BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan multi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehidupan multi-etnik terlihat jelas di Kelurahan Niki-Niki, Kecamatan
Amanuban. Etnik Dawan yang mayoritasnya mendiami Pulau Timor pada
umumnya merupakan penduduk asli mampu hidup berdampingan satu-sama lain
dengan Etnik maupun suku-suku pendatang lainnya, mulai dari Etnik Tionghoa,
Bugis, Sabu, Rote, Flores, Toraja, dan Jawa. Etnik masyarakat Tionghoa di
Kelurahan Niki-Niki sebagian besar sudah mampu berbaur, hal ini terlihat jelas
dari posisi atau letak tempat tinggal mereka yang tidak berkelompok atau
terkonsentrasi pada titik tertentu, selain itu disebabkan terjadinya perkawinan
campuran diantara mereka yang telah kawin-mawin dengan masyarakat setempat
atau Etnik pendatang lainnya, walaupun masih ada diantara masyarakat Etnik
Tionghoa ini yang menikah dengan sesama Etnik mereka sendiri dengan tujuan
“melestarikan” keturunan Etnik mereka sendiri.
Masyarakat Etnik Tionghoa yang menetap di Kelurahan Niki-Niki pada
umumnya masih menampilkan perilaku dan budaya nenek moyang mereka,
misalnya cara mereka bersikap, sistem kepercayaan, bahasa, adat istiadat dan lain
sebagainya. Dalam hal sistem kepercayaan, masyarakat Etnik Tionghoa di
Kelurahan Niki-Niki memeluk agama Katholik dan Protestan, dan Islam,
walaupun ada sebagian dari mereka masih mempertahankan agama Khonghucu
sebagai agama leluhur mereka. Demikian halnya dalam tradisi perayaan tahun
1
2
baru Cina atau biasanya disebut Imlek tetap dirayakan oleh masyarakat Etnik
Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki. Tradisi imlek yang dilakukan oleh mereka
seperti misalnya membakar dupa, hiong, menyediakan sesajian, mengunjungi
kuburan keluarga, serta upacara sakral lainnya.
Hal yang masih membedakan antara Etnik Timor dengan Etnik Tionghoa
adalah letak posisi makam etnik masing-masing, makam Etnik Tionghoa terletak
pada bagian utara dari desa Faunan, kampung Baru. Sedangkan makam Etnik
Timor Dawan serta makam Islam terletak pada bagian selatan desa Faunan.
Makam Etnik Tionghoa memang terlihat lebih mencolok baik dari segi
penampilan maupun letak, dari segi penampilan makam Etnik Tionghoa lebih
menonjolkan corak kebudayaan khas Tionghoa seperti penggunaan warna, bentuk
bangunan serta ukiran prasasti pada makam maupun dinding makam sehingga
terkesan mewah. Dari segi letak, posisi makam Etnik Tionghoa terletak bukit
yang mengarah pada pertemuan lembah dan dataran tinggi. Sehingga menambah
kesan artistik dan sesuai dengan petunjuk Feng Shui.
Selain perbedaan letak kuburan, yang membedakan adalah budaya tegur
sapa yang berlaku dikalangan Etnik Tionghoa pada umumnya, sebagai contoh
panggilan Kiu kepada saudara laki-laki dari ibu, Kung panggilan kepada kakek
atau ayah dari orang tua. Dalam hal penggunan identitas, Etnik Tionghoa di
Kelurahan Niki-Niki masih menganut penggunaan dua identitas sekaligus dalam
kehidupan sosial mereka, seperti penggunaan identitas nama Indonesia dan nama
Tionghoa. Penggunaan identitas ini berlaku pada saat kondisi tertentu, misalnya
3
penggunaan identitas nama Tionghia jika mereka berinteraksi dengan sesama
Etnik Tionghoa atau Etnik setempat yang sudah dikenal.
Etnik Tionghoa yang kini bermukim di desa Niki-niki, Nenek Moyangnya
rata-rata berasal dari suku bangsa Hokkien dari Provinsi Fukkien bagian selatan,
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang. Hal ini dapat dimaklumi
sebab Provinsi Fukkien merupakan daerah pertumbuhan pedagangan orang
Tionghoa ke negeri seberang lautan, sehingga tidaklah mengherankan bahwa
mereka sangat pandai dalam melakukan transaksi dagang, sehingga kepandaian
berdagang ini terendap selama berabad-abad dalam kebudayaan suku bangsa
Hokkien dan terlihat jelas dalam pada orang Tionghoa di Indonesia. Walaupun
demikian, perlu diketahui bahwa Etnik Timor yang mendiami Niki-niki,
kecamatan Amanuban Tengah tengah dikategorikan sebagai Etnik Timor Dawan
atau Orang Atoni, mereka merupakan salah satu dari enam suku bangsa atau Etnik
Timor. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai petani, peternak, maupun
pengrajin, hanya sedikit dari mereka yang berprofesi dibidang Pemerintahan.
Etnik Tionghoa yang bermukim selama empat generasi lamanya di Niki-niki
merupakan suku bangsa Hokkien dan tidaklah mengherankan, rata-rata dari
mereka yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi mampu berbaur atau
berasimilasi dengan masyarakat Etnik Timor Dawan, bahkan kebanyakan dari
mereka telah menikah dan berkeluarga dengan Etnik setempat. Hal ini
menunjukan bahwa Etnik Timor Dawan dapat menerima dan terbuka terhadap
kehadiran dan proses asimilasi Etnik Tionghoa di Niki-niki, namun tidak sedikit
juga diantara para Etnik Tionghoa ini yang menjadi peranakan tetap
4
mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama
keluarga, adat istiadat, arsitektur, serta lain sebagainya ditengah-tengah
beragamnya lingkungan sosial mereka terutama masyarakat Etnik Timor Dawan.
Peneliti sempat melakukan survey pra-penelitian yang berlangsung selama 2
hari yakni dari tanggal 26 juni sampai dengan 27 juni 2011 di kalurahan niki-niki,
dalam survey pra-penelitian, peneliti sempat mewawancarai tokoh masyarakat
setempat, adalah John Errence Edward Litlelnoni atau nama Tionghoanya Lie
Hok Chow, pria peranakan Tionghoa-Timor generasi ke 4, kelahiran Niki-Niki 7
september 1932. Ia pernah mejabat sebagai Kepala Kelurahan Niki-Niki periode
dekade 1970an. Beliau menjelaskan bahwa perkawinan campuran antara Etnik
Tionghoa dengan Etnik Timor (Setempat) tidak dapat terelakan, hal ini sudah
berlangsung selama puluhan bahkan ratusan tahun lalu oleh nenek moyang
mereka. Adanya perkawinan campur ini asal mulanya dimulai dari kedatangan
para pedagang maupun para tenaga kerja dari Tiongkok khususnya dari daerah
Nanyang dan Hokkian yang bermigrasi ke pulau Timor (Sekarang Kota Kupang)
dan sekitarnya, kebanyakan dari mereka yang bermigrasi hanya sebagian kecil
yang membawa serta keluarga mereka sedangkan sisanya adalah para bujangan.
Itu... sejak awal orang tua datang kesini mereka datang untuk berdagang
lilin dan cendana. Teknik disini adalah mereka melihat siapakah tokoh
masyarakat yang berpengaruh di sini, kalo bisa ia mendapatkan atau
menikahi anak perempuan tokoh tersebut. Sehingga dari awal masa
tersebut tidak ada masalah, karena sudah ada kawin campur. Pengaruh
kawin mawin ini lebih menonjol.1
1
Wawancara dengan John Errence Edward Littlenoni (Lee Hok Chow), tanggal 26 juli 2011 di desa
Niki-Niki, Kecamatan Amanuban Tengah tengah. Bealiau merupakan salah satu tokoh masyarakat
Etnik Tionghoa di Niki-niki.
5
Untuk memperlancar transaksi dagang dengan tuan tanah setempat, para
pedagang dari Etnik Tionghoa melakukan pendekatan dengan menikahi gadis dari
tuan tanah setempat, sehingga mempermudah transaksi dagang sekaligus
mempererat tali kekeluargaan dengan masyarakat setempat, namun disamping itu
ada pula perkawinan dengan kaum ningrat dari kerajaan Amanuban Tengah
tengah Selatan, hal ini dapat dilihat ada beberapa kaum peranakan Tionghoa
setempat yang mempunyai gelar adat atau marga ningrat, seperti Nope, Nitbani,
dan lainnya. Secara umum, gambaran hubungan sosial antara masyarakat Etnik
Tionghoa peranakan dengan masyarakat setempat (Umumnya berasal dari
mayoritas Etnik Timor) berjalan cukup baik, hal ini tidak dapat dipungkiri karena
adanya perkawinan campur yang menjadi faktor utama, selain itu adanya
pembinaan dari tokoh agama setempat baik Katolik, Kristen, Hindu dan Islam,
sehingga unsur Etnisitas masing-masing tetap dipertahankan namun pergaulan
secara sosial tetap berjalan seperti biasa.
Pergantian nama pada waktu itu, saat anggota keluarga saya menjadi
sekretaris daerah. Ia memikirkan jalan keluarga terbaik dalam menjawab
politik ini. Maka diputuskan, marga keluarga kami Littlenoni : Lee : marga
keluarga, tenoni : tempat kejadian. Sebagai alat untuk mempermudah
pengenalan identitas keluarga dan mencega terjadinya kawin-mawin
dengan sesama marga Lee.2
Itu tadi seperti yang saya katakan, 1 pengaruh kwin mawin, 2. Masyarakat
sisni pada mereka semua memeluk agama sehingga mendapat bimbingan
tiap2 agama, protestam, katholik, islam, dan toleransi bergama disini tidak
ada masalah. Hal ini bisa dilihat apabila ada kedukaan, dari acara
kedukaan, baik etnis apa saja, maka semua itu bergabung menjadi satu.
Kalo dilihat etnis tionghoa di kerj.amanuban ini, raja disini sangat
merangkul etnis Tionghoa, sehingga pas PP10, ada 79 orang cina
2
Ibid.
6
kembali/eksodus ke Cina. Ini akibat terjadinya salah perhitungan dari tokoh
masyarakat setempat, sehingga mengakibatkan eksodus tersebut.3
Pada tahun 1960-an memasuki era orde baru, muncul kebijakan PP.10
dalam wujud peraturan ganti nama
bagi masyarakat etnis Tionghoa sebagai
bentuk asimilasi dan integrasi nasional secara total yang dilaksanakan oleh
pemerintah pada waktu itu. Hal serupa juga terjadi di Niki-Niki, berdasarkan
pengakuan bapak John bahwa pada waktu itu timbul perbedaan pandangan
diantara kaum peranakan Tionghoa di Niki-niki yang mempermasalahkan masalah
perubahan identitas mereka saat itu, akibatnya ada sejumlah kaum peranakan
sekitar 79 orang saat itu memilih kembali ke Beijing dan mendapatkan
kewarganegaraan dari Pemerintah RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan
sisanya yakni kaum peranakan mengikuti kebijakan Pemerintah Indonesia dengan
mengikuti peraturan ganti nama dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia
serta mengukuti program integrasi nasional dan asimilasi. Beberapa tahun
sebelumnya saat terjadi pemberontakan PKI pada tahun 1965, isu ideologi
komunis sempat merambat pada citra masyarakat Tionghoa di Indonesia, tidak
sedikit pula dari mereka yang menjadi korban akibat stigam ataupun isu-isu yang
berhubungan dengan komunis. Namun dalam pengakuan beliau bahwa pada saat
itu, pergolakan tersebut terjadi hanya sebatas di Kupang (Ibu Kota Provinsi Nusa
Tenggara Timur) tidak sampai merambat ke Niki-Niki, namun yang terjadi di
Niki-Niki adalah penangkapan beberapa masyarakat setempat yang terlibat PKI,
3
Ibid
7
sedangkan masyarakat peranakan Tionghoa tidak mendapat kekerasan maupun
penangkapan oleh aparat keamanan waktu itu.
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kuatnya hubungan silahturahmi dan
pengaruh kawin campur antara masyarakat Etnik Tionghoa dengan Masyarakat
setempat serta juga pengaruh diplomasi Raja Amanuban Tengah tengah Selatan
saat itu. Hal yang sama juga dialami oleh Pak John Errence Edward Litlelnoni
atau nama Tionghoanya Lie Hok Chow, keluarganya pada saat itu mengambil
inisatif dengan mengganti identitas Tionghoanya dengan identitas nasional.
Uniknya, dalam pergantian identitas tersebut keluarga beliau mengkombinasikan
marga mereka menjadi Litelnoni dimana adalah kombinasi dari Li (Marga Lee),
Telnoni (Tempat kejadian Noni) yang mengartikan bahwa marga Lee dari tempat
kejadian desa Noni, salah satu tujuan dari kombinasi marga ini adalah untuk
mencegah perkawinan sedarah atau sesama klan.
Bahasa yang dipakai disini, bahasa etnis sendiri hampir punah, hanya
segelintir orang yang menguasai bahasa mandarin, tetapi biasanya bahasa
ibu itu adalah bahasa indonesia dan didukung oleh bahasa daerah.4
Kalo dengan masyarakat sekitar, misalnya bahasa daerah bahasa timor,
kalo dengan orang tertentu pake bahasa indonesia 5
Masih, jika teman masih menggunakan, kalo dengan istri sendiri juga bisa,
atau masalah keluarga atau intern (pribadi)6
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Ibid.
8
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa dalam bidang budaya khususnya tutur
kata dalam bahasa mandari dikalangan etnis Tionghoa di Niki-Niki hampir punah,
sebab hanya dikuasai hanya oleh kalangan para tokoh masyarakat Tionghoa
tertentu, hal lainnya disebabkan oleh hampir semua kaum peranakan di Niki-Niki
mayoritasnya menggunakan bahasa daerah setempat yakni bahasa Tetun dan
bahasa Indonesia. Bahasa Tetun digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama
etnis Tionghoa dan masyarakat setempat, sedangkan bahasa Indonesia digunakan
untuk berkomunikasi dengan kaum pendatang dari luar daerah (diluar etnis
Timor). Dalam komunitas masyarakat Tionghoa pada umumnya menggunakan
bahasa Mandarin jika diperlukan untuk membahas masalah-masalah yang bersifat
pribadi atau keluarga dalam hal ini persoalan rumah tangga atau masalah-masalah
lain yang bersifat sangat pribadi.
Iya, itu untuk kaum peranakan, karena mengingat sapaan dari etnis kita sendiri
dapat memudahkan orang untuk mengenal atau mengetahui identitas orang.
Contoh atau umpamanya : Ku, saudara perempuan dari pada ayah. Sedangkan
kiu adalah saudara laki-laki dari mama. 7
Tetap, jadi misalnya Liong, disini ada beberapa liong, jadi mereka memanggil
beberpa nama seperti Liong TM, sebagai nama perusahaan misalnya Toko Timor
(Disingkat TM), jadi Liong TM 8
Dalam hal yang mendasar yang membedakan tentang identitas antara etnis
Tionghoa dan Pribumi (Etnis Timor) adalah budaya tegur sapa yang berlaku
dalam rumah tangga tiap keluarga. Sebagai contoh, disamping itu masyarakat
7
Ibid
8
Ibid
9
setempat atau etnis Timor pada umumnya selalu menyapa setiap masyarakat etnis
Tionghoa dengan memanggil nama Tionghoa dari orang tersebut dan selalu dalam
berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Tetun yang merupakan bahasa
tradisional masyarakat setempat. Sebagai contoh, seorang peranakan Tionghoa
bernama Benny, nama Tionghoanya Tan Lai Kim, masyarakat setempat lebih
akrab memanggilnya dengan nama Ako Kim (Abang Kim : dalam bahasa
Indonesia) ketimbang nama Indonesianya Benny. Selain itu, misalnya dalam
Kelurahan Niki-Niki ada 3 orang
yang bernama Kim, makan masyarakat
setempat lebih mengkombinasikan dengan ciri khas nama merek dagang atau
perusahaan, misalnya Ako Kim Sinar Sejahtera (Abang Kim Sinar Sejahtera),
nama sinar sejahtera merujuk pada nama merek dagang atau nama usaha orang
tersebut.
Itu tergantung dari pada kesepakatan 2 pihak, cara mana yang kita
pakai...misalnya nessie, dia adalah etnis asli sini (Timor) keluarga ningrat
dari Amanuban, maka ada tata cara tertentu yang dipakai seperti antaran.
Itu sebagai sebuah penghormatan, ia dari etnis ini maka kami harus
menghormati. 9
Kalo budaya, disini ada beberpa penganut atau paham, misalnya
perkawinan anatar sesama etnis maka berjasan semestinya atau seperti
biasanya, misalnya etnis Tionghoa seperti antar pasalin (lamaran), bugis
beda, timor beda, rote beda juga.10
Keunikan lain yang peneliti temukan dalam hal perkawinan antar etnik
Tionghoa dan etnik Timor di Niki-niki, adalah penyesuaian acara perayaan
9
Ibid
10
Ibid
10
perkawinan yang menggabungkan budaya kedua etnik tersebut sekaligus dan
terkesan budaya perkawinan etnik Tionghoa yang lebih mendominasi tata cara
adat perkawinan tersebut, sebut saja Nessie11 yang menikahi salah seorang
perempuan keturunan etnik Tionghoa di Niki-Niki, dimana dalam prosesi adat
pernikahan tersebut menggabungkan dua tata cara berbeda, seperti dalam adat
Timor menggunakan istilah tradisi sirih pinang yakni semacam tata cara memberi
hadiah perkawinan dari pihak mempelai laki-laki kepapda keluarga perempuan,
disamping itu dari pihak mempelai perempuan menggunakan tradisi selamat sopi
dan antar pasalin yakni semacam prosesi acara yang berlaku pada etnik Tionghoa
yang menjamu keluarga mempelai laki-laki dengan suguhan minuman anggur.
Dalam proses acara ini pihak keluarga kedia belah pihak sebelumnya telah
melakukan musyawarah secara intensif dan mendapatkan kata sepakat. Hal seperti
ini sudah menjadi fenomena tersendiri dan berlangsung selama bertahun-tahun.
Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman masyarakat baik secara
Etnik, suku maupun ras. Disamping itu, setiap Etnik, suku maupun ras yang
terdapat mulai dari sabang sampai merauke memiliki kebudayaan yang khas
masing-masing. Etnik Cina atau yang lebih dikenal dengan Etnik Tionghoa sudah
bisa dideteksi keberadaannya sejak berabad-abad yang lalu berinteraksi dengan
masyarakat Indonesia, baik melalui hubungan dagang maupun diplomasi politik
dengan kerajaan-kerajaan yang berada di Indonesia pada umumnya. Hubungan
dagang dengan Indonesia ini telah terbina sejak abad ke 13. Selanjutnya
11
Nessie Nope, adalah salah satu putra Bangsawan dari Raja Nope, Amanuban. Ia adalah putra
daerah Etnik Dawan yang menikahi salah seorang perempuan keuturunan Tionghoa di Niki-Niki
pada medio Maret, tahun 2010.
11
pendatang-pendatang baru banyak yang datang pada waktu negara Cina diperintah
oleh dinasti Ming (1368-1644). Pada 1412 sebuah armada Cina dibawah pimpinan
Cheng Ho datang ke pulau Bangka, Biton, kepulauan Karimata , Pulau Jawa di
Semarang dandi madura. (Hidayat, 1993 : 66)
Disamping itu juga dapat dilihat bahwa kebanyakan dari Etnik Tionghoa
yang datang merantau ke Indonesia pada umumnya berprofesi sebagai para
pedagang atau pengusaha sekaligus sebagai para konektor hubungan dagang
antara Indonesia dengan kerajaan-kerajaan lainnya, serta tidak dapat dipungkiri
bahwa mereka dapat memainkan peran penting dalam bidang atau urat nadi
kegiatan perekonomian masyarakat di Indonesia. Orang-orang Cina didaerah Asia
Tenggara dapat menempatkan diri mereka dalam kehidupan masyarakat di negaranegara Asia Tenggara sebagai kelas menengah. Di Indonesia orang-orang Cina
sejak permulaan merantau telah berfungsi sebagai perantara antara penduduk asli
dengan para pendatang asing yang datang ke Indonesia. Para perantau Cina
menempati kota-kota pantai dan hidup sebagai saudagar, pengusaha pelayaran,
pengusaha bank, sebagai pedagang besar dan kecil dan ada juga sebagai artis.
Hampir semu Industri dan perdagangan akhirnya berada ditangan pengusaha Cina
perantauan (Hidayat, 1993 : 56).
Pada umumnya Etnik Tionghoa di Indonesia sudah mampu berbaur
walaupun masih dalam tahapan yang bersifat terbatas, hal ini dapat dilihat dari
realitas adanya fenomena kawin campur antara paran pendatang (Etnik Tionghoa)
yang pada umumnya laki-laki yang menikah dengan para perempuan pribumi atau
perempuan setempat. Para pendatang Etnik Tionghoa ini seperti yang sudah
12
disebutkan diatas berprofesi sebagai para pedagang maupun pengusaha, namun
tidak sedikit dari mereka bekerja sebagai buruh, kedatangan mereka tidak selalu
didampingi oleh pasangan mereka atau istri masing-masing, namun ada juga dari
mereka yang datang dengan membawa keluarga mereka mulai dari istri dan anakanak mereka masing-masing. Disamping itu dapat dilihat bahwa para pendatang
Tionghoa atau masyarakat Tionghoa ini telah menyatu atau berbaur dengan para
masyarakat pribumi, namun seiring dengan kedatangan kaum Kolonial yakni
penjajahan dari Belandan dan Portugis membuat proses pembauran mereka
menjadi lambat, disisi lain kehidupan para masyarakat Tionghoa yang beagi
menadi dua bagian, yakni mereka yang digolongkan sebagai para pendatang lama
dan para pendatang baru.
Orang Cina yang telah datang ke Indonesia selama berabad-abad dan terus
berdatangan hingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi
sebagai tamu dalam prinsip "dimana bumi dipijak dan langit dijunjung" yang
ditekankan oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat. Karena itu di
masa lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat
sukubangsa setempat dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin antara orangorang Cina dengan perempuan pribumi setempat telah memungkinkan berubahnya
status 'tamu' menjadi kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa
setempat. Perubahan status ini telah memungkinkan berubahnya status 'tamu'
menjadi orang sendiri yang dalam batas-batas tertentu telah memungkinkan
13
keturunan mereka itu juga mempunyai hak-hak atas tanah dari kelompok kerabat
setempat12
Hal yang menarik disini ialah, orang-orang Cina yang datang ke Asia
Tenggara ini umumnya tidak membawa keluarga mereka. Mereka kawin dengan
wanita setempat, banyak yang berbaur dan menjadi satu dengan pribumi. Namun
dengan datangnya orang-orang Barat menyebabkan pembauran ini tersendat.
Masyarakat kolonial yang menonjolkan ras, akhirnya memisahkan orang
Tionghoa dari Pribumi. Disamping itu, orang Tionghoa yang “diimpor”. Jadi, di
Asia Tenggara terjadi dua kelompok yang hidup berdampingan, yaitu pendatang
lama dan pendatang baru, Kebudayaan pendatang lama sudah lebih dipengaruhi
oleh kultur setempat, tetapi pendatang baru lebih bersifat kecinaan. Banyak yang
mengatakan bahwa pendatang bahwa pendatang lama, apa lagi yang sudah
berbaur, tidak lagi berkebudayaan Konghucuisme, sedangkan pendatang baru
masih dipengaruhi oleh etika Konghucuisme. (Suryadinata, 2002 : 199-200)
Seiring perjalanan waktu, Etnik Tionghoa yang merupakan masyarakat
pendatang telah berbaur dengan masyarakat setempat, seperti yang sudah
dijelaskan diatas bahwa Etnik Tionghoa yang menetap bahkan sudah kawin
campur dengan Etnik setempat atau masyarakat setempat akhirnya mampu
berbaur menjadi satu. Namun dalam perspektif kebudayaan Etnik Tionghoa ini
sendiri terdapat dua golongan utama dalam Etnik mereka, yakni kaum Totok dan
kaum Peranakan. Kedua golongan tersebut memiliki perbedaan yang cukup
12
http://web.budaya-tionghoa.net/home/901-kesukubangsaan-dan-posisi-orang-cina-dalammasyarakat-majemuk-indonesia, Supadi Suparlan.
14
mendasar, baik ditinjau dari segi proses pembauran dan dialek bahasa mereka
masing-masing, tidak ketinggalan juga orientasi politik kedua golongan ini
bertolak belakang satu sama lain.
Masyarakat Tionghoa di Indonesia bukan merupakan minoritas homogen.
Dari sudut pandang kebudayaan orang Tionghoa terbagi atas peranakan dan totok.
Peranakan adalah orang tionghoa yang sudah lama tingggal di Indonesia dan
umunya sudah berbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari
dan bertingkah laku seperti pribumi. Totok adalah pendatang baru, umumnya baru
satu samapai dua generasi dan masih berbahasa Tionghoa. Namun dengan
terhentinya Imigrasi dari daratan Tiongkok, jumlah totok sudah menurun dan
keturunan totok pun telah mengalami peranakanisasi. Karena itu, generasi muda
Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah menjadi peranakan, apalagi yang di pulau
Jawa. (Suryadinata, 2002 : 17)
Masyarakat Tionghoa dalam perkembangannya mengalami pasang surut
baik dalam bidang budaya, identitas sosial, masalah ekonomi dan lain sebagai
sejak masa perang kemerdekaan di Indonesia. Pada masa orde lama dalam masa
kepemimpian era Soekarno, masyarakat atau Etnik Tionghoa berhadapan dengan
proses integrasi nasional maupun proses asimilasi dijalankan secara permanen,
mulai dari pembatasan aktifitas masyarakat Tionghoa dalam kegiatan sehari-hari,
larangan mendirikan sekolah Tionghoa, serta kebijakan ganti nama yang berbau
Etnik Tionghoa menjadi Indonesia, namun kebijakan terakhir ini belum
sepenuhnya berjalan. Pada masa era orde baru dalam masa kepemimpinan
Soeharto kebijakan asimilasi tersebut baru dilaksanakan secara penuh, bahkan
15
kegiatan perayaan Imlek, Cap Go Meh dan pawai Barongsai pun dilarang, selain
itu kebijakan yakni berupa himbauan pergantian nama yang berbau Tionghoa
menjadi berbau Indonesia dijalankan, klenteng dirubah menjadi vihara, dan lain
sebagainya. Seiring jatuhnya rezim orde baru, pada masa era reformasi dalam
kepemimpinan Habibie dan KH.Abdulrahman Wahid,
masyarakat Tionghoa
Indonesia bisa “menghirup udara segar” dengan diperbolehkannya perayaan
Imlek, Cap Go Meh, perunjukan Barongsai, dan kegiatan-kegiatan lainnya,
bahkan dalam masa kepemimpian KH.Abdulrahman Wahid ditetapkan hari libur
nasional bagi perayaan Imlek, agama Konghucu diakui sebagai agama nasional.
Sebetulnya, sejak awal, Indonesia tidak memberlakukan kebijakan asimilasi.
Pada zaman demokrasi liberal, kebijakan pluralisme diberlakukan. Pada zaman
demokrasi terpimpin, kebijakan integrasi dan asimilasi dilaksanakan secara
bertahap. Mula-mula warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak
diperbolehkan mendirikan sekolahTionghoa, aktivitas orang Tionghoa asing pun
mulai dibatasi. Namun, kebijakan asimilasi secara total baru diberlakukan sejak
lahirnya orde baru. Tiga pilar kebudayaan Tionghoa yang saya sebut diatas
dihapus sama sekali. Peraturan ganti nama diumumkan. Warga negara Indonesia
keturunan Tionghoa dihimbau mengganti nama tionghoanya menjadi nama yang
berbau “Indonesia” (Suryadinata, 2002 : 15-16)
Dalam bidang budaya, pemerintah orde baru rupanya ingin mengikis
habiskebudayaan Tionghoa, bukan saja tidak mengizinkan orang mengamalkan
tradisi dan adat istiadatnya secara publik, misalnya tidak boleh merayakan tahun
baru imlek dan cap go meh , tidak boleh main Barongsai , semua kelenteng harus
16
diubah menjadi wihara , agama Konghucu tidak diakui , belajar bahasa Tionghoa
tidak diperbolehkan, koran dan publikasi bahasa Tionghoa tidak diizinkan, hanya
sebuah koran setengah Tionghoa diasuh oleh militer diizinkan terbit, dan koran ini
dikenal dikalangan masyarakat Tionghoa sebagai koran iklan (Suryadinata, 2002 :
16)
Identitas Etnik menunjukan tingkat keterpaduan (cohesiveness) di antara
para anggota suatu kelompok Etnik (Yee dalam Rahoyo, 2010, hal 14). Ini berarti
bahwa semakin tinggi kehosivitas anggota dari dari suatu kelompok Etnik maka
semakin kuat pula identitas Etnik mereka; sebaliknya , kian rendahnya kohesivitas
angggota suatu kelompok Etnikakan berujung pada kian lemahnya identitas Etnik
mereka. Derajat keterpaduan atau kohesivitas tersebut secara konkret akan muncul
dalam wujud fanatisme terhadap bahasa Etnik, upacara-upacara adat, pakaian
adat, dan sebagainya; di samping juga dalam bentuk kebanggaan Etnik. Rasa
bangga sebagai anggota Etnik tersebut menyangkut
di antaranya persepsi
(superioritas) mengenai Etniknya sendiri sekaligus persepsi (inferioritas)
mengenai Etnik lain yang secara rill akan mewujud dalam kontak atau relasi
sosial, baik kontak atau relasi dengan sesama Etnik maupun lintas Etnik. (Rahoyo,
2010 : 14)
Menurut Liliweri (Liliweri, 2001 : 335-6) jadi istilah kelompok etnik
merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik kelompok ras
maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap berada dan telah
mengembangkan subkultur sendiri. Karena kekuatan yang sangat besar untuk
mempertahankan superioritas etnik, dia berubah menjadi satu paham atau isme
17
sehingga superioritas etnik itu sering disebut etnosentrisme. Sedangkan Etnikistas
merujuk pada penggolongan etnik berdasarkan hubungan mereka dengan obyek
yang diafliliasi dalam konteks tertentu.
Ada dua pendekatan terhadap identitas etnik: pendekatan objektif
(struktural) dan pendekatan subjektif (fenomenologis) (Despress, 1975b;
Cohen,1978; Isajiw, 1979; Royce, 1982; Phadnis, 1989). Perspektif objektif
melihat sebuah kelompok etniksebagai kelompok yang bisa dibedakan lainnya
berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama atau asal-usul kebangsaan.
Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan Etnikitas sebagai suatu
proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai
bagian dari suatu kelompok etnik dan diidentifikasi demikian oleh orang-orang
lain, dan memusatkan perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki yang
dipersepsi kelompok etnik yang diteliti (Mulyana, 1996 : 152).
Berdasarkan fakta diatas, peneliti ingin mengetahui proses dan pola
komunikasi antar etnik pada Etnik Tionghoa dengan etnik setempat di Kelurahan
Niki-Niki, seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik
setempat
serta
mengungkapkan
pengalaman-pengalaman
Etnik
Tionghoa
memaknai identitas etnik mereka ditengah-tengah keberadaan mereka sebagai
kaum peranakan minoritas di Kelurahan Niki-Niki yang mayoritas masyarakatnya
adalah Etnik Timor. Dalam hal identitas sosial misalnya, masyarakat Etnik
Tionghoa menggunakan dua identitas sekaligus yakni nama Indonesia dan nama
Tionghoa, namun yang lebih dominan adalah penggunaan identitas Tionghoa
18
dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat sekitar yang sudah dikenalnya,
tetapi tidak dengan masyarakat atau orang-orang baru dalam lingkungannya.
Peneliti beralasan bahwa, sebagian besar Etnik Tionghoa peranakan di
Kelurahan Niki-Niki
yang rata-ratanya sudah kawin campur dengan Etnik
setempat tetap mempertahankan identitas Ketionghoaanya. Melalui penelitian ini,
peneliti ingin mengetahui proses dan pola komunikasi antar etnik antara etnik
Tionghoa dengan etnik setempat dalam kegiatan sehari-hari dengan sesama etnik
mereka sendiri maupun dengan etnik lokal setempat, seperti apa perilaku Etnik
Tionghoa ketika mereka berinteraksi dengan etnik setempat serta mengungkapkan
pengalaman-pengalaman etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki dalam memaknai
identitas etnik mereka.
1.2. Maksud, Kegunaan dan Tujuan Penelitian
1.2.1. Maksud Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, peneliti bermaksud untuk mengetahui secara
sistematis proses dan pola komunikasi antar etnik masyarakat Etnik Tionghoa
yang selama ini terjalin dengan masyarakat setempat di Kelurahan Niki-Niki,
seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik setempat,
serta mengungkap pengalaman-pengalaman Etnik Tionghoa di Kelurahan NikiNiki memaknai identitas etnik mereka sendiri.
19
1.2.2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan baru,
baik yang berguna secara teoritis dan praktis.
1. Dari segi teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan terhadap perkembangan teori komunikasi antar etnik,
teori interaksi simbolik, teori identitas etnik dan teori-teori ilmu
komunikasi lainnya yang berkaitan dengan makna identitas Etnik
masyarakat Etnik Tionghoa dan juga sebagai tambahan informasi
dan masukan bagi penelitian lanjutan dibidang ilmu sosial
khususnya ilmu komunikasi.
2. Dari segi praktis hasil penelitian ini juga dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi para tokoh budayawan, pemerhati ilmu
sosial dan juga pengamat Etnisitas tentang makna identitas etnik dan
komunikasi antar etnik.
1.2.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dengan adanya penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui proses dan pola komunikasi antar etnik
masyarakat Etnik Tionghoa dengan etnik setempat di Kelurahan
Niki-Niki.
2. Untuk mengetahui seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika
berinteraksi dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki.
20
3. Untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman masyarakat Etnik
Tionghoa memaknai identitas etnik mereka.
21
1.3. Kajian Literatur
1.3.1. Penelitian Terdahulu
1.
Judul : Makna Makam Etnik Tionghoa Sebagai Media Simbolik
Representasi Identitas Etnik dan Penghargaan Terhadap Arwah Leluhur
Uly Sophia (L2G04028)
Penelitian ini bermaksud untuk menemukan penjelasan deskriptif melalui
perspektif interpretif mengenai makam etnik Tionghoa yang melekat pada sistem
ideologi dan sosial tertentu. Narasi identitas etnik tionghoa salah satunya
terangkum
pada makam. Tatanan dan sifat komunikasi simbolik yang
dilaksanakan adalah berbentuk komunikasi budaya ; bersifat nonverbal-nonvokal
(visual); berupa simbol yang mengandung makna dan diciptakan oleh para
leluhur.
Penelitian dilaksanakan dengan metode kualitatif, fenomenologi dengan
analisis semiotika. Data diambil dari makam yang berada pada Blok a no 38 kab
bandung. Melalui serangkaian wawancara mendalam dengan beberapa informan
pokok dan informan kunci, observasi langsusng di saat upacara pemakaman etnik
Tionghoa di TPU Hindu Budha Jl.Cikadut dalam kota Bandung, menghadiri
perayaan ceng beng, penelaah dokumen, budaya dan instansi terkait.
Temuan faktual menunjukan bahwa
realitas bangunan makam etnik
Tionghoa termasuk pada bentuk strategi budaya melalui presentasi etnik yang
terjadi dalam proses komunikasi sosial dan direpresentasikan oleh kelompok
masyarakat Tionghoa. Makam etnik Tionghoa
“pesan” budaya masyarakat
22
Tionghoa, ia mewakili perasaan, gagasan, atau maksud si pemilik makam atau
keluarganya. Makam sebagai salah satu bentuk ekspresi simbolik dari produk
komunikasi budaya yang sarat makna. Ekspresi simbolik yang berusaha
menyampaikan makna perjuangan identitas, kematian, afiliasi sosial, budaya dan
ekonomi.
2.
Judul : Komunikasi Lintas Budaya Antara Etnik Cina dan Etnik Aceh
(Suatu Studi Terhadap Nilai Budaya, Pola Interaksi, Adaptasi dan
Manipulasi Identitas Etnik Cina Dalam Masyarakat Aceh) A.Rani
(L3G00024)
Penelitian ini menganalisis komunikasi antar budaya anatara masyarakat
cina dan orang aceh di kota banda aceh. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah
sejarah kedatangan
orang cina di banda aceh, nilai budaya, pola interaksi,
adaptasi dan manipulasi identitas cina dilingkungan masyarakat aceh. Dalam
penelitian ini digunakan
teori interaksi simbolik dan dramaturgis, dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan hubungan antara orang cina dengan orang
aceh diawali dengan hubungan sejarah, dilomasi, kontrak kerja dan hubungan
bisnis. Penelitian menunjukan orang cina banda aceh sangat mempertahankan
nilai-nilai budaya mereka, seperti perayaan hari raya imlek , menggunakan bahasa
suku sebagai simbol identitas etnik mereka, dan membentuk jaringan bisnis serta
membentuk pola pergaulan yang bernuansa etnik. Pola interaksi yang dibentuk
terstruktur melalui pemukiman bernuansa etnik mereka. Interaksi dengan
23
masyarakat aceh terjadi secara alamiah melalui pendidikan, terutama di sekolah
pemerintah dan melalui interaksi bisnis. Adaptasi orang cina pada budaya aceh
sangat sedikit apalagi melalui perkawinan karena dua etnik tersebut berbeda
ideologi. Namun mereka dapat memahami dan menghargai budaya masingmasing, orang cina di banda aceh belum menghilangkan identitas historis dan
identitas budayanya. Manipulasi identitas terjadi pada identitas lokal dan identitas
nasional indonesia yaitu dengan pemakaian nama dan bahasa daerah setempat,
tetapi identitas etnik secara fisik tidak dapat dimanipulaiskan karena berhubungan
dengan biologis.
3.
Judul : Komunikasi Antarbudaya Etnik Cina Dan Minangkabau
(Studi
Di Kelurahan Kampung Pondok Padang Barat Sumatra Barat)
Kemala (L2G03038)
Penelitian ini memfokuskan pada Etnik Cina dan Etnik Minangkabau yang
memiliki dua kebudayaan berbeda satu sama lain, penelitian ini mencoba
menyimak mengenai tidak adanya konflik antara kedua Etnik tersebut, sehingga
memunculkan sebuah gejala yang menarik, dan pad akhirnya melalui penelitian
ini ingin menemukan penyebab situasi dan kondisi tersebut. Agar dapat dijadikan
percontohan dan acuan dalam berkomunikasi antar budaya etnik Cina dan etnik
Pribumi lainnya, hal yang ingin dilihat diantaranya adalah bagaimana persepsi
masyarakat etnik Cina terhdapa masyarakat etnik Minangkabau dan juga
sebaliknya, seperti apa hambatan-hambatan dalam proses komunikasi yang
dilakukan oleh kedua etnik tersebut dalam konteks komunikasi antarbudaya.
24
Peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi
yang menganggap
kesadaran manusia dan makna subjektivitasnya sebagai fokus untuk memahami
tindakan sosial. Teknik yang digunakan untuk memperoleh data adalah dengan
menggunakan wawancara mendalam, observasi berperan serta dan penggunaan
dokumen. Informan dalam penelitian ini adalah beberapa masyarakat kelurahan
Kampung Pondok Padang Barat yang dipilih secara purposif, yakni sebanayak 21
orang. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya teori
interaksi simbolik, teori dramaturgis, dan komunikasi antarbudaya.
Hasil penelitian ini menunjukan proses komunikasi antara masyarakat Cina
dan Minangkabau di kelurahan Kampung Pondok Padang Barat diwarnai oleh
berbagai bentuk pandangan, sikap dan perilaku komunikasi sesuai karakteristik
yang ada pada masyarakat tersebut. Persepsi etnik Cina terhadap etnik
Minangkabau umumnya tanpa prasangka dan baik. Penelitian ini menemukan
pola komunikas intrabudaya yang ada pada masyarakat Cina dan Minangkabau di
Kelurahan Kampung Pondok Padang Barat, yakni komunikasi melalui hubungan
kerja sama melalui bisnis, sosial budaya, dan pemukiman yang telah berjalan
dengan baik selama ini.
25
NO
Nama
Uly Sophia
A. Rani
Intan Kemala
Peneliti
1
Judul
Penelitian
2
3
4
Metode
Christian J
Balalembang
Makna Makam
Etnik Tionghoa
Sebagai Media
Simbolik
Representasi
Identitas Etnik
dan
Penghargaan
Terhadap
Arwah Leluhur
Kualitatif,
fenomenologi
dan Teori
dengan analisis
yang
semiotika. Teori
yang diginakan,
digunakan
semiotika
(Pierce), makna
budaya dalam
komunikasi,
komunikasi
non-verbal.
Hasil
Makam etnik
Tionghoa
Penelitian
“pesan” budaya
masyarakat
Tionghoa, ia
mewakili
perasaan,
gagasan, atau
maksud si
pemilik makam
atau keluarganya.
Makam sebagai
salah satu bentuk
ekspresi simbolik
dari produk
komunikasi
budaya yang sarat
makna.
Kritik
Penelitian ini
cukup baik
sebab ingin
melihat
Komunikasi
Lintas Budaya
Anatara Etnik
Cina dan Etnik
Aceh. (Suatu
Studi Terhadap
Nilai Budaya,
Pola Interaksi,
Adaptasi dan
Manipulasi
Identitas Etnik
Cina Dalam
Masyarakat
Aceh)
Menggunakan
metode
penelitian
kualitatif dengan
teori interaksi
simbolik serta
dramaturgis.
Orang Cina di
Banda Aceh
sangat
mempertahankan
budayanya,
menggunakan
bahasa suku
sebagai simbol
identitas etnik,
manipulasi
identitas lokal
dan nasional
berupa
pergantian nama.
Penelitian ini
lebih berfokus
pada etnik Cina
peranakan,
Komunikasi
Antarbudaya
Etnik Cina Dan
Minangkabau
(Studi Di
Kelurahan
Kampung
Pondok Padang
Barat Sumatra
Barat)
Makna Identitas
Etnik Masyarakat
Tionghoa
(Sebuah Studi
Fenomenologi
Identitas Etnik
Masyarakat
Tionghoa di
Kecamatan NikiNiki, Kabupaten
Timor Tengah
Selatan)
Menggunakan
pendekatan
fenomenologis,
dengan landasan
teori interaksi
simbolik,
dramaturgis, serta
komunikasi antar
budaya.
Menggunakan
pendekatan
fenomenologis,
dengan landasan
teori interaksi
simbolik,
dramaturgis, serta
identitas etnik.
Persepsi Etnik
Cina terhadap
Etnik
Minangkabau
berprasangka baik
dan lancar, pola
komunikasi
intrabudaya
antara Etnik Cina
dan Minangkabau
berjalan melalui
hubungan bisnis,
soaial budaya dan
letak pemukiman.
Penelitian ini
lebih banyak
memfokuskan
pada persepsi
26
5
Perbandin
gan
dengan
penelitian
yang akan
dilakukan
bagaimana
makna pesan
budaya dan
identitas yang
terwujud dalam
bentuk makam,
namun yang
dilewatkan
adalah peneliti
seharusnya
menggunakan
teori interaksi
simbolik
bagaimana
penggunaan
simbol-simbol
lainnya seperti
penempatan
patung, dll.
Yang menjadi
perbandingan
dengan topik
penelitian
peneliti adalah
Etnik tionghoa,
bahwa peneliti
sebelumnya
lebih
memfokuskan
pada makam
etnik sebagai
representasi
identitas,
sedangkan
peneiti lebih
memfokuskan
pada Etnik
Tionghoa
peranakan.
Persamaanya
terletak pada
penggunaan
pendekatan
fenomenologi.
bukan pada
Etnik Cina
yang sudah
kawin campur
dengan Etnik
lokal.
antar etnik etnik
dan bagaimana
pola komunikasi
etnik Cina dan
Minangkabau.
Yang dilewatkan
adalah
bagaimana Etnik
Cina tersebut
memaknai
identitas mereka.
Yang kan
dilakukan
peneliti adalah,
meneliti tentang
Etnik Tionghoa
yang sudah
kawin campur
dengan Etnik
Setempat,
namun
kesamaan tema
yang diteliti
adalah tentang
identitas. Serta
landasan teori
yang emiliki
banyak
kesamaan
dengan peneliti.
Peneliti akan
lebih banyak
memfokuskan
pada pemaknaan
identitas Etnik
Tionghoa, selain
itu peneliti juga
menggunakan
pendekatan serta
landasan teori
yang sama
dengan peneliti
sebelumnya
yakni
fenomenologi
dan teori
interaksi
simbolik.
Tabel 1. Matriks Perbandingan Penelitian Terdahulu
27
1.3.2. Tinjauan Pustaka
1.3.2.1. Komunikasi Antaretnik
Kelompok etnik merupakan sekumpulan orang yang memiliki ciri
“kebudayaan” yang relatif sama sehingga kebudayaan itu menjadi panutan para
anggota kelompoknya. Saya memberikan tanda petik pada kebudayaan untuk
mengatakan bahwa pengertian etnik sepandan dengan dengan kelompok agama,
suku bangsa, organisasi sosial dan politik. Hanya karena para anggotanya
memiliki nilai-nilai budaya yang sama sehingga tertutup bagi orang lain (Liliweri,
2001 : 334)
Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa komunikasi antarpribadi
komunikasi kelompok yang terjadi antara kelompok-kelompok agama (antara
orang Protestan dengan orang Katolik), suku (antara orang Flores dan Rote), ras
(anatara orang Tionghoa dan Arab), dan golongan (antara pemilik kekuasaan dan
yang dikuasai) dapat dikategorikan pula sebagai komunikasi antaretnik. (Liliweri,
2009 : 203)
1.3.2.2. Identitas Etnik
Perjalanan hidup setiap insan manusia tidak pernah terlepaskan dari
lingkungan sosial disekitarnya, yakni lingkungan budaya khususnya lingkungan
etnik atau multi etnik. Dengan adanya perbedaan-perbedaan secara etnik dalam
pergaulan sosial tidak seharusnya melepaskan identitas etniknya meskipun antara
kedua etnik atau lebih yang hidup secara berdampingan didalam suatu lingkungan
sosial atau masyarakat yang berbeda budaya tentunya. Akan tetapi keharmonisan
28
dan hubungan antaretnik merupakan sebuah keharusan guna kehidupan berjalan
lancar dan seimbang. Disisi lain tidak ada suatu budaya pun yang tidak
terpengaruhi oleh sebuah budaya lain. Demikian halnya budaya minoritas atau
budaya pendatang. Dan selanjutnya budaya minoritas terpengaruhi oleh budaya
dominan yang diakibat dari tekanan-tekanan lingkungan disekitar budaya itu
sendiri.
Barth mempunyai dua pandangan terhadap identitas budaya : pertama,
Batas-batas budaya dapat bertahan walaupun suku-suku tersebut saling berbaur.
Dengan kata lain adanya perbedaan antaretnik tidak ditentukan oleh tidak
terjadinya permbauran, kontak dan pertukaran informasi, namun lebih disebabkan
oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan dan penyatuan, sehingga
perbedaan kategori tetap dipertahankan walaupun terjadi pertukaran peran serta
keanggotaan diantara unit-unit etnik dalam perjalanan hidup seseorang. Kedua,
dapat ditemukan hubungan sosial yang mantap, bertahan lama, dan penting
anatara kedua kelompok etnik yang berbeda, yang biasanya terjadi karena adanya
status etnik yang terpecah dua (terdikotomi). Dengan kata lain, ciri masingmasing kelompok etnik yang berbeda tersebut tidak ditentukan oleh tidak adanya
interaksi dan penerimaan sosial, tetapi sebaliknya justru karena disadari oleh
terbentuknya sistem sosial tertentu. (Barth,1988 : 10)
Dengan kata lain dalam pandangan Barth bahwa kelompok etnik itu
ditentukan melalui batas-batas serta memiliki sifat khas yang ditentukan oleh
kelompok itu sendiri yang kemudian membentuk pola-polanya sendiri. Disamping
29
itu batasan budaya dapat bertahan walaupun diantara dua etnik dapat berbaur.
Dengan adanya perbedaan etnik dalam suatu lingkungan masyarakat lebih
disebabkan adanya sebuah proses berupa pemisahan dan penyatuan sehingga
perbedaan tersebut dapat dipertahankan dalam perjalanan hidup seorang indvidu.
Selain itu adanya hubungan sosial dalam masyarakat yang terjalin begitu lama
dalam masyarakat yang begitu lama dan berjalan sedemikian rupa dalam
masyarakat yang multi etniknya biasanya terjadi lebih disebabkan adanya status
etnik.
Menurut Narroll (dalam Liliweri, 2001 : 335), kelompok etnik dikenal
sebagai suatu populasi yang : (1) secara biologis mampu berkembang biak dan
bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa
kebersamaan dalam suatu bentuk kebudayaan; (3) membentuk jaringan
komunikasi dan interaksi sendiri ; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri
yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi
lain. Sedangkan menurut Alo Liliweri (Liliweri, 2001 : 335-6) jadi istilah
kelompok etnik merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik
kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap
berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Karena kekuatan yang sangat
besar untuk mempertahankan superioritas etnik, dia berubah menjadi satu paham
atau isme sehingga superioritas etnik itu sering disebut etnosentrisme. Sedangkan
Etnikistas merujuk pada penggolongan etnik berdasarkan hubungan mereka
dengan obyek yang diafliliasi dalam konteks tertentu.
30
Setiap etnik secara biologis dapat berkembang dan bertahan serta
mempunyai nilai-nilai budaya dan nilai moral sehingga menjadi ciri khas dari
etnik tersebut. Demikian halnya setiap etnik ditandai dengan sistem komunikasi
dan berinteraksi sekaligus ciri kelompok etnik tersebut dapat diterima dan dapat
dibedakan dengan kelompok lain. Setiap etnik tersebut dapat diterima dan dapat
dibedakan dengan kelompok lain. Setiap etnik dalam masyarakat yang telah
mapan batasan etnik sangat jelas sehingga interaksi antaretnik ditandai dengan
sistem sosial yang telah disepakati. Secara eksplisit teori Barth merupakan
pengambangan dari teori Goffman yaitu dalam pengambangan diri dan
penyesuaian diri dalam masyarakat. Menurut teori Goffman manusia dianggap
sebagai makluk yang kreatif dan berubah-ubah sesuai dengan keinginan dan
kondisi disekelilinginya serta menurut keinginannya. Sedangkan menurut teori
Barth dalam masyarakat pun saling berbeda budayadan etnik akan tetapi
penyatuan dan pemisahan berdasarkan proses yang terus berlangsung dalam
masyarakat. Teori Goffman menyebutkan manusia dapat menampilkan dirinya
berubah-ubah berdasarkan makna. Sedangkan teori Barth dalam suatu kelompok
dapat mempertahankan identitasnyasementara anggotanya berinteraksi dengan
masyarakat lainnya sehingga kriteria dan batasan dari suatu masyarakat guna
menjalin hubungan dan menjaga keharmonisan dalam masyarakat. (Rani, 2004 :
8)
Bila sebuah kelompok tetap mempertahankan identitasnya sementara
anggota lainnya berinteraksi dengan kelompok lain, hal ini menandakan adanya
suatu kriteria untuk menentukan keangggotaan dalam kelompok tersebut dan ini
31
merupakan cara untuk menandakan mana anggota kelompoknya dan mana yang
bukan. Kelompok etnik bukan semata-mata ditentukan oleh wilayah yang
didudukinya ; berbagai cara digunakan untuk mempertahankan kelompok ini,
bukan dengan cara sekali mendapatkan untuk seterusnya, tetapi dengan
pengungkapan dan pengukuhan yang terus menerus (Barth, 1988 : 16)
Ada dua pendekatan terhadap identitas etnik: pendekatan objektif
(struktural) dan pendekatan subjektif (fenomenologis) (Despress, 1975b;
Cohen,1978; Isajiw, 1979; Royce, 1982; Phadnis, 1989). Perspektif objektif
melihat sebuah kelompok etniksebagai kelompok yang bisa dibedakan lainnya
berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama atau asal-usul kebangsaan.
Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan Etnikitas sebagai suatu
proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai
bagian dari suatu kelompok etnik dan diidentifikasi demikian oleh orang-orang
lain, dan memusatkan perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki yang
dipersepsi kelompok etnik yang diteliti (Mulyana, 1996 : 152).
Menurut Lisa Orr (Dalam liliweri, 2003 : 73) menegaskan bahwa untuk
mengetahui identitas orang lain-pada awal berkomunikasi-merupakan pertanyaan
yang paling sulit, apalagikalau kita berkeinginan mengetahui kebudayaan otentik
dari orang itu. Berarti manusia umumnyatidak suka mengenal identitas seseorang
hanya sepotong-sepotong karena identitas budaya merupakan cultiral totalization.
Dan totalitas kebudayaan itu tidak selalu kelihatan, dia selalu bersembunyi di
balik konteks multikultural. Akibatnya, dalam cara yang sederhana orang mereka-
32
reka ciri khas (tubuh, warna rambut, tampilan wajah, tampilan fisik tubuh, bahasa
pakaian, dan makanan), batas-batas, faktor utama penentu sebuah kebudayaan.
Dengan kata lain, di manakah letak batas-batas identitas antarbudaya.
1.3.2.3. Teori Interaksi Simbolik
Interaksionesme simbolik (IS) adalah nama yang diberikan kepada salah
satu teori tindakan yang paling terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah
pernyataan-pernyataan seperti “definisi situasi”, “realitas dimata pemiliknya”, dan
“jika orang mendifenisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam
konsekuensinya”, menjadi relevan. Meski agak berlebihan, nama IS itu jelas
menunjukan jenis-jenis aktivitas manusia yang unsur0unsurnya memandang
penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial.
Menurut ahli teori IS, kehidupan sosial secara harafiah adalah “interaksi manusia
melalui penggunaan simbol-simbol.” IS tertarik pada (Jones, 2010 : 142) :
1. Cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkapakan apa yang mereka
maksud, dan untuk berkomunikasi satu sam lain (Suatu minat interpretif yang
ortodoks)
2. Akibat interpretasi atas simbol-simbol terhadap kelakuan pihak-pihak yang
terlibat selama interaksi sosial.
Para
interaksionis
sosial
atau
yang
melakukan
penelitian
teori
interaksionisme memperoleh pengetahuan bahwa orang-orang dibentuk melalui
komunikasi. Di sana terdapat aumsi bahwa sosial dan tindakan kolektif terjadi
ketika komunikator paham dan bernegosiasi tentang pemaknaan orang lain.
33
Perkembangan secara interdisiplin, interaksi simbolik mengalami perubahan dari
cara individu, kelompok, dan masyarakat dianalisis. (Ardianto, 2011 : 158-9)
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas
manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer
mengintegrasikan gagasan-gagasan
tentang interaksi simbolik lewat tulisan-
tulisannya, terutama pada tahun 1950-an dan 1960-an, diperkaya dengan gagasangagasan dari John Dewey, William I.Thomas, dan Charles H. Cooley. Selain
Blumer terdapat ilmuwan-ilmuwan lain yang memberi andil pada pengembangan
teori interaksi simbolik, seperti Manford H. Kuhn, Howard S. Becker, Norman
K.Denzin, Arnold Rose, Gregory Stone, Anselm Strauss, Jerome Manis, Bernard
Meltzer, Alfred Lindensmith, dan Tamotsu Shibutani, seraya memanfaatkan
pemikiran ilmuwan lain yang relevan, seperti Georg Simmel atau Kenneth Burke.
Hal itu mereka lakuka lewat interpretasi dan penelitian-penelitian mereka untuk
menerapkan konsep-konsep dalam teori Mead tersebut. (Mulyana, 2008 : 68)
Pada prinsipnya interaksi simbolik lebih menitik beratkan pada aktifitas
manusia yang meliputi petrukaran simbol-simbol atau aktifitas komunikasi yang
diberi makna, disamping itu juga perspektif ini juga banyak memberikan ilham
bagi beberpata teori diantaranya teori penjulukan (Labeling Theory), perspektif
drama turgis daari Erving Goffman, dan etnometodologi. Disamping itu, ada
mazhab yang menganut perspetif interaksioneime simbolik, dimana mazhab Iiwa
lebih menekankan pada metoda yang bersifat positivstik disetiap kajian-kajian
yang dilakukan seperti menemukan hukum-hukum universal tentang perilaku
34
manusia yang dapat diuji secara empiris. Berbeda dengan mazhab Iowa, mazhab
Chicago lebih menekankan pada pendekatan yang bersifat humanistik.
Interaksionisme simbolik juga telah mengilhami perspektif-perspektif lain,
seperti “Teori Penjulukan” (Labeling Theory) dalam studi tentang penyimpangan
perilaku (Deviance), perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, dan
etnometodologi dari Harlod Garfinkel. Ketiga pendekatan tersebut dapat dianggap
varian-varian interaksionisme simbolik, selain interaksionisme simbolik Mazhab
Iowa yang dikembangkan Manford H.Kuhn. Mazhab Iowa menggunakan metode
saintifik (positivistik) dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukumhukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat siuji secara empiris,
sementara mazhab Chicago menggunakan pendekatan humanistik. Meskipun
Kuhn tidak menolak sama sekali studi tentang studi tentang aspek-aspek
tersembunyi mengenai perilaku manusia, ia menyarankan penggunaan instrumen
objektif untuk mengukur perilaku terbuka, yang ia maksudkan
juga untuk
mengukur gagasan-gagasan Mead. Sayangnya gagasan-gagasan Kuhn tidak
mendapatkan banyak pendukung, setidaknya di kalangan penganut Teori Mead.
(Mulyana, 2008 : 68-69)
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya
adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik
pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang
mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga
pengaruhyang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku
pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Penganut interaksionisme
35
simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari
interpretasi mereka atas dunia disekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa
perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau
teori struktural. Alaih-alih, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan
berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.(Mulyana, 2008 : 71)
Dalam pandangan teori interaksi simbolik, pada intinya teori ini lebih
memfokuskan pada bagaimana manausia menggunakan simbol-simbol yang
mereka ciptakan melalui hasil atau proses pertukaran simbol-simbol sebagai
representasi yang ingin dilakukan manusia untuk berkomunikasi satu sama
lainnya, jadi pada dasarnya interaksi simbolik menjelaskan bahwa kehidupan
sosial ini adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. George
Herbert Mead membuat tiga konsep pemikiran tentang teori interaksi simbolik,
diantaranya Mind, The Self, dan Others.
Tiga konsep pemikiran Goerge Herbert Mead dalam interaksi simbolik
yakni : Human Though(Mind,) Social Interaction (The Self & Others) (Miller,
2002 : 51) :
1. Mind (Pikiran) : Pikiran bukanlah sebuah benda , tetapi merupakan
sebuah proses. Hal ini tidak lebih dari sekedar berinteraksi dengan diri anda
sendiri. Kemampuan ini yang berkembang sejalan dengan diri, sangat penting
bagi kehidupan manusia karena merupakan bagian dari setiap tindakan manusia.
Berpikir melibatkan keraguan (menunda tindakah yang jelas) ketika anda
36
menafsirkan situasi. Disini anda berpikir melalui situasi dan merencanakan
tindakan selanjutnya. (Littlejohn & Foss, 2009 : 235)
2. The Self (Diri) : Anda memiliki diri karena anda dapat merespons
kepada diri anda sendiri sebagai sebuah objek. Kadang-kadang, anda bereaksi
dengan baik pada diri anda serta merasakan kebanggaan, kebahagiaan, dan
keberanian. Cara utama anda dapat melihat diri anda sendiri adalah melalui
sebagaimana orang lain melihat anda melalui pengambilan peran atau
menggunakan sudut pandang orang lain dan inilah yang menyebabkan anda
memiliki konsep diri. Istilah untuk konsep diri adalah refleksi umum (Generalized
Others) Diri sendiri memiliki dua segi yakni I dan Me. I adalah bagian diri anda
yang menurut kata hati, tidak teratur, tidak terarah, dan tidak dapat ditebak. Me
adalah refleksi umum orang lain yag terbentuk dari pola-pola yang teratur dan
tetap, yang dibagi dengan orang lain. Setiap tindakan dimulai dari I dorongan
dan selanjutnya dikendalikan oleh Me. (Littlejohn & Foss, 2009 : 234)
3. Society (Masyarakat) : masyarakat atau kehidupan kelompok terdiri
atas perilaku-perilaku kooperatif anggota-anggotanya. Kerja sama manusia
mengharuskan kita untuk memahamimaksud orang lain yang juga mengharuskan
kita untuk mengetahui apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Jadi kerja sama
terdiri dari ”membaca” tindakan dan maksud orang lain serta menanggapinya
dengan cara yang tepat. (Littlejohn & Foss, 2009 : 233)
37
1.3.2.4. Teori Dramaturgi
Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “The Presentation of Self in
Everyday Life”, memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan
teateris. Banyak ahli mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini berada di
antara tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi. Dalam konsep ini, Goffman
memfokuskan pada ungkapan-ungkapan yang tersirat, yakni suatu ungkapan yang
lebih
bersifat
teateris,
kontekstual,
non-verbal,
dan
tidak
bersifat
intensional.(Sudikin, 2002 : 103).
Dalam analisis ini, orang akan berusaha memahami makna untuk
mendapatkan kesan dari berbagai tindakan orang lain, baik yang dipancarkan dari
mimik wajah, isyarat dan kualitas tindakan. Semua itu, menurut Goffman
mempunyai keakuratan yang lebih dibandingkan dengan ungkapan verbal
(Sudikin, 2002 : 103).
Teori ini pada intinya ingin memahami sebuah makna serta juga
mendapatkan kesan dari tindakan yang dilakukan oleh seorang individu baik
dalam bentuk isyarat tertentu seperti mimik wajah, bahasa tubuh, dan kualitas
tindakan yang ditunjukan, selain itu Erving Goffman menjelaskan bahwa disaat
individu-individu berinteraksi sebenarnya mereka mencoba menyajikan atau
merepresentasikan self image yang akan diterima oleh orang lain sebagai bentuk
pengelolaan kesan atau biasanya disebut impression management. Semuanya
termasuk dalam bentuk atribut digunakan untuk presentasi diri termasuk busana,
hunian, cara kita berbicara dan berjalan, serta lain sebagainya.
38
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka
ingin menyajikan suatu gambaran diri
yang akan diterima orang lain. Ia
menyebut upya itu sebagai “pengelolaan kesan”(impression management), yakni
teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam
situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Goffman, kebanyakan
atribut, milik atau aktivitas manusia digunakan untuk presentasi diri ini, termasuk
busana yang kita pakai, tempat kita tinggal, rumah yang kita huni, cara kita
melengkapinya (furnitur dan perabotan rumah), cara kita berjalan dan berbicara,
pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita menghabiskan waktu luang kita.
Memang segala sesuatu yang terbuka mengenai diri kita sendiri dapat digunakan
untuk memberitahu orang lain siapa kita. Kita melakukan hal itu dari situasi ke
situasi. (Mulyana, 2008 : 112).
Perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang
mirip dengan pertunjukan di atas panggung, yang menampilkan peran-peran yang
dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran sosial tersebut, biasanya sang
aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku non-verbal tertentu
serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian, dan
aksesori lainnya, yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor harus
memusatkan pikiran agar ia tidak keseleo lidah, menjaga kendali-diri, melakukan
gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan
situasi (Mulyana, 2008 : 114).
39
Erving Goffman menjelaskan bahwa dalam perspektif drama turgi,
kehidupan ini diibaratkan dalam sebuah pentas teater, dimana interaksi sosial
diibaratkan sebagai pertunjukan diatas panggung sedangkan pera aktor tersebut
memainkan perannya masing-masing dengan menggunakan bahasa verbal dan
non-verbal. Disamping itu pula, Goffman menyebutkan bahwa terdapat dua
panggung yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back
stage), dimana panggung depan menjelaskan tentang situasi fisik yang harus ada
ketika aktor melakukan pertunjukan, sedangkan panggung belakang berisi tentang
semua rahasia pertunjukan yang akan ditampilkan oleh aktor, sehingga rahasia ini
tidak diketahui oleh publik atau para penonton.
Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian : front pribadi
(personal front), dan setting, yakni situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus
melakukan pertunjukan. Tanpa setting, aktor biasanya tidak dapat melakukan
pertunjukan. Misalnya, seorang dokter bedah memerlukan ruang operasi, seorang
supir taksi memerlukan kendaraan, dan seorang pemain sepak bola memerlukan
lapangan bola. Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap khalayak
sebagai perlengkapan yang dibawa aktor kedalam setting. Misalnya, dokter
diharapkan mengenakan jas dokter, dengan stetoskop menggantung dilehernya;
profesor diharapkan membawa buku teks berbahasa asing yang tebal-tebal ketika
mengajar dikelas; dan wartawan diharapkan membawa kamera, alat perekam atau
buku catatan. Personal front ini mencakup juga bahasa verbal dan bahasa tubuh
sang aktor, misalnya berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi,
postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia, ciri-ciri fisik, dan
40
sebagainya. Hingga derajat tertentu semua aspek itu dapat dikendalikan aktor. Ciri
yang relatif tetap seperti seperti fisik (termasuk ras) dan usia biasanya sulit
disembunyikan atau diubah, namun aktor sering memanipulasinya dengan
menekankannya atau melembutkannya, misalnya menghitamkan kembali rambut
beruban dengan cat rambut, mencukur bulu-bulu diwajah hingga wajah menjadi
klimis dan tampak lebih mudah, atau sebaliknya memelihara jenggot dan kumis
untuk memberi kesan lebih berwibawa (dalam Mulyana, 2008 : 114-5).
Kontras dengan panggung depan, panggung belakang memungkinkan
pembicaraan dengan menggunakan kata-kata kasar atau tidak senonoh, komentarkomentar seksual yang terbuka, duduk dan berdiri dengan sembrono, merokok,
berpakaian seenaknya, menggunakan dialek atau bahasa daerah, mengomel,
berteriak, bertindak agresif dan berolok-olok, bersenandung, bersiul, mengunyah
permen karet, menggerumis, bersendawa atau kentut. Panggung belakang
biasanya berbatasan dengan panggung depan, tetapi bersembunyi dari pandangan
khalayak. Ini dimaksudkan untuk melindungi rahasia pertunjukan, dan oleh
karena itu, khalayak biasanya tidak diizinkan memasuki panggung belakang,
kecuali dalam keadaan darurat. Suatu pertunjukan akan sulit dilakukan bila aktor
membiarkan khalayak berada dipanggung belakang. (dalam Mulyana, 2008 : 115).
41
1.3.2.5. Komunikasi Verbal dan Non-Verbal.
1.3.2.5.1. Komunikasi Verbal
Komunikasi
verbal
merujuk
kepada
proses
komunikasi
dengan
menggunakan pesan verbal (lisan atau tulisan), atau proses penyampaian pesan
menggunakan kata-kata (Anugrah dan Kresnowiati, 2007 : 67).Sedangkan
menurut Deddy Mulyana, Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol
yang menggunakan satu kata atau lebih. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol , dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dam dipahami suatu
komunitas. (Mulyana, 2009 : 260).
Menurut Alo Liliweri, pada hakikatnya bahasa berhubungan langsung
dengan persepsi manusia, dan menggambarkan bagaimana ia menciptakan dunia
dan mewarnainya dengan simbol-simbol
yang digunakannya. Apa yang
dikatakannya seseorang, bagaimana cara mengatakan atau mengucapkannya
sangat dipengaruhi oleh apa yang dilihatnya dalam dunia nyata. (Liliweri, 1994 :
2)
Selanjutnya, untuk kepentingan komunikasi verbal, bahasa dipandang
sebagai suatu wahana penggunaan tanda-tanda atau simbol-simbol untuk
menjelaskan suatu konsep tertentu. Bahasa memiliki kekayaan simbolisasi verbal
dan dipandang sebagai upaya manusia : (1) mendayagunakan informasi yang
bersumber dari persepsi manusia; (2) medium untuk berkomunikasi secara santun
dengan diri sendiri maupun dengan orang lain (Liliweri, 1994 : 2)
42
Kemudian Jalaluddin Rakhmat (Rakmat, 1994 : 268-9), mendefinisikan
bahasa secara fungsional dan formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai
alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan
„dimiliki bersama‟, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di
antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal,
bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat
menurut peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana
kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti.
L. Barker (dalam Mulyana, 2009 : 266-7) mengatakan bahwa bahasa
mempunyai tiga fungsi, yaitu : penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan
transmisi informasi.
1.
Penamaan
atau
penjulukan
merujuk
pada
usaha
mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya
sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.
2.
dapat
Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang
mengundang
simpati
dan
pengertian
atau
kemarahan
dan
kebingungan.
3.
Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain,
inilah yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa
sebagai
fungsi
transmisi
informasi
yang
lintas-waktu,
dengan
menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan
kesinambungan budaya dan tradisi kita.
43
1.3.2.5.2. Komunikasi Non-Verbal
Komunikasi nonverbal adalah kumpulan isyarat, gerakan tubuh, sikap dan
sebagainya
yang
memungkinkan
seseorang
untuk
berkomunikasi
tanpa
menggunakan kata-kata (Anugrah dan Kresnowiati, 2007 : 57). Sedangkan
menurut Deddy Mulyana, secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat
yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter,
komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal)
dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan
lingkungan individu , yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau
penerima.; jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja
sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim
banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna
bagi orang lain (dalam Mulyana, 2009 : 343).
Menurut Alo Liliweri, komunikasi nonverbal acapkali dipergunakan untuk
menggambarkan perasaan, emosi. Jika pesan yang anda terima melalui sistem
verbal tidak menunjukan kekuatan pesan maka anda dapat menerima tanda-tanda
nonverbal lainnya sebagai pendukung, selain itu menurut Liliweri budaya
dinyatakan dalam gaya interaksiverbal dan nonverbal; misalnya melalui pepatah
dan ungkapan, pranata sosial, upacara, ceritera, agama bahkan politik (Liliweri,
1994 : 89).
44
Mark L. Knapp ( dalam Rakhmat, 1994 : 287) menyebut lima fungsi pesan
nonverbal, yaitu :
1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara
verbal.
2. Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal.
3. Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain
terhadap pesan verbal.
4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal.
5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya.
45
Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini memfokuskan pada masyarakat Etnik Tionghoa di
kelurahan Niki-Niki, Kecamatan Amanuban Selatan. Masyarakat Etnik Tionghoa
yang dimaksud adalah mereka sebagai kaum peranakan Etnik Tionghoa yang
merupakan hasil kawin campur dan sudah berbaur dengan Etnik lokal setempat
selama puluhan tahun lamanya. Dalam masyaratak Etnik Tionghoa peranakan ini,
terdapat realitas sosial dalam wujud kebudayaan seperti adat istiadat, arsitektur,
sistem kepercayaan, bahasa. Selain itu pula terdapat identitas sosial yang mereka
miliki, serta terjadinya interaksi sosial baik diantara sesama Etnik Tionghoa itu
sendiri dan juga antara Etnik Tionghoa dengan Etnik lainnya khususnya Etnik
Timor Dawan.
Dalam penelitian ini ada beberapa teori dan pendekatan yang digunakan
untuk mengungkapkan realitas sosial ini, perspektif fenomenologi Schutz
mencoba mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran,
dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima
secara estetis. Dan fenomenologi juga mencoba mencari pemahaman bagaimana
manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting. Dalam kaitannya
dengan penelitian ini, adalah bagaimana Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki
memaknai identitas etnik mereka melalui pengalaman-pengalaman yang dialami
seperti dalam kesadaran, pikiran dan tindakan mereka.
Komunikasi
antar
etnik
mengkategorikan
komunikasi
antarpribadi,
komunikasi kelompok yang terjadi antara kelompok agama, suku, ras dan
46
golongan sebagai bagian dari komunikasi antar etnik. Masyarakat Etnik Tionghoa
di Kelurahan Niki-Niki dalam melakukan interaksinya sehari-hari baik dengan
sesama Etniknya sendiri maupun dengan Etnik lainnya juga dikategorikan sebagai
komunikasi antar etnik, penelitian ini ingin melihat bagaimana komunikasi antar
etnik yang terjadi antara Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki dengan Etnik
lainnya khususnya Etnik Timor Dawan dan dapat mengetahui bentuk pola
komunikasi antar etnik yang dihasilkan. Sedangkan Identitas Etnik dalam
kaitannya dengan penelitian ini adalah bagaimana Etnik Tionghoa pernakan di
Kelurahan Niki-Niki mengidentifikasikan identitas etniknya, bagaimana mereka
menciptakan batasan-batasan etniknya secara khas mempertahankan, dan
menciptakan pola-pola identitas tersebut ditengah keberagaman masyarakat
Kelurahan Niki-Niki. Hal ini dapat diteliti melalui identitas sosial mereka seperti
penggunaan nama, batasan fisik, sistem kepercayaan, arsitektur, adat istiadat serta
norma yang berlaku.
Teori Interaksi simbolik memandang bahwa dalam proses komunikasi
manusia menciptakan dan menggunakan simbol-simbol yang digunakan untuk
berinteraksi satu sama lainnya baik secara verbal maupun non-verbal, dalam
kehidupannya sehari-hari yakni dalam konteksi komunikasi antar etnik Etnik
Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki berintraksi satu sama lain
menggunakan
komunikasi verbal dan non-verbal, dimana dalam proses komunikasi ini mereka
menciptakan simbol-simbol dan memaknai simbol yang mereka gunakan sebagai
bagian dari proses interaksi atau komunikasi. Dalam kaitannya dengan teori
drama turgi Erving Goffman, dalam penelitian ini ingin melihat bagaimana
47
perilaku Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki dalam komunikasi antar etniknya
dengan sesama Etnik Tionghoa dan juga denga Etnik lainnya, baik pada panggung
depan dan panggung belakang.
Pada akhirnya melalui pendekatan fenomenologi Schutz dan teori lainnya
dapat mengungkap bagaimana Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki memaknai
identitas etniknya serta dari hasil ini juga dapat menggambarkan pola-pola atau
model komunikasi antar etnik pada Masyarakat Etnik Tionghoa tersebut.
48
Kehidupan Multi-Etnik di Niki-Niki
Etnik Tionghoa
Etnik Timor Dawan
Komunikasi Antar Etnik
Pendekatan Fenomenologi
Pengalaman Etnik Tionghoa
memaknai identitas etnik dalam
komunikasi antar etnik.
Interaksi Simbolik
Simbol verbal dan non-verbal
dalam komunikasi antar etnik.
Dramaturgi
Perilaku Etnik Tionghoa dalam
komunikasi antar etnik.
Identitas Etnik
Identifikasi Identitas Etnik
Pola Komunikasi Antar Etnik
Makna Identitas Etnik Tionghoa
Gambar 1. Model Kerangka Pemikiran
49
1.4. Fokus Penelitian
Penelitian ini akan memfokuskan pada masyarakat Etnik Tionghoa di
Kelurahan Niki-Niki khususnya mereka yang merupakan keturunan kawincampur dengan masyarakat lokal setempat maupun yang golongan peranakan,
selain itu dalam penelitian ini pula peneliti akan mencoba menggali lebih jauh
mengenai proses dan pola komunikasi antar etnik masyarakat etnik Tionghoa
dengan etnik setempat, mengetahui seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika
berinteraksi dengan etnik setempat, mengungkapkan pengalaman-pengalaman
etnik Tionghoa memaknai identitas mereka sendiri. Maka muncul pertanyaan
besar dalam penelitian ini, bagaimana masyarakat Etnik Tionghoa memaknai
identitas etnik ketionghoaan mereka ?
Pertanyaan penelitian yang akan diteliti lebih jauh dalam penelitian ini :
1. Bagaimana proses dan pola komunikasi antar etnik Etnik Tionghoa
dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki ?
2. Seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik
setempat di Kelurahan Niki-Niki ?
3. Mengungkap seperti apa pengalaman-pengalaman etnik Tionghoa di
Kelurahan Niki-Niki memaknai identitas etnik mereka ?
50
1.5. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan fenomenologi. Menurut Thomas Lindof
metode kualitatif untuk
penelitian komunikasi dengan paradigma fenomenologi, etnometodologi, interaksi
simbolik, etnografi dan studi kultural, sering disebut sebagai paradigma interpretif
(interpretive paradigm). Sedangkan menurut Watt & Berg menjelaskan bahwa
paradigma teori interaksi simbolik, fenomenologi dan etnometodologi yang
mengembangkan
metode
kualitatif
untuk
penelitian
komunikasi
dapat
mengungkapkan kontruksi realitas (reality construction). (dalam Kuswarno, 2009
: 125)
Metodologi kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2007 :
4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada
latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh
mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi
perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan. Sedangkan menurut
Moleong (Moleong, 2007 : 6) bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik,
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
51
Pendekatan fenomenologi menurut Schutz (dalam Kuswarno, 2009 : 2)
bahwa tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena
dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan, seperti bagaimana
fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba
mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsepkonsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektif karena
pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain.
Walaupun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan
aktivitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain didalamnya.
1.5.1. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini yang akan menjadi subjek penelitian adalah semua
masyarakat Etnik Tionghoa secara umum yang terdapat di seluruh Kelurahan
Niki-Niki, namun semuanya belum termasuk sebagai informan penelitian.
1.5.2. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini yang akan menjadi objek penelitian adalah hal-hal
yang berkaitan dengan makna identitas Etnik Tionghoa dalam komunikasi antar
etnik di Kelurahan Niki-Niki. Makna identitas disini adalah bagaimana etnik
Tionghoa memaknai dan mengidentifikasi identitas melalui pengalamanpengalaman mereka, bagaimana proses dan pola komunikasi antar etnik pada
Etnik Tionghoa, serta seperti apa perilaku etnik Tionghoa dalam komunikasi antar
etnik dengan etnik setempat. Untuk memperdalam serta mengungkapkan
52
fenomena di lapangan digunakan metode pengamatan berperan-serta (observasi
partisipan), wawancara mendalam dengan para informan, serta mengumpulkan
dokumentasi-dokumentasi lainnya berupa foto atau berkas yang relevan dengan
penelitian ini.
1.5.3. Sumber Data dan Penentuannya
Untuk dapat membuat penjelasan tentang sesuatu permasalahan secara
mendalam, maka dibutuhkan informan maupun rentang waktu yang cukup.
Artinya orang yang dijadikan narasumber data adalah orang yang benar-benar
mewakili seluruh populasi dan mencerminkan komunitas dari keseluruhan objek
penelitian.
Sesuai dengan fokus perhatian dalam penelitian ini yaitu masyarakat Etnik
Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki, Kelurahan Niki-Niki yang dihuni kurang lebih
1054 jiwa keturunan atau Etnik Tionghoa yang dibawahi oleh 63 kepala keluarga
yang dimana rata-rata mereka merupakan keturunan dari generasi ke empat dan
lima. Namun dari semua jumlah masyarakat keturunan atau Etnik Tionghoa di
kelurahan Niki-Niki tidak dijadikan sebagai responden atau informan penelitian,
peneliti hanya akan memilih sepuluh orang sebagai bahan informan. Dimana
dalam menentukan informan atau sampel pada penelitian kualitatif tidak ada
sampel acak melainkan
sampel bertujuan (purposive sampling), penggunaan
teknik sampel ini bertujuan agar menjaring sebanyak mungkin informasi dari
berbagai macam sumber dan bangunannya sertamenggali informasi yang akan
menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul.
53
Menurut Creswell, jumlah informan dalam penelitian fenomenologi (pada
penelitian positivistik disebut pengambilan sampel), juga tidak ditentukan. Faktor
terpenting memilih informan adalah karena diharapkan dapat menggambarkan
makna dari fenomena/peristiwa secara detail. Biasanya jumlah informan dalam
penelitian fenomenologi sampai dengan sepuluh orang, dirasakan sudah cukup.
(dalam Kuswarno, 2009 : 62)
Adapun kriteria-kriteria informan yang diajukan peneliti adalah sebagai
berikut :
1. Etnik Tionghoa yang telah hidup lama di Kelurahan Niki-Niki, etnik
Tionghoa yang dimaksud adalah mereka yang telah beralkulturasi dan
beradaptasi dengan masyarakat setempat termasuk didalamnya adalah
kaum Tionghoa peranakan maupun yang campuran, dimana merupakan
keturunan kawin campur dengan etnik Timor Dawan.
2. Etnik Tionghoa yang merupakan warga asli atau kelahiran di Kelurahan
Niki-Niki atau yang telah tinggal sekurang-kurangnya selama 10-20 tahun.
3. Etnik Tionghoa baik yang sudah menikah atau belum menikah.
4. Etnik Tionghoa yang dianggap cukup mengetahui seluk beluk hubungan
sosial, budaya dan keluarga mereka dan bersedia dijadikan sebagai
informan penelitian.
5. Etnik Tionghoa yang diantaranya juga adalah para tokoh masyarakat etnik
Tionghoa.
54
1.5.4. Teknik Pengumpulan Data
1.5.4.1. Metode Observasi Partisipasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra
lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena itu, observasi adalah
kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja
pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Observasi partisipan
yang dimaksud adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek
pengamatan
dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam
aktivitas kehidupan objek pengamatan. Dengan demikian, pengamat betul-betul
menyelami kehidupan objek pengamatandan bahkan tidak jarang pengamat
kemudian mengambil bagian dalam kehdupan budaya mereka (Bungin, 2007 :
115-6).
Dalam pengamatan partisipan ini, peneliti akan turun secara langsung
dilapangan mengamati dan terlibat dalam kehidupan masyarakat Etnik Tionghoa
di kelurahan Niki-Niki, bagaimana interaksi mereka dalam bentuk komunikasi
antaretnik baik secara verbal dan non-verbal dalam kehidupan sehari-hari, dan
bagaimana mereka memaknai identitas Etnik mereka. Dalam hal ini, yang diamati
oleh peneliti secara detail adalah bagaimana etnik Tionghoa (peranakan dan
campuran) berinteraksi baik dengan sesama etniknya sendiri maupun dengan
etnik Dawan dengan mengggunakan komunikasi verbal (bahasa) dan komunikasi
non-verbal (gerakan tubuh, isyarat, komunikasi tanpa kata-kata, dan sebagainya).
55
Sedangkan dalam mengungkapkan makna identitas etniknya adalah peneliti
mengamati bagaimana perilaku informan ketika berinteraksi dengan sesama etnik
Tionghoa lainnya maupun dengan etnik Dawan. Pengamatan ini bertujuan
menyamakan hasil temuan selama proses wawancara atau diskusi dengan
informan.
1.5.4.2. Metode Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya-jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat
dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara
mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin, 2007 :
108).
Selain
menggunakan
metode
pengamatan
berperan
serta,
peneliti
menggunakan metode wawancara mendalam, dimana peneliti terlibat langsung
dalam memperoleh informasi dari informan secara langsung dalam proses tanya
jawab, dengan tujuan mendapatkan informasi atau data tambahan untuk
mendukung penelitian, selain itu peneliti juga mempersiapkan kerangka-kerangka
pertanyaan untuk diajukan kepada informan. Kerangka pertanyaan yang dimaksud
adalah daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis, namun tidak tertutup
kemungkinan saat wawancara berlangsung muncul pertanyaan lain sesuai dengan
jawaban informan. Disamping itu, dalam proses wawancara ini peneliti
56
menggunakan pendekatan dengan menggunakan bahasa melayu Kupang ketika
melakukan wawancara. Disamping melakukan wawancara secara formal, peneliti
juga melakukan wawancara secara off the record terhadap informan untuk
menggali data-data lain yang tidak didapat selama wawancara secara formal.
1.5.4.3. Metode Dokumentasi
Menurut Kartono (dalam Bungin, 2007 : 121) bahwa metode dokumenter
adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodelogi
penelitian sosial. Pada intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan
untuk menelusuri data historis. Dengan demikian, pada penelitian sejarah, maka
bahan dokumenter memegang peranan yang amat penting.
Sedangkan meurut Kartodirdjo (dalam Bungin, 2007 : 122) bahwa sebagian
besar data yang tersedia
adalah berbentuk surat-surat, catatan harian,
cinderamata, laporan, dan sebagainya. Sifat utama dari data ini tak sebatas pada
ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui
hal-hal yang pernah terjadi diwaktu silam. Kumpulan data bentuk tulisan ini
disebut dokumen dalam arti luas termasuk monumen, artefak, foto, tape,
mikrofilm, disc, CD, harddisk, flashdisk, dan sebagainya.
Dalam kegiatan penelitian ini, selain menggunakan metode pengamtan dan
wawancara peneliti juga menggunakan metode dokumentasi sebagai bahan
pelengkap data penelitian berupa foto, transkrip wawancara, atau dokumendokumen lainnya yang berhubungan dengan hasil penelitian ini.
57
1.5.5. Analisa Data
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan
fenomenologi dan menggambarkan temuan lapangan secara utuh. Data di dalam
penelitian kualitatif selalu berbentuk rangkaian kata-kata bukan angka-angka.
Proses analisa data yang akan dilakukan dalam penelitian ini terdiri enam tahapan,
Creswell mengemukakan teknik analisis dan representasi data yang agak berbeda
untuk penelitian fenomenologi (dalam Kuswarno, 2009 : 71) :
Analisis dan Representasi
Penelitian Fenomenologi
Data
Pengolahan Data
Membuat dan mengorganisasikan data.
Membaca dan mengingat Membaca teks, membuat batasan-batsan catatan,
data
dan membuat form kode-kode inisial.
Menggambarkan data
Menggambarkan makna dari peristiwa
untuk
peneliti
Mengklasifikasikan data
Menemukan
pernyataan-pernyataan
bermakna, dan membuat daftarnya.
Mengelompokkan
penyataan-pernyataan
yang sama ke dalam unit-unit makna tertentu.
Interpretasi data
Membangun deskripsi tekstural (apa yang
terjadi).
Membangun deskripsi struktural (bagaimana
peristiwa itu dialami)
Membangun
deskripsi
keseluruhan
dari
peristiwa (esensi peristiwa)
Visualisasi dan presentasi Narasi esensi peristiwa, dilengkapi dengan tabel
data
pernyataan, dan unit-unit makna.
Tabel 2. Model Teknik Analisa Data Menurut Cresswell
58
1.5.6. Uji Keabsahan Data
Penelitian kualitatif menghadapi persoalanpenting mengenai pengujian
keabsahan hasil penelitian. Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan
kebenarannya karena beberapa hal ; (1) subjektivitas peneliti merupakan hal yang
dominandalam penelitian kualitatif, (2) alat penelitian yang diandalkan adalah
wawancara dan observasi (apapun bentuknya) mengandung banyak kelemahan
ketika dilakukan secar terbuka dan apalagi tanpa kontrol (dalam observasi
partisipasi), (3) sumber data kualitatif yang kurang kredibel akan mempengaruhi
hasil akurasi penelitian. (Bungin, 2007 : 254).
Untuk itu, peneliti akan melakukan beberapa cara keabsahan data yakni :
1. Perpanjangan Keikutsertaan, dalam setiap penelitian kualitatif,
kehadiran peneliti dalam setiap tahap penelitian kualitatif membantu
peneliti untuk memahami semua data yang dihimpun dalam
penelitian. Karena itu hampir dipastikan bahwa peneliti kualitatif
adalah orang yang langsung melakukan wawancara dan observasi
dengan informan-informannya. Karena itu peneliti kualitatif adalah
peneliti yang memiliki waktu yang lama berama dengan informan
dilapangan, bahkan samai kejenuhan pengumpulan data tercapai.
(Bungin, 2007, hal 254-5). Sedangkan menurut Moleong (Moleong,
2007, hal 327) mengatakan apabila peneliti lebih lama dilapangan,
maka ia akan membatasi; (1) ganguan dari dampak peneliti pada
konteks, (2) kekeliruan (biases) peneliti, (3) mengonpensasikan
59
pengaruh dari kejadian-kejadian yang tidak biasa atau pengaruh
sesaat.
2. Menemukan Siklus Kesamaan Data, tidak ada kata sepakat
mengenai kapan suatu penelitian kualitatif dihentikan dalam arti
kapan selesainya suatu penelitian dilakukan secara kualitatif. Ketika
peneliti mengatakan bahwa setiap hari ia menemukan data baru,
maka artinya ia masih terus bekerja untuk menemukan data lainnya
karena informasi yang ingin diperolehnya masih banyak. Akan tetapi
suatu hari ia menemukan informasi yang sama yang pernah
didapatkan, begitu pula hari-hari berikutnya ia hanya memperoleh
data yang pernah diberikan oleh informan sebelumnya. Dengan
demikian, ia harus melakukan langkah akhir yaitu menguji
keabsahan data penelitiannya dengan informasi yang baru saja ia
peroleh dan apabila tetap sama maka ia sudah menemukan siklus
kesamaan data atau dengan kata lain ia sudah berada di penghujung
aktivitas penelitiannya. (Bungin, 2007 : 256)
3. Ketekunan Pengamatan, untuk memperoleh derajat keabsahan yang
tinggi, maka jalan penting lainnya adalah dengan meningkatkan
ketekunan dalam pengamatan di lapangan. Pengamatan bukanlah
suatu teknik pengumpulan data yang hanya mengandalkan
kemampuan
pancaindra,
namun
juga
menggunakan
semua
pancaindra termasuk adalah pendengaran, perasaan, dan insting
peneliti. Dengan meningkatkan ketekunan pengamatan di lapangan
60
maka, derajat keabsahan data telah ditingkatkan pula. (Bungin, 2007
: 256)
4. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
dimanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik
triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui
sumber lainnya. (Moleong, 2007 : 330).
5. Pengecekan melalui diskusi, diskusi dengan berbagai kalangan yang
memahami masalah penelitian, akan memberi informasi yang berarti
kepada peneliti, sekaligus sebagai upaya untuk menguji keabsahan
hasil penelitian. Cara ini dilakukan dengan mengekspos hasil
sementara dan atau hasil akhir untuk didiskusikan secara analitis.
Diskusi bertujuan untuk menyingkapkan kebenaran hasil penelitian
serta mencari titik-titik kekeliruan interpretasi dengan klarifikasi
penafsiran dari pihak lain (Bungin, 2007 : 258)
6. Kajian Kasus Negatif, kajian kasus negatif dilakukan dengan jalan
mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan dan
kecendrungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan
sebagai bahan pembanding. Kajian ini dapat dilakukan dengan
mengkaji suatu kegiatan penelitian lain yang gagal, umpamanya para
petugas lapangan, karena kesulitan di lapangan tidak dapat menemui
informan di rumah masing-masing informan, sebagai jalan
keluarnya, mereka mengumpulkan informan dibalai desa dan
61
mewawancarai mereka
sepuluh orang sekaligus. Karena peneliti
memperoleh informasi yang sama pada wawancara berikutnya maka
peneliti mengaggap bahwa sepuluh informan berikutnya lagi akan
menyampaikan informasi yang sama pula, maka peneliti tidak
melakukanwawancara kepada informan lagi tetapi mengisi sendiri
lembaran interview itu dan meninggalkan desa tersebut (Bungin,
2007 : 258).
7. Pengecekan anggota tim, pengecekan anggota tim pada prinsipnya
adalah konfirmasi langsung dengan kelompok anggota tim yang
terlibat langsung pada saat penelitian dengan mengonfirmasi ikhtisar
hasil wawancara. Selain itu dilakukan pengecekan silang pada
kelompok lain sebagai contoh penelitian. Langkah ini dilakukan
apabila peneliti bekerja dengan tim peneliti, maka langkah ini sangat
dibutuhkan untuk menyatukan persepsi data tertentu yang diperoleh
di lapangan oleh peneliti satu dan lainnya, sehingga data yang
diperoleh tersebut memiliki tingkat keabsahan yang tinggi. Namun
apabila ternyata masing-masing peneliti tidak sepakat tentang suatu
informasi, maka harus dilakukan pengecekan kembali terhadap
informasi tersebut untuk memperoleh kejelasan informasi (Bungin,
2007 : 259).
62
1.5.7. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kelurahan Niki-Niki yang merupakan
salah satu kelurahan yang berada dibawah kecamatan Amanuban Tengah,
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan luas
wilayah yang mencapai 1200 km² ini memiliki jumlah penduduk mencapai 3032
jiwa yang tersebar dalam 700 kepala keluarga.
Pemilihan lokasi ini tidak lepas dari pertimbangan peneliti bahwa di
kelurahan Niki-Niki ini banyak masyarakat keturunan Etnik Tionghoa peranakan
dan khususnya Tionghoa campuran yang rata-ratanya sudah kawin campur
dengan masyarakat lokal setempat tetap mempertahankan identitas etnik
Ketionghoaannya ditengah-tengah keberagaman masyarakat kelurahan Niki-Niki,
disamping itu juga kehidupan mereka masih tradisional dan belum banyak
terpengaruh gaya hidup modern, karena lokasinya yang jauh dari pusat ibu kota
Kabupaten dan Provinsi. Dari keunikan ini, peneliti berharap dapat memperoleh
informasi bernilai dari responden untuk penelitian ini.
63
1.5.8. Jadwal Penelitian
Kegiatan
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni-
Nov
2012
2012
2012
2012
2012
Okt
2012
2012
Observasi
Awal
Bimbingan
Seminar
Usulan
Penelitian
Revisi Hasil
Seminar
Penelitian dan
Penulisan
Sidang Tesis
Tabel 3. Jadwal Penelitian
Download