KeBIjAKAN NASIoNAL PErUbahaN IkLIM

advertisement
Program Terestrial
The Nature Conservancy Indonesia
Kebijakan Nasional
Perubahan Iklim
Disusun Oleh :
Natural Resources Development Center
Tim Penyusun:
Tim Editor:
Nurtjahjawilasa
Kusdamayanti Duryat
Irsyal Yasman
Yani Septiani
Lasmini
Ade Soekadis
Delon Marthinus
Wahjudi Wardojo
Rizal Bukhari
Foto: Ahmad Fuadi/TNC
MODUL:
Modul ini diproduksi oleh The Nature Conservancy dengan dukungan dari Pemerintah
Australia melalui Program Responsible Asia Forestry & Trade (RAFT).
MODUL:
Kebijakan Nasional
Perubahan Iklim
Disusun Oleh :
Natural Resources Development Center
Tim Penyusun:
Nurtjahjawilasa
Kusdamayanti Duryat
Irsyal Yasman
Yani Septiani
Lasmini
Tim Editor:
Ade Soekadis
Delon Marthinus
Wahjudi Wardojo
Rizal Bukhari
Program Terestrial The Nature Conservancy Indonesia
Jakarta, November 2013
KATA PENGANTAR
Untuk memberikan arahan dalam kegiatan pembelajaran, perlu disusun suatu modul yang dapat
digunakan sebagai pedoman dan kumpulan informasi selama proses pembelajaran. Penyusunan
modul ini dimaksudkan untuk membantu peserta workshop/seminar/sosialisasi pendidikan dan
pelatihan dalam memahami kebijakan-kebijakan nasional khususnya dari sektor kehutanan yang
terkait dengan perubahan iklim, sehingga diharapkan setelah mengikuti kegiatan tersebut peserta
dapat lebih memahami dan menerapkannnya dalam pelaksanaan tugas pengelolaan kawasan hutan.
Materi yang disampaikan dalam modul “Kebijakan Nasional Perubahan Iklim” ini baru
merupakan pengetahuan dasar yang terkait dengan kesepakatan internasional dan kebijakan
nasional menyikapi isu perubahan iklim dan pemanfaatan karbon hutan. Masih diperlukan referensi
yang lebih banyak untuk memahami lebih lengkap dan lebih mendalam, karena perkembangan isu
ini sangat cepat, dan saat ini masih dalam tahap penyusunan konsep-konsep yang bisa diterima
dan diterapkan oleh semua negara. Khusus untuk Indonesia, proses ini juga masih terus berjalan,
sehingga informasi harus terus diperbaharui.
Semoga modul ini dapat berkontribusi dalam upaya membangun kesamaan pemahaman para
pemangku kewenangan kehutanan, khususnya dalam pengelolaan hutan produksi, terhadap isu
perubahan iklim dan peluang memainkan peran dalam pengurangan target emisi GRK di Indonesia.
Jakarta, November 2013
Herlina Hartanto, PhD.
Direktur Program Terestrial
The Nature Conservancy Indonesia
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR________________________________________________________ iii
DAFTAR ISI________________________________________________________________ v
DAFTAR TABEL___________________________________________________________ vii
DAFTAR GAMBAR________________________________________________________ viii
I.Pendahuluan___________________________________________________________ 1
Ruang Lingkup Mata Diklat
1
Tujuan Pembelajaran
1
Manfaat Pembelajaran
2
Latar Belakang
2
II.Kesepakatan Internasional Menghadapi Perubahan Iklim___________________ 7
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan
Pembangunan
7
Tujuan UNFCCC
7
Kelembagaan UNFCCC
7
Negara dan Aktor Utama
8
Pertemuan Para Pihak yang Telah Dilaksanakan
9
III.Komitmen Nasional Menyikapi Kesepakatan Internasional tentang
Perubahan Iklim_______________________________________________________ 19
Komitmen Nasional Menghadapi Copenhagen Accord
19
IV.Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Pemerintah Indonesia dalam
Mewujudkan Komitmen Nasional Terkait dengan Perubahan Iklim__________ 25
Rencana Aksi Nasional terkait Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
27
Rencana Aksi Daerah terkait Gas Rumah Kaca (RAD GRK)
30
Keterkaitan antara RPJP, RPJM, RENSTRA dengan RAN dan RAD GRK
31
V.Kerangka Insitusi Pendukung Pelaksanaan RAN dan RAD GRK____________ 35
DAFTAR PUSTAKA________________________________________________________ 39
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Target Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia sampai dengan
Tahun 2020
Tabel 2
Rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca (RAN GRK) sampai dengan
tahun 2020 (PP Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
28
Tabel 3
Kerangka Institusi Pendukung Pelaksanaan RAN GRK
36
21
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Sektor-sektor Penghasil Emisi Karbon di Dunia
3
Gambar 2
Konstribusi Emisi Nasional Tiap Sektor Tahun 2000.
3
Gambar 3
Distribusi Kawasan Hutan di Indonesia.
5
Gambar 4 Penurunan Tingkat Tutupan Lahan Hutan dari Tahun 1989-2009
5
Gambar 5
Skema Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020
20
Gambar 6
Grafik Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020
20
Gambar 7
Proyeksi Emisi Bussiness As Usual dari Sektor Kehutanan
21
Gambar 8
Diagram Angka Deforestasi Rata-rata Tahun 2003-2006
22
Gambar 9
Laju Deforestasi Indonesia dari Tahun 1990-2011
22
Gambar 10 Bagan Substansi dari RAD GRK
30
Gambar 11 Kerangka Rencana Aksi Daerah (RAD GRK)
31
Gambar 12 Kerangka Keterkaitan Dokumen/Kebijakan Nasional-Daerah dengan
RAD GRK
32
Gambar 13 Para Pemangku Kepentingan RAN GRK dan RAD GRK
34
Gambar 14 Sistem Koordinasi Pelaksanaan dan Pelaporan RAN/RAD GRK
dan Inventarisasi GRK
37
Gambar 15 Alur Mekanisme Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pencapaian
RAN GRK dan RAD GRK
38
I
Pendahuluan
Ruang Lingkup Mata Diklat:
Mata diklat Kebijakan Nasional Terkait Perubahan Iklim menjelaskan 4 sub-materi pokok yaitu :
• Kesepakatan Internasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim
• Komitmen Nasional Menyikapi Kesepakatan Internasional tentang Perubahan Iklim
• Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Pemerintah Indonesia dalam Mewujudkan Komitmen
Nasional Terkait dengan Perubahan Iklim
• Rencana Aksi Nasional terkait Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
• Rencana Aksi Daerah terkait Gas Rumah Kaca (RAD GRK)
• Keterkaitan antara RPJP, RPJM, RENSTRA dengan RAN GRK dan RAD GRK
• Kerangka Insitusi Pendukung Pelaksanaan RAN dan RAD GRK
Tujuan Pembelajaran
Penyampaian materi mata diklat Kebijakan Nasional terkait Perubahan Iklim bertujuan untuk :
• Memberikan pemahaman kepada peserta pendidikan dan pelatihan mengenai Kesepakatan
Internasional dalam menghadapi perubahan iklim dan komitmen yang dinyatakan oleh
Pemerin­tah Indonesia menyikapi kesepakatan internasional tersebut, kerangka kebijakan dan
acuan normatif Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan komitmen nasional terkait dengan
perubahan iklim yaitu berupa (RAN dan RAD GRK), dan kerangka institusi pendukung
pelaksanaan RAN dan RAD GRK
2
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
PENDAHULUAN
• Memberikan bekal pengetahuan kepada peserta diklat untuk dapat mewujudkan komitmen
penurunan emisi karbon dari sektor kehutanan dengan skema 26% (BAU) dan 41% (dukungan
internasional) dalam pelaksanaan tugas
Manfaat Pembelajaran
Manfaat setelah mengikuti pembelajaran materi ini adalah bahwa peserta dapat memahami dengan
jelas tentang :
• Kesepakatan Internasional Menghadapi Perubahan Iklim
• Komitmen Nasional Menyikapi Kesepakatan Internasional Perubahan Iklim
• Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Pemerintah dalam Mewujudkan Komitmen Nasional
Terkait dengan Perubahan Iklim
• Rencana Aksi Nasional terkait Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
• Rencana Aksi Daerah terkait Gas Rumah Kaca (RAD GRK)
• Keterkaitan antara RPJP, RPJM, RENSTRA dengan RAN GRK dan RAD GRK
• Kerangka Insitusi Pendukung Pelaksanaan RAN dan RAD GRK
Latar Belakang
Terkait dengan isu perubahan iklim, semua orang pasti sepakat bahwa dampak yang ditimbulkannya
menjadi sangat serius apabila tidak diantisipasi, namun pada kenyataannya sangat sulit mencari
titik temu tentang penyebabnya. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), lembaga di
bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui World Meteorological Organization (WMO) dan
United Nations Environment Programme (UNEP) menyebutkan bahwa perubahan iklim disebabkan
oleh berbagai hal yang satu dan lainnya saling terkait. Sektor energi merupakan penghasil emisi
karbon yang menggelontorkan 12.628 Mt CO2e ke atmosfer. Selain itu deforestasi dan degradasi
hutan dituding sebagai penyumbang emisi karbon terbesar kedua yang menyebabkan terjadinya
perubahan iklim global. Negara-negara seperti Brazil dianggap menyumbang emisi yang cukup
tinggi, masing-masing sebesar 2.563 dan 1.372 MtCO2e. Peringkat ketiga penghasil emisi adalah
sektor pertanian, dengan total emisi sebesar 2.912 MtCO2e yang didominasi negara Cina, diikuti
Brasil dan India. Sedangkan emisi karbon yang berasal dari sampah diperkirakan sebesar 635
MTCO2e yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat, Cina dan India. Total emisi karbon yang
dihasilkan empat sektor tersebut mencapai kurang lebih 20.645 MTCO2e (IPCC, 2000).
Berdasarkan data Human Development Report yang dirilis United Nations Development Programme
(UNDP) tahun 2008, Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan peringkat ke-14 untuk
penghasil emisi karbon di dunia, jauh dibawah negara-negara maju yang menggelontorkan karbon
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
PENDAHULUAN
ke atmosfer dari aktivitas industrinya. Besar kecilnya jumlah emisi di suatu negara tentu juga
dipengaruhi luas wilayah dan jumlah penduduk di negara tersebut. Dengan demikian, apabila emisi
yang diperhitungkan adalah jumlah emisi per satuan luas wilayah atau per kapita penduduk tentu
Indonesia bukan termasuk negara penghasil emisi yang besar. Tidak berarti Indonesia hanya akan
berdiam diri menghadapi ancaman perubahan iklim, tetapi dengan logika seperti ini diharapkan kita
dapat membuat perencanaan dan strategi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim secara lebih
rasional dan proporsional dalam kerangka pembangunan nasional berkelanjutan.
Total Emissions in 2000 : 42 GtCO2e
Gambar 1. Sektor Penghasil Emisi Karbon di Dunia (Sumber: Stern, 2006)
Gambar 2. Kontribusi Emisi Nasional tiap Sektor tahun 2000 (Sumber: SNC, 2010).
3
4
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
PENDAHULUAN
Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia sebagian besar bersumber dari deforestasi
(konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan,
prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan) akibat illegal logging, kebakaran,
over cutting, perladangan berpindah dan perambahan. Mengurangi laju deforestasi dan degradasi
hutan merupakan sebuah keniscayaan untuk mencegah bencana lingkungan dan mengurangi
dampak perubahan iklim, namun tuduhan bahwa deforestasi dan degradasi hutan adalah salah
satu sumber emisi karbon terbesar patut dipertanyakan dan dijelaskan secara teknis. Pertanyaan
ini patut dikemukakan karena konsekuensi dari diagnosa yang salah terhadap sumber emisi akan
mempengaruhi efektivitas mitigasi yang dilakukan. Implikasi dari kesalahan dalam mengidentifikasi
sumber emisi karbon ini pantas dikhawatirkan karena satu sisi cenderung membiarkan negaranegara industri emitter karbon terus menggelontorkan emisi, sementara pada saat yang sama
(berpotensi) mengesampingkan hak-hak ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara
berkembang pemilik hutan.
Vegetasi hutan dan tanah menyimpan ± 7.500 Gt CO2 (> 2 x CO2 di atmosfer). Hutan menyimpan
~ 4.500 CO2 (> CO2 di atmosfer). Jumlah karbon yang dapat diserap hutan sangat tergantung
dari jenis/tipe dan karakteristik hutan. Hutan tropis dapat menyimpan karbon sekitar 40% dari hutan
dunia. Tegakan di hutan tropis dapat menahan karbon sekitar 50% lebih besar dari kapasitas tegakan
di luar hutan tropis. Itulah sebabnya hutan tropis memainkan peranan penting dalam menstabilkan
GRK karena kapasitasnya yang besar dalam menyimpan dan menyerap karbon.
Deforestasi mengemisi sekitar 8 Gt CO2 per tahun (WRI, 2002). Apabila deforestasi merupakan
17-18 % dari masalah (emisi GRK) maka yang perlu dilakukan adalah melakukan upaya-upaya
untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan minimal 17-18% dalam rangka mengurangi
sumbangan emisi karbon ke atmosfer (WRI, 2002). Gambar 2 dan 3 berikut ini adalah ilustrasi
mengenai kondisi kawasan hutan di Indonesia dan tingkat penurunan tutupan lahan hutan dari tahun
1989 sampai dengan tahun 2009.
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
PENDAHULUAN
Gambar 3. Distribusi Kawasan Hutan di Indonesia (Sumber: Bahan Presentasi Rizaldi Boer)
Gambar 4. Tingkat Penurunan Tutupan Lahan Hutan dari Tahun 1989-2009 (Sumber: Bahan Presentasi Rizaldi Boer)
Karena pentingnya peran hutan dalam memitigasi perubahan iklim, maka tindakan-tindakan
seperti praktik pengelolaan hutan produksi lestari, pengelolaan kawasan konservasi dan lindung,
pembatasan konversi hutan, pemberantasan illegal logging dan penanggulangan kebakaran hutan
akan mengurangi emisi CO2 dan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim.
5
6
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
PENDAHULUAN
Rehabilitasi lahan dan hutan terdegradasi, pengembangan hutan tanaman industri dan perkebunan
di lahan-lahan yang terdegradasi, serta kegiatan restorasi hutan akan meningkatkan kapasitas hutan
dalam menyerap dan menyimpan karbon, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan resiliensi
ekosistem hutan terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, pengelolaan hutan lestari berkontribusi
positif terhadap upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pengelolaan Hutan Lestari merupakan
kerangka kegiatan yang efektif untuk mengurangi dampak dan penyesuaian terhadap perubahan
iklim.
II
Kesepakatan
Internasional
Menghadapi
Perubahan Iklim
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan
Pada bulan Juni tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, —pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth
Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and
Development/UNCED), telah disepakati yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding)
tentang Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/ UNFCCC yang mulai berlaku sejak
21 Maret 1994. Pada KTT Bumi tersebut UNFCCC telah ditandatangani oleh 154 wakil negara.
Sejak tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference
on Parties, COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut.
Tujuan UNFCCC
Menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) antropogenik untuk menghindari ‘ancaman
antropogonik yang berbahaya terhadap sistem iklim. Gas yang dikendalikan adalah metan, nitrogen
oksida, dan karbon dioksida.
Tujuan akhir konvensi adalah mencapai stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada
tingkat tertentu yang menghindari ancaman antropogenik yang berbahaya bagi sistem iklim
Kelembagaan UNFCCC
Kelembagaan yang mendukung proses negosiasi dibawah payung UNFCCC adalah Conference of
Parties (COP), Konferensi Para Pihak yang merupakan badan tertinggi, atau yang memiliki wewenang
tertinggi membuat keputusan sekaligus merupakan asosiasi para pihak yang meratifikasi konvensi. 8
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
COP bertanggung jawab untuk menjaga konsistensi upaya internasional dalam mencapai tujuan
utama konvensi. Dengan demikian COP memiliki kesempatan untuk meninjau pengaruh dari
tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan Konvensi. COP
diselenggarakan setahun sekali, kecuali dalam kondisi tertentu jika para pihak menghendaki lain.
Tempat penyelenggaraan COP didasarkan atas tawaran yang disampaikan oleh calon tuan rumah.
Jika tidak ada penawaran, secara otomatis COP akan diselenggarakan di sekretariat UNFCCC di
Bonn, Jerman.
Negara-negara dan aktor utama
Dalam Konvensi Perubahan Iklim terdapat 2 blok besar yang terdiri atas negara maju (developed
atau industrialized countries) dan negara berkembang (developing countries). Kedua kelompok
ini merupakan kelompok negara-negara yang memiliki hak suara dalam konvensi. Di samping itu
terdapat pula organisasi non-pemerintah (non-governmental organization) dan lembaga internasional
(international organization) yang tidak memiliki hak suara dalam setiap pertemuan tertutup konvensi
tetapi dapat melakukan proses interaksi dengan setiap negara baik secara individu maupun kelompok
melalui kesempatan-kesempatan di luar acara formal (side events atau special events).
a. Pihak dalam Konvensi
b. Kelompok Pihak di Bawah Konvensi
• Pihak Annex I
• Pihak AnnexII
• Pihak yang Tidak Termasuk ke dalam Annex 1 (Non-Annex Parties)
• Negara Transisi Ekonomi
• Negara-negara Terbelakang (Least Developed Countries/LDCs)
c. Kelompok Regional
d. Kelompok-kelompok Negosiasi Politik
• Group 77 + Cina
• Kelompok Afrika
• Kelompok Negara-negara Pulau Kecil (AOSIS)
• Uni Eropa
• Kelompok Payung
• Environment Integrity Group (EIG)
• OPEC
• Negara-negara Pengamat
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
e. Organisasi Non-Pemerintah
f. Organisasi Internasional
Pertemuan Para Pihak yang telah dilaksanakan beberapa kali sejak tahun 1995:
COP 1 tahun 1995 di Berlin, Jerman, yang menghasilkan Berlin Mandate.
Catatan pentingnya adalah:
• Fase uji coba kegiatan joint implementation (JI) yang dikenal Activities Jointly Implementation
(AJI).
• Komitmen negara maju untuk mengurangi emisi mulai dibicarakan secara substansial.
• Tidak ada tuntutan komitmen bagi negara berkembang dalam protokol.
• Koalisi G77 (minus OPEC)
COP 2 tahun 1996 di Jenewa, Swiss yang menghasilkan Geneva Declaration.
Deklarasi Jenewa memuat hasil-hasil antara lain:
• Pengakuan dan penerimaan para menteri dan ketua delegasi atas Laporan IPCC sebagai
laporan ilmiah yang dapat diandalkan sebagai pijakan untuk mengambil tindakan global,
nasional dan lokal, khususnya oleh negara-negara Annex 1 dalam rangka menurunkan emisi
Gas Rumah Kaca.
• Ajakan untuk mengembangkan protokol dan instrumen legal lainnya berdasarkan temuan
ilmiah.
• Instruksi kepada para pihak untuk mempercepat negosiasi terhadap teks protokol yang secara
hukum akan mengikat.
COP 3 Tahun 1997 di Kyoto, Jepang yang menghasilkan Kyoto Protocol.
• Hasil penting dari COP 3 adalah diadopsinya Protokol Kyoto pada Desember 1997 setelah
melalui perdebatan dan negosiasi yang panjang dan melelahkan.
COP 4 tahun 1998 di Buenos Aires, Argentina
• Tujuan utama COP 4 adalah untuk merancang tindak lanjut implementasi Protokol Kyoto, antara
lain dalam alih teknologi dan mekanisme keuangan.
9
10
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
COP 5 tahun 2000 di Bonn, Jerman.
• Negoisasi di fokuskan pada hal-hal teknis, beberapa hal diantaranya, antara lain :
• Penyusunan Guideline untuk persiapan komunikasi nasional bagi negara-negara yang
tergabung dalam Annex 1,
• Capacity building
• Alih teknologi
• Mekanisme fleksibel
COP 6 tahun 2000 di Den Haag, Belanda
• Agenda utama COP 6 adalah menyelesaikan rencana detail pengoperasian Protokol Kyoto
yang diuraikan dalam BAPA (COP 4).
COP 7 tahun 2001 di Marrakech, Maroko yang menghasilkan Marrakech Accords.
Beberapa keputusan penting dalam sidang ini antara lain:
• Regulasi operasional tentang jual beli emisi internasional antar pihak dalam protokol dan bagi
CDM serta implementasi bersama,
• Regime yang secara garis besar mengatur konsekuensi akan kegagalan dalam pemenuhan
target emisi tetapi ditunda bagi negara yang menyetujui protokol sebelum diberlakukannya
konsekuensi tersebut secara legally binding,
• Prosedur akunting bagi mekanisme yang fleksibel.
COP 8 tahun 2002 di New Delhi, India.
Hal-hal penting yang dibahas dan diputuskan diantaranya adalah:
• Panduan yang lebih baik bagi komunikasi nasional Negara-negara Non-Annex I;
• Berbagai isu tentang mekanisme finansial;
• “Good practice” dalam kebijakan dan tindakan;
• Penelitian dan pengamatan yang sistematis;
• Kerjasama dengan organisasi internasional terkait; dan
• Isu-isu terkait metodologi
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
COP 9 tahun 2003 di Milan, Italia
• Kesepakatan yang diadopsi berkaitan dengan kelembagaan dan prosedur implementasi Kyoto
Protocol UNFCCC antara lain berhubungan dengan:
• Definisi dan modalities bagi dimasukkannya kegiatan aforestasi dan reforestasi ke dalam CDM;
• Panduan “good practice” bagi penggunaan lahan, perubahan lahan dan kehutanan (guidance
on land use, land-use change and forestry (LULUCF));
• Dana Khusus Perubahan Iklim (Special Climate Change Fund (SCCF)); dan
• Dana bagi Negara-negara Terbelakang (Least Developed Countries /LDC Fund).
COP 10 tahun 2004 di Buenos Aires, Argentina
• Kesepakatan terbagi menjadi empat yaitu :
• Pengaruh buruk perubahan iklim;
• Impact of the implementation of response measures;
• Pekerjaan multilateral lanjutan terkait aktivitas di bawah keputusan 5/CP.7; dan
• Program kerja SBSTA tentang dampak, kerentanan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
COP 11 dan Meeting of the Parties to Protokol Kyoto (COP/MOP 1) tahun 2005 di Montreal, Kanada.
Pada COP ini disepakati Montreal Action Plan yang merupakan kesepakatan yang bertujuan untuk
memperpanjang usia Protokol Kyoto setelah berakhirnya setelah tahun 2012 dan menegosiasikan
pengurangan lebih jauh emisi gas rumah kaca.
COP 12 tahun 2005 di Nairobi, Kenya.
Pada COP/MOP 2, para pihak membahas isu terkait mekanisme fleksibel pada Protokol Kyoto,
khususnya CDM dan Joint Implementation. Berbagai isu yang dibahas diantaranya terkait dengan:
• Mekanisme finansial,
• Komunikasi nasional,
• Transfer teknologi,
• Pembangunan kapasitas, dan
• Pengaruh buruk perubahan iklim terhadap negara berkembang dan negara terbelakang serta
response measures dan kebutuhan khusus negara terbelakang
11
12
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
COP 13 tahun 2007 di Bali, Indonesia.
Hal penting yang dihasilkan dalam COP 13 adalah Bali Action Plan, yang diantaranya berisi:
• REDD sebagai salah satu aksi mitigasi nasional/internasional yang perlu ditingkatkan
• Jadwal pertemuan the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the
Convention pada tahun 2008
COP 14 2008 di Poznan, Polandia.
Isu penting yang akan dibahas pada COP 14 adalah mengenai capacity building pada negara
berkembang, REDD, transfer teknologi dan adaptasi
COP 15 tahun 2009 di Kopenhagen, Denmark.
Pada bulan November 2009 telah dilaksanakan pertemuan para pihak (COP) ke 15 di Kopenhagen,
yang diikuti oleh negara-negara seperti Afrika Selatan, Denmark, Jepang, Papua Nugini, Aljazair,
Etiopia, Jerman, Perancis, Amerika Serikat, Gabon, Korea Selatan, Rusia, Australia, Granada, Lesotho,
Arab Saudi, Bangladesh, India, Maladewa, Spanyol, Brasil, Indonesia, Meksiko, Sudan, Cina, Ing­gris,
Norwegia, dan Swedia. Dalam pertemuan tersebut dihasilkan 12 butir kesepakatan yang sifatnya
tidak mengikat “Copenhagen Accord”, yang secara garis besar isinya adalah sebagai berikut :
• Menekankan perlunya kemauan politik yang kuat dari setiap negara untuk segera melakukan
langkah-langkah antisipasi dan mitigasi perubahan iklim sesuai prinsip umum dengan tanggung
jawab dan kemampuan masing-masing. Dalam rangka mengantisipasi potensi dampak pada
negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim, maka akan dirumuskan suatu program
adaptasi secara komprehensif dengan melibatkan dukungan internasional.
• Dalam rangka menahan kenaikan suhu global dibawah dua derajat Celcius, diperlukan kerja
sama untuk mencapai kesepakatan batasan emisi maksimal nasional dan global sesegera
mungkin.
• Peningkatan aksi dan kerja sama internasional untuk adaptasi sangat diperlukan untuk
menjamin pelaksanaan konvensi. Negara-negara maju akan membantu menyediakan sumber
dana, teknologi, dan pengembangan kapasitas untuk mengurangi kerentanan dan membangun
ketahanan di negara-negara berkembang.
• Negara-negara Annex-I akan lebih memperkuat pengurangan emisi yang diprakarsai oleh
Protokol Kyoto. Pelaksanaan pengurangan emisi dan pembiayaan oleh negara-negara maju
akan diukur, dilaporkan dan diverifikasi sesuai dengan pedoman yang telah ada dan yang akan
diadopsi oleh Konferensi Para Pihak dan akan memastikan bahwa perhitungan sesuai dengan
target dan mekanisme keuangan yang ketat, kuat dan transparan.
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
• Negara-negara Non-Annex-I, yakni negara-negara berkembang dan negara-negara kepulauan
kecil yang masih berkembang dapat melakukan tindakan sukarela dan atas dasar dukungan
untuk melakukan tindakan-tindakan mitigasi perubahan iklim yang diambil dan direncanakan
sendiri.
• Penghargaan terhadap upaya-upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan penyediaan insentif positif dari tindakan tersebut
melalui pembentukan mekanisme REDD+, untuk memungkinkan mobilisasi sumber daya
keuangan dari negara-negara maju.
• Penggunaan berbagai pendekatan, termasuk mekanisme pasar, untuk meningkatkan efektivitas
biaya dan mempromosikan tindakan-tindakan mitigasi. Memberikan insentif kepada negaranegara berkembang agar berupaya untuk melakukan pembangunan rendah emisi.
• Penyediaan dana yang memadai serta peningkatan akses akan diberikan kepada negaranegara berkembang untuk mengaktifkan dan mendukung penyempurnaan tindakan-tindakan
mitigasi, termasuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), adaptasi,
serta transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Mendorong adanya komitmen kolektif
dari negara-negara maju untuk menyediakan sumber investasi melalui lembaga-lembaga
internasional sejumlah kurang lebih US$ 30 miliar untuk periode 2010-2012 dengan alokasi
yang seimbang antara adaptasi dan mitigasi. Pendanaan untuk adaptasi akan diprioritaskan
untuk negara-negara berkembang yang paling rentan, seperti negara-negara kepulauan kecil
yang masih berkembang dan negara-negara Afrika. Dalam konteks tindakan mitigasi yang
bermakna dan transparansi pelaksanaan, negara-negara maju berkomitmen untuk mencapai
tujuan memobilisasi secara bersama-sama dana sejumlah US$ 100 miliar dolar per tahun pada
tahun 2020 untuk mengatasi kebutuhan negara-negara berkembang. Pendanaan ini akan
berasal dari beragam sumber, umum, swasta, bilateral dan multilateral, termasuk sumbersumber pembiayaan alternatif. Pendanaan multilateral baru untuk adaptasi akan dikirimkan
melalui pengaturan dana yang efektif dan efisien, dengan dan efisien, dengan struktur tata
kelola untuk menjamin adanya keterwakilan yang setara dari negara maju dan berkembang.
Sebagian besar dana tersebut harus mengalir melalui “Copenhagen Green Climate Fund”
• Akan dibentuk sebuah panel tingkat tinggi yang bertanggung jawab kepada forum Konferensi
Para Pihak untuk mempelajari kontribusi sumber-sumber potensi pendapatan, termasuk
sumber-sumber pembiayaan alternatif untuk mencapai tujuan yang ditetapkan Konferensi Para
Pihak.
• Penetapan Copenhagen Green Climate Fund sebagai entitas operasional dari mekanisme
keuangan konvensi untuk mendukung proyek-proyek, program, kebijakan dan kegiatan yang
lain di negara-negara berkembang yang terkait dengan mitigasi termasuk REDD+, adaptasi,
peningkatan kapasitas, serta pengembangan dan transfer teknologi.
13
14
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
• Pengembangan suatu mekanisme teknologi untuk mempercepat pembangunan dan transfer
teknologi untuk mendukung tindakan adaptasi dan mitigasi yang akan dipandu dengan
pendekatan untuk masing-masing negara yang didorong oleh dan didasarkan pada keadaan
dan prioritas nasional.
• Penilaian terhadap pelaksanaan kesepakatan ini direncanakan akan selesai pada tahun 2015,
termasuk pertimbangan-pertimbangan ilmiah untuk memperkuat tujuan jangka panjang dalam
kaitannya dengan upaya pembatasan kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat Celcius.
COP 16 tahun 2010 di Cancun, Meksiko
Konferensi perubahan iklim PBB ke-16 (UNFCCC COP 16), yang diadakan pada 29 November
hingga 10 Desember 2010 di Cancun, memfokuskan negosiasi pada 4 hal yaitu pendanaan, REDD,
tekhnologi transfer dan adaptasi. Pada pertemuan ini negara-negara pihak yang terlibat dalam
perundingan ini tidak mengharapkan adanya suatu kesepakatan bersama yang mengikat (legally
bin­ding) dalam mengatasi perubahan iklim. Sejumlah poin perundingan ditarik keluar dari kerangka
kerja UNFCCC, salah satunya ialah pembahasan mengenai mekanisme REDD+ (Pengurangan Emisi
dari Deforestasi, Degradasi Hutan, Konservasi, Manajemen Pengelolaan Hutan dan Peningkatan Stok
Karbon Hutan) yang berkembang sangat pesat sejak diputuskan di Bali tahun 2007 lalu.
“Perjanjian Cancun memberi kerangka kuat bagi masuknya hutan hujan tropis dalam agenda
utama penanganan perubahan Iklim, melalui skema REDD+, adaptasi, konservasi dan peningkatan
cadangan karbon hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan. “Bila tidak sekarang, mungkin baru
satu dekade lagi hutan hujan tropis diperhitungkan dalam upaya penanggulangan perubahan iklim,
sementara tingkat kerusakannya sudah sangat mengkhawatirkan”. Walaupun negosiasi belum
usai dan skema yang mengaturnya belum diputuskan namun sejumlah proyek atas nama proyek
percobaan (pilot project) sudah dijalankan di Indonesia dengan dikeluarkannya Permenhut No.
68 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstration activity pengurangan emisi karbon dari
deforestasi dan degradasi hutan. Skema ini telah menjual 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia
mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi sosial, dan
entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, seharga Rp 12,00 per meter perseginya seperti
proyek di Ulu Masen, Aceh, Hutan Hujan Harapan di Jambi, dan di Kalimantan Tengah dengan
Pemerintah Australia (Prasaja, H. 2010) Pemerintah Indonesia juga telah menanda tangani Letter
of Intent (LoI) dengan Pemerintah Norwegia pada Mei 2010 sebagai salah satu perjanjian bilateral
dalam skema REDD dimana Norwegia akan memberikan dana sebesar US$ 1 miliar bagi Indonesia
melalui proyek REDD+. Dana tersebut akan dikucurkan secara bertahap sebesar US$ 30 juta tahun
2011, US$ 70 juta tahun 2012, US$ 100 juta tahun 2013 dan sisanya US$ 800 juta akan diberikan
melihat hasil pemantauan pengurangan emisi yang dilakukan Indonesia.
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
COP 17, tahun 2011 di Durban, Afrika Selatan
COP ke-17 dilaksanakan di Durban, Afrika Selatan (14 Desember, 2011). Hasil negosiasi
perubahan iklim PBB di Durban mempunyai arti ganda untuk REDD+, yaitu dalam hal progres
cara penetapan tingkat emisi referensi dan progres pendefinisian ukuran pengurangan emisi dari
inisiatif kehutanan, dan adanya keputusan lemah akan safeguard sosial lingkungan, serta kurangnya
kemajuan mengenai sumber pendanaan jangka panjang. Fokus negosiasi REDD+ terletak pada
empat topik utama yaitu : pembiayaan, safeguards, tingkat referensi, dan MRV (pemantauan,
pelaporan dan verifikasi) emisi karbon dari kegiatan hutan. Dalam safeguards, kemajuan terjadi
di tingkat referensi, kemajuan MRV sudah tercapai sejak mula perundingan, sementara tentang
pembiayaan REDD+ baru diputuskan setelah melewati perundingan alot.
Keputusan Pembiayaan REDD+:
• Akan ada pengumpulan input mewakili pandangan berbagai pihak, di dalam lokakarya para
ahli. Hasilnya berupa laporan teknis yang akan diterbitkan oleh Sekretariat UNFCCC, semua
dokumen ini akan diserahkan sebelum COP (Konferensi Para Pihak) ke 18 tahun 2012 sebagai
draft keputusan
• Sistem MRV yang kuat akan membantu REDD+ dipertimbangkan masuk dalam Mekanisme
Pembangunan Bersih • Makna pernyataan tentang bagaimana negara-negara berkembang harus melaporkan
pelaksanaan safeguards sosial, lingkungan dan tata kelola telah diperlemah.
• Keputusan yang kuat tentang tingkat referensi
COP 18 dilaksanakan di Doha, Qatar pada tanggal 26 November – 7 Desember 2012.
Hasil dari COP Doha adalah keputusan-keputusan yang terdiri dari:
• Amandemen Protokol Kyoto termasuk implikasi dari implementasi berbagai metodologi dalam
periode komitmen kedua. Hasil amandemen tersebut adalah sebagai berikut :
• Implementasi dalam Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto (KP-CP2) selama 8 tahun, dari 1
Januari 2013 hingga 31 Desember 2020.
• CDM dan mekanisme fleksibilitas lain di bawah KP terus berlanjut
• Surplus dari penurunan emisi negara maju pada periode pertama diputuskan untuk tidak
dapat diperjualbelikan dalam periode kedua
• Kelanjutan program kerja untuk menyusun kesepakatan rezim pasca 2020
• Sesuai mandat COP17, ADP (Pokja untuk menyusun kesepakatan mengenai rezim pasca 2020)
telah bekerja sejak Mei 2012
15
16
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
Kesepakatan:
• Kesepakatan untuk melakukan adopsi keluaran legal pada tahun 2015
• Rencana kerja termasuk membahas penurunan emisi antara 2013 - 2020
• Penyelesaian mandat Bali Action Plan, dengan beberapa keputusan yang terkait dengan
implementasinya, termasuk mengenai pendanaan, teknologi, dan adaptasi.
Keputusan utamanya adalah sebagai berikut:
• Implementasi aksi penanganan perubahan iklim melalui beberapa institusi yang disepakati di
Cancun dan Durban termasuk Green Climate Fund, Standing Committee on Finance, Adaptation
Committee dan Climate Technology Center
• Qualitative reassurance dari negara maju untuk realisasi komitme pendanaan jangka panjang,
antara lain melalui mid-term financing 2013 - 2015.
• Diberikannya mandat kepada SBSTA dan/atau SBI untuk membahas elemen - elemen dari Bali
Action Plan yang belum selesai termasuk REDD+
Keputusan-keputusan ini memberikan beberapa peluang bagi Indonesia, diantaranya adalah:
• Pengembangan kegiatan untuk pasar karbon dapat semakin ditingkatkan; demikian juga jenis
kegiatan lain yang akan dapat berperan dalam berbagai pendekatan.
• Pengembangan aksi mitigasi di bawah Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
untuk selanjutnya disampaikan melalui NAMAs Registry
• Peluang dukungan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan mitigasi dan adaptasi
• Peluang dalam pengembangan dan alih teknologi dengan disepakatinya CTC (Climate
Technology Center) serta jaringannya.
Berdasarkan laporan dari DNPI 2012, hasil perundingan COP 18/CMP 8 di Doha yang terkait pasar
karbon dan pengembangannya di Indonesia adalah sebagai berikut:
• CMP (Conference Meeting of the Parties), hasil pertemuan ini adalah telah diambil beberapa
keputusan terkait peningkatan efisiensi dari tata kelola CDM. Keputusan - keputusan ini antara
lain adalah sebagai berikut.
• Meminta para pihak untuk mengirimkan submission terkait efisiensi tata kelola CDM.
• Implementasi dari hasil keputusan sidang CDM Executive Board/CDM - EB ke 70, yang terkait
dengan masalah lembaga verifikasi (DOE), panduan pembangunan berkelanjutan, dan metode
melakukan pemeriksaan bagi DNA termasuk wewenang pencabutan LoA.
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
• Metode pemantauan untuk baseline proyek CDM.
• Metode pendaftaran dan penerbitan CER.
SBSTA (Subsidary Body on Scientific and Technology Advice), hasil pertemuannya adalah menunda
pembahasan LULUCF dalam CDM untuk tahun depan dan menunda pembahasan CCS lintas batas
negara sampai empat tahun mendatang.
SBI (Subsidary Body for Implementation), hasil pertemuan yang terkait pasar karbon belum disetujui,
terutama yang berkaitan dengan struktur keanggotaan dari proses banding untuk CDM (CDM
appe­als board) yang direncanakan untuk didiskusikan tahun 2013.
KP (Kyoto Protocol), hasil keputusan yang terkait terutama adalah mengenai boleh/tidaknya negara
non - KP atau yang tidak mempunyai ambisi penurunan emisi (pledges) dalam KP menggunakan
CDM untuk memenuhi target penurunan emisinya. Berdasarkan teks keputusan AWG-KP outcomes
(paragraf: 12 – 13), maka hasilnya adalah sebagai berikut.
1. Periode komitmen kedua dimulai dari 1 Januari 2013, dimana negara non - Annex I (termasuk
Indonesia) diperbolehkan untuk melanjutkan kegiatan CDM yang sedang berjalan maupun
proyek yang sudah akan didaftarkan setelah tanggal 31 Desember 2012.
2. Selain negara non - Annex I, negara Annex I yang boleh melanjutkan kegiatan CDM nya adalah
hanya negara yang telah menyampaikan dan mencantumkan target penurunan emisinya dalam
dokumen Protokol Kyoto II. Dalam hal ini, negara Annex I yang ikut Protokol Kyoto II tapi tidak
mencantumkan ambisi penurunan emisinya (QELROs) adalah Rusia, Selandia Baru, Kanada,
dan Jepang.
LCA (Long Commitment Agreement), yang membahas mengenai rencana pembentukan pasar
karbon dan mekanisme penurunan emisi ke depan berbasis pasar telah menghasilkan beberapa
keputusan penting terkait pembentukan Framework on Various Approaches (FVA) dan New Market
Mechanism (NMM). Berdasarkan hasil yang tercantum di dalam teks AWG-LCA outcomes, maka
keputusannya sebagai berikut:
Framework on Various Approaches (FVA) di LCA, yang termaktub dalam teks keputusan AWG-LCA,
paragraf 41 – 45):
Para pihak secara individu maupun bersama, —dapat mengembangkan serta menerapkan berbagai
pendekatan untuk penurunan emisi berdasar pendekatan pasar maupun non-pasar, guna peningkatan
kegiatan mitigasi dan efektivitas biaya.
Sesuai dengan keputusan COP di Durban, Decision 2/CP.17, paragraf: 79, semua metode penurunan
mitigasi harus memenuhi standar yang memberikan hasil mitigasi yang nyata, permanen, tambahan,
dan dapat diverifikasi. Hal ini untuk mencegah terjadinya penghitungan ganda dalam pencapaian
penurunan emisi gas rumah kaca.
17
18
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
SBSTA selanjutnya diminta untuk membahas dan menguraikan program kerja untuk pendekatan
tersebut, termasuk laporan serta masalah teknis berdasar pengalaman dari mekanisme yang ada.
Mempertimbangkan bahwa setiap FVA tersebut akan dikembangkan di bawah otoritas dari COP.
New Market Mechanism (NMM) di LCA keputusan utamanya terutama termaktub dalam teks AWG
- LCA, paragraf 51. Dalam paragraf ini disebutkan bahwa program kerja yang akan dibahas dalam
SBSTA untuk pertemuan berikutnya akan terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut :
• Operasi kegiatan NMM yang akan berada di bawah otoritas COP.
• Partisipasi dari voluntary dalam mekanisme.
• Standarisasi yang memberikan hasil mitigasi yang nyata, permanen, memiliki nilai tambah dan
dapat diverifikasi hasilnya.
• Memenuhi persyaratan dalam melaporkan, mengukur secara akurat dan verifikasi pengurangan emisi. • NMM akan sebagai sarana untuk merangsang mitigasi dari segi ekonomi. Kriteria NMM,
termasuk penerapan metode konservatif untuk pendirian, persetujuan serta penyesuaian
secara berkala (batas crediting).
Kriteria untuk merekam keakuratan dan konsistensi unit.
• Supplementarity.
• Pembagian untuk menutupi biaya administrasi dan membantu mengembangkan ketahanan
adaptasi negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
• Peningkatan pembangunan berkelanjutan;
• Partisipasi secara efektif dari badan swasta dan publik;
• Fasilitasi awal dari mekanisme.
Dampak dan implikasi dari hasil perundingan COP 18/CMP 8 di Indonesia diperkirakan akan cukup
luas dalam pengembangan pasar karbon ke depan. Secara umum, sebenarnya hasil perundingan
tersebut kurang menggembirakan dan malah diperhitungkan akan menurunkan pengembangan pasar
karbon di Indonesia. Hasil dari perundingan tersebut tidak menambah secara riil ambisi penurunan
emisi, sehingga pasar karbon tidak memiliki tambahan permintaan. Lebih jauh, tidak dibolehkannya
negara Jepang, Kanada, Selandia Baru, dan Rusia untuk menggunakan CDM sebagai mekanisme
mitigasi perubahan iklim, menyebabkan juga tidak adanya tambahan permintaan untuk CDM sampai
dengan periode komitmen kedua Protokol Kyoto berakhir (DNPI, 2012).
III
Komitmen Nasional
Menyikapi Kesepakatan
Internasional Tentang
Perubahan Iklim
Dalam pertemuan para pihak (COP) di Kopenhagen, November 2009, ada lima poin penting yang
diusulkan oleh Pemerintah Indonesia dan diakomodir dalam Copenhagen Accord, yaitu :
• Perlunya melakukan upaya bagi seluruh negara di dunia untuk menahan agar dampak
perubahan iklim tidak sampai menaikkan suhu global sampai dua derajat Celcius pada tahun
2050.
• Perlunya negara maju menyebutkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara
ambisius
• Perlu adanya pembiayaan dari negara maju untuk penanganan dampak perubahan iklim
oleh negara maju dan negara tertinggal.
• Perlu adanya MRV (measurement, reporting, and verifying) pelaksanaan komitmen
penanganan perubahan iklim, dan masalah kehutanan.
• Perlunya penerapan pola pembangunan yang ramah lingkungan.
Komitmen Pemerintah Indonesia untuk penurunan emisi gas rumah kaca telah di sampaikan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada tanggal 25 September 2009 dalam
pertemuan G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia
sedang menyusun rangkaian kebijakan yang dapat menurunkan emisi Indonesia sebesar 26% dari
skenario “business as usual” (BAU) pada tahun 2020. Presiden juga menjelaskan bahwa dengan
dukungan dana internasional Indonesia bahkan dapat menurunkan emisi sampai dengan sebesar
41% pada tahun 2020.
20
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KOMITMEN NASIONAL MENYIKAPI KESEPAKATAN INTERNASIONAL TENTANG PERUBAHAN IKLIM
Selanjutnya Presiden menjelaskan bahwa kebijakan tersebut akan terdiri dari peningkatan investasi
dalam energi terbarukan seperti pembangkit listrik dari tenaga panas bumi dan menurunkan emisi
dari deforestasi dan perubahan penggunaan lahan (land use). Selain itu Presiden menjelaskan
bahwa Indonesia sedang mengkaji kemungkinan menurunkan 1 miliar ton CO2 pada tahun 2050
dari skenario BAU, dan mengubah status hutan Indonesia dari penyumbang emisi bersih menjadi
penyerap emisi bersih pada tahun 2030
Gambar 5 . Skema Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020 (Bappenas, 2012)
Gambar 6. Grafik Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020n (sumber : Bappenas, 2012 )
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KOMITMEN NASIONAL MENYIKAPI KESEPAKATAN INTERNASIONAL TENTANG PERUBAHAN IKLIM
Gambar 7. Proyeksi Emisi Bussiness As Usual dari sektor Kehutanan
Tabel 1. Target Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia sampai dengan Tahun 2020 (sumber: Perpres No. 61
Tahun 2011)
Target Pengurangan Emisi (Gton CO2e)
Sektor
Target 26%
(dengan usaha sendiri)
Target 41%
(dengan dukungan internasional)
Hutan dan Gambut
0,672
87,6%
1,039
87,4%
Pertanian
0,008
6,3%
0,011
6,6%
Energi dan Transportasi
0,036
1,0%
0,056
0,9%
Industri
0,001
0,1%
0,005
0,4%
Pengelolaan Persampahan
0,048
5,0%
0,078
4,7%
Total
0,767
100,0%
1,189
100,0%
Walaupun telah disampaikan kesangggupan pengurangan emisi karbon sebesar 26% dari Bussiness
As Usual (BAU) sejak tahun 2009 dan meskipun serangkaian perangkat hukum telah diterbitkan,
belum ada hasil-hasil yang terukur dari pemerintah untuk melihat sampai seberapa jauh capaian yang
diperoleh sampai saat ini. Satu-satunya yang bisa diketahui adalah pengakuan prestasi penurunan
laju deforestasi selama lebih dari 10 tahun terakhir ini.
Badan Planologi Kehutanan (2008) menyebutkan bahwa angka deforestasi Indonesia dari tahun
2003-2006 sebesar 1,17 juta ha/tahun. Angka deforestasi 1,17 juta ha/tahun ini berasal dari kawasan
hutan sebesar 0,76 juta ha (64,8%) dan 0,41 juta ha/tahun (35,2%) dari luar kawasan hutan.
21
22
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KOMITMEN NASIONAL MENYIKAPI KESEPAKATAN INTERNASIONAL TENTANG PERUBAHAN IKLIM
Sumber: Badan Planologi Kementerian Kehutanan (2008)
Gambar 8. Diagram angka deforestasi rata-rata tahun 2003-2006
Beberapa laporan terakhir menyebutkan bahwa laju deforestasi di Indonesia cenderung semakin
menurun. Santosa (2012) menyebutkan bahwa angka deforestasi Indonesia periode 2006-2009
sebesar 0,83 juta ha/tahun dan pada kurun waktu tahun 2009-2011 menurun menjadi 0,45 juta ha/
tahun. Sayangnya prestasi penurunan angka laju deforestasi ini tidak serta merta dapat diakui sebagai
angka pengurangan emisi GRK karena metodologi perhitungan dan sistem MRV yang digunakan
masih diperdebatkan oleh berbagai pihak.
Gambar 9. Laju Deforestasi Indonesia dari tahun 1990 – 2011 (Sumber: Santosa, 2012)
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KOMITMEN NASIONAL MENYIKAPI KESEPAKATAN INTERNASIONAL TENTANG PERUBAHAN IKLIM
Memperhatikan kondisi tersebut diatas maka salah satu wujud upaya dan komitmen Indonesia
dalam menindaklanjuti dan mengimplementasikan Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord)
adalah ditandatanganinya letter of intent (LoI) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kerajaan
Norwegia tentang Kerjasama dalam rangka Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan (REDD) pada tanggal 26 Mei 2010. Ada tiga tahap kerja sama dalam kerangka
LoI tersebut (DNPI 2010) yaitu :
Tahap Persiapan (Juli – Desember 2010)
• Penyusunan Strategi Nasional REDD+
• Pembentukan Lembaga REDD+
• Penetapan Lembaga Independen MRV
• Penetapan Instrumen Pembiayaan
• Penetapan Provinsi Percontohan
Tahap Transformasi (2011-2013)
• Operasionalisasi instrumen pembiayaan
• MRV tier 2 dan kemungkinan meningkatkan ke tier 3
• Moratorium izin baru konversi hutan alam dan gambut
• Pengembangan database hutan yang terdegradasi untuk investasi
• Penegakan hukum illegal logging, timber trade dan pembentukan Satuan Tindak Kriminal
Kehutanan
• Penyelesaian konflik lahan/masalah tenurial
Tahap Pembayaran Kontribusi (mulai 2014)
Mekanisme REDD+ merupakan pengembangan dari mekanisme REDD yang tidak hanya
berkaitan dengan deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga mencakup aspek yang lebih luas
yakni sustainable forest management (SFM), carbon stock enhancement, dan forest restoration &
rehabilitation.
23
IV
Kerangka Kebijakan
dan Acuan Normatif
Pemerintah Indonesia
dalam Mewujudkan
Komitmen Nasional Terkait
dengan Perubahan Iklim
Pemerintah Republik Indonesia (Pemerintah RI) telah menghasilkan beberapa peraturan dan
kebijakan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa peraturan yang berkaitan
langsung dengan perubahan iklim antara lain adalah :
• Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
• Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah
Kaca Nasional
• Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
• Permenhut No. P.68 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan
Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).
• Permenhut No. P.30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi &
Degradasi Hutan (REDD)
26
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA KEBIJAKAN DAN ACUAN NORMATIF PEMERINTAH INDONESIA DALAM
MEWUJUDKAN KOMITMEN NASIONAL TERKAIT DENGAN PERUBAHAN IKLIM
• Permenhut No P.36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan
dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
• Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan
Pembentukan Kelembagaan REDD+
• Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian
Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
• Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan
REDD+
• Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 tentang
Penyelenggaraan Karbon Hutan
• Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2013 tentang perubahan atas keputusan Presiden
No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation (REDD+)
Selain itu telah ditetapkan dokumen-dokumen terkait dengan perubahan iklim antara lain: Rencana
Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN – GRK) dan Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap (ICCSR). RAN GRK adalah dokumen perencanaan jangka panjang yang me­
ngatur usaha–usaha pengurangan emisi gas rumah kaca yang terkait dengan substansi Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
RAN-GRK merupakan acuan utama bagi aktor pembangunan di tingkat nasional, provinsi, dan kota/
kabupaten dalam perencanaan, implementasi, monitor, dan evaluasi pengurangan emisi gas rumah
kaca. Proses legalisasi RAN GRK dibuat melalui Peraturan Presiden.
RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk menyusun rencana aksi pengurangan
emisi untuk tingkat provinsi, yang selanjutnya disebut dengan Rencana Aksi Daerah Pengura­ngan
Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Substansi pada RAN-GRK merupakan dasar bagi setiap
provinsi dalam mengembangkan RAD-GRK sesuai dengan kemampuan serta keterkaitannya
terhadap kebijakan pembangunan masing–masing provinsi. Dengan demikian, RAD-GRK kemudian
akan ditetapkan melalui Peraturan Gubernur. Penyusunan RAD-GRK diharapkan merupakan
proses bottom-up yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap provinsi
dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, sesuai dengan kapasitas masing–masing. Lebih lanjut,
setiap pemerintah provinsi perlu menghitung besar emisi gas rumah kaca masing–masing, target
pengurangan, dan jenis sektor yang akan dikurangi emisinya.
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA KEBIJAKAN DAN ACUAN NORMATIF PEMERINTAH INDONESIA DALAM
MEWUJUDKAN KOMITMEN NASIONAL TERKAIT DENGAN PERUBAHAN IKLIM
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) berisi Dokumen Rencana
Kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan
emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional.
Sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia menyikapi kesepakatan internasional menghadapi
perubahan iklim, target penurunan emisi Gas Rumah Kaca melalui usaha sendiri (26 %) dari Sektor
Kehutanan adalah sebesar 0,672 Giga Ton CO2e, sedangkan target skema penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca dengan dukungan internasional (41 %) dari Sektor Kehutanan adalah sebesar 1.039
Giga Ton CO2e (Perpres Nomor 61 Tahun 2011)
Kebijakan yang ditetapkan dalam rangka mewujudkan target penurunan emisi gas rumah kaca
dengan skema (26%) dan (41%) tersebut diatas adalah sebagai berikut :
• Penurunan emisi Gas Rumah Kaca, meningkatkan kenyamanan lingkungan, mencegah
bencana, menyerap tenaga kerja dan menambah pendapatan masyarakat serta negara.
• Pengelolaan sistem jaringan dan tata air pada rawa
• Pemeliharaan jaringan reklamasi rawa (termasuk lahan gambut yang sudah ada)
• Peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi pertanian pada lahan gambut dengan emisi
serendah mungkin dan mengabsorpsi CO2 seoptimal mungkin.
• Strategi yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 untuk pelaksanaan
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) adalah sebagai berikut :
• Menekan laju deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK
• Meningkatkan penanaman untuk meningkatkan penyerapan GRK
• Meningkatkan upaya pengamanan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar dan penerapan
Sustainable Forest Management (SFM)
• Melakukan perbaikan tata air (jaringan) dan blok-blok pembagi, serta menstabilkan elevasi
muka air pada jaringan tata air rawa
• Mengoptimalisasikan sumber daya lahan dan air tanpa melakukan deforestasi
• Menerapkan teknologi pengelolaan lahan budidaya pertanian denga nemisi GRK serendah
mungkin dan mengabsorpsi CO2 seoptimal mungkin.
27
28
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA KEBIJAKAN DAN ACUAN NORMATIF PEMERINTAH INDONESIA DALAM
MEWUJUDKAN KOMITMEN NASIONAL TERKAIT DENGAN PERUBAHAN IKLIM
Tabel. 2. Rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca (RAN GRK) sampai dengan tahun 2020 (PP nomor 61 tahun
2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
NO
RENCANA AKSI
KEGIATAN/SASARAN
PERIODE
LOKASI
INDIKASI
PENURUNAN
EMISI GRK
(Juta Ton
CO2c)
PENANGGUNG
JAWAB
1
Pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hukum
(KPH)
Terbentuknya KPH sebanyak
120 Unit
2010 -2014
Seluruh Provinsi
31,15
Kementerian
Kehutanan
2
Perencanaan
pemanfaatan dan
peningkatan usaha
kawasan hutan
Terlaksananya pemberian
Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu - Hutan
ALam/Restorasi Ekosistem
(IUPHHK-HA/BE) pada
areal bekas tebangan
(Logged Over Area/LOA)
seluas 2,5 juta ha
2010 -2014
12 Provinsi: Jambi,
Sumba, Kalteng,
Kalbar, Kalsel, Sulbar,
Sulteng, Sultra, Sulut,
Gorontalo dan Papua
22,94
Kementerian
Kehutanan
Tercapainya peningkatan
produksi hasil hutan bukan
kayu/jasa lingkungan
2010 -2014
Seluruh Provinsi
1,38
Kementerian
Kehutanan
3,67
Kementerian
Kehutanan
123,41
Kementerian
Kehutanan
3
Pengembangan
pemanfaatan jasa
lingkungan
Terlaksananya demonstration
activity Reducing Emission
from Deforestation and
Degradation (REDD) di
kawasan konservasi (hutan
gambut) sebanyak 2
kegiatan
2010 -2014
2 Provinsi: Jambi dan
Kalteng
4
Pengukuhan
kawasan hutan
Terlaksananya penataan
Batas Kawasan Hutan
(batas luar dan batas fungsi
kawasan hutan) sepanjang
25.000 km
2010 -2014
Seluruh Provinsi
5
Peningkatan,
rehabilitasi, operasi
dan pemeliharaan
jaringan reklamasi
rawa (termasuk
lahan bergambut)
a. Terlaksananya
peningkatan jaringan
reklamasi rawa seluas
10.000 ha
b. Terlaksananya rehabilitasi
jaringan reklamasi rawa
seluas 450.000 ha
c. Terlaksananya operasi
& pemeliharaan jaringan
reklamasi rawa seluas 1,2
juta ha
2010 - 2014
23 Provinsi: NAD,
Sumut, Riau, Sumbar,
Jambi, Bengkulu,
Sumsel, Babel, Lampung, Banten, Jabar,
Jateng, Jatim, Kalbar,
Kalteng, Kalsel, Kaltim,
Gorontalo, Sulbar,
Sulteng, Sultra, Sulsel
dan Papua
5,23
6
Pengelolaan lahan
gambut untuk
pertanian berkelanjutan
Penelitian dan
pengembangan sumber
daya lahan (termasuk
lahan gambut) untuk
pengembangan pengelolaan
lahan pertanian seluas
325.000 ha
2011 - 2020
11 Provinsi: NAD,
Sumut, Riau, Jambi,
Sumsel, Sumbar, Lampung, Kalbar, Kalsel,
Kaltim dan Kalteng
103,98
Kementerian
Pertanian
7
Pengembangan
pengelolaan lahan
pertanian di lahan
gambut terlantar
dan terdegradasi
untuk mendukung
sub-sektor
perkebunan,
peternakan dan
bertikultura
Rehabilitasi, reklamasi dan
realisasi lahan gambut
terlantar, terdegradasi, pada
areal pertanian, serta optimalisasi lahan non-tanaman
pangan seluas 250.000 ha
2011 - 2014
9 Provinsi: NAD,
riau, Jambi, Sumsel,
Sumbar, Kalbar, Kalsel,
Kaltim dan Kalteng
100,75
Kementerian
Pertanian
Kementerian
Pekerjaan Umum
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA KEBIJAKAN DAN ACUAN NORMATIF PEMERINTAH INDONESIA DALAM
MEWUJUDKAN KOMITMEN NASIONAL TERKAIT DENGAN PERUBAHAN IKLIM
8
9
Penyelenggaraan
rehabilitasi hutan
dan lahan dan
reklamasi hutan di
DAS prioritas
Pengembangan
perhutanan sosial
Terlaksananya rehabiltasi
hutan pada DAS prioritas
seluas 500.000 ha
2010 - 2014
Seluruh Provinsi
18,35
Kementerian
Kehutanan
Terlaksananya rehabilitasi
lahan pada DAS prioritas
seluas 1.954.000 ha
2010 - 2014
Seluruh Provinsi kecuali
DKI Jakarta
71,71
Kementerian
Kehutanan
Pembuatan hutan kota
seluas 6.000 ha
2010 - 2014
Seluruh Provinsi kecuali
DKI Jakarta
0,22
Kementerian
Kehutanan
Rehabiltasi hutan mangrove/
hutan pantai seluas 40.000
ha
2010 - 2014
Seluruh Provinsi kecuali
DIY
1,47
Kementerian
Kehutanan
Terfasilitasinya penetapan
areal kerja pengelolaan
Hutan Kemasyarakatan
(HKm)/Hutan Desa (HD)
seluas 2.500.000 ha
2010 - 2014
25 Provinsi: NAD,
Sumut, Sumbar, Riau,
Kepri, Jambi, Sumsel,
Babel, Bengkulu,
Lampung, DIY, NTB,
NTT, Kalbar, Kalteng,
Kalsel, Kaltim, Sulut,
Gorontalo, Sulteng,
Sulbar, Sulsel, Sultra,
Maluku dan Malut
91,75
Kementerian
Kehutanan
Terfasilitasinya pembentukan
kemitraan usaha dalam
hutan rakyat seluas 250.000
ha
2010 - 2014
11 Provinsi: Riau,
SUmsel, Banten, Jabar,
Jateng, DIY, Jatim,
Kalbar, Kalteng, Kalsel
dan Kaltim
9,18
Kementerian
Kehutanan
10
Pengendalian
kebakaran hutan
Tercapainya penurunan
jumlah hotspot di pulau
Kalimantan, Pulau Sumatera
dan Pulau Sulawesi sebesar
20% setiap tahun dari rerata
2005 - 2009, dengan tingkat
keberhasilan 67,20%
2010 - 2014
11 Provinsi: Sumut,
Riau, Kepri, Jambi,
Sumsel, Kalbar,
Kalteng, Kalsel, Kaltim,
Sulsel dan Sulbar
21,77
Kementerian
Kehutanan
11
Penyidikan dan
pengamanan
hutan
Terselesaikannya
penanganan kasus
baru tindak pidana
kehutanan (illegal logging,
penambangan ilegal
dan kebakaran) minimal
sebanyak 75%
2010 - 2014
10 Provinsi: Sumut,
Riau, Kepri, Jambi,
Sumsel, Kalbar,
Kalteng, Kalsel, Sulsel
dan Sulbar
2,30
Kementerian
Kehutanan
12
Pengembangan
kawasan konservasi, ekosistem
esensial dan
pembinaan hutan
lindung
Meningkatnya pengelolaan
ekosistem asensial sebagai
penyangga kehidupan
sebesar 10%
2010 - 2014
17 Provinsi: NAD
Sumut, Jambi, Babel,
Sumbar, Riau, Sulteng,
Kepulauan Seribu, Jabar, Jateng, Jatim, Bali,
NTB, Kalbar, Kalteng,
Gorontalo dan Papua
Barat
41,50
Kementerian
Kehutanan
Terlaksananya penanganan
perambahan kawasan
hutan konservasi dan hutan
lindung pada 12 Provinsi
prioritas
2010 - 2014
12 Provinsi: Sumut,
Riau, Jambi, Sumsel,
Sumbar, Lampung,
Kaltim, Kalteng, Kalsel,
Kalbar, Sultra dan
Sulteng
49,77
Kementerian
Kehutanan
Terlaksananya pencadangan
areal hutan tanaman industri
dan hutan tanaman rakyat
(HTI/HTR) seluas 3 juta ha
2010 - 2014
26 Provinsi: NAD,
Sumut, Sumbar,
Riau, Jambi, Sumsel,
Bengkulu, Lampung,
Babel, DIY, NTB, NTT,
Kalbar, Kalteng, Kalsel,
Kaltim, Sulut, Sultra,
Sulteng, Sulsel, Sulbar,
Gorontalo, Maluku,
Malut, Papua dan
Papua Barat
110,10
Kementerian
Kehutanan
13
Peningkatan usaha
hutan tanaman
29
30
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA KEBIJAKAN DAN ACUAN NORMATIF PEMERINTAH INDONESIA DALAM
MEWUJUDKAN KOMITMEN NASIONAL TERKAIT DENGAN PERUBAHAN IKLIM
Rencana Aksi Nasional penurunan emisi Gas Rumah Kaca dikembangkan untuk mencapai target
nasional, target sektoral, acuan dan aksi prioritas untuk mitigasi perubahan iklim semua sektor yang
memproduksi emisi. RAN GRK berfungsi sebagai sebuah panduan kebijakan pemerintah pusat pada
tahun 2010-2020 dan sektor-sektor yang terkait untuk mengurangi emisi sebanyak 26% dengan
usaha sendiri dan 41% jika mendapat bantuan internasional.
Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD GRK)
Dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan lebih rinci, RAN GRK menganjurkan perlunya untuk membuat
RAD GRK sebagai dokumen kerja yang menjadi dasar untuk pemerintah daerah, masyarakat dan
swasta untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas langsung dan tidak langsung yang bermaksud
untuk mengurangi emisi GRK pada kurun waktu 2010-2020 dengan mengacu kepada rencana
pembangunan daerah.
Sebagaimana telah disebutkan dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Penurunan emisi Gas Rumah Kaca pada pasal 2 ayat 2 yang mengamanatkan bahwa RAN GRK adalah
dasar bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan sektor bisnis di dalam merencanakan,
melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi RAD GRK.
Oleh karenanya RAD GRK pada sektor kehutanan seharusnya disusun dengan memuat substansi
rencana aksi mitigasi yang meliputi :
Gambar 10. Substansi dari RAD GRK
Secara detail substansi dari RAD GRK mengacu kepada substansi yang telah diamanatkan dalam
RAN GRK, dimana secara garis besar dapat dijelaskan dalam bagan berikut ini :
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA KEBIJAKAN DAN ACUAN NORMATIF PEMERINTAH INDONESIA DALAM
MEWUJUDKAN KOMITMEN NASIONAL TERKAIT DENGAN PERUBAHAN IKLIM
2."BAU
Baseline"
Penurunan
Emisi GRK
1. Sumber Potensi
dan karakteris
Emisi GRK
3. Rencana
Aksi M gasi
yang
diusulkan
SUBSTANSI
RAD GRK
4. Skala
Prioritas dari
Rencana Aksi
Mi gasi yang
diusulkan
5. Kelembagaan
dan Pembiayaan
Gambar 11. Kerangka Rencana Aksi Daerah (RAD GRK)
Keterkaitan antara RPJP, RPJM, RENSTRA dengan RAN GRK dan RAD GRK dan
REDD+
Rencana Jangka Panjang Kementerian Kehutanan (2006 – 2025) telah mengidentifikasi beberapa
strategi yang secara tidak langsung berkaitan dengan sumber emisi (kebakaran hutan, konservasi
hutan, dan manajemen hutan bakau). Setidaknya terdapat tiga strategi utama yang terkait dengan
hal tersebut:
1. SFM – Strategi Mitigasi Hutan,
2. REDD – Strategi Mitigasi Hutan, dan
3. Jenis tanaman – Strategi Mitigasi Hutan
Strategi tersebut didukung dengan beberapa program seperti program riset dan pengembangan
hutan, perencanaan makro hutan, stabilisasi area hutan, dan program manajemen pendukung dan
teknis. Lebih lanjut, terdapat pula dua peraturan menteri; yakni Peraturan Menteri Nomor 68/2008
me­ngenai penyelenggaraan pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan dan
Pe­raturan Menteri Nomor 39/2009 mengenai tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan (REDD). Beberapa peraturan terkait sektor kehutanan juga berasal dari Kementerian
Lingkungan Hidup.
Di dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca, sektor kehutanan memiliki
potensi yang besar dalam upaya penurunan emisi GRK, diantaranya yaitu pengelolaan hutan yang
berkelanjutan dari hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan lindung, serta pembatasan konversi
lahan hutan menjadi non-hutan dan degradasi kualitas hutan, pengelolaan hutan pada lahan gambut
31
32
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA KEBIJAKAN DAN ACUAN NORMATIF PEMERINTAH INDONESIA DALAM
MEWUJUDKAN KOMITMEN NASIONAL TERKAIT DENGAN PERUBAHAN IKLIM
dan pencegahan kebakaran hutan. Arah kebijakan untuk penurunan emisi GRK di bidang kehutanan
diarahkan untuk mensinergikan program-program bidang kehutanan seperti;
1. Mensinergikan kebijakan, perencanaan, dan program para pemangku kepentingan di bidang
kehutanan
2. Mempertajam kebijakan dan langkah-langkah pengurangan emisi karbon dari bidang kehutanan
yang secara efektif dapat menyelesaikan masalah penyebab deforestasi dan degradasi hutan.
3. Mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan.
4. Merevitalisasi ekosistem hutan yang terdegradasi dengan pelibatan masyarakat.
5. Menekan laju deforestasi dari berbagai gangguan seperti penebangan liar, kebakaran hutan,
konversi hutan untuk kepentingan non-hutan.
6.Mengembangkan hutan tanaman untuk pemenuhan permintaan hasil hutan kayu untuk
keperluan industri kehutanan.
Berikut ini adalah kerangka keterkaitan antara dokumen/kebijakan Nasional-Daerah dengan RANRAD GRK.
Gambar 12. Kerangka Keterkaitan Dokumen/Kebijakan Nasional-Daerah dengan RAD GRK
Secara umum, Indonesia mengejar strategi ganda untuk upaya mitigasi pada sektor kehutanan, yang
mencerminkan dua fungsi utama hutan dalam konteks perubahan iklim, yaitu sebagai sumber karbon
dan penyerap karbon. Melindungi hutan dengan upaya-upaya reboisasi dan rehabilitasi hutan akan
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA KEBIJAKAN DAN ACUAN NORMATIF PEMERINTAH INDONESIA DALAM
MEWUJUDKAN KOMITMEN NASIONAL TERKAIT DENGAN PERUBAHAN IKLIM
meningkatkan kapasitas hutan sebagai penyerap karbon, sedangkan deforestasi dan degradasi
hutan akan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Maka strategi mitigasi yang dirumuskan oleh sektor
kehutanan adalah sebagai berikut:
1. SFM – Strategi Mitigasi Hutan 1: Meningkatan stok karbon hutan dan menghindari emisi
terkait dengan degradasi dan deforestasi yang tidak terencana.
2. REDD – Strategi Mitigasi Hutan 2: Mengurangi jumlah emisi melalui manajemen konversi lahan
hutan.
3. Perkebunan – Strategi Mitigasi Hutan 3: Meningkatkan kapasitas penyerapan karbon melalui
promosi perkebunan di lahan tutupan non hutan.
Dalam kebijakan saat ini banyak peran dari perkebunan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan
karbon. Tetapi sedikit yang terencana, di luar pengembangan KPHs, untuk memastikan bahwa pohonpohon yang terpelihara dengan baik dan tumbuh, atau untuk memantau secara akurat pertumbuhan
perkebunan dan penyerapan karbon. Pembangunan dan pembentukan KPH merupakan sarana
penting untuk menjaga keabadian dari penyerapan karbon di hutan dan karena itu harus dilihat
sebagai prasyarat penting untuk semua aktivitas mitigasi.
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014 disusun berdasarkan
kondisi saat ini dan permasalahan serta isu-isu strategis dalam pembangunan kehutanan ke depan.
Berdasarkan arah kebijakan dan strategi pembangunan nasional mengenai peningkatan konservasi
dan rehabilitasi sumber daya hutan, Kementerian Kehutanan memiliki visi yang tertuang di dalam
Renstra Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, yaitu “Hutan Lestari untuk Kesejahteraan
Masyarakat yang Berkeadilan”. Guna mewujudkan visi tersebut ditetapkan beberapa misi Kementerian
Kehutanan, dengan arah kebijakan prioritas pembangunan pada;
1. Pemantapan kawasan hutan.
2. Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung daerah aliran sungai (DAS).
3. Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan.
4. Konservasi keanekaragaman hayati.
5. Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan.
6. Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan.
7. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan.
8. Penguatan kelembagaan kehutanan.
Khusus kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan seperti Nomor 7 dalam
langkah-langkah strategis Kementerian Kehutanan sudah disusun kegiatan-kegiatan yang terkait
langsung dengan penurunan emisi GRK. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud adalah:
33
34
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA KEBIJAKAN DAN ACUAN NORMATIF PEMERINTAH INDONESIA DALAM
MEWUJUDKAN KOMITMEN NASIONAL TERKAIT DENGAN PERUBAHAN IKLIM
• Penelitian Kebijakan Kehutanan dan Perubahan Iklim
• Pengendalian Kebakaran Hutan
• Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan
• Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Reklamasi Hutan
• Peningkatan Pengelolaan Hutan Alam Produksi
• Peningkatan Pengelolaan Hutan Tanaman
• Pembinaan dan Koordinasi Kerja Sama Luar Negeri
Keterkaitan Sistem Perencanaan RAN GRK dan RAD GRK dengan Sistem Perencanaan Pembangunan
Ekonomi Nasional (RPJMN s/d DIPA) dan Sistem Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah
(RPJMD s/d DIPDA) dapat digambarkan melalui bagan alur sebagai berikut :
Gambar 13. RAN dan RAD GRK dalam Pembangunan Ekonomi.
V
Kerangka Insitusi
Pendukung Pelaksanaan
RAN dan RAD GRK
RAN GRK dan RAD GRK perlu dilaksanakan dalam kerangka institusi yang sesuai dan telah
ditetapkan sebelumnya. Kerangka institusi nasional yang berperan dalam mendukung pelaksanaan
RAN GRK telah ditetapkan dengan melibatkan beberapa komponen sebagai berikut:
Gambar 11. Para Pemangku Kepentingan RAN GRK dan RAD GRK
36
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA INSITUSI PENDUKUNG PELAKSANAAN RAN DAN RAD GRK
Tabel 3. Kerangka Institusi Pendukung Pelaksanaan RAN GRK
Institusi
Kementerian Koordinator
Perekonomian
Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional /
Kepala Bappenas
Tugas / Peran
a. Melakukan koordinasi pelaksanaan dan pemantauan RAN GRK
dengan melibatkan para menteri dan gubernur yang terkait
dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
b. Melaporkan pelaksanaan RAN GRK yang terintegrasi kepada
presiden paling sedikit satu tahun sekali.
a. Mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN GRK yang
terintegrasi
b. Melaporkan hasil evaluasi kepada Menteri Koordinator
Perekonomian
c. Menyusun pedoman RAD GRK yang akan diintegrasikan dalam
upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK.
Kementerian Lingkungan
Hidup
a. Mengkoordinasikan inventarisasi GRK yang dilakukan oleh
masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah
dan melaporkan hasil inventarisasi GRK tersebut kepada
Menteri Koordinator Perekonomian.
b. Menyusun pedoman dan metodologi MRV (Measurable
Reportable Verifieable
Kementerian Dalam Negeri
Memfasilitasi penyusunan RAD GRK bersama-sama dengan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
dan Menteri Lingkungan Hidup
Untuk memudahkan kegiatan MRV antar Kementerian dan lembaga teknis di daerah dan nasional,
Kementerian Perencanaan pembangunan Nasional (Bappenas) sudah membuat sistem koordinasi
untuk pelaksanaan Monitoring Reporting dan Verifying pelaksanaan RAN GRK dan RAD GRk
sebagaimana digambarkan sebagai berikut :
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA INSITUSI PENDUKUNG PELAKSANAAN RAN DAN RAD GRK
Presiden
Natcom
Kemenko Kesra
BUR
Kemenko
Perekonomian
UNFCCC
Focal
Poin/DNPI
Kemendagri
Kementrian/
Lembaga
BAPPENAS
Tim Koordinasi
Perubahan Iklim
KLH
Kemendagri
SIGN
Center
Sekretarian
RAN-GRK
Provinsi
Keterangan
Garis Koordinasi & Pelaporan
Sintesis RAN/RAD-GRK &
Inventarisasi GRK
Garis Pelaporan Inventarisasi
GRK
Garis Pemantauan & Evaluasi
Inventarisasi GRK
Garis Pelaporan
RAN/RAD-GRK
Garis Pemantauan & Evaluasi
RAN/RAD-GRK
Kabupaten/Kota
Garis Koordinasi PEP
RAN-RAD-GRK &
Inventarisasi GRK
Gambar 14. Sistem Koordinasi pelaksanaan dan elaporan RAN/RAD GRK dan inventarisasi GRK (Bappenas, 2013)
37
38
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
KERANGKA INSITUSI PENDUKUNG PELAKSANAAN RAN DAN RAD GRK
Untuk mekanisme dan alur kerja pelaksanaan RAN GRK dan RAD GRK dapat dijelaskan melalui
bagan sebagai berikut:
Presiden
1) Nov mgg II
2) Feb mgg II
Kemenko
Perekonomian
1) Nov mgg II
2) Feb mgg II
Kemendagri
Kemenko Kesra
1) Okt mgg II
2) Jan mgg II
Kementrian/
Lembaga
BAPPENAS
KLH
Tim Koordinasi
Perubahan Iklim
1) Okt mgg II
2) Jan mgg II
Sekretarian
RAN-GRK
Keterangan:
Pelaporan RAN/
RAD-GRK & Penurunan
Emisi GRK
Pemantauan & Evaluasi
RAN-GRK
Gubernur
Pelaporan RAN-GRK
Pemantauan & Evaluasi
RAD-GRK
Pelaporan RAD-GRK
BAPPEDA
SKPD
Laporan RAD-GRK
Laporan RAN-GRK
Laporan Penurunan
emisi GRK
Gambar 15. Alur mekanisme pemantauan, evaluasi dan pelaporan pencapaian RAN GRK dan RAD GRK (Bappenas,
2013)
DAFTAR PUSTAKA
Basah, Hernowo. 2012. Indonesia’s National Action Plan for Reducing GHG Emission. Dipresentasikan
pada International Meeting Forest-Based Climate Change Policies and Action Plans in
Indonesia. Bappenas.
Daryanto, Hadi. 2012. National Strategy for REDD+ in Indonesia. Dipresentasikan pada International
Meeting Forest-Based Climate Change Policies and Action Plans in Indonesia. Kementerian
Kehutanan.
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca.
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelanggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca
Nasional.
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan
Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Steni B. 2010. Perubahan Iklim, REDD dan Perdebatan Hak: Dari Bali sampai Copenhagen.
Perkumpulan HuMa.
Kuswandana Y, Prabowo H, Nurcahya BC. 2011. Kerangka Kerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Witoelar, R dan Soekadri, D. 2012. Indonesia’s Perspective On The Global Climate Change Mitigation:
Forestry Sector. DNPI. Jakarta
Center for Forestry Research. 2010. Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim
dan REDD. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Boer, R. 2012. Sustainable Forest Management in Relation to REDD+. Centre for Climate Risk and
Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific, Bogor Agriculture University. Bogor.
Prasaja, H. 2010. COP 16 Cancun Langkah Mundur Indonesia dalam Perundingan Perubahan Iklim.
Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2012. Pengaruh Keputusan Doha Climate Gateway Terhadap
Pengembangan Pasar Karbon di Indonesia. Dewan Nasional Perubahan Iklim. Devisi
Mekanisme Perdagangan karbon. Jakarta
40
KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
DAFTAR PUSTAKA
Yasman I, Banowati L, Lasmini, dan Septiani Y. 2009. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan
Dalam Isu Perubahan Iklim (Materi Dasar Untuk Peningkatan Pemahaman Bagi Masyarakat).
Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme. Jakarta
Yasman I, Nurrochmat, DR, Septiani, Y, Lasmini 2013 (in press). Policy Paper : Peran Pengelolaan
Hutan Produksi Alam dalam Perubahan Iklim (REDD+, Pengelolaan Hutan Lestari, RIL-C).
The Nature Conservancy, Indonesia Terrestrial Program. Jakarta.
Kemitraan Responsible Asia Forestry & Trade (RAFT) adalah
program regional yang menyediakan layanan peningkatan kapasitas
dan berbagi pengetahuan kepada negara-negara di Asia Pasifik untuk
mendukung upaya mereka dalam mempromosikan perdagangan
produk kayu yang dipanen dan diproduksi secara bertanggung jawab.
RAFT didukung oleh Pemerintah Australia dan Amerika Serikat dan
dilaksanakan oleh The Nature Conservancy (TNC), Institute for Global
Environmental Strategies (IGES), The Forest Trust (TFT), Tropical Forest
Foundation (TFF), TRAFFIC – Wildlife Trade Monitoring Network, and
WWF’s Global Forest & Trade Network (GFTN) WWF. Selain mitra
utama ini, RAFT bekerja sama dengan pemerintah, industri, Organisasi
Antar Pemerintah, dan lembaga pendidikan dari seluruh dunia.
RAFT menargetkan 6 negara, yaitu Cina, Indonesia, Laos, Myanmar,
Papua Nugini dan Vietnam dimana negara lainnya diluar ke-6 negara ini
terlibat melalui dialog regional dan pertukaran pengetahuan.
www.responsibleasia.org
The Nature Conservancy
Indonesia Program
Graha Iskandarsyah Lt. 3
Jl. Iskandarsyah Raya No. 66C
Kebayoran Baru, Jakarta 12160
Indonesia
Tel: +6221 7279 2043
Fax: +6221 7279 2044
Nature.org/Indonesia
Nature.or.id
@ID_Nature
The Nature Conservancy in Indonesia
[email protected]
Download