Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1997/1998 REPUBLIK INDONESIA Depertemen Keuangan Republik Indonesia 1 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 BAB I UMUM Pendahuluan Tahun anggaran 1997/1998 yang merupakan tahun keempat Repelita VI akan ditandai dengan beberapa peristiwa penting dalam bidang ketatanegaraan, diantaranya pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 1997, disusul dengan pergantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selanjutnya akan dilangsungkan Sidang Umum MPR yang akan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1998, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 1998-2003. Ketiga peristiwa tersebut akan memberikan suasana baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam memasuki pergantian abad ini. Memasuki abad ke 21 akan merupakan suatu peristiwa yang bersejarah dalam mengantarkan dunia memasuki millennium ketiga. Menghadapi pergantian abad tersebut, sebagai bangsa yang besar, sikap optimisme haruslah menjadi acuan setiap manusia Indonesia. Sikap optimisme ini harus dikembangkan dan dipupuk, karena hal itu merupakan modal penting bagi suatu bangsa untuk menatap masa depannya dalam mengisi dan melaksanakan pembangunan. Pembangunan Indonesia yang telah dirumuskan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah memberikan dimensi etika dan moral, dan merupakan pegangan utama bagi bangsa di tengah-tengah peradaban dunia yang penuh dengan perbenturan dan persaingan, sebagai akibat dari zaman yang semakin terbuka dan berdimensi global. Pembangunan nasional yang mulai dilaksanakan secara terarah dan terencana pada masa Orde Baru sejak tahun 1969, telah mencatat berbagai prestasi yang menggembirakan. Selama hampir tiga dekade ekonomi Indonesia telah tumbuh dengan tingkat hampir 7 persen rata-rata per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut, dibarengi dengan keberhasilan mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk ke tingkat yang relatif rendah, telah berhasil meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berarti, yang antara lain ditunjukkan oleh berbagai indikator seperti makin membaiknya pendapatan per kapita, Depertemen Keuangan Republik Indonesia 2 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 menurunnya jumlah penduduk miskin, meningkatnya usia rata-rata harapan hidup, menurunnya tingkat kematian bayi, serta membaiknya kesempatan memperoleh pendidikan. Pada saat dimulainya pembangunan nasional pada tahun 1969, pendapatan per kapita baru mencapai sebesar US$ 70, dan pada tahun 1995 pendapatan per kapita tersebut telah meningkat menjadi sekitar US$ 1.024, suatu peningkatan hampir lima belas kali dalam kurun waktu 26 tahun. Hal ini diikuti pula oleh penurunan jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin, dari sekitar 60 persen dari jumlah penduduk dalam tahun 1970 menjadi sekitar 13,7 persen dalam tahun 1993. Diperkirakan dalam tahun 1995 angka jumlah penduduk miskin tersebut telah semakin mengecil. Demikian juga tingkat kematian bayi telah turun secara berarti, dari 145 per seribu kelahiran hidup dalam tahun 1967 menjadi 55 per seribu dalam tahun 1995. Sementara itu, usia rata-rata harapan hidup telah meningkat menjadi 63,5 tahun dalam tahun 1995. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan juga mengalami perbaikan, seperti ditunjukkan oleh angka partisipasi kasar untuk murid sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertarna, sekolah lanjutan tingkat atas, serta perguruan tinggi yang masing-masing telah mencapai sebesar 111,9 persen, 50,8 persen, 32,5 persen dan 10,3 persen dalam tahun anggaran 1995/1996. Hasil-hasil pembangunan yang cukup menggembirakan tersebut merupakan hasil kerja keras dan saling bahu membahu dari seluruh rakyat Indonesia bersama Pemerintah. Perlu disadari bahwa dalam melaksanakan pembangunan, berbagai tantangan dan hambatan akan selalu menghadang. Namun demikian, sebagai bangsa pejuang yang telah berpengalaman dalam berbagai permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semua tantangan dan hambatan sebesar apapun, akan selalu dapat dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya. Kesatuan dan persatuan bangsa, kerja sama yang penuh pengertian, serta sikap yang tidak saling mencurigai dan apatis dari berbagai pelaku pembangunan, baik Pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), dunia usaha swasta, koperasi serta masyarakat pada umumnya, merupakan syarat mutlak bagi berhasilnya pembangunan yang berkesinambungan, dalam menuju suatu masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai selama ini telah menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang mampu membangun dirinya untuk duduk sejajar dengan bangsa-bangsa terkemuka lainnya. Dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 3 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 UUD 1945, Pemerintah telah menetapkan program pembangunan yang berkesinambungan yang berdimensi jangka panjang (PJP) dan menengah (Repelita) yang dijabarkan dalam rencana operasional tahunan dalam bentuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) yang dimulai pada tahun anggaran 1969/1970 dan berakhir tahun anggaran 1993/1994 telah dilaksanakan dengan baik dan berhasil, walaupun disadari bahwa masih ada hal-hal yang perin diperbaiki dan ditingkatkan. Hasil-hasil pembangunan PJP I telah berhasil menciptakan landasan yang kuat bagi pembangunan ekonomi Indonesia selanjutnya. Sebagai kelanjutannya, PJP II yang telah dicanangkan sejak 1 April 1994 dan akan berakhir tahun 2019, yang meliputi rangkaian Repelita VI sampai dengan Repelita X, diperkirakan akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan PJP I. Rasa optimisme ini didasarkan, antara lain pada semakin seimbangnya struktur ekonomi Indonesia, semakin baiknya kualitas sumber daya manusia Indonesia, serta manajemen ekonomi makro yang lebih profesional. Pelaksanaan pembangunan dua tahun pertama Repelita VI telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang melampaui target yang ditetapkan, sementara itu, tingkat inflasi juga lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Hasil-hasil yang dicapai dalam Repelita VI ini telah meningkatkan rasa percaya diri dan optimisme, bahwa dalam tahun anggaran 1997/1998 berbagai sasaran pokok pembangunan sebagaimana telah ditetapkan, akan dapat dicapai bahkan kemungkinan besar akan dapat terlampaui. Namun demikian, sikap optimisme dan percaya diri perlu dibarengi dengan sikap hati-hati dan waspada. Dalam tahun anggaran 1997/1998, berbagai tantangan akan dihadapi baik itu bersumber dari dalam negeri (faktor internal) maupun dari luar negeri (faktor eksternal). Tantangan dari dalam negeri terutama bersumber dari masalah-masalah ekonomi yang belum dapat diselesaikan dalam tahun-tahun sebelumnya, seperti masalah pemerataan pendapatan, masalah kesenjangan pembangunan antar kawasan, dan masalah peningkatan peranan usaha kecil dan menengah termasuk koperasi, serta masalah-masalah lainnya, sedangkan tantangan dari luar negeri terutama bersumber dari konsekuensi globalisasi ekonomi dunia. Globalisasi ini telah mengakibatkan interdependensi ekonomi Indonesia dengan negara lain semakin tinggi, sehingga kejadian-kejadian yang kurang menguntungkan yang terjadi di luar negeri dapat tertransmisikan ke ekonomi Indonesia. Hal ini perlu diwaspadai dan dicermati karena transmisi faktor eksternal Depertemen Keuangan Republik Indonesia 4 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 yang negatif akan dengan mudah dan cepat terjadi oleh adanya kemajuan yang pesat di bidang teknologi komunikasi dan transportasi. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak negatif tersebut, diperlukan suatu kebijaksanaan ekonomi makro yang proaktif dan hati-hati (prudent). Walaupun tantangan yang dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998 beraneka ragam dan semakin kompleks, namun peluang untuk melaksanakan pembangunan dengan baik dan berhasil, tetap terbuka lebar. Untuk itu dituntut setiap insan Indonesia terutama yang melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan agar selalu bekerja keras, berdisiplin serta berdedikasi tinggi. Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan pembangunan tahun anggaran 1997/1998 akan menandakan bahwa Indonesia telah maju selangkah lagi dalam mencapai tujuannya. Beberapa sasaran pokok pembangunan dalam tahun anggaran 1997/1998 Sesuai dengan arah kebijaksanaan pembangunan yang tertuang dalam GBHN 1993, pelaksanaan pembangunan dalam tahun anggaran 1997/1998 tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan. Nuansa pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, perlu lebih diwujudkan sebagai filosofi dasar yang mewarnai setiap proses pengambilan keputusan politik, pengelolaan kebijaksanaan ekonomi, dan pemecahan berbagai permasalahan fundamental yang dihadapi dalam pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan untuk mempercepat perubahan struktur perekonomian nasional menuju perekonomian yang seimbang dan dinamis, yang bercirikan industri yang kuat dan maju, pertanian yang tangguh, serta memiliki basis pertumbuhan sektoral yang seimbang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan untuk menggerakkan dan memacu pembangunan di bidang-bidang lainnya, sekaligus sebagai kekuatan utama pembangunan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan sosial ekonomi, yang prosesnya dapat terjadi melalui pengurangan angka kemiskinan dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Dalam tahun anggaran 1997/1998 sasaran pertumbuhan ekonomi adalah sesuai dengan sasaran yang ditetapkan dalam Repelita VI, yakni sebesar 7,1 persen. Sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar itu adalah cukup realistis, baik dilihat dari sisi permintaan maupun penawaran. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 5 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Dari sisi permintaan, perkembangan pasar domestik yang cenderung menguat akan menjadi motor penggerak utama bagi pertumbuhan ekonomi, di samping peluang pasar luar negeri yang fenomenanya kini juga tengah menunjukkan perkembangan secara pesat. Sedangkan dari sisi penawaran, sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari adanya peningkatan investasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan produktivitas, efisiensi, dan daya saing dalam pengelolaan sumber daya ekonomi nasional, serta semakin meningkatnya peranserta masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Dalam tahun anggaran 1997/1998, kebutuhan investasi untuk pembangunan sektor pemerintah diperkirakan akan mencapai sekitar Rp 38.927,9 miliar, diantaranya diharapkan dapat dibiayai melalui tabungan pemerintah sebesar Rp 25.901,9 miliar dan penerimaan pembangunan sebesar Rp 13.026,0 miliar. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,1 persen dan sasaran pertumbuhan penduduk sebesar 1,54 persen, maka pada akhir tahun anggaran 1997/1998 pendapatan per kapita diperkirakan akan mencapai sekitar US$ 1.201. Kondisi perekonomian nasional dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan berkembang secara dinamis dan mantap, melalui pembenahan aspek struktural ekonomi. Hal ini dilakukan dengan mengurangi dan menghapuskan berbagai distorsi yang menghambat proses produksi dan distribusi barang dan jasa, serta pengelolaan sektor finansial secara lebih akomodatif dan berhati-hati, diharapkan laju inflasi akan dapat dikendalikan, sehingga mendekati angka sasaran Repelita VI sebesar 6 persen per tahun. Namun demikian, dalam rangka untuk memelihara kestabilan ekonomi yang dinamis, tetap diperlukan adanya kebijaksanaan yang lebih berhati-hati, khususnya dalam menangani defisit transaksi berjalan. Dalam tahun anggaran 1997/1998 defisit transaksi berjalan diperkirakan mencapai sebesar US$ 9.798,0 juta, atau sedikit lebih tinggi dari angka tahun anggaran lalu. Peningkatan defisit transaksi berjalan ini terjadi seiring dengan makin meningkatnya kegiatan investasi di dalam negeri, sehingga kebutuhan impor barang modal dan bahan baku/ penolong juga makin meningkat. Oleh karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa, pertumbuhan impor dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan pada tingkat 13,7 persen, sedangkan ekspor diperkirakan tumbuh sebesar 14,0 persen, terutama karena adanya kontribusi dari ekspor nonmigas yang pertumbuhannya diperkirakan akan mencapai sebesar 16,9 persen. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 6 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Kebijaksanaan ekonomi makro dan dinamika ekonomi Indonesia Kebijaksanaan ekonomi makro yang dilaksanakan selama ini dengan tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan, telah membawa perubahan yang mendasar dalam perekonomian Indonesia. Perubahan ini antara lain tercermin pada perubahan struktur ekonomi Indonesia dari suatu struktur yang kurang seimbang ke struktur yang lebih seimbang. Transformasi struktur ekonomi ke arah yang lebih seimbang sangat penting bagi keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia, terutama dalam berakomodasi dan berintegrasi dengan ekonomi global. Transformasi struktur ekonomi ini menyangkut antara lain struktur produk domestik bruto (PDB), struktur penerimaan negara, struktur ekspor, dan struktur investasi. Perubahan atau transformasi struktur PDB Indonesia tercermin dari bergesernya peranan sektor tradisional (pertanian) ke sektor yang lebih modern, seperti sektor industri, perdagangan, dan jasa-jasa. Peranan sektor industri pengolahan dalam PDB telah meningkat dari 9,2 persen dalam tahun 1969 menjadi 24,2 persen pada tahun 1995. Sedangkan peranan sektor pertanian menurun dari 49,3 persen dalam PDB tahun 1969, menjadi 17,2 persen dalam tahun 1995. Struktur PDB yang didominasi sektor pertanian mempunyai beberapa kelemahan, yaitu nilai tukar (terms of trade) produk pertanian relatif rendah dibandingkan dengan produk manufaktur, sehingga penerimaan devisa dari ekspor produk pertanian tidak dapat diandalkan sebagai penerimaan devisa untuk membiayai barang-barang modal yang diimpor. Selain itu, sektor pertanian tumbuh relatif lamban, sehingga tidak dapat diandalkan untuk menyerap tenaga kerja yang tumbuh dengan cepat. Dengan memperhatikan beberapa kelemahan. ini, Pemerintah sejak awal pembangunan telah mengambil beberapa kebijaksanaan yang bertujuan untuk menyeimbangkan alokasi sumber daya antara sektor pertanian dengan sektor industri. Perubahan struktur perekonomian nasional yang menuju keseimbangan antara sektor industri dan sektor pertanian semakin penting dewasa ini, sejalan dengan semakin tingginya integrasi ekonomi Indonesia dengan perekonomian dunia yang cenderung bergerak ke arah perdagangan sektor manufaktur dan jasa. Dengan struktur PDB yang telah mengarah ke sektor industri dan jasa, ekonomi Indonesia diharapkan akan dapat lebih mudah mengakomodasi peristiwa-peristiwa ekonomi internasional. Perubahan struktural lain yang cukup penting menyangkut struktur penerimaan dalam Depertemen Keuangan Republik Indonesia 7 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 negeri. Sampai dengan awal tahun 1980-an, penerimaan dalam negeri sangat didominasi oleh penerimaan migas, misalnya dalam tahun anggaran 1981/1982 peranan penerimaan migas mencapai sebesar 70,9 persen dari total penerimaan dalam negeri. Struktur penerimaan yang semacam ini mempunyai kelemahan yang mendasar yaitu sangat rentan terhadap fluktuasi harga migas di pasar internasional. Kenyataan menunjukkan bahwa harga migas di pasar internasional memang sangat fluktuatif, sehingga penerimaan negara dalam negeri juga menjadi tidak menentu. Keadaan semacam ini pada gilirannya akan mengganggu kestabilan kegiatan pemerintahan baik kegiatan yang bersifat rutin maupun pembangunan, sebagaimana terjadi pada tahun 1986, dimana harga minyak turun ke tingkat paling rendah, yaitu sekitar US$ 9 per barel pada bulan Agustus 1986. Di samping itu, dalam jangka panjang, harga minyak diperkirakan akan cenderung menurun, karena penemuan sumur-sumur minyak baru, penemuan teknologi baru yang hemat energi, serta penemuan teknologi pengganti energi minyak. Selain itu, tingkat produksi minyak Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan OPEC, sehingga tingkat produksi minyak nasional kurang leluasa untuk disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi perekonomian nasional. Mengingat keadaan yang relatif kurang menguntungkan tersebut di alas, Pemerintah telah mengambil langkah antisipatif untuk merubah struktur penerimaan dalam negeri dengan membenahi sistem perpajakan nasional. Dalam kaitan ini telah diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Sementara itu, dalam rangka menggali potensi pajak bumi dari bangunan telah pula diberlakukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dari Bangunan serta Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. Selanjutnya undang-undang tersebut di atas telah disempurnakan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983, serta Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985. Selain itu, sejak 1 April 1996 telah diberlakukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 8 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Pemberlakuan undang-undang tersebut di atas telah berhasil mendorong penerimaan pajak secara berarti. Dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan pajak mencapai sebesar Rp 48.420,4 miliar yang berarti kenaikan sebesar hampir 13 kali dari tahun anggaran 1982/1983. Di samping itu peranan penerimaan pajak terhadap penerimaan dalam negeri juga mengalami peningkatan yang cukup berarti. Jika dalam tahun anggaran 1982/1983 peranan penerimaan pajak terhadap penerimaan dalam negeri adalah sebesar 30,5 persen, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 telah meningkat menjadi sebesar 67,7 persen. Di sisi lain, peranan penerimaan migas terhadap penerimaan dalam negeri terus mengalami penurunan dari dalam tahun anggaran 1995/1996 hanya sebesar 20,8 persen. Terlepas dari keberhasilan tersebut di atas, penerimaan pajak masih perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dari angka tax ratio yaitu rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang masih relatif rendah. Dalam tahun anggaran 1995/1996 angka rasio ini mencapai sebesar 11,8 persen, sementara di negara-negara Asean seperti Singapura telah mencapai sebesar 16,2 persen, Malaysia sebesar 33,4 persen, dari Thailand sebesar 16,1 persen pada tahun 1994. Oleh karena itu, masih perlu ditingkatkan upaya-upaya ke arah peningkatan penerimaan pajak melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan integritas para petugas pajak, serta peningkatan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Perubahan struktur penting lainnya terjadi pada struktur ekspor Indonesia, yaitu dari suatu struktur yang didominasi migas ke struktur dimana peran nonmigas telah lebih dominan. Perubahan struktur ini sangat erat kaitannya dengan strategi kebijaksanaan yang dijalankan Pemerintah. Sebelum tahun 1986, kebijaksanaan yang dijalankan berorientasi ke pasar domestik (inward-looking policy), yaitu bertujuan mendorong industri dalam negeri yang memproduksi barang-barang yang menggantikan barang-barang impor, sehingga akan dapat menghemat devisa. Kebijaksanaan seperti ini dapat dilaksanakan dalam kondisi harga minyak di pasar internasional yang relatif tinggi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan devisa untuk pembayaran transaksi internasional. Namun, turunnya harga minyak pada awal tahun 1980-an menyebabkan Pemerintah menempuh kebijaksanaan yang berorientasi ke pasar luar negeri (outward-looking policy). Untuk tujuan ini, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijaksanaan yang mampu menciptakan iklim investasi yang menarik, serta menjalankan kebijaksanaan nilai tukar yang kondusif untuk mendorong ekspor nonmigas. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 9 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Berbagai kebijaksanaan yang ditempuh, antara lain berupa paket kebijaksanaan 6 Mei 1986 (Pakmei '86), paket kebijaksanaan 25 Oktober 1986 (Pakto '86), paket kebijaksanaan 28 Oktober 1988 (Pakto '88), paket kebijaksanaan 3 Juni 1991 (Pakjun '91), paket kebijaksanaan 6 Juli 1992 (Pakjul '92), paket kebijaksanaan 10 Juni 1993 (Pakjun '93), paket kebijaksanaan 23 Oktober 1993 (Pakto '93) dan paket kebijaksanaan 23 Mei 1995 (Pakmei '95) telah berhasil mendorong ekspor nonmigas berkembang dengan pesat. Dalam tahun anggaran 1995/1996 total ekspor mencapai sebesar US$ 46.296 juta, dengan komposisi ekspor nonmigas sebesar US$ 36.121 juta (78 persen) dan ekspor migas sebesar US$ 10.175 juta (22 persen) migas. Komposisi ini berbeda jauh dengan tahun anggaran 1985/1986 dimana total ekspor mencapai sebesar US$ 18.612 juta dengan komposisi ekspor nonmigas sebesar US$ 6.175 juta (33,2 persen) dan ekspor migas sebesar US$ 12.437 juta (66,8 persen). Selain perubahan tersebut di atas basis ekspor nonmigas telah bergeser dari komoditikomoditi primer (hasil alam) ke komoditi-komoditi sekunder. Bila pada tahun 1970-an hingga 1980-an ekspor nonmigas tergantung pada 5 komoditi utama, yakni minyak bumi, karet olahan, kopi, minyak kelapa sawit, dan timah, maka setelah akhir tahun 1980-an, nilai ekspor mulai didominasi oleh 10 jenis komoditi utama seperti udang (segar/beku), kayu lapis, kayu olahan lainnya, pakaian jadi, alat-alat listrik, karet olahan, alas kaki, kain tenun, tekstil lainnya, serta kertas dan barang dari kertas. Pertumbuhan ekspor nonmigas dalam kurun waktu 1985-1994 cukup menggembirakan, yaitu tumbuh dengan tingkat rata-rata sebesar 18,3 persen per tahun. Namun, dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan ekspor nonmigas relatif mengalami penurunan. Hal ini antara lain disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan di pasar internasional sejalan dengan globalisasi ekonomi dunia. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan upaya-upaya baik dari Pemerintah maupun swasta untuk meningkatkan daya saing produk nasional di pasar internasional. Perubahan mendasar berikutnya adalah perubahan struktur investasi. Pada awal tahun 1981 sebagian besar investasi dilakukan oleh Pemerintah dan peranan sektor swasta relatif kecil. Pada saat itu peranan investasi pemerintah dalam total investasi mencapai sekitar 59 persen, sedangkan swasta hanya sekitar 41 persen. Namun, dalam tahun 1995 peranan pemerintah telah menurun menjadi sekitar 22,7 persen dan sektor swasta menjadi sekitar 77,3 persen. Keadaan struktur yang demikian ini telah membuat ekonomi Indonesia lebih dinamis dan lebih Depertemen Keuangan Republik Indonesia 10 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 berorientasi ke mekanisme pasar yang terkendali, sehingga kegiatan ekonomi bukan lagi digerakkan oleh sektor publik, tetapi sebagian besar digerakkan oleh sektor swasta. Perubahan struktur investasi ini sangat berkait dengan upaya-upaya pemerintah dalam mendorong investasi swasta baik dalam negeri (PMDN), swasta asing (PMA), serta investasi masyarakat bukan PMDN dan PMA. Upaya ini diawali dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970. Struktur ekonomi Indonesia yang telah lebih seimbang tersebut di atas telah memberikan lingkungan yang lebih mudah dalam melaksanakan kebijaksanaan ekonomi makro dalam rangka mencapai Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas. Ketiga unsur ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, walaupun dalam pelaksanaannya terjadi penyesuaian penekanan intensitas pada salah satu unsur sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mungkin dapat dicapai tanpa stabilitas ekonomi yang mantap dan dinamis. Sementara itu, stabilitas juga tidak akan dapat dicapai tanpa adanya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Demikian juga pemerataan pembangunan tidak mungkin tercapai tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Kebijaksanaan ekonomi makro, yaitu kebijaksanaan fiskal, moneter, necara pembayaran, serta kebijaksanaan di sektor riil, yang dilaksanakan selama ini selalu diarahkan untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengendalikan inflasi dan neraca transaksi berjalan, serta untuk mencapai pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang lebih baik. Dalam kaitan ini, kebijaksanaan ekonomi makro tahun anggaran 1997/1998 akan diarahkan untuk mencapai target ekonomi makro dalam Repelita VI, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 7,1 persen per tahun, tingkat inflasi sebesar 6 persen per tahun, defisit transaksi berjalan dalam batas-batas yang aman, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang lebih baik. Kebijaksanaan fiskal, moneter, dan neraca pembayaran di satu pihak dan kebijaksanaan di sektor riil, seperti kebijaksanaan investasi, produksi, serta distribusi di pihak lain, ditujukan untuk mengendalikan perekonomian ke arah yang dikehendaki. Namun, kedua kebijaksanaan ini Depertemen Keuangan Republik Indonesia 11 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 digunakan dengan tujuan yang berbeda. Kebijaksanaan fiskal, moneter, dan neraca pembayaran dimaksudkan untuk mengendalikan perekonomian dari sisi permintaan (demand) dan pada umumnya terjadi dalam jangka pendek (short-term). Sedangkan kebijaksanaan di sektor riil dimaksudkan mengendalikan perekonomian dari sisi penawaran (supply) dan biasanya berdimensi waktu relatif lebih lama (long-term). Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan dari masa lalu, sekarang dan masa datang. Oleh karena itu, isu-isu ekonomi yang dihadapi juga merupakan isu-isu yang saling berkaitan. Isu ekonomi dalam tahun anggaran 1996/1997 berkaitan dengan isu-isu ekonomi yang dihadapi dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya. Dalam tahun anggaran 1995/1996 demikian juga dalam tahun anggaran 1996/1997 isu-isu utama ekonomi makro yang dihadapi adalah masalah suhu ekonomi nasional yang relatif memanas (overheated economy), yang ditandai oleh relatif tingginya tingkat inflasi dan defisit transaksi berjalan yang relatif besar. Dalam tahun anggaran 1994/1995 dan tahun anggaran 1995/1996 inflasi mencapai masing-masing sebesar 8,57 persen dan 8,86 persen, sementara defisit transaksi berjalan meningkat dari sebesar US$ 3.488 juta dalam tahun anggaran 1994/1995 menjadi US$ 6.987,0 juta dalam tahun anggaran 1995/1996 atau meningkat sebesar 100,3 persen. Dalam tahun anggaran 1996/1997, diperkirakan inflasi akan lebih rendah dari tahun anggaran 1995/1996, sedangkan defisit transaksi berjalan diperkirakan akan mencapai sekitar US$ 8.823 juta atau meningkat sebesar 26,3 persen dibanding tahun anggaran sebelumnya. Secara makro, defisit transaksi berjalan dalam tahun anggaran 1996/1997 mencapai 4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Masalah pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan tetap merupakan masalah utama yang dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998. Oleh karena itu, kebijaksanaan ekonomi makro yang ditempuh terutama ditujukan untuk mengendalikan kedua masalah tersebut. Inflasi perlu dikendalikan ke tingkat yang serendah mungkin oleh karena inflasi menyangkut kesejahteraan seluruh rakyat. Inflasi yang tinggi akan menurunkan daya beli (purchasing power) dari masyarakat terutama mereka yang berpenghasilan relatif tetap. Selain itu, inflasi juga menurunkan daya saing produk-produk nasional, karena inflasi yang tinggi berarti biaya produksi juga akan naik dan pada gilirannya akan tercermin pada harga produk yang tinggi. Sementara itu, defisit transaksi berjalan perlu terus dikendalikan oleh karena defisit transaksi Depertemen Keuangan Republik Indonesia 12 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 berjalan merupakan cerminan dari kewajiban suatu negara terhadap dunia luar. Hal ini terjadi karena nilai impor barang-barang dan jasa-jasa yang merupakan kewajiban terhadap dunia luar lebih besar daripada nilai ekspor yang merupakan kemampuan untuk membiayai impor tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, kewajiban suatu negara terhadap dunia luar secara bertahap perlu diturunkan, yaitu dengan mengusahakan penurunan defisit transaksi berjalan, yang dicerminkan oleh nilai ekspor barang-barang dan jasa-jasa yang meningkat lebih tinggi dari peningkatan nilai impor barang-barang dan jasa-jasa. Pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan sangat penting dan menentukan bagi suatu negara, oleh karena kedua unsur ini merupakan pencerminan dari kestabilan ekonomi internal dan eksternal. Inflasi yang tinggi dan tidak terkendali, berarti harga barang-barang dan jasa-jasa mengalami kenaikan yang tinggi dan tidak terkendali. Keadaan ini akan menciptakan ketidakpastian harga input dan output, yang selanjutnya akan dapat menghambat kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa, yang pada gilirannya akan membahayakan perekonomian masyarakat. Di sisi lain, defisit transaksi berjalan yang meningkat terus dan tidak terkendali dapat menimbulkan berbagai isu devaluasi. Isu devaluasi tersebut selanjutnya akan mendorong spekulasi di pasar valuta asing yang tercermin dalam bentuk ketidakstabilan dan kegoncangan di pasar valuta asing. Hal ini pada gilirannya akan mengganggu sektor produksi terutama barang-barang produksi untuk ekspor. Apabila ekspor terganggu berarti defisit transaksi berjalan akan semakin melebar, dan ini selanjutnya akan memperkuat goncangan yang telah terjadi di pasar valuta asing. Tingginya inflasi dan meningkatnya defisit transaksi berjalan disebabkan terutama oleh meningkatnya permintaan agregat yang tidak dibarengi dengan meningkatnya penawaran agregat. Permintaan agregat yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah uang beredar, dapat mengalami peningkatan dalam waktu sangat singkat, tetapi penawaran agregat yang ditunjukkan oleh besarnya arus barang relatif tetap dalam waktu singkat, karena menyangkut kapasitas produksi. Dengan demikian dalam jangka pendek, pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan dilakukan dengan pengendalian permintaan agregat. Peningkatan permintaan agregat terjadi karena adanya peningkatan belanja akan konsumsi dan investasi oleh masyarakat dan Pemerintah. Dalam kaitan ini, perilaku belanja pemerintah ditentukan oleh kebijaksanaan pemerintah sendiri, dengan memperhatikan batasan pendapatannya (budget constraint). Depertemen Keuangan Republik Indonesia 13 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Sedangkan perilaku belanja masyarakat ditentukan oleh daya belinya yang terutama berasal dari jumlah uang yang dikuasainya. Oleh karena itu, secara garis besar, konsumsi dan investasi masyarakat dapat dikendalikan dengan kebijaksanaan moneter, sedang konsumsi dan investasi pemerintah dapat dikendalikan dengan kebijaksanaan fiskal. Upaya penurunan permintaan agregat masyarakat dilakukan dengan menurunkan tingkat pertumbuhan uang beredar melalui kebijaksanaan moneter, seperti ketentuan giro wajib minimum (GWM), pengaturan suku bunga diskonto, operasi pasar terbuka, serta melalui himbauan (moral suasion). Operasi pasar terbuka dilakukan Bank Indonesia setiap hari kerja dengan menjual sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menurunkan jumlah uang beredar, dan membeli surat berharga pasar uang (SBPU) untuk menambah jumlah uang beredar. Di samping itu, untuk menurunkan jumlah uang beredar, Bank Indonesia juga dapat melakukannya dengan menaikkan GWM atau sebaliknya untuk menaikkan jumlah uang beredar dilakukan dengan menurunkan GWM. Sebagaimana diketahui sejak 1 Februari 1996, GWM telah dinaikkan menjadi 3 persen dari yang berlaku sebelumnya yaitu sebesar 2 persen, dan akan dinaikkan lagi menjadi sebesar 5 persen mulai 1 April 1997. Agar dapat mencapai tujuannya dengan efektif kebijaksanaan moneter yang ketat harus didukung oleh kebijaksanaan fiskal yang ketat (kontraktif) pula. Oleh karena itu, dalam tahun anggaran 1997/1998 akan dilaksanakan kebijaksanaan fiskal yang kontraktif, yaitu dengan mengintensifkan penerimaan negara dan diikuti dengan pengeluaran yang seefisien mungkin. Pengeluaran pembangunan akan diarahkan ke sektor-sektor yang strategis dan mempunyai dampak multiplier yang besar bagi perekonomian nasional, seperti pembangunan infrastruktur yang mendukung upaya pengembangan industri, terutama yang menghasilkan barang ekspor dan mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Pengeluaran rutin akan dilaksanakan seefisien mungkin, tanpa mengurangi kualitas pelayanan aparat pemerintah kepada masyarakat. Kebijaksanaan fiskal yang kontraktif akan dapat meningkatkan tabungan pemerintah, serta diupayakan akan terbentuk sisa anggaran lebih (SAL) yang lebih besar, yang antara lain dapat dipergunakan untuk percepatan pembayaran hutang luar negeri pemerintah terutama yang berbunga relatif tinggi. Dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kebijaksanaan ekonomi makro diarahkan untuk mengendalikan sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran Depertemen Keuangan Republik Indonesia 14 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 (supply) dari perekonomian. Dalam jangka pendek (short-term), pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh sisi permintaan, sedangkan dalam rentang waktu yang lebih panjang (longterm) pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh sisi penawaran seperti tingkat investasi, produktivitas, sumber daya manusia dan lainnya. Interaksi sisi permintaan dan sisi penawaran akan menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dengan demikian mengendalikan perekonomian harus dilakukan seeara hati-hati dan bijaksana, karena kedua besaran yaitu pertumbuhan dan inflasi dapat bergerak ke arah yang tidak diinginkan. Pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi akan dapat menghasilkan tingkat inflasi yang tinggi, sebaliknya upaya penekanan inflasi yang serendah mungkin, akan dapat berakibat tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah. Untuk mengendalikan perekonomian dalam jangka pendek (tahunan), Pemerintah telah menjalankan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati dan proaktif. Kebijaksanaan moneter ditujukan terutama untuk mempengaruhi belanja masyarakat, baik untuk konsumsi maupun investasi yang penentu utamanya adalah jumlah uang yang dipegang masyarakat (jumlah uang beredar). Sedangkan jumlah uang beredar yang diukur dengan M2 (likuiditas perekonomian) ditentukan antara lain oleh jumlah kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan dan jumlah aliran dana dari luar negeri. Pengendalian jumlah uang beredar sangat penting, karena di satu pihak merupakan penentu pertumbuhan atau kegiatan ekonomi nasional, dan di pihak lain sebagai penentu tingkat inflasi. Jumlah uang beredar yang terlalu sedikit akan menurunkan aktivitas perekonomian, namun jumlah uang beredar yang melampaui kebutuhan ekonomi nasional akan mendorong naiknya inflasi. Oleh karena itu, jumlah uang beredar ini perlu dikendalikan secara hati-hati dan tepat. Dalam rangka meningkatkan efektivitas sektor moneter dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengendalikan inflasi, sejak 1 Juni 1983 telah dikeluarkan kebijaksanaan yang antara lain memberi kebebasan bagi perbankan untuk menentukan suku bunga yang semula di bawah kendali pemerintah dan kemudahan bagi masyarakat untuk mendirikan bank, usaha asuransi, dana pensiun, serta lembaga pembiayaan. Dalam kaitan ini, telah diberlakukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Selain itu melalui Depertemen Keuangan Republik Indonesia 15 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Keppres Nomor 61 Tahun 1988 telah diletakkan dasar bagi pengembangan lembaga pembiayaan. Kebijaksanaan tersebut di atas telah berhasil mendorong perkembangan industri perbankan, industri asuransi, dana pensiun, pasar modal dan lembaga pembiayaan. Sampai dengan bulan Oktober 1996 jumlah bank umum mencapai 239 buah, sedangkan bank perkreditan rakyat mencapai sebanyak 7.834 buah. Dana perbankan yang berhasil dihimpun sampai dengan bulan Oktober 1996 mencapai Rp 260.661,8 miliar, yang terdiri dari giro sebesar Rp 52.566,2 miliar, deposito sebesar Rp 150.047,7 mi1iar, dan tabungan sebesar Rp 58.047,9 mi1iar. Sementara itu, dalam periode yang sama kredit perbankan yang disalurkan telah mencapai Rp 278.099 miliar. Selanjutnya dalam tahun 1995 total aset industri asuransi mencapai Rp 17.269,8 miliar, dan nilai investasi sebesar Rp 13.441,5 miliar. Sedangkan total aset Dana Pensiun dalam tahun 1995 mencapai sekitar Rp 14.254,1 miliar, dan nilai investasi mencapai sekitar Rp 10.072,5 miliar. Total aset lembaga pembiayaan (tidak termasuk modal ventura) dalam tahun 1995 mencapai Rp 23.899,0 mi1iar, dan nilai investasi sebesar Rp 18.719,0 miliar. Dalam pada itu, peranan pasar modal dalam menghimpun dana, antara lain dapat dilihat dari nilai kumulatif emisi saham dan obligasi yang sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 mencapai masing-masing sebesar Rp 49.801,4 miliar dan Rp 11.535,5 miliar. Untuk mempengaruhi sisi penawaran, Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan di bidang investasi, produksi, serta distribusi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan distribusi barang. Kebijaksanaan untuk mendorong investasi yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing membawa perubahan yang cukup menarik bagi investor asing, dimana dalam rangka usaha patungan investor asing diperbolehkan menguasai saham hingga 95,0 persen. Selain itu, bidang-bidang usaha yang vital seperti pelabuhan, produksi dan transmisi, serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api, pembangkit tenaga atom dan media massa, dibuka untuk investor asing dengan persyaratan tertentu. Dalam rangka mendorong investasi, pada saat ini Pemerintah sedang berusaha menyempurnakan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. Selanjutnya, Pemerintah juga telah menyusun program pembangunan industri yang Depertemen Keuangan Republik Indonesia 16 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 terdiri dari tiga program pokok, yaitu program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah, program peningkatan kemampuan teknologi industri, dan program penataan struktur industri. Untuk mendukung pelaksanaan program tersebut telah ditetapkan program penunjang yang terdiri atas program pengendalian pencemaran lingkungan hidup, program pengembangan informasi industri, program pendidikan, pelatihan dan penyusunan industri, serta program penelitian dan pengembangan industri. Program-program tersebut dimaksudkan untuk mendorong industri nasional menjadi industri yang handal, efisien dan mempunyai daya saing di pasar internasional. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi perlu diikuti oleh pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Dalam kaitan ini, Pemerintah telah melaksanakan program pembinaan usaha kecil (PUK) mengingat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia berada dan tergantung pada usaha kecil. Salah satu bentuk bantuan yang diberikan Pemerintah adalah berupa perluasan akses permodalan melalui skim perkreditan. Sampai dengan akhir tahun 1995, nilai kredit usaha kecil (KUK) yang disalurkan telah mencapai Rp 40,9 triliun kepada 6,5 juta pengusaha kecil. Sedangkan nilai kredit umum pedesaan (Kupedes) yang disalurkan dalam tahun anggaran 1995/1996 mencapai Rp 3,3 triliun kepada 2,3 juta pengusaha kecil di pedesaan. Selain itu, kemitraan usaha antara pengusaha kecil dengan BUMN juga mengalami kemajuan yang besar. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan laba BUMN yang disalurkan untuk pembinaan usaha kecil, yang dalam tahun 1995 mencapai sebesar Rp 397,5 miliar dengan jumlah pengusaha kecil yang menjadi mitra usaha besar mencapai 68.500 orang. Sementara itu, melalui program Inpres desa tertinggal (lOT) dalam tahun anggaran 1995/1996 juga telah diberikan bantuan langsung kepada 22.094 desa masing-masing sebesar Rp 20 juta per desa. Keterkaitan ekonomi Indonesia dengan perkembangan ekonomi dunia Sistem perekonomian terbuka yang dianut oleh Indonesia, menyebabkan perekonomian Indonesia tidak dapat menghindar dari setiap perkembangan yang terjadi dalam perekonomian dunia, dan membawa konsekuensi adanya keterkaitan yang erat, baik melalui arus barang, jasa maupun arus modal. Sebagaimana halnya arus modal, arus barang dan jasa memiliki peranan yang penting dalam perekonomian nasional, seperti terlihat pada peranan (rasio) ekspor dan impor terhadap PDB, yang dalam tahun 1995 mencapai masing-masing sebesar 26,02 persen dan 25,23 persen. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 17 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Ekspor sangat penting dalam menunjang pembangunan perekonomian Indonesia, karena ekspor tidak saja sebagai sumber penerimaan devisa tetapi juga sebagai perluasan pasar bagi produksi barang-barang domestik dan penyerap tenaga kerja. Selain tingkat daya saing barangbarang ekspor itu sendiri, faktor penting lainnya yang mempengaruhi kinerja ekspor nasional adalah tingkat pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya tingkat pertumbuhan ekonomi di negara mitra dagang utama Indonesia. Data tahun 1995 menunjukkan bahwa sebesar 50,2 persen dari seluruh ekspor Indonesia ditujukan ke tujuh negara industri utama, sebesar 41 persen ke negaranegara berkembang, sedangkan sisanya sebesar 8,8 persen ke negara-negara dalam transisi. Sementara itu, lima negara yang merupakan tujuan utarna ekspor Indonesia antara lain adalah Jepang (27,1 persen), Amerika Serikat (14 persen), Singapura (8,3 persen), Korea Selatan (6,4 persen), dan Taiwan (3,8 persen). Diperkirakan distribusi tujuan utarna ekspor Indonesia tidak akan banyak mengalami perubahan dalam beberapa tahun mendatang. Menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya negara-negara mitra dagang utama Indonesia, sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kecenderungan naik turunnya permintaan terhadap barang-barang ekspor Indonesia, maka perlu terus menerus dicermati perkembangannya dalam upaya mengarnbil manfaat yang sebaik mungkin, serta menghindarkan dampak yang merugikan. Pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1994 dan 1995, cukup tinggi yaitu masing-masing sebesar 3,7 persen dan 3,5 persen. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1996 akan sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar 3,8 persen. Negaranegara berkembang secara keseluruhan diperkirakan tetap meraih laju pertumbuhan yang paling kuat di antara kelompok-kelompok negara lainnya, yaitu sebesar 6,3 persen, dengan laju inflasi yang menurun menjadi 13,3 persen. Untuk kelompok negara-negara industri, dalam tahun 1995 mencapai laju pertumbuhan sebesar 2,1 persen, sedangkan dalam tahun 1996 diperkirakan mengalami pertumbuhan yang sedikit menguat menjadi 2,3 persen, dengan tingkat inflasi sebesar 2,3 persen. Tingkat inflasi yang relatif rendah ini mengindikasikan bahwa masih cukup ruang bagi negara-negara maju untuk mendorong ekonominya untuk tumbuh lebih kuat. Di sisi lain, situasi perekonomian di kelompok negara-negara transisi terus membaik dan aktivitas ekonomi dalam tahun 1996 cukup stabil setelah lima tahun mengalami kemerosotan. Sejumlah negara diperkirakan akan dapat mencapai laju pertumbuhan di atas 5 persen, seperti Republik Ceko, Polandia, Republik Slowakia, dan Georgia. Secara keseluruhan negara-negara Depertemen Keuangan Republik Indonesia 18 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 transisi dalam tahun 1996 ini diperkirakan mulai mampu mencapai laju pertumbuhan positif, yaitu sebesar 0,4 persen, setelah tahun-tahun sebelumnya selalu berada dalam pertumbuhan yang negatif. Inflasi rata-rata di negara-negara transisi dalam tahun 1996 diperkirakan mengalami penurunan menjadi 41,3 persen. Namun perlu diwaspadai, walaupun pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1996 diproyeksikan lebih baik dari tahun sebelumnya, volume perdagangan dunia diperkirakan mengalami penurunan dari 8,9 persen menjadi 6,7 persen. Sementara itu, dalam tahun 1997 pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan cukup tinggi, yaitu dengan laju pertumbuhan sebesar 4, 1 persen. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya dorongan dari pertumbuhan yang tinggi di kelompok negara-negara transisi, yang diproyeksikan sebesar 4 persen dibandingkan dengan tahun 1996 yang hanya mencapai 0,4 persen. Negara-negara industri secara kelompok, pertumbuhan ekonominya diproyeksikan meningkat menjadi 2,5 persen. Sedangkan negara-negara berkembang diproyeksikan akan meraih laju pertumbuhan yang hampir sama dengan tahun 1996, yaitu sebesar 6,2 persen. Seirama dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat, volume perdagangan dunia dalam tahun 1997 diramalkan kembali meningkat menjadi sebesar 7,2 persen. Membaiknya pertumbuhan ekonomi dunia yang diikuti pula oleh meningkatnya volume perdagangan internasional, akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi perekonomian negaranegara berkembang pada umumnya dan Indonesia khususnya. Sementara itu, tanda-tanda pemulihan ekonomi Jepang mulai kelihatan pada tahun 1995. Meskipun produksi nasional selama tahun 1995 tumbuh sedikit di bawah 1 persen, namun pertumbuhan yang cukup kuat dalam kuartal pertama tahun 1996 telah mengindikasikan bahwa pemulihan ekonomi yang sudah lama ditunggu-tunggu itu kini tampak semakin nyata. Langkahlangkah yang diambil oleh pemerintah Jepang untuk memberikan rangsangan fiskal di samping penurunan tingkat bunga diskonto selama tahun 1995, telah memberikan sumbangan besar bagi pemulihan ekonomi negara tersebut, yang dalam tahun 1996 diperkirakan tumbuh sebesar 3,5 persen. Amerika Serikat, yang melakukan pengetatan moneter dalam tahun 1994 untuk meredam inflasi yang dirasakan meningkat, mengalami perlambatan laju pertumbuhan menjadi sebesar 2 persen dalam tahun 1995 dibandingkan sebesar 3,5 persen dalam tahun sebelumnya. Namun demikian, di awal tahun 1996 tanda-tanda menguatnya pertumbuhan kembali telah mulai kelihatan. Hal ini tercermin dari respon perekonomian negara tersebut terhadap beberapa Depertemen Keuangan Republik Indonesia 19 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kali penurunan tingkat bunga jangka pendek sejak pertengahan Juli 1995, dan juga oleh adanya penurunan tingkat bunga obligasi dalam tahun tersebut. Perekonomian Amerika Serikat dalam tahun 1996 diperkirakan tumbuh sebesar 2,4 persen. Dalam pada itu, perekonomian di sejumlah negara-negara Asia yang menjadi mitra dagang penting Indonesia, seperti negara-negara ASEAN, Korea Selatan, Cina, dan Hongkong, diperkirakan tetap meraih tingkat pertumbuhan yang cukup baik dalam tahun 1996. Negaranegara tersebut telah melakukan langkah-langkah pengetatan kondisi moneter dan perkreditan, dalam upaya memperlambat laju pertumbuhan dan meredam tekanan-tekanan inflasi. Selain dari arus barang dan jasa, keterkaitan ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia terjadi melalui arus modal. Karena sifatnya yang sangat sensitif, baik yang disebabkan oleh faktor ekonomi maupun nonekonomi, menyebabkan arus modal tersebut dapat mempengaruhi kinerja pasar uang dan pasar modal setiap negara. Dalam semester pertama tahun 1996, setelah terjadinya krisis Meksiko, aliran modal neto ke negara berkembang pulih kembali, meskipun disparitas aliran modal di antara kawasan-kawasan negara berkembang tetap berlangsung. Selama tahun 1995, aliran modal neto ke negara-negara berkembang tercatat sebesar US$ 166,7 miliar, yang terdiri atas investasi asing langsung (FDI) sebesar US$ 73,6 miliar, investasi portofolio sebesar US$ 35,7 miliar, dan investasi lainnya sebesar US$ 57,4 miliar. Negara berkembang kawasan Asia tetap merupakan penerima aliran modal yang terbesar dengan nilai sebesar US$ 98 miliar, disusul kemudian oleh kawasan Amerika Latin sebesar US$ 38,9 miliar, Timur Tengah dan Eropa sebesar US$ 15,4 miliar, dan kawasan Afrika sebesar US$ 14,4 miliar. Sementara itu, arus modal neto ke Indonesia dalam bentuk investasi langsung, tidak termasuk investasi portofolio, selama tahun anggaran 1995/1996 tercatat sebesar US$ 5,4 miliar. Tantangan ekonomi Indonesia dalam tahun anggaran 1997/1998 Pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1994 mencapai sebesar 7,5 persen, dan tahun 1995 sebesar 8,2 persen. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi seperti ini, total PDB tahun 1995 telah meningkat menjadi Rp 452,4 triliun dibandingkan dengan tahun 1994 sebesar Rp 382,2 triliun. Dengan demikian jika PDB pada tahun 1995 dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah lebih kurang 194 juta, maka pendapatan per kapita yang diukur berdasarkan angka PDB akan mencapai sekitar Rp 2.332,0 ribu, atau sekitar US$ 1.024 (sekitar Depertemen Keuangan Republik Indonesia 20 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 11,3 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan per kapita tahun 1994 sebesar US$ 920). Walaupun berbagai indikator makro maupun mikro menunjukkan kecenderungan yang positif, sikap kehati-hatian dalam pengelolaan ekonomi makro masih mutlak dan harus terus dilanjutkan dalam menghadapi tantangan yang akan dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998 dan tahun-tahun mendatang. Dengan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan sebesar 7,1 persen rata-rata per tahun selama Repelita VI, diperkirakan tahun 1996, walaupun tidak setinggi tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 1995, pertumbuhan ekonomi akan melebihi tingkat pertumbuhan yang ditargetkan. Sejalan dengan proses pendinginan ekonomi yang dilakukan selama tahun 1996, tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 1997 diproyeksikan sebesar 7,1 persen yaitu sesuai dengan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam Repelita VI. Dengan masih tetap tingginya perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut, maka pemenuhan kebutuhan dana untuk investasi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, perlu diupayakan seoptimal mungkin guna tercapainya sasaran pembangunan nasional yang berkelanjutan. Selanjutnya, dengan mengacu pada perkembangan ekonomi nasional tahun anggaran 1996/1997, dan dengan memperhatikan faktor eksternal, utamanya dalam menghadapi era globalisasi, maka ekonomi nasional menghadapi beberapa tantangan yang perlu dihadapi dan dipecahkan secara hati-hati dan bijaksana. Di bidang fiskal, tantangan yang paling mendasar adalah upaya peningkatan tabungan pemerintah, khususnya melalui upaya meningkatkan penerimaan dari sektor pajak. Kendala yang menonjol dalam upaya meningkatkan penerimaan dari sektor tersebut adalah masih relatif rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Namun demikian, melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (aparat) perpajakan, diharapkan peranan penerimaan pajak, yang rasionya terhadap PDB masih relatif kecil, akan semakin meningkat di masa-masa mendatang. Sementara itu, pertumbuhan tabungan/dana masyarakat yang dihimpun oleh sektor perbankan, baik dalam bentuk giro, tabungan, maupun deposito berjangka, dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan tetap tinggi, sehingga tabungan masyarakat tersebut Depertemen Keuangan Republik Indonesia 21 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan investasi. Kondisi ini antara lain didukung oleh semakin beragamnya produk simpanan yang ditawarkan, meluasnya jaringan kantor bank, dan penggunaan teknologi yang semakin canggih, serta pelayanan yang semakin profesional. Namun, upaya penghimpunan tabungan masyarakat ini perlu terus ditingkatkan, agar dana-dana masyarakat yang masih menganggur atau digunakan ke sektor-sektor yang kurang produktif, seperti spekulasi tanah dan spekulasi lainnya dapat dimobilisasi ke sektor-sektor produktif melalui perbankan. Di bidang moneter, tantangan yang dihadapi pada tahun anggaran 1997/1998 adalah untuk tetap menjaga kestabilan moneter, terutama dalam hal pengendalian permintaan domestik untuk dapat tumbuh dalam batas-batas daya dukung kapasitas produksi nasional. Dengan demikian kebijaksanaan moneter dalam tahun anggaran 1997/1998 akan tetap dilakukan dengan hati-hati dan diarahkan untuk mengendalikan pertumbuhan besaran-besaran moneter seperti uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), kredit perbankan, laju inflasi, dan arus modal masuk dari luar negeri yang berlebihan. Selain tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat yang dihimpun melalui sektor perbankan, tabungan masyarakat yang dihimpun melalui pasar modal juga semakin penting. Walaupun pasar modal Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang semakin baik dari tahun ke tahun, namun masih diperlukan upaya yang lebih giat dan keras untuk meningkatkan kinerja pasar modal Indonesia. Pasar modal sangat penting dalam mendukung pembangunan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu merupakan tantangan yang sangat serius bagi semua pihak yang berkaitan dengan pasar modal, untuk menjadikan pasar modal Indonesia menjadi suatu pasar modal yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, mendorong pemerataan pendapatan, serta mampu bersaing dengan pasar modal negara-negara lainnya. Tantangan lain yang cukup berat dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah upaya untuk meningkatkan ekspor, khususnya ekspor nonmigas. Dalam tahun anggaran 1996/1997 tantangan yang dihadapi perekonomian nasional di sektor perdagangan luar negeri terasa berat, yang antara lain disebabkan melemahnya volume perdagangan dunia, meningkatnya persaingan di pasar dunia, serta makin banyaknya aturan atau persyaratan dalam perdagangan internasional. Kondisi tersebut perlu lebih dicermati lagi mengingat masih belum optimalnya pelaksanaan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang pada Depertemen Keuangan Republik Indonesia 22 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 gilirannya dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekspor secara keseluruhan, utamanya ekspor nonmigas. Untuk itu, selama tahun anggaran 1996/1997 telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ekspor seperti diluncurkannya paket deregulasi pada bulan Juni 1996 yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan sebelumnya di bidang impor, ekspor dan investasi. Selain itu, telah disederhanakan pula prosedur untuk mendapatkan fasilitas pembebasan, pengembalian dan penangguhan pungutan negara bagi eksportir yang menggunakan bahan baku/penolong dan atau barang modal impor dalam memproduksi komoditi ekspor. Namun demikian, mengingat kompetisi perdagangan internasional cenderung semakin meningkat apalagi dengan makin mendekatnya pelaksanaan kesepakatan AFTA pada tahun 2003, maka tantangan untuk meningkatkan ekspor, khususnya nonmigas dalam tahun anggaran 1997/1998 akan menjadi perlu lebih diperhatikan dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya. Dalam skala yang lebih makro, dengan relatif turunnya laju pertumbuhan ekspor nonmigas, dan dibarengi dengan relatif menaiknya impor barang modal maupun barang konsumsi, dan transaksi jasa-jasa yang defisit, menyebabkan defisit transaksi berjalan menjadi relatif kurang menggembirakan. Defisit transaksi berjalan tahun anggaran 1995/1996 mencapai sebesar US$ 6.987 juta, atau telah meningkat menjadi sekitar dua kali lipat dibandingkan dengan defisit tahun anggaran sebelumnya yang sebesar US$ 3.488 juta. Dengan kondisi yang demikian, maka dalam tahun mendatang tantangan untuk menjaga agar posisi transaksi berjalan tetap aman adalah suatu pekerjaan yang perlu lebih diperhatikan. Sementara itu, dalam kaitannya. dengan terus berlangsungnya proses globalisasi di berbagai sektor yang dicerminkan dengan semakin intensifnya kerjasama antarbangsa, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), APEC di kawasan Asia Pasifik, dan AFTA di kawasan Asia Tenggara dalam mewujudkan arus lalu lintas perdagangan internasional yang bebas dari hambatan tarif dan nontarif, tentunya merupakan suatu tantangan tersendiri bagi perekonomian Indonesia. Dalam era globalisasi tersebut, tantangan yang paling besar yang akan dihadapi adalah berbagai penyesuaian dan perubahan terhadap aturan atau kebijaksanaan nasional dalam rangka memenuhi komitmen internasional. Dewasa ini gejala ke arah itu sudah mulai terlihat, rnisalnya dengan semakin banyaknya pas-pas tarif barang impor yang diturunkan bea masuknya secara bertahap hingga mendekati nol persen, serta persyaratan tentang standarisasi mutu/kualitas dan ecolabelling. Sedangkan tantangan lainnya yang juga cukup meminta Depertemen Keuangan Republik Indonesia 23 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 perhatian dalam upaya meningkatkan ekspor nonmigas, adalah adanya tuduhan dari beberapa negara mitra dagang bahwa Indonesia telah melakukan kebijaksanaan dumping dalam upaya merebut pasar ekspor. Tantangan lainnya yang sejalan dengan akan berlakunya komitmen tentang perdagangan bebas, adalah perlunya upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas di berbagai sektor usaha dalam rangka meningkatkan daya saing produk ekspor nonmigas Indonesia di pasar luar negeri. Walaupun diketahui bahwa upaya meningkatkan daya saing tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah seperti dengan diluncurkannya berbagai kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang utamanya bertujuan untuk mengurangi "high cost economy" dan meningkatkan kemudahan berusaha, namun mengingat pada waktu yang bersamaan negaranegara pesaing, khususnya negara-negara di kawasan Asia seperti Malaysia, Thailand dan India juga mengeluarkan kebijaksanaan yang sama, maka tantangan peningkatan daya saing tersebut terasa akan semakin berat pada tahun mendatang. Akhirnya, tantangan yang paling penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi pada tahun anggaran 1997/1998 dan tahun-tahun mendatang, khususnya dalam menghadapi abad ke-21 yang identik dengan era globalisasi adalah tantangan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pada abad mendatang, sebagai konsekuensi logis dari proses globalisasi, maka tingkat persaingan akan semakin tajam, baik di pasar domestik maupun internasional, dan tidak hanya terbatas pada persaingan dalam memasarkan barang, tetapi juga jasa. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik yang menyangkut bidang pendidikan, kesehatan, dan perluasan kesempatan kerja adalah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi pelaksanaannya. RAPBN 1997/1998 RAPBN 1997/1998 disusun dengan hati-hati dan realistis, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis. Dengan memperhatikan berbagai faktor yang berkembang baik dalam dinamika ekonomi nasional maupun internasional, serta asumsi-asumsi yang diperkirakan akan terjadi, maka RAPBN 1997/1998 disusun secara berimbang pada tingkat Rp 101.086,7 miliar atau meningkat sebesar 11,6 persen dibandingkan APBN 1996/1997 yang sebesar Rp 90.616,4 miliar. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 24 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Di sisi anggaran pendapatan negara, penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan direncanakan masing-masing sebesar Rp 88.060,7 miliar (peningkatan sebesar 12,6 persen dari APBN 1996/1997) dan Rp 13.026,0 miliar (meningkat sebesar 4,9 persen dari APBN 1996/1997). Selanjutnya penerimaan dalam negeri yang mencakup penerimaan migas dan penerimaan di luar migas diperkirakan mencapai masing-masing sebesar Rp 14.871,1 miliar dan Rp 73.189,6 miliar, yang berarti suatu kenaikan masing-masing sebesar 5,3 persen dan 14,2 persen dari tahun anggaran sebelumnya. . Sementara itu, sektor penerimaan nonmigas terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan perpajakan yang terdiri dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPn BM), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak ekspor, dan pajak lainnya, serta penerimaan bea masuk dan cukai, diperkirakan akan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan negara yang direncanakan. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, bagian pemerintah atas laba BUMN dan penerimaan dari laba bersih minyak diperkirakan juga akan dapat ditingkatkan. Komponen penerimaan perpajakan yang utama berasal dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah diperkirakan akan mencapai masing-masing sebesar Rp 29.117,7 miliar dan Rp 24.601,4 miliar. Selanjutnya, penerimaan pembangunan yang dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan mencapai Rp 13.026,0 miliar seluruhnya berbentuk bantuan proyek, sehingga sebagaimana halnya dengan beberapa tahun anggaran sebelumnya, dalam tahun anggaran 1997/1998 juga tidak terdapat penerimaan pembangunan yang berasal dari bantuan program. Dari sisi belanja negara, pengeluaran rutin dan pembangunan dalam RAPBN 1997/1998 diperkirakan akan mencapai masing-masing sebesar Rp 62.158,8 miliar dan Rp 38.927,9 miliar. Dengan komposisi tersebut maka pengeluaran rutin dan pembangunan telah mengalami peningkatan sebesar 10,8 persen dan 12,8 persen dari APBN 1996/1997. Pengeluaran rutin tersebut akan dialokasikan untuk belanja pegawai sebesar Rp 21.192,0 miliar atau naik sebesar 15,9 persen dibanding tahun anggaran sebelumnya, untuk belanja barang sebesar Rp 8.895,2 miliar, subsidi daerah otonom sebesar Rp 11.535,8 miliar, pembayaran bunga dan cicilan hutang sebesar Rp 19.570,9 miliar, dan untuk membiayai pengeluaran rutin lainnya sebesar Rp 964,9 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 25 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 miliar. Pengeluaran pembangunan sebagai salah satu unsur utama RAPBN 1997/1998 diperkirakan akan mencapai sebesar Rp 38.927,9 miliar, yang berarti peningkatan sebesar 12,8 persen dibanding APBN 1996/1997. Pembiayaan pengeluaran pembangunan tersebut berasal dari tabungan pemerintah sebesar Rp 25.901,9 miliar dan bantuan proyek sebesar Rp 13.026,0 miliar. Pengeluaran pembangunan yang berupa pembiayaan rupiah dialokasikan pada departemen/lembaga pemerintah nondepartemen (termasuk Hankam) sebesar Rp 14.914,6 miliar, bantuan pembangunan daerah (termasuk pembangunan daerah melalui penerimaan PBB) sebesar Rp 9.910,1 miliar, dan lain-lain pengeluaran pembangunan sebesar Rp 1.077,2 miliar. Penutup Pembangunan nasional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam mengejar ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Di samping itu, pembangunan nasional yang dijabarkan dalam RAPBN 1997/1998 bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antargolongan masyarakat dan antardaerah sebagai akibat dari adanya perbedaan laju kegiatan masing-masing sektor perekonomian. Tujuan tersebut hanya dapat diwujudkan apabila program-program pembangunan direncanakan dan dilaksanakan secara baik dengan mengacu pada peningkatan efektivitas dan efisiensi. RAPBN 1997/1998 merupakan salah satu sarana yang menggerakkan roda perekonomian nasional, menuju terciptanya ekonomi nasional yang tangguh, stabil, dan efisien. Namun demikian, RAPBN 1997/1998 hanya merupakan sebagian instrumen dari upaya bangsa Indonesia membangun perekonomiannya dan mengalokasikan sumber-sumber daya ekonomi secara tepat dari sektor pemerintah, yang perlu didukung dengan partisipasi aktif sektor swasta. Menyadari bahwa kemampuan anggaran negara masih terbatas, pembangunan nasional didasarkan pada skala prioritas yang ketat yaitu untuk melanjutkan program-program yang masih belum terselesaikan, seraya mempersiapkan landasan baru yang lebih kukuh bagi pelaksanaan pembangunan tahap berikutnya guna mencapai cita-cita nasional. Pembangunan nasional yang melibatkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, terutama sektor swasta sebagai pelaku utama perekonomian nasional yang akan secara langsung menghadapi Depertemen Keuangan Republik Indonesia 26 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 arus globalisasi perdagangan dan investasi, akan lebih menampakkan hasil-hasil yang lebih positif. Penyempurnaan-penyempurnaan dan pembenahan-pembenahan dalam sektor-sektor yang lemah dalam perekonomian nasional perlu terus menerus dilakukan melalui berbagai kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di sektor riil maupun sektor finansial. Kesemuanya itu didasarkan pada keinginan luhur untuk membawa bangsa Indonesia ke tingkat kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih tinggi agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah lebih maju, serta siap untuk memasuki arena persaingan global dengan kualitas sumber daya manusia yang lebih tinggi. Dengan demikian harapan bangsa Indonesia untuk menyongsong hari depan yang lebih baik dan lebih cerah akan dapat segera terwujud. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 27 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 BAB II ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 2.1. Pendahuluan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah rincian rencana kegiatan of erasion a.l. pemerintahan dan pembangunan yang dinyatakan dalam rupiah, dan merupakan penjabaran dari GBHN dan Repelita. Oleh karena itu penyusunan anggaran dilakukan dengan cermat, dengan tetap mengacu pada Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Namun demikian, walaupun telah disusun dengan cermat, dalam realisasinya masih menghadapi ketidakpastian, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluarannya. Dengan keadaan itu, maka sejak awal Repelita I, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetap didasarkan pada prinsip anggaran berimbang yang dinamis. Namun dalam perkembangannya selama hampir lima tahun terakhir dalam pelaksanaan APBN dimungkinkan dibentuknya cadangan pada masa penerimaan negara melebihi yang direncanakan, dan dimanfaatkannya dana cadangan tersebut pada masa penerimaan negara kurang dari yang direncanakan atau tidak cukup mendukung program yang telah direncanakan dan/atau yang sangat mendesak, sehingga terjamin kesinambungan pembiayaan yang diiringi oleh stabilitas ekonomi yang mantap. Dalam kerangka kebijaksanaan umum ekonomi makro selama masa Orde Baru, APBN yang merupakan alat kebijaksanaan fiskal disusun dan dilaksanakan secara serasi dan saling menunjang dengan alat-alat kebijaksanaan ekonomi makro lainnya, yaitu kebijaksanaan moneter dan neraca pembayaran. Hasil daripada pelaksanaan kebijaksanaan tersebut adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yaitu sekitar 7,0 persen per tahun selama PJP I dan sekitar 8,0 persen dalam dua tahun pertama Repelita VI. Dalam fungsinya sebagai alat kebijaksanaan fiskal, APBN terdiri dari dua sisi, yaitu sisi pengeluaran yang menunjukkan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 28 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 jumlah dana yang dibutuhkan untuk membiayai kegiatan Pemerintah dalam tahun tertentu, dan sisi penerimaan yang menunjukkan sumber-sumber dana yang diharapkan dapat diperoleh untuk membiayai pengeluaran tersebut. Dengan demikian, meningkatnya jumlah pengeluaran harus diikuti oleh meningkatnya jumlah penerimaan. Dalam melaksanakan pembangunan, terdapat prinsip yang harus ditaati dalam kaitannya dengan APBN, yaitu prinsip anggaran berimbang yang dinamis, dengan tetap mengutamakan sumber dana pembangunan yang bersumber dari dalam negeri, sedangkan penerimaan pembangunan hanya merupakan pelengkap. Pengutamaan sumber pembiayaan pembangunan pada kemampuan dalam negeri mencerminkan semakin meningkatnya kemandirian dalam pembangunan. Dalam PJP I tabungan pemerintah mengalami pertumbuhan sebesar 29,4 persen per tahun, sedangkan pengeluaran pembangunan tumbuh sebesar 26,1 persen per tahun. Dengan lebih cepatnya pertumbuhan tabungan pemerintah tersebut, maka penerimaan pembangunan yang hanya mengalami pertumbuhan sebesar 22,5 persen merupakan pelengkap bagi dana pembangunan. Selanjutnya, cepatnya pertumbuhan tabungan pemerintah berkaitan erat dengan lebih cepatnya pertumbuhan penerimaan dalam negeri daripada pertumbuhan pengeluaran rutin. Selama P1P I penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 25,4 persen per tahun, sedangkan pengeluaran rutin mengalami pertumbuhan sebesar 24,4 persen per tahun. Sebagai gambaran mengenai kebijaksanaan Pemerintah di bidang APBN sejak Repelita I hingga Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.1. 2.2. Perkembangan pelaksanaan APBN sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 2.2.1. Kebijaksanaan pokok di bidang APBN Dalam rangka mendukung tercapainya sasaran pembangunan nasional yang tertuang dalam Trilogi Pembangunan, diperlukan kebijaksanaan fiskal yang tepat. Sehubungan dengan itu penerimaan negara terus diupayakan peningkatannya dengan menggali dan mengembangkan semua sumber penerimaan negara, terutama sumber penerimaan yang berasal dari perpajakan dan sumber lainnya, dengan tetap memperhatikan peningkatan kemampuan pembiayaan pembangunan oleh masyarakat dan dunia usaha. Selain itu pengeluaran rutin diupayakan lebih Depertemen Keuangan Republik Indonesia 29 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 efisien dan efektif, sedangkan bagi pengeluaran pembangunan direncanakan berdasarkan prioritas pemanfaatannya. Penerimaan dari sektor migas tidak lagi menjadi andalan penerimaan dalam negeri, namun tetap merupakan salah satu penerimaan yang sangat potensial. Penerimaan rnigas masih memberikan kontribusi yang cukup besar yaitu rata-rata per tahun sebesar 34,7 persen dalam Repelita V terhadap penerimaan dalam negeri, sedangkan dalain dua tahun pelaksanaan Repelita VI penerimaan rnigas telah memberikan kontribusi rata-rata sebesar 20,6 persen. Untuk meningkatkan penerimaan rnigas tersebut terus diupayakan peningkatan investasi dalam eksplorasi dan pengusahaan sumber rninyak bumi secara terus menerus, agar kontinuitas produksi rninyak mentah tetap terjaga. Dalam pada itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak telah diupayakan secara terus menerus melalui intensifikasi pemungutan pajak, dan juga melalui ekstensifikasi objek pajak dan wajib pajak. Intensifikasi pemungutan pajak dilakukan antara lain melalui upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui penegakan hukum (law enforcement) dan penyuluhan perpajakan. Sedangkan untuk ekstensifikasi dilakukan dengan meningkatkan jumlah wajib pajak yang belum terjangkau dan perluasan objek pajak. Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi, demikian pula praktek penyelenggaraan kegiatan usaha, khususnya bagi kegiatan-kegiatan yang tidak/belum tertampung dalam undang-undang perpajakan tahun 1984, dalam tahun 1994 telah dilakukan penyempurnaan atas undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, undang-undang tentang Pajak Penghasilan, undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara di bidang perpajakan dalam rangka semakin meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Sedangkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, telah ditempuh beberapa upaya antara lain melalui penyuluhan, penerbitan surat teguran, surat tagihan, dan pemeriksaan secara sederhana baik di kantor maupun di lapangan. Upaya untuk meningkatkan kepatuhan pembayar PBB dilakukan melalui himbauan sebelum jatuh tempo, surat teguran, surat tagihan pajak, dan sita lelang. Di samping itu juga melibatkan Pemda Tingkat II untuk melakukan pekan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 30 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pembayaran yang melibatkan para pejabat dan tokoh masyarakat yang dijadikan panutan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sementara itu, di bidang penerimaan bea masuk dan cukai yang merupakan bagian dari penerimaan perpajakan terus diupayakan peningkatannya untuk mendukung penerimaan dalam negeri. Penerimaan bea masuk berkaitan dengan arus impor. Oleh karena itu dalam menghadapi era globalisasi ekonomi, dalam tahun 1995 telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dalam undang-undang tersebut ditetapkan basarnya tarif setinggitingginya 40 persen dari nilai pabean untuk penghitungan bea masuk. Sedangkan untuk kebijaksanaan penerimaan cukai, telah pula dilakukan penggantian perundang-undangan yang lama dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Kedua Undang-undang ini mulai berlaku 1 April 1996. Di bidang penerimaan bukan pajak, berbagai kebijaksanaan telah ditempuh antara lain melalui penyempurnaan administrasi pengelolaan, intensifikasi pemungutan, dan penyesuaian tarif yang disesuaikan dengan kondisi perkembangan ekonomi saat ini. Sedangkan penerimaan yang berasal dari bagian pemerintah atas keuntungan BUMN, telah dilakukan perbaikan manajemen, pemantapan organisasi, penegasan fungsi dan penyempurnaan pola pengembangan BUMN, sehingga BUMN tersebut diharapkan semakin produktif, efektif dan efisien. Di samping itu untuk lebih menyehatkan BUMN, memeratakan pemilikan saham kepada masyarakat dan memberikan kesempatan bagi pengawasan oleh masyarakat secara langsung, beberapa BUMN yang cukup baik telah melakukan penjualan sahamnya kepada masyarakat (go public) baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di bidang pengeluaran rutin, penggunaannya dilakukan dengan hati-hati dan cermat yang diarahkan untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pembangunan, sehingga dapat tercipta terus peningkatan efisiensi, efektivitas dalam pengeluaran, tanpa mengurangi mutu pelayanan kepada masyarakat. Pengeluaran-pengeluaran tersebut digunakan untuk mendukung keperluan belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom, pembayaran bunga dan cicilan hutang serta pengeluaran rutin lainnya. Dalam kaitan ini, untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri sipil/PNS, ABRI, dan pensiunan, Pemerintah secara berkala telah menaikkan tunjangan perbaikan penghasilan, yang terakhir telah dilakukan pada bulan April 1996 sebesar 10 persen. Kemudian di bidang pembayaran kembali hutang-hutang luar negeri, di samping terus diupayakan untuk memenuhi kewajiban Depertemen Keuangan Republik Indonesia 31 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 secara tepat waktu dan jumlah selama Repelita VI telah dilakukan beberapa kali percepatan pembayaran (prepayment) terutama untuk hutang luar negeri yang memiliki bunga tinggi. Hal tersebut dimaksudkan untuk meringankan beban pembayaran hutang di kemudian hari, karena dengan semakin berkurangnya hutang tersebut maka akan semakin meningkatkan dana. untuk pembangunan. Tabel II.1 PELAKSANAAN APBN DALAM REPELITA I, II, III, IV, V, DAN VI (1969/1970 -1996/1997) *) (dalam miliar rupiah) 1970/1971 Repelita Realisasi 1969/1970 Repelita Realisasi Penerimaan dalam negeri Pengeluaran rutin Tabungan pemerintah Penerimaan pembangunan a. bantuan program b. bantuan proyek Dana pembangunan Pengeluaran pembangunan a. rupiah b. bantuan proyek 228 204 24 99 -63 -36 123 123 -81 -36 246,2 213,7 32,5 82,1 -69,2 -12,9 114,6 109,3 -96,4 -12,9 216 243 33 120 -15 -45 153 153 -108 -45 338,6 293,5 45,1 99,5 -75,2 -24,3 144,6 131,9 -113,6 -24,3 REPELITA I 1971/1972 Repelita Realisasi 324 281 43 180.0 -85 -95 223 223 (l28,0) -95 413,1 344,8 68,9 108,6 -92,8 -15,8 177,5 163,9 -148,1 -15,8 1972/1973 1973/1974 JUMLAH Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi ' 314 591,8 428 915,2 1.630,00 2.565,50 319 428,6 351 699,7 1.404,00 1.980,30 55 163,2 11 215,5 226 585,2 209 121,5 225 142,9 833 554,6 -85 -87,2 -85 -93,6 -393 -418 -124 -34,3 (140.0) -49,3 -440 -136,6 264 284,1 296 418,4 1.059,00 1.139,80 264 263 296 406,3 1.059,00 1.080,40 -140 -228,1 -156 -351 -619 -943,8 -124 -34,3 -140 -49,3 -440 -136,6 *) Realisasi PAN Penerimaan dalam negeri Pengeluaran rutin Tabungan pemerintah Penerimaan pembangunan a. bantuan program b. bantuan proyek Dana pembangunan Pengeluaran pembangunan a. rupiah b. bantuan proyek 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 JUMLAH Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi 1.363,40 1.770.6 2.073,70 2.244,30 2.277,40 2.866,50 2.607,70 3.511,60 3.088,70 4.247,00 11.410,90 14.640,00 961,6 985,7 1.293,90 1.239,30 1.427,90 1.605,10 1.629,90 2.079,80 1.905,10 2.612,10 7,!,214 8.582,60 401,8 784,9 179,8 1.005,00 1.189,50 1.261,40 977,8 1.431,10 1.183,60 4.192,10 6.057,40 213,9 201,1 191,8 450,4 208 325,2 218,4 253,6 241.I 437,9 1,656.1 167,2 (-) (37.1) (-) -20,5 (-) -22,7 (-) (42.9) (-) -52,5 (-) -176,2 (-) -169,5 (-) -429,9 (-) -302,5 (-) -210,7 (-) -385,4 ( - ) -1.498,00 15,7 992 971,6 l.485,4 1.057,50 1.58M 1.196,20 l.611,5 1.408,20 2.012,20 5.24,2 1.731,60 615,7 985,2 911,6 1.436,40 1.057,50 1.511,20 1.196,20 1.540,60 1.408,20 1.948,80 5.249,20 7.479,20 (-) -815,1 ( - ) -1.006,50 ( - ) -1.268,70 ( - ) -1.329,90 ( - ) -1.560,40 -7 -5.981,20 (-) -169,5 (-) -429,9 (-) -302,5 (-) -210,7 (-) -385,4 ( - ) -1.498,00 1979/1980 Repelita Realisasi Penerimaan dalam negeri Pengeluaran rutin Tabungan pemerintah Penerimaan pembangunan a. bantuan program b. bantuan proyek Dana pembangunan Pengeluaran pembangunan a. rupiah b. bantuan proyek 5.440,50 3.445,90 1.994,60 1.493,50 (-) (-) 3.488,10 3.488,10 (-) (-) 1980/1981 Repelita Realisasi 6.733,20 3.999,20 2.734,00 775,1 -64,4 -710,7 3.509,10 3.479,70 -2.769,00 -710,7 6.089,90 3.845,40 2.244,50 1.647,40 (-) (-) 3.891,90 3.891,90 (-) (-) 9.933,30 5.549,50 4.383,80 1.120,60 -64,1 -1.056,50 5.504,40 5.450,60 -4.394,10 -1.056,50 1981/1982 Repelita Realisasi 6.804,20 4.294,20 2.510.0 1.840,30 (-) (-) 4.350,30 4.350,30 (-) (-) 12.162,40 6.943,00 5.219,40 1.558,60 -45 -1.513,60 6.778,00 6.826,10 -5.312,50 -1.513,60 1982/1983 Repelita Realisasi 7.526,20 4.767,50 1.758,70 2.019,50 (-) (-) 4.778,20 4.778,20 (-) (-) 12.373,80 6.967,30 5.406,50 2.006,00 -15,1 -1.990,90 7.412,50 7.440,40 -5.449,50 -1.990,90 1983/1984 Repelita Realisasi 8.412,30 5.308,20 3.104,10 2.236,80 (-) (-) 5.340,90 5.340,90 (-) (-) JUMLAH Repelita Realisasi 16.366,70 10.215,20 6.151,50 2.543,10 -14,9 -2.528,20 8.694,60 8.557,00 -6.028,80 -2.528,20 34.273,10 57.569,40 21.661,20 33.674,20 12.611,90 23.895,20 9.237,50 8.003,40 (-) -203,5 ( - ) -7.799,90 21.849,40 31.898,60 21.849,40 31.753,80 ( - ) -23.953,90 ( - ) -7.799,90 Penerimaan dalam negeri Pengeluaran rutin Tabungan pemerintah Penerimaan pembangunan a. bantuan program b. bantuan proyek Dana pembangunan 1984/1985 Repelita Realisasi 16.149,40 15.931,30 10.101,10 9.405,90 6.048,30 6.525,40 4.411,00 1.780,70 (-) -69,3 (-) -1.711,40 10.459,30 8.306,10 1985/1986 Repelita Realisasi 9.793,80 20.939,40 12.(j42,8 12.006,40 7.751,00 8.933,00 5.098,00 2.829,50 (-) (69,2). (-) -2.760,30 12.849,00 11.762,50 1986/1987 Repelita Realisasi 24.282,40 17.385,30 14.582,50 13.716,70 9.699,90 3.668,60 5.715,30 5.513,00 (-) -1.791,20 (-) (3.72],8) 15.415,20 9.181,60 1987/1988 Repelita Realisasi 29.582,10 21.730,70 17.725,50 17.340,60 11.856,60 4.390,10 6.686,80 5.555,60 (-) -684,5 (-) -4.871,10 18.543,40 9.945,70 1988/1989 Repelita Realisasi 35.659,90 23.413,80 21.520,00 20.934,90 14.139,90 2.478,90 7.202,70 10.124,30 (- ) -2.665,90 (-) -7.458,40 21.342,60 12.603,20 JUMLAH Repelita Realisasi 125.467,60 99.400,50 75.971,90 73.404,50 49.495,70 25.996,00 29.113,80 25.803,10 (-) -5.280,10 ( - ) -20.523,00 78.609,50 51.799,10 Penerimaan dalam negeri Pengeluaran rutin Tabungan pemerintah Penerimaan pembangunan a. bantuan program b. bantuan proyek Dana pembangunan Pengeluaran pembangunan a. rupiah b. bantuan proyek 1989/1990 Repelita Reallsasi 25.249,80 11.504,20 23.445,00 24.335,20 1.804,80 7.169,00 11.325,10 8.330,30 (-) -965,8 (-) -7.364,50 13.129,90 15.499.3 13.129,90 15.393,90 (-) -8.029,40 (-) -7.364,50 1990/1991 Repelita Realisasi 29.432,50 42.193,00 24.829,60 29.121,10 4.602,90 a07l,9 11.566,00 8.381,50 (-) -1.346,70 (-) -7.034,80 16.168,90 21.453,40 16.168,90 18.250,80 ( - ) -11.216,00 (-) -7.034,80 1991/1992 Repelita Realisasi 34.856,50 42.582,00 26.591,60 29.053,00 8.264,90 13.529,00 12.644,80 9.975,10 (-) -1.385,50 (-) -8.589,60 20.909,70 23.504,10 20.909,70 23.074,50 ( - ) -14.484,90 (-) -8.589,60 1992/1993 Repelita Realisasi 41.466,40 48.862,60 27.974,40 33.605,40 13.492,00 15.257,20 12.195,00 11.097,90 (-) -516,5 ( - ) -10.581,40 25.687,00 26.355,10 25.687,00 26.906,30 ( - ) -16.324,90 ( - ) (10.581.4) 1993/1994 Repelita Realisasi 48.909,40 56.113,10 29.959,80 40.289,90 18.949,60 15.823,20 12.687,00 10352,5 (-) (-) ( - ) (10,752,5) 31.636,60 26.575,70 31.636,60 28.428,10 ( - ) -17.675,60 ( - ) -10.752,50 JUMLAH Repelita Realisasi 179.914,60 221.254,90 132.800,40 156.404,60 47.114,20 64.850,30 60.417,90 48.537,30 (-) -4.214,50 ( - ) -44.322,80 7.532,10 113.387,60 107.532,10 112.053,60 ( - ) -67.730,80 ( - ) -44.322,80 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 32 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Dengan semakin meningkatnya efisiensi dan efektivitas pengeluaran, maka tabungan pemerintah akan semakin meningkat, yang berarti kemandirian dalam pembangunan juga semakin besar. Dengan demikian sumber daya yang ada di dalam negeri dapat didayagunakan dan dimanfaatkan sebesar mungkin bagi pembangunan, dan bantuan luar negeri betul-betul hanya sebagai pelengkap dalam pembiayaan pembangunan. Sebagaimana telah diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), pengeluaran pembangunan harus direncanakan sesuai dengan tujuan pembangunan, dan mempunyai prioritas yang memberikan dampak sebesar-besarnya bagi pembangunan. Oleh karena itu, pengeluaran pembangunan diarahkan pada penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan ekonomi, penyediaan pelayanan dasar yang semakin luas, peningkatan sumber daya manusia, penanggulangan kemiskinan, dan penyediaan dana pemeliharaan untuk proyek-proyek yang telah selesai. Di samping itu pengeluaran pembangunan juga dialokasikan pada pembangunan daerah agar kesenjangan antar wilayah semakin menyempit, sehingga tercipta pemerataan sebagaimana diamanatkan dalam Repelita dan GBHN. 2.2.2. Penerimaan dalam negeri Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas), penerimaan perpajakan (meliputi PPh, PPN, PBB, Pajak Lainnya, Bea Masuk, Cukai, dan Pajak Ekspor), dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan dalam negeri terus diupayakan semakin meningkat terutama penerimaan yang berasal dari sektor perpajakan, karena penerimaan ini akan lebih menjamin kestabilan bagi tersedianya sumber penerimaan negara. Untuk semakin meningkatkan penerimaan tersebut maka berbagai langkah telah diambil untuk menyempurnakan pengelolaan perpajakan, baik yang menyangkut peraturan perundangundangan, sistem administrasi, maupun sumber daya manusia di bidang perpajakan. Penerimaan perpajakan terus diupayakan peningkatannya melalui intensifikasi pemungutan dan ekstensifikasi objek dan wajib pajak. Sebagaimana diketahui, perkembangan penerimaan migas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti harga minyak di pasar internasional, kuota produksi dan kurs valuta asing sehingga penerimaannya sangat berfluktuasi. Sedangkan untuk penerimaan bukan pajak yang terdiri dari laba BUMN dan berbagai jenis penerimaan yang berasal dari Depertemen Keuangan Republik Indonesia 33 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 departemen/lembaga pemerintah non departemen terus diupayakan peningkatannya melalui berbagai kebijaksanaan, agar penerimaan bukan pajak dapat memberikan kontribusi yang lebih berarti dalam penerimaan dalam negeri. 2.2.2.1. Penerimaan minyak bumi dan gas alam Penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas) sebagai salah satu sumber penerimaan dalam negeri, mempunyai peranan yang cukup penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Di samping itu secara tidak langsung sektor migas juga turut mendorong perkembangan usaha swasta nasional, penyerapan tenaga kerja, serta alih pengetahuan dan tekno1ogi. Oleh karena itu, migas sebagai sumber kekayaan alam yang tidak terbarukan harus dimanfaatkan sebaik mungkin, dengan memperhatikan kemanfaatannya di masa kini dan mengusahakan habisnya selama mungkin untuk menjamin kelangsungan persediaannya di masa depan. Perkembangan realisasi penerimaan migas secara absolut cenderung meningkat, kecuali dalam beberapa tahun, seperti tahun anggaran 1986/1987, 1988/1989, 1991/1992 dan 1993/1994. Perkembangan tersebut sangat dipengarnhi oleh perkembangan tingkat harga minyak bumi di pasar intemasional sebagai faktor ekstemal. Dalam perkembangannya, sektor migas menghadapi tantangan yang semakin berat, antara lain disebabkan oleh berfluktuasinya harga rninyak mentah di pasar intemasional, meningkatnya persaingan antamegara dalam menarik investor asing, meningkatnya biaya untuk menemukan cadangan migas baru, dan sulitnya menjangkau daerah-daerah yang mempunyai potensi rnigas yang cukup tinggi. Di samping itu, sektor rnigas juga merupakan usaha padat modal, berteknologi tinggi dan beresiko relatif besar. Menghadapi tantangan tersebut, usaha di bidang rnigas diharapkan dapat meningkatkan kerja sama dengan kontraktor-kontraktor asing atas dasar saling menguntungkan. Selama PJP I, telah ditandatangani sekitar 177 kontrak dengan pihak swasta untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas. Pemboran eksplorasi selama periode tersebut telah menghasilkan 1.504 sumur temuan (discovery well) yang terdiri atas 1.069 sumur rninyak dan 435 sumur gas. Sedangkan dalam dua tahun pertama Repelita VI, telah dilakukan pemboran eksplorasi sebanyak 146 sumur. Di samping berupa rninyak mentah, hasil eksploitasi sumur rninyak juga menghasilkan kondensat, yaitu minyak mentah dengan kadar sulfur yang lebih Depertemen Keuangan Republik Indonesia 34 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 rendah. Dalam hal ini anggota OPEC sepakat untuk mengatur produksi rninyak mentah, sedangkan produksi kondensat tidak diatur. Melalui upaya peningkatan eksplorasi dan eksploitasi, produksi rninyak bumi dan kondensat mencapai puncaknya dalam tahun anggaran 1977/1978, yaitu sebesar 616,5 juta barel per tahun. Selanjutnya, produksi minyak bumi dan kondensat dalam tahun kedua Repelita VI mencapai sebesar 589,9 juta barel, yang berarti sedikit mengalami penurunan dibandingkan dengan produksi pada tahun sebelumnya sebesar 588,6 juta barel per tahun. Hal ini disebabkan karena semakin sulit dan terbatasnya kegiatan eksplorasi sumber rnigas. Namun dibandingkan dengan produksi pada akhir Repelita V sebesar 559,9 juta barel, produksi tahun kedua Repelita VI mengalami kenaikan sebesar 5,4 persen. Dengan makin terbatasnya cadangan migas, serta makin sulitnya menemukan cadangan baru, upaya penganekaragaman sumber penerimaan energi dan devisa negara perlu makin ditingkatkan, sehingga ketergantungan pada rnigas makin berkurang. Upaya-upaya peningkatan eksplorasi dan eksploitasi rnigas, yang diikuti dengan langkah efisiensi pemakaiannya, diharapkan akan bermanfaat untuk mencegah Indonesia menjadi pengimpor rninyak neto. Sedangkan dalam rangka peningkatan dan penganekaragaman sumber-sumber penerimaan energi dan devisa negara, Pemerintah telah melakukan perluasan pemasaran produk hasil pengolahan migas. Di samping menghasilkan BBM, kilang rninyak dalam negeri juga menghasilkan produk-produk non BBM, diantaranya wax, lube base, aspal, dan naphtha. Selain itu, kilang-kilang petrokimia di Plaju, Pulau Bunyu, dan Cilacap juga menghasilkan produkproduk petrokimia, antara lain berupa polypropylene, methanol, paraxylene, dan benzene. Sedangkan minyak pelumas dihasilkan dari pabrik minyak pelumas di Jakarta, Surabaya, dan Cilacap. Ekspor minyak mentah dan hasil kilang minyak Indonesia selama ini ditujukan ke Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara lain, termasuk ASEAN Tingkat produksi minyak bumi sampai dengan awal PJP II masih dapat dipertahankan sesuai dengan kuota OPEC, meskipun sumur minyak yang ada sekarang potensinya secara alamiah telah mulai menurun. Hal ini terutama disebabkan mulai berproduksinya beberapa lapangan minyak baru, yang didukung oleh kebijaksanaan pemerintah melalui beberapa kemudahan dan perangsang dalam bentuk paket insentif bagi para investor di bidang rigas, yaitu paket insentif tahun 1988,1989, 1992 dan 1993. Melalui paket tersebut, Pemerintah diantaranya telah memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan minyak dan kontraktornya, terutama untuk kawasan timur Indonesia dan sebagian kawasan barat Indonesia, baik dalam bentuk pola Depertemen Keuangan Republik Indonesia 35 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 bagi hasil maupun dalam bentuk kemudahan lainnya. Melalui paket insentif 1988, 1989 dan 1992 pembagian hasil minyak bumi sesudah pajak di daerah baru yang belum pernah dieksplorasi (frontier) antara Pemerintah dan kontraktor adalah 80 persen berbanding 20 persen, sedangkan untuk daerah kedalaman taut di atas 1.500 meter perbandingannya masing-masing adalah 75 persen dan 25 persen. Di samping itu, dalam hal pembagian gas alam sesudah pajak di daerah frontier, perbandingan antara Pemerintah dan kontraktor adalah sebesar 60 persen untuk Pemerintah dan 40 persen untuk kontraktor, sedangkan di daerah kedalaman taut di atas 1.500 meter perbandingannya adalah 55 persen dan 45 persen. Sementara itu, melalui paket insentif tahun 1993 pembagian hasil minyak bumi sesudah pajak perbandingannya berubah menjadi sebesar 65 persen untuk Pemerintah dan 35 persen untuk kontraktor, baik untuk daerah frontier maupun untuk daerah kedalaman laut di atas 1.500 meter. Sedangkan untuk pembagian gas alam sesudah pajak untuk daerah frontier dan kedalaman laut di atas 1.500 meter, perbandingannya menjadi sebesar 60 persen untuk Pemerintah dan 40 persen untuk kontraktor. Di samping mengatur kembali pembagian hasil migas, paket insentif tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan nilai ekonomi penemuan-penemuan yang berdasarkan paket insentif sebelumnya tidak layak dikembangkan. Kontraktor daerah frontier yang sudah ada selama ini dapat memilih untuk menerapkan paket insentif tahun 1993 atau paket insentif sebelumnya. Paket insentif ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas eksplorasi yang akan menambah cadangan migas dan kesempatan untuk membuka lahan-lahan baru, khususnya di daerah frontier yang sebagian besar terletak di kawasan timur Indonesia. Selain melalui peningkatan eksplorasi, peningkatan produksi minyak juga dicapai melalui usaha enhanced oil recovery (EaR) pada lapangan-lapangan yang telah berproduksi untuk meningkatkan cadangan terambil. EaR adalah sistem peningkatan produksi minyak dari sumur-sumur IDa dengan cara mengaktifkannya kembali. Di samping itu, usaha menarik penanam modal dalam bidang migas baik PMA maupun PMDN terus ditingkatkan. Upaya tersebut dilakukan melalui penyediaan informasi, dan pemberian kemudahan perizinan, dengan tetap memperhatikan keserasian usaha yang saling terkait di antara para pelaku ekonomi, baik dari segi pendanaan, teknologi, maupun manajemen. Di samping produksi minyak bumi, peningkatan dalam penerimaan migas juga didukung oleh hasil kegiatan pengolahan sumber gas alam dalam bentuk liquefied natural gas (LNG) dan liquefied petroleum gas (LPG). LNG mulai dimanfaatkan secara maksimum sejak Depertemen Keuangan Republik Indonesia 36 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 dibangunnya kilang gas Bontang di Kalimantan Timur tahun 1977 dan kilang gas Arun di Lhok Seumawe tahun 1978. Sedangkan LPG dihasilkan dari kilang minyak di Musi, Balikpapan, Dumai, Cilacap, dan EXOR I. Produksi LNG dan LPG pada akhir Repelita V masing-masing mencapai sebesar 1.301 juta mmbtu dan 2.805 ribu MTon, yang hasilnya sebagian besar diekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Memasuki tahun pertama Repelita VI produksi LNG dan LPG masing-masing menjadi sebesar 1.379 juta mmbtu dan 2.807 ribu MTon. Selanjutnya dalam tahun kedua Repelita VI, produksi LNG dan LPG masing-masing sebesar 1.307 juta mmbtu dan 3.143 ribu MTon atau mengalami penurunan sebesar 5,2 persen untuk LNG dan peningkatan sebesar 12 persen untuk LPG dibandingkan produksinya dalam tahun pertama Repelita VI. Selain itu dalam tahun kedua Repelita VI telah berhasil diperbaharui kontrak penjualan jangka panjang produk LNG ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Ekspor LNG baru dimulai tahun 1977, dengan jumlah ekspor sebesar 28,0 juta mmbtu. Pada tahun kedua Repelita VI ekspor LNG mencapai 1.288 juta mmbtu, atau turun 5,8 persen dibandingkan ekspornya pada tahun pertama Repelita VI sebesar 1.368 juta mmbtu. Sedangkan ekspor LPG yang pada awal PJP I baru tercatat sebesar 5,6 ribu MTon, pada tahun kedua Repelita VI telah meningkat menjadi 2.668 ribu MTon. Kerja sama internasional di bidang migas akan tetap dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Kerja sama bilateral dengan berbagai negara dilaksanakan untuk kelancaran perdagangan dan ekspor, penyelesaian landas kontinen, serta pengusahaan bersama sumber daya migas. Demikian pula kerja sama antar negara OPEC dan non-OPEC akan terus digalakkan dengan semangat saling membantu dan saling menguntungkan. Salah satu upaya yang diambil OPEC untuk menstabilkan harga minyak adalah dengan upaya menyeimbangkan permintaan dan penawarannya di pasar, dan meredam timbulnya spekulasi-spekulasi di pasar minyak dunia. Harga minyak cenderung berfluktuasi secara cepat bila faktor-faktor yang mempengaruhinya di pasar mengalami perubahan. Dengan harapan dapat lebih mencerminkan harga yang realistis, sejak tahun 1989 perhitungan harga minyak mentah Indonesia menggunakan formula yang disebut Indonesian Crude Price (ICP). ICP menggunakan harga 5 jenis minyak mentah, yaitu Sumatra Light Crude (SLC atau Minas), Tapis (minyak mentah Malaysia), Gippsland (minyak mentah Australia), Oman (minyak mentah Oman) dan Dubai (minyak mentah Emirat Arab). Di sarnping itu untuk lebih mencerminkan harga pasar, ICP telah dimodifikasi dengan menambahkan rata-rata indeks harga minyak mentah yang diterbitkan oleh Depertemen Keuangan Republik Indonesia 37 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 RIM, Platt's, dan APPI. Perkembangan harga minyak bumi di pasar dunia bukan hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non ekonomi, seperti faktor politik dan spekulasi. Setelah sempat anjlok hingga di bawah US$ 10,00 per barel dalam tahun 1986, dalam Repelita V perkembangan harga minyak cenderung membaik, bahkan krisis perang teluk telah menyebabkan harganya melonjak tinggi hingga mencapai US$ 34,88 per barel pada bulan Oktober 1990. Selanjutnya, seiring dengan telah selesainya krisis teluk sekitar bulan Maret 1991 dan kembali normalnya jumlah suplai minyak di pasar dunia, hingga memasuki tahun terakhir Repelita V, perkembangan harganya cenderung menurun dan stabil pada tingkat harga antara US$ 14,00 sampai US$ 19,00 per barel. Selain dipengaruhi faktor politik yang berkembang di negara-negara produsen dan konsumen minyak bumi, kestabilan harga minyak mentah juga ditentukan oleh faktor kedisiplinan anggota OPEC untuk mematuhi kuota produksi yang telah ditentukan bersama. Untuk itu, guna menjaga kestabilan barga, Pemerintah terus melakukan pendekatan ke negara-negara anggota OPEC untuk mematuhi kuota produksi masing-masing yang telah disepakati, serta melakukan kerja sama dengan anggota non-OPEC menjaga suplai minyak bumi di pasar dunia. Dalam Repelita VI harga minyak mentah Indonesia mulai membaik, meskipun tetap berfluktuasi. Dalam bulan April 1995 harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) berada pada tingkat US$ 18,08 per barel dan meningkat menjadi sebesar US$ 18,23 per barel dalam bulan Mei 1995. Memasuki bulan-bulan selanjutnya ICP mulai mengalami penurunan ke tingkat yang cukup rendah, yaitu mencapai sedikit di atas US$ 16,00 per barel dalam bulan Juli dan Oktober 1995. Penurunan harga tersebut disebabkan menurunnya permintaan minyak bumi di pasar dunia. Di penghujung tahun 1995 ICP mulai membaik kembali hingga mencapai US$ 18,02 per barel dan terus meningkat sehingga pada akhir tahun anggaran 1995/1996 mencapai US$ 18,97 per barel. Pada bulan-buhn selanjutnya harga minyak cenderung menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi, yaitu mencapai di atas US$ 19,00 per barel, bahkan pada bulan Oktober 1996 telah mencapai US$ 23,04 per barel. Selain disebabkan oleh meningkatnya permintaan minyak di pasar intemasional, khususnya di kawasan Amerika dan Eropa, hal ini juga berkaitan dengan perkembangan politik di Timur Tengah yang tidak menentu. Pada Tabel II.2 dapat dilihat perkembangan harga ekspor minyak mentah Indonesia sejak Repelita 1. Dengan kecenderungan tingkat produksi yang relatif stabil dan harga ICP yang sangat Depertemen Keuangan Republik Indonesia 38 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 berfluktuasi, perkembangan penerimaan migas dari tahun ke tahun cenderung menunjukkan peningkatan. Dalam PJP I penerimaan migas mencapai sebesar Rp 171.578,6 miliar dengan peningkatan rata-rata sebesar 26,1 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp 48,3 miliar dalam tahun anggaran 1969/1970 menjadi sebesar Rp 12.503,4 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994. Selanjutnya dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan migas mengalami peningkatan cukup tajam, yaitu mencapai sebesar Rp 14.848,7 miliar, yang terdiri dari penerimaan minyak bumi sebesar Rp 10.976,7 miliar dan penerimaan gas alam sebesar Rp 3.872,0 miliar. Bila dibandingkan dengan penerimaannya dalam tahun anggaran 1994/1995 berarti terjadi kenaikan sebesar 9,7 persen. Meskipun secara absolut penerimaan migas cenderung menunjukkan peningkatan, tetapi peranannya dalam penerimaan dalam negeri terus menurun. Peranan terbesar terjadi dalam tahun anggaran 1981/1982, yaitu sebesar 70,9 persen dari penerimaan dalam negeri, yang disebabkan melonjaknya harga minyak bumi menjadi sebesar US$ 35,00 per barel pada bulan April 1981. Namun dalam tahun-tahun selanjutnya seiring dengan menurunnya harga minyak dan semakin meningkatnya penerimaan di luar migas, terutama penerimaan perpajakan, peranan migas cenderung semakin menurun. Dalam tahun terakhir Repelita V peranan penerimaan migas dalam penerimaan dalam negeri hanya sebesar 22,3 persen, sedangkan dalam tahun kedua Repelita VI telah menurun kembali menjadi sekitar 21 persen. Menurunnya peranan penerimaan migas dalam penerimaan dalam negeri ini sejalan dengan kebijaksanaan penerimaan negara dalam APBN untuk lebih mengarahkan penerimaan negara pada sumber penerimaan negara di luar migas yang relatif lebih stabil dan berkembang, yang sejak Repelita IV telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. 2.2.2.2. Penerimaan perpajakan Sebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN 1993, bahwa untuk membiayai pembangunan nasional diupayakan sebesar-besarnya digali me1alui penerimaan da1am negeri, terutama dari penerimaan perpajakan, sedangkan penerimaan pembangunan hanya merupakan pelengkap dana pembangunan. Selanjutnya penerimaan perpajakan terdiri dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), Depertemen Keuangan Republik Indonesia 39 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak 1ainnya, bea masuk, cukai, dan pajak ekspor. Untuk menjamin tercapainya sasaran peningkatan penerimaan perpajakan tersebut, kebijaksanaan umum perpajakan yang ditempuh adalah dengan melakukan intensifikasi pemungutan pajak dan ekstensifikasi objek dan wajib pajak. Dengan intensifikasi pemungutan pajak, diharapkan bahwa kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak sesuai dengan undang-undang yang berlaku akan meningkat. Selanjutnya, melalui ekstensifikasi objek dan wajib pajak diharapkan terdapatnya objek pajak dan wajib pajak baru yang masuk dalam sistem perpajakan. Pelaksanaan berbagai kebijaksanaan yang diambil sampai saar ini telah menampakkan hasil yang menggembirakan, sehingga peran penerimaan perpajakan terus mengalami peningkatan. Penerimaan perpajakan yang dalam tahun pertama Repelita V menyumbang sebesar 51,1 persen terhadap penerimaan dalam negeri, dalam tahun anggaran 1995/1996 telah meningkat menjadi sebesar 67,7 persen, dan lebih meningkat lagi menjadi 71,6 persen dalam tahun anggaran 1996/1997. Penjelasan lebih rinci mengenai perkembangan dari penerimaan perpajakan disajikan dalam uraian berikut. 2.2.2.2.1. Pajak penghasilan (PPh) Selama pelaksanaan pembangunan jangka panjang I (PJP I), penerimaan pajak penghasilan (PPh) yang meliputi pajak penghasilan badan dan pajak penghasilan perseorangan, mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 27,7 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp 41,7 miliar dalam tahun pertama Repelita I (1969/1970) menjadi sebesar Rp 14.758,9 miliar dalam tahun terakhir Repelita V (1993/1994). Selanjutnya, dalam tahun pertama Repelita VI yang merupakan tahap awal dari pembangunan jangka panjang II (PJP II), realisasi penerimaan PPh mengalami peningkatan sebesar 27,1 persen, yaitu menjadi sebesar Rp 18.764,1 miliar. Sedangkan dalam tahun anggaran 1995/1996, realisasi penerimaan PPh mencapai Rp 20.520,0 miliar atau 9,4 persen lebih tinggi dari tahun sebe1umnya. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 40 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel II.2 HARGA EKSPOR MINYAK MENTAH INDONESIA, 1969 – 1996 *) (dalam US$ per barel) Harga Harga Tahun Tahun 1969 1970 1971 April April April 1,67 1,67 2,21 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 April April April April April April April 2,96 3,73 11,7 12,6 12,8 13,55 13,55 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 April April April April April April April 15,65 29,5 35 35 29,53 29,53 28,53 1986 Januari April Agustus Desember Januari April Agustus Desember Januari Maret April Oktober Desember Januari April Mei September Desember 25,13 10,66 9,83 13,07 15,39 17,57 18,76 16,93 17,22 15,45 17,56 13,2 12,5 15 17,93 18,36 16,7 17,8 Januari April Juli Oktober Desember Januari April Agustus Desember Juari Februari Maret April Mei Juni 18,96 17,23 14,47 34,88 28,64 25,1 17,05 18,64 20,06 18,1 17,64 17,13 17,23 17,96 19,29 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1992 1993 1994 1995 1996 Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 20,59 20,18 19,62 19,7 19,44 18,71 B:U 18,36 18,8 18,61 18,26 17,19 17,23 16,64 16,75 15,69 14,14 14,7 14,91 14,18 14,75 15,52 16,39 17,48 17,61 16,31 16,18 16,27 16,11 16,96 17,84 17,79 18,08 18,23 17,24 16,02 16,22 16,31 16,05 16,65 18,02 18,98 18,56 18,97 19,21 18,86 19,05 19,45 19,33 20,92 23,04 22,47 **) 22,78 *) Sebelum April 1989 adalah harga minyak jenis Migas (SLC), dan sejak Apri1 1989 adaIah harga rata-rata minyak Indonesia (ICP). **) Angka sementara (sampai dengan 19 Desember). Depertemen Keuangan Republik Indonesia 41 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Dengan kondisi tersebut di atas, sumbangan penerimaan pajak penghasilan terhadap penerimaan perpajakan juga terus mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 24,1 persen pada awal PJP I menjadi sebesar 40,3 persen pada tahun terakhir PJP 1. Hal yang menggembirakan dari perkembangan penerimaaan pajak penghasilan adalah kenyataan bahwa pajak penghasilan sebagai pajak langsung secara bertahap mengalami kenaikan hingga pada tahun anggaran 1991/1992 telah melampaui peranan dari pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai pajak tidak langsung. Meningkatnya penerimaan pajak penghasilan ini juga terlihat dari peranan penerimaan pajak penghasilan dalam penerimaan perpajakan yang terus berkembang dalam tahun-tahun selanjutnya, sehingga dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan pajak penghasilan menyumbang sebesar 42,4 persen dari penerimaan perpajakan. Peningkatan penerimaan pajak penghasilan yang cukup menggembirakan tersebut, tidak terlepas dari adanya reformasi perpajakan tahun 1984. Salah satu hal mendasar yang diatur dalam kebijaksanaan tersebut adalah mengenai perubahan sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self assessment. Dengan sistem ini wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung sendiri kewajiban pajaknya kepada negara. Dalam pada itu, untuk menyempurnakan ketentuan di bidang pajak penghasilan ini, dalam tahun 1994 telah diundangkan berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dengan berlakunya undangundang ini tarif pajak penghasilan telah diubah. Sementara itu dalam rangka mencapai tingkat penerimaan yang semakin besar terus dilakukan upaya intensifikasi pemungutan pajak dan ekstensifikasi wajib pajak. Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut telah diambil berbagai langkah pelaksanaan baik melalui peraturan pemerintah (PP) maupun keputusan Menteri Keuangan. Dalam tahun anggaran 1996/1997 telah dikeluarkan PP Nomor 27 Tahun 1996 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. Di samping itu juga telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 392 Tahun 1996 dan Nomor 393 Tahun 1996, yang mengatur mengenai pengenaan tarif pajak penghasilan sebesar 5 persen dari jumlah bruto atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416 Tahun 1996 diatur bahwa atas penghasilan wajib pajak dalam negeri yang bergerak di bidang usaha pelayaran dipungut pajak penghasilan sebesar 1,2 persen dari jumlah peredaran bruto atau nilai Depertemen Keuangan Republik Indonesia 42 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak perusahaan pelayaran dalam negeri. Sedangkan atas wajib pajak perusahaan pelayaran dan atau penerbangan luar negeri, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417 Tahun 1996 dipungut pajak penghasilan sebesar 2,64 persen dari jumlah peredaran bruto atau semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atan nilai uang yang diterima atau diperoleh. Kemudian, dalam hubungannya dengan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 507 Tahun 1996 ditetapkan bahwa selisih antara nilai pasar wajar dengan nilai buku fiskal aktiva tetap yang dinilai kembali setelah dilakukan kompensasi kerugian, dikenakan pajak penghasilan sebesar 10 persen. Selain daripada itu, dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394 Tahun 1996 juga ditetapkan berbagai peraturan mengenai pajak penghasilan pasal 23. Dalam keputusan tersebut diatur bahwa bagi wajib pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap (BUT) dalam hal kepemilikan tanah dan atau bangunan yang disewakan merupakan milik wajib pajak badan dalam negeri atau BUT, dipungut pajak penghasilan sebesar 6 persen bersifat final. Sedangkan bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri dipungut pajak sebesar 10 persen dan bersifat final. Di samping itu, pajak penghasilan sebesar 10 persen final juga dipungut dari wajib pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap dalam hal kepemilikan tanah dan atau bangunan yang disewakan merupakan milik wajib pajak orang pribadi. Di samping kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, di bidang pajak penghasilan juga telah diambil kebijaksanaan untuk membantu upaya pengembangan usaha kecil, menengah, dan koperasi. Dalam hal ini, bagi bantuan atau sumbangan, keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah yang diterima oleh pengusaha kecil tidak termasuk sebagai objet pajak, sepanjang antara pemberi dengan penerima hibah tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan. Kemudian, dari penghasilan perusahaan modal ventura yang salah satu sasarannya adalah pengembangan usaha kecil yang berpotensi, bukan merupakan objek pajak. Penghasilan perusahaan modal ventura dalam hal ini adalah bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia. Selanjutnya, pengusaha kecil orang pribadi tidak wajib menyelenggarakan pembukuan sepanjang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600 juta. Masih dalam kaitannya dengan koperasi, pajak penghasilan pasal 23 tidak dipotong atas pembagian hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan atas bunga simpanan kecil yang dibayar oleh koperasi kepada anggotanya maksimal Rp 144.000 setiap Depertemen Keuangan Republik Indonesia 43 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 bulannya. Selanjutnya berbagai upaya telah diambil untuk mencapai target penerimaan pajak penghasilan. Upaya-upaya tersebut antara lain dilakukan melalui usaha peningkatan penyuluhan dan pelayanan kepada wajib pajak (WP), peningkatan pengawasan administratif khususnya terhadap WP besar/potensial, peningkatan efisiensi kerja melalui sistem informasi perpajakan (SIP), rekonsiliasi data dari pihak ketiga dengan SPT wajib pajak, dan penelitian, pemeriksaan sederhana dan pemeriksaan lengkap serta penyidikan pajak yang lebih efektif. Hasil dari pelaksanaan berbagai kebijaksanaan tersebut di atas antara lain terlihat dari makin luasnya objek pemungutan pajak, meningkatnya kepatuhan wajib pajak, meningkatnya efektivitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap wajib pajak, dan meningkatnya mutu pelayanan kepada wajib pajak. Selanjutnya, perkembangan yang dicapai dalam lembaga perpajakan tersebut telah berhasil mempercepat meningkatnya penerimaan pajak penghasilan yang disebabkan oleh berkembangnya kondisi ekonomi dunia, yang antara lain berupa berkembangnya dunia usaha dan meningkatnya penghasilan masyarakat dan dunia usaha. Sebagaimana diketahui, dalam tahun anggaran 1996/1997 penerimaan pajak penghasilan dianggarkan sebesar Rp 23.708,0 miliar, atau 15,5 persen lebih tinggi dari perkiraan realisasi tahun sebelumnya. Dalam kaitannya dengan penerimaan perpajakan secara keseluruhan, penerimaan pajak penghasilan dalam tahun tersebut menyumbang sebesar 42,3 persen bagi penerimaan perpajakan. 2.2.2.2.2. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM) Pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, serta atas impor barang kena pajak. Selain itu, PPN juga dikenakan atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, di dalam daerah pabean, pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, dan ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak. Terhadap berbagai kegiatan tersebut, tarif PPN yang dikenakan bersifat tunggal, yaitu sebesar 10 persen. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 44 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Di samping dikenakan PPN, juga dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) terhadap penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya. Adapun tarif PPnBM ditentukan serendah-rendahnya 10 persen dan setinggi-tingginya 50 persen. Berbagai macam kegiatan produksi yang merupakan objek PPN dan PPnBM, akan selalu berkembang sejalan dengan berkembangnya kehidupan ekonomi nasional. Oleh karena itu, dengan menggunakan sistem pemungutan yang ada, jumlah penerimaan PPN dan PPnBM senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, mengingat pesatnya perkembangan kegiatan masyarakat yang pada gilirannya akan menyebabkan makin basarnya kebutuhan akan pembiayaan bagi kegiatan Pemerintah, sekaligus untuk mencapai tingkat kemandirian yang tinggi dalam pembiayaan pembangunan nasional, maka telah ditempuh berbagai kebijaksanaan di bidang perpajakan. Pada dasamya, dampak dari kebijaksanaan perpajakan akan terasa dalam jangka pendek yaitu secara langsung akan meningkatkan penerimaan pajak dalam tahun yang bersangkutan, dan dalam jangka panjang akan mendorong perkembangan ekonomi masyarakat yang berarti juga merupakan peningkatan potensi penerimaan di masa yang akan datang. Namun demikian, dua hal tersebut tidak selalu dijalankan secara seiring. Dalam kondisi tertentu, salah satu dari padanya bisa lebih diprioritaskan, dengan pertimbangan bahwa hasil netonya tetap positif. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, PPN dan PPnBM adalah merupakan pajak penjualan (PPn) atas barang dan jasa. Menurut Undang-undang Nomor 8 tahun 1983, PPN dikenakan pada pertambahan nilai atas barang dan jasa yang diserahkan oleh pengusaha kena pajak. Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, selain dikenakan atas penyerahan barang dan jasa oleh pengusaha kena pajak, PPN juga dikenakan atas impor barang kena pajak, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak. Dalam PJP I, penerimaan pajak ini senantiasa berkembang dari tahun ke tahun, yaitu dari sebesar Rp 30,0 miliar dalam tahun anggaran 1969/1970 menjadi sebesar Rp 13.943,5 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994, atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 29,2 persen per tahun. Sementara itu, dalam dua tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan PPN dan PPnBM meningkat sebesar 10,9 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 45 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 persen, yaitu dari Rp 16.544,8 miliar dalam tahun 1994/1995 menjadi Rp 18.350,0 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996. Dalam hubungannya dengan PPN dan PPnBM, telah ditempuh beberapa kebijaksanaan dalam rangka peningkatan penerimaan secara langsung, antara lain dengan meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak melalui peningkatan pelayanan yang lebih baik. Selain itu, juga dilakukan konfirmasi faktur pajak dan pelaksanaan uji silang antara data PPN dengan data pajak penghasilan. Selanjutnya, langkah tersebut didukung dengan pemeriksaan sederhana lapangan terhadap pengusaha yang tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP) dan PKP yang SPT masanya memenuhi kriteria untuk dilakukan pemeriksaan sederhana lapangan. Kemudian, untuk menguji kepatuhan pengusaha kena pajak, ditempuh langkah peningkatan kerja sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam rangka melakukan pemeriksaan sederhana lapangan. Di samping berbagai kebijaksanaan seperti yang telah dikemukakan di atas, juga ditempuh beberapa kebijaksanaan lain yang meskipun mengurangi penerimaan PPN dan PPnBM dalam jangka pendek, tetapi diharapkan akan dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak di masa depan. Kebijaksanaan tersebut antara lain dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1996 tanggal 5 Januari 1996 yang mengatur tentang PPN yang ditanggung pemerintah atas impor barang kena pajak tertentu, yang meliputi kapal laut, kapal sungai, kapal danau, segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan pelayaran niaga nasional, kapal penyeberangan, kapal pandu, kapal lunda, dan kapal untuk menangkap ikan, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan. Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1996, dan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996, telah ditetapkan mengenai kegiatan-kegiatan yang PPN dan PPnBM terutangnya ditanggung oleh Pemerintah. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi penyerahan kendaraan bermotor jenis sedan atau station wagon yang dibuat di dalam negeri dengan motor penggerak yang isi silindemya kurang dari 1600 cc, dan dengan kandungan lokal lebih dari 60 persen. Selain itu, ketetapan tersebut juga berlaku untuk kendaraan berrnotor jenis jeep, camhi, minibus, van dan pick up yang dibuat di dalam negeri dengan kandungan lokal lebih dari 60 persen, dan kendaraan bermotor nasional yang dibuat di dalam negeri dengan menggunakan merk yang diciptakan sendiri yang persentase kandungan lokalnya memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Depertemen Keuangan Republik Indonesia 46 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Perindustrian dan Perdagangan. Apabila kendaraan berrnotor nasional tersebut tidak memenuhi kandungan lokal sesuai dengan ketentuan tersebut, maka PPnBM terutang yang ditanggung Pemerintah akan ditagih kembali. Selanjutnya dalam rangka mendorong peningkatan ekspor, dipandang perlu untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat di bidang kepabeanan dan perpajakan terhadap kegiatan ekspor yang dilakukan oleh eksportir tertentu. Pelayanan tersebut berupa percepatan pelayanan restitusi PPN atas pembelian bahan baku/penolong, komponen, mesin dari dalam negeri, sehingga dapat diselesaikan dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 (sepuluh) hari kerja. Sementara itu, pemberian restitusi dilakukan melalui prosektor konfirmasi faktur pajak dan pemeriksaan sederhana lapangan. Sedangkan dalam upaya mempercepat penyelesaian restitusi, dapat dilakukan prosektor konfirmasi melalui faksimili dan penyelesaian restitusi dengan jaminan bank garansi bagi faktur pajak masukan yang belum dipertanggungjawabkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) penjual, dan faktur pajak masukan yang diduga fiktif atau berkaitan dengan PKP fiktif. Berkaitan dengan penyelesaian restitusi PPN, telah ditetapkan bahwa pemberian restitusi PPN yang diajukan permohonannya oleh PKP eksportir tertentu, diberikan pelayanan khusus dengan penyelesaian maksimal 10 (sepuluh) hari kerja. Pengusaha kena pajak eksportir tertentu tersebut terbatas pada eksportir yang namanya tercantum dalam daftar PKP yang diterima dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Kemudian, untuk lebih meningkatkan penerimaan PPN dan PPnBM, telah diupayakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, melalui pemeriksaan sederhana kantor, pemeriksaan sederhana lapangan, termasuk pemeriksaan sederhana lapangan dengan menggunakan tenaga kantor akuntan publik (KAP), dan pemeriksaan lengkap. Dengan dilaksanakannya berbagai kebijaksanaan di atas, dan sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yang menghasilkan peningkatan transaksi penyerahan barang dan jasa kena PPN dan PPnBM, maka penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1996/1997 dianggarkan sebesar Rp 21.788,4 miliar. Bila dibandingkan dengan penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun sebelumnya yang mencapai Rp 18.350,0 miliar, ini berarti terjadi peningkatan sebesar Rp 3.438,4 miliar atau 18,7 persen. Dalam hubungannya dengan penerimaan perpajakan secara keseluruhan, peranan penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1996/1997 adalah sebesar 38,9 persen yang berarti lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang mencapai 37,9 persen. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 47 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 2.2.2.2.3. Pajak bumi dan bangunan (PBB) Dalam tahun pertarna Repelita VI, penerimaan pajak bumi dan bangunan yang merupakan salah satu komponen penerimaan dalam negeri secara bertahap peranannya semakin dimantapkan, mengingat pajak bumi dan bangunan mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal itu, setelah hampir satu dasawarsa berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, dan makin meningkatnya jumlah objek pajak, serta untuk menyelaraskan pengenaan pajak dengan amanat GBHN 1993, dirasakan sudah waktunya untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985. Untuk itu, pada tahun 1994 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Penyempurnaan tersebut dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan perpajakan, serta untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya. Dalam Undang-undang pajak bumi dan bangunan tahun 1994, dilakukan penyesuaian basarnya nilai jual objek pajak tidak kena pajak sebesar Rp 8,0 juta untuk setiap wajib pajak yang terdiri dari tanah dan atau bangunannya. Penyesuaian tersebut dilakukan dalam rangka membantu wajib pajak perseorangan yang berpenghasilan tidak tetap/golongan masyarakat yang kurang marnpu. Dengan demikian bagi anggota masyarakat/wajib pajak yang hanya memanfaatkan tanah dan bangunan yang luasnya terbatas, sepanjang nilainya tidak lebih dari Rp 8 juta tidak membayar pajak bumi dan bangunan. Selain itu, juga bertujuan untuk memberikan perlakuan yang sama atau keadilan bagi wajib pajak yang hanya memiliki, menguasai, dan atau memanfaatkan objek pajak berupa bumi dengan nilai tertentu. Sementara itu, sebagai dasar dalam penentuan nilai jual objek pajak masih berlaku Keputusan Menteri Keuangan Nomor 174 Tahun 1993 tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam keputusan tersebut ditetapkan 50 kelas bumi dengan penggolongan nilai jual tertinggi sebesar Rp 3,1 juta per meter persegi dan terendah sebesar Rp 140 per meter persegi. Sedangkan untuk nilai transaksi objek pajak di atas Rp 3,1 juta per meter persegi, digunakan nilai transaksinya. Demikian juga terhadap rumah sakit swasta yang dalam perkembangannya dinilai telah Depertemen Keuangan Republik Indonesia 48 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 mengarah kepada upaya memperoleh keuntungan di sarnping fungsinya sebagai lembaga sosial, kini telah dikenakan pajak bumi dan bangunan, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 796 Tahun 1993 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Atas Rumah Sakit Swasta. Sementara itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1994 tentang Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual Kena Pajak Pada Pajak Bumi dan Bangunan, telah ditetapkan kembali besarnya tarif nilai jual kena pajak (NJKP) atas objek pajak perumahan. Di dalam peraturan pemerintah tersebut diatur bahwa atas objek pajak perumahan yang wajib pajaknya perseorangan, dengan nilai jual objek pajak sebesar Rp 1 miliar ke atas, tarif nilai jual kena pajaknya ditetapkan sebesar 40 persen dari nilai jual objek pajak. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi wajib pajak pegawai negeri sipil, ABRI, pensiunan termasuk janda/dudanya yang menguasai/ memanfaatkan objek pajak perumahan yang nilai jual objek pajak (NJOP)-nya senilai Rp 1 miliar ke atas, di mana tarif NJKP-nya tetap sebesar 20 persen dari nilai jual objek pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1985. Dalam pada itu, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, telah dikenakan pajak bumi dan bangunan atas perguruan tinggi swasta. Ketentuan ini diberlakukan mengingat adanya kecenderungan banyak perguruan tinggi swasta (PTS) yang berkembang sebagai institusi yang cenderung memperoleh keuntungan. Kebijaksanaan ini dianggap. wajar, mengingat perguruan tinggi swasta tersebut sudah tidak mumi lagi berfungsi sosial karena telah memperoleh manfaat dan nikmat atas objek pajak yang dikelolanya, sehingga tidak dapat lagi dikategorikan sebagai objek yang dikecualikan dari pengenaan pajak bumi dan bangunan. Narnun, mengingat bahwa peran perguruan tinggi swasta selama ini juga masih mempunyai fungsi sosial khususnya dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pengenaan PBB-nya diberikan keringanan yaitu hanya sebesar 50 persen dari jumlah PBB yang seharusnya terutang. Sedangkan intensifikasi pemungutan pajak berupa peningkatan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak melalui kegiatan penagihan yang lebih intensif, peningkatan pencairan tunggakan melalui kerja sama dengan Pemerintah Daerah Tingkat II, pengembangan replikasi sistem pembayaran ditempat (Sistep) bagi kemudahan pembayaran pajak, serta replikasi pe1ayanan satu tempat untuk memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada wajib pajak, selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan penyuluhan, bimbingan dan pembinaan kepada wajib pajak serta penegakan hukum yang lebih tegas dan efektif terhadap wajib pajak yang lalai, dan yang belum sepenuhnya Depertemen Keuangan Republik Indonesia 49 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 memenuhi kewajibannya ataupun sengaja menghindar dari kewajiban perpajakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pada itu, upaya peningkatan penerimaan PBB juga dilakukan melalui kegiatan penilaian individual dengan cara melakukan penyesuaian NJOP sehingga nilainya tidak terlalu jauh dari nilai yang sesungguhnya terjadi di lapangan (nilai pasar wajar). Kegiatan penilaian individual tersebut dilaksanakan kepada objek pajak yang mempunyai karakteristik khusus seperti bandara, pelabuhan, gedung bertingkat tinggi, lapangan golf, jalan tol dan industri. Dengan berbagai kebijaksanaan tersebut, penerimaan pajak bumi dan bangunan dalam tahun pertama Repelita VI mencapai sebesar Rp 1.647,3 miliar, yang terus meningkat menjadi sebesar Rp 1.924,0 miliar dalam tahun kedua Repelita VI, yang berarti meningkat sebesar Rp 276,7 miliar atau 16,8 persen. Sedangkan untuk tahun anggaran 1996/1997 penerimaan pajak bumi dan bangunan dianggarkan sebesar Rp 2.277,3 miliar atau meningkat sebesar Rp 353,3 miliar atau 18,4 persen dari tahun anggaran sebelumnya yang besarnya Rp 1.924,0 miliar. Perlu ditambahkan bahwa dalam PJP I penerimaan PBB telah mengalami peningkatan dari Rp 0,1 miliar pada tahun anggaran 1969/1970 menjadi sebesar Rp 1.484,5 miliar pada tahun anggaran 1993/1994 atau meningkat rata-rata sebesar 49,2 persen per tahun. 2.2.2.2.4 Pajak lainnya Penerimaan bea meterai sebagai sumber utama dari penerimaan pajak lainnya, selain ditentukan oleh besarnya jumlah transaksi kena bea meterai juga ditentukan oleh besarnya tarif bea meterai. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 tanggal 1 Mei 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai, ditetapkan bahwa tarif bea meterai Rp 2.000 dikenakan atas surat perjanjian dan surat lainnya yang digunakan untuk alat pembuktian yang bersifat perdata, akte notaris dan salinannya, akte pejabat pembuat akte tanah (PPAT), serta dokumen dengan harga nominal lebih dari Rp 1 juta. Sedangkan tarif Rp 1.000 dikenakan bagi dokumen dengan harga nominal mulai dari Rp 250 ribu sampai dengan Rp 1 )uta serta cek dan bilyet giro. Sedangkan untuk dokumen dengan harga nominal kurang dari Rp 250 ribu tidak terutang bea meterai. Dalam perkembangannya, penerimaan pajak lainnya senantiasa meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat. Selama PJP I, penerimaan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 50 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pajak lainnya mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 20,2 persen per tahun, sehingga jumlah penerimaan yang dalam tahun anggaran 1969/1970 baru berjumlah Rp 3,4 miliar telah meningkat menjadi Rp 283,4 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994. Sedangkan dalam dua tahun pelaksanaan Repelita VI, penerimaan pajak lainnya mengalami peningkatan sebesar 68,9 persen, yaitu dari sebesar Rp 301,9 miliar dalam tahun anggaran 1994/1995 menjadi sebesar Rp 510,0 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996. Selanjutnya, dalam tahun anggaran 1996/1997 penerimaan pajak lainnya dianggarkan sebesar Rp 569,8 miliar atau 11,7 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Kemudian, bila dikaitkan dengan penerimaan perpajakan secara keseluruhan dalam tahun tersebut, peran penerimaan pajak lainnya adalah sebesar 1,0 persen dari penerimaan perpajakan, yang berarti lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 1,1 persen. Peningkatan penerimaan pajak lainnya ini sejalan dengan makin meningkatnya kegiatan ekonomi, yang selanjutnya menyebabkan berkembangnya transaksi pajak lainnya. Selain itu kenaikan penerimaan pajak lainnya juga tidak terlepas dari adanya upaya pencegahan beredarnya meterai palsu, peningkatan pengawasan atas pemakaian benda meterai, mesin teraan meterai, dan pencetakan tanda lunas meterai. 2.2.2.2.5. Bea masuk Bea masuk adalah pungutan atas barang impor yang merupakan salah satu penerimaan dalam negeri yang masih mempunyai peranan dalam pembiayaan pembangunan. Pungutan bea masuk mempunyai peran ganda dalam perekonomian, yaitu sebagai salah satu sumber penerimaan negara dan sebagai alat untuk mengatur arus serta pola impor, baik untuk barang konsumsi maupun bagi barang-barang yang diperlukan oleh industri dalam negeri. Penerimaan bea masuk pada awalnya merupakan sumber penerimaan yang diperlukan untuk mengisi kas negara, dalam perkembangannya bea masuk juga berfungsi sebagai media pengaturan (fasilitator). Penerimaan bea masuk sangat dipengaruhi oleh tiga besaran utama yaitu besarnya nilai devisa impor bayar (dutiable import), tarif, dan nilai tukar rupiah terhadap berbagai valuta asing. Dari ketiga besaran inilah penerimaan bea masuk ditentukan, sehingga apabila dari salah satu atau yang lainnya berubah, maka penerimaan bea masuk juga akan berubah. Dalam periode pembangunan jangka panjang pertama, penerimaan bea masuk terus mengalami peningkatan yaitu dari sebesar Rp 58,3 miliar pada tahun anggaran 1969/1970 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 51 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 menjadi sebesar Rp 3.555,3 miliar pada tahun terakhir PJP I, berarti mengalami peningkatan rata-rata 18,7 persen per tahun. Selanjutnya, dalam Repelita, VI yang mulai dilaksanakan pada tahun anggaran 1994/1995 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997, peranan penerimaan bea masuk terhadap penerimaan dalam negeri relatif semakin menurun. Dalam tahun anggaran 1994/1995 realisasi penerimaan bea masuk mencapai sebesar Rp 3.900,1 miliar berarti lebih tinggi dari yang direncanakan dalam APBN-nya sebesar Rp 3.443,3 miliar, sedangkan peranannya terhadap penerimaan dalam negeri mencapai sebesar 5,9 persen. Selanjutnya, dalam tahun anggaran 1995/1996 realisasinya mencapai sebesar Rp 3.247,9 miliar, yang berarti turun sebesar Rp 652,2 miliar atau 16,7 persen dari realisasi tahun sebelumnya (1994/1995) dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan dalam negeri sebesar 4,5 persen. Kurang tercapainya target penerimaan tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan Pemerintah yang diambil melalui paket-paket deregulasi yang dikeluarkan, khususnya yang berhubungan dengan penurunan tarif bea masuk. Langkah kebijaksanaan yang diambil ini adalah untuk memperbaiki sistem kepabeanan, yaitu di bidang pentarifan serta prosedur keluar masuknya barang, dengan maksud agar arus keluar masuknya barang terutama barang-barang yang diperlukan bagi pengembangan industri dalam negeri dan industri yang berorientasi pada ekspor sernakin lancar. Selanjutnya, paket deregulasi yang telah diambil selama Repelita VI adalah paket Kebijaksanaan Juni 1994, yang antara lain mencakup penurunan bea masuk dan bea masuk tambahan, penghapusan tata niaga tertentu, pengaturan tentang Entrepot Produksi Tujuan Ekspor/ Kawasan Berikat (EPTFJKB), perluasan penanaman modal, kesemuanya adalah dalam rangka untuk meningkatkan ekspor. Selanjutnya dalam tahun 1995, telah dikeluarkan Paket 23 Mei 1995, yang merupakan tonggak awal bagi kebijaksanaan di bidang penurunan tarif bea masuk secara terjadwal, yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi produksi dari para pengusaha terutama yang menghasilkan barang ekspor. Dalam paket ini, selain menurunkan besarnya tarif bea masuk, juga dilakukan rencana penjadwalan penurunan tarif bea masuk secara bertahap yaitu untuk kelompok tarif antara 5 sampai dengan 15 persen diturunkan menjadi setinggi-tingginya 5 persen pada tahun 2000 dan untuk kelompok tarif 20 sampai dengan 30 persen menjadi setinggi-tingginya 10 persen pada tahun 2003. Sementara itu sebagai tindak lanjut dari kebijaksanaan deregulasi Mei 1995, dalam bulan Januari 1996 telah diumumkan paket kebijaksanaan Januari 1996 tanggal26 Januari 1996. Paket ini dimaksudkan untuk (a) mewujudkan iklim usaha yang lebih menarik dan mendorong Depertemen Keuangan Republik Indonesia 52 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 ekspor, (b) menurunkan tarif bea masuk barang modal dan bahan baku yang terkait langsung dengan ekspor, dan (c) menghapus pungutan yang dipandang menghambat ekspor dan efisiensi. Sedangkan deregulasi tersebut di antaranya meliputi bidang industri dan perdagangan, dan keuangan. Di bidang industri dan perdagangan, kebijaksanaan tersebut di antaranya bertujuan untuk mengembangkan industri yang berorientasi ekspor, memangkas hambatan ekspor dan impor (baik berupa administrasi dan birokrasi), membuka dan memperluas kesempatan usaha bagi PMA dalam perdagangan ekspor dan impor, dan mendorong pemakaian batang modal dan bahan baku industri dalam negeri. Sedangkan deregulasi di bidang keuangan meliputi perluasan fasilitas kepabeanan, fasilitas perpajakan, dan kesempatan dunia usaha swasta. Adapun kebijaksanaan yang berhubungan dengan bea masuk adalah perluasan fasilitas kepabeanan di antaranya adalah penurunan tarif bea masuk untuk barang modal dan bahan baku yang terkait langsung atau tidak dengan ekspor. Jumlah pas tarif yang diturunkan adalah sebanyak 428 pas tarif atau sekitar 6 persen dari total pas tarif yang berjumlah 7.284. Dengan adanya kebijaksanaan tersebut penerimaan bea masuk dalam tahun anggaran 1995/1996 hanya mencapai sebesar 91,7 persen dari yang dianggarkan dalam APBNnya. Bila dilihat dari pelaksanaan APBN selama dua tahun anggaran tersebut, terlihat adanya penurunan pencapaian target penerimaan rea masuk secara relatif. Sebelum 1 April 1996, pengenaan pungutan rea masuk didasarkan pada perundangundangan zaman kolonial, yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan pembangunan nasional. Oleh karena itu, dalam mewujudkan peraturan perundang-undang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota masyarakat, dan menempatkan kewajiban pabean sebagai kewajiban kenegaraan yang mencerminkan peran serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana melalui pembayaran bea masuk, maka peraturan perundang-undangan kepabeanan sebagai bagian dari hukum fiskal harus dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dokumen, penerimaan bea masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Untuk itu, maka sejak 1 April 1996 di bidang kepabeanan telah berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang merupakan pengganti dari perundang-undangan kolonial yang dipakai selama ini. Dalam Undang-undang ini telah diterapkan sistem self assessment yaitu menghitung dan membayar sendiri bea masuk yang terutang dengan tetap memperhatikan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 53 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 ketentuan larangan dan pembatasan impor. Dalam hal pengawasan impor, pelaksanaannya dititikberatkan pada pemeriksaan terhadap barang impor secara selektif dengan diikuti kegiatan verifikasi dan post audit, di samping itu juga terus diupayakan peningkatan pengawasan dalam rangka pencegahan penyelundupan. Sementara itu, pada bulan Juni 1996 telah dilakukan deregulasi Juni 1996. Deregulasi ini bertujuan untuk lebih meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia dalam menghadapi globalisasi ekonomi yang sekaligus menunjukkan komitmen, bahwa Indonesia tetap melaksanakan kesepakatan WTO/GATT, AFTA, dan APEC secara konsisten. Dalam kaitannya dengan bea masuk, paket ini adalah-merupakan kelanjutan dari penjadwalan penurunan tarif bea masuk. Dalam paket Juni 1996 telah ditetapkan urutan waktu bagi masing-masing kelompok tarif bea masuk yang diturunkan. Hal ini dimaksudkan agar dunia usaha mengetahui sejak awal jadwal penurunan tersebut, sehingga dapat menentukan rencana-rencana, baik investasi maupun produksi di masa mendatang. Di samping itu, juga dilakukan penghapusan bea masuk tambahan dengan menggabungkannya ke dalam satu pas tarif bea masuk. Hal ini sesuai dengan undangundang kepabeanan, serta kesepakatan APEC dan WTO. Adapun penjadwalan penurnnan tarif tersebut adalah sebagai berikut : a. Pada tahun 1996, untuk tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 sampai dengan 15 persen tidak mengalami perubahan, sedangkan yang besarnya 20 sampai dengan 30 persen menjadi sebesar 15 sampai dengan 25 persen; b. Tahun 1997, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 persen tidak mengalami perubahan, sedangkan yang besarnya 10 sampai dengan 15 persen menjadi sebesar 5 sampai dengan 10 persen dan yang besarnya 15 sampai dengan 25 persen tidak berubah; c. Tahun 1998, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 sampai dengan 10 persen tidak berubah, kemudian untuk tarif yang besarnya 15 sampai dengan 25 persen menjadi sebesar 10 sampai dengan 20 persen; d. Tahun 1999, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 persen tidak berubah dan yang besarnya 10 persen menjadi sebesar 5 persen, sedangkan yang tarifnya sebesar 10 sampai dengan 20 persen tidak berubah; 1. e. Tahun 2000, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 persen menjadi setinggitingginya sebesar 5 persen, kemudian yang besarnya 10 persen tidak berubah dan yang Depertemen Keuangan Republik Indonesia 54 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 besarnya 15 sampai dengan 20 persen menjadi sebesar 10 sampai dengan 15 persen; e. Tahun 2001, tarif tidak mengalami perubahan atau sama dengan tahun sebelumnya. f. Tahun 2002, tarif yang besarnya 10 persen tidak berubah, namun yang besarnya 15 persen menjadi sebesar 10 persen; dan g. Pada tahun 2003, tarif bea masuk yang pada tahun sebelumnya sebesar 10 persen menjadi setinggi-tingginya sebesar 10 persen. Sehubungan dengan itu basarnya penerimaan bea masuk pada tahun anggaran 1996/1997 yang direncanakan sebesar Rp 3.450,5 miliar, kemungkinan tidak akan tercapai dalam realisasinya. 2.2.2.2.6. Cukai Perundang-undangan tentang pungutan cukai yang berlaku sampai dengan tahun anggaran 1995/1996 adalah perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Belanda yang di antatanya seperti Ordonansi Cukai Minyak Tanah (Stbl. 1886 Nomor 249), Cukai Alkohol Sulingan (Stbl. 1898 Nomor 249), Cukai Bir (Stbl. 1931 Nomor 488 dan 489), Cukai Tembakau (Stbl. 1932 Nomor 517), Cukai Gula (Stbl. 1933 Nomor 251), dan peraturan perundangan lainnya. Ordonansi cukai yang menjadi dasar pemungutan cukai selama ini dirasakan bersifat diskriminatif terhadap pengenaan atas impor barang kena cukai, karena atas impor seperti gula, tembakau, dan minyak tanah dikenai cukai, sedangkan untuk bir dan alkohol sulingan tidak. Di samping itu, objek kena cukai terbatas, padahal dalam pembangunan nasional diperlukan sumber dana yang cukup terutama yang bersumber dari dalam negeri. Oleh karena itu untuk menambah dana bagi pembiayaan pembangunan perlu digali sumber-sumber yang potensial termasuk objek/barang yang dapat dikenakan cukai. Untuk menampung upaya tersebut diperlukan undang-undang baru sebagai pengganti, yaitu dengan diberlakukannya Undangundang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang berlaku mulai 1 April 1996. Kebijaksanaan pemungutan cukai yang ditempuh selama ini tidak semata-mata untuk mengisi kas negara, tetapi juga bertujuan untuk membina dan mengatur. Di samping memperhatikan unsur keadilan dalam keseimbangan, juga memperhatikan pemberian insentif yang bermanfaat, pembatasan dalam rangka perlindungan masyarakat serta pengawasan dan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 55 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undangundang tersebut. Dalam hubungan ini, kebijaksanaan yang dilakukan adalah dengan melakukan penyesuaian tarif dan harga dasar yang digunakan untuk menghitung cukai, karena basarnya penerimaan cukai tergantung dari jumlah barang kena cukai, tarif, dan harga dasar. Dengan demikian apabila di antara ketiga besaran tersebut ada yang berubah maka jumlah penerimaan cukai juga akan ikut terpengaruh. Pada bulan April 1996 ketentuan-ketentuan dalam undang-undang cukai mulai diterapkan. Jenis barang-barang yang dikenakan cukai dikelompokkan menjadi hasil tembakau, etil alkohol (etanol), dan minuman serta konsentrat yang mengandung etanol. Sementara itu, gula dan minyak tanah bukan lagi dianggap sebagai barang kena cukai, sehingga tidak dikenakan cukai. Untuk melaksanakan undang-undang tersebut telah dikeluarkan peraturan sebagai dasar pengenaan cukai hasil tembakau, yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 229 Tahun 1996 ten tang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau yang ditetapkan secara advalorem (persentase) dan mulai berlaku pada 1 Mei 1996. Dalam keputusan tersebut, basarnya tarif cukai hasil tembakau digolongkan pada cara pembuatannya yaitu jenis produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret kretek nonmesin (yang terdiri dari sigaret kretek tangan/SKT, klobot, dan klembak kemenyan) dan berdasarkan jumlah masing-masing produksi (mesin dan nonmesin) dalam satu tahun takwim. Adapun ketentuan tarif tersebut adalah sebagai berikut : a. Untuk jenis SKM : produksi di atas 5 miliar batang besarnya tarif adalah 36 persen, produksi antara 2,5 sampai dengan 5 miliar batang sebesar 28 persen, sampai dengan 2,5 miliar batang antara 20 sampai dengan 24 persen. b. Untuk jenis SKT : produksi di atas 5 miliar tarifnya sebesar 16 persen, produksi di atas 2,8 juta sampai dengan 5 miliar tarifnya antara 4 sampai dengan 8 persen, dan produksi sampai dengan 2,8 juta tarifnya sebesar 2 persen. c. Untuk jenis sigaret putih mesin (SPM) : harga per batang antara Rp 25 sampai dengan Rp 75, tarifnya antara 20 sampai dengan 34 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 56 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 persen, harga per batang di atas Rp 75, tarifnya sebesar 38 persen. d. Untuk jenis klobot (KLB) dan klembak kemenyan (KLM) dikenakan tarif antara 1 sampai dengan 8 persen, dan untuk cerutu dikenakan tarif an tara 1 sampai dengan 10 persen. e. Untuk produk hasil tembakau yang berasal dari impor, tarif cukai untuk jenis SKM sebesar 38 persen, SKT sebesar 16 persen, SPM sebesar 38 persen, cerulli dan tembakau iris sebesar 1 sampai dengan 10 persen. Sehubungan dengan itu besarnya penerimaan cukai hasil tembakau dalam tahun anggaran 1996/1997 dianggarkan sebesar Rp 3.923,0 miliar, yang berarti lebih tinggi sebesar Rp 438,7 miliar atau 12,6 persen dari perkiraan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp 3.484,3 miliar. Besarnya penerimaan cukai hasil tembakau tersebut merupakan akibat dari adanya kenaikan jumlah produksi dan kenaikan harga dari produk hasil tembakau. Sedangkan untuk cukai etanol dan minuman yang mengandung etanol serta konsentrat yang mengandung etanol, dikenakan tarif setinggi-tingginya 250 persen bila harga dasar yang digunakan sebagai dasar pemungutan adalah harga jual pabrik (HJP), dan 55 persen apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran (HJE). Besarnya tarif tersebut dapat diubah dari persentase harga dasar (advalorem) menjadi dalam rupiah (spesif1k) untuk setiap satuan barang kena cukai, atau sebaliknya, dan dapat pula merupakan gabungan dari advalorem dan spesifik. Sehubungan dengan itu, untuk menghitung besarnya cukai atas produk minuman dan konsentrat yang mengandung etanol telah ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231 Tahun 1996 tentang Penetapan Tarif Minuman yang Mengandung Etil Alkohol dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol dengan sistem spesifik. Dalam keputusan tersebut besarnya cukai untuk minuman yang mengandung etanol digolongkan berdasarkan harga jual eceran per liter dan atau banyak sedikitnya kadar etanol yang terkandung dalam produk tersebut. Besarnya tarif tersebut adalah, untuk produk minuman yang mengandung kadar etanol sampai dengan 2 persen dengan harga jual eceran per liternya sampai dengan Rp 4.000, tarifnya sebesar Rp 500, kemudian dengan harga jual di atas Rp 4.000 sampai dengan Rp 10.000 per liter dengan kandungan di atas 2 sampai dengan 7 persen, besarnya tarif adalah Rp 750. Selanjutnya, untuk minuman yang harganya diatas Rp 10.000 sampai dengan Rp 60.000 per liter dengan kadar di atas 7 sampai dengan 20 persen, tarifnya sebesar Rp 1.500. Kemudian untuk minuman dengan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 57 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 harga di atas Rp 60.000 sampai dengan Rp 200.000 per liter dan mempunyai kadar etanol di atas 20 sampai dengan 45 persen, tarifnya sebesar Rp 10.000. Sedangkan untuk yang harganya di atas Rp 200.000 dengan kadar di atas 45 persen, tarif cukainya sebesar Rp 50.000. Untuk tarif cukai konsentrat yang mengandung etanol besarnya cukai adalah Rp 25.000 per liter. Sehubungan dengan ketentuan yang baru tersebut, besarnya penerimaan cukai etanol dan minuman serta konsentrat yang mengandung etanol direncanakan sebesar Rp 110,0 miliar atau 2,7 persen dari total cukai dalam APBN-nya. Dengan demikian secara keseluruhan penerimaan cukai dalam tahun anggaran 1996/1997 mencapai sebesar Rp 4.033,0 miliar atau lebih tinggi sebesar Rp 365,3 miliar atau 10,0 persen dari realisasi tahun anggaran sebelumnya yang jumlahnya mencapai sebesar Rp 3.667,7 miliar. Sementara itu, dalam tahun anggaran 1994/1995 realisasi penerimaan cukai mencapai sebesar Rp 3.153,3 miliar. Perlu kiranya ditambahkan bahwa penerimaan cukai selama P1P I terus mengalami kenaikan, yaitu dari sebesar Rp 32,5 miliar pada tahun anggaran 1969/1970 menjadi sebesar Rp 2.625,8 miliar pada tahun anggaran 1993/1994 atau naik ratarata sebesar 20,1 persen per tahun. Usaha-usaha untuk mengoptimalkan penerimaan cukai antara lain adalah dengan meningkatkan pengawasan terhadap tindak pemalsuan atas pita cukai hasil tembakau dan peredaran atas minuman dan konsentrat yang mengandung etanol termasuk di dalamnya adalah minuman keras (miras), di samping itu juga terus diupayakan peningkatan pemberantasan terhadap penyelundupan barang kena cukai. Perkembangan jenis penerimaaan cukai dapat diamati pada Tabel II.3. 2.2.1.2.7. Pajak ekspor Penerimaan pajak ekspor yang berasal dari pungutan atas ekspor barang-barang tertentu, selama PJP I sangat berfluktuasi. Ada periode di mana penerimaan pajak ekspor meningkat, namun ada pula periode di mana penerimaan tersebut mengalami penurunan. Pada dasarnya penerimaan pajak ekspor tidak terlepas dari berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan sebelumnya, seperti dikenakannya tarif pajak ekspor yang cukup tinggi atas ekspor kayu gergajian, kayu olahan, rotan, kulit yang disamak dan kelompok barang-barang tertentu. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534 Tahun 1992 tentang Penetapan Besarnya Tarif dan Tata Cara Pembayaran serta Penyetoran Pajak Ekspor dan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 58 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 atau Pajak Ekspor Tambahan, yang ditujukan untuk memacu ekspor barang jadi, memperluas kesempatan kerja, mendorong industri hilir dan untuk meningkatkan devisa. Selain itu yang besar pengaruhnya terhadap peningkatan penerimaan pajak ekspor, adalah dikenakannya pajak ekspor atas produk kelapa sawit dengan tarif yang bervariasi antara 40 persen dan 75 persen, apabila harga minyak goreng di dalam negeri di atas Rp 1.250 per kilogram, seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439 Tahun 1994 tentang Pengenaan Pajak Ekspor Atas Ekspor Crude Palm Oil (CPO), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO), Crude Olein dari Refined Bleached Deodorized Olein (RBD Olein). Kebijaksanaan tersebut bertujuan untuk mengendalikan harga jual minyak goreng di dalam negeri agar tidak terjadi peningkatan yang terlalu besar. Sedangkan sejak 1 September 1994 secara berkala setiap bulan diterbitkan keputusan Menteri Keuangan mengenai harga ekspor yaitu harga FOB untuk masing-masing komoditi berdasarkan harga rata-rata di pasar internasional selama dua minggu terakhir. Sementara itu, untuk mendorong pertumbuhan industri pengolahan kayu cendana di dalam negeri serta dalam rangka menjaga kelestarian tanaman kayu cendana, terhadap produk olahan kayu cendana juga dikenakan tarif pajak ekspor yang besarnya US$ 2.400 per ton dari US$ 4.800 per ton, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336 Tahun 1994. Sementara itu, dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 46 tahun 1996, telah dilakukan penurunan tarif pajak ekspor sampai nol persen untuk komoditi ekspor seperti kulit ternak olahan, sisa aluminium dari skrap alloy (tarif pas 3004, 5052 dari 5182) serta aneka dupa wangi dari kayu cendana. Dengan adanya berbagai kebijaksanaan tersebut penerimaan pajak ekspor dalam tahun anggaran 1995/1996 mencapai sebesar Rp 200,8 miliar atau lebih tinggi sebesar Rp 70,2 miliar dari tahun anggaran sebelumnya atau meningkat sebesar 53,8 persen. Berdasarkan perkembangan tersebut, maka dalam tahun anggaran 1996/1997 penerimaan pajak ekspor dianggarkan sebesar Rp 160,1 miliar. Adapun perkembangan penerimaan perpajakan dapat dilihat pada Tabel 11.4. 2.2.2.3. Penerimaan negara bukan pajak Penerimaan negara bukan pajak meliputi penerimaan yang berasal dari departemen/ lembaga pemerintah non departemen dari bagian pemerintah atas laba BUMN. Penerimaan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 59 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel II.3 PENERIMAAN CUKAI, 1969/1970 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) Cukai Cukai Tembakau lainnya Tahun Jumlah -1 -2 -4 -3 REPELITA I 1969/1970 28,4 32,5 4,1 1970/1971 11,6 12,9 1,3 1971/1972 29,9 38,1 8,2 1972/1973 39 49,1 10,1 1973/1974 52,6 62,6 10 REPELITA II 1974/1975 66 75,9 9,9 1975/1976 72,5 85,6 13,1 1976/1977 112,8 132,9 20,1 1977/1978 152,9 174,9 22 1978/1979 212,3 232,6 20,3 REPELITA III 1919/1980 291,1 318,7 27,6 1980/1981 392,5 433 40,5 1981/1982 455,1 526,9 71,8 1982/1983 575,6 632 56,4 1983/1984 739,1 822 82,9 REPELITA IV 1984/1985 782,8 873,8 91 1985/1986 778,4 879,9 101,5 1986/1987 944,1 1.002,60 58,5 1987/1988 1.034,80 1.105,40 70,6 1988/1989 1.320,70 1.410,40 89,7 REPELITA V 1989/1990 1.398,10 1.482,20 84,1 1990/1991 1.713,80 1.799,80 86 1991/1992 1.703,30 1.915,00 211,7 1992/1993 2.116,40 2.241,60 125,2 1993/1994 2.470,40 2.625,80 155,4 REPELITA VI 1994/1995 2.647,50 3.153,30 505,8 1995/1996 2) 3.484,30 3.667,70 183,4 1996/1997 3) 3.923,00 4.033,00 110 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Depertemen Keuangan Republik Indonesia 60 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 departemen/lembaga pemerintah non departemen antara lain dalam bentuk iuran, retribusi, penjualan barang milik negara yang dilakukan secara lelang umum maupun terbatas, penyewaan, peminjaman, pengontrakan barang/fasilitas negara, serta pungutan-pungutan di masing-masing departemen/ lembaga pemerintah non departemen sehubungan dengan pemberian pelayanan jasa kepada masyarakat. Sedangkan penerimaan yang berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN adalah penerimaan yang diperoleh sehubungan dengan keikutsertaan pemerintah dalam mengelola BUMN, antara lain berupa dividen dari dana pembangunan semesta. Dalam rangka meningkatkan peranannya terhadap penerimaan dalam negeri, maka telah ditempuh berbagai upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak. Upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah non departemen ditempuh melalui penyempurnaan administrasi pengelolaan, yang meliputi tata cara penyetoran, intensifikasi pemungutan yang disertai penyesuaian besarnya tarif dengan kondisi perekonomian, serta peningkatan pengawasan di dalam pelaksanaannya. Bersamaan dengan itu, dalam rangka meningkatkan penerimaan yang berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN, telah dilakukan pembinaan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap BUMN. Implementasi dari kebijaksanaan tersebut antara lain berupa pemantapan organisasi, penegasan fungsi, dan penyempurnaan pola pengembangan, agar BUMN semakin produktif, efektif, dan efisien. Peningkatan pembinaan BUMN dilakukan melalui pemberian arahan yang lebih tepat mengenai strategi perusahaan dan peningkatan upaya efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam setiap kegiatan operasionalnya, penghematan biaya, dan meningkatkan pengawasan kinerjanya. Langkah-langkah yang diambil Pemerintah tersebut telah membuahkan hasil yang menggembirakan, yang tercermin dari peningkatan jumlah BUMN yang kinerjanya tergolong sehat dan sehat sekali, bahkan beberapa BUMN seperti PT Indosat, PT Timah, PT Telkom dan PT BNI 46 telah melakukan penjualan saham, baik melalui bursa domestik maupun bursa internasional. Dengan adanya berbagai kebijaksanaan tersebut, kontribusi penerimaan BUMN dalam keseluruhan penerimaan negara bukan pajak dapat ditingkatkan. Sementara itu, dengan semakin meningkatnya laba BUMN, diharapkan BUMN dapat membina para pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi. Sehubungan dengan itu telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1232 Tahun 1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Depertemen Keuangan Republik Indonesia 61 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tahun Tabel II.4 PENERIMAAN PERP AJAKAN, 1969/1970 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) Pajak Pajak Bumi Pajak Pertambahan Bea Cukai Pajak Penghasilan 2) Masuk Bangunan 4) Ekspor Nilai 3) REPELITA I 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 REPELITA II 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 REPELITA III 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 REPELITA IV 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 REPELITA V 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 REPLITA VI 1994/1995 1995/1996 6) 1996/1991 1) Pajak Lainnya 5) Jumlah 41,7 49,2 77,5 91 142 30 39,8 39,3 67,4 102,8 58,3 93,4 69 76,1 128,9 32,5 12,9 38,1 49,1 62,6 7,1 21,2 28,4 34,7 69,7 0,1 0 0,2 13,4 25,5 3,4 4,3 6,6 7,4 15,4 173,1 220,8 259,1 339,1 546,9 229,7 301,9 378,5 488,8 562 154,1 199,4 262,5 293 328,1 160,3 228,1 254,2 292,4 320,9 75,9 85,6 132,9 174,9 232,6 70,7 61 64,2 79,9 158,2 29,6 36,3 46,5 80,1 117 17,3 19,6 11,9 13,3 17,6 737,6 931,9 1.150,70 1.422,40 1.736,40 798,7 1.113,10 1.343,50 1.676,40 1.970,00 331,3 463,4 560,9 706,4 813,8 351,2 478,4 507,9 516,9 591,8 318,7 433 526,9 632 822 389,7 302,6 127,2 82,9 103,6 74,9 94,8 101,9 115,8 156,4 19,4 26,4 33,5 40,1 46,7 2.283,90 2.911,70 3.201,80 3.770,50 4.504,30 2.042,40 2.070,90 2.602,70 2.876,20 4.432,30 873,5 2.190,80 2.985,60 3.826,30 4.367,40 541,3 674,3 1.269,30 1.441,50 1.376,10 873,8 879,9 1.002,60 1.105,40 1.410,40 85,5 48,3 80,3 180,3 140,9 212,7 164,7 239,3 211,9 361,9 164,5 300,6 302,5 288,9 255,6 4.793,70 6.329,50 8.482,30 9.930,50 12.344,60 5.754,80 8.250,00 9.727,00 12.516,30 14.758,90 5.986,10 8.119,20 9.145,90 10.742,30 13.943,50 1.892,20 2.799,80 2.871,10 3.223,30 3.555,30 1.482,20 1.799,80 1.915,00 2.241,60 2.625,80 173,3 39,8 17,1 8,8 13,7 604,4 785,8 944,4 1.1 06,8 1.484,50 191,1 216,5 298,8 252,4 283,4 16.084,10 22.010,90 24.919,30 30.091,50 36.665,10 18.764,10 20.520,00 23.708,00 16.544,80 18.350,00 21.788,40 3.900,10 3.247,90 3.450,50 3.153,30 3.667,70 4.033,00 130,6 200,8 160,1 1.647,30 1.924,00 2.277,30 301,9 510 569,8 44.442,10 48.420,40 55.987,10 1) Realisasi PAN 2) Sampai dengan tahun 1983/1984, terdiri dari pajak pendapatan, pajak persernan, MPO dan PBDR 3) Sampai dengan tahun 1984/1985, terdiri dari pajak penjualan dan pajak penjualan impnr Sejak tahun 1985/1986, terdiri dari PPN dan PPnBM 4) Sampai dengan tahun 1984, terdiri dari lpeda dan pajak kekayaan 5) Terdiri dari penerimaan bea meterai dan bea lelang 6) APBN Perubahan (APBN-P) 7) APB Lemah dan Koperasi Melalui Badan Usaha Milik Negara. Pedoman tersebut menetapkan kewajiban BUMN untuk menyisihkan dana sebesar 1 persen sampai dengan 5 persen dari laba setelah pajak untuk pengembangan usaha kecil dan koperasi. Dana tersebut kemudian disalurkan untuk meningkatkan kemampuan manajemen, mengatasi masalah kekurangan modal kerja, Depertemen Keuangan Republik Indonesia 62 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 meningkatkan keterampilan berproduksi dan pemasaran, serta memberikan jaminan untuk memperoleh kredit bank. Dalam perkembangannya, ketentuan penyisihan laba BUMN tersebut mengalami penyempurnaan, di mana sejak tahun 1996 dana yang disisihkan untuk pembinaan pengusaha keeil dan koperasi diturunkan menjadi 1 sampai dengan 3 persen, dan pada saat yang bersamaan disisihkan dana sebesar 2 persen dari laba setelah pajak untuk pembinaan keluarga prasejahtera dan sejahtera 1. Dengan adanya bantuan dan pembinaan oleh BUMN tersebut, diharapkan koperasi dan usaha kecil menengah dapat berkembang semakin kuat, yang pada gilirannya nanti dapat memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Dengan adanya berbagai upaya tersebut, realisasi penerimaan negara bukan pajak dari tahun ke tahun senantiasa mengalami peningkatan yang cukup besar. Jika dalam tahun pertama RepelitaI (1969/1970) realisasi penerimaan negara bukan pajak baru mencapai Rp 7,4 miliar, maka dalam tahun terakhir Repelita V realisasinya mencapai sebesar Rp 4.624,0 miliar. Dengan demikian secara keseluruhan dalam PJP I realisasi penerimaan negara bukan pajak telah meningkat rata-rata sebesar 30,8 persen. Selanjutnya dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995) realisasi penerimaan negara bukan pajak mencapai sebesar Rp 6.432,7 miliar, yang berarti 39,1 persen lebih tinggi dari realisasinya dalam tahun terakhir Repelita V. Kemudian dalam tahun kedua Repelita VI (1995/1996) realisasi penerimaan negara bukan pajak meningkat lagi menjadi Rp 7.801,1 miliar, atau meningkat 21,3 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997) penerimaan negara bukan pajak dianggarkan sebesar Rp 7.267,8 miliar. 2.2.2.4 Laba bersih minyak (LBM) Penerimaan laba bersih minyak (LBM), yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, merupakan selisih lebih dari hasil penjualan BBM di dalam negeri terhadap biaya pengadaannya. Sebaliknya, bila hasil penjualan BBM lebih kecil dari biaya pengadaannya, maka akan terjadi subsidi BBM. Hasil penjualan bahan bakar di dalam negeri sangat dipengaruhi oleh harga BBM dan volume penjualannya di dalam negeri. Sedangkan biaya pengadaan BBM dipengarnhi oleh harga minyak di pasar intemasional, nilai tukar rupiah terhadap valuta asing khususnya dolar Amerika Serikat, serta kondisi perminyakan di dalam negeri setiap tahunnya. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 63 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Perkembangan harga minyak mentah di pasar intemasional sangat besar pengaruhnya dalam struktur biaya pengadaan BBM di dalam negeri, karena minyak mentah yang diolah menjadi BBM diperhitungkan dengan harga di pasar dunia. Dengan demikian naiknya harga minyak di pasar intemasional menyebabkan naiknya biaya pengadaan BBM. Dalam keadaan tingginya harga minyak mentah di pasar dunia, Pemerintah harus memberikan subsidi untuk mengimbangi kenaikan biaya pengadaan BBM di dalam negeri pada tingkat harga BBM yang telah ditetapkan pemerintah. Untuk mengurangi beban kenaikan biaya pengadaan BBM tersebut, Pemerintah telah melakukan penyesuaian harga BBM di dalam negeri. Dalam Repelita I dan II telah dilakukan penyesuaian harga BBM masing-masing sebanyak 3 kali dan 6 kali. Sedangkan dalam Repelita IV telah dilakukan penyesuaian sebanyak 2 kali, begitu juga dalam Repelita V sebanyak 3 kali. Sesuai dengan Keputusan Presiden tahun 1993, tingkat harga BBM di dalam negeri yang berlaku hingga saat ini adalah antara lain untuk jenis premium sebesar Rp 700,00 per liter, minyak tanah sebesar Rp 280,00 per liter, dan minyak solar sebesar Rp 380,00 per liter. Dalam perkembangannya, penerimaan LBM mencapai sebesar Rp 2.320,6 miliar pada akhir Repelita V, di mana pada waktu itu harga minyak relatif rendah. Sementara itu dengan semakin membaiknya harga minyak mentah dalam tahun anggaran 1994/1995, penerimaan LBM mencapai sebesar Rp 2.005,8 miliar atau mengalami penurunan sebesar 13,6 persen. Sedangkan dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan LBM mencapai sebesar Rp 487,6 miliar dan untuk APBN 1996/1997, penerimaan LBM dianggarkan sebesar Rp 827,8 miliar. Namun dengan realisasi harga minyak Indonesia yang meningkat, dalam semester I 1996/1997 justru harus dibayar subsidi BBM sebesar Rp 358,5 miliar. Selanjutnya dalam Tabel II.5 dan Grafik II.1 dapat diikuti perkembangan penerimaan dalam negeri yang meliputi penerimaan migas. penerimaan perpajakan, dan penerimaan bukan pajak. sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan tahun ketiga Repelita VI. 2.2.3. Penerimaan pembangunan Pembangunan nasional selama ini di samping dibiayai oleh sumber dana dari dalam negeri, seperti tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat, juga didukung oleh sumber dana dari luar negeri, antara lain berupa bantuan luar negeri dan penanaman modal asing. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 64 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Dalam kaitannya dengan bantuan luar negeri yang diterima dan dicatat sebagai penerimaan pembangunan dalam APBN, kebijaksanaan penerimaannya tetap berpedoman pada kebijaksanaan umum yang digariskan dalam GBHN, di mana bantuan luar negeri tersebut harus merniliki jangka waktu pengembalian yang panjang dengan persyaratan yang selunak mungkin, tidak disertai dengan ikatan politik, disesuaikan dengan batas kemampuan untuk membayar kembali, dan tidak menimbulkan beban yang terlalu memberatkan. Di samping itu, kebijaksanaan penerimaan bantuan luar negeri juga selalu dikaitkan dengan pertimbangan tujuan penggunaannya, dan kaitannya dengan kebijaksanaan ekonomi lainnya, seperti kebijaksanaan fiskal, kebijaksanaan moneter, dan kebijaksanaan perdagangan luar negeri. Penerimaan bantuan luar negeri yang diterima selama ini berasal dari negara-negara dan badan-badan internasional yang tergabung dalam Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI), yang sejak tahun 1992 berubah menjadi Consultative Group for Indonesia (CGI), dan negara-negara non IGGI/CGI lainnya. Di samping dari kedua sumber tersebut, penerimaan pembangunan juga diterima dari lembaga keuangan internasional lainnya, antara lain berupa kredit ekspor, pinjaman komersial, dan leasing. Sesuai dengan kondisi Indonesia dalam Repelita I, yaitu sulitnya kebutuhan pokok sehari-hari, sangat kecilnya cadangan devisa, dan kurangnya modal untuk memperbaiki berbagai prasarana dan sarana ekonorni, penerimaan pembangunan didominasi oleh bantuan program. Penerimaan pembangunan dalam periode tersebut mencapai sebesar Rp 554,6 miliar atau membiayai sekitar 51 persen pembiayaan pembangunan, sekitar 75 persennya berupa bantuan program. Bantuan berupa bantuan pangan dan non pangan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat dan menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok di dalam negeri, sedangkan bantuan berupa devisa kredit digunakan untuk memenuhi tambahan dana rupiah untuk perbaikan prasarana dan sarana ekonorni dan kelangkaan devisa yang sangat diperlukan pada saat itu. Sejalan dengan berkembangnya pembangunan, pada tahap-tahap selanjutnya proporsi penerimaan pembangunan dalam pembiayaan pembangunan cenderung mengecil dan lebih banyak berupa bantuan proyek, yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Dalam bantuan proyek ini termasuk pula bantuan teknik, terutama berupa bantuan tenaga ahli dari luar negeri, serta pengiriman tenaga-tenaga Indonesia keluar negeri untuk belajar. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 65 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel II.5 PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1969/1970 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) . Penerimaan Penerimaan Penerimaan Penerimaan Tahun minyak bumi perpajakan bukan dalam negeri dan gas alam pajak REPELITA I 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 REPELITA II 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 REPELITA III 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 REPELITA IV 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 REPELITA V 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 REPELIA VI 1994/1995 1995/1996 3) 1996/1997 4) 48,3 68,8 112,7 196,5 347,5 173,1 220,8 259,1 339,1 546,9 24,8 2) 49,0 2) 41,9 2) 56,2 2) 80,8 2) 246,2 338,6 413,7 591,8 975,2 957,3 1.200,60 1.586,80 1.936,60 2.264,70 737,6 931,9 1.150,70 1.422,40 1.736,40 75,7 111,8 2) 129,0 2) 1526 2) 245:9 2) 1.770,60 2.244,30 2.866,50 3.511,60 4.247,00 4.260,30 6.773,60 8.627,90 8.160,40 11.350,10 2.283,90 2.911,70 3.201,80 3.770,50 4.504,30 189,0 2) 248,0 2) 332,7 442,9 512,3 6.733,20 9.933,30 12.162,40 12.373,80 16.366,70 10.429,90 12.924,60 6.687,20 10.083,30 9.536,40 4.793,70 .6.'329,5 8.482,30 9.930,50 12.344,60 707,7 1.685,30 2.215,8 2) 1.716,90 1.532,80 15.931,30 20.939,40 17.385,30 21.7Q;7 23.413,80 13.381;3 17,740,0 15.069,60 15.330,80 12.503,40 16.084,10 22.010,90 24.919,30 30.091,50 36.665,10 2.038,80 2.442,10 2.593,10 3.440,30 6.9446 2) 31.504,20 42.193,00 42.582,00 48.862,60 56.113,10 13.537,40 14.848,70 14.120,10 44.442,10 48.420,40 55.987,10 8.48,5 2) 8.2S8,72) 8.095,6 2) 66.418,00 71.557,80 18.202,80 1) Realisasi PAN 2) Termasuk LBM 3) APBN Perubahan (APBN-P) 4) APBN Depertemen Keuangan Republik Indonesia 66 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Dalam Repelita II dan Repelita III penerimaan pembangunan masing-masing mencapai sebesar Rp 1.674,2 miliar dan sebesar Rp 8.003,4 miliar, atau membiayai sekitar 22 persen dan 25 persen dari pembiayaan pembangunan, dengan bantuan program masing-masing mencapai hanya sekitar 11 persen dan 3 persen dari keseluruhan penerimaan pembangunan dalam masingmasing periode tersebut. Dalam Repelita IV, penerimaan pembangunan meningkat kembali menjadi sebesar Rp 25.803,1 miliar atau membiayai sekitar 50 persen pembiayaan pembangunan, mendekati peranannya dalam Repelita I, dengan proporsi bantuan program dalam penerimaan pembangunan meningkat kembali menjadi sekitar 21 persen. Bahkan dalam tahun terakhir Repelita IV penerimaan pembangunan membiayai sekitar 83 persen pembiayaan pembangunan, dengan proporsi bantuan program dalam penerimaan pembangunan sekitar 26 persen. Meningkatnya penerimaan pembangunan dan proporsi bantuan program dalam Repelita IV berkaitan dengan menurunnya penerimaan negara yang pada saat itu masih didominasi penerimaan migas, sebagai akibat menurunnya secara tajam harga minyak bumi di pasar internasional. Harga minyak yang dalam beberapa tahun sebelumnya masih berada di atas US$ 25,00 per barel, dalam bulan April 1986 menurun menjadi sekitar US$ 11,00 per barel, dan bahkan dalam bulan Agustus 1986 sempat berada di bawah US$ 10,00 per barel. Turunnya penerimaan migas secara tajam tersebut, perlu dicarikan pengganti berupa penerimaan pembangunan, terutama bantuan program yang dapat dirupiahkan, untuk pembiayaan dan sebagai dana pendamping bagi proyek-proyek pembangunan. Dalam tahap selanjutnya, yaitu Repelita V yang merupakan tahap terakhir pembangunan jangka panjang pertama, penerimaan pembangunan mencapai sebesar Rp 48.537,3 miliar atau membiayai sekitar 43 persen dari pembiayaan pembangunan. Menurunnya proporsi penerimaan pembangunan dalam pembiayaan pembangunan dalam periode ini berkaitan dengan mulai bergesernya struktur penerimaan negara yang semula didominasi oleh penerimaan migas ke penerimaan negara yang lebih stabil, yaitu penerimaan di luar migas, terutama penerimaan perpajakan. Peningkatan penerimaan di luar migas ini merupakan hasil dari pembaharuan menyeluruh sistem perpajakan nasional sejak tahun 1983, disertai dengan berbagai deregulasi dan debirokratisasi yang dilaksanakan baik di sektor keuangan maupun di sektor riil sejak tahun 1983. Sejalan dengan makin meningkatnya kemampuan pengerahan dana dalam negeri terutama yang berasal dari sektor perpajakan, dalam 3 tahun pertama Repelita VI proporsi penerimaan ptimbangunan dalam pembiayaan pembangunan cenderung menurun Depertemen Keuangan Republik Indonesia 67 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kembali. Di samping itu, seluruh penerimaan pembangunan sejak tahun terakhir Repelita V hingga tahun ketiga Repelita VI seluruhnya berupa bantuan proyek. Apabila dalam tahun terakhir Repelita V penerimaan pembangunan mencapai sebesar Rp 10.752,5 miliar, atau membiayai sekitar 38 persen dari keseluruhan pembiayaan pembangunan, dalam tahun pertama Repelita VI penerimaan pembangunan tersebut mencapai sebesar Rp 9.837,8 miliar dan peranannya dalam pembiayaan pembangunan menurun menjadi sekitar 32 persen. Sementara itu, dalam tahun kedua Repelita VI penerimaan pembangunan mencapai sebesar Rp 11.170,0 miliar dan dalam tahun ketiga dianggarkan sebesar Rp 12.413,6 miliar. Rincian perkembangan penerimaan pembangunan, yang terdiri dari bantuan program dan bantuan proyek, dapat dilihat pada Tabel II.6. 2.2.4. Pengeluaran rutin Kebijaksanaan pengeluaran rutin merupakan salah satu instrumen kebijaksanaan fiskal yang diarahkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pemerintahan yang bersifat rutin dan terus-menerus, dan sekaligus merupakan kebijaksanaan yang diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan tabungan pemerintah. Dengan demikian, kebijaksanaan pengeluaran rutin mempunyai peranan dan fungsi yang cukup penting bukan saja dalam menunjang kelangsungan dan kelancaran jalannya roda pemerintahan, peningkatan jangkauan dan mutu pelayanan kepada masyarakat, serta terpeliharanya berbagai aset negara, tetapi lebih dari itu juga sangat berperan dalam menunjang terciptanya struktur pembiayaan pembangunan yang lebih mengandalkan ada dukungan sumber pembiayaan dari dalam negeri. Selain daripada itu, pengeluaran rutin juga memegang peranan yang cukup penting dalam mendukung program pemerataan melalui bantuan kepada daerah otonom, serta dalam menjaga kredibilitas perekonomian nasional didunia internasional melalui pemenuhan kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 68 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel II.6 PENERIMAAN PEMBANGUNAN, 1969/1970 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) Tahun Bantuan Bantuan Jumlah program proyek REPELITA I 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 REPELITA II 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 REPELITA III 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 REPELITA IV 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 REPELITA V 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 REPELITA VI 1994/1995 1995/1996 2) 1996/1997 3) 69,2 75,2 92,8 87,2 93,6 12,9 24,3 15,8 34,3 49,3 82,1 99,5 108,6 121,5 142,9 37,6 20,5 22,7 42,9 52,5 169,5 429,9 302,5 210,7 385,4 207,1 450,4 325,2 253,6 437,9 64,4 64,1 45 15,1 14,9 710,7 1.056,50 1.513,60 1.990,90 2.528,20 775,1 1.120,60 1.558,60 2.006,00 2.543,10 69,3 69,2 1.791,20 684,5 2.665,90 1.711,40 2.760,30 3.721,80 4.871,10 7.458,40 1.780,70 2.829,50 5.513,00 5.555,60 10.124,30 965,8 1.346,70 1.385,50 516,5 - 7.364,50 7.034,80 8.589,60 10.581,40 10.752,50 8.330,30 8.381,50 9.975,10 11.097,90 10.752,50 - 9.837,80 11.170,00 12.413,60 9.837,80 11.170,00 12.413,60 1) Rea1isasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Depertemen Keuangan Republik Indonesia 69 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Sebagai salah satu kebijaksanaan pemerintah di bidang fiskal yang diarahkan untuk mendukung pencapaian berbagai tujuan pembangunan sebagaimana ditetapkan dalam GBHN dan Repelita, pengalokasian pengeluaran rutin pada setiap jenis pengeluaran senantiasa sepadan dengap penerimaan dalam negeri dengan tetap mengupayakan peningkatan efisiensi, efektivitas dan peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan efisiensi, efektivitas dan peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat antara lain diupayakan melalui peningkatan kemampuan aparatur pemerintah, pemanfaatan secara optimal biaya operasional dan pemeliharaan, serta penghapusan subsidi secara bertahap. Meskipun demikian, seirama dengan membasarnya organisasi, tugas dan fupgsi pemerintah dalam pelaksanaan operasional pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan, berbagai jenis pengeluaran dalam anggaran belanja rutin pada umumnya mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya. Peningkatan tersebut erat kaitannya dengan semakin besarnya kebutuhan pembiayaan yang diperlukan untuk pembiayaan aparatur pemerintah pusat dan daerah, pembiayaan operasional dan pemeliharaan, pembiayaan untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, serta pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung dan menunjang berbagai program pemerintah lainnya. Dalam kurun waktu pelaksanaan pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) sampai dengan tahun ketiga Repelita VI, pemerintah telah memberikan prioritas yang cukup besar terhadap alokasi anggaran untuk pembinaan, pendayagunaan dan peningkatan kesejahteraan aparatur pemerintah, sehingga diharapkan dapat merangsang peningkatan produktivitas secara lebih optimal. Sedangkan kebijaksanaan pemerintah dalam penyediaan anggaran bagi pembiayaan operasional dan pemeliharaan senantiasa diupayakan tetap mengarah kepada tercapainya daya guna dan hasil guna yang optimal. Hal tersebut erat kaitannya dengan penyediaan dana kegiatan operasional dan pemeliharaan yang masih terbatas, terutama apabila dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat besar dari berbagai instansi dan lembaga pemerintah. Komponen pembiayaan operasional dan pemeliharaan terdiri dari belanja barang dalam negeri, belanja barang luar negeri, belanja non pegawai daerah, dan lain-lain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM. Sementara itu, jenis anggaran belanja rutin lainnya yang mendapat alokasi pembiayaan yang cukup besar adalah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Sejak awal pelaksanaan Repelita I, kebijaksanaan pemerintah dalam pembayaran bunga dan cicilan hutang Depertemen Keuangan Republik Indonesia 70 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 luar negeri senantiasa diarahkan untuk terus memenuhi setiap kewajiban kepada pemberi pinjaman luar negeri sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Bahkan memasuki pelaksanaan PJP II, dalam keadaan keuangan negara memungkinkan, serta dalam batas-batas yang dianggap menguntungkan perekonomian nasional, Pemerintah telah melaksanakan percepatan pembayaran (prepayment) terhadap hutang luar negeri terutama yang suku bunganya relatif tinggi. Kebijaksanaan tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih besar, terutama dalam membina kerja sama dan meningkatkan kepercayaan negara-negara pemberi pinjaman, serta meringankan beban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri di masamasa mendatang. Di samping berbagai pembiayaan tersebut, pengeluaran rutin juga harus mampu menampung pembiayaan yang mendukung berbagai program pemerintah dalam lain-lain pengeluaran rutin. Alokasi yang cukup strategis yang harus disertai sikap hati-hati dari pembiayaan tersebut adalah untuk pembiayaan subsidi BBM. Dalam perkembangannya, pemberian subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak mentah Indonesia di pasar intemasional, volume BBM yang dikonsumsi di dalam negeri, dan penetapan harga BBM dalam negeri. Pemberian subsidi BBM yang semula dimaksudkan untuk mendorong pengembangan sektor industri dan meningkatkan stabilitas ekonomi, seringkali mempunyai dampak sampingan yang berupa penggunaan BBM yang kurang efisien dan bersifat boros. Untuk itu, sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam pengelolaan pengeluaran negara secara efisien dan efektif, serra memberikan manfaat yang sebesar-basarnya bagi masyarakat luas, maka pemberian subsidi BBM diupayakan dapat dikurangi. Upaya untuk mengurangi subsidi BBM tersebut antara lain dilakukan melalui kebijaksanaan penyesuaian harga BBM dalam negeri yang pelaksanaannya dilakukan pada saat yang tepat. Pelaksanaan berbagai strategi dan arab kebijaksanaan tersebut di atas secara keseluruhan telah meningkatkan pengeluaran rutin setiap tahunnya. Dalam periode PJP I, pengeluaran rutin mengalami peningkatan rata-rata per tahun sebesar 24,4 persen, yaitu dari sebesar Rp 213,7 miliar dalam tahun pertama Repelita I menjadi sebesar Rp 40.289,9 miliar pada tahun terakhir Repelita V. Sementara itu, dalam tahun ketiga Repelita VI (APBN 1996/1997), pembiayaan untuk pengeluaran rutin dianggarkan sebesar Rp 56.113,7 miliar, yang berarti 27,3 persen lebih tinggi dari realisasi pengeluaran rutin dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995), yaitu sebesar Rp 44.069,0 miliar. Dengan demikian, selama Repelita VI, pengeluaran rutin mengalami Depertemen Keuangan Republik Indonesia 71 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 peningkatan rata-rata per tahun sebesar 12,8 persen. Ini berarti bahwa sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan tahun ketiga Repelita VI, realisasi pengeluaran rutin telah mengalami peningkatan rata-rata per tahun sebesar 22,9 persen. Perkembangan anggaran be1anja rutin secara rinci sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat diikuti dalam Tabel II.7 dan Grafik II.2. 2.2.4.1. Pembiayaan aparatur pemerintah Sebagai salah satu unsur penunjang dalam usaha memperlancar penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, pembiayaan aparatur pemerintah senantiasa diarahkan untuk memberi dukungan pembiayaan yang memadai bagi upaya peningkatan kualitas dan kemampuan profesionalisme serta penyempurnaan se1uruh unsur aparatur pemerintahan. Dengan demikian diharapkan dapat terwujud aparatur pemerintah yang jujur, bersih, berwibawa, bertanggung jawab dan profesional. Peningkatan kualitas dan kemampuan profesionalisme aparatur pemerintah diperlukan bukan hanya untuk menciptakan aparatur yang mampu melayani, mengayomi, dan peka terhadap berbagai pandangan dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu juga mampu memanfaatkan potensi dan peluang yang ada, serta menumbuhkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dan dunia usaha dalam memajukan pembangunan nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin pesat dan beragamnya kegiatan pembangunan membawa konsekuensi akan kebutuhan aparatur yang berkualitas dan marnpu mengimbangi perkembangan dan meluasnya cakupan penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat. Berkaitan dengan itu, maka pembiayaan aparatur pemerintah diprioritaskan untuk mendukung upaya peningkatan dan penyempurnaan pendayagunaan aparatur pemerintah. Upaya peningkatan dan penyempurnaan pendayagunaan aparatur pemerintah menyangkut bidang yang sangat luas, yang meliputi bidang kelembagaan, bidang ketatalaksanaan, dan bidang kepegawaian. Peningkatan dan penyempurnaan di bidang kelembagaan antara lain dilakukan melalui upaya penataan kembali susunan dan hubungan organisasi dan tata kerja, serta koordinasi pada organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Sedangkan peningkatan dan penyempurnaan di bidang ketatalaksanaan antara lain dilakukan melalui langkah-langkah penyempurnaan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 72 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel II.7 PENGELUARAN RUTIN, 1969/1970 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) Tahun -1 REPELITA I 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 Belanja pegawai Belanja barang -2 -3 Subsidi Bunga dan daerah otonom -4 cicilan hutang Lainlain Jumlah -5 -6 -7 89,4 119,2 148,5 175,3 63,2 84,9 83,9 109,3 2 0,3 0,2 0,5 14,5 27,6 46,7 46,3 44,6 61,5 65,5 97,2 213,7 293,5 344,8 428,6 1973/1974 REPELITA II 233,6 246,7 114,4 74,4 30,6 699,7 1974/1975 376,8 330,2 209,3 69,1 0,3 985,7 1975/1976 552,7 283,8 264 73,1 65,7 1.239,30 1976/1977 626 337,1 306,6 186,2 149,2 1.605,10 1977/1978 844,4 370,2 471,7 224,2 169,3 2.079,80 1978/1979 REPELITA III 975,5 408,9 507,8 521,2 259,3 2.672,70 1979/1980 1.282,40 557,9 672,5 743,9 742,5 3.999,20 1980/1981 1.778,40 694,4 971,9 795,8 1.309,00 5.549,50 1981/1982 2.169,80 957,5 1.233,00 930,5 1.652,20 6.943,00 1982/1983 2.372,80 1.068,50 1.315,90 1.223,20 986,9 6.967,30 1983/1984 REPELITA IV 2.750,80 1.043,60 1.545,40 2.100,50 2.774,90 10.215,20 1984/1985 3.140,80 1.165,00 1.786,80 2.775,70 537,6 9.405,90 1985/1986 3.929,70 1.351,20 2.495,70 3.323,10 906,7 12.006,40 1986/1987 4.438,40 1.311 ,0' 2.769,40 5.058,10 139,8 13.716,7' 1987/1988 4.545,10 1.296,10 2.811,20 8.157,40 530,8 17.340,60 1988/1989 REPELITA V 5.489,20 1.226,60 3.011,10 11.040,20 167,8 20.934,90 1989/1990 6.205,50 1.703,50 3.577,30 11.924,20 .924,7 24.335,20 1990/1991 7.088,00 1.842,10 3.887,50 12.815,80 3.487,70 29.121,10 1991/1992 8.169,70 2.328,10 4.376,40 12.838,20 1.340,60 29.053,00 1992/1993 9.554,20 2.928,50 5.383,50 14.523,50 1.215,70 33.605,40 1993/1994 REPELITA VI 11.144,80 3.032,10 6.908,70 17.163,00 2.041,30 40.289,90 1994/1995 12.595,50 4.318,90 7.272,40 18.402,50 1.479,70 44.069,00 1995/1996 2) 15.371,90 5.274,20 8.343,80 21.434,50 2.116,50 52.540,90 1996/1997 3) 18.280,60 6.589,00 10.012,30 20.226,80 1.005,00 56.113,70 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Depertemen Keuangan Republik Indonesia 73 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 peraturan, ketentuan, dan prosedur administrasi pemerintahan. Sementara itu, upaya peningkatan dan penyempurnaan di bidang kepegawaian dilakukan antara lain melalui penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai, peningkatan kualitas dan pembinaan karier pegawai, dan perbaikan penghasilan pegawai dan pensiun. Arah penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai tidak hanya didasarkan kepada kemampuan keuangan negara, tetapi lebih ditekankan pada upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas, dengan didasarkan kepada keserasian antara beban kerja, tugas pokok dan fungsi organisasi dengan kebutuhan pegawai, baik kuantitas maupun kualitas. Upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas antara lain dilakukan melalui perarnpingan organisasi dan kebijaksanaan zero growth. Upaya perampingan organisasi dilakukan dengan mempertimbangkan penyediaan sumber daya, sehingga tercipta struktur organisasi yang lebih proporsional, efisien, dan efektif serta sesuai denganr misi dan tugas pokok yang diembannya. Sedangkan kebijaksanaan zero growth merupakan kebijaksanaan pengendalian jumlah pegawai negeri dengan mengupayakan agar jumlah pegawai secara keseluruhan tetap. Upaya tersebut dilakukan dengan membatasi pengadaan, pegawai baru sesuai dengan jumlah pegawai yang berhenti, pensiun dan meninggal dunia dalam tahun yang bersangkutan. Zero growth diartikan, bahwa secara nasional jumlah pegawai negeri tetap, narnun alokasi pengadaan pegawai baru bagi tiap departemen/lembaga pemerintah non departemen (LPND) ditetapkan berdasarkan skala prioritas kebutuhan pegawai yang dikaitkan dengan prioritas pembangunan. Dengan demikian pengadaan pegawai baru bagi tiap departemen/LPND tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah pegawai negeri yang berhenti, pensiun dan meninggal dunia. Melalui kebijaksanaan zero growth yang diikuti dengan penetapan persyaratan kualiftkasi yang lebih tinggi bagi pegawai baru untuk jabatan yang sama diharapkan dapat memperlancar proses realisasi, optimalisasi dan peningkatan kualitas pegawai yang ada, sehingga tercipta komposisi pegawai yang sehat sesuai dengan skala prioritas pembangunan. Selain daripada itu, kebijaksanaan zero growth juga diharapkan dapat menghemat anggaran belanja pegawai sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan aparatur pemerintah di masa-masa mendatang. Selain penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai, upaya peningkatan kualitas dan pembinaan karier aparatur pemerintah juga terus diupayakan untuk dapat menunjang upaya peningkatan kegiatan pemerintahan dan pembangunan di berbagai sektor. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 74 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Upaya tersebut antara lain dilakukan melalui penyempurnaan sistem pendidikan dan pelatihan kedinasan, pendidikan jenjang kepangkatan dan jabatan, serta penyediaan bea siswa dalam rangka meningkatkan pendidikan formal bagi pegawai pilihan. Sementara itu untuk menjaring bibit unggul dan untuk mempersiapkan pegawai negeri yang bermutu serta mampu mengantisipasi tantangan dalam pembangunan, selain diupayakan melalui seleksi penerimaan pegawai baru yang ketat dan objektif, juga diupayakan melalui penyempurnaan pendidikan dan pelatihan prajabatan (diklat prajab) dengan diklat prajab pola baru. Materi diklat prajab pola baru tersebut ditekankan pada pembentukan mental, fisik dari disiplin, dengan pembekalan yang mencakup semangat pengabdian, disiplin, dan kepedulian terhadap dinamika masyarakat dan lingkungan, serta wawasan tentang administrasi pemerintahan dan pembangunan. Melalui diklat prajabatan pola baru tersebut diharapkan sejak awal dapat dibentuk sosok pegawai yang bermental baik, mempunyai disiplin dan semangat pengabdian yang tinggi, peka terhadap tuntutan masyarakat yang dilayani, serta mempunyai kemampuan profesionalisme yang mantap. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kemampuan profesionalisme aparatur pemerintah, selain telah dilakukan pengembangan jabatan fungsional, juga diberikan kesempatan kepada pegawai negeri tertentu untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan bidang administrasi, diklat/penyesuaian tugas dan teknis fungsional, serta pendidikan penjenjangan sebagai prasyarat untuk menduduki jabatan tertentu. Di samping itu, kepada aparatur pemerintah juga diberikan diklat teknis jangka pendek untuk meningkatkan keterampilan dalam jenis pekerjaan tertentu, penataran untuk meningkatkan disiplin dan pemahaman mengenai kebijaksanaan pemerintah, serta pendidikan formal yang lebih tinggi, bait di dalam negeri maupun di luar negeri. Sementara itu, dalam rangka memperbaiki kesejahteraan pegawai, tidak hanya dilakukan melalui penyempurnaan sistem penggajian tetapi juga telah dilakukan melalui penyempurnaan pada aspek ketatalaksanaan yang dapat meningkatkan efisiensi pelayanan administrasi kepegawaian. Dengan demikian, kebijaksanaan yang ditempuh Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai tidak hanya menyangkut aspek finansial, tetapi juga aspek non finansial. Peningkatan kesejahteraan secara finansial dilakukan secara bertahap dalam bentuk peningkatan penghasilan, antara lain berupa perbaikan struktur gaji pokok, pemberian gaji bulan ketiga belas, pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP), penyesuaian tunjangan jabatan struktural dan tunjangan isteri/suami, serta perluasan pemberian tunjangan fungsional dan tunjangan daerah terpencil. Sedangkan peningkatan kesejahteraan secara non Depertemen Keuangan Republik Indonesia 75 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 finansial dilakukan dalam bentuk pemberian kemudahan dan fasilitas yang secara langsung berkaitan dengan peningkatan kualitas kesejahteraan, seperti peningkatan pelayanan pemberian pensiun otomatis dan kenaikan pangkat otomatis pada pegawai tertentu, bantuan pemeliharaan kesehatan melalui asuransi kesehatan, peningkatan penyelenggaraan pembayaran gaji melalui bank atau kantor pos terdekat, serta bantuan uang muka perumahan melalui tabungan perumahan. Sejak awal Repelita I, perbaikan struktur gaji pokok pegawai telah dilakukan beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1993, yang berlaku sejak 1 April 1993. Kenaikan gaji pokok memberi arti yang luas bagi penghasilan yang diterima pegawai negeri, mengingat basarnya tunjangan dan uang pensiun dihitung berdasarkan persentase tertentu dari gaji pokok. Selain dari itu, kebijaksanaan menaikkan gaji pokok dimaksudkan pula untuk memperkecil perbedaan penghasilan antara pegawai yang berpangkat terendah dan tertinggi. Apabila berdasarkan PGPS-1968 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1977 perbandingan antara gaji pokok terendah dan tertinggi masing-masing adalah 1 berbanding 25 dan 1 berbanding 10, maka berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 1985 dan PP Nomor 15 Tahun 1993 perbandingannya masing-masing menjadi 1 berbanding 8 dan 1 berbanding 7. Selain gaji pokok, telah pula dilakukan peningkatan terhadap tunjangan isteri/suami dari sebesar 5 persen dari gaji pokok menjadi 10 persen dari gaji pokok terhitung sejak April 1992. Selanjutnya, melalui Keppres Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN, yang merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya, juga dilakukan perubahan yang berkaitan dengan jumlah anak yang dapat memperoleh tunjangan penghasilan dan tunjangan beras. Apabila dalam peraturan terdahulu, yaitu Keppres Nomor 29 Tahun 1984, jumlah anak yang memperoleh tunjangan penghasilan dan tunjangan beras untuk anak adalah sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang anak, maka pada Keppres Nomor 16 Tahun 1994 dibatasi menjadi sebanyak-banyaknya 2 (dua) orang anak. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan profesionalisme aparatur pemerintah, juga telah dikembangkan jabatan fungsional, sehingga memungkinkan pegawai mengembangkan potensinya sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki serta tidak terhambat oleh terbatasnya jabatan struktural yang tersedia. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, diharapkan mutu profesionalisme pegawai negeri sipil dapat dipacu melalui pembinaan karier yang berorientasi Depertemen Keuangan Republik Indonesia 76 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pada prestasi kerja. Di masa-masa mendatang, jabatan fungsional akan terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas-tugas pmerintahan dan pembangunan. Sejalan dengan berbagai kebijaksanaan dalam meningkatkan kesejahteraan pegawai, realisasi belanja pegawai pusat senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila pada awal pelaksanaan Repelita I, realisasi belanja pegawai pusat baru mencapai Rp 89,4 miliar, maka dalam tahun anggaran 1996/1997 disediakan anggaran belanja pegawai pusat sebesar Rp 18.280,6 miliar atau mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21,8 persen per tahun. Dalam periode tersebut realisasi belanja pegawai pusat dalam pelaksanaan Repelita V telah meningkat dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi Rp 11.144,8 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994, yang berarti telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,8 persen setiap tahunnya. Peningkatan realisasi belanja pegawai pusat selama Repelita V antara lain disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) dalam tahun anggaran 1989/1990 dan tahun anggaran 1991/1992, dan kenaikan gaji pokok pegawai dalam tahun anggaran 1993/1994. Begitupun selama Repelita VI, penyediaan anggaran untuk belanja pegawai pusat juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995) realisasi belanja pegawai pusat mencapai sebesar Rp 12.595,5 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 realisasinya mencapai sebesar Rp 15.371,9 miliar. Sementara itu, dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997), disediakan anggaran sebesar Rp 18.280,6 miliar untuk belanja pegawai pusat, yang berarti selama Repelita VI, belanja pegawai pusat mengalami peningkatan rata-rata sebesar 20,5 persen per tahun. Sebagian besar pembiayaan untuk belanja pegawai pusat dipergunakan untuk pembayaran gaji dan pensiun, sehingga realisasi anggaran untuk gaji dan pensiun, juga mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya. Apabila dalam tahun anggaran 1969/1970, realisasi pembayaran gaji dan pensiun mencapai Rp 48,6 miliar, maka dalam APBN 1996/1997 pembayaran gaji dan pensiun dianggarkan sebesar Rp 14.763,0 miliar, yang berarti mengalami peningkatan rata-rata sekitar 23,6 persen setiap tahunnya. Dengan peningkatan tersebut, proporsi pembayaran gaji dan pensiun terhadap total belanja pegawai pusat juga mengalami peningkatan dari sebesar 54,4 persen dalam tahun anggaran 1969/1970 menjadi sebesar 80,8 persen dalam tahun anggaran 1996/1997. Selanjutnya, perkembangan belanja pegawai juga dipengaruhi oleh peningkatan pembiayaan untuk tunjangan beras, uang makan/lauk pauk, lain-lain belanja pegawai dalam Depertemen Keuangan Republik Indonesia 77 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 negeri, dan belanja pegawai luar negeri. Peningkatan tunjangan beras terutama terjadi karena adanya penyesuaian harga pembelian beras kepada Bulog selaras dengan tingkat perkembangan harga pasar. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI, harga pembelian beras sebesar Rp 708 per kilogram, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 harga pembelian beras telah meningkat menjadi Rp 788 per kilogram. Penyesuaian harga pembelian beras juga dilakukan dalam APBN 1996/1997, yaitu menjadi sebesar Rp 868 per kilogram, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 160 atau 22,6 persen dari harga pembelian beras tahun anggaran 1994/1995. Sementara itu, sejalan dengan peningkatan tunjangan beras, pembiayaan uang makan/lauk pauk juga mengalami peningkatan, selain disebabkan oleh adanya penyesuaian biaya makan/lauk pauk, juga disebabkan oleh adanya tambahan biaya uang makan bagi anggota ABRI, pelaut, petugas penjaga lampu suar, pasien rumah sakit pemerintah,.anak asuh dan orang jompo pada panti-panti asuhan negara, serta orang tahanan dan narapidana. Penyesuaian biaya makan/lauk pauk telah diberikan melalui peningkatan biaya makan/lauk pauk untuk anggota ABRI dari Rp 1.800 menjadi Rp 3.000 per orang per hari yang berlaku sejak 1 April 1994. Sementara itu, peningkatan biaya lain-lain belanja pegawai dalam negeri antara lain disebabkan oleh peningkatan honorarium dan uang lembur bagi pegawai yang karena beban tugasnya harus bekerja melebihi. jam kerja yang telah ditetapkan. Selain itu, dalam rangka peningkatan dan kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi dari kerja instansi pemerintah dalam melayani kepentingan masyarakat, dalam lain-lain belanja pegawai dalam negeri juga menampung pembiayaan belanja pegawai swadana bagi kerja instansi pemerintah yang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1991 ditetapkan menjadi unit swadana. Sedangkan peningkatan belanja pegawai luar negeri dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah pegawai pada kantor perwakilan di luar negeri, besarnya gaji pokok dan berbagai tunjangan yang didasarkan pada angka dasar tunjangan luar negeri (ADTLN) dan angka pokok tunjangan luar negeri (APTLN), serta perubahan nilai tukar mata uang dari negara bersangkutan terhadap rupiah. Perkembangan belanja pegawai sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat diikuti dalam Tabel II.8. Pembiayaan aparatur pemerintah mencakup pula belanja pegawai daerah, yang mempakan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk turut mewujudkan aparatur pemerintah daerah yang berdaya guna, berhasil guna, bersih dan berwibawa, serta mampu mewujudkan keserasian dalam pelaksanaan kewajiban dan tugas umum pemerintahan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 78 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 dan pembangunan daerah. Pembiayaan untuk belanja pegawai daerah pada dasarnya merupakan subsidi dari pusat yang selain digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah, juga untuk menampung pengeluaran bagi aparatur pemerintah pusat yang ditempatkan di daerah, seperti guru SD Inpres, serta tenaga medis dari paramedis di pusat-pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Dengan dernikian, belanja pegawai otonom juga diarahkan untuk menunjang terselenggaranya pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan yang memadai. Sesuai dengan perkembangan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan upaya perbaikan kesejahteraan aparatur pemerintah, realisasi belanja pegawai daerah juga senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila pada awal pelaksanaan Repelita IV, realisasi belanja pegawai daerah baru mencapai Rp 1.738,6 miliar, maka dalam tahun anggaran 1988/1989 telah meningkat menjadi Rp 2.754,3 miliar, atau mengalami peningkatan rata-rata sebesar 12,2 persen pertahun. Sedangkan dalam pelaksanaan Repelita V, realisasi belanja pegawai daerah telah meningkat dari Rp 3.348,3 miliar dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi Rp 6.574,8 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994, yang berarti telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 18,4 persen setiap tahunnya. Lebih tingginya peningkatan rata-rata selama Repelita V antara lain disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) dalam tahun anggaran 1989/1990 dan 1991/1992, dan kenaikan gaji pokok pegawai dalam tahun anggaran 1993/1994, yang secara langsung berpengaruh pula pada besarnya pengeluaran untuk belanja pegawai daerah. Sementara itu, selama Repelita VI, belanja pegawai daerah juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995), realisasi belanja pegawai daerah mencapai sebesar Rp 6.918,9 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 realisasinya mencapai sebesar Rp 7.862,8 miliar. Selanjutnya dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997), disediakan anggaran sebesar Rp 9.495,9 miliar, yang berarti selama Repelita VI, belanja pegawai daerah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 17,2 persen per tahun. Dengan demikian, secara keseluruhan jumlah pembiayaan bagi aparatur pemerintah juga terus mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan belanja pegawai pusat dan belanja pegawai daerah. Gambaran lebih rinci dari perkembangan pembiayaan aparatur pemerintah dapat diikuti dalam Tabel II.9. 2.2.4.2. Pembiayaan operasional dan pemeliharaan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 79 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Dalam upaya meningkatkan efisiensi penggunaan dana bagi pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berdimensi jangka panjang, tidak hanya diper1ukan dana investasi yang semakin meningkat bagi pembangunan di berbagai sektor, tetapi juga dibutuhkan alokasi dana yang lebih besar bagi pembiayaan operasional dan pemeliharaan. Dengan demikian berbagai aset hegara dan hasil-hasil pembangunan yang telah ada dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, serta dapat lebih mendorong peningkatan jumlah dan mutu pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Kebutuhan akan semakin besarnya pembiayaan ini merupakan konsekuensi dari semakin beragamnya jumlah dan jenis kegiatan yang harus didukung. Perkembangan struktur organisasi pada beberapa instansi pemerintah dan dibukanya beberapa kantor instansi pemerintah di daerah dan kantor-kantor perwakilan pemerintah di luar negeri guna memenuhi tuntutan kebutuhan, mengakibatkan diperlukannya tambahan prasarana dan sarana kerja, yang pada gilirannya akan berpengamh terhadap kebutuhan dana bagi pembiayaan operasionalnya. Selain daripada itu, semakin rneningkatnya pembiayaan untuk pemeliharaan prasarana dan sarana kerja serta hasil dari proyek-proyek yang telah selesai dibangun turut pula menambah semakin besarnya kebutuhan pembiayaan ini. Pembiayaan untuk pemeliharaan aset-aset negara tersebut tidak kalah pentingnya dengan investasi baru dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, mengingat bahwa antara pengadaan dan pemeliharaan kekayaan negara merupakan satu kesatuan yang terpadu, yang sulit dipisahkan. Dalam keterbatasan kemampuan keuangan negara selama ini, maka prioritas pengalokasian atas setiap jenis pengeluaran menjadi pertimbangan yang penting. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka belanja barang yang merupakan komponen terbesar dalam pembiayaan operasional dan pemeliharaan, penyediaannya belum dapat memenuhi segenap kebutuhan yang ada. Namun demikian, dalam keterbatasan dana yang ada, pengalokasian dananya senantiasa diupayakan tetap mengarah kepada tercapainya daya guna dan hasil guna yang optimal, sehingga keterbatasan kemampuan keuangan negara dalam menyediakan dana tersebut tidak menjadi kendala dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Dalam pengeluaran rutin, pembiayaan operasional dan pemeliharaan dialokasikan untuk belanja barang, baik belanja barang dalam negeri maupun belanja barang luar negeri, belanja non pegawai daerah, dan lain-lain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 80 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tahun -1 REPELITA I 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 REPELITA II 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 REPELITA III 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 REPELITA IV 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 REPELITA V 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 REPELITA VI 1994/1995 1995/1996 2) 1996/1997 3) Tabel II.8 BELANJA PEGAWAI, 1969/1970 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) Tunjangan Gaji dan Uang Lain-lain beras pensiun makan belanja DN -2 -3 -4 -5 Belanja pegawai LN Jumlah -6 -7 24,8 30,4 29 27,4 44 48,6 64 90,6 115,1 151,1 9,2 10,6 11 12,8 14,6 3,3 9,8 13,2 15,1 17,5 3,5 4,4 4,7 4,9 6,4 89,4 119,2 148,5 175,3 233,6 59,5 111,9 114,9 126,2 132,8 258,4 358,8 414,2 624,1 734,2 24,4 43,5 45,7 47,8 51,2 24,7 25,8 36,9 31,5 33,6 9,8 12,7 14,3 14,8 23,7 376,8 552,7 626 844,4 975,5 179,9 252 253,3 289,9 346,1 916,4 1.238,00 1.553,10 1.703,70 1.989,80 109,9 193,2 240,5 254,9 261,3 47,1 61,2 79,5 78,6 87,6 29,1 34 43,4 45,7 66 1.282,40 1.778,40 2.169,80 2.372,80 2.750,80 415,7 393,1 414,9 447 569,2 2.259,20 3.004,90 3.458,70 3.498,80 4.209,20 286,6 293,8 288,3 295,9 359 99,9 157,5 176,6 176,6 203,3 79,4 80,4 99,9 126,8 148,5 3.140,80 3.929,70 4.438,40 4.545,10 5.489,20 588,8 642,9 930,1 890,9 833,9 4.829,10 5.597,70 6.351,50 7.595,40 9.145,20 373,3 383,6 396,5 479,2 492,8 242,8 264,9 280,8 315 417,7 171,5 198,9 210,8 273,7 255,2 6.205,50 7;088,0 8.169,70 9.554,20 11.144,80 973,2 1.134,10 1.193,70 10.181,20 12.351,40 14.763,00 755,6 866,1 1.121,50 368,3 571,7 710,3 317,2 448,6 492,1 12.595,50 15.371,90 18.280,60 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Depertemen Keuangan Republik Indonesia 81 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel II.9 PEMBIAYAAN APARATUR PEMERINTAH, 1984/1985 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) Belanja Belanja Pengeluaran Tahun pegawai pegawai Jumlah Rutin pusat daerah -1 REPELITA IV 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 REPELITA V 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 REPELITA VI 1994/1995 1995/1996 2) 1996/1997 3) -5 % -2 -3 -4 -6 3.140,80 3.929,70 4.438,40 4.545,10 5.489,20 1.738,60 2.253,70 2.541,20 2.588,20 2.754,30 4.879,40 6.183,40 6.979,60 7.133,30 8.243,50 9.405,90 12.006,40 13.716,70 17.340,60 20.934,90 51,9 51,5 50,9 41,1 39,4 6.205,50 7.088,00 8.169,70 9.554,20 11.144,80 3.348,30 3.635,00 4.091,80 4.996,40 6.574,80 9.553,80 10.723,00 12.261,50 14.550,60 17.719,60 24.335,20 29.121,10 29.053,00 33.605,40 40.289,90 39,3 36,8 42,2 43,3 44 12.595,50 15.371,90 18.280,60 6.918,90 7.862,80 9.495,90 19.514,40 23.234,70 27.776,50 44.069,00 52.540,90 56.113,70 44,3 44,2 49,5 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Sejak awal pelaksanaan Repelita I (1969/1970) sampai dengan tahun ketiga Repelita VI (1996/1997), perkembangan belanja barang cenderung mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan pembangunan yang memerlukan lebih banyak pembiayaan bagi kegiatan operasional dan pemeliharaan. Apabila pada awal Repelita IV (1984/1985) realisasi belanja barang baru mencapai sebesar Rp 1.165,0 miliar, maka dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997) alokasi atas jenis pengeluaran ini dianggarkan sebesar Rp 6.589,0 miliar, yang berarti selama kurun waktu tersebut belanja barang mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,5 persen setiap tahunnya. Sebagian besar dari peningkatan belanja barang tersebut diperuntukkan bagi belanja barang dalam negeri, untuk mendukung tersedianya sarana dan prasarana kerja, baik perangkat keras maupun perangkat lunak serta pengadaan peralatan kantor guna memenuhi kebutuhan administrasi yang semakin meningkat di berbagai instansi. Selain itu, belanja barang dalam negeri juga menampung pembiayaan untuk belanja barang swadana Depertemen Keuangan Republik Indonesia 82 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 bagi instansi pemerintah yang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1991 ditetapkan menjadi unit swadana. Selain untuk belanja barang dalam negeri, peningkatan belanja barang juga diperuntukkan bagi belanja barang luar negeri yang mengalami peningkatan sehubungan dengan penambahan berbagai kantor perwakilan pemerintah di luar negeri serta perkembangan nilai tukar mata uang dunia. Selain disebabkan oleh peningkatan belanja barang, besarnya pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga disebabkan oleh peningkatan anggaran untuk belanja non pegawai daerah otonom. Peningkatan anggaran tersebut berkaitan erat dengan semakin meningkatnya kebutuhan anggaran untuk membantu pemerintah daerah, baik dalam membiayai kegiatan operasionalnya maupun bagi pelayanan kepada masyarakat yang semakin meningkat, pengembangan perekonomian daerah, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana kerja yang merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah. Pengalokasian dana tersebut antara lain dipergunakan untuk subsidi belanja bagi penyelenggaraan urusan dekonsentrasi dan pembantuan, ganjaran daerah tingkat I/daerah tingkat II/kotamadya/kota administratif, biaya dekonsentrasi kecamatan, tunjangan kurang penghasilan aparat pemerintah desa, subsidi belanja pengembangan institusi, serta lain-lain belanja non pegawai daerah. Di samping itu, peningkatan subsidi belanja non pegawai daerah otonom juga diperlukan untuk menampung subsidi belanja penyelenggaraan urusan desentralisasi, terutama bagi subsidi/bantuan penyelenggaraan sekolah dasar negeri, bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah, serta bantuan biaya pemetaan bahan galian untuk menunjang usaha pertambangan daerah. Dalam upaya lebih mencerdaskan bangsa, maka diberikan pula subsidi/bantuan penyelenggaraan sekolah dasar negeri yang merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan pemerintah untuk menghapuskan sumbangan pembinaan pendidikan sekolah dasar (SPP-SD). Sedangkan subsidi atau bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD) digunakan untuk membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan di bidang kesehatan kepada masyarakat dan untuk meningkatkan peranan RSUD sebagai tempat memperoleh pelayanan kesehatan dengan penampilan dan lingkungan yang bersih, sehat, tertib, dan terpelihara. Seirama dengan perkembangan belanja barang, perkembangan belanja non pegawai daerah juga cenderung mengalami peningkatan. Apabila dalam tahun pertama Repelita IV (1984/1985) realisasi belanja non pegawai daerah baru mencapai sebesar Rp 48,2 miliar, Depertemen Keuangan Republik Indonesia 83 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 maka dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997) alokasi atas jenis pengeluaran ini dianggarkan sebesar Rp 516,4 miliar, yang berarti selama kurun waktu tersebut belanja non pegawai daerah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21,9 persen setiap tahunnya. Selanjutnya selain menampung belanja barang dan belanja non pegawai daerah, anggaran pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga menampung pengeluaran untuk lainlain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM. Anggaran tersebut penggunaannya.diarahkan untuk menunjang roda pemerintahan dan beberapa kegiatan lainnya, antara lain untuk biaya jasa pas dan giro serta pengeluaran bebas porto, biaya penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu), serta bantuan lain-lain, seperti bantuan rutin kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat dan bantuan penanggulangan bencana alam. Sejak awal pelaksanaan Repelita I (1969/1970) sampai dengan tahun ketiga Repelita VI (1996/1997), perkembangan pengeluaran untuk lain-lain pengeluaran rutin mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan pembangunan yang memerlukan lebih banyak pembiayaan bagi kegiatan operasional dan pemeliharaan. Apabila pada awal Repelita IV (1984/1985) realisasi pengeluaran tersebut baru mencapai Rp 30,0 miliar, maka dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995) telah meningkat menjadi sebesar Rp 792,9 miliar. Sementara itu, dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997) alokasi atas jenis pengeluaran ini dianggarkan sebesar Rp 1.005,0 miliar, yang berarti selama Repelita VI, lain-lain pengeluaran rutin mengalami peningkatan rata-rata sebesar 12,6 persen setiap tahunnya. Gambaran lebih rinci mengenai pembiayaan operasional dan pemeliharaan dapat diikuti dalam Tabel II.10. 2.2.4.3. Pembayaran bunga dan cicilan hutang 2.2.4.3.1. Pembayaran hutang dalam negeri Pembayaran hutang dalam negeri pada dasarnya merupakan kewajiban pemerintah atas tunggakan-tunggakan pemakaian daya dan jasa kepada pihak-pihak dalam negeri, serta tagihan pihak ketiga kepada Pemerintah berdasarkan keputusan pengadilan. Dengan demikian perkembangan atas pembayaran hutang dalam negeri akan sangat dipengaruhi oleh intensitas berbagai kegiatan pemerintah, yang berpengaruh langsung terhadap pemakaian berbagai fasilitas yang disediakan oleh pihak lain, khususnya jasa telepon, air minum, penerangan dan bentuk fasilitas jasa lainnya. Di samping itu, dalam tahun anggaran 1995/1996 pembayaran hutang Depertemen Keuangan Republik Indonesia 84 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 dalam negeri juga menampung pengeluaran yang timbul sebagai akibat adanya koreksi dari hasil audit Bepeka, khususnya yang menyangkut pengembalian kelebihan setoran laba bersih minyak (LBM) dan hasil operasi Pertamina yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Dalam perkembangannya sampai dengan tahun ketiga Repelita VI, pembayaran hutang dalam negeri masih merupakan bagian kecil dari pengeluaran rutin, yaitu rata-rata per tahun sekitar 0,8 persen dari total pengeluaran rutin. Namun demikian secara absolut jumlah pembayaran hutang dalam negeri selama PJP I telah mengalami peningkatan cukup besar yaitu dari sebesar Rp 1,7 miliar pada awal Repelita I menjadi sebesar Rp 120,7 miliar pada akhir Repelita V. Peningkatan tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan dan hubungan kerja antara Pemerintah dan pihak-pihak lain, terutama dalam upaya memberikan pelayanan yang semakin baik kepada masyarakat. Pada awal Repelita VI, pembayaran hutang dalam negeri mencapai Rp 104,1 miliar, atau sekitar 0,2 persen dari total pengeluaran rutin. Pada tahun anggaran 1995/1996, pembayaran hutang dalam negeri mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu mencapai Rp 1.779,1 miliar. Hal tersebut terutama disebabkan adanya pengembalian kelebihan setoran laba bersih minyak (LBM) dan kelebihan setoran hasil operasi Pertamina sendiri tahun anggaran 1993/1994. Dalam APBN 1996/1997, pembayaran hutang dalam negeri direncanakan sebesar Rp 290,6 miliar. 2.2.4.3.2. Pembayaran hutang luar negeri Pembayaran hutang luar negeri merupakan kewajiban pemerintah yang harus dipenuhi kepada pihak-pihak di luar negeri yang telah memberikan pinjaman untuk pembiayaan pembangunan nasional. Kewajiban tersebut berupa pembayaran bunga dan cicilan atas hutang pokok yang harus dilakukan karena berakhirnya masa tenggang waktu dan telah jatuh temponya masa pembayaran. Hutang/pinjaman luar negeri tersebut telah dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk melengkapi pembiayaan pembangunan dan telah dirasakan manfaatnya bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu Pemerintah terus mengupayakan agar pemberi pinjaman tetap merniliki kepercayaan terhadap Indonesia. Untuk itu hutang luar negeri senantiasa dimanfaatkan secara efektif dan efisien, terutama untuk membiayai berbagai kegiatan ekonorni dan pembangunan proyek-proyek yang berprioritas tinggi, produktif dan berorientasi ekspor. Hal ini dimaksudkan agar proyek-proyek tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat mendorong Depertemen Keuangan Republik Indonesia 85 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kemampuan untuk membayar kembali pinjaman yang telah digunakan. Pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlah sesuai dengan perjanjian yang disepakati juga merupakan langkah yang ditempuh untuk menjaga kredibilitas bangsa Indonesia di dunia intemasional, karena hal tersebut mencerrninkan pengelolaan hutang luar negeri sesuai dengan perencanaannya. Selanjutnya, dalam rangka untuk mengurangi beban kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri di masa yang akan datang, dalam keadaan keuangan negara memungkinkan Pemerintah dapat melakukan percepatan pembayaran (prepayment) hutang luar negeri, khususnya untuk hutang yang merniliki suku bunga tinggi. Kebijaksanaan tersebut telah dilaksanakan pada tahun anggaran 1994/1995, 1995/1996 dan 1996/1997, yang dananya diperoleh dari bagian pemerintah atas hasil penjualan saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta saldo anggaran lebih (surplus) dalam APBN. Dalam perkembangannya, besarnya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri berfluktuasi sesuai dengan basarnya kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri yang jatuh tempo, dan perubahan nilai tukar antar valuta kuat dunia dan antara dolar Amerika dengan rupiah. Selama PJP I, jumlah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri terus mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar Rp 12,8 miliar pada awal PJP I menjadi sebesar Rp 17.042,3 miliar pada akhir PJP I. Ini berarti bahwa selama PJP I, telah terjadi peningkatan ratarata sekitar 35 persen setiap tahunnya. Sementara itu apabila dilihat dari proporsinya terhadap pengeluaran rutin, pada awal Repelita I pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri mencapai 6,0 persen. Pada akhir PJP I proporsinya telah meningkat cukup tajam menjadi 42,3 persen. Membesarnya kewajiban atas pembayaran cicilan hutang luar negeri tersebut disebabkan terutama oleh besarnya jumlah hutang luar negeri yang jatuh tempo. Di samping itu juga karena adanya perubahan dalam nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serta mata uang asing lainnya, sehingga jumlah rupiah yang harus disediakan untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri juga semakin besar. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 86 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel II.10 PEMBIAYAAN OPERASIONAL DAN PEMELIHARAAN, 1984/1985 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) Belanja Belanja Pengeluaran Tahun barang pegawai Rutin Jumlah SDO Lainnya 2) -1 REPELITA IV 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 REPELITA V 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 REPELITA VI 1994/1995 1995/1996 3) 1996/1997 4) -2 -3 -4 -5 1.165,00 1.351,20 1.311,00 1.296,10 1.226,60 48,2 242 228,2 223 256,8 30 456,7 139,8 129 85,5 1.243,20 2.049,90 1.679,00 1.648,10 1.568,90 1.703,50 1.842,10 2.328,10 . 2.928,5 3.032,10 229 252,5 284,6 387,1 333,9 217,4 182 410,7 523,9 761,4 2.149,90 2.276,60 3.023,40 3.839,50 4.127,40 4.318,90 5.274,20 6.589,00 353,5 481 516,4 792,9 2.116,50 1.005,00 5.465,30 7.871,70 8.110,40 1) Realisasi PAN 2) Tidak termasuk subsidi BBM 3) APBN Perubahan (APBN-P) 4) APBN Memasuki PJP II, jumlah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri masih menjadi bagian yang besar dari total pengeluaran rutin, namun dari tahun ke tahun proporsinya semakin turun, yaitu 41,5 persen pada tahun anggaran 1994/1995, 37,4 persen pada tahun anggaran 1995/1996, dan 35,5 persen pada tahun anggaran 1996/1997. Penurunan peranan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri terhadap realisasi pengeluaran rutin menggambarkan bahwa persentase peningkatan pengeluaran rutin lebih besar daripada persentase peningkatan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Secara absolut realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri pada tahun anggaran 1994/1995 mencapai sebesar Rp 18.298,4 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 1.256,1 miliar (7,4 persen) bila dibandingkan dengan tahun terakhir PJP 1. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh adanya percepatan pembayaran (prepayment) terhadap sebagian hutang luarnegeri yang memiliki tingkat bunga relatif tinggi, yang berasal dari bagian pemerintah atas Depertemen Keuangan Republik Indonesia 87 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 hasil penjualan saham PT Indosat di bursa saham New York. Selanjutnya, pada tahun anggaran 1995/1996 pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri mencapai sebesar Rp 19.655,4 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 1.357,0 miliar (7,4 persen) dari tahun anggaran sebelumnya. Dalam tahun anggaran ini juga dilakukan percepatan pembayaran (prepayment) sebagian hutang luar negeri yang bersuku bunga tinggi, yang dibiayai dari hasil penjualan saham bagian pemerintah pada PT Telkom dan PT Timah. Pada tahun anggaran 1996/1997, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dianggarkan sebesar Rp 19.936,2 miliar atau 1,4 persen lebih tinggi dari tahun anggaran 1995/1996. Perkembangan realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, serta peranannya terhadap anggaran belanja rutin secara keseluruhan dapat diikuti dalam Tabel II.11. 2.2.4.4. Subsidi Kebijaksanaan pemberian subsidi pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional, yang hasilnya antara lain akan terlihat dari stabilitas harga. Salah satu program pemerintah di dalam menjaga stabilitas ekonomi adalah dengan memberikan subsidi terhadap beberapa komoditi strategis, terutama bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat, yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan laju inflasi. Pemberian subsidi tersebut diharapkan agar dapat menjamin tersedianya bahan-bahan pokok masyarakat dalam jumlah yang cukup dan harga yang stabil serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Namun demikian, dalam kondisi tertentu kebijaksanaan subsidi justru kadangkala menimbulkan distorsi pasar, mengingat mekanisme pasar yang tidak berlangsung secara bebas terkadang dapat menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian. Di lain pihak, dalam kondisi yang lain, kebijaksanaan subsidi juga diperlukan terutama untuk melindungi pelaku ekonomi yang dianggap lemah dan memerlukan perlakuan yang berbeda agar kondisinya membaik setara dengan pelaku lainnya, sehingga selanjutnya dapat berrnain dalam kondisi pasar yang lebih seimbang. Terlebih lagi, mengingat setiap pemberian subsidi berarti pula berkurangnya dana bagi peningkatan kegiatan pembangunan, maka subsidi tersebut harus diberikan dalam batas-batas kewajaran dan hanya untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak serta disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Selama PJP I, Pemerintah pemah memberikan subsidi pangan, antara lain subsidi beras dan subsidi impor gandum. Sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, persediaan beras nasional perlu dijaga agar tersedia dalam jumlah yang cukup dan diusahakan agar harganya Depertemen Keuangan Republik Indonesia 88 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena pada waktu itu produksi beras nasional belum mencukupi, maka untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri masih diperlukan impor. Subsidi beras tersebut diberikan untuk menjaga harga beras tetap stabil dan pada tingkat yang dapat dijangkau oleh seluruh rakyat, terutama golongan ekonomi lemah. Selain subsidi beras, subsidi pangan diberikan melalui subsidi impor gandum, yang dimaksudkan untuk menjaga harga gandum yang sesuai dengan daya beli masyarakat dan dimaksudkan pula untuk mendukung upaya penganekaragaman bahan makanan serta mengurangi ketergantungan pada konsumsi beras. Selain itu, pemberian subsidi impor gandum juga ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri makanan dalam negeri, yang sebagian besar bahan bakunya adalah gandum. Subsidi beras dan gandum tersebut pertama kali diberikan dalam tahun anggaran 1973/1974 dan mencapai tingkat tertinggi dalam tahun anggaran 1980/1981, yaitu sebesar Rp 281,7 miliar. Tingginya subsidi pangan dalam tahun anggaran 1980/1981 tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga beras di luar negeri dan lebih tingginya impor beras yang diperlukan karena terbatasnya produksi di dalam negeri. Dengan tercapainya swasembada beras dan semakin meningkatnya daya beli masyarakat, maka sejak tahun terakhir Repelita III (1983/1984), alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi pangan tidak disediakan lagi. Di samping pemberian subsidi pangan, selama PJP I telah pula diberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi BBM diberikan karena BBM merupakan sumber energi yang cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga BBM mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM merupakan selisih antara hasil penjualan BBM di dalam negeri dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan BBM. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat ditentukan oleh hasil penjualan BBM dalam negeri yang besarnya tergantung kepada harga penjualan dan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri. Selain daripada itu, subsidi BBM juga ditentukan oleh biaya pengadaan BBM, yang basarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian rninyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pengadaan BBM, maka subsidi BBM yang diberikan sering kali berbeda dengan perhitungan semula karena pengaruh gejolak harga minyak mentah di pasar intemasional yang sulit diduga arahnya. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 89 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel II.11 PERANAN PEMBAYARAN BUNGA DAN CICILAN HUTANG LUAR NEGERI TERHADAP PENGELUARAN RUTIN DAN ANGGARAN BELANJA NEGARA 1969/1970 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) Tahun Bunga dan cicilan hutang luar negeri REPELITA I 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 REPELITA II 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 REPELITA III 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 REPELITA IV 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 REPELITA V 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 REPELITA VI 1994/1995 1995/1996 2) 1996/1997 3) Pengeluaran Rutin Anggaran belanja negara % % 12,8 25,4 41,1 39,9 65,8 213,7 293,5 344,8 428,6 699,7 6 8,7 11,9 9,3 9,4 323 431,4 508,7 691,6 1.106,00 4 5,9 8,1 5,8 5,9 62,7 71,7 165,1 221 512,4 985,7 1.239,30 1.605,10 2.079,80 2.672,70 6,4 5,8 10,3 10,6 19,2 1.970,90 2.675,70 3.176,30 3.620,40 4.618,50 3,2 2,7 5,2 6,1 11,1 647,6 754 915,3 1.204,70 2.072,80 3.999,20 5.549,50 6.943,00 6.967,30 10.215,20 16,2 13,6 13,2 17,3 20,3 7.478,90 11.000,10 13.769,10 14.407,70 18.772,20 8,7 6,9 6,6 8,4 11 2.745,70 3.303,10 5.058,10 8.157,40 10.961,90 9.405,90 12,006,4 13.716,70 17.340,60 20.934,90 29,2 27,5 36,9 47 52,4 17.780,70 23.746,50 22.807,90 27.110,50 33.252,10 15,4 13,9 22,2 30,1 33 11.775,60 12.577,10 12.598,00 14.248,50 17.042,30 24.335,20 29.121,10 29.053,00 33.605,40 40.289,90 48,4 43,2 43,4 42,4 42,3 39.729,10 47.371,90 52.127,50 60.511,70 68.718,00 29,6 26,5 24,2 23,5 24,8 18.298,40 19.655,40 19.936,20 44.069,00 52.540,90 56.113,70 41,5 37,4 35,5 76.255,80 82.352,50 90.616,40 24 23,9 22 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Depertemen Keuangan Republik Indonesia 90 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Subsidi BBM diberikan sejak tahun anggaran 1977/1978, namun kebutuhan subsidi BBM yang cukup besar mulai dirasakan sejak awal Repelita III, sehubungan dengan harga rninyak mentah yang terus meningkat dengan cukup cepat. Sementara itu, dalam Repelita IV, subsidi BBM cenderung mengalami penurunan sebagai akibat dari penurunan harga rninyak mentah dunia dan kenaikan harga penjualan BBM dalam negeri. Bahkan dalam tahun anggaran 1986/1987, dimana harga minyak mentah jauh lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam APBN, diperoleh laba bersih minyak (LBM) sebesar Rp 1.010,8 miliar. Subsidi BBM terbesar diberikan dalam tahun anggaran 1990/1991 yang mencapai Rp 3.305,7 miliar. Besarnya subsidi BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri yang cukup tinggi. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, penghematan pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan energi dan mendukung kebijaksanaan diversifIkasi energi, maka secara berkala telah diupayakan pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga jual BBM di dalam negeri pada tingkat yang wajar. Penyesuaian harga jual BBM selama Repelita V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam tahun 1990, 1991, dan 1993. Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya kecenderungan penurunan harga minyak mentah dalam beberapa tahun terakhir Repelita V, maka realisasi subsidi BBM dalam tabun anggaran 1991/1992 dan 1992/1993 cenderung mengalami penurunan. Bahkan dalam tahun anggaran 1995/1996 diperoleh LBM sebesar Rp 487,6 miliar. Sementara itu dalam APBN 1996/1997 alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi BBM tidak disediakan oleh karena diperkirakan akan masih diterima laba bersih minyak. Perkembangan subsidi pangan dan subsidi BBM sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat dilihat dalam Tabel II.12. 2.2.5. Tabungan pemerintah Struktur pembiayaan pembangunan di dalam memasuki tahun ketiga Repelita VI makin menampakkan kemampuan penerimaan dalam negeri yang semakin menggembirakan dalam menghimpun dana pembangunan dalam bentuk tabungan pemerintah, yang merupakan selisih positif antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin. Hal ini tercermin dari Depertemen Keuangan Republik Indonesia 91 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kontribusi penerimaan dalam negeri dalam menyediakan dana pembangunan yang makin meningkat dibandingkan dengan sumber dana dari luar negeri berupa bantuan/pinjaman luar negeri. Hal itu sejalan dengan amanat dalam GBHN, di mana dana pembangunan diutamakan digali dari dalam negeri, sedangkan dana dari luar negeri hanya sebagai pelengkap. Sedangkan perkembangan tabungan pemerintah dalam pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) sangat dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Pada saat perekonomian membaik, tabungan pemerintah cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya penerimaan dalam negeri. Demikian pula sebaliknya, menurunnya kondisi perekonomian berpengaruh kepada penerimaan dalam negeri dan sekaligus terhadap tabungan pemerintah. Kemampuan tabungan pemerintah dalam menyediakan dana pembangunan sangat bergantung kepada upaya yang maksimal dalam menghimpun penerimaan dalam negeri, dan upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin. Dalam Repelita II dan Repelita III peningkatan penerimaan dalam negeri sebagai dampak peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional, menjadikan sumbangan tabungan pemerintah terhadap dana pembangunan masing-masing sebesar 78,3 persen dan 74,9 persen, sedangkan pada Repelita IV menurun dan bahkan masih lebih rendah dibandingkan dengan Repelita I. Keadaan ini terutama disebabkan oleh merosotnya harga minyak mentah dan belum dapat diandalkannya penerimaan sektor non migas, sehingga pada akhir Repelita IV sumbangan tabungan pemerintah terhadap dana pembangunan hanya sebesar 19,7 persen. Namun demikian, pada awal Repelita V, sumbangan tabungan pemerintah terhadap dana pembangunan telah meningkat menjadi sebesar 46,3 persen, dan dalam tiga tahun Repelita VI meningkat kembali menjadi sebesar 65,5 persen. Basarnya tabungan pemerintah yang dapat dihimpun dalam Repelita I, Repelita II, Repelita III, dan Repelita IV masing-masing mencapai sebesar Rp 585,2 miliar, Rp 6.057,4 miliar, Rp 23.895,2 miliar, dan Rp 25.996,0 miliar. Sedangkan dalam Repelita V, tabungan pemerintah telah menjadi lebih dari dua tali lipat dari realisasinya dalam Repelita sebelumnya, yaitu mencapai sebesar Rp 64.850,3 miliar. Dengan demikian secara umum tabungan pemerintah dalam PJP I senantiasa menunjukkan peningkatan, kecuali dalam tahun anggaran 1986/1987 dan tahun anggaran 1988/1989 yang mengalami penurunan, yaitu dari sebesar Rp 8.933,0 miliar dalam tahun anggaran 1985/1986 menjadi sebesar Rp 3.668,6 miliar dalam tahun anggaran 1986/1987, dan dari sebesar Rp 4.390,1 miliar dalam tahun anggaran 1987/1988 menjadi sebesar Rp 2.478,9 miliar dalam tahun anggaran 1988/1989. Penurunan tabungan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 92 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 tersebut antara lain disebabkan oleh merosotnya secara tajam harga minyak sampai di bawah US$ 10,00 per barel dalam tahun 1986 yang secara langsung mempengaruhi penerimaan dalam negeri, sementara dari sisi pengeluaran rutin terjadi peningkatan yang tajam dalam pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri. Dengan demikian dalam pembangunan jangka panjang pertama, tabungan pemerintah yang berhasil dihimpun mencapai sebesar Rp 121.384,1 miliar, dan dalam tiga tahun pertama Repelita VI, tabungan pemerintah diperkirakan mencapai sebesar Rp 63.455,0 miliar, yang berarti sekitar 97,8 persen dari keseluruhan tabungan pemerintah dalam Repelita sebelumnya. Dengan demikian dari awal Repelita I sampai dengan tahun ketiga Repelita VI, tabungan pemerintah mengalami peningkatan sekitar 680 kali, yaitu dari sebesar Rp 32,5 miliar menjadi Rp 22.089,1 miliar. Untuk tetap mempertahankan kenaikan tabungan pemerintah, dalam waktu-waktu mendatang harus diupayakan dari dua sisi APBN, yaitu dari sisi penerimaan dalam negeri dan sisi pengeluaran rutin. Melalui sisi penerimaan dalam negeri perlu terus diupayakan peningkatan peranan penerimaan di luar migas, khususnya penerimaan sektor perpajakan, antara lain dengan meningkatkan efektivitas pemungutan pajak, penegakan hukum, dan kesadaran membayar pajak. Sedangkan dari sisi pengeluaran rutin diupayakan dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran, antara lain dengan melakukan prioritas pengeluaran, serta mencegah pemborosan, dan penyimpangan dalam pengelolaan anggarannya. Dengan demikian diharapkan penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pengeluaran rutin, sehingga tabungan pemerintah yang bisa dihimpun akan terus meningkat. Dalam Tabel II.13 dapat diikuti perkembangan tabungan pemerintah sejak Repelita I sampai dengan tahun ketiga Repelita VI. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 93 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel II.12 SUBSIDI PANGAN DAN SUBSIDI BAHAN BAKAR 1969/1970 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) Subsidi Tahun bahan bakar Subsidi pangan minyak REPELITA I 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 REPELITA II 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 REPELITA III 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 REPELITA IV 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 REPELITA V 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 REPELITA VI 1994/1995 1995/1996 2) 1996/1997 3) 153,4 - 141 50 39,1 43,5 62,2 197 124,9 281,7 223,5 1,1 - 534,9 1.021,70 1.316,40 961,5 2.754,90 - 507,6 450 401,8 82,3 - 707,3 3.305,70 929,9 691,8 1.279,90 - 686,8 - 1) Rea1isasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Depertemen Keuangan Republik Indonesia 94 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 2.2.6. Pengeluaran pembangunan Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran negara yang berkaitan dengan kegiatan investasi yang dilaksanakan oleh sektor pemerintah untuk mencapai sasaran programprogram pembangunan yang telah ditetapkan dalam GBHN dan Repelita. Sesuai dengan GBHN 1993 dan Repelita VI, kebijaksanaan pengeluaran pembangunan diarahkan pada upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Dengan demikian, pengeluaran pembangunan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Hal ini berarti bahwa melalui pengeluaran pembangunan dilakukan alokasi sumber daya dan dana yang berhasil dihimpun, baik dari tahungan pemerintah maupun bantuan luar negeri, untuk membiayai berbagai kegiatan investasi, yang senantiasa diusahakan terwujudnya distribusi pendapatan yang lebih baik dan stabilisasi perekonomian nasional yang makin mantap. Dalam rangka pelaksanaan ketiga fungsi tersebut, pengeluaran pembangunan dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang tercakup dalam berbagai program pembangunan yang direncanakan untuk dilaksanakan di masing-masing sektor dan subsektor. Di samping itu, dengan adanya keterbatasan dana pembangunan dibandingkan dengan kebutuhan investasi, maka alokasi anggaran pembangunan diprioritaskan pemanfaatannya bagi proyek-proyek yang produktif, dalam arti akan menghasilkan nilai produksi yang lebih besar daripada nilai investasinya. Dalam rangka pelaksanaan fungsi alokasi tersebut, sejak awal Repelita I hingga tahun ke tiga Repelita VI, Pemerintah secara konsisten telah menerapkan kebijaksanaan alokasi dana pembangunan yang didasarkan atas rencana proyek sektoral dan regional, yang mengacu kepada rencana dan prioritas yang telah ditetapkan dalam Repelita. Pemilihan proyek -proyek pembangunan yang dituangkan dalam daftar isian proyek (DIP) didasarkan kepada azas-azas efisiensi dan efektivitas, untuk memilih proyekproyek dalam sektor dan subsektor yang telah ditetapkan, yang paling produktif, menunjang pemerataan, serta menciptakan lapangan kerja. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 95 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel II.13 TABUNGAN PEMERINTAH, 1969/1970 -1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) Tahun REPELITA I 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 REPELITA II 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 REPELITA III 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 REPELITA IV 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 REPELITA V 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 REPELITA VI 1994/1995 1995/1996 2) 1996/1997 3) Jumlah Kenaikan (+)/ Penurunan (-) 32,5 45,1 68,9 163,2 275,5 + + + + 12,6 23,8 94,3 112,3 784,9 1.005,00 1.261,40 1.431,80 1.574,30 + + + + + 509,4 220,1 256,4 170,4 142,5 + + + 1.159,70 1.649,80 835,6 187,1 745 2.734,00 4.383,80 5.219,40 5.406,50 6.151,50 6.525,40 8.933,00 3.668,60 4.390,10 2.478,90 + + - 7.169,00 13.071,90 13.529,00 15.257,20 15.823,20 22.349,00 19.016,90 22.089,10 + + 373,9 2.407,60 -5.264,40 721,5 1.911,20 4.690,10 5.902,90 457,1 1.728,20 566 6.525,80 -3.332,10 3.072,20 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Depertemen Keuangan Republik Indonesia 96 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Strategi pembangunan tersebut dibarengi pula dengan alokasi yang mengarah kepada pembangunan regional yang lebih merata. Hal ini didasarkan bahwa negara kesatuan Republik Indonesia menghendaki keseimbangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Untuk itu, melalui pengeluaran pembangunan juga diusahakan distribusi yang lebih baik, dengan sejauh mungkin mengikutsertakan pengusaha nasional, khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan pengusaha setempat, serta dilakukan penyebaran lokasi proyek pembangunan secara merata ke seluruh daerah. Pelaksanaan strategi tersebut antara lain dilakukan melalui berbagai program bantuan pembangunan daerah yang tercakup dalam program Inpres, serta pembangunan daerah yang dibiayai dengan dana pajak bumi dan bangunan (PBB). Proyek-proyek pembangunan yang tercakup dalam program Inpres tersebut, di samping secara langsung menjangkau golongan masyarakat berpendapatan rendah, juga sejauh mungkin mengikutsertakan pemerintah daerah, sehingga pembangunan proyek-proyek tersebut lebih sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, dan dalam pelaksanaannya sejauh mungkin melibatkan pengusaha dan masyarakat daerah setempat. Dalam hal fungsi stabilisasi, anggaran belanja pembangunan senantiasa mengupayakan terpeliharanya kestabilan ekonomi, antara lain melalui pembentukan cadangan anggaran pembangunan (CAP), dalam hal terdapat kelebihan penerimaan negara dari yang diperkirakan di dalam APBN-nya, dan pemanfaatan dana cadangan tersebut dalam hal realisasi penerimaan negara tidak mencapai sasaran yang diperkirakan dalam APBN-nya. Selaras dengan semakin meningkatnya kemampuan keuangan negara dan semakin luasnya program pembangunan yang dilaksanakan di sektor pemerintah, jumlah realisasi pengeluaran pembangunan seeara keseluruhan sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan tahun kedua Repelita VI mencapai sebesar Rp 264.163,5 miliar, terdiri dari realisasi anggaran pembangunan dalam PJP I (1969/1970-1993/1994) sebesar Rp 203.660,2 miliar dan realisasi anggaran pembangunan dalam dua tahun Repelita VI (1994/1995-1995/1996) sebesar Rp 60.503,3 miliar. Sementara itu, dalam tahun anggaran 1996/1997 pengeluaran pembangunan dianggarkan sebesar Rp 34.502,7 miliar, atau mengalami peningkatan sebesar Rp 4.691,1 miliar atau sekitar 15,7 persen apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun anggaran 1995/1996. Perkembangan anggaran belanja pembangunan sejak tahun pertama Repelita I hingga tahun ketiga Repelita VI selanjutnya dapat dirinci ke dalam alokasi pengeluaran pembangunan berdasarkan sumber pembiayaan, pengeluaran pembangunan berdasarkan jenis Depertemen Keuangan Republik Indonesia 97 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pembiayaan, serta pengeluaran pembangunan berdasarkan sektor dan subsektor. 2.2.6.1. Pengeluaran pembangunan berdasarkan sumber pembiayaan Di samping dibiayai dari sumber dana dalam negeri yang berupa tabungan pemerintah, pengeluaran pembangunan juga dibiayai dengan sumber pembiayaan dari penerimaan pembangunan yang berasal dari nilai lawan bantuan/pinjaman luar negeri, baik dalam bentuk bantuan program maupun bantuan proyek. Sementara itu di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dinyatakan bahwa pembangunan memerlukan dana investasi dalam jumlah yang besar, yang pelaksanaannya harus berlandaskan pada kemampuan sendiri, sedangkan bantuan luar negeri merupakan pelengkap. Ini berarti bahwa kemampuan sumber pembiayaan dalam negeri yang berupa tabungan pemerintah harus dapat lebih ditingkatkan agar dapat berperan lebih besar sebagai unsur dana pembangunan, dan sebaliknya peranan pinjaman luar negeri yang merupakan unsur pelengkap terus diupayakan semakin kecil. Dalam pada itu, realisasi pengeluaran pembangunan selama PJP I mencapai sebesar Rp 203.660,2 miliar, meliputi tabungan pemerintah sebesar Rp 121.384,1 miliar atau 58,9 persen, sedangkan sisanya sebesar Rp 84.572,5 miliar atau 41,1 persen merupakan penerimaan pembangunan. Selanjutnya, dalam dua tahun pertama Repelita VI, jumlah realisasi pengeluaran pembangunan mencapai sebesar Rp 60.503,3 miliar. Dari jumlah tersebut, sumber pembiayaannya sebagian besar berasal dari tabungan pemerintah, yaitu sebesar Rp 41.365,9 miliar atau 66,3 persen, sedangkan selebihnya berasal dari penerimaan pembangunan sebesar Rp 21.007,8 miliar atau 33,7 persen. Dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997), anggaran bagi pengeluaran pembangunan direncanakan sebesay,Rp 34.502,7 miliar. Dari jumlah tersebut, sumber pembiayaannya sebagian besar berasal dari tabungan pemerintah, yang mencapai sebesar Rp 22.089,1 miliar atau 64,0 persen, sedangkan sisanya sebesar Rp 12.413,6 miliar atau 36,0 persen berasal dari penerimaan pembangunan. Dengan melihat perkembangan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa selama PJP I maupun dalam tiga tahun pelaksanaan Repelita VI, peranan penerimaan pembangunan hanya berfungsi sebagai pelengkap bagi pembiayaan pembangunan, yaitu untuk menutup kelangkaan dana di dalam negeri dan dalam rangka mempercepat pelaksanaan pembangunan. Perkembangan pengeluaran pembangunan berdasarkan sumber pembiayaan sejak Depertemen Keuangan Republik Indonesia 98 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat diikuti dalam Tabel II.14 Tabel II. 14 PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SUMBER PEMBIAYAAN, 1969/1970 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah) Tahun REPELITA I 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 REPELITA II 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 REPELITA III 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 REPELITA IV 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 REPELITA V 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 REPELITA VI 1994/1995 1995/1996 2) 1996/1997 3) Pengeluaran pembangunan Tabungan pemerintah 1.080,40 109,3 137,9 163,9 263 406,3 7.479,20 985,2 1.436,40 1.571,20 1.540,60 1.945,80 31.753,80 3.479,70 5.450,60 6.826,10 7.440,40 8.557,00 51.293,20 8.374,80 11.740,10 9:091,2 9.769,90 12.317,20 112.053,60 15.393,90 18.250,80 23.074,50 26.906,30 28.428,10 95.006,00 30.691,70 29.811,60 34.502,70 % 585,2 32,5 45,1 68,9 163,2 275,5 6.057,40 784,9 1.005,00 1.261,40 1.431,80 1.574,30 23.895,20 2.734,00 4.383,80 5.219,40 5.406,50 6.151,50 25.996,00 6.525,40 8.933,00 ' 3.668,6 4.390,10 2.478,90 64.850,30 7.169,00 13.071,90 13.529,00 15.257,20 15.823,20 63.455,00 22.349,00 19.016,90 22.089,10 Sumber pembiayaan 4) Penerimaan % pembangunan 51,3 28,4 31,2 38,8 57,3 65,8 78,3 79,1 69,1 79,5 85 78,2 74,9 77,9 79,6 77 72,9 70,8 50,2 78,6 75,9 40 44,1 19,7 57,2 46,3 60,9 57,6 57,9 59,5 65,5 69,4 63 64 554,5 82,1 99,4 108,6 121,5 142,9 1.674,20 207,1 450,4 325,2 253,6 437,9 8.003,40 775,1 1.120,60 1.558,60 2.006,00 2.543,10 25.803,10 1.780,70 2.829,50 5.513,00 5.555,60 10.124,30 48.537,30 8.330,30 8.381,50 9.975,10 11.097,90 10.752,50 33.421,40 9.837,80 11.170,00 12.413,60 48,7 71,6 68,8 61,2 42,7 34,2 21,7 20,9 30,9 20,5 15 21,8 25,1 22,1 20,4 23 27,1 29,2 49,8 21,4 24,1 60 55,9 80,3 42,8 53,7 39,1 42,4 42,1 40,5 34,5 30,6 37 36 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN 4) Termasuk sisa anggaran lebih (SAL) /sisa anggaran kurang (SAK) Depertemen Keuangan Republik Indonesia 99 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 BAB III MONETER DAN PERKREDITAN 3.1. Pendahuluan Perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang menggembirakan sebagaimana tercermin dari masih tetap tingginya angka pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut antara lain dipengaruhi oleh kuatnya permintaan domestik sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi dan konsumsi, khususnya dari sektor swasta. Meningkatnya kegiatan investasi sektor swasta tersebut merupakan salah satu darnpak positif dari serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang telah dilakukan Pemerintah, terutama kebijaksanaan untuk menciptakan iklim berusaha yang semakin kondusif. Di samping itu, keberhasilan pelaksanaan pembangunan juga telah memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Pesatnya kegiatan ekonomi di dalam negeri dalam tahun 1996 juga tidak terlepas dari pengaruh semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi negaranegara industri, khususnya yang menjadi mitra dagang Indonesia, seperti Amerika Serikat dan Jepang. Di sisi lain, perkembangan ekonomi tersebut juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan besaran-besaran moneter, seperti likuiditas perekonomian (M2), yang dalam tahun anggaran 1995/1996 relatif masih tetap tinggi. Hal tersebut terutama disebabkan oleh pertumbuhan kredit perbankan yang relatif tinggi, derasnya aliran modal masuk dari luar negeri, serta masih relatif tingginya laju inflasi. Dalam periode Januari-Desember 1996 laju inflasi dapat dikendalikan pada tingkat yang lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 1995, namun angka tersebut masih lebih tinggi dari target yang ditetapkan. Sehubungan dengan itu, dalam upaya untuk tetap mempertahankan keseimbangan ekonomi makro yang stabil dan mantap, Pemerintah secara konsisten melaksanakan kebijaksanaan moneter yang berhati-hati melalui pengendalian permintaan domestik agar tetap tumbuh dalam batas-batas kemampuan daya dukung kapasitas produksi nasional. Sejalan dengan upaya pengendalian permintaan domestik tersebut, kebijaksanaan moneter diarahkan untuk mengendalikan sumber-sumber ekspansi likuiditas perekonomian (M2), khususnya kredit Depertemen Keuangan Republik Indonesia 100 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 perbankan dan arus modal masuk dari luar negeri. Dalam kaitan ini, Pemerintah senantiasa melakukan pengendalian jumlah uang beredar melalui berbagai piranti moneter yang ada, terutama dengan operasi pasar terbuka (OPT). Selanjutnya guna lebih meningkatkan efektivitas pengendalian moneter, Pemerintah melalui Bank Indonesia mengubah ketentuan cadangan wajib minimum menjadi ketentuan giro wajib minimum (GWM), dengan mewajibkan bank-bank umum untuk menyimpan 3 persen dari dana pihak ketiga (DPK) dalam bentuk giro pada Bank Indonesia. Di samping itu guna mengendalikan ekspansi kredit perbankan sekaligus meningkatkan kehati-hatian bank serta mengurangi risiko kredit yang berlebihan, Pemerintah selain tetap melakukan persuasi kepada bank-bank agar berhati-hati dalam pemberian kredit, juga telah mengambil kebijaksanaan yang mewajibkan bank-bank devisa untuk menaikkan nisbah kecukupan pemenuhan modal minimum (KPMM) secara bertahap hingga mencapai 12 persen dalam waktu enam tahun sejak September 1995. Dalam pada itu, guna mengurangi dorongan masuknya arus modal dari luar negeri yang berlebihan, khususnya modal yang berjangka pendek serta bersifat spekulatif, Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan untuk meningkatkan fleksibilitas nilai tukar rupiah melalui pelebaran kembali spread kurs jual dan beli rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan menerapkan batas kurs intervensi. Dengan kebijaksanaan tersebut diharapkan akan mendorong perkembangan pasar valuta asing antarbank, sehingga dapat mengurangi ketergantungan bank-bank kepada Bank Indonesia. 3.2. Perkembangan harga dan upah Dalam upaya mengurangi risiko memanasnya suhu perekonomian serta tetap terpeliharanya kondisi ekonomi makro yang stabil, Pemerintah terus berupaya untuk mengendalikan laju inflasi pada tingkat yang wajar. Untuk itu, Pemerintah di samping tetap melaksanakan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati, juga terus melanjutkan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi guna meningkatkan efisiensi perekonomian nasional serta mendorong kelancaran produksi dan distribusi barang-barang kebutuhan pokok masyarakat. Melalui berbagai kebijaksanaan tersebut, perkembangan harga umum yang tercermin dari laju inflasi nasional selama periode April-Desember 1996 dapat dikendalikan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 101 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pada tingkat yang relatif rendah, yaitu sebesar 3,21 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan laju inflasi dalam periode yang sama tahun 1994 dan 1995, yang masing-masing mencapai 5,53 persen dan 5,60 persen. Perkembangan harga beberapa barang ekspor primer Indonesia, khususnya komoditi hasil perkebunan, seperti kopi robusta, karet, kopra, dan sebagainya, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, mengalami fluktuasi dengan kecenderungan terus menurun dalam tahun anggaran 1996/1997 (April-Oktober 1996). Hal ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya suplai komoditi-komoditi tersebut di pasar dunia. Sementara itu, menguatnya nilai tukar beberapa mata uang dunia, seperti dolar Amerika Serikat, serta merebaknya isu bahwa IMF merencanakan akan melepaskan sebagian cadangan emasnya, telah mempengaruhi perkembangan harga emas, baik di bursa luar negeri maupun bursa dalam negeri. Dalam kurun waktu delapan bulan pertama tahun anggaran 1996/1997, perkembangan harga emas di bursa London nampak berfluktuasi dengan kecenderungan melemah. Perkembangan yang hampir sama juga terjadi pada komoditi sejenis di pasar Jakarta. Dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan para pekerja dan keluarganya, Pemerintah secara terus menerus menyempurnakan ketentuan upah minimum regional (UMR). Sejalan dengan upaya tersebut, tingkat upah di beberapa sektor ekonomi dalam tahun 1996 (sampai dengan Juni 1996) mengalami peningkatan dibandingkan dengan tingkat upah sebelumnya. 3.2.1. Indeks harga konsumen (IHK) Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan tingkat inflasi nasional, dalam tahun anggaran 1996/1997 (April-Desember 1996) cenderung menurun. Dalam bulan Juni dan September 1996 terjadi deflasi, masing-masing sebesar 0,07 persen dan 0,04 persen, sehingga secara kumulatif laju inflasi dalam periode AprilDesember 1996 mencapai sebesar 3,21 persen, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan inflasi dalam periode yang sama tahun anggaran sebelumnya, yang mencapai 5,60 persen. Demikian juga untuk tahun takwim 1996, sesuai dengan perkembangan terakhir, laju inflasi kumulatif dalam tahun tersebut hanya mencapai 6,47 persen, atau 2,17 persen lebih rendah jika Depertemen Keuangan Republik Indonesia 102 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 dibandingkan dengan inflasi kumulatif tahun sebelumnya yang mencapai 8,64 persen. Rendahnya tingkat inflasi dalam sembilan bulan pertama tahun anggaran 1996/1997 tersebut terutama sangat dipengaruhi oleh menurunnya indeks harga kelompok makanan, yang terjadi sejak bulan April sampai dengan bulan Oktober 1996, kecuali bulan Juli, November, dan Desember sehingga secara keseluruhan kelompok makanan dalam enam bulan tersebut memberikan andil deflasi sebesar 1,58 persen. Subkelompok barang yang mengalami penurunan indeks harga cukup besar dalam kelompok ini adalah subkelompok bumbu-bumbuan, yaitu sebesar 34,51 persen. Dilihat dari perkembangan bulanannya, kenaikan indeks harga konsumen terbesar dalam periode April-Desember 1996 terjadi pada bulan April, Juli, November, dan Desember 1996, masing-masing sebesar 0,78 persen, 0,68 persen, 0,57 persen, dan 0,55 persen sehingga secara bersama-sama keempat bulan tersebut memberikan andil sebesar 80,37 persen dari inflasi nasional dalam periode April-Deseinber 1996 tersebut. Tingginya laju inflasi yang terjadi dalam bulan April 1996 terutama disebabkan oleh kenaikan indeks harga kelompok aneka barang dan jasa sebesar 4,87 persen. Indeks harga kelompok pengeluaran lainnya, seperti kelompok perumahan dan kelompok sandang, hanya mengalami kenaikan relatif kecil, masing-masing sebesar 0,66 persen dan 0,49 persen, sedangkan indeks harga kelompok makanan mengalami penurunan sebesar 1,95 persen. Meningkatnya indeks harga dari kelompok aneka barang dan jasa sebesar 4,87 persen tersebut dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga subkelompok transport sebesar 10,37 persen, terutama sebagai akibat naiknya tarif angkutan dalam kota, bus antar kota, angkutan udara, tarif taksi, dan angkutan laut, dengan andil inflasi masing-masing sebesar 0,79 persen, 0,05 persen, 0,09 persen, 0,07 persen, dan 0,02 persen. Dengan demikian secara keseluruhan kenaikan tarif berbagai jenis angkutan tersebut telah memberikan andil inflasi sebesar 1,02 persen. Inflasi yang terjadi dalam bulan Juli 1996 sebesar 0,68 persen merupakan akibat dari kenaikan indeks harga seluruh kelompok pengeluaran, dengan persentase kenaikan berkisar antara 0,42 persen sampai dengan 1,04 persen. Kenaikan indeks harga tertinggi yang terjadi pada kelompok makanan terutama dipengaruhi oleh meningkatnya indeks harga subkelompok telur, susu, dan hasil-hasilnya, subkelompok ikan segar, subkelompok ikan diawetkan, dan subkelompok dasing dan hasil-hasilnya, masing-masing sebesar 4,11 persen, 4,03 persen, 3,54 persen, dan 2,77 persen. Komoditi yang memberikan andil inflasi cukup menonjol pada Depertemen Keuangan Republik Indonesia 103 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kelompok makanan ini antara lain adalah dasing ayam, ikan segar, lombok, dan telur ayam ras, masing-masing sebesar 0,11 persen, 0,09 persen, 0,08 persen, dan 0,07 persen. Sementara itu indeks harga kelompok aneka barang dan jasa yang meningkat sebesar 0,55 persen terutama disebabkan oleh naiknya indeks harga subkelompok tembakau, rokok dan minuman beralkohol, serta subkelompok pendidikan, masing-masing sebesar 1,12 persen, dan 0,79 persen. Secara keseluruhan kelompok aneka barang dan jasa dalam bulan Juli 1996 menyumbang andil dalam inflasi nasional sebesar 0,13 persen. Selanjutnya kenaikan indeks harga yang terjadi pada kelompok sandang sebesar 0,51 persen terutama dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga subkelompok sandang anak-anak sebesar 2,01 persen, dengan memberikan andil terhadap inflasi sebesar 0,04 persen. Sementara itu indeks harga subkelompok penyelenggaraan rumah tangga yang mengalami kenaikan sebesar 1,96 telah memberikan andil yang cukup berarti terhadap kenaikan indeks harga kelompok perumahan. Dalam bulan November 1996 indeks harga kelompok makanan mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan dengan kelompok pengeluaran lainnya, yaitu sebesar 1,67 persen sehingga kelompok makanan dalam bulan tersebut telah memberikan andil inflasi sebesar 0,54 persen. Beberapa jenis barang yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap kenaikan indeks harga kelompok makanan tersebut antara lain adalah beras, telur ayam ras, sayursayuran, dan lombok merah, dengan andil inflasi berkisar antara 0,07 persen sampai dengan 0,15 persen. Sedangkan inflasi bulan Desember 1996 terutama dipengaruhi oleh faktor musiman berkaitan dengan hari Natal dan Tahun Baru. Dalam bulan tersebut indeks harga kelompok makanan mencatat kenaikan tertinggi, yaitu sebesar 1,28 persen. Apabila diamati perkembangan indeks harga di 27 ibukota propinsi, kenaikan indeks harga dalam sembilan bulan pertama tahun anggaran 1996/1997 (sampai dengan bulan Desember 1996) terjadi di seluruh ibukota propinsi, dengan persentase kenaikan berkisar antara 1,09 persen sampai dengan 6,42 persen. Kenaikan indeks harga tertinggi terjadi di kota Jayapura, sementara di kota Yogyakarta indeks harga konsumen dalam periode yang sama hanya mengalami peningkatan cukup rendah, yaitu sebesar 1,09 persen. Perkembangan indeks harga konsumen secara nasional maupun terperinci menurut ibukota propinsi dapat dilihat dalam Tabel III.1, Tabel III.2, dan Grafik III.1. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 104 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 3.2.2. Barga beberapa barang konsumsi utama Perkembangan harga beberapa barang konsumsi utama seperti beras, gula pasir, dan tepung terigu, dalam periode April-Desember 1996 pada umumnya mengalami peningkatan. Dari ketiga komoditi tersebut di atas, harga beras mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan dengan dua komoditi lainnya. Sebagai salah satu makanan pokok masyarakat, beras mengalami kenaikan harga sejak bulan Mei 1996, dan kenaikan yang menonjol terjadi dalam bulan Juli, Agustus, Oktober, yang memberikan andil inflasi masing-masing sebesar 0,03 persen, bulan November 1996 sebesar 0,15 persen, dan Desember 1996 sebesar 0,05 persen. Secara kumulatif, selama 9 bulan pertama tahun anggaran 1996/1997 kenaikan harga beras telah memberikan andil inflasi sebesar 0,28 persen. Sementara itu kenaikan harga gula pasir terjadi dalam bulan April dan Mei 1996 dengan memberikan andil terhadap inflasi nasional dalam bulan-bulan tersebut, masing-masing sebesar 0,02 persen dan 0,01 persen. Sebaliknya dalam bulan September dan Oktober 1996 komoditi ini memberikan andil deflasi masing-masing sebesar 0,01 persen. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 105 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel III.l PERUBAHAN INDEKS HARGA KONSUMEN, 1984/1985 - 1996/1997 (dalam persentase ) Akhir periode kumulatif 1984/1985 Desember Maret 1985/1986 Desember Maret 1986/1987 Desember Maret 1987/1988 Desember Marct 1988/1989 Desember Maret 1989/1990 Desember Maret 1990/1991 Desember Maret 1991/1992 Desember Maret 1992/1993 Desember Maret 1993/1994 Desember Maret 1994/1995 Desember Maret 1995/1996 Desember Maret 1996/1997 April Mei Juni Ju1i Agustus September Oktober November Desember Kumulatif 1) 1) Sampai dengan bulan Desember Makanan Perumahan 2,47 0,21 0,89 -1,19 0,33 -2,04 0,58 -0,04 0,35 0,35 -0,28 -1,03 0,28 -0,22 0,25 1,41 1,24 2,58 0,91 1,6 -0,06 1,7 1,74 -2,22 -1,95 -0,56 -0,5 1,04 -0,35 -0,76 -0,04 1,67 1,28 -0,17 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 0,2 0,21 0,06 0,02 0,02 0,64 0,37 0,17 0,13 0,11 0,05 0,08 -0,21 0,14 0,04 0,22 0,23 1,15 0,49 0,Q7 1,36 -0,02 0,33 0,4 0,66 0,38 0,17 0,42 0,27 0,52 0,52 0,03 0,05 3,02 Sandang 0,05 0,08 0,15 0,09 0,13 0,66 0,14 0,22 0,09 0,19 0,3 0,19 0,18 0,22 0,4 0,82 1,7 2,37 0,28 1,41 0,34 0,34 0,56 0,04 0,49 0,57 0,07 0,51 0,16 0,31 0,19 0,1 0,46 2,86 Aneka barang dan jasa 0,08 0,28 0,08 0,Q1 0,76 1,4 0,05 0,09 0,07 0,12 0,03 0,02 0,04 0,11 0,15 0,13 0,Q7 0,18 0,23 0,04 0,36 0,04 0,05 0,03 4,87 0,48 0,19 0.55 1,16 0,12 0,98 0,04 0,08 8,47 Tahun Tahun anggaran takwim 3,64 5,66 8,83 8,29 6,55 5,48 9,11 9,78 10,03 7,04 8,57 8,86 3,21 8,76 4,31 8,83 8,9 5,47 5,97 9,53 9,52 4,94 9,77 9,24 8,64 6,47 106 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel 111.2 PERUBABAN INDEKS UMUM BARGA KONSUMEN DI 27 KOTA DI INDONESIA!), 1984/1985 - 1996/1997 ( dalam persentase ) Banda Bandar Akhir periode Aceh Medan Padang Pekanbaru Jambi Palembang Bengkulu Lampung kumulatif (I) -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 1984/1985 Kumulatif -2,65 0.92 --1.26 --1985/1986 Kumulatif -7.02 3.94 --5.73 --1986/1987 Kumulatif -9,8 7,51 --. 6.24 --1987/1988 Kumulatif -7,12 6.66 --7.88 --1988/1989 Kumulatif -12.50 7,12 --4.19 --1989/1990 Kumulatif -5,74 2,75 --1.71 --1990/1991 Kumu1atif 10.50 5.90 7.15 8.21 5.24 9.84 4.76 7.26 1991/1992 Kumulatif 6.70 9.52 9,26 9.03 8.65 9.10 8.98 8.09 1992/1993 Kwitulatif 7,05 lJ,27 9,24 7.72 9.30 9.08 8.63 8.80 1993/1994 Kumulatif 7,72 4.43 6.52 9.12 6.85 7.00 5.80 5.14 1994/1995 Kumulatif 8.26 8.83 8;73 7.23 6.12 6.63 9,46 8.98 1995/1996 JuDi 0.78 0.77 0.42 -0.17 -2,41 0.87 -0.17 0.78 September 0.20 -{),39 -0,11 -0.60 -0,86 0.16 0.19 1.01 Desember 0,67 0,59 1,05 1,12 2,99 1,7 0.77 0,14 Maret 0,12 -1,19 0,56 0,29 -0.78 -0.39 -1.48 -0.32 Kumulatlr 8,38 9,51 8;08 7,38 7,56 9,87 6,87 9,71 1996/1997 April 1.63 1,3 1,65 -1,22 -1.24 -0.41 0.28 -0.63 Mei -0.14 -1.67 -2.20 -1,18 -0.40 0.84 -0.70 0.31 JuDi 0,1 0,13 0,1 0,34 -0.18 -0,15 1,07 0.18 Juli 1,14 0.65 1,01 2,02 2.82 0.21 1.67 0.55 Agustus -0.03 0.71 1,8 -0.35 -0,34 0.59 -0,43 0,02 September -0.30 -0,07 "':0.49 -0.83 (\82 0.25 -0.70 0,2 Oktober 2.20 2.07 0.10 1,48 0.62 -0,01 1.20 -0.04 November 0.07 0.49 0.27 0,56 0,48 0.32 0.67 1.41 Desember 0.29 0.61 1,07 1 1,05 1.40 0,62 0.72 KumiJlatlf 2) 4,96 4,22 3,34 1,82 3,63 3,04 3,68 2,72 Akbir periode kumulatifl 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumu1atif Kumu1atif Kumu1atif Kumu1atif Kumu1atif Kumu1atif Juni September Desember Maret Kumulatif April Mei Juni Ju1i Agustus September Oktober November Desember Kumulatif I) Bandung Semarang Yogyakarta Surabaya Denpasar 3,48 6,81 8,76 9,47 5,33 5,45 9,62 9,19 8,41 8,05 7,26 0,26 0,27 0,9 0,17 7,58 0,91 0,11 -0,01 0,65 0,29 0,04 1,03 0,19 0,17 3,38 2,97 5,11 9,16 9,89 6,07 4,65 9,76 10,32 9,14 4,61 7,55 0,06 0,5 0,31 -0,12 6,69 1,06 -0,02 0,01 0,64 0,16 0,26 0,2 0,37 0,12 2,80 3,26 5,95 8,28 9,48 6.17 4,99 10,43 9,62 8,4 7,24 9,5 -0,41 0,64 0,84 -0,37 7,73 -1,05 -0,07 0,1 0,6 -0,66 0,15 0,66 1,03 0,33 1,09 4,39 5,13 9,87 7,54 6,95 6,21 9,85 10,14 9,54 8,39 7,85 -0,05 0,71 0,19 0,05 8,24 1,17 0,81 -0,38 0,5 1,09 0.08 0,03 0,3 0,32 3,92 5,98 11,35 9,76 11,88 7,66 7,67 11,17 8,87 11,04 7,2 5,8 -0,73 - 0.16 1,19 0,31 6,47 0,10 -0,26 -0,73 0,17 0,76 0,28 -0,27 1,25 0,36 1,10 Mataram Kupang 1,76 8,24 9,92 10,16 6,95 10,4 10,14 7,33 9.60 7,89 8,89 0,18 0.73 1,18 0,24 6,59 -0,26 0.29 -0,72 1.20 0,41 -0,89 3,29 0,83 0,37 4,52 0,96 8,55 11,47 5,62 4,35 8,61 5,62 6,59 10,11 7,34 6,41 0,3 0,04 1,14 0,35 6,45 2,43 -0,31 -0,45 0,31 -0,11 0,41 0,11 0,16 2,48 5,03 Jakarta -10 4.17 4.24 8.60 8.08 5.99 4.97 J' 10 5 I ,50 7.29 9.47 0.22 0.60 0,63 -1.16 10,3 0,93 0.31 0.04 0.65 0.06 -0.09 0.15 0.72 0,38 3,15 Dili Pontianak ---..-5,73 5,77 I 3 9,42 -0,44 0,56 1,16 -0,1 5,45 1,02 -0,73 3,8 -0,36 0,12 -0,06 0,44 0,75 -1,11 3,87 2,9 8,05 8,94 9.28 6;81 7.10 9,11 9,58 8.25 7,41 6.54 0,65 0,28 2,37 -1,34 8,59 1,44 - 0,48 0,24 -0,13 -0,28 0,94 -0,62 1,67 0,57 3,35 1) Sampat dangan bulan Dasamber Depertemen Keuangan Republik Indonesia 107 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Akhir periodelkumulatif Palangka Raya Banjarmasin Samarinda Manado Palo Ujung Pandang Kendari Ambon Jayapura 198411985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 199411995 Kumu1atif Kumu1atif Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif --... --9,81 9,79 7,21 8,99 10,33 3,31 4,72 8,38 10,45 4,22 8,01 9,26 8,28 9,46 4,42 8,22 -.-.. --7,97 11,6 6,46 6,45 10,31 1,5 8,29 12,47 7,12 7,45 3,73 7,85 8,25 6,54 10,55 9,12 ----. -.. 6,99 6,89 8,66 5,84 8,02 5,33 4,67 6,47 7,24 4,6 6,17 6,04 7,71 8,79 5,94 10,1 ------9,69 12,25 9,83 8,09 9,1 0,05 2,87 8,03 17,25 21,34 25,37 6,55 5,24 8,53 6,11 8,09 2,31 2,02 13,09 6,67 6,31 5,99 5,69 6,79 7,99 9,34 8,92 1995/1996 luni September Desember Maret Kumu1atif 1) April Mei luni luli Agustus September Oktober November Desember Kumulatif I) -1,45 0,34 I,ll -0,08 3,22 0,33 -0,01 -0,29 0,2 -0,18 0,14 -0,25 0,29 1,09 1,32 0,59 -0,03 0,94 -1,57 7,61 0,99 0,85 -1,53 0,49 -0,21 0,1 0,04 0,11 1,25 2,09 0,79 0,18 1,79 -0,33 6,45 -0,42 0,1 -0,28 1,08 -0,12 0,89 0,1 1,2 0,32 2,87 0,92 0,42 2,77 0,32 10,22 0,72 1,5 -1,11 2,01 -0,34 0,1 0,66 0,12 0,32 3,98 1,64 0,29 2 -0,62. 9,8 0,86 -0,61 1,58 1,31 0,34 -2,88 0,8 0,1 1,14 2,64 0,34 0,13 1,33 -0,2 8,12 0,84 -1,39 -0,44 0,57 -0,19 -0,56 -0,05 0,57 2,21 1,56 1,64 -0,23 1,2 -0,73 4,94 3,05 0,32 0,09 1,31 0,56 -0,42 -0,04 -0,42 0,26 4,71 0,34 -0,3 -0,96 0,41 5,18 1,04 -0,17 0,5 0,43 0,57 -0,06 0,56 0,64 1,88 5,39 1,61 0,28 1,46 0,02 4,67 1 0,58 0,17 2,37 0,27 0,77 -0,47 -0,06 1,79 6,42 1996/1997 3.2.3. Harga emas dan mata uang asing Harga emas di pasar internasional akhir-akhir ini cenderung menurun sebagai akibat dari lemahnya permintaan, sementara jumlah penawaran emas di pasar bertambah. Kecenderungan penurunan harga emas ini terjadi di pasar New York, London, dan Hongkong, yaitu dari sekitar US$ 393 sampai dengan US$ 400 per troy ounce pada awal tahun anggaran 1996/1997 turun menjadi sekitar US$ 379 sampai dengan US$ 380 per troy ounce pada awal bulan November 1996. Khusus untuk harga emas di bursa London, sejak bulan April 1996 sampai dengan bulan Agustus 1996, mengalami fluktuasi yaitu sekitar US$ 386,45 per troy ounce sampai dengan US$ 391,50 per troy ounce. Kemudian dalam bulan September, Oktober, dan November 1996 harga emas kembali melemah dengan tingkat harga rata-rata US$ 378,71 per troy ounce atau mengalami penurunan sebesar 2 persen dibandingkan dengan harga yang dicapai bulan sebelumnya sebesar US$ 386,45 per troy ounce, dan 4,45 persen lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat harga bulan Maret 1996 sebesar US$ 396,35 per troy ounce. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 108 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Perkembangan harga emas di pasar internasional yang bersifat fluktuatif tersebut, juga berpengaruh terhadap perkembangan harga emas di dalam negeri. Di pasar Jakarta harga emas mulai mengalami penurunan, dalam bulan Juni dan Juli 1996 rata-rata 0,54 persen per bulan. Kemudian dalam bulan November 1996 harganya kembali meningkat setelah dalam bulan sebelumnya sempat melemah dari Rp 27.775 per gram dalam bulan September 1996 menjadi Rp 27.740 per gram dalam bulan Oktober 1996. Dalam bulan November 1996 harga emas di pasar Jakarta mencapai Rp 27.819 per gram, yang berarti mengalami penurunan sebesar 0,65 persen dibandingkan dengan harga pada bulan Maret 1996. Kelesuan harga emas yang terjadi dalam tahun ini antara lain disebabkan oleh jumlah permintaan terhadap emas di pasar internasional semakin berkurang. Hal ini juga seiring dengan rencana International Monetary Fund (IMF) untuk menjual sebagian cadangan emasnya ke pasar. Perkembangan harga emas di pasar Jakarta dan di pasar London dapat dilihat dalam Tabel III.3. Terjadinya globalisasi di sektor keuangan dalam dekade terakhir ini, telah menyebabkan suatu kecenderungan adanya polarisasi kelompok kekuatan mata uang asing, yaitu Amerika Serikat dengan mata uang dolar, Eropa dengan mark Jerman dan poundsterling Inggris, serta Jepang yang bertumpu pada mata uang yen, yang ketiganya merupakan kekuatan yang sangat berpengaruh dalam globalisasi keuangan. Dengan demikian, gejolak nilai tukar mata uang asing dunia sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar mata uang ketiga kelompok tersebut, sebagai akibat dari diberlakukannya atau dihapuskannya kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi negaranegara bersangkutan. Perkembangan ini akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing di pasar Indonesia. Perkembangan pasar mata asing di dalam negeri dalam tahun anggaran 1996/1997 ditandai dengan derasnya arus masuk dana luar negeri. Hal ini antara lain disebabkan adanya perbedaan antara suku bunga dalam dan luar negeri yang semakin menarik arus masuk dana ke dalam negeri, serta sebagai akibat semakin berkembangnya pasar modal dalam negeri (portfolio investment). Derasnya arus masuk modal luar negeri jangka pendek yang terutama digunakan untuk kegiatan spekulasi dapat menimbulkan tekanan-tekanan terhadap kestabilan moneter, serta dapat menimbulkan gejolak nilai tukar di pasar mata uang asing di dalam negeri. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 109 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel Ill.3 HARGA RATA-RATA EMAS DI PASAR JAKARTA DAN DI P ASAR LONDON, 1984/1985 - 1996/1997 Periode 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 Joni September Desember Maret 1995/1996 Juni September Oesember Maret 1996/1997 April Mei Joni Joli Agustus September Oktober November Jakarta (24' dalam London (US$/troy ounce) 11.557 11.762 17.080 24.230 23.392 22.425 22.912 22.582 22.399 25.605 25.945 25.990 25.655 26.500 27.000 27.000 27.100 28.000 28.000 28.000 27.769 27.700 27.710 27.775 27.740 27.819 339,22 331,4 382,35 458,53 417,44 381,95 373,45 356,7 339 386,35 387,95 394,25 375,95 391.85 383,95 383,75 405,45 396,35 391,5 390,5 382,1 385,1 386,45 378,55 378,65 378,94 Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengendalian moneter dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah pada tingkat yang wajar dan realistis serta untuk mengurangi tekanan atas cadangan devisa negara, dalam tahun anggaran 1996/1997 Pemerintah kembali mengeluarkan kebijaksanaan penyempurnaan nilai tukar melalui pelebaran spread kurs intervensi (intervention band) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam tahun anggaran 1996/1997 ini telah dilakukan dua kali pelebaran kurs intervensi yaitu pada tanggal 13 Juni 1996 (dari Rp 66 menjadi Rp 118) dan pada tanggal 11 September 1996 (dari Rp 118 menjadi Rp 192). Batas kurs intervensi ini dimaksudkan sebagai batas bagi bank untuk dapat membeli dolar Amerika dari Bank Indonesia, yaitu apabila kurs Rp/US$ antar bank berada pada atau lebih tinggi daripada batas atas intervention band, atau untuk dapat menjual dolar Amerika Serikat kepada Depertemen Keuangan Republik Indonesia 110 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Bank Indonesia apabila kurs Rp/US$ antar bank berada atau lebih rendah daripada batas intervention band. Kebijaksanaan lainnya yang dilakukan Pemerintah guna mencegah timbulnya gejolak pasar mata uang asing yang dapat menimbulkan ketidakstabilan moneter adalah menjalin kerjasama dengan Bank Sentral/Otoritas Moneter Australia, Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam bentuk bilateral repurchase agreement. Kerjasama tersebut dimaksudkan untuk lebih meningkatkan likuiditas cadangan devisa masing-masing bank/otoritas moneter negara bersangkutan, sehingga dapat dipergunakan untuk menghadapi gejolak pasar mata uang asing. Dalam pada itu perkembangan harga beberapa mata uang asing di Jakarta dalam delapan bulan pertama tahun anggaran 1996/1997, terkecuali untuk mata uang poundsterling Inggris dan dolar Hongkong, cenderung melemah terhadap rupiah. Mata uang asing yang mengalami depresiasi tertinggi terhadap rupiah dalam periode April-November 1996 adalah yen Jepang, franc Swiss, dan guilder Belanda, dengan persentase penurunan berkisar dari 1,83 persen sampai dengan 5,35 persen. Sebaliknya poundsterling Inggris dalam periode yang sama mencatat apresiasi terhadap rupiah sebesar 9,32 persen. Sementara itu dolar Amerika Serikat dalam periode yang sama mengalami apresiasi terhadap rupiah sebesar 0,26 persen, yaitu dari Rp 2.342 dalam bulan Maret 1996 rnenjadi Rp 2.348 dalam bulan November 1996. Perkembangan harga beberapa mata uang asing di Jakarta dapat dilihat dalam Tabel III.4 dan Grafik III.2. 3.2.4. Harga barang-barang ekspor nonmigas Perkembangan harga barang-barang ekspor, khususnya yang berasal dari sektor perkebunan, seperti karet, kopi, kopra, dan sebagainya, dalam periode April-Oktober 1996 pada umumnya mengalami penurunan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar internasional. Perkembangan yang kurang menggembirakan tersebut antara lain dipengaruhi oleh jumlah stok yang dikuasai oleh konsumen serta persaingan yang cukup tinggi dari beberapa negara produsen barang-barang sejenis, sehingga kondisi tersebut mampu menekan harga di pasaran. Dalam periode April-Oktober 1996 harga rata-rata beberapa komoditi ekspor Indonesia di pasar internasional, seperti minyak sawit di pasar London, karet RSS III di pasar New York, London, dan Singapura, kopi robusta di pasar New York, dan lada putih di pasar London, mengalami penurunan jika dibandingkan dengan harga rata-rata yang dicapai dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Dari beberapa jenis komoditi tersebut di atas, harga rata-rata kopi Depertemen Keuangan Republik Indonesia 111 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 robusta mengalami penurunan cukup besar, yaitu 35,02 persen. Berbeda dengan komoditi tersebut di atas, perkembangan harga rata-rata kopra, baik di pasar Manila maupun di pasar London, dalam periode yang sama mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 14,51 persen dan 21,79 persen. Namun demikian jika diamati perkembangan bulanannya dalam periode April-Oktober 1996 harga komoditi kopra, khususnya di pasar London, nampak berfluktuasi dengan kecenderungan melemah. Dalam bulan Oktober 1996 harga kopra di pasar London hanya mencapai US$ 136,23/lt, atau 22,82 persen lebih rendah dibandingkan harga bulan Maret 1996 yang mencapai US$ 176,50/lt. Tabel IDA. BARGA RATA-RATA BEBERAPA JENIS MAT A UANG ASING DI JAKARTA, 198411985 - 199611997 ( harga jual daIam rupiah per satuan ) Periode 198411985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 199611 997 Juni September Desember Maret Juni September Desember Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopcmber US$ 1.053,14 1.124,33 1.410,81 1.653,98 1.712,32 1.792,93 1.875,57 1.978,87 2.053cO5 2.112,24 2.169,2.186,-2.196,-2.237,-2.242,2.284,2.303,2.342,-2.346,2.345,2.346,2.348,2.356,2.351,2.337,2.348,- V 4,31 5,21 8,96 12,04 13,37 12,56 13,39 14,87 16,46 19,57 21,18 22,07 22,02 22,48 26,54 22,73 22,65 22,13 21,91 22,12 21,64 21,53 21,9 21,5 20,96 21,02 £ 1.341,92 1.512,31 2.125,98 2.828,42 3.027,75 2.899,01 3.469,37 3.443,08 3.505,97 3.186,52 3.325,-3.424,-3.450,-3.574,-3.606,-3.570,3.583,3.595,3.568,3.582,3.659,3.682,3.687,3.691,-3.727,-3.930,-- HK$ 131,12 141,8 185,66 215,83 222,05 232,03 243,64 256,85 267,08 274,86 285,285,-286,-292,-292,-298,-301,-305,-305,305,307,306,-306,-306,-305,-306,-- Sin $ OM CHF NLG 488,35 519,5 653,05 800,69 862,58 928,12 1.059,17 1.163,95 1.259,59 1.319,17 1.423,-1.466,-1.501,1.571,-1.605,-1.592,-1.625,-1.662,-1.663,1.662,1.664,1.658,-1.665,-1.665,-1.656,-1.672,-- 356,09 422,03 707,53 946,41 953,88 976,62 1.192,44 1.181,45 I'Clon 1. I,ll 1. 34,-1.405,1.398,1.582,-1.604,-1.556,-1.603,-1.587,-1.559,1.531,1.537,-1.559,1.590,-1.566,1.534,-1.558,-- 426,08 504,43 852,49 1.148,21 1.135,49 1.112,75 1.405,18 1.352,33 1.455,26 1.443,34 1.581,1.686,-1.662,1.896,1.950,-1.924,-1.986,-1.961,-1.931,1.886,-1.871,1.903,-1.962,-1.927,-1.866,-1.856,-- 315,18 312,25 623,39 839,21 845,04 865,37 1.058,08 1.054,82 1.167,53 1.123,07 1.190,-1.253,-1.251,-1.411,1.435,-1.393,-1.431,-1.417,-1.401,-1.312,-1.374,-1.392,-1.417,-1.398,-1.370,-1.391,-- Melemahnya harga beberapa barang ekspor utama di pasar internasional juga memberikan pengaruh cukup berarti terhadap perkembangan harga barang sejenis di pasar dalam negeri, seperti karet RSS I dan kopra. Di pasar Jakarta kedua jenis komoditi tersebut dalam periode April-Oktober 1996 cenderung mengalami penurunan setiap bulannya. Karet Depertemen Keuangan Republik Indonesia 112 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 RSS I yang harganya sempat meningkat dalam bulan pertama tahun anggaran 1996/1997, dalam bulan-bulan berikutnya harganya terus melemah hingga mencapai harga Rp 2.820.000 per ton dalam bulan Oktober 1996. Dengan demikian selama periode April-Oktober 1996 harga karet RSS I mencatat penurunan sebesar 12,56 persen. Perkembangan yang hampir sama juga terjadi pada komoditi kopra dimana dalam perdagangan bulan Oktober 1996 harga komoditi ini ditutup pada tingkat Rp 838.000 per ton. Dibandingkan dengan tingkat harga yang dicapai dalam bulan Maret 1996, maka dalam periode April-Oktober 1996 komoditi tersebut mengalami penurunan harga sebesar 12,89 persen. Berbeda dengan kedua komoditi tersebut di atas, harga lada putih dan kopi robusta memperlihatkan perkembangan yang mulai membaik. Harga lada putih mulai meningkat sejak bulan Agustus 1996 sampai dengan bulan Oktober 1996. Namun demikian harga rata-rata yang diperoleh selama periode April-Oktober 1996 masih lebih rendah jika dibandingkan dengan harga yang terjadi dalam bulan Maret 1996. Sementara itu harga kopi robusta mulai meningkat sejak bulan September 1996 setelah dalam lima bulan sebelumnya secara berturut-turut terus melemah. Dalam bulan Oktober 1996 harga yang dicapai sebesar Rp 4.717.000 per ton, jauh lebih tinggi dari tingkat harga dalam bulan Maret 1996 sebesar Rp 4.300.000 per ton. Dengan demikian dalam periode April-Oktober 1996 harga kopi robusta mengalami kenaikan sebesar 9,70 persen. Perkembangan harga beberapa barang ekspor primer, baik di pasar internasional maupun di pasar dalam negeri dapat dilihat dalam Tabel III.5, Tabel III.6, dan Grafik III.3. 3.2.5. Indeks harga perdagangan besar (IHPB) Indeks harga perdagangan besar, yang juga merupakan salah satu indikator perkembangan harga-harga di dalam negeri pada tingkat pedagang besar/grosir, dalam tahun 1995 mengalami kenaikan sebesar 11,63 persen, yaitu dari 215 dalam tahun 1994 menjadi 240 dalam tahun 1995. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 113 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel Ill.5 BARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR DI PASAR 198411985 - 1996/1997 ( dalam ribu rupiah per ton) Periode Karet RSSI Kopra Lada (Sulawesi) putih Kopi robusta 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 April Mei Juni Jull Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret 1996/1997 April Mei Juni Jull Agustus September Oktober 807,7 762,8 1.115,20 1.562,00 1.784,30 1.419,00 1.445,00 1.436,60 1.669,50 1.822,00 4.065,00 3.936,00 3.873,00 3.356,00 2.912,00 2.724,00 2.883,00 3.026,00 3.419,00 3.485,00 3.399,00 3.336,00 3.225,00 3.267,50 3.280,00 3.252,50 3.047,50 2.947,50 2.875,00 2.820,00 471,9 308,9 364,7 452 570,8 486,4 339 547,8 562 560 808 815 800 825 850 878 875 875 908 908 962,5 962,5 962,5 950 940 940 930 895 858 838 1.320,80 2.160,40 2.619,50 2.500,00 2.100,00 1.379,20 1.386,00 1.500,50 1.738,00 2.741,00 4.914,00 4.772,00 4.793,00 4.674,00 4.674,00 4.674,00 4.674,00 4.674,00 4.674,00 4.674,00 4.300,00 4.350,00 4.300,00 4.300,00 4.300,00 4.050,00 4.000,00 4.000,00 4.352,00 4.717,00 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 2.779,20 4.710,80 6.673,20 7.742,40 5.673,30 3.567,20 2.580,00 2.129,50 3.250,00 5.400,00 6.894,00 7.202,00 7.485,00 7.485,00 7.179,00 7.269,00 7.175,00 7.042,00 6.794,00 6.586,00 7.570,00 7.775,00 7.850,00 7.337,00 7.275,00 6.562,00 5.950,00 6.900,00 7.259,00 7.325,00 114 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel III.6 BARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR UTAMA PASAR INTERNASIONAL, 1984/1985 .199611997 US $ ctIIb (New York) Periode 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 Juli September Desember Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober 44,46 40,8 42,92 50,12 54,09 46,82 46,43,06 43,48 45,28 88,63 74,85 67,82 78,2 76,1 71.16 71,66 72,5 65,17 63,27 63,5 61,5 Rssnl Br £/kg Sin $ dIkg (London) (Slngapura) 70,21 59.31 58,16 63,43 68,74 58,17 49,9 52,02 62,44 67,71 118,85 94,36 91,19 109,24 IOS,I1 99,14 99,46 99,63 88.83 86,33 86,36 81,44 174,99 158,01 172,49 206,68 227,58 165,62 144,5 134,99 134,42 145,86 263,79 215,06 195,3 213,33 219,85 209,24 210,19 210,75 186,78 183,62 182,76 175,4 US $/II (Manll8) Kopra US $/II (London) SO2,86 296,61 220,64 341,41 396.27 321,96 222,3 354,-437,67 428,5 439,25 464,-464,67 506,-503,-525,25 515,-475,475,-488,33 658,76 330,23 203,3 322,49 378,85 168,--') 158,33 142,24 140,1 124,9 123,73 133,19 172,12 176.so 188,29 190,75 145,81 149,71 147,85 136,23 Kopl robusta Lad. putlh US $ ctIIb US $/q eb PaIem- (New York) (New York) 123,94 123,41 120,53 92,25 95.32 61,66 45,94 41,48 37,79 61,46 14O3 123,64 107,53 93,04 100,62 89.38 86,14 88,99 71,34 75,37 70,95 69,99 253.37 277,50" 264,42 311,96 524,27 2,56;Y 2,22 2,65 4,44 5,22 5,23 5,33 4,75 5,24 5 4,95 4,97 4,15 4,76 5,05 5,3 Lada hitam Tlmah putIh MinyakSawit US$Jq Dr Umt Dr flit (New York) (London) EM M818J11a (London) 104,98 182,.240,75" 250,12 250,45 455,84 2,73" 2,02 1,71 2,44 3,23 3,43 3,2 2,78 2,71 2,71 2,62 2,65 2,73 2,87 3,3 3,34 9.525,78 7.487,86' 7.395,4.031,73 4.220,55 7.658,56 5.880,63 5.618,44 5.653,63 5.423,75 5.543,20 6.661,59 6.319,67 6.288,67 6.167,69 6.428,10 6.547,50 6.333,75 6,264,50 6.104,90 6.102,40 5.935,82 641,445,07 269.so 361,14 428,9 320.38 303.32 404,9 414,69 396,76 716,1 655,11 6O5..s5 590,63 519,03 565,24 557.so 556,25 477,5 514,32 548,-500,-- Plywood 1USbeeI (TokJO) 1.032,1.096,39 1.300,55 912,22 1.037,50 1.224,38 1.065,-1.160,1.210,1.200,980,-t070,-1.060,-1.200,-1.200,-1.200,-1.220,-1.230,-1.250,1.270,--- Kenaikan tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan kenaikannya dalam empat tahun sebelumnya, sekaligus merupakan kenaikan cukup besar yang ketiga kalinya selama periode 1984 sampai dengan 1996. Kenaikan IHPB tertinggi selama periode tersebut terjadi pada tahun 1987 sebesar 22,41 persen. Apabila diamati berdasarkan sektor-sektor yang tercakup dalam penghitungan IHPB, kenaikan IHPB dalam tahun 1995 sebagian besar dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga sektor pertanian sebesar 19,13 persen, sektor ekspor sebesar 13,38 persen, dan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 12,24 persen. Sementara indeks harga sektor-sektor lainnya, yang meliputi sektor industri dan sektor impor meningkat masing-masing sebesar 10,82 persen dan 6,98 persen. Dalam tahun 1996 (sampai dengan bulan September) IHPB tercatat sebesar 256, atau mengalami kenaikan sebesar 6,67 persen dibandingkan dengan IHPB tahun 1995. Sektor-sektor yang memberikan pengaruh besar terhadap perubahan IHPB dalam tahun 1996 tersebut adalah sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian, yang mengalami peningkatan masing-masing sebesar 11,55 persen dan 10,15 persen. Perkembangan indeks harga perdagangan besar dapat dilihat dalam Tabel III.7. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 115 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 3.2.6. Indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi Indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi, yang mencakup 5 jenis bangunan/konstruksi, dalam tahun 1995 tercatat sebesar 246. Dengan demikian terjadi kenaikan sebesar 9,82 persen dibandingkan dengan indeks harga yang dicapai tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh indeks harga jenis bangunan pekerjaan umum untuk pertanian, yang mengalami kenaikan sebesar 12,34 persen, yang disusul kemudian oleh kenaikan indeks harga pekerjaan umum untuk jalan, jembatan, dan pelabuhan sebesar 11,30 persen, bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal sebesar 9,73 persen, dan bangunan lainnya sebesar 9,91 persen. Dalam tahun 1996 (sampai dengan bulan September) indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi kembali meningkat dibandingkan indeks tahun sebelumnya, namun peningkatannya lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jenis bangunan/konstruksi yang mengalami kenaikan indeks harga tertinggi adalah pekerjaan umum untuk pertanian sebesar 7,58 persen, sedangkan kenaikan indeks terkecil terjadi pada bangunan dan instalasi listrik, gas, air minum, dan komunikasi sebesar 3,20 persen. Perkembangan indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi dapat dilihat dalam Tabel III.8. 3.3. Gaji dan upah di berbagai sektor Sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan para pekerja melalui kebijaksanaan upah minimum regional (UMR), perkembangan tingkat upah di berbagai sektor ekonomi, baik untuk tingkat upah minimum maupun tingkat upah maksimum, pada umumnya mengalami peningkatan. Dalam tahun 1996 (sampai dengan bulan Juni) kenaikan tingkat upah minimum terjadi pada sektor pertambangan, sektor bangunan, sektor perdagangan, dan sektor jasa-jasa, dengan persentase kenaikan berkisar antara 7,44 persen sampai dengan 25,33 persen. Sementara itu untuk tingkat upah maksimum, kenaikan yang cukup menonjol terjadi pada sektor bangunan dan sektor perdagangan, dengan persentase peningkatan masing-masing sebesar 18,82 persen dan 18,42 persen. Kenaikan terendah sebesar 7,99 persen terjadi di sektor pertambangan. Perkembangan upah maksimum dan minimum di beberapa sektor ekonomi dapat dilihat dalam Tabel III.9. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 116 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabe III 7 INDEKS BARGA PERDAGANGAN BESAR, 1984 . 1996 ( 1983 = 100) Pertambangan Tahun -1 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 19961) Perubahan Pertanian dan Penggalian Industri Impor Ekspor Indeks indeks umum (%) -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 113 118 128 145 163 177 191 206 225 251 298 355 396 109 117 125 132 143 156 169 188 201 218 237 266 293 108 115 124 143 156 166 176 194 206 218 231 256 265 113 119 129 158 164 178 191 201 208 0,211 215 230 242 112 113 85 118 118 131 159 153 159 157 157 178 191 111 110 116 142 149 162 178 187 197 204 215 240 256 + + 11,46 4,5 0 22,41 4,93 8,72 9,88 5,06 5,35 3,55 5,39 11,63 6,67 + + + + + + + + + + 1) Sampai dengan bulan September Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1) Tabel III.8 INDEKS BARGA PERDAGANGAN BESAR BAHAN BANGUNANIKONSTRUKSI MENURUT JENIS BANGUNAN, 1984 . 1996 (1983 = 100) BangunantemPekerjaan Pekerjaan umum Bangunan dan Bangunan Indeks pat tinggal dan umum ootuk jalan, instalasi listrik, lainnya umum jembatan dan gas, air minum, bangunan bukan ootuk tempat tinggal pertaDian pelabuhan dan komunikasi 107 112 119 131 144 160 174 188 198 213 226 248 264 109 115 121 130 142 159 178 195 206 223 235 264 284 108 114 120 132 147 163 177 194 205 219 230 256 274 107 111 117 134 148 161 171 183 191 200 206 219 226 108 113 119 133 147 162 176 194 204 214 222 244 257 108 113 119 132 145 160 174 190 200 213 224 246 260 Perubahan iDdeks umum (ox,) + + + + + + + + + + + 8 4,63 5,31 10,92 9,85 10,34 8,75 9,2 5,26 '6,50 5,16 9,82 5,69 1) Sampai dengan bulan September Depertemen Keuangan Republik Indonesia 117 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 3.4. Perkembangan uang beredar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Dalam menjaga keseimbangan dan kemantapan ekonomi makro dalam tahun anggaran 1996/1997 Pemerintah terus melaksanakan kebijaksanaan moneter, fiskal, dan sektor riil secara terpadu dan saling menunjang berdasarkan prinsip kehati-hatian. Di sektor moneter kebijaksanaan diarahkan untuk mengendalikan pertumbuhan dan sumber ekspansi yang beredar khususnya ekspansi kredit perbankan dan arus masuk modal luar negeri. Di samping itu guna meningkatkan efektivitas pengendalian moneter Pemerintah telah merubah ketentuan cadangan wajib minimum menjadi giro wajib minimum (GWM) dengan mewajibkan bank-bank umum menyimpan 3 persen dari dana pihak ketiga dalam bentuk giro pada Bank Indonesia. Selanjutnya dalam upaya mengendalikan kredit perbankan dilakukan imbauan moral kepada bank-bank agar lebih berhati-hati dalam penyaluran kreditnya. Sejalan dengan upaya tersebut bank-bank devisa diwajibkan untuk menaikkan nisbah kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) secara bertahap hingga mencapai 12 persen dalam waktu enam tahun sejak September 1995. Kebijaksanaan moneter yang ditempuh Pemerintah selama ini dimaksudkan untuk mengatur jumlah uang beredar agar sesuai dengan kebutuhan riil dalam perekonomian, sehingga aktivitas kegiatan pembangunan dapat dijalankan sesuai dengan rencana yang digariskan-dalam Repelita VI. Hasil dari berbagai kebijaksanaan tersebut tercermin pada pertumbuhan uang beredar yang terkendali dan tercapainya proses konsolidasi perbankan. Pertumbuhan uang beredar (M1) dan likuiditas perekonomian (M2) dalam tahun anggaran 1994/1995 masing-masing meningkat sebesar 18,5 persen dan 22,1 persen, dan dalam tahun anggaran 1995/1996 gang beredar (M1) meningkat 18,4 persen serta likuiditas perekonomian (M2) naik 28 persen. Tingginya peningkatan likuiditas perekonomian dalam tahun anggaran 1995/1996 terutama disebabkan meningkatnya pertumbuhan uang kuasi, yang meliputi deposito berjangka dan tabungan, yang dalam tahun anggaran tersebut naik sebesar 31,1 persen. Posisi likuiditas perekonomian (M2) sampai dengan akhir Oktober tahun 1996 berjumlah sebesar Rp 268.320 miliar, yang meliputi uang beredar sebesar Rp 59.595 miliar (22 persen) dan uang kuasi sebesar Rp 208.725 miliar (78 persen). Dengan demikian, selama tahun anggaran 1996/1997 sampai dengan akhir Oktober 1996 likuiditas perekonomian telah menunjukkan kenaikan sebesar Rp 35.827 miliar atau 15,4 persen, yang berarti sedikit lebih rendah dibandingkan peningkatan dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Depertemen Keuangan Republik Indonesia 118 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Rp 29.447 miliar atau 16,2 persen. Jumlah uang beredar (M1) sampai dengan akhir Oktober 1996 mencapai sebesar Rp 59.595 miliar, yang meliputi uang kartal sebesar Rp 21.441 miliar (36 persen) dan uang giral Rp 38.154 miliar (64 persen). Bila dibandingkan dengan posisi jumlah uang beredar Sektor ( Rata-rata upab minimum ) I. Perkebunan 2. Penambangan 3. Industri 4. Bangunan 5. Listrik 6. Perdagangan 7. Perhubungan 8. Jasa-jasa ( Rata-rata upab makSimum ) I. Perkebunan 2. Penambangan 3. Industri 4. Bangunan 5. Listrik 6. Perdagangan 7. Perhubungan 8. Jasa-jasa Tabel III. 9 UPAH MINIMUM DAN MAKSIMUM DI BERBAGAI SEKTOR, 1988 - 1996 ( mpiah per bulan ) 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 19961) 50.266 146.081 115.701 96.236 80.608 209.313 115.509 102.146 67.538 185.187 130.263 119.892 94.998 212.896 117.678 112.000 100.590 218.241 171.957 221.240 105.751 227.611 133.671 157.585 134.740 321.750 186.069 176.338 130.990 250.343 168.800 223.252 149.699 368.870 187.800 254.366 150.782 305.080 223.145 234.683 169.812 413.807 195.527 289.882 155.240 315.535 230.460 234.683 240.439 487.299 206.907 295.514 172.865 326.146 466.757 234.683 272.440 505.768 238.474 326.662 267.220 368.371 493.727 280.518 272.440 573.229 238.474 409.404 267.220 395.795 493.727 332.525 590.384 1.593.079 1.856.189 1.188.131 551.809 1.193.838 923.062 680.100 758.043 1.979.561 1.856.189 1.188.131 683.794 1.442.426 1.047.077 1.121.810 1.050.965 2.269.215 k997.947 1.879.124 821.069 1.967.498 1.172.333 1.775.659 1.563,06 3.869.560 2.2'14.380 2.147.802 1.054.296 2.509.900 2.179.183 2.188.040 1.814.862 3.950.119 2.704.974 2.263.366 1.308.292 3.313.904 2.804.609 2.270.505 1.835.324 4.495.389 2.920.324 12.656.364 2.643.471 3.732.806 2.930.816 2.509.258 1.835.324 4.668.740 3.111.889 2.777.218 2.744.415 4.506.183 4.310.603 2.509.258 1.927.092 4.905.578 3.453.347 3.047.198 3.551.952 4.904.394 4.398.689 2.779.769 1.927.092 5.297.412 3.453.347 3.620.798 3.551.952 5.807.734 4.398.689 2.779.769 1) Sampal dengan bulan juli pada akhir Maret 1996 yang berjumlah sebesar Rp 53.162 miliar, maka dalam periode April0ktober 1996 jumlah uang beredar meningkat sebesar Rp 6.433 miliar atau 12,1 persen. Kenaikan tersebut terutama bersumber pada kenaikan uang giral. Hal ini menunjukkan indikasi meningkatnya peranan uang giral sebagai alat pembayaran pada transaksi finansial dalam perekonomian. Dibandingkan dengan kenaikan dalam periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 12,2 persen, maka perkembangan uang beredar dalam periode April-Oktober 1996 relatif stabil. Berdasarkan perkembangan uang beredar dan likuiditas perekonomian, serta tetap dilaksanakannya kebijaksanaan moneter yang berhati-hati, maka sampai dengan akhir tahun anggaran 1996/1997 pertumbuhan uang beredar dan likuiditas perekonomian diperkirakan tidak jauh dari target yang telah ditetapkan dalam tahun anggaran bersangkutan. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar berasal dari pengaruh menambah atas tagihan kepada lembaga/perusahaan dan perorangan sebesar 33.648 miliar, dan aktiva luar negeri bersih sebesar Rp 4.293 miliar. Sedang pengaruh mengurang yang bersumber dari sektor pemerintah, simpanan berjangka dan tabungan (uang kuasi), serta lainnya bersih, Depertemen Keuangan Republik Indonesia 119 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 masing-masing sebesar Rp 416 miliar, Rp 29.394 miliar, dan Rp 1.698 miliar. Pengaruh menambah atau ekspansi moneter yang bersumber dari tagihan kepada lembaga/perusahaan dan perorangan sebesar Rp 33.648 miliar tersebut antara lain disebabkan tingginya ekspansi kredit, sebagai akibat dari meningkatnya kebutuhan dana untuk pembiayaan investasi dan konsumsi. Sedangkan pengaruh menambah dari aktiva luar negeri, terutama disebabkan oleh meningkatnya realisasi penanaman modal asing (PMA) dan pinjaman luar negeri swasta. Sementara itu pengaruh mengurang atau kontraksi moneter berasal dari sektor pemerintah, sebagai akibat dari meningkatnya penerimaan di luar migas baik berasal dari sektor pajak maupun bukan pajak. Perkembangan jumlah uang beredar dan likuiditas perekonomian, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dilihat dalam Tabel III.10, Tabel III.11, Tabel III.12 3.5. Perkiraan jumlah uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), dan kredit perbankan pada akhir tahun anggaran 1997/1998. Kestabilan dan kemantapan ekonomi makro terus diupayakan Pemerintah dalam mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi, yang dilakukan melalui kebijaksanaan moneter dan fiskal secara terpadu dan berhati-hati yang diarahkan terutama untuk mengendalikan permintaan domestik dan arus masuk modal luar negeri, agar laju inflasi cukup terkendali dan keseimbangan neraca pembayaran semakin mantap. Dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan moneter dilakukan melalui penyempurnaan mekanisme pirantipiranti moneter dan fleksibilitas nilai tukar, guna mengendalikan pertumbuhan jumlah uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), serta kredit perbankan. Memperhatikan perkembangan hasil kebijaksanaan moneter yang ditempuh selama ini serta mempertimbangkan target pertumbuhan inflasi dan prospek neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1997/1998 serta dampak moneter atas realisasi APBN tahun anggaran sebelumnya, maka jumlah uang beredar, likuiditas perekonomian, dan kredit perbankan dalam periode tersebut diperkirakan meningkat masing-masing sebesar 16 persen, 18 persen, dan 17 persen. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 120 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel III,10 JUMLAH UANG BEREDAR, 1984/1985 - 1996/1997 (dalam miliar rupiah) Pada akhir Tahun bulan 198411985 Maret 1985/1986 Maret 1986/1987 Maret 1987/1988 Maret 1988/1989 Maret 1989/1990 Maret 1990/1991 Maret 1991/1992 Maret 1992/1993 Maret 1993/1994 Maret 199411995 Juni September Desember Maret 1995/1996 Juni 8et:tmber Desember Maret 199611997 April Mei Juni Jull Agustus September Oktober 1) (Apr. - Okt.) Posisi Uang kartaI % Posisi 3.785 5.044 5.673 5.873 6.559 7.780 9.026 11.025 12.324 15.340 15.825 17.555 18.634 18.902 19.186 19.564 20.807 21.121 20.422 20.632 21.271 20.673 21.504 21.055 21.441 - 42,1 48,2 49,3 46,5 43,7 35,1 38,3 40,4 40,3 40,5 39,7 41,6 41,1 42,1 40,8 40 39,5 39,7 38,1 38,4 37,7 35,8 37,3 35,3 36 - 5.203 5.431 5.827 6.753 8.450 14.375 14.544 16.293 18.268 22.568 24.061 24. 640 26.740 26.006 27.859 29.417 31.870 32.041 33.164 33.119 35.177 37.043 36.094 38.630 38.154 - Uang giral Jumlah uang beredar % Posisi Perubahan tahunan /5f§ 51,8 50,7 53,5 56,3 64,9 61,7 59,6 59,7 59,5 60,3 58,4 58,9 57,9 59,2 60 60,5 60,3 61,9 61,6 62,3 64,2 62,7 64,7 64 - 8.988 10.475 11.500 12.626 15.009 22.155 23.570 27.318 30.592 37.908 39.886 42.195 45.374 44.908 47.045 48.981 52.677 53.162 53.586 53.751 56.448 57.716 57.598 59.685 59.595 - 11,6 16,5 9,8 9,8 18,9 47,6 6,4 15,9 12 23,9 18,5 18,4 -12,1 1) Angka scmentara Depertemen Keuangan Republik Indonesia 121 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Pada akhir tahun/bulan 1984/1985 Maret 1985/1986 Maret 1986/1987 Maret 1987/1988 Maret 1988/1989 Maret 1989/1990 Maret 1990/1991 Maret 1991/1992 Maret 1992/1993 Maret 1993/1994 Maret 1994/1995 Juni September Desember Maret 1995/1996 Juni September Desember Maret 1996/1997 April Mei Juni Jull Agustus September Oktober 4) (Apr. - Okt.) Tabel III.11 LIKUlDITAS PEREKONOMIAN, 198411985 -1996/1997 ( dalam miliar rupiah ) Uang beredar 1) Uang kuasi 2) Likuditas perekonomian 3) Posisi % Posisi % Posisi Perubahan % tahunan 8.988 10.475 11.500 12.626 15.009 22.155 23.570 27.318 30.592 37.908 39.886 42.195 45.374 44.908 47.045 48.981 52.677 53.162 53.586 53.751 56.448 57.716 57.598 59.685 59.595 - 46,2 43,3 40,4 35,4 34 34,4 29,1 27,1 24,8 25,5 26,1 25,9 26 24,7 24,5 23,8 23,7 22,9 22,5 22,2 22,6 22,8 22,6 23 22,2 - 10.459 13.693 16.991 23.034 29.158 42.212 57.554 73.478 92.568 110.921 112.912 120.705 129.138 136.793 145.081 157.098 169.961 179.331 184.418 188.402 192.995 195.677 197.686 200.243 208.725 - 53,8 56,7 59,6 64,6 66 65,6 70,9 72,9 75,2 74,5 73,9 74,1 74 75,3 75,5 76,2 76,3 77,1 77,5 77,8 77,4 77,2 77,4 77 77,8 - 19.447 24.168 28.491 44.167 64.367 81.124 100.796 123.160 148.829 152.798 162.900 174.512 181.701 192.126 206.079 222.638 232.493 238.004 242.153 249.443 253.393 255.284 259.928 268.320 - 23,4 24,3 17,9 25,2 23,9 45,7 26 24,3 22,2 20,8 22,1 28 -15,4 I) Uang beredar daIam arti sempit terdiri atas uang kartal dan uang giral, biasa dinyatakan dengan simbol MI. 2) Terdiri atasdeposito berjangka dan tahun serta rekening valuta asing milik swasta domestik 3) Merupakan uang beredar dalam ani luas, yang biasa dinyatakan dengan simbol M2, terdiri atas uang beredar daIam arti sempit dan uang kuasi. 4) Angka sementara Depertemen Keuangan Republik Indonesia 122 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 3.6. Pasar uang dan suku bunga Sejalan dengan semakin meningkatnya perkembangan dunia usaha, Pemerintah terus menciptakan kondisi yang dapat mengembangkan aktivitas pasar uang dalam pemberian jasa atas transaksi rupiah dan valuta asing. Upaya yang telah dilakukan Pemerintah itu antara lain adalah penyempurnaan sistem transaksi pelelangan SBI, pengaturan perdagangan surat berharga komersial dan pengoperasian perusahaan pemeringkat efek, fleksibilitas nilai tukar, dan penyempurnaan mekanisme perdagangan di pasar valuta asing, serta kerjasama bilateral dengan otoritas moneter negara tetangga. Dalam sistem pelelangan SBI, sejak tahun 1993 Bank Indonesia telah mengubah sistem pelelangan SBI dalam operasi pasar terbuka yaitu dari sistem cut off rate (COR) menjadi sistem stop out rate (SOR). Selanjutnya, Bank Indonesia sejak tahun 1994 telah menyempurnakan ketentuan mengenai transaksi SBI dengan memperluas transaksi secara repo (repurchase agreement). Penerbitan surat berharga komersial (commercial paper) yang merupakan salah satu alternatif pembiayaan bagi dunia usaha akhir-akhir ini semakin marak. Sehubungan dengan hal tersebut, dan mengingat keterlibatan perbankan Indonesia sangat besar baik dalam jasa penerbitan maupun perdagangan surat berharga komersial, maka untuk mengurangi kemungkinan risiko yang ditanggung bank sesuai dengan prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia pada tanggal 11 November 1995 mengeluarkan ketentuan mengenai penerbitan dan perdagangan surat berharga komersial melalui bank umum di Indonesia. Ketentuan tersebut diarahkan pula untuk menyeragamkan pengaturan pelaksanaan transaksi bagi pasar uang dan sebagai upaya perlindungan bagi investor. Di samping itu, Bank Indonesia juga telah menerbitkan ketentuan mengenai penyempurnaan kolektibilitas surat berharga, yang antara lain dimaksudkan untuk menyesuaikan kriteria penggolongan kolektibilitas dengan ketentuan mengenai persyaratan penerbitan dan perdagangan surat berharga komersial. PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) sebagai satu-satunya lembaga rating yang telah memperoleh izin dari Bapepam telah melakukan rating pada perusahaan penerbitan dan penjamin surat berharga. Banyaknya perusahaan penerbit yang memiliki rating akan memudahkan para investor dalam memperoleh informasi mengenai kualifikasi investasi atas surat berharga komersial yang diperdagangkan di pasar uang. Dengan diketahuinya peringkat Depertemen Keuangan Republik Indonesia 123 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 surat berharga komersial tersebut, maka kepercayaan para investor akan lebih meningkat, sehingga transaksi di pasar uang akan semakin terdorong. Jumlah nilai nominal surat berharga komersial yang telah diterbitkan sejak bulan Agustus 1995 sampai bulan Juli 1996 telah mencapai sekitar Rp 14,9 triliun, yang meliputi surat berharga komersial dalam rupiah senilai Rp 5,7 triliun dan dalam dolar Amerika Serikat senilai Rp 9,2 triliun. Dengan memperhitungkan surat berharga komersial yang telah jatuh tempo, maka pada awal Agustus 1996 posisi surat berharga komersial adalah sekitar Rp 3,6 triliun. Pengaturan fleksibilitas nilai tukar rupiah telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia melalui pelebaran spread kurs jual-beli kurs konversi Bank Indonesia. Kebijaksanaan itu telah disempurnakan beberapa kali, yaitu pada bulan September 1992 dari Rp 6 menjadi Rp 10, pada tanggal 3 Januari 1994 dari Rp 10 menjadi Rp 20, pada tanggal 5 September 1994 dari Rp 20 menjadi Rp 30, dan pada bulan Juni 1995 dari sebesar Rp 33 menjadi Rp 44. Kebijaksanaan tersebut selain untuk mendorong perkembangan pasar valuta asing antarbank, juga dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan bank-bank kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, di samping kebijaksanaan kurs konversi, sejak Januari 1996 Bank Indonesia telah pula menerapkan penggunaan batas kurs intervensi (intervention band). Perbedaan antara batas atas dan batas bawah kurs intervensi ditetapkan sebesar Rp 66. Pada bulan Juni 1996, perbedaan antara batas atas dan batas bawah kurs intervensi tersebut dilebarkan kembali menjadi Rp 118 dan sejak September 1996 menjadi Rp 192. Langkah tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dorongan masuknya arus modal dari luar negeri terutama yang berjangka pendek, dan untuk mengurangi tekanan-tekanan pada nilai tukar rupiah. Penyempurnaan pengaturan mekanisme perdagangan di pasar valuta asing dilakukan antara lain dengan meniadakan fasilitas swap investasi sejak 17 Juli 1995, dimana pada tahuntahun sebelumnya fasilitas tersebut disediakan oleh Bank Indonesia. Namun untuk transaksi swap antara Bank Indonesia dengan bank, tetap masih dapat dilakukan sepanjang Bank Indonesia memandang perlu. Pasar valuta asing di dalam negeri saat ini juga ditandai oleh semakin meluasnya penggunaan transaksi derivatif oleh bank-bank dan peserta pasar lainnya. Tujuan penggunaan transaksi derivatif antara lain untuk menghindari risiko assets maupun liabilities (hedging), terutama yang timbul sebagai akibat perubahaan nilai tukar dan suku bunga, spekulasi untuk Depertemen Keuangan Republik Indonesia 124 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 memperoleh keuntungan, dan dalam rangka pendanaan (funding). Penggunaan transaksi derivatif untuk tujuan tersebut di satu sisi dapat memberikan manfaat, namun di sisi lain, juga dapat menimbulkan risiko kerugian yang cukup besar baik bagi perbankan maupun peserta pasar lainnya. Pada bulan Desember 1995, Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai transaksi derivatif guna menciptakan iklim perbankan dan pasar finansial yang sehat. Ketentuan tersebut dimaksud untuk membatasi risiko dan memberikan pedoman minimum bagi pelaksanaan transaksi derivatif oleh bank. Dalam rangka memelihara stabilitas moneter, terutama untuk menghadapi spekulasi pembelian valuta asing, Bank Indonesia telah melakukan kerjasama bilateral dengan otoritas moneter Malaysia, Singapura, Thailand, Hongkong, Australia, dan Philipina melalui transaksi repurchase agreement (repo) surat-surat berharga. Selain itu, kerjasama tersebut juga mencakup tukar menukar informasi dan kerjasama dalam pengelolaan moneter dan nilai tukar. 3.6.1. Pinjaman antar bank Peningkatan transaksi pinjaman antarbank yang terjadi selama tahun 1996 telah meningkatkan nilai transaksi di pasar uang antarbank di Jakarta. Selama periode JanuariOktober 1996, nilai transaksi di pasar uang antarbank di Jakarta mencapai jumlah sebesar Rp 383.402 miliar. Dibandingkan dengan nilai transaksi dalam periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp 152.197 miliar, maka dalam tahun 1996 telah terjadi kenaikan nilai transaksi sebesar Rp 231.205 miliar, atau 152 persen. Peningkatan volume transaksi dana antarbank yang cukup besar tersebut antara lain disebabkan oleh bertambahnya kebutuhan likuiditas bank-bank sehubungan dengan diberlakukannya ketentuan baru mengenai cadangan wajib minimum, dari sebesar 2 persen dirubah menjadi giro wajib minimum sebesar 3 persen. Sementara itu, suku bunga rata-rata tertimbang pinjaman antarbank dalam periode yang sama telah menunjukkan kenaikan dari 12,82 persen dalam bulan Januari 1996 menjadi 14,84 persen dalam bulan Oktober 1996. Perkembangan nilai transaksi dan tingkat bunga di pasar uang antarbank dapat dilihat dalam Tabel III.13 3.6.2. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Penerbitan sertifIkat Bank Indonesia dalam periode Januari-Oktober 1996 mencapai jumlah sebesar Rp 95.681 miliar, atau meningkat sebesar 28,23 persen dibandingkan dengan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 125 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 periode yang sama tahun 1995 sebesar Rp 74.615 miliar. Dengan memperhitungkan pelunasan SBI yang telah jatuh waktu dan tidak diperpanjang lagi, termasuk SBI milik asing sebesar Rp 94.560 miliar, maka posisi SBI pada akhir Oktober 1996 menjadi sebesar Rp 12.971 miliar yang berarti meningkat dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 10.335 miliar. 3.6.3. Surat berharga pasar uang (SBPU) Surat berharga pasar uang adalah merupakan salah satu piranti moneter dalam operasi pasar terbuka, berfungsi juga untuk menjaga likuiditas perbankan terutama dalam hubungannya dengan ekspansi kredit perbankan, dan sebagai sarana dalam mengatur jumlah uang beredar. Dalam periode Januari-Oktober 1996, Bank Indonesia telah melakukan pembelian SBPU sejumlah Rp 105.111 miliar, atau menurun sebesar 12,03 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 1995 yang mencapai sebesar Rp 119.487 miliar. Relatif rendahnya penjualan SBPU oleh bank-bank menunjukkan kecenderungan menurunnya pemanfaatan dana SBPU oleh bank-bank dalam upaya memenuhi kebutuhan likuiditas rupiah dalam jangka pendek. Dengan memperhitungkan penebusan SBPU dalam bulan Januari 1996 sampai dengan bulan Oktober 1996 sebesar Rp 109.091 miliar, maka pada akhir Oktober 1996 posisi SBPU mencapai sebesar Rp 225 miliar. 3.6.4. Sertifikat deposito Dana sertifikat deposito yang dihimpun bank pemerintah, bank asing, dan bank swasta nasional, merupakan suatu alternatif penanarnan dana yang semakin menarik. Hal ini tercermin pada perkembangan dana sertifikat deposito yang semakin pesat dari waktu ke waktu. Selama periode Januari-Oktober 1996 sertifikat deposito telah mengalami peningkatan dari sebesar Rp7.765 miliar pada akhir Desember 1995menjadi sejumlah Rp 12.949 miliar pada akhir Oktober 1996 atau meningkat sebesar 66,76 persen, yang berarti lebih rendah bila dibandingkan dengan peningkatan dalam periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 235,4 persen. Bertambahnya dana sertifikat deposito dalam periode Januari-Oktober 1996 terutama disebabkan oleh meningkatnya dana sertifikat deposito yang dihimpun oleh bank-bank swasta nasional sebesar 78,7 persen. Sedangkan dana sertifikat deposito yang dihimpun oleh bank asing dan bank pemerintah dalam Depertemen Keuangan Republik Indonesia 126 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 periode yang sama mengalami peningkatan masing-masing sebesar 94,5 persen dan 45,4 persen. Perkembangan dana sertifikat deposito dapat dilihat dalam Tabel III.14. Tabel III.13 NILAI TRANSAKSI DAN TINGKAT BUNGA PASAR UANG ANTARBANK DI JAKARTA, 1984 -1996 Nilai transaksi Suku bungs Mas a rata-rata tertimbang ( Millar rupiah ) ( persen per tahun ) 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 Januari - Maret April- Juni Juli - September Oktober - Desember 8.055 8.055 8.022 9.323 12.491 22.906 38.905 48.420 57.808 90.107 110.990 189.259 33.451 40.278 57.297 58.233 9,95 9,95 13,79 14,5 14,93 12,4 14,93 15,32 12,09 8,72 8,87 13,67 12,79 15,14 13,07 13,66 Januari Pebruari Maret Januari - Maret April Mei Juni April- Juni Juli Agustus September Juli - September Oktober 23.296 19.253 20.010 63.219 38.019 42.169 43.644 123.832 50.863 53.921 43.574 148.358 47.993 12,82 13,3 12,39 12,84 15,23 14,86 13,93 14,67 14,37 15,1 14,81 14,76 14,84 1996 3.6.5. Suku bunga Sejalan dengan relatif terkendalinya jumlah uang beredar dan laju inflasi, Pemerintah berupaya untuk menurunkan spread tingkat bunga deposito dan kredit. Dalam kaitan ini, Bank Depertemen Keuangan Republik Indonesia 127 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Indonesia telah menempuh berbagai kebijaksanaan yang diarahkan untuk menekan biaya intermediasi dan memperkecil risiko kredit macet. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan mempercepat penyelesaian konsolidasi bank-bank, menyempurnakan rambu-rambu kehati-hatian pengelolaan bank, serta meningkatkan profesionalisme para bankir. Melalui upaya-upaya tersebut diharapkan spread tingkat bunga deposito dan kredit perbankan semakin kecil. Suku bunga SBI relatif stabil dalam tahun 1996, demikian pula suku bunga deposito. Upaya efisiensi yang dilakukan oleh perbankan tampaknya telah menunjukkan hasil, yang tercermin dari menurunnya tingkat bunga kredit modal kerja dari 19,29 persen dalam bulan Januari 1996 menjadi 19,21 persen dalam bulan Oktober 1996. Namun untuk bunga kredit investasi masih sedikit mengalami peningkatan dari 16,21 persen dalam bulan Januari 1996 menjadi 16,48 persen dalam bulan Oktober 1996. Suku bunga pasar uang antarbank berdasarkan rata-rata tertimbang dalam perkembangannya telah mengalami peningkatan dari 12,82 persen dalam bulan Januari 1996 meningkat menjadi sebesar 14,84 persen dalam bulan Oktober 1996. Tingkat diskonto sertifikat Bank Indonesia dan surat berharga pasar uang selama JanuariOktober 1996 relatif stabil. Sedangkan untuk suku bunga deposito ( 6 bulan, 12 bulan, dan 24 bulan) sedikit meningkat masing-masing dari 16,90 persen, 16,52 persen, dan 15,63 persen dalam bulan Januari 1996 menjadi 16,92 persen, 16,84 persen, dan 15,90 persen dalam bulan Oktober 1996. Sementara itu, untuk suku bunga deposito berjangka. 3 bulan sedikit menurun dari 17,20 persen dalam bulan Januari 1996 menjadi 17,18 persen dalam bulan Oktober 1996. Searah dengan semakin efisiennya perbankan maka spread antara bunga deposito dan kredit perbankan semakin mengecil, sehingga suku bunga pinjaman untuk kredit modal kerja telah mengalami penurunan dari 19,29 persen dalam bulan Januari 19% menjadi 19,21 persen dalam bulan Oktober 1996. Perkembangan suku bunga dalam negeri dapat dilihat dalam Tabel III.15. 3.7. Lembaga Perbankan 3.7.1. Struktur kelembagaan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 128 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Perkembangan perekonomian Indonesia dalam dasawarsa tahun 1990-an ini telah mengarah pada proses keseimbangan dan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor finansial. Hal ini dapat dilihat dari adanya kekuatan saling mempengaruhi dalam proses pertumbuhan yang terjadi antara kedua sektor tersebut. Kegiatan produksi barang dan jasa yang telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, dapat berjalan karena ditunjang oleh sumber pendanaan investasi dan pembiayaan kegiatan usaha yang diberikan oleh sektor finansial. Perkembangannya menunjukkan Tabel 111.14 SERTIFlKAT DEPOSITO, 1989 - 1996 ( dalam miliar rupiah) Bank Bank-bank pemerintah 1) Bank asing swasta nasional -1 -2 -3 -4 1989 Desember 77 77 1990 Desember 103 320 1991 Desembe\ 198 3.733 1992 Desember 474 1.703 136 1993 Desember 697 1.558 1994 Maret 479 1.390 Juni 347 1.433 155 September 236 1.353 275 Desember 337 1.839 321 1995 Maret 809 2.389 282 Juni 1.807 3.188 383 September 2.848 4.707 433 Desember 2.990 4.342 487 1996 Januari 3.055 3.948 586 Februari 3.971 4.675 686 Maret 3.853 6.015 774 April 4.164 7.025 929 Mei 4.242 7.384 832 Juni 5.377 7.956 802 Juli 4.507 7.626 828 Agustus 4.424 7.141 876 September 4.099 7.287 4.346 7.761 Oktober 842 1) Me1iputi Bank Persero dan Bank Pemerintah Daerah Akhir periode Depertemen Keuangan Republik Indonesia Jumlah -5 173 434 3.937 2.178 2.391 1.962 1.877 1.744 2.451 3.519 5.277 7.938 7.765 7.490 9.232 10.554 11.963 12.555 14.165 12.935 12.393 12.262 12.949 129 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel 111.15 SUKU BUNGA,1989 - 1996 (dalam persen per tahun) SBIl) 1989 Desember 1990 Desember 1991 Desember 1992 Desembe 1993 Desember 1994 Desember 1995 Maret Juni September Desember 1996 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober 11,64 17,87 18;03 13,79 9,08 11,59 13,28 13,16 13,79 13,34 12,6 13,06 13,34 13,37 13,03 13,37 13 13,06 12,8 12,81 SBPU 1) 20,19 13,98 12 15,36 15,34 15,88 15,88 15,87 15,87 15,87 15,87 15,87 15,87 15,87 15,87 15;87 15,87 15,87 3 bln Deposito2) 6 bln 12bln 24bln 17,06 21 21,88 16,72 11,79 14,27 15,92 17,09 17,6 17,15 17,2 17,22 17,29 17,38 17,38 17,35 17,35 17,26 17;25 17,18 17,7 19,63 22,65 17,78, 13,08 13,33 14,57 15,73 16,72 16,95 16,9 16,87 16,88 16,89 16,91 16,9 16,95 16,94 16,93 16,92 18,58 18,53 22,76 18,93 14,2 12,99 13,87 14,85 15,66 16,28 16,52 16,6 16,68 16,76 16,77 16,42 16,45 16,94 16,85 16,84 18,82 18,52 20,58 19,91 16,08 14,8 14,45 13,67 14,46 15,45 15,63 15,3 15,39 15,47 ' 15,,54 15,78 15,86 15,85 15,87 15,9 KMK Kredit Investasi 21,82 20,67 25,21 24,05 20,52 17,75 18,4 18,94 19,2 18,88 19,29 19,32 19,3 19,28 19,27 19,18 19,14 19,13 19,21 19,21 19,5 18,95 20,87 19,21 17,06 14,96 '15,27 15,79 16,08 15,75 16,21 16,31 16,39 16,48 16,5 16,4 16,48 17,73 16,52 16,48 1) Suku bunga SBI dan SBPU atas dasar rata-rata hilling 2) Deposito dari bank pencipta uang bahwa dalam tatanan perekonomian nasional fungsi sektor finansial sebagai fasilitator dalam menunjang kegiatan ekonomi riil semakin meningkat. Sebagai bagian dari sektor finansial, keberadaan industri perbankan telah memainkan peranan yang cukup strategis. Untuk itu sejalan dengan arahan Garis-garis Besar Haluan Negara, Pemerintah terus berusaha untuk mendorong industri perbankan agar dapat berkembang secara wajar sehingga dapat melaksanakan fungsinya dalam melayani kepentingan masyarakat di bidang keuangan. Langkah mendasar yang telah diambil oleh Pemerintah untuk memberikan landasan operasional yang tepat dan terarah, antara lain dilakukan melalui reformasi sistem peraturan perbankan nasional yang mengacu pada ketentuan yang berlaku secara internasional. Dalam hal perundangan-undangan, reformasi telah dilakukan melalui disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undang-undang tersebut disempurnakan beberapa ketentuan umum yang berkaitan dengan aspek operasional bank, antara lain mencakup ketentuan tentang jenis dan usaha bank, ketentuan tentang perizinan dalam pendirian bank, Depertemen Keuangan Republik Indonesia 130 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 bentuk hukum dan kepemilikannya, serta ketentuan mengenai sistem pembinaan dan pengawasan bank. Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 telah dijabarkan lebih lanjut melalui beberapa peraturan pemerintah dan dilengkapi dengan berbagai surat keputusan dan surat edaran yang diarahkan secara langsung untuk memperbaiki kinerja internal perbankan, khususnya dalam aspek permodalan, kualitas sumber daya manusia, penggunaan teknologi keuangan yang tepat dan efisien, dan perbaikan struktur keuangan. Dalam aspek permodalan, sejak tanggal 7 September 1995, Pemerintah telah meningkatkan persyaratan modal disetor menjadi Rp 150 miliar bagi penunjukan bank umum bukan devisa menjadi bank umum devisa. Di samping besaran modal disetor tersebut, bank yang bersangkutan juga harus mematuhi ketentuan nisbah pemenuhan modal minimum. Bagi bank-bank umum yang telah menjadi bank devisa sebelum ketentuan tersebut mulai diberlakukan, diwajibkan untuk meningkatkan modal disetor dan nisbah pemenuhan modal minimum secara bertahap, yakni masing-masing sebesar Rp 50 miliar dan 9 persen mulai September 1997, sebesar Rp 100 miliar dan 10 persen mulai September 1999, dan sebesar Rp 150 miliar dan 12 persen mulai September 2001. Dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan sistem pembinaan dan pengawasan bank, Pemerintah terus mendorong agar masing-masing bank dapat menerapkan sistem pengawasan internal (self regulation banking). Hal ini dimaksudkan agar industri perbankan menjadi semakin dewasa dan dapat melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan ketentuan yang ditetapkan sendiri namun dengan tetap mengacu pada prinsip kehati-hatian yang bersifat universal dan berdisiplin dalam pelaksanaannya. Dalam kaitannya dengan penerapan sistem pengawasan internal perbankan, sejak bulan Januari 1995 Pemerintah melalui Bank Sentral telah mengeluarkan ketentuan mengenai pedoman penyusunan kebijaksanaan perkreditan bank (PPKPB) dan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank (SPFAIB) serta teknologi sistem informasi. Di samping itu dalam bulan Desember 1995 dan Pebruari 1996, juga telah disempurnakan ketentuan tentang transaksi derivatif yang dapat dilakukan oleh industri perbankan. Ketentuan-ketentuan itu dimaksudkan agar bank-bank mempunyai pedoman yang jelas dalam melakukan pembiayaan/transaksi ekonomi yang berisiko, seperti penyaluran kredit dan transaksi derivatif. Sejalan dengan upaya memantapkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam industri perbankan, maka dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas pengendalian moneter, Depertemen Keuangan Republik Indonesia 131 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Pemerintah juga telah mengubah ketentuan cadangan wajib minimum menjadi giro wajib minimum (GWM). Berdasarkan ketentuan yang mulai berlaku sejak Pebruari 1996 tersebut, setiap bank diwajibkan untuk menyimpan 3 persen dari dana pihak ketiga dalam bentuk giro pada Bank Indonesia. Selanjutnya ketentuan mengenai giro wajib minimum tersebut akan dinaikkan menjadi 5 persen dan diberlakukan mulai April 1997. Dalam ketentuan yang baru tersebut, teknis penghitungan GWM dan sistem pelaporan yang terkait dengan itu, seperti pelaporan dana pihak ketiga dan format laporannya, relatif tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku selama ini. Ditinjau dari kebijaksanaan ekonomi moneter, peningkatan GWM dari 3 persen menjadi 5 persen tersebut akan lebih meningkatkan efektivitas pengendalian besaran-besaran moneter, seperti uang beredar, likuiditas perekonomian dan juga kredit perbankan, yang secara umum akan menjaga agar meningkatnya permintaan barang dan jasa di masyarakat akan seimbang dengan daya dukung dan kapasitas produksi nasional. Pada gilirannya hat ini akan tercermin dari stabilitas harga yang terjadi dalam perekonomian. Peningkatan GWM ini juga akan mengefektifkan pelaksanaan prinsip kehatihatian industri perbankan, khususnya dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor produktif. Sementara itu dalam rangka untuk menghadapi persaingan usaha perbankan yang makin ketat, baik yang disebabkan oleh proses globalisasi keuangan maupun oleh meningkatnya alternatif pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan di luar perbankan, perbankan juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas kelembagaan. Upaya tersebut antara lain ditempuh melalui anjuran merger dan konsolidasi kelembagaan kepada bank-bank yang masih memiliki kelemahan dalam beberapa aspek seperti permodalan dan manajemen operasionalnya, serta dengan memberlakukan proses seleksi yang lebih ketat terhadap pendirian bank baru. Proses seleksi yang lebih ketat terhadap permohonan pendirian bank baru dilakukan antara lain dengan menerapkan ketentuan tentang kriteria perbuatan terce a yang dapat mengakibatkan seseorang dilarang menjadi pemegang saham dan/atau pengurus bank. Berbagai upaya tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya kinerja industri perbankan yang sehat, baik ditinjau dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan handal, pengembangan kedua aspek tersebut harus dilakukan secara seimbang sesuai dengan perubahan kondisi pasar keuangan yang dihadapinya. Meskipun belum dapat dilihat secara komprehensif, reorientasi pembenahan sistem perbankan di Indonesia dari aspek kuantitas ke aspek kualitas nampaknya telah menunjukkan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 132 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 hasil yang menggembirakan. Hal ini antara lain terlihat dari kondisi kelembagaan yang selama dua tahun terakhir ini tidak menunjukkan adanya pertambahan bank baru. Jumlah bank umum yang beroperasi di Indonesia sampai akhir September 1996 adalah 239 buah, yang terdiri dari 7 bank persero, 164 bank swasta, 41 bank asing/campuran, dan 27 bank pembangunan daerah. Perkembangan yang pesat terjadi dalam aspek perluasan jaringan operasional, dimana jumlah kantor cabang bank pada akhir September 1996 adalah sebanyak 5.772 buah atau bertambah 402 buah dibandingkan jumlah kantor cabang pada akhir Maret 1996 sebanyak 5.370 buah. Sementara itu untuk bank perkreditan rakyat (BPR) yang sebagian besar banyak beroperasi di daerah pedesaan, jumlah kelembagaannya terus berkembang. Secara keseluruhan jumlah BPR di luar lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP) yang beroperasi di Indonesia jumlahnya sampai akhir September 1996 adalah sebanyak 7.595 buah atau bertambah 294 buah dibandingkan dengan jumlahnya pada akhir Maret 1996 sebanyak 7.301 buah. Perkembangan kelembagaan perbankan secara keseluruhan dapat dilihat dalam Tabel III.16 3.7.2. Perkembangan dana perbankan Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa perkembangan industri perbankan terutama setelah Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 dikeluarkan, telah meningkat dengan pesat. Hal ini tercermin dari makin meningkatnya jumlah bank, jaringan kantor cabang, volume usaha kualitas pelayanan yang semakin profesional, penggunaan teknologi yang semakin canggih maupun aneka ragam produk yang ditawarkan. Dengan demikian, dalam skala makro, industri perbankan mempunyai potensi dan peluang yang semakin besar dalam peranannya sebagai sumber pembiayaan atau sumber dana dalam menggerakkan pernbangunan nasional. Sejalan dengan itu, maka kebijaksanaan di bidang pengerahan dana masyarakat melalui sektor perbankan dilakukan melalui berbagai upaya secara terpadu dan terus menerus. Upayaupaya tersebut antara lain dilakukan dengan mendorong perbankan untuk menciptakan dan memperluas jumlah dan skim penghimpunan dana masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan pasar dengan tetap memperhatikan dan berlandaskan pada aspek kehati-hatian serta perlindungan terhadap penabung/pemilik dana. Kebijaksanaan juga diarahkan untuk menciptakan industri perbankan yang sehat dan tangguh dalam rangka mempertebal tingkat kepercayaan masyarakat luas terhadap perbankan nasional. Dilihat dari kebijaksanaan ekonomi Depertemen Keuangan Republik Indonesia 133 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 makro, mobilisasi dana yang sebesar-besarnya diusahakan dari dalam negeri, adalah dalam rangka menutup kesenjangan antara kebutuhan investasi di satu pihak dan tabungan di sisi yang lain. Salah satu upaya yang sedang dilaksanakan adalah dengan menumbuhkan minat dan memupuk semangat menabung bagi para pelajar dan pramuka melalui kegiatan Pekan Tabungan Nasional (KANTANAS). Kegiatan yang telah dimulai sejak tahun 1992 ini merupakan wadah kerjasama antara perbankan dan instansi pemerintah terkait seperti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri dan Pramuka. Sementara itu, upaya lainnya yaitu dengan mengaktifkan wadah Forum Komunikasi Pendidikan Menabung (FKPM) baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam perkembangannya, sejalan dengan pesatnya peningkatan pelayanan dan beraneka ragamnya produk jasa perbankan yang ditawarkan, dan ditambah dengan pendapatan masyarakat yang semakin meningkat, maka jumlah dana masyarakat yang dihimpun oleh industri perbankan juga mengalami peningkatan. Hingga akhir bulan Oktober 1996, jumlah dana masyarakat yang dimobilisasi industri perbankan telah mencapai Rp 260.661,8 miliar, yang terdiri dari giro sebesar Rp 52.566,2 miliar, tabungan sebesar Rp 58.047,9 miliar dan deposito sebesar Rp 150.047,7 miliar. Dibandingkan dengan posisi dana perbankan pada akhir tahun anggaran 1995/1996 sebesar Rp 223.727,8 miliar, maka jumlah dana sebesar Rp 260.661,8 miliar tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp 36.934,0 miliar (16,5 persen). Dari jumlah dana tersebut hampir 80 persen merupakan dana dalam bentuk tabungan dan deposito, sedangkan selebihnya yakni sekitar 20 persen merupakan simpanan dalam bentuk giro. Meningkatnya peranan dana masyarakat dalam bentuk deposito berjangka dan tabungan tersebut tampaknya sejalan dengan proses kegiatan mobilisasi dana masyarakat khususnya kebijaksanaan perluasan jaringan kantor bank yang saat ini telah menjangkau hingga ke berbagai pelosok daerah. Sedangkan jika dilihat dari kelompok banknya, maka dominasi kelompok bank umum swasta nasional dalam memobilisasi dana masyarakat masih terus berlanjut. Hingga akhir Oktober 1996, kelompok bank umum swasta nasional berhasil menghimpun dana masyarakat sebesar Rp 150.179,1 miliar (57,6 persen), sedangkan kelompok bank pemerintah menghimpun dana sebesar Rp 86.192,3 miliar (33,1 persen), bank asing dan campuran sebesar Rp 16.018,0 miliar (6,1 persen), dan bank pembangunan daerah sebesar Rp 8.272,4 miliar (3,2 persen). Perkembangan dana perbankan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel III.17, Tabel III.18, dan Grafik III.5. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 134 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel 111.16 JUMLAH BANK DAN KANTOR BANK DI INDONESIA I). 199011991 . 1996/1997 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 BANK-BANK UMUM Bank umum pemerintah - Jumlah bank - Jumlah kantor Bank umum swasta nasional - Jumlah bank - Jumlah kantor Bank pembangunan daerah - Jumlah bank - Jumlah kantor Bank asinglcampuran - Jumlah bank - Jumlah kantor Jumlah bank umum - Jumlah bank - Jumlah kantor BANK PERKREDIT AN RAKY A T 3 Jumlah bank selurubnya Jumlah kantor selurubnya 1996/1997 2) 7 1.064 7 1.078 7 1.099 7 1.121 7 1.285 7 1.305 7 10408 114 2.274 133 2.798 147 2910 163 3.125 166 3.296 165 3.531 164 3.789 27 376 27 412 27 426 27 429 27 432 27 451 27 489 28 48 29 54 39 75 39 78 40 84 41 83 41 86 176 3.762 6.193 6.369 9.955 196 4.342 6.703 6.899 11.045 220 4.510 6.889 7.109 11.399 236 4.753 7.095 7.331 11.848 240 5.097 7.231 7A71 12.328 240 5.370 7.301 7.541 12.671 239 5.772 7.595 7.834 13.367 I) Termasuk jumlah cabang bank di luar negri. 2) Sampai denganbulan September 1996. 3) Tidak termaauk WKP ymg statulllya belum berubab mcajldi BPR. 3.7.2.1. Giro Hingga bulan Oktober 1996, dana masyarakat yang dihimpun oleh industri perbankan dalam bentuk giro telah mencapai Rp 52.566,2 miliar atau meningkat Rp 8.422,3 miliar (19,1 persen) jika dibandingkan dengan posisinya pada akhir bulan Maret 1996 sebesar Rp 44.143,9 miliar. Hal ini sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian masyarakat yang sekaligus juga adanya peningkatan penggunaan jasa perbankan. Jika dibandingkan dengan laju peningkatan tahun sebelumnya (periode April-Oktober 1995) sebesar 18,7 persen, maka peningkatan dana giro periode April-Oktober 1996 adalah sedikit lebih besar, dan secara nominal peningkatannya juga lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan dana giro pada periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp 6.615,6 miliar. 3.7.2.2. Deposito berjangka Deposito berjangka masih merupakan pilihan utama masyarakat dalam menempatkan dananya di perbankan, karena di samping meningkatnya kinerja perbankan yang antara lain Depertemen Keuangan Republik Indonesia 135 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 dicerminkan dengan meningkatnya tingkat kegiatan bank dan pelayanan yang diberikan, juga adanya tingkat suku bunga yang secara riil cukup kompetitif memberikan keuntungan bagi para deposan. Dalam satu dasawarsa terakhir dana deposito berjangka telah menjadi andalan utama industri perbankan dalam memobilisasi dana masyarakat yang terlihat dari pangsanya yang lebih dari 50 persen dari dana perbankan. Dalam perkembangannya, hingga akhir Oktober 1996, dana perbankan dalam bentuk deposito berjangka telah mencapai Rp 150.047,7 miliar, atau meningkat sebesar Rp 21.634, miliar (16,8 persen) jika dibandingkan dengan posisinya pada akhir Maret 1996 sebesar Rp 128.413,1 miliar. Sementara itu, dilihat dari jangka waktunya, peranan deposito berjangka waktu pendek terus mendominasi, khususnya yang berjangka waktu 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan. Dana deposito berjangka waktu 1 bulan, hingga Oktober 1996 tercatat sebesar Rp 44.845,1 miliar (29,9 persen), sedangkan yang berjangka waktu 3 dan 6 bulan, masing-masing sebesar Rp 30.644,4 miliar (20,4 persen) dan Rp 36.216,4 miliar (24,1 persen). Untuk dana deposito yang berjangka waktu 12 bulan dan 24 bulan masing-masing berjumlah sebesar Rp 23.739,2 miliar (15,8 persen) dan Rp 1.126,3 miliar (0,7 persen). Deposito berjangka lainnya, termasuk yang berjangka waktu 9 bulan dan 18 bulan, secara keseluruhan mencapai Rp 13.746,3 miliar (9,1 persen). Perkembangan deposito berjangka dapat dilihat pada Tabel III.19 dan Grafik III.6. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 136 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel 111.17 DANA PERBANKAN MENURUT JENISNYAl), 1984/1985 -1996/1997 ( dalam miliar rupiah ) Akhir periode 1984/1985 Maret 1985/1986 Maret 1986/1987 Maret 1987/1988 Maret 1988/1989 Maret 1989/1990 Maret 1990/1991 Maret 1991/1992 Maret 1992/1993 Maret 1993/1994 Maret 1994/1995 Juni September Desember Maret 1995/1996 Juni September Desember Maret 1996/1997 April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Giro Deposito 2) Tabungan Jumlah 7.187,70 7.040,70 7.561,80 8.480,60 10.543,10 15.978,10 17.949,00 21.428,10 25.076,80 31.802,00 34.441,60 36.157,80 39.097,10 35.434,10 38.580,10 40.143,80 44.108,20 44.143,90 45.629,80 45.857,40 49.012,40 50.923,00 49.317,60 52.073,60 52.566,20 8.726,00 12.590,40 14.911,80 20.654,30 26.474,40 36.350,40 49.839,60 56.812,30 64.216,00 75.183,40 76.714,60 83.617,50 90.989,90 97.467,10 104.933,40 115.301,60 123.431,80 128.413,60 132.387,50 136.048,70 139.187,30 141.871,20 143.294,10 144.289,60 150.047,70 774,1 1.211,80 1.586,40 1.835,00 2.485,30 6.863,60 9.722,20 17.471,00 28.343,20 37.613,40 37.244,30 38.302,60 40.319,20 40.921,80 41.397,60 43.485,00 47.224,00 51.170,30 51.803,80 52.607,80 53.499,00 54.549,70 54.969,20 55.837,60 58.047,90 16.687,80 20.842,90 24.060,00 30.969,90 39.502,80 59.192,10 77 .510,8 95.711,40 117.636,00 144.598,80 148.400,50 158.077,90 170.406,20 173.823,00 184.911,10 198.930,40 214.764,00 223.727,80 229.821,10 234.513,90 241.698,70 247.343,90 247.580,90 252.200,80 260.661,80 1) Sejak April 1993 tennasuk bank eks-LKBB. 2) Tennasuk sertiflkat deposito. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 137 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel III.18 DANA PERBANKAN MENURUT KELOMPOK BANKI), 198411985 - 1996/1997 ( dalam miliar rupiah) Bank Bank Bank Bank Akhir periode swasta pembangunan asing & nasional 2) daerah campuran pemerintah 198411985 Maret 1985/1986 Maret 1986/1987 Maret 1987/1988 Maret 1988/1989 Maret 1989/1990 Maret 199011991 Maret 1991/1992 Maret 1992/1993 Maret 1993/1994 Maret 199411995 Juni September Desember Maret 1995/1996 Juni SepteOlber Desember Maret 1995/1996 April Mei Juni Juli Agustus September Oktober 10.854,00 13.303,20 15.225,40 18.815,30 23.858,50 30.372,70 34.058,80 42.448,40 54.259,50 59.355,70 60.604,40 62.106,60 64.282,90 63.563,00 65.774,90 69.339,50 75.919,70 76.800,80 77.967,90 79.579.0 82.128,80 83.579,60 84.645,80 84.774,80 86.192,30 3.232,60 4.745,80 5.898,60 8.826,10 11.831,60 23.143,10 34.835,20 43.203,30 52.104,50 71.775,60 73.697,20 80.647,70 88.925,80 93.095,60 99.913,80 109.191,80 117.451,10 125.360,10 130.146,40 132.660,00 136.740,30 140.398,00 139.796,80 143.539,50 150.179,10 668,5 760,4 748,3 938,3 1.184,30 1.740,80 2.522,40 2.899,10 3.544,20 4.613,60 4.979,70 5.389,40 6.182,50 5.837,40 6.601,40 7.203,00 7.812,20 7.086,90 6.782,90 7.126,10 7.384,80 7.725,30 7.822,00 7.997,90 8.272,40 1.932,70 2.033,50 2.187,70 2.390,20 2.628,40 3.935,50 6.094,40 7.160,60 7.727,80 8.853,90 9.119,20 9.934,20 11.015,00 11.327,00 12.621,00 13.196,10 13.581,00 14.480,00 14.923,90 15.148,80 15.444,80 15.641,00 15.641,30 15.888,60 16.018,00 Jumlah 16.687,80 20.842,90 24.060,00 30.969,90 39.502,80 59.192,10 77.510,80 95.711,40 117.636,00 144.598,80 148.400,50 158.077,90 170.406,20 173.823,00 184.911,10 198.930,40 214.764,00 223.727,80 229.821,10 234.513,90 241.698,70 247.343,90 247.580,90 252.200,80 260.661,80 I) Sejak April 1993 termasuk bank eks-LKBB. 2) Tenliri dari baDk swasta nasional devisa, bank swasta oasional bukan devisa, bank pembangunan swasta, dan bank tabungan swasta. 3.7.2.3. Tabungan Perkembangan dana masyarakat dalam bentuk tabungan yang dihimpun oleh dunia perbankan secara perlahan terus menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Hal ini selain disebabkan oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menabung, juga disebabkan oleh upaya-upaya yang dilakukan oleh industri perbankan itu sendiri, seperti dengan menambah jaringan kantor cabangnya, menciptakan beraneka ragam jenis tabungan yang disertai dengan berbagai macam hadiah, ditambah dengan tingkat suku bunga yang cukup kompetitif, serta pelayanan yang terus meningkat, misalnya dengan penggunaan Automated Teller Machine (ATM) untuk memudahkan pengambilan tabungan. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 138 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Hingga akhir Oktober 1996, dana masyarakat dalam bentuk tabungan yang dihimpun oleh industri perbankan telah mencapai Rp 58.047,9 miliar, atau meningkat sebesar Rp 6.877,6 miliar (13,4 persen) jika dibandingkan dengan posisinya pada akhir Maret 1996 sebesar Rp 51.170,3 miliar. Jika dibandingkan dengan peningkatan pada periode April-Oktober tahun sebelumnya sebesar Rp 3.646,2 miliar (8,9 persen), maka peningkatan dana tabungan dalam periode April Oktober 1996 adalah relatif lebih besar. Sementara itu, sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menabung, termasuk masyarakat di pedesaaan, ditambah dengan meluasnya jaringan kantor unit-unit Bank Rakyat Indonesia di seluruh tanah air, maka dana masyarakat yang dimobilisasi melalui program simpanan pedesaan (Simpedes) juga menunjukkan hasil yang menggembirakan. Walaupun secara nominal peningkatan simpanan pedesaan ini relatif kecil namun program Simpedes ini diharapkan dalam jangka panjang mempunyai arti yang strategis, terutama dalam membentuk masyarakat yang rasional dalam menggunakan dan membelanjakan uangnya. Hingga akhir September 1996, dana masyarakat dalam bentuk Simpedes telah mencapai Rp 4.073,6 miliar, atau meningkat sebesar Rp 250 miliar (6,5 persen) jika dibandingkan dengan posisinya pada akhir Maret 1996 sebesar Rp 3.823,6 miliar. Sedangkan jumlah penabungnya meningkat dari sebanyak 9.195.588 orang pada akhir Maret 1996 menjadi 9.822.016 orang pada akhir September 1996. Perkembangan dana tabungan dan Simpedes dapat dilihat dalam Tabel III.20 dan Tabel III.21. 3.7.3. Pemanfaatan dana 3.7.3.1. Kebijaksanaan dan perkembangan kredit perbankan Kredit perbankan sampai saat ini masih merupakan salah satu sumber pembiayaan utama bagi pembangunan ekonomi, utamanya dalam menunjang dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang cukup tinggi, memperluas kesempatan berusahan dalam rangka menampung tenaga kerja yang memasuki pasar tenaga kerja, dan untuk mendukung stabilitas perekonomian Depertemen Keuangan Republik Indonesia 139 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabe. III.19 DEPOSITO BERJANGKA SELURUH BANK 1), 198411985 - 199611997 ( daIam miIiar rupiah ) 1 bulan I) 3bulan 6bulan 12 bulan 24 bulan Lainnya 3) Akhir periode 1984/1985 1985/1986 198611987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 199411995 1995/1996 199611997 Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember Maret April Mei Juni Jull Agustus September Oktober 2.122,70 3.213,60 3.307,90 5.915,30 5.958,80 9.587,20 20.278,10 17.412,90 18.104,00 18.520,10 20.411,60 22.996,00 28.275,70 31.132,30 34.163,40 34.491,60 36.867,70 40.559,80 42.404,50 43.206,10 42.037,20 44.145,80 46.257,10 45.632,00 44.845,10 1.416,50 2.029,20 2.549,30 4.093,20 6.151,90 6.846,10 10.393,10 12.896,90 14.679,80 17.320,60 17.144,30 20.204,10 20.379,80 21.714,00 22.115,50 25.985,90 26.931,00 27.812,70 28.679,50 28.661,90 28.532,90 29.233,60 29.598,20 29.448,30 30.644,40 1.730,90 1.987,70 2.007,60 2.579,70 4.011,90 6.080,60 7.041,20 10.865,70 14.560,10 19.198,20 18.681,10 20.137,10 20.752,80 23.234,10 24.982,60 28.794,30 19.473,60 29.777,40 31.100,20 31.968,30 32.884,40 33.435,20 34.762,20 35.821,00 36.216,40 2.915,80 4.604,00 6.193,20 6.592,20 7.913,90 11.149,10 8.985,30 10.320,30 13.045,90 15.669,60 15.025,80 13.568,50 13.407,10 14.043,90 15.377,30 17.682,40 15.309,40 20.393,20 21.364,00 21.695,00 23.270,00 22.547,30 23.100,80 23.179,10 23.739,20 379,2 631 640 1.239,40 2.071,70 2.177,40 816,4 911,8 500,6 617,1 647,6 608,1 532,9 590,5 547,6 474,8 585,2 1.317,60 1.326,50 1.110,40 1.121,30 1.135,70 1.191,20 1.204,90 1.126,30 160,9 124,9 213,8 234,5 366,2 510 2.325,50 4.404,70 3.325,60 3.857,80 4.804,20 6.103,70 7.641,60 6.752,30 7.747,00 7.872,60 4.288,10 8.552,90 7.512,80 9.407,00 11.341,50 11.373,60 8.384,60 9.004,30 13.746,30 Jumlah 8.726,00 12.590,40 14.911,80 20.654,30 26.474,40 36.350,40 49.839,60 56.812,30 64.216,00 75.183,40 76.714,60 83.617,50 90.989,90 97.467,10 104.933,40 115.301,60 103.457,00 128.413,60 132.387,50 136.048,70 139.187,30 141.871,20 143.294,10 144.289,60 150.047,70 1) Sejak April 1993 termasuk bank eks-LKBB. 2) Termasuk deposito yang sudab jatuh waktu dan deposito on call. 3) Termasuk deposito berjugka wakttu 9 buIan dan 18 buIan. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 140 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel III.20 TABUNGAN PERBANKAN1), 1984/1985 -1996/1997 ( dalam miliar ropiah ) Posisi Akhir periode 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1996/1996 1996/1997 Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember Maret April Mei Juni Juti Agustus September Oktober 774,1 1.211,80 1.586,40 1.835,00 2.485,30 6.863,60 9.722,20 17.471,00 28.343,20 37.613,40 37.244,30 38.302,60 40.319,20 40.921,80 41.397,60 43.485,00 47.224,00 51.170,30 51.803,80 52.607,80 53.499,00 54.549,70 54.969,20 55.837,60 58.047,90 Perubahan Jumlah 437,7 374,6 248,6 650,3 4.378,30 2.858,60 7.748,80 10.872,20 2.005,60 -369,1 1.058,30 2.016,60 602,6 475,8 2.087,40 3.739,00 3.946,30 633,5 804 891,2 1.050,70 419,5 868,4 2.210,30 % 56,5 '30,9 15,7 35,4 176,2 41,6 79,7 62,2 5,6 -1 2,8 5,3 15 1,2 5 8,6 8,4 1,2 1,6 1,7 2 0,8 1,6 3,9 1) Sejak April 1993 tennasuk bank eks-LKBB. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 141 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel llI.21 SIMPANAN PEDESAAN, 1984/1985 -1996/1997 Posisi simpanan ( dalam miliar Akhir periode Penyimpan -1 -2 -3 1984/1985 Maret 4.550 0,3 1985/1986 Maret 46.046 6,8 1986/1987 Maret 592.319 107,3 1987/1988 Maret 1.086.156 206,2 1988/1989 Maret 1.863.745 398,2 1989/1990 Maret 2.866.050 747,4 1990/1991 Maret 3.708.325 908,4 1991/1992 Maret 4.506.478 1.270,20 1992/1993 Maret 5.616.866 1.935,90 1993/1994 Maret 6.665.021 2.695,70 1994/1995 Juni 6.468.401 2.900,00 September 7.560.154 3.160,70 Desember 7.849.562 3.986,90 Maret 8.094.576 3.288,60 1995/1996 Juni 8.325.366 3.403,70 September 8.614.127 3.480,60 Desember 8.899.734 3.781,60 Maret 9.195.588 3.823,60 1996/1997 April 9.304:805 3.890,60 Mei 9.409.736 3.972,70 Juni 9.514.359 3.997,10 Juli 9.596.636 4.046,80 Agustus 9.709.593 3.962,30 September 9.822.016 4.073,60 nasional. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka Pemerintah terus berusaha untuk menciptakan iklim yang memungkinkan sistem perkreditan nasional menjadi kuat, efisien, dan benar-benar mencerminkan kekuatan mekanisme pasar. Untuk itu, melalui berbagai deregulasi dan debirokratisasi, industri perbankan sebagai salah satu unsur utama dalam sistem perkreditan nasional, terus didorong untuk dapat meningkatkan efisiensinya, serta kemampuan dan profesionalismenya dalam melakukan penyaluran kredit kepada masyarakat. Di sektor riil, pembenahan dalam proses perekonomian yang sesuai dengan demokrasi ekonomi, kepastian hukum dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap industri perbankan, terus dilakukan. Dengan berbagai kebijaksanaan yang mengarah pada efisiensi secara nasional tersebut, diharapkan alokasi dana oleh industri perbankan dalam bentuk kredit perbankan, benar-benar tersalur pada sektor-sektor yang produktif dan efisien sehingga akan dapat meningkatkan kapasitas produksi barang dan jasa. Namun demikian, kebijaksanaan peningkatan kredit perbankan tersebut perlu selalu dijaga agar Depertemen Keuangan Republik Indonesia 142 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 senantiasa masih dalam batas-batas daya dukung perekonomian nasional, sehingga tidak menimbulkan ketidakstabilan pada perekonomian secara makro, terutama dampaknya terhadap peningkatan laju inflasi. Mengacu pada prinsip yang menghendaki kebijaksanaan perkreditan perbankan benarbenar bertumpu pada kehidupan ekonomi yang sehat, maka melalui kebijaksanaan Paket Januari 1990 Pemerintah antara lain telah mengurangi secara bertahap Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). KLBI diberikan hanya terbatas untuk mendukung pelestarian swasembada pangan dan pengembangan koperasi yaitu kredit kepada Bulog, Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit kepada KUD (KKUD), Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA), dan Kredit untuk Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS). Pemerintah tidak sepenuhnya menyerahkan alokasi sumber daya, khususnya kredit perbankan, kepada proses mekanisme pasar saja. Prioritas tetap juga diberikan dalam penyediaan dan kemudahan kredit bagi golongan pengusaha kecil, menengah dan koperasi, terutama dalam rangka menunjang pemerataan berusaha dan memperluas kesempatan kerja, serta mengangkat kehidupan perekonomian golongan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi. Sementara itu, secara umum kebijaksanaan kredit terus diperluas dan didorong peningkatannya dengan tetap berpedoman pada asas-asas perkreditan yang sehat, memperluas jenis pelayanan, tanpa hams meninggalkan prinsip kehati-hatian yang secara terus menerus perlu ditingkatkan. Untuk itu sejak April 1994 sektor usaha yang dapat dibiayai dengan kredit kepada koperasi primer untuk para anggotanya (KKPA) diperluas dengan mencakup semua sektor ekonomi. Plafon KKPA juga dinaikkan dari Rp 30 juta menjadi Rp 50 juta. Selanjutnya skim KKPA diutamakan untuk mendorong pola kemitraan antara pengusaha kecil dengan pengusaha besar, dan sekaligus mendorong pembiayaan sektor-sektor strategis, seperti swasembada pangan serta pengembangan koperasi dan transmigrasi. Dalam rangka mendorong keberhasilan program transmigrasi, peningkatan pendapatan petani, pengembangan Kawasan Timur Indonesia, dan peningkatan ekspor nonmigas, pada tahun anggaran 1995/1996 telah diperkenalkan pula skim KKPA PIR-Trans, yang pada prinsipnya mengikuti program PIR-Trans dengan memanfaatkan skim KKPA. Selain dari sisi penyediaan dana, untuk meningkatkan kemampuan perbankan dan dunia usaha dalam pemberian kredit kepada dunia usaha, penyediaan bantuan teknis kepada perbankan dan pengusaha kecil, melalui Proyek Pengembangan Usaha Kecil (PPUK) dan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 143 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Proyek Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK), terus dilanjutkan dan dikembangkan. Melalui PPUK, juga ditingkatkan dan dikembangkan pola kemitraan inti-plasma yang saling menguntungkan antara usaha kecil dengan usaha besar. Untuk mendorong dan membantu bank-bank dalam pemberian kredit kepada usaha mikro melalui kelompok, akan dilakukan perluasan daerah operasi PHBK. Selain itu telah direalisasikan pula Proyek Kredit Mikro (Microcredit Project) dengan bantuan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB). Penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang kredit usaha kecil dan koperasi juga terus ditingkatkan melalui media cetak dan audio visual, serta dengan mengaktifkan kembali Forum Komunikasi Perbankan mengenai Pengembangan Usaha Kecil (FKP-PUK). Dalam perkembangannya, sampai dengan bulan Oktober 1996, posisi kredit perbankan dalam rupiah dan valuta asing telah mencapai Rp 278.099 miliar, atau mengalami peningkatan sebesar Rp 35.676 miliar (14,7 persen) apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret 1996 sebesar Rp 242.423 miliar. Dalam periode yang sama tahun sebelumnya, kredit perbankan menunjukkan peningkatan sebesar Rp 28.096 miliar (14,3 persen). 3.7.3.2. Kredit perbankan menurut sektor ekonomi Apabila dilihat menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit perbankan dapat dikelompokkan ke dalam 6 (enam) sektor, yaitu sektor perindustrian, sektor perdagangan, sektor jasa-jasa, sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor lain-lain. Posisi kredit perbankan yang pada akhir bulan Oktober 1996 berjumlah sebesar Rp 278.099 miliar, sebagian besar disalurkan untuk sektor perindustrian, yaitu sebesar Rp 78.217 miliar (28,1 persen), sektor perdagangan sebesar Rp 65.929 miliar (23,7 persen), sektor jasa-jasa sebesar Rp 84.409 miliar (30,4 persen), sedangkan untuk sektor lain-lain termasuk sektor pertanian dan sektor pertambangan sebesar Rp 49.544 miliar (17,8 persen). Kredit perbankan yang disalurkan untuk sektor perindustrian dipergunakan antara lain untuk membiayai industri pengolahan kimia, industri kayu dan hasil-hasil kayu, serta industri tekstil sandang. Sedangkan kredit yang diserap sektor perdagangan dipakai untuk pembiayaan distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok, pembelian dan pengumpulan barang-barang dagangan dalam negeri, dan untuk pembiayaan perdagangan eceran. Penyaluran kredit untuk sektor jasa-jasa antara lain digunakan untuk Depertemen Keuangan Republik Indonesia 144 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pembiayaan jasa konstruksi, jasa dunia usaha, dan jasa-jasa angkutan, pergudangan, serta komunikasi. Sementara itu, kredit untuk sektor lain-lain sebagian besar disalurkan untuk perumahan dan kendaraan. Perkembangan kredit perbankan menurut sektor ekonomi dapat diikuti dalam Tabel III.22 dan Grafik III.7. 3.7.3.3. Kredit untuk investasi Kredit investasi yang disetujui perbankan sampai dengan bulan Oktober 1996 berjumlah Rp 93.977 miliar, atau meningkat sebesar Rp 8.252 miliar (9,6 persen) dibandingkan dengan bulan Maret 1996 sebesar Rp 85.725 miliar. Penyaluran kredit investasi sebesar Rp 93.977 miliar tersebut sebagian besar (sekitar 70 persen) disalurkan untuk sektor perindustrian dan sektor jasajasa. Sementara itu, posisi pinjaman kredit investasi hingga akhir bulan Oktober 1996 telah mencapai sebesar Rp 67.998 miliar, atau meningkat sebesar Rp 5.986 miliar (9,6 persen) bila dibandingkan dengan posisi pada bulan Maret 1996 sebesar Rp 62.012 miliar. Perkembangan kredit investasi dapat dilihat dalam Tabel III.23. Tabel 111.22 Sektor -1 Bank-bank pemerintah 2) Pertanian Pertambangan Perindustian Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain Bank-bank swasta naslonal 3) Pertanian Pertambangan Perindustrian Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain Cabang-cabang bank aslng dan campuran Pertanian Pertambangan Perindustrian Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain Jumlah kredit perbankan ') Pertanian Pertambangan Perindustrian Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain KREDIT PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI I), 1987/1988 –1996/1997 ( dalam miliar rupiah ) 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 Maret -2 22.894 2.732 279 9.483 6.618 3.169 613 9.204 158 15 1.911 4.004 2.088 1.028 Maret -3 30.270 4.017 361 12.259 8.991 3.815 827 12.679 286 27 2.602 5.201 2.905 1.658 Maret -4 42.589 5.318 451 16.198 11.759 5.287 3.576 24.498 639 31 4.385 10.388 5.254 3.801 Maret -5 54.699 6.450 580 21.544 14.086 7.110 4.929 38.153 1.074 52 6.706 14.098 8.673 7.550 Maret -6 61.751 7.744 568 22.420 15.319 8.402 7.298 44.928 1.022 67 8.473 14.795 12.336 8.235 Maret -7 69.066 8.559 498 27.615 15.759 11.249 5.386 45.406 1.389 101 10.325 14.871 13.874 4.846 Maret -8 73.443 9.989 214 28.452 15.798 10.987 8.003 68.350 2.106 194 15.696 20.281 24.087 5.986 Maret -9 81.333 11.026 534 30.059 16.385 14.489 8.840 94.891 2.890 234 20.954 25.754 34.612 10.447 Maret -10 95.619 11.657 612 32.846 19.900 19.181 11.423 121.602 3.793 362 24.930 32.715 45.916 13.886 Okt. -11 104.403 12.224 841 33.108 22.091 23.084 13.055 146.275 4.793 418 29.539 39.142 56.326 16.057 1520 1 0 534 375 293 317 33.618 2.891 294 11.928 10.997 5.550 1.958 1.994 8 0 822 495 276 393 44.943 4.311 388 15.683 14.687 6.996 2.878 3.786 25 37 1.866 667 661 530 70.873 5.982 519 22.449 22.814 11.202 7.907 6.837 105 13 3.063 1.406 1.331 919 99.689 7.629 645 31.313 29.590 17.114 13.398 9.060 133 95 4.518 1.793 1.009 1.512 115.739 8.899 730 35.411 31.907 21.747 17.045 9.695 179 125 5.533 1.904 751 1.203 124.167 10.127 724 43.473 32.534 25.874 11.435 15.377 341 247 9.335 2.484 2.117 853 157.170 12.436 655 53.483 38.563 37.191 14.842 19.925 375 186 11.954 3.225 3.227 908 196.149 14.291 954 62.967 45.364 52.378 20.195 25.202 379 . 250 15.247 3.617 4.357 1.352 242.423 15.829 1.224 73.023 56.232 69.454 26.661 27.421 334 323 15.570 4.696 4.999 1.499 278.099 17.351 1.582 78.217 65.929 84.409 30.611 I) Sejak April l993 termasuk Bank Umum eks-LKBB 2) Tidal< lennasuk Bank Indonesia 3) Tennasuk Bank Pembangunan Daerah 4) Kredil dalam rupiah dan valuta asing, lennasuk kredil inveslaSi, KIK, dan KMKP Depertemen Keuangan Republik Indonesia 145 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 3.7.3.4. Kredit untuk golongan ekonomi lemah Untuk mengembangkan golongan ekonomi lemah, Pemerintah melalui lembaga keuangan perbankan terus berupaya untuk memberikan pelayanan pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah, dengan tetap mewajibkan kepada semua bank untuk menyediakan kredit usaha kecil (KUK) minimum 20 persen dari portofolio kreditnya kepada usaha kecil. Sejak kebijaksanaan ini dikeluarkan pada tahun 1990, penyaluran KUK menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Apabila pada bulan Desember tahun 1990 jumlah KUK yang disalurkan baru mencapai Rp 21.197 miliar, maka sampai bulan September 1996 jumlah KUK yang disalurkan telah mencapai Rp 46.906 miliar atau meningkat rata-rata sebesar 22,1 persen per tahun. Kebijaksanaan kredit usaha kecil (KUK) secara terus menerus selalu dipantau dan diperbaiki, baik mengenai administrasi pelaksanaannya pada masing-masing bank, maupun aturan-aturan yang mendukung pelaksanaan dari KUK tersebut. Perubahan terakhir tentang kebijaksanaan KUK adalah dengan dikeluarkannya paket deregulasi Mei 1993, yang antara lain mengatur peningkatan plafon KUK menjadi Rp 250 juta yang sebelumnya Rp 200 juta, cakupan kredit kecil meliputi semua kredit sampai dengan Rp 25 juta tanpa dilihat penggunaannya, dan tersedianya instrumen berupa SBPU-KUK bagi bank yang belum memenuhi rasio KUK sebesar 20 persen. Dalam perkembangannya, bila dilihat dari plafon kreditnya, jumlah KUK yang disalurkan sampai akhir bulan September 1996 mencapai sebesar Rp 46.906 miliar. Dari jumlah KUK tersebut sebesar Rp 23.196 miliar (49,5 persen) dinikmati nasabah dengan plafon kredit sampai dengan Rp 25 juta, sebesar Rp 6.102,9 miliar (13,0 persen) dinikmati nasabah dengan plafon kredit di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta, dan sebesar Rp 5.175,3 miliar (11,0 persen) diserap oleh nasabah dengan plafon di atas Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta. Selanjutnya sebesar Rp 12.431,8 miliar (26,5 persen) dari total KUK dinikmati oleh nasabah dengan plafon kredit di atas Rp 100 juta sampai dengan Rp 250 juta. Apabila penyebaran kredit tersebut dibandingkan dengan penyebarannya pada bulan Maret 1996, terlihat adanya pergeseran pada pangsa pasar KUK, yaitu pada plafon kredit sampai dengan Rp 25 juta pangsanya naik dari 48,8 persen menjadi 49,5 persen, pada kredit di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta pangsanya mengalami penurunan dari 13,5 persen menjadi 13 persen. Dengan demikian, sebagian besar KUK dinikmati oleh usaha kecil yang plafon kreditnya relatif Depertemen Keuangan Republik Indonesia 146 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kecil. Apabila dilihat secara sektoral, penyaluran KUK diserap oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel yang mencapai sebesar Rp 14.776,0 miliar (31,5 persen) dari total KUK, sektor jasa-jasa, sektor perindustrian, dan sektor pertanian masing-masing menyerap Rp 7.875,5 miliar (16,8 persen), Rp 3.381,0 miliar (7,2 persen), dan Rp 3.642,6 miliar (7,8 persen). Sedangkan sektor lain-lain menyerap dana KUK sebesar Rp 17.230,9 miliar (36,7 persen). Sementara itu bila dilihat menurut kelompok bank, dari jumlah KUK sebesar Rp 46.906,0 miliar, sebagian besar disalurkan oleh bank-bank milik Pemerintah (Persero) yang mencapai sebesar Rp 22.893,9 miliar (48,8 persen), bank-bank swasta nasional devisa sebesar Rp 17.372,6 miliar (37,0 persen), dan bank-bank swasta lainnya sebesar Rp 6.639,5 miliar (14,2 persen). Sektor Tabel III.23 KREDIT INVESTASI PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI 1), 1987/1988 - 1996/1997 (dalam miliar mpiah) 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Okt. Yang disetujui perbankan Pertanian Perindustrian Pertantbangan Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain Posisi pinjaman Pertanian Perindustrian Pertantbangan Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain 11.911 2.629 3.712 263 385 3.812 1.110 9.210 1.744 3.765 230 355 2.033 1.083 15.784 4.162 5.309 447 608 4.102 1.156 11.810 2.610 4.791 313 536 2.4.89 1.071 19.454 5.398 8.372 443 1.301 3.734 206 15.673 3.629 6.639 321 1.117 3.767 200 27.899 7.057 10.987 484 2.151 6.017 1.203 11.564 4.726 9.207 31)1 2.192 4.573 475 36.243 11.206 13.260 515 3.234 6.795 1.233 27.390 5.864 11.784 443 2.911 5.412 976 44.174 11.508 17.695 507 4.990 8.117 1.357 36.683 7.169 16.489 436 4.185 7.216 1.188 61.714 13.595 23.231 524 9.397 14.967 0 41.951 8.893 18.097 189 6.951 8.822 0 73.155 14.193 27.472 597 7.375 23.518 0 50.761 10.215 20.447 215 6.535 13.349 0 85.725 14.768 29.033 666 9.697 31.561 0 61.011 10.869 23.949 271 8.798 18.125 0 93.977 15.895 30.157 755 11.462 35.708 0 67.998 11.837 24.959 374 10.409 40.419 0 I)Sejak April 1993 termasuk Bank Umum eks-LKBB, dan tidak termasuk Bank Indonesia Demikian pula bila dilihat penyebarannya menurut daerah perkotaan dan perdesaan, dari jumlah KUK sebesar Rp 46.906,0 miliar pada akhir bulan September 1996 yang telah terserap di daerah perkotaan yang meliputi kotamadya dan kota administratif termasuk ibukota negara, mencapai Rp 26.900,2 miliar (57,3 persen) dengan jumlah rekening sebanyak 2.645.885 rekening. Sedangkan yang terserap di daerah perdesaan yang meliputi kabupaten-kabupaten mencapai sebesar Rp 20.005,8 miliar (42,7 persen) dengan jumlah rekening sebanyak 4.433.446 rekening. Sementara itu, untuk meningkatkan kegiatan perekonomian di perdesaan, perkembangan program kredit umum pedesaan (Kupedes) yang dikelola oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga terus mengalami peningkatan. Pada saat pertama kali diluncurkan dalam tahun anggaran 1983/ 1984 jumlah Kupedes baru mencapai Rp 30,7 miliar dengan jumlah Depertemen Keuangan Republik Indonesia 147 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 nasabah sekitar 161 ribu orang. Dalam perkembangannya, sampai dengan akhir bulan September 1996 jumlahnya telah melonjak menjadi Rp 4.346,3 miliar, dengan jumlah nasabah sekitar 2,8 juta orang. Dari jumlah Kupedes tersebut, yang digunakan untuk kegiatan investasi adalah sebesar Rp 1.234,4 miliar (28,4 persen) dan untuk kegiatan eksploitasi sebesar Rp 3.111,9 miliar (71,6 persen). Apabila dibandingkan dengan posisi Kupedes bulan Maret 1996 sebesar Rp 3.374,1 miliar, maka dalam 6 bulan berjalan tahun anggaran 1996/1997 telah terjadi peningkatan sebesar Rp 972,2 miliar (28,8 persen). Perkembangan Kupedes dapat diikuti dalam Tabel III.24. Mengingat masih banyaknya masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil yang belum memiliki rumah, Pemerintah masih menyediakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Bank Tabungan Negara. Fasilitas kredit ini diberikan dengan suku bunga dan besaran plafon yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pola penggunaannya berdasarkan paket yang ditentukan. Untuk KPR Paket A-1, yaitu terdiri dari kredit pemilikan kapling siap bangun (KP-KSB/Lahan Griya) dan kredit pemilikan rumah sangat sederhana (KP-RSS), dan paket A-2/Griya Inti (tipe 12 sampai dengan tire rumah sederhana (RS 21), suku bunganya masing-masing 8,5 persen dan 11 persen per tahun. Sedangkan suku bunga KPR Paket B/GriyaMadya (tipe 27 sampai dengan tipe 70) suku bunganya 17 persen pertahun. Sampai dengan bulan Oktober 1996 jumlah rumah yang dibangun telah mencapai 1.242.326 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 7.768,2 miliar. Dari jumlah nilai kredit sebesar Rp 7.768,2 miliar tersebut, perum Perumnas telah membangun 283.033 unit rumah dengan nilai kredit sebesar Rp 1.033,5 miliar, masing-masing untuk membangun rumah paket A dan paket B sebanyak 279.780 unit rumah dengan nilai kredit sebesar Rp 956,4 miliar, untuk membangun rumah paket C sebanyak 3.224 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 76,9 miliar, dan untuk membangun ruko sederhana sebanyak 29 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 0,2 miliar. Sedang nilai kredit rumah yang dibangun oleh pembangun swasta telah mencapai Rp 6.724,6 miliar, dengan jumlah rumah sebanyak 956.958 unit rumah, masing-masing untuk membangun rumah paket A dan B sebanyak 904.375 unit dengan nilai kredit Rp 5.491,1 miliar, dan untuk membangun rumah paket C sebanyak 49.559 unit dengan nilai kredit Rp 1.218,5 miliar, serta untuk membangun rumah toko (ruko) sederhana sebanyak 3.024 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 15,0 miliar. Selain dibangun oleh Perum Perumnas dan Pembangun Swasta, BTN telah pula bekerja sama dengan beberapa bank dalam hat pengadaan perumahan. Dari hasil Depertemen Keuangan Republik Indonesia 148 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kerjasama tersebut jumlah rumah yang di bangun mencapai jumlah 2.335 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 10,1 miliar. Tabel III.24 KREDIT UMUM PEDESAAN, 1987/1988 - 1996/1997 ( nasabah dalam ribuan, nilai yang dipiojamkan dan posisi dalam miliar rupiah ) Akhlr Perlode 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 199411995 1995/1996 19961l997 -1 Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember Maret April Met Juni JoB Agustus September Nasabah (kumulatif) Investasl Nllai yang dlnjamkan ( kumulatif) -2 107 136,6 209,2 286,3 338,7 410,9 521,6 567,7 616,2 671,2 721,6 785,3 846,3 917 982,4 1.006,70 1.031,60 1.059,80 1.083,90 1.106,80 1.131,10 -3 50,4 78,1 174,6 322,6 501 655 924,9 1.038,80 1.158,20 1.297,00 1A28,5 1.618,30 1.806,20 2.021,60 2.213,10 2.293,70 2.378,10 2A74,3 2.556,80 2.637,60 2.723,90 Posisl Nasabah (Kumulatif) Eksploltasl Nlla! yang dlnjamkan ( kumulatif) -4 16,5 28,3 95,5 182,1 165,4 165,4 325,2 391,6 452,3 521,3 576,8 679,4 771,7 881,7 933,2 921,2 1.010,90 1.061,00 1.093,20 1.103,30 U34,4 -5 4.109,40 5.217,30 6.614,00 7.834,10 9.Hl5,9 10.294,50 11.564,10 11.899,60 12.263,60 12.654,80 13.029,30 13.401,40 13.778,30 14.199,60 14.606,00 14.780,50 14.898,40 15.038,50 15.182,40 15.314,10 15A84,9 -6 1.632,40 2.342,50 3.469,40 4.835,00 6.300,30 7.909,20 9.826,90 10.362,80 10.951,60 11.621,40 12.255,20 12.917,00 13.637,90 14.475,10 15.266,80 15.604,30 15.857,30 16.152,10 16.445,30 16.727,20 17.084,00 Posisl Nasabah ( kumulatlf) Jumlah Nllai yang dlnjamkan ( kumulatif) -7 446,3 478,2 896,9 1.300,30 1.398,50 1.398,50 1.750,80 1.800,40 1.855,10 1.943,90 2.006,00 3.071,00 2.161,10 2.313,00 2A4O,9 2.353,70 2.504,40 2.558,20 2.602,70 2.649,50 3.111,90 -8 4.216,40 5.353,90 6.823,20 8.120,40 9.444,60 10.705,40 12.085,70 12M7,3 12.879,80 13.326,00 13.750,90 14.187,70 14.624,60 15.U6,6 15.588,40 15.787,20 15.930,00 16.098,30 16.266,30 16A20,9 16.616,00 -9 1.682,80 2A20,6 3.644,00 5.157,60 6.801,30 8.564,20 10.751,80 11.401,60 12.109,80 13.326,00 13.683,70 14.535,30 15.444,10 16A96,7 17.479,80 17.898,00 18.235,40 18.626,40 19.002,10 19.364,80 19.807,90 Posisl -10 462,8 506,5 992,4 1.482,40 1.563,90 1.563,90 2.076,00 2.192,00 2.307,40 2.465,20 2.582,80 3.750,40 2.932,80 3.194,70 3.374,10 3.274,90 3.515,30 3.619,20 3.695,90 3.752,80 4.346,30 Selain KUK, Pemerintah dalam jumlah yang terbatas masih menyediakan kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk kredit program khusus dalam rangka mendukung pelestarian swasembada pangan dan pengembangan koperasi. Jenis kredit yang mendapat dukungan KLBI tersebut antara lain adalah Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit kepada Koperasi Unit Desa (KKUD), dan Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA). Dalam rangka meningkatkan penyerapan KUT, pada bulan April 1995 Bank Indonesia telah mengeluarkan KUT pola khusus yang mendampingi KUT pola umum. Dalam KUT pola khusus tersebut, prosedur pengajuan permohonan kredit oleh petani yang semula diperlukan 12 tahap, disederhanakan menjadi 3 tahap. Pada perkembangannya, dengan diperkenalkannya KUT pola khusus tersebut, telah terjadi peningkatan sebesar Rp 103,2 miliar (64,9 persen), yaitu dari Rp 159,0 miliar pada bulan April 1995 menjadi Rp 262,2 miliar pada Agustus 1996. Sementara itu, pemberian KKUD sampai dengan akhir Agustus 1996 posisinya telah mencapai Rp 116,0 miliaa atau menurun sebesar Rp 14,7 miliar (12,7 persen) apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret 1995 sebesar Rp 130,7 miliar. Sedangkan KKP A yang terdiri dari kredit untuk tebu rakyat intensifikasi (TRI), kredit untuk umum, dan lainnya telah mencapai Rp 868,7 miliar. Apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret 1996 sebesar Rp 650,2 miliar, maka telah Depertemen Keuangan Republik Indonesia 149 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 terjadi peningkatan sebesar Rp 218,5 miliar (33,6 persen). Secara keseluruhan sampai akhir bulan Agustus 1996 perkembangan kredit koperasi telah mencapai Rp 1.246,9 miliar. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan usaha koperasi melalui pengembangan keuangan koperasi sehingga dapat berswadaya dan mandiri, Perum Pengembangan Keuangan Koperasi (perum PKK) mempunyai peranan yang penting, diantaranya memberikan jaminan kepada koperasi untuk kredit yang diberikan oleh bank dan/atau jaminan atas kredit barang oleh badan usaha lain. Selain itu, dalam upaya memenuhi sebagian pembiayaan pengembangan usaha koperasi, Perum PKK juga memberikan pinjaman kepada koperasi, serta memberikan bantuan manajemen dan konsultasi. Kegiatan usaha koperasi yang sampai saat ini telah dilayani oleh Perum PKK meliputi sektor-sektor antara lain sektor pertanian (KUT padi/palawija, pupuk, alatalat pertanian), perikanan (tambak, darat, cold storage, perkapalan), peternakan (sapi perah, sapi potong, unggas), perkebunan (kemenyan, panili, tebu, coklat, KUT-TRI), kerajinan/industri (bahan bangunan, tas/kulit, air bersih), serta jasa, konsumsi/distribusi (angkutan darat/laut, simpan pinjam, pedagang pasar dan lain-lain). Secara kumulatif realisasi jumlah kredit yang diberikan oleh Perum PKK sampai dengan bulan September 1996 kepada koperasi berjumlah Rp 785 miliar dan jumlah jaminan kredit sebesar Rp 610 miliar. 3.8. Lembaga keuangan di luar perbankan 3.8.1. Asuransi Perkembangan perekonomian nasional yang semakin meningkat baik di sektor pemerintah maupun swasta menghendaki perlunya upaya-upaya untuk memobilisasi dan memanfaatkan dana masyarakat secara optimal. Sebagai salah satu lembaga keuangan di luar perbankan, industri asuransi yang bergerak di bidang pelayanan jasa-jasa pertanggungan, mempunyai peranan yang penting dalam memupuk dan memobilisasi dana masyarakat. Kebijaksanaan dan strategi yang dilaksanakan dalam pembangunan industri asuransi di Indonesia senantiasa diupayakan agar lembaga asuransi mampu berkembang menjadi lembaga keuangan yang handal, mampu menopang kebijaksanaan ekonomi makro secara keseluruhan, dan mampu menjawab perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat. Dengan dicanangkan kerjasama ekonomi regional antarnegara ASEAN di dalam kerangka AFTA yang akan mulai memberlakukan liberalisasi di bidang perdagangan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 150 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 barang/jasa serta investasi pada tahun 2003, industri asuransi nasional dituntut untuk meningkatkan daya saingnya dengan langkah efisiensi dan profesionalisme. Langkah antisipatif yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi antara lain dengan membenahi sistem manajemen, meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Perbaikan ini diharapkan akan berdampak positif pada kualitas produk/jasa pelayanan dan tingkat efisiensi yang dicapai perusahaan sehingga pada gilirannya, peningkatan efisiensi ini akan meningkatkan daya saing produk asuransi nasional, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional. Peranan industri asuransi selain sebagai penghimpun dana pembangunan adalah sebagai lembaga penyedia jasa proteksi kepada masyarakat atau institusi. Dana masyarakat yang diterima perusahaan asuransi dalam bentuk premi, sebagian akan diinvestasikan dalam bentuk tanah dan bangunan, atau dalam jenis investasi yang lain seperti deposito, sertifikat surat berharga maupun dalam bentuk portofolio dengan memperhatikan aspek yuridis, risiko, dan likuiditas maupun keuntungan yang diharapkan. Sementara itu, dalam rangka mendorong industri asuransi nasional untuk berkembang secara optimal, Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di sektor keuangan yang antara lain bertujuan untuk menyederhanakan prosedur perizinan, yang semula mewajibkan perusahaan asuransi untuk memperbarui izin usahanya setiap tahun menjadi izin usaha yang berlaku seterusnya selama izin usaha tidak dicabut. Kebijaksanaan itu juga ditujukan untuk meliberalisasikan pasar dengan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada perusahaan asing untuk membentuk usaha patungan dan mencabut peraturan yang mengatur tarif premi asuransi. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan pembenahan industri asuransi nasional maupun dalam mengantisipasi perkembangannya di masa datang, telah ditetapkan dan dilaksanakan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Peransuransian. Undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kukuh bagi kegiatan usaha asuransi untuk berakomodasi dan berintegrasi dengan berbagai kemajuan pesat yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam undang-undang tersebut antara lain terdapat beberapa ketentuan yang mengatur perizinan dan permodalan, tingkat solvabilitas, kekayaan yang diperkenankan, investasi, cadangan teknis, retensi sendiri, dan ketentuan tentang premi bruto dan premi neto. Pelaksanaan undang-undang tersebut lebih jauh telah diatur dan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun Depertemen Keuangan Republik Indonesia 151 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Peransuransian dan beberapa surat keputusan Menteri Keuangan. Reformasi kebijaksanaan di bidang usaha asuransi tersebut mempunyai jangkauan ke depan, yaitu untuk mengantisipasi kecenderungan kegiatan ekonomi yang diperkirakan akan semakin mengarah kepada kegiatan-kegiatan di sektor jasa dan keuangan. Kecenderungan ini seirama dengan perkembangan perekonomian nasional yang telah bergerak semula dari pertanian ke industri barang dan selanjutnya ke industri jasa. Dalam industri jasa ini faktor SDM sangat menentukan sehingga hal-hal yang perlu segera diantisipasi oleh industri asuransi nasional antara lain peningkatan kualitas SDM terutama tenaga-tenaga pialang asuransi dan reasuransi, jasa penilai kerugian, konsultan aktuaria, penggunaan teknologi jaringan informasi yang handal untuk meningkatkan pelayanan kepada pemegang polis, peningkatan efisiensi dan efektivitas operasional, serta peningkatan kegiatan pemasaran industri asuransi. Berbagai kebijaksanaan yang telah diambil oleh Pemerintah tersebut di atas ditambah dengan semakin berkembangnya berbagai faktor yang mempengaruhi lingkup ekonomi dewasa ini serta iklim yang sangat kondusif telah berhasil mendorong industri asuransi nasional tumbuh secara berarti. Hal ini dapat dilihat dari indikator yang menunjukkan semakin banyaknya jenis produk asuransi yang ditawarkan oleh beberapa perusahaan asuransi, jumlah perusahaan asuransi, total aset, maupun dana investasi. Sampai dengan bulan September 1996, jumlah perusahaan asuransi yang beroperasi telah berkembang menjadi 163 perusahaan, yang terdiri dari sebanyak 98 perusahaan asuransi kerugian, 56 perusahaan asuransi jiwa, 4 perusahaan reasuransi, 2 penyelenggara program asuransi sosial dan jamsostek, serta 3 penyelenggara program asuransi untuk pegawai negeri sipil (PNS) dan ABRI. Dibandingkan dengan jumlah dalam tahun 1995, jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 4 perusahaan, yang merupakan perusahaan patungan baru yang mendapat izin operasi yaitu 2 asuransi kerugian, 2 asuransi jiwa dan 1 asuransi jiwa nasional. Namun dalam tahun yang sama, 1 perusahaan asuransi kerugian nasional menghentikan usahanya. Bertambahnya perusahaan patungan ini merupakan suatu indikasi bahwa pihak asing masih menaruh minat dan melihat peluang pasar asuransi nasional cukup potensial. Dalam tahun 1995, pendapatan premi bruto industri asuransi mengalami peningkatan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 152 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 sebesar 25,03 persen, yaitu dari sebesar Rp 5.851,2 miliar dalam tahun 1994 naik menjadi sebesar Rp 7.315,9 miliar. Kontribusi premi bruto asuransi terhadap produk domestik bruto (PDB) sektor bank dan lembaga keuangan lainnya juga mengalami peningkatan dari 33,04 persen dalam tahun 1994 menjadi sebesar 34,92 persen dalam tahun 1995. Sedangkan kontribusi premi bruto asuransi terhadap PDB nasional juga mengalami peningkatan dari sebesar 1,55 persen dalam tahun 1994, menjadi sebesar 1,64 persen dalam tahun 1995. Komposisi besarnya premi bruto yang berhasil dihimpun oleh perusahaan asuransi dalam tahun 1995, adalah asuransi jiwa sebesar Rp 2.078,7 miliar (28,41 persen), asuransi kerugian dan reasuransi sebesar Rp 3.332,0 miliar (45,54 persen), program asuransi sosial dan jamsostek sebesar Rp 1.206,3 miliar (16,49 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI sebesar Rp 698,9 miliar (9,55 persen). Dengan demikian kontribusi terbesar dalam pengumpulan premi bruto berasal dari usaha asuransi kerugian dan reasuransi, yaitu mencapai sebesar 45,54 persen dari total premi bruto. Dari data rasio pendapatan premi bruto terhadap PDB di atas dapatlah disimpulkan bahwa potensi industri asuransi nasional masih mempunyai prospek yang cukup besar untuk ditumbuhkembangkan. Potensi ini juga tercermin dalam meningkatnya jumlah pemegang polis asuransi jiwa yang dalam tahun 1994 jumlahnya sebanyak 14,9 juta jiwa naik menjadi sebanyak 19 juta jiwa dalam tahun 1995 atau naik sebesar 27,90 persen. Namun, jumlah ini masih relatif kecil apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 193,7 juta jiwa atau jumlah pemegang polis baru mencapai sebesar 9,81 persen dari jumlah penduduk. Di sisi lain, tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat yang cenderung terus meningkat juga merupakan potensi bagi permintaan akan industri asuransi. Sementara itu, jumlah kekayaan (total aset) perusahaan asuransi dalam tahun 1995 telah meningkat menjadi sebesar Rp 17.269,8 miliar, atau naik sebesar 19,80 persen dari jumlah kekayaan dalam tahun 1994 yang sebesar Rp 14.415,4 miliar. Komposisi total aset dalam tahun 1995 tersebut adalah asuransi jiwa sebesar Rp 4.893,5 miliar (28,34 persen), program asuransi sosial dan jamsostek sebesar Rp 3.601,7 miliar (20,86 persen), program asuransi untuk PNS dan ABRI sebesar Rp 4.031,4 miliar (23,34 persen) serta asuransi kerugian dan reasuransi sebesar Rp 4,743,2 miliar (27,46 persen). Selanjutnya, perkembangan jumlah pembayaran ganti rugi (klaim) yang diberikan oleh perusahaan asuransi kepada nasabahnya menunjukkan peningkatan. Apabila dalam tahun 1994, Depertemen Keuangan Republik Indonesia 153 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 jumlah ganti rugi yang dibayarkan sebesar Rp 2.018,7 miliar telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.455,0 miliar dalam tahun 1995, atau meningkat sebesar 21,61 persen. Dari jumlah tersebut pembayaran ganti rugi yang diberikan oleh asuransi kerugian dan reasuransi sebesar Rp 1.014,9 miliar (41,34 persen), program asuransi untuk PNS dan ABRI sebesar Rp 620,1 miliar (25,26 persen), asuransi jiwa sebesar Rp 546,4 miliar (22,26 persen), dan program asuransi sosial dan jamsostek sebesar Rp 273,6 mi1iar (11,14 persen). Sebagaimana dengan jumlah kekayaan, nilai dana investasi sektor industri asuransi Indonesia dalam tahun 1995 juga meningkat sebesar 25,66 persen dari tahun sebelumnya, menjadi sebesar Rp 13.441,5 miliar (atau 77,83 persen dari jumlah kekayaan yang dimiliki). Dari jumlah nilai investasi tersebut, asuransi jiwa menginvestasikan sebesar Rp 3.368,7 miliar (25,06 persen), asuransi kerugian dan reasuransi sebesar Rp 3.023,9 miliar (22,50 persen), program asuransi sosial dan jamsostek sebesar Rp 3.397,6 miliar (25,28 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI sebesar Rp 3.651,3 miliar (27,16 persen). Dari jumlah nilai investasi tersebut, sebagian besar ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dan sertifikat bank Indonesia (SBI) sebagai alternatif investasi utama yang masingmasing sebesar Rp 7.140,7 miliar (53,12 persen) dan Rp 2.701,3 miliar (20,10 persen). Selanjutnya, sebesar Rp 2.498,9 miliar (18,59 persen) diinvestasikan dalam bentuk promes, obligasi, saham, tanah dan bangunan, hipotik, dan pinjaman polis, sedangkan sebesar Rp 1.100,4 miliar (8,19 persen) diinvestasikan ke penyertaan dan sektor lain-lain. Sampai dengan tahun 1995, perkembangan neraca pembayaran untuk kegiatan asuransi Indonesia menunjukkan posisi defisit yang semakin meningkat yaitu sebesar Rp 826.147 juta atau naik sebesar 80,77 persen bila dibandingkan dengan jumlah defisit tahun 1994 yang sebesar Rp 457.004 juta. Peningkatan defisit ini terjadi karena peningkatan ketidakseimbangan antara penerimaan pertanggungan dari luar negeri dengan pembayaran pertanggungan ke luar negeri dan peningkatan perbedaan klaim rasio dari premi asuransi yang diterima dari luar negeri dengan klaim rasio dari premi asuransi yang dikeluarkan ke luar negeri. Keterbatasan kemampuan permodalan industri asuransi menyebabkan kapasitas pertanggungan asuransi nasional masih terbatas untuk menutup pertanggungan obyek asuransi yang besar. Di sisi lain, kemampuan Indonesia sebagai negara maritim dalam melayani jasa asuransi dari angkutan barang melalui laut untuk tujuan ekspor sangat minim, sehingga keadaan ini telah memberi kesempatan bagi jasa asuransi asing untuk mendominasi asuransi angkutan barang melalui laut. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 154 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Perkembangan kegiatan industri asuransi dapat dilihat pada Tabel III.25 dan Grafik III.8. 3.8.2. Lembaga pembiayaan Untuk mendorong tingkat pertumbuhan investasi yang tinggi perlu didukung oleh peran serta masyarakat baik dalam penyediaan dana maupun dalam pemanfaatan dana. Peran serta masyarakat tersebut dapat diwujudkan baik melalui lembaga keuangan perbankan maupun lembaga keuangan bukan perbankan seperti asuransi, dana pensiun, pasar modal, lembaga pembiayaan serta pegadaian. Lembaga pembiayaan yang terdiri dari sewa guna usaha, anjak piutang, modal ventura, kartu kredit, serta pembiayaan konsumen telah semakin penting peranannya dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Lembaga ini yang merupakan salah satu alternatif pembiayaan bagi dunia usaha telah turut memberi dinamika bagi dunia usaha. Semakin beragamnya sumber pembiayaan akan semakin mendorong kompetisi di sektor pembiayaan yang selanjutnya akan menghasilkan ongkos/biaya modal yang lebih murah. Sesuai dengan arahan Repelita VI bahwa usaha kecil dan menengah termasuk koperasi harus ditingkatkan peranannya agar mampu berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, maka modal ventura yang merupakan salah satu bentuk usaha pembiayaan adalah sarana yang sangat tepat untuk mencapai tujuan ini. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan kinerja modal ventura dalam membantu usaha kecil dan menengah termasuk koperasi, Pemerintah telah secara khusus mengarahkan modal ventura tersebut dengan menentukan bahwa usaha modal ventura hanya boleh dilakukan secara khusus oleh suatu badan usaha. Usaha pembiayaan lain seperti sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit serta pembiayaan konsumen tetap dapat dilakukan secara bersamaan oleh suatu badan usaha. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 155 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel III. 26 PERKEMBANGAN KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN, 1988 -1995 ( dalam miliar rupiah) 1988 1989 1990 1991 1992 1993 Jumlah Perusahaano Kegiatan Usaha - Nilai kontrak sewa guna usaha - Nilai pembiayaan anjak piutang - Nilai kontrak pembiayaan konsumen - Nilai pembiayaan kartu kredit Keadaan Keuangan - Total aset - Total equity - Investasi bersih Posisi Pinjaman - Dalam Degen - Luar Degen 83 1.873 1.873 - 101 2.885 2.885 - 119 5.810 4.746 55 1.009 - 132 5.825 3.944 306 1.571 4 144 6.274 3.748 784 1.530 212 9.090 4.562 2.239 2.210 2.138 262 1.761 1.686 531 1.155 3.090 433 2.754 2.181 907 1.274 6.589 936 5.311 2.769 1.293 1.476 8.191 1.195 6.743 5.339 1.936 3.403 9.998 1.560 7.795 6.099 2.798 3.301 11.758 1.883 9.227 7.277 3.809 3.468 7 1994 1995 206 16.674 5:953 5.297 4.475 949 254 25.867 8.498 11.662 5.425 282 19.067 3.347 14.787 12.612 7.172 5.440 23.899 4.215 18.719 17.692 10,442 7.250 Kebijaksanaan pokok yang meletakkan dasar bagi pengembangan lembaga pembiayaan dimuat dalam paket kebijaksanaan Desember 1988 (Pakdes '88). Sebagai tindak lanjut dari Paket ini, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijaksanaan yang pada pokoknya memberikan kemudahan-kemudahan bagi perusahaan pembiayaan dan bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan perusahaan pembiayaan. Kemudahan-kemudahan tersebut antara lain menyangkut penyederhanaan persyaratan dan prosedur perizinan, memberikan kesempatan untuk meningkatkan partisipasi modal pihak asing dalam pendirian perusahaan pembiayaan patungan hingga 85 persen dari modal disetor, dan kepastian jangka waktu pemrosesan perizinan. Berbagai kebijaksanaan yang diambil Pemerintah tersebut di atas telah berhasil mendorong pertumbuhan jumlah perusahaan, keadaan keuangan maupun kegiatan usaha perusahaan pembiayaan. Jumlah perusahaan pembiayaan dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan. Sampai dengan akhir tahun 1995 terdapat sebanyak 254 perusahaan pembiayaan (tidak termasuk perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan modal ventura). Jumlah ini meningkat sebanyak 23 persen dari jumlah tahun 1994 yang sebanyak 206 perusahaan. Sementara itu, keadaan keuangan perusahaan pembiayaan yang ditunjukkan oleh total aset dan investasi juga menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Bila dalam tahun 1994 total aset adalah sebesar Rp 19.067 miliar, maka dalam tahun 1995 telah meningkat menjadi sebesar Rp 23.899 miliar atau peningkatan sebesar 25,3 persen. Demikian juga jumlah investasi meningkat sebesar 26,6 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 156 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 persen yaitu dari sebesar Rp 14.787 miliar dalam tahun 1994 menjadi sebesar Rp 18.719 miliar dalam tahun 1995. Kegiatan usaha pembiayaan terus mengalami peningkatan yang cukup pesat terutama dalam dua tahun terakhir. Secara keseluruhan, nilai pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan (tidak termasuk modal ventura) dalam tahun 1994 adalah sebesar Rp 16.674 miliar. Jumlah ini dalam tahun 1995 meningkat menjadi sebesar Rp 25.867 miliar atau peningkatan sebesar 55,1 persen. Dalam pada itu, struktur nilai pembiayaan telah mengalami perubahan. Sampai dengan tahun 1994, nilai pembiayaan sewa guna usaha adalah yang terbesar, disusul dengan anjak piutang, pembiayaan konsumen dan pembiayaan kartu kredit. Dalam tahun 1995 nilai pembiayaan anjak piutang menjadi yang terbesar, yaitu sebesar Rp 11.662 miliar atau naik sebesar 120,2 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan nilai pembiayaan anjak piutang ini memperlihatkan semakin banyaknya perusahaan yang memanfaatkan jasa anjak piutang, yang ruang lingkup kegiatannya mencakup pembelian atau pengambilalihan dan pengurusan tagihan jangka pendek suatu perusahaan atas transaksi perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Adapun anjak piutang bertujuan antara lain memperlancar aliran kas suatu perusahaan, yang selanjutnya akan dapat meningkatkan produktivitas perusahaan. Sedang nilai pembiayaan sewa guna usaha dalam tahun 1995 mencapai sebesar Rp 8.498 miliar (naik sebesar 42,8 persen dari tahun 1994). Nilai pembiayaan konsumen serta pembiayaan kartu kredit dalam tahun 1995 masing-masing mencapai sebesar Rp 5.425 miliar dan Rp 282 miliar. Modal ventura sebagai perusahaan pembiayaan mempunyai ciri khusus, yaitu bahwa modal ventura melakukan pembiayaan dengan melakukan penyertaan modal ke perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu. Dengan demikian, perusahaan modal ventura dapat terlibat dalam perbaikan atau pembenahan manajemen perusahaan. Hal ini sangat dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan kecil dan menengah termasuk koperasi. Dalam rangka meningkatkan peranan modal ventura, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijaksanaan seperti ketentuan yang menetapkan bahwa usaha modal ventura hanya boleh dilakukan secara khusus oleh suatu badan usaha. Selain itu, Pemerintah juga telah mengambil inisiatif untuk mendirikan perusahaan-perusahaan modal ventura di berbagai daerah. Dengan keberadaan perusahaan modal ventura di daerah-daerah diharapkan perusahaan- Depertemen Keuangan Republik Indonesia 157 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 perusahaan kecil dan menengah (termasuk koperasi) di daerah akan dapat berkembang lebih cepat. Berbagai kebijaksanaan yang diambil Pemerintah telah berhasil mendorong kegiatan perusahan modal ventura secara berarti. Hal ini dapat dilihat baik dari perkembangan jumlah perusahaan modal ventura, jumlah perusahaan pasangan usaha serta nilai penyertaan modal ventura. Sampai dengan akhir Juni 1996 terdapat sebanyak 41 perusahaan modal ventura yang telah tersebar di 20 propinsi di seluruh Indonesia. Sedangkan perusahaan pasangan usaha telah mencapai sebanyak 383 perusahaan dengan nilai penyertaan sebesar Rp 226,4 miliar. Sementara itu, arah kebijaksanaan pengembangan perusahaan pembiayaan selalu diupayakan konsisten dengan arah kebijaksanaan keuangan dan moneter. Mengingat bahwa kegiatan perusahaan pembiayaan secara tidak langsung dapat mempengaruhi jumlah uang beredar, maka kegiatan perusahaan pembiayaan harus dikendalikan agar sesuai dengan keadaan ekonomi nasional yang sedang dihadapi. Sejalan dengan itu, Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan terhadap lembaga pembiayaan berupa pembekuan pemberian izin baru bagi pendirian perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen terhitung mulai tanggal 21 Desember 1995, pembatasan pinjaman luar negeri setinggi-tingginya 15 kali dari modal sendiri, dan mengintensifkan pengawasan kegiatan lembaga pembiayaan. Kebijaksanaan yarig akan ditempuh di bidang usaha modal ventura adalah dengan meneruskan upaya pendirian perusahaan modal ventura di 7 propinsi yang belum mempunyai perusahaan modal ventura di daerahnya. Selain itu, juga akan diupayakan pendirian perusahaan modal ventura di daerah tingkat II yang dipandang potensial. Selanjutnya, Tabel III.26 memberikan gambaran lebih rinci mengenai perkembangan lembaga pembiayaan sampai dengan tahun 1995. 3.8.3. Dana Pensiun Dalam upaya meningkatkan tabungan dalam negeri terutama tabungan jangka panjang, Dana Pensiun mempunyai kedudukan yang sangat strategis, karena pada dasarnya Dana Pensiun menghimpun tabungan masyarakat yang mempunyai waktu jangka panjang. Mengingat sifatnya sebagai tabungan jangka panjang, maka akumulasi dana yang terhimpun dari penyelenggaraan program pensiun dapat digunakan untuk pembiayaan investasi jangka panjang seperti Depertemen Keuangan Republik Indonesia 158 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pembangunan infrastruktur dan proyek -proyek produktif yang menciptakan banyak lapangan kerja. Pembangunan proyek-proyek ini pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat. Tabel Ill. 25 PERKEMBANGAN INDUSTRI ASURANSI DI INDONESIA BERDASARKAN TOTAL ASET, PREMI BRUTO, PEMBA Y ARAN GANTI RUGI, DAN DANA INVESTASI, 1988 -1995 ( dalam miliar rupiah) Total Aset Asuransijiwa Asuransi sosial Asuransi kerugian dan reasuransi Jumlah Premi Bruto Asuransi jiwa Asuransi sosial Asuransi kerugian dan reasuransi Jumlah Pembayaran Ganti Rugi Asuransi jiwa Asuransi sosial Asuransi kerugian dan reasuransi Jumlah Dana Investasi Asuransijiwa Asuransi sosial Asuransi keruglan dan reasul'ansi Jumlah 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1) 1994 1995 799,1 1.930,10 1.177,00 3.906,20 985,6 2.424,10 1.580,60 4.990,30 1.212,90 2.891,50 2.137,60 6.242,00 1.628,80 3.639,80 2.603,30 7.871,90 1.911,50 4.297,00 2.808,80 9.017,30 2.349,20 5.600,90 3.317,10 11.267,20 4.018,00 6.505,70 3.891,70 14.415,40 4.893,50 7.633,10 4.743,20 17.269,80 298,7 350,2 888,6 1.537,50 346,7 391,9 1.093,80 1.832,40 455,4 458,1 1.341,20 2.254,70 562,1 588,8 1.666,30 2.817,20 770,1 756,4 1.954,80 3.481,30 1.062,00 1.324,90 2.032,50 4.419,40 1.625,10 1.539,00 2.687,10 5.851,20 2.078,70 1.905,20 3.332,00 7.315,90 469,9 171,9 344,9 986,7 532,5 175,3 483,6 1.191,40 277,7 214,4 524,1 1.016,20 523 285,8 721 1.529,80 564 360,1 706,6 1.630,70 892,8 616,4 978,1 2.487,30 369,5 708,6 972,7 2.018,70 546,4 893,7 1.014,90 2.455,00 595,9 1.781,40 710,2 3.087,50 730 2.248,00 1.010,90 3.988,90 914,1 2.680,80 1.402,00 4.996,90 1.291,20 3.274,10 1.705,00 6.170,30 1.529,20 3.869,80 1.746,20 7.145,20 1.819,50 5.007,60 1.989,70 8.816,90 2.614,90 5.669,40 2.412,30 10.696,60 3.368,70 7.048,90 3.023,90 13.441,50 1) Sesuai UU Nomor 2 Th. 1992, perusahaan asuransi yang melaksanakan program Asuransi Sosial adalah PT Asuransi lasa Rahardja dan PT Asuransi Tenaga Kelja. Program pensiun merupakan salah satu alternatif untuk memberikan jaminan kesejahteraan kepada karyawan yang telah selesai masa baktinya. Jaminan tersebut diharapkan dapat memperkecil masalah-masalah yang timbul berupa kesulitan dalam bidang keuangan akibat tidak mampu lagi bekerja karena usia lanjut, dan kecelakaan yang mengakibatkan cacat tubuh atau meninggal dunia. Sedangkan tujuan penyelenggaraan program pensiun, dilihat dari sisi karyawan adalah untuk memberikan rasa aman dan ketenangan dalam bekerja. Rasa aman dan ketenangan ini selanjutnya akan dapat meningkatkan motivasi, produktivitas serta loyalitas pada perusahaan tempatnya bekerja. Sedang bila ditinjau dari sisi pemberi kerja, perusahaan akan mempunyai nilai lebih dan daya saing dalam mendapatkan karyawan yang berkualitas dan profesional. Dengan demikian penyelenggaraan program pensiun akan memberikan manfaat baik bagi karyawan maupun bagi perusahaan. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 159 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Mengingat pentingnya Dana Pensiun bagi perekonomian nasional, Pemerintah telah mengambil beberapa upaya untuk meningkatkan dan mendorong perkembangan Dana Pensiun. Untuk memberikan landasan hukum yang kukuh bagi Dana Pensiun, telah ditetapkan dan diberlakukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Dengan pemberian landasan hukum yang kukuh ini diharapkan Dana Pensiun akan dapat berkembang secara baik sesuai dengan perkembangan perekonomian nasional. Peran dan fungsi Dana Pensiun menurut Undang-undang ini adalah sebagai lembaga penghimpun dana masyarakat yang bersifat jangka panjang dan bermanfaat bagi sumber pembiayaan pembangunan ekonomi nasional dan sebagai lembaga yang memberikan manfaat pensiun berupa kesinambungan penghasilan bagi pesertanya di hari tua atau pada saat tidak mampu bekerja lagi. Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-undang tersebut di atas, Pemerintah telah mengambil beberapa kebijaksanaan baik yang dituangkan dalam peraturan pemerintah maupun dalam surat keputusan Menteri Keuangan. Dalam kaitan ini, Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 dan Nomor 77 Tahun 1992 masing-masing mengatur tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Sedangkan masalah-masalah seperti tata cara permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan, persyaratan pengurus dan dewan pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja, maksimum iuran dan manfaat pensiun, laporan keuangan Dana Pensiun, pendanaan dan solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja serta investasi Dana Pensiun telah diatur lebih lanjut dalam beberapa surat keputusan Menteri Keuangan. Selanjutnya, ketentuan tentang pendanaan dan solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) mengatur antara lain tentang tanggung jawab pendiri terhadap pendanaan pensiun, pendanaan dan solvabilitas program pensiun manfaat pasti (PPMP), pendanaan program pensiun iuran pasti (PPIP), tanggung jawab pendiri terhadap penyetoran iuran ke Dana Pensiun serta aktuaris untuk PPMP. Pengaturan hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk memberikan jaminan terpeliharanya kesinambungan penghasilan peserta pada saat pensiun atau pihak yang berhak apabila peserta meninggal dunia. Selain itu, pengaturan tersebut juga ditujukan agar penyelenggaraan PPMP diselenggarakan secara terarah dan terjamin kelangsungannya. Di sisi lain, ketentuan tentang Investasi Dana Pensiun ditujukan agar investasi kekayaan Dana Pensiun dikelola secara sehat dan baik. Ketentuan ini mengatur antara lain Depertemen Keuangan Republik Indonesia 160 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kewajiban pengurus dalam pengelolaan investasi kekayaan Dana Pensiun. Lebih lanjut ditentukan, bahwa pengelolaan kekayaan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan hanya boleh ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dan sertifikat deposito pada bank, saham, obligasi dan surat berharga lain yang tercatat di bursa efek Indonesia kecuali opsi dan waran, surat berharga pasar uang (SBPU), penyertaan langsung pada saham, surat pengakuan hutang berjangka waktu lebih dari satu tahun (maksimum 15 persen), dan pada tanah serta bangunan di Indonesia (maksimum 15 persen). Selain itu, ditetapkan bahwa dalam rangka penyebaran risiko, investasi pada satu obyek ditentukan tidak boleh melebihi 10 persen dari jumlah investasi Dana Pensiun. Berbagai kebijaksanaan yang ditempuh tersebut di atas, telah berhasil mendorong kegiatan Dana Pensiun. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Dana Pensiun baik dari segi kelembagaan, jumlah kekayaan, investasi, dan iuran. Dalam tahun 1995 jumlah Dana Pensiun mencapai sebanyak 185 yang terdiri dari 167 Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan 18 Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Sampai dengan 17 Desember 1996 jumlah Dana Pensiun meningkat sebesar 41,1 persen menjadi sebanyak 261 yang terdiri dari 239 DPPK dan 22 DPLK. Berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan Dana Pensiun, jumlah kekayaan (total aset) Dana Pensiun juga mengalami peningkatan yang cukup berarti, yaitu meningkat dari sebesar Rp 9,69 triliun pada akhir Desember 1994 menjadi sebesar Rp 14,25 triliun pada akhir Desember 1995 atau terjadi peningkatan sebesar 47,06 persen. Peningkatan dalam kekayaan Dana Pensiun ini diikuti pula oleh peningkatan dalam investasi Dana Pensiun. Pada akhir Desember 1994, investasi Dana Pensiun adalah sebesar Rp 7,49 triliun dan pada akhir Desember 1995 mencapai sebesar Rp 10,07 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 34,4 persen. Peningkatan yang terjadi dalam jumlah Dana pensiun, kekayaan dan investasi juga diikuti oleh peningkatan jumlah iuran Dana Pensiun. Bila pada akhir Desember 1994, iuran Dana Pensiun baru mencapai sebesar Rp 616 miliar, maka pada akhir Desember 1995 jumlah ini meningkat sebesar 85,12 persen atau menjadi sebesar Rp 1.140,4 miliar. Sementara itu, penyelenggaraan pembayaran pensiun pegawai negeri sipil (PNS) di seluruh Indonesia telah dilimpahkan Pemerintah kepada PT Taspen. Pada akhir Desember 1994, PT Taspen telah melayani pensiun PNS sebanyak 1.522,1 ribu orang dengan jumlah Depertemen Keuangan Republik Indonesia 161 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pembayaran pensiun sebesar Rp 2.904,3 miliar. Jumlah ini pada akhir Desember 1995 meningkat masing-masing menjadi sebanyak 1.533,9 ribu orang dan Rp 3.382,2 miliar. Sedangkan besarnya iuran PNS pada akhir tahun 1994 dan 1995 masing-masing sebesar Rp 453,4 miliar dan Rp 470 miliar. 3.8.4. Pegadaian Di samping lembaga keuangan perbankan dan lembaga pembiayaan, pegadaian telah semakin penting dirasakan keberadaannya, terutama oleh masyarakat golongan ekonomi lemah, mengingat lapisan masyarakat inilah yang secara nyata tidak dapat sepenuhnya akses ke sumber pembiayaan seperti perusahaan pembiayaan dan perbankan yang ada. Pegadaian ini selain turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional, juga berperan dalam meneegah adanya praktek ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Dalam usahanya pegadaian mengkhususkan kegiatannya untuk memberikan pelayanan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai dengan cara mudah, cepat, aman dan hemat. Mengingat pentingnya peranan pegadaian dalam pembangunan nasional, Pemerintah senantiasa mendorong perkembangannya, antara lain dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 tanggal 10 April 1990 tentang Perubahan Status Hukum dari Perusahaan Jawatan (Perjan) menjadi Perusahaan Umum (perum) Pegadaian. Dengan perubahan status ini pegadaian lebih dimungkinkan untuk meningkatkan maksimum pinjaman yang diberikan, menerbitkan obligasi dan melakukan diversifikasi usaha. Sejak berubah status menjadi Perum, Pegadaian telah menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pinjaman yang diberikan, laba bersih serta jumlah nasabah yang dilayani. Jumlah pinjaman yang diberikan mengalami peningkatan yang cukup berarti, yaitu sebesar 38,60 persen, dari Rp 1.039,9 miliar pada akhir tahun 1994, menjadi Rp 1.441,3 miliar pada akhir tahun 1995. Sementara itu, laba bersih yang berhasil diraih Perum ini juga mengalami peningkatan cukup besar yaitu mencapai sebesar 53,57 persen, dari Rp 11,2 miliar pada akhir tahun 1994 menjadi Rp 17,2 miliar pada akhir tahun 1995. Nasabah yang dilayani juga meningkat sebesar 13,92 persen, yaitu dari 4.176.754 orang pada akhir tahun 1994, menjadi 4.757.964 orang pada akhir tahun 1995. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 162 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Dalam perkembangannya, untuk menggali pendapatan usaha, selain melakukan usaha pokoknya yaitu memberikan pinjaman kepada masyarakat, Perum Pegadaian juga rnelakukan perluasan usaha yaitu melalui jasa taksiran dan jasa titipan. Setelah diperkenalkan dalam tahun 1994, usaha ini menunjukkan peningkatan pendapatan yang cukup berarti masing-masing sebesar 67 persen untuk jasa taksiran dan 53,5 persen untuk jasa titipan, walaupun secara absolut masih relatif kecil dibandingkan dengan pendapatan yang berasal dari kegiatan pokoknya. Selain itu, Perum Pegadaian juga mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga untuk pembangunan gedung kantor dan perkantoran dengan sistem bangun, kelola dan alih (build, operate and transfer-BOT). Sementara itu, di beberapa kota besar Perum Pegadaian juga mengadakan perluasan usaha dengan menyediakan fasilitas pegadaian untuk berbagai macam perhiasan emas bermutu tinggi. Di Denpasar, Perum Pegadaian memberikan pelayanan kepada pengrajin perak untuk mendapatkan bahan baku perak setengah jadi dengan kualitas standar. Seperti diketahui Perum Pegadaian tidak diperbolehkan menarik dana secara aktif dari masyarakat seperti halnya perbankan, oleh karena itu sumber permodalan Perum Pegadaian selain berasal dari modal sendiri juga dapat diperoleh dengan memanfaatkan jasa perbankan, pinjaman jangka panjang yang berasal dari kredit likuiditas Bank Indonesia dan dengan menerbitkan obligasi. Sebagai salah satu BUMN, Perum Pegadaian terus berupaya untuk meningkatkan kinerja dan citra perusahaan sehingga dapat berperan lebih besar dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu sasaran pengembangan Perum Pegadaian pada periode mendatang adalah mengusahakan peningkatan omzet kredit yang diberikan kepada masyarakat sebesar 20 persen per tahun dan peningkatan laba bersih sebesar 30 persen per tahun. Selain itu, diharapkan pada periode yang akan datang pendapatan dari usaha-usaha lain dapat menyumbang minimal 2 persen dari laba usaha. Sejalan dengan itu, Perum Pegadaian telah mempersiapkan langkahlangkah untuk mencapainya yaitu dengan melaksanakan pemanfaatan kantor cabang, meningkatkan pelayanan nasabah, meningkatkan produktivitas di seluruh bidang kegiatan, meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengeluaran uang perusahaan serta dengan mengembangkan produk baru. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 163 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 3.9. Pasar modal Pasar modal Indonesia dari tahun ke tahun menjadi wahana yang semakin menarik baik bagi dunia usaha maupun pemilik modal, dan menjadi semakin penting peranannya. Bagi dunia usaha, pasar modal dapat dijadikan sebagai sarana untuk menawarkan berbagai macam efek sesuai dengan kebutuhan dana yang diperlukan dengan tingkat biaya dana yang relatif murah. Di lain pihak, bagi investor, pasar modal merupakan salah satu wahana investasi yang dapat memberikan keuntungan yang menarik dalam bentuk "capital gain" maupun "deviden" melalui kepemilikan berbagai saham yang dipilih sesuai dengan pendapatan yang diharapkan dan pertimbangan tingkat risiko yang wajar. Berbagai upaya pengembangan pasar modal telah dan sedang ditempuh Pemerintah melalui berbagai langkah, baik dalam bentuk kebijaksanaan yang berupa penetapan peraturan perundang-undangan, pembenahan kelembagaan, maupun pemberian fasilitas-fasilitas lainnya yang dapat menunjang kegiatan pasar modal. Di samping itu, Pemerintah juga terus menerus berusaha menciptakan iklim yang dapat mendorong perkembangan pasar modal, antara lain dengan kebijaksanaan ekonomi makro yang berhati-hati dan mendorong swakarsa pelaku pasar modal itu sendiri. Sementara itu, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sebagai pengganti Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 merupakan suatu karya bersejarah di bidang pasar modal. Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 yang terdiri alas 18 bab dan 116 pasal antara lain menganut prinsip keterbukaan dan menekankan perlindungan bagi investor di pasar modal. Selain itu, undang-undang tersebut juga mengatur kegiatan pasar modal agar dapat berjalan lancar, efisien dan likuid. Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tersebut telah dikeluarkan dua peraturan pemerintah, yaitu masing-masing Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal dan Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal, tiga keputusan Menteri Keuangan, dan sekitar 100 keputusan Ketua Bapepam. Dengan berlakunya Undang-undang Pasar Modal yang baru dan peraturan pelaksanaannya tersebut maka semakin terjamin kepastian hukum bagi para pelaku maupun profesi penunjang pasar modal dalam kegiatan pasar modal di Indonesia. Perkembangan lain yang cukup penting dalam kegiatan pasar modal selama periode Depertemen Keuangan Republik Indonesia 164 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Januari 1996-November 1996 adalah dengan dialihfungsikannya PT Kliring Deposit Efek Indonesia (PT KDEI) menjadi lembaga penyelesaian dan penyimpanan (LPP) efek pada awal Juli 1996 dan terbentuknya lembaga kliring dan penjaminan (LKP) dengan nama PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) pada awal Agustus 1996. PT KDEI yang pada awalnya berfungsi menangani proses kliring dan penyelesaian transaksi efek untuk selanjutnya hanya menangani kegiatan penyimpanan efek. Guna meningkatkan peranan investor lokal kecil di pasar modal, maka telah ditetapkan tahun 1996 sebagai tahun reksadana. Adapun usaha reksadana adalah kegiatan usaha yang menerima titipan dana dari investor yang kemudian dana tersebut diinvestasikan kembali dalam bentuk pembelian sekuritas baik di pasar modal maupun di pasar uang atau pasar hutang sesuai dengan kebijaksanaan manajer investasinya. Undang-undang Pasar Modal (UUPM) tahun 1995 telah membuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan usaha reksadana, baik yang terbuka maupun tertutup. Adapun reksadana terbuka adalah penerbitan Saham atau unit penyertaan reksadana oleh suatu perusahaan reksadana dan dijual kepada investor dimana investor yang membeli reksadana tersebut setiap saat dapat menjual kembali sahamnya kepada perusahaan reksadana yang mengeluarkannya. Sedang reksadana tertutup tidak memberi kemungkinan bagi pembeli saham reksadana untuk menjualnya kembali kepada perusahaan penerbit reksadana. Dengan dikembangkannya kegiatan usaha reksadana diharapkan peran serta investor lokal dalam pasar modal Indonesia yang dewasa ini jumlahnya diperkirakan sekitar 0,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia dapat ditingkatkan yang pada gilirannya dapat memperkuat fundamental pasar modal di Indonesia. Selain itu, guna lebih meningkatkan kegiatan pasar modal, dalam bulan September 1996 telah ditandatangani kerjasama antara Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang antara lain bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya, potensi, dan kemampuan dari kedua belah pihak dalam ikut aktif mengembangkan pasar modal. Lingkup kegiatan yang dikerjasamakan antara lain mencakup pertukaran informasi dan data yang dimiliki masing-masing pihak, mengadakan seminar, workshop dan melakukan penyebaran informasi, serta pembinaan emiten maupun calon emiten, khususnya anggota AEI dalam penyusunan laporan keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Selanjutnya, dalam rangka ikut menunjang program pemerataan pendapatan masyarakat yang sedang digalakkan oleh Pemerintah dewasa ini, AEI juga telah melakukan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 165 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pengalihan saham perusahaan yang "go public" kepada koperasi. Sebanyak 13 emiten telah mengalihkan 10,39 juta lembar sahamnya kepada 187 koperasi dengan nilai sebesar Rp 6,9 miliar. Di samping pendirian Pusat Informasi Pasar Modal (PIPM), guna lebih memasyarakatkan seluk beluk kegiatan pasar modal, terutama di lingkungan perguruan tinggi, telah dibuka sarana informasi pasar modal di beberapa tempat, yang dikenal dengan "Pojok BEJ", seperti di Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Trisakti Jakarta, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, serta di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. "Pojok BEJ" tersebut berfungsi antara lain memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya di kalangan perguruan tinggi, tentang peran dan manfaat pasar modal sebagai salah satu alat investasi yang menguntungkan bagi investor. Dengan demikian masyarakat maupun investor akan dapat memperoleh informasi yang lebih akurat dalam mengikuti perkembangan Bursa Efek Jakarta. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditempuh Pemerintah di atas serta partisipasi positif dari pelaksana dan penyelenggara pasar modal telah berhasil mendorong kegiatan pasar modal secara berarti. Hal ini ditunjukkan bukan hanya dan data yang bersifat kuantitatif seperti misalnya jumlah perusahaan yang "go public", volume, dan nilai perdagangan saham tetapi juga dari data yang bersifat kualitatif seperti peningkatan kualitas keterbukaan informasi pasar modal, serta diberlakukannya praktek yang bersifat internasional di pasar modal Indonesia. Sementara itu, di Bursa Efek Surabaya (BES) telah diperkenalkan suatu sistim baru yang disebut sebagai S-MART atau Surabaya Market Information and Automated Remote Trading dengan nilai investasi yang ditanamkan sebesar Rp 3 miliar. Informasi pasar dan sistem perdagangan jarak jauh itu dimungkinkan dengan menggunakan fasilitas jaringan Pasopati yang disediakan oleh PT Telekomunikasi Indonesia. Dengan fasilitas S-MART tersebut dimungkinkan adanya mekanisme perdagangan lelang periodik setiap lima menit. Dengan demikian sistem tersebut membuka peluang investor dan perusahaan emiten menghitung harga terbaik bagi suatu saham. Selain itu diperkenalkan pulajaringan SSX-net (Surabaya Stock Exchange-internet) yang merupakan fasilitas penyebaran informasi berbasis internet. Dengan fasilitas tersebut perusahaan sekuritas dapat melakukan transaksi melalui terminal komputer masing-masing yang sudah "on-line" ke BES. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 166 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Kegiatan transaksi di lantai bursa tidak terlepas kaitannya dengan peran pelaku pendukung pasar modal seperti perusahaan sekuritas. Perusahaan sekuritas yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 berjumlah 226 perusahaan efek. Dari jumlah tersebut, 100 perusahaan merupakan perusahaan penjamin emisi efek, yang sebagian besar dapat berperan sebagai perusahaan perantara pedagang efek (PPE) maupun manajer investasi, 111 perusahaan PPE yang lima diantaranya dapat juga bergerak di bidang manajer investasi, dan 15 perusahaan lainnya hanya bergerak di bidang manajer investasi. Perkembangan yang cukup penting dan menarik perhatian masyarakat dalam tahun 1996 ini adalah "go public" nya salah satu bank pemerintah, jaitu PT (Persero) Bank BNI 1946. BUMN tersebut menawarkan sekitar 25 persen kepemilikan sahamnya kepada masyarakat atau sebanyak 1,085 miliar saham dengan nilai nominal Rp 500. Di pasar perdana, saham tersebut ditawarkan pada tingkat harga Rp 850 dan telah dicatatkan di lantai bursa pada tanggal 25 November 1996, setelah masa penawaran umum dari tanggal 4-7 November 1996. Pada transaksi hari pertama setelah dicatatkan, di lantai Bursa Efek Jakarta (pasar sekunder) saham tersebut mencatat gain sebesar Rp 400 atau menjadi Rp 1.250, sehingga investor menikmati keuntungan dan capital gain lebih dari 47 persen. Sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 jumlah kumulatif perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan Bapepam untuk menawarkan efeknya kepada masyarakat berjumlah 322 perusahaan emiten dengan nilai kumulatif emisi sebesar Rp 61,34 triliun. Dari jumlah perusahaan emiten tersebut, masing-masing 267 perusahaan menawarkan sahamnya dengan nilai kumulatif emisi sebesar Rp 49,8 triliun, dan 55 perusahaan menerbitkan obligasi, obligasi konversi maupun sekuritas kredit dengan nilai kumulatif sebesar Rp 11,54 triliun. Dari segi jumlah perusahaan emiten berarti peningkatan masing-masing 19 emiten saham dan 5 emiten obligasi dan sejenisnya dibandingkan periode tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 27 perusahaan sekaligus menawarkan saham dan obligasinya. Perusahaan-perusahaan tersebut terbagi ke dalam sembilan sektor, masing-masing sektor pertanian, pertambangan, industri dasar, aneka industri, industri konsumsi, properti, infrastruktur, keuangan, serta perdagangan dan jasa. Di samping itu, reksadana yang telah melakukan emisi berjumlah 22 perusahaan, 21 diantaranya merupakan reksadana berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK) dan satu reksadana berbentuk perseroan yang menerbitkan reksadana tertutup. Peranan pasar modal dalam menghimpun dana antara lain dapat dilihat dari nilai emisi Depertemen Keuangan Republik Indonesia 167 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kumulatif saham tercatat maupun nilai kapitalisasi pasar. Nilai kumulatif emisi saham sampai dengan 27 Desember 1996 telah mencapai Rp 49,8 triliun atau meningkat sebesar 40,68 persen dibandingkan nilai kumulatif emisi saham sampai dengan akhir tahun 1995 yang sebesar Rp 35,4 triliun. Sementara jumlah kumulatif emisi saham telah mencapai 24,98 miliar lembar, atau mengalami peningkatan sebesar 124,84 persen dibanding jumlah kumulatif saham sampai dengan akhir tahun sebelumnya yang sebanyak 11,11 miliar lembar. Di sisi lain, dalam periode yang sama jumlah kumulatif emisi obligasi mencapai 805.474 lembar dengan nilai kumulatif emisi sebesar Rp 11,54 triliun, atau suatu peningkatan masing-masing 2,18 persen dan 32,8 persen bila dibandingkan jumlah dan nilai kumulatif emisi obligasi sampai dengan akhir tahun sebelumnya, yang masing-masing sebesar 788.264 lembar dengan nilai kumulatif emisi sebesar Rp 8,69 triliun. Sementara itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) mengalami perkembangan yang bervariasi sesuai dengan perkembangan di lantai bursa. Dalam tahun 1996, sampai dengan tanggal 27 Desember, indeks ditutup pada angka 637,43 atau 123,59 poin (24,1 persen) lebih tinggi dibandingkan angka indeks akhir tahun sebelumnya yang berada pada tingkat 513,84. IHSG di BEJ pada tanggal 27 Desember 1996 tersebut juga merupakan angka indeks tertinggi selama tahun 1996. Indeks harga terendah terjadi dalam bulan Januari 1996 yang mencapai angka 512,48. Dalam perkembangan lainnya, nilai kapitalisasi pasar di BEJ pada tanggal 27 Desember 1996 telah mencapai Rp 215,0 triliun, dari sejumlah 77,24 miliar saham yang tercatat di lantai bursa. Hal ini berarti terjadi peningkatan nilai kapitalisasi sebesar Rp 62,75 triliun atau sekitar 41,22 persen dibandingkan pada akhir tahun lalu yang sebesar Rp 152,25 triliun. Peningkatan tersebut di samping disebabkan karena bertambahnya perusahaan-perusahaan yang "go public" dan mencatatkan sahamnya di lantai bursa juga karena bertambahnya saham akibat pencatatan saham perusahaan (company listing), penerbitan right issue, saham bonus dan lain-lain. Sedangkan nilai transaksi perdagangan saham di BEJ yang selama tahun 1995 mencapai Rp 32,36 triliun, selama tahun 1996 (sampai dengan tanggal 27 Desember) telah meningkat menjadi Rp 75,73 triliun atau meningkat lebih dari dua kali lipat. Rata-rata nilai perdagangan harian selama tahun 1996 juga mengalami lonjakan yang cukup berarti bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu naik dari Rp 131,53 miliar dalam tahun 1995 menjadi Rp 304,1 miliar dalam tahun 1996. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 168 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Di sisi lain, kegiatan di Bursa Efek Surabaya (BES) juga mengalami perkembangan yang cukup berarti. Nilai kapitalisasi pasar pada tanggal 27 Desember 1996 telah mencapai Rp 187,6 triliun yang berarti suatu peningkatan sebesar 18,11 persen dibandingkan dengan nilai kapitalisasi pasar pada akhir tahun sebelumnya yang sebesar Rp 158,84 triliun. Sementara itu, nilai transaksi perdagangan selama tahun 1996 telah mencapai Rp 4,1 triliun dari sebanyak 1,55 miliar saham yang diperdagangkan. Lebih jauh, sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 PT Danareksa telah menerbitkan 12 jenis sertifikat saham senilai Rp 222,8 miliar, masing-masing 2 jenis sertifikat saham perusahaan senilai Rp 7,8 miliar, 2 jenis sertifikat dana unit saham pendapatan abadi senilai Rp 60 miliar, 5 jenis sertifikat dana unit umum senilai Rp 75 miliar, dan 3 jenis sertifikat dana unit saham senilai Rp 80 miliar. Prospek pasar modal Indonesia diperkirakan cukup cerah dalam era pasar global abad ke 21 mendatang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan tetap kuat dan tingkat inflasi yang diperkirakan akan lebih terkendali merupakan beberapa faktor ekonomi makro yang penting yang dapat mendorong kegiatan pasar modal. Di samping itu, potensi pasar yang cukup besar baik dilihat dari banyaknya jumlah perusahaan yang potensial untuk "go public" maupun dilihat dari jumlah pemodal potensial mendukung prospek pasar modal yang cukup cerah tersebut. Hal lain yang penting dalam rangka pengembangan pasar modal adalah pemantapan kualitas dan integritas sumber daya manusia pendukung pasar modal. Sumber daya manusia yang memiliki kualitas dan integritas tinggi akan dapat meningkatkan kegiatan pasar modal yang efisien, aman, lancar, dan likuid. Untuk mempertegas misi dan visi kegiatan pasar modal Indonesia pada abad ke 21 mendatang serta untuk menjadikan pasar modal Indonesia sebagai salah satu pasar modal terkemuka di kawasan Asia, Bapepam bekerjasama dengan masyarakat pasar modal (Capital Market Society, CMS), telah mengeluarkan Cetak Biru Pasar Modal Indonesia (Indonesian Capital Market Blue Print), yaitu suatu Rencana Pengembangan Lima Tahun yang merupakan panduan dan kerangka dasar dalam melakukan kegiatan usaha di pasar modal. Cetak biru ini pada pokoknya menetapkan lima strategi pengembangan pasar modal yakni peningkatan kelangsungan hidup ekonomis industri efek, standar yang tinggi untuk keamanan dan kualitas jasa, mengupayakan agar biaya transaksi dan jasa tetap rendah, ketaatan penuh terhadap prinsip keterbukaan, serta mempertahankan pasar yang wajar dan teratur. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 169 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Perkembangan pasar modal antara lain ditentukan oleh kerjasama dan pengertian antara Pemerintah, pelaku, dan pendukung pasar modal. Bila kerjasama dan pengertian tersebut dapat dibina dan masing-masing pihak menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh dedikasi dan profesionalisme yang tinggi, maka pasar modal Indonesia diharapkan akan dapat menjadi salah satu pasar modal terbesar di Asia Tenggara. Pemerintah bertekad untuk mengerahkan segala daya dan upaya untuk memberikan dukungan yang optimal bagi pengembangan pasar modal. Demikian juga diharapkan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pasar modal tetap mempertahankan komitmen yang kuat terhadap pasar modal. Dengan demikian harapan untuk menjadikan pasar modal Indonesia menjadi salah satu yang terbesar dan terbaikdi Asia Tenggara akan dapat terwujud. Perkembangan jumlah perusahaan emiten yang telah mendapatkan persetujuan Bapepam untuk melakukan emisi saham, obligasi dan sekuritas kredit serta sertifikat saham yang telah diterbitkan oleh PT Danareksa dapat dilihat pada Tabel III.27, Tabel III.28, dan Tabel III.29 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 170 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel III.27 BEBERAPA INDIKATOR KEGIATAN DI PASAR MODAL DAN PERDAGANGAN SAHAM DI BURSA EFEK JAKARTA 1984 - 1996 Jumlah Nilai Nilai kumulatif kumulatif rata-rata Jumlah emisi emisi perdagangan perusahaan perdana perdana perdana (juta saham) (miliar Rp) (miliar Rp) Akhir periode 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember I) 24 24 24 24 25 67 132 145 162 181 192 207 216 231 233 236 243 248 248 248 248 248 248 257 257 259 260 261 263 267 57 57 57,2 57,2 68,4 308,7 965,4 1.178,50 1.761,40 3.338,50 4.023,50 5.391,70 5.783,40 6.401,90 6.715,90 7.685,60 8.849,60 11.110,90 11.583,50 11.838,80 12.394,60 13.126,40 15.294,70 17.082,40 17.082,40 17.144,30 19.113,70 21.030,30 21.917,10 24.983,40 128,9 128,9 129,4 129,4 173,7 2.260,50 8.009,40 8.976,10 11.161,80 16.065,00 18.909,00 23;157,2 24.751,20 26.528,60 27.062,10 28.630,70 30.914,30 35.395,00 35.867,50 36.122,90 36.803,10 37.877,10 40.122,20 42.284,50 42.284,50 42.360,80 44.703,80 46.530,10 47.432,40 49.801,4. 0,01 0,01 0,01 0,02 0,12 3,9 30,6 23,58 32,2 77,59 138,74 55,65 105,49 113,03 82,33 133,1 136,19 176,84 228,84 298,Q4 262,16 327,42 248,l8 261,45 291,69 246,42 300,42 301,15 362,3 547,79 IHSG 67,68 66,53 69,69 82,58 305,12 399,69 417,79 247,39 274,33 588,76 492,37 457,29 497,97 469,64 428,64 492,27 493,24 513,84 578,55 585,2 585,7 623,9 617,46 594,25 536,02 547,61 573,93 568,02 613,01 637,43 I) Sampai dcngan tanggal 27 Desember 1996. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 171 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel IIl. 28 PERKEMBANGAN JUMLAH EMISI OBLIGASI DAN SEKURITAS PERUSAHAANIBADAN USAHA DI PASAR MODAL, 1934 - 1996 Jumlah kumulatif Jumlah Akhir periode perusahaan kumulatif emisi perdana (Iembar) (miliar Rp) 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juti Agustus September Oktober November Desember I) 3 3 3 3 9 22 23 24 34 43 43 46 46 46 46 48 49 50 50 50 50 51 51 53 53 53 53 54 54 55 269.730 282.170 285.915 296.145 322.475 358.764 380.244 384.032 653.788 725.074 741.534 748.588 748.588 763.448 771.372 782.350 784.934 788.264 788.264 788.264 788.264 789.634 789.634 797.414 797.414 797.414 801.914 802.654 803.964 805.474 154,7 354,7 404,7 535,7 935,7 1.555,20 2.090,20 2.215,20 3.856,70 5.761,70 6.011,70 6.261,70 6.261,70 6.691,30 7.291,20 8.325,90 8.425,90 8.694,40 8.694,40 8.694,40 8.694,40 8.894,40 8.894,40 10.594,40 10.594,40 10.594,40 10.685,50 10.885,50 11.035,50 11.535,50 1) Sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 172 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel III.29 PERKEMBANGAN JUMLAH SERTIFIKAT YANG DITERBITKAN OLEH PT DANAREKSA, 1984 -1996 Akhir Jumlah Nilai Jumlah perdana periode perusahaa kumulatif (Iembar) (juta Rp ) -2 -1 -3 -4 7 1984 Desember 7.420.300 72.793,30 8 1985 Desember 10.920.300 107.793,30 10 1986 Desember 15.420.300 152.793,30 11 1987 Desember 16.920.300 167.793,30 11 1988 Desember 16.920.300 167.793,30 12 1989 Desember 20.680.000 172.793,30 15 1990 Desember 30.680,90 272.793,30 15 1991 Desember 30.680,90 272.793,30 13 1992 Desember 26.180.900 227.793,30 12 1993 Desember 25.780.900 222.793,30 12 1994 Maret 25.780.900 222.793,30 12 Juni 25.780.900 222.793,30 12 September 25.780.900 222.793,30 L2 Desember 25.780.900 222.793,30 12 1995 Maret 25.780.900 222.793,30 12 Juni 25.780.900 22i 793,3 12 September 25.780.900 22 .793,3 12 Desember 25.780.900 222.793,30 12 1996 Januari 25.780.900 222.793,30 12 Februari 25.780.900 222.793,30 12 Maret 25.780.900 222.793,30 12 April 25.780.900 222.793,30 12 Mei 25.780.900 222.793,30 12 Juni 25.780.900 222.793,30 12 Juti 25.780.900 222.793,30 12 Agustus 25.780.900 222.793,30 12 September 25.780.900 222.793,30 12 Oktober 25.780.900 222.793,30 12 November 25.780.900 222.793,30 Desember I) 25.780.900 222.793,30 12 I) Sampai dengan tanggal27 Desember 1996 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 173 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 BAB IV PERDAGANGAN LUAR NEGERI DAN NERACA PEMBAYARAN 4.1. Pendahuluan Selama tahun 1996 perekonomian dunia berada dalam keadaan stabil tanpa adanya suatu gejolak yang berarti. Hal ini dimungkinkan oleh usaha-usaha yang dilakukan untuk tetap mempertahankan ataupun memperbaiki kinerja ekonomi masing-masing negara dengan melaksanakan kebijaksanaan secara ketat terhadap dampak dari pada pasar global. Kecenderungan membaiknya perekonomian dunia dapat dilihat dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi di semua kelompok negara dalam tahun 1996 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, baik itu kelompok negara-negara industri, kelompok negara-negara dalam transisi maupun negara-negara berkembang. Secara keseshruhan pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1996 diperkirakan berada pada tingkat 3,8 persen, dengan demikian mengalami sedikit peningkatan dibanding dengan tahun 1995 yang berada pada tingkat 3,5 persen. Perkembangan perekonomian dunia dalam tahun 1996 juga ditandai dengan stabilnya suku bunga intemasional, baik LIBOR, SIBOR maupun "US Prime Rate", yang berada pada kisaran angka yang tidak jauh berbeda sepanjang tahun. Demikian juga nilai tukar SDR terhadap dolar Amerika Serikat tidak mengalami fluktuasi yang berarti. Di samping itu, perkembangan harga minyak bumi di pasaran dunia menunjukkan perkembangan yang menguntungkan negaranegara pengekspor minyak bumi seperti Indonesia, dimana harga minyak bumi dalam tahun 1996 berada di atas harga tahun-tahun sebelumnya, dan merupakan harga tertinggi dalam lima tahun belakangan ini. Menguatnya perekonomian dunia tidak diikuti oleh peningkatan volume perdagangan dunia, yang dalam tahun 1996 melemah dibanding tahun sebelumnya. Demikian juga defisit transaksi berjalan dunia secara keseluruhan mengalami peningkatan dibanding tahun yang lalu. Membaiknya perekonomian dunia tersebut juga mendorong membaiknya perekonomian Indonesia yang dalam tahun 1996 diperkirakan dapat dipertahankan pada tingkat pertumbuhan yang tetap tinggi. Namun demikian defisit transaksi berjalan diperkirakan mengalami Depertemen Keuangan Republik Indonesia 174 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 peningkatan yang cukup berarti sebagai akibat dari menaiknya pertumbuhan impor yang tidak dapat diimbangi dengan peningkatan pertumbuhan ekspor, dan masih tingginya defisit transaksi jasa-jasa. Dalam tahun 1996 perkembangan ekspor non migas, yang diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap defisit transaksi berjalan, menunjukkan penampilan yang kurang menggembirakan. Melambatnya pertumbuhan ekspor non migas ini disebabkan relatif kurang mampunya produksi dalam negeri menghadapi persaingan perdagangan intemasional. Dalam menghadapi meningkatnya persaingan, peranan penanaman modal asing diharapkan dapat mendorong peningkatan ekspor non migas. Untuk itu perlu diciptakan kondisi yang dapat mendukung peningkatan penanaman modal asing, dengan tetap konsisten membuat perbaikanperbaikan melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang berkesinambungan. Dalam upaya menghadapi perdagangan intemasional yang bebas, negara-negara maju diharapkan mau memberi peluang yang lebih besar kepada negara-negara berkembang dengan menjamin kelancaran perdagangan internasional, tanpa membuat hambatan-hambatan terhadap akses pasar dari negara-negara berkembang. Dengan demikian diharapkan negara-negara berkembang dapat mengembangkan diri, dan akhimya akan mempersempit kesenjangan antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Dalam rangka Kerja Sarna Ekonomi Asia Pasifik (APEC) , semua anggotanya diharapkan dapat memupuk kemitraan sederajat yang saling menguntungkan demi kepentingan dan tanggung jawab bersama. Sehubungan dengan itu, dalam pertemuan puncak Pemimpin Ekonomi Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasiftk (APEC) ke-4 di Subic, Filipina, telah dikeluarkan "Deklarasi Pemimpin Ekonomi APEC: dari Visi ke Aksi". Inti dari pada deklarasi tersebut merupakan persetujuan para pemimpin APEC untuk memulai liberalisasi perdagangan dan investasi mulai 1 Januari 1997. Deklarasi tersebut juga menyatakan bahwa pencapaian bersama pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, peningkatan kesempatan kerja, dan stabilitas kawasan yang merupakan hasil kesepakatan bersama untuk meningkatkan kebijakan yang berorientasi pertumbuhan, dan partisipasi yang lebih luas di bidang ekonomi regional maupun global. Di bidang perdagangan intemasional telah ditegaskan pentingnya sistem perdagangan multilateral yang terbuka berdasarkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 4.2. Perkembangan ekonomi dan moneter intemasional dalam tahun 1996 Dalam tahun 1995, ekspansi ekonomi di banyak negara industri dan sebagian negara-negara Depertemen Keuangan Republik Indonesia 175 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 berkembang di kawasan Amerika Latin tampak melemah walaupun di negara-negara berkembang kawasan sub-Sahara Afrika dan Timur Tengah terlihat cukup kuat. Negara-negara berkembang di kawasan Asia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup moderat, sehingga sedikit mengurangi kekhawatiran terjadinya gejala ekonomi yang memanas. Sementara itu, situasi perekonomian di negara-negara transisi terus membaik yang terlihat dari meredanya kemerosotan produksi di negara-negara tersebut. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1995 sedikit mengalami penurunan dengan laju sebesar 3,5 persen dibandingkan dengan 3,7 persen dalam tahun sebelumnya. Dalam tahun 1996, diperkirakan terjadi sedikit percepatan dalam pertumbuhan ekonomi dunia sehingga diharapkan dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dunia menjadi sebesar 3,8 persen, dan diperkirakan menguat lebih jauh ke angka 4 persen dalam tahun 1997. Negara-negara industri, setelah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dalam tahun 1995 sebesar 2,1 persen, diperkirakan meraih pertumbuhan yang sedikit lebih kuat dalam tahun 1996, yaitu sebesar 2,3 persen. Namun demikian, pola pertumbuhan di negara-negara industri sejak penghujung tahun 1995 telah menjadi tidak merata dimana ekspansi ekonomi yang makin kuat dialami oleh Amerika Serikat dan Jepang, sementara kelambanan aktivitas ekonomi di sebagian besar negara-negara industri Eropa masih berlanjut. Pengetatan kondisi moneter dan naiknya tingkat bunga obligasi yang terjadi dalam tahun 1994 telah memperlambat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, Inggris dan Australia dalam tahun 1995, dari tingkat pertumbuhan yang jauh di atas tingkat pertumbuhan potensialnya ke tingkat pertumbuhan yang lebih aman dari ancaman inflasi (non inflationary growth). Dalam tahun 1995 itu juga, pertumbuhan ekonomi yang melambat tampak lebih nyata di negara-negara industri Eropa yang memiliki mata uang kuat, khususnya Jerman, Perancis, Swiss, dan negaranegara lain yang mempunyai kaitan erat dengan mata uang deutsche mark (DM). Sementara itu, pertumbuhan yang cukup baik dialami oleh negara-negara yang mata uangnya mengalami depresiasi pada tahun-tahun belakangan ini, khususnya Italia, Spanyol, dan Swedia. Penurunan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Jerman, Perancis, Swiss, dan negara-negara lain yang mempunyai keterkaitan dengan DM menimbulkan kekhawatiran mengingat bahwa masih terdapatnya situasi penggunaan sumber daya dan alat-alat produksi yang jauh di bawah kapasitasnya (undercapacity) disamping tingginya tingkat pengangguran. Berbeda halnya dengan Jepang, kemerosotan ekonomi yang cukup lama, yang dimulai dalam tahun 1991 telah Depertemen Keuangan Republik Indonesia 176 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 membuka jalan bagi kepulihan ekonomi selama tahun 1995 dengan dukungan kebijaksanaankebijaksanaan fiskal dan moneter serta langkah koreksi yang besar terhadap nilai yen yang terlalu tinggi. Di Amerika Serikat, dalam permulaan tahun 1996 tanda-tanda menguatnya pertumbuhan kembali menjadi nyata, yang sebagian mencerminkan respon perekonomian negara tersebut terhadap tiga kali penurunan dalam suku bunga jangka pendek sejak pertengahan tahun 1995, dan juga penurunan dalam tingkat bunga obligasi selama tahun tersebut. Tanda-tanda percepatan aktivitas ekonomi juga tampak jelas di Kanada, menyusul penurunan tingkat bunga yang cukup besar di negara tersebut dan meningkatnya ekspansi ekonomi Amerika Serikat yang juga memberikan pengaruh terhadap perekonomian Kanada. Aktivitas ekonomi yang menguat juga terjadi di Australia dimana pertumbuhan konsumsi swasta dan investasi usaha telah dimulai kembali. Di Jepang, penantian panjang bagi pemulihan ekonomi akhirnya terwujud juga. Meskipun produksi nasional selama tahun 1995 tumbuh sedikit di bawah 1 persen, namun pertumbuhan yang begitu kuat dalam kuartal I tahun 1996 merupakan indikasi bahwa pemulihan ekonomi yang sudah lama ditunggu-tunggu kini terlihat jelas. Langkah-Iangkah yang diambil pemerintah Jepang untuk memberikan rangsangan fiskal dalam tahun 1995 yang lalu telah memainkan peranan penting dalam menghidupkan kembali permintaan. Selain daripada itu, pelonggaran kebijaksanaan moneter, yang menyebabkan turunnya tingkat bunga diskonto resmi dari 1 persen menjadi 0,5 persen dalam bulan September 1995, juga memberi sumbangan bagi pemulihan ekonomi. Berbeda dengan tahun 1995, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi pada sebagian negara-negara Eropa mengalami penurunan dan sebagian lainnya mengalami peningkatan, perkembangan di awal tahun 1996 memperlihatkan kelesuan ekonomi yang hampir merata. Meskipun terdapat tanda-tanda perbaikan di pertengahan tahun 1996 di beberapa negara, khususnya di Jerman, namun kebangkitan ekonomi yang lebih umum masih belum nyata. Perrnintaan konsumen masih tetap rendah, khususnya bila dibandingkan dengan pemulihan permintaan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat. Selanjutnya, dengan kepercayaan kalangan dunia usaha yang terus memburuk, produksi sektor industri di awal tahun 1996 merosot di sejumlah negara, termasuk Jerman dan Italia. Pengangguran juga terus meningkat di sebagian Eropa, mencapai tingkat tertinggi di Perancis. Sementara itu, di Inggris, Italia, Spanyol, dan di banyak negara Eropa yang lebih kecil, tersendatnya ekspor ke mitra dagang Depertemen Keuangan Republik Indonesia 177 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Eropa lainnya telah menyumbang pula terhadap penurunan pertumbuhan. Namun demikian, sejak akhir tahun yang lalu, penurunan suku bunga yang terjadi berturut-turut di Jerman, Perancis, dan di beberapa negara Eropa lainnya telah cukup memperlonggar kondisi moneter secara menyeluruh di banyak negara, bersamaan dengan melemahnya DM dan mata uang-mata uang lain yang berkaitan dengannya. Selain dari itu, dengan usaha-usaha yang kuat kearah konsolidasi fiskal, perpaduan kebijaksanaan (policy mix) pada umumnya telah dapat memberikan arah yang lebih kondusif bagi pertumbuhan jangka menengah. Di beberapa negara, seperti Italia, Spanyol, dan Swedia, kemajuan dalam konsolidasi fiskal ini telah memperkecil premium resiko dalam tingkat bunga dan membantu mengoreksi kembali mata uang-mata uang yang mengalami penurunan nilai. Peningkatan aktivitas ekonomi di negara-negara tersebut mulai tumbuh dan permintaan konsumen mulai stabil. Dengan perkiraan bahwa indikasi-indikasi tersebut dapat mendorong pemulihan produksi yang cukup moderat selama para kedua tahun 1996, pertumbuhan ekonomi Eropa secara keseluruhan diproyeksikan sebesar 1,5 persen dalam tahun 1996. Namun demikian, seberapa besar perkiraan kekuatan pemulihan tersebut belum begitu jelas. Pemulihan di Eropa mungkin lebih lemah dari yang diproyeksikan karena terkekang oleh dampak kontraksi jangka pendek dari langkah kebijaksanaan konsolidasi fiskal yang sedang dilaksanakan di sebagian besar negara-negara Uni Eropa, di samping adanya ketidakpastian mengenai pelaksanaan kebijaksanaan dan kekhawatiran terhadap tingkat pengangguran yang cukup tinggi. Tingkat inflasi yang rendah tetap menjadi faktor pendorong khusus dalam aktivitas ekonomi di hampir semua negara industri. Laju inflasi rata-rata di negara-negara industri secara keseluruhan tetap rendah, yaitu sebesar 2,4 persen dalam tahun 1995, dan 2,3 persen dalam tahun 1996. Keberhasilan dalam mempertahankan laju inflasi yang rendah umumnya bersumber dari komitmen yang kuat para pembuat kebijaksanaan untuk mencapai tingkat stabilitas harga yang paling tinggi. Namun meningkatnya kompetisi global juga berperan penting dalam menurunkan inflasi tersebut, dengan menyempitnya ruang bagi kenaikan upah dan peningkatan harga yang berlebih-lebihan. Di negara-negara yang sedang berkembang, pertumbuhan produksi yang mencapai sebesar 5,9 persen dalam tahun 1995, merupakan kelanjutan dari ekspansi ekonomi yang kokoh, yang sudah berlangsung di awal dekade 1990-an, sementara rata-rata inflasi menurun cukup Depertemen Keuangan Republik Indonesia 178 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 banyak menjadi sebesar 19,8 persen. Dalam tahun 1996, pertumbuhan keseluruhan negaranegara berkembang diperkirakan mencapai 6,3 persen, dengan inflasi yang diperkirakan menurun lebih jauh di sebagian besar negara. Kemajuan penting lainnya yang diperkirakan dapat dicapai ialah keberhasilan di dalam mengurangi ketidakseimbangan fiskal di sebagian besar negara-negara berkembang. Di negara-negara berkembang kawasan Amerika Latin, menyusul kinerja ekonomi yang mengecewakan di tahun 1995, pertumbuhan diperkirakan membaik menjadi 3 persen dalam tahun 1996, dan inflasi menurun lebih jauh. Di Meksiko, kebijaksanaan fiskal dan moneter yang ketat telah membantu dalam mengurangi inflasi selama para pertama tahun 1996, menyumbang terhadap peningkatan permintaan konsumen dan kalangan usaha, menurunkan tingkat bunga, dan menstabilkan mata uang peso. Pertumbuhan ekonomi negeri ini dalam tahun 1996 mungkin dapat mencapai 3,6 persen dengan laju inflasi mendekati 25 persen. Di Argentina, didorong oleh menguatnya tingkat konsumsi domestik dan melonggarnya kondisi perkreditan, produksi nasionalnya diperkirakan meningkat sebesar 2,5 persen dalam tahun 1996, jauh lebih baik dibandingkan dengan kemerosotan sebesar minus 4,4 persen dalam tahun sebelumnya. Rencana stabilisasi mata uang yang dilaksanakan di Brazil terus berlanjut dalam rangka menekan inflasi di bawah 1 persen sebulan, tetapi berdampak terhadap produksi nasional yang diperkirakan menurun menjadi 2,5 persen dalam tahun 1996. Di Chili, meskipun gejala-gejala inflasi terasa meningkat di awal tahun sebagai akibat naiknya harga minyak dan gandum, Namun inflasi diperkirakan tidak begitu tinggi di para kedua tahun 1996. Hal tersebut sebagai dampak dari pengetatan kondisi moneter yang diterapkan oleh pemerintah Chili, termasuk dinaikkannya target suku bunga bank sentral. Pertumbuhan produksi nasional dalam tahun 1996 juga diperkirakan cukup baik yaitu 7,4 persen. Menyusul perbaikan yang nyata dalam kinerja perekonomian negara-negara berkembang kawasan Afrika dalam tahun 1994 dan 1995, terdapat optimisme bahwa pertumbuhan akan kembali menguat dalam tahun 1996, dan tingkat inflasi mungkin menurun lebih jauh dalam tahun ini, yang merupakan tahun ketiga penurunan inflasi secara berturut-turut sejak tahun 1994. Banyak negara-negara Afrika memperoleh manfaat dari adanya konsolidasi fiskal, penurunan laju inflasi, keikutsertaan sektor swasta yang lebih besar di dalam perekonomian, liberalisasi perdagangan, dan nilai tukar yang lebih realistis. Di Afrika Selatan, menguatnya ekspor dan investasi swasta telah menyumbang terhadap Depertemen Keuangan Republik Indonesia 179 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 tingkat pertumbuhan yang lebih baik dalam tahun 1996 yang diperkirakan sebesar 4 persen. Meskipun terjadi depresiasi yang cukup berarti dalam mata uang rand di awal tahun 1996 dan besamya defisit anggaran, namun dengan adanya pengetatan kondisi moneter diperkirakan dapat menekan laju inflasi pada tingkat yang moderat. Di Kenya, menyusul penurunan yang terjadi di paro kedua tahun 1995, pertumbuhan meningkat di kuartal pertama tahun 1996, dan diperkirakan mencapai 5 persen untuk seluruh tahun. Sementara itu, didukung oleh langkah pengurangan defisit fiskal lebih jauh dan kebijaksanaan pengendalian kredit, inflasi di negara ini diproyeksikan tetap di bawah 5 persen. Pengendalian yang ketat terhadap permintaan dan tingkat upah di Aljazair, diperkirakan dapat menurunkan inflasi ke tingkat sekitar 17 persen dalam tahun 1996, sementara produksi nasionalnya diproyeksikan naik sekitar 4 persen dengan topangan dari ekspansi produksi hidrokarbon. Kondisi perekonomian Zambia tetap sulit selama para pertama tahun 1996 sebagai akibat meningkatnya impor bahan pangan yang banyak menyusul musim kering yang terjadi dalam tahun 1995, dan juga merosotnya harga tembaga. Di Nigeria, pertumbuhan dalam tahun 1996 diperkirakan agak menguat meskipun terjadi kemandekan di sektor perminyakan, sementara inflasi di negara tersebut diproyeksikan menurun. Di antara negara-negara berkembang di Asia, kebijaksanaan-kebijaksanaan pengetatan telah dilakukan sebagai jawaban atas meningkatnya kekhawatiran terhadap tekanan-tekanan inflasi dan memburuknya posisi-posisi eksternal. Pertumbuhan ekspor di sejumlah negara Asia telah menurun kecepatannya selama tahun 1995, dan langkah ekspansi ekonomi diperkirakan agak melambat dalam periode mendatang. Inflasi di kawasan ini diproyeksikan menurun lebih lanjut di tahun 1996 menjadi sekitar 8 persen. Di Malaysia dan Thailand, pengetatan kondisi moneter yang lebih awal diperkirakan baru dapat dirasakan hasilnya secara penuh pada akhir tahun 1996 karena pertumbuhan ekonomi agak melambat, dalam rangka mengurangi risiko memanasnya perekonomian. Inflasi di kedua negara tersebut diperkirakan sedikit meningkat selama tahun 1996. Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan diperkirakan menurun menjadi 7 persen dalam tahun 1996 disebabkan terjadinya penurunan ekspor dan volume investasi dibandingkan dengan ekspansi yang berlangsung sangat cepat di tahun 1995. Pengeluaran untuk konsumsi dan konstruksi diperkirakan tetap kuat, sementara inflasi agak meningkat sebagai akibat naiknya harga pangan. Di Cina, pengendalian yang ketat atas persetujuan investasi dan perkreditan telah Depertemen Keuangan Republik Indonesia 180 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 membantu dalam memperlambat laju pertumbuhan dan meredakan inflasi dalam tahun 1996, tetapi otoritas Cina perlu melanjutkan kondisi moneter yang ketat untuk menjamin bahwa inflasi masih tetap dalam batas-batas yang ditargetkan. Aspek pertumbuhan juga diperkirakan tetap membaik di sejumlab negara-negara Asia lainnya. Di Filipina, proses penyesuaian ekonomi dan pemulihan sekarang ini sedang berlangsung di negara tersebut menyusul kesulitan-kesulitan ekonomi yang telah dialami pada waktu-waktu sebelumnya. Situasi ekonomi makro di Vietnam tetap baik dengan pertumbuhan yang kuat terus berlanjut dan inflasi menurun selama tahun 1996. Di India, ekspansi ekonomi diperkirakan menurun sebagai akibat adanya hambatan-hambatan yang bersifat struktural dan tingginya suku bunga riil yang ditimbulkan oleh paduan kebijaksanaan defisit fiskal yang besar dan kondisi moneter yang ketat. Di negara-negara berkembang kawasan Timur Tengah dan Eropa, menyusul kegiatan ekonomi yang membaik dalam tahun 1995, pertumbuhan ekonomi diperkirakan agak menguat menjadi 3,9 persen dalam tahun 1996. Di Kuwait dan Saudi Arabia, langkah-langkah untuk menghilangkan defisit anggaran belanja yang besar melalui pengurangan-pengurangan dalam pengeluaran, dalam jangka pendek telah menimbulkan dampak yang mengekang aktivitas ekonomi negara-negara tersebut. Di Mesir, sejumlah reformasi ekonomi yang dilakukan belakangan ini yang menyangkut privatisasi dan deregulasi, diperkirakan dapat membantu dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut sebesar 4 persen dalam tahun 1996, yang merupakan laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 1987. Sementara itu, kebijaksanaan fiskal dan moneter yang berhati-hati di Jordania seharusnya berlanjut dalam rangka meningkatkan pertumbuhan yang kuat dengan inflasi yang rendah. Kegagalan dalam melaksanakan reformasi ekonomi yang dibutuhkan telah menyumbang terhadap berulangnya kesulitan-kesulitan ekonomi di Turki. Pertumbuhan diproyeksikan melambat dari 7,5 persen dalam tahun 1995 menjadi 4,8 persen dalam tahun 1996, dan laju inflasi diperkirakan tetap berkisar antara 80 sampai 90 persen dalam tahun tersebut. Di negara-negara dalam transisi, aktivitas ekonomi diproyeksikan cukup stabil dalam tahun 1996 setelah selama lima tahun mengalami kemerosotan. Sejumlah negara-negara dalam transisi diperkirakan mencatat pertumbuhan sebesar 5 persen atau lebih. Keberhasilan dalam pengendalian inflasi juga diperoleh, dan beberapa di antaranya berhasil mencatat laju inflasi dalam angka satu digit. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 181 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Di negara-negara yang lebih maju dalam proses transisi tersebut, pertumbuhan yang berkelanjutan dan kemajuan-kemajuan yang lebih jauh kearah stabilisasi keuangan, diperkirakan terus berlangsung. Di Polandia, menguatnya permintaan di dalam negeri diperkirakan menyumbang terhadap kelangsungan pertumbuhan yang kuat dengan inflasi yang menurun. Permintaan dalam negeri yang kuat di Republik Ceko seharusnya juga mendukung pertumbuhan yang kuat dengan inflasi yang rendah. Kemajuan yang mantap dalam menurunkan laju inflasi telah berlangsung di negara-negara lainnya, termasuk Estonia, Latvia dan Lithuania. Pertumbuhan yang berlanjut juga diperkirakan berlangsung di negara-negara ini, namun prospek jangka pendek di beberapa negara, termasuk Lithuania telah terpengaruh oleh masalah-masalah sektor perbankan yang terjadi di penghujung tahun 1995. Di Republik Slowakia, pertumbuhan dalam tahun 1996 ini diperkirakan berlangsung moderat yaitu sebesar 6,5 persen, menurun dari 7,4 persen di tahun sebelumnya. Sernentara itu, pertumbuhan di Hongaria diperkirakan melambat menjadi sekitar 1 persen dalam tahun 1996, yang mencerminkan mengetatnya kebijaksanaan fiskal di negara tersebut dan rnelambatnya pertumbuhan di Eropa Barat. Inisiatifinisiatif kebijaksanaan yang dilakukan belakangan ini telah membantu dalam memulihkan keseimbangan ekonomi makro, dimana defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan menurun dengan tajam, dan telah meletakkan dasar bagi pemulihan ekonomi di negara tersebut. Di antara negara-negara yang kurang maju dalam proses transisi, penundaan-penundaan dalarn melakukan reformasi yang dibutuhkan maupun kesalahan-kesalahan dalam penerapan kebijaksanaan, telah membawa kepada ketidakstabilan pasar uang. Di Bulgaria, krisis devisa dan perbankan yang muncul ke permukaan pada pertengahan tahun 1995 yang lalu bersumber dari kegagalan dalam menyelesaikan masalah disiplin keuangan yang lemah dan telah berurat berakar di sektor perbankan dan perusahaan. Upaya-upaya saat ini sedang dilakukan untuk memperbaiki situasi ekonomi makro di Bulgaria melalui sebuah program penyesuaian yang didukung oleh IMF, namun sebagai akibat adanya kekacauan di sektor finansial, pertumbuhan mengalami kemandekan dan inflasi meningkat tinggi. Di Rumania, krisis devisa telah memuncak di awal tahun 1996 sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan pengawasan administratif terhadap pasar devisa. Kernudian, sebagai akibat tidak adanya kebijaksanaan fiskal dan moneter yang memadai, tekanan ke arah meningkatnya inflasi makin membesar sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan pengendalian harga di bulan Agustus 1996. Di Rusia, meskipun terdapat sejumlah peningkatan dalam volatilitas pasar uang dalam Depertemen Keuangan Republik Indonesia 182 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 minggu-minggu menjelang pemilihan presiden, namun pasar devisa relatif tetap tenang. Terdapat kemajuan yang cukup berarti dalam upaya pengendalian inflasi dalam tahun 1996, dan laju inflasi keseluruhan di tahun itu adalah 51,2 persen, menurun lebih jauh dari inflasi tahun 1995 yang mencapai 190,2 persen. Pertumbuhan ekonomi Rusia diperkirakan membaik dalam paro kedua tahun 1996 meskipun untuk keseluruhan tahun diperkirakan masih mengalami pertumbuhan yang minus yaitu minus 1,3 persen. Pertumbuhan yang agak kuat diperkirakan berlanjut di Armenia, demikian juga di Georgia. Sebaliknya di Belarus, Azerbaijan dan Uzbekistan, diperkirakan terjadi penurunan pertumbuhan lebih jauh sebagai akibat tidak adanya reformasi dan disiplin ekonomi makro serta adanya kesalahan-kesalahan dalam penerapan kebijaksanaan (lihat Tabel IV.1 dan Tabel IV.2). Di bidang moneter internasional, perkembangan-perkembangan yang bersifat siklus tercermin dalam perkembangan pasar uang negara-negara industri dalam tahun 1996. Suku bunga jangka pendek di Kanada dan sebagian besar negara- negara Eropa telah menurun cukup besar sejak awal tahun 1996, dimana umumnya otoritas moneter akan memperlonggar kondisi moneter apabila pertumbuhan ekonomi terasa melemah dan tingkat inflasi cukup rendah. Sementara itu, di Amerika Serikat dan Jepang dimana pertumbuhan ekonomi telah menjadi lebih kuat, suku bunga jangka pendek sedikit meningkat. Suku bunga jangka panjang terlihat bergerak ke atas di sebagian besar negara di awal tahun 1996, namun kemudian memperlihatkan variasi yang berbeda-beda, yaitu naik cukup besar di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara lainnya, namun menurun di sejumlah negara dimana aktivitas ekonominya melemah. Perubahan-perubahan di dalam perbedaan-perbedaan tingkat bunga intemasional telah berperan dalam menguatnya dolar AS secara moderat terhadap sebagian besar mata uang utama lainnya. Pasar devisa dalam bulan-bulan belakangan ini pada umumnya tenang, dimana mata uang-mata uang yang tergabung ke dalam mekanisme nilai tukar (ERM, Exchange Rate Mechanism) sejak kuartal kedua tahun 1996 berfluktuasi dalam area yang sempit, yang mendekati nilai paritas tengahnya. Secara umum, rendahnya tingkat inflasi di negara-negara industri, dan meningkatnya keyakinan bahwa Uni Moneter dan Ekonomi (EMU, Economic and Monetary Union) akan berhasil seperti yang direncanakan, semuanya telah menyumbang terhadap kestabilan di pasar devisa pada waktu belakangan ini. Perkembangan di pasar valuta asing dalam tahun 1996, dolar Amerika Serikat telah mengalami apresiasi lebih jauhterhadap sebagian besar mata uang utama lainnya. Setelah sedikit Depertemen Keuangan Republik Indonesia 183 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 menurun dari nilai tertinggi yang dicapai sekitar pertengahan tahun 1996, nilai dolar AS dalam bulan September 1996 terlihat menguat, yaitu 6 persen lebih tinggi dibandingkan dengan nilainya di awal tahun terhadap yen Jepang dan franc Swiss, dan 4 persen lebih tinggi terhadap DM dan franc Perancis. Sementara itu, nilai pound sterling terhadap dolar AS kurang lebih tidak berubah dalam periode ini. Satu-satunya mata uang utama yang mengalami apresiasi cukup berarti terhadap dolar AS selama tahun 1996 adalah lira Italia. Nilai lira di awal September adalah 4,5 persen lebih tinggi terhadap dolar AS dan 7,5 persen lebih tinggi terhadap DM dari nilai yang terjadi pada akhir tahun 1995. Dibandingkan dengan nilainya dalam bulan April 1995, dolar AS di awal September 1996 adalah 34 persen lebih tinggi terhadap yen, 9,5 persen terhadap DM, dan 8 persen lebih tinggi dalam artian nilai efektif nominal. Berlanjutnya apresiasi dolar AS selama tahun 1996, sebagian disebabkan oleh adanya gerakan dalam perbedaan tingkat bunga dari aset-aset dalam denominasi dolar AS dan juga oleh bertambah kuatnya ekonomi Amerika Serikat. Sementara itu, penurunan nilai yen lebih jauh mempunyai kaitan dengan terjadinya percepatan penurunan dalam surplus transaksi berjalan Jepang. Kenaikan nilai dolar AS yang cukup moderat selama tahun 1996, khususnya terhadap yen Jepang, DM, franc Swiss, dan apresiasi lira Italia terhadap dolar AS, dapat dipandang sebagai membawa nilai tukar dari mata uang-mata uang tersebut ke tingkat yang lebih konsisten dengan nilai tukar fundamentalnya. Membaiknya konfigurasi nilai tukar di antara mata uangmata uang utama bisa membantu untuk menjelaskan mengapa fluktuasi dalam nilai tukar telah menjadi yang sangat kecil dalam beberapa tahun, meskipun secara umum tingkat inflasi yang rendah juga memungkinkan untuk menyumbang terhadap stabilitas pasar devisa. Pergerakan sejumlah mata uang yang mendekati nilai tukar yang konsisten dengan nilai tukar fundamentalnya, dan membaiknya pasar devisa telah membantu pula menjelaskan mengapa akumulasi cadangan devisa resmi dalam tahun 1996 menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam tahun 1995, intervensi skala besar untuk menopang dolar AS telah berperan terhadap peningkatan yang begitu besar dalam cadangan devisa dunia sejak tahun 1987. Pergerakan dalam harga-harga pasar saham di negara-negara industri dalam tahun 1996 telah lebih merata di semua negara dan lebih moderat dibandingkan dengan tahun 1995. Indeksindeks utama harga saham di sebagian besar negara pada awal September 1996 adalah antara 6 persen sampai.12 persen lebih tinggi dibandingkan dengan di awal tahun 1996. Di Amerika Depertemen Keuangan Republik Indonesia 184 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Serikat dan Inggris, peningkatan harga saham sangat lamban dibandingkan dengan tahun lalu, hal mana sebagian mencerminkan terjadinya perubaban haluan dalam pasar obligasi. Peningkatan harga-harga saham yang sedang-sedang saja di Amerika Serikat, secara khusus telah berfungsi pula menahan melebarnya perbedaan hasil antara hasil saham dengan hasil asetaset finansial lainnya yang memberikan penghasilan bunga. Sebaliknya dengan Jerman dan Perancis, harga-harga saham mengalami kenaikan dalam tahun 1996 ini dari pada tahun sebelumnya. Tabel IV.1 LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA , 1994 – 1996 (dalam persentase) Kelompok negara 1995 1996 1) 1994 A.Dunia B. Negara-negara industri Tujuh negara industri utama 1. Jepang 2. Amerika Serikat 3. Jerman 4. Inggris 5. Perancis 6. Italia 7. Kanada Negara-negara industri lainnya C. Negara-negara berkembang 1. Afrika 2. Asia 3. Amerika Latin 4. Eropa dan Timur Tengah D. Negara-negara dalam transisi 1. Eropa Timur dan Tengah 2. Rusia 3. Asia Tengah dan Transkaukasus E. Negara-negara Asean 1. Malaysia 2. Filipina 3. Singapura 4. Thailand 5. Brunei Darussalam 6. Indonesia 7. Vietnam 3,7 2,8 2,8 0,5 3,5 2,9 3,9 2,8 2,2 4,1 3 6,6 2,9 9,1 4,7 0,5 -8,8 -2,9 -15 -13,7 3,5 2,1 2 0,9 2 1,9 2,5 2,2 3 2,3 2,8 5:J 3 8,6 0,9 3,6 -1,3 1,2 -4 -4,4 3,8 2,3 2,2 3,5 2,4 1,3 2,2 1,3 1,1 1,4 2,3 6,3 5 8 3 3,9 0,4 1,6 -1,3 0,6 9,2 4,4 10,1 8,8 3 7,54 8,8 9,5 4,8 8,9 8,7 3 8,21 2) 9,5 8,8 5,9 7,5 8,3 2 7,82 3) 9,5 1) Angka perkiraan 2) Angka sementara 3) Angka sangat sementara Depertemen Keuangan Republik Indonesia 185 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel IV.2 LAJU INFLASI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA, 1994 - 1996 (dalam persentase) Kelompok negara 1995 1996 1) 1994 A. Negara-negara industri Tujuh negara industri utama 1. Jepang 2. Amerika Serikat 3. Jerman 4. Inggris 5. Perancis 6. Italia 7. Kanada Negara-negara industri lainnya B. Negara-negara berkembang 1. Afrika 2. Asia 3. Amerika Latin 4. Eropa dan Timur Tengah C. Negara-negara dalam transisi 1. Eropa Timur dan Tengah 2. Rusia 3. Asia Tengah dan Transkaukasus D. Negara.negara ASEAN 1. Malaysia 2. Filipina 3. Singapura 4. Thailand 5. Brunei Darussalam 6. Indonesia 7. Vietnam 2,3 2,2 0,7 2,6 2,7 2,4 1,7 4 0,2 3,1 46,8 36,8 13,4 210,9 31,5 264,8 152,9 302 1.610,70 2,4 2,3 -0,1 2,8 1,8 2,8 1,8 5,2 1,9 3 19,8 32,1 10,9 35,6 32,5 128 75,4 190,2 258,7 2,3 2,2 0,2 2,8 1,6 2,7 2,1 3,9 1,5 2,7 13,3 21,3 7,9 20,4 25,6 41,3 30,4 51,2 68,7 3,7 9 3,1 0,5 2,4 9,24 14,5 3,4 8,1 1,7 5,8 6 8,64 12,8 4 8,5 1,7 6 6,5 6,47 9 1) Perkiraan, kecuali untuk Indonesia angka realisasi Di bidang perdagangan luar negeri, perdagangan barang-barang dan jasa dunia dalam tahun-tahun terakhir ini telah berkembang demikian pesat. Meskipun resesi di negara-negara industri di awal tahun 1990-an telah menyebabkan menyusutnya ekspansi dalam permintaan impor negara-negara tersebut, namun situasi inflasi sebagaimana telah diimbangi oleh pertumbuhan aktivitas impor yang kuat dari negara-negara berkembang, khususnya impor barang-barang modal. Demikian juga, impor dari negara-negara berkembang telah memberikan dorongan besar bagi perdagangan dunia pada saat permintaan impor dari negara-negara Eropa melamban. Pertumbuhan dalam perdagangan dunia diperkirakan tetap baik dalam tahun 1996 dan 1997. Perkembapgan-perkembangan dalam transaksi berjalan dalam tahun 1995 dan proyeksi tahun 1996, sebagian besar mencerminkan laju pertumbuhan relatif dari aktivitas ekonomi dan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 186 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 pengaruh pergerakan awal dalam nilai tukar. Di sebagian besar negara-negara industri maju, ketidakseimbangan transaksi berjalan diproyeksikan akan terus membaik selama tahun 1996 dan tahun 1997, sementara di negara-negara berkembang Asia, defisit transaksi berjalan diproyeksikan mengecil sampai tingkat tertentu. Di antara negara-negara industri, Amerika Serikat mengalarni defisit transaksi berjalan sebesar US$ 148,2 miliar atau 2 persen dari GDP dalam tahun 1995 dan diperkirakan sedikit meningkat menjadi US$ 149,5 miliar atau sekitar 2 persen dari GDP tahun 1996. Sementara itu, surplus transaksi berjalan Jepang diperkirakan menyusut lebih jauh dari US$ 111,4 miliar dalam tahun 1995 menjadi US$ 66,7 miliar atau 1,5 persen dari GDP dalam tahun 1996. Tingkat tersebut merupakan yang terendah sejak tahun 1990, yang mencerminkan kuatnya pertumbuhan pennintaan domestik, berlanjutnya perubahan-perubahan struktural, dan pengaruh-pengaruh dari apresiasi yen dalam tahun-tahun terakhir. Defisit transaksi berjalan Kanada juga diperkirakan mengecil, yang mencerminkan makin menguatnya pertumbuhan ekspor negara ini berkaitan dengan depresiasi dolar Kanada sejak tahun 1991, dan juga kuatnya permintaan dari Amerika Serikat. Di Jerman, permintaan domestik yang lemah diperkirakan menyebabkan terjadinya sedikit penurunan dalam defisit transaksi berjalan sebagai akibat menurunnya impor. Inggris diperkirakan masih tetap mengalarni defisit transaksi berjalan yang kecil, dimana neraca jasajasa yang menguat diimbangi oleh lemahnya kinerja ekspor dan meningkatnya impor. Surplus transaksi berjalan Perancis diperkirakan meningkat dari sebesar US$ 18,2 miliar dalam tahun 1995 menjadi sebesar US$ 22,5 miliar dalam tahun 1996 atau 1,4 persen dari GDP. Sementara itu, Italia mengalarni surplus transaksi berjalan yang juga diperkirakan meningkat menjadi US$ 28,8 miliar dalam tahun 1996 atau 2,4 persen dari GDP dibanding US$ 27,3 miliar dalam tahun sebelumnya. Di sejumlah negara berkembang, defisit transaksi berjalan diproyeksikan makin membesar, yang mencerminkan meningkatnya permintaan domestik dan berlanjutnya pemasukan modal luar negeri yang besar. Di Meksiko, langkah-langkah penyesuaian yang kuat dan adanya kontraksi dalam aktivitas ekonomi dalam tahun 1995 segera setelah terjadinya krisis keuangan di negara tersebut, secara nyata telah menghapus defisit transaksi berjalan, yang hampir mencapai 8 persen dari GDP dalam tahun 1994. Sementara itu, defisit transaksi berjalan yang keeil diperkirakan terjadi dalam tahun 1996, sebagai dampak dari ekonomi Meksiko yang mulai pulih, masuknya kembali arus modal asing, dan meningkatnya impor. Neraca transaksi Depertemen Keuangan Republik Indonesia 187 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 berjalan di Chili diproyeksikan memburuk dengan nilai defisit mencapai 3 persen lebih dari GDP, menyusul terjadinya kemerosotan harga tembaga yang tajam dalam bulan Mei tahun 1996. Afrika Selatan mungkin mengalami defisit yang hampir tidak berubah dari tahun sebelumnya, yaitu sekitar 2,5 persen dari GDP yang mencerminkan semakin menguatnya pertumbuhan di dalam negeri, dan berlanjutnya manfaat yang diperoleh dari liberalisasi perdagangan. Di antara negara-negara berkembang Asia, defisit transaksi berjalan di Malaysia dan Thailand agak membaik sebagai dampak dari pertumbuhan permintaan domestik yang lebih moderat, walaupun jumlahnya relatif masih tetap besar. Surplus transaksi berjalan Cina menurun selama paro pertama tahun 1996, sebagai akibat melemahnya ekspor di satu pihak menyusul pertumbuhan yang sangat cepat dalam dua tahun sebelumnya, dan naiknya impor di pihak lainnya, khususnya impor bahan mentah dan barang-barang modal. Defisit transaksi berjalan Korea Selatan diperkirakan membesar menjadi sekitar 3 persen dari GDP sebagai akibat menurunnya ekspor menyusul turunnya harga barang-barang ekspor utama (lihat Tabel IV.3). Pulihnya aliran modal neto ke negara-negara berkembang, setelah terjadinya krisis Meksiko, memperoleh momentum kembali dalam paro pertama tahun 1996. Aliran modal swasta ke negara-negara berkembang dalam tahun 1996 ini kelihatannya akan melewati rekor tertingginya dalam tahun 1995. Namun, disparitas aliran modal di antara kawasan-kawasan negara berkembang tetap terjadi. Dimulainya kembali aliran modal swasta ke banyak negara Amerika Latin, termasuk Meksiko, merupakan cermin betapa langkah-langkah penyesuaian yang kuat telah dapat membantu menstabilkan pasar finansial dan memulihkan kepercayaan investor. Investasi langsung asing (FDI) tetap merupakan pangsa terbesar dalam aliran modal swasta ke negara-negara berkembang Asia yang memiliki tingkat pertumbuhan cukup tinggi. Di bidang hutang luar negeri, beban hutang negara-negara berkembang dan negaranegara dalam transisi diperkirakan menurun lebih jauh dalam tahun 1996 dan tahun 1997. Rasio hutang terhadap GDP diproyeksikan menurun menjadi 30 persen pada akhir tahun 1996, dan rasio hutang terhadap penerimaan ekspor menjadi 104 persen. Rasio pembayaran hutang pokok dan bunga terhadap ekspor juga diperkirakan berkurang. Sekalipun terdapat kemajuan besar dalam mengurangi tingkat hutang keseluruhan di sejumlah negara, namun beban hutang yang sangat berat dan tak terpikul tetap terjadi, khususnya di negara-negara sub-Sahara Afrika. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 188 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Di bidang kerjasama ekonomi regional/internasional, dalam KIT kelima ASEAN pada pertengahan Desember 1995 yang lalu di Bangkok, para kepala negara/pemerintahan sepakat untuk lebih memperluas cakupan kerjasama, baik di bidang ekonomi, politik, dan keamanan. Di bidang ekonomi, disepakati untuk memperluas integrasi ekonomi dengan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui berbagai lembaga kerjasama yang telah dibentuk, dan memulai kerjasama ekonomi di bidang-bidang yang masih baru seperti bidang jasa-jasa, kekayaan intelektual, dan pengembangan usaha kecil dan menengah. Pertemuan pertama yang bersejarah dalam kerjasama antar kawasan terjadi ketika para pemimpin 10 negara Asia dan para pemimpin negara-negara Uni Eropa bertemu pada awal Maret 1996 di Bangkok, yang dikenal dengan Asian-European Meeting (ASEM). Para pemimpin kedua kawasan sependapat bahwa ASEM pertama ini memiliki makna yang penting dalam membangun saling pengertian dan saling percaya di antara kedua kawasan sehingga perbedaan-perbedaan dalam latar belakang budaya tidak menjadi hambatan dalam merintis kerjasama regional Asia dan Eropa. Di bidang ekonomi, antara lain disepakati untuk melakukan langkah-Iangkah liberalisasi dan fasilitasi dalam rangka meningkatkan perdagangan dan investasi antara Asia dan Eropa. Pertemuan puncak keempat forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik pada tanggal 25 Nopember 1996 di Subic, Filipina, berakhir dengan dikeluarkannya pernyataan, yaitu "Deklarasi Pemimpin Ekonomi APEC : dari Visi ke Aksi". Dalam deklarasi tersebut para pemimpin APEC menyetujui seluruhnya hasil pertemuan tingkat menteri, termasuk Rencana Aksi Manila untuk APEC (MAPA, Manila Action Plan for APEC). Inti daripada deklarasi tersebut adalah komitmen para pemimpin APEC untuk memajukan dan memfasilitasi liberalisasi perdagangan dan investasi, mulai 1 Januari 1997 melalui pelaksanaan Rencana Aksi Individual (IAPs, Individual Action Plans) dan Rencana Aksi Kolektif (CAPs, Collective Action Plans) yang tertuang dalam MAPA guna mengaplikasikan Agenda Aksi Osaka. MAPA memuat langkahlangkah awal bagi proses yang menyeluruh, bertahap, dan berkelanjutan bagi tercapainya liberalisasi perdagangan dan investasi di Asia Pasifik memasuki abad mendatang. 4.3. Kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri Perkembangan perekonomian nasional di bidang perdagangan luar negeri dalam tahun ketiga Depertemen Keuangan Republik Indonesia 189 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Repelita VI kelihatannya menghadapi tantangan yang relatif semakin rumit dan berat. Di sektor eksternal tantangan itu adalah melemahnya pertumbuhan volume perdagangan dunia dalam tahun 1996 yang antara lain ditandai dengan turunnya volume impor negara-negara industri maju terutama yang menjadi negara tujuan utama dari ekspor Indonesia, meningkatnya tuduhan dumping terhadap eksportir Indonesia, dan mulai diajukannya tuntutan-tuntutan negara mitra dagang yang tidak puas dengan kebijaksanaan perdagangan luar negeri Indonesia melalui WTO, serta meningkatnya persaingan di antara negara-negara di dunia, terutama di wilayah ASEAN sehubungan dengan semakin dekatnya era perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dalam tahun 2003. Sementara itu, tantangan internal antara lain adalah belum optimalnya pelaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dampak nyata dari tantangan tersebut antara lain adalah menurunnya laju pertumbuhan ekspor, utamanya ekspor nonmigas, dalam tahun ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Antisipasi yang dilakukan Pemerintah untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut tidak lain adalah dengan menindaklanjuti dan menyempurnakan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang sudah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka meningkatkan kinerja perekonornian nasional dalam menghadapi era perdagangan bebas dunia. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dalam tahun berjalan kebijaksanaan deregu1asi-debirokratisasi tidak lagi harus dikeluarkan untuk seluruh sektor/bidang secara sekaligus dalam satu paket kebijaksanaan, tetapi dimungkinkan untuk dikeluarkan di sektor/bidang yang telah lebih dahulu siap untuk dideregulasi. Dalam hubungan ini telah diluncurkan paket deregulasi pada bulan Juni 1996, yang pada intinya menghapuskan alan menyederhanakan ketentuan-ketentuan sebelumnya di tiga sektor/bidang, yaitu bidang impor, ekspor, dan investasi. Deregulasi Juni 1996 tersebut merupakan kelanjutan dari deregulasi Januari 1996 yang menderegulasi bidang industri, perdagangan, dan keuangan. Dalam deregulasi Juni 1996 tersebut ketentuan-ketentuan baru yang diluncurkan di bidang impor antara lain adalah penjadwalan penurunan tarif bea masuk sampai dengan tahun 2003, penyederhanaan tata niaga impor, dan pembentukan komite anti dumping Indonesia (KADI). Di bidang ekspor, kemudahan yang diberikan.antara lain penghapusan ketentuan penggunaan dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) untuk ekspor barang yang nilainya kurang dari Rp 100 juta dan penyederhanaan persyaratan dan prosedur untuk mendapatkan surat keterangan asal (SKA) barang ekspor. Selain itu, diberikan pula kemudahan pelayanan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 190 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kepabeanan, perpajakan, dan perbankan bagi perusahaan eksportir tertentu yang mengekspor tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronika, barang jadi dari kayu dan rotan, serta produk kulit. Sedangkan di bidang investasi kemudahan-kemudahan tersebut mencakup penyederhanaan perizinan bagi industri yang berlokasi di kawasan industri dan kelonggaran kegiatan impor bagi perusahaan penanaman modal aging manufaktur. Berkenaan dengan semakin tajamnya persaingan di pasar intemasional, maka Pemerintah memandang penting dan mendesak adanya analisis yang intensif dan berkelanjutan terhadap keadaan dan perkembangan negara-negara mitra dagang, untuk selanjutnya dimanfaatkan bagi keperluan diplomasi perdagangan dan penetrasi pasar ekspor. Untukkeperluan tersebut, dibentuklah tim pengkajian strategi ekspor (TIPSE) dalam bulan Juli 1996. Di bidang fasilitas pelayanan dan kemudahan ekspor diluncurkan pula ketentuan baru berupa penyederhanaan prosedur untuk mendapatkan fasilitas pembebasan, pengembalian, dan penangguhan pungutan negara bagi eksportir yang menggunakan bahan bakul penolong dan atau barang modal impor dalam memproduksi komoditi ekspor. Penyederhanaan prosedur tersebut dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 487 Tahun 1996. Dengan adanya penyederhanaan ini, maka eksportir dalam mengajukan permohonan pemberian kemudahan hanya melengkapi satu buah dokumen saja, sedangkan sebelumnya diperlukan empat buah dokumen. Dalam tahun berjalan Pemerintah juga semakin melibatkan dunia usaha/sektor swasta dalam proses pembuatan kebijaksanaan deregulasi. Hal tersebut dapat dilihat antara lain dari kerjasama antara PT Pelabuhan Indonesia II (PT Pelindo II) dengan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dengan membentuk fasilitas Cargo Consolidarion and Distribution Center (CCDC) di pelabuhan Tanjung Priok. Pembentukan fasilitas tersebut dimaksudkan untuk memangkas jalur distribusi muatan, sehingga dapat lebih meningkatkan efisiensi biaya dan mempersingkat waktu tunggu. Lebih daripada itu, kebijaksanaan deregulasi juga diikuti oleh pihak swasta/asosiasi guna meningkatkan efisiensi dalam melaksanakan ekspor. Hal tersebut antara lain terlihat dari upaya asosiasi panel kayu Indonesia (Apkindo) yang menurunkan besaran kontribusi dari anggota yang melakukan pengapalan kayu lapis ke Jepang, Hongkong, dan Taiwan. Inisiatif penurunan besaran kontribusi tersebut diberlakukan mulai 1 Juli 1996. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 191 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Menghadapi tantangan di bidang standarisasi mutu dan ekolabeling, Pemerintah telah menyiapkan dan mulai memberikan himbauan dan pelayanan kepada pihak swasta untuk segera mendapatkan sertifikasi standar dalam skema ISO-9000 dan ISO-14000. Untuk keperluan itu Pemerintah telah meningkatkan kesiapan lembaga surveyor yang dimiliki Pemerintah, serta.terus mendukung kegiatan lembaga ekolabeling Indonesia (LEI) yang saat ini tengah menyusun skema ekolabel untuk Indonesia dengan mengacu pada standar teknis ekolabel internasional. Sementara itu, untuk menghadapi tuduhan-tuduhan dumping dari negara mitra dagang yang selama ini telah menjadi pasar komoditi ekspor Indonesia, serta menanggulangi importasi barang dumping dan barang mengandung subsidi pemerintah melalui KADI kini terus mengumpulkan, meneliti, dan mengolah bukti dan informasi yang relevan. Hal tersebut diperlukan untuk merumuskan langkah-langkah dan kebijaksanaan dalam menghadapi tuduhan dumping serta importasi barang dumping dan barang mengandung subsidi. Berkenaan dengan hal tersebut, telah pula dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 yang mengatur pengenaan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan. Bea masuk anti dumping dikenakan terhadap barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor dan impor barang tersebut menimbulkan kerugian. Sementara itu, bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang mengandung subsidi dan impor barang tersebut menimbulkan kerugian. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian atau ancaman terjadinya kerugian bagi industri di dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Kerugian yang dimaksud dapat pula berupa terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. Dalam pada itu, guna menyiapkan perekonomian nasional, khususnya perekonomian daerah di kawasan perbatasan, dalam memasuki era perdagangan bebas di kawasan ASEAN (AFTA, Asean Free Trade Area), maka upaya-upaya untuk meningkatkan kerjasama sub regional telah semakin diintensitkan melalui Indonesia, Malaysia, Singapore-Growth Triangle (IMS-GT), Indonesia, Malaysia, Thailand - Growth Triangle (IMT-GT), dan Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippine - East Asean Growth Area (BIMP-EAGA), serta Australia Indonesia Development Area (AIDA) yang baru saja dibentuk dalam tahun ini. Dalam tahun berjalan beberapa pertemuan private to private (p to p) telah diadakan dengan dukungan dan fasilitasi dari Pemerintah masing-masing negara anggota. Pertemuan tersebut telah Depertemen Keuangan Republik Indonesia 192 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 menghasilkan berbagai kesepakatan untuk kerjasama di bidang industri dan petdagangan yang bermanfaat bagi perekonomian masing-masing negara pada umumnya dan perekonomian daerah/propinsi yang terlibat dalam kerja sama tersebut pada khususnya. Penyiapan perekonomian nasional untuk memasuki kancah perdagangan bebas semesta juga dilakukan melalui Forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia Pacific Economic Cooperation, APEC). Untuk tahun 1996, pertemuan para pemimpin dari negara-negara yang menjadi anggota APEC telah dilangsungkan di Philipina dalam bulan November yang lain. Hasil-hasil kesepakatan di antara para pemimpin dituangkan dalam rencana aksi Manila untuk APEC (Manila Action Plan for APEC, MAPA). Meskipun hasil pertemuan belum mencapai kesepakatan-kesepakatan yang lebih signifikan dalam mewujudkan perdagangan bebas di kawasan tersebut, namun hasil-hasil pertemuan tersebut bernilai sangat positif untuk menjadi acuan bagi pertemuan-pertemuan selanjutnya. Diharapkan dengan pengembangan kerjasama sub regional tersebut, perekonomian nasional dapat menyiapkan diri secara lebih dini guna memasuki perdagangan bebas kawasan ASEAN pada tahun 2003, dan perdagangan bebas kawasan Asia-Pasifik di dalam skema APEC, serta kawasan semesta di dalam skema World Trade Organization (WTO). 4.3.1. Kebijaksanaan di bidang ekspor Perkembangan perekonomian dunia yang semakin terintegrasi dan kompetitif sejalan dengan meluasnya pengaruh globalisasi, telah membawa implikasi terhadap pergerakan barang dan jasa dalam perdagangan intemasional yang semakin bebas melewati batas-batas negara (borderless). Kondisi yang demikian, selain merupakan tantangan yang semakin berat, terutama dalam upaya menembus pasar global, sekaligus merupakan peluang yang cukup besar bagi ekonomi Indonesia untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang patut diperhitungkan. Karena itu, dalam upaya menjawab tantangan, sekaligus memanfaatkan peluang tersebut di atas, Pemerintah terus berupaya memperbaiki kinerja perekonomian dalam negeri, diantaranya melalui peningkatan daya saing ekonomi, efisiensi, dan produktivitas di berbagai sektor usaha. Dengan kinerja ekonomi dalam negeri yang semakin membaik, diharapkan kemampuan internal semakin kuat, sehingga mampu mendorong peningkatan ekspor nasional, khususnya ekspor non migas. Upaya-upaya tersebut dimanifestasikan melalui serangkaian Depertemen Keuangan Republik Indonesia 193 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang konsisten dan berkelanjutan. Paket kebijaksanaan 26 Januari 1996, yang mempunyai sasaran untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditempuh sebelumnya, diharapkan mampu menciptakan iklim usaha dan investasi yang lebih menarik dan kondusif, yang pada gilirannya mendorong peningkatan ekspor. Selain itu, kebijaksanaan tersebut diharapkan dapat memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap tingkat efisiensi dan daya saing ekspor nasional. Dalam rangka mendorong peningkatan ekspor, melalui kebijaksanaan deregulasi tersebut Pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang diarahkan untuk mendorong pengembangan industri berorientasi ekspor, dengan memberikan kesempatan kepada industri yang mendapatkan fasilitas Bapeksta Keuangan untuk menjual barang hasil produksinya ke kawasan berikat (KB) dan ke entreport produksi tujuan ekspor (EPTE) untuk diolah lebih lanjut sebagai ekspor tidak langsung. Di samping itu, berbagai ketentuan yang berkaitan dengan pembatasan ekspor sejumlah komoditi yang sebelumnya dikenakan pajak ekspor (PE), dalam paket kebijaksanaan yang baru ini ditinjau kembali dengan maksud untuk mencukupi persediaan bahan baku industri terkait, seperti kulit ternak olahan, sisa aluminium, dan scrap alloy tertentu serta aneka dupa wangi dari kayu cendana, kecuali untuk produk "crude palm oil" (CPO) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439 Tahun 1994 tetap dikenakan tarif pajak ekspor antara 40% - 60% dan produk olahannya (seperti crude olein dan RBO olein) dikenakan tarif pajak ekspor antara 50% - 75%. Sementara itu, bagi industri-industri yang terkait langsung dengan ekspor diberikan kemudahan tarif bea masuk atas impor barang modal dan bahan baku. Dalam pada itu, untuk memperlancar pelaksanaan ekspor, Pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah dengan menghilangkan hambatan-hambatan ekspor, baik yang bersifat administratif dan birokratif maupun pungutan, terutama yang berkaitan dengan ketentuan yang mengatur mengenai pengawasan mutu barang ekspor, biaya pemantauan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dikenakan ketentuan kuota, yang selama ini dibebankan kepada para eksportir. Sementara itu, dalam rangka mendorong peningkatan dan perluasan ekspor non migas terutama dalam persaingan global, dibuka dan diperluas kesempatan usaha bagi perusahaan modal aging untuk mendirikan usaha jasa perdagangan ekspor. Selanjutnya, melalui paket kebijaksanaan 4 Juni 1996 Pemerintah telah menempuh Depertemen Keuangan Republik Indonesia 194 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 langkah-langkah yang diarahkan untuk mendorong peningkatan ekspor, yaitu dengan memberikan kemudahan ekspor seperti persyaratan penggunaan dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB). Bagi pengiriman barang-barang ekspor yang nilainya kurang dari Rp 100 juta tidak lagi menggunakan dokumen PEB, melainkan dokumen permohonan ekspor tanpa PEB (PETP). Ketentuan ini diharapkan dapat mendorong ekspor non migas yang diusahakan oleh koperasi, pengusaha kecil, dan pengusaha menengah. Selain itu, Pemerintah juga telah menghapuskan ketentuan pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor di pelabuhan, atau di pabrik atau di gudang. Dengan dihapusnya ketentuan pemeriksaan ini, maka pemeriksaan barang ekspor sepenuhnya disesuaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Kepabeanan. Sementara itu, melalui paket kebijaksanaan Juni 1996, Pemerintah juga telah memberikan beberapa kemudahan, diantaranya melalui penyederhanaan persyaratan dan prosedur memperoleh surat keterangan asal (SKA) barang ekspor, kemudahan pelayanan kepabeanan, perpajakan, dan perbankan bagi perusahaan eksportir tertentu (PET), baik perusahaan eksportir produsen maupun perusahaan eksportir umum yang mengekspor tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, elektronika, kulit dan produk kulit, produk kayu dan rotan. Selain itu, Pemerintah juga telah menetapkan ketentuan dan tata cara pengawasan mutu untuk produk ekspor tertentu, yang wajib memenuhi persyaratan standar nasional Indonesia (SNI) atau standar tarif yang diacu dan diakui, yang dibuktikan dengan sertifikat kesesuaian mutu (SM) atau sertifikat produk (SP). Ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu produk-produk ekspor. Di samping melalui serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang konsisten dan berkelanjutan, upaya lain yang telah ditempuh oleh Pemerintah dalam rangka mendorong peningkatan ekspor adalah dengan membentuk Tim Pengkajian Strategi Ekspor (TlPSE). Pembentukan tim ini dimaksudkan untuk membantu unit-unit operasional yang bertanggung jawab dalam melakukan diplomasi perdagangan (trade diplomacy), promosi perdagangan (trade promotion) dan fasilitasi perdagangan (trade facilitation) dengan sasaran untuk mendorong peningkatan ekspor non migas dan menyelesaikan hambatan-hambatan perdagangan (tarif dan nontarif) di negara-negara tujuan ekspor, serta meningkatkan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan mitra dagang. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 195 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tim ini selain ditugaskan untuk memonitor, mengidentifikasi, dan menganalisa berbagai permasalahan yang dihadapi dalam upaya mendorong peningkatan ekspor, khususnya ekspor non migas, juga diharapkan marnpu menetapkan strategi penetrasi pasar/negara tujuan ekspor baik melalui pendekatan wilayah pasar/negara maupun melalui pendekatan produk. Sementara itu, dalam upaya menanggulangi tuduhan barang ekspor Indonesia sebagai barang dumping, yang belakangan ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor, Pemerintah juga telah membentuk Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Dalam pada itu, sejalan dengan upaya perluasan pasar/ negara tujuan ekspor, khususnya ke negara-negara yang perekonomiannya sedang berkembang, seperti Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin, Pemerintah terus mengambil langkah-langkah untuk pengembangan dan perluasan komoditi yang dipasarkan di luar negeri. Sampai saat ini tercatat 24 kelompok komoditi utama ekspor non migas, yang terdiri atas 5 kelompok mata dagangan utama lama, 6 kelompok mata dagangan utama baru, dan 13 mata dagangan utama lainnya. Kelompok mata dagangan utama lama terdiri dari barang-barang kayu gabus; pakaian; benang tenun; kain tekstil dan hasil-hasilnya; sepatu dan peralatan kaki lainnya; ikan kerang-kerangan, moluska, dan olahannya. Sedangkan kelompok mata dagangan utama baru adalah karet mentah, karet sintetis, dan karet pugaran; bijih logam dan sisa logam; alat telekomunikasi; hasil industri lainnya (perhiasan, perlengkapan kantor, dan sebagainya); minyak dan lemak nabati; kopi, teh, coklat, dan rempah-rempah. Kelompok mata dagangan utama lainnya terdiri dari baru bara, kokas, dan briket; perabot; kertas, kertas kafan, dan lainnya; mesin listrik dan peralatannya; logam tidak mengandung besi; mesin kantor dan pengolahan data; kayu dan gabus; kimia organis; besi dan baja; barang-barang logam lainnya; barang-barang dari mineral bukan logam; kendaraan bermotor untuk jalan raya; serta buah-buahan dan sayuran. 4.3.2. Kebijaksanaan di bidang impor Walaupun beberapa negara industri mengalami penurunan laju pertumbuhan ekonomi, diperkirakan prospek perkembangan perekonomian dunia dalam tahun 1996 akan menjadi lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Beberapa faktor penyebab utama membaiknya kinerja ekonomi dunia tersebut adalah perdagangan dunia yang semakin kompetitif, peran kerjasama ekonomi regional dan sub regional yang semakin baik, serta meningkatnya kegiatan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 196 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik. Memahami bahwa kondisi ini memberikan peluang dan sekaligus tantangan bagi Indonesia, maka Pemerintah telah bertekad bulat untuk meneruskan dan menyempurnakan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang selama ini telah dilaksanakan. Tujuannya tidak lain untuk mewujudkan perekonomian yang berorientasi pasar, menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi penanaman modal domestik maupun asing, serta mendorong ekspor non migas, dan mengendalikan impor untuk mendukung neraca pembayaran Indonesia. Dalam kerangka pengendalian impor, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditempuh tetap diarahkan agar impor bahan baku/penolong dan barang modal selalu sejalan dengan kebutuhan produksi barang yang berorientasi ekspor. Sedangkan untuk impor barang konsumsi, diarahkan agar pertumbuhannya tetap terkendali. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pengendalian impor tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan aturan-aturan yang ada, utamanya aturanaturan WTO. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pengendalian impor yang sudah digulirkan antara lain adalah dengan menetapkan standar mutu, batas kandungan bahan pestisida, batas kandungan logam berat dan zat pengawet alas impor buah-buahan, meningkatkan mutu dan produksi barang hasil produksi dalam negeri agar lebih mampu bersaing dengan barang-barang impor, antara lain melalui pengurangan berbagai hambatan, pengikisan unsur-unsur yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi, dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan/mengkonsumsi produksi dalam negeri. Terhadap bahan baku dan penolong, Pemerintah terus mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif bagi pengembangan industri hulu dengan memberikan fasilitas yang dapat meningkatkan economics of scale dan efisiensi produksi hulu. Kebijaksanaan yang dilakukan antara lain adalah dengan menambah industriindustri hulu dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku, merangsang tumbuhnya industri barang modal serta memperbaiki kualitas barang-barang hasil industri dalam negeri. Paket kebijaksanaan yang terakhir dikeluarkan Pemerintah adalah paket kebijaksanaan 4 Juni 1996 yang pada pokoknya bertujuan untuk lebih meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi nasional serta daya saing produksi dalam negeri di pasar intemasional. Paket ini mencakup tiga bidang pokok, yaitu bidang iklim usaha, bidang ekspor, dan bidang impor. Bidang yang disebut terakhir mencakup kebijaksanaan-kebijaksanaan penurunan tarif, perubahan tarif bea masuk barang modal, penghapusan bea masuk tambahan (BMT), Depertemen Keuangan Republik Indonesia 197 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 penyederhanaan tala niaga impor, dan pembentukan komite anti dumping Indonesia. Kebijaksanaan penurunan tarif dilakukan selain untuk melanjutkan kebijaksanaan deregulasi bulan Mei 1995 (per mei1995), juga dalam kerangka penurunan tarif bertahap sampai dengan tahun 2003, yang diharapkan untuk lebih memberikan kepastian usaha dalam menentukan rencana investasi dan rencana produksi. Kebijaksanaan penurunan tarif dalam per juni 1996 mencakup 1.497 pas tarif atau sekitar 20,54 persen dari 7.288 pas tarif yang ada. Dengan demikian, pas tarif Indonesia yang berlaku secara keseluruhan sudah mencapai 78,50 persen dengan bea masuk dari 0 s/d 20 persen, dengan konsentrasi tertinggi terletak pada interval (klas) pas tarif 0 s/d 5 persen, yaitu sebanyak 3.465 pas tarif atau sekitar 47,54 persen. Selanjutnya, dari 1.497 pos tarif yang mendapat penurunan bea masuk tersebut, terdapat 385 pas tarif barang modal, yang antara lain terdiri dari mesin penggerak kendaraan air (motor tempel), dapur api dan tungku industri atau laboratorium, termasuk insenerator, dan mesin pengangkat {pemindah, pemuat atau pembongkar yang dirancang khusus untuk penggunaan di bawah tanah. Kebijaksanaan penurunan tarif barang modal tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih mendorong lagi peningkatan investasi dalam negeri. Kebijaksanaan untuk menghapuskan bea masuk tambahan (BMT) didasarkan alas pertimbangan perlunya penyederhanaan tarif dan penyesuaian sejalan dengan Undang-undang Kepabeanan yang baru, yang tidak lagi mencantumkan BMT. Terhadap produk yang dipandang masih perlu untuk dilakukan pembatasan impor, yaitu meliputi 80 pas tarif, maka secara kumulatif BMT yang berlaku selama ini dimasukkan ke dalam bea masuknya. Penyederhanaan tata niaga impor meliputi perubahan ketentuan tala niaga impor alas produk tertentu untuk memperlancar pengadaan kebutuhan barang modal dan bahan baku/penolong serta peningkatan efisiensi industri dalam negeri. Penyederhanaan tersebut mencakup tata niaga impor 9 pas tarif, antara lain mesin piston pembakaran dalam nyala kompresi (diesel), pompa dispalsemen dan pompa pusingan, motor dan generator listrik, dan traktor. Untuk lebih mendorong ekspor komoditi non migas, maka kepada perusahaan PMA manufaktur diberikan kelonggaran melakukan impor barang komplementer dari perusahaan afiliasinya di luar negeri. Selain itu, PMA manufaktur dapat juga menjual hasil produksinya ke dalam negeri sampai tingkat penyalur (wholeseller) dan menjual barang komplementer impor di Depertemen Keuangan Republik Indonesia 198 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 dalam negeri. Dalam pada itu, untuk lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas sektor industri, terutama untuk industri yang sebagian bahan bakunya memanfaatkan limbah industri luar negeri, maka prosedur impor limbah tersebut telah disederhanakan dan disempurnakan, serta disesuaikan dengan Undang-undang Kepabeanan. Untuk itu, langkah yang ditempuh adalah menyempurnakan prosedur dan uraian barang/pos tarif atas limbah yang dapat diimpor. Langkah lainnya yang sudah ditempuh untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sektor industri adalah melalui pemberian fasilitas penyelenggaraan tempat penimbunan berikat dan gudang berikat. Bagi penimbunan berikat diberikan fasilitas dan perlakuan khusus di bidang kepabeanan, cukai, dan perpajakan. Sedangkan pemberian fasilitas untuk gudang berikat pada prinsipnya merupakan pergudangannya penyempurnaan dimungkinkan untuk dari fasilitas berfungsi kawasan berikat, sebagai gudang yaitu berikat fungsi dan penyelenggaraannya terbuka bagi swasta. 4.4. Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1996/1997 Kinerja neraca pembayaran Indonesia dalam tahun anggaran 1996/1997, menunjukkan gambaran yang relatif kurang menggembirakan, utamanya dalam neraca perdagangan non migas dan neraca jasa-jasa yang mengalami defisit yang semakin meningkat dibandingkan dengan tahun anggaran 1995/1996 dan tahun-tahun sebelumnya. Ekspor non migas menunjukkan pertumbuhan yang melamban meskipun neraca perdagangan secara keseluruhan masih menunjukkan angka positif. Di bidang neraca jasa-jasa terdapat defisit yang semakin besar karena nilai penerimaan jasa-jasa, yang meliputi devisa pariwisata dan pendapatan transfer tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri masih tetap lebih kecil dari nilai pengeluaran jasajasa, yang meliputi freight, pembayaran bunga hutang luar negeri, dan lainnya. Oleh karena defisit jasa-jasa semakin besar sementara surplus neraca perdagangan yang semakin kecil, maka defisit transaksi berjalan tahun anggaran 1996/1997 semakin besar pula. Meskipun keadaan yang relatif kurang menggembirakan ini dialami tidak hanya oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara sedang berkembang umumnya dalam menghadapi persaingan pasar internasional yang semakin ketat, namun Pemerintah sangat menyadari perlunya terus diupayakan langkahlangkah pemecahan yang menyeluruh disamping bekerja lebih keras lagi. Posisi defisit transaksi berjalan dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 199 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 mencapai sebesar US$ 8.823 juta atau meningkat sebesar 26,3 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Nilai ekspor diperkirakan meningkat hanya sebesar US$ 3.972 juta, sementara impor meningkat sebesar US$ 5.070 juta. Dalam tahun.anggaran 1996/1997 nilai ekspor secara keseluruhan adalah sebesar US$ 51.726 juta dan nilai impor sebesar US$ 46.572juta. Nilai ekspor dan impor tersebut terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 10.238 juta, ekspor non migas sebesar US$ 41.488 juta, impor migas sebesar US$ 3.497 juta, dan impor nonmigas sebesar US$ 43.075juta. Dengan perkembangan seperti tersebut di atas, maka laju pertumbuhan nilai ekspor diperkirakan relatif mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena di satu sisi nilai ekspor minyak dan gas menurun sebesar 3,6 persen dan nilai ekspor non migas meningkat hanya sebesar 11,7 persen, sementara di sisi lain impor migas menurun sebesar 10,4 persen dan impor non migas meningkat sebesar 14,6 persen. Dalam pada itu bertambahnya ongkos angkutan kapal laut komoditi impor, telah menyebabkan membengkaknya defisit jasa-jasa neto. Neraca jasa-jasa dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan sebesar US$ 13.977 juta atau meningkat sebesar 5,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar US$ 13.239 juta. Dalam tahun anggaran. 1996/1997 lalu lintas modal diperkirakan mengalami penurunan sebesar 5,8 persen dari periode sebelumnya, sehingga mencapai sebesar US$ 10.797 juta. Adanya usaba-usaba yang dilakukan Pemerintah dalam rangka memperlancar pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang dibiayai dari dana luar negeri mengakibatkan pemasukan modal/pinjaman luar negeri pemerintah yang berupa bantuan proyek meningkat menjadi sebesar US$ 5.844 juta. Pinjaman luar negeri tersebut sebagian besar berupa pinjaman lunak. Dalam tahun anggaran 1996/ 1997 pembayaran hutang pokok pemerintah diperkirakan mencapai sebesar US$ 5.536 juta atau menurun 6,8 persen. Berkaitan dengan itu, perbandingan antara jumlah pelunasan pinjaman luar negeri pemerintah terhadap ekspor (DSR) menurun menjadi sebesar 14,1 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 16,4 persen. Penurunan hutang pokok pemerintah dalam tahun anggaran 1996/1997 antara lain disebabkan oleh percepatan pembayaran (prepayment) hutang luar negeri yang berbunga tinggi dalam tahun sebelumnya. Sejalan dengan itu, pembayaran bunga hutang luar negeri pemerintah dalam tahun berjalan diperkirakan menurun menjadi sebesar US$ 3.006 juta, sehingga pembayaran hutang pokok dan bunga menjadi sebesar US$ 8.542 juta. Selama tahun anggaran berjalan, lalu lintas modal lainnya diperkirakan mencapai Depertemen Keuangan Republik Indonesia 200 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 sebesar US$ 10.489 juta, meliputi investasi langsung atau penanaman modal asing (PMA) sebesar US$ 6.300 juta dan investasi lainnya sebesar US$ 4.189 juta, yang meliputi untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN), badan usaba milik negara (BUMN), portfolio dan swasta lainnya. Melihat besarnya nilai lalu lintas modal tersebut, maka dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan terdapat surplus lalu lintas moneter sebesar US$ 2.606 juta, sehingga jumlah cadangan devisa diperkirakan cukup untuk membiayai 4,7 bulan impor. Selanjutnya perkembangan neraca pembayaran Indonesia hingga tahun 1996/1997 . 4.4.1. Ekspor Perkembangan ekspor Indonesia dalam tahun anggaran 1996/1997 tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor yang bersumber dari dinamika ekonomi internal dari eksternal. Faktorfaktor internal yang dimaksud diantaranya adalah tingkat efisiensi dari daya saing ekonomi dalam negeri yang semakin membaik, sejalan dengan langkah-langkah yang berkelanjutan dan konsisten yang ditempuh Pemerintah, baik melalui kebijaksanaan di sektor moneter dan fiskal maupun kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang komprehensif di sektor riil. Sementara faktor-faktor,eksternal yang mempengaruhi kinerja ekspor nasional diantaranya adalah merosotnya harga dan volume sejumlah komoditi dan munculnya negara-negara pesaing baru seperti Cina, Malaysia, dan Vietnam, yang menyebabkan meningkatnya persaingan di pasar internasional. Dalam tahun anggaran 1996/1997, nilai ekspor secara keseluruhan diperkirakan mengalami peningkatan sebesar US$ 3.972juta atau sebesar 8,3 persen, yaitu dari US$ 47.754 juta dalam tahun anggaran 1995/1996 menjadi sebesar US$ 51.726 juta. Peningkatan perkiraan realisasi ekspor ini terutama berasal dari ekspor non migas yang meningkat dari sebesar US$ 37.138 juta dalam tahun anggaran 1995/1996 menjadi sebesar US$ 41.488 juta dalam tahun anggaran 1996/1997, atau meningkat sebesar 11,7 persen. Sementara itu realisasi ekspor minyak dan gas bumi dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan mengalami penurunan sebesar 3,6 persen, yaitu dari sebesar US$ 10.616 juta menjadi sebesar US$ 10.238 juta. Perkembangan nilai ekspor secara rinci dapat dilihat dalam Tabel IV.5 dan Grafik IV.1. Selanjutnya, realisasi ekspor non migas dalam periode April-September 1996, yang meliputi kelompok komoditi hasil-hasil industri dan hasil-hasil tambang bukan migas, Depertemen Keuangan Republik Indonesia 201 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 menunjukkan peningkatan masing-masing sebesar 11,6 persen dan 18,5 persen dibandingkan realisasinya dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, realisasi ekspor non migas kelompok komoditi hasil-hasil pertanian dan hasil-hasil lainnya, dalam periode yang sama menunjukkan penurunan masing-masing sebesar 1,8 persen dan 25,0 persen dibandingkan realisasi nilai ekspornya dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan realisasi ekspor yang terjadi dalam kelompok komoditi hasil-hasil pertanian secara keseluruhan dalanm periode April-September 1996, terutama disebabkan karena menurunnya realisasi nilai ekspor sejumlah komoditi, diantaranya adalah getah karet dari sebesar US$ 22,3 juta dalam periode yang sama tahun sebelumnya menjadi sebesar US$ 18,3 juta atau menurun sebesar 17,9 persen. Demikian pula dengan realisasi ekspor udang (segar/beku), yang menurun sekitar 10,4 persen, yaitu dari sebesar US$ 565,5 juta dalam periode April-September 1995 menjadi sebesar US$ 506,8 juta dalam periode yang sama tahun berjalan. Karena ekspor udang masih merupakan penyumbang terbesar dalam ekspor hasil-hasil pertanian, yaitu sebesar 36,8 persen dalam periode April-September 1995 dan sebesar 33,5 persen dalam periode yang sama tahun 1996, maka dengan realisasi ekspornya yang cenderung menurun juga memberikan pengaruh yang berarti terhadap penurunan realisasi ekspor komoditi hasil-hasil pertanian. Realisasi nilai ekspor komoditi hasil-hasil pertanian lainnya yang menunjukkan penurunan dalam periode April-September 1996 adalah lada hitam, lada putih, dan ubur-ubur/kerang lainnya, masing-masing sebesar 59,0 persen, 26,9 persen, dan 11,0 persen. Kecenderungan menurunnya realisasi ekspor getah karet, lada hitam, lada putih, dan uburubur/kerang lainnya, terutama disebabkan karena volume ekspornya yang mengalami penurunan, yaitu masing-masing sebesar 24,3 persen, 54,4 persen, 17,5 persen, dan 19,3 persen, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan realisasi ekspor komoditi hasil-hasil pertanian yang mengalami peningkatan diantaranya adalah kopi, yaitu dari sebesar US$ 334,5 juta dalam periode April-September 1995 menjadi sebesar US$ 342,7 juta dalam periode yang sama tahun berjalan, atau meningkat sebesar 2,5 persen. Demikian pula dengan realisasi nilai ekspor teh, tembakau, biji coklat, ikan tuna dan lainnya, dan hasil-hasil pertanian lainnya dalam periode yang sama juga menunjukkan peningkatan, masing-masing sebesar 12,8 persen, 32,6 persen, 16,7 persen, 9,6 persen, dan 9,9 persen. Sementara itu, realisasi ekspor hasil-hasil industri yang meningkat dari US$ 14.675,1 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 202 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 juta dalam periode April-September 1995 menjadi sebesar US$ 16.377,1 juta dalam periode yang sama tahun berjalan meliputi ekspor semen, yang meningkat dari US$ 1,5 juta menjadi US$ 8,8 juta, atau sebesar 486,7 persen, kayu gergajian yang meningkat dari US$ 230,8 juta menjadi US$ 239,8 juta atau sebesar 3,9 persen, dan timah (un wrought) yang meningkat dari US$ 111,9 juta menjadi US$ 149,3 juta atau sebesar 33,4 persen. Realisasi ekspor pakaian jadi dan tekstil lainnya dalam periode yang sama meningkat masing-masing sebesar 5,1 persen dan 11,4 persen. Sementara realisasi ekspor karet olahan, bungkil kopra, minyak atsiri, dan minyak kelapa sawit meningkat masing-masing menjadi US$ 1.128,0 juta, US$ 25,6 juta, US$ 39,6 juta, dan US$ 409,2 juta, atau masing-masing sebesar 0,7 persen, 70,7 persen, 0,5 persen, dan 25,0 persen dibanding realisasi ekspor dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Demikian pula dengan realisasi ekspor barang anyaman, mebel (rotan, kayu, bambu) dan bahan kimia meningkat masing-masing sebesar 3,6 persen, 13,3 persen, dan 2,4 persen. Dalam periode yang sama, ekspor alat-alat listrik menunjukkan peningkatan yang cukup besar, yaitu dari US$ 1.436,6 juta menjadi US$ 1.903,5 juta, atau sebesar 32,5 persen. Sedangkan ekspor kaca dan barang dari kaca meningkat sebesar 7,7 persen, yaitu dari US$ 99,2 juta menjadi US$ 106,8 juta. Komoditi lainnya yang memperlihatkan peningkatan dalam realisasi ekspornya adalah atas kaki (kulit, karet, kanvas) yang meningkat dari US$ 1.051,0 juta menjadi US$ 1.073,3 juta, atau sebesar 2,1 persen. Sementara realisasi ekspor hasil-hasil industri lainnya mengalami peningkatan sebesar 30,5 persen, yaitu dari US$ 2.992,3 juta dalam periode April-September 1995 menjadi US$ 3.906,4 juta dalam periode yang sama tahun berjalan. Dalam pada itu, walaupun pangsa ekspor kayu lapis dalam ekspor hasil-hasil industri secara keseluruhan masih tetap yang terbesar, namun realisasinya dalam periode AprilSeptember 1996 terlihal masih sangat rendah, yaitu sebesar US$ 1.827,7 juta atau meningkat hanya sebesar 2,5 persen dibanding realisasi periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 1.783,8 juta. Rendahnya tingkat realisasi ekspor kayu lapis ini terutama disebabkan karena realisasi volume ekspornya yang mengalami penurunan, yaitu dari 2.534,8 ribu ton dalam periode yang sama tahun sebelumnya menjadi 2.450,7 ribu ton, atau menurun sekitar 3,3 persen. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 203 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel IV. 5 NILAI EKSPOR, 1984/1985 - 1996/1997 ( daIam juta US $ ) Tahun Anggaran -1 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1) 1) Migas Nilai -2 13.994 12.437 6.966 8.841 7.640 9.337 12.763 10.706 10.480 9.334 10.445 10.616 10.238 % -3 70,3 66,8 50,9 48,2 38,5 39,2 45,4 36 29,7 25,6 24,8 22,2 19,8 Bukan migas Nilai % -4 -5 5.907 6.175 6.731 9.502 12.184 14.493 15.380 19.008 24.823 27.170 31.716 37.138 41.488 29,7 33,2 49,1 51,8 61,5 60,8 54,6 64 70,3 74,4 75,2 77,8 80,2 Jumlah Nilai % (6)=(2)+(4) (7)=(3)+(5) 19.901 100 18.612 100 13.697 100 18.343 100 19.824 100 23.830 100 28.143 100 29.714 100 35.303 100 36.504 100 42.161 100 47.754 100 51. 726 100 Perkiraan realisasi Hal yang sama juga terjadi dalam ekspor kayu olahan lainnya, aluminium (un wrought), stearin, dan pupuk urea, dimana dengan volume ekspornya yang menunjukkan penurunan masing-masing sebesar 6,1 persen, 15,7 persen, 26,8 persen, dan 33,2 persen, dalam periode April-September 1996, maka realisasi nilai ekspornya dalam periode yang sama juga cenderung menurun, masing-masing sebesar 0,8 persen, 6,1 persen, 39,6 persen, dan 27,7 persen. Sementara itu, ekspor kain tenun, kulit dan barang dari kulit, dan ekspor kertas dan barang dari kertas, walaupun dalam periode yang sama volume ekspor masing-masing komoditi menunjukkan peningkatan, namun realisasi nilai ekspornya mengalami penurunan, yaitu masing-masing sebesar 3,1 persen, 1,8 persen, dan 1,4 persen. Realisasi ekspor hasil-hasil tambang bukan migas yang mengalami peningkatan sebesar US$ 248,9 juta, yaitu dari US$ 1.346,0 juta dalam periode April-September 1995 menjadi sebesar US$ 1.594,9 juta dalam periode yang sama tahun berjalan, terutama berasal dari kelompok bijih tembaga yang meningkat cukup besar, yaitu dari US$ 716,3 juta menjadi US$ 867,7 juta atau sebesar 21,1 persen, bijih nikel yang meningkat dari US$ 21,4 juta menjadi US$ 23,5 juta atau sebesar 9,8 persen, batu bara yang meningkat sebesar 15,9 persen, yaitu dari US$ 549,0 juta menjadi US$ 636,3 juta, dan ekspor hasil-hasil tambang lainnya meningkat sebesar 17,7 persen, yaitu dari US$ 53,1 juta menjadi sebesar US$ 62,5 juta. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 204 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Meningkatnya realisasi ekspor kelompok komoditi non migas dalam periode April September 1996 telah memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap realisasi ekspor nasional secara keseluruhan, yaitu sebesar 78,1 persen, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 77,2 persen. Sedangkan ekspor minyak dan gas bumi, walaupun dalam realisasinya meningkat sebesar 5,8 persen, namun pengaruhnya terhadap pangsanya dalam ekspor nasional menunjukkan penurunan, yaitu dari sebesar 2,3 persen dalam periode April-September 1995 menjadi sebesar 2,2 persen dalam periode yang sama tahun berjalan. Realisasi ekspor non migas secara keseluruhan dalam tahun 1996/1997 dapat dilihal dalam Tabel IV.6, Grafik IV.2, dan Grafik IV.3. Dalam pada itu, sejalan dengan perkembangan ekspor menurut kelompok komoditi, ekspor menurut negara tujuan umumnya juga menunjukkan peningkatan. Dalam periode AprilSeptember 1996, Jepang merupakan negara terbesar yang mampu menyerap komoditi ekspor Indonesia, yaitu sebesar US$ 6.330 juta, atau sebesar 25,4 persen dari nilai ekspor secara keseluruhan. Kemudian diikuti dengan ekspor ke negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Eropa (ME) yaitu sebesar US$ 3.893 juta atau sebesar 15,6 persen. Dalam periode yang sama, nilai ekspor ke negara-negara ASEAN mencapai US$ 3.621 juta atau sebesar 14,5 persen dari nilai ekspor secara keseluruhan, dimana Singapura merupakan negara penyerap ekspor terbesar, yaitu sebesar US$ 2.284 juta. Sementara itu, nilai ekspor ke Amerika Serikat dalam periode yang sama mencapai US$ 3.509 juta atau sebesar 14,1 persen dari nilai ekspor secara keseluruhan. Sedangkan ekspor ke Afrika dan Austratasia (meliputi Australia, Selandia Baru, dan negara-negara Oceania lainnya) masing-masing mencapai US$ 310 juta dan US$ 587 juta atau dengan pangsa masing-masing sebesar 1,2 persen dan 2,4 persen. Berdasarkan perkembangan tersebut, ekspor berdasarkan negara tujuan dalam periode April-September 1996 mengalami peningkatan dibandingkan dengan nilai ekspor dalam periode yang sama tahun sebelumnya, masing-masing dengan kenaikan sebesar 3,3 persen ke Jepang, 18,7 persen ke ME, 22,9 persen ke negara-negara ASEAN, 8,2 persen ke Austratasia, dan sebesar 5,6 persen ke Amerika Serikat. Sedangkan nilai ekspor ke Afrika dalam periode yang sama mengalami penurunan menjadi sebesar 2,7 persen. Perkembangan ekspor berdasarkan negara tujuan dapat dilihal pada Tabel IV.7. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 205 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 4.4.2. Impor Hasil yang menggembirakan atas rangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang dikeluarkan Pemerintah sejak tahun 1983 diperlihatkan dengan berkembangnya kegiatan investasi, baik dalam rangka penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA). Seiring dengan peningkatan kegiatan investasi yang menggembirakan tersebut, kebutuhan bahan baku/penolong dan barang modal juga meningkat, yang sebagiannya dipenuhi dengan meningkatkan impor karena kebutuhan tersebut belum dapat dipenuhi dari dalam negeri. Dalam tahun anggaran 1996/1997 nilai impor secara keseluruhan diperkirakan menunjukkan peningkatan sebesar 12,2 persen, yaitu dari US$ 41.502 juta menjadi sebesar US$ 46.572 juta. Impor migas diperkirakan mencapai sebesar US$ 3.497 juta, jika dibandingkan dengan impor dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$ 3.905 juta, berarti mengalami penurunan sebesar 10,4 persen. Sedangkan impor non migas diperkirakan mencapai US$ 43.075 juta, yang berarti mengalami kenaikan sebesar 14,6 persen jika dibandingkan dengan impor dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai sebesar US$ 37.597 juta. Kenaikan perkiraan nilai impor komoditi non migas tersebut terutama disebabkan oleh adanya kenaikan impor barang modal. Sementara itu, realisasi impor non migas dalam periode April-September 1996 mencapai sebesar US$ 20.762,7 juta, atau 3,5 persen lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 20.064,0 juta. Kenaikan impor non migas dalam periode AprilSeptember 1996 tersebut disebabkan oleh meningkatnya impor barang modal dan barang konsumsi, sedangkan komponen impor bahan baku/penolong mengalami penurunan. Realisasi impor bahan baku/penolong dalam periode April-September 1996 mencapai US$ 10.490,6 juta atau 4,6 persen lebih rendah hila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 10.993,2 juta. Penurunan ini berkaitan erat dengan makin meningkatnya kemampuan industri dalam negeri dalam menghasilkan bahan baku/penolong industri. Secara berurutan, empat jenis bahan baku/penolong yang mengalami penurunan terbesar, adalah bahan-bahan kertas mengalami penurunan sebesar 23,8 persen, bahan-bahan karet dan plastik mengalami penurunan sebesar 14,0 persen, besi baja dan logam mengalami penurunan sebesar 11,4 persen, dan benang tenun mengalami penurunan sebesar 6,1 persen. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 206 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel IV.6 NILAI EKSPOR BUKAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 198411985 - 1996/1997 (dalam Juta US $) Jenis barang 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/l989 1989/1990 1990/1991 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 I. Hulu-hulu pertanian 1.502,00 1.480,90 1.702,40 1.687,40 2.035,20 1.906,90 2.180,50 I. Getah karet 43,6 38,8 44,5 53 86,9 38,8 54 2. Kopi 566,9 633 743,2 498,9 568,5 448 370,7 3. Udang ( segar) 185,3 222,2 295,6 376,3 540,6 543,9 729,1 4. Teh 221,6 140,1 103,8 116 131,2 176,2 168,8 5. Lada hitam 41,4 35,7 53,9 52,4 54,8 33,8 21,7 6. Lada putih 24,6 47,2 96,2 102,9 86,7 59,4 53,6 7. Tembakau 33,7 51 61 57,5 43,6 39,2 71,2 8. Biji coklat 55,4 61,7 53,6 66,4 73,4 71,6 99 9. Gaplek 35,3 42,8 50,9 91,3 80,7 61,2 64,3 10. Ikan Tuna ikan lainnya 19,3 22,7 30,7 60,8 117,4 139,8 227,5 11. Ubur-ubur kerang lainnya 14,2 6,7 12,9 20,3 32,8 40,2 42,7 12. Lainnya 260,7 179 156,1 191,6 218,6 154,8 277,9 4.118,30 4354,5 4.622,20 7.438,20 9.626,70 11.429,70 123.59,8 II. Hulu-hulu industri 1. Kayu lapis 708,5 838,7 1.151,10 1.918,40 2.064,90 2.462,00 2.788,90 2. Kayu gergajian 286,9 309 383,1 485,2 577,6 575,6 118,5 3. Kayu olahan lain 49,4 49,8 61 157,8 246,6 430 540,7 4. Timah (un wrought) 278,1 239,2 109,9 In.o 189,2 240,4 173 5. Aluminium (un wrought) 213,8 214 216,1 264,1 360,3 339,9 257,3 6. Pakaian jadi 316,3 428,2 466 650,9 881,3 1.304,90 1.711,40 7. Kain tenun 159,3 220,7 206,2 365,4 503,8 683,2 981,1 8. Tekstil lainnya 36,7 57,6 43,1 114,6 177,3 291,8 368,1 9. Karet olahan 848,5 678,2 709,6 1.023,20 1.135,00 986 909,6 10. Bungkil kopra 14,4 34,9 34,7 44,5 45,1 40,3 44,7 11. Minyak Asiri 60,2 52,8 39,2 39,6 39,2 104,3 126,3 12. Rotan 95,3 71,8 94,6 166,4 36,3 0,9 3 13. Minyak kelapa sawit 75,1 181,4 108,3 182,7 326,8 229,7 248,8 14. Semen 14,7 22,1 46,4 58,7 85,9 130,5 68,6 15. Stearin 62,6 34,3 29,7 42,7 53,4 51 55,4 16. Barang anyaman 9,7 14,3 24,7 56,1 70,5 44,5 44,5 17. Mebel 5,1 6,3 9,6 34,8 87,1 205,3 313 18. Bahan kimia 52,2 62,2 50,8 70,2 84,3 119,2 113,5 19. Alat listrik 168,5 152,8 63,5 61,7 116,7 214 317,5 20. Kulit 44,5 42,4 53,4 73,3 74,5 81,4 70,3 21. Pupuk urea 35,5 94,1 105,8 105,1 146,6 164,5 214,5 22. Kertas 21,9 20,9 40,4 113,2 139,5 167 165,8 23. Kaca dan barangdari kaca 10,6 9,2 14,1 44 97,8 97 97,1 24. Alas kaki 6,5 6,9 10,2 39,7 106,2 291,3 687,5 25. Lainnya 544,5 512,7 550,7 1.153,90 1.980,80 2.175,00 1.940,70 198,5 200,1 237,3 280,4 374,9 531 686,8 III. Hulu-hulu tambang di Non migas 1. Bijih tembaga 119,5 119,6 158,4 192 230,4 321,4 408,9 2. Bijih nikel 16,2 17 18 19,4 51,9 52,6 42,4 3. Bauksit 13,5 9,5 6 6 7 10,8 12,1 4. Bijih timah (tin) 5,5 5,6 4,1 3,3 4,7 1,7 1,4 5. Batu bara 30,4 34,1 29,1 28,9 47 99,7 In,7 6. Lainnya 13,1 14,3 21,7 30,8 33,9 44,8 49,3 108,4 14,9 13,7 8,2 11,4 1,6 1,8 IV. Hulu-hulu lainnya 5.927,20 6.050,40 6.575,60 9.414,20 12.049,20 13.869,20 15.228,90 Jumlah Depertemen Keuangan Republik Indonesia 207 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel IV.7 NILAI EKSPOR MENURUT NEGARA TUJUAN, 1992/1993 - 1996/1997 (dalam juta US $) Negara I. ASIA ASEAN - Malaysia - Muangthai - Philipina - Singapura - Brunei Darussalam Hongkong Jepang Asia lainnya II. AFRIKA III. AMERIKA -USA - Kanada - Amerika lainnya IV. AUSTRATASIA - Australia - Oceania lainnya V. EROPA ME - Inggris - Belanda - Jerman - Belgia & Luxemburg - Peraneis - Denmark - Irlandia - Italia - Yunani - Portugal - Spanyol Rusia Eropa lainnya Jumlah 1992/1993 Persentase Nilai Dari Jumlah 23.349 4.727 527 434 205 3.530 31 885 11.009 6.728 483 5.351 4.671 284 396 844 780 64 5.371 5.056 905 1.l02 1.051 421 490 93 47 610 34 21 282 71 244 35.398 66 1,4 15,1 2,4 15,1 100,0 1993/1994 Persentase Nilai Dari Jumlah 23.559 4.686 575 393 290 3.397 31 939 10.940 6.994 433 6.007 5.254 301 452 831 761 70 5.589 5.159 978 1.094 1.141 364 465 99 36 573 45 28 336 134 296 36.419 64,7 1,2 16,5 2,3 15,3 100,0 1994/1995 Persentase Nilai Dari Jumlah 26.741 5.936 815 429 418 4.225 49 1.472 11.289 8.044 594 7.029 6.069 331 629 813 695 118 6.586 5.071 1.057 1.347 444 433 444 108 38 581 70 45 504 91 1.424 41.763 64 1,4 16,8 2,0 15,8 100,0 1995/1996 Persentase Nilai Dari Jumlah 29.231 6.302 1.034 712 676 3.854 26 1.564 12.393 8.972 640 7.275 6.162 350 763 1.189 1M3 146 7.351 6.486 1.139 1.495 1.165 535 512 112 35 747 81 50 615 135 730 45.686 64 1,4 15,9 2,6 16,1 100,0 1996/1997 *) (Apr-Sept) Persentase Nilai Dari Jumlah 15.651 3.621 574 440 312 2.284 11 869 6.330 4.831 310 4.090 3.509 191 390 587 538 49 4.325 3.893 632 880 784 371 300 58 16 360 41 24 427 78 354 24.963 62,7 1,2 16,4 2,4 17,3 100,0 *) Angka sementara Penurunan impor yang terjadi pada kelompok-kelompok bahan baku/penolong tersebut dapat meredam adanya kenaikan impor kelompok-kelompok jenis bahan baku/penolong lainnya, seperti pupuk, bahan bangunan, alat-alat listrik, dan bahan obat-obatan, sehingga impor neto bahan baku/penolong mengalami penurunan sebesar 4,6 persen. Pada sub kelompok barang modal, untuk periode April-September 1996 mencapai US$ 8.249,2 juta, atau meningkat 13,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 7.291,9 juta. Kenaikan impor alat telekomunikasi dan pengangkutan, masing-masing sebesar32,6 persen dan 15,4 persen memberikan kontribusi terbesar atas peningkatan impor barang modal. Peranan impor barang modal terhadap impor non migas secara keseluruhan meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu meningkat dari 36,3 persen menjadi 39,7 persen. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 208 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Selanjutnya realisasi impor barang konsumsi dalam periode April-September 1996 mencapai US$ 2.022,9 juta, atau 13,7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah sebesar US$I. 778,9 juta. Meningkatnya impor barang konsumsi terutama karena meningkatnya impor beras, susu, makanan, minuman dan buahbuahan, tekstil, tembakau dan olahannya. Pengamatan atas dinamika antara nilai impor sub kelompok barang modal dan sub kelompok barang konsumsi memberikan dua hal yang dapat digaris bawahi. Pertama, kenaikan impor barang konsumsi jauh diatas kenaikan impor barang modal. Kedua, walaupun kenaikan impor barang konsumsi tersebut cukup tinggi tetapi pangsanya terhadap impor non migas relatif masih tetap keeil, yaitu hanya sebesar 9,8 persen. Sedangkan pangsa impor bahan baku dan penolong dan pangsa barang modal adalah masing-masing sebesar 50,5 persen dan 39,7 persen. Ringkasan nilai komoditi impor non migas yang menduduki peringkat laju pertumbuhan atau kenaikan pertama dan kedua pada masing-masing sub kelompok barang dalam periode April-September 1996/1997 adalah komoditi-komoditi beras dan susu, makanan, minuman dan buah-buahan untuk sub kelompok barang konsumsi, pupuk dan alat-alat listrik untuk sub kelompok baban baku/penolong, dan alat telekomunikasi dan pengangkutan untuk sub kelompok barang modal. Perkembangan nilai impor non migas secara rinci dapat dilihal dalam Tabel IV.8, Grafik IV.4 dan Grafik IV.5. Dalam periode April-September 1996/1997, negara pemasok barang impor Indonesia didominasi oleh negara-negara Asia dengan pangsa pasar 50,1 persen, kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa, yang terdiri dari Masyarakat Eropa (ME) dan di luar ME (Rusia dan Eropa lainnya) sebesar 25,1 persen, Amerika (USA, Kanada, dan Amerika lainnya) sebesar 16,6 persen, Austratasia (Australia dan Oceania lainnya) sebesar 6,9 persen, dan negara-negara Afrika sebesar 1,3 persen. Impor yang berasal dari negara-negara Asia, sebagian besar berasal dari Jepang yaitu sebesar 37,8 persen, dari negara-negara anggota ASEAN sebesar 21,8 persen, dari Hongkong sebesar 1,3 persen, dan dari negara Asia lainnya sebesar 39,2 persen. Sementara itu, impor dari negara-negara ASEAN didominasi oleh Singapura dengan pangsa pasar sebesar 54,9 persen, diikuti oleh Muangthai dengan pangsa pasar sebesar 26,3 persen. Perkembangan impor menurut negara asal tahun anggaran 1992/1993 sampai dengan periode April-September 1996/1997 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 209 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 secara rinci dapat dilihat dalam Tabel IV.9. 4.4.3. Pengeluaran jasa-jasa (neto) Lemahnya sektor jasa-jasa nasional dalam arena perdagangan jasa-jasa internasional sampai saat ini masih tetap mernpakan salah satu permasalahan yang terus dicari pemecahannya. Meningkatnya defisit transaksi berjalan dari tahun ke tahun sebagian terbesar adalah mernpakan akibat dari masih defisitnya neraca jasa-jasa (neto). Pemecahan masalah ini tidaklah mudah mengingat dalam banyak jenis usaha jasa-jasa, perusahaan yang bergerak di bidang jasa-jasa dari negara berkembang seperti Indonesia harus berhadapan dengan perusahaan sejenis dari negara industri yang sudah lebih canggih dan berpengalaman dalam segala aspek dan mendominasi pasar jasa internasional. Meskipun demikian, berbagai upaya untuk mengatasi defisit neraca jasa-jasa tersebut secara bertahap terus dilakukan, disesuaikan dengan potensi dan kemampuan. Jenis jasa-jasa tertentu yang potensial dikembangkan dalam waktu dekat, seperti jasa pariwisata dan jasa tenaga kerja Indonesia (TKI) makin diintensifkan pengembangannya. Pengembangan peran jasa pariwisata dalam perolehan devisa saat ini telah memasuki tahap yang strategis, yaitu dengan telah dicanangkannya sektor pariwisata sebagai primadona ekspor non migas mulai tahun 2005 (visi pariwisata tahun 2005). Visi tersebut diyakini akan mampu diwujudkan sejauh semua sektor terkait memberikan dukungan. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 210 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel IV.8 NILAI IMPOR BUKAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM MENURUT GOLONGAN BARANG, 1984/1985 - 1996/1997 ( dalam juta US $ ) Golongan Barang 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 I. Barang konsumsi 603,5 465,2 564,3 560,5 811,5 960,6 1.125,40 1. Beras 72,3 6 7,8 12,8 76,3 7 12,7 2. Tekstil 29,9 35 40,9 39,7 78,4 125 189,7 3. Susu, makanan, minuman 147,9 Dan buah-buahan 109,5 103,6 141,6 226 336,7 225,7 25,4 4. Tembakau dan olahannya 25,5 22,1 21 32,4 29.9 51,6 28,7 5. Sabun don kosmetik 17,7 18,4 24,1 78 32,1 40,1 72,7 6. Alal-alat rumah tangga 60,4 56,3 58,8 50,5 74,6 104 240,9 7. Lainnya 288,2 223,8 262,5 319,9 355,3 501,6 5.600,30 5.749,80 4.925,90 6.398,50 7.339,40 8.850,80 10.641,40 II. Bahan bakul penolong 1. Bahan kimia 1.322,50 1.199,50 1.242,90 1.353,40 1.642,30 1.641,20 1.962,50 2. Bahan obat-obatan 84,2 80,5 102,3 97,9 102,7 109.9 124,7 3. Pupuk 95,6 33.7 25,8 75,9 59 117 99,1 4. Bahan-bahan kertas 174,2 141 130,3 145,8 167,3 175,4 203,3 5. Benang tenun 390,6 344,7 413,2 523,3 625,7 931,3 1.177, 3 6. Semen, kapur, daft bahan Bangunan buatan pabrik 13,6 6,9 4,5 3,7 2,9 3.7 10 1.083,30 1.204,60 977,3 7. Besi baja don logam 1.220,50 1.434,50 1.926,10 2.526,20 528,4 8. Bahan-bahan karel & plastik 504,1 407 594,2 671,5 977,7 1.079,30 198,1 9. Bahan bangunan 195,4 195 194,4 183,6 188,9 289,8 76,3 10. Alat-alat listrik 164 103,4 98 79,3 131,7 103,9 1.795,20 11. Lainnya 1.601,60 1.436,90 2.091,40 2.370,60 2.647,90 3.065,30 III. Barang modal 4.477,80 3.420,70 3.997,10 4.600,60 4.989,20 6.145,80 9.590,10 1.601,20 1. Mesin-mesin 1.416,90 1.291,20 2.069,50 2.243,40 2.734,00 4.625,60 2. Generalor listrik 123,9 85,7 200 167,7 156,6 145 172,8 3. Alat telekomunikasi 220,5 168,7 170,5 295,3 256,4 339,5 489,9 4. Peralatan listrik 258,5 228,3 300,7 282,5 291,5 366,4 506,9 5. Alat pengangkutan 1.356,10 562,1 717,7 553,4 653,2 816,8 1.422,40 6. Lainnya 1.101,90 1.084,70 1.007,00 1.232,20 1.388,10 1.744,10 2.372,50 10.831,10 8.811,80 10.161,70 11.559,60 13.140,10 15.957,20 21.356,90 Jumlah Golongan Barang I. Barang konsumsi 1. Beras 2. Tekstil 3. Susu, makanan, minuman dan buah-buahan 4. Tembakau dan olahannya 5. Sabun dan kosmetik 6. Alat-alat rumah tangga 7. Lainnya II. Bahan baku/penolong 1. Bahan kimia 2. Bahan Ghal-obRIan 3. Pupuk 4. Bahan-bahan kertas 5. Benang tenun 6. Semen, kapur, dan bahan Bangunan buatan pabrik 7. Besi baja dan logam 8. Bahan-bahan wet & plastik 9. Bahan bangunan 10. Alat-alat listrik 11. Lainnya III. Barang modal 1. Mesin-mesin 2. Generator listrik 3. Alat telekomunikasi 4. Peralatan listrik 5. Alat pengangkutan 6. Lainnya Jumlah 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1995/1996 (Apr-Sept) Presentase Dari Nilai Jumlah 1.679,10 146,2 224,3 1.777,70 80,2 283,1 1.805,40 9,4 321,7 2.460,00 341,4 354,9 3.583,70 687,3 396,1 1.778,90 239,7 197,9 337,3 66 44,3 102,9 758,1 11.194,60 1.926,10 122,6 68,1 218,9 1.422,90 384,5 84,6 56,3 90,8 798,2 12.141,20 2.060,20 161,1 139,3 208 1.513,90 376,8 104 73,2 88,4 831,9 13.775,80 2.398,20 148,4 93,4 222 1.439,70 496,5 133,3 91,3 146,2 896,4 17.304,50 3.095,00 161,8 104,5 250,5 1.704,50 952,8 170,2 94,7 222,4 1.060,20 20.596,70 3.739,60 200,5 134 332,1 1.913,80 479,4 84,7 52,2 147,4 577,6 10.993,20 1.966,20 100,1 53,5 194,4 1.034,90 9,8 2.442,70 1.087,70 351,3 182 3.362,50 11.066,40 5.088,00 509,4 660 599,8 1.49,1 2.760,10 23.940,10 9 2.639,30 1.196,50 423,9 238,8 3.551,20 441,4 4.635,40 574,4 908,4 1.023,20 1.014,30 3.285,70 25.360,30 20 2.908,70 1.190,70 391 193,3 4.770,40 11.128,30 4.866,00 355,8 897,3 930,1 1.211,30 2.867,80 26.709,50 80,8 3.168,50 1.489,80 348,5 260,2 6.640,40 11.578,90 5.369,60 338,2 7.11,3 1.002,40 1.221,10 2.936,30 31.343,40 115,6 4.270,20 1.446,00 388,4 279,7 7.776,80 14.065,80 6.728,10 487,2 1.141,70 960,1 1.042,70 3.706,00 38.246,20 58,2 2.298,20 941,2 196,6 128,5 4.021,40 7.291,90 3.329,20 287,4 614,3 536,3 572,4 1.952,30 20.064,00 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 8,9 54,8 36,3 100 1996/1997*) (Apr-Sept) Persentase Nilai Dari Jumlah 2.022,90 384 227,8 625,1 97,3 49,7 111,4 527,6 10.490,60 1.897,70 113,3 111,3 148,2 971,6 66,3 2.036,5. 809,5 267,6 175,6 3.893,00 8.249,20 3.688,00 281,1 814,3 515 660,5 2.290,30 20.762,70 9,8 50,5 39,7 100 211 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 Tabel IV 9 NILAI IMPOR MENURUT NEGARA ASAL, 1992/1993 - 1996/1997 ( di dalam juta US $ ) Negara I. ASIA ASEAN - Malaysia - Muangthai - Philipina - Singapura - Brunei Darussalam Hongkong Jepang Asia lainnya II. AFRIKA III. AMERIKA - USA - Kanada - Amerika lainnya IV. AUSTRATASIA - Australia - Oceania lainnya V. EROPA ME - Inggris - Belanda - Jerman - Belgia & Luxemburg - Perancis - Denmark - Irlandia - Italia - Yunani - Portugal - Spanyol Rusia Eropa lainnya Jumlah *) Angka sementara 1992/1993 Persentase Nilai dari jumlah 14.081,10 2.502,00 509,4 283,5 60,0 1.648,2 0,9 222,6 5.870,9 5.485,6 200,7 4.824,0 3.877,3 453,3 493,4 1.564,6 1.428,2 136,4 6.723,2 5.649,5 743,8 584,1 2.151,9 291,6 893,7 124,8 23,2 588,4 8,5 1,8 237,7 51,3 1.022,4 27.393,6 51,4 0,7 17,6 5,7 24,6 100,0 1993/1994 Persentase Nilai dari jumlah 15.764,30 2.650,10 531,9 227,4 56,0 1.834,2 0,6 259,0 6.562,4 6.292,8 148,0 4.284,7 3.111,4 427,3 746,0 1.566,9 1.380.3 186,6 7.184,9 5.542,3 795,3 585,1 2.063,8 340,3 805,1 158,3 20,9 550,0 15,3 2,2 206,0 113,5 1.529,1 28.948,8 54,5 0,5 14,8 5,4 24,8 100,0 1994/1995 Persentase dari Nilai jumlah 18.670,80 3.151,80 580,2 561.8 67,2 1.942,3 0.3 241.8 7.821.3 7.455.9 478,3 5.157,0 3.882,4 564,8 709,8 1.853,6 1.677,2 176,4 7.807,2 6.174,7 692,8 721,7 2.512,2 316,0 852,1 100.5 27.0 725,5 43,6 3,9 179,4 309,0 1.323,5 33.966,9 55 1,4 15,2 5,4 23,0 100,0 1995/1996 Persentase Nilai dari jumlah 22.494,40 4.214,40 819.1 800,4 80,1 2.514,0 0,8 266,9 9.549,1 8.464,1 599,8 6.806,8 4.896,8 789,2 1.120,8 2.240,5 2.036,4 204,1 9.161,9 7.210,6 978,1 673,7 2.889.6 392,2 994,0 126,7 39,9 824,9 54,8 8,6 228,1 377,9 1.573,4 41.303,5 54,5 1,4 16,5 5,4 22,2 1996/1997 *) (Apr-Sept) Persentase dari Nilai jumlah 11.172,10 2.432,60 399.8 638.8 58,7 1.335,1 145,3 4.219,7 4.374,5 294,1 3.708,6 2.673.8 425,8 609,0 1.543,6 1.406,4 137,2 5.593,6 4.221,1 625,6 249.5 1.529.5 235,7 548.6 94,0 24,5 668,7 38,9 50,1 1,3 16,6 6,9 25,1 203,0 231,0 1.141,5 100,0 22.312,0 100,0 Perkembangan penting di bidang pariwisata dalam tahun ini antara lain adalah disederhanakannya prosedur masuknya wisatawan asing dari negara-negara tetangga anggota ASEAN ke wilayah Indonesia dengan menggunakan kendaraan sendiri maupun bis wisata. Dalam tahun berjalan juga telah diluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Ketentuan tersebut dikeluarkan untuk memadukan peranan pemerintah, badan usaha, dan masyarakat dalam penyelenggaraan kepariwisataan, serta untuk menjaga kualitas, kelestarian lingkungan, dan jati diri bangsa. Upaya peningkatan peran jasa pariwisata juga dilakukan di bidang promosi, yaitu dengan diubahnya struktur badan promosi pariwisata Indonesia di luar negeri. Jika pada masa-masa sebelumnya terdapat dua penyelenggara promosi pariwisata di luar negeri, yaitu pusat promosi pariwisata Indonesia (P3I) dari pihak pemerintah dan badan promosi pariwisata Indonesia (BPPI) dari pihak swasta, maka Depertemen Keuangan Republik Indonesia 212 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 dengan kebijaksanaan tersebut kegiatan P3I telah dialihkan ke BPPI. Kebijaksanaan tersebut ditempuh dengan maksud untuk meningkatkan efisiensi serta meningkatkan keterlibatan pihak swasta dalam promosi pariwisata. Upaya-upaya di atas diharapkan akan segera memperlihatkan hasilnya berupa meningkatnya jumlah wisatawan manca negara dari sebanyak 4,4 juta orang dalam tahun anggaran 1995/1996 menjadi 5,2 juta orang dalam tahun anggaran 1996/1997, serta meningkatnya pemasukan devisa dari rata-rata sebesar US$ 1.213 per kunjungan dalam tahun anggaran 1995/1996 menjadi US$ 1.224 per kunjungan dalam tahun anggaran 1996/1997. Jasa lainnya yang juga potensial dan tengah dikembangkan perannya adalah jasa TKI. Peningkatan ekspor jasa TKI memiliki manfaat ganda, yaitu sebagai sumber penghasil devisa ekspor, dan sebagai upaya untuk mengurangi tingkat pengangguran di dalam negeri. Selain itu, peningkatan ekspor jasa TKI juga semakin penting sebagai pengimbang atas cenderung meningkatnya jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia. Ekspor TKI yang sangat potensial tersebut dapat terlihat dari besarnya permintaan tenaga kerja asing di empat kawasan utama yang selama ini banyak menyerap TKI, yaitu Timur Tengah (Arab Saudi dan Emirat Arab), Asia Timur (Hongkong, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan), dari ASEAN (Singapura dan Malaysia), serta Eropa, yang masih jauh lebih tinggi dari jumlah penawaran TKI. Sampai dengan bulan Maret 1996, jumlah TKI yang sudah dikirim ke negara-negara di empat kawasan tersebut baru mencapai 300 ribu orang, sementara permintaannya mencapai 2,5 juta orang. Berkenaan dengan hal tersebut, Pemerintah telah mencanangkan berbagai program yang bertujuan menjadikan ekspor jasa TKI sebagai salah satu unggulan ekspor Indonesia pada akhir Pelita VI. Salah satu program tersebut adalah penyaluran kredit bagi TKI dengan bunga rendah melalui skim kredit koperasi primer kepada anggotanya (KKPA). Sedangkan di bidang pelatihan, Pemerintah mengupayakan untuk meningkatkan tingkat kualitas dan jenjang pelatihan, sehmgga TKI yang dipekerjakan di luar negeri secara bertahap akan beralih dart TKI sektor informal, yang kurang mendapat perlindungan hukum di negara asing bersangkutan, ke TKI sektar formal, yang lebih terlindungi secara hukum. Dengan upaya tersebut diharapkan ekses-ekses yang tidak diinginkan yang dialami TKI di luar negeri dapat dikurangi di masa-masa mendatang. Di bidang perlindungan hukum, Pemerintah sedang mengupayakan agar para duta besar di negara yang menggunakan jasa TKI dapat mempelajari hukum yang berlaku di negara tersebut untuk mengantisipasi kemungkinan masih terjadinya Depertemen Keuangan Republik Indonesia 213 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 kasus-kasus ketenagakerjaan yang dialami TKI di negara bersangkutan. Di bidang jasa-jasa lainnya, Pemerintah juga mengupayakan agar bidang-bidang jasa yang potensial dapat berkembang dan mampu menghasilkan devisa. Hal itu antara lain dapat dilihal dari upaya pemerintah yang bertekad menjadikan perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) di bidang jasa tertentu seperti jasa telekomunikasi, jasa perbankan, dan jasa penerbangan dapat menjadi pemain-pemain di tingkat global. Dalam pada itu, di bidang jasa-jasa yang masih lemah kemampuan ekspomya sehingga memberatkan neraca jasa-jasa secara keseluruhan, seperti halnya jasa angkutan laut (freight), sesuai dengan kemampuan dan secara bertahap, Pemerintah telah menempuh berbagai langkah untuk dapat mengurangi ketergantungan terhadap jasa angkutan laut asing. Langkah-langkah tersebut berupa pemberian berbagai kemudahan di bidang perpajakan bagi pelayaran nasional melalui Deregulasi Juni 1996 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362 Tahun 1996. Berdasarkan kebijaksanaan tersebut Pemerintah menanggung pajak pertambahan nilai yang terhutang atas impor kapal dalam penyerahan barang kena pajak tertentu, termasuk kapal laut dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaba perusahaan pelayaran niaga nasional. Di samping itu, Pemerintah memberlakukan tarif pajak tunggal (single tax tariff) atas pajak penghasilan (PPh) dari kegiatan pengangkutan orang dan atau barang, membebaskan PPh pasal 22 impor, serta menanggung bea balik nama kapal, dengan meluncurkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416 Tahun 1996, Nomor 417 Tahun 1996, dan Nomor 432 Tahun 1996. Di bidang administrasi, pro sektor pengadaan kapal dari luar negeri dan pendaftaran kapal Indonesia, serta pengurusan dokumen/surat-surat kapal juga telab disederhanakan, sehingga surat izin pembelian/impor kapal tidak lagi diperlukan. Sementara itu, di bidang kepelabuhanan, khususnya pelabuhan yang tidak diusahakan, tarif jasa atas pemakaian jasa labuh dan jasa tambat selama satu hingga tiga hari juga telah dibebaskan. Dengan langkahlangkah tersebut diharapkan armada angkutan laut nasional dapat berkembang dan mampu meningkatkan perannya dalam menghemat pengeluaran devisa.. Sehubungan dengan perkembangan-perkembangan tersebut di atas, neraca jasa-jasa (neto) dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan masih akan mengalami defisit sebesar US$ 13.977 juta, yang terdiri dari defisit jasa-jasa migas sebesar US$ 3.299 juta dan defisit jasa- Depertemen Keuangan Republik Indonesia 214 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 jasa non migas sebesar US$ 10.678 juta. Perkiraan defisit neraca jasa-jasa dalam tahun 1996/1997 tersebut mengalami peningkatan sebesar 5,6 persen dari defisit tahun anggaran sebelumnya sebesar US$ 13.239 juta. Sementara itu, defisit jasa-jasa migas dan jasa-jasa non migas diperkirakan akan mengalami peningkatan masing-masing sebesar 1,9 persen dan 6,8 persen dari realisasi tahun anggaran sebelumnya sebesar US$ 3.238 juta dan US$ 10.001 juta. 4.4.4. Lalu lintas modal dan transfer Di tengah perkembangan ekonomi dunia yang semakin mengglobal dan terintegrasi, yang ditandai dengan pergerakan modal yang tidak lagi mengenal batas-batas negara, Indonesia dihadapkan pada tantangan yang cukup berat. Di satu sisi, dalam upaya mempertahankan momentum pembangunan yang berkelanjutan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, Indonesia masih dihadapkan pada kendala keterbatasan sumber-sumber pembiayaan, terutama yang bersumber dari dalam negeri. Hal ini terutama disebabkan karena relatif rendahnya tingkat tabungan domestik, baik berupa tabungan masyarakat, swasta maupun tabungan pemerintah. Sementara di sisi lain, meskipun sumber pembiayaan yang berasal dari luar negeri, terutama dalam bentuk investasi asing langsung (foreign direct investment) dan investasi tidak langsung (portfolio investment), dapat dimanfaatkan sebagai altematif pembiayaan pembangunan, namun dengan semakin ketatnya persaingan dalam upaya menarik modal dari luar negeri, terutama antar sesama negara berkembang, peluang untuk memanfaatkan sumber dana altematif tersebut tidak serta merta menjadi mudah. Menghadapi kendala dan tantangan tersebut, maka dalam rangka menciptakan iklim yang menggairahkan untuk investasi, baik PMDN maupun PMA, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, yang diharapkan akan dapat meningkatkan kegiatan penanaman modal. Adapun upaya yang dilakukan Pemerintah adalah dengan meningkatkan dan memperluas kegiatan ekonomi dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada masyarakat dan dunia usaha dalam pembiayaan pembangunan dalam meningkatkan investasi dan produktivitas serta perluasan pasar ekspor dengan peningkatan daya saing dalam investasi dan perdagangan dunia serta alih teknologi, kemampuan manajerial dan modal. Sementara itu, dalam rangka mengendalikan defisit transaksi berjalan, selain telah mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan permintaan domestik, Pemerintah juga Depertemen Keuangan Republik Indonesia 215 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 mengambil langkah deregulasi di sektor riil. Rangkaian kebijaksanaan di sektor riil tersebut bertujuan, antara lain untuk mendorong investasi melalui peningkatan efisiensi dan daya saing komoditas ekspor, misalnya melalui penurunan tarif bea masuk bagi bahan baku dan barang modal untuk produksi barang ekspor dan penghapusan berbagai pungutan yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Sebagaimana dalam tahun-tahun sebelumnya, dalam memanfaatkan pinjaman dari luar negeri Pemerintah tetap berpegang pada beberapa pedoman, antara lain bahwa dana dari luar negeri tersebut tidak mempunyai ikatan politis, bersyarat lunak dengan tenggang waktu pengembalian yang panjang, besamya pinjaman tetap harus disesuaikan dengan kemampuan perekonomian nasional dalam pengembaliannya, dan peranannya diupayakan agar semakin mengecil terhadap sumber pembiayaan dalam negeri. Sedangkan untuk menjaga kredibilitas Indonesia di bidang finansial di dunia internasional, Pemerintah mempunyai prinsip untuk memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman sesuai dengan persyaratan dan jadwal pembayaran yang telah disepakati. Disamping itu, sebagai salah satu upaya untuk mengurangi beban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri yang berbunga tinggi, Pemerintah tetap akan melanjutkan kebijaksanaan percepatan pembayaran hutang luar negeri pemerintah, dengan dana yang antara lain berasal dari hasil penjualan bagian saham pemerintah pada BUMN tertentu di pasar internasional. Sementara itu, pinjaman komersial luar negeri akan dikurangi dengan mempertajam prioritas. Dalam perkembangannya lalu lintas modal neto dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan berjumlah sebesar US$ 10.797 juta. Jumlah tersebut merupakan hasil dari pemasukan modal pemerintah sebesar US$ 5.844 juta, ditambah pemasukan modal lainnya sebesar US$1 0.489 juta, dan dikurangi pembayaran hutang pokok luar negeri pemerintah sebesar US$ 5.536 juta. Bila dibandingkan dengan lalu lintas modal neto dalam tahun anggaran 1995/1996 yang berjumlah US$ 11.463 juta maka terjadi penurunan sebesar US$ 666 juta atau sebesar 5,8 persen. Penurunan lalu lintas modal neto tersebut disebabkan oleh menurunnya komponen lalu lintas modal lainnya, yaitu dari US$ 11.672 juta dalam tahun anggaran 1995/1996 menjadi sebesar US$ 10.489 juta dalam tahun anggaran 1996/1997, atau turun sebesar 10,1 persen. Penurunan lalu lintas modal lainnya tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya pemasukan modal lain-lain yang bersifat jangka pendek, walaupun pemasukan modal dalam rangka penanaman modal asing mengalami peningkatan. Sebaliknya pemasukan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 216 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 modal pemerintah dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat sebesar US$ 114 juta atau 2 persen dibandingkan dengan tahun anggaran 1995/1996 yang berjumlah sebesar US$ 5.730 juta. Sementara itu pembayaran hutang pokok luar negeri pemerintah mengalami penurunan sebesar US$ 403 juta, yaitu dari sebesar US$ 5.939 juta dalam tahun anggaran 1995/ 1996 menjadi sebesar US$ 5.536 juta dalam tahun anggaran 1996/1997. Penurunan pembayaran hutang pokok pinjaman luar negeri tersebut antara lain disebabkan dilakukannya percepatan pembayaran hutang luar negeri yang berbunga tinggi pada tahun anggaran sebelumnya, sehingga mengurangi beban pembayaran hutang luar negeri pada tahun anggaran 1996/1997. 4.5. Perkiraan neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1997/1998 Dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan harga minyak dunia tidak berbeda dengan keadaan tahun anggaran sebelumnya. Diperkirakan permintaan minyak dunia akan meningkat, namun permintaan minyak impor untuk proses pengolahan kilang di dalam negeri juga terus meningkat. Produksi minyak anggota OPEC diperkirakan tidak banyak mengalami perubahan sesuai dengan kuota yang berlaku hingga bulan Juli 1997. Dalam tahun anggaran 1997/1998 Pemerintah tetap berupaya memelihara konsistensi dalam kebijaksanaan makro yang bermuara pada pengendalian inflasi. Berkaitan dengan hal tersebut diperkirakan nilai ekspor secara keseluruhan dalam tahun anggaran 1997/1998 akan mencapai sebesar US$ 56.153 juta, terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 8.857 juta dan ekspor non migas sebesar US$ 47.296 juta. Dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan baik di tingkat pusat maupun di daerah, maka diperlukan sumber dana maupun investasi yang meningkat baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan impor non migas, terutama impor barang modal. Di samping itu, dengan semakin majunya tingkat kesejahteraan masyarakat akan menyebabkan naiknya impor barang konsumsi. Dalam tahun anggaran 1997/ 1998, pengeluaran devisa untuk impor secara keseluruhan diperkirakan mencapai sebesar US$ 50.742 juta, terdiri dari impor migas sebesar US$ 1.851 juta dan impor non migas sebesar US$ 48.891 juta. Dengan adanya kenaikan impor tersebut diperkirakan akan berdampak pada meningkatnya pengeluaran jasa-jasa angkutan laut karena hampir 95 persen impor menggunakan jasa pengangkutan kapal asing, yang akibatnya meningkatkan defisit jasa-jasa Depertemen Keuangan Republik Indonesia 217 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 neto. Dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan defisit jasa-jasa akan mencapai sebesar US$ 15.209 juta, yang meliputi jasa-jasa migas sebesar US$ 3.562 juta dan jasa-jasa non migas sebesar US$ 11.647 juta. Dengan surplus neraca perdagangan dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan sebesar US$ 5.411 juta, dan defisit neraca jasa-jasa sebesar US$ 15.209 juta, maka defisit transaksi berjalan akan meningkat menjadi sebesar US$ 9.798 juta, atau mengalami peningkatan sebesar US$ 975 juta dibandingkan dengan perkiraan tahun anggaran 1996/1997 sebesar US$ 8.823 juta. Selanjutnya, lalu lintas modal dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan meningkat menjadi sebesar US$ 11.247 juta, terdiri dari pemasukan modal pemerintah sebesar US$ 5.608 juta, pembayaran hutang pokok pemerintah sebesar US$ 4.939 juta. dan pemasukan modal lainnya sebesar US$ 10.578 juta. Dengan perkembangan transaksi berjalan dan lalu lintas modal tersebut neraca pembayaran secara keseluruhan diperkirakan mengalami surplus dengan cadangan devisa yang cukup untuk membiayai 4,4 bulan impor. 4.5.1. Perkiraan penerimaan minyak bumi dan gas alam (neto) Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dunia, kebutuhan energi diperkirakan akan semakin meningkat. Dalam pada itu meningkatnya permintaan tersebut diperkirakan akan diikuti pula dengan meningkatnya penawaran energi. Berdasarkan hal tersebut diperkirakan harga minyak bumi tidak akan berbeda dengan tahun anggaran sebelumnya. Dengan demikian penerimaan neto minyak bumi dan gas alam dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan mencapai sebesar US$ 3.444 juta, yang terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 8.857 juta, impor migas sebesar US$ 1.851 juta, dan jasa- jasa minyak bumi dan gas alam sebesar US$ 3.562 juta. 4.5.2. Perkiraan nilai ekspor bukan minyak bumi dan gas alam Dalam tahun anggaran 1997/1998 ekspor bukan minyak bumi dan gas alam diperkirakan mencapai sebesar US$ 47.296 juta atau 14,0 persen lebih tinggi dari perkiraan realisasi dalam tahun anggaran sebelumnya. Perkiraan tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut : (1) Dalam tahun 1997, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan sedikit meningkat, Depertemen Keuangan Republik Indonesia 218 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 sehingga akan berdampak pada perkembangan neraca perdagangan Indonesia. Selanjutnya diperkirakan persaingan ekspor semakin ketat, sementara penggunaan WTO sebagai media penyelesaian perselisihan perdagangan semakin meningkat dan karena semakin globalnya perdagangan dunia diperkirakan pasar komoditi ekspor Indonesia akan meluas, yang pada gilirannya akan meningkatkan ekspor non migas. Dengan demikian secara keseluruhan nilai ekspor non migas diperkirakan tetap akan meningkat. (2) Efisiensi perekonomian dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang terus disempurnakan dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Selain itu, upaya untuk meningkatkan kualitas dan standar mutu produk ekspor agar sesuai dengan standar intemasional serta promosi ekspor akan terus digalakkan, sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan nilai ekspor non migas. (3) Perkembangan investasi di dalam negeri, khususnya yang berorientasi ekspor, diperkirakan akan semakin meningkat sejalan dengan semakin menariknya iklim usaha/investasi di dalam negeri yang didukung oleh meningkatnya kualitas sarana dan prasarana, serta tersedianya bahan baku, tenaga kerja yang profesional, dan teknologi yang tepat guna. Dengan perkembangan tersebut diharapkan daya saing produk nasional semakin meningkat baik jumlah maupun kualitasnya sehingga mampu bersaing di pasar global, yang pada akhimya akan mendorong peningkatan ekspor non migas. 4.5.3. Perkiraan nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam Nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan mencapai sebesar US$ 48.891 juta, yang berarti meningkat sebesar US$ 5.816 juta atau sebesar 13,5 persen dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya sebesar US$ 43.075 juta. Adapun asumsi perkiraan tersebut didasarkan atas : (1) Dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan perdagangan bebas dunia, yang telah ditandai dengan penurnnan tarif secara bertahap, maka diperkirakan impor non migas secara keseluruhan akan mengalami peningkatan. Persaingan yang semakin ketat di dalam memasuki perdagangan dunia akan berdampak permintaan barang impor semakin sulit untuk ditekan. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 219 Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998 (2) Semakin berkembangnya perdagangan luar negeri dan investasi di dalam negeri, maka kebutuhan terhadap barang modal seperti mesin-mesin, alat telekomunikasi, alat pengangkutan dan lainnya akan meningkat. Sementara itu permintaan akan bahan baku/penolong seperti bahan kimia, benang tenun, besi baja dan logam, bahan-bahan karet dan plastik, serta lainnya, diperkirakan pertumbuhannya akan melamban namun nilainya masih tetap besar, bahkan diperkirakan sekitar setengah dari nilai impor non migas secara keseluruhan. (3) Adanya perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat relatif akan mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap barang-barang konsumsi, antara lain yang berasal dari luar negeri. Di samping itu, dalam upaya meningkatkan kualitas produk dalam negeri yang berorientasi ekspor, maka penggunaan bahan baku/penolong impor akan tetap berlanjut. Berdasarkan hal tersebut, diperkirakan pertumbuhan nilai impor masih akan meningkat namun semakin melamban apabila dibandingkan dengan tahun anggaran yang lalu. 4.5.4. Perkiraan pos lainnya Dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan pengeluaran jasa-jasa akan mencapai sebesar US$ 15.209 juta, atau meningkat sebesar 8,8 persen dari tahun anggaran sebelumnya sebesar US$ 13.977 juta. Pengeluaran jasa-jasa tersebut meliputi jasa-jasa migas sebesar US$ 3.562 juta dan jasa-jasa non migas sebesar US$ 11.647 juta. Sementara itu, lalu lintas modal mengalami peningkatan sebesar 4,2 persen dari tahun anggaran sebelumnya sebesar US$ 10.797 juta, sehingga realisasinya dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan mencapai sebesar US$ 11.247 juta yang terdiri dari pemasukan modal pemerintah sebesar US$ 5.608 juta, pembayaran hutang pokok sebesar US$ 4.939 juta, dan lalu lintas modal lainnya sebesar US$ 10.578 juta. Selanjutnya perkiraan neraca pembayaran tahun anggaran 1997/1998 secara rinci dapat dilihal dalam Tabel IV.10. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 220 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Tabel IV.10 PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN, 1997/1998 (dalam juta US $) I. Barang-barang dan jasa-jasa 1. Ekspor, fob Minyak bumi dan gas alam Bukan minyak bumi dan gas alam 2. Impor, fob Minyak bumi dan gas alam Bukan minyak bumi dan gas alam 3. Jasa-jasa minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam 4. Transaksi berjalan minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam II. SDRs III. Pemasukan modal Pemerintah 1. Bantuan program 2. Bantuan proyek dan lain-lain IV. LaIn lintas modal lainnya V. Pembayaran hntang pokok VI. Jumlah (I s.d. V) VII. Selisih yang belum dapat diperhitungkan VIII. Lalu lintas moneter Depertemen Keuangan Republik Indonesia + + + + + + - 56.153 8.857 47.296 50.742 1.851 48.891 15.209 3.562 11.647 9.798 3.444 13.242 5.608 0 5.608 10.578 4.939 1.449 0 1.449 221 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 BAB V KEUANGAN DAERAH 5.1. Pendahuluan Peningkatan kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal memerlukan dana yang cukup besar. Dana untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah dan penyediaan pelayanan umum kepada masyarakat di daerah yang semakin meningkat dapat dihimpun dari mobilisasi dana masyarakat melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat I dan tingkat II. Sebagaimana digariskan dalam GBHN, pembangunan di daerah diarahkan agar dapat lebih mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan sekaligus meningkatkan perekonomian nasional. Peranan keuangan daerah yang semakin meningkat dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan telah dapat dicapai melalui berbagai upaya perbaikan dalam pengelolaan keuangan daerah, selalu diselaraskan dengan arahan GBHN tersebut. Program-program yang telah dilaksanakan daerah selama ini, khususnya di bidang keuangan daerah, telah memperlihatkan kemajuan. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan pendapatan daerah, baik daerah tingkat I (Dati I) maupun daerah tingkat II (Dati II), yang cukup berarti. Realisasi penerimaan daerah tingkat I seluruh Indonesia selama periode 1989/1990-1995/1996 mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 17,3 persen, sedangkan realisasi penerimaan daerah tingkat II seluruh Indonesia selama periode 1989/1990-1994/1995 mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 26,1 persen. Realisasi penerimaan daerah tersebut terdiri dari pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan pemerintah pusat, pinjaman daerah, serta sisa lebih tahun sebelumnya. Salah satu upaya pemerintah pusat dalam meningkatkan penerimaan daerah adalah dengan memberi perhatian kepada perkembangan penerimaan daerah sendiri (PDS) yang terdiri dari PAD ditambah pajak bumi dan bangunan (PBB). Sumber-sumber PAD adalah hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, dan lain-lain hasil usaha daerah yang Depertemen Keuangan Republik Indonesia 222 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 sah, sedangkan PBB yang termasuk dalam bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah pajak negara yang dibagihasilkan kepada daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Pengelompokan PAD bersama PBB sebagai komponen PDS adalah karena kedua sumber dana tersebut secara penuh dapat dipergunakan oleh daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah, di samping memperlihatkan adanya upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan daerah. Sejalan dengan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah, PDS menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Jika dalam tahun anggaran 1989/1990 PDS tingkat I seluruh Indonesia masih sebesar Rp 1.211,0 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 meningkat menjadi sebesar Rp 4.422,2 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 24,1 persen. Demikian pula halnya dengan PDS tingkat II yang juga mengalami peningkatan, jika dalam tahun anggaran 1989/1990 sebesar Rp 839,7 miliar, maka dalam tahun anggaran 1994/1995 telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.362,9 miliar atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 23,0 persen. PAD tingkat I dan tingkat II seluruh Indonesia terhadap keseluruhan penerimaan masingmasing tingkat pemerintahan, telah menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat. PAD tingkat I, yang dalam tahun anggaran 1989/1990 berjumlah Rp 1.041,4 miliar atau menyumbang sebesar 23,9 persen terhadap penerimaan APBD tingkat I, meningkat menjadi sebesar Rp 3.854,2 miliar atau kontribusinya terhadap penerimaan APBD tingkat I adalah sebesar 34,1 persen dalam tahun anggaran 1995/1996. Selama periode 1989/19901995/1996 PAD tingkat I telah mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 24,4 persen. Sejalan dengan peningkatan PAD tingkat I tersebut, PAD tingkat nseluruh Indonesia selama periode 1989/1990-1994/1995 juga mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun yang tinggi yaitu sebesar 21,0 persen. Persentase PAD tingkat II terhadap penerimaan APBD tingkat II dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah sebesar 15,9 persen dan menurun menjadi sebesar 12,9 persen dalam tahun anggaran 1994/1995. Penurunan proporsi PAD tingkat II terhadap APBD tingkat II tersebut disebabkan kenaikan proporsi dari penerimaan-penerimaan lain, utamanya sumbangan dan bantuan dari pemerintah yang lebih tinggi, yang mempunyai laju pertumbuhan yang lebih cepat dari PAD. Seperti halnya dengan perkembangan penerimaan PAD, penerimaan daerah tingkat I Depertemen Keuangan Republik Indonesia 223 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 yang berasal dari PBB juga mengalami peningkatan. Pertumbuhan rata-rata per tahun penerimaan PBB daerah tingkat I selama periode 1989/1990-1995/1996 adalah sebesar 22,3 persen, yaitu jika dalam tahun anggaran 1989/1990 jumlah penerimaan PBB hanya sebesar Rp 169,6 milyar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 telah meningkat menjadi sebesar Rp 568,0 miliar. Penerimaan daerah tingkat II dari PBB juga mengalami pertumbuhan yang cepat. Jika dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan PBB daerah tingkat II sebesar Rp 361,8 miliar, maka dalam tahun anggaran 1994/1995 meningkat menjadi sebesar Rp 1.125,2 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 25,5 persen selama periode 1989/1990-1994/1995. Secara umum peningkatan penerimaan daerah, baik tingkat I maupun tingkat II, disebabkan oleh peningkatan efisiensi dalam pemungutan, penggalian sumber-sumber dana, serta adanya peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam pengelolaan keuangan daerah. Sumbangan dan bantuan pusat sebagai sumber penerimaan terbesar dalam penerimaan daerah, baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II, mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sumbangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dimaksudkan untuk membantu memperlancar penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebagian besar dari dana sumbangan yang diberikan berwujud subsidi daerah otonom (SDD), yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai dan non pegawai. Adapun bantuan pusat kepada daerah ditujukan untuk penyebarluasan, pemerataan, dan penyelarasan pembangunan antardaerah. Bantuan pusat yang diberikan tersebut adalah dalam bentuk program Inpres yang bersifat bantuan umum dari bantuan khusus bagi pembangunan daerah. Penerimaan daerah tingkat I yang berasal dari sumbangan dan bantuan pusat dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah sebesar Rp 2.720,6 miliar dari telah meningkat menjadi sebesar Rp 5.489,0 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996 atau berarti selama periode tersebut telah mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 12,4 persen. Peranan penerimaan yang berasal dari sumbangan dari bantuan pusat tersebut terhadap seluruh penerimaan daerah tingkat I menunjukkan penurunan, yakni dari sebesar 62,5 persen dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi sebesar 48,5 persen dalam tahun anggaran 1995/1996. Sebaliknya untuk daerah tingkat II, penerimaan yang berasal dari sumbangan dari bantuan mengalami peningkatan yang cukup pesat, yaitu dari sebesar Rp 2.011,6 miliar dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi sebesar Rp Depertemen Keuangan Republik Indonesia 224 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 6.570,2 miliar dalam tahun anggaran 1994/1995 yang berarti menunjukkan pertumbuhan ratarata per tahun sebesar 26,7 persen. Proporsi penerimaan yang berasal dari sumbangan dari bantuan terhadap seluruh penerimaan daerah tingkat II memperlihatkan peningkatan yaitu dari sebesar 66,7 persen dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi sebesar 68,3 persen dalam tahun anggaran 1994/1995. Realisasi penerimaan daerah tingkat I maupun daerah tingkat II secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel V.1 sampai dengan Tabel V.4, serta Grafik V.1, dan Grafik V.2. Sesuai dengan prinsip anggaran daerah yang berimbang dari dinamis, maka seperti halnya yang terjadi pada sisi penerimaan, realisasi pengeluaran pemerintah daerah tingkat I juga mengalami peningkatan yang cukup pesat. Realisasi pengeluaran daerah tingkat I dalam periode 1989/1990-1995/1996 telah mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 17,2 persen. Sebagian besar pengeluaran masih dipergunakan untuk membiayai belanja rutin, utamanya belanja pegawai. Pertumbuhan rata-rata per tahun realisasi pengeluaran rutin daerah tingkat I adalah sebesar 15,0 persen selama periode 1989/1990-1995/1996. Dalam kurun waktu yang sama pengeluaran pembangunan mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 22,5 persen. Pengeluaran pembangunan ini dalam tahun anggaran 1995/1996 utamanya digunakan untuk membiayai sektor transportasi dari sektor aparatur pemerintah dari pengawasan, yang proporsinya terhadap jumlah pengeluaran pembangunan masing-masing adalah sebesar 24,6 persen dari 14,7 persen. Pengeluaran daerah tingkat II selama periode 1989/1990-1994/1995 mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 25,8 persen. Dalam periode yang sarna realisasi pengeluaran rutin mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 22,5 persen, sementara pengeluaran pembangunan mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 29,8 persen. Sebagian besar dari pengeluaran rutin daerah tingkat II digunakan untuk membiayai belanja pegawai, sedangkan sebagian besar pengeluaran pembangunan dialokasikan untuk menunjang sektor transportasi dari sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olahraga, yang proporsinya terhadap pengeluaran pembangunan dalam tahun anggaran 1994/1995 masing-masing adalah sebesar 38,4 persen dari 13,6 persen. Realisasi pengeluaran daerah yang meliputi pengeluaran rutin dari pengeluaran pembangunan, baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II, secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel V.5 sampai dengan Tabel V.8, serta Grafik V.3, dan Grafik V.4. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 225 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Tabel V.1 PENERIMAAN DAERAH TlNGKAT I SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BUTO TANPA MIGAS, 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996 Repelita V Repelita VI 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1995/1996 Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) No. Uraian 1. Penerimaan daerah sendiri (PDS): 1.211,01 a. Pendapatan asli daerah (PAD) 1.041,40 169,61 b. Bagi hasil pajak (PBB) 133,63 Bagi hasil pajak dan bukan pajak, diluar 2.720,55 Sumbangan/bantuan pemerintah pusat Pinjaman 15,08 269,85 Sisa lebih tahun sebelumnya 4.350,12 Jumlah penerimaan APBD Tk.I PDRB *) 137.975,18 Persentase penerimaan APBD Tk.I terhadap PDRB (6 : 7) 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 27,84 31,16 3,07 62,54 0,35 6,2 100 - 2.612,11 2.199,79 412,32 232, II 5.096,65 38,44 403,02 8.382,33 290.605,94 2,77 60,8 0,46 4,81 100 - 3.480,39 3.010,32 470,07 283,27 5.310,26 51,86 583,21 9.708,99 341.002,33 3,15 - 2,88 - 35,85 2,92 54,69 0,53 6,01 100 - 4.422,24 3.854,23 568,01 418,53 5.488,98 57,38 926,24 11.313,37 401.239,97 39,09 3,7 48,52 0,5 8,19 100 - 2,85 - 2,82 Keterangan: *) Dalam tahun takwim dan atas dasar harga yang berlaku. **) Angka diperbaiki. ***) Angka sementara. ****) Angka sangat sementara. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 226 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Tabel V. 2 PENERIMAAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996 (dalam miliar rupiah) Repelita V No. Propinsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah Repelita VI 1989/1990 1993/1994 1994/1995 103,98 275,29 55,29 114,9 37,03 91,19 29,34 134,72 710,45 561,56 534,19 94,9 630,49 94,27 68,17 92,71 100,4 110,25 67,46 80 25,26 112,6 34,02 38,54 46,99 75,97 30,15 4.350,12 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 194,71 466,71 99,02 231,83 84,13 177,46 61,05 101,37 1.670,66 1.095,79 1.027,69 180,52 1.143,98 198,65 176,24 202,23 205,07 93,01 155,74 138,32 72,82 100,11 72,29 89,46 96,91 178,89 67,67 8.382,33 205,54 543,56 121,51 224,94 92,22 190,94 67,44 123,68 2.186,26 1.325,29 1.138,62 196,77 1.315,94 121,19 190,46 222,58 246,68 96,1 167,22 165,71 7,25 123,46 78,93 112,1 104 199,64 71,96 9.708,99 Pertumbuhan 1995/1996 Rata-rata (%) 215,12 613,43 143,82 267,94 114,16 225,21 81,69 148,27 2.716,62 1.588,77 1.324,98 221,79 1.484,60 133,22 210,53 174,33. 266,72 104,64 184,96 197,01 86,87 160,14 93,27 111,18 109,54 257,62 76,93 11.313,37 12,9 14,3 17,3 15,2 20,6 16,3 18,6 1,6 25,1 18,9 16,4 15,2 15,3 5,9 20,7 11,1 17,7 -0,9 18,3 16,2 22,9 6,1 18,3 19,3 15,2 22,6 16,9 17,3 227 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Tabel V.3 DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS 1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Repelita V 1989/1990 Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) Uraian Penerimaan daerah sendiri (PDS) a. Pajak asli daerah (PAD) b. Bagi hasil pajak (PBB) Bagi hasil pajak dan bukan pajak, diluar PBB Sumbangan/bantuan pemerintah pusat dan daerah tingkat I Pinjaman Sisa lebih tahun sebelumnya Jumlah penerimaan APBD Tk. II PDRB *) Persentase penerimaan APBD Tk. II Terhadap PDRB (6 : 7) 839,68 477,92 361,76 64,98 2.011,57 26,51 71,18 3.013,92 118.191,24 - 27,86 1993/1994 Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) 1.819,18 944,55 874,63 240,48 21,65 66,74 5.956,08 0,88 52,03 2,36 336,21 100 8.403,98 - 239.499,48 *) 2,16 2,55 - Repelita VI 1994/1995 Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) 24,55 2,86 2.362,91 1.237,69 1.125,22 327,26 70,87 0,62 4 100 - 6.570,23 85,78 277,02 9.623,20 282.217,00 68,28 0,89 2,88 100 - 3,51 - 3,41 3,4 Keterangan : DaIam tahun takwim, dan atas dasar harga yang berlaku. Tabel V.4 PENERIMAAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995 (dalam miliar rupiah) Repelita V No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. Propinsi DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimatan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah Rata-rata 1989/1990 Keseluruhan Rata-rata 98,57 199,17 131,74 92,14 69,37 169,49 34,99 61,22 359,97 339,59 40,44 359,7 59,19 45,7 50,06 99,35 45,53 32,72 224,48 47,81 66,48 83,13 109,61 66,84 99,1 27,55 3.013,92 - 9,.86 11,72 9,111 15:36 11,56 16,95 8,75 15,3 15 9,7 8,09 9,72 8,46 7,62 5,01 16,56 6,5 8,18 9,76 11,95 8,31 13,85 9,13 13,37 [1,01 2,12 10,32 Depertemen Keuangan Republik Indonesia Pertumbuhan Repelita VI 1993/1994 Keseluruhan Rata-rata 230,68 447,09 312,92 278,04 197,47 455,66 103,21 290,04 996,32 915,65 98,26 896,16 155,25 177,1 154,96 343,13 224,51 93,23 544,05 134,67 260,02 190,37 301,9 178,48 315 109,82 8.403,98 - 23,07 26,3 22,35 46,34 32,91 45,57 25,8 58,01 41,51 26,16 19,65 24,22 22,18 29,52 15,5 57,19 32,07 23,31 23,65 33,67 28,89 31,73 25,16 35,7 35 8,45 28,58 1994/1995 Keseluruhan Rata-rata 241,08 456,51 337,72 306,44 208,86 586,25 109,85 333,11 1.205,51 940,81 115,94 1.036,35 286,82 189,56 178,29 385,17 242,97 109,39 608,37 138,72 319,58 209,79 342,02 193,86 406,82 133,4 9.623,20 - 24,11 26,85 24,12 51,07 34,81 58,63 27,46 66,62 48,22 26,88 23,19 28,01 40,97 31,59 17,83 64,19 34,71 27,35 26,45 34,68 35,51 29,97 28,5 38,77 40,68 10,26 32,4 (%) 19,6 18 20,7 27,2 24,7 28,2 25,7 40,3 27,3 22,6 23,4 23,6 37,1 32,9 28,9 31,1 39,8 27,3 22,1 23,7 36,9 20,3 25,6 23,7 32,6 37,1 26,1 - 228 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan program-program pembangunan di daerah, telah dilakukan peningkatan status beberapa kota administratif menjadi kotamadya daerah tingkat II. Dalam tahun anggaran 1989/1990 di Indonesia terdapat 290 daerah tingkat II dan sampai dengan tahun anggaran 1994/1995 terdapat 298 daerah tingkat II, yang berarti telah terjadi penambahan 8 daerah tingkat II dalam kurun waktu 5 tahun. Namun khusus untuk Kotamadya Daerah Tingkat II, karena baru dibentuk dalam tahun anggaran 1994/1995, sehingga belum memiliki APBD untuk tahun anggaran tersebut, maka sampai dengan tahun anggaran 1994/1995 daerah tingkat II yang memiliki APBD baru sebanyak 297 daerah tingkat II sebagaimana terlihat dalam Tabel V.9. Dalam tahun anggaran 1995/1996 telah dibentuk Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari di Propinsi Sulawesi Tenggara, dan dalam tahun anggaran 1996/1997 juga telah dibentuk Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang di Propinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 di Indonesia terdapat sebanyak 300 daerah tingkat II. 5.2. Kebijaksanaan keuangan daerah Memasuki era globalisasi, dunia usaha dituntut untuk berproduksi lebih efisien agar dapat meningkatkan daya saing di pasar dalam negeri dan luar negeri. Pemerintah termasuk pemerintah daerah harus turut mendukung dunia usaha dengan menciptakan iklim yang merangsang investor menanamkan modalnya di daerah. Salah satu upaya untuk menarik investasi di daerah adalah melalui rasionalisasi pungutan-pungutan daerah yang berupa pajak daerah dan retribusi daerah. Sistem perpajakan dan retribusi daerah saat ini yang didasarkan kepada Undang. undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan Undang-undang Nomor 12 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah, sudah saatnya ditinjau kembali karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini. Dewasa ini terdapat jumlah jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang sangat banyak dan bervariasi antardaerah, sedangkan hasilnya kurang memadai dan bahkan biaya pemungutannya lebih tinggi dari hasilnya. Disamping itu beberapa jenis pajak daerah dan retribusi daerah tertentu memiliki objek yang sama sehingga merugikan masyarakat dan berdampak negatif pada perekonomian daerah karena menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi yang sangat Depertemen Keuangan Republik Indonesia 229 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 dikeluhkan oleh dunia usaha. Rasionalisasi terhadap pajak daerah dan retribusi daerah harus mengarah kepada sistem perpajakan dan retribusi daerah yang sederhana dan efisien serta dapat menggerakkan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan daerah. Dengan rasionalisasi pajak daerah dan retribusi daerah tersebut diharapkan dapat dicapai tujuan sebagai berikut: Pertama, memperbaiki berbagai kelemahan sistem perpajakan dan retribusi daerah yang berlaku selama ini. Kedua, memperkuat pondasi penerimaan daerah, khususnya daerah tingkat II, dengan mengurangi jumlah jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan lebih mengefektifkan jenis-jenis pajak dan retribusi tertentu yang potensial serta meningkatkan efisiensi dalam pemungutannya. Ketiga, terciptanya pedoman bagi pemerintah daerah dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah, dan keempat, menyelaraskan sistem perpajakan daerah dengan perpajakan nasional. Upaya peningkatan pembangunan di seluruh daerah terus digalakkan dengan memberi penekanan pada aspek penyerasian laju pertumbuhan antardaerah, antarkota dan desa. Oleh karena itu alokasi dana pembangunan juga diarahkan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Sementara daerah yang sudah lebih maju perlu tetap diupayakan untuk ditingkatkan, bagi daerah yang kurang maju perlu semakin dipacu agar dapat mengejar ketertinggalannya. Dalam rangka penyebarluasan, pemerataan dan penyelarasan pembangunan antardaerah, kepada daerah diberikan bantuan pembiayaan pembangunan yang dikenal sebagai program bantuan pembangunan daerah atau program Inpres. Program Inpres dibedakan dalam dua kelompok, yaitu program Inpres yang bersifat bantuan umum dan yang bersifat bantuan khusus. Bantuan umum meliputi Inpres Dari I, Inpres Dari II dan Inpres desa. Program Inpres yang bersifat bantuan khusus adalah Inpres kesehatan, Inpres sekolah dasar, Inpres penghijauan dan reboisasi, serta Inpres penunjangan jalan dan jembatan. Sejak tahun anggaran 1994/1995 dalam upaya lebih memantapkan pelaksanaan otonomi daerah, Inpres penghijauan dan reboisasi serta Inpres penunjangan jalan dan jembatan telah menjadi bagian dalam Inpres Dari I dan Inpres Dari II yang bersifat bantuan umum. Kemudian sejak tahun anggaran 1994/1995 pemerintah telah mengembangkan suatu program bantuan baru, yaitu Inpres desa tertinggal (IDT) yang khusus diberikan dalam rangka pengentasan kemiskinan rakyat yang berada di desadesa tertinggal. Bantuan ini dimaksudkan untuk dapat mendorong, menibantu, dan meningkatkan usaha-usaha ekonomi masyarakat desa, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di desa-desa tertinggal tersebut. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 230 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 No. 1. 2. 3. 4. 5. Tabel V. 5 PENGELUARAN DAERAH TINGKAT I SELUUH DffiANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS, 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996 Repelita V Repelita VI Uraian 1994/1995 1989/1990 1993/1994 1995/1996 Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) Pengeluaran rutin Pengeluaran pembangunan Jumlah pengeluaran APBD Tk. I PDRB *) Persentase pengeluaran APBD Tk. I terhadap PDRB (3 : 4) 2.936,91 1.028,57 3.965,48 137.975,18 74,06 25,94 100 - 5.400,97 2.413,01 7.813,98 **) 69,12 30,88 100 - 5.988,98 2.848,40 8.837,38 ***) 67,77 32,23 100 - 6.786,57 3.480,19 10.266,76 ****) 66,1 33,9 100 - - 2,87 - 2,69 - 2,59 - 2,56 Keterangan : *) Dalam tahun takwim, dan atas dasar harga yang berlaku. **) Angka diperbaiki. ***) Angka sementara. ****) Angka sangat sementara. Tabel V.6 PENGELUARAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996 (dalam miliar rupiah) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Propinsi DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bal I Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah Repelita V 1989/1990 1993/1994 96,34 267,15 49,73 73,66 34,03 72,52 27 118,27 603,74 529,44 516,28 87,11 598,49 88,57 66,07 88,69 84,27 106,63 66,27 65,88 24,82 101,59 30,4 36,88 36,49 67,19 27,98 3.965,48 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 190,16 458,58 95,22 200,42 . 78,84 164,53 59,69 97,98 1.403,20 1.034,88 998,8 172,77 1.109,41 191,31 168,89 200,44 162,92 90,88 155,23 134,16 70,79 92,42 70,82 84,37 91,15 171,3 64,81 7.813,98 Repelita VI 1994/1995 1995/1996 201,19 515,63 108,48 183,87 81,65 167,33 62,68 112,84 1.847,94 1.223,73 1.092,61 185,79 1.242,03 107,62 178,32 219,29 200,39 94,48 166,09 154,71 69,65 102,05 73,08 104 98,01 178,36 65,56 8.837,38 214,18 584,01 124,85 217,28 97,13 193,67 73,1 134,56 2.335,26 1.507,23 1.260,54 209,7 1.354,56 126,35 198,61 163,97 233,12 102,09 179,71 170,54 82,29 131,68 86,23 104,06 103,41 205,05 73,6 10.266,76 Pertumbuhan Rata-rata (%) 14,2 13,9 16,6 19,8 19,1 17,8 18,1 2,2 25,3 19,1 16 15,8 14,6 6,1 20,1 10,8 18,5 -0,7 18,1 17,2 22,1 4,4 19 18,9 19 20,4 17,5 17,2 231 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 No 1. 2. 3. 4. 5. Tabel V.7 PENGELUARAN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS 1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995 Repelita V Repelita VI Uraian 1989/1990 1993/1994 1994/1995 Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) Pengeluaran rutin Pengeluaran pembangunan Jumlah penerimaan APBD Tk. II PDRB *) Persentase pengeluaran APBD Tk. II terhadap PDRB (3 : 4) 1.690,58 1.200,60 2.891,18 118.191,24 - 58,47 3.923,35 41,53 4.018,67 100 7.942,02 - 239.499,48 **) 2,45 - 49,4 50,6 100 - 4.662,95 4.429,38 9.092,33 ***) 51,28 48,72 100 - 3,32 - 3,22 Keterangan : *) Dalam tahun takwim dan atas dasar harga yang berlaku. **) Angka diperbaiki. ***) Angka sementara. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 232 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Tabel V.8 PENGELUARAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995 (dalam miliar rupiah) No. Propinsi -1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. -2 DI Aceh Sumatera Sumatera Riau Jambi Sumatera Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa DI Jawa Timur Kalimantan Kalimantan Kalimantan Kalimatan Sulawesi Sulawesi Sulawesi Sulawesi Bali Nusa Nusa Maluku Irian Jaya Timor Jumlah Rata-rata Pertumbu Repelita V Repelita VI Rata-rata 1989/1990 1993/1994 1994/1995 Keseluruh Rata-rata Keseluruh Rata-rata Keseluruhan Rata-rata -6 -7 -3 -4 -5 -8 -9 22,29 231,6 95,02 9,5 222,86 23,16 19,5 25,29 431,85 191,87 11,29 429,85 25,4 17,6 22,05 332,23 130,65 9,33 308,66 23,73 20,5 45,12 293,09 83,81 13,97 270,71 48,85 28,5 31,96 204,12 66,49 11,08 191,77 34,02 25,1 44,05 476,53 152,81 15,28 440,46 47,65 25,5 25,56 107,19 33,57 8,39 102,26 26,8 26,1 57,28 322,36 57,82 14,46 286,39 64,47 41 40,02 1.114,87 352,86 14,7 960,53 44,59 25,9 21,19 868,44 329,24 9,41 741,53 24,81 21,4 19,21 109,9 38,49 7,7 96,04 21,98 23,3 23,2 1.004,68 343,68 9,29 858,41 27,15 23,9 21,36 280,62 57,26 8,18 149,55 40,09 37,4 27,91 176,43 40,47 6,75 167,47 29,4 34,2 14,59 170,19 47,4 4,74 145,92 17,02 29,1 357,05 51,46 87,33 14,55 308,77 59,51 32,5 237,77 31,59 44,24 6,32 221,16 33,97 40 106,75 22,8 31,39 7,85 91,21 26,69 27,7 23,32 594,31 221,17 9,62 536,4 25,84 21,9 33,41 136,17 47,15 11,79 133,65 34,04 23,6 27,18 285,35 63,91 7,99 244,66 31,71 34,9 31,53 205,95 82,61 13,77 189,19 29,42 20 24,65 333,83 108,85 9,07 295,85 27,82 25,1 34,06 184,02 63,4 12,68 170,29 36,8 23,8 30,16 397,06 93,16 10,35 271,43 39,71 33,6 8,23 129,96 26,54 2,04 107,01 10 37,4 9.092,33 2.891,18 7.942,02 25,8 9,9 30,61 27,01 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 233 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Tabel V. 9 JUMLAH DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI 1989/1990 DAN 1994/1995 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. Propinsi Repelita V 1989/1990 Repelita VI 1994/1995 10 17 14 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah *) Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur 10 24 35 37 10 23 12 13 . Jumlah 290 Keterangan : *) Belum termasuk Kodya Palu, karena belum memiliki APBD. 10 17 14 6 6 10 4 5 25 35 5 37 7 6 10 6 7 4 23 4 9 7 12 5 10 13 297 Kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah terus meningkat sejalan dengan semakin beragam dan meningkatnya kebutuhan pelayanan kepada masyarakat. Namun peningkatan penerimaan daerah tidak secepat peningkatan kebutuhan pelayanan masyarakat, sehingga kalau hanya dengan mengandalkan penerimaan daerah maka kebutuhan pelayanan masyarakat akan sulit dipenuhi. Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi keterbatasan dana tersebut, pemerintah daerah seyogyanya mengembangkan pola kerjasama dengan masyarakat dan swasta dalam pembangunan prasarana dan sarana daerah. Pola Depertemen Keuangan Republik Indonesia 234 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 kerjasama ini akan terus dilanjutkan dan dikembangkan sejalan dengan program pembangunan nasional, yaitu dengan meningkatkan partisipasi masyarakat yang terus menerus dalam pembangunan. Dengan demikian fungsi pemerintah tidak hanya sebagai penyedia langsung tetapi lebih bersifat sebagai pengarah dan pengatur dalam pembangunan prasarana dan sarana daerah. Pola kerjasama atau kemitraan dalam pembangunan prasarana dan sarana telah banyak dilaksanakan di berbagai daerah dan terus disempurnakan agar semua pihak dapat memperoleh manfaat, utamanya di bidang-bidang penyediaan air bersih, persampahan, dan pembangunan terminal angkutan umum. Dalam menghadapi era globalisasi, salah satu strategi pemerintah dalam meningkatkan daya saing adalah dengan mengoptimalkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan, yaitu dengan meningkatkan dan memantapkan otonomi daerah khususnya di daerah tingkat II. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang mengamanatkan bahwa titik berat otonomi diletakkan pada daerah tingkat II. Sebagai tindak lanjut kebijaksanaan otonomi daerah tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II, kemudian disusul dengan dikeluarkannya PP Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kepada 26 Daerah Tingkat II Percontohan. Kedua PP tersebut dimaksudkan untuk dapat mendorong, meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Dengan bertambah besarnya dana yang dikelola daerah untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat yang meningkat, maka perlu didukung dengan adanya pengelolaan keuangan daerah yang lebih efisien dengan memperhatikan prioritas-prioritas pembangunan yang telah ditetapkan dalam setiap tahap pembangunan. Di samping itu juga dilakukan berbagai studi beserta penerapannya, seperti sistem dan prosedur peningkatan kinerja pengelolaan keuangan, pengembangan sistem akuntansi dan pengendalian anggaran, sistem operasional dan pemeliharaan prasarana dan sarana daerah, serta penyempurnaan sistem alokasi subsidi daerah otonom yang lebih mendukung tugas-tugas desentralisasi. Dalam pada itu, saat ini juga sedang dikembangkan restrukturisasi anggaran daerah dengan maksud untuk dapat lebih mempertajam sasaran yang hendak dicapai dalam setiap tahun anggaran, selain untuk menata kembali bentuk dan susunan anggaran daerah yang menunjang pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang lebih efektif dan efisien. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 235 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Dalam meningkatkan daya saing, pemerintah daerah berupaya terus meningkatkan sumber daya manusia dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan agar dalam memasuki era globalisasi aparatur daerah dapat lebih profesional, terampil dan efisien serta dapat diandalkan dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu telah dilakukan berbagai pelatihan bagi aparatur daerah di bidang keuangan daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan profesionalisme. Dalam hal ini telah dilakukan kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Andalas dalam menyelenggarakan kursus keuangan daerah (KKD) untuk kursus jangka menengah dan latihan keuangan daerah (LKD) untuk kursus jangka pendek. Disamping itu, juga dikirim tenaga-tenaga yang potensial di bidang keuangan daerah untuk belajar ke luar negeri, baik untuk program gelar maupun non gelar. Selanjutnya untuk mengantisipasi perkembangan perkotaan yang begitu cepat juga dilakukan pelatihan-pelatihan bagi para pengelola perkotaan, baik untuk para pejabat teras maupun untuk pejabat teknis. Pelatihan-pelatihan tersebut adalah pelatihan manajemen perkotaan untuk tingkat manajemen strategis, guna melengkapi pelatihan-pelatihan tingkat manajemen teknis operasional dan tingkat manajemen teknis pelaksanaan yang selama ini telah ada dan diselenggarakan oleh berbagai instansi teknis terkait. Modul-modul pelatihan tingkat manajemen strategis perkotaan meliputi pelatihan inti manajemen perkotaan terpadu, manajemen keuangan perkotaan, manajemen lingkungan hidup perkotaan, perencanaan tata ruang dan manajemen lahan, manajemen pelayanan jasa perkotaan, manajemen perencanaan dan penganggaran investasi prasarana dan sarana perkotaan, serta manajemen ekonomi perkotaan. Setiap modul pelatihan tersebut dilaksanakan oleh badan-badan pendidikan dan pelatihan pada instansi terkait atau bekerjasama dengan perguruan tinggi. 5.3. Anggaran pendapatan dan belanja daerah tingkat I 5.3.1. Penerimaan daerah sendiri Penerimaan daerah sendiri (PDS) yang terdiri dari PAD ditambah dengan PBB selalu diupayakan peningkatannya sebagai salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah dalam rangka mengisi otonomi daerah yang nyata, serasi, dinamis dan bertanggung jawab. Dimasukkannya PBB sebagai komponen PDS karena Depertemen Keuangan Republik Indonesia 236 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 hampir seluruh penerimaan PBB telah diserahkan kepada daerah, dan sarna halnya dengan PAD, hasil penerimaan daerah dari PBB tergantung dari upaya pemerintah daerah dalam pemungutannya, dan dapat dipergunakan sepenuhnya oleh daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah. Upaya peningkatan PDS tersebut merupakan wujud nyata bagi daerah dalam memobilisasi sumber dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah sebagai wahana untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Dalam periode 1989/1990-1995/1996 realisasi PDS tingkat I mengalami peningkatan yang cukup besar. Apabila dalam tahun anggaran 1989/1990 realisasi PDS adalah sebesar Rp 1.211,0 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 telah meningkat menjadi sebesar Rp 4.422,2 miliar, yang berarti berkembang dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 24,1 persen. Jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun penerimaan APBD tingkat I dalam periode yang sarna, yaitu sebesar 17,3 persen, berarti tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun PDS masih jauh lebih tinggi. Perkembangan penerimaan PDS juga sejalan dengan perkembangan ekonomi daerah yang tercermin dalam perkembangan PDRB. Proporsi PDS terhadap PDRB tanpa migas dalam tahun anggaran 1989/1990 sebesar 0,9 persen telah meningkat menjadi sebesar 1,1 persen dalam tahun anggaran 1995/1996. Perkembangan PDS tingkat I dan proporsinya terhadap PDRB tanpa migas dapat dilihat dalam Tabel V.10. 5.3.1.1. Pendapatan asli daerah Sebagaimana diatur di dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, PAD adalah bagian dari sumber penerimaan daerah. Karena itu, pemungutan PAD harus terus diupayakan agar lebih efektif dan efisien sehingga dapat mendukung pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, dalam mewujudkan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba perusahaan daerah, penerimaan dinas-dinas daerah, dan lain-lain usaha daerah yang sah, yang semuanya merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah. PAD untuk daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1989/1990 sebesar Rp 1.041,4 miliar telah meningkat menjadi sebesar Rp 3.854,2 miliar dalam tahun anggaran Depertemen Keuangan Republik Indonesia 237 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 1995/1996, yang berarti mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 24,4 persen. Perkembangan PAD tingkat I per propinsi dalam periode tersebut dapat dilihat dalam Tabel V.11. Peranan penerimaan pajak daerah tingkat I terhadap keseluruhan PAD tingkat I dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah sebesar 78,2 persen, meningkat menjadi sebesar 78,8 persen dalam tahun anggaran 1995/1996. Hal ini menunjukkan bahwa peranan penerimaan pajak daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1995/1996 terhadap keseluruhan PAD tetap dominan jika dibandingkan dengan jenis PAD lainnya, seperti retribusi dengan peranan sebesar 14,2 persen, penerimaan bagian tata perusahaan daerah sebesar 1,8 persen, penerimaan dinas-dinas daerah sebesar 0,9 persen, serta penerimaan lain-lain sebesar 4,3 persen. Peranan masing-masing komponen PAD terhadap penerimaan PAD secara keseluruhan dapat dilihat dalam Tabel V.12. 5.3.1.1.1. Pajak daerah Pajak daerah merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada umumnya hasil pemungutan pajak daerah didasarkan pada peraturan daerah tentang jenis pajak yang bersangkutan, dan pajak negara yang telah diserahkan kepada daerah. Pajak daerah merupakan pungutan daerah untuk pembiayaan rumah tangga daerah sebagai badan hukum publik. Pajak daerah tingkat I meliputi antara lain pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB), pajak menangkap ikan di perairan teritorial, pajak atas alat angkutan di atas air (P-A3), bea balik nama alat angkutan di atas air (BBN-A3), dan pajak pembuatan kapal kayu. Didasarkan atas berbagai pertimbangan, seperti besamya ongkos pungut dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh, ataupun karena kecilnya jumlah penerimaan jenis pajak tertentu di daerah-daerah tertentu, maka tidak semua jenis pajak yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dipungut oleh suatu daerah. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 238 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Tabel V.10 PENERIMAAN DAERAH SENDIRI TINGKAT I DAN PROPORSINYA TERHADAP PDRB TANPA MIGAS PER PROPINSI, 1989/1990 DAN (dalam miliar rupiah) No. Propinsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah PDS PDRB *) PDS/PDRB (%) Repelita VI Repelita V Repelita VI Repelita V Repelita VI 1995/1996 1989 1995 **) 1989/1990 1995/1996 Repelita V 1989/1990 . 1.211,01 51.69 177,02 60,88 140,69 35,49 89,78 18,39 58,2 1.935.44 507,32 298,06 49,46 465,61 33,12 25,75 53,68 89,22 26,16 19,58 89,01 11,74 83,89 21,23 24,37 18.39 30.97 7.09 4.422,24 2.571.79 9.039,39 2.913,33 2.332,23 1.196,93 5.686,75 691.02 2.872,94 19.783,94 23.938,19 16.857,00 1.651,48 24.644,63 2.333,43 1.200,25 2.022,74 3.765.34 1.289,73 842,11 4.035,71 722,67 2.552,49 1.094,47 1.041.44 1.341.06 1.323.31 230,83 137.975,18 6.908.13 24.231.99 8.114.63 8.469.50 3.373,54 12.494,30 2.088,19 8.021.95 69.846,96 70.266,17 43.979,34 5.618,65 66.191,13 7.138,91 4.351,70 6.106,06 11.277,60 3.793,22 2.559,70 10.294,16 1.820,25 7.409,58 3.465,97 2.880.17 3.089.30 6.740,47 708,43 401.239.97 0.7 0,7 0.5 2.5 0.7 0,5 0,7 0,7 2,4 0,5 0,5 0,8 0,6 0,4 0,4 0,6 0,7 0.9 0.6 0.6 0,4 1,1 0,6 0.8 0.7 0.5 0,6 0,9 0,8 0,7 0,8 1,7 1,1 0,7 0.9 0,7 2,8 0.7 0,7 0,9 0,7 0.5 0.6 0.9 0.8 0.7 0,8 0,9 0,6 1.1 0.6 0.9 0.6 0.5 1.0 1,1 Keterangan : *) PDRB atas dasar harga yang berlaku. **) Angka sangat sementara. Dalam tahun anggaran 1989/1990 jumlah penerimaan pajak daerah tingkat I seluruh Indonesia adalah sebesar Rp 814,0 miliar dan jumlah ini meningkat menjadi sebesar Rp 3.037,2 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996, yang berarti meningkat dengan laju pertumbuhan ratarata per tahun sebesa 24,8 persen. Dalam tahun anggaran 1995/1996, penerimaan pajak daerah yang terbesar adalah berasal dari Propinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 42,4 persen dari seluruh penerimaan pajak daerah, diikuti oleh Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur masing-Depertemen Keuangan Republik Indonesia 239 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 masing sebesar 13,8 persen dan 12,4 persen. Perkembangan penerimaan pajak daerah tingkat I secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.13. PKB dan BBN-KB merupakan penerimaan pajak daerah tingkat I yang dominan dalam keseluruhan penerimaan pajak daerah tingkat I, bahkan dalam tahun anggaran 1995/1996 di Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Nusa Tenggara Barat, seratus persen atau seluruh penerimaan pajak daerah tingkat I berasal dari PKB dan BBN-KB. Sementara itu, di daerah tingkat I lainnya, penerimaan yang berasal dari kedua pajak tersebut sekitar 95,0 persen dari penerimaan pajak daerah. Di Propinsi DKI Jakarta peranan penerimaan PKB dan BBN-KB dalam tahun anggaran 1995/1996 menunjukkan persentase paling kecil dibandingkan daerah tingkat I lainnya, yakni hanya sebesar 69,3 persen dari penerimaan pajak daerah. Rendahnya peranan PKB dan BBN-KB terhadap keseluruhan penerimaan pajak daerah di Propinsi DKI Jakarta ini disebabkan jumlah penerimaan pajak yang besar dari Propinsi DKI Jakarta yang merupakan daerah khusus yang tidak terbagi kedalam daerah tingkat II otonom, sehingga penerimaan pajaknya merupakan gabungan dari pajak-pajak daerah tingkat I dan pajak-pajak daerah tingkat II. Perkembangan dan peranan PKB dan BBN-KB terhadap penerimaan pajak daerah tingkat I secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.14. 5.3.1.1.2. Retribusi daerah Retribusi daerah adalah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berbeda dengan pajak daerah yang pemungutannya dapat dipaksakan, maka pungutan atas retribusi hanya dapat dilakukan bila pemerintah daerah menyediakan dan atau memberikan pelayanan jasa umum atau pelayanan jasa usaha atau pelayanan perizinan tertentu untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Bagi pemerintah daerah tingkat I walaupun pungutan retribusi ini jumlahnya lebih kecil daripada pungutan pajak, namun pungutan ini mempunyai arti penting dalam menghimpun dana yang bersumber dari daerah sendiri. Hasil yang diperoleh dari retribusi jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 240 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Tabel V.11 PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996 (dalam juta rupiah) No. Repelita V 1989/1990 1993/1994 Propmsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Sclatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah Pcrtumbuhan Repelita VI 1994/1995 1995/1996 Rata-rata (%) 12.327,96 27.112,14 32.643,44 38.853,82 57.781,98 84.768,17 124.141,38 156.859,08 14.207,26 29.241,05 44.926,33 56.411,94 14.360,96 55.379,28 75.972,68 89.677,85 6.778,56 13.765,87 21.285,89 29.310,72 21.295,67 38.511,51 54.441,06 71.899,27 4.216,70 7.247,16 10.948,95 16.983,82 17.494,32 24.076,93 36.303,55 53.473,69 429.660,93 993.655,81 1.316.884,65 1.672.650,57 104.941,45 240.877,35 349.516,53 469.830,02 78.929,39 148.351,63 211.577,95 280.650,03 12.899,36 27.985,57 39.081,20 46.691,24 133.860,37 235.381,72 339.829,32 440.621,77 8.631.59 17.595,38 25.656,25 27.614,75 2.390,35 7.996,01 11.266,01 12.453,99 9.334,47 21.807,34 28.746,53 40.796,71 16.661,10 54.502,57 59.213,49 63.971,15 11.289,99 21.177,75 19.720,45 23.597,12 4.398,37 10.840,29 13.348,74 17.175,41 23.094,09 41.565,52 59.389,96 78.038,72 2.768,96 7.383,48 9.189,15 9.841,35 27.503,12 41.619,44 63.084,07 80.597,31 5.714,25 10.798,90 14.946,39 19.069,96 8.028,01 14.831,31 17.520,47 21.016,50 7.307,71 8.444,37 11.323,39 13.511,27 4.148,94 10.358,54 13.767,73 17.188,22 1.377,76 4.511,70 5.598,35 5.443,58 1.041.403,63 2.199.786,80 3.010.323,91 3.854.229,86 21,1 18,1 25,8 35,7 27,6 22,5 26,1 20,5 25,4 28,4 23,5 23,9 22 21,4 31,7 27,9 25,1 13,1 25,5 22,5 23,5 19,6 22,3 17,4 10,8 26,7 25,7 24,4 Tabel V.12 KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA, 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996 No. 1. 2. 3. 4. 5. Uraian Pajak Retribusi Penerimaan bagian laba Perusahaan daerah Penerimaan dinas-dinas Penerimaan lain-lain Jumlah Repelita V 1989/1990 Jumlah (%) (Rp miliar) Repelita VI 1994/1995 Jumlah (%) (Rp miliar) 1993/1994 Jumlah (%) (Rp miliar) 1995/1996 Jumlah (%) (Rp miliar) 813,98 136,18 78,16 13,08 1.663,77 339,09 75,63 15,41 2.378,64 432,9 79,02 14,38 3.037,17 548,09 78,8 14,22 19,93 20,58 50,73 1.041,40 1,91 1,98 4,87 100 31,84 27,06 138,03 2.199,79 1,45 1,23 6,28 100 35,39 28,39 135 3.010,32 1,18 0,94 4,48 100 68,3 34,79 165,88 3.854,23 1,77 0,9 4,3 100 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 241 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Tabel V.13 PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996 (dalam juta rupiah) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Propinsi DI Acch Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Sclatan Bcngkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Dl Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur .Jumlah Repelita V 1989/1990 1993/1994 8.607,70 51.150,68 9.740,12 12.482,25 4.770,77 16.808,75 2.607,08 13.448,04 331.569,51 87.644,34 63.565,34 10.456,79 110.891,99 7.264,53 1.531,15 7.280,43 12.854,77 5.915,58 2.993,34 16.664,80 1.134,79 22.774,96 3.858,36 2.268,53 2.638,82 2.431,94 626,1 813.981,46 Repelita VI 1995/1996 1994/1995 13.605,81 24.402,02 19.998,95 71.328.28 129.097,40 106.520,15 19.534,58 42.694,68 31.588,59 37.931,29 67.531,84 52.455,21 8.631,71 24.146,48 16.771,66 26.139,32 55.097,52 39.560,71 3.742,29 9.517,70 6.128,14 16.609,97 42.072,75 26.696,79 768.461,67 1.049.326,01 1.289.033,71 200.614,66 420.095,46 303.930,73 118.195,75 229.838,67 170.703,74 23.625,O! 40.229,88 33.870,89 194.316,74 375.415,33 292.092,97 12.924,63 20.298,23 18.263,09 5.337,55 8.392,71 7.864,98 15.193,14 28.397,94 19.926,08 23.205,60 38.965,39 32.666,81 8.778,00 15.707,75 11.181,65 5.867,43 10.540,25 8.222,85 28.124,01 55.741,02 41.197,62 3.330,45 5.137,16 4.274,05 33.445,36 64.520,64 51.364,87 5.797,99 11.181,48 9.154,22 5.338,13 7.756,55 6.397,68 4.340,12 7.018,08 6.307,49 7.249,42 11 .483,33 9.511,89 2.104,98 2.859,29 2.662,63 1.663.773.88 2.378.640.45 3.037.173,26 Pcrtumbuhan Rata-rata (%) 19 16,7 27,9 32,5 31 21,9 24,1 20,9 25,4 29,9 23,9 25,2 22,5 18,7 32,8 25,5 20,3 17,7 23,3 22,3 28,6 19 19,4 22,7 17,7 29,5 28,8 24,5 Selama periode 1989/1990-1995/1996 keseluruhan penerimaan retribusi daerah tingkat I memperlihatkan laju pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 26,1 persen. Sebagaimana terlihat dalam Tabel V.15, jika dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan retribusi berjumlah Rp 136,2 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 jumlahnya meningkat menjadi sebesar Rp 548,1 miliar. Dari semua propinsi yang ada, Propinsi DKI Jakarta mempunyai penerimaan retribusi terbesar yang dalam tahun anggaran 1995/1996 berjumlah Rp 257,0 miliar. Jumlah ini jauh di alas jumlah yang diperoleh propinsi peringkat kedua yaitu Propinsi Jawa Timur yang dalam tahun anggaran 1995/1996 memperoleh sebesar Rp 47,9 miliar. Tingginya perbedaan Depertemen Keuangan Republik Indonesia 242 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 penerimaan retribusi antara Propinsi DKI Jakarta dengan Propinsi Jawa Timur oleh karena Propinsi DKI Jakarta memungut retribusi daerah tingkat I dan retribusi daerah tingkat II. Sementara itu, Propinsi Timor Timur mempunyai penerimaan retribusi terendah yang dalam tahun anggaran 1995/1996 hanya mencapai sebesar Rp 0,7 miliar. Namun demikian, laju pertumbuhan rata-rata per tahun dari penerimaan retribusi di propinsi ini menunjukkan angka tertinggi yaitu sebesar 59,3 persen dalam periode 1989/1990-1995/1996, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata per tahun yang terendah terjadi di Propinsi Bali, yaitu sebesar 18,1 persen dalam periode yang sama. 5.3.1.1.3. Bagian laba badan usaha milik daerah Badan usaha milik daerah (BUMD) adalah perusahaan daerah yang dibentuk oleh pemerintah daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Menurut undang-undang tersebut perusahaan daerah merupakan suatu kesatuan produksi yang bersifat jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum dari sekaligus memupuk pendapatan. Dengan demikian perusahaan daerah dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian daerah dari menambah pendapatan daerah. Secara keseluruhan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I selama Repelita V mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu dari sebesar Rp 19,9 miliar dalam tahun anggaran 1989/1990 meningkat menjadi sebesar Rp 31,8 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994. Namun demikian peranan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I masih relatif kecil dibandingkan dengan sumber PAD yang lain, yaitu hanya sebesar 1,9 persen dari seluruh penerimaan daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1989/1990 dari sebesar 1,5 persen dalam tahun anggaran 1993/1994. Dalam Repelita VI penerimaan bagian laba BUMD tingkat I mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu dari sebesar Rp 35,4 miliar dalam tahun anggaran 1994/1995 menjadi sebesar Rp 68,3 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996 atau mengalami peningkatan sebesar 92,9 persen. Demikian pula proporsinya terhadap total PAD tingkat I mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 1,2 persen dalam tahun anggaran 1994/1995 menjadi sebesar 1,8 persen dalam tahun anggaran 1995/1996. Secara nasional, penerimaan bagian laba BUMD tingkat I terbesar dalam tahun anggaran 1995/1996 dicapai oleh Propinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp 42,2 miliar atau Depertemen Keuangan Republik Indonesia 243 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 sebesar 61,8 persen dari total penerimaan bagian laba BUMD seluruh daerah tingkat I, kemudian diikuti oleh Propinsi Jawa Barat dari Propinsi Jawa Tengah, masing-masing sebesar Rp 3,6 miliar dan Rp 3,2 miliar. Di1ihat dari pertumbuhan rata-rata per tahun dalam kurun waktu 1989/1990-1995/1996, penerimaan bagian laba BUMD tingkat I yang mengalami pertumbuhan tertinggi terjadi di Propinsi Riau, diikuti Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Nusa Tenggara Timur masing-masing sebesar 77,9 persen, 52,7 persen, dan 52,0 persen. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun secara nasional selama periode tersebut adalah sebesar 22,8 persen. Perkembangan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel V.16. Tabel V.14 PERANAN PKB DAN BBN-KB TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1989/1990 DAN 1995/1996 (dalam persentase) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Propinsi Repelita V 1989/1990 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Indonesia Depertemen Keuangan Republik Indonesia 96,9 92.4 99,9 97,3 99,4 99,3 94,2 100 77,7 99,2 98,2 100 100;0 93,7 91,2 99,9 98 100 95,1 98,3 96,4 99,1 100 92,1 100 95,4 100 89,9 Repelita VI 1995/1996 98.4 97,3 99,9 95 98,9 95,6 98,9 97,7 69,3 98,3 98 98,7 100 95,2 95,8 98,2 97,6 99,8 95,3 97,6 97,7 99,6 100 94,5 99,6 99,8 94 86 244 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Tabel V.15 PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996 (dalam juta rupiah) No. Propinsi 1. DI Aceh 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat 11. Jawa Tengah 12. DI Yogyakarta 13. Jawa Timur 14. Kalimantan Barat 15. Kalimantan Tengah 16. Kalimantan Selatan 17. Kalimantan Timur 18. Sulawesi Utara 19. Sulawesi Tengah 20. Sulawesi Selatan 21. Sulawesi Tenggara 22. Bali 23. Nusa Tenggara Barat 24. Nusa Tenggara Timur 25. Maluku 26. Irian Jaya 27. Timor Timur Jumlah Repelita V 1989/1990 1993/1994 1.655,12 2.690,70 2,107,18 1.1 11,43 502,36 2.706,48 668,32 1.757,21 70.577,74 12.658,22 10.597,36 609,8 13.348,88 867,92 346,77 1.295,12 1.996,66 997,52 906,6 2.472,41 323,8 2.827,77 1.152,41 739,86 880,3 335,47 43 136.176,41 Depertemen Keuangan Republik Indonesia 7.971,00 9.449,15 7.702,74 12.135,43 4.145,57 8.524,16 1.950,56 6.438,27 141.527,62 29.741,37 22.893,01 1.757,29 22.576,38 3.828,05 1.335,52 6.033,66 16.397,34 4.597,48 4.101,57 11.179,97 1.563,68 3.910,92 3.235,38 2.736,87 1.199,53 1.811,53 343,5 339.087,56 Repelita VI 1994/1995 1995/1996 7.760,95 11.721,52 10.42l.97 20.326,53 3.732,02 9.812,98 3.253,08 8.653,97 189.058,72 33.672,81 31.333,33 2.377,18 29.026,05 4.841,99 1.912,41 6.721,99 12.653,57 5.263,14 4.173,00 15.770,69 1.950,46 5.085,31 4.231,83 5.055,92 1.842,57 1.731,32 513,88 432.899,20 9.811,37 13.407,49 10.551,18 16.210,09 3.827,95 10.940,37 4.324,48 9.726,83 257.001,38 38.503,54 36.235,76 3.634,33 47.862,67 5.482,71 2.008,69 6.955,96 12.087,39 5.221,79 5.402,74 19.151,72 2.574,93 7.683,09 5.254,91 8.059,09 2.867,39 2.601,44 701,5 548.090,84 Pertumbuhan Rata-rata (%) 34,5 30,7 30,8 56,3 40,3 26,2 36,5 33 24 20,4 22,7 34,7 23,7 36 34 32,3 35 31,8 34,7 40,7 41,3 18,1 28,8 48,9 21,8 40,7 59,3 26,1 245 Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998 Tabel V.16 PENERIMAAN BAGIAN LABA PERUSAHAAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996 (dalam juta rupiah) No. Propinsi 1. DI Aceh 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat 11. Jawa Tengah 12. DI Yogyakarta 13. Jawa Timur 14. Kalimantan Barat 15. Kalimantan Tengah 16. Kalimantan Selatan 17. Kalimantan Timur 18. Sulawesi Utara 19. Sulawesi Tengah 20. Sulawesi Selatan 21. Sulawesi Tenggara 22. Bali 23. Nusa Tenggara Barat 24. Nusa Tenggara Timur 25. Maluku 26. Irian Jaya 27. Timor Timur Jumlah Repelita V 1989/1990 1993/1994 214,93 855,61 856,21 45,57 170 112,17 162,5 560,47 8.190,09' 957,49 2.426,50 793,96 993,34 215,98 79,19 334,09 932,16 604,48 50 200 55 208,75 175 15 400 94,5 224,14 19.927,13 282,76 1.219,06 1.048,93 913,02 231,59 471,42 215,47 228,2 13.585,98 2.459,16 2.681,01 728,39 495,17 348 604,46 231,83 1.452,39 1.350,00 65 317,79 287 365,77 824,56 35 905 191,5 302,09 31.840,54 Repelita VI 1994/1995 1995/1996 329,5 1.617,41 1.282,19 261,25 250,06 835,86 189,9 336,79 12.020,29 4.412,39 2.965,45 953,34 383,91 362,53 452,32 150,6 1.652,08 2.380,00 74,98 423,34 1.084,02 466,18 838,36 60 319,5 751,83 538,36 35.392,41 252,87 2.238,67 1.188,32 1.444,40 300 761,9 648,06 484,46 42.218,38 3.571,17 3.163,50 977,93 574,75 467 460 607,31 2.529,98 1.650,00 286,84 533,54 525 459,16 1.041,98 185 109,06 1.198,82 417,1 68.295,20 Pcrtumbuhan Rata-rata (%) 2,8 17,4 5,6 77,9 9,9 37,6 25,9 -2,4 31,4 24,5 4,5 3,5 -8,7 13,7 34,1 10,5 18,1 18,2 33,8 17,8 45,7 14 34,6 52 -19,5 52,7 10,9 22,8 5.3.1.1.4. Penerimaan dinas-dinas daerah Dinas-dinas daerah dibentuk oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan urusanurusan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah. Pada umumnya fungsi pokok dinas daerah adalah melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan kepada daerah, khususnya yang berkaitan dengan tugas-tugas pembinaan atau bimbingan kepada masyarakat. Namun demikian dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. ada kalanya dinas-dinas daerah menghasilkan penerimaan, seperti hasil penjualan bibit tanaman atau bibit ikan. Depertemen Keuangan Republik Indonesia 246