Full Text

advertisement
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
STRUKTUR UKURAN, HUBUNGAN PANJANG-BOBOT DAN FAKTOR
KONDISI IKAN TUNA DI PERAIRAN PRIGI, JAWA TIMUR
SIZE STRUCTURE, LENGTH WEIGHT RELATIONSHIP AND
CONDITION FACTOR OF TUNAS IN THE PRIGI WATERS, EAST JAVA
Erfind Nurdin1),AmAzbas Taurusman2) dan Roza Yusfiandayani2)
1)
Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta
2)
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Teregistrasi I tanggal: 5 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 16 Agustus 2012
ABSTRAK
Penelitian tentang struktur ukuran dan faktor kondisi ikan tuna yang tertangkap di perairan sekitar rumpon di
Selatan Prigi, Jawa Timur dilakukan pada bulan Juli 2010, Desember 2010 dan Januari 2011. Sampel ikan diperoleh
di PPN Prigi, diidentifikasi menurut jenis dan diukur panjang cagak serta ditimbang bobotnya. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon. Hasil
penelitian menunjukkan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang diukur sebanyak 115 ekor dengan dominasi
ukuran panjang berkisar antara 32–36 cmFL dan bobot antara 0,75–1,20 kg; tuna mata besar (Thunnus obesus)
sebanyak 114 ekor dengan dominasi panjang pada kisaran 40–44 cmFL dan bobot antara 0,75– 1,20 kg; dan tuna
sirip kuning (Thunnus albacares) 107 ekor dengan dominasi panjang berkisar antara 28–32 cmFL dengan bobot
0,30–0,75 kg. Hubungan panjang bobot ikan cakalang mengikuti persamaan W= 0,055FL2,733, tuna mata besar W=
0,014FL3,096 dan tuna sirip kuning W= 0,0006FL3,960. Faktor kondisi (K) ikan cakalang adalah 2, tuna mata besar
2,1 dan tuna sirip kuning 2,0.
KATA KUNCI: Hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi, tuna, Prigi
ABSTRACT:
Study on size structure and condition factor of tuna caught around FADs in the south of Prigi, East Java was
conducted in July 2010, December 2010 and January 2011. The objectives of this study are to investigate that the
size distribution, L-W relationship and condition factor of dominant fish caught around of FADs. The result showed
that the size distribution of skipjack tuna dominated in range of 32–36 cmFL and 0.75–1.20 kg (body weight),
bigeye tuna range of 40–44 cmFL and 0.75– 1.20 kg (body weight), yellowfin tuna range of 28–32 cmFL and 0.30–
0.75 kg (body weight). Length weight relationship of skipjack tuna can described as W= 0.055FL2.733, bigeye tuna
W= 0.014FL3.096 and yellowfin W= 0.0006FL3.960. The value of condition factor was 2.0 for skipjack tuna, mean
while for bigeye tuna was 2.1 and for yellowfin tuna was 2.0.
KEYWORDS: Length-weight relationship, condition factor, tuna, Prigi
PENDAHULUAN
Perkembangan usaha penangkapan tuna telah
memberikan konstribusi terhadap peningkatan ekonomi yang
cukup signifikan di beberapa daerah. Data sementara
menunjukkan bahwa porsi terbesar hasil tangkapan yang
didaratkan tergolong surface tuna yang umumnya memiliki
ukuran panjang belum layak tangkap (Nurdin, 2009).
Peningkatan kapasitas armada penangkapan ikan telah
menimbulkan persoalan kapasitas penangkapan yang
berlebih.
Berkembangnya upaya penangkapan mengarah pada
menurunnyaketersediaanstoksumberdayaikan. Apabilaukuran
hasil tangkapan ikan tuna semakin mengecil, hal ini akan
mengakibatkan berkurangnya jumlah ikan yang berkesempatan
memijah yangmengakibatkan rekruitmen berkurang.
Salah satu pusat pendaratan tuna skala kecil (small
scale fisheries) di selatan pulau Jawa adalah Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, Jawa Timur. Kegiatan
penangkapan ikan dilakukan di perairan Selatan Jawa
menggunakan alat bantu rumpon sebagai pengumpul ikan.
Armada yang melakukan penangkapan di rumpon dengan
tujuan utama jenis ikan tuna dan cakalang adalah armada
tonda dan jaring insang.
Monintja & Zulkarnain (1995) dan Diniah et al. (2006)
menyatakan awal keberadaan rumpon mampu
meningkatkan hasil tangkapan. Semakin padatnya
pemasangan rumpon menyebabkan penurunan hasil
tangkapan per satuan upaya, ditandai oleh ukuran ratarata ikan yang tertangkap memperlihatkan kecenderungan
yang lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya.
Korespondensi penulis:
Balai Penelitian Perikanan Laut
Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman-Jakarta Utara. Email : [email protected]
67
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
Dampak negatif rumpon perlu diwaspadai secara serius
apabila dalam pengoperasian melebihi kapasitas: a) jumlah
ikan di daerah penangkapan sekitar pantai menurun
dimana usaha penangkapan skala kecil beroperasi; b) Laju
tangkap unit penangkapan di luar areal rumpon cenderung
menurun; c) berhentinya operasi penangkapan dari
sebagian unit penangkapan skala kecil (Simbolon, 2004).
Pengoperasiaan beberapa jenis alat tangkap
menyebabkan ukuran ikan tuna yang tertangkap
bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
struktur ukuran, pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan
tuna yang merupakan hasil tangkapan utama di sekitar
rumpon yang didaratkan di PPN Prigi, Jawa Timur. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran struktur
ukuran ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon dan
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan
pengelolaan perikanan tuna khususnya yang tertangkap
di sekitar rumpon.
BAHANDANMETODE
Pengumpulan data dilakukan di Pelabuhan Perikanan
Nusantara PPN Prigi, Jawa Timur pada bulan Juli 2010,
Desember 2010 dan Januari 2011. Pencatatan panjang dan
bobot serta faktor kondisi dikhususkan bagi ikan tuna
yang tertangkap di sekitar rumpon yang berada di
Samudera Hindia, sebelah selatan Jawa Timur. Posisi
rumpon dijelaskan pada gambar 1.
Pengukuran panjang cagak (fork length, FL) dilakukan
menggunakan meteran gulung dengan panjang maksimum
5 meter, sedangkan bobot ikan diukur menggunakan
timbangan berkapasitas 10 kg. Jumlah ikan cakalang
(Katsuwonus pelamis) yang diamati sebanyak 115 ekor,
tuna mata besar (Thunnus obesus) 114 ekor dan tuna sirip
kuning (Thunnus albacares) 107 ekor yang merupakan
hasil tangkapan armada tonda dan jaring insang yang
beroperasi di sekitar rumpon (Gambar 2).
Gambar 1. Peta menunjukkan posisi rumpon nelayan Prigi.
Figure 1. Map showing FADs position of Prigi fisherman
Gambar 2. Ikan tuna yang didaratkan di PPN Prigi.
Figure 2. Tuna species landed at PPN Prigi.
68
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
Nilai b diuji untuk mengetahui apakah nilai b yang
diperoleh berbeda nyata dengan nilai b= 3 menggunakan
uji-t pada tingkat kepercayaan 95% (Steell & Torrie, 1989).
Menurut Effendie (1997), analisis faktor kondisi (K)
dilakukan untuk melihat kondisi ikan dari kapasitas fisik
menggunakan persamaan K= 100 (W/L3 ), dimana: W=
bobot dan L= panjang.
Hubungan panjang - bobot dianalisis dengan model
pertumbuhan menurut Bal & Rao (1984) menggunakan
persamaan:
W= aLb
dimana: W= bobot, L= panjang, a dan
b= konstanta
HASIL DAN BAHASAN
Nilai b sebagai penduga hubungan antara panjang dan
bobot dengan kriteria:
HASIL
·
Distribusi Ukuran Panjang dan Bobot
Pengukuran dilakukan terhadap jenis ikan hasil
tangkapan dominan dari alat tangkap tonda dan jaring
insang di sekitar rumpon yang didaratkan di PPN Prigi.
Ukuran bobot untuk ketiga jenis ikan yang tertangkap di
sekitar rumpon yang dipasang di perairan sebelah selatan
Jawa Timur dan berhasil diukur berkisar antara 0,3-3,9 kg,
dengan dominasi cakalang pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna
mata besar pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna sirip kuning
pada kisaran 0,30–0,75 kg (Gambar 3).
Cakalang
40
30
n= 115
30
10
3.45-3.9
3.0-3.45
2.55-3.0
2.1-2.55
Kisaran bobot (kg)
40
Tuna sirip kuning
30
n= 107
20
10
3.45-3.9
3.0-3.45
2.55-3.0
2.1-2.55
1.65-2.1
1.2-1.65
0.75-1.2
0
0.3-0.75
Jumlah (ekor)
Kisaran bobot (kg)
1.65-2.1
0
1.2-1.65
3.45-3.9
3.0-3.45
2.55-3.0
2.1-2.55
1.65-2.1
1.2-1.65
0
n= 114
20
0.75-1.2
10
Tuna mata besar
0.3-0.75
20
Jumlah (ekor)
40
0.3-0.75
Jumlah (ekor)
·
0.75-1.2
·
Nilai b = 3, ikan memiliki pola pertumbuhan isometrik
(pertambahan bobot seimbang dengan pertambahan
panjang)
Nilai b > 3, ikan memiliki pola pertumbuhan alometrik
positif (pertambahan bobot lebih besar dari
pertambahan panjang)
Nilai b < 3, ikan memiliki pola pertumbuhan alometrik
negatif (pertambahan bobot lebih kecil dari
pertambahan panjang).
Kisaran bobot (kg)
Gambar 3. Sebaran bobot ikan tuna yang tertangkap di perairan Prigi
Figure 3. Weight distribution of tuna species caught in Prigi Waters
Ukuran panjang cagak (FL) untuk ketiga jenis ikan yang
tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan
sebelah selatan Jawa Timur berkisar antara 28-60 cmFL,
dengan dominasi panjang cagak cakalang pada kisaran
32-36 cmFL, tuna mata pada kisaran 40-44 cmFL dan tuna
sirip kuning pada kisaran 28-32 cm FL. Sebaran frekwensi
panjang ikan tuna yang didaratkan di PPN Prigi disajikan
pada gambar 4.
Hubungan Panjang dan Bobot
Analisis panjang-bobot ikan mempunyai beberapa
kegunaan, diantaranya untuk memprediksi berat
berdasarkan ukuran panjang ikan. Hasil penelitian di PPN
Prigi diperoleh hubungan panjang-bobot ikan cakalang
dengan persamaan W= 0,055FL2,733 dengan nilai koefisien
korelasi r= 0,9483, ikan tuna mata besar dengan persamaan
W= 0,007FL3,260 dan nilai r= 0,9288 sedangkan tuna sirip
kuning dengan persamaan W= 0,0006FL3,960 dan nilai r=
0,9883 (Gambar 5).
69
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
Jumlah (ekor)
Jumlah (ekor)
40
30
20
10
0
50
Tuna mata besar
50
40
n= 114
40
Jumlah (ekor)
Cakalang
n= 115
50
30
20
10
0
28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60
Tuna sirip kuning
n= 107
30
20
10
0
28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60
28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60
Kisaran panjang FL (cm)
Kisaran panjang FL (cm)
Kisaran panjang FL (cm)
Gambar 4. Sebaran panjang cagak (fork length, FL) ikan tuna yang tertangkap di Perairan Prigi.
Figure 4. Fork length distribution of tuna species caught in Prigi Waters
4000
2000
Tuna mata besar
n = 114
6000
0,007x 3,260
y=
r = 0,9288
4000
2000
6000
Bobot (gram)
Bobot (gram)
y = 0,055x 2,733
r = 0,9483
Bobot (gram)
Cakalang
n = 115
6000
4000
0
20
40
60
0
0
80
Tuna sirip kuning
n=107
2000
0
0
y = 0,0006x3,960
r = 0,9883
20
40
60
0
80
20
40
60
80
FL (cm)
FL (cm)
FL (cm)
Gambar 5. Hubungan panjang-bobot ikan tuna yang tertangkap di perairan Prigi.
Figure 5. Length–weight relationship of tuna species caught in Prigi waters.
Dalam penelitian ini sampel ikan yang digunakan tidak
membedakan jenis kelamin. Untuk mengetahui sejauh
mana hubungan panjang dengan bobot ikan ada beberapa
faktor yang mungkin mempengaruhi nilai b, dimana salah
satunya adalah faktor lingkungan perairan. Uji-t terhadap
nilai b=3 yang dilakukan bagi ketiga jenis ikan tuna
tersebut (Tabel 1) pada selang kepercayaan 95% ( D =
0,05) diperoleh nilai b berbeda nyata (t-hitung > t-tabel).
Faktor Kondisi
Pengamatan terhadap contoh ikan didaratkan di PPN
Prigi diperoleh rata-rata faktor kondisi (K) ikan cakalang
adalah 2,08, ikan tuna mata besar adalah 2,01 dan ikan
tuna sirip kuning adalah 1,99 (Tabel 2). Mengacu pada
Effendie (1997) hasil ini menandakan ketiga ikan tersebut
masih berada pada batas ambang kondisi yang baik
dengan kisaran nilai (K) antara 1-3.
Tabel 1. Parameter hubungan panjang dan bobot hasil tangkapan ikan tuna disekitar rumpon di perairan Prigi
Table 1. Parameter of length – weight relationship of tuna species caught around FADs in Prigi waters
Jenis ikan
Cakalang
n
115
r
0,9483
a
0,055
b
2,733
T hit
24,542
Ttabel
1,981
Hasil
T hit > Ttabel
Keterangan
Alometrik negatif
Tuna mata besar
114
0,9288
0,007
3,260
22,889
1,986
T hit > Ttabel
Alometrik positif
Tuna sirip kuning
107
0,9883
0,0006
3,960
14,317
1,983
T hit > Ttabel
Alometrik positif
Tabel 2. Faktor kondisi (K) hasil tangkapan ikan tuna di sekitar rumpon di perairan Prigi
Table 2. Condition factor of tuna species caught around of FADs in Prigi waters
Min.
Max.
Rata-rata
St.Dev.
70
FL
(cm)
30,0
60,0
40,5
6,3
Cakalang
(n=115)
W
(gram)
500,0
3500,0
1451,7
622,6
K
1.40
2.70
2,08
0,29
Tuna mata besar
(n=114)
FL
W
(cm)
(gram)
28,0
0,35
58,0
3,70
41,9
1,58
6,1
0,72
K
1,38
2,96
2,01
0,36
Tuna sirip kuning
(n=107)
FL
W
(cm)
(gram)
27,0
250,0
58,0
3700,0
36,8
1188,0
7,2
838,7
K
1,14
2,81
1,99
0,50
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
BAHASAN
Distribusi Ukuran Panjang dan Bobot
Menurut Nugraha et al. (2010) ukuran pertama kali
matang gonad (Lm) ikan cakalang di perairan Tulehu
(Ambon) sebesar 40,9 cmFL. Nikijuluw (2009) menyatakan
bahwa di perairan Samudera Hindia untuk Lm ikan cakalang
berkisar antara 41–43 cmFL. Menurut Froose & Pauly
(2011) bahwa panjang cakalang saat matang gonad (Lm)
berkisar antara 40-45 cmFL. Di perairan Filipina ditemukan
panjang Lm 40 cmFL, sedangkan di perairan Papua
Newguinea pada panjang Lm 45 cmFL. Hasil penelitian di
perairan sebelah selatan Prigi diperoleh ukuran ikan
cakalang yang tertangkap pada panjang lebih dari 40 cmFL
sebanyak 52%. Dengan melihat beberapa hasil penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa ikan cakalang yang
tertangkap masih dapat dikatakan layak tangkap, dimana
hasil tangkapan yang diduga telah matang gonad lebih
banyak dibandingkan yang belum matang gonad.
Perbedaan ukuran tersebut dapat terjadi karena nilai
Lm sangat bervariasi. Dengan demikian individu yang
berasal dari satu kelas umur ataupun kelas panjang yang
sama, tidak harus selalu mencapai panjang pertama kali
matang gonad pada ukuran yang sama (Udupa, 1986).
Nugraha & Mardlijah (2006) memperoleh ukuran
panjang pertama kali matang gonad (Lm) ikan tuna mata
besar di Laut Banda untuk ikan jantan dan betina masingmasing 146,1 cmFL dan 133,5 cmFL. Nootmorn (2004) pada
penelitiannya di Samudera Hindia bagian barat
memperoleh nilai Lm jantan berukuran 86,85 cmFL dan
betina berukuran 88,08 cmFL. Farley et al., (2003) di
Samudera Hindia memperoleh nilai Lm sebesar 102,4 cmFL.
Mardlijah (2008) menyatakan bahwa ukuran pertama kali
matang gonad (Lm) ikan tuna sirip kuning di Perairan
Marisa (Sulawesi Utara) untuk ikan betina berkisar antara
89,2–100,9 cmFL. Zubaidi (1994) pada penelitiannya di
Perairan Maluku diperoleh Lm ikan tuna sirip kuning jantan
dan betina masing-masing sebesar 118,7 cmFL dan 113
cmFL.
Dengan melihat beberapa hasil penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa ukuran ikan tuna mata besar dan tuna
sirip kuning yang tertangkap di sekitar rumpon di Perairan
Prigi Jawa Timur jauh dibawah ukuran pertama matang
gonad (Lm), hal ini menggambarkan hasil tangkapan tuna
tersebut masih berukuran kecil atau belum layak tangkap
yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap
keberlanjutan sumberdaya ikan.
Hubungan Panjang dan Bobot
Ikan cakalang memiliki nilai b sebesar 2,733 dengan
pola pertumbuhan ikan cakalang bersifat alometrik negatif
(b<3) dimana pertambahan bobot lebih lambat dari
pertambahan panjang. Hasil ini sama dengan hasil
penelitian Nugraha et al. (2010) yang menyatakan bahwa
cakalang hasil tangkapan huhate di Laut Banda bersifat
alometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,751.
Pola pertumbuhan ikan tuna mata besar dan tuna sirip
kuning bersifat alometrik positif (b>3) dimana pertambahan
bobot lebih cepat dari panjang. Nilai b untuk ikan tuna
mata besar 3,260 dan tuna sirip kuning 3,960. Nugraha &
Mardlijah (2006) menyatakan pola pertumbuhan tuna mata
besar hasil tangkapan tuna longline di Laut Banda bersifat
alometrik negatif dengan nilai b= 2,470 untuk jantan dan
2,567 untuk betina. Faizah & Prisantoso (2010)
menyatakan pola pertumbuhan tuna mata besar hasil
tangkapan tuna longline di Samudera Hindia bersifat
alometrik negatif dengan nilai b= 2,965. Penelitian Zubaidi
et al. (1994) menyatakan hasil tangkapan tuna sirip kuning
dengan pancing ulur di perairan Bacan-Maluku Utara
bersifat alometrik negatif dengan nilai b= 2,67 untuk betina
dan 2,81 untuk jantan.
Perbedaan pola pertumbuhan dapat disebabkan karena
ukuran ikan hasil tangkapan yang berbeda, pada penelitian
ini ukuran ikan hasil tangkapan masih relatif kecil (juvenil
tuna). Sementara hasil tangkapan troll line dan gillnet
ikan yang hidup pada permukaan perairan sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya ukuran
dan jenis makanan, kondisi oseanografi perairan (suhu,
oksigen, dan lain-lain), dan kondisi ikan (umur). Menurut
Hossain (2010) hubungan panjang-bobot ikan dipengaruhi
beberapa faktor diantaranya habitat, lingkungan, musim,
jenis makanan, matang gonad, kesehatan dan jenis kelamin.
King (2007) menyatakan bahwa hubungan panjang bobot
dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan
perbedaan antara jenis ikan yang sama pada stok yang
berbeda.
Faktor Kondisi
Effendie (1997) menyatakan bahwa faktor kondisi (K)
merupakan derivat dari pertumbuhan. Faktor kondisi
menunjukkan kondisi baik fisiologis ikan dilihat dari
kapasitas fisik survival dan reproduksi. Secara komersial
kondisi ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging
yang tersedia. Nilai K berkisar antara 2–4 apabila badan
ikan pipih, dan 1–3 apabila badan ikan tidak pipih. Variasi
nilai K tergantung pada ketersediaan makanan, umur, jenis
kelamin dan kematangan gonad.
Pengamatan terhadap contoh ikan didaratkan di PPN
Prigi diperoleh rata-rata faktor kondisi (K) ikan cakalang
adalah 2,08, ikan tuna mata besar adalah 2,01 dan ikan
tuna sirip kuning adalah 1,99. Hasil penelitian ini hampir
sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Faizah
71
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
& Aisyah (2011) di Sendang Biru, Jawa Timur pada bulan
Oktober 2010 diperoleh nilai faktor kondisi ikan tuna sirip
kuning berkisar antara 1,3-2,37 dengan rata-rata 1,66 dan
ikan tuna mata besar berkisar antara 1,35-1,91 dengan ratarata 1,80. Hossain (2010) menyatakan bahwa faktor kondisi
merupakan indikator ketersediaan makanan di wilayah
perairan dan secara umum siklus perubahan musim dapat
mempengaruhi perkembangan gonad.
Hasil tangkapan di sekitar rumpon di perairan
Samudera Hindia bagian Selatan Jawa khususnya di
perairan Prigi untuk jenis ikan tuna mata besar maupun
tuna sirip kuning menunjukkan hasil tangkapan didominasi
oleh ukuran kecil atau belum layak tangkap yang
mengakibatkan dampak negatif terhadap keberlanjutan
sumberdaya ikan. Untuk penanggulangannya antara lain
diperlukan metode operasi penangkapan dengan alat
tangkap yang selektif dalam ukuran seperti hand line dan
gillnet yang dioperasikan dengan ukuran mata jaring lebih
besar pada kedalaman tertentu dimana merupakan area
ikan dewasa menyebar. Pengetahuan tentang tingkah laku
ikan yang menjadi sasaran utama penangkapan juga
diperlukan guna pengembangan metode pengoperasian
dan alat tangkap yang lebih efektif.
Hasil penelitian Josse et al. (2000) dengan
menggunakan perangkat akustik menunjukkan schooling
ikan tuna kecil pada strata kedalaman 10–50 meter
merupakan area dengan kepadatan dan jumlah schooling
terbesar. Priatna et al. (2010) menyatakan bahwa
kepadatan ikan (density) di sekitar rumpon tertinggi
ditemukan pada lapisan permukaan hingga kedalaman 50
meter, dengan dominasi 80% ukuran ikan 40–70 cm berada
pada kedalaman 25 sampai 50 meter yang diduga kuat
adalah jenis cakalang dan tuna kecil.
KESIMPULAN
1. Ukuran panjang cagak untuk ketiga jenis ikan yang
tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan
sebelah selatan Jawa Timur berkisar antara 28-60 cmFL,
dengan dominasi cakalang pada kisaran 32-36 cmFL,
tuna mata besar pada kisaran 40-44 cmFL dan tuna
sirip kuning pada kisaran 28-32 cm FL. Sedangkan
bobot untuk ketiga jenis ikan yang berhasil diukur
berkisar antara 0,3-3,9 kg, dengan dominasi cakalang
pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna mata besar pada
kisaran 0,75–1,20 kg, tuna sirip kuning pada kisaran
0,30–0,75 kg.
2. Pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
bersifat alometrik negatif dengan persamaan W=
0,055FL2,733, ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
alometrik positif dengan persamaan W= 0,007FL3,260
dan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares)
alometrik positif dengan persamaan W= 0,0006FL3,960.
72
3. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan cakalang K= 2,08,
sedangkan ikan tuna mata besar diperoleh nilai K=
2,01 dan tuna sirip kuning diperoleh nilai K= 1,99. Hal
ini menandakan kondisi fisiologis ikan tersebut dalam
keadaan baik.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan
penelitian karakteristik perikanan rumpon skala kecil di
Selatan Jawa tahun 2010, di Balai Penelitian Perikanan Laut.
DAFTAR PUSTAKA
Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata
Mc.Graw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
p. 5-24.
Diniah, D.R. Monintja & A. Ardianto. 2006. Teknologi
Rumpon Laut Dalam sebagai Alat Bantu Pemanfaatan
Sumberdaya Cakalang. Di dalam: Sondita MFA, Solihin
I, editor. Buku Kumpulan Pemikiran Teknologi
Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Bogor:
FPIK IPB. p. 36-42.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Nusantara. Yogyakarta. 163 p.
Faizah, R & B. I. Prisantoso, 2010. Hubungan panjang dan
bobot, sebaran frekuensi panjang dan faktor kondisi
tuna mata besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia.
Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (3): 183 –
189.
Faizah, R & Aisyah. 2011. Komposisi jenis dan distribusi
ukuran ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur
di Sendang Biru, Jawa Timur. Bawal. Widya Riset
Perikanan Tangkap. 3 (6): 377–385.
Farley, J., N. Clear, B. Leroy, T. Davis & G. Mcpherson.
2003. Age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus)
from the eastern and western AFZ. Report no. 2000/
100 CSIRO Marine Research. Australia. 93 p.
Froese, R & D. Pauly. 2011. FishBase. World Wide Web
Electronic Publication, www.fishbase.org.
Hossain, Y. 2010. Length-Weight, Length-Length
Relationship and Condition Factors of Three Schibid
Catfish from The Padma River, Northwestern
Bangladesh. Asian Fisheries Science. (23): 329-339.
Josse, E., L. Dagron & A. Bertrand. 2000. Typology and
behaviour of tuna aggregation around fish
aggregating device from accoustic surveys in french
polynesia. Aquat Living Resour. 13:183–192.
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
King, M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and
Management. Second edition. Blackwell Sciencetific
Publication, Oxford. 381 p.
tangkapan huhate yang didaratkan di Tulehu Ambon.
Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap 3(3): 199 –
207.
Mardlijah, S. 2008. Analisis isi lambung dan gonad ikan
madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) yang
tertangkap di perairan Marisa, Gorontalo, Teluk Tomini.
Tesis. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. 105 p.
Nurdin, E. 2009. Perikanan tuna skala rakyat (small scale)
di Prigi, Trenggalek Jawa Timur. Bawal. Widya Riset
Perikanan Tangkap. 2(4): 177-183.
Monintja, D.R & Zulkarnain. 1995. Analisis dampak
pengoperasian rumpon tipe philippine di perairan ZEE
terhadap perikanan cakalang di perairan teritorial
Selatan Jawa dan Utara Sulawesi. Laporan Penelitian:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. 70 p.
Priatna, A, D. Nugroho & Mahiswara. 2010. Keberadaan
ikan pelagis rumpon laut dalam pada musim timur di
Perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Teluk
Pelabuhanratu dengan metode hidroakustik. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta: Pusat Riset
Perikanan Tangkap. 16 (2): 83-91.
Nikijuluw, V.P.H. 2009. Status sumber daya ikan tuna
Samudera Hindia: Implikasinya bagi Indonesia. Jurnal
Kebijakan Perikanan Indonesia. 1(1): 32-44.
Simbolon D. 2004. Suatu studi tentang potensi
pengembangan sumberdaya ikan cakalang dan
teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan.
Bul FPIK IPB. 13(1): 48–67.
Nootmorn, P.,A. Yakoh & K. Kawises. 2004. Reproductive
biology of yellowfin tuna in the Eastern Indian Ocean.
IOTC-2005-WPTT-14. 8 p.
Steell, R. G. H & J. S. H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur
Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. Gramedia. Jakarta: 748 p.
Nugraha, B & S. Mardlijah. 2006. Hubungan panjang
bobot, perbandingan jenis kelamin dan tingkat
kematangan gonad tuna mata besaar (Thunnus obesus)
di Perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. 12 (3): 195–200.
Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the
size at first maturity in fishes. ICLARM. Metro Manila.
Fishbyte. 4 (2): 8-10.
Nugraha, B., S. Mardlijah & E. Rahmat. 2010. Komposisi
ukuran cakalang (Katsuwonus pelamis) hasil
Zubaidi, T., I. N. Edrus & M. S. Hurasan. 1994. Beberapa
aspek biologi ikan madidihang (Thunnus albacares)
di Perairan Bacan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut.
(94): 1–10.
73
74
Download