AKOMODASI KOMUNIKASI DALAM INTERAKSI

advertisement
AKOMODASI KOMUNIKASI DALAM INTERAKSI ANTARBUDAYA
Studi Pada Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia Dalam
Mengomunikasikan Identitas Budaya
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi islam (S.Kom.I.)
Oleh
MARIA ULPA
NIM: 1111051000009
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1435 H/2014 M
ABSTRAK
AKOMODASI KOMUNIKASI DALAM INTERAKSI ANTARBUDAYA
Studi Pada Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia Dalam Mengomunikasikan
Identitas Budaya
Adanya kebutuhan yang dimiliki setiap individu mengakibatkan adanya
mobilitas sosial atau disebut dengan istilah merantau dengan beragam kepentingan
pekerjaan, pendidikan, keluarga. Begitu pula yang dialami oleh mahasiswamahasiswa yang berasala dari Patani Thailand kerena tuntutan pendidikan di
Indonesia mereka harus beradaptasi dengan lingkung barunya.
Berdasarkan latarbelakang diatas maka rumusan maslahnya adalah Bagaimana
akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya anggota HIPPI terhadap
lingkungan baru dalam mengomunikasikan identitas budayanya?,Bagaimana
hambatan penyesuaian dalam komunikasi antarbudaya pada anggota HIPPI?
Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori akomodasi
komunikasi. Richard dan Turner
mendefenisikan bahwa Akomodasi
(accommodation) sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi atau
mengatur prilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi
biasanya dilakukan secara tidak sadar. Seseorang cenderung memiliki naskah kognitif
internal yang digunakan ketika berbicara dengan orang lain.
Metodelogi dalam penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif, dengan
mengguanakan metode ini peneliti ingin menemukan dan memahami akomodasi
komunikasi yang dilakukan mahasiswa yang berasal dari Thailand terhadap
mahasiswa atau masyarakat yang ada di Jakarta yang juga berasal dari varian budaya.
Hasil peneitian bahwa akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya
pada mahasiswa yang berasal dari Patani Thailand yaitu mereka menyesuaikan dan
menunjukkan prilaku apa adanya tanpa ada modifikasi komunikasi terutama dalam
hal percakapan. Pertama dalam segi bahasa, dalam percakapan tidak adanya setting
of communication. Kedua pengungkapan identitas dalam segi pakaian. Hambatan
peneyesuaian komunikasi dalam interaksi antarbudaya yang dialami oleh mahasiswa
Patani tidak ada, hal ini karena ada dua factor kesamaan budaya yang hamper sama
yaitu dalam segi bahasa dan dalam hal kepercayaan.
Kata kunci : HIPPI, akomodasi, setting of communication
i
KATA PENGANTAR
Pertama dan yang paling utama saya ucapkan Alhamdulillahirabbil’alamin
segala puji bagi allah SWT Dzat yang tiada pernah berhenti memberi rakhmat dan
nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “AKOMODASI
KOMUNIKASI
DALAM INTERAKSI
ANTARBUDAYA
Studi
Pada
Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia Dalam Mengomunikasikan Identitas
Budaya”.
Kedua shalawat dan salam saya haturkan kepada baginda Nabi Muhammada
SAW yang telah banyak sekali berjasa bagi pekembangan bagi umat islam, yang telah
membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang menderang.
Semoga kita semua mendapat syafa’atnya di hari akhir nanti.
Skripsi ini disusun sebagaimana memenuhi salah satu syarat guna mencapai
gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) UIN Jakarta serta menerapkan dan
mengembangkan teori-teori yang penulis peroleh selama pembelajaran dikelas.
Penulis telah berusaha untuk memaparkan dan menyajikan suatu karya tulis
ilmiah yang rapi dan mudah-mudahan pembaca mudah untuk memahami. Penulis
menyadari bahwa penyajian skipsi ini sangat jauh dari kesempurnaan. Hal in
disebabkan masih terbatasnya pengetahuan, pengalaman dan kemampuan penulis
dalam melihat fakta, memecahkan masalah yang ada serta mengeluarkan gagasan
ataupun saran-saran. Oleh karena itu, segala kritik dan saran akan sangat penulis
terima dengan hati yang terbuka untuk menyempurnakan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini banyak sekali orang-orang yang telah memberikan
dorongan dan semangat kepada penulis, dan penulis mengucapkan rasa terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada :
ii
1. Kedua orang tuaku, Ibu hasanah dan Bapak Muhammad Mz yang telah
banyak memberi dukungan secara moral dan materi serta tiada henti
medoa’kan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Tak lupa
pula kepada kakakku Mukhlis Adib, we are the big hoping for our parents so
do not make the tears for it.
2. Dr. Arif Subhan, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
Suparto Ph.D, M.Ed, Wakil Dekan Bidang Akademik. Drs. Jumroni M.Si,
Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum. Drs. Wahidin Saputra M.A, Wakil
Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama.
3. Rachmat Baihaky M.A, Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu komunikasi, dan Fita Faturrohmah, M.A,
Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
4. Dr. A. Ilyas Ismail, M.A, selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberi masukan dan saran kepada penulis.
5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang selama ini
telah banyak mentransfer ilmu tanpa ada lelah membimbing dan mendidik
kami selama duduk di bangku kuliah UIN Jakarta, semoga allah membalas
semua kebaikannya barakallahufiikum, dan mudah-mudahan ilmu yang
penulis dapatkan selalu barokah dan bermanfaat di sepanjang hidup penulis.
6. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
tanpa terkecuali yang telah banyak membantu selama proses perkuliahan
sehingga kami dapat nyaman dan lancar mengikuti perkuliahan.
7. Kepada seluruh teman-teman dari Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia
(HIPPI) yang telah terbuka dan baik menerima peneliti untuk melakukan
penelitian terkhusus untuk ka aiman, ka nawawee, ka aminah, aidee, asuan,
hakim yang telah bersedia diwawancara oleh peneliti.
8. Seluruh kawan-kawan KPI 2010 dari A – G, terimakasih atas bantuan dan
kerja sama dan saling memberi dukungan satu sama lain semoga kita semua
dipermudah dalam segala urusan dan sukses.
iii
9. Keluarga PSM UIN Jakarta yang telah banyak menemani peneliti sekaligus
menjadi hiburan dalam penatnya selama kuliah dan banyak pelajaran yang
peneliti ambil dari organisasi ini semoga PSM UIN Jakarta tambah maju
kedepannya.
10. Seluruh pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu tanpa mengurangi
rasa hormat dan rasa terimakasih peneliti ucapkan yang telah banyak memberi
dukungan dan semangat.
Jakarta, 10 september 2014
Maria Ulpa
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................
v
DAFTAR TABEL.................................................................................................
vii
BAB
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..............................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................
6
D. Tinjauan Pustaka .....................................................................
7
E. Metodologi Penelitian .............................................................
9
F. Teknik Pengumpulan Data ......................................................
11
G. Teknik Analisis data ................................................................
14
H. Sistematika Penulisan .............................................................
14
II LANDASAN TEORI
A. Teori Akomodasi (accommodation Theory) ..........................
16
B.
Tahap Adaptasi Budaya .........................................................
21
C.
Bentuk- Bentuk Penyesuaian Diri ..........................................
22
D.
Pengertian Komunikasi ........................................................
23
E.
Pengertian Kebudayaan .........................................................
27
F.
Komunikasi Antarbudaya.......................................................
30
1. Identitas Budaya ...........................................................
32
2. Gegar Budaya ...............................................................
34
G. Problem Potensial Dalam Pola Komunikasi Antarbudaya 37
v
BAB
III GAMBARAN UMUM HIMPUNAN PELAJAR PATANI DI INDONESIA
(HIPPI) DAN SEKILAS PROFIL PATANI
BAB
A.
Latar Belakang HIPPI ............................................................
42
B.
Lambang HIPPI......................................................................
43
C.
Lagu HIPPI ...........................................................................
45
D.
Struktur Organisasi HIPPI Periode 2012-2013 ......................
47
E.
Nama Susunan Staff Pengurus HIPPI Periode 2012-2013 ....
48
F.
Profil Wilayah Patani
.....................................................
49
1. Peta Wilayah Patani ..........................................................
49
2. Geografi ...........................................................................
49
3. Sejarah Singkat Kerajaan Patani ......................................
50
G. Demografi .............................................................................
54
H. Simbol Wilayah Patani...........................................................
54
IV TEMUAN DAN ANALISIS
A. Akomodasi Komunikasi Dalam Interaksi Antarbudaya Dalam
BAB
Mengomunikasikan Identitas Budaya ....................................
55
1. Pengungkapan Identitas Budaya Dari Segi Bahasa ..........
56
2. Pengungkapan Identitas Budaya Dari Segi Pakaian .........
68
3. Bentuk- Bentuk Adaptasi Budaya ....................................
69
4. Tahap –Tahap Adaptasi Budaya .......................................
72
5. Asumsi-asumsi Dalam Teori Akomodasi ........................
73
B. Hambatan Dalam Adaptasi Antarbudaya ...............................
77
V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ..............................................................................
78
B. Saran .......................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
DAFTAR GAMBAR (ILUSTRASI)
1. Gambar prinsip dasar komunikasi........................................................
24
2. Gambar unsue-unsur komunikasi ........................................................
25
3. Model komunikasi antarbudaya ...........................................................
31
4. Gambar lambang HIPPI ......................................................................
44
5. Bagan struktur organisasi HIPPI periode 2012-2013...........................
47
6. Peta wilayah patani ..............................................................................
49
7. Gambar simbol wilayah Patani ............................................................
55
8. Foto pembekalan materi tentang bahasa Indonesia ketika orientasi ....
60
9. Foto pembekalan mental ketika orientasi penerimaan anggota baru
HIPPI ....................................................................................................
61
10. Foto kegiatan ruitin yasinan dan khutbah ............................................
62
11. Gambar tulisan Jawi (arab melayu)......................................................
63
12. Gambar tulisan siam .............................................................................
60
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adanya kebutuhan yang tertentu yang dimiliki setiap individu mengakibatkan
banyak orang melakukan mobilitas sosial. Salah satunya kebutuhan pendidikan
misalnya yang terjadi pada mahasiswa Thailand terhimpun dalam salah satu
perhimpunan yang dinamakan HIPPI (Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia). HIPPI
didirikan pada tahun 2011 yang beranggotakan sekitar 50 orang yang tersebar
dibeberapa perguruan tinggi yang ada di Jakarta, seperti UIN syarif Hhidayatullah
Jakarta, UHAMKA, UMJ dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Mobilitas yang
dilakukan anggota HIPPI memungkinkan mereka untuk saling berinteraksi dengan
mahasiswa-mahasiswa, masyarakat di lingkungan barunya yang saling berbeda
budaya di Jakarta khususnya, inilah yang menyebabkan terjadinya komunikasi
antarbudaya. Setiap orang tentunya ingin mencapai komunikasi yang efektif ketika
berinteraksi dengan orang lain, begitu pula pada mahasiswa yang berasal dari
Thailand ini sebagai mahasiswa asing yang tinggal di Negara yang secara
latarbelakang berbeda budaya.
Apabila kita bertanya mengenai apakah yang membedakan manusia dari
hewan secara fundamentil maka jawabannya adalah bahwa bahwa manusia itu
mampu berbudaya, sedang hewan tidak.
1
Aristoteles berpendapat bahwa manusia
adalah zoon politikon yaitu makhluk sosial yang menyukai hidup bergolongan atau
1
Harsojo, pengantar antropologi, bandung 1966, hal. 109
2
sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama lebih suka daripada hidup sendiri.
Lain lagi dengan aristoteles maka Bergson (lahir 1859) berependapat bahwa manusia
ini hidup bersama bukan oleh karena persamaan, melainkan oleh karena perbedaan
yang terdapat dalam sifat, kedudukan dan sebagainya.2
Sebagai makhluk sosial manusia ingin berhubungan dengan manusia lainnya.
Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi
dalam dirinya, rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu berkomunikasi.3Esensi
komunikasi terletak pada proses yakni aktivitas yang melayani hubungan antara
pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Komunikasi merupakan
pusat dari seluruh sikap, prilaku dan tindakan yang terampil dari manusia
(communication involves both attitudes and skills). Manusia tidak bisa dikatakan
berinteraksi sosial kalau di tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran
informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbolsimbol dengan orang lain.4
Perbedaan, kekhasan dan keunikan merupakan keniscayaan yang ada dimanamana ; pada orang kembar, keluarga, komunitas dan masyarakat sehingga kemanapun
kita pergi menemui perbedaan dan kita harus menerima dengan lapang dada dan
ikhlas. Keikhlasan kita tercermin dari menerima dan memberi ruang dan peluang
kepada orang lain yang berbeda pendapat, kelompok dan komunitas. Perbedaan, jenis
2
Hassan Shadily, Sosiologi untuk masyarakat Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 56
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu komunikasi, PT Rajagrafindo, Jakarta, 2007, hal. 1
4
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya,pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal. 5
3
3
kelamin, kebangsaan dan suku agar kamu saling mengenal dan paling mulia orang
bertakwa sebagai mana dalam qur’an surat Al-Hujrat: 13 :5
َ‫خلَقْناَكُمْ ِّمنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثىَ وَ جَ َعلْنَاكُمْ شُعُىْباً وَ قَبَائِل‬
َ َ‫يَا أَيُهاَ النَاسُ إِنا‬
ْ‫لِتَعَارَفُى‬
Artinya : Wahai manusia sungguh kami telah menciptkan kamu dari seorang
laki-laki dan perempuan kemudian kami jadikan kamu bernangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Budaya berkenaan dengan cara hidup manusia hidup. Manusia belajar
berpikir, merasa dan mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut
budayanya. Bahasa persahabatan, kebiasaann makan, praktik komunikasi, tinadakantindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi, semua itu
berdasarkan pola-pola budaya. Ada orang-orang yang berbicara bahasa tagalog,
memakan ular, menghindari minuman keras terbuat dari anggur, menguburkan orangorang yang mati, berbicara melalui telepon, atau meluncurkan roket ke bulan, ini
semua karena mereka telah dilahirkan atau sekurang-kurangnya dibesarkan dalam
suatu budaya yang mengandung insur –unsur tersebut. Apayang orang-orang lakukan,
bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka hidup dan berkomunikasi,
merupakan respon-respon terhadap dan fungsi-fungsi dari budaya mereka.6
5
Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi , UIN Jakarta press, Ciputat, 2003, hal. 169
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, PT REMAJA ROSDAKARYA,
Bandung, 2009, hal. 18
6
4
Inheren dalam perpaduan antarbudaya adalah gagasan bahwa komunikasi
antarbudaya memerlukan penelitian tentang budaya dan kesulitan-kesulitan
berkomunikasi dengan pihak-pihak yang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya
terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu budaya dan penerima pesannya
adalah anggota dari suatu budaya lain.7
Pemahaman mengenai komunikasi dan kebudayaan yang cukup luas dan
kompleks, lebih mudah dimengerti melalui upaya introspeksi pengalaman pergaulan
hidup anda sehari-hari di lingkungan keluarga, batak, bugis ataupun makasar.
Masing-masing prilaku adat kebiasaan anda dengan prilaku anda, teman atau orang
lain. Hal itu terjadi karena perbedaan latar belakang dan nilai-nilai seperti nilai
agama, kebudayaan, keyakinan, sikap maupun norma (kaidah) hidup. Prilaku
komunikasi, berlangsung satu sama lain dengan sengaja atau tidak. Nilai-nilai agama,
kebudayaan, dan norma-norma, berlaku sebagai pedoman prilaku yang melatar
belakangnya dengan tidak disadari sehingga menjadi acuan prilaku komunikasi
sesorang. Komunikasi akan lancar, jika orang-orang yang terlibat di dalamnya
mempunyai latar belakang budaya yang sama.8
Penelitian ini menjelaskan suatu proses adaptasi antarbudaya dengan adanya
bentuk akomodasi komunikasi. Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk
menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya
7
8
Ibid., hal. 12
Buku materi pokok (modul), komunikasi antar budaya, Universitas Terbuka, hal. 2.1
5
terhadap orang lain.9 Communication Accomodation Theory (CAT) memberikan
perhatian pada interaksi memahami antara orang-orang dari kelompok yang berbeda
dengan menilai bahasa, perilaku nonverbal dan penggunaan paralinguistik individu,
dalam hal ini kelompok mahasiswa yang berasal dari Thailand. Kemampuan
mahasiswa Thailand berinterkasi dengan mahasiswa atau masyarakat di Jakarta
khususnya tidak selalu lancar dikarenakan perbedaan dari mulai bahasa, prilaku
verbal dan nonverbal, mau tidak mau agar komunikasi tersebut bisa berjalan dengan
efektif seharusnya antara mahasiswa Thailand dengan mahasiswa atau masyarakat
yang di Jakarta khusunya salah satunya harus melakukan akomodasi. Yang ingin
dilihat peneiti dalam penelitian ini apakah mahasiswa yang berasal dari Thailand ini
melakukan akomodasi ketika berinteraksi dengan mahasiswa atau masyarakat di
Jakarta khususnya. Oleh karean itu dari latar belakang diatas peneliti menarik judul
“AKOMODASI KOMUNIKASI DALAM INTERAKSI ANTARBUDAYA
(Studi Pada Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia Dalam Mengomunikasikan
Identitas Budaya)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.
Pembatasan Masalah
Batasan masalah dalam sebuah penelitian itu penting terkait dengan
spesifikasi dari apa yang ingin diteliti dalam sebuah penelitian. Batasan masalah
dalam penelitian ini yaitu mahasiswa yang berasal dari Thailand yang tinggal di
Jakarta yang kuliah di Perguruan Tinggi di Jakarta yaitu di UIN Syarif Hidayatullah
9
West, Richard dan H. Turner, Lynn., (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar
Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hal. 217
6
Jakarta, UHAMKA, UMJ dan mereka sudah terhimpun dalam komunitas HIPPI
(Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia) periode 2012-2013.
2.
Perumusan Masalah
Adapun berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka
peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya anggota
HIPPI terhadap lingkungan baru dalam mengomunikasikan identitas
budayanya?
b. Bagaimana hambatan penyesuaian dalam komunikasi antarbudaya pada
anggota HIPPI?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya
anggota HIPPI terhadap lingkungan baru dalam mengomunikasikan identitas
budayanya.
b. Untuk mengetahui hambatan anggota HIPPI ketika melakukan akomodasi
dalam berinteraksi dengan lingkungan baru dalam mengomunikasikan
identitas budayanya.
1. Manfaat Penelitian
a. Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya
wahana ilmu pengetahuan khususnya bagi pelajar dan mahasiswa yang
7
menggeluti bidang komunikasi Antarbudaya sebagai salah satu tinjauan untuk
meneliti tentang bagaimana fenomena komunikasi antarbudaya dalam
berbagai daerah tertentu.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman bahwa dalam
menghadapi komunikasi dengan orang yang berbeda budaya, karena esensi
dari komunikasi itu sangat penting terhadap keberhasilan suatu tujuan yang
akan kita capai khususnya bagi para mahasiswa-mahasiswa yang rantau baik
lokal maupun internasional seperti pada mahasiswa Thailand yang tergabung
dalam HIPPI dalam berinteraksi dengan maahasiswa atau masyarakat di
lingkungan barunya yaitu di Jakarta khususnya yang berasal dari berbagai
varian latar belakang yang berbeda. Dalam penelitian ini peneiti akan
menganalisis interaksi
mahasiswa yang berasal dari Thailand dengan
mahasiswa, masyarakat di lingkungan barunya yang ada di Jakarta khususnya
dengan tinjauan teori akomodasi komunikasi. Dengan penelitian ini pembaca
atau masyarakat luas diharapkan dapat memahami dan membentuk
komunikasi yang efektif khususnya penyesuaian/ akomodasi terhadap lawan
bicara.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka sebagai bahan persamaan dan perbedaan dalam penelitian
ini penulis melihat beberapa penelitian komunikasi yang berkaitan dengan judul
8
dalam penelitian ini yang tertulis didalam buku Deddy Mulyana dan Solatun
diantaranya:
2. Siti Asiyah menulis tentang “ POLA KOMUNIKASI ANTAR UMAT
BERAGAMA ( Studi Kasus Antarbudaya Tionghua dengan Muslim Pribumi
di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang ). Persamaan dalam penelitian ini
yaitu sama-sama meneliti tentang komunikasi antarbudaya Tionghua dengan
pribumi hanya saja perbedaan dalam objek penelitian. Dalam tulisan skripsis
Siti ini menyimpulkan bahwa pola komunikasi antara etnis Tionghua dengan
muslim pribumi umumnya terdiri dari pola komunikasi antarpribadi dan
kelompok baik dalam lingkungan keluarga maupun bermasyarakat terutama
ketika mereka saling bertemu di jalan, atau sedang terlibat dalam proses jual
beli.10
3. Raden Dimas Anugrah Dwi Satria menulis tentang “ KOMUNIKASI
ANTARBUDAYA MASYARAKAT ADAT BADUY DALAM DENGAN
MASYARAKAT LUAR BADUY DI BANTEN “. Raden menyimpulkan
bahwa, pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat Baduy dalam dan luar
sangatlah baik dan teratur karena mereka betul-betul mentaati peraturan adat
yang telah dibuat orang para lelulur adat mereka.11
4. Ani Belasa Fitri menulis tentang “ Pesan Komunikasi Antarbudaya Seni
Musik Gong Si Bolong Pada Masyarakat Kota Depok. Ani menyimpulkan
10
Siti Asiyah, pola komunikasi antar umat beragama (studi komunikasi antarbudaya tionghua dengan
muslim pribumi di RW 04 kelurahan Mekarsari Tangerang), KPI UIN Jakarta, 2013
11
Raden Dimas Anugrah, komunikasi antar budaya masyarakat baduy dalam dengan masyarakat luar
baduy di banten, KPI UIN Jakarta, 2013
9
bahwa, seni musik Gong Si Bolong selalu meninggalkan pesan bermakna,
vesan verbal melalui lagu dan pesan non verbal melalui musik gamelan Gong
Si Bolong. Ani menjelaskan dengan menggunakan teknik pengolahan pesan
dari Cassandra bersifat persuasive dan teori semantik dari Osgood tiga
dimensi.
1. Metodelogi Penelitian
Metodelogi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk
mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodelogi adalah
adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topic penelitian. Metodelogi
dipengaruhi berdasarkan perspektif teoritis yang kita gunakan untuk melakukan
penelitian, sementara perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu kerangkan penjelasan
atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami bagaimana data dan
menghubungkan data yang rumit dengan pristiwa dan situasi lain.12
1.
Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Cresswell (1998:
15) mendefenisikan penelitian kualitatif yang kurang bertumpu pada sumber-sumber
informasi, tetapi membawa ide-ide yang sama:
“Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct
methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The
researcher build a complex, holistic picture, analyzes word, report detailed views of
informants and conducts the study in a natural setting”.
12
Dirga Maulana, relasi media dan politik: analisis terhadap tvone dan kepentingan politik pemilik,
skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, (UIN Jakarta, 2013)
10
Creswell menekankan suatu ganbaran yang kompleks dan holistic, suatu
rujukan pada naratif yang kompleks yang mengajak pembaca kedalam dimensi jamak
dari sebuah masalahatau isu dan menyajikannya dalam kompleksitasnya.13
Pendekatan kualitatif mengarahkan kepada pemahaman yang lebih luas
tentang makna dan konteks tingkah laku dan proses yang terjadi dalam pola-pola
amatan dari factor-faktor berhubungan. Pendekatan itu juga menelaah bebagai
persepsi yang dimiliki partisipan pada situasi yang sama dan memungkinkan peneliti
menelaah sejarah personal dan factor-faktor yang berkembang.14
Penelitian ini bersifat deskriptif. deskriptif adalah penelitian yang bertujuan
melukiskan atau memaparkan suatu objek, misalnya suatu gejala atau fenomena
sosial berdasarkan teori akomodasi komunikasi. Pada jenis penelitian ini, seorang
peneliti tidak mencari atau menjelaskan hubungan antara variablel, tidak menguji
hipotesis atau membuat prediksi. Penelitian deskriptif menghasilkan informasi yang
dapat digunakan untuk mengembangkan teori atau untuk mengidetifikasi pertanyaan
untuk diteliti lebih lanjut. Karena itu metode penelitian deskriptif tidak bertujuan
menguji teori.15
Penelitian kualitatif adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan lebih
mengambil bentuk kata-kata atau gambar daripada angka-angka. Hasil penelitian
tertulis berisi kutipan-kutipan dari data untuk mengilustrasikan dan menyediakan
bukti persentasi. Data tersebut mencakup transkip wawancara, catatan lapangan,
13
Ibid., h. 2
Julia brannen, memadu metode penelitian,Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2002, hal.117
15
Wawan Ruswanto, penelitian komunikasi, penerbit universitas terbuka, Jakarta,1995, cet-I, hal. 23
14
11
fotografi, videotape, dokumen pribadi, memo, dan rekaman-rekaman resmi lainnya.
Dalam pencarian mereka untuk pemahaman, peneliti kualitatif tidak mereduksi
halaman demi halaman dari narasi dan dan data lain kedalam symbol-simbol
numerik. Mereka mencoba menganalisis data dengan segala kekayaan sedapat dan
sedekat mungkin dengan bentuk rekaman dan transkipnya.16
Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena dengan mengguanakan
metode ini peneliti ingin menemukan dan memahami akomodasi komunikasi yang
dilakukan mahasiswa yang berasal dari Thailand terhadap mahasiswa atau
masyarakat yang ada di Jakarta yang juga berasal dari varian budaya, peneliti ingin
mendeskripsikan hasil-hasil temuan itu dengan menggunakan metode ini. Metode ini
juga digunakan atau dipakai untuk mencapai dan memperoleh suatu cerita, pandangan
yang segar dan cerita mengenai segala sesuatu yang sebagian besar sudah dan dapat
diketahui dan dengan metode ini peneliti mampu untuk memberikan penjelasan suatu
penjelasan secara terperinci tentang fenenomena yang sulit disampaikan dengan
dengan metode kuantitatif.17
2. Teknik Pengumpulan Data
Observasi, wawancara, dokumen pribadi dan resmi, foto, rekaman,
gambar dan percakapan informal semua merupakam sumber data kualitatif.
Sumber yang paling umum digunakan adalah observasi, wawancara dan
dokumen, kadang-kadang dipergunakan secara bersama-sama dan kadang-kadang
16
Emzir, metodelogi penelitian kualitatif analisis data, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta,
2012, cet. Ke-3, hal 3
17
Anselm Strauss & Juliet Corbin, dasar-dasar penelitian kualitatif, PT Bina Ilmu Offset, Surabaya,
hal.13
12
secara individual. semua jenis data ini memiliki satu aspek kunci secara umum:
analisisnya terutama tergantung pada keterampilan integrative dan interpretif dari
peneliti. Interpretasi diperlukan karena data yang dikumpulkan jarang berbentuk
angka dan karena data kaya rincian dan panjang.18
a. Instrument penelitian
1. wawancara
Instrument yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah wawancara yang
merupakan instrument utama dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan
teori yang ada dalam penelitian ini. Pertanyaan yang peneliti ajukan bisa saja berubah
ditengah-tengah wawancara sesuai dengan alur jawaban yang diberikan responden
terkait dengan permasalahan dan pertanyaan-pertanyaan yang penulis buat hanya
sebagai sebuah garis besar atau kisi-kisi bukan menjadi acuan utama dalam
wawancara.Wawancara ini peneliti lakukan secara tidak terstruktur (unstructured
interview), seperti dalam buku sugiono memahami penelitian kualitatif, bahwa
wawancara ini pedoman yang digunakan hanya berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan. Dalam wawancara tidak terstruktur ini peneliti
belum mengetahui secara pasti data apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti lebih
banyak mendengarkan apa yang diceritakan oleh responden dan berdasarkan analisis
18
Emzir, metodelogi penelitian kualitatif analisis data, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta,
2012, cet. Ke-3, hal. 37
13
terhadap satiap jawaban dari responden tersebut maka peneliti mengajukan berbagai
pertanyaan berikutnya pada suatu tujuan.19
Untuk pemilihan responden sebenarnya semua anggota dari HIPPI berhak
menjadi responden, tetapi karena penelitian ini studi pada sebuah himpunan yang
tergabung dalam sebuah organisasi maka peneliti mengambil responden dari
ketua HIPPI untuk menggali data dari terbentuknya HIPPI kemudian beberapa
orang anggota HIPPI yang menurut peneliti orang-orang tersebut dapat
mengartikulasikan pertanyaan-pertanyaan pada saat wawancara dilakukan, jadi
jumlah informan yang peneliti lakukan sebanyak lima orang.
2. observasi
observasi yang peneliti lakukan yaitu mengamati seluruh gerak kegiatan
mereka dalam berkomunikasi baik sesama yang berasal dari Thailand maupun
dengan teman-teman Indonesia. Observasi ini walaupun peneliti tidak melakukan
observasi partisipan dengan kata lain peneliti tidak tinggal bersama dalam kurun
waktu tertentu seperti yang dilakukan peneliti etnometodelogi lainnya, tetapi
peneliti sedikit menggunakan teknik itu misalnya hadir diacara-acara yang
diselenggarakan oleh HIPPI misalnya menghadiri diskusi, acara-acara perayaan
hari besar islam, berkunjung sesuai dengan kebutuhan apa yang ingin diperoleh
dalam penelitian ini. Dengan sering bergaul dengan mereka peneliti mempunyai
peluang untuk mengamati gerak-gerik mereka dan bagaimana mereka berinteraksi
dengan orang-orang disekitar mereka, termasuk orang-orang Indonesia.
19
Sugiono, memahami penelitian kualitatif, Alfabeta, bandung, 2010, hal.74
14
3. Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini dengan mendokumentasika beberapa kegiatankegiatan selama observasi dilakukan juga beberapa kajian dokumen-dokumen
yang peneliti peroleh dari HIPPI, dokumen yang berkaitan dengan judul yang
akan peneliti bahas dalam penelitian ini yang peneliti
3. Teknik Analisi Data
Setelah
memperoleh data dari hasil wawancara, observasi dan
dokumentasi kemudian peneliti sesuai dengan pendekatan kualitatif yang
kemudian diuraikan secara deskriptif secara structural dan gabungan
kemudian dianalisis serta dilakukan interpretasi. Peneliti
tidak akan
menganalis berdasarkan angka-angka tetapi lebih kepada bentuk narasi,
deskripsi dan cerita.
4. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan serta teraturnya penulisan skripsi ini maka peneliti
membuat sistematika penulisan dengan memberi gambaran yang jelas serta lebih
terararh mengenai pokok permasalahan yang dijadikan pokok dalam skripsi ini, maka
peneliti mengelompokkan dalam lima bab pembahasan :
BAB I PENDAHULUAN, dalam pendahauluan ini mencakup latar belakang
masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
15
pustaka, metodelogi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan
sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI, dalam bab ini mencakup teori-teori yang
relevan digunakan dalam penulisan skripsi untuk menganalisa dan merancang sistem
yang diperoleh dari berbagai hasil wawancara mendalam. Yang menjadi landasan
penulisan skripsi ini diantaranya mengenai pengertian dari teori akomodasi
komunikasi, interaksi dan komunikasi antarbudaya.
BAB III GAMBARAN UMUM Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia
(HIPPI) dan Sekilas Profil Patani
Dalam bab ini berupa gambaran umum tentang HIPPI dari mulai sejarah
terbentuknya, struktur organisasinya, visi dan misi dan nilai-nilai budaya di Thailand
khususnya daerah Patani serta sekilas dari sejarah kerajaan Patani.
BAB IV ANALISIS dan INTERPRETASI, dalam bab ini akan membahas
dari hasil-hasil temuan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, wawancara dan
observasi peneliti yang kemudian akan di kombinasikan sesuai dengan teori yang ada
dan kemudian akan dilakukan interpretasi terkait pembahasan penelitian.
BAB V KESIMPULAN, bab ini adalah peneliti memberikan kesimpulan dan
saran selama penelitian ini dilakukan dalam bentuk skripsi.
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Akomodasi (Accommodation Theory)
Teori ini merupakan salah satu teori tentang prilaku komunikasi yang sangat
berpengaruh. Teori ini dirumuskan oleh Howard Giles dan para koleganya, teori
akomodasi menjelaskan bagaimana dan kenapa kita menyesuaikan prilaku
komunikasi kita terhadap tindakan orang lain.20 Richard dan Turner mendefenisikan
bahwa Akomodasi (accommodation) sebagai kemampuan untuk menyesuaikan,
memodifikasi atau mengatur prilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain.
Akomodasi biasanya dilakukan secara tidak sadar. Seseorang cenderung memiliki
naskah kognitif internal yang digunakan ketika berbicara dengan orang lain.21
Dalam ilmu sosiologi, istilah “akomodasi” digunakan dalam dua arti, yaitu
menunjuk pada suatu keadaan dan menunjuk pada suatu proses. Sebagai suatu
keadaan, akomodasi mengacu pada terjadinya suatu keseimbangan (equilibrium)
dalam interaksi antar orang-perorang atau kelompok-kelompok manusia dalam
kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam
masyarakat. Sedangkan sebagai suatu proses, akomodasi berarti tindakan aktif yang
20
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Jakarta : Salemba Humanika, 2009,
hal. 222
21
West, Richard dan H. Turner, Lynn., (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar
Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hal. 217
17
dilakukan untuk menerima kepentingan yang berbeda dalam rangka meredakan suatu
pertentangan yang terjadi.22
Para sosiolog menggunakan istilah “akomodasi” sebagai suatu pengertian
untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama
artinya dengan pengertian adaptasi (adaptation). Istilah “adaptasi” diadopsi dari
istilah dalam ilmu biologi, yang berarti suatu proses ketika mahkluk hidup selalu
menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Dalam konteks sosial, adaptasi dipahami
sebagai suatu proses ketika penyesuaian diri dapat dilakukan oleh individu atau
kelompok-kelompok yang mula-mula saling bertentangan, dengan cara menyesuaikan
diri dengan kepentingan yang berbeda dalam situasi tertentu.23
Alo menyatakan bahwa Komunikasi antarbudaya mengharuskan setiap
pelakunya berusaha mendapatkan, mempertahankan dan mengembangkan aspekaspek kognitif bersama. Seseorang harus mengetahui keberadaan budaya yang
menjadi latarbelakang kehidupannya, seseorang itupun harus berusaha untuk
mendapatkan dan memahami latar belakang budaya orang lain. Pengetahuan itu
diperoleh dari informasi tentang kebudayaan orang lain, pengalaman pergaulan yang
terus-menerus sehingga pengalaman itu dapat memengaruhi persepsi sikap
sesesorang terhadap orang lain .24
Menurut
Giles
Nikolas
Coupland
dan
Justine
Coupland
(1991)
mendefenisikan konvergensi (convergence) sebagai “strategi dimana individu
22
Nurani Soyomukti, pangantar sosiologi, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2010, hal. 343
Ibid., hal. 343
24
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal. 260
23
18
beradaptasi terhadap prilaku komunikatif satu sama lain”. Orang akan beradaptasi
terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata dan prilaku verbal dan
nonverbal lainnya. Konvergensi merupakan proses yang selektif, seseorang tidak
selalu memilih untuk menggunakan strategi konvergen dengan orang lain. Ketika
orang melakukan konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka mengenai
tuturan atau prilaku orang lain.25
Dalam buku Richard, Giles menyebutkan bahwa Akomodasi adalah proses
yang opsional dimana dua komunikator memutuskan apakah untuk mengakomodasi,
salah satu, atau tidak keduanya. Giles percaya bahwa pembicara terkadang
menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal diantara diri mereka sendiri dan orang
lain. Ia menyebut hal ini divergensi (divergence). Divergensi sangat berbeda dengan
konvergensi dalam hal bahwa ini merupakan proses disosiasi. Alih-alih menunjukkan
bagaimana dua pembicara mirip dalam hal kecepatan bicara, tindak-tanduk atau
postur, divergensi adalah ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukkan persamaan
antara para pembicara. Dengan kata lain, dua orang berbicara dengan Satu sama lain
tanpa adanya kekhawatiran mengenai mengakomodasi satu sama lain.26
Morisson mengutarakan bahwa akomodasi baik pada konvergensi maupun
divergensi dapat terjadi pada semua prilaku komunikasi melalui percakapan termasuk
kesamaan atau perbedaan dalam hal intonasi suara, kecepatan, aksen, volume suara,
kata-kata, tata bahasa, gerak tubuh dan lain-lain. Konvergensi dan divergensi dapat
25
West, Richard dan H. Turner Lynn., (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar
Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hal. 222
26
Ibid., hal. 226
19
bersifat mutual, kedua pembicara menjadi sama-sama menyatu atau sama-sama
menjauh atau bersifat nonmutual, salah seorang pembicara menyatu dan pembicara
lainnya menjauh. Konvergensi dapat juga bersifat “sebagian” (partial) atau “lengkap”
(complete).27
Morisson juga menambahkan bahwa konvergensi adakalanya disukai dan
mendapatkan apresiasi atau sebaliknya tidak disukai. Orang cenderung memberikan
respon positif kepada orang lain yang berupaya mengikuti atau meniru gaya bicara
atau pilihan kata-katanya, tetapi orang tidak menyukai terlalu banyak konvergensi,
khususnya jika hal itu tidak disukai atau tidak pantas. Dalam hal ini, seseorang yang
tidak meniru gaya bicara lawan bicaranya tetapi meniru hal lain yang dianggap sama
dengan lawan bicara (stereotype) dapat menimbulkan masalah.28
A. Asumsi- Asumsi Teori Akomodasi Komunikasi
Richard dan Turner mengidentifikasikan beberapa asumsi yang mengatakan
bahwa akomodasi dipengaruhi oleh beberapa keadaan personal, situasional dan
budaya, diantaranya:29
Asumsi pertama,. Banyak prinsip Teori Akomodasi Komunikasi berpijak
pada keyakinan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan di antara para komunikator
dalam sebuah percakapan. Pengalaman- Persamaan dan perbedaan berbicara dan
perilaku terdapat di dalam semua percakapan pengalaman dan latar belakang yang
27
Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, Jakarta, Prenada Media Group, 2013, cet-1,
hal. 211
28
Ibid., hal. 212
29
Ibid., hal. 220
20
bervariasi ini akan menentukan sejauh mana orang akan mengakomodasikan oran
lain. Semakin mirip sikap dan keyakinan kita dengan orang lain, makin kita tertarik
kepada dan mengakomodasi orang lain tersebut.
Asumsi kedua, cara kita memersepsikan tuturan dan prilaku orang lain akan
menentukan bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan. Asumsi ini terletak
baik pada persepsi maupun evaluasi. Akomodasi Komunikasi adalah teori yang
mementingkan bagaimana orang memersepsikan dan mengevaluasi apa yang terjadi
di
dalam sebuah percakapan. Persepsi
menginterpretasikan
pesan,
sedangkan
adalah proses memerhatikan dan
evaluasi
merupakan
proses
menilai
percakapan. Orang pertama-tama memersepsikan apa yang terjadi di dalam
percakapan (misalnya, kemampuan berbicara orang satunya) sebelum mereka
memutuskan bagaimana mereka akan berperilaku dalam percakapan.
Asumsi yang ketiga, berkaitan dengan dampak yang memiliki bahasa tehadap
orang lain. Secara khusus, bahasa memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan
status dan keanggotaan kelompok diantara para komunikator dalam sebuah
percakapan. Pikirkan apa yang terjadi ketika dua orang yang berbicara dalam bahasa
yang berbeda berusaha untuk berkomunikasi dengan satu sama lain. Bahasa yang
digunakan dalam percakapan, karenanya, akan cenderung merefleksikan individu
dengan status sosial yang lebih tinggi. Selain itu, keanggotaan kelompok menjadi hal
yang penting karena sebagaimana dapat ditarik dari kutipan ini terdapat keinginan
untuk menjadi bagian dari kelompok yang “dominan”.30
30
Ibid., hal. 221.
21
Terakhir asumsi keempat, berfokus pada norma dan isu mengenai kepantasan
sosial. Kita telah melihat bahwa akomodasi dapat bervariasi dalam kepantasan sosial.
Tentu saja terdapat saat-saat ketika mengakomodasi tidaklah pantas.
B. Tahap Adaptasi Budaya
Ada banyak usaha telah dilakukan untuk mengurai dan menggambar tahapan
adaptasi budaya. Sejumlah tulisan menunjukkan bahwa umumnya ada empat
adaptasi:
1. Tahap 1 adalah priode “bulan madu”, saat mana individu menyesuaikan diri
dengan budaya baru yang menyenangkan karena penuh dengan orang-orang
baru, serta lingkungan dan situasi baru.
2. Tahap 2 adalah masa dimana daya tarik dan kebaruan sering berubah menjadi
frustasi,
cemas,
dan
bahkan
permusuhan,
karena
kenyataan
hidup
dilingkungan atau keadaan yang asing menjadi lebih terlihat.
3. Tahap 3 menandai dimulanya proses penyesuaian kembali, karena masingmasing mulai mengembangkan cara-cara mengatasi frustasi mereka dan
menghadapi tantangan situasi baru.
4. Tahap 4, penyesuaian kembali berlanjut. Selama periode ini mungkin akan
muncul beberapa macam hasil. Petama, banyak orang memperoleh kembali
level keseimbangan dan kenyamanan, mengembangkan hubungan yang penuh
makna dan sebuah penghargaan baru bagi budaya baru. Kedua, ada orang
yang tidak bisa sepenuhnya menerima budaya baru, tetapi ia bisa menemukan
cara yang baik untuk mengatasi persoalan guna meraih tujuan secara memadai
22
. ketiga adalah menemukan cara untuk melakukan yang terbaik meskipun
secara subtansial disertai dengan ketegangan.
C. Bentuk-Bentuk Penyesuaian Diri31
Bentuk-bentuk penyesuaian diri itu bisa diklasifikasikan dalam dua kelompok,
yaitu, (a) yang adptive dan (b) yang adjustive.
a. Yang adaptive
Bentuk penyesuaian diri yang adaptive sering dikenal dengan istilah adaptasi.
Bentuk penyesuaian diri ini lebih bersifat badani. Artinya, perubahan-perubahan
dalam proses badani untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan.
Misalnya berkeringat adalah usaha tubuh untuk mendinginkan tubuh dari suhu yang
panas atau dirasakan terlalu panas.
b. Yang adjustive
Bentuk penyesuaian yang lain, yang tersangkut kehidupan psikis kita,
biasanya disebut sebagai bentuk penyesuaian yang adjustive. Karena tersangkutnya
kehidupan psikis dalam penyesuaian yang adjustive ini, dengan sendirinya
penyesuaian ini berhubungan dengan tingkah laku. Sebagaimana kita ketahui ,
tingkah laku manusia sebagian besar dilatarbelakangi oleh hal-hal psikis ini, kecuali
tingkah laku tertentu dalam bentuk-bentuk gerakan yang sudah menjadi kebiasaan
atau gerakan-gerakan refleks. Maka penyesuian ini adalah penyesuaian diri tingkah
laku terhadap lingkungan yang dalam lingkungan ini terdapat aturan-aturan atau
norma-norma. Singkatnya penyesuaian terhadap norma-norma.
31
Alex Sobur, Psikologi Umum, bandung : cv Pustaka Setia, 2003, hal. 529
23
D. PENGERTIAN KOMUNIKASI
Secara etimologis atau menurut asal katanya, istilah komunikasi berasal dari
bahasa latin communicatio dan perkataan ini bersumber pada kata communis yang
artinya sama dalam arti kata sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal. Jadi
komunikasi berlangsung antara orang-orang yang terlibat kesamaan makna mengenai
suatu hal yang dikomunikasikan. Secara terminologis komunikasi berarti proses
penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.
Secara paradigmatis, komunikasi mengandung tujuan tertentu, ada yang
dilakukan secara lisan, secara tatap muka atau melalui media massa baik cetak
maupun elektronik. Jadi komunikasi secara paradigmatic bersifat intensional
(intentional), mengandung tujuan, karena itu harus dilakukan dengan perencanaan.32
Selain itu penulis akan mengemukakan beberapa defenisi komunikasi yang
dikemukakan oleh beberapa pakar komunikasi yang ditulis dalam buku Deddy
Mulyana :33
Bernard Barelson dan Gary A. Steiner mendefenisikan bahwa komunikasi
adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya dengan
menggunakan symbol-simbol, kata-kata, gambar, figure, grafik dan sebagainya.
Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi.
32
Onong Uchjana Effendy, dinamika komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008, cet-7, hal.
3
33
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010, cet-14, hal. 68
24
Theodore M. Newcomb mendefenisikan bahwa setiap tindakan komunikasi
dipandang sebagai suatu transmisi informasi, terdiri dari rangsangan yang
diskriminatif dari sumber kepada penerima.
Carl
I.
Hovland
mengemukakan
komunikasi
adalah
proses
yang
memungkinkan seseorang (komunikastor) menyampaikan rangsangan (biasanya
lambing-lambang verbal) untuk mengubah prilaku orang lain (komunikate).
Gerald R. Miller mengungkapkan komunikasi terjadi ketika suatu sumber
menyampainkan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk
mempengaruhu prilaku penerima.
1. Prinsip-Prinsip Komunikasi34
Kesamaan dalam berkomunikasi dapat diibaratkan dua buah lingkaran yang
bertindihan satu sama lain daerah yang bertindih itu disebut kerangka pengalaman
(field of experience), yang menunjukkan adanya persamaan antara A dan B dalam hal
tertentu, misalnya bahasa atau symbol.
A
B
Gambar 1 : prinsip dasar komunikasi
Dari gambar diatas kita dapat menarik tiga prinsip dasar komunikasi :
34
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikas, Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2005, cet-6, hal. 20
25
1. Komunikasi hanya bisa terjadi bila terdapat pertukaran pengalaman yang
sama antar pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi (sharing
similar of experiences).
2. Jika daerah tumpang tindih (the field of experience) menyebar menutupi
lingkaran A atau B, menuju terbentuknya satu lingkaran yang sama, maka
makin besar kemungkinannya tercipta suatu proses komunikasi yang mengena
(efektif).
3. Tetapi kalau tumpang tindih ini makin mengecil dan menjauhi sentuhan kedua
lingkaran, atau cebderung mengisolasi lingkaran masing-masin, maka
komunikasi yang terjadi sangat terbatas. Bahkan besar kemungkinannya gagal
dalam menciptakan suatu proses komunikasi yang efektif.
2. Unsur-Unsur Komunikasi 35
sumber
pesan
media
Penerima
efek
efek
Umpan balik
lingkungan
Gambar 2
Sumber (source)
Semua pristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau
pengirim informasi. Dalam komunkasi antarmanusia, sumber bisa terdiri dari satu
35
Ibid, hal. 24
26
orang, tetapi bisa juga dalam bentuk kelompok misalnya partai, organisasi atau
lembaga. Sumber sering disebut pengirim, komunikator, atau dalam bahasa
inggrisnya disebut soure, sender, encoder.
Pesan (message)
Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang
disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap
muka atau melalui media komunikasi. isinya berupa ilmu pengetahuan, hiburan,
informasi, nasihat atau propaganda. Dalam bahasa inggrisa biasanya pesan
diterjemahkan dengan kata message, content atau information.
Media
Ialah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada
penerima. Terdapat beberapa pendapat mengenai saluran atau media. Ada yang
menilai bahwa media bisa bermacam-macam bentuknya, misalnya dalam komunikasi
antarpribadi pancaindra dianggap sebagai media komunikasi.
Penerima
Adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber.
Penerima bisa terdiri satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai atau
Negara. Penerima biasa disebut dengan berbagai istilah seperti khalayak, sasaran,
komunikan, atau dalam bahasa inggris disebut audience atau receiver.
Pengaruh
27
Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan,
dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini
bisa terjadi pada pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang. Oleh karena itu
pengaruh bisa diartikan perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan,
sikap dan tindakan seseorang sebagai akibat penerima pesan.
Tanggapan Balik
Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu
bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan
balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pada penerima. Misalnya pada sebuah
konsep surat yang memerlukan perubahan sebelum dikirim, atau alat yang digunakan
untuk menyampaikan pesan mengalami gangguan sebelum sampai ke tujuan. Hal-hal
seperti itu menjadi tanggapan balik yang diterima oleh sumber.
Lingkungan
Lingkungan atau situasi ialah factor-faktor tertentu yang dapat memengaruhi
jalannya komunikasi. factor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni
lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis dan dimensi
waktu.
E. PENGERTIAN KEBUDAYAAN
Budaya sering dianggap sebagai konsep inti dalam komunikasi antarbudaya.
salah satu karakteristik budaya adalah bahwa kita mungkin tidak berpikir tentang hal
ini sangat banyak. Mencoba untuk memahami budaya sendiri seperti menjelaskan
28
kepada ikan yang hidup di air. Sering
kita tidak dapat mengidentifikasi latar
belakang budaya kita sendiri dan asumsi sampai kita menemukan orang-orang dari
budaya lain, yang memberi kita kerangka acuan.36
Kata “ kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk
jamak dari buddhi “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan :
“hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.37
Seorang antropolog E.B Tylor (1871) pernah mencoba memberikan defenisi
mengenai kebudayaan berikut terjemahannya :38
“ Kebudyaan adalah komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarkat”.
Dari sudut pandang komunikasi, budaya dapat didefenisikan sebagai
kombinasi yang kompleks dari symbol-simbol umum, pengetahuan, cerita rakyat,
adat, bahasa, pola pengolahan informasi, ritual, kebiasaan dan pola prilaku lain yang
berkaitan dan memberi identitas bersama kepada sebuah kelompok orang tertentu
pada satu titik waktu tertentu.39
36
a.
KARAKTERISTIK BUDAYA40
1.
Budaya itu kompleks dan bersegi banyak
Judith & Thomas, intercultural communication, New York, McGraw-Hill, 2005, edisi 2, hal. 27
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1990, cet-8, hal. 182
38
Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1999, cet.27,
hal. 188
39
Brent D. Ruben & Lea P. Stewart, Komunikasi dan Prilaku Manusia, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2013, hal. 358
40
Ibid, hal. 362
37
29
kompleksitas budaya adalah sesuatu yang paling tampak dan potensial
bermasalah dalm berkomunikasi pada level masyarakat. Di sini perbedaan bahasa
sering melibatkan isu-isu mendasar seperti kebiasaan sosial, kehidupan keluarga,
pakaian, kebiasaan, makan, struktur kelas, orientasi politik, agama, adat-istiadat,
filosofi ekonomi, kepercayaan dan system nilai.
Unsur-unsur budaya tertentu tersebut tidak berada dalam isolasi, tapi ia saling
memengaruhi dengan cara-cara yang halus. Sebagai contoh, nilai dari budaya suatu
masyarakat mempunyai dampak kepada ekonomi dan sebaliknya, serta sekaligus
memengaruhi dan dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat, agam dan kehidupan
keluarga.
2.
Budaya konteks tinggi dan konteks rendah
Ahli komunikasi dan kebudayaan Edward Hall, mendefenisikan konteks
sebagai “ informasi yang mengelilingi sebuah pristiwa; ia , secara tidak dapat
dipisahkan menyatu dengan makna pristiwa. Edward Hall menunjukkan bahwa
budaya-budaya dunia dan praktik komunikasi individu di dalam budaya merentang
dari konteks tinggi ke konteks rendah.
Konteks tinggi (high contex/HC) pesan adalah ketika sebagian besar informasi
berada dalam diri seseorang, sementara sangat sedikit informasi yang dikodekan,
eksplisit, dan dikirimkan. Konteks rendah (low context/ LC) adalah kebalikannya,
yaitu kebanyakan informasi bersifat pribadi dengan kode yang di eksplisitkan.
3.
Budaya itu tidak terlihat
Sebagian besar karakteristik budaya
yang menyelubungi hubungan,
kelompok, organisasi, atau masyarakat itu tidak terlihat bagi masinh-masing init ini,
30
sebagaimana udara mengelilingi mereka. Bagi setiap kita, budaya kita dan banyak
pengaruhnya sangatlahhalus dan meresap serta sering tidak terperhatikan.
4.
Budaya itu subjektif
Karena kita tumbuh dengan dan menggunakan budaya kita secara apa adanya,
kita amat tidak menyadari sifat subjektifnya. Bagi orang yang ada didalamnya, aspekaspek budayanya adalah rasional dan sangat bisa dimengerti, namun tidaklah
demikian bagi “orang luar”.
5.
Budaya berubah sepanjang waktu
Budaya dan subbudaya tidak hidup dalam ruang hampa. Kita membawa serta
pengaruh budaya pada saat kita berpartisipasi dalam sejumlah hubungan, kelompok
atau organisasi. Sat kita sebagai individu berubah , kita menyiapkan dorongan bagi
perubahan budaya di mana kita menjadi bagiannya. Dalam pengertian seperti ini,
masing-masing kita adalah agen perubahan budaya.
F. KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Alo mengutip dari Andrea dan Dennis dalam buku Larry dan Porter,
komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
kebudayaan, misalnya antar suku, bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial. Dan
komunikasi komunikasi antarbudya terjadi diantara produser pesan dan penerima
pesan yang latar kebudayaannya berbeda.
Dibawah ini Alo menerangkan model komunikasi antarbudaya, gambar
dibawah ini menunjukkan A dan B merupakan dua orang yang berbeda latarbelakang
kebudayaan karena itu memiliki pula perbedaan kepribadian dan persepsi mereka
terhadap relasi antarbudaya. Ketika A dan B bercakap-cakap itulah yang disebut
31
komunikasi antarbudaya karena dua pihak menerima perbedaan diantara mereka
sehingga bermanfaat untuk menurunkan tingkat ketidakpastian dan kecemasan dapat
menjadi motivasi bagi strategi komunikasi yang bersifar akomodatif. Strategi tersebut
juga dihasilkan oleh karena terbentuknya sebuah “kebudayaan” baru “C” yang secara
psikologis menyenangkan kedua orang itu. Hasilnya adalah komunikasi yang bersifat
adaptif yakni A dan B saling menyesuaikan diri dan akibatnya menghasilkan
komunikasi antarpribadi-antarbudaya yang efektif.41
Model Komunikasi Antarbudaya
Strategi
komunikasi
yang akomodatif
C
kebudayaan
kepribadian
Persepsi
terhadap
relasi
antarpribadi
kebudayaan
A
B
Ketidakpastian
Kecemasan
kepribadian
Persepsi
terhadap
relasi
antarpribadi
Gambar 342
41
42
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal. 10
Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, LKiS, 2003, hal. 32
32
Brent dan Lea mengutarakan ketika dua orang individu baru bertemu, saat
itu mereka ada dalam proses negosiasi awal sebuah hubungan baru beserta
budayanya. Sejak momen pertama keduanya melakukakan kontak, mereka memulai
proses komunikasi antarbudaya, saling mengekpolrasi, negosiasi dan akomodasi.
Dalam sejenak ketika kita mulai memerhatikan seseorang kita belum tahu apakah kita
memiliki kesamaan tingkat pengetahuan, latarbelakang, orientasi waktu, filsafat
politik, pola gerak isyarat, bentuk salam, orientasi keagamaan atau bahkan
kemampuan bahasa yang sama. Dan kita tidak tahu apakah kita memiliki kesamaan
pengalaman dalam hubungan dalam kelompok atau organisasi sebelumnya.43
Mereka juga menambahkan bahwa begitu kita berinteraksi, kita
menggunakan komunikasi untuk mengurangi ketidakpastian kita tentang situasi dan
orang-orang yang terlibat. Kita saling bicara dan mendengar satu sama lain, kita
mempelajari penampilan, pakaian, perhiasan postur dan cara berjalan. Secara
bertahap kita mulai memperoleh informasi yang membantu kita untuk menentukan
apa yang kita miliki bersama dan di mana kita berbeda. Sejalan dengan proses yang
berlanjut,
pangkalan
informasi
bersama
kita
terus
tumbuh
meluas
yang
memungkinkan kita menjadi bagian daripadanya.
1. Identitas Budaya
Menurut Alo Liliweri, Secara etimologis kata identitas berasal dari kata
identity, yang berarti (1) kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu
43
Brent D. Ruben & Lea P. Stewart, Komunikasi dan Prilaku Manusia, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2013, hal. 377
33
keadaan yang mirip satu sama lain, (2) kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama
diantara dua orang atau dua benda, (3)kondisi atau fakta yang menggambarkan
sesuatu yang sama diantara dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau dua
benda, (4) pada tataran teknis, pengertian etimologis diatas hanya sekedar
menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk memahami identitas dengan kata
“identik”.44
Alo menambahkan bahwa indentitas pada tataran hubungan antar manusia
akan mengantar seseorang untuk memahami sesuatu yang lebih konseptual, yakni
tentang bagaimana meletakkan seseorang kedalam tempat orang lain (komunikasi
yang empatik), atau sekurang-kurangnya meletakkan atau berbagi (to share) pikiran,
perasaan, masalah dan rasa simpatik (empati) dalam sebuah proses komunikasi
(antarbudaya) dan pada tataran inilah identitas harus dipahami sebagai cara
mengidentifikasi (melalui pemahaman terhadap identitas) atau merinci sesuatu yang
dilihat, didengar, diketahui, atau yang digambarkan, termasuk mengidentifikasi
sebuah specimen biologis (merinci ciri atau atau karakter fisik) bahkan
mengidentifikasi seseorang dengan madzhab yang mempengaruhi, merinci aspekaspek psikologis.45
Komunikasi merupakan alat untuk membentuk identitas dan juga mengubah
mekanisme. Identitas dibentuk ketika seseorang secara sosial berinteraksi dengan
orang lain dalam kehidupan. Seseorang akan mendapatkan pandangan serta reaksi
orang lain dalam interaksi sosial dan sebaliknya memperlihatkan rasa identitas
44
45
Ibid., hal.68
Ibid., hal.70
34
dengan cara mengekspresikan diri dan merespon orang lain yang disebut dengan
subjective dimension (perasaan diri pribadi seseorang), dan ascribed dimension (apa
yang orang lain katakan tentang diri orang tersebut). Dengan kata lain rasa identitas
seseorang terdiri dari makna-makna yang dipelajari dan yang orang tersebut
dapatkan, makna-makna tersebut diproyeksi kepada orang lain kapanpun orang
tersebut berkomunikasi, suatu proses yang menciptakan diri seseorang yang
digambarkan.46
Cohen dan Horowitz dalam Deddy Mulyana menyatakan pada dasarnya
identitas etnik (budaya) muncul bila dua orang atau lebih kelompok etnik
berhubungan. Horowitz menambahkan sering perubahan etnik merupakan akibat dari
modifikasi prilaku kelompok dan modifikasi untuk mempersempit atau memperlebar
batasan-batasan etnik. Dalam proses adaptasi timbal balik, identitas yang menandai
masing-masing kelompok mungkin berubah, namun yang terjadi pada kelompokkelompok monoritas sebagai akobat memasuki masyarakat pribumi.47 Etnisitas atau
identitas etnis berasal dari warisan, sejarah, tradisi, nilai, kesamaan prilaku, asal
daerah, dan bahasa yang sama.48
2. Gegar Budaya
Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan
dengan pekerjaan atau jabatan yang diserita orang-orang yang secara tiba-tiba
46
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teorik Komunikasi, Jakarta : Salemba Humanika, 2009,
hal.131
47
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, PT REMAJA ROSDAKARYA,
Bandung, 2009, hal. 158
48
Larry, Richard & Edwin, Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta, Salemba Humanika, 2010, hal.187
35
berpindah atau dipindahkan keluar negeri. Sebagai mana penyakit lainnya, gegar
budaya juga mempunyai gejala-gejala dan pengobatannya tersendiri.
Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan
tanda-tanda dan lambing-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut
meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri sendiri dalam
menghadapi situasi sehari-sehari, kapan berjabatan tangan dan apa yang harus kita
lakukan bila bertemu dengan orang, kapan dan bagaimana memberikan tip,
bagaimana berbelanja, kapan menerima dan kapan menolak undangan, kapan
membuat pernyataan-pernyataan dengan sungguh-sungguh dan kapan sebaliknya.
Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi
wajah, kebiasaan-kebiasaan, dan norma-norma kita peroleh sepanjang perjalanan
hidup sejak kecil.
Alo mengungkapkan 3 sasaran komunikasi yang selalu dikehendaki dalam
proses komunikasi antarbudaya.49
1. Salah satu tujuan dalam hidup bersama adalah berkomunikasi sehingga
diantara kita saling mendukung demi pencapaian tugas-tugas yang
dikehendaki bersama, keberhasilan dalam tugas dapat didukung oleh
komunikasi antarbudaya yang dilakukan secara terbuka, berfikir positif, saling
mendukung, bersikap empati.
2. Meningkatkan hubungan antarpribadi dalam suasana antarbudaya. Manfaat
aspek relasi adalah bagaimana orang lain berkomunikasi dengan seseorang,
49
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal. 276
36
dapat mengatakan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan.
Memahami dan mengerti tentang kesejawatan, kesetiakawanan merupakan
dua factor yang penting dalam hubungan atau relasi antarpribadi.
3. Terciptanya penyesuaian antarpribadi. Komunikasi antarbudaya sering
bergaul dengan frekuensi ynag tinggi maka prasangka-prasangka budaya yang
sebelumnya telah terbentuk perlahan-lahan berkurang, jadi antara komunikan
dan
komunikator
memulai
suatu
proses
hidup
bersama
misalnya
menyesuaikan diri antarbudaya, makin terbuka dengan sesama.
Brent dan Lea menjelaskan bahwa kejutan budaya (culture-shock) yaitu
perasaan tanpa pertolongan, tersisihkan, meyalahkan orang lain, sakit hati dan
ingin pulang kerumah. Awalnya kejutan budaya dipahami sebagai sebuah
penyakit yaitu sebuah penyakit yang diderita seseorang yang sering dipindahkan
secara tiba dari sati tempat terjadinya suatu pristiwa ke tempat lain.
Keterjangkitan oleh penyakit ini ditandai oleh bermacam gejala termasuk frustasi,
marah, cemas, perasaan tanpa pertolongan, kesepian yang berlebihan, terlalu
ketakutan dirampok, ditipu atau menyantap makanan berbahaya.50
G. Problem Potensial Dalam Pola Komunikasi Antarbudaya
Komunikator dan komunikan secara bergantian dan terus-menerus dalam
komunikasi, maka masalah terletak pada kedua belah pihak. Mencoba untuk mencari
50
Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, komunikasi dan prilaku manusia, Depok, PT Raja Grafindo,
2013, hal. 374
37
pihak mana yang bersalah dapat merupakan masalah komunikasi tersendiri.
Komunikator dan komunikan berupaya untuk mengurangi problem potensial yang
dijelaskan oleh Samovar dan memahami solusi atau factor pendukung yang
ditawarkannya sebagai berikut:
1. Keanekaragaman dari tujuan-tujuan komunikasi
Setiap individu memiliki alasan dan motivasi yang berbeda-beda dalam
berkomunikasi. Perbedaan tujuan ini dapat menimbulkan masalah yang tidak
dianggap enteng begitu saja, karena kadang-kadang menyangkut haga diri suatu
kebudayaan, conoh dalam konteks politik individu atau kelompok dengan sengaja
melakukan propaganda.
2. Etnosentrisme
Etnosentrisme adalah suatu perasaan superior atau keunggulan dari suatu
kelompok orang yang menganggap kelompok lain lebih inferior dan kurang unggul.
Apabila perasaan ini muncul maka sangat berpengaruh terhadap komunikasi
antarbudaya.51
Karakteristik etnosentrisme :52
1. Tingkat Etnosentrism
Etnosentrisme dapat dilihat dalam 3 tingkatan : positif, negatif, dan sangat
negatif. Petama positif, merupakan kepercayan bahwa, paling tidak bagi
51
52
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal. 266
Larry, Richard & Edwin, Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta, Salemba Humanika, 2010, hal.214
38
sesorang, budayanya lebih baik dari yang lain. Hal ini alami dan kepercayaan
seseorang
berasal
dari
budaya
aslinya.
Tingkat
negatif,
seseorang
mengeavluasi secara sebagian. Seseorang percaya bahwa budayanya
merupakan pusat dari segalanya dan budaya lain harus dinilai dan diukur
berdasarkan standar budayanya. Terakhir dalam tingkat sangat negatif, bagi
seseorang tidak cukup hanya menganggap budayanya sebagai yang paling
benar dan bermanfaat, dia juga menganggap budayanya sebagai yang paling
berkuasa dan dia percaya bahwa nilai dan kepercayaannya harus diadopsi oleh
orang lain.
1.
Etnosentrisme itu universal
Antropolog setuju bahwa kebayakan orang merupakan etnosentrisme dan
bahwa kadang sifat etnosentrisme penting untuk mengeratkan hubungan dalam suatu
masyarakat. Seperti budaya, etnosentrisme juga biasanya dipelajari secara tidak sadar.
2.
Etnosentrisme memengaruhi identitas budaya
Alasan lain mengapa etnosentrisme begitu mendarah daging adalah
etnosentris memeberikan identitas dan perasaan memiliki kepada anggotanya. Seperti
yang dituliskna Rusen, “keanggotaan dalam dalam suatu kelompok, suatu Negara
atau peradaban memberikan rasa penghargaan diri, membuat masyarakat bangga akan
prestasi bangsanya”. Prilaku yang diartikan pendapat ini dalam etnosentrisme
dituliskan oleh Scarborough: “orang-orang bangga akan budaya mereka, mereka
harus bangga Karena budaya mereka merupakan sumber identitas, mereka memiliki
39
kesulitan memahami mengapa orang lain tidak berprilaku seperti mereka jika mereka
dapat.
3. Tidak adanya kepercayaan
Komunikasi antarbudaya merupakan sebuah pristiwa pertukaran informasi
yang peka terhadap kemungkinan terdapatnya ketidakpercayaan antara pihak-pihak
yang terlibat. Orang umumnya segan untuk mengambil resiko berhubungan dengan
orang asing. dalam hal ini perbedaan-perbedaan biasanya dilihat secara berlebihan.
Misalnya ketidakpercayaan ini terdapat dalam situasi-situasi yang melibatkan orangorang dari ras, status sosial, generasi, dan suku bangsa yang berbeda. Misalnya
pengurus pengajian tidak akan mengundang penceramah yang tidak dikenal dan
mereka tidak mengetahui latar belakangnya.
4. Penarikan diri
Komunikasi tidak akan terjadi bila salah satu pihak secara psikologis
menarik diri dari pertemuan yang seharusnya terjadi. Ada dugaan bahwa dengan
macam-macam perkembangan saat ini antara lain, meningkatkan urbanisasi, perasaan
orang untuk menarik diri, apatis dan aliensi semakin banyak pula. Banyak contoh,
pada tingkat internasional maupun nasional, yang menunjukkan penarikan diri dari
saling pertukaran antarbudaya. Sejarah penuh dengan pristiwa-pristiwa tentang
penarikan diri dari wakil-wakil suatu Negara dari konfrensi internasional, putusnya
hubungan antar Negara dan lain-lain.
5. Tidak adanya empati
40
Komunikasi antarbudaya sangat memerlukan empat yang tinggi. Upaya
mengembangkan empati tidaklah mudah. Yang terpenting ada kemauan dari kedua
belah pihak.
Empati ialah kemampuan untuk merasakan seperti orang lain atau untuk
menempatkan diri pada diri orang lain. Untuk berkomunikasi secara efektif dengan
orang lain, kita mampu menciptakan gambaran-gambaran yang memungkinkan
pendalaman tentang perasaan dan karakteristiknya. Dengan cara turut mengalami
keadaan internalnya,
kita dapat
mengenalnya, meramalkan reaksinya dan
mengantisipasi kebutuhannya.
6. Stereotip
Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi
terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotipe
merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk
menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan
keputusan secara cepat. Namun, stereotipe dapat berupa prasangka positif dan juga
negatif,
dan
kadang-kadang
dijadikan
alasan
untuk
melakukan
tindakan
diskriminatif.53
Psikolog Abbate, Boca, dan Bocchiaro dalam Larry dan Edwin memberikan
pengertian yang lebih formal “streotip merupakan susunan kognitif yang
mengandung pengetahuan, kepercayaan, dan harapan si penerima mengenai
53
http://id.wikipedia.org/wiki/Stereotipe, diakses pada tanggal 14-05-2014 pukul 16.00
41
kelompok sosial manusia”. Larry dan Edwin mengungkapan alasan mengapa streotip
itu begitu mudah menyebar adalah karena manusia memiliki kebutuhan psikologis
untuk mengelompokkan dan mengklasifikasikan suatu hal. Dunia dimana kita tinggal
ini terlalu luas, terlalu kompleks dan dinamis untuk diketahui secara detail. Jadi
seseorang ingin mengelompokkan dan mengotak-ngotakkanya. Tetapi masalahnya
bukan pada pengelompokan atau pengotakan tersebut, namun pada overgeneralisasi
dan penilaian negative (tindakan atau perasaan) terhadap anggota kelompok
tersebut.54
7. Kekuasaan
Ada dua prinsip yang melandasi pengertian kekuasaan, yaitu bahwa:
1. Dalam setiap hubungan komunikasi terhadap kekuasaan dalam derajat
tertentu.
2. Yang merupakan sumber masalah komunikasi bukanlah kekuasaan itu sendiri,
melainkan penyalahgunaan dari kekuasaan. Oleh sebab itu pemahaman
tentang kekuasaan dan dampaknya terhadap komunikasi merupakan bagian
penting dalam pemahaman antarbudaya.
54
Larry, Richard & Edwin, Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta, Salemba Humanika, 2010, hal. 203
42
BAB III
GAMBARAN UMUM HIMPUNAN PELAJAR PATANI DI
INDONESIA (HIPPI) dan SEKILAS PROFIL PATANI
A. Latar belakang HIPPI
Organisasi Himpunan Pelajar
Patani di Indonesia (HIPPI) yang
berada di Jakarta adalah organisasi kemahasiswaan dan berorientasi
kemahasiswaan dan beorientasi kemasyarakatan bagi Umat Bangsa Melayu
Patani. HIPPI merupakan wadah perkumpulan pelajar yang datang dari
selatan Thailand, (propinsi Patani, Yala, Narathiwat dan sebagian Songkhla)
dengan tujuan mencari pendidikan dan pengajaran di Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dengan menetap dan menempuh studi di Jakarta
khususnya.
Dinamakan HIPPI memiliki pasang surut dari generasi kegenerasi
sebagai tantangan dan hambatan kepada umat Melayu Patani yang datang
melanjutkan studi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disisi lain
HIPPI mempunyai tujuan yang paling esensi dan mendasar yaitu sebagai
wadah untuk mempersiapkan diri sebagai memproduk kader-kader yang giat
melakukan kegiatan dan pembelajaran yang mampu dan sanggup membela
nasib Umat Bangsa Melayu Patani.
HIPPI adalah organisasi yang menjunjung tinggi atas niali keislaman
sehingga
mampu
mengaktualisasikan
diri
kepada
masyarakat
dan
43
mengembang potensi anggota baik disisi intelektualisasi, tanggungjawab dan
moralitas untuk mencurah dan membangun masyarakat Patani atau tempat
kelahiran sebagai masyarakat yang makmur, aman, damai dan sejahtera.
Umumnya organisasi pelajar/mahasiswa bergiat melakukan kegiatan
pembelajaran, yang meliputi internal dan eksternal bebas bergiat dan bebas
berfikir, dengan prinsip ranah wacana keinteletualan dan pemikiran ilmiah,
dengan bersikap menghormati kebudayaan temapatan di masyarakat yang
mematuhi hukum yang berlaku. Organisasi HIPPI tidak terikat dengan partai
politik dan terpengaruh dari golongan tertentu, akan tetapi berusaha
mempelajari semua gejala yang terjadi dengan maksud sebagai bahan
pembelajaran yang bertujuan meningkatkan kedewasaan bersikap dan
kematangan cari berfikir.
Namun, sepanjang Organisasi HIPPI berjalan terus-menerus walaupun
ada berbagai halangan serta hambatan yang membuat organisasi kurang
berkembang sebagaimana yang diinginkan massa ada hambatan dari eksternal
maupun internal sendiri.55
B. Lambang HIPPI
Himpunan Pelajar Patani di Indonesia (HIPPI) mempunyai lambing bebentuk ujung
pulpen yang bertulisan JAKARTA dibawahnya.
55
Buku pedoman anggota HIPPI periode 2013-2014, Jakarta, 2014
44
Gambar lambang HIPPI
Makna dari setiap lambangnya :

Bentuk garis miring melambangkan kecepatan dalam bergerak dan semangat
dalam giat belajar.

Ujung bawah berbentuk ujung pulpen melambangkan pelajar Patani yang
tekun dan tabah.

Bersudut lima melambangkan islam didirikan atas lima perkara

Tulisan HIPPI besar tegak lurus melambangkan HIPPI sebagai pendidik,
pengajar, pengasuh, pembimbing dan Pembina generasi kegenerasi.

Tulisan besar INDONESIA, melambangkan anggota HIPPI sedang belajar di
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Garis lintang dibawah tulisan Indonesia melambangkan independen (bebas
tidak terikat dengan pihak manapun).

Tulisan JAKARTA dibawah, melambangkan bahwa Organisasi HIPPI berada
di Jakarta.
45
Makna dari warna lambang:

Warna hijau melambangkan Bangsa Melayu yang Islami dan bumi Patani
yang subur dan makmur.

Warna merah melambangkan berani karena benar.

Warna putih melambangkan kejujuran dan keikhlasan yang melandaska
ketakwaan

Warna kuning melambangkan optimism terhadap nilai-nilai luhur kemelayuan

Warna hitam melambangkan ketangguhan.
C. Lagu HIPPI
Sewaktu berada disini
Sebuah takdur tuhan yang murni
Menjadi rahmat terhadap kami
Bisa bersatu lagi anak PatanI
09 oktober 2011
Berdirinya tegak HIPPI
Telah membenar di ruang hati
Sebagai basis membina generasi
Himpunan pelajar Patani
Tempat harapan terdiri
46
Mengibarkan visi dan misi
Disana untuk wajah pertiwi
Tetap ada aku bersama
Keberadaanmu akau menjelma
Marilah bersama kita menjaga
47
D. Struktur Organisasi HIPPI priode 2012-2013
AD/ART
MPA
KETUA
UMUM
PENASIHAT
WAKIL KETUA
UMUM
BENDAHARA
UMUM
SEKRETARIS
UMUM
D. PENDIDIKAN &
PENGKADERAN
D. PERHUBUNGAN
& KEIMIGRASIAN
D. SOSIAL &
KEBUDAYAAN
D.
KESEKRETARITAN
& PENERANGAN
D. OLAHRAGA
DAN
KESEHATAN
D.KEANGGOTAAN
& MOAB
ANGGOTA
48
E. NAMA-NAMA SUSUNAN STAF PENGURUS HIPPI DAN
DEPARTEMEN-DEPARTEMEN PERIODE 2012-2013
 STAF PENGURUS (SPH)
KETUA UMUM
: Anan Nisoh
PENASIHAT
: Sukifli Tohbo
WAKIL KETUA UMUM
: Nawawee Maeroh
SEKRETARIS UMUM I
: Sopwang Masa
SEKRETARIS UMUM II
: Rohanee Cheha
BENDAHARA UMUM I
: Asuwan Rira
BENDAHARA UMUM II
: Husaimi Asae
BENDAHARA UMUM III
: Sausan Doni
 DEPARTEMEN-DEPARTEMEN
Ketua D. Pendidikan & Pengkaderan
: Komisi Kwengbu
Wakil
: Mariam Ding
Ketua D. Perhubungan & Keimigrasian
: Asnan Tanjungali
Wakil
: Faeda Niha
Ketua D. Sosial & Kebudayaan
: TuanHelmi TuanSulung
Wakil
: Ummikalsum Asae
Ketua D. Kesekretariatan & Penerangan
: Su Ai-dee Abuwab
Wakil
: Nura Awae
Ketua D. Olahraga & Kesehatan
: Ramzee Waeji
Wakil I
: Fatihah Pohsa
Wakil II
: Muniroh Datoo
Ketuan D. Keanggotaan & MOAB
: Asuwan Rira
Wakil I
: Ainah Sa’buding
Wakil II
: Fadilah Waekueji
49
F. Profil Wilayah Patani56
Pattani (Thai ปัตตานี, Tulisan Jawi: ‫ )ڤتتاني‬merupakan salah satu daripada
wilayah-wilayah (changwat) di selatan Thailand. Wilayah-wilayah yang
berdekatan (dari hala selatan tenggara ikut jam) adalah Narathiwat, Yala dan
Songkhla.Masyarakat Melayu tempatan memanggil wilayah mereka, Patani
Darussalam atau Patani Raya.
a. Peta wilayah Patani
Sumber : internet
b. Geografi
Patani terletak di Semenanjung Malaysia dengan pantai Teluk Thailand di sebelah
utara. Di bahagian selatan terdapat beberapa gunung-ganang dan tempat tarikan
pelancong seperti taman negara Budo-Sungai Padi yang yang berada di
56
http://ms.wikipedia.org/wiki/Wilayah_Pattani, diakses pada tanggal 19 agustus 2014 pukul 16:46
50
persempadan wilayah Yala dan Narathiwat. Di sini, terdapat beberapa tumbuhan
yang agak luar biasa seperti palma Bangsoon dan rotan Takathong. Di kawasan
persempadan dengan Songkhla dan Yala pula terdapat sebuah taman rimba yang
terkenal dengan gunung terjunnya, Namtok Sai Khao.
c. Sejarah Singkat Kerajaan Patani
Pada asalnya, Pattani merupakan sebuah kerajaan Melayu Islam yang
merdeka. Setelah Ayutthaya jatuh pada tahun 1767 di tangan Burma, Dinasti
Chakri yang baru ditubuhkan dan berjaya menghalau penjajah Burma dari Siam,
menaruh minat untuk meluaskan pengaruhnya ke selatan termasuk Patani.
Serangan pada tahun 1785 berjaya menakluki Patani. Untuk mengukuhkan
penguasaannya, Siam melantik orang melayu sendiri sebagai gabenor di Patani
dengan Raja Kampung Laut Tuan Besar dari Kelantan sebagai gabenor yang
memakai gelaran raja/sultan atau dalam bahasa Siam sebagai Phraya. Phraya
Patani ke-V dan terakhir iaitu Sultan Abdul Kadir Kamarudin Syah telah dibuang
negeri ke Kelantan kerana terlibat dalam pemberontakan yang mahu
membebaskan Patani dari Siam pada tahun 1902 sekaligus menghapuskan sistem
beraja melayu di Patani. Pada 1909, penguasaan Siam terhadap Pattani
diperkukuhkan dan diakui oleh British secara rasmi akibat perjanjian yang
dimeteraikan dengan Empayar British. Narathiwat dan Yala ditadbirkan secara
berasingan. Di Yala terdapat sebuah pergerakan pemisah Patani yang kembali
51
aktif pada 2004 setelah lama berdiam diri. Pergerakan pemisah ini menuntut
kemerdekaan Pattani Darussalam atau bergabung dengan Malaysia.57
Untuk sebagian orang, Patani (wilayah Thailand bagian selatan) mungkin
hanya sebuah kenangan Negeri Melayu. Orang-orang yang memerhatikan peta
Asia Tenggara sekarang akan mengetahui bahwa sebuah negeri islam yang dulu
Berjaya kini telah hilang dan tinggal kenangan. Dari sekian banyak kerajaan islam
di Asia Tenggara pada abad ke 14-17 M, Patani adalah salah satu kerajaan islam
yang sangat maju karena letaknya yang sangat strategis anata jalur perdagangan
Cina dan India. Kemasyhuran dan kebesaran itu mencapai puncaknya pada zaman
pemerintahan para Ratu. Hanya saja kemegahan sebuah kerajaan tidak pernah
lepas dari ancaman penjajah, hal ini pun dialami Patani. Kerajaan Thai yang
berasal dari wilayah utara mulai masuk dan menguasai system pemerintahan,
kesultanan Melayu Patani yang awalnya merupakan wilayah dengan mayoritas
penduduk beragama islam berbalik menjadi minoritas dalam kekuasaan Thai yang
penduduknya sebagian besar beragama Budha.58
A. Bangsa Dan Kerajaan Thai59
Orang-orang siam adalah berasal dari kawasan selatan negeri China. Suku
bnagsa ini pada mulanya tinggal tinggal di kawasan kecil disepanjang Sg.
Yangtze, yang kemudian secara perlahan-lahan dikuasai oleh kerajaan-kerajaan
57
http://ms.wikipedia.org/wiki/Wilayah_Pattani, diakses pada tanggal 19 agustus 2014 pukul 16:46
Rohanee Cheha, Pemikiran Pendidikan Islam Haji Sulong (Studi Atas Tokoh Pendidikan Islam Di
Patani Thailand Selatan), skripsi S1(UMJ, 2013), hal 1
59
Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Pustaka Darussalam, Kelantan, 1994, hal. 12
58
52
China zaman dahulu. Pada pertengahan kurun masehi yang ketujuh mereka
Berjaya mendirikan negeri mereka sendiri di Baratdaya China-Nanchao. Negeri
ini terletak di satu kawasan tanah rata yang mengelilingi sebuah tasik yang
letaknya 600 kaki tinggi di pergunungan Yunan.
Bangsa Thai adalah bangsa penjajah. Dari kedudukan asal mereka di
Nanchao, mereka kemudian mengembangkan pengaruh mereka ke selatan dan
ketimur. Keselatan mereka menyerang negeri-negeri melayu seperti Grahi
(Chaiya), Gharbi( Krabi), Thambralingga(Surat Thani), Ligor(Nakhorn Sri
Thamarat) dan sengora (Songkhla). Disebelah timur mereka menyerang wilayahwilayah kepunyaan bangsa Mon dan Khmer. Kadang-kadang bangsa Thai ini juga
menyerang Annam. Pada penghujung kurun ke-9, mereka pernah melanggar
sempadan negeri China yang menyebabkan kerajaan China masa itu, Tang
berpecah-belah. Pada tahun 1253 maharaja Monggol, Kublai Khan, menakluk
Nanchao. Sejak itu orang Thai meninggalkan Nanchao dan berpindah ke selatan.
Di selatan mereka menubuhkan kerajaan Sukhotai, sebuah negeri yang telah
mereka takluki dari Khmer pada 1238. Disini orang Thai sangat terpengaruh
dengan kebudayaan Khmer. Corak agama Budha yang diamalkan oleh orang
Khmer diikuti oleh orang Thai, sesudah disesuaikan oleh raja Sukhotai yang
terkenal, Rama Khamheng (1283-1317). Sesudah Rama Khamheng meninggal
duini Sukhotai menjadi merosot. Sebuah kerajaan Thai yang lain pula muncul,
Ayuthaya. Kerajaan ini diasaskan oleh seorang ketua orang Thai yang kuat, Rama
53
Tibodi, pada 1350. Haruslah diingat bahwa seorang pemerintah (Sultan) Patani
pernah membuat lawatan ke Ayuthaya ini.
B. Patani Memeluk Islam60
Konon ada sebuah cerita mengenai bagaimana raja Patani memeluk islam.
Pada suatu ketika raja Patani ditimpa sakit diobati oleh segala dukun istana tetapi
tidak juga sembuh. Akhirnya ada seorang Pasai, Sheikh Said namanya memeberi
kesanggupan untuk mengobatinya tetapi dengan syarat apabila sembuh nanti Raja
mesti memeluk agama islam. Syarat itu diterima oleh raja, tetapi setelah sembuh
baginda tidak menepati janjinya. Beberapa tahun kemudian penyakit lamanya
kambuh lagi, lalu orang Pasai itu datang lagi mengobati penyakit baginda dengan
syarat yang sama seperti dahulu. Apabila sudah sembuh baginda tetap
mengingkari janjinya. Akhirnya penyakit itu menyerang lagi kali yang ketiga.
Kali ini baginda baru bersumpah, katanya : “jikalau aku mengubahkan janjiku ini
janganlah sembuh penyakitku ini selama-lamanya”. Setelah baginda sembuh dari
sakitnya baginda bersama keluarga dan pembesar istana memeluk islam. Sejak itu
mulailah islam berkembang di Patani.
Komunitas muslim Patani mulai terpisah dari kesatuan dunia muslim dari
kesatuan dunia muslim Asia Tenggara dan membentuk sebuah minoritas etnis
keagamaan dalam kekuasaan Muang Thai. Ketika kaum muslim melayu
dipandang sebagai “ masalah” oleh pemerintahThai (Siam), orang-orang melayu
yang ada di Malaysia justru memandang mereka sebagai “ saudara yang terjajah”.
60
Ibid., hal, 13
54
Meski jumlah penduduk muslim Patani minoritas di Muang Thai namun tetap
menjadi mayoritas di empat propinsi Muang Thai yang berada di bagian selatan.
Menjelang tahun 1921, pemerintah Siam (Thailand) telah mengeluarkan akta
pendidikan rendah yang mewajibkan anak-anak usia sekolah yaitu 7 tahun belajar
disekolah pemerintah yang menggunakan bahasa Siam (Thai) sebagai bahasa
pengantar. Masyarakat Patani menganggap peraturan ini sebagai program
Siamisasi yang menghapuskan kebudayaan mereka. Oleh karena itu maka rakyat
Patani enggan mengirimkan anak mereka ke sekolah pemerintah, mereka lebih
cenderung menyekolahkan anak mereka ke lembaga pendidikan yang dikelola
oleh Masyarakat (Sekolah Ilsam) yang jumlahnya sangat banyak di Patani.
G. Demografi
Patani merupakan salah satu daripada empat wilayah Thai yang mempunyai
majoriti penduduk yang beragama Islam; 85% adalah Muslim. Ia berasal dari
perkataan dalam Bahasa Melayu 'Pantai Ini'. Sebagai salah satu wilayah baru yang
diwujudkan dari Negara Patani yang asal, demografinya tidak jauh berbeza
dengan wilayah-wilayah majoriti Melayu Islam yang lain seperti Narathiwat,
Yala, Satun dan Songkhla.
H. Simbol Wilayah Patani
Lambang wilayah Pattani memaparkan sebuah meriam yang dipanggil "Sri Pattani",
yang dihasilkan di Pattani untuk mempertahankan Pattani dari serangan Siam.
Apabila Pattani dikalahkan Siam pada 1785, meriam "Sri Pattani" dibawa ke
55
Bangkok dan sekarang dipamerkan di hadapan bangunan Kementerian Pertahanan di
Bangkok dan diberi nama Siam, "Phya Pattani". Pada asalnya terdapat dua meriam
dan yang satu lagi ialah "Sri Negaro" tapi telah terjatuh ke dalam Kuala Sungai
Pattani semasa hendak diangkut ke Bangkok. Simbol-simbol yang lain termasuk
bunga raya (Hibiscus rosa-sinensis), dan pokok Chengal Kampung (Hopea odorata).
Gambar simbol wilayah Patani
Sumber : internet
56
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS
A. Akomodasi
Komunikasi
Dalam
Interaksi
Antarbudaya
Dalam
Mengomunikasikan Identitas Budaya
Richard dan Turner mendefenisikan bahwa Akomodasi (accommodation)
sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi atau mengatur prilaku
seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya dilakukan
secara tidak sadar. Seseorang cenderung memiliki naskah kognitif internal yang
digunakan ketika berbicara dengan orang lain.61 Akomodasi komunikasi dalam
interaksi antarbudaya pada mahasiswa Patani (Thailand) yang penulis temukan bahwa
mereka menunjukkan prilaku mereka apa adanya dan berprilaku seperti orang
Indonesia pada umumnya artinya walaupun mereka tinggal di negara asing tetapi
mereka tidak mengakomodasi prilaku ketika berhadapan dengan orang-orang di luar
daerah Patani dan tidak pula mengubah atau mengada-ada prilakunya. Untuk
mencapai agar tujuan dari berkomunikasi itu dan terhindar dari adanya
kesalahpahaman (miss communication). Terkadang kita temukan ada orang yang
ketika tinggal di daerah yang bukan daerah aslinya cenderung menyembunyikan
identitas asli mereka dengan berbagai alasan dan bahkan menunjukkan sekali atau
yang disebut dengan etnosentrisme yaitu perasaan yang merasa budayanya paling
unggul dibandingkan budaya lain. Mahasiswa Patani ini menurut peneliti tidak
61
West, Richard dan H. Turner, Lynn., (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar
Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hal. 217
57
menyembunyikan identitas asli mereka dan menunjukkan apa adanya tetapi tidak juga
merasa bahwa budaya mereka lebih unggul.
1. Pengungkapan identitas budaya dari segi percakapan (bahasa)
Pertama dalam segi bahasa,
penggunaan bahasa yang mahasiswa Patani
gunakan ketika berkomunikasi dengan teman-teman diluar Patani dengan bahasa
Indonesia yang sangat kental berlogat melayu, dan ketika berkomunikasi dengan
sesama teman Patani bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah Patani yaitu
bahasa melayu Patani. Bahasa melayu Patani adalah bahasa melayu yang hampir
sama dengan bahasa Indonesia sendiri yang apabila saya perhatikan ketika mereka
berbicara ada banyak kata-kata yang sama dengan bahasa Indonesia dengan
perbedaan pada ujung-ujung kata, misalnya “saya” menjadi “sayo”. Dengan demikian
bahwa mereka berkomunikasi atau berbicara dengan membawa identitas diri mereka
atau pengungkapan diri (self dissclouser) dilakukan secara leluasa .
Ketika seseorang melakukan pengungkapan diri terhadap orang lain, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga orang tersebut merasa nyaman dan
leluasa dalam berkomunikasi terhadap apa yang ingin mereka ungkapkan. Salah satu
dari pengungkapan diri adalah keberanian seseorang dalam mengomunikasikan
identitas kultural. Ada rasa kebanggaan tersendiri sebagai para pendatang yang dapat
menggunakan bahasa atau sekedar aksen asalnya saat berinteraksi di tempat ia
merantau. 62
62
Hanum Salsabila, Akomodasi Komunikasi Dalam Interaksi Antar Budaya Kasus Perantau yang
Berasal dari Daerah Banyumasan dalam Mengomunikasikan Identitas Kultural,( skripsi Universitas
58
Pengungkapan diri yang mahasiswa Patani ini lakukan tidak karena adanya
yang disebut dengan setting of communication yaitu seseorang mengungkapkan
identitas budayanya berdasarkan pada situasi tertentu karena adanya persepsi-persepsi
negatif, rasa malu atau merasa terdiskriminasi terhadap budaya aslinya sehingga
mereka perlu mengatur dari cara mereka berbicara atau penggunaan dialek bahasa
aslinya yang hanya digunakan pada orang-orang tertentu. Semua informan dalam
penelitian ini tidak melakukan setting of communication, mereka dengan leluasa
menggunakan bahasa Indonesia yang berlogat khas melayu Patani dengan tidak
adanya rasa malu atau minder ketika berbicara dengan logat asli daerah. Begitu pula
mereka menggunakan bahasa daerah mereka walaupun itu di depan orang-orang luar
Patani, seperti pada forum diskusi yang tidak hanya diikuti oleh mahasiswa Patani
saja.
Dan mengapa pengungkapan diri itu mereka lakukan dengan leluasa tanpa
adanya setting of communication, karena menurut pengungkapan informan bahwa
mereka menganggap itu wajar karena mereka adalah orang asing yang memang
penguasaan dalam bahasa Indonesia sendiri masih kurang walaupun bahasa Patani
dengan Indonesia itu agak mirip tetapi kalau diminta untuk mengungkapkan pendapat
susah jadi mereka menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur dengan logat khas
mereka.
Diponegoro,Semarang,2011),http://eprints.undip.ac.id/29021/1/SUMMARY_SKRIPSI_Hanum_Salsa
bila.pdf, diakses pada tanggal 26 Juni 2014 jam 14:20.
59
Dari pengamatan penulis selama penelitian bahwa ketika mahasiswamahasiswa Patani berbicara dalam segi bahasa khususnya yang sudah tinggal lebih
dari satu tahun memang untuk bahasa percakapan bisa dikatakan 90 % sudah
memahami hanya bahasa-bahasa yang jarang mereka dengar masih belum mengerti
apa artinya, misal kalimat “tidak punya uang” yang biasa dalam bahasa percakapan
sehari-hari dipakai dengan kata “kere” terutama di Jakarta, kata-kata seperti itu yang
membuat mereka bingung. Ada lagi pengungkapan dari informan bahwa terkadang
mereka terkejut dengan penggunaan bahasa yang kalau diartikan itu mempunyai arti
yang kasar tetapi sudah lumrah digunakan dalam bahasa pergaulan khususnya di
Jakarta, misalnya kata “bodoh amat” yang secara arti memang berarti kasar yaitu
pengungkapan seseorang yang sedang emosi padahal dalam bahasa pergaulan artinya
“ terserah”. Persepsi mereka adalah bahwa yang mengucapkan kata “bodoh amat” itu
sedang marah dengan teman sebelahnya.
Tetapi yang penulis lihat bahwa kesulitan mahasiswa Patani dalam memahami
dan mengungkapkan kalimat-kalimat bahasa Indonesia adalah ketika kata-kata yang
sudah diberi imbuhan, awalan, akhiran. Misalnya ketika saya mengucapkan kata
“penyesuaian” mereka tidak memahami apa artinya dan barulah saya menjelaskan
dengan rinci maknanya. Ini memang menurut penulis sangat wajar mereka tidak
memahaminya karena memang kata-kata seperti itu harus dipelajari dalam struktur
bahasa Indonesia.
Salah satu kegiatan dari anggota HIPPI ini adalah diskusi rutin yang
dilakukan satu minggu sekali. Dari hasil pengamatan penulis yang sempat mengikuti
60
diskusi itu bahwa bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa daerah mereka sendiri
yaitu melayu Patani, walaupun dalam forum diskusi yang tidak hanya diikuti oleh
anggota HIPPI saja tetapi ada beberapa orang Indonesia yaitu teman-teman dari
mereka yang ikut dalam forum itu tetapi mereka dengan leluasa dapat mengeluarkan
identitas asli yaitu menggunakan Bahasa daerah Patani.
Berdasarkan pengungkapan dari orang Indonesia yang ikut diskusi apakah dia
memahami atau tidak apa yang mereka bicarakan dalam diskusi itu ternyata memang
pas pertama kali ikut masih sedikit bingung apa yang mereka bicarakan tetapi karena
sudah lama juga bergaul dengan mereka, sering mendengar mereka berkomunikasi
sesama mereka dan ternyata memang bahasanya mirip dengan bahasa melayu
Indonesia hanya saja diganti pada ujung-ujungnya misalnya “dimana” diganti dengan
“ dimano” makanya karena sering bergaul dia pun sudah paham dengan apa yang
mereka bicarakan dengan banyak sharing juga mengenai kata-kata yang belum
dipahami.
Selama waktu penelitian penulis juga sempat mengikuti kegiatan dari HIPPI
yang kebetulan bertepatan dengan kegiatan penerimaan anggota baru HIPPI.
Berdasarkan pengungkapan dari ketua HIPPI, bahwa salah satu program HIPPI itu
sendiri yaitu mendata anak-anak yang ingin melanjutkan kuliah di Indonesia dengan
cara mereka bersosialisasi ke sekolah-sekolah yang ada di Patani dan siapa saja yang
berminat HIPPI sendiri yang akan mengurusi dari mulai akomodasi, tempat tinggal
mereka selama di Indonesia sudah dipersiapkan oleh pengurus-pengurus HIPPI.
61
Kegiatan oreientasi penerimaan anggota baru HIPPI dilakukan selama lima
hari yang bertempat di arena Gintung. Dalam kegiatan itu calon mahasiswa-mahasiwa
baru dibekali dengan pendidikan baik itu secara ilmu pengetahuan, fisik dan mental.
Secara ilmu pengetahuan ternyata senior-senior HIPPI juga membekali ilmu
pengetahuan tentang Indonesia dari mulai sejarah Indonesia, letak geografis, belajar
bahasa Indonesia (mulai dari kosa- kata, sastra).
Foto pembekalan materi tentang bahasa Indonesia ketika orientasi
Sumber :dok. pribadi
Calon anggota baru HIPPI tahun 2014 sebanyak 15 orang yang akan
menyebar di universitas-universitas yang ada di Jakarta sesuai denga keinginan
mereka. Dalam segi bahasa calon anggota baru itu belum bisa berbahasa Indonesia
dan belum bisa memahami dan merespon ketika diajak berkomunikasi, artinya bahwa
walaupun bahasa melayu Patani itu mirip dengan bahasa Indonesia tetapi harus
62
membutuhkan waktu juga untuk bisa memahami bahasa Indonesia. Dalam
komunikasi antarbudaya ketika seseorang berada dalam budaya yang berbeda atau
merantau memang disarankan untuk mempelajari latarbelakang budaya tersebut
untuk mencapai tujuan agar dapat berkomunikasi dengan lingkungan baru tersebut.
Foto pembekalan mental ketika orientasi penerimaan anggota baru HIPPI
Sumber : dok. Pribadi
Selain kegiatan orientasi penerimaan anggota baru HIPPI, peniliti juga sempat
mengikuti acara rutin mereka yaitu yasinan yang disusul dengan acara latihan
khutbah jum’at (khusus untuk laki-laki). Dalam kegiatan ini dapat diamati dalam
latihan khutbah jumat, penyampaian khutbah jumat itu menggunakan bahasa
Indonesia bukan bahasa daerah. Ternyata khutbah di Patani itu penyampaiannya
menggunakan bahasa buku yang menggunakan tulisan latin seperti bahasa Indonesia
perbedaanya hanya beberapa kata-kata berbahasa melayu, tulisan dalam buku-buku
63
patani ada bermacam-macam yaitu tulisan Jawi (Yawi atau arab melayu) dan tulisan
Siam (Thai) dan Bahasa latin seperti Bahasa Indonesia.
Foto kegiatan yasinan dan khutbah
Sumber : dok. pribadi
Bahasa Yawi, (Tulisan Jawi: ‫ )بهاس جاوي‬merupakan transkripsi perkataan
Bahasa Thai ยาวี, yang dipahami oleh Orang Thai sebagai Bahasa Melayu Patani
(Jawi: ‫)بهاس مالي ڤطاني‬. Bahasa Yawi juga dipanggil Baso Nayu atau Kecek Nayu
dituturkan secara meluas di wilayah-wilayah selatan Thailand, yaitu Narathiwat,
Yala, Pattani, dan sesetengah kawasan di Songkhla serta Satun, selain itu ia juga
dituturkan di beberapa kawasan utara semenanjung Malaysia terutama sekali
Kelantan dan di daerah Baling dan Sik di Kedah. Dianggarkan bahawa terdapat 3 juta
64
orang penutur Bahasa Yawi63. Tulisan Siam (Thai) merupakan tulisn asli Negara
Thailand yang huruf-hurufnya mirip dengan tulisan sansekerta.
Gambar tulisan Jawi (arab melayu)
Sumber : internet
Gambar tulisan Siam
63
http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu_Pattani, diakses pada tanggal 19 agustus 2014 pukul
17:41
65
Sumber : internet
Keunikan dari mahasiswa yang berasal di Patani ini menurut penulis adalah
dalam pemilihan jurusan pendidikan yang mereka ambil. Ternyata sudah banyak
mahasiswa-mahasiawa Patani yang melanjutkan Perguruan Tinggi Di Indonesia
banyak mengambil Jurusan Bahasa Indonesia. Hal ini terdengar unik menurut saya
karena mereka adalah mahasiswa yang bukan dari Negara Indonesia tetapi
menggeluti bidang Bahasa Indonesia. Alasan mereka adalah karena di Patani sendiri
Bahasa Indonesia sudah ada dalam kurikulum pendidikan di Patani, jadi banyak
dibutuhkan guru-guru yang pakar di bidang bahasa Indonesia. Dan lebih unik lagi,
setiap mahasiswa yang melanjutkan perguruan tinggi di Indonesia walaupun mereka
bukan dari jurusan bahasa Indonesia tetapi mereka selalu disuruh untuk menjadi guruguru Bahasa Indonesia di pendidikan Sekolah Dasar di Patani.
Memang terkadang adanya persepsi mengenai identitas suatu budaya secara
langsung dan tidak langsung mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi
66
menggunakan bahasa asalnya. Persepsi identitas budaya terkadang dimata orang-yang
berbeda asal daerah terkadang terkesan lucu, memiliki kesan wong ndeso,
ditertawakan, tidak sopan, memalukan, tidak pantas digunakan pada ruang lingkup
resmi, logatnya terdengar kasar. Itulah yang membuat seseorang mengakomodasi
tindakan dan prilaku mereka ketika berhadapan dengan orang-orang yang dari luar
daerah tersebut.
Ketika seseorang melakukan interaksi dengan kelompok budaya lain pada
dasarnya ia membawa identitas budayanya. Identitas tersebut dapat berupa perilaku
dan bahasa. Tidak ada yang salah dengan identitas budaya dan seharusnya tidak perlu
merendah diri saat seseorang berhadapan dengan budaya lain. Namun, adakala
kelompok-kelompok suatu budaya saat berinteraksi dengan kelompok kebudayaan
lain merasa tidak percaya diri dengan bahasa dan dialeknya. Mereka cenderung
mengurangi bahkan menghilangkan bahasa dan dialek tersebut dalam pergaulan
sehari-hari. Dalam hal ini mengakibatkan suatu proses akomodasi, dimana kelompok
budaya yang merasa lebih rendah kemudian berusaha mengakomodasi kelompok
budaya yang dianggap lebih tinggi dalam bentuk yang mereka pahami.
Berdasarkan pengungkapan dari para informan yang memang sudah agak
lama sekitar satu sampai dua tahun tinggal di Indonesia khususnya di Jakarta, mereka
terlihat sudah menguasai bahasa percakapan di Indonesia terutama dalam segi bahasa,
sudah terdengar penggunaan bahasa-bahasa Jakarta misalnya “iya deh, itu daonk,
masa sih”, dari penggunaan kata-kata itu yang diungkapkan para informan yang
disebut dengan konvergensi yang Giles dan para koleganya telah tetapkan dalam
67
sebuah pengamatan umum bahwa para pelaku komunikasi seringkali saling meniru
prilaku. Mereka menyebutnya pemusatan (convergence) atau penyamaan. Penyamaan
ini tentu dilakukan untuk mencapai komunikasi yang efektif ketika berkomunikasi
dengan orang-orang di lingkungan rempat merka merantau. Mahasiswa Patani
memang poneliti lihat berusaha untuk membuat penyamaan (convergensi) dari
penggunaan Bahasa yang mereka gunakan, mereka berusaha untuk memakai Bahasa
Indonesia ketika berkomunikasi walaupun masih banyak keliru penggunaannya dan
mereka tidak juga membuat pemisahan (divergensi) yaitu berusaha menonjolkan
budaya asli mereka.
Menurut pengamatan penulis bahwa ketika mereka berbicara masih banyak
pula penggunaan kata-kata yang belum tepat digunakan dalam sebuah kalimat.
Misalnya dalam wawancara mereka berpendapat tentang Indonesia “ Indonesia itu
menurut saya tarik”, kata Tarik dalam kalimat itu tidak sesuai dengan EYD yang
seharusnya “ Indonesia itu menurut saya menarik”. Itulah salah satu penggunaan
kata-kata yang belum sempurna ketika mereka berkomunikasi. Begitu pula dalam hal
membaca tulisan-tulisan buku bahasa Indonesia dengan logat melayu, misalnya
tulisan “Syurga” dibaca dengan “syurgo”.
Semua informan mengungkapkan saat berada di Indonesia sebelum
beradaptasi dengan baik pertama kali mereka mengalami kejutan budaya (shock
culture). Hal seperti ini wajar dialami ketika seseorang berada pada sebuah
lingkungan baru. Adaptasi terhadap budaya terutama dilakukan agar hal-hal yang
kelak dapat menjadi kendala dalam berkomunikasi dapat dihindari.
68
Berdasarkan pengungkapan semua informan, mereka menemukan sedikit
keanehan ketika pertama kali tinggal di Indonesia khususnya di Jakarta. Salah
satunya yaitu keanehan pada perempuan-perempuan Indonesia, di Patani sendiri
karena mayoritas dari penduduknya adalah beragama islam maka disana semua
perempuan Patani mamakai kerudung dan kalaupun ada yang tidak memakai
kerudung maka itu adalah orang yang beragama budha. Nah, lain kejadiannya dengan
di Indonesia semua informan merasa terkejut dengan perempuan-perempuan
Indonesia yang banyak tidak memakai kerudung tetapi beragama islam. Persepsi
mereka pertama kali semua perempuan-perempuan yang tidak memakai kerudung
adalah non muslim.
Seperti wawancara dengan informan dibawah ini dengan logat khas mereka:
“pertama masuk Indonesia agaknya aneh gitu, kalau disini tentang
budaya itu kayak kerudung misalnya untuk muslim, jadi kalau di Thailand
setiap muslim ya muslim perempuannya pakai kerudung trus bajunya baju
pakainya baju melayu, beda antara Budha dan muslim. Tapi kalau di
Indonesia muslim itu susah beda gitu pakai rok mini tapi shalat gitu jadi agak
aneh kalau di Patani yang orang islam itu khususnya perempuan rata-rata
menggunakan kerudung”.64
Ungkapan informan lain “
“ada yang aneh yaitu orang-orang Indonesia itu menurut saya kan
orang Indonesia itu yang paling banyak muslim ya trus pas sampai di
Indonesia kan kalau di Thailand orang yang gak pake kerudung
perempuannya orang-orang non muslim tapi orang Indonesia yang aneh itu
orang yang gak pake kerudung yang pake baju terbuka dan celana pendek
kok itu muslim. Pas pertama kali itu pas di PIM ngeliat perempuan yang gak
pake kerudung tadi pada ngantri wudhu kan kalau mau cuci muka ada
tempatnya sendiri trus mereka shalat kan itu aneh soalnya kalau disana gak
64
Wawancara dengan Rohanee Cheha, 08-06-214, 10.00 WIB
69
ada yang kayak gitu rata-rata kalau seperti itu orang budha, tapi lama-lama
udah biasa, biasa banget”.65
Selain dalam hal pakaian ada pula informan yang mengatakan tentang sedikit
keanehan lain khususnya di Jakarta yang ditemui pada kebiasaan masyarakat
Indonesia yaitu penggunaan Black Berry Massanger atau yang lebih dikenal dengan
BBM, masyarakat Indonesia rata-rata menggunakan BBM, setiap bertemu teman
yang pertama ditanya adalah pin BB. Budaya seperti ini aneh menurut informan ini
karena di Patani penggunaan BBM tidak diterima oleh sistem Negara hanya
Whatsapp dan Facebook saja yang boleh dipergunakan. Seperti petikan wawancara
dibawah ini :
“kalau di Jakarta sih budaya BBM itu bikin orang jadi sombong gitu
jadi dunia privasi sendiri gitu sedangkan temen sebelah gak di ituin
pngennya temen jauh, kalau di Thailand jarang ada yang main bbm, di Patani
itu gak ada. Dulu sekitar tahun 2011 bbm itu sempat buming tapi setelah itu
aplikasi bbm gak diterima lagi di Thailand”.66
Kemacetan juga salah satu menjadi perhatian mereka saat tiba di Indonesia,
kerena di Thailand sendiri tidak ada kemacetan di jalan raya dan banyaknya
pedagang-pedagang yang berjajaran dipinggir-pinggir jalan juga membuat mereka
sedikit aneh karena di Thailand tidak ada yang seperti di Indonesia.
1. Pengungkapan Identitas Budaya Dalam Segi Pakaian
Perempuan-perempuan muslimah yang berasal dari Patani Thailand ini
mempunyai ciri khas sendiri dalam hal berpakaian. Rata-rata dari perempuan-
65
66
Wawancara dengan Su-aidee Abuwa, 04-06-2014, 21.00 WIB
Wawancara dengan Asuan Rira, 04-06-2014, 20.30 WIB
70
perempuan yang penulis lihat ketika berada dalam sebuah perkumpulan pakaian
mereka identik dengan menggunakan baju kurung setelan yang dipadu dengan
kerudung kurung panjang yang identik berwarna hitam yang mirip sekali dengan
perempuan-perempuan muslimah yang berasal dari Malaysia, pakaian seperti itu
sudah menjadi adat kebiasaan yang digunakan oleh perempuan-perempuan Patani.
Pada umumnya kebanyakan ketika seseorang berada di daerah yang bukan aslinya
mereka lambat-laun akan cenderung terpengaruhi dengan budaya di tempat ia tinggal
entah itu dari segi bahasa atau pakaian. Tapi berbeda dengan perempuan-perempuan
Patani ini, mereka tetap menampilkan identitas budaya aslinya dengan berbusana
sesuai dengan kebiasaan perempuan-perempuan Patani pada umumnya karena
kebanggaan mereka terhadap budayanya dan kedalaman mereka mengenai ajaran
agama islam yang memerintahkan perempuan muslimah untuk menutup aurat dengan
sempurna, walaupun di Indonesia sendiri berbusana seperti mereka itu sangat
minoritas tetapi mereka tidak merasa terasingkan ketika menggunakan pakaian asli
daerahnya. Wajarlah mereka merasakan keanehan ketika melihat perempuanperempuan muslim Indonesia yang menggunakan kerudung tetapi memakai celana
levis yang ketat yang sudah lumrah di masyarakat Indonesia. Untuk laki-laki dalam
hal berpakaian tidak ada perbedaan dengan busana laki-laki di Indonesia. Walaupun
ada satu dan dua orang dari sekian banyak perempuan-perempuan patani yang sudah
sedikit terpengaruh dengan pakaian-pakaian perempuan Indonesia.
2. Bentuk- Bentuk Adaptasi Budaya
71
Penyesuaian mahasiswa Thailand tinggal di Indonesia bermacam-macam. Ada
yang memang sudah agak terbiasa dari penggunaan Bahasa melayu, misalnya
Maryam Ding adalah seorang mahasiswa yang pernah melanjutkan kuliah sampai
jenjang D3 di Malaysia kemudian melanjutkan studi jenjang S1 di UIN Jakarta, bagi
Maryam ketika tinggal di Indonesia tidak terlalu sulit dalam segi Bahasa karena
sudah terbiasa tinggal di Malaysia yang notaben penggunaan Bahasa mirip dengan
Bahasa melayu Indonesia. Tapi ada pula yang memulai adaptasi dari awal karena
masih buta dengan latarbelakang budaya Indonesia baik dari segi Bahasa maupun
prilaku masyarakatnya sehingga membutuhkan waktu untuk belajar Bahasa karena
tuntutan pendidikan yang mengharuskan untuk memahami Bahasa Indonesia secara
matang.Wajarlah diawal-awal pertemuan dikelas membuat mereka tidak mengerti apa
yang dibicarakan dosen, namun dosen juga memahami karena mereka mahasiswa
asing maka untuk penjelasan mata pelajaran dijelaskan secara pelan.
Ada pula yang harus beradaptasi dari awal, seperti yang pernah saya amati
ketika kegiatan orientasi anggota baru HIPPI terlihat bahwa anak-anak yang baru
datang dari Patani belum bisa memahami dan mengucapkan kalimat-kalimat
percakapan bahasa Indonesia. Ketika penulis ajak bicara mereka masih dengan muka
kebingungan Karena tidak memahami apa yang penulis katakan, oleh karenanya
mereka sewaktu masa orientasi itu dibekali oleh senior-senior mereka belajar bahasa
Indonesia dari mulai belajar huruf-huruf abjad beserta cara membacanya.
72
Bentuk-bentuk penyesuaian diri yang diungkapkan sobur dalam bukunya
Psikologi Umum bisa diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu, (a) yang adptive
dan (b) yang adjustive.
a. Yang adaptive
Bentuk penyesuaian diri yang adaptive sering dikenal dengan istilah adaptasi.
Bentuk penyesuaian diri ini lebih bersifat badani. Artinya, perubahan-perubahan
dalam proses badani untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan.
Misalnya berkeringat adalah usaha tubuh untuk mendinginkan tubuh dari suhu yang
panas atau dirasakan terlalu panas. Yang adaptive yang dialami mahasiswa Patani
ketika tinggal di Indoneisa tidak mengalami penyesuaian yang berat yang mereka
rasakan karena dalam segi cuaca antara wilayah Patani dengan Indonesia itu sama
jadi mereka tidak mengalami kesulitan harus beradaptasi terhadap keadaan cuaca di
Indonesia.
c. Yang adjustive
Bentuk penyesuaian yang lain, yang tersangkut kehidupan psikis kita, biasanya
disebut sebagai bentuk penyesuaian yang adjustive. Karena tersangkutnya kehidupan
psikis dalam penyesuaian yang adjustive ini, dengan sendirinya penyesuaian ini
berhubungan dengan tingkah laku. Sebagaimana kita ketahui , tingkah laku manusia
sebagian besar dilatarbelakangi oleh hal-hal psikis ini, kecuali tingkah laku tertentu
dalam bentuk-bentuk gerakan yang sudah menjadi kebiasaan atau gerakan-gerakan
refleks. Maka penyesuian ini adalah penyesuaian diri tingkah laku terhadap
73
lingkungan yang dalam lingkungan ini terdapat aturan-aturan atau norma-norma.
Singkatnya penyesuaian terhadap norma-norma. Penyesuaian Yang adjustive yang
dialami oleh mahasiswa Patani yaitu salah satunya ketika lewat didepan rumah
warga, norma kesopanan atau kebiasaan di Indonesia yaitu dengan kebiasaan tegur
sapa atau sekedar mengucapkan kata “ persmisi”. Bentuk penyesuaian ini tidak
menjadi kendala bagi mereka hanya saja perlu waktu untuk belajar bagaimana dan
apa saja norma-norma sosial pada masyarakat Indonesia.
3. Tahap - Tahap Adaptasi Budaya
a. Tahap pertama yang disebut dengan periode bulan madu, berdasrkan
pengungkapan dari informan bahwa tahap ini terjadi ketika awal-awal tiba di
Indonesia. Mereka merasakan senang dan kagum bisa berada di Indonesia
menghadapi suasana yang baru dengan keadaan masyarakat Indonesia yang
padat khususnya di Jakarta karena mereka melihat hanya di Jakarta saja dan
juga banyak sekali kendaraan sedangkan didaerah Patani sendiri masih sepi.
b. Tahap kedua masa dimana daya tarik dan kebaruan sering berubah menjadi
frustasi,
cemas,
dan
bahkan
permusuhan,
karena
kenyataan
hidup
dilingkungan atau keadaan yang asing menjadi lebih terlihat. Keadaan ini
bedasarkan pengungkapan dari informan tidak mereka alami bukan karena
mereka tidak merasakan cemas tetapi perasaan seperti ini hanya sedikit saja
terlintas misalnya menghadapi kemacetan dan sedikit aneh melihat keadaan
budaya perempuan muslimah Indonesia yang tidak menggunakan kerudung
tetapi ini tidak membuat mereka frustasi dan cemas yang berlebihan.
74
c. Tahap ketiga ini mahasiswa Thailand mulai menyesuaikan keseimbangan
terhadap lingkung baru yang mereka hadapi dengan membiasakan kembali
perbedaan-perbedaan yang ada antara budaya Patani dan Indonesia.
d. Setelah mengalami tahap ketiga penyesuaian terus berlanjut, mahasiswa
Thailand seiring dengan waktu bisa terbiasa dan memahami dengan
perbedaan-perbedaan yang mereka temukan pada masyarakat Indonesia
karena perbedaan-perbedaan yang ada antara budaya Patani dan Indonesia
tidak mebuat mereka merasa kesulitan untuk menerimanya.
4. Asumsi-Asumsi Dalam Teori Akomodasi
Asumsi pertama, persamaan dan perbedaan berbicara dan perilaku terdapat di
dalam semua percakapan. Ada beberapa yang dapat penulis temukan perbedaan
bahasa yang penulis temukan antara bahasa melayu Patani dengan bahasa Indonesia :
Tabel contoh beberapa perbedaan bahasa Patani dan bahasa Indonesia
Kata
Arti
Kecewo
kecewa
Denge
dengan
kesedihe
kesedihan
Kekuate
kekuatan
Sipa’
Sifat
Lepah
Lepas
Mako
Mako
75
Do’
Duduk
Cepa’
Cepat
Maye
Shalat
Tempa’
tempat
Reh
Ya (kata penekanan)
Isle
Islam
Bahaso
bahasa
Siki’
sedikit
Asumsi kedua, cara kita memersepsikan tuturan dan prilaku orang lain akan
menentukan bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan. Asumsi ini tidak
terdapat pada akomodasi komunikasi pada mahasiswa Patani karena mereka dengan
leluasa dapat menggunakan bahasa asli daerah mereka di depan orang-orang luar
daerahnya dan ketika berbicara dengan orang-orang Indonesia mereka menggunakan
bahasa Indonesia dengan tidak menghilangkan logat asli mereka. Jadi tidak ada
persepsi-persepsi negatif yang mempengaruhi mereka untuk tidak menggunakan
dialek asli daerah mereka sendiri. Asumsi kedua ini terjadi ketika ada suatu kelompok
yang tidak leluasa dalam mengungkapkan diri dengan identitas budaya aslinya
terutama
dalam
dialek
bahasa
karena
ada
persepi-persepsi
negatif
yang
mempengaruhi cara berkomunikasi dengan bahasa asalnya.
Penulis menemukan dalam sebuah penelitian yang ditulis oleh mahasiwa
Universitas Diponegoro Semarang tentang ada salah satu kelompok yaitu perantau
76
yang berasal dari Banyumasan yang malu untuk menggunakan dialek ngapak-ngapak
yaitu dialek asli mereka. Dialek Ngapak-ngapak merupakan bagian dari rumpun
Bahasa Jawa, namun banyak orang yang memiliki penilaian tersendiri mengenai
dialek Ngapak-ngapak yang dianggap berbeda dengan dialek Bahasa Jawa lainnya.
dialek tersebut lucu, memiliki kesan wong ndeso, ditertawakan, tidak sopan,
memalukan, tidak pantas digunakan pada ruang lingkup resmi, logatnya terdengar
kasar.
Persepsi tersebut mempengaruhi para perantau dari Banyumas dalam
pengungkapan diri menggunakan dialek Ngapak-ngapak sebagai bagian dari identitas
kultural. Hal ini merupakan bentuk emotional vulnerability (identitas kelompok dan
identitas individu akan mempengaruhi cara-cara seseorang dalam memersepsikan,
berpikir dan berperilaku dalam lingkungan sehari-hari) masyarakat Banyumas untuk
dapat diterima dengan baik di tempat mereka merantau. Masyarakat dari kelompok
yang memiliki identitas kultural tidak kuat cenderung enggan untuk mengekspresikan
latar belakang budayanya bahkan cenderung mengakomodasi kelompok yang
memiliki latar belakang budaya yang kuat.67
Bentuk evaluasi perilaku komunikasi yang masyarakat Banyumas itu, pertama
adalah melihat situasi atau setting tempat yang memungkinkan mereka berbicara
dengan bahasa atau aksennya. Biasanya mereka akan berbicara dengan Dialek
Ngapak-ngapak ketika bertemu dengan komunitas yang asal daerahnya sama. Selain
itu mereka juga tidak menggunakan bahasa tersebut pada ruang lingkup acara formal.
67
Hanum Salsabila, Akomodasi Komunikasi Dalam Interaksi Antar Budaya Kasus Perantau yang
Berasal dari Daerah Banyumasan dalam Mengomunikasikan Identitas Kultural,( skripsi Universitas
Diponegoro,Semarang,2011),http://eprints.undip.ac.id/29021/1/SUMMARY_SKRIPSI_Hanum_Salsa
bila.pdf, diakses pada tanggal 26 Juni 2014 jam 14:20.
77
Kedua adalah pada tahap awal interaksi mereka cenderung berbicara menggunakan
Bahasa Indonesia tanpa melekatkan aksen Ngapak-ngapak. Yang ketiga adalah
beradaptasi dengan melakukan penyesuaian terhadap orang lain dalam penggunaan
bahasa. Mereka cenderung melakukan penyesuaian bahasa dalam berkomunikasi
selama mereka memahami bahasa komunikannya.
Asumsi yang ketiga, berkaitan dengan dampak yang memiliki bahasa tehadap
orang lain. Secara khusus, bahasa memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan
status dan keanggotaan kelompok diantara para komunikator dalam sebuah
percakapan.68
Asumsi ini menurut penulis tidak terdapat dalam interaksi mahasiswa Patani
dengan orang-orang diluar daerahnya karena dalam asumsi ini berbicara tentang
bahasa yang digunakan ketika dalam proses percakapan antara dua orang cenderung
merefleksikan individu dengan status sosial yang lebih tinggi. Misal percakapan
antara seseorang yang akan melamar pekerjaan ketika dalam proses wawancara maka
si pelamar biasanya dituntun oleh pewawancara. Pewawancara sebagai individu
dengan status sosial yang lebih tinggi menentukan atmosfer melalui bahasa dan
prilakunya.
Asumsi keempat, berfokus pada norma dan isu mengenai kepantasan sosial.
Setiap kelompok-kelompok budaya pasti memiliki norma-norma di masyarakatnya
agar dapat mengatur apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Mahasiswa
68
West, Richard dan H. Turner, Lynn., (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar
Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hal. 221
78
Patani yang tinggal di Indonesia sebagai lingkungan baru, mereka seharusnya dapat
mengetahui
norma-norma
prilaku
masyarakat
Indonesia
agar
terhindarnya
kesalahpahaman ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Berdasarkan
pengungkapan dari para informan bahwa mereka seiiring waktu mempelajari sedikitdemi sedikit norma-norma dalam di masyarakat Indonesia. Misalnya norma
kesopanan ketika lewat didepan rumah warga di Indonesia umumnya kita harus
menundukkan kepala dan mengucapkan kata permisi sebaga tanda kseopanan kita
terhadap orang lain.
b. Hambatan Dalam Penyesuaian Komunikasi Antarbudaya
Hambatan yang dialami oleh para mahasiswa yang berasal dari Patani
Thailand ini bisa dikatakan tidak ada hambatan . Hal ini bisa dikatakan menurut
peneliti ada dua faktor pendukung kesamaan yang para informan rasakan ketika
tinggal di Indonesia yang memang sudah diketahui mereka sebelum memutuskan
untuk tinggal di Indonesia dan juga stereotip pofitif yang mereka punya bahwa orangorang
Indonesia
itu
masyarakatnya
dikenal
dengan
keramah-tamahannya.
Berdasarkan pengungkapan dari informan-informan yang ada bahwa tinggal di
Indonesia walaupun tinggal di Negara asing tetapi mereka merasakan kenyamanan
seperti tinggal di Negara sendiri. Faktor pertama kesamaan yang hampir mirip dalam
segi bahasa. Bahasa memang merupaka suatu hal yang terpenting dalam kehidupan
bermasyarakat terlebih lagi ketika kita berada dilingkungan baru dengan
latarbelakang budaya berbeda dan merupakan suatu hal yang menyenangkan ketika
kita berada disuatu lingkungan baru apa lagi dalam lingkup berbeda Negara dan
79
ternyata bahasa asli kita dengan bahasa tempat baru itu hampir sama dan mudah
untuk dipahami akan menjadi salah satu faktor pendukung kenyamanan kita tinggal
ditempat tersebut. Ungkapan dari salah satu informan bahwa betapa sulitnya tinggal
di daerah yang bahasanya kita harus benar-benar belajar dari nol tidak seperti di
Indonesia mereka memahami Bahasa percakapannya. Seperti ungkapan informan :
“Kalau aidi gak belajar dari satu kamus pun tapi dari sosial kita
ngobrol, bicara sama teman-teman, pas pertama smsan itu banyak
banget terus kalau ada yang gak ngerti tanyak ini artinya apa coba misal
kita tinggal di Turki harus belajar lagi dari awal”.69
Dari letak geogarfis memang Patani adalah daerah yang terletak di Selatan
Thailand berbatasan dengan Negara Malaysia dan karena dibagi oleh jajahan inggris
maka Patani di masukkan ke Negara Thailand, itulah sebabnya Bahasa mereka
cenderung lebih kepada Bahasa melayu daripada Bahasa Thai sendiri. Tapi walaupun
mereka lebih cenderung menggunakan Bahasa melayu Patani, Bahasa Thai sendiri
pun tidak mereka tinggalkan sebagai bahasa ibu. Oleh karena itu bahasa menjadi
faktor pendukung bagi mereka untuk tinggal di Indonesia.
Seperti dalam petikan wawancara :
“kalau misal mengikut rohani Indonesia itu serumpun sama Patani
jadi gak terlalu beda, kan rohani tinggal di Patani itu perbatasan diantara
Malaysia jadi kalau ngomongnya sama gitu”70
Factor kedua kesamaan dalam hal kepercayaan (agama). Penduduk Patani
Thailand selatan
merupakan penduduk yang mayoritas memeluk agama islam,
walaupun di Negara Thailand sendiri khususnya di daerah Ibu kota Bangkok
69
70
Wawancara dengan aidee pd tgl 4 juni 2014 jam 21.00
Petikan wawancara bersama Rohanee Cheha, 08-06-2014, 10.00 WIB
80
mayoritas penduduknya memeluk agama budha. Hal ini yang menyebabkan mereka
merasakan kenyamanan dan rasa persaudaraan terhadap orang-orang Indonesia yang
mayoritas penduduknya memeluk agama islam.
Seperti dalam wawancara:
“kalau milih kuliah disini agaknya kalau disana (Thailand) mayoritas
Budha kalau rohani kan muslim jadi udah D3 disana terus dosen-dosen di
Thailand itu kebanyakan alumni dari Indonesia jadi agaknya enaklah disini
kuliah”.71
Ada pula yang mengungkapkan alasannya:
“Alasan milih Indonesia buat kuliah itu karena di Thailand sudah
terbukti bahwa alumni yang lulusan dari Indonesia itu banyak yang berbakti
kepada Negara banyak dikampung-kampung diwilayah-wilayah itu banyak
yang lulusan Indonesia yang berjasa kepada Negara jadi sangat berbeda
dengan Mesir, Suriah, Malaysia itu beda dan kebanyakan kalau di mesir,
suriah itu ilmu agama, di Indonesia juga ilmu agama cuman Indonesia itu
pemikirannya lebih luas dan modern sesuai dengan keadaan sekarang”.72
Ada pula informan yang mengungkapkan :
“karena Indonesia itu terkenal dengan mayoritas Islam gitu jadi
emang kalau dari makanan kan enak pasti halal”.73
Alasan informan lain yang mengatakan:
“Hidup di Indonesia itu nyaman karena salah satunya dari segi
agama , di Indonesia jika kita berpergian dan sudah tiba waktunya untuk
shalat maka itu tidak susah untuk mendapatkan tempat shalat tidak seperti
di Thailand kalau berpergian ke kota Bangkok sulit sekali untuk
mendapatkan tempat ibadah”.74
Begitu juga informan lainnya mengungkapkan:
71
Petikan wawancara bersama Rohanee Cheha, 08-06-2014, 10.00 WIB
Petikan wawancara bersama Abdul Hakim, 04-06-2014, 22.00 WIB
73
Wawancara dengan Asuan Rira, 04-06-2014, 20.30 WIB
74
Wawancara dengan Rohanee Cheha, 08-06-2014, 10.00 WIB
72
81
“tinggal di Indonesia itu seperti tinggal dikampung halaman
sendiri karena mayoritasnya muslim sama seperti di Patani juga”.75
Perbedaan dalam setiap budaya sudah pasti ada terlebih lagi dalam lingkup
berbeda Negara. Seseorang yang ketika berada didaerah tempat ia merantau memang
sebaiknya melakukan beberapa cara seperti yang diungkapkan oleh ahli komunikasi
Joseph De Vito menawarkan beberapa panduan untuk menghindari hambatan dalam
komunikasi antarbudaya:76
1. Kenalilah budaya diri sendiri dan budaya orang lain
2. Mengakui bahwa perbedaan itu ada dalam setiap kelompok, hindari stereotip,
jangan terlalu menyamaratakan atau beranggapan bahwa perbedaan dalam
suatu kelompok tidak penting.
3. Ingatlah bahwa makna ada pada diri seseorang dan bukan terdapat dalam katakata atau dalam gerak-isyarat yang digunakan.
4. Waspada terhadap aturan-aturan budaya yang berlaku dalam setiap konteks
komunikasi antarbudaya.
5. Hindari evaluasi negatif terhadap perbedaan budaya baik secara verbal dan
nonverbal.
6. Jaga diri dari kejutan budaya dengan mempelajari sebanyak mungkin budaya
yang akan dimasuki.
75
Wawancara dengan Abdul Hakim, 04-06-2014, 22.00 WIB
Brent D. Ruben & Lea P. Stewart, Komunikasi dan Prilaku Manusia, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2013, hal. 378
76
82
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya pada mahasiswa yang berasal
dari Patani Thailand yaitu mereka menyesuaikan dan menunjukkan prilaku apa
adanya tanpa ada modifikasi komunikasi terutama dalam hal percakapan. Pertama
dalam segi bahasa, dalam percakapan tidak adanya setting of communication yang
dilakukan artinya mereka berprilaku dengan mengungkapkan identitas budaya asli
mereka tanpa ada perasaan-perasaan malu atau minder bahasa yang mereka gunakan
ketika berinteraksi dengan orang-orang Indonesia yaitu bahasa Indonesia yang
berlogat melayu, antara bahasa daerah Patani dan bahasa Indonesia tidak jauh
berbeda hanya saja bahasa Patani itu perbedaannya pada ujung-ujung kata misalnya
“saya” menjadi “sayo” dan mereka juga tidak malu untuk menggunakan bahasa asli
mereka dihadapan orang-orang luar patani pada saat berinteraksi dengan orang-orang
Patani
Kedua dalam segi pakaian. Masyarakat Patani mempunyai ciri pakaian khas
dalam kesehariannya khususnya untuk perempuan. Masyarakat Patani
mayoritas
memeluk agama Islam sehingga perempuan-perempuan disana diwajibkan untuk
83
menggunakan kerudung dan di Patani ketika ada perempuan yang tidak menggunkan
kerudung persepsinya adalah perempuan Budha, pakaian khas perempuan-perempuan
Patani adalah baju setelan kurung yang dipadu dengan kerudung kurung panjang yang
identik berwarna hitam. Oleh karena itu mereka merasa heran ketika melihat
masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam tetapi masih banyak
sekali perempuan muslimah yang tidak menggunakan kerudung.,
Hambatan peneyesuaian komunikasi dalam interaksi antarbudaya yang
dialami oleh mahasiswa Patani tidak ada. Hal ini menurut penulis ada dua faktor
kesamaan-kesamaan yang mereka rasakan ketika tinggal di Indonesia sehingga
menimbulkan kenyamanan dirasakan. Pertama faktor bahasa yang hampir sama
sehingga tidak menyulitkan mereka untuk beradaptasi dengan orang-orang pribumi.
Kedua factor kepercayaan, masyarakat Patani yang mayoritas beragama Islam
merasakan kenyamanan ketika berada di Indonesia yang juga masyarakatnya
mayoritas memeluk Islam ketimbang hidup di Negara Thaialand sendiri yang
mayoritas memeluk agama Budha, sehingga mereka mereka merasakan adanya tali
persaudaraan yang terjalin ketika bersosialisasi dengan orang-orang Indonesia.
B. Saran
Masukan dan saran untuk mahasiswa-mahasiswa Patani yang terhimpun dalam
Himpunan Persatuan Patani Di Indonesia (HIPPI) teruslah berjuang menuntut ilmu
sebanyak-banyaknya jangan pernah takut untuk mencoba, dan bagi mahasiswa Patani
Di Indonesia alangkah baiknya memperluas koneksi dengan bersosialisasi dengan
orang-orang pribumi seluas-luasnya. Misalnya dengan tinggal bersama dengan orang
84
pribumi agar terbiasa untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sehingga
terbiasa untuk mengungkapkan pendapat-pendapat dengan lancar.
Untuk mahasiswa yang akan meneliti tentang penelitian komunikasi antarbudaya
untuk hendakanya memperkaya teori-teori dan refrensi tentang komunikasi
antarbudaya karena penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan dengan melihat
Negara Indonesia khususnya yang kaya sekali akan adat dan budaya yang beragama
pada kehidupan masyarakatnya.
85
DAFTAR PUSTAKA
A. Devito, Joseph, Komunikasi Antarmanusia, Tangerang, Karisma Publishing
Group, 2011
Arbi, Armawati, Dakwah dan Komunikasi, Ciputat, UIN Jakarta Press, 2003
Ardianto, Elvinaro&Q-Aness, Bambang, Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung: PT
Remaja
Rosdakarya offset, 2007
Brannen, Julia, Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2002
Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, komunikasi dan prilaku manusia, Depok, PT
Raja Grafindo, 2013
Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif, Jakarta :Kencana Prenada Media Group,
2010
Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja grafindo, 2007
D. Ruben, Brent & P. Stewart, Lea, Komunikasi dan Prilaku Manusia, Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 2013
Emzir, Metodelogi Penelitian Kualitatif : analisis data, Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2012
Fathy al-Fatani, Ahmad, Pengantar Sejarah Patani, Kelantan, Pustaka
Darussalam, 1994
86
Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung, 1996
Larry, Richard & Edwin, Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta, Salemba Humanika,
2010
Larry, Richard, Edwin, Communication Between Cultures, USA, Wadworth
Liliweri, Alo, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2007
Liliweri, Alo, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta,
LKiS, 2003
Modul materi pokok, Komunikasi Antar Budaya, Universitas Terbuka
Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, Jakarta, Prenada Media
Group, 2013
Mulyana dan Solatun, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,
2008
Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaludin, Komunikasi Antarbudaya, Bandung, PT
Remaja Rosdakarya, 2005
Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2009
Mulyana, Dedy Ilmu Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010
Richard, West dan Lynn, H. Turner, (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti
Maer), Pengantar Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba
Humanika, 2008)
Ruswanto Wawan, Penelitian Komunikasi,Jakarta: penerbit universitas terbuka,
1995
87
Shadily, Hassan, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta : PT Rineka
Cipta, 1993
Sobur, Alex, Psikologi Umum, CV Pustaka Setia, Bandung, 2003
Soyomukti, Nurani, pangantar sosiologi, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2010
Strauss, Anselm & Corbin, Juliet ,Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, PT Bina
Ilmu Offset, Surabaya.
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabheta, Bandung, 2010
Syadiliy, Hasan, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta, PT Rineka Cipta,
1993
Uchjana Effendy, Onong, dinamika komunikasi, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2008
Vardiansyah Dani, Filsafat Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Indeks, 2008
W. Littlejohn, Stephen dan A. Foss, karen, Teori Komunikasi, Jakarta : Salemba
Humanika, 2009
SKRIPSI :
Skripsi Rohanee Cheha, Pemikiran Pendidikan Islam Haji Sulong (Studi Atas
Tokoh Pendidikan Islam Di Patani Thailand Selatan), UMJ, 2013
Skripsi Dirga Maulana, Relasi Media dan Politik: Analisis Terhadap Tv One dan
Kepentingan Politik Pemilik, skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
(UIN Jakarta, 2013)
INTERNET:
http://eprints.undip.ac.id/29021/1/SUMMARY_SKRIPSI_Hanum_Salsabila.pdf,
diakses pada tanggal 26 Juni 2014 jam 14:20.
88
http://id.wikipedia.org/wiki/Stereotipe, diakses pada tanggal 14 juni 2014 pukul
16.00
http://ms.wikipedia.org/wiki/Wilayah_Pattani, diakses pada tanggal 19 agustus
2014 pukul 16:46
Modul Materi Pokok, Komunikasi Antarbudaya, Universitas Terbuka,
Download