PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN TERORISME SEBAGAI ‘EXTRAORDINARY CRIME’ DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN NASIONAL Aulia Rosa Nasution Magister Hukum & Fakultas Hukum Universitas Medan Area Email: [email protected] Abstrak: This paper aims to review the acts of terrorism as an ‘extraordinary crime’ in the perspective of the international and national law. The approach methodology of this research usesthe juridical normative methodology which is conducted by analyzing and reviewing the international conventions on terrorismand theanti terrorism law in Indonesia specially the Act No. 15/2003 on Combating Terrorism Acts. Terrorism has become one of the national threat for Indonesia and for the world globally because it destroyed civilians people physically and mentally. Terrorism often occurred in the international and national scope, which has negative impacts for the stability and the security in Indonesia. In an effort to counter the acts of terrorism, Indonesian government has ratified several anti terrorism conventions. Indonesian government also has declared its commitment to combat all forms of terrorism acts which has been set in the Act No. 15/2003 on Combating Terrorism Acts. One of the considerations in the creation of the anti terrorism law in Indonesia is because the acts of terrorism has its own characteristic which isvery different from other ordinary crimes and causes it to be categorized as an ‘Extraordinary crime’. Keywords: Anti Terrorism Law, Act No. 15/2003, Extraordinary Crime, International Conventions, Law Enforcement Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk meninjau mengenai tindakan terorisme sebagai ‘kejahatan luar biasa’ dalam perspektif hukum internasional dan nasional. Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yang merupakan penelitian yg dilakukan dengan menganalisa dan membahas berbagai konvensi -konvensi internasional dan Undang-undang Anti Terorisme khususnya Undang - Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terorisme telah menjadi salah satu ancaman nasional bagi Indonesia dan bagi dunia pada umumnya karena menghancurkan orang orang sipil baik secara fisik dan non fisik (mental) . Terorisme sering terjadi dalam ruang lingkup Internasional dan nasional yang sangat memberikan dampak yang negatif bagi stabilitas dan keamanan di Indonesia . Dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan terorisme, pemerintah Indonesia telah mengesahkan (meratifikasi) beberapa konvensi internasional yang mengatur tentang terorisme. Pemerintah Indonesia juga telah menyatakan komitmennya untuk memerangi segala bentuk kejahatan terorisme yang dituangkan ke dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disahkan menjadi Undang - Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.Salah satu pertimbangan perlu dibentuknya UndangUndang yang secara khusus mengatur tentang delik terorisme karena tindakan-tindakan terorisme memiliki ciri-ciri (karakteristik) tersendiri yang sangat berbeda dengan kejahatan biasa lainnya dan hal inilah yangmenyebabkan terorisme digolongkan ke sebagai ‘Extraordinary Crime’ atau kejahatan luar biasa. Kata kunci: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, Undang-Undang Anti Terorisme, Extraordinary Crime, Konvensi Internasional, Penegakan Hukum Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 1 Pendahuluan Fenomena terorisme global berawal dari abad ke-20 dimana terorisme telah menjadi bagian dan ciri pergerakan politik dari kelompok ekstrem kanan dan kiri , dalam spektrum ideologi-politik suatu negara. Terorisme lahir sejak ribuan tahun silam dan telah menjadi legenda dunia. Teror digunakan oleh suatu kelompok untuk melawan rezim yang lahir sejak adanya kekuasaan atau wewenang dalam peradaban manusia. Abad pertama, kelompok „Sicarii’ (Yahudi) dan gerakan „Zealot’ , telah melakukan salah satu taktik untuk memperpanjang perang gerilya melawan penguasan Roma, dengan teror.1 Pada tahun 1793-1794, pemerintahan teror terjadi dalam Revolusi Prancis. Dalam rezim teror itu, sejumlah300.000 orang ditangkap dan 17.000 orang dieksekusi tanpa pengadilan. Kemudian di pertengahan abad ke-19, terorisme muncul dari penganut anarkisme di Eropa Barat, Rusia dan Amerika Serikat. Mereka percaya bahwa jalan terbaik untuk memberikan efek gerakan politik revolusioner dan perubahan sosial adalah menyusupkan seseorang ke dalam pemerintahan. Tahun 1865-1905, beberapa raja, presiden, perdana menteri dan pejabat pemerintahan telah menjadi korban pembunuhan kaum anarkhi dengan senjata api atau bom.2 Menjelang akhir abad ke -19 dengan fenomena pecahnya Perang Dunia I, terorisme terjadi di berbagai belahan dunia. Terorisme Armenia melawan kekuasaan Turki dimulai pada tahun 1890-an dan diakhiri dengan pembunuhan massal terhadap orang- orang Armenia yang terus berlanjut hingga di luar Turki. Terorisme juga digunakan satu atau dua pihak dalam konflik antikolonial seperti terjadi di Irlandia Utara terhadap Inggris oleh organisasi IRA (Irish Republican Army) sebagai akibat rasa benci dari kelompok katolik yang menentang perlakuan tidak adil dari kaum mayoritas Protestan di Inggris. Demikian juga konflik Israel dan Palestina yang saling berebut otonomi wilayah telah mewarnai fenomena terorisme saat ini. Banyak 1 Adjie.S.,Terorisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 1 Ibid. 2 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 2 pihak yang berpendapat aksi yang dilakukan pejuang Palestina dicap sebagai teroris sedangkan untuk aksi yang sama dilakukan oleh orang Israel disebut kontraterorisme. Saat ini teroris di seluruh dunia beroperasi atau melakukan aksinya dalam hubungan secara internasional berdasarkan kebangsaan, agama, rasa atau ideologipolitik. Pada umumnya mereka dibiayai, dilatih dan dikendalikan dari agen di luar negara dan mereka saling terkait dengan jaringan teroris negara lainnya. Dalam perkembangannya, terorisme modern yang terjadi pasca Perang Dunia II dilakukan oleh ratusan organisasi dengan berbagai macam motif, tujuan dan sasaran baik yang disponsori maupun tanpa sponsor dari negara berdaulat manapun. 3 Terorisme kembali menjadi topik pembahasan dunia sejak serangan sangat dahsyat terhadap menara kembar World Trade Center di New York dan Pentagon pada tanggal 11 September 2001. Dalam membahas terorisme adalah sangat penting untuk menyadari bahwa terorisme bukan hanya merupakan suatu bentuk kekerasan tetapi ia juga merupakan metode dan misi politik yang menggunakan kekerasan. Para terroris memandang kekerasan tidak saja sebagai tujuan, tetapi juga sebagai cara menunjukan kekuatan dan ancaman terhadap seseorang atau kehidupan masyarakat. Salah satu unsur utama dalam kejahatan terorisme adalah penggunaan kekerasan, seperti dengan cara menggunakan atau meledakkan bom, menganiaya atau menyakiti sandera guna menggapai misi yang diinginkan.4Teror mengandung arti penggunaan kekerasan, untuk menciptakan atau mengkondisikan sebuah iklim ketakutan di dalam kelompok masyarakat yang lebih luas daripada hanya pada jatuhnya korban kekerasan. Dalam perkembangannya, muncul konsep yang memberi pengertian bahwa terorisme adalah cara atau teknik intimidasi dengan sasaran sistemati, demi suatu kepentingan politik tertentu.5 3 Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam (Jakarta: Buku Kompas, 2009), hal. 5 4 Abdul Wahid,et.al, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal.19 5 Hendropriyono, Op.cit., hal. 25 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 3 Menurut Undang-Undang Terorisme Inggris (UK Terrorism Act 2000) , „Terorisme‟ berarti penggunaan atau ancaman dari suatu tindakan dimana tindakan – tindakan tersebut termasuk ke dalam ayat (2) yaitu: (a) melibatkan kekerasan yang serius terhadap seseorang;(b) melibatkan kerusakan yang serius; (c) membahayakan jiwa manusia selain orang yang melakukan tindakan tersebut; (d) menimbulkan akibat-akibat yang serius terhadap kesehatan atau keselamatan umum atau sebagian umum; (e) dirancang dengan serius untuk mengganggu sistem elektronik.6 Sementara itu definisi terorisme menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 yang disahkan menjadi UndangUndang RI Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan pada Pasal 6 adalah setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas intrernasional.7 TINJAUAN UMUM MENGENAI TERORISME 1.1. Istilah dan Konsep Terorisme Terdapat berbagai pengertian tentang terorisme. Namun hingga saat ini belum ada rumusan yang jelas dan obyektif tentang istilah terorisme. PBB pun belum berhasil membuat definisi tentang terorisme. Menurut Noam Chomsky, istilah terorisme mulai digunakan pada akhir abad ke-18 terutama untuk menunjuk aksiaksi kekerasan pemerintah (penguasa) yang ditujukan untuk menjamin ketaatan 6 UK Terrorism Act 2000, http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2000/11/contents , diakses pada tanggal 1 Mei 2017 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 167 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 4 rakyat. Dengan kata lain istilah tersebut digunakan untuk merujuk pada kekuatan koersif (pemaksa-penekan ) suatu rezim yang berkuasa.8 Terorisme secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu‘terrere’ yang artinya „menakut-nakuti‟. Kata teror sendiri berasal dari bahasa latin „terrorem‟ yang memiliki arti rasa takut yang luar biasa. Pengertian terorisme digunakan untuk menggambarkan sebuah serangan yang disengaja terhadap ketertiban dan keamanan umum. Terorisme juga dapat diartikan menakut nakuti atau menyebabkan ketakutan, sedangkan teroris berarti orang atau pihak yang selalu menimbulkan ketakutan pada pihak lain.9 Penggunaan istilah terorisme digunakan pasca terjadinya revolusi Prancis dan dimulainya „Reign of Terror’ antara tahu 1793-1794, yang menggambarkan pemerintahan yang berkuasa dengan mempraktekkan cara - cara teror dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya. 10 Menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, definisi terorisme adalah kekerasan yang direncanakan, bermotivasi politik, ditujukan terhadap targe-target yang tidak bersenjata oleh kelompok - kelompok sempalan atau agen agen bawah tanah, biasanya bertujuan untuk mempengaruhi khalayak.11 Sementara itu menurut FBI, definisi terorisme adalah penggunaan kekuatan atau kekerasan secara tidak sah terhadap orang orang atau harta benda untuk menakut-nakuti atau memaksa suatu pemerintahan, populasi sipil atau bagian dari mereka, untuk mencapai tujuan - tujuan yang bersifat sosial dan politik. 12 Secara umum istilah terorisme Terrorism) dan terbagi menjadi Terorisme Negara (State Terorisme Non- Negara (Non-state Terrorism).Namun yang dikembangkan akhir – akhir ini hanya yang terkait dengan terorisme non-Negara 8 Sebagaimana dikutip oleh Riza Sihbudi, Dimensi Internasional Terorisme, dalam „ Terorisme Di Tengah Arus Global Demokrasi (Bekasi: Spektrum, 2006), hal. 50 9 Fajar Purwawidada, Jaringan Baru Teroris Solo, (Jakarta: Gramedia, 2014), hal. 13 10 Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2009), hal. 2 11 Title 22 of the U.S. Code, Chapter 38, Section 2656f(d)(2) 12 Terrorism 2002/2005https://www.fbi.gov/stats-services/publications/terrorism-2002-200, diakses pada 7 Mei 2017 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 5 sementara terorisme Negara cenderung diabaikan. Padahal jenis terorisme negara seperti yg dipraktekkan oleh Israel terhadap rakyat Palestina, atau oleh militer AS terhadap rakyat Afghanistan dan Irak, jauh lebih biadab ketimbang terorisme nonnegara. 13 Istilah terorisme pada tahun 1970-an ditujukan pada beragam fenomena mulai dari bom yang meletus di tempat - tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan. Beberapa pemerintah bahkan menstigma musuh-musuhnya sebagai “teroris‟ dan aksi aksi mereka disebut “terorisme”. Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang pertama kali mendeklarasikan “War on Terrorism” atau “Perang terhadap terorisme” belum mampu mendefinisikan terorisme dengan gamblang dan jelas sehingga semua orang dapat memahami makna sesungguhnya. Ketidakkonsistenan AS dalam menggunakan istilah terorisme telah menimbulkan kesan bahwa apa yang mengancam kepentingan AS sesungguhnya merupakan perang melawan pihak-pihak yang mengancam kepentingan AS. Hal ini sejalan dengan “Doktrin Bush” pasca tragedi 11 September yang meminta negara - negara untuk memberikan pilihan mendukung AS atau kelompok teroris. Artinya siapapun yang tak mau mendukung perang melawan terorisme, secara otomatis dianggap berpihak pada kaum teroris. 14 Sejalan dengan pendapat tersebut menurut pendapat Mardenis, AS juga adalah sebagai “the real terrorist” karena AS senantiasa menggunakan kekerasan jika kepentingan politiknya terancam. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa pengeboman AS di Hiroshima dan Nagasaki. Di Vietnam AS juga yang menjatuhkan bom „Napalm’ dan „Agent Orange’ yang membunuh ratusan orang dan merusak Vietnam, demikian halnya tindakan AS yang menyerang Kuba, Granada, Irak, Afganishtan, Irak, melibatkan diri dalam perang Arab-Israel dan pembantaian Israel terhadap rakyat Palestina. Dengan kata lain, sampai saat ini pengertian dan klasifikasi terorisme sangat bias kepentingan, terutama kepentingan politik dan ideologi negara – 13 M. Riza Sihbudi, Op.cit., 51 Op.cit., 58 14 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 6 negara Barat, terutama AS yang membuat banyak berbagai pihak menjadi skeptic terhadap kebijakan internasional memerangi terorisme.15 Secara dikotomis, istilah terorisme terbagi menjadi State Terrorism (State Sponsored Terrorism) dan State Terrorism.State Terrorism terorisme yang dilakukan pemerintahan suatu negara merupakan bentuk atau sebagai alat yang digunakan oleh pemerintah (bertindak atas nama negara) sebagai sarana paksa untuk menundukkan pihak lain sehingga dapat diatur seperti yang dikehendaki pemerintah. State Terrorismcenderung lebih terjadi pada setiap pemerintahan yang otoriter dan represif. Artinya pemerintahan tipe otoriter dan represif selalu melakukan instrumen teror untuk melakukan intimidasi terhadap siappaun saja yang dianggap dapat mengusik kekuasaannya. Terorisme Negara juga muncul dalam kebijaksanaan pemerintahan rezim totaliter Adolf Hitler (Jerman) dan Joseph Stalin (Uni Soviet) yang banyak melakukan penangkapan, penghukuman, penyiksaan dan eksekusi yang dilakukan secara membabi buta sehingga menimbulkan suasana ketakutan yang luar biasa. Peristiwa teror yang sama juga terjadi pada era kediktatoran Benito Mussolini yang memberi dukungan kepada teroris sayap kanan Kroasia, Ustasha. Teroris Ustasha menerima bantuan dan dukungan untuk melancarkan operasi mereka salah satunya yang paling terkenal adalah pembunuhan ganda atas Raja Alexander dari Yugoslavia dan PM Perancis Louis Barthou di Marseiles tahun 1934. Ketika Mao Zedong berkuasa di Cina pada Oktober 1949, rezim Mao melalui Kementerian Keamanan Publiknya juga melakukan teror dan pembunuhan yang keji pada kelompok-kelompok yang dianggap membangkang yang menyebabkan sekitar 10-20 juta rakyat dimusnahkan. Demikian juga halnya dengan rezim diktator Kamboja, Jenderal Pol Pot yang membunuh sekitar 3 hingga 8 juta rakyatnya. „State Sponsored Terrorism’ bisa bersifat transnasional bilamana suatu negara melakukan tindakan teror terhadap 15 Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Internasional Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindopersada 2011), 88 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 7 negara lain dengan cara memberikan bantuan, perlindungan, pendaanaan dan perencanaan serta memberikan fasilitas kepada negara lain. Sedangkan „non-State Terrorism’ merupakan terorisme yang dilakukan oleh non-negara dalam arti individual atau kelompok terhadap pihak lain seperti kelompok teror bom Bali, kelompok teroris Noordin M. Top yang berasal dari Jemaah Islamiah (JI) dan kelompok teroris Poso. Gerakan terorisme di Asia Tenggara merupakan salah satu bagian dari gerakan terorisme internasional. Jaringan teroris yang berkonsentrasi di Asia Tenggara memiliki kaitan yang erat dengan jaringan yang berada di negara-negar alain khususnya Timur Tengah yang menjadi sumber „radikalisme agama‟. Ideologi radikal yang didasari keyakinan keagamaan itu semula hanya sebagai gerakan sosial akan tetapi kemudian berubah menjadi gerakan politik. Persebaran ideologi yang berorientasi politik itulah yang sekarang menjelma menjadi gerakan terorisme.16 Pasca tragedi WTC 2001, tahun 2002 merupakan babak baru tragedi bom di Indonesia. Meskipun tragedi bom Bali pada 12 Oktober 2002 merupakan peristiwa pengeboman terbesar yang pernah terjadi di Indonesia namun sudah banyak tragedi peledakan bom sebelumnya yang telah merenggut banyak korban sipil baik dari masyarakat Indonesia maupun warga negara asing. 1.2. Motif dan Taktik Terorisme Menurut A.C. Manullang , latar belakang atau motif dari tindakan-tindakan terorisme secara nasional dapat ekstrimisme keagamaan, 2) separatisme dan 3) kelompok bersumber pada beberapa faktor yaitu : 1) nasionalisme kesukuan yang mengarah kepentingan tertentu pada yang ingin menimbulkan kekacauan.17Pertama, motivasi kelompok teroris didasarkan pada sikap radikalisme 16 Wawan H. Purwanto, Terorisme Undercover, Memberantas Terorisme Hingga ke Akarakarnya Mungkinkah?, (Jakarta: CMB Press, 2007), 13 17 A.C., Manullang ,Terorisme & Perang Intelijen Dugaan Tanpa Bukti, (Jakarta: Manna Zaitun, 2006 ), 98-133 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 8 agama yaitu membangun komunitas eksklusif sebagai modal dan identitas kelompok. Mereka meyakini dirinya paling benar dan paling dekat dengan ambang pintu Tuhan. Menurut mereka, berperang melawan kafir adalah kewajiban, sedangkan kematian adalah jalan menuju rumah surgawi. Sikap radikalisme seperti inilah yang setiap saat dapat melahirkan bencana sosial politik. Sikap seperti inilah yang mendasari aksi kekerasan kelompok Imam Samudera dalam melakukan aksi ledakan bom Bali yang dianggap sebagai jihad, demikian halnya seperti bom Natal tahun 2000 dan juga tindakan sweeping terhadap warga negara Amerika. Kedua, kelompok teroris melakukan aksi teror dengan tujuan untuk memperoleh kemerdekaan politik yang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas atau yang lebih besar di wilayah yang bersangkutan. Pemicunya adalah karena mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Pusat sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi dan sosial. Dalam motif ini yang sering menjadi sasaran adalah gedung gedung dan kantor pemerintah. Ketiga, kelompok teroris cenderung melakukan aksinya demi kepentingan politik, ekonomi dan sosial dengan tujuan untuk melindungi kepentingan tertentu seperti menutupi proses hukum atas kejahatan atau pelanggaran yang telah dilakukan di masa lalu atau sebagai „bargaining’ untuk mendapatkan posisi di bidang politik, ekonomi dan sosial. Aksi teror akan semakin meningkat manakala suatu negara mengalami ketidakstabilan dalam situasi politik dan ekonomi. Selain dari ketiga faktor tersebut diatas, „fundamentalisme agama‟ juga dapat menjadi motif dari kelompok teroris. Pengertian fundamentalis adalah suatu pandangan yang ditegakkan atas keyakinan baik yang bersifat agama , politik, ataupun budaya yang dianut oleh pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu dalam sejarah.18 Dengan begitu , ia yakin bahwa ia memiliki kebenaran mutlak dan oleh karena itu kebenaran tersebut harus diberlakukan. Sumber utama dari fundamentalisme agama dewasa ini adalah perpaduan dari adanya penindasan, 18 Moch.Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme (Bandung: 2005, Mandar Maju), 22 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 9 tekanan, kesewenang-wenangan terhadap kebudayaan , sosial dan agama. 19 Tidak hanya itu, lahirnya fundamentalisme juga sebagai akibat dari dekadensi moral yang melanda negara negara barat sebagai akibat dari kapitalisme dan kolonialisme yang berkepanjangan serta kebebasan pasar yang melahirkan persaingan rivalitas serta pertarungan demi memenangkan keinginan-keinginan untuk berkuasa dengan kemakmuran sehingga hal ini menyebabkan lahirnya tindakan kekerasan dan perlombaan persenjataan di berbagai belahan dunia yang didukung oleh kemajuan industri serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Fundamentalisme merupakan bahaya yang paling besar untuk era modern saat ini, karena dapat menumbuhsebarkan persoalan yang akarnya tertanam pada problema ekonomi dan politik disaat solusi terhadap problema manapun tidak bisa dilakukan dengan bertolak dari komunitas secara sepihak atau parsial dan menopangkan diri pada keyakinan-keyakinan yang statis.Kelompok-kelompok teroris kerap menggunakan berbagai taktik dalam melakukan aksinya antara lain dengan ancaman, penggunaan zat-zat kimia dan biologi zat radioaktif dan sejata nuklir (CBRN) , pengiriman bom berbentuk paket, penggunaan racun, cyberterrorism, peledakan bom, serangan dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam, pembajakan kedaraan atau pesawat terbang, pembunuhan, penghadangan, penculikan, penyanderaan, perampokan, sabotase, Narcoterrorism, bergerak secara individu.20 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN TERORISME SEBAGAI ‘EXTRAORDINARY CRIME’ DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN NASIONAL 2.1. Karakteristik Kejahatan Terorisme sebagai ‘Extraordinary Crime’ Terorisme merupakan bentuk bentuk aksi kejahatan yang menggunakan caracara kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang 19 Op.cit., 23 20 Agus SB, Darurat Terorisme Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi (Jakarta: Daulat Press, 2014), 17-22 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 10 ditujukan pada sasaran sipil baik masyarakat maupun harta benda kekayaannya untuk tujuan politik dengan motivasi yang berbeda beda sehingga hal inilah yang mendasari penempatan terorisme sebagai kejahatan yang tergolong istimewa yaitu kejahatan luar biasa. Dalam perspektif hukum pidana Internasional, kejahatan terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime against humanity) dan tergolong ke dalam kejahatan luar biasa (Extraordinary crimes). Terdapat sekitar kurang lebih dua belas (12) konvensi internasional yang mengatur tentang terorisme. Antonio Cassese setelah menganalisis seluruh insrumen internasional yang terkait dengan terorisme, berkesimpulan setidaknya menurut hukum pidana internasional. Terorisme terkadi dalam hal: pertama, perbuatan tersebtu merupakan perbuatan kriminal yang dikenal oleh kebanyakan hukum nasional; kedua, ditujukan untuk menciptakan teror dengan melakukan kekerasan atau ancaman yang ditujukan kepada sebuah negara, masyarakat dan kelompok masyarakat tertemtu: ketiga, harus dimotivasi oleh hal –hal yang bersifat religious, politis atau ideologis . Jelas disini tidak didasari oleh tujuan-tujuan yang bersifat personal.21 Lebih jauh, terorisme untuk dikatakan sebagai kejahatan internasional haruslah melampaui batas suatu negara (transcend national boundaries), adanya „state promotion’ atau „state toleration’ atau bahkan „state acquiescence’ dan selanjutnya telah menjadi „threat to the peace’.22 Terorisme secara yuridis dapat digolongan ke dalam „extraordinary crimes‟ karena bersifat khusus dan memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan kejahatan biasa lainnya. Kekhususannya sebagai kejahatan yang luar biasa dapat terlihat dari beberapa indikator berikut; 1) terorisme membahayakan nilai nilai hak asasi manusia yang absolut (nyawa, bebas rasa takut dan sebagainya, 2) serangan terorisme yang bersifat “random, indiscriminate and non selective” yang ditujukan pada orang orang yang tidak bersalah, 3) terorisme selalu mengandung unsur unsur 21 Antonio Cassese, sebagaimana dikutip oleh Jawahir Thontowi dalam ‘ Islam NeoImperialisme dan Terorisme Perspektif Hukum Internasional dan Nasional (Yogjakarta: UII Press, 2004), 124 22 Ibid. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 11 kekerasan , ancaman kekerasan, koersif dan intimidasi pada penduduk sipil dan menimbulkan rasa takut yang bersifat luas, 4) terorisme selalu berhubungan dengan kejahatan terorganisir bahkan transnasional terorganisir, 5) terorisme dalam setiap aksinya selalu menggunakan teknologi canggih seperti senjata kimia, biologi dan nuklir.23 Kejahatan terorisme dalam perspektif hukum pidana internasional merupakan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) dan tindak pidana luar biasa (extraordinary crimes). Tindak pidana terorisme memiliki level yang sederajat dengan pelanggaran berat hak – hak asasi manusia (gross violation of human rights) seperti kejahatan genosida, ethnic cleansing dan bentuk bentuk kejahatan HAM berat lainnya. Oleh karena itu cara- cara penanganan terhadap kejahatan terorisme tidak dapat dilakukan dengan metode dan pendekatan yang konvensional akan tetapi harus diatur secara „lex specialist’ dengan memadukan berbagai unsur pendekatan yang lebih bersifat progresif dan tetap memperhatikan perkembangan dinamika nasional. 2.2.Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Terorisme Sebagai ‘Extraordinary Crime’ Setelah tragedi 11 September 2001 yang menimpa gedung WTC dan gedung Pertahanan Pentagon , AS, tanggal 12 Oktober 2002 teroris kembali beraksi di Indonesia tepatnya di Legian, Kuta, bali yang menewaskan lebih dari 180 orang dan menderita luka berat mencapai lebih dari 300 orang. Hanya 3 hari pasca tragedi bom Bali , Dewan Keamanan PBB pada tanggal 15 Oktober 2002 mengeluarkan sebuah resolusi baru nomor 1438 yang isinya selain mengecam terorisme juga meminta agara seluruh 15 negara anggota DK PBB membantu Indonesia untuk menyeret pelaku teroris di Bali ke Pengadilan. Seluruh 15 anggota DK PBB secara bulat menyatakan setuju dalam voting untuk resolusi 1438 yang menggambarkan 23 King Faisal Sulaiman, Who is the real terrorist? Menguak Mitos Kejahatan Terorisme( Yogjakarta: 2007, Elmatera Publishing), 29 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 12 bahwa serangan teroris di Bali sebagai suatu ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional. Selain itu, tidak kurang dari duabelas (12) ketentuan hukum Internasional tentang terorisme telah menjadi acuan bagi negara - negara di dunia termasuk Indonesia dalam menyelesaikan kasus terorisme yang telah diratifikasi oleh pemerintah RI, beberapa diantaranya : (1) Konvensi Internasional tentang kejahatan terorisme berkaitan dengan pesawat terbang dan fasilitas prasarana pendukungnya; (2) Konvensi Internasional tentang kejahatan terorisme yang berkaitan dengan kapal laut dan fasilitas sarana prasarana pendukungnya; (3) Konvensi interasional tentang kejahatan terorisme yang berkaitan dengan orang - orang yang dilindungi menurut hukum interasional; (4) Konvensi intenrasional tentang kejahatan terorisme yang berkaitan dengan penculikan terhadap orang orang sipil ; (5) Konvensi Internasional tentang kejahatan terorisme yang berkaitan dengan bahan - bahan nuklir dan radioaktif atau komponennya; (6) Konvensi Internasional tentang Penghentian Pengeboman Terorisme; (7) Konvensi Internasional tentang Penghentian Pendanaan Terorisme .24 Pengaturan terorisme juga dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) Convention of the Organization of Islamic Conference on Combating International Terrorism yang menyatakan bahwa terorisme sebagai tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan individu atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional atau fasilitas internasional atau mengancam stabilitas, integritas territorial, kesatuan politis atau kedaulatan negara negara yang merdeka.25Keberadaan konvensi-konvensi internasional yang mengatur terorisme tersebut menandakan 24 Jawahir Thontowi, Op.cit., 129 Council on Foreign Relations, Convention of the Organization of Islamic Conference (OIC) on Combating International Terrorism, www.cfr.org/terrorism-and-the-law/convention-organizationislamic-conference-oic-combating-international-terrorism/p24781, diakses pada 2 Mei 2017 25 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 13 bahwa terorisme telah menjadi kejahatan internasional yang membahayakan umat manusia sehingga akhirnya diatur ke dalam norma-norma internasional dan telah menjadi hukum kebiasaan Internasional (International Customary Law). Menindaklanjuti Resolusi DK PBB Nomor 1438 Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2002 maka pemerintah telah mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Republik Indonesia yaitu: a) Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tidak berlaku surut, b) Perppu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang berlaku surut. Kedua Perppu tersebut mulai berlaku pada tanggal 18 Oktober 2002 dan selanjutnya pada tanggal 4 April 2003 disahkan sebagai Undang-Undang RI Nomor 15 dan 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satu pertimbangan yang dimuat dalam Perppu tersebut adalah bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundangundangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan terorisme. Sejalan dengan meningkatnya aksi terorisme di berbagai negara, Pemerintah RI juga menyatakan komitmennya untuk mencegah dan memberantas terorisme yang dilakukan dengan meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang terorisme, 3 diantaranya yaitu; (1) Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris, 1997 (International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, 1997) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 2006.; (2) Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan oleh Teroris, 2003; (International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006;(3) Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme yang ditandatangani bersama negara-negara ASEAN. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 14 Keberadaan konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang terorisme tersebut menunjukkan bahwa terorisme merupakan kejahatan internasional yang serius dan membahayakan umat manusia sehingga akhirnya diatur ke dalam normanorma internasional dan telah menjadi hukum kebiasaan Internasional (International Customary Law). Sebagai tindak lanjut , pemerintah Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2002 telah mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perppu) Republik Indonesia yaitu: a) Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tidak berlaku surut, b) Perppu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang berlaku surut (retroaktif) . Kedua Perppu tersebut mulai berlaku pada tanggal 18 Oktober 2002 dan selanjutnya pada tanggal 4 April 2003 disahkan sebagai Undang-Undang RI Nomor 15 dan 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akhirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Salah satu pertimbangan yang dimuat dalam Perppu Nomor 1 tahun 2002 tersebut adalah bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan terorisme. Jika dilihat dari asal usul lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, maka tragedi bom Bali 12 Oktober 2002 menjadi fakta sosiologis dan yuridis bagi pemerintah untuk melakukan penegakan hukum terhadap terorisme. Meskipun demikian, lahirnya Perppu tersebut yang menjadi Undang-Undang Anti Terorisme telah menimbulkan pro dan kontra di antara berbagai pihak. Beberapa alasan yang dikemuakkan oleh kelompok yang kontra antara lain: 1) undang-undang terorisme melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena undang-undang tersebut diberlakukan surut (retroaktif) sedangkan pemberlakuan surutnya sampai kapan tidak dijelaskan secara tegas; 2) undang – undang terorisme dibuat dalam suasana ketergesaan, sehingga terkesan hanya sekedar menuruti kemauan pihak tertentu, bukan kebutuhan Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 15 murni masyarakat; 3) undang-undang terorisme merupakan wujud “reinkarnasi” dari Undang- Undang Nomor 11/Pnps/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Kekhawatiran didasarkan pada lamanya penahanan yang melebihi waktu penangkapan dan penahanan yang melebihi batas yang telah ditentukan dalam KUHAP serta adanya kewenangan yang luar bisasa kepada intelijen untuk memberikan laporan (sebagai bukti permulaan yang cukup); keempat, aksi terorisme masih dapat ditanggulangi dengan menggunakan hukum pidana umum (KUHP).26 Sementara itu bagi kelompok yang pro mendasarkan argumentasinya bahwa peraturan perundang-undangan yang telah ada terutama KUHP tidak dapat diterapkan keapda „auctor intelectualis’ dari pelaku teror, dalam artian dipidana lebi berat dari „auctor physicus’-nya. Hal ini dikarenakan „auctor intelectualis’ dalam aksi terorisme mempunyai peran sangat penting disbanding dengan „auctor physicus‟nya. Di samping itu penanganan terorisme harus sesegera mungkin, dan hal ini tidak bisa terlaksana jika diserahkan pada hukum acara biasa. Oleh karena itu perlu pengaturan khusus termasuk hukum acaranya. 27 Kelompok yang pro juga mendasarkan argumennya pada perlindungan korban (memandang dari sisi korban terorisme). Teror merupakan ancaman terhadap hak-hak individu seperti hak untuk hidup (right to life), bebas dari rasa takut (freedom from fear) maupun hak – hak kolektif seperti rasa takut yang bersifat luas, bahaya terhadap kebebasan demokrasi, integritas territorial, keamanan nasional, stabilitas pemerintahan yang sah, pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ketentraman masyarakat madani dalam kerangka perdamaian internasional.28 Sehubungan dengan adanya pandangan dari berbagai pihak yang pro dan kontra terhadap dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut, menurut penulis terdapat beberapa hal penting yang seharusnya menjadi perhatian antara lain yaitu: pertama, Undang26 Ali Mahsyar, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme Sebuah Kritik Atas Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2008), 69 27 Ali Mahsyar,Op.cit., 71 28 Op.cit., 72 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 16 Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak mengatur tentang oknum pejabat negara yang terlibat terorisme dan tidak menegaskan tentang kejahatan sistematis oleh aparat negara terhadap warga negara; kedua, longgarnya definisi tentang terorisme dan bertebarnya rumusan pasal yang lemah sehingga dapat berimplikasi negatif dalam menerapkan Perppu. Rumusan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme akan menyulitkan orang atau rakyat mengira apakah tindakannya merupakan tindakan terorisme atau bukan.; ketiga, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut tidak sedikitpun mengatur secara khusus mengenai hak-hak tersangka maupun terdakwa, berbeda dengan hak-hak saksi , korban maupun para penyidik, yang diatur secara khusus. Tersangka juga bisa ditangkap yang maksimal dilakukan selama tujuh hari; keempat, penentuan alat bukti berdasarkan laporan intelijen, proses penentuan bukti (hearing) secara tertutup tanpa dihadiri pihak yang disangka, dan penangkapan yang lama tentu akan sangat rawan terhadap terjadinya cara-cara penyiksaan. Sementara hak-hak tersangka atau terdakwa sama sekali tidak dijelaskan secara khusus dalam Perppu tersebut; kelima, hak-hak para korban terorisme hanya mengatur dua hak saja yaitu hak kompensasi dan hak restitusi sedangkan hak rehabilitasi untuk para korban tidak diatur melainkan Perppu hanya mengatur bahwa hak-hak rehabilitasi bagi setiap orang yang diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Dengan adanya pasal ini maka putusan hakim yang menghukum terdakwa atau membebaskan atau melepaskan terdakwa tidak berpengaruh terhadap kompensasi. Hal ini berpengaruh pada saat hakim dalam putusannya menghukum terdakwa maka hak kompensasi dan rehabilitasi dapat ditetapkan tetapi bila hakim ternyata memutuskan sebaliknya maka hak kompensasi dan rehabilitasi tidak bisa ditetapkan. Keenam, tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam menangani terorisme seringkali menimbulkan masalah baru yang berkaitan dengan HAM. Suatu negara biasanya menerapkan prosedur khusus untuk melakukan pengecekan identitas, Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 17 pemeriksaan dan tindakan lain yang dapat berpengaruh terhadap privacy seseorang. Dalam kondisi darurat, memang beberapa langkah dapat diambil secara “khusus” namun langkah dan tindakan tersebut seharusnya tidak melanggar norma-norma hukum dan HAM Internasional yang berlaku universal mengingat adanya beberapa hak fundamental yang tidak dapat dikurangi atau diabaikan dalam kondisi apapun termasuk jika negara dalam kondisi darurat yang disebut Non-derogable rights . Hak - hak ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Kovenan Internasional Hak -Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan juga telah diatur dalam konstitusi RI pada Pasal 28 I termasuk di dalamnya adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara tidak manusiawi dan merendahkan martabat, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara karena kegagalan memenuhi kewajiban kontrak, hak untuk tidak dihukum oleh hukum yang berlaku surut, hak untuk diakui keberadaanya dimuka hukum, serta hak kebebasan berpikir dan beragama . Dengan demikian, Perppu tersebut seharusnya secara tegas menyatakan bahwa dalam operasi intelijen yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak boleh menyalahi ketentuan Pasal 28 I tersebut. Salah satu kelemahan mendasar yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu terorisme masih digolongkan sebagai sebuah kejahatan biasa, sehingga hal ini mengakibatkan penanganannya menjadi tanggung jawab kepolisian, sementara itu peran militer dalam proses penanganan dan penangkalan menjadi tidak maksimal. Padahal jika terorisme dipandang sebagai sebuah „extraordinary crimes’ maka seharusnya terorisme dapat diidentifikasikan sebagai ancaman pertahanan negara yang secara otomatis melibatan TNI. Oleh karena terorisme dianggap sebagai kejahatan biasa maka upaya penanggulangan terorisme menjadi terbatas pada aspek penanggulangan saja tetapi tidak menyentuh dan menjangkau mata rantai aksinya.29 29 Marthen Luther Djari, Terorisme dan TNI (Jakarta: CMB Press, 2013), 114 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 18 Kelemahan lainnya yang dimiliki oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yaitu karena lebih berfokus pada penanganan aksi teror yang telah terjadi , padahal pemberantasan terorisme yang lebih efektif adalah melakukan upaya pencegahan terhadap terjadinya aksi dan serangan terorisme. Lee Kuan Yew berpendapat bahwa Indonesia seharusnya memberlakukan serta memperketat undangundang anti terorisme dengan Undang-Undang Keamanan Dalam negeri seperti yang dimiliki oleh Singapura melalui „Internal Security Act‟ (ISA) yang memungkinkan negaranya menahan orang-orang yang dicurigai sebagai militant tanpa melalui proses pengadilan. Singapura telah menahan 40 orang anggota Jamaah Islamiyah sejak disahkannya ISA sehingga ISA dapat menangkal terjadinya aksi teror di era global di mana pengaruh terorisme yang sudah menyebar tanpa batas. Dengan adanya berbagai kelemahan yang dimiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut diatas, sudah sepatutnya Indonesia dapat merevisi (amandemen) Undang-Undang Anti Terorisme yang ada karena pada hakekatnya Undang-Undang Anti Terorisme merupakan satu-satunya payung hukum yang diharapkan mampu menangkal aksi terorisme, disamping KUHP yang merupakan dasar pijakan aparat dalam menindak berbagai tindak pidana yang terjadi dalam lingkup nasional. Undang-Undang Anti Terorisme yang dimiliki Indonesia hendaknya dapat diperkuat dengan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri seperti yang dimiliki oleh Malaysia, Singapura dengan ISA-nya, Philipina dengan NSA-nya, Thailand yang sudah mengamandemen Penal Code dan telah memasukkan poin-poin kriminalisasi terorisme termasuk di dalamnya „terrorist financing’, mengamandemen anti „Money Laundring Act‟ (AMALIA) serta mengeluarkan status darurat untuk memperbaiki keamanan negara, keselamatan jiwa dan keselamatan HAM serta kebebasan rakyat.Hal ini tidak lain didasarkan pada pertimbangan atas dasar kemanusiaan mengingat bahwa aksi terorisme merupakan kejahatan lintas negara yang memiliki jaringan yang luas dan sistemik dan telah menjadi kejahatan yang „extraordinary‟ bahkan dapat digolongkan sebagai „crimes against humanity‟ yang dapat mengancam stabilitas dan keamanan nasional dan internasional. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 19 Mengingat demikian krusialnya ancaman teror bagi bangsa dan negara dengan segala dampak yang ditimbulkan mulai dari kerugian personil (korban jiwa) , kerugian materiil (harta benda) juga berpengaruh kepada kehidupan masyarakat di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dan hubungan internasional maka diperlukan langkah-langkah penanggulangan terhadap aksi terorisme khususnya melalui pranata hukum yang komprehensif demi terjaminnya keamanan masyarakat dan negara sebab negara bertanggung jawab terhadap rakyatnya sehingga kepentingan negara di dalam mewujudkan keamanan dalam hal ini perlindungan terhadap rakyat dan bangsa Indonesia dapat terwujud. PENUTUP 3.1. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan penegakan hukum terhadap terorisme sebagai ‘extraordinary crime’ sebagai berikut: a) kejahatan terorisme telah menjadi kejahatan internasional dan lintas batas negara (Transnational Crimes) yang memiliki ciri atau kekhasan tersendiri yang membedakannya dengan kejahatan biasa sehingga terorisme dapat digolongkan sebagai ‘Extraordinary crime’ karena dilakukan dengan tindak kekerasan, menggunakan cara cara yang sifatnya menakut-nakuti, membahayakan dan bahkan mengakibatkan kematian bagi orang orang sipil, menargetkan fasilitas umum maupun pemerintah, dilakukan dan direncanakan oleh kelompok yang terorganisir, dengan tujuan untuk mewujudkan hal hal yang bersifat agama, politik dan ideologi; b) sebagian besar faktor-faktor yang menyebabkan terorisme yaitu radikalisme dan fundamentalisme agama serta ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh kelompokkelompok tertentu yang ingin mewujudkan tujuan- tujuan yang bersifat keagamaan, politik maupun ideologi sehingga teror dijadikan alat untuk mencapai tujuannya tersebut dengan menargetkan sasaran sipil maupun negara yang mana ironisnya radikalisme dan fundamentalisme ini muncul akibat perlawanan terhadap kapitalisme Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 20 negara- negara Barat; c) penegakan hukum terhadap terorisme sebagai ‘extraordinary crime’ telah diwujudkan melalui berbagai konvensi internasional yang mengatur tentang terorisme yang menjadi payung hukum bagi negara-negara di dunia di dalam menyusun peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana terorisme di negaranya. 3.2. Saran Adapun saran dari penulis terhadap penelitian ini antara lain: a) penegakan hukum terhadap kejahatan terorismesebaiknya tidak hanya diatur melalui UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tetapi juga perlu dan seharusnya diperkuat dengan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri dan Undang-Undang Anti „Money Laundring’sebagaimana halnya yang telah banyak dilakukan oleh negara-negara lainnya; b) proses peradilan terhadap tindak pidana terorisme hingga saat ini masih menggunakan KUHAP dimana hal ini bertentangan dengan sifat dari terorisme itu sendiri yang merupakan ‘extraordinary crime’ataukejahatan luar biasa sehingga sebaiknya untuk mengadili kejahatan terorisme diperlukan KUHAP yang khusus atau tersendiri agar para teroris dapat diadili melalui pengadilan yang khusus untuk tindak pidana yang tergolong „extraordinary’; c) perlu dilakukan revisi atau amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan tujuan agar dapat memperbaharui pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai HAM, selain itu juga diperlukan penjelasan yang lebih terperinci mengenai definisi dari terorisme itu sendiri, pembaharuan dalam hal perlindungan hak asasi korban dan saksi, perlindungan hak asasi tersangka serta perlunya memasukkan unsur „pada masa damai‟ dalam rumusan delik terorisme karena kejahatan terorisme tidak hanya terjadi pada „masa perang‟(in war time) tetapi lebih sering dan lebih banyak terjadidi saat negara dalam „masa damai‟ ( in peace time) ; d) perlu dibuat perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain agar kelompok teroris dapat diadili sesuai dengan hukum nasional yang berlaku di dalam negara tersebut ; e) perlu ditingkatkan Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 21 kerjasama baik secara bilateral, regional maupun internasional dengan negara-negara di kawasan ASEAN khususnya dalam hal penegakan hukum terhadap terorisme agar dapat mencegah aksi dan tindakan terorisme lebih dini; f) penegakan terorisme hendaknya tidak hanya melibatkan aparat POLRI akan tetapi sebaiknya juga melibatkan aparat TNI karena mengingat sifat kejahatan terorisme yang ‘extraordinary’ maka sebaiknya penanganan oleh aparatur negara hendaknya melibatkan pasukan TNI (Darat, Laut dan Udara) mengingat kejahatan terorisme lebih sering terjadi pada lintas batas negara sehingga dengan adanya keterlibatan pasukan TNI dalam patrol pengamanan wilayah perbatasan di darat, laut dan udara, setidaknya dapat meminimalisir dan mencegah aksi para kelompok teroris yang ingin menghancurkan negara Indonesia salah satunya dengan cara memasukkan pasal tentang keterlibatan TNI di dalam upaya memerangi kejahatan terorisme di dalam Undang- Undang Terorisme Nomor 15 Tahun 2003. BIBLIOGRAFI Buku A.C., Manullang ,Terorisme & Perang Intelijen Dugaan Tanpa Bukti(Jakarta: Manna Zaitun, 2006) A.M., Hendropriyono,Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam( Jakarta: Buku Kompas, 2009) Abdul Wahid, et.al Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum (Bandung: PT Refika Aditama) Adjie, S., Terorisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005) Agus SB, Darurat Terorisme Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi (Jakarta: Daulat Press, 2014) Ali Mahsyar, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme (Bandung: Mandar Maju, 2005) Fajar Purwawidada, Jaringan Baru Teroris Solo, (Jakarta : Gramedia, 2014) Jawahir Thontowi, Islam, Neo-Imperialisme dan Terorisme ,Perspektif Hukum Internasional dan Nasional(Yogjakarta : UII Press, 2005) King Faisal Sulaiman,Who is the real terrorist? Menguak Mitos Kejahatan Terorisme, (Yogjakarta: Elmatera Publishing, 2007) Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 22 Mardenis ,Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010) Marthen Luther Djari, Terorisme dan TNI (Jakarta: CMB Press, 2013) M. Riza Sihbudi, Dimensi Internasional Terorisme, (Jakarta: Spektrum, 2000) Moch.Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, (Bandung: Mandar Maju, 2005) Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2009) Wawan H. Purwanto, Terorisme Undercover, Memberantas Terorisme Hingga ke Akar-akarnya Mungkinkah?(Jakarta: CMB Press, 2007) Undang- Undang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) Websites Hudson & Majeska, The Sociology and Physychologi of Terrorism: Who Becomes a Terrorist and Why?, Federal Research Division Library of Congress, Washington , D.C. 1999 di http://www.loc.gov/rr/frd/pdffiles/So_Psych_of_Terrorism.pdf diakses tanggal 2 Mei 2017 Title 22 of the U.S. Code, Chapter 38, Section 2656f(d)(2) Terrorism 2002/2005https://www.fbi.gov/stats-services/publications/terrorism-2002200, diakses pada 7 Mei 2017 UK Terrorism Act 2000, http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2000/11/contents ,diakses pada tanggal 1 Mei 2017 Council on Foreign Relations, Convention of the Organization of Islamic Conference (OIC) on Combating International Terrorism, www.cfr.org/terrorism-and-the-law/conventionorganization-islamic-conference-oic-combating-internationalterrorism/p24781, diakses pada 2 Mei 2017 Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017 23