Laut sebagai Penyerap Karbon Aar Mardesyawati Yayasan Terumbu Karang Indonesia Beberapa tahun terakhir ini banyak ditemukan artikel yang menyebutkan lautan dapat menyerap karbon di atmosfer. Meski masih belum bisa dipastikan kebenarannya, secara keseluruhan penelitianpenelitian tersebut memberikan bukti meyakinkan bahwa Carbon cycle positive feedback (Umpan balik positif utama dalam pemanasan global adalah kecenderungan pemanasan untuk meningkatkan jumlah uap air di atmosfer, gas rumah kaca yang signifikan) telah dimulai. Pelepasan karbon baru hasil dari pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi tidak semuanya berada di atmosfir, melainkan terbawa ke biosfer dan laut. Kondisi ini membuktikan, alam dapat menyerap lebih dari setengah emisi karbon. Meski demikian, perubahan iklim menyebabkan alam memperlambat penyerapan karbon, atau bahkan mulai melepaskan karbon, yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil dan deforestasi (David, 2007). Semenjak proses perubahan iklim terjadi, banyak bermunculan harapan bahwa laut mampu menyerap karbon yang ada di atmosfer (carbon sink). Semenjak itu pula timbul pemahaman baru mengenai laut sebagai penghasil karbon (Carbon sources). Jika dilihat dari siklus pertukaran karbon di alam, karbon dapat tersimpan di berbagai tempat dari berbagai proses pertukaran karbon. Dalam prosesnya apabila tekanan parsial gas karbon dioksida di atmosfer lebih tinggi dari tekanannya di dalam air laut, maka laut akan menyerap karbon. Laut akan melepas karbon apabila tekanan parsial (tekanan yang diberikan oleh komponen-komponen gas dalam campuran gas) gas karbon dioksida di dalam air laut lebih tinggi dari tekanannya di atmosfer. Karena reaksi yang cepat dalam siklus tersebut, menjadi sulit dibedakan antara karbon dioksida dan asam karbonat dalam air laut. (http://www.beritadaerah.com). Gambar 1. Siklus Karbon di alam (sumber: http://mbojo.wordpress.com) Pendapat lain mengenai laut menjadi penyimpan karbon, salah satunya dilatarbelakangi oleh peran terumbu karang yang menghasilkan produktifitas primer sangat tinggi, sekitar 1500-3500 gC/m2/tahun (Nybakken, 1998). Produktifitas primer tersebut berasal dari tumbuhan dan Zooxanthelae berasosiasi dengan terumbu yang memiliki kemampuan untuk berfotosintesis sangat besar. Zooxanthelae juga berfungsi menjaga terumbu dari berbagai faktor yang merusaknya (Mujizat, 2005). Proses fotosintesis tersebut merupakan aktivitas carbon sink, sebaliknya proses respirasi (penguraian gula menjadi zat lain untuk menjalankan metabolisme tubuh) oleh organisme lainnya di laut, merupakan aktivitas carbon source. Selain terumbu karang, hewan kecil yang bernama plankton juga memiliki peran dalam siklus karbon di laut karena kebutuhannya untuk melakukan fotosintesis. Sedangkan di dalam perairan, kebutuhan karbon diperoleh dari hasil pengendapan organisme yang mengendap dan terdekomposisi. Hasil dekomposisi tersebut akan terangkat kembali ke permukaan laut akibat upwelling. Menurut penelitian Canadell et. al., 2007, ditemukan adanya kenaikan rata-rata CO2 secara alamiah di atmosfer terhadap total tingkat pelepasan karbon. Pada periode 19602000 diprediksikan adanya penurunan kemampuan atmosfer dalam menyerap karbon karena peningkatan penyerapan karbon ke alam sudah melebihi kemampuannya. Penelitian lain menyimpulkan, laut dapat berfungsi sebagai carbon source. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Alan Koropitan (dosen IPB) yang menemukan Laut Jawa cenderung berfungsi sebagai net carbon source (jumlah karbon yang dihasilkan lebih banyak daripada karbon yang diserap). Hasil ini didukung oleh penelitian lainnya yang dilakukan di beberapa lokasi di Indonesia. Temuan ini diperkuat dengan adanya hasil analisa Jonson Lumban Gaol (dosen IPB), dengan menggunakan data SeaWiFS untuk perairan Indonesia pada 10 tahun terakhir yang menunjukan penurunan konsentrasi klorofil-a khususnya untuk laut lepas. Kecenderungan penurunan konsentrasi klorofil-a serta pemanasan global mengakibatkan penurunan tingkat kelarutan CO 2 dalam air laut sehingga dapat disimpulkan bahwa perairan laut Indonesia maupun global cenderung berfungsi sebagai net carbon source (Nababan, 2009). CO2 yang terserap oleh laut mengakibatkan perubahan kimia dalam permukaan air laut. CO2 dalam air dapat menimbulkan pembentukan asam karbonat, sehingga menyebabkan permukaan laut pH turun sebesar 0,1 unit, dan diproyeksikan turun lagi sebesar 0,3-0,4 unit pada akhir abad ini. Pergeseran zat-zat kimiawi dalam lautan tidak hanya meningkatkan keasaman tetapi juga mengurangi ketersediaan ion karbonat yang banyak digunakan hewan untuk membangun kerangka yang terbuat dari kalsium karbonat. Penurunan ini membuat organisme seperti plankton, karang dan moluska berjuang untuk membangun dan memelihara struktur pelindung mereka. Jika tekanan terhadap mereka besar, maka kemungkinan kepunahan populasi tidak bisa terhindarkan (http://news.bbc.co.uk/2/hi/science/nature/7933589.stm). Bagaimana pun fungsi laut dalam siklus karbon, diharapkan kelestarian laut tetap terjaga karena banyak hal yang disumbangkan oleh laut tanpa kita sadari. Selain itu tentu saja dengan terjaganya kelestarian laut diharapkan mekanisme siklus karbon dapat seimbang secara alami.