BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73 STRUKTUR UKURAN, HUBUNGAN PANJANG-BOBOT DAN FAKTOR KONDISI IKAN TUNA DI PERAIRAN PRIGI, JAWA TIMUR SIZE STRUCTURE, LENGTH WEIGHT RELATIONSHIP AND CONDITION FACTOR OF TUNAS IN THE PRIGI WATERS, EAST JAVA Erfind Nurdin1),AmAzbas Taurusman2) dan Roza Yusfiandayani2) 1) Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta 2) Institut Pertanian Bogor, Bogor Teregistrasi I tanggal: 5 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 16 Agustus 2012 ABSTRAK Penelitian tentang struktur ukuran dan faktor kondisi ikan tuna yang tertangkap di perairan sekitar rumpon di Selatan Prigi, Jawa Timur dilakukan pada bulan Juli 2010, Desember 2010 dan Januari 2011. Sampel ikan diperoleh di PPN Prigi, diidentifikasi menurut jenis dan diukur panjang cagak serta ditimbang bobotnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon. Hasil penelitian menunjukkan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang diukur sebanyak 115 ekor dengan dominasi ukuran panjang berkisar antara 32–36 cmFL dan bobot antara 0,75–1,20 kg; tuna mata besar (Thunnus obesus) sebanyak 114 ekor dengan dominasi panjang pada kisaran 40–44 cmFL dan bobot antara 0,75– 1,20 kg; dan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) 107 ekor dengan dominasi panjang berkisar antara 28–32 cmFL dengan bobot 0,30–0,75 kg. Hubungan panjang bobot ikan cakalang mengikuti persamaan W= 0,055FL2,733, tuna mata besar W= 0,014FL3,096 dan tuna sirip kuning W= 0,0006FL3,960. Faktor kondisi (K) ikan cakalang adalah 2, tuna mata besar 2,1 dan tuna sirip kuning 2,0. KATA KUNCI: Hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi, tuna, Prigi ABSTRACT: Study on size structure and condition factor of tuna caught around FADs in the south of Prigi, East Java was conducted in July 2010, December 2010 and January 2011. The objectives of this study are to investigate that the size distribution, L-W relationship and condition factor of dominant fish caught around of FADs. The result showed that the size distribution of skipjack tuna dominated in range of 32–36 cmFL and 0.75–1.20 kg (body weight), bigeye tuna range of 40–44 cmFL and 0.75– 1.20 kg (body weight), yellowfin tuna range of 28–32 cmFL and 0.30– 0.75 kg (body weight). Length weight relationship of skipjack tuna can described as W= 0.055FL2.733, bigeye tuna W= 0.014FL3.096 and yellowfin W= 0.0006FL3.960. The value of condition factor was 2.0 for skipjack tuna, mean while for bigeye tuna was 2.1 and for yellowfin tuna was 2.0. KEYWORDS: Length-weight relationship, condition factor, tuna, Prigi PENDAHULUAN Perkembangan usaha penangkapan tuna telah memberikan konstribusi terhadap peningkatan ekonomi yang cukup signifikan di beberapa daerah. Data sementara menunjukkan bahwa porsi terbesar hasil tangkapan yang didaratkan tergolong surface tuna yang umumnya memiliki ukuran panjang belum layak tangkap (Nurdin, 2009). Peningkatan kapasitas armada penangkapan ikan telah menimbulkan persoalan kapasitas penangkapan yang berlebih. Berkembangnya upaya penangkapan mengarah pada menurunnyaketersediaanstoksumberdayaikan. Apabilaukuran hasil tangkapan ikan tuna semakin mengecil, hal ini akan mengakibatkan berkurangnya jumlah ikan yang berkesempatan memijah yangmengakibatkan rekruitmen berkurang. Salah satu pusat pendaratan tuna skala kecil (small scale fisheries) di selatan pulau Jawa adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, Jawa Timur. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan di perairan Selatan Jawa menggunakan alat bantu rumpon sebagai pengumpul ikan. Armada yang melakukan penangkapan di rumpon dengan tujuan utama jenis ikan tuna dan cakalang adalah armada tonda dan jaring insang. Monintja & Zulkarnain (1995) dan Diniah et al. (2006) menyatakan awal keberadaan rumpon mampu meningkatkan hasil tangkapan. Semakin padatnya pemasangan rumpon menyebabkan penurunan hasil tangkapan per satuan upaya, ditandai oleh ukuran ratarata ikan yang tertangkap memperlihatkan kecenderungan yang lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman-Jakarta Utara. Email : [email protected] 67 E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73 Dampak negatif rumpon perlu diwaspadai secara serius apabila dalam pengoperasian melebihi kapasitas: a) jumlah ikan di daerah penangkapan sekitar pantai menurun dimana usaha penangkapan skala kecil beroperasi; b) Laju tangkap unit penangkapan di luar areal rumpon cenderung menurun; c) berhentinya operasi penangkapan dari sebagian unit penangkapan skala kecil (Simbolon, 2004). Pengoperasiaan beberapa jenis alat tangkap menyebabkan ukuran ikan tuna yang tertangkap bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur ukuran, pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan tuna yang merupakan hasil tangkapan utama di sekitar rumpon yang didaratkan di PPN Prigi, Jawa Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran struktur ukuran ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon dan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan pengelolaan perikanan tuna khususnya yang tertangkap di sekitar rumpon. BAHANDANMETODE Pengumpulan data dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Prigi, Jawa Timur pada bulan Juli 2010, Desember 2010 dan Januari 2011. Pencatatan panjang dan bobot serta faktor kondisi dikhususkan bagi ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon yang berada di Samudera Hindia, sebelah selatan Jawa Timur. Posisi rumpon dijelaskan pada gambar 1. Pengukuran panjang cagak (fork length, FL) dilakukan menggunakan meteran gulung dengan panjang maksimum 5 meter, sedangkan bobot ikan diukur menggunakan timbangan berkapasitas 10 kg. Jumlah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang diamati sebanyak 115 ekor, tuna mata besar (Thunnus obesus) 114 ekor dan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) 107 ekor yang merupakan hasil tangkapan armada tonda dan jaring insang yang beroperasi di sekitar rumpon (Gambar 2). Gambar 1. Peta menunjukkan posisi rumpon nelayan Prigi. Figure 1. Map showing FADs position of Prigi fisherman Gambar 2. Ikan tuna yang didaratkan di PPN Prigi. Figure 2. Tuna species landed at PPN Prigi. 68 E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73 Nilai b diuji untuk mengetahui apakah nilai b yang diperoleh berbeda nyata dengan nilai b= 3 menggunakan uji-t pada tingkat kepercayaan 95% (Steell & Torrie, 1989). Menurut Effendie (1997), analisis faktor kondisi (K) dilakukan untuk melihat kondisi ikan dari kapasitas fisik menggunakan persamaan K= 100 (W/L3 ), dimana: W= bobot dan L= panjang. Hubungan panjang - bobot dianalisis dengan model pertumbuhan menurut Bal & Rao (1984) menggunakan persamaan: W= aLb dimana: W= bobot, L= panjang, a dan b= konstanta HASIL DAN BAHASAN Nilai b sebagai penduga hubungan antara panjang dan bobot dengan kriteria: HASIL · Distribusi Ukuran Panjang dan Bobot Pengukuran dilakukan terhadap jenis ikan hasil tangkapan dominan dari alat tangkap tonda dan jaring insang di sekitar rumpon yang didaratkan di PPN Prigi. Ukuran bobot untuk ketiga jenis ikan yang tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan sebelah selatan Jawa Timur dan berhasil diukur berkisar antara 0,3-3,9 kg, dengan dominasi cakalang pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna mata besar pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna sirip kuning pada kisaran 0,30–0,75 kg (Gambar 3). Cakalang 40 30 n= 115 30 10 3.45-3.9 3.0-3.45 2.55-3.0 2.1-2.55 Kisaran bobot (kg) 40 Tuna sirip kuning 30 n= 107 20 10 3.45-3.9 3.0-3.45 2.55-3.0 2.1-2.55 1.65-2.1 1.2-1.65 0.75-1.2 0 0.3-0.75 Jumlah (ekor) Kisaran bobot (kg) 1.65-2.1 0 1.2-1.65 3.45-3.9 3.0-3.45 2.55-3.0 2.1-2.55 1.65-2.1 1.2-1.65 0 n= 114 20 0.75-1.2 10 Tuna mata besar 0.3-0.75 20 Jumlah (ekor) 40 0.3-0.75 Jumlah (ekor) · 0.75-1.2 · Nilai b = 3, ikan memiliki pola pertumbuhan isometrik (pertambahan bobot seimbang dengan pertambahan panjang) Nilai b > 3, ikan memiliki pola pertumbuhan alometrik positif (pertambahan bobot lebih besar dari pertambahan panjang) Nilai b < 3, ikan memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif (pertambahan bobot lebih kecil dari pertambahan panjang). Kisaran bobot (kg) Gambar 3. Sebaran bobot ikan tuna yang tertangkap di perairan Prigi Figure 3. Weight distribution of tuna species caught in Prigi Waters Ukuran panjang cagak (FL) untuk ketiga jenis ikan yang tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan sebelah selatan Jawa Timur berkisar antara 28-60 cmFL, dengan dominasi panjang cagak cakalang pada kisaran 32-36 cmFL, tuna mata pada kisaran 40-44 cmFL dan tuna sirip kuning pada kisaran 28-32 cm FL. Sebaran frekwensi panjang ikan tuna yang didaratkan di PPN Prigi disajikan pada gambar 4. Hubungan Panjang dan Bobot Analisis panjang-bobot ikan mempunyai beberapa kegunaan, diantaranya untuk memprediksi berat berdasarkan ukuran panjang ikan. Hasil penelitian di PPN Prigi diperoleh hubungan panjang-bobot ikan cakalang dengan persamaan W= 0,055FL2,733 dengan nilai koefisien korelasi r= 0,9483, ikan tuna mata besar dengan persamaan W= 0,007FL3,260 dan nilai r= 0,9288 sedangkan tuna sirip kuning dengan persamaan W= 0,0006FL3,960 dan nilai r= 0,9883 (Gambar 5). 69 E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73 Jumlah (ekor) Jumlah (ekor) 40 30 20 10 0 50 Tuna mata besar 50 40 n= 114 40 Jumlah (ekor) Cakalang n= 115 50 30 20 10 0 28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60 Tuna sirip kuning n= 107 30 20 10 0 28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60 28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60 Kisaran panjang FL (cm) Kisaran panjang FL (cm) Kisaran panjang FL (cm) Gambar 4. Sebaran panjang cagak (fork length, FL) ikan tuna yang tertangkap di Perairan Prigi. Figure 4. Fork length distribution of tuna species caught in Prigi Waters 4000 2000 Tuna mata besar n = 114 6000 0,007x 3,260 y= r = 0,9288 4000 2000 6000 Bobot (gram) Bobot (gram) y = 0,055x 2,733 r = 0,9483 Bobot (gram) Cakalang n = 115 6000 4000 0 20 40 60 0 0 80 Tuna sirip kuning n=107 2000 0 0 y = 0,0006x3,960 r = 0,9883 20 40 60 0 80 20 40 60 80 FL (cm) FL (cm) FL (cm) Gambar 5. Hubungan panjang-bobot ikan tuna yang tertangkap di perairan Prigi. Figure 5. Length–weight relationship of tuna species caught in Prigi waters. Dalam penelitian ini sampel ikan yang digunakan tidak membedakan jenis kelamin. Untuk mengetahui sejauh mana hubungan panjang dengan bobot ikan ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi nilai b, dimana salah satunya adalah faktor lingkungan perairan. Uji-t terhadap nilai b=3 yang dilakukan bagi ketiga jenis ikan tuna tersebut (Tabel 1) pada selang kepercayaan 95% ( D = 0,05) diperoleh nilai b berbeda nyata (t-hitung > t-tabel). Faktor Kondisi Pengamatan terhadap contoh ikan didaratkan di PPN Prigi diperoleh rata-rata faktor kondisi (K) ikan cakalang adalah 2,08, ikan tuna mata besar adalah 2,01 dan ikan tuna sirip kuning adalah 1,99 (Tabel 2). Mengacu pada Effendie (1997) hasil ini menandakan ketiga ikan tersebut masih berada pada batas ambang kondisi yang baik dengan kisaran nilai (K) antara 1-3. Tabel 1. Parameter hubungan panjang dan bobot hasil tangkapan ikan tuna disekitar rumpon di perairan Prigi Table 1. Parameter of length – weight relationship of tuna species caught around FADs in Prigi waters Jenis ikan Cakalang n 115 r 0,9483 a 0,055 b 2,733 T hit 24,542 Ttabel 1,981 Hasil T hit > Ttabel Keterangan Alometrik negatif Tuna mata besar 114 0,9288 0,007 3,260 22,889 1,986 T hit > Ttabel Alometrik positif Tuna sirip kuning 107 0,9883 0,0006 3,960 14,317 1,983 T hit > Ttabel Alometrik positif Tabel 2. Faktor kondisi (K) hasil tangkapan ikan tuna di sekitar rumpon di perairan Prigi Table 2. Condition factor of tuna species caught around of FADs in Prigi waters Min. Max. Rata-rata St.Dev. 70 FL (cm) 30,0 60,0 40,5 6,3 Cakalang (n=115) W (gram) 500,0 3500,0 1451,7 622,6 K 1.40 2.70 2,08 0,29 Tuna mata besar (n=114) FL W (cm) (gram) 28,0 0,35 58,0 3,70 41,9 1,58 6,1 0,72 K 1,38 2,96 2,01 0,36 Tuna sirip kuning (n=107) FL W (cm) (gram) 27,0 250,0 58,0 3700,0 36,8 1188,0 7,2 838,7 K 1,14 2,81 1,99 0,50 E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73 BAHASAN Distribusi Ukuran Panjang dan Bobot Menurut Nugraha et al. (2010) ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan cakalang di perairan Tulehu (Ambon) sebesar 40,9 cmFL. Nikijuluw (2009) menyatakan bahwa di perairan Samudera Hindia untuk Lm ikan cakalang berkisar antara 41–43 cmFL. Menurut Froose & Pauly (2011) bahwa panjang cakalang saat matang gonad (Lm) berkisar antara 40-45 cmFL. Di perairan Filipina ditemukan panjang Lm 40 cmFL, sedangkan di perairan Papua Newguinea pada panjang Lm 45 cmFL. Hasil penelitian di perairan sebelah selatan Prigi diperoleh ukuran ikan cakalang yang tertangkap pada panjang lebih dari 40 cmFL sebanyak 52%. Dengan melihat beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ikan cakalang yang tertangkap masih dapat dikatakan layak tangkap, dimana hasil tangkapan yang diduga telah matang gonad lebih banyak dibandingkan yang belum matang gonad. Perbedaan ukuran tersebut dapat terjadi karena nilai Lm sangat bervariasi. Dengan demikian individu yang berasal dari satu kelas umur ataupun kelas panjang yang sama, tidak harus selalu mencapai panjang pertama kali matang gonad pada ukuran yang sama (Udupa, 1986). Nugraha & Mardlijah (2006) memperoleh ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm) ikan tuna mata besar di Laut Banda untuk ikan jantan dan betina masingmasing 146,1 cmFL dan 133,5 cmFL. Nootmorn (2004) pada penelitiannya di Samudera Hindia bagian barat memperoleh nilai Lm jantan berukuran 86,85 cmFL dan betina berukuran 88,08 cmFL. Farley et al., (2003) di Samudera Hindia memperoleh nilai Lm sebesar 102,4 cmFL. Mardlijah (2008) menyatakan bahwa ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan tuna sirip kuning di Perairan Marisa (Sulawesi Utara) untuk ikan betina berkisar antara 89,2–100,9 cmFL. Zubaidi (1994) pada penelitiannya di Perairan Maluku diperoleh Lm ikan tuna sirip kuning jantan dan betina masing-masing sebesar 118,7 cmFL dan 113 cmFL. Dengan melihat beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ukuran ikan tuna mata besar dan tuna sirip kuning yang tertangkap di sekitar rumpon di Perairan Prigi Jawa Timur jauh dibawah ukuran pertama matang gonad (Lm), hal ini menggambarkan hasil tangkapan tuna tersebut masih berukuran kecil atau belum layak tangkap yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan. Hubungan Panjang dan Bobot Ikan cakalang memiliki nilai b sebesar 2,733 dengan pola pertumbuhan ikan cakalang bersifat alometrik negatif (b<3) dimana pertambahan bobot lebih lambat dari pertambahan panjang. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Nugraha et al. (2010) yang menyatakan bahwa cakalang hasil tangkapan huhate di Laut Banda bersifat alometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,751. Pola pertumbuhan ikan tuna mata besar dan tuna sirip kuning bersifat alometrik positif (b>3) dimana pertambahan bobot lebih cepat dari panjang. Nilai b untuk ikan tuna mata besar 3,260 dan tuna sirip kuning 3,960. Nugraha & Mardlijah (2006) menyatakan pola pertumbuhan tuna mata besar hasil tangkapan tuna longline di Laut Banda bersifat alometrik negatif dengan nilai b= 2,470 untuk jantan dan 2,567 untuk betina. Faizah & Prisantoso (2010) menyatakan pola pertumbuhan tuna mata besar hasil tangkapan tuna longline di Samudera Hindia bersifat alometrik negatif dengan nilai b= 2,965. Penelitian Zubaidi et al. (1994) menyatakan hasil tangkapan tuna sirip kuning dengan pancing ulur di perairan Bacan-Maluku Utara bersifat alometrik negatif dengan nilai b= 2,67 untuk betina dan 2,81 untuk jantan. Perbedaan pola pertumbuhan dapat disebabkan karena ukuran ikan hasil tangkapan yang berbeda, pada penelitian ini ukuran ikan hasil tangkapan masih relatif kecil (juvenil tuna). Sementara hasil tangkapan troll line dan gillnet ikan yang hidup pada permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya ukuran dan jenis makanan, kondisi oseanografi perairan (suhu, oksigen, dan lain-lain), dan kondisi ikan (umur). Menurut Hossain (2010) hubungan panjang-bobot ikan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya habitat, lingkungan, musim, jenis makanan, matang gonad, kesehatan dan jenis kelamin. King (2007) menyatakan bahwa hubungan panjang bobot dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan perbedaan antara jenis ikan yang sama pada stok yang berbeda. Faktor Kondisi Effendie (1997) menyatakan bahwa faktor kondisi (K) merupakan derivat dari pertumbuhan. Faktor kondisi menunjukkan kondisi baik fisiologis ikan dilihat dari kapasitas fisik survival dan reproduksi. Secara komersial kondisi ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging yang tersedia. Nilai K berkisar antara 2–4 apabila badan ikan pipih, dan 1–3 apabila badan ikan tidak pipih. Variasi nilai K tergantung pada ketersediaan makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Pengamatan terhadap contoh ikan didaratkan di PPN Prigi diperoleh rata-rata faktor kondisi (K) ikan cakalang adalah 2,08, ikan tuna mata besar adalah 2,01 dan ikan tuna sirip kuning adalah 1,99. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Faizah 71 E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73 & Aisyah (2011) di Sendang Biru, Jawa Timur pada bulan Oktober 2010 diperoleh nilai faktor kondisi ikan tuna sirip kuning berkisar antara 1,3-2,37 dengan rata-rata 1,66 dan ikan tuna mata besar berkisar antara 1,35-1,91 dengan ratarata 1,80. Hossain (2010) menyatakan bahwa faktor kondisi merupakan indikator ketersediaan makanan di wilayah perairan dan secara umum siklus perubahan musim dapat mempengaruhi perkembangan gonad. Hasil tangkapan di sekitar rumpon di perairan Samudera Hindia bagian Selatan Jawa khususnya di perairan Prigi untuk jenis ikan tuna mata besar maupun tuna sirip kuning menunjukkan hasil tangkapan didominasi oleh ukuran kecil atau belum layak tangkap yang mengakibatkan dampak negatif terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan. Untuk penanggulangannya antara lain diperlukan metode operasi penangkapan dengan alat tangkap yang selektif dalam ukuran seperti hand line dan gillnet yang dioperasikan dengan ukuran mata jaring lebih besar pada kedalaman tertentu dimana merupakan area ikan dewasa menyebar. Pengetahuan tentang tingkah laku ikan yang menjadi sasaran utama penangkapan juga diperlukan guna pengembangan metode pengoperasian dan alat tangkap yang lebih efektif. Hasil penelitian Josse et al. (2000) dengan menggunakan perangkat akustik menunjukkan schooling ikan tuna kecil pada strata kedalaman 10–50 meter merupakan area dengan kepadatan dan jumlah schooling terbesar. Priatna et al. (2010) menyatakan bahwa kepadatan ikan (density) di sekitar rumpon tertinggi ditemukan pada lapisan permukaan hingga kedalaman 50 meter, dengan dominasi 80% ukuran ikan 40–70 cm berada pada kedalaman 25 sampai 50 meter yang diduga kuat adalah jenis cakalang dan tuna kecil. KESIMPULAN 1. Ukuran panjang cagak untuk ketiga jenis ikan yang tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan sebelah selatan Jawa Timur berkisar antara 28-60 cmFL, dengan dominasi cakalang pada kisaran 32-36 cmFL, tuna mata besar pada kisaran 40-44 cmFL dan tuna sirip kuning pada kisaran 28-32 cm FL. Sedangkan bobot untuk ketiga jenis ikan yang berhasil diukur berkisar antara 0,3-3,9 kg, dengan dominasi cakalang pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna mata besar pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna sirip kuning pada kisaran 0,30–0,75 kg. 2. Pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) bersifat alometrik negatif dengan persamaan W= 0,055FL2,733, ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) alometrik positif dengan persamaan W= 0,007FL3,260 dan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) alometrik positif dengan persamaan W= 0,0006FL3,960. 72 3. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan cakalang K= 2,08, sedangkan ikan tuna mata besar diperoleh nilai K= 2,01 dan tuna sirip kuning diperoleh nilai K= 1,99. Hal ini menandakan kondisi fisiologis ikan tersebut dalam keadaan baik. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian karakteristik perikanan rumpon skala kecil di Selatan Jawa tahun 2010, di Balai Penelitian Perikanan Laut. DAFTAR PUSTAKA Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc.Graw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi. p. 5-24. Diniah, D.R. Monintja & A. Ardianto. 2006. Teknologi Rumpon Laut Dalam sebagai Alat Bantu Pemanfaatan Sumberdaya Cakalang. Di dalam: Sondita MFA, Solihin I, editor. Buku Kumpulan Pemikiran Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Bogor: FPIK IPB. p. 36-42. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 p. Faizah, R & B. I. Prisantoso, 2010. Hubungan panjang dan bobot, sebaran frekuensi panjang dan faktor kondisi tuna mata besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (3): 183 – 189. Faizah, R & Aisyah. 2011. Komposisi jenis dan distribusi ukuran ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru, Jawa Timur. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (6): 377–385. Farley, J., N. Clear, B. Leroy, T. Davis & G. Mcpherson. 2003. Age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus) from the eastern and western AFZ. Report no. 2000/ 100 CSIRO Marine Research. Australia. 93 p. Froese, R & D. Pauly. 2011. FishBase. World Wide Web Electronic Publication, www.fishbase.org. Hossain, Y. 2010. Length-Weight, Length-Length Relationship and Condition Factors of Three Schibid Catfish from The Padma River, Northwestern Bangladesh. Asian Fisheries Science. (23): 329-339. Josse, E., L. Dagron & A. Bertrand. 2000. Typology and behaviour of tuna aggregation around fish aggregating device from accoustic surveys in french polynesia. Aquat Living Resour. 13:183–192. E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73 King, M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and Management. Second edition. Blackwell Sciencetific Publication, Oxford. 381 p. tangkapan huhate yang didaratkan di Tulehu Ambon. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap 3(3): 199 – 207. Mardlijah, S. 2008. Analisis isi lambung dan gonad ikan madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) yang tertangkap di perairan Marisa, Gorontalo, Teluk Tomini. Tesis. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. 105 p. Nurdin, E. 2009. Perikanan tuna skala rakyat (small scale) di Prigi, Trenggalek Jawa Timur. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 2(4): 177-183. Monintja, D.R & Zulkarnain. 1995. Analisis dampak pengoperasian rumpon tipe philippine di perairan ZEE terhadap perikanan cakalang di perairan teritorial Selatan Jawa dan Utara Sulawesi. Laporan Penelitian: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 70 p. Priatna, A, D. Nugroho & Mahiswara. 2010. Keberadaan ikan pelagis rumpon laut dalam pada musim timur di Perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Teluk Pelabuhanratu dengan metode hidroakustik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap. 16 (2): 83-91. Nikijuluw, V.P.H. 2009. Status sumber daya ikan tuna Samudera Hindia: Implikasinya bagi Indonesia. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 1(1): 32-44. Simbolon D. 2004. Suatu studi tentang potensi pengembangan sumberdaya ikan cakalang dan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Bul FPIK IPB. 13(1): 48–67. Nootmorn, P.,A. Yakoh & K. Kawises. 2004. Reproductive biology of yellowfin tuna in the Eastern Indian Ocean. IOTC-2005-WPTT-14. 8 p. Steell, R. G. H & J. S. H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. Gramedia. Jakarta: 748 p. Nugraha, B & S. Mardlijah. 2006. Hubungan panjang bobot, perbandingan jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad tuna mata besaar (Thunnus obesus) di Perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 12 (3): 195–200. Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size at first maturity in fishes. ICLARM. Metro Manila. Fishbyte. 4 (2): 8-10. Nugraha, B., S. Mardlijah & E. Rahmat. 2010. Komposisi ukuran cakalang (Katsuwonus pelamis) hasil Zubaidi, T., I. N. Edrus & M. S. Hurasan. 1994. Beberapa aspek biologi ikan madidihang (Thunnus albacares) di Perairan Bacan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (94): 1–10. 73 74