PENGARUH KEPENTINGAN MINYAK PADA KEBIJAKAN LUAR

advertisement
PENGARUH KEPENTINGAN MINYAK
PADA KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT
DALAM INVASI IRAK TAHUN 2003
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial
oleh
ANNE NORMADIAH
NIM. 106083003623
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
PENGARUH KEPENTINGAN MINYAK
PADA KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT
DALAM INVASI IRAK TAHUN 2003
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Hubungan Internasional
oleh :
ANNE NORMADIAH
NIM. 106083003623
di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Penasehat Akademik
Kiky Rizky, M.Si
Ali Munhanif, Ph.D
NIP. 197303212008011002
NIP. 196902011994031002
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Kepentingan Minyak Pada Kebijakan
Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Invasi Irak Tahun 2003” telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 16 Juni 2011. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Program Strata 1 (S1) Jurusan Ilmu Hubungan Intenasional.
Jakarta, 16 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Jurusan
Sekretaris Jurusan
Dina Afrianty, Ph.D
NIP. 1973041199032002
Agus Nilmada Azmi, M.Si.
NIP.197808042009121002
Pembimbing
Kiky Rizky, M.Si.
NIP. 197303212008011002
Penguji I
Penguji II
Dina Afrianty, Ph.D
NIP. 1973041199032002
M. Adian Firnas, M.Si.
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 6 Juni 2011
Anne Normadiah
iv
ABSTRAK
Pada 20 Maret 2003 Amerika Serikat melakukan serangan invasi militer ke
Irak yang tidak mendapatkan justifikasi dari dunia internasional, meskipun
Amerika Serikat telah mengemukakan alasan dan justifikasinya sendiri. Terdapat
kecenderungan bahwa alasan kerentanan keamanan energi dalam negeri Amerika
Seerikat telah menuntut Amerika Serikat untuk tetap menyerang Irak agar
mendapatkan akses terhadap cadangan minyak di Irak
Penelitian ini memiliki temuan bahwa bertambahnya jumlah penduduk
dunia, kemajuan industri dan transportasi telah membuat semakin tingginya
tingkat ketergantungan terhadap minyak dunia, hal ini akan menyebabkan
cadangan minyak dunia akan semakin menipis dan lama kelamaan akan habis.
Amerika Serikat sebagai negara industri maju memiliki kepentingan untuk
mengamankan suplai minyak di berbagai wilayah di dunia termasuk di Irak,
mengingat Irak memiliki cadangan minyak yang cukup besar yakni sekitar 112
miliar barel. Kebijakan invasi pun digunakan Amerika Serikat untuk mencapai
kepentingannya tersebut karena selain bertujuan untuk mencapai kepentingan
akan minyak milik Irak, keuntungan ekonomi lain pun akan diperoleh Amerika
Serikat sebagai dampak dipilihnya kebijakan tersebut.
Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan dalam
penelitian ini adalah konsep kebijakan luar negeri dan konsep kepentingan
nasional. Skripsi ini menggunakan metode dengan teknik pengumpulan data
berupa studi kepustakaan melalui buku-buku, jurnal, koran, hasil penelitian, dan
terbitan-terbitan lainnya.
Kata Kunci : Kepentingan Minyak, Kebijakan Luar Negeri, Invasi Irak
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan
rahmat,
hidayah
serta
izin-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Kepentingan Minyak Pada
Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Invasi Irak Tahun 2003”.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Bahtiar Effendy, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Kiky Rizky, M.Si., sebagai Pembimbing Skripsi penulis yang telah
memberikan arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
4. Agus Nilmada Azmi, S.Ag., M.Si., sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
5. Ali Munhanif, Ph.D., sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis.
6. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan berbagai
ilmu dan telah membantu penulis dalam meyelesaikan tugasnya sebagai
mahasiwi.
7. Yang tercinta Ibunda Eneng Rodiah dan Ayahanda Syahrul Basir selaku orang
tua penulis yang telah memberikan dorongan dan doa restu, baik moral
maupun material selama penulis menuntut ilmu. Penulis akan selalu ingat akan
jerih payah kalian, terutama ibunda tercinta yang selalu sabar tanpa pernah
mengeluh dan putus asa menanti ananda tercinta dalam menyelesaikan skripsi
ini.
8. Teruntuk Hj. Maemunah, dan Hj. Yuyu Suprihatin selaku nenek penulis yang
telah memberi dorongan, baik moral maupun material selama penulis
vi
menuntut ilmu, serta Aa Ardi Ferdiansyah san Rose Irma Anggraini selaku
kakak dan adik yang penulis sayangi, terima kasih atas dukungan dan do’a
kalian.
9. Teruntuk sahabat-sahabat terbaik penulis di HI; Ita Fatimah, Ayu Yukhaeroh,
Ikrimah, Hazrina, Dzuriah Tiara Hany. Kalian semua telah memberikan
pertemanan yang indah dengan segala suka duka dan canda tawa selama lima
tahun terakhir ini, serta telah memberikan dorongan semangat di saat penulis
putus asa dalam pembuatan skripsi ini. ”Love you guys....! ”
10. Ragil Wibisono yang selalu setia dan sabar mendengarkan keluh kesah
penulis.
11. Terima kasih kepada sahabat penulis sejak masa kecil Mba Indah Fitriana
Hapsari, Dwi Pursitasari, dan Niar Daniar.
12. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Rifqi Sazali, Muhammad Zubir, Maya Damayanti, Sabriela Yolanda, yang
telah sama-sama berjuang dalam proses pembuatan skripsi ini.
13. Seluruh teman-teman Mahasiswa/Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional
kelas A angkatan 2006, kalian telah banyak memberikan warna dalam
kehidupan penulis, serta seluruh teman-teman Mahasiswa Jurusan Hubungan
Internasional angkatan 2006.
14. Teman-teman BEMJ Hubungan Internasional 2007/2008, yang telah banyak
mengajarkan dan membantu penulis dalam berorganisasi.
15. Teman-teman Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007, 2008, dan 2009
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun
tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.
vii
Semoga dengan segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat
imbalan di sisi Allah SWT sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikanperbaikan ke depan.
Jakarta, 6 Juni 2011
Anne Normadiah
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................1
B. Identifikasi Masalah .....................................................................7
C. Tujuan Penelitian .........................................................................8
D. Kerangka Pemikiran ...................................................................8
E. Metode Penelitian .....................................................................16
F. Sistematika Penulisan ...............................................................16
BAB II
KEPENTINGAN MINYAK AMERIKA SERIKAT
A. Pengertian Energi ......................................................................19
B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat ...........................................21
C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat .............23
C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat .....................23
C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat ..............27
BAB III
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT
A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca-Tragedi 9/11 ........................31
B. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah ...36
C. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak .............40
ix
BAB IV
PENGARUH
KEPENTINGAN
MINYAK
DALAM
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AS PADA PERANG IRAK
TAHUN 2003 ...................................................................................50
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................65
Daftar Pustaka ..................................................................................................... xi
x
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tragedi penyerangan terhadap gedung kembar pencakar langit World
Trade Center (WTC) di New York serta gedung Pentagon di Washington DC,
Amerika Serikat pada 11 September 2001 telah membawa banyak perubahan pada
kebijakan
luar
negeri
AS.1
Pascatragedi
tersebut,
AS
terus-menerus
mengkampanyekan perang melawan terorisme ke berbagai negara di dunia.
Doktrin pre-emptive strike pun dianut AS. Inti dari doktrin ini adalah bahwa AS
harus melancarkan serangan terlebih dulu terhadap siapa atau negara manapun
yang oleh AS dipersepsikan potensial dapat menjadi ancaman bagi kepentingan
nasional AS.2 Dengan doktrin baru ini, AS melegalkan setiap serangannya
terhadap pihak yang menjadi ancaman bagi AS.
Dalam usahanya untuk memerangi terorisme, AS mengajak negara-negara
lain untuk ikut serta dalam perang melawan terorisme. AS pun membagi dunia ini
hanya menjadi dua, yaitu kami atau mereka yang dikenal dengan prinsip either or
(either you are with us or with our enemy), dan yang dimaksud dengan our enemy
oleh AS adalah kelompok teroris internasional.3 Jadi, siapa pun yang tidak mau
memerangi atau membantu AS dalam memerangi kaum teroris, apalagi yang
dicurigai atau dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional,
maka mereka dapat dianggap sebagai musuh AS dan dengan sendirinya boleh
1
Dalam penelitian ini tragedi penyerangan tersebut selanjutnya disebut sebagai Tragedi
9/11.
2
Riza Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2
(Mei-September 2003), h. 36.
3
Ibid.
1
2
untuk diperangi. Hal ini sesuai dengan isi pidato Presiden George Walker Bush
tanggal 11 September 2001 yang mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan
antara teroris yang melakukan tindakan teror itu dan mereka yang melindungi.4
Ada yang menarik dari pernyataan Bush itu. Ia membuat pernyataan yang
cenderung tidak membedakan antara teroris dan mereka yang memberi tempat
atau melindungi teroris tersebut. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah
dilancarkannya invasi militer terhadap Afganistan pada awal Oktober 2001. Invasi
dilaksanakan AS setelah pemerintahan Afganistan yang dikuasai Taliban menolak
untuk menyerahkan pemimpin Al-Qaeda, yakni Osama bin Laden yang diyakini
oleh AS sebagai yang bertanggung jawab atas terjadinya Tragedi 9/11.5
Selain melancarkan invasi terhadap Afganistan, implikasi lain dari
kampanye perang melawan terorisme tersebut adalah invasi militer terhadap Irak.
Invasi tersebut dilancarkan setelah tuduhan AS mengenai keterlibatan
pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan Al-Qaeda.6 Menurut AS, Irak
turut serta dalam jaringan teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang
dituduh sebagai tokoh utama di balik Tragedi 9/11 yang menelan ribuan korban
jiwa.7 Bahkan selain tuduhan tersebut, AS juga menuduh Irak memiliki senjata
pemusnah massal. Dalam pidato tahunan Presiden George W. Bush yang dikenal
dengan sebutan pidato state of the union di hadapan Kongres AS pada 29 Januari
2002, Irak disebut-sebut sebagai negara yang memproduksi senjata pemusnah
massal. Irak juga dituding sebagai negara yang mendukung terorisme. Bersama
4
Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2005), h . 96.
5
Ibid., h. 97.
6
Dhurorudin Mashad, Saddam Melawan AS (Jakarta: Pensil-324, 2003), h. 152.
7
Para pejabat Irak diketahui berulang kali telah melakukan pertemuan dengan anggota AlQaeda, khususnya dengan para anggota sel yang dipimpin Al Zarkawi yang tinggal di suatu tempat
di Irak bagian Timur Laut. Irak aktif berhubungan dengan Al-Qaeda terutama setelah peristiwa
peledakan bom di Kedutaan Besar AS di Kenya tahun 1998. Ibid.
3
Korea Utara dan Iran, Irak dimasukkan dalam “poros setan” (axis of evil), dan
digolongkan sebagai rezim yang sangat berbahaya di dunia, yang mengancam AS
dengan senjata pemusnah dunia.8 Sehingga bagi Bush tidak ada pilihan lain selain
peran, kendati laporan hasil tim United Nations Monitoring, Verification and
Inspection Comission (UNMOVIC), yaitu tim inspeksi senjata yang diketuai Hans
Blix, maupun Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic
Energy Association (IAEA) sudah menyatakan tidak menemukan bukti-bukti
yang otentik dan akurat perihal kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak.9
Dijadikannya invasi Irak sebagai bagian dari kampanye perang melawan
terorisme AS merupakan hal yang cukup menarik. Meskipun tuduhan-tuduhan
AS terhadap Irak yang dikatakan memiliki senjata pemusnah massal dan Saddam
Hussein dituding memiliki hubungan dengan Al Qaeda tidak berhasil dibuktikan,
dalam kenyataannya AS pun tetap melancarkan invasi militernya ke Irak bahkan
meskipun tanpa mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).10
Pada awal Maret 2003, sebelum dilancarkannya invasi tersebut, AS dan
Inggris mengultimatum Irak, jika sampai 17 Maret 2003 belum menghancurkan
senjata pemusnah massalnya, negeri Saddam Hussein ini akan diserang.11 Waktu
itu Gedung Putih mengaku menemukan
bukti-bukti baru bahwa Irak belum
menghancurkan senjata pemusnah massalnya. Sebelumnya, dalam konferensi pers
8
Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”, h. 73.
Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), h.147.
10
AS tetap memutuskan untuk menyerang Irak secara unilateral dengan didukung oleh
beberapa negara yang termasuk dalam coalition of the willing, antara lain Inggris dan Australia,
pasukan AS menyerbu Irak tanpa mandat PBB. Anwar, Dewi Fortuna. “Tatanan Dunia Baru di
Bawah Hegemoni Amerika Serikat.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September
2003): h. 8.
11
Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, h.147.
9
4
yang diadakan pada 6 Maret 2003, Bush kembali menegaskan niatnya untuk
menginvasi Irak dengan atau tanpa persetujuan DK PBB.12
Presiden George W. Bush sendiri kembali menegaskan, Saddam Hussein
harus disingkirkan, kalau perlu dengan kekuatan.13 Tidak ada perubahan dari
posisi Presiden Bush yang tetap akan menginvasi Irak dengan atau tanpa payung
PBB. Perang menjadi satu-satunya tujuan untuk mencapai sasaran utamanya yaitu
menguasai minyak Ira.14 Sebaliknya, Irak justru menunjukkan sikapnya yang
kooperatif dengan membuka seluruh akses, termasuk ke Istana Kepresidenan, bagi
UNMOVIC maupun IAEA.15 Menurut juru bicara PBB di Irak Yasuhiro Ueki,
Irak pun kembali menghancukan tiga rudal dan lima mesin rudal.16 Sebelumnya,
Irak telah menghancurkan enam rudalnya. Sejak Februari 2003, Irak memang
telah memusnahkan puluhan Rudal Al-Samoud II yang dicurigai AS akan
menjangkau Israel.17
Meskipun
tuduhan-tuduhan
yang
sebelumnya
telah
diutarakan
pemerintahan Presiden Bush terhadap Irak tidak terbukti kebenarannya, AS tetap
melancarkan invasi militernya ke Irak. Jelas terdapat perhitungan ekonomi dan
bisnis yang mendasari invasi AS ke Irak.18 Faktor minyak merupakan alasan lain
yang dapat menjelaskan ambisi besar AS menginvasi Irak, di samping faktor lain
seperti proyek rekonstruksi pascaperang yang akan menguntungkan AS.
12
Ibid.
Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 33.
14
Ibid.
15
Pada awal Januari 2003, pemerintah Irak menyatakan menerima Resolusi Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 1441. Resolusi 1441 disahkan pada 8 November
2002, yang isinya antara lain menuntut Irak untuk mengizinkan dan memberikan akses sepenuhnya
kepada UNMOVIC dan IAEA untuk meneliti segala hal yang berkaitan dengan persenjataan yang
dimiliki Irak. Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid., h. 38.
13
5
Potensi minyak Irak menduduki urutan kedua terbesar di dunia. Menurut
Centre for Global Energy Studies (CGES) London, Irak diperkirakan memiliki
112 miliar barel cadangan minyak.19 Bahkan cadangan minyak Irak diperkirakan
lebih tinggi dari angka itu. Dengan kepemilikan jumlah cadangan minyak sebesar
itu, Irak merupakan pemilik 11% cadangan minyak dunia.
Minyak merupakan faktor yang cukup diperhitungkan pada kebijakan luar
negeri AS dalam hubungannya dengan berbagai kawasan di dunia, khususnya
dengan kawasan Timur Tengah termasuk Irak.20 Timur Tengah memiliki arti
yang menjadi lebih besar terlebih dengan cadangan minyak yang dimilikinya.
Minyak adalah bahan bakar utama dan bahan mentah yang paling diperlukan
dalam peradaban industrial kontemporer. Sampai sekarang komoditas minyak
memang belum dapat digantikan oleh energi lain untuk kebutuhan industri. Jadi,
penguasaan minyak sangat strategis untuk negara maju seperti AS. Terlebih
cadangan minyak yang dimiliki negara seperti Irak merupakan terbesar ke dua di
dunia setelah Arab Saudi. Inilah faktor yang menyebabkan AS ingin menguasai
Irak. Selain itu, dengan menguasai Irak, AS juga mendapatkan pijakan baru di
kawasan Teluk Parsi karena setelah Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, AS
kehilangan basis utamanya di kawasan ini.21
Tingginya perhatian AS terhadap minyak di kawasan Timur Tengah
menjadikan kawasan ini sebagai kawasan yang cukup diperhitungkan oleh AS,
terlebih semenjak Dolar Amerika digunakan dalam transaksi perdagangan minyak
19
Ibid.
Timur Tengah merupakan terjemahan dari Middle East, suatu istilah yang sejak Perang
Dunia II digunakan orang-orang Inggris dan AS untuk menyebutkan kawasan yang sebagian besar
terletak di Asia Barat Daya dan Afrika Timur Laut, dan oleh sebab itu dapat dibatasi sebagai
jembatan antara Eropa, Asia, dan Afrika. Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan, 2nd ed.
(Jakarta: CSIS, 1982), h. 4.
21
Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 30.
20
6
internasional.22 Sejak digunakannya Dolar Amerika dalam transaksi perdagangan
minyak internasional, telah menjadikan AS sebagai hegemoni ekonomi dunia.
Namun demikian, terdapat kekhawatiran tersendiri bagi AS jika suatu saat negaranegara produsen minyak mulai beralih dengan menggunakan mata uang lain
dalam penjualan minyaknya yakni dengan mengganti penggunaan Dolar Amerika
ke Euro. Dapat diketahui bahwa sejak munculnya Euro sampai terjadinya invasi
AS, Dolar Amerika perlahan demi perlahan mengalami keterpurukan dan Irak
yang menambah keterpurukan Dolar Amerika karena Irak yang pasca-Perang
Teluk II terkena sanksi ekonomi telah mengambil sikap dengan mengganti
penggunaan mata uang dalam transaksi penjualan minyaknya, yakni dari Dolar
Amerika ke Euro pada akhir tahun 2000. Padahal pada waktu itu nilai mata uang
Euro sangat rendah dibandingkan dengan Dolar Amerika. Sikap Irak itu dilihat
semata-mata hanya merupakan suatu gertakan politik, bukan merupakan suatu
pertimbangan ekonomi. Berdasarkan hal ini, maka dalam invasinya ke Irak, AS
sekaligus juga ingin menjaga stabilitas nilai Dolar Amerika terhadap Euro. Selain
itu, dengan cara menginvasi Irak, AS dapat menggertak negara-negara
Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) agar tetap menggunakan
Dolar Amerika sebagai alat pembayaran dalam transaksi penjualan minyaknya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keuntungan demi keuntungan khususnya
yang terkait dengan masalah ekonomi diperoleh pemerintah AS serta korporasi-
22
Pada tahun 1971 para anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC)
mengadakan pertemuan di Teheran (OPEC merupakan organisasi negara-negara pengekspor
minyak dunia yang terdiri dari 11 negara yaitu: Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Qatar,
Kuwait, Indonesia, Nigeria, Venezuela, dan Libya). Pertemuan ini disebabkan karena setelah
sepuluh tahun terbentuk, OPEC tidak dapat menstabilkan harga minyak. Pertemuan ini
membuahkan hasil agenda bersama yang berkaitan dengan harga minyak yaitu memberlakukan
penggunaan mata uang Dolar Amerika untuk pembelian minyak. Alasan yang sangat mendasar
atas penggunaan mata uang Dolar Amerika yakni agar terhindar dari fluktuasi nilai tukar yang
tidak stabil.
7
korporasi yang berasal dari AS pascainvasi militer ke Irak. Perang Irak, perang
yang pada dasarnya didorong oleh imperialisme AS untuk menguasai sumber
minyak di Timur Tengah, yang diharapkan mampu menyediakan pasokan minyak
yang cukup bagi AS, memaksanya untuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit.
Namun, jika diamati bahwa besarnya jumlah dana tersebut ternyata sebuah
investasi bisnis jangka panjang bagi kepentingan ekonomi AS di dunia.
Pemerintah AS menganggap, bahwa anggaran yang telah dikeluarkan akan
dikembalikan secara bertahap pascaperang. Uang yang dihasilkan dari adanya
bisnis rekonstruksi Irak ini akan disalurkan juga ke kas negara AS sebagai bentuk
kompensasi dan relasi yang kuat antara pihak korporasi dengan pemerintah.23
Infrastruktur Irak yang hancur setelah invasi AS membutuhkan sebuah program
rekonstruksi yang cepat di segala bidang. Beberapa bidang infrastruktur
merupakan aset ekonomi yang sangat berharga bagi AS. Aset ekonomi seperti
kilang minyak dan jalur pipanya adalah yang menjadi motif dominan serangan AS
atas Irak. Oleh karena itu, atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk
membahas lebih lanjut mengenai pengaruh minyak yang melatarbelakangi
kebijakan luar negeri AS dalam melancarkan Perang Irak tahun 2003.
B.
Identifikasi Masalah
Dalam perkembangannya, pertanyaan yang muncul terkait tema yang
diangkat adalah:
“Mengapa kepentingan minyak mempengaruhi kebijakan luar negeri
Amerika Serikat dalam Perang Irak tahun 2003?”
23
Wirawan Sukarwo, Tentara Bayaran AS di Irak: Sebuah Konspirasi Neoliberal AS
untuk Memimpin Dunia (Jakarta: GagasMedia, 2009), h. 235.
8
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kepentingan
minyak mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Irak
tahun 2003.
D.
Kerangka Pemikiran
Dalam melihat isu yang akan diteliti, yakni mengenai pengaruh
kepentingan ekonomi pada kebijakan luar negeri AS dalam Perang Irak tahun
2003, penulis menggunakan konsep tentang kebijakan luar negeri dan kepentingan
nasional, mengingat bahwa setiap kebijakan luar negeri yang diambil oleh
pemerintah menghadapi dunia internasional mengacu kepada kepentingan
nasional, sehingga keduanya merupakan unsur yang tak dapat dipisahkan.
Setiap negara di dunia ini pasti memiliki kebijakan luar negeri dalam
melakukan hubungan internasionalnya dengan negara lain. Konsep mengenai
kebijakan luar negeri sebenarnya telah banyak dibahas oleh para peneliti ilmiah.
K. J. Holsti sebagai contohnya menganalisis kebijakan luar negeri menurut politik
internasional. Holsti menyebutkan bahwa kebijakan luar negeri dirancang untuk
mempertahankan atau mengubah suatu tujuan, keadaan, atau praktek dalam
lingkungan eksternal.24 Beberapa tujuan dirancang untuk mengubah keadaankeadaan luar negeri demi kepentingan mereka, kebanyakan dirancang untuk
memajukan tujuan-tujuan domestik, seperti: 1) keamanan, 2) otonomi, 3)
kesejahteraan ekonomi, 4) status atau prestise.25
24
K. J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed. (New Jersey:
Prenctice Hall, Inc., 1992) h. 269.
25
Ibid.
9
Sementara menurut Prakash Chandra, kebijakan luar negeri adalah
aktivitas yang dilakukan oleh komunitas yang bertujuan untuk mempengaruhi dan
mengubah perilaku negara lain serta menyesuaikan diri mereka sendiri ke dalam
lingkungan eksternal.26 Kebijakan luar negeri ini bertujuan untuk memelihara
integritas negara, memajukan kepentingan ekonomi, menjamin keamanan
nasional, menjaga prestise nasional dan memperkuat kekuatan nasional, dan
memelihara tatanan dunia.27
Pokok permasalahan dalam penentuan kebijakan luar negeri pada
umumnya dititikberatkan pada usaha untuk memecahkan berbagai permasalahan,
baik yang berkaitan dengan masalah domestik maupun masalah eksternal suatu
negara serta mempromosikan sebuah perubahan. Sehingga studi ini memusatkan
perhatian pada usaha-usaha yang menggambarkan kepentingan, tindakan, dan
elemen-elemen kekuasaan negara-negara.
Berdasarkan kajian politik luar negeri sebagai suatu sistem, rangsangan
dari lingkungan domestik dan eksternal merupakan suatu input yang kemudian
mempengaruhi politik luar negeri suatu negara dan dipersepsikan oleh para
pembuat keputusan dalam suatu proses konversi menjadi output.28 Dalam hal ini,
faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri disederhanakan ke dalam
dua variabel di mana proses kebijakan luar negeri diposisikan sebagai variabel
dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya diposisikan sebagai variabel
independen.
26
Prakash Chandra, International Politics (New Delhi: Vikas Publishing House PVT
LTD, 1979), h. 81.
27
Ibid.
28
Yayan Moch. Yani dan Banyu Perwita, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional
(Bandung: Rosda Karya, 2006), h.49.
10
Kebijakan luar negeri sebagai output merupakan hasil pilihan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah. Untuk menerangkan atau mengerti output ini,
kita harus memperhatikan persepsi, citra, sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan, dari
mereka yang bertanggung jawab dalam merumuskan tujuan dan pengaturan
tindakan. Kita dapat
mengkombinasikan bermacam-macam faktor yang
mempengaruhi pilihan tujuan, keputusan, dan tindakan, menjadi definisi situasi.29
Definisi situasi harus mencakup faktor eksternal dan domestik, kondisi
kontemporer dan historis yang dianggap pembuat kebijakan relevan dengan setiap
masalah politik tertentu. Hal ini meliputi kejadian-kejadian penting, kebutuhankebutuhan politik domestik dan luar negeri, nilai-nilai sosial dan imperatif
ideologis, keadaan pendapat umum, adanya kapabilitas, tingkat ancaman,
kesempatan yang dilaksanakan dalam satu situasi, konsekuensi yang telah diduga,
biaya untuk mempersiapkan tindakan, dan elemen-elemen waktu atau tuntutan
situasi tertentu.30
Tujuan dan tingkah laku politik luar negeri dapat berhubungan dengan: (1)
kesan, nilai-niilai, kepercayaan, dan personalitas atau kebutuhan politik dari
individu yang bertanggung jawab dalam penentuan tujuan, prioritas di antara
mereka, dan tindakan yang diperlukan untuk mencapainya; (2) struktur dan
kondisi internasional; (3) kebutuhan domestik; (4) atribut dan tingkah laku
nasional; (5) kapabilitas; (6) nilai-nilai sosial yang umum, dan berbagai
kepentingan kelompok khusus; (7) kebutuhan, nilai-nilai dan tradisi-tradisi
organisasi. Relevansi dari semua faktor ini sebagian besar tergantung pada sikap,
29
K. J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Analisa (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1987), h. 469.
30
Ibid.
11
pendapat, dan maksud dari para pembuat kebijakan yang bertugas dalam
organisasi pengambilan keputusan yang mempunyai sasaran, fungsi, dan aturan.31
Setiap kebijakan luar negeri diformulasikan untuk mencapai suatu tujuan
nasional. Tujuan nasional yang hendak dijangkau melalui kebijakan luar negeri
merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan mengaitkan kepentingan
nasional terhadap situasi internasional yang sedang berlangsung serta power yang
dimiliki untuk menjangkaunya.
Keputusan dan tindakan dalam menentukan kebijakan luar negeri
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal baik dari lingkungan eksternal
maupun lingkungan internal. Faktor-faktor yang mendasari dan menentukan
rencana-rencana dan pilihan-pilihan yang dibuat oleh para pembuat keputusan
sangatlah banyak untuk disebutkan. Karena itu, perlu suatu pengelompokkan
faktor-faktor tersebut. Howard Lentner mengklasifikasikannya ke dalam dua
kelompok yaitu determinan luar negeri dan determinan domestik.32 Determinan
luar negeri mengacu kepada keadaan sistem internasional dan situasi pada suatu
waktu tertentu. Sistem internasional didefinisikan sebagai pola interaksi di antara
negara-negara yang terbentuk atau dibentuk oleh stuktur interaksi di antara
pelaku-pelaku yang paling kuat.33 Sedangkan konsep situasi diartikan sebagai pola
interaksi yang tidak tercakup atau mencakup keseluruhan sistem internasional.34
Penggunaan kedua konsep tersebut (sistem internasional dan situasi)
dimaksudkan sebagai upaya teoritis untuk menyederhanakan lingkungan
internasional (eksternal) yang demikian kompleks ke dalam model-model
31
Ibid.
Howard Lentner, Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach
(Ohio: Bill and Howell Co., 1974), h. 105.
33
Ibid., h. 5.
34
Ibid.
32
12
deskripsi yang sistematis dan utuh. Manfaat penggambaran kondisi lingkungan
eksternal ini, yaitu dapat memberikan setting (latar belakang) munculnya
peristiwa-peristiwa dalam politik luar negeri, serta dapat membantu peneliti
memunculkan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung (constraining and
facilitating factors) dalam interaksi antar negara.35
Determinan domestik menunjuk pada keadaan di dalam negeri yang
terbagi dalam tiga kategori berdasarkan waktu untuk berubah, yaitu highly stable
determinants; terdiri atas luas geografi, lokasi, bentuk daratan, iklim, populasi,
serta sumber daya alam.36 Moderately stable determinants; terdiri atas budaya
politik, gaya politik, kepemimpinan politik, dan proses politik.37 Unstable
determinants; yaitu sikap dan persepsi jangka panjang serta faktor-faktor
ketidaksengajaan.38
Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara
memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang
diperintahnya meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu
ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu.39 Kepentingan nasional
sangat penting untuk menjelaskan analisa hubungan internasional, baik untuk
mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, ataupun menganjurkan perilaku
internasional.40
Joseph Frankel merumuskan kepentingan nasional sebagai aspirasi dari
suatu negara yang dapat diwujudkan secara operasional dalam upaya mencapai
35
Ibid., h. 105.
Ibid., h. 136.
37
Ibid., h. 143.
38
Ibid., h. 168.
39
Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (Jakarta:
LP3ES, 1990), h. 184.
40
Ibid., h. 162.
36
13
suatu tujuan yang spesifik.41 Kepentingan nasional menyangkut kebijakankebijakan negara serta rencana-rencana yang hendak dituju. Oleh karena itu,
sering kepentingan nasional menjadi bahan polemik, bahkan sering kepentingan
nasional dipakai untuk memberikan justifikasi bagi tindakan negara-negara.42
Kepentingan nasional ini dapat dirumuskan secara luas sehingga perlu
memasukkan pertimbangan-pertimbangan moral, agama, kesejahteraan dan halhal yang bersifat altruitis lainnya.43
Prakash Candra menilai setidaknya ada lima national interest sebagai
tujuan dari politik luar luar negeri, antara lain, untuk mempertahankan integrasi
negara, mewujudkan kepentingan ekonomi, melindungi national prestige dan
membangun national power, menjaga keamanan nasional, serta mewujudkan
tatanan dunia.44
Frankel menggambarkan kepentingan nasional ke dalam tiga kategori.45
Kepentingan nasional dapat digambarkan sebagai aspirasi dari sebuah negara;
dapat juga digunakan sebagai operasional dalam aplikasinya pada kebijakan yang
aktual serta program-program yang hendak dicapai; namun dapat juga menjadi
bahan polemik dalam argumen politik, untuk menjelaskan, membenarkan ataupun
mengkritik bagi tindakan negara.
Pada tingkat aspirasi, kepentingan nasional dipakai untuk menunjukan
gambaran tentang kehidupan yang baik, serangkaian tujuan ideal yang jika
41
Joseph Frankel, International Relations in A Changing World, 4th ed (Oxford: Oxford
University Press,1988), h. 93.
42
R. Suprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997), h. 144.
43
Ibid.
44
Prakash Chandra, International Politics (India: Vikas Publishing House PVT LTD,
1979), h. 81-82.
45
Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi (Jakarta;
LP3ES, 1990), h.148.
14
memungkinkan, hendak dicapai oleh negara.46 Jika kepentingan nasionalnya
hanya diajukan pada tingkat ini, berarti kebijakan tersebut tidak sedang
dilaksanakan, tetapi hanya menunjukan garis besar haluan kebijakan tersebut.
Tingkat aspirasi memiliki tujuh sifat konsepsi, yaitu kepentingan nasional itu
berjangka panjang, berakar dalam sejarah dan ideologi, merupakan sumber kritik
oleh oposisi terhadap pemerintah tetapi bukan merupakan pusat perhatian
pemerintah, memberikan kesadaran akan tujuan atau harapan terhadap kebijakan,
tidak perlu diartikulasikan dan dikoordinasikan secara penuh dan bisa saling
bertentangan, tidak memerlukan studi kelayakan, dan lebih ditentukan oleh
kehendak politik dari pada oleh kemampuan nyata.47
Pada
tingkat
operasional,
kepentingan
nasional
menunjuk
pada
keseluruhan kebijaksanaan yang betul-betul dilaksanakan.48 Pada tingkat ini, ada
delapan hal yang membedakannya dengan kategori sebelumnya, yaitu
kepentingan nasional itu berjangka pendek dan bisa dicapai dalam waktu yang
tidak terlalu lama; sering muncul dari pertimbangan keharusan atau keperluan;
merupakan perhatian utama pemerintah dan partai yang berkuasa; lebih
dipergunakan dalam cara yang deskriptif dari pada yang normatif; karena
keharusan penerapannya, kontradiksi tidak mudah ditolerir; diterjemahkan ke
dalam kebijakan berdasar perhitungan akan prospek keberhasilannya; lebih
ditentukan oleh kemampuan untuk melaksanakan dari pada oleh kehendak politik;
dan kepentingan itu dapat diatur ke dalam program-program.49
46
Ibid.
Ibid.
48
Ibid.
49
Ibid.
47
15
Sedangkan pada tingkat polemik, kepentingan nasional dipakai untuk
menjelaskan, mengevaluasi, merasionalisasikan dan mengritik politik luar
negeri.50 Alasan utama penggunaan ini adalah untuk membuktikan kebenaran
argumen sendiri dan kesalahan argumen lawan. Konsep ini tidak dipakai sebagai
sarana untuk mendeskripsikan dan menganjurkan perilaku, walaupun nampaknya
demikian.
Pengertian atau definisi mengenai konsep kebijakan luar negeri dan
kepentingan nasional yang telah dipaparkan di atas, digunakan untuk menjelaskan
perumusan kebijakan luar negeri sebagai suatu output yang terkait dengan
eksternal dan internal input. Dalam kasus invasi AS ke Irak ini, dapat dipahami
bahwa kebijakan Amerika Serikat lebih dipengaruhi oleh faktor domestik
daripada faktor internasional. Faktor domestik dapat berupa nilai-nilai utama
(core values) yang dianut oleh negara tersebut, keadaan sosial, politik, dan
ekonomi atau pun tarik-menarik kepentingan antar aktor-aktor pemerintah di
dalamnya. Sedangkan faktor internasional dapat berupa kondisi internasional yang
mempengaruhi lahirnya suatu kebijakan luar negeri.
Atas pemaparan kedua konsep tersebut di atas, yakni konsep kebijakan
luar negeri dan kepentingan nasional maka untuk kepentingan analisa penulis
menggunakan kedua konsep tersebut yang akan diaktualisasikan dalam BAB IV.
E.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif. Istilah penelitian kualitaif pada mulanya
bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan
50
Ibid., h. 149.
16
kuantitatif.51 Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu cara
tertentu. Sedangkan, penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak
mengandalkan perhitungan.
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dari berbagai
sumber. Penelitian ini mengandalkan data sekunder, yaitu data yang diperoleh
dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi dan sudah dikumpulkan oleh
pihak atau instansi lain. Menurut Cresswell, dalam penelitian kualitatif, pustaka
harus digunakan secara induktif sehingga tidak mengarahkan pertanyaan yang
diajukan peneliti.52 Salah satu alasan penting yang mendasari hal tersebut karena
penelitian kualitatif bersifat penyelidikan. Sumber-sumber data ini berupa buku,
majalah, jurnal, hasil penelitian, laporan ataupun laman jaringan.
F.
Sistematika Penulisan
Bab I
51
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Identifikasi Masalah
C.
Tujuan Penelitian
D.
Kerangka pemikiran
E.
Metode Penelitian
F.
Sistematika Penulisan
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2002), h. 2.
52
John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches
(Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc., 1994), h. 145.
17
Bab II
Kepentingan Minyak Amerika Serikat
A.
Pengertian Energi
B.
Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat
C.
Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat
C.1.
Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat
C.2.
Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat
Bab III Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat
A.
Kebijakan Luar Negeri AS Pasca-Tragedi 9/11
C.
Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah
D.
Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak
Bab IV Pengaruh Kepentingan Minyak pada Kebijakan Luar Negeri AS
Dalam Perang Irak Tahun 2003
Bab V Penutup
18
BAB II
KEPENTINGAN MINYAK AMERIKA SERIKAT
Minyak bumi merupakan salah satu sumber daya energi yang sangat
penting bagi setiap negara, salah satunya Amerika Serikat. Dalam sejarah, minyak
bumi mampu mempengaruhi dinamika hubungan internasional, baik itu dalam
bentuk kerjasama maupun dalam bentuk konflik atau perang. Minyak bumi
bukanlah satu-satunya sumber daya energi yang dimiliki oleh AS, masih ada
sumber daya energi lainnya yang berpotensi untuk memenuhi kebutuhan energi
dalam negei AS, seperti gas alam, batu bara, dan nuklir. Meskipun demikian AS
masih memposisikan minyak bumi sebagai prioritas sumber energi utamanya,
sebab keunggulannya yang lebih mudah diakses dan dimobilisasikan dibanding
gas alam, sifatnya yang lebih ramah lingkungan dan minim polusi bila
dibandingkan dengan batu bara, serta penggunaannya yang lebih aman dan mudah
diakses dibandingkan nuklir. Oleh karena itu, minyak bumi merupakan sumber
daya energi yang utama bagi AS.
Dalam pembahasan selanjutnya, fokus pembahasan akan lebih diarahkan
pada pembahasan mengenai kepentingan energi terkait dengan minyak bumi,
sebab minyak bumi merupakan sumber daya energi paling utama bagi kebanyakan
negara sehingga sangat berpengaruh dalam tatanan sistem internasional, terutama
kaitannya dengan AS. Bab ini akan membahas mengenai keterkaitan antara
kepentingan minyak dengan keamanan energi Amerika Serikat yang terlebih
dahulu akan dipaparkan mengenai pengertian energi pada tataran konseptual.
19
A.
Pengertian Energi
Kemajuan ilmu dan teknologi membuat perubahan dalam pemanfaatan
energi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Manusia telah menemukan
cara untuk memperpanjang dan memperluas usaha untuk mencari energi, pertama
dengan memanfaatkan tenaga hewan dan kemudian dengan menciptakan mesinmesin untuk memperoleh tenaga dari angin dan air. Selanjutnya muncul
pembangunan sosial dan ekonomi yang membawa dunia menjadi lebih modern
dengan ditemukannya bahan bakar fosil.
Perkembangan penemuan bahan bakar fosil telah membebaskan manusia
dari keterbatasan penggunaan energi dengan ditemukannya batu bara, minyak, dan
gas alam. Hasilnya adalah satu dari transformasi sosial yang sangat besar dalam
sejarah. Dengan adanya energi yang diolah, membawa perubahan yang sangat
besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Pengalaman masyarakat tradisional
dalam melakukan transformasi energi dari mulai menggunakan tenaga manusia,
tenaga hewan, dan kemudian kincir angin dan kincir air pada sat itu berjalan
sangat lambat, dan sebagai konsekuensinya sama-sama memperlambat kerja
manusia pada saat itu. Tetapi sebaliknya, pada masa industrialisasi telah
membawa perubahan secara sosial ekonomi pada manusia umumnya.
Menurut Departemen Energi Amerika Serikat, energi didefinisikan sebagai
the ability to do work.53 Energi menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi
manusia. Manusia memperoleh energi dari sumber daya alam yang ada
disekitarnya dan mengubah sumber daya alam tersebut sehingga dapat digunakan
sebagai energi. Sumber daya alam secara umum dapat dikelompokkan dalam dua
53
http://www.eia.gov/kids/whatsenergy.html, diakses pada 25April 2011, pukul. 08.00.
20
kategori, yaitu sumber daya dapat diperbaharui (renewable resource) dan sumber
daya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resource).54 Pengelompokkan
tersebut sangat dipengaruhi oleh peran variabel waktu. Sumber daya alam yang
dapat diperbaharui merupakan sumber daya yang dapat terus-menerus tersedia
sebagai input produksi dengan batas waktu tak terhingga. Air, hutan, panas
matahari, dan sebagainya termasuk dalam sumber daya alam yang dapat
diperbaharui.55 Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
adalah sumber daya yang persediaannya sebagai input produksi sangat terbatas
dalam jangka waktu tertentu, yang termasuk di sini adalah minyak bumi, gas
bumi, batu bara, dan sebagainya.
Tabel 2.1 Klasifikasi Sumber Energi56
Berdasarkan
ketersediaan (stock)
Berdasarkan
nilai komersial
(commercial)
Berdasarkan
pemakaian
(use)
1. Dapat Diperbaharui:
 Panas bumi
 Tenaga air
 Tenaga surya
 Tenaga angin
 dan sebagainya
1. Komersial:
 Minyak bumi
 Gas bumi
 Batu bara
 Tenaga air panas bumi
 Uranium
 dan sebagainya
1. Primer:
 Minyak bumi
 Gas bumi
 Batu bara
 Tenaga air
 Panas bumi
2. Tidak Dapat Diperbaharui:
 Minyak bumi
 Gas bumi
 Batu bara
 Uranium
 dan sebagainya
2. Nonkomersial:
 Kayu bakar
 Limbah pertanian
 Tenaga surya
 Tenaga angin
 Tenaga samudera
 Biomassa
 Padat, cair, dan gas
 Gambut
2. Sekunder:
 Listrik
 LPG
 BBM
 Non-BBM
 Gas bumi
 Briket batu bara
 Dan sebagainya
54
Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Energi: Teori dan Praktik (Jakarta: Pustaka LP3ES,
2000), h. 5.
55
Perlu diingat bahwa sumber daya alam yang dapat diperbaharui suatu saat dapat
berubah menjadi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Hal demikian terjadi karena
permintaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu membuat laju pengurasan sumber daya
tersebut menjadi lebih besar dibandingkan laju generasinya.
56
Yusgiantoro, Ekonomi Energi, h. 6.
21
Di antara semua jenis energi, minyak kenyataannya sampai saat ini masih
menjadi bentuk utama dari energi yang dikonsumsi sejak pasca-Perang Dunia.
Minyak menjadi pilihan utama saat ini karena memiliki kelebihan, yaitu murah,
ketersediaannya, fleksibilitasnya, dan relatif mudah proses pengirimannya. Hal
inilah yang telah membuat minyak menjadi sumber energi utama bagi sebagian
besar negara-negara industri. Penggunaan bahan bakar minyak tidak saja terbatas
pada bidang industri, tetapi juga untuk kepentingan militer. Semua negara
menempatkan perhatian serius terhadap kestabilan suplai energi sebagai aspek
mendasar bagi kepentingan keamanan dalam negeri.57
B.
Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat
Sumber-sumber energi yang dimiliki oleh Amerika Serikat dalam jumlah
yang cukup besar adalah gas alam dan batu bara. Namun, sumber-sumber energi
tersebut pemanfaatannya kurang efisien dan efektif sehingga tidak banyak
digunakan oleh AS dalam bidang industri dan bahan bakar lainnya. Berikut adalah
gambar grafik mengenai konsumsi energi AS menurut sumber energi.
57
Mohammad Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak
Amerika Serikat,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2005),
h. 27.
22
Gambar 2.1 Konsumsi Energi AS Menurut Sumber Energi (1775-2000)
(Dalam Quadrillion BTU)
Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul.
08.00.
Sejarah penggunaan energi di AS dapat dilihat pada gambar di atas.
Sebagai contoh, penggunaan kayu sebagai energi telah menjadi bagian yang
sangat penting bagi AS sejak masa kolonial. Pada kenyataannya, bahan bakar
kayu ketersediaannya sangat berlimpah sehingga menjadi sumber energi yang
dominan. Tetapi kemudian, era modern muncul dengan ditemukannya sumbersumber energi baru yang tidak pernah dibayangkan pada masa sebelumnya.
Batu bara menggantikan dominasi bahan bakar kayu yang pernah bertahan
lama di AS pada sekitar tahun 1885, batu bara kemudian dilampaui oleh bahan
bakar minyak pada tahun 1951 dan kemudian ditemukan pula gas alam beberapa
tahun kemudian. Tetapi, bagaimanaupun juga minyak dan gas adalah penemuan
yang paling menarik. Pada gambar 2.1 di atas menggambarkan penggunaan yang
23
sedikit selama beberapa dekade, tetapi kemudian mulai meningkat kebutuhan
akan minyak secara bertahap pada tahun 1920-an.58
C.
Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat
C.1.
Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, minyak bumi mampu menarik
perhatian masyarakat AS. Penggunaan minyak bumi cenderung lebih mudah dan
lebih efektif. Sepanjang sejarah energi AS, AS memiliki sumber daya energi yang
berlimpah sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Namun,
seiring dengan perkembangannnya, peningkatan tingkat konsumsi energi pun
tidak dapat dielakkan, sehingga pada periode 1950-an merupakan masa di mana
produksi dan konsumsi energi AS hampir mencapai titik keseimbangan. Pada
periode selanjutnya, tingkat konsumsi AS terus meningkat secara tajam sehingga
melebihi tingkat produksi dalam negeri AS. Oleh karena itu AS dituntut untuk
mengeksplorasi sumber daya energi dari wilayah lain dan mengimpornya. Berikut
ini adalah gambar mengenai grafik konsumsi, produksi, dan impor energi AS.
58
www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00.
24
Gambar 2.2 Konsumsi, Produksi, dan Impor Energi AS
(Dalam Quadrillion BTU)
Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul.
08.00.
Pada tabel di atas tergambar proses peningkatan kebutuhan energi dalam
negeri AS. Pada periode 1970-an, AS telah mengimpor energi dari luar sebagai
tanda pasokan energi dalam negeri AS tidak mampu menutupi kebutuhan energi
AS sehingga harus mengimpor dari luar. Dari grafik impor dapat dipahami bahwa
peningkatan terus terjadi sejak pertengahan periode 1980-an. Kemudian, seiring
dengan perkembangan inovasi teknologi yang semakin menyerap energi maka
peningkatan konsumsi energi AS pun terjadi, dan hal ini berdampak pada
peningkatan impor energi AS. Peningkatan juga dipengaruhi oleh penurunan
tingkat produksi energi dalam negeri AS sehingga semakin memperlebar gap
antara konsumsi dan produksi energi.
Pada tahun 1973, AS telah mengimpor energi sebesar
15 quadrillion
British Thermal Unit (BTU) dari total konsumsi energi AS sebesar 76 quadrillion
25
BTU, atau sekitar 20% dari total konsumsi AS.59 Upaya untuk mengimpor energi
dikarenakan tingkat konsumsi minyak yang tinggi. Pada tanggal 17 Oktober 1973,
negara Arab Saudi yang tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting
Countries (OPEC) melakukan embargo minyak bumi terhadap AS, sehingga harga
minyak bumi dunia melambung tinggi dan negara-negara importir minyak bumi
mengalami kejatuhan ekonomi selama dua tahun.
Harga minyak meningkat secara drastis pada tahun 1979 sampai tahun
1981 dan telah menekan impor minyak pada saat itu. Kecenderungan impor AS
terjadi pada tahun 1986, namun kemudian pada tahun 1990, 1991, dan 1995
mengalami sedikit penurunan, setelah itu kembali mengalami peningkatan.
Salah satu faktor meningkatnya tingkat konsumsi energi AS adalah
pertumbuhan penduduk yang terus berkembang sehingga menuntut perkembangan
ekonomi yang sejalan. Dengan semakin banyaknya populasi penduduk AS dari
sekitar 149 juta jiwa pada tahun 1949 menjadi 281 juta jiwa pada tahun 2000.60
Artinya, peningkatan yang terjadi sekitar 89%. Sederhananya, peningkatan tingkat
konsumsi energi AS juga akan setara dengan nilai tersebut.
Konsumsi energi yang tinggi tersebut berasal dari kebutuhan energi pada
empat sektor utama, yaitu perumahan, perdagangan, industri, dan transportasi.
Sektor industri merupakan sektor terbesar yang mengkonsumsi energi untuk
kepentingan perkembangan industrialisasi dan ekonomi AS, seperti terlihat pada
gambar berikut :
59
www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00.
Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika
Serikat,” h. 37.
60
26
Gambar 2.3 Konsumsi Energi AS Menurut Kegunaannya
Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25 April 2011, pukul.
08.00.
Pada sektor industri, konsumsi terhadap gas alam dan minyak mengalami
peningkatan dan puncaknya pada saat embargo minyak tahun 1973, setelah
peristiwa tersebut penggunaan minyak mengalami fluktuasi. Konsumsi batu bara
menjadi sektor andalan, namun kemudian mengalami penyusutan. Hal yang sama
terjadi juga pada energi listrik yang mengalami penyusutan, seperti yang terlihat
pada grafik berikut :
Gambar 2.3. Konsumsi Energi AS untuk Keperluan Industri
Sumber: http://www.eia.doe.gov/emeu/aer/pdf/perspectives_2009.pdf, diakses pada
tanggal 1 Mei 2011, pukul. 15.20.
27
Sekitar 3/5 dari konsumsi energi untuk sektor industri digunakan untuk
pabrik-pabrik.61 Sisanya untuk keperluan bidang pertambangan, konstruksi,
pertanian, perikanan, dan kehutanan. Pada industri pabrik-pabrik energi yang
dibutuhkan dalam jumlah besar adalah produk-produk minyak dan batu bara,
bahan-bahan kimia dan produk sejenis, kertas, dan bahan sejenisnya, dan industri
logam-logam besar.
C.2.
Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat
Minyak menjadi komoditas penting bagi pembangunan di negara-negara
maju untuk kebutuhan industri, transportasi, dan perumahan. Cadangan minyak
dunia yang terbesar terdapat di negara-negara anggota OPEC, sedangkan
konsumsi minyak dunia terbesar terdapat pada negara-negara industri maju seperti
AS, Jepang, dan negara-negara Eropa.
Jika pada suatu saat negara-negara OPEC secara serentak mengurangi atau
menghentikan produksi minyaknya, maka akan mengacaukan negara-negara
industri maju. Kepentingan negara-negara industri maju berbeda dengan
kepentingan negara-negara berkembang sebagai penghasil minyak utama dunia.
Negara-negara industri maju sebagai pengimpor minyak, sangat memerlukan
suplai minyak untuk kebutuhan dalam negeri seperti untuk transportasi, industri,
perumahan, keperluan militer, dan lain-lain. Sementara itu, negara berkembang
yang memiliki minyak dunia berlaku sebagai penyedia.
Sebagai negara industri maju, AS tentunya memiliki kepentingan
tersendiri terhadap negara berkembang. Negara berkembang yang sebagian besar
61
Ibid., h. 41.
28
terletak pada kawasan strategis dan penting bagi kepentingan AS bersama sekutusekutunya. Sebut saja Timur Tengah, Teluk Persia, Laut Kaspia, Amerika Latin,
dan lainnya. Kawasan-kawasan tersebut menyimpan cadangan minyak bumi dunia
yang banyak dan sangat berpengaruh bagi kepentingan AS, terutama terkait
kepentingan keamanan energi AS. Secara umum, inilah yang menjadi perhatian
AS agar tidak sampai berdampak negatif bagi kepentingan-kepentingan
nasionalnya.
Konsentrasi AS terhadap negara berkembang yang tidak stabil dan rawan
konflik mulai meningkat ketika instabilitas negara berkembang produsen minyak
mampu mempengaruhi akses impor minyak dalam negeri AS sehingga
kecenderungannya meningkat menjadi ancaman bagi keamanan energi AS. Hal ini
terlihat dari ketergantungan AS akan impor minyak yang selalu meningkat seiring
peningkatan tingkat konsumsi dalam negeri AS.
Bagi AS yang merupakan salah satu negara konsumen minyak bumi,
alasan yang selalu dihadapi terkait ketersediaan cadangan minyak dunia adalah
keterbatasan cadangan minyak dunia. Mencermati krisis minyak bumi yang
pernah terjadi, serta instabilitas kawasan yang mengandung cadangan minyak
bumi, maka AS meningkatkan perhatian seriusnya terhadap akses suplai minyak
bumi.
Tingginya intensitas ketergantungan AS terhadap stabilitas cadangan
minyak bumi dunia mendorong AS untuk turut berpartisipasi baik secara politis
maupun militer di sejumlah kawasan yang menyimpan cadangan minyak bumi
dalam jumlah besar, salah satunya adalah Timur Tengah. Sejarah menunjukkan
bahwa instabilitas kawasan Timur Tengah yang telah menimbulkan konflik dan
29
perang berdampak pada stabilitas tingkat produksi dan harga minyak bumi dunia.
Dalam kasus Irak, keterlibatan AS secara militer menunjukkan adanya keinginan
untuk mengontrol dan menguasai sumber minyak yang merupakan bagian dari
masalah keamanan energi AS.
Momentum yang paling tepat dalam perubahan kebijakan luar negeri AS
adalah pascatragedi pemboman WTC pada tanggal 11 September 2001. AS
semakin meningkatkan intensitasnya dalam penempatan tentaranya di kawasan
strategis akan cadangan minyak bumi, dengan dalih perang melawan terorisme.62
Afganistan merupakan negara pertama yang diinvasi AS pasca tragedi tersebut.
Dalam kasus Perang Irak 2003, salah satu dalih yang digunakan AS dalam
penempatan pasukan militer AS di Irak adalah upaya pembelaan rakyat Irak dari
sikap pemerintahan Saddam Hussein yang otoriter dan represif.63
Melalui kebijakan luar negeri AS, isu keamanan energi merupakan salah
satu agenda penting yang harus diperhatikan. Sebagai prioritas utamanya, AS
selalu
mengupayakan
langkah-langkah
antisipasinya
terhadap
terjadinya
ketidakpastian pasokan dengan mempertahankan hubungan kerjasama ekspor dan
impor minyak bumi dengan negara produsen minyak. Dengan jelas dinyatakan di
dalam kebijakan energi nasional AS (National Energy Policy 2001) bahwa
“...energy security must be priority of US trade and foreign policy.”64
Di samping itu juga ditegaskan bahwa kepentingan AS akan stabilitas
cadangan minyak bumi dunia akan berdampak pada kepentingan nasional AS. Hal
62
Ibid., h. 57.
Siti Muti‟ah Setiawati, dkk., Irak di Bawah Kekuasaaan Amerika (Yogyakarta: PPMTT
HI FISIPOL UGM), h. 15.
64
Lihat “National Energy Policy: Report of the National Energy Policy Development
Group, May 2001,” dalam www.wtrg.EnergyReport/National-Energy-Policy.pdf, diunduh pada
tanggal 25 April 2011, pukul 8.30. Kebijakan Energi Nasional Amerika Serikat ini sering juga
disebut dengan “Chenney Energy Plan” karena ide kebijakan tersebut berasal dari Wakil Presiden
AS, Dick Chenney.
63
30
ini semakin menunjukkan tingginya kepentingan dan ketergantungan AS akan
cadangan minyak bumi dunia.
Kebutuhan AS terhadap minyak yang begitu besar dengan cara
mengimpor sekitar 53%, telah mendorong Washington untuk mencari sumbersumber cadangan minyak untuk mengamankan kepentingan minyaknya.
Cadangan minyak mentah yang dimiliki oleh AS hanya berjumlah 22 milyar
barel.
65
Apabila kebutuhan minyak AS dibandingkan dengan cadangan minyak
mentahya, maka AS hanya akan mampu memenuhi kebutuhan minyak dalam
negerinya selama tiga tahun. Sedangkan pada saat ini, AS menempati urutan
pertama sebagai negara paling banyak mengkonsumsi minyak dunia.66
Alasan AS sebagai negara pengimpor terbesar minyak dunia di antaranya
adalah karena wilayah negara AS yang sangat luas sehingga memerlukan
penggunaan bahan bakar bensin untuk keperluan kendaraan bermotor, keperluan
untuk industri-industri dalam negeri AS, dan bahan bakar untuk pemanas rumah
yang biasanya digunakan warga AS. Di samping itu juga, jumlah penduduk AS
yang terus bertambah, membuat tingkat konsumsi terhadap energi semakin
meningkat.67
Kesulitan bagi AS dalam mencari sumber energi alternatif yang lebih
murah dan aman membuat negara tersebut mulai melihat kawasan Timur Tengah.
Kekhawatiran AS akan kenaikan harga minyak dunia dapat terjadi kapan saja. Hal
ini membuat pemerintahan Bush untuk segera menemukan sumber minyak di
kawasan yang dapat mengamankan kepentingan AS dalam jangka panjang.
65
Mohammad Safari dan Al-Muzammil Yusuf, ed. Perang Iraq-AS: Hegemoni Baru AS di
Timur Tengah dan Dampak Globalnya (Jakarta: COMES, 2003), h. 141.
66
Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika
Serikat,” h. 66.
67
Ibid., h. 59.
31
BAB III
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT
Sebagai satu-satunya negara super power saat ini, Amerika Serikat
tentunya memiliki kebijakan luar negeri yang dirancang untuk mencapai tujuan
nasionalnya baik dalam bidang ekonomi, politik maupun pertahanan dan
keamanan. Jika pada masa Perang Dingin kebijakan luar negeri AS lebih
ditujukan untuk membendung ancaman pengaruh komunisme, maka hal yang
berbeda terjadi pada masa setelah Perang Dingin terlebih dengan terjadinya
Tragedi 9/11 yang tentunya membuat AS harus menata ulang kembali kebijakan
luar negerinya. Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan mengenai perubahan
kebijakan luar negeri AS pasca-Tragedi 9/11. Selain itu, bab ini pun akan
membahas mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Timur
Tengah, khususnya Irak.
A.
Kebijakan Luar Negeri AS Pasca- Tragedi 9/11
Serangan gerakan teroris internasional pada 11 September 2001 atau yang
terkenal dengan sebutan Tragedi 9/11 dijadikan momentum awal diterapkannya
strategi dan kebijakan baru AS untuk memulihkan kembali perannya sebagai
polisi dunia yang tangguh. Serangan terorisme tersebut, terlepas dari kontroversi
yang muncul, menjadi bukti bahwa betapa negara yang sangat kuat itu masih
dapat diserang. Betapa negara yang diproteksi oleh perlengkapan senjata
tercanggih di dunia masih mempunyai celah untuk diserang.
32
Momen ini direspon oleh pemerintahan Presiden George W. Bush untuk
mengubah haluan politik luar negerinya yang telah ditetapkan oleh presiden
pendahulunya, yakni Presiden Bill Clinton. Pada era Presiden Clinton, kebijakan
luar negeri AS lebih bersifat akomodatif terhadap keinginan dunia internasional
yang mendambakan demokratisasi. Presiden Clinton membawa AS tunduk pada
aturan atau rezim internasional. Presiden Clinton sangat mengedepankan masalahmasalah humanistis dalam kebijakan luar negerinya, termasuk menghukum rezimrezim yang dinilai melanggar hak asasi manusia.68 Dalam masa pemerintahannya,
kepemimpinan AS diraih melalui penggunaan soft power dengan tetap
memperhatikan aspirasi negara-negara lain, terutama negara-negara sahabat.69
Walaupun AS merupakan satu-satunya negara adidaya, AS tidak dapat seenaknya
memaksakan kehendaknya pada negara lain.
Politik luar negeri AS mengalami perubahan fundamental ketika Presiden
George W. Bush terpilih pada tahun 2001 menggantikan Presiden Clinton.
Meskipun Jenderal Collin Powell yang dianggap tokoh moderat dan pendukung
multilateralisme ditunjuk menjadi menteri luar negeri, Presiden Bush sendiri
cenderung berpendirian unilateralis. Di samping itu, anggota kabinet Presiden
Bush dalam bidang luar negeri dan pertahanan didominasi oleh tokoh-tokoh
konservatif yang berpandangan unilateralis.70 Mereka ini antara lain, Wakil
Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Kepala Dewan
68
Sugeng Riyanto, “Imperium Amerika: Krisis Legitimasi dan Implikasi,” Jurnal
Hubungan Internasional, vol. II, no. 1 (Mei 2005), h. 245.
69
Soft power diartikan dengan menerapkan hegemoni melalui upaya-upaya persuasi dan
pengaruh daripada melalui tekanan dan ancaman semata. Ibid., h. 12.
70
Dalam pandangan kelompok konservatif yang memiliki perspektif realis garis keras ini
prioritas AS adalah melindungi kepentingan nasional AS sendiri, terutama keamanan nasional,
tanpa perlu mempertimbangkan komitmen-komitmen internasional yang selama ini mengikat
Washington. Sebagai negara adidaya, AS harus berani bertindak sendiri untuk melindungi
kepentingan nasionalnya serta tidak perlu ragu menggunakan kekuatan militer untuk mencapai
tujuan, karena militer dianggap sebagai instrumen yang sah dalam politik internasional.
33
Kebijakan Pertahanan Richard Perle, Wakil Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz,
Asisten Menteri Luar Negeri Bidang Kontrol Senjata John Bolton, dan Kepala
Staf Kantor Wakil Presiden Lewis Libby.71
Presiden Bush menemukan alasan bagi AS untuk menggunakan kekuatan
yang selama ini masih belum dimaksimalkan. Tragedi 9/11 memberikan
legitimasi kepada Bush utuk kembali membawa AS memimpin dunia
melenyapkan apapun yang dianggap membahayakan dunia.
Ancaman keamanan nontradisional yang dihadapi AS, seperti terorisme
internasional, telah membawa konsekuensi pada persepsi dan tingkat ancaman
yang dihadapi AS ketika kekuatan militer semata tidak memadai untuk
melindungi
kepentingan
keamanan
AS.
Tabel
berikut
menggambarkan
kepentingan nasional AS dan persepsi ancaman yang dimilikinya.
Tabel 3.1 Kepentingan nasional Amerika Serikat dan beberapa ancaman
utamanya:
Interest
Prime Threats
Status of Threats
Defense of homeland
Grand terror attacks and
spread of WMD to hard-todeter state leaders and
fanatical terrorists
Aggressive great powers
and hegemons
A hegemonic Iran and Iraq
Partially present
Great
power
security
competitions, great power
wars, economic nationalism
Ruthless leaders, civil wars,
and the thwarting of
economic growth
Not present
Deep peace among the
Eurasian great powers
Secure access to Persian Gulf
oil at stable, reasonable price
International
economic
opennes
Consolidation of democracy
and spread and observance of
human rights
71
Not present
Not present
Partially present
Dewi Fortuna Anwar, “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat,”
Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003), h. 16.
34
No severe climate change
Unconstrained
emmisions
carbon
Partially present
Sumber: Anak Agung Banyu Perwita, “Perubahan Lingkungan Keamanan Global dan Politik Luar
Negeri Amerika Serikat,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 1, no. 2 (Mei
2005), h. 90.
Tabel di atas menunjukkan ancaman terbesar bagi keamanan global AS
adalah serangan-serangan besar yang dilancarkan aktor nonnegara atau kelompok
terorisme internasional dan penyebaran senjata nuklir, biologi, dan kimia. Tabel di
atas sekaligus pula memperlihatkan berbagai bentuk ancaman baik yang bersifat
tradisional maupun nontradisional terhadap kepentingan nasional AS. Lebih jauh,
tabel di atas juga menekankan bahwa empat ancaman pertama (tradisional dan
nontradisional) terhadap AS dapat berupa militer yang tentunya akan
mengharuskan AS untuk mempersiapkan respon yang bersifat militer pula.
Dalam salah satu pidatonya, Presiden George W. Bush mengatakan
bahwa:
“Pertahanan dalam negeri dan pertahanan peluru kendali adalah bagian
dari keamanan yang lebih kuat, dan mereka adalah prioritas penting bagi
Amerika. Kita menggempur musuh, merusak rencananya dan menghadapi
ancaman terburuk sebelum mereka muncul. Di dunia yang telah kita
masuki, satu-satunya jalan menuju keselamatan adalah tindakan, dan
negara ini akan bertindak.”72
Pernyataan Bush dalam pidatonya tersebut kemudian dikenal dengan
istilah pre emptive strike.73 Inti dari doktrin ini adalah bahwa pertahanan yang
paling baik adalah menyerang. Artinya AS harus melancarkan serangan terlebih
dulu terhadap siapa dan negara mana pun yang oleh AS dipersepsikan potensial
dapat menjadi ancaman bagi kepentingan nasional AS. Selain itu, AS secara hitam
72
George W. Bush, “Pidato di West Point”, lihat A. Zaim Rofiqi, Amerika dan Dunia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 427.
73
Riza Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 36.
35
putih membagi dunia menjadi dua yaitu kami atau mereka yang kadangkala
dikenal dengan prinsip either or (either you are with us or with our enemy), dan
yang dimaksud dengan our enemy oleh AS adalah kelompok teroris
internasional.74 Dengan kebijakan ini, AS secara leluasa menggerakkan semua
elemen militernya ke berbagai wilayah dunia sebagai penanggung jawab
keamanan global.75 Siapa berani menghalangi pasti kena sanksi.
Presiden Bush menyatakan tidak akan membedakan antara teroris dan
mereka yang memberi tempat atau melindungi teroris, seperti yang ia katakan
dalam pidatonya pada 11 September 2001, petang harinya setelah Tragedi 9/11.
Dalam pidato ntersebu, Bush mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan
antara teroris yang melakukan tindakan teror itu (11 September 2001) dan mereka
yang melindungi.76 Jadi, siapa pun yang tidak mau memerangi atau membantu AS
dalam memerangi kelompok teroris, apalagi yang dicurigai atau dituduh
mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional, maka mereka dapat
dianggap sebagai musuh AS, dan dengan sendirinya bebas untuk diperangi.
Namun sayangnya, AS bebas menerjemahkan siapa saja yang berhak
dikategorikan sebagai teroris. Tragedi 9/11 telah memperkuat pembenaran AS
untuk mencapai tujuan hegemoniknya, yaitu dominasi geopolitik dan ekonomi di
dunia.77 Presiden Bush ingin menegaskan kehadiran AS sebagai pemimpin dunia,
apapun caranya. Presiden Bush telah berupaya agar dunia yang mengikutinya,
bukan AS yang tunduk kepadanya.
74
Ibid.
Hendrajit, dkk, Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan
Dunia (Jakarta: Global Future Institute, 2010), h. 114.
76
Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2005), h. 96.
77
Istilah hegemoni diturunkan dari sebuah kata Yunani yang sederhananya berarti
kepemimpinan, lihat Nur Rahmat Yuliantoro, “Hegemoni Amerika Pasca 11/9: Menuju Sebuah
„Imperium Amerika Baru‟?,” vol. 9, no. 1 (Juli 2005, )h. 96.
75
36
Upaya menangani terorisme ini juga dilakukan dengan mengedepankan
aspek militer. Sangat nyata bahwa Tragedi 9/11 terjadi di AS, tetapi reaksi
Presiden George W. Bush paling menonjol adalah invasi militer ke Afganistan
dan Irak. Ini menunjukkan bahwa Presiden Bush lebih mengedepankan
penggunaan hard power, yakni kekuasaan yang ditegakkan dengan paksaan.78
Presiden George W. Bush telah mendapatkan situasi yang kondusif untuk
melancarkan penggunaan hard power dalam melangsungkan kebijakan luar
negerinya. Terorisme telah dijadikan alasan untuk itu, dan dunia cukup
mempercayainya, setidaknya para sekutu AS. Presiden Bush yakin AS berada
dalam posisi yang benar dan merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan
kebenaran serta melawan kekuatan jahat (evil) secara unilateral di seluruh penjuru
dunia dengan menggunakan kekuatan militer AS yang tidak tertandingi dan tidak
boleh ditandingi.79 AS di bawah Presiden Bush merupakan misionaris bersenjata
yang percaya bahwa AS ditakdirkan untuk memimpin dunia untuk kebaikan itu
sendiri. Di samping itu, AS pun akan secara aktif mendukung freedom atau
kebebasan di seluruh dunia.80 Penggulingan rezim Taliban di Afganistan dan
rezim Saddam Hussein di Irak yang bertujuan untuk membentuk pemerintahan
yang demokratis merupakan wujud dari dukungan AS terhadap freedom atau
kebebasan itu sendiri.
B.
Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah
Penjelasan mengenai kebijakan politik Amerika Serikat di kawasan Timur
Tengah guna mengamankan kepentingan nasionalnya dapat dilihat dengan
78
Ibid., h. 248.
Anwar, “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat,” h. 23.
80
Ibid.
79
37
menggunakan The Truman Doctrine serta The Eisenhower Doctrine. Doktrin
Truman, yang berawal dari pernyataan Presiden Harry S. Truman pada tanggal 12
Maret 1947 di hadapan Kongres, secara khusus mengulas perlunya AS
menyelamatkan krisis ekonomi dan politik di Yunani dan Turki.81 Upaya
penyelamatan terhadap krisis ini dilakukan dengan memberikan bantuan berupa
bantuan ekonomi dan perlindungan militer kepada negara tersebut atau yang
dikenal dengan sebutan Marshall Plan dengan tujuan agar Yunani dan Turki tetap
berada dalam Pax Americana (Amerika Raya).82
Doktrin Truman yang semula diterapkan pada Yunani dan Turki, pada
akhirnya juga berkembang ke seluruh dunia bebas (free world) yang menghadapi
sebuah ancaman bagi dominasi keamanan dan kepentingan nasional AS, termasuk
di kawasan Timur Tengah. Perluasan Doktrin Truman di Timur Tengah diperkuat
dengan adanya Doktrin Eisenhower.
Pada 5 Januari 1957, Presiden Eisenhower dalam pidato di depan Kongres
menekankan perlunya AS memberikan perhatian yang lebih besar terhadap
kawasan Timur tengah dengan langkah antara lain: Pertama, mengadakan bantuan
program dengan pendekatan bilateral dan multilateral untuk memperkuat
penguasa-penguasa yang pro AS di Timur tengah agar tetap dalam kekuasaan AS;
Ke dua, memperluas bantuan dan kerjasama militer untuk memperkuat dan
memperluas dominasi AS di kawasan itu; Ke tiga, memperkuat integritas teritorial
dan kemerdekaan bangsa-bangsa Timur Tengah dari kemungkinan agresi
81
Azman Ridha Zain, “Realitas Dibalik Konflik Amerika Serikat-Irak (Analisis terhadap
Invasi AS ke Irak),” (Tesis S2 Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 2004), h. 47.
82
Istilah Pax Americana muncul untuk menggambarkan situasi dan posisi yang sama
seperti yang pernah dinikmati Inggris pada Perang Dunia I, ketika negara ini dapat mengontrol
wilayah Timur Tengah tanpa ada perlawanan yang berarti, baik yang bersifat regional maupun
internasional. Siti Muti‟ah Setiawati, dkk., Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, Dampaknya Bagi
Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL
UGM, 2004), h. 36.
38
kekuatan musuh.83 Untuk menjalankan kebijakan tersebut, AS memerlukan
dukungan kerjasama yang sangat kuat. Sejak tahun 1940-an pemerintah AS telah
menetapkan kebijakan untuk menjaga kepentingannya di Timur Tengah.
Alasannya jelas, bumi gersang dan tandus Jazirah Arab dan Parsi itu ternyata
menyimpan dua pertiga cadangan minyak dunia.84
Presiden Eisenhower, pernah menggambarkan bahwa Timur Tengah
merupakan tanah yang kaya yang harus dijaga oleh AS. “Di sanalah tempat paling
terpenting di dunia berada,” kata Eisenhower. Selanjutnya, muncul anggapan
bahwa, siapa yang menguasai Timur Tengah, dia akan menguasai dunia.
Kalangan militer juga berpendapat bahwa, siapa yang menguasai energi, akan
dapat mengontrol dunia. Ini terus dilakukan AS bersama sekutunya.85
Politik luar negeri AS di kawasan Timur Tengah pasca-Perang Dingin
setidaknya dilatarbelakangi oleh dua kepentingan utama yakni, Israel dan
minyak.86 Pada masa Perang Dingin, AS juga sangat berkepentingan untuk dapat
membendung pengaruh komunis Uni Soviet di kawasan ini. Namun, setelah
berakhirnya Perang Dingin, AS tampak tidak lagi menjalankan politik
pembendungannya.
Terdapat dua aliran pemikiran di kalangan intelektual dan politisi AS
perihal politik Washington terhadap kawasan Timur Tengah. Pertama, aliran yang
membela hal apa yang disebut sebagai doktrin Israel First. Ke dua, aliran yang
83
Zain, “Realitas Dibalik Konflik Amerika Serikat-Irak,” h. 48.
Kirdi Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan, 2nd ed. (Jakarta: CSIS, 1982), h. 30.
85
Elba Damhuri, Di balik Invasi AS ke Irak (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003), h.
84
41.
86
Riza Sihbudi, Eksistensi Palestina: Di Mata Teheran dan Washington (Bandung:
Mizan, 1992), h. 23.
39
menghendaki agar AS bersikap lebih adil di Timur Tengah atau disebut sebagai
aliran evenhanded .87
Bagi pendukung doktrin Israel First yang ditokohi mantan Menteri Luar
Negeri Henry Kissinger, kepentingan AS di Timur Tengah akan sangat terjamin
jika Washington meneruskan dukungannya terhadap posisi dominan Israel di
kawasan ini. Doktrin Israel First memandang Israel tidak hanya sebagai sebuah
aset strategis, tetapi juga sebagai yang pantas didukung penuh atas dasar-dasar
moral, bentuk pemerintahannya yang demokratis, norma-norma budaya Baratnya,
dan di atas segalanya, fungsi Israel sebagai tempat perlindungan dan pengganti
kerugian bagi orang-orang Yahudi yang telah mengalami penderitaan historis.88
Sebaliknya, bagi pengikut aliran evenhanded, dukungan AS terhadap Israel
tidak menjamin sejumlah kepentingan vital AS di Timur Tengah dan dunia Islam.
Menurut mereka, doktrin Israel First justru menyulitkan posisi rezim-rezim Arab
moderat yang selama ini bergantung pada batuan militer dan ekonomi AS.
Menurut pengikut aliran ini, doktrin Israel First justru menimbulkan gerakangerakan fundamentalis Islam radikal yang mengancam keamanan warga AS di
kawasan ini.89
Namun, sampai saat ini pendukung Israel First masih jauh lebih unggul
dibandingkan dengan pendukung aliran evenhanded. Dominasi pengikut doktirn
Israel First dalam proses pembuatan kebijakan di AS dikarenakan doktrin ini
didukung sepenuhnya oleh sebuah aliansi kekuatan politik yang sangat kuat dan
87
Ibid.
Ibid., h. 24.
89
Ibid.
88
40
yang secara efektif mampu memobilisasi kepentingan maupun sentimen pro
Israel.90
Kebijakan politik AS di kawasan Timur Tengah yang mayoritas
penduduknya beragama Islam yang menyebabkan kawasan tersebut disebut
dengan Dunia Islam, mengalami banyak ketegangan dan bahkan permusuhan,
terutama pasca Tragedi 9/11. Tragedi 9/11 ini membawa dampak sangat besar
bagi hubungan AS dengan dunia Islam. AS cenderung melihat Islam sebagai
musuh atau ancaman, begitu pula sebaliknya, kebanyakan masyarakat di Dunia
Islam memandang AS sebagai lawan yang berniat menghancurkan Islam.
Ketegangan AS-Dunia Islam lebih banyak disebakan karena kebijakan AS
di bawah Presiden George W. Bush yang selalu mengidentikkan Islam dengan
terorisme. Di satu sisi, dengan alasan memerangi terorisme internasional, Presiden
Bush melancarkan invasi dan kemudian menduduki serta menghancurkan negaranegara muslim yang lemah, seperti Afganistan dan Irak. Sementara di sisi lain,
Presiden Bush justru terus memberikan dukungan terhadap terhadap Israel yang
terus menindas bangsa Palestina.
C.
Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak
Pasang surut hubungan antar negara memang kerap terjadi. Begitu pun
dengan Amerika Serikat dan Irak. Konflik yang timbul antara AS dan Irak secara
faktual bermula dari kebijakan Saddam Hussein untuk melakukan invasi militer
ke wilayah negara Kuwait. Perang itu pun kemudian lebih dikenal sebagai Perang
Kuwait atau Perang Irak melawan pasukan multinasional (aliansi anti-Irak) di
90
Ibid.
41
bawah pimpinan AS, yang seringkali disebut juga sebagai Perang Teluk II untuk
membedakan dengan Perang Teluk I.91 Perang ini bermula dari: (1) terjadinya
perselisihan antara Irak dan Kuwait; (2) disusul dengan terjadinya invasi pasukan
Irak ke Kuwait (2 Agustus 1990); (3) aneksasi Irak atas Kuwait (8 Agustus 1990),
di mana Kuwait dijadikan provinsi ke-19 Irak; (4) terjadinya pengeboman besarbesaran pasukan sekutu terhadap Irak dan Kuwait (17 Januari 1991). 92 Kemudian,
invasi dan aneksasi Irak atas Kuwait berkembang menjadi konflik terbuka antara
Irak dan AS.93
Perang Teluk II yang dilancarkan oleh pasukan multinasional menamakan
misinya sebagai Operation Desert Shield atau Operasi Perisai Gurun, yang sejak
17 januari 1991 diubah menjadi Operation Desert Storm atau Operasi Badai
Gurun.94 Perang Teluk II secara langsung mengancam kepentingan AS. Ladang
minyak Kuwait yang setiap hari mengalirkan Dolar Amerika ke AS direbut oleh
pihak lain. Sejak itu, AS merasa serangan Irak terhadap Kuwait itu
membahayakan kepentingannya. Oleh karena itu, AS lantas merancang resolusi
dan dengan segala kekuatan berupaya meminta pengesahan Dewan Keamanan
PBB untuk mengusir dan melumpuhkan militer Irak. Alasan yang dikemukakan
91
Perang ini merupakan perang yang terjadi antara Iran dan Irak pada tahun 1980 sampai
1988.
92
Dhurorudin Mashad, Saddam Melawan Amerika (Jakarta: Pensil-324, 2003), h. 103.
Perang Teluk II ini disebabkan oleh tuduhan Saddam Hussein yang menyatakan, bahwa
sementara negara Arab telah menjalankan kebijakan perminyakan yang menikam Irak dari
belakang. Bahkan, Kuwait dan Uni Emirat Arab (UEA) dinilai telah mengadakan persekongkolan
dengan AS untuk menurunkan harga minyak di pasaran internasional karena setiap penurunan
harga minyak sebesar 1 dolar Amerika per barel akan mengurangi penerimaan Irak sebesar 1
miliar Dolar Amerika. Irak diperkirakan mengalami kerugian sebesar 14 miliar dolar Amerika
akibat jatuhnya harga minyak. Lihat Ibid., h. 108.
94
Sihbudi, Eksistensi palestina, h. 29.
93
42
AS, Irak telah melanggar hukum internasional dan hak rakyat Kuwait untuk
bernegara harus dipulihkan.95
Dengan hancurnya reaktor nuklir Irak di Osirak, sesungguhnya tinggal
selangkah lagi bagi AS untuk menjatuhkan Saddam Hussein. Namun, AS tidak
lantas melakukannya. Bukan AS tidak mampu menjatuhkan Saddam Hussein, AS
sengaja menjadikan Saddam Hussein sebagai monster bagi negara-negara Arab
lain agar tetap berlindung kepada AS. Artinya, jika Saddam Hussein digulingkan,
tidak ada lagi yang ditakuti, dengan begitu fungsi AS sebagai pelindung tidak
diperlukan lagi. Padahal AS masih ingin memainkan peranan sebagai pelindung
negara-negara Arab yang sangat dibutuhkan minyaknya.96
Berbagai upaya AS untuk mengkoersi Irak memperlihatkan bahwa
Saddam Hussein sangat rentan. Oleh karena itu, kemungkinan besar akan kalah
apabila
basis
kekuatannya
secara
efektif
diancam.
Berkenaan
dengan
mempertahankan dukungan dan loyalitas suku-suku utama agaknya kurang
menjadi perhatian para pejabat Partai Baath, pejabat militer, dan elit lainnya.97
Setelah terjadinya Operasi Badai Gurun, posisi domestik Saddam Hussein
sangat lemah dan ia takut bahwa pukulan lain dari koalisi anti-Irak akan
menghancurkannya. Responnya atas ancaman berikutnya dan serangan udara serta
rudal yang lemah pada tahun-tahun selanjutnya memperlihatkan rasa takutnya
bahwa serangan koalisi dapat menjatuhkan rezimnya. Serangan militer AS dan
bentuk tekanan lainnya yang dapat menjatuhkan Saddam Hussein memperlihatkan
95
Muhammad Soelhi, Demi Harga Diri Mereka Melawan AS (Jakarta: Pustaka Zaman,
2003), h. 102.
96
Ibid., h. 108.
97
Partai Baath merupakan Partai yang dipimpin oleh Saddam Hussein.
43
ketidakmampuannya untuk merespon atas tekanan AS dan mengancam kontrolnya
atas basis kekuasaannya.
Pada akhir Perang Teluk II, posisi AS sangatlah kuat di kawasan tersebut.
Militer Irak hancur dan rezim Saddam Hussein sedang tertatih-tatih. Sebaliknya,
AS mempunyai tekanan yang kuat baik di tingkat regional maupun dunia. Untuk
meningkatkan posisi militernya, Washington menandatangani serangkaian
persetujuan akses penjualan persenjataan dalam jumlah besar-besaran ke negaranegara sekutunya di Teluk Persia dan merencanakan kehadiran kekuatan AS
secara substansial di kawasan ini.
AS mengejar beberapa tujuan yang sangat bertentangan atas Irak. Pertama,
AS berupaya mencegah tindakan agresi Irak dengan mempertahankan Irak tetap
lemah dan kehadiran negeri ini di tingkat regional secara kuat. Ke dua, negara
adidaya ini berupaya membalikkan program NBC (Nuclear Biological Chemical)
Irak. Ke tiga, negara adidaya ini berupaya menggulingkan rezim Irak. Ke empat,
mencegah instabilitas di antara para sekutunya yang dapat diakibatkan oleh
tindakan AS.98 Empat tujuan inilah yang mendasari upaya AS untuk melakukan
tindakan koersi atas Irak sejak Perang Teluk II.
Tindakan koersi yang dilakukan AS atas Irak selama Perang Teluk II
justru berlawanan dengan tindakan yang diambil AS pada saat Perang Teluk I.
Jika pada Perang Teluk II atau Perang antara Irak dengan Kuwait, AS berada pada
pihak Kuwait dalam menghadapi Irak, hal yang sebaliknya justru terjadi ketika
Perang Teluk I atau Perang antara Iran dan Irak berlangsung, saat AS lebih
berpihak kepada Irak.
98
Zain, “Realitas Dibalik Konflik Amerika Serikat-Irak,” h. 49.
44
Perang Teluk I atau Perang antara Iran dan Irak yang dimulai dengan
tindakan Saddam Hussein yang mengirim ribuan tentara menyerang Iran pada
tanggal 22 September 1980 ini disebabkan oleh Saddam Hussein yang
membatalkan secara sepihak perjanjian damai Irak-Iran yang disepakati lewat
Perjanjian Aljier 1975.99 Saddam Hussein mengemukakan bahwa Perjanjian
Aljier dianggap tidak adil karena ditandatangani dalam situasi Irak sedang lemah.
Iran ketika itu berada di puncak kekuatan, bahkan memiliki angkatan bersenjata
terkuat di Teluk Parsi atau Teluk Arab. Iran yang kala itu berhubungan baik
dengan AS, ibaratnya sedang menjadi polisi kawasan. Oleh karena itu, Perjanjian
Aljier yang ditandatangani pada 6 Maret 1975 oleh Saddam Hussein dilihat tidak
layak dipertahankan. Namun, di balik itu ada alasan lain yang sebenarnya lebih
mendasar. Sebab, jika faktor ketidakadilan Perjanjian Aljier yang menjadi titik
picu, sebenarnya Saddam Hussein tidak perlu membatalkan secara sepihak,
apalagi dengan menyerang Iran.100 Terdapat alasan tersembunyi Saddam Hussein
dibalik invasinya terhadap Iran. Pertama, invasi Irak lebih merupakan artikulasi
dari ambisi Saddam Hussein yang ingin tampil sebagai tokoh yang diperhitungkan
di Dunia Arab dan kawasan Timur Tengah.101 Ke dua, keberhasilan Revolusi
Islam Iran membuat resah Saddam Hussein atau bahkan seluruh pemimpin negara
kawasan Teluk. Revolusi itu dicemaskan dapat mempengaruhi tumbuhnya
99
Isi perjanjian Aljier antara lain: (1) Shat al Arab sebagai jalur pelayaran internasional.
Batas perairan antara Irak-Iran didasarkan pada Protokol Konstantinopel 1913, peninggalan
persetujuan Persia dengan Ottoman (Irak sekarang), (2) Irak-Iran bekerjasama melakukan
pengawasan atas perbatasan. Irak menghentikan bantuan pada pemberontak Kurdi di Iran,
sebaliknya Iran juga tidak lagi membantu pemberontak Kurdi di Irak. Berdasarkan perjanjian itu
pula, Irak memenuhi permintaan Syah Iran mengusir Khomeini dari Irak, pada Oktober 1978,
sejak ia diusir dari Iran sendiri pada Oktober 1964. Mashad, Saddam Melawan Amerika, h. 82.
100
Sebab, dalam perjanjian terdapat klausul bahwa, perbedaan penafsiran dan pelanggaran
perjanjian dapat diselesaikan melalui arbitrase atau penengahan melalui Mahkamah Internasional.
Ibid., h. 83.
101
Ibid.
45
kekuatan fundamentalis, termasuk khususnya di Irak yang 52% penduduknya
bermazhab Syiah, sama seperti penduduk Iran.102
Perang Teluk I, selain melibatkan dua negara, yaitu Irak dan Iran, juga
telah membawa dua negara adikuasa AS dan Uni Soviet untuk terlibat dalam
perang tersebut. Sebelum terjadinya revolusi, Iran memiliki hubungan yang sangat
kuat dengan AS. Bahkan Syah Iran yang menjadi penguasa secara turun temurun
dianggap sebagai “boneka” AS. Berbagai peralatan perang AS pun dikirim ke Iran
untuk memperkuat negara tersebut. Akan tetapi, pascarevolusi, Iran justru sangat
jauh dari AS, karena Ayatullah Khomeini, penguasa Iran pengganti Syah sangat
membenci AS. Khomeini berusaha melepaskan pengaruh AS di Iran. Sementara
itu, pada sisi lain, sebelum berperang dengan Iran, Irak lebih dekat dengan Uni
Soviet, terutama sebelum Perang Arab-Israel tahun 1973. Saddam Hussein,
sebagai pemimpin Irak, menjalin hubungan yang erat dengan Uni Soviet agar
negara komunis itu dapat mengalirkan berbagai persenjataan yang mereka miliki
ke Irak. Suasana perang Dingin telah mengantarkan Uni Soviet membantu Irak
guna menyeimbangkan kekuatan di wilayah Teluk.
Ketika terjadi Perang Teluk I pada tahun 1980-1989, kondisi di atas
mengalami perubahan. Iran tidak lagi dekat dengan AS. Sedangkan Irak tetap
berhubungan baik dengan Uni Soviet dan bahkan AS juga ikut merangkulnya.
Dengan demikian, Irak tidak hanya mendapat bantuan persenjataan dari Uni
Sovet, tetapi dari AS. Bantuan AS pada Irak itu adalah dalam rangka melawan
Iran. Meskipun secara resmi AS tidak memihak siapapun dalam Perang Teluk I,
102
Ibid.
46
tetapi di belakang, AS justru membantu Irak, hal ini dilakukan untuk
menyelamatkan kepentingan minyaknya di Timur Tengah.103
Keberpihakan AS terhadap Irak dalam Perang Teluk I tersebut memang
berlawanan dengan sikap AS terhadap Irak ketika berlangsungnya Perang Teluk
II, di mana AS berpihak kepada Kuwait dalam menghadapi Irak seperti yang telah
penulis paparkan sebelumnya. Pasang surut hubungan antara dua negara memang
lazim terjadi. Begitu pula dengan hubungan antara AS dan Irak. Bahkan hubungan
AS dan Irak ini mengalami titik terendahnya yakni ketika AS melancarkan invasi
militernya terhadap Irak pada 20 Maret 2003 tanpa dikutuk apalagi dicegah oleh
PBB. Invasi ini memperoleh kesempatannya setelah terjadinya Tragedi 9/11.
Dengan terjadinya tragedi tersebut maka AS mempunyai kesempatan untuk
menyerang Irak setelah dikeluarkannya tuduhan AS mengenai keterlibatan
pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan Al-Qaeda.104 Menurut AS, Irak
terlibat dalam jaringan teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden, yang
dituduh sebagai tokoh utama di balik Tragedi 9/11.105 Bahkan selain tuduhan
tersebut, AS juga menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal. AS
memberikan label terorisme pada setiap negara yang tidak mau bekerjasama
dengan AS dalam menumpas terorisme. Dalam kesempatan ini pula AS
memberikan label kepada Irak, Iran, dan Korea Utara sebagai negara-negara
103
Ibid., h. 93.
Ibid., h. 152.
105
Para pejabat Irak diketahui berulang kali telah melakukan pertemuan dengan anggota
Al-Qaeda, khususnya dengan para anggota sel yang dipimpin Al Zarkawi yang tinggal di suatu
tempat di Irak bagian Timur Laut. Irak aktif berhubungan dengan Al-Qaeda terutama setelah
peristiwa peledakan bom di Kedutaan Besar AS di Kenya tahun 1998. Ibid.
104
47
pendukung terorisme atau negara-negara axis of evil. Akibatnya ketiga negara itu
selalu diawasi oleh AS setiap saat.106
Peristiwa tersebut mengangkat kata terorisme menjadi kata yang paling
sering digunakan oleh AS dan melahirkan sebuah doktrin yang disebut doktrin
Bush “either you are with us or with our enemy,” yaitu tindakan untuk mencari
dan mendapatkan dukungan ke negara-negara lain dalam hal mendukung
pemberantasan terorisme di dunia.107 Doktrin Bush ini mampu mempengaruhi
hubungan AS dengan negara-negara lain, karena doktrin tersebut menjadi tolak
ukur dalam membina hubungan dengan negara-negara lain.
Aksi AS untuk memberantas terorisme ini diawali dengan aksi militer ke
Afganistan yang didukung oleh Inggris sebagai sekutu terdekat AS merupakan
salah satu usahanya untuk menumpas terorisme karena Washington berkeyakinan
bahwa Tragedi 9/11 dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin
Laden. Walaupun pada akhirnya tuduhan yang dilemparkan kepada Osama bin
Laden tidak terbukti seluruhnya. Untuk menjaga keutuhan kredibilitas
AS
sebagai super power dan perannya sebagai “polisi dunia”, maka AS membuka
kembali kasusnya dengan Irak di masa lalu. Hal ini merupakan sebuah pengalihan
atas tidak berhasilnya AS menemukan Osama bin Laden.
Bush, yang didukung sepenuhnya oleh Inggris, Australia, dan Spanyol,
tetap bersikeras menyerang Irak dan menggulingkan Saddam Hussein dengan
dalih kepemilikan senjata pemusnah massal (WMD) Irak, keterkaitan Baghdad
dengan jaringan teroris Al-Qaeda, serta pembebasan rakyat Irak dari belenggu
106
Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”, h. 73.
Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak, h. 36.
107
48
rezim tirani Saddam.108 Namun, satu demi satu kebohongan Bush mulai
terungkap. Setelah lebih dari setahun menduduki Irak, para petinggi AS tak
mampu membuktikan kebenaran tuduhannya perihal keberadaan WMD Irak.109
Terjadinya Tragedi 9/11 akan mempermudah bagi Presiden George W.
Bush untuk menjalankan ambisinya menggulingkan Saddam Hussein serta
mengganti sistem pemerintahannya menjadi sistem yang lebih demokratis,
sehingga mempermudah AS untuk menguasai Irak. Paling tidak, ada enam faktor
yang memotivasi Presiden Bush di balik ambisi perangnya.110 Pertama, Presiden
Bush
menggunakan
isu
perang
Irak
untuk
menutupi
berbagai
ketidakberhasilannya dalam mengatasi persoalan sosial-ekonomi di dalam
negerinya sendiri. Ke dua, keinginan Presiden Bush untuk melampiaskan dendam
keluarganya terhadap Saddam. Ke tiga, Presiden Bush ingin menutupi
kegagalannya dalam memburu Osama bin Laden dan Mullah Umar di Afganistan.
Ke empat, terinspirasi oleh keberhasilannya dalam menghancurkan rezim Taliban
dan menciptakan rezim boneka di Afganistan, Presiden Bush berusaha melakukan
hal yang sama di Irak yakni mendirikan rezim boneka di Irak yang dapat didikte
oleh Washington dengan tujuan, tidak lain, untuk menguasai minyak Irak. Ke
lima, seperti dalam kasus kampanye anti-terorisme yang dikembangkan AS pascaTragedi 11 September 2001, dalam kasus Irak pun tampak jelas kuatnya pengaruh
faksi garis keras di lingkaran elite politik Gedung Putih yang selalu
mengedepankan pendekatan pragmatis dan sangat militeristis. Ke enam, selain
108
Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), h. 388.
Bahkan di antara para petinggi AS dan Inggris sendiri justru terjadi saling tuding, yang
salah satunya berujung pada mundurnya Direktur CIA (Central Intellegence Agency atau dinas
intelijen AS) George Tenet, awal Juni 2004. Kendati di depan publik Tenet menyebut “alasan
keluarga” di balik pengunduran dirinya, banyak kalangan yakin ia dipaksa mundur akibat
kekacauan kinerja CIA baik dalam kasus 9/11 maupun invasi ke Irak. Ibid.
110
Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak, h. 34-36.
109
49
berwatak militeristis, mereka juga dikenal sangat pro Israel. Oleh karena itu,
ambisi Presiden Bush untuk melucuti senjata Irak juga dimaksudkan untuk
mengeliminir ancaman militer Arab terhadap Israel.
Tuduhan-tuduhan AS terhadap Irak mengenai senjata pemusnah massal
menimbulkan pro dan kontra dari berbagai negara karena tuduhan yang
dilemparkan oleh AS terhadap Irak belum seluruhnya terbukti. Walaupun begitu,
seluruh pro dan kontra dari berbagai negara tersebut tidak menyurutkan keinginan
AS untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein.
50
BAB IV
PENGARUH KEPENTINGAN EKONOMI
DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT
PADA PERANG IRAK TAHUN 2003
Dalam penelitian ini, penulis menganalisa bahwa kepentingan minyak
merupakan alasan utama yang melatarbelakangi invasi Amerika Serikat terhadap
Irak. Berbagai dalih yang dipakai AS untuk menyerang Irak dengan mudah dapat
dipatahkan. Oleh sebab itu, sangat sulit mempercayai begitu saja argumenargumen yang dipakai oleh Presiden Bush untuk melancarkan invasinya di Irak,
seperti yang telah penulis utarakan sebelumnya yakni mengenai masalah
kepemilikan senjata pemusnah massal Irak, keterkaitan Saddam Hussein dengan
jaringan terorisme internasional, dan sikap represif rezim Saddam Hussein.
Irak adalah sebuah
negara yang memiliki cadangan minyak ke dua
terbesar di dunia setelah Arab Saudi. Faktor minyak selalu menjadi isu sentral dan
senantiasa dilihat sebagai salah satu pemicu konflik di Timur Tengah, tak
terkecuali pula dalam konflik AS-Irak.111 Namun, isu ini kurang diekspos karena
111
Dalam konteks konflik AS-Irak, isu minyak memang makin membayangi konflik
tersebut, terutama setelah tercapai kesepakatan ekspor minyak Irak sesuai dengan perjanjian
minyak dengan imbalan makanan (oil for food) pada tahun 1996. Irak berusaha menggunakan
senjata minyak dengan tujuan tercabutnya embargo total PBB atas negeri itu yang berlangsung
sejak tahun 1990. Misalnya, Baghdad menawarkan proyek eksplorasi minyak pada sejumlah
negara dengan imbalan negara-negara tersebut mendukung dan membantu upaya pencabutan
embargo PBB atas Irak. Sejumlah negara seperti Rusia, Cina, Perancis, dan India telah
mendapatkan proyek raksasa di Irak. Barangkali faktor inilah yang menyebabkan Rusia, Cina,
Perancis, dan juga Jerman masih menolak keras serangan AS ke Irak, kecuali dalam naungan PBB.
Selain itu, ketergantungan negara-negara Uni Eropa, Jepang, dan Cina pada minyak Timur Tengah
jauh lebih besar dibanding AS. AS sendiri masih dapat mengandalkan minyak dari Kanada,
Meksiko, dan Venezuela. Harmiyati, “Dimensi Teknologi, Keamanan, dan Ekonomi dalam Invasi
AS ke Irak,” Jurnal Paradigma, vol. VII, no. 20 (Maret 2003), h. 36.
51
AS lebih mengedepankan isu mengenai hal memerangi terorisme yang ada di
setiap negara.
Timur Tengah memang bukan hanya hamparan Padang Pasir yang luas,
jauh di bawah tanahnya tersimpan setidaknya 70% cadangan minyak dunia. Dari
catatan terakhir OPEC, cadangan minyak yang ada di Timur Tengah sedikitnya
ada 800 miliar barel dan tersebar hanya di beberapa negara, seperti Arab Saudi,
Irak, Iran, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Qatar.112 Perhatian AS pada minyak di
wilayah ini semakin besar setelah aksi boikot minyak Arab menyusul Perang
Arab-Israel tahun 1973.
Sebagai salah satu negara industri besar, sangat wajar jika AS memerlukan
minyak dalam jumlah yang begitu besar untuk menjalankan kegiatan industrinya
baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun luar negeri. AS sendiri memiliki
cadangan minyak mentah sejumlah 22 miliar barel, dan apabila kebutuhan minyak
AS dibandingkan dengan cadangan minyak mentahnya, maka AS hanya akan
mampu memenuhi kebutuhan minyak dalam negerinya selama tiga tahun. Oleh
karena itu, AS harus memenuhi kebutuhannya akan minyak dengan jalan
melakukan impor. AS mengimpor 53% dari kebutuhan minyaknya, dan impornya
akan meningkat hingga 62% pada tahun 2020.113 Sebanyak 30% dari total impor
AS ini berasal dari negara-negara Timur Tengah. Ketergantungan terhadap
minyak dari Timur Tengah akan semakin meningkat di masa yang akan
mendatang, mengingat selain Timur Tengah memiliki cadangan minyak yang
112
Elba Damhuri, Di balik Invasi AS ke Irak (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003),
h. 11.
113
Mustafa Abd. Rahman, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari
Lapangan) (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003), h. 59.
.
52
besar, produksi minyak di AS semakin menurun akibat terus dimanfaatkannya
cadangan minyak di sana.114
Berdasarkan National Energy Policy Report AS yang diumumkan Gedung
Putih pada Mei 2001, ketergantungan minyak dari Teluk Parsi telah mencapai
setengah dari total konsumsi AS, sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan
ketergantungan ini akan mencapai dua pertiga dari seluruh konsumsi minyak
AS.115 Oleh karena itu, sesuai kebijakan luar negerinya di Timur Tengah, AS
harus memperoleh strategi yang dapat digunakan sebagai pijakan menopang
kepentingannya itu.
AS tidak bisa lepas, bahkan masih sangat tergantung pada suplai minyak
Timur Tengah. Presiden George W. Bush di depan Kongres pada 17 Mei 2001
menyampaikan strategi pengadaan energi AS dengan slogan “Tingkatkan
mengalirnya minyak”.116 Dalam konsep Presiden Bush tersebut ditegaskan, tujuan
strategisnya sudah jelas, yaitu terjaminnya persediaan minyak hingga pada tingkat
yang tidak mengancam keamanan nasional dan ekonomi AS.117
Pada bulan Mei 2001, AS kembali menempatkan keamanan energi sebagai
masalah
prioritas,
di
mana
diupayakan
untuk
menghindari
terjadinya
ketidakpastian pasokan dengan memprioritaskan di dalam hubungan luar negeri
dan perdagangan AS. Di dalam kebijakan energi nasional AS (National Energy
Policy 2001), dikatakan bahwa “...energy security must be priority of US trade
114
Kebutuhan AS akan minyak per hari adalah 20 juta barel dan AS hanya memenuhi
40% nya. Damhuri, Di balik Invasi AS ke Irak, h. 15.
115
Ibid.
116
Rahman, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, h. 59.
117
Ibid.
53
and foreign policy.”118 Pada Kebijakan Energi Nasional juga dikatakan bahwa
ketergantungan AS pada pasar energi yang stabil dan kebutuhan pada kebijakan
luar negeri yang akan mendukung suplai energi AS. Di samping itu juga
dikatakan bahwa:
“Gangguan yang besar pada suplai minyak dunia dapat mempengaruhi
ekonomi dan kemampuan AS untuk memproduksi tujuan kebijakan luar
negeri dan kebijakan ekonomi tanpa menghiraukan pada tingkat
ketergantungan AS pada impor minyak. Selain itu juga, negara-negara
penghasil minyak di Timur Tengah tetap akan menjadi pusat keamanan
minyak dunia. Kawasan Teluk tetap akan menjadi fokus utama kebijakan
energi nasional AS.”119
Merujuk kepada hal tersebut, terlihat bahwa keamanan energi atas akses
terhadap sumber-sumber minyak merupakan prioritas bagi AS dan karenanya
dibutuhkan kebijakan luar negeri yang akan mendukung hal tersebut. Oleh karena
itu, inti dari kebijakan AS di kawasan Timur Tengah yang mengandung cadangan
minyak bumi dalam jumlah yang sangat besar, termasuk Irak adalah demi
kepentingan nasionalnya yakni mengenai akses terhadap minyak yang terdapat di
kawasan tersebut untuk kepentingan industri AS sendiri atau demi sekuritisasi
kepentingan nasional AS di kawasan tersebut.
Menurut Riza Sihbudi, selain cadangan minyak yang dimiliki Irak,
terdapat perhitungan-perhitungan ekonomi bisnis lainnya yang mendasari invasi
AS ke Irak, antara lain bahwa minyak dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi
dunia dan jika harganya tidak stabil, terutama jika harga minyak naik secara
118
“National Energy Policy: Report of the National Energy Policy Development Group,
May 2001”, Chapter 8, h. 4. Kebijakan Energi Nasional AS ini sering disebut juga dengan
“Cheney Energy Plan”, karena ide kebijakan tersebut berasal dari Wakil Presiden Amerika Serikat,
Dick Cheney. Lihat www.wtrg.com/EnergyReport/National-Energy-Policy.pdf, diakses pada 1 1
Mei 2011, pukul 15.20.
119
Ibid., h. 3.
54
tajam.120 Hal ini menyebabkan nilai impor minyak meningkat, biaya produksi
meningkat yang akhirnya akan menurunkan produktivitas. Produktivitas ekonomi
yang turun akan memerosotkan perekonomian dan menghambat pertumbuhan
kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi tentu penting bagi AS.
Dalam harian The Washington Post edisi 15 September 2001, dikatakan
dengan jelas, niat AS menjatuhkan Saddam Hussein akan membuka pintu bagi
perusahaan minyak di AS menguasai minyak Irak121 Namun, obsesi AS untuk
dapat menguasai minyak Irak masih terbentur oleh hambatan yang lain, yakni
kepentingan negara-negara besar seperti Perancis, Rusia, dan Jerman yang tidak
menyukai dominasi AS dalam bisnis minyak di Irak.122 Negara-negara tersebut
telah menjalin kerjasama bisnis minyak Irak sejak program oil for food
diberlakukan.123 Di tengah-tengah penerapan sanksi embargo ekonomi terhadap
Irak, mereka bahkan berhasil meningkatkan kontrak-kontrak dagang dengan
menandatangani sejumlah MoU dengan Irak, yang realisasinya akan terwujud
segera setelah sanksi embargo ekonomi dicabut. Sebaliknya, maksud lain dari
pendekatan Irak terhadap negara-negara besar anggota DK PBB (Perancis, Rusia,
dan Cina) itu tidak lain adalah mengupayakan dukungan bagi pencabutan
sanksi.124 Selain negara-negara tersebut, terdapat beberapa negara lain yang telah
mengikat kontrak kerjasama bisnis dengan Irak seperti Jerman, Spanyol, Italia,
Belanda, Portugal, Cina, dan masih banyak lagi yang lain. Mayoritas mereka
120
Riza Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no.
2 (Mei-September 2003), h. 39.
121
Mashad, Saddam Melawan Amerika, h. 156.
122
Harmiyati, “Dimensi Teknologi, Keamanan, dan Ekonomi dalam Invasi AS ke Irak,” h.
36.
123
Program oil for food ini dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa pada bulan Desember 1991 berdasarkan keputusan No. 706 yang mengizinkan Irak untuk
mengekspor minyak untuk membeli kebutuhan pangan dan obat-obatan.
124
Ibid.
55
khawatir jika Saddam Hussein tersingkir nanti, perusahaan minyak AS akan
mendominasi dan mereka akan tersingkir, kendati pemerintah AS sudah berulang
kali berusaha meyakinkan mereka untuk memberikan jaminan keuntungan jika
mereka bersedia membantu penggulingan Saddam Hussein.125 Fenomena
kekhawatiran negara-negara non-Amerika ini agaknya kian terbukti pascainvasi
AS ke Irak, yang ditunjukkan dengan adanya persiapan Bush yang telah menunjuk
lima perusahaan minyak AS untuk merekonstruksi Irak pascaperang. Lima
perusahaan pemenang tender itu adalah Kellog Brown and Root dari Halliburton
di Houston; Bechtel Group dari San Fransisco; Fluor dari Aliso Viejo, California;
Louis Berger Group dari East Orange, New Jersey; dan Parsons Corp. dari
Pasadena,
California.126
mendapatkan
keuntungan
Bahkan
paling
Halliburton,
sebagai
perusahaan
yang
besar
proyek
rekonstruksi
Irak,
dari
mendapatkan salah satu kontrak tersebut, yakni dengan total 1,2 miliar dolar
Amerika untuk memperbaiki jasa minyak (restore oil service) di kawasan Irak
Selatan.127
Pemerintah AS telah menyediakan biaya talangan untuk program
rekonstruksi Irak sebesar 1,7 miliar dolar Amerika, dengan harapan biaya itu
dapat kembali setelah AS berhasil mengontrol industri minyak Irak pascainvasi.128
Sementara, oleh pihak Pentagon, sejumlah perusahaan minyak non-Amerika telah
125
Sekalipun demikian, pihak negara-negara non-Amerika tetap bersikap skeptis akan
prospek bisnisnya di Irak, apalagi dengan adanya pernyataan pemimpin INC (Iraqi National
Congress), Ahmed Chalabi, yang berterus terang akan lebih berpihak pada konsorsium pimpinan
AS untuk mengembangkan perminyakan Irak. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa
perusahaan-perusahaan AS seperti Exxon Mobil Oil, Chevron, Standard Oil, dan sebagainya, akan
memainkan peranan besar. Lihat Ibid., h. 37.
126
Ibid.
127
Griff Witte, “Iraq: Army to End Expansive, Exclusive Halliburton Deal”, dalam
Washington Post, 12 Juli 2006. Diakses dari http://www.corpwatch.org/article.php?id=13870,
pada 20 November 2010, pukul. 20.00.
128
Harmiyati, “Dimensi Teknologi, Keamanan, dan Ekonomi dalam Invasi AS ke Irak,” h.
37.
56
direncanakan untuk masuk ke dalam daftar blacklist, yang termasuk di dalamnya
adalah Shell dari Inggris, Total dari Perancis, dan ENI dari Italia.129
Industri minyak lahir di AS dan secara otomatis membawa mata uang
Dolar
Amerika
sebagai
patokan
harga
minyak,
begitu
juga
untuk
pembayarannya.130 Sekitar dua pertiga cadangan devisa negara-negara di dunia
disimpan dalam mata uang Dolar Amerika. Semenjak digunakan dalam transaksi
perdagangan minyak internasional telah menjadikan AS sebagai hegemoni
ekonomi dunia. Oleh karena itu, kemunculan mata uang Euro yang semakin hari
mampu menunjukkan kemampuan untuk menjadi pesaing terkuat Dolar Amerika
menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
Sejak kemunculannya pada tanggal 1 Januari 1999, Euro sudah mampu
menggeser hegemoni dolar Amerika. Empat hari setelah kemunculannya, nilai
Euro di pasar mencapai 1,19 dolar Amerika. Artinya, Euro mengalami apresiasi
dengan signifikan. Memang Euro pernah terhempas di bawah satu dolar Amerika.
Namun, tak lama kemudian terjadi pergeseran, Euro kembali menguat setelah
pada tahun 2000 sempat terperosok hingga 0,85 per dolar Amerika. Penguatan itu
terus berjalan, per 19 Maret misalnya, nilai Euro mencapai 1,063 per dolar
Amerika.131 Fluktuasi ini juga tak terlepas dari pengaruh banyaknya negara yang
melakukan transaksi dengan Euro. Dengan begitu, ketergantungan mereka
terhadap AS akan semakin berkurang dan mengikis kepercayaan terhadap dolar
Amerika.
129
Ibid.
Purbo, Geopolitik Perminyakan, h. 185.
131
M. Hamidi Luthfi, Dolar VS Euro, Awal Kebangkrutan AS (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2003), h. 76-77.
130
57
Sejak mata uang Euro pertama kali diluncurkan, sebagian besar pengamat
telah menegaskan bahwa Euro memiliki kekuatan untuk tampil sebagai pesaing
bagi dolar Amerika dalam perekonomian dunia.132 Sekalipun posisi dan kekuatan
Euro pada fase-fase awal peluncurannya cenderung tidak stabil terhadap mata
uang kuat lainnya termasuk dolar Amerika, tetapi mata uang ini telah berhasil
menampilkan dirinya sebagai mata uang alternatif bagi aktivitas ekonomi global,
termasuk dalam urusan jual-beli minyak dunia. Hanya beberapa waktu sebelum
pemerintah AS melansir kampanye perangnya, pemerintah Irak mengeluarakan
sebuah ancaman bagi kepentingan AS ketika pemerintah ini berniat menjual
minyaknya dalam Euro.133
Dalam perspektif ini, serangan AS terhadap Irak lebih mudah dimengerti.
Iraklah yang pertama kali yang meminta oil for food mereka dibayar oleh PBB
dengan menggunakan mata uang Euro. Ternyata bukan hanya penjualan minyak
yang dikonversikan ke Euro, Saddam Hussein pun memerintahkan aparatnya
untuk mengganti cadangan devisanya sebesar 10 miliar dolar Amerika, dengan
Euro. Padahal nilai Euro saat itu masih 90% dari nilai dolar Amerika dan sejak
diluncurkan sejak Januari 1999, nilai Euro terus terdepresiasi terhadap dolar
Amerika, namun Irak seakan tidak peduli.134
Puncak kekhawatiran itu terjadi bila ternyata solidaritas anggota OPEC
memutuskan pembayaran minyaknya hanya dalam bentuk mata uang Euro.
Karena dari 75 miliar barel produksi minyak pertahun, 60% nya dihasilkan
anggota OPEC. Dapat dibayangkan, apabila semua anggota OPEC mengganti
132
Siti Muti‟ah Setiawati, dkk., Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, Dampaknya Bagi
Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL
UGM, 2004), h. 110.
133
Ibid.
134
Damhuri, Di balik Invasi AS ke Irak, h. 56.
58
pembayarannya dari dolar Amerika ke Euro, maka dolar Amerika akan
terdepresiasi besar-besaran.135 Untuk itu, AS memerlukan tekanan politik dan
bahkan militer yang besar untuk menggertak negara-negara OPEC agar tak beralih
ke Euro dengan cara menjatuhkan Saddam Hussein. Sebab, dengan cara
menjatuhkan Saddam Hussein sebagai pemimpin Irak, AS dapat menggertak
negara-negara OPEC yang telah menggunakan Euro agar kembali menggunakan
dolar Amerika sebagai alat pembayaran internasional.
Perubahan status Euro dalam perdagangan minyak seperti yang diutarakan
di atas memiliki implikasi geopolitik. Perubahan ini di antaranya membuka
peluang bagi Eropa untuk menjalankan peran yang lebih dominan di Timur
Tengah.136 Dapat diperkirakan, dengan kehadiran Eropa di Timur Tengah akan
berdampak luas pada konstelasi kekuatan di kawasan ini yang selama ini berada di
bawah dominasi AS dan sekutu-sekutu terdekatnya. Karena itu, bagi
pemerintahan Presiden George W. Bush, menguatnya posisi Euro dalam pasar
minyak merupakan ancaman serius, bukan saja bagi kepentingan minyak AS,
tetapi juga dominasi negara ini di Timur Tengah.
Perang Irak yang dilancarkan pemerintahan Presiden Bush dapat dilihat
sebagai kebijakan luar negeri yang rasional, yang bertumpu pada kepentingan
minyak dan pelestarian dominasi AS. Tetapi penggunaan istilah kepentingan AS
itu sendiri cenderung mengaburkan. Perang Irak membuktikan bahwa minyak
yang menjadi salah satu isu sentral dari perang tersebut berkaitan erat dengan
kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional. Seringkali yang dimaksudkan
135
Sebagai gambaran, nilai ekspor Iran mencapai 16 miliar dolar Amerika. Lihat Hasan
Basri Sagala, “Kebijakan George Walker Bush Tentang Isu Senjata Pemusnah Massal Irak,” (Tesis
Pascasarjana Universitas Indonesia), h. 111.
136
Setiawati, Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, h. 111.
59
dengan kepentingan nasional AS adalah kepentingan perusahaan-perusahaan ini
untuk memperoleh akses ke ladang-ladang minyak di Irak dan juga untuk
memperoleh hak rekonstruksi pascaperang.137
Sekedar tambahan bahwa pemerintah Presiden George W. Bush
mendapatkan persetujuan Kongres AS untuk biaya awal rekonstruksi Irak sebesar
2,45 miliar dolar Amerika.138 Bahkan pemerintah Presiden Bush telah menerima
anggaran tambahan dari Kongres sebesar 80 miliar dolar Amerika. Biaya yang
dibutuhkan oleh pemerintahan Presiden Bush untuk melakukan proses
rekonstruksi Irak yang akan semakin membesar dan kemungkinan akan adanya
dana tambahan yang sangat besar.
Perang Irak atas nama pembebasan negeri Irak dari pemerintahan Saddam
Hussein yang diktator juga menunjukkan kemenangan industri dan perusahaan
kontraktor militer AS. Dengan kata lain, langkah Presiden Bush yang tampak
menyukai perlombaan senjata ketika menyerang Irak juga tidak dapat dipisahkan
dari kepentingan industri senjata dalam negeri AS. Hal ini dapat dilihat dari
peningkatan anggaran pertahanan AS setelah terjadinya Tragedi WTC pada tahun
2001 yang mencapai 450 miliar dolar Amerika.139 Padahal, total anggaran
pertahanan dunia berjumlah 900 miliar dolar Amerika. Artinya, setengah dari
biaya pertahanan dunia telah didominasi oleh AS. Dengan angka tersebut, AS
menjadi satu-satunya negara di dunia yang paling banyak menghabiskan uang
untuk bidang pertahanan.
137
Ibid., h. 112.
Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 42.
138
Mohammad Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan
Minyak Amerika Serikat,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia, 2005), h. 87.
139
60
Perang Irak benar-benar telah memamerkan kecanggihan teknologi
persenjataan yang dimiliki AS. Berbagai senjata maupun produk militer paling
canggih dikeluarkan oleh AS, mulai dari pesawat intai tanpa awak (Unmanned
Aerial Vehicle), pesawat pengacau sinyal elektronik (jammer), pesawat pembom
siluman, bom cluster, hingga armada laut berupa Carrier Battle Group (CBG).140
Dalam hal ini, Perang Irak dijadikan oleh AS sebagai pameran peralatan tempur
untuk pasar internasional. Seluruh dunia bisa menyaksikan bagaimana kehebatan
peralatan tempur AS menghancurkan Irak sekaligus menjadi semacam justifikasi
bagi peralatan tempur AS untuk dapat dikategorikan battle proven (terbukti di
medan perang).141
Tentu saja yang paling gembira dalam gelar persenjataan ini adalah
kalangan industri militer AS. Perang Irak selain memuluskan keinginan kelompok
garis keras yang mendominasi pemerintahan Presiden Bush, juga menguntungkan
perusahaan-perusahaan senjata di AS.
Industri pertahanan dan kontraktor militer merupakan salah satu dari para
pelobi yang paling berpengaruh di AS, khususnya sejak Perang Dunia II. Industri
militer tersebut juga merupakan salah satu sumber dana bagi calon wakil-wakil
rakyat di Kongres dan Senat AS. Bahkan Presiden Bush sendiri dalam
kampanyenya pada tahun 2000, juga ikut menikmati kucuran dana dari sumber
tersebut. Paling tidak, industri militer AS telah memberikan sumbangan politik
sebesar 72,5 juta dolar Amerika.142 Karenanya tidak heran jika pejabat-pejabat
tinggi di AS dapat terpengaruh oleh lobi para pemegang kekuasaan di bidang
140
Wirawan Sukarwo, Tentara Bayaran AS di Irak (Jakarta: GagasMedia, 2009), h. 198-
199.
141
Ibid., h. 202.
Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika
Serikat,” h. 91.
142
61
industri senjata. Apalagi menurut sebuah lembaga penelitian militer di AS, Arms
Trade Resources Center, menyatakan bahwa sebanyak 32 dari pejabat tinggi
pemerintahan Presiden Bush adalah mantan direksi, konsultan, dan pemegang
saham pada industri pertahanan dan perusahaan kontraktor.143
Bagaimanapun juga, Perang Irak itu sendiri dan kerusakan yang
ditimbulkannya juga membawa keuntungan lain bagi perusahaan-perusahaan AS.
Tak lama setelah perang dimulai, Presiden Bush menegaskan bahwa, semua
kontrak bagi rekonstruksi pascaperang akan diberikan kepada perusahaanperusahaan AS. Sebagian besar perusahaan-perusahaan ini adalah donatur Partai
Republik. Halliburton, diantaranya, merupakan salah satu perusahaan yang
memperoleh keuntungan besar dari Perang Irak. Bersama dengan perusahaan yang
dekat dengan Partai Republik lainnya, yakni Bechtel, Halliburton juga termasuk
dalam daftar perusahaan-perusahaan AS yang akan menerima dana dengan jumlah
melebihi 900 juta dolar Amerika untuk pembangunan kembali infrastruktur dan
fasilitas umum di irak.144
Dipilihnya kebijakan untuk melancarkan perang dengan Irak secara
unilateral oleh AS yang bertujuan untuk menguasai sumber-sumber minyak yang
strategis dapat dijelaskan dengan tiga argumen penyebab perang. Terdapat tiga
argumen yang dapat menjelaskan sebab-sebab terjadinya perang yaitu faktor
geopolitik, ketamakan, dan “negara minyak”.145 Penjelasan geopolitik pada
143
Ibid.
Setiawati, Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, h. 113.
145
Sukawarsini Djelantik, “Minyak dalam Diplomasi dan Politik Global,” Jurnal Ilmiah
Hubungan Internasional, vol. 6, no. 1, (Maret 2010), h. 55.
144
62
intinya menggambarkan upaya untuk mengejar kepentingan nasional melalui
penguasaan atas minyak, baik untuk alasan-alasan ekonomi maupun strategis.146
Minyak
menguasai
sektor-sektor
industri
yang
menjadi
jantung
perekonomian di negara-negara Barat. Kekuatan militer AS terletak pada
penguasaan akses sumber-sumber minyak, bahkan tidak dapat bertahan tanpa
terjaminnya pasokan.147 Karena minyak merupakan kepentingan vital negaranegara Barat, maka tidak ada satu negarapun diizinkan untuk mendominasi
pasokan minyak dunia. Kalau perlu, kekuatan senjata menjadi penjamin terakhir
keamanan pasokan. Negara-negara industri maju menjadi lebih tergantung pada
impor minyak dan lebih sering mengalami kekurangan pasokan. Maka minyak
tidak saja menjadi isu kebijakan luar negeri, tetapi juga keamanan nasional.
Kekuatan minyak juga dibuktikan dengan fakta bahwa kekuatan militer AS lebih
banyak dipakai sebagai alat untuk jasa mengamankan minyak. Ladang-ladang
minyak di luar negeri dan rute-rute pasokan dilindungi oleh militer agar pasokan
terjamin.148
Analisis geopolitis relevan dengan konsep perang lama, seperti dalam
Perang Dunia I dan II, ketika minyak memegang peran strategis yang mendasar
sehingga menjadi komoditas vital.149 Minyak penting sebagai modal dalam kedua
perang besar ini, mengingat revolusi persenjatan militer sangat mengandalkan
kendaraan darat, tank, pesawat udara, dan kapal perang yang digerakkan dengan
minyak. Kemudian, Minyak dianggap sebagai pusat gravitasi baru pada tata
146
Ibid.
Ibid.
148
Ibid.
149
“Perang lama” merupakan istilah yang dipakai untuk perang yang sifatnya geopolitis,
melibatkan persaingan antar negara, khususnya negara-negara besar. Perang lama atau
konvensional juga terkait upaya menguasai wilayah dan membagun aliansi yang kuat dengan
aktor-aktor domestik, membangun dan mempengaruhi pemerintahan yang kuat dan otoriter, selain
mendapatkan kontrak dan konsesi. Lihat Ibid., h. 52.
147
63
pemerintahan pasca perang Dunia II, khususnya ketika AS mulai tergantung pada
pasokan minyak dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan terhadap energi yang
semakin besar.
Mengamankan kepentingan minyak di Timur Tengah telah menjadi bagian
dari kebijakan pemerintah AS. Pemerintah AS telah memiliki komitmen kuat
untuk menjaga dan melindungi minyak di kawasan Teluk. Dalam Prinsip Carter
dinyatakan bahwa, kawasan Persia merupakan a vital interest of the United States,
dan diikuti dengan suatu pernyataan secara terbuka bahwa, “an attempt by outside
force to gain control on the Persian Gulf region will be regarded regarded as an
assault on the vital interest of the United States of America, and such an will be
repelled by any means necessary, including military force.”150
Dengan adanya invasi AS ke Irak dapat menjaga keamanan cadangan
minyak strategis AS dari berbagai gangguan seperti bencana alam, masalah politik
dalam negeri negara lain, dan stabilitas harga minyak dunia. Jika AS menyerang
Irak dan berhasil menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein di Baghdad, hal
itu akan membentangkan jalan bagi perusahaan-perusahaan minyak AS untuk
beroperasi di Irak dan mengeksplorasi cadangan minyaknya yang sangat besar itu
secara aman. Bila skenario itu dapat terwujud, Irak dapat menambah kemampuan
produksi minyaknya hingga mencapai 3,5 juta barel/hari, lalu lambat laun sampai
6 juta barel/hari setelah lima tahun mendatang. Penambahan produksi minyak Irak
itu akan membawa dampak terjadinya surplus minyak di pasar yang menyebabkan
semakin lemahnya OPEC mengontrol harga. Jika skenario itu terjadi, maka akan
membuat Washington makin berani menekan negara-negara Arab Teluk yang
150
Dirgo D. Purbo, Geopolitik Perminyakan (Jakarta: Verbum-Centre for the Study of
Intellegence and Counter Intelligence), h. 170.
64
kaya minyak itu untuk melakukan reformasi ekonomi dan politik. Untuk
diketahui, AS mengimpor minyak dari negara-negara Arab Teluk dan Irak pada
tahun 2001 sekitar 2,7 juta barel sehari yakni 30% dari keseluruhan impor minyak
AS. Impor minyak terbesar AS berasal dari Arab Saudi, yaitu sekitar 1,6 juta barel
sehari atau 18% dari keseluruhan impor minyak AS.
65
BAB V
PENUTUP
Pada 20 Maret 2003 Amerika melakukan invasi ke Irak atas tuduhan
mengenai keterlibatan pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan terorisme
internasional dan kepemilikan senjata pemusnah massal. Meski dalam
kenyataannya
tuduhan
tersebut
tidak
terbukti
kebenarannya,
AS
tetap
menjalankan invasi tersebut. Alasan yang melatarbelakangi pemerintah AS dalam
invasi tersebut adalah untuk memenuhi kepentingan nasionalnya sendiri, salah
satunya adalah kepentingan ekonomi. Dalam hal ini tidak terlepas dari
kepentingan energi AS yaitu minyak, di samping kepentingan menjaga eksistensi
Dolar Amerika setelah munculnya Euro.
AS merupakan negara paling besar mengkonsumsi minyak. AS
mengimpor 53% dari kebutuhan minyaknya, dan impornya akan meningkat
hingga 62% pada tahun 2020. Sementara cadangan minyak mentah yang dimiliki
oleh AS hanya berjumlah 22 miliar barel. Apabila kebutuhan minyak AS
dibandingkan dengan cadangan minyak mentahnya, maka AS hanya akan mampu
memenuhi kebutuhan minyak dalam negerinya selama tiga tahun. Jika tidak ada
suplai tambahan dalam beberapa tahun mendatang, maka akan sulit bagi AS untuk
mempertahankan, apalagi meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Dengan
tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap minyak AS memiliki
kepentingan untuk mengamankan cadangan minyak yang ada di seluruh dunia,
termasuk di kawasan Timur Tengah.
66
AS berkepentingan untuk mengamankan cadangan minyak yang ada di
kawasan Timur Tengah dari berbagai ancaman seperti, gangguan teroris dan
penguasaan minyak oleh rezim-rezim yang bertentangan dengan pemerintah AS.
Meskipun AS lebih banyak mengimpor minyak dari negara tetangganya yaitu
Kanada, Meksiko, Venezuela, Arab Saudi, dan Inggris. Namun, terdapat indikasi
bahwa invasi AS ke Irak ditujukan untuk menjaga ketersediaan suplai minyak
dalam negeri. Terlebih Irak memiliki cadangan minyak yang berjumlah 112 miliar
barel. Ini berarti Irak merupakan pemilik 11% cadangan minyak dunia.
Selama ini AS nyaris tidak mendapatkan tempat dalam mengelola ladang
minyak di Irak, sedangkan Irak lebih mempercayakan kepada perusahaanperusahaan Eropa dalam program oil for food. Sementara AS sendiri sangat
memerlukan banyak energi untuk menjaga hegemoninya di dunia dan harus
mengamankan pasokan minyaknya di masa depan, karena AS merupakan negara
yang menggunakan energi minyak terbesar di dunia, sementara AS sendiri tidak
mampu memenuhi semua kebutuhan energinya. Oleh karena itu, dengan alasan
apapun AS tetap menyerang Irak, karena Irak merupakan penghasil minyak kedua
terbesar di dunia. Dengan menguasai Irak, maka AS akan menguasai minyaknya,
sehingga AS tidak perlu merasa khawatir guna mengamankan pasokan energinya
di masa depan. Selain itu, Irak yang hancur pascainvasi mambutuhkan
pembangunan kembali atau rekonstruksi yang tentunya akan menjadi sebuah
bisnis yang cukup menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan asal AS.
Megingat pascainvasi hanya perusahaan-perusahaan asal AS yang diberi izin
untuk melakukan proyek tersebut.
67
AS merasa perlu menginvasi Irak, selain karena cadangan minyaknya yang
besar, juga karena terpuruknya nilai tukar Dolar Amerika terhadap Euro.
Keterpurukan tersebut tidak lepas dari peran Irak karena Saddam Hussein lah
yang pertama kali mengganti pembayaran minyaknya dari Dolar Amerika ke Euro
dan mengkonversikan cadangan devisanya ke Euro. Bahkan langkah Saddam
Hussein ini pun diikuti oleh beberapa negara lainnya. Akibatnya, nilai Euro
mengungguli Dolar Amerika. Inilah yang membuat AS merasa terancam. Maka
dengan menguasai Irak, AS juga sekaligus menguasai minyak Irak. Dengan
demikian, AS dapat mengatur pasokan minyak dunia dan hasil penjualannya akan
mengembalikan eksistensi nilai tukar Dolar Amerika terhadap Euro sebagai satusatunya mata uang internasional. Kepentingan-kepentingan ekonomi inilah yang
mempengaruhi dipilihnya kebijakan invasi AS dalam Perang Irak tahun 2003.
Daftar Pustaka
Buku
Chandra, Prakash. 1979. International Politics. New Delhi: Vikas Publishing
House PVT LTD.
Creswell, John W. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches.
Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc., 1994.
Damhuri, Elba. Di balik Invasi AS ke Irak. Jakarta: Senayan Abadi Publishing,
2003.
Dipoyudo, Kirdi. Timur Tengah dalam Pergolakan, 2nd ed. Jakarta: CSIS, 1982.
Frankel, Joseph. 1988. International Relations in A Changing World. Oxford:
Oxford University Press.
Hendrajit, dkk. Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai
Belahan Dunia. Jakarta: Global Future Institute, 2010.
Holsti, K. J. Politik Internasional: Kerangka Analisa. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya,1987.
--------------. International Politics: A Framework for Analysis (Sixth Edition).
New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1992.
Ikbar, Yanuar. Ekonomi Politik Internasional: Konsep dan Teori (Jilid I).
Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
Kegley Jr, Charles W. and Wittkopf, Eigene R. American Foreign Policy. New
York: St. Martin Press, 1996.
Kegley Jr., Charles W. World Politics: Trend and Transformation. New York:
Macmillan Press, 1999.
Kuncahyono, Trias. Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2005.
Lentner, Howard. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual
Approach. Ohio: Bill and Howell Co., 1974.
Lovel, John P. Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision
Making. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1970.
xi
Luthfi, M. Hamidi. Dolar VS Euro, Awal Kebangkrutan AS. Jakarta: Senayan
Abadi Publishing, 2003.
Mashad, Dhurorudin, dkk. Saddam Melawan Amerika. Jakarta: Pensil-324, 2003.
Mas‟oed, Mohtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES, 1990.
McCan, Robert L. Garis Besar Ekonomi Amerika. Penerjemah Budi Prayitno.
Jakarta: Dinas Penerangan AS, 1996.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002.
Purbo, Dirgo D. Geopolitik Perminyakan. Jakarta: Verbum-Centre for The Study
of Intelligence and Counter Intelligence, 2006.
Rahman, Mustafa Abd. Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari
Lapangan). Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003.
Rofiqi, A. Zaim. Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Safari, Mohammad dan Yusuf, Al-Muzammil, ed. Perang Iraq-AS: Hegemoni
Baru AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya. Jakarta: COMES, 2003.
Setiawati, Siti Muti‟ah, dkk. Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, Dampaknya Bagi
Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia.
Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004.
Sihbudi, Riza. Eksistensi Palestina: Di Mata Teheran dan Washington. Bandung:
Mizan, 1992.
Sihbudi, Riza. Menyandera Timur Tengah. Jakarta: PT Mizan Publika, 2007.
Soelhi, Muhammad. Demi Harga Diri Mereka Melawan AS. Jakarta: Pustaka
Zaman, 2003.
Stiglitz, Joseph E. dan Linda J. Bilmes. Perang Tiga Triliun Dolar: Bencana
Ekonomi di Balik Invasi Amerika ke Irak. Jakarta: Penerbit Mizan, 2009.
Sukarwo, Wirawan. Tentara Bayaran AS di Irak. Jakarta: GagasMedia, 2009.
Suprapto, R. Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1997.
Yayan Moch. Yani dan Banyu Perwita, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional
(Bandung: Rosda Karya, 2006), h.49.
xii
Tesis
Rosyadi, Imron. “Pengaruh Minyak dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika
Serikat di Timur Tengah: (Studi Kasus Kehadiran Pasukan Amerika
Serikat di Irak Pasca Kejatuhan Saddam Hussein).” Tesis S2 Program
Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007.
Zain, Azman Ridha. “Realitas Dibalik Konflik Amerika Serikat-Irak (Analisis
terhadap Invasi AS ke Irak).” Tesis S2 Program Pascasarjana, Universitas
Indonesia, 2004.
Sagala, Hasan Basri. “Kebijakan George Walker Bush Tentang Isu Senjata
Pemusnah Massal Irak: Analisis Ekonomi Politik terhadap Invasi Amerika
Serikat ke Irak (2002-2004).” Tesis S2 Program Pascasarjana, Universitas
Indonesia, 2005.
Tobing, Rosalina. “Neoliberalisme dalam Kebijakan Ekonomi Politik Luar Negeri
Amerika.” Tesis S2 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2000.
Rizki, Mohammad. “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan
Minyak Amerika Serikat.” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, 2005.
Jurnal
Anwar, Dewi Fortuna. “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika
Serikat.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003):
h. 7-28.
Sukawarsini Djelantik. “Minyak dalam Diplomasi dan Politik Global,” Jurnal
Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 6, no. 1, (Maret 2010): h. 43-60.
Harmiyati. “Dimensi Teknologi, Keamanan, dan Ekonomi dalam Invasi AS ke
Irak,” Jurnal Paradigma, vol. VII, no. 20 (Maret 2003): h. 29-38.
Notosusanto, Indrya Smita. “Politik Global Amerika Serikat Pasca Perang
Dingin.” Dalam Zainuddin Djafar, ed. Perkembangan Studi Hubungan
Internasional dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: PT Dunia Pustaka
Jaya, 1996: h. 110-122.
Perwita, Anak Agung Banyu. “Perubahan Lingkungan Keamanan Global dan
Politik Luar Negeri Amerika Serikat.” Jurnal Ilmiah Hubungan
Internasional, vol. 1, no. 2 (Mei 2005): h. 83-95.
Riyanto, Sugeng. “Imperium Amerika: Krisis Legitimasi dan Implikasi.” Jurnal
Hubungan Internasional, vol. II, no. 1 (Mei 2005): h. 239-251.
xiii
Sihbudi, Riza. “Pasca Agresi Amerika ke Irak.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol.
3, no. 2 (Mei-September 2003): h. 29-50.
Yuliantoro, Nur Rahmat. “Hegemoni Amerika Pasca 11/9: Menuju Sebuah
„Imperium Amerika Baru‟?,” Jurnal Ilmu Sosial Ilmu Politik, vol. 9, no. 1
(Juli 2005): h. 91-108.
Laman Jaringan
Griff Witte, “Iraq: Army to End Expansive, Exclusive Halliburton Deal”, dalam
Washington
Post,
12
Juli
2006.
Diakses
dari
http://www.corpwatch.org/article.php?id=13870.
National Energy Policy: Report of the National Energy Policy Development
Group, May 2001”, www.wtrg.com/EnergyReport/National-Energy-Policy
www.eia.gov/mer/overview.html
http://www.eia.doe.gov/emeu/aer/pdf/perspectives_2009.pdf
xiv
Download