Pemanfaatan dan Pemasangan RADAR Pengawas - PPET

advertisement
 LAPORAN TEKNIS TEMATIK TAHUN 2012 Tim Penyusun: Rr. Widhya Yusi Samirahayu, SE., MT Dr. Purwoko Adhi Yadi Radiansah, ST Lisdiani PUSAT PENELITIAN ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA KATA PENGANTAR Program Tematik tahun 2012 di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) terdiri dari 5 kegiatan, yang terbagi dalam tiga bidang yaitu Telekomunikasi, Elektronika, dan Bahan dan Komponen Mikroelektronika. Laporan Teknis ini disusun oleh masing‐masing tim peneliti kegiatan yang bersangkutan, dan hanya menampilkan hasil‐hasil yang dicapai selama tahun 2012. Oleh karena itu, laporan ini tidak bersifat akumulatif walaupun beberapa kegiatan telah memasuki tahap akhir. Akan tetapi, laporan ini tetap diharapkan bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat pada umumnya. Kami menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangannya, baik secara substansi maupun format penulisannya. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa kami harapkan guna perbaikan kualitas laporan teknis PPET dimasa yang akan datang. Bandung, Januari 2013 Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Kepala, Dr. Hiskia NIP. 19650615 199103 1 006 DAFTAR ISI TIM PENYUSUN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI 1. Pemanfaatan dan Pemasangan Radar Pengawas Pantai (Surveillance Radar) – Peneliti Utama : Dr. Mashury 2. Pembuatan Magnet Barium Ferit Nano Partikel Bonded Hybrid untuk Aplikasi Generator – Peneliti Utama : Nanang Sudrajat, ST 3. Pembuatan Sel Surya – Peneliti Utama : Dra. Erlyta Septa Rosa, MT 4. Perancangan Battery Control Unit (BCU) pada Modul Panel Surya 50 Watt Peak (WP) – Peneliti Utama : Iqbal Syamsu, MT 5. Pengembangan Through‐Wall Radar untuk Life Detector – Peneliti Utama : Dr. Purwoko Adhi Pemanfaatan dan Pemasangan RADAR Pengawas Pantai Dr. Mashury LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian : Pemanfaatan dan Pemasangan Radar Pengawas Pantai (Surveillance Radar) 2. Kegiatan Prioritas : Informatika dan Telekomunikasi 3. Peneliti Utama : Nama : Dr. Mashury Jenis Kelamin : Pria 4. Sifat Penelitian : Baru (Tahun ke 3) 5. Lama Penelitian : 4 (empat) Tahun 6. Biaya Total 2011 : Rp. 1.318.250.000,‐ Bandung, 31 Desember 2012 Disetujui, Ka. Pusat Peneltian Elektronika dan Telekomunikasi ‐ LIPI Peneliti Utama Dr. H i s k i a Dr. Mashury . NIP. 19650615 199103 1 006 NIP. 19680408 199303 1 007 ABSTRAK Rancang bangun sebuah prototip Radar Pengawas Pantai (Coastal Surveillance Radar) yang dinamakan ISRA (Indonesian Surveillance Radar) akan dilakukan dalam penelitian ini. Setelah dilakukan rancang bangun, maka akan dilakukan pengetesan Radar ISRA didalam laboratorium dan di lapangan yang berdekatan dengan wilayah pantai. Setelah dilakukan perbaikan kinerja berdasarkan hasil pengetesan, akan dilakukan pengujian bersama/oleh pihak‐pihak pengguna (user) Radar didalam negeri. Setelah itu, dilakukan instalasi Radar ISRA di salah satu pelabuhan yang disetujui oleh Ditjen Hubla Kemenhub. Semua Radar Pengawas Pantai ISRA ini yang telah dibuat diharapkan dapat terkoneksi dalam suatu jaringan sehingga bisa dimonitor secara jarak jauh dari Jakarta atau Bandung. Pemanfaatan dan pemasangan Radar ISRA ini akan membantu pemerintah dalam pengawasan wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena Indonesia memiliki panjang pantai lebih dari 80.000 km. Tindakan ilegal diwilayah perairan NKRI dapat dikurangi melalui pengawasan menggunakan Radar ISRA ini. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengamanan dan pengawasan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari lebih 17.000 pulau dengan 2/3 wilayah terdiri dari lautan akan memerlukan aparat dan peralatan yang berjumlah sangat besar. Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan panjang pantai terbesar didunia yaitu lebih dari 80.000 Km. Pada kenyataannya, kemampuan TNI‐AL dan POLRI untuk mengawasi wilayah RI sangat terbatas sehingga wilayah perairan Indonesia rawan akan pencurian ikan, pelanggaran wilayah oleh kapal‐kapal asing, pembajakan kapal laut dan penyelundupan. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah dalam mengawasi dan mengamankan wilayah adalah dengan menggunakan Radar Pengawas Pantai untuk mengawasi pergerakan kapal laut sehingga dapat dicegah tindakan‐tindakan yang dapat merugikan NKRI dan juga tabrakan kapal apabila hendak merapat ke pelabuhan. Pemasangan Radar Pengawas Pantai daya besar (high power) di kapal atau dipinggir daratan (sekitar pantai) dapat digunakan untuk mengawasi wilayah laut yang luas sampai beberapa puluh mil laut. Gambar 1 memperlihatkan contoh Radar Pengawas Pantai dan aplikasinya dalam pengawasan pelabuhan. Berdasarkan uraian diatas maka penggunaan Radar sangat penting untuk pengawasan dan pengamanan wilayah perairan NKRI. Kemandirian bangsa dalam pembuatan Radar akan sangat membantu dalam penyediaan Radar didalam negeri. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa kondisi perekonomian bangsa yang sedang terpuruk ini tidak memungkinkan pemerintah untuk membeli peralatan Radar dari luar negeri yang umumnya bernilai sangat mahal (dari U$100.000 sampai dengan jutaan U$ dollar). Hal ini ditambah dengan sulitnya mekanisme pembelian Radar yang sifatnya strategis dibidang pertahanan dan keamanan. Puslit Elektronika dan Telekomunikasi LIPI telah membuat satu prototip Radar Pengawas Pantai pada tahun 2009. Diharapkan pada tahun 2010, akan selesai prototip ke 2 yang merupakan prototip versi komersial/produksi. Gambar 2 memperlihatkan desain grafis dari bentuk system antena Radar (tampak depan dan belakang). Hasil perakitan perangkat keras dan enam belas (16) antena modul ditunjukkan pada Gambar 3. Radome atau bungkus luar dari system antena untuk melindungi terhadap cuaca dan pengaruh lingkungan diperlihatkan pada Gambar 4. Ilustrasi pemakaian Radar pengawas pantai untuk pengawasan wilayah perairan sekitar Selat Sunda ditunjukkan pada Gambar 5. Diasumsikan ada tiga buah Radar yang terhubung melalui satu jaringan. Dalam gambar ini, daerah jangkauan Radar ditentukan oleh kemampuan daya pancar, ketinggian menara dan polarisasi dari antena [1, 2, 3, 4]. Penggunaan jaringan Radar Pengawas Pantai memungkinkan lalu lintas kapal disekitar Selat Sunda dan yang menuju atau dari Pelabuhan Tanjung Priok dapat diamati. Blok diagram Radar frequency modulated‐continuous wave (FM‐CW) yang digunakan pada prototip Radar PPET‐LIPI diperlihatkan pada Gambar 6 [1, 4]. Sistem Radar FM‐CW ini terbagi atas dua bagian utama yaitu transmitter (pemancar) dan receiver (penerima). Hasil deteksi Radar akan ditampilkan oleh Display unit yang mengolah sinyal/data yang diterima dari bagian Receiver menjadi suatu gambar yang dapat diinterpretasikan dengan mudah oleh pengguna [5, 6, 7‐18]. Pengolahan sinyal Radar ini dilakukan oleh sebuah komputer yang berkemampuan tinggi sehingga semua proses dilakukan secara real time untuk menghindari adanya penundaan (delay). Seiring dengan kemajuan teknologi Radar, peranan perangkat lunak untuk pengolahan sinyal menjadi semakin penting (vital) [5, 6, 7‐18]. Tampilan dari Radar akan disesuaikan dengan kelaziman yang berlaku pada Radar Pengawas Pantai yang telah dijual dipasaran, yaitu antara lain mengikuti regulasi International Maritime Organization (IMO) dan menampilkan parameter‐parameter penting dari Radar sebagai informasi untuk pengguna. Terdapat dua antena yang masing‐masing digunakan untuk memancarkan sinyal Radar ke obyek yang ingin diamati dan untuk menerima sinyal Radar yang dipantulkan oleh obyek. Antenna control yang berfungsi untuk mengatur agar gerakan antenna sesuai dengan tampilan dilayar dari Display unit. Pembangkit frekuensi (frequency generator) berfungsi untuk membangkitkan sinyal sweep, memberikan input sinyal osilator (local oscillator) frekuensi rendah dan tinggi ke bagian pemancar dan penerima, serta menghasilkan sinyal dengan frekuensi referensi. Gambar 1. Radar maritim di tepi pantai. Gambar 2. Desain sistem antena Radar Pengawas Pantai. Gambar 3. Bagian depan (kiri) dan belakang (kanan) sistem antena yang telah dirakit. Gambar 4. Bentuk Radome depan dari sistem antena. Selat Sunda
Gambar 5. Illustrasi jangkauan Radar untuk Selat Sunda. Pemancar (TX)
Antena TX
Pembangkit
Frekuensi
(Frequency
Generator)
Penerima (RX)
Antena RX
Personal
Computer +
Display
Antena Control
Gambar 6. Blok Diagram Sistem Radar FM‐CW. Standar‐standar yang ada saat ini untuk Radar Maritim (termasuk Radar Pengawas Pantai) adalah: •
Standard Performance Radar Kapal: sesuai Resolution IMO A.477(XII). •
Standards Performance for Automatic Radar Plotting AIDs (ARPAs): sesuai Resolution IMO A.823 (19). •
Standard Performance untuk VTS: Recommendations IALA V‐128 on Operational and Technical Performance Requirements for VTS Requirements. Berdasarkan standar diatas, maka prototip Radar ISRA terutama prototip II yang merupakan versi komersial harus dapat memenuhi semua standar‐standar yang ada. Maka pengetesan Radar ISRA dilakukan mengikuti ketentuan didalam standar tersebut dan ketentuan yang di‐inginkan oleh user. Apabila semua standar sudah dipenuhi, maka Radar ISRA layak mendapatkan sertifikasi. Akan ada serangkaian pengetesan yang dilakukan secara intensif dengan Dislitbang TNI‐AL dan Direktorat Kenavigasian Ditjen Hubla, Dephub. Dikarenakan Radar ISRA menggunakan frekuensi Radio, maka dalam aplikasinya harus mendapatkan sertifikasi POSTEL yang menyatakan bahwa Radar ISRA layak digunakan dan tidak mengganggu peralatan Radio lainnya. Selain itu, karena Radar ISRA merupakan produk Nasional maka perlu mendapatkan persetujuan dari Badan Standarisasi Nasional dalam bentuk SNI (standar nasional Indonesia). Pada penelitian Radar tahun 2012 ini dan pada tahun‐tahun selanjutnya, akan dilakukan rancang bangun Radar sesuai dengan prototip II Radar ISRA. Setelah itu dilakukan pengetesan, sertifikasi, pemanfaatan dan pemasangan pada tempat‐tempat tertentu digaris pantai yang berdekatan dengan wilayah perairan strategis. Kemudian, Radar‐Radar yang sudah terpasang ini akan dihubungkan melalui suatu jaringan sehingga dapat dimonitor dan dikendalikan dari jarak jauh. Spesifikasi Radar yang akan dibuat pada tahun 2012 adalah: •
Principle: FMCW (Frequency‐Modulated Continuous Wave). •
Software: IMO Standards + ECDIS* (* optional) •
Transmitter: ƒ
Frequency: X band (~ 9 GHz). ƒ
Frequency sweep: 4 MHz, 8 MHz, 16 MHz, 32 MHz, 64 MHz (or 48 MHz). ƒ
Selected range: 24 NM, 12 NM, 6 NM, 3 NM, 1,5 NM. The maximum radar range is set to be 24 NM, larger than 27 km (the predetermined distance from the radar to the horizon) to give a possibility for detecting tall ships located several kilometers beyond the horizon. •
•
ƒ
Sweep repetition frequency: 1,5 kHz. ƒ
Output power: 2 Watt. Receiver / processor: ƒ
IF bandwidth: 60 MHz. ƒ
Number of range cells: 512. ƒ
Range cells: 48 meter, 24 meter, 12 meter, 6 meter, 3 meter ƒ
PC‐based processor. ƒ
Standard PC display. Antenna: ƒ
Microstrip patch arrays antenna with rectangular patch elements. ƒ
Antenna with flares for reducing vertical beamwidth. ƒ
Modular system ƒ
Dual antenna configuration for transmit and receive. ƒ
Horizontal beamwidth: ~ 2 Degree. ƒ
Vertical beamwidth: ~ 10 Degree. ƒ
Polarization: horizontal. ƒ
Rotational speed: 10 rpm max. a. Perumusan Masalah •
Melakukan rancang bangun Radar Pengawas Pantai (coastal surveillance Radar). •
Pemanfaatan dan pemasangan Radar Pengawas Pantai. c.
Tujuan dan Sasaran Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan perancangan dan implementasi dari Radar Pengawas pantai ISRA yang akan dipasang dan dimanfaatkan untuk memonitor wilayah perairan strategis di wilayah NKRI. Prototip Radar Pengawas Pantai ini juga akan dites secara keseluruhan dalam rangka mendapatkan sertifikasi dari lembaga‐lembaga yang berwenang. Serangkaian tes akan dilakukan yang melibatkan pihak pengguna seperti TNI‐AL, dan Direktorat Kenavigasian Ditjen Hubla Dephub. Sasaran kegiatan penelitian ini pada tahun 2012 adalah perangkat lunak (software) untuk pengolahan sinyal dan jaringan Radar, modul‐modul perangkat keras, sistem antena Radar, sistem mekanik Radar, pengetesan modul‐modul yang sudah dibuat dan mendapatkan sertifikasi dari lembaga‐lembaga yang berwenang di Indonesia yang menyatakan bahwa Radar pantai layak digunakan oleh pemakai dan memenuhi standar‐
standar yang ada. Satu standar operational procedure (SOP) dari pengetesan dan pengujian Radar dapat dihasilkan melalui kegiatan ini. d. Kerangka Analitik Kerangka analitik yang digunakan adalah Radar Pengawas Pantai memiliki penggunaan yang strategis terutama untuk Negara Kepulauan seperti Indonesia. Rancang bangun Radar Pengawas Pantai dengan harga terjangkau, kandungan lokal tinggi, memiliki kerahasiaan dan keamanan data yang tinggi, memenuhi standarisasi yang ditentukan oleh IMO dan disertifikasi oleh lembaga berwenang merupakan satu tantangan untuk para peneliti Tim Radar ISRA di PPET‐LIPI. Tim Radar di PPET‐LIPI telah memiliki pengalaman sebelumnya melalui pembuatan prototip I dan II Radar ISRA. Selanjutnya Radar Pengawas Pantai ini akan dipasang dan dimanfaatkan untuk memantau wilayah perairan strategis di Indonesia. Satu standar operational procedure (SOP) yang baku dari pengetesan dan pengujian Radar harus dibuat. e.
Hipotesis Penelitian ini bersifat terapan sehingga hipotesa yang bisa dibangun adalah apakah hasil desain Radar pantai dapat direalisasikan dan menunjukkan kinerja sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Serta dapat memenuhi semua persyaratan yang tercantum dalam standar‐standar didunia maritim. I. Metodologi Dalam kegiatan penelitian ini, metodologi yang digunakan adalah: •
Rancang bangun perangkat lunak pengolah sinyal Radar dan jaringan Radar •
Pembuatan perangkat keras Radar pantai •
Pengujian dan pengetesan Radar pantai •
Evaluasi dan Perbaikan •
Seminar dan Publikasi II. Jadwal Kegiatan 2012 No. Tahapan Kegiatan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1. Rancang Bangun Perangkat Lunak Radar 2. Pembuatan Perangkat Keras Radar 4. Pengujian Perangkat Keras dan Lunak Radar Sertifikasi Radar ISRA 5. Evaluasi dan Perbaikan 6. Publikasi Ilmiah 3. Gambar 7. Desain Radar versi prototip IV tahun 2012. Gambar 8. Dudukan motor dan antena Radar. Gambar 9. Sistem mekanik keseluruhan Radar. •
Berikut Gambar Kemajuan Mekanikal Antena X band Gambar 10. Sistem antena tampak depan Gambar 11. Sistem antena tampak belakang Gambar 12. Sistem antena tampak Samping Gambar 13. Sistem antena untuk pengarah Gambar 14. Dudukan Antena Gambar 15. Sistem motor antena tampak bawah Gambar 16. Sistem motor antena tampak samping Gambar 17. Antena Array X‐Band Berikut Tabel Hasil Pengukuran Antena Array X‐Band untuk Gambar 17 Tabel 1. Hasil Pengukuran Antena Array X‐Band Variabel Hasil Pengukuran Antena 1 VSWR (9,4 GHz) 1,205 S11 (9,4 GHz) ‐18,485 dB Impedansi (9,4 GHz) 41,485 Ω Rang. Frekuensi (VSWR 1,5) 9,27975 GHz s/d 9,4495 GHz BW 169,75 MHz Antena 2 VSWR (9,4 GHz) 1,206 S11 (9,4 GHz) ‐20,559 dB Impedansi (9,4 GHz) 41,989 Ω Rang. Frekuensi (VSWR 1,5) 9,31725 GHz s/d 9,4815 GHz BW 164,25 MHz Antena 3 VSWR (9,4 GHz) 1,165 S11 (9,4 GHz) ‐22,337 dB Impedansi (9,4 GHz) 43,462 Ω Rang. Frekuensi (VSWR 1,5) 9,3125 GHz s/d 9,48275 GHz BW 170,25 MHz Antena 4 VSWR (9,4 GHz) 1,171 S11 (9,4 GHz) ‐22,057 dB Impedansi (9,4 GHz) 42,631 Ω Rang. Frekuensi (VSWR 1,5) 9,30125 GHz s/d 9,471 GHz BW 169,75 MHz Antena 5 VSWR (9,4 GHz) 1,168 S11 (9,4 GHz) ‐22,201 dB Impedansi (9,4 GHz) 43,242 Ω Rang. Frekuensi (VSWR 1,5) 9,3 GHz s/d 9,478 GHz BW 178 MHz Antena 6 VSWR (9,4 GHz) 1,197 S11 (9,4 GHz) ‐20,911 dB Impedansi (9,4 GHz) 43,112 Ω Rang. Frekuensi (VSWR 1,5) 9,31575 GHz s/d 9,48425 GHz BW 168,5 MHz Antena 7 Antena 8 VSWR (9,4 GHz) S11 (9,4 GHz) Impedansi (9,4 GHz) Rang. Frekuensi (VSWR 1,5) BW VSWR (9,4 GHz) S11 (9,4 GHz) Impedansi (9,4 GHz) Rang. Frekuensi (VSWR 1,5) BW 1,270 ‐18,485 dB 40,788 Ω 9,3235 GHz s/d 9,47625 GHz 152,75 MHz 1,178 ‐21,709 dB 44,428 Ω 9,31175 GHz s/d 9,4905 GHz 178,75 MHz Dari hasil pengukuran didapat, spesifikasi sesuai dengan yang diharapan, dengan VSWR dibawah 1,5 dan lebar bandwidth di atas 60 MHz serta impedansi yang mendekati 50 Ω. A. Antena 1 Dari gambar di atas, didapatkan nilai VSWR pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 1,205 Dari gambar di atas, didapatkan nilai S11 pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar ‐20,603 dB Dari gambar di atas, didapatkan Impedansi pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 41,485 Ω B. Antena 2 Dari gambar di atas, didapatkan nilai VSWR pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 1,206 Dari gambar di atas, didapatkan nilai S11 pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar ‐20,559 dB Dari gambar di atas, didapatkan Impedansi pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 41,989 Ω C. Antena 3 Dari gambar di atas, didapatkan nilai VSWR pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 1,165 Dari gambar di atas, didapatkan nilai S11 pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar ‐22,337 dB Dari gambar di atas, didapatkan Impedansi pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 43,462 Ω D. Antena 4 Dari gambar di atas, didapatkan nilai VSWR pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 1,171 Dari gambar di atas, didapatkan nilai S11 pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar ‐22,057 dB Dari gambar di atas, didapatkan Impedansi pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 42,631 Ω E. Antena 5 Dari gambar di atas, didapatkan nilai VSWR pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 1,168 Dari gambar di atas, didapatkan nilai S11 pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar ‐22,201 dB Dari gambar di atas, didapatkan Impedansi pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 43,242 Ω F. Antena 6 Dari gambar di atas, didapatkan nilai VSWR pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 1,197 Dari gambar di atas, didapatkan nilai S11 pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar ‐20,911 dB Dari gambar di atas, didapatkan Impedansi pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 43,112 G. Antena 7 Dari gambar di atas, didapatkan nilai VSWR pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 1,270 Dari gambar di atas, didapatkan nilai S11 pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar ‐18,485 dB Dari gambar di atas, didapatkan Impedansi pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 40,788 Ω H. Antena 8 Dari gambar di atas, didapatkan nilai VSWR pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 1,178 Dari gambar di atas, didapatkan nilai S11 pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar ‐21,709 dB Dari gambar di atas, didapatkan Impedansi pada Frekuensi 9,4 GHz, sebesar 44,428 Ω III. Rencana Selanjutnya (tahap IV) Rencana kegiatan selanjutnya sampai dengan akhir tahun 2012 adalah: •
Penyelesaian sertifikasi TKDN (tingkat komponen dalam negeri) dan kelaikan dari Dislitbang TNI‐AL •
Pembuatan/realisasi sistem mekanik antena. •
Perakitan dan pengetesan perangkat keras. •
Pemasangan modul2 antena. •
Pemasangan motor penggerak Radar. •
Pembuatan perangkat lunak (software). •
Pemasangan aksesoris termasuk power supply. •
Pengetesan dan setting antena. •
Integrasi software dan hardware. •
Pengetesan keseluruhan baik di laboratorium dan di lapangan. IV. Kendala dan permasalahan • Pemesanan komponen memakan waktu lama terutama yang dari USA (hampir 4 bulan). • Keharusan lelang sehingga menghambat delivery dari komponen‐komponen impor. Prosedur pengadaan ini mengakibatkan sebagian anggota tim Radar ‘menganggur’ karena menunggu datang‐nya komponen impor. • Perlu tambahan SDM terutama untuk bidang software karena mengingat banyaknya pekerjaan terkait Radar. • Peralatan ukur untuk tes dilapangan masih terbatas seperti handheld spectrum analyser dan signal generator. •
Perlu kerjasama kemitraan dimasa depan utk pemasangan Radar di daerah2 supaya bisa dimanfaatkan oleh pemerintahan daerah (PEMDA) tingkat I dan II. V. Kesimpulan Telah disampaikan laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan litbang DIPA Tematik dengan judul pemanfaatan dan pemasangan Radar pengawas pantai yang merupakan kegiatan dengan satuan biaya khusus pada tahun 2012. Output utama dari kegiatan ini adalah satu prototip Radar yang seharusnya dapat dipasang disuatu tempat tertentu yang berdekatan dengan garis pantai dengan bekerjasama dengan mitra Industri (PT. INTI) dan PEMDA. Kegiatan perakitan, integrasi dan pengetesan akan dilakukan pada pertengahan tahun sampai akhir tahun 2012. VI. Referensi 1.
M.I. Skolnik, ’Radar Handbook’, McGraw‐Hill, 1990. 2.
M.I. Skolnik, ’Introduction to Radar Systems’, McGraw‐Hill, 2002. 3.
S. Kingsley and S. Quegan, ’Understanding Radar Systems’, CHIPS. 4.
Leo P. Ligthart, ’Short Course on Radar Technologies’, International Research Centre for Telecommunications‐transmission and Radar, TU Delft, September 2005. 5.
Mark Richards, ’Radar Signal Processing’, McGraw‐Hill, 2005. 6.
Bassem R. Mahafza, ‘Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB’, Chapman & Hall, 2005. 7.
Mashury Wahab dan Pamungkas Daud, ‘Image Processing Algorithm for FM‐CW Radar’, TSSA/WSSA Conference 2006, ITB Bandung, 2006. 8.
Mashury, ‘Development of Radar Image Processing Algorithm’, Information and Communication Technology Seminar 2006, ITS Surabaya, 2006. 9.
Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, Yusuf Nur Wijayanto. “Radar Trainer System for LIPI FM‐CW Radar Network”, ICICI 2007, Bandung. 10.
Mashury Wahab, ‘Penggunaan UAIS dan Radar pengawasan pantai untuk monitoring wilayah perairan indonesia’, Seminar Radar nasional 2007, Jakarta. 11.
Yusuf Nur Wijayanto, Dadin Mahmuddin, and Mashury Wahab “Perancangan Sistem LFM‐Chirp Radar menggunakan Matlab untuk Menentukan Posisi Target”, IES‐EEPIS‐ITS 2007, Surabaya. 12.
Mashury, Yuyu Wahyu, A. Adya Pramudita, and Pamungkas Daud, “Coupled Patch Array Antenna For Surveillance Radar”, International Conference TSSA 2007, Bandung, 2007. 13.
Mashury Wahab and Yuyu Wahyu, “Patch Array Antenna For FM‐CW Radar”, International Conference r‐ICT 2007, Bandung, 2007. 14.
Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, Yusuf Nur Wijayanto, “Radar Trainer System for LIPI FM‐CW Radar Network”, International Conference ICICI 2007, Bandung, 2007. 15.
Mashury, Yusuf N. W., Pamungkas D., Dadin M., Djohar S., “ A Data Processing Scheme For LIPI Coastal Surveillance Radar”, International Conference on Telecommunications (ICTEL) 2008, Bandung. 16.
Mashury Wahab, Sulistyaningsih and Yusuf Nur Wijayanto, “Radar Cross Section For Object Detection Of FM‐CW Coastal Surveillance Radar”, Electrical Power, Electronics, Communications, Control and Information Seminar (EECCIS) 2008, Malang. 17.
Mashury, Dadin Mahmudin dan Yusuf Nur Wijayanto, “ Rancang Bangun Perangkat Lunak Citra Radar”, Seminar Radar Nasional 2008, Jakarta. 18.
Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, dan Rustini S. Kayatmo, “Rancang Bangun Radar Pengawasan Pantai INDRA II Di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) LIPI”, Seminar Radar Nasional 2008, Jakarta. Daftar Publikasi Ilmiah 1. Judul : Radar Target Image Analysis Using Fuzzy C Means and Coordinat Calculation Penulis: Octa Heriana dan Sulistyaningsih Afiliasi : PPET‐LIPI Abstract The image analyisis on a moving object target of the RADAR detection image was done by the method of coordinates calculation of image pixels to determine distance, direction and speed of the object movement. Fuzzy C Means was used to determine the coordinates center of the detected object. Image data that used was the data of RADAR recording software. Image processing was done by the programming software, the first step was the process of image thresholding to separate the mainland with a radar target object, and then the number of objects known through calculation of pixel box which is then used to determine the number of clusters on the Fuzzy C Means and show the number of coordinates of the detected objects. Object coordinates were measured from the center of RADAR unit to calculate the distance and direction of object movement speed. Results of analysis showed that the coordinates position, distance, direction, and speed of the object can be determined by this method with a fast computation. Keywords: Image; Coordinate; Moving Object; Fuzzy C Means. 2. Judul : Design and Realization of a Low Cost Two‐Way Wilkinson Power Divide at Intermediate Frequency for a RADAR System Penulis: Taufiqqurrachman and Hana Arisesa Afiliasi : PPET‐LIPI Abstract This paper presents analysis and design narrowband two‐way Conventional Wilkinson power. The design employyed common lumped element that much easier to realize. This Wilkinson power divider is designed at 456 MHz for using in IF RADAR System. The Practical fabbrication implemented on FR4 substrate. The VSWR for all port for both dividers is better than 1.3:1, insertion loss is less than 0.6 dB and 25 dB of isolation is achived. The proposed divider has the narrow bandwidth, 200 MHz. It was found that the Wilkinson power dividers cannot perform well with simulation values. However, this problem could be solved by fine tuning capasitor components. Keywords : Wilkinson, Power divider, IF, Radar 3. Judul : Design and Simulation of 456 MHz Bandpass Filter for Radar System Penulis: Fajri Darwis dan Deni Permana Afiliasi : PPET‐LIPI Abstract This paper presents the design and simulation of bandpass filter for frequency‐
modulated continuous wave radar system. A bandpass filter was designed at the operating center frequency of 456 MHz, bandwidth of 60 MHz, 3 dB insertion loss, 1.1 VSWR, 50 ohm impedance and dB/octave less than ‐70 dB. The design filter was simulated using Elsie Tonne version 2.4. The outcome of this research was a prototype of a 456 MHz bandpass filter and the results of the simulation were approximately similar to the required specifications. Keywords: bpf, bandwidth, intersion loss, vswr, dB/octave. 4. Judul : Size Enhancement of 50‐5000 MHz Octahedral Monopole Antennas for Ground‐Penetrating‐Radar Penulis: Folin Oktafiani dan Achmad Munir Afiliasi : PPET‐LIPI dan STEI‐ ITB Abstract In this research, the Ground Penetrating Radar (GPR) antenna is designed by improving the reference antenna’s dimensional performance, in order to ease the detection process in the field. The Octahedral antenna is used as the reference antenna. The method used was by optimizing each part of the antenna dimension using 3D software which operates at frequency domain. The studies done includes: minimizing the antenna diameter, determining the transition angle on antenna’s arms, placing the resistors, determining the length of antenna’s arm before the abrupt transition, searching the width of T strip antenna which gives the optimum result, determining the resistor values, and the last is, determining the distance between antenna’s arm and the ground plane. The simulation results show that the 50 mm x50 mm dimension of antenna has the same characteristics with the reference antenna, i.e return loss ≤ ‐10dB for frequency range 50 – 5000MHz. Keyword : antenna; ground penetrating radar; dimension of antenna; return loss 5. Judul : Radar Cross Section Calibration Using a Trihedral Reflector For LIPI Coastal Surveillance Radar Penulis: Sulistyaningsih dan Mashury Wahab Afiliasi : PPET‐LIPI Abstract A RCS calibrator is an object used to calibrate Radar Cross Section (RCS) reading of a radar. For LIPI coastal surveillance radar, the object used for this purpose is a trihedral. During filed experiments LIPI coastal surveillance radar using trihedral reflector. The reflector can be used on a very wide frequency range. Front view of the RCS calibrator using a trihedral with dimensions. The long and short sides are 91.5 cm and 64.5 cm long, respectively. Determination of the relevant dimension for the RCS specifications.RCS calibration for the radar is a very important aspect for the accurate estimation of target information. Keywords: Radar Cross Section, RCS, trihedral reflector, calibration, radar. 6. Judul : Design and Simulation of 160 MHz Bandpass Filter with 60 MHz Bandwidth Penulis: Novita Dwi Susanti dan Deni Permana Afiliasi : PPET‐LIPI Abstract This paper describes the design and simulate band pass filter which use operational frekuency from 130 MHz until 190 MHz and have frequency of cut off at 160 MHz. To design this filter we calculate the value of inductor and capasitor first, and then simulate with software simulation. The filter design with seventh order involves many parameter such as pass band, stop bandwidths, center frequency, stop band attenuation, pass band return loss adn impedances of the input and output resonator. The design filter was simulated using Elsie Tonne version 2.4. And the result of simulated we can see the VSWR is 1.3, insertion loss ‐4dB with dB/octave is less than ‐50 dB. Keywords : bpf, bandwidth, insertion loss, vswr, dB/octave 7. Judul : Perancangan Antena Array Microstrip Planar Untuk Radar S‐Band Penulis: Yuyu Wahyu, Folin Oktafiani, Yussi Perdana Saputera, dan Mashury Wahab Afiliasi : UI Abstrak Pada penelitian ini dilakukan desain dan realisasi antenna untk portable radar S‐
band. Antena yang dirancang adalah antenna mikrostrip yang disusun secara array 8x4 dengan jumlah keseluruhan 64 modul antenna yang bertujuan untuk mempersempit beamwidth dan memperbesar gain antenna. Bahan yang digunakan adalah FR 4 dengan ketebalan substrat 3,2 mm dan tebal patch 0,035 mm, serta memiliki nilai r=4,4. Dari hasil satu modul antenna diperoleh lebar BW sebesar 60 MHz untuk S11 sebesar ‐15, sedangkan gain antena yang disimulasikan sebesar 12,79 dBi. Untuk hasil simulasi antenna array 8x4 didapat gain sebesar 27,58 dBi. Kata kunci : Radar, S‐band, Antena Pembuatan Magnet Barium Ferit Bonded Hybrid untuk Aplikasi Generator Nanang Sudrajat, ST LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian : Pembuatan Magnet Barium Ferit Nano Partikel Bonded Hybrid untuk Aplikasi Generator 2. Kegiatan Prioritas : Material Maju dan Nanoteknologi 3. Peneliti Utama : Nama : Nanang Sudrajat, ST Jenis Kelamin : Pria 4. Sifat Penelitian : Lanjutan (Tahun ke 2) 5. Lama Penelitian : 2 (dua) Tahun 6. Biaya Total 2011 : Rp. 269.855.000,‐ Bandung, 31 Desember 2012 Disetujui, Ka. Pusat Peneltian Elektronika dan Telekomunikasi ‐ LIPI Peneliti Utama Dr. H i s k i a Nanang Sudrajat, ST. NIP. 19650615 199103 1 006 NIP. 19730604 199403 1 003 ABSTRAK Magnet Barium Ferit nanopartikel bonded hybrid yang akan dibuat pada penelitian tahun kedua, merupakan pengembangan pembuatan magnet barium ferit sinter. Fokus penelitian pada tahun ini adalah fabrikasi pembuatan prototipe magnet Barium Ferit nano partikel bonded hybrid dan percobaan coating dalam tahap finishing dan diaplikasikan sebagai komponen elektronika terutama pada sebuah generator dengan tetap memperbaiki karakteristik magnet yang akan dihasilkan. Magnet bonded hybrid merupakan penggabungan dua bahan magnet permanen yaitu serbuk barium ferit dan serbuk NdFeB pada komposisi tertentu yang dibonded dengan bahan termoplastic (bakelit atau plastik). Tujuan dari penggabungan kedua magnet permanen tersebut adalah untuk meningkatkan temperatur operasi, temperatur curie, ketahanan korosi dan meningkatkan sifat magnet dengan harga yang tidak terlalu tinggi. Metoda proses yang akan digunakan adalah solgel untuk mendapatkan serbuk magnet barium ferit dan teknologi metalurgi serbuk untuk pencampuran dengan NdFeB dengan tahapan mixing, milling, cetak panas dan magnetisasi sehingga menghasilkan magnet permanen bonded hybrid. Magnet ini akan dikarakterisasi dan dianalisa sifat magnetnya dengan Permagraph dan Gaussmeter dan ukuran/struktur partikel dengan SEM. Kata kunci : barium ferit nanopartikel, metoda sol gel, magnet bonded hybrid, NdFeB, permanen magnet generator, energi alternatif. I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan komponen magnet permanen di Indonesia cukup tinggi, hal ini disebabkan karena mulai tumbuhnya industri kecil dan UKM yang mulai merakit sendiri peralatan elektronika. Sampai saat ini kebutuhan magnet tersebut selalu diimpor dari manca negara. Untuk itu maka dilakukan penelitian pembuatan magnet permanen Barium Ferit Nanopartikel. Dan untuk memenuhi kebutuhan magnet dengan kekuatan yang besar maka dilakukan penggabungan (Hybrid) dengan NdFeB, sedangkan untuk penyederhanaan proses maka dilakukan proses bonded. Pemilihan penelitian terhadap magnet Barium Ferit disebabkan karena magnet ini memiliki kestabilan kimia yang baik, tahan korosi, memiliki suhu curie yang tinggi dan murah. Pembuatan ukuran partikel nano diharapkan dapat meningkatkan karakteristik magnet yang dihasilkan, karena dengan ukuran nano partikel diharapkan dapat mengurangi cacat kristal dan memiliki domain tunggal yang akan mempermudah proses magnetisasi. Perkembangan material magnet permanen sangat cepat dan bervariasi, yang diikuti dengan peningkatan energi produk (BH)max yang dihasilkan, material magnet saat ini yang memiliki energi produk paling tinggi adalah Neodymium Iron Boron (NdFeB). Namun demikian setiap material magnet tersebut memiliki keunggulan dan kekurangan masing‐
masing. Saat ini, kebutuhan akan material magnet untuk generator magnet permanen di Indonesia maupun di dunia mulai diperlukan seiring dengan mulai banyaknya lembaga penelitian dan personal yang mulai meneliti dan membuat generator. Data dari penjualan magnet dari tahun ke tahun semakin meningkat khususnya untuk aplikasi energi, salah satunya untuk generator listrik wind energy seperti yang dilaporkan oleh asosiasi penjualan magnet terbesar dunia arnoldmagnetics yang secara grafik diperlihatkan pada gambar 1. Gambar 1. Data kebutuhan magnet untuk aplikasi [1] Untuk Indonesia kebutuhan magnet tersebut selalu diimpor dari luar negeri dengan harga yang cukup tinggi dan harus dalam jumlah yang besar, maka kegiatan penelitian magnet ini dapat menjadi solusi bagi penelitian khususnya penelitian yang berhubungan dengan aplikasi‐aplikasi magnet. Dalam satu rangkaian generator dapat memerlukan magnet permanen 12 buah atau bahkan lebih yang akan dipasang pada rotor yang merupakan bagian utama dari generator (lihat gambar 2). N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
(a) Stator (b) Magnet pada rotor Gambar 2. Komponen Generator [2] Dahulu, generator magnet permanen komersial yang ada di pasaran sering menggunakan magnet ferit sebagai penghasil medan magnet. Namun, kini mulai menggunakan magnet NdFeB yang memiliki kekuatan magnet sepuluh kali lebih besar dari magnet ferit, sehingga generator dapat menghasilkan daya yang lebih besar [3]. Hal ini juga mulai diikuti oleh beberapa peneliti di LIPI dan instansi lain yang menggunakan magnet NdFeB untuk merangkai generator. Penelitian di Puslit Telimek LIPI [4] juga pernah mencoba menggunakan magnet Barium Ferit buatan PPET‐LIPI, akan tetapi masih ada kendala yang dihadapi, yaitu karena kuat medan yang dimiliki magnet ferit masih rendah (700 Gauss), maka efisiensi yang dihasilkan generator juga rendah dan belum maksimal. Meskipun saat ini magnet ferit buatan PPET‐LIPI sudah mempunyai kekuatan magnet 1000 Gauss, tetapi masih dianggap kecil untuk sebuah generator. Namun magnet ini memiliki keunggulan seperti; tahan korosi, temperatur curie tinggi, stabil dan murah [5]. Kemudian penelitian di Telimek dilanjutkan dengan menggunakan magnet NdFeB, dimana magnet ini memiliki energi produk yang sangat tinggi. Akan tetapi muncul kendala lain yang dihadapi yaitu karena memiliki energi yang sangat tinggi 10.000 sampai dengan 12.000 Gauss, maka membutuhkan torsi awal yang lebih besar. Selain itu magnet NdFeB memiliki kekurangan mempunyai temperatur operasi rendah yaitu 80 – 200oC, temperatur curie rendah, mudah korosi, harus import dan mahal [6]. Untuk mengatasi kendala ini dan untuk membantu penelitian pembuatan generator di Indonesia akan ketersediaan magnet permanen, maka pada penelitian ini akan dicoba menggabungkan serbuk magnet permanen Barium Ferit dan serbuk magnet permanen NdFeB komersial dengan teknologi serbuk, untuk menghasilkan Permanent Hybrid Bonded Magnet [7] dengan karakteristik yang baru yaitu diatas 1500 Gauss. 1.2.
Perumusan Masalah Untuk menghasilkan prototipe magnet hybrid yang dapat diaplikasikan pada generator low speed untuk pembangkit listrik, maka penelitian dirumuskan pada beberapa langkah sebagai berikut; -
Menyediakan semua bahan baku dan bahan kimia lainnya untuk penelitian. -
Untuk menghasilkan magnet bonded hybrid dengan karakteristik magnet sekitar 1500 Gauss, maka proses pencampuran serbuk Barium Ferit nano partikel hasil metode sol gel dan serbuk NdFeB dengan teknologi metalurgi serbuk sangat menentukan dan tahap ini adalah merupakan inti dari penelitian. Untuk itu maka akan divariasikan komposisi campuran, polimer material untuk proses bonded yang digunakan dan variasi waktu dan temperatur hot press. -
Untuk mengetahui hasil kinerja magnet yang dihasilkan, maka akan diuji cobakan pada prototipe generator dengan menggunakan sebuah stator komersil untuk generator. 1.3.
Tujuan dan Sasaran Tujuan : o Menunjang program pemerintah dalam penyediaan energi alternatif o Penguasaan teknologi pembuatan magnet permanen bonded hybrid o Mengembangkan penelitian material magnet permanen di PPET‐LIPI. Sasaran : o Dapat membuat magnet permanen dengan kuat medan di atas 1500 Gauss yang dapat diaplikasikan pada generator low rpm untuk menghasilkan energi listrik skala kecil. 1.4.
Kerangka Analitik Sampel magnet yang dihasilkan pada penelitian ini, akan diukur dimensi dan densitas dengan menghitung dimensi dan volume sample, dianalisa dengan Permagraph untuk mengetahui sifat magnet seperti ; Induksi Remanen, Br (kG), Koersifitas, Hc (kOe), Kuat Medan Maksimum, BHmax (MGOe), dan yang terakhir diujicobakan pada prototype generator 1.5.
Hipotesis Dari penelitian pembuatan magnet barium ferit bonded hybrid ini akan dihasilkan suatu magnet permanen yang memiliki karakteristik magnet dengan nilai Br > 2,00 – 4,00 kG, Hc = 0,1 – 2 kOe, BHmax = 0,1 – 2 MGOe dan densitas 4 ‐5 g cm‐3. II.
METODOLOGI Metodologi yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian adalah sebagai berikut : ‐
Studi literatur ‐
Pengadaaan bahan ‐
Penyiapan peralatan ‐
Percobaan pembuatan magnet Barium ferit ‐
Karakterisasi magnet hasil percobaan ‐
Pembuatan Sampel magnet. 2.1. Studi Literatur Kegiatan pada tahap ini adalah mencari dan mengumpulkan informasi baik itu yang bersifat teoritis maupun praktis melalui buku‐buku, handbook dan internet, yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dan referensi dalam penelitian. 2.2. Pengadaan Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : − Besi Nitrat, Fe(NO3)3.9H2O − Barium Nitrat, Ba(NO3)2 − Amonium Hidroksida, NH4OH 25 % − Polivinyl Alkohol, PVA − Citric Acid, C6H8O7.H2O − Pasir Besi − Barium Carbonat − Calcium Oxide − Silicon Oxide − Serbuk NdFeB MQP dan MQEP − Alkohol Teknis − Aquadest 2.3. Penyiapan Peralatan Sebagian besar peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tersedia di Laboratorium magnet PPET‐LIPI, hanya SEM dan XRD masih ketergantungan terhadap instansi lain. Peralatan yang digunakan adalah : 1.
Permagraph : Alat untuk mengkarakterisasi sifat magnet, seperti ; Induksi Remanen, Br (kG), Kuat Medan maksimum, BHmax (MGOe) dan Koersifitas, Hc (kOe). Gambar 3. Permagraph 2.
Mesin Kompaksi dan Solenoida : Untuk proses kompaksi serbuk magnet barium sudah ditempatkan di dalam dies dicetak dengan mesin kompaksi dengan tekanan tertentu. Gambar 4. Mesin Kompaksi 3.
Pengering : Untuk melakukan proses pengeringan pada temperatur 100 dan 200oC. Gambar 5. Alat pengering 4.
Furnace : Digunakan untuk proses kalsinasi dan sintering Gambar 6. Furnace Thermoline (Temp. ± 1700oC) 5.
Cetakan / Dies : Cetakan untuk membentuk produk magnet yang dihasilkan. Gambar 7. Cetakan / Dies 6.
Power Supply / hotplate magnetic stirrer : untuk proses pelapisan nikel pada permukaan magnet bonded. Gambar 8. Alat Elektroplating 7.
Impuls Magnetiser : Alat untuk menyearahkan momen magnet. Gambar 9. Impuls Magnetiser Magnet Physik 7. Gauss Meter : digunakan untuk mengukur densitas medan magnet Gambar 10. Gauss Meter 2.4. Percobaan Penentuan Komposisi
Metalurgi Serbuk
Drying/autocombustion
Milling
Pengeringan & Kalsinasi
Serbuk Barium Ferit
NdFeB
Karakterisasi
- Sifat
magnet,densitas
Plastik, Bakelit atau
Mixing/Milling
Kompaksi
Finishing + Coating
Magnetisasi
Gambar 11 Diagram Alir Percobaan
a. Proses metalurgi serbuk pembuatan magnet barium ferit Komposisi kimia yang dipakai sesuai dengan magnet acuan dengan rumus kimia , BaO. 6Fe2O3 Bahan‐bahan yang digunakan seperti Fe2O3 (dari pasir besi), CaO, SiO2, BaCO3, PVA dan alkohol sama seperti percobaan terdahulu. Serbuk pasir besi disiapkan dengan waktu milling yaitu 25 jam. Serbuk pasir besi yang telah halus, dicampurkan dengan BaCO3, kemudian ditimbang sesuai komposisinya. Kemudian dicampur dalam Jar Mill dan digiling selama 6 jam dalam kondisi 40 % padatan dan 60 % Alkohol. Hasilnya dikeringkan didalam oven pengering pada temperatur ±100 oC maksudnya untuk menghilangkan alkohol, kemudian hasil pengeringan yang menggumpal dihaluskan kembali dengan mortar agate. Serbuk campuran dikalsinasi dalam tungku muffle furnace dengan laju pemanasan 10oC/menit sampai temperatur 500oC ditahan selama 30 menit. Pemanasan dilakukan pada temperatur 1200oC dengan laju pemanasan 10oC/menit dan ditahan selama 3 jam, kemudian pemanasan turun sampai 475oC dengan laju 40oC/menit. Hasil kalsinasi berbentuk gumpalan sehingga perlu digiling kembali dengan menambahkan zat aditif yaitu CaO 0,75% dan SiO2 0,60% dari berat kalsin. Kemudian digiling selama 16 jam dengan kondisi 40% padatan dan 60% alkohol. Pada waktu 8 jam sebelum berakhirnya penggilingan ditambahkan lagi PVA sebanyak 1,5% dari berat kalsin. Setelah kering dihaluskan kembali dengan mortar agate atau digiling secara kering dan disaring hingga lolos 400 mesh. b. Pembuatan Magnet Bonded Proses bonded dilakukan terhadap serbuk NdFeb type MQP 16‐7 dengan menggunakan polimer PVC Epoxy atau type MQEP 16‐7. Proses pencampuran dilakukan tanpa milling dan proses kompaksi dilakukan dengan menggunakan mesin press dingin pada tekanan 100 kg/cm 2 dan hasilnya dipanaskan pada temperatur 200 oC selama 1 jam. Untuk memperkuat sifat fisik magnet, maka dilakukan proses pelapisan nikel pada magnet bonded dengan variasi arus 0,3; 0,5; dan 0,7 A dan variasi waktu 15 menit, 30 menit dan 60 menit, pelapisan dilakukan dengan cara elektroplating. Proses elektroplating magnet bonded diperlihatkan pada gambar 12. Gambar 12. proses elektroplating c. Pembuatan Magnet Bonded Hybrid Proses hybrid dilakukan dengan cara mencampurkan serbuk magnet barium ferit dengan serbuk magnet NdFeB dan dibonded dengan polimer agar mendapatkan magnet permanen dengan sifat fisik dan karakteristik yang lebih baik. Proses hybrid dilakukan terhadap serbuk barium ferit dengan NdFeb Epoxy MQEP 16‐7. Proses pencampuran dilakukan tanpa milling dengan komposisi 50 % : 50 % dan proses kompaksi dilakukan dengan menggunakan mesin press dingin pada tekanan 50 kg/cm2 kemudian disinter pada temperatur 200 ºC selama 2 x 30 menit. 2.5. Pembuatan Sampel Sampel magnet bonded lapis nikel yang dibuat salah satu bentuknya untuk prototipe generator adalah dengan dimensi diameter 50mm, tebal 8mm. Gambar 13. Sampel magnet bonded lapis nikel III.
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Karakterisasi sifat magnet Karakteristik sifat magnet dari sampel hasil kompaksi bahan pasir besi KS setelah proses sintering pada temperatur 1100 ºC selama satu jam yang diukur dengan alat ukur Permagraph Magnet Physik dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. karakteristik magnet Barium Ferit Sifat Magnet Barium Ferrite Br (kG) 1.79 HcJ (kOe) 1.092 BH max (MGOe) 0.32 Density (gr/cm³) 4.8 Karakteristik sifat magnet hasil percobaan pembuatan magnet NdFeB bonded sebelum dan sesudah dilapis nikel dengan variasi arus dan waktu dapat dilihat pada tabel 2,3 ,4 dan 5. Tabel 2. Karakteristik Magnet NdFeB Sebelum Pelapisan Nikel Sifat Magnet NdFeB Bonded Br (kG) 5,28 HcJ (kOe) 6,618 BH max (MGOe) 4,56 Density (gr/cm³) 4,74 Tabel 3. Karakteristik Magnet NdFeB Bonded Lapis Nikel dengan Variasi Arus, Waktu 15 menit Waktu 15 Menit Variasi Arus I = 0,3 A I = 0,5 A I = 0,7 A Sifat Magnet Br (kG) 5,28 5,16 5 Hc(kOe) 4,813 5,138 5,484 Bhmax (MGOe) 4,22 4,19 3,88 Density(g/cm3 ) 5,23 5,23 5,20 Tabel 4. Karakteristik Magnet NdFeB Bonded Lapis Nikel dengan Variasi Arus, Waktu 30 menit 30 Menit Variasi Arus I = 0,3 A I = 0,5 A I = 0,7 A Sifat Magnet Br (kG) 5,65 5,23 5,05 Hc(kOe) 4,264 4,798 4,843 Bhmax (MGOe) 4,42 3,98 3,99 Density(g/cm3 ) 5,35 5,27 5,24 Tabel 5. Karakteristik Magnet NdFeB Bonded Lapis Nikel dengan Variasi Arus, Waktu 60 menit Variasi Arus I = 0,3 A Sifat Magnet 60 Menit I = 0,5 A I = 0,7 A Br (kG) 5,61 5,21 5,22 Hc(kOe) 4,247 4,344 4,580 Bhmax (MGOe) 4,35 3,69 4 Density(g/cm3 ) 5,46 5,39 5,25 Sifat magnet NdFeB bonded yang dilapis nikel dengan arus 0,3 A selama 60 menit mempunyai nilai yang lebih baik. Karakteristik sifat magnet barium ferit sebelum dan sesudah hybrid antara barium ferit dengan NdFeB bonded diperlihatkan pada tabel 6. Tabel 6. Karakteristik magnet barium ferrite bonded hybrid Barium Ferrite BaFe12O19 NdFeB Epoxy Br (kG) 1.79 3,00 HcJ (kOe) 1.092 5,412 BH max (MGOe) 0.32 2,72 Density (g/cm³) 4.8 4,68 Karakteristik Bahan Nilai Br magnet barium ferit bonded hybrid naik sekitar 68% dari nilai magnet barium ferit murni. 3.2 Aplikasi Magnet pada Prototipe Generator Prototipe generator dibuat dengan model disk axial fluks torsi ringan untuk keperluan turbin angin atau mikrohidro. Rancangan komponen generator diperlihatkan pada gambar 14 yang terdiri dari magnet dalam rotor (a), prototipe generator (b). Generator terdiri dari satu buah stator dan dua buah rotor, masing‐masing rotor akan terdiri dari duabelas buah magnet dan stator terdri dari sembilan belitan masing‐masing 100 lilit. (a) penempatan magnet pada rotor b) generator Gambar 14. prototipe generator Tegangan keluaran generator yang dihasilkan mengacu pada persamaan : E = 4 f fv fw B AW 10‐8 Volt. Dimana ; E = Tegangan yang dihasilkan (volt) f = frekuensi tegangan keluaran fv = konstanta gelombang sinus = 1,1111 fw = konstanta belitan 3 phase = 0,96 B = Magnet remanen ( gauss) A = Luas penampang magnet (cm2) W = Banyaknya lilitan Sedangkan frekuensi generator yang dihasilkan mengacu pada persamaan : n.P
F = herz 2.60
Dimana ; f = frekuensi keluaran (herz) n = putaran (rpm) P = jumlah kutub magnet Karakteristik generator yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. karakteristik prototipe generator Magnet Br = 1800 gauss Jumlah Kutub 12 Jumlah Rotor 2 Belitan 3 phase x 3 x 100 lilit Rpm 500 frekuensi 50 Hz Tegangan Tanpa Beban 12,2 Volt Daya 14,4 Watt IV.
1.
KESIMPULAN Magnet permanen barium ferrite telah dapat dihybrid dengan magnet NdFeB Bonded dengan komposisi 50% : 50% dengan kenaikan 68% Nilai Br. 2.
Proses pelapisan logam nikel dapat dilakukan pada magnet bonded NdFeB Epoxy 3.
Magnet sudah dapat diaplikasikan pada sebuah prototipe generator dengan daya keluaran 14,4 Watt pada 500 rpm. V.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
DAFTAR PUSTAKA www.arnoldmagnetics.com www.forcefieldmagnet.com Pujowidodo H., Pengembangan Generator Mini dengan menggunakan Magnet Permanen, Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik UI. Novrita Idayanti, (2009), Pembuatan Magnet Permanen Bonded Hybrid untuk Aplikaasi Generator Magnet Permanen, Jurnal Sains Materi. Babu V.,Padaikathan P., (2002), Structure and hard magnetic properties of barium hexaferrite with and without La2O3 prepared by ball milling, Elsevier, journal of magnetism and magnetic materials, 85‐88. http://www.mqitechnology.com/motor‐designs.jsp Gomez P.H., dkk., Effect of sintering conditions on the magnetic disaccomodation in barium M‐type hexaferrites, Elsevier, journal of magnetism and magnetic materials. Pembuatan Sel Surya Berbasis Polimer Dra. Erlyta Septa Rosa, MT LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Kegiatan Penelitian : Pembuatan Sel Surya Berbasis Polimer 2. Kegiatan Prioritas : Energi Baru dan Terbarukan 3. Peneliti Utama : Nama : Dra. Erlyta Septa Rosa, MT Jenis Kelamin : Wanita 4. Sifat Penelitian : Baru (Tahun ke 1) 5. Lama Penelitian : 2 (dua) Tahun 6. Biaya Total 2011 : Rp. 246.675.000,‐ Bandung, 31 Desember 2012
Disetujui,
Ka. Pusat Peneltian
Elektronika dan
Telekomunikasi - LIPI
Peneliti Utama
Dr. H i s k i a
Dra. Erlyta Septa Rosa,MT
NIP. 19650615 199103 1 006
NIP. 19630915 199203 2 003
ABSTRAK Sel surya polimer merupakan sel surya dengan struktur bulk heterojunction dimana molekul‐molekul dari dua jenis material polimer yang berfungsi sebagai donor elektron (tipe‐p) dan akseptor elektron (tipe‐n) dicampur menjadi film bulk sehingga membentuk heterojunction diantara keduanya. Film bulk tersebut berfungsi sebagai active layer yang berkerja menyerap cahaya matahari dan membangkitkan elektron pada saat cahaya matahari mengenai permukaan substrat/kaca. Ada 4 (empat) jenis sel surya yang akan dibuat pada penelitian ini dengan menggunakan 4 (empat) jenis campuran polimer yang berbeda sebagai active layer. Campuran polimer yang pertama adalah [poly(2‐methoxy‐5‐(3,7‐dimethyloctyloxy)‐1,4‐phenylene vinylene)] (MDMO‐PPV) dan [6,6 phenyl C61‐butyric acid methyl ester] atau PCBM; campuran polimer kedua adalah poly (3‐hexylthiophene) P3HT dan PCBM; campuran polimer ketiga adalah hybrid MDMO‐PPV dengan partikel nano seng oksida (ZnO); serta campuran polimer yang keempat adalah hybrid P3HT dengan partikel nano ZnO. Metoda yang akan digunakan dalam pembuatan sel surya berbasis polimer ini adalah lapis tipis (thin film). Pertama‐tama polimer dilapiskan dengan teknik screen printing di atas permukaan substrat kaca yang sudah dilapisi dengan elektroda transparan Indium Tin Oxide (ITO). Selanjutnya di bagian bawah polimer dilapiskan elektroda alumunium (Al) menggunakan teknik sputtering/evaporasi. Fasilitas peralatan untuk proses tersebut semua tersedia di Laboratorium BKME PPET – LIPI. Kata kunci : sel surya, polimer, bulk heterojunction, active layer, ZnO, thin film. I. Pendahuluan i.
Latar belakang, ruang lingkup dan batasan kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan salah satu sumber energi baru dan terbarukan yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Adapun inti dari PLTS adalah sel surya, yaitu divais yang mampu mengubah cahaya matahari menjadi listrik secara langsung. Sel surya generasi pertama, yaitu sel surya yang menggunakan substrat silikon kristal, saat ini dianggap terlalu mahal dan tidak dapat bersaing dengan pembangkit listrik lainnya seperti pembangkit listrik tenaga air maupun pembangkit listrik tenaga uap. Oleh karena itu banyak peneliti mulai mengembangkan sel surya yang lebih murah dengan menggunakan material non‐silikon, yang disebut sebagai sel surya generasi kedua dan ketiga1. Pengembangan sel surya generasi ketiga banyak dilakukan menggunakan teknologi nano, salah satunya adalah sel surya yang menggunakan polimer sebagai material aktifnya. Sel surya berbasis polimer ini, atau juga disebut sebagai sel surya plastik, selain dapat diproduksi dengan biaya proses yang lebih murah, juga mempunyai keunggulan lain, yaitu lebih fleksibel dan ringan. Meskipun demikian efisiensi yang dihasilkan sekitar 6%, masih lebih rendah dibandingkan dengan sel surya silikon, sehingga masih banyak peluang yang dapat dilakukan untuk mengembangkan sel surya berbasis polimer ini secara lebih intensif2,3. Dalam penelitian ini akan dikembangkan proses pembuatan sel surya berbasis polimer dengan metoda lapis tipis (thin film) menggunakan teknik screen printing. Screen printing merupakan teknik yang umum digunakan dalam industri devais elektronika karena merupakan teknik yang mudah, murah dan dapat diaplikasikan pada area yang luas4. Dalam penelitian ini akan digunakan 2 (dua) jenis campuran polimer yang berbeda yaitu [poly(2‐methoxy‐5‐(3,7‐dimethyloctyloxy)‐1,4‐phenylene vinylene)] (MDMO‐PPV) dan [6,6 phenyl C61‐butyric acid methyl ester] atau PCBM dan poly (3‐
hexylthiophene) P3HT dan PCBM. Selain itu juga akan dikembangkan pula 2 (dua) jenis hybrid polimer dengan partikel ZnO, masing‐masing adalah MDMO‐PPV dengan partikel nano seng oksida (ZnO); dan P3HT dengan partikel ZnO. Penelitian ini merupakan salah satu bentuk pelaksanaan dari tupoksi dan renstra Puslit Elektronika dan Telekomunikasi LIPI dalam bidang pengembangan bahan dan komponen mikroelektronika. Selain itu penelitian ini juga disesuaikan dengan Program Tematik LIPI dalam bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan maupun bidang Material Maju dan Nanoteknologi, serta Program Prioritas Bappenas untuk LIPI dalam bidang Material Maju (Advanched Material) dan Nanoteknologi. ii.
Perumusan Masalah Dalam proses pembuatan sel surya berbasis polimer hybrid itu permasalahan yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut : • Bagaimana pengaruh jenis polimer terhadap unjuk kerja sel. • Bagaimana pengaruh konsentrasi polimer terhadap unjuk kerja sel. • Bagaimana pengaruh penambahan partikel nano ZnO ke dalam polimer terhadap unjuk kerja sel. • Bagaimana pengaruh tebal lapisan polimer hybrid terhadap unjuk kerja sel. • Bagaimana pengaruh proses deposisi alumunium terhadap unjuk kerja sel. iii.
Tujuan dan Sasaran Penelitian. ƒ
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk dapat berperan aktif dalam pengembangan material maju (advanched material) dan pengembangan sumber energi baru dan terbarukan yang merupakan program prioritas di lingkungan LIPI. ƒ
Sasaran. Pengembangan proses pembuatan sel surya berbasis polimer di dunia saat ini statusnya masih dalam tahapan riset dasar. Oleh karena itu sasaran yang diharapkan dapat dicapai adalah mempunyai kemampuan dalam menguasai teknologi pembuatan sel surya berbasis polimer sehingga dapat berkontribusi dalam pengembangan teknologi pembuatan sel surya di dunia. iv.
Kerangka Analitik Sel surya polimer merupakan sel surya dengan struktur bulk heterojunction dimana molekul‐molekul dari dua jenis material polimer yang berfungsi sebagai donor elektron (tipe‐p) dan akseptor elektron (tipe‐n) dicampur menjadi film bulk sehingga membentuk heterojunction diantara keduanya5. Film bulk tersebut berfungsi sebagai active layer yang berfungsi menyerap cahaya matahari dan membangkitkan elektron pada saat cahaya matahari mengenai permukaan sel surya. Elektron tersebut kemudian akan mengalir melewati elektroda alumunium (Al) yang ada dibawahnya dan menuju ke elektroda transparan di atasnya menghasilkan arus listrik1. Struktur sel surya polimer secara umum dapat dilihat pada Gambar‐1 berikut. Top electrode
Active layer
(100-200 nm)
Bottom electrode on
transparent substrate
Gambar‐1. Struktur sel surya polimer6. Polimer yang dapat digunakan sebagai lapisan aktif (active layer) adalah material yang kaya dengan donor maupun akseptor elektron, yaitu polimer terkonyugasi, antara lain material turunan fulleren dan thiofen5,7,8 (Gambar 2). Efisiensi sel surya yang dihasilkan bergantung pada material yang digunakan dan proses penumbuhannya (deposisi)9. Gambar 2. Struktur material polimer terkonyugasi 10,11. v.
Hipotesis Polimer terkonyugasi seperti turunan poly(p‐phenylene vinylene) dan polythiophene merupakan material yang mempunyai bandgap yang rendah (2,0 – 2,2 eV), penyerapan tinggi di daerah sinar tampak dan bersifat stabil8,12. Turunan poly(p‐
phenylene vinylene) seperti [6,6]‐phenyl‐C61‐butyric acid methyl ester (PCMB) banyak digunakan sebagai akseptor elektron, sedangkan sebagai donor elektron umumnya poly(3‐hexylthiophene) atau disingkat dengan P3HT13. S.E. Shaheen dkk14 memperkenalkan teknik screen printing di dalam fabrikasi sel surya bulk heterojunction. Material yang digunakan adalah campuran polimer [poly(2‐
methoxy‐5‐(3,7‐dimethyloctyloxy)‐1,4‐phenylene vinylene)] atau MDMO‐PPV dan [6,6 phenyl C61‐butyric acid methyl ester] atau PCBM. Efisiensi sel yang dihasilkan adalah sekitar 4,3%. B. Zhang dkk15 juga menggunakan teknik screen printing untuk membuat sel surya polimer dari campuran PCBM dan [poly (3‐hexylthiophene)] atau P3HT dengan efisiensi sel 4,23%. Faktor yang mempengaruhi efisiensi sel surya polimer adalah efisiensi kuantum internal atau penyerapan foton/cahaya oleh material aktif menjadi elektron16. Penyerapan foton dipengaruhi oleh morfologi permukaan polimer17,18. Oleh karena itu yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pengontrolan permukaan polimer, yaitu dengan cara pengaturan komposisi campuran polimer MDMO‐PPV/ PCBM dan P3HT/PCBM, pengaturan tebal polimer serta penambahan partikel ZnO. II. Metodologi. Kegiatan ini seluruhnya akan dilakukan di laboratorium Bahan dan Komponen Mikroelektronika PPET‐LIPI. Untuk kegiatan karakterisasi seperti SEM, XRD, UV‐VIS, dan kurva I‐V dilakukan di laboratorium di luar PPET‐LIPI antara lain PPGL, ITB, BATAN dan UGM. Penelitian ini direncanakan memerlukan waktu selama 3 (tiga) tahun. Tahun pertama (2011) telah dilaksanakan pembuatan sel surya polimer MDMO‐PPV dan PCBM sebagai active layer. Pada tahun kedua ini sebagai active layer akan digunakan campuran polimer P3HT dan PCBM. Selanjutnya pada tahun ketiga untuk lebih meningkatkan efisiensi sel surya dan menurunkan biaya proses maka ke dalam campuran polimer akan ditambahkan partikel nano ZnO sehingga membentuk sel surya hybrid polimer/semikonduktor anorganik. Proses pembuatan sel surya berbasis polimer terdiri dari beberapa tahapan proses, yaitu : a.
Proses litografi lapisan ITO diatas substrat kaca/plastik. Parameter proses yang diamati adalah waktu etsa. b. Proses pelapisan elektroda interface PEDOT:PSS diatas substrat kaca/plastik yang telah dilapisi ITO menggunakan teknik screen printing. Parameter proses yang diamati adalah parameter printing dan temperatur dan waktu pengeringan. c.
Proses pelapisan polimer di atas lapisan PEDOT:PSS menggunakan teknik spin coating. Parameter proses yang diamati adalah konsentrasi polimer, kecepatan spin, serta waktu spin, temperatur dan waktu pengeringan. d. Proses pelapisan Alumunium di atas lapisan polimer menggunakan teknik evaporasi. Parameter proses yang diamati adalah masing‐masing adalah waktu dan arus deposisi untuk proses evaporasi. e.
Kapsulasi sel. Kapsulasi dilakukan dengan menutup permukaan atas sel dengan kaca /plastik menggunakan sealant sebagai media perekatnya, dilanjutkan dengan proses pemanasan sekalian proses annealing. Parameter proses yang diamati adalah temperatur dan waktu annealing. f. Karakterisasi I‐V. Karakterisasi dilakukan menggunakan sun simulator pada kondisi temperatur 25 ºC dan radiasi 60 mW/cm2. Diagram alir proses pembuatan sel surya berbasis polimer tersebut di atas dapat dilihat pada gambar 3. Dalam kegiatan ini dilakukan pembuatan sel surya polimer masing‐masing di atas substrat kaca dan substrat plastik (PET). Selain itu pada kegiatan ini juga akan dibuat array dari 3 (tiga) buah sel dalam satu substrat, dimana urutan prosesnya sama seperti yang tertera pada gambar 3, akan tetapi masker yang digunakan berbeda. Gambar 4 memperlihatkan desain array dari 3 (tiga) buah sel dalam satu substrat tersebut. Substrat Gelas/plastik dilapisi ITO
Litografi ITO
Printing PEDOT:PSS
Spin coating Polimer
Substrat kaca
Sealant
Aluminium
POLIMER
PEDOT:PSS
ITO
Evaporasi Alumunium
Substrat kaca
Kapsulasi
Struktur sel surya polimer
Karakterisasi I-V
Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan sel surya berbasis polimer. Aluminium
Aluminium
Aluminium
POLIMER
POLIMER
POLIMER
PEDOT:PSS
PEDOT:PSS
PEDOT:PSS
ITO
ITO
ITO
Substrat plastik (PET)/glass
Gambar 4. Desain array dari 3 (tiga) buah sel polimer dalam satu substrat. III. Faktor risiko/keberhasilan. Penelitian ini akan dapat tercapai sesuai dengan target yang diharapkan karena sumber daya manusia yang tersedia telah memiliki kompetensi dibidang fabrikasi sel surya silikon kristal, proses screen printing dan proses kimia. Selain itu peralatan pendukung tersedia dengan lengkap antara lain lemari asam, screen printer dan conveyor furnace. Oleh karena itu penelitian ini mempunyai faktor keberhasilan yang cukup tinggi. Faktor hambatan yang mungkin muncul adalah tertundanya proses karakterisasi yang dilakukan melalui pihak luar (jasa). IV. Roapmap Hasil Penelitian Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah : ƒ Tahun I (2011) : ‐ 1 buah prototipe sel surya polimer MDMO‐PPV/PCMB ƒ Tahun II (2012) : ‐ 1 buah prototipe sel surya polimer P3HT/PCMB ƒ Tahun III (2013) V. ‐ publikasi 2 buah ‐ publikasi 2 buah : ‐ 2 buah prototipe sel surya polimer hybrid ZnO ‐ publikasi 2 buah Aspek Strategis Penelitian ini mempunyai aspek strategis di dalam penguasaan pengembangan material maju dan teknologi nano, khususnya dalam proses pembuatan sel surya generasi ketiga. Peluang untuk mengembangkan proses pembuatan sel surya berbasis polimer masih sangat terbuka lebar karena efisiensi yang dihasilkan masih rendah dibandingkan dengan efisiensi sel berbasis silikon. Oleh karena itu saat ini banyak peneliti dunia sedang giat melakukan penelitian sel surya berbasis polimer. VI. Pelaksana Penelitian dan Institusi Mitra Penelitian ini akan dilaksanakan di PPET – LIPI. Pelaksana yang akan terlibat dalam penelitian ini berjumlah 9 (sembilan) orang dengan peran dan tanggung jawab masing‐
masing adalah sebagai berikut : KEGIATAN 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Persiapan bahan Preparasi peralatan dan masker Percobaan pelapisan PEDOT Litografi ITO Percobaan pelapisan polimer Percobaan pelapisan kontak Al Percobaan pembuatan sel surya 8. Pengukuran kurva I‐V sel surya 9. Analisa dan Evaluasi 10. Pembuatan Laporan dan Publikasi PENANGGUNG JAWAB Yana T Jojo Lilis Erlyta Shobih Lia Erlyta A. Wahid Goib W Erlyta PERSONIL YANG TERLIBAT Erlyta, Lisdiani, Toto S Lia, Benny, Toto S Erlyta, Shobih Shobih, Lia, Slamet Erlyta, A. Wahid, Jojo Jojo, Lilis Shobih, A. Wahid, Jojo, Yana, Lia, Lilis Shobih, Jojo H, Benny Erlyta, Shobih, Lia Shobih, Goib W, Lia VII. Jadwal Kegiatan. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Kegiatan dan Penanggung Jawab Studi literatur / Erlyta Pengadaan Bahan / Yana Preparasi peralatan dan masker / Jojo Percobaan litografi ITO/ Erlyta Proses pelapisan PEDOT:PSS / Lilis Percobaan pelapisan polimer P3HT dan PCBM / Shobih Proses pelapisan kontak Al / Lia Percobaan pembuatan sel surya / Erlyta Pengukuran kurva I‐V sel surya / A. Wahid Analisa dan Evaluasi / Goib W Laporan dan Publikasi / Erlyta 3 4 5 6 Bulan 7 8 9 10 11 12 VIII. Hasil Penelitian dan Pembahasan. Sebagaimana yang telah direncanakan dalam jadwal kegiatan, kegiatan yang dilaksanakan pada tahun 2012 ini, yaitu : i.
Studi literatur dan pengadaan bahan. Sebagian besar bahan‐bahan yang digunakan pada penelitian ini merupakan bahan impor dan memerlukan waktu lebih dari 2 bulan dalam pengadaannya, seperti glass coated ITO, PET coated ITO, P3HT, PCBM, pasta PEDOT:PSS, chlorobenzene, dan target Al. Berhubung adanya pembekuan sementara dana DIPA 2012 akibat dari realokasi anggaran dari pemerintah maka pemesanan bahan‐bahan tersebut baru dilaksanakan pada bulan April 2012 dan sampai dengan akhir Mei 2012 belum ada bahan‐bahan yang diterima. Sampai dengan Triwulan I dan II (Juni 2012) dapat dikatakan belum ada kegiatan penelitian yang selesai dilaksanakan, meskipun semua peralatan proses seperti screen printer, spinner, oven vakum, lemari asam, neraca analitik, peralatan gelas dan masker dalam kondisi baik dan telah siap untuk digunakan, bahkan alat evaporator yang sebelumnya dalam kondisi tidak beroperasi telah dilakukan tindakan perbaikan oleh anggota peneliti sehingga telah dapat beroperasi dengan baik. ii.
Preparasi peralatan dan masker. Pembuatan desain masker. ƒ
masker single ukuran 2,5 x 2,5 cm2 untuk pola ITO, PEDOT:PSS, Polimer, dan kontak Al. ƒ
masker array triple ukuran 7,5 x 2,5 cm2 untuk pola ITO, PEDOT:PSS, Polimer, dan kontak Al. Hasil desain masker tersebut di atas dapat dilihat pada gambar berikut : ITO
PEDOT:PSS Polimer
Kontak Al
Gambar 5. Pola masker single ukuran 2,5 x 2,5 cm2 ITO
PEDOT:PSS
Polimer
Kontak Al
Gambar 6. Pola masker array triple ukuran 7,5 x 2,5 cm2. Sampai dengan Triwulan I dan II (Juni 2012) dapat dikatakan belum ada kegiatan penelitian yang selesai dilaksanakan, meskipun semua peralatan proses seperti screen printer, spinner, oven vakum, lemari asam, neraca analitik, peralatan gelas dan masker dalam kondisi baik dan telah siap untuk digunakan, bahkan alat evaporator yang sebelumnya dalam kondisi tidak beroperasi telah dilakukan tindakan perbaikan oleh anggota peneliti sehingga telah dapat beroperasi dengan baik. iii.
Percobaan litografi ITO. Proses litografi ITO bertujuan untuk menghapus sebagian lapisan ITO di atas substrat sehingga diperoleh pola sebagaimana yang diinginkan seperti pada gambar 5 dan gambar 6 di atas. Sebelumnya substrat ITO covered glass dan ITO covered PET dicuci secara ultrasonic masing‐masing menggunakan larutan aceton dan dikeringkan dengan gas N2. Resist positif MA dilapiskan diatas ITO menggunakan teknik spinning dan dikeringkan di dalam oven (pre‐bake). Lapisan resist diexpose dengan lampu UV dan didevelop sehingga terbentuk pola ITO. Setelah dipanaskan di dalam oven (post‐bake), selanjutkan dilakukan proses etsa, yaitu penghilangan lapisan ITO menggunakan campuran larutan HCl/HNO3/DIH2O pada temperatur 60 ºC selamat 3 menit. Setelah lapisan ITO hilang, lapisan resist dihilangkan dengan cara dicelupkan ke dalam aceton. Gambar 7 memperlihatkan hasil etsa ITO. ITO di atas kaca ITO di atas PET Gambar 8. Hasil etsa ITO di atas kaca dan PET. iv.
Percobaan pelapisan PEDOT:PSS. Dalam penelitian ini PEDOT:PSS digunakan sebagai hole transporter and exciton blocker, dan mencegah difusi ITO ke dalam polimer active layer. PEDOT:PSS dilapiskan di atas lapisan ITO sebagaimana yang tercantum pada diagaram alir proses pada Gambar 3. Substrat yang digunakan adalah substrat fleksibel, yaitu Poli Etilen Terepthalat (PET), dimana dalam satu substrat dibuat 3 (tiga) buah sel surya polimer dengan luas area 2,6 cm2 yang terhubung secara seri. Proses pelapisan PEDOT:PSS dilakukan menggunakan teknik screen printing dengan pola masker seperti pada gambar 9. Peralatan screen printing screen untuk pelapisan PEDOT:PSS Gambar 9. Peralatan Screen printing dan screen untuk pelapisan PEDOT:PSS. Sebagai tahap awal dilakukan proses printing suspensi 2.8wt % PEDOT:PSS (dispersion in H2O, low‐conductivity grade) di atas kaca dan PET. Lapisan yang dihaslkan tidak merata seperti yang terlihat pada gambar 10 dan gambar 11 berikut. Oleh karena itu ke dalam larutan suspensi PEDOT:PSS ditambahkan surfaktan, hasilnya seperti yang terlihat pada gambar 12, lebih merata untuk di tas permukaan ITO, akan tetapi masih jauh dari yang diharapkan jika di atas etch ITO. Kegiatan ini masih berlanjut yaitu dicoba dengan penambahan binder dan menggunakan PEDOT:PSS dari produk lain. Karakterisasi lapisan PEDOT:PSS juga belum dilakukan karena menunggu hasil pelapisan yang terbaik. Gambar 10. Hasil pelapisan suspensi PEDOT:PSS di atas substrat kaca pemanasan 120 ºC. pemanasan 80 ºC pemanasan 120 ºC Gambar 11. Hasil pelapisan PEDOT:PSS di atas substrat PET. Di atas ITO pemanasan 80 ºC Di atas ecth ITO pemanasan 80 ºC Di atas ITO pemanasan 100 ºC Di atas ecth ITO pemanasan 100 ºC Di atas ITO pemanasan 120 ºC Di atas ecth ITO pemanasan 120 ºC Gambar 12. Hasil pelapisan PEDOT:PSS di atas substrat PET. Dengan penambahan surfaktan pada suspensi 2,8%wt PEDOT:PSS (aldrich) hasilnya masih belum memuaskan, maka dicoba untuk menggunakan pasta 5%wt PEDOT:PSS produk dari Orgacon. Hasilnya dapat pada gambar 12, sedangkan hasil pelapisan PEDOT:PSS di atas substrat kaca dapat dilihat pada gambar 13. Adapun hasil karakterisasi lapisan PEDOT:PSS di atas substrat PET menggunakan sheet resistance measurement dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan hasil karakterisasi lapisan PEDOT:PSS di atas substrat kaca dapat dilihat pada Tabel 2. Gambar 12. Hasil pelapisan pasta PEDOT:PSS (Orgacon) di atas substrat PET. Gambar 13. Hasil pelapisan pasta PEDOT:PSS (Orgacon) di atas substrat kaca. Tabel 1. Hasil pengukuran sheet resistance lapisan PEDOT:PSS di atas substrat PET. No. Lapisan 1. PEDOT:PSS annealing 100ºC/10 min sheet resistance rata‐
rata kΩ/□ 8,309 2. PEDOT:PSS annealing 110ºC/10 min 7,955 3. PEDOT:PSS annealing 120ºC/10 min 6,969 4. PEDOT:PSS annealing 130ºC/10 min 4,643 5. PEDOT:PSS annealing 140ºC/10 min 6,320 6. PEDOT:PSS annealing 150ºC/10 min 7,386 7. ITO di atas substrat PET 0,099 Tabel 2. Hasil pengukuran sheet resistance lapisan PEDOT:PSS di atas substrat kaca. No. Lapisan 1. PEDOT:PSS annealing 100ºC/10 min sheet resistance rata‐rata kΩ/□ 19,43 2. PEDOT:PSS annealing 110ºC/10 min 19,16 3. PEDOT:PSS annealing 120ºC/10 min 11,61 4. PEDOT:PSS annealing 130ºC/10 min 10,40 5. PEDOT:PSS annealing 140ºC/10 min 10,61 6. PEDOT:PSS annealing 150ºC/10 min 20,93 ITO di atas substrat kaca 0,061 Dari tabel 1 dan tabel 2 dapat dilihat bahwa annealing pada 130ºC selama10 min menghasilkan lapisan PEDOT:PSS dengan sheet resistivity terendah. v.
Percobaan pelapisan polimer P3HT dan PCBM. Sebagaimana yang tercantum pada diagaram alir proses pada Gambar 3, pelapisan polimer campuran polimer P3HT dan PCBM dilakukan setelah substrat dilapisi dengan PEDOT:PSS. Konsentrasi larutan campuran polimer adalah 1 % berat dalam klorobensen, dengan perbandingan antara P3HT dan PCBM 1 banding 1. Proses pelapisan campuran polimer tidak dapat dilakukan dengan teknik screen printing karena larutan polimer yang dihasilkan terlalu encer. Oleh karena itu pelapisan campuran polimer dilakukan dengan teknik spin coating sebagaimana yang terlihat pada gambar 14. Pengamatan morfologi permukaan lapisan polimer di atas kaca pada berbagai temperatur post annealing dan hasil pengukuran UV‐VIS dapat dilihat pada gambar 15 dan gambar 16. PET kaca Spin coating Gambar 14. Alat spin coating dan hasil pelapisan campuran polimer P3HT dan PCBM di atas substratPET dan substrat kaca dengan teknik spin coating. Post annealing 100 ºC Post annealing 120 ºC Post annealing 150 ºC Gambar 15. Foto morfologi permukaan lapisan polimer di atas kaca pada berbagai temperatur post annealing. Gambar 16. Hasil pengukuran UV‐VIS lapisan polimer di atas kaca. Dari gambar 15 dan gambar 16 dapat diamati bahwa post annealing pada 150 ºC menghasilkan permukaan lapisan yang lebih merata dan mempunyai transmisi yang terendah atau absorbsi (penyerapan) cahaya tertinggi. vi.
Percobaan pelapisan kontak Al. Pelapisan kontak Al dilakukan dengan alat evaporator. Gambar 17 memperlihatkan foto alat evaporator dan hasil pelapisan Alumunium di atas substrat plastik. Pengukuran tebal lapisan Al tidak dapat dilakukan dikarenakan alat thickness monitor pada evaporator tidak bekerja sebagaimana mestinya. Hasil evaporator Alumunium di atas substrat PET. Hasil evaporator Alumunium di atas substrat kaca Alat evaporator Gambar 17. Foto alat evaporator dan hasil pelapisan alumunium di atas substrat PET dan kaca. vii.
Percobaan pembuatan sel surya polimer. Percobaan pembuatan sel surya polimer dilakukan melalui proses sebagaimana yang tercantum pada diagaram alir proses pada Gambar 3. Pembuatan sel surya polimer P3HT dan PCBM ini dilakukan di atas substrat kaca. Foto dari sel surya polimer dengan substrat kaca dapat dilihat pada gambar 18. Selain dilakukan pembuatan sel surya polimer di atas substrat PET dengan struktur tunggal dan struktur array yang terdiri dari 3 (tiga) buah sel tunggal yang dirangkai secara seri. Foto dari sel surya polimer dengan substrat PET dapat dilihat pula pada gambar 15. Substrat kaca Substrat PET tunggal Substrat PET array terdiri dari 3 (tiga) buah sel tunggal Gambar 18. Foto prototipe sel surya polimer P3HT dan PCBM di atas substrat kaca dan substrat PET. viii. Pengukuran kurva I‐V sel surya polimer. Pengukuran kurva I‐V dilakukan dengan menggunakan peralatan sun simulator lampu xenon pada radiasi 600 W/m2 dan temperatur 25 ºC. Gambar peralatan pengukuran kurva I‐V dapat dilihat pada Gambar 19, sedangkan hasil pengukuran karakteristik I‐V sel surya polimer dengan substrat kaca dan substrat PET masing‐masing dapat dilihat pada Gambar 20, tabel 3, dan gambar 21. Sel surya polimer dengan substrat kaca mempunyai tegangan sirkit terbuka, arus hubung singkat, daya, fill faktor, dan efisiensi sebesar 0.510 V; 56,5 mA; 8,66 mW; 0.301; dan 0.0028% untuk sel yang diannealing pada temperatur 120 ºC, sedangkan sel yang diannealing pada temperatur 150 ºC mempunyai tegangan sirkit terbuka, arus hubung singkat, daya, fill faktor, dan efisiensi sebesar 0.551 V; 49,8 mA; 9,39 mW; 0,343; dan 0.0031%. Efisiensi yang dihasilkan oleh sel yang diannealing pada temperatur 120 ºC maupun yang diannealing pada temperatur 150 ºC hampir sebanding, meskipun demikian sel yang diannealing pada temperatur 150 ºC mempunyai karakteristik listrik yang lebih baik, sedangkan sel yang diannealing pada temperatur 100 ºC tidak menghasilkan karakteristik listrik karena “short”. Demikian pula dengan sel surya polimer dengan substrat PET, karakteristik listrik tidak terukur. Gambar 19. Foto alat pengukuran Kurva I‐V sel surya polimer. Gambar 20. Kurva I‐V sel surya polimer P3HT dan PCBM di atas substrat kaca. Gambar 21. Kurva I‐V sel surya polimer P3HT dan PCBM di atas substrat PET. Tabel 3. Hasil karakterisasi listrik sel surya polimer di atas substrat kaca. Karakteristik listrik annealing annealing annealing 100 ºC Tegangan sirkit terbuka Voc Tidak (V) terukur Arus hubung singkat Isc (mA) (short) Daya maksimum Pm (mWatt) Fill faktor FF Efisiensi ɳ (%) 120 ºC 150 ºC 0.510 0,551 0.057 0.050 0.087 0.094 0.301 0.343 0.0028 0.0031 ix.
Karakterisasi IPCE sel surya polimer. Hasil karakterisasi IPCE (incident photon‐to‐current conversion) sel surya polimer masing‐masing di atas substrat PET dan kaca dapat dilihat pada gambar 22. Dari hasil tersebut dapat diamati bahwa kurva quantum efficiency sel surya dengan substrat PET sebanding dengan substrat kaca. Quantum efficiency sel dengan substrat plastik sedikit lebih tinggi dibanding dengan substrat kaca pada panjang gelombang antara 300 – 400 nm (biru). Gambar 22. Hasil karakterisasi IPCE sel surya polimer masing‐masing di atas substrat PET dan kaca. i.
Output : ƒ Publikasi : 1. “Optical and Electrical Properties of Conductive Polymer PEDOT:PSS Layer”, Seminar Kimia Dalam Pembangunan ,Jasakiai, Yogyakarta 6 September 2012. 2. “Polymer Solar Cells: Effects of Annealing Treatment and Polymer Blends on I‐V Characteristics”, Internatioal Conference on Chemical Engineering, UNDIP, Semarang 11‐12 September 2012. (Telah direview dan akan diterbitkan di jurnal “REAKTOR”, akreditasi DIKTI). 3. “Fabrication of Polymer Solar Cells on Flexible Substrate”, Joint Seminar IMEN‐
LIPI, IMEN UKM, Kualalumpur 20 September 2012. 4. “Fabrication of Bulk Heterojunction Polymer Solar Cells”, telah disubmitt di Jurnal Teknologi Indonesia, IPT‐LIPI. 5. “Sel Surya Polimer Berbasis P3HT/PCBM”, Seminar Nasional Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, Bandung, 28‐29 November 2012. Publikasi : ƒ Prototipe : 1 buah sel surya polimer berbasis P3HT/PCBM ukuran 2,5 x 2,5 cm2 dengan tegangan sirkit terbuka, arus hubung singkat, daya maksimum, fill faktor, dan efisiensi masing‐
masing sebesar 0,641 V; 55,20 mA; 9,57 mW; 0,343; dan 0.042%. IX. Kesimpulan dan Saran. Sampai dengan Tahap II ini seluruh kegiatan telah dilaksanakan sesuai jadwal, meskipun hasilnya masih belum optimal. Hasil dari penelitian tahun ini adalah prototipe sel surya polimer P3HT/PCBM tegangan sirkit terbuka, arus hubung singkat, daya maksimum, fill faktor, dan efisiensi masing‐masing sebesar 0,641 V; 55,20 mA; 9,57 mW; 0,343; dan 0.042%. Hasil tersebut masih jauh dari yang diharapkan, terutama dengan rendahnya arus dan efisiensi, sehingga masih diperlukan optimasi dalam proses pembuatan sel surya polimer ini. Karena keterbatasan waktu, optimasi tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Keterbatasan waktu terjadi berhubung pelaksanaan dan pengelolaan proyek baru mulai berjalan pada awal April 2012 akibat adanya proses pembekuan sementara dan realokasi anggaran dana DIPA 2012, sehingga pengadaan bahan‐bahan yang sebagian besar merupakan bahan impor dan memerlukan waktu lebih dari 2 bulan dalam pengadaannya, baru dilaksanakan pada bulan Juni 2012. Selain itu adanya penghapusan dana lain‐lain menghambat proses karakterisasi dan keikutsertaan dalam seminar. Daftar Pustaka : 1. M. Priaulx, “Solar Cells and Nanotechnology”, http://tahan.com/charlie/nanosociety/course201/ 2. Frost and Sullivan, “Plastic solar cells”, Advanched Manufacturing Technology, 15 Juli 2007. 3. S. Bush, “Efficiency of spray‐on polymer solar cell hits 6%”, electronics weekly.com, 3 March 2009. 4. J.K.J. van Duren, A. Dhanabalan, P.A. van Hal, dan R.A.J. Janssen, “Low‐bandgap polymer photovoltaic cells”, Synthetic Metals, 121 (2001) 1587‐1588. 5. Y. Kim, S.A. Choulis, J. Nelson, dan D.D.C. Bradley, “Composition and annealing effects in polythiophene/fullerene solar cells”, Journal of Material Science, 40 (2005) 1371‐
1376. 6. T. Aernouts, P. Valaeke, W. Geens, J. Poortmans, P. Heremans, S. Borghs, R. Mertens, Ronn Andriessen, dan Luc Leenders, “Printable anodes for flexible organic solar cell modules”, Thin Solid Films, 451‐452 (2004) 22‐25. 7. Kumar, G. Li, Z. Hong, dan Y. Yang, “High efficiency polymer solar cells with vertically modulated nanoscale morphology”, Nanotechnology, 20 (2009) 5202‐5205. 8. J.K.J. van Duren, A. Dhanabalan, P.A. van Hal, dan R.A.J. Janssen, “Low‐bandgap polymer photovoltaic cells”, Synthetic Metals, 121 (2001) 1587‐1588. 9. G. Li, V. Shrotriya, J. Huang, Y. Yaou, T. Moriarty, K. Emery, dan Y. Yang, “High‐
efficiency solution processable polymer photovoltaics cells by self‐organization polymer blends”, Nature Materials, 4 (2005) 864‐868. 10. Wanzhu Cai, Xiong Gong, and Yong Cao (2010), “Polymer solar cells: Recent development and possible routes for improvement in the performance”, Solar Energy Materials & Solar Cells, 94(2): 114‐127. 11. Attila J. Mozer and Niyazi S. Sariciftci (2006), “Conjugated polymer photovoltaic devices and materials, C. R. Chimie, 9: 568–577. 12. R. Valaski, C.D. Canestraro, L. Micaroni, R.M.Q. Mello, dan L.S. Roman, “Organic photovoltaic devices based on polythiophene films electrodeposited on FTO substrates”, Solar Energy Material and Solar Cells, 91 (2007)684‐688. 13. Ankit Kumar, Gang Li, Ziruo Hong, dan Yang Yang, “High efficiency polymer solar cells with vertical modulated nanoscale morphology”, Nanotechnology, 20 (2009) 165202‐
165206. 14. S.E. Shaheen, R. Radspinner, dan N. Peyghambarian, “Fabrication of bulk 15.
16.
17.
18.
heterojunction plastic solar cells by screen printing”, Appl. Phys. Lett, 70 (2001) 2996‐
2998. B. Zhang, H. Chae, dan S.M. Cho, “Screen‐Printed Polymer:Fullerene Bulk‐
Heterojunction Solar Cells”, Japanese Journal of Applied Physics, 48 (2009) 020208 1‐3. Y. Kim, S. Choulis, J. Nelson, D.D.C. Bradley, “Composition and annealing effects in polythiophene/fullerene solar cells”, Journal of Materials Science, 40 (2005) 1171‐1376. H. Hoppe, T. Glatzel, M. Niggemann, W. Schwinger, F. Schaeffler, A. Hinsch M. Ch. Lux‐
Steiner, N.S. Sariciftci, “Efficiency limiting morphological factors of MDMO‐PPV:PCBM plastic solar cells”, Thin Solid Films, 511 – 512 (2006) 587 – 592. B. Schmidt‐Hansberg, H. Do, A. Colsmann, U. Lemmer, dan W. Schabel, “Drying of thin film polymer solar cells”, Eur. Phys. J. Special Topics, 166 (2009) 49‐53. Perancangan Battery Control Unit (Bcu) Pada Modul Panel Surya 50‐500 Wp Iqbal Syamsu, M.T. LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian : Perancangan Battery Control Unit (BCU) pada Modul Panel Surya 50‐500 Wp 2. Kegiatan Prioritas : Energi Baru dan Terbarukan 3. Peneliti Utama : Nama : Iqbal Syamsu, M.T. Jenis Kelamin : Pria 4. Sifat Penelitian : LANJUTAN (Tahun ke‐2) 5. Lama Penelitian : 2 (dua) Tahun 6. Biaya Total 2012 : Rp. 264.580.000,‐ Bandung, 31 Desember 2012 Disetujui, Ka. Pusat Peneltian Elektronika dan Telekomunikasi ‐ LIPI Dr. H i s k i a NIP. 19650615 199103 1 006 Peneliti Utama Iqbal Syamsu, M.T. . NIP. 19731119 199403 1 001 ABSTRAK Pemanfaatan energi surya sebagai energi alternatif masih kurang optimal padahal potensi pemanfaatannya cukup besar yaitu 9,1489 TWh/hari. Penerapan energi alternatif ini terbentur pada masalah klasik yaitu besarnya biaya yang diperlukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah mahalnya Battery Control Unit (BCU) yang terdapat pada sistem energi surya. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dibuat BCU yang cukup ekonomis, memiliki fitur monitoring kondisi battery, inverter DC to AC dan modul untuk mendapatkan daya optimal. BCU yang dibuat ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan BCU yang sudah ada di pasaran yaitu terintegrasinya modul inverter DC to AC dan menggunakan teknologi MPPT (Maximum Power Point Tracking). Kata kunci : battery storage and control, inverter, battery monitor, mppt, daya optimal. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) IX tahun 2007 masalah Energi, air bersih dan pangan merupakan hal yang sangat mendesak untuk dijaga kesinambungannya terkait dengan masalah kemakmuran suatu bangsa. Pada kenyataannya kebutuhan energi Indonesia masih sangat tergantung pada energi fosil sehingga pada akhir‐akhir ini di Indonesia terjadi krisis energi ditandai dengan adanya pemadaman listrik secara bergilir oleh PLN. Dewasa ini telah dikembangkan beberapa energi alternatif diantaranya energi surya, tenaga hydro, biomassa, energi angina dan geothermal. Dari beberapa energi alternatif di atas energi surya memiliki potensi yang signifikan yaitu sebesar 9,1489 TWh/hari. Namun sangat disayangkan pemanfaatan energi surya belum dimanfaatkan secara optimal. Pada aplikasinya pemanfaatan energi surya terbentur pada masalah klasik yaitu besarnya biaya yang diperlukan. Salah satu modul yang banyak digunakan adalah modul energi surya 50 Wp karena modul ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga yang berkisar 200 Watt Jam/hari. Namun salah satu faktor yang mempengaruhi pembangunan energi surya 50 Wp adalah mahalnya Battery Control Unit (BCU). Untuk menghemat biaya pemasangan energi surya biasanya BCU tidak dipasang padahal BCU digunakan sebagai alat untuk mengatur penyimpanan energi listrik keluaran dari energi surya ke baterai dan interface ke 74
beban. Agar penerapan energi surya bisa menekan besarnya anggaran biaya dan dapat dioptimalkan khususnya di daerah‐daerah terpencil yang belum mendapatkan pasokan listrik, maka dalam kegiatan ini telah dibuat sistem Battery Control Unit yang memiliki fitur dapat memonitor keadaan baterai, inverter DC to AC dan menggunakan teknologi MPPT. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan dalam kegiatan ini dapat dirumuskan dalam dua bagian, yaitu kegiatan perencanaan,pembuatan dan pengujian alat: a) Perencanaan dan Perancangan Dalam perencanaan dan perancangan dilakukan studi untuk membuat BCU yang terdiri dari modul monitoring baterai menggunakan sensor arus, tegangan dan temperatur pada saat proses charge dan discharge baterai. Langkah berikutnya membuat inverter DC to AC dengan input 12‐24 VDC dan ouput 220 VAC (setara tegangan jala‐jala PLN). Tahap berikutnya yaitu membuat modul MPPT sehingga output yang dihasilkan lebih optimal. b) Pembuatan dan Pengujian Alat Dilakukan pengadaan komponen, bahan elektronik dan mekanik. Perakitan‐
perakitan modul monitoring baterai, inverter DC to AC, modul MPPT, rangkaian interface ke mikrokontroler berikut kelengkapannya. Supaya sistem dapat berfungsi secara optimal perlu pengukuran secara teliti dengan alat‐alat yang memadai. 1.3 Tujuan dan Sasaran Tujuan Umum : Membuat Battery Control Unit yang mempunyai nilai ekonomis dengan fungsi yang optimal dalam menunjang pemanfaatan energi surya. 75
Khusus: Membuat Battery Control Unit (BCU) yang memiliki fitur monitoring battery secara real time, inverter DC to AC dan modul MPPT. Sasaran 1. Tersedianya BCU yang relatif murah. 2. Output listrik yang dihasilkan dapat dioptimalkan dengan menggunakan teknologi MPPT. 1.4 Kerangka Analitik Pemanfaatan energi panel surya yang umum digunakan adalah menggunakan rangkaian pengatur yang statis. Tegangan panel surya diturunkan sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan tegangan baterai. Hal ini akan berakibat adanya rugi‐rugi daya dari panel surya menuju baterai atau beban. Bila tegangan panel surya turun kurang dari tegangan kerja baterai, maka praktis tidak terjadi proses pengisian. Tentunya hal ini merugikan karena sebetulnya masih terdapat energi yang dapat dimanfaatkan walaupun jumlahnya kecil. Sistem battery control unit berfungsi memaksimalkan energi yang dihasilkan oleh panel surya. Pada saat matahari sedang dalam kondisi puncak energi akan dimanfaatkan sepenuhnya dan sebaliknya pada saat matahari menghasilkan energi yang minim maka battery control unit tetap akan memanfaatkan sebaik mungkin. 1.5 Hipotesis Energi surya dapat dimanfaatkan secara maksimal apabila ada sistem yang mampu mengatur penggunaan energi yang dihasilkan. Saat panel surya mendapatkan energi matahari, daya yang dihasilkan dapat langsung digunakan untuk pemakaian sekaligus disimpan ke baterai. Pada saat panel surya tidak mendapatkan energi matahari, baterai akan mengambil alih peran dalam memasok energi. Energi yang berasal langsung dari panel surya maupun energi yang berasal dari baterai inilah yang kemudian diatur oleh sistem battery control unit. Semakin tinggi efisiensi battery 76
control unit akan semakin efisien transfer energi ke beban, dimana nantinya berpengaruh kepada pemakaian energi listrik secara keseluruhan. II. PROSEDUR DAN METODOLOGI Untuk merealisasikan sebuah battery control unit pada penelitian ini dilakukan tahapan‐tahapan yang meliputi kajian teoritis, literatur / pustaka, perancangan, pengujian dan perbaikan serta pengukuran. Adapun konsep dari aplikasi pemanfaatan energi surya dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Gambar 1. Sistem energi surya Keterangan : 1. Panel surya 2. Battery Control Unit (BCU) 3. Battery 4. Jaringan setara PLN 5. Beban Dari gambar di atas peran BCU sangat penting dalam modul energi surya. Tanpa adanya BCU energi yang dihasilkan tidak bisa disimpan dalam baterai. Jika BCU tidak digunakan, 77
maka langsung dipasang inverter DC to AC. Adapun sistem BCU yang dibuat dapat dilihat dalam Gambar 2. Switch 2
Panel Surya
Modul Sun
Tracer
Baterai
Switch 1
Mikrokontroller
Interface
Sensor
Tegangan, Arus,
Temperatur
DC to AC
Converter
220 Vac
(sistem PLN)
DISPLAY
(LCD)
CONTROL
(KEYPAD)
I/O,
RS-232/485
©2011 PPET-LIPI. Revisi 0
Gambar 2. Blok Diagram Battery Control Unit (BCU) Pada Gambar 2 dapat dijelaskan bagian tiap blok sebagai berikut : 1. Mikrokontroler ; sebagai kendali utama pada sistem BCU yang mengolah data dan mengirimkan data dari ke modul sun tracer, menampilkan data baterai ke LCD, membaca data baterai (arus, tegangan, temperatur). 2. Interface; mengolah sinyal output sensor supaya bisa dibaca oleh mikrokontroler. 3. Perangkat sensor; membaca data baterai selama proses charge dan discharge 4. Modul sun tracer dan MPPT; menentukan lokasi dari panel surya agar menangkap sinar matahari yang optimal dan memaksimalkan daya output. 5. Inverter DC to AC; mengubah tegangan 12~24 VDC ke tegangan 220 VAC. 6. Switch 1 : mengatur input dari inverter DC to AC. Jika siang hari sumber dari panel surya dan jika malam hari sumber dari baterai. 7.
Switch 2 : pada saat proses charging maka switch 1 akan on. 78
Sebelum dilakukan pembuatan Battery Control Unit (BCU) seperti gambar 2 di atas, beberapa tahapan, sasaran, luaran dan metoda yang dilakukan adalah seperti dijelaskan pada tabel 1 berikut: 79
Tabel 1. Tahapan, Sasaran, Luaran, dan Metodologi NO. TAHAPAN SASARAN LUARAN METODOLOGI 1 Perencanaan Diperoleh literatur tentang karakteristik Prototype BCU 50 Watt dan dari komponen yang diinginkan dan perancangan rangkaian yang akan digunakan Browsing internet Publikasi Ilmiah 1 paper alat 2 Pembuatan dan pengujian alat Mendapatkan komponen‐komponen yang Prototype BCU 50‐500 W Melakukan simulasi rangkaian, Pemasangan komponen diperlukan dalam pembuatan sistem sesuai dengan rangkaian, melakukan pengujian akhir Publikasi ilmiah 1 paper 79
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN III.1 Uraian Teknis Kegiatan Laporan ini memuat kegiatan penelitian tentang pemanfaatan energi surya sebagai energi alternatif yang hingga saat ini masih dirasa kurang optimal, padahal potensi pemanfaatannya cukup besar. Hal ini dikarenakan untuk membangun sistem pembangkit listrik yang bersumber dari matahari masih adanya kendala yaitu besarnya biaya yang diperlukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi tersebut adalah masih cukup mahalnya Battery Control Unit yang merupakan bagian penting dari sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Meskipun di pasaran banyak dijumpai sistem BCU, namun kulitasnya masih kurang baik atau untuk keperluan daya rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pada penelitian ini telah dikembangkan sistem BCU yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, memiliki fitur monitoring kondisi battery, inverter DC to AC dan modul daya optimal. BCU yang dibuat ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan BCU yang sudah ada yaitu terintegrasinya modul Inverter DC to AC, Battery Storage and Control, dan Maximum Power Point Tracking (MPPT). Keberadaan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dirasakan masih kurang bila mengingat tingginya kebutuhan listrik pada saat ini. Salah satu faktor yang mempengaruhi pembangunan energi surya adalah mahalnya Battery Control Unit (BCU). Untuk menghemat biaya pemasangan energi surya biasanya BCU tidak dipasang padahal BCU digunakan sebagai alat untuk mengatur penyimpanan energi listrik yang dihasilkan sel surya pada baterai disamping juga berfungsi sebagai antar muka ke beban. Agar penerapan energi surya bisa menekan besarnya anggaran biaya dan dapat dioptimalkan khususnya di daerah‐daerah terpencil yang belum mendapatkan pasokan listrik, maka dalam kegiatan ini dilakukan untuk membuat sistem BCU yang memiliki aplikasi monitoring keadaan baterai, inverter DC to AC dan modul MPPT. BCU yang dihasilkan 106
memiliki harga yang relatif rendah sehingga pemanfaatan energi surya dapat dilakukan secara optimal. III.2 Perancangan Sistem Baterai merupakan perangkat yang digunakan untuk menyimpan energi listrik dan merupakan salah satu komponen penting pada PLTS. Perangkat ini berfungsi agar PLTS dapat bekerja dengan stabil pada berbagai kondisi cuaca dan saat malam hari. Pada pemakaian normal, baterai digunakan pada saat malam hari atau saat cuaca dimana sinar matahari kurang. Bila terjadi kondisi beban yang berlebih pada siang hari, baterai dapat digunakan untuk menambah daya yang dihasilkan panel surya agar memenuhi permintaan beban. Perancangan sistem secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 2. Mikrokontroler berfungsi sebagai kendali utama pada sistem BCU yang mengolah data dan mengirimkan data dari ke modul sun tracer, menampilkan data baterai ke LCD, dan membaca data baterai (arus, tegangan, temperatur). Kemudian interface akan mengolah sinyal output sensor supaya bisa dibaca oleh mikrokontroler. Perangkat sensor membaca data baterai selama proses charging dan discharging. Modul MPPT dan sun tracer kemudian menentukan lokasi dari panel surya agar menangkap sinar matahari yang optimal dan memaksimalkan daya output. Selanjutnya DC to AC converter (inverter) akan mengubah tegangan searah dari baterai ke tegangan jala‐jala. Secara garis besar, pelaksanaan perancangan sistem BCU diprioritaskan mulai dari perangkat bagian charger atau pengisi baterai, perancangan mppt, perancangan inverter dan monitoring sistem. Pada tahun pertama penelitian difokuskan pada bagian charger dengan menggunakan MPPT dan pada tahun kedua merambah ke bagian inverter. 107
Apabila panel surya beroperasi pada titik Maximum Power Point (MPP), makan daya maksimal dapat dihasilkan dari panel. Pengoperasian panel surya di luar titik tersebut akan mengurangi pemanfaatan daya yang tersedia sekaligus akan mengurangi efisiensi daya. Pelacakan titik MPP pada tegangan/arus panel surya disebut dengan Maximum Power Point Tracking. Dalam tahapan ini kegiatan dititikberatkan pada metoda pengisian baterai dari panel surya dengan menggunakan kontrol charger yang menggunakan MPPT. Charger ini berfungsi sebagai kontrol untuk mengekstrak daya maksimal panel surya supaya berada pada daerah operasi MPP, mengontrol proses pengisian agar baterai lebih tahan lama, melindungi baterai dari over‐charging dan under‐charging, serta melindungi dari pemakaian yang berlebih (overload). III.3 Maximum Power Point Tracking MPPT merupakan sistem elektronik yang mengatur dan mengkondisikan panel surya sedemikian rupa sehingga panel surya tersebut menghasilkan daya maksimal. MPPT bukan merupakan sistem mekanik yang memposisikan panel terhadap matahari, namun merupakan rangkaian elektronik murni yang mengatur titik kerja panel agar diperoleh transfer daya terbaik yang dimiliki panel surya. Sifat panel surya diwakili oleh karakteristik arus dan tegangannnya yang disebut kurva I‐V seperti terlihat pada Gambar 3. Kurva tersebut menunjukkan arus yang dihasilkan oleh panel surya ‐‐ dalam hal ini disebut modul fotovoltaik‐‐ (Im), sebagai suatu fungsi dari tegangan modul fotovoltaik (Vm), pada suatu radiasi spesifik dan temperatur sel spesifik. Jika sebuah modul fotovoltaik dikenai hubung singkat (Vm = 0), maka arus hubung singkat (Isc) mengalir. Pada keadaan rangkaian terbuka (Im = 0), maka tegangan modul disebut tegangan terbuka (Voc). Daya yang dihasilkan modul fotovoltaik adalah sama dengan hasil kali arus dan tegangan yang dihasilkan oleh modul fotovoltaik. 108
Gambar 3. Karakteristik daya pada panel surya Pada penelitian ini, algoritma yang digunakan untuk menentukan MPPT adalah Perturb and Observe. Prinsipnya yaitu memodifikasi tegangan dan arus panel surya sampai mendapatkan daya maksimal. Bila kenaikan tegangan sel ternyata menaikkan daya keluaran maka sistem akan menaikkan tegangan sampai daya keluaran mulai turun. Bila sampai tahap ini terjadi, maka tegangan akan diturunkan sampai diperoleh daya maksimum lagi. Jadi titik daya maksimum akan diperoleh pada kisaran nilai tersebut. Gambar 4 menunjukkan algoritma pemrograman yang digunakan untuk membangun sistem MPPT. Dalam pelaksanaannya, perancangan awal dan pembuatan pemrograman dilakukan dengan menggunakan modul mikrokontroler AVR. Perangkat lunak yang digunakan adalah AVR Studio dari Atmel dengan menggunakan bahasa pemrograman C. Beberapa pemrograman yang sudah dilakukan adalah pembuatan routine untuk kontrol keypad, Analog to Digital Converter 10 bit, dan kontrol I/O. Sedangkan pembuatan algoritma P&O dikerjakan pada modul MP612. 109
Gambar 4. Algoritma Pemrograman MPPT 110
Gambar 5. Perancangan program mikrokontroler dengan menggunakan AVR Studio Skema blok pengontrol utama MPPT MP612 dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah. Adapun fungsi yang penting dari skema tersebut antara lain adalah sebagai pengukur tegangan dan arus dari sumber (panel surya), implementasi algoritma MPPT termasuk di dalamnya adalah perhitungan daya dan penjejak daya maksimum, pengontrol sinyal PWM, pengukur arus luaran, proteksi dan komunikasi serial. MPPT charge controller
BUCK-BOOST CONVERTER
+
+
D1
PWM
dari solar
panel
C1
PV
current
sense
and
voltage
sense
BOOST
ON
L1
+
+
C2
ke baterai
BUCK ON
sensor tegangan dan arus batere
PV voltage sense
ANALOG SIGNAL
CONDITIONING CIRCUIT
+
LOAD CONTROL
AND MONITOR
CIRCUIT
PV current sense
BAT voltage sense
beban DC
BAT current sense
temperature sense
MPT612 IC
MOSFET GATE
DRIVER CIRCUIT
PWM
3.3 V
POWER SUPPLY
RESET AND
CLOCK CIRCUIT
1.8 V
LED/Indikator
clock
reset
Kontrol
Komunikasi
Port Serial
111
Gambar 6. Blok diagram pengontrol utama MP612 Sistem MPPT lebih kompleks dibandingkan dengan sistem PWM biasa. Tegangan pada panel surya berubah‐ubah dipengaruhi oleh suhu dan waktu. Tegangan optimal pengisian baterai berubah mengikuti kondisi dari baterai pada saat itu, seperti yang tercantum pada Gambar 7 di bawah ini. V PV+
V BAT+
Q1
V PV-
Q3
Q2
Q4
V BAT-
Gambar 7. Rancangan DC‐to‐DC Converter Blok DC to DC converter merupakan rangkaian step up/down yang berfungsi menyalurkan daya dari panel surya ke beban. Mengacu pada konfigurasi rangkaiannya, converter ini dapat dioperasikan sebagai buck‐only (tegangan panel surya lebih 112
R1
C1
R2
C2
15
5%
4.7 nF
200 V
15
5%
4.7 nF
200 V
PV_power
TP1
1
PV_voltage_ref
2
D1
1
TP3
7
KK
TP2
8 1 MOV1
+
2
A2
P
F1
12 A fuse holder
D13
BYV42E
C3
P
C5
C62
PV_current_ref_B
3
100 k
5%
3
Q9
PBSS4160T
2
VDD(3V3)
1
Buck
mode_enable
10 k
5%
R31
BAT_12 V
DNI
R21
N
10 k
5%
R32
BAT_overvoltage
10 k
5%
B
(4)
VCC
IN
(2)
C
Q11
PMBT2222A
E
NC1
COM
1
8
2
7
3
6
4
5
R82
20 k
5%
TP9
1
Load_current_ref_A
BAT_12V
R124
R115
47 k
5%
Buck mode_enable
1k
5%
PV_power
Q5
PBSS8110Z
TP12
VB
Load_cutoff R76
(3)
1
HO
VS
NC2
R22
P
N
C15
10 F
63 V
P
N
C16
10 F
63 V
1
2
D9
12 V
0.5 W
R16
33
5%
TP30
1
BAT_gate_drive
U3
IRS21171
C14
10 F
25 V
R113
47 k
5%
(4)
R81
20 k
5%
C70
0.1 F
0
TP11
TP6
Load_current_ref_B
M5
PMV65XP
P
2
F2
12 A fuse holder
Q2
PSMN1R3-30YL(1)
BAT_current_ref_B
M6
PMV65XP
24 V
R28
10 k
5%
1
+
0.01
1%
TP5
BAT_current_ref_A 1
C71
0.1 F
1 R111
4
R10
2 0.5 W
1
282856-8
3
+
D5
BYV42E
(4)
1 D19
Buck_PWM
A2
A2
D8
BYV44
R8
0.005
1%
R121
2
1
R33
20 k
5%
A1
R7
4.7 k
1%
BAT_voltage_ref
C69
0.1 F
Q13
PBSS4160T
A1
LOAD 2
J14A
282856-8
J14B
282856-8
5
6
R122
33
5%
TP7
1
1
LOAD 1
KK
J14C
+
KK
Q4
PSMN1R3-30YL
(4)
PV_positive
12 V battery
4.7 F
50 V
P
L1
85 H
20 A
Rsense
PV_current_ref_A
C27
N
7 8 9 10 11 12
R6
TP8
R4
27.4 k
1%
6 5 4 3 2 1
0.010
1%
1
C4
C7
680 F
680 F
N 35 V N 35 V
P
Q3
PSMN8R2-80YS
CN2220K25G
D12
1
A1
N 1000 F N 1000 F 4.7 F
50 V
50 V
50 V
R5
3.9 k
1%
A1
2
TP4
K
1
D2
STPS40L45CG
R3
68.1 k
1%
BAT_12V
ES1B
BAT_POWER
A2
(1)
J14D
282856-8
1
ES1B
1
PV input
D7
Q1
PSMN8R2-80YS(1)
ES1B
PV_positive
BAT_gate_drive
2
1k
5%
3
1
Q8
PBSS4160T
C13
0.1 F
2
20 k
5%
Gambar 8. Rancangan DC‐to‐DC Converter besar dari tegangan baterai), boost‐only (tegangan panel surya lebih kecil dari tegangan baterai) atau buck‐boost dimana tegangan panel surya boleh bervariasi (perpaduan operasi buck dan boost). Sampai pada akhir kegiatan ini telah dirancang rangkaian DC‐DC Buck‐Boost Converter BCU dengan skema seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Masukan DC‐DC Buck‐Boost Converter didesain untuk dapat menangani variasi tegangan DC yang berkisar antara 10 – 27 V (tegangan nominal panel surya 12V), dengan arus pengisian maksimum 6 A. Voltage/Current Sense Bagian ini berfungsi mendeteksi besar arus dan tegangan yang diberikan pada masukan DC‐DC Buck‐Boost Converter, atau arus dan tegangan yang dihasilkan sumber listrik 113
dalam hal ini adalah modul surya. Parameter nilai yang dideteksi memungkinkan untuk digunakannya sebagai pengatur konfigurasi DC‐DC converter. Pada gambar berikut diperlihatkan model rangkaian elektronika Voltage/Current Sense. C18
2nd order low-pass filter
0.01 F
V DD(3V3)_A
V DD(3V3)_A
TP13
R23
5
PV_voltage_ref
10 k
1%
6
1
4 7
11
R24
R25
3
4 1
10 k
1%
68.1 k
1%
2
11
U4B
LPV324M
C20
0.01 F
PV volt sense_boost
U4A
LPV324M
C22
0.01 F
GNDA
GNDA
GNDA
GNDA
R26
R27
10 k
1%
1k
1%
GNDA
V DD(3V3)_A
R64
10
4 8
10 k
1%
9
11
TP15
V DD(3V3)_A
1
GNDA
R35
R66
10 k
1%
2
121E_bead
C19
10 F
16 V
CMAX
GNDA
10 k
1%
L8
1
U4C
LPV324M
C68
0.01 F
V DD(3V3)
PV volt sense_buck
C21
0.1 F
GNDA
GNDA
PV voltage sense circuit
2nd order low-pass filter
V DD(3V3)_A
C23
GNDA
(1)
R86
100
1%
VIN
C25
0.01 F
(1)
V+
VIN+
PV_current_ref_A
VDD(3V3)_A
0.01 F
C24
0.1 F
C49
0.1 F
U14
5
TP14
3
1
OUT
1
4
2
GND
R87
INA194AIDBVT
GAIN 50
PV_current_ref_B
R29
R30
68.1 k
1%
68.1 k
1%
GNDA
12
4 14
13
11
U4D
LPV324M
C26
0.01 F
PV current sense
GNDA
100
1%
GNDA
GNDA
PV current sense circuit
Gambar 9. Rangkaian voltage/current sense MPT612 Digital Circuit Bagian ini merupakan perangkat utama untuk implementasi algoritma MPPT dimana proses identifikasi atau tracking daya maksimum masukan (dari modul surya) dilakukan. Bagian ini juga merespon parameter pembacaan besar arus dan tegangan solar panel dalam bentuk pengisian daya pada baterai atau distribusi arus pada beban. MPT612 merupakan mikrokontroler yang mengendalikan proses tracking, sensing arus dan tegangan serta kontrol lain termasuk port untuk komunikasi. Bentuk rangkaian elektronika dari MPT612 digital circuit dapat dilihat seperti pada gambar berikut. 114
VDD(1V8)
2
1
40
17
L4
121E_bead
C40
0.1 F
TMS/PIO28/CAP2_1
TMS
TCK/PIO29/CAP2_2
TCK
PIO30/MAT3_3/TDI
TDI
PIO31/TDO
TDO
RTCK
RTCK
JTAGSEL
DEBUGSEL
8
41
9
45
10
46
15
16
13
26
14
27
VDD(3V3)
29
D10
1
1
VDD(3V3)
R53
10 k
5%
22
TP19
RST
6
23
C41
0.1 F
24
28
VDD(3V3)
R56
4.7 k
5%
EINT1
PIO17/CAP1_2/SCL1
PIO17
PIO18
PIO18/CAP1_3/SDA1
VDD(3V3)
R65
4.7 k
5%
PIO13/MAT1_1/DTR1
VDD(3V3)
R57
1k
5%
A
R58
2.2 k
5%
A
D17
LED_GREEN1
K
D16
LED_YELLOW1
K
PIO15/EINT2/RI1
R67
PIO16/EINT0/MAT0_2
Powerdown_wakeup
10 k
5%
PIO0/MAT3_1/TXD0
TXD0
PIO1/MAT3_2/RXD0
RXD0
PIO08 DR2
PIO8/TXD1/PWMOUT1
PIO09 DR1
PIO9/RXD1/PWMOUT2
PIO4/SCK0
VDD(3V3)
R75
2.2 k
5%
10 k
5%
10 k
5%
MPT612FBD48
2 MMBD4148
1
SW2
RESET SW
30
U15
3
R72
47 k
5%
Buck mode_enable
TP32
1
GNDA
42 1 PIO19/MAT1_2/MISO1
PIO20/MAT1_3/MOSI1
2
PIO21/SSEL1/MAT3_0
3
PIO14/EINT1/SCK1/DCD1
44
5
48
TRST
PIO21
TP31
C39
0.1 F
47
TRST/PIO27/CAP2_0
PIO20
1
VDDC
VDD(IO)
VDD(IO)
C38
0.1 F
2
L3
121E_bead
1
C37
0.1 F
V DD(3V3)
2
L2
121E_bead
VDD(ADC)
VDD(3V3)
A
Buck_power_enable
PIO5/MISO0
D18
LED_RED1
Load_cutoff
K
PIO6/MOSI0
PWMOUT0
Buck_PWM
TP24
18
C42
22 pF
C43
X1
R120
1M
5%
21
11
X1
12.000 MHz
32
X2
33
12
22 pF
34
36
37
25
38
20
DC1
0.1 F
DR4
10 k
5%
19
GND
7
DR3
10 k
5%
31
43
39
1
PIO2
PIO3/SDA0
TP25
1
PIO3
PVVOLTSENSEBUCK
PV volt sense_buck
PVVOLTSENSEBOOST
PV volt sense_boost
PVCURRENTSENSE
PV current sense
PIO10/CAP1_0/RTS1/AD3
PIO11/CAP1_0/CTS1/AD4
PIO12/MAT1_0/DSR1/AD5
Load current sense
BAT current charge
BAT volt sense
PIO25/AD6
VDD(3V3)_A
1
GNDA
TP23
1
PIO26/AD7
GND
RTXC1
4
GNDADC
RTXC2
35
GND
VDD(RTC)
PIO2/SCL0
R79
2.2 k
1%
TP21
NTC for ambient
temp measurement
R84
100
1%
NTC1
NTC
NTC response
At 25 C = 1.5 k
At 0 C = 4.28 k
At 85 C = 440
GNDA
Gambar 10. Rangkaian Digital MPT612 Power Supply Rangkaian power supply dirancang untuk memberikan supply daya pada divais elektronika BCU. Rangkaian power supply dapat bekerja dengan mengambil energi listrik dari baterai 12 VDC dan menghasilkan luaran 3,3 VDC. Skema rangkaian elektronika power supply dapat dilihat seperti pada gambar di bawah. 115
BAT_current_ref_B
2
L5
1
R93
I peak sense
V CC
0.2
C65
4.7 F
50 V
Comp inv IP
C53
47 F
25 V
CMAX
8
1
7
2
6
3
5
4
SW collector
SW emitter
100
1%
R99
1
Timing cap
2
1
47 H
K
C54
680 F
10 V
A D11
330 pF
47 k
5%
U11A
LPV324M
TP27
11
1
1
R123
100 k
1%
2
3
6
4
3.3 V_standby
1
3
U12
74LVC1G332GW
3.3 V_standby
R116
R106
15 k
1%
15 k
1%
1M
5%
B
R118
Q7
4.7 k
5%
R104
100 k
1%
13
4
C60
0.1 F
R110
C73
0.33 F
(1)
1 M (2)
5%
4
U11B 11
LPV324M
5
R77
6
100 k
1%
TP28
1
4
8
11
U11C
LPV324M
Load_current_ref_A
10
9
R107 DNI
Load_current_ref_B
10 k
1%
R108
(1)
R94
2.2 k
1%
3.3 V_standby
GNDA
TP29
14
1
11 U11D
LPV324M
3.3 V_standby
20.5 k
1%
C61
4.7 nF
3.3 V_standby
22 k
1%
1M
5%
12
R114
2 M (2)
1%
Buck_power_enable
3.3 V_standby
3.3 V_standby
PV_voltage_ref
C58
0.1 F
GND
R109
(1)PV voltage comparator
C52
2.2 F
16 V
NR
R102
7
(1)
4
2
1
OUT
Load current sense
4
2
3
C57
0.1 F
E PMBT2222A
R119
4.7 k
5%
R103
5
C
Q6
PMBT2222A
E
C59
0.1 F
5
EN
1
BAT_current_ref_B
C
B
12.4 k
1%
R101
10 k
5%
R97
100
5%
C55
0.1 F
3.3 V_standby
BAT_voltage_ref
C56
0.1 F
R100
N
CMAX
PMEG6010CEJ
20.5 k
1%
(1) BAT voltage comparator
IN
MT1
V DD(1V8)
U10
TPS73018DBV
M1
PMV65XP
TP26
L7
GND C51
MC33063A
R96
R98
MOUNTING
HOLE
VDD(3V3)
3.3 V_standby
U9
Drive collector
2
121
Bead
GNDA
Switching regulator circuit for V DD(3V3)
BAT_12 V
L6
1
121
Bead
R78
R117
10 k
1%
15 k
1%
Powerdown_wakeup
R105
10 k
1%
Gambar 11. Skema Power Supply Realisasi Rangkaian PCB Seluruh sub‐sistem rangkaian BCU selanjutnya diimplementasikan pada papan PCB seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut (tampilan tampak atas dan bawah). 116
Gambar 12. Printed Circuit Board prototype BCU III.4 Rangkaian Inverter Inverter merupakan bagian dari sistem BCU yang mengkonversi sumber arus searah (DC) menjadi arus bolak‐balik (AC). Hasil keluaran Inverter berupa arus AC yang siap digunakan untuk pemakaian sebagaimana yang tersedia pada jaringan jala‐jala listrik PLN. Blok Perancangan inverter dapat dilihat pada Gambar 13 berikut. Modul Panel
Surya
DC/DC
Boost
dan
MPPT
DC/AC
Inverter
+12V
+5V
Auxiliary
Power
Supply
dsPIC DSC
EMI Filter
Single-Phase
AC Grid
LCD Display
dan User
Interface
+3.3V
117
Gambar 13. Blok diagram perancangan Inverter Sumber listrik searah yang dihasilkan oleh panel surya diubah menjadi arus dan tegangan AC yang mempunyai fasa sama dengan fasa jala‐jala. Filter EMI (Electromagnetic Interference) bertugas mengurangi noise yang dihasilkan oleh inverter dan menjembatani impedansi dengan jala‐jala (Gambar 14). Jantung pengendali berupa prosesor yang mengendalikan aliran daya dari panel surya ke jala‐jala. Prosesor tersebut menjalankan algoritma MPPT, fault control, dan beberapa interaksi digital lainnya. Interleaved Flyback
EMI/EMC
Filter
Modul
Panel
Surya
Single-Phase
AC Grid
Gambar 14. Interleaved flyback converter Interleaved flyback converter mengurangi arus ripple yang melalui kapasitor. Bentuk gelombang input dan output dari interleaved flyback berupa duty cycle 50% terhadap pasangannya. Secara keseluruhan, rangkaian kontrol terdiri dari Digital Phase‐Locked Loop (PLL), MPPT Loop, Current Control Loop dan Load Balance Control Loop (Gambar 15). 118
PI
IACREF
PWM
Output Filter
EMI/EMC Filter
AC
Grid
S&H
ACgrid
PLL
AC inv
S&H
AC
pv
MPPT
pv
ADC
Gambar 15. Diagram Control Loop Digital Phase‐Locked Loop (PLL) Salah satu komponen paling penting pada rangkaian converter adalah PLL yang menghasilkan frekuensi tegangan jala‐jala dan sudut fasa untuk mengontrol sinkronisasi keluaran ke jala‐jala. Frekuensi estimasi ωe dan sudut fasa θe yang dibuat oleh PLL tidak hanya berfungsi mengontrol dan menghasilkan sinyal melalui proses sintesis dan transformasi, namun berfungsi pula untuk proteksi bila terjadi pemutusan mendadak pada jala‐jala. Pendeteksian ini dilakukan dengan menggunakan hardware maupun software. Pada sisi software, tegangan jala‐jala diambil sampelnya menggunakan ADC dan disimpan pada suatu register. Pada setiap kali dilakukan sampel, polaritas tegangan juga akan direkam. Bilamana terjadi perubahan polaritas, software akan mencatat terjadinya zero‐voltage detect. Sebuah counter akan menghitung jangka waktu terjadinya dua buah zero‐voltage detect yang menunjukkan setengah dari perioda tegangan jala‐jala. Nilai itu akan disimpan dan dijadikan rujukan untuk menentukan sudut fasa pada tabel untuk menghasilkan sinusoidal 0‐90 derajat. Sedangkan sudut fasa 90‐180 derajat dapat dihasilkan dari kebalikannya. 119
MPPT Loop Algoritma yang digunakan pada perancangan inverter ini adalah Perturb & Observe. Diagram alur algoritmanya dapat dilihat pada gambar berikut. Penjejakan MPP dilakukan dengan cara menaikkan atau menurunkan arus referensi secara periodik (Gambar 16). Blok ‘MPPT ref (C)’ menunjukkan proses terjadinya proses ‘perturb’ pada tegangan yang dihasilkan oleh panel surya. Sedangkan tanda plus atau minus menunjukkan arah apakah selaras dengan ‘perturb’ atau kebalikannya. 120
Start
Read PowerOld
Measure V pv , Ipv
PowerNew =
Vpv * Ipv
PowerNew > PowerOld
Yes
MPPT ref+
(C)
No
MPPT ref(C )
PowerOld = PowerNew
Gambar 15. Diagram alur MPPT pada Inverter Current Control Loop Bagian ini berupa PI (Proportional Integral) dan merupakan jantung dari sistem kontrol. Loop ini akan mengkoreksi kesalahan dari dua arus yaitu arus input dan arus referensi. Keluaran dari current control loop adalah berupa sinyal kontrol yang memastikan arus input selalu sesuai dengan arus referensi. Current control loop beroperasi pada frekuensi 57 kHz dan bandwidth 2500Hz untuk frekuensi switching 114 kHz. Keluaran 121
dari current control loop menentukan duty cycle kerja mosfet. Adapun pemodelan kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 17 berikut. Out1
Vin
Vin_ref-secondary1
D
Vo
Vo
Ioref
D1
Vgrid and IACref
In1
In2
In3
In4
In5
In6
Scope3
Out1
Out2
Out3
Out4
Out5
Out6
ADC1
Vo
Vin
Ioref
Io
IMOSFET1
IMOSFET2
Io
Scope2
IMOSFET1
IMOSFET2
Flyback/Buck Boost 1
D1
D2
1
Digital Controller
1
10e-3s+1
Transfer Fcn2
1
10e-3s+1
Transfer Fcn3
Scope6
Scope7
Gambar 17. Pemodelan kontrol Inverter dengan menggunakan Matlab Load Balance Control Loop Keluaran tegangan dari masing‐masing flyback bisa jadi sedikit berbeda. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan karakteristik internal pada mosfet, resistansi internal trafo, kapasitor dan diode. Oleh karena itu bila duty cycle yang sama diumpankan kepada kedua mosfet, akan menghasilkan perbedaan pembebanan diantara dua flyback. Kondisi ini memerlukan pengontrol pembagian beban yang bisa menyeimbangkan arus pada flyback. Salah satu masukan yang dijadikan indikator adalah selisih arus diantara mosfet dari dua flyback, hasilnya berupa koreksi duty cycle yang kemudian diumpankan kembali ke mosfet. III.5 Prototip, Pengujian dan Pengukuran Pada tahun pertama kegiatan, pekerjaan yang dilakukan dititikberatkan pada pekerjaan perancangan. Tiap blok atau bagian‐bagian rangkaian dilakukan oleh peneliti yang mempunyai keahlian di bidangnya. Adapun pengukuran parameter hasil rancangan dengan menggunakan alat ukur masih sedikit dilakukan. Perancangan BCU dilakukan 122
pada modul‐modul terpisah, seperti modul charger, modul mikrokontroler dan modul komunikasi/interface. Pembuatan protitip dilakukan pada PCB. Bagian sun tracker secara fisik telah dikerjakan pada tahun pertama. Sun tracker memerlukan desain mekanik dan kontrol yang dilakukan di tahun kedua. Namun sebagai persiapan, telah dilakukan studi tentang pola dan radiasi matahari dalam rentang waktu satu tahun. Hal ini penting dilakukan sebagai acuan kerja mikrokontroler nantinya. Kontrol untuk motor stepper sudah dibuat untuk penggerak solar panel. Rancangan awal dilakukan untuk merealisasikan mode single‐axis menggunakan IC L298N (lihat Gambar 22). Gambar 18. Pengukuran karakterisasi panel surya 123
Gambar 19. Pengukuran menggunakan beban untuk menentukan kurva I‐V Karakterisasi energi matahari yang diterima oleh panel surya diperoleh dari sampel pengukuran selama satu bulan dan dapat dilihat pada Gambar 20 berikut. Po (W)
Sampel:
Mei 2011
40
35
30
25
20
15
Pavg = 30,1 Watt
10
5
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
day n
Gambar 20. Grafik rata‐rata daya output panel surya 50Wp di lokasi 6°52'52.60" S 107°36'40.05" E (Komplek LIPI Bandung) 124
Dari grafik pengukuran menunjukkan bahwa pada siang hari energi yang mampu diserap oleh panel surya tidak sepenuhnya berada pada titik maksimal. Pengukuran prototipe battery control unit dapat dilihat pada tabel di bawah. Nilai parameter disesuaikan dengan spesifikasi komponen yang digunakan pada modul MP612. Parameter Nilai Tegangan PV (nom) 12 V Tegangan PV (max) 27 V Arus PV (max) 6 A Tegangan Minimum untuk operasi MPP 10 V Daya PV (max) 100Watt Baterai Jenis Baterai Lead‐acid, gel Tegangan Baterai (nom) 12V Arus Pengisian (max) 6A Beban sama dengan tegangan baterai Load DC voltage Maximum load current 8A PV reverse polarity protection Ya PV reverse current flow protection Ya Surge/transient protection 1.5 kVA Maximum controller standby current 10mA Tabel 2. Pengukuran parameter battery control unit 125
Gambar 21. Pemrograman kontrol motor menggunakan modul mikrokontroler Penggerak motor untuk rangkaian mekanis panel direalisasikan menggunakan IC L298N. Sedangkan kontrolnya ditangani oleh mikrokontroler. IC ini bisa difungsikan untuk stepper motor maupun DC motor (dual), seperti terlihat pada gambar di bawah. 126
Gambar 22. Diagram rangkaian penggerak motor untuk mekanik panel sampai dengan 2 A Gambar 23. Pengujian BCU di laboratorium 127
Sedangkan pada tahun kedua, bagian inverter pengukurannya dilakukan menggunakan perangkat lunak dari SDK. Dimana CH1 adalah arus inverter (Q24), CH2 adalah utility voltage (Q24), CH3 tegangan DC BUS (Q24) dan CH4 tegangan loop controller output (Q24). 128
Gambar 24. Pengukuran inverter DC ke AC. Gambar 25. Pengukuran blok grid‐tied pada inverter. 129
Gambar 26. Panel surya array untuk pengujian tipe string 130
Gambar 27. Desain PCB dan protitipe BCU 131
Gambar 28. Pemrograman inverter dengan menggunakan Code Composer Studio 132
Gambar 29. Implementasi pemrograman Inverter ke SDK IV. KESIMPULAN DAN SARAN IV.1 Kesimpulan Sampai akhir dari kegiatan ini, telah dilakukan studi literatur yang bersumber dari tulisan/jurnal nasional dan internasional, panduan/manual produk panel surya dan browsing internet. Telah dilakukan juga studi yang intensif mengenai algoritma MPPT dengan algoritma P&O. Walaupun lebih rumit namun menggunakan MPPT ini lebih efisien dibandingkan metoda lain. Pengujian baterai control unit dilakukan dengan cara sederhana menggunakan beban resistif. Dari pengujian tersebut arus pengisian baterai maksimal adalah 6 Ampere dengan beban maksimal 8 Ampere dengan modul MPT612. Adapun pada tahun kedua telah dibuat prototip BCU yang lebih baru dengan spesifikasi lebih tinggi yaitu mampu mengeluarkan arus charging sampai dengan 10 Ampere dan beban maksimal 10 Ampere. Khusus bagian Inverter telah dirancang dan diujicoba dengan menggunakan grid‐tied connected. IV.2 Saran Pada akhir kegiatan penelitian ini, ada beberapa hal yang masih perlu ditingkatkan dan diharapkan bisa dilakukan pada kegiatan yang sejenis, yaitu: 1.
Perbaikan metoda perancangan dalam skala simulasi, karena hal ini penting untuk meningkatkan kinerja rangkaian elektronik dan memprediksi masalah lebih awal. Teknik yang dapat diterapkan adalah menggunakan perangkat lunak simulasi matematis. 133
2.
Karakterisasi fisik pada baterai terhadap temperatur, sampai pada penelitian ini parameter temperatur belum diperhitungkan. Sedangkan arus pengisian baterai semestinya disesuaikan dengan temperatur baterai atau lingkungan sekitar. V. REFERENSI 1.
Frederick M. Ishengoma and Lars E. Norum, “Design and implementatiion of a digitally controlled stand‐alone photovoltaic power supply”, Dept. of Electrical Power Engineering , Norwegian University of Science and Technology, Norway. 2.
Joe‐Air Jiang, Tsong‐Liang Huang, Ying‐Tung Hsiao and Chia‐Hong Chen, “Maximum power tracking for Photovoltaic power systems”, Tamkang Journal of Science and Engineering, Vol.8 No.2 pp.147‐153, Tamsui, Taiwan. 3.
Geoffrey R. Walker and Paul C. Sernia, “Cascaded DC‐DC converter connection of photovoltaic modules”, IEEE Transactions on Power Electronics vol.19 no.4, July 2004. 4.
Y. Ueda, K. Kurokawa, T. Tanabe, K. Kitamura, K.Akanuma, M. Yokota, H. Sugihara, “Study on the over voltage problem and battery operation for grid‐
connected residential PV systems”, 22nd European Photovoltaic Solar Energy Conference, 3‐7 September 2007, Milan, Italy. 5.
A. Adiyabat, K. Kurokawa, “An optimal design and use of solar home system in mongolia”, Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT) 6.
Takae Shimada and K. Kurokawa, “Grid‐connected photovoltaic systems with battery storages control based on insolation forecasting using weather forecast”, Renewable Energy 2006 Proceedings. 7.
Takae Shimada and K. Kurokawa, “High precision simulation model of battery characteristics”, Renewable Energy 2006 Proceedings. 8.
Mukund R. Patel, “Wind and solar power systems”, 1999, CRC Press LLC. 9.
N. Mohan, T.M. Undeland, W.P. Robbins, “Power Electronics; Converters, Application, and Design”, 2nd ed., Wiley, New York, USA, 1995. 10.
NXP Semiconductors, “Photovoltaic MPPT battery charge controller using the MPT612 IC reference board Application note Rev 2”, 2 February 2011. 11.
http://www.ti.com/lsds/ti/analog/powermanagement, Power Management, SPRT615A.pdf, “C2000™ Solar Inverter Development Kits”, Texas Instrument, 2 Mei 2012. ‐‐‐oo=O=oo‐‐‐ 134
Pengembangan Through‐Wall Radar Untuk Life Detector Dr. Purwoko Adhi 135
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian : Pengembangan Through‐Wall Radar untuk Life Detector 2. Kegiatan Prioritas : Informatika dan Telekomunikasi 3. Peneliti Utama : Nama : Dr. Purwoko Adhi Jenis Kelamin : Pria 4. Sifat Penelitian : Lanjutan (Tahun ke 2) 5. Lama Penelitian : 3 (tiga) Tahun 6. Biaya Total 2011 : Rp. 298.181.000,‐ Bandung, 31 Desember 2012 Disetujui, Ka. Pusat Peneltian Elektronika dan Telekomunikasi ‐ LIPI Peneliti Utama Dr. H i s k i a Dr. Purwoko Adhi . NIP. 19650615 199103 1 006 NIP. 19670911 198701 1 001 136
ABSTRAK Pengembangan through‐wall radar bertujuan untuk menjawab kebutuhan akan perangkat life detector. Perangkat ini dibutuhkan dalam upaya penyelamatan korban gempa bumi yang terjebah dibalik reruntuhan gedung, yang harus dilakukan secara cepat dan hati‐hati, untuk meningkatkan kemungkinan korban hidup dapat diselamatkan. Through‐wall radar menggunakan prinsip radar UWB yang banyak digunakan untuk ground penetrating radar (GPR). Salah satu tipe radar UWB adalah radar FM‐CW. Radar UWB FM‐CW menggunakan prinsip yang sama dengan Radar FM‐CW yang digunakan untuk radar permukaan atau radar udara. Perbedaannya, Radar UWB FM‐CW menggunakan frekuensi yang lebih rendah namun memiliki bandwidth sinyal yang jauh lebih lebar. Komponen atau subsitem penting dari sebuah radar UWB FM‐CW adalah rangkaian frekuensi radio, pembangkit chirp wideband, akuisisi data, dan software pengolah sinyal dan penampil. Tantangan dalam teknologi FM‐CW adalah kopling antara pemancar dan penerima, di mana sinyal langsung dari pemancar akan bocor dan diterima oleh penerima dengan level yang cukup tinggi, sehingga mengalahkan sinyal yang dipantulkan oleh objek . Untuk mengatas masalah ini digunakan switch RF yang mungkinkan pemancaran dan penerimaan secara bergantian. Tantangan dalam pengembangan pembangkit chirp wideband adalah bandwidth yang sangat lebar, linearitas frekuensi terhadap waktu, level daya yang rata, dan kestabilan. Kata kunci: radar, through wall, life detector, gempa bumi, ultra wide band (UWB) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara rawan gempa. Gempa yang berkekuatan cukup besar berpotensi menyebabkan runtuhnya gedung‐gedung. Dalam banyak kasus runtuhnya gedung, korban, baik meninggal maupun hidup, terjebak dalam reruntuhan gedung. Upaya penyelamatan harus dilakukan secara cepat dan hati‐hati untuk memastikan korban hidup dapat diselamatkan. 137
Tanpa informasi yang akurat mengenai keberadaan korban hidup di balik reruntuhan, penyelamatan memerlukan waktu yang lama, sehingga mengurangi kemungkinan korban hidup dapat diselamatkan. Salah satu upaya dalam mengatasi masalah ini adalah penggunaan life detector untuk menemukan lokasi korban hidup. Keberadaan korban hidup bisa dideteksi dari gerakannya menggunakan through‐wall radar yang mampu mendeteksi objek di balik tembok atau beton. Pengembangan through‐wall radar bertujuan untuk menjawab kebutuhan akan perangkat life detector. Through‐wall radar menggunakan prinsip radar UWB yang banyak digunakan untuk ground penetrating radar (GPR). Salah satu tipe radar UWB adalah radar FM‐CW. Radar UWB FM‐CW menggunakan prinsip yang sama dengan Radar FM‐CW yang digunakan untuk radar permukaan atau radar udara. Perbedaannya, Radar UWB FM‐CW menggunakan frekuensi yang lebih rendah namun memiliki bandwidth sinyal yang jauh lebih lebar. Pengembangan sistem through‐wall radar meliputi pengembangan sub‐sub sistem, modul‐modul, atau komponen‐komponen penyusunnya. Komponen atau subsitem penting dari sebuah radar UWB FM‐CW adalah rangkaian frekuensi radio, pembangkit chirp wideband, akuisisi data, dan software pengolah sinyal dan penampil. Tantangan dalam teknologi FM‐CW adalah kopling antara pemancar dan penerima, di mana sinyal langsung dari pemancar akan bocor dan diterima oleh penerima dengan level yang cukup tinggi, sehingga mengalahkan sinyal yang dipantulkan oleh objek . Untuk mengatas masalah ini digunakan switch RF yang mungkinkan pemancaran dan penerimaan secara bergantian. Tantangan dalam pengembangan pembangkit chirp wideband adalah bandwidth yang sangat lebar, linearitas frekuensi terhadap waktu, level daya yang rata, dan kestabilan. Modul akuisisi data berfungsi mengubah sinyal beat menjadi data digital yang siap diolah oleh komputer (PC). Pengiriman data dari modul data akuisisi ke PC bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui PCI, USB, dan sebagainya. Untuk alasan kepraktisan USB dipilih sebagai jalur data dari modul ke PC. 138
Software pengolahan sinyal dan penampil berfungsi untuk mengolah sinyal/data yang diterima melalui modul akuisisi data, mengambil informasi mengenai objek‐objek yang ada di depan radar, kemudian menampilkannya. Yang tidak kalah pentingnya adalah antena. Sepasang antena digunakan untuk memancarkan dan menerima gelombang radio. Karakteristik dari antena sangat berpengaruh kepada fungsi radar secara keseluruhan. Namun, kegiatan ini tidak mengembangkan antena sendiri, melainkan menggunakan antena hasil pengembangan kegiatan lain atau antena yang sudah teruji dan tersedia di pasaran. 1.2. Metoda Adapun dalam pelaksanaannya, kegiatan ini menggunakan metoda penelitian yang dapat dirangkum sebagai berikut. •
Perancangan sistem, di mana sistem dirancang secara keseluruhan, termasuk di dalamnya penyusunan spesifikasi dan pendefinisian modul‐modul penyusun sistem. •
Perancangan Software •
Pemilihan modul‐modul yang memenuhi fungsi dan spesifikasi yang dibutuhkan (untuk modul‐modul yang tidak dibuat sendiri). •
Perancangan modul‐modul (untuk modul‐modul yang dibuat sendiri) di mana skema rangkaian elektronik modul‐modul dibuat untuk menghasilkan fungsi dari masing‐masing modul yang diinginkan. •
Realisasi modul‐modul, di mana skema elektronik dituangkan dalam disain tata letak komponen dalam PCB, kemudian PCB dibuat dan rangkaian elektronika diasembling di atas PCB. •
Pengujian modul‐modul, di mana modul‐modul di uji coba secara individu untuk mengetahui apakah mereka telah berfungsi sebagaimana yang didinginkan. 139
•
Intergrasi sistem, di mana modul‐modul yang telah diuji diintegrasikan menjadi sebuah sistem. •
Pengembangan Software •
Pengujian sistem di laboratorium, di mana sistem diuji coba untuk mengetahui fungsi sistem. •
Perbaikan dan penyempurnaan apabila diperlukan 1.3. Maksud dan Tujauan. Tujuan umum dari penelitian ini adalah penguasaan teknologi dan alih teknologi through‐wall radar. Sedangkan tujuan khususnya adalah pengembangan sebuah prototype through‐wall radar. Sasaran dari penelitian ini adalah sebuah prototype through‐wall radar dengan teknologi UWB. II. PERBAIKAN PEMBANGKIT CHIRP WIDEBAND Pada tahun pertama kegiatan, sebuah pembangkit chirp wideband telah dirancang dan direalisasikan. Pembangkit ini menggunakan sebuah DDS dan sebuah VCO sebagai komponen utama. Untuk DDS digunakan AD9956 dari Analog Devices dalam bentuk evaluation board dan untuk VCO digunakan HMC‐C029 dari Hittite. Subsistem yang dikembangkan telah menghasilkan sinyal chirp dari 6750 sampai 9250MHz. Namun derau fasa dari sinyal belum bisa diterima karena akan mengakibatkan penurunan resolusi dan masalah pada pengolahan Doppler. Maka dari itu masih diperlukan perbaikan pada rangkaian filter loop. Sebuah modul akuisisi data sederhana untuk sistem radar FM‐CW telah dikembangkan. Modul menggunakan IC CY7C68013A dari keluarga EZ‐USB dari Cypress Semiconductor yang difungsikan sebagai slave FIFO. Untuk master FIFO digunakan IC CPLD Max II EPM1270T144 dari Altera. Sedangkan untuk ADC 140
digunakan AD9235 dari Analog Device. Modul akuisisi data telah bekerja dengan baik. Rangkaian input asli pada evaluation board AD9235 merusak bentuk sinyal dengan frekuensi di bawah 50kHz. Agar dapat digunakan dalam aplikasi radar FM‐CW, modul akuisisi data harus bisa menangani sinyal dengan frekuensi rendah. Untungnya pada evaluation board AD9235 sudah tersedia rangkaian input alternatif yang lebih cocok untuk frekuensi rendah. Rangkaian ini bisa daktifkan dengan memasang komponen‐
komponennya, setelah terlebih dahulu melepas komponen‐komponen pada rangkaian input asli. Pada pengujian transceiver tahap pertama, keluaran sub sistem pensintesa frekuensi yang dibangkitkan melalui sebuah chip DDS dan VCO dalam konfigurasi close loop PLL telah dapat menghasilkan sinyal chirp dari 6750 sampai 9250MHz, jika sinyal ini dicampur (mix) dengan sinyal LO yang berasal dari DRO 9750MHz, maka akan menghasilkan chirp selebar 500‐3000MHz, sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan. Tetapi pada hasil pengujian selanjutnya, sinyal chirp tersebut tidak dapat mencapai kecepatan sweep 1ms, seperti yang di tetapkan pada spesifikasi awal. Pada kecepatan 1ms sinyal chirp yang dihasilkan memiliki frekuensi 1000‐2800MHz, seperti tampak pada Gambar 1 (kiri). Sedangkan pada pengujian sebelumnya digunakan sweep frekuensi > 10ms. Sehingga pensintesa frekuensi ini tidak dapat digunakan untuk mendapatkan resolusi sesuai yang diharapkan pada desain awal. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena unjuk kerja loop filter yang dikembangkan masih belum sempurna. 141
Gambar 1. Spektrum sinyal chirp (kiri), dan sinyal output loop filter/input VCO (kanan). Gambar 1. menunjukkan tagangan keluaran dari loop filter yang digunakan pada konfigurasi PLL atau masukan ke VCO. Kurva menunjukkan tagangan terhadap waktu, yang lebih kurang, , mencerminkan kurva frekuensi sinya keluaran VCO terhadap waktu. Keluaran loop filter tidak dapat menghasilkan sinyal sawtooth (gigi gergaji) yang sempurna dengan perioda 1ms yang dibutuhkan sebagai driver Vtune VCO untuk menghasilkan sinyal sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Gambar 2. Diagram Skematik LPF Untuk memperbaiki pembangkit chirp wideband, satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan memperbaiki LPF untuk chirp narrowband. Sebelumnya bandwidth LPF yang digunakan adalah 160MHz. LPF ini adalah LPF yang tersedia di atas DDS evaluation board. Agar bandwidth LPF lebih sesuai dengan frekuensi kerja dari pembangkit chirp wideband, maka dibuat LPF dengan bandwidth 130MHz. Diagram skematik dari LPF 142
dapat dilihat pada Gambar 2. Sedangkan hasil simulasi respons frekuensi LPF sebelum dan sesudah modifikasi dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Hasil simulasi Respon Frekuensi LPF sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) modifikasi Gambar 4. menunjukkan hasil pengukuran Respon Frekuensi LPF sebelum dan sesudah modifikasi. Terlihat bahwa, spektrum bayangan dari keluaran DDS yang diinginkan masih sangat besar sehingga berpotensi menurunkan kualitas sinyal output. Setelah dilakukan pengantian LPF spektrum bayangan dari keluaran DDS berkurang 143
secara signifikan. Diharapkan hal ini akan memperbaiki kualitas sinyal keluaran dari pembangkit chirp wideband. Gambar 4. Hasil pengukuran Respon Frekuensi LPF sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) modifikasi Hal lain yang perlu dilakukan untuk memperbaiki pembangkit chirp wideband adalah dengan mengubah slew rate speed dari Loop Filter yang digunakan pada Up‐
Conversion PLL. Gambar 5. menunjukkan diagram skematik Loop Filter. C33
33nF
+24V
8
R32
22K
5
2
3
A
4
GND
B
4
8
R31
4K7
TP1
6
+24V
1
U31A
TL072P
7
U31B
TL072P
1
2
GND
Header 2
R33
100
GND
C34
1.8nF
VTUNE1
VTUNE
GND
GND
R37
560
GND
+24V
24V1
CPOUT1
CP OUT
R35
56
GND
C38
15nF
C35
1.5nF
GND
C37
100nF
1
2
GND
GND
Header 2
GND
GND
Gambar 5. Diagram skematik Loop Filter Hasilnya, dengan perioda 1ms, pembangkit chirp wideband bisa menghasilkan sinyal dari 500 sampai 3000MHz, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6. 144
Gambar 6. Spektrum sinyal output pembangkit chirp wideband Namun grafik frekuensi terhadap waktu tidak bisa dibuat berbentuk gigi gergaji. Sinyal membutuhkan waktu terlalu lama (0.5ms) untuk turun dari frekuensi atas (3000MHz) ke frekuensi bawah (500MHz), seperti ditunjukkan oleh grafik tegangan terhadap waktu dari input VCO pada Gambar 7. bagian kiri. Gambar 7. kanan menunjukkan grafik tegangan terhadap waktu dari VCO apabila DDS diprogram untuk membentuk pola segitiga, di mana frekuensi output akan naik dari frekuensi bawah (500MHz) ke frekuensi atas (3000MHz) selama 1ms, kemudian turun kembali ke frekuensi bawah dalam waktu yang sama. Gambar 7. Sinyal input VCO 145
Karena adanya kesulitan untuk membuat sinyal gigi gergaji, maka diputuskan untuk menggunakan sinyal segitiga. Namun hanya bagian di mana frekuensi naik saja yang digunakan untuk pengolahan sinyal. Untuk itu perlu dilakukan perubahan pada trigger DDS seperti pada Gambar 8. VCC
P1
SMB
6
CLR Q
VDD
VDD
1
14
VCC
C1
100nF
7
GND
32
16
8
4
32
VCC
CLK
CLR
3
D
PR
2
P3
U1A
P7
4
MC74HC74AN
U2A
5
PR Q
2
1
4
3
6
5
8
7
10 9
12 11
10
PR
D
13
4
PR
MC74HC74AN
U5A
5
Q
6
CLR Q
VDD
1
14
C4
100nF
7
GND
VDD
GND
2
1
MC74HC04AN
14
VDD
7
GND
C2
100nF
GND
U4A
P8
8
4
2
1
7
2
4
6
8
Header 4
GND
2
3
MC74HC04AN
4
1
2
3
4
R1
1K
MC74HC04AN
GND
U4C
Header 4
P6
5
GND
P5
U4B
1
1
3
5
7
Header 4X2
Cap
100nF
U3B MC74HC393AN
12
11
RESET QA
10
QB
13
9
CLK
QC
8
QD
8
VCC
CLK
CLR
3
VDD
1
2
3
4
8
R2
1K
U3A MC74HC393AN
2
3
RESET QA
4
QB
1
5
CLK
QC
6
QD
VDD
14
C3
PR
OUT
IN
GND
CLK
D
9
MC74HC04AN
8
CLR Q
MC74HC74AN
2
Header 4
P2
VDD
16
9
MC74HC04AN
6
U2B
Q
1
2
3
4
4
U1D
5
GND
11
3
MC74HC04AN
GND
12
2
U1C
Header 6X2
GND
U1B
1
6
SMB
MC74HC04AN
GND
U4D
GND
9
U7A MC74HC393AN
3
RESET QA
4
QB
1
5
CLK
QC
6
QD
MC74HC04AN
8
P9
10
2
12
11
D
PR
U5B
4
9
Q
VDD
14
CLK
8
13
CLR Q
VDD
GND
SMB
GND
7
C5
100nF
U4E
11
GND
VDD
14
VDD
GND
C6
100nF
MC74HC74AN
GND
VCC
VDD
C8
100nF
GND
GND
U7B MC74HC393AN
12
11
RESET QA
10
QB
13
9
CLK
QC
8
QD
P11
1
2
Header 2
MC74HC04AN
10
P12
1
2
GND
7
GND
P10
1
2
Header 2
GND
GND
Header 2
GND
Gambar 8. Diagram skematik rangkaian trigger DDS. III. PENGUJIAN HARDWARE TRANSCEIVER THROUGH WALL RADAR Pengujian hardware transceiver pada tahap ini dilakukan untuk mengetahui tingkat flatness spektrum frekuensi dan level sinyal yang didapatkan dari masing blok sub sistem radar TTW yang telah dikembangkan, apakah sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan dan dapat berfungsi seperti yang diharapkan. Untuk menghasilkan chirp pada rentang frekuensi 500‐3000MHz, sinyal keluaran dari VCO yang ditunjukkan pada gambar 8 dicampur (mixing) dengan sinyal dengan 146
frekuensi 9750MHz yang berasal dari DRO. Keluran sinyal dari DRO, keluaran dari directional coupler CPL yang digunakan sebagai supplay DDS (reserved), keluaran dari directional coupler OUT yang masuk ke masukan LO mixer ZX05‐153+ dan keluaran IF mixer masing masing ditunjukkan pada gambar 9. Sedangkan masukan RF mixer berasal dari keluaran VCO. Level sinyal keluaran dari DRO pada frekuensi 9750MHz sebesar 9.25dBm. Coupler yang digunakan juga masih sesuai dengan spesifikasi dari datasheet yaitu insertion loss sebesar 1.49 dBm ( 1 dBm@datasheets) dan 7.76 dBm (7 dBm@datasheets). Keluaran port OUT dari directional coupler digunakan sebagai input LO dari mixer, dan masih memenuhi syarat untuk digunakan, karena mixer yang digunakan menurapan mixer level 7, yang memerlukan minimal 7dBm untuk dapat bekerja. Keluaran port IF mixer menunjukkan bahwa spektrum chirp fundamental yang dihasilkan berada pada rentang frekuensi 500‐3000MHz seperti yang diharapkan. Level sinyal berada pada kisaran ‐0,08 dBm. Dalam hal ini terlihat bahwa mixer telah berada pada level 1dB compresion pointnya dimana dengan masukan RF pada level 20.48 dBm, mixer melalkukan konversi dengan loss sebesar 18.47 dBm jauh dibawah spesifikasi linear dari datasheet yang diberikan. Pada gambar 9d tampak bahwa keluaran mixer selain menghasilkan sisi frekuensi pada rentang frekuensi yang diharapkan, juga menghasilkan sisi frekuensi pada freuensi tinggi, untuk mengurangi level dari sinyal harmonik dan sinyal yang tidak diharapkan tersebut digunakan filter LPF VLF‐3000+ . Filter ini akan melewatkan frekuensi dibawah 3000Mhz. hasil pengukuran karakteristik dari filter ini ditunjukkan pada gambar 10 (kiri). Tampak bahwa filter memiliki cut off frekuensi ‐3dB pada frekuensi 3425MHz, dengan insertion loss sebesar 1.41dBm Sedangkan keluaran spektrum chirp dari filter ini ditunjukkan pada gambar 10 (kanan). Tampak bahwa filter ini mampu meredam sinyal yang tidak diinginkan pada level 30dBc sampai 55dBc. Sedangkan keluaran chirp spektrum yang diinginkan berada pada level ‐1dBm. 147
(a) (b) ( c ) ( d ) Gambar 9. (a) keluaran DRO & masukan port IN directional coupler, (b) keluaran port CPL directional coupler, (c) keluaran port OUT directional coupler & masukan port LO mixer dan (d) keluaran port IF mixer. Gambar 10. Karakteristik filter LPF (kiri) dan keluaran spektrum chirp setelah melewati filter LPF (kanan). 148
Pada bagian ini chirp telah siap untuk dipancarkan pada tahap selanjutnya chirp ini akan dilewatkan melalui sebuah penguat amplifier untuk meningkatkan level dayanya. Dilain pihak sinyal chirp ini juga akan diumpankan sebagai sinyal LO pada mixer penerima untuk memperoleh sinyal beat. Untuk membagi sinyal chirp ini kedalam dua jalur digunakan splitter ZN2PD2‐50+, yang masing masing keluarannya akan bernilai sama besar dengan loss sebesar 3dBm. Keluaran port 1 akan masuk ke LO mixer sedangkan keluaran port 2 akan masuk ke penguat daya transmitter. Gambar 11 masing masing menunjukkan keluaran dari port 1 dan port 2 OUT dari splitter, yang menunjukkan nilai yang identik. Nilai insertion loss berkisar pada level ‐3.3dBm, sesuai dengan nilai yang diberikan pada datasheet dan unjuk kerja yang diinginkan. Sehingga level keluarannya berada pada kisaran ‐4.31 dBm. Gambar 11. Spektrum chirp keluaran dari port 1 (kiri) dan port (2) splitter. Setelah melewati Penguat Daya spektrum chirp yang dihasilkan dan level sinyalnya ditunjukkan pada gambar 12. Sinyal inilah yang akan dilewatkan melalui sistem antenna. Daya rata yang dihasilkan sebesar 29.32dBm dengan gain rata rata sebesar 34.72dBm. Tampak bahwa spektrum chirp tidak flat dan memiliki level sinyal yang bervariasi sekitar 6dBm. 149
Gambar 12. Spektrum dan level sinyak keluaran dari Penguat Daya Pemancar (transmitter) yang akan dilewatkan melalui antenna. Pengujian antenna dan pengujian unjuk kerja sistem menggunakan antenna akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Pada tahap ini sistem akan diuji menggunakan loopback cable. Di mana keluaran dari Penguat daya transmitter akan dileatkan pada sebuah kabel dengan panjang 1m yang mewakili jarak antenna dengan sebuah obyek berjarak 0.5m dan sebuat attenuator 30 dBm yang mewakili pelemahan (loss) yang disebabkan oleh propagasi dan pemantulan. Loopback cable ini kemudian dilewatkan (diumpankan kedalam masukan LNA), yang mewakili sinyal yang diterima oleh sistem radar TTW FMCW setelah dipantulkan oleh sebuah obyek. Spektrum keluaran dari LNA ZX60‐33LN+ yang mewakili hasil penerimaan sisten receiver rdar TTW terhadap sinyal pantul yang diterima dari suatu obyek ditunjukkan pada gambar 13. Tampak bahwa LNA memiliki gain yang sangat bervariasi sekitar 20dBm pada rentang frekuensi 500MHz‐3000MHz. Hal ini akan mengakibatkan level sinyal beat yang dihasilkan akan bervariasi dan mengurangi sensitifitas peneriaan, terutama pada frekuensi tinggi. 150
Gambar 13. Flatness dari spektrum keluaran LNA. Keluaran dari LNA akan dilewatkan melalui sepasang filter LPF VLF‐3000+ dan HPF SHP‐500+ yang membentuk konfigurasi filter BPF pada rentang frekeuensi 500‐3000MHz. Filter ini ditujukan untuk meredam sinyal sinyal pengganggu yang tidak diinginkan yang ikut masuk pada sistem penerima. Karakteristik filter berdasarkan hasil pengukuran ditunjukkan pada gambar 14. Sedangkan spektrum chirp keluaran dari pasangan filter LPF+HPF ini ditunjukkan pada gambar 15. Keluaran dari filter ini akan masuk ke port RF dari beat mixer. Gambar 14. Karakteristik Filter LPF 3000MHz (kiri) dan HPF 500MHz (kanan). 151
Gambar 15. Spektrum keluaran filter LPF+HPF pada sisi penerima. Keluaran dari filter tersebut selanjutnya dimasukkan melalui port RF beat mixer ZEM4300+ (sisi penerima/receiver) bersama masukan LO yang berasal dari splitter yang berasal dari sisi pengirim (transmitter). Proses pencampuran ini akan menghasilkan sinyal beat yang merupakan selisih dari chirp yang dikirimkan dengan chirp yang diterima. Frekuensi dari sinyal beat inilah yang dikorelasikan terhadap jarak. Pada dasarnya level sinyal LO yang dibutuhkan mixer ini untuk bekerja adalah 7dB, tetapi sinyal yang masuk dari keluaran splitter transmiter berada pada level ‐4dBm. Tetapi pada hasil pengujian tampak bahwa mixer ini telah / tetap mampu bekerja dengan level sinyal tersebut. Keluaran sinyal beat dari mixer beat ditunjukkan pada gambar 16, bersama dengan keluaran sinyal beat setelah melalui penguat sinyat beat (beat amplifier). Masing masing berupa : sinyal beat keluaran mixer dengan 1m loopback (a), sinyal beat keluaran mixer dengan 2m loopback (b) , sinyal beat keluaran mixer dengan 1m loopback (a) sinyal beat keluaran mixer dengan 2m loopback (b) Pada gambar tersebut tampak bahwa frekuensi beat yang dihasilkan oleh loopback sepanjang 2m lebih tinggi dibandingkan frekuensi beat yang dihasilkan oleh loopback sepanjang 1m. Hal ini mewakili prinsip bahwa semakin jauh jarak obyek pemantul semakin panjang delay yang dialami oleh chirp sinyal yang diterima, sehingga 152
akan menghasilkan frekuensi beat (selisih) yang lebih besar/tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sistem radar yang dikembangkan telah dapat berfungsi sesuai dengan prinsip atau teori dasar sistem radar FMCW. ( a ) ( b ) ( c ) ( d ) Gambar 16. Frekuensi / sinyal beat. IV. PENGUJIAN ANTENNA. Antenna memegang peranan penting pada sistem radio, termasuk sistem radar, karena antenna merupakan divais yang mengubah sinyal pada dua media yang berbeda. Untuk kegiatan pengembangan through wall radar ini digunakan antena yang dikembangan kegiatan lain di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi. Antena tersebut diharapkan mampu bekerja pada rentang frekuensi 500‐3000MHz. Sebelum antena digunakan perlu diuji atau diukur terlebih dahulu karakteristiknya. Pengujian 153
tahap awal dilakukan dengan melakukan pengukuran nilai SWR dan coupling antara antena pemancar dan penerima. Ada dua type antena yang telah dirancang dan dikembangan. Tipe pertama ditunjukan oleh Gambar 17, sedangkan tipe kedua oleh Gambar 18. Hasil pengukuran SWR dan coupling untuk antena pertama dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil pengukuran parameter yang sama untuk antena kedua dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 17. Fisik antenna UWB 500‐3000MHz tipe 1 154
Gambar 18. Fisik antenna UWB 500‐3000MHz tipe 2 Gambar 19. SWR (kiri) dan Coupling (kanan) antenna tipe pertama. Gambar 20. SWR (kiri) dan Coupling (kanan) antenna tipe kedua. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kedua tipe antenna yang telah dirancang dan dibuat masih perlu perbaikan. Antena tipe pertama belum memiliki nilai SWR seperti yang disyaratkan (yaitu < 2), sedangkan antenna tipe kedua meskipun memiliki SWR yang baik, tetapi gain yang dihasilkan sangat rendah (‐4dB). Untuk itu kami mengadakan sepasang antena yang sudah teruji. Antena tersebut adalah antena Vivaldi seperti ditunjukkan pada Gambar 21. 155
Gambar 21. Sepasang antena vivaldi terpasang Meskipun sudah teruji, kami tetap melakukan pengukuran yang sama. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 22. SWR (kiri) dan Coupling (kanan) antenna Vivaldi. SWR cukup memenuhi syarat pada rentang frekuensi kerja radar. Namun besarnya gain antena mengakibatkan coupling antara antena pemancar dan penerima yang tinggi pula. 156
V. PENGEMBANGAN DAN PENGUJIAN PROTOTYPE SOFTWARE Sofware yang dikembangkan merupakan versi pengembangan dari sofware akuisi data yang telah dilakukan pada tahun pertama dengan penambahan fungsi‐fungsi sebagai berikut. 1. Konfigurasi parameter radar. 2. Sinyal prosesing yang meliputi Perhitungan Range‐Doppler Radar. 3. Mekanisme penyimpanan Data 4. Visualisasi baik dalam bentuk raw data, A‐Scan maupun B Scan. Software dikembangkan mengggunakan MS Visual C++.Net 2008 untuk mempermudah pembuatan GUI dengan tetap mendapatkan kekuatan dari bahassa C++ untuk mengakses perangkat.keras dan perhitungan yang lebih cepat. Gambar 23 menunjukkan tampilan GUI Software yang dikembangkan saat menampilkan sinyal beat dalam format raw data dalam time domain. Gambar 24 menunjukkan GUI saat menampilkan sinyal beat dalam domain frekuensi setelah melalui proses FFT tahap pertama yang menghasilkan informasi frekuensi beat beserta korelasi jaraknya. Gambar 25 menunjukan GUI dalam mode A‐Scan yang menggambarkan sinyal A‐Scan dalam domain frekuensi (jarak) hasil dari pemrosesan Range‐Doppler (FFT tahap kedua). Sedangkan gambar 26 menunjukkan penggambaran B‐Scan. Gambar 23‐26 merupakan hasil dari masukan ADC yang berupa sinyal frekuensi tunggal 330kHz yang berasal dari Signal Generator. Pada gambar 23 tampak bahwa sinyal yang didapatkan tampak terpotong dengan interval tertentu (periodik), hal ini disebabkan oleh modul akuisisi data yang memiliki buffer terbatas. Sehingga sinyal yang didapatkan bukan merupakan satu periode sweep seperti yang diharapkan. Hal ini akan sangat berpengaruh pada proses perhitungan doppler, tetapi tidak akan berpengaruh 157
pada perhitungan range. Hal ini memerlukan solusi pemecahannya dalam pengembangan ke depan. Gambar 23. GUI dalam mode time domain. Gambar 24. GUI dalam mode frekuensi domain. 158
Gambar 25. GUI dalam mode A‐Scan. Tampak pada gambar 24 dan 25 bahwa sinyal setelah mengalami proses FFT 1 dan FFT 2, tepat berada pada frekuensi yang diinginkan (330kHz). Dan gambar B‐Scan (gambar 26) yang dihasilkan juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu bahwa sinyal berkorelasi dengan jarak 19 m sesuai dengan teori. Gambar 26. GUI dalam mode B‐Scan. 159
VI. PENGUJIAN SISTEM Pada pengujian sistem tahap pertama, dilakukan pengujian dengan melakukan loop back di mana kedua antena diganti dengan kabel dengan panjang 1 dan 10 meter. Hasilnya bisa dilihat pada Gambar 27 dan 28. Pada kedua gambar tersebut tampak bahwa sistem transceiver dan pemrosesan sinyal sebenarnya telah berfungsi dengan ditunjukkannya perubahan letak obyek yang tergambar pada gambaran B‐Scannya. Pengujian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan antena, di mana antena penerima diletakkan secara tetap pada sisi receiver, sedangkan antena pemancar dihubungkan dengan kabel sepanjang 10 meter dan kemudian digerakkan maju mundur pada jarak tertentu terhadap antena penerima. Hal ini dilakukan untuk men‐simulasi delay, seolah olah terdapat obyek pemantul yang bergerak yang menyebabkan perubahan jarak lintasan gelombang radio. Dalam percobaan ini jarak antara antena pemancar‐objek pemantul‐antena penerima diwakili oleh jarak rambat antara kedua antena yang saling berhadapan. Gambar 29 menunjukkan hasil visualisasi B‐Scan nya. Gambar 27. Pengujian sistem dengan kabel loopback sepanjang 1m. 160
Gambar 28. Pengujian sistem dengan kabel loopback sepanjang 10m. Gambar 29. hasil pengujian system dengan simulasi perubahan jarak lintasan gelombang antar antenna. Gambar 30 menunjukkan berbagai konfigurasi pengujian prototype through wall radar, baik ketika dicoba untuk mendeteksi obyek, baik yang berada di balik dinding maupun tidak. 161
Gambar 30. Pengujian prototype. 162
Gambar 31. Prototype dengan sepasang antena Vivaldi Pada pengujian sistem tahap kedua, kedua antena dipasang pada tempatnya. Kemudian sebuah reflektor dengan bentuk seperti ditunjukkan oleh Gambar 32 ditempatkan dan digerakkan di depan sistem radar, tanpa ada dinding di antaranya. 163
Gambar 32. Reflektor Gambar 33. menunjukkan B‐Scan yang dihasilkan radar ketika reflektor ditempatkan di depan radar tanpa dinding yang memisahkan keduanya. Gambar 33. B‐Scan, reflektor di depan radar. 164
Gambar 34. B‐Scan, dengan reflektor bergerak menjauhi radar Gambar 34. menunjukkan B‐Scan yang dihasilkan radar ketika reflektor ditempatkan di depan radar kemudian digerakkan menjauh. Dapat diamati bahwa B‐
Scan menunjukkan perubahan yang berkorelasi denga gerakan reflektor. Namun, setelah melewati jarak tertentu reflektor tidak bisa lagi di amat dalam B‐Scan. Gambar 35. B‐Scan, dengan reflektor bergerak menjauhi radar Pada pengujian sistem tahap berikutnya, kedua antena dipasang pada tempatnya. Kemudian reflektor ditempatkan dan digerakkan di depan sistem radar, di balik dinding 165
tembok berintikan batu bata. Hasilnya ditunjukkan oleh Gambar 36. Hasil B‐Scan menunjukkan tidak ada perubahan yang berkorelasi dengan adanya/bergeraknya reflektor di balik tembok. Perubahan yang bisa kita amati adalah pengaruh gerakan orang di dalam ruangan yang sama di mana radar di tempatkan. Sinyal yang dipancarkan memiliki daya 30dBm. Dengan asumsi bahwa sinyal tersebut sudah cukup kuat, maka penerima masih belum cukup sensitif untuk menerima sinyal pantulan yang telah melewati tembok dua kali. Untuk mengatasi hal ini gain LNA perlu ditingkatkan. Gambar 36. B‐Scan, dengan reflektor di balik dinding. VII. KESIMPULAN Pengembangan hardware dan software Through Wall Radar telah dilakukan. Radar menggunakan teknologi UWB FM‐CW. Perbaikan telah dilakukan pada pembangkit chirp wideband meliputi perbaikan bandwidth LPF untuk chirp narrowband dan perbaikan loop filter. Namun pembangkit chirp wideband tetap tidak mampu menghasilkan sinyal chirp dengan grafik gigi gergaji pada fungsi frekuensi terhadap waktu. Untuk mengatas 166
kendala ini, pembangkit chirp diprogram dengan grafik segitiga dan hanya bagian sinyal di mana frekuensi naik yang digunakan. Hasil pengujian menunjukkan sistem radar, baik hardware maupun software, telah berfungsi sebagaimana mestinya. Namun, sistem masih memiiki masalah dengan senstivitas. Sistem belum mampu mendeteksi reflektor yang ditempatkan pada jarak lebih dari jarak tertentu, meskipun radar masih mampu mendeteksi objek besar di belakang reflektor. Sistem juga belum bisa mendeteksi reflektor di balk dinding tembok. Hal ini dikarenakan gain LNA yang masih terlalu kecil. Indikasi lain dari terlalu kecilnya gain LNA adalah sinyal beat yang ditimbulkan oleh kopling antara antena pemancar dan penerima yang belum terpotong (klipped). DAFTAR PUSTAKA 1. Daniels, D.J., Surface Penetrating Radar, IEE, London, 1996 2. Daniels, David J., Ground Penetrating Radar, 2nd Edision, IEE, London, 2004 3. Jol, Harry M., Ground Penetrating Radar Theory and Applications, Elsevier Science & Technology, 2009 4. Chia, M Y W, Leong S W, Sim C K, Chan K M‐ “Through‐Wall UWB Radar Operating Within FCC’s Mask for Sensing Heart Beat and Breathing Rate”, 2005 European Microwave Conference, Oct 4‐6, Paris, France. 5. Hamran, Svein‐Erik, et all., Gated UWB FMCW/SF Radar for Ground Penetration and Through the Wall Applications, NATO Publication 6. Kouemou, Guy, Radar Technology, ISBN 978‐953‐307‐029‐2, INTECH, Croatia, December 2009. 7. Aqsa, Patel, Signal Generation for FMCW Ultra‐Wideband Radar, Master of Science Thesis, Electrical Engineering and Computer Science, University of Kansas, 2009 8. Jang, B.‐J. et al., Wireless Bio‐Radar Sensor For Heartbeat And Respiration Detection, Progress In Electromagnetics Research C, Vol. 5, 149–168, 2008 167
9. D'Urso , M. et al., A Simple Strategy For Life Signs Detection Via An X‐Band Experimental Set‐Up, Progress In Electromagnetics Research C, Vol. 9, 119‐129, 2009 10. Boric‐Lubecke, Olga et al., Doppler Radar Architectures and Signal Processing for Heart Rate Extraction, Microwave Review, Decembar 2009 11. Yamaguchi, Yoshio et al., Human Body Detection in Wet Snowpack by an FM‐CW Radar, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol.30, No.1, January 1992 12. Purdy, Robert J. et al., Radar Signal Processing, Lincoln Laboratory Journal, Volume 12, Number 2, 2000 13. Yamaguchi, Yoshio et al., Detection of Objects Buried in Wet Snowpack by an FM‐
CW Radar, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol.29, No.2, March 1991 14. Millot, P. and Maaref, N., UWB FM‐CW Radar for Through‐The‐Wall Sensing, 15. Ferrier, Jean Marie, Comparison of Two UWB Techniques: Step Frequency and FMCW Technique, 16. Maaref, Nadia, FMCW Ultra‐Wideband Radar For Through‐The‐Wall Detection of Human Beings, 17. Harris, T. L. et al., Range‐Doppler Radar Signal Processing with Spectral Holography, 18. Hamran, Svein‐Erik et al., Gated UWB FMCW/SF Radar for Ground Penetration and Through the Wall Applications 19. Ivashov, S.I. et al., Detection of Human Breathing and Heartbeat by Remote Radar, Progress in Electromagnetic Research Symposium 2004, Pisa, Italy, March 28 ‐ 31 20. Immoreev, I. Y. et al., Ultra‐Wideband Radar For Remote Detection And Measurement Of Parameters Of The Moving Objects On Small Range, Ultra Wideband and Ultra Short Impulse Signals, 19‐22 September, 2004, Sevastopol, Ukraine pp. 1‐3 21. Immoreev, Igor Y., Practical Application Of Ultra‐Wideband Radars, Ultrawideband and Ultrashort Impulse Signals, 18‐22 September, 2006, Sevastopol, Ukraine 168
Download