DEFINISI PEMERINTAHAN DAERAH Pengantar Pada dasarnya semua politik bercorak lokal: all politics is local. Politik senantiasa menemukan bentuk konkretnya di tingkat lokal. Namun akibat dari adanya evolusi, bahkan revolusi global mengenai pola pengaturan kehidupan bersama yang memunculkan nation state, politik lokal mengalami reformulasi dan bahkan transformasi pengertian secara mendasar. Munculnya negara bangsa, telah menjadikan politik lokal dimengerti terutama dan pertama-tama sebagai salah satu dimensi internal dari contemporary nation-states. Hal ini berakibat lebih lanjut pada (a). perubahan pola hubungan kekuasaan dan basis legitimasi kewenangan. Kewenangan politikus lokal – sekaligus struktur politik lokal – yang sebelumnya lebih bersumber dan diperoleh dari dalam komunitas politik lokal, kini bertukar. Sumber kekuasaan didapat dari nation-state, begitu juga dengan legitimasi mereka. Legitimasi politik lokal dan politisi lokal diturunkan melalui delegasi kekuasaan dari nation-state. (b). Struktur politik yang sebelumnya dibentuk dan pertajam oleh situasi lokal masing-masing, juga bertukar. Politik lokal dalam Negara bangsa dibentuk dan dipertajam oleh birokrasi negara, oleh partai-partai politik nasional, oleh extralocal economic processes, dan oleh struktur kelas dari nationstate sebagai keseluruhan. Dengan demikian, (c) pola hubungan kekuasaan antara natioan state dan politik lokal berjalan asimetris. Keunggulan nation-state di dunia modern tidak dapat digantikan sama sekali oleh lokal politik. Tetapi ini tidak berarti politik lokal kehilangan keseluruhan maknanya. Dalam kenyataannya, proses politik lokal tetap memainkan peranan mendasar dalam: Mempengaruhi legitimasi kekuasaan Negara secara keseluruhan. Membentengi rejim oposisi dalam particular localities Menentukan distribusi political rewards dalam nation-state Mengimplementasikan kebijakan publik. Mengungkapkan konsekuensi dari kebijakan nasional; dan sebagai arena pembuatan dan actor pembuat kebijakan pada tingkat grass roots, stabilitas rejim nasional sering tergantung pada politik lokal dan pejabat-pejabatnya.( An Schulz, 1979) Arti Penting Studi Politik Lokal Mengapa studi politik lokal diperlukan? Alasan paling praktis mengapa mempelajari politik lokal adalah karena (a) politik umumnya dan politik lokal khususnya, mempengaruhi kehidupan manusia sepanjang hari. (b) Politik lokal membuka aksesbilitas rakyat terhadap politik yang memungkinkan partisipasi aktif masyarakat dapat berlangsung. (c) Politik lokal merupakan laboratorium besar pembelajaran dalam kerangka yang lebih umum dan sensitif terhadap teori (Terry Christensen, 1995). Contorh point (c) adalah pengalaman politik lokal di Indonesia sekarang yang lebih ditekankan pada pembahasan dan orientasi pemikiran pada wacana mengenai makna kebhinekaan (pluralitas), keberpihakan pada rakyat, dan relatif lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-kultural dibanding faktor global.(Nico L. Kana dkk. (Ed.), “Pluralitas Dalam Perspektif Lokal, Dinamika Politik Lokal Indonesia”, 2003). (d) politik lokal juga menjadi penting karena ia berangkat dari premis dasar mengenai pemencaran kekuasaan – secara geografis -- sebagai salah satu tema besar dalam pergulatan teori dan filsafat politik (Leslie Lipson). Lord Acton pernah mengemukakan bahwa “Power tends to corupt, absolute power corrupts absolutely”. Guna menghindari atau menjinakan watak korup kekuasaan, maka: 1) Kekuasaan harus disebarkan. Penyebaran kekuasaan dapat dilakukan secara: geografis-vertikal, guna mengihindari terjadinya konsentrasi, monopoli dan dominasi kekuasaan pada spatial tertentu. Misalnya konsep-konsep seperti desentralisasi, dekonsentrasi, medebewind, federasi, dsbnya. fungsional-horizontal, guna menghindari konsentrasi, monopoli dan dominasi kekuasaan satu fungsi atau struktur. Misalnya konsep “Trias Politica” Montesquieu yang mengenal adanya differensiasi struktur. 2) Kekuasaan harus dibatasi : baik oleh waktu, kewenangan, dan sanksi. 3) Kekuasaan harus dikontrol : secara politis, sosial, hukum, dan fungsional. 4) Kekuasaan harus dilembagakan : dengan standarisasi nilai dan prosedur. Politik Lokal dalam Berbagai Perspektif Dalam setiap tradisi pemikiran, paradigma dan perspektif ide politik lokal mendapatkan ruang, relevansi dan perlakuan yang berbeda-beda. Dalam ilmu politik sendiri terdapat banyak perspektif, diantaranya ada 4 perspektif yang terkait dengan perumusan ide politik lokal, yaitu : I. Perspektif Pluralist Asumsi dasar: “Many things opposing monism”: Kemajemukan adalah nilai normative utama dalam politik dan menjadi dasar pengakuan eksistensi politik lokal. Pemerintah lokal adalah salah satu menifestasi konkrit dari nilai normatif kemajemukan. Argumen-argumen pokok: a) Pemikiran Terhadap Negara dan Kekuasaan Tidak setiap kawasan, kelompok atau individu mendapatkan porsi kekuasaan yang sama. Kekuasaan itu bersifat tidak tetap dan kongkrit. Sumber kekuasaan bersifat menyebar. Kebijakan publik hanya dilihat sebagai hasil input sosial lingkungan, dan negara adalah institusi yang mengkonversi tuntutan sosial menjadi kebijakan publik, seperti pada logika pemikiran teori sistem. Secara mendasar kaum pluralist menempatkan negara seperti suatu unit analisis, dimana kekuasaan berakar pada perjuangan masyarakat terhadap sumber-sumber politik (Jessap, 1990 : 281). Hakekat negara adalah : o Sebagai entitas terpatah-patah, fragmented atau disintegrated, bukan kesatuan yang koheren. o Sebagai arena perjuangan wilayah, kelompok, dan individu guna mendapatkan kekuasaan atau mengontrol sumber kekuasaan secara abash. Sebagai arena negara dirumuskan: sebagai instrumen/institusi pasif (Dunleavy and O’Leary, 1987 : 43) bersifat netral (Latham, 1952) survival seeking (Niskanen, 1973) sebagai seperangkat kelompok penekan/pressure groups (Dahl, 1961) b) Pemikiran terhadap Desentralisasi Justifikasi utama dari pemerintahan lokal adalah kebebasan, partisipasi, pendidikan politik dan sifat responsive. Kebebasan politik ditekankan oleh kaum pluralist seperti J.S Mill (1861) yang percaya bahwa pemerintah lokal melindungi hak-hak “warganegara” dan meningkatkan perlindungan dari penyalahgunaan kekuasaan. Idenya tentang kebebasan sebagai sebuah ketiadaan pengekangan harga diri diperluas ke komunitas-komunitas lokal. Seorang pluralis seperti Mill percaya bahwa pada saat perkembangannya, pemerintah lokal membantu mencegah despotisme (kelaliman). Bagi kaum pluralist, esensi kebebasan terletak pada pembagian kekuasaan (Laski, 1989:155). Pembagian kekuasaan dapat membersihkan tirani serta menghindari pemerintahan yang otokrat. Lokalitas itu sendiri disamakan oleh kaum pluralis dengan mengembangkan atau menyebarkan kekuatan politik. Ini membantu individu menggenggam kebebasan dan membagi sumberdaya politik. Kehadiran sistem pemerintahan lokal, akan mampu mengatur tendensi dan godaan otokrasi yang merusak pemerintahan yang baik (good governnance) (Widdicambe Report 1986). Justifikasi kedua bagi pemerintahan lokal adalah perannya dalam pendidikan politik baik bagi para politisi maupun kaum awam. De Tocqueville (1956:30) menekankan bahwa pemerintahan lokal memiliki pengaturan yang unik tidak hanya pada pemahaman politik tetapi juga persaudaraan. Individu diperbolehkan lebih mementingkan kepentingan sendiri dan mengembangkan diri sebagai warganegara dengan keuntungan “pembangunan” (yang berhubungan dengan pertumbuhan) untuk semangat publik. Wilson (1948) dan Madick (1963) menegaskan, pemerintahan lokal mengajarkan kemungkinan-kemungkinan, penggunaan /pemanfaatan dan resiko-resiko kekuasaan, kejelian serta kepandaian dalam banyak hal. Panter-Back (1953:347; 1954) juga berpendapat bahwa pemerintahan lokal sendiri mengajarkan 2 sifat utama demokrasi yaitu hak akan keadilan di satu pihak dan hak akan keadilan di pihak lainnya serta keharusan untuk memilih dan menentukan prioritas di antara persaingan tuntutan hak-hak tersebut. Laski (1989) dan Mackenzie (1961) menitikberatkan kepada dampak edukatif politikus dalam pemerintahan lokal. Laski mengatakan, jika para anggota parlemen, sebelum dicalonkan, diwajibkan hukum melayani (bekerja) selama 3 tahun pada lembaga lokal, mereka akan memperoleh “sentuhan” dari institusi-institusi yang diperlukan untuk sukses. Mackenzie (1961) juga berpendapat bahwa pemerintah lokal menyediakan pelatihan dasar yang berharga bagi kepemimpinan nasional. Efisiensi alokatif merupakan justifikasi lain dari pemerintahan lokal pada teori-teori pluralis modern. Sharpe (1970 : 168) berargumen bahwa dasar pembenar yang paling kuat bagi pemerintahan lokal adalah tuntutan dan kebutuhannya akan pelayanan pemberian nafkah yang efisien daripada perannya sebagai benteng demokrasi atau kebebasan. Secara singkat nilai-nilai pembenaran yang coba dikembangkan oleh kaum pluralis adalah : (1) Demokrasi Distribusi kekuasaan adalah nilai mendasar dan otoritas lokal sebagai representasi Elected Body adalah representasi kekuasaan politik yang absah (John and Stewart). - Kebebasan Politik Oleh J.S. Mill diungkapkan bahwa pemerintah lokal akan melindungi hak warganegara dari penyelahgunaan kekuasaan, menghindari despotisme, memberi kebebasan lebih besar pada individu, dan kesempatan pada individu untuk menikmati sumberdaya politik. - Partisipasi Politik Semakin dekat dengan rakyat semakin mungkin rakyat ikut menentukan kebijakan sesuai dengan fungsi jarak fisik, sosi-kultural, dan psikologis. - Kontrol Politik Semakin dekat dengan rakyat, semakin mungkin dilakukan kontrol : sesuai fungsi jarak fisik, sosi-kultural, dan psikologis. - Akuntabilitas dan Transparansi Membuat para pemegang kekuasaan lebih akuntabel dann transparan. (2) Pendidikan dan Tanggungjawab Politik - Politik lokal memberi kesempatan belajar politik, antara lain dari ancaman kekuasaan, menghindari memilih wakil yang tidak kompeten dan korup, mendekatkan isu-isu secara lebih efektif, mengaitkan pengeluaran dan pendapatan, bahkan berpikir tentang hari esok. - Politik lokal ibarat sekolah dimana kebiasaan demokratis dipelajari dan dipraktekkan, yaitu bahwa (a) the justness of one’s claims and those others, (b) the need to select from among competing claims those tahat are to be given priority. Dan bahwa politik adalah hak dan kewajiban warganegara. - Politik lokal adalah tempat dimana infrastuktur demokratis dibentuk. (3) Efisiensi dan Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pelayanan Publik - Pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan lokal, sesuai dengan fungsi ruang dan jarak fisik, sosio-kultural. - Semakin dekat dengan rakyat semakin responsive, sesuai dengan fungsi ruang dan waktu. - Semakin kecil cakupan area pelayanan dan pengelolaan pemerintahan, semakin efisien dan efektif penyelenggaraannya, sesuai dengan fungsi managemen. c) Beberapa Penilaian Argumen-argumen pluralis terhadap pemerintah lokal sebagian besar berasal dari teori demokrasi politik (Widdicambe Report, 1986). Idealisasi normatif dari sifatsifat pemerintahan lokal terbuka terhadap berbagai kritik, yakni : (1) Alasan utama pluralis akan nilai-nilai intrinsik pemerintahan lokal nampaknya mengarah ke romantisme spekulatif. Kaum modern pragmatis melihat pemerintah lokal tidak memiliki sifat-sifat instrinsik, tetapi sebagai bagian dari sistem pembebasan tugas, serta percaya bahwa pemerintahan demokratis itu sendiri tidak perlu membeda-bedakan pemerintahan menurut ruang. Dalam hal ini Whalen (1960) mengklaim bahwa pemerintah lokal merupakan bagian dari tradisi tentang penyediaan tugas-tugas pemerintah daripada pemerintahan itu sendiri. (2) Tuntutan edukatif disangkal Moulin, Sharpe dan Smith dengan memfokuskan pada pendidikan kepemimpinan politik. Argumennya adalah bahwa sedikit pemimpin nasional berasal dari daerah lokal dan nilai pengalaman politik dalam badan/lembaga lokal untuk politisi nasional tidak seharusnya dibesarbesarkan. Nilai paternalistik yang ada dan asumsi bahwa eksistensi lembaga lokal semata akan membawa semangat publik adalah tidak realistis. (3) Politik lokal memunculkan lebih sedikit ciri-ciri demokrasi seperti tingkat kehadiran yang rendah dan kedudukan yang tidak ditentang. Apalagi pengaruh yang besar sekali dari imej nasional. Metode parokial cenderung untuk membesar-besarkan otonomi daerah dan meniadakan analisa-analisa yang berpengaruh besar dari para aktor-aktor di dalam konteks yang lebih luas (Dunleavy, 1980). II. Perspektif Marxist Asumsi-asumsi dasar: 1. Bersifat determinisme kelas 2. Sentralisasi adalah alat/metode promosi kepemilikan publik dan equality. Akibatnya pemerintah lokal diabaikan meski seluruh statist dan model-model nasionalisasi telah diadopsi. (Blunkett and Jackson, 1987 : 64). 3. Tidak seperti para pluralis, Marxis menolak asumsi kekuasaan menyebar. Kaum Marxis memandang kekuasaan memusat hanya pada kelas yang berkuasa saja. Karl Marx sendiri menggambarkan pandangannya dalam ‘Manifesto Komunis’ bahwa “eksekutif dari negara modern adalah suatu komite untuk mengatur masalah-masalah umum dari kaum borjuis secara keseluruhan” (Quoted in Ham and hill, 1984 : 33). 4. Dalam sudut pandangnya tentang negara, Marxis menolak fragmented state. Bagi kalangan Marxis negara dilihat sebagai kesatuan utuh yang berfungsi melayani kepentingan kapitalist dengan menindas kepentingan kaum buruh. Kaum Marxist menolak posisi pasif dan netral negara yang dipercaya oleh kaum Pluralis. Konseptualisasi dari peranan negara memang masih menjadi sebuah isu yang kontroversial di antara para pemikir-pemikir Marxist modern. Namun setidaknya Jessap (1990:26-28) mengklasifikasikan perbedaan interprestasi negara yang ditetapkan teori-teori Marxist, dimana secara umum kaum Marxis memandang negara sebagai berikut: Institusi parasit yang memainkan peran yang tidak esensial dalam proses produksi dan reproduksi ekonomi. Epiphenomena dari sistem relasi-relasi kemakmuran. Faktor kohesif dalam masyarakat awam. Instrumen kelas berkuasa. Karenanya sudah menjadi tugas dari negara untuk menciptakan kondisi-kondisi konduktif bagi akumulasi kapital. Sistem dominasi kekuasaan. 5. Terdapat pertentangan antara teori Marxis sendiri tentang bagaimana negara dieksplorasi, yakni antara instrumentalis dengan strukturalis. Bagi instrumentalis seperti Mili Band (1969) kekuasaan negara hanya dijalankan kelompok yang secara ekonomi dominan/ berkuasa. Bagi strukturalis seperti Poulantzas (1973:294-295) negara tidak disokong oleh kepentingan-kepentingan spesifik (Offe, 1984:119), tetapi melayani golongan masyarakat kapitalis dalam jangka panjang. Dalam pandangan tersebut negara mempunyai tingkat “otonomi relatif” yang membuat konsesi terhadap kepentingan jangka pendek nonkapitalis dapat terjadi sebagai regulasi perjuangan golongan. 6. Pusat perjuangan dari kaum Marxist adalah bagaimana mentransformasi negara kapitalis. Pemerintah pusat dinilai lebih penting dalam mengubah negara kapitalis dibanding pemerintah lokal yang ditempatkan sebagai faktor sekunder. Negara lokal dinilai sebatas perluasan negara nasional (Seyd, 1987 : 137-138). 7. Politik lokal dimaknai sebagai miniatur negara nasional dan tidak dilihat sebagai entitas terpisah berdasarkan dimensi spatial dan batas-batas sosio-kultural yang melingkupi. Pemerintah (negara) adalah kesatuan perangai. Tidak ada pembedaan antara pemerintah nasional dan lokal. Ide-ide lokalitas merupakan objek dari kecurigaan dan dilihat sebagai penyamaran masalah-masalah nyata yang berakar pada konflik kelas. Sebagai contohnya, seorang ahli sosiologi, Castell lebih tertarik pada isu kekuatan-kekuatan sosial yang telah diabaikan oleh ilmuwan-ilmuwan politik dibandingkan dengan batas-batas spatial dan kultural. Untuk itu Castell menggunakan konsep “collective consumption” dan “gerakan sosial perkotaan” guna mengkritik pelayanan publik dan perencanaan kota. (Duncan and Goodwin, 1988:194). Analisis atas sektor perumahan, pendidikan dan kesejahteraan sosial membawanya pada kesimpulan mengenai peran pemerintah kota dalam proses reproduksi social yang sama seperti peran yang dijalankan negara nasional. 8. Upaya-upaya untuk memahami politik lokal sebagai entitas terpisah dilakukan oleh Cynthia Cockburn. Istilah “negara lokal” dipakai sebagai ganti pemerintah daerah. Konsep “local state” merupakan reaksi terhadap ilmuwan-ilmuwan politik ortodoks. Cockburn menyusun untuk menerapkan teori Marxis secara umum pada lokalitas. Berdasarkan argumennya pada Marx dan interprestasinya atas Althusser dan Poulantzas, Cockburn menjelaskan pemerintah lokal sebagai relatively autonomous instrument of class domination (Duncan and Goodwind, 1988:32). Point utamanya adalah placed on the “structure” contexs of “local” government. Fokus pemerintah lokal bukan pada isu mengenai organisasi, tetapi pada referensi inti teori yang diturunkan dari teori-teori Marxist mengenai negara, class relation dan policy making. Interprestasi Cockburn sendiri sama dengan kaum Marxis Klasik, bahwa negara, terlepas dari besaran dan locusnya dipelajari dalam makna sosial-ekonomi yang luas. Kesimpulannya: negara lokal “continually to reproduce the conditions within which capital accumulation can take place” (Cockburn, 1977: 51) and the local state is part of this greater whole (Cochrane and Anderson, 1989). Lambeth Borough, juga punya watak dan fungsi yang sama dalam memahami negara lokal, bahwa, “it also to say neither that it something distinc from “national state”, nor that it alone represents the state locally. It is to indicate that it is a part of whole”. 9. Beberapa Penilaian: Perhatiannya yang terlalu minim pada local government dan memberikan perhatian yang berlebihan pada struktur fundamental dari kekuatankekuatan sosial. Itu merupakan kekurangan dari analisis Marxist tentang local authorities. Penekanan yang berlebihan pada kekuatan fundamental dalam social relations. Focus perhatian yang terlalu eksklusif terhadap kekuatankekuatan sosial menjadikan masalah kekhususan dari local government is underestimated. Politik lokal tidak mendapat ruang baik pada tingkat pemikiran maupun praksis dalam tradisi Marxian ini 3. Perspektif Kanan Baru (The New Right) Asumsi-asumsi dasar: 1. Ide-ide yang digunakan dalam perspektif Kanan Baru ini dikembangkan oleh pemikirpemikir di Institute of Economic Affairs, the Center for Policy Studies and the Adam Smith Institute in U.K. Ide-ide tersebut didasarkan pada 2 komponen ideologi neo liberal, yaitu monetarism in economic dan the public choice theory in politics. (O’Leary, 1987 : 379; Rhodes, 1988 : 23). 2. Kesepakatan yang dibangun Kanan Baru adalah anti kolektivisme, anti buruh dan anti spirit kesejahteraan. Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pasar merupakan kekuatan pembawa kemakmuran lewat fungsinya sebagai alokator sumberdaya yang paling efisien dan distributor sumberdaya yang paling adil. 3. Politik lokal lebih diperlakukan sebagai entitas ekonomi: “desentralization from government to market, quasi-market, and non-governmental organization” sebagai salah satu dari dua kategori proses desentralisasi. (Bennet). 4. Dalam dimensi politik, konsensus minimal yang dibangun oleh perspektif Kanan Baru adalah anti negara : “pushing back the frontiers of the state” (Booth, 1982:197; Jessop, 1990:278), karena negara dinilai : Financially wasteful (Layfield, 1976; Jones and Stewart, 1982) Managerial inefficient (Layfield, 1976; Jones and Stewart, 1982) Politically non-supportive (Henny, 1984 : 380; Mather, 1989 : 213) Meskipun anti negara, kalangan dari Kanan Baru menyadari betul bahwa negara tidaklah mudah untuk dilikuidasi. Oleh sebab itu, negara: o o o o Harus dikontrol (Lambert, 1986 : 104; Duncan and Goodwin, 1988 : 50) Harus dibatasi (Elcock, et. al., 1989) Dilangkahi (by passed) (Sharpe, 1984 : 42, Cochrane and Massey, 1989 : 137; Gamble, 1989 : 115). Dihapuskan (Duncan and Goodwind). Untuk mengontrol, membatasi, melangkahi dan menghapuskan peran-peran negara tersebut yang harus dilakukan antara lain adalah : o o o o o Pemotongan Pajak (Lambert, 1986) Pengendalian pengeluaran negara (Jessop, 1988 : 143; Henny, 1984 : 149) Privatisasi (Ascher, 1987 : 209; Stoker, 1988 : 174) Debirokratisasi Pengalihan tanggungjawab ke civil society (komunitas) 5. Guna mewujudkan hal-hal di atas tentulah sulit sekali jika dimulai dari negara nasional. Konsekwensinya, pemerintah daerah menjadi target utama. Karena itu, perspektif ini kemudian : menempatkan politik lokal sebagai entitas politik lebih sebagai masalah daripada solusi Pemencaran kekuasaan hanya utk memperbesar ruang dan memperdalam jangkauan ekspansi pasar. Jadi bukan untuk memfasilitasi demokrasi, pendidikan & tanggng-jawab politik, serta efisiensi & efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayananRelevansi politik lokal hanya terbatas sbg alat memfasilitasi bekerjanya pasar 6. Pemencaran kekuasaan bukan untuk memfasilitasi demokrasi, pendidikan politik, tanggungjawab politik serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan, melainkan untuk memperbesar ruang dan memperdalam jangkauan ekspansi pasar. Relevansi politik lokal hanya sebatas sebagai alat untuk memfasilitasi bekerjanya pasar. 4. Perspektif Kulturalist Asumsi-asumsi dasar: 1. Pola masyarakat : Masyarakat pada dasarnya adalah majemuk, dimana setiap kelompok atau golongan masyakarat dan lokalitas adalah unik Ukuran normatif tertinggi pengelolaan kekuasaan yang dipakai oleh kalangan kulturalist adalah adanya perlakuan yang unik bagi tiap masyarakat dan lokalitas Setiap masyarakat memiliki hak atas identitas diri yang berbeda dengan lainnya dan berbeda dengan identitas nasional Menolak penyeragaman dan sentralisasi karena dinilai sebagai penyangkalan paling dasar pada nature masyarakat. Setiap masyarakat dan lokalitas memiliki hak-hak sosial, ekonomi dan kultural berhak atas identitas diri Setiap masyarakat memiliki hak atas identitas diri yang berbeda dengan lainnya dan dengan identitas nasional Perlakuan unik dan kemungkinan merealisasi hak-hak sosial, ekonomi kultural serta identitas diri hanya mungkin dicapai jika ada penerimaan dan perlindungan atas politik lokal. Politik lokal dilihat sebagai : Kesatuan nilai, kultur, customs, adat-istiadat dan sejenisnya daripada suatu konsep politik ataupun ekonomi seperti pada ketiga perspektif sebelumnya. Ruang ekspresi, persemaian dan pertautan nilai, kultur, customs, adat-istiadat dan sejenisnya. 3. Kekuasaan bersifat tersebar dan menolak penyeragaman dan sentralisasi. Karena itu penyebaran kekuasaan yang dicerminkan oleh adanya otoritas politik lokal merupakan satu-satunya kemungkinan prinsip pengelolaan kekuasaan karena: Kompatible dengan nature masyarakat yang mejemuk Menjamin keunikan masyarakat lokal Memungkinkan realisasi identitas diri Memungkinkan optimalisasi kontrol dan pemanfaatan oleh masyarakat atas kekayaan dan sumber-sumber sosial, ekonomi dan cultural Realisasi gagasan di atas dapat diwujudkan melalui: Pengakuan atas hak-hak masyarakat adat/asli baik lewat kebijakan aktif, politik pembiaran, atau politik isolasi. Akomodasi hokum adat, kebiasaan dan nilai-nilai lokal ke dalam hukum, kebiasaan dan nilai-nilai nasional. Pemberian otonomi khusus pada masyarakat lokal. Pemberlakuan hukum adat dalam penyelesaian masalah. Pemberlakuan kebijakan dan tindakan afirmatif (diskriminasi positif). Politik preservasi, misalnya melalui pengembangan pemukiman khusus. Pendekatan-Pendekatan dalam Politik Lokal Sementara itu untuk dapat lebih memahami politik lokal, terdapat beberapa pendekatan yang biasa pakai guna mempelajari politik lokal (Terry Christensen, “Local Politics: Governing at the Grassroots”, 1995) : 1) Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach) Titik beratnya pada studi institusi/lembaga dari pemerintah dan proses formal politik. Sedangkan fokus perhatiannya pada peraturan-peraturan legal formal dan konstitusikonstitusi, organizational charts, checks and balances, dan pemisahan kekuasaan. Struktur atau pendekatan kelembagaan pada politik lokal ini mencapai puncaknya sejak era pembaharuan progressif 1920-an ketika ilmuwan-ilmuwan politik melibatkan diri dalam aktivitas menemukan resep untuk men-setting pemerintah daerah yang bersih dari korupsi. Struktur-struktur yang telah ditentukan tersebut kadang-kadang bekerja seperti yang diharapkan meski lebih sering gagal untuk mengeliminasi organisasi sebagai kekuatan politik. Lembaga dan struktur sebenarnya tidak relevan. Mereka bermain pada bagian penting dari politik lokal dan butuh untuk dipahami, bukan demi kepentingannya sendiri tetapi agar secara umum politik lokal dapat dipahami. Lembaga dan struktur harus dipertajam oleh kekuatan-kekuatan luar pemerintah, seperti para pembaharu yang memperjuangkan agar organisasi atau partai politik dipelajari. 2) Pendekatan Kekuasaan (Power Approach) Fokus berpindah dari kajian atas kelembagaan formal pemerintah kepada partaipartai politik, kelompok kepentingan, dan bagaimana mereka mempengaruhi pemerintah. Konsentrasi para peneliti lebih pada politik nasional daripada politik lokal. Ahli-ahli sosiologi mengasumsikan bahwa sebenarnya kekuasaan tidak dipegang pemerintah dan pejabat-pejabat yang dipilih, melainkan pemimpinpemimpin bisnis. Tesis ini ditentang ilmuwan politik aliran traditional institutional, yang melihat studi-studi kekuasaan biasanya menyimpulkan bahwa pemerintah secara keseluruhan merupakan mayoritas jika bukan eksklusif pusat dari kekuasaan. 3) Pendekatan Ekonomi Politik (Political Economic Approach) Yang menjadi fokus kajian adalah dengan menguji hubungan antara ekonomi dan politik. Setidaknya ada 2 teori yang bisa digunakan. Pertama, Marxist theories dari konflik kelas, produksi dan konsumsi yang menggambarkan pemerintah lokal dan politik sebagai mekanisme penyelesaian ekonomi dan kepentingan kelas. Kelaskelas dan kepentingan-kepentingan tersebut tidak selalu sama atau sederajat kedudukannya, dan Marxist theories memprediksikan bahwa pemerintah lokal hampir selalu berpihak pada kepentingan para pemilik modal. Kedua, Publik Choice theory yang melihat bahwa ekonomi kapitalis sebagai salah satu model ideal untuk memahami dan memperkirakan politik lokal melalui tingkah laku individu. Thomas Dye, seorang ilmuwan politik yang mempelajari negara dan pemerintah daerah dengan karakteristik ekonominya, menemukan bahwa factor-faktor ekonomi lebih penting dibandingkan struktur politik atau partisipasi dalam menentukan kebijakan publik. Dengan kata lain apa yang dilakukan pemerintah lokal dapat dipahami bahkan diprediksikan hanya dengan mengetahui framework ekonominya. Pendekatan ekonomi politik juga mengatakan bahwa yang menjadi pusat perhatian politik lokal seharusnya adalah pembangunan ekonomi. Kritik yang ditujukan terhadap pendekatan ini adalah terlalu simple karena kadangkala penentu keputusan-keputusan ekonomi dan politik adalah irrelevant. 4) Pendekatan Teori Sistem (System Theory) Teori ini dikembangkan beberapa dekade lalu. Teori ini diadopsi dari ilmu biologi dan konsep dari ekologi, yang didasarkan pada ide dari sistem politik sebagai organisme dengan beberapa bagiannya tergantung satu sama lain dan berada pada suatu lingkungan yang besar. Struktur pemerintahan hanya salah satu bagian dari sistem. Dalam pembuatan keputusan, pemerintah dipengaruhi oleh input-input seperti dari pembicara-pembicara pada pertemuan, kelompok kepentingan dan lobbying, media, para pemilih, dan opini publik. Keputusan yang dihasilkan dalam teori sistem disebut output, yakni kebijakan-kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan itu mempengaruhi masyarakat baik secara positif maupun negatif dan menghasilkan umpan balik atau feedback. Dalam proses feedback faktor lingkungan meliputi ekonomi, sosial dan karakteristik dari masyarakat akan sangat mempengaruhi, termasuk ekonomi nasional dan tingkatan-tingkatan tertinggi dari pemerintah. Yang menjadi kelemahan dari pendekatan sistem adalah oversimplification terhadap apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan nyata. Litelatur An Schulz, Local Politics and Nation State : Case Studies in Politics and Policy, dalam Teori Desentralisasi, Kumpulan Makalah , S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah Leslie Lipson, The Great Issues of Politics (Third Edition), An Introduction to Political Science, Prentice-Hall Inc., 1981. (Chapter 10 , 11) Lee Jong-Soo, “Democracy and Decentralization : Theoretical Issues Re-Examined” dalam New Trends in Public Administration for the Asia-Pasific Region : Decentralization, Susumu Kurosawa, dkk. (Eds.), Locall Authonomy College, Tokyo, Japan, 1996. (Cahpter 13) Terry Christensen, Local Politics : Governing at the Grassroots, Wadsworth Publishing Company, 1995. (Chapter 1)