BAB IV

advertisement
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
NOTA KEUANGAN
DAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN ANGGARAN 1997/1998
REPUBLIK INDONESIA
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
1
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
BAB I
UMUM
Pendahuluan
Tahun anggaran 1997/1998 yang merupakan tahun keempat Repelita VI akan ditandai
dengan beberapa peristiwa penting dalam bidang ketatanegaraan, diantaranya pelaksanaan
pemilihan umum (Pemilu) 1997, disusul dengan pergantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selanjutnya akan dilangsungkan
Sidang Umum MPR yang akan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun
1998, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 1998-2003. Ketiga peristiwa
tersebut akan memberikan suasana baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
memasuki pergantian abad ini.
Memasuki abad ke 21 akan merupakan suatu peristiwa yang bersejarah dalam
mengantarkan dunia memasuki millennium ketiga. Menghadapi pergantian abad tersebut,
sebagai bangsa yang besar, sikap optimisme haruslah menjadi acuan setiap manusia Indonesia.
Sikap optimisme ini harus dikembangkan dan dipupuk, karena hal itu merupakan modal penting
bagi suatu bangsa untuk menatap masa depannya dalam mengisi dan melaksanakan
pembangunan. Pembangunan Indonesia yang telah dirumuskan berdasarkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah memberikan dimensi etika
dan moral, dan merupakan pegangan utama bagi bangsa di tengah-tengah peradaban dunia yang
penuh dengan perbenturan dan persaingan, sebagai akibat dari zaman yang semakin terbuka dan
berdimensi global.
Pembangunan nasional yang mulai dilaksanakan secara terarah dan terencana pada
masa Orde Baru sejak tahun 1969, telah mencatat berbagai prestasi yang menggembirakan.
Selama hampir tiga dekade ekonomi Indonesia telah tumbuh dengan tingkat hampir 7 persen
rata-rata per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut, dibarengi dengan
keberhasilan mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk ke tingkat yang relatif rendah, telah
berhasil meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berarti, yang antara lain
ditunjukkan oleh berbagai indikator seperti makin membaiknya pendapatan per kapita,
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
2
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
menurunnya jumlah penduduk miskin, meningkatnya usia rata-rata harapan hidup, menurunnya
tingkat kematian bayi, serta membaiknya kesempatan memperoleh pendidikan.
Pada saat dimulainya pembangunan nasional pada tahun 1969, pendapatan per kapita
baru mencapai sebesar US$ 70, dan pada tahun 1995 pendapatan per kapita tersebut telah
meningkat menjadi sekitar US$ 1.024, suatu peningkatan hampir lima belas kali dalam kurun
waktu 26 tahun. Hal ini diikuti pula oleh penurunan jumlah penduduk Indonesia yang tergolong
miskin, dari sekitar 60 persen dari jumlah penduduk dalam tahun 1970 menjadi sekitar 13,7
persen dalam tahun 1993. Diperkirakan dalam tahun 1995 angka jumlah penduduk miskin
tersebut telah semakin mengecil. Demikian juga tingkat kematian bayi telah turun secara berarti,
dari 145 per seribu kelahiran hidup dalam tahun 1967 menjadi 55 per seribu dalam tahun 1995.
Sementara itu, usia rata-rata harapan hidup telah meningkat menjadi 63,5 tahun dalam tahun
1995. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan juga mengalami perbaikan, seperti
ditunjukkan oleh angka partisipasi kasar untuk murid sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat
pertarna, sekolah lanjutan tingkat atas, serta perguruan tinggi yang masing-masing telah
mencapai sebesar 111,9 persen, 50,8 persen, 32,5 persen dan 10,3 persen dalam tahun anggaran
1995/1996.
Hasil-hasil pembangunan yang cukup menggembirakan tersebut merupakan hasil kerja
keras dan saling bahu membahu dari seluruh rakyat Indonesia bersama Pemerintah. Perlu
disadari bahwa dalam melaksanakan pembangunan, berbagai tantangan dan hambatan akan
selalu menghadang. Namun demikian, sebagai bangsa pejuang yang telah berpengalaman dalam
berbagai permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semua tantangan dan
hambatan sebesar apapun, akan selalu dapat dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya. Kesatuan
dan persatuan bangsa, kerja sama yang penuh pengertian, serta sikap yang tidak saling
mencurigai dan apatis dari berbagai pelaku pembangunan, baik Pemerintah, badan usaha milik
negara (BUMN), dunia usaha swasta, koperasi serta masyarakat pada umumnya, merupakan
syarat mutlak bagi berhasilnya pembangunan yang berkesinambungan, dalam menuju suatu
masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai selama
ini telah menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang mampu membangun dirinya untuk
duduk sejajar dengan bangsa-bangsa terkemuka lainnya.
Dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
3
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
UUD 1945, Pemerintah telah menetapkan program pembangunan yang berkesinambungan yang
berdimensi jangka panjang (PJP) dan menengah (Repelita) yang dijabarkan dalam rencana
operasional tahunan dalam bentuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN). Pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) yang dimulai pada tahun anggaran
1969/1970 dan berakhir tahun anggaran 1993/1994 telah dilaksanakan dengan baik dan berhasil,
walaupun disadari bahwa masih ada hal-hal yang perin diperbaiki dan ditingkatkan. Hasil-hasil
pembangunan PJP I telah berhasil menciptakan landasan yang kuat bagi pembangunan ekonomi
Indonesia selanjutnya. Sebagai kelanjutannya, PJP II yang telah dicanangkan sejak 1 April 1994
dan akan berakhir tahun 2019, yang meliputi rangkaian Repelita VI sampai dengan Repelita X,
diperkirakan akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan PJP I. Rasa
optimisme ini didasarkan, antara lain pada semakin seimbangnya struktur ekonomi Indonesia,
semakin baiknya kualitas sumber daya manusia Indonesia, serta manajemen ekonomi makro
yang lebih profesional.
Pelaksanaan pembangunan dua tahun pertama Repelita VI telah menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang melampaui target yang ditetapkan, sementara itu, tingkat inflasi
juga lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Hasil-hasil yang dicapai dalam Repelita VI ini
telah meningkatkan rasa percaya diri dan optimisme, bahwa dalam tahun anggaran 1997/1998
berbagai sasaran pokok pembangunan sebagaimana telah ditetapkan, akan dapat dicapai bahkan
kemungkinan besar akan dapat terlampaui. Namun demikian, sikap optimisme dan percaya diri
perlu dibarengi dengan sikap hati-hati dan waspada.
Dalam tahun anggaran 1997/1998, berbagai tantangan akan dihadapi baik itu bersumber
dari dalam negeri (faktor internal) maupun dari luar negeri (faktor eksternal). Tantangan dari
dalam negeri terutama bersumber dari masalah-masalah ekonomi yang belum dapat diselesaikan
dalam tahun-tahun sebelumnya, seperti masalah pemerataan pendapatan, masalah kesenjangan
pembangunan antar kawasan, dan masalah peningkatan peranan usaha kecil dan menengah
termasuk koperasi, serta masalah-masalah lainnya, sedangkan tantangan dari luar negeri
terutama bersumber dari konsekuensi globalisasi ekonomi dunia. Globalisasi ini telah
mengakibatkan interdependensi ekonomi Indonesia dengan negara lain semakin tinggi, sehingga
kejadian-kejadian yang kurang menguntungkan yang terjadi di luar negeri dapat tertransmisikan
ke ekonomi Indonesia. Hal ini perlu diwaspadai dan dicermati karena transmisi faktor eksternal
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
4
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
yang negatif akan dengan mudah dan cepat terjadi oleh adanya kemajuan yang pesat di bidang
teknologi komunikasi dan transportasi. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak negatif
tersebut, diperlukan suatu kebijaksanaan ekonomi makro yang proaktif dan hati-hati (prudent).
Walaupun tantangan yang dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998 beraneka ragam
dan semakin kompleks, namun peluang untuk melaksanakan pembangunan dengan baik dan
berhasil, tetap terbuka lebar. Untuk itu dituntut setiap insan Indonesia terutama yang
melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan agar selalu bekerja keras, berdisiplin serta
berdedikasi tinggi. Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan pembangunan tahun anggaran
1997/1998 akan menandakan bahwa Indonesia telah maju selangkah lagi dalam mencapai
tujuannya.
Beberapa sasaran pokok pembangunan dalam tahun anggaran 1997/1998
Sesuai dengan arah kebijaksanaan pembangunan yang tertuang dalam GBHN 1993,
pelaksanaan pembangunan dalam tahun anggaran 1997/1998 tetap bertumpu pada Trilogi
Pembangunan. Nuansa pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, perlu lebih diwujudkan
sebagai filosofi dasar yang mewarnai setiap proses pengambilan keputusan politik, pengelolaan
kebijaksanaan ekonomi, dan pemecahan berbagai permasalahan fundamental yang dihadapi
dalam pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan untuk mempercepat perubahan struktur
perekonomian nasional menuju perekonomian yang seimbang dan dinamis, yang bercirikan
industri yang kuat dan maju, pertanian yang tangguh, serta memiliki basis pertumbuhan sektoral
yang seimbang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan untuk menggerakkan dan
memacu pembangunan di bidang-bidang lainnya, sekaligus sebagai kekuatan utama
pembangunan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan
sosial ekonomi, yang prosesnya dapat terjadi melalui pengurangan angka kemiskinan dan
peningkatan penyerapan tenaga kerja.
Dalam tahun anggaran 1997/1998 sasaran pertumbuhan ekonomi adalah sesuai dengan
sasaran yang ditetapkan dalam Repelita VI, yakni sebesar 7,1 persen. Sasaran pertumbuhan
ekonomi sebesar itu adalah cukup realistis, baik dilihat dari sisi permintaan maupun penawaran.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
5
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Dari sisi permintaan, perkembangan pasar domestik yang cenderung menguat akan menjadi
motor penggerak utama bagi pertumbuhan ekonomi, di samping peluang pasar luar negeri yang
fenomenanya kini juga tengah menunjukkan perkembangan secara pesat. Sedangkan dari sisi
penawaran, sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari adanya peningkatan investasi,
peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan produktivitas, efisiensi, dan daya saing
dalam pengelolaan sumber daya ekonomi nasional, serta semakin meningkatnya peranserta
masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Dalam tahun anggaran 1997/1998, kebutuhan
investasi untuk pembangunan sektor pemerintah diperkirakan akan mencapai sekitar Rp
38.927,9 miliar, diantaranya diharapkan dapat dibiayai melalui tabungan pemerintah sebesar Rp
25.901,9 miliar dan penerimaan pembangunan sebesar Rp 13.026,0 miliar. Dengan
pertumbuhan ekonomi sebesar 7,1 persen dan sasaran pertumbuhan penduduk sebesar 1,54
persen, maka pada akhir tahun anggaran 1997/1998 pendapatan per kapita diperkirakan akan
mencapai sekitar US$ 1.201.
Kondisi perekonomian nasional dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan
berkembang secara dinamis dan mantap, melalui pembenahan aspek struktural ekonomi. Hal ini
dilakukan dengan mengurangi dan menghapuskan berbagai distorsi yang menghambat proses
produksi dan distribusi barang dan jasa, serta pengelolaan sektor finansial secara lebih
akomodatif dan berhati-hati, diharapkan laju inflasi akan dapat dikendalikan, sehingga
mendekati angka sasaran Repelita VI sebesar 6 persen per tahun. Namun demikian, dalam
rangka untuk memelihara kestabilan ekonomi yang dinamis, tetap diperlukan adanya
kebijaksanaan yang lebih berhati-hati, khususnya dalam menangani defisit transaksi berjalan.
Dalam tahun anggaran 1997/1998 defisit transaksi berjalan diperkirakan mencapai sebesar US$
9.798,0 juta, atau sedikit lebih tinggi dari angka tahun anggaran lalu. Peningkatan defisit
transaksi berjalan ini terjadi seiring dengan makin meningkatnya kegiatan investasi di dalam
negeri, sehingga kebutuhan impor barang modal dan bahan baku/ penolong juga makin
meningkat. Oleh karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa, pertumbuhan impor
dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan pada tingkat 13,7 persen, sedangkan ekspor
diperkirakan tumbuh sebesar 14,0 persen, terutama karena adanya kontribusi dari ekspor
nonmigas yang pertumbuhannya diperkirakan akan mencapai sebesar 16,9 persen.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
6
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Kebijaksanaan ekonomi makro dan dinamika ekonomi Indonesia
Kebijaksanaan ekonomi makro yang dilaksanakan selama ini dengan tetap bertumpu
pada Trilogi Pembangunan, telah membawa perubahan yang mendasar dalam perekonomian
Indonesia. Perubahan ini antara lain tercermin pada perubahan struktur ekonomi Indonesia dari
suatu struktur yang kurang seimbang ke struktur yang lebih seimbang. Transformasi struktur
ekonomi ke arah yang lebih seimbang sangat penting bagi keberhasilan pembangunan ekonomi
Indonesia, terutama dalam berakomodasi dan berintegrasi dengan ekonomi global. Transformasi
struktur ekonomi ini menyangkut antara lain struktur produk domestik bruto (PDB), struktur
penerimaan negara, struktur ekspor, dan struktur investasi.
Perubahan atau transformasi struktur PDB Indonesia tercermin dari bergesernya
peranan sektor tradisional (pertanian) ke sektor yang lebih modern, seperti sektor industri,
perdagangan, dan jasa-jasa. Peranan sektor industri pengolahan dalam PDB telah meningkat dari
9,2 persen dalam tahun 1969 menjadi 24,2 persen pada tahun 1995. Sedangkan peranan sektor
pertanian menurun dari 49,3 persen dalam PDB tahun 1969, menjadi 17,2 persen dalam tahun
1995. Struktur PDB yang didominasi sektor pertanian mempunyai beberapa kelemahan, yaitu
nilai tukar (terms of trade) produk pertanian relatif rendah dibandingkan dengan produk
manufaktur, sehingga penerimaan devisa dari ekspor produk pertanian tidak dapat diandalkan
sebagai penerimaan devisa untuk membiayai barang-barang modal yang diimpor. Selain itu,
sektor pertanian tumbuh relatif lamban, sehingga tidak dapat diandalkan untuk menyerap tenaga
kerja yang tumbuh dengan cepat. Dengan memperhatikan beberapa kelemahan. ini, Pemerintah
sejak awal pembangunan telah mengambil beberapa kebijaksanaan yang bertujuan untuk
menyeimbangkan alokasi sumber daya antara sektor pertanian dengan sektor industri.
Perubahan struktur perekonomian nasional yang menuju keseimbangan antara sektor
industri dan sektor pertanian semakin penting dewasa ini, sejalan dengan semakin tingginya
integrasi ekonomi Indonesia dengan perekonomian dunia yang cenderung bergerak ke arah
perdagangan sektor manufaktur dan jasa. Dengan struktur PDB yang telah mengarah ke sektor
industri dan jasa, ekonomi Indonesia diharapkan akan dapat lebih mudah mengakomodasi
peristiwa-peristiwa ekonomi internasional.
Perubahan struktural lain yang cukup penting menyangkut struktur penerimaan dalam
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
7
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
negeri. Sampai dengan awal tahun 1980-an, penerimaan dalam negeri sangat didominasi oleh
penerimaan migas, misalnya dalam tahun anggaran 1981/1982 peranan penerimaan migas
mencapai sebesar 70,9 persen dari total penerimaan dalam negeri. Struktur penerimaan yang
semacam ini mempunyai kelemahan yang mendasar yaitu sangat rentan terhadap fluktuasi harga
migas di pasar internasional. Kenyataan menunjukkan bahwa harga migas di pasar internasional
memang sangat fluktuatif, sehingga penerimaan negara dalam negeri juga menjadi tidak
menentu. Keadaan semacam ini pada gilirannya akan mengganggu kestabilan kegiatan
pemerintahan baik kegiatan yang bersifat rutin maupun pembangunan, sebagaimana terjadi pada
tahun 1986, dimana harga minyak turun ke tingkat paling rendah, yaitu sekitar US$ 9 per barel
pada bulan Agustus 1986. Di samping itu, dalam jangka panjang, harga minyak diperkirakan
akan cenderung menurun, karena penemuan sumur-sumur minyak baru, penemuan teknologi
baru yang hemat energi, serta penemuan teknologi pengganti energi minyak. Selain itu, tingkat
produksi minyak Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan OPEC, sehingga tingkat
produksi minyak nasional kurang leluasa untuk disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi
perekonomian nasional.
Mengingat keadaan yang relatif kurang menguntungkan tersebut di alas, Pemerintah
telah mengambil langkah antisipatif untuk merubah struktur penerimaan dalam negeri dengan
membenahi sistem perpajakan nasional. Dalam kaitan ini telah diberlakukan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Sementara itu, dalam rangka menggali potensi pajak bumi dari bangunan telah pula
diberlakukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dari Bangunan serta
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. Selanjutnya undang-undang
tersebut di atas telah disempurnakan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 9 Tahun
1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, Undang-undang Nomor 10
Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983, serta
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12
Tahun 1985. Selain itu, sejak 1 April 1996 telah diberlakukan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
8
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Pemberlakuan undang-undang tersebut di atas telah berhasil mendorong penerimaan
pajak secara berarti. Dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan pajak mencapai sebesar Rp
48.420,4 miliar yang berarti kenaikan sebesar hampir 13 kali dari tahun anggaran 1982/1983. Di
samping itu peranan penerimaan pajak terhadap penerimaan dalam negeri juga mengalami
peningkatan yang cukup berarti. Jika dalam tahun anggaran 1982/1983 peranan penerimaan
pajak terhadap penerimaan dalam negeri adalah sebesar 30,5 persen, maka dalam tahun
anggaran 1995/1996 telah meningkat menjadi sebesar 67,7 persen. Di sisi lain, peranan
penerimaan migas terhadap penerimaan dalam negeri terus mengalami penurunan dari dalam
tahun anggaran 1995/1996 hanya sebesar 20,8 persen.
Terlepas dari keberhasilan tersebut di atas, penerimaan pajak masih perlu ditingkatkan.
Hal ini terlihat dari angka tax ratio yaitu rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang masih
relatif rendah. Dalam tahun anggaran 1995/1996 angka rasio ini mencapai sebesar 11,8 persen,
sementara di negara-negara Asean seperti Singapura telah mencapai sebesar 16,2 persen,
Malaysia sebesar 33,4 persen, dari Thailand sebesar 16,1 persen pada tahun 1994. Oleh karena
itu, masih perlu ditingkatkan upaya-upaya ke arah peningkatan penerimaan pajak melalui
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan integritas para petugas pajak, serta
peningkatan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.
Perubahan struktur penting lainnya terjadi pada struktur ekspor Indonesia, yaitu dari
suatu struktur yang didominasi migas ke struktur dimana peran nonmigas telah lebih dominan.
Perubahan struktur ini sangat erat kaitannya dengan strategi kebijaksanaan yang dijalankan
Pemerintah. Sebelum tahun 1986, kebijaksanaan yang dijalankan berorientasi ke pasar domestik
(inward-looking policy), yaitu bertujuan mendorong industri dalam negeri yang memproduksi
barang-barang yang menggantikan barang-barang impor, sehingga akan dapat menghemat
devisa. Kebijaksanaan seperti ini dapat dilaksanakan dalam kondisi harga minyak di pasar
internasional yang relatif tinggi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan devisa untuk pembayaran
transaksi internasional. Namun, turunnya harga minyak pada awal tahun 1980-an menyebabkan
Pemerintah menempuh kebijaksanaan yang berorientasi ke pasar luar negeri (outward-looking
policy). Untuk tujuan ini, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijaksanaan yang
mampu menciptakan iklim investasi yang menarik, serta menjalankan kebijaksanaan nilai tukar
yang kondusif untuk mendorong ekspor nonmigas.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
9
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Berbagai kebijaksanaan yang ditempuh, antara lain berupa paket kebijaksanaan 6 Mei
1986 (Pakmei '86), paket kebijaksanaan 25 Oktober 1986 (Pakto '86), paket kebijaksanaan 28
Oktober 1988 (Pakto '88), paket kebijaksanaan 3 Juni 1991 (Pakjun '91), paket kebijaksanaan 6
Juli 1992 (Pakjul '92), paket kebijaksanaan 10 Juni 1993 (Pakjun '93), paket kebijaksanaan 23
Oktober 1993 (Pakto '93) dan paket kebijaksanaan 23 Mei 1995 (Pakmei '95) telah berhasil
mendorong ekspor nonmigas berkembang dengan pesat. Dalam tahun anggaran 1995/1996 total
ekspor mencapai sebesar US$ 46.296 juta, dengan komposisi ekspor nonmigas sebesar US$
36.121 juta (78 persen) dan ekspor migas sebesar US$ 10.175 juta (22 persen) migas.
Komposisi ini berbeda jauh dengan tahun anggaran 1985/1986 dimana total ekspor mencapai
sebesar US$ 18.612 juta dengan komposisi ekspor nonmigas sebesar US$ 6.175 juta (33,2
persen) dan ekspor migas sebesar US$ 12.437 juta (66,8 persen).
Selain perubahan tersebut di atas basis ekspor nonmigas telah bergeser dari komoditikomoditi primer (hasil alam) ke komoditi-komoditi sekunder. Bila pada tahun 1970-an hingga
1980-an ekspor nonmigas tergantung pada 5 komoditi utama, yakni minyak bumi, karet olahan,
kopi, minyak kelapa sawit, dan timah, maka setelah akhir tahun 1980-an, nilai ekspor mulai
didominasi oleh 10 jenis komoditi utama seperti udang (segar/beku), kayu lapis, kayu olahan
lainnya, pakaian jadi, alat-alat listrik, karet olahan, alas kaki, kain tenun, tekstil lainnya, serta
kertas dan barang dari kertas.
Pertumbuhan ekspor nonmigas dalam kurun waktu 1985-1994 cukup menggembirakan,
yaitu tumbuh dengan tingkat rata-rata sebesar 18,3 persen per tahun. Namun, dalam dua tahun
terakhir, pertumbuhan ekspor nonmigas relatif mengalami penurunan. Hal ini antara lain
disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan di pasar internasional sejalan dengan globalisasi
ekonomi dunia. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan upaya-upaya baik dari Pemerintah maupun
swasta untuk meningkatkan daya saing produk nasional di pasar internasional.
Perubahan mendasar berikutnya adalah perubahan struktur investasi. Pada awal tahun
1981 sebagian besar investasi dilakukan oleh Pemerintah dan peranan sektor swasta relatif kecil.
Pada saat itu peranan investasi pemerintah dalam total investasi mencapai sekitar 59 persen,
sedangkan swasta hanya sekitar 41 persen. Namun, dalam tahun 1995 peranan pemerintah telah
menurun menjadi sekitar 22,7 persen dan sektor swasta menjadi sekitar 77,3 persen. Keadaan
struktur yang demikian ini telah membuat ekonomi Indonesia lebih dinamis dan lebih
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
10
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
berorientasi ke mekanisme pasar yang terkendali, sehingga kegiatan ekonomi bukan lagi
digerakkan oleh sektor publik, tetapi sebagian besar digerakkan oleh sektor swasta. Perubahan
struktur investasi ini sangat berkait dengan upaya-upaya pemerintah dalam mendorong investasi
swasta baik dalam negeri (PMDN), swasta asing (PMA), serta investasi masyarakat bukan
PMDN dan PMA. Upaya ini diawali dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970.
Struktur ekonomi Indonesia yang telah lebih seimbang tersebut di atas telah
memberikan lingkungan yang lebih mudah dalam melaksanakan kebijaksanaan ekonomi makro
dalam rangka mencapai Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas.
Ketiga unsur ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya,
walaupun dalam pelaksanaannya terjadi penyesuaian penekanan intensitas pada salah satu unsur
sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mungkin dapat
dicapai tanpa stabilitas ekonomi yang mantap dan dinamis. Sementara itu, stabilitas juga tidak
akan dapat dicapai tanpa adanya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Demikian juga
pemerataan pembangunan tidak mungkin tercapai tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi.
Kebijaksanaan ekonomi makro, yaitu kebijaksanaan fiskal, moneter, necara
pembayaran, serta kebijaksanaan di sektor riil, yang dilaksanakan selama ini selalu diarahkan
untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengendalikan inflasi dan neraca transaksi
berjalan, serta untuk mencapai pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang lebih baik.
Dalam kaitan ini, kebijaksanaan ekonomi makro tahun anggaran 1997/1998 akan diarahkan
untuk mencapai target ekonomi makro dalam Repelita VI, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi
sebesar rata-rata 7,1 persen per tahun, tingkat inflasi sebesar 6 persen per tahun, defisit transaksi
berjalan dalam batas-batas yang aman, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang
lebih baik.
Kebijaksanaan fiskal, moneter, dan neraca pembayaran di satu pihak dan kebijaksanaan
di sektor riil, seperti kebijaksanaan investasi, produksi, serta distribusi di pihak lain, ditujukan
untuk mengendalikan perekonomian ke arah yang dikehendaki. Namun, kedua kebijaksanaan ini
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
11
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
digunakan dengan tujuan yang berbeda. Kebijaksanaan fiskal, moneter, dan neraca pembayaran
dimaksudkan untuk mengendalikan perekonomian dari sisi permintaan (demand) dan pada
umumnya terjadi dalam jangka pendek (short-term). Sedangkan kebijaksanaan di sektor riil
dimaksudkan mengendalikan perekonomian dari sisi penawaran (supply) dan biasanya
berdimensi waktu relatif lebih lama (long-term).
Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan merupakan suatu proses pembangunan yang
berkesinambungan dari masa lalu, sekarang dan masa datang. Oleh karena itu, isu-isu ekonomi
yang dihadapi juga merupakan isu-isu yang saling berkaitan. Isu ekonomi dalam tahun anggaran
1996/1997 berkaitan dengan isu-isu ekonomi yang dihadapi dalam tahun-tahun anggaran
sebelumnya. Dalam tahun anggaran 1995/1996 demikian juga dalam tahun anggaran 1996/1997
isu-isu utama ekonomi makro yang dihadapi adalah masalah suhu ekonomi nasional yang relatif
memanas (overheated economy), yang ditandai oleh relatif tingginya tingkat inflasi dan defisit
transaksi berjalan yang relatif besar. Dalam tahun anggaran 1994/1995 dan tahun anggaran
1995/1996 inflasi mencapai masing-masing sebesar 8,57 persen dan 8,86 persen, sementara
defisit transaksi berjalan meningkat dari sebesar US$ 3.488 juta dalam tahun anggaran
1994/1995 menjadi US$ 6.987,0 juta dalam tahun anggaran 1995/1996 atau meningkat sebesar
100,3 persen. Dalam tahun anggaran 1996/1997, diperkirakan inflasi akan lebih rendah dari
tahun anggaran 1995/1996, sedangkan defisit transaksi berjalan diperkirakan akan mencapai
sekitar US$ 8.823 juta atau meningkat sebesar 26,3 persen dibanding tahun anggaran
sebelumnya. Secara makro, defisit transaksi berjalan dalam tahun anggaran 1996/1997 mencapai
4 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Masalah pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan tetap merupakan masalah
utama yang dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998. Oleh karena itu, kebijaksanaan ekonomi
makro yang ditempuh terutama ditujukan untuk mengendalikan kedua masalah tersebut. Inflasi
perlu dikendalikan ke tingkat yang serendah mungkin oleh karena inflasi menyangkut
kesejahteraan seluruh rakyat. Inflasi yang tinggi akan menurunkan daya beli (purchasing power)
dari masyarakat terutama mereka yang berpenghasilan relatif tetap. Selain itu, inflasi juga
menurunkan daya saing produk-produk nasional, karena inflasi yang tinggi berarti biaya
produksi juga akan naik dan pada gilirannya akan tercermin pada harga produk yang tinggi.
Sementara itu, defisit transaksi berjalan perlu terus dikendalikan oleh karena defisit transaksi
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
12
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
berjalan merupakan cerminan dari kewajiban suatu negara terhadap dunia luar. Hal ini terjadi
karena nilai impor barang-barang dan jasa-jasa yang merupakan kewajiban terhadap dunia luar
lebih besar daripada nilai ekspor yang merupakan kemampuan untuk membiayai impor tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, kewajiban suatu negara terhadap dunia luar secara bertahap
perlu diturunkan, yaitu dengan mengusahakan penurunan defisit transaksi berjalan, yang
dicerminkan oleh nilai ekspor barang-barang dan jasa-jasa yang meningkat lebih tinggi dari
peningkatan nilai impor barang-barang dan jasa-jasa.
Pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan sangat penting dan menentukan bagi
suatu negara, oleh karena kedua unsur ini merupakan pencerminan dari kestabilan ekonomi
internal dan eksternal. Inflasi yang tinggi dan tidak terkendali, berarti harga barang-barang dan
jasa-jasa mengalami kenaikan yang tinggi dan tidak terkendali. Keadaan ini akan menciptakan
ketidakpastian harga input dan output, yang selanjutnya akan dapat menghambat kegiatan
produksi dan distribusi barang dan jasa, yang pada gilirannya akan membahayakan
perekonomian masyarakat. Di sisi lain, defisit transaksi berjalan yang meningkat terus dan tidak
terkendali dapat menimbulkan berbagai isu devaluasi. Isu devaluasi tersebut selanjutnya akan
mendorong spekulasi di pasar valuta asing yang tercermin dalam bentuk ketidakstabilan dan
kegoncangan di pasar valuta asing. Hal ini pada gilirannya akan mengganggu sektor produksi
terutama barang-barang produksi untuk ekspor. Apabila ekspor terganggu berarti defisit
transaksi berjalan akan semakin melebar, dan ini selanjutnya akan memperkuat goncangan yang
telah terjadi di pasar valuta asing.
Tingginya inflasi dan meningkatnya defisit transaksi berjalan disebabkan terutama oleh
meningkatnya permintaan agregat yang tidak dibarengi dengan meningkatnya penawaran
agregat. Permintaan agregat yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah uang beredar, dapat
mengalami peningkatan dalam waktu sangat singkat, tetapi penawaran agregat yang ditunjukkan
oleh besarnya arus barang relatif tetap dalam waktu singkat, karena menyangkut kapasitas
produksi. Dengan demikian dalam jangka pendek, pengendalian inflasi dan defisit transaksi
berjalan dilakukan dengan pengendalian permintaan agregat. Peningkatan permintaan agregat
terjadi karena adanya peningkatan belanja akan konsumsi dan investasi oleh masyarakat dan
Pemerintah. Dalam kaitan ini, perilaku belanja pemerintah ditentukan oleh kebijaksanaan
pemerintah sendiri, dengan memperhatikan batasan pendapatannya (budget constraint).
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
13
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Sedangkan perilaku belanja masyarakat ditentukan oleh daya belinya yang terutama berasal dari
jumlah uang yang dikuasainya. Oleh karena itu, secara garis besar, konsumsi dan investasi
masyarakat dapat dikendalikan dengan kebijaksanaan moneter, sedang konsumsi dan investasi
pemerintah dapat dikendalikan dengan kebijaksanaan fiskal.
Upaya penurunan permintaan agregat masyarakat dilakukan dengan menurunkan
tingkat pertumbuhan uang beredar melalui kebijaksanaan moneter, seperti ketentuan giro wajib
minimum (GWM), pengaturan suku bunga diskonto, operasi pasar terbuka, serta melalui
himbauan (moral suasion). Operasi pasar terbuka dilakukan Bank Indonesia setiap hari kerja
dengan menjual sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menurunkan jumlah uang beredar, dan
membeli surat berharga pasar uang (SBPU) untuk menambah jumlah uang beredar. Di samping
itu, untuk menurunkan jumlah uang beredar, Bank Indonesia juga dapat melakukannya dengan
menaikkan GWM atau sebaliknya untuk menaikkan jumlah uang beredar dilakukan dengan
menurunkan GWM. Sebagaimana diketahui sejak 1 Februari 1996, GWM telah dinaikkan
menjadi 3 persen dari yang berlaku sebelumnya yaitu sebesar 2 persen, dan akan dinaikkan lagi
menjadi sebesar 5 persen mulai 1 April 1997.
Agar dapat mencapai tujuannya dengan efektif kebijaksanaan moneter yang ketat harus
didukung oleh kebijaksanaan fiskal yang ketat (kontraktif) pula. Oleh karena itu, dalam tahun
anggaran 1997/1998 akan dilaksanakan kebijaksanaan fiskal yang kontraktif, yaitu dengan
mengintensifkan penerimaan negara dan diikuti dengan pengeluaran yang seefisien mungkin.
Pengeluaran pembangunan akan diarahkan ke sektor-sektor yang strategis dan mempunyai
dampak multiplier yang besar bagi perekonomian nasional, seperti pembangunan infrastruktur
yang mendukung upaya pengembangan industri, terutama yang menghasilkan barang ekspor
dan mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Pengeluaran rutin akan dilaksanakan seefisien
mungkin, tanpa mengurangi kualitas pelayanan aparat pemerintah kepada masyarakat.
Kebijaksanaan fiskal yang kontraktif akan dapat meningkatkan tabungan pemerintah, serta
diupayakan akan terbentuk sisa anggaran lebih (SAL) yang lebih besar, yang antara lain dapat
dipergunakan untuk percepatan pembayaran hutang luar negeri pemerintah terutama yang
berbunga relatif tinggi.
Dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kebijaksanaan
ekonomi makro diarahkan untuk mengendalikan sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
14
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
(supply) dari perekonomian. Dalam jangka pendek (short-term), pertumbuhan ekonomi sangat
dipengaruhi oleh sisi permintaan, sedangkan dalam rentang waktu yang lebih panjang (longterm) pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh sisi penawaran seperti tingkat investasi,
produktivitas, sumber daya manusia dan lainnya. Interaksi sisi permintaan dan sisi penawaran
akan menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dengan demikian mengendalikan
perekonomian harus dilakukan seeara hati-hati dan bijaksana, karena kedua besaran yaitu
pertumbuhan dan inflasi dapat bergerak ke arah yang tidak diinginkan. Pertumbuhan ekonomi
yang terlalu tinggi akan dapat menghasilkan tingkat inflasi yang tinggi, sebaliknya upaya
penekanan inflasi yang serendah mungkin, akan dapat berakibat tingkat pertumbuhan ekonomi
yang rendah.
Untuk mengendalikan perekonomian dalam jangka pendek (tahunan), Pemerintah telah
menjalankan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati dan proaktif. Kebijaksanaan
moneter ditujukan terutama untuk mempengaruhi belanja masyarakat, baik untuk konsumsi
maupun investasi yang penentu utamanya adalah jumlah uang yang dipegang masyarakat
(jumlah uang beredar). Sedangkan jumlah uang beredar yang diukur dengan M2 (likuiditas
perekonomian) ditentukan antara lain oleh jumlah kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan
dan jumlah aliran dana dari luar negeri. Pengendalian jumlah uang beredar sangat penting,
karena di satu pihak merupakan penentu pertumbuhan atau kegiatan ekonomi nasional, dan di
pihak lain sebagai penentu tingkat inflasi. Jumlah uang beredar yang terlalu sedikit akan
menurunkan aktivitas perekonomian, namun jumlah uang beredar yang melampaui kebutuhan
ekonomi nasional akan mendorong naiknya inflasi. Oleh karena itu, jumlah uang beredar ini
perlu dikendalikan secara hati-hati dan tepat.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas sektor moneter dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi dan mengendalikan inflasi, sejak 1 Juni 1983 telah dikeluarkan kebijaksanaan yang
antara lain memberi kebebasan bagi perbankan untuk menentukan suku bunga yang semula di
bawah kendali pemerintah dan kemudahan bagi masyarakat untuk mendirikan bank, usaha
asuransi, dana pensiun, serta lembaga pembiayaan. Dalam kaitan ini, telah diberlakukan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Selain itu melalui
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
15
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Keppres Nomor 61 Tahun 1988 telah diletakkan dasar bagi pengembangan lembaga
pembiayaan.
Kebijaksanaan tersebut di atas telah berhasil mendorong perkembangan industri
perbankan, industri asuransi, dana pensiun, pasar modal dan lembaga pembiayaan. Sampai
dengan bulan Oktober 1996 jumlah bank umum mencapai 239 buah, sedangkan bank
perkreditan rakyat mencapai sebanyak 7.834 buah. Dana perbankan yang berhasil dihimpun
sampai dengan bulan Oktober 1996 mencapai Rp 260.661,8 miliar, yang terdiri dari giro sebesar
Rp 52.566,2 miliar, deposito sebesar Rp 150.047,7 mi1iar, dan tabungan sebesar Rp 58.047,9
mi1iar. Sementara itu, dalam periode yang sama kredit perbankan yang disalurkan telah
mencapai Rp 278.099 miliar. Selanjutnya dalam tahun 1995 total aset industri asuransi
mencapai Rp 17.269,8 miliar, dan nilai investasi sebesar Rp 13.441,5 miliar. Sedangkan total
aset Dana Pensiun dalam tahun 1995 mencapai sekitar Rp 14.254,1 miliar, dan nilai investasi
mencapai sekitar Rp 10.072,5 miliar. Total aset lembaga pembiayaan (tidak termasuk modal
ventura) dalam tahun 1995 mencapai Rp 23.899,0 mi1iar, dan nilai investasi sebesar Rp
18.719,0 miliar. Dalam pada itu, peranan pasar modal dalam menghimpun dana, antara lain
dapat dilihat dari nilai kumulatif emisi saham dan obligasi yang sampai dengan tanggal 27
Desember 1996 mencapai masing-masing sebesar Rp 49.801,4 miliar dan Rp 11.535,5 miliar.
Untuk mempengaruhi sisi penawaran, Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan di
bidang investasi, produksi, serta distribusi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan
distribusi barang. Kebijaksanaan untuk mendorong investasi yang dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan
Dalam Rangka Penanaman Modal Asing membawa perubahan yang cukup menarik bagi
investor asing, dimana dalam rangka usaha patungan investor asing diperbolehkan menguasai
saham hingga 95,0 persen. Selain itu, bidang-bidang usaha yang vital seperti pelabuhan,
produksi dan transmisi, serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran,
penerbangan, air minum, kereta api, pembangkit tenaga atom dan media massa, dibuka untuk
investor asing dengan persyaratan tertentu. Dalam rangka mendorong investasi, pada saat ini
Pemerintah sedang berusaha menyempurnakan Undang-undang Penanaman Modal Dalam
Negeri dan Penanaman Modal Asing.
Selanjutnya, Pemerintah juga telah menyusun program pembangunan industri yang
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
16
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
terdiri dari tiga program pokok, yaitu program pengembangan industri rumah tangga, industri
kecil dan menengah, program peningkatan kemampuan teknologi industri, dan program
penataan struktur industri. Untuk mendukung pelaksanaan program tersebut telah ditetapkan
program penunjang yang terdiri atas program pengendalian pencemaran lingkungan hidup,
program pengembangan informasi industri, program pendidikan, pelatihan dan penyusunan
industri, serta program penelitian dan pengembangan industri. Program-program tersebut
dimaksudkan untuk mendorong industri nasional menjadi industri yang handal, efisien dan
mempunyai daya saing di pasar internasional.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi perlu diikuti oleh pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya. Dalam kaitan ini, Pemerintah telah melaksanakan program pembinaan usaha
kecil (PUK) mengingat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia berada dan tergantung pada
usaha kecil. Salah satu bentuk bantuan yang diberikan Pemerintah adalah berupa perluasan
akses permodalan melalui skim perkreditan. Sampai dengan akhir tahun 1995, nilai kredit usaha
kecil (KUK) yang disalurkan telah mencapai Rp 40,9 triliun kepada 6,5 juta pengusaha kecil.
Sedangkan nilai kredit umum pedesaan (Kupedes) yang disalurkan dalam tahun anggaran
1995/1996 mencapai Rp 3,3 triliun kepada 2,3 juta pengusaha kecil di pedesaan. Selain itu,
kemitraan usaha antara pengusaha kecil dengan BUMN juga mengalami kemajuan yang besar.
Hal ini dapat dilihat dari penggunaan laba BUMN yang disalurkan untuk pembinaan usaha
kecil, yang dalam tahun 1995 mencapai sebesar Rp 397,5 miliar dengan jumlah pengusaha kecil
yang menjadi mitra usaha besar mencapai 68.500 orang. Sementara itu, melalui program Inpres
desa tertinggal (lOT) dalam tahun anggaran 1995/1996 juga telah diberikan bantuan langsung
kepada 22.094 desa masing-masing sebesar Rp 20 juta per desa.
Keterkaitan ekonomi Indonesia dengan perkembangan ekonomi dunia
Sistem perekonomian terbuka yang dianut oleh Indonesia, menyebabkan perekonomian
Indonesia tidak dapat menghindar dari setiap perkembangan yang terjadi dalam perekonomian
dunia, dan membawa konsekuensi adanya keterkaitan yang erat, baik melalui arus barang, jasa
maupun arus modal. Sebagaimana halnya arus modal, arus barang dan jasa memiliki peranan
yang penting dalam perekonomian nasional, seperti terlihat pada peranan (rasio) ekspor dan
impor terhadap PDB, yang dalam tahun 1995 mencapai masing-masing sebesar 26,02 persen
dan 25,23 persen.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
17
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Ekspor sangat penting dalam menunjang pembangunan perekonomian Indonesia, karena
ekspor tidak saja sebagai sumber penerimaan devisa tetapi juga sebagai perluasan pasar bagi
produksi barang-barang domestik dan penyerap tenaga kerja. Selain tingkat daya saing barangbarang ekspor itu sendiri, faktor penting lainnya yang mempengaruhi kinerja ekspor nasional
adalah tingkat pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya tingkat pertumbuhan ekonomi di negara
mitra dagang utama Indonesia. Data tahun 1995 menunjukkan bahwa sebesar 50,2 persen dari
seluruh ekspor Indonesia ditujukan ke tujuh negara industri utama, sebesar 41 persen ke negaranegara berkembang, sedangkan sisanya sebesar 8,8 persen ke negara-negara dalam transisi.
Sementara itu, lima negara yang merupakan tujuan utarna ekspor Indonesia antara lain adalah
Jepang (27,1 persen), Amerika Serikat (14 persen), Singapura (8,3 persen), Korea Selatan (6,4
persen), dan Taiwan (3,8 persen). Diperkirakan distribusi tujuan utarna ekspor Indonesia tidak
akan banyak mengalami perubahan dalam beberapa tahun mendatang.
Menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya negara-negara mitra dagang
utama Indonesia, sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kecenderungan naik turunnya
permintaan terhadap barang-barang ekspor Indonesia, maka perlu terus menerus dicermati
perkembangannya dalam upaya mengarnbil manfaat yang sebaik mungkin, serta menghindarkan
dampak yang merugikan. Pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1994 dan 1995, cukup
tinggi yaitu masing-masing sebesar 3,7 persen dan 3,5 persen. Diperkirakan pertumbuhan
ekonomi dunia dalam tahun 1996 akan sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar 3,8 persen. Negaranegara berkembang secara keseluruhan diperkirakan tetap meraih laju pertumbuhan yang paling
kuat di antara kelompok-kelompok negara lainnya, yaitu sebesar 6,3 persen, dengan laju inflasi
yang menurun menjadi 13,3 persen. Untuk kelompok negara-negara industri, dalam tahun 1995
mencapai laju pertumbuhan sebesar 2,1 persen, sedangkan dalam tahun 1996 diperkirakan
mengalami pertumbuhan yang sedikit menguat menjadi 2,3 persen, dengan tingkat inflasi
sebesar 2,3 persen. Tingkat inflasi yang relatif rendah ini mengindikasikan bahwa masih cukup
ruang bagi negara-negara maju untuk mendorong ekonominya untuk tumbuh lebih kuat.
Di sisi lain, situasi perekonomian di kelompok negara-negara transisi terus membaik dan
aktivitas ekonomi dalam tahun 1996 cukup stabil setelah lima tahun mengalami kemerosotan.
Sejumlah negara diperkirakan akan dapat mencapai laju pertumbuhan di atas 5 persen, seperti
Republik Ceko, Polandia, Republik Slowakia, dan Georgia. Secara keseluruhan negara-negara
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
18
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
transisi dalam tahun 1996 ini diperkirakan mulai mampu mencapai laju pertumbuhan positif,
yaitu sebesar 0,4 persen, setelah tahun-tahun sebelumnya selalu berada dalam pertumbuhan
yang negatif. Inflasi rata-rata di negara-negara transisi dalam tahun 1996 diperkirakan
mengalami penurunan menjadi 41,3 persen. Namun perlu diwaspadai, walaupun pertumbuhan
ekonomi dunia dalam tahun 1996 diproyeksikan lebih baik dari tahun sebelumnya, volume
perdagangan dunia diperkirakan mengalami penurunan dari 8,9 persen menjadi 6,7 persen.
Sementara itu, dalam tahun 1997 pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan cukup
tinggi, yaitu dengan laju pertumbuhan sebesar 4, 1 persen. Hal ini terutama disebabkan oleh
adanya dorongan dari pertumbuhan yang tinggi di kelompok negara-negara transisi, yang
diproyeksikan sebesar 4 persen dibandingkan dengan tahun 1996 yang hanya mencapai 0,4
persen. Negara-negara industri secara kelompok, pertumbuhan ekonominya diproyeksikan
meningkat menjadi 2,5 persen. Sedangkan negara-negara berkembang diproyeksikan akan
meraih laju pertumbuhan yang hampir sama dengan tahun 1996, yaitu sebesar 6,2 persen.
Seirama dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat, volume perdagangan dunia
dalam tahun 1997 diramalkan kembali meningkat menjadi sebesar 7,2 persen. Membaiknya
pertumbuhan ekonomi dunia yang diikuti pula oleh meningkatnya volume perdagangan
internasional, akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi perekonomian negaranegara berkembang pada umumnya dan Indonesia khususnya.
Sementara itu, tanda-tanda pemulihan ekonomi Jepang mulai kelihatan pada tahun
1995. Meskipun produksi nasional selama tahun 1995 tumbuh sedikit di bawah 1 persen, namun
pertumbuhan yang cukup kuat dalam kuartal pertama tahun 1996 telah mengindikasikan bahwa
pemulihan ekonomi yang sudah lama ditunggu-tunggu itu kini tampak semakin nyata. Langkahlangkah yang diambil oleh pemerintah Jepang untuk memberikan rangsangan fiskal di samping
penurunan tingkat bunga diskonto selama tahun 1995, telah memberikan sumbangan besar bagi
pemulihan ekonomi negara tersebut, yang dalam tahun 1996 diperkirakan tumbuh sebesar 3,5
persen. Amerika Serikat, yang melakukan pengetatan moneter dalam tahun 1994 untuk
meredam inflasi yang dirasakan meningkat, mengalami perlambatan laju pertumbuhan menjadi
sebesar 2 persen dalam tahun 1995 dibandingkan sebesar 3,5 persen dalam tahun sebelumnya.
Namun demikian, di awal tahun 1996 tanda-tanda menguatnya pertumbuhan kembali telah
mulai kelihatan. Hal ini tercermin dari respon perekonomian negara tersebut terhadap beberapa
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
19
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kali penurunan tingkat bunga jangka pendek sejak pertengahan Juli 1995, dan juga oleh adanya
penurunan tingkat bunga obligasi dalam tahun tersebut. Perekonomian Amerika Serikat dalam
tahun 1996 diperkirakan tumbuh sebesar 2,4 persen.
Dalam pada itu, perekonomian di sejumlah negara-negara Asia yang menjadi mitra
dagang penting Indonesia, seperti negara-negara ASEAN, Korea Selatan, Cina, dan Hongkong,
diperkirakan tetap meraih tingkat pertumbuhan yang cukup baik dalam tahun 1996. Negaranegara tersebut telah melakukan langkah-langkah pengetatan kondisi moneter dan perkreditan,
dalam upaya memperlambat laju pertumbuhan dan meredam tekanan-tekanan inflasi.
Selain dari arus barang dan jasa, keterkaitan ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia
terjadi melalui arus modal. Karena sifatnya yang sangat sensitif, baik yang disebabkan oleh
faktor ekonomi maupun nonekonomi, menyebabkan arus modal tersebut dapat mempengaruhi
kinerja pasar uang dan pasar modal setiap negara. Dalam semester pertama tahun 1996, setelah
terjadinya krisis Meksiko, aliran modal neto ke negara berkembang pulih kembali, meskipun
disparitas aliran modal di antara kawasan-kawasan negara berkembang tetap berlangsung.
Selama tahun 1995, aliran modal neto ke negara-negara berkembang tercatat sebesar US$ 166,7
miliar, yang terdiri atas investasi asing langsung (FDI) sebesar US$ 73,6 miliar, investasi
portofolio sebesar US$ 35,7 miliar, dan investasi lainnya sebesar US$ 57,4 miliar. Negara
berkembang kawasan Asia tetap merupakan penerima aliran modal yang terbesar dengan nilai
sebesar US$ 98 miliar, disusul kemudian oleh kawasan Amerika Latin sebesar US$ 38,9 miliar,
Timur Tengah dan Eropa sebesar US$ 15,4 miliar, dan kawasan Afrika sebesar US$ 14,4 miliar.
Sementara itu, arus modal neto ke Indonesia dalam bentuk investasi langsung, tidak termasuk
investasi portofolio, selama tahun anggaran 1995/1996 tercatat sebesar US$ 5,4 miliar.
Tantangan ekonomi Indonesia dalam tahun anggaran 1997/1998
Pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1994 mencapai sebesar 7,5 persen, dan tahun
1995 sebesar 8,2 persen. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi seperti ini, total PDB tahun
1995 telah meningkat menjadi Rp 452,4 triliun dibandingkan dengan tahun 1994 sebesar Rp
382,2 triliun. Dengan demikian jika PDB pada tahun 1995 dibagi dengan jumlah penduduk
Indonesia yang berjumlah lebih kurang 194 juta, maka pendapatan per kapita yang diukur
berdasarkan angka PDB akan mencapai sekitar Rp 2.332,0 ribu, atau sekitar US$ 1.024 (sekitar
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
20
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
11,3 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan per kapita tahun 1994 sebesar US$
920).
Walaupun berbagai indikator makro maupun mikro menunjukkan kecenderungan yang
positif, sikap kehati-hatian dalam pengelolaan ekonomi makro masih mutlak dan harus terus
dilanjutkan dalam menghadapi tantangan yang akan dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998
dan tahun-tahun mendatang. Dengan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan sebesar 7,1
persen rata-rata per tahun selama Repelita VI, diperkirakan tahun 1996, walaupun tidak setinggi
tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 1995, pertumbuhan ekonomi akan melebihi tingkat
pertumbuhan yang ditargetkan. Sejalan dengan proses pendinginan ekonomi yang dilakukan
selama tahun 1996, tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 1997 diproyeksikan sebesar 7,1
persen yaitu sesuai dengan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam Repelita VI.
Dengan masih tetap tingginya perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut, maka
pemenuhan kebutuhan dana untuk investasi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar
negeri, perlu diupayakan seoptimal mungkin guna tercapainya sasaran pembangunan nasional
yang berkelanjutan. Selanjutnya, dengan mengacu pada perkembangan ekonomi nasional tahun
anggaran 1996/1997, dan dengan memperhatikan faktor eksternal, utamanya dalam menghadapi
era globalisasi, maka ekonomi nasional menghadapi beberapa tantangan yang perlu dihadapi
dan dipecahkan secara hati-hati dan bijaksana.
Di bidang fiskal, tantangan yang paling mendasar adalah upaya peningkatan tabungan
pemerintah, khususnya melalui upaya meningkatkan penerimaan dari sektor pajak. Kendala
yang menonjol dalam upaya meningkatkan penerimaan dari sektor tersebut adalah masih relatif
rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Namun demikian, melalui
penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang diikuti dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia (aparat) perpajakan, diharapkan peranan penerimaan
pajak, yang rasionya terhadap PDB masih relatif kecil, akan semakin meningkat di masa-masa
mendatang.
Sementara itu, pertumbuhan tabungan/dana masyarakat yang dihimpun oleh sektor
perbankan, baik dalam bentuk giro, tabungan, maupun deposito berjangka, dalam tahun
anggaran 1997/1998 diperkirakan akan tetap tinggi, sehingga tabungan masyarakat tersebut
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
21
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan investasi. Kondisi ini antara lain didukung oleh
semakin beragamnya produk simpanan yang ditawarkan, meluasnya jaringan kantor bank, dan
penggunaan teknologi yang semakin canggih, serta pelayanan yang semakin profesional.
Namun, upaya penghimpunan tabungan masyarakat ini perlu terus ditingkatkan, agar dana-dana
masyarakat yang masih menganggur atau digunakan ke sektor-sektor yang kurang produktif,
seperti spekulasi tanah dan spekulasi lainnya dapat dimobilisasi ke sektor-sektor produktif
melalui perbankan.
Di bidang moneter, tantangan yang dihadapi pada tahun anggaran 1997/1998 adalah
untuk tetap menjaga kestabilan moneter, terutama dalam hal pengendalian permintaan domestik
untuk dapat tumbuh dalam batas-batas daya dukung kapasitas produksi nasional. Dengan
demikian kebijaksanaan moneter dalam tahun anggaran 1997/1998 akan tetap dilakukan dengan
hati-hati dan diarahkan untuk mengendalikan pertumbuhan besaran-besaran moneter seperti
uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), kredit perbankan, laju inflasi, dan arus modal
masuk dari luar negeri yang berlebihan.
Selain tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat yang dihimpun melalui sektor
perbankan, tabungan masyarakat yang dihimpun melalui pasar modal juga semakin penting.
Walaupun pasar modal Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang semakin baik dari
tahun ke tahun, namun masih diperlukan upaya yang lebih giat dan keras untuk meningkatkan
kinerja pasar modal Indonesia. Pasar modal sangat penting dalam mendukung pembangunan
ekonomi suatu negara. Oleh karena itu merupakan tantangan yang sangat serius bagi semua
pihak yang berkaitan dengan pasar modal, untuk menjadikan pasar modal Indonesia menjadi
suatu pasar modal yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, mendorong pemerataan
pendapatan, serta mampu bersaing dengan pasar modal negara-negara lainnya.
Tantangan lain yang cukup berat dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah upaya untuk
meningkatkan ekspor, khususnya ekspor nonmigas. Dalam tahun anggaran 1996/1997 tantangan
yang dihadapi perekonomian nasional di sektor perdagangan luar negeri terasa berat, yang
antara lain disebabkan melemahnya volume perdagangan dunia, meningkatnya persaingan di
pasar dunia, serta makin banyaknya aturan atau persyaratan dalam perdagangan internasional.
Kondisi tersebut perlu lebih dicermati lagi mengingat masih belum optimalnya pelaksanaan
kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang pada
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
22
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
gilirannya dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekspor secara keseluruhan, utamanya ekspor
nonmigas. Untuk itu, selama tahun anggaran 1996/1997 telah dilakukan berbagai upaya untuk
meningkatkan ekspor seperti diluncurkannya paket deregulasi pada bulan Juni 1996 yang
menyempurnakan ketentuan-ketentuan sebelumnya di bidang impor, ekspor dan investasi.
Selain itu, telah disederhanakan pula prosedur untuk mendapatkan fasilitas pembebasan,
pengembalian dan penangguhan pungutan negara bagi eksportir yang menggunakan bahan
baku/penolong dan atau barang modal impor dalam memproduksi komoditi ekspor. Namun
demikian, mengingat kompetisi perdagangan internasional cenderung semakin meningkat
apalagi dengan makin mendekatnya pelaksanaan kesepakatan AFTA pada tahun 2003, maka
tantangan untuk meningkatkan ekspor, khususnya nonmigas dalam tahun anggaran 1997/1998
akan menjadi perlu lebih diperhatikan dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya.
Dalam skala yang lebih makro, dengan relatif turunnya laju pertumbuhan ekspor
nonmigas, dan dibarengi dengan relatif menaiknya impor barang modal maupun barang
konsumsi, dan transaksi jasa-jasa yang defisit, menyebabkan defisit transaksi berjalan menjadi
relatif kurang menggembirakan. Defisit transaksi berjalan tahun anggaran 1995/1996 mencapai
sebesar US$ 6.987 juta, atau telah meningkat menjadi sekitar dua kali lipat dibandingkan
dengan defisit tahun anggaran sebelumnya yang sebesar US$ 3.488 juta. Dengan kondisi yang
demikian, maka dalam tahun mendatang tantangan untuk menjaga agar posisi transaksi berjalan
tetap aman adalah suatu pekerjaan yang perlu lebih diperhatikan.
Sementara itu, dalam kaitannya. dengan terus berlangsungnya proses globalisasi di
berbagai sektor yang dicerminkan dengan semakin intensifnya kerjasama antarbangsa, seperti
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), APEC di kawasan Asia Pasifik, dan AFTA di kawasan
Asia Tenggara dalam mewujudkan arus lalu lintas perdagangan internasional yang bebas dari
hambatan tarif dan nontarif, tentunya merupakan suatu tantangan tersendiri bagi perekonomian
Indonesia. Dalam era globalisasi tersebut, tantangan yang paling besar yang akan dihadapi
adalah berbagai penyesuaian dan perubahan terhadap aturan atau kebijaksanaan nasional dalam
rangka memenuhi komitmen internasional. Dewasa ini gejala ke arah itu sudah mulai terlihat,
rnisalnya dengan semakin banyaknya pas-pas tarif barang impor yang diturunkan bea masuknya
secara bertahap hingga mendekati nol persen, serta persyaratan tentang standarisasi
mutu/kualitas dan ecolabelling. Sedangkan tantangan lainnya yang juga cukup meminta
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
23
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
perhatian dalam upaya meningkatkan ekspor nonmigas, adalah adanya tuduhan dari beberapa
negara mitra dagang bahwa Indonesia telah melakukan kebijaksanaan dumping dalam upaya
merebut pasar ekspor.
Tantangan lainnya yang sejalan dengan akan berlakunya komitmen tentang perdagangan
bebas, adalah perlunya upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas di berbagai sektor usaha
dalam rangka meningkatkan daya saing produk ekspor nonmigas Indonesia di pasar luar negeri.
Walaupun diketahui bahwa upaya meningkatkan daya saing tersebut telah dilakukan oleh
Pemerintah
seperti
dengan
diluncurkannya
berbagai
kebijaksanaan
deregulasi
dan
debirokratisasi yang utamanya bertujuan untuk mengurangi "high cost economy" dan
meningkatkan kemudahan berusaha, namun mengingat pada waktu yang bersamaan negaranegara pesaing, khususnya negara-negara di kawasan Asia seperti Malaysia, Thailand dan India
juga mengeluarkan kebijaksanaan yang sama, maka tantangan peningkatan daya saing tersebut
terasa akan semakin berat pada tahun mendatang.
Akhirnya, tantangan yang paling penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi
pada tahun anggaran 1997/1998 dan tahun-tahun mendatang, khususnya dalam menghadapi
abad ke-21 yang identik dengan era globalisasi adalah tantangan untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Pada abad mendatang, sebagai konsekuensi logis dari proses globalisasi,
maka tingkat persaingan akan semakin tajam, baik di pasar domestik maupun internasional, dan
tidak hanya terbatas pada persaingan dalam memasarkan barang, tetapi juga jasa. Oleh karena
itu, upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik yang menyangkut
bidang pendidikan, kesehatan, dan perluasan kesempatan kerja adalah merupakan suatu
keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi pelaksanaannya.
RAPBN 1997/1998
RAPBN 1997/1998 disusun dengan hati-hati dan realistis, dengan tetap berpegang
teguh pada prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis. Dengan memperhatikan berbagai
faktor yang berkembang baik dalam dinamika ekonomi nasional maupun internasional, serta
asumsi-asumsi yang diperkirakan akan terjadi, maka RAPBN 1997/1998 disusun secara
berimbang pada tingkat Rp 101.086,7 miliar atau meningkat sebesar 11,6 persen dibandingkan
APBN 1996/1997 yang sebesar Rp 90.616,4 miliar.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
24
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Di sisi anggaran pendapatan negara, penerimaan dalam negeri dan penerimaan
pembangunan direncanakan masing-masing sebesar Rp 88.060,7 miliar (peningkatan sebesar
12,6 persen dari APBN 1996/1997) dan Rp 13.026,0 miliar (meningkat sebesar 4,9 persen dari
APBN 1996/1997). Selanjutnya penerimaan dalam negeri yang mencakup penerimaan migas
dan penerimaan di luar migas diperkirakan mencapai masing-masing sebesar Rp 14.871,1 miliar
dan Rp 73.189,6 miliar, yang berarti suatu kenaikan masing-masing sebesar 5,3 persen dan 14,2
persen dari tahun anggaran sebelumnya.
.
Sementara itu, sektor penerimaan nonmigas terdiri dari penerimaan perpajakan dan
penerimaan bukan pajak. Penerimaan perpajakan yang terdiri dari pajak penghasilan (PPh),
pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan
PPn BM), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak ekspor, dan pajak lainnya, serta penerimaan
bea masuk dan cukai, diperkirakan akan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap
penerimaan negara yang direncanakan. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak yang berasal
dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, bagian pemerintah atas laba
BUMN dan penerimaan dari laba bersih minyak diperkirakan juga akan dapat ditingkatkan.
Komponen penerimaan perpajakan yang utama berasal dari pajak penghasilan dan pajak
pertambahan nilai atas barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah diperkirakan
akan mencapai masing-masing sebesar Rp 29.117,7 miliar dan Rp 24.601,4 miliar.
Selanjutnya, penerimaan pembangunan yang dalam tahun anggaran 1997/1998
diperkirakan akan mencapai Rp 13.026,0 miliar seluruhnya berbentuk bantuan proyek, sehingga
sebagaimana halnya dengan beberapa tahun anggaran sebelumnya, dalam tahun anggaran
1997/1998 juga tidak terdapat penerimaan pembangunan yang berasal dari bantuan program.
Dari sisi belanja negara, pengeluaran rutin dan pembangunan dalam RAPBN 1997/1998
diperkirakan akan mencapai masing-masing sebesar Rp 62.158,8 miliar dan Rp 38.927,9 miliar.
Dengan komposisi tersebut maka pengeluaran rutin dan pembangunan telah mengalami
peningkatan sebesar 10,8 persen dan 12,8 persen dari APBN 1996/1997. Pengeluaran rutin
tersebut akan dialokasikan untuk belanja pegawai sebesar Rp 21.192,0 miliar atau naik sebesar
15,9 persen dibanding tahun anggaran sebelumnya, untuk belanja barang sebesar Rp 8.895,2
miliar, subsidi daerah otonom sebesar Rp 11.535,8 miliar, pembayaran bunga dan cicilan hutang
sebesar Rp 19.570,9 miliar, dan untuk membiayai pengeluaran rutin lainnya sebesar Rp 964,9
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
25
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
miliar.
Pengeluaran pembangunan sebagai salah satu unsur utama RAPBN 1997/1998
diperkirakan akan mencapai sebesar Rp 38.927,9 miliar, yang berarti peningkatan sebesar 12,8
persen dibanding APBN 1996/1997. Pembiayaan pengeluaran pembangunan tersebut berasal
dari tabungan pemerintah sebesar Rp 25.901,9 miliar dan bantuan proyek sebesar Rp 13.026,0
miliar. Pengeluaran pembangunan yang berupa pembiayaan rupiah dialokasikan pada
departemen/lembaga pemerintah nondepartemen (termasuk Hankam) sebesar Rp 14.914,6
miliar, bantuan pembangunan daerah (termasuk pembangunan daerah melalui penerimaan PBB)
sebesar Rp 9.910,1 miliar, dan lain-lain pengeluaran pembangunan sebesar Rp 1.077,2 miliar.
Penutup
Pembangunan nasional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dalam mengejar ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain di bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Di samping itu, pembangunan nasional yang dijabarkan
dalam RAPBN 1997/1998 bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antargolongan masyarakat
dan antardaerah sebagai akibat dari adanya perbedaan laju kegiatan masing-masing sektor
perekonomian.
Tujuan
tersebut
hanya
dapat
diwujudkan
apabila
program-program
pembangunan direncanakan dan dilaksanakan secara baik dengan mengacu pada peningkatan
efektivitas dan efisiensi. RAPBN 1997/1998 merupakan salah satu sarana yang menggerakkan
roda perekonomian nasional, menuju terciptanya ekonomi nasional yang tangguh, stabil, dan
efisien. Namun demikian, RAPBN 1997/1998 hanya merupakan sebagian instrumen dari upaya
bangsa Indonesia membangun perekonomiannya dan mengalokasikan sumber-sumber daya
ekonomi secara tepat dari sektor pemerintah, yang perlu didukung dengan partisipasi aktif
sektor swasta.
Menyadari bahwa kemampuan anggaran negara masih terbatas, pembangunan nasional
didasarkan pada skala prioritas yang ketat yaitu untuk melanjutkan program-program yang
masih belum terselesaikan, seraya mempersiapkan landasan baru yang lebih kukuh bagi
pelaksanaan pembangunan tahap berikutnya guna mencapai cita-cita nasional. Pembangunan
nasional yang melibatkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, terutama sektor
swasta sebagai pelaku utama perekonomian nasional yang akan secara langsung menghadapi
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
26
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
arus globalisasi perdagangan dan investasi, akan lebih menampakkan hasil-hasil yang lebih
positif. Penyempurnaan-penyempurnaan dan pembenahan-pembenahan dalam sektor-sektor
yang lemah dalam perekonomian nasional perlu terus menerus dilakukan melalui berbagai
kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di sektor riil maupun sektor finansial.
Kesemuanya itu didasarkan pada keinginan luhur untuk membawa bangsa Indonesia ke
tingkat kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih tinggi agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain
yang telah lebih maju, serta siap untuk memasuki arena persaingan global dengan kualitas
sumber daya manusia yang lebih tinggi. Dengan demikian harapan bangsa Indonesia untuk
menyongsong hari depan yang lebih baik dan lebih cerah akan dapat segera terwujud.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
27
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
BAB II
ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA NEGARA
2.1. Pendahuluan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah rincian rencana kegiatan of erasion
a.l. pemerintahan dan pembangunan yang dinyatakan dalam rupiah, dan merupakan penjabaran
dari GBHN dan Repelita. Oleh karena itu penyusunan anggaran dilakukan dengan cermat,
dengan tetap mengacu pada Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Namun demikian, walaupun telah disusun dengan cermat, dalam realisasinya masih menghadapi
ketidakpastian, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluarannya.
Dengan keadaan itu, maka sejak awal Repelita I, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) tetap didasarkan pada prinsip anggaran berimbang yang dinamis. Namun dalam
perkembangannya selama hampir lima tahun terakhir dalam pelaksanaan APBN dimungkinkan
dibentuknya cadangan pada masa penerimaan negara melebihi yang direncanakan, dan
dimanfaatkannya dana cadangan tersebut pada masa penerimaan negara kurang dari yang
direncanakan atau tidak cukup mendukung program yang telah direncanakan dan/atau yang
sangat mendesak, sehingga terjamin kesinambungan pembiayaan yang diiringi oleh stabilitas
ekonomi yang mantap.
Dalam kerangka kebijaksanaan umum ekonomi makro selama masa Orde Baru, APBN
yang merupakan alat kebijaksanaan fiskal disusun dan dilaksanakan secara serasi dan saling
menunjang dengan alat-alat kebijaksanaan ekonomi makro lainnya, yaitu kebijaksanaan moneter
dan neraca pembayaran. Hasil daripada pelaksanaan kebijaksanaan tersebut adalah tercapainya
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yaitu sekitar 7,0 persen per tahun selama PJP I dan
sekitar 8,0 persen dalam dua tahun pertama Repelita VI. Dalam fungsinya sebagai alat
kebijaksanaan fiskal, APBN terdiri dari dua sisi, yaitu sisi pengeluaran yang menunjukkan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
28
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
jumlah dana yang dibutuhkan untuk membiayai kegiatan Pemerintah dalam tahun tertentu, dan
sisi penerimaan yang menunjukkan sumber-sumber dana yang diharapkan dapat diperoleh untuk
membiayai pengeluaran tersebut. Dengan demikian, meningkatnya jumlah pengeluaran harus
diikuti oleh meningkatnya jumlah penerimaan.
Dalam melaksanakan pembangunan, terdapat prinsip yang harus ditaati dalam kaitannya
dengan APBN, yaitu prinsip anggaran berimbang yang dinamis, dengan tetap mengutamakan
sumber dana pembangunan yang bersumber dari dalam negeri, sedangkan penerimaan
pembangunan hanya merupakan pelengkap. Pengutamaan sumber pembiayaan pembangunan
pada kemampuan dalam negeri mencerminkan semakin meningkatnya kemandirian dalam
pembangunan. Dalam PJP I tabungan pemerintah mengalami pertumbuhan sebesar 29,4 persen
per tahun, sedangkan pengeluaran pembangunan tumbuh sebesar 26,1 persen per tahun. Dengan
lebih cepatnya pertumbuhan tabungan pemerintah tersebut, maka penerimaan pembangunan
yang hanya mengalami pertumbuhan sebesar 22,5 persen merupakan pelengkap bagi dana
pembangunan.
Selanjutnya, cepatnya pertumbuhan tabungan pemerintah berkaitan erat dengan lebih
cepatnya pertumbuhan penerimaan dalam negeri daripada pertumbuhan pengeluaran rutin.
Selama P1P I penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 25,4 persen per tahun,
sedangkan pengeluaran rutin mengalami pertumbuhan sebesar 24,4 persen per tahun.
Sebagai gambaran mengenai kebijaksanaan Pemerintah di bidang APBN sejak Repelita
I hingga Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.1.
2.2. Perkembangan pelaksanaan APBN sampai dengan tahun anggaran 1996/1997
2.2.1. Kebijaksanaan pokok di bidang APBN
Dalam rangka mendukung tercapainya sasaran pembangunan nasional yang tertuang
dalam Trilogi Pembangunan, diperlukan kebijaksanaan fiskal yang tepat. Sehubungan dengan
itu penerimaan negara terus diupayakan peningkatannya dengan menggali dan mengembangkan
semua sumber penerimaan negara, terutama sumber penerimaan yang berasal dari perpajakan
dan sumber lainnya, dengan tetap memperhatikan peningkatan kemampuan pembiayaan
pembangunan oleh masyarakat dan dunia usaha. Selain itu pengeluaran rutin diupayakan lebih
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
29
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
efisien dan efektif, sedangkan bagi pengeluaran pembangunan direncanakan berdasarkan
prioritas pemanfaatannya.
Penerimaan dari sektor migas tidak lagi menjadi andalan penerimaan dalam negeri,
namun tetap merupakan salah satu penerimaan yang sangat potensial. Penerimaan rnigas masih
memberikan kontribusi yang cukup besar yaitu rata-rata per tahun sebesar 34,7 persen dalam
Repelita V terhadap penerimaan dalam negeri, sedangkan dalain dua tahun pelaksanaan Repelita
VI penerimaan rnigas telah memberikan kontribusi rata-rata sebesar 20,6 persen. Untuk
meningkatkan penerimaan rnigas tersebut terus diupayakan peningkatan investasi dalam
eksplorasi dan pengusahaan sumber rninyak bumi secara terus menerus, agar kontinuitas
produksi rninyak mentah tetap terjaga.
Dalam pada itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak telah diupayakan secara terus menerus melalui intensifikasi pemungutan pajak, dan juga melalui ekstensifikasi objek pajak
dan wajib pajak. Intensifikasi pemungutan pajak dilakukan antara lain melalui upaya
peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui penegakan hukum (law enforcement) dan
penyuluhan perpajakan. Sedangkan untuk ekstensifikasi dilakukan dengan meningkatkan jumlah
wajib pajak yang belum terjangkau dan perluasan objek pajak.
Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi, demikian pula praktek
penyelenggaraan kegiatan usaha, khususnya bagi kegiatan-kegiatan yang tidak/belum
tertampung dalam undang-undang perpajakan tahun 1984, dalam tahun 1994 telah dilakukan
penyempurnaan atas undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
undang-undang tentang Pajak Penghasilan, undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta undang-undang tentang Pajak
Bumi dan Bangunan.
Penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara di
bidang perpajakan dalam rangka semakin meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan
pembangunan. Sedangkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, telah ditempuh beberapa
upaya antara lain melalui penyuluhan, penerbitan surat teguran, surat tagihan, dan pemeriksaan
secara sederhana baik di kantor maupun di lapangan. Upaya untuk meningkatkan kepatuhan
pembayar PBB dilakukan melalui himbauan sebelum jatuh tempo, surat teguran, surat tagihan
pajak, dan sita lelang. Di samping itu juga melibatkan Pemda Tingkat II untuk melakukan pekan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
30
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pembayaran yang melibatkan para pejabat dan tokoh masyarakat yang dijadikan panutan dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.
Sementara itu, di bidang penerimaan bea masuk dan cukai yang merupakan bagian dari
penerimaan perpajakan terus diupayakan peningkatannya untuk mendukung penerimaan dalam
negeri. Penerimaan bea masuk berkaitan dengan arus impor. Oleh karena itu dalam menghadapi
era globalisasi ekonomi, dalam tahun 1995 telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan. Dalam undang-undang tersebut ditetapkan basarnya tarif setinggitingginya 40 persen dari nilai pabean untuk penghitungan bea masuk. Sedangkan untuk
kebijaksanaan penerimaan cukai, telah pula dilakukan penggantian perundang-undangan yang
lama dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Kedua Undang-undang ini
mulai berlaku 1 April 1996.
Di bidang penerimaan bukan pajak, berbagai kebijaksanaan telah ditempuh antara lain
melalui penyempurnaan administrasi pengelolaan, intensifikasi pemungutan, dan penyesuaian
tarif yang disesuaikan dengan kondisi perkembangan ekonomi saat ini. Sedangkan penerimaan
yang berasal dari bagian pemerintah atas keuntungan BUMN, telah dilakukan perbaikan
manajemen, pemantapan organisasi, penegasan fungsi dan penyempurnaan pola pengembangan
BUMN, sehingga BUMN tersebut diharapkan semakin produktif, efektif dan efisien. Di
samping itu untuk lebih menyehatkan BUMN, memeratakan pemilikan saham kepada
masyarakat dan memberikan kesempatan bagi pengawasan oleh masyarakat secara langsung,
beberapa BUMN yang cukup baik telah melakukan penjualan sahamnya kepada masyarakat (go
public) baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Di bidang pengeluaran rutin, penggunaannya dilakukan dengan hati-hati dan cermat yang
diarahkan untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan
pembangunan, sehingga dapat tercipta terus peningkatan efisiensi, efektivitas dalam
pengeluaran, tanpa mengurangi mutu pelayanan kepada masyarakat. Pengeluaran-pengeluaran
tersebut digunakan untuk mendukung keperluan belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah
otonom, pembayaran bunga dan cicilan hutang serta pengeluaran rutin lainnya. Dalam kaitan
ini, untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri sipil/PNS, ABRI, dan pensiunan,
Pemerintah secara berkala telah menaikkan tunjangan perbaikan penghasilan, yang terakhir
telah dilakukan pada bulan April 1996 sebesar 10 persen. Kemudian di bidang pembayaran
kembali hutang-hutang luar negeri, di samping terus diupayakan untuk memenuhi kewajiban
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
31
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
secara tepat waktu dan jumlah selama Repelita VI telah dilakukan beberapa kali percepatan
pembayaran (prepayment) terutama untuk hutang luar negeri yang memiliki bunga tinggi. Hal
tersebut dimaksudkan untuk meringankan beban pembayaran hutang di kemudian hari, karena
dengan semakin berkurangnya hutang tersebut maka akan semakin meningkatkan dana. untuk
pembangunan.
Tabel II.1
PELAKSANAAN APBN DALAM REPELITA I, II, III, IV, V, DAN VI (1969/1970 -1996/1997) *)
(dalam miliar rupiah)
1970/1971
Repelita Realisasi
1969/1970
Repelita Realisasi
Penerimaan dalam negeri
Pengeluaran rutin
Tabungan pemerintah
Penerimaan pembangunan
a. bantuan program
b. bantuan proyek
Dana pembangunan
Pengeluaran pembangunan
a. rupiah
b. bantuan proyek
228
204
24
99
-63
-36
123
123
-81
-36
246,2
213,7
32,5
82,1
-69,2
-12,9
114,6
109,3
-96,4
-12,9
216
243
33
120
-15
-45
153
153
-108
-45
338,6
293,5
45,1
99,5
-75,2
-24,3
144,6
131,9
-113,6
-24,3
REPELITA I
1971/1972
Repelita Realisasi
324
281
43
180.0
-85
-95
223
223
(l28,0)
-95
413,1
344,8
68,9
108,6
-92,8
-15,8
177,5
163,9
-148,1
-15,8
1972/1973
1973/1974
JUMLAH
Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi
'
314
591,8
428
915,2
1.630,00
2.565,50
319
428,6
351
699,7
1.404,00
1.980,30
55
163,2
11
215,5
226
585,2
209
121,5
225
142,9
833
554,6
-85
-87,2
-85
-93,6
-393
-418
-124
-34,3
(140.0)
-49,3
-440
-136,6
264
284,1
296
418,4
1.059,00
1.139,80
264
263
296
406,3
1.059,00
1.080,40
-140
-228,1
-156
-351
-619
-943,8
-124
-34,3
-140
-49,3
-440
-136,6
*) Realisasi PAN
Penerimaan dalam negeri
Pengeluaran rutin
Tabungan pemerintah
Penerimaan pembangunan
a. bantuan program
b. bantuan proyek
Dana pembangunan
Pengeluaran pembangunan
a. rupiah
b. bantuan proyek
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
JUMLAH
Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita
Realisasi Repelita Realisasi Repelita
Realisasi
1.363,40
1.770.6
2.073,70
2.244,30
2.277,40
2.866,50
2.607,70
3.511,60
3.088,70
4.247,00 11.410,90 14.640,00
961,6
985,7
1.293,90
1.239,30
1.427,90
1.605,10
1.629,90
2.079,80
1.905,10
2.612,10
7,!,214
8.582,60
401,8
784,9
179,8
1.005,00
1.189,50
1.261,40
977,8
1.431,10
1.183,60
4.192,10
6.057,40
213,9
201,1
191,8
450,4
208
325,2
218,4
253,6
241.I
437,9
1,656.1
167,2
(-)
(37.1)
(-)
-20,5
(-)
-22,7
(-)
(42.9)
(-)
-52,5
(-)
-176,2
(-)
-169,5
(-)
-429,9
(-)
-302,5
(-)
-210,7
(-)
-385,4
( - ) -1.498,00
15,7
992
971,6
l.485,4
1.057,50
1.58M
1.196,20
l.611,5
1.408,20
2.012,20
5.24,2
1.731,60
615,7
985,2
911,6
1.436,40
1.057,50
1.511,20
1.196,20
1.540,60
1.408,20
1.948,80
5.249,20
7.479,20
(-)
-815,1
( - ) -1.006,50
( - ) -1.268,70
( - ) -1.329,90
( - ) -1.560,40
-7 -5.981,20
(-)
-169,5
(-)
-429,9
(-)
-302,5
(-)
-210,7
(-)
-385,4
( - ) -1.498,00
1979/1980
Repelita Realisasi
Penerimaan dalam negeri
Pengeluaran rutin
Tabungan pemerintah
Penerimaan pembangunan
a. bantuan program
b. bantuan proyek
Dana pembangunan
Pengeluaran pembangunan
a. rupiah
b. bantuan proyek
5.440,50
3.445,90
1.994,60
1.493,50
(-)
(-)
3.488,10
3.488,10
(-)
(-)
1980/1981
Repelita Realisasi
6.733,20
3.999,20
2.734,00
775,1
-64,4
-710,7
3.509,10
3.479,70
-2.769,00
-710,7
6.089,90
3.845,40
2.244,50
1.647,40
(-)
(-)
3.891,90
3.891,90
(-)
(-)
9.933,30
5.549,50
4.383,80
1.120,60
-64,1
-1.056,50
5.504,40
5.450,60
-4.394,10
-1.056,50
1981/1982
Repelita Realisasi
6.804,20
4.294,20
2.510.0
1.840,30
(-)
(-)
4.350,30
4.350,30
(-)
(-)
12.162,40
6.943,00
5.219,40
1.558,60
-45
-1.513,60
6.778,00
6.826,10
-5.312,50
-1.513,60
1982/1983
Repelita Realisasi
7.526,20
4.767,50
1.758,70
2.019,50
(-)
(-)
4.778,20
4.778,20
(-)
(-)
12.373,80
6.967,30
5.406,50
2.006,00
-15,1
-1.990,90
7.412,50
7.440,40
-5.449,50
-1.990,90
1983/1984
Repelita Realisasi
8.412,30
5.308,20
3.104,10
2.236,80
(-)
(-)
5.340,90
5.340,90
(-)
(-)
JUMLAH
Repelita Realisasi
16.366,70
10.215,20
6.151,50
2.543,10
-14,9
-2.528,20
8.694,60
8.557,00
-6.028,80
-2.528,20
34.273,10 57.569,40
21.661,20 33.674,20
12.611,90 23.895,20
9.237,50
8.003,40
(-)
-203,5
( - ) -7.799,90
21.849,40 31.898,60
21.849,40 31.753,80
( - ) -23.953,90
( - ) -7.799,90
Penerimaan dalam negeri
Pengeluaran rutin
Tabungan pemerintah
Penerimaan pembangunan
a. bantuan program
b. bantuan proyek
Dana pembangunan
1984/1985
Repelita
Realisasi
16.149,40 15.931,30
10.101,10
9.405,90
6.048,30
6.525,40
4.411,00
1.780,70
(-)
-69,3
(-)
-1.711,40
10.459,30
8.306,10
1985/1986
Repelita
Realisasi
9.793,80
20.939,40
12.(j42,8
12.006,40
7.751,00
8.933,00
5.098,00
2.829,50
(-)
(69,2).
(-)
-2.760,30
12.849,00
11.762,50
1986/1987
Repelita
Realisasi
24.282,40
17.385,30
14.582,50
13.716,70
9.699,90
3.668,60
5.715,30
5.513,00
(-)
-1.791,20
(-)
(3.72],8)
15.415,20
9.181,60
1987/1988
Repelita
Realisasi
29.582,10
21.730,70
17.725,50
17.340,60
11.856,60
4.390,10
6.686,80
5.555,60
(-)
-684,5
(-)
-4.871,10
18.543,40
9.945,70
1988/1989
Repelita
Realisasi
35.659,90
23.413,80
21.520,00
20.934,90
14.139,90
2.478,90
7.202,70
10.124,30
(- )
-2.665,90
(-)
-7.458,40
21.342,60
12.603,20
JUMLAH
Repelita
Realisasi
125.467,60
99.400,50
75.971,90
73.404,50
49.495,70
25.996,00
29.113,80
25.803,10
(-)
-5.280,10
( - ) -20.523,00
78.609,50
51.799,10
Penerimaan dalam negeri
Pengeluaran rutin
Tabungan pemerintah
Penerimaan pembangunan
a. bantuan program
b. bantuan proyek
Dana pembangunan
Pengeluaran pembangunan
a. rupiah
b. bantuan proyek
1989/1990
Repelita
Reallsasi
25.249,80
11.504,20
23.445,00
24.335,20
1.804,80
7.169,00
11.325,10
8.330,30
(-)
-965,8
(-)
-7.364,50
13.129,90
15.499.3
13.129,90
15.393,90
(-)
-8.029,40
(-)
-7.364,50
1990/1991
Repelita
Realisasi
29.432,50
42.193,00
24.829,60
29.121,10
4.602,90
a07l,9
11.566,00
8.381,50
(-)
-1.346,70
(-)
-7.034,80
16.168,90
21.453,40
16.168,90
18.250,80
( - ) -11.216,00
(-)
-7.034,80
1991/1992
Repelita
Realisasi
34.856,50
42.582,00
26.591,60
29.053,00
8.264,90
13.529,00
12.644,80
9.975,10
(-)
-1.385,50
(-)
-8.589,60
20.909,70
23.504,10
20.909,70
23.074,50
( - ) -14.484,90
(-)
-8.589,60
1992/1993
Repelita
Realisasi
41.466,40
48.862,60
27.974,40
33.605,40
13.492,00
15.257,20
12.195,00
11.097,90
(-)
-516,5
( - ) -10.581,40
25.687,00
26.355,10
25.687,00
26.906,30
( - ) -16.324,90
( - ) (10.581.4)
1993/1994
Repelita
Realisasi
48.909,40
56.113,10
29.959,80
40.289,90
18.949,60
15.823,20
12.687,00
10352,5
(-)
(-)
( - ) (10,752,5)
31.636,60
26.575,70
31.636,60
28.428,10
( - ) -17.675,60
( - ) -10.752,50
JUMLAH
Repelita
Realisasi
179.914,60 221.254,90
132.800,40 156.404,60
47.114,20
64.850,30
60.417,90
48.537,30
(-)
-4.214,50
( - ) -44.322,80
7.532,10 113.387,60
107.532,10 112.053,60
( - ) -67.730,80
( - ) -44.322,80
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
32
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Dengan semakin meningkatnya efisiensi dan efektivitas pengeluaran, maka tabungan
pemerintah akan semakin meningkat, yang berarti kemandirian dalam pembangunan juga
semakin besar. Dengan demikian sumber daya yang ada di dalam negeri dapat didayagunakan
dan dimanfaatkan sebesar mungkin bagi pembangunan, dan bantuan luar negeri betul-betul
hanya sebagai pelengkap dalam pembiayaan pembangunan.
Sebagaimana telah diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN),
pengeluaran pembangunan harus direncanakan sesuai dengan tujuan pembangunan, dan
mempunyai prioritas yang memberikan dampak sebesar-besarnya bagi pembangunan. Oleh
karena itu, pengeluaran pembangunan diarahkan pada penyediaan sarana dan prasarana yang
menunjang kegiatan ekonomi, penyediaan pelayanan dasar yang semakin luas, peningkatan
sumber daya manusia, penanggulangan kemiskinan, dan penyediaan dana pemeliharaan untuk
proyek-proyek yang telah selesai. Di samping itu pengeluaran pembangunan juga dialokasikan
pada pembangunan daerah agar kesenjangan antar wilayah semakin menyempit, sehingga
tercipta pemerataan sebagaimana diamanatkan dalam Repelita dan GBHN.
2.2.2. Penerimaan dalam negeri
Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas),
penerimaan perpajakan (meliputi PPh, PPN, PBB, Pajak Lainnya, Bea Masuk, Cukai, dan Pajak
Ekspor), dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan dalam negeri terus diupayakan semakin
meningkat terutama penerimaan yang berasal dari sektor perpajakan, karena penerimaan ini
akan lebih menjamin kestabilan bagi tersedianya sumber penerimaan negara. Untuk semakin
meningkatkan
penerimaan
tersebut
maka
berbagai
langkah
telah
diambil
untuk
menyempurnakan pengelolaan perpajakan, baik yang menyangkut peraturan perundangundangan, sistem administrasi, maupun sumber daya manusia di bidang perpajakan. Penerimaan
perpajakan
terus
diupayakan
peningkatannya
melalui
intensifikasi
pemungutan
dan
ekstensifikasi objek dan wajib pajak.
Sebagaimana diketahui, perkembangan penerimaan migas sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal seperti harga minyak di pasar internasional, kuota produksi dan kurs
valuta asing sehingga penerimaannya sangat berfluktuasi. Sedangkan untuk penerimaan bukan
pajak yang terdiri dari laba BUMN dan berbagai jenis penerimaan yang berasal dari
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
33
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
departemen/lembaga pemerintah non departemen terus diupayakan peningkatannya melalui
berbagai kebijaksanaan, agar penerimaan bukan pajak dapat memberikan kontribusi yang lebih
berarti dalam penerimaan dalam negeri.
2.2.2.1. Penerimaan minyak bumi dan gas alam
Penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas) sebagai salah satu sumber penerimaan
dalam negeri, mempunyai peranan yang cukup penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan nasional. Di samping itu secara tidak langsung sektor migas juga turut
mendorong perkembangan usaha swasta nasional, penyerapan tenaga kerja, serta alih
pengetahuan dan tekno1ogi. Oleh karena itu, migas sebagai sumber kekayaan alam yang tidak
terbarukan harus dimanfaatkan sebaik mungkin, dengan memperhatikan kemanfaatannya di
masa kini dan mengusahakan habisnya selama mungkin untuk menjamin kelangsungan
persediaannya di masa depan.
Perkembangan realisasi penerimaan migas secara absolut cenderung meningkat, kecuali
dalam beberapa tahun, seperti tahun anggaran 1986/1987, 1988/1989, 1991/1992 dan
1993/1994. Perkembangan tersebut sangat dipengarnhi oleh perkembangan tingkat harga
minyak bumi di pasar intemasional sebagai faktor ekstemal. Dalam perkembangannya, sektor
migas menghadapi tantangan yang semakin berat, antara lain disebabkan oleh berfluktuasinya
harga rninyak mentah di pasar intemasional, meningkatnya persaingan antamegara dalam
menarik investor asing, meningkatnya biaya untuk menemukan cadangan migas baru, dan
sulitnya menjangkau daerah-daerah yang mempunyai potensi rnigas yang cukup tinggi. Di
samping itu, sektor rnigas juga merupakan usaha padat modal, berteknologi tinggi dan beresiko
relatif besar. Menghadapi tantangan tersebut, usaha di bidang rnigas diharapkan dapat
meningkatkan kerja sama dengan kontraktor-kontraktor asing atas dasar saling menguntungkan.
Selama PJP I, telah ditandatangani sekitar 177 kontrak dengan pihak swasta untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas. Pemboran eksplorasi selama periode tersebut telah
menghasilkan 1.504 sumur temuan (discovery well) yang terdiri atas 1.069 sumur rninyak dan
435 sumur gas. Sedangkan dalam dua tahun pertama Repelita VI, telah dilakukan pemboran
eksplorasi sebanyak 146 sumur. Di samping berupa rninyak mentah, hasil eksploitasi sumur
rninyak juga menghasilkan kondensat, yaitu minyak mentah dengan kadar sulfur yang lebih
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
34
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
rendah. Dalam hal ini anggota OPEC sepakat untuk mengatur produksi rninyak mentah,
sedangkan produksi kondensat tidak diatur. Melalui upaya peningkatan eksplorasi dan
eksploitasi, produksi rninyak bumi dan kondensat mencapai puncaknya dalam tahun anggaran
1977/1978, yaitu sebesar 616,5 juta barel per tahun. Selanjutnya, produksi minyak bumi dan
kondensat dalam tahun kedua Repelita VI mencapai sebesar 589,9 juta barel, yang berarti
sedikit mengalami penurunan dibandingkan dengan produksi pada tahun sebelumnya sebesar
588,6 juta barel per tahun. Hal ini disebabkan karena semakin sulit dan terbatasnya kegiatan
eksplorasi sumber rnigas. Namun dibandingkan dengan produksi pada akhir Repelita V sebesar
559,9 juta barel, produksi tahun kedua Repelita VI mengalami kenaikan sebesar 5,4 persen.
Dengan makin terbatasnya cadangan migas, serta makin sulitnya menemukan cadangan
baru, upaya penganekaragaman sumber penerimaan energi dan devisa negara perlu makin
ditingkatkan, sehingga ketergantungan pada rnigas makin berkurang. Upaya-upaya peningkatan
eksplorasi dan eksploitasi rnigas, yang diikuti dengan langkah efisiensi pemakaiannya,
diharapkan akan bermanfaat untuk mencegah Indonesia menjadi pengimpor rninyak neto.
Sedangkan dalam rangka peningkatan dan penganekaragaman sumber-sumber penerimaan
energi dan devisa negara, Pemerintah telah melakukan perluasan pemasaran produk hasil
pengolahan migas. Di samping menghasilkan BBM, kilang rninyak dalam negeri juga
menghasilkan produk-produk non BBM, diantaranya wax, lube base, aspal, dan naphtha. Selain
itu, kilang-kilang petrokimia di Plaju, Pulau Bunyu, dan Cilacap juga menghasilkan produkproduk petrokimia, antara lain berupa polypropylene, methanol, paraxylene, dan benzene.
Sedangkan minyak pelumas dihasilkan dari pabrik minyak pelumas di Jakarta, Surabaya, dan
Cilacap. Ekspor minyak mentah dan hasil kilang minyak Indonesia selama ini ditujukan ke
Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara lain, termasuk ASEAN
Tingkat produksi minyak bumi sampai dengan awal PJP II masih dapat dipertahankan
sesuai dengan kuota OPEC, meskipun sumur minyak yang ada sekarang potensinya secara
alamiah telah mulai menurun. Hal ini terutama disebabkan mulai berproduksinya beberapa
lapangan minyak baru, yang didukung oleh kebijaksanaan pemerintah melalui beberapa
kemudahan dan perangsang dalam bentuk paket insentif bagi para investor di bidang rigas, yaitu
paket insentif tahun 1988,1989, 1992 dan 1993. Melalui paket tersebut, Pemerintah diantaranya
telah memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan minyak dan kontraktornya, terutama
untuk kawasan timur Indonesia dan sebagian kawasan barat Indonesia, baik dalam bentuk pola
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
35
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
bagi hasil maupun dalam bentuk kemudahan lainnya. Melalui paket insentif 1988, 1989 dan
1992 pembagian hasil minyak bumi sesudah pajak di daerah baru yang belum pernah
dieksplorasi (frontier) antara Pemerintah dan kontraktor adalah 80 persen berbanding 20 persen,
sedangkan untuk daerah kedalaman taut di atas 1.500 meter perbandingannya masing-masing
adalah 75 persen dan 25 persen. Di samping itu, dalam hal pembagian gas alam sesudah pajak di
daerah frontier, perbandingan antara Pemerintah dan kontraktor adalah sebesar 60 persen untuk
Pemerintah dan 40 persen untuk kontraktor, sedangkan di daerah kedalaman taut di atas 1.500
meter perbandingannya adalah 55 persen dan 45 persen. Sementara itu, melalui paket insentif
tahun 1993 pembagian hasil minyak bumi sesudah pajak perbandingannya berubah menjadi
sebesar 65 persen untuk Pemerintah dan 35 persen untuk kontraktor, baik untuk daerah frontier
maupun untuk daerah kedalaman laut di atas 1.500 meter. Sedangkan untuk pembagian gas alam
sesudah pajak untuk daerah frontier dan kedalaman laut di atas 1.500 meter, perbandingannya
menjadi sebesar 60 persen untuk Pemerintah dan 40 persen untuk kontraktor.
Di samping mengatur kembali pembagian hasil migas, paket insentif tersebut juga
dimaksudkan untuk meningkatkan nilai ekonomi penemuan-penemuan yang berdasarkan paket
insentif sebelumnya tidak layak dikembangkan. Kontraktor daerah frontier yang sudah ada
selama ini dapat memilih untuk menerapkan paket insentif tahun 1993 atau paket insentif
sebelumnya. Paket insentif ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas eksplorasi yang akan
menambah cadangan migas dan kesempatan untuk membuka lahan-lahan baru, khususnya di
daerah frontier yang sebagian besar terletak di kawasan timur Indonesia. Selain melalui
peningkatan eksplorasi, peningkatan produksi minyak juga dicapai melalui usaha enhanced oil
recovery (EaR) pada lapangan-lapangan yang telah berproduksi untuk meningkatkan cadangan
terambil. EaR adalah sistem peningkatan produksi minyak dari sumur-sumur IDa dengan cara
mengaktifkannya kembali. Di samping itu, usaha menarik penanam modal dalam bidang migas
baik PMA maupun PMDN terus ditingkatkan. Upaya tersebut dilakukan melalui penyediaan
informasi, dan pemberian kemudahan perizinan, dengan tetap memperhatikan keserasian usaha
yang saling terkait di antara para pelaku ekonomi, baik dari segi pendanaan, teknologi, maupun
manajemen.
Di samping produksi minyak bumi, peningkatan dalam penerimaan migas juga
didukung oleh hasil kegiatan pengolahan sumber gas alam dalam bentuk liquefied natural gas
(LNG) dan liquefied petroleum gas (LPG). LNG mulai dimanfaatkan secara maksimum sejak
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
36
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
dibangunnya kilang gas Bontang di Kalimantan Timur tahun 1977 dan kilang gas Arun di Lhok
Seumawe tahun 1978. Sedangkan LPG dihasilkan dari kilang minyak di Musi, Balikpapan,
Dumai, Cilacap, dan EXOR I. Produksi LNG dan LPG pada akhir Repelita V masing-masing
mencapai sebesar 1.301 juta mmbtu dan 2.805 ribu MTon, yang hasilnya sebagian besar
diekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Memasuki tahun pertama Repelita VI produksi
LNG dan LPG masing-masing menjadi sebesar 1.379 juta mmbtu dan 2.807 ribu MTon.
Selanjutnya dalam tahun kedua Repelita VI, produksi LNG dan LPG masing-masing sebesar
1.307 juta mmbtu dan 3.143 ribu MTon atau mengalami penurunan sebesar 5,2 persen untuk
LNG dan peningkatan sebesar 12 persen untuk LPG dibandingkan produksinya dalam tahun
pertama Repelita VI. Selain itu dalam tahun kedua Repelita VI telah berhasil diperbaharui
kontrak penjualan jangka panjang produk LNG ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Ekspor LNG baru dimulai tahun 1977, dengan jumlah ekspor sebesar 28,0 juta mmbtu.
Pada tahun kedua Repelita VI ekspor LNG mencapai 1.288 juta mmbtu, atau turun 5,8 persen
dibandingkan ekspornya pada tahun pertama Repelita VI sebesar 1.368 juta mmbtu. Sedangkan
ekspor LPG yang pada awal PJP I baru tercatat sebesar 5,6 ribu MTon, pada tahun kedua
Repelita VI telah meningkat menjadi 2.668 ribu MTon.
Kerja sama internasional di bidang migas akan tetap dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan nasional. Kerja sama bilateral dengan berbagai negara dilaksanakan untuk
kelancaran perdagangan dan ekspor, penyelesaian landas kontinen, serta pengusahaan bersama
sumber daya migas. Demikian pula kerja sama antar negara OPEC dan non-OPEC akan terus
digalakkan dengan semangat saling membantu dan saling menguntungkan. Salah satu upaya
yang diambil OPEC untuk menstabilkan harga minyak adalah dengan upaya menyeimbangkan
permintaan dan penawarannya di pasar, dan meredam timbulnya spekulasi-spekulasi di pasar
minyak dunia. Harga minyak cenderung berfluktuasi secara cepat bila faktor-faktor yang
mempengaruhinya di pasar mengalami perubahan. Dengan harapan dapat lebih mencerminkan
harga yang realistis, sejak tahun 1989 perhitungan harga minyak mentah Indonesia
menggunakan formula yang disebut Indonesian Crude Price (ICP). ICP menggunakan harga 5
jenis minyak mentah, yaitu Sumatra Light Crude (SLC atau Minas), Tapis (minyak mentah
Malaysia), Gippsland (minyak mentah Australia), Oman (minyak mentah Oman) dan Dubai
(minyak mentah Emirat Arab). Di sarnping itu untuk lebih mencerminkan harga pasar, ICP telah
dimodifikasi dengan menambahkan rata-rata indeks harga minyak mentah yang diterbitkan oleh
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
37
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
RIM, Platt's, dan APPI.
Perkembangan harga minyak bumi di pasar dunia bukan hanya dipengaruhi oleh faktor
ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non ekonomi, seperti faktor politik dan spekulasi.
Setelah sempat anjlok hingga di bawah US$ 10,00 per barel dalam tahun 1986, dalam Repelita
V perkembangan harga minyak cenderung membaik, bahkan krisis perang teluk telah
menyebabkan harganya melonjak tinggi hingga mencapai US$ 34,88 per barel pada bulan
Oktober 1990. Selanjutnya, seiring dengan telah selesainya krisis teluk sekitar bulan Maret 1991
dan kembali normalnya jumlah suplai minyak di pasar dunia, hingga memasuki tahun terakhir
Repelita V, perkembangan harganya cenderung menurun dan stabil pada tingkat harga antara
US$ 14,00 sampai US$ 19,00 per barel. Selain dipengaruhi faktor politik yang berkembang di
negara-negara produsen dan konsumen minyak bumi, kestabilan harga minyak mentah juga
ditentukan oleh faktor kedisiplinan anggota OPEC untuk mematuhi kuota produksi yang telah
ditentukan bersama. Untuk itu, guna menjaga kestabilan barga, Pemerintah terus melakukan
pendekatan ke negara-negara anggota OPEC untuk mematuhi kuota produksi masing-masing
yang telah disepakati, serta melakukan kerja sama dengan anggota non-OPEC menjaga suplai
minyak bumi di pasar dunia.
Dalam Repelita VI harga minyak mentah Indonesia mulai membaik, meskipun tetap
berfluktuasi. Dalam bulan April 1995 harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) berada
pada tingkat US$ 18,08 per barel dan meningkat menjadi sebesar US$ 18,23 per barel dalam
bulan Mei 1995. Memasuki bulan-bulan selanjutnya ICP mulai mengalami penurunan ke tingkat
yang cukup rendah, yaitu mencapai sedikit di atas US$ 16,00 per barel dalam bulan Juli dan
Oktober 1995. Penurunan harga tersebut disebabkan menurunnya permintaan minyak bumi di
pasar dunia. Di penghujung tahun 1995 ICP mulai membaik kembali hingga mencapai US$
18,02 per barel dan terus meningkat sehingga pada akhir tahun anggaran 1995/1996 mencapai
US$ 18,97 per barel. Pada bulan-buhn selanjutnya harga minyak cenderung menunjukkan
peningkatan yang cukup tinggi, yaitu mencapai di atas US$ 19,00 per barel, bahkan pada bulan
Oktober 1996 telah mencapai US$ 23,04 per barel. Selain disebabkan oleh meningkatnya
permintaan minyak di pasar intemasional, khususnya di kawasan Amerika dan Eropa, hal ini
juga berkaitan dengan perkembangan politik di Timur Tengah yang tidak menentu. Pada Tabel
II.2 dapat dilihat perkembangan harga ekspor minyak mentah Indonesia sejak Repelita 1.
Dengan kecenderungan tingkat produksi yang relatif stabil dan harga ICP yang sangat
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
38
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
berfluktuasi, perkembangan penerimaan migas dari tahun ke tahun cenderung menunjukkan
peningkatan. Dalam PJP I penerimaan migas mencapai sebesar Rp 171.578,6 miliar dengan
peningkatan rata-rata sebesar 26,1 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp 48,3 miliar dalam
tahun anggaran 1969/1970 menjadi sebesar Rp 12.503,4 miliar dalam tahun anggaran
1993/1994. Selanjutnya dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan migas mengalami
peningkatan cukup tajam, yaitu mencapai sebesar Rp 14.848,7 miliar, yang terdiri dari
penerimaan minyak bumi sebesar Rp 10.976,7 miliar dan penerimaan gas alam sebesar Rp
3.872,0 miliar. Bila dibandingkan dengan penerimaannya dalam tahun anggaran 1994/1995
berarti terjadi kenaikan sebesar 9,7 persen.
Meskipun secara absolut penerimaan migas cenderung menunjukkan peningkatan,
tetapi peranannya dalam penerimaan dalam negeri terus menurun. Peranan terbesar terjadi
dalam tahun anggaran 1981/1982, yaitu sebesar 70,9 persen dari penerimaan dalam negeri, yang
disebabkan melonjaknya harga minyak bumi menjadi sebesar US$ 35,00 per barel pada bulan
April 1981. Namun dalam tahun-tahun selanjutnya seiring dengan menurunnya harga minyak
dan semakin meningkatnya penerimaan di luar migas, terutama penerimaan perpajakan, peranan
migas cenderung semakin menurun. Dalam tahun terakhir Repelita V peranan penerimaan migas
dalam penerimaan dalam negeri hanya sebesar 22,3 persen, sedangkan dalam tahun kedua
Repelita VI telah menurun kembali menjadi sekitar 21 persen. Menurunnya peranan penerimaan
migas dalam penerimaan dalam negeri ini sejalan dengan kebijaksanaan penerimaan negara
dalam APBN untuk lebih mengarahkan penerimaan negara pada sumber penerimaan negara di
luar migas yang relatif lebih stabil dan berkembang, yang sejak Repelita IV telah menunjukkan
hasil yang menggembirakan.
2.2.2.2. Penerimaan perpajakan
Sebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN 1993, bahwa untuk membiayai
pembangunan nasional diupayakan sebesar-besarnya digali me1alui penerimaan da1am negeri,
terutama dari penerimaan perpajakan, sedangkan penerimaan pembangunan hanya merupakan
pelengkap dana pembangunan.
Selanjutnya penerimaan perpajakan terdiri dari pajak penghasilan (PPh), pajak
pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM),
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
39
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak 1ainnya, bea masuk, cukai, dan pajak ekspor. Untuk
menjamin tercapainya sasaran peningkatan penerimaan perpajakan tersebut, kebijaksanaan
umum perpajakan yang ditempuh adalah dengan melakukan intensifikasi pemungutan pajak dan
ekstensifikasi objek dan wajib pajak. Dengan intensifikasi pemungutan pajak, diharapkan bahwa
kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak sesuai dengan undang-undang yang berlaku akan
meningkat. Selanjutnya, melalui ekstensifikasi objek dan wajib pajak diharapkan terdapatnya
objek pajak dan wajib pajak baru yang masuk dalam sistem perpajakan.
Pelaksanaan berbagai kebijaksanaan yang diambil sampai saar ini telah menampakkan
hasil yang menggembirakan, sehingga peran penerimaan perpajakan terus mengalami
peningkatan. Penerimaan perpajakan yang dalam tahun pertama Repelita V menyumbang
sebesar 51,1 persen terhadap penerimaan dalam negeri, dalam tahun anggaran 1995/1996 telah
meningkat menjadi sebesar 67,7 persen, dan lebih meningkat lagi menjadi 71,6 persen dalam
tahun anggaran 1996/1997. Penjelasan lebih rinci mengenai perkembangan dari penerimaan
perpajakan disajikan dalam uraian berikut.
2.2.2.2.1. Pajak penghasilan (PPh)
Selama pelaksanaan pembangunan jangka panjang I (PJP I), penerimaan pajak
penghasilan (PPh) yang meliputi pajak penghasilan badan dan pajak penghasilan perseorangan,
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 27,7 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp 41,7
miliar dalam tahun pertama Repelita I (1969/1970) menjadi sebesar Rp 14.758,9 miliar dalam
tahun terakhir Repelita V (1993/1994). Selanjutnya, dalam tahun pertama Repelita VI yang
merupakan tahap awal dari pembangunan jangka panjang II (PJP II), realisasi penerimaan PPh
mengalami peningkatan sebesar 27,1 persen, yaitu menjadi sebesar Rp 18.764,1 miliar.
Sedangkan dalam tahun anggaran 1995/1996, realisasi penerimaan PPh mencapai Rp 20.520,0
miliar atau 9,4 persen lebih tinggi dari tahun sebe1umnya.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
40
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel II.2
HARGA EKSPOR MINYAK MENTAH INDONESIA, 1969 – 1996 *)
(dalam US$ per barel)
Harga
Harga
Tahun
Tahun
1969
1970
1971
April
April
April
1,67
1,67
2,21
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
April
April
April
April
April
April
April
2,96
3,73
11,7
12,6
12,8
13,55
13,55
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
April
April
April
April
April
April
April
15,65
29,5
35
35
29,53
29,53
28,53
1986
Januari
April
Agustus
Desember
Januari
April
Agustus
Desember
Januari
Maret
April
Oktober
Desember
Januari
April
Mei
September
Desember
25,13
10,66
9,83
13,07
15,39
17,57
18,76
16,93
17,22
15,45
17,56
13,2
12,5
15
17,93
18,36
16,7
17,8
Januari
April
Juli
Oktober
Desember
Januari
April
Agustus
Desember
Juari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
18,96
17,23
14,47
34,88
28,64
25,1
17,05
18,64
20,06
18,1
17,64
17,13
17,23
17,96
19,29
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1992
1993
1994
1995
1996
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
20,59
20,18
19,62
19,7
19,44
18,71
B:U
18,36
18,8
18,61
18,26
17,19
17,23
16,64
16,75
15,69
14,14
14,7
14,91
14,18
14,75
15,52
16,39
17,48
17,61
16,31
16,18
16,27
16,11
16,96
17,84
17,79
18,08
18,23
17,24
16,02
16,22
16,31
16,05
16,65
18,02
18,98
18,56
18,97
19,21
18,86
19,05
19,45
19,33
20,92
23,04
22,47 **)
22,78
*) Sebelum April 1989 adalah harga minyak jenis Migas (SLC), dan sejak Apri1 1989
adaIah harga rata-rata minyak Indonesia (ICP).
**) Angka sementara (sampai dengan 19 Desember).
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
41
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Dengan kondisi tersebut di atas, sumbangan penerimaan pajak penghasilan terhadap
penerimaan perpajakan juga terus mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 24,1 persen pada
awal PJP I menjadi sebesar 40,3 persen pada tahun terakhir PJP 1. Hal yang menggembirakan
dari perkembangan penerimaaan pajak penghasilan adalah kenyataan bahwa pajak penghasilan
sebagai pajak langsung secara bertahap mengalami kenaikan hingga pada tahun anggaran
1991/1992 telah melampaui peranan dari pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai pajak tidak
langsung. Meningkatnya penerimaan pajak penghasilan ini juga terlihat dari peranan
penerimaan pajak penghasilan dalam penerimaan perpajakan yang terus berkembang dalam
tahun-tahun selanjutnya, sehingga dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan pajak
penghasilan menyumbang sebesar 42,4 persen dari penerimaan perpajakan.
Peningkatan penerimaan pajak penghasilan yang cukup menggembirakan tersebut, tidak
terlepas dari adanya reformasi perpajakan tahun 1984. Salah satu hal mendasar yang diatur
dalam kebijaksanaan tersebut adalah mengenai perubahan sistem pemungutan pajak dari official
assessment menjadi self assessment. Dengan sistem ini wajib pajak diberi kepercayaan penuh
untuk menghitung sendiri kewajiban pajaknya kepada negara. Dalam pada itu, untuk
menyempurnakan ketentuan di bidang pajak penghasilan ini, dalam tahun 1994 telah
diundangkan berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dengan berlakunya undangundang ini tarif pajak penghasilan telah diubah.
Sementara itu dalam rangka mencapai tingkat penerimaan yang semakin besar terus
dilakukan upaya intensifikasi pemungutan pajak dan ekstensifikasi wajib pajak. Sejalan dengan
kebijaksanaan tersebut telah diambil berbagai langkah pelaksanaan baik melalui peraturan
pemerintah (PP) maupun keputusan Menteri Keuangan. Dalam tahun anggaran 1996/1997 telah
dikeluarkan PP Nomor 27 Tahun 1996 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 48 Tahun
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan. Di samping itu juga telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
392 Tahun 1996 dan Nomor 393 Tahun 1996, yang mengatur mengenai pengenaan tarif pajak
penghasilan sebesar 5 persen dari jumlah bruto atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan. Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416 Tahun 1996
diatur bahwa atas penghasilan wajib pajak dalam negeri yang bergerak di bidang usaha
pelayaran dipungut pajak penghasilan sebesar 1,2 persen dari jumlah peredaran bruto atau nilai
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
42
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak perusahaan
pelayaran dalam negeri. Sedangkan atas wajib pajak perusahaan pelayaran dan atau
penerbangan luar negeri, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417 Tahun 1996
dipungut pajak penghasilan sebesar 2,64 persen dari jumlah peredaran bruto atau semua imbalan
atau nilai pengganti berupa uang atan nilai uang yang diterima atau diperoleh. Kemudian, dalam
hubungannya dengan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 507 Tahun 1996 ditetapkan bahwa selisih antara nilai pasar wajar
dengan nilai buku fiskal aktiva tetap yang dinilai kembali setelah dilakukan kompensasi
kerugian, dikenakan pajak penghasilan sebesar 10 persen.
Selain daripada itu, dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394 Tahun 1996 juga
ditetapkan berbagai peraturan mengenai pajak penghasilan pasal 23. Dalam keputusan tersebut
diatur bahwa bagi wajib pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap (BUT) dalam hal
kepemilikan tanah dan atau bangunan yang disewakan merupakan milik wajib pajak badan
dalam negeri atau BUT, dipungut pajak penghasilan sebesar 6 persen bersifat final. Sedangkan
bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri dipungut pajak sebesar 10 persen dan bersifat final.
Di samping itu, pajak penghasilan sebesar 10 persen final juga dipungut dari wajib pajak badan
dalam negeri atau bentuk usaha tetap dalam hal kepemilikan tanah dan atau bangunan yang
disewakan merupakan milik wajib pajak orang pribadi.
Di samping kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, di bidang pajak penghasilan juga
telah diambil kebijaksanaan untuk membantu upaya pengembangan usaha kecil, menengah, dan
koperasi. Dalam hal ini, bagi bantuan atau sumbangan, keuntungan karena pengalihan harta
berupa hibah yang diterima oleh pengusaha kecil tidak termasuk sebagai objet pajak, sepanjang
antara pemberi dengan penerima hibah tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan. Kemudian, dari penghasilan perusahaan modal ventura yang salah satu sasarannya
adalah pengembangan usaha kecil yang berpotensi, bukan merupakan objek pajak. Penghasilan
perusahaan modal ventura dalam hal ini adalah bagian laba dari badan pasangan usaha yang
didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia. Selanjutnya, pengusaha kecil orang
pribadi tidak wajib menyelenggarakan pembukuan sepanjang peredaran brutonya dalam satu
tahun kurang dari Rp 600 juta. Masih dalam kaitannya dengan koperasi, pajak penghasilan pasal
23 tidak dipotong atas pembagian hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan atas bunga
simpanan kecil yang dibayar oleh koperasi kepada anggotanya maksimal Rp 144.000 setiap
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
43
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
bulannya.
Selanjutnya berbagai upaya telah diambil untuk mencapai target penerimaan pajak
penghasilan. Upaya-upaya tersebut antara lain dilakukan melalui usaha peningkatan penyuluhan
dan pelayanan kepada wajib pajak (WP), peningkatan pengawasan administratif khususnya
terhadap WP besar/potensial, peningkatan efisiensi kerja melalui sistem informasi perpajakan
(SIP), rekonsiliasi data dari pihak ketiga dengan SPT wajib pajak, dan penelitian, pemeriksaan
sederhana dan pemeriksaan lengkap serta penyidikan pajak yang lebih efektif.
Hasil dari pelaksanaan berbagai kebijaksanaan tersebut di atas antara lain terlihat dari
makin luasnya objek pemungutan pajak, meningkatnya kepatuhan wajib pajak, meningkatnya
efektivitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap wajib pajak, dan meningkatnya mutu
pelayanan kepada wajib pajak. Selanjutnya, perkembangan yang dicapai dalam lembaga
perpajakan tersebut telah berhasil mempercepat meningkatnya penerimaan pajak penghasilan
yang disebabkan oleh berkembangnya kondisi ekonomi dunia, yang antara lain berupa
berkembangnya dunia usaha dan meningkatnya penghasilan masyarakat dan dunia usaha.
Sebagaimana diketahui, dalam tahun anggaran 1996/1997 penerimaan pajak penghasilan
dianggarkan sebesar Rp 23.708,0 miliar, atau 15,5 persen lebih tinggi dari perkiraan realisasi
tahun sebelumnya. Dalam kaitannya dengan penerimaan perpajakan secara keseluruhan,
penerimaan pajak penghasilan dalam tahun tersebut menyumbang sebesar 42,3 persen bagi
penerimaan perpajakan.
2.2.2.2.2. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang
mewah (PPN dan PPnBM)
Pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan
jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, serta atas impor barang
kena pajak. Selain itu, PPN juga dikenakan atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud
dari luar daerah pabean, di dalam daerah pabean, pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean, dan ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
Terhadap berbagai kegiatan tersebut, tarif PPN yang dikenakan bersifat tunggal, yaitu sebesar
10 persen.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
44
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Di samping dikenakan PPN, juga dikenakan pajak penjualan atas barang mewah
(PPnBM) terhadap penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh
pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam
daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya. Adapun tarif PPnBM
ditentukan serendah-rendahnya 10 persen dan setinggi-tingginya 50 persen.
Berbagai macam kegiatan produksi yang merupakan objek PPN dan PPnBM, akan
selalu berkembang sejalan dengan berkembangnya kehidupan ekonomi nasional. Oleh karena
itu, dengan menggunakan sistem pemungutan yang ada, jumlah penerimaan PPN dan PPnBM
senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, mengingat pesatnya perkembangan
kegiatan masyarakat yang pada gilirannya akan menyebabkan makin basarnya kebutuhan akan
pembiayaan bagi kegiatan Pemerintah, sekaligus untuk mencapai tingkat kemandirian yang
tinggi dalam pembiayaan pembangunan nasional, maka telah ditempuh berbagai kebijaksanaan
di bidang perpajakan. Pada dasamya, dampak dari kebijaksanaan perpajakan akan terasa dalam
jangka pendek yaitu secara langsung akan meningkatkan penerimaan pajak dalam tahun yang
bersangkutan, dan dalam jangka panjang akan mendorong perkembangan ekonomi masyarakat
yang berarti juga merupakan peningkatan potensi penerimaan di masa yang akan datang. Namun
demikian, dua hal tersebut tidak selalu dijalankan secara seiring. Dalam kondisi tertentu, salah
satu dari padanya bisa lebih diprioritaskan, dengan pertimbangan bahwa hasil netonya tetap
positif.
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM
yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, PPN dan PPnBM
adalah merupakan pajak penjualan (PPn) atas barang dan jasa. Menurut Undang-undang Nomor
8 tahun 1983, PPN dikenakan pada pertambahan nilai atas barang dan jasa yang diserahkan oleh
pengusaha kena pajak. Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, selain
dikenakan atas penyerahan barang dan jasa oleh pengusaha kena pajak, PPN juga dikenakan atas
impor barang kena pajak, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor barang
kena pajak oleh pengusaha kena pajak. Dalam PJP I, penerimaan pajak ini senantiasa
berkembang dari tahun ke tahun, yaitu dari sebesar Rp 30,0 miliar dalam tahun anggaran
1969/1970 menjadi sebesar Rp 13.943,5 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994, atau
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 29,2 persen per tahun. Sementara itu, dalam dua
tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan PPN dan PPnBM meningkat sebesar 10,9
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
45
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
persen, yaitu dari Rp 16.544,8 miliar dalam tahun 1994/1995 menjadi Rp 18.350,0 miliar dalam
tahun anggaran 1995/1996.
Dalam hubungannya dengan PPN dan PPnBM, telah ditempuh beberapa kebijaksanaan
dalam rangka peningkatan penerimaan secara langsung, antara lain dengan meningkatkan
kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak melalui peningkatan pelayanan yang lebih baik.
Selain itu, juga dilakukan konfirmasi faktur pajak dan pelaksanaan uji silang antara data PPN
dengan data pajak penghasilan. Selanjutnya, langkah tersebut didukung dengan pemeriksaan
sederhana lapangan terhadap pengusaha yang tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP) dan PKP yang SPT masanya memenuhi
kriteria untuk dilakukan pemeriksaan sederhana lapangan. Kemudian, untuk menguji kepatuhan
pengusaha kena pajak, ditempuh langkah peningkatan kerja sama dengan Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) dalam rangka melakukan pemeriksaan sederhana lapangan.
Di samping berbagai kebijaksanaan seperti yang telah dikemukakan di atas, juga
ditempuh beberapa kebijaksanaan lain yang meskipun mengurangi penerimaan PPN dan
PPnBM dalam jangka pendek, tetapi diharapkan akan dapat meningkatkan potensi penerimaan
pajak di masa depan. Kebijaksanaan tersebut antara lain dituangkan dalam Keputusan Presiden
Nomor 4 Tahun 1996 tanggal 5 Januari 1996 yang mengatur tentang PPN yang ditanggung
pemerintah atas impor barang kena pajak tertentu, yang meliputi kapal laut, kapal sungai, kapal
danau, segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan pelayaran niaga
nasional, kapal penyeberangan, kapal pandu, kapal lunda, dan kapal untuk menangkap ikan,
tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan.
Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1996, Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1996, dan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996, telah
ditetapkan mengenai kegiatan-kegiatan yang PPN dan PPnBM terutangnya ditanggung oleh
Pemerintah. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi penyerahan kendaraan bermotor jenis sedan
atau station wagon yang dibuat di dalam negeri dengan motor penggerak yang isi silindemya
kurang dari 1600 cc, dan dengan kandungan lokal lebih dari 60 persen. Selain itu, ketetapan
tersebut juga berlaku untuk kendaraan berrnotor jenis jeep, camhi, minibus, van dan pick up
yang dibuat di dalam negeri dengan kandungan lokal lebih dari 60 persen, dan kendaraan
bermotor nasional yang dibuat di dalam negeri dengan menggunakan merk yang diciptakan
sendiri yang persentase kandungan lokalnya memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
46
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Perindustrian dan Perdagangan. Apabila kendaraan berrnotor nasional tersebut tidak memenuhi
kandungan lokal sesuai dengan ketentuan tersebut, maka PPnBM terutang yang ditanggung
Pemerintah akan ditagih kembali.
Selanjutnya dalam rangka mendorong peningkatan ekspor, dipandang perlu untuk
memberikan pelayanan yang lebih cepat di bidang kepabeanan dan perpajakan terhadap
kegiatan ekspor yang dilakukan oleh eksportir tertentu. Pelayanan tersebut berupa percepatan
pelayanan restitusi PPN atas pembelian bahan baku/penolong, komponen, mesin dari dalam
negeri, sehingga dapat diselesaikan dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 (sepuluh) hari kerja.
Sementara itu, pemberian restitusi dilakukan melalui prosektor konfirmasi faktur pajak
dan pemeriksaan sederhana lapangan. Sedangkan dalam upaya mempercepat penyelesaian
restitusi, dapat dilakukan prosektor konfirmasi melalui faksimili dan penyelesaian restitusi
dengan jaminan bank garansi bagi faktur pajak masukan yang belum dipertanggungjawabkan
oleh pengusaha kena pajak (PKP) penjual, dan faktur pajak masukan yang diduga fiktif atau
berkaitan dengan PKP fiktif. Berkaitan dengan penyelesaian restitusi PPN, telah ditetapkan
bahwa pemberian restitusi PPN yang diajukan permohonannya oleh PKP eksportir tertentu,
diberikan pelayanan khusus dengan penyelesaian maksimal 10 (sepuluh) hari kerja. Pengusaha
kena pajak eksportir tertentu tersebut terbatas pada eksportir yang namanya tercantum dalam
daftar PKP yang diterima dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Kemudian, untuk lebih meningkatkan penerimaan PPN dan PPnBM, telah diupayakan
untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, melalui pemeriksaan sederhana kantor,
pemeriksaan sederhana lapangan, termasuk pemeriksaan sederhana lapangan dengan
menggunakan tenaga kantor akuntan publik (KAP), dan pemeriksaan lengkap. Dengan
dilaksanakannya berbagai kebijaksanaan di atas, dan sejalan dengan perkembangan ekonomi
nasional yang menghasilkan peningkatan transaksi penyerahan barang dan jasa kena PPN dan
PPnBM, maka penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1996/1997 dianggarkan
sebesar Rp 21.788,4 miliar. Bila dibandingkan dengan penerimaan PPN dan PPnBM dalam
tahun sebelumnya yang mencapai Rp 18.350,0 miliar, ini berarti terjadi peningkatan sebesar Rp
3.438,4 miliar atau 18,7 persen. Dalam hubungannya dengan penerimaan perpajakan secara
keseluruhan, peranan penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1996/1997 adalah
sebesar 38,9 persen yang berarti lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang mencapai 37,9 persen.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
47
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
2.2.2.2.3. Pajak bumi dan bangunan (PBB)
Dalam tahun pertarna Repelita VI, penerimaan pajak bumi dan bangunan yang
merupakan salah satu komponen penerimaan dalam negeri secara bertahap peranannya semakin
dimantapkan, mengingat pajak bumi dan bangunan mempunyai prospek yang cerah untuk
dikembangkan di masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal itu, setelah hampir satu
dasawarsa berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, dan makin meningkatnya jumlah
objek pajak, serta untuk menyelaraskan pengenaan pajak dengan amanat GBHN 1993, dirasakan
sudah waktunya untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985. Untuk itu,
pada tahun 1994 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Penyempurnaan
tersebut dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dan
pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan perpajakan, serta
untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya.
Dalam Undang-undang pajak bumi dan bangunan tahun 1994, dilakukan penyesuaian
basarnya nilai jual objek pajak tidak kena pajak sebesar Rp 8,0 juta untuk setiap wajib pajak
yang terdiri dari tanah dan atau bangunannya. Penyesuaian tersebut dilakukan dalam rangka
membantu wajib pajak perseorangan yang berpenghasilan tidak tetap/golongan masyarakat yang
kurang marnpu. Dengan demikian bagi anggota masyarakat/wajib pajak yang hanya
memanfaatkan tanah dan bangunan yang luasnya terbatas, sepanjang nilainya tidak lebih dari Rp
8 juta tidak membayar pajak bumi dan bangunan. Selain itu, juga bertujuan untuk memberikan
perlakuan yang sama atau keadilan bagi wajib pajak yang hanya memiliki, menguasai, dan atau
memanfaatkan objek pajak berupa bumi dengan nilai tertentu.
Sementara itu, sebagai dasar dalam penentuan nilai jual objek pajak masih berlaku
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 174 Tahun 1993 tentang Penentuan Klasifikasi dan
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam
keputusan tersebut ditetapkan 50 kelas bumi dengan penggolongan nilai jual tertinggi sebesar
Rp 3,1 juta per meter persegi dan terendah sebesar Rp 140 per meter persegi. Sedangkan untuk
nilai transaksi objek pajak di atas Rp 3,1 juta per meter persegi, digunakan nilai transaksinya.
Demikian juga terhadap rumah sakit swasta yang dalam perkembangannya dinilai telah
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
48
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
mengarah kepada upaya memperoleh keuntungan di sarnping fungsinya sebagai lembaga sosial,
kini telah dikenakan pajak bumi dan bangunan, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 796 Tahun 1993 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Atas Rumah
Sakit Swasta.
Sementara itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual Kena Pajak Pada Pajak Bumi dan Bangunan, telah
ditetapkan kembali besarnya tarif nilai jual kena pajak (NJKP) atas objek pajak perumahan. Di
dalam peraturan pemerintah tersebut diatur bahwa atas objek pajak perumahan yang wajib
pajaknya perseorangan, dengan nilai jual objek pajak sebesar Rp 1 miliar ke atas, tarif nilai jual
kena pajaknya ditetapkan sebesar 40 persen dari nilai jual objek pajak. Ketentuan tersebut tidak
berlaku bagi wajib pajak pegawai negeri sipil, ABRI, pensiunan termasuk janda/dudanya yang
menguasai/ memanfaatkan objek pajak perumahan yang nilai jual objek pajak (NJOP)-nya
senilai Rp 1 miliar ke atas, di mana tarif NJKP-nya tetap sebesar 20 persen dari nilai jual objek
pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1985.
Dalam pada itu, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, telah dikenakan pajak
bumi dan bangunan atas perguruan tinggi swasta. Ketentuan ini diberlakukan mengingat adanya
kecenderungan banyak perguruan tinggi swasta (PTS) yang berkembang sebagai institusi yang
cenderung memperoleh keuntungan. Kebijaksanaan ini dianggap. wajar, mengingat perguruan
tinggi swasta tersebut sudah tidak mumi lagi berfungsi sosial karena telah memperoleh manfaat
dan nikmat atas objek pajak yang dikelolanya, sehingga tidak dapat lagi dikategorikan sebagai
objek yang dikecualikan dari pengenaan pajak bumi dan bangunan. Narnun, mengingat bahwa
peran perguruan tinggi swasta selama ini juga masih mempunyai fungsi sosial khususnya dalam
ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pengenaan PBB-nya diberikan keringanan yaitu
hanya sebesar 50 persen dari jumlah PBB yang seharusnya terutang. Sedangkan intensifikasi
pemungutan pajak berupa peningkatan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak melalui kegiatan
penagihan yang lebih intensif, peningkatan pencairan tunggakan melalui kerja sama dengan
Pemerintah Daerah Tingkat II, pengembangan replikasi sistem pembayaran ditempat (Sistep)
bagi kemudahan pembayaran pajak, serta replikasi pe1ayanan satu tempat untuk memberikan
pelayanan yang cepat dan tepat kepada wajib pajak, selain itu yang tidak kalah pentingnya
adalah peningkatan penyuluhan, bimbingan dan pembinaan kepada wajib pajak serta penegakan
hukum yang lebih tegas dan efektif terhadap wajib pajak yang lalai, dan yang belum sepenuhnya
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
49
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
memenuhi kewajibannya ataupun sengaja menghindar dari kewajiban perpajakan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pada itu, upaya peningkatan penerimaan PBB juga dilakukan melalui kegiatan
penilaian individual dengan cara melakukan penyesuaian NJOP sehingga nilainya tidak terlalu
jauh dari nilai yang sesungguhnya terjadi di lapangan (nilai pasar wajar). Kegiatan penilaian
individual tersebut dilaksanakan kepada objek pajak yang mempunyai karakteristik khusus
seperti bandara, pelabuhan, gedung bertingkat tinggi, lapangan golf, jalan tol dan industri.
Dengan berbagai kebijaksanaan tersebut, penerimaan pajak bumi dan bangunan dalam
tahun pertama Repelita VI mencapai sebesar Rp 1.647,3 miliar, yang terus meningkat menjadi
sebesar Rp 1.924,0 miliar dalam tahun kedua Repelita VI, yang berarti meningkat sebesar Rp
276,7 miliar atau 16,8 persen. Sedangkan untuk tahun anggaran 1996/1997 penerimaan pajak
bumi dan bangunan dianggarkan sebesar Rp 2.277,3 miliar atau meningkat sebesar Rp 353,3
miliar atau 18,4 persen dari tahun anggaran sebelumnya yang besarnya Rp 1.924,0 miliar. Perlu
ditambahkan bahwa dalam PJP I penerimaan PBB telah mengalami peningkatan dari Rp 0,1
miliar pada tahun anggaran 1969/1970 menjadi sebesar Rp 1.484,5 miliar pada tahun anggaran
1993/1994 atau meningkat rata-rata sebesar 49,2 persen per tahun.
2.2.2.2.4 Pajak lainnya
Penerimaan bea meterai sebagai sumber utama dari penerimaan pajak lainnya, selain
ditentukan oleh besarnya jumlah transaksi kena bea meterai juga ditentukan oleh besarnya tarif
bea meterai. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 tanggal 1 Mei 1995
tentang Perubahan Tarif Bea Meterai, ditetapkan bahwa tarif bea meterai Rp 2.000 dikenakan
atas surat perjanjian dan surat lainnya yang digunakan untuk alat pembuktian yang bersifat
perdata, akte notaris dan salinannya, akte pejabat pembuat akte tanah (PPAT), serta dokumen
dengan harga nominal lebih dari Rp 1 juta. Sedangkan tarif Rp 1.000 dikenakan bagi dokumen
dengan harga nominal mulai dari Rp 250 ribu sampai dengan Rp 1 )uta serta cek dan bilyet giro.
Sedangkan untuk dokumen dengan harga nominal kurang dari Rp 250 ribu tidak terutang bea
meterai.
Dalam perkembangannya, penerimaan pajak lainnya senantiasa meningkat dari tahun ke
tahun sejalan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat. Selama PJP I, penerimaan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
50
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pajak lainnya mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 20,2 persen per tahun, sehingga jumlah
penerimaan yang dalam tahun anggaran 1969/1970 baru berjumlah Rp 3,4 miliar telah
meningkat menjadi Rp 283,4 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994. Sedangkan dalam dua
tahun pelaksanaan Repelita VI, penerimaan pajak lainnya mengalami peningkatan sebesar 68,9
persen, yaitu dari sebesar Rp 301,9 miliar dalam tahun anggaran 1994/1995 menjadi sebesar Rp
510,0 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996. Selanjutnya, dalam tahun anggaran 1996/1997
penerimaan pajak lainnya dianggarkan sebesar Rp 569,8 miliar atau 11,7 persen lebih tinggi dari
tahun sebelumnya. Kemudian, bila dikaitkan dengan penerimaan perpajakan secara keseluruhan
dalam tahun tersebut, peran penerimaan pajak lainnya adalah sebesar 1,0 persen dari penerimaan
perpajakan, yang berarti lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 1,1 persen.
Peningkatan penerimaan pajak lainnya ini sejalan dengan makin meningkatnya kegiatan
ekonomi, yang selanjutnya menyebabkan berkembangnya transaksi pajak lainnya.
Selain itu kenaikan penerimaan pajak lainnya juga tidak terlepas dari adanya upaya
pencegahan beredarnya meterai palsu, peningkatan pengawasan atas pemakaian benda meterai,
mesin teraan meterai, dan pencetakan tanda lunas meterai.
2.2.2.2.5. Bea masuk
Bea masuk adalah pungutan atas barang impor yang merupakan salah satu penerimaan
dalam negeri yang masih mempunyai peranan dalam pembiayaan pembangunan. Pungutan bea
masuk mempunyai peran ganda dalam perekonomian, yaitu sebagai salah satu sumber
penerimaan negara dan sebagai alat untuk mengatur arus serta pola impor, baik untuk barang
konsumsi maupun bagi barang-barang yang diperlukan oleh industri dalam negeri. Penerimaan
bea masuk pada awalnya merupakan sumber penerimaan yang diperlukan untuk mengisi kas
negara, dalam perkembangannya bea masuk juga berfungsi sebagai media pengaturan
(fasilitator). Penerimaan bea masuk sangat dipengaruhi oleh tiga besaran utama yaitu besarnya
nilai devisa impor bayar (dutiable import), tarif, dan nilai tukar rupiah terhadap berbagai valuta
asing. Dari ketiga besaran inilah penerimaan bea masuk ditentukan, sehingga apabila dari salah
satu atau yang lainnya berubah, maka penerimaan bea masuk juga akan berubah.
Dalam periode pembangunan jangka panjang pertama, penerimaan bea masuk terus
mengalami peningkatan yaitu dari sebesar Rp 58,3 miliar pada tahun anggaran 1969/1970
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
51
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
menjadi sebesar Rp 3.555,3 miliar pada tahun terakhir PJP I, berarti mengalami peningkatan
rata-rata 18,7 persen per tahun. Selanjutnya, dalam Repelita, VI yang mulai dilaksanakan pada
tahun anggaran 1994/1995 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997, peranan penerimaan bea
masuk terhadap penerimaan dalam negeri relatif semakin menurun. Dalam tahun anggaran
1994/1995 realisasi penerimaan bea masuk mencapai sebesar Rp 3.900,1 miliar berarti lebih
tinggi dari yang direncanakan dalam APBN-nya sebesar Rp 3.443,3 miliar, sedangkan
peranannya terhadap penerimaan dalam negeri mencapai sebesar 5,9 persen. Selanjutnya, dalam
tahun anggaran 1995/1996 realisasinya mencapai sebesar Rp 3.247,9 miliar, yang berarti turun
sebesar Rp 652,2 miliar atau 16,7 persen dari realisasi tahun sebelumnya (1994/1995) dan
memberikan sumbangan terhadap penerimaan dalam negeri sebesar 4,5 persen. Kurang
tercapainya target penerimaan tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan Pemerintah yang
diambil melalui paket-paket deregulasi yang dikeluarkan, khususnya yang berhubungan dengan
penurunan tarif bea masuk. Langkah kebijaksanaan yang diambil ini adalah untuk memperbaiki
sistem kepabeanan, yaitu di bidang pentarifan serta prosedur keluar masuknya barang, dengan
maksud agar arus keluar masuknya barang terutama barang-barang yang diperlukan bagi
pengembangan industri dalam negeri dan industri yang berorientasi pada ekspor sernakin lancar.
Selanjutnya, paket deregulasi yang telah diambil selama Repelita VI adalah paket
Kebijaksanaan Juni 1994, yang antara lain mencakup penurunan bea masuk dan bea masuk
tambahan, penghapusan tata niaga tertentu, pengaturan tentang Entrepot Produksi Tujuan
Ekspor/ Kawasan Berikat (EPTFJKB), perluasan penanaman modal, kesemuanya adalah dalam
rangka untuk meningkatkan ekspor. Selanjutnya dalam tahun 1995, telah dikeluarkan Paket 23
Mei 1995, yang merupakan tonggak awal bagi kebijaksanaan di bidang penurunan tarif bea
masuk secara terjadwal, yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi produksi dari para
pengusaha terutama yang menghasilkan barang ekspor. Dalam paket ini, selain menurunkan
besarnya tarif bea masuk, juga dilakukan rencana penjadwalan penurunan tarif bea masuk secara
bertahap yaitu untuk kelompok tarif antara 5 sampai dengan 15 persen diturunkan menjadi
setinggi-tingginya 5 persen pada tahun 2000 dan untuk kelompok tarif 20 sampai dengan 30
persen menjadi setinggi-tingginya 10 persen pada tahun 2003.
Sementara itu sebagai tindak lanjut dari kebijaksanaan deregulasi Mei 1995, dalam
bulan Januari 1996 telah diumumkan paket kebijaksanaan Januari 1996 tanggal26 Januari 1996.
Paket ini dimaksudkan untuk (a) mewujudkan iklim usaha yang lebih menarik dan mendorong
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
52
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
ekspor, (b) menurunkan tarif bea masuk barang modal dan bahan baku yang terkait langsung
dengan ekspor, dan (c) menghapus pungutan yang dipandang menghambat ekspor dan efisiensi.
Sedangkan deregulasi tersebut di antaranya meliputi bidang industri dan perdagangan, dan
keuangan. Di bidang industri dan perdagangan, kebijaksanaan tersebut di antaranya bertujuan
untuk mengembangkan industri yang berorientasi ekspor, memangkas hambatan ekspor dan
impor (baik berupa administrasi dan birokrasi), membuka dan memperluas kesempatan usaha
bagi PMA dalam perdagangan ekspor dan impor, dan mendorong pemakaian batang modal dan
bahan baku industri dalam negeri. Sedangkan deregulasi di bidang keuangan meliputi perluasan
fasilitas kepabeanan, fasilitas perpajakan, dan kesempatan dunia usaha swasta. Adapun
kebijaksanaan yang berhubungan dengan bea masuk adalah perluasan fasilitas kepabeanan di
antaranya adalah penurunan tarif bea masuk untuk barang modal dan bahan baku yang terkait
langsung atau tidak dengan ekspor. Jumlah pas tarif yang diturunkan adalah sebanyak 428 pas
tarif atau sekitar 6 persen dari total pas tarif yang berjumlah 7.284. Dengan adanya
kebijaksanaan tersebut penerimaan bea masuk dalam tahun anggaran 1995/1996 hanya
mencapai sebesar 91,7 persen dari yang dianggarkan dalam APBNnya. Bila dilihat dari
pelaksanaan APBN selama dua tahun anggaran tersebut, terlihat adanya penurunan pencapaian
target penerimaan rea masuk secara relatif.
Sebelum 1 April 1996, pengenaan pungutan rea masuk didasarkan pada perundangundangan zaman kolonial, yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, dalam mewujudkan peraturan perundang-undang berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi
hak setiap anggota masyarakat, dan menempatkan kewajiban pabean sebagai kewajiban
kenegaraan yang mencerminkan peran serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana
melalui pembayaran bea masuk, maka peraturan perundang-undangan kepabeanan sebagai
bagian dari hukum fiskal harus dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat,
kelancaran arus barang, orang, dokumen, penerimaan bea masuk yang optimal, dan dapat
menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Untuk itu,
maka sejak 1 April 1996 di bidang kepabeanan telah berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan yang merupakan pengganti dari perundang-undangan kolonial yang
dipakai selama ini. Dalam Undang-undang ini telah diterapkan sistem self assessment yaitu
menghitung dan membayar sendiri bea masuk yang terutang dengan tetap memperhatikan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
53
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
ketentuan larangan dan pembatasan impor. Dalam hal pengawasan impor, pelaksanaannya
dititikberatkan pada pemeriksaan terhadap barang impor secara selektif dengan diikuti kegiatan
verifikasi dan post audit, di samping itu juga terus diupayakan peningkatan pengawasan dalam
rangka pencegahan penyelundupan.
Sementara itu, pada bulan Juni 1996 telah dilakukan deregulasi Juni 1996. Deregulasi
ini bertujuan untuk lebih meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia dalam menghadapi
globalisasi ekonomi yang sekaligus menunjukkan komitmen, bahwa Indonesia tetap
melaksanakan kesepakatan WTO/GATT, AFTA, dan APEC secara konsisten. Dalam kaitannya
dengan bea masuk, paket ini adalah-merupakan kelanjutan dari penjadwalan penurunan tarif bea
masuk. Dalam paket Juni 1996 telah ditetapkan urutan waktu bagi masing-masing kelompok
tarif bea masuk yang diturunkan. Hal ini dimaksudkan agar dunia usaha mengetahui sejak awal
jadwal penurunan tersebut, sehingga dapat menentukan rencana-rencana, baik investasi maupun
produksi di masa mendatang. Di samping itu, juga dilakukan penghapusan bea masuk tambahan
dengan menggabungkannya ke dalam satu pas tarif bea masuk. Hal ini sesuai dengan undangundang kepabeanan, serta kesepakatan APEC dan WTO. Adapun penjadwalan penurnnan tarif
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pada tahun 1996, untuk tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 sampai dengan 15
persen tidak mengalami perubahan, sedangkan yang besarnya 20 sampai dengan 30
persen menjadi sebesar 15 sampai dengan 25 persen;
b. Tahun 1997, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 persen tidak mengalami
perubahan, sedangkan yang besarnya 10 sampai dengan 15 persen menjadi sebesar 5
sampai dengan 10 persen dan yang besarnya 15 sampai dengan 25 persen tidak berubah;
c. Tahun 1998, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 sampai dengan 10 persen tidak
berubah, kemudian untuk tarif yang besarnya 15 sampai dengan 25 persen menjadi
sebesar 10 sampai dengan 20 persen;
d. Tahun 1999, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 persen tidak berubah dan yang
besarnya 10 persen menjadi sebesar 5 persen, sedangkan yang tarifnya sebesar 10
sampai dengan 20 persen tidak berubah;
1. e. Tahun 2000, tarif yang pada tahun sebelumnya sebesar 5 persen menjadi setinggitingginya sebesar 5 persen, kemudian yang besarnya 10 persen tidak berubah dan yang
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
54
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
besarnya 15
sampai dengan 20 persen menjadi sebesar 10 sampai dengan 15 persen;
e. Tahun 2001, tarif tidak mengalami perubahan atau sama dengan tahun sebelumnya.
f. Tahun 2002, tarif yang besarnya 10 persen tidak berubah, namun yang besarnya 15
persen menjadi sebesar 10 persen; dan
g. Pada tahun 2003, tarif bea masuk yang pada tahun sebelumnya sebesar 10 persen
menjadi setinggi-tingginya sebesar 10 persen.
Sehubungan dengan itu basarnya penerimaan bea masuk pada tahun anggaran
1996/1997 yang direncanakan sebesar Rp 3.450,5 miliar, kemungkinan tidak akan tercapai
dalam realisasinya.
2.2.2.2.6. Cukai
Perundang-undangan tentang pungutan cukai yang berlaku sampai dengan tahun
anggaran 1995/1996 adalah perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Belanda yang di
antatanya seperti Ordonansi Cukai Minyak Tanah (Stbl. 1886 Nomor 249), Cukai Alkohol
Sulingan (Stbl. 1898 Nomor 249), Cukai Bir (Stbl. 1931 Nomor 488 dan 489), Cukai Tembakau
(Stbl. 1932 Nomor 517), Cukai Gula (Stbl. 1933 Nomor 251), dan peraturan perundangan
lainnya. Ordonansi cukai yang menjadi dasar pemungutan cukai selama ini dirasakan bersifat
diskriminatif terhadap pengenaan atas impor barang kena cukai, karena atas impor seperti gula,
tembakau, dan minyak tanah dikenai cukai, sedangkan untuk bir dan alkohol sulingan tidak. Di
samping itu, objek kena cukai terbatas, padahal dalam pembangunan nasional diperlukan
sumber dana yang cukup terutama yang bersumber dari dalam negeri. Oleh karena itu untuk
menambah dana bagi pembiayaan pembangunan perlu digali sumber-sumber yang potensial
termasuk objek/barang yang dapat dikenakan cukai. Untuk menampung upaya tersebut
diperlukan undang-undang baru sebagai pengganti, yaitu dengan diberlakukannya Undangundang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang berlaku mulai 1 April 1996.
Kebijaksanaan pemungutan cukai yang ditempuh selama ini tidak semata-mata untuk
mengisi kas negara, tetapi juga bertujuan untuk membina dan mengatur. Di samping
memperhatikan unsur keadilan dalam keseimbangan, juga memperhatikan pemberian insentif
yang bermanfaat, pembatasan dalam rangka perlindungan masyarakat serta pengawasan dan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
55
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undangundang tersebut. Dalam hubungan ini, kebijaksanaan yang dilakukan adalah dengan melakukan
penyesuaian tarif dan harga dasar yang digunakan untuk menghitung cukai, karena basarnya
penerimaan cukai tergantung dari jumlah barang kena cukai, tarif, dan harga dasar. Dengan
demikian apabila di antara ketiga besaran tersebut ada yang berubah maka jumlah penerimaan
cukai juga akan ikut terpengaruh.
Pada bulan April 1996 ketentuan-ketentuan dalam undang-undang cukai mulai
diterapkan. Jenis barang-barang yang dikenakan cukai dikelompokkan menjadi hasil tembakau,
etil alkohol (etanol), dan minuman serta konsentrat yang mengandung etanol. Sementara itu,
gula dan minyak tanah bukan lagi dianggap sebagai barang kena cukai, sehingga tidak
dikenakan cukai.
Untuk melaksanakan undang-undang tersebut telah dikeluarkan peraturan sebagai dasar
pengenaan cukai hasil tembakau, yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 229 Tahun 1996
ten tang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau yang ditetapkan secara
advalorem (persentase) dan mulai berlaku pada 1 Mei 1996. Dalam keputusan tersebut, basarnya
tarif cukai hasil tembakau digolongkan pada cara pembuatannya yaitu jenis produksi sigaret
kretek mesin (SKM) dan sigaret kretek nonmesin (yang terdiri dari sigaret kretek tangan/SKT,
klobot, dan klembak kemenyan) dan berdasarkan jumlah masing-masing produksi (mesin dan
nonmesin) dalam satu tahun takwim. Adapun ketentuan tarif tersebut adalah sebagai berikut :
a. Untuk jenis SKM :
produksi di atas 5 miliar batang besarnya tarif adalah 36 persen, produksi antara 2,5 sampai
dengan 5 miliar batang sebesar 28 persen, sampai dengan 2,5 miliar batang antara 20 sampai
dengan 24 persen.
b. Untuk jenis SKT :
produksi di atas 5 miliar tarifnya sebesar 16 persen, produksi di atas 2,8 juta sampai dengan 5
miliar tarifnya antara 4 sampai dengan 8 persen, dan produksi sampai dengan 2,8 juta tarifnya
sebesar 2 persen.
c. Untuk jenis sigaret putih mesin (SPM) :
harga per batang antara Rp 25 sampai dengan Rp 75, tarifnya antara 20 sampai dengan 34
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
56
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
persen, harga per batang di atas Rp 75, tarifnya sebesar 38 persen.
d. Untuk jenis klobot (KLB) dan klembak kemenyan (KLM) dikenakan tarif antara 1 sampai
dengan 8 persen, dan untuk cerutu dikenakan tarif an tara 1 sampai dengan 10 persen.
e. Untuk produk hasil tembakau yang berasal dari impor, tarif cukai untuk jenis SKM sebesar
38 persen, SKT sebesar 16 persen, SPM sebesar 38 persen, cerulli dan tembakau iris sebesar 1
sampai dengan 10 persen.
Sehubungan dengan itu besarnya penerimaan cukai hasil tembakau dalam tahun
anggaran 1996/1997 dianggarkan sebesar Rp 3.923,0 miliar, yang berarti lebih tinggi sebesar Rp
438,7 miliar atau 12,6 persen dari perkiraan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp 3.484,3
miliar. Besarnya penerimaan cukai hasil tembakau tersebut merupakan akibat dari adanya
kenaikan jumlah produksi dan kenaikan harga dari produk hasil tembakau.
Sedangkan untuk cukai etanol dan minuman yang mengandung etanol serta konsentrat
yang mengandung etanol, dikenakan tarif setinggi-tingginya 250 persen bila harga dasar yang
digunakan sebagai dasar pemungutan adalah harga jual pabrik (HJP), dan 55 persen apabila
harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran (HJE). Besarnya tarif tersebut dapat diubah
dari persentase harga dasar (advalorem) menjadi dalam rupiah (spesif1k) untuk setiap satuan
barang kena cukai, atau sebaliknya, dan dapat pula merupakan gabungan dari advalorem dan
spesifik.
Sehubungan dengan itu, untuk menghitung besarnya cukai atas produk minuman dan
konsentrat yang mengandung etanol telah ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231
Tahun 1996 tentang Penetapan Tarif Minuman yang Mengandung Etil Alkohol dan Konsentrat
yang Mengandung Etil Alkohol dengan sistem spesifik. Dalam keputusan tersebut besarnya
cukai untuk minuman yang mengandung etanol digolongkan berdasarkan harga jual eceran per
liter dan atau banyak sedikitnya kadar etanol yang terkandung dalam produk tersebut. Besarnya
tarif tersebut adalah, untuk produk minuman yang mengandung kadar etanol sampai dengan 2
persen dengan harga jual eceran per liternya sampai dengan Rp 4.000, tarifnya sebesar Rp 500,
kemudian dengan harga jual di atas Rp 4.000 sampai dengan Rp 10.000 per liter dengan
kandungan di atas 2 sampai dengan 7 persen, besarnya tarif adalah Rp 750. Selanjutnya, untuk
minuman yang harganya diatas Rp 10.000 sampai dengan Rp 60.000 per liter dengan kadar di
atas 7 sampai dengan 20 persen, tarifnya sebesar Rp 1.500. Kemudian untuk minuman dengan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
57
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
harga di atas Rp 60.000 sampai dengan Rp 200.000 per liter dan mempunyai kadar etanol di atas
20 sampai dengan 45 persen, tarifnya sebesar Rp 10.000. Sedangkan untuk yang harganya di
atas Rp 200.000 dengan kadar di atas 45 persen, tarif cukainya sebesar Rp 50.000. Untuk tarif
cukai konsentrat yang mengandung etanol besarnya cukai adalah Rp 25.000 per liter.
Sehubungan dengan ketentuan yang baru tersebut, besarnya penerimaan cukai etanol dan
minuman serta konsentrat yang mengandung etanol direncanakan sebesar Rp 110,0 miliar atau
2,7 persen dari total cukai dalam APBN-nya.
Dengan demikian secara keseluruhan penerimaan cukai dalam tahun anggaran
1996/1997 mencapai sebesar Rp 4.033,0 miliar atau lebih tinggi sebesar Rp 365,3 miliar atau
10,0 persen dari realisasi tahun anggaran sebelumnya yang jumlahnya mencapai sebesar Rp
3.667,7 miliar. Sementara itu, dalam tahun anggaran 1994/1995 realisasi penerimaan cukai
mencapai sebesar Rp 3.153,3 miliar. Perlu kiranya ditambahkan bahwa penerimaan cukai
selama P1P I terus mengalami kenaikan, yaitu dari sebesar Rp 32,5 miliar pada tahun anggaran
1969/1970 menjadi sebesar Rp 2.625,8 miliar pada tahun anggaran 1993/1994 atau naik ratarata sebesar 20,1 persen per tahun. Usaha-usaha untuk mengoptimalkan penerimaan cukai antara
lain adalah dengan meningkatkan pengawasan terhadap tindak pemalsuan atas pita cukai hasil
tembakau dan peredaran atas minuman dan konsentrat yang mengandung etanol termasuk di
dalamnya adalah minuman keras (miras), di samping itu juga terus diupayakan peningkatan
pemberantasan terhadap penyelundupan barang kena cukai. Perkembangan jenis penerimaaan
cukai dapat diamati pada Tabel II.3.
2.2.1.2.7. Pajak ekspor
Penerimaan pajak ekspor yang berasal dari pungutan atas ekspor barang-barang tertentu,
selama PJP I sangat berfluktuasi. Ada periode di mana penerimaan pajak ekspor meningkat,
namun ada pula periode di mana penerimaan tersebut mengalami penurunan.
Pada dasarnya penerimaan pajak ekspor tidak terlepas dari berbagai kebijaksanaan yang
dikeluarkan sebelumnya, seperti dikenakannya tarif pajak ekspor yang cukup tinggi atas ekspor
kayu gergajian, kayu olahan, rotan, kulit yang disamak dan kelompok barang-barang tertentu.
Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534 Tahun 1992
tentang Penetapan Besarnya Tarif dan Tata Cara Pembayaran serta Penyetoran Pajak Ekspor dan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
58
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
atau Pajak Ekspor Tambahan, yang ditujukan untuk memacu ekspor barang jadi, memperluas
kesempatan kerja, mendorong industri hilir dan untuk meningkatkan devisa.
Selain itu yang besar pengaruhnya terhadap peningkatan penerimaan pajak ekspor, adalah
dikenakannya pajak ekspor atas produk kelapa sawit dengan tarif yang bervariasi antara 40
persen dan 75 persen, apabila harga minyak goreng di dalam negeri di atas Rp 1.250 per
kilogram, seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439 Tahun 1994
tentang Pengenaan Pajak Ekspor Atas Ekspor Crude Palm Oil (CPO), Refined Bleached
Deodorized Palm Oil (RBD PO), Crude Olein dari Refined Bleached Deodorized Olein (RBD
Olein). Kebijaksanaan tersebut bertujuan untuk mengendalikan harga jual minyak goreng di
dalam negeri agar tidak terjadi peningkatan yang terlalu besar. Sedangkan sejak 1 September
1994 secara berkala setiap bulan diterbitkan keputusan Menteri Keuangan mengenai harga
ekspor yaitu harga FOB untuk masing-masing komoditi berdasarkan harga rata-rata di pasar
internasional selama dua minggu terakhir. Sementara itu, untuk mendorong pertumbuhan
industri pengolahan kayu cendana di dalam negeri serta dalam rangka menjaga kelestarian
tanaman kayu cendana, terhadap produk olahan kayu cendana juga dikenakan tarif pajak ekspor
yang besarnya US$ 2.400 per ton dari US$ 4.800 per ton, sebagaimana tertuang dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336 Tahun 1994.
Sementara itu, dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 46 tahun 1996, telah
dilakukan penurunan tarif pajak ekspor sampai nol persen untuk komoditi ekspor seperti kulit
ternak olahan, sisa aluminium dari skrap alloy (tarif pas 3004, 5052 dari 5182) serta aneka dupa
wangi dari kayu cendana. Dengan adanya berbagai kebijaksanaan tersebut penerimaan pajak
ekspor dalam tahun anggaran 1995/1996 mencapai sebesar Rp 200,8 miliar atau lebih tinggi
sebesar Rp 70,2 miliar dari tahun anggaran sebelumnya atau meningkat sebesar 53,8 persen.
Berdasarkan perkembangan tersebut, maka dalam tahun anggaran 1996/1997 penerimaan pajak
ekspor dianggarkan sebesar Rp 160,1 miliar. Adapun perkembangan penerimaan perpajakan
dapat dilihat pada Tabel 11.4.
2.2.2.3. Penerimaan negara bukan pajak
Penerimaan negara bukan pajak meliputi penerimaan yang berasal dari departemen/
lembaga pemerintah non departemen dari bagian pemerintah atas laba BUMN. Penerimaan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
59
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel II.3
PENERIMAAN CUKAI, 1969/1970 - 1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
Cukai
Cukai
Tembakau
lainnya
Tahun
Jumlah
-1
-2
-4
-3
REPELITA I
1969/1970
28,4
32,5
4,1
1970/1971
11,6
12,9
1,3
1971/1972
29,9
38,1
8,2
1972/1973
39
49,1
10,1
1973/1974
52,6
62,6
10
REPELITA II
1974/1975
66
75,9
9,9
1975/1976
72,5
85,6
13,1
1976/1977
112,8
132,9
20,1
1977/1978
152,9
174,9
22
1978/1979
212,3
232,6
20,3
REPELITA III
1919/1980
291,1
318,7
27,6
1980/1981
392,5
433
40,5
1981/1982
455,1
526,9
71,8
1982/1983
575,6
632
56,4
1983/1984
739,1
822
82,9
REPELITA IV
1984/1985
782,8
873,8
91
1985/1986
778,4
879,9
101,5
1986/1987
944,1
1.002,60
58,5
1987/1988
1.034,80
1.105,40
70,6
1988/1989
1.320,70
1.410,40
89,7
REPELITA V
1989/1990
1.398,10
1.482,20
84,1
1990/1991
1.713,80
1.799,80
86
1991/1992
1.703,30
1.915,00
211,7
1992/1993
2.116,40
2.241,60
125,2
1993/1994
2.470,40
2.625,80
155,4
REPELITA VI
1994/1995
2.647,50
3.153,30
505,8
1995/1996 2)
3.484,30
3.667,70
183,4
1996/1997 3)
3.923,00
4.033,00
110
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
60
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
departemen/lembaga pemerintah non departemen antara lain dalam bentuk iuran, retribusi,
penjualan barang milik negara yang dilakukan secara lelang umum maupun terbatas,
penyewaan, peminjaman, pengontrakan barang/fasilitas negara, serta pungutan-pungutan di
masing-masing departemen/ lembaga pemerintah non departemen sehubungan dengan
pemberian pelayanan jasa kepada masyarakat. Sedangkan penerimaan yang berasal dari bagian
pemerintah atas laba BUMN adalah penerimaan yang diperoleh sehubungan dengan
keikutsertaan pemerintah dalam mengelola BUMN, antara lain berupa dividen dari dana
pembangunan semesta.
Dalam rangka meningkatkan peranannya terhadap penerimaan dalam negeri, maka telah
ditempuh berbagai upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak. Upaya peningkatan
penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah
non departemen ditempuh melalui penyempurnaan administrasi pengelolaan, yang meliputi tata
cara penyetoran, intensifikasi pemungutan yang disertai penyesuaian besarnya tarif dengan
kondisi perekonomian, serta peningkatan pengawasan di dalam pelaksanaannya. Bersamaan
dengan itu, dalam rangka meningkatkan penerimaan yang berasal dari bagian pemerintah atas
laba BUMN, telah dilakukan pembinaan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap BUMN.
Implementasi dari kebijaksanaan tersebut antara lain berupa pemantapan organisasi, penegasan
fungsi, dan penyempurnaan pola pengembangan, agar BUMN semakin produktif, efektif, dan
efisien. Peningkatan pembinaan BUMN dilakukan melalui pemberian arahan yang lebih tepat
mengenai strategi perusahaan dan peningkatan upaya efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam
setiap kegiatan operasionalnya, penghematan biaya, dan meningkatkan pengawasan kinerjanya.
Langkah-langkah yang diambil Pemerintah tersebut telah membuahkan hasil yang
menggembirakan, yang tercermin dari peningkatan jumlah BUMN yang kinerjanya tergolong
sehat dan sehat sekali, bahkan beberapa BUMN seperti PT Indosat, PT Timah, PT Telkom dan
PT BNI 46 telah melakukan penjualan saham, baik melalui bursa domestik maupun bursa
internasional.
Dengan adanya berbagai kebijaksanaan tersebut, kontribusi penerimaan BUMN dalam
keseluruhan penerimaan negara bukan pajak dapat ditingkatkan. Sementara itu, dengan semakin
meningkatnya laba BUMN, diharapkan BUMN dapat membina para pengusaha golongan
ekonomi lemah dan koperasi. Sehubungan dengan itu telah dikeluarkan Surat Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 1232 Tahun 1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
61
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tahun
Tabel II.4
PENERIMAAN PERP AJAKAN, 1969/1970 - 1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
Pajak
Pajak Bumi
Pajak
Pertambahan
Bea
Cukai
Pajak
Penghasilan 2)
Masuk
Bangunan 4)
Ekspor
Nilai 3)
REPELITA I
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
1973/1974
REPELITA II
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
REPELITA III
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
1983/1984
REPELITA IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
REPELITA V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
REPLITA VI
1994/1995
1995/1996 6)
1996/1991 1)
Pajak
Lainnya 5)
Jumlah
41,7
49,2
77,5
91
142
30
39,8
39,3
67,4
102,8
58,3
93,4
69
76,1
128,9
32,5
12,9
38,1
49,1
62,6
7,1
21,2
28,4
34,7
69,7
0,1
0
0,2
13,4
25,5
3,4
4,3
6,6
7,4
15,4
173,1
220,8
259,1
339,1
546,9
229,7
301,9
378,5
488,8
562
154,1
199,4
262,5
293
328,1
160,3
228,1
254,2
292,4
320,9
75,9
85,6
132,9
174,9
232,6
70,7
61
64,2
79,9
158,2
29,6
36,3
46,5
80,1
117
17,3
19,6
11,9
13,3
17,6
737,6
931,9
1.150,70
1.422,40
1.736,40
798,7
1.113,10
1.343,50
1.676,40
1.970,00
331,3
463,4
560,9
706,4
813,8
351,2
478,4
507,9
516,9
591,8
318,7
433
526,9
632
822
389,7
302,6
127,2
82,9
103,6
74,9
94,8
101,9
115,8
156,4
19,4
26,4
33,5
40,1
46,7
2.283,90
2.911,70
3.201,80
3.770,50
4.504,30
2.042,40
2.070,90
2.602,70
2.876,20
4.432,30
873,5
2.190,80
2.985,60
3.826,30
4.367,40
541,3
674,3
1.269,30
1.441,50
1.376,10
873,8
879,9
1.002,60
1.105,40
1.410,40
85,5
48,3
80,3
180,3
140,9
212,7
164,7
239,3
211,9
361,9
164,5
300,6
302,5
288,9
255,6
4.793,70
6.329,50
8.482,30
9.930,50
12.344,60
5.754,80
8.250,00
9.727,00
12.516,30
14.758,90
5.986,10
8.119,20
9.145,90
10.742,30
13.943,50
1.892,20
2.799,80
2.871,10
3.223,30
3.555,30
1.482,20
1.799,80
1.915,00
2.241,60
2.625,80
173,3
39,8
17,1
8,8
13,7
604,4
785,8
944,4
1.1 06,8
1.484,50
191,1
216,5
298,8
252,4
283,4
16.084,10
22.010,90
24.919,30
30.091,50
36.665,10
18.764,10
20.520,00
23.708,00
16.544,80
18.350,00
21.788,40
3.900,10
3.247,90
3.450,50
3.153,30
3.667,70
4.033,00
130,6
200,8
160,1
1.647,30
1.924,00
2.277,30
301,9
510
569,8
44.442,10
48.420,40
55.987,10
1) Realisasi PAN
2) Sampai dengan tahun 1983/1984, terdiri dari pajak pendapatan, pajak persernan, MPO dan PBDR
3) Sampai dengan tahun 1984/1985, terdiri dari pajak penjualan dan pajak penjualan impnr
Sejak tahun 1985/1986, terdiri dari PPN dan PPnBM
4) Sampai dengan tahun 1984, terdiri dari lpeda dan pajak kekayaan
5) Terdiri dari penerimaan bea meterai dan bea lelang
6) APBN Perubahan (APBN-P)
7) APB
Lemah dan Koperasi Melalui Badan Usaha Milik Negara. Pedoman tersebut menetapkan
kewajiban BUMN untuk menyisihkan dana sebesar 1 persen sampai dengan 5 persen dari laba
setelah pajak untuk pengembangan usaha kecil dan koperasi. Dana tersebut kemudian disalurkan
untuk meningkatkan kemampuan manajemen, mengatasi masalah kekurangan modal kerja,
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
62
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
meningkatkan keterampilan berproduksi dan pemasaran, serta memberikan jaminan untuk
memperoleh kredit bank. Dalam perkembangannya, ketentuan penyisihan laba BUMN tersebut
mengalami penyempurnaan, di mana sejak tahun 1996 dana yang disisihkan untuk pembinaan
pengusaha keeil dan koperasi diturunkan menjadi 1 sampai dengan 3 persen, dan pada saat yang
bersamaan disisihkan dana sebesar 2 persen dari laba setelah pajak untuk pembinaan keluarga
prasejahtera dan sejahtera 1. Dengan adanya bantuan dan pembinaan oleh BUMN tersebut,
diharapkan koperasi dan usaha kecil menengah dapat berkembang semakin kuat, yang pada
gilirannya nanti dapat memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha.
Dengan adanya berbagai upaya tersebut, realisasi penerimaan negara bukan pajak dari
tahun ke tahun senantiasa mengalami peningkatan yang cukup besar. Jika dalam tahun pertama
RepelitaI (1969/1970) realisasi penerimaan negara bukan pajak baru mencapai Rp 7,4 miliar,
maka dalam tahun terakhir Repelita V realisasinya mencapai sebesar Rp 4.624,0 miliar. Dengan
demikian secara keseluruhan dalam PJP I realisasi penerimaan negara bukan pajak telah
meningkat rata-rata sebesar 30,8 persen. Selanjutnya dalam tahun pertama Repelita VI
(1994/1995) realisasi penerimaan negara bukan pajak mencapai sebesar Rp 6.432,7 miliar, yang
berarti 39,1 persen lebih tinggi dari realisasinya dalam tahun terakhir Repelita V. Kemudian
dalam tahun kedua Repelita VI (1995/1996) realisasi penerimaan negara bukan pajak meningkat
lagi menjadi Rp 7.801,1 miliar, atau meningkat 21,3 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan
dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997) penerimaan negara bukan pajak dianggarkan
sebesar Rp 7.267,8 miliar.
2.2.2.4 Laba bersih minyak (LBM)
Penerimaan laba bersih minyak (LBM), yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan
bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, merupakan selisih lebih dari hasil penjualan BBM
di dalam negeri terhadap biaya pengadaannya. Sebaliknya, bila hasil penjualan BBM lebih kecil
dari biaya pengadaannya, maka akan terjadi subsidi BBM. Hasil penjualan bahan bakar di dalam
negeri sangat dipengaruhi oleh harga BBM dan volume penjualannya di dalam negeri.
Sedangkan biaya pengadaan BBM dipengarnhi oleh harga minyak di pasar intemasional, nilai
tukar rupiah terhadap valuta asing khususnya dolar Amerika Serikat, serta kondisi perminyakan
di dalam negeri setiap tahunnya.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
63
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Perkembangan harga minyak mentah di pasar intemasional sangat besar pengaruhnya
dalam struktur biaya pengadaan BBM di dalam negeri, karena minyak mentah yang diolah
menjadi BBM diperhitungkan dengan harga di pasar dunia. Dengan demikian naiknya harga
minyak di pasar intemasional menyebabkan naiknya biaya pengadaan BBM. Dalam keadaan
tingginya harga minyak mentah di pasar dunia, Pemerintah harus memberikan subsidi untuk
mengimbangi kenaikan biaya pengadaan BBM di dalam negeri pada tingkat harga BBM yang
telah ditetapkan pemerintah.
Untuk mengurangi beban kenaikan biaya pengadaan BBM tersebut, Pemerintah telah
melakukan penyesuaian harga BBM di dalam negeri. Dalam Repelita I dan II telah dilakukan
penyesuaian harga BBM masing-masing sebanyak 3 kali dan 6 kali. Sedangkan dalam Repelita
IV telah dilakukan penyesuaian sebanyak 2 kali, begitu juga dalam Repelita V sebanyak 3 kali.
Sesuai dengan Keputusan Presiden tahun 1993, tingkat harga BBM di dalam negeri yang
berlaku hingga saat ini adalah antara lain untuk jenis premium sebesar Rp 700,00 per liter,
minyak tanah sebesar Rp 280,00 per liter, dan minyak solar sebesar Rp 380,00 per liter.
Dalam perkembangannya, penerimaan LBM mencapai sebesar Rp 2.320,6 miliar pada
akhir Repelita V, di mana pada waktu itu harga minyak relatif rendah. Sementara itu dengan
semakin membaiknya harga minyak mentah dalam tahun anggaran 1994/1995, penerimaan
LBM mencapai sebesar Rp 2.005,8 miliar atau mengalami penurunan sebesar 13,6 persen.
Sedangkan dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan LBM mencapai sebesar Rp 487,6
miliar dan untuk APBN 1996/1997, penerimaan LBM dianggarkan sebesar Rp 827,8 miliar.
Namun dengan realisasi harga minyak Indonesia yang meningkat, dalam semester I 1996/1997
justru harus dibayar subsidi BBM sebesar Rp 358,5 miliar.
Selanjutnya dalam Tabel II.5 dan Grafik II.1 dapat diikuti perkembangan penerimaan
dalam negeri yang meliputi penerimaan migas. penerimaan perpajakan, dan penerimaan bukan
pajak. sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan tahun ketiga Repelita VI.
2.2.3. Penerimaan pembangunan
Pembangunan nasional selama ini di samping dibiayai oleh sumber dana dari dalam
negeri, seperti tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat, juga didukung oleh sumber dana
dari luar negeri, antara lain berupa bantuan luar negeri dan penanaman modal asing.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
64
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Dalam kaitannya dengan bantuan luar negeri yang diterima dan dicatat sebagai
penerimaan pembangunan dalam APBN, kebijaksanaan penerimaannya tetap berpedoman pada
kebijaksanaan umum yang digariskan dalam GBHN, di mana bantuan luar negeri tersebut harus
merniliki jangka waktu pengembalian yang panjang dengan persyaratan yang selunak mungkin,
tidak disertai dengan ikatan politik, disesuaikan dengan batas kemampuan untuk membayar
kembali, dan tidak menimbulkan beban yang terlalu memberatkan. Di samping itu,
kebijaksanaan penerimaan bantuan luar negeri juga selalu dikaitkan dengan pertimbangan tujuan
penggunaannya, dan kaitannya dengan kebijaksanaan ekonomi lainnya, seperti kebijaksanaan
fiskal, kebijaksanaan moneter, dan kebijaksanaan perdagangan luar negeri.
Penerimaan bantuan luar negeri yang diterima selama ini berasal dari negara-negara dan
badan-badan internasional yang tergabung dalam Intergovernmental Group on Indonesia
(IGGI), yang sejak tahun 1992 berubah menjadi Consultative Group for Indonesia (CGI), dan
negara-negara non IGGI/CGI lainnya. Di samping dari kedua sumber tersebut, penerimaan
pembangunan juga diterima dari lembaga keuangan internasional lainnya, antara lain berupa
kredit ekspor, pinjaman komersial, dan leasing.
Sesuai dengan kondisi Indonesia dalam Repelita I, yaitu sulitnya kebutuhan pokok
sehari-hari, sangat kecilnya cadangan devisa, dan kurangnya modal untuk memperbaiki berbagai
prasarana dan sarana ekonorni, penerimaan pembangunan didominasi oleh bantuan program.
Penerimaan pembangunan dalam periode tersebut mencapai sebesar Rp 554,6 miliar atau
membiayai sekitar 51 persen pembiayaan pembangunan, sekitar 75 persennya berupa bantuan
program. Bantuan berupa bantuan pangan dan non pangan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat dan menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok di
dalam negeri, sedangkan bantuan berupa devisa kredit digunakan untuk memenuhi tambahan
dana rupiah untuk perbaikan prasarana dan sarana ekonorni dan kelangkaan devisa yang sangat
diperlukan pada saat itu.
Sejalan dengan berkembangnya pembangunan, pada tahap-tahap selanjutnya proporsi
penerimaan pembangunan dalam pembiayaan pembangunan cenderung mengecil dan lebih
banyak berupa bantuan proyek, yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan.
Dalam bantuan proyek ini termasuk pula bantuan teknik, terutama berupa bantuan tenaga ahli
dari luar negeri, serta pengiriman tenaga-tenaga Indonesia keluar negeri untuk belajar.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
65
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel II.5
PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1969/1970 - 1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
.
Penerimaan
Penerimaan Penerimaan Penerimaan
Tahun
minyak bumi
perpajakan
bukan
dalam negeri
dan gas alam
pajak
REPELITA I
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
1973/1974
REPELITA II
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
REPELITA III
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
1983/1984
REPELITA IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
REPELITA V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
REPELIA VI
1994/1995
1995/1996 3)
1996/1997 4)
48,3
68,8
112,7
196,5
347,5
173,1
220,8
259,1
339,1
546,9
24,8 2)
49,0 2)
41,9 2)
56,2 2)
80,8 2)
246,2
338,6
413,7
591,8
975,2
957,3
1.200,60
1.586,80
1.936,60
2.264,70
737,6
931,9
1.150,70
1.422,40
1.736,40
75,7
111,8 2)
129,0 2)
1526 2)
245:9 2)
1.770,60
2.244,30
2.866,50
3.511,60
4.247,00
4.260,30
6.773,60
8.627,90
8.160,40
11.350,10
2.283,90
2.911,70
3.201,80
3.770,50
4.504,30
189,0 2)
248,0 2)
332,7
442,9
512,3
6.733,20
9.933,30
12.162,40
12.373,80
16.366,70
10.429,90
12.924,60
6.687,20
10.083,30
9.536,40
4.793,70
.6.'329,5
8.482,30
9.930,50
12.344,60
707,7
1.685,30
2.215,8 2)
1.716,90
1.532,80
15.931,30
20.939,40
17.385,30
21.7Q;7
23.413,80
13.381;3
17,740,0
15.069,60
15.330,80
12.503,40
16.084,10
22.010,90
24.919,30
30.091,50
36.665,10
2.038,80
2.442,10
2.593,10
3.440,30
6.9446 2)
31.504,20
42.193,00
42.582,00
48.862,60
56.113,10
13.537,40
14.848,70
14.120,10
44.442,10
48.420,40
55.987,10
8.48,5 2)
8.2S8,72)
8.095,6 2)
66.418,00
71.557,80
18.202,80
1) Realisasi PAN
2) Termasuk LBM
3) APBN Perubahan (APBN-P)
4) APBN
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
66
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Dalam Repelita II dan Repelita III penerimaan pembangunan masing-masing mencapai
sebesar Rp 1.674,2 miliar dan sebesar Rp 8.003,4 miliar, atau membiayai sekitar 22 persen dan
25 persen dari pembiayaan pembangunan, dengan bantuan program masing-masing mencapai
hanya sekitar 11 persen dan 3 persen dari keseluruhan penerimaan pembangunan dalam masingmasing periode tersebut. Dalam Repelita IV, penerimaan pembangunan meningkat kembali
menjadi sebesar Rp 25.803,1 miliar atau membiayai sekitar 50 persen pembiayaan
pembangunan, mendekati peranannya dalam Repelita I, dengan proporsi bantuan program dalam
penerimaan pembangunan meningkat kembali menjadi sekitar 21 persen. Bahkan dalam tahun
terakhir Repelita IV penerimaan pembangunan membiayai sekitar 83 persen pembiayaan
pembangunan, dengan proporsi bantuan program dalam penerimaan pembangunan sekitar 26
persen. Meningkatnya penerimaan pembangunan dan proporsi bantuan program dalam Repelita
IV berkaitan dengan menurunnya penerimaan negara yang pada saat itu masih didominasi
penerimaan migas, sebagai akibat menurunnya secara tajam harga minyak bumi di pasar
internasional. Harga minyak yang dalam beberapa tahun sebelumnya masih berada di atas US$
25,00 per barel, dalam bulan April 1986 menurun menjadi sekitar US$ 11,00 per barel, dan
bahkan dalam bulan Agustus 1986 sempat berada di bawah US$ 10,00 per barel. Turunnya
penerimaan migas secara tajam tersebut, perlu dicarikan pengganti berupa penerimaan
pembangunan, terutama bantuan program yang dapat dirupiahkan, untuk pembiayaan dan
sebagai dana pendamping bagi proyek-proyek pembangunan.
Dalam tahap selanjutnya, yaitu Repelita V yang merupakan tahap terakhir
pembangunan jangka panjang pertama, penerimaan pembangunan mencapai sebesar Rp
48.537,3 miliar atau membiayai sekitar 43 persen dari pembiayaan pembangunan. Menurunnya
proporsi penerimaan pembangunan dalam pembiayaan pembangunan dalam periode ini
berkaitan dengan mulai bergesernya struktur penerimaan negara yang semula didominasi oleh
penerimaan migas ke penerimaan negara yang lebih stabil, yaitu penerimaan di luar migas,
terutama penerimaan perpajakan. Peningkatan penerimaan di luar migas ini merupakan hasil
dari pembaharuan menyeluruh sistem perpajakan nasional sejak tahun 1983, disertai dengan
berbagai deregulasi dan debirokratisasi yang dilaksanakan baik di sektor keuangan maupun di
sektor riil sejak tahun 1983. Sejalan dengan makin meningkatnya kemampuan pengerahan dana
dalam negeri terutama yang berasal dari sektor perpajakan, dalam 3 tahun pertama Repelita VI
proporsi penerimaan ptimbangunan dalam pembiayaan pembangunan cenderung menurun
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
67
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kembali. Di samping itu, seluruh penerimaan pembangunan sejak tahun terakhir Repelita V
hingga tahun ketiga Repelita VI seluruhnya berupa bantuan proyek. Apabila dalam tahun
terakhir Repelita V penerimaan pembangunan mencapai sebesar Rp 10.752,5 miliar, atau
membiayai sekitar 38 persen dari keseluruhan pembiayaan pembangunan, dalam tahun pertama
Repelita VI penerimaan pembangunan tersebut mencapai sebesar Rp 9.837,8 miliar dan
peranannya dalam pembiayaan pembangunan menurun menjadi sekitar 32 persen. Sementara
itu, dalam tahun kedua Repelita VI penerimaan pembangunan mencapai sebesar Rp 11.170,0
miliar dan dalam tahun ketiga dianggarkan sebesar Rp 12.413,6 miliar. Rincian perkembangan
penerimaan pembangunan, yang terdiri dari bantuan program dan bantuan proyek, dapat dilihat
pada Tabel II.6.
2.2.4. Pengeluaran rutin
Kebijaksanaan pengeluaran rutin merupakan salah satu instrumen kebijaksanaan fiskal
yang diarahkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan berbagai program dan kegiatan
pemerintahan yang bersifat rutin dan terus-menerus, dan sekaligus merupakan kebijaksanaan
yang diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan tabungan pemerintah. Dengan demikian,
kebijaksanaan pengeluaran rutin mempunyai peranan dan fungsi yang cukup penting bukan saja
dalam menunjang kelangsungan dan kelancaran jalannya roda pemerintahan, peningkatan
jangkauan dan mutu pelayanan kepada masyarakat, serta terpeliharanya berbagai aset negara,
tetapi lebih dari itu juga sangat berperan dalam menunjang terciptanya struktur pembiayaan
pembangunan yang lebih mengandalkan ada dukungan sumber pembiayaan dari dalam negeri.
Selain daripada itu, pengeluaran rutin juga memegang peranan yang cukup penting dalam
mendukung program pemerataan melalui bantuan kepada daerah otonom, serta dalam menjaga
kredibilitas perekonomian nasional didunia internasional melalui pemenuhan kewajiban
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlah sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
68
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel II.6
PENERIMAAN PEMBANGUNAN, 1969/1970 - 1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
Tahun
Bantuan
Bantuan
Jumlah
program
proyek
REPELITA I
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
1973/1974
REPELITA II
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
REPELITA III
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
1983/1984
REPELITA IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
REPELITA V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
REPELITA VI
1994/1995
1995/1996 2)
1996/1997 3)
69,2
75,2
92,8
87,2
93,6
12,9
24,3
15,8
34,3
49,3
82,1
99,5
108,6
121,5
142,9
37,6
20,5
22,7
42,9
52,5
169,5
429,9
302,5
210,7
385,4
207,1
450,4
325,2
253,6
437,9
64,4
64,1
45
15,1
14,9
710,7
1.056,50
1.513,60
1.990,90
2.528,20
775,1
1.120,60
1.558,60
2.006,00
2.543,10
69,3
69,2
1.791,20
684,5
2.665,90
1.711,40
2.760,30
3.721,80
4.871,10
7.458,40
1.780,70
2.829,50
5.513,00
5.555,60
10.124,30
965,8
1.346,70
1.385,50
516,5
-
7.364,50
7.034,80
8.589,60
10.581,40
10.752,50
8.330,30
8.381,50
9.975,10
11.097,90
10.752,50
-
9.837,80
11.170,00
12.413,60
9.837,80
11.170,00
12.413,60
1) Rea1isasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
69
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Sebagai salah satu kebijaksanaan pemerintah di bidang fiskal yang diarahkan untuk
mendukung pencapaian berbagai tujuan pembangunan sebagaimana ditetapkan dalam GBHN
dan Repelita, pengalokasian pengeluaran rutin pada setiap jenis pengeluaran senantiasa sepadan
dengap penerimaan dalam negeri dengan tetap mengupayakan peningkatan efisiensi, efektivitas
dan peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan efisiensi, efektivitas dan
peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat antara lain diupayakan melalui peningkatan
kemampuan aparatur pemerintah, pemanfaatan secara optimal biaya operasional dan
pemeliharaan, serta penghapusan subsidi secara bertahap. Meskipun demikian, seirama dengan
membasarnya organisasi, tugas dan fupgsi pemerintah dalam pelaksanaan operasional
pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan, berbagai jenis pengeluaran dalam anggaran
belanja rutin pada umumnya mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya.
Peningkatan tersebut erat kaitannya dengan semakin besarnya kebutuhan pembiayaan yang
diperlukan untuk pembiayaan aparatur pemerintah pusat dan daerah, pembiayaan operasional
dan pemeliharaan, pembiayaan untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, serta
pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung dan menunjang berbagai program pemerintah
lainnya.
Dalam kurun waktu pelaksanaan pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) sampai
dengan tahun ketiga Repelita VI, pemerintah telah memberikan prioritas yang cukup besar
terhadap alokasi anggaran untuk pembinaan, pendayagunaan dan peningkatan kesejahteraan
aparatur pemerintah, sehingga diharapkan dapat merangsang peningkatan produktivitas secara
lebih optimal. Sedangkan kebijaksanaan pemerintah dalam penyediaan anggaran bagi
pembiayaan operasional dan pemeliharaan senantiasa diupayakan tetap mengarah kepada
tercapainya daya guna dan hasil guna yang optimal. Hal tersebut erat kaitannya dengan
penyediaan dana kegiatan operasional dan pemeliharaan yang masih terbatas, terutama apabila
dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat besar dari berbagai instansi dan lembaga pemerintah.
Komponen pembiayaan operasional dan pemeliharaan terdiri dari belanja barang dalam negeri,
belanja barang luar negeri, belanja non pegawai daerah, dan lain-lain pengeluaran rutin di luar
subsidi BBM.
Sementara itu, jenis anggaran belanja rutin lainnya yang mendapat alokasi pembiayaan
yang cukup besar adalah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Sejak awal
pelaksanaan Repelita I, kebijaksanaan pemerintah dalam pembayaran bunga dan cicilan hutang
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
70
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
luar negeri senantiasa diarahkan untuk terus memenuhi setiap kewajiban kepada pemberi
pinjaman luar negeri sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Bahkan memasuki
pelaksanaan PJP II, dalam keadaan keuangan negara memungkinkan, serta dalam batas-batas
yang dianggap menguntungkan perekonomian nasional, Pemerintah telah melaksanakan
percepatan pembayaran (prepayment) terhadap hutang luar negeri terutama yang suku bunganya
relatif tinggi. Kebijaksanaan tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih besar,
terutama dalam membina kerja sama dan meningkatkan kepercayaan negara-negara pemberi
pinjaman, serta meringankan beban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri di masamasa mendatang.
Di samping berbagai pembiayaan tersebut, pengeluaran rutin juga harus mampu
menampung pembiayaan yang mendukung berbagai program pemerintah dalam lain-lain
pengeluaran rutin. Alokasi yang cukup strategis yang harus disertai sikap hati-hati dari
pembiayaan tersebut adalah untuk pembiayaan subsidi BBM. Dalam perkembangannya,
pemberian subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak mentah Indonesia di
pasar intemasional, volume BBM yang dikonsumsi di dalam negeri, dan penetapan harga BBM
dalam negeri. Pemberian subsidi BBM yang semula dimaksudkan untuk mendorong
pengembangan sektor industri dan meningkatkan stabilitas ekonomi, seringkali mempunyai
dampak sampingan yang berupa penggunaan BBM yang kurang efisien dan bersifat boros.
Untuk itu, sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam pengelolaan pengeluaran negara
secara efisien dan efektif, serra memberikan manfaat yang sebesar-basarnya bagi masyarakat
luas, maka pemberian subsidi BBM diupayakan dapat dikurangi. Upaya untuk mengurangi
subsidi BBM tersebut antara lain dilakukan melalui kebijaksanaan penyesuaian harga BBM
dalam negeri yang pelaksanaannya dilakukan pada saat yang tepat.
Pelaksanaan berbagai strategi dan arab kebijaksanaan tersebut di atas secara keseluruhan
telah meningkatkan pengeluaran rutin setiap tahunnya. Dalam periode PJP I, pengeluaran rutin
mengalami peningkatan rata-rata per tahun sebesar 24,4 persen, yaitu dari sebesar Rp 213,7
miliar dalam tahun pertama Repelita I menjadi sebesar Rp 40.289,9 miliar pada tahun terakhir
Repelita V. Sementara itu, dalam tahun ketiga Repelita VI (APBN 1996/1997), pembiayaan
untuk pengeluaran rutin dianggarkan sebesar Rp 56.113,7 miliar, yang berarti 27,3 persen lebih
tinggi dari realisasi pengeluaran rutin dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995), yaitu
sebesar Rp 44.069,0 miliar. Dengan demikian, selama Repelita VI, pengeluaran rutin mengalami
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
71
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
peningkatan rata-rata per tahun sebesar 12,8 persen. Ini berarti bahwa sejak tahun pertama
Repelita I sampai dengan tahun ketiga Repelita VI, realisasi pengeluaran rutin telah mengalami
peningkatan rata-rata per tahun sebesar 22,9 persen. Perkembangan anggaran be1anja rutin
secara rinci sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat
diikuti dalam Tabel II.7 dan Grafik II.2.
2.2.4.1. Pembiayaan aparatur pemerintah
Sebagai salah satu unsur penunjang dalam usaha memperlancar penyelenggaraan tugas-tugas
umum pemerintahan dan pembangunan, pembiayaan aparatur pemerintah senantiasa diarahkan
untuk memberi dukungan pembiayaan yang memadai bagi upaya peningkatan kualitas dan
kemampuan profesionalisme serta penyempurnaan se1uruh unsur aparatur pemerintahan.
Dengan demikian diharapkan dapat terwujud aparatur pemerintah yang jujur, bersih, berwibawa,
bertanggung jawab dan profesional. Peningkatan kualitas dan kemampuan profesionalisme
aparatur pemerintah diperlukan bukan hanya untuk menciptakan aparatur yang mampu
melayani, mengayomi, dan peka terhadap berbagai pandangan dan aspirasi yang hidup dalam
masyarakat, tetapi lebih dari itu juga mampu memanfaatkan potensi dan peluang yang ada, serta
menumbuhkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dan dunia usaha dalam memajukan
pembangunan nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin pesat dan beragamnya kegiatan
pembangunan membawa konsekuensi akan kebutuhan aparatur yang berkualitas dan marnpu
mengimbangi perkembangan dan meluasnya cakupan penyelenggaraan tugas-tugas umum
pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat. Berkaitan dengan itu,
maka pembiayaan aparatur pemerintah diprioritaskan untuk mendukung upaya peningkatan dan
penyempurnaan pendayagunaan aparatur pemerintah.
Upaya
peningkatan
dan
penyempurnaan
pendayagunaan
aparatur
pemerintah
menyangkut bidang yang sangat luas, yang meliputi bidang kelembagaan, bidang
ketatalaksanaan, dan bidang kepegawaian. Peningkatan dan penyempurnaan di bidang
kelembagaan antara lain dilakukan melalui upaya penataan kembali susunan dan hubungan
organisasi dan tata kerja, serta koordinasi pada organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah
dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Sedangkan peningkatan dan penyempurnaan
di bidang ketatalaksanaan antara lain dilakukan melalui langkah-langkah penyempurnaan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
72
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel II.7
PENGELUARAN RUTIN, 1969/1970 - 1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
Tahun
-1
REPELITA I
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
Belanja
pegawai
Belanja
barang
-2
-3
Subsidi
Bunga dan
daerah
otonom
-4
cicilan
hutang
Lainlain
Jumlah
-5
-6
-7
89,4
119,2
148,5
175,3
63,2
84,9
83,9
109,3
2
0,3
0,2
0,5
14,5
27,6
46,7
46,3
44,6
61,5
65,5
97,2
213,7
293,5
344,8
428,6
1973/1974
REPELITA II
233,6
246,7
114,4
74,4
30,6
699,7
1974/1975
376,8
330,2
209,3
69,1
0,3
985,7
1975/1976
552,7
283,8
264
73,1
65,7
1.239,30
1976/1977
626
337,1
306,6
186,2
149,2
1.605,10
1977/1978
844,4
370,2
471,7
224,2
169,3
2.079,80
1978/1979
REPELITA III
975,5
408,9
507,8
521,2
259,3
2.672,70
1979/1980
1.282,40
557,9
672,5
743,9
742,5
3.999,20
1980/1981
1.778,40
694,4
971,9
795,8
1.309,00
5.549,50
1981/1982
2.169,80
957,5
1.233,00
930,5
1.652,20
6.943,00
1982/1983
2.372,80
1.068,50
1.315,90
1.223,20
986,9
6.967,30
1983/1984
REPELITA IV
2.750,80
1.043,60
1.545,40
2.100,50
2.774,90
10.215,20
1984/1985
3.140,80
1.165,00
1.786,80
2.775,70
537,6
9.405,90
1985/1986
3.929,70
1.351,20
2.495,70
3.323,10
906,7
12.006,40
1986/1987
4.438,40
1.311 ,0'
2.769,40
5.058,10
139,8
13.716,7'
1987/1988
4.545,10
1.296,10
2.811,20
8.157,40
530,8
17.340,60
1988/1989
REPELITA V
5.489,20
1.226,60
3.011,10
11.040,20
167,8
20.934,90
1989/1990
6.205,50
1.703,50
3.577,30
11.924,20
.924,7
24.335,20
1990/1991
7.088,00
1.842,10
3.887,50
12.815,80
3.487,70
29.121,10
1991/1992
8.169,70
2.328,10
4.376,40
12.838,20
1.340,60
29.053,00
1992/1993
9.554,20
2.928,50
5.383,50
14.523,50
1.215,70
33.605,40
1993/1994
REPELITA VI
11.144,80
3.032,10
6.908,70
17.163,00
2.041,30
40.289,90
1994/1995
12.595,50
4.318,90
7.272,40
18.402,50
1.479,70
44.069,00
1995/1996 2)
15.371,90
5.274,20
8.343,80
21.434,50
2.116,50
52.540,90
1996/1997 3)
18.280,60
6.589,00
10.012,30
20.226,80
1.005,00
56.113,70
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
73
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
peraturan, ketentuan, dan prosedur administrasi pemerintahan. Sementara itu, upaya
peningkatan dan penyempurnaan di bidang kepegawaian dilakukan antara lain melalui
penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai, peningkatan kualitas dan pembinaan
karier pegawai, dan perbaikan penghasilan pegawai dan pensiun.
Arah penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai tidak hanya didasarkan
kepada kemampuan keuangan negara, tetapi lebih ditekankan pada upaya peningkatan efisiensi
dan efektivitas, dengan didasarkan kepada keserasian antara beban kerja, tugas pokok dan fungsi
organisasi dengan kebutuhan pegawai, baik kuantitas maupun kualitas. Upaya peningkatan
efisiensi dan efektivitas antara lain dilakukan melalui perarnpingan organisasi dan
kebijaksanaan
zero
growth.
Upaya
perampingan
organisasi
dilakukan
dengan
mempertimbangkan penyediaan sumber daya, sehingga tercipta struktur organisasi yang lebih
proporsional, efisien, dan efektif serta sesuai denganr misi dan tugas pokok yang diembannya.
Sedangkan kebijaksanaan zero growth merupakan kebijaksanaan pengendalian jumlah pegawai
negeri dengan mengupayakan agar jumlah pegawai secara keseluruhan tetap. Upaya tersebut
dilakukan dengan membatasi pengadaan, pegawai baru sesuai dengan jumlah pegawai yang
berhenti, pensiun dan meninggal dunia dalam tahun yang bersangkutan. Zero growth diartikan,
bahwa secara nasional jumlah pegawai negeri tetap, narnun alokasi pengadaan pegawai baru
bagi tiap departemen/lembaga pemerintah non departemen (LPND) ditetapkan berdasarkan
skala prioritas kebutuhan pegawai yang dikaitkan dengan prioritas pembangunan. Dengan
demikian pengadaan pegawai baru bagi tiap departemen/LPND tidak selalu berbanding lurus
dengan jumlah pegawai negeri yang berhenti, pensiun dan meninggal dunia. Melalui
kebijaksanaan zero growth yang diikuti dengan penetapan persyaratan kualiftkasi yang lebih
tinggi bagi pegawai baru untuk jabatan yang sama diharapkan dapat memperlancar proses
realisasi, optimalisasi dan peningkatan kualitas pegawai yang ada, sehingga tercipta komposisi
pegawai yang sehat sesuai dengan skala prioritas pembangunan. Selain daripada itu,
kebijaksanaan zero growth juga diharapkan dapat menghemat anggaran belanja pegawai
sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan aparatur pemerintah di masa-masa
mendatang.
Selain penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai, upaya peningkatan
kualitas dan pembinaan karier aparatur pemerintah juga terus diupayakan untuk dapat
menunjang upaya peningkatan kegiatan pemerintahan dan pembangunan di berbagai sektor.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
74
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Upaya tersebut antara lain dilakukan melalui penyempurnaan sistem pendidikan dan pelatihan
kedinasan, pendidikan jenjang kepangkatan dan jabatan, serta penyediaan bea siswa dalam
rangka meningkatkan pendidikan formal bagi pegawai pilihan. Sementara itu untuk menjaring
bibit unggul dan untuk mempersiapkan pegawai negeri yang bermutu serta mampu
mengantisipasi tantangan dalam pembangunan, selain diupayakan melalui seleksi penerimaan
pegawai baru yang ketat dan objektif, juga diupayakan melalui penyempurnaan pendidikan dan
pelatihan prajabatan (diklat prajab) dengan diklat prajab pola baru. Materi diklat prajab pola
baru tersebut ditekankan pada pembentukan mental, fisik dari disiplin, dengan pembekalan yang
mencakup semangat pengabdian, disiplin, dan kepedulian terhadap dinamika masyarakat dan
lingkungan, serta wawasan tentang administrasi pemerintahan dan pembangunan. Melalui diklat
prajabatan pola baru tersebut diharapkan sejak awal dapat dibentuk sosok pegawai yang
bermental baik, mempunyai disiplin dan semangat pengabdian yang tinggi, peka terhadap
tuntutan masyarakat yang dilayani, serta mempunyai kemampuan profesionalisme yang mantap.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kemampuan profesionalisme aparatur pemerintah,
selain telah dilakukan pengembangan jabatan fungsional, juga diberikan kesempatan kepada
pegawai negeri tertentu untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan bidang administrasi,
diklat/penyesuaian tugas dan teknis fungsional, serta pendidikan penjenjangan sebagai prasyarat
untuk menduduki jabatan tertentu. Di samping itu, kepada aparatur pemerintah juga diberikan
diklat teknis jangka pendek untuk meningkatkan keterampilan dalam jenis pekerjaan tertentu,
penataran untuk meningkatkan disiplin dan pemahaman mengenai kebijaksanaan pemerintah,
serta pendidikan formal yang lebih tinggi, bait di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sementara itu, dalam rangka memperbaiki kesejahteraan pegawai, tidak hanya
dilakukan melalui penyempurnaan sistem penggajian tetapi juga telah dilakukan melalui
penyempurnaan pada aspek ketatalaksanaan yang dapat meningkatkan efisiensi pelayanan
administrasi kepegawaian. Dengan demikian, kebijaksanaan yang ditempuh Pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan pegawai tidak hanya menyangkut aspek finansial, tetapi juga aspek
non finansial. Peningkatan kesejahteraan secara finansial dilakukan secara bertahap dalam
bentuk peningkatan penghasilan, antara lain berupa perbaikan struktur gaji pokok, pemberian
gaji bulan ketiga belas, pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP), penyesuaian
tunjangan jabatan struktural dan tunjangan isteri/suami, serta perluasan pemberian tunjangan
fungsional dan tunjangan daerah terpencil. Sedangkan peningkatan kesejahteraan secara non
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
75
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
finansial dilakukan dalam bentuk pemberian kemudahan dan fasilitas yang secara langsung
berkaitan dengan peningkatan kualitas kesejahteraan, seperti peningkatan pelayanan pemberian
pensiun otomatis dan kenaikan pangkat otomatis pada pegawai tertentu, bantuan pemeliharaan
kesehatan melalui asuransi kesehatan, peningkatan penyelenggaraan pembayaran gaji melalui
bank atau kantor pos terdekat, serta bantuan uang muka perumahan melalui tabungan
perumahan.
Sejak awal Repelita I, perbaikan struktur gaji pokok pegawai telah dilakukan beberapa
kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1993, yang berlaku sejak 1 April
1993. Kenaikan gaji pokok memberi arti yang luas bagi penghasilan yang diterima pegawai
negeri, mengingat basarnya tunjangan dan uang pensiun dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari gaji pokok. Selain dari itu, kebijaksanaan menaikkan gaji pokok dimaksudkan pula
untuk memperkecil perbedaan penghasilan antara pegawai yang berpangkat terendah dan
tertinggi. Apabila berdasarkan PGPS-1968 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1977
perbandingan antara gaji pokok terendah dan tertinggi masing-masing adalah 1 berbanding 25
dan 1 berbanding 10, maka berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 1985 dan PP Nomor 15 Tahun
1993 perbandingannya masing-masing menjadi 1 berbanding 8 dan 1 berbanding 7. Selain gaji
pokok, telah pula dilakukan peningkatan terhadap tunjangan isteri/suami dari sebesar 5 persen
dari gaji pokok menjadi 10 persen dari gaji pokok terhitung sejak April 1992. Selanjutnya,
melalui Keppres Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN, yang merupakan
penyempurnaan dari peraturan sebelumnya, juga dilakukan perubahan yang berkaitan dengan
jumlah anak yang dapat memperoleh tunjangan penghasilan dan tunjangan beras. Apabila dalam
peraturan terdahulu, yaitu Keppres Nomor 29 Tahun 1984, jumlah anak yang memperoleh
tunjangan penghasilan dan tunjangan beras untuk anak adalah sebanyak-banyaknya 3 (tiga)
orang anak, maka pada Keppres Nomor 16 Tahun 1994 dibatasi menjadi sebanyak-banyaknya 2
(dua) orang anak.
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan profesionalisme aparatur pemerintah, juga
telah dikembangkan jabatan fungsional, sehingga memungkinkan pegawai mengembangkan
potensinya sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki serta tidak terhambat oleh
terbatasnya jabatan struktural yang tersedia. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, diharapkan mutu
profesionalisme pegawai negeri sipil dapat dipacu melalui pembinaan karier yang berorientasi
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
76
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pada prestasi kerja. Di masa-masa mendatang, jabatan fungsional akan terus dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas-tugas pmerintahan dan pembangunan.
Sejalan dengan berbagai kebijaksanaan dalam meningkatkan kesejahteraan pegawai,
realisasi belanja pegawai pusat senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila
pada awal pelaksanaan Repelita I, realisasi belanja pegawai pusat baru mencapai Rp 89,4 miliar,
maka dalam tahun anggaran 1996/1997 disediakan anggaran belanja pegawai pusat sebesar Rp
18.280,6 miliar atau mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21,8 persen per tahun. Dalam
periode tersebut realisasi belanja pegawai pusat dalam pelaksanaan Repelita V telah meningkat
dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi Rp 11.144,8 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994,
yang berarti telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,8 persen setiap tahunnya.
Peningkatan realisasi belanja pegawai pusat selama Repelita V antara lain disebabkan oleh
adanya kebijaksanaan pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) dalam tahun anggaran
1989/1990 dan tahun anggaran 1991/1992, dan kenaikan gaji pokok pegawai dalam tahun
anggaran 1993/1994. Begitupun selama Repelita VI, penyediaan anggaran untuk belanja
pegawai pusat juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila dalam tahun pertama
Repelita VI (1994/1995) realisasi belanja pegawai pusat mencapai sebesar Rp 12.595,5 miliar,
maka dalam tahun anggaran 1995/1996 realisasinya mencapai sebesar Rp 15.371,9 miliar.
Sementara itu, dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997), disediakan anggaran sebesar Rp
18.280,6 miliar untuk belanja pegawai pusat, yang berarti selama Repelita VI, belanja pegawai
pusat mengalami peningkatan rata-rata sebesar 20,5 persen per tahun.
Sebagian besar pembiayaan untuk belanja pegawai pusat dipergunakan untuk
pembayaran gaji dan pensiun, sehingga realisasi anggaran untuk gaji dan pensiun, juga
mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya. Apabila dalam tahun anggaran
1969/1970, realisasi pembayaran gaji dan pensiun mencapai Rp 48,6 miliar, maka dalam APBN
1996/1997 pembayaran gaji dan pensiun dianggarkan sebesar Rp 14.763,0 miliar, yang berarti
mengalami peningkatan rata-rata sekitar 23,6 persen setiap tahunnya. Dengan peningkatan
tersebut, proporsi pembayaran gaji dan pensiun terhadap total belanja pegawai pusat juga
mengalami peningkatan dari sebesar 54,4 persen dalam tahun anggaran 1969/1970 menjadi
sebesar 80,8 persen dalam tahun anggaran 1996/1997.
Selanjutnya, perkembangan belanja pegawai juga dipengaruhi oleh peningkatan
pembiayaan untuk tunjangan beras, uang makan/lauk pauk, lain-lain belanja pegawai dalam
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
77
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
negeri, dan belanja pegawai luar negeri. Peningkatan tunjangan beras terutama terjadi karena
adanya penyesuaian harga pembelian beras kepada Bulog selaras dengan tingkat perkembangan
harga pasar. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI, harga pembelian beras sebesar Rp 708
per kilogram, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 harga pembelian beras telah meningkat
menjadi Rp 788 per kilogram. Penyesuaian harga pembelian beras juga dilakukan dalam APBN
1996/1997, yaitu menjadi sebesar Rp 868 per kilogram, yang berarti mengalami peningkatan
sebesar Rp 160 atau 22,6 persen dari harga pembelian beras tahun anggaran 1994/1995.
Sementara itu, sejalan dengan peningkatan tunjangan beras, pembiayaan uang makan/lauk pauk
juga mengalami peningkatan, selain disebabkan oleh adanya penyesuaian biaya makan/lauk
pauk, juga disebabkan oleh adanya tambahan biaya uang makan bagi anggota ABRI, pelaut,
petugas penjaga lampu suar, pasien rumah sakit pemerintah,.anak asuh dan orang jompo pada
panti-panti asuhan negara, serta orang tahanan dan narapidana. Penyesuaian biaya makan/lauk
pauk telah diberikan melalui peningkatan biaya makan/lauk pauk untuk anggota ABRI dari Rp
1.800 menjadi Rp 3.000 per orang per hari yang berlaku sejak 1 April 1994.
Sementara itu, peningkatan biaya lain-lain belanja pegawai dalam negeri antara lain
disebabkan oleh peningkatan honorarium dan uang lembur bagi pegawai yang karena beban
tugasnya harus bekerja melebihi. jam kerja yang telah ditetapkan. Selain itu, dalam rangka
peningkatan dan kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi dari kerja instansi pemerintah dalam
melayani kepentingan masyarakat, dalam lain-lain belanja pegawai dalam negeri juga
menampung pembiayaan belanja pegawai swadana bagi kerja instansi pemerintah yang
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1991 ditetapkan menjadi unit swadana.
Sedangkan peningkatan belanja pegawai luar negeri dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah
pegawai pada kantor perwakilan di luar negeri, besarnya gaji pokok dan berbagai tunjangan
yang didasarkan pada angka dasar tunjangan luar negeri (ADTLN) dan angka pokok tunjangan
luar negeri (APTLN), serta perubahan nilai tukar mata uang dari negara bersangkutan terhadap
rupiah. Perkembangan belanja pegawai sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun
anggaran 1996/1997 dapat diikuti dalam Tabel II.8.
Pembiayaan aparatur pemerintah mencakup pula belanja pegawai daerah, yang
mempakan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk turut mewujudkan
aparatur pemerintah daerah yang berdaya guna, berhasil guna, bersih dan berwibawa, serta
mampu mewujudkan keserasian dalam pelaksanaan kewajiban dan tugas umum pemerintahan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
78
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
dan pembangunan daerah. Pembiayaan untuk belanja pegawai daerah pada dasarnya merupakan
subsidi dari pusat yang selain digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah, juga untuk
menampung pengeluaran bagi aparatur pemerintah pusat yang ditempatkan di daerah, seperti
guru SD Inpres, serta tenaga medis dari paramedis di pusat-pusat kesehatan masyarakat
(Puskesmas). Dengan dernikian, belanja pegawai otonom juga diarahkan untuk menunjang
terselenggaranya pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan
kesehatan yang memadai.
Sesuai dengan perkembangan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan upaya
perbaikan kesejahteraan aparatur pemerintah, realisasi belanja pegawai daerah juga senantiasa
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila pada awal pelaksanaan Repelita IV, realisasi
belanja pegawai daerah baru mencapai Rp 1.738,6 miliar, maka dalam tahun anggaran
1988/1989 telah meningkat menjadi Rp 2.754,3 miliar, atau mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 12,2 persen pertahun. Sedangkan dalam pelaksanaan Repelita V, realisasi belanja
pegawai daerah telah meningkat dari Rp 3.348,3 miliar dalam tahun anggaran 1989/1990
menjadi Rp 6.574,8 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994, yang berarti telah mengalami
peningkatan rata-rata sebesar 18,4 persen setiap tahunnya. Lebih tingginya peningkatan rata-rata
selama Repelita V antara lain disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemberian tunjangan
perbaikan penghasilan (TPP) dalam tahun anggaran 1989/1990 dan 1991/1992, dan kenaikan
gaji pokok pegawai dalam tahun anggaran 1993/1994, yang secara langsung berpengaruh pula
pada besarnya pengeluaran untuk belanja pegawai daerah.
Sementara itu, selama Repelita VI, belanja pegawai daerah juga mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995), realisasi belanja
pegawai daerah mencapai sebesar Rp 6.918,9 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996
realisasinya mencapai sebesar Rp 7.862,8 miliar. Selanjutnya dalam tahun ketiga Repelita VI
(1996/1997), disediakan anggaran sebesar Rp 9.495,9 miliar, yang berarti selama Repelita VI,
belanja pegawai daerah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 17,2 persen per tahun. Dengan
demikian, secara keseluruhan jumlah pembiayaan bagi aparatur pemerintah juga terus
mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan belanja pegawai pusat dan belanja
pegawai daerah. Gambaran lebih rinci dari perkembangan pembiayaan aparatur pemerintah
dapat diikuti dalam Tabel II.9.
2.2.4.2. Pembiayaan operasional dan pemeliharaan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
79
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Dalam upaya meningkatkan efisiensi penggunaan dana bagi pembangunan nasional
yang berkesinambungan dan berdimensi jangka panjang, tidak hanya diper1ukan dana investasi
yang semakin meningkat bagi pembangunan di berbagai sektor, tetapi juga dibutuhkan alokasi
dana yang lebih besar bagi pembiayaan operasional dan pemeliharaan. Dengan demikian
berbagai aset hegara dan hasil-hasil pembangunan yang telah ada dapat dimanfaatkan secara
maksimal untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan
pembangunan, serta dapat lebih mendorong peningkatan jumlah dan mutu pelayanan pemerintah
kepada masyarakat. Kebutuhan akan semakin besarnya pembiayaan ini merupakan konsekuensi
dari semakin beragamnya jumlah dan jenis kegiatan yang harus didukung. Perkembangan
struktur organisasi pada beberapa instansi pemerintah dan dibukanya beberapa kantor instansi
pemerintah di daerah dan kantor-kantor perwakilan pemerintah di luar negeri guna memenuhi
tuntutan kebutuhan, mengakibatkan diperlukannya tambahan prasarana dan sarana kerja, yang
pada gilirannya akan berpengamh terhadap kebutuhan dana bagi pembiayaan operasionalnya.
Selain daripada itu, semakin rneningkatnya pembiayaan untuk pemeliharaan prasarana dan
sarana kerja serta hasil dari proyek-proyek yang telah selesai dibangun turut pula menambah
semakin besarnya kebutuhan pembiayaan ini. Pembiayaan untuk pemeliharaan aset-aset negara
tersebut tidak kalah pentingnya dengan investasi baru dalam mendukung kelancaran
pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, mengingat bahwa antara
pengadaan dan pemeliharaan kekayaan negara merupakan satu kesatuan yang terpadu, yang sulit
dipisahkan.
Dalam keterbatasan kemampuan keuangan negara selama ini, maka prioritas pengalokasian atas
setiap jenis pengeluaran menjadi pertimbangan yang penting. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut, maka belanja barang yang merupakan komponen terbesar dalam pembiayaan
operasional dan pemeliharaan, penyediaannya belum dapat memenuhi segenap kebutuhan yang
ada. Namun demikian, dalam keterbatasan dana yang ada, pengalokasian dananya senantiasa
diupayakan tetap mengarah kepada tercapainya daya guna dan hasil guna yang optimal,
sehingga keterbatasan kemampuan keuangan negara dalam menyediakan dana tersebut tidak
menjadi kendala dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan
dan pembangunan. Dalam pengeluaran rutin, pembiayaan operasional dan pemeliharaan
dialokasikan untuk belanja barang, baik belanja barang dalam negeri maupun belanja barang
luar negeri, belanja non pegawai daerah, dan lain-lain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
80
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tahun
-1
REPELITA I
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
1973/1974
REPELITA II
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
REPELITA III
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
1983/1984
REPELITA IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
REPELITA V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
REPELITA VI
1994/1995
1995/1996 2)
1996/1997 3)
Tabel II.8
BELANJA PEGAWAI, 1969/1970 - 1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
Tunjangan Gaji dan
Uang
Lain-lain
beras
pensiun
makan
belanja
DN
-2
-3
-4
-5
Belanja
pegawai
LN
Jumlah
-6
-7
24,8
30,4
29
27,4
44
48,6
64
90,6
115,1
151,1
9,2
10,6
11
12,8
14,6
3,3
9,8
13,2
15,1
17,5
3,5
4,4
4,7
4,9
6,4
89,4
119,2
148,5
175,3
233,6
59,5
111,9
114,9
126,2
132,8
258,4
358,8
414,2
624,1
734,2
24,4
43,5
45,7
47,8
51,2
24,7
25,8
36,9
31,5
33,6
9,8
12,7
14,3
14,8
23,7
376,8
552,7
626
844,4
975,5
179,9
252
253,3
289,9
346,1
916,4
1.238,00
1.553,10
1.703,70
1.989,80
109,9
193,2
240,5
254,9
261,3
47,1
61,2
79,5
78,6
87,6
29,1
34
43,4
45,7
66
1.282,40
1.778,40
2.169,80
2.372,80
2.750,80
415,7
393,1
414,9
447
569,2
2.259,20
3.004,90
3.458,70
3.498,80
4.209,20
286,6
293,8
288,3
295,9
359
99,9
157,5
176,6
176,6
203,3
79,4
80,4
99,9
126,8
148,5
3.140,80
3.929,70
4.438,40
4.545,10
5.489,20
588,8
642,9
930,1
890,9
833,9
4.829,10
5.597,70
6.351,50
7.595,40
9.145,20
373,3
383,6
396,5
479,2
492,8
242,8
264,9
280,8
315
417,7
171,5
198,9
210,8
273,7
255,2
6.205,50
7;088,0
8.169,70
9.554,20
11.144,80
973,2
1.134,10
1.193,70
10.181,20
12.351,40
14.763,00
755,6
866,1
1.121,50
368,3
571,7
710,3
317,2
448,6
492,1
12.595,50
15.371,90
18.280,60
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
81
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel II.9
PEMBIAYAAN APARATUR PEMERINTAH, 1984/1985 - 1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
Belanja
Belanja
Pengeluaran
Tahun
pegawai
pegawai
Jumlah
Rutin
pusat
daerah
-1
REPELITA IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
REPELITA V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
REPELITA VI
1994/1995
1995/1996 2)
1996/1997 3)
-5
%
-2
-3
-4
-6
3.140,80
3.929,70
4.438,40
4.545,10
5.489,20
1.738,60
2.253,70
2.541,20
2.588,20
2.754,30
4.879,40
6.183,40
6.979,60
7.133,30
8.243,50
9.405,90
12.006,40
13.716,70
17.340,60
20.934,90
51,9
51,5
50,9
41,1
39,4
6.205,50
7.088,00
8.169,70
9.554,20
11.144,80
3.348,30
3.635,00
4.091,80
4.996,40
6.574,80
9.553,80
10.723,00
12.261,50
14.550,60
17.719,60
24.335,20
29.121,10
29.053,00
33.605,40
40.289,90
39,3
36,8
42,2
43,3
44
12.595,50
15.371,90
18.280,60
6.918,90
7.862,80
9.495,90
19.514,40
23.234,70
27.776,50
44.069,00
52.540,90
56.113,70
44,3
44,2
49,5
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Sejak awal pelaksanaan Repelita I (1969/1970) sampai dengan tahun ketiga Repelita
VI (1996/1997), perkembangan belanja barang cenderung mengalami peningkatan sesuai
dengan perkembangan pembangunan yang memerlukan lebih banyak pembiayaan bagi kegiatan
operasional dan pemeliharaan. Apabila pada awal Repelita IV (1984/1985) realisasi belanja
barang baru mencapai sebesar Rp 1.165,0 miliar, maka dalam tahun ketiga Repelita VI
(1996/1997) alokasi atas jenis pengeluaran ini dianggarkan sebesar Rp 6.589,0 miliar, yang
berarti selama kurun waktu tersebut belanja barang mengalami peningkatan rata-rata sebesar
15,5 persen setiap tahunnya. Sebagian besar dari peningkatan belanja barang tersebut
diperuntukkan bagi belanja barang dalam negeri, untuk mendukung tersedianya sarana dan
prasarana kerja, baik perangkat keras maupun perangkat lunak serta pengadaan peralatan kantor
guna memenuhi kebutuhan administrasi yang semakin meningkat di berbagai instansi. Selain
itu, belanja barang dalam negeri juga menampung pembiayaan untuk belanja barang swadana
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
82
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
bagi instansi pemerintah yang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1991
ditetapkan menjadi unit swadana. Selain untuk belanja barang dalam negeri, peningkatan
belanja barang juga diperuntukkan bagi belanja barang luar negeri yang mengalami peningkatan
sehubungan dengan penambahan berbagai kantor perwakilan pemerintah di luar negeri serta
perkembangan nilai tukar mata uang dunia.
Selain disebabkan oleh peningkatan belanja barang, besarnya pembiayaan operasional
dan pemeliharaan juga disebabkan oleh peningkatan anggaran untuk belanja non pegawai
daerah otonom. Peningkatan anggaran tersebut berkaitan erat dengan semakin meningkatnya
kebutuhan anggaran untuk membantu pemerintah daerah, baik dalam membiayai kegiatan
operasionalnya maupun bagi pelayanan kepada masyarakat yang semakin meningkat,
pengembangan perekonomian daerah, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana
kerja yang merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah. Pengalokasian dana
tersebut antara lain dipergunakan untuk subsidi belanja bagi penyelenggaraan urusan
dekonsentrasi dan pembantuan, ganjaran daerah tingkat I/daerah tingkat II/kotamadya/kota
administratif, biaya dekonsentrasi kecamatan, tunjangan kurang penghasilan aparat pemerintah
desa, subsidi belanja pengembangan institusi, serta lain-lain belanja non pegawai daerah. Di
samping itu, peningkatan subsidi belanja non pegawai daerah otonom juga diperlukan untuk
menampung
subsidi
belanja
penyelenggaraan
urusan
desentralisasi,
terutama
bagi
subsidi/bantuan penyelenggaraan sekolah dasar negeri, bantuan biaya operasional rumah sakit
umum daerah, serta bantuan biaya pemetaan bahan galian untuk menunjang usaha
pertambangan daerah.
Dalam upaya lebih mencerdaskan bangsa, maka diberikan pula subsidi/bantuan
penyelenggaraan sekolah dasar negeri yang merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan
pemerintah untuk menghapuskan sumbangan pembinaan pendidikan sekolah dasar (SPP-SD).
Sedangkan subsidi atau bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD)
digunakan untuk membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan di bidang
kesehatan kepada masyarakat dan untuk meningkatkan peranan RSUD sebagai tempat
memperoleh pelayanan kesehatan dengan penampilan dan lingkungan yang bersih, sehat, tertib,
dan terpelihara. Seirama dengan perkembangan belanja barang, perkembangan belanja non
pegawai daerah juga cenderung mengalami peningkatan. Apabila dalam tahun pertama Repelita
IV (1984/1985) realisasi belanja non pegawai daerah baru mencapai sebesar Rp 48,2 miliar,
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
83
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
maka dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997) alokasi atas jenis pengeluaran ini
dianggarkan sebesar Rp 516,4 miliar, yang berarti selama kurun waktu tersebut belanja non
pegawai daerah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21,9 persen setiap tahunnya.
Selanjutnya selain menampung belanja barang dan belanja non pegawai daerah,
anggaran pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga menampung pengeluaran untuk lainlain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM. Anggaran tersebut penggunaannya.diarahkan untuk
menunjang roda pemerintahan dan beberapa kegiatan lainnya, antara lain untuk biaya jasa pas
dan giro serta pengeluaran bebas porto, biaya penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu), serta
bantuan lain-lain, seperti bantuan rutin kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)
Pusat dan bantuan penanggulangan bencana alam.
Sejak awal pelaksanaan Repelita I (1969/1970) sampai dengan tahun ketiga Repelita VI
(1996/1997), perkembangan pengeluaran untuk lain-lain pengeluaran rutin mengalami
peningkatan sesuai dengan perkembangan pembangunan yang memerlukan lebih banyak
pembiayaan bagi kegiatan operasional dan pemeliharaan. Apabila pada awal Repelita IV
(1984/1985) realisasi pengeluaran tersebut baru mencapai Rp 30,0 miliar, maka dalam tahun
pertama Repelita VI (1994/1995) telah meningkat menjadi sebesar Rp 792,9 miliar. Sementara
itu, dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997) alokasi atas jenis pengeluaran ini dianggarkan
sebesar Rp 1.005,0 miliar, yang berarti selama Repelita VI, lain-lain pengeluaran rutin
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 12,6 persen setiap tahunnya. Gambaran lebih rinci
mengenai pembiayaan operasional dan pemeliharaan dapat diikuti dalam Tabel II.10.
2.2.4.3. Pembayaran bunga dan cicilan hutang
2.2.4.3.1. Pembayaran hutang dalam negeri
Pembayaran hutang dalam negeri pada dasarnya merupakan kewajiban pemerintah atas
tunggakan-tunggakan pemakaian daya dan jasa kepada pihak-pihak dalam negeri, serta tagihan
pihak ketiga kepada Pemerintah berdasarkan keputusan pengadilan. Dengan demikian
perkembangan atas pembayaran hutang dalam negeri akan sangat dipengaruhi oleh intensitas
berbagai kegiatan pemerintah, yang berpengaruh langsung terhadap pemakaian berbagai fasilitas
yang disediakan oleh pihak lain, khususnya jasa telepon, air minum, penerangan dan bentuk
fasilitas jasa lainnya. Di samping itu, dalam tahun anggaran 1995/1996 pembayaran hutang
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
84
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
dalam negeri juga menampung pengeluaran yang timbul sebagai akibat adanya koreksi dari hasil
audit Bepeka, khususnya yang menyangkut pengembalian kelebihan setoran laba bersih minyak
(LBM) dan hasil operasi Pertamina yang telah dilakukan pada masa sebelumnya.
Dalam perkembangannya sampai dengan tahun ketiga Repelita VI, pembayaran hutang
dalam negeri masih merupakan bagian kecil dari pengeluaran rutin, yaitu rata-rata per tahun
sekitar 0,8 persen dari total pengeluaran rutin. Namun demikian secara absolut jumlah
pembayaran hutang dalam negeri selama PJP I telah mengalami peningkatan cukup besar yaitu
dari sebesar Rp 1,7 miliar pada awal Repelita I menjadi sebesar Rp 120,7 miliar pada akhir
Repelita V. Peningkatan tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan dan hubungan
kerja antara Pemerintah dan pihak-pihak lain, terutama dalam upaya memberikan pelayanan
yang semakin baik kepada masyarakat. Pada awal Repelita VI, pembayaran hutang dalam negeri
mencapai Rp 104,1 miliar, atau sekitar 0,2 persen dari total pengeluaran rutin. Pada tahun
anggaran 1995/1996, pembayaran hutang dalam negeri mengalami peningkatan yang cukup
besar, yaitu mencapai Rp 1.779,1 miliar. Hal tersebut terutama disebabkan adanya
pengembalian kelebihan setoran laba bersih minyak (LBM) dan kelebihan setoran hasil operasi
Pertamina sendiri tahun anggaran 1993/1994. Dalam APBN 1996/1997, pembayaran hutang
dalam negeri direncanakan sebesar Rp 290,6 miliar.
2.2.4.3.2. Pembayaran hutang luar negeri
Pembayaran hutang luar negeri merupakan kewajiban pemerintah yang harus dipenuhi
kepada pihak-pihak di luar negeri yang telah memberikan pinjaman untuk pembiayaan
pembangunan nasional. Kewajiban tersebut berupa pembayaran bunga dan cicilan atas hutang
pokok yang harus dilakukan karena berakhirnya masa tenggang waktu dan telah jatuh temponya
masa pembayaran. Hutang/pinjaman luar negeri tersebut telah dimanfaatkan sebaik-baiknya
untuk melengkapi pembiayaan pembangunan dan telah dirasakan manfaatnya bagi upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu Pemerintah terus mengupayakan agar pemberi pinjaman tetap merniliki
kepercayaan terhadap Indonesia. Untuk itu hutang luar negeri senantiasa dimanfaatkan secara
efektif dan efisien, terutama untuk membiayai berbagai kegiatan ekonorni dan pembangunan
proyek-proyek yang berprioritas tinggi, produktif dan berorientasi ekspor. Hal ini dimaksudkan
agar proyek-proyek tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat mendorong
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
85
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kemampuan untuk membayar kembali pinjaman yang telah digunakan. Pembayaran bunga dan
cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlah sesuai dengan perjanjian yang
disepakati juga merupakan langkah yang ditempuh untuk menjaga kredibilitas bangsa Indonesia
di dunia intemasional, karena hal tersebut mencerrninkan pengelolaan hutang luar negeri sesuai
dengan perencanaannya.
Selanjutnya, dalam rangka untuk mengurangi beban kewajiban pembayaran bunga dan
cicilan hutang luar negeri di masa yang akan datang, dalam keadaan keuangan negara
memungkinkan Pemerintah dapat melakukan percepatan pembayaran (prepayment) hutang luar
negeri, khususnya untuk hutang yang merniliki suku bunga tinggi. Kebijaksanaan tersebut telah
dilaksanakan pada tahun anggaran 1994/1995, 1995/1996 dan 1996/1997, yang dananya
diperoleh dari bagian pemerintah atas hasil penjualan saham Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), serta saldo anggaran lebih (surplus) dalam APBN.
Dalam perkembangannya, besarnya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
berfluktuasi sesuai dengan basarnya kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar
negeri yang jatuh tempo, dan perubahan nilai tukar antar valuta kuat dunia dan antara dolar
Amerika dengan rupiah. Selama PJP I, jumlah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
terus mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar Rp 12,8 miliar pada awal PJP I menjadi sebesar
Rp 17.042,3 miliar pada akhir PJP I. Ini berarti bahwa selama PJP I, telah terjadi peningkatan
ratarata sekitar 35 persen setiap tahunnya. Sementara itu apabila dilihat dari proporsinya
terhadap pengeluaran rutin, pada awal Repelita I pembayaran bunga dan cicilan hutang luar
negeri mencapai 6,0 persen. Pada akhir PJP I proporsinya telah meningkat cukup tajam menjadi
42,3 persen. Membesarnya kewajiban atas pembayaran cicilan hutang luar negeri tersebut
disebabkan terutama oleh besarnya jumlah hutang luar negeri yang jatuh tempo. Di samping itu
juga karena adanya perubahan dalam nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serta mata uang
asing lainnya, sehingga jumlah rupiah yang harus disediakan untuk pembayaran bunga dan
cicilan hutang luar negeri juga semakin besar.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
86
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel II.10
PEMBIAYAAN OPERASIONAL DAN PEMELIHARAAN, 1984/1985 - 1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
Belanja
Belanja
Pengeluaran
Tahun
barang
pegawai
Rutin
Jumlah
SDO
Lainnya 2)
-1
REPELITA IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
REPELITA V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
REPELITA VI
1994/1995
1995/1996 3)
1996/1997 4)
-2
-3
-4
-5
1.165,00
1.351,20
1.311,00
1.296,10
1.226,60
48,2
242
228,2
223
256,8
30
456,7
139,8
129
85,5
1.243,20
2.049,90
1.679,00
1.648,10
1.568,90
1.703,50
1.842,10
2.328,10
. 2.928,5
3.032,10
229
252,5
284,6
387,1
333,9
217,4
182
410,7
523,9
761,4
2.149,90
2.276,60
3.023,40
3.839,50
4.127,40
4.318,90
5.274,20
6.589,00
353,5
481
516,4
792,9
2.116,50
1.005,00
5.465,30
7.871,70
8.110,40
1) Realisasi PAN
2) Tidak termasuk subsidi BBM
3) APBN Perubahan (APBN-P)
4) APBN
Memasuki PJP II, jumlah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri masih
menjadi bagian yang besar dari total pengeluaran rutin, namun dari tahun ke tahun proporsinya
semakin turun, yaitu 41,5 persen pada tahun anggaran 1994/1995, 37,4 persen pada tahun
anggaran 1995/1996, dan 35,5 persen pada tahun anggaran 1996/1997. Penurunan peranan
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri terhadap realisasi pengeluaran rutin
menggambarkan bahwa persentase peningkatan pengeluaran rutin lebih besar daripada
persentase peningkatan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Secara absolut
realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri pada tahun anggaran 1994/1995
mencapai sebesar Rp 18.298,4 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 1.256,1
miliar (7,4 persen) bila dibandingkan dengan tahun terakhir PJP 1. Peningkatan ini terutama
disebabkan oleh adanya percepatan pembayaran (prepayment) terhadap sebagian hutang
luarnegeri yang memiliki tingkat bunga relatif tinggi, yang berasal dari bagian pemerintah atas
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
87
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
hasil penjualan saham PT Indosat di bursa saham New York. Selanjutnya, pada tahun anggaran
1995/1996 pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri mencapai sebesar Rp 19.655,4
miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 1.357,0 miliar (7,4 persen) dari tahun
anggaran sebelumnya. Dalam tahun anggaran ini juga dilakukan percepatan pembayaran
(prepayment) sebagian hutang luar negeri yang bersuku bunga tinggi, yang dibiayai dari hasil
penjualan saham bagian pemerintah pada PT Telkom dan PT Timah. Pada tahun anggaran
1996/1997, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dianggarkan sebesar Rp 19.936,2
miliar atau 1,4 persen lebih tinggi dari tahun anggaran 1995/1996. Perkembangan realisasi
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, serta peranannya terhadap anggaran belanja
rutin secara keseluruhan dapat diikuti dalam Tabel II.11.
2.2.4.4. Subsidi
Kebijaksanaan pemberian subsidi pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas
perekonomian nasional, yang hasilnya antara lain akan terlihat dari stabilitas harga. Salah satu
program pemerintah di dalam menjaga stabilitas ekonomi adalah dengan memberikan subsidi
terhadap beberapa komoditi strategis, terutama bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat, yang
besar pengaruhnya terhadap perkembangan laju inflasi. Pemberian subsidi tersebut diharapkan
agar dapat menjamin tersedianya bahan-bahan pokok masyarakat dalam jumlah yang cukup dan
harga yang stabil serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Namun demikian, dalam kondisi
tertentu kebijaksanaan subsidi justru kadangkala menimbulkan distorsi pasar, mengingat
mekanisme pasar yang tidak berlangsung secara bebas terkadang dapat menimbulkan inefisiensi
dalam perekonomian. Di lain pihak, dalam kondisi yang lain, kebijaksanaan subsidi juga
diperlukan terutama untuk melindungi pelaku ekonomi yang dianggap lemah dan memerlukan
perlakuan yang berbeda agar kondisinya membaik setara dengan pelaku lainnya, sehingga
selanjutnya dapat berrnain dalam kondisi pasar yang lebih seimbang. Terlebih lagi, mengingat
setiap pemberian subsidi berarti pula berkurangnya dana bagi peningkatan kegiatan
pembangunan, maka subsidi tersebut harus diberikan dalam batas-batas kewajaran dan hanya
untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak serta disesuaikan dengan kemampuan
keuangan negara.
Selama PJP I, Pemerintah pemah memberikan subsidi pangan, antara lain subsidi beras
dan subsidi impor gandum. Sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, persediaan beras
nasional perlu dijaga agar tersedia dalam jumlah yang cukup dan diusahakan agar harganya
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
88
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena pada waktu itu produksi beras
nasional belum mencukupi, maka untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri masih
diperlukan impor. Subsidi beras tersebut diberikan untuk menjaga harga beras tetap stabil dan
pada tingkat yang dapat dijangkau oleh seluruh rakyat, terutama golongan ekonomi lemah.
Selain subsidi beras, subsidi pangan diberikan melalui subsidi impor gandum, yang
dimaksudkan untuk menjaga harga gandum yang sesuai dengan daya beli masyarakat dan
dimaksudkan pula untuk mendukung upaya penganekaragaman bahan makanan serta
mengurangi ketergantungan pada konsumsi beras. Selain itu, pemberian subsidi impor gandum
juga ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri makanan dalam negeri, yang sebagian
besar bahan bakunya adalah gandum. Subsidi beras dan gandum tersebut pertama kali diberikan
dalam tahun anggaran 1973/1974 dan mencapai tingkat tertinggi dalam tahun anggaran
1980/1981, yaitu sebesar Rp 281,7 miliar. Tingginya subsidi pangan dalam tahun anggaran
1980/1981 tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga beras di luar negeri dan lebih
tingginya impor beras yang diperlukan karena terbatasnya produksi di dalam negeri. Dengan
tercapainya swasembada beras dan semakin meningkatnya daya beli masyarakat, maka sejak
tahun terakhir Repelita III (1983/1984), alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi pangan tidak
disediakan lagi.
Di samping pemberian subsidi pangan, selama PJP I telah pula diberikan subsidi bahan
bakar minyak (BBM). Subsidi BBM diberikan karena BBM merupakan sumber energi yang
cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga
BBM mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM
merupakan selisih antara hasil penjualan BBM di dalam negeri dengan seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk pengadaan BBM. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat
ditentukan oleh hasil penjualan BBM dalam negeri yang besarnya tergantung kepada harga
penjualan dan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri. Selain daripada itu, subsidi BBM juga
ditentukan oleh biaya pengadaan BBM, yang basarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian
minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian
rninyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pengadaan BBM, maka subsidi BBM
yang diberikan sering kali berbeda dengan perhitungan semula karena pengaruh gejolak harga
minyak mentah di pasar intemasional yang sulit diduga arahnya.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
89
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel II.11
PERANAN PEMBAYARAN BUNGA DAN CICILAN HUTANG LUAR NEGERI
TERHADAP PENGELUARAN RUTIN DAN ANGGARAN BELANJA NEGARA
1969/1970 - 1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
Tahun
Bunga dan
cicilan hutang
luar negeri
REPELITA I
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
1973/1974
REPELITA II
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
REPELITA III
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
1983/1984
REPELITA IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
REPELITA V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
REPELITA VI
1994/1995
1995/1996 2)
1996/1997 3)
Pengeluaran
Rutin
Anggaran
belanja
negara
%
%
12,8
25,4
41,1
39,9
65,8
213,7
293,5
344,8
428,6
699,7
6
8,7
11,9
9,3
9,4
323
431,4
508,7
691,6
1.106,00
4
5,9
8,1
5,8
5,9
62,7
71,7
165,1
221
512,4
985,7
1.239,30
1.605,10
2.079,80
2.672,70
6,4
5,8
10,3
10,6
19,2
1.970,90
2.675,70
3.176,30
3.620,40
4.618,50
3,2
2,7
5,2
6,1
11,1
647,6
754
915,3
1.204,70
2.072,80
3.999,20
5.549,50
6.943,00
6.967,30
10.215,20
16,2
13,6
13,2
17,3
20,3
7.478,90
11.000,10
13.769,10
14.407,70
18.772,20
8,7
6,9
6,6
8,4
11
2.745,70
3.303,10
5.058,10
8.157,40
10.961,90
9.405,90
12,006,4
13.716,70
17.340,60
20.934,90
29,2
27,5
36,9
47
52,4
17.780,70
23.746,50
22.807,90
27.110,50
33.252,10
15,4
13,9
22,2
30,1
33
11.775,60
12.577,10
12.598,00
14.248,50
17.042,30
24.335,20
29.121,10
29.053,00
33.605,40
40.289,90
48,4
43,2
43,4
42,4
42,3
39.729,10
47.371,90
52.127,50
60.511,70
68.718,00
29,6
26,5
24,2
23,5
24,8
18.298,40
19.655,40
19.936,20
44.069,00
52.540,90
56.113,70
41,5
37,4
35,5
76.255,80
82.352,50
90.616,40
24
23,9
22
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
90
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Subsidi BBM diberikan sejak tahun anggaran 1977/1978, namun kebutuhan subsidi
BBM yang cukup besar mulai dirasakan sejak awal Repelita III, sehubungan dengan harga
rninyak mentah yang terus meningkat dengan cukup cepat. Sementara itu, dalam Repelita IV,
subsidi BBM cenderung mengalami penurunan sebagai akibat dari penurunan harga rninyak
mentah dunia dan kenaikan harga penjualan BBM dalam negeri. Bahkan dalam tahun anggaran
1986/1987, dimana harga minyak mentah jauh lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam
APBN, diperoleh laba bersih minyak (LBM) sebesar Rp 1.010,8 miliar. Subsidi BBM terbesar
diberikan dalam tahun anggaran 1990/1991 yang mencapai Rp 3.305,7 miliar. Besarnya subsidi
BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional
akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri
yang cukup tinggi.
Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, penghematan
pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan energi dan mendukung
kebijaksanaan diversifIkasi energi, maka secara berkala telah diupayakan pengurangan subsidi
BBM melalui penyesuaian harga jual BBM di dalam negeri pada tingkat yang wajar.
Penyesuaian harga jual BBM selama Repelita V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam
tahun 1990, 1991, dan 1993. Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya
kecenderungan penurunan harga minyak mentah dalam beberapa tahun terakhir Repelita V,
maka realisasi subsidi BBM dalam tabun anggaran 1991/1992 dan 1992/1993 cenderung
mengalami penurunan. Bahkan dalam tahun anggaran 1995/1996 diperoleh LBM sebesar Rp
487,6 miliar. Sementara itu dalam APBN 1996/1997 alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi
BBM tidak disediakan oleh karena diperkirakan akan masih diterima laba bersih minyak.
Perkembangan subsidi pangan dan subsidi BBM sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai
dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat dilihat dalam Tabel II.12.
2.2.5. Tabungan pemerintah
Struktur pembiayaan pembangunan di dalam memasuki tahun ketiga Repelita VI makin
menampakkan kemampuan penerimaan dalam negeri yang semakin menggembirakan dalam
menghimpun dana pembangunan dalam bentuk tabungan pemerintah, yang merupakan selisih
positif antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin. Hal ini tercermin dari
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
91
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kontribusi penerimaan dalam negeri dalam menyediakan dana pembangunan yang makin
meningkat dibandingkan dengan sumber dana dari luar negeri berupa bantuan/pinjaman luar
negeri. Hal itu sejalan dengan amanat dalam GBHN, di mana dana pembangunan diutamakan
digali dari dalam negeri, sedangkan dana dari luar negeri hanya sebagai pelengkap. Sedangkan
perkembangan tabungan pemerintah dalam pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) sangat
dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Pada saat perekonomian membaik, tabungan
pemerintah cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya penerimaan dalam negeri.
Demikian pula sebaliknya, menurunnya kondisi perekonomian berpengaruh kepada penerimaan
dalam negeri dan sekaligus terhadap tabungan pemerintah.
Kemampuan tabungan pemerintah dalam menyediakan dana pembangunan sangat
bergantung kepada upaya yang maksimal dalam menghimpun penerimaan dalam negeri, dan
upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin. Dalam Repelita II dan Repelita III
peningkatan penerimaan dalam negeri sebagai dampak peningkatan harga minyak mentah di
pasar internasional, menjadikan sumbangan tabungan pemerintah terhadap dana pembangunan
masing-masing sebesar 78,3 persen dan 74,9 persen, sedangkan pada Repelita IV menurun dan
bahkan masih lebih rendah dibandingkan dengan Repelita I. Keadaan ini terutama disebabkan
oleh merosotnya harga minyak mentah dan belum dapat diandalkannya penerimaan sektor non
migas, sehingga pada akhir Repelita IV sumbangan tabungan pemerintah terhadap dana
pembangunan hanya sebesar 19,7 persen. Namun demikian, pada awal Repelita V, sumbangan
tabungan pemerintah terhadap dana pembangunan telah meningkat menjadi sebesar 46,3 persen,
dan dalam tiga tahun Repelita VI meningkat kembali menjadi sebesar 65,5 persen.
Basarnya tabungan pemerintah yang dapat dihimpun dalam Repelita I, Repelita II,
Repelita III, dan Repelita IV masing-masing mencapai sebesar Rp 585,2 miliar, Rp 6.057,4
miliar, Rp 23.895,2 miliar, dan Rp 25.996,0 miliar. Sedangkan dalam Repelita V, tabungan
pemerintah telah menjadi lebih dari dua tali lipat dari realisasinya dalam Repelita sebelumnya,
yaitu mencapai sebesar Rp 64.850,3 miliar. Dengan demikian secara umum tabungan
pemerintah dalam PJP I senantiasa menunjukkan peningkatan, kecuali dalam tahun anggaran
1986/1987 dan tahun anggaran 1988/1989 yang mengalami penurunan, yaitu dari sebesar Rp
8.933,0 miliar dalam tahun anggaran 1985/1986 menjadi sebesar Rp 3.668,6 miliar dalam tahun
anggaran 1986/1987, dan dari sebesar Rp 4.390,1 miliar dalam tahun anggaran 1987/1988
menjadi sebesar Rp 2.478,9 miliar dalam tahun anggaran 1988/1989. Penurunan tabungan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
92
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
tersebut antara lain disebabkan oleh merosotnya secara tajam harga minyak sampai di bawah
US$ 10,00 per barel dalam tahun 1986 yang secara langsung mempengaruhi penerimaan dalam
negeri, sementara dari sisi pengeluaran rutin terjadi peningkatan yang tajam dalam pembayaran
bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri. Dengan demikian dalam pembangunan jangka
panjang pertama, tabungan pemerintah yang berhasil dihimpun mencapai sebesar Rp 121.384,1
miliar, dan dalam tiga tahun pertama Repelita VI, tabungan pemerintah diperkirakan mencapai
sebesar Rp 63.455,0 miliar, yang berarti sekitar 97,8 persen dari keseluruhan tabungan
pemerintah dalam Repelita sebelumnya. Dengan demikian dari awal Repelita I sampai dengan
tahun ketiga Repelita VI, tabungan pemerintah mengalami peningkatan sekitar 680 kali, yaitu
dari sebesar Rp 32,5 miliar menjadi Rp 22.089,1 miliar.
Untuk tetap mempertahankan kenaikan tabungan pemerintah, dalam waktu-waktu
mendatang harus diupayakan dari dua sisi APBN, yaitu dari sisi penerimaan dalam negeri dan
sisi pengeluaran rutin. Melalui sisi penerimaan dalam negeri perlu terus diupayakan peningkatan
peranan penerimaan di luar migas, khususnya penerimaan sektor perpajakan, antara lain dengan
meningkatkan efektivitas pemungutan pajak, penegakan hukum, dan kesadaran membayar
pajak. Sedangkan dari sisi pengeluaran rutin diupayakan dengan peningkatan efisiensi dan
efektivitas pengeluaran, antara lain dengan melakukan prioritas pengeluaran, serta mencegah
pemborosan, dan penyimpangan dalam pengelolaan anggarannya. Dengan demikian diharapkan
penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan pertumbuhan
pengeluaran rutin, sehingga tabungan pemerintah yang bisa dihimpun akan terus meningkat.
Dalam Tabel II.13 dapat diikuti perkembangan tabungan pemerintah sejak Repelita I
sampai dengan tahun ketiga Repelita VI.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
93
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel II.12
SUBSIDI PANGAN DAN SUBSIDI BAHAN BAKAR
1969/1970 - 1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
Subsidi
Tahun
bahan bakar
Subsidi
pangan
minyak
REPELITA I
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
1973/1974
REPELITA II
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
REPELITA III
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
1983/1984
REPELITA IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
REPELITA V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
REPELITA VI
1994/1995
1995/1996 2)
1996/1997 3)
153,4
-
141
50
39,1
43,5
62,2
197
124,9
281,7
223,5
1,1
-
534,9
1.021,70
1.316,40
961,5
2.754,90
-
507,6
450
401,8
82,3
-
707,3
3.305,70
929,9
691,8
1.279,90
-
686,8
-
1) Rea1isasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
94
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
2.2.6. Pengeluaran pembangunan
Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran negara yang berkaitan dengan
kegiatan investasi yang dilaksanakan oleh sektor pemerintah untuk mencapai sasaran programprogram pembangunan yang telah ditetapkan dalam GBHN dan Repelita. Sesuai dengan GBHN
1993 dan Repelita VI, kebijaksanaan pengeluaran pembangunan diarahkan pada upaya
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi, serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Dengan demikian, pengeluaran
pembangunan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi
stabilisasi. Hal ini berarti bahwa melalui pengeluaran pembangunan dilakukan alokasi sumber
daya dan dana yang berhasil dihimpun, baik dari tahungan pemerintah maupun bantuan luar
negeri, untuk membiayai berbagai kegiatan investasi, yang senantiasa diusahakan terwujudnya
distribusi pendapatan yang lebih baik dan stabilisasi perekonomian nasional yang makin
mantap.
Dalam rangka pelaksanaan ketiga fungsi tersebut, pengeluaran pembangunan
dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang tercakup dalam berbagai
program pembangunan yang direncanakan untuk dilaksanakan di masing-masing sektor dan
subsektor. Di samping itu, dengan adanya keterbatasan dana pembangunan dibandingkan
dengan
kebutuhan
investasi,
maka
alokasi
anggaran
pembangunan
diprioritaskan
pemanfaatannya bagi proyek-proyek yang produktif, dalam arti akan menghasilkan nilai
produksi yang lebih besar daripada nilai investasinya. Dalam rangka pelaksanaan fungsi alokasi
tersebut, sejak awal Repelita I hingga tahun ke tiga Repelita VI, Pemerintah secara konsisten
telah menerapkan kebijaksanaan alokasi dana pembangunan yang didasarkan atas rencana
proyek sektoral dan regional, yang mengacu kepada rencana dan prioritas yang telah ditetapkan
dalam Repelita. Pemilihan proyek -proyek pembangunan yang dituangkan dalam daftar isian
proyek (DIP) didasarkan kepada azas-azas efisiensi dan efektivitas, untuk memilih proyekproyek dalam sektor dan subsektor yang telah ditetapkan, yang paling produktif, menunjang
pemerataan, serta menciptakan lapangan kerja.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
95
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel II.13
TABUNGAN PEMERINTAH, 1969/1970 -1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
Tahun
REPELITA I
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
1973/1974
REPELITA II
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
REPELITA III
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
1983/1984
REPELITA IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
REPELITA V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
REPELITA VI
1994/1995
1995/1996 2)
1996/1997 3)
Jumlah
Kenaikan (+)/
Penurunan (-)
32,5
45,1
68,9
163,2
275,5
+
+
+
+
12,6
23,8
94,3
112,3
784,9
1.005,00
1.261,40
1.431,80
1.574,30
+
+
+
+
+
509,4
220,1
256,4
170,4
142,5
+
+
+
1.159,70
1.649,80
835,6
187,1
745
2.734,00
4.383,80
5.219,40
5.406,50
6.151,50
6.525,40
8.933,00
3.668,60
4.390,10
2.478,90
+
+
-
7.169,00
13.071,90
13.529,00
15.257,20
15.823,20
22.349,00
19.016,90
22.089,10
+
+
373,9
2.407,60
-5.264,40
721,5
1.911,20
4.690,10
5.902,90
457,1
1.728,20
566
6.525,80
-3.332,10
3.072,20
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
96
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Strategi pembangunan tersebut dibarengi pula dengan alokasi yang mengarah kepada
pembangunan regional yang lebih merata. Hal ini didasarkan bahwa negara kesatuan Republik
Indonesia menghendaki keseimbangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan daerah
yang lain. Untuk itu, melalui pengeluaran pembangunan juga diusahakan distribusi yang lebih
baik, dengan sejauh mungkin mengikutsertakan pengusaha nasional, khususnya pengusaha
golongan ekonomi lemah dan pengusaha setempat, serta dilakukan penyebaran lokasi proyek
pembangunan secara merata ke seluruh daerah. Pelaksanaan strategi tersebut antara lain
dilakukan melalui berbagai program bantuan pembangunan daerah yang tercakup dalam
program Inpres, serta pembangunan daerah yang dibiayai dengan dana pajak bumi dan
bangunan (PBB). Proyek-proyek pembangunan yang tercakup dalam program Inpres tersebut, di
samping secara langsung menjangkau golongan masyarakat berpendapatan rendah, juga sejauh
mungkin mengikutsertakan pemerintah daerah, sehingga pembangunan proyek-proyek tersebut
lebih sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, dan dalam pelaksanaannya sejauh
mungkin melibatkan pengusaha dan masyarakat daerah setempat.
Dalam hal fungsi stabilisasi, anggaran belanja pembangunan senantiasa mengupayakan
terpeliharanya kestabilan ekonomi, antara lain melalui pembentukan cadangan anggaran
pembangunan (CAP), dalam hal terdapat kelebihan penerimaan negara dari yang diperkirakan di
dalam APBN-nya, dan pemanfaatan dana cadangan tersebut dalam hal realisasi penerimaan
negara tidak mencapai sasaran yang diperkirakan dalam APBN-nya.
Selaras dengan semakin meningkatnya kemampuan keuangan negara dan semakin
luasnya program pembangunan yang dilaksanakan di sektor pemerintah, jumlah realisasi
pengeluaran pembangunan seeara keseluruhan sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan
tahun kedua Repelita VI mencapai sebesar Rp 264.163,5 miliar, terdiri dari realisasi anggaran
pembangunan dalam PJP I (1969/1970-1993/1994) sebesar Rp 203.660,2 miliar dan realisasi
anggaran pembangunan dalam dua tahun Repelita VI (1994/1995-1995/1996) sebesar Rp
60.503,3 miliar. Sementara itu, dalam tahun anggaran 1996/1997 pengeluaran pembangunan
dianggarkan sebesar Rp 34.502,7 miliar, atau mengalami peningkatan sebesar Rp 4.691,1 miliar
atau sekitar 15,7 persen apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun anggaran
1995/1996. Perkembangan anggaran belanja pembangunan sejak tahun pertama Repelita I
hingga tahun ketiga Repelita VI selanjutnya dapat dirinci ke dalam alokasi pengeluaran
pembangunan berdasarkan sumber pembiayaan, pengeluaran pembangunan berdasarkan jenis
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
97
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pembiayaan, serta pengeluaran pembangunan berdasarkan sektor dan subsektor.
2.2.6.1. Pengeluaran pembangunan berdasarkan sumber pembiayaan
Di samping dibiayai dari sumber dana dalam negeri yang berupa tabungan pemerintah,
pengeluaran pembangunan juga dibiayai dengan sumber pembiayaan dari penerimaan
pembangunan yang berasal dari nilai lawan bantuan/pinjaman luar negeri, baik dalam bentuk
bantuan program maupun bantuan proyek. Sementara itu di dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) dinyatakan bahwa pembangunan memerlukan dana investasi dalam jumlah
yang besar, yang pelaksanaannya harus berlandaskan pada kemampuan sendiri, sedangkan
bantuan luar negeri merupakan pelengkap. Ini berarti bahwa kemampuan sumber pembiayaan
dalam negeri yang berupa tabungan pemerintah harus dapat lebih ditingkatkan agar dapat
berperan lebih besar sebagai unsur dana pembangunan, dan sebaliknya peranan pinjaman luar
negeri yang merupakan unsur pelengkap terus diupayakan semakin kecil.
Dalam pada itu, realisasi pengeluaran pembangunan selama PJP I mencapai sebesar Rp
203.660,2 miliar, meliputi tabungan pemerintah sebesar Rp 121.384,1 miliar atau 58,9 persen,
sedangkan sisanya sebesar Rp 84.572,5 miliar atau 41,1 persen merupakan penerimaan
pembangunan. Selanjutnya, dalam dua tahun pertama Repelita VI, jumlah realisasi pengeluaran
pembangunan mencapai sebesar Rp 60.503,3 miliar. Dari jumlah tersebut, sumber
pembiayaannya sebagian besar berasal dari tabungan pemerintah, yaitu sebesar Rp 41.365,9
miliar atau 66,3 persen, sedangkan selebihnya berasal dari penerimaan pembangunan sebesar Rp
21.007,8 miliar atau 33,7 persen.
Dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997), anggaran bagi pengeluaran pembangunan
direncanakan sebesay,Rp 34.502,7 miliar. Dari jumlah tersebut, sumber pembiayaannya
sebagian besar berasal dari tabungan pemerintah, yang mencapai sebesar Rp 22.089,1 miliar
atau 64,0 persen, sedangkan sisanya sebesar Rp 12.413,6 miliar atau 36,0 persen berasal dari
penerimaan pembangunan. Dengan melihat perkembangan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa
selama PJP I maupun dalam tiga tahun pelaksanaan Repelita VI, peranan penerimaan
pembangunan hanya berfungsi sebagai pelengkap bagi pembiayaan pembangunan, yaitu untuk
menutup kelangkaan dana di dalam negeri dan dalam rangka mempercepat pelaksanaan
pembangunan. Perkembangan pengeluaran pembangunan berdasarkan sumber pembiayaan sejak
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
98
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat diikuti dalam Tabel
II.14
Tabel II. 14
PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SUMBER PEMBIAYAAN,
1969/1970 - 1996/1997 1)
(dalam miliar rupiah)
Tahun
REPELITA I
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
1973/1974
REPELITA II
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
REPELITA III
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
1983/1984
REPELITA IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
REPELITA V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
REPELITA VI
1994/1995
1995/1996 2)
1996/1997 3)
Pengeluaran
pembangunan
Tabungan
pemerintah
1.080,40
109,3
137,9
163,9
263
406,3
7.479,20
985,2
1.436,40
1.571,20
1.540,60
1.945,80
31.753,80
3.479,70
5.450,60
6.826,10
7.440,40
8.557,00
51.293,20
8.374,80
11.740,10
9:091,2
9.769,90
12.317,20
112.053,60
15.393,90
18.250,80
23.074,50
26.906,30
28.428,10
95.006,00
30.691,70
29.811,60
34.502,70
%
585,2
32,5
45,1
68,9
163,2
275,5
6.057,40
784,9
1.005,00
1.261,40
1.431,80
1.574,30
23.895,20
2.734,00
4.383,80
5.219,40
5.406,50
6.151,50
25.996,00
6.525,40
8.933,00
' 3.668,6
4.390,10
2.478,90
64.850,30
7.169,00
13.071,90
13.529,00
15.257,20
15.823,20
63.455,00
22.349,00
19.016,90
22.089,10
Sumber pembiayaan 4)
Penerimaan
%
pembangunan
51,3
28,4
31,2
38,8
57,3
65,8
78,3
79,1
69,1
79,5
85
78,2
74,9
77,9
79,6
77
72,9
70,8
50,2
78,6
75,9
40
44,1
19,7
57,2
46,3
60,9
57,6
57,9
59,5
65,5
69,4
63
64
554,5
82,1
99,4
108,6
121,5
142,9
1.674,20
207,1
450,4
325,2
253,6
437,9
8.003,40
775,1
1.120,60
1.558,60
2.006,00
2.543,10
25.803,10
1.780,70
2.829,50
5.513,00
5.555,60
10.124,30
48.537,30
8.330,30
8.381,50
9.975,10
11.097,90
10.752,50
33.421,40
9.837,80
11.170,00
12.413,60
48,7
71,6
68,8
61,2
42,7
34,2
21,7
20,9
30,9
20,5
15
21,8
25,1
22,1
20,4
23
27,1
29,2
49,8
21,4
24,1
60
55,9
80,3
42,8
53,7
39,1
42,4
42,1
40,5
34,5
30,6
37
36
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
4) Termasuk sisa anggaran lebih (SAL) /sisa anggaran kurang (SAK)
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
99
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
BAB III
MONETER DAN PERKREDITAN
3.1. Pendahuluan
Perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan
yang menggembirakan sebagaimana tercermin dari masih tetap tingginya angka pertumbuhan
ekonomi. Kondisi tersebut antara lain dipengaruhi oleh kuatnya permintaan domestik sejalan
dengan meningkatnya kegiatan investasi dan konsumsi, khususnya dari sektor swasta.
Meningkatnya kegiatan investasi sektor swasta tersebut merupakan salah satu darnpak positif
dari serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang telah dilakukan Pemerintah,
terutama kebijaksanaan untuk menciptakan iklim berusaha yang semakin kondusif. Di samping
itu, keberhasilan pelaksanaan pembangunan juga telah memberikan sumbangan yang cukup
berarti dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, yang pada gilirannya akan mendorong
peningkatan konsumsi masyarakat. Pesatnya kegiatan ekonomi di dalam negeri dalam tahun
1996 juga tidak terlepas dari pengaruh semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi negaranegara industri, khususnya yang menjadi mitra dagang Indonesia, seperti Amerika Serikat dan
Jepang.
Di sisi lain, perkembangan ekonomi tersebut juga memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan besaran-besaran moneter, seperti likuiditas perekonomian (M2), yang dalam tahun
anggaran 1995/1996 relatif masih tetap tinggi. Hal tersebut terutama disebabkan oleh
pertumbuhan kredit perbankan yang relatif tinggi, derasnya aliran modal masuk dari luar negeri,
serta masih relatif tingginya laju inflasi. Dalam periode Januari-Desember 1996 laju inflasi
dapat dikendalikan pada tingkat yang lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 1995,
namun angka tersebut masih lebih tinggi dari target yang ditetapkan.
Sehubungan dengan itu, dalam upaya untuk tetap mempertahankan keseimbangan
ekonomi makro yang stabil dan mantap, Pemerintah secara konsisten melaksanakan
kebijaksanaan moneter yang berhati-hati melalui pengendalian permintaan domestik agar tetap
tumbuh dalam batas-batas kemampuan daya dukung kapasitas produksi nasional. Sejalan
dengan upaya pengendalian permintaan domestik tersebut, kebijaksanaan moneter diarahkan
untuk mengendalikan sumber-sumber ekspansi likuiditas perekonomian (M2), khususnya kredit
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
100
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
perbankan dan arus modal masuk dari luar negeri. Dalam kaitan ini, Pemerintah senantiasa
melakukan pengendalian jumlah uang beredar melalui berbagai piranti moneter yang ada,
terutama dengan operasi pasar terbuka (OPT). Selanjutnya guna lebih meningkatkan efektivitas
pengendalian moneter, Pemerintah melalui Bank Indonesia mengubah ketentuan cadangan wajib
minimum menjadi ketentuan giro wajib minimum (GWM), dengan mewajibkan bank-bank
umum untuk menyimpan 3 persen dari dana pihak ketiga (DPK) dalam bentuk giro pada Bank
Indonesia.
Di samping itu guna mengendalikan ekspansi kredit perbankan sekaligus meningkatkan
kehati-hatian bank serta mengurangi risiko kredit yang berlebihan, Pemerintah selain tetap
melakukan persuasi kepada bank-bank agar berhati-hati dalam pemberian kredit, juga telah
mengambil kebijaksanaan yang mewajibkan bank-bank devisa untuk menaikkan nisbah
kecukupan pemenuhan modal minimum (KPMM) secara bertahap hingga mencapai 12 persen
dalam waktu enam tahun sejak September 1995.
Dalam pada itu, guna mengurangi dorongan masuknya arus modal dari luar negeri yang
berlebihan, khususnya modal yang berjangka pendek serta bersifat spekulatif, Pemerintah telah
mengambil kebijaksanaan untuk meningkatkan fleksibilitas nilai tukar rupiah melalui pelebaran
kembali spread kurs jual dan beli rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan menerapkan batas
kurs intervensi. Dengan kebijaksanaan tersebut diharapkan akan mendorong perkembangan
pasar valuta asing antarbank, sehingga dapat mengurangi ketergantungan bank-bank kepada
Bank Indonesia.
3.2. Perkembangan harga dan upah
Dalam upaya mengurangi risiko memanasnya suhu perekonomian serta tetap
terpeliharanya kondisi ekonomi makro yang stabil, Pemerintah terus berupaya untuk
mengendalikan laju inflasi pada tingkat yang wajar. Untuk itu, Pemerintah di samping tetap
melaksanakan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati, juga terus melanjutkan
kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi guna meningkatkan efisiensi perekonomian
nasional serta mendorong kelancaran produksi dan distribusi barang-barang kebutuhan pokok
masyarakat. Melalui berbagai kebijaksanaan tersebut, perkembangan harga umum yang
tercermin dari laju inflasi nasional selama periode April-Desember 1996 dapat dikendalikan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
101
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pada tingkat yang relatif rendah, yaitu sebesar 3,21 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan laju inflasi dalam periode yang sama tahun 1994 dan 1995, yang
masing-masing mencapai 5,53 persen dan 5,60 persen.
Perkembangan harga beberapa barang ekspor primer Indonesia, khususnya komoditi
hasil perkebunan, seperti kopi robusta, karet, kopra, dan sebagainya, baik di pasar domestik
maupun di pasar internasional, mengalami fluktuasi dengan kecenderungan terus menurun
dalam tahun anggaran 1996/1997 (April-Oktober 1996). Hal ini antara lain disebabkan oleh
meningkatnya suplai komoditi-komoditi tersebut di pasar dunia.
Sementara itu, menguatnya nilai tukar beberapa mata uang dunia, seperti dolar
Amerika Serikat, serta merebaknya isu bahwa IMF merencanakan akan melepaskan sebagian
cadangan emasnya, telah mempengaruhi perkembangan harga emas, baik di bursa luar negeri
maupun bursa dalam negeri. Dalam kurun waktu delapan bulan pertama tahun anggaran
1996/1997, perkembangan harga emas di bursa London nampak berfluktuasi dengan
kecenderungan melemah. Perkembangan yang hampir sama juga terjadi pada komoditi sejenis
di pasar Jakarta.
Dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan para pekerja dan
keluarganya, Pemerintah secara terus menerus menyempurnakan ketentuan upah minimum
regional (UMR). Sejalan dengan upaya tersebut, tingkat upah di beberapa sektor ekonomi dalam
tahun 1996 (sampai dengan Juni 1996) mengalami peningkatan dibandingkan dengan tingkat
upah sebelumnya.
3.2.1. Indeks harga konsumen (IHK)
Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) yang dipergunakan sebagai dasar
penghitungan tingkat inflasi nasional, dalam tahun anggaran 1996/1997 (April-Desember 1996)
cenderung menurun. Dalam bulan Juni dan September 1996 terjadi deflasi, masing-masing
sebesar 0,07 persen dan 0,04 persen, sehingga secara kumulatif laju inflasi dalam periode AprilDesember 1996 mencapai sebesar 3,21 persen, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan
inflasi dalam periode yang sama tahun anggaran sebelumnya, yang mencapai 5,60 persen.
Demikian juga untuk tahun takwim 1996, sesuai dengan perkembangan terakhir, laju inflasi
kumulatif dalam tahun tersebut hanya mencapai 6,47 persen, atau 2,17 persen lebih rendah jika
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
102
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
dibandingkan dengan inflasi kumulatif tahun sebelumnya yang mencapai 8,64 persen.
Rendahnya tingkat inflasi dalam sembilan bulan pertama tahun anggaran 1996/1997 tersebut
terutama sangat dipengaruhi oleh menurunnya indeks harga kelompok makanan, yang terjadi
sejak bulan April sampai dengan bulan Oktober 1996, kecuali bulan Juli, November, dan
Desember sehingga secara keseluruhan kelompok makanan dalam enam bulan tersebut
memberikan andil deflasi sebesar 1,58 persen. Subkelompok barang yang mengalami penurunan
indeks harga cukup besar dalam kelompok ini adalah subkelompok bumbu-bumbuan, yaitu
sebesar 34,51 persen.
Dilihat dari perkembangan bulanannya, kenaikan indeks harga konsumen terbesar dalam
periode April-Desember 1996 terjadi pada bulan April, Juli, November, dan Desember 1996,
masing-masing sebesar 0,78 persen, 0,68 persen, 0,57 persen, dan 0,55 persen sehingga secara
bersama-sama keempat bulan tersebut memberikan andil sebesar 80,37 persen dari inflasi
nasional dalam periode April-Deseinber 1996 tersebut.
Tingginya laju inflasi yang terjadi dalam bulan April 1996 terutama disebabkan oleh
kenaikan indeks harga kelompok aneka barang dan jasa sebesar 4,87 persen. Indeks harga
kelompok pengeluaran lainnya, seperti kelompok perumahan dan kelompok sandang, hanya
mengalami kenaikan relatif kecil, masing-masing sebesar 0,66 persen dan 0,49 persen,
sedangkan indeks harga kelompok makanan mengalami penurunan sebesar 1,95 persen.
Meningkatnya indeks harga dari kelompok aneka barang dan jasa sebesar 4,87 persen tersebut
dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga subkelompok transport sebesar 10,37 persen, terutama
sebagai akibat naiknya tarif angkutan dalam kota, bus antar kota, angkutan udara, tarif taksi, dan
angkutan laut, dengan andil inflasi masing-masing sebesar 0,79 persen, 0,05 persen, 0,09 persen,
0,07 persen, dan 0,02 persen. Dengan demikian secara keseluruhan kenaikan tarif berbagai jenis
angkutan tersebut telah memberikan andil inflasi sebesar 1,02 persen.
Inflasi yang terjadi dalam bulan Juli 1996 sebesar 0,68 persen merupakan akibat dari
kenaikan indeks harga seluruh kelompok pengeluaran, dengan persentase kenaikan berkisar
antara 0,42 persen sampai dengan 1,04 persen. Kenaikan indeks harga tertinggi yang terjadi
pada kelompok makanan terutama dipengaruhi oleh meningkatnya indeks harga subkelompok
telur, susu, dan hasil-hasilnya, subkelompok ikan segar, subkelompok ikan diawetkan, dan
subkelompok dasing dan hasil-hasilnya, masing-masing sebesar 4,11 persen, 4,03 persen, 3,54
persen, dan 2,77 persen. Komoditi yang memberikan andil inflasi cukup menonjol pada
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
103
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kelompok makanan ini antara lain adalah dasing ayam, ikan segar, lombok, dan telur ayam ras,
masing-masing sebesar 0,11 persen, 0,09 persen, 0,08 persen, dan 0,07 persen. Sementara itu
indeks harga kelompok aneka barang dan jasa yang meningkat sebesar 0,55 persen terutama
disebabkan oleh naiknya indeks harga subkelompok tembakau, rokok dan minuman beralkohol,
serta subkelompok pendidikan, masing-masing sebesar 1,12 persen, dan 0,79 persen. Secara
keseluruhan kelompok aneka barang dan jasa dalam bulan Juli 1996 menyumbang andil dalam
inflasi nasional sebesar 0,13 persen. Selanjutnya kenaikan indeks harga yang terjadi pada
kelompok sandang sebesar 0,51 persen terutama dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga
subkelompok sandang anak-anak sebesar 2,01 persen, dengan memberikan andil terhadap inflasi
sebesar 0,04 persen. Sementara itu indeks harga subkelompok penyelenggaraan rumah tangga
yang mengalami kenaikan sebesar 1,96 telah memberikan andil yang cukup berarti terhadap
kenaikan indeks harga kelompok perumahan.
Dalam bulan November 1996 indeks harga kelompok makanan mengalami kenaikan
tertinggi dibandingkan dengan kelompok pengeluaran lainnya, yaitu sebesar 1,67 persen
sehingga kelompok makanan dalam bulan tersebut telah memberikan andil inflasi sebesar 0,54
persen. Beberapa jenis barang yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap kenaikan
indeks harga kelompok makanan tersebut antara lain adalah beras, telur ayam ras, sayursayuran, dan lombok merah, dengan andil inflasi berkisar antara 0,07 persen sampai dengan
0,15 persen. Sedangkan inflasi bulan Desember 1996 terutama dipengaruhi oleh faktor musiman
berkaitan dengan hari Natal dan Tahun Baru. Dalam bulan tersebut indeks harga kelompok
makanan mencatat kenaikan tertinggi, yaitu sebesar 1,28 persen.
Apabila diamati perkembangan indeks harga di 27 ibukota propinsi, kenaikan indeks
harga dalam sembilan bulan pertama tahun anggaran 1996/1997 (sampai dengan bulan
Desember 1996) terjadi di seluruh ibukota propinsi, dengan persentase kenaikan berkisar antara
1,09 persen sampai dengan 6,42 persen. Kenaikan indeks harga tertinggi terjadi di kota
Jayapura, sementara di kota Yogyakarta indeks harga konsumen dalam periode yang sama
hanya mengalami peningkatan cukup rendah, yaitu sebesar 1,09 persen. Perkembangan indeks
harga konsumen secara nasional maupun terperinci menurut ibukota propinsi dapat dilihat
dalam Tabel III.1, Tabel III.2, dan Grafik III.1.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
104
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
3.2.2. Barga beberapa barang konsumsi utama
Perkembangan harga beberapa barang konsumsi utama seperti beras, gula pasir, dan
tepung terigu, dalam periode April-Desember 1996 pada umumnya mengalami peningkatan.
Dari ketiga komoditi tersebut di atas, harga beras mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan
dengan dua komoditi lainnya. Sebagai salah satu makanan pokok masyarakat, beras mengalami
kenaikan harga sejak bulan Mei 1996, dan kenaikan yang menonjol terjadi dalam bulan Juli,
Agustus, Oktober, yang memberikan andil inflasi masing-masing sebesar 0,03 persen, bulan
November 1996 sebesar 0,15 persen, dan Desember 1996 sebesar 0,05 persen. Secara kumulatif,
selama 9 bulan pertama tahun anggaran 1996/1997 kenaikan harga beras telah memberikan
andil inflasi sebesar 0,28 persen. Sementara itu kenaikan harga gula pasir terjadi dalam bulan
April dan Mei 1996 dengan memberikan andil terhadap inflasi nasional dalam bulan-bulan
tersebut, masing-masing sebesar 0,02 persen dan 0,01 persen. Sebaliknya dalam bulan
September dan Oktober 1996 komoditi ini memberikan andil deflasi masing-masing sebesar
0,01 persen.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
105
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel III.l
PERUBAHAN INDEKS HARGA KONSUMEN, 1984/1985 - 1996/1997
(dalam persentase )
Akhir periode
kumulatif
1984/1985
Desember
Maret
1985/1986
Desember
Maret
1986/1987
Desember
Maret
1987/1988
Desember
Marct
1988/1989
Desember
Maret
1989/1990
Desember
Maret
1990/1991
Desember
Maret
1991/1992
Desember
Maret
1992/1993
Desember
Maret
1993/1994
Desember
Maret
1994/1995
Desember
Maret
1995/1996
Desember
Maret
1996/1997
April
Mei
Juni
Ju1i
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Kumulatif 1)
1) Sampai dengan bulan Desember
Makanan Perumahan
2,47
0,21
0,89
-1,19
0,33
-2,04
0,58
-0,04
0,35
0,35
-0,28
-1,03
0,28
-0,22
0,25
1,41
1,24
2,58
0,91
1,6
-0,06
1,7
1,74
-2,22
-1,95
-0,56
-0,5
1,04
-0,35
-0,76
-0,04
1,67
1,28
-0,17
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
0,2
0,21
0,06
0,02
0,02
0,64
0,37
0,17
0,13
0,11
0,05
0,08
-0,21
0,14
0,04
0,22
0,23
1,15
0,49
0,Q7
1,36
-0,02
0,33
0,4
0,66
0,38
0,17
0,42
0,27
0,52
0,52
0,03
0,05
3,02
Sandang
0,05
0,08
0,15
0,09
0,13
0,66
0,14
0,22
0,09
0,19
0,3
0,19
0,18
0,22
0,4
0,82
1,7
2,37
0,28
1,41
0,34
0,34
0,56
0,04
0,49
0,57
0,07
0,51
0,16
0,31
0,19
0,1
0,46
2,86
Aneka barang
dan jasa
0,08
0,28
0,08
0,Q1
0,76
1,4
0,05
0,09
0,07
0,12
0,03
0,02
0,04
0,11
0,15
0,13
0,Q7
0,18
0,23
0,04
0,36
0,04
0,05
0,03
4,87
0,48
0,19
0.55
1,16
0,12
0,98
0,04
0,08
8,47
Tahun
Tahun
anggaran takwim
3,64
5,66
8,83
8,29
6,55
5,48
9,11
9,78
10,03
7,04
8,57
8,86
3,21
8,76
4,31
8,83
8,9
5,47
5,97
9,53
9,52
4,94
9,77
9,24
8,64
6,47
106
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel 111.2
PERUBABAN INDEKS UMUM BARGA KONSUMEN DI 27 KOTA DI INDONESIA!), 1984/1985 - 1996/1997
( dalam persentase )
Banda
Bandar
Akhir periode
Aceh
Medan
Padang Pekanbaru
Jambi Palembang Bengkulu Lampung
kumulatif
(I)
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8
-9
1984/1985 Kumulatif
-2,65
0.92
--1.26
--1985/1986 Kumulatif
-7.02
3.94
--5.73
--1986/1987 Kumulatif
-9,8
7,51
--.
6.24
--1987/1988 Kumulatif
-7,12
6.66
--7.88
--1988/1989 Kumulatif
-12.50
7,12
--4.19
--1989/1990 Kumulatif
-5,74
2,75
--1.71
--1990/1991 Kumu1atif
10.50
5.90
7.15
8.21
5.24
9.84
4.76
7.26
1991/1992 Kumulatif
6.70
9.52
9,26
9.03
8.65
9.10
8.98
8.09
1992/1993 Kwitulatif
7,05
lJ,27
9,24
7.72
9.30
9.08
8.63
8.80
1993/1994 Kumulatif
7,72
4.43
6.52
9.12
6.85
7.00
5.80
5.14
1994/1995 Kumulatif
8.26
8.83
8;73
7.23
6.12
6.63
9,46
8.98
1995/1996 JuDi
0.78
0.77
0.42
-0.17
-2,41
0.87
-0.17
0.78
September
0.20
-{),39
-0,11
-0.60
-0,86
0.16
0.19
1.01
Desember
0,67
0,59
1,05
1,12
2,99
1,7
0.77
0,14
Maret
0,12
-1,19
0,56
0,29
-0.78
-0.39
-1.48
-0.32
Kumulatlr
8,38
9,51
8;08
7,38
7,56
9,87
6,87
9,71
1996/1997 April
1.63
1,3
1,65
-1,22
-1.24
-0.41
0.28
-0.63
Mei
-0.14
-1.67
-2.20
-1,18
-0.40
0.84
-0.70
0.31
JuDi
0,1
0,13
0,1
0,34
-0.18
-0,15
1,07
0.18
Juli
1,14
0.65
1,01
2,02
2.82
0.21
1.67
0.55
Agustus
-0.03
0.71
1,8
-0.35
-0,34
0.59
-0,43
0,02
September
-0.30
-0,07
"':0.49
-0.83
(\82
0.25
-0.70
0,2
Oktober
2.20
2.07
0.10
1,48
0.62
-0,01
1.20
-0.04
November
0.07
0.49
0.27
0,56
0,48
0.32
0.67
1.41
Desember
0.29
0.61
1,07
1
1,05
1.40
0,62
0.72
KumiJlatlf 2)
4,96
4,22
3,34
1,82
3,63
3,04
3,68
2,72
Akbir periode kumulatifl
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
1994/1995
1995/1996
1996/1997
Kumulatif
Kumulatif
Kumulatif
Kumulatif
Kumulatif
Kumu1atif
Kumu1atif
Kumu1atif
Kumu1atif
Kumu1atif
Kumu1atif
Juni
September
Desember
Maret
Kumulatif
April
Mei
Juni
Ju1i
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Kumulatif I)
Bandung Semarang Yogyakarta Surabaya Denpasar
3,48
6,81
8,76
9,47
5,33
5,45
9,62
9,19
8,41
8,05
7,26
0,26
0,27
0,9
0,17
7,58
0,91
0,11
-0,01
0,65
0,29
0,04
1,03
0,19
0,17
3,38
2,97
5,11
9,16
9,89
6,07
4,65
9,76
10,32
9,14
4,61
7,55
0,06
0,5
0,31
-0,12
6,69
1,06
-0,02
0,01
0,64
0,16
0,26
0,2
0,37
0,12
2,80
3,26
5,95
8,28
9,48
6.17
4,99
10,43
9,62
8,4
7,24
9,5
-0,41
0,64
0,84
-0,37
7,73
-1,05
-0,07
0,1
0,6
-0,66
0,15
0,66
1,03
0,33
1,09
4,39
5,13
9,87
7,54
6,95
6,21
9,85
10,14
9,54
8,39
7,85
-0,05
0,71
0,19
0,05
8,24
1,17
0,81
-0,38
0,5
1,09
0.08
0,03
0,3
0,32
3,92
5,98
11,35
9,76
11,88
7,66
7,67
11,17
8,87
11,04
7,2
5,8
-0,73
- 0.16
1,19
0,31
6,47
0,10
-0,26
-0,73
0,17
0,76
0,28
-0,27
1,25
0,36
1,10
Mataram
Kupang
1,76
8,24
9,92
10,16
6,95
10,4
10,14
7,33
9.60
7,89
8,89
0,18
0.73
1,18
0,24
6,59
-0,26
0.29
-0,72
1.20
0,41
-0,89
3,29
0,83
0,37
4,52
0,96
8,55
11,47
5,62
4,35
8,61
5,62
6,59
10,11
7,34
6,41
0,3
0,04
1,14
0,35
6,45
2,43
-0,31
-0,45
0,31
-0,11
0,41
0,11
0,16
2,48
5,03
Jakarta
-10
4.17
4.24
8.60
8.08
5.99
4.97
J'
10 5
I ,50
7.29
9.47
0.22
0.60
0,63
-1.16
10,3
0,93
0.31
0.04
0.65
0.06
-0.09
0.15
0.72
0,38
3,15
Dili Pontianak
---..-5,73
5,77
I
3
9,42
-0,44
0,56
1,16
-0,1
5,45
1,02
-0,73
3,8
-0,36
0,12
-0,06
0,44
0,75
-1,11
3,87
2,9
8,05
8,94
9.28
6;81
7.10
9,11
9,58
8.25
7,41
6.54
0,65
0,28
2,37
-1,34
8,59
1,44
- 0,48
0,24
-0,13
-0,28
0,94
-0,62
1,67
0,57
3,35
1) Sampat dangan bulan Dasamber
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
107
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Akhir periodelkumulatif
Palangka
Raya
Banjarmasin Samarinda Manado
Palo
Ujung
Pandang
Kendari
Ambon
Jayapura
198411985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
199411995
Kumu1atif
Kumu1atif
Kumulatif
Kumulatif
Kumulatif
Kumulatif
Kumulatif
Kumulatif
Kumulatif
Kumulatif
Kumulatif
--...
--9,81
9,79
7,21
8,99
10,33
3,31
4,72
8,38
10,45
4,22
8,01
9,26
8,28
9,46
4,42
8,22
-.-..
--7,97
11,6
6,46
6,45
10,31
1,5
8,29
12,47
7,12
7,45
3,73
7,85
8,25
6,54
10,55
9,12
----.
-..
6,99
6,89
8,66
5,84
8,02
5,33
4,67
6,47
7,24
4,6
6,17
6,04
7,71
8,79
5,94
10,1
------9,69
12,25
9,83
8,09
9,1
0,05
2,87
8,03
17,25
21,34
25,37
6,55
5,24
8,53
6,11
8,09
2,31
2,02
13,09
6,67
6,31
5,99
5,69
6,79
7,99
9,34
8,92
1995/1996
luni
September
Desember
Maret
Kumu1atif 1)
April
Mei
luni
luli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Kumulatif I)
-1,45
0,34
I,ll
-0,08
3,22
0,33
-0,01
-0,29
0,2
-0,18
0,14
-0,25
0,29
1,09
1,32
0,59
-0,03
0,94
-1,57
7,61
0,99
0,85
-1,53
0,49
-0,21
0,1
0,04
0,11
1,25
2,09
0,79
0,18
1,79
-0,33
6,45
-0,42
0,1
-0,28
1,08
-0,12
0,89
0,1
1,2
0,32
2,87
0,92
0,42
2,77
0,32
10,22
0,72
1,5
-1,11
2,01
-0,34
0,1
0,66
0,12
0,32
3,98
1,64
0,29
2
-0,62.
9,8
0,86
-0,61
1,58
1,31
0,34
-2,88
0,8
0,1
1,14
2,64
0,34
0,13
1,33
-0,2
8,12
0,84
-1,39
-0,44
0,57
-0,19
-0,56
-0,05
0,57
2,21
1,56
1,64
-0,23
1,2
-0,73
4,94
3,05
0,32
0,09
1,31
0,56
-0,42
-0,04
-0,42
0,26
4,71
0,34
-0,3
-0,96
0,41
5,18
1,04
-0,17
0,5
0,43
0,57
-0,06
0,56
0,64
1,88
5,39
1,61
0,28
1,46
0,02
4,67
1
0,58
0,17
2,37
0,27
0,77
-0,47
-0,06
1,79
6,42
1996/1997
3.2.3. Harga emas dan mata uang asing
Harga emas di pasar internasional akhir-akhir ini cenderung menurun sebagai akibat
dari lemahnya permintaan, sementara jumlah penawaran emas di pasar bertambah.
Kecenderungan penurunan harga emas ini terjadi di pasar New York, London, dan Hongkong,
yaitu dari sekitar US$ 393 sampai dengan US$ 400 per troy ounce pada awal tahun anggaran
1996/1997 turun menjadi sekitar US$ 379 sampai dengan US$ 380 per troy ounce pada awal
bulan November 1996. Khusus untuk harga emas di bursa London, sejak bulan April 1996
sampai dengan bulan Agustus 1996, mengalami fluktuasi yaitu sekitar US$ 386,45 per troy
ounce sampai dengan US$ 391,50 per troy ounce. Kemudian dalam bulan September, Oktober,
dan November 1996 harga emas kembali melemah dengan tingkat harga rata-rata US$ 378,71
per troy ounce atau mengalami penurunan sebesar 2 persen dibandingkan dengan harga yang
dicapai bulan sebelumnya sebesar US$ 386,45 per troy ounce, dan 4,45 persen lebih rendah bila
dibandingkan dengan tingkat harga bulan Maret 1996 sebesar US$ 396,35 per troy ounce.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
108
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Perkembangan harga emas di pasar internasional yang bersifat fluktuatif tersebut, juga
berpengaruh terhadap perkembangan harga emas di dalam negeri. Di pasar Jakarta harga emas
mulai mengalami penurunan, dalam bulan Juni dan Juli 1996 rata-rata 0,54 persen per bulan.
Kemudian dalam bulan November 1996 harganya kembali meningkat setelah dalam bulan
sebelumnya sempat melemah dari Rp 27.775 per gram dalam bulan September 1996 menjadi Rp
27.740 per gram dalam bulan Oktober 1996. Dalam bulan November 1996 harga emas di pasar
Jakarta mencapai Rp 27.819 per gram, yang berarti mengalami penurunan sebesar 0,65 persen
dibandingkan dengan harga pada bulan Maret 1996.
Kelesuan harga emas yang terjadi dalam tahun ini antara lain disebabkan oleh jumlah
permintaan terhadap emas di pasar internasional semakin berkurang. Hal ini juga seiring dengan
rencana International Monetary Fund (IMF) untuk menjual sebagian cadangan emasnya ke
pasar. Perkembangan harga emas di pasar Jakarta dan di pasar London dapat dilihat dalam Tabel
III.3.
Terjadinya globalisasi di sektor keuangan dalam dekade terakhir ini, telah menyebabkan
suatu kecenderungan adanya polarisasi kelompok kekuatan mata uang asing, yaitu Amerika
Serikat dengan mata uang dolar, Eropa dengan mark Jerman dan poundsterling Inggris, serta
Jepang yang bertumpu pada mata uang yen, yang ketiganya merupakan kekuatan yang sangat
berpengaruh dalam globalisasi keuangan. Dengan demikian, gejolak nilai tukar mata uang asing
dunia sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar mata uang ketiga kelompok tersebut, sebagai
akibat dari diberlakukannya atau dihapuskannya kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi negaranegara bersangkutan. Perkembangan ini akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing di pasar Indonesia.
Perkembangan pasar mata asing di dalam negeri dalam tahun anggaran 1996/1997
ditandai dengan derasnya arus masuk dana luar negeri. Hal ini antara lain disebabkan adanya
perbedaan antara suku bunga dalam dan luar negeri yang semakin menarik arus masuk dana ke
dalam negeri, serta sebagai akibat semakin berkembangnya pasar modal dalam negeri (portfolio
investment). Derasnya arus masuk modal luar negeri jangka pendek yang terutama digunakan
untuk kegiatan spekulasi dapat menimbulkan tekanan-tekanan terhadap kestabilan moneter,
serta dapat menimbulkan gejolak nilai tukar di pasar mata uang asing di dalam negeri.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
109
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel Ill.3
HARGA RATA-RATA EMAS DI PASAR JAKARTA DAN
DI P ASAR LONDON, 1984/1985 - 1996/1997
Periode
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
1994/1995 Joni
September
Desember
Maret
1995/1996 Juni
September
Oesember
Maret
1996/1997 April
Mei
Joni
Joli
Agustus
September
Oktober
November
Jakarta
(24' dalam
London
(US$/troy ounce)
11.557
11.762
17.080
24.230
23.392
22.425
22.912
22.582
22.399
25.605
25.945
25.990
25.655
26.500
27.000
27.000
27.100
28.000
28.000
28.000
27.769
27.700
27.710
27.775
27.740
27.819
339,22
331,4
382,35
458,53
417,44
381,95
373,45
356,7
339
386,35
387,95
394,25
375,95
391.85
383,95
383,75
405,45
396,35
391,5
390,5
382,1
385,1
386,45
378,55
378,65
378,94
Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengendalian moneter dan menjaga kestabilan
nilai tukar rupiah pada tingkat yang wajar dan realistis serta untuk mengurangi tekanan atas
cadangan devisa negara, dalam tahun anggaran 1996/1997 Pemerintah kembali mengeluarkan
kebijaksanaan penyempurnaan nilai tukar melalui pelebaran spread kurs intervensi (intervention
band) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam tahun anggaran 1996/1997 ini telah
dilakukan dua kali pelebaran kurs intervensi yaitu pada tanggal 13 Juni 1996 (dari Rp 66
menjadi Rp 118) dan pada tanggal 11 September 1996 (dari Rp 118 menjadi Rp 192). Batas
kurs intervensi ini dimaksudkan sebagai batas bagi bank untuk dapat membeli dolar Amerika
dari Bank Indonesia, yaitu apabila kurs Rp/US$ antar bank berada pada atau lebih tinggi
daripada batas atas intervention band, atau untuk dapat menjual dolar Amerika Serikat kepada
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
110
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Bank Indonesia apabila kurs Rp/US$ antar bank berada atau lebih rendah daripada batas
intervention band.
Kebijaksanaan lainnya yang dilakukan Pemerintah guna mencegah timbulnya gejolak
pasar mata uang asing yang dapat menimbulkan ketidakstabilan moneter adalah menjalin
kerjasama dengan Bank Sentral/Otoritas Moneter Australia, Hongkong, Malaysia, Singapura,
dan Thailand dalam bentuk bilateral repurchase agreement. Kerjasama tersebut dimaksudkan
untuk lebih meningkatkan likuiditas cadangan devisa masing-masing bank/otoritas moneter
negara bersangkutan, sehingga dapat dipergunakan untuk menghadapi gejolak pasar mata uang
asing.
Dalam pada itu perkembangan harga beberapa mata uang asing di Jakarta dalam delapan
bulan pertama tahun anggaran 1996/1997, terkecuali untuk mata uang poundsterling Inggris dan
dolar Hongkong, cenderung melemah terhadap rupiah. Mata uang asing yang mengalami
depresiasi tertinggi terhadap rupiah dalam periode April-November 1996 adalah yen Jepang,
franc Swiss, dan guilder Belanda, dengan persentase penurunan berkisar dari 1,83 persen sampai
dengan 5,35 persen. Sebaliknya poundsterling Inggris dalam periode yang sama mencatat
apresiasi terhadap rupiah sebesar 9,32 persen. Sementara itu dolar Amerika Serikat dalam
periode yang sama mengalami apresiasi terhadap rupiah sebesar 0,26 persen, yaitu dari Rp 2.342
dalam bulan Maret 1996 rnenjadi Rp 2.348 dalam bulan November 1996. Perkembangan harga
beberapa mata uang asing di Jakarta dapat dilihat dalam Tabel III.4 dan Grafik III.2.
3.2.4. Harga barang-barang ekspor nonmigas
Perkembangan harga barang-barang ekspor, khususnya yang berasal dari sektor perkebunan, seperti karet,
kopi, kopra, dan sebagainya, dalam periode April-Oktober 1996 pada umumnya mengalami penurunan, baik di
pasar dalam negeri maupun di pasar internasional. Perkembangan yang kurang menggembirakan tersebut antara
lain dipengaruhi oleh jumlah stok yang dikuasai oleh konsumen serta persaingan yang cukup tinggi dari beberapa
negara produsen barang-barang sejenis, sehingga kondisi tersebut mampu menekan harga di
pasaran. Dalam periode April-Oktober 1996 harga rata-rata beberapa komoditi ekspor Indonesia
di pasar internasional, seperti minyak sawit di pasar London, karet RSS III di pasar New York,
London, dan Singapura, kopi robusta di pasar New York, dan lada putih di pasar London,
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan harga rata-rata yang dicapai dalam periode
yang sama tahun sebelumnya. Dari beberapa jenis komoditi tersebut di atas, harga rata-rata kopi
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
111
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
robusta mengalami penurunan cukup besar, yaitu 35,02 persen. Berbeda dengan komoditi
tersebut di atas, perkembangan harga rata-rata kopra, baik di pasar Manila maupun di pasar
London, dalam periode yang sama mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 14,51 persen
dan 21,79 persen. Namun demikian jika diamati perkembangan bulanannya dalam periode
April-Oktober 1996 harga komoditi kopra, khususnya di pasar London, nampak berfluktuasi
dengan kecenderungan melemah. Dalam bulan Oktober 1996 harga kopra di pasar London
hanya mencapai US$ 136,23/lt, atau 22,82 persen lebih rendah dibandingkan harga bulan Maret
1996 yang mencapai US$ 176,50/lt.
Tabel IDA.
BARGA RATA-RATA BEBERAPA JENIS MAT A UANG ASING DI JAKARTA, 198411985 - 199611997
( harga jual daIam rupiah per satuan )
Periode
198411985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
1994/1995
1995/1996
199611 997
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopcmber
US$
1.053,14
1.124,33
1.410,81
1.653,98
1.712,32
1.792,93
1.875,57
1.978,87
2.053cO5
2.112,24
2.169,2.186,-2.196,-2.237,-2.242,2.284,2.303,2.342,-2.346,2.345,2.346,2.348,2.356,2.351,2.337,2.348,-
V
4,31
5,21
8,96
12,04
13,37
12,56
13,39
14,87
16,46
19,57
21,18
22,07
22,02
22,48
26,54
22,73
22,65
22,13
21,91
22,12
21,64
21,53
21,9
21,5
20,96
21,02
£
1.341,92
1.512,31
2.125,98
2.828,42
3.027,75
2.899,01
3.469,37
3.443,08
3.505,97
3.186,52
3.325,-3.424,-3.450,-3.574,-3.606,-3.570,3.583,3.595,3.568,3.582,3.659,3.682,3.687,3.691,-3.727,-3.930,--
HK$
131,12
141,8
185,66
215,83
222,05
232,03
243,64
256,85
267,08
274,86
285,285,-286,-292,-292,-298,-301,-305,-305,305,307,306,-306,-306,-305,-306,--
Sin $
OM
CHF
NLG
488,35
519,5
653,05
800,69
862,58
928,12
1.059,17
1.163,95
1.259,59
1.319,17
1.423,-1.466,-1.501,1.571,-1.605,-1.592,-1.625,-1.662,-1.663,1.662,1.664,1.658,-1.665,-1.665,-1.656,-1.672,--
356,09
422,03
707,53
946,41
953,88
976,62
1.192,44
1.181,45
I'Clon
1. I,ll
1. 34,-1.405,1.398,1.582,-1.604,-1.556,-1.603,-1.587,-1.559,1.531,1.537,-1.559,1.590,-1.566,1.534,-1.558,--
426,08
504,43
852,49
1.148,21
1.135,49
1.112,75
1.405,18
1.352,33
1.455,26
1.443,34
1.581,1.686,-1.662,1.896,1.950,-1.924,-1.986,-1.961,-1.931,1.886,-1.871,1.903,-1.962,-1.927,-1.866,-1.856,--
315,18
312,25
623,39
839,21
845,04
865,37
1.058,08
1.054,82
1.167,53
1.123,07
1.190,-1.253,-1.251,-1.411,1.435,-1.393,-1.431,-1.417,-1.401,-1.312,-1.374,-1.392,-1.417,-1.398,-1.370,-1.391,--
Melemahnya harga beberapa barang ekspor utama di pasar internasional juga
memberikan pengaruh cukup berarti terhadap perkembangan harga barang sejenis di pasar
dalam negeri, seperti karet RSS I dan kopra. Di pasar Jakarta kedua jenis komoditi tersebut
dalam periode April-Oktober 1996 cenderung mengalami penurunan setiap bulannya. Karet
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
112
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
RSS I yang harganya sempat meningkat dalam bulan pertama tahun anggaran 1996/1997, dalam
bulan-bulan berikutnya harganya terus melemah hingga mencapai harga Rp 2.820.000 per ton
dalam bulan Oktober 1996. Dengan demikian selama periode April-Oktober 1996 harga karet
RSS I mencatat penurunan sebesar 12,56 persen. Perkembangan yang hampir sama juga terjadi
pada komoditi kopra dimana dalam perdagangan bulan Oktober 1996 harga komoditi ini ditutup
pada tingkat Rp 838.000 per ton. Dibandingkan dengan tingkat harga yang dicapai dalam bulan
Maret 1996, maka dalam periode April-Oktober 1996 komoditi tersebut mengalami penurunan
harga sebesar 12,89 persen. Berbeda dengan kedua komoditi tersebut di atas, harga lada putih
dan kopi robusta memperlihatkan perkembangan yang mulai membaik. Harga lada putih mulai
meningkat sejak bulan Agustus 1996 sampai dengan bulan Oktober 1996. Namun demikian
harga rata-rata yang diperoleh selama periode April-Oktober 1996 masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan harga yang terjadi dalam bulan Maret 1996. Sementara itu harga kopi
robusta mulai meningkat sejak bulan September 1996 setelah dalam lima bulan sebelumnya
secara berturut-turut terus melemah. Dalam bulan Oktober 1996 harga yang dicapai sebesar Rp
4.717.000 per ton, jauh lebih tinggi dari tingkat harga dalam bulan Maret 1996 sebesar Rp
4.300.000 per ton. Dengan demikian dalam periode April-Oktober 1996 harga kopi robusta
mengalami kenaikan sebesar 9,70 persen. Perkembangan harga beberapa barang ekspor primer,
baik di pasar internasional maupun di pasar dalam negeri dapat dilihat dalam Tabel III.5, Tabel
III.6, dan Grafik III.3.
3.2.5. Indeks harga perdagangan besar (IHPB)
Indeks harga perdagangan besar, yang juga merupakan salah satu indikator
perkembangan harga-harga di dalam negeri pada tingkat pedagang besar/grosir, dalam tahun
1995 mengalami kenaikan sebesar 11,63 persen, yaitu dari 215 dalam tahun 1994 menjadi 240
dalam tahun 1995.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
113
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel Ill.5
BARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR DI PASAR
198411985 - 1996/1997
( dalam ribu rupiah per ton)
Periode
Karet
RSSI
Kopra
Lada
(Sulawesi) putih
Kopi
robusta
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
1994/1995
1995/1996 April
Mei
Juni
Jull
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
Maret
1996/1997 April
Mei
Juni
Jull
Agustus
September
Oktober
807,7
762,8
1.115,20
1.562,00
1.784,30
1.419,00
1.445,00
1.436,60
1.669,50
1.822,00
4.065,00
3.936,00
3.873,00
3.356,00
2.912,00
2.724,00
2.883,00
3.026,00
3.419,00
3.485,00
3.399,00
3.336,00
3.225,00
3.267,50
3.280,00
3.252,50
3.047,50
2.947,50
2.875,00
2.820,00
471,9
308,9
364,7
452
570,8
486,4
339
547,8
562
560
808
815
800
825
850
878
875
875
908
908
962,5
962,5
962,5
950
940
940
930
895
858
838
1.320,80
2.160,40
2.619,50
2.500,00
2.100,00
1.379,20
1.386,00
1.500,50
1.738,00
2.741,00
4.914,00
4.772,00
4.793,00
4.674,00
4.674,00
4.674,00
4.674,00
4.674,00
4.674,00
4.674,00
4.300,00
4.350,00
4.300,00
4.300,00
4.300,00
4.050,00
4.000,00
4.000,00
4.352,00
4.717,00
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
2.779,20
4.710,80
6.673,20
7.742,40
5.673,30
3.567,20
2.580,00
2.129,50
3.250,00
5.400,00
6.894,00
7.202,00
7.485,00
7.485,00
7.179,00
7.269,00
7.175,00
7.042,00
6.794,00
6.586,00
7.570,00
7.775,00
7.850,00
7.337,00
7.275,00
6.562,00
5.950,00
6.900,00
7.259,00
7.325,00
114
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel III.6
BARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR UTAMA PASAR INTERNASIONAL, 1984/1985 .199611997
US $ ctIIb
(New York)
Periode
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
1994/1995
1995/1996
1996/1997
Juli
September
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
44,46
40,8
42,92
50,12
54,09
46,82
46,43,06
43,48
45,28
88,63
74,85
67,82
78,2
76,1
71.16
71,66
72,5
65,17
63,27
63,5
61,5
Rssnl
Br £/kg Sin $ dIkg
(London) (Slngapura)
70,21
59.31
58,16
63,43
68,74
58,17
49,9
52,02
62,44
67,71
118,85
94,36
91,19
109,24
IOS,I1
99,14
99,46
99,63
88.83
86,33
86,36
81,44
174,99
158,01
172,49
206,68
227,58
165,62
144,5
134,99
134,42
145,86
263,79
215,06
195,3
213,33
219,85
209,24
210,19
210,75
186,78
183,62
182,76
175,4
US $/II
(Manll8)
Kopra
US $/II
(London)
SO2,86
296,61
220,64
341,41
396.27
321,96
222,3
354,-437,67
428,5
439,25
464,-464,67
506,-503,-525,25
515,-475,475,-488,33
658,76
330,23
203,3
322,49
378,85
168,--')
158,33
142,24
140,1
124,9
123,73
133,19
172,12
176.so
188,29
190,75
145,81
149,71
147,85
136,23
Kopl robusta Lad. putlh
US $ ctIIb
US $/q
eb PaIem- (New York)
(New York)
123,94
123,41
120,53
92,25
95.32
61,66
45,94
41,48
37,79
61,46
14O3
123,64
107,53
93,04
100,62
89.38
86,14
88,99
71,34
75,37
70,95
69,99
253.37
277,50"
264,42
311,96
524,27
2,56;Y
2,22
2,65
4,44
5,22
5,23
5,33
4,75
5,24
5
4,95
4,97
4,15
4,76
5,05
5,3
Lada hitam Tlmah putIh MinyakSawit
US$Jq
Dr Umt
Dr flit
(New York)
(London) EM M818J11a
(London)
104,98
182,.240,75"
250,12
250,45
455,84
2,73"
2,02
1,71
2,44
3,23
3,43
3,2
2,78
2,71
2,71
2,62
2,65
2,73
2,87
3,3
3,34
9.525,78
7.487,86'
7.395,4.031,73
4.220,55
7.658,56
5.880,63
5.618,44
5.653,63
5.423,75
5.543,20
6.661,59
6.319,67
6.288,67
6.167,69
6.428,10
6.547,50
6.333,75
6,264,50
6.104,90
6.102,40
5.935,82
641,445,07
269.so
361,14
428,9
320.38
303.32
404,9
414,69
396,76
716,1
655,11
6O5..s5
590,63
519,03
565,24
557.so
556,25
477,5
514,32
548,-500,--
Plywood
1USbeeI
(TokJO)
1.032,1.096,39
1.300,55
912,22
1.037,50
1.224,38
1.065,-1.160,1.210,1.200,980,-t070,-1.060,-1.200,-1.200,-1.200,-1.220,-1.230,-1.250,1.270,---
Kenaikan tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan kenaikannya dalam empat tahun
sebelumnya, sekaligus merupakan kenaikan cukup besar yang ketiga kalinya selama periode
1984 sampai dengan 1996. Kenaikan IHPB tertinggi selama periode tersebut terjadi pada tahun
1987 sebesar 22,41 persen. Apabila diamati berdasarkan sektor-sektor yang tercakup dalam
penghitungan IHPB, kenaikan IHPB dalam tahun 1995 sebagian besar dipengaruhi oleh
kenaikan indeks harga sektor pertanian sebesar 19,13 persen, sektor ekspor sebesar 13,38
persen, dan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 12,24 persen. Sementara indeks harga
sektor-sektor lainnya, yang meliputi sektor industri dan sektor impor meningkat masing-masing
sebesar 10,82 persen dan 6,98 persen.
Dalam tahun 1996 (sampai dengan bulan September) IHPB tercatat sebesar 256, atau
mengalami kenaikan sebesar 6,67 persen dibandingkan dengan IHPB tahun 1995. Sektor-sektor
yang memberikan pengaruh besar terhadap perubahan IHPB dalam tahun 1996 tersebut adalah
sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian, yang mengalami peningkatan
masing-masing sebesar 11,55 persen dan 10,15 persen. Perkembangan indeks harga
perdagangan besar dapat dilihat dalam Tabel III.7.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
115
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
3.2.6. Indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi
Indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi, yang mencakup 5 jenis
bangunan/konstruksi, dalam tahun 1995 tercatat sebesar 246. Dengan demikian terjadi kenaikan
sebesar 9,82 persen dibandingkan dengan indeks harga yang dicapai tahun sebelumnya.
Kenaikan tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh indeks harga jenis bangunan pekerjaan
umum untuk pertanian, yang mengalami kenaikan sebesar 12,34 persen, yang disusul kemudian
oleh kenaikan indeks harga pekerjaan umum untuk jalan, jembatan, dan pelabuhan sebesar
11,30 persen, bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal sebesar 9,73 persen, dan
bangunan lainnya sebesar 9,91 persen.
Dalam tahun 1996 (sampai dengan bulan September) indeks harga perdagangan besar
bahan bangunan/konstruksi kembali meningkat dibandingkan indeks tahun sebelumnya, namun
peningkatannya lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jenis bangunan/konstruksi
yang mengalami kenaikan indeks harga tertinggi adalah pekerjaan umum untuk pertanian
sebesar 7,58 persen, sedangkan kenaikan indeks terkecil terjadi pada bangunan dan instalasi
listrik, gas, air minum, dan komunikasi sebesar 3,20 persen. Perkembangan indeks harga
perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi dapat dilihat dalam Tabel III.8.
3.3. Gaji dan upah di berbagai sektor
Sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan para pekerja melalui kebijaksanaan upah
minimum regional (UMR), perkembangan tingkat upah di berbagai sektor ekonomi, baik untuk
tingkat upah minimum maupun tingkat upah maksimum, pada umumnya mengalami
peningkatan. Dalam tahun 1996 (sampai dengan bulan Juni) kenaikan tingkat upah minimum
terjadi pada sektor pertambangan, sektor bangunan, sektor perdagangan, dan sektor jasa-jasa,
dengan persentase kenaikan berkisar antara 7,44 persen sampai dengan 25,33 persen. Sementara
itu untuk tingkat upah maksimum, kenaikan yang cukup menonjol terjadi pada sektor bangunan
dan sektor perdagangan, dengan persentase peningkatan masing-masing sebesar 18,82 persen
dan 18,42 persen. Kenaikan terendah sebesar 7,99 persen terjadi di sektor pertambangan.
Perkembangan upah maksimum dan minimum di beberapa sektor ekonomi dapat dilihat dalam
Tabel III.9.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
116
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabe III 7
INDEKS BARGA PERDAGANGAN BESAR, 1984 . 1996
( 1983 = 100)
Pertambangan
Tahun
-1
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
19961)
Perubahan
Pertanian
dan Penggalian
Industri
Impor
Ekspor
Indeks
indeks umum
(%)
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8
113
118
128
145
163
177
191
206
225
251
298
355
396
109
117
125
132
143
156
169
188
201
218
237
266
293
108
115
124
143
156
166
176
194
206
218
231
256
265
113
119
129
158
164
178
191
201
208
0,211
215
230
242
112
113
85
118
118
131
159
153
159
157
157
178
191
111
110
116
142
149
162
178
187
197
204
215
240
256
+
+
11,46
4,5
0
22,41
4,93
8,72
9,88
5,06
5,35
3,55
5,39
11,63
6,67
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
1) Sampai dengan bulan September
Tahun
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996 1)
Tabel III.8
INDEKS BARGA PERDAGANGAN BESAR BAHAN BANGUNANIKONSTRUKSI
MENURUT JENIS BANGUNAN, 1984 . 1996
(1983 = 100)
BangunantemPekerjaan Pekerjaan umum
Bangunan dan Bangunan
Indeks
pat tinggal dan
umum
ootuk jalan,
instalasi listrik,
lainnya
umum
jembatan dan
gas, air minum,
bangunan bukan
ootuk
tempat tinggal
pertaDian
pelabuhan
dan komunikasi
107
112
119
131
144
160
174
188
198
213
226
248
264
109
115
121
130
142
159
178
195
206
223
235
264
284
108
114
120
132
147
163
177
194
205
219
230
256
274
107
111
117
134
148
161
171
183
191
200
206
219
226
108
113
119
133
147
162
176
194
204
214
222
244
257
108
113
119
132
145
160
174
190
200
213
224
246
260
Perubahan
iDdeks
umum
(ox,)
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
8
4,63
5,31
10,92
9,85
10,34
8,75
9,2
5,26
'6,50
5,16
9,82
5,69
1) Sampai dengan bulan September
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
117
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
3.4. Perkembangan uang beredar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
Dalam menjaga keseimbangan dan kemantapan ekonomi makro dalam tahun anggaran
1996/1997 Pemerintah terus melaksanakan kebijaksanaan moneter, fiskal, dan sektor riil secara
terpadu dan saling menunjang berdasarkan prinsip kehati-hatian. Di sektor moneter
kebijaksanaan diarahkan untuk mengendalikan pertumbuhan dan sumber ekspansi yang beredar
khususnya ekspansi kredit perbankan dan arus masuk modal luar negeri. Di samping itu guna
meningkatkan efektivitas pengendalian moneter Pemerintah telah merubah ketentuan cadangan
wajib minimum menjadi giro wajib minimum (GWM) dengan mewajibkan bank-bank umum
menyimpan 3 persen dari dana pihak ketiga dalam bentuk giro pada Bank Indonesia.
Selanjutnya dalam upaya mengendalikan kredit perbankan dilakukan imbauan moral kepada
bank-bank agar lebih berhati-hati dalam penyaluran kreditnya. Sejalan dengan upaya tersebut
bank-bank devisa diwajibkan untuk menaikkan nisbah kewajiban penyediaan modal minimum
(KPMM) secara bertahap hingga mencapai 12 persen dalam waktu enam tahun sejak September
1995. Kebijaksanaan moneter yang ditempuh Pemerintah selama ini dimaksudkan untuk
mengatur jumlah uang beredar agar sesuai dengan kebutuhan riil dalam perekonomian, sehingga
aktivitas kegiatan pembangunan dapat dijalankan sesuai dengan rencana yang digariskan-dalam
Repelita VI.
Hasil dari berbagai kebijaksanaan tersebut tercermin pada pertumbuhan uang beredar
yang terkendali dan tercapainya proses konsolidasi perbankan. Pertumbuhan uang beredar (M1)
dan likuiditas perekonomian (M2) dalam tahun anggaran 1994/1995 masing-masing meningkat
sebesar 18,5 persen dan 22,1 persen, dan dalam tahun anggaran 1995/1996 gang beredar (M1)
meningkat 18,4 persen serta likuiditas perekonomian (M2) naik 28 persen. Tingginya
peningkatan likuiditas perekonomian dalam tahun anggaran 1995/1996 terutama disebabkan
meningkatnya pertumbuhan uang kuasi, yang meliputi deposito berjangka dan tabungan, yang
dalam tahun anggaran tersebut naik sebesar 31,1 persen.
Posisi likuiditas perekonomian (M2) sampai dengan akhir Oktober tahun 1996
berjumlah sebesar Rp 268.320 miliar, yang meliputi uang beredar sebesar Rp 59.595 miliar (22
persen) dan uang kuasi sebesar Rp 208.725 miliar (78 persen). Dengan demikian, selama tahun
anggaran 1996/1997 sampai dengan akhir Oktober 1996 likuiditas perekonomian telah
menunjukkan kenaikan sebesar Rp 35.827 miliar atau 15,4 persen, yang berarti sedikit lebih
rendah dibandingkan peningkatan dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
118
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Rp 29.447 miliar atau 16,2 persen.
Jumlah uang beredar (M1) sampai dengan akhir Oktober 1996 mencapai sebesar Rp
59.595 miliar, yang meliputi uang kartal sebesar Rp 21.441 miliar (36 persen) dan uang giral Rp
38.154 miliar (64 persen). Bila dibandingkan dengan posisi jumlah uang beredar
Sektor
( Rata-rata upab minimum )
I. Perkebunan
2. Penambangan
3. Industri
4. Bangunan
5. Listrik
6. Perdagangan
7. Perhubungan
8. Jasa-jasa
( Rata-rata upab makSimum )
I. Perkebunan
2. Penambangan
3. Industri
4. Bangunan
5. Listrik
6. Perdagangan
7. Perhubungan
8. Jasa-jasa
Tabel III. 9
UPAH MINIMUM DAN MAKSIMUM DI BERBAGAI SEKTOR, 1988 - 1996
( mpiah per bulan )
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
19961)
50.266
146.081
115.701
96.236
80.608
209.313
115.509
102.146
67.538
185.187
130.263
119.892
94.998
212.896
117.678
112.000
100.590
218.241
171.957
221.240
105.751
227.611
133.671
157.585
134.740
321.750
186.069
176.338
130.990
250.343
168.800
223.252
149.699
368.870
187.800
254.366
150.782
305.080
223.145
234.683
169.812
413.807
195.527
289.882
155.240
315.535
230.460
234.683
240.439
487.299
206.907
295.514
172.865
326.146
466.757
234.683
272.440
505.768
238.474
326.662
267.220
368.371
493.727
280.518
272.440
573.229
238.474
409.404
267.220
395.795
493.727
332.525
590.384
1.593.079
1.856.189
1.188.131
551.809
1.193.838
923.062
680.100
758.043
1.979.561
1.856.189
1.188.131
683.794
1.442.426
1.047.077
1.121.810
1.050.965
2.269.215
k997.947
1.879.124
821.069
1.967.498
1.172.333
1.775.659
1.563,06
3.869.560
2.2'14.380
2.147.802
1.054.296
2.509.900
2.179.183
2.188.040
1.814.862
3.950.119
2.704.974
2.263.366
1.308.292
3.313.904
2.804.609
2.270.505
1.835.324
4.495.389
2.920.324
12.656.364
2.643.471
3.732.806
2.930.816
2.509.258
1.835.324
4.668.740
3.111.889
2.777.218
2.744.415
4.506.183
4.310.603
2.509.258
1.927.092
4.905.578
3.453.347
3.047.198
3.551.952
4.904.394
4.398.689
2.779.769
1.927.092
5.297.412
3.453.347
3.620.798
3.551.952
5.807.734
4.398.689
2.779.769
1) Sampal dengan bulan juli
pada akhir Maret 1996 yang berjumlah sebesar Rp 53.162 miliar, maka dalam periode April0ktober 1996 jumlah uang beredar meningkat sebesar Rp 6.433 miliar atau 12,1 persen.
Kenaikan tersebut terutama bersumber pada kenaikan uang giral. Hal ini menunjukkan indikasi
meningkatnya peranan uang giral sebagai alat pembayaran pada transaksi finansial dalam
perekonomian. Dibandingkan dengan kenaikan dalam periode yang sama tahun sebelumnya
sebesar 12,2 persen, maka perkembangan uang beredar dalam periode April-Oktober 1996
relatif stabil. Berdasarkan perkembangan uang beredar dan likuiditas perekonomian, serta tetap
dilaksanakannya kebijaksanaan moneter yang berhati-hati, maka sampai dengan akhir tahun
anggaran 1996/1997 pertumbuhan uang beredar dan likuiditas perekonomian diperkirakan tidak
jauh dari target yang telah ditetapkan dalam tahun anggaran bersangkutan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar berasal dari pengaruh
menambah atas tagihan kepada lembaga/perusahaan dan perorangan sebesar 33.648 miliar, dan
aktiva luar negeri bersih sebesar Rp 4.293 miliar. Sedang pengaruh mengurang yang bersumber
dari sektor pemerintah, simpanan berjangka dan tabungan (uang kuasi), serta lainnya bersih,
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
119
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
masing-masing sebesar Rp 416 miliar, Rp 29.394 miliar, dan Rp 1.698 miliar. Pengaruh
menambah atau ekspansi moneter yang bersumber dari tagihan kepada lembaga/perusahaan dan
perorangan sebesar Rp 33.648 miliar tersebut antara lain disebabkan tingginya ekspansi kredit,
sebagai akibat dari meningkatnya kebutuhan dana untuk pembiayaan investasi dan konsumsi.
Sedangkan pengaruh menambah dari aktiva luar negeri, terutama disebabkan oleh meningkatnya
realisasi penanaman modal asing (PMA) dan pinjaman luar negeri swasta. Sementara itu
pengaruh mengurang atau kontraksi moneter berasal dari sektor pemerintah, sebagai akibat dari
meningkatnya penerimaan di luar migas baik berasal dari sektor pajak maupun bukan pajak.
Perkembangan jumlah uang beredar dan likuiditas perekonomian, serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya dapat dilihat dalam Tabel III.10, Tabel III.11, Tabel III.12
3.5. Perkiraan jumlah uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), dan kredit
perbankan pada akhir tahun anggaran 1997/1998.
Kestabilan dan kemantapan ekonomi makro terus diupayakan Pemerintah dalam
mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi, yang dilakukan melalui kebijaksanaan moneter dan
fiskal secara terpadu dan berhati-hati yang diarahkan terutama untuk mengendalikan permintaan
domestik dan arus masuk modal luar negeri, agar laju inflasi cukup terkendali dan
keseimbangan neraca pembayaran semakin mantap. Dalam menunjang keberhasilan
pelaksanaan kebijaksanaan moneter dilakukan melalui penyempurnaan mekanisme pirantipiranti moneter dan fleksibilitas nilai tukar, guna mengendalikan pertumbuhan jumlah uang
beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), serta kredit perbankan. Memperhatikan
perkembangan hasil kebijaksanaan moneter yang ditempuh selama ini serta mempertimbangkan
target pertumbuhan inflasi dan prospek neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1997/1998
serta dampak moneter atas realisasi APBN tahun anggaran sebelumnya, maka jumlah uang
beredar, likuiditas perekonomian, dan kredit perbankan dalam periode tersebut diperkirakan
meningkat masing-masing sebesar 16 persen, 18 persen, dan 17 persen.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
120
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel III,10
JUMLAH UANG BEREDAR, 1984/1985 - 1996/1997
(dalam miliar rupiah)
Pada akhir
Tahun bulan
198411985 Maret
1985/1986 Maret
1986/1987 Maret
1987/1988 Maret
1988/1989 Maret
1989/1990 Maret
1990/1991 Maret
1991/1992 Maret
1992/1993 Maret
1993/1994 Maret
199411995 Juni
September
Desember
Maret
1995/1996 Juni
8et:tmber
Desember
Maret
199611997 April
Mei
Juni
Jull
Agustus
September
Oktober 1)
(Apr. - Okt.)
Posisi
Uang kartaI
%
Posisi
3.785
5.044
5.673
5.873
6.559
7.780
9.026
11.025
12.324
15.340
15.825
17.555
18.634
18.902
19.186
19.564
20.807
21.121
20.422
20.632
21.271
20.673
21.504
21.055
21.441
-
42,1
48,2
49,3
46,5
43,7
35,1
38,3
40,4
40,3
40,5
39,7
41,6
41,1
42,1
40,8
40
39,5
39,7
38,1
38,4
37,7
35,8
37,3
35,3
36
-
5.203
5.431
5.827
6.753
8.450
14.375
14.544
16.293
18.268
22.568
24.061
24. 640
26.740
26.006
27.859
29.417
31.870
32.041
33.164
33.119
35.177
37.043
36.094
38.630
38.154
-
Uang giral Jumlah uang beredar
%
Posisi Perubahan
tahunan
/5f§
51,8
50,7
53,5
56,3
64,9
61,7
59,6
59,7
59,5
60,3
58,4
58,9
57,9
59,2
60
60,5
60,3
61,9
61,6
62,3
64,2
62,7
64,7
64
-
8.988
10.475
11.500
12.626
15.009
22.155
23.570
27.318
30.592
37.908
39.886
42.195
45.374
44.908
47.045
48.981
52.677
53.162
53.586
53.751
56.448
57.716
57.598
59.685
59.595
-
11,6
16,5
9,8
9,8
18,9
47,6
6,4
15,9
12
23,9
18,5
18,4
-12,1
1) Angka scmentara
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
121
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Pada akhir
tahun/bulan
1984/1985 Maret
1985/1986 Maret
1986/1987 Maret
1987/1988 Maret
1988/1989 Maret
1989/1990 Maret
1990/1991 Maret
1991/1992 Maret
1992/1993 Maret
1993/1994 Maret
1994/1995 Juni
September
Desember
Maret
1995/1996 Juni
September
Desember
Maret
1996/1997 April
Mei
Juni
Jull
Agustus
September
Oktober 4)
(Apr. - Okt.)
Tabel III.11
LIKUlDITAS PEREKONOMIAN, 198411985 -1996/1997
( dalam miliar rupiah )
Uang beredar 1)
Uang kuasi 2)
Likuditas perekonomian 3)
Posisi
%
Posisi
%
Posisi
Perubahan
% tahunan
8.988
10.475
11.500
12.626
15.009
22.155
23.570
27.318
30.592
37.908
39.886
42.195
45.374
44.908
47.045
48.981
52.677
53.162
53.586
53.751
56.448
57.716
57.598
59.685
59.595
-
46,2
43,3
40,4
35,4
34
34,4
29,1
27,1
24,8
25,5
26,1
25,9
26
24,7
24,5
23,8
23,7
22,9
22,5
22,2
22,6
22,8
22,6
23
22,2
-
10.459
13.693
16.991
23.034
29.158
42.212
57.554
73.478
92.568
110.921
112.912
120.705
129.138
136.793
145.081
157.098
169.961
179.331
184.418
188.402
192.995
195.677
197.686
200.243
208.725
-
53,8
56,7
59,6
64,6
66
65,6
70,9
72,9
75,2
74,5
73,9
74,1
74
75,3
75,5
76,2
76,3
77,1
77,5
77,8
77,4
77,2
77,4
77
77,8
-
19.447
24.168
28.491
44.167
64.367
81.124
100.796
123.160
148.829
152.798
162.900
174.512
181.701
192.126
206.079
222.638
232.493
238.004
242.153
249.443
253.393
255.284
259.928
268.320
-
23,4
24,3
17,9
25,2
23,9
45,7
26
24,3
22,2
20,8
22,1
28
-15,4
I) Uang beredar daIam arti sempit terdiri atas uang kartal dan uang giral, biasa dinyatakan dengan simbol MI.
2) Terdiri atasdeposito berjangka dan tahun serta rekening valuta asing milik swasta domestik
3) Merupakan uang beredar dalam ani luas, yang biasa dinyatakan dengan simbol M2, terdiri atas uang beredar
daIam arti sempit dan uang kuasi.
4) Angka sementara
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
122
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
3.6. Pasar uang dan suku bunga
Sejalan dengan semakin meningkatnya perkembangan dunia usaha, Pemerintah terus
menciptakan kondisi yang dapat mengembangkan aktivitas pasar uang dalam pemberian jasa
atas transaksi rupiah dan valuta asing. Upaya yang telah dilakukan Pemerintah itu antara lain
adalah penyempurnaan sistem transaksi pelelangan SBI, pengaturan perdagangan surat berharga
komersial dan pengoperasian perusahaan pemeringkat efek, fleksibilitas nilai tukar, dan
penyempurnaan mekanisme perdagangan di pasar valuta asing, serta kerjasama bilateral dengan
otoritas moneter negara tetangga.
Dalam sistem pelelangan SBI, sejak tahun 1993 Bank Indonesia telah mengubah sistem
pelelangan SBI dalam operasi pasar terbuka yaitu dari sistem cut off rate (COR) menjadi sistem
stop out rate (SOR). Selanjutnya, Bank Indonesia sejak tahun 1994 telah menyempurnakan
ketentuan mengenai transaksi SBI dengan memperluas transaksi secara repo (repurchase
agreement).
Penerbitan surat berharga komersial (commercial paper) yang merupakan salah satu
alternatif pembiayaan bagi dunia usaha akhir-akhir ini semakin marak. Sehubungan dengan hal
tersebut, dan mengingat keterlibatan perbankan Indonesia sangat besar baik dalam jasa
penerbitan maupun perdagangan surat berharga komersial, maka untuk mengurangi
kemungkinan risiko yang ditanggung bank sesuai dengan prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia
pada tanggal 11 November 1995 mengeluarkan ketentuan mengenai penerbitan dan
perdagangan surat berharga komersial melalui bank umum di Indonesia. Ketentuan tersebut
diarahkan pula untuk menyeragamkan pengaturan pelaksanaan transaksi bagi pasar uang dan
sebagai upaya perlindungan bagi investor. Di samping itu, Bank Indonesia juga telah
menerbitkan ketentuan mengenai penyempurnaan kolektibilitas surat berharga, yang antara lain
dimaksudkan untuk menyesuaikan kriteria penggolongan kolektibilitas dengan ketentuan
mengenai persyaratan penerbitan dan perdagangan surat berharga komersial.
PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) sebagai satu-satunya lembaga rating yang
telah memperoleh izin dari Bapepam telah melakukan rating pada perusahaan penerbitan dan
penjamin surat berharga. Banyaknya perusahaan penerbit yang memiliki rating akan
memudahkan para investor dalam memperoleh informasi mengenai kualifikasi investasi atas
surat berharga komersial yang diperdagangkan di pasar uang. Dengan diketahuinya peringkat
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
123
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
surat berharga komersial tersebut, maka kepercayaan para investor akan lebih meningkat,
sehingga transaksi di pasar uang akan semakin terdorong.
Jumlah nilai nominal surat berharga komersial yang telah diterbitkan sejak bulan
Agustus 1995 sampai bulan Juli 1996 telah mencapai sekitar Rp 14,9 triliun, yang meliputi surat
berharga komersial dalam rupiah senilai Rp 5,7 triliun dan dalam dolar Amerika Serikat senilai
Rp 9,2 triliun. Dengan memperhitungkan surat berharga komersial yang telah jatuh tempo, maka
pada awal Agustus 1996 posisi surat berharga komersial adalah sekitar Rp 3,6 triliun.
Pengaturan fleksibilitas nilai tukar rupiah telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia
melalui pelebaran spread kurs jual-beli kurs konversi Bank Indonesia. Kebijaksanaan itu telah
disempurnakan beberapa kali, yaitu pada bulan September 1992 dari Rp 6 menjadi Rp 10, pada
tanggal 3 Januari 1994 dari Rp 10 menjadi Rp 20, pada tanggal 5 September 1994 dari Rp 20
menjadi Rp 30, dan pada bulan Juni 1995 dari sebesar Rp 33 menjadi Rp 44. Kebijaksanaan
tersebut selain untuk mendorong perkembangan pasar valuta asing antarbank, juga dimaksudkan
untuk mengurangi ketergantungan bank-bank kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, di samping
kebijaksanaan kurs konversi, sejak Januari 1996 Bank Indonesia telah pula menerapkan
penggunaan batas kurs intervensi (intervention band). Perbedaan antara batas atas dan batas
bawah kurs intervensi ditetapkan sebesar Rp 66. Pada bulan Juni 1996, perbedaan antara batas
atas dan batas bawah kurs intervensi tersebut dilebarkan kembali menjadi Rp 118 dan sejak
September 1996 menjadi Rp 192. Langkah tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dorongan
masuknya arus modal dari luar negeri terutama yang berjangka pendek, dan untuk mengurangi
tekanan-tekanan pada nilai tukar rupiah.
Penyempurnaan pengaturan mekanisme perdagangan di pasar valuta asing dilakukan
antara lain dengan meniadakan fasilitas swap investasi sejak 17 Juli 1995, dimana pada tahuntahun sebelumnya fasilitas tersebut disediakan oleh Bank Indonesia. Namun untuk transaksi
swap antara Bank Indonesia dengan bank, tetap masih dapat dilakukan sepanjang Bank
Indonesia memandang perlu.
Pasar valuta asing di dalam negeri saat ini juga ditandai oleh semakin meluasnya
penggunaan transaksi derivatif oleh bank-bank dan peserta pasar lainnya. Tujuan penggunaan
transaksi derivatif antara lain untuk menghindari risiko assets maupun liabilities (hedging),
terutama yang timbul sebagai akibat perubahaan nilai tukar dan suku bunga, spekulasi untuk
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
124
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
memperoleh keuntungan, dan dalam rangka pendanaan (funding). Penggunaan transaksi
derivatif untuk tujuan tersebut di satu sisi dapat memberikan manfaat, namun di sisi lain, juga
dapat menimbulkan risiko kerugian yang cukup besar baik bagi perbankan maupun peserta pasar
lainnya. Pada bulan Desember 1995, Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
transaksi derivatif guna menciptakan iklim perbankan dan pasar finansial yang sehat. Ketentuan
tersebut dimaksud untuk membatasi risiko dan memberikan pedoman minimum bagi
pelaksanaan transaksi derivatif oleh bank.
Dalam rangka memelihara stabilitas moneter, terutama untuk menghadapi spekulasi
pembelian valuta asing, Bank Indonesia telah melakukan kerjasama bilateral dengan otoritas
moneter Malaysia, Singapura, Thailand, Hongkong, Australia, dan Philipina melalui transaksi
repurchase agreement (repo) surat-surat berharga. Selain itu, kerjasama tersebut juga mencakup
tukar menukar informasi dan kerjasama dalam pengelolaan moneter dan nilai tukar.
3.6.1. Pinjaman antar bank
Peningkatan transaksi pinjaman antarbank yang terjadi selama tahun 1996 telah
meningkatkan nilai transaksi di pasar uang antarbank di Jakarta. Selama periode JanuariOktober 1996, nilai transaksi di pasar uang antarbank di Jakarta mencapai jumlah sebesar Rp
383.402 miliar. Dibandingkan dengan nilai transaksi dalam periode yang sama tahun
sebelumnya, yaitu sebesar Rp 152.197 miliar, maka dalam tahun 1996 telah terjadi kenaikan
nilai transaksi sebesar Rp 231.205 miliar, atau 152 persen. Peningkatan volume transaksi dana
antarbank yang cukup besar tersebut antara lain disebabkan oleh bertambahnya kebutuhan
likuiditas bank-bank sehubungan dengan diberlakukannya ketentuan baru mengenai cadangan
wajib minimum, dari sebesar 2 persen dirubah menjadi giro wajib minimum sebesar 3 persen.
Sementara itu, suku bunga rata-rata tertimbang pinjaman antarbank dalam periode yang sama
telah menunjukkan kenaikan dari 12,82 persen dalam bulan Januari 1996 menjadi 14,84 persen
dalam bulan Oktober 1996. Perkembangan nilai transaksi dan tingkat bunga di pasar uang
antarbank dapat dilihat dalam Tabel III.13
3.6.2. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Penerbitan sertifIkat Bank Indonesia dalam periode Januari-Oktober 1996 mencapai
jumlah sebesar Rp 95.681 miliar, atau meningkat sebesar 28,23 persen dibandingkan dengan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
125
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
periode yang sama tahun 1995 sebesar Rp 74.615 miliar. Dengan memperhitungkan pelunasan
SBI yang telah jatuh waktu dan tidak diperpanjang lagi, termasuk SBI milik asing sebesar Rp
94.560 miliar, maka posisi SBI pada akhir Oktober 1996 menjadi sebesar Rp 12.971 miliar yang
berarti meningkat dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 10.335 miliar.
3.6.3. Surat berharga pasar uang (SBPU)
Surat berharga pasar uang adalah merupakan salah satu piranti moneter dalam operasi
pasar terbuka, berfungsi juga untuk menjaga likuiditas perbankan terutama dalam hubungannya
dengan ekspansi kredit perbankan, dan sebagai sarana dalam mengatur jumlah uang beredar.
Dalam periode Januari-Oktober 1996, Bank Indonesia telah melakukan pembelian SBPU
sejumlah Rp 105.111 miliar, atau menurun sebesar 12,03 persen bila dibandingkan dengan
periode yang sama tahun 1995 yang mencapai sebesar Rp 119.487 miliar. Relatif rendahnya
penjualan SBPU oleh bank-bank menunjukkan kecenderungan menurunnya pemanfaatan dana
SBPU oleh bank-bank dalam upaya memenuhi kebutuhan likuiditas rupiah dalam jangka
pendek. Dengan memperhitungkan penebusan SBPU dalam bulan Januari 1996 sampai dengan
bulan Oktober 1996 sebesar Rp 109.091 miliar, maka pada akhir Oktober 1996 posisi SBPU
mencapai sebesar Rp 225 miliar.
3.6.4. Sertifikat deposito
Dana sertifikat deposito yang dihimpun bank pemerintah, bank asing, dan bank swasta
nasional, merupakan suatu alternatif penanarnan dana yang semakin menarik. Hal ini tercermin
pada perkembangan dana sertifikat deposito yang semakin pesat dari waktu ke waktu. Selama
periode Januari-Oktober 1996 sertifikat deposito telah mengalami peningkatan dari sebesar
Rp7.765 miliar pada akhir Desember 1995menjadi sejumlah Rp 12.949 miliar pada akhir
Oktober 1996 atau meningkat sebesar 66,76 persen, yang berarti lebih rendah bila dibandingkan
dengan peningkatan dalam periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 235,4 persen.
Bertambahnya dana sertifikat deposito dalam periode Januari-Oktober 1996 terutama
disebabkan oleh meningkatnya dana sertifikat deposito yang dihimpun oleh bank-bank swasta
nasional sebesar 78,7 persen. Sedangkan dana sertifikat deposito yang dihimpun oleh bank asing
dan bank pemerintah dalam
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
126
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
periode yang sama mengalami peningkatan masing-masing sebesar 94,5 persen dan 45,4 persen.
Perkembangan dana sertifikat deposito dapat dilihat dalam Tabel III.14.
Tabel III.13
NILAI TRANSAKSI DAN TINGKAT BUNGA PASAR UANG
ANTARBANK DI JAKARTA, 1984 -1996
Nilai transaksi
Suku bungs
Mas a
rata-rata tertimbang
( Millar rupiah ) ( persen per tahun )
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
Januari - Maret
April- Juni
Juli - September
Oktober - Desember
8.055
8.055
8.022
9.323
12.491
22.906
38.905
48.420
57.808
90.107
110.990
189.259
33.451
40.278
57.297
58.233
9,95
9,95
13,79
14,5
14,93
12,4
14,93
15,32
12,09
8,72
8,87
13,67
12,79
15,14
13,07
13,66
Januari
Pebruari
Maret
Januari - Maret
April
Mei
Juni
April- Juni
Juli
Agustus
September
Juli - September
Oktober
23.296
19.253
20.010
63.219
38.019
42.169
43.644
123.832
50.863
53.921
43.574
148.358
47.993
12,82
13,3
12,39
12,84
15,23
14,86
13,93
14,67
14,37
15,1
14,81
14,76
14,84
1996
3.6.5. Suku bunga
Sejalan dengan relatif terkendalinya jumlah uang beredar dan laju inflasi, Pemerintah
berupaya untuk menurunkan spread tingkat bunga deposito dan kredit. Dalam kaitan ini, Bank
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
127
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Indonesia telah menempuh berbagai kebijaksanaan yang diarahkan untuk menekan biaya
intermediasi dan memperkecil risiko kredit macet. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan
mempercepat penyelesaian konsolidasi bank-bank, menyempurnakan rambu-rambu kehati-hatian pengelolaan bank, serta meningkatkan profesionalisme para bankir. Melalui upaya-upaya
tersebut diharapkan spread tingkat bunga deposito dan kredit perbankan semakin kecil.
Suku bunga SBI relatif stabil dalam tahun 1996, demikian pula suku bunga deposito.
Upaya efisiensi yang dilakukan oleh perbankan tampaknya telah menunjukkan hasil, yang
tercermin dari menurunnya tingkat bunga kredit modal kerja dari 19,29 persen dalam bulan
Januari 1996 menjadi 19,21 persen dalam bulan Oktober 1996. Namun untuk bunga kredit
investasi masih sedikit mengalami peningkatan dari 16,21 persen dalam bulan Januari 1996
menjadi 16,48 persen dalam bulan Oktober 1996.
Suku
bunga
pasar
uang
antarbank
berdasarkan
rata-rata
tertimbang
dalam
perkembangannya telah mengalami peningkatan dari 12,82 persen dalam bulan Januari 1996
meningkat menjadi sebesar 14,84 persen dalam bulan Oktober 1996.
Tingkat diskonto sertifikat Bank Indonesia dan surat berharga pasar uang selama
JanuariOktober 1996 relatif stabil. Sedangkan untuk suku bunga deposito ( 6 bulan, 12 bulan,
dan 24 bulan) sedikit meningkat masing-masing dari 16,90 persen, 16,52 persen, dan 15,63
persen dalam bulan Januari 1996 menjadi 16,92 persen, 16,84 persen, dan 15,90 persen dalam
bulan Oktober 1996. Sementara itu, untuk suku bunga deposito berjangka. 3 bulan sedikit
menurun dari 17,20 persen dalam bulan Januari 1996 menjadi 17,18 persen dalam bulan
Oktober 1996.
Searah dengan semakin efisiennya perbankan maka spread antara bunga deposito dan
kredit perbankan semakin mengecil, sehingga suku bunga pinjaman untuk kredit modal kerja
telah mengalami penurunan dari 19,29 persen dalam bulan Januari 19% menjadi 19,21 persen
dalam bulan Oktober 1996. Perkembangan suku bunga dalam negeri dapat dilihat dalam Tabel
III.15.
3.7. Lembaga Perbankan
3.7.1. Struktur kelembagaan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
128
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Perkembangan perekonomian Indonesia dalam dasawarsa tahun 1990-an ini telah
mengarah pada proses keseimbangan dan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor
finansial. Hal ini dapat dilihat dari adanya kekuatan saling mempengaruhi dalam proses
pertumbuhan yang terjadi antara kedua sektor tersebut. Kegiatan produksi barang dan jasa yang
telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, dapat berjalan karena ditunjang
oleh sumber pendanaan investasi dan pembiayaan kegiatan usaha yang diberikan oleh sektor
finansial. Perkembangannya menunjukkan
Tabel 111.14
SERTIFlKAT DEPOSITO, 1989 - 1996
( dalam miliar rupiah)
Bank
Bank-bank
pemerintah 1)
Bank asing
swasta nasional
-1
-2
-3
-4
1989
Desember
77
77
1990
Desember
103
320
1991
Desembe\
198
3.733
1992
Desember
474
1.703
136
1993
Desember
697
1.558
1994
Maret
479
1.390
Juni
347
1.433
155
September
236
1.353
275
Desember
337
1.839
321
1995
Maret
809
2.389
282
Juni
1.807
3.188
383
September
2.848
4.707
433
Desember
2.990
4.342
487
1996
Januari
3.055
3.948
586
Februari
3.971
4.675
686
Maret
3.853
6.015
774
April
4.164
7.025
929
Mei
4.242
7.384
832
Juni
5.377
7.956
802
Juli
4.507
7.626
828
Agustus
4.424
7.141
876
September
4.099
7.287
4.346
7.761
Oktober
842
1) Me1iputi Bank Persero dan Bank Pemerintah Daerah
Akhir periode
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
Jumlah
-5
173
434
3.937
2.178
2.391
1.962
1.877
1.744
2.451
3.519
5.277
7.938
7.765
7.490
9.232
10.554
11.963
12.555
14.165
12.935
12.393
12.262
12.949
129
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel 111.15
SUKU BUNGA,1989 - 1996
(dalam persen per tahun)
SBIl)
1989 Desember
1990 Desember
1991 Desember
1992 Desembe
1993 Desember
1994 Desember
1995 Maret
Juni
September
Desember
1996 Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
11,64
17,87
18;03
13,79
9,08
11,59
13,28
13,16
13,79
13,34
12,6
13,06
13,34
13,37
13,03
13,37
13
13,06
12,8
12,81
SBPU 1)
20,19
13,98
12
15,36
15,34
15,88
15,88
15,87
15,87
15,87
15,87
15,87
15,87
15,87
15,87
15;87
15,87
15,87
3 bln
Deposito2)
6 bln
12bln
24bln
17,06
21
21,88
16,72
11,79
14,27
15,92
17,09
17,6
17,15
17,2
17,22
17,29
17,38
17,38
17,35
17,35
17,26
17;25
17,18
17,7
19,63
22,65
17,78,
13,08
13,33
14,57
15,73
16,72
16,95
16,9
16,87
16,88
16,89
16,91
16,9
16,95
16,94
16,93
16,92
18,58
18,53
22,76
18,93
14,2
12,99
13,87
14,85
15,66
16,28
16,52
16,6
16,68
16,76
16,77
16,42
16,45
16,94
16,85
16,84
18,82
18,52
20,58
19,91
16,08
14,8
14,45
13,67
14,46
15,45
15,63
15,3
15,39
15,47
' 15,,54
15,78
15,86
15,85
15,87
15,9
KMK
Kredit
Investasi
21,82
20,67
25,21
24,05
20,52
17,75
18,4
18,94
19,2
18,88
19,29
19,32
19,3
19,28
19,27
19,18
19,14
19,13
19,21
19,21
19,5
18,95
20,87
19,21
17,06
14,96
'15,27
15,79
16,08
15,75
16,21
16,31
16,39
16,48
16,5
16,4
16,48
17,73
16,52
16,48
1) Suku bunga SBI dan SBPU atas dasar rata-rata hilling
2) Deposito dari bank pencipta uang
bahwa dalam tatanan perekonomian nasional fungsi sektor finansial sebagai fasilitator dalam
menunjang kegiatan ekonomi riil semakin meningkat. Sebagai bagian dari sektor finansial,
keberadaan industri perbankan telah memainkan peranan yang cukup strategis. Untuk itu sejalan
dengan arahan Garis-garis Besar Haluan Negara, Pemerintah terus berusaha untuk mendorong
industri perbankan agar dapat berkembang secara wajar sehingga dapat melaksanakan fungsinya
dalam melayani kepentingan masyarakat di bidang keuangan.
Langkah mendasar yang telah diambil oleh Pemerintah untuk memberikan landasan
operasional yang tepat dan terarah, antara lain dilakukan melalui reformasi sistem peraturan
perbankan nasional yang mengacu pada ketentuan yang berlaku secara internasional. Dalam hal
perundangan-undangan, reformasi telah dilakukan melalui disahkannya Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undang-undang tersebut disempurnakan beberapa
ketentuan umum yang berkaitan dengan aspek operasional bank, antara lain mencakup
ketentuan tentang jenis dan usaha bank, ketentuan tentang perizinan dalam pendirian bank,
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
130
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
bentuk hukum dan kepemilikannya, serta ketentuan mengenai sistem pembinaan dan
pengawasan bank. Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 telah
dijabarkan lebih lanjut melalui beberapa peraturan pemerintah dan dilengkapi dengan berbagai
surat keputusan dan surat edaran yang diarahkan secara langsung untuk memperbaiki kinerja
internal perbankan, khususnya dalam aspek permodalan, kualitas sumber daya manusia,
penggunaan teknologi keuangan yang tepat dan efisien, dan perbaikan struktur keuangan. Dalam
aspek permodalan, sejak tanggal 7 September 1995, Pemerintah telah meningkatkan persyaratan
modal disetor menjadi Rp 150 miliar bagi penunjukan bank umum bukan devisa menjadi bank
umum devisa. Di samping besaran modal disetor tersebut, bank yang bersangkutan juga harus
mematuhi ketentuan nisbah pemenuhan modal minimum. Bagi bank-bank umum yang telah
menjadi bank devisa sebelum ketentuan tersebut mulai diberlakukan, diwajibkan untuk
meningkatkan modal disetor dan nisbah pemenuhan modal minimum secara bertahap, yakni
masing-masing sebesar Rp 50 miliar dan 9 persen mulai September 1997, sebesar Rp 100 miliar
dan 10 persen mulai September 1999, dan sebesar Rp 150 miliar dan 12 persen mulai September
2001.
Dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan sistem pembinaan dan pengawasan
bank, Pemerintah terus mendorong agar masing-masing bank dapat menerapkan sistem
pengawasan internal (self regulation banking). Hal ini dimaksudkan agar industri perbankan
menjadi semakin dewasa dan dapat melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan ketentuan
yang ditetapkan sendiri namun dengan tetap mengacu pada prinsip kehati-hatian yang bersifat
universal dan berdisiplin dalam pelaksanaannya. Dalam kaitannya dengan penerapan sistem
pengawasan internal perbankan, sejak bulan Januari 1995 Pemerintah melalui Bank Sentral telah
mengeluarkan ketentuan mengenai pedoman penyusunan kebijaksanaan perkreditan bank
(PPKPB) dan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank (SPFAIB) serta teknologi sistem
informasi. Di samping itu dalam bulan Desember 1995 dan Pebruari 1996, juga telah
disempurnakan ketentuan tentang transaksi derivatif yang dapat dilakukan oleh industri
perbankan. Ketentuan-ketentuan itu dimaksudkan agar bank-bank mempunyai pedoman yang
jelas dalam melakukan pembiayaan/transaksi ekonomi yang berisiko, seperti penyaluran kredit
dan transaksi derivatif.
Sejalan dengan upaya memantapkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam industri
perbankan, maka dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas pengendalian moneter,
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
131
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Pemerintah juga telah mengubah ketentuan cadangan wajib minimum menjadi giro wajib
minimum (GWM). Berdasarkan ketentuan yang mulai berlaku sejak Pebruari 1996 tersebut,
setiap bank diwajibkan untuk menyimpan 3 persen dari dana pihak ketiga dalam bentuk giro
pada Bank Indonesia. Selanjutnya ketentuan mengenai giro wajib minimum tersebut akan
dinaikkan menjadi 5 persen dan diberlakukan mulai April 1997. Dalam ketentuan yang baru
tersebut, teknis penghitungan GWM dan sistem pelaporan yang terkait dengan itu, seperti
pelaporan dana pihak ketiga dan format laporannya, relatif tidak mengalami perubahan
dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku selama ini. Ditinjau dari kebijaksanaan ekonomi
moneter, peningkatan GWM dari 3 persen menjadi 5 persen tersebut akan lebih meningkatkan
efektivitas
pengendalian
besaran-besaran
moneter,
seperti
uang
beredar,
likuiditas
perekonomian dan juga kredit perbankan, yang secara umum akan menjaga agar meningkatnya
permintaan barang dan jasa di masyarakat akan seimbang dengan daya dukung dan kapasitas
produksi nasional. Pada gilirannya hat ini akan tercermin dari stabilitas harga yang terjadi dalam
perekonomian. Peningkatan GWM ini juga akan mengefektifkan pelaksanaan prinsip kehatihatian industri perbankan, khususnya dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor produktif.
Sementara itu dalam rangka untuk menghadapi persaingan usaha perbankan yang
makin ketat, baik yang disebabkan oleh proses globalisasi keuangan maupun oleh meningkatnya
alternatif pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan di luar perbankan, perbankan
juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas kelembagaan. Upaya tersebut antara lain ditempuh
melalui anjuran merger dan konsolidasi kelembagaan kepada bank-bank yang masih memiliki
kelemahan dalam beberapa aspek seperti permodalan dan manajemen operasionalnya, serta
dengan memberlakukan proses seleksi yang lebih ketat terhadap pendirian bank baru. Proses
seleksi yang lebih ketat terhadap permohonan pendirian bank baru dilakukan antara lain dengan
menerapkan ketentuan tentang kriteria perbuatan terce a yang dapat mengakibatkan seseorang
dilarang menjadi pemegang saham dan/atau pengurus bank.
Berbagai upaya tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya kinerja industri
perbankan yang sehat, baik ditinjau dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Untuk
mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan handal, pengembangan kedua aspek tersebut
harus dilakukan secara seimbang sesuai dengan perubahan kondisi pasar keuangan yang
dihadapinya. Meskipun belum dapat dilihat secara komprehensif, reorientasi pembenahan sistem
perbankan di Indonesia dari aspek kuantitas ke aspek kualitas nampaknya telah menunjukkan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
132
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
hasil yang menggembirakan. Hal ini antara lain terlihat dari kondisi kelembagaan yang selama
dua tahun terakhir ini tidak menunjukkan adanya pertambahan bank baru. Jumlah bank umum
yang beroperasi di Indonesia sampai akhir September 1996 adalah 239 buah, yang terdiri dari 7
bank persero, 164 bank swasta, 41 bank asing/campuran, dan 27 bank pembangunan daerah.
Perkembangan yang pesat terjadi dalam aspek perluasan jaringan operasional, dimana jumlah
kantor cabang bank pada akhir September 1996 adalah sebanyak 5.772 buah atau bertambah 402
buah dibandingkan jumlah kantor cabang pada akhir Maret 1996 sebanyak 5.370 buah.
Sementara itu untuk bank perkreditan rakyat (BPR) yang sebagian besar banyak beroperasi di
daerah pedesaan, jumlah kelembagaannya terus berkembang. Secara keseluruhan jumlah BPR di
luar lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP) yang beroperasi di Indonesia jumlahnya sampai
akhir September 1996 adalah sebanyak 7.595 buah atau bertambah 294 buah dibandingkan
dengan jumlahnya pada akhir Maret 1996 sebanyak 7.301 buah. Perkembangan kelembagaan
perbankan secara keseluruhan dapat dilihat dalam Tabel III.16
3.7.2. Perkembangan dana perbankan
Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa perkembangan industri perbankan
terutama setelah Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 dikeluarkan, telah meningkat dengan pesat.
Hal ini tercermin dari makin meningkatnya jumlah bank, jaringan kantor cabang, volume usaha
kualitas pelayanan yang semakin profesional, penggunaan teknologi yang semakin canggih
maupun aneka ragam produk yang ditawarkan. Dengan demikian, dalam skala makro, industri
perbankan mempunyai potensi dan peluang yang semakin besar dalam peranannya sebagai
sumber pembiayaan atau sumber dana dalam menggerakkan pernbangunan nasional.
Sejalan dengan itu, maka kebijaksanaan di bidang pengerahan dana masyarakat melalui
sektor perbankan dilakukan melalui berbagai upaya secara terpadu dan terus menerus. Upayaupaya tersebut antara lain dilakukan dengan mendorong perbankan untuk menciptakan dan
memperluas jumlah dan skim penghimpunan dana masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan
pasar dengan tetap memperhatikan dan berlandaskan pada aspek kehati-hatian serta
perlindungan terhadap penabung/pemilik dana. Kebijaksanaan juga diarahkan untuk
menciptakan industri perbankan yang sehat dan tangguh dalam rangka mempertebal tingkat
kepercayaan masyarakat luas terhadap perbankan nasional. Dilihat dari kebijaksanaan ekonomi
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
133
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
makro, mobilisasi dana yang sebesar-besarnya diusahakan dari dalam negeri, adalah dalam
rangka menutup kesenjangan antara kebutuhan investasi di satu pihak dan tabungan di sisi yang
lain. Salah satu upaya yang sedang dilaksanakan adalah dengan menumbuhkan minat dan
memupuk semangat menabung bagi para pelajar dan pramuka melalui kegiatan Pekan Tabungan
Nasional (KANTANAS). Kegiatan yang telah dimulai sejak tahun 1992 ini merupakan wadah
kerjasama antara perbankan dan instansi pemerintah terkait seperti Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri dan Pramuka. Sementara itu,
upaya lainnya yaitu dengan mengaktifkan wadah Forum Komunikasi Pendidikan Menabung
(FKPM) baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dalam perkembangannya, sejalan dengan pesatnya peningkatan pelayanan dan
beraneka ragamnya produk jasa perbankan yang ditawarkan, dan ditambah dengan pendapatan
masyarakat yang semakin meningkat, maka jumlah dana masyarakat yang dihimpun oleh
industri perbankan juga mengalami peningkatan. Hingga akhir bulan Oktober 1996, jumlah dana
masyarakat yang dimobilisasi industri perbankan telah mencapai Rp 260.661,8 miliar, yang
terdiri dari giro sebesar Rp 52.566,2 miliar, tabungan sebesar Rp 58.047,9 miliar dan deposito
sebesar Rp 150.047,7 miliar. Dibandingkan dengan posisi dana perbankan pada akhir tahun
anggaran 1995/1996 sebesar Rp 223.727,8 miliar, maka jumlah dana sebesar Rp 260.661,8
miliar tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp 36.934,0 miliar (16,5 persen). Dari jumlah
dana tersebut hampir 80 persen merupakan dana dalam bentuk tabungan dan deposito,
sedangkan selebihnya yakni sekitar 20 persen merupakan simpanan dalam bentuk giro.
Meningkatnya peranan dana masyarakat dalam bentuk deposito berjangka dan tabungan tersebut
tampaknya sejalan dengan proses kegiatan mobilisasi dana masyarakat khususnya kebijaksanaan
perluasan jaringan kantor bank yang saat ini telah menjangkau hingga ke berbagai pelosok
daerah. Sedangkan jika dilihat dari kelompok banknya, maka dominasi kelompok bank umum
swasta nasional dalam memobilisasi dana masyarakat masih terus berlanjut. Hingga akhir
Oktober 1996, kelompok bank umum swasta nasional berhasil menghimpun dana masyarakat
sebesar Rp 150.179,1 miliar (57,6 persen), sedangkan kelompok bank pemerintah menghimpun
dana sebesar Rp 86.192,3 miliar (33,1 persen), bank asing dan campuran sebesar Rp 16.018,0
miliar (6,1 persen), dan bank pembangunan daerah sebesar Rp 8.272,4 miliar (3,2 persen).
Perkembangan dana perbankan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel III.17, Tabel III.18,
dan Grafik III.5.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
134
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel 111.16
JUMLAH BANK DAN KANTOR BANK DI INDONESIA I). 199011991 . 1996/1997
1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996
BANK-BANK UMUM
Bank umum pemerintah
- Jumlah bank
- Jumlah kantor
Bank umum swasta nasional
- Jumlah bank
- Jumlah kantor
Bank pembangunan daerah
- Jumlah bank
- Jumlah kantor
Bank asinglcampuran
- Jumlah bank
- Jumlah kantor
Jumlah bank umum
- Jumlah bank
- Jumlah kantor
BANK PERKREDIT AN RAKY A T 3
Jumlah bank selurubnya
Jumlah kantor selurubnya
1996/1997 2)
7
1.064
7
1.078
7
1.099
7
1.121
7
1.285
7
1.305
7
10408
114
2.274
133
2.798
147
2910
163
3.125
166
3.296
165
3.531
164
3.789
27
376
27
412
27
426
27
429
27
432
27
451
27
489
28
48
29
54
39
75
39
78
40
84
41
83
41
86
176
3.762
6.193
6.369
9.955
196
4.342
6.703
6.899
11.045
220
4.510
6.889
7.109
11.399
236
4.753
7.095
7.331
11.848
240
5.097
7.231
7A71
12.328
240
5.370
7.301
7.541
12.671
239
5.772
7.595
7.834
13.367
I) Termasuk jumlah cabang bank di luar negri.
2) Sampai denganbulan September 1996.
3) Tidak termaauk WKP ymg statulllya belum berubab mcajldi BPR.
3.7.2.1. Giro
Hingga bulan Oktober 1996, dana masyarakat yang dihimpun oleh industri perbankan
dalam bentuk giro telah mencapai Rp 52.566,2 miliar atau meningkat Rp 8.422,3 miliar (19,1
persen) jika dibandingkan dengan posisinya pada akhir bulan Maret 1996 sebesar Rp 44.143,9
miliar. Hal ini sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian masyarakat yang sekaligus
juga adanya peningkatan penggunaan jasa perbankan. Jika dibandingkan dengan laju
peningkatan tahun sebelumnya (periode April-Oktober 1995) sebesar 18,7 persen, maka
peningkatan dana giro periode April-Oktober 1996 adalah sedikit lebih besar, dan secara
nominal peningkatannya juga lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan dana giro pada
periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp 6.615,6 miliar.
3.7.2.2. Deposito berjangka
Deposito berjangka masih merupakan pilihan utama masyarakat dalam menempatkan
dananya di perbankan, karena di samping meningkatnya kinerja perbankan yang antara lain
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
135
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
dicerminkan dengan meningkatnya tingkat kegiatan bank dan pelayanan yang diberikan, juga
adanya tingkat suku bunga yang secara riil cukup kompetitif memberikan keuntungan bagi para
deposan. Dalam satu dasawarsa terakhir dana deposito berjangka telah menjadi andalan utama
industri perbankan dalam memobilisasi dana masyarakat yang terlihat dari pangsanya yang lebih
dari 50 persen dari dana perbankan.
Dalam perkembangannya, hingga akhir Oktober 1996, dana perbankan dalam bentuk
deposito berjangka telah mencapai Rp 150.047,7 miliar, atau meningkat sebesar Rp 21.634,
miliar (16,8 persen) jika dibandingkan dengan posisinya pada akhir Maret 1996 sebesar Rp
128.413,1 miliar. Sementara itu, dilihat dari jangka waktunya, peranan deposito berjangka
waktu pendek terus mendominasi, khususnya yang berjangka waktu 1 bulan, 3 bulan, dan 6
bulan. Dana deposito berjangka waktu 1 bulan, hingga Oktober 1996 tercatat sebesar Rp
44.845,1 miliar (29,9 persen), sedangkan yang berjangka waktu 3 dan 6 bulan, masing-masing
sebesar Rp 30.644,4 miliar (20,4 persen) dan Rp 36.216,4 miliar (24,1 persen). Untuk dana
deposito yang berjangka waktu 12 bulan dan 24 bulan masing-masing berjumlah sebesar Rp
23.739,2 miliar (15,8 persen) dan Rp 1.126,3 miliar (0,7 persen). Deposito berjangka lainnya,
termasuk yang berjangka waktu 9 bulan dan 18 bulan, secara keseluruhan mencapai Rp 13.746,3
miliar (9,1 persen). Perkembangan deposito berjangka dapat dilihat pada Tabel III.19 dan Grafik
III.6.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
136
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel 111.17
DANA PERBANKAN MENURUT JENISNYAl), 1984/1985 -1996/1997
( dalam miliar rupiah )
Akhir periode
1984/1985 Maret
1985/1986 Maret
1986/1987 Maret
1987/1988 Maret
1988/1989 Maret
1989/1990 Maret
1990/1991 Maret
1991/1992 Maret
1992/1993 Maret
1993/1994 Maret
1994/1995 Juni
September
Desember
Maret
1995/1996 Juni
September
Desember
Maret
1996/1997 April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Giro
Deposito 2)
Tabungan
Jumlah
7.187,70
7.040,70
7.561,80
8.480,60
10.543,10
15.978,10
17.949,00
21.428,10
25.076,80
31.802,00
34.441,60
36.157,80
39.097,10
35.434,10
38.580,10
40.143,80
44.108,20
44.143,90
45.629,80
45.857,40
49.012,40
50.923,00
49.317,60
52.073,60
52.566,20
8.726,00
12.590,40
14.911,80
20.654,30
26.474,40
36.350,40
49.839,60
56.812,30
64.216,00
75.183,40
76.714,60
83.617,50
90.989,90
97.467,10
104.933,40
115.301,60
123.431,80
128.413,60
132.387,50
136.048,70
139.187,30
141.871,20
143.294,10
144.289,60
150.047,70
774,1
1.211,80
1.586,40
1.835,00
2.485,30
6.863,60
9.722,20
17.471,00
28.343,20
37.613,40
37.244,30
38.302,60
40.319,20
40.921,80
41.397,60
43.485,00
47.224,00
51.170,30
51.803,80
52.607,80
53.499,00
54.549,70
54.969,20
55.837,60
58.047,90
16.687,80
20.842,90
24.060,00
30.969,90
39.502,80
59.192,10
77 .510,8
95.711,40
117.636,00
144.598,80
148.400,50
158.077,90
170.406,20
173.823,00
184.911,10
198.930,40
214.764,00
223.727,80
229.821,10
234.513,90
241.698,70
247.343,90
247.580,90
252.200,80
260.661,80
1) Sejak April 1993 tennasuk bank eks-LKBB.
2) Tennasuk sertiflkat deposito.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
137
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel III.18
DANA PERBANKAN MENURUT KELOMPOK BANKI), 198411985 - 1996/1997
( dalam miliar rupiah)
Bank
Bank
Bank
Bank
Akhir periode
swasta pembangunan
asing &
nasional 2)
daerah
campuran
pemerintah
198411985 Maret
1985/1986 Maret
1986/1987 Maret
1987/1988 Maret
1988/1989 Maret
1989/1990 Maret
199011991 Maret
1991/1992 Maret
1992/1993 Maret
1993/1994 Maret
199411995 Juni
September
Desember
Maret
1995/1996 Juni
SepteOlber
Desember
Maret
1995/1996 April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
10.854,00
13.303,20
15.225,40
18.815,30
23.858,50
30.372,70
34.058,80
42.448,40
54.259,50
59.355,70
60.604,40
62.106,60
64.282,90
63.563,00
65.774,90
69.339,50
75.919,70
76.800,80
77.967,90
79.579.0
82.128,80
83.579,60
84.645,80
84.774,80
86.192,30
3.232,60
4.745,80
5.898,60
8.826,10
11.831,60
23.143,10
34.835,20
43.203,30
52.104,50
71.775,60
73.697,20
80.647,70
88.925,80
93.095,60
99.913,80
109.191,80
117.451,10
125.360,10
130.146,40
132.660,00
136.740,30
140.398,00
139.796,80
143.539,50
150.179,10
668,5
760,4
748,3
938,3
1.184,30
1.740,80
2.522,40
2.899,10
3.544,20
4.613,60
4.979,70
5.389,40
6.182,50
5.837,40
6.601,40
7.203,00
7.812,20
7.086,90
6.782,90
7.126,10
7.384,80
7.725,30
7.822,00
7.997,90
8.272,40
1.932,70
2.033,50
2.187,70
2.390,20
2.628,40
3.935,50
6.094,40
7.160,60
7.727,80
8.853,90
9.119,20
9.934,20
11.015,00
11.327,00
12.621,00
13.196,10
13.581,00
14.480,00
14.923,90
15.148,80
15.444,80
15.641,00
15.641,30
15.888,60
16.018,00
Jumlah
16.687,80
20.842,90
24.060,00
30.969,90
39.502,80
59.192,10
77.510,80
95.711,40
117.636,00
144.598,80
148.400,50
158.077,90
170.406,20
173.823,00
184.911,10
198.930,40
214.764,00
223.727,80
229.821,10
234.513,90
241.698,70
247.343,90
247.580,90
252.200,80
260.661,80
I) Sejak April 1993 termasuk bank eks-LKBB.
2) Tenliri dari baDk swasta nasional devisa, bank swasta oasional bukan devisa, bank pembangunan swasta, dan
bank tabungan swasta.
3.7.2.3. Tabungan
Perkembangan dana masyarakat dalam bentuk tabungan yang dihimpun oleh dunia
perbankan secara perlahan terus menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Hal ini
selain disebabkan oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menabung, juga disebabkan
oleh upaya-upaya yang dilakukan oleh industri perbankan itu sendiri, seperti dengan menambah
jaringan kantor cabangnya, menciptakan beraneka ragam jenis tabungan yang disertai dengan
berbagai macam hadiah, ditambah dengan tingkat suku bunga yang cukup kompetitif, serta
pelayanan yang terus meningkat, misalnya dengan penggunaan Automated Teller Machine
(ATM) untuk memudahkan pengambilan tabungan.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
138
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Hingga akhir Oktober 1996, dana masyarakat dalam bentuk tabungan yang dihimpun
oleh industri perbankan telah mencapai Rp 58.047,9 miliar, atau meningkat sebesar Rp 6.877,6
miliar (13,4 persen) jika dibandingkan dengan posisinya pada akhir Maret 1996 sebesar Rp
51.170,3 miliar. Jika dibandingkan dengan peningkatan pada periode April-Oktober tahun
sebelumnya sebesar Rp 3.646,2 miliar (8,9 persen), maka peningkatan dana tabungan dalam
periode April Oktober 1996 adalah relatif lebih besar.
Sementara itu, sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menabung,
termasuk masyarakat di pedesaaan, ditambah dengan meluasnya jaringan kantor unit-unit Bank
Rakyat Indonesia di seluruh tanah air, maka dana masyarakat yang dimobilisasi melalui
program simpanan pedesaan (Simpedes) juga menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Walaupun secara nominal peningkatan simpanan pedesaan ini relatif kecil namun program
Simpedes ini diharapkan dalam jangka panjang mempunyai arti yang strategis, terutama dalam
membentuk masyarakat yang rasional dalam menggunakan dan membelanjakan uangnya.
Hingga akhir September 1996, dana masyarakat dalam bentuk Simpedes telah mencapai Rp
4.073,6 miliar, atau meningkat sebesar Rp 250 miliar (6,5 persen) jika dibandingkan dengan
posisinya pada akhir Maret 1996 sebesar Rp 3.823,6 miliar. Sedangkan jumlah penabungnya
meningkat dari sebanyak 9.195.588 orang pada akhir Maret 1996 menjadi 9.822.016 orang pada
akhir September 1996. Perkembangan dana tabungan dan Simpedes dapat dilihat dalam Tabel
III.20 dan Tabel III.21.
3.7.3. Pemanfaatan dana
3.7.3.1. Kebijaksanaan dan perkembangan kredit perbankan
Kredit perbankan sampai saat ini masih merupakan salah satu sumber pembiayaan
utama bagi pembangunan ekonomi, utamanya dalam menunjang dan menjaga kesinambungan
pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang cukup tinggi, memperluas kesempatan berusahan
dalam rangka menampung tenaga kerja yang memasuki pasar tenaga kerja, dan untuk
mendukung stabilitas perekonomian
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
139
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabe. III.19
DEPOSITO BERJANGKA SELURUH BANK 1), 198411985 - 199611997
( daIam miIiar rupiah )
1 bulan I)
3bulan
6bulan
12 bulan 24 bulan Lainnya 3)
Akhir periode
1984/1985
1985/1986
198611987
1987/1988
1988/1989
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
199411995
1995/1996
199611997
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Jull
Agustus
September
Oktober
2.122,70
3.213,60
3.307,90
5.915,30
5.958,80
9.587,20
20.278,10
17.412,90
18.104,00
18.520,10
20.411,60
22.996,00
28.275,70
31.132,30
34.163,40
34.491,60
36.867,70
40.559,80
42.404,50
43.206,10
42.037,20
44.145,80
46.257,10
45.632,00
44.845,10
1.416,50
2.029,20
2.549,30
4.093,20
6.151,90
6.846,10
10.393,10
12.896,90
14.679,80
17.320,60
17.144,30
20.204,10
20.379,80
21.714,00
22.115,50
25.985,90
26.931,00
27.812,70
28.679,50
28.661,90
28.532,90
29.233,60
29.598,20
29.448,30
30.644,40
1.730,90
1.987,70
2.007,60
2.579,70
4.011,90
6.080,60
7.041,20
10.865,70
14.560,10
19.198,20
18.681,10
20.137,10
20.752,80
23.234,10
24.982,60
28.794,30
19.473,60
29.777,40
31.100,20
31.968,30
32.884,40
33.435,20
34.762,20
35.821,00
36.216,40
2.915,80
4.604,00
6.193,20
6.592,20
7.913,90
11.149,10
8.985,30
10.320,30
13.045,90
15.669,60
15.025,80
13.568,50
13.407,10
14.043,90
15.377,30
17.682,40
15.309,40
20.393,20
21.364,00
21.695,00
23.270,00
22.547,30
23.100,80
23.179,10
23.739,20
379,2
631
640
1.239,40
2.071,70
2.177,40
816,4
911,8
500,6
617,1
647,6
608,1
532,9
590,5
547,6
474,8
585,2
1.317,60
1.326,50
1.110,40
1.121,30
1.135,70
1.191,20
1.204,90
1.126,30
160,9
124,9
213,8
234,5
366,2
510
2.325,50
4.404,70
3.325,60
3.857,80
4.804,20
6.103,70
7.641,60
6.752,30
7.747,00
7.872,60
4.288,10
8.552,90
7.512,80
9.407,00
11.341,50
11.373,60
8.384,60
9.004,30
13.746,30
Jumlah
8.726,00
12.590,40
14.911,80
20.654,30
26.474,40
36.350,40
49.839,60
56.812,30
64.216,00
75.183,40
76.714,60
83.617,50
90.989,90
97.467,10
104.933,40
115.301,60
103.457,00
128.413,60
132.387,50
136.048,70
139.187,30
141.871,20
143.294,10
144.289,60
150.047,70
1) Sejak April 1993 termasuk bank eks-LKBB.
2) Termasuk deposito yang sudab jatuh waktu dan deposito on call.
3) Termasuk deposito berjugka wakttu 9 buIan dan 18 buIan.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
140
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel III.20
TABUNGAN PERBANKAN1), 1984/1985 -1996/1997
( dalam miliar ropiah )
Posisi
Akhir periode
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
1994/1995
1996/1996
1996/1997
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juti
Agustus
September
Oktober
774,1
1.211,80
1.586,40
1.835,00
2.485,30
6.863,60
9.722,20
17.471,00
28.343,20
37.613,40
37.244,30
38.302,60
40.319,20
40.921,80
41.397,60
43.485,00
47.224,00
51.170,30
51.803,80
52.607,80
53.499,00
54.549,70
54.969,20
55.837,60
58.047,90
Perubahan
Jumlah
437,7
374,6
248,6
650,3
4.378,30
2.858,60
7.748,80
10.872,20
2.005,60
-369,1
1.058,30
2.016,60
602,6
475,8
2.087,40
3.739,00
3.946,30
633,5
804
891,2
1.050,70
419,5
868,4
2.210,30
%
56,5
'30,9
15,7
35,4
176,2
41,6
79,7
62,2
5,6
-1
2,8
5,3
15
1,2
5
8,6
8,4
1,2
1,6
1,7
2
0,8
1,6
3,9
1) Sejak April 1993 tennasuk bank eks-LKBB.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
141
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel llI.21
SIMPANAN PEDESAAN, 1984/1985 -1996/1997
Posisi simpanan
( dalam miliar
Akhir periode
Penyimpan
-1
-2
-3
1984/1985
Maret
4.550
0,3
1985/1986
Maret
46.046
6,8
1986/1987
Maret
592.319
107,3
1987/1988
Maret
1.086.156
206,2
1988/1989
Maret
1.863.745
398,2
1989/1990
Maret
2.866.050
747,4
1990/1991
Maret
3.708.325
908,4
1991/1992
Maret
4.506.478
1.270,20
1992/1993
Maret
5.616.866
1.935,90
1993/1994
Maret
6.665.021
2.695,70
1994/1995
Juni
6.468.401
2.900,00
September
7.560.154
3.160,70
Desember
7.849.562
3.986,90
Maret
8.094.576
3.288,60
1995/1996
Juni
8.325.366
3.403,70
September
8.614.127
3.480,60
Desember
8.899.734
3.781,60
Maret
9.195.588
3.823,60
1996/1997
April
9.304:805
3.890,60
Mei
9.409.736
3.972,70
Juni
9.514.359
3.997,10
Juli
9.596.636
4.046,80
Agustus
9.709.593
3.962,30
September
9.822.016
4.073,60
nasional. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka Pemerintah terus berusaha untuk
menciptakan iklim yang memungkinkan sistem perkreditan nasional menjadi kuat, efisien, dan
benar-benar mencerminkan kekuatan mekanisme pasar. Untuk itu, melalui berbagai deregulasi
dan debirokratisasi, industri perbankan sebagai salah satu unsur utama dalam sistem perkreditan
nasional, terus didorong untuk dapat meningkatkan efisiensinya, serta kemampuan dan
profesionalismenya dalam melakukan penyaluran kredit kepada masyarakat. Di sektor riil,
pembenahan dalam proses perekonomian yang sesuai dengan demokrasi ekonomi, kepastian
hukum dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat, yang secara tidak langsung
berpengaruh terhadap industri perbankan, terus dilakukan. Dengan berbagai kebijaksanaan yang
mengarah pada efisiensi secara nasional tersebut, diharapkan alokasi dana oleh industri
perbankan dalam bentuk kredit perbankan, benar-benar tersalur pada sektor-sektor yang
produktif dan efisien sehingga akan dapat meningkatkan kapasitas produksi barang dan jasa.
Namun demikian, kebijaksanaan peningkatan kredit perbankan tersebut perlu selalu dijaga agar
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
142
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
senantiasa masih dalam batas-batas daya dukung perekonomian nasional, sehingga tidak
menimbulkan ketidakstabilan pada perekonomian secara makro, terutama dampaknya terhadap
peningkatan laju inflasi.
Mengacu pada prinsip yang menghendaki kebijaksanaan perkreditan perbankan benarbenar bertumpu pada kehidupan ekonomi yang sehat, maka melalui kebijaksanaan Paket Januari
1990 Pemerintah antara lain telah mengurangi secara bertahap Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI). KLBI diberikan hanya terbatas untuk mendukung pelestarian swasembada pangan dan
pengembangan koperasi yaitu kredit kepada Bulog, Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit kepada
KUD (KKUD), Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA), dan Kredit untuk
Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS).
Pemerintah tidak sepenuhnya menyerahkan alokasi sumber daya, khususnya kredit
perbankan, kepada proses mekanisme pasar saja. Prioritas tetap juga diberikan dalam
penyediaan dan kemudahan kredit bagi golongan pengusaha kecil, menengah dan koperasi,
terutama dalam rangka menunjang pemerataan berusaha dan memperluas kesempatan kerja,
serta mengangkat kehidupan perekonomian golongan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.
Sementara itu, secara umum kebijaksanaan kredit terus diperluas dan didorong peningkatannya
dengan tetap berpedoman pada asas-asas perkreditan yang sehat, memperluas jenis pelayanan,
tanpa hams meninggalkan prinsip kehati-hatian yang secara terus menerus perlu ditingkatkan.
Untuk itu sejak April 1994 sektor usaha yang dapat dibiayai dengan kredit kepada koperasi
primer untuk para anggotanya (KKPA) diperluas dengan mencakup semua sektor ekonomi.
Plafon KKPA juga dinaikkan dari Rp 30 juta menjadi Rp 50 juta. Selanjutnya skim KKPA
diutamakan untuk mendorong pola kemitraan antara pengusaha kecil dengan pengusaha besar,
dan sekaligus mendorong pembiayaan sektor-sektor strategis, seperti swasembada pangan serta
pengembangan koperasi dan transmigrasi. Dalam rangka mendorong keberhasilan program
transmigrasi, peningkatan pendapatan petani, pengembangan Kawasan Timur Indonesia, dan
peningkatan ekspor nonmigas, pada tahun anggaran 1995/1996 telah diperkenalkan pula skim
KKPA PIR-Trans, yang pada prinsipnya mengikuti program PIR-Trans dengan memanfaatkan
skim KKPA.
Selain dari sisi penyediaan dana, untuk meningkatkan kemampuan perbankan dan
dunia usaha dalam pemberian kredit kepada dunia usaha, penyediaan bantuan teknis kepada
perbankan dan pengusaha kecil, melalui Proyek Pengembangan Usaha Kecil (PPUK) dan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
143
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Proyek Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK), terus
dilanjutkan dan dikembangkan. Melalui PPUK, juga ditingkatkan dan dikembangkan pola
kemitraan inti-plasma yang saling menguntungkan antara usaha kecil dengan usaha besar. Untuk
mendorong dan membantu bank-bank dalam pemberian kredit kepada usaha mikro melalui
kelompok, akan dilakukan perluasan daerah operasi PHBK. Selain itu telah direalisasikan pula
Proyek Kredit Mikro (Microcredit Project) dengan bantuan pendanaan dari Asian Development
Bank (ADB). Penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang kredit usaha kecil dan
koperasi juga terus ditingkatkan melalui media cetak dan audio visual, serta dengan
mengaktifkan kembali Forum Komunikasi Perbankan mengenai Pengembangan Usaha Kecil
(FKP-PUK).
Dalam perkembangannya, sampai dengan bulan Oktober 1996, posisi kredit perbankan
dalam rupiah dan valuta asing telah mencapai Rp 278.099 miliar, atau mengalami peningkatan
sebesar Rp 35.676 miliar (14,7 persen) apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret 1996
sebesar Rp 242.423 miliar. Dalam periode yang sama tahun sebelumnya, kredit perbankan
menunjukkan peningkatan sebesar Rp 28.096 miliar (14,3 persen).
3.7.3.2. Kredit perbankan menurut sektor ekonomi
Apabila dilihat menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit perbankan dapat
dikelompokkan ke dalam 6 (enam) sektor, yaitu sektor perindustrian, sektor perdagangan, sektor
jasa-jasa, sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor lain-lain. Posisi kredit perbankan
yang pada akhir bulan Oktober 1996 berjumlah sebesar Rp 278.099 miliar, sebagian besar
disalurkan untuk sektor perindustrian, yaitu sebesar Rp 78.217 miliar (28,1 persen), sektor
perdagangan sebesar Rp 65.929 miliar (23,7 persen), sektor jasa-jasa sebesar Rp 84.409 miliar
(30,4 persen), sedangkan untuk sektor lain-lain termasuk sektor pertanian dan sektor
pertambangan sebesar Rp 49.544 miliar (17,8 persen). Kredit perbankan yang disalurkan untuk
sektor perindustrian dipergunakan antara lain untuk membiayai industri pengolahan kimia,
industri kayu dan hasil-hasil kayu, serta industri tekstil sandang. Sedangkan kredit yang diserap
sektor perdagangan dipakai untuk pembiayaan distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok,
pembelian dan pengumpulan barang-barang dagangan dalam negeri, dan untuk pembiayaan
perdagangan eceran. Penyaluran kredit untuk sektor jasa-jasa antara lain digunakan untuk
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
144
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pembiayaan jasa konstruksi, jasa dunia usaha, dan jasa-jasa angkutan, pergudangan, serta
komunikasi. Sementara itu, kredit untuk sektor lain-lain sebagian besar disalurkan untuk
perumahan dan kendaraan. Perkembangan kredit perbankan menurut sektor ekonomi dapat
diikuti dalam Tabel III.22 dan Grafik III.7.
3.7.3.3. Kredit untuk investasi
Kredit investasi yang disetujui perbankan sampai dengan bulan Oktober 1996 berjumlah Rp
93.977 miliar, atau meningkat sebesar Rp 8.252 miliar (9,6 persen) dibandingkan dengan bulan
Maret 1996 sebesar Rp 85.725 miliar. Penyaluran kredit investasi sebesar Rp 93.977 miliar
tersebut sebagian besar (sekitar 70 persen) disalurkan untuk sektor perindustrian dan sektor jasajasa. Sementara itu, posisi pinjaman kredit investasi hingga akhir bulan Oktober 1996 telah
mencapai sebesar Rp 67.998 miliar, atau meningkat sebesar Rp 5.986 miliar (9,6 persen) bila
dibandingkan dengan posisi pada bulan Maret 1996 sebesar Rp 62.012 miliar. Perkembangan
kredit investasi dapat dilihat dalam Tabel III.23.
Tabel 111.22
Sektor
-1
Bank-bank pemerintah 2)
Pertanian
Pertambangan
Perindustian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
Bank-bank swasta naslonal 3)
Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
Cabang-cabang bank aslng
dan campuran
Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
Jumlah kredit perbankan ')
Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
KREDIT PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI I), 1987/1988 –1996/1997
( dalam miliar rupiah )
1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997
Maret
-2
22.894
2.732
279
9.483
6.618
3.169
613
9.204
158
15
1.911
4.004
2.088
1.028
Maret
-3
30.270
4.017
361
12.259
8.991
3.815
827
12.679
286
27
2.602
5.201
2.905
1.658
Maret
-4
42.589
5.318
451
16.198
11.759
5.287
3.576
24.498
639
31
4.385
10.388
5.254
3.801
Maret
-5
54.699
6.450
580
21.544
14.086
7.110
4.929
38.153
1.074
52
6.706
14.098
8.673
7.550
Maret
-6
61.751
7.744
568
22.420
15.319
8.402
7.298
44.928
1.022
67
8.473
14.795
12.336
8.235
Maret
-7
69.066
8.559
498
27.615
15.759
11.249
5.386
45.406
1.389
101
10.325
14.871
13.874
4.846
Maret
-8
73.443
9.989
214
28.452
15.798
10.987
8.003
68.350
2.106
194
15.696
20.281
24.087
5.986
Maret
-9
81.333
11.026
534
30.059
16.385
14.489
8.840
94.891
2.890
234
20.954
25.754
34.612
10.447
Maret
-10
95.619
11.657
612
32.846
19.900
19.181
11.423
121.602
3.793
362
24.930
32.715
45.916
13.886
Okt.
-11
104.403
12.224
841
33.108
22.091
23.084
13.055
146.275
4.793
418
29.539
39.142
56.326
16.057
1520
1
0
534
375
293
317
33.618
2.891
294
11.928
10.997
5.550
1.958
1.994
8
0
822
495
276
393
44.943
4.311
388
15.683
14.687
6.996
2.878
3.786
25
37
1.866
667
661
530
70.873
5.982
519
22.449
22.814
11.202
7.907
6.837
105
13
3.063
1.406
1.331
919
99.689
7.629
645
31.313
29.590
17.114
13.398
9.060
133
95
4.518
1.793
1.009
1.512
115.739
8.899
730
35.411
31.907
21.747
17.045
9.695
179
125
5.533
1.904
751
1.203
124.167
10.127
724
43.473
32.534
25.874
11.435
15.377
341
247
9.335
2.484
2.117
853
157.170
12.436
655
53.483
38.563
37.191
14.842
19.925
375
186
11.954
3.225
3.227
908
196.149
14.291
954
62.967
45.364
52.378
20.195
25.202
379
. 250
15.247
3.617
4.357
1.352
242.423
15.829
1.224
73.023
56.232
69.454
26.661
27.421
334
323
15.570
4.696
4.999
1.499
278.099
17.351
1.582
78.217
65.929
84.409
30.611
I) Sejak April l993 termasuk Bank Umum eks-LKBB
2) Tidal< lennasuk Bank Indonesia
3) Tennasuk Bank Pembangunan Daerah
4) Kredil dalam rupiah dan valuta asing, lennasuk kredil inveslaSi, KIK, dan KMKP
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
145
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
3.7.3.4. Kredit untuk golongan ekonomi lemah
Untuk mengembangkan golongan ekonomi lemah, Pemerintah melalui lembaga
keuangan perbankan terus berupaya untuk memberikan pelayanan pembiayaan kepada usaha
kecil dan menengah, dengan tetap mewajibkan kepada semua bank untuk menyediakan kredit
usaha kecil (KUK) minimum 20 persen dari portofolio kreditnya kepada usaha kecil. Sejak
kebijaksanaan ini dikeluarkan pada tahun 1990, penyaluran KUK menunjukkan perkembangan
yang menggembirakan. Apabila pada bulan Desember tahun 1990 jumlah KUK yang disalurkan
baru mencapai Rp 21.197 miliar, maka sampai bulan September 1996 jumlah KUK yang
disalurkan telah mencapai Rp 46.906 miliar atau meningkat rata-rata sebesar 22,1 persen per
tahun.
Kebijaksanaan kredit usaha kecil (KUK) secara terus menerus selalu dipantau dan
diperbaiki, baik mengenai administrasi pelaksanaannya pada masing-masing bank, maupun
aturan-aturan yang mendukung pelaksanaan dari KUK tersebut. Perubahan terakhir tentang
kebijaksanaan KUK adalah dengan dikeluarkannya paket deregulasi Mei 1993, yang antara lain
mengatur peningkatan plafon KUK menjadi Rp 250 juta yang sebelumnya Rp 200 juta, cakupan
kredit kecil meliputi semua kredit sampai dengan Rp 25 juta tanpa dilihat penggunaannya, dan
tersedianya instrumen berupa SBPU-KUK bagi bank yang belum memenuhi rasio KUK sebesar
20 persen.
Dalam perkembangannya, bila dilihat dari plafon kreditnya, jumlah KUK yang
disalurkan sampai akhir bulan September 1996 mencapai sebesar Rp 46.906 miliar. Dari jumlah
KUK tersebut sebesar Rp 23.196 miliar (49,5 persen) dinikmati nasabah dengan plafon kredit
sampai dengan Rp 25 juta, sebesar Rp 6.102,9 miliar (13,0 persen) dinikmati nasabah dengan
plafon kredit di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta, dan sebesar Rp 5.175,3 miliar (11,0
persen) diserap oleh nasabah dengan plafon di atas Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta.
Selanjutnya sebesar Rp 12.431,8 miliar (26,5 persen) dari total KUK dinikmati oleh nasabah
dengan plafon kredit di atas Rp 100 juta sampai dengan Rp 250 juta. Apabila penyebaran kredit
tersebut dibandingkan dengan penyebarannya pada bulan Maret 1996, terlihat adanya
pergeseran pada pangsa pasar KUK, yaitu pada plafon kredit sampai dengan Rp 25 juta
pangsanya naik dari 48,8 persen menjadi 49,5 persen, pada kredit di atas Rp 50 juta sampai
dengan Rp 100 juta pangsanya mengalami penurunan dari 13,5 persen menjadi 13 persen.
Dengan demikian, sebagian besar KUK dinikmati oleh usaha kecil yang plafon kreditnya relatif
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
146
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kecil.
Apabila dilihat secara sektoral, penyaluran KUK diserap oleh sektor perdagangan,
restoran dan hotel yang mencapai sebesar Rp 14.776,0 miliar (31,5 persen) dari total KUK,
sektor jasa-jasa, sektor perindustrian, dan sektor pertanian masing-masing menyerap Rp 7.875,5
miliar (16,8 persen), Rp 3.381,0 miliar (7,2 persen), dan Rp 3.642,6 miliar (7,8 persen).
Sedangkan sektor lain-lain menyerap dana KUK sebesar Rp 17.230,9 miliar (36,7 persen).
Sementara itu bila dilihat menurut kelompok bank, dari jumlah KUK sebesar Rp 46.906,0
miliar, sebagian besar disalurkan oleh bank-bank milik Pemerintah (Persero) yang mencapai
sebesar Rp 22.893,9 miliar (48,8 persen), bank-bank swasta nasional devisa sebesar Rp 17.372,6
miliar (37,0 persen), dan bank-bank swasta lainnya sebesar Rp 6.639,5 miliar (14,2 persen).
Sektor
Tabel III.23
KREDIT INVESTASI PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI 1), 1987/1988 - 1996/1997
(dalam miliar mpiah)
1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret Maret
Maret
Okt.
Yang disetujui perbankan
Pertanian
Perindustrian
Pertantbangan
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
Posisi pinjaman
Pertanian
Perindustrian
Pertantbangan
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
11.911
2.629
3.712
263
385
3.812
1.110
9.210
1.744
3.765
230
355
2.033
1.083
15.784
4.162
5.309
447
608
4.102
1.156
11.810
2.610
4.791
313
536
2.4.89
1.071
19.454
5.398
8.372
443
1.301
3.734
206
15.673
3.629
6.639
321
1.117
3.767
200
27.899
7.057
10.987
484
2.151
6.017
1.203
11.564
4.726
9.207
31)1
2.192
4.573
475
36.243
11.206
13.260
515
3.234
6.795
1.233
27.390
5.864
11.784
443
2.911
5.412
976
44.174
11.508
17.695
507
4.990
8.117
1.357
36.683
7.169
16.489
436
4.185
7.216
1.188
61.714
13.595
23.231
524
9.397
14.967
0
41.951
8.893
18.097
189
6.951
8.822
0
73.155
14.193
27.472
597
7.375
23.518
0
50.761
10.215
20.447
215
6.535
13.349
0
85.725
14.768
29.033
666
9.697
31.561
0
61.011
10.869
23.949
271
8.798
18.125
0
93.977
15.895
30.157
755
11.462
35.708
0
67.998
11.837
24.959
374
10.409
40.419
0
I)Sejak April 1993 termasuk Bank Umum eks-LKBB, dan tidak termasuk Bank Indonesia
Demikian pula bila dilihat penyebarannya menurut daerah perkotaan dan perdesaan,
dari jumlah KUK sebesar Rp 46.906,0 miliar pada akhir bulan September 1996 yang telah
terserap di daerah perkotaan yang meliputi kotamadya dan kota administratif termasuk ibukota
negara, mencapai Rp 26.900,2 miliar (57,3 persen) dengan jumlah rekening sebanyak 2.645.885
rekening. Sedangkan yang terserap di daerah perdesaan yang meliputi kabupaten-kabupaten
mencapai sebesar Rp 20.005,8 miliar (42,7 persen) dengan jumlah rekening sebanyak 4.433.446
rekening.
Sementara
itu,
untuk
meningkatkan
kegiatan
perekonomian
di
perdesaan,
perkembangan program kredit umum pedesaan (Kupedes) yang dikelola oleh Bank Rakyat
Indonesia (BRI) juga terus mengalami peningkatan. Pada saat pertama kali diluncurkan dalam
tahun anggaran 1983/ 1984 jumlah Kupedes baru mencapai Rp 30,7 miliar dengan jumlah
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
147
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
nasabah sekitar 161 ribu orang. Dalam perkembangannya, sampai dengan akhir bulan
September 1996 jumlahnya telah melonjak menjadi Rp 4.346,3 miliar, dengan jumlah nasabah
sekitar 2,8 juta orang. Dari jumlah Kupedes tersebut, yang digunakan untuk kegiatan investasi
adalah sebesar Rp 1.234,4 miliar (28,4 persen) dan untuk kegiatan eksploitasi sebesar Rp
3.111,9 miliar (71,6 persen). Apabila dibandingkan dengan posisi Kupedes bulan Maret 1996
sebesar Rp 3.374,1 miliar, maka dalam 6 bulan berjalan tahun anggaran 1996/1997 telah terjadi
peningkatan sebesar Rp 972,2 miliar (28,8 persen). Perkembangan Kupedes dapat diikuti dalam
Tabel III.24.
Mengingat masih banyaknya masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil yang
belum memiliki rumah, Pemerintah masih menyediakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR)
yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Bank Tabungan Negara. Fasilitas kredit ini diberikan
dengan suku bunga dan besaran plafon yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pola
penggunaannya berdasarkan paket yang ditentukan. Untuk KPR Paket A-1, yaitu terdiri dari
kredit pemilikan kapling siap bangun (KP-KSB/Lahan Griya) dan kredit pemilikan rumah
sangat sederhana (KP-RSS), dan paket A-2/Griya Inti (tipe 12 sampai dengan tire rumah
sederhana (RS 21), suku bunganya masing-masing 8,5 persen dan 11 persen per tahun.
Sedangkan suku bunga KPR Paket B/GriyaMadya (tipe 27 sampai dengan tipe 70) suku
bunganya 17 persen pertahun. Sampai dengan bulan Oktober 1996 jumlah rumah yang dibangun
telah mencapai 1.242.326 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 7.768,2 miliar. Dari jumlah nilai
kredit sebesar Rp 7.768,2 miliar tersebut, perum Perumnas telah membangun 283.033 unit
rumah dengan nilai kredit sebesar Rp 1.033,5 miliar, masing-masing untuk membangun rumah
paket A dan paket B sebanyak 279.780 unit rumah dengan nilai kredit sebesar Rp 956,4 miliar,
untuk membangun rumah paket C sebanyak 3.224 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 76,9
miliar, dan untuk membangun ruko sederhana sebanyak 29 unit dengan nilai kredit sebesar Rp
0,2 miliar. Sedang nilai kredit rumah yang dibangun oleh pembangun swasta telah mencapai Rp
6.724,6 miliar, dengan jumlah rumah sebanyak 956.958 unit rumah, masing-masing untuk
membangun rumah paket A dan B sebanyak 904.375 unit dengan nilai kredit Rp 5.491,1 miliar,
dan untuk membangun rumah paket C sebanyak 49.559 unit dengan nilai kredit Rp 1.218,5
miliar, serta untuk membangun rumah toko (ruko) sederhana sebanyak 3.024 unit dengan nilai
kredit sebesar Rp 15,0 miliar. Selain dibangun oleh Perum Perumnas dan Pembangun Swasta,
BTN telah pula bekerja sama dengan beberapa bank dalam hat pengadaan perumahan. Dari hasil
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
148
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kerjasama tersebut jumlah rumah yang di bangun mencapai jumlah 2.335 unit dengan nilai
kredit sebesar Rp 10,1 miliar.
Tabel III.24
KREDIT UMUM PEDESAAN, 1987/1988 - 1996/1997
( nasabah dalam ribuan, nilai yang dipiojamkan dan posisi dalam miliar rupiah )
Akhlr Perlode
1987/1988
1988/1989
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
199411995
1995/1996
19961l997
-1
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
April
Met
Juni
JoB
Agustus
September
Nasabah
(kumulatif)
Investasl
Nllai yang
dlnjamkan
( kumulatif)
-2
107
136,6
209,2
286,3
338,7
410,9
521,6
567,7
616,2
671,2
721,6
785,3
846,3
917
982,4
1.006,70
1.031,60
1.059,80
1.083,90
1.106,80
1.131,10
-3
50,4
78,1
174,6
322,6
501
655
924,9
1.038,80
1.158,20
1.297,00
1A28,5
1.618,30
1.806,20
2.021,60
2.213,10
2.293,70
2.378,10
2A74,3
2.556,80
2.637,60
2.723,90
Posisl
Nasabah
(Kumulatif)
Eksploltasl
Nlla! yang
dlnjamkan
( kumulatif)
-4
16,5
28,3
95,5
182,1
165,4
165,4
325,2
391,6
452,3
521,3
576,8
679,4
771,7
881,7
933,2
921,2
1.010,90
1.061,00
1.093,20
1.103,30
U34,4
-5
4.109,40
5.217,30
6.614,00
7.834,10
9.Hl5,9
10.294,50
11.564,10
11.899,60
12.263,60
12.654,80
13.029,30
13.401,40
13.778,30
14.199,60
14.606,00
14.780,50
14.898,40
15.038,50
15.182,40
15.314,10
15A84,9
-6
1.632,40
2.342,50
3.469,40
4.835,00
6.300,30
7.909,20
9.826,90
10.362,80
10.951,60
11.621,40
12.255,20
12.917,00
13.637,90
14.475,10
15.266,80
15.604,30
15.857,30
16.152,10
16.445,30
16.727,20
17.084,00
Posisl
Nasabah
( kumulatlf)
Jumlah
Nllai yang
dlnjamkan
( kumulatif)
-7
446,3
478,2
896,9
1.300,30
1.398,50
1.398,50
1.750,80
1.800,40
1.855,10
1.943,90
2.006,00
3.071,00
2.161,10
2.313,00
2A4O,9
2.353,70
2.504,40
2.558,20
2.602,70
2.649,50
3.111,90
-8
4.216,40
5.353,90
6.823,20
8.120,40
9.444,60
10.705,40
12.085,70
12M7,3
12.879,80
13.326,00
13.750,90
14.187,70
14.624,60
15.U6,6
15.588,40
15.787,20
15.930,00
16.098,30
16.266,30
16A20,9
16.616,00
-9
1.682,80
2A20,6
3.644,00
5.157,60
6.801,30
8.564,20
10.751,80
11.401,60
12.109,80
13.326,00
13.683,70
14.535,30
15.444,10
16A96,7
17.479,80
17.898,00
18.235,40
18.626,40
19.002,10
19.364,80
19.807,90
Posisl
-10
462,8
506,5
992,4
1.482,40
1.563,90
1.563,90
2.076,00
2.192,00
2.307,40
2.465,20
2.582,80
3.750,40
2.932,80
3.194,70
3.374,10
3.274,90
3.515,30
3.619,20
3.695,90
3.752,80
4.346,30
Selain KUK, Pemerintah dalam jumlah yang terbatas masih menyediakan kredit
likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk kredit program khusus dalam rangka mendukung
pelestarian swasembada pangan dan pengembangan koperasi. Jenis kredit yang mendapat
dukungan KLBI tersebut antara lain adalah Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit kepada Koperasi
Unit Desa (KKUD), dan Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA). Dalam
rangka meningkatkan penyerapan KUT, pada bulan April 1995 Bank Indonesia telah
mengeluarkan KUT pola khusus yang mendampingi KUT pola umum. Dalam KUT pola khusus
tersebut, prosedur pengajuan permohonan kredit oleh petani yang semula diperlukan 12 tahap,
disederhanakan menjadi 3 tahap. Pada perkembangannya, dengan diperkenalkannya KUT pola
khusus tersebut, telah terjadi peningkatan sebesar Rp 103,2 miliar (64,9 persen), yaitu dari Rp
159,0 miliar pada bulan April 1995 menjadi Rp 262,2 miliar pada Agustus 1996. Sementara itu,
pemberian KKUD sampai dengan akhir Agustus 1996 posisinya telah mencapai Rp 116,0 miliaa
atau menurun sebesar Rp 14,7 miliar (12,7 persen) apabila dibandingkan dengan posisi bulan
Maret 1995 sebesar Rp 130,7 miliar. Sedangkan KKP A yang terdiri dari kredit untuk tebu
rakyat intensifikasi (TRI), kredit untuk umum, dan lainnya telah mencapai Rp 868,7 miliar.
Apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret 1996 sebesar Rp 650,2 miliar, maka telah
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
149
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
terjadi peningkatan sebesar Rp 218,5 miliar (33,6 persen). Secara keseluruhan sampai akhir
bulan Agustus 1996 perkembangan kredit koperasi telah mencapai Rp 1.246,9 miliar.
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan usaha koperasi melalui pengembangan
keuangan koperasi sehingga dapat berswadaya dan mandiri, Perum Pengembangan Keuangan
Koperasi (perum PKK) mempunyai peranan yang penting, diantaranya memberikan jaminan
kepada koperasi untuk kredit yang diberikan oleh bank dan/atau jaminan atas kredit barang oleh
badan usaha lain. Selain itu, dalam upaya memenuhi sebagian pembiayaan pengembangan usaha
koperasi, Perum PKK juga memberikan pinjaman kepada koperasi, serta memberikan bantuan
manajemen dan konsultasi. Kegiatan usaha koperasi yang sampai saat ini telah dilayani oleh
Perum PKK meliputi sektor-sektor antara lain sektor pertanian (KUT padi/palawija, pupuk, alatalat pertanian), perikanan (tambak, darat, cold storage, perkapalan), peternakan (sapi perah, sapi
potong, unggas), perkebunan (kemenyan, panili, tebu, coklat, KUT-TRI), kerajinan/industri
(bahan bangunan, tas/kulit, air bersih), serta jasa, konsumsi/distribusi (angkutan darat/laut,
simpan pinjam, pedagang pasar dan lain-lain). Secara kumulatif realisasi jumlah kredit yang
diberikan oleh Perum PKK sampai dengan bulan September 1996 kepada koperasi berjumlah
Rp 785 miliar dan jumlah jaminan kredit sebesar Rp 610 miliar.
3.8. Lembaga keuangan di luar perbankan
3.8.1. Asuransi
Perkembangan perekonomian nasional yang semakin meningkat baik di sektor
pemerintah maupun swasta menghendaki perlunya upaya-upaya untuk memobilisasi dan
memanfaatkan dana masyarakat secara optimal. Sebagai salah satu lembaga keuangan di luar
perbankan, industri asuransi yang bergerak di bidang pelayanan jasa-jasa pertanggungan,
mempunyai peranan yang penting dalam memupuk dan memobilisasi dana masyarakat.
Kebijaksanaan dan strategi yang dilaksanakan dalam pembangunan industri asuransi di
Indonesia senantiasa diupayakan agar lembaga asuransi mampu berkembang menjadi lembaga
keuangan yang handal, mampu menopang kebijaksanaan ekonomi makro secara keseluruhan,
dan mampu menjawab perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat.
Dengan dicanangkan kerjasama ekonomi regional antarnegara ASEAN di dalam
kerangka AFTA yang akan mulai memberlakukan liberalisasi di bidang perdagangan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
150
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
barang/jasa serta investasi pada tahun 2003, industri asuransi nasional dituntut untuk
meningkatkan daya saingnya dengan langkah efisiensi dan profesionalisme. Langkah antisipatif
yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi antara lain dengan membenahi sistem
manajemen, meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia
(SDM). Perbaikan ini diharapkan akan berdampak positif pada kualitas produk/jasa pelayanan
dan tingkat efisiensi yang dicapai perusahaan sehingga pada gilirannya, peningkatan efisiensi ini
akan meningkatkan daya saing produk asuransi nasional, baik di pasar domestik maupun di
pasar internasional.
Peranan industri asuransi selain sebagai penghimpun dana pembangunan adalah
sebagai lembaga penyedia jasa proteksi kepada masyarakat atau institusi. Dana masyarakat yang
diterima perusahaan asuransi dalam bentuk premi, sebagian akan diinvestasikan dalam bentuk
tanah dan bangunan, atau dalam jenis investasi yang lain seperti deposito, sertifikat surat
berharga maupun dalam bentuk portofolio dengan memperhatikan aspek yuridis, risiko, dan
likuiditas maupun keuntungan yang diharapkan.
Sementara itu, dalam rangka mendorong industri asuransi nasional untuk berkembang
secara optimal, Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di
sektor keuangan yang antara lain bertujuan untuk menyederhanakan prosedur perizinan, yang
semula mewajibkan perusahaan asuransi untuk memperbarui izin usahanya setiap tahun menjadi
izin usaha yang berlaku seterusnya selama izin usaha tidak dicabut. Kebijaksanaan itu juga
ditujukan untuk meliberalisasikan pasar dengan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada
perusahaan asing untuk membentuk usaha patungan dan mencabut peraturan yang mengatur
tarif premi asuransi.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan pembenahan industri asuransi nasional maupun
dalam mengantisipasi perkembangannya di masa datang, telah ditetapkan dan dilaksanakan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Peransuransian. Undang-undang ini
memberikan landasan hukum yang kukuh bagi kegiatan usaha asuransi untuk berakomodasi dan
berintegrasi dengan berbagai kemajuan pesat yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam undang-undang tersebut antara lain terdapat beberapa ketentuan yang mengatur perizinan
dan permodalan, tingkat solvabilitas, kekayaan yang diperkenankan, investasi, cadangan teknis,
retensi sendiri, dan ketentuan tentang premi bruto dan premi neto. Pelaksanaan undang-undang
tersebut lebih jauh telah diatur dan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
151
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Peransuransian dan beberapa surat keputusan Menteri
Keuangan.
Reformasi kebijaksanaan di bidang usaha asuransi tersebut mempunyai jangkauan ke
depan, yaitu untuk mengantisipasi kecenderungan kegiatan ekonomi yang diperkirakan akan
semakin mengarah kepada kegiatan-kegiatan di sektor jasa dan keuangan. Kecenderungan ini
seirama dengan perkembangan perekonomian nasional yang telah bergerak semula dari
pertanian ke industri barang dan selanjutnya ke industri jasa. Dalam industri jasa ini faktor SDM
sangat menentukan sehingga hal-hal yang perlu segera diantisipasi oleh industri asuransi
nasional antara lain peningkatan kualitas SDM terutama tenaga-tenaga pialang asuransi dan
reasuransi, jasa penilai kerugian, konsultan aktuaria, penggunaan teknologi jaringan informasi
yang handal untuk meningkatkan pelayanan kepada pemegang polis, peningkatan efisiensi dan
efektivitas operasional, serta peningkatan kegiatan pemasaran industri asuransi.
Berbagai kebijaksanaan yang telah diambil oleh Pemerintah tersebut di atas ditambah
dengan semakin berkembangnya berbagai faktor yang mempengaruhi lingkup ekonomi dewasa
ini serta iklim yang sangat kondusif telah berhasil mendorong industri asuransi nasional tumbuh
secara berarti. Hal ini dapat dilihat dari indikator yang menunjukkan semakin banyaknya jenis
produk asuransi yang ditawarkan oleh beberapa perusahaan asuransi, jumlah perusahaan
asuransi, total aset, maupun dana investasi.
Sampai dengan bulan September 1996, jumlah perusahaan asuransi yang beroperasi
telah berkembang menjadi 163 perusahaan, yang terdiri dari sebanyak 98 perusahaan asuransi
kerugian, 56 perusahaan asuransi jiwa, 4 perusahaan reasuransi, 2 penyelenggara program
asuransi sosial dan jamsostek, serta 3 penyelenggara program asuransi untuk pegawai negeri
sipil (PNS) dan ABRI. Dibandingkan dengan jumlah dalam tahun 1995, jumlah tersebut
mengalami peningkatan sebanyak 4 perusahaan, yang merupakan perusahaan patungan baru
yang mendapat izin operasi yaitu 2 asuransi kerugian, 2 asuransi jiwa dan 1 asuransi jiwa
nasional. Namun dalam tahun yang sama, 1 perusahaan asuransi kerugian nasional
menghentikan usahanya. Bertambahnya perusahaan patungan ini merupakan suatu indikasi
bahwa pihak asing masih menaruh minat dan melihat peluang pasar asuransi nasional cukup
potensial.
Dalam tahun 1995, pendapatan premi bruto industri asuransi mengalami peningkatan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
152
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
sebesar 25,03 persen, yaitu dari sebesar Rp 5.851,2 miliar dalam tahun 1994 naik menjadi
sebesar Rp 7.315,9 miliar. Kontribusi premi bruto asuransi terhadap produk domestik bruto
(PDB) sektor bank dan lembaga keuangan lainnya juga mengalami peningkatan dari 33,04
persen dalam tahun 1994 menjadi sebesar 34,92 persen dalam tahun 1995. Sedangkan kontribusi
premi bruto asuransi terhadap PDB nasional juga mengalami peningkatan dari sebesar 1,55
persen dalam tahun 1994, menjadi sebesar 1,64 persen dalam tahun 1995. Komposisi besarnya
premi bruto yang berhasil dihimpun oleh perusahaan asuransi dalam tahun 1995, adalah asuransi
jiwa sebesar Rp 2.078,7 miliar (28,41 persen), asuransi kerugian dan reasuransi sebesar Rp
3.332,0 miliar (45,54 persen), program asuransi sosial dan jamsostek sebesar Rp 1.206,3 miliar
(16,49 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI sebesar Rp 698,9 miliar (9,55
persen). Dengan demikian kontribusi terbesar dalam pengumpulan premi bruto berasal dari
usaha asuransi kerugian dan reasuransi, yaitu mencapai sebesar 45,54 persen dari total premi
bruto.
Dari data rasio pendapatan premi bruto terhadap PDB di atas dapatlah disimpulkan
bahwa potensi industri asuransi nasional masih mempunyai prospek yang cukup besar untuk
ditumbuhkembangkan. Potensi ini juga tercermin dalam meningkatnya jumlah pemegang polis
asuransi jiwa yang dalam tahun 1994 jumlahnya sebanyak 14,9 juta jiwa naik menjadi sebanyak
19 juta jiwa dalam tahun 1995 atau naik sebesar 27,90 persen. Namun, jumlah ini masih relatif
kecil apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 193,7
juta jiwa atau jumlah pemegang polis baru mencapai sebesar 9,81 persen dari jumlah penduduk.
Di sisi lain, tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat yang cenderung terus meningkat
juga merupakan potensi bagi permintaan akan industri asuransi.
Sementara itu, jumlah kekayaan (total aset) perusahaan asuransi dalam tahun 1995
telah meningkat menjadi sebesar Rp 17.269,8 miliar, atau naik sebesar 19,80 persen dari jumlah
kekayaan dalam tahun 1994 yang sebesar Rp 14.415,4 miliar. Komposisi total aset dalam tahun
1995 tersebut adalah asuransi jiwa sebesar Rp 4.893,5 miliar (28,34 persen), program asuransi
sosial dan jamsostek sebesar Rp 3.601,7 miliar (20,86 persen), program asuransi untuk PNS dan
ABRI sebesar Rp 4.031,4 miliar (23,34 persen) serta asuransi kerugian dan reasuransi sebesar
Rp 4,743,2 miliar (27,46 persen).
Selanjutnya, perkembangan jumlah pembayaran ganti rugi (klaim) yang diberikan oleh
perusahaan asuransi kepada nasabahnya menunjukkan peningkatan. Apabila dalam tahun 1994,
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
153
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
jumlah ganti rugi yang dibayarkan sebesar Rp 2.018,7 miliar telah meningkat menjadi sebesar
Rp 2.455,0 miliar dalam tahun 1995, atau meningkat sebesar 21,61 persen. Dari jumlah tersebut
pembayaran ganti rugi yang diberikan oleh asuransi kerugian dan reasuransi sebesar Rp 1.014,9
miliar (41,34 persen), program asuransi untuk PNS dan ABRI sebesar Rp 620,1 miliar (25,26
persen), asuransi jiwa sebesar Rp 546,4 miliar (22,26 persen), dan program asuransi sosial dan
jamsostek sebesar Rp 273,6 mi1iar (11,14 persen).
Sebagaimana dengan jumlah kekayaan, nilai dana investasi sektor industri asuransi
Indonesia dalam tahun 1995 juga meningkat sebesar 25,66 persen dari tahun sebelumnya,
menjadi sebesar Rp 13.441,5 miliar (atau 77,83 persen dari jumlah kekayaan yang dimiliki).
Dari jumlah nilai investasi tersebut, asuransi jiwa menginvestasikan sebesar Rp 3.368,7 miliar
(25,06 persen), asuransi kerugian dan reasuransi sebesar Rp 3.023,9 miliar (22,50 persen),
program asuransi sosial dan jamsostek sebesar Rp 3.397,6 miliar (25,28 persen), dan program
asuransi untuk PNS dan ABRI sebesar Rp 3.651,3 miliar (27,16 persen).
Dari jumlah nilai investasi tersebut, sebagian besar ditempatkan dalam bentuk deposito
berjangka dan sertifikat bank Indonesia (SBI) sebagai alternatif investasi utama yang masingmasing sebesar Rp 7.140,7 miliar (53,12 persen) dan Rp 2.701,3 miliar (20,10 persen).
Selanjutnya, sebesar Rp 2.498,9 miliar (18,59 persen) diinvestasikan dalam bentuk promes,
obligasi, saham, tanah dan bangunan, hipotik, dan pinjaman polis, sedangkan sebesar Rp
1.100,4 miliar (8,19 persen) diinvestasikan ke penyertaan dan sektor lain-lain.
Sampai dengan tahun 1995, perkembangan neraca pembayaran untuk kegiatan asuransi
Indonesia menunjukkan posisi defisit yang semakin meningkat yaitu sebesar Rp 826.147 juta
atau naik sebesar 80,77 persen bila dibandingkan dengan jumlah defisit tahun 1994 yang sebesar
Rp 457.004 juta. Peningkatan defisit ini terjadi karena peningkatan ketidakseimbangan antara
penerimaan pertanggungan dari luar negeri dengan pembayaran pertanggungan ke luar negeri
dan peningkatan perbedaan klaim rasio dari premi asuransi yang diterima dari luar negeri
dengan klaim rasio dari premi asuransi yang dikeluarkan ke luar negeri. Keterbatasan
kemampuan permodalan industri asuransi menyebabkan kapasitas pertanggungan asuransi
nasional masih terbatas untuk menutup pertanggungan obyek asuransi yang besar. Di sisi lain,
kemampuan Indonesia sebagai negara maritim dalam melayani jasa asuransi dari angkutan
barang melalui laut untuk tujuan ekspor sangat minim, sehingga keadaan ini telah memberi
kesempatan bagi jasa asuransi asing untuk mendominasi asuransi angkutan barang melalui laut.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
154
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Perkembangan kegiatan industri asuransi dapat dilihat pada Tabel III.25 dan Grafik III.8.
3.8.2. Lembaga pembiayaan
Untuk mendorong tingkat pertumbuhan investasi yang tinggi perlu didukung oleh peran
serta masyarakat baik dalam penyediaan dana maupun dalam pemanfaatan dana. Peran serta
masyarakat tersebut dapat diwujudkan baik melalui lembaga keuangan perbankan maupun
lembaga keuangan bukan perbankan seperti asuransi, dana pensiun, pasar modal, lembaga
pembiayaan serta pegadaian.
Lembaga pembiayaan yang terdiri dari sewa guna usaha, anjak piutang, modal ventura,
kartu kredit, serta pembiayaan konsumen telah semakin penting peranannya dalam
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Lembaga ini yang merupakan salah
satu alternatif pembiayaan bagi dunia usaha telah turut memberi dinamika bagi dunia usaha.
Semakin beragamnya sumber pembiayaan akan semakin mendorong kompetisi di sektor
pembiayaan yang selanjutnya akan menghasilkan ongkos/biaya modal yang lebih murah.
Sesuai dengan arahan Repelita VI bahwa usaha kecil dan menengah termasuk koperasi
harus ditingkatkan peranannya agar mampu berperan sebagai tulang punggung perekonomian
nasional, maka modal ventura yang merupakan salah satu bentuk usaha pembiayaan adalah
sarana yang sangat tepat untuk mencapai tujuan ini. Oleh karena itu, dalam rangka
meningkatkan kinerja modal ventura dalam membantu usaha kecil dan menengah termasuk
koperasi, Pemerintah telah secara khusus mengarahkan modal ventura tersebut dengan
menentukan bahwa usaha modal ventura hanya boleh dilakukan secara khusus oleh suatu badan
usaha. Usaha pembiayaan lain seperti sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit serta
pembiayaan konsumen tetap dapat dilakukan secara bersamaan oleh suatu badan usaha.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
155
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel III. 26
PERKEMBANGAN KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN, 1988 -1995
( dalam miliar rupiah)
1988
1989
1990
1991
1992
1993
Jumlah Perusahaano
Kegiatan Usaha
- Nilai kontrak sewa guna usaha
- Nilai pembiayaan anjak piutang
- Nilai kontrak pembiayaan konsumen
- Nilai pembiayaan kartu kredit
Keadaan Keuangan
- Total aset
- Total equity
- Investasi bersih
Posisi Pinjaman
- Dalam Degen
- Luar Degen
83
1.873
1.873
-
101
2.885
2.885
-
119
5.810
4.746
55
1.009
-
132
5.825
3.944
306
1.571
4
144
6.274
3.748
784
1.530
212
9.090
4.562
2.239
2.210
2.138
262
1.761
1.686
531
1.155
3.090
433
2.754
2.181
907
1.274
6.589
936
5.311
2.769
1.293
1.476
8.191
1.195
6.743
5.339
1.936
3.403
9.998
1.560
7.795
6.099
2.798
3.301
11.758
1.883
9.227
7.277
3.809
3.468
7
1994
1995
206
16.674
5:953
5.297
4.475
949
254
25.867
8.498
11.662
5.425
282
19.067
3.347
14.787
12.612
7.172
5.440
23.899
4.215
18.719
17.692
10,442
7.250
Kebijaksanaan pokok yang meletakkan dasar bagi pengembangan lembaga pembiayaan
dimuat dalam paket kebijaksanaan Desember 1988 (Pakdes '88). Sebagai tindak lanjut dari
Paket ini, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijaksanaan yang pada pokoknya
memberikan kemudahan-kemudahan bagi perusahaan pembiayaan dan bagi masyarakat untuk
turut berpartisipasi dalam kegiatan perusahaan pembiayaan. Kemudahan-kemudahan tersebut
antara lain menyangkut penyederhanaan persyaratan dan prosedur perizinan, memberikan
kesempatan untuk meningkatkan partisipasi modal pihak asing dalam pendirian perusahaan
pembiayaan patungan hingga 85 persen dari modal disetor, dan kepastian jangka waktu
pemrosesan perizinan. Berbagai kebijaksanaan yang diambil Pemerintah tersebut di atas telah
berhasil mendorong pertumbuhan jumlah perusahaan, keadaan keuangan maupun kegiatan
usaha perusahaan pembiayaan.
Jumlah perusahaan pembiayaan dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan.
Sampai dengan akhir tahun 1995 terdapat sebanyak 254 perusahaan pembiayaan (tidak termasuk
perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan modal ventura). Jumlah ini meningkat
sebanyak 23 persen dari jumlah tahun 1994 yang sebanyak 206 perusahaan. Sementara itu,
keadaan keuangan perusahaan pembiayaan yang ditunjukkan oleh total aset dan investasi juga
menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Bila dalam tahun 1994 total aset adalah sebesar
Rp 19.067 miliar, maka dalam tahun 1995 telah meningkat menjadi sebesar Rp 23.899 miliar
atau peningkatan sebesar 25,3 persen. Demikian juga jumlah investasi meningkat sebesar 26,6
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
156
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
persen yaitu dari sebesar Rp 14.787 miliar dalam tahun 1994 menjadi sebesar Rp 18.719 miliar
dalam tahun 1995.
Kegiatan usaha pembiayaan terus mengalami peningkatan yang cukup pesat terutama
dalam dua tahun terakhir. Secara keseluruhan, nilai pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan
pembiayaan (tidak termasuk modal ventura) dalam tahun 1994 adalah sebesar Rp 16.674 miliar.
Jumlah ini dalam tahun 1995 meningkat menjadi sebesar Rp 25.867 miliar atau peningkatan
sebesar 55,1 persen.
Dalam pada itu, struktur nilai pembiayaan telah mengalami perubahan. Sampai dengan
tahun 1994, nilai pembiayaan sewa guna usaha adalah yang terbesar, disusul dengan anjak
piutang, pembiayaan konsumen dan pembiayaan kartu kredit. Dalam tahun 1995 nilai
pembiayaan anjak piutang menjadi yang terbesar, yaitu sebesar Rp 11.662 miliar atau naik
sebesar 120,2 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan nilai pembiayaan anjak piutang ini
memperlihatkan semakin banyaknya perusahaan yang memanfaatkan jasa anjak piutang, yang
ruang lingkup kegiatannya mencakup pembelian atau pengambilalihan dan pengurusan tagihan
jangka pendek suatu perusahaan atas transaksi perdagangan baik dalam negeri maupun luar
negeri. Adapun anjak piutang bertujuan antara lain memperlancar aliran kas suatu perusahaan,
yang selanjutnya akan dapat meningkatkan produktivitas perusahaan. Sedang nilai pembiayaan
sewa guna usaha dalam tahun 1995 mencapai sebesar Rp 8.498 miliar (naik sebesar 42,8 persen
dari tahun 1994). Nilai pembiayaan konsumen serta pembiayaan kartu kredit dalam tahun 1995
masing-masing mencapai sebesar Rp 5.425 miliar dan Rp 282 miliar.
Modal ventura sebagai perusahaan pembiayaan mempunyai ciri khusus, yaitu bahwa
modal ventura melakukan pembiayaan dengan melakukan penyertaan modal ke perusahaan
untuk suatu jangka waktu tertentu. Dengan demikian, perusahaan modal ventura dapat terlibat
dalam perbaikan atau pembenahan manajemen perusahaan. Hal ini sangat dibutuhkan oleh
perusahaan-perusahaan kecil dan menengah termasuk koperasi.
Dalam rangka meningkatkan peranan modal ventura, Pemerintah telah mengeluarkan
beberapa kebijaksanaan seperti ketentuan yang menetapkan bahwa usaha modal ventura hanya
boleh dilakukan secara khusus oleh suatu badan usaha. Selain itu, Pemerintah juga telah
mengambil inisiatif untuk mendirikan perusahaan-perusahaan modal ventura di berbagai daerah.
Dengan keberadaan perusahaan modal ventura di daerah-daerah diharapkan perusahaan-
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
157
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
perusahaan kecil dan menengah (termasuk koperasi) di daerah akan dapat berkembang lebih
cepat.
Berbagai kebijaksanaan yang diambil Pemerintah telah berhasil mendorong kegiatan
perusahan modal ventura secara berarti. Hal ini dapat dilihat baik dari perkembangan jumlah
perusahaan modal ventura, jumlah perusahaan pasangan usaha serta nilai penyertaan modal
ventura. Sampai dengan akhir Juni 1996 terdapat sebanyak 41 perusahaan modal ventura yang
telah tersebar di 20 propinsi di seluruh Indonesia. Sedangkan perusahaan pasangan usaha telah
mencapai sebanyak 383 perusahaan dengan nilai penyertaan sebesar Rp 226,4 miliar.
Sementara itu, arah kebijaksanaan pengembangan perusahaan pembiayaan selalu
diupayakan konsisten dengan arah kebijaksanaan keuangan dan moneter. Mengingat bahwa
kegiatan perusahaan pembiayaan secara tidak langsung dapat mempengaruhi jumlah uang
beredar, maka kegiatan perusahaan pembiayaan harus dikendalikan agar sesuai dengan keadaan
ekonomi nasional yang sedang dihadapi. Sejalan dengan itu, Pemerintah telah mengambil
kebijaksanaan terhadap lembaga pembiayaan berupa pembekuan pemberian izin baru bagi
pendirian perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan sewa guna usaha, anjak piutang,
kartu kredit, dan pembiayaan konsumen terhitung mulai tanggal 21 Desember 1995, pembatasan
pinjaman luar negeri setinggi-tingginya 15 kali dari modal sendiri, dan mengintensifkan
pengawasan kegiatan lembaga pembiayaan. Kebijaksanaan yarig akan ditempuh di bidang usaha
modal ventura adalah dengan meneruskan upaya pendirian perusahaan modal ventura di 7
propinsi yang belum mempunyai perusahaan modal ventura di daerahnya. Selain itu, juga akan
diupayakan pendirian perusahaan modal ventura di daerah tingkat II yang dipandang potensial.
Selanjutnya, Tabel III.26 memberikan gambaran lebih rinci mengenai perkembangan lembaga
pembiayaan sampai dengan tahun 1995.
3.8.3. Dana Pensiun
Dalam upaya meningkatkan tabungan dalam negeri terutama tabungan jangka panjang, Dana
Pensiun mempunyai kedudukan yang sangat strategis, karena pada dasarnya Dana Pensiun
menghimpun tabungan masyarakat yang mempunyai waktu jangka panjang. Mengingat sifatnya
sebagai tabungan jangka panjang, maka akumulasi dana yang terhimpun dari penyelenggaraan
program pensiun dapat digunakan untuk pembiayaan investasi jangka panjang seperti
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
158
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pembangunan infrastruktur dan proyek -proyek produktif yang menciptakan banyak lapangan
kerja. Pembangunan proyek-proyek ini pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan dan
pendapatan masyarakat.
Tabel Ill. 25
PERKEMBANGAN INDUSTRI ASURANSI DI INDONESIA BERDASARKAN
TOTAL ASET, PREMI BRUTO, PEMBA Y ARAN GANTI RUGI, DAN DANA INVESTASI, 1988 -1995
( dalam miliar rupiah)
Total Aset
Asuransijiwa
Asuransi sosial
Asuransi kerugian dan reasuransi
Jumlah
Premi Bruto
Asuransi jiwa
Asuransi sosial
Asuransi kerugian dan reasuransi
Jumlah
Pembayaran Ganti Rugi
Asuransi jiwa
Asuransi sosial
Asuransi kerugian dan reasuransi
Jumlah
Dana Investasi
Asuransijiwa
Asuransi sosial
Asuransi keruglan dan reasul'ansi
Jumlah
1988
1989
1990
1991
1992
1993 1)
1994
1995
799,1
1.930,10
1.177,00
3.906,20
985,6
2.424,10
1.580,60
4.990,30
1.212,90
2.891,50
2.137,60
6.242,00
1.628,80
3.639,80
2.603,30
7.871,90
1.911,50
4.297,00
2.808,80
9.017,30
2.349,20
5.600,90
3.317,10
11.267,20
4.018,00
6.505,70
3.891,70
14.415,40
4.893,50
7.633,10
4.743,20
17.269,80
298,7
350,2
888,6
1.537,50
346,7
391,9
1.093,80
1.832,40
455,4
458,1
1.341,20
2.254,70
562,1
588,8
1.666,30
2.817,20
770,1
756,4
1.954,80
3.481,30
1.062,00
1.324,90
2.032,50
4.419,40
1.625,10
1.539,00
2.687,10
5.851,20
2.078,70
1.905,20
3.332,00
7.315,90
469,9
171,9
344,9
986,7
532,5
175,3
483,6
1.191,40
277,7
214,4
524,1
1.016,20
523
285,8
721
1.529,80
564
360,1
706,6
1.630,70
892,8
616,4
978,1
2.487,30
369,5
708,6
972,7
2.018,70
546,4
893,7
1.014,90
2.455,00
595,9
1.781,40
710,2
3.087,50
730
2.248,00
1.010,90
3.988,90
914,1
2.680,80
1.402,00
4.996,90
1.291,20
3.274,10
1.705,00
6.170,30
1.529,20
3.869,80
1.746,20
7.145,20
1.819,50
5.007,60
1.989,70
8.816,90
2.614,90
5.669,40
2.412,30
10.696,60
3.368,70
7.048,90
3.023,90
13.441,50
1) Sesuai UU Nomor 2 Th. 1992, perusahaan asuransi yang melaksanakan program Asuransi Sosial
adalah PT Asuransi lasa Rahardja dan PT Asuransi Tenaga Kelja.
Program pensiun merupakan salah satu alternatif untuk memberikan jaminan
kesejahteraan kepada karyawan yang telah selesai masa baktinya. Jaminan tersebut diharapkan
dapat memperkecil masalah-masalah yang timbul berupa kesulitan dalam bidang keuangan
akibat tidak mampu lagi bekerja karena usia lanjut, dan kecelakaan yang mengakibatkan cacat
tubuh atau meninggal dunia. Sedangkan tujuan penyelenggaraan program pensiun, dilihat dari
sisi karyawan adalah untuk memberikan rasa aman dan ketenangan dalam bekerja. Rasa aman
dan ketenangan ini selanjutnya akan dapat meningkatkan motivasi, produktivitas serta loyalitas
pada perusahaan tempatnya bekerja. Sedang bila ditinjau dari sisi pemberi kerja, perusahaan
akan mempunyai nilai lebih dan daya saing dalam mendapatkan karyawan yang berkualitas dan
profesional. Dengan demikian penyelenggaraan program pensiun akan memberikan manfaat
baik bagi karyawan maupun bagi perusahaan.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
159
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Mengingat pentingnya Dana Pensiun bagi perekonomian nasional, Pemerintah telah
mengambil beberapa upaya untuk meningkatkan dan mendorong perkembangan Dana Pensiun.
Untuk memberikan landasan hukum yang kukuh bagi Dana Pensiun, telah ditetapkan dan
diberlakukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Dengan pemberian
landasan hukum yang kukuh ini diharapkan Dana Pensiun akan dapat berkembang secara baik
sesuai dengan perkembangan perekonomian nasional. Peran dan fungsi Dana Pensiun menurut
Undang-undang ini adalah sebagai lembaga penghimpun dana masyarakat yang bersifat jangka
panjang dan bermanfaat bagi sumber pembiayaan pembangunan ekonomi nasional dan sebagai
lembaga yang memberikan manfaat pensiun berupa kesinambungan penghasilan bagi pesertanya
di hari tua atau pada saat tidak mampu bekerja lagi.
Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-undang tersebut di atas, Pemerintah telah
mengambil beberapa kebijaksanaan baik yang dituangkan dalam peraturan pemerintah maupun
dalam surat keputusan Menteri Keuangan. Dalam kaitan ini, Peraturan Pemerintah Nomor 76
Tahun 1992 dan Nomor 77 Tahun 1992 masing-masing mengatur tentang Dana Pensiun
Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Sedangkan masalah-masalah seperti tata
cara permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun
Lembaga Keuangan, persyaratan pengurus dan dewan pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja,
maksimum iuran dan manfaat pensiun, laporan keuangan Dana Pensiun, pendanaan dan
solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja serta investasi Dana Pensiun telah diatur lebih lanjut
dalam beberapa surat keputusan Menteri Keuangan.
Selanjutnya, ketentuan tentang pendanaan dan solvabilitas Dana Pensiun Pemberi
Kerja (DPPK) mengatur antara lain tentang tanggung jawab pendiri terhadap pendanaan
pensiun, pendanaan dan solvabilitas program pensiun manfaat pasti (PPMP), pendanaan
program pensiun iuran pasti (PPIP), tanggung jawab pendiri terhadap penyetoran iuran ke Dana
Pensiun serta aktuaris untuk PPMP. Pengaturan hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk
memberikan jaminan terpeliharanya kesinambungan penghasilan peserta pada saat pensiun atau
pihak yang berhak apabila peserta meninggal dunia. Selain itu, pengaturan tersebut juga
ditujukan agar penyelenggaraan PPMP diselenggarakan secara terarah dan terjamin
kelangsungannya.
Di sisi lain, ketentuan tentang Investasi Dana Pensiun ditujukan agar investasi
kekayaan Dana Pensiun dikelola secara sehat dan baik. Ketentuan ini mengatur antara lain
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
160
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kewajiban pengurus dalam pengelolaan investasi kekayaan Dana Pensiun. Lebih lanjut
ditentukan, bahwa pengelolaan kekayaan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun
Lembaga Keuangan hanya boleh ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dan sertifikat
deposito pada bank, saham, obligasi dan surat berharga lain yang tercatat di bursa efek
Indonesia kecuali opsi dan waran, surat berharga pasar uang (SBPU), penyertaan langsung pada
saham, surat pengakuan hutang berjangka waktu lebih dari satu tahun (maksimum 15 persen),
dan pada tanah serta bangunan di Indonesia (maksimum 15 persen). Selain itu, ditetapkan
bahwa dalam rangka penyebaran risiko, investasi pada satu obyek ditentukan tidak boleh
melebihi 10 persen dari jumlah investasi Dana Pensiun.
Berbagai kebijaksanaan yang ditempuh tersebut di atas, telah berhasil mendorong
kegiatan Dana Pensiun. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Dana Pensiun baik dari segi
kelembagaan, jumlah kekayaan, investasi, dan iuran.
Dalam tahun 1995 jumlah Dana Pensiun mencapai sebanyak 185 yang terdiri dari 167
Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan 18 Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
Sampai dengan 17 Desember 1996 jumlah Dana Pensiun meningkat sebesar 41,1 persen
menjadi sebanyak 261 yang terdiri dari 239 DPPK dan 22 DPLK.
Berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan Dana Pensiun, jumlah kekayaan (total
aset) Dana Pensiun juga mengalami peningkatan yang cukup berarti, yaitu meningkat dari
sebesar Rp 9,69 triliun pada akhir Desember 1994 menjadi sebesar Rp 14,25 triliun pada akhir
Desember 1995 atau terjadi peningkatan sebesar 47,06 persen. Peningkatan dalam kekayaan
Dana Pensiun ini diikuti pula oleh peningkatan dalam investasi Dana Pensiun. Pada akhir
Desember 1994, investasi Dana Pensiun adalah sebesar Rp 7,49 triliun dan pada akhir Desember
1995 mencapai sebesar Rp 10,07 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 34,4 persen.
Peningkatan yang terjadi dalam jumlah Dana pensiun, kekayaan dan investasi juga
diikuti oleh peningkatan jumlah iuran Dana Pensiun. Bila pada akhir Desember 1994, iuran
Dana Pensiun baru mencapai sebesar Rp 616 miliar, maka pada akhir Desember 1995 jumlah ini
meningkat sebesar 85,12 persen atau menjadi sebesar Rp 1.140,4 miliar.
Sementara itu, penyelenggaraan pembayaran pensiun pegawai negeri sipil (PNS) di
seluruh Indonesia telah dilimpahkan Pemerintah kepada PT Taspen. Pada akhir Desember 1994,
PT Taspen telah melayani pensiun PNS sebanyak 1.522,1 ribu orang dengan jumlah
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
161
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pembayaran pensiun sebesar Rp 2.904,3 miliar. Jumlah ini pada akhir Desember 1995
meningkat masing-masing menjadi sebanyak 1.533,9 ribu orang dan Rp 3.382,2 miliar.
Sedangkan besarnya iuran PNS pada akhir tahun 1994 dan 1995 masing-masing sebesar Rp
453,4 miliar dan Rp 470 miliar.
3.8.4. Pegadaian
Di samping lembaga keuangan perbankan dan lembaga pembiayaan, pegadaian telah
semakin penting dirasakan keberadaannya, terutama oleh masyarakat golongan ekonomi lemah,
mengingat lapisan masyarakat inilah yang secara nyata tidak dapat sepenuhnya akses ke sumber
pembiayaan seperti perusahaan pembiayaan dan perbankan yang ada. Pegadaian ini selain turut
melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang
ekonomi dan pembangunan nasional, juga berperan dalam meneegah adanya praktek ijon,
pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Dalam usahanya pegadaian mengkhususkan
kegiatannya untuk memberikan pelayanan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai
dengan cara mudah, cepat, aman dan hemat.
Mengingat pentingnya peranan pegadaian dalam pembangunan nasional, Pemerintah
senantiasa mendorong perkembangannya, antara lain dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 tanggal 10 April 1990 tentang Perubahan Status Hukum dari
Perusahaan Jawatan (Perjan) menjadi Perusahaan Umum (perum) Pegadaian. Dengan perubahan
status ini pegadaian lebih dimungkinkan untuk meningkatkan maksimum pinjaman yang
diberikan, menerbitkan obligasi dan melakukan diversifikasi usaha. Sejak berubah status
menjadi Perum, Pegadaian telah menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah pinjaman yang diberikan, laba bersih serta jumlah nasabah yang
dilayani. Jumlah pinjaman yang diberikan mengalami peningkatan yang cukup berarti, yaitu
sebesar 38,60 persen, dari Rp 1.039,9 miliar pada akhir tahun 1994, menjadi Rp 1.441,3 miliar
pada akhir tahun 1995. Sementara itu, laba bersih yang berhasil diraih Perum ini juga
mengalami peningkatan cukup besar yaitu mencapai sebesar 53,57 persen, dari Rp 11,2 miliar
pada akhir tahun 1994 menjadi Rp 17,2 miliar pada akhir tahun 1995. Nasabah yang dilayani
juga meningkat sebesar 13,92 persen, yaitu dari 4.176.754 orang pada akhir tahun 1994, menjadi
4.757.964 orang pada akhir tahun 1995.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
162
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Dalam perkembangannya, untuk menggali pendapatan usaha, selain melakukan usaha
pokoknya yaitu memberikan pinjaman kepada masyarakat, Perum Pegadaian juga rnelakukan
perluasan usaha yaitu melalui jasa taksiran dan jasa titipan. Setelah diperkenalkan dalam tahun
1994, usaha ini menunjukkan peningkatan pendapatan yang cukup berarti masing-masing
sebesar 67 persen untuk jasa taksiran dan 53,5 persen untuk jasa titipan, walaupun secara
absolut masih relatif kecil dibandingkan dengan pendapatan yang berasal dari kegiatan
pokoknya. Selain itu, Perum Pegadaian juga mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga untuk
pembangunan gedung kantor dan perkantoran dengan sistem bangun, kelola dan alih (build,
operate and transfer-BOT).
Sementara itu, di beberapa kota besar Perum Pegadaian juga mengadakan perluasan
usaha dengan menyediakan fasilitas pegadaian untuk berbagai macam perhiasan emas bermutu
tinggi. Di Denpasar, Perum Pegadaian memberikan pelayanan kepada pengrajin perak untuk
mendapatkan bahan baku perak setengah jadi dengan kualitas standar. Seperti diketahui Perum
Pegadaian tidak diperbolehkan menarik dana secara aktif dari masyarakat seperti halnya
perbankan, oleh karena itu sumber permodalan Perum Pegadaian selain berasal dari modal
sendiri juga dapat diperoleh dengan memanfaatkan jasa perbankan, pinjaman jangka panjang
yang berasal dari kredit likuiditas Bank Indonesia dan dengan menerbitkan obligasi.
Sebagai salah satu BUMN, Perum Pegadaian terus berupaya untuk meningkatkan
kinerja dan citra perusahaan sehingga dapat berperan lebih besar dalam perekonomian
Indonesia. Untuk itu sasaran pengembangan Perum Pegadaian pada periode mendatang adalah
mengusahakan peningkatan omzet kredit yang diberikan kepada masyarakat sebesar 20 persen
per tahun dan peningkatan laba bersih sebesar 30 persen per tahun. Selain itu, diharapkan pada
periode yang akan datang pendapatan dari usaha-usaha lain dapat menyumbang minimal 2
persen dari laba usaha. Sejalan dengan itu, Perum Pegadaian telah mempersiapkan langkahlangkah untuk mencapainya yaitu dengan melaksanakan pemanfaatan kantor cabang,
meningkatkan pelayanan nasabah, meningkatkan produktivitas di seluruh bidang kegiatan,
meningkatkan
efisiensi
dan
efektivitas
pengeluaran uang perusahaan serta dengan
mengembangkan produk baru.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
163
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
3.9. Pasar modal
Pasar modal Indonesia dari tahun ke tahun menjadi wahana yang semakin menarik baik
bagi dunia usaha maupun pemilik modal, dan menjadi semakin penting peranannya. Bagi dunia
usaha, pasar modal dapat dijadikan sebagai sarana untuk menawarkan berbagai macam efek
sesuai dengan kebutuhan dana yang diperlukan dengan tingkat biaya dana yang relatif murah. Di
lain pihak, bagi investor, pasar modal merupakan salah satu wahana investasi yang dapat
memberikan keuntungan yang menarik dalam bentuk "capital gain" maupun "deviden" melalui
kepemilikan berbagai saham yang dipilih sesuai dengan pendapatan yang diharapkan dan
pertimbangan tingkat risiko yang wajar.
Berbagai upaya pengembangan pasar modal telah dan sedang ditempuh Pemerintah
melalui berbagai langkah, baik dalam bentuk kebijaksanaan yang berupa penetapan peraturan
perundang-undangan, pembenahan kelembagaan, maupun pemberian fasilitas-fasilitas lainnya
yang dapat menunjang kegiatan pasar modal. Di samping itu, Pemerintah juga terus menerus
berusaha menciptakan iklim yang dapat mendorong perkembangan pasar modal, antara lain
dengan kebijaksanaan ekonomi makro yang berhati-hati dan mendorong swakarsa pelaku pasar
modal itu sendiri.
Sementara itu, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sebagai
pengganti Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 merupakan suatu karya bersejarah di bidang
pasar modal. Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 yang terdiri alas 18 bab dan 116 pasal antara
lain menganut prinsip keterbukaan dan menekankan perlindungan bagi investor di pasar modal.
Selain itu, undang-undang tersebut juga mengatur kegiatan pasar modal agar dapat berjalan
lancar, efisien dan likuid. Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995
tersebut telah dikeluarkan dua peraturan pemerintah, yaitu masing-masing Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal dan Nomor
46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal, tiga keputusan Menteri
Keuangan, dan sekitar 100 keputusan Ketua Bapepam. Dengan berlakunya Undang-undang
Pasar Modal yang baru dan peraturan pelaksanaannya tersebut maka semakin terjamin kepastian
hukum bagi para pelaku maupun profesi penunjang pasar modal dalam kegiatan pasar modal di
Indonesia.
Perkembangan lain yang cukup penting dalam kegiatan pasar modal selama periode
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
164
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Januari 1996-November 1996 adalah dengan dialihfungsikannya PT Kliring Deposit Efek
Indonesia (PT KDEI) menjadi lembaga penyelesaian dan penyimpanan (LPP) efek pada awal
Juli 1996 dan terbentuknya lembaga kliring dan penjaminan (LKP) dengan nama PT Kliring
Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) pada awal Agustus 1996. PT KDEI yang pada awalnya
berfungsi menangani proses kliring dan penyelesaian transaksi efek untuk selanjutnya hanya
menangani kegiatan penyimpanan efek.
Guna meningkatkan peranan investor lokal kecil di pasar modal, maka telah ditetapkan
tahun 1996 sebagai tahun reksadana. Adapun usaha reksadana adalah kegiatan usaha yang
menerima titipan dana dari investor yang kemudian dana tersebut diinvestasikan kembali dalam
bentuk pembelian sekuritas baik di pasar modal maupun di pasar uang atau pasar hutang sesuai
dengan kebijaksanaan manajer investasinya. Undang-undang Pasar Modal (UUPM) tahun 1995
telah membuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan usaha reksadana,
baik yang terbuka maupun tertutup. Adapun reksadana terbuka adalah penerbitan Saham atau
unit penyertaan reksadana oleh suatu perusahaan reksadana dan dijual kepada investor dimana
investor yang membeli reksadana tersebut setiap saat dapat menjual kembali sahamnya kepada
perusahaan reksadana yang mengeluarkannya. Sedang reksadana tertutup tidak memberi
kemungkinan bagi pembeli saham reksadana untuk menjualnya kembali kepada perusahaan
penerbit reksadana. Dengan dikembangkannya kegiatan usaha reksadana diharapkan peran serta
investor lokal dalam pasar modal Indonesia yang dewasa ini jumlahnya diperkirakan sekitar 0,2
persen dari jumlah penduduk Indonesia dapat ditingkatkan yang pada gilirannya dapat
memperkuat fundamental pasar modal di Indonesia.
Selain itu, guna lebih meningkatkan kegiatan pasar modal, dalam bulan September
1996 telah ditandatangani kerjasama antara Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) dengan Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) yang antara lain bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya, potensi,
dan kemampuan dari kedua belah pihak dalam ikut aktif mengembangkan pasar modal. Lingkup
kegiatan yang dikerjasamakan antara lain mencakup pertukaran informasi dan data yang
dimiliki masing-masing pihak, mengadakan seminar, workshop dan melakukan penyebaran
informasi, serta pembinaan emiten maupun calon emiten, khususnya anggota AEI dalam
penyusunan laporan keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan.
Selanjutnya, dalam rangka ikut menunjang program pemerataan pendapatan
masyarakat yang sedang digalakkan oleh Pemerintah dewasa ini, AEI juga telah melakukan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
165
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pengalihan saham perusahaan yang "go public" kepada koperasi. Sebanyak 13 emiten telah
mengalihkan 10,39 juta lembar sahamnya kepada 187 koperasi dengan nilai sebesar Rp 6,9
miliar.
Di
samping
pendirian
Pusat
Informasi
Pasar
Modal
(PIPM),
guna
lebih
memasyarakatkan seluk beluk kegiatan pasar modal, terutama di lingkungan perguruan tinggi,
telah dibuka sarana informasi pasar modal di beberapa tempat, yang dikenal dengan "Pojok
BEJ", seperti di Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Trisakti Jakarta, Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, serta di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. "Pojok
BEJ" tersebut berfungsi antara lain memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya di
kalangan perguruan tinggi, tentang peran dan manfaat pasar modal sebagai salah satu alat
investasi yang menguntungkan bagi investor. Dengan demikian masyarakat maupun investor
akan dapat memperoleh informasi yang lebih akurat dalam mengikuti perkembangan Bursa Efek
Jakarta.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditempuh Pemerintah di atas serta partisipasi
positif dari pelaksana dan penyelenggara pasar modal telah berhasil mendorong kegiatan pasar
modal secara berarti. Hal ini ditunjukkan bukan hanya dan data yang bersifat kuantitatif seperti
misalnya jumlah perusahaan yang "go public", volume, dan nilai perdagangan saham tetapi juga
dari data yang bersifat kualitatif seperti peningkatan kualitas keterbukaan informasi pasar
modal, serta diberlakukannya praktek yang bersifat internasional di pasar modal Indonesia.
Sementara itu, di Bursa Efek Surabaya (BES) telah diperkenalkan suatu sistim baru
yang disebut sebagai S-MART atau Surabaya Market Information and Automated Remote
Trading dengan nilai investasi yang ditanamkan sebesar Rp 3 miliar. Informasi pasar dan sistem
perdagangan jarak jauh itu dimungkinkan dengan menggunakan fasilitas jaringan Pasopati yang
disediakan oleh PT Telekomunikasi Indonesia. Dengan fasilitas S-MART tersebut
dimungkinkan adanya mekanisme perdagangan lelang periodik setiap lima menit. Dengan
demikian sistem tersebut membuka peluang investor dan perusahaan emiten menghitung harga
terbaik bagi suatu saham. Selain itu diperkenalkan pulajaringan SSX-net (Surabaya Stock
Exchange-internet) yang merupakan fasilitas penyebaran informasi berbasis internet. Dengan
fasilitas tersebut perusahaan sekuritas dapat melakukan transaksi melalui terminal komputer
masing-masing yang sudah "on-line" ke BES.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
166
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Kegiatan transaksi di lantai bursa tidak terlepas kaitannya dengan peran pelaku
pendukung pasar modal seperti perusahaan sekuritas. Perusahaan sekuritas yang terdaftar di
Bursa Efek Jakarta (BEJ) sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 berjumlah 226 perusahaan
efek. Dari jumlah tersebut, 100 perusahaan merupakan perusahaan penjamin emisi efek, yang
sebagian besar dapat berperan sebagai perusahaan perantara pedagang efek (PPE) maupun
manajer investasi, 111 perusahaan PPE yang lima diantaranya dapat juga bergerak di bidang
manajer investasi, dan 15 perusahaan lainnya hanya bergerak di bidang manajer investasi.
Perkembangan yang cukup penting dan menarik perhatian masyarakat dalam tahun
1996 ini adalah "go public" nya salah satu bank pemerintah, jaitu PT (Persero) Bank BNI 1946.
BUMN tersebut menawarkan sekitar 25 persen kepemilikan sahamnya kepada masyarakat atau
sebanyak 1,085 miliar saham dengan nilai nominal Rp 500. Di pasar perdana, saham tersebut
ditawarkan pada tingkat harga Rp 850 dan telah dicatatkan di lantai bursa pada tanggal 25
November 1996, setelah masa penawaran umum dari tanggal 4-7 November 1996. Pada
transaksi hari pertama setelah dicatatkan, di lantai Bursa Efek Jakarta (pasar sekunder) saham
tersebut mencatat gain sebesar Rp 400 atau menjadi Rp 1.250, sehingga investor menikmati
keuntungan dan capital gain lebih dari 47 persen.
Sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 jumlah kumulatif perusahaan yang telah
mendapatkan persetujuan Bapepam untuk menawarkan efeknya kepada masyarakat berjumlah
322 perusahaan emiten dengan nilai kumulatif emisi sebesar Rp 61,34 triliun. Dari jumlah
perusahaan emiten tersebut, masing-masing 267 perusahaan menawarkan sahamnya dengan
nilai kumulatif emisi sebesar Rp 49,8 triliun, dan 55 perusahaan menerbitkan obligasi, obligasi
konversi maupun sekuritas kredit dengan nilai kumulatif sebesar Rp 11,54 triliun. Dari segi
jumlah perusahaan emiten berarti peningkatan masing-masing 19 emiten saham dan 5 emiten
obligasi dan sejenisnya dibandingkan periode tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 27
perusahaan sekaligus menawarkan saham dan obligasinya. Perusahaan-perusahaan tersebut
terbagi ke dalam sembilan sektor, masing-masing sektor pertanian, pertambangan, industri
dasar, aneka industri, industri konsumsi, properti, infrastruktur, keuangan, serta perdagangan
dan jasa. Di samping itu, reksadana yang telah melakukan emisi berjumlah 22 perusahaan, 21
diantaranya merupakan reksadana berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK) dan satu
reksadana berbentuk perseroan yang menerbitkan reksadana tertutup.
Peranan pasar modal dalam menghimpun dana antara lain dapat dilihat dari nilai emisi
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
167
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kumulatif saham tercatat maupun nilai kapitalisasi pasar. Nilai kumulatif emisi saham sampai
dengan 27 Desember 1996 telah mencapai Rp 49,8 triliun atau meningkat sebesar 40,68 persen
dibandingkan nilai kumulatif emisi saham sampai dengan akhir tahun 1995 yang sebesar Rp
35,4 triliun. Sementara jumlah kumulatif emisi saham telah mencapai 24,98 miliar lembar, atau
mengalami peningkatan sebesar 124,84 persen dibanding jumlah kumulatif saham sampai
dengan akhir tahun sebelumnya yang sebanyak 11,11 miliar lembar. Di sisi lain, dalam periode
yang sama jumlah kumulatif emisi obligasi mencapai 805.474 lembar dengan nilai kumulatif
emisi sebesar Rp 11,54 triliun, atau suatu peningkatan masing-masing 2,18 persen dan 32,8
persen bila dibandingkan jumlah dan nilai kumulatif emisi obligasi sampai dengan akhir tahun
sebelumnya, yang masing-masing sebesar 788.264 lembar dengan nilai kumulatif emisi sebesar
Rp 8,69 triliun.
Sementara itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ)
mengalami perkembangan yang bervariasi sesuai dengan perkembangan di lantai bursa. Dalam
tahun 1996, sampai dengan tanggal 27 Desember, indeks ditutup pada angka 637,43 atau 123,59
poin (24,1 persen) lebih tinggi dibandingkan angka indeks akhir tahun sebelumnya yang berada
pada tingkat 513,84. IHSG di BEJ pada tanggal 27 Desember 1996 tersebut juga merupakan
angka indeks tertinggi selama tahun 1996. Indeks harga terendah terjadi dalam bulan Januari
1996 yang mencapai angka 512,48.
Dalam perkembangan lainnya, nilai kapitalisasi pasar di BEJ pada tanggal 27 Desember
1996 telah mencapai Rp 215,0 triliun, dari sejumlah 77,24 miliar saham yang tercatat di lantai
bursa. Hal ini berarti terjadi peningkatan nilai kapitalisasi sebesar Rp 62,75 triliun atau sekitar
41,22 persen dibandingkan pada akhir tahun lalu yang sebesar Rp 152,25 triliun. Peningkatan
tersebut di samping disebabkan karena bertambahnya perusahaan-perusahaan yang "go public"
dan mencatatkan sahamnya di lantai bursa juga karena bertambahnya saham akibat pencatatan
saham perusahaan (company listing), penerbitan right issue, saham bonus dan lain-lain.
Sedangkan nilai transaksi perdagangan saham di BEJ yang selama tahun 1995 mencapai Rp
32,36 triliun, selama tahun 1996 (sampai dengan tanggal 27 Desember) telah meningkat menjadi
Rp 75,73 triliun atau meningkat lebih dari dua kali lipat. Rata-rata nilai perdagangan harian
selama tahun 1996 juga mengalami lonjakan yang cukup berarti bila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, yaitu naik dari Rp 131,53 miliar dalam tahun 1995 menjadi Rp 304,1 miliar dalam
tahun 1996.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
168
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Di sisi lain, kegiatan di Bursa Efek Surabaya (BES) juga mengalami perkembangan
yang cukup berarti. Nilai kapitalisasi pasar pada tanggal 27 Desember 1996 telah mencapai Rp
187,6 triliun yang berarti suatu peningkatan sebesar 18,11 persen dibandingkan dengan nilai
kapitalisasi pasar pada akhir tahun sebelumnya yang sebesar Rp 158,84 triliun. Sementara itu,
nilai transaksi perdagangan selama tahun 1996 telah mencapai Rp 4,1 triliun dari sebanyak 1,55
miliar saham yang diperdagangkan.
Lebih jauh, sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 PT Danareksa telah menerbitkan
12 jenis sertifikat saham senilai Rp 222,8 miliar, masing-masing 2 jenis sertifikat saham
perusahaan senilai Rp 7,8 miliar, 2 jenis sertifikat dana unit saham pendapatan abadi senilai Rp
60 miliar, 5 jenis sertifikat dana unit umum senilai Rp 75 miliar, dan 3 jenis sertifikat dana unit
saham senilai Rp 80 miliar.
Prospek pasar modal Indonesia diperkirakan cukup cerah dalam era pasar global abad
ke 21 mendatang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan tetap kuat dan tingkat inflasi
yang diperkirakan akan lebih terkendali merupakan beberapa faktor ekonomi makro yang
penting yang dapat mendorong kegiatan pasar modal. Di samping itu, potensi pasar yang cukup
besar baik dilihat dari banyaknya jumlah perusahaan yang potensial untuk "go public" maupun
dilihat dari jumlah pemodal potensial mendukung prospek pasar modal yang cukup cerah
tersebut. Hal lain yang penting dalam rangka pengembangan pasar modal adalah pemantapan
kualitas dan integritas sumber daya manusia pendukung pasar modal. Sumber daya manusia
yang memiliki kualitas dan integritas tinggi akan dapat meningkatkan kegiatan pasar modal
yang efisien, aman, lancar, dan likuid.
Untuk mempertegas misi dan visi kegiatan pasar modal Indonesia pada abad ke 21
mendatang serta untuk menjadikan pasar modal Indonesia sebagai salah satu pasar modal
terkemuka di kawasan Asia, Bapepam bekerjasama dengan masyarakat pasar modal (Capital
Market Society, CMS), telah mengeluarkan Cetak Biru Pasar Modal Indonesia (Indonesian
Capital Market Blue Print), yaitu suatu Rencana Pengembangan Lima Tahun yang merupakan
panduan dan kerangka dasar dalam melakukan kegiatan usaha di pasar modal. Cetak biru ini
pada pokoknya menetapkan lima strategi pengembangan pasar modal yakni peningkatan
kelangsungan hidup ekonomis industri efek, standar yang tinggi untuk keamanan dan kualitas
jasa, mengupayakan agar biaya transaksi dan jasa tetap rendah, ketaatan penuh terhadap prinsip
keterbukaan, serta mempertahankan pasar yang wajar dan teratur.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
169
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Perkembangan pasar modal antara lain ditentukan oleh kerjasama dan pengertian antara
Pemerintah, pelaku, dan pendukung pasar modal. Bila kerjasama dan pengertian tersebut dapat
dibina dan masing-masing pihak menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh dedikasi dan
profesionalisme yang tinggi, maka pasar modal Indonesia diharapkan akan dapat menjadi salah
satu pasar modal terbesar di Asia Tenggara. Pemerintah bertekad untuk mengerahkan segala
daya dan upaya untuk memberikan dukungan yang optimal bagi pengembangan pasar modal.
Demikian juga diharapkan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pasar modal tetap
mempertahankan komitmen yang kuat terhadap pasar modal. Dengan demikian harapan untuk
menjadikan pasar modal Indonesia menjadi salah satu yang terbesar dan terbaikdi Asia
Tenggara akan dapat terwujud.
Perkembangan jumlah perusahaan emiten yang telah mendapatkan persetujuan Bapepam untuk
melakukan emisi saham, obligasi dan sekuritas kredit serta sertifikat saham yang telah
diterbitkan oleh PT Danareksa dapat dilihat pada Tabel III.27, Tabel III.28, dan Tabel
III.29
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
170
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel III.27
BEBERAPA INDIKATOR KEGIATAN DI PASAR MODAL DAN
PERDAGANGAN SAHAM DI BURSA EFEK JAKARTA
1984 - 1996
Jumlah
Nilai
Nilai
kumulatif
kumulatif
rata-rata
Jumlah
emisi
emisi
perdagangan
perusahaan
perdana
perdana
perdana
(juta saham)
(miliar Rp)
(miliar Rp)
Akhir
periode
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember I)
24
24
24
24
25
67
132
145
162
181
192
207
216
231
233
236
243
248
248
248
248
248
248
257
257
259
260
261
263
267
57
57
57,2
57,2
68,4
308,7
965,4
1.178,50
1.761,40
3.338,50
4.023,50
5.391,70
5.783,40
6.401,90
6.715,90
7.685,60
8.849,60
11.110,90
11.583,50
11.838,80
12.394,60
13.126,40
15.294,70
17.082,40
17.082,40
17.144,30
19.113,70
21.030,30
21.917,10
24.983,40
128,9
128,9
129,4
129,4
173,7
2.260,50
8.009,40
8.976,10
11.161,80
16.065,00
18.909,00
23;157,2
24.751,20
26.528,60
27.062,10
28.630,70
30.914,30
35.395,00
35.867,50
36.122,90
36.803,10
37.877,10
40.122,20
42.284,50
42.284,50
42.360,80
44.703,80
46.530,10
47.432,40
49.801,4.
0,01
0,01
0,01
0,02
0,12
3,9
30,6
23,58
32,2
77,59
138,74
55,65
105,49
113,03
82,33
133,1
136,19
176,84
228,84
298,Q4
262,16
327,42
248,l8
261,45
291,69
246,42
300,42
301,15
362,3
547,79
IHSG
67,68
66,53
69,69
82,58
305,12
399,69
417,79
247,39
274,33
588,76
492,37
457,29
497,97
469,64
428,64
492,27
493,24
513,84
578,55
585,2
585,7
623,9
617,46
594,25
536,02
547,61
573,93
568,02
613,01
637,43
I) Sampai dcngan tanggal 27 Desember 1996.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
171
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel IIl. 28
PERKEMBANGAN JUMLAH EMISI OBLIGASI DAN SEKURITAS
PERUSAHAANIBADAN USAHA DI PASAR MODAL,
1934 - 1996
Jumlah
kumulatif
Jumlah
Akhir
periode
perusahaan kumulatif emisi
perdana
(Iembar) (miliar Rp)
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Maret
Juni
September
Desember
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juti
Agustus
September
Oktober
November
Desember I)
3
3
3
3
9
22
23
24
34
43
43
46
46
46
46
48
49
50
50
50
50
51
51
53
53
53
53
54
54
55
269.730
282.170
285.915
296.145
322.475
358.764
380.244
384.032
653.788
725.074
741.534
748.588
748.588
763.448
771.372
782.350
784.934
788.264
788.264
788.264
788.264
789.634
789.634
797.414
797.414
797.414
801.914
802.654
803.964
805.474
154,7
354,7
404,7
535,7
935,7
1.555,20
2.090,20
2.215,20
3.856,70
5.761,70
6.011,70
6.261,70
6.261,70
6.691,30
7.291,20
8.325,90
8.425,90
8.694,40
8.694,40
8.694,40
8.694,40
8.894,40
8.894,40
10.594,40
10.594,40
10.594,40
10.685,50
10.885,50
11.035,50
11.535,50
1) Sampai dengan tanggal 27 Desember 1996
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
172
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel III.29
PERKEMBANGAN JUMLAH SERTIFIKAT YANG DITERBITKAN
OLEH PT DANAREKSA,
1984 -1996
Akhir
Jumlah
Nilai
Jumlah
perdana
periode
perusahaa
kumulatif
(Iembar)
(juta Rp )
-2
-1
-3
-4
7
1984
Desember
7.420.300
72.793,30
8
1985
Desember
10.920.300
107.793,30
10
1986
Desember
15.420.300
152.793,30
11
1987
Desember
16.920.300
167.793,30
11
1988
Desember
16.920.300
167.793,30
12
1989
Desember
20.680.000
172.793,30
15
1990
Desember
30.680,90
272.793,30
15
1991
Desember
30.680,90
272.793,30
13
1992
Desember
26.180.900
227.793,30
12
1993
Desember
25.780.900
222.793,30
12
1994
Maret
25.780.900
222.793,30
12
Juni
25.780.900
222.793,30
12
September
25.780.900
222.793,30
L2
Desember
25.780.900
222.793,30
12
1995
Maret
25.780.900
222.793,30
12
Juni
25.780.900
22i 793,3
12
September
25.780.900
22 .793,3
12
Desember
25.780.900
222.793,30
12
1996
Januari
25.780.900
222.793,30
12
Februari
25.780.900
222.793,30
12
Maret
25.780.900
222.793,30
12
April
25.780.900
222.793,30
12
Mei
25.780.900
222.793,30
12
Juni
25.780.900
222.793,30
12
Juti
25.780.900
222.793,30
12
Agustus
25.780.900
222.793,30
12
September
25.780.900
222.793,30
12
Oktober
25.780.900
222.793,30
12
November
25.780.900
222.793,30
Desember I)
25.780.900
222.793,30
12
I) Sampai dengan tanggal27 Desember 1996
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
173
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
BAB IV
PERDAGANGAN LUAR NEGERI DAN NERACA PEMBAYARAN
4.1. Pendahuluan
Selama tahun 1996 perekonomian dunia berada dalam keadaan stabil tanpa adanya suatu
gejolak yang berarti. Hal ini dimungkinkan oleh usaha-usaha yang dilakukan untuk tetap
mempertahankan ataupun memperbaiki kinerja ekonomi masing-masing negara dengan
melaksanakan kebijaksanaan secara ketat terhadap dampak dari pada pasar global.
Kecenderungan membaiknya perekonomian dunia dapat dilihat dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi di semua kelompok negara dalam tahun 1996 dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, baik itu kelompok negara-negara industri, kelompok negara-negara dalam
transisi maupun negara-negara berkembang. Secara keseshruhan pertumbuhan ekonomi dunia
dalam tahun 1996 diperkirakan berada pada tingkat 3,8 persen, dengan demikian mengalami
sedikit peningkatan dibanding dengan tahun 1995 yang berada pada tingkat 3,5 persen.
Perkembangan perekonomian dunia dalam tahun 1996 juga ditandai dengan stabilnya
suku bunga intemasional, baik LIBOR, SIBOR maupun "US Prime Rate", yang berada pada
kisaran angka yang tidak jauh berbeda sepanjang tahun. Demikian juga nilai tukar SDR terhadap
dolar Amerika Serikat tidak mengalami fluktuasi yang berarti. Di samping itu, perkembangan
harga minyak bumi di pasaran dunia menunjukkan perkembangan yang menguntungkan negaranegara pengekspor minyak bumi seperti Indonesia, dimana harga minyak bumi dalam tahun
1996 berada di atas harga tahun-tahun sebelumnya, dan merupakan harga tertinggi dalam lima
tahun belakangan ini. Menguatnya perekonomian dunia tidak diikuti oleh peningkatan volume
perdagangan dunia, yang dalam tahun 1996 melemah dibanding tahun sebelumnya. Demikian
juga defisit transaksi berjalan dunia secara keseluruhan mengalami peningkatan dibanding tahun
yang lalu.
Membaiknya perekonomian dunia tersebut juga mendorong membaiknya perekonomian
Indonesia yang dalam tahun 1996 diperkirakan dapat dipertahankan pada tingkat pertumbuhan
yang tetap tinggi. Namun demikian defisit transaksi berjalan diperkirakan mengalami
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
174
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
peningkatan yang cukup berarti sebagai akibat dari menaiknya pertumbuhan impor yang tidak
dapat diimbangi dengan peningkatan pertumbuhan ekspor, dan masih tingginya defisit transaksi
jasa-jasa. Dalam tahun 1996 perkembangan ekspor non migas, yang diharapkan dapat
mengurangi tekanan terhadap defisit transaksi berjalan, menunjukkan penampilan yang kurang
menggembirakan. Melambatnya pertumbuhan ekspor non migas ini disebabkan relatif kurang
mampunya produksi dalam negeri menghadapi persaingan perdagangan intemasional. Dalam
menghadapi meningkatnya persaingan, peranan penanaman modal asing diharapkan dapat
mendorong peningkatan ekspor non migas. Untuk itu perlu diciptakan kondisi yang dapat
mendukung peningkatan penanaman modal asing, dengan tetap konsisten membuat perbaikanperbaikan melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang berkesinambungan.
Dalam upaya menghadapi perdagangan intemasional yang bebas, negara-negara maju
diharapkan mau memberi peluang yang lebih besar kepada negara-negara berkembang dengan
menjamin kelancaran perdagangan internasional, tanpa membuat hambatan-hambatan terhadap
akses pasar dari negara-negara berkembang. Dengan demikian diharapkan negara-negara
berkembang dapat mengembangkan diri, dan akhimya akan mempersempit kesenjangan antara
negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Dalam rangka Kerja Sarna Ekonomi
Asia Pasifik (APEC) , semua anggotanya diharapkan dapat memupuk kemitraan sederajat yang
saling menguntungkan demi kepentingan dan tanggung jawab bersama.
Sehubungan dengan itu, dalam pertemuan puncak Pemimpin Ekonomi Forum Kerja
Sama Ekonomi Asia Pasiftk (APEC) ke-4 di Subic, Filipina, telah dikeluarkan "Deklarasi
Pemimpin Ekonomi APEC: dari Visi ke Aksi". Inti dari pada deklarasi tersebut merupakan
persetujuan para pemimpin APEC untuk memulai liberalisasi perdagangan dan investasi mulai 1
Januari 1997. Deklarasi tersebut juga menyatakan bahwa pencapaian bersama pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan, peningkatan kesempatan kerja, dan stabilitas kawasan yang
merupakan hasil kesepakatan bersama untuk meningkatkan kebijakan yang berorientasi
pertumbuhan, dan partisipasi yang lebih luas di bidang ekonomi regional maupun global. Di
bidang perdagangan intemasional telah ditegaskan pentingnya sistem perdagangan multilateral
yang terbuka berdasarkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
4.2. Perkembangan ekonomi dan moneter intemasional dalam tahun 1996
Dalam tahun 1995, ekspansi ekonomi di banyak negara industri dan sebagian negara-negara
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
175
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
berkembang di kawasan Amerika Latin tampak melemah walaupun di negara-negara
berkembang kawasan sub-Sahara Afrika dan Timur Tengah terlihat cukup kuat. Negara-negara
berkembang di kawasan Asia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup moderat, sehingga
sedikit mengurangi kekhawatiran terjadinya gejala ekonomi yang memanas. Sementara itu,
situasi perekonomian di negara-negara transisi terus membaik yang terlihat dari meredanya
kemerosotan produksi di negara-negara tersebut. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi
dunia dalam tahun 1995 sedikit mengalami penurunan dengan laju sebesar 3,5 persen
dibandingkan dengan 3,7 persen dalam tahun sebelumnya.
Dalam tahun 1996, diperkirakan terjadi sedikit percepatan dalam pertumbuhan
ekonomi dunia sehingga diharapkan dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dunia menjadi
sebesar 3,8 persen, dan diperkirakan menguat lebih jauh ke angka 4 persen dalam tahun 1997.
Negara-negara industri, setelah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dalam tahun 1995
sebesar 2,1 persen, diperkirakan meraih pertumbuhan yang sedikit lebih kuat dalam tahun 1996,
yaitu sebesar 2,3 persen. Namun demikian, pola pertumbuhan di negara-negara industri sejak
penghujung tahun 1995 telah menjadi tidak merata dimana ekspansi ekonomi yang makin kuat
dialami oleh Amerika Serikat dan Jepang, sementara kelambanan aktivitas ekonomi di sebagian
besar negara-negara industri Eropa masih berlanjut.
Pengetatan kondisi moneter dan naiknya tingkat bunga obligasi yang terjadi dalam
tahun 1994 telah memperlambat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, Inggris dan Australia
dalam tahun 1995, dari tingkat pertumbuhan yang jauh di atas tingkat pertumbuhan potensialnya
ke tingkat pertumbuhan yang lebih aman dari ancaman inflasi (non inflationary growth). Dalam
tahun 1995 itu juga, pertumbuhan ekonomi yang melambat tampak lebih nyata di negara-negara
industri Eropa yang memiliki mata uang kuat, khususnya Jerman, Perancis, Swiss, dan negaranegara lain yang mempunyai kaitan erat dengan mata uang deutsche mark (DM). Sementara itu,
pertumbuhan yang cukup baik dialami oleh negara-negara yang mata uangnya mengalami
depresiasi pada tahun-tahun belakangan ini, khususnya Italia, Spanyol, dan Swedia. Penurunan
pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Jerman, Perancis, Swiss, dan negara-negara lain yang
mempunyai keterkaitan dengan DM menimbulkan kekhawatiran mengingat bahwa masih
terdapatnya situasi penggunaan sumber daya dan alat-alat produksi yang jauh di bawah
kapasitasnya (undercapacity) disamping tingginya tingkat pengangguran. Berbeda halnya
dengan Jepang, kemerosotan ekonomi yang cukup lama, yang dimulai dalam tahun 1991 telah
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
176
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
membuka jalan bagi kepulihan ekonomi selama tahun 1995 dengan dukungan kebijaksanaankebijaksanaan fiskal dan moneter serta langkah koreksi yang besar terhadap nilai yen yang
terlalu tinggi.
Di Amerika Serikat, dalam permulaan tahun 1996 tanda-tanda menguatnya
pertumbuhan kembali menjadi nyata, yang sebagian mencerminkan respon perekonomian
negara tersebut terhadap tiga kali penurunan dalam suku bunga jangka pendek sejak
pertengahan tahun 1995, dan juga penurunan dalam tingkat bunga obligasi selama tahun
tersebut. Tanda-tanda percepatan aktivitas ekonomi juga tampak jelas di Kanada, menyusul
penurunan tingkat bunga yang cukup besar di negara tersebut dan meningkatnya ekspansi
ekonomi Amerika Serikat yang juga memberikan pengaruh terhadap perekonomian Kanada.
Aktivitas ekonomi yang menguat juga terjadi di Australia dimana pertumbuhan konsumsi
swasta dan investasi usaha telah dimulai kembali. Di Jepang, penantian panjang bagi pemulihan
ekonomi akhirnya terwujud juga. Meskipun produksi nasional selama tahun 1995 tumbuh
sedikit di bawah 1 persen, namun pertumbuhan yang begitu kuat dalam kuartal I tahun 1996
merupakan indikasi bahwa pemulihan ekonomi yang sudah lama ditunggu-tunggu kini terlihat
jelas. Langkah-Iangkah yang diambil pemerintah Jepang untuk memberikan rangsangan fiskal
dalam tahun 1995 yang lalu telah memainkan peranan penting dalam menghidupkan kembali
permintaan. Selain daripada itu, pelonggaran kebijaksanaan moneter, yang menyebabkan
turunnya tingkat bunga diskonto resmi dari 1 persen menjadi 0,5 persen dalam bulan September
1995, juga memberi sumbangan bagi pemulihan ekonomi.
Berbeda dengan tahun 1995, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi pada sebagian
negara-negara Eropa mengalami penurunan dan sebagian lainnya mengalami peningkatan,
perkembangan di awal tahun 1996 memperlihatkan kelesuan ekonomi yang hampir merata.
Meskipun terdapat tanda-tanda perbaikan di pertengahan tahun 1996 di beberapa negara,
khususnya di Jerman, namun kebangkitan ekonomi yang lebih umum masih belum nyata.
Perrnintaan konsumen masih tetap rendah, khususnya bila dibandingkan dengan pemulihan
permintaan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat. Selanjutnya, dengan kepercayaan
kalangan dunia usaha yang terus memburuk, produksi sektor industri di awal tahun 1996
merosot di sejumlah negara, termasuk Jerman dan Italia. Pengangguran juga terus meningkat di
sebagian Eropa, mencapai tingkat tertinggi di Perancis. Sementara itu, di Inggris, Italia,
Spanyol, dan di banyak negara Eropa yang lebih kecil, tersendatnya ekspor ke mitra dagang
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
177
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Eropa lainnya telah menyumbang pula terhadap penurunan pertumbuhan.
Namun demikian, sejak akhir tahun yang lalu, penurunan suku bunga yang terjadi
berturut-turut di Jerman, Perancis, dan di beberapa negara Eropa lainnya telah cukup
memperlonggar kondisi moneter secara menyeluruh di banyak negara, bersamaan dengan
melemahnya DM dan mata uang-mata uang lain yang berkaitan dengannya. Selain dari itu,
dengan usaha-usaha yang kuat kearah konsolidasi fiskal, perpaduan kebijaksanaan (policy mix)
pada umumnya telah dapat memberikan arah yang lebih kondusif bagi pertumbuhan jangka
menengah. Di beberapa negara, seperti Italia, Spanyol, dan Swedia, kemajuan dalam konsolidasi
fiskal ini telah memperkecil premium resiko dalam tingkat bunga dan membantu mengoreksi
kembali mata uang-mata uang yang mengalami penurunan nilai. Peningkatan aktivitas ekonomi
di negara-negara tersebut mulai tumbuh dan permintaan konsumen mulai stabil.
Dengan perkiraan bahwa indikasi-indikasi tersebut dapat mendorong pemulihan
produksi yang cukup moderat selama para kedua tahun 1996, pertumbuhan ekonomi Eropa
secara keseluruhan diproyeksikan sebesar 1,5 persen dalam tahun 1996. Namun demikian,
seberapa besar perkiraan kekuatan pemulihan tersebut belum begitu jelas. Pemulihan di Eropa
mungkin lebih lemah dari yang diproyeksikan karena terkekang oleh dampak kontraksi jangka
pendek dari langkah kebijaksanaan konsolidasi fiskal yang sedang dilaksanakan di sebagian
besar negara-negara Uni Eropa, di samping adanya ketidakpastian mengenai pelaksanaan
kebijaksanaan dan kekhawatiran terhadap tingkat pengangguran yang cukup tinggi.
Tingkat inflasi yang rendah tetap menjadi faktor pendorong khusus dalam aktivitas
ekonomi di hampir semua negara industri. Laju inflasi rata-rata di negara-negara industri secara
keseluruhan tetap rendah, yaitu sebesar 2,4 persen dalam tahun 1995, dan 2,3 persen dalam
tahun 1996. Keberhasilan dalam mempertahankan laju inflasi yang rendah umumnya bersumber
dari komitmen yang kuat para pembuat kebijaksanaan untuk mencapai tingkat stabilitas harga
yang paling tinggi. Namun meningkatnya kompetisi global juga berperan penting dalam
menurunkan inflasi tersebut, dengan menyempitnya ruang bagi kenaikan upah dan peningkatan
harga yang berlebih-lebihan.
Di negara-negara yang sedang berkembang, pertumbuhan produksi yang mencapai
sebesar 5,9 persen dalam tahun 1995, merupakan kelanjutan dari ekspansi ekonomi yang kokoh,
yang sudah berlangsung di awal dekade 1990-an, sementara rata-rata inflasi menurun cukup
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
178
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
banyak menjadi sebesar 19,8 persen. Dalam tahun 1996, pertumbuhan keseluruhan negaranegara berkembang diperkirakan mencapai 6,3 persen, dengan inflasi yang diperkirakan
menurun lebih jauh di sebagian besar negara. Kemajuan penting lainnya yang diperkirakan
dapat dicapai ialah keberhasilan di dalam mengurangi ketidakseimbangan fiskal di sebagian
besar negara-negara berkembang.
Di negara-negara berkembang kawasan Amerika Latin, menyusul kinerja ekonomi yang
mengecewakan di tahun 1995, pertumbuhan diperkirakan membaik menjadi 3 persen dalam
tahun 1996, dan inflasi menurun lebih jauh. Di Meksiko, kebijaksanaan fiskal dan moneter yang
ketat telah membantu dalam mengurangi inflasi selama para pertama tahun 1996, menyumbang
terhadap peningkatan permintaan konsumen dan kalangan usaha, menurunkan tingkat bunga,
dan menstabilkan mata uang peso. Pertumbuhan ekonomi negeri ini dalam tahun 1996 mungkin
dapat mencapai 3,6 persen dengan laju inflasi mendekati 25 persen. Di Argentina, didorong oleh
menguatnya tingkat konsumsi domestik dan melonggarnya kondisi perkreditan, produksi
nasionalnya diperkirakan meningkat sebesar 2,5 persen dalam tahun 1996, jauh lebih baik
dibandingkan dengan kemerosotan sebesar minus 4,4 persen dalam tahun sebelumnya. Rencana
stabilisasi mata uang yang dilaksanakan di Brazil terus berlanjut dalam rangka menekan inflasi
di bawah 1 persen sebulan, tetapi berdampak terhadap produksi nasional yang diperkirakan
menurun menjadi 2,5 persen dalam tahun 1996. Di Chili, meskipun gejala-gejala inflasi terasa
meningkat di awal tahun sebagai akibat naiknya harga minyak dan gandum, Namun inflasi
diperkirakan tidak begitu tinggi di para kedua tahun 1996. Hal tersebut sebagai dampak dari
pengetatan kondisi moneter yang diterapkan oleh pemerintah Chili, termasuk dinaikkannya
target suku bunga bank sentral. Pertumbuhan produksi nasional dalam tahun 1996 juga
diperkirakan cukup baik yaitu 7,4 persen.
Menyusul perbaikan yang nyata dalam kinerja perekonomian negara-negara berkembang
kawasan Afrika dalam tahun 1994 dan 1995, terdapat optimisme bahwa pertumbuhan akan
kembali menguat dalam tahun 1996, dan tingkat inflasi mungkin menurun lebih jauh dalam
tahun ini, yang merupakan tahun ketiga penurunan inflasi secara berturut-turut sejak tahun 1994.
Banyak negara-negara Afrika memperoleh manfaat dari adanya konsolidasi fiskal, penurunan
laju inflasi, keikutsertaan sektor swasta yang lebih besar di dalam perekonomian, liberalisasi
perdagangan, dan nilai tukar yang lebih realistis.
Di Afrika Selatan, menguatnya ekspor dan investasi swasta telah menyumbang terhadap
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
179
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
tingkat pertumbuhan yang lebih baik dalam tahun 1996 yang diperkirakan sebesar 4 persen.
Meskipun terjadi depresiasi yang cukup berarti dalam mata uang rand di awal tahun 1996 dan
besamya defisit anggaran, namun dengan adanya pengetatan kondisi moneter diperkirakan dapat
menekan laju inflasi pada tingkat yang moderat. Di Kenya, menyusul penurunan yang terjadi di
paro kedua tahun 1995, pertumbuhan meningkat di kuartal pertama tahun 1996, dan
diperkirakan mencapai 5 persen untuk seluruh tahun. Sementara itu, didukung oleh langkah
pengurangan defisit fiskal lebih jauh dan kebijaksanaan pengendalian kredit, inflasi di negara ini
diproyeksikan tetap di bawah 5 persen. Pengendalian yang ketat terhadap permintaan dan
tingkat upah di Aljazair, diperkirakan dapat menurunkan inflasi ke tingkat sekitar 17 persen
dalam tahun 1996, sementara produksi nasionalnya diproyeksikan naik sekitar 4 persen dengan
topangan dari ekspansi produksi hidrokarbon. Kondisi perekonomian Zambia tetap sulit selama
para pertama tahun 1996 sebagai akibat meningkatnya impor bahan pangan yang banyak
menyusul musim kering yang terjadi dalam tahun 1995, dan juga merosotnya harga tembaga. Di
Nigeria, pertumbuhan dalam tahun 1996 diperkirakan agak menguat meskipun terjadi
kemandekan di sektor perminyakan, sementara inflasi di negara tersebut diproyeksikan
menurun.
Di antara negara-negara berkembang di Asia, kebijaksanaan-kebijaksanaan pengetatan
telah dilakukan sebagai jawaban atas meningkatnya kekhawatiran terhadap tekanan-tekanan
inflasi dan memburuknya posisi-posisi eksternal. Pertumbuhan ekspor di sejumlah negara Asia
telah menurun kecepatannya selama tahun 1995, dan langkah ekspansi ekonomi diperkirakan
agak melambat dalam periode mendatang. Inflasi di kawasan ini diproyeksikan menurun lebih
lanjut di tahun 1996 menjadi sekitar 8 persen.
Di Malaysia dan Thailand, pengetatan kondisi moneter yang lebih awal diperkirakan
baru dapat dirasakan hasilnya secara penuh pada akhir tahun 1996 karena pertumbuhan ekonomi
agak melambat, dalam rangka mengurangi risiko memanasnya perekonomian. Inflasi di kedua
negara tersebut diperkirakan sedikit meningkat selama tahun 1996.
Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan diperkirakan menurun menjadi 7 persen dalam
tahun 1996 disebabkan terjadinya penurunan ekspor dan volume investasi dibandingkan dengan
ekspansi yang berlangsung sangat cepat di tahun 1995. Pengeluaran untuk konsumsi dan
konstruksi diperkirakan tetap kuat, sementara inflasi agak meningkat sebagai akibat naiknya
harga pangan. Di Cina, pengendalian yang ketat atas persetujuan investasi dan perkreditan telah
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
180
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
membantu dalam memperlambat laju pertumbuhan dan meredakan inflasi dalam tahun 1996,
tetapi otoritas Cina perlu melanjutkan kondisi moneter yang ketat untuk menjamin bahwa inflasi
masih tetap dalam batas-batas yang ditargetkan.
Aspek pertumbuhan juga diperkirakan tetap membaik di sejumlab negara-negara Asia
lainnya. Di Filipina, proses penyesuaian ekonomi dan pemulihan sekarang ini sedang
berlangsung di negara tersebut menyusul kesulitan-kesulitan ekonomi yang telah dialami pada
waktu-waktu sebelumnya. Situasi ekonomi makro di Vietnam tetap baik dengan pertumbuhan
yang kuat terus berlanjut dan inflasi menurun selama tahun 1996. Di India, ekspansi ekonomi
diperkirakan menurun sebagai akibat adanya hambatan-hambatan yang bersifat struktural dan
tingginya suku bunga riil yang ditimbulkan oleh paduan kebijaksanaan defisit fiskal yang besar
dan kondisi moneter yang ketat.
Di negara-negara berkembang kawasan Timur Tengah dan Eropa, menyusul kegiatan
ekonomi yang membaik dalam tahun 1995, pertumbuhan ekonomi diperkirakan agak menguat
menjadi 3,9 persen dalam tahun 1996. Di Kuwait dan Saudi Arabia, langkah-langkah untuk
menghilangkan defisit anggaran belanja yang besar melalui pengurangan-pengurangan dalam
pengeluaran, dalam jangka pendek telah menimbulkan dampak yang mengekang aktivitas
ekonomi negara-negara tersebut. Di Mesir, sejumlah reformasi ekonomi yang dilakukan
belakangan ini yang menyangkut privatisasi dan deregulasi, diperkirakan dapat membantu
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut sebesar 4 persen dalam tahun 1996,
yang merupakan laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 1987. Sementara itu, kebijaksanaan
fiskal dan moneter yang berhati-hati di Jordania seharusnya berlanjut dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan yang kuat dengan inflasi yang rendah. Kegagalan dalam
melaksanakan reformasi ekonomi yang dibutuhkan telah menyumbang terhadap berulangnya
kesulitan-kesulitan ekonomi di Turki. Pertumbuhan diproyeksikan melambat dari 7,5 persen
dalam tahun 1995 menjadi 4,8 persen dalam tahun 1996, dan laju inflasi diperkirakan tetap
berkisar antara 80 sampai 90 persen dalam tahun tersebut.
Di negara-negara dalam transisi, aktivitas ekonomi diproyeksikan cukup stabil dalam
tahun 1996 setelah selama lima tahun mengalami kemerosotan. Sejumlah negara-negara dalam
transisi diperkirakan mencatat pertumbuhan sebesar 5 persen atau lebih. Keberhasilan dalam
pengendalian inflasi juga diperoleh, dan beberapa di antaranya berhasil mencatat laju inflasi
dalam angka satu digit.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
181
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Di negara-negara yang lebih maju dalam proses transisi tersebut, pertumbuhan yang
berkelanjutan dan kemajuan-kemajuan yang lebih jauh kearah stabilisasi keuangan, diperkirakan
terus berlangsung. Di Polandia, menguatnya permintaan di dalam negeri diperkirakan
menyumbang terhadap kelangsungan pertumbuhan yang kuat dengan inflasi yang menurun.
Permintaan dalam negeri yang kuat di Republik Ceko seharusnya juga mendukung pertumbuhan
yang kuat dengan inflasi yang rendah. Kemajuan yang mantap dalam menurunkan laju inflasi
telah berlangsung di negara-negara lainnya, termasuk Estonia, Latvia dan Lithuania.
Pertumbuhan yang berlanjut juga diperkirakan berlangsung di negara-negara ini, namun prospek
jangka pendek di beberapa negara, termasuk Lithuania telah terpengaruh oleh masalah-masalah
sektor perbankan yang terjadi di penghujung tahun 1995. Di Republik Slowakia, pertumbuhan
dalam tahun 1996 ini diperkirakan berlangsung moderat yaitu sebesar 6,5 persen, menurun dari
7,4 persen di tahun sebelumnya. Sernentara itu, pertumbuhan di Hongaria diperkirakan
melambat menjadi sekitar 1 persen dalam tahun 1996, yang mencerminkan mengetatnya
kebijaksanaan fiskal di negara tersebut dan rnelambatnya pertumbuhan di Eropa Barat. Inisiatifinisiatif kebijaksanaan yang dilakukan belakangan ini telah membantu dalam memulihkan
keseimbangan ekonomi makro, dimana defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan menurun
dengan tajam, dan telah meletakkan dasar bagi pemulihan ekonomi di negara tersebut.
Di antara negara-negara yang kurang maju dalam proses transisi, penundaan-penundaan
dalarn melakukan reformasi yang dibutuhkan maupun kesalahan-kesalahan dalam penerapan
kebijaksanaan, telah membawa kepada ketidakstabilan pasar uang. Di Bulgaria, krisis devisa
dan perbankan yang muncul ke permukaan pada pertengahan tahun 1995 yang lalu bersumber
dari kegagalan dalam menyelesaikan masalah disiplin keuangan yang lemah dan telah berurat
berakar di sektor perbankan dan perusahaan. Upaya-upaya saat ini sedang dilakukan untuk
memperbaiki situasi ekonomi makro di Bulgaria melalui sebuah program penyesuaian yang
didukung oleh IMF, namun sebagai akibat adanya kekacauan di sektor finansial, pertumbuhan
mengalami kemandekan dan inflasi meningkat tinggi. Di Rumania, krisis devisa telah
memuncak di awal tahun 1996 sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan pengawasan
administratif terhadap pasar devisa. Kernudian, sebagai akibat tidak adanya kebijaksanaan fiskal
dan moneter yang memadai, tekanan ke arah meningkatnya inflasi makin membesar sehingga
memaksa pemerintah untuk melakukan pengendalian harga di bulan Agustus 1996.
Di Rusia, meskipun terdapat sejumlah peningkatan dalam volatilitas pasar uang dalam
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
182
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
minggu-minggu menjelang pemilihan presiden, namun pasar devisa relatif tetap tenang.
Terdapat kemajuan yang cukup berarti dalam upaya pengendalian inflasi dalam tahun 1996, dan
laju inflasi keseluruhan di tahun itu adalah 51,2 persen, menurun lebih jauh dari inflasi tahun
1995 yang mencapai 190,2 persen. Pertumbuhan ekonomi Rusia diperkirakan membaik dalam
paro kedua tahun 1996 meskipun untuk keseluruhan tahun diperkirakan masih mengalami
pertumbuhan yang minus yaitu minus 1,3 persen. Pertumbuhan yang agak kuat diperkirakan
berlanjut di Armenia, demikian juga di Georgia. Sebaliknya di Belarus, Azerbaijan dan
Uzbekistan, diperkirakan terjadi penurunan pertumbuhan lebih jauh sebagai akibat tidak adanya
reformasi dan disiplin ekonomi makro serta adanya kesalahan-kesalahan dalam penerapan
kebijaksanaan (lihat Tabel IV.1 dan Tabel IV.2).
Di bidang moneter internasional, perkembangan-perkembangan yang bersifat siklus
tercermin dalam perkembangan pasar uang negara-negara industri dalam tahun 1996. Suku
bunga jangka pendek di Kanada dan sebagian besar negara- negara Eropa telah menurun cukup
besar sejak awal tahun 1996, dimana umumnya otoritas moneter akan memperlonggar kondisi
moneter apabila pertumbuhan ekonomi terasa melemah dan tingkat inflasi cukup rendah.
Sementara itu, di Amerika Serikat dan Jepang dimana pertumbuhan ekonomi telah menjadi
lebih kuat, suku bunga jangka pendek sedikit meningkat. Suku bunga jangka panjang terlihat
bergerak ke atas di sebagian besar negara di awal tahun 1996, namun kemudian memperlihatkan
variasi yang berbeda-beda, yaitu naik cukup besar di Amerika Serikat dan juga di beberapa
negara lainnya, namun menurun di sejumlah negara dimana aktivitas ekonominya melemah.
Perubahan-perubahan di dalam perbedaan-perbedaan tingkat bunga intemasional telah berperan
dalam menguatnya dolar AS secara moderat terhadap sebagian besar mata uang utama lainnya.
Pasar devisa dalam bulan-bulan belakangan ini pada umumnya tenang, dimana mata
uang-mata uang yang tergabung ke dalam mekanisme nilai tukar (ERM, Exchange Rate
Mechanism) sejak kuartal kedua tahun 1996 berfluktuasi dalam area yang sempit, yang
mendekati nilai paritas tengahnya. Secara umum, rendahnya tingkat inflasi di negara-negara
industri, dan meningkatnya keyakinan bahwa Uni Moneter dan Ekonomi (EMU, Economic and
Monetary Union) akan berhasil seperti yang direncanakan, semuanya telah menyumbang
terhadap kestabilan di pasar devisa pada waktu belakangan ini.
Perkembangan di pasar valuta asing dalam tahun 1996, dolar Amerika Serikat telah
mengalami apresiasi lebih jauhterhadap sebagian besar mata uang utama lainnya. Setelah sedikit
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
183
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
menurun dari nilai tertinggi yang dicapai sekitar pertengahan tahun 1996, nilai dolar AS dalam
bulan September 1996 terlihat menguat, yaitu 6 persen lebih tinggi dibandingkan dengan
nilainya di awal tahun terhadap yen Jepang dan franc Swiss, dan 4 persen lebih tinggi terhadap
DM dan franc Perancis. Sementara itu, nilai pound sterling terhadap dolar AS kurang lebih tidak
berubah dalam periode ini. Satu-satunya mata uang utama yang mengalami apresiasi cukup
berarti terhadap dolar AS selama tahun 1996 adalah lira Italia. Nilai lira di awal September
adalah 4,5 persen lebih tinggi terhadap dolar AS dan 7,5 persen lebih tinggi terhadap DM dari
nilai yang terjadi pada akhir tahun 1995. Dibandingkan dengan nilainya dalam bulan April
1995, dolar AS di awal September 1996 adalah 34 persen lebih tinggi terhadap yen, 9,5 persen
terhadap DM, dan 8 persen lebih tinggi dalam artian nilai efektif nominal.
Berlanjutnya apresiasi dolar AS selama tahun 1996, sebagian disebabkan oleh adanya
gerakan dalam perbedaan tingkat bunga dari aset-aset dalam denominasi dolar AS dan juga oleh
bertambah kuatnya ekonomi Amerika Serikat. Sementara itu, penurunan nilai yen lebih jauh
mempunyai kaitan dengan terjadinya percepatan penurunan dalam surplus transaksi berjalan
Jepang. Kenaikan nilai dolar AS yang cukup moderat selama tahun 1996, khususnya terhadap
yen Jepang, DM, franc Swiss, dan apresiasi lira Italia terhadap dolar AS, dapat dipandang
sebagai membawa nilai tukar dari mata uang-mata uang tersebut ke tingkat yang lebih konsisten
dengan nilai tukar fundamentalnya. Membaiknya konfigurasi nilai tukar di antara mata uangmata uang utama bisa membantu untuk menjelaskan mengapa fluktuasi dalam nilai tukar telah
menjadi yang sangat kecil dalam beberapa tahun, meskipun secara umum tingkat inflasi yang
rendah juga memungkinkan untuk menyumbang terhadap stabilitas pasar devisa.
Pergerakan sejumlah mata uang yang mendekati nilai tukar yang konsisten dengan nilai
tukar fundamentalnya, dan membaiknya pasar devisa telah membantu pula menjelaskan
mengapa akumulasi cadangan devisa resmi dalam tahun 1996 menjadi lebih kecil dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Dalam tahun 1995, intervensi skala besar untuk menopang dolar AS
telah berperan terhadap peningkatan yang begitu besar dalam cadangan devisa dunia sejak tahun
1987.
Pergerakan dalam harga-harga pasar saham di negara-negara industri dalam tahun 1996 telah
lebih merata di semua negara dan lebih moderat dibandingkan dengan tahun 1995. Indeksindeks utama harga saham di sebagian besar negara pada awal September 1996 adalah antara 6
persen sampai.12 persen lebih tinggi dibandingkan dengan di awal tahun 1996. Di Amerika
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
184
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Serikat dan Inggris, peningkatan harga saham sangat lamban dibandingkan dengan tahun lalu,
hal mana sebagian mencerminkan terjadinya perubaban haluan dalam pasar obligasi.
Peningkatan harga-harga saham yang sedang-sedang saja di Amerika Serikat, secara khusus
telah berfungsi pula menahan melebarnya perbedaan hasil antara hasil saham dengan hasil asetaset finansial lainnya yang memberikan penghasilan bunga. Sebaliknya dengan Jerman dan
Perancis, harga-harga saham mengalami kenaikan dalam tahun 1996 ini dari pada tahun
sebelumnya.
Tabel IV.1
LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA ,
1994 – 1996
(dalam persentase)
Kelompok negara
1995
1996 1)
1994
A.Dunia
B. Negara-negara industri
Tujuh negara industri utama
1. Jepang
2. Amerika Serikat
3. Jerman
4. Inggris
5. Perancis
6. Italia
7. Kanada
Negara-negara industri lainnya
C. Negara-negara berkembang
1. Afrika
2. Asia
3. Amerika Latin
4. Eropa dan Timur Tengah
D. Negara-negara dalam transisi
1. Eropa Timur dan Tengah
2. Rusia
3. Asia Tengah dan Transkaukasus
E. Negara-negara Asean
1. Malaysia
2. Filipina
3. Singapura
4. Thailand
5. Brunei Darussalam
6. Indonesia
7. Vietnam
3,7
2,8
2,8
0,5
3,5
2,9
3,9
2,8
2,2
4,1
3
6,6
2,9
9,1
4,7
0,5
-8,8
-2,9
-15
-13,7
3,5
2,1
2
0,9
2
1,9
2,5
2,2
3
2,3
2,8
5:J
3
8,6
0,9
3,6
-1,3
1,2
-4
-4,4
3,8
2,3
2,2
3,5
2,4
1,3
2,2
1,3
1,1
1,4
2,3
6,3
5
8
3
3,9
0,4
1,6
-1,3
0,6
9,2
4,4
10,1
8,8
3
7,54
8,8
9,5
4,8
8,9
8,7
3
8,21 2)
9,5
8,8
5,9
7,5
8,3
2
7,82 3)
9,5
1) Angka perkiraan
2) Angka sementara
3) Angka sangat sementara
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
185
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel IV.2
LAJU INFLASI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA, 1994 - 1996
(dalam persentase)
Kelompok negara
1995
1996 1)
1994
A. Negara-negara industri
Tujuh negara industri utama
1. Jepang
2. Amerika Serikat
3. Jerman
4. Inggris
5. Perancis
6. Italia
7. Kanada
Negara-negara industri lainnya
B. Negara-negara berkembang
1. Afrika
2. Asia
3. Amerika Latin
4. Eropa dan Timur Tengah
C. Negara-negara dalam transisi
1. Eropa Timur dan Tengah
2. Rusia
3. Asia Tengah dan Transkaukasus
D. Negara.negara ASEAN
1. Malaysia
2. Filipina
3. Singapura
4. Thailand
5. Brunei Darussalam
6. Indonesia
7. Vietnam
2,3
2,2
0,7
2,6
2,7
2,4
1,7
4
0,2
3,1
46,8
36,8
13,4
210,9
31,5
264,8
152,9
302
1.610,70
2,4
2,3
-0,1
2,8
1,8
2,8
1,8
5,2
1,9
3
19,8
32,1
10,9
35,6
32,5
128
75,4
190,2
258,7
2,3
2,2
0,2
2,8
1,6
2,7
2,1
3,9
1,5
2,7
13,3
21,3
7,9
20,4
25,6
41,3
30,4
51,2
68,7
3,7
9
3,1
0,5
2,4
9,24
14,5
3,4
8,1
1,7
5,8
6
8,64
12,8
4
8,5
1,7
6
6,5
6,47
9
1) Perkiraan, kecuali untuk Indonesia angka realisasi
Di bidang perdagangan luar negeri, perdagangan barang-barang dan jasa dunia dalam
tahun-tahun terakhir ini telah berkembang demikian pesat. Meskipun resesi di negara-negara
industri di awal tahun 1990-an telah menyebabkan menyusutnya ekspansi dalam permintaan
impor negara-negara tersebut, namun situasi inflasi sebagaimana telah diimbangi oleh
pertumbuhan aktivitas impor yang kuat dari negara-negara berkembang, khususnya impor
barang-barang modal. Demikian juga, impor dari negara-negara berkembang telah memberikan
dorongan besar bagi perdagangan dunia pada saat permintaan impor dari negara-negara Eropa
melamban. Pertumbuhan dalam perdagangan dunia diperkirakan tetap baik dalam tahun 1996
dan 1997.
Perkembapgan-perkembangan dalam transaksi berjalan dalam tahun 1995 dan proyeksi
tahun 1996, sebagian besar mencerminkan laju pertumbuhan relatif dari aktivitas ekonomi dan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
186
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
pengaruh pergerakan awal dalam nilai tukar. Di sebagian besar negara-negara industri maju,
ketidakseimbangan transaksi berjalan diproyeksikan akan terus membaik selama tahun 1996 dan
tahun 1997, sementara di negara-negara berkembang Asia, defisit transaksi berjalan
diproyeksikan mengecil sampai tingkat tertentu.
Di antara negara-negara industri, Amerika Serikat mengalarni defisit transaksi berjalan
sebesar US$ 148,2 miliar atau 2 persen dari GDP dalam tahun 1995 dan diperkirakan sedikit
meningkat menjadi US$ 149,5 miliar atau sekitar 2 persen dari GDP tahun 1996. Sementara itu,
surplus transaksi berjalan Jepang diperkirakan menyusut lebih jauh dari US$ 111,4 miliar dalam
tahun 1995 menjadi US$ 66,7 miliar atau 1,5 persen dari GDP dalam tahun 1996. Tingkat
tersebut merupakan yang terendah sejak tahun 1990, yang mencerminkan kuatnya pertumbuhan
pennintaan domestik, berlanjutnya perubahan-perubahan struktural, dan pengaruh-pengaruh dari
apresiasi yen dalam tahun-tahun terakhir. Defisit transaksi berjalan Kanada juga diperkirakan
mengecil, yang mencerminkan makin menguatnya pertumbuhan ekspor negara ini berkaitan
dengan depresiasi dolar Kanada sejak tahun 1991, dan juga kuatnya permintaan dari Amerika
Serikat. Di Jerman, permintaan domestik yang lemah diperkirakan menyebabkan terjadinya
sedikit penurunan dalam defisit transaksi berjalan sebagai akibat menurunnya impor. Inggris
diperkirakan masih tetap mengalarni defisit transaksi berjalan yang kecil, dimana neraca jasajasa yang menguat diimbangi oleh lemahnya kinerja ekspor dan meningkatnya impor. Surplus
transaksi berjalan Perancis diperkirakan meningkat dari sebesar US$ 18,2 miliar dalam tahun
1995 menjadi sebesar US$ 22,5 miliar dalam tahun 1996 atau 1,4 persen dari GDP. Sementara
itu, Italia mengalarni surplus transaksi berjalan yang juga diperkirakan meningkat menjadi US$
28,8 miliar dalam tahun 1996 atau 2,4 persen dari GDP dibanding US$ 27,3 miliar dalam tahun
sebelumnya.
Di sejumlah negara berkembang, defisit transaksi berjalan diproyeksikan makin
membesar, yang mencerminkan meningkatnya permintaan domestik dan berlanjutnya
pemasukan modal luar negeri yang besar. Di Meksiko, langkah-langkah penyesuaian yang kuat
dan adanya kontraksi dalam aktivitas ekonomi dalam tahun 1995 segera setelah terjadinya krisis
keuangan di negara tersebut, secara nyata telah menghapus defisit transaksi berjalan, yang
hampir mencapai 8 persen dari GDP dalam tahun 1994. Sementara itu, defisit transaksi berjalan
yang keeil diperkirakan terjadi dalam tahun 1996, sebagai dampak dari ekonomi Meksiko yang
mulai pulih, masuknya kembali arus modal asing, dan meningkatnya impor. Neraca transaksi
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
187
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
berjalan di Chili diproyeksikan memburuk dengan nilai defisit mencapai 3 persen lebih dari
GDP, menyusul terjadinya kemerosotan harga tembaga yang tajam dalam bulan Mei tahun
1996. Afrika Selatan mungkin mengalami defisit yang hampir tidak berubah dari tahun
sebelumnya, yaitu sekitar 2,5 persen dari GDP yang mencerminkan semakin menguatnya
pertumbuhan di dalam negeri, dan berlanjutnya manfaat yang diperoleh dari liberalisasi
perdagangan.
Di antara negara-negara berkembang Asia, defisit transaksi berjalan di Malaysia dan
Thailand agak membaik sebagai dampak dari pertumbuhan permintaan domestik yang lebih
moderat, walaupun jumlahnya relatif masih tetap besar. Surplus transaksi berjalan Cina
menurun selama paro pertama tahun 1996, sebagai akibat melemahnya ekspor di satu pihak
menyusul pertumbuhan yang sangat cepat dalam dua tahun sebelumnya, dan naiknya impor di
pihak lainnya, khususnya impor bahan mentah dan barang-barang modal. Defisit transaksi
berjalan Korea Selatan diperkirakan membesar menjadi sekitar 3 persen dari GDP sebagai
akibat menurunnya ekspor menyusul turunnya harga barang-barang ekspor utama (lihat Tabel
IV.3).
Pulihnya aliran modal neto ke negara-negara berkembang, setelah terjadinya krisis
Meksiko, memperoleh momentum kembali dalam paro pertama tahun 1996. Aliran modal
swasta ke negara-negara berkembang dalam tahun 1996 ini kelihatannya akan melewati rekor
tertingginya dalam tahun 1995. Namun, disparitas aliran modal di antara kawasan-kawasan
negara berkembang tetap terjadi. Dimulainya kembali aliran modal swasta ke banyak negara
Amerika Latin, termasuk Meksiko, merupakan cermin betapa langkah-langkah penyesuaian
yang kuat telah dapat membantu menstabilkan pasar finansial dan memulihkan kepercayaan
investor. Investasi langsung asing (FDI) tetap merupakan pangsa terbesar dalam aliran modal
swasta ke negara-negara berkembang Asia yang memiliki tingkat pertumbuhan cukup tinggi.
Di bidang hutang luar negeri, beban hutang negara-negara berkembang dan negaranegara dalam transisi diperkirakan menurun lebih jauh dalam tahun 1996 dan tahun 1997. Rasio
hutang terhadap GDP diproyeksikan menurun menjadi 30 persen pada akhir tahun 1996, dan
rasio hutang terhadap penerimaan ekspor menjadi 104 persen. Rasio pembayaran hutang pokok
dan bunga terhadap ekspor juga diperkirakan berkurang. Sekalipun terdapat kemajuan besar
dalam mengurangi tingkat hutang keseluruhan di sejumlah negara, namun beban hutang yang
sangat berat dan tak terpikul tetap terjadi, khususnya di negara-negara sub-Sahara Afrika.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
188
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Di bidang kerjasama ekonomi regional/internasional, dalam KIT kelima ASEAN pada
pertengahan Desember 1995 yang lalu di Bangkok, para kepala negara/pemerintahan sepakat
untuk lebih memperluas cakupan kerjasama, baik di bidang ekonomi, politik, dan keamanan. Di
bidang ekonomi, disepakati untuk memperluas integrasi ekonomi dengan meningkatkan
kerjasama ekonomi melalui berbagai lembaga kerjasama yang telah dibentuk, dan memulai
kerjasama ekonomi di bidang-bidang yang masih baru seperti bidang jasa-jasa, kekayaan
intelektual, dan pengembangan usaha kecil dan menengah.
Pertemuan pertama yang bersejarah dalam kerjasama antar kawasan terjadi ketika para
pemimpin 10 negara Asia dan para pemimpin negara-negara Uni Eropa bertemu pada awal
Maret 1996 di Bangkok, yang dikenal dengan Asian-European Meeting (ASEM). Para
pemimpin kedua kawasan sependapat bahwa ASEM pertama ini memiliki makna yang penting
dalam membangun saling pengertian dan saling percaya di antara kedua kawasan sehingga
perbedaan-perbedaan dalam latar belakang budaya tidak menjadi hambatan dalam merintis
kerjasama regional Asia dan Eropa. Di bidang ekonomi, antara lain disepakati untuk melakukan
langkah-Iangkah liberalisasi dan fasilitasi dalam rangka meningkatkan perdagangan dan
investasi antara Asia dan Eropa.
Pertemuan puncak keempat forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik pada tanggal 25
Nopember 1996 di Subic, Filipina, berakhir dengan dikeluarkannya pernyataan, yaitu "Deklarasi
Pemimpin Ekonomi APEC : dari Visi ke Aksi". Dalam deklarasi tersebut para pemimpin APEC
menyetujui seluruhnya hasil pertemuan tingkat menteri, termasuk Rencana Aksi Manila untuk
APEC (MAPA, Manila Action Plan for APEC). Inti daripada deklarasi tersebut adalah
komitmen para pemimpin APEC untuk memajukan dan memfasilitasi liberalisasi perdagangan
dan investasi, mulai 1 Januari 1997 melalui pelaksanaan Rencana Aksi Individual (IAPs,
Individual Action Plans) dan Rencana Aksi Kolektif (CAPs, Collective Action Plans) yang
tertuang dalam MAPA guna mengaplikasikan Agenda Aksi Osaka. MAPA memuat langkahlangkah awal bagi proses yang menyeluruh, bertahap, dan berkelanjutan bagi tercapainya
liberalisasi perdagangan dan investasi di Asia Pasifik memasuki abad mendatang.
4.3. Kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri
Perkembangan perekonomian nasional di bidang perdagangan luar negeri dalam tahun ketiga
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
189
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Repelita VI kelihatannya menghadapi tantangan yang relatif semakin rumit dan berat. Di sektor
eksternal tantangan itu adalah melemahnya pertumbuhan volume perdagangan dunia dalam
tahun 1996 yang antara lain ditandai dengan turunnya volume impor negara-negara industri
maju terutama yang menjadi negara tujuan utama dari ekspor Indonesia, meningkatnya tuduhan
dumping terhadap eksportir Indonesia, dan mulai diajukannya tuntutan-tuntutan negara mitra
dagang yang tidak puas dengan kebijaksanaan perdagangan luar negeri Indonesia melalui WTO,
serta meningkatnya persaingan di antara negara-negara di dunia, terutama di wilayah ASEAN
sehubungan dengan semakin dekatnya era perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dalam tahun
2003. Sementara itu, tantangan internal antara lain adalah belum optimalnya pelaksanaan
deregulasi dan debirokratisasi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dampak nyata
dari tantangan tersebut antara lain adalah menurunnya laju pertumbuhan ekspor, utamanya
ekspor nonmigas, dalam tahun ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Antisipasi yang dilakukan Pemerintah untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut
tidak lain adalah dengan menindaklanjuti dan menyempurnakan kebijaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi yang sudah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka meningkatkan kinerja
perekonornian nasional dalam menghadapi era perdagangan bebas dunia. Berbeda dengan
tahun-tahun sebelumnya, dalam tahun berjalan kebijaksanaan deregu1asi-debirokratisasi tidak
lagi harus dikeluarkan untuk seluruh sektor/bidang secara sekaligus dalam satu paket
kebijaksanaan, tetapi dimungkinkan untuk dikeluarkan di sektor/bidang yang telah lebih dahulu
siap untuk dideregulasi. Dalam hubungan ini telah diluncurkan paket deregulasi pada bulan Juni
1996, yang pada intinya menghapuskan alan menyederhanakan ketentuan-ketentuan sebelumnya
di tiga sektor/bidang, yaitu bidang impor, ekspor, dan investasi. Deregulasi Juni 1996 tersebut
merupakan kelanjutan dari deregulasi Januari 1996 yang menderegulasi bidang industri,
perdagangan, dan keuangan.
Dalam deregulasi Juni 1996 tersebut ketentuan-ketentuan baru yang diluncurkan di
bidang impor antara lain adalah penjadwalan penurunan tarif bea masuk sampai dengan tahun
2003, penyederhanaan tata niaga impor, dan pembentukan komite anti dumping Indonesia
(KADI). Di bidang ekspor, kemudahan yang diberikan.antara lain penghapusan ketentuan
penggunaan dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) untuk ekspor barang yang nilainya
kurang dari Rp 100 juta dan penyederhanaan persyaratan dan prosedur untuk mendapatkan surat
keterangan asal (SKA) barang ekspor. Selain itu, diberikan pula kemudahan pelayanan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
190
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kepabeanan, perpajakan, dan perbankan bagi perusahaan eksportir tertentu yang mengekspor
tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronika, barang jadi dari kayu dan rotan, serta produk
kulit.
Sedangkan
di
bidang
investasi
kemudahan-kemudahan
tersebut
mencakup
penyederhanaan perizinan bagi industri yang berlokasi di kawasan industri dan kelonggaran
kegiatan impor bagi perusahaan penanaman modal aging manufaktur.
Berkenaan dengan semakin tajamnya persaingan di pasar intemasional, maka
Pemerintah memandang penting dan mendesak adanya analisis yang intensif dan berkelanjutan
terhadap keadaan dan perkembangan negara-negara mitra dagang, untuk selanjutnya
dimanfaatkan bagi keperluan diplomasi perdagangan dan penetrasi pasar ekspor. Untukkeperluan tersebut, dibentuklah tim pengkajian strategi ekspor (TIPSE) dalam bulan Juli 1996.
Di bidang fasilitas pelayanan dan kemudahan ekspor diluncurkan pula ketentuan baru
berupa penyederhanaan prosedur untuk mendapatkan fasilitas pembebasan, pengembalian, dan
penangguhan pungutan negara bagi eksportir yang menggunakan bahan bakul penolong dan
atau barang modal impor dalam memproduksi komoditi ekspor. Penyederhanaan prosedur
tersebut dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 487 Tahun 1996. Dengan
adanya penyederhanaan ini, maka eksportir dalam mengajukan permohonan pemberian
kemudahan hanya melengkapi satu buah dokumen saja, sedangkan sebelumnya diperlukan
empat buah dokumen.
Dalam tahun berjalan Pemerintah juga semakin melibatkan dunia usaha/sektor swasta
dalam proses pembuatan kebijaksanaan deregulasi. Hal tersebut dapat dilihat antara lain dari
kerjasama antara PT Pelabuhan Indonesia II (PT Pelindo II) dengan Asosiasi Pertekstilan
Indonesia (API) dengan membentuk fasilitas Cargo Consolidarion and Distribution Center
(CCDC) di pelabuhan Tanjung Priok. Pembentukan fasilitas tersebut dimaksudkan untuk
memangkas jalur distribusi muatan, sehingga dapat lebih meningkatkan efisiensi biaya dan
mempersingkat waktu tunggu.
Lebih daripada itu, kebijaksanaan deregulasi juga diikuti oleh pihak swasta/asosiasi
guna meningkatkan efisiensi dalam melaksanakan ekspor. Hal tersebut antara lain terlihat dari
upaya asosiasi panel kayu Indonesia (Apkindo) yang menurunkan besaran kontribusi dari
anggota yang melakukan pengapalan kayu lapis ke Jepang, Hongkong, dan Taiwan. Inisiatif
penurunan besaran kontribusi tersebut diberlakukan mulai 1 Juli 1996.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
191
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Menghadapi tantangan di bidang standarisasi mutu dan ekolabeling, Pemerintah telah
menyiapkan dan mulai memberikan himbauan dan pelayanan kepada pihak swasta untuk segera
mendapatkan sertifikasi standar dalam skema ISO-9000 dan ISO-14000. Untuk keperluan itu
Pemerintah telah meningkatkan kesiapan lembaga surveyor yang dimiliki Pemerintah,
serta.terus mendukung kegiatan lembaga ekolabeling Indonesia (LEI) yang saat ini tengah
menyusun skema ekolabel untuk Indonesia dengan mengacu pada standar teknis ekolabel
internasional.
Sementara itu, untuk menghadapi tuduhan-tuduhan dumping dari negara mitra dagang
yang selama ini telah menjadi pasar komoditi ekspor Indonesia, serta menanggulangi importasi
barang dumping dan barang mengandung subsidi pemerintah melalui KADI kini terus
mengumpulkan, meneliti, dan mengolah bukti dan informasi yang relevan. Hal tersebut
diperlukan untuk merumuskan langkah-langkah dan kebijaksanaan dalam menghadapi tuduhan
dumping serta importasi barang dumping dan barang mengandung subsidi. Berkenaan dengan
hal tersebut, telah pula dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 yang mengatur
pengenaan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan. Bea masuk anti dumping
dikenakan terhadap barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari
nilai normalnya di negara pengekspor dan impor barang tersebut menimbulkan kerugian.
Sementara itu, bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang yang diimpor dengan tingkat
harga ekspor yang mengandung subsidi dan impor barang tersebut menimbulkan kerugian.
Kerugian yang dimaksud adalah kerugian atau ancaman terjadinya kerugian bagi industri di
dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Kerugian yang dimaksud dapat pula berupa
terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.
Dalam pada itu, guna menyiapkan perekonomian nasional, khususnya perekonomian
daerah di kawasan perbatasan, dalam memasuki era perdagangan bebas di kawasan ASEAN
(AFTA, Asean Free Trade Area), maka upaya-upaya untuk meningkatkan kerjasama sub
regional telah semakin diintensitkan melalui Indonesia, Malaysia, Singapore-Growth Triangle
(IMS-GT), Indonesia, Malaysia, Thailand - Growth Triangle (IMT-GT), dan Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippine - East Asean Growth Area (BIMP-EAGA), serta
Australia Indonesia Development Area (AIDA) yang baru saja dibentuk dalam tahun ini. Dalam
tahun berjalan beberapa pertemuan private to private (p to p) telah diadakan dengan dukungan
dan fasilitasi dari Pemerintah masing-masing negara anggota. Pertemuan tersebut telah
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
192
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
menghasilkan berbagai kesepakatan untuk kerjasama di bidang industri dan petdagangan yang
bermanfaat bagi perekonomian masing-masing negara pada umumnya dan perekonomian
daerah/propinsi yang terlibat dalam kerja sama tersebut pada khususnya.
Penyiapan perekonomian nasional untuk memasuki kancah perdagangan bebas semesta
juga dilakukan melalui Forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia Pacific Economic
Cooperation, APEC). Untuk tahun 1996, pertemuan para pemimpin dari negara-negara yang
menjadi anggota APEC telah dilangsungkan di Philipina dalam bulan November yang lain.
Hasil-hasil kesepakatan di antara para pemimpin dituangkan dalam rencana aksi Manila untuk
APEC (Manila Action Plan for APEC, MAPA). Meskipun hasil pertemuan belum mencapai
kesepakatan-kesepakatan yang lebih signifikan dalam mewujudkan perdagangan bebas di
kawasan tersebut, namun hasil-hasil pertemuan tersebut bernilai sangat positif untuk menjadi
acuan bagi pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Diharapkan dengan pengembangan kerjasama sub regional tersebut, perekonomian
nasional dapat menyiapkan diri secara lebih dini guna memasuki perdagangan bebas kawasan
ASEAN pada tahun 2003, dan perdagangan bebas kawasan Asia-Pasifik di dalam skema APEC,
serta kawasan semesta di dalam skema World Trade Organization (WTO).
4.3.1. Kebijaksanaan di bidang ekspor
Perkembangan perekonomian dunia yang semakin terintegrasi dan kompetitif sejalan
dengan meluasnya pengaruh globalisasi, telah membawa implikasi terhadap pergerakan barang
dan jasa dalam perdagangan intemasional yang semakin bebas melewati batas-batas negara
(borderless). Kondisi yang demikian, selain merupakan tantangan yang semakin berat, terutama
dalam upaya menembus pasar global, sekaligus merupakan peluang yang cukup besar bagi
ekonomi Indonesia untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang patut diperhitungkan.
Karena itu, dalam upaya menjawab tantangan, sekaligus memanfaatkan peluang
tersebut di atas, Pemerintah terus berupaya memperbaiki kinerja perekonomian dalam negeri,
diantaranya melalui peningkatan daya saing ekonomi, efisiensi, dan produktivitas di berbagai
sektor usaha. Dengan kinerja ekonomi dalam negeri yang semakin membaik, diharapkan
kemampuan internal semakin kuat, sehingga mampu mendorong peningkatan ekspor nasional,
khususnya ekspor non migas. Upaya-upaya tersebut dimanifestasikan melalui serangkaian
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
193
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang konsisten dan berkelanjutan.
Paket kebijaksanaan 26 Januari 1996, yang mempunyai sasaran untuk meningkatkan
efektivitas pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditempuh sebelumnya, diharapkan mampu
menciptakan iklim usaha dan investasi yang lebih menarik dan kondusif, yang pada gilirannya
mendorong peningkatan ekspor. Selain itu, kebijaksanaan tersebut diharapkan dapat
memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap tingkat efisiensi dan daya saing ekspor nasional.
Dalam rangka mendorong peningkatan ekspor, melalui kebijaksanaan deregulasi
tersebut Pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang diarahkan untuk mendorong
pengembangan industri berorientasi ekspor, dengan memberikan kesempatan kepada industri
yang mendapatkan fasilitas Bapeksta Keuangan untuk menjual barang hasil produksinya ke
kawasan berikat (KB) dan ke entreport produksi tujuan ekspor (EPTE) untuk diolah lebih lanjut
sebagai ekspor tidak langsung. Di samping itu, berbagai ketentuan yang berkaitan dengan
pembatasan ekspor sejumlah komoditi yang sebelumnya dikenakan pajak ekspor (PE), dalam
paket kebijaksanaan yang baru ini ditinjau kembali dengan maksud untuk mencukupi persediaan
bahan baku industri terkait, seperti kulit ternak olahan, sisa aluminium, dan scrap alloy tertentu
serta aneka dupa wangi dari kayu cendana, kecuali untuk produk "crude palm oil" (CPO)
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439 Tahun 1994 tetap dikenakan tarif
pajak ekspor antara 40% - 60% dan produk olahannya (seperti crude olein dan RBO olein)
dikenakan tarif pajak ekspor antara 50% - 75%. Sementara itu, bagi industri-industri yang
terkait langsung dengan ekspor diberikan kemudahan tarif bea masuk atas impor barang modal
dan bahan baku.
Dalam pada itu, untuk memperlancar pelaksanaan ekspor, Pemerintah juga telah
mengambil langkah-langkah dengan menghilangkan hambatan-hambatan ekspor, baik yang
bersifat administratif dan birokratif maupun pungutan, terutama yang berkaitan dengan
ketentuan yang mengatur mengenai pengawasan mutu barang ekspor, biaya pemantauan ekspor
tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dikenakan ketentuan kuota, yang selama ini dibebankan
kepada para eksportir. Sementara itu, dalam rangka mendorong peningkatan dan perluasan
ekspor non migas terutama dalam persaingan global, dibuka dan diperluas kesempatan usaha
bagi perusahaan modal aging untuk mendirikan usaha jasa perdagangan ekspor.
Selanjutnya, melalui paket kebijaksanaan 4 Juni 1996 Pemerintah telah menempuh
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
194
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
langkah-langkah yang diarahkan untuk mendorong peningkatan ekspor, yaitu dengan
memberikan kemudahan ekspor seperti persyaratan penggunaan dokumen pemberitahuan ekspor
barang (PEB). Bagi pengiriman barang-barang ekspor yang nilainya kurang dari Rp 100 juta
tidak lagi menggunakan dokumen PEB, melainkan dokumen permohonan ekspor tanpa PEB
(PETP). Ketentuan ini diharapkan dapat mendorong ekspor non migas yang diusahakan oleh
koperasi, pengusaha kecil, dan pengusaha menengah. Selain itu, Pemerintah juga telah
menghapuskan ketentuan pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor di pelabuhan, atau di pabrik
atau di gudang. Dengan dihapusnya ketentuan pemeriksaan ini, maka pemeriksaan barang
ekspor sepenuhnya disesuaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang
Kepabeanan.
Sementara itu, melalui paket kebijaksanaan Juni 1996, Pemerintah juga telah
memberikan beberapa kemudahan, diantaranya melalui penyederhanaan persyaratan dan
prosedur memperoleh surat keterangan asal (SKA) barang ekspor, kemudahan pelayanan
kepabeanan, perpajakan, dan perbankan bagi perusahaan eksportir tertentu (PET), baik
perusahaan eksportir produsen maupun perusahaan eksportir umum yang mengekspor tekstil
dan produk tekstil (TPT), alas kaki, elektronika, kulit dan produk kulit, produk kayu dan rotan.
Selain itu, Pemerintah juga telah menetapkan ketentuan dan tata cara pengawasan mutu
untuk produk ekspor tertentu, yang wajib memenuhi persyaratan standar nasional Indonesia
(SNI) atau standar tarif yang diacu dan diakui, yang dibuktikan dengan sertifikat kesesuaian
mutu (SM) atau sertifikat produk (SP). Ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu
produk-produk ekspor.
Di samping melalui serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang
konsisten dan berkelanjutan, upaya lain yang telah ditempuh oleh Pemerintah dalam rangka
mendorong peningkatan ekspor adalah dengan membentuk Tim Pengkajian Strategi Ekspor
(TlPSE). Pembentukan tim ini dimaksudkan untuk membantu unit-unit operasional yang
bertanggung jawab dalam melakukan diplomasi perdagangan (trade diplomacy), promosi
perdagangan (trade promotion) dan fasilitasi perdagangan (trade facilitation) dengan sasaran
untuk mendorong peningkatan ekspor non migas dan menyelesaikan hambatan-hambatan
perdagangan (tarif dan nontarif) di negara-negara tujuan ekspor, serta meningkatkan kerjasama
bilateral antara Indonesia dengan mitra dagang.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
195
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tim ini selain ditugaskan untuk memonitor, mengidentifikasi, dan menganalisa
berbagai permasalahan yang dihadapi dalam upaya mendorong peningkatan ekspor, khususnya
ekspor non migas, juga diharapkan marnpu menetapkan strategi penetrasi pasar/negara tujuan
ekspor baik melalui pendekatan wilayah pasar/negara maupun melalui pendekatan produk.
Sementara itu, dalam upaya menanggulangi tuduhan barang ekspor Indonesia sebagai barang
dumping, yang belakangan ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekspor, Pemerintah juga telah membentuk Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Dalam pada itu, sejalan dengan upaya perluasan pasar/ negara tujuan ekspor, khususnya
ke negara-negara yang perekonomiannya sedang berkembang, seperti Eropa Timur, Timur
Tengah, Afrika, dan Amerika Latin, Pemerintah terus mengambil langkah-langkah untuk
pengembangan dan perluasan komoditi yang dipasarkan di luar negeri. Sampai saat ini tercatat
24 kelompok komoditi utama ekspor non migas, yang terdiri atas 5 kelompok mata dagangan
utama lama, 6 kelompok mata dagangan utama baru, dan 13 mata dagangan utama lainnya.
Kelompok mata dagangan utama lama terdiri dari barang-barang kayu gabus; pakaian; benang
tenun; kain tekstil dan hasil-hasilnya; sepatu dan peralatan kaki lainnya; ikan kerang-kerangan,
moluska, dan olahannya. Sedangkan kelompok mata dagangan utama baru adalah karet mentah,
karet sintetis, dan karet pugaran; bijih logam dan sisa logam; alat telekomunikasi; hasil industri
lainnya (perhiasan, perlengkapan kantor, dan sebagainya); minyak dan lemak nabati; kopi, teh,
coklat, dan rempah-rempah. Kelompok mata dagangan utama lainnya terdiri dari baru bara,
kokas, dan briket; perabot; kertas, kertas kafan, dan lainnya; mesin listrik dan peralatannya;
logam tidak mengandung besi; mesin kantor dan pengolahan data; kayu dan gabus; kimia
organis; besi dan baja; barang-barang logam lainnya; barang-barang dari mineral bukan logam;
kendaraan bermotor untuk jalan raya; serta buah-buahan dan sayuran.
4.3.2. Kebijaksanaan di bidang impor
Walaupun beberapa negara industri mengalami penurunan laju pertumbuhan ekonomi,
diperkirakan prospek perkembangan perekonomian dunia dalam tahun 1996 akan menjadi lebih
baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Beberapa faktor penyebab utama membaiknya
kinerja ekonomi dunia tersebut adalah perdagangan dunia yang semakin kompetitif, peran
kerjasama ekonomi regional dan sub regional yang semakin baik, serta meningkatnya kegiatan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
196
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik. Memahami bahwa kondisi ini memberikan
peluang dan sekaligus tantangan bagi Indonesia, maka Pemerintah telah bertekad bulat untuk
meneruskan dan menyempurnakan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang selama ini
telah dilaksanakan. Tujuannya tidak lain untuk mewujudkan perekonomian yang berorientasi
pasar, menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi penanaman modal domestik maupun
asing, serta mendorong ekspor non migas, dan mengendalikan impor untuk mendukung neraca
pembayaran Indonesia.
Dalam kerangka pengendalian impor, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditempuh
tetap diarahkan agar impor bahan baku/penolong dan barang modal selalu sejalan dengan
kebutuhan produksi barang yang berorientasi ekspor. Sedangkan untuk impor barang konsumsi,
diarahkan agar pertumbuhannya tetap terkendali. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pengendalian
impor tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan aturan-aturan yang ada, utamanya aturanaturan WTO. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pengendalian impor yang sudah digulirkan antara
lain adalah dengan menetapkan standar mutu, batas kandungan bahan pestisida, batas
kandungan logam berat dan zat pengawet alas impor buah-buahan, meningkatkan mutu dan
produksi barang hasil produksi dalam negeri agar lebih mampu bersaing dengan barang-barang
impor, antara lain melalui pengurangan berbagai hambatan, pengikisan unsur-unsur yang
menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi, dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk
menggunakan/mengkonsumsi produksi dalam negeri. Terhadap bahan baku dan penolong,
Pemerintah terus mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif bagi pengembangan industri
hulu dengan memberikan fasilitas yang dapat meningkatkan economics of scale dan efisiensi
produksi hulu. Kebijaksanaan yang dilakukan antara lain adalah dengan menambah industriindustri hulu dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku, merangsang
tumbuhnya industri barang modal serta memperbaiki kualitas barang-barang hasil industri dalam
negeri.
Paket kebijaksanaan yang terakhir dikeluarkan Pemerintah adalah paket kebijaksanaan
4 Juni 1996 yang pada pokoknya bertujuan untuk lebih meningkatkan efisiensi dan ketahanan
ekonomi nasional serta daya saing produksi dalam negeri di pasar intemasional. Paket ini
mencakup tiga bidang pokok, yaitu bidang iklim usaha, bidang ekspor, dan bidang impor.
Bidang yang disebut terakhir mencakup kebijaksanaan-kebijaksanaan penurunan tarif,
perubahan tarif bea masuk barang modal, penghapusan bea masuk tambahan (BMT),
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
197
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
penyederhanaan tala niaga impor, dan pembentukan komite anti dumping Indonesia.
Kebijaksanaan penurunan tarif dilakukan selain untuk melanjutkan kebijaksanaan
deregulasi bulan Mei 1995 (per mei1995), juga dalam kerangka penurunan tarif bertahap sampai
dengan tahun 2003, yang diharapkan untuk lebih memberikan kepastian usaha dalam
menentukan rencana investasi dan rencana produksi. Kebijaksanaan penurunan tarif dalam per
juni 1996 mencakup 1.497 pas tarif atau sekitar 20,54 persen dari 7.288 pas tarif yang ada.
Dengan demikian, pas tarif Indonesia yang berlaku secara keseluruhan sudah mencapai 78,50
persen dengan bea masuk dari 0 s/d 20 persen, dengan konsentrasi tertinggi terletak pada
interval (klas) pas tarif 0 s/d 5 persen, yaitu sebanyak 3.465 pas tarif atau sekitar 47,54 persen.
Selanjutnya, dari 1.497 pos tarif yang mendapat penurunan bea masuk tersebut, terdapat 385 pas
tarif barang modal, yang antara lain terdiri dari mesin penggerak kendaraan air (motor tempel),
dapur api dan tungku industri atau laboratorium, termasuk insenerator, dan mesin pengangkat
{pemindah, pemuat atau pembongkar yang dirancang khusus untuk penggunaan di bawah tanah.
Kebijaksanaan penurunan tarif barang modal tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih
mendorong lagi peningkatan investasi dalam negeri.
Kebijaksanaan untuk menghapuskan bea masuk tambahan (BMT) didasarkan alas
pertimbangan perlunya penyederhanaan tarif dan penyesuaian sejalan dengan Undang-undang
Kepabeanan yang baru, yang tidak lagi mencantumkan BMT. Terhadap produk yang dipandang
masih perlu untuk dilakukan pembatasan impor, yaitu meliputi 80 pas tarif, maka secara
kumulatif BMT yang berlaku selama ini dimasukkan ke dalam bea masuknya.
Penyederhanaan tata niaga impor meliputi perubahan ketentuan tala niaga impor alas
produk tertentu untuk memperlancar pengadaan kebutuhan barang modal dan bahan
baku/penolong serta peningkatan efisiensi industri dalam negeri. Penyederhanaan tersebut
mencakup tata niaga impor 9 pas tarif, antara lain mesin piston pembakaran dalam nyala
kompresi (diesel), pompa dispalsemen dan pompa pusingan, motor dan generator listrik, dan
traktor.
Untuk lebih mendorong ekspor komoditi non migas, maka kepada perusahaan PMA
manufaktur diberikan kelonggaran melakukan impor barang komplementer dari perusahaan
afiliasinya di luar negeri. Selain itu, PMA manufaktur dapat juga menjual hasil produksinya ke
dalam negeri sampai tingkat penyalur (wholeseller) dan menjual barang komplementer impor di
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
198
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
dalam negeri. Dalam pada itu, untuk lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas sektor industri,
terutama untuk industri yang sebagian bahan bakunya memanfaatkan limbah industri luar
negeri, maka prosedur impor limbah tersebut telah disederhanakan dan disempurnakan, serta
disesuaikan dengan Undang-undang Kepabeanan. Untuk itu, langkah yang ditempuh adalah
menyempurnakan prosedur dan uraian barang/pos tarif atas limbah yang dapat diimpor.
Langkah lainnya yang sudah ditempuh untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
sektor industri adalah melalui pemberian fasilitas penyelenggaraan tempat penimbunan berikat
dan gudang berikat. Bagi penimbunan berikat diberikan fasilitas dan perlakuan khusus di bidang
kepabeanan, cukai, dan perpajakan. Sedangkan pemberian fasilitas untuk gudang berikat pada
prinsipnya
merupakan
pergudangannya
penyempurnaan
dimungkinkan
untuk
dari
fasilitas
berfungsi
kawasan berikat,
sebagai
gudang
yaitu
berikat
fungsi
dan
penyelenggaraannya terbuka bagi swasta.
4.4. Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1996/1997
Kinerja neraca pembayaran Indonesia dalam tahun anggaran 1996/1997, menunjukkan
gambaran yang relatif kurang menggembirakan, utamanya dalam neraca perdagangan non migas
dan neraca jasa-jasa yang mengalami defisit yang semakin meningkat dibandingkan dengan
tahun anggaran 1995/1996 dan tahun-tahun sebelumnya. Ekspor non migas menunjukkan
pertumbuhan yang melamban meskipun neraca perdagangan secara keseluruhan masih
menunjukkan angka positif. Di bidang neraca jasa-jasa terdapat defisit yang semakin besar
karena nilai penerimaan jasa-jasa, yang meliputi devisa pariwisata dan pendapatan transfer
tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri masih tetap lebih kecil dari nilai pengeluaran jasajasa, yang meliputi freight, pembayaran bunga hutang luar negeri, dan lainnya. Oleh karena
defisit jasa-jasa semakin besar sementara surplus neraca perdagangan yang semakin kecil, maka
defisit transaksi berjalan tahun anggaran 1996/1997 semakin besar pula. Meskipun keadaan
yang relatif kurang menggembirakan ini dialami tidak hanya oleh Indonesia, tetapi juga oleh
negara-negara sedang berkembang umumnya dalam menghadapi persaingan pasar internasional
yang semakin ketat, namun Pemerintah sangat menyadari perlunya terus diupayakan langkahlangkah pemecahan yang menyeluruh disamping bekerja lebih keras lagi.
Posisi defisit transaksi berjalan dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
199
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
mencapai sebesar US$ 8.823 juta atau meningkat sebesar 26,3 persen dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Nilai ekspor diperkirakan meningkat hanya sebesar US$ 3.972 juta,
sementara impor meningkat sebesar US$ 5.070 juta. Dalam tahun.anggaran 1996/1997 nilai
ekspor secara keseluruhan adalah sebesar US$ 51.726 juta dan nilai impor sebesar US$
46.572juta. Nilai ekspor dan impor tersebut terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 10.238 juta,
ekspor non migas sebesar US$ 41.488 juta, impor migas sebesar US$ 3.497 juta, dan impor
nonmigas sebesar US$ 43.075juta. Dengan perkembangan seperti tersebut di atas, maka laju
pertumbuhan nilai ekspor diperkirakan relatif mengalami penurunan apabila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena di satu sisi nilai ekspor minyak dan gas
menurun sebesar 3,6 persen dan nilai ekspor non migas meningkat hanya sebesar 11,7 persen,
sementara di sisi lain impor migas menurun sebesar 10,4 persen dan impor non migas
meningkat sebesar 14,6 persen. Dalam pada itu bertambahnya ongkos angkutan kapal laut
komoditi impor, telah menyebabkan membengkaknya defisit jasa-jasa neto. Neraca jasa-jasa
dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan sebesar US$ 13.977 juta atau meningkat sebesar
5,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar US$ 13.239 juta.
Dalam tahun anggaran. 1996/1997 lalu lintas modal diperkirakan mengalami
penurunan sebesar 5,8 persen dari periode sebelumnya, sehingga mencapai sebesar US$ 10.797
juta. Adanya usaba-usaba yang dilakukan Pemerintah dalam rangka memperlancar pelaksanaan
proyek-proyek pembangunan yang dibiayai dari dana luar negeri mengakibatkan pemasukan
modal/pinjaman luar negeri pemerintah yang berupa bantuan proyek meningkat menjadi sebesar
US$ 5.844 juta. Pinjaman luar negeri tersebut sebagian besar berupa pinjaman lunak. Dalam
tahun anggaran 1996/ 1997 pembayaran hutang pokok pemerintah diperkirakan mencapai
sebesar US$ 5.536 juta atau menurun 6,8 persen. Berkaitan dengan itu, perbandingan antara
jumlah pelunasan pinjaman luar negeri pemerintah terhadap ekspor (DSR) menurun menjadi
sebesar 14,1 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 16,4 persen.
Penurunan hutang pokok pemerintah dalam tahun anggaran 1996/1997 antara lain
disebabkan oleh percepatan pembayaran (prepayment) hutang luar negeri yang berbunga tinggi
dalam tahun sebelumnya. Sejalan dengan itu, pembayaran bunga hutang luar negeri pemerintah
dalam tahun berjalan diperkirakan menurun menjadi sebesar US$ 3.006 juta, sehingga
pembayaran hutang pokok dan bunga menjadi sebesar US$ 8.542 juta.
Selama tahun anggaran berjalan, lalu lintas modal lainnya diperkirakan mencapai
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
200
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
sebesar US$ 10.489 juta, meliputi investasi langsung atau penanaman modal asing (PMA)
sebesar US$ 6.300 juta dan investasi lainnya sebesar US$ 4.189 juta, yang meliputi untuk
penanaman modal dalam negeri (PMDN), badan usaba milik negara (BUMN), portfolio dan
swasta lainnya. Melihat besarnya nilai lalu lintas modal tersebut, maka dalam tahun anggaran
1996/1997 diperkirakan terdapat surplus lalu lintas moneter sebesar US$ 2.606 juta, sehingga
jumlah cadangan devisa diperkirakan cukup untuk membiayai 4,7 bulan impor. Selanjutnya
perkembangan neraca pembayaran Indonesia hingga tahun 1996/1997 .
4.4.1. Ekspor
Perkembangan ekspor Indonesia dalam tahun anggaran 1996/1997 tidak terlepas dari
pengaruh faktor-faktor yang bersumber dari dinamika ekonomi internal dari eksternal. Faktorfaktor internal yang dimaksud diantaranya adalah tingkat efisiensi dari daya saing ekonomi
dalam negeri yang semakin membaik, sejalan dengan langkah-langkah yang berkelanjutan dan
konsisten yang ditempuh Pemerintah, baik melalui kebijaksanaan di sektor moneter dan fiskal
maupun kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang komprehensif di sektor riil.
Sementara faktor-faktor,eksternal yang mempengaruhi kinerja ekspor nasional diantaranya
adalah merosotnya harga dan volume sejumlah komoditi dan munculnya negara-negara pesaing
baru seperti Cina, Malaysia, dan Vietnam, yang menyebabkan meningkatnya persaingan di
pasar internasional.
Dalam tahun anggaran 1996/1997, nilai ekspor secara keseluruhan diperkirakan
mengalami peningkatan sebesar US$ 3.972juta atau sebesar 8,3 persen, yaitu dari US$ 47.754
juta dalam tahun anggaran 1995/1996 menjadi sebesar US$ 51.726 juta. Peningkatan perkiraan
realisasi ekspor ini terutama berasal dari ekspor non migas yang meningkat dari sebesar US$
37.138 juta dalam tahun anggaran 1995/1996 menjadi sebesar US$ 41.488 juta dalam tahun
anggaran 1996/1997, atau meningkat sebesar 11,7 persen. Sementara itu realisasi ekspor minyak
dan gas bumi dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan mengalami penurunan sebesar 3,6
persen, yaitu dari sebesar US$ 10.616 juta menjadi sebesar US$ 10.238 juta. Perkembangan
nilai ekspor secara rinci dapat dilihat dalam Tabel IV.5 dan Grafik IV.1.
Selanjutnya, realisasi ekspor non migas dalam periode April-September 1996, yang
meliputi kelompok komoditi hasil-hasil industri dan hasil-hasil tambang bukan migas,
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
201
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
menunjukkan peningkatan masing-masing sebesar 11,6 persen dan 18,5 persen dibandingkan
realisasinya dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, realisasi ekspor non
migas kelompok komoditi hasil-hasil pertanian dan hasil-hasil lainnya, dalam periode yang
sama menunjukkan penurunan masing-masing sebesar 1,8 persen dan 25,0 persen dibandingkan
realisasi nilai ekspornya dalam periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan realisasi ekspor yang terjadi dalam kelompok komoditi hasil-hasil pertanian
secara keseluruhan dalanm periode April-September 1996, terutama disebabkan karena
menurunnya realisasi nilai ekspor sejumlah komoditi, diantaranya adalah getah karet dari
sebesar US$ 22,3 juta dalam periode yang sama tahun sebelumnya menjadi sebesar US$ 18,3
juta atau menurun sebesar 17,9 persen. Demikian pula dengan realisasi ekspor udang
(segar/beku), yang menurun sekitar 10,4 persen, yaitu dari sebesar US$ 565,5 juta dalam
periode April-September 1995 menjadi sebesar US$ 506,8 juta dalam periode yang sama tahun
berjalan. Karena ekspor udang masih merupakan penyumbang terbesar dalam ekspor hasil-hasil
pertanian, yaitu sebesar 36,8 persen dalam periode April-September 1995 dan sebesar 33,5
persen dalam periode yang sama tahun 1996, maka dengan realisasi ekspornya yang cenderung
menurun juga memberikan pengaruh yang berarti terhadap penurunan realisasi ekspor komoditi
hasil-hasil pertanian. Realisasi nilai ekspor komoditi hasil-hasil pertanian lainnya yang
menunjukkan penurunan dalam periode April-September 1996 adalah lada hitam, lada putih,
dan ubur-ubur/kerang lainnya, masing-masing sebesar 59,0 persen, 26,9 persen, dan 11,0 persen.
Kecenderungan menurunnya realisasi ekspor getah karet, lada hitam, lada putih, dan uburubur/kerang lainnya, terutama disebabkan karena volume ekspornya yang mengalami
penurunan, yaitu masing-masing sebesar 24,3 persen, 54,4 persen, 17,5 persen, dan 19,3 persen,
dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sedangkan realisasi ekspor komoditi hasil-hasil pertanian yang mengalami peningkatan
diantaranya adalah kopi, yaitu dari sebesar US$ 334,5 juta dalam periode April-September 1995
menjadi sebesar US$ 342,7 juta dalam periode yang sama tahun berjalan, atau meningkat
sebesar 2,5 persen. Demikian pula dengan realisasi nilai ekspor teh, tembakau, biji coklat, ikan
tuna dan lainnya, dan hasil-hasil pertanian lainnya dalam periode yang sama juga menunjukkan
peningkatan, masing-masing sebesar 12,8 persen, 32,6 persen, 16,7 persen, 9,6 persen, dan 9,9
persen.
Sementara itu, realisasi ekspor hasil-hasil industri yang meningkat dari US$ 14.675,1
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
202
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
juta dalam periode April-September 1995 menjadi sebesar US$ 16.377,1 juta dalam periode
yang sama tahun berjalan meliputi ekspor semen, yang meningkat dari US$ 1,5 juta menjadi
US$ 8,8 juta, atau sebesar 486,7 persen, kayu gergajian yang meningkat dari US$ 230,8 juta
menjadi US$ 239,8 juta atau sebesar 3,9 persen, dan timah (un wrought) yang meningkat dari
US$ 111,9 juta menjadi US$ 149,3 juta atau sebesar 33,4 persen. Realisasi ekspor pakaian jadi
dan tekstil lainnya dalam periode yang sama meningkat masing-masing sebesar 5,1 persen dan
11,4 persen. Sementara realisasi ekspor karet olahan, bungkil kopra, minyak atsiri, dan minyak
kelapa sawit meningkat masing-masing menjadi US$ 1.128,0 juta, US$ 25,6 juta, US$ 39,6 juta,
dan US$ 409,2 juta, atau masing-masing sebesar 0,7 persen, 70,7 persen, 0,5 persen, dan 25,0
persen dibanding realisasi ekspor dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Demikian pula
dengan realisasi ekspor barang anyaman, mebel (rotan, kayu, bambu) dan bahan kimia
meningkat masing-masing sebesar 3,6 persen, 13,3 persen, dan 2,4 persen.
Dalam periode yang sama, ekspor alat-alat listrik menunjukkan peningkatan yang
cukup besar, yaitu dari US$ 1.436,6 juta menjadi US$ 1.903,5 juta, atau sebesar 32,5 persen.
Sedangkan ekspor kaca dan barang dari kaca meningkat sebesar 7,7 persen, yaitu dari US$ 99,2
juta menjadi US$ 106,8 juta. Komoditi lainnya yang memperlihatkan peningkatan dalam
realisasi ekspornya adalah atas kaki (kulit, karet, kanvas) yang meningkat dari US$ 1.051,0 juta
menjadi US$ 1.073,3 juta, atau sebesar 2,1 persen. Sementara realisasi ekspor hasil-hasil
industri lainnya mengalami peningkatan sebesar 30,5 persen, yaitu dari US$ 2.992,3 juta dalam
periode April-September 1995 menjadi US$ 3.906,4 juta dalam periode yang sama tahun
berjalan.
Dalam pada itu, walaupun pangsa ekspor kayu lapis dalam ekspor hasil-hasil industri
secara keseluruhan masih tetap yang terbesar, namun realisasinya dalam periode AprilSeptember 1996 terlihal masih sangat rendah, yaitu sebesar US$ 1.827,7 juta atau meningkat
hanya sebesar 2,5 persen dibanding realisasi periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$
1.783,8 juta. Rendahnya tingkat realisasi ekspor kayu lapis ini terutama disebabkan karena
realisasi volume ekspornya yang mengalami penurunan, yaitu dari 2.534,8 ribu ton dalam
periode yang sama tahun sebelumnya menjadi 2.450,7 ribu ton, atau menurun sekitar 3,3 persen.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
203
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel IV. 5
NILAI EKSPOR, 1984/1985 - 1996/1997
( daIam juta US $ )
Tahun
Anggaran
-1
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
1994/1995
1995/1996
1996/1997 1)
1)
Migas
Nilai
-2
13.994
12.437
6.966
8.841
7.640
9.337
12.763
10.706
10.480
9.334
10.445
10.616
10.238
%
-3
70,3
66,8
50,9
48,2
38,5
39,2
45,4
36
29,7
25,6
24,8
22,2
19,8
Bukan migas
Nilai
%
-4
-5
5.907
6.175
6.731
9.502
12.184
14.493
15.380
19.008
24.823
27.170
31.716
37.138
41.488
29,7
33,2
49,1
51,8
61,5
60,8
54,6
64
70,3
74,4
75,2
77,8
80,2
Jumlah
Nilai
%
(6)=(2)+(4)
(7)=(3)+(5)
19.901
100
18.612
100
13.697
100
18.343
100
19.824
100
23.830
100
28.143
100
29.714
100
35.303
100
36.504
100
42.161
100
47.754
100
51. 726
100
Perkiraan realisasi
Hal yang sama juga terjadi dalam ekspor kayu olahan lainnya, aluminium (un wrought),
stearin, dan pupuk urea, dimana dengan volume ekspornya yang menunjukkan penurunan
masing-masing sebesar 6,1 persen, 15,7 persen, 26,8 persen, dan 33,2 persen, dalam periode
April-September 1996, maka realisasi nilai ekspornya dalam periode yang sama juga cenderung
menurun, masing-masing sebesar 0,8 persen, 6,1 persen, 39,6 persen, dan 27,7 persen.
Sementara itu, ekspor kain tenun, kulit dan barang dari kulit, dan ekspor kertas dan barang dari
kertas, walaupun dalam periode yang sama volume ekspor masing-masing komoditi
menunjukkan peningkatan, namun realisasi nilai ekspornya mengalami penurunan, yaitu
masing-masing sebesar 3,1 persen, 1,8 persen, dan 1,4 persen.
Realisasi ekspor hasil-hasil tambang bukan migas yang mengalami peningkatan sebesar
US$ 248,9 juta, yaitu dari US$ 1.346,0 juta dalam periode April-September 1995 menjadi
sebesar US$ 1.594,9 juta dalam periode yang sama tahun berjalan, terutama berasal dari
kelompok bijih tembaga yang meningkat cukup besar, yaitu dari US$ 716,3 juta menjadi US$
867,7 juta atau sebesar 21,1 persen, bijih nikel yang meningkat dari US$ 21,4 juta menjadi US$
23,5 juta atau sebesar 9,8 persen, batu bara yang meningkat sebesar 15,9 persen, yaitu dari US$
549,0 juta menjadi US$ 636,3 juta, dan ekspor hasil-hasil tambang lainnya meningkat sebesar
17,7 persen, yaitu dari US$ 53,1 juta menjadi sebesar US$ 62,5 juta.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
204
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Meningkatnya realisasi ekspor kelompok komoditi non migas dalam periode April September 1996 telah memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap realisasi ekspor
nasional secara keseluruhan, yaitu sebesar 78,1 persen, dibandingkan dengan periode yang sama
tahun sebelumnya sebesar 77,2 persen. Sedangkan ekspor minyak dan gas bumi, walaupun
dalam realisasinya meningkat sebesar 5,8 persen, namun pengaruhnya terhadap pangsanya
dalam ekspor nasional menunjukkan penurunan, yaitu dari sebesar 2,3 persen dalam periode
April-September 1995 menjadi sebesar 2,2 persen dalam periode yang sama tahun berjalan.
Realisasi ekspor non migas secara keseluruhan dalam tahun 1996/1997 dapat dilihal dalam
Tabel IV.6, Grafik IV.2, dan Grafik IV.3.
Dalam pada itu, sejalan dengan perkembangan ekspor menurut kelompok komoditi,
ekspor menurut negara tujuan umumnya juga menunjukkan peningkatan. Dalam periode AprilSeptember 1996, Jepang merupakan negara terbesar yang mampu menyerap komoditi ekspor
Indonesia, yaitu sebesar US$ 6.330 juta, atau sebesar 25,4 persen dari nilai ekspor secara
keseluruhan. Kemudian diikuti dengan ekspor ke negara-negara yang tergabung dalam
Masyarakat Eropa (ME) yaitu sebesar US$ 3.893 juta atau sebesar 15,6 persen. Dalam periode
yang sama, nilai ekspor ke negara-negara ASEAN mencapai US$ 3.621 juta atau sebesar 14,5
persen dari nilai ekspor secara keseluruhan, dimana Singapura merupakan negara penyerap
ekspor terbesar, yaitu sebesar US$ 2.284 juta. Sementara itu, nilai ekspor ke Amerika Serikat
dalam periode yang sama mencapai US$ 3.509 juta atau sebesar 14,1 persen dari nilai ekspor
secara keseluruhan. Sedangkan ekspor ke Afrika dan Austratasia (meliputi Australia, Selandia
Baru, dan negara-negara Oceania lainnya) masing-masing mencapai US$ 310 juta dan US$ 587
juta atau dengan pangsa masing-masing sebesar 1,2 persen dan 2,4 persen. Berdasarkan
perkembangan tersebut, ekspor berdasarkan negara tujuan dalam periode April-September 1996
mengalami peningkatan dibandingkan dengan nilai ekspor dalam periode yang sama tahun
sebelumnya, masing-masing dengan kenaikan sebesar 3,3 persen ke Jepang, 18,7 persen ke ME,
22,9 persen ke negara-negara ASEAN, 8,2 persen ke Austratasia, dan sebesar 5,6 persen ke
Amerika Serikat. Sedangkan nilai ekspor ke Afrika dalam periode yang sama mengalami
penurunan menjadi sebesar 2,7 persen. Perkembangan ekspor berdasarkan negara tujuan dapat
dilihal pada Tabel IV.7.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
205
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
4.4.2. Impor
Hasil yang menggembirakan atas rangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi
yang dikeluarkan Pemerintah sejak tahun 1983 diperlihatkan dengan berkembangnya kegiatan
investasi, baik dalam rangka penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman
modal asing (PMA). Seiring dengan peningkatan kegiatan investasi yang menggembirakan
tersebut, kebutuhan bahan baku/penolong dan barang modal juga meningkat, yang sebagiannya
dipenuhi dengan meningkatkan impor karena kebutuhan tersebut belum dapat dipenuhi dari
dalam negeri.
Dalam tahun anggaran 1996/1997 nilai impor secara keseluruhan diperkirakan
menunjukkan peningkatan sebesar 12,2 persen, yaitu dari US$ 41.502 juta menjadi sebesar US$
46.572 juta. Impor migas diperkirakan mencapai sebesar US$ 3.497 juta, jika dibandingkan
dengan impor dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$ 3.905 juta,
berarti mengalami penurunan sebesar 10,4 persen. Sedangkan impor non migas diperkirakan
mencapai US$ 43.075 juta, yang berarti mengalami kenaikan sebesar 14,6 persen jika
dibandingkan dengan impor dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai sebesar
US$ 37.597 juta. Kenaikan perkiraan nilai impor komoditi non migas tersebut terutama
disebabkan oleh adanya kenaikan impor barang modal.
Sementara itu, realisasi impor non migas dalam periode April-September 1996
mencapai sebesar US$ 20.762,7 juta, atau 3,5 persen lebih tinggi dari periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar US$ 20.064,0 juta. Kenaikan impor non migas dalam periode AprilSeptember 1996 tersebut disebabkan oleh meningkatnya impor barang modal dan barang
konsumsi, sedangkan komponen impor bahan baku/penolong mengalami penurunan.
Realisasi impor bahan baku/penolong dalam periode April-September 1996 mencapai US$
10.490,6 juta atau 4,6 persen lebih rendah hila dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar US$ 10.993,2 juta. Penurunan ini berkaitan erat dengan makin
meningkatnya kemampuan industri dalam negeri dalam menghasilkan bahan baku/penolong
industri. Secara berurutan, empat jenis bahan baku/penolong yang mengalami penurunan
terbesar, adalah bahan-bahan kertas mengalami penurunan sebesar 23,8 persen, bahan-bahan
karet dan plastik mengalami penurunan sebesar 14,0 persen, besi baja dan logam mengalami
penurunan sebesar 11,4 persen, dan benang tenun mengalami penurunan sebesar 6,1 persen.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
206
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel IV.6
NILAI EKSPOR BUKAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 198411985 - 1996/1997
(dalam Juta US $)
Jenis barang
1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/l989 1989/1990 1990/1991
-1
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8
I. Hulu-hulu pertanian
1.502,00
1.480,90
1.702,40
1.687,40
2.035,20
1.906,90
2.180,50
I. Getah karet
43,6
38,8
44,5
53
86,9
38,8
54
2. Kopi
566,9
633
743,2
498,9
568,5
448
370,7
3. Udang ( segar)
185,3
222,2
295,6
376,3
540,6
543,9
729,1
4. Teh
221,6
140,1
103,8
116
131,2
176,2
168,8
5. Lada hitam
41,4
35,7
53,9
52,4
54,8
33,8
21,7
6. Lada putih
24,6
47,2
96,2
102,9
86,7
59,4
53,6
7. Tembakau
33,7
51
61
57,5
43,6
39,2
71,2
8. Biji coklat
55,4
61,7
53,6
66,4
73,4
71,6
99
9. Gaplek
35,3
42,8
50,9
91,3
80,7
61,2
64,3
10. Ikan Tuna ikan lainnya
19,3
22,7
30,7
60,8
117,4
139,8
227,5
11. Ubur-ubur kerang lainnya
14,2
6,7
12,9
20,3
32,8
40,2
42,7
12. Lainnya
260,7
179
156,1
191,6
218,6
154,8
277,9
4.118,30
4354,5
4.622,20
7.438,20
9.626,70 11.429,70
123.59,8
II. Hulu-hulu industri
1. Kayu lapis
708,5
838,7
1.151,10
1.918,40
2.064,90
2.462,00
2.788,90
2. Kayu gergajian
286,9
309
383,1
485,2
577,6
575,6
118,5
3. Kayu olahan lain
49,4
49,8
61
157,8
246,6
430
540,7
4. Timah (un wrought)
278,1
239,2
109,9
In.o
189,2
240,4
173
5. Aluminium (un wrought)
213,8
214
216,1
264,1
360,3
339,9
257,3
6. Pakaian jadi
316,3
428,2
466
650,9
881,3
1.304,90
1.711,40
7. Kain tenun
159,3
220,7
206,2
365,4
503,8
683,2
981,1
8. Tekstil lainnya
36,7
57,6
43,1
114,6
177,3
291,8
368,1
9. Karet olahan
848,5
678,2
709,6
1.023,20
1.135,00
986
909,6
10. Bungkil kopra
14,4
34,9
34,7
44,5
45,1
40,3
44,7
11. Minyak Asiri
60,2
52,8
39,2
39,6
39,2
104,3
126,3
12. Rotan
95,3
71,8
94,6
166,4
36,3
0,9
3
13. Minyak kelapa sawit
75,1
181,4
108,3
182,7
326,8
229,7
248,8
14. Semen
14,7
22,1
46,4
58,7
85,9
130,5
68,6
15. Stearin
62,6
34,3
29,7
42,7
53,4
51
55,4
16. Barang anyaman
9,7
14,3
24,7
56,1
70,5
44,5
44,5
17. Mebel
5,1
6,3
9,6
34,8
87,1
205,3
313
18. Bahan kimia
52,2
62,2
50,8
70,2
84,3
119,2
113,5
19. Alat listrik
168,5
152,8
63,5
61,7
116,7
214
317,5
20. Kulit
44,5
42,4
53,4
73,3
74,5
81,4
70,3
21. Pupuk urea
35,5
94,1
105,8
105,1
146,6
164,5
214,5
22. Kertas
21,9
20,9
40,4
113,2
139,5
167
165,8
23. Kaca dan barangdari kaca
10,6
9,2
14,1
44
97,8
97
97,1
24. Alas kaki
6,5
6,9
10,2
39,7
106,2
291,3
687,5
25. Lainnya
544,5
512,7
550,7
1.153,90
1.980,80
2.175,00
1.940,70
198,5
200,1
237,3
280,4
374,9
531
686,8
III. Hulu-hulu tambang di Non migas
1. Bijih tembaga
119,5
119,6
158,4
192
230,4
321,4
408,9
2. Bijih nikel
16,2
17
18
19,4
51,9
52,6
42,4
3. Bauksit
13,5
9,5
6
6
7
10,8
12,1
4. Bijih timah (tin)
5,5
5,6
4,1
3,3
4,7
1,7
1,4
5. Batu bara
30,4
34,1
29,1
28,9
47
99,7
In,7
6. Lainnya
13,1
14,3
21,7
30,8
33,9
44,8
49,3
108,4
14,9
13,7
8,2
11,4
1,6
1,8
IV. Hulu-hulu lainnya
5.927,20
6.050,40
6.575,60
9.414,20 12.049,20 13.869,20 15.228,90
Jumlah
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
207
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel IV.7
NILAI EKSPOR MENURUT NEGARA TUJUAN, 1992/1993 - 1996/1997
(dalam juta US $)
Negara
I. ASIA
ASEAN
- Malaysia
- Muangthai
- Philipina
- Singapura
- Brunei Darussalam
Hongkong
Jepang
Asia lainnya
II. AFRIKA
III. AMERIKA
-USA
- Kanada
- Amerika lainnya
IV. AUSTRATASIA
- Australia
- Oceania lainnya
V. EROPA
ME
- Inggris
- Belanda
- Jerman
- Belgia & Luxemburg
- Peraneis
- Denmark
- Irlandia
- Italia
- Yunani
- Portugal
- Spanyol
Rusia
Eropa lainnya
Jumlah
1992/1993
Persentase
Nilai
Dari
Jumlah
23.349
4.727
527
434
205
3.530
31
885
11.009
6.728
483
5.351
4.671
284
396
844
780
64
5.371
5.056
905
1.l02
1.051
421
490
93
47
610
34
21
282
71
244
35.398
66
1,4
15,1
2,4
15,1
100,0
1993/1994
Persentase
Nilai
Dari
Jumlah
23.559
4.686
575
393
290
3.397
31
939
10.940
6.994
433
6.007
5.254
301
452
831
761
70
5.589
5.159
978
1.094
1.141
364
465
99
36
573
45
28
336
134
296
36.419
64,7
1,2
16,5
2,3
15,3
100,0
1994/1995
Persentase
Nilai
Dari
Jumlah
26.741
5.936
815
429
418
4.225
49
1.472
11.289
8.044
594
7.029
6.069
331
629
813
695
118
6.586
5.071
1.057
1.347
444
433
444
108
38
581
70
45
504
91
1.424
41.763
64
1,4
16,8
2,0
15,8
100,0
1995/1996
Persentase
Nilai
Dari
Jumlah
29.231
6.302
1.034
712
676
3.854
26
1.564
12.393
8.972
640
7.275
6.162
350
763
1.189
1M3
146
7.351
6.486
1.139
1.495
1.165
535
512
112
35
747
81
50
615
135
730
45.686
64
1,4
15,9
2,6
16,1
100,0
1996/1997 *)
(Apr-Sept)
Persentase
Nilai
Dari
Jumlah
15.651
3.621
574
440
312
2.284
11
869
6.330
4.831
310
4.090
3.509
191
390
587
538
49
4.325
3.893
632
880
784
371
300
58
16
360
41
24
427
78
354
24.963
62,7
1,2
16,4
2,4
17,3
100,0
*) Angka sementara
Penurunan impor yang terjadi pada kelompok-kelompok bahan baku/penolong tersebut dapat
meredam adanya kenaikan impor kelompok-kelompok jenis bahan baku/penolong lainnya,
seperti pupuk, bahan bangunan, alat-alat listrik, dan bahan obat-obatan, sehingga impor neto
bahan baku/penolong mengalami penurunan sebesar 4,6 persen.
Pada sub kelompok barang modal, untuk periode April-September 1996 mencapai US$
8.249,2 juta, atau meningkat 13,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar US$ 7.291,9 juta. Kenaikan impor alat telekomunikasi dan pengangkutan,
masing-masing sebesar32,6 persen dan 15,4 persen memberikan kontribusi terbesar atas
peningkatan impor barang modal. Peranan impor barang modal terhadap impor non migas
secara keseluruhan meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu
meningkat dari 36,3 persen menjadi 39,7 persen.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
208
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Selanjutnya realisasi impor barang konsumsi dalam periode April-September 1996
mencapai US$ 2.022,9 juta, atau 13,7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang
sama tahun sebelumnya yang berjumlah sebesar US$I. 778,9 juta. Meningkatnya impor barang
konsumsi terutama karena meningkatnya impor beras, susu, makanan, minuman dan buahbuahan, tekstil, tembakau dan olahannya.
Pengamatan atas dinamika antara nilai impor sub kelompok barang modal dan sub
kelompok barang konsumsi memberikan dua hal yang dapat digaris bawahi. Pertama, kenaikan
impor barang konsumsi jauh diatas kenaikan impor barang modal. Kedua, walaupun kenaikan
impor barang konsumsi tersebut cukup tinggi tetapi pangsanya terhadap impor non migas relatif
masih tetap keeil, yaitu hanya sebesar 9,8 persen. Sedangkan pangsa impor bahan baku dan
penolong dan pangsa barang modal adalah masing-masing sebesar 50,5 persen dan 39,7 persen.
Ringkasan nilai komoditi impor non migas yang menduduki peringkat laju
pertumbuhan atau kenaikan pertama dan kedua pada masing-masing sub kelompok barang
dalam periode April-September 1996/1997 adalah komoditi-komoditi beras dan susu, makanan,
minuman dan buah-buahan untuk sub kelompok barang konsumsi, pupuk dan alat-alat listrik
untuk sub kelompok baban baku/penolong, dan alat telekomunikasi dan pengangkutan untuk sub
kelompok barang modal. Perkembangan nilai impor non migas secara rinci dapat dilihal dalam
Tabel IV.8, Grafik IV.4 dan Grafik IV.5.
Dalam periode April-September 1996/1997, negara pemasok barang impor Indonesia
didominasi oleh negara-negara Asia dengan pangsa pasar 50,1 persen, kemudian diikuti oleh
negara-negara Eropa, yang terdiri dari Masyarakat Eropa (ME) dan di luar ME (Rusia dan Eropa
lainnya) sebesar 25,1 persen, Amerika (USA, Kanada, dan Amerika lainnya) sebesar 16,6
persen, Austratasia (Australia dan Oceania lainnya) sebesar 6,9 persen, dan negara-negara
Afrika sebesar 1,3 persen.
Impor yang berasal dari negara-negara Asia, sebagian besar berasal dari Jepang yaitu
sebesar 37,8 persen, dari negara-negara anggota ASEAN sebesar 21,8 persen, dari Hongkong
sebesar 1,3 persen, dan dari negara Asia lainnya sebesar 39,2 persen. Sementara itu, impor dari
negara-negara ASEAN didominasi oleh Singapura dengan pangsa pasar sebesar 54,9 persen,
diikuti oleh Muangthai dengan pangsa pasar sebesar 26,3 persen. Perkembangan impor menurut
negara asal tahun anggaran 1992/1993 sampai dengan periode April-September 1996/1997
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
209
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
secara rinci dapat dilihat dalam Tabel IV.9.
4.4.3. Pengeluaran jasa-jasa (neto)
Lemahnya sektor jasa-jasa nasional dalam arena perdagangan jasa-jasa internasional
sampai saat ini masih tetap mernpakan salah satu permasalahan yang terus dicari
pemecahannya. Meningkatnya defisit transaksi berjalan dari tahun ke tahun sebagian terbesar
adalah mernpakan akibat dari masih defisitnya neraca jasa-jasa (neto). Pemecahan masalah ini
tidaklah mudah mengingat dalam banyak jenis usaha jasa-jasa, perusahaan yang bergerak di
bidang jasa-jasa dari negara berkembang seperti Indonesia harus berhadapan dengan perusahaan
sejenis dari negara industri yang sudah lebih canggih dan berpengalaman dalam segala aspek
dan mendominasi pasar jasa internasional. Meskipun demikian, berbagai upaya untuk mengatasi
defisit neraca jasa-jasa tersebut secara bertahap terus dilakukan, disesuaikan dengan potensi dan
kemampuan.
Jenis jasa-jasa tertentu yang potensial dikembangkan dalam waktu dekat, seperti jasa
pariwisata dan jasa tenaga kerja Indonesia (TKI) makin diintensifkan pengembangannya.
Pengembangan peran jasa pariwisata dalam perolehan devisa saat ini telah memasuki tahap yang
strategis, yaitu dengan telah dicanangkannya sektor pariwisata sebagai primadona ekspor non
migas mulai tahun 2005 (visi pariwisata tahun 2005). Visi tersebut diyakini akan mampu
diwujudkan sejauh semua sektor terkait memberikan dukungan.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
210
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel IV.8
NILAI IMPOR BUKAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM MENURUT GOLONGAN BARANG, 1984/1985 - 1996/1997
( dalam juta US $ )
Golongan Barang
1984/1985 1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
1989/1990
1990/1991
-1
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8
I. Barang konsumsi
603,5
465,2
564,3
560,5
811,5
960,6
1.125,40
1. Beras
72,3
6
7,8
12,8
76,3
7
12,7
2. Tekstil
29,9
35
40,9
39,7
78,4
125
189,7
3. Susu, makanan, minuman
147,9
Dan buah-buahan
109,5
103,6
141,6
226
336,7
225,7
25,4
4. Tembakau dan olahannya
25,5
22,1
21
32,4
29.9
51,6
28,7
5. Sabun don kosmetik
17,7
18,4
24,1
78
32,1
40,1
72,7
6. Alal-alat rumah tangga
60,4
56,3
58,8
50,5
74,6
104
240,9
7. Lainnya
288,2
223,8
262,5
319,9
355,3
501,6
5.600,30
5.749,80
4.925,90
6.398,50
7.339,40
8.850,80
10.641,40
II. Bahan bakul penolong
1. Bahan kimia
1.322,50
1.199,50
1.242,90
1.353,40
1.642,30
1.641,20
1.962,50
2. Bahan obat-obatan
84,2
80,5
102,3
97,9
102,7
109.9
124,7
3. Pupuk
95,6
33.7
25,8
75,9
59
117
99,1
4. Bahan-bahan kertas
174,2
141
130,3
145,8
167,3
175,4
203,3
5. Benang tenun
390,6
344,7
413,2
523,3
625,7
931,3
1.177, 3
6. Semen, kapur, daft bahan
Bangunan buatan pabrik
13,6
6,9
4,5
3,7
2,9
3.7
10
1.083,30
1.204,60
977,3
7. Besi baja don logam
1.220,50
1.434,50
1.926,10
2.526,20
528,4
8. Bahan-bahan karel & plastik
504,1
407
594,2
671,5
977,7
1.079,30
198,1
9. Bahan bangunan
195,4
195
194,4
183,6
188,9
289,8
76,3
10. Alat-alat listrik
164
103,4
98
79,3
131,7
103,9
1.795,20
11. Lainnya
1.601,60
1.436,90
2.091,40
2.370,60
2.647,90
3.065,30
III. Barang modal
4.477,80
3.420,70
3.997,10
4.600,60
4.989,20
6.145,80
9.590,10
1.601,20
1. Mesin-mesin
1.416,90
1.291,20
2.069,50
2.243,40
2.734,00
4.625,60
2. Generalor listrik
123,9
85,7
200
167,7
156,6
145
172,8
3. Alat telekomunikasi
220,5
168,7
170,5
295,3
256,4
339,5
489,9
4. Peralatan listrik
258,5
228,3
300,7
282,5
291,5
366,4
506,9
5. Alat pengangkutan
1.356,10
562,1
717,7
553,4
653,2
816,8
1.422,40
6. Lainnya
1.101,90
1.084,70
1.007,00
1.232,20
1.388,10
1.744,10
2.372,50
10.831,10
8.811,80
10.161,70 11.559,60
13.140,10
15.957,20
21.356,90
Jumlah
Golongan Barang
I.
Barang konsumsi
1. Beras
2. Tekstil
3. Susu, makanan, minuman
dan buah-buahan
4. Tembakau dan olahannya
5. Sabun dan kosmetik
6. Alat-alat rumah tangga
7. Lainnya
II. Bahan baku/penolong
1. Bahan kimia
2. Bahan Ghal-obRIan
3. Pupuk
4. Bahan-bahan kertas
5. Benang tenun
6. Semen, kapur, dan bahan
Bangunan buatan pabrik
7. Besi baja dan logam
8. Bahan-bahan wet & plastik
9. Bahan bangunan
10. Alat-alat listrik
11. Lainnya
III. Barang modal
1. Mesin-mesin
2. Generator listrik
3. Alat telekomunikasi
4. Peralatan listrik
5. Alat pengangkutan
6. Lainnya
Jumlah
1991/1992
1992/1993
1993/1994
1994/1995
1995/1996
1995/1996
(Apr-Sept)
Presentase
Dari
Nilai
Jumlah
1.679,10
146,2
224,3
1.777,70
80,2
283,1
1.805,40
9,4
321,7
2.460,00
341,4
354,9
3.583,70
687,3
396,1
1.778,90
239,7
197,9
337,3
66
44,3
102,9
758,1
11.194,60
1.926,10
122,6
68,1
218,9
1.422,90
384,5
84,6
56,3
90,8
798,2
12.141,20
2.060,20
161,1
139,3
208
1.513,90
376,8
104
73,2
88,4
831,9
13.775,80
2.398,20
148,4
93,4
222
1.439,70
496,5
133,3
91,3
146,2
896,4
17.304,50
3.095,00
161,8
104,5
250,5
1.704,50
952,8
170,2
94,7
222,4
1.060,20
20.596,70
3.739,60
200,5
134
332,1
1.913,80
479,4
84,7
52,2
147,4
577,6
10.993,20
1.966,20
100,1
53,5
194,4
1.034,90
9,8
2.442,70
1.087,70
351,3
182
3.362,50
11.066,40
5.088,00
509,4
660
599,8
1.49,1
2.760,10
23.940,10
9
2.639,30
1.196,50
423,9
238,8
3.551,20
441,4
4.635,40
574,4
908,4
1.023,20
1.014,30
3.285,70
25.360,30
20
2.908,70
1.190,70
391
193,3
4.770,40
11.128,30
4.866,00
355,8
897,3
930,1
1.211,30
2.867,80
26.709,50
80,8
3.168,50
1.489,80
348,5
260,2
6.640,40
11.578,90
5.369,60
338,2
7.11,3
1.002,40
1.221,10
2.936,30
31.343,40
115,6
4.270,20
1.446,00
388,4
279,7
7.776,80
14.065,80
6.728,10
487,2
1.141,70
960,1
1.042,70
3.706,00
38.246,20
58,2
2.298,20
941,2
196,6
128,5
4.021,40
7.291,90
3.329,20
287,4
614,3
536,3
572,4
1.952,30
20.064,00
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
8,9
54,8
36,3
100
1996/1997*)
(Apr-Sept)
Persentase
Nilai
Dari
Jumlah
2.022,90
384
227,8
625,1
97,3
49,7
111,4
527,6
10.490,60
1.897,70
113,3
111,3
148,2
971,6
66,3
2.036,5.
809,5
267,6
175,6
3.893,00
8.249,20
3.688,00
281,1
814,3
515
660,5
2.290,30
20.762,70
9,8
50,5
39,7
100
211
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
Tabel IV 9
NILAI IMPOR MENURUT NEGARA ASAL, 1992/1993 - 1996/1997
( di dalam juta US $ )
Negara
I. ASIA
ASEAN
- Malaysia
- Muangthai
- Philipina
- Singapura
- Brunei Darussalam
Hongkong
Jepang
Asia lainnya
II. AFRIKA
III. AMERIKA
- USA
- Kanada
- Amerika lainnya
IV. AUSTRATASIA
- Australia
- Oceania lainnya
V. EROPA
ME
- Inggris
- Belanda
- Jerman
- Belgia & Luxemburg
- Perancis
- Denmark
- Irlandia
- Italia
- Yunani
- Portugal
- Spanyol
Rusia
Eropa lainnya
Jumlah
*) Angka sementara
1992/1993
Persentase
Nilai
dari
jumlah
14.081,10
2.502,00
509,4
283,5
60,0
1.648,2
0,9
222,6
5.870,9
5.485,6
200,7
4.824,0
3.877,3
453,3
493,4
1.564,6
1.428,2
136,4
6.723,2
5.649,5
743,8
584,1
2.151,9
291,6
893,7
124,8
23,2
588,4
8,5
1,8
237,7
51,3
1.022,4
27.393,6
51,4
0,7
17,6
5,7
24,6
100,0
1993/1994
Persentase
Nilai
dari
jumlah
15.764,30
2.650,10
531,9
227,4
56,0
1.834,2
0,6
259,0
6.562,4
6.292,8
148,0
4.284,7
3.111,4
427,3
746,0
1.566,9
1.380.3
186,6
7.184,9
5.542,3
795,3
585,1
2.063,8
340,3
805,1
158,3
20,9
550,0
15,3
2,2
206,0
113,5
1.529,1
28.948,8
54,5
0,5
14,8
5,4
24,8
100,0
1994/1995
Persentase
dari
Nilai
jumlah
18.670,80
3.151,80
580,2
561.8
67,2
1.942,3
0.3
241.8
7.821.3
7.455.9
478,3
5.157,0
3.882,4
564,8
709,8
1.853,6
1.677,2
176,4
7.807,2
6.174,7
692,8
721,7
2.512,2
316,0
852,1
100.5
27.0
725,5
43,6
3,9
179,4
309,0
1.323,5
33.966,9
55
1,4
15,2
5,4
23,0
100,0
1995/1996
Persentase
Nilai
dari
jumlah
22.494,40
4.214,40
819.1
800,4
80,1
2.514,0
0,8
266,9
9.549,1
8.464,1
599,8
6.806,8
4.896,8
789,2
1.120,8
2.240,5
2.036,4
204,1
9.161,9
7.210,6
978,1
673,7
2.889.6
392,2
994,0
126,7
39,9
824,9
54,8
8,6
228,1
377,9
1.573,4
41.303,5
54,5
1,4
16,5
5,4
22,2
1996/1997 *)
(Apr-Sept)
Persentase
dari
Nilai
jumlah
11.172,10
2.432,60
399.8
638.8
58,7
1.335,1
145,3
4.219,7
4.374,5
294,1
3.708,6
2.673.8
425,8
609,0
1.543,6
1.406,4
137,2
5.593,6
4.221,1
625,6
249.5
1.529.5
235,7
548.6
94,0
24,5
668,7
38,9
50,1
1,3
16,6
6,9
25,1
203,0
231,0
1.141,5
100,0
22.312,0
100,0
Perkembangan penting di bidang pariwisata dalam tahun ini antara lain adalah
disederhanakannya prosedur masuknya wisatawan asing dari negara-negara tetangga anggota
ASEAN ke wilayah Indonesia dengan menggunakan kendaraan sendiri maupun bis wisata.
Dalam tahun berjalan juga telah diluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996
tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Ketentuan tersebut dikeluarkan untuk memadukan
peranan pemerintah, badan usaha, dan masyarakat dalam penyelenggaraan kepariwisataan, serta
untuk menjaga kualitas, kelestarian lingkungan, dan jati diri bangsa. Upaya peningkatan peran
jasa pariwisata juga dilakukan di bidang promosi, yaitu dengan diubahnya struktur badan
promosi pariwisata Indonesia di luar negeri. Jika pada masa-masa sebelumnya terdapat dua
penyelenggara promosi pariwisata di luar negeri, yaitu pusat promosi pariwisata Indonesia (P3I)
dari pihak pemerintah dan badan promosi pariwisata Indonesia (BPPI) dari pihak swasta, maka
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
212
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
dengan kebijaksanaan tersebut kegiatan P3I telah dialihkan ke BPPI. Kebijaksanaan tersebut
ditempuh dengan maksud untuk meningkatkan efisiensi serta meningkatkan keterlibatan pihak
swasta dalam promosi pariwisata. Upaya-upaya di atas diharapkan akan segera memperlihatkan
hasilnya berupa meningkatnya jumlah wisatawan manca negara dari sebanyak 4,4 juta orang
dalam tahun anggaran 1995/1996 menjadi 5,2 juta orang dalam tahun anggaran 1996/1997, serta
meningkatnya pemasukan devisa dari rata-rata sebesar US$ 1.213 per kunjungan dalam tahun
anggaran 1995/1996 menjadi US$ 1.224 per kunjungan dalam tahun anggaran 1996/1997.
Jasa lainnya yang juga potensial dan tengah dikembangkan perannya adalah jasa TKI.
Peningkatan ekspor jasa TKI memiliki manfaat ganda, yaitu sebagai sumber penghasil devisa
ekspor, dan sebagai upaya untuk mengurangi tingkat pengangguran di dalam negeri. Selain itu,
peningkatan ekspor jasa TKI juga semakin penting sebagai pengimbang atas cenderung
meningkatnya jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia.
Ekspor TKI yang sangat potensial tersebut dapat terlihat dari besarnya permintaan
tenaga kerja asing di empat kawasan utama yang selama ini banyak menyerap TKI, yaitu Timur
Tengah (Arab Saudi dan Emirat Arab), Asia Timur (Hongkong, Jepang, Taiwan, dan Korea
Selatan), dari ASEAN (Singapura dan Malaysia), serta Eropa, yang masih jauh lebih tinggi dari
jumlah penawaran TKI. Sampai dengan bulan Maret 1996, jumlah TKI yang sudah dikirim ke
negara-negara di empat kawasan tersebut baru mencapai 300 ribu orang, sementara
permintaannya mencapai 2,5 juta orang. Berkenaan dengan hal tersebut, Pemerintah telah
mencanangkan berbagai program yang bertujuan menjadikan ekspor jasa TKI sebagai salah satu
unggulan ekspor Indonesia pada akhir Pelita VI. Salah satu program tersebut adalah penyaluran
kredit bagi TKI dengan bunga rendah melalui skim kredit koperasi primer kepada anggotanya
(KKPA).
Sedangkan di bidang pelatihan, Pemerintah mengupayakan untuk meningkatkan tingkat
kualitas dan jenjang pelatihan, sehmgga TKI yang dipekerjakan di luar negeri secara bertahap
akan beralih dart TKI sektor informal, yang kurang mendapat perlindungan hukum di negara
asing bersangkutan, ke TKI sektar formal, yang lebih terlindungi secara hukum. Dengan upaya
tersebut diharapkan ekses-ekses yang tidak diinginkan yang dialami TKI di luar negeri dapat
dikurangi di masa-masa mendatang. Di bidang perlindungan hukum, Pemerintah sedang
mengupayakan agar para duta besar di negara yang menggunakan jasa TKI dapat mempelajari
hukum yang berlaku di negara tersebut untuk mengantisipasi kemungkinan masih terjadinya
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
213
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
kasus-kasus ketenagakerjaan yang dialami TKI di negara bersangkutan.
Di bidang jasa-jasa lainnya, Pemerintah juga mengupayakan agar bidang-bidang jasa
yang potensial dapat berkembang dan mampu menghasilkan devisa. Hal itu antara lain dapat
dilihal dari upaya pemerintah yang bertekad menjadikan perusahaan-perusahaan milik negara
(BUMN) di bidang jasa tertentu seperti jasa telekomunikasi, jasa perbankan, dan jasa
penerbangan dapat menjadi pemain-pemain di tingkat global.
Dalam pada itu, di bidang jasa-jasa yang masih lemah kemampuan ekspomya sehingga
memberatkan neraca jasa-jasa secara keseluruhan, seperti halnya jasa angkutan laut (freight),
sesuai dengan kemampuan dan secara bertahap, Pemerintah telah menempuh berbagai langkah
untuk dapat mengurangi ketergantungan terhadap jasa angkutan laut asing. Langkah-langkah
tersebut berupa pemberian berbagai kemudahan di bidang perpajakan bagi pelayaran nasional
melalui Deregulasi Juni 1996 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362 Tahun 1996.
Berdasarkan kebijaksanaan tersebut Pemerintah menanggung pajak pertambahan nilai yang
terhutang atas impor kapal dalam penyerahan barang kena pajak tertentu, termasuk kapal laut
dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaba perusahaan pelayaran niaga
nasional. Di samping itu, Pemerintah memberlakukan tarif pajak tunggal (single tax tariff) atas
pajak penghasilan (PPh) dari kegiatan pengangkutan orang dan atau barang, membebaskan PPh
pasal 22 impor, serta menanggung bea balik nama kapal, dengan meluncurkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 416 Tahun 1996, Nomor 417 Tahun 1996, dan Nomor 432 Tahun
1996.
Di bidang administrasi, pro sektor pengadaan kapal dari luar negeri dan pendaftaran
kapal Indonesia, serta pengurusan dokumen/surat-surat kapal juga telab disederhanakan,
sehingga surat izin pembelian/impor kapal tidak lagi diperlukan. Sementara itu, di bidang
kepelabuhanan, khususnya pelabuhan yang tidak diusahakan, tarif jasa atas pemakaian jasa
labuh dan jasa tambat selama satu hingga tiga hari juga telah dibebaskan. Dengan langkahlangkah tersebut diharapkan armada angkutan laut nasional dapat berkembang dan mampu
meningkatkan perannya dalam menghemat pengeluaran devisa..
Sehubungan dengan perkembangan-perkembangan tersebut di atas, neraca jasa-jasa
(neto) dalam tahun anggaran 1996/1997 diperkirakan masih akan mengalami defisit sebesar
US$ 13.977 juta, yang terdiri dari defisit jasa-jasa migas sebesar US$ 3.299 juta dan defisit jasa-
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
214
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
jasa non migas sebesar US$ 10.678 juta. Perkiraan defisit neraca jasa-jasa dalam tahun
1996/1997 tersebut mengalami peningkatan sebesar 5,6 persen dari defisit tahun anggaran
sebelumnya sebesar US$ 13.239 juta. Sementara itu, defisit jasa-jasa migas dan jasa-jasa non
migas diperkirakan akan mengalami peningkatan masing-masing sebesar 1,9 persen dan 6,8
persen dari realisasi tahun anggaran sebelumnya sebesar US$ 3.238 juta dan US$ 10.001 juta.
4.4.4. Lalu lintas modal dan transfer
Di tengah perkembangan ekonomi dunia yang semakin mengglobal dan terintegrasi,
yang ditandai dengan pergerakan modal yang tidak lagi mengenal batas-batas negara, Indonesia
dihadapkan pada tantangan yang cukup berat. Di satu sisi, dalam upaya mempertahankan
momentum pembangunan yang berkelanjutan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi,
Indonesia masih dihadapkan pada kendala keterbatasan sumber-sumber pembiayaan, terutama
yang bersumber dari dalam negeri. Hal ini terutama disebabkan karena relatif rendahnya tingkat
tabungan domestik, baik berupa tabungan masyarakat, swasta maupun tabungan pemerintah.
Sementara di sisi lain, meskipun sumber pembiayaan yang berasal dari luar negeri, terutama
dalam bentuk investasi asing langsung (foreign direct investment) dan investasi tidak langsung
(portfolio investment), dapat dimanfaatkan sebagai altematif pembiayaan pembangunan, namun
dengan semakin ketatnya persaingan dalam upaya menarik modal dari luar negeri, terutama
antar sesama negara berkembang, peluang untuk memanfaatkan sumber dana altematif tersebut
tidak serta merta menjadi mudah.
Menghadapi kendala dan tantangan tersebut, maka dalam rangka menciptakan iklim
yang menggairahkan untuk investasi, baik PMDN maupun PMA, Pemerintah telah melakukan
berbagai upaya melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, yang diharapkan akan
dapat meningkatkan kegiatan penanaman modal. Adapun upaya yang dilakukan Pemerintah
adalah dengan meningkatkan dan memperluas kegiatan ekonomi dengan memberikan peranan
yang lebih besar kepada masyarakat dan dunia usaha dalam pembiayaan pembangunan dalam
meningkatkan investasi dan produktivitas serta perluasan pasar ekspor dengan peningkatan daya
saing dalam investasi dan perdagangan dunia serta alih teknologi, kemampuan manajerial dan
modal. Sementara itu, dalam rangka mengendalikan defisit transaksi berjalan, selain telah
mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan permintaan domestik, Pemerintah juga
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
215
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
mengambil langkah deregulasi di sektor riil. Rangkaian kebijaksanaan di sektor riil tersebut
bertujuan, antara lain untuk mendorong investasi melalui peningkatan efisiensi dan daya saing
komoditas ekspor, misalnya melalui penurunan tarif bea masuk bagi bahan baku dan barang
modal untuk produksi barang ekspor dan penghapusan berbagai pungutan yang dapat
menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Sebagaimana dalam tahun-tahun sebelumnya, dalam memanfaatkan pinjaman dari luar
negeri Pemerintah tetap berpegang pada beberapa pedoman, antara lain bahwa dana dari luar
negeri tersebut tidak mempunyai ikatan politis, bersyarat lunak dengan tenggang waktu
pengembalian yang panjang, besamya pinjaman tetap harus disesuaikan dengan kemampuan
perekonomian nasional dalam pengembaliannya, dan peranannya diupayakan agar semakin
mengecil terhadap sumber pembiayaan dalam negeri. Sedangkan untuk menjaga kredibilitas
Indonesia di bidang finansial di dunia internasional, Pemerintah mempunyai prinsip untuk
memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman sesuai dengan persyaratan dan jadwal
pembayaran yang telah disepakati. Disamping itu, sebagai salah satu upaya untuk mengurangi
beban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri yang berbunga tinggi, Pemerintah tetap
akan melanjutkan kebijaksanaan percepatan pembayaran hutang luar negeri pemerintah, dengan
dana yang antara lain berasal dari hasil penjualan bagian saham pemerintah pada BUMN
tertentu di pasar internasional. Sementara itu, pinjaman komersial luar negeri akan dikurangi
dengan mempertajam prioritas.
Dalam perkembangannya lalu lintas modal neto dalam tahun anggaran 1996/1997
diperkirakan berjumlah sebesar US$ 10.797 juta. Jumlah tersebut merupakan hasil dari
pemasukan modal pemerintah sebesar US$ 5.844 juta, ditambah pemasukan modal lainnya
sebesar US$1 0.489 juta, dan dikurangi pembayaran hutang pokok luar negeri pemerintah
sebesar US$ 5.536 juta. Bila dibandingkan dengan lalu lintas modal neto dalam tahun anggaran
1995/1996 yang berjumlah US$ 11.463 juta maka terjadi penurunan sebesar US$ 666 juta atau
sebesar 5,8 persen. Penurunan lalu lintas modal neto tersebut disebabkan oleh menurunnya
komponen lalu lintas modal lainnya, yaitu dari US$ 11.672 juta dalam tahun anggaran
1995/1996 menjadi sebesar US$ 10.489 juta dalam tahun anggaran 1996/1997, atau turun
sebesar 10,1 persen. Penurunan lalu lintas modal lainnya tersebut terutama disebabkan oleh
menurunnya pemasukan modal lain-lain yang bersifat jangka pendek, walaupun pemasukan
modal dalam rangka penanaman modal asing mengalami peningkatan. Sebaliknya pemasukan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
216
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
modal pemerintah dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat sebesar US$ 114 juta atau 2
persen dibandingkan dengan tahun anggaran 1995/1996 yang berjumlah sebesar US$ 5.730 juta.
Sementara itu pembayaran hutang pokok luar negeri pemerintah mengalami penurunan sebesar
US$ 403 juta, yaitu dari sebesar US$ 5.939 juta dalam tahun anggaran 1995/ 1996 menjadi
sebesar US$ 5.536 juta dalam tahun anggaran 1996/1997. Penurunan pembayaran hutang pokok
pinjaman luar negeri tersebut antara lain disebabkan dilakukannya percepatan pembayaran
hutang luar negeri yang berbunga tinggi pada tahun anggaran sebelumnya, sehingga mengurangi
beban pembayaran hutang luar negeri pada tahun anggaran 1996/1997.
4.5. Perkiraan neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1997/1998
Dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan harga minyak dunia tidak berbeda dengan
keadaan tahun anggaran sebelumnya. Diperkirakan permintaan minyak dunia akan meningkat,
namun permintaan minyak impor untuk proses pengolahan kilang di dalam negeri juga terus
meningkat. Produksi minyak anggota OPEC diperkirakan tidak banyak mengalami perubahan
sesuai dengan kuota yang berlaku hingga bulan Juli 1997.
Dalam tahun anggaran 1997/1998 Pemerintah tetap berupaya memelihara konsistensi
dalam kebijaksanaan makro yang bermuara pada pengendalian inflasi. Berkaitan dengan hal
tersebut diperkirakan nilai ekspor secara keseluruhan dalam tahun anggaran 1997/1998 akan
mencapai sebesar US$ 56.153 juta, terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 8.857 juta dan ekspor
non migas sebesar US$ 47.296 juta.
Dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan baik di tingkat pusat maupun di
daerah, maka diperlukan sumber dana maupun investasi yang meningkat baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan impor non migas,
terutama impor barang modal. Di samping itu, dengan semakin majunya tingkat kesejahteraan
masyarakat akan menyebabkan naiknya impor barang konsumsi. Dalam tahun anggaran 1997/
1998, pengeluaran devisa untuk impor secara keseluruhan diperkirakan mencapai sebesar US$
50.742 juta, terdiri dari impor migas sebesar US$ 1.851 juta dan impor non migas sebesar US$
48.891 juta. Dengan adanya kenaikan impor tersebut diperkirakan akan berdampak pada
meningkatnya pengeluaran jasa-jasa angkutan laut karena hampir 95 persen impor
menggunakan jasa pengangkutan kapal asing, yang akibatnya meningkatkan defisit jasa-jasa
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
217
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
neto. Dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan defisit jasa-jasa akan mencapai sebesar
US$ 15.209 juta, yang meliputi jasa-jasa migas sebesar US$ 3.562 juta dan jasa-jasa non migas
sebesar US$ 11.647 juta. Dengan surplus neraca perdagangan dalam tahun anggaran 1997/1998
diperkirakan sebesar US$ 5.411 juta, dan defisit neraca jasa-jasa sebesar US$ 15.209 juta, maka
defisit transaksi berjalan akan meningkat menjadi sebesar US$ 9.798 juta, atau mengalami
peningkatan sebesar US$ 975 juta dibandingkan dengan perkiraan tahun anggaran 1996/1997
sebesar US$ 8.823 juta.
Selanjutnya, lalu lintas modal dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan
meningkat menjadi sebesar US$ 11.247 juta, terdiri dari pemasukan modal pemerintah sebesar
US$ 5.608 juta, pembayaran hutang pokok pemerintah sebesar US$ 4.939 juta. dan pemasukan
modal lainnya sebesar US$ 10.578 juta. Dengan perkembangan transaksi berjalan dan lalu lintas
modal tersebut neraca pembayaran secara keseluruhan diperkirakan mengalami surplus dengan
cadangan devisa yang cukup untuk membiayai 4,4 bulan impor.
4.5.1. Perkiraan penerimaan minyak bumi dan gas alam (neto)
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dunia, kebutuhan energi diperkirakan
akan semakin meningkat. Dalam pada itu meningkatnya permintaan tersebut diperkirakan akan
diikuti pula dengan meningkatnya penawaran energi. Berdasarkan hal tersebut diperkirakan
harga minyak bumi tidak akan berbeda dengan tahun anggaran sebelumnya. Dengan demikian
penerimaan neto minyak bumi dan gas alam dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan
mencapai sebesar US$ 3.444 juta, yang terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 8.857 juta, impor
migas sebesar US$ 1.851 juta, dan jasa- jasa minyak bumi dan gas alam sebesar US$ 3.562 juta.
4.5.2. Perkiraan nilai ekspor bukan minyak bumi dan gas alam
Dalam tahun anggaran 1997/1998 ekspor bukan minyak bumi dan gas alam
diperkirakan mencapai sebesar US$ 47.296 juta atau 14,0 persen lebih tinggi dari perkiraan
realisasi dalam tahun anggaran sebelumnya. Perkiraan tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi
sebagai berikut :
(1) Dalam tahun 1997, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan sedikit meningkat,
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
218
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
sehingga akan berdampak pada perkembangan neraca perdagangan Indonesia. Selanjutnya
diperkirakan persaingan ekspor semakin ketat, sementara penggunaan WTO sebagai media
penyelesaian perselisihan perdagangan semakin meningkat dan karena semakin globalnya
perdagangan dunia diperkirakan pasar komoditi ekspor Indonesia akan meluas, yang pada
gilirannya akan meningkatkan ekspor non migas. Dengan demikian secara keseluruhan nilai
ekspor non migas diperkirakan tetap akan meningkat.
(2) Efisiensi perekonomian dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat melalui
kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang terus disempurnakan dan dilaksanakan secara
berkesinambungan. Selain itu, upaya untuk meningkatkan kualitas dan standar mutu produk
ekspor agar sesuai dengan standar intemasional serta promosi ekspor akan terus digalakkan,
sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan nilai ekspor non migas.
(3) Perkembangan investasi di dalam negeri, khususnya yang berorientasi ekspor, diperkirakan
akan semakin meningkat sejalan dengan semakin menariknya iklim usaha/investasi di dalam
negeri yang didukung oleh meningkatnya kualitas sarana dan prasarana, serta tersedianya bahan
baku, tenaga kerja yang profesional, dan teknologi yang tepat guna. Dengan perkembangan
tersebut diharapkan daya saing produk nasional semakin meningkat baik jumlah maupun
kualitasnya sehingga mampu bersaing di pasar global, yang pada akhimya akan mendorong
peningkatan ekspor non migas.
4.5.3. Perkiraan nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam
Nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam dalam tahun anggaran 1997/1998
diperkirakan akan mencapai sebesar US$ 48.891 juta, yang berarti meningkat sebesar US$
5.816 juta atau sebesar 13,5 persen dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya sebesar
US$ 43.075 juta. Adapun asumsi perkiraan tersebut didasarkan atas :
(1) Dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan perdagangan bebas dunia, yang telah ditandai
dengan penurnnan tarif secara bertahap, maka diperkirakan impor non migas secara keseluruhan
akan mengalami peningkatan. Persaingan yang semakin ketat di dalam memasuki perdagangan
dunia akan berdampak permintaan barang impor semakin sulit untuk ditekan.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
219
Nota Keuangan dan RAPBN 1997/1998
(2) Semakin berkembangnya perdagangan luar negeri dan investasi di dalam negeri, maka
kebutuhan terhadap barang modal seperti mesin-mesin, alat telekomunikasi, alat pengangkutan
dan lainnya akan meningkat. Sementara itu permintaan akan bahan baku/penolong seperti bahan
kimia, benang tenun, besi baja dan logam, bahan-bahan karet dan plastik, serta lainnya,
diperkirakan pertumbuhannya akan melamban namun nilainya masih tetap besar, bahkan
diperkirakan sekitar setengah dari nilai impor non migas secara keseluruhan.
(3) Adanya perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat relatif akan mengakibatkan
meningkatnya permintaan terhadap barang-barang konsumsi, antara lain yang berasal dari luar
negeri. Di samping itu, dalam upaya meningkatkan kualitas produk dalam negeri yang
berorientasi ekspor, maka penggunaan bahan baku/penolong impor akan tetap berlanjut.
Berdasarkan hal tersebut, diperkirakan pertumbuhan nilai impor masih akan meningkat namun
semakin melamban apabila dibandingkan dengan tahun anggaran yang lalu.
4.5.4. Perkiraan pos lainnya
Dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan pengeluaran jasa-jasa akan mencapai
sebesar US$ 15.209 juta, atau meningkat sebesar 8,8 persen dari tahun anggaran sebelumnya
sebesar US$ 13.977 juta. Pengeluaran jasa-jasa tersebut meliputi jasa-jasa migas sebesar US$
3.562 juta dan jasa-jasa non migas sebesar US$ 11.647 juta.
Sementara itu, lalu lintas modal mengalami peningkatan sebesar 4,2 persen dari tahun
anggaran sebelumnya sebesar US$ 10.797 juta, sehingga realisasinya dalam tahun anggaran
1997/1998 diperkirakan mencapai sebesar US$ 11.247 juta yang terdiri dari pemasukan modal
pemerintah sebesar US$ 5.608 juta, pembayaran hutang pokok sebesar US$ 4.939 juta, dan lalu
lintas modal lainnya sebesar US$ 10.578 juta. Selanjutnya perkiraan neraca pembayaran tahun
anggaran 1997/1998 secara rinci dapat dilihal dalam Tabel IV.10.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
220
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Tabel IV.10
PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN, 1997/1998
(dalam juta US $)
I. Barang-barang dan jasa-jasa
1. Ekspor, fob
Minyak bumi dan gas alam
Bukan minyak bumi dan gas alam
2. Impor, fob
Minyak bumi dan gas alam
Bukan minyak bumi dan gas alam
3. Jasa-jasa
minyak bumi dan gas alam
bukan minyak bumi dan gas alam
4. Transaksi berjalan
minyak bumi dan gas alam
bukan minyak bumi dan gas alam
II. SDRs
III. Pemasukan modal Pemerintah
1. Bantuan program
2. Bantuan proyek dan lain-lain
IV. LaIn lintas modal lainnya
V. Pembayaran hntang pokok
VI. Jumlah (I s.d. V)
VII. Selisih yang belum dapat diperhitungkan
VIII. Lalu lintas moneter
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
+
+
+
+
+
+
-
56.153
8.857
47.296
50.742
1.851
48.891
15.209
3.562
11.647
9.798
3.444
13.242
5.608
0
5.608
10.578
4.939
1.449
0
1.449
221
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
BAB V
KEUANGAN DAERAH
5.1. Pendahuluan
Peningkatan kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,
serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal memerlukan dana yang cukup
besar. Dana untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah dan penyediaan pelayanan
umum kepada masyarakat di daerah yang semakin meningkat dapat dihimpun dari mobilisasi
dana masyarakat melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat I dan tingkat II.
Sebagaimana digariskan dalam GBHN, pembangunan di daerah diarahkan agar dapat
lebih mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan sekaligus meningkatkan perekonomian
nasional.
Peranan
keuangan
daerah
yang
semakin
meningkat
dalam
pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan telah dapat dicapai melalui berbagai upaya
perbaikan dalam pengelolaan keuangan daerah, selalu diselaraskan dengan arahan GBHN
tersebut.
Program-program yang telah dilaksanakan daerah selama ini, khususnya di bidang
keuangan daerah, telah memperlihatkan kemajuan. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan
pendapatan daerah, baik daerah tingkat I (Dati I) maupun daerah tingkat II (Dati II), yang cukup
berarti. Realisasi penerimaan daerah tingkat I seluruh Indonesia selama periode 1989/1990-1995/1996 mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 17,3 persen, sedangkan realisasi
penerimaan daerah tingkat II seluruh Indonesia selama periode 1989/1990-1994/1995
mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 26,1 persen. Realisasi penerimaan daerah
tersebut terdiri dari pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan
dan bantuan pemerintah pusat, pinjaman daerah, serta sisa lebih tahun sebelumnya.
Salah satu upaya pemerintah pusat dalam meningkatkan penerimaan daerah adalah
dengan memberi perhatian kepada perkembangan penerimaan daerah sendiri (PDS) yang terdiri
dari PAD ditambah pajak bumi dan bangunan (PBB). Sumber-sumber PAD adalah hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, dan lain-lain hasil usaha daerah yang
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
222
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
sah, sedangkan PBB yang termasuk dalam bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah pajak negara
yang dibagihasilkan kepada daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Pengelompokan PAD
bersama PBB sebagai komponen PDS adalah karena kedua sumber dana tersebut secara penuh
dapat dipergunakan oleh daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah, di samping
memperlihatkan adanya upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan yang dilakukan
oleh pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan daerah.
Sejalan dengan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah, PDS menunjukkan
peningkatan yang cukup berarti. Jika dalam tahun anggaran 1989/1990 PDS tingkat I seluruh
Indonesia masih sebesar Rp 1.211,0 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 meningkat
menjadi sebesar Rp 4.422,2 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar
24,1 persen. Demikian pula halnya dengan PDS tingkat II yang juga mengalami peningkatan,
jika dalam tahun anggaran 1989/1990 sebesar Rp 839,7 miliar, maka dalam tahun anggaran
1994/1995 telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.362,9 miliar atau mengalami pertumbuhan
rata-rata per tahun sebesar 23,0 persen.
PAD tingkat I dan tingkat II seluruh Indonesia terhadap keseluruhan penerimaan
masingmasing tingkat pemerintahan, telah menunjukkan perkembangan yang semakin
meningkat. PAD tingkat I, yang dalam tahun anggaran 1989/1990 berjumlah Rp 1.041,4 miliar
atau menyumbang sebesar 23,9 persen terhadap penerimaan APBD tingkat I, meningkat
menjadi sebesar Rp 3.854,2 miliar atau kontribusinya terhadap penerimaan APBD tingkat I
adalah sebesar 34,1 persen dalam tahun anggaran 1995/1996. Selama periode 1989/19901995/1996 PAD tingkat I telah mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 24,4 persen.
Sejalan dengan peningkatan PAD tingkat I tersebut, PAD tingkat nseluruh Indonesia
selama periode 1989/1990-1994/1995 juga mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun yang
tinggi yaitu sebesar 21,0 persen. Persentase PAD tingkat II terhadap penerimaan APBD tingkat
II dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah sebesar 15,9 persen dan menurun menjadi sebesar
12,9 persen dalam tahun anggaran 1994/1995. Penurunan proporsi PAD tingkat II terhadap
APBD tingkat II tersebut disebabkan kenaikan proporsi dari penerimaan-penerimaan lain,
utamanya sumbangan dan bantuan dari pemerintah yang lebih tinggi, yang mempunyai laju
pertumbuhan yang lebih cepat dari PAD.
Seperti halnya dengan perkembangan penerimaan PAD, penerimaan daerah tingkat I
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
223
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
yang berasal dari PBB juga mengalami peningkatan. Pertumbuhan rata-rata per tahun
penerimaan PBB daerah tingkat I selama periode 1989/1990-1995/1996 adalah sebesar 22,3
persen, yaitu jika dalam tahun anggaran 1989/1990 jumlah penerimaan PBB hanya sebesar Rp
169,6 milyar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 telah meningkat menjadi sebesar Rp 568,0
miliar. Penerimaan daerah tingkat II dari PBB juga mengalami pertumbuhan yang cepat. Jika
dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan PBB daerah tingkat II sebesar Rp 361,8 miliar,
maka dalam tahun anggaran 1994/1995 meningkat menjadi sebesar Rp 1.125,2 miliar, yang
berarti mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 25,5 persen selama periode
1989/1990-1994/1995. Secara umum peningkatan penerimaan daerah, baik tingkat I maupun
tingkat II, disebabkan oleh peningkatan efisiensi dalam pemungutan, penggalian sumber-sumber
dana, serta adanya peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam pengelolaan keuangan
daerah.
Sumbangan dan bantuan pusat sebagai sumber penerimaan terbesar dalam penerimaan
daerah, baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II, mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Sumbangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dimaksudkan untuk membantu
memperlancar penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Sebagian besar dari dana sumbangan yang diberikan berwujud subsidi
daerah otonom (SDD), yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai dan non pegawai.
Adapun bantuan pusat kepada daerah ditujukan untuk penyebarluasan, pemerataan, dan
penyelarasan pembangunan antardaerah. Bantuan pusat yang diberikan tersebut adalah dalam
bentuk program Inpres yang bersifat bantuan umum dari bantuan khusus bagi pembangunan
daerah.
Penerimaan daerah tingkat I yang berasal dari sumbangan dan bantuan pusat dalam
tahun anggaran 1989/1990 adalah sebesar Rp 2.720,6 miliar dari telah meningkat menjadi
sebesar Rp 5.489,0 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996 atau berarti selama periode tersebut
telah mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 12,4 persen. Peranan penerimaan yang
berasal dari sumbangan dari bantuan pusat tersebut terhadap seluruh penerimaan daerah tingkat
I menunjukkan penurunan, yakni dari sebesar 62,5 persen dalam tahun anggaran 1989/1990
menjadi sebesar 48,5 persen dalam tahun anggaran 1995/1996. Sebaliknya untuk daerah tingkat
II, penerimaan yang berasal dari sumbangan dari bantuan mengalami peningkatan yang cukup
pesat, yaitu dari sebesar Rp 2.011,6 miliar dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi sebesar Rp
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
224
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
6.570,2 miliar dalam tahun anggaran 1994/1995 yang berarti menunjukkan pertumbuhan ratarata per tahun sebesar 26,7 persen. Proporsi penerimaan yang berasal dari sumbangan dari
bantuan terhadap seluruh penerimaan daerah tingkat II memperlihatkan peningkatan yaitu dari
sebesar 66,7 persen dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi sebesar 68,3 persen dalam tahun
anggaran 1994/1995. Realisasi penerimaan daerah tingkat I maupun daerah tingkat II secara
lengkap dapat dilihat dalam Tabel V.1 sampai dengan Tabel V.4, serta Grafik V.1, dan Grafik
V.2.
Sesuai dengan prinsip anggaran daerah yang berimbang dari dinamis, maka seperti
halnya yang terjadi pada sisi penerimaan, realisasi pengeluaran pemerintah daerah tingkat I juga
mengalami peningkatan yang cukup pesat. Realisasi pengeluaran daerah tingkat I dalam periode
1989/1990-1995/1996 telah mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 17,2 persen.
Sebagian besar pengeluaran masih dipergunakan untuk membiayai belanja rutin, utamanya
belanja pegawai. Pertumbuhan rata-rata per tahun realisasi pengeluaran rutin daerah tingkat I
adalah sebesar 15,0 persen selama periode 1989/1990-1995/1996. Dalam kurun waktu yang
sama pengeluaran pembangunan mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 22,5
persen. Pengeluaran pembangunan ini dalam tahun anggaran 1995/1996 utamanya digunakan
untuk membiayai sektor transportasi dari sektor aparatur pemerintah dari pengawasan, yang
proporsinya terhadap jumlah pengeluaran pembangunan masing-masing adalah sebesar 24,6
persen dari 14,7 persen.
Pengeluaran daerah tingkat II selama periode 1989/1990-1994/1995 mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 25,8 persen. Dalam periode yang sarna realisasi
pengeluaran rutin mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 22,5 persen, sementara
pengeluaran pembangunan mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 29,8 persen.
Sebagian besar dari pengeluaran rutin daerah tingkat II digunakan untuk membiayai belanja
pegawai, sedangkan sebagian besar pengeluaran pembangunan dialokasikan untuk menunjang
sektor transportasi dari sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, pemuda dan olahraga, yang proporsinya terhadap pengeluaran pembangunan
dalam tahun anggaran 1994/1995 masing-masing adalah sebesar 38,4 persen dari 13,6 persen.
Realisasi pengeluaran daerah yang meliputi pengeluaran rutin dari pengeluaran pembangunan,
baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II, secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel V.5
sampai dengan Tabel V.8, serta Grafik V.3, dan Grafik V.4.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
225
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Tabel V.1
PENERIMAAN DAERAH TlNGKAT I SELURUH INDONESIA
DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BUTO TANPA MIGAS,
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996
Repelita V
Repelita VI
1989/1990
1993/1994 1994/1995
1995/1996
Jumlah Proporsi
Jumlah Proporsi
Jumlah Proporsi
Jumlah Proporsi
(Rp miliar)
(%) (Rp miliar)
(%) (Rp miliar)
(%) (Rp miliar)
(%)
No.
Uraian
1.
Penerimaan daerah sendiri (PDS):
1.211,01
a. Pendapatan asli daerah (PAD)
1.041,40
169,61
b. Bagi hasil pajak (PBB)
133,63
Bagi hasil pajak dan bukan pajak, diluar
2.720,55
Sumbangan/bantuan pemerintah pusat
Pinjaman
15,08
269,85
Sisa lebih tahun sebelumnya
4.350,12
Jumlah penerimaan APBD Tk.I
PDRB *)
137.975,18
Persentase penerimaan APBD Tk.I
terhadap PDRB (6 : 7)
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
27,84
31,16
3,07
62,54
0,35
6,2
100
-
2.612,11
2.199,79
412,32
232, II
5.096,65
38,44
403,02
8.382,33
290.605,94
2,77
60,8
0,46
4,81
100
-
3.480,39
3.010,32
470,07
283,27
5.310,26
51,86
583,21
9.708,99
341.002,33
3,15
-
2,88
-
35,85
2,92
54,69
0,53
6,01
100
-
4.422,24
3.854,23
568,01
418,53
5.488,98
57,38
926,24
11.313,37
401.239,97
39,09
3,7
48,52
0,5
8,19
100
-
2,85
-
2,82
Keterangan: *)
Dalam tahun takwim dan atas dasar harga yang berlaku.
**) Angka diperbaiki.
***) Angka sementara.
****) Angka sangat sementara.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
226
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Tabel V. 2
PENERIMAAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI,
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996
(dalam miliar rupiah)
Repelita V
No.
Propinsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
Repelita VI
1989/1990 1993/1994 1994/1995
103,98
275,29
55,29
114,9
37,03
91,19
29,34
134,72
710,45
561,56
534,19
94,9
630,49
94,27
68,17
92,71
100,4
110,25
67,46
80
25,26
112,6
34,02
38,54
46,99
75,97
30,15
4.350,12
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
194,71
466,71
99,02
231,83
84,13
177,46
61,05
101,37
1.670,66
1.095,79
1.027,69
180,52
1.143,98
198,65
176,24
202,23
205,07
93,01
155,74
138,32
72,82
100,11
72,29
89,46
96,91
178,89
67,67
8.382,33
205,54
543,56
121,51
224,94
92,22
190,94
67,44
123,68
2.186,26
1.325,29
1.138,62
196,77
1.315,94
121,19
190,46
222,58
246,68
96,1
167,22
165,71
7,25
123,46
78,93
112,1
104
199,64
71,96
9.708,99
Pertumbuhan
1995/1996 Rata-rata (%)
215,12
613,43
143,82
267,94
114,16
225,21
81,69
148,27
2.716,62
1.588,77
1.324,98
221,79
1.484,60
133,22
210,53
174,33.
266,72
104,64
184,96
197,01
86,87
160,14
93,27
111,18
109,54
257,62
76,93
11.313,37
12,9
14,3
17,3
15,2
20,6
16,3
18,6
1,6
25,1
18,9
16,4
15,2
15,3
5,9
20,7
11,1
17,7
-0,9
18,3
16,2
22,9
6,1
18,3
19,3
15,2
22,6
16,9
17,3
227
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Tabel V.3
DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS
1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Repelita V
1989/1990
Jumlah
Proporsi
(Rp miliar)
(%)
Uraian
Penerimaan daerah sendiri (PDS)
a. Pajak asli daerah (PAD)
b. Bagi hasil pajak (PBB)
Bagi hasil pajak dan bukan pajak, diluar PBB
Sumbangan/bantuan pemerintah
pusat dan daerah tingkat I
Pinjaman
Sisa lebih tahun sebelumnya
Jumlah penerimaan APBD Tk. II
PDRB *)
Persentase penerimaan APBD Tk. II
Terhadap PDRB (6 : 7)
839,68
477,92
361,76
64,98
2.011,57
26,51
71,18
3.013,92
118.191,24
-
27,86
1993/1994
Jumlah
Proporsi
(Rp miliar)
(%)
1.819,18
944,55
874,63
240,48
21,65
66,74
5.956,08
0,88
52,03
2,36
336,21
100
8.403,98
- 239.499,48 *)
2,16
2,55
-
Repelita VI
1994/1995
Jumlah
Proporsi
(Rp miliar)
(%)
24,55
2,86
2.362,91
1.237,69
1.125,22
327,26
70,87
0,62
4
100
-
6.570,23
85,78
277,02
9.623,20
282.217,00
68,28
0,89
2,88
100
-
3,51
-
3,41
3,4
Keterangan : DaIam tahun takwim, dan atas dasar harga yang berlaku.
Tabel V.4
PENERIMAAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995
(dalam miliar rupiah)
Repelita V
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
Propinsi
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimatan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
Rata-rata
1989/1990
Keseluruhan Rata-rata
98,57
199,17
131,74
92,14
69,37
169,49
34,99
61,22
359,97
339,59
40,44
359,7
59,19
45,7
50,06
99,35
45,53
32,72
224,48
47,81
66,48
83,13
109,61
66,84
99,1
27,55
3.013,92
-
9,.86
11,72
9,111
15:36
11,56
16,95
8,75
15,3
15
9,7
8,09
9,72
8,46
7,62
5,01
16,56
6,5
8,18
9,76
11,95
8,31
13,85
9,13
13,37
[1,01
2,12
10,32
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
Pertumbuhan
Repelita VI
1993/1994
Keseluruhan Rata-rata
230,68
447,09
312,92
278,04
197,47
455,66
103,21
290,04
996,32
915,65
98,26
896,16
155,25
177,1
154,96
343,13
224,51
93,23
544,05
134,67
260,02
190,37
301,9
178,48
315
109,82
8.403,98
-
23,07
26,3
22,35
46,34
32,91
45,57
25,8
58,01
41,51
26,16
19,65
24,22
22,18
29,52
15,5
57,19
32,07
23,31
23,65
33,67
28,89
31,73
25,16
35,7
35
8,45
28,58
1994/1995
Keseluruhan Rata-rata
241,08
456,51
337,72
306,44
208,86
586,25
109,85
333,11
1.205,51
940,81
115,94
1.036,35
286,82
189,56
178,29
385,17
242,97
109,39
608,37
138,72
319,58
209,79
342,02
193,86
406,82
133,4
9.623,20
-
24,11
26,85
24,12
51,07
34,81
58,63
27,46
66,62
48,22
26,88
23,19
28,01
40,97
31,59
17,83
64,19
34,71
27,35
26,45
34,68
35,51
29,97
28,5
38,77
40,68
10,26
32,4
(%)
19,6
18
20,7
27,2
24,7
28,2
25,7
40,3
27,3
22,6
23,4
23,6
37,1
32,9
28,9
31,1
39,8
27,3
22,1
23,7
36,9
20,3
25,6
23,7
32,6
37,1
26,1
-
228
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan,
peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan program-program pembangunan di
daerah, telah dilakukan peningkatan status beberapa kota administratif menjadi kotamadya
daerah tingkat II. Dalam tahun anggaran 1989/1990 di Indonesia terdapat 290 daerah tingkat II
dan sampai dengan tahun anggaran 1994/1995 terdapat 298 daerah tingkat II, yang berarti telah
terjadi penambahan 8 daerah tingkat II dalam kurun waktu 5 tahun. Namun khusus untuk
Kotamadya Daerah Tingkat II, karena baru dibentuk dalam tahun anggaran 1994/1995, sehingga
belum memiliki APBD untuk tahun anggaran tersebut, maka sampai dengan tahun anggaran
1994/1995 daerah tingkat II yang memiliki APBD baru sebanyak 297 daerah tingkat II
sebagaimana terlihat dalam Tabel V.9. Dalam tahun anggaran 1995/1996 telah dibentuk
Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari di Propinsi Sulawesi Tenggara, dan dalam tahun
anggaran 1996/1997 juga telah dibentuk Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang di Propinsi Nusa
Tenggara Timur, sehingga sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 di Indonesia terdapat
sebanyak 300 daerah tingkat II.
5.2. Kebijaksanaan keuangan daerah
Memasuki era globalisasi, dunia usaha dituntut untuk berproduksi lebih efisien agar dapat
meningkatkan daya saing di pasar dalam negeri dan luar negeri. Pemerintah termasuk
pemerintah daerah harus turut mendukung dunia usaha dengan menciptakan iklim yang
merangsang investor menanamkan modalnya di daerah. Salah satu upaya untuk menarik
investasi di daerah adalah melalui rasionalisasi pungutan-pungutan daerah yang berupa pajak
daerah dan retribusi daerah. Sistem perpajakan dan retribusi daerah saat ini yang didasarkan
kepada Undang. undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan
Undang-undang Nomor 12 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah, sudah
saatnya ditinjau kembali karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini.
Dewasa ini terdapat jumlah jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang sangat banyak dan
bervariasi antardaerah, sedangkan hasilnya kurang memadai dan bahkan biaya pemungutannya
lebih tinggi dari hasilnya. Disamping itu beberapa jenis pajak daerah dan retribusi daerah
tertentu memiliki objek yang sama sehingga merugikan masyarakat dan berdampak negatif pada
perekonomian daerah karena menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi yang sangat
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
229
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
dikeluhkan oleh dunia usaha. Rasionalisasi terhadap pajak daerah dan retribusi daerah harus
mengarah kepada sistem perpajakan dan retribusi daerah yang sederhana dan efisien serta dapat
menggerakkan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan daerah. Dengan rasionalisasi pajak
daerah dan retribusi daerah tersebut diharapkan dapat dicapai tujuan sebagai berikut: Pertama,
memperbaiki berbagai kelemahan sistem perpajakan dan retribusi daerah yang berlaku selama
ini. Kedua, memperkuat pondasi penerimaan daerah, khususnya daerah tingkat II, dengan
mengurangi jumlah jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan lebih mengefektifkan jenis-jenis
pajak dan retribusi tertentu yang potensial serta meningkatkan efisiensi dalam pemungutannya.
Ketiga, terciptanya pedoman bagi pemerintah daerah dalam memungut pajak daerah dan
retribusi daerah, dan keempat, menyelaraskan sistem perpajakan daerah dengan perpajakan
nasional.
Upaya peningkatan pembangunan di seluruh daerah terus digalakkan dengan memberi
penekanan pada aspek penyerasian laju pertumbuhan antardaerah, antarkota dan desa. Oleh
karena itu alokasi dana pembangunan juga diarahkan untuk mengurangi kesenjangan
antardaerah. Sementara daerah yang sudah lebih maju perlu tetap diupayakan untuk
ditingkatkan, bagi daerah yang kurang maju perlu semakin dipacu agar dapat mengejar
ketertinggalannya. Dalam rangka penyebarluasan, pemerataan dan penyelarasan pembangunan
antardaerah, kepada daerah diberikan bantuan pembiayaan pembangunan yang dikenal sebagai
program bantuan pembangunan daerah atau program Inpres. Program Inpres dibedakan dalam
dua kelompok, yaitu program Inpres yang bersifat bantuan umum dan yang bersifat bantuan
khusus. Bantuan umum meliputi Inpres Dari I, Inpres Dari II dan Inpres desa. Program Inpres
yang bersifat bantuan khusus adalah Inpres kesehatan, Inpres sekolah dasar, Inpres penghijauan
dan reboisasi, serta Inpres penunjangan jalan dan jembatan. Sejak tahun anggaran 1994/1995
dalam upaya lebih memantapkan pelaksanaan otonomi daerah, Inpres penghijauan dan reboisasi
serta Inpres penunjangan jalan dan jembatan telah menjadi bagian dalam Inpres Dari I dan
Inpres Dari II yang bersifat bantuan umum. Kemudian sejak tahun anggaran 1994/1995
pemerintah telah mengembangkan suatu program bantuan baru, yaitu Inpres desa tertinggal
(IDT) yang khusus diberikan dalam rangka pengentasan kemiskinan rakyat yang berada di desadesa tertinggal. Bantuan ini dimaksudkan untuk dapat mendorong, menibantu, dan
meningkatkan usaha-usaha ekonomi masyarakat desa, sehingga secara langsung maupun tidak
langsung dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di desa-desa tertinggal tersebut.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
230
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Tabel V. 5
PENGELUARAN DAERAH TINGKAT I SELUUH
DffiANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS,
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996
Repelita V
Repelita VI
Uraian
1994/1995
1989/1990
1993/1994
1995/1996
Jumlah
Proporsi
Jumlah
Proporsi
Jumlah
Proporsi
Jumlah
Proporsi
(%)
(Rp miliar)
(%)
(Rp miliar)
(%)
(Rp miliar)
(%)
(Rp miliar)
Pengeluaran rutin
Pengeluaran pembangunan
Jumlah pengeluaran APBD Tk. I
PDRB *)
Persentase pengeluaran APBD Tk. I
terhadap PDRB (3 : 4)
2.936,91
1.028,57
3.965,48
137.975,18
74,06
25,94
100
-
5.400,97
2.413,01
7.813,98
**)
69,12
30,88
100
-
5.988,98
2.848,40
8.837,38
***)
67,77
32,23
100
-
6.786,57
3.480,19
10.266,76
****)
66,1
33,9
100
-
-
2,87
-
2,69
-
2,59
-
2,56
Keterangan : *)
Dalam tahun takwim, dan atas dasar harga yang berlaku.
**)
Angka diperbaiki.
***) Angka sementara.
****) Angka sangat sementara.
Tabel V.6
PENGELUARAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996
(dalam miliar rupiah)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Propinsi
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bal I
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
Repelita V
1989/1990
1993/1994
96,34
267,15
49,73
73,66
34,03
72,52
27
118,27
603,74
529,44
516,28
87,11
598,49
88,57
66,07
88,69
84,27
106,63
66,27
65,88
24,82
101,59
30,4
36,88
36,49
67,19
27,98
3.965,48
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
190,16
458,58
95,22
200,42
. 78,84
164,53
59,69
97,98
1.403,20
1.034,88
998,8
172,77
1.109,41
191,31
168,89
200,44
162,92
90,88
155,23
134,16
70,79
92,42
70,82
84,37
91,15
171,3
64,81
7.813,98
Repelita VI
1994/1995
1995/1996
201,19
515,63
108,48
183,87
81,65
167,33
62,68
112,84
1.847,94
1.223,73
1.092,61
185,79
1.242,03
107,62
178,32
219,29
200,39
94,48
166,09
154,71
69,65
102,05
73,08
104
98,01
178,36
65,56
8.837,38
214,18
584,01
124,85
217,28
97,13
193,67
73,1
134,56
2.335,26
1.507,23
1.260,54
209,7
1.354,56
126,35
198,61
163,97
233,12
102,09
179,71
170,54
82,29
131,68
86,23
104,06
103,41
205,05
73,6
10.266,76
Pertumbuhan
Rata-rata (%)
14,2
13,9
16,6
19,8
19,1
17,8
18,1
2,2
25,3
19,1
16
15,8
14,6
6,1
20,1
10,8
18,5
-0,7
18,1
17,2
22,1
4,4
19
18,9
19
20,4
17,5
17,2
231
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
No
1.
2.
3.
4.
5.
Tabel V.7
PENGELUARAN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA
DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS
1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995
Repelita V
Repelita VI
Uraian
1989/1990
1993/1994
1994/1995
Jumlah
Proporsi
Jumlah
Proporsi
Jumlah
Proporsi
(%)
(Rp miliar)
(%)
(Rp miliar)
(%)
(Rp miliar)
Pengeluaran rutin
Pengeluaran pembangunan
Jumlah penerimaan APBD Tk. II
PDRB *)
Persentase pengeluaran APBD Tk. II
terhadap PDRB (3 : 4)
1.690,58
1.200,60
2.891,18
118.191,24
-
58,47
3.923,35
41,53
4.018,67
100
7.942,02
- 239.499,48 **)
2,45
-
49,4
50,6
100
-
4.662,95
4.429,38
9.092,33
***)
51,28
48,72
100
-
3,32
-
3,22
Keterangan : *) Dalam tahun takwim dan atas dasar harga yang berlaku.
**) Angka diperbaiki.
***) Angka sementara.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
232
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Tabel V.8
PENGELUARAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1989/1990, 1993/1994 DAN 1994/1995
(dalam miliar rupiah)
No.
Propinsi
-1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
-2
DI Aceh
Sumatera
Sumatera
Riau
Jambi
Sumatera
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Jawa
DI
Jawa Timur
Kalimantan
Kalimantan
Kalimantan
Kalimatan
Sulawesi
Sulawesi
Sulawesi
Sulawesi
Bali
Nusa
Nusa
Maluku
Irian Jaya
Timor
Jumlah
Rata-rata
Pertumbu
Repelita V
Repelita VI
Rata-rata
1989/1990
1993/1994
1994/1995
Keseluruh Rata-rata Keseluruh Rata-rata Keseluruhan Rata-rata
-6
-7
-3
-4
-5
-8
-9
22,29
231,6
95,02
9,5
222,86
23,16
19,5
25,29
431,85
191,87
11,29
429,85
25,4
17,6
22,05
332,23
130,65
9,33
308,66
23,73
20,5
45,12
293,09
83,81
13,97
270,71
48,85
28,5
31,96
204,12
66,49
11,08
191,77
34,02
25,1
44,05
476,53
152,81
15,28
440,46
47,65
25,5
25,56
107,19
33,57
8,39
102,26
26,8
26,1
57,28
322,36
57,82
14,46
286,39
64,47
41
40,02
1.114,87
352,86
14,7
960,53
44,59
25,9
21,19
868,44
329,24
9,41
741,53
24,81
21,4
19,21
109,9
38,49
7,7
96,04
21,98
23,3
23,2
1.004,68
343,68
9,29
858,41
27,15
23,9
21,36
280,62
57,26
8,18
149,55
40,09
37,4
27,91
176,43
40,47
6,75
167,47
29,4
34,2
14,59
170,19
47,4
4,74
145,92
17,02
29,1
357,05
51,46
87,33
14,55
308,77
59,51
32,5
237,77
31,59
44,24
6,32
221,16
33,97
40
106,75
22,8
31,39
7,85
91,21
26,69
27,7
23,32
594,31
221,17
9,62
536,4
25,84
21,9
33,41
136,17
47,15
11,79
133,65
34,04
23,6
27,18
285,35
63,91
7,99
244,66
31,71
34,9
31,53
205,95
82,61
13,77
189,19
29,42
20
24,65
333,83
108,85
9,07
295,85
27,82
25,1
34,06
184,02
63,4
12,68
170,29
36,8
23,8
30,16
397,06
93,16
10,35
271,43
39,71
33,6
8,23
129,96
26,54
2,04
107,01
10
37,4
9.092,33
2.891,18
7.942,02
25,8
9,9
30,61
27,01
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
233
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Tabel V. 9
JUMLAH DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI
1989/1990 DAN 1994/1995
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
Propinsi
Repelita V
1989/1990
Repelita VI
1994/1995
10
17
14
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah *)
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
10
24
35
37
10
23
12
13
.
Jumlah
290
Keterangan :
*) Belum termasuk Kodya Palu, karena belum memiliki APBD.
10
17
14
6
6
10
4
5
25
35
5
37
7
6
10
6
7
4
23
4
9
7
12
5
10
13
297
Kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah terus
meningkat sejalan dengan semakin beragam dan meningkatnya kebutuhan pelayanan kepada
masyarakat. Namun peningkatan penerimaan daerah tidak secepat peningkatan kebutuhan
pelayanan masyarakat, sehingga kalau hanya dengan mengandalkan penerimaan daerah maka
kebutuhan pelayanan masyarakat akan sulit dipenuhi. Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi
keterbatasan dana tersebut, pemerintah daerah seyogyanya mengembangkan pola kerjasama
dengan masyarakat dan swasta dalam pembangunan prasarana dan sarana daerah. Pola
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
234
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
kerjasama ini akan terus dilanjutkan dan dikembangkan sejalan dengan program pembangunan
nasional, yaitu dengan meningkatkan partisipasi masyarakat yang terus menerus dalam
pembangunan. Dengan demikian fungsi pemerintah tidak hanya sebagai penyedia langsung
tetapi lebih bersifat sebagai pengarah dan pengatur dalam pembangunan prasarana dan sarana
daerah. Pola kerjasama atau kemitraan dalam pembangunan prasarana dan sarana telah banyak
dilaksanakan di berbagai daerah dan terus disempurnakan agar semua pihak dapat memperoleh
manfaat, utamanya di bidang-bidang penyediaan air bersih, persampahan, dan pembangunan
terminal angkutan umum.
Dalam menghadapi era globalisasi, salah satu strategi pemerintah dalam meningkatkan
daya saing adalah dengan mengoptimalkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan, yaitu dengan
meningkatkan dan memantapkan otonomi daerah khususnya di daerah tingkat II. Hal ini sesuai
dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
yang mengamanatkan bahwa titik berat otonomi diletakkan pada daerah tingkat II. Sebagai
tindak lanjut kebijaksanaan otonomi daerah tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat pada
Daerah Tingkat II, kemudian disusul dengan dikeluarkannya PP Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Kepada 26 Daerah Tingkat II Percontohan. Kedua
PP tersebut dimaksudkan untuk dapat mendorong, meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Dengan bertambah besarnya dana yang dikelola daerah untuk memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat yang meningkat, maka perlu didukung dengan adanya pengelolaan
keuangan daerah yang lebih efisien dengan memperhatikan prioritas-prioritas pembangunan
yang telah ditetapkan dalam setiap tahap pembangunan. Di samping itu juga dilakukan berbagai
studi beserta penerapannya, seperti sistem dan prosedur peningkatan kinerja pengelolaan
keuangan, pengembangan sistem akuntansi dan pengendalian anggaran, sistem operasional dan
pemeliharaan prasarana dan sarana daerah, serta penyempurnaan sistem alokasi subsidi daerah
otonom yang lebih mendukung tugas-tugas desentralisasi. Dalam pada itu, saat ini juga sedang
dikembangkan restrukturisasi anggaran daerah dengan maksud untuk dapat lebih mempertajam
sasaran yang hendak dicapai dalam setiap tahun anggaran, selain untuk menata kembali bentuk
dan susunan anggaran daerah yang menunjang pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang
lebih efektif dan efisien.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
235
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Dalam meningkatkan daya saing, pemerintah daerah berupaya terus meningkatkan
sumber daya manusia dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan agar dalam memasuki era
globalisasi aparatur daerah dapat lebih profesional, terampil dan efisien serta dapat diandalkan
dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk itu telah dilakukan berbagai pelatihan bagi aparatur daerah di bidang keuangan daerah
yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan profesionalisme. Dalam hal
ini telah dilakukan kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi, yaitu Universitas Indonesia,
Universitas Gajah Mada, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Andalas dalam
menyelenggarakan kursus keuangan daerah (KKD) untuk kursus jangka menengah dan latihan
keuangan daerah (LKD) untuk kursus jangka pendek. Disamping itu, juga dikirim tenaga-tenaga
yang potensial di bidang keuangan daerah untuk belajar ke luar negeri, baik untuk program gelar
maupun non gelar. Selanjutnya untuk mengantisipasi perkembangan perkotaan yang begitu
cepat juga dilakukan pelatihan-pelatihan bagi para pengelola perkotaan, baik untuk para pejabat
teras maupun untuk pejabat teknis. Pelatihan-pelatihan tersebut adalah pelatihan manajemen
perkotaan untuk tingkat manajemen strategis, guna melengkapi pelatihan-pelatihan tingkat
manajemen teknis operasional dan tingkat manajemen teknis pelaksanaan yang selama ini telah
ada dan diselenggarakan oleh berbagai instansi teknis terkait. Modul-modul pelatihan tingkat
manajemen strategis perkotaan meliputi pelatihan inti manajemen perkotaan terpadu,
manajemen keuangan perkotaan, manajemen lingkungan hidup perkotaan, perencanaan tata
ruang dan manajemen lahan, manajemen pelayanan jasa perkotaan, manajemen perencanaan dan
penganggaran investasi prasarana dan sarana perkotaan, serta manajemen ekonomi perkotaan.
Setiap modul pelatihan tersebut dilaksanakan oleh badan-badan pendidikan dan pelatihan pada
instansi terkait atau bekerjasama dengan perguruan tinggi.
5.3. Anggaran pendapatan dan belanja daerah tingkat I
5.3.1. Penerimaan daerah sendiri
Penerimaan daerah sendiri (PDS) yang terdiri dari PAD ditambah dengan PBB selalu
diupayakan peningkatannya sebagai salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah dalam rangka mengisi otonomi daerah yang nyata,
serasi, dinamis dan bertanggung jawab. Dimasukkannya PBB sebagai komponen PDS karena
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
236
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
hampir seluruh penerimaan PBB telah diserahkan kepada daerah, dan sarna halnya dengan PAD,
hasil penerimaan daerah dari PBB tergantung dari upaya pemerintah daerah dalam
pemungutannya, dan dapat dipergunakan sepenuhnya oleh daerah sesuai dengan kebutuhan dan
prioritas daerah. Upaya peningkatan PDS tersebut merupakan wujud nyata bagi daerah dalam
memobilisasi sumber dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah
sebagai wahana untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Dalam periode 1989/1990-1995/1996 realisasi PDS tingkat I mengalami peningkatan
yang cukup besar. Apabila dalam tahun anggaran 1989/1990 realisasi PDS adalah sebesar Rp
1.211,0 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 telah meningkat menjadi sebesar Rp
4.422,2 miliar, yang berarti berkembang dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar
24,1 persen. Jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun penerimaan
APBD tingkat I dalam periode yang sarna, yaitu sebesar 17,3 persen, berarti tingkat
pertumbuhan rata-rata per tahun PDS masih jauh lebih tinggi. Perkembangan penerimaan PDS
juga sejalan dengan perkembangan ekonomi daerah yang tercermin dalam perkembangan
PDRB. Proporsi PDS terhadap PDRB tanpa migas dalam tahun anggaran 1989/1990 sebesar 0,9
persen telah meningkat menjadi sebesar 1,1 persen dalam tahun anggaran 1995/1996.
Perkembangan PDS tingkat I dan proporsinya terhadap PDRB tanpa migas dapat dilihat dalam
Tabel V.10.
5.3.1.1. Pendapatan asli daerah
Sebagaimana diatur di dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, PAD adalah bagian dari sumber penerimaan daerah.
Karena itu, pemungutan PAD harus terus diupayakan agar lebih efektif dan efisien sehingga
dapat mendukung pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, dalam
mewujudkan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Komponen PAD terdiri dari
pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba perusahaan daerah, penerimaan dinas-dinas daerah,
dan lain-lain usaha daerah yang sah, yang semuanya merupakan sumber penerimaan yang murni
dari daerah.
PAD untuk daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1989/1990 sebesar
Rp 1.041,4 miliar telah meningkat menjadi sebesar Rp 3.854,2 miliar dalam tahun anggaran
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
237
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
1995/1996, yang berarti mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 24,4 persen.
Perkembangan PAD tingkat I per propinsi dalam periode tersebut dapat dilihat dalam Tabel
V.11. Peranan penerimaan pajak daerah tingkat I terhadap keseluruhan PAD tingkat I dalam
tahun anggaran 1989/1990 adalah sebesar 78,2 persen, meningkat menjadi sebesar 78,8 persen
dalam tahun anggaran 1995/1996. Hal ini menunjukkan bahwa peranan penerimaan pajak
daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1995/1996 terhadap keseluruhan PAD tetap dominan jika
dibandingkan dengan jenis PAD lainnya, seperti retribusi dengan peranan sebesar 14,2 persen,
penerimaan bagian tata perusahaan daerah sebesar 1,8 persen, penerimaan dinas-dinas daerah
sebesar 0,9 persen, serta penerimaan lain-lain sebesar 4,3 persen. Peranan masing-masing
komponen PAD terhadap penerimaan PAD secara keseluruhan dapat dilihat dalam Tabel V.12.
5.3.1.1.1. Pajak daerah
Pajak daerah merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada umumnya hasil pemungutan pajak daerah
didasarkan pada peraturan daerah tentang jenis pajak yang bersangkutan, dan pajak negara yang
telah diserahkan kepada daerah. Pajak daerah merupakan pungutan daerah untuk pembiayaan
rumah tangga daerah sebagai badan hukum publik.
Pajak daerah tingkat I meliputi antara lain pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik
nama kendaraan bermotor (BBN-KB), pajak menangkap ikan di perairan teritorial, pajak atas
alat angkutan di atas air (P-A3), bea balik nama alat angkutan di atas air (BBN-A3), dan pajak
pembuatan kapal kayu. Didasarkan atas berbagai pertimbangan, seperti besamya ongkos pungut
dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh, ataupun karena kecilnya jumlah penerimaan
jenis pajak tertentu di daerah-daerah tertentu, maka tidak semua jenis pajak yang tercantum
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dipungut oleh suatu daerah.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
238
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Tabel V.10
PENERIMAAN DAERAH SENDIRI TINGKAT I DAN PROPORSINYA TERHADAP
PDRB TANPA MIGAS PER PROPINSI, 1989/1990 DAN
(dalam miliar rupiah)
No.
Propinsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
PDS
PDRB *)
PDS/PDRB (%)
Repelita VI Repelita V Repelita VI Repelita V Repelita VI
1995/1996
1989
1995 **)
1989/1990 1995/1996
Repelita V
1989/1990
.
1.211,01
51.69
177,02
60,88
140,69
35,49
89,78
18,39
58,2
1.935.44
507,32
298,06
49,46
465,61
33,12
25,75
53,68
89,22
26,16
19,58
89,01
11,74
83,89
21,23
24,37
18.39
30.97
7.09
4.422,24
2.571.79
9.039,39
2.913,33
2.332,23
1.196,93
5.686,75
691.02
2.872,94
19.783,94
23.938,19
16.857,00
1.651,48
24.644,63
2.333,43
1.200,25
2.022,74
3.765.34
1.289,73
842,11
4.035,71
722,67
2.552,49
1.094,47
1.041.44
1.341.06
1.323.31
230,83
137.975,18
6.908.13
24.231.99
8.114.63
8.469.50
3.373,54
12.494,30
2.088,19
8.021.95
69.846,96
70.266,17
43.979,34
5.618,65
66.191,13
7.138,91
4.351,70
6.106,06
11.277,60
3.793,22
2.559,70
10.294,16
1.820,25
7.409,58
3.465,97
2.880.17
3.089.30
6.740,47
708,43
401.239.97
0.7
0,7
0.5
2.5
0.7
0,5
0,7
0,7
2,4
0,5
0,5
0,8
0,6
0,4
0,4
0,6
0,7
0.9
0.6
0.6
0,4
1,1
0,6
0.8
0.7
0.5
0,6
0,9
0,8
0,7
0,8
1,7
1,1
0,7
0.9
0,7
2,8
0.7
0,7
0,9
0,7
0.5
0.6
0.9
0.8
0.7
0,8
0,9
0,6
1.1
0.6
0.9
0.6
0.5
1.0
1,1
Keterangan :
*) PDRB atas dasar harga yang berlaku.
**) Angka sangat sementara.
Dalam tahun anggaran 1989/1990 jumlah penerimaan pajak daerah tingkat I seluruh
Indonesia adalah sebesar Rp 814,0 miliar dan jumlah ini meningkat menjadi sebesar Rp 3.037,2
miliar dalam tahun anggaran 1995/1996, yang berarti meningkat dengan laju pertumbuhan ratarata per tahun sebesa 24,8 persen. Dalam tahun anggaran 1995/1996, penerimaan pajak daerah
yang terbesar adalah berasal dari Propinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 42,4 persen dari seluruh
penerimaan pajak daerah, diikuti oleh Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur masing-Depertemen Keuangan Republik Indonesia
239
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
masing sebesar 13,8 persen dan 12,4 persen. Perkembangan penerimaan pajak daerah tingkat I
secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.13.
PKB dan BBN-KB merupakan penerimaan pajak daerah tingkat I yang dominan dalam
keseluruhan penerimaan pajak daerah tingkat I, bahkan dalam tahun anggaran 1995/1996 di
Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Nusa Tenggara Barat, seratus persen atau seluruh penerimaan
pajak daerah tingkat I berasal dari PKB dan BBN-KB. Sementara itu, di daerah tingkat I
lainnya, penerimaan yang berasal dari kedua pajak tersebut sekitar 95,0 persen dari penerimaan
pajak daerah. Di Propinsi DKI Jakarta peranan penerimaan PKB dan BBN-KB dalam tahun
anggaran 1995/1996 menunjukkan persentase paling kecil dibandingkan daerah tingkat I
lainnya, yakni hanya sebesar 69,3 persen dari penerimaan pajak daerah. Rendahnya peranan
PKB dan BBN-KB terhadap keseluruhan penerimaan pajak daerah di Propinsi DKI Jakarta ini
disebabkan jumlah penerimaan pajak yang besar dari Propinsi DKI Jakarta yang merupakan
daerah khusus yang tidak terbagi kedalam daerah tingkat II otonom, sehingga penerimaan
pajaknya merupakan gabungan dari pajak-pajak daerah tingkat I dan pajak-pajak daerah tingkat
II. Perkembangan dan peranan PKB dan BBN-KB terhadap penerimaan pajak daerah tingkat I
secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.14.
5.3.1.1.2. Retribusi daerah
Retribusi daerah adalah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang dipungut
berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi
Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah. Berbeda dengan pajak daerah yang pemungutannya dapat dipaksakan, maka pungutan
atas retribusi hanya dapat dilakukan bila pemerintah daerah menyediakan dan atau memberikan
pelayanan jasa umum atau pelayanan jasa usaha atau pelayanan perizinan tertentu untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.
Bagi pemerintah daerah tingkat I walaupun pungutan retribusi ini jumlahnya lebih kecil
daripada pungutan pajak, namun pungutan ini mempunyai arti penting dalam menghimpun dana
yang bersumber dari daerah sendiri. Hasil yang diperoleh dari retribusi jumlahnya terus
meningkat dari tahun ke tahun.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
240
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Tabel V.11
PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996
(dalam juta rupiah)
No.
Repelita V
1989/1990
1993/1994
Propmsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Sclatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
Pcrtumbuhan
Repelita VI
1994/1995
1995/1996 Rata-rata (%)
12.327,96
27.112,14
32.643,44
38.853,82
57.781,98
84.768,17 124.141,38 156.859,08
14.207,26
29.241,05
44.926,33
56.411,94
14.360,96
55.379,28
75.972,68
89.677,85
6.778,56
13.765,87
21.285,89
29.310,72
21.295,67
38.511,51
54.441,06
71.899,27
4.216,70
7.247,16
10.948,95
16.983,82
17.494,32
24.076,93
36.303,55
53.473,69
429.660,93 993.655,81 1.316.884,65 1.672.650,57
104.941,45 240.877,35 349.516,53 469.830,02
78.929,39 148.351,63 211.577,95 280.650,03
12.899,36
27.985,57
39.081,20
46.691,24
133.860,37 235.381,72 339.829,32 440.621,77
8.631.59
17.595,38
25.656,25
27.614,75
2.390,35
7.996,01
11.266,01
12.453,99
9.334,47
21.807,34
28.746,53
40.796,71
16.661,10
54.502,57
59.213,49
63.971,15
11.289,99
21.177,75
19.720,45
23.597,12
4.398,37
10.840,29
13.348,74
17.175,41
23.094,09
41.565,52
59.389,96
78.038,72
2.768,96
7.383,48
9.189,15
9.841,35
27.503,12
41.619,44
63.084,07
80.597,31
5.714,25
10.798,90
14.946,39
19.069,96
8.028,01
14.831,31
17.520,47
21.016,50
7.307,71
8.444,37
11.323,39
13.511,27
4.148,94
10.358,54
13.767,73
17.188,22
1.377,76
4.511,70
5.598,35
5.443,58
1.041.403,63 2.199.786,80 3.010.323,91 3.854.229,86
21,1
18,1
25,8
35,7
27,6
22,5
26,1
20,5
25,4
28,4
23,5
23,9
22
21,4
31,7
27,9
25,1
13,1
25,5
22,5
23,5
19,6
22,3
17,4
10,8
26,7
25,7
24,4
Tabel V.12
KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA,
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Uraian
Pajak
Retribusi
Penerimaan bagian laba
Perusahaan daerah
Penerimaan dinas-dinas
Penerimaan lain-lain
Jumlah
Repelita V
1989/1990
Jumlah
(%)
(Rp miliar)
Repelita VI
1994/1995
Jumlah
(%)
(Rp miliar)
1993/1994
Jumlah
(%)
(Rp miliar)
1995/1996
Jumlah
(%)
(Rp miliar)
813,98
136,18
78,16
13,08
1.663,77
339,09
75,63
15,41
2.378,64
432,9
79,02
14,38
3.037,17
548,09
78,8
14,22
19,93
20,58
50,73
1.041,40
1,91
1,98
4,87
100
31,84
27,06
138,03
2.199,79
1,45
1,23
6,28
100
35,39
28,39
135
3.010,32
1,18
0,94
4,48
100
68,3
34,79
165,88
3.854,23
1,77
0,9
4,3
100
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
241
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Tabel V.13
PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996
(dalam juta rupiah)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Propinsi
DI Acch
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Sclatan
Bcngkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Dl Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
.Jumlah
Repelita V
1989/1990
1993/1994
8.607,70
51.150,68
9.740,12
12.482,25
4.770,77
16.808,75
2.607,08
13.448,04
331.569,51
87.644,34
63.565,34
10.456,79
110.891,99
7.264,53
1.531,15
7.280,43
12.854,77
5.915,58
2.993,34
16.664,80
1.134,79
22.774,96
3.858,36
2.268,53
2.638,82
2.431,94
626,1
813.981,46
Repelita VI
1995/1996
1994/1995
13.605,81
24.402,02
19.998,95
71.328.28
129.097,40
106.520,15
19.534,58
42.694,68
31.588,59
37.931,29
67.531,84
52.455,21
8.631,71
24.146,48
16.771,66
26.139,32
55.097,52
39.560,71
3.742,29
9.517,70
6.128,14
16.609,97
42.072,75
26.696,79
768.461,67 1.049.326,01 1.289.033,71
200.614,66
420.095,46
303.930,73
118.195,75
229.838,67
170.703,74
23.625,O!
40.229,88
33.870,89
194.316,74
375.415,33
292.092,97
12.924,63
20.298,23
18.263,09
5.337,55
8.392,71
7.864,98
15.193,14
28.397,94
19.926,08
23.205,60
38.965,39
32.666,81
8.778,00
15.707,75
11.181,65
5.867,43
10.540,25
8.222,85
28.124,01
55.741,02
41.197,62
3.330,45
5.137,16
4.274,05
33.445,36
64.520,64
51.364,87
5.797,99
11.181,48
9.154,22
5.338,13
7.756,55
6.397,68
4.340,12
7.018,08
6.307,49
7.249,42
11 .483,33
9.511,89
2.104,98
2.859,29
2.662,63
1.663.773.88 2.378.640.45
3.037.173,26
Pcrtumbuhan
Rata-rata (%)
19
16,7
27,9
32,5
31
21,9
24,1
20,9
25,4
29,9
23,9
25,2
22,5
18,7
32,8
25,5
20,3
17,7
23,3
22,3
28,6
19
19,4
22,7
17,7
29,5
28,8
24,5
Selama periode 1989/1990-1995/1996 keseluruhan penerimaan retribusi daerah tingkat
I memperlihatkan laju pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 26,1 persen. Sebagaimana
terlihat dalam Tabel V.15, jika dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan retribusi berjumlah
Rp 136,2 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 jumlahnya meningkat menjadi sebesar
Rp 548,1 miliar. Dari semua propinsi yang ada, Propinsi DKI Jakarta mempunyai penerimaan
retribusi terbesar yang dalam tahun anggaran 1995/1996 berjumlah Rp 257,0 miliar. Jumlah ini
jauh di alas jumlah yang diperoleh propinsi peringkat kedua yaitu Propinsi Jawa Timur yang
dalam tahun anggaran 1995/1996 memperoleh sebesar Rp 47,9 miliar. Tingginya perbedaan
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
242
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
penerimaan retribusi antara Propinsi DKI Jakarta dengan Propinsi Jawa Timur oleh karena
Propinsi DKI Jakarta memungut retribusi daerah tingkat I dan retribusi daerah tingkat II.
Sementara itu, Propinsi Timor Timur mempunyai penerimaan retribusi terendah yang dalam
tahun anggaran 1995/1996 hanya mencapai sebesar Rp 0,7 miliar. Namun demikian, laju
pertumbuhan rata-rata per tahun dari penerimaan retribusi di propinsi ini menunjukkan angka
tertinggi yaitu sebesar 59,3 persen dalam periode 1989/1990-1995/1996, sedangkan laju
pertumbuhan rata-rata per tahun yang terendah terjadi di Propinsi Bali, yaitu sebesar 18,1 persen
dalam periode yang sama.
5.3.1.1.3. Bagian laba badan usaha milik daerah
Badan usaha milik daerah (BUMD) adalah perusahaan daerah yang dibentuk oleh
pemerintah daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan
Daerah. Menurut undang-undang tersebut perusahaan daerah merupakan suatu kesatuan
produksi yang bersifat jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum dari sekaligus memupuk
pendapatan. Dengan demikian perusahaan daerah dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan
perekonomian daerah dari menambah pendapatan daerah.
Secara keseluruhan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I selama Repelita V
mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu dari sebesar Rp 19,9 miliar dalam tahun
anggaran 1989/1990 meningkat menjadi sebesar Rp 31,8 miliar dalam tahun anggaran
1993/1994. Namun demikian peranan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I masih relatif
kecil dibandingkan dengan sumber PAD yang lain, yaitu hanya sebesar 1,9 persen dari seluruh
penerimaan daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1989/1990 dari sebesar 1,5 persen dalam
tahun anggaran 1993/1994. Dalam Repelita VI penerimaan bagian laba BUMD tingkat I
mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu dari sebesar Rp 35,4 miliar dalam tahun
anggaran 1994/1995 menjadi sebesar Rp 68,3 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996 atau
mengalami peningkatan sebesar 92,9 persen. Demikian pula proporsinya terhadap total PAD
tingkat I mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 1,2 persen dalam tahun anggaran 1994/1995
menjadi sebesar 1,8 persen dalam tahun anggaran 1995/1996.
Secara nasional, penerimaan bagian laba BUMD tingkat I terbesar dalam tahun
anggaran 1995/1996 dicapai oleh Propinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp 42,2 miliar atau
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
243
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
sebesar 61,8 persen dari total penerimaan bagian laba BUMD seluruh daerah tingkat I,
kemudian diikuti oleh Propinsi Jawa Barat dari Propinsi Jawa Tengah, masing-masing sebesar
Rp 3,6 miliar dan Rp 3,2 miliar. Di1ihat dari pertumbuhan rata-rata per tahun dalam kurun
waktu 1989/1990-1995/1996, penerimaan bagian laba BUMD tingkat I yang mengalami
pertumbuhan tertinggi terjadi di Propinsi Riau, diikuti Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Nusa
Tenggara Timur masing-masing sebesar 77,9 persen, 52,7 persen, dan 52,0 persen. Laju
pertumbuhan rata-rata per tahun secara nasional selama periode tersebut adalah sebesar 22,8
persen. Perkembangan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I selengkapnya dapat dilihat
dalam Tabel V.16.
Tabel V.14
PERANAN PKB DAN BBN-KB TERHADAP
PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI,
1989/1990 DAN 1995/1996
(dalam persentase)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Propinsi
Repelita V
1989/1990
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Timor Timur
Indonesia
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
96,9
92.4
99,9
97,3
99,4
99,3
94,2
100
77,7
99,2
98,2
100
100;0
93,7
91,2
99,9
98
100
95,1
98,3
96,4
99,1
100
92,1
100
95,4
100
89,9
Repelita VI
1995/1996
98.4
97,3
99,9
95
98,9
95,6
98,9
97,7
69,3
98,3
98
98,7
100
95,2
95,8
98,2
97,6
99,8
95,3
97,6
97,7
99,6
100
94,5
99,6
99,8
94
86
244
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Tabel V.15
PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI,
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996
(dalam juta rupiah)
No.
Propinsi
1. DI Aceh
2. Sumatera Utara
3. Sumatera Barat
4. Riau
5. Jambi
6. Sumatera Selatan
7. Bengkulu
8. Lampung
9. DKI Jakarta
10. Jawa Barat
11. Jawa Tengah
12. DI Yogyakarta
13. Jawa Timur
14. Kalimantan Barat
15. Kalimantan Tengah
16. Kalimantan Selatan
17. Kalimantan Timur
18. Sulawesi Utara
19. Sulawesi Tengah
20. Sulawesi Selatan
21. Sulawesi Tenggara
22. Bali
23. Nusa Tenggara Barat
24. Nusa Tenggara Timur
25. Maluku
26. Irian Jaya
27. Timor Timur
Jumlah
Repelita V
1989/1990
1993/1994
1.655,12
2.690,70
2,107,18
1.1 11,43
502,36
2.706,48
668,32
1.757,21
70.577,74
12.658,22
10.597,36
609,8
13.348,88
867,92
346,77
1.295,12
1.996,66
997,52
906,6
2.472,41
323,8
2.827,77
1.152,41
739,86
880,3
335,47
43
136.176,41
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
7.971,00
9.449,15
7.702,74
12.135,43
4.145,57
8.524,16
1.950,56
6.438,27
141.527,62
29.741,37
22.893,01
1.757,29
22.576,38
3.828,05
1.335,52
6.033,66
16.397,34
4.597,48
4.101,57
11.179,97
1.563,68
3.910,92
3.235,38
2.736,87
1.199,53
1.811,53
343,5
339.087,56
Repelita VI
1994/1995
1995/1996
7.760,95
11.721,52
10.42l.97
20.326,53
3.732,02
9.812,98
3.253,08
8.653,97
189.058,72
33.672,81
31.333,33
2.377,18
29.026,05
4.841,99
1.912,41
6.721,99
12.653,57
5.263,14
4.173,00
15.770,69
1.950,46
5.085,31
4.231,83
5.055,92
1.842,57
1.731,32
513,88
432.899,20
9.811,37
13.407,49
10.551,18
16.210,09
3.827,95
10.940,37
4.324,48
9.726,83
257.001,38
38.503,54
36.235,76
3.634,33
47.862,67
5.482,71
2.008,69
6.955,96
12.087,39
5.221,79
5.402,74
19.151,72
2.574,93
7.683,09
5.254,91
8.059,09
2.867,39
2.601,44
701,5
548.090,84
Pertumbuhan
Rata-rata (%)
34,5
30,7
30,8
56,3
40,3
26,2
36,5
33
24
20,4
22,7
34,7
23,7
36
34
32,3
35
31,8
34,7
40,7
41,3
18,1
28,8
48,9
21,8
40,7
59,3
26,1
245
Nota Keuangn dan RAPBN 1997/1998
Tabel V.16
PENERIMAAN BAGIAN LABA PERUSAHAAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995 DAN 1995/1996
(dalam juta rupiah)
No.
Propinsi
1. DI Aceh
2. Sumatera Utara
3. Sumatera Barat
4. Riau
5. Jambi
6. Sumatera Selatan
7. Bengkulu
8. Lampung
9. DKI Jakarta
10. Jawa Barat
11. Jawa Tengah
12. DI Yogyakarta
13. Jawa Timur
14. Kalimantan Barat
15. Kalimantan Tengah
16. Kalimantan Selatan
17. Kalimantan Timur
18. Sulawesi Utara
19. Sulawesi Tengah
20. Sulawesi Selatan
21. Sulawesi Tenggara
22. Bali
23. Nusa Tenggara Barat
24. Nusa Tenggara Timur
25. Maluku
26. Irian Jaya
27. Timor Timur
Jumlah
Repelita V
1989/1990
1993/1994
214,93
855,61
856,21
45,57
170
112,17
162,5
560,47
8.190,09'
957,49
2.426,50
793,96
993,34
215,98
79,19
334,09
932,16
604,48
50
200
55
208,75
175
15
400
94,5
224,14
19.927,13
282,76
1.219,06
1.048,93
913,02
231,59
471,42
215,47
228,2
13.585,98
2.459,16
2.681,01
728,39
495,17
348
604,46
231,83
1.452,39
1.350,00
65
317,79
287
365,77
824,56
35
905
191,5
302,09
31.840,54
Repelita VI
1994/1995
1995/1996
329,5
1.617,41
1.282,19
261,25
250,06
835,86
189,9
336,79
12.020,29
4.412,39
2.965,45
953,34
383,91
362,53
452,32
150,6
1.652,08
2.380,00
74,98
423,34
1.084,02
466,18
838,36
60
319,5
751,83
538,36
35.392,41
252,87
2.238,67
1.188,32
1.444,40
300
761,9
648,06
484,46
42.218,38
3.571,17
3.163,50
977,93
574,75
467
460
607,31
2.529,98
1.650,00
286,84
533,54
525
459,16
1.041,98
185
109,06
1.198,82
417,1
68.295,20
Pcrtumbuhan
Rata-rata (%)
2,8
17,4
5,6
77,9
9,9
37,6
25,9
-2,4
31,4
24,5
4,5
3,5
-8,7
13,7
34,1
10,5
18,1
18,2
33,8
17,8
45,7
14
34,6
52
-19,5
52,7
10,9
22,8
5.3.1.1.4. Penerimaan dinas-dinas daerah
Dinas-dinas daerah dibentuk oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan urusanurusan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah. Pada umumnya fungsi pokok dinas
daerah adalah melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan kepada
daerah, khususnya yang berkaitan dengan tugas-tugas pembinaan atau bimbingan kepada
masyarakat. Namun demikian dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. ada kalanya
dinas-dinas daerah menghasilkan penerimaan, seperti hasil penjualan bibit tanaman atau bibit
ikan.
Depertemen Keuangan Republik Indonesia
246
Download