3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di perairan pesisir Holtekam, Kampung Holtekam, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Secara geografis berada pada posisi antara 1⁰28’17.26”- 3⁰58’0.28” Lintang Selatan dan antara 137⁰34’10.6”-141⁰0’8.22” Bujur Timur. Titik sampling sebanyak 18 titik, 12 titik di tambak dan saluran Kali buaya dan 6 titik di laut (Lampiran 1). Kegiatan penelitian dilaksanakan selama selama 2 bulan, yaitu April–Mei 2010. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan selama 3 hari dari pukul 07.00 –17.00 WIT. Gambar 2. Peta lokasi Penelitian di Holtekam Distrik Muara Tami Kota Jayapura Provinsi Papua Berdasarkan data dari Balai Besar Moteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) wilayah V Jayapura 2009, Kota Jayapura mempunyai curah hujan yang bervariasi antara 29 mm sampai 456 mm per tahun dengan suhu harian berkisar antara 24.2-32.6⁰C. Kelembaban udara bervariasi antara 76-93%. Iklim Kota Jayapura dikategorikan basah, dimana konsentrasi hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember hingga Januari, sedang konsentrasi hujan terendah terjadi antara bulan Mei hingga bulan Agustus setiap tahun. Perairan Holtekam merupakan lekukan pantai yang terletak di dalam teluk Yos Sudarso, dimana pantainya terdiri dari pantai berpasir yang landai. sedangkan pada lahan atas merupakan kawasan mangrove yang sebagian telah di konversi menjadi lahan pertambakan. Bagian luar perairan Holtekam terdapat dua pulau karang yang dikelilingi oleh terumbu karang namun kondisinya sudah rusak akibat aktivitas masyarakat dan proses sedimentasi. Saluran pemasok air bagi kawasan pertambakan adalah Kali buaya yang bermuara di pantai Holtekam, sebelumnya merupakan sungai mati. Setelah irigasi teknis di Koya dibangun maka saluran pembuangan irigasi teknis dari Koya di hubungkan dengan kali buaya. Sepanjang pinggiran kali buaya ditumbuhi oleh mangrove dengan lebar hamparan 5–15 m. Pada musim hujan perairan saluran keruh akibat luapan lumpur dari sungai Muara Tami melalui saluran irigasi teknis yang masuk ke Kali Buaya. Kawasan pertambakan Holtekam terletak pada pesisir pantai yang sebelumnya merupakan kawasan hutan mangrove. Konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan dimulai sejak tahun 1980 oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Jenis mangrove yang mendominasi kawasan ini adalah Rhizopora sp., Sonneratia sp. dan Ceriops tagal. Aktivitas budidaya tambak masih dalam skala tradisional karena masih dilakukan secara perorangan berdasarkan pengalaman bertambak di daerah asal yakni Bugis dan Makassar. Lokasi penelitian di Perairan/Teluk Holtekam dapat dijangkau dengan menggunakan sarana transportasi darat dan laut. Jalan darat melalui ruas jalan Internasional Jayapura (RI) - Wutung (PNG) yang membutuhkan waktu ±30 menit dari Kota Jayapura. 3.2 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer yang meliputi data kuantitas dan kualitas air (parameter fisika-kimia dan biologi) dengan melakukan pengambilan sampel secara langsung di lapangan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data pasang surut, pola arus, topografi, potensi wilayah dan tata guna lahan, Data sekunder ini diperoleh dari Dinas/instansi dan lembaga terkait yaitu : Pemda Kota Jayapura, Bappeda Kota Jayapura, Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Moteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jayapura, Dinas hidro oseanografi AL Jayapura dan instansi lainnya. 3.2.1 Kualitas Air Pengumpulan data kualitas air untuk menentukan status perairan pesisir Holtekam yang terkait dengan kelayakan kehidupan biota perairan. Sampel air di ambil pada stasiun pengamatan yang telah ditentukan yakni di tambak, saluran dan laut. Sampel air untuk pengamatan parameter fisika kimia perairan disimpan dalam botol sampel selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis lebih lanjut. Tabel 1 Parameter fisika kimia perairan yang diukur, alat dan cara analisisnya No 1. 2. 3. 4. 5. 6 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Parameter Sifat Fisika Suhu air (oC) Kedalaman (m) Kecerahan (m) Kekeruhan (NTU) (TSS) (mg/l) Kecepatan Arus (m/dtk) Sifat Kimia Salinitas (ppt) pH Oksigen terlarut (mg/l) BOD 5 (mg/l) COD (mg/l) Nitrit (N-NO 2 ) (mg/l) Nitrat (N-NO 3 ) (mg/l) N-Total (mg/l) Fosfat (PO 4 ) (mg/l) TOM Alat/Cara Analisis Keterangan Thermom air raksa Tali penduga Secchi Disc Turbidimeter Gravimetrik Current meter In Situ In Situ In Situ In Situ Laboratorium In Situ Refraktometer pH meter DO meter Titrimetrik, inkubasi Titrimetrik dengan Bikromat Spektrofotom metode AgSO 4 Spektrofotom metode AgSO 4 Spektrofotom metode Nessler Spektrofotom metode SuCl2 Titrimetrik (KMnO 4 ) In Situ In Situ In Situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboraatoriu Analisis kualitas air (parameter fisika kimia) sebagian dilakukan langsung di lokasi pengamatan (in situ) dan di Laboratorium Lingkungan Badan Kesehatan Lingkungan Daerah Jayapura Provinsi Papua. Parameter yang diukur secara langsung di lokasi adalah: suhu, kedalaman, kekeruhan, kecerahan, kecepatan arus, salinitas, oksigen terlarut dan pH. Sedangkan parameter kualitas air yang di amati di laboratorium adalah: TSS, BOD, COD, Nitrat, Nitrit, N-Total, Fosfat dan TOM. Metode pengambilan dan penanganan contoh air serta metode analisis kualitas air mengacu pada APHA (1989). Pengambilan sampel fitoplankton dari setiap substasiun dilakukan secara bersamaan pada saat pengukuran parameter kualitas air. Air sampel sebanyak 50 liter disaring dengan menggunakan plankton net diam 0.25 mm. Hasil saringan sebanyak 100 ml diawetkan dengan Formalin 10%, selanjutnya diamati kandungan fitoplanktonnya di Laboratorium Avertebrata Air IPB. 3.2.2. Kondisi Hidro Oseanografi Pengamatan hidro-oseanografi perairan pesisir Holtekam meliputi: pengukuran panjang pantai yang sejajar dengan lebar tambak yang menjadi pemasok air tambak, gradien perairan pantai rata-rata, pasang surut dan pola arus. Menentukan jarak pengambilan air laut (intake) untuk keperluan tambak yakni dihitung dari garis pantai (saat pasang) ke arah laut hingga mencapai kedalaman 1 m di bawah muka air laut pada saat surut, mengukur kedalaman air rata-rata dalam tambak dan pergantian air tambak. 3.2.3 Budidaya Tambak Pengamatan aktivitas budidaya tambak yang dilakukan selama penelitian meliputi luas areal tambak, luas petakan tambak, deskripsi fisik tambak yang meliputi kondisi sarana dan prasarana produksi tambak. Pengamatan terhadap tingkat tekhnologi dan manajemen budidaya tambak yang meliputi : persiapan tambak (jenis dan dosis pupuk, pestisida, kapur), benih (sumber benih, umur, jumlah, perlakuan, aklimatisasi), pengelolaan air dan lingkungan, pakan (jenis, jumlah ukuran dan frekuensi pemberian pakan), pemantauan pertumbuhan, penanganan hama dan penyakit, panen dan pasca panen. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara kepada responden utama baik secara tertutup (kuisioner) maupun terbuka dan pengamatan visual di lapangan (visual survey). 3.3 Analisis Data 3.3.1 Komposisi Jenis, Indeks keanekaragaman (H’) Indeks Keseragaman (E) dan Dominansi Fitoplankton Komposisi jenis fitoplankton dimaksudkan untuk melihat persentase jenis fitoplankton yang menyusun komunitas fitoplankton pada suatu perairan. Komposisi jenis fitoplankton dihitung sebagai berikut : Dimana, K = Komposisi jenis (%) Ni = Jumlah spesies ke-i N = Jumlah total spesies Keragaman/keanekaragaman (H’) sangat penting untuk mengetahui tingkat kestabilan suatu komunitas. Semakin tinggi indeks keanekaragaman suatu habitat maka semakin baik kestabilan habitat tersebut terhadap tekanan dari luar (external pressure) semakin baik. Penentuan indeks keanekaragaman jenis pada penelitian ini menggunakan indeks Shannon-Wiener dengan berpedoman pada Brower et al. (1990); Setyobudiandi et al. (2009), dengan formula sebagai berikut: Dimana : H’ = indeks keanekaragaman jenis ρi = ni/N ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah total individu seluruh jenis Agar nilai Indeks keanekaragaman jenis (H’) dapat ditafsirkan maknanya maka digunakan kriteria sebagai berikut : Jika H’ < 1 : keanekaragaman jenis rendah Jika 1 ≤ H’ ≥ 3 : keanekaragaman jenis sedang Jika H’ > 3 : keanekaragaman jenis tinggi Indeks keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui tingkat keseragaman suatu komunitas dan penyebaran jumlah individu tiap jenis plankton. Indeks keseragaman dihitung dengan membandingkan nilai indeks keanekaragaman dan nilai keanekaragaman maksimum. Keseragaman jenis fitoplankton (E) dihitung dengan rumus : dimana : H’ = indeks keanekaragaman Shannon-wiener H’ maks = log 2 S S = jumlah spesies Nilai indeks keseregaman berkisar antara 0 – 1, dengan kriteria sebagai berikut : E < 0.4 : keseragaman kecil 0.4 ≤ E < 0.6 : keseragaman sedang E ≥ 0.6 : keseragaman besar Bila indeks keseragaman mendekati 0, maka ekosistem tersebut mempunyai kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu dan bila indeks keseragaman mendekati 1 maka ekosistem tersebut relatif stabil. Sedangkan untuk mengetahui dominansi (D) suatu jenis fitoplankton dalam komunitasnya digunakan indeks dominansi Simpson (Legendre & Legendre 1983), sebagai berikut : Dimana : D = indeks dominansi ni = jumlah spesies jenis ke-i N = jumlah total individu seluruh jenis Nilai indeks dominansi berkisar 0–1. Jika indeks dominansi mendekati 0 berarti tidak ada jenis fitoplankton yang mendominasi. Sebaliknya jika nilai indeks dominansi mendekati 1 berarti ada salah satu jenis fitoplankton yang mendominasi komunitas tersebut. 3.3.2 Analisis Spasial Karakteristik Kualitas Air Analisis spasial karakteristik kualitas perairan pesisir antara stasiun pengamatan, digunakan pendekatan analisis statistik multivariable, yaitu Analisis Komponen Utama (PCA) (Bengen et al. 1994). PCA merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari stasiun pengamatan sebagai individu statistik (baris) dan parameter kualitas perairan sebagai variable kualitatif (kolom). Sebelum melakukan PCA terlebih dahulu dilakukan analisis varians. Pada prinsipnya PCA menggunakan jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu/baris dan variabel/kolom yang berkoresponden) pada data yang didasarkan pada rumus : Keterangan : D2 = jarak euklidien = 2 stasiun (pada baris ke-i) Ji = parametereter kualitas perairan (indeks pada kolom, bervariasi dari 1 ke-p) X ij = jumlah kolom j untuk semua baris i Semakin kecil jarak Euclidean antara dua stasiun pengamatan, maka makin mirip karakteristiknya, sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antara dua stasiun pengamatan, maka semakin berbeda karakteristik parameter fisika kimia perairan antara kedua stasiun pengamatan. 3.3.3 Analisis Daya Dukung Perairan Perhitungan kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah tambak sangat penting demi kelestarian lingkungan pesisir dan kegiatan tambak yang berkelanjutan. Perhitungan kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah tambak mengacu pada rumus hasil kegiatan penyusunan kriteria eko-biologis (Widigdo 2000). Data yang digunakan dalam analisis daya dukung perairan diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan (data primer), maupun dari berbagai sumber (data sekunder). Data yang dikumpulkan meliputi : 1. Amplitudo atau kisaran pasut (tidal range) (h), diambil dari hasil pengamatan lapangan dan daftar pasang surut yang dikeluarkan oleh Dinas hidro oseanografi AL (data sekunder). 2. Panjang garis pantai (y), diperoleh dari dokumen Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Kota Jayapura (data sekunder). 3. Jarak garis pantai dengan lokasi pantai yang kedalaman airnya 1 m pada saat surut terendah (x), diperoleh dari hasil pengukuran lapangan (data primer). 4. Sudut kemiringan dasar laut pantai ( ), diperoleh dari peta batimetri yang dikeluarkan oleh Dinas hidro oseanografi AL Jayapura (data Sekunder). Setelah data-data tersebut terkumpul, dilakukan perhitungan untuk mengetahui kapasitas kawasan perairan pesisir menerima limbah dari budidaya tambak. Secara lengkap tahapan dalam perhitungan daya dukung adalah : 1. Menghitung volume air laut yang masuk ke dalam kawasan pesisir atau air yang tersedia dengan menggunakan rumus : Dimana, Vo = volume air laut yang memasuki perairan pantai (m3). h = Kisaran pasang surut (tidal range) setempat (m) y = lebar areal tambak yang sejajar garis pantai (m). x = Jarak dari garis pantai (pada waktu pasang) hingga lokasi intake air laut untuk keperluan tambak (m). θ = Sudut kemiringan pantai Setelah diketahui V o, maka nilai tersebut dikalikan dengan frekuensi pasang harian dan hasilnya merupakan nilai volume air tersedia (Vs). 2. Menghitung kapasitas limbah yang maksimal yang bisa diterima kawasan pesisir berdasarkan asumsi dari Racocy & Alison (1981) in Widigdo & Suwardi (2002) yaitu maksimal limbah tambak yang bisa di asimilasi atau didegradasi oleh lingkungan secara alami sebanyak 1% dari volume air yang tersedia. Volume air per satuan waktu dalam suatu kawasan adalah merupakan debit air di kawasan tersebut, sehingga semakin besar debit air berarti semakin besar juga daya tampungnya terhadap limbah. Artinya semakin besar juga produksi tambak yang mungkin dapat dicapai di kawasan tersebut. 3.3.4 Estimasi Beban Limbah Budidaya Tambak Konsentrasi limbah dari sisa pakan dan feses ikan sebenarnya akan mengalami penurunan karena terurai menjadi unsur hara yang kemudian dikonversi untuk pertumbuhan fitoplankton (Widigdo 2000). Namun di dalam memperhitungkan jumlah limbah, penurunan tersebut tidak diperhitungkan, karena belum adanya metoda perhitungan kuantitatif yang memadai untuk itu. Adanya asumsi bahwa over prediction limbah masih lebih baik dibanding dengan under prediction. Perhitungan beban limbah budidaya adalah dengan mengalikan volume air tambak dengan nilai konsentrasi N-Total, TOM dan PO 4 -P di perairan tambak. Nilai ini selanjutnya dihubungkan dengan nilai baku mutu perairan untuk budidaya (KLH 2004). Formula yang dipakai pada perhitungan ini didasarkan atas perhitungan nutrient loading model yang dimodifikasi dan dikembangkan oleh Barg (1992), yaitu : xF Dimana, N = jumlah limbah di perairan (mg/l) E = konsentrasi limbah dalam air (mg/l) V = volume perairan (m3) F = flushing time (m3/dtk)(F tambak = 1) 3.3.5 Analisis Teknis Budidaya Tambak Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kondisi teknis pengelolaan tambak bandeng yang saat ini sedang dilakukan oleh masyarakat. Untuk tujuan tersebut dilakukan pengumpulan data yang meliputi : luas tambak, prasarana dan sarana budidaya serta teknik produksi yang meliputi : persiapan tambak (jenis dan dosis pupuk, pestisida, kapur), benih (sumber benih, umur, jumlah, perlakuan, aklimatisasi), pengelolaan air dan lingkungan, pakan (jenis, jumlah, ukuran dan frekuensi pemberian pakan), pemantauan pertumbuhan, penanganan hama dan penyakit, panen dan pasca panen. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara kepada responden utama baik secara tertutup dan terbuka dan pengamatan visual di lapangan (visual survey). Data tersebut kemudian di analisis secara deskriptif dan hasilnya disajikan secara naratif dan sebagian dalam bentuk Tabel. 3.3.6 Analisis Finansial Untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya tambak bandeng, maka dilakukan analisis finansial dengan melihat hasil yang mungkin diterima oleh pelaku usaha, menguntungkan atau tidak. Analisis finansial yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pada dua kriteria yaitu undiscounted criterion dan discounted criterion. A. Undiscounted Criterion Dalam melakukan analisis disini tidak mempersoalkan apa yang diperoleh dikemudian hari, besaran nilainya diukur dengan nilai uang sekarang. Kriteria yang digunakan meliputi : 1) Analisis pendapatan usaha (π); 2) Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C); 3) Analisis titik impas (BEP). Analisis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Pendapatan Usaha Tambak ( Analisis ini bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output dari usaha tambak dan besar keuntungan atau pendapatan yang diperoleh dari usaha tambak yang dilakukan (Djamin, 1993). Konsep pendapatan dapat dirumuskan sebagai berikut : Dimana, = Pendapatan (keuntungan) per musim tanam (Rp.) Y = Total produksi (jumlah kg produksi per musim tanam)(kg) X = Jumlah input yang digunakan (kg) Py = Harga per satuan produk (Rp.) Pxi = Harga per satuan input (Rp.) Py .Y = Total Penerimaan = TR = Total Pengeluaran = TC Dengan kriteria usaha : TR>TC, maka usaha tambak menguntungkan TR=TC, maka usaha tambak impas TC<TR, maka usaha tambak rugi Revenue Cost Ratio (R/C) Analisis ini dikenal dengan istilah imbangan penerimaan dengan biaya. Analisis ini berguna untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha selama periode waktu tertentu (satu musim tanam). Rumus yang digunakan untuk menghitung R/C dijelaskan oleh Riyanto (1989) in Tahir (2000). dimana, TR = Total Penerimaan (Total Revenue) TC = Total pengeluaran (Total Cost) Kriteria usaha : R/C > 1, usaha menguntungkan R/C = 1, usaha impas R/C < 1, usaha merugikan Break Event Point (BEP) Analisis titik impas (BEP) adalah suatu cara untuk mengetahui kaitan antara volume produksi, volume penjualan, harga jual, biaya produksi, dan biaya lainnya serta laba dan rugi. Hasil analisis BEP akan diketahui pada volume (jumlah) penjualan (Rp.) dan produksi (kg) berapa suatu usaha tidak rugi dan tidak untung (impas) (Sigit 1993). Rumus yang digunakan adalah : Dimana : TC = Biaya total (Rp.) TP = Total produksi (kg) BEP = Harga Produksi minimum (Rp.) Dimana : TC = Biaya total (Rp.) CPU = Harga per Unit (Rp./kg) BEP = Produksi minimum (Rp.) B. Discounted Criterion Dalam analisis ini dipersoalkan apa yang akan diperoleh dikemudian hari dengan dasar nilai sekarang. Semua aliran cost dan benefit selam umur ekonomis tertentu diukur dengan dasar nilai uang sekarang, artinya kita melakukan discount nilai dikemudian hari dengan suatu discount factor. Aliran cost dan benefit yang telah di-discount akan menghasilkan present value dari cost dan benefit. Discounting factor yang dipakai tergantung pada tingkat suku bunga yang akan dipakai sebagai discount rate. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Net present value (NPV); 2) net benefit cost ratio (Net B/C); 3) Internal Rate of Return (IRR). Uraian setiap kriteria tersebut adalah sebagai berikut : Net Present Value (NPV) Manfaat yang diperoleh dari suatu usaha kaitannnya dengan nilai waktu penerimaan laba, dapat ditentukan dengan jalan mencari nilai netto pada saat ini, atau mencari tingkat presentase discount rate dengan menyamakan jumlah nilai investasi dengan nilai penerimaan usaha pada saat ini (Kadariah et al. 1978). Cara tersebut lazim disebut dengan istilah metode mendiskonto, yaitu mencari nilai saat ini dari arus peneriman/pengeluaran pada beberapa tahun yang akan datang berdasarkan suatu tingkat diskon tertentu. NPV merupakan selisih antara present value dari manfaat dengan present value dari biaya. Bila dalam analisis diperoleh nilai NPV > 0, berarti usaha layak untuk dilaksanakan; bila NPV = 0, pengembalian persis sama dengan opportunity cost dari modal dan bila NPV < 0, berarti usaha tidak layak dilakukan. Untuk menghitung nilai NPV digunakan persamaan sebagai berikut : Dimana, Bt = manfaat usaha pada tahun ke-t C t = biaya unit usaha pada tahun ke-t n = umur ekonomis r = discount rate t = 0, 1, 2, 3, … tahun ke-n Net Benefit Ratio (Net B/C) Net B/C adalah perbandingan nilai sekarang dari keuntungan suatu usaha dengan biaya investasi pada awal usaha (Kadariah et al. 1978). Untuk menghitung nilai Net B/C digunakan persamaan sebagai berikut : dimana, B t = manfaat pada tahun ke-t C t = biaya pada tahun ke-t n = umur ekonomis r = discount rate t = 0, 1, 2, 3, … tahun ke-n Internal Rate Return (IRR) IRR merupakan suku bunga maksimal untuk sampai kepada NPV = 0, Jadi dalam keadaan batas untung dan rugi. Hal ini dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek, asalkan setiap manfaat yang diperoleh ditanam kembali pada tahun berikutnya (Kadariah et al. 1978). IRR dirumuskan sebagai : dimana, i1 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positif i2 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV negatif NPV 1 = NPV pada tingkat suku bunga i1 NPV 2 = NPV pada tingkat suku bunga i2 kriteria, IRR>1, berarti kegiatan budidaya tambak dapat dilanjutkan IRR<1, berarti kegiatan budidaya tambak ini lebih baik dihentikan Struktur Biaya Struktur biaya adalah seluruh komponen biaya yang terlibat didalam kegiatan budidaya tambak mulai dari persiapan sampai panen. Biaya pengeluaran meliputi : (1) biaya investasi, yang terdiri dari pembangunan fisik tambak, dan pengadaan peralatan; (2) Modal kerja, yang meliputi biaya penyusutan, biaya tenaga kerja dan biaya produksi; (3) biaya cicilan dan bunga modal. Biaya penerimaan adalah hasil penerimaan dari penjualan hasil produksi budidaya. Komponen biaya ini bermanfaat untuk digunakan dalam analisis finansial kegiatan budidaya tambak, sehingga dapat diketahui keuntungan yang diperoleh, kelayakan dan keberlanjutan usaha budidaya tambak tersebut. 3.3.7 Analisis Keterkaitan antara Kegiatan Budidaya, Limbah Perairan dan Keuntungan Usaha Budidaya. Berdasarkan data yang diperoleh serta analisis sebelumnya yang meliputi : daya dukung kawasan perairan pesisir Holtekam, analisis karakteristik parameter kualitas air, analisis teknis budidaya dan analisis kelayakan usaha, maka dilakukan analisis secara deskriptif untuk mengetahui hubungan masing-masing dalam upaya pengembangan budidaya tambak dalam rangka pemanfaatan lahan pesisir secara berkelanjutan. Hasil analisis disajikan secara naratif.