BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Teori Belajar Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku manusia dan ia mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan. Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi manusia. Oleh karena itu, dengan menguasai prinsip-prinsip dasar tentang belajar, seseorang mampu memahami bahwa aktifitas belajar itu memegang peranan penting dalam proses psikologis. Sudjana (2005: 28) menyatakan bahwa belajar bukan menghafal dan pula mengingat. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. 2.1.2 Pembelajaran Matematika Belajar matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi. Hal ini disebabkan karena matematika berkaitan dengan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol yang tersusun secara hierarkis dan penalaranya secara diduktif. Matematika dipelajari secara bertahap, berurutan serta mendasarkan pada pengalaman yang sudah dimiliki. Proses belajarnyapun akan lancar apabila belajar dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Menurut Gatot Muhsetyo (2008:1.26) yang dimaksud dengan pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari. 6 7 2.1.3 Pendekatan Pembelajaran Matematika Pendekatan pembelajaran adalah suatu jalan atau cara atau kebijakan yang ditempuh guru atau peserta didik dalam mencapai tujuan dilihat dari sudut proses atau materi pembelajaran itu, umum atau khusus dikelola ( Roosefendi dalam Fauzi 2002: 13 ). Soedjadi ( 1999 : 102 ), mengklasifikasikan pendekatan matematika menjadi dua yaitu : (1) Pendekatan materi ( Material approach ), yaitu proses penjelasan matematika tertentu menggunakan matematika lain. (2). Pendekatan pembelajaran ( Teaching approach ), yaitu proses penyampaian atau penyajian topik matematika tertentu agar mempermudah peserta didik memahaminya. Depdiknas (2003) menekankan bahwa dalam mengelola pembelajaran matematika, siswa dikondisikan untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru. Ditegaskan bahwa belajar akan bermakna bagi siswa apabila mereka aktif dengan berbagai cara untuk mengonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Soedjadi (2003) menyatakan, guru hendaknya jangan punya anggapan bahwa siswa harus selalu diberi tahu, tetapi harus mulai percaya bahwa siswa pun memiliki kemampuankemampuan yang dapat muncul dari dirinya sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa guru perlu memberi waktu “cukup” kepada siswa untuk mencoba berpikir sendiri, menemukan sendiri dan berani mengungkapkan pendapat sendiri. Menurut Slavin (1997), salah satu prinsip yang paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam pikiran mereka sendiri. Guru dapat memudahkan proses ini, dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa. Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan suatu bentuk kegiatan pembelajaran yang mengutamakan keterlibatan siswa untuk membangun pengetahuan matematikanya dengan caranya sendiri. Dalam kegiatan tersebut guru berperan sebagai fasilitator dan mediator. Sebagai fasilitator, guru 8 menyediakan berbagai sarana pembelajaran yang memudahkan siswa membangun pengetahuan matematikanya sendiri. Sebagai mediator, guru menjadi perantara dalam interaksi antar siswa atau antara siswa dengan ide matematika dan menghindari pemberian pendapatnya sendiri ketika siswa sedang mengemukakan pendapat. Menurut Yuwono ( 2001:4 ), dalam proses matematisasi horisontal, dengan pengetahuan atau pengalaman yang dimilikinya, peserta didik dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain matematika horisontal bergerak dari dunia nyata ke dunia simbol. Proses ini meliputi proses informasi yang dilakukan peserta didik dalam menyelesaikan soal. Contohnya adalah proses yang dilalui peserta didik untuk membuat model, membuat skema dan menemukan hubungan-hubungan. Sedangkan proses matematisasi vertikal merupakan proses pengorganisasian kembali dengan menggunakan matematika. Matematisasi vertikal bergerak dari dunia simbol ke dunia nyata. Proses ini antara lain meliputi : proses yang menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula ( rumus ), membuat berbagai model, merumuskan proses atau prinsip dan melakukan generalisasi. Menurut Yuwono ( 2001:4 ), dari uraian di atas perbedaan keempat pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan intensitas pematematikaannya dapat dijelaskan sebagai berikut. 2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan pada tubian (driil) dan hafalan, sedang proses pematematikaannya tidak nampak. 2.1.3.2 Pendekatan srukturalistik lebih menekankan pada pematematikaan vertikal dan mengabaikan pematematikaan horisontal. 2.1.3.3 Pendekatan empiristik, lebih menekankan pada pematematikaan horisontal dan mengabaikan pematematikaan vertikal. 2.1.3.4 Pendekatan realistik, memberikan perhatian yang seimbang antara pematematikaan vertikal dengan menyampaikan secara terpadu. Berdasarkan berbagai pendapat yang telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini akan digunakan pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual. 9 2.1.4 Pengertian Pendekatan Kontekstual Menurut Hamidi ( 2001 ) pendekatan kontekstual atau Contectual Teaching and Learning adalah proses pembelajaran yang merangkum contoh yang diterbitkan dari pengalaman harian dalam kehidupan pribadi masyarakat serta profesion dan menyajikan aplikasi hands-on yang konkrit ( nyata ) tentang bahan yang akan dipelajarai. Sedangkan menurut Jonhson ( 2002 ) CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong siswa untuk melihat makna yang terkandung dalam materi akademik yang sedang mereka pelajarai dengan menghubungkan subjek akademik sengan kontek kehidupan sehari-hari melalui konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya. CTL menurut Nurhadi ( 2003 ) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa. Dan juga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan pengetahuanya yang dimiliki sendiri-sendiri. Siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan mengkonstruksi sendiri ketika mereka belajar. Dari beberapa pendapat di atas , ada beberapa perbedaan namun pada dasarnya pendekatan Contectual Teaching and Learning ( CTL ) merupakan pendekatan pembelajaran dengan konsep pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi siswa. Dalam pembelajaran ini siswa mengalami sendiri, sedangkan guru hanya sebagai vasilitator dan motivator, sehingga peneliti tertarik untuk melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan Contektual Teaching end Learning ( CTL ). 2.1.5 Dasar Teori Model Pembelajaran Kontekstual Menurut Jonhson (2004) ada tiga pilar dalam sistim CTL, yaitu : 2.1.5.1 CTL mencerminkan prinsip kesaling-bergantungan. Kesaling- bergantungan mewujudkan diri, misalnya para siswa bergabung untuk memecahkan masalah dan ketika para guru mengadakan pertemuan 10 dengan rekannya. Hal ini tampak jelas ketika subjek yang berbeda dihubungkan, dan ketika kemitraan menggabungkan sekolah dengan dunia bisnis dan komunitas. 2.1.5.2 CTL mencerminkan prinsip difensiasi. Difensiasi menjadi nyata ketika CTL menantang para siswa untuk saling menghormati keunikan masing-masing, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja sama, intuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda, dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan. 2.1.5.3 CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Pengorganisasian diri terlihat ketika para siswa mencari dan menemukan kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda, mendapat manfaat dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usahausaha mereka dalam tuntunan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi, dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati mereka bernyanyi. Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Konstruktivisme berakar pada filsafat pragamatisme yang digagas oleh John Dewey pada awal abad ke 20, yaitu sebuah filosofi belajar yang menekankan pada pengembangan minat dan pengalaman siswa. Anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajari bukan hanya mengetahuinya. Pembelajaran yang hanya berorientasi pada target penguasaan materi terbukti hanya berhasil dalam kompetensi ”mengingat” jangka pendek, tetapai gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dengan pendekatan kontesktual (CTL) proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan 11 transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil. Dalam kontek itu siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa menfaatnya, mereka dalam status apa dan bagaimana mencapainya. Mereka akan mempelajari bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya. Dengan demikian mereka belajar yang berguna bagi hidupnya, dan memposisikan dirinya yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajarai sesuatu yang bermanfaat bagi hidupnya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Untuk menciptakan kondisi tersebut diperlukan sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah srtategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuan di benak sendiri. Melalui srtategi CTL siswa diharapkan belajar mengalami bukan menghafal. 2.1.6 Komponen Model Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran berbasis Kontekstual menurut (Sanjaya, 2004) melibatkan tujuh komponen pembelajaran, Yakni : (1). konstruktivisme (konstruktivism), (2). bertanya (questioning), (3). menemukan (inquiri), (4). masyarakat belajar (learning community), (5). pemodelan (modeling), (6). Refleksi (reflektion) dan (7). penilaian sebenarnya (authentic assessmen). Konstruktivisme adalah proses membangun dan menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitifsiswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan yang terbentuk dari dua faktor penting yaitu: objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk mengintepretasikan objek tersebut. Asumsi ini melandasi Kontekstual. Pembelajaran melalui Kontekstual pada dasarnya mendorong agar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuanya melalui proses pengamatan dan pengalaman nyata yang dibangun oleh individu sipembelajar. Inkuiri, artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: (1). Merumuskan masalah, (2). Mengajukan hipoteses, (3). Mengumpulkan data, (4). Menguji hipoteses, (5). 12 Membuat kesimpulan. Penerapan azas inkuiri pada Kontekstual dimulai dengan adanya masalah yang jelas yang ingin dipecahkan, dengan cara mendorong siswa untuk menemukan masalah sampai merumuskan kesimpulan.Asas menemukan dan berpikir sistematis akan dapat menumbuhkan sikap ilmiah, rasional sebagai dasar pembentukan kreatifitas. Bertanya adalah bagian inti belajar dan menemukan pengetahuan. Dengan adanya keingintahuanlah pengetahuan selalu dapat berkembang. Dalam model pembelajaran Kontekstual guru tidak menyampaikan informasi begitu saja memancing siswa dengan bertanya agar siswa dapat menemukan jawabanya sendiri. Dengan demikian keterampilan guru dalam bertanya sangat diperlukan. Hal ini penting karena pertanyaan guru menjadikan pembelajaran lebih produktif. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan berguna untuk : (1). Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan pembelajaran. (2). Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar. (3). Merangsang keingintahuan siswa tentang sesuatu. (4). Menfokuskan siswa terhadap sesuatu yang diinginkan. (5). Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu. Masyarakat belajar didasarkan pendapat Vigotsky, bahwa pengetahuan dan pengalaman anak banyak dibentuk oleh komunikasi dengan orang lain, karena permasalahan tidak mungkin dipecahkan sendiri. Dalam model Kontekstual hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, teman, antar kelompok, sumber lain, dan bukan hanya guru. Dengan demikian asas belajar dapat diterapkan melalui belajar kelompok, dan sumber-sumber lain dari luar yang dianggap tahu tentang sesuatu yang menjadi fokus pembelajaran. Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan suatu contoh yang dapat ditiru oleh siswa. Modeling merupakan asas penting dalam pembelajaran melalui Kontekstual, karena melalui Kontekstual siswa dapat terhindar dari verbalisme atau pengetahuan yang bersifat teoritis-abstrak. Modeling tidak terbatas pada guru saja, tetapi dapat juga memanfaatkan siswa atau sumber lain yang mempunyai pengalaman atau keahlian. Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dengan cara mengurutkan dan mengevaluasi kembali kejadian atau peristiwa yang 13 telah dilaluinya untuk mendapatkan pemahaman yang dicapai baik yang bernilai positif atau negatif. Melalui refleksi siswa akan dapat memperbaharui pengetahuan yang telah dibentuknya serta menambah khasanah pengetahuannya. Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak. Penilaian ini berguna untuk mengetahui apakah pengalaman belajar mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan siswa baik intelektual, mental, maupun psikomotoriknya.Pembelajaran Kontekstual lebih menekanlan proses belajar darMatematikada hasil belajar. Oleh karena itu penilaian ini dilakukan secara terus menerus dan terintegrasi selama pembelajaran berlangsung. Dalam Kontekstual keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Pendekatan kontekstual sangat cocok digunakan dalam mata pelajaran Matematika, karena dalam hal ini kaidah kontekstual lebih bertumpu pada usaha guru sebagai pembimbing (fasilitatar) yang membimbing siswa kearah pembentukan daya pikir siswa melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran yang bersifat alamiah yang bersumber dari pengalaman siswa. Dengan pengalaman siswa yang tumbuh dari lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar merupakan materi yang sangat berharga, dan dapat dikembangkan dalam pembelajaran. Dengan kegiatan pendekatan kontekstual tersebut, diharapkan dapat mengurangi rasa jenuh dan membangkitkan motivasi siswa terhadap mata pelajaran matematika. 14 2.1.7 Cara Pelaksanaan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Pendekatan pembelajaran Kontekstual dilaksanakan guru melalui kegiatan sebagai berikut : 2.1.7.1 Kegiatan mengkontruksi pengetahuan (konstruktivism) Memberi siswa pengalaman tentang volum kubus dan balok menggunakan kubus satuan secara nyata yang melibatkan mereka secara aktif. 2.1.7.2 Kegiatan menemukan (inquiri) Mendorong siswa untuk menemukan, merumuskan, dan menganalisi (mengolah) volum kubus dan balok dengan kubus satuan. 2.1.7.3 Kegiatan bertanya (questioning) Membangkitkan minat siswa untuk bertanya mengenai volum kubus dan balok yang dihadapi atau bahan pelajaran. 2.1.7.4 Kegiatan komunikasi belajar (learning community) Menciptakan suasana diskusi tentang volum kubus dan balok antar siswa. 2.1.7.5 Kegiatan permodelan (modeling) Menampilkan lebih dari satu macam model cara pengerjaan volum kubus dan balok. 2.1.7.6 Kegiatan refleksi (reflektion) Menyediakan waktu agar siswa mempunyai kesempatan untuk refleksi tentang proses dan hasil belajar volum kubus dan balok. 2.1.8 Pengertian Tutor Sebaya Dalam pembelajaran matematika sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan oleh guru kelas untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Namun usaha itu belum menunjukan hasil yang optimal. Rentang nilai siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai terlalu mencolok. Untuk itu perlu diupayakan pula agar rentang nilai antar siswa tersebut tidak terlalu jauh yaitu dengan memanfaatkan siswa yang pandai untuk menularkan kemampuannya pada siswa lain yang kemampuannya lebih rendah. Tentu saja guru yang menjadi perancang model pembelajaran harus mengubah bentuk pembelajaran yang lain. 15 Pembelajaran tersebut adalah pembelajaran tutor sebaya. Kuswaya Wihardit dalam Aria Djalil (1997:3.38) menuliskan bahwa “pengertian tutor sebaya adalah seorang siswa pandai yang membantu belajar siswa lainnya dalam tingkat kelas yang sama” Sisi lain yang menjadikan matematika dianggap siswa pelajaran yang sulit adalah bahasa yang digunakan oleh guru. Dalam hal tertentu siswa lebih paham dengan bahasa teman sebayanya daripada bahasa guru. Itulah sebabnya pembelajaran tutor sebaya diterapkan dalam proses pembelajaran matematika. Hisyam Zaini dalam Amin Suyitno (2004:24) sumber Sumber : www.idpeurope.org/toolkit/ dalam http://id.wordpress.com/tag/tutor-sebaya/ menyatakan bahwa “Metode belajar yang paling baik adalah dengan mengajarkan kepada orang lain. Oleh karena itu, pemilihan model pembelajaran tutor sebaya sebagai strategi pembelajaran akan sangat membantu siswa di dalam mengajarkan materi kepada teman-temannya.” Menurut Miller (1989) dalam Aria Djalil ( 1997:3.34) berpendapat bahwa “Setiap saat murid memerlukan bantuan dari murid lainnya, dan murid dapat belajar dari murid lainnya.” Jan Collingwood (1991:19) dalam Aria Djalil (1997:3.34) sumber Sumber : http://id.wordpress.com/tag/tutor-sebaya/ www.idp-europe.org/toolkit/ dalam juga “Anak berpendapat bahwa memperoleh pengetahuan dan keterampilankarena dia bergaul dengan teman lainnya.” Pada pembelajaran menentukan volum kubus dan balok misalkan siswa kelas VI akan dibawa pada model pembelajaran tutor sebaya dalam kelompokkelompok belajar. Menurut Hisyam Zaini (2001:1) (dalam Amin Suyitno, 2004:34) sumber Sumber : www.idp-europe.org/toolkit/ dalam http://id.wordpress.com/tag/tutorsebaya/ maka langkah-langkah metode tutor sebaya adalah sebagai berikut: 2.1.8.1 Memilih materi tentang geometri agar dapat dipelajari siswa secara mandiri. Materi pengajaran dibagi dalam sub-sub materi (segmen materi). Siswa diberi soal latihan tentukan volum kubus dan balok. 2.1.8.2 Siswa dibagi menjadi 4 kelompok kecil yang heterogen, sebanyak subsub materi yang akan disampaikan guru. Siswa-siswa pandai disebar dalam setiap kelompok dan bertindak sebagai tutor sebaya 16 2.1.8.3 Masing-masing kelompok diberi tu tentang volum kubus dan balok. Setiap kelompok dibantu oleh siswa yang pandai sebagai tutor sebaya. 2.1.8.4 Siswa diberi waktu yang cukup untuk persiapan, baik di dalam kelas maupun di luar kelas 2.1.8.5 Setiap kelompok melalui wakilnya menyampaikan sub materi sesuai dengan tugas yang telah diberikan. Guru bertindak sebagai nara sumber utama. 2.1.8.6 Setelah semua kelompok menyampaikan tugasnya secara berurutan sesuai dengan urutan sub materi, beri kesimpulan dan klarifikasi seandainya ada pemahaman siswa yang perlu diluruskan. Dari uraian tersebut di atas selanjutnya dapat dikembangkan dalam bentuk soal yang lain untuk dijadikan bahan pembelajaran dalam 4 kelompok kecil. Dengan demikian oleh model pembelajaran ini dalam diri siswa akan tertanam kebiasaan saling membantu antar teman sebaya. Agar model pembelajaran tutor sebaya mencapai tingkat keberhasilan yang diharapkan, Miler (dalam Aria Djalil 1997:2.48) menuliskan saran penggunaan tutor sebaya sebagai berikut : a. Mulailah dengan tujuan yang jelas dan mudah dicapai. b. Jelaskan tujuan itu kepada seluruh siswa (kelas). Misalnya: agar pelajaran matematika dapat mudah dipahami. c. Siapkan bahan dan sumber belajar yang memadai. d. Gunakan cara yang praktis. e. Hindari kegiatan pengulangan yang telah dilakukan guru. f. Pusatkan kegiatan tutorial pada keterampilan yang akan dilakukan tutor. g. Berikan latihan singkat mengenai yang akan dilakukan tutor. h. Lakukanlah pemantauan terhadap proses belajar yang terjadi melalui tutor sebaya. i. Jagalah agar siswa yang menjadi tutor tidak sombong. 17 2.1.9 Langkah-langkah Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dengan Tutor Sebaya Paradigma guru sebagai knowledge transformator telah bergeser menjadi knowledge facilitator. Konsekuensi dari perubahan paradigme tersebut, maka guru perlu memperkaya pengetahuan dan meningkatklan kemampuannya terutama dalam metode dan strategi pembelajaran. Model pembelajaran secara kelompok telah menjadi salah satu pilihan guru dalam mengelola pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang populer dan sering digunakan adalah model pembelajaran Kontekstual yang dikenal juga dengan kelompok ahli. Model ini dapat diterapkan pada materi pembelajaran yang tidak berstruktur (saling berhubungan antar sub-sub materi). 2.1.9.1 Menurut Slavn (1998), model pembelajaran Kontekstual terdiri dari 5 fase. Pembagian kelompok berdasarkan kriteria prestasi individu (dari ulangan sebelumya atau pretest). Fase 1 : Reading Fase 2 : Expert Group Discussions Fase 3 : Team Report Fase 4 : Assesment Fase 5 : Team Regognition 2.1.9.2 Dalam penelitian ini model pembelajaran Kontekstual dikembangkan menjadi tipe ”Tutor Sebaya”. Langkah-langkah dalam pembelajaran tipe tutor sebaya adalah: a. Guru memberikan materi secara umum yaitu menjelaskan cara mencari Volume kubus dan balok dengan Demontrasi. 18 b. Guru melakukan pretest untuk menentukan 4 orang siswa terpandai untuk menjadi pemandu kelompok. c. Siswa yang lain dibagi menjadi empat kelompok yang akan menjadi anggota kelompok yang dipandu. d. Kelompok pemandu duduk dibagian depan dengan menghadap teman yang lain. e. Satu orang pemandu bertanggung jawab terhadap satu kelompok yang dipandu. f. Guru memberikan soal yang dikerjakan oleh tim pemandu untuk dikerjakan kelompok yang dipandu. g. Guru memantau dan memonitoring, memberikan arahann kepada kelompok yang bertanya. h. Guru menilai siswa dalam kegiatan kelompok dengan menggunakan lembar pengamatan. 2.2. i. Guru memberikan kesimpulan dari pembelajaran j. Guru mengadakan evaluasi dan mengoreksi hasil pekerjaan siswa. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh : a. Susmiyati,2009, peningkatan hasil belajar materi perkalian dan pembagian melalui pendekatan kontekdtual berorientasi Quantum Math Learninhg di kelas II SD Negeri Bertaraf Internasional Kota Semarang tahun 2009 / 2010 mengatakan bahwa , Pendekatan Kontekstual berorientasi Quantum 19 Math Learning dapat digunakan sebagai alternatif untuk menanamkan konsep perkalian dan pembagian di kelas II Sekolah Dasar. b. Basuki 2009, Peningkatan prestasi belajar operasi hitung bilangan bulat di kelas VI melalui penerapan pendekatan kontekstual melalui hands-on activity di SD N Baron III Nganjuk, menyatakan bahwa penerapan pendekatan kontekstual melalui hands-on activity dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VI SDN Baron III Nganjuk. 2.3 Kerangka Berpikir Kondisi sebelum tindakan, guru menggunakan pendekatan yang standar dalam pembelajaran, motivasi dan hasil belajar rendah. Setelah guru mengadakan tindakan dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual serta menggunakan metode tutor sebaya siswa termotivasi dan aktif, sehingga hasil belajar meningkat. Di dalam kegiatan pembelajaran siswa tidak takut bertanya kepada guru serta temannya, sehingga siswa lebih intensif dalam meningkatkan hasil belajar. 2.4 Hipoteseis Tindakan 2.4.1 Penggunaan pendekatan kontekstual atau Contectual Teaching and Learning ( CTL ), dalam pembelajaran matematika materi geometri dapat meningkatkan hasil belajar siswa SD Negeri 1 Ngrandu kelas VI Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2011 /2012. 2.4.2 Penggunaan pendekatan kontekstual atau Contectual Teaching and Learning ( CTL ) dengan metode teman sebaya, dalam pembelajaran matematika materi geometri dapat meningkatkan perilaku yang menyertai hasil belajar siswa SD Negeri 1 Ngrandu kelas VI Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2011 /2012.