1 KERANGKA PROSES KONFLIK DAN SOLUSI KONFLIK PADA

advertisement
KERANGKA PROSES KONFLIK DAN SOLUSI KONFLIK PADA SISWA SMA DI
SURABAYA BERDASAR DINAMIKA PSIKOLOGIS
Mochamad Nursalim1 dan Budi Purwoko2
Abstrak: Fokus peneltian ini adalah mengungkap faktor penyebab konflik pada siswa,
bagaimana proses konflik, dan proses solusi konflik dalam kerangka dinamika psikologis
individu. Desain yang digunakan adalah logika pengaitan antara data yang harus
dikumpulkan dan kesimpulan-kesimpulan yang akan dihasilkan dengan pertanyaan awal
penelitian. Penelitian ini menggunakan studi kasus tunggal dan multi kasus dan dua teknik
analisa, pattern-matching, dan explanation-building. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa:
(1) konflik disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: perbedaan pendapat antar individu,
kesalahpahaman, tindakan yang dianggap merugikan pihak lain, dan perasaan terlalu sensitif
yang mengarah pada pemikiran negatif. Secara umum dibedakan atas dua penyebab
perbedaan pandangan dan terhalangnya pencapaian tujuan; (2) persepsi individu terhadap
konflik merupakan apa yang difikirkan sehingga membentuk cara pandang yang
menuntunnya untuk memilih sikap tertentu dalam menghadapi konflik. Cara berfikir subyek
pada kasus berhubungan dengan pengalaman, pengetahuan, dan nilai-nilai yang
diinternalisasi sehingga membentuk prinsip diri. Dalam memersepsi konflik ada tiga hal
yang menjadi fokus pandangan yaitu: (a) persepsi terhadap masalah konflik itu sendiri,(b)
persepsi terhadap tujuan-tujuan, dan (c) persepsi terhadap subyek pelaku konflik; (3)
penghayatan individu terhadap obyek amatan dibentuk oleh realitas obyek itu dan realitas
individu itu sendiri. Realitas obyek dalam hal ini adalah siapa pihak konflik, bagaimana
masalah serta konteks masalahnya, dan akibat yang ditimbulkan konflik. Realitas individu
mencakup pemahaman, pengalaman, nilai-nilai individu yang memandu dirinya dalam
mengesankan realitas obyek konflik; (4) dinamika psikologis internal individu dalam
menghadapi konflik dapat dikategorikan dalam tiga bagian yang menyatu mencakup
komponen-komponen atas segitiga ABC, yang menunjuk Attitudes + Behavior +
Contradiction. Istilah komponen ABC merangkum Sikap + Perilaku + Pertentangan dalam
segitiga SPP.
Kata Kunci: konflik, dinamika psikologis individu dalam konflik
Fenomena konflik dan kekerasan di Indonesia sudah memprihatinkan. Fakta-fakta
konflik dan kekerasan hampir setiap hari kita lihat, kita dengar, dan kita baca dalam berbagai
media. Masyarakat tampaknya mulai terbiasa dengan aksi-aksi demo dan kebrutalan untuk
mendesakkan keinginannya. Demikian halnya kekerasanpun sudah merambah dalam seting
pendidikan. Laporan CDC (2004) menyatakan, “In fact, one national survey found that 33
percent of high school students said they had been in a physical fight within the past year“
(http://www.safeyouth.org /scripts/teens/conflict.asp). State Of Our Nation’s Youth (2000)
telah menemukan bahwa, 40% siswa cenderung melakukan tindak kekerasan dan 20% siswa
1
2
Staf Pengajar Prodi BK FIP Unesa
Staf Pengajar Prodi BK FIP Unesa
1
terlibat dalam kekerasan fisik (Sciarra, 2004). Demikian halnya National Center for
Education Statistics (NCES) menemukan kekerasan pada siswa SD dan SMP pada tahun
1996/1997 telah mengalami peningkatan sekitar 57% (Flaherty, 2001 dalam Esther dkk.
2005). Sedangkan Kodjo (2003) menemukan lebih dari sepertiga siswa masih terlibat
perkelahian paling tidak satu kali selama dua belas bulan terakhir dan 9,3% dari siswa itu
membawa senjata ke sekolah.
Senyatanya ada beberapa faktor yang menjadi pemicu tindak-tindak kekerasan
yang selama ini terjadi. Akan tetapi, seringkali kekerasan merupakan muara terjadinya
konflik yang tertangani secara keliru. Menurut Galtung (dalam Sutanto, 2005) konflik
merupakan penyebab niscaya bagi kekerasan, karena dibalik setiap bentuk kekerasan
terdapat konflik yang belum terselesaikan. Dia mengumpamakan kekerasan adalah asap dan
konflik adalah apinya. Selanjutnya dinyatakan bahwa bila konflik sudah terwujud dalam
patologi kepribadian dan patologi sosial melebur dalam psikosis kolektif, maka rasionalitas
tidak lagi banyak berperan. Jika sudah demikian, terciptalah polarisasi dan tidak lama
merekahlah kekerasan (Sutanto, 2005). Konflik telah mencapai titik kekerasan dapat
dipastikan karena konflik telah tertangani secara keliru atau konflik telah diabaikan. Budaya
kekerasan berfokus pada anggapan bahwa konflik sebagai perusak atau penghancur. Konflik
dipandang sebagai pergulatan yang baik dan jahat, hitam dan putih, kemenangan dan
kekalahan, keuntungan dan kerugian.
Penyelesaian konflik dimasyarakat cenderung menggunakan kekuatan dan
penghancuran lawan. Demikian halnya program-program solusi konflik dengan sponsor
lembaga pemerintah atau LSM cenderung memanipulasi aspek eksternal sumber konflik.
Sebagai gerakan kultural edukatif dengan sasaran peningkatan kecakapan individu relativ
belum ada. Cara-cara tradisional pemecahan masalah konflik di sekolah, umumnya
mendasarkan pada konsep “punishment based”. Menurut Johnson (dalam Erford, 2004)
banyak peneliti menyimpulkan bahwa, “punishment based” tidak dapat memecahkan
persoalan konflik interpersonal di antara para siswa dengan hasil yang positif yang
ditunjukkan oleh peningkatan perilaku positif. Cara-cara menyikapi konflik secara tidak
tepat tersebut seringkali berkaitan dengan cara pandang seseorang dalam melihat konflik.
Menurut Weitzman & Patricia (2000) jika individu memiliki persepsi negatif atas konflik
yang terjadi, maka sikap dan tingkah laku pemecahan konflik cenderung destruktifdisfungsional. Sebaliknya cara pandang positif melahirkan persepsi, sikap, respon tingkah
laku solusi konflik konstruktif-fungsional. Dengan demikian mengkondisikan individu
2
hingga memiliki cara pandang dan persepsi positif terhadap peristiwa konflik, merupakan
kunci modifikasi tingkah laku individu hingga bersikap dan bertingkah laku konstruktif
dalam solusi konflik.
Selama ini konsep konflik beserta solusinya cenderung berorientasi pada sebabsebab konflik yang bersumber dari faktor-faktor eksternal dengan fokus kajian pada aspek
subsistem-subsistem sosial. Konsep ini dikelompokkan sebagai teori konflik makro.
Demikian halnya solusi konflik di Indonesia cenderung menggunakan teori makro, dengan
fokus intervensi manipulasi aspek-aspek eksternal berupa aspek ekonomi, sosial, politik,
militer (keamanan), religi dan lainnya. Gerakan resolusi konflik terkini memusatkan pada
usaha pencegahan konflik destruktif dalam tataran edukatif, kultural, paedagogis. Program
ini berorientasi pada teori konflik mikro dengan fokus kajian bagaimana dinamika psikologis
individu
dalam
menghadapi
konflik.
Intervensi
berupa
manipulasi
aspek
pemahaman/persepsi, sikap, dan kepemilikan keterampilan resolusi konflik konstruktif.
Program ini dapat berupa program pendidikan, pelatihan, pembelajaran peningkatan
kecakapan individu dalam resolusi konflik konstrukrif.
Penelitian ini mengungkap penyebab konflik, proses konflik, dan kecenderungan
solusi konflik dengan orientasi dinamika psikologis individu. Konflik bermula dari kondisi
eksternal individu. Akan tetapi sesungguhnya sebab eksternal itu bersifat netral. Pembangkit
utama konflik justru terletak pada dinamika psikologis individu sebagai wujud reaksi atas
kondisi eksternal yang senyatanya bersifat netral. Persepsi, perasaan, tanggapan, kebutuhan,
motivasi dan sikap individu secara internal, berakumulasi sebagai penentu rangsang
eksternal hingga menjadi tingkah laku konflik. Faktor-faktor internal itu menjadi dasar
orientasi solusi konflik. Terdapat dua pengelompokan kecenderungan “persepsi” yang
membentuk “sikap” dan mengarahkan “tingkah laku” respon konflik yaitu persepsi
kompetitif dan persepsi kooperatif. Persepsi kompetitif melahirkan sikap menentang dengan
respon konflik mengalahkan yang lain (paradigma menang-kalah). Persepsi kooperatif
melahirkan sikap kerjasama dengan respon konflik kompromi maupun kolaborasi
(paradigma menang-menang).
Persepsi individu menentukan sikap dan respon tingkah laku konflik. Persepsi
merupakan cara pandang seseorang terhadap sumber konflik. Akar konflik bersumber dari
bagaimana dinamika psikologis membentuk persepsi kompetitif atau persepsi kooperatif.
Unsur sikap mencerminkan pilihan individu dalam memposisikan diri dalam menghadapi
konflik apakah bersikap menentang dan mengalahkan atau sebaliknya bersikap kerjasama
dan saling menghargai. Kecenderungan sikap positif atau negatif menghadapi konflik
3
ditentukan persepsi individu, apakah persepsi kolaboratif atau kompetitif. Selanjutnya sikap
menampak dalam tingkah laku individu. Sikap positif menghadapi konflik berwujud dalam
tingkah laku penyelesain konflik menang-menang. Pihak konflik berusaha memecahkan
masalah dengan orientasi pemenuhan kepentingan bersama, membina kerjasama, bertindak
konstruktif dan kreatif. Respon konflik seperti ini diistilahkan dengan respon konflik
konstruktif dan fungsional. Sebaliknya sikap negatif dalam konflik berwujud tingkah laku
memenangkan
diri
dan
mengalahkan
lawan,
mencapai
keuntungan
sepihak,
perusakan/penghalangan kepentingan lawan, pertikaian, dan perkelahian. Respon konflik
seperti ini diistilahkan dengan respon destruktif dan disfungsional.
Konflik dan solusi konflik destruktif dapat dicegah sejak dini jika faktor-faktor
dinamika psikologis internal individu dikenali. Bagaimana proses persepsi, bagaimana
proses sikap, bagaiman respon tingkah laku konflik dan interaksi antar ketiga faktor tersebut
menjadi fokus kajian penelitian ini. Kajian dipusatkan pada siswa SMA yang secara
psikologis memiliki kekhasan terkait usia keremajaannya. Hasil penelitian merupakan pola
kerangka proses persepsi, proses sikap, proses tingkah laku respon konflik dan interaksi
ketiga faktor sehingga terjadi konflik destruktif-disfungsional maupun konstruktiffungsional. Konsep ini merupakan pijakan dalam memformulasikan rancangan perlakuan
pembinaan siswa secara prefentif, kuratif, dan developmental agar para siswa memiliki pola
persepsi, sikap, dan respon tingkah laku konflik secara konstruktif-fungsional.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana dinamika psikologis proses konflik terjadi pada individu, dengan rincian
masalah penelitian:
a.
Faktor-faktor apakah yang merupakan pemicu konflik ?
b.
Bagaimana persepsi siswa terhadap konflik ?
c.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi persepsi konflik para siswa ?
d.
Bagaimana hubungan persepsi, sikap, motivasi, dan kecenderungan arah solusi
konflik?
e.
Bagaiman kerangka alur proses konflik berdasar tinjauan dinamika psikologis
siswa ?
Metode
4
Fokus peneltiian ini adalah mengungkap faktor penyebab konflik pada siswa,
bagaimana proses konflik, dan proses solusi konflik dalam kerangka dinamika psikologissosial individu. Pendekatan yang tepat untuk mengungkaap suatu gejala proses ialah
pendekatan kualitatif (Creswell, 1994; Denzin & Lincoln, 1994; Marshal & Rosman,
1995; Bogdan & Biklen, 1998; Neuman, 2000). Di bidang pendidikan penelitian dengan
pendekatan kualitatif disebut penelitian naturalistik (Lincoln & Guba, 1985). Obyek
kajian dalam penelitian naturalistik diamati dalam keutuhannya dan sebagaimana
terjadinya secara alamiah di dalam latar yang sebenarnya. Menurut Yin (1996) suatu
penelitian yang menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” perlu didekati
dengan strategi studi kasus. Kelebihan rancangan studi kasus ialah peneliti dapat
mengetahui karakteristik holistik dan kebermaknaan dari peristiwa kehidupan nyata yang
diamati (Yin, 1996). Dalam penelitian ini peristiwa tersebut terwujud dalam konflik dan
solusi konflik pada siswa. Menurut Bogdan dan Biklen (1998) serta Strauss dan Corbin
(1990) agar dapat memahami makna peristiwa dan interaksi orang dapat digunakan
orientasi teoritik dengan pendekatan fenomenologi yaitu suatu pendekatan yang berupaya
memahami subyek dari sudut pandang subyek itu sendiri dengan membuat tafsiran berupa
skema konseptual. Penerapan pendekatan fenomenologi dalam penelitian ini tampak pada
pengamatan terhadap fenomena-fenomena dunia konseptual subyek yang diamati melalui
tindakan dan pemikirannya guna memahami makna yang disusun oleh subyek di sekitar
kejadian sehari-hari (Denzin & Lincoln, 1994; Knowles & McLean, 1992). Menurut
Dilthey & Spranger (Moleong, 1989) peneliti dapat memahami dan menangkap makna
suatu kejadian dari sudut pandang pelaku yang menghayati kejadian tersebut dengan
menggunakan
pendekatan
fenomenologi
atau
verstehen
(pemahaman)
melalui
pengamatan partisipatif.
Pembahasan
1. Konflik dan faktor-faktor penyebabnya.
Berdasarkan kasus penelitian ini dapat dimaknai bahwa konflik
merupakan benturan, ketidaksesuaian, pertentangan, perkelahian, oposisi-oposisi, dan
interaksi yang bersifat antagonis. Pertentangan ini dalam bahasa Inggris disebut
Conflict yang berarti percekcokan, perselisihan, dan pertentangan (Echolas&Sahidly
dalam Soetopo dan Supriayanto, 1999). Jika dirujukkan pada pendapat ahli salah
satunya menurut Cassel Concise (dalam Lacey, 2003: 17-18) konflik diartikan sebagai
“A fight; a collision; a struggle; a contest; oposition of interest, opinion or porposes;
5
mental strife; agony”. Konflik juga diartikan sebagai pertarungan yang terjadi antara
apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, seseorang dengan
kenyataan apa yang diharapkan (Mangkunegara, 2001: 155)
Melihat aspek tujuan, dari seluruh kasus di atas konflik mengarah pada
perbedaan tujuan, pertentangan kepentingan, dan penghalangan pemenuhan kebutuhan.
Konflik merupakan relasi-relasi psikologis yang antagonis sehubungan dengan tujuantujuan yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan
struktur nilai yang berbeda-beda. Analisa ini sesuai pendapat Deutsch (dalam Johnson
& Johnson, 1991) yang menyatakan jika tindakan seseorang dalam memenuhi dan
memaksimalkan kebutuhan maupun tujuannya menghalangi atau membuat tindakan
orang lain menjadi tidak efektif maka terjadilah konflik.
Melihat pada gejala umum, setidaknya terdapat dua gejala esensial
pemicu konflik yakni: (1) adanya pandangan yang berbeda-beda (divergent), dan (2)
ketidaksesuaian pandangan tersebut. Kombinasi gejala tersebut merupakan pendorong
munculnya konflik. Perwujudan konflik dapat terjadi dalam bentuk konflik terbuka atau
konflik tersembunyi. Jika ditinaju lebih rinci, konflik disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu: (1) perbedaan pendapat antar pihak yang masing-masing menganggap dirinya
paling benar, (2) kesalahpahaman yang menempatkan seseorang dalam cara pandang
yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya, (3) tindakan yang dianggap merugikan
pihak lain, dan (4) perasaan terlalu sensitif yang mengarah pada pemikiran negatif.
Beberapa konflik secara umum juga terkait dengan lemahnya komunikasi.
Komunikasi
yang
tidak
jelas
memberikan
kontribusi
terjadinya
konflik.
Kesalahpahaman maksud yang dipengaruhi persepsi awal, serta komunikasi tidak
efektif melahirkan pertentangan. Dalam menyampaikan gagasan secara efektif
diperlukan kemampuan membangun komunikasi interpersonal. Individu perlu
menguasai bagaimana berempati, mendengarkan orang lain, membuka diri, menyatakan
ide dan perasaan, mengonfrontasi secara baik, dan menjadi diri sendiri secara efektif
dalam membangun hubungan dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Baron
(1991: 234) yang menyatakan bahwa, “Faulty communicattion was the largest source
of conflict …”.
Unsur sikap individu sebagai cermin sudut pandangnya dalam
menghadapi orang lain juga menentukan munculnya konflik. Pemaksaan kehendak pada
orang lain, menolak perspektif yang berbeda, menutup diri, dan keteguhan terhadap
cara pandang sendiri secara membabi buta melahirkan konflik. Masih banyak diantara
6
individu yang berparadigma kompetisi menang-kalah (win-lose) dalam mengatasi
perbedaan maupun pertentangan. Masih banyak kecenderungan individu merasa puas
jika dia menang, dan telah mengalahkan orang lain dalam perbedaan pendapat (If I win
This, Iam strong) (Mac farland, 1992).
Konflik dan penyebabnya dapat digolongkan dalam bentuk : (1)
kontroversi, yaitu ketika ide, informasi, kesimpulan, pendapat-pendapat seseorang tidak
sesuai/bertentangan/tidak cocok dengan orang lain; (2) konflik konseptual, yaitu ketika
ide-ide bertentangan antara individu dengan yang lainnya. Informasi yang diterima
dirasakan berlawanan dengan apa yang telah diketahui sebelumnya; (3) konflik minat
dan kepentingan, ketika tindakan seseorang dalam mencapai tujuan, ternyata
menghalangi atau mengganggu upaya pihak lain dalam mencapai tujuannya; (4) konflik
perkembangan, ketika tindakan orang dewasa dan anak-anak bertentangan dikarenakan
ketidaksesuaian pemikiran, sikap, dan tingkahaku. Selain di sekolah persoalan ini sering
terjadi pada kehidupan perkembangan remaja di keluarga maupun di masyarakat.
Konflik dapat melibatkan berbagai individu dengan berbagai latar yang
dapat saja menembus batas-batas formal seperti dengan guru, menembus batas-batas
kohesivness seperti dengan orang tua, menembus batas-batas kekerabatan seperti
dengan sanak saudara, menembus batas-batas keterdekatan seperti dengan pacar, teman
sekelas dan sepermainan, bahkan menembus batas-batas keterasingan seperti dalam
konflik yang diwariskan yang melibatkan identitas kelompok.
2. Persepsi individu/siswa terhadap konflik
Persepsi individu terhadap konflik merupakan apa yang difikirkan
sehingga membentuk cara pandang yang menuntunnya untuk memilih sikap tertentu
dalam menghadapi konflik. Cara berfikir subyek pada kasus penelitian ini berhubungan
dengan pengalaman, pengetahuan, dan nilai-nilai yang diinternalisasi sehingga
membentuk prinsip diri. Dalam memersepsi konflik ada tiga hal yang menjadi fokus
persepsi yaitu: (1) persepsi terhadap masalah konflik itu sendiri; (2) persepsi terhadap
tujuan-tujuan; (3) persepsi terhadap subyek pelaku konflik. Persepsi terhadap konflik
adalah bagaimana wujud konflik yang menampak dan tertangkap indrawi dan difikirkan
oleh individu. Wujud konflik pada kasus penelitian ini mengejawantah dalam tingkah
laku verbal maupun non verbal yang mengarah pada tindakan yang merugikan,
merendahkan, dan menghambat tujuan seseorang. Perlakuan yang menampak seperti
percekcokan, mengumpat/memaki, mengolok, acuh-tak acuh, menggunjing, memukul,
7
merusak, menarik diri, dll. Seringkali para pelaku konflik lebih memfokuskan perhatian
pada wujud konflik yang mengemuka, dan jarang yang mencoba fokus pada mengapa
perilaku (wujud konflik) itu muncul. Karena itu, seringkali ketika fokus pandangan
pada wujud-wujud konflik, justru konflik semakin meluas baik pelaku, wilayah,
maupun akar masalahnya.
Persepsi terhadap tujuan, adalah bagaimana individu melihat tujuantujuan, keinginan, dan harapan dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Seringkali
pengamatan terhadap tujuan diabaikan, dan lebih fokus pada perilaku yang menampak
berupa respon verbal dan non verbal masing-masing pihak yang terlibat konflik. Kasuskasus dalam penelitian ini, individu cenderung memersepsikan tujuan-tujuan sendiri,
sementara tujuan pihak lain jarang dilihat. Cara pandang egosentrisme ini, melahirkan
sikap subyektif dan pembenaran diri sementara yang lain dinilai salah. Ketika cara
pandang didominasi pihak diri dan menganggap diri paling benar cenderung melahirkan
sikap memaksakan dan mengutamakan mengalahkan yang lain. Hampir seluruh kasus
di atas individu bercara pandang egosentrisme, pembenaran diri, dan orientasi tujuan
sendiri.
Persepsi
terhadap
pelaku
konflik,
adalah
bagaimana
individu
menggambarkan sosok dirinya dalam hubungannya dengan sosok lawannya. Ada dua
kecenderungan dalam melihat pihak lain sebagai sosok “lawan” atau sosok “kawan”.
Sosok “lawan” dipahami sebagai pihak yang harus dikalahkan, sementara sosok
“kawan” pihak yang masih perlu dijaga hubungan relasinya. Sosok “kawan” pada kasus
dalam penelitian ini terwakili oleh sang pacar, saudara dalam keluarga, orang yang telah
berbuat baik. Namun ada kasus yang ekstrim dan unik yaitu seorang guru, seorang
ayah, dan sahabat yang yang dipandang sebagai sosok “lawan”. Fakta ini
mencerminkan dalam memersepsi pihak lain individu menghubungkannya dengan
penghayatan masalah dan tujuan dirinya dalam konflik yang terjadi.
Ketiga ranah fokus persepsi individu itu saling berhubungan dan mengait,
hingga mengristal dalam suatu titik sikap individu dalam mengambil langkah solusi
konflik. Secara umum titik sikap individu itu mendarat dalam tiga paradigma
penyelesaian konflik yaitu: (1) paradigma kalah-kalah; (2) paradigma kalah-menang/
menang-kalah; dan (3) paradigm menang-menang. Alur pilihan solusi konflik ini
bermula dari bagaimana individu menyimpulkan persepsinya terhadap masalah konflik,
tujuan-tujuan, dan pihak-pihak yang terlibat konflik.
8
3. Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi individu dalam konflik
Persepsi individu merupakan hasil berfikir individu terhadap obyek persepsi.
Penghayatan individu terhadap obyek amatan dibentuk oleh realitas obyek itu dan realitas
individu itu sendiri. Realitas obyek dalam hal ini adalah siapa pihak konflik, bagaimana
masalah serta konteks masalahnya, dan akibat yang ditimbulkan konflik. Realitas individu
mencakup pemahaman, pengalaman, dan nilai-nilai individu yang memandu dirinya
dalam mengesankan realitas obyek. Dengan demikian bagaimana individu memikirkan
realitas obyek konflik bersifat unik dan subyektif sesuai realitas dirinya.
Siapa pihak yang terlibat konflik mencerminkan sosok pihak konflik dalam
kesan psikologis individu. Apakah dikesankan sebagi orang yang harus dihormati,
dicintai, disukai, dan perlu dipelihara relasinya atau sebaliknya orang yang tidak perlu
dipelihara hubungan relasinya. Konteks konflik adalah ruang lingkup konflik itu sendiri
dan lingkungan medan magnet konflik yang memengaruhi kesan individu. Lingkup
konflik mencerminkan apa yang dipertentangkan dan seberapa penting obyek
pertentangan itu bagi individu. Medan magnet konflik adalah siapa orang-orang lain
disekitar konflik dan masalah-masalah lain di sekitar konflik. Akibat konflik merupakan
resiko yang ditimbulkan konflik pada para pelakunya (individu dan pihak konflik) dan
lingkungan pelakunya. Seringkali akibat konflik dihayati sepihak dan beorientasi diri
daripada orientasi diri dan pihak lain secara berimbang.
Realitas individu mengusung pemahaman, pengalaman, dan nilai-nilai dirinya.
Pemahaman adalah pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki, sedang pengalaman adalah
konseptualisai kejadian-kejadian masa lalu baik tentang diri maupun orang lain. Nilainilai diri adalah kata hati yang mencerminkan moralitas serta nilai-nilai sosial dalam
memandu pilihan sebaiknya atau tidak sebaiknya dilakukan.
4. Persepsi, sikap, motivasi, dan arah penyelesaian konflik dalam konteks dinamika
psikologis individu
Dinamika psikologis internal individu dalam menghadapi konflik dapat
dikategorikan dalam tiga bagian yang menyatu mencakup komponen-komponen atas
segitiga ABC, yang menunjuk Attitudes + Behavior + Contradiction. Istilah komponen
ABC merangkum Sikap + Perilaku + Pertentangan dalam segitiga SPP. Pertentangan (P)
merupakan manifes konflik yang berwujud kontradiksi antara individu satu dengan yang
lain. Akar konflik adalah pertentangan tujuan-tujuan dan maksud-maksud yang tidak
sesuai satu sama lain. Berdasar kasus-kasus dalam penelitian ini akar konflik mencakup
9
perbedaan pandangan, prinsip-prinsip, nilai-nilai, serta tujuan yang dihalangi pihak lain.
Pihak-pihak penghalang bisa orang tua, guru, anggota keluarga, teman, pacar, teman
sebaya lain. Persoalan bisa bersumber pada masalah pribadi, sosial, akademik, dan dalam
berkonflik kadar tertentu merupakan gabungan kesluruhannya.
Komponen “sikap” (S) mewakili cara pihak-pihak yang berkonflik merasakan
dan berpikir. Sikap ditentukan oleh bagaiman individu mempersepsi yang meliputi:
memersepsi atas dirinya dan pihak lain, memersepsi masalah, serta memersepsi tujuan.
Persepsi diri berupa cara memandang dirinya sebagai orang yang bermakna dengan pihak
lain atau lepas tak bermakna dengan pihak lain. Cara mempersepsi “pihak lain” apakah
dengan rasa hormat dan cinta, atau dengan perendahan, dan kebencian. Cara memersepsi
masalah merujuk pada masalah itu sendiri dan medan magnet masalah. Cara mereka
mempersepsi tujuan-tujuan mencakup harapan-harapan dan keinginan mereka sendiri
maupun pihak lain. Dari kasus-kasus yang dianalisa cara memersepsi diri yang terkait
dengan pelecehan, perendahan harga diri, nilai-nilai, dan prinsib cenderung memicu sikap
antagonis yang tinggi. Cara memersepsi yang lain ketika dipandang sebagai sosok yang
harus dihormati, dicintai juga memengaruhi sikap arah solusi. Sebaliknya antagonisme
meningkat manakala yang lain dipandang sebagai pihak bersalah yang harus dikalahkan.
Cara berfikir individu, membentuk sikap, merangsang motiv bertindak, dan
mengarahkan perilakunya dalam solusi konflik tertentu . Pola ini berjalan linier saling
merangkai sebagai sebab-akibat. Komponen “perilaku” mewakili cara bertindak ditengah
konflik apakah berupaya menemukan kepentingan-kepentingan bersama, bertindak
konstruktif dan kreatif, atau justru bertindak merugikan dan menyakiti yang lain. Perilaku
ditentukan oleh cara bersikap yang dituntun oleh persepsi dan cara berfikir. Dari kasuskasus dalam penelitian ini, sikap membenci dan menghancurkan yang lain mendorong
tingkah laku konfrontatif mengalahkan yang lain atau solusi kalah-menang. Beberapa
diantaranya membangun solusi kompromi ketika individu tidak memersepsi dirinya
sebagai orang yang dilecehkan harga dirinya.
Selanjutnya, ketiga sudut segitiga SPP saling merangsang satu sama lain
sehingga pada tataran tertentu mengristal disekitar kutub “Kawan/Diri” dan bisa jadi di
kutub “Lawan/Yang Lain”. Kutub “Kawan/Diri” merupakan manifes sikap dan tingkah
laku positif, sedangkan “Lawan/Yang Lain” dimanifestasikan sebagai unsur negatif.
Gambaran dinamika psikologis individu dalam solusi konflik dipolakan berikut
ini:
10
Sebab konflik
Persepsi/Sikap Individu
Solusi konflik
Sikap
Pertentangan
tujuan/pand
angan
Lose
&
lose
Win
&
lose
Win
&
win
Persepsi
/cara
berfikir
Fakta
Konflik
Tindak
Solusi
Gambar Model Dinamika Psikologis Individu
dalam Mensolusi Konflik
Selanjutnya proses konflik dalam dinamika psikologis individu dapat
disimpulkan dalam gambar berikut:
Realitas Individu:
Pengetahuan
Pengalaman
Nilai-nilai
Peristiwa
Konflik
Sebab
Konflik:
Perbedaan
cara
pandang
dan
pernghala
ngan
kepentinga
n /tujuan
Persepsi:
1. Peristiwa
konflik
2. Pelaku
konflik
3. Tujuantujuan diri
X pihak
lain
Loselose
parad
igm
Sikap
dalam
Menghada
pi Konflik
Kecenderu
ngan
tindak dl
solusi
konflik
LoseWin
parad
igm
WinWin
paradi
gm
Realitas Konflik
Gambar proses konflik dalam dinamika psikologis individu.
Kesimpulan
1. Konflik disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (1) perbedaan pendapat antar antar
individu; (2) kesalahpahaman yang menempatkan seseorang dalam cara pandang yang
11
tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya; (3) tindakan yang dianggap merugikan pihak
lain, dan (4) perasaan terlalu sensitif yang mengarah pada pemikiran negatif. Secara
umum faktor penyebab konflik adalah perbedaan pandangan serta terhalangnya
pencapaian tujuan.
2.
Persepsi individu terhadap konflik merupakan apa yang difikirkan sehingga membentuk
cara pandang yang menuntunnya untuk memilih sikap tertentu dalam menghadapi
konflik. Cara berfikir ini berhubungan dengan pengalaman, pengetahuan, dan nilai-nilai
yang diinternalisasi sehingga membentuk prinsip diri. Dalam memersepsi konflik ada tiga
hal yang menjadi fokus yaitu: (1) persepsi terhadap masalah konflik itu sendiri; (2)
persepsi terhadap tujuan-tujuan; (3) persepsi terhadap subyek pelaku konflik.
3.
Penghayatan individu terhadap obyek konflik dibentuk oleh realitas obyek itu dan
realitas individu sendiri. Realitas obyek dalam hal ini adalah siapa pihak konflik,
bagaimana masalah serta konteks masalahnya, dan akibat yang ditimbulkan konflik.
Realitas individu mencakup pemahaman, pengalaman, nilai-nilai individu yang memandu
dirinya dalam mengesankan realitas obyek.
4. Dinamika psikologis internal individu dalam menghadapi konflik dapat dikategorikan
dalam tiga bagian yang menyatu mencakup komponen-komponen atas segitiga ABC,
yang menunjuk Attitudes + Behavior + Contradiction.
Istilah komponen ABC
merangkum Sikap + Perilaku + Pertentangan dalam segitiga SPP.
Saran-Saran
1. Perspektif teoritis bersifat dinamika psikologis individu dalam konflik ini, potensi
melengkapi teori-teori tentang konflik dan solusinya yang cenderung menekankan pada
aspek eksternal (subsistem sosial) pelakunya,
2. Model teoritis tentang proses konflik dalam dinamika psikologis individu mendorong
ditemukannya cikal bakal intervensi dalam konteks sekolah.
3. Konsep hasil penelitian setidaknya menguatkan konstruks teori yang membingkai
penelitian ini, namun diperlukan penelitian-penelitian baru tentang konflik dan solusinya,
serta ditemukannya teori-teori intervensi konflik destruktif prefentif maupun kuratif dalam
konteks sekolah..
3. Variasi metode penelitian, kancah penelitian, subyek penelitian yang berbeda dengan
penelitian sangat diperlukan guna membangun perspektif komprehensif khazanah teori
konflik.
12
4). Temuan penelitian ini memperkuat dorongan menggunakan teori konflik sebagai gerakan
budaya resolusi konflik konstruktif antara lain dapat berwujud : (a) sumber informasi bagi
konselor dalam memberikan layanan bantuan bimbingan konseling bagi siswa yang
mengalami konflik (b) sumber informasi bagi guru sebagai staf sekolah terdekat dengan
siswa, dalam memberikan intervensi solusi konflik siswa sesuai bidangnya (c) Inspirasi
bagi pihak yang bergerak dalam bidang kepelatihan untuk menyusun paket kepelatihan
kecakapan resolusi konflik konstruktif (d) Temuan penelitian ini dapat digunakan oleh
berbagai pihak yang berhubungan dengan helping behavior seperti guru, konselor sekolah
dan orang tua.
5) Penelitian ini perlu dipertajam dengan menindaklanjuti mekanisme proses solusi konflik
kontruktif dan distruktif, guna memperjelas kerangka konsep secara utuh. Untuk itu tahun
ke dua penelitian ini diharapkan mendapat dana tindak lanjut.
Daftar Pustaka
Berkowitz, L. 1993. Emotional Behavior. Mc. Graw-Hill Inc.
Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. 1998. Qualitative Researh for Education: An Introduction to
Theory and Methods. Boston: Allyn & Bacon, Inc.
Bogdan, R.C. & Taylor, S.T. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods: A
Phenomenological Approach to The Social Sciences. New York: John
Wiley & Sons.
Covey, S. 1998. The 7 Habits of Highly Effective Teens. New York: A Fireseide Book.
Creswell, J.W. 1994. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. London:
Sage Publications Ltd.
Denzin, N.R. & Lincoln, Y.S. 1994. Handbook of Qualitative Research. Thousand Ducks,
California: Sage Publications, Inc.
Dollard, J. & Miller, N.E. 1950. Personality and Psychotherapy. New York: Mc.Graw-Hill
Flaherty, D.J. 2001. School Violence: Risk, Preventive Intervention and policy (Urban
Diversity, series 109). Cleveland, OH: Case Western University.
Freud, S. 1953. Collected Papers. Vol. 1-5. Ed. E.Jones. London: Hogarth Press.
Gilligan, J. 1996. Violence as Tragedy. New York: Vintage Books.
Jawa Pos, 17 Oktober 1997, 25 April 2002, 27 April 2002.
Jessor, R.J., Van Den Bos, J., Vanderryn, J., Costa, F.M., & Turbin, M.S. 1995. Protective
Factors In Adolescent Problem Behavior: Moderator Effects And
Developmental Change. Developmental Psycology, 31. 923-933
13
Johnson, David. 1998. “The Determinants of Deadly Force: A Structural Analysis of Police
Violence”. American Journal of Sociology. Volume 103, Number 4: 211217.
Joni, R.T. 1983. Cara Belajar Siswa Aktif, Wawasan Kependidikan dan Pembaharuan
Pendidikan Guru. Pidato pengukuhan pada peresmian penerimaan jabatan
guru besar FIP IKIP Malang.
Joni, R.T. 2000. Memicu Perbaikan Pendidikan Melalui Kurikulum. Basis. No. 07-08 tahun
ke-49, Juli-Agustus 2000. Yogyakarta: Kanisius Halaman 41-48.
Kedaulatan Rakyat, 13 Oktober 1997.
Knowles, R.T., & McLean, G.F. 1992. Psychological Foundations of Moral Education And
Character Development: An Integrated Theory of Moral Development.
Second Edition. Washington: The Council For Research In Values And
Philosophy.
Lincoln. Y.S. & Guba, E.G.L. 1985. Naturalistic Inquiry. Berverly Hill, CA: Sage
Publications, Inc.
Lorenz, K. 1971. Studies in Animal and Human Behavior. Cambridge, Mass: Harvard
University Press.
_______. 1963. On Agression. New York: Harcourt.
Marshall, C. & Rosman, G.B. 1989. Designing Qualitative Research. Newbury Park.
California: Sage Publications.
Media Indonesia, 28 Nopember 2006.
Moleong. L.J. 1989. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Newman, W.L. 2000. Social Research Methods: Qualitative & Quantitative Approaches.
Fourth Edition. Boston: Allyn and Bacon
Smith. J.M. & Lusterman, D.D. 1979. The Teacher As Learning Fasilitator: Psychology
and The Educational Process. California: Wadsworth Publishing
Company, Inc.
Strauss A., & Corbin, J. 1990. Basics Of Qualitative Research: Grounded Theory Procedurs
and Techniques. London: Sage Publications Ltd.
Yin, R. 1996. Case Study Research: Design And Methods. London: Sage Publications Ltd.
14
Download