PENGARUH KEPENTINGAN MINYAK PADA KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT DALAM INVASI IRAK TAHUN 2003 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial oleh ANNE NORMADIAH NIM. 106083003623 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 PENGARUH KEPENTINGAN MINYAK PADA KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT DALAM INVASI IRAK TAHUN 2003 SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hubungan Internasional oleh : ANNE NORMADIAH NIM. 106083003623 di Bawah Bimbingan Pembimbing Penasehat Akademik Kiky Rizky, M.Si Ali Munhanif, Ph.D NIP. 197303212008011002 NIP. 196902011994031002 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Pengaruh Kepentingan Minyak Pada Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Invasi Irak Tahun 2003” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 16 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata 1 (S1) Jurusan Ilmu Hubungan Intenasional. Jakarta, 16 Juni 2011 Sidang Munaqasyah Ketua Jurusan Sekretaris Jurusan Dina Afrianty, Ph.D NIP. 1973041199032002 Agus Nilmada Azmi, M.Si. NIP.197808042009121002 Pembimbing Kiky Rizky, M.Si. NIP. 197303212008011002 Penguji I Penguji II Dina Afrianty, Ph.D NIP. 1973041199032002 M. Adian Firnas, M.Si. iii LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 6 Juni 2011 Anne Normadiah iv ABSTRAK Pada 20 Maret 2003 Amerika Serikat melakukan serangan invasi militer ke Irak yang tidak mendapatkan justifikasi dari dunia internasional, meskipun Amerika Serikat telah mengemukakan alasan dan justifikasinya sendiri. Terdapat kecenderungan bahwa alasan kerentanan keamanan energi dalam negeri Amerika Seerikat telah menuntut Amerika Serikat untuk tetap menyerang Irak agar mendapatkan akses terhadap cadangan minyak di Irak Penelitian ini memiliki temuan bahwa bertambahnya jumlah penduduk dunia, kemajuan industri dan transportasi telah membuat semakin tingginya tingkat ketergantungan terhadap minyak dunia, hal ini akan menyebabkan cadangan minyak dunia akan semakin menipis dan lama kelamaan akan habis. Amerika Serikat sebagai negara industri maju memiliki kepentingan untuk mengamankan suplai minyak di berbagai wilayah di dunia termasuk di Irak, mengingat Irak memiliki cadangan minyak yang cukup besar yakni sekitar 112 miliar barel. Kebijakan invasi pun digunakan Amerika Serikat untuk mencapai kepentingannya tersebut karena selain bertujuan untuk mencapai kepentingan akan minyak milik Irak, keuntungan ekonomi lain pun akan diperoleh Amerika Serikat sebagai dampak dipilihnya kebijakan tersebut. Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kebijakan luar negeri dan konsep kepentingan nasional. Skripsi ini menggunakan metode dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan melalui buku-buku, jurnal, koran, hasil penelitian, dan terbitan-terbitan lainnya. Kata Kunci : Kepentingan Minyak, Kebijakan Luar Negeri, Invasi Irak v KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Kepentingan Minyak Pada Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Invasi Irak Tahun 2003”. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Bahtiar Effendy, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Kiky Rizky, M.Si., sebagai Pembimbing Skripsi penulis yang telah memberikan arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. Agus Nilmada Azmi, S.Ag., M.Si., sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5. Ali Munhanif, Ph.D., sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis. 6. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiwi. 7. Yang tercinta Ibunda Eneng Rodiah dan Ayahanda Syahrul Basir selaku orang tua penulis yang telah memberikan dorongan dan doa restu, baik moral maupun material selama penulis menuntut ilmu. Penulis akan selalu ingat akan jerih payah kalian, terutama ibunda tercinta yang selalu sabar tanpa pernah mengeluh dan putus asa menanti ananda tercinta dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Teruntuk Hj. Maemunah, dan Hj. Yuyu Suprihatin selaku nenek penulis yang telah memberi dorongan, baik moral maupun material selama penulis vi menuntut ilmu, serta Aa Ardi Ferdiansyah san Rose Irma Anggraini selaku kakak dan adik yang penulis sayangi, terima kasih atas dukungan dan do’a kalian. 9. Teruntuk sahabat-sahabat terbaik penulis di HI; Ita Fatimah, Ayu Yukhaeroh, Ikrimah, Hazrina, Dzuriah Tiara Hany. Kalian semua telah memberikan pertemanan yang indah dengan segala suka duka dan canda tawa selama lima tahun terakhir ini, serta telah memberikan dorongan semangat di saat penulis putus asa dalam pembuatan skripsi ini. ”Love you guys....! ” 10. Ragil Wibisono yang selalu setia dan sabar mendengarkan keluh kesah penulis. 11. Terima kasih kepada sahabat penulis sejak masa kecil Mba Indah Fitriana Hapsari, Dwi Pursitasari, dan Niar Daniar. 12. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Rifqi Sazali, Muhammad Zubir, Maya Damayanti, Sabriela Yolanda, yang telah sama-sama berjuang dalam proses pembuatan skripsi ini. 13. Seluruh teman-teman Mahasiswa/Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional kelas A angkatan 2006, kalian telah banyak memberikan warna dalam kehidupan penulis, serta seluruh teman-teman Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2006. 14. Teman-teman BEMJ Hubungan Internasional 2007/2008, yang telah banyak mengajarkan dan membantu penulis dalam berorganisasi. 15. Teman-teman Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007, 2008, dan 2009 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 16. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih. vii Semoga dengan segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat imbalan di sisi Allah SWT sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikanperbaikan ke depan. Jakarta, 6 Juni 2011 Anne Normadiah viii DAFTAR ISI ABSTRAK .............................................................................................................v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................1 B. Identifikasi Masalah .....................................................................7 C. Tujuan Penelitian .........................................................................8 D. Kerangka Pemikiran ...................................................................8 E. Metode Penelitian .....................................................................16 F. Sistematika Penulisan ...............................................................16 BAB II KEPENTINGAN MINYAK AMERIKA SERIKAT A. Pengertian Energi ......................................................................19 B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat ...........................................21 C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat .............23 C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat .....................23 C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat ..............27 BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca-Tragedi 9/11 ........................31 B. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah ...36 C. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak .............40 ix BAB IV PENGARUH KEPENTINGAN MINYAK DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI AS PADA PERANG IRAK TAHUN 2003 ...................................................................................50 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................65 Daftar Pustaka ..................................................................................................... xi x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tragedi penyerangan terhadap gedung kembar pencakar langit World Trade Center (WTC) di New York serta gedung Pentagon di Washington DC, Amerika Serikat pada 11 September 2001 telah membawa banyak perubahan pada kebijakan luar negeri AS.1 Pascatragedi tersebut, AS terus-menerus mengkampanyekan perang melawan terorisme ke berbagai negara di dunia. Doktrin pre-emptive strike pun dianut AS. Inti dari doktrin ini adalah bahwa AS harus melancarkan serangan terlebih dulu terhadap siapa atau negara manapun yang oleh AS dipersepsikan potensial dapat menjadi ancaman bagi kepentingan nasional AS.2 Dengan doktrin baru ini, AS melegalkan setiap serangannya terhadap pihak yang menjadi ancaman bagi AS. Dalam usahanya untuk memerangi terorisme, AS mengajak negara-negara lain untuk ikut serta dalam perang melawan terorisme. AS pun membagi dunia ini hanya menjadi dua, yaitu kami atau mereka yang dikenal dengan prinsip either or (either you are with us or with our enemy), dan yang dimaksud dengan our enemy oleh AS adalah kelompok teroris internasional.3 Jadi, siapa pun yang tidak mau memerangi atau membantu AS dalam memerangi kaum teroris, apalagi yang dicurigai atau dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional, maka mereka dapat dianggap sebagai musuh AS dan dengan sendirinya boleh 1 Dalam penelitian ini tragedi penyerangan tersebut selanjutnya disebut sebagai Tragedi 9/11. 2 Riza Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003), h. 36. 3 Ibid. 1 2 untuk diperangi. Hal ini sesuai dengan isi pidato Presiden George Walker Bush tanggal 11 September 2001 yang mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan antara teroris yang melakukan tindakan teror itu dan mereka yang melindungi.4 Ada yang menarik dari pernyataan Bush itu. Ia membuat pernyataan yang cenderung tidak membedakan antara teroris dan mereka yang memberi tempat atau melindungi teroris tersebut. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah dilancarkannya invasi militer terhadap Afganistan pada awal Oktober 2001. Invasi dilaksanakan AS setelah pemerintahan Afganistan yang dikuasai Taliban menolak untuk menyerahkan pemimpin Al-Qaeda, yakni Osama bin Laden yang diyakini oleh AS sebagai yang bertanggung jawab atas terjadinya Tragedi 9/11.5 Selain melancarkan invasi terhadap Afganistan, implikasi lain dari kampanye perang melawan terorisme tersebut adalah invasi militer terhadap Irak. Invasi tersebut dilancarkan setelah tuduhan AS mengenai keterlibatan pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan Al-Qaeda.6 Menurut AS, Irak turut serta dalam jaringan teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang dituduh sebagai tokoh utama di balik Tragedi 9/11 yang menelan ribuan korban jiwa.7 Bahkan selain tuduhan tersebut, AS juga menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal. Dalam pidato tahunan Presiden George W. Bush yang dikenal dengan sebutan pidato state of the union di hadapan Kongres AS pada 29 Januari 2002, Irak disebut-sebut sebagai negara yang memproduksi senjata pemusnah massal. Irak juga dituding sebagai negara yang mendukung terorisme. Bersama 4 Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h . 96. 5 Ibid., h. 97. 6 Dhurorudin Mashad, Saddam Melawan AS (Jakarta: Pensil-324, 2003), h. 152. 7 Para pejabat Irak diketahui berulang kali telah melakukan pertemuan dengan anggota AlQaeda, khususnya dengan para anggota sel yang dipimpin Al Zarkawi yang tinggal di suatu tempat di Irak bagian Timur Laut. Irak aktif berhubungan dengan Al-Qaeda terutama setelah peristiwa peledakan bom di Kedutaan Besar AS di Kenya tahun 1998. Ibid. 3 Korea Utara dan Iran, Irak dimasukkan dalam “poros setan” (axis of evil), dan digolongkan sebagai rezim yang sangat berbahaya di dunia, yang mengancam AS dengan senjata pemusnah dunia.8 Sehingga bagi Bush tidak ada pilihan lain selain peran, kendati laporan hasil tim United Nations Monitoring, Verification and Inspection Comission (UNMOVIC), yaitu tim inspeksi senjata yang diketuai Hans Blix, maupun Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic Energy Association (IAEA) sudah menyatakan tidak menemukan bukti-bukti yang otentik dan akurat perihal kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak.9 Dijadikannya invasi Irak sebagai bagian dari kampanye perang melawan terorisme AS merupakan hal yang cukup menarik. Meskipun tuduhan-tuduhan AS terhadap Irak yang dikatakan memiliki senjata pemusnah massal dan Saddam Hussein dituding memiliki hubungan dengan Al Qaeda tidak berhasil dibuktikan, dalam kenyataannya AS pun tetap melancarkan invasi militernya ke Irak bahkan meskipun tanpa mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).10 Pada awal Maret 2003, sebelum dilancarkannya invasi tersebut, AS dan Inggris mengultimatum Irak, jika sampai 17 Maret 2003 belum menghancurkan senjata pemusnah massalnya, negeri Saddam Hussein ini akan diserang.11 Waktu itu Gedung Putih mengaku menemukan bukti-bukti baru bahwa Irak belum menghancurkan senjata pemusnah massalnya. Sebelumnya, dalam konferensi pers 8 Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”, h. 73. Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), h.147. 10 AS tetap memutuskan untuk menyerang Irak secara unilateral dengan didukung oleh beberapa negara yang termasuk dalam coalition of the willing, antara lain Inggris dan Australia, pasukan AS menyerbu Irak tanpa mandat PBB. Anwar, Dewi Fortuna. “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003): h. 8. 11 Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, h.147. 9 4 yang diadakan pada 6 Maret 2003, Bush kembali menegaskan niatnya untuk menginvasi Irak dengan atau tanpa persetujuan DK PBB.12 Presiden George W. Bush sendiri kembali menegaskan, Saddam Hussein harus disingkirkan, kalau perlu dengan kekuatan.13 Tidak ada perubahan dari posisi Presiden Bush yang tetap akan menginvasi Irak dengan atau tanpa payung PBB. Perang menjadi satu-satunya tujuan untuk mencapai sasaran utamanya yaitu menguasai minyak Ira.14 Sebaliknya, Irak justru menunjukkan sikapnya yang kooperatif dengan membuka seluruh akses, termasuk ke Istana Kepresidenan, bagi UNMOVIC maupun IAEA.15 Menurut juru bicara PBB di Irak Yasuhiro Ueki, Irak pun kembali menghancukan tiga rudal dan lima mesin rudal.16 Sebelumnya, Irak telah menghancurkan enam rudalnya. Sejak Februari 2003, Irak memang telah memusnahkan puluhan Rudal Al-Samoud II yang dicurigai AS akan menjangkau Israel.17 Meskipun tuduhan-tuduhan yang sebelumnya telah diutarakan pemerintahan Presiden Bush terhadap Irak tidak terbukti kebenarannya, AS tetap melancarkan invasi militernya ke Irak. Jelas terdapat perhitungan ekonomi dan bisnis yang mendasari invasi AS ke Irak.18 Faktor minyak merupakan alasan lain yang dapat menjelaskan ambisi besar AS menginvasi Irak, di samping faktor lain seperti proyek rekonstruksi pascaperang yang akan menguntungkan AS. 12 Ibid. Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 33. 14 Ibid. 15 Pada awal Januari 2003, pemerintah Irak menyatakan menerima Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 1441. Resolusi 1441 disahkan pada 8 November 2002, yang isinya antara lain menuntut Irak untuk mengizinkan dan memberikan akses sepenuhnya kepada UNMOVIC dan IAEA untuk meneliti segala hal yang berkaitan dengan persenjataan yang dimiliki Irak. Ibid. 16 Ibid. 17 Ibid. 18 Ibid., h. 38. 13 5 Potensi minyak Irak menduduki urutan kedua terbesar di dunia. Menurut Centre for Global Energy Studies (CGES) London, Irak diperkirakan memiliki 112 miliar barel cadangan minyak.19 Bahkan cadangan minyak Irak diperkirakan lebih tinggi dari angka itu. Dengan kepemilikan jumlah cadangan minyak sebesar itu, Irak merupakan pemilik 11% cadangan minyak dunia. Minyak merupakan faktor yang cukup diperhitungkan pada kebijakan luar negeri AS dalam hubungannya dengan berbagai kawasan di dunia, khususnya dengan kawasan Timur Tengah termasuk Irak.20 Timur Tengah memiliki arti yang menjadi lebih besar terlebih dengan cadangan minyak yang dimilikinya. Minyak adalah bahan bakar utama dan bahan mentah yang paling diperlukan dalam peradaban industrial kontemporer. Sampai sekarang komoditas minyak memang belum dapat digantikan oleh energi lain untuk kebutuhan industri. Jadi, penguasaan minyak sangat strategis untuk negara maju seperti AS. Terlebih cadangan minyak yang dimiliki negara seperti Irak merupakan terbesar ke dua di dunia setelah Arab Saudi. Inilah faktor yang menyebabkan AS ingin menguasai Irak. Selain itu, dengan menguasai Irak, AS juga mendapatkan pijakan baru di kawasan Teluk Parsi karena setelah Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, AS kehilangan basis utamanya di kawasan ini.21 Tingginya perhatian AS terhadap minyak di kawasan Timur Tengah menjadikan kawasan ini sebagai kawasan yang cukup diperhitungkan oleh AS, terlebih semenjak Dolar Amerika digunakan dalam transaksi perdagangan minyak 19 Ibid. Timur Tengah merupakan terjemahan dari Middle East, suatu istilah yang sejak Perang Dunia II digunakan orang-orang Inggris dan AS untuk menyebutkan kawasan yang sebagian besar terletak di Asia Barat Daya dan Afrika Timur Laut, dan oleh sebab itu dapat dibatasi sebagai jembatan antara Eropa, Asia, dan Afrika. Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan, 2nd ed. (Jakarta: CSIS, 1982), h. 4. 21 Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 30. 20 6 internasional.22 Sejak digunakannya Dolar Amerika dalam transaksi perdagangan minyak internasional, telah menjadikan AS sebagai hegemoni ekonomi dunia. Namun demikian, terdapat kekhawatiran tersendiri bagi AS jika suatu saat negaranegara produsen minyak mulai beralih dengan menggunakan mata uang lain dalam penjualan minyaknya yakni dengan mengganti penggunaan Dolar Amerika ke Euro. Dapat diketahui bahwa sejak munculnya Euro sampai terjadinya invasi AS, Dolar Amerika perlahan demi perlahan mengalami keterpurukan dan Irak yang menambah keterpurukan Dolar Amerika karena Irak yang pasca-Perang Teluk II terkena sanksi ekonomi telah mengambil sikap dengan mengganti penggunaan mata uang dalam transaksi penjualan minyaknya, yakni dari Dolar Amerika ke Euro pada akhir tahun 2000. Padahal pada waktu itu nilai mata uang Euro sangat rendah dibandingkan dengan Dolar Amerika. Sikap Irak itu dilihat semata-mata hanya merupakan suatu gertakan politik, bukan merupakan suatu pertimbangan ekonomi. Berdasarkan hal ini, maka dalam invasinya ke Irak, AS sekaligus juga ingin menjaga stabilitas nilai Dolar Amerika terhadap Euro. Selain itu, dengan cara menginvasi Irak, AS dapat menggertak negara-negara Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) agar tetap menggunakan Dolar Amerika sebagai alat pembayaran dalam transaksi penjualan minyaknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keuntungan demi keuntungan khususnya yang terkait dengan masalah ekonomi diperoleh pemerintah AS serta korporasi- 22 Pada tahun 1971 para anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) mengadakan pertemuan di Teheran (OPEC merupakan organisasi negara-negara pengekspor minyak dunia yang terdiri dari 11 negara yaitu: Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Qatar, Kuwait, Indonesia, Nigeria, Venezuela, dan Libya). Pertemuan ini disebabkan karena setelah sepuluh tahun terbentuk, OPEC tidak dapat menstabilkan harga minyak. Pertemuan ini membuahkan hasil agenda bersama yang berkaitan dengan harga minyak yaitu memberlakukan penggunaan mata uang Dolar Amerika untuk pembelian minyak. Alasan yang sangat mendasar atas penggunaan mata uang Dolar Amerika yakni agar terhindar dari fluktuasi nilai tukar yang tidak stabil. 7 korporasi yang berasal dari AS pascainvasi militer ke Irak. Perang Irak, perang yang pada dasarnya didorong oleh imperialisme AS untuk menguasai sumber minyak di Timur Tengah, yang diharapkan mampu menyediakan pasokan minyak yang cukup bagi AS, memaksanya untuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Namun, jika diamati bahwa besarnya jumlah dana tersebut ternyata sebuah investasi bisnis jangka panjang bagi kepentingan ekonomi AS di dunia. Pemerintah AS menganggap, bahwa anggaran yang telah dikeluarkan akan dikembalikan secara bertahap pascaperang. Uang yang dihasilkan dari adanya bisnis rekonstruksi Irak ini akan disalurkan juga ke kas negara AS sebagai bentuk kompensasi dan relasi yang kuat antara pihak korporasi dengan pemerintah.23 Infrastruktur Irak yang hancur setelah invasi AS membutuhkan sebuah program rekonstruksi yang cepat di segala bidang. Beberapa bidang infrastruktur merupakan aset ekonomi yang sangat berharga bagi AS. Aset ekonomi seperti kilang minyak dan jalur pipanya adalah yang menjadi motif dominan serangan AS atas Irak. Oleh karena itu, atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai pengaruh minyak yang melatarbelakangi kebijakan luar negeri AS dalam melancarkan Perang Irak tahun 2003. B. Identifikasi Masalah Dalam perkembangannya, pertanyaan yang muncul terkait tema yang diangkat adalah: “Mengapa kepentingan minyak mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Irak tahun 2003?” 23 Wirawan Sukarwo, Tentara Bayaran AS di Irak: Sebuah Konspirasi Neoliberal AS untuk Memimpin Dunia (Jakarta: GagasMedia, 2009), h. 235. 8 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kepentingan minyak mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Irak tahun 2003. D. Kerangka Pemikiran Dalam melihat isu yang akan diteliti, yakni mengenai pengaruh kepentingan ekonomi pada kebijakan luar negeri AS dalam Perang Irak tahun 2003, penulis menggunakan konsep tentang kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional, mengingat bahwa setiap kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintah menghadapi dunia internasional mengacu kepada kepentingan nasional, sehingga keduanya merupakan unsur yang tak dapat dipisahkan. Setiap negara di dunia ini pasti memiliki kebijakan luar negeri dalam melakukan hubungan internasionalnya dengan negara lain. Konsep mengenai kebijakan luar negeri sebenarnya telah banyak dibahas oleh para peneliti ilmiah. K. J. Holsti sebagai contohnya menganalisis kebijakan luar negeri menurut politik internasional. Holsti menyebutkan bahwa kebijakan luar negeri dirancang untuk mempertahankan atau mengubah suatu tujuan, keadaan, atau praktek dalam lingkungan eksternal.24 Beberapa tujuan dirancang untuk mengubah keadaankeadaan luar negeri demi kepentingan mereka, kebanyakan dirancang untuk memajukan tujuan-tujuan domestik, seperti: 1) keamanan, 2) otonomi, 3) kesejahteraan ekonomi, 4) status atau prestise.25 24 K. J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed. (New Jersey: Prenctice Hall, Inc., 1992) h. 269. 25 Ibid. 9 Sementara menurut Prakash Chandra, kebijakan luar negeri adalah aktivitas yang dilakukan oleh komunitas yang bertujuan untuk mempengaruhi dan mengubah perilaku negara lain serta menyesuaikan diri mereka sendiri ke dalam lingkungan eksternal.26 Kebijakan luar negeri ini bertujuan untuk memelihara integritas negara, memajukan kepentingan ekonomi, menjamin keamanan nasional, menjaga prestise nasional dan memperkuat kekuatan nasional, dan memelihara tatanan dunia.27 Pokok permasalahan dalam penentuan kebijakan luar negeri pada umumnya dititikberatkan pada usaha untuk memecahkan berbagai permasalahan, baik yang berkaitan dengan masalah domestik maupun masalah eksternal suatu negara serta mempromosikan sebuah perubahan. Sehingga studi ini memusatkan perhatian pada usaha-usaha yang menggambarkan kepentingan, tindakan, dan elemen-elemen kekuasaan negara-negara. Berdasarkan kajian politik luar negeri sebagai suatu sistem, rangsangan dari lingkungan domestik dan eksternal merupakan suatu input yang kemudian mempengaruhi politik luar negeri suatu negara dan dipersepsikan oleh para pembuat keputusan dalam suatu proses konversi menjadi output.28 Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri disederhanakan ke dalam dua variabel di mana proses kebijakan luar negeri diposisikan sebagai variabel dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya diposisikan sebagai variabel independen. 26 Prakash Chandra, International Politics (New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD, 1979), h. 81. 27 Ibid. 28 Yayan Moch. Yani dan Banyu Perwita, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional (Bandung: Rosda Karya, 2006), h.49. 10 Kebijakan luar negeri sebagai output merupakan hasil pilihan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Untuk menerangkan atau mengerti output ini, kita harus memperhatikan persepsi, citra, sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan, dari mereka yang bertanggung jawab dalam merumuskan tujuan dan pengaturan tindakan. Kita dapat mengkombinasikan bermacam-macam faktor yang mempengaruhi pilihan tujuan, keputusan, dan tindakan, menjadi definisi situasi.29 Definisi situasi harus mencakup faktor eksternal dan domestik, kondisi kontemporer dan historis yang dianggap pembuat kebijakan relevan dengan setiap masalah politik tertentu. Hal ini meliputi kejadian-kejadian penting, kebutuhankebutuhan politik domestik dan luar negeri, nilai-nilai sosial dan imperatif ideologis, keadaan pendapat umum, adanya kapabilitas, tingkat ancaman, kesempatan yang dilaksanakan dalam satu situasi, konsekuensi yang telah diduga, biaya untuk mempersiapkan tindakan, dan elemen-elemen waktu atau tuntutan situasi tertentu.30 Tujuan dan tingkah laku politik luar negeri dapat berhubungan dengan: (1) kesan, nilai-niilai, kepercayaan, dan personalitas atau kebutuhan politik dari individu yang bertanggung jawab dalam penentuan tujuan, prioritas di antara mereka, dan tindakan yang diperlukan untuk mencapainya; (2) struktur dan kondisi internasional; (3) kebutuhan domestik; (4) atribut dan tingkah laku nasional; (5) kapabilitas; (6) nilai-nilai sosial yang umum, dan berbagai kepentingan kelompok khusus; (7) kebutuhan, nilai-nilai dan tradisi-tradisi organisasi. Relevansi dari semua faktor ini sebagian besar tergantung pada sikap, 29 K. J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Analisa (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), h. 469. 30 Ibid. 11 pendapat, dan maksud dari para pembuat kebijakan yang bertugas dalam organisasi pengambilan keputusan yang mempunyai sasaran, fungsi, dan aturan.31 Setiap kebijakan luar negeri diformulasikan untuk mencapai suatu tujuan nasional. Tujuan nasional yang hendak dijangkau melalui kebijakan luar negeri merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan mengaitkan kepentingan nasional terhadap situasi internasional yang sedang berlangsung serta power yang dimiliki untuk menjangkaunya. Keputusan dan tindakan dalam menentukan kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal baik dari lingkungan eksternal maupun lingkungan internal. Faktor-faktor yang mendasari dan menentukan rencana-rencana dan pilihan-pilihan yang dibuat oleh para pembuat keputusan sangatlah banyak untuk disebutkan. Karena itu, perlu suatu pengelompokkan faktor-faktor tersebut. Howard Lentner mengklasifikasikannya ke dalam dua kelompok yaitu determinan luar negeri dan determinan domestik.32 Determinan luar negeri mengacu kepada keadaan sistem internasional dan situasi pada suatu waktu tertentu. Sistem internasional didefinisikan sebagai pola interaksi di antara negara-negara yang terbentuk atau dibentuk oleh stuktur interaksi di antara pelaku-pelaku yang paling kuat.33 Sedangkan konsep situasi diartikan sebagai pola interaksi yang tidak tercakup atau mencakup keseluruhan sistem internasional.34 Penggunaan kedua konsep tersebut (sistem internasional dan situasi) dimaksudkan sebagai upaya teoritis untuk menyederhanakan lingkungan internasional (eksternal) yang demikian kompleks ke dalam model-model 31 Ibid. Howard Lentner, Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach (Ohio: Bill and Howell Co., 1974), h. 105. 33 Ibid., h. 5. 34 Ibid. 32 12 deskripsi yang sistematis dan utuh. Manfaat penggambaran kondisi lingkungan eksternal ini, yaitu dapat memberikan setting (latar belakang) munculnya peristiwa-peristiwa dalam politik luar negeri, serta dapat membantu peneliti memunculkan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung (constraining and facilitating factors) dalam interaksi antar negara.35 Determinan domestik menunjuk pada keadaan di dalam negeri yang terbagi dalam tiga kategori berdasarkan waktu untuk berubah, yaitu highly stable determinants; terdiri atas luas geografi, lokasi, bentuk daratan, iklim, populasi, serta sumber daya alam.36 Moderately stable determinants; terdiri atas budaya politik, gaya politik, kepemimpinan politik, dan proses politik.37 Unstable determinants; yaitu sikap dan persepsi jangka panjang serta faktor-faktor ketidaksengajaan.38 Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu.39 Kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan analisa hubungan internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, ataupun menganjurkan perilaku internasional.40 Joseph Frankel merumuskan kepentingan nasional sebagai aspirasi dari suatu negara yang dapat diwujudkan secara operasional dalam upaya mencapai 35 Ibid., h. 105. Ibid., h. 136. 37 Ibid., h. 143. 38 Ibid., h. 168. 39 Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 184. 40 Ibid., h. 162. 36 13 suatu tujuan yang spesifik.41 Kepentingan nasional menyangkut kebijakankebijakan negara serta rencana-rencana yang hendak dituju. Oleh karena itu, sering kepentingan nasional menjadi bahan polemik, bahkan sering kepentingan nasional dipakai untuk memberikan justifikasi bagi tindakan negara-negara.42 Kepentingan nasional ini dapat dirumuskan secara luas sehingga perlu memasukkan pertimbangan-pertimbangan moral, agama, kesejahteraan dan halhal yang bersifat altruitis lainnya.43 Prakash Candra menilai setidaknya ada lima national interest sebagai tujuan dari politik luar luar negeri, antara lain, untuk mempertahankan integrasi negara, mewujudkan kepentingan ekonomi, melindungi national prestige dan membangun national power, menjaga keamanan nasional, serta mewujudkan tatanan dunia.44 Frankel menggambarkan kepentingan nasional ke dalam tiga kategori.45 Kepentingan nasional dapat digambarkan sebagai aspirasi dari sebuah negara; dapat juga digunakan sebagai operasional dalam aplikasinya pada kebijakan yang aktual serta program-program yang hendak dicapai; namun dapat juga menjadi bahan polemik dalam argumen politik, untuk menjelaskan, membenarkan ataupun mengkritik bagi tindakan negara. Pada tingkat aspirasi, kepentingan nasional dipakai untuk menunjukan gambaran tentang kehidupan yang baik, serangkaian tujuan ideal yang jika 41 Joseph Frankel, International Relations in A Changing World, 4th ed (Oxford: Oxford University Press,1988), h. 93. 42 R. Suprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 144. 43 Ibid. 44 Prakash Chandra, International Politics (India: Vikas Publishing House PVT LTD, 1979), h. 81-82. 45 Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi (Jakarta; LP3ES, 1990), h.148. 14 memungkinkan, hendak dicapai oleh negara.46 Jika kepentingan nasionalnya hanya diajukan pada tingkat ini, berarti kebijakan tersebut tidak sedang dilaksanakan, tetapi hanya menunjukan garis besar haluan kebijakan tersebut. Tingkat aspirasi memiliki tujuh sifat konsepsi, yaitu kepentingan nasional itu berjangka panjang, berakar dalam sejarah dan ideologi, merupakan sumber kritik oleh oposisi terhadap pemerintah tetapi bukan merupakan pusat perhatian pemerintah, memberikan kesadaran akan tujuan atau harapan terhadap kebijakan, tidak perlu diartikulasikan dan dikoordinasikan secara penuh dan bisa saling bertentangan, tidak memerlukan studi kelayakan, dan lebih ditentukan oleh kehendak politik dari pada oleh kemampuan nyata.47 Pada tingkat operasional, kepentingan nasional menunjuk pada keseluruhan kebijaksanaan yang betul-betul dilaksanakan.48 Pada tingkat ini, ada delapan hal yang membedakannya dengan kategori sebelumnya, yaitu kepentingan nasional itu berjangka pendek dan bisa dicapai dalam waktu yang tidak terlalu lama; sering muncul dari pertimbangan keharusan atau keperluan; merupakan perhatian utama pemerintah dan partai yang berkuasa; lebih dipergunakan dalam cara yang deskriptif dari pada yang normatif; karena keharusan penerapannya, kontradiksi tidak mudah ditolerir; diterjemahkan ke dalam kebijakan berdasar perhitungan akan prospek keberhasilannya; lebih ditentukan oleh kemampuan untuk melaksanakan dari pada oleh kehendak politik; dan kepentingan itu dapat diatur ke dalam program-program.49 46 Ibid. Ibid. 48 Ibid. 49 Ibid. 47 15 Sedangkan pada tingkat polemik, kepentingan nasional dipakai untuk menjelaskan, mengevaluasi, merasionalisasikan dan mengritik politik luar negeri.50 Alasan utama penggunaan ini adalah untuk membuktikan kebenaran argumen sendiri dan kesalahan argumen lawan. Konsep ini tidak dipakai sebagai sarana untuk mendeskripsikan dan menganjurkan perilaku, walaupun nampaknya demikian. Pengertian atau definisi mengenai konsep kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional yang telah dipaparkan di atas, digunakan untuk menjelaskan perumusan kebijakan luar negeri sebagai suatu output yang terkait dengan eksternal dan internal input. Dalam kasus invasi AS ke Irak ini, dapat dipahami bahwa kebijakan Amerika Serikat lebih dipengaruhi oleh faktor domestik daripada faktor internasional. Faktor domestik dapat berupa nilai-nilai utama (core values) yang dianut oleh negara tersebut, keadaan sosial, politik, dan ekonomi atau pun tarik-menarik kepentingan antar aktor-aktor pemerintah di dalamnya. Sedangkan faktor internasional dapat berupa kondisi internasional yang mempengaruhi lahirnya suatu kebijakan luar negeri. Atas pemaparan kedua konsep tersebut di atas, yakni konsep kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional maka untuk kepentingan analisa penulis menggunakan kedua konsep tersebut yang akan diaktualisasikan dalam BAB IV. E. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif. Istilah penelitian kualitaif pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan 50 Ibid., h. 149. 16 kuantitatif.51 Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu cara tertentu. Sedangkan, penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak mengandalkan perhitungan. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dari berbagai sumber. Penelitian ini mengandalkan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi dan sudah dikumpulkan oleh pihak atau instansi lain. Menurut Cresswell, dalam penelitian kualitatif, pustaka harus digunakan secara induktif sehingga tidak mengarahkan pertanyaan yang diajukan peneliti.52 Salah satu alasan penting yang mendasari hal tersebut karena penelitian kualitatif bersifat penyelidikan. Sumber-sumber data ini berupa buku, majalah, jurnal, hasil penelitian, laporan ataupun laman jaringan. F. Sistematika Penulisan Bab I 51 Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah B. Identifikasi Masalah C. Tujuan Penelitian D. Kerangka pemikiran E. Metode Penelitian F. Sistematika Penulisan Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 2. 52 John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches (Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc., 1994), h. 145. 17 Bab II Kepentingan Minyak Amerika Serikat A. Pengertian Energi B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat Bab III Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca-Tragedi 9/11 C. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah D. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak Bab IV Pengaruh Kepentingan Minyak pada Kebijakan Luar Negeri AS Dalam Perang Irak Tahun 2003 Bab V Penutup 18 BAB II KEPENTINGAN MINYAK AMERIKA SERIKAT Minyak bumi merupakan salah satu sumber daya energi yang sangat penting bagi setiap negara, salah satunya Amerika Serikat. Dalam sejarah, minyak bumi mampu mempengaruhi dinamika hubungan internasional, baik itu dalam bentuk kerjasama maupun dalam bentuk konflik atau perang. Minyak bumi bukanlah satu-satunya sumber daya energi yang dimiliki oleh AS, masih ada sumber daya energi lainnya yang berpotensi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negei AS, seperti gas alam, batu bara, dan nuklir. Meskipun demikian AS masih memposisikan minyak bumi sebagai prioritas sumber energi utamanya, sebab keunggulannya yang lebih mudah diakses dan dimobilisasikan dibanding gas alam, sifatnya yang lebih ramah lingkungan dan minim polusi bila dibandingkan dengan batu bara, serta penggunaannya yang lebih aman dan mudah diakses dibandingkan nuklir. Oleh karena itu, minyak bumi merupakan sumber daya energi yang utama bagi AS. Dalam pembahasan selanjutnya, fokus pembahasan akan lebih diarahkan pada pembahasan mengenai kepentingan energi terkait dengan minyak bumi, sebab minyak bumi merupakan sumber daya energi paling utama bagi kebanyakan negara sehingga sangat berpengaruh dalam tatanan sistem internasional, terutama kaitannya dengan AS. Bab ini akan membahas mengenai keterkaitan antara kepentingan minyak dengan keamanan energi Amerika Serikat yang terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai pengertian energi pada tataran konseptual. 19 A. Pengertian Energi Kemajuan ilmu dan teknologi membuat perubahan dalam pemanfaatan energi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Manusia telah menemukan cara untuk memperpanjang dan memperluas usaha untuk mencari energi, pertama dengan memanfaatkan tenaga hewan dan kemudian dengan menciptakan mesinmesin untuk memperoleh tenaga dari angin dan air. Selanjutnya muncul pembangunan sosial dan ekonomi yang membawa dunia menjadi lebih modern dengan ditemukannya bahan bakar fosil. Perkembangan penemuan bahan bakar fosil telah membebaskan manusia dari keterbatasan penggunaan energi dengan ditemukannya batu bara, minyak, dan gas alam. Hasilnya adalah satu dari transformasi sosial yang sangat besar dalam sejarah. Dengan adanya energi yang diolah, membawa perubahan yang sangat besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Pengalaman masyarakat tradisional dalam melakukan transformasi energi dari mulai menggunakan tenaga manusia, tenaga hewan, dan kemudian kincir angin dan kincir air pada sat itu berjalan sangat lambat, dan sebagai konsekuensinya sama-sama memperlambat kerja manusia pada saat itu. Tetapi sebaliknya, pada masa industrialisasi telah membawa perubahan secara sosial ekonomi pada manusia umumnya. Menurut Departemen Energi Amerika Serikat, energi didefinisikan sebagai the ability to do work.53 Energi menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi manusia. Manusia memperoleh energi dari sumber daya alam yang ada disekitarnya dan mengubah sumber daya alam tersebut sehingga dapat digunakan sebagai energi. Sumber daya alam secara umum dapat dikelompokkan dalam dua 53 http://www.eia.gov/kids/whatsenergy.html, diakses pada 25April 2011, pukul. 08.00. 20 kategori, yaitu sumber daya dapat diperbaharui (renewable resource) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resource).54 Pengelompokkan tersebut sangat dipengaruhi oleh peran variabel waktu. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui merupakan sumber daya yang dapat terus-menerus tersedia sebagai input produksi dengan batas waktu tak terhingga. Air, hutan, panas matahari, dan sebagainya termasuk dalam sumber daya alam yang dapat diperbaharui.55 Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui adalah sumber daya yang persediaannya sebagai input produksi sangat terbatas dalam jangka waktu tertentu, yang termasuk di sini adalah minyak bumi, gas bumi, batu bara, dan sebagainya. Tabel 2.1 Klasifikasi Sumber Energi56 Berdasarkan ketersediaan (stock) Berdasarkan nilai komersial (commercial) Berdasarkan pemakaian (use) 1. Dapat Diperbaharui: Panas bumi Tenaga air Tenaga surya Tenaga angin dan sebagainya 1. Komersial: Minyak bumi Gas bumi Batu bara Tenaga air panas bumi Uranium dan sebagainya 1. Primer: Minyak bumi Gas bumi Batu bara Tenaga air Panas bumi 2. Tidak Dapat Diperbaharui: Minyak bumi Gas bumi Batu bara Uranium dan sebagainya 2. Nonkomersial: Kayu bakar Limbah pertanian Tenaga surya Tenaga angin Tenaga samudera Biomassa Padat, cair, dan gas Gambut 2. Sekunder: Listrik LPG BBM Non-BBM Gas bumi Briket batu bara Dan sebagainya 54 Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Energi: Teori dan Praktik (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2000), h. 5. 55 Perlu diingat bahwa sumber daya alam yang dapat diperbaharui suatu saat dapat berubah menjadi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Hal demikian terjadi karena permintaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu membuat laju pengurasan sumber daya tersebut menjadi lebih besar dibandingkan laju generasinya. 56 Yusgiantoro, Ekonomi Energi, h. 6. 21 Di antara semua jenis energi, minyak kenyataannya sampai saat ini masih menjadi bentuk utama dari energi yang dikonsumsi sejak pasca-Perang Dunia. Minyak menjadi pilihan utama saat ini karena memiliki kelebihan, yaitu murah, ketersediaannya, fleksibilitasnya, dan relatif mudah proses pengirimannya. Hal inilah yang telah membuat minyak menjadi sumber energi utama bagi sebagian besar negara-negara industri. Penggunaan bahan bakar minyak tidak saja terbatas pada bidang industri, tetapi juga untuk kepentingan militer. Semua negara menempatkan perhatian serius terhadap kestabilan suplai energi sebagai aspek mendasar bagi kepentingan keamanan dalam negeri.57 B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat Sumber-sumber energi yang dimiliki oleh Amerika Serikat dalam jumlah yang cukup besar adalah gas alam dan batu bara. Namun, sumber-sumber energi tersebut pemanfaatannya kurang efisien dan efektif sehingga tidak banyak digunakan oleh AS dalam bidang industri dan bahan bakar lainnya. Berikut adalah gambar grafik mengenai konsumsi energi AS menurut sumber energi. 57 Mohammad Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika Serikat,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2005), h. 27. 22 Gambar 2.1 Konsumsi Energi AS Menurut Sumber Energi (1775-2000) (Dalam Quadrillion BTU) Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00. Sejarah penggunaan energi di AS dapat dilihat pada gambar di atas. Sebagai contoh, penggunaan kayu sebagai energi telah menjadi bagian yang sangat penting bagi AS sejak masa kolonial. Pada kenyataannya, bahan bakar kayu ketersediaannya sangat berlimpah sehingga menjadi sumber energi yang dominan. Tetapi kemudian, era modern muncul dengan ditemukannya sumbersumber energi baru yang tidak pernah dibayangkan pada masa sebelumnya. Batu bara menggantikan dominasi bahan bakar kayu yang pernah bertahan lama di AS pada sekitar tahun 1885, batu bara kemudian dilampaui oleh bahan bakar minyak pada tahun 1951 dan kemudian ditemukan pula gas alam beberapa tahun kemudian. Tetapi, bagaimanaupun juga minyak dan gas adalah penemuan yang paling menarik. Pada gambar 2.1 di atas menggambarkan penggunaan yang 23 sedikit selama beberapa dekade, tetapi kemudian mulai meningkat kebutuhan akan minyak secara bertahap pada tahun 1920-an.58 C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat Sejak berakhirnya Perang Dunia II, minyak bumi mampu menarik perhatian masyarakat AS. Penggunaan minyak bumi cenderung lebih mudah dan lebih efektif. Sepanjang sejarah energi AS, AS memiliki sumber daya energi yang berlimpah sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Namun, seiring dengan perkembangannnya, peningkatan tingkat konsumsi energi pun tidak dapat dielakkan, sehingga pada periode 1950-an merupakan masa di mana produksi dan konsumsi energi AS hampir mencapai titik keseimbangan. Pada periode selanjutnya, tingkat konsumsi AS terus meningkat secara tajam sehingga melebihi tingkat produksi dalam negeri AS. Oleh karena itu AS dituntut untuk mengeksplorasi sumber daya energi dari wilayah lain dan mengimpornya. Berikut ini adalah gambar mengenai grafik konsumsi, produksi, dan impor energi AS. 58 www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00. 24 Gambar 2.2 Konsumsi, Produksi, dan Impor Energi AS (Dalam Quadrillion BTU) Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00. Pada tabel di atas tergambar proses peningkatan kebutuhan energi dalam negeri AS. Pada periode 1970-an, AS telah mengimpor energi dari luar sebagai tanda pasokan energi dalam negeri AS tidak mampu menutupi kebutuhan energi AS sehingga harus mengimpor dari luar. Dari grafik impor dapat dipahami bahwa peningkatan terus terjadi sejak pertengahan periode 1980-an. Kemudian, seiring dengan perkembangan inovasi teknologi yang semakin menyerap energi maka peningkatan konsumsi energi AS pun terjadi, dan hal ini berdampak pada peningkatan impor energi AS. Peningkatan juga dipengaruhi oleh penurunan tingkat produksi energi dalam negeri AS sehingga semakin memperlebar gap antara konsumsi dan produksi energi. Pada tahun 1973, AS telah mengimpor energi sebesar 15 quadrillion British Thermal Unit (BTU) dari total konsumsi energi AS sebesar 76 quadrillion 25 BTU, atau sekitar 20% dari total konsumsi AS.59 Upaya untuk mengimpor energi dikarenakan tingkat konsumsi minyak yang tinggi. Pada tanggal 17 Oktober 1973, negara Arab Saudi yang tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) melakukan embargo minyak bumi terhadap AS, sehingga harga minyak bumi dunia melambung tinggi dan negara-negara importir minyak bumi mengalami kejatuhan ekonomi selama dua tahun. Harga minyak meningkat secara drastis pada tahun 1979 sampai tahun 1981 dan telah menekan impor minyak pada saat itu. Kecenderungan impor AS terjadi pada tahun 1986, namun kemudian pada tahun 1990, 1991, dan 1995 mengalami sedikit penurunan, setelah itu kembali mengalami peningkatan. Salah satu faktor meningkatnya tingkat konsumsi energi AS adalah pertumbuhan penduduk yang terus berkembang sehingga menuntut perkembangan ekonomi yang sejalan. Dengan semakin banyaknya populasi penduduk AS dari sekitar 149 juta jiwa pada tahun 1949 menjadi 281 juta jiwa pada tahun 2000.60 Artinya, peningkatan yang terjadi sekitar 89%. Sederhananya, peningkatan tingkat konsumsi energi AS juga akan setara dengan nilai tersebut. Konsumsi energi yang tinggi tersebut berasal dari kebutuhan energi pada empat sektor utama, yaitu perumahan, perdagangan, industri, dan transportasi. Sektor industri merupakan sektor terbesar yang mengkonsumsi energi untuk kepentingan perkembangan industrialisasi dan ekonomi AS, seperti terlihat pada gambar berikut : 59 www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00. Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika Serikat,” h. 37. 60 26 Gambar 2.3 Konsumsi Energi AS Menurut Kegunaannya Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25 April 2011, pukul. 08.00. Pada sektor industri, konsumsi terhadap gas alam dan minyak mengalami peningkatan dan puncaknya pada saat embargo minyak tahun 1973, setelah peristiwa tersebut penggunaan minyak mengalami fluktuasi. Konsumsi batu bara menjadi sektor andalan, namun kemudian mengalami penyusutan. Hal yang sama terjadi juga pada energi listrik yang mengalami penyusutan, seperti yang terlihat pada grafik berikut : Gambar 2.3. Konsumsi Energi AS untuk Keperluan Industri Sumber: http://www.eia.doe.gov/emeu/aer/pdf/perspectives_2009.pdf, diakses pada tanggal 1 Mei 2011, pukul. 15.20. 27 Sekitar 3/5 dari konsumsi energi untuk sektor industri digunakan untuk pabrik-pabrik.61 Sisanya untuk keperluan bidang pertambangan, konstruksi, pertanian, perikanan, dan kehutanan. Pada industri pabrik-pabrik energi yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah produk-produk minyak dan batu bara, bahan-bahan kimia dan produk sejenis, kertas, dan bahan sejenisnya, dan industri logam-logam besar. C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat Minyak menjadi komoditas penting bagi pembangunan di negara-negara maju untuk kebutuhan industri, transportasi, dan perumahan. Cadangan minyak dunia yang terbesar terdapat di negara-negara anggota OPEC, sedangkan konsumsi minyak dunia terbesar terdapat pada negara-negara industri maju seperti AS, Jepang, dan negara-negara Eropa. Jika pada suatu saat negara-negara OPEC secara serentak mengurangi atau menghentikan produksi minyaknya, maka akan mengacaukan negara-negara industri maju. Kepentingan negara-negara industri maju berbeda dengan kepentingan negara-negara berkembang sebagai penghasil minyak utama dunia. Negara-negara industri maju sebagai pengimpor minyak, sangat memerlukan suplai minyak untuk kebutuhan dalam negeri seperti untuk transportasi, industri, perumahan, keperluan militer, dan lain-lain. Sementara itu, negara berkembang yang memiliki minyak dunia berlaku sebagai penyedia. Sebagai negara industri maju, AS tentunya memiliki kepentingan tersendiri terhadap negara berkembang. Negara berkembang yang sebagian besar 61 Ibid., h. 41. 28 terletak pada kawasan strategis dan penting bagi kepentingan AS bersama sekutusekutunya. Sebut saja Timur Tengah, Teluk Persia, Laut Kaspia, Amerika Latin, dan lainnya. Kawasan-kawasan tersebut menyimpan cadangan minyak bumi dunia yang banyak dan sangat berpengaruh bagi kepentingan AS, terutama terkait kepentingan keamanan energi AS. Secara umum, inilah yang menjadi perhatian AS agar tidak sampai berdampak negatif bagi kepentingan-kepentingan nasionalnya. Konsentrasi AS terhadap negara berkembang yang tidak stabil dan rawan konflik mulai meningkat ketika instabilitas negara berkembang produsen minyak mampu mempengaruhi akses impor minyak dalam negeri AS sehingga kecenderungannya meningkat menjadi ancaman bagi keamanan energi AS. Hal ini terlihat dari ketergantungan AS akan impor minyak yang selalu meningkat seiring peningkatan tingkat konsumsi dalam negeri AS. Bagi AS yang merupakan salah satu negara konsumen minyak bumi, alasan yang selalu dihadapi terkait ketersediaan cadangan minyak dunia adalah keterbatasan cadangan minyak dunia. Mencermati krisis minyak bumi yang pernah terjadi, serta instabilitas kawasan yang mengandung cadangan minyak bumi, maka AS meningkatkan perhatian seriusnya terhadap akses suplai minyak bumi. Tingginya intensitas ketergantungan AS terhadap stabilitas cadangan minyak bumi dunia mendorong AS untuk turut berpartisipasi baik secara politis maupun militer di sejumlah kawasan yang menyimpan cadangan minyak bumi dalam jumlah besar, salah satunya adalah Timur Tengah. Sejarah menunjukkan bahwa instabilitas kawasan Timur Tengah yang telah menimbulkan konflik dan 29 perang berdampak pada stabilitas tingkat produksi dan harga minyak bumi dunia. Dalam kasus Irak, keterlibatan AS secara militer menunjukkan adanya keinginan untuk mengontrol dan menguasai sumber minyak yang merupakan bagian dari masalah keamanan energi AS. Momentum yang paling tepat dalam perubahan kebijakan luar negeri AS adalah pascatragedi pemboman WTC pada tanggal 11 September 2001. AS semakin meningkatkan intensitasnya dalam penempatan tentaranya di kawasan strategis akan cadangan minyak bumi, dengan dalih perang melawan terorisme.62 Afganistan merupakan negara pertama yang diinvasi AS pasca tragedi tersebut. Dalam kasus Perang Irak 2003, salah satu dalih yang digunakan AS dalam penempatan pasukan militer AS di Irak adalah upaya pembelaan rakyat Irak dari sikap pemerintahan Saddam Hussein yang otoriter dan represif.63 Melalui kebijakan luar negeri AS, isu keamanan energi merupakan salah satu agenda penting yang harus diperhatikan. Sebagai prioritas utamanya, AS selalu mengupayakan langkah-langkah antisipasinya terhadap terjadinya ketidakpastian pasokan dengan mempertahankan hubungan kerjasama ekspor dan impor minyak bumi dengan negara produsen minyak. Dengan jelas dinyatakan di dalam kebijakan energi nasional AS (National Energy Policy 2001) bahwa “...energy security must be priority of US trade and foreign policy.”64 Di samping itu juga ditegaskan bahwa kepentingan AS akan stabilitas cadangan minyak bumi dunia akan berdampak pada kepentingan nasional AS. Hal 62 Ibid., h. 57. Siti Muti‟ah Setiawati, dkk., Irak di Bawah Kekuasaaan Amerika (Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM), h. 15. 64 Lihat “National Energy Policy: Report of the National Energy Policy Development Group, May 2001,” dalam www.wtrg.EnergyReport/National-Energy-Policy.pdf, diunduh pada tanggal 25 April 2011, pukul 8.30. Kebijakan Energi Nasional Amerika Serikat ini sering juga disebut dengan “Chenney Energy Plan” karena ide kebijakan tersebut berasal dari Wakil Presiden AS, Dick Chenney. 63 30 ini semakin menunjukkan tingginya kepentingan dan ketergantungan AS akan cadangan minyak bumi dunia. Kebutuhan AS terhadap minyak yang begitu besar dengan cara mengimpor sekitar 53%, telah mendorong Washington untuk mencari sumbersumber cadangan minyak untuk mengamankan kepentingan minyaknya. Cadangan minyak mentah yang dimiliki oleh AS hanya berjumlah 22 milyar barel. 65 Apabila kebutuhan minyak AS dibandingkan dengan cadangan minyak mentahya, maka AS hanya akan mampu memenuhi kebutuhan minyak dalam negerinya selama tiga tahun. Sedangkan pada saat ini, AS menempati urutan pertama sebagai negara paling banyak mengkonsumsi minyak dunia.66 Alasan AS sebagai negara pengimpor terbesar minyak dunia di antaranya adalah karena wilayah negara AS yang sangat luas sehingga memerlukan penggunaan bahan bakar bensin untuk keperluan kendaraan bermotor, keperluan untuk industri-industri dalam negeri AS, dan bahan bakar untuk pemanas rumah yang biasanya digunakan warga AS. Di samping itu juga, jumlah penduduk AS yang terus bertambah, membuat tingkat konsumsi terhadap energi semakin meningkat.67 Kesulitan bagi AS dalam mencari sumber energi alternatif yang lebih murah dan aman membuat negara tersebut mulai melihat kawasan Timur Tengah. Kekhawatiran AS akan kenaikan harga minyak dunia dapat terjadi kapan saja. Hal ini membuat pemerintahan Bush untuk segera menemukan sumber minyak di kawasan yang dapat mengamankan kepentingan AS dalam jangka panjang. 65 Mohammad Safari dan Al-Muzammil Yusuf, ed. Perang Iraq-AS: Hegemoni Baru AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya (Jakarta: COMES, 2003), h. 141. 66 Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika Serikat,” h. 66. 67 Ibid., h. 59. 31 BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Sebagai satu-satunya negara super power saat ini, Amerika Serikat tentunya memiliki kebijakan luar negeri yang dirancang untuk mencapai tujuan nasionalnya baik dalam bidang ekonomi, politik maupun pertahanan dan keamanan. Jika pada masa Perang Dingin kebijakan luar negeri AS lebih ditujukan untuk membendung ancaman pengaruh komunisme, maka hal yang berbeda terjadi pada masa setelah Perang Dingin terlebih dengan terjadinya Tragedi 9/11 yang tentunya membuat AS harus menata ulang kembali kebijakan luar negerinya. Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan mengenai perubahan kebijakan luar negeri AS pasca-Tragedi 9/11. Selain itu, bab ini pun akan membahas mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, khususnya Irak. A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca- Tragedi 9/11 Serangan gerakan teroris internasional pada 11 September 2001 atau yang terkenal dengan sebutan Tragedi 9/11 dijadikan momentum awal diterapkannya strategi dan kebijakan baru AS untuk memulihkan kembali perannya sebagai polisi dunia yang tangguh. Serangan terorisme tersebut, terlepas dari kontroversi yang muncul, menjadi bukti bahwa betapa negara yang sangat kuat itu masih dapat diserang. Betapa negara yang diproteksi oleh perlengkapan senjata tercanggih di dunia masih mempunyai celah untuk diserang. 32 Momen ini direspon oleh pemerintahan Presiden George W. Bush untuk mengubah haluan politik luar negerinya yang telah ditetapkan oleh presiden pendahulunya, yakni Presiden Bill Clinton. Pada era Presiden Clinton, kebijakan luar negeri AS lebih bersifat akomodatif terhadap keinginan dunia internasional yang mendambakan demokratisasi. Presiden Clinton membawa AS tunduk pada aturan atau rezim internasional. Presiden Clinton sangat mengedepankan masalahmasalah humanistis dalam kebijakan luar negerinya, termasuk menghukum rezimrezim yang dinilai melanggar hak asasi manusia.68 Dalam masa pemerintahannya, kepemimpinan AS diraih melalui penggunaan soft power dengan tetap memperhatikan aspirasi negara-negara lain, terutama negara-negara sahabat.69 Walaupun AS merupakan satu-satunya negara adidaya, AS tidak dapat seenaknya memaksakan kehendaknya pada negara lain. Politik luar negeri AS mengalami perubahan fundamental ketika Presiden George W. Bush terpilih pada tahun 2001 menggantikan Presiden Clinton. Meskipun Jenderal Collin Powell yang dianggap tokoh moderat dan pendukung multilateralisme ditunjuk menjadi menteri luar negeri, Presiden Bush sendiri cenderung berpendirian unilateralis. Di samping itu, anggota kabinet Presiden Bush dalam bidang luar negeri dan pertahanan didominasi oleh tokoh-tokoh konservatif yang berpandangan unilateralis.70 Mereka ini antara lain, Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Kepala Dewan 68 Sugeng Riyanto, “Imperium Amerika: Krisis Legitimasi dan Implikasi,” Jurnal Hubungan Internasional, vol. II, no. 1 (Mei 2005), h. 245. 69 Soft power diartikan dengan menerapkan hegemoni melalui upaya-upaya persuasi dan pengaruh daripada melalui tekanan dan ancaman semata. Ibid., h. 12. 70 Dalam pandangan kelompok konservatif yang memiliki perspektif realis garis keras ini prioritas AS adalah melindungi kepentingan nasional AS sendiri, terutama keamanan nasional, tanpa perlu mempertimbangkan komitmen-komitmen internasional yang selama ini mengikat Washington. Sebagai negara adidaya, AS harus berani bertindak sendiri untuk melindungi kepentingan nasionalnya serta tidak perlu ragu menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuan, karena militer dianggap sebagai instrumen yang sah dalam politik internasional. 33 Kebijakan Pertahanan Richard Perle, Wakil Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz, Asisten Menteri Luar Negeri Bidang Kontrol Senjata John Bolton, dan Kepala Staf Kantor Wakil Presiden Lewis Libby.71 Presiden Bush menemukan alasan bagi AS untuk menggunakan kekuatan yang selama ini masih belum dimaksimalkan. Tragedi 9/11 memberikan legitimasi kepada Bush utuk kembali membawa AS memimpin dunia melenyapkan apapun yang dianggap membahayakan dunia. Ancaman keamanan nontradisional yang dihadapi AS, seperti terorisme internasional, telah membawa konsekuensi pada persepsi dan tingkat ancaman yang dihadapi AS ketika kekuatan militer semata tidak memadai untuk melindungi kepentingan keamanan AS. Tabel berikut menggambarkan kepentingan nasional AS dan persepsi ancaman yang dimilikinya. Tabel 3.1 Kepentingan nasional Amerika Serikat dan beberapa ancaman utamanya: Interest Prime Threats Status of Threats Defense of homeland Grand terror attacks and spread of WMD to hard-todeter state leaders and fanatical terrorists Aggressive great powers and hegemons A hegemonic Iran and Iraq Partially present Great power security competitions, great power wars, economic nationalism Ruthless leaders, civil wars, and the thwarting of economic growth Not present Deep peace among the Eurasian great powers Secure access to Persian Gulf oil at stable, reasonable price International economic opennes Consolidation of democracy and spread and observance of human rights 71 Not present Not present Partially present Dewi Fortuna Anwar, “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat,” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003), h. 16. 34 No severe climate change Unconstrained emmisions carbon Partially present Sumber: Anak Agung Banyu Perwita, “Perubahan Lingkungan Keamanan Global dan Politik Luar Negeri Amerika Serikat,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 1, no. 2 (Mei 2005), h. 90. Tabel di atas menunjukkan ancaman terbesar bagi keamanan global AS adalah serangan-serangan besar yang dilancarkan aktor nonnegara atau kelompok terorisme internasional dan penyebaran senjata nuklir, biologi, dan kimia. Tabel di atas sekaligus pula memperlihatkan berbagai bentuk ancaman baik yang bersifat tradisional maupun nontradisional terhadap kepentingan nasional AS. Lebih jauh, tabel di atas juga menekankan bahwa empat ancaman pertama (tradisional dan nontradisional) terhadap AS dapat berupa militer yang tentunya akan mengharuskan AS untuk mempersiapkan respon yang bersifat militer pula. Dalam salah satu pidatonya, Presiden George W. Bush mengatakan bahwa: “Pertahanan dalam negeri dan pertahanan peluru kendali adalah bagian dari keamanan yang lebih kuat, dan mereka adalah prioritas penting bagi Amerika. Kita menggempur musuh, merusak rencananya dan menghadapi ancaman terburuk sebelum mereka muncul. Di dunia yang telah kita masuki, satu-satunya jalan menuju keselamatan adalah tindakan, dan negara ini akan bertindak.”72 Pernyataan Bush dalam pidatonya tersebut kemudian dikenal dengan istilah pre emptive strike.73 Inti dari doktrin ini adalah bahwa pertahanan yang paling baik adalah menyerang. Artinya AS harus melancarkan serangan terlebih dulu terhadap siapa dan negara mana pun yang oleh AS dipersepsikan potensial dapat menjadi ancaman bagi kepentingan nasional AS. Selain itu, AS secara hitam 72 George W. Bush, “Pidato di West Point”, lihat A. Zaim Rofiqi, Amerika dan Dunia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 427. 73 Riza Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 36. 35 putih membagi dunia menjadi dua yaitu kami atau mereka yang kadangkala dikenal dengan prinsip either or (either you are with us or with our enemy), dan yang dimaksud dengan our enemy oleh AS adalah kelompok teroris internasional.74 Dengan kebijakan ini, AS secara leluasa menggerakkan semua elemen militernya ke berbagai wilayah dunia sebagai penanggung jawab keamanan global.75 Siapa berani menghalangi pasti kena sanksi. Presiden Bush menyatakan tidak akan membedakan antara teroris dan mereka yang memberi tempat atau melindungi teroris, seperti yang ia katakan dalam pidatonya pada 11 September 2001, petang harinya setelah Tragedi 9/11. Dalam pidato ntersebu, Bush mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan antara teroris yang melakukan tindakan teror itu (11 September 2001) dan mereka yang melindungi.76 Jadi, siapa pun yang tidak mau memerangi atau membantu AS dalam memerangi kelompok teroris, apalagi yang dicurigai atau dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional, maka mereka dapat dianggap sebagai musuh AS, dan dengan sendirinya bebas untuk diperangi. Namun sayangnya, AS bebas menerjemahkan siapa saja yang berhak dikategorikan sebagai teroris. Tragedi 9/11 telah memperkuat pembenaran AS untuk mencapai tujuan hegemoniknya, yaitu dominasi geopolitik dan ekonomi di dunia.77 Presiden Bush ingin menegaskan kehadiran AS sebagai pemimpin dunia, apapun caranya. Presiden Bush telah berupaya agar dunia yang mengikutinya, bukan AS yang tunduk kepadanya. 74 Ibid. Hendrajit, dkk, Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia (Jakarta: Global Future Institute, 2010), h. 114. 76 Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 96. 77 Istilah hegemoni diturunkan dari sebuah kata Yunani yang sederhananya berarti kepemimpinan, lihat Nur Rahmat Yuliantoro, “Hegemoni Amerika Pasca 11/9: Menuju Sebuah „Imperium Amerika Baru‟?,” vol. 9, no. 1 (Juli 2005, )h. 96. 75 36 Upaya menangani terorisme ini juga dilakukan dengan mengedepankan aspek militer. Sangat nyata bahwa Tragedi 9/11 terjadi di AS, tetapi reaksi Presiden George W. Bush paling menonjol adalah invasi militer ke Afganistan dan Irak. Ini menunjukkan bahwa Presiden Bush lebih mengedepankan penggunaan hard power, yakni kekuasaan yang ditegakkan dengan paksaan.78 Presiden George W. Bush telah mendapatkan situasi yang kondusif untuk melancarkan penggunaan hard power dalam melangsungkan kebijakan luar negerinya. Terorisme telah dijadikan alasan untuk itu, dan dunia cukup mempercayainya, setidaknya para sekutu AS. Presiden Bush yakin AS berada dalam posisi yang benar dan merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan kebenaran serta melawan kekuatan jahat (evil) secara unilateral di seluruh penjuru dunia dengan menggunakan kekuatan militer AS yang tidak tertandingi dan tidak boleh ditandingi.79 AS di bawah Presiden Bush merupakan misionaris bersenjata yang percaya bahwa AS ditakdirkan untuk memimpin dunia untuk kebaikan itu sendiri. Di samping itu, AS pun akan secara aktif mendukung freedom atau kebebasan di seluruh dunia.80 Penggulingan rezim Taliban di Afganistan dan rezim Saddam Hussein di Irak yang bertujuan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis merupakan wujud dari dukungan AS terhadap freedom atau kebebasan itu sendiri. B. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah Penjelasan mengenai kebijakan politik Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah guna mengamankan kepentingan nasionalnya dapat dilihat dengan 78 Ibid., h. 248. Anwar, “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat,” h. 23. 80 Ibid. 79 37 menggunakan The Truman Doctrine serta The Eisenhower Doctrine. Doktrin Truman, yang berawal dari pernyataan Presiden Harry S. Truman pada tanggal 12 Maret 1947 di hadapan Kongres, secara khusus mengulas perlunya AS menyelamatkan krisis ekonomi dan politik di Yunani dan Turki.81 Upaya penyelamatan terhadap krisis ini dilakukan dengan memberikan bantuan berupa bantuan ekonomi dan perlindungan militer kepada negara tersebut atau yang dikenal dengan sebutan Marshall Plan dengan tujuan agar Yunani dan Turki tetap berada dalam Pax Americana (Amerika Raya).82 Doktrin Truman yang semula diterapkan pada Yunani dan Turki, pada akhirnya juga berkembang ke seluruh dunia bebas (free world) yang menghadapi sebuah ancaman bagi dominasi keamanan dan kepentingan nasional AS, termasuk di kawasan Timur Tengah. Perluasan Doktrin Truman di Timur Tengah diperkuat dengan adanya Doktrin Eisenhower. Pada 5 Januari 1957, Presiden Eisenhower dalam pidato di depan Kongres menekankan perlunya AS memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kawasan Timur tengah dengan langkah antara lain: Pertama, mengadakan bantuan program dengan pendekatan bilateral dan multilateral untuk memperkuat penguasa-penguasa yang pro AS di Timur tengah agar tetap dalam kekuasaan AS; Ke dua, memperluas bantuan dan kerjasama militer untuk memperkuat dan memperluas dominasi AS di kawasan itu; Ke tiga, memperkuat integritas teritorial dan kemerdekaan bangsa-bangsa Timur Tengah dari kemungkinan agresi 81 Azman Ridha Zain, “Realitas Dibalik Konflik Amerika Serikat-Irak (Analisis terhadap Invasi AS ke Irak),” (Tesis S2 Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 2004), h. 47. 82 Istilah Pax Americana muncul untuk menggambarkan situasi dan posisi yang sama seperti yang pernah dinikmati Inggris pada Perang Dunia I, ketika negara ini dapat mengontrol wilayah Timur Tengah tanpa ada perlawanan yang berarti, baik yang bersifat regional maupun internasional. Siti Muti‟ah Setiawati, dkk., Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004), h. 36. 38 kekuatan musuh.83 Untuk menjalankan kebijakan tersebut, AS memerlukan dukungan kerjasama yang sangat kuat. Sejak tahun 1940-an pemerintah AS telah menetapkan kebijakan untuk menjaga kepentingannya di Timur Tengah. Alasannya jelas, bumi gersang dan tandus Jazirah Arab dan Parsi itu ternyata menyimpan dua pertiga cadangan minyak dunia.84 Presiden Eisenhower, pernah menggambarkan bahwa Timur Tengah merupakan tanah yang kaya yang harus dijaga oleh AS. “Di sanalah tempat paling terpenting di dunia berada,” kata Eisenhower. Selanjutnya, muncul anggapan bahwa, siapa yang menguasai Timur Tengah, dia akan menguasai dunia. Kalangan militer juga berpendapat bahwa, siapa yang menguasai energi, akan dapat mengontrol dunia. Ini terus dilakukan AS bersama sekutunya.85 Politik luar negeri AS di kawasan Timur Tengah pasca-Perang Dingin setidaknya dilatarbelakangi oleh dua kepentingan utama yakni, Israel dan minyak.86 Pada masa Perang Dingin, AS juga sangat berkepentingan untuk dapat membendung pengaruh komunis Uni Soviet di kawasan ini. Namun, setelah berakhirnya Perang Dingin, AS tampak tidak lagi menjalankan politik pembendungannya. Terdapat dua aliran pemikiran di kalangan intelektual dan politisi AS perihal politik Washington terhadap kawasan Timur Tengah. Pertama, aliran yang membela hal apa yang disebut sebagai doktrin Israel First. Ke dua, aliran yang 83 Zain, “Realitas Dibalik Konflik Amerika Serikat-Irak,” h. 48. Kirdi Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan, 2nd ed. (Jakarta: CSIS, 1982), h. 30. 85 Elba Damhuri, Di balik Invasi AS ke Irak (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003), h. 84 41. 86 Riza Sihbudi, Eksistensi Palestina: Di Mata Teheran dan Washington (Bandung: Mizan, 1992), h. 23. 39 menghendaki agar AS bersikap lebih adil di Timur Tengah atau disebut sebagai aliran evenhanded .87 Bagi pendukung doktrin Israel First yang ditokohi mantan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, kepentingan AS di Timur Tengah akan sangat terjamin jika Washington meneruskan dukungannya terhadap posisi dominan Israel di kawasan ini. Doktrin Israel First memandang Israel tidak hanya sebagai sebuah aset strategis, tetapi juga sebagai yang pantas didukung penuh atas dasar-dasar moral, bentuk pemerintahannya yang demokratis, norma-norma budaya Baratnya, dan di atas segalanya, fungsi Israel sebagai tempat perlindungan dan pengganti kerugian bagi orang-orang Yahudi yang telah mengalami penderitaan historis.88 Sebaliknya, bagi pengikut aliran evenhanded, dukungan AS terhadap Israel tidak menjamin sejumlah kepentingan vital AS di Timur Tengah dan dunia Islam. Menurut mereka, doktrin Israel First justru menyulitkan posisi rezim-rezim Arab moderat yang selama ini bergantung pada batuan militer dan ekonomi AS. Menurut pengikut aliran ini, doktrin Israel First justru menimbulkan gerakangerakan fundamentalis Islam radikal yang mengancam keamanan warga AS di kawasan ini.89 Namun, sampai saat ini pendukung Israel First masih jauh lebih unggul dibandingkan dengan pendukung aliran evenhanded. Dominasi pengikut doktirn Israel First dalam proses pembuatan kebijakan di AS dikarenakan doktrin ini didukung sepenuhnya oleh sebuah aliansi kekuatan politik yang sangat kuat dan 87 Ibid. Ibid., h. 24. 89 Ibid. 88 40 yang secara efektif mampu memobilisasi kepentingan maupun sentimen pro Israel.90 Kebijakan politik AS di kawasan Timur Tengah yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang menyebabkan kawasan tersebut disebut dengan Dunia Islam, mengalami banyak ketegangan dan bahkan permusuhan, terutama pasca Tragedi 9/11. Tragedi 9/11 ini membawa dampak sangat besar bagi hubungan AS dengan dunia Islam. AS cenderung melihat Islam sebagai musuh atau ancaman, begitu pula sebaliknya, kebanyakan masyarakat di Dunia Islam memandang AS sebagai lawan yang berniat menghancurkan Islam. Ketegangan AS-Dunia Islam lebih banyak disebakan karena kebijakan AS di bawah Presiden George W. Bush yang selalu mengidentikkan Islam dengan terorisme. Di satu sisi, dengan alasan memerangi terorisme internasional, Presiden Bush melancarkan invasi dan kemudian menduduki serta menghancurkan negaranegara muslim yang lemah, seperti Afganistan dan Irak. Sementara di sisi lain, Presiden Bush justru terus memberikan dukungan terhadap terhadap Israel yang terus menindas bangsa Palestina. C. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak Pasang surut hubungan antar negara memang kerap terjadi. Begitu pun dengan Amerika Serikat dan Irak. Konflik yang timbul antara AS dan Irak secara faktual bermula dari kebijakan Saddam Hussein untuk melakukan invasi militer ke wilayah negara Kuwait. Perang itu pun kemudian lebih dikenal sebagai Perang Kuwait atau Perang Irak melawan pasukan multinasional (aliansi anti-Irak) di 90 Ibid. 41 bawah pimpinan AS, yang seringkali disebut juga sebagai Perang Teluk II untuk membedakan dengan Perang Teluk I.91 Perang ini bermula dari: (1) terjadinya perselisihan antara Irak dan Kuwait; (2) disusul dengan terjadinya invasi pasukan Irak ke Kuwait (2 Agustus 1990); (3) aneksasi Irak atas Kuwait (8 Agustus 1990), di mana Kuwait dijadikan provinsi ke-19 Irak; (4) terjadinya pengeboman besarbesaran pasukan sekutu terhadap Irak dan Kuwait (17 Januari 1991). 92 Kemudian, invasi dan aneksasi Irak atas Kuwait berkembang menjadi konflik terbuka antara Irak dan AS.93 Perang Teluk II yang dilancarkan oleh pasukan multinasional menamakan misinya sebagai Operation Desert Shield atau Operasi Perisai Gurun, yang sejak 17 januari 1991 diubah menjadi Operation Desert Storm atau Operasi Badai Gurun.94 Perang Teluk II secara langsung mengancam kepentingan AS. Ladang minyak Kuwait yang setiap hari mengalirkan Dolar Amerika ke AS direbut oleh pihak lain. Sejak itu, AS merasa serangan Irak terhadap Kuwait itu membahayakan kepentingannya. Oleh karena itu, AS lantas merancang resolusi dan dengan segala kekuatan berupaya meminta pengesahan Dewan Keamanan PBB untuk mengusir dan melumpuhkan militer Irak. Alasan yang dikemukakan 91 Perang ini merupakan perang yang terjadi antara Iran dan Irak pada tahun 1980 sampai 1988. 92 Dhurorudin Mashad, Saddam Melawan Amerika (Jakarta: Pensil-324, 2003), h. 103. Perang Teluk II ini disebabkan oleh tuduhan Saddam Hussein yang menyatakan, bahwa sementara negara Arab telah menjalankan kebijakan perminyakan yang menikam Irak dari belakang. Bahkan, Kuwait dan Uni Emirat Arab (UEA) dinilai telah mengadakan persekongkolan dengan AS untuk menurunkan harga minyak di pasaran internasional karena setiap penurunan harga minyak sebesar 1 dolar Amerika per barel akan mengurangi penerimaan Irak sebesar 1 miliar Dolar Amerika. Irak diperkirakan mengalami kerugian sebesar 14 miliar dolar Amerika akibat jatuhnya harga minyak. Lihat Ibid., h. 108. 94 Sihbudi, Eksistensi palestina, h. 29. 93 42 AS, Irak telah melanggar hukum internasional dan hak rakyat Kuwait untuk bernegara harus dipulihkan.95 Dengan hancurnya reaktor nuklir Irak di Osirak, sesungguhnya tinggal selangkah lagi bagi AS untuk menjatuhkan Saddam Hussein. Namun, AS tidak lantas melakukannya. Bukan AS tidak mampu menjatuhkan Saddam Hussein, AS sengaja menjadikan Saddam Hussein sebagai monster bagi negara-negara Arab lain agar tetap berlindung kepada AS. Artinya, jika Saddam Hussein digulingkan, tidak ada lagi yang ditakuti, dengan begitu fungsi AS sebagai pelindung tidak diperlukan lagi. Padahal AS masih ingin memainkan peranan sebagai pelindung negara-negara Arab yang sangat dibutuhkan minyaknya.96 Berbagai upaya AS untuk mengkoersi Irak memperlihatkan bahwa Saddam Hussein sangat rentan. Oleh karena itu, kemungkinan besar akan kalah apabila basis kekuatannya secara efektif diancam. Berkenaan dengan mempertahankan dukungan dan loyalitas suku-suku utama agaknya kurang menjadi perhatian para pejabat Partai Baath, pejabat militer, dan elit lainnya.97 Setelah terjadinya Operasi Badai Gurun, posisi domestik Saddam Hussein sangat lemah dan ia takut bahwa pukulan lain dari koalisi anti-Irak akan menghancurkannya. Responnya atas ancaman berikutnya dan serangan udara serta rudal yang lemah pada tahun-tahun selanjutnya memperlihatkan rasa takutnya bahwa serangan koalisi dapat menjatuhkan rezimnya. Serangan militer AS dan bentuk tekanan lainnya yang dapat menjatuhkan Saddam Hussein memperlihatkan 95 Muhammad Soelhi, Demi Harga Diri Mereka Melawan AS (Jakarta: Pustaka Zaman, 2003), h. 102. 96 Ibid., h. 108. 97 Partai Baath merupakan Partai yang dipimpin oleh Saddam Hussein. 43 ketidakmampuannya untuk merespon atas tekanan AS dan mengancam kontrolnya atas basis kekuasaannya. Pada akhir Perang Teluk II, posisi AS sangatlah kuat di kawasan tersebut. Militer Irak hancur dan rezim Saddam Hussein sedang tertatih-tatih. Sebaliknya, AS mempunyai tekanan yang kuat baik di tingkat regional maupun dunia. Untuk meningkatkan posisi militernya, Washington menandatangani serangkaian persetujuan akses penjualan persenjataan dalam jumlah besar-besaran ke negaranegara sekutunya di Teluk Persia dan merencanakan kehadiran kekuatan AS secara substansial di kawasan ini. AS mengejar beberapa tujuan yang sangat bertentangan atas Irak. Pertama, AS berupaya mencegah tindakan agresi Irak dengan mempertahankan Irak tetap lemah dan kehadiran negeri ini di tingkat regional secara kuat. Ke dua, negara adidaya ini berupaya membalikkan program NBC (Nuclear Biological Chemical) Irak. Ke tiga, negara adidaya ini berupaya menggulingkan rezim Irak. Ke empat, mencegah instabilitas di antara para sekutunya yang dapat diakibatkan oleh tindakan AS.98 Empat tujuan inilah yang mendasari upaya AS untuk melakukan tindakan koersi atas Irak sejak Perang Teluk II. Tindakan koersi yang dilakukan AS atas Irak selama Perang Teluk II justru berlawanan dengan tindakan yang diambil AS pada saat Perang Teluk I. Jika pada Perang Teluk II atau Perang antara Irak dengan Kuwait, AS berada pada pihak Kuwait dalam menghadapi Irak, hal yang sebaliknya justru terjadi ketika Perang Teluk I atau Perang antara Iran dan Irak berlangsung, saat AS lebih berpihak kepada Irak. 98 Zain, “Realitas Dibalik Konflik Amerika Serikat-Irak,” h. 49. 44 Perang Teluk I atau Perang antara Iran dan Irak yang dimulai dengan tindakan Saddam Hussein yang mengirim ribuan tentara menyerang Iran pada tanggal 22 September 1980 ini disebabkan oleh Saddam Hussein yang membatalkan secara sepihak perjanjian damai Irak-Iran yang disepakati lewat Perjanjian Aljier 1975.99 Saddam Hussein mengemukakan bahwa Perjanjian Aljier dianggap tidak adil karena ditandatangani dalam situasi Irak sedang lemah. Iran ketika itu berada di puncak kekuatan, bahkan memiliki angkatan bersenjata terkuat di Teluk Parsi atau Teluk Arab. Iran yang kala itu berhubungan baik dengan AS, ibaratnya sedang menjadi polisi kawasan. Oleh karena itu, Perjanjian Aljier yang ditandatangani pada 6 Maret 1975 oleh Saddam Hussein dilihat tidak layak dipertahankan. Namun, di balik itu ada alasan lain yang sebenarnya lebih mendasar. Sebab, jika faktor ketidakadilan Perjanjian Aljier yang menjadi titik picu, sebenarnya Saddam Hussein tidak perlu membatalkan secara sepihak, apalagi dengan menyerang Iran.100 Terdapat alasan tersembunyi Saddam Hussein dibalik invasinya terhadap Iran. Pertama, invasi Irak lebih merupakan artikulasi dari ambisi Saddam Hussein yang ingin tampil sebagai tokoh yang diperhitungkan di Dunia Arab dan kawasan Timur Tengah.101 Ke dua, keberhasilan Revolusi Islam Iran membuat resah Saddam Hussein atau bahkan seluruh pemimpin negara kawasan Teluk. Revolusi itu dicemaskan dapat mempengaruhi tumbuhnya 99 Isi perjanjian Aljier antara lain: (1) Shat al Arab sebagai jalur pelayaran internasional. Batas perairan antara Irak-Iran didasarkan pada Protokol Konstantinopel 1913, peninggalan persetujuan Persia dengan Ottoman (Irak sekarang), (2) Irak-Iran bekerjasama melakukan pengawasan atas perbatasan. Irak menghentikan bantuan pada pemberontak Kurdi di Iran, sebaliknya Iran juga tidak lagi membantu pemberontak Kurdi di Irak. Berdasarkan perjanjian itu pula, Irak memenuhi permintaan Syah Iran mengusir Khomeini dari Irak, pada Oktober 1978, sejak ia diusir dari Iran sendiri pada Oktober 1964. Mashad, Saddam Melawan Amerika, h. 82. 100 Sebab, dalam perjanjian terdapat klausul bahwa, perbedaan penafsiran dan pelanggaran perjanjian dapat diselesaikan melalui arbitrase atau penengahan melalui Mahkamah Internasional. Ibid., h. 83. 101 Ibid. 45 kekuatan fundamentalis, termasuk khususnya di Irak yang 52% penduduknya bermazhab Syiah, sama seperti penduduk Iran.102 Perang Teluk I, selain melibatkan dua negara, yaitu Irak dan Iran, juga telah membawa dua negara adikuasa AS dan Uni Soviet untuk terlibat dalam perang tersebut. Sebelum terjadinya revolusi, Iran memiliki hubungan yang sangat kuat dengan AS. Bahkan Syah Iran yang menjadi penguasa secara turun temurun dianggap sebagai “boneka” AS. Berbagai peralatan perang AS pun dikirim ke Iran untuk memperkuat negara tersebut. Akan tetapi, pascarevolusi, Iran justru sangat jauh dari AS, karena Ayatullah Khomeini, penguasa Iran pengganti Syah sangat membenci AS. Khomeini berusaha melepaskan pengaruh AS di Iran. Sementara itu, pada sisi lain, sebelum berperang dengan Iran, Irak lebih dekat dengan Uni Soviet, terutama sebelum Perang Arab-Israel tahun 1973. Saddam Hussein, sebagai pemimpin Irak, menjalin hubungan yang erat dengan Uni Soviet agar negara komunis itu dapat mengalirkan berbagai persenjataan yang mereka miliki ke Irak. Suasana perang Dingin telah mengantarkan Uni Soviet membantu Irak guna menyeimbangkan kekuatan di wilayah Teluk. Ketika terjadi Perang Teluk I pada tahun 1980-1989, kondisi di atas mengalami perubahan. Iran tidak lagi dekat dengan AS. Sedangkan Irak tetap berhubungan baik dengan Uni Soviet dan bahkan AS juga ikut merangkulnya. Dengan demikian, Irak tidak hanya mendapat bantuan persenjataan dari Uni Sovet, tetapi dari AS. Bantuan AS pada Irak itu adalah dalam rangka melawan Iran. Meskipun secara resmi AS tidak memihak siapapun dalam Perang Teluk I, 102 Ibid. 46 tetapi di belakang, AS justru membantu Irak, hal ini dilakukan untuk menyelamatkan kepentingan minyaknya di Timur Tengah.103 Keberpihakan AS terhadap Irak dalam Perang Teluk I tersebut memang berlawanan dengan sikap AS terhadap Irak ketika berlangsungnya Perang Teluk II, di mana AS berpihak kepada Kuwait dalam menghadapi Irak seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya. Pasang surut hubungan antara dua negara memang lazim terjadi. Begitu pula dengan hubungan antara AS dan Irak. Bahkan hubungan AS dan Irak ini mengalami titik terendahnya yakni ketika AS melancarkan invasi militernya terhadap Irak pada 20 Maret 2003 tanpa dikutuk apalagi dicegah oleh PBB. Invasi ini memperoleh kesempatannya setelah terjadinya Tragedi 9/11. Dengan terjadinya tragedi tersebut maka AS mempunyai kesempatan untuk menyerang Irak setelah dikeluarkannya tuduhan AS mengenai keterlibatan pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan Al-Qaeda.104 Menurut AS, Irak terlibat dalam jaringan teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden, yang dituduh sebagai tokoh utama di balik Tragedi 9/11.105 Bahkan selain tuduhan tersebut, AS juga menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal. AS memberikan label terorisme pada setiap negara yang tidak mau bekerjasama dengan AS dalam menumpas terorisme. Dalam kesempatan ini pula AS memberikan label kepada Irak, Iran, dan Korea Utara sebagai negara-negara 103 Ibid., h. 93. Ibid., h. 152. 105 Para pejabat Irak diketahui berulang kali telah melakukan pertemuan dengan anggota Al-Qaeda, khususnya dengan para anggota sel yang dipimpin Al Zarkawi yang tinggal di suatu tempat di Irak bagian Timur Laut. Irak aktif berhubungan dengan Al-Qaeda terutama setelah peristiwa peledakan bom di Kedutaan Besar AS di Kenya tahun 1998. Ibid. 104 47 pendukung terorisme atau negara-negara axis of evil. Akibatnya ketiga negara itu selalu diawasi oleh AS setiap saat.106 Peristiwa tersebut mengangkat kata terorisme menjadi kata yang paling sering digunakan oleh AS dan melahirkan sebuah doktrin yang disebut doktrin Bush “either you are with us or with our enemy,” yaitu tindakan untuk mencari dan mendapatkan dukungan ke negara-negara lain dalam hal mendukung pemberantasan terorisme di dunia.107 Doktrin Bush ini mampu mempengaruhi hubungan AS dengan negara-negara lain, karena doktrin tersebut menjadi tolak ukur dalam membina hubungan dengan negara-negara lain. Aksi AS untuk memberantas terorisme ini diawali dengan aksi militer ke Afganistan yang didukung oleh Inggris sebagai sekutu terdekat AS merupakan salah satu usahanya untuk menumpas terorisme karena Washington berkeyakinan bahwa Tragedi 9/11 dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Walaupun pada akhirnya tuduhan yang dilemparkan kepada Osama bin Laden tidak terbukti seluruhnya. Untuk menjaga keutuhan kredibilitas AS sebagai super power dan perannya sebagai “polisi dunia”, maka AS membuka kembali kasusnya dengan Irak di masa lalu. Hal ini merupakan sebuah pengalihan atas tidak berhasilnya AS menemukan Osama bin Laden. Bush, yang didukung sepenuhnya oleh Inggris, Australia, dan Spanyol, tetap bersikeras menyerang Irak dan menggulingkan Saddam Hussein dengan dalih kepemilikan senjata pemusnah massal (WMD) Irak, keterkaitan Baghdad dengan jaringan teroris Al-Qaeda, serta pembebasan rakyat Irak dari belenggu 106 Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”, h. 73. Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak, h. 36. 107 48 rezim tirani Saddam.108 Namun, satu demi satu kebohongan Bush mulai terungkap. Setelah lebih dari setahun menduduki Irak, para petinggi AS tak mampu membuktikan kebenaran tuduhannya perihal keberadaan WMD Irak.109 Terjadinya Tragedi 9/11 akan mempermudah bagi Presiden George W. Bush untuk menjalankan ambisinya menggulingkan Saddam Hussein serta mengganti sistem pemerintahannya menjadi sistem yang lebih demokratis, sehingga mempermudah AS untuk menguasai Irak. Paling tidak, ada enam faktor yang memotivasi Presiden Bush di balik ambisi perangnya.110 Pertama, Presiden Bush menggunakan isu perang Irak untuk menutupi berbagai ketidakberhasilannya dalam mengatasi persoalan sosial-ekonomi di dalam negerinya sendiri. Ke dua, keinginan Presiden Bush untuk melampiaskan dendam keluarganya terhadap Saddam. Ke tiga, Presiden Bush ingin menutupi kegagalannya dalam memburu Osama bin Laden dan Mullah Umar di Afganistan. Ke empat, terinspirasi oleh keberhasilannya dalam menghancurkan rezim Taliban dan menciptakan rezim boneka di Afganistan, Presiden Bush berusaha melakukan hal yang sama di Irak yakni mendirikan rezim boneka di Irak yang dapat didikte oleh Washington dengan tujuan, tidak lain, untuk menguasai minyak Irak. Ke lima, seperti dalam kasus kampanye anti-terorisme yang dikembangkan AS pascaTragedi 11 September 2001, dalam kasus Irak pun tampak jelas kuatnya pengaruh faksi garis keras di lingkaran elite politik Gedung Putih yang selalu mengedepankan pendekatan pragmatis dan sangat militeristis. Ke enam, selain 108 Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), h. 388. Bahkan di antara para petinggi AS dan Inggris sendiri justru terjadi saling tuding, yang salah satunya berujung pada mundurnya Direktur CIA (Central Intellegence Agency atau dinas intelijen AS) George Tenet, awal Juni 2004. Kendati di depan publik Tenet menyebut “alasan keluarga” di balik pengunduran dirinya, banyak kalangan yakin ia dipaksa mundur akibat kekacauan kinerja CIA baik dalam kasus 9/11 maupun invasi ke Irak. Ibid. 110 Sihbudi, Pasca Agresi Amerika ke Irak, h. 34-36. 109 49 berwatak militeristis, mereka juga dikenal sangat pro Israel. Oleh karena itu, ambisi Presiden Bush untuk melucuti senjata Irak juga dimaksudkan untuk mengeliminir ancaman militer Arab terhadap Israel. Tuduhan-tuduhan AS terhadap Irak mengenai senjata pemusnah massal menimbulkan pro dan kontra dari berbagai negara karena tuduhan yang dilemparkan oleh AS terhadap Irak belum seluruhnya terbukti. Walaupun begitu, seluruh pro dan kontra dari berbagai negara tersebut tidak menyurutkan keinginan AS untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein. 50 BAB IV PENGARUH KEPENTINGAN EKONOMI DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT PADA PERANG IRAK TAHUN 2003 Dalam penelitian ini, penulis menganalisa bahwa kepentingan minyak merupakan alasan utama yang melatarbelakangi invasi Amerika Serikat terhadap Irak. Berbagai dalih yang dipakai AS untuk menyerang Irak dengan mudah dapat dipatahkan. Oleh sebab itu, sangat sulit mempercayai begitu saja argumenargumen yang dipakai oleh Presiden Bush untuk melancarkan invasinya di Irak, seperti yang telah penulis utarakan sebelumnya yakni mengenai masalah kepemilikan senjata pemusnah massal Irak, keterkaitan Saddam Hussein dengan jaringan terorisme internasional, dan sikap represif rezim Saddam Hussein. Irak adalah sebuah negara yang memiliki cadangan minyak ke dua terbesar di dunia setelah Arab Saudi. Faktor minyak selalu menjadi isu sentral dan senantiasa dilihat sebagai salah satu pemicu konflik di Timur Tengah, tak terkecuali pula dalam konflik AS-Irak.111 Namun, isu ini kurang diekspos karena 111 Dalam konteks konflik AS-Irak, isu minyak memang makin membayangi konflik tersebut, terutama setelah tercapai kesepakatan ekspor minyak Irak sesuai dengan perjanjian minyak dengan imbalan makanan (oil for food) pada tahun 1996. Irak berusaha menggunakan senjata minyak dengan tujuan tercabutnya embargo total PBB atas negeri itu yang berlangsung sejak tahun 1990. Misalnya, Baghdad menawarkan proyek eksplorasi minyak pada sejumlah negara dengan imbalan negara-negara tersebut mendukung dan membantu upaya pencabutan embargo PBB atas Irak. Sejumlah negara seperti Rusia, Cina, Perancis, dan India telah mendapatkan proyek raksasa di Irak. Barangkali faktor inilah yang menyebabkan Rusia, Cina, Perancis, dan juga Jerman masih menolak keras serangan AS ke Irak, kecuali dalam naungan PBB. Selain itu, ketergantungan negara-negara Uni Eropa, Jepang, dan Cina pada minyak Timur Tengah jauh lebih besar dibanding AS. AS sendiri masih dapat mengandalkan minyak dari Kanada, Meksiko, dan Venezuela. Harmiyati, “Dimensi Teknologi, Keamanan, dan Ekonomi dalam Invasi AS ke Irak,” Jurnal Paradigma, vol. VII, no. 20 (Maret 2003), h. 36. 51 AS lebih mengedepankan isu mengenai hal memerangi terorisme yang ada di setiap negara. Timur Tengah memang bukan hanya hamparan Padang Pasir yang luas, jauh di bawah tanahnya tersimpan setidaknya 70% cadangan minyak dunia. Dari catatan terakhir OPEC, cadangan minyak yang ada di Timur Tengah sedikitnya ada 800 miliar barel dan tersebar hanya di beberapa negara, seperti Arab Saudi, Irak, Iran, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Qatar.112 Perhatian AS pada minyak di wilayah ini semakin besar setelah aksi boikot minyak Arab menyusul Perang Arab-Israel tahun 1973. Sebagai salah satu negara industri besar, sangat wajar jika AS memerlukan minyak dalam jumlah yang begitu besar untuk menjalankan kegiatan industrinya baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun luar negeri. AS sendiri memiliki cadangan minyak mentah sejumlah 22 miliar barel, dan apabila kebutuhan minyak AS dibandingkan dengan cadangan minyak mentahnya, maka AS hanya akan mampu memenuhi kebutuhan minyak dalam negerinya selama tiga tahun. Oleh karena itu, AS harus memenuhi kebutuhannya akan minyak dengan jalan melakukan impor. AS mengimpor 53% dari kebutuhan minyaknya, dan impornya akan meningkat hingga 62% pada tahun 2020.113 Sebanyak 30% dari total impor AS ini berasal dari negara-negara Timur Tengah. Ketergantungan terhadap minyak dari Timur Tengah akan semakin meningkat di masa yang akan mendatang, mengingat selain Timur Tengah memiliki cadangan minyak yang 112 Elba Damhuri, Di balik Invasi AS ke Irak (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003), h. 11. 113 Mustafa Abd. Rahman, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari Lapangan) (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003), h. 59. . 52 besar, produksi minyak di AS semakin menurun akibat terus dimanfaatkannya cadangan minyak di sana.114 Berdasarkan National Energy Policy Report AS yang diumumkan Gedung Putih pada Mei 2001, ketergantungan minyak dari Teluk Parsi telah mencapai setengah dari total konsumsi AS, sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan ketergantungan ini akan mencapai dua pertiga dari seluruh konsumsi minyak AS.115 Oleh karena itu, sesuai kebijakan luar negerinya di Timur Tengah, AS harus memperoleh strategi yang dapat digunakan sebagai pijakan menopang kepentingannya itu. AS tidak bisa lepas, bahkan masih sangat tergantung pada suplai minyak Timur Tengah. Presiden George W. Bush di depan Kongres pada 17 Mei 2001 menyampaikan strategi pengadaan energi AS dengan slogan “Tingkatkan mengalirnya minyak”.116 Dalam konsep Presiden Bush tersebut ditegaskan, tujuan strategisnya sudah jelas, yaitu terjaminnya persediaan minyak hingga pada tingkat yang tidak mengancam keamanan nasional dan ekonomi AS.117 Pada bulan Mei 2001, AS kembali menempatkan keamanan energi sebagai masalah prioritas, di mana diupayakan untuk menghindari terjadinya ketidakpastian pasokan dengan memprioritaskan di dalam hubungan luar negeri dan perdagangan AS. Di dalam kebijakan energi nasional AS (National Energy Policy 2001), dikatakan bahwa “...energy security must be priority of US trade 114 Kebutuhan AS akan minyak per hari adalah 20 juta barel dan AS hanya memenuhi 40% nya. Damhuri, Di balik Invasi AS ke Irak, h. 15. 115 Ibid. 116 Rahman, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, h. 59. 117 Ibid. 53 and foreign policy.”118 Pada Kebijakan Energi Nasional juga dikatakan bahwa ketergantungan AS pada pasar energi yang stabil dan kebutuhan pada kebijakan luar negeri yang akan mendukung suplai energi AS. Di samping itu juga dikatakan bahwa: “Gangguan yang besar pada suplai minyak dunia dapat mempengaruhi ekonomi dan kemampuan AS untuk memproduksi tujuan kebijakan luar negeri dan kebijakan ekonomi tanpa menghiraukan pada tingkat ketergantungan AS pada impor minyak. Selain itu juga, negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah tetap akan menjadi pusat keamanan minyak dunia. Kawasan Teluk tetap akan menjadi fokus utama kebijakan energi nasional AS.”119 Merujuk kepada hal tersebut, terlihat bahwa keamanan energi atas akses terhadap sumber-sumber minyak merupakan prioritas bagi AS dan karenanya dibutuhkan kebijakan luar negeri yang akan mendukung hal tersebut. Oleh karena itu, inti dari kebijakan AS di kawasan Timur Tengah yang mengandung cadangan minyak bumi dalam jumlah yang sangat besar, termasuk Irak adalah demi kepentingan nasionalnya yakni mengenai akses terhadap minyak yang terdapat di kawasan tersebut untuk kepentingan industri AS sendiri atau demi sekuritisasi kepentingan nasional AS di kawasan tersebut. Menurut Riza Sihbudi, selain cadangan minyak yang dimiliki Irak, terdapat perhitungan-perhitungan ekonomi bisnis lainnya yang mendasari invasi AS ke Irak, antara lain bahwa minyak dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia dan jika harganya tidak stabil, terutama jika harga minyak naik secara 118 “National Energy Policy: Report of the National Energy Policy Development Group, May 2001”, Chapter 8, h. 4. Kebijakan Energi Nasional AS ini sering disebut juga dengan “Cheney Energy Plan”, karena ide kebijakan tersebut berasal dari Wakil Presiden Amerika Serikat, Dick Cheney. Lihat www.wtrg.com/EnergyReport/National-Energy-Policy.pdf, diakses pada 1 1 Mei 2011, pukul 15.20. 119 Ibid., h. 3. 54 tajam.120 Hal ini menyebabkan nilai impor minyak meningkat, biaya produksi meningkat yang akhirnya akan menurunkan produktivitas. Produktivitas ekonomi yang turun akan memerosotkan perekonomian dan menghambat pertumbuhan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi tentu penting bagi AS. Dalam harian The Washington Post edisi 15 September 2001, dikatakan dengan jelas, niat AS menjatuhkan Saddam Hussein akan membuka pintu bagi perusahaan minyak di AS menguasai minyak Irak121 Namun, obsesi AS untuk dapat menguasai minyak Irak masih terbentur oleh hambatan yang lain, yakni kepentingan negara-negara besar seperti Perancis, Rusia, dan Jerman yang tidak menyukai dominasi AS dalam bisnis minyak di Irak.122 Negara-negara tersebut telah menjalin kerjasama bisnis minyak Irak sejak program oil for food diberlakukan.123 Di tengah-tengah penerapan sanksi embargo ekonomi terhadap Irak, mereka bahkan berhasil meningkatkan kontrak-kontrak dagang dengan menandatangani sejumlah MoU dengan Irak, yang realisasinya akan terwujud segera setelah sanksi embargo ekonomi dicabut. Sebaliknya, maksud lain dari pendekatan Irak terhadap negara-negara besar anggota DK PBB (Perancis, Rusia, dan Cina) itu tidak lain adalah mengupayakan dukungan bagi pencabutan sanksi.124 Selain negara-negara tersebut, terdapat beberapa negara lain yang telah mengikat kontrak kerjasama bisnis dengan Irak seperti Jerman, Spanyol, Italia, Belanda, Portugal, Cina, dan masih banyak lagi yang lain. Mayoritas mereka 120 Riza Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003), h. 39. 121 Mashad, Saddam Melawan Amerika, h. 156. 122 Harmiyati, “Dimensi Teknologi, Keamanan, dan Ekonomi dalam Invasi AS ke Irak,” h. 36. 123 Program oil for food ini dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa pada bulan Desember 1991 berdasarkan keputusan No. 706 yang mengizinkan Irak untuk mengekspor minyak untuk membeli kebutuhan pangan dan obat-obatan. 124 Ibid. 55 khawatir jika Saddam Hussein tersingkir nanti, perusahaan minyak AS akan mendominasi dan mereka akan tersingkir, kendati pemerintah AS sudah berulang kali berusaha meyakinkan mereka untuk memberikan jaminan keuntungan jika mereka bersedia membantu penggulingan Saddam Hussein.125 Fenomena kekhawatiran negara-negara non-Amerika ini agaknya kian terbukti pascainvasi AS ke Irak, yang ditunjukkan dengan adanya persiapan Bush yang telah menunjuk lima perusahaan minyak AS untuk merekonstruksi Irak pascaperang. Lima perusahaan pemenang tender itu adalah Kellog Brown and Root dari Halliburton di Houston; Bechtel Group dari San Fransisco; Fluor dari Aliso Viejo, California; Louis Berger Group dari East Orange, New Jersey; dan Parsons Corp. dari Pasadena, California.126 mendapatkan keuntungan Bahkan paling Halliburton, sebagai perusahaan yang besar proyek rekonstruksi Irak, dari mendapatkan salah satu kontrak tersebut, yakni dengan total 1,2 miliar dolar Amerika untuk memperbaiki jasa minyak (restore oil service) di kawasan Irak Selatan.127 Pemerintah AS telah menyediakan biaya talangan untuk program rekonstruksi Irak sebesar 1,7 miliar dolar Amerika, dengan harapan biaya itu dapat kembali setelah AS berhasil mengontrol industri minyak Irak pascainvasi.128 Sementara, oleh pihak Pentagon, sejumlah perusahaan minyak non-Amerika telah 125 Sekalipun demikian, pihak negara-negara non-Amerika tetap bersikap skeptis akan prospek bisnisnya di Irak, apalagi dengan adanya pernyataan pemimpin INC (Iraqi National Congress), Ahmed Chalabi, yang berterus terang akan lebih berpihak pada konsorsium pimpinan AS untuk mengembangkan perminyakan Irak. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan AS seperti Exxon Mobil Oil, Chevron, Standard Oil, dan sebagainya, akan memainkan peranan besar. Lihat Ibid., h. 37. 126 Ibid. 127 Griff Witte, “Iraq: Army to End Expansive, Exclusive Halliburton Deal”, dalam Washington Post, 12 Juli 2006. Diakses dari http://www.corpwatch.org/article.php?id=13870, pada 20 November 2010, pukul. 20.00. 128 Harmiyati, “Dimensi Teknologi, Keamanan, dan Ekonomi dalam Invasi AS ke Irak,” h. 37. 56 direncanakan untuk masuk ke dalam daftar blacklist, yang termasuk di dalamnya adalah Shell dari Inggris, Total dari Perancis, dan ENI dari Italia.129 Industri minyak lahir di AS dan secara otomatis membawa mata uang Dolar Amerika sebagai patokan harga minyak, begitu juga untuk pembayarannya.130 Sekitar dua pertiga cadangan devisa negara-negara di dunia disimpan dalam mata uang Dolar Amerika. Semenjak digunakan dalam transaksi perdagangan minyak internasional telah menjadikan AS sebagai hegemoni ekonomi dunia. Oleh karena itu, kemunculan mata uang Euro yang semakin hari mampu menunjukkan kemampuan untuk menjadi pesaing terkuat Dolar Amerika menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Sejak kemunculannya pada tanggal 1 Januari 1999, Euro sudah mampu menggeser hegemoni dolar Amerika. Empat hari setelah kemunculannya, nilai Euro di pasar mencapai 1,19 dolar Amerika. Artinya, Euro mengalami apresiasi dengan signifikan. Memang Euro pernah terhempas di bawah satu dolar Amerika. Namun, tak lama kemudian terjadi pergeseran, Euro kembali menguat setelah pada tahun 2000 sempat terperosok hingga 0,85 per dolar Amerika. Penguatan itu terus berjalan, per 19 Maret misalnya, nilai Euro mencapai 1,063 per dolar Amerika.131 Fluktuasi ini juga tak terlepas dari pengaruh banyaknya negara yang melakukan transaksi dengan Euro. Dengan begitu, ketergantungan mereka terhadap AS akan semakin berkurang dan mengikis kepercayaan terhadap dolar Amerika. 129 Ibid. Purbo, Geopolitik Perminyakan, h. 185. 131 M. Hamidi Luthfi, Dolar VS Euro, Awal Kebangkrutan AS (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003), h. 76-77. 130 57 Sejak mata uang Euro pertama kali diluncurkan, sebagian besar pengamat telah menegaskan bahwa Euro memiliki kekuatan untuk tampil sebagai pesaing bagi dolar Amerika dalam perekonomian dunia.132 Sekalipun posisi dan kekuatan Euro pada fase-fase awal peluncurannya cenderung tidak stabil terhadap mata uang kuat lainnya termasuk dolar Amerika, tetapi mata uang ini telah berhasil menampilkan dirinya sebagai mata uang alternatif bagi aktivitas ekonomi global, termasuk dalam urusan jual-beli minyak dunia. Hanya beberapa waktu sebelum pemerintah AS melansir kampanye perangnya, pemerintah Irak mengeluarakan sebuah ancaman bagi kepentingan AS ketika pemerintah ini berniat menjual minyaknya dalam Euro.133 Dalam perspektif ini, serangan AS terhadap Irak lebih mudah dimengerti. Iraklah yang pertama kali yang meminta oil for food mereka dibayar oleh PBB dengan menggunakan mata uang Euro. Ternyata bukan hanya penjualan minyak yang dikonversikan ke Euro, Saddam Hussein pun memerintahkan aparatnya untuk mengganti cadangan devisanya sebesar 10 miliar dolar Amerika, dengan Euro. Padahal nilai Euro saat itu masih 90% dari nilai dolar Amerika dan sejak diluncurkan sejak Januari 1999, nilai Euro terus terdepresiasi terhadap dolar Amerika, namun Irak seakan tidak peduli.134 Puncak kekhawatiran itu terjadi bila ternyata solidaritas anggota OPEC memutuskan pembayaran minyaknya hanya dalam bentuk mata uang Euro. Karena dari 75 miliar barel produksi minyak pertahun, 60% nya dihasilkan anggota OPEC. Dapat dibayangkan, apabila semua anggota OPEC mengganti 132 Siti Muti‟ah Setiawati, dkk., Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004), h. 110. 133 Ibid. 134 Damhuri, Di balik Invasi AS ke Irak, h. 56. 58 pembayarannya dari dolar Amerika ke Euro, maka dolar Amerika akan terdepresiasi besar-besaran.135 Untuk itu, AS memerlukan tekanan politik dan bahkan militer yang besar untuk menggertak negara-negara OPEC agar tak beralih ke Euro dengan cara menjatuhkan Saddam Hussein. Sebab, dengan cara menjatuhkan Saddam Hussein sebagai pemimpin Irak, AS dapat menggertak negara-negara OPEC yang telah menggunakan Euro agar kembali menggunakan dolar Amerika sebagai alat pembayaran internasional. Perubahan status Euro dalam perdagangan minyak seperti yang diutarakan di atas memiliki implikasi geopolitik. Perubahan ini di antaranya membuka peluang bagi Eropa untuk menjalankan peran yang lebih dominan di Timur Tengah.136 Dapat diperkirakan, dengan kehadiran Eropa di Timur Tengah akan berdampak luas pada konstelasi kekuatan di kawasan ini yang selama ini berada di bawah dominasi AS dan sekutu-sekutu terdekatnya. Karena itu, bagi pemerintahan Presiden George W. Bush, menguatnya posisi Euro dalam pasar minyak merupakan ancaman serius, bukan saja bagi kepentingan minyak AS, tetapi juga dominasi negara ini di Timur Tengah. Perang Irak yang dilancarkan pemerintahan Presiden Bush dapat dilihat sebagai kebijakan luar negeri yang rasional, yang bertumpu pada kepentingan minyak dan pelestarian dominasi AS. Tetapi penggunaan istilah kepentingan AS itu sendiri cenderung mengaburkan. Perang Irak membuktikan bahwa minyak yang menjadi salah satu isu sentral dari perang tersebut berkaitan erat dengan kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional. Seringkali yang dimaksudkan 135 Sebagai gambaran, nilai ekspor Iran mencapai 16 miliar dolar Amerika. Lihat Hasan Basri Sagala, “Kebijakan George Walker Bush Tentang Isu Senjata Pemusnah Massal Irak,” (Tesis Pascasarjana Universitas Indonesia), h. 111. 136 Setiawati, Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, h. 111. 59 dengan kepentingan nasional AS adalah kepentingan perusahaan-perusahaan ini untuk memperoleh akses ke ladang-ladang minyak di Irak dan juga untuk memperoleh hak rekonstruksi pascaperang.137 Sekedar tambahan bahwa pemerintah Presiden George W. Bush mendapatkan persetujuan Kongres AS untuk biaya awal rekonstruksi Irak sebesar 2,45 miliar dolar Amerika.138 Bahkan pemerintah Presiden Bush telah menerima anggaran tambahan dari Kongres sebesar 80 miliar dolar Amerika. Biaya yang dibutuhkan oleh pemerintahan Presiden Bush untuk melakukan proses rekonstruksi Irak yang akan semakin membesar dan kemungkinan akan adanya dana tambahan yang sangat besar. Perang Irak atas nama pembebasan negeri Irak dari pemerintahan Saddam Hussein yang diktator juga menunjukkan kemenangan industri dan perusahaan kontraktor militer AS. Dengan kata lain, langkah Presiden Bush yang tampak menyukai perlombaan senjata ketika menyerang Irak juga tidak dapat dipisahkan dari kepentingan industri senjata dalam negeri AS. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan anggaran pertahanan AS setelah terjadinya Tragedi WTC pada tahun 2001 yang mencapai 450 miliar dolar Amerika.139 Padahal, total anggaran pertahanan dunia berjumlah 900 miliar dolar Amerika. Artinya, setengah dari biaya pertahanan dunia telah didominasi oleh AS. Dengan angka tersebut, AS menjadi satu-satunya negara di dunia yang paling banyak menghabiskan uang untuk bidang pertahanan. 137 Ibid., h. 112. Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 42. 138 Mohammad Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika Serikat,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2005), h. 87. 139 60 Perang Irak benar-benar telah memamerkan kecanggihan teknologi persenjataan yang dimiliki AS. Berbagai senjata maupun produk militer paling canggih dikeluarkan oleh AS, mulai dari pesawat intai tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle), pesawat pengacau sinyal elektronik (jammer), pesawat pembom siluman, bom cluster, hingga armada laut berupa Carrier Battle Group (CBG).140 Dalam hal ini, Perang Irak dijadikan oleh AS sebagai pameran peralatan tempur untuk pasar internasional. Seluruh dunia bisa menyaksikan bagaimana kehebatan peralatan tempur AS menghancurkan Irak sekaligus menjadi semacam justifikasi bagi peralatan tempur AS untuk dapat dikategorikan battle proven (terbukti di medan perang).141 Tentu saja yang paling gembira dalam gelar persenjataan ini adalah kalangan industri militer AS. Perang Irak selain memuluskan keinginan kelompok garis keras yang mendominasi pemerintahan Presiden Bush, juga menguntungkan perusahaan-perusahaan senjata di AS. Industri pertahanan dan kontraktor militer merupakan salah satu dari para pelobi yang paling berpengaruh di AS, khususnya sejak Perang Dunia II. Industri militer tersebut juga merupakan salah satu sumber dana bagi calon wakil-wakil rakyat di Kongres dan Senat AS. Bahkan Presiden Bush sendiri dalam kampanyenya pada tahun 2000, juga ikut menikmati kucuran dana dari sumber tersebut. Paling tidak, industri militer AS telah memberikan sumbangan politik sebesar 72,5 juta dolar Amerika.142 Karenanya tidak heran jika pejabat-pejabat tinggi di AS dapat terpengaruh oleh lobi para pemegang kekuasaan di bidang 140 Wirawan Sukarwo, Tentara Bayaran AS di Irak (Jakarta: GagasMedia, 2009), h. 198- 199. 141 Ibid., h. 202. Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika Serikat,” h. 91. 142 61 industri senjata. Apalagi menurut sebuah lembaga penelitian militer di AS, Arms Trade Resources Center, menyatakan bahwa sebanyak 32 dari pejabat tinggi pemerintahan Presiden Bush adalah mantan direksi, konsultan, dan pemegang saham pada industri pertahanan dan perusahaan kontraktor.143 Bagaimanapun juga, Perang Irak itu sendiri dan kerusakan yang ditimbulkannya juga membawa keuntungan lain bagi perusahaan-perusahaan AS. Tak lama setelah perang dimulai, Presiden Bush menegaskan bahwa, semua kontrak bagi rekonstruksi pascaperang akan diberikan kepada perusahaanperusahaan AS. Sebagian besar perusahaan-perusahaan ini adalah donatur Partai Republik. Halliburton, diantaranya, merupakan salah satu perusahaan yang memperoleh keuntungan besar dari Perang Irak. Bersama dengan perusahaan yang dekat dengan Partai Republik lainnya, yakni Bechtel, Halliburton juga termasuk dalam daftar perusahaan-perusahaan AS yang akan menerima dana dengan jumlah melebihi 900 juta dolar Amerika untuk pembangunan kembali infrastruktur dan fasilitas umum di irak.144 Dipilihnya kebijakan untuk melancarkan perang dengan Irak secara unilateral oleh AS yang bertujuan untuk menguasai sumber-sumber minyak yang strategis dapat dijelaskan dengan tiga argumen penyebab perang. Terdapat tiga argumen yang dapat menjelaskan sebab-sebab terjadinya perang yaitu faktor geopolitik, ketamakan, dan “negara minyak”.145 Penjelasan geopolitik pada 143 Ibid. Setiawati, Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, h. 113. 145 Sukawarsini Djelantik, “Minyak dalam Diplomasi dan Politik Global,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 6, no. 1, (Maret 2010), h. 55. 144 62 intinya menggambarkan upaya untuk mengejar kepentingan nasional melalui penguasaan atas minyak, baik untuk alasan-alasan ekonomi maupun strategis.146 Minyak menguasai sektor-sektor industri yang menjadi jantung perekonomian di negara-negara Barat. Kekuatan militer AS terletak pada penguasaan akses sumber-sumber minyak, bahkan tidak dapat bertahan tanpa terjaminnya pasokan.147 Karena minyak merupakan kepentingan vital negaranegara Barat, maka tidak ada satu negarapun diizinkan untuk mendominasi pasokan minyak dunia. Kalau perlu, kekuatan senjata menjadi penjamin terakhir keamanan pasokan. Negara-negara industri maju menjadi lebih tergantung pada impor minyak dan lebih sering mengalami kekurangan pasokan. Maka minyak tidak saja menjadi isu kebijakan luar negeri, tetapi juga keamanan nasional. Kekuatan minyak juga dibuktikan dengan fakta bahwa kekuatan militer AS lebih banyak dipakai sebagai alat untuk jasa mengamankan minyak. Ladang-ladang minyak di luar negeri dan rute-rute pasokan dilindungi oleh militer agar pasokan terjamin.148 Analisis geopolitis relevan dengan konsep perang lama, seperti dalam Perang Dunia I dan II, ketika minyak memegang peran strategis yang mendasar sehingga menjadi komoditas vital.149 Minyak penting sebagai modal dalam kedua perang besar ini, mengingat revolusi persenjatan militer sangat mengandalkan kendaraan darat, tank, pesawat udara, dan kapal perang yang digerakkan dengan minyak. Kemudian, Minyak dianggap sebagai pusat gravitasi baru pada tata 146 Ibid. Ibid. 148 Ibid. 149 “Perang lama” merupakan istilah yang dipakai untuk perang yang sifatnya geopolitis, melibatkan persaingan antar negara, khususnya negara-negara besar. Perang lama atau konvensional juga terkait upaya menguasai wilayah dan membagun aliansi yang kuat dengan aktor-aktor domestik, membangun dan mempengaruhi pemerintahan yang kuat dan otoriter, selain mendapatkan kontrak dan konsesi. Lihat Ibid., h. 52. 147 63 pemerintahan pasca perang Dunia II, khususnya ketika AS mulai tergantung pada pasokan minyak dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan terhadap energi yang semakin besar. Mengamankan kepentingan minyak di Timur Tengah telah menjadi bagian dari kebijakan pemerintah AS. Pemerintah AS telah memiliki komitmen kuat untuk menjaga dan melindungi minyak di kawasan Teluk. Dalam Prinsip Carter dinyatakan bahwa, kawasan Persia merupakan a vital interest of the United States, dan diikuti dengan suatu pernyataan secara terbuka bahwa, “an attempt by outside force to gain control on the Persian Gulf region will be regarded regarded as an assault on the vital interest of the United States of America, and such an will be repelled by any means necessary, including military force.”150 Dengan adanya invasi AS ke Irak dapat menjaga keamanan cadangan minyak strategis AS dari berbagai gangguan seperti bencana alam, masalah politik dalam negeri negara lain, dan stabilitas harga minyak dunia. Jika AS menyerang Irak dan berhasil menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein di Baghdad, hal itu akan membentangkan jalan bagi perusahaan-perusahaan minyak AS untuk beroperasi di Irak dan mengeksplorasi cadangan minyaknya yang sangat besar itu secara aman. Bila skenario itu dapat terwujud, Irak dapat menambah kemampuan produksi minyaknya hingga mencapai 3,5 juta barel/hari, lalu lambat laun sampai 6 juta barel/hari setelah lima tahun mendatang. Penambahan produksi minyak Irak itu akan membawa dampak terjadinya surplus minyak di pasar yang menyebabkan semakin lemahnya OPEC mengontrol harga. Jika skenario itu terjadi, maka akan membuat Washington makin berani menekan negara-negara Arab Teluk yang 150 Dirgo D. Purbo, Geopolitik Perminyakan (Jakarta: Verbum-Centre for the Study of Intellegence and Counter Intelligence), h. 170. 64 kaya minyak itu untuk melakukan reformasi ekonomi dan politik. Untuk diketahui, AS mengimpor minyak dari negara-negara Arab Teluk dan Irak pada tahun 2001 sekitar 2,7 juta barel sehari yakni 30% dari keseluruhan impor minyak AS. Impor minyak terbesar AS berasal dari Arab Saudi, yaitu sekitar 1,6 juta barel sehari atau 18% dari keseluruhan impor minyak AS. 65 BAB V PENUTUP Pada 20 Maret 2003 Amerika melakukan invasi ke Irak atas tuduhan mengenai keterlibatan pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan terorisme internasional dan kepemilikan senjata pemusnah massal. Meski dalam kenyataannya tuduhan tersebut tidak terbukti kebenarannya, AS tetap menjalankan invasi tersebut. Alasan yang melatarbelakangi pemerintah AS dalam invasi tersebut adalah untuk memenuhi kepentingan nasionalnya sendiri, salah satunya adalah kepentingan ekonomi. Dalam hal ini tidak terlepas dari kepentingan energi AS yaitu minyak, di samping kepentingan menjaga eksistensi Dolar Amerika setelah munculnya Euro. AS merupakan negara paling besar mengkonsumsi minyak. AS mengimpor 53% dari kebutuhan minyaknya, dan impornya akan meningkat hingga 62% pada tahun 2020. Sementara cadangan minyak mentah yang dimiliki oleh AS hanya berjumlah 22 miliar barel. Apabila kebutuhan minyak AS dibandingkan dengan cadangan minyak mentahnya, maka AS hanya akan mampu memenuhi kebutuhan minyak dalam negerinya selama tiga tahun. Jika tidak ada suplai tambahan dalam beberapa tahun mendatang, maka akan sulit bagi AS untuk mempertahankan, apalagi meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Dengan tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap minyak AS memiliki kepentingan untuk mengamankan cadangan minyak yang ada di seluruh dunia, termasuk di kawasan Timur Tengah. 66 AS berkepentingan untuk mengamankan cadangan minyak yang ada di kawasan Timur Tengah dari berbagai ancaman seperti, gangguan teroris dan penguasaan minyak oleh rezim-rezim yang bertentangan dengan pemerintah AS. Meskipun AS lebih banyak mengimpor minyak dari negara tetangganya yaitu Kanada, Meksiko, Venezuela, Arab Saudi, dan Inggris. Namun, terdapat indikasi bahwa invasi AS ke Irak ditujukan untuk menjaga ketersediaan suplai minyak dalam negeri. Terlebih Irak memiliki cadangan minyak yang berjumlah 112 miliar barel. Ini berarti Irak merupakan pemilik 11% cadangan minyak dunia. Selama ini AS nyaris tidak mendapatkan tempat dalam mengelola ladang minyak di Irak, sedangkan Irak lebih mempercayakan kepada perusahaanperusahaan Eropa dalam program oil for food. Sementara AS sendiri sangat memerlukan banyak energi untuk menjaga hegemoninya di dunia dan harus mengamankan pasokan minyaknya di masa depan, karena AS merupakan negara yang menggunakan energi minyak terbesar di dunia, sementara AS sendiri tidak mampu memenuhi semua kebutuhan energinya. Oleh karena itu, dengan alasan apapun AS tetap menyerang Irak, karena Irak merupakan penghasil minyak kedua terbesar di dunia. Dengan menguasai Irak, maka AS akan menguasai minyaknya, sehingga AS tidak perlu merasa khawatir guna mengamankan pasokan energinya di masa depan. Selain itu, Irak yang hancur pascainvasi mambutuhkan pembangunan kembali atau rekonstruksi yang tentunya akan menjadi sebuah bisnis yang cukup menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan asal AS. Megingat pascainvasi hanya perusahaan-perusahaan asal AS yang diberi izin untuk melakukan proyek tersebut. 67 AS merasa perlu menginvasi Irak, selain karena cadangan minyaknya yang besar, juga karena terpuruknya nilai tukar Dolar Amerika terhadap Euro. Keterpurukan tersebut tidak lepas dari peran Irak karena Saddam Hussein lah yang pertama kali mengganti pembayaran minyaknya dari Dolar Amerika ke Euro dan mengkonversikan cadangan devisanya ke Euro. Bahkan langkah Saddam Hussein ini pun diikuti oleh beberapa negara lainnya. Akibatnya, nilai Euro mengungguli Dolar Amerika. Inilah yang membuat AS merasa terancam. Maka dengan menguasai Irak, AS juga sekaligus menguasai minyak Irak. Dengan demikian, AS dapat mengatur pasokan minyak dunia dan hasil penjualannya akan mengembalikan eksistensi nilai tukar Dolar Amerika terhadap Euro sebagai satusatunya mata uang internasional. Kepentingan-kepentingan ekonomi inilah yang mempengaruhi dipilihnya kebijakan invasi AS dalam Perang Irak tahun 2003. Daftar Pustaka Buku Chandra, Prakash. 1979. International Politics. New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD. Creswell, John W. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc., 1994. Damhuri, Elba. Di balik Invasi AS ke Irak. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003. Dipoyudo, Kirdi. Timur Tengah dalam Pergolakan, 2nd ed. Jakarta: CSIS, 1982. Frankel, Joseph. 1988. International Relations in A Changing World. Oxford: Oxford University Press. Hendrajit, dkk. Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia. Jakarta: Global Future Institute, 2010. Holsti, K. J. Politik Internasional: Kerangka Analisa. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1987. --------------. International Politics: A Framework for Analysis (Sixth Edition). New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1992. Ikbar, Yanuar. Ekonomi Politik Internasional: Konsep dan Teori (Jilid I). Bandung: PT Refika Aditama, 2006. Kegley Jr, Charles W. and Wittkopf, Eigene R. American Foreign Policy. New York: St. Martin Press, 1996. Kegley Jr., Charles W. World Politics: Trend and Transformation. New York: Macmillan Press, 1999. Kuncahyono, Trias. Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005. Lentner, Howard. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach. Ohio: Bill and Howell Co., 1974. Lovel, John P. Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision Making. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1970. xi Luthfi, M. Hamidi. Dolar VS Euro, Awal Kebangkrutan AS. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003. Mashad, Dhurorudin, dkk. Saddam Melawan Amerika. Jakarta: Pensil-324, 2003. Mas‟oed, Mohtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES, 1990. McCan, Robert L. Garis Besar Ekonomi Amerika. Penerjemah Budi Prayitno. Jakarta: Dinas Penerangan AS, 1996. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002. Purbo, Dirgo D. Geopolitik Perminyakan. Jakarta: Verbum-Centre for The Study of Intelligence and Counter Intelligence, 2006. Rahman, Mustafa Abd. Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari Lapangan). Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003. Rofiqi, A. Zaim. Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Safari, Mohammad dan Yusuf, Al-Muzammil, ed. Perang Iraq-AS: Hegemoni Baru AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya. Jakarta: COMES, 2003. Setiawati, Siti Muti‟ah, dkk. Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia. Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004. Sihbudi, Riza. Eksistensi Palestina: Di Mata Teheran dan Washington. Bandung: Mizan, 1992. Sihbudi, Riza. Menyandera Timur Tengah. Jakarta: PT Mizan Publika, 2007. Soelhi, Muhammad. Demi Harga Diri Mereka Melawan AS. Jakarta: Pustaka Zaman, 2003. Stiglitz, Joseph E. dan Linda J. Bilmes. Perang Tiga Triliun Dolar: Bencana Ekonomi di Balik Invasi Amerika ke Irak. Jakarta: Penerbit Mizan, 2009. Sukarwo, Wirawan. Tentara Bayaran AS di Irak. Jakarta: GagasMedia, 2009. Suprapto, R. Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Yayan Moch. Yani dan Banyu Perwita, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional (Bandung: Rosda Karya, 2006), h.49. xii Tesis Rosyadi, Imron. “Pengaruh Minyak dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat di Timur Tengah: (Studi Kasus Kehadiran Pasukan Amerika Serikat di Irak Pasca Kejatuhan Saddam Hussein).” Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007. Zain, Azman Ridha. “Realitas Dibalik Konflik Amerika Serikat-Irak (Analisis terhadap Invasi AS ke Irak).” Tesis S2 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2004. Sagala, Hasan Basri. “Kebijakan George Walker Bush Tentang Isu Senjata Pemusnah Massal Irak: Analisis Ekonomi Politik terhadap Invasi Amerika Serikat ke Irak (2002-2004).” Tesis S2 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2005. Tobing, Rosalina. “Neoliberalisme dalam Kebijakan Ekonomi Politik Luar Negeri Amerika.” Tesis S2 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2000. Rizki, Mohammad. “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika Serikat.” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2005. Jurnal Anwar, Dewi Fortuna. “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003): h. 7-28. Sukawarsini Djelantik. “Minyak dalam Diplomasi dan Politik Global,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 6, no. 1, (Maret 2010): h. 43-60. Harmiyati. “Dimensi Teknologi, Keamanan, dan Ekonomi dalam Invasi AS ke Irak,” Jurnal Paradigma, vol. VII, no. 20 (Maret 2003): h. 29-38. Notosusanto, Indrya Smita. “Politik Global Amerika Serikat Pasca Perang Dingin.” Dalam Zainuddin Djafar, ed. Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1996: h. 110-122. Perwita, Anak Agung Banyu. “Perubahan Lingkungan Keamanan Global dan Politik Luar Negeri Amerika Serikat.” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 1, no. 2 (Mei 2005): h. 83-95. Riyanto, Sugeng. “Imperium Amerika: Krisis Legitimasi dan Implikasi.” Jurnal Hubungan Internasional, vol. II, no. 1 (Mei 2005): h. 239-251. xiii Sihbudi, Riza. “Pasca Agresi Amerika ke Irak.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003): h. 29-50. Yuliantoro, Nur Rahmat. “Hegemoni Amerika Pasca 11/9: Menuju Sebuah „Imperium Amerika Baru‟?,” Jurnal Ilmu Sosial Ilmu Politik, vol. 9, no. 1 (Juli 2005): h. 91-108. Laman Jaringan Griff Witte, “Iraq: Army to End Expansive, Exclusive Halliburton Deal”, dalam Washington Post, 12 Juli 2006. Diakses dari http://www.corpwatch.org/article.php?id=13870. National Energy Policy: Report of the National Energy Policy Development Group, May 2001”, www.wtrg.com/EnergyReport/National-Energy-Policy www.eia.gov/mer/overview.html http://www.eia.doe.gov/emeu/aer/pdf/perspectives_2009.pdf xiv