II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis-jenis Cinnamomum Indonesia memiliki ± 30.000 jenis tumbuhan, namun hanya 1000 jenis yang diketahui dapat digunakan sebagai bahan baku obat (Hamid et al, 1990). Sebanyak 87 jenis tumbuhan berkhasiat obat adalah jenis pohon hutan (Jafarsidik, 1986). Ciri morfologi jenis-jenis tumbuhan berkhasiat obat dapat ditelusuri dalam berbagai pustaka taksonomi tumbuhan, tetapi pertelaan (diskripsi anatomi) bagian pohon tertentu seperti kayu, pepagan/kulit dan akar belum banyak diketahui. Cinnamomum termasuk dalam suku Lauraceae. Secara hirarki taksonomi berturut-turut jenis ini termasuk ke dalam Kingdom Plantae, Divisi Magnoliophyta, Klas Magnoliopsida, Ordo Laurales, Suku/famili Lauraceae dan Genus Cinnamomum. Menurut Rismunandar (1989), suku Lauraceae memiliki ciri: pohon dengan kulit batang hingga ranting yang mengandung minyak atsiri, daunnya tunggal, berseling dan berwarna hijau. Pucuk daun ada yang berwarna kemerah- merahan. Bunga kecil berkelamin dua (sempurna) berwarna hijau atau kuning. Bentuk buah buni, berbiji satu, berdaging bulat memanjang. Menurut Kostermans (1957), suku Lauraceae terdiri dari 31 marga di antaranya adalah Cinnamommum, Sassafras, Litsea, Eusideroxylon, Cryptocarya dan Cassytha. Marga Cinnamomum terdiri dari 8 jenis yaitu C. burmanii Bl., C. camphora Nees & Eberm., C. cassia Bl., C. culilawan Bl., C. javanicum Bl., C. parthenoxylon Meissn., C. sintok Bl., dan C. zeylanicum Breyn. (Heyne, 1987). Menurut Heisner dalam Nurdjannah (1992), 12 jenis diantara 54 jenis pohon kayu manis terdapat di Indonesia. Kayu dari marga Cinnamomum memiliki berat jenis rata-rata antara 0,36 hingga 0,65 (Oey, 1990). Cinnamomum merupakan genus pohon yang selalu menghijau (evergreen), dan selalu memiliki kandungan minyak aromatik pada daun dan kulit. Cinnamomum terdiri dari lebih 300 species (jenis) yang tersebar pada daerah tropis dan subtropis seperti Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Asia, Osenia dan Australia. Di Indonesia jenis-jenis ini secara ektensif tumbuh di Sumatera, Jawa, dan Jambi (Hasanah et al, 2004). C. zeylanicum dalam dunia 47 perdagangan dikenal dengan Ceylon cinnamon. C. burmanni yang asli Indonesia, dalam perdagangan diberi nama Padang kaneel atau cassiavera eks. Padang. C. sintok Blume banyak ditemukan di Jawa Barat dan Tengah, sedangkan C. culilawan Blume asli dari Ambon (Rismunandar, 1989). 2.2 Struktur Anatomi Kayu Cinnamomum Pada jenis Cinnamomum iners, C. porrectum, C. sintoc dan C. verum yang telah diteliti disebutkan bahwa jenis-jenis ini memiliki ciri batas lingkar tumbuh tidak jelas hingga samar ditandai dengan dinding yang tebal dan pipih pada serat kayu akhir, juga terkadang dengan parenkim pita marjinal terputus; susunan pembuluh baur, frekuensi pembuluh 20-50/mm2 , pengelompokan pembuluh soliter dan ganda radial 2-3(-4)∗ terkadang dalam gerombol kecil, rata-rata diameter tangensial 80-170(-200) mikron, bidang perforasi sederhana, noktah antar pembuluh selang- seling, tilosis biasanya ada; parenkim jarang hingga banyak, vasisentrik hingga aliform; parenkim apotrakeal baur; jari-jari 2-3(-5) seri, heteroseluler dengan 1(-2) jalur sel tegak hingga sel bujur sangkar marjinal (Lemmens et al, 1995). Menurut Metcalfe dan Chalk (1950), ciri anatomi kayu suku Lauraceae memiliki ukuran pembuluh sedang, jarang dengan gandaan pembuluh empat atau lebih, perporasi sederhana, noktah antar pembuluh selangseling, bentuk parenkim paratrakea jarang sampai vasisentrik dan jarang aliform. Lebar jari-jari umumnya 2-3 sel, namun ada yang sampai delapan sel pada beberapa jenis. 2.3 Kadar Air Kayu dan Kaitannya dengan Proses Pengeringan Kayu mempunyai sifat higroskopis yaitu dapat melepaskan dan menghisap uap air sesuai perubahan dalam kelembaban relatif dan suhu udara di sekitarnya. Air dalam kayu terdapat di dalam rongga sel dan rongga noktah, serta di dalam dinding sel. Air yang terdapat di dalam rongga (lumen) sel maupun noktah disebut dengan air bebas, sedangkan yang berada pada dinding sel disebut dengan air terikat. Kondisi dimana rongga sel telah kosong namun dinding sel masih jenuh dengan air disebut dengan Titik Jenuh Serat (TJS). Pada saat dimana air yang terkandung dalam kayu setimbang dengan suhu lingkungan dan kelembaban yang ∗ Jarang yang berganda radial 4 48 ada di sekitarnya disebut dengan Kadar Air Kesetimbangan (KAK) (Bowyer et al, 2003). Dalam pengeringan alami, kayu akan mengalami penuruna n kadar air selama waktu tertentu hingga mencapai kadar air yang setimbang dengan kelembaban sekitarnya (KAK). Proses penurunan kadar air kayu dapat berlangsung secara lambat ataupun cepat yang digambarkan melalui kecepatan pengeringan. Kecepatan pengeringan kayu secara alami dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu udara, kelembaban dan kecepatan angin, serta jenis kayu. Kecepatan pengeringan kayu basah sampai keadaan kering udara bervariasi dari satu jenis dengan jenis lainnya (Karnasudirdja dan Hidayat, 1985). Air dalam sel kayu yang pertama kali menguap adalah air bebas, selanjutnya diikuti dengan penguapan air terikat di bawah titik jenuh serat hingga kering udara. Laju pengeringan jauh lebih cepat pada periode awal dan melambat pada periode selanjutnya. Jika penguapan air bebas lebih cepat, maka penguapan air terikat memerlukan energi lebih besar yang dapat menimbulkan retakan-retakan pada permukaan kayu (Karnasudirdja dan Hidayat, 1985). Menurut Basri dan Mandang (2002), retak dan pecah pada kayu selama proses pengeringan biasanya terjadi lewat jari-jari, apalagi bila kayunya berat dan sel jari-jarinya lebar. Pada sel parenkim bentuk pita dan rapat beraturan sangat memudahkan keluarnya air ke arah tebal atau lebar. 49