BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan multi-etnik terlihat jelas di Kelurahan Niki-Niki, Kecamatan Amanuban. Etnik Dawan yang mayoritasnya mendiami Pulau Timor pada umumnya merupakan penduduk asli mampu hidup berdampingan satu-sama lain dengan Etnik maupun suku-suku pendatang lainnya, mulai dari Etnik Tionghoa, Bugis, Sabu, Rote, Flores, Toraja, dan Jawa. Etnik masyarakat Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki sebagian besar sudah mampu berbaur, hal ini terlihat jelas dari posisi atau letak tempat tinggal mereka yang tidak berkelompok atau terkonsentrasi pada titik tertentu, selain itu disebabkan terjadinya perkawinan campuran diantara mereka yang telah kawin-mawin dengan masyarakat setempat atau Etnik pendatang lainnya, walaupun masih ada diantara masyarakat Etnik Tionghoa ini yang menikah dengan sesama Etnik mereka sendiri dengan tujuan “melestarikan” keturunan Etnik mereka sendiri. Masyarakat Etnik Tionghoa yang menetap di Kelurahan Niki-Niki pada umumnya masih menampilkan perilaku dan budaya nenek moyang mereka, misalnya cara mereka bersikap, sistem kepercayaan, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya. Dalam hal sistem kepercayaan, masyarakat Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki memeluk agama Katholik dan Protestan, dan Islam, walaupun ada sebagian dari mereka masih mempertahankan agama Khonghucu sebagai agama leluhur mereka. Demikian halnya dalam tradisi perayaan tahun 1 2 baru Cina atau biasanya disebut Imlek tetap dirayakan oleh masyarakat Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki. Tradisi imlek yang dilakukan oleh mereka seperti misalnya membakar dupa, hiong, menyediakan sesajian, mengunjungi kuburan keluarga, serta upacara sakral lainnya. Hal yang masih membedakan antara Etnik Timor dengan Etnik Tionghoa adalah letak posisi makam etnik masing-masing, makam Etnik Tionghoa terletak pada bagian utara dari desa Faunan, kampung Baru. Sedangkan makam Etnik Timor Dawan serta makam Islam terletak pada bagian selatan desa Faunan. Makam Etnik Tionghoa memang terlihat lebih mencolok baik dari segi penampilan maupun letak, dari segi penampilan makam Etnik Tionghoa lebih menonjolkan corak kebudayaan khas Tionghoa seperti penggunaan warna, bentuk bangunan serta ukiran prasasti pada makam maupun dinding makam sehingga terkesan mewah. Dari segi letak, posisi makam Etnik Tionghoa terletak bukit yang mengarah pada pertemuan lembah dan dataran tinggi. Sehingga menambah kesan artistik dan sesuai dengan petunjuk Feng Shui. Selain perbedaan letak kuburan, yang membedakan adalah budaya tegur sapa yang berlaku dikalangan Etnik Tionghoa pada umumnya, sebagai contoh panggilan Kiu kepada saudara laki-laki dari ibu, Kung panggilan kepada kakek atau ayah dari orang tua. Dalam hal penggunan identitas, Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki masih menganut penggunaan dua identitas sekaligus dalam kehidupan sosial mereka, seperti penggunaan identitas nama Indonesia dan nama Tionghoa. Penggunaan identitas ini berlaku pada saat kondisi tertentu, misalnya 3 penggunaan identitas nama Tionghia jika mereka berinteraksi dengan sesama Etnik Tionghoa atau Etnik setempat yang sudah dikenal. Etnik Tionghoa yang kini bermukim di desa Niki-niki, Nenek Moyangnya rata-rata berasal dari suku bangsa Hokkien dari Provinsi Fukkien bagian selatan, kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang. Hal ini dapat dimaklumi sebab Provinsi Fukkien merupakan daerah pertumbuhan pedagangan orang Tionghoa ke negeri seberang lautan, sehingga tidaklah mengherankan bahwa mereka sangat pandai dalam melakukan transaksi dagang, sehingga kepandaian berdagang ini terendap selama berabad-abad dalam kebudayaan suku bangsa Hokkien dan terlihat jelas dalam pada orang Tionghoa di Indonesia. Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa Etnik Timor yang mendiami Niki-niki, kecamatan Amanuban Tengah tengah dikategorikan sebagai Etnik Timor Dawan atau Orang Atoni, mereka merupakan salah satu dari enam suku bangsa atau Etnik Timor. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai petani, peternak, maupun pengrajin, hanya sedikit dari mereka yang berprofesi dibidang Pemerintahan. Etnik Tionghoa yang bermukim selama empat generasi lamanya di Niki-niki merupakan suku bangsa Hokkien dan tidaklah mengherankan, rata-rata dari mereka yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi mampu berbaur atau berasimilasi dengan masyarakat Etnik Timor Dawan, bahkan kebanyakan dari mereka telah menikah dan berkeluarga dengan Etnik setempat. Hal ini menunjukan bahwa Etnik Timor Dawan dapat menerima dan terbuka terhadap kehadiran dan proses asimilasi Etnik Tionghoa di Niki-niki, namun tidak sedikit juga diantara para Etnik Tionghoa ini yang menjadi peranakan tetap 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama keluarga, adat istiadat, arsitektur, serta lain sebagainya ditengah-tengah beragamnya lingkungan sosial mereka terutama masyarakat Etnik Timor Dawan. Peneliti sempat melakukan survey pra-penelitian yang berlangsung selama 2 hari yakni dari tanggal 26 juni sampai dengan 27 juni 2011 di kalurahan niki-niki, dalam survey pra-penelitian, peneliti sempat mewawancarai tokoh masyarakat setempat, adalah John Errence Edward Litlelnoni atau nama Tionghoanya Lie Hok Chow, pria peranakan Tionghoa-Timor generasi ke 4, kelahiran Niki-Niki 7 september 1932. Ia pernah mejabat sebagai Kepala Kelurahan Niki-Niki periode dekade 1970an. Beliau menjelaskan bahwa perkawinan campuran antara Etnik Tionghoa dengan Etnik Timor (Setempat) tidak dapat terelakan, hal ini sudah berlangsung selama puluhan bahkan ratusan tahun lalu oleh nenek moyang mereka. Adanya perkawinan campur ini asal mulanya dimulai dari kedatangan para pedagang maupun para tenaga kerja dari Tiongkok khususnya dari daerah Nanyang dan Hokkian yang bermigrasi ke pulau Timor (Sekarang Kota Kupang) dan sekitarnya, kebanyakan dari mereka yang bermigrasi hanya sebagian kecil yang membawa serta keluarga mereka sedangkan sisanya adalah para bujangan. Itu... sejak awal orang tua datang kesini mereka datang untuk berdagang lilin dan cendana. Teknik disini adalah mereka melihat siapakah tokoh masyarakat yang berpengaruh di sini, kalo bisa ia mendapatkan atau menikahi anak perempuan tokoh tersebut. Sehingga dari awal masa tersebut tidak ada masalah, karena sudah ada kawin campur. Pengaruh kawin mawin ini lebih menonjol.1 1 Wawancara dengan John Errence Edward Littlenoni (Lee Hok Chow), tanggal 26 juli 2011 di desa Niki-Niki, Kecamatan Amanuban Tengah tengah. Bealiau merupakan salah satu tokoh masyarakat Etnik Tionghoa di Niki-niki. 5 Untuk memperlancar transaksi dagang dengan tuan tanah setempat, para pedagang dari Etnik Tionghoa melakukan pendekatan dengan menikahi gadis dari tuan tanah setempat, sehingga mempermudah transaksi dagang sekaligus mempererat tali kekeluargaan dengan masyarakat setempat, namun disamping itu ada pula perkawinan dengan kaum ningrat dari kerajaan Amanuban Tengah tengah Selatan, hal ini dapat dilihat ada beberapa kaum peranakan Tionghoa setempat yang mempunyai gelar adat atau marga ningrat, seperti Nope, Nitbani, dan lainnya. Secara umum, gambaran hubungan sosial antara masyarakat Etnik Tionghoa peranakan dengan masyarakat setempat (Umumnya berasal dari mayoritas Etnik Timor) berjalan cukup baik, hal ini tidak dapat dipungkiri karena adanya perkawinan campur yang menjadi faktor utama, selain itu adanya pembinaan dari tokoh agama setempat baik Katolik, Kristen, Hindu dan Islam, sehingga unsur Etnisitas masing-masing tetap dipertahankan namun pergaulan secara sosial tetap berjalan seperti biasa. Pergantian nama pada waktu itu, saat anggota keluarga saya menjadi sekretaris daerah. Ia memikirkan jalan keluarga terbaik dalam menjawab politik ini. Maka diputuskan, marga keluarga kami Littlenoni : Lee : marga keluarga, tenoni : tempat kejadian. Sebagai alat untuk mempermudah pengenalan identitas keluarga dan mencega terjadinya kawin-mawin dengan sesama marga Lee.2 Itu tadi seperti yang saya katakan, 1 pengaruh kwin mawin, 2. Masyarakat sisni pada mereka semua memeluk agama sehingga mendapat bimbingan tiap2 agama, protestam, katholik, islam, dan toleransi bergama disini tidak ada masalah. Hal ini bisa dilihat apabila ada kedukaan, dari acara kedukaan, baik etnis apa saja, maka semua itu bergabung menjadi satu. Kalo dilihat etnis tionghoa di kerj.amanuban ini, raja disini sangat merangkul etnis Tionghoa, sehingga pas PP10, ada 79 orang cina 2 Ibid. 6 kembali/eksodus ke Cina. Ini akibat terjadinya salah perhitungan dari tokoh masyarakat setempat, sehingga mengakibatkan eksodus tersebut.3 Pada tahun 1960-an memasuki era orde baru, muncul kebijakan PP.10 dalam wujud peraturan ganti nama bagi masyarakat etnis Tionghoa sebagai bentuk asimilasi dan integrasi nasional secara total yang dilaksanakan oleh pemerintah pada waktu itu. Hal serupa juga terjadi di Niki-Niki, berdasarkan pengakuan bapak John bahwa pada waktu itu timbul perbedaan pandangan diantara kaum peranakan Tionghoa di Niki-niki yang mempermasalahkan masalah perubahan identitas mereka saat itu, akibatnya ada sejumlah kaum peranakan sekitar 79 orang saat itu memilih kembali ke Beijing dan mendapatkan kewarganegaraan dari Pemerintah RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan sisanya yakni kaum peranakan mengikuti kebijakan Pemerintah Indonesia dengan mengikuti peraturan ganti nama dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia serta mengukuti program integrasi nasional dan asimilasi. Beberapa tahun sebelumnya saat terjadi pemberontakan PKI pada tahun 1965, isu ideologi komunis sempat merambat pada citra masyarakat Tionghoa di Indonesia, tidak sedikit pula dari mereka yang menjadi korban akibat stigam ataupun isu-isu yang berhubungan dengan komunis. Namun dalam pengakuan beliau bahwa pada saat itu, pergolakan tersebut terjadi hanya sebatas di Kupang (Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur) tidak sampai merambat ke Niki-Niki, namun yang terjadi di Niki-Niki adalah penangkapan beberapa masyarakat setempat yang terlibat PKI, 3 Ibid 7 sedangkan masyarakat peranakan Tionghoa tidak mendapat kekerasan maupun penangkapan oleh aparat keamanan waktu itu. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kuatnya hubungan silahturahmi dan pengaruh kawin campur antara masyarakat Etnik Tionghoa dengan Masyarakat setempat serta juga pengaruh diplomasi Raja Amanuban Tengah tengah Selatan saat itu. Hal yang sama juga dialami oleh Pak John Errence Edward Litlelnoni atau nama Tionghoanya Lie Hok Chow, keluarganya pada saat itu mengambil inisatif dengan mengganti identitas Tionghoanya dengan identitas nasional. Uniknya, dalam pergantian identitas tersebut keluarga beliau mengkombinasikan marga mereka menjadi Litelnoni dimana adalah kombinasi dari Li (Marga Lee), Telnoni (Tempat kejadian Noni) yang mengartikan bahwa marga Lee dari tempat kejadian desa Noni, salah satu tujuan dari kombinasi marga ini adalah untuk mencegah perkawinan sedarah atau sesama klan. Bahasa yang dipakai disini, bahasa etnis sendiri hampir punah, hanya segelintir orang yang menguasai bahasa mandarin, tetapi biasanya bahasa ibu itu adalah bahasa indonesia dan didukung oleh bahasa daerah.4 Kalo dengan masyarakat sekitar, misalnya bahasa daerah bahasa timor, kalo dengan orang tertentu pake bahasa indonesia 5 Masih, jika teman masih menggunakan, kalo dengan istri sendiri juga bisa, atau masalah keluarga atau intern (pribadi)6 4 Ibid. 5 Ibid. 6 Ibid. 8 Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa dalam bidang budaya khususnya tutur kata dalam bahasa mandari dikalangan etnis Tionghoa di Niki-Niki hampir punah, sebab hanya dikuasai hanya oleh kalangan para tokoh masyarakat Tionghoa tertentu, hal lainnya disebabkan oleh hampir semua kaum peranakan di Niki-Niki mayoritasnya menggunakan bahasa daerah setempat yakni bahasa Tetun dan bahasa Indonesia. Bahasa Tetun digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama etnis Tionghoa dan masyarakat setempat, sedangkan bahasa Indonesia digunakan untuk berkomunikasi dengan kaum pendatang dari luar daerah (diluar etnis Timor). Dalam komunitas masyarakat Tionghoa pada umumnya menggunakan bahasa Mandarin jika diperlukan untuk membahas masalah-masalah yang bersifat pribadi atau keluarga dalam hal ini persoalan rumah tangga atau masalah-masalah lain yang bersifat sangat pribadi. Iya, itu untuk kaum peranakan, karena mengingat sapaan dari etnis kita sendiri dapat memudahkan orang untuk mengenal atau mengetahui identitas orang. Contoh atau umpamanya : Ku, saudara perempuan dari pada ayah. Sedangkan kiu adalah saudara laki-laki dari mama. 7 Tetap, jadi misalnya Liong, disini ada beberapa liong, jadi mereka memanggil beberpa nama seperti Liong TM, sebagai nama perusahaan misalnya Toko Timor (Disingkat TM), jadi Liong TM 8 Dalam hal yang mendasar yang membedakan tentang identitas antara etnis Tionghoa dan Pribumi (Etnis Timor) adalah budaya tegur sapa yang berlaku dalam rumah tangga tiap keluarga. Sebagai contoh, disamping itu masyarakat 7 Ibid 8 Ibid 9 setempat atau etnis Timor pada umumnya selalu menyapa setiap masyarakat etnis Tionghoa dengan memanggil nama Tionghoa dari orang tersebut dan selalu dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Tetun yang merupakan bahasa tradisional masyarakat setempat. Sebagai contoh, seorang peranakan Tionghoa bernama Benny, nama Tionghoanya Tan Lai Kim, masyarakat setempat lebih akrab memanggilnya dengan nama Ako Kim (Abang Kim : dalam bahasa Indonesia) ketimbang nama Indonesianya Benny. Selain itu, misalnya dalam Kelurahan Niki-Niki ada 3 orang yang bernama Kim, makan masyarakat setempat lebih mengkombinasikan dengan ciri khas nama merek dagang atau perusahaan, misalnya Ako Kim Sinar Sejahtera (Abang Kim Sinar Sejahtera), nama sinar sejahtera merujuk pada nama merek dagang atau nama usaha orang tersebut. Itu tergantung dari pada kesepakatan 2 pihak, cara mana yang kita pakai...misalnya nessie, dia adalah etnis asli sini (Timor) keluarga ningrat dari Amanuban, maka ada tata cara tertentu yang dipakai seperti antaran. Itu sebagai sebuah penghormatan, ia dari etnis ini maka kami harus menghormati. 9 Kalo budaya, disini ada beberpa penganut atau paham, misalnya perkawinan anatar sesama etnis maka berjasan semestinya atau seperti biasanya, misalnya etnis Tionghoa seperti antar pasalin (lamaran), bugis beda, timor beda, rote beda juga.10 Keunikan lain yang peneliti temukan dalam hal perkawinan antar etnik Tionghoa dan etnik Timor di Niki-niki, adalah penyesuaian acara perayaan 9 Ibid 10 Ibid 10 perkawinan yang menggabungkan budaya kedua etnik tersebut sekaligus dan terkesan budaya perkawinan etnik Tionghoa yang lebih mendominasi tata cara adat perkawinan tersebut, sebut saja Nessie11 yang menikahi salah seorang perempuan keturunan etnik Tionghoa di Niki-Niki, dimana dalam prosesi adat pernikahan tersebut menggabungkan dua tata cara berbeda, seperti dalam adat Timor menggunakan istilah tradisi sirih pinang yakni semacam tata cara memberi hadiah perkawinan dari pihak mempelai laki-laki kepapda keluarga perempuan, disamping itu dari pihak mempelai perempuan menggunakan tradisi selamat sopi dan antar pasalin yakni semacam prosesi acara yang berlaku pada etnik Tionghoa yang menjamu keluarga mempelai laki-laki dengan suguhan minuman anggur. Dalam proses acara ini pihak keluarga kedia belah pihak sebelumnya telah melakukan musyawarah secara intensif dan mendapatkan kata sepakat. Hal seperti ini sudah menjadi fenomena tersendiri dan berlangsung selama bertahun-tahun. Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman masyarakat baik secara Etnik, suku maupun ras. Disamping itu, setiap Etnik, suku maupun ras yang terdapat mulai dari sabang sampai merauke memiliki kebudayaan yang khas masing-masing. Etnik Cina atau yang lebih dikenal dengan Etnik Tionghoa sudah bisa dideteksi keberadaannya sejak berabad-abad yang lalu berinteraksi dengan masyarakat Indonesia, baik melalui hubungan dagang maupun diplomasi politik dengan kerajaan-kerajaan yang berada di Indonesia pada umumnya. Hubungan dagang dengan Indonesia ini telah terbina sejak abad ke 13. Selanjutnya 11 Nessie Nope, adalah salah satu putra Bangsawan dari Raja Nope, Amanuban. Ia adalah putra daerah Etnik Dawan yang menikahi salah seorang perempuan keuturunan Tionghoa di Niki-Niki pada medio Maret, tahun 2010. 11 pendatang-pendatang baru banyak yang datang pada waktu negara Cina diperintah oleh dinasti Ming (1368-1644). Pada 1412 sebuah armada Cina dibawah pimpinan Cheng Ho datang ke pulau Bangka, Biton, kepulauan Karimata , Pulau Jawa di Semarang dandi madura. (Hidayat, 1993 : 66) Disamping itu juga dapat dilihat bahwa kebanyakan dari Etnik Tionghoa yang datang merantau ke Indonesia pada umumnya berprofesi sebagai para pedagang atau pengusaha sekaligus sebagai para konektor hubungan dagang antara Indonesia dengan kerajaan-kerajaan lainnya, serta tidak dapat dipungkiri bahwa mereka dapat memainkan peran penting dalam bidang atau urat nadi kegiatan perekonomian masyarakat di Indonesia. Orang-orang Cina didaerah Asia Tenggara dapat menempatkan diri mereka dalam kehidupan masyarakat di negaranegara Asia Tenggara sebagai kelas menengah. Di Indonesia orang-orang Cina sejak permulaan merantau telah berfungsi sebagai perantara antara penduduk asli dengan para pendatang asing yang datang ke Indonesia. Para perantau Cina menempati kota-kota pantai dan hidup sebagai saudagar, pengusaha pelayaran, pengusaha bank, sebagai pedagang besar dan kecil dan ada juga sebagai artis. Hampir semu Industri dan perdagangan akhirnya berada ditangan pengusaha Cina perantauan (Hidayat, 1993 : 56). Pada umumnya Etnik Tionghoa di Indonesia sudah mampu berbaur walaupun masih dalam tahapan yang bersifat terbatas, hal ini dapat dilihat dari realitas adanya fenomena kawin campur antara paran pendatang (Etnik Tionghoa) yang pada umumnya laki-laki yang menikah dengan para perempuan pribumi atau perempuan setempat. Para pendatang Etnik Tionghoa ini seperti yang sudah 12 disebutkan diatas berprofesi sebagai para pedagang maupun pengusaha, namun tidak sedikit dari mereka bekerja sebagai buruh, kedatangan mereka tidak selalu didampingi oleh pasangan mereka atau istri masing-masing, namun ada juga dari mereka yang datang dengan membawa keluarga mereka mulai dari istri dan anakanak mereka masing-masing. Disamping itu dapat dilihat bahwa para pendatang Tionghoa atau masyarakat Tionghoa ini telah menyatu atau berbaur dengan para masyarakat pribumi, namun seiring dengan kedatangan kaum Kolonial yakni penjajahan dari Belandan dan Portugis membuat proses pembauran mereka menjadi lambat, disisi lain kehidupan para masyarakat Tionghoa yang beagi menadi dua bagian, yakni mereka yang digolongkan sebagai para pendatang lama dan para pendatang baru. Orang Cina yang telah datang ke Indonesia selama berabad-abad dan terus berdatangan hingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi sebagai tamu dalam prinsip "dimana bumi dipijak dan langit dijunjung" yang ditekankan oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat. Karena itu di masa lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin antara orangorang Cina dengan perempuan pribumi setempat telah memungkinkan berubahnya status 'tamu' menjadi kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat. Perubahan status ini telah memungkinkan berubahnya status 'tamu' menjadi orang sendiri yang dalam batas-batas tertentu telah memungkinkan 13 keturunan mereka itu juga mempunyai hak-hak atas tanah dari kelompok kerabat setempat12 Hal yang menarik disini ialah, orang-orang Cina yang datang ke Asia Tenggara ini umumnya tidak membawa keluarga mereka. Mereka kawin dengan wanita setempat, banyak yang berbaur dan menjadi satu dengan pribumi. Namun dengan datangnya orang-orang Barat menyebabkan pembauran ini tersendat. Masyarakat kolonial yang menonjolkan ras, akhirnya memisahkan orang Tionghoa dari Pribumi. Disamping itu, orang Tionghoa yang “diimpor”. Jadi, di Asia Tenggara terjadi dua kelompok yang hidup berdampingan, yaitu pendatang lama dan pendatang baru, Kebudayaan pendatang lama sudah lebih dipengaruhi oleh kultur setempat, tetapi pendatang baru lebih bersifat kecinaan. Banyak yang mengatakan bahwa pendatang bahwa pendatang lama, apa lagi yang sudah berbaur, tidak lagi berkebudayaan Konghucuisme, sedangkan pendatang baru masih dipengaruhi oleh etika Konghucuisme. (Suryadinata, 2002 : 199-200) Seiring perjalanan waktu, Etnik Tionghoa yang merupakan masyarakat pendatang telah berbaur dengan masyarakat setempat, seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa Etnik Tionghoa yang menetap bahkan sudah kawin campur dengan Etnik setempat atau masyarakat setempat akhirnya mampu berbaur menjadi satu. Namun dalam perspektif kebudayaan Etnik Tionghoa ini sendiri terdapat dua golongan utama dalam Etnik mereka, yakni kaum Totok dan kaum Peranakan. Kedua golongan tersebut memiliki perbedaan yang cukup 12 http://web.budaya-tionghoa.net/home/901-kesukubangsaan-dan-posisi-orang-cina-dalammasyarakat-majemuk-indonesia, Supadi Suparlan. 14 mendasar, baik ditinjau dari segi proses pembauran dan dialek bahasa mereka masing-masing, tidak ketinggalan juga orientasi politik kedua golongan ini bertolak belakang satu sama lain. Masyarakat Tionghoa di Indonesia bukan merupakan minoritas homogen. Dari sudut pandang kebudayaan orang Tionghoa terbagi atas peranakan dan totok. Peranakan adalah orang tionghoa yang sudah lama tingggal di Indonesia dan umunya sudah berbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan bertingkah laku seperti pribumi. Totok adalah pendatang baru, umumnya baru satu samapai dua generasi dan masih berbahasa Tionghoa. Namun dengan terhentinya Imigrasi dari daratan Tiongkok, jumlah totok sudah menurun dan keturunan totok pun telah mengalami peranakanisasi. Karena itu, generasi muda Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah menjadi peranakan, apalagi yang di pulau Jawa. (Suryadinata, 2002 : 17) Masyarakat Tionghoa dalam perkembangannya mengalami pasang surut baik dalam bidang budaya, identitas sosial, masalah ekonomi dan lain sebagai sejak masa perang kemerdekaan di Indonesia. Pada masa orde lama dalam masa kepemimpian era Soekarno, masyarakat atau Etnik Tionghoa berhadapan dengan proses integrasi nasional maupun proses asimilasi dijalankan secara permanen, mulai dari pembatasan aktifitas masyarakat Tionghoa dalam kegiatan sehari-hari, larangan mendirikan sekolah Tionghoa, serta kebijakan ganti nama yang berbau Etnik Tionghoa menjadi Indonesia, namun kebijakan terakhir ini belum sepenuhnya berjalan. Pada masa era orde baru dalam masa kepemimpinan Soeharto kebijakan asimilasi tersebut baru dilaksanakan secara penuh, bahkan 15 kegiatan perayaan Imlek, Cap Go Meh dan pawai Barongsai pun dilarang, selain itu kebijakan yakni berupa himbauan pergantian nama yang berbau Tionghoa menjadi berbau Indonesia dijalankan, klenteng dirubah menjadi vihara, dan lain sebagainya. Seiring jatuhnya rezim orde baru, pada masa era reformasi dalam kepemimpinan Habibie dan KH.Abdulrahman Wahid, masyarakat Tionghoa Indonesia bisa “menghirup udara segar” dengan diperbolehkannya perayaan Imlek, Cap Go Meh, perunjukan Barongsai, dan kegiatan-kegiatan lainnya, bahkan dalam masa kepemimpian KH.Abdulrahman Wahid ditetapkan hari libur nasional bagi perayaan Imlek, agama Konghucu diakui sebagai agama nasional. Sebetulnya, sejak awal, Indonesia tidak memberlakukan kebijakan asimilasi. Pada zaman demokrasi liberal, kebijakan pluralisme diberlakukan. Pada zaman demokrasi terpimpin, kebijakan integrasi dan asimilasi dilaksanakan secara bertahap. Mula-mula warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan mendirikan sekolahTionghoa, aktivitas orang Tionghoa asing pun mulai dibatasi. Namun, kebijakan asimilasi secara total baru diberlakukan sejak lahirnya orde baru. Tiga pilar kebudayaan Tionghoa yang saya sebut diatas dihapus sama sekali. Peraturan ganti nama diumumkan. Warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dihimbau mengganti nama tionghoanya menjadi nama yang berbau “Indonesia” (Suryadinata, 2002 : 15-16) Dalam bidang budaya, pemerintah orde baru rupanya ingin mengikis habiskebudayaan Tionghoa, bukan saja tidak mengizinkan orang mengamalkan tradisi dan adat istiadatnya secara publik, misalnya tidak boleh merayakan tahun baru imlek dan cap go meh , tidak boleh main Barongsai , semua kelenteng harus 16 diubah menjadi wihara , agama Konghucu tidak diakui , belajar bahasa Tionghoa tidak diperbolehkan, koran dan publikasi bahasa Tionghoa tidak diizinkan, hanya sebuah koran setengah Tionghoa diasuh oleh militer diizinkan terbit, dan koran ini dikenal dikalangan masyarakat Tionghoa sebagai koran iklan (Suryadinata, 2002 : 16) Identitas Etnik menunjukan tingkat keterpaduan (cohesiveness) di antara para anggota suatu kelompok Etnik (Yee dalam Rahoyo, 2010, hal 14). Ini berarti bahwa semakin tinggi kehosivitas anggota dari dari suatu kelompok Etnik maka semakin kuat pula identitas Etnik mereka; sebaliknya , kian rendahnya kohesivitas angggota suatu kelompok Etnikakan berujung pada kian lemahnya identitas Etnik mereka. Derajat keterpaduan atau kohesivitas tersebut secara konkret akan muncul dalam wujud fanatisme terhadap bahasa Etnik, upacara-upacara adat, pakaian adat, dan sebagainya; di samping juga dalam bentuk kebanggaan Etnik. Rasa bangga sebagai anggota Etnik tersebut menyangkut di antaranya persepsi (superioritas) mengenai Etniknya sendiri sekaligus persepsi (inferioritas) mengenai Etnik lain yang secara rill akan mewujud dalam kontak atau relasi sosial, baik kontak atau relasi dengan sesama Etnik maupun lintas Etnik. (Rahoyo, 2010 : 14) Menurut Liliweri (Liliweri, 2001 : 335-6) jadi istilah kelompok etnik merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Karena kekuatan yang sangat besar untuk mempertahankan superioritas etnik, dia berubah menjadi satu paham atau isme 17 sehingga superioritas etnik itu sering disebut etnosentrisme. Sedangkan Etnikistas merujuk pada penggolongan etnik berdasarkan hubungan mereka dengan obyek yang diafliliasi dalam konteks tertentu. Ada dua pendekatan terhadap identitas etnik: pendekatan objektif (struktural) dan pendekatan subjektif (fenomenologis) (Despress, 1975b; Cohen,1978; Isajiw, 1979; Royce, 1982; Phadnis, 1989). Perspektif objektif melihat sebuah kelompok etniksebagai kelompok yang bisa dibedakan lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama atau asal-usul kebangsaan. Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan Etnikitas sebagai suatu proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnik dan diidentifikasi demikian oleh orang-orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnik yang diteliti (Mulyana, 1996 : 152). Berdasarkan fakta diatas, peneliti ingin mengetahui proses dan pola komunikasi antar etnik pada Etnik Tionghoa dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki, seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik setempat serta mengungkapkan pengalaman-pengalaman Etnik Tionghoa memaknai identitas etnik mereka ditengah-tengah keberadaan mereka sebagai kaum peranakan minoritas di Kelurahan Niki-Niki yang mayoritas masyarakatnya adalah Etnik Timor. Dalam hal identitas sosial misalnya, masyarakat Etnik Tionghoa menggunakan dua identitas sekaligus yakni nama Indonesia dan nama Tionghoa, namun yang lebih dominan adalah penggunaan identitas Tionghoa 18 dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat sekitar yang sudah dikenalnya, tetapi tidak dengan masyarakat atau orang-orang baru dalam lingkungannya. Peneliti beralasan bahwa, sebagian besar Etnik Tionghoa peranakan di Kelurahan Niki-Niki yang rata-ratanya sudah kawin campur dengan Etnik setempat tetap mempertahankan identitas Ketionghoaanya. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui proses dan pola komunikasi antar etnik antara etnik Tionghoa dengan etnik setempat dalam kegiatan sehari-hari dengan sesama etnik mereka sendiri maupun dengan etnik lokal setempat, seperti apa perilaku Etnik Tionghoa ketika mereka berinteraksi dengan etnik setempat serta mengungkapkan pengalaman-pengalaman etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki dalam memaknai identitas etnik mereka. 1.2. Maksud, Kegunaan dan Tujuan Penelitian 1.2.1. Maksud Penelitian Dengan adanya penelitian ini, peneliti bermaksud untuk mengetahui secara sistematis proses dan pola komunikasi antar etnik masyarakat Etnik Tionghoa yang selama ini terjalin dengan masyarakat setempat di Kelurahan Niki-Niki, seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik setempat, serta mengungkap pengalaman-pengalaman Etnik Tionghoa di Kelurahan NikiNiki memaknai identitas etnik mereka sendiri. 19 1.2.2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan baru, baik yang berguna secara teoritis dan praktis. 1. Dari segi teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan teori komunikasi antar etnik, teori interaksi simbolik, teori identitas etnik dan teori-teori ilmu komunikasi lainnya yang berkaitan dengan makna identitas Etnik masyarakat Etnik Tionghoa dan juga sebagai tambahan informasi dan masukan bagi penelitian lanjutan dibidang ilmu sosial khususnya ilmu komunikasi. 2. Dari segi praktis hasil penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para tokoh budayawan, pemerhati ilmu sosial dan juga pengamat Etnisitas tentang makna identitas etnik dan komunikasi antar etnik. 1.2.3. Tujuan Penelitian Tujuan dengan adanya penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui proses dan pola komunikasi antar etnik masyarakat Etnik Tionghoa dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki. 2. Untuk mengetahui seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki. 20 3. Untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman masyarakat Etnik Tionghoa memaknai identitas etnik mereka. 21 1.3. Kajian Literatur 1.3.1. Penelitian Terdahulu 1. Judul : Makna Makam Etnik Tionghoa Sebagai Media Simbolik Representasi Identitas Etnik dan Penghargaan Terhadap Arwah Leluhur Uly Sophia (L2G04028) Penelitian ini bermaksud untuk menemukan penjelasan deskriptif melalui perspektif interpretif mengenai makam etnik Tionghoa yang melekat pada sistem ideologi dan sosial tertentu. Narasi identitas etnik tionghoa salah satunya terangkum pada makam. Tatanan dan sifat komunikasi simbolik yang dilaksanakan adalah berbentuk komunikasi budaya ; bersifat nonverbal-nonvokal (visual); berupa simbol yang mengandung makna dan diciptakan oleh para leluhur. Penelitian dilaksanakan dengan metode kualitatif, fenomenologi dengan analisis semiotika. Data diambil dari makam yang berada pada Blok a no 38 kab bandung. Melalui serangkaian wawancara mendalam dengan beberapa informan pokok dan informan kunci, observasi langsusng di saat upacara pemakaman etnik Tionghoa di TPU Hindu Budha Jl.Cikadut dalam kota Bandung, menghadiri perayaan ceng beng, penelaah dokumen, budaya dan instansi terkait. Temuan faktual menunjukan bahwa realitas bangunan makam etnik Tionghoa termasuk pada bentuk strategi budaya melalui presentasi etnik yang terjadi dalam proses komunikasi sosial dan direpresentasikan oleh kelompok masyarakat Tionghoa. Makam etnik Tionghoa “pesan” budaya masyarakat 22 Tionghoa, ia mewakili perasaan, gagasan, atau maksud si pemilik makam atau keluarganya. Makam sebagai salah satu bentuk ekspresi simbolik dari produk komunikasi budaya yang sarat makna. Ekspresi simbolik yang berusaha menyampaikan makna perjuangan identitas, kematian, afiliasi sosial, budaya dan ekonomi. 2. Judul : Komunikasi Lintas Budaya Antara Etnik Cina dan Etnik Aceh (Suatu Studi Terhadap Nilai Budaya, Pola Interaksi, Adaptasi dan Manipulasi Identitas Etnik Cina Dalam Masyarakat Aceh) A.Rani (L3G00024) Penelitian ini menganalisis komunikasi antar budaya anatara masyarakat cina dan orang aceh di kota banda aceh. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah sejarah kedatangan orang cina di banda aceh, nilai budaya, pola interaksi, adaptasi dan manipulasi identitas cina dilingkungan masyarakat aceh. Dalam penelitian ini digunakan teori interaksi simbolik dan dramaturgis, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan hubungan antara orang cina dengan orang aceh diawali dengan hubungan sejarah, dilomasi, kontrak kerja dan hubungan bisnis. Penelitian menunjukan orang cina banda aceh sangat mempertahankan nilai-nilai budaya mereka, seperti perayaan hari raya imlek , menggunakan bahasa suku sebagai simbol identitas etnik mereka, dan membentuk jaringan bisnis serta membentuk pola pergaulan yang bernuansa etnik. Pola interaksi yang dibentuk terstruktur melalui pemukiman bernuansa etnik mereka. Interaksi dengan 23 masyarakat aceh terjadi secara alamiah melalui pendidikan, terutama di sekolah pemerintah dan melalui interaksi bisnis. Adaptasi orang cina pada budaya aceh sangat sedikit apalagi melalui perkawinan karena dua etnik tersebut berbeda ideologi. Namun mereka dapat memahami dan menghargai budaya masingmasing, orang cina di banda aceh belum menghilangkan identitas historis dan identitas budayanya. Manipulasi identitas terjadi pada identitas lokal dan identitas nasional indonesia yaitu dengan pemakaian nama dan bahasa daerah setempat, tetapi identitas etnik secara fisik tidak dapat dimanipulaiskan karena berhubungan dengan biologis. 3. Judul : Komunikasi Antarbudaya Etnik Cina Dan Minangkabau (Studi Di Kelurahan Kampung Pondok Padang Barat Sumatra Barat) Kemala (L2G03038) Penelitian ini memfokuskan pada Etnik Cina dan Etnik Minangkabau yang memiliki dua kebudayaan berbeda satu sama lain, penelitian ini mencoba menyimak mengenai tidak adanya konflik antara kedua Etnik tersebut, sehingga memunculkan sebuah gejala yang menarik, dan pad akhirnya melalui penelitian ini ingin menemukan penyebab situasi dan kondisi tersebut. Agar dapat dijadikan percontohan dan acuan dalam berkomunikasi antar budaya etnik Cina dan etnik Pribumi lainnya, hal yang ingin dilihat diantaranya adalah bagaimana persepsi masyarakat etnik Cina terhdapa masyarakat etnik Minangkabau dan juga sebaliknya, seperti apa hambatan-hambatan dalam proses komunikasi yang dilakukan oleh kedua etnik tersebut dalam konteks komunikasi antarbudaya. 24 Peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektivitasnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Teknik yang digunakan untuk memperoleh data adalah dengan menggunakan wawancara mendalam, observasi berperan serta dan penggunaan dokumen. Informan dalam penelitian ini adalah beberapa masyarakat kelurahan Kampung Pondok Padang Barat yang dipilih secara purposif, yakni sebanayak 21 orang. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya teori interaksi simbolik, teori dramaturgis, dan komunikasi antarbudaya. Hasil penelitian ini menunjukan proses komunikasi antara masyarakat Cina dan Minangkabau di kelurahan Kampung Pondok Padang Barat diwarnai oleh berbagai bentuk pandangan, sikap dan perilaku komunikasi sesuai karakteristik yang ada pada masyarakat tersebut. Persepsi etnik Cina terhadap etnik Minangkabau umumnya tanpa prasangka dan baik. Penelitian ini menemukan pola komunikas intrabudaya yang ada pada masyarakat Cina dan Minangkabau di Kelurahan Kampung Pondok Padang Barat, yakni komunikasi melalui hubungan kerja sama melalui bisnis, sosial budaya, dan pemukiman yang telah berjalan dengan baik selama ini. 25 NO Nama Uly Sophia A. Rani Intan Kemala Peneliti 1 Judul Penelitian 2 3 4 Metode Christian J Balalembang Makna Makam Etnik Tionghoa Sebagai Media Simbolik Representasi Identitas Etnik dan Penghargaan Terhadap Arwah Leluhur Kualitatif, fenomenologi dan Teori dengan analisis yang semiotika. Teori yang diginakan, digunakan semiotika (Pierce), makna budaya dalam komunikasi, komunikasi non-verbal. Hasil Makam etnik Tionghoa Penelitian “pesan” budaya masyarakat Tionghoa, ia mewakili perasaan, gagasan, atau maksud si pemilik makam atau keluarganya. Makam sebagai salah satu bentuk ekspresi simbolik dari produk komunikasi budaya yang sarat makna. Kritik Penelitian ini cukup baik sebab ingin melihat Komunikasi Lintas Budaya Anatara Etnik Cina dan Etnik Aceh. (Suatu Studi Terhadap Nilai Budaya, Pola Interaksi, Adaptasi dan Manipulasi Identitas Etnik Cina Dalam Masyarakat Aceh) Menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teori interaksi simbolik serta dramaturgis. Orang Cina di Banda Aceh sangat mempertahankan budayanya, menggunakan bahasa suku sebagai simbol identitas etnik, manipulasi identitas lokal dan nasional berupa pergantian nama. Penelitian ini lebih berfokus pada etnik Cina peranakan, Komunikasi Antarbudaya Etnik Cina Dan Minangkabau (Studi Di Kelurahan Kampung Pondok Padang Barat Sumatra Barat) Makna Identitas Etnik Masyarakat Tionghoa (Sebuah Studi Fenomenologi Identitas Etnik Masyarakat Tionghoa di Kecamatan NikiNiki, Kabupaten Timor Tengah Selatan) Menggunakan pendekatan fenomenologis, dengan landasan teori interaksi simbolik, dramaturgis, serta komunikasi antar budaya. Menggunakan pendekatan fenomenologis, dengan landasan teori interaksi simbolik, dramaturgis, serta identitas etnik. Persepsi Etnik Cina terhadap Etnik Minangkabau berprasangka baik dan lancar, pola komunikasi intrabudaya antara Etnik Cina dan Minangkabau berjalan melalui hubungan bisnis, soaial budaya dan letak pemukiman. Penelitian ini lebih banyak memfokuskan pada persepsi 26 5 Perbandin gan dengan penelitian yang akan dilakukan bagaimana makna pesan budaya dan identitas yang terwujud dalam bentuk makam, namun yang dilewatkan adalah peneliti seharusnya menggunakan teori interaksi simbolik bagaimana penggunaan simbol-simbol lainnya seperti penempatan patung, dll. Yang menjadi perbandingan dengan topik penelitian peneliti adalah Etnik tionghoa, bahwa peneliti sebelumnya lebih memfokuskan pada makam etnik sebagai representasi identitas, sedangkan peneiti lebih memfokuskan pada Etnik Tionghoa peranakan. Persamaanya terletak pada penggunaan pendekatan fenomenologi. bukan pada Etnik Cina yang sudah kawin campur dengan Etnik lokal. antar etnik etnik dan bagaimana pola komunikasi etnik Cina dan Minangkabau. Yang dilewatkan adalah bagaimana Etnik Cina tersebut memaknai identitas mereka. Yang kan dilakukan peneliti adalah, meneliti tentang Etnik Tionghoa yang sudah kawin campur dengan Etnik Setempat, namun kesamaan tema yang diteliti adalah tentang identitas. Serta landasan teori yang emiliki banyak kesamaan dengan peneliti. Peneliti akan lebih banyak memfokuskan pada pemaknaan identitas Etnik Tionghoa, selain itu peneliti juga menggunakan pendekatan serta landasan teori yang sama dengan peneliti sebelumnya yakni fenomenologi dan teori interaksi simbolik. Tabel 1. Matriks Perbandingan Penelitian Terdahulu 27 1.3.2. Tinjauan Pustaka 1.3.2.1. Komunikasi Antaretnik Kelompok etnik merupakan sekumpulan orang yang memiliki ciri “kebudayaan” yang relatif sama sehingga kebudayaan itu menjadi panutan para anggota kelompoknya. Saya memberikan tanda petik pada kebudayaan untuk mengatakan bahwa pengertian etnik sepandan dengan dengan kelompok agama, suku bangsa, organisasi sosial dan politik. Hanya karena para anggotanya memiliki nilai-nilai budaya yang sama sehingga tertutup bagi orang lain (Liliweri, 2001 : 334) Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa komunikasi antarpribadi komunikasi kelompok yang terjadi antara kelompok-kelompok agama (antara orang Protestan dengan orang Katolik), suku (antara orang Flores dan Rote), ras (anatara orang Tionghoa dan Arab), dan golongan (antara pemilik kekuasaan dan yang dikuasai) dapat dikategorikan pula sebagai komunikasi antaretnik. (Liliweri, 2009 : 203) 1.3.2.2. Identitas Etnik Perjalanan hidup setiap insan manusia tidak pernah terlepaskan dari lingkungan sosial disekitarnya, yakni lingkungan budaya khususnya lingkungan etnik atau multi etnik. Dengan adanya perbedaan-perbedaan secara etnik dalam pergaulan sosial tidak seharusnya melepaskan identitas etniknya meskipun antara kedua etnik atau lebih yang hidup secara berdampingan didalam suatu lingkungan sosial atau masyarakat yang berbeda budaya tentunya. Akan tetapi keharmonisan 28 dan hubungan antaretnik merupakan sebuah keharusan guna kehidupan berjalan lancar dan seimbang. Disisi lain tidak ada suatu budaya pun yang tidak terpengaruhi oleh sebuah budaya lain. Demikian halnya budaya minoritas atau budaya pendatang. Dan selanjutnya budaya minoritas terpengaruhi oleh budaya dominan yang diakibat dari tekanan-tekanan lingkungan disekitar budaya itu sendiri. Barth mempunyai dua pandangan terhadap identitas budaya : pertama, Batas-batas budaya dapat bertahan walaupun suku-suku tersebut saling berbaur. Dengan kata lain adanya perbedaan antaretnik tidak ditentukan oleh tidak terjadinya permbauran, kontak dan pertukaran informasi, namun lebih disebabkan oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan dan penyatuan, sehingga perbedaan kategori tetap dipertahankan walaupun terjadi pertukaran peran serta keanggotaan diantara unit-unit etnik dalam perjalanan hidup seseorang. Kedua, dapat ditemukan hubungan sosial yang mantap, bertahan lama, dan penting anatara kedua kelompok etnik yang berbeda, yang biasanya terjadi karena adanya status etnik yang terpecah dua (terdikotomi). Dengan kata lain, ciri masingmasing kelompok etnik yang berbeda tersebut tidak ditentukan oleh tidak adanya interaksi dan penerimaan sosial, tetapi sebaliknya justru karena disadari oleh terbentuknya sistem sosial tertentu. (Barth,1988 : 10) Dengan kata lain dalam pandangan Barth bahwa kelompok etnik itu ditentukan melalui batas-batas serta memiliki sifat khas yang ditentukan oleh kelompok itu sendiri yang kemudian membentuk pola-polanya sendiri. Disamping 29 itu batasan budaya dapat bertahan walaupun diantara dua etnik dapat berbaur. Dengan adanya perbedaan etnik dalam suatu lingkungan masyarakat lebih disebabkan adanya sebuah proses berupa pemisahan dan penyatuan sehingga perbedaan tersebut dapat dipertahankan dalam perjalanan hidup seorang indvidu. Selain itu adanya hubungan sosial dalam masyarakat yang terjalin begitu lama dalam masyarakat yang begitu lama dan berjalan sedemikian rupa dalam masyarakat yang multi etniknya biasanya terjadi lebih disebabkan adanya status etnik. Menurut Narroll (dalam Liliweri, 2001 : 335), kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang : (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk kebudayaan; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri ; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Sedangkan menurut Alo Liliweri (Liliweri, 2001 : 335-6) jadi istilah kelompok etnik merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Karena kekuatan yang sangat besar untuk mempertahankan superioritas etnik, dia berubah menjadi satu paham atau isme sehingga superioritas etnik itu sering disebut etnosentrisme. Sedangkan Etnikistas merujuk pada penggolongan etnik berdasarkan hubungan mereka dengan obyek yang diafliliasi dalam konteks tertentu. 30 Setiap etnik secara biologis dapat berkembang dan bertahan serta mempunyai nilai-nilai budaya dan nilai moral sehingga menjadi ciri khas dari etnik tersebut. Demikian halnya setiap etnik ditandai dengan sistem komunikasi dan berinteraksi sekaligus ciri kelompok etnik tersebut dapat diterima dan dapat dibedakan dengan kelompok lain. Setiap etnik tersebut dapat diterima dan dapat dibedakan dengan kelompok lain. Setiap etnik dalam masyarakat yang telah mapan batasan etnik sangat jelas sehingga interaksi antaretnik ditandai dengan sistem sosial yang telah disepakati. Secara eksplisit teori Barth merupakan pengambangan dari teori Goffman yaitu dalam pengambangan diri dan penyesuaian diri dalam masyarakat. Menurut teori Goffman manusia dianggap sebagai makluk yang kreatif dan berubah-ubah sesuai dengan keinginan dan kondisi disekelilinginya serta menurut keinginannya. Sedangkan menurut teori Barth dalam masyarakat pun saling berbeda budayadan etnik akan tetapi penyatuan dan pemisahan berdasarkan proses yang terus berlangsung dalam masyarakat. Teori Goffman menyebutkan manusia dapat menampilkan dirinya berubah-ubah berdasarkan makna. Sedangkan teori Barth dalam suatu kelompok dapat mempertahankan identitasnyasementara anggotanya berinteraksi dengan masyarakat lainnya sehingga kriteria dan batasan dari suatu masyarakat guna menjalin hubungan dan menjaga keharmonisan dalam masyarakat. (Rani, 2004 : 8) Bila sebuah kelompok tetap mempertahankan identitasnya sementara anggota lainnya berinteraksi dengan kelompok lain, hal ini menandakan adanya suatu kriteria untuk menentukan keangggotaan dalam kelompok tersebut dan ini 31 merupakan cara untuk menandakan mana anggota kelompoknya dan mana yang bukan. Kelompok etnik bukan semata-mata ditentukan oleh wilayah yang didudukinya ; berbagai cara digunakan untuk mempertahankan kelompok ini, bukan dengan cara sekali mendapatkan untuk seterusnya, tetapi dengan pengungkapan dan pengukuhan yang terus menerus (Barth, 1988 : 16) Ada dua pendekatan terhadap identitas etnik: pendekatan objektif (struktural) dan pendekatan subjektif (fenomenologis) (Despress, 1975b; Cohen,1978; Isajiw, 1979; Royce, 1982; Phadnis, 1989). Perspektif objektif melihat sebuah kelompok etniksebagai kelompok yang bisa dibedakan lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama atau asal-usul kebangsaan. Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan Etnikitas sebagai suatu proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnik dan diidentifikasi demikian oleh orang-orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnik yang diteliti (Mulyana, 1996 : 152). Menurut Lisa Orr (Dalam liliweri, 2003 : 73) menegaskan bahwa untuk mengetahui identitas orang lain-pada awal berkomunikasi-merupakan pertanyaan yang paling sulit, apalagikalau kita berkeinginan mengetahui kebudayaan otentik dari orang itu. Berarti manusia umumnyatidak suka mengenal identitas seseorang hanya sepotong-sepotong karena identitas budaya merupakan cultiral totalization. Dan totalitas kebudayaan itu tidak selalu kelihatan, dia selalu bersembunyi di balik konteks multikultural. Akibatnya, dalam cara yang sederhana orang mereka- 32 reka ciri khas (tubuh, warna rambut, tampilan wajah, tampilan fisik tubuh, bahasa pakaian, dan makanan), batas-batas, faktor utama penentu sebuah kebudayaan. Dengan kata lain, di manakah letak batas-batas identitas antarbudaya. 1.3.2.3. Teori Interaksi Simbolik Interaksionesme simbolik (IS) adalah nama yang diberikan kepada salah satu teori tindakan yang paling terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah pernyataan-pernyataan seperti “definisi situasi”, “realitas dimata pemiliknya”, dan “jika orang mendifenisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam konsekuensinya”, menjadi relevan. Meski agak berlebihan, nama IS itu jelas menunjukan jenis-jenis aktivitas manusia yang unsur0unsurnya memandang penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial. Menurut ahli teori IS, kehidupan sosial secara harafiah adalah “interaksi manusia melalui penggunaan simbol-simbol.” IS tertarik pada (Jones, 2010 : 142) : 1. Cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkapakan apa yang mereka maksud, dan untuk berkomunikasi satu sam lain (Suatu minat interpretif yang ortodoks) 2. Akibat interpretasi atas simbol-simbol terhadap kelakuan pihak-pihak yang terlibat selama interaksi sosial. Para interaksionis sosial atau yang melakukan penelitian teori interaksionisme memperoleh pengetahuan bahwa orang-orang dibentuk melalui komunikasi. Di sana terdapat aumsi bahwa sosial dan tindakan kolektif terjadi ketika komunikator paham dan bernegosiasi tentang pemaknaan orang lain. 33 Perkembangan secara interdisiplin, interaksi simbolik mengalami perubahan dari cara individu, kelompok, dan masyarakat dianalisis. (Ardianto, 2011 : 158-9) Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer mengintegrasikan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisan- tulisannya, terutama pada tahun 1950-an dan 1960-an, diperkaya dengan gagasangagasan dari John Dewey, William I.Thomas, dan Charles H. Cooley. Selain Blumer terdapat ilmuwan-ilmuwan lain yang memberi andil pada pengembangan teori interaksi simbolik, seperti Manford H. Kuhn, Howard S. Becker, Norman K.Denzin, Arnold Rose, Gregory Stone, Anselm Strauss, Jerome Manis, Bernard Meltzer, Alfred Lindensmith, dan Tamotsu Shibutani, seraya memanfaatkan pemikiran ilmuwan lain yang relevan, seperti Georg Simmel atau Kenneth Burke. Hal itu mereka lakuka lewat interpretasi dan penelitian-penelitian mereka untuk menerapkan konsep-konsep dalam teori Mead tersebut. (Mulyana, 2008 : 68) Pada prinsipnya interaksi simbolik lebih menitik beratkan pada aktifitas manusia yang meliputi petrukaran simbol-simbol atau aktifitas komunikasi yang diberi makna, disamping itu juga perspektif ini juga banyak memberikan ilham bagi beberpata teori diantaranya teori penjulukan (Labeling Theory), perspektif drama turgis daari Erving Goffman, dan etnometodologi. Disamping itu, ada mazhab yang menganut perspetif interaksioneime simbolik, dimana mazhab Iiwa lebih menekankan pada metoda yang bersifat positivstik disetiap kajian-kajian yang dilakukan seperti menemukan hukum-hukum universal tentang perilaku 34 manusia yang dapat diuji secara empiris. Berbeda dengan mazhab Iowa, mazhab Chicago lebih menekankan pada pendekatan yang bersifat humanistik. Interaksionisme simbolik juga telah mengilhami perspektif-perspektif lain, seperti “Teori Penjulukan” (Labeling Theory) dalam studi tentang penyimpangan perilaku (Deviance), perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, dan etnometodologi dari Harlod Garfinkel. Ketiga pendekatan tersebut dapat dianggap varian-varian interaksionisme simbolik, selain interaksionisme simbolik Mazhab Iowa yang dikembangkan Manford H.Kuhn. Mazhab Iowa menggunakan metode saintifik (positivistik) dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukumhukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat siuji secara empiris, sementara mazhab Chicago menggunakan pendekatan humanistik. Meskipun Kuhn tidak menolak sama sekali studi tentang studi tentang aspek-aspek tersembunyi mengenai perilaku manusia, ia menyarankan penggunaan instrumen objektif untuk mengukur perilaku terbuka, yang ia maksudkan juga untuk mengukur gagasan-gagasan Mead. Sayangnya gagasan-gagasan Kuhn tidak mendapatkan banyak pendukung, setidaknya di kalangan penganut Teori Mead. (Mulyana, 2008 : 68-69) Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruhyang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Penganut interaksionisme 35 simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia disekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural. Alaih-alih, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.(Mulyana, 2008 : 71) Dalam pandangan teori interaksi simbolik, pada intinya teori ini lebih memfokuskan pada bagaimana manausia menggunakan simbol-simbol yang mereka ciptakan melalui hasil atau proses pertukaran simbol-simbol sebagai representasi yang ingin dilakukan manusia untuk berkomunikasi satu sama lainnya, jadi pada dasarnya interaksi simbolik menjelaskan bahwa kehidupan sosial ini adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. George Herbert Mead membuat tiga konsep pemikiran tentang teori interaksi simbolik, diantaranya Mind, The Self, dan Others. Tiga konsep pemikiran Goerge Herbert Mead dalam interaksi simbolik yakni : Human Though(Mind,) Social Interaction (The Self & Others) (Miller, 2002 : 51) : 1. Mind (Pikiran) : Pikiran bukanlah sebuah benda , tetapi merupakan sebuah proses. Hal ini tidak lebih dari sekedar berinteraksi dengan diri anda sendiri. Kemampuan ini yang berkembang sejalan dengan diri, sangat penting bagi kehidupan manusia karena merupakan bagian dari setiap tindakan manusia. Berpikir melibatkan keraguan (menunda tindakah yang jelas) ketika anda 36 menafsirkan situasi. Disini anda berpikir melalui situasi dan merencanakan tindakan selanjutnya. (Littlejohn & Foss, 2009 : 235) 2. The Self (Diri) : Anda memiliki diri karena anda dapat merespons kepada diri anda sendiri sebagai sebuah objek. Kadang-kadang, anda bereaksi dengan baik pada diri anda serta merasakan kebanggaan, kebahagiaan, dan keberanian. Cara utama anda dapat melihat diri anda sendiri adalah melalui sebagaimana orang lain melihat anda melalui pengambilan peran atau menggunakan sudut pandang orang lain dan inilah yang menyebabkan anda memiliki konsep diri. Istilah untuk konsep diri adalah refleksi umum (Generalized Others) Diri sendiri memiliki dua segi yakni I dan Me. I adalah bagian diri anda yang menurut kata hati, tidak teratur, tidak terarah, dan tidak dapat ditebak. Me adalah refleksi umum orang lain yag terbentuk dari pola-pola yang teratur dan tetap, yang dibagi dengan orang lain. Setiap tindakan dimulai dari I dorongan dan selanjutnya dikendalikan oleh Me. (Littlejohn & Foss, 2009 : 234) 3. Society (Masyarakat) : masyarakat atau kehidupan kelompok terdiri atas perilaku-perilaku kooperatif anggota-anggotanya. Kerja sama manusia mengharuskan kita untuk memahamimaksud orang lain yang juga mengharuskan kita untuk mengetahui apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Jadi kerja sama terdiri dari ”membaca” tindakan dan maksud orang lain serta menanggapinya dengan cara yang tepat. (Littlejohn & Foss, 2009 : 233) 37 1.3.2.4. Teori Dramaturgi Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “The Presentation of Self in Everyday Life”, memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan teateris. Banyak ahli mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini berada di antara tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi. Dalam konsep ini, Goffman memfokuskan pada ungkapan-ungkapan yang tersirat, yakni suatu ungkapan yang lebih bersifat teateris, kontekstual, non-verbal, dan tidak bersifat intensional.(Sudikin, 2002 : 103). Dalam analisis ini, orang akan berusaha memahami makna untuk mendapatkan kesan dari berbagai tindakan orang lain, baik yang dipancarkan dari mimik wajah, isyarat dan kualitas tindakan. Semua itu, menurut Goffman mempunyai keakuratan yang lebih dibandingkan dengan ungkapan verbal (Sudikin, 2002 : 103). Teori ini pada intinya ingin memahami sebuah makna serta juga mendapatkan kesan dari tindakan yang dilakukan oleh seorang individu baik dalam bentuk isyarat tertentu seperti mimik wajah, bahasa tubuh, dan kualitas tindakan yang ditunjukan, selain itu Erving Goffman menjelaskan bahwa disaat individu-individu berinteraksi sebenarnya mereka mencoba menyajikan atau merepresentasikan self image yang akan diterima oleh orang lain sebagai bentuk pengelolaan kesan atau biasanya disebut impression management. Semuanya termasuk dalam bentuk atribut digunakan untuk presentasi diri termasuk busana, hunian, cara kita berbicara dan berjalan, serta lain sebagainya. 38 Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upya itu sebagai “pengelolaan kesan”(impression management), yakni teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Goffman, kebanyakan atribut, milik atau aktivitas manusia digunakan untuk presentasi diri ini, termasuk busana yang kita pakai, tempat kita tinggal, rumah yang kita huni, cara kita melengkapinya (furnitur dan perabotan rumah), cara kita berjalan dan berbicara, pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita menghabiskan waktu luang kita. Memang segala sesuatu yang terbuka mengenai diri kita sendiri dapat digunakan untuk memberitahu orang lain siapa kita. Kita melakukan hal itu dari situasi ke situasi. (Mulyana, 2008 : 112). Perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas panggung, yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran sosial tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku non-verbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian, dan aksesori lainnya, yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar ia tidak keseleo lidah, menjaga kendali-diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi (Mulyana, 2008 : 114). 39 Erving Goffman menjelaskan bahwa dalam perspektif drama turgi, kehidupan ini diibaratkan dalam sebuah pentas teater, dimana interaksi sosial diibaratkan sebagai pertunjukan diatas panggung sedangkan pera aktor tersebut memainkan perannya masing-masing dengan menggunakan bahasa verbal dan non-verbal. Disamping itu pula, Goffman menyebutkan bahwa terdapat dua panggung yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage), dimana panggung depan menjelaskan tentang situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukan, sedangkan panggung belakang berisi tentang semua rahasia pertunjukan yang akan ditampilkan oleh aktor, sehingga rahasia ini tidak diketahui oleh publik atau para penonton. Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian : front pribadi (personal front), dan setting, yakni situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus melakukan pertunjukan. Tanpa setting, aktor biasanya tidak dapat melakukan pertunjukan. Misalnya, seorang dokter bedah memerlukan ruang operasi, seorang supir taksi memerlukan kendaraan, dan seorang pemain sepak bola memerlukan lapangan bola. Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor kedalam setting. Misalnya, dokter diharapkan mengenakan jas dokter, dengan stetoskop menggantung dilehernya; profesor diharapkan membawa buku teks berbahasa asing yang tebal-tebal ketika mengajar dikelas; dan wartawan diharapkan membawa kamera, alat perekam atau buku catatan. Personal front ini mencakup juga bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor, misalnya berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia, ciri-ciri fisik, dan 40 sebagainya. Hingga derajat tertentu semua aspek itu dapat dikendalikan aktor. Ciri yang relatif tetap seperti seperti fisik (termasuk ras) dan usia biasanya sulit disembunyikan atau diubah, namun aktor sering memanipulasinya dengan menekankannya atau melembutkannya, misalnya menghitamkan kembali rambut beruban dengan cat rambut, mencukur bulu-bulu diwajah hingga wajah menjadi klimis dan tampak lebih mudah, atau sebaliknya memelihara jenggot dan kumis untuk memberi kesan lebih berwibawa (dalam Mulyana, 2008 : 114-5). Kontras dengan panggung depan, panggung belakang memungkinkan pembicaraan dengan menggunakan kata-kata kasar atau tidak senonoh, komentarkomentar seksual yang terbuka, duduk dan berdiri dengan sembrono, merokok, berpakaian seenaknya, menggunakan dialek atau bahasa daerah, mengomel, berteriak, bertindak agresif dan berolok-olok, bersenandung, bersiul, mengunyah permen karet, menggerumis, bersendawa atau kentut. Panggung belakang biasanya berbatasan dengan panggung depan, tetapi bersembunyi dari pandangan khalayak. Ini dimaksudkan untuk melindungi rahasia pertunjukan, dan oleh karena itu, khalayak biasanya tidak diizinkan memasuki panggung belakang, kecuali dalam keadaan darurat. Suatu pertunjukan akan sulit dilakukan bila aktor membiarkan khalayak berada dipanggung belakang. (dalam Mulyana, 2008 : 115). 41 1.3.2.5. Komunikasi Verbal dan Non-Verbal. 1.3.2.5.1. Komunikasi Verbal Komunikasi verbal merujuk kepada proses komunikasi dengan menggunakan pesan verbal (lisan atau tulisan), atau proses penyampaian pesan menggunakan kata-kata (Anugrah dan Kresnowiati, 2007 : 67).Sedangkan menurut Deddy Mulyana, Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol , dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dam dipahami suatu komunitas. (Mulyana, 2009 : 260). Menurut Alo Liliweri, pada hakikatnya bahasa berhubungan langsung dengan persepsi manusia, dan menggambarkan bagaimana ia menciptakan dunia dan mewarnainya dengan simbol-simbol yang digunakannya. Apa yang dikatakannya seseorang, bagaimana cara mengatakan atau mengucapkannya sangat dipengaruhi oleh apa yang dilihatnya dalam dunia nyata. (Liliweri, 1994 : 2) Selanjutnya, untuk kepentingan komunikasi verbal, bahasa dipandang sebagai suatu wahana penggunaan tanda-tanda atau simbol-simbol untuk menjelaskan suatu konsep tertentu. Bahasa memiliki kekayaan simbolisasi verbal dan dipandang sebagai upaya manusia : (1) mendayagunakan informasi yang bersumber dari persepsi manusia; (2) medium untuk berkomunikasi secara santun dengan diri sendiri maupun dengan orang lain (Liliweri, 1994 : 2) 42 Kemudian Jalaluddin Rakhmat (Rakmat, 1994 : 268-9), mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan „dimiliki bersama‟, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti. L. Barker (dalam Mulyana, 2009 : 266-7) mengatakan bahwa bahasa mempunyai tiga fungsi, yaitu : penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. 1. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. 2. dapat Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. 3. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai fungsi transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. 43 1.3.2.5.2. Komunikasi Non-Verbal Komunikasi nonverbal adalah kumpulan isyarat, gerakan tubuh, sikap dan sebagainya yang memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi tanpa menggunakan kata-kata (Anugrah dan Kresnowiati, 2007 : 57). Sedangkan menurut Deddy Mulyana, secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan individu , yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima.; jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain (dalam Mulyana, 2009 : 343). Menurut Alo Liliweri, komunikasi nonverbal acapkali dipergunakan untuk menggambarkan perasaan, emosi. Jika pesan yang anda terima melalui sistem verbal tidak menunjukan kekuatan pesan maka anda dapat menerima tanda-tanda nonverbal lainnya sebagai pendukung, selain itu menurut Liliweri budaya dinyatakan dalam gaya interaksiverbal dan nonverbal; misalnya melalui pepatah dan ungkapan, pranata sosial, upacara, ceritera, agama bahkan politik (Liliweri, 1994 : 89). 44 Mark L. Knapp ( dalam Rakhmat, 1994 : 287) menyebut lima fungsi pesan nonverbal, yaitu : 1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. 2. Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. 3. Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain terhadap pesan verbal. 4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. 5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. 45 Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini memfokuskan pada masyarakat Etnik Tionghoa di kelurahan Niki-Niki, Kecamatan Amanuban Selatan. Masyarakat Etnik Tionghoa yang dimaksud adalah mereka sebagai kaum peranakan Etnik Tionghoa yang merupakan hasil kawin campur dan sudah berbaur dengan Etnik lokal setempat selama puluhan tahun lamanya. Dalam masyaratak Etnik Tionghoa peranakan ini, terdapat realitas sosial dalam wujud kebudayaan seperti adat istiadat, arsitektur, sistem kepercayaan, bahasa. Selain itu pula terdapat identitas sosial yang mereka miliki, serta terjadinya interaksi sosial baik diantara sesama Etnik Tionghoa itu sendiri dan juga antara Etnik Tionghoa dengan Etnik lainnya khususnya Etnik Timor Dawan. Dalam penelitian ini ada beberapa teori dan pendekatan yang digunakan untuk mengungkapkan realitas sosial ini, perspektif fenomenologi Schutz mencoba mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Dan fenomenologi juga mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, adalah bagaimana Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki memaknai identitas etnik mereka melalui pengalaman-pengalaman yang dialami seperti dalam kesadaran, pikiran dan tindakan mereka. Komunikasi antar etnik mengkategorikan komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok yang terjadi antara kelompok agama, suku, ras dan 46 golongan sebagai bagian dari komunikasi antar etnik. Masyarakat Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki dalam melakukan interaksinya sehari-hari baik dengan sesama Etniknya sendiri maupun dengan Etnik lainnya juga dikategorikan sebagai komunikasi antar etnik, penelitian ini ingin melihat bagaimana komunikasi antar etnik yang terjadi antara Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki dengan Etnik lainnya khususnya Etnik Timor Dawan dan dapat mengetahui bentuk pola komunikasi antar etnik yang dihasilkan. Sedangkan Identitas Etnik dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah bagaimana Etnik Tionghoa pernakan di Kelurahan Niki-Niki mengidentifikasikan identitas etniknya, bagaimana mereka menciptakan batasan-batasan etniknya secara khas mempertahankan, dan menciptakan pola-pola identitas tersebut ditengah keberagaman masyarakat Kelurahan Niki-Niki. Hal ini dapat diteliti melalui identitas sosial mereka seperti penggunaan nama, batasan fisik, sistem kepercayaan, arsitektur, adat istiadat serta norma yang berlaku. Teori Interaksi simbolik memandang bahwa dalam proses komunikasi manusia menciptakan dan menggunakan simbol-simbol yang digunakan untuk berinteraksi satu sama lainnya baik secara verbal maupun non-verbal, dalam kehidupannya sehari-hari yakni dalam konteksi komunikasi antar etnik Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki berintraksi satu sama lain menggunakan komunikasi verbal dan non-verbal, dimana dalam proses komunikasi ini mereka menciptakan simbol-simbol dan memaknai simbol yang mereka gunakan sebagai bagian dari proses interaksi atau komunikasi. Dalam kaitannya dengan teori drama turgi Erving Goffman, dalam penelitian ini ingin melihat bagaimana 47 perilaku Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki dalam komunikasi antar etniknya dengan sesama Etnik Tionghoa dan juga denga Etnik lainnya, baik pada panggung depan dan panggung belakang. Pada akhirnya melalui pendekatan fenomenologi Schutz dan teori lainnya dapat mengungkap bagaimana Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki memaknai identitas etniknya serta dari hasil ini juga dapat menggambarkan pola-pola atau model komunikasi antar etnik pada Masyarakat Etnik Tionghoa tersebut. 48 Kehidupan Multi-Etnik di Niki-Niki Etnik Tionghoa Etnik Timor Dawan Komunikasi Antar Etnik Pendekatan Fenomenologi Pengalaman Etnik Tionghoa memaknai identitas etnik dalam komunikasi antar etnik. Interaksi Simbolik Simbol verbal dan non-verbal dalam komunikasi antar etnik. Dramaturgi Perilaku Etnik Tionghoa dalam komunikasi antar etnik. Identitas Etnik Identifikasi Identitas Etnik Pola Komunikasi Antar Etnik Makna Identitas Etnik Tionghoa Gambar 1. Model Kerangka Pemikiran 49 1.4. Fokus Penelitian Penelitian ini akan memfokuskan pada masyarakat Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki khususnya mereka yang merupakan keturunan kawincampur dengan masyarakat lokal setempat maupun yang golongan peranakan, selain itu dalam penelitian ini pula peneliti akan mencoba menggali lebih jauh mengenai proses dan pola komunikasi antar etnik masyarakat etnik Tionghoa dengan etnik setempat, mengetahui seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik setempat, mengungkapkan pengalaman-pengalaman etnik Tionghoa memaknai identitas mereka sendiri. Maka muncul pertanyaan besar dalam penelitian ini, bagaimana masyarakat Etnik Tionghoa memaknai identitas etnik ketionghoaan mereka ? Pertanyaan penelitian yang akan diteliti lebih jauh dalam penelitian ini : 1. Bagaimana proses dan pola komunikasi antar etnik Etnik Tionghoa dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki ? 2. Seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki ? 3. Mengungkap seperti apa pengalaman-pengalaman etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki memaknai identitas etnik mereka ? 50 1.5. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut Thomas Lindof metode kualitatif untuk penelitian komunikasi dengan paradigma fenomenologi, etnometodologi, interaksi simbolik, etnografi dan studi kultural, sering disebut sebagai paradigma interpretif (interpretive paradigm). Sedangkan menurut Watt & Berg menjelaskan bahwa paradigma teori interaksi simbolik, fenomenologi dan etnometodologi yang mengembangkan metode kualitatif untuk penelitian komunikasi dapat mengungkapkan kontruksi realitas (reality construction). (dalam Kuswarno, 2009 : 125) Metodologi kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2007 : 4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan. Sedangkan menurut Moleong (Moleong, 2007 : 6) bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. 51 Pendekatan fenomenologi menurut Schutz (dalam Kuswarno, 2009 : 2) bahwa tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsepkonsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektif karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan aktivitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain didalamnya. 1.5.1. Subjek Penelitian Dalam penelitian ini yang akan menjadi subjek penelitian adalah semua masyarakat Etnik Tionghoa secara umum yang terdapat di seluruh Kelurahan Niki-Niki, namun semuanya belum termasuk sebagai informan penelitian. 1.5.2. Objek Penelitian Dalam penelitian ini yang akan menjadi objek penelitian adalah hal-hal yang berkaitan dengan makna identitas Etnik Tionghoa dalam komunikasi antar etnik di Kelurahan Niki-Niki. Makna identitas disini adalah bagaimana etnik Tionghoa memaknai dan mengidentifikasi identitas melalui pengalamanpengalaman mereka, bagaimana proses dan pola komunikasi antar etnik pada Etnik Tionghoa, serta seperti apa perilaku etnik Tionghoa dalam komunikasi antar etnik dengan etnik setempat. Untuk memperdalam serta mengungkapkan 52 fenomena di lapangan digunakan metode pengamatan berperan-serta (observasi partisipan), wawancara mendalam dengan para informan, serta mengumpulkan dokumentasi-dokumentasi lainnya berupa foto atau berkas yang relevan dengan penelitian ini. 1.5.3. Sumber Data dan Penentuannya Untuk dapat membuat penjelasan tentang sesuatu permasalahan secara mendalam, maka dibutuhkan informan maupun rentang waktu yang cukup. Artinya orang yang dijadikan narasumber data adalah orang yang benar-benar mewakili seluruh populasi dan mencerminkan komunitas dari keseluruhan objek penelitian. Sesuai dengan fokus perhatian dalam penelitian ini yaitu masyarakat Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki, Kelurahan Niki-Niki yang dihuni kurang lebih 1054 jiwa keturunan atau Etnik Tionghoa yang dibawahi oleh 63 kepala keluarga yang dimana rata-rata mereka merupakan keturunan dari generasi ke empat dan lima. Namun dari semua jumlah masyarakat keturunan atau Etnik Tionghoa di kelurahan Niki-Niki tidak dijadikan sebagai responden atau informan penelitian, peneliti hanya akan memilih sepuluh orang sebagai bahan informan. Dimana dalam menentukan informan atau sampel pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak melainkan sampel bertujuan (purposive sampling), penggunaan teknik sampel ini bertujuan agar menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya sertamenggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. 53 Menurut Creswell, jumlah informan dalam penelitian fenomenologi (pada penelitian positivistik disebut pengambilan sampel), juga tidak ditentukan. Faktor terpenting memilih informan adalah karena diharapkan dapat menggambarkan makna dari fenomena/peristiwa secara detail. Biasanya jumlah informan dalam penelitian fenomenologi sampai dengan sepuluh orang, dirasakan sudah cukup. (dalam Kuswarno, 2009 : 62) Adapun kriteria-kriteria informan yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut : 1. Etnik Tionghoa yang telah hidup lama di Kelurahan Niki-Niki, etnik Tionghoa yang dimaksud adalah mereka yang telah beralkulturasi dan beradaptasi dengan masyarakat setempat termasuk didalamnya adalah kaum Tionghoa peranakan maupun yang campuran, dimana merupakan keturunan kawin campur dengan etnik Timor Dawan. 2. Etnik Tionghoa yang merupakan warga asli atau kelahiran di Kelurahan Niki-Niki atau yang telah tinggal sekurang-kurangnya selama 10-20 tahun. 3. Etnik Tionghoa baik yang sudah menikah atau belum menikah. 4. Etnik Tionghoa yang dianggap cukup mengetahui seluk beluk hubungan sosial, budaya dan keluarga mereka dan bersedia dijadikan sebagai informan penelitian. 5. Etnik Tionghoa yang diantaranya juga adalah para tokoh masyarakat etnik Tionghoa. 54 1.5.4. Teknik Pengumpulan Data 1.5.4.1. Metode Observasi Partisipasi Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Observasi partisipan yang dimaksud adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan. Dengan demikian, pengamat betul-betul menyelami kehidupan objek pengamatandan bahkan tidak jarang pengamat kemudian mengambil bagian dalam kehdupan budaya mereka (Bungin, 2007 : 115-6). Dalam pengamatan partisipan ini, peneliti akan turun secara langsung dilapangan mengamati dan terlibat dalam kehidupan masyarakat Etnik Tionghoa di kelurahan Niki-Niki, bagaimana interaksi mereka dalam bentuk komunikasi antaretnik baik secara verbal dan non-verbal dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana mereka memaknai identitas Etnik mereka. Dalam hal ini, yang diamati oleh peneliti secara detail adalah bagaimana etnik Tionghoa (peranakan dan campuran) berinteraksi baik dengan sesama etniknya sendiri maupun dengan etnik Dawan dengan mengggunakan komunikasi verbal (bahasa) dan komunikasi non-verbal (gerakan tubuh, isyarat, komunikasi tanpa kata-kata, dan sebagainya). 55 Sedangkan dalam mengungkapkan makna identitas etniknya adalah peneliti mengamati bagaimana perilaku informan ketika berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa lainnya maupun dengan etnik Dawan. Pengamatan ini bertujuan menyamakan hasil temuan selama proses wawancara atau diskusi dengan informan. 1.5.4.2. Metode Wawancara Mendalam Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya-jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin, 2007 : 108). Selain menggunakan metode pengamatan berperan serta, peneliti menggunakan metode wawancara mendalam, dimana peneliti terlibat langsung dalam memperoleh informasi dari informan secara langsung dalam proses tanya jawab, dengan tujuan mendapatkan informasi atau data tambahan untuk mendukung penelitian, selain itu peneliti juga mempersiapkan kerangka-kerangka pertanyaan untuk diajukan kepada informan. Kerangka pertanyaan yang dimaksud adalah daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis, namun tidak tertutup kemungkinan saat wawancara berlangsung muncul pertanyaan lain sesuai dengan jawaban informan. Disamping itu, dalam proses wawancara ini peneliti 56 menggunakan pendekatan dengan menggunakan bahasa melayu Kupang ketika melakukan wawancara. Disamping melakukan wawancara secara formal, peneliti juga melakukan wawancara secara off the record terhadap informan untuk menggali data-data lain yang tidak didapat selama wawancara secara formal. 1.5.4.3. Metode Dokumentasi Menurut Kartono (dalam Bungin, 2007 : 121) bahwa metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodelogi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. Dengan demikian, pada penelitian sejarah, maka bahan dokumenter memegang peranan yang amat penting. Sedangkan meurut Kartodirdjo (dalam Bungin, 2007 : 122) bahwa sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cinderamata, laporan, dan sebagainya. Sifat utama dari data ini tak sebatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi diwaktu silam. Kumpulan data bentuk tulisan ini disebut dokumen dalam arti luas termasuk monumen, artefak, foto, tape, mikrofilm, disc, CD, harddisk, flashdisk, dan sebagainya. Dalam kegiatan penelitian ini, selain menggunakan metode pengamtan dan wawancara peneliti juga menggunakan metode dokumentasi sebagai bahan pelengkap data penelitian berupa foto, transkrip wawancara, atau dokumendokumen lainnya yang berhubungan dengan hasil penelitian ini. 57 1.5.5. Analisa Data Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi dan menggambarkan temuan lapangan secara utuh. Data di dalam penelitian kualitatif selalu berbentuk rangkaian kata-kata bukan angka-angka. Proses analisa data yang akan dilakukan dalam penelitian ini terdiri enam tahapan, Creswell mengemukakan teknik analisis dan representasi data yang agak berbeda untuk penelitian fenomenologi (dalam Kuswarno, 2009 : 71) : Analisis dan Representasi Penelitian Fenomenologi Data Pengolahan Data Membuat dan mengorganisasikan data. Membaca dan mengingat Membaca teks, membuat batasan-batsan catatan, data dan membuat form kode-kode inisial. Menggambarkan data Menggambarkan makna dari peristiwa untuk peneliti Mengklasifikasikan data Menemukan pernyataan-pernyataan bermakna, dan membuat daftarnya. Mengelompokkan penyataan-pernyataan yang sama ke dalam unit-unit makna tertentu. Interpretasi data Membangun deskripsi tekstural (apa yang terjadi). Membangun deskripsi struktural (bagaimana peristiwa itu dialami) Membangun deskripsi keseluruhan dari peristiwa (esensi peristiwa) Visualisasi dan presentasi Narasi esensi peristiwa, dilengkapi dengan tabel data pernyataan, dan unit-unit makna. Tabel 2. Model Teknik Analisa Data Menurut Cresswell 58 1.5.6. Uji Keabsahan Data Penelitian kualitatif menghadapi persoalanpenting mengenai pengujian keabsahan hasil penelitian. Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal ; (1) subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominandalam penelitian kualitatif, (2) alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi (apapun bentuknya) mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secar terbuka dan apalagi tanpa kontrol (dalam observasi partisipasi), (3) sumber data kualitatif yang kurang kredibel akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. (Bungin, 2007 : 254). Untuk itu, peneliti akan melakukan beberapa cara keabsahan data yakni : 1. Perpanjangan Keikutsertaan, dalam setiap penelitian kualitatif, kehadiran peneliti dalam setiap tahap penelitian kualitatif membantu peneliti untuk memahami semua data yang dihimpun dalam penelitian. Karena itu hampir dipastikan bahwa peneliti kualitatif adalah orang yang langsung melakukan wawancara dan observasi dengan informan-informannya. Karena itu peneliti kualitatif adalah peneliti yang memiliki waktu yang lama berama dengan informan dilapangan, bahkan samai kejenuhan pengumpulan data tercapai. (Bungin, 2007, hal 254-5). Sedangkan menurut Moleong (Moleong, 2007, hal 327) mengatakan apabila peneliti lebih lama dilapangan, maka ia akan membatasi; (1) ganguan dari dampak peneliti pada konteks, (2) kekeliruan (biases) peneliti, (3) mengonpensasikan 59 pengaruh dari kejadian-kejadian yang tidak biasa atau pengaruh sesaat. 2. Menemukan Siklus Kesamaan Data, tidak ada kata sepakat mengenai kapan suatu penelitian kualitatif dihentikan dalam arti kapan selesainya suatu penelitian dilakukan secara kualitatif. Ketika peneliti mengatakan bahwa setiap hari ia menemukan data baru, maka artinya ia masih terus bekerja untuk menemukan data lainnya karena informasi yang ingin diperolehnya masih banyak. Akan tetapi suatu hari ia menemukan informasi yang sama yang pernah didapatkan, begitu pula hari-hari berikutnya ia hanya memperoleh data yang pernah diberikan oleh informan sebelumnya. Dengan demikian, ia harus melakukan langkah akhir yaitu menguji keabsahan data penelitiannya dengan informasi yang baru saja ia peroleh dan apabila tetap sama maka ia sudah menemukan siklus kesamaan data atau dengan kata lain ia sudah berada di penghujung aktivitas penelitiannya. (Bungin, 2007 : 256) 3. Ketekunan Pengamatan, untuk memperoleh derajat keabsahan yang tinggi, maka jalan penting lainnya adalah dengan meningkatkan ketekunan dalam pengamatan di lapangan. Pengamatan bukanlah suatu teknik pengumpulan data yang hanya mengandalkan kemampuan pancaindra, namun juga menggunakan semua pancaindra termasuk adalah pendengaran, perasaan, dan insting peneliti. Dengan meningkatkan ketekunan pengamatan di lapangan 60 maka, derajat keabsahan data telah ditingkatkan pula. (Bungin, 2007 : 256) 4. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang dimanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. (Moleong, 2007 : 330). 5. Pengecekan melalui diskusi, diskusi dengan berbagai kalangan yang memahami masalah penelitian, akan memberi informasi yang berarti kepada peneliti, sekaligus sebagai upaya untuk menguji keabsahan hasil penelitian. Cara ini dilakukan dengan mengekspos hasil sementara dan atau hasil akhir untuk didiskusikan secara analitis. Diskusi bertujuan untuk menyingkapkan kebenaran hasil penelitian serta mencari titik-titik kekeliruan interpretasi dengan klarifikasi penafsiran dari pihak lain (Bungin, 2007 : 258) 6. Kajian Kasus Negatif, kajian kasus negatif dilakukan dengan jalan mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan dan kecendrungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding. Kajian ini dapat dilakukan dengan mengkaji suatu kegiatan penelitian lain yang gagal, umpamanya para petugas lapangan, karena kesulitan di lapangan tidak dapat menemui informan di rumah masing-masing informan, sebagai jalan keluarnya, mereka mengumpulkan informan dibalai desa dan 61 mewawancarai mereka sepuluh orang sekaligus. Karena peneliti memperoleh informasi yang sama pada wawancara berikutnya maka peneliti mengaggap bahwa sepuluh informan berikutnya lagi akan menyampaikan informasi yang sama pula, maka peneliti tidak melakukanwawancara kepada informan lagi tetapi mengisi sendiri lembaran interview itu dan meninggalkan desa tersebut (Bungin, 2007 : 258). 7. Pengecekan anggota tim, pengecekan anggota tim pada prinsipnya adalah konfirmasi langsung dengan kelompok anggota tim yang terlibat langsung pada saat penelitian dengan mengonfirmasi ikhtisar hasil wawancara. Selain itu dilakukan pengecekan silang pada kelompok lain sebagai contoh penelitian. Langkah ini dilakukan apabila peneliti bekerja dengan tim peneliti, maka langkah ini sangat dibutuhkan untuk menyatukan persepsi data tertentu yang diperoleh di lapangan oleh peneliti satu dan lainnya, sehingga data yang diperoleh tersebut memiliki tingkat keabsahan yang tinggi. Namun apabila ternyata masing-masing peneliti tidak sepakat tentang suatu informasi, maka harus dilakukan pengecekan kembali terhadap informasi tersebut untuk memperoleh kejelasan informasi (Bungin, 2007 : 259). 62 1.5.7. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kelurahan Niki-Niki yang merupakan salah satu kelurahan yang berada dibawah kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan luas wilayah yang mencapai 1200 km² ini memiliki jumlah penduduk mencapai 3032 jiwa yang tersebar dalam 700 kepala keluarga. Pemilihan lokasi ini tidak lepas dari pertimbangan peneliti bahwa di kelurahan Niki-Niki ini banyak masyarakat keturunan Etnik Tionghoa peranakan dan khususnya Tionghoa campuran yang rata-ratanya sudah kawin campur dengan masyarakat lokal setempat tetap mempertahankan identitas etnik Ketionghoaannya ditengah-tengah keberagaman masyarakat kelurahan Niki-Niki, disamping itu juga kehidupan mereka masih tradisional dan belum banyak terpengaruh gaya hidup modern, karena lokasinya yang jauh dari pusat ibu kota Kabupaten dan Provinsi. Dari keunikan ini, peneliti berharap dapat memperoleh informasi bernilai dari responden untuk penelitian ini. 63 1.5.8. Jadwal Penelitian Kegiatan Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni- Nov 2012 2012 2012 2012 2012 Okt 2012 2012 Observasi Awal Bimbingan Seminar Usulan Penelitian Revisi Hasil Seminar Penelitian dan Penulisan Sidang Tesis Tabel 3. Jadwal Penelitian