa persentase monosit lebih sedikit dibandingkan dengan limfosit dan granulosit, yaitu sekitar 0,1 % dari total leukosit yang bersirkulasi (Affandi & Tang 2002). Menurut Svobodová & Vykusová (1991), persentase monosit pada ikan mas berkisar antara 3-5%. Heterofil Heterofil pada nonmamalia berwarna merah hingga coklat, bervariasi baik ukuran maupun jumlah lobus, dan memiliki granula kasar. Unggas dan beberapa kadal memiliki granula bilobus, sedangkan pada kebanyakan reptil dan amphibi memiliki granula unilobus (Canfield 2006). Ada atau tidak adanya lobus pada inti heterofil (Gambar 4) tergantung pada spesies ikan. Heterofil pada ikan dibentuk di bagian depan organ ginjal sebagian besarnya, sedangkan pada manusia dibentuk dari pluripoten stem sel. Neutrofil pada mamalia umumnya memiliki granula halus dengan warna dan lobus yang berbeda-beda. Pengecualian pada kelinci yang memiliki neutrofil dengan granula besar dan berwarna kemerahan, yang sering disebut heterofil atau pseudo-eosinofil ( Ardelli & Woo 2006). Gambar 4. Heterofil pada darah ikan zebrafish (Lieschke 2007) Persentase heterofil yang bersirkulasi pada ikan umumnya lebih sedikit dibandingkan dengan pada mamalia (Ardelli & Woo 2006). Menurut Robert (1989) dalam Affandi & Tang (2002), persentase heterofil di dalam darah ikan berkisar antara 6-8% dari total leukosit. Menurut Svobodová & Vykusová (1991), persentase heterofil pada ikan mas berkisar antara 2-10%. Eosinofil Eosinofil (Gambar 5a dan 5b) atau sering disebut juga sebagai sel granular eosinofilik, secara normal berada pada berbagai macam jaringan pada ikan. Sel ini berakumulasi ketika terjadi proses inflamasi, khususnya sebagai akibat infeksi parasit (Feldman et al. 2000). (a) (b) Gambar 5a. Eosinofil pada darah ikan zebrafish (Lieschke 2007), 5b. Eosinofil pada darah ikan Salminus maxillosus (Ranzani-Paiva 2003). Eosinofil mengandung sejumlah besar protein dasar dalam granulanya, sehingga memberikan afinitas pada pencelupan asam (Gleich & Loengering 1984 dalam Ardelli & Woo 2006). Eosinofil memiliki fungsi utama dalam mensekresikan isi granularnya sebagai respon terhadap infeksi parasit (McEwen 1992 dalam Ardelli & Woo 2006). Persentase eosinofil di dalam sirkulasi darah ikan menurut Affandi dan Tang (2002) berkisar antara 0,78-2,00%, menurut Svobodová & Vykusová (1991), persentase limfosit pada ikan mas adalah 0-1%. Pada mamalia, sel ini dikarakterisasikan dengan inti yang berlobus-lobus, sejumlah besar ribosom dan mitokondria, dengan persentase 3-5 % dari keseluruhan populasi leukosit. Sel ini memiliki kemampuan fagositik, menelan, dan melepaskan imun kompleks (Boddamer 1986 dalam Ardelli & Woo 2006). Basofil Persentase Basofil di dalam darah ikan berkisar antara 0,17-0,194 % dan berukuran 8-12µ (Affandi & Tang 2002). Menurut Svobodová & Vykusová (1991), persentase basofil pada ikan mas berkisar antara 0-0,5%. Granula basofil bersifat basofilik. Granula berisi faktor kemotaksis eosinofil dan mediator hipersensitivitas tipe I. Ketika ada rangsangan dari alergen yang menyebabkan terjadinya penempelan alergen pada basofil, terjadi pelepasan isi kandungan basofil (Ardelli & Woo 2006). Basofil memiliki morfologi yang sama pada kebanyakan ordo, kecuali pada nonmamalia, yaitu tidak berlobus. Basofil berbentuk bulat dengan granula basofilik yang mengisi sitoplasma, dan kadang menutupi bagian inti (Canfield 2006). Keberadaan basofil di dalam sirkulasi darah telah diamati hanya pada sejumlah kecil spesies ikan. Basofil bahkan lebih jarang ditemukan pada pemeriksaan darah dibandingkan dengan eosinofil (Feldman et al. 2000). Pada Oreochromis niloticus, basofil berbentuk seperti bola, sitoplasma mengandung granula basofilik dengan variasi ukuran. Inti berbentuk seperti bola dengan bercak ungu. Kadang-kadang garis tepi inti tidak dapat dikenali karena keberadaan granul (Ueda et al. 2001). BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK) dan Laboratorium Patologi Klinik, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Juli 2007 sampai dengan Maret 2008. Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya sebanyak 6 ekor dengan berat badan sekitar 200 gram per ekor. Ikan mas yang digunakan berasal dari daerah Ciampea, Bogor. Ikan ini disimpan selama satu hari di dalam akuarium sebelum diambil darahnya. Bahan yang digunakan adalah heparin, alkohol 70%, metanol, Giemsa 10%, HCl 0.1 N, aquades. Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas syringe 1 ml, tabung reaksi dan rak, refrigerator, kaca preparat, kapas, penghitung waktu, sentrifuge, alat penghitung hematokrit, label kertas, pipet tetes dan hemometer set. Metode Penelitian Koleksi sampel darah ikan Pengambilan sampel darah dilakukan melalui pembuluh darah di bagian caudal (Intra vena). Adapun langkah-langkah pengambilan darah dengan teknik ini, antara lain: (1) Ikan dipegang dengan kedua tangan, (2) Syringe dibasahi dengan antikoagulan heparin untuk mencegah terjadinya pembekuan darah, (3) Jarum ditusukkan pada garis mid-ventral, di bagian belakang sirip anal. Setelah itu jarum didorong ke dalam otot daging hingga menyentuh columna spinalis (Backbone). Secara perlahan, syringe ditarik hingga darah masuk dan diupayakan agar tidak ada gelembung air yang ikut masuk. Sampel darah yang diambil sebanyak 0,5 ml, (4) Secara perlahan dan hati-hati, darah dalam syringe dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah dibasahi dengan antikoagulan heparin (Anonim 2008a). Pembuatan preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa. Sampel darah diteteskan sebanyak satu tetes pada salah satu sudut gelas obyek. Kemudian diambil gelas obyek kedua (tepi gelas harus rata) untuk ditempatkan pada salah satu sisi ujung kaca preparat tersebut pada permukaan kaca preparat pertama dengan membentuk sudut kira-kira 30-450. Gelas obyek kedua ditarik hingga menyentuh tetes darah dan darah menyebar sepanjang tepi kaca preparat pertama. Kaca preparat kedua didorong sepanjang permukaan kaca preparat pertama dengan kecepatan yang cukup sehingga terbentuk lapisan darah yang tipis dan merata. Arah dorongan berlawanan arah dengan posisi darah menyebar. Preparat dikeringkan dengan mengayun-ayunkannya beberapa kali di udara. Setelah kering, lalu dimasukkan ke dalam larutan methanol selama 5 menit untuk difiksasi. Setelah itu preparat diangkat dan dikeringkan di udara. Preparat kemudian diwarnai dengan cara dimasukkan ke dalam larutan pewarnaan Giemsa 10% selama 30 menit, kemudian dicuci dengan air dan dikeringkan di udara. Terakhir, preparat diperiksa di bawah mikroskop dimulai dengan pembesaran rendah untuk orientasi dan memilih daerah ulasan yang baik untuk pengamatan. Pengamatan dan identifikasi sel-sel leukosit menggunakan pembesaran 1000x dengan menggunakan minyak emersi. Penghitungan dilakukan hingga mencapai jumlah 100 buah sel leukosit, dan hasilnya dinyatakan dalam %. Penghitungan Jumlah eritrosit Jumlah eritrosit dihitung menggunakan hemositometer. Penghitungan jumlah eritrosit dilakukan dengan cara mengencerkan dahulu darah dengan larutan Rees dan Ecker (perbandingan 1:200). Darah dihisap hingga batas 0,5 pada pipet eritrosit, setelah itu larutan Ress dan Ecker dihisap menggunakan pipet eritrosit hingga tanda tera 101. Setelah itu pipet diputar perlahan membentuk angka 8 hingga isinya homogen. Cairan di ujung pipet yang tidak ikut terkocok dibuang. Penghitungan sel dilakukan di bawah mikroskop dengan menggunakan ruang hitung untuk eritrosit dan hasilnya dinyatakan dalam “n x 106 per mm3” (Anonim 2008a). Pemeriksaan nilai hematokrit Pemeriksaan nilai hematokrit dilakukan menggunakan metode mikrohematokrit. Mikrohematokrit berheparin dimasukkan ke dalam sampel darah yang telah dikoleksi, hingga darah mengisi kurang lebih tiga per empat (3/4) bagian pipa kapiler tersebut. Setelah itu salah satu ujung pipa kapiler disumbat dengan cara ditusukkan pada lilin penyumbat. Kemudian disentrifugasi selama 5 menit menggunakan micro haematocrit centrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm. Setelah itu dibaca dengan menggunakan hematocrite reader dan hasilnya dinyatakan dalam % (Anonim 2008a). Pemeriksaan konsentrasi hemoglobin Pengukuran konsentrasi hemoglobin darah dilakukan dengan menggunakan metode Sahli (Wedemeyer & Yasutake 1977 dalam Affandi & Tang 2002). Metode ini mengkonversikan hemoglobin darah dalam bentuk asam hematin. Tabung Sahli diisi dengan HCl 0,1 N sampai batas tera terbawah. Sampel darah dihisap menggunakan pipet hemoglobin sampai tanda 20 mm3. Darah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung Sahli. Perubahan yang muncul adalah terbentuknya asam hematin yang berwarna coklat atau coklat hitam. Dengan menggunakan pipet penetes, diteteskan aquades sambil dikocok hati-hati. Penambahan aquades ini dilakukan sedikit demi sedikit hingga warnanya sama dengan warna standar. Pembacaan kadar hemoglobin dilakukan dengan melihat meniskus bawah cairan pada tabung Sahli. Satuan hemoglobin dinyatakan dalam gram%. HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi sel darah pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya Gambaran darah ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah. H Er L 7a 7b M 7c Eo 7d 7e Gambar 7. Sel darah ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya: 7a. limfosit (L), 7b. eritrosit (Er), 7c. heterofil (H), 7d. monosit (M), 7e. eosinofil (Eo) Eritrosit Seperti pada reptil, amphibi dan unggas, salah satu ciri pembeda darah ikan adalah adanya inti pada eritrosit yang matang. Ulasan darah dari ikan yang sehat menunjukkan jumlah eritrosit yang lebih besar dibandingkan sel-sel darah lainnya (Yasutake & Wales 1983 dalam Affandi & Tang 2002). Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang diamati juga memiliki eritrosit (Gambar 7b) yang berinti, sama seperti ikan dari spesies lain. Tepi ujung eritrosit membulat sehingga bentuk sel tampak ovoid (bulat oval) seperti telur, lebih bulat dari eritrosit unggas yang cenderung agak elips. Dengan pewarnaan Giemsa, sitoplasma terlihat berwarna asidofilik dengan inti berwarna biru keunguan. Inti terletak di tengah dan memiliki kromatin yang kompak (Ranzani-Paiva et al. 2003). Limfosit Limfosit memiliki diameter berkisar antara 8-12µm (Ardelli & Woo 2006). Sitoplasma berwarna biru pucat, inti berbentuk bulat hingga oval bertakuk, lebih sering berbentuk tidak beraturan. Sitoplasma berisi vakuola kecil dan granula azurofilik. Limfosit memiliki sitoplasma yang sangat basofilik, namun demikian, kadang-kadang terlihat adanya granul merah pada sitoplasma limfosit (Canfield 2006). Limfosit pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya (Gambar 7a) memiliki ukuran yang kecil, kira-kira sepertiga hingga dua pertiga bagian dari eritrosit dan bentuk tepi luar yang irregular atau tidak rata. Memiliki inti yang mengisi sebagian besar volume sel dan berisi kromatin yang kompak. Sitoplasma tidak terlihat dengan jelas, terutama jika inti menutupi hampir seluruh isi sel. Umumnya sitoplasma bersifat sangat basofilik sehingga berwarna biru. Limfosit sering kali dikelirukan dengan trombosit atau sebaliknya, karena memiliki kemiripan morfologi. Perbedaan mendasar adalah sifat trombosit yang sering ditemukan bergerombol pada preparat ulas darah. Monosit Bentuk monosit mirip dengan limfosit, dimana monosit memiliki ukuran sel yang besar dengan inti tidak berlobus (namun kadang-kadang berlobus) dengan sejumlah besar sitoplasma yang tidak terlalu basofilik. Sitoplasma berisi vakuola dan granula azurofilik yang halus. Istilah azurofilik mengacu pada bentuk monosit yang berisi sejumlah granula sitoplasmik halus berwarna merah keunguan (Canfield 2006). Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya memiliki ukuran sel monosit (Gambar 7d) yang besar, dengan inti yang bertakuk dan sejumlah besar sitoplasma yang tidak terlalu basofilik. Pada umumnya berbentuk pseudopodia pada tepi membran luarnya. Ranzani-Paiva et al. (2003) melaporkan bahwa monosit memiliki inti yang besar dan menutupi hampir dua pertiga volume sel. Infeksi oleh Mycobacterium dapat menyebabkan terjadinya vakuolisasi pada sitoplasma monosit (Ranzani-Paiva et al. 2004). Heterofil Ukuran heterofil pada ikan bervariasi (berdiameter 8-15 µm), dengan sel berbentuk oval dan bentuk inti tidak tetap (mulai dari bulat hingga berlobus). Ukuran, bentuk, warna dan komposisi kimia pada granula heterofil bervariasi (Ardelli & Woo 2006). Hal senada dijelaskan oleh Ueda et al. (2001) bahwa bentuk sel heterofil seperti bola dengan sitoplasma basofilik yang melimpah dengan beberapa granula azurofilik, serta inti berukuran kecil dan berbentuk seperti bola, berwarna ungu, dan umumnya inti terletak eksentris (pada ikan Oreochromis niloticus). Sitoplasma berwarna pucat dan berisi sejumlah granul merah muda halus atau pucat, tergantung pada spesies ikan. Feldman et al. (2000) melaporkan bahwa ciri heterofil pada ikan adalah inti yang eksentrik dengan bentuk bulat hingga oval. Pada beberapa spesies, inti berlobus. Pada umumnya sel heterofil memiliki inti berbentuk bulat hingga oval bertakuk atau berlekuk. Inti berwarna ungu gelap dengan gumpalan kromatin yang kasar. Sitoplasma biasanya berwarna biru pucat dengan warna granul yang bervariasi (abu-abu, biru dan merah). Heterofil pada ikan mas yang diamati (Gambar 7c) memiliki inti eksentrik yang tidak tetap, mulai dari oval hingga berlobus, serta berisi kromatin yang ramping. Ukuran sel sangat besar dengan sitoplasma basofilik dengan beberapa granula azurofilik (granula berwarna merah keunguan) di dalamnya. Infeksi oleh mycobacterium dapat menyebabkan terjadinya vakuolisasi pada sitoplasma heterofil (Ranzani-Paiva et al. 2004). Eosinofil Eosinofil ikan memiliki diameter yang berkisar antara 9-15 µm, dengan inti bulat eksentrik, tidak berlobus dan sitoplasma yang memiliki granula eosinofilik besar (Ranzani-Paiva et al. 2003). Eosinofil memiliki granula yang berbeda-beda diantara spesies. Eosinofil pada Ikan pada umumnya berwarna pucat, dengan granula berbentuk bola hingga balok. Inti tidak berlobus dengan sitoplasma berwarna biru (Canfield 2006). Ueda et al. (2001) melaporkan bahwa eosinofil pada Oreochromis niloticus berbentuk bola dengan ukuran bervariasi. Sitoplasma melimpah dengan granula asidofilik besar dengan ukuran yang berbeda-beda. Inti pada umumnya terletak di tengah, namun kadang-kadang terletak eksentrik. Nilai hematokrit Hematokrit merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk menghitung konsentrasi sel darah merah (perbandingan antara sel darah merah dengan volume darah). Penghitungan nilai hematokrit di dalam darah merupakan metode cepat (rapid test) untuk mendeteksi adanya penyakit pada ikan. Hasil pengamatan terhadap nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan jumlah sel darah merah pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 8. Tabel 1. Nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin dan jumlah eritrosit ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya Sampel Hematokrit (%) Hb (g %) Eritrosit (x106sel/mm3) IM 1 29 10,8 1,67 IM 2 28 10 2,99 IM 3 21 6,4 2,10 IM 4 34 8 4,24 IM 5 31 6,6 4,47 IM 6 33 8 2,00 Rata-rata 29,30 + 4,68 8,30 + 1,78 2,50+1,20 Tabel 1 dan Gambar 8 memperlihatkan rata-rata nilai hematokrit pada ikan mas strain Sinyonya sebesar 29,30 + 4,68% atau berkisar antara 21-34%. Nilai hematokrit tertinggi, yaitu 34% dan nilai hematokrit terendah, yaitu 21%, masingmasing dimiliki IM 4 dan IM 3. Houston dan Dewilde (1968) dalam Moyle dan Cech (1988) melaporkan bahwa nilai hematokrit pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) adalah 27,1%. Van vuren dan Hattingh (1978) dalam Celik dan Bircan (2004) melaporkan pula bahwa nilai hematokrit normal Cyprinus carpio Linn adalah 29,62% atau berkisar antara 21,42-43,29. Menurut Yamawaki et al. (1978) dalam Celik dan Bircan (2004), nilai hematokrit normal Cyprinus carpio Linn adalah 31 + 4 %. Hasil penelitian Retno (2008) menunjukkan bahwa nilai hematokrit ikan mas Punten berkisar antara 36,18-40,36%, ikan mas Merah berkisar antara 22,66-28,80% dan ikan mas Lokal berkisar antara 26,7-32,90%. Gambar 8. Nilai hematokrit pada ikan mas strain Sinyonya Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang diamati memiliki rata-rata nilai hematokrit yang masih berada dalam kisaran normal berdasarkan pustaka di atas. Menurut Anonim (2008a), nilai hematokrit yang lebih rendah dari normal dapat mengindikasikan adanya anemia. Konsentrasi hemoglobin Konsentrasi hemoglobin pada masing-masing ikan mas yang diamati dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Perbandingan konsentrasi hemoglobin pada masing-masing ikan mas strain Sinyonya Tabel 1 dan Gambar 9 memperlihatkan konsentrasi hemoglobin pada ikan mas strain Sinyonya. Dari hasil pengamatan diperoleh rata-rata konsentrasi hemoglobin sebesar 8,3 + 1,78 atau berkisar antara 6,4-10,8 g%. Konsentrasi hemoglobin tertinggi, yaitu 10,8 g% dan nilai hemoglobin terendah, yaitu 6,4 g%, masing-masing dimiliki IM 1 dan IM 3. Nilai tersebut masih berada dalam kisaran nilai normal. Van vuren dan Hattingh (1978) dalam Celik dan Bircan (2004) melaporkan bahwa konsentrasi hemoglobin normal pada Cyprinus carpio Linn berkisar antara 5,50-8,59 g%. Menurut Yamawaki et al. (1978) dalam Celik dan Bircan (2004), konsentrasi hemoglobin normal Cyprinus carpio Linn sebesar 8,1 + 1,0 g%. Hasil dari penelitian Retno (2008) menunjukkan pula bahwa konsentrasi hemoglobin pada ikan mas Punten, ikan mas Merah dan ikan mas Lokal berturut-turut berkisar antara 8,28-11,16 g/%; 9,22-11,33 g%; dan 9,47-12,75 g%. Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang diamati memiliki rata-rata konsentrasi hemoglobin yang masih berada dalam kisaran nilai normal berdasarkan pustaka di atas. Konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah dari normal dapat mengindikasikan adanya anemia (Anonim 2008a). Jumlah eritrosit Jumlah eritrosit pada masing-masing ikan mas yang diamati dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Jumlah eritrosit pada masing-masing ikan mas strain Sinyonya Jumlah eritrosit berdasarkan Tabel 1 adalah 2,50 + 1,20 atau berkisar antara (1,67-4,47)x106 sel/mm3. Jumlah eritrosit tertinggi, yaitu 4,47x106 dimiliki IM 5 dan jumlah eritrosit terendah, yaitu 1,67x106 dimiliki oleh IM 1. Jumlah eritrosit pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn), yaitu 1,43x106 sel/mm3 (Houston & Dewilde 1968 dalam Moyle & Cech 1988). Van vuren dan Hattingh (1978) dalam Celik dan Bircan (2004) melaporkan bahwa jumlah eritrosit normal pada Cyprinus carpio Linn sebesar 1,445 (1,22-1,78)x106 sel/mm3. Yamawaki et al. (1978) dalam Celik dan Bircan (2004) melaporkan bahwa jumlah eritrosit normal Cyprinus carpio Linn adalah (1,65+19) x106 sel/mm3 . Hasil penelitian Retno (2008) menunjukkan bahwa jumlah eritrosit ikan mas Punten berkisar antara (1,91-2,24) x106/mm3, ikan mas Merah (1,99-2,06) x106/mm3, dan ikan mas Lokal (1,77-2,28) x106/mm3. Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang diamati memiliki rata-rata jumlah eritrosit 2,50+1,20 (1,67-4,47)x106 sel/mm3 (Tabel 1). Jumlah eritrosit pada ikan mas strain Sinyonya masih berada dalam kisaran normal berdasarkan pustaka di atas, kecuali pada ikan IM 4 dan IM 5 yang memiliki jumlah eritrosit lebih tinggi dari kisaran normal. Rendahnya kadar eritrosit dapat menjadi indikator adanya anemia, sedangkan tingginya jumlah eritrosit dapat menandakan ikan dalam keadaan stres (Wedemeyer & Yasutake 1977 dalam Purwanto 2006). Tinggi atau rendahnya jumlah eritrosit tergantung pada kondisi fisiologis ikan. Anemia adalah kondisi yang ditandai dengan rendahnya konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit dan/atau jumlah eritrosit (Anonim 2008a). Jenis anemia yang penting pada ikan adalah: (1) normositik anemia (anemia dengan ukuran sel darah merah normal) yang disebabkan oleh hemorrhagi akut, infeksi bakteri dan virus, dan penyakit metabolit yang menyebabkan kerusakan sel darah merah; (2) makrositik anemia (anemia dengan ukuran sel darah merah mengecil); (3) mikrositik anemia (anemia dengan ukuran sel darah merah membesar) yang disebabkan oleh hemorrhagi kronis, disebabkan oleh parasit eksternal, kekurangan zat besi dan defisiensi faktor hemopoietik (Anonim 2008a). Stres adalah kondisi yang dapat menginduksi peningkatan kadar kortisol di dalam darah. Stres pada ikan terjadi akibat adanya respon sistem saraf simpatik dan poros hipotalamus-pituitari-interrenal (HPI). Kandungan jaringan interrenal di kepala ginjal ikan menyerupai adrenal mamalia (sel yang memproduksi kortisol dan sel kromafin). Hipotalamus melepaskan CRH (corticotrophin releasing hormone) dan TRH (thyrotrophin releasing hormone). ACTH (adrenocorticotrophic) adalah stimulator potensial kortisol yang diproduksi oleh sel steroid di interrenal ginjal (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006). Stres adalah keadaan dimana homeostasis pada ikan terganggu. Kondisi stres akan menginduksi mobilisasi dan realokasi energi (Barton et al. 1988 dalam Bartelme 2008), meningkatkan kebutuhan dan transfer oksigen (Maule et al., 1989; Mock & Peters 1990; Pickering & Pottinger 1987b dalam Bartelme 2008). Reid dan Perry (1991) dalam Koldkjær et al. (2004) melaporkan bahwa pengaturan jumlah ß adrenergik reseptor sel darah merah meningkat ketika konsentrasi kortisol meningkat akibat stres. Peningkatan respon ß adrenergik reseptor tersebut berkolerasi dengan adanya peningkatan sel darah merah yang belum matang (mengindikasikan terjadinya proses eritropoiesis) seperti yang dilaporkan oleh Koldkjær et al. (2004). Kortisol dikerahkan melalui pompa osmotik sebagai pre-adaptasi sel darah merah untuk mengatasi penyebab stres dengan meningkatkan ikatan membran dengan ß adrenergik reseptor. Koldkjær et al. (2004) melaporkan bahwa kortisol menginduksi berbagai efek metabolisme, energi dan osmoregulasi pada ikan. ß adrenergik reseptor sel darah merah adalah substansi yang sangat krusial untuk pengantaran oksigen menuju jaringan pada sejumlah spesies ikan pada saat mengalami stress (Primmett et al. 1986; Nikinmaa 1992 dalam Koldkjær et al. 2004). Adrenergik seperti adrenalin meningkatkan aliran darah ke insang yang membantu ikan untuk mengabsorpsi lebih banyak oksigen dari dalam air (Folmar & Dickhoff 1980. Mazeaud et al. 1977 dalam Bartelme 2008). Kortisol pada ikan memiliki fungsi kerja seperti glukokortikoid maupun mineralokortikoid pada mamalia. Jenis respon kortisol tergantung dari reseptor (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006). Pada saat kebutuhan oksigen dan energi meningkat, maka adrenalin dilepaskan sebagai respon stres. Oleh karena kebutuhan oksigen pada ikan bervariasi tergantung dari kondisi lingkungan, maka jumlah sel darah merah per milliliter bervariasi untuk menyeimbangkan penggunaan energi dalam memproduksi sel darah merah yang dipompakan ke jaringan. Peningkatan jumlah eritrosit berkorelasi dengan konsentrasi hemoglobin (Moyle & Cech 1988). Van Muiswinkel dan Vervoorn (2006) melaporkan bahwa kerusakan jaringan, kelelahan fisik dan kekurangan oksigen dapat terjadi sepanjang perlakuan dan penangkapan ikan. Kondisi lingkungan habitat ikan juga dapat menyebabkan stres, yaitu karena kepadatan populasi, kapal pengangkut, perlakuan dan kualitas air yang buruk. Diferensiasi leukosit Diferensiasi leukosit meliputi hitung jenis sel limfosit, monosit, heterofil, eosinofil dan basofil dalam 100 buah sel darah putih yang dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x (100x10). Diferensiasi leukosit pada ikan mas strain Sinyonya yang diamati dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2. Persentase (%) masing-masing jenis sel leukosit pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya Sampel Diferensiasi leukosit Limfosit Monosit Heterofil Esoinofil Basofil IM 1 72 10 18 0 0 IM 2 56 17 27 0 0 IM 3 64 6 23 2 0 IM 4 63 11 25 1 0 IM 5 80 10 10 0 0 IM 6 52 12 35 1 0 Rata-rata 55,29+10,27 9,43+3,58 19,71+8,46 0,57+0,82 0 Ikan memiliki sistem pertahanan tubuh untuk melawan berbagai macam penyakit. Pertahanan tubuh ikan, khususnya terhadap bakteri, virus dan protozoa terbagi 2 sistem yaitu pertahanan non-spesifik dan pertahanan spesifik (Kamiso 2001 dalam Purwanto 2006). Pertahanan non-spesifik terdiri dari kulit, sisik dan lender, dan merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme yang masuk, karena dapat memberikan respon secara langsung terhadap antigen. Sistem pertahanan ini tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu dan telah ada sejak lahir, sehingga disebut pertahanan non spesifik (Purwanto 2006). Pertahanan spesifik pada ikan yang terdiri dari sel-sel makrofag, leukosit dan sel Natural Killer, baru berkembang dan berfungsi dengan baik pada umur beberapa minggu setelah telur menetas (Ellis 1988 dalam Purwanto 2006). Sistem pertahanan spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan respon (Purwanto 2006). Gambar 11. Persentase (%) masing-masing jenis sel leukosit ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya Respon pertahanan tubuh ikan terdiri dari respon humoral dan respon selular (Anderson 1974 dalam Purwanto 2006). Sistem pertahanan spesifik disebut juga sebagai respon humoral, dimana pada pertahanan ini yang berperan adalah antibodi (Kamiso 2001 dalam Purwanto 2006). Sel yang bertanggung jawab pada pertahanan kekebalan spesifik dan non-spesifik adalah limfosit, monosit/makrofag, dan granulosit (Miller et al. 1998 dalam Ardelli & Woo 2006). Mekanisme kerja respon imun spesifik dan non-spesifik saling menunjang melalui mediator, seperti limfokin dan sitokin. Sistem pertahanan tubuh ini diperlukan untuk proteksi tubuh terhadap serangan patogen seperti virus, bakteri, cendawan dan parasit. Dengan demikian homeostasis tubuh tetap terkendali dan kondisi patofisiologinya seimbang. Proses pembentukan respon imun dimulai oleh stimulasi patogen yang merupakan protein asing dan dikenal sebagai antigen (Purwanto 2006). Perubahan jumlah total dan jenis leukosit dapat dijadikan indikator adanya penyakit infeksi tertentu yang terjadi pada ikan (Blaxhall 1972 dalam Purwanto 2006). Anderson dan Siwicki (1993) dalam Purwanto (2006) melaporkan bahwa aktivitas fagositik yang dilakukan oleh sel-sel leukosit akan meningkat pada awal infeksi dan mengalami penurunan pada infeksi kronis. Persentase monosit Hasil pengamatan rata-rata monosit pada ikan mas adalah 9,43 + 3,58 atau berkisar antara 6-17% (Tabel 2 dan Gambar 11). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa persentase monosit pada ikan mas strain Sinyonya lebih tinggi dari kisaran normal. Persentase monosit normal yang beredar dalam darah ikan adalah 0,1% menurut Affandi & Tang (2002). Sedangkan menurut Svobodová & Vykusová (1991), persentase monosit pada ikan mas berkisar antara 3-5%. Persentase monosit pada ikan mas yang diamati lebih tinggi dari kisaran nilai normal menurut pustaka di atas. Hal ini diduga karena adanya kondisi stres yang mengakibatkan ikan menjadi rentan terhadap serangan penyakit infeksius. Menurut Reddy & Leatherland (1998), stres akan meningkatkan peluang terjadinya penyakit infeksius. Monosit mengalami peningkatan di dalam sirkulasi darah pada kondisi infeksi subakut dan peradangan kronis. Monosit dapat berespon terhadap peningkatan kadar kortisol di dalam darah. Respon yang muncul berbeda-beda untuk masing-masing spesies. Kondisi monositopenia dapat terjadi sebagai respon awal stres, namun setelah fase akut penyakit dilewati, akan terjadi monositosis (Jain 1993). Ketika mendapatkan stimuli yang tepat maka monosit bermigrasi dari darah menuju jaringan, dan berubah menjadi makrofag. Makrofag merupakan sistem pertahanan pertama yang akan menghancurkan antigen melalui proses fagositosis. Antigen dapat berupa cacing, virus, bakteri, fungi dan protozoa (Affandi & Tang 2002). Makrofag pada ikan dapat melakukan proses fagositosis. Pada ikan mas, makrofag dan heterofil memproduksi molekul yang memiliki struktur mirip dengan IL-1 pada mamalia, dengan sel T yang memiliki potensi untuk berproliferasi (Ardelli & Woo 2006). IL-1 akan manarik leukosit lain, termasuk limfosit (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006). Selain itu makrofag mengolah bahan asing sedemikian rupa sehingga dapat membangkitkan tanggap kebal, mengatur reaksi kebal, membuat protein dari sistem komplemen dan mengeluarkan bahan yang mempengaruhi proses perbarahan. Kemotaksis makrofag tidak hanya oleh produk mikroorganisme dan produk reaksi kebal, tetapi juga pada faktor yang dikeluarkan oleh sel yang rusak, terutama neutrofil yang rusak. Jadi neutrofil yang rusak juga membantu meningkatkan pengumpulan makrofag pada tempat invasi (Tizard 1988) Munculnya alergen dalam tubuh ikan, akan direspon oleh makrofag yang bekerja sebagai Antigen presenting cell (APC). Makrofag memfagositosis benda asing, memproses dan menampilkan komponen antigen di permukaan sel dengan bantuan molekul-molekul major histocompatibility complex (MHC class II). Hal ini bertujuan agar antigen dipresentasikan pada sel limfosit T. Subset limfosit T spesifik (Th) akan teraktivasi oleh interaksi antara antigen yang telah dikenali dan limfokin (interleukin-1) yang disekresikan oleh makrofag. Sel Th yang teraktivasi akan menstimulasi diferensiasi dan ploriferasi dari sel limfosit B dan sel T Sitotoksik melalui sekresi interleukin-2, serta interleukin-interleukin lainnya. Sel limfosit B kemudian akan berkembang menjadi sel memori dan sel plasma. Sel plasma ini yang kemudian akan mensekresikan sejumlah besar antibodi spesifik/immunoglobulin (Van Muiswinkel dan Vervoorn 2006). Antibodi menempel pada antigen menjadi komplek antibodi-antigen. Kompleks antibodiantigen ini akan dihancurkan oleh makrofag (Anonim 2008a). Persentase limfosit Hasil pengamatan rata-rata persentase limfosit pada ikan mas yaitu 55,29 + 10,27 atau berkisar antara 52-80% (Tabel 2 dan Gambar 11). Hasil ini lebih rendah dari kisaran nilai normal, dimana persentase normal limfosit pada ikan berkisar antara 71,12-82,88% menurut Affandi & Tang (2002) dan pada ikan mas berkisar antara 76-97,5% (Svobodová & Vykusová 1991). Van Muiswinkel dan Vervoorn (2006) melaporkan bahwa jumlah limfosit yang bersirkulasi menurun ketika jumlah neutrofil tetap atau meningkat. Penurunan jumlah limfosit di dalam darah perifer terjadi karena sebagian besar limfosit ditarik dari sirkulasi dan berkonsentrasi ke dalam jaringan dimana terdapat peradangan (Jain 1993). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan hilangnya limfosit di dalam sirkulasi darah dan organ limfoid (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006). Kondisi stres akan meningkatkan kadar kortisol di dalam sirkulasi darah. Peningkatan kortisol ini akan menyebabkan terjadinya penurunan jumlah limfosit yang bersirkulasi di dalam darah (Reddy & Leatherland 1998). Persentase heterofil Hasil pengamatan terhadap persentase heterofil disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 11). Rataan persentase heterofil pada ikan mas yang diamati adalah 19,71 + 8,46 atau berkisar antara 10-35%. Persentase ini lebih tinggi dari kisaran nilai normal. Menurut Robert (1989) dalam Affandi & Tang (2002), persentase heterofil normal pada ikan berkisar antara 6-8. Sedangkan menurut Svobodová & Vykusová (1991), persentase heterofil normal berkisar antara 2-10%. Tingginya persentase heterofil pada ikan yang diamati diduga disebabkan karena kondisi stres. Menurut Van Muiswinkel dan Vervoorn (2006), heterofil di dalam sirkulasi darah akan meningkat pada saat stres. Pada ikan mas, kortisol akan menginduksi apoptosis pada sel limfosit B, namun sebaliknya mampu menyelamatkan heterofil dari apoptosis (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006). Ketika persentase limfosit pada ikan yang mengalami stres menurun, konsentrasi heterofil bisa tetap konstan atau meningkat (Van Muiswinkel dan Vervoorn 2006). Persentase eosinofil Hasil pengamatan terhadap persentasi eosinofil dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 11. Rataan persentase ikan mas adalah 0,57 + 0,82 atau berkisar antara 1-2%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase eosinofil pada ikan mas strain Sinyonya masih berada dalam kisaran nilai normal seperti yang dilaporkan oleh Affandi & Tang (2002), yaitu berkisar antara 0,78-2,00%. Sedangkan Svobodová & Vykusová (1991) melaporkan bahwa persentase eosinofil normal pada ikan mas berkisar antara 0-1%. Eosinofil jarang ditemukan di dalam sirkulasi darah pada ikan mas, nila dan lele dumbo (Ariaty 1991). Sel-sel leukosit tersebut jarang terlihat, kecuali bila ada reaksi dengan perantaraan sel (Nabib & Pasaribu 1989). Peningkatan jumlah eosinofil yang persisten (eosinofilia) secara umum merefleksikan adanya kondisi penyakit yang kronis, sedangkan penurunan eosinofil (eosinopenia) biasanya terjadi pada kondisi penyakit akut. Sehingga respon eosinofilia yang terjadi bukan merupakan akibat dari kondisi penyakit tunggal (seperti adanya parasit atau respon alergi), melainkan sebagai akibat adanya beragam penyakit kronis yang menyebabkan degranulasi sel mast secara terus menerus (Jain 1993). Eosinofil pada ikan diperlukan untuk kekebalan dalam melawan infeksi parasit. Eosinofil melekat pada parasit untuk menetralisasikan hasil produk sekresi parasit dan membunuhnya. Serta untuk menarik leukosit menuju area yang terinfeksi parasit tersebut (Ardelli dan Woo 2006). Eosinofil (Gambar 7e) dan basofil biasanya jarang ditemukan di dalam sirkulasi darah ikan. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Rata-rata nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan jumlah eritrosit ikan mas strain Sinyonya masih berada dalam kisaran normal. Rata-rata nilai hematokrit adalah 29,30 + 4,68 (21-34%), konsentrasi hemoglobin 8,3 + 1,78 (6,4-10,8 g%), dan jumlah eritrosit 2,50 + 1,20 (1,67-4,47)x106 sel/mm3, 2. Rata-rata persentase limfosit pada ikan mas strain Sinyonya yaitu 55,29 + 10,27%, lebih rendah dari kisaran normal, sedangkan jumlah rata-rata monosit dan heterofil masing-masing adalah 9,43 + 3,58% dan 19,71 + 8,46%, lebih tinggi dari kisaran normal. Jumlah eosinofil rata-rata ikan mas 0,57 + 0,82%, dan masih berada dalam kisaran normal. 5.2 Saran 1. Perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih spesifik, misalnya uji serologis dan fluoresens untuk mengetahui penyakit yang terdapat pada ikan mas, 2. Perlu dilakukan pemeriksaan darah pada strain ikan maupun spesies ikan lainnya, 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah ikan yang lebih banyak dan teknik perlakuan yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Riau: Uni Press. Anonim .2008a. Basic Techniques in Fish Haematology http://www.aqualex.org/elearning/fish_haematology/english/index.html. [31 Januari 2008]. Anonim. 2008b. http://id.wikipedia.org/wiki/Ikan_Mas. [3 Juli 2008]. Ardelli BF, Woo PTK. 2006. Immunocompetent Cells and Their Mediators in Fin Fish. Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 702-724. Ariaty L. 1991. Morfologi Darah Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) Nila Merah (Orechromis sp) dan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dari Sukabumi. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bartelme TD. 2008. Advanced Aquarist’s Online Magazine. http://www. Premiumaquatics.com. [16 Juli 2008]. Brotowidjoyo MD. 1989. Zoologi Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Buchmann K, Bresciani J. 2001. An Introduction to Parasitic Disease of Freshwater Trout. Denmark: DSR Publishers. Buchmann K, Bresciani J. 2006. Monogenea (Phylum Platyhelminthes). Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 297-344. Canfield PJ. 2006. Complemarative cell morphology in the peripheral blood film from exotic and native animals. Aust Vet J 76: 793-800. Carballo M, Munoz MJ, Cuellar M, Tarazona JV. 1995. Effects of Waterborne opper, Cyanide, Ammonia, and Nitrite on Stress Parameters and Changes in Susceptibility to Saprolegniosis in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Applied and Environmental Microbiology. 61: 2108–2112. Celik ES, Bircan R. 2004. Determination of Haematological Parameters of the lack Scorpion Fish (Scorpaena porcus Linnaeus, 1758) in Dardanelles. F. Ü. Fen ve Mühendislik Bilimleri Dergisi 16: 735-744. Dannevig BH, Thorud KE. 1999. Other Viral Disease and Agents of Cold-water Fish: Infectious Salmon Anaemia, Pancreas Disease and Viral Erythrocytic Necrosis. Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders: Viral, Bacterial and Fungal Infections. Vol 3. UK: CABI Publishing. hlm 164-170. Dick TA. Chambers C. dan Isinguzo I. 2006. Cestoda (Phylum Platyhelminthes). Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 391-416. Feldman BF, Zinkl JG, Jain NC, Schalm OW. 2000. Schalm's Veterinary Hematology. Blackwell Publishing. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjamah; Setiawan I, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Hoole D, Bucke D, Burgess P, Wellby I. 2001. Disease of Carp and Other Cyprinid Fishes. Oxford: Blackwell Science. Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea & Febiger. Ko RC. 2006. Fish-borne Parasitic Zoonoses. Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 592-628. Koldkjær P, Pottinger TG, Perry SF, Cossins AR. 2004. Seasonality of the Red Blood Cell Stress Response in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Journal of Experimental Biology. 207: 357-367. Kubilay A, Ulukoy G. 2002. The Effects of Acute Stress on Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Turk J Zool. 26: 249-254. Lieschke G. 2008. Blood Cells in http://www.wehi.edu.au/facweb/indexresearch.php?id=57. 2008]. Zebrafish. [30 Maret Lingga P. 2002. Ikan Mas Kolam Air Deras. Depok: Penebar Swadaya. Mantau Z, Rawung JBM, Sudarty. 2004. Pembenihan Ikan Mas yang Efektif dan Efisien. Jurnal Litbang Pertanian 23: 68-73 Molnar K, Buchmann K, Szekely C. 2006. Phylum Nematoda. Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 417-443. Molnar K. 2006. Phylum Apicomplexa. Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 101-199. Moyle PB, Cech JJ. 1988. Fish an Introduction to Ichthyology Second Edition. Prentice Hall: New Jersey. Nabib R, Pasaribu FH. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [OIE]. Organization International des Epizootica. 2006. Diseases Notifiable to the OIE. http://www.oie.int/eng/maladies/en_classification.htm. [12 Juli 2008]. Oswald E, Hulse JH. Fish Quarantine and Fish Disease in Southeast Asia. Report Of A Workshop Held in Jakarta, Indonesia, 7-10 December 1982. Cosponsored By The UNDP/FAO South China Sea Fisheries Development And Coordinating Program (Phillipines) And The International Development Research Centre (Canada). Paperna I, Dzikowski R. 2006. Digenea (Phylum Platyhelminthes). Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke2. UK: CABI Publishing. hlm 345-390. Purwanto A. 2006. Gambaran Darah Ikan Mas Cyprinus carpio Linn Yang Terinfeksi Koi Herpes Virus [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ranzani-Paiva MJT, Rodrigues EL, Veiga ML, Eiras AC, Campos BES. 2003. Differential leucocyte Counts in “Doudaro”, Salminus maxillosus Valenciennes, 1840, from the Mogi-Guacuriver, Pirassununga, SP. Braz. J. Biol. 63: 517-525. Ranzani-Paiva MJT, Ishikawa CM, Eiras AC, Silveira VR. 2004. Effects of an experimental challenge with Mycobacterium marinum on the blood parameters of Nile tilapia, Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1757). Braz. arch. biol. Technol 47: 945-953. Reddy PK, Leatherland JF. 1998. Stress Physiology. Di dalam: Leatherland JF, Woo PTK, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 2. UK: CABI Publishing. Hlm.279-301. Retno SW. 2008. Penetapan Nilai Hematologi Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) dengan Metode Daisley. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. [email protected] [14 Juli 2008]. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Vol. 1 & 2. Bina Cipta: Jakarta. Santoso B. 1999. Ikan Mas Mengungkap Teknik Pemeliharaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Suseno D. 1994. Pengelolaan Usaha Pembenihan Ikan Mas. Depok: Penebar Swadaya. Sutanmuda 2007. http://sutanmuda.wordpress.com/2007/10/22/budidaya-ikanmas/. [3 Juli 2008]. Svobodová Z, Vykusová B. 1991. Haematological Examination of Fish. Di dalam: Svobodová Z, Vykusová B, editor. Manual for International Training Course on Fresh-Water Fish Diseases and Intoxications: Diagnostics, Prophylaxis and Therapy. Czechoslovakia: Research Institute of Fish Culture and Hydrobiology Vodňany. Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Surabaya. Airlangga University Press, Ueda IK, Egami MI, Sasso WS, Matsushima ER. 2001. Cytochemical aspects of the peripheral blood cells of Oreochromis (Tilapia) niloticus. (Linnaeus, 1758) (Cichlidae, Teleostei) - Part II. Braz. J. Vet. Res. Anim. Sci. 38: 273-277. Van Muiswinkel WB, Vervoorn VDWB. 2006. The Immune System of Fish. Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 678-695. Woo. 2006. Diplomonadida (Phylum Parabasalia) and Kinetoplastea (Phylum Euglenozoa). Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 46-204. Woo PTK, Bruno DW. 1999. Fish Disease and Disorders: Viral, Bacterial and Fungal Infections. Vol 3. UK: CABI Publishing. LAMPIRAN Lampiran 1. Metode penghitungan jumlah eritrosit per mm3 a. Panjang seluruh kamar hitung: 3 mm b. Lebar seluruh kamar hitung: 3 mm c. Kamar hitung dibagi dalam 9 bujur sangkar besar, yang masing-masing mempunyai luas 1 mm2. d. Satu dari 9 bujur sangkar yang besar, yang terletak di tengah-tengah, terdiri atas 25 buah bujur sangkar kecil (dibatasi oleh garis tebal). Setiap bujur sangkar yang kecil ini dibagi dalam 16 buah bujur sangkar yang lebih kecil lagi dengan ukuran luas 1/20 x 1/20 mm2 =1/400 mm2. Lima dari 25 bujur sangkar ini (4 buah yang terdapat pada sudut, dan 1 buah yang terletak di tengah) nantinya akan digunakan untuk menghitung butir darah merah. e. Kedalaman kamar hitung (tinggi) ialah jarak antara dasar kamar hitung dengan kaca penutupnya = 1/10 mm. f. Dengan demikian, volume ke lima bujur sangkar kecil yang dipakai untuk menghitung eritrosit adalah 5 x (16 x 1/400 x 1/10) mm3 = 80/4000 mm3 = 1/50 mm3. Jumlah eritrosit per mm3 adalah: A x 1/V x Fp A = Jumlah semua sel darah merah pada ke lima bujur sangkar kecil V = Volume ke lima bujur sangkar kecil Fp = Faktor pengenceran (200 kali)