Tingkat Pengetahuan Keluarga Mengenai Upaya Pencegahan

advertisement
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Setting Penelitian
4.1.1
Gambaran Umum Rumah Sakit Paru dr. Ario
Wirawan Salatiga
Rumah
Sakit
Paru
dr.
Ario
Wirawan
didirikan pada tahun 1934 dengan nama RSTP
Ngawen Salatiga. Saat itu RSP dr. Ario Wirawan
berfungsi sebagai tempat petirahan/sanatorium
yaitu sebagai fasilitas medis untuk penyakit
jangka panjang, terutama tuberkulosis.
Pendirian Sanatorium ini dilatarbelakangi
oleh kondisi geografis daerah Ngawen Salatiga
yang memiliki ketinggian kurang lebih 800 meter
dari permukaan air laut dengan suhu udara
berkisar antara 18 – 29
0
C. Kondisi geografis
dan udara yang sejuk ini sangat ideal sebagai
tempat petirahan bagi masyarakat terutama
warga
Belanda
43
yang
terganggu
kesehatan
parunya yang pada waktu itu banyak menempati
wilayah kota Salatiga dan sekitarnya.
Pada tahun 1978, dengan dikeluarkannya
SK Menteri Kesehatan RI, maka ditetapkan
Struktur Organisasi yang lebih jelas, tugas pokok
dan fungsi dari rumah sakit ini yaitu sebagai
rumah sakit khusus yang menyelenggarakan
pelayanan terhadap penderita penyakit TB paru,
dengan sebutan RSTP.
Kemudian pada tanggal 26 September
2002,
dengan
dikeluarkannya
SK
Menteri
Kesehatan RI, nomor 1208/Menkes/SK/IX/2002,
akhirnya RSTP “Ngawen” Salatiga berubah
nama menjadi Rumah Sakit Paru dr. Ario
Wirawan Salatiga, dan merupakan satu-satunya
rumah sakit paru di Provinsi Jawa Tengah.
4.1.2
Proses Pelaksanaan Penelitian
Proses
wawancara
dengan
partisipan
dilakukan di tempat tinggal para partisipan.
Awalnya peneliti melakukan penelitian di Ruang
Rawat Inap RSPAW Salatiga selama 2 minggu,
44
yaitu sejak tanggal 12 Mei hingga tanggal 24 Mei
2014. Namun setelah menunggu selama 2
minggu,
peneliti
tidak
menemukan
adanya
Pasien TB Paru BTA (+) yang berdomisili di
sekitar Salatiga dengan pertimbangan peneliti
ingin mengobservasi lingkungan tempat tinggal
partisipan.
Selain
itu
juga
peneliti
dapat
melakukan wawancara dengan lebih nyaman
dan
dapat
melakukan
wawancara
dengan
beberapa partisipan baik keluarga maupun
pasien itu sendiri, mengingat ruang rawat inap
tempat pasien TB Paru adalah ruang infeksius
dan tingkat penularan TB Paru BTA (+) masih
sangat tinggi. Hal ini menjadi pertimbangan
utama
demi
menjaga
keselamatan
peneliti
sendiri.
Walau
demikian,
peneliti
tetap
mewawancarai beberapa keluarga pasien di
ruang rawat inap untuk menambah informasi
bagi peneliti sendiri. Peneliti menemukan 2
keluarga dengan latar belakang pendidikan SD
yang tidak mengetahui tentang penyakit TB Paru
45
dan
4
keluarga
pendidikan
dengan
SMP,
SMA
latar
dan
belakang
universitas
mengetahui tentang penyakit TB Paru dan upaya
pencegahan penularannya.
Kemudian pada tanggal 23 Mei 2014,
Peneliti meminta data pasien TB Paru BTA (+)
yang beralamat di sekitar Salatiga dengan
kategori I (status baru) maupun kategori II
(kambuh berulang) di tahun 2014, pernah
dirawat di RSPAW Salatiga dan masih aktif
menjalani pemeriksaan. Setelah mendapat data
dan alamat pasien TB Paru BTA (+), peneliti
mulai mencari alamat tiap-tiap pasien.
Peneliti mendapat 6 pasien, namun hanya 3
keluarga yang dapat menjadi partisipan dalam
penelitian peneliti karena beberapa hal berikut.
1. Pasien I dan keluarga telah pindah alamat
dan ketika mencoba menelusuri alamat baru
yang diberikan oleh tetangganya, peneliti
tidak dapat menemukan rumahnya karena
alamat yang diberikan tidak lengkap dengan
nomor RT/RW nya.
46
2. Pasien
II
mengatakan
tidak
mengidap
penyakit TB Paru dengan pertimbangan
tertentu.
3. Pasien III, peneliti kesusahan dalam mencari
alamat karena harus melewati sawah dan
kebun sehingga peneliti tidak melanjutkan
pencarian. Daerah tersebut sudah cukup
jauh dari daerah salatiga.
4.1.3
Gambaran Umum Partisipan
1. Keluarga A
Identitas Partisipan A (PA)
Nama
: Ny. S.
Umur
: 39 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status
: Isteri
Agama
: Katholik
Alamat
: Gunung Sari RT 2/6
Sidorejo Kidul Tingkir
Salatiga
47
Identitas Triangulasi Sumber A (SA)
Nama
: Tn. Yb. M.
Umur
: 53 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Swasta
Status
: Suami
PA dan SA adalah sepasang suami
isteri dengan 3 orang anak, yaitu anak
pertama (laki-laki) duduk di kelas IV SD,
anak kedua (perempuan) duduk di kelas II
SD sedangkan anak ketiga (laki-laki) belum
sekolah. Ketika peneliti di rumah mereka, SA
baru kembali dari tempat bekerja sedangkan
PA terlihat mengurus anak-anaknya seperti
setelah
memandikan
anak-anaknya,
ia
memberi makan dan menyuapi anaknya
yang masih kecil. Peneliti disambut dengan
baik oleh keluarga.
Peneliti
telah
menjelaskan
tujuan
wawancara dan melakukan kontrak waktu 2
hari sebelumnya yaitu pada tanggal 3 Juni
2014. Peneliti mewawancarai PA dan SA
48
pada tanggal 5 Juni 2014 dalam jam yang
berbeda. Wawancara dilakukan pada sore
hari dengan pertimbangan SA bekerja dari
pagi hingga sore hari dan dengan demikian
juga peneliti dapat melakukan wawancara
pada PA dan SA dalam satu waktu. Setelah
memberikan
informed
ditandatangani
oleh
consent
PA
dan
dan
SA,
wawancarapun dapat dilakukan. Wawancara
dengan SA dilakukan pada pukul 16.30 WIB
di ruang tamu keluarga kemudian pada pukul
17.30 WIB peneliti melakukan wawancara
pada PA di ruang TV keluarga.
SA pernah dirawat inap di RSPAW
Salatiga selama 5 hari yaitu pada bulan
Maret 2014 dan saat ini masih melakukan
rawat jalan di RSPAW Salatiga. Berdasarkan
data medis yang peneliti peroleh dari Ruang
Poli
rawat
jalan
RSPAW
Salatiga,
SA
termasuk pasien TB Paru dalam kategori I
dengan BTA (+2) dan mendapat Obat Anti
Tuberkulosis sejak tanggal 18 Maret 2014.
49
2. Keluarga B
Identitas Partisipan B (PB)
Nama
: Tn. S.
Umur
: 41 tahun
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Buruh
Status
: Suami
Agama
: Islam
Alamat
: Kalilondo, Sidorejo Kidul
RT 1/4 Tingkir – Salatiga
Identitas Triangulasi Sumber B (SB)
Nama
: Ny. N.F.
Umur
: 30 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Swasta (pekerja toko)
Status
: Isteri
PB dan SB adalah sepasang suami
isteri dengan seorang anak perempuan yang
sedang duduk di kelas IV SD. Mereka hanya
tinggal bertiga di rumah mereka.
Peneliti mendapatkan alamat PB
pada tanggal 3 Juni 2014 pukul 16.00 WIB
50
tetapi saat itu pintu rumah tertutup karena
baik PB maupun SB belum pulang dari
tempat bekerja. Pada tanggal 5 Juni 2014
pukul 17.30 WIB peneliti datang lagi tetapi
pintu rumah masih juga tertutup. Kemudian
peneliti datang lagi pada tanggal tanggal 8
Juni 2014 pada pukul 18.00 WIB dan
mendapati keluarga berada di rumah.
Peneliti
institusi
memperkenalkan
dan
wawancara.
PB
menjelaskan
dan
SB
diri,
tujuan
bersedia
diwawancarai akan tetapi peneliti hanya
mewawancarai SB karena PB hendak
menjemput anaknya di tempat neneknya.
Setelah memberikan informed consent, SB
bersedia
menandatanganinya
dan
wawancarapun berlangsung pada pukul
18.30 WIB di ruang tamu. Peneliti baru
dapat mewawancarai PB pada tanggal 9
juni 2014 pukul 18.00 WIB di rumahnya.
SB pernah di rawat inap di RSPAW
Salatiga selama 5 hari pada bulan Maret
51
2014. Saat ini SB masih melakukan kontrol
selama
6
bulan
di
RSPAW
Berdasarkan data medis yang
Salatiga.
peneliti
peroleh dari Ruang Poli rawat jalan RSPAW
Salatiga, SB termasuk pasien TB Paru
dalam kategori I dengan BTA +3
dan
mendapat Obat Anti Tuberkulosis sejak
tanggal 1 Maret 2014.
3. Keluarga C
Identitas Partisipan C (PC)
Nama
: Ny. N.
Umur
: 42 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status
: Isteri
Agama
: Islam
Alamat
: Krajan 4/1 Wiru Beringin
Semarang
Identitas Triangulasi Sumber C (SC)
Nama
: Tn.M.S.
Umur
: 43 tahun
Pendidikan
: SMP
52
Pekerjaan
: Buruh Tani
Status
: Suami
PC dan SC adalah sepasang suami
isteri dengan seorang anak perempuan
yang sekarang kelas IV SD. Ayah SC (102
tahun) juga tinggal bersama mereka.
Peneliti mewawancarai PC dan SC
pada
tanggal
11
Juni
2014.
Peneliti
mewawancarai SC pada pukul 18.00 WIB
dan kemudian mewawancarai PC pada
pukul 18.20 WIB di ruang tamu. Dalam
wawancara, anak perempuan dan ayah SC
juga ikut duduk bersama.
SC pernah di rawat inap di RSPAW
Salatiga pada tahun 2002. Pada waktu itu
SC menjalani pengobatan selama 9 bulan
dan sudah sembuh total. SC mengatakan
bahwa menurut dokter yang memeriksanya,
penyakit TB Paru yang dialaminya kali
kedua ini adalah karena kambuh lagi.
Berdasarkan data medis yang Peneliti
peroleh dari Ruang Poli rawat jalan RSPAW
53
Salatiga, SC termasuk pasien TB Paru
dalam kategori I dengan BTA +2
dan
mendapat Obat Anti Tuberkulosis sejak
tanggal 1 Maret 2014.
4.2 Analisa Data
4.2.1
Reduksi Data
Peneliti menulis hasil rekaman wawancara
ke dalam bentuk verbatim (terlampir) dan
menentukan
data
yang
berfokus
pada
pokok-pokok penelitian.
4.2.2
Penyajian Data
Penyajian
data
adalah
dalam
bentuk
pengkodean dan kategorisasi sesuai aspek atau
pokok penelitian peneliti.
4.2.2.1 Pengetahuan Keluarga
4.2.2.1.1 Partisipan A (PA)
1. Penyakit TB Paru
Menurut PA penyakit TB Paru itu
adalah
penyakit
paru-paru
ditandai
54
dan
dengan
yang
dapat
mengganggu
menular
batuk-batuk
yang
selama
berhari-hari dan terkadang menyebabkan
sesak napas. Hal itu juga berdasarkan
pengalaman yang dialami suaminya (SA).
“batuk ya...,yang nampak sekali kan
yang jelas batuk.” (PA; 3)
“mungkin paru-paru ya..”(PA; 8)
“kadang ya...kayak sesak.”(PA; 12)
“ya...TB jelas nular.”(PA; 14)
2.
Penularan Penyakit TB Paru
Menurut PA penularan penyakit TB
Paru terjadi melalui udara pada saat
penderita
TB
Paru
batuk.
Ketika
penderita TB Paru membuang dahaknya,
maka bakteri tuberkulosis akan tersebar.
Selain itu berkomunikasi langsung dalam
jarak dekat dengan penderita TB Paru
juga
akan
mengakibatkan
terjadinya
penularan terutama bila orang yang dekat
dengan penderita TB Paru tidak menutup
mulut atau hidung.
“pernapasan ya yang jelas. Saat batuk
bisa. Lewat kita berhadapan gini aja
kan kalau gak nutup, nular.”(PA; 1617). Serupa: (PA; 79)
55
3. Pencegahan penularan penyakit TB
Paru
Menurut
PA,
cara
mencegah
terjadinya penularan penyakit TB Paru
adalah tidak berkomunikasi langsung
dalam jarak dekat dengan penderita dan
harus menutup mulut ketika penderita
batuk
terutama
bagi
anak-anak.
Anak-anak lebih rentan terhadap penyakit
dibandingkan orang dewasa. Selain itu
penderita TB Paru tidak boleh membuang
dahaknya
sembarangan
melainkan
menggunakan alat seperti plastik.
“kalau gak nutup, nular.”(PA; 17)
“mungkin tidak terlalu dekat dulu ya…
(PA; 53- 55)
“mungkin plastik yang tepat.”(PA; 81)
Meskipun PA tahu bahwa menutup
mulut dan hidung harus dilakukan agar
tidak tertular penyakit TB Paru, PA tidak
mau membuat jarak atau membatasi diri
untuk berkomunikasi dekat dengan SA.
Ketika
di
56
rumah
sakit
perawat
menyarankan memakai masker akan
tetapi PA tidak mau memakai masker. PA
lebih
mementingkan
untuk
menjaga
perasaan SA bahkan jika SA meminta
untuk
tidak
didekati,
PA
menolak.
Menurut PA sendiri, walaupun semua
usaha sudah dilakukan, hanya Tuhanlah
yang menentukan nasib setiap orang. PA
dan keluarga juga tidak membuat batas
untuk harus tidur berpisah dengan SA.
“perasaan gak nyampe ya..hati saya
itu gak sampe..”(PA;89)
Pernyataan serupa : (PA;87), (PA; 103)
PA
lebih
menekankan
bahwa
kebersihan adalah hal utama yang harus
diperhatikan, baik kebersihan diri maupun
makanan. Selain menjaga kebersihan PA
juga
rajin
menjemur
alat-alat
tidur
seminggu sekali terutama jika sudah
tidak nyaman digunakan dan selalu
membuka jendela pada pagi hari. PA
juga tetap memperhatikan gizi keluarga
57
dengan
mengatur
menu
makanan
sehari-hari.
“mungkin saya harus gosok gigi atau
gimana ya..berusaha cuci tangan,
ganti baju, mandi..yang penting harus
bersih.”(PA; 92). Serupa : (PA; 64)
“jendela kalau pagi itu dibuka.”(PA; 68)
“ kadang seminggu. “(PA; 70)
“ya ikan...sayur...tahu, tempe, paling
ya itu. Ayam..”(PA; 48)
Peneliti menanyakan pendapat PA
mengenai kebiasaan SA yang saat ini
masih merokok meskipun masih dalam
keadaan sakit. PA berpendapat bahwa
kebiasaan
merokok
berpengaruh
penyembuhannya.
demikian dengan
suaminya
terhadap
PA
tidak
proses
mengatakan
pertimbangan bahwa
orang zaman dahulu yang lebih banyak
merokok saja tetap hidup sampai usia tua
atau boleh dikatakan memiliki umur
panjang.
“orang zaman dahulu itu malah lebih
parah kalau dipikirnya…….Tapi kok
dia itu bisa sampe usia segitulah.”(PA;
114)
58
Upaya
pencegahan
penularan
penyakit TB Paru lainnya yang dilakukan
keluarga adalah dengan imunisasi BCG
pada waktu masih kecil dulu. Anak-anak
PA juga semuanya sudah diimunisasi
BCG. Akan tetapi PA tetap beranggapan
bahwa
walaupun
orang
sudah
diimunisasi BCG, tetap saja bisa tertular
jika bergabung dengan penderita TB
Paru. (PA; 128)
Selain itu, PA juga mengatakan bahwa
SA rajin menjalani pengobatannya. (PA;
126)
Satu hal yang peneliti peroleh dari hasil
wawancara kepada PA yaitu menjaga perasaan
satu sama lain dalam keluarga adalah hal utama.
Keluarga tahu mengenai penyakit TB Paru. Akan
tetapi
dalam
praktiknya,
keluarga
mengaplikasikan karena keluarga PA
kurang
memiliki
prinsip menjaga perasaan dan pikiran tetap
senang.
59
Berdasarkan
hasil
observasi
terhadap
lingkungan rumah (dalam dua waktu yang
berbeda), peneliti mendapati bahwa rumah
nampak bersih, terdapat ventilasi dan jendela
dengan
jenis
dinding
tembok
serta
lantai
keramik. Hawa di dalam rumah terasa segar dan
tidak lembab. Kondisi lingkungan rumah dari PA
ini
dapat
membantu
proses
pencegahan
penularan penyakit TB Paru karena rumah
mendapat cukup banyak sinar matahari yang
dapat membunuh bakteri tuberkulosis. Jenis
lantai keramik juga dapat mencegah tejadinya
kelembaban dibandingkan dengan lantai tanah
sehingga dapat menekan tingkat kehidupan
bakteri tuberkulosis. Selain itu lingkungan rumah
juga tidak termasuk padat penduduk.
4.2.2.1.2 Partisipan B (PB)
1. Penyakit TB Paru
Berdasarkan hasil wawancara, PB
mengatakan bahwa penyakit TB Paru
adalah
penyakit
60
menular
yang
menyerang organ paru-paru, ditandai
dengan batuk-batuk pada malam hari,
batuknya
mengeluarkan
lendir
dan
disertai darah. PB mengatakan hal-hal
yang berhubungan dengan penyakit TB
Paru berdasarkan atas pengalaman yang
dilihat pada isterinya (SB).
“kalau malam itu batuk-batuk, keluar
darahnya..”(PB; 7). Serupa :(PB; 91-92)
“ya menular memang.. (PB; 62)
“paru-parunya itu..”(PB;261)
2.
Penularan Penyakit TB Paru
Menurut
PB
penyakit
TB
Paru
menular menular ke orang lain lewat
udara yang mengandung bakteri dari
ludah dan dahak penderitanya. Selain itu
PB juga memisahkan alat makan dengan
penderita TB Paru karena menurut PB
alat makan juga dapat menjadi sarana
penularannya.
“ya…lewat udara..”(PB; 62)
Serupa: (PB; 146-150), (PB; 153-155)
61
2.
Pencegahan penularan penyakit TB
Paru
Menurut
PB,
untuk
mencegah
penularan penyakit TB Paru, orang sehat
terutama
anak-anak
tidak
boleh
berkomunikasi dekat dengan penderita
TB
Paru.
menggunakan
Orang
sehat
masker
jika
harus
berbicara
dekat penderita.
“anaknya
kalau
bicara
suruh
menjauh..”(PB; 67) serupa: (PB; 103105), (PB; 279).
“saya suruh pake masker o..”(PB; 71)
PB
juga
mengatakan
bahwa
penderita TB Paru tidak boleh membuang
ludah
atau
dahaknya
sembarangan
karena mengandung bakteri. Membuang
dahak lebih baik menggunakan botol dan
dibuang ke WC.
“gak
boleh……itu
katanya
bisa
menular…”(PB; 143) serupa (PB;
145-150).
“itu…dulu dikasih botol itu..”(PB;172)
“kalau udah penuh dibuang ke
wc..”(PB; 178)
62
PB
juga
mengatakan
bahwa
penderita TB Paru harus tidur terpisah
dengan anggota keluarga yang sehat dan
tidak menggunakan alat makan secara
bersama. Ketika isterinya (SB) dalam
kondisi yang benar-benar sakit, PB dan
anaknya
tidur
terpisah
dengan
SB
selama 1 bulan pertama. Anaknya juga
sering ditinggalkan di rumah orang tua
PB agar tidak kontak (komunikasi) dulu
dengan SB.
“saya taruh tempatnya mbah..”(PB; 75)
“iya…tidurnya pisah…”(PB; 82, 84)
“sendiri-sendiri…piringnya itu.. ”(PB;
153-155) serupa: (PB; 280)
PB mengatakan bahwa penderita TB
Paru
harus
rajin
berjemur
disinar
matahari pagi agar badan hangat. PB
juga selalu membuka jendela pada pagi
hari agar sinar matahari masuk dan
menjemur
alat
tidur
sekali
dalam
seminggu agar bakteri-bakterinya mati.
63
“kalau pagi hari sering disuruh
berjemur itu..“(PB; 118)
“ya..buka jendela..buka pintu,.”(PB;
123)
“ya
sering…ya..satu
minggu
sekali..”(PB; 135-139)
Upaya
langsung
membantu
lain
yang
dapat
secara
tidak
mendukung
dan
keluarga
mencegah
penularan penyakit TB Paru adalah
sering mengkonsumsi makanan yang
cukup gizi. Dengan demikian dapat
membantu menjaga daya tahan tubuh
dari
serangan
bakteri
penyakit
khususnya bakteri tuberkulosis.
“itu….ikan, telur, trus itu
sayuran…susu…” (PB; 216)
Serupa: ( PB; 224)
daun..
PB juga merokok di luar ruangan jika
ingin merokok, demi menjaga kondisi PB.
“ya
kalau
merokok…saya
keluar…”(PB; 192)
kan
PB tidak tahu dirinya sudah diimunisasi
BCG atau belum sedangkan anaknya
sudah
diimunisasi.
PB
sendiri
mengerti tujuan imunisasi BCG.
64
tidak
(PB; 166-168).
SB sebagai penderita TB Paru juga
masih aktif dalam menjalanai proses
pengobatannya. (PB; 182).
Berdasarkan
hasil
observasi
terhadap
lingkungan rumah yang telah peneliti lakukan
(dalam dua waktu yang berbeda), ruangan
dalam rumah nampak kurang rapi, tertutup
rapat, tidak tampak adanya ventilasi, hanya
terdapat satu jendela di ruangan tamu dan satu
jendela di kamar tidur sehingga hawa dalam
rumah terasa sedikit lembab. Jenis dinding
rumah adalah papan sedangkan jenis lantainya
adalah semen.
Lingkungan rumah tidak padat penduduk
dan disekitar rumah banyak pepohonan, bersih
dan cukup jauh dari jalan raya besar/utama
sehingga tidak begitu terpapar dengan polusi
udara. Kurangnya pencahayaan karena tidak
ada ventilasi dan kurang jendela dapat menjadi
faktor
pendukung
bagi
hidupnya
bakteri
tuberkulosis. Akan tetapi walaupun demikian
65
keluarga tetap rajin membuka jendela setiap hari
sehingga
membunuh
kemungkinan
bakteri
besar
dengan
akan
sinar
dapat
matahari
dengan didukung jenis lantai semen yang tidak
menyebabkan kelembaban.
4.2.2.1.3 Partisipan C (PC)
1. Penyakit TB Paru
PC mengatakan bahwa ia tidak banyak
tahu mengenai penyakit TB Paru. Meskipun
PC pernah mendapatkan informasi dari bidan
di daerahnya bahwa penyakit TB Paru adalah
penyakit yang menular, PC tidak mengerti
maksud menular, cara penularannya dan juga
tidak tahu cara mencegah penularannya. PC
mengatakan bahwa bidan tidak memberitahu
selebihnya dan tidak menyarankan hal-hal
penting mengenai penyakit TB Paru yang
diderita suaminya (SC).
“kata bidan situ ya..menular mbak.”(PC; 3)
“gak tahu e mbak..heheh tidak begitu tahu
hi mbak..”(PC; 12)
66
PC dan keluarga masih menganggap
bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit
keturunan karena penyakit TB Paru pernah
dialami ibu mertua PC (almarhumah). Jadi,
dari riwayat penyakit keluarga inilah yang
membuat keluarga memiliki anggapan bahwa
penyakit TB Paru adalah penyakit keturunan
dan tidak memahami jika penyakit TB Paru
dapat menular.
“iya mbak. Mbah e dulu pernah. Ibu..tapi
udah parah” (PC; 14)
Meskipun
demikian,
PC
mengetahui
bahwa penyakit TB Paru ditandai dengan
batuk-batuk secara terus menerus selama
berhari-hari.
Batuk-batuk
terutama
sering
terjadi pada waktu malam hari sesuai yang
dialami SC. Selain batuk-batuk penyakit TB
Paru juga ditandai dengan malas makan
sehingga berat badan menurun.
“sering batuk..kalau malam tidur itu batuk
terus…”(PC; 19)
“malas makan…badannya jadi kurus.”(PC;
21)
67
2. Penularan Penyakit TB Paru
PC tidak memahami bahwa penyakit TB
paru
dapat
menular
sehingga
tidak
mengetahui lebih banyak lagi mengenai cara
penularan penyakit TB Paru.
3. Pencegahan penularan penyakit TB Paru
Tidak ada upaya khusus dari keluarga
PC untuk mencegah penularan penyakit TB
Paru karena menganggap penyakit TB Paru
bukanlah suatu penyakit menular. Keluarga
hanya menerapkan prinsip kesopanan atau
tenggang rasa dalam lingkungannya. Menurut
PC, jika batuk harus menutup mulut (sambil
mempraktikkannya) demi menjaga tenggang
rasa dengan orang lain.
“orang desa itu kan punya tenggang rasa
itu mbak.”(PC; 29-32) serupa: (PC; 42-43)
PC dan Bapak mertuanya
tidak tahu
sudah diimuniasi BCG atau belum, sedangkan
anaknya sudah diimunisasi BCG. PC juga
tidak mengetahui fungsi imunisasi BCG. PC
68
mengatakan bahwa imunisasi untuk anak
selalu diingatkan oleh bidan.
“Udah…kalau
nggak
diimunisasi
ya..diingatkan sama bu bidan.”(PC; 47)
Ketika
peneliti
bertanya
mengenai
makanan, PC mengatakan bahwa dalam
keluarga mereka lebih menghindari makanan
berminyak. Keluarga tidak mengerti alasan
harus
menghindari
karena
hanya
makanan
mengikuti
berminyak
anjuran
dokter.
Anjuran menghindari makanan berminyak ini
diupayakan untuk semua anggota keluarga.
“gak boleh yang berminyak itu.”(PC; 72-75)
Mengenai
kebiasaan
membersihkan
rumah, membuka jendela pada pagi hari,
menjemur alat tidur (biasanya sekali dalam
seminggu) dan tidur terpisah memang sudah
menjadi
kebiasaan
keluarga
setiap
hari.
Sebelum SC sakit juga, PC dan anaknya
sudah tidak tidur bersama dengan PC. Hal itu
dilakukan karena menurut PC, tidur bersama
membuatnya kepanasan. PC juga selalu
69
menjemur alat tidur sekali dalam seminggu
sebagai rutinitas.
“kalau itu kan udah dari dulu. Kalau pagi
saya udah buka semuanya. jam 5 udah
buka…dst“(PC; 81-90)
“bapaknya tidur sendiri.”(PC; 115-121),
(PC;89)
Ketika wawancara, suami PC (SC) masih
nampak batuk-batuk dan terbukti juga bahwa
ketika batuk, SC menutup mulut dengan
tangan akan tetapi hal itu tidak dilakukan oleh
anggota keluarga yang di dekatnya. Tindakan
ini secara tidak langsung dapat mencegah
penularan penyakit TB Paru dari penderita.
Selain itu juga SC masih aktif melakukan
pengobatan di RSPAW Salatiga. (PC; 125)
Ketika peneliti bertanya mengenai keadaan
kesehatan
keluarga
selama
ini,
PC
mengatakan bahwa mereka hanya sering sakit
biasa seperti batuk. Ketika batuk, mereka
memeriksakan
diri
ke
bidan
dan
dapat
sembuh dengan minum obat yang diberikan
bidannya.
70
“kadang yo batuk..tapi ke bu bidan gitu aja
udah sembuh.”(PC; 106)
Berdasarkan
hasil
observasi,
peneliti
memperoleh bahwa hawa dalam rumah tidak
terasa lembab, lingkungan rumah tidak padat
penduduk, cukup bersih dan terdapat jendela
serta ventilasi di setiap ruangan dalam rumah.
Jenis dinding rumah adalah papan dan jenis
lantainya adalah keramik. Kondisi ini dapat
menekan
kemampuan
tuberkulosis.
runagna
Kondisi
yang
hidup
lingkungan
tidak
lembab
bakteri
rumah,
serta
pencahayaan yang baik dapat membantu
pencegahan penularan penyakit TB Paru
dalam kehidupan PC dan keluarga.
71
4.2.2.2
No
1
Kategorisasi Analisa Data
Tema
Pengetahuan
Keluarga mengenai
penyakit TB Paru
Sub Tema
a. Batuk berhari-hari
Pengetahuan
keluarga mengenai
cara penularan
penyakit TB Paru
Partisipan B
Partisipan C
(PA; 3 -4),
(PA; 10)
(PB; 7).
(PB; 91-92)
(PB; 7),
(PB; 91-92)
(PC; 19)
b. Batuk berdarah
c.
d.
e.
f.
g.
2
Partisipan A
a.
Sesak napas
Menular
Mengganggu paru-paru
Nafsu makan menurun
Tidak tahu jika penyakit TB Paru menular.
Lewat udara pada saat penderita TB Paru
batuk dan berbicara.
b. Melalui pemakaian alat makan bersama
72
(PA; 12)
(PA; 14)
(PA; 8)
(PB; 62)
(PB; 261)
(PC; 21)
(PC; 12)
(PA; 16-17),
(PA; 79)
(PB; 62)
(PB;146-150)
(PB; 153-155)
3
Pengetahuan
keluarga mengenai
upaya pencegahan
penularan penyakit
TB Paru
a. Tidak berkomunikasi langsung dalam
jarak dekat dengan penderita TB Paru
terutama bagi anak-anak
(PA; 53 -55)
(PB; 67),
(PB;103-105),
(PB; 279).
b.
(PA; 17)
(PB1; 71)
(PA; 81)
(PB; 43- 150)
Mengupayakan penderita TB Paru dan
orang sehat untuk menutup mulut dan
hidung.
c. Mengupayakan penderita TB Paru tidak
membuang dahak/ludah sembarangan
tapi menyiapkan alat khusus.
d. Mengupayakan membersihkan diri dan
mengganti pakaian yang dipakai setelah
kontak dengan penderita TB Paru
e. Tidak tidur bersama dengan penderita TB
Paru
f.
(PA; 92)
(PA; 68)
(PB; 75-84)
Memisahkan alat makan dengan
penderita TB Paru
g. Mengupayakan untuk menjemur alat tidur
penderita
h. Mengupayakan penderita TB Paru untuk
berjemur pada pagi hari
i. Mengupayakan untuk membuka pintu dan
jendela pada pagi hari
73
(PC; 42-43)
(PC; 115121)
PB; 153-155),
(PB; 280)
(PA; 70)
(PB;135 139).
(PB; 118)
(PC; 89)
(PA; 68)
(PB; 123)
(PC; 81-90)
j.
Imunisasi BCG
(PA; 128)
k. Mengupayakan penderita TB Paru agar
rutin kontrol ke rumah sakit.
l. Mengupayakan mengkonsumsi makanan
yang bergizi
74
(PA; 126)
(PA; 48)
(PB;166-168)
(PB; 182)
(PB; 216),
(PB; 224)
(PC; 47)
(PC; 125)
4.3 Uji Keabsahan Data
4.3.1
Triangulasi Sumber Partisipan A (SA)
Berdasarkan hasil wawancara terhadap SA,
peneliti mendapat informasi yang sama pada
wawancara dengan PA. SA juga mengatakan
bahwa penyakit
menular
yang
TB Paru
menganggu
adalah penyakit
paru-paru
dan
pernapasan serta ditandai dengan pilek dan
batuk-batuk selama berhari-hari. Penyakit TB
Paru menular melalui udara yang mengandung
bakteri tuberkulosis ketika penderitanya batuk.
“batuk, yang saya rasakan itu… “(SA; 33-41)
serupa: (SA; 77)
“selama nggak ada bakterinya., nggak
bakalan kok kita kena….”(SA;100-103)
serupa: (SA; 130)
Walaupun demikian, SA juga menerapkan
hal yang tidak berbeda dengan PA. Mencegah
penularan
penyakit
menjauhi
atau
TB
Paru
membuat
tidak
batas
harus
dalam
berkomunikasi dengan penderita TB Paru. SA
mengutamakan saling menjaga pikiran dan
perasaan.
mendukung
Keluarga
dan
36
harus
senantiasa
menyenangkan
pikiran
penderita yang sakit. SA juga lebih menekankan
bahwa kebersihan adalah hal utama untuk
menjaga kondisi kesehatan keluarga. Seperti
pendapat PA, SA yang tetap merokok meskipun
masih
dalam
proses
pengobatan
juga
mengatakan bahwa merokok tidak berpengaruh
pada penyakitnya.
“saya gak pernah membatasi saya harus
berdekatan dengan siapa ya...dst.”(SA;
106-116)
“Saya merokok itu biasa...”(SA; 59-66)
4.3.2
Triangulasi Sumber Partisipan B (SB)
Berdasarkan hasil wawancara terhadap SB,
peneliti mendapat informasi yang sama dengan
wawancara pada PB. Menurut SB, penyakit TB
Paru juga dapat menular lewat dahak/percikan,
menyerang paru, mengakibatkan berat badan
menurun dan ditandai batuk terus menerus yang
disertai muntah darah dan terkadang dada
terasa sakit terutama pada malam hari.
“saya muntah darah...”(SB; 4)
“malam.. dadanya kok sakit..” (SB; 35)
“menyerang paru..berat badan habis,“(SB;
66-68)
37
“batuknya itu hampir tiga bulan lebih.”(SB;
103)
“panas, demam sampai 420.”(SB; 111)
“menular…”(SB;123-129)
Menurut
SB
beberapa
upaya
untuk
mencegah penularan penyakit TB Paru adalah
tidak
membuang
sembarangan,
tidak
dahak
dan
berkomunikasi
ludah
dekat
dengan penderita TB Paru khususnya bagi
anak-anak karena imunnya tidak sekuat orang
dewasa, tidak boleh kena air percikan dari
penderita TB Paru yang batuk, menggunakan
masker sebagai penutup mulut, harus sering
membuka
jendela
pada
pagi
hari
agar
udaranya berganti, menjemur alat tidur sekali
seminggu, dan makan makanan bergizi untuk
tetap menjaga daya tahan tubuh demi menjaga
dan mempertahankan kesehatan keluarga.
“dahak itu..misalnya harus dikumpulin trus
nanti kalau ndak ditimbun, dibakar.”(SB;
135).
“kalau lagi batuk saya ndak boleh dekat
anak sama suami.”(SB; 154-156)
“pake masker.”(SB;207)
“iya...jemur seminggu sekali.”(SB; 239).
“makannya yang bergizi (SB; 254-257)
“ya, di buka.. “(SB; 365) serupa (SB; 230)
38
Selain itu karena suami SB merokok, maka
suami SB harus merokok di luar jika ingin
merokok. SB juga memisahkan alat makan
dengan keluarga lain agar tidak menyebabkan
penularan. SB dan anaknya sudah diimunisasi
BCG dan saat ini ia masih terus kontrol serta
minum obat.
“suami ngerokok ya…jauh.”(SB; 89)
“awal-awal itu dipisah…”(SB; 132)
“iya, itu udah…”(SB; 285)
“iya..tiap pagi..sarapannya ini…”(SB; 55)
4.3.3
Triangulasi Sumber Partisipan C (SC)
Berdasarkan hasil wawancara terhadap SC,
peneliti mendapat informasi yang sejalan dengan
wawancara pada PC. SC juga berpendapat
bahwa penyakit TB Paru itu adalah penyakit
keturunan dan tidak menular. SC mengatakan
bahwa hal itu dikatakan oleh dokter Ngawen. Hal
itu didukung pula oleh pengalaman masa lalu
yang
terjadi
pada
keluarganya.
Ibu
SC
(almarhumah) pernah menderita penyakit TB
Paru dengan tanda yang sama yaitu batuk terus
39
menerus hingga meninggal. SC mengatakan
bahwa tanda-tanda dari penyakit TB Paru adalah
batuk-batuk,
sering
kedinginan/menggigil,
kelelahan, malas makan dan berat badan
menurun.
“katanya…tidak
menular.
Tapi..penyakit
keturunan…”(SC; 90) serupa: (SC; 132-141)
“sering kedinginan…itu mulai kambuh
batuknya..kelelahan..kecapaian..“(SC;
104118).
“berat badan ne 52..turun 3 kilo.49…”(SC;
120-123)
Berdasarkan pendapat SC bahwa penyakit
TB Paru bukan penyakit yang menular tetapi
penyakit keturunan maka tidak ada upaya
khusus untuk mencegah penularan penyakit TB
Paru yang dilakukan dalam keluarga SC.
Menurut SC juga mereka menerapkan bahwa
sebagai orang desa menutup mulut ketika batuk
perlu dilakukan untuk menjaga sikap tenggang
rasa. Menurut SC, semua makanan baik tetapi
harus makanan yang berminyak sesuai saran
dokter
tetapi
tidak
mengetahui
alasannya.
Terkait akan kebutuhan gizi dan upaya lain, SC
tidak menyarankan apa-apa kepada anggota
40
keluarga. Anggota keluarga harus menjaga
dirinya masing-masing. SC juga masih rutin
melakukan pengobatannya di Rumah Sakit Paru
Salatiga.
“kalau orang desa itu kan punya tenggang
rasa itu mbak..”(SC;159-171)
“makanan kalau yang berminyak-minyak
gitu, ya dihindari.“(SC; 189-194)
ya..masih.”(SC; 24)
4.4 Pembahasan
4.4.1 Pengetahuan Keluarga Mengenai Penyakit TB
Paru
Berdasarkan hasil wawancara peneliti mengenai
pengertian penyakit TB Paru terhadap partisipan
penelitian,
diperoleh
bahwa
penyakit
TB
Paru
merupakan suatu penyakit yang menyerang paru,
mengganggu pernapasan dan merupakan penyakit
menular yang ditandai dengan batuk-batuk, batuk
berdarah, demam, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, dan dada terasa sakit/sesak. Selain
itu, penyakit TB Paru terjadi karena tertular bakteri atau
bakteri penyebab penyakit TB Paru dari penderita TB
Paru.
41
Hasil penelitian mengenai pengertian penyakit TB
Paru ini sesuai dengan pengertian dari Depkes RI
(2006) yang mengatakan bahwa penyakit tuberkulosis
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh
bakteri
TB
(Mycobacterium
tuberculosis).
Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Sibuea dkk.
(2005) dalam bukunya mengungkapkan bahwa TB
Paru merupakan suatu penyakit dengan gejala batuk
berkepanjangan dan mengeluarkan dahak berwarna
kekuningan, kadang-kadang dahak bercampur darah,
batuk darah, lelah, demam, kehilangan nafsu makan
dan berat badan menurun.
Suharjo (2010) juga menyatakan bahwa gejala
umum TB pada orang dewasa adalah batuk terus
menerus selama 2 – 3 minggu atau lebih, batuk
berdahak kadang berdarah, nyeri dada, penurunan
berat badan, demam, menggigil, berkeringat pada
malam hari, kelelahan, dan kehilangan nafsu makan.
Pada anak-anak, keluhan yang sering terjadi adalah
42
tidak mau makan dan berat badan jauh di bawah ratarata anak seumurnya.
Ada juga kesalahpahaman yang peneliti temukan
yaitu keluarga C dalam penelitian ini menganggap
bahwa penyakit TB Paru bukanlah penyakit menular
melainkan
penyakit
keturunan
berdasarkan
latar
belakang yang dialami keluarga. Hal ini sejalan dengan
penelitian Ottmani dkk. (2008) yang menemukan
bahwa stigma dalam masyarakat mengenai penyakit
TB Paru adalah bukan penyakit menular melainkan
karena kondisi hidup, sosial ekonomi makanan, faktor
perilaku dan latar belakang keluarga.
1.4.2
Pengetahuan Keluarga Mengenai Penularan
Penyakit TB Paru
Hasil
penyakit
wawancara
TB
Paru
mengenai
menurut
cara
penularan
pendapat
partisipan
penelitian diperoleh bahwa penularan penyakit TB
Paru terjadi melalui udara saat pasien TB Paru batuk,
melalui komunikasi langsung dalam jarak dekat
dengan penderita dan melalui dahak penderita yang
dibuang sembarangan sehingga bakteri tuberkulosis
43
dapat menyebar ke udara dan tertiup angin kemudian
terhirup oleh orang lain.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Suharjo
(2010) yang mengatakan bahwa penyakit TB Paru
ditularkan melalui percikan batuk penderita TB yang
mengandung bakteri TB. Bakteri TB menyebar dengan
mudahnya,
satu
orang
yang
terinfeksi
dapat
menularkan kepada 10 – 15 orang lainnya. Daya
penularan seorang penderita TB Paru ditentukan oleh
banyaknya bakteri tuberkulosis yang dikeluarkan dari
parunya
melalui
proses
batuk.
Faktor
yang
mempengaruhi kemungkinan seorang mengidap TB
Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, gizi buruk,
dan sedang menderita penyakit lain (HIV dan Diabetes
Melitus).
Laban (2008) dalam bukunya juga mengatakan
bahwa
pada
waktu
berbicara,
meludah,
bersin,
ataupun batuk, penderita TB Paru akan mengeluarkan
bakteri TB yang ada di paru-parunya ke udara bebas
dalam bentuk percikan. Ini sejalan dengan penelitian
Tewa dkk., (2011) bahwa orang yang terinfeksi dengan
TB paru aktif dapat menyebarkan bakteri penyakit
44
melalui batuk, bersin, berbicara, mencium, atau
meludah.
Depkes RI (2006) dalam buku pedoman nasional
penanggulangan tuberkulosis menyebutkan bahwa
sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif.
Penularan dapat terjadi pada waktu penderita TB Paru
batuk atau bersin, sehingga menyebarkan bakteri ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei).
Satu kali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam
ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa
jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya
penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya
bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pula penderita TB Paru tersebut. Faktor yang
memungkinkan
seseorang
terpajan
bakteri
tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Ditinjau dari hasil penelitian dan teori, maka peneliti
menyimpulkan bahwa penularan penyakit TB Paru
45
terjadi melalui percikan dahak (droplet nuclei) dan
ludah
yang
mengandung
bakteri
tuberkulosis.
Penularan juga terjadi ketika penderita TB Paru batuk
dan berbicara. Droplet nuclei itulah yang mengandung
bakteri tuberkulosis. Penderita TB Paru yang dimaksud
adalah penderita TB Paru dengan hasil pemeriksaan
BTA positif aktif. Makin tinggi derajat kepositifan
penderita TB Paru, maka makin tinggi pula daya
penularannya terhadap orang lain yang dekat dengan
penderita terutama keluarga.
Menurut Satyo & Agustin (2007), tidak semua
orang yang terinfeksi bakteri bakteri tuberkulosis akan
mengidap TB Paru. Setiap orang akan memiliki
kekebalan TB paru jika sejak bayi sudah diberi
imunisasi BCG. Penularan TB dapat terjadi di mana
saja. Individu yang memiliki kondisi tubuh yang lemah,
kurang gizi, kekurangan protein, kekurangan darah
dan kurang beristirahat akan mudah tertular oleh
penyakit TB Paru. Bakteri tuberkulosis menyukai
lingkungan
kotor.
Kondisi
ini
menyuburkan
pertumbuhan bakteri TB. Apalagi jika penderita TB
Paru meludah dan membuang dahak sembarangan
46
dan orang di sekitar penderita belum di imunisasi BCG,
kurang gizi dan hidup di lingkungan yang kumuh. Oleh
karena
itu,
penularan
dapat
dihindari
dengan
menghindari faktor penyebab penularannya sehingga
perlu adanya upaya pencegahan terhadap penularan
penyakit TB Paru itu sendiri.
1.4.3
Pengetahuan Keluarga Mengenai Upaya
Pencegahan Penularan Penyakit TB Paru
Hasil penelitian peneliti mengenai pengetahuan
keluarga
terhadap
upaya
pencegahan
penularan
penyakit TB Paru diperoleh bahwa keluarga dapat
menyebutkan dan melakukan beberapa upaya untuk
mencegah penularan penyakit TB Paru. Menurut
keluarga, tindakan atau upaya pencegahan penularan
penyakit
TB
Paru
dilakukan
agar
tidak
terjadi
penularan dari penderita TB Paru ke anggota keluarga
lainnya. Berikut hasil penelitian peneliti.
Pertama,
mengupayakan
penderita
TB
Paru
termasuk orang sehat terutama anak-anak untuk
menutup mulut dan hidung pada saat kontak langsung
dan pada saat penderita TB Paru batuk. Kedua,
mengupayakan
penderita
47
TB
Paru
agar
tidak
membuang
dahak/ludah
sembarangan
melainkan
menyiapkan tempat khusus. Ketiga, mengupayakan
membersihkan diri dan mengganti pakaian setelah
kontak dengan penderita TB Paru serta menjaga
kebersihan makanan. Keempat, tidak tidur bersama
dengan pasien penderita TB Paru. Kelima, tidak
menggunakan alat makan bersama dengan penderita
TB Paru. Keenam, menjemur alat tidur penderita,
mengupayakan penderita TB Paru untuk berjemur
pada pagi hari dan mengupayakan untuk membuka
pintu
dan
jendela
pada
pagi
hari.
Ketujuh,
mengupayakan penderita TB Paru agar rutin kontrol ke
rumah sakit dan kedelapan adalah mempertahankan
daya
tahan
tubuh
keluarga
sendiri
dengan
mengkonsumsi makanan yang bergizi serta sudah
mendapat imunisasi BCG.
Hasil penelitian tentang pengetahuan keluarga
mengenai upaya pencegahan penularan penyakit TB
Paru ini sesuai dengan Mandal dkk. (2006) yang
mengatakan bahwa jika penderita TB Paru membuang
ludah atau dahak sembarangan, ludah dan dahaknya
akan
mengering
dan
48
bakterinya
sangat
mudah
diterbangkan angin. Karena itu harus disiapkan tempat
khusus untuk menampung dahak penderita dan diberi
desinfektan.
Dengan demikian, menjadi tugas keluarga untuk
mengingatkan penderita TB Paru agar menutup mulut
dengan sapu tangan, tisu atau masker pada saat batuk
sehingga dapat mencegah atau mengurangi bakteri
tuberkulosis yang akan menyebar ke udara. Penderita
TB Paru dan keluarga harus menyiapkan tempat
khusus
yang
tertutup
untuk
membuang
dahak
menunjukkan
bahwa
penderita.
Hasil
penelitian
peneliti
semua anak-anak dalam ketiga keluarga juga sudah
mendapat imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin).
Sedangkan para orang tua yaitu keluarga A sudah
sedangkan keluarga B dan C tidak tahu sudah
diimunisasi BCG atau belum. Keluarga yang belum
diimunisasi BCG harus berusaha menjaga daya tahan
tubuhnya
dan
meningkatkan
upaya
pencegahan
penularan penyakit TB Paru.
Penelitian Beresford (2010) menjelaskan bahwa
satu-satunya vaksin yang saat ini digunakan untuk
49
penyakit TB
adalah vaksin BCG. Vaksin BCG
melindungi anak-anak terhadap bentuk penyakit TB
yang lebih parah daripada penyakit TB Paru. Oleh
karena itu, penting untuk memberikan vaksin ini pada
anak-anak sejak usia dini. Sebagian besar orang yang
telah mendapat vaksin BCG dan terinfeksi TB Paru
tidak
dapat
menghilangkan
patogennya
tetapi
mengaktifkan kembali dan meningkatkan kekebalan
tubuh terhadap TB Paru saat kekebalan tubuh
melemah.
Suharjo (2010) dalam bukunya mengatakan bahwa
vaksin
BCG
(vaksin
hidup
yang
dihilangkan
virulensinya) memberi perlindungan terhadap penyakit
TB Paru. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi
mencegah infeksi TB berat (TB meningitis dan TB
milier) yang sangat mengancam nyawa. Vaksinasi
BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara
50% - 80% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi
BCG sangat bermanfaat bagi anak, sedangkan bagi
orang dewasa manfaatnya masih kurang jelas. Daya
tahan seseorang terhadap penyakit TB Paru berkaitan
dengan keberadaan bakteri tubercle bacilli yang hidup
50
di dalam darah. Vaksin BCG akan merangsang
kekebalan dan meningkatkan daya tahan tubuh tanpa
menyebabkan kerusakan. Sesudah vaksinasi BCG,
tidak menutup kemungkinan bakteri TB akan masuk ke
dalam tubuh. Akan tetapi daya tahan tubuh yang baik
dan meningkat akan dapat mengendalikan bahkan
membunuh bakteri tuberkulosis.
Keluarga juga harus mendukung penderita TB Paru
sendiri agar rutin melakukan pengobatannya dan
mengupayakan agar tidak menularkan ke anggota
keluarga lainnya. Penderita TB Paru dalam ketiga
keluarga juga masih rutin melakukan pengobatannya.
Mandal dkk. (2006) mengatakan bahwa penderita
TB Paru harus melakukan pengobatan dengan teratur.
Dengan melakukan pengobatan secara rutin, maka
dapat mengurangi daya penularan penyakit TB Paru ke
anggota keluarga lainnya.
Dalam penelitian ini, keluarga B mengetahui dan
melakukan
semua
upaya
pencegahan
penularan
penyakit PB Paru. Keluarga A mengetahui semua
upaya
pencegahannya
tetapi
hanya
melakukan
beberapa upaya karena keluarga lebih mementingkan
51
menjaga perasaan daripada harus membatasi kontak
dengan penderita. Keluarga C memiliki anggapan
bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit keturunan.
Keluarga tahu tanda-tanda penyakit TB Paru tetapi
tidak mengetahui tentang penularannya sehingga tidak
ada upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru.
Keluarga C hanya melakukan tindakan menutup mulut
ketika batuk karena hal itu sudah menjadi kebiasaan di
desa mereka demi tenggang rasa.
Berdasarkan Notoadmodjo (2007), maka tingkatan
pengetahuan keluarga A adalah tahu dan memahami,
tingkatan pengetahuan keluarga B adalah tahu,
memahami
dan
aplikasi
sedangkan
tingkat
pengetahuan keluarga C hanya sebatas tingkatan tahu.
Dilihat dari observasi terhadap lingkungan rumah,
keluarga A dan B memiliki jendela dan ventilasi,
sedangkan keluarga C tidak memilki ventilasi. Jenis
lantai keluarga A dan C adalah keramik sedangkan
keluarga B adalah semen.
Ventilasi merupakan
masalah yang tidak dimiliki keluarga B. Dinding rumah
keluarga B dan C terbuat dari papan, sedangkan
dinding rumah keluarga A terbuat dari tembok batu.
52
Dinding rumah yang terbuat dari papan juga dapat
mengurangi hawa dingin dalam rumah. Kondisi yang
demikian
dapat
menekan
daya
hidup
bakteri
tuberkulosis.
Keluarga
dalam
penelitian
peneliti
juga
mengatakan selalu membuka jendela pada pagi hari.
Berdasarkan sifat bakteri tuberkulosis yang dapat
bertahan hidup di lingkungan yang lembab, maka
upaya membuka jendela, pintu dan adanya ventilasi
dapat membantu mensterilkan ruangan dan alat-alat
yang ada dalam ruangan dengan sinar matahari.
Bakteri-bakteri tuberkulosis yang keluar saat penderita
TB Paru batuk dapat bertebaran ke udara terbuka dan
dapat mati karena terkena sinar matahari.
Selain membuka jendela dan adanya ventilasi
dalam rumah, alat tidur penderita TB Paru juga perlu
disterilkan dengan sinar matahari. Keluarga juga selalu
menjemur alat tidur penderita TB Paru karena alat tidur
penderita
juga
berpotensi
menjadi
tempat
menempelnya bakteri TB Paru. Oleh karena itu bakteri
TB Paru yang menempel pada alat tersebut dapat mati
53
dengan sinar matahari. Penjemuran yang rutin akan
membunuh bakteri TB Paru.
Ada kesalahpahaman lagi yang peneliti temukan
yaitu
keluarga
B
mengupayakan
pencegahan
penularan penyakit TB Paru dengan memisahkan alat
makan penderita TB Paru. Alat makan tidak berpotensi
menjadi sarana penularan penyakit TB Paru dan tidak
ada pula teori yang mengatakan demikian. Ini sejalan
dengan penelitian Khan dkk. (2006) yang menemukan
bahwa memisahkan piring dengan penderita TB Paru
adalah
hal
yang
dilakukan
untuk
mencegah
penyebaran TB Paru. Stigma dalam masyarakat
menyebabkan infeksi TB paru semakin tinggi di
masyarakat.
Keluarga A dan B juga berusaha meningkatkan
daya tahan tubuh dengan makan makanan bergizi.
Makanan bergizi perlu untuk meningkatkan daya tahan
tubuh terhadap penyakit terutama penyakit menular
seperti penyakit TB Paru.
Semua upaya pencegahan penularan penyakit TB
paru perlu didukung dengan kebersihan rumah. Hasil
observasi peneliti terhadap lingkungan rumah keluarga
54
A, B maupun keluarga C menunjukkan bahwa kondisi
kebersihan rumah keluarga A dan keluarga C baik
sedangkan keluarga C masih kurang. Kebersihan
menjadi salah satu faktor pendukung dalam upaya
pencegahan penularan penyakit TB paru karena
bakteri tuberkulosis menyukai lingkungan yang kotor.
Hasil observasi peneliti ini sesuai dalam teori Achmadi
(2005)
yang
menyebutkan
bahwa
kelembaban
berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara
yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara
dalam rumah menjadi rendah, sehingga kelembaban
udaranya tinggi.
Hasil penelitian dan observasi tersebut juga sesuai
dengan Depkes RI (2001) dalam buku pedoman
nasional
penanggulangan
tuberkulosis
yang
menyebutkan bahwa upaya pencegahan penularan
penyakit TB Paru yang harus dilakukan adalah
menutup mulut pada waktu batuk atau bersin, tidur
terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu
pertama pengobatan, tidak meludah di sembarang
tempat, tetapi dalam wadah yang diberi desinfektan
kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam
55
tanah, menjemur alat tidur secara teratur pada pagi
hari dan selalu membuka jendela pada pagi hari agar
rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari
yang cukup. Dengan upaya demikian maka dapat
membunuh bakteri tuberkulosis paru.
Bagi orang sehat sendiri upaya yang penting
dilakukan adalah meningkatkan daya tahan tubuh
antara lain dengan makan makanan yang bergizi, tidur
dan istirahat yang cukup, serta melakukan imunisasi
BCG pada bayi. Jika mengalami batuk lebih dari tiga
minggu sebaiknya memeriksakan diri ke rumah sakit.
Jadi, tindakan mencegah terjadinya penularan
dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang utama
adalah
penderita
TB
Paru
penting
untuk
mengkonsumsi obat anti tuberkulosis dengan patuh
sesuai ketentuan penggunaan obat. Pencegahan lain
yang juga dilakukan adalah dengan cara mengurangi
atau menghilangkan faktor resiko yang pada dasarnya
adalah mengupayakan kesehatan lingkungan rumah
dan perilaku serta mengurangi kepadatan anggota
keluarga.
56
4.5 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan
penelitian
ini
adalah
peneliti
hanya
melakukan wawancara dengan partisipan yang sudah berusia
di atas 30 tahun. Peneliti tidak mendapatkan partisipan berusia
15 – 30 tahun.
Secara teknis, kesulitan dalam penelitian ini adalah
mencari alamat partisipan. Jumlah pasien kunjungan dengan
TB Paru BTA positif di RSPAW Salatiga cukup banyak pada
tahun 2014, akan tetapi jumlah pasien TB Paru BTA positif aktif
dalam lingkup Salatiga tidaklah begitu banyak sesuai harapan
peneliti. Kebanyakan pengunjung berasal dari luar kota
Salatiga.
57
Download