AKOMODASI KOMUNIKASI DALAM INTERAKSI ANTARBUDAYA Studi Pada Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia Dalam Mengomunikasikan Identitas Budaya Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi islam (S.Kom.I.) Oleh MARIA ULPA NIM: 1111051000009 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M ABSTRAK AKOMODASI KOMUNIKASI DALAM INTERAKSI ANTARBUDAYA Studi Pada Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia Dalam Mengomunikasikan Identitas Budaya Adanya kebutuhan yang dimiliki setiap individu mengakibatkan adanya mobilitas sosial atau disebut dengan istilah merantau dengan beragam kepentingan pekerjaan, pendidikan, keluarga. Begitu pula yang dialami oleh mahasiswamahasiswa yang berasala dari Patani Thailand kerena tuntutan pendidikan di Indonesia mereka harus beradaptasi dengan lingkung barunya. Berdasarkan latarbelakang diatas maka rumusan maslahnya adalah Bagaimana akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya anggota HIPPI terhadap lingkungan baru dalam mengomunikasikan identitas budayanya?,Bagaimana hambatan penyesuaian dalam komunikasi antarbudaya pada anggota HIPPI? Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori akomodasi komunikasi. Richard dan Turner mendefenisikan bahwa Akomodasi (accommodation) sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi atau mengatur prilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya dilakukan secara tidak sadar. Seseorang cenderung memiliki naskah kognitif internal yang digunakan ketika berbicara dengan orang lain. Metodelogi dalam penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif, dengan mengguanakan metode ini peneliti ingin menemukan dan memahami akomodasi komunikasi yang dilakukan mahasiswa yang berasal dari Thailand terhadap mahasiswa atau masyarakat yang ada di Jakarta yang juga berasal dari varian budaya. Hasil peneitian bahwa akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya pada mahasiswa yang berasal dari Patani Thailand yaitu mereka menyesuaikan dan menunjukkan prilaku apa adanya tanpa ada modifikasi komunikasi terutama dalam hal percakapan. Pertama dalam segi bahasa, dalam percakapan tidak adanya setting of communication. Kedua pengungkapan identitas dalam segi pakaian. Hambatan peneyesuaian komunikasi dalam interaksi antarbudaya yang dialami oleh mahasiswa Patani tidak ada, hal ini karena ada dua factor kesamaan budaya yang hamper sama yaitu dalam segi bahasa dan dalam hal kepercayaan. Kata kunci : HIPPI, akomodasi, setting of communication i KATA PENGANTAR Pertama dan yang paling utama saya ucapkan Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi allah SWT Dzat yang tiada pernah berhenti memberi rakhmat dan nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “AKOMODASI KOMUNIKASI DALAM INTERAKSI ANTARBUDAYA Studi Pada Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia Dalam Mengomunikasikan Identitas Budaya”. Kedua shalawat dan salam saya haturkan kepada baginda Nabi Muhammada SAW yang telah banyak sekali berjasa bagi pekembangan bagi umat islam, yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang menderang. Semoga kita semua mendapat syafa’atnya di hari akhir nanti. Skripsi ini disusun sebagaimana memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) UIN Jakarta serta menerapkan dan mengembangkan teori-teori yang penulis peroleh selama pembelajaran dikelas. Penulis telah berusaha untuk memaparkan dan menyajikan suatu karya tulis ilmiah yang rapi dan mudah-mudahan pembaca mudah untuk memahami. Penulis menyadari bahwa penyajian skipsi ini sangat jauh dari kesempurnaan. Hal in disebabkan masih terbatasnya pengetahuan, pengalaman dan kemampuan penulis dalam melihat fakta, memecahkan masalah yang ada serta mengeluarkan gagasan ataupun saran-saran. Oleh karena itu, segala kritik dan saran akan sangat penulis terima dengan hati yang terbuka untuk menyempurnakan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini banyak sekali orang-orang yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis, dan penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : ii 1. Kedua orang tuaku, Ibu hasanah dan Bapak Muhammad Mz yang telah banyak memberi dukungan secara moral dan materi serta tiada henti medoa’kan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Tak lupa pula kepada kakakku Mukhlis Adib, we are the big hoping for our parents so do not make the tears for it. 2. Dr. Arif Subhan, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Suparto Ph.D, M.Ed, Wakil Dekan Bidang Akademik. Drs. Jumroni M.Si, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum. Drs. Wahidin Saputra M.A, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama. 3. Rachmat Baihaky M.A, Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu komunikasi, dan Fita Faturrohmah, M.A, Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 4. Dr. A. Ilyas Ismail, M.A, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan saran kepada penulis. 5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang selama ini telah banyak mentransfer ilmu tanpa ada lelah membimbing dan mendidik kami selama duduk di bangku kuliah UIN Jakarta, semoga allah membalas semua kebaikannya barakallahufiikum, dan mudah-mudahan ilmu yang penulis dapatkan selalu barokah dan bermanfaat di sepanjang hidup penulis. 6. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi tanpa terkecuali yang telah banyak membantu selama proses perkuliahan sehingga kami dapat nyaman dan lancar mengikuti perkuliahan. 7. Kepada seluruh teman-teman dari Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia (HIPPI) yang telah terbuka dan baik menerima peneliti untuk melakukan penelitian terkhusus untuk ka aiman, ka nawawee, ka aminah, aidee, asuan, hakim yang telah bersedia diwawancara oleh peneliti. 8. Seluruh kawan-kawan KPI 2010 dari A – G, terimakasih atas bantuan dan kerja sama dan saling memberi dukungan satu sama lain semoga kita semua dipermudah dalam segala urusan dan sukses. iii 9. Keluarga PSM UIN Jakarta yang telah banyak menemani peneliti sekaligus menjadi hiburan dalam penatnya selama kuliah dan banyak pelajaran yang peneliti ambil dari organisasi ini semoga PSM UIN Jakarta tambah maju kedepannya. 10. Seluruh pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat dan rasa terimakasih peneliti ucapkan yang telah banyak memberi dukungan dan semangat. Jakarta, 10 september 2014 Maria Ulpa iv DAFTAR ISI ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii DAFTAR ISI......................................................................................................... v DAFTAR TABEL................................................................................................. vii BAB BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................ 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6 D. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 7 E. Metodologi Penelitian ............................................................. 9 F. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 11 G. Teknik Analisis data ................................................................ 14 H. Sistematika Penulisan ............................................................. 14 II LANDASAN TEORI A. Teori Akomodasi (accommodation Theory) .......................... 16 B. Tahap Adaptasi Budaya ......................................................... 21 C. Bentuk- Bentuk Penyesuaian Diri .......................................... 22 D. Pengertian Komunikasi ........................................................ 23 E. Pengertian Kebudayaan ......................................................... 27 F. Komunikasi Antarbudaya....................................................... 30 1. Identitas Budaya ........................................................... 32 2. Gegar Budaya ............................................................... 34 G. Problem Potensial Dalam Pola Komunikasi Antarbudaya 37 v BAB III GAMBARAN UMUM HIMPUNAN PELAJAR PATANI DI INDONESIA (HIPPI) DAN SEKILAS PROFIL PATANI BAB A. Latar Belakang HIPPI ............................................................ 42 B. Lambang HIPPI...................................................................... 43 C. Lagu HIPPI ........................................................................... 45 D. Struktur Organisasi HIPPI Periode 2012-2013 ...................... 47 E. Nama Susunan Staff Pengurus HIPPI Periode 2012-2013 .... 48 F. Profil Wilayah Patani ..................................................... 49 1. Peta Wilayah Patani .......................................................... 49 2. Geografi ........................................................................... 49 3. Sejarah Singkat Kerajaan Patani ...................................... 50 G. Demografi ............................................................................. 54 H. Simbol Wilayah Patani........................................................... 54 IV TEMUAN DAN ANALISIS A. Akomodasi Komunikasi Dalam Interaksi Antarbudaya Dalam BAB Mengomunikasikan Identitas Budaya .................................... 55 1. Pengungkapan Identitas Budaya Dari Segi Bahasa .......... 56 2. Pengungkapan Identitas Budaya Dari Segi Pakaian ......... 68 3. Bentuk- Bentuk Adaptasi Budaya .................................... 69 4. Tahap –Tahap Adaptasi Budaya ....................................... 72 5. Asumsi-asumsi Dalam Teori Akomodasi ........................ 73 B. Hambatan Dalam Adaptasi Antarbudaya ............................... 77 V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .............................................................................. 78 B. Saran ....................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vi DAFTAR GAMBAR (ILUSTRASI) 1. Gambar prinsip dasar komunikasi........................................................ 24 2. Gambar unsue-unsur komunikasi ........................................................ 25 3. Model komunikasi antarbudaya ........................................................... 31 4. Gambar lambang HIPPI ...................................................................... 44 5. Bagan struktur organisasi HIPPI periode 2012-2013........................... 47 6. Peta wilayah patani .............................................................................. 49 7. Gambar simbol wilayah Patani ............................................................ 55 8. Foto pembekalan materi tentang bahasa Indonesia ketika orientasi .... 60 9. Foto pembekalan mental ketika orientasi penerimaan anggota baru HIPPI .................................................................................................... 61 10. Foto kegiatan ruitin yasinan dan khutbah ............................................ 62 11. Gambar tulisan Jawi (arab melayu)...................................................... 63 12. Gambar tulisan siam ............................................................................. 60 vii 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adanya kebutuhan yang tertentu yang dimiliki setiap individu mengakibatkan banyak orang melakukan mobilitas sosial. Salah satunya kebutuhan pendidikan misalnya yang terjadi pada mahasiswa Thailand terhimpun dalam salah satu perhimpunan yang dinamakan HIPPI (Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia). HIPPI didirikan pada tahun 2011 yang beranggotakan sekitar 50 orang yang tersebar dibeberapa perguruan tinggi yang ada di Jakarta, seperti UIN syarif Hhidayatullah Jakarta, UHAMKA, UMJ dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Mobilitas yang dilakukan anggota HIPPI memungkinkan mereka untuk saling berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa, masyarakat di lingkungan barunya yang saling berbeda budaya di Jakarta khususnya, inilah yang menyebabkan terjadinya komunikasi antarbudaya. Setiap orang tentunya ingin mencapai komunikasi yang efektif ketika berinteraksi dengan orang lain, begitu pula pada mahasiswa yang berasal dari Thailand ini sebagai mahasiswa asing yang tinggal di Negara yang secara latarbelakang berbeda budaya. Apabila kita bertanya mengenai apakah yang membedakan manusia dari hewan secara fundamentil maka jawabannya adalah bahwa bahwa manusia itu mampu berbudaya, sedang hewan tidak. 1 Aristoteles berpendapat bahwa manusia adalah zoon politikon yaitu makhluk sosial yang menyukai hidup bergolongan atau 1 Harsojo, pengantar antropologi, bandung 1966, hal. 109 2 sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama lebih suka daripada hidup sendiri. Lain lagi dengan aristoteles maka Bergson (lahir 1859) berependapat bahwa manusia ini hidup bersama bukan oleh karena persamaan, melainkan oleh karena perbedaan yang terdapat dalam sifat, kedudukan dan sebagainya.2 Sebagai makhluk sosial manusia ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya, rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu berkomunikasi.3Esensi komunikasi terletak pada proses yakni aktivitas yang melayani hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, prilaku dan tindakan yang terampil dari manusia (communication involves both attitudes and skills). Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau di tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbolsimbol dengan orang lain.4 Perbedaan, kekhasan dan keunikan merupakan keniscayaan yang ada dimanamana ; pada orang kembar, keluarga, komunitas dan masyarakat sehingga kemanapun kita pergi menemui perbedaan dan kita harus menerima dengan lapang dada dan ikhlas. Keikhlasan kita tercermin dari menerima dan memberi ruang dan peluang kepada orang lain yang berbeda pendapat, kelompok dan komunitas. Perbedaan, jenis 2 Hassan Shadily, Sosiologi untuk masyarakat Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 56 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu komunikasi, PT Rajagrafindo, Jakarta, 2007, hal. 1 4 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya,pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal. 5 3 3 kelamin, kebangsaan dan suku agar kamu saling mengenal dan paling mulia orang bertakwa sebagai mana dalam qur’an surat Al-Hujrat: 13 :5 َخلَقْناَكُمْ ِّمنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثىَ وَ جَ َعلْنَاكُمْ شُعُىْباً وَ قَبَائِل َ َيَا أَيُهاَ النَاسُ إِنا ْلِتَعَارَفُى Artinya : Wahai manusia sungguh kami telah menciptkan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan kemudian kami jadikan kamu bernangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Budaya berkenaan dengan cara hidup manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa dan mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa persahabatan, kebiasaann makan, praktik komunikasi, tinadakantindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Ada orang-orang yang berbicara bahasa tagalog, memakan ular, menghindari minuman keras terbuat dari anggur, menguburkan orangorang yang mati, berbicara melalui telepon, atau meluncurkan roket ke bulan, ini semua karena mereka telah dilahirkan atau sekurang-kurangnya dibesarkan dalam suatu budaya yang mengandung insur –unsur tersebut. Apayang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka hidup dan berkomunikasi, merupakan respon-respon terhadap dan fungsi-fungsi dari budaya mereka.6 5 Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi , UIN Jakarta press, Ciputat, 2003, hal. 169 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, PT REMAJA ROSDAKARYA, Bandung, 2009, hal. 18 6 4 Inheren dalam perpaduan antarbudaya adalah gagasan bahwa komunikasi antarbudaya memerlukan penelitian tentang budaya dan kesulitan-kesulitan berkomunikasi dengan pihak-pihak yang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya lain.7 Pemahaman mengenai komunikasi dan kebudayaan yang cukup luas dan kompleks, lebih mudah dimengerti melalui upaya introspeksi pengalaman pergaulan hidup anda sehari-hari di lingkungan keluarga, batak, bugis ataupun makasar. Masing-masing prilaku adat kebiasaan anda dengan prilaku anda, teman atau orang lain. Hal itu terjadi karena perbedaan latar belakang dan nilai-nilai seperti nilai agama, kebudayaan, keyakinan, sikap maupun norma (kaidah) hidup. Prilaku komunikasi, berlangsung satu sama lain dengan sengaja atau tidak. Nilai-nilai agama, kebudayaan, dan norma-norma, berlaku sebagai pedoman prilaku yang melatar belakangnya dengan tidak disadari sehingga menjadi acuan prilaku komunikasi sesorang. Komunikasi akan lancar, jika orang-orang yang terlibat di dalamnya mempunyai latar belakang budaya yang sama.8 Penelitian ini menjelaskan suatu proses adaptasi antarbudaya dengan adanya bentuk akomodasi komunikasi. Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya 7 8 Ibid., hal. 12 Buku materi pokok (modul), komunikasi antar budaya, Universitas Terbuka, hal. 2.1 5 terhadap orang lain.9 Communication Accomodation Theory (CAT) memberikan perhatian pada interaksi memahami antara orang-orang dari kelompok yang berbeda dengan menilai bahasa, perilaku nonverbal dan penggunaan paralinguistik individu, dalam hal ini kelompok mahasiswa yang berasal dari Thailand. Kemampuan mahasiswa Thailand berinterkasi dengan mahasiswa atau masyarakat di Jakarta khususnya tidak selalu lancar dikarenakan perbedaan dari mulai bahasa, prilaku verbal dan nonverbal, mau tidak mau agar komunikasi tersebut bisa berjalan dengan efektif seharusnya antara mahasiswa Thailand dengan mahasiswa atau masyarakat yang di Jakarta khusunya salah satunya harus melakukan akomodasi. Yang ingin dilihat peneiti dalam penelitian ini apakah mahasiswa yang berasal dari Thailand ini melakukan akomodasi ketika berinteraksi dengan mahasiswa atau masyarakat di Jakarta khususnya. Oleh karean itu dari latar belakang diatas peneliti menarik judul “AKOMODASI KOMUNIKASI DALAM INTERAKSI ANTARBUDAYA (Studi Pada Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia Dalam Mengomunikasikan Identitas Budaya)”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Batasan masalah dalam sebuah penelitian itu penting terkait dengan spesifikasi dari apa yang ingin diteliti dalam sebuah penelitian. Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu mahasiswa yang berasal dari Thailand yang tinggal di Jakarta yang kuliah di Perguruan Tinggi di Jakarta yaitu di UIN Syarif Hidayatullah 9 West, Richard dan H. Turner, Lynn., (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hal. 217 6 Jakarta, UHAMKA, UMJ dan mereka sudah terhimpun dalam komunitas HIPPI (Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia) periode 2012-2013. 2. Perumusan Masalah Adapun berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya anggota HIPPI terhadap lingkungan baru dalam mengomunikasikan identitas budayanya? b. Bagaimana hambatan penyesuaian dalam komunikasi antarbudaya pada anggota HIPPI? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya anggota HIPPI terhadap lingkungan baru dalam mengomunikasikan identitas budayanya. b. Untuk mengetahui hambatan anggota HIPPI ketika melakukan akomodasi dalam berinteraksi dengan lingkungan baru dalam mengomunikasikan identitas budayanya. 1. Manfaat Penelitian a. Manfaat akademis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya wahana ilmu pengetahuan khususnya bagi pelajar dan mahasiswa yang 7 menggeluti bidang komunikasi Antarbudaya sebagai salah satu tinjauan untuk meneliti tentang bagaimana fenomena komunikasi antarbudaya dalam berbagai daerah tertentu. b. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman bahwa dalam menghadapi komunikasi dengan orang yang berbeda budaya, karena esensi dari komunikasi itu sangat penting terhadap keberhasilan suatu tujuan yang akan kita capai khususnya bagi para mahasiswa-mahasiswa yang rantau baik lokal maupun internasional seperti pada mahasiswa Thailand yang tergabung dalam HIPPI dalam berinteraksi dengan maahasiswa atau masyarakat di lingkungan barunya yaitu di Jakarta khususnya yang berasal dari berbagai varian latar belakang yang berbeda. Dalam penelitian ini peneiti akan menganalisis interaksi mahasiswa yang berasal dari Thailand dengan mahasiswa, masyarakat di lingkungan barunya yang ada di Jakarta khususnya dengan tinjauan teori akomodasi komunikasi. Dengan penelitian ini pembaca atau masyarakat luas diharapkan dapat memahami dan membentuk komunikasi yang efektif khususnya penyesuaian/ akomodasi terhadap lawan bicara. D. Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka sebagai bahan persamaan dan perbedaan dalam penelitian ini penulis melihat beberapa penelitian komunikasi yang berkaitan dengan judul 8 dalam penelitian ini yang tertulis didalam buku Deddy Mulyana dan Solatun diantaranya: 2. Siti Asiyah menulis tentang “ POLA KOMUNIKASI ANTAR UMAT BERAGAMA ( Studi Kasus Antarbudaya Tionghua dengan Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang ). Persamaan dalam penelitian ini yaitu sama-sama meneliti tentang komunikasi antarbudaya Tionghua dengan pribumi hanya saja perbedaan dalam objek penelitian. Dalam tulisan skripsis Siti ini menyimpulkan bahwa pola komunikasi antara etnis Tionghua dengan muslim pribumi umumnya terdiri dari pola komunikasi antarpribadi dan kelompok baik dalam lingkungan keluarga maupun bermasyarakat terutama ketika mereka saling bertemu di jalan, atau sedang terlibat dalam proses jual beli.10 3. Raden Dimas Anugrah Dwi Satria menulis tentang “ KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MASYARAKAT ADAT BADUY DALAM DENGAN MASYARAKAT LUAR BADUY DI BANTEN “. Raden menyimpulkan bahwa, pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat Baduy dalam dan luar sangatlah baik dan teratur karena mereka betul-betul mentaati peraturan adat yang telah dibuat orang para lelulur adat mereka.11 4. Ani Belasa Fitri menulis tentang “ Pesan Komunikasi Antarbudaya Seni Musik Gong Si Bolong Pada Masyarakat Kota Depok. Ani menyimpulkan 10 Siti Asiyah, pola komunikasi antar umat beragama (studi komunikasi antarbudaya tionghua dengan muslim pribumi di RW 04 kelurahan Mekarsari Tangerang), KPI UIN Jakarta, 2013 11 Raden Dimas Anugrah, komunikasi antar budaya masyarakat baduy dalam dengan masyarakat luar baduy di banten, KPI UIN Jakarta, 2013 9 bahwa, seni musik Gong Si Bolong selalu meninggalkan pesan bermakna, vesan verbal melalui lagu dan pesan non verbal melalui musik gamelan Gong Si Bolong. Ani menjelaskan dengan menggunakan teknik pengolahan pesan dari Cassandra bersifat persuasive dan teori semantik dari Osgood tiga dimensi. 1. Metodelogi Penelitian Metodelogi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodelogi adalah adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topic penelitian. Metodelogi dipengaruhi berdasarkan perspektif teoritis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian, sementara perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu kerangkan penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami bagaimana data dan menghubungkan data yang rumit dengan pristiwa dan situasi lain.12 1. Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Cresswell (1998: 15) mendefenisikan penelitian kualitatif yang kurang bertumpu pada sumber-sumber informasi, tetapi membawa ide-ide yang sama: “Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher build a complex, holistic picture, analyzes word, report detailed views of informants and conducts the study in a natural setting”. 12 Dirga Maulana, relasi media dan politik: analisis terhadap tvone dan kepentingan politik pemilik, skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, (UIN Jakarta, 2013) 10 Creswell menekankan suatu ganbaran yang kompleks dan holistic, suatu rujukan pada naratif yang kompleks yang mengajak pembaca kedalam dimensi jamak dari sebuah masalahatau isu dan menyajikannya dalam kompleksitasnya.13 Pendekatan kualitatif mengarahkan kepada pemahaman yang lebih luas tentang makna dan konteks tingkah laku dan proses yang terjadi dalam pola-pola amatan dari factor-faktor berhubungan. Pendekatan itu juga menelaah bebagai persepsi yang dimiliki partisipan pada situasi yang sama dan memungkinkan peneliti menelaah sejarah personal dan factor-faktor yang berkembang.14 Penelitian ini bersifat deskriptif. deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melukiskan atau memaparkan suatu objek, misalnya suatu gejala atau fenomena sosial berdasarkan teori akomodasi komunikasi. Pada jenis penelitian ini, seorang peneliti tidak mencari atau menjelaskan hubungan antara variablel, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Penelitian deskriptif menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori atau untuk mengidetifikasi pertanyaan untuk diteliti lebih lanjut. Karena itu metode penelitian deskriptif tidak bertujuan menguji teori.15 Penelitian kualitatif adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan lebih mengambil bentuk kata-kata atau gambar daripada angka-angka. Hasil penelitian tertulis berisi kutipan-kutipan dari data untuk mengilustrasikan dan menyediakan bukti persentasi. Data tersebut mencakup transkip wawancara, catatan lapangan, 13 Ibid., h. 2 Julia brannen, memadu metode penelitian,Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2002, hal.117 15 Wawan Ruswanto, penelitian komunikasi, penerbit universitas terbuka, Jakarta,1995, cet-I, hal. 23 14 11 fotografi, videotape, dokumen pribadi, memo, dan rekaman-rekaman resmi lainnya. Dalam pencarian mereka untuk pemahaman, peneliti kualitatif tidak mereduksi halaman demi halaman dari narasi dan dan data lain kedalam symbol-simbol numerik. Mereka mencoba menganalisis data dengan segala kekayaan sedapat dan sedekat mungkin dengan bentuk rekaman dan transkipnya.16 Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena dengan mengguanakan metode ini peneliti ingin menemukan dan memahami akomodasi komunikasi yang dilakukan mahasiswa yang berasal dari Thailand terhadap mahasiswa atau masyarakat yang ada di Jakarta yang juga berasal dari varian budaya, peneliti ingin mendeskripsikan hasil-hasil temuan itu dengan menggunakan metode ini. Metode ini juga digunakan atau dipakai untuk mencapai dan memperoleh suatu cerita, pandangan yang segar dan cerita mengenai segala sesuatu yang sebagian besar sudah dan dapat diketahui dan dengan metode ini peneliti mampu untuk memberikan penjelasan suatu penjelasan secara terperinci tentang fenenomena yang sulit disampaikan dengan dengan metode kuantitatif.17 2. Teknik Pengumpulan Data Observasi, wawancara, dokumen pribadi dan resmi, foto, rekaman, gambar dan percakapan informal semua merupakam sumber data kualitatif. Sumber yang paling umum digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumen, kadang-kadang dipergunakan secara bersama-sama dan kadang-kadang 16 Emzir, metodelogi penelitian kualitatif analisis data, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2012, cet. Ke-3, hal 3 17 Anselm Strauss & Juliet Corbin, dasar-dasar penelitian kualitatif, PT Bina Ilmu Offset, Surabaya, hal.13 12 secara individual. semua jenis data ini memiliki satu aspek kunci secara umum: analisisnya terutama tergantung pada keterampilan integrative dan interpretif dari peneliti. Interpretasi diperlukan karena data yang dikumpulkan jarang berbentuk angka dan karena data kaya rincian dan panjang.18 a. Instrument penelitian 1. wawancara Instrument yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah wawancara yang merupakan instrument utama dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan teori yang ada dalam penelitian ini. Pertanyaan yang peneliti ajukan bisa saja berubah ditengah-tengah wawancara sesuai dengan alur jawaban yang diberikan responden terkait dengan permasalahan dan pertanyaan-pertanyaan yang penulis buat hanya sebagai sebuah garis besar atau kisi-kisi bukan menjadi acuan utama dalam wawancara.Wawancara ini peneliti lakukan secara tidak terstruktur (unstructured interview), seperti dalam buku sugiono memahami penelitian kualitatif, bahwa wawancara ini pedoman yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Dalam wawancara tidak terstruktur ini peneliti belum mengetahui secara pasti data apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang diceritakan oleh responden dan berdasarkan analisis 18 Emzir, metodelogi penelitian kualitatif analisis data, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2012, cet. Ke-3, hal. 37 13 terhadap satiap jawaban dari responden tersebut maka peneliti mengajukan berbagai pertanyaan berikutnya pada suatu tujuan.19 Untuk pemilihan responden sebenarnya semua anggota dari HIPPI berhak menjadi responden, tetapi karena penelitian ini studi pada sebuah himpunan yang tergabung dalam sebuah organisasi maka peneliti mengambil responden dari ketua HIPPI untuk menggali data dari terbentuknya HIPPI kemudian beberapa orang anggota HIPPI yang menurut peneliti orang-orang tersebut dapat mengartikulasikan pertanyaan-pertanyaan pada saat wawancara dilakukan, jadi jumlah informan yang peneliti lakukan sebanyak lima orang. 2. observasi observasi yang peneliti lakukan yaitu mengamati seluruh gerak kegiatan mereka dalam berkomunikasi baik sesama yang berasal dari Thailand maupun dengan teman-teman Indonesia. Observasi ini walaupun peneliti tidak melakukan observasi partisipan dengan kata lain peneliti tidak tinggal bersama dalam kurun waktu tertentu seperti yang dilakukan peneliti etnometodelogi lainnya, tetapi peneliti sedikit menggunakan teknik itu misalnya hadir diacara-acara yang diselenggarakan oleh HIPPI misalnya menghadiri diskusi, acara-acara perayaan hari besar islam, berkunjung sesuai dengan kebutuhan apa yang ingin diperoleh dalam penelitian ini. Dengan sering bergaul dengan mereka peneliti mempunyai peluang untuk mengamati gerak-gerik mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang-orang disekitar mereka, termasuk orang-orang Indonesia. 19 Sugiono, memahami penelitian kualitatif, Alfabeta, bandung, 2010, hal.74 14 3. Dokumentasi Dokumentasi dalam penelitian ini dengan mendokumentasika beberapa kegiatankegiatan selama observasi dilakukan juga beberapa kajian dokumen-dokumen yang peneliti peroleh dari HIPPI, dokumen yang berkaitan dengan judul yang akan peneliti bahas dalam penelitian ini yang peneliti 3. Teknik Analisi Data Setelah memperoleh data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi kemudian peneliti sesuai dengan pendekatan kualitatif yang kemudian diuraikan secara deskriptif secara structural dan gabungan kemudian dianalisis serta dilakukan interpretasi. Peneliti tidak akan menganalis berdasarkan angka-angka tetapi lebih kepada bentuk narasi, deskripsi dan cerita. 4. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan serta teraturnya penulisan skripsi ini maka peneliti membuat sistematika penulisan dengan memberi gambaran yang jelas serta lebih terararh mengenai pokok permasalahan yang dijadikan pokok dalam skripsi ini, maka peneliti mengelompokkan dalam lima bab pembahasan : BAB I PENDAHULUAN, dalam pendahauluan ini mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan 15 pustaka, metodelogi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan sistematika penulisan. BAB II LANDASAN TEORI, dalam bab ini mencakup teori-teori yang relevan digunakan dalam penulisan skripsi untuk menganalisa dan merancang sistem yang diperoleh dari berbagai hasil wawancara mendalam. Yang menjadi landasan penulisan skripsi ini diantaranya mengenai pengertian dari teori akomodasi komunikasi, interaksi dan komunikasi antarbudaya. BAB III GAMBARAN UMUM Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia (HIPPI) dan Sekilas Profil Patani Dalam bab ini berupa gambaran umum tentang HIPPI dari mulai sejarah terbentuknya, struktur organisasinya, visi dan misi dan nilai-nilai budaya di Thailand khususnya daerah Patani serta sekilas dari sejarah kerajaan Patani. BAB IV ANALISIS dan INTERPRETASI, dalam bab ini akan membahas dari hasil-hasil temuan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, wawancara dan observasi peneliti yang kemudian akan di kombinasikan sesuai dengan teori yang ada dan kemudian akan dilakukan interpretasi terkait pembahasan penelitian. BAB V KESIMPULAN, bab ini adalah peneliti memberikan kesimpulan dan saran selama penelitian ini dilakukan dalam bentuk skripsi. 16 BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Akomodasi (Accommodation Theory) Teori ini merupakan salah satu teori tentang prilaku komunikasi yang sangat berpengaruh. Teori ini dirumuskan oleh Howard Giles dan para koleganya, teori akomodasi menjelaskan bagaimana dan kenapa kita menyesuaikan prilaku komunikasi kita terhadap tindakan orang lain.20 Richard dan Turner mendefenisikan bahwa Akomodasi (accommodation) sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi atau mengatur prilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya dilakukan secara tidak sadar. Seseorang cenderung memiliki naskah kognitif internal yang digunakan ketika berbicara dengan orang lain.21 Dalam ilmu sosiologi, istilah “akomodasi” digunakan dalam dua arti, yaitu menunjuk pada suatu keadaan dan menunjuk pada suatu proses. Sebagai suatu keadaan, akomodasi mengacu pada terjadinya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antar orang-perorang atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai suatu proses, akomodasi berarti tindakan aktif yang 20 Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Jakarta : Salemba Humanika, 2009, hal. 222 21 West, Richard dan H. Turner, Lynn., (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hal. 217 17 dilakukan untuk menerima kepentingan yang berbeda dalam rangka meredakan suatu pertentangan yang terjadi.22 Para sosiolog menggunakan istilah “akomodasi” sebagai suatu pengertian untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi (adaptation). Istilah “adaptasi” diadopsi dari istilah dalam ilmu biologi, yang berarti suatu proses ketika mahkluk hidup selalu menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Dalam konteks sosial, adaptasi dipahami sebagai suatu proses ketika penyesuaian diri dapat dilakukan oleh individu atau kelompok-kelompok yang mula-mula saling bertentangan, dengan cara menyesuaikan diri dengan kepentingan yang berbeda dalam situasi tertentu.23 Alo menyatakan bahwa Komunikasi antarbudaya mengharuskan setiap pelakunya berusaha mendapatkan, mempertahankan dan mengembangkan aspekaspek kognitif bersama. Seseorang harus mengetahui keberadaan budaya yang menjadi latarbelakang kehidupannya, seseorang itupun harus berusaha untuk mendapatkan dan memahami latar belakang budaya orang lain. Pengetahuan itu diperoleh dari informasi tentang kebudayaan orang lain, pengalaman pergaulan yang terus-menerus sehingga pengalaman itu dapat memengaruhi persepsi sikap sesesorang terhadap orang lain .24 Menurut Giles Nikolas Coupland dan Justine Coupland (1991) mendefenisikan konvergensi (convergence) sebagai “strategi dimana individu 22 Nurani Soyomukti, pangantar sosiologi, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2010, hal. 343 Ibid., hal. 343 24 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal. 260 23 18 beradaptasi terhadap prilaku komunikatif satu sama lain”. Orang akan beradaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata dan prilaku verbal dan nonverbal lainnya. Konvergensi merupakan proses yang selektif, seseorang tidak selalu memilih untuk menggunakan strategi konvergen dengan orang lain. Ketika orang melakukan konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka mengenai tuturan atau prilaku orang lain.25 Dalam buku Richard, Giles menyebutkan bahwa Akomodasi adalah proses yang opsional dimana dua komunikator memutuskan apakah untuk mengakomodasi, salah satu, atau tidak keduanya. Giles percaya bahwa pembicara terkadang menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal diantara diri mereka sendiri dan orang lain. Ia menyebut hal ini divergensi (divergence). Divergensi sangat berbeda dengan konvergensi dalam hal bahwa ini merupakan proses disosiasi. Alih-alih menunjukkan bagaimana dua pembicara mirip dalam hal kecepatan bicara, tindak-tanduk atau postur, divergensi adalah ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara. Dengan kata lain, dua orang berbicara dengan Satu sama lain tanpa adanya kekhawatiran mengenai mengakomodasi satu sama lain.26 Morisson mengutarakan bahwa akomodasi baik pada konvergensi maupun divergensi dapat terjadi pada semua prilaku komunikasi melalui percakapan termasuk kesamaan atau perbedaan dalam hal intonasi suara, kecepatan, aksen, volume suara, kata-kata, tata bahasa, gerak tubuh dan lain-lain. Konvergensi dan divergensi dapat 25 West, Richard dan H. Turner Lynn., (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hal. 222 26 Ibid., hal. 226 19 bersifat mutual, kedua pembicara menjadi sama-sama menyatu atau sama-sama menjauh atau bersifat nonmutual, salah seorang pembicara menyatu dan pembicara lainnya menjauh. Konvergensi dapat juga bersifat “sebagian” (partial) atau “lengkap” (complete).27 Morisson juga menambahkan bahwa konvergensi adakalanya disukai dan mendapatkan apresiasi atau sebaliknya tidak disukai. Orang cenderung memberikan respon positif kepada orang lain yang berupaya mengikuti atau meniru gaya bicara atau pilihan kata-katanya, tetapi orang tidak menyukai terlalu banyak konvergensi, khususnya jika hal itu tidak disukai atau tidak pantas. Dalam hal ini, seseorang yang tidak meniru gaya bicara lawan bicaranya tetapi meniru hal lain yang dianggap sama dengan lawan bicara (stereotype) dapat menimbulkan masalah.28 A. Asumsi- Asumsi Teori Akomodasi Komunikasi Richard dan Turner mengidentifikasikan beberapa asumsi yang mengatakan bahwa akomodasi dipengaruhi oleh beberapa keadaan personal, situasional dan budaya, diantaranya:29 Asumsi pertama,. Banyak prinsip Teori Akomodasi Komunikasi berpijak pada keyakinan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan di antara para komunikator dalam sebuah percakapan. Pengalaman- Persamaan dan perbedaan berbicara dan perilaku terdapat di dalam semua percakapan pengalaman dan latar belakang yang 27 Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, Jakarta, Prenada Media Group, 2013, cet-1, hal. 211 28 Ibid., hal. 212 29 Ibid., hal. 220 20 bervariasi ini akan menentukan sejauh mana orang akan mengakomodasikan oran lain. Semakin mirip sikap dan keyakinan kita dengan orang lain, makin kita tertarik kepada dan mengakomodasi orang lain tersebut. Asumsi kedua, cara kita memersepsikan tuturan dan prilaku orang lain akan menentukan bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan. Asumsi ini terletak baik pada persepsi maupun evaluasi. Akomodasi Komunikasi adalah teori yang mementingkan bagaimana orang memersepsikan dan mengevaluasi apa yang terjadi di dalam sebuah percakapan. Persepsi menginterpretasikan pesan, sedangkan adalah proses memerhatikan dan evaluasi merupakan proses menilai percakapan. Orang pertama-tama memersepsikan apa yang terjadi di dalam percakapan (misalnya, kemampuan berbicara orang satunya) sebelum mereka memutuskan bagaimana mereka akan berperilaku dalam percakapan. Asumsi yang ketiga, berkaitan dengan dampak yang memiliki bahasa tehadap orang lain. Secara khusus, bahasa memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan status dan keanggotaan kelompok diantara para komunikator dalam sebuah percakapan. Pikirkan apa yang terjadi ketika dua orang yang berbicara dalam bahasa yang berbeda berusaha untuk berkomunikasi dengan satu sama lain. Bahasa yang digunakan dalam percakapan, karenanya, akan cenderung merefleksikan individu dengan status sosial yang lebih tinggi. Selain itu, keanggotaan kelompok menjadi hal yang penting karena sebagaimana dapat ditarik dari kutipan ini terdapat keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok yang “dominan”.30 30 Ibid., hal. 221. 21 Terakhir asumsi keempat, berfokus pada norma dan isu mengenai kepantasan sosial. Kita telah melihat bahwa akomodasi dapat bervariasi dalam kepantasan sosial. Tentu saja terdapat saat-saat ketika mengakomodasi tidaklah pantas. B. Tahap Adaptasi Budaya Ada banyak usaha telah dilakukan untuk mengurai dan menggambar tahapan adaptasi budaya. Sejumlah tulisan menunjukkan bahwa umumnya ada empat adaptasi: 1. Tahap 1 adalah priode “bulan madu”, saat mana individu menyesuaikan diri dengan budaya baru yang menyenangkan karena penuh dengan orang-orang baru, serta lingkungan dan situasi baru. 2. Tahap 2 adalah masa dimana daya tarik dan kebaruan sering berubah menjadi frustasi, cemas, dan bahkan permusuhan, karena kenyataan hidup dilingkungan atau keadaan yang asing menjadi lebih terlihat. 3. Tahap 3 menandai dimulanya proses penyesuaian kembali, karena masingmasing mulai mengembangkan cara-cara mengatasi frustasi mereka dan menghadapi tantangan situasi baru. 4. Tahap 4, penyesuaian kembali berlanjut. Selama periode ini mungkin akan muncul beberapa macam hasil. Petama, banyak orang memperoleh kembali level keseimbangan dan kenyamanan, mengembangkan hubungan yang penuh makna dan sebuah penghargaan baru bagi budaya baru. Kedua, ada orang yang tidak bisa sepenuhnya menerima budaya baru, tetapi ia bisa menemukan cara yang baik untuk mengatasi persoalan guna meraih tujuan secara memadai 22 . ketiga adalah menemukan cara untuk melakukan yang terbaik meskipun secara subtansial disertai dengan ketegangan. C. Bentuk-Bentuk Penyesuaian Diri31 Bentuk-bentuk penyesuaian diri itu bisa diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu, (a) yang adptive dan (b) yang adjustive. a. Yang adaptive Bentuk penyesuaian diri yang adaptive sering dikenal dengan istilah adaptasi. Bentuk penyesuaian diri ini lebih bersifat badani. Artinya, perubahan-perubahan dalam proses badani untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan. Misalnya berkeringat adalah usaha tubuh untuk mendinginkan tubuh dari suhu yang panas atau dirasakan terlalu panas. b. Yang adjustive Bentuk penyesuaian yang lain, yang tersangkut kehidupan psikis kita, biasanya disebut sebagai bentuk penyesuaian yang adjustive. Karena tersangkutnya kehidupan psikis dalam penyesuaian yang adjustive ini, dengan sendirinya penyesuaian ini berhubungan dengan tingkah laku. Sebagaimana kita ketahui , tingkah laku manusia sebagian besar dilatarbelakangi oleh hal-hal psikis ini, kecuali tingkah laku tertentu dalam bentuk-bentuk gerakan yang sudah menjadi kebiasaan atau gerakan-gerakan refleks. Maka penyesuian ini adalah penyesuaian diri tingkah laku terhadap lingkungan yang dalam lingkungan ini terdapat aturan-aturan atau norma-norma. Singkatnya penyesuaian terhadap norma-norma. 31 Alex Sobur, Psikologi Umum, bandung : cv Pustaka Setia, 2003, hal. 529 23 D. PENGERTIAN KOMUNIKASI Secara etimologis atau menurut asal katanya, istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio dan perkataan ini bersumber pada kata communis yang artinya sama dalam arti kata sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal. Jadi komunikasi berlangsung antara orang-orang yang terlibat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Secara paradigmatis, komunikasi mengandung tujuan tertentu, ada yang dilakukan secara lisan, secara tatap muka atau melalui media massa baik cetak maupun elektronik. Jadi komunikasi secara paradigmatic bersifat intensional (intentional), mengandung tujuan, karena itu harus dilakukan dengan perencanaan.32 Selain itu penulis akan mengemukakan beberapa defenisi komunikasi yang dikemukakan oleh beberapa pakar komunikasi yang ditulis dalam buku Deddy Mulyana :33 Bernard Barelson dan Gary A. Steiner mendefenisikan bahwa komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya dengan menggunakan symbol-simbol, kata-kata, gambar, figure, grafik dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi. 32 Onong Uchjana Effendy, dinamika komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008, cet-7, hal. 3 33 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010, cet-14, hal. 68 24 Theodore M. Newcomb mendefenisikan bahwa setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai suatu transmisi informasi, terdiri dari rangsangan yang diskriminatif dari sumber kepada penerima. Carl I. Hovland mengemukakan komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikastor) menyampaikan rangsangan (biasanya lambing-lambang verbal) untuk mengubah prilaku orang lain (komunikate). Gerald R. Miller mengungkapkan komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampainkan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhu prilaku penerima. 1. Prinsip-Prinsip Komunikasi34 Kesamaan dalam berkomunikasi dapat diibaratkan dua buah lingkaran yang bertindihan satu sama lain daerah yang bertindih itu disebut kerangka pengalaman (field of experience), yang menunjukkan adanya persamaan antara A dan B dalam hal tertentu, misalnya bahasa atau symbol. A B Gambar 1 : prinsip dasar komunikasi Dari gambar diatas kita dapat menarik tiga prinsip dasar komunikasi : 34 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikas, Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2005, cet-6, hal. 20 25 1. Komunikasi hanya bisa terjadi bila terdapat pertukaran pengalaman yang sama antar pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi (sharing similar of experiences). 2. Jika daerah tumpang tindih (the field of experience) menyebar menutupi lingkaran A atau B, menuju terbentuknya satu lingkaran yang sama, maka makin besar kemungkinannya tercipta suatu proses komunikasi yang mengena (efektif). 3. Tetapi kalau tumpang tindih ini makin mengecil dan menjauhi sentuhan kedua lingkaran, atau cebderung mengisolasi lingkaran masing-masin, maka komunikasi yang terjadi sangat terbatas. Bahkan besar kemungkinannya gagal dalam menciptakan suatu proses komunikasi yang efektif. 2. Unsur-Unsur Komunikasi 35 sumber pesan media Penerima efek efek Umpan balik lingkungan Gambar 2 Sumber (source) Semua pristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Dalam komunkasi antarmanusia, sumber bisa terdiri dari satu 35 Ibid, hal. 24 26 orang, tetapi bisa juga dalam bentuk kelompok misalnya partai, organisasi atau lembaga. Sumber sering disebut pengirim, komunikator, atau dalam bahasa inggrisnya disebut soure, sender, encoder. Pesan (message) Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi. isinya berupa ilmu pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat atau propaganda. Dalam bahasa inggrisa biasanya pesan diterjemahkan dengan kata message, content atau information. Media Ialah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Terdapat beberapa pendapat mengenai saluran atau media. Ada yang menilai bahwa media bisa bermacam-macam bentuknya, misalnya dalam komunikasi antarpribadi pancaindra dianggap sebagai media komunikasi. Penerima Adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai atau Negara. Penerima biasa disebut dengan berbagai istilah seperti khalayak, sasaran, komunikan, atau dalam bahasa inggris disebut audience atau receiver. Pengaruh 27 Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa terjadi pada pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang. Oleh karena itu pengaruh bisa diartikan perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang sebagai akibat penerima pesan. Tanggapan Balik Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pada penerima. Misalnya pada sebuah konsep surat yang memerlukan perubahan sebelum dikirim, atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan mengalami gangguan sebelum sampai ke tujuan. Hal-hal seperti itu menjadi tanggapan balik yang diterima oleh sumber. Lingkungan Lingkungan atau situasi ialah factor-faktor tertentu yang dapat memengaruhi jalannya komunikasi. factor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis dan dimensi waktu. E. PENGERTIAN KEBUDAYAAN Budaya sering dianggap sebagai konsep inti dalam komunikasi antarbudaya. salah satu karakteristik budaya adalah bahwa kita mungkin tidak berpikir tentang hal ini sangat banyak. Mencoba untuk memahami budaya sendiri seperti menjelaskan 28 kepada ikan yang hidup di air. Sering kita tidak dapat mengidentifikasi latar belakang budaya kita sendiri dan asumsi sampai kita menemukan orang-orang dari budaya lain, yang memberi kita kerangka acuan.36 Kata “ kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan : “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.37 Seorang antropolog E.B Tylor (1871) pernah mencoba memberikan defenisi mengenai kebudayaan berikut terjemahannya :38 “ Kebudyaan adalah komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarkat”. Dari sudut pandang komunikasi, budaya dapat didefenisikan sebagai kombinasi yang kompleks dari symbol-simbol umum, pengetahuan, cerita rakyat, adat, bahasa, pola pengolahan informasi, ritual, kebiasaan dan pola prilaku lain yang berkaitan dan memberi identitas bersama kepada sebuah kelompok orang tertentu pada satu titik waktu tertentu.39 36 a. KARAKTERISTIK BUDAYA40 1. Budaya itu kompleks dan bersegi banyak Judith & Thomas, intercultural communication, New York, McGraw-Hill, 2005, edisi 2, hal. 27 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1990, cet-8, hal. 182 38 Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1999, cet.27, hal. 188 39 Brent D. Ruben & Lea P. Stewart, Komunikasi dan Prilaku Manusia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013, hal. 358 40 Ibid, hal. 362 37 29 kompleksitas budaya adalah sesuatu yang paling tampak dan potensial bermasalah dalm berkomunikasi pada level masyarakat. Di sini perbedaan bahasa sering melibatkan isu-isu mendasar seperti kebiasaan sosial, kehidupan keluarga, pakaian, kebiasaan, makan, struktur kelas, orientasi politik, agama, adat-istiadat, filosofi ekonomi, kepercayaan dan system nilai. Unsur-unsur budaya tertentu tersebut tidak berada dalam isolasi, tapi ia saling memengaruhi dengan cara-cara yang halus. Sebagai contoh, nilai dari budaya suatu masyarakat mempunyai dampak kepada ekonomi dan sebaliknya, serta sekaligus memengaruhi dan dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat, agam dan kehidupan keluarga. 2. Budaya konteks tinggi dan konteks rendah Ahli komunikasi dan kebudayaan Edward Hall, mendefenisikan konteks sebagai “ informasi yang mengelilingi sebuah pristiwa; ia , secara tidak dapat dipisahkan menyatu dengan makna pristiwa. Edward Hall menunjukkan bahwa budaya-budaya dunia dan praktik komunikasi individu di dalam budaya merentang dari konteks tinggi ke konteks rendah. Konteks tinggi (high contex/HC) pesan adalah ketika sebagian besar informasi berada dalam diri seseorang, sementara sangat sedikit informasi yang dikodekan, eksplisit, dan dikirimkan. Konteks rendah (low context/ LC) adalah kebalikannya, yaitu kebanyakan informasi bersifat pribadi dengan kode yang di eksplisitkan. 3. Budaya itu tidak terlihat Sebagian besar karakteristik budaya yang menyelubungi hubungan, kelompok, organisasi, atau masyarakat itu tidak terlihat bagi masinh-masing init ini, 30 sebagaimana udara mengelilingi mereka. Bagi setiap kita, budaya kita dan banyak pengaruhnya sangatlahhalus dan meresap serta sering tidak terperhatikan. 4. Budaya itu subjektif Karena kita tumbuh dengan dan menggunakan budaya kita secara apa adanya, kita amat tidak menyadari sifat subjektifnya. Bagi orang yang ada didalamnya, aspekaspek budayanya adalah rasional dan sangat bisa dimengerti, namun tidaklah demikian bagi “orang luar”. 5. Budaya berubah sepanjang waktu Budaya dan subbudaya tidak hidup dalam ruang hampa. Kita membawa serta pengaruh budaya pada saat kita berpartisipasi dalam sejumlah hubungan, kelompok atau organisasi. Sat kita sebagai individu berubah , kita menyiapkan dorongan bagi perubahan budaya di mana kita menjadi bagiannya. Dalam pengertian seperti ini, masing-masing kita adalah agen perubahan budaya. F. KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Alo mengutip dari Andrea dan Dennis dalam buku Larry dan Porter, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku, bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial. Dan komunikasi komunikasi antarbudya terjadi diantara produser pesan dan penerima pesan yang latar kebudayaannya berbeda. Dibawah ini Alo menerangkan model komunikasi antarbudaya, gambar dibawah ini menunjukkan A dan B merupakan dua orang yang berbeda latarbelakang kebudayaan karena itu memiliki pula perbedaan kepribadian dan persepsi mereka terhadap relasi antarbudaya. Ketika A dan B bercakap-cakap itulah yang disebut 31 komunikasi antarbudaya karena dua pihak menerima perbedaan diantara mereka sehingga bermanfaat untuk menurunkan tingkat ketidakpastian dan kecemasan dapat menjadi motivasi bagi strategi komunikasi yang bersifar akomodatif. Strategi tersebut juga dihasilkan oleh karena terbentuknya sebuah “kebudayaan” baru “C” yang secara psikologis menyenangkan kedua orang itu. Hasilnya adalah komunikasi yang bersifat adaptif yakni A dan B saling menyesuaikan diri dan akibatnya menghasilkan komunikasi antarpribadi-antarbudaya yang efektif.41 Model Komunikasi Antarbudaya Strategi komunikasi yang akomodatif C kebudayaan kepribadian Persepsi terhadap relasi antarpribadi kebudayaan A B Ketidakpastian Kecemasan kepribadian Persepsi terhadap relasi antarpribadi Gambar 342 41 42 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal. 10 Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, LKiS, 2003, hal. 32 32 Brent dan Lea mengutarakan ketika dua orang individu baru bertemu, saat itu mereka ada dalam proses negosiasi awal sebuah hubungan baru beserta budayanya. Sejak momen pertama keduanya melakukakan kontak, mereka memulai proses komunikasi antarbudaya, saling mengekpolrasi, negosiasi dan akomodasi. Dalam sejenak ketika kita mulai memerhatikan seseorang kita belum tahu apakah kita memiliki kesamaan tingkat pengetahuan, latarbelakang, orientasi waktu, filsafat politik, pola gerak isyarat, bentuk salam, orientasi keagamaan atau bahkan kemampuan bahasa yang sama. Dan kita tidak tahu apakah kita memiliki kesamaan pengalaman dalam hubungan dalam kelompok atau organisasi sebelumnya.43 Mereka juga menambahkan bahwa begitu kita berinteraksi, kita menggunakan komunikasi untuk mengurangi ketidakpastian kita tentang situasi dan orang-orang yang terlibat. Kita saling bicara dan mendengar satu sama lain, kita mempelajari penampilan, pakaian, perhiasan postur dan cara berjalan. Secara bertahap kita mulai memperoleh informasi yang membantu kita untuk menentukan apa yang kita miliki bersama dan di mana kita berbeda. Sejalan dengan proses yang berlanjut, pangkalan informasi bersama kita terus tumbuh meluas yang memungkinkan kita menjadi bagian daripadanya. 1. Identitas Budaya Menurut Alo Liliweri, Secara etimologis kata identitas berasal dari kata identity, yang berarti (1) kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu 43 Brent D. Ruben & Lea P. Stewart, Komunikasi dan Prilaku Manusia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013, hal. 377 33 keadaan yang mirip satu sama lain, (2) kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama diantara dua orang atau dua benda, (3)kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama diantara dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau dua benda, (4) pada tataran teknis, pengertian etimologis diatas hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk memahami identitas dengan kata “identik”.44 Alo menambahkan bahwa indentitas pada tataran hubungan antar manusia akan mengantar seseorang untuk memahami sesuatu yang lebih konseptual, yakni tentang bagaimana meletakkan seseorang kedalam tempat orang lain (komunikasi yang empatik), atau sekurang-kurangnya meletakkan atau berbagi (to share) pikiran, perasaan, masalah dan rasa simpatik (empati) dalam sebuah proses komunikasi (antarbudaya) dan pada tataran inilah identitas harus dipahami sebagai cara mengidentifikasi (melalui pemahaman terhadap identitas) atau merinci sesuatu yang dilihat, didengar, diketahui, atau yang digambarkan, termasuk mengidentifikasi sebuah specimen biologis (merinci ciri atau atau karakter fisik) bahkan mengidentifikasi seseorang dengan madzhab yang mempengaruhi, merinci aspekaspek psikologis.45 Komunikasi merupakan alat untuk membentuk identitas dan juga mengubah mekanisme. Identitas dibentuk ketika seseorang secara sosial berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan. Seseorang akan mendapatkan pandangan serta reaksi orang lain dalam interaksi sosial dan sebaliknya memperlihatkan rasa identitas 44 45 Ibid., hal.68 Ibid., hal.70 34 dengan cara mengekspresikan diri dan merespon orang lain yang disebut dengan subjective dimension (perasaan diri pribadi seseorang), dan ascribed dimension (apa yang orang lain katakan tentang diri orang tersebut). Dengan kata lain rasa identitas seseorang terdiri dari makna-makna yang dipelajari dan yang orang tersebut dapatkan, makna-makna tersebut diproyeksi kepada orang lain kapanpun orang tersebut berkomunikasi, suatu proses yang menciptakan diri seseorang yang digambarkan.46 Cohen dan Horowitz dalam Deddy Mulyana menyatakan pada dasarnya identitas etnik (budaya) muncul bila dua orang atau lebih kelompok etnik berhubungan. Horowitz menambahkan sering perubahan etnik merupakan akibat dari modifikasi prilaku kelompok dan modifikasi untuk mempersempit atau memperlebar batasan-batasan etnik. Dalam proses adaptasi timbal balik, identitas yang menandai masing-masing kelompok mungkin berubah, namun yang terjadi pada kelompokkelompok monoritas sebagai akobat memasuki masyarakat pribumi.47 Etnisitas atau identitas etnis berasal dari warisan, sejarah, tradisi, nilai, kesamaan prilaku, asal daerah, dan bahasa yang sama.48 2. Gegar Budaya Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diserita orang-orang yang secara tiba-tiba 46 Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teorik Komunikasi, Jakarta : Salemba Humanika, 2009, hal.131 47 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, PT REMAJA ROSDAKARYA, Bandung, 2009, hal. 158 48 Larry, Richard & Edwin, Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta, Salemba Humanika, 2010, hal.187 35 berpindah atau dipindahkan keluar negeri. Sebagai mana penyakit lainnya, gegar budaya juga mempunyai gejala-gejala dan pengobatannya tersendiri. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambing-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri sendiri dalam menghadapi situasi sehari-sehari, kapan berjabatan tangan dan apa yang harus kita lakukan bila bertemu dengan orang, kapan dan bagaimana memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menerima dan kapan menolak undangan, kapan membuat pernyataan-pernyataan dengan sungguh-sungguh dan kapan sebaliknya. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, dan norma-norma kita peroleh sepanjang perjalanan hidup sejak kecil. Alo mengungkapkan 3 sasaran komunikasi yang selalu dikehendaki dalam proses komunikasi antarbudaya.49 1. Salah satu tujuan dalam hidup bersama adalah berkomunikasi sehingga diantara kita saling mendukung demi pencapaian tugas-tugas yang dikehendaki bersama, keberhasilan dalam tugas dapat didukung oleh komunikasi antarbudaya yang dilakukan secara terbuka, berfikir positif, saling mendukung, bersikap empati. 2. Meningkatkan hubungan antarpribadi dalam suasana antarbudaya. Manfaat aspek relasi adalah bagaimana orang lain berkomunikasi dengan seseorang, 49 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal. 276 36 dapat mengatakan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan. Memahami dan mengerti tentang kesejawatan, kesetiakawanan merupakan dua factor yang penting dalam hubungan atau relasi antarpribadi. 3. Terciptanya penyesuaian antarpribadi. Komunikasi antarbudaya sering bergaul dengan frekuensi ynag tinggi maka prasangka-prasangka budaya yang sebelumnya telah terbentuk perlahan-lahan berkurang, jadi antara komunikan dan komunikator memulai suatu proses hidup bersama misalnya menyesuaikan diri antarbudaya, makin terbuka dengan sesama. Brent dan Lea menjelaskan bahwa kejutan budaya (culture-shock) yaitu perasaan tanpa pertolongan, tersisihkan, meyalahkan orang lain, sakit hati dan ingin pulang kerumah. Awalnya kejutan budaya dipahami sebagai sebuah penyakit yaitu sebuah penyakit yang diderita seseorang yang sering dipindahkan secara tiba dari sati tempat terjadinya suatu pristiwa ke tempat lain. Keterjangkitan oleh penyakit ini ditandai oleh bermacam gejala termasuk frustasi, marah, cemas, perasaan tanpa pertolongan, kesepian yang berlebihan, terlalu ketakutan dirampok, ditipu atau menyantap makanan berbahaya.50 G. Problem Potensial Dalam Pola Komunikasi Antarbudaya Komunikator dan komunikan secara bergantian dan terus-menerus dalam komunikasi, maka masalah terletak pada kedua belah pihak. Mencoba untuk mencari 50 Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, komunikasi dan prilaku manusia, Depok, PT Raja Grafindo, 2013, hal. 374 37 pihak mana yang bersalah dapat merupakan masalah komunikasi tersendiri. Komunikator dan komunikan berupaya untuk mengurangi problem potensial yang dijelaskan oleh Samovar dan memahami solusi atau factor pendukung yang ditawarkannya sebagai berikut: 1. Keanekaragaman dari tujuan-tujuan komunikasi Setiap individu memiliki alasan dan motivasi yang berbeda-beda dalam berkomunikasi. Perbedaan tujuan ini dapat menimbulkan masalah yang tidak dianggap enteng begitu saja, karena kadang-kadang menyangkut haga diri suatu kebudayaan, conoh dalam konteks politik individu atau kelompok dengan sengaja melakukan propaganda. 2. Etnosentrisme Etnosentrisme adalah suatu perasaan superior atau keunggulan dari suatu kelompok orang yang menganggap kelompok lain lebih inferior dan kurang unggul. Apabila perasaan ini muncul maka sangat berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya.51 Karakteristik etnosentrisme :52 1. Tingkat Etnosentrism Etnosentrisme dapat dilihat dalam 3 tingkatan : positif, negatif, dan sangat negatif. Petama positif, merupakan kepercayan bahwa, paling tidak bagi 51 52 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal. 266 Larry, Richard & Edwin, Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta, Salemba Humanika, 2010, hal.214 38 sesorang, budayanya lebih baik dari yang lain. Hal ini alami dan kepercayaan seseorang berasal dari budaya aslinya. Tingkat negatif, seseorang mengeavluasi secara sebagian. Seseorang percaya bahwa budayanya merupakan pusat dari segalanya dan budaya lain harus dinilai dan diukur berdasarkan standar budayanya. Terakhir dalam tingkat sangat negatif, bagi seseorang tidak cukup hanya menganggap budayanya sebagai yang paling benar dan bermanfaat, dia juga menganggap budayanya sebagai yang paling berkuasa dan dia percaya bahwa nilai dan kepercayaannya harus diadopsi oleh orang lain. 1. Etnosentrisme itu universal Antropolog setuju bahwa kebayakan orang merupakan etnosentrisme dan bahwa kadang sifat etnosentrisme penting untuk mengeratkan hubungan dalam suatu masyarakat. Seperti budaya, etnosentrisme juga biasanya dipelajari secara tidak sadar. 2. Etnosentrisme memengaruhi identitas budaya Alasan lain mengapa etnosentrisme begitu mendarah daging adalah etnosentris memeberikan identitas dan perasaan memiliki kepada anggotanya. Seperti yang dituliskna Rusen, “keanggotaan dalam dalam suatu kelompok, suatu Negara atau peradaban memberikan rasa penghargaan diri, membuat masyarakat bangga akan prestasi bangsanya”. Prilaku yang diartikan pendapat ini dalam etnosentrisme dituliskan oleh Scarborough: “orang-orang bangga akan budaya mereka, mereka harus bangga Karena budaya mereka merupakan sumber identitas, mereka memiliki 39 kesulitan memahami mengapa orang lain tidak berprilaku seperti mereka jika mereka dapat. 3. Tidak adanya kepercayaan Komunikasi antarbudaya merupakan sebuah pristiwa pertukaran informasi yang peka terhadap kemungkinan terdapatnya ketidakpercayaan antara pihak-pihak yang terlibat. Orang umumnya segan untuk mengambil resiko berhubungan dengan orang asing. dalam hal ini perbedaan-perbedaan biasanya dilihat secara berlebihan. Misalnya ketidakpercayaan ini terdapat dalam situasi-situasi yang melibatkan orangorang dari ras, status sosial, generasi, dan suku bangsa yang berbeda. Misalnya pengurus pengajian tidak akan mengundang penceramah yang tidak dikenal dan mereka tidak mengetahui latar belakangnya. 4. Penarikan diri Komunikasi tidak akan terjadi bila salah satu pihak secara psikologis menarik diri dari pertemuan yang seharusnya terjadi. Ada dugaan bahwa dengan macam-macam perkembangan saat ini antara lain, meningkatkan urbanisasi, perasaan orang untuk menarik diri, apatis dan aliensi semakin banyak pula. Banyak contoh, pada tingkat internasional maupun nasional, yang menunjukkan penarikan diri dari saling pertukaran antarbudaya. Sejarah penuh dengan pristiwa-pristiwa tentang penarikan diri dari wakil-wakil suatu Negara dari konfrensi internasional, putusnya hubungan antar Negara dan lain-lain. 5. Tidak adanya empati 40 Komunikasi antarbudaya sangat memerlukan empat yang tinggi. Upaya mengembangkan empati tidaklah mudah. Yang terpenting ada kemauan dari kedua belah pihak. Empati ialah kemampuan untuk merasakan seperti orang lain atau untuk menempatkan diri pada diri orang lain. Untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, kita mampu menciptakan gambaran-gambaran yang memungkinkan pendalaman tentang perasaan dan karakteristiknya. Dengan cara turut mengalami keadaan internalnya, kita dapat mengenalnya, meramalkan reaksinya dan mengantisipasi kebutuhannya. 6. Stereotip Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotipe merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotipe dapat berupa prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif.53 Psikolog Abbate, Boca, dan Bocchiaro dalam Larry dan Edwin memberikan pengertian yang lebih formal “streotip merupakan susunan kognitif yang mengandung pengetahuan, kepercayaan, dan harapan si penerima mengenai 53 http://id.wikipedia.org/wiki/Stereotipe, diakses pada tanggal 14-05-2014 pukul 16.00 41 kelompok sosial manusia”. Larry dan Edwin mengungkapan alasan mengapa streotip itu begitu mudah menyebar adalah karena manusia memiliki kebutuhan psikologis untuk mengelompokkan dan mengklasifikasikan suatu hal. Dunia dimana kita tinggal ini terlalu luas, terlalu kompleks dan dinamis untuk diketahui secara detail. Jadi seseorang ingin mengelompokkan dan mengotak-ngotakkanya. Tetapi masalahnya bukan pada pengelompokan atau pengotakan tersebut, namun pada overgeneralisasi dan penilaian negative (tindakan atau perasaan) terhadap anggota kelompok tersebut.54 7. Kekuasaan Ada dua prinsip yang melandasi pengertian kekuasaan, yaitu bahwa: 1. Dalam setiap hubungan komunikasi terhadap kekuasaan dalam derajat tertentu. 2. Yang merupakan sumber masalah komunikasi bukanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan penyalahgunaan dari kekuasaan. Oleh sebab itu pemahaman tentang kekuasaan dan dampaknya terhadap komunikasi merupakan bagian penting dalam pemahaman antarbudaya. 54 Larry, Richard & Edwin, Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta, Salemba Humanika, 2010, hal. 203 42 BAB III GAMBARAN UMUM HIMPUNAN PELAJAR PATANI DI INDONESIA (HIPPI) dan SEKILAS PROFIL PATANI A. Latar belakang HIPPI Organisasi Himpunan Pelajar Patani di Indonesia (HIPPI) yang berada di Jakarta adalah organisasi kemahasiswaan dan berorientasi kemahasiswaan dan beorientasi kemasyarakatan bagi Umat Bangsa Melayu Patani. HIPPI merupakan wadah perkumpulan pelajar yang datang dari selatan Thailand, (propinsi Patani, Yala, Narathiwat dan sebagian Songkhla) dengan tujuan mencari pendidikan dan pengajaran di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan menetap dan menempuh studi di Jakarta khususnya. Dinamakan HIPPI memiliki pasang surut dari generasi kegenerasi sebagai tantangan dan hambatan kepada umat Melayu Patani yang datang melanjutkan studi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disisi lain HIPPI mempunyai tujuan yang paling esensi dan mendasar yaitu sebagai wadah untuk mempersiapkan diri sebagai memproduk kader-kader yang giat melakukan kegiatan dan pembelajaran yang mampu dan sanggup membela nasib Umat Bangsa Melayu Patani. HIPPI adalah organisasi yang menjunjung tinggi atas niali keislaman sehingga mampu mengaktualisasikan diri kepada masyarakat dan 43 mengembang potensi anggota baik disisi intelektualisasi, tanggungjawab dan moralitas untuk mencurah dan membangun masyarakat Patani atau tempat kelahiran sebagai masyarakat yang makmur, aman, damai dan sejahtera. Umumnya organisasi pelajar/mahasiswa bergiat melakukan kegiatan pembelajaran, yang meliputi internal dan eksternal bebas bergiat dan bebas berfikir, dengan prinsip ranah wacana keinteletualan dan pemikiran ilmiah, dengan bersikap menghormati kebudayaan temapatan di masyarakat yang mematuhi hukum yang berlaku. Organisasi HIPPI tidak terikat dengan partai politik dan terpengaruh dari golongan tertentu, akan tetapi berusaha mempelajari semua gejala yang terjadi dengan maksud sebagai bahan pembelajaran yang bertujuan meningkatkan kedewasaan bersikap dan kematangan cari berfikir. Namun, sepanjang Organisasi HIPPI berjalan terus-menerus walaupun ada berbagai halangan serta hambatan yang membuat organisasi kurang berkembang sebagaimana yang diinginkan massa ada hambatan dari eksternal maupun internal sendiri.55 B. Lambang HIPPI Himpunan Pelajar Patani di Indonesia (HIPPI) mempunyai lambing bebentuk ujung pulpen yang bertulisan JAKARTA dibawahnya. 55 Buku pedoman anggota HIPPI periode 2013-2014, Jakarta, 2014 44 Gambar lambang HIPPI Makna dari setiap lambangnya : Bentuk garis miring melambangkan kecepatan dalam bergerak dan semangat dalam giat belajar. Ujung bawah berbentuk ujung pulpen melambangkan pelajar Patani yang tekun dan tabah. Bersudut lima melambangkan islam didirikan atas lima perkara Tulisan HIPPI besar tegak lurus melambangkan HIPPI sebagai pendidik, pengajar, pengasuh, pembimbing dan Pembina generasi kegenerasi. Tulisan besar INDONESIA, melambangkan anggota HIPPI sedang belajar di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Garis lintang dibawah tulisan Indonesia melambangkan independen (bebas tidak terikat dengan pihak manapun). Tulisan JAKARTA dibawah, melambangkan bahwa Organisasi HIPPI berada di Jakarta. 45 Makna dari warna lambang: Warna hijau melambangkan Bangsa Melayu yang Islami dan bumi Patani yang subur dan makmur. Warna merah melambangkan berani karena benar. Warna putih melambangkan kejujuran dan keikhlasan yang melandaska ketakwaan Warna kuning melambangkan optimism terhadap nilai-nilai luhur kemelayuan Warna hitam melambangkan ketangguhan. C. Lagu HIPPI Sewaktu berada disini Sebuah takdur tuhan yang murni Menjadi rahmat terhadap kami Bisa bersatu lagi anak PatanI 09 oktober 2011 Berdirinya tegak HIPPI Telah membenar di ruang hati Sebagai basis membina generasi Himpunan pelajar Patani Tempat harapan terdiri 46 Mengibarkan visi dan misi Disana untuk wajah pertiwi Tetap ada aku bersama Keberadaanmu akau menjelma Marilah bersama kita menjaga 47 D. Struktur Organisasi HIPPI priode 2012-2013 AD/ART MPA KETUA UMUM PENASIHAT WAKIL KETUA UMUM BENDAHARA UMUM SEKRETARIS UMUM D. PENDIDIKAN & PENGKADERAN D. PERHUBUNGAN & KEIMIGRASIAN D. SOSIAL & KEBUDAYAAN D. KESEKRETARITAN & PENERANGAN D. OLAHRAGA DAN KESEHATAN D.KEANGGOTAAN & MOAB ANGGOTA 48 E. NAMA-NAMA SUSUNAN STAF PENGURUS HIPPI DAN DEPARTEMEN-DEPARTEMEN PERIODE 2012-2013 STAF PENGURUS (SPH) KETUA UMUM : Anan Nisoh PENASIHAT : Sukifli Tohbo WAKIL KETUA UMUM : Nawawee Maeroh SEKRETARIS UMUM I : Sopwang Masa SEKRETARIS UMUM II : Rohanee Cheha BENDAHARA UMUM I : Asuwan Rira BENDAHARA UMUM II : Husaimi Asae BENDAHARA UMUM III : Sausan Doni DEPARTEMEN-DEPARTEMEN Ketua D. Pendidikan & Pengkaderan : Komisi Kwengbu Wakil : Mariam Ding Ketua D. Perhubungan & Keimigrasian : Asnan Tanjungali Wakil : Faeda Niha Ketua D. Sosial & Kebudayaan : TuanHelmi TuanSulung Wakil : Ummikalsum Asae Ketua D. Kesekretariatan & Penerangan : Su Ai-dee Abuwab Wakil : Nura Awae Ketua D. Olahraga & Kesehatan : Ramzee Waeji Wakil I : Fatihah Pohsa Wakil II : Muniroh Datoo Ketuan D. Keanggotaan & MOAB : Asuwan Rira Wakil I : Ainah Sa’buding Wakil II : Fadilah Waekueji 49 F. Profil Wilayah Patani56 Pattani (Thai ปัตตานี, Tulisan Jawi: )ڤتتانيmerupakan salah satu daripada wilayah-wilayah (changwat) di selatan Thailand. Wilayah-wilayah yang berdekatan (dari hala selatan tenggara ikut jam) adalah Narathiwat, Yala dan Songkhla.Masyarakat Melayu tempatan memanggil wilayah mereka, Patani Darussalam atau Patani Raya. a. Peta wilayah Patani Sumber : internet b. Geografi Patani terletak di Semenanjung Malaysia dengan pantai Teluk Thailand di sebelah utara. Di bahagian selatan terdapat beberapa gunung-ganang dan tempat tarikan pelancong seperti taman negara Budo-Sungai Padi yang yang berada di 56 http://ms.wikipedia.org/wiki/Wilayah_Pattani, diakses pada tanggal 19 agustus 2014 pukul 16:46 50 persempadan wilayah Yala dan Narathiwat. Di sini, terdapat beberapa tumbuhan yang agak luar biasa seperti palma Bangsoon dan rotan Takathong. Di kawasan persempadan dengan Songkhla dan Yala pula terdapat sebuah taman rimba yang terkenal dengan gunung terjunnya, Namtok Sai Khao. c. Sejarah Singkat Kerajaan Patani Pada asalnya, Pattani merupakan sebuah kerajaan Melayu Islam yang merdeka. Setelah Ayutthaya jatuh pada tahun 1767 di tangan Burma, Dinasti Chakri yang baru ditubuhkan dan berjaya menghalau penjajah Burma dari Siam, menaruh minat untuk meluaskan pengaruhnya ke selatan termasuk Patani. Serangan pada tahun 1785 berjaya menakluki Patani. Untuk mengukuhkan penguasaannya, Siam melantik orang melayu sendiri sebagai gabenor di Patani dengan Raja Kampung Laut Tuan Besar dari Kelantan sebagai gabenor yang memakai gelaran raja/sultan atau dalam bahasa Siam sebagai Phraya. Phraya Patani ke-V dan terakhir iaitu Sultan Abdul Kadir Kamarudin Syah telah dibuang negeri ke Kelantan kerana terlibat dalam pemberontakan yang mahu membebaskan Patani dari Siam pada tahun 1902 sekaligus menghapuskan sistem beraja melayu di Patani. Pada 1909, penguasaan Siam terhadap Pattani diperkukuhkan dan diakui oleh British secara rasmi akibat perjanjian yang dimeteraikan dengan Empayar British. Narathiwat dan Yala ditadbirkan secara berasingan. Di Yala terdapat sebuah pergerakan pemisah Patani yang kembali 51 aktif pada 2004 setelah lama berdiam diri. Pergerakan pemisah ini menuntut kemerdekaan Pattani Darussalam atau bergabung dengan Malaysia.57 Untuk sebagian orang, Patani (wilayah Thailand bagian selatan) mungkin hanya sebuah kenangan Negeri Melayu. Orang-orang yang memerhatikan peta Asia Tenggara sekarang akan mengetahui bahwa sebuah negeri islam yang dulu Berjaya kini telah hilang dan tinggal kenangan. Dari sekian banyak kerajaan islam di Asia Tenggara pada abad ke 14-17 M, Patani adalah salah satu kerajaan islam yang sangat maju karena letaknya yang sangat strategis anata jalur perdagangan Cina dan India. Kemasyhuran dan kebesaran itu mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan para Ratu. Hanya saja kemegahan sebuah kerajaan tidak pernah lepas dari ancaman penjajah, hal ini pun dialami Patani. Kerajaan Thai yang berasal dari wilayah utara mulai masuk dan menguasai system pemerintahan, kesultanan Melayu Patani yang awalnya merupakan wilayah dengan mayoritas penduduk beragama islam berbalik menjadi minoritas dalam kekuasaan Thai yang penduduknya sebagian besar beragama Budha.58 A. Bangsa Dan Kerajaan Thai59 Orang-orang siam adalah berasal dari kawasan selatan negeri China. Suku bnagsa ini pada mulanya tinggal tinggal di kawasan kecil disepanjang Sg. Yangtze, yang kemudian secara perlahan-lahan dikuasai oleh kerajaan-kerajaan 57 http://ms.wikipedia.org/wiki/Wilayah_Pattani, diakses pada tanggal 19 agustus 2014 pukul 16:46 Rohanee Cheha, Pemikiran Pendidikan Islam Haji Sulong (Studi Atas Tokoh Pendidikan Islam Di Patani Thailand Selatan), skripsi S1(UMJ, 2013), hal 1 59 Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Pustaka Darussalam, Kelantan, 1994, hal. 12 58 52 China zaman dahulu. Pada pertengahan kurun masehi yang ketujuh mereka Berjaya mendirikan negeri mereka sendiri di Baratdaya China-Nanchao. Negeri ini terletak di satu kawasan tanah rata yang mengelilingi sebuah tasik yang letaknya 600 kaki tinggi di pergunungan Yunan. Bangsa Thai adalah bangsa penjajah. Dari kedudukan asal mereka di Nanchao, mereka kemudian mengembangkan pengaruh mereka ke selatan dan ketimur. Keselatan mereka menyerang negeri-negeri melayu seperti Grahi (Chaiya), Gharbi( Krabi), Thambralingga(Surat Thani), Ligor(Nakhorn Sri Thamarat) dan sengora (Songkhla). Disebelah timur mereka menyerang wilayahwilayah kepunyaan bangsa Mon dan Khmer. Kadang-kadang bangsa Thai ini juga menyerang Annam. Pada penghujung kurun ke-9, mereka pernah melanggar sempadan negeri China yang menyebabkan kerajaan China masa itu, Tang berpecah-belah. Pada tahun 1253 maharaja Monggol, Kublai Khan, menakluk Nanchao. Sejak itu orang Thai meninggalkan Nanchao dan berpindah ke selatan. Di selatan mereka menubuhkan kerajaan Sukhotai, sebuah negeri yang telah mereka takluki dari Khmer pada 1238. Disini orang Thai sangat terpengaruh dengan kebudayaan Khmer. Corak agama Budha yang diamalkan oleh orang Khmer diikuti oleh orang Thai, sesudah disesuaikan oleh raja Sukhotai yang terkenal, Rama Khamheng (1283-1317). Sesudah Rama Khamheng meninggal duini Sukhotai menjadi merosot. Sebuah kerajaan Thai yang lain pula muncul, Ayuthaya. Kerajaan ini diasaskan oleh seorang ketua orang Thai yang kuat, Rama 53 Tibodi, pada 1350. Haruslah diingat bahwa seorang pemerintah (Sultan) Patani pernah membuat lawatan ke Ayuthaya ini. B. Patani Memeluk Islam60 Konon ada sebuah cerita mengenai bagaimana raja Patani memeluk islam. Pada suatu ketika raja Patani ditimpa sakit diobati oleh segala dukun istana tetapi tidak juga sembuh. Akhirnya ada seorang Pasai, Sheikh Said namanya memeberi kesanggupan untuk mengobatinya tetapi dengan syarat apabila sembuh nanti Raja mesti memeluk agama islam. Syarat itu diterima oleh raja, tetapi setelah sembuh baginda tidak menepati janjinya. Beberapa tahun kemudian penyakit lamanya kambuh lagi, lalu orang Pasai itu datang lagi mengobati penyakit baginda dengan syarat yang sama seperti dahulu. Apabila sudah sembuh baginda tetap mengingkari janjinya. Akhirnya penyakit itu menyerang lagi kali yang ketiga. Kali ini baginda baru bersumpah, katanya : “jikalau aku mengubahkan janjiku ini janganlah sembuh penyakitku ini selama-lamanya”. Setelah baginda sembuh dari sakitnya baginda bersama keluarga dan pembesar istana memeluk islam. Sejak itu mulailah islam berkembang di Patani. Komunitas muslim Patani mulai terpisah dari kesatuan dunia muslim dari kesatuan dunia muslim Asia Tenggara dan membentuk sebuah minoritas etnis keagamaan dalam kekuasaan Muang Thai. Ketika kaum muslim melayu dipandang sebagai “ masalah” oleh pemerintahThai (Siam), orang-orang melayu yang ada di Malaysia justru memandang mereka sebagai “ saudara yang terjajah”. 60 Ibid., hal, 13 54 Meski jumlah penduduk muslim Patani minoritas di Muang Thai namun tetap menjadi mayoritas di empat propinsi Muang Thai yang berada di bagian selatan. Menjelang tahun 1921, pemerintah Siam (Thailand) telah mengeluarkan akta pendidikan rendah yang mewajibkan anak-anak usia sekolah yaitu 7 tahun belajar disekolah pemerintah yang menggunakan bahasa Siam (Thai) sebagai bahasa pengantar. Masyarakat Patani menganggap peraturan ini sebagai program Siamisasi yang menghapuskan kebudayaan mereka. Oleh karena itu maka rakyat Patani enggan mengirimkan anak mereka ke sekolah pemerintah, mereka lebih cenderung menyekolahkan anak mereka ke lembaga pendidikan yang dikelola oleh Masyarakat (Sekolah Ilsam) yang jumlahnya sangat banyak di Patani. G. Demografi Patani merupakan salah satu daripada empat wilayah Thai yang mempunyai majoriti penduduk yang beragama Islam; 85% adalah Muslim. Ia berasal dari perkataan dalam Bahasa Melayu 'Pantai Ini'. Sebagai salah satu wilayah baru yang diwujudkan dari Negara Patani yang asal, demografinya tidak jauh berbeza dengan wilayah-wilayah majoriti Melayu Islam yang lain seperti Narathiwat, Yala, Satun dan Songkhla. H. Simbol Wilayah Patani Lambang wilayah Pattani memaparkan sebuah meriam yang dipanggil "Sri Pattani", yang dihasilkan di Pattani untuk mempertahankan Pattani dari serangan Siam. Apabila Pattani dikalahkan Siam pada 1785, meriam "Sri Pattani" dibawa ke 55 Bangkok dan sekarang dipamerkan di hadapan bangunan Kementerian Pertahanan di Bangkok dan diberi nama Siam, "Phya Pattani". Pada asalnya terdapat dua meriam dan yang satu lagi ialah "Sri Negaro" tapi telah terjatuh ke dalam Kuala Sungai Pattani semasa hendak diangkut ke Bangkok. Simbol-simbol yang lain termasuk bunga raya (Hibiscus rosa-sinensis), dan pokok Chengal Kampung (Hopea odorata). Gambar simbol wilayah Patani Sumber : internet 56 BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS A. Akomodasi Komunikasi Dalam Interaksi Antarbudaya Dalam Mengomunikasikan Identitas Budaya Richard dan Turner mendefenisikan bahwa Akomodasi (accommodation) sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi atau mengatur prilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya dilakukan secara tidak sadar. Seseorang cenderung memiliki naskah kognitif internal yang digunakan ketika berbicara dengan orang lain.61 Akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya pada mahasiswa Patani (Thailand) yang penulis temukan bahwa mereka menunjukkan prilaku mereka apa adanya dan berprilaku seperti orang Indonesia pada umumnya artinya walaupun mereka tinggal di negara asing tetapi mereka tidak mengakomodasi prilaku ketika berhadapan dengan orang-orang di luar daerah Patani dan tidak pula mengubah atau mengada-ada prilakunya. Untuk mencapai agar tujuan dari berkomunikasi itu dan terhindar dari adanya kesalahpahaman (miss communication). Terkadang kita temukan ada orang yang ketika tinggal di daerah yang bukan daerah aslinya cenderung menyembunyikan identitas asli mereka dengan berbagai alasan dan bahkan menunjukkan sekali atau yang disebut dengan etnosentrisme yaitu perasaan yang merasa budayanya paling unggul dibandingkan budaya lain. Mahasiswa Patani ini menurut peneliti tidak 61 West, Richard dan H. Turner, Lynn., (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hal. 217 57 menyembunyikan identitas asli mereka dan menunjukkan apa adanya tetapi tidak juga merasa bahwa budaya mereka lebih unggul. 1. Pengungkapan identitas budaya dari segi percakapan (bahasa) Pertama dalam segi bahasa, penggunaan bahasa yang mahasiswa Patani gunakan ketika berkomunikasi dengan teman-teman diluar Patani dengan bahasa Indonesia yang sangat kental berlogat melayu, dan ketika berkomunikasi dengan sesama teman Patani bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah Patani yaitu bahasa melayu Patani. Bahasa melayu Patani adalah bahasa melayu yang hampir sama dengan bahasa Indonesia sendiri yang apabila saya perhatikan ketika mereka berbicara ada banyak kata-kata yang sama dengan bahasa Indonesia dengan perbedaan pada ujung-ujung kata, misalnya “saya” menjadi “sayo”. Dengan demikian bahwa mereka berkomunikasi atau berbicara dengan membawa identitas diri mereka atau pengungkapan diri (self dissclouser) dilakukan secara leluasa . Ketika seseorang melakukan pengungkapan diri terhadap orang lain, ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga orang tersebut merasa nyaman dan leluasa dalam berkomunikasi terhadap apa yang ingin mereka ungkapkan. Salah satu dari pengungkapan diri adalah keberanian seseorang dalam mengomunikasikan identitas kultural. Ada rasa kebanggaan tersendiri sebagai para pendatang yang dapat menggunakan bahasa atau sekedar aksen asalnya saat berinteraksi di tempat ia merantau. 62 62 Hanum Salsabila, Akomodasi Komunikasi Dalam Interaksi Antar Budaya Kasus Perantau yang Berasal dari Daerah Banyumasan dalam Mengomunikasikan Identitas Kultural,( skripsi Universitas 58 Pengungkapan diri yang mahasiswa Patani ini lakukan tidak karena adanya yang disebut dengan setting of communication yaitu seseorang mengungkapkan identitas budayanya berdasarkan pada situasi tertentu karena adanya persepsi-persepsi negatif, rasa malu atau merasa terdiskriminasi terhadap budaya aslinya sehingga mereka perlu mengatur dari cara mereka berbicara atau penggunaan dialek bahasa aslinya yang hanya digunakan pada orang-orang tertentu. Semua informan dalam penelitian ini tidak melakukan setting of communication, mereka dengan leluasa menggunakan bahasa Indonesia yang berlogat khas melayu Patani dengan tidak adanya rasa malu atau minder ketika berbicara dengan logat asli daerah. Begitu pula mereka menggunakan bahasa daerah mereka walaupun itu di depan orang-orang luar Patani, seperti pada forum diskusi yang tidak hanya diikuti oleh mahasiswa Patani saja. Dan mengapa pengungkapan diri itu mereka lakukan dengan leluasa tanpa adanya setting of communication, karena menurut pengungkapan informan bahwa mereka menganggap itu wajar karena mereka adalah orang asing yang memang penguasaan dalam bahasa Indonesia sendiri masih kurang walaupun bahasa Patani dengan Indonesia itu agak mirip tetapi kalau diminta untuk mengungkapkan pendapat susah jadi mereka menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur dengan logat khas mereka. Diponegoro,Semarang,2011),http://eprints.undip.ac.id/29021/1/SUMMARY_SKRIPSI_Hanum_Salsa bila.pdf, diakses pada tanggal 26 Juni 2014 jam 14:20. 59 Dari pengamatan penulis selama penelitian bahwa ketika mahasiswamahasiswa Patani berbicara dalam segi bahasa khususnya yang sudah tinggal lebih dari satu tahun memang untuk bahasa percakapan bisa dikatakan 90 % sudah memahami hanya bahasa-bahasa yang jarang mereka dengar masih belum mengerti apa artinya, misal kalimat “tidak punya uang” yang biasa dalam bahasa percakapan sehari-hari dipakai dengan kata “kere” terutama di Jakarta, kata-kata seperti itu yang membuat mereka bingung. Ada lagi pengungkapan dari informan bahwa terkadang mereka terkejut dengan penggunaan bahasa yang kalau diartikan itu mempunyai arti yang kasar tetapi sudah lumrah digunakan dalam bahasa pergaulan khususnya di Jakarta, misalnya kata “bodoh amat” yang secara arti memang berarti kasar yaitu pengungkapan seseorang yang sedang emosi padahal dalam bahasa pergaulan artinya “ terserah”. Persepsi mereka adalah bahwa yang mengucapkan kata “bodoh amat” itu sedang marah dengan teman sebelahnya. Tetapi yang penulis lihat bahwa kesulitan mahasiswa Patani dalam memahami dan mengungkapkan kalimat-kalimat bahasa Indonesia adalah ketika kata-kata yang sudah diberi imbuhan, awalan, akhiran. Misalnya ketika saya mengucapkan kata “penyesuaian” mereka tidak memahami apa artinya dan barulah saya menjelaskan dengan rinci maknanya. Ini memang menurut penulis sangat wajar mereka tidak memahaminya karena memang kata-kata seperti itu harus dipelajari dalam struktur bahasa Indonesia. Salah satu kegiatan dari anggota HIPPI ini adalah diskusi rutin yang dilakukan satu minggu sekali. Dari hasil pengamatan penulis yang sempat mengikuti 60 diskusi itu bahwa bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa daerah mereka sendiri yaitu melayu Patani, walaupun dalam forum diskusi yang tidak hanya diikuti oleh anggota HIPPI saja tetapi ada beberapa orang Indonesia yaitu teman-teman dari mereka yang ikut dalam forum itu tetapi mereka dengan leluasa dapat mengeluarkan identitas asli yaitu menggunakan Bahasa daerah Patani. Berdasarkan pengungkapan dari orang Indonesia yang ikut diskusi apakah dia memahami atau tidak apa yang mereka bicarakan dalam diskusi itu ternyata memang pas pertama kali ikut masih sedikit bingung apa yang mereka bicarakan tetapi karena sudah lama juga bergaul dengan mereka, sering mendengar mereka berkomunikasi sesama mereka dan ternyata memang bahasanya mirip dengan bahasa melayu Indonesia hanya saja diganti pada ujung-ujungnya misalnya “dimana” diganti dengan “ dimano” makanya karena sering bergaul dia pun sudah paham dengan apa yang mereka bicarakan dengan banyak sharing juga mengenai kata-kata yang belum dipahami. Selama waktu penelitian penulis juga sempat mengikuti kegiatan dari HIPPI yang kebetulan bertepatan dengan kegiatan penerimaan anggota baru HIPPI. Berdasarkan pengungkapan dari ketua HIPPI, bahwa salah satu program HIPPI itu sendiri yaitu mendata anak-anak yang ingin melanjutkan kuliah di Indonesia dengan cara mereka bersosialisasi ke sekolah-sekolah yang ada di Patani dan siapa saja yang berminat HIPPI sendiri yang akan mengurusi dari mulai akomodasi, tempat tinggal mereka selama di Indonesia sudah dipersiapkan oleh pengurus-pengurus HIPPI. 61 Kegiatan oreientasi penerimaan anggota baru HIPPI dilakukan selama lima hari yang bertempat di arena Gintung. Dalam kegiatan itu calon mahasiswa-mahasiwa baru dibekali dengan pendidikan baik itu secara ilmu pengetahuan, fisik dan mental. Secara ilmu pengetahuan ternyata senior-senior HIPPI juga membekali ilmu pengetahuan tentang Indonesia dari mulai sejarah Indonesia, letak geografis, belajar bahasa Indonesia (mulai dari kosa- kata, sastra). Foto pembekalan materi tentang bahasa Indonesia ketika orientasi Sumber :dok. pribadi Calon anggota baru HIPPI tahun 2014 sebanyak 15 orang yang akan menyebar di universitas-universitas yang ada di Jakarta sesuai denga keinginan mereka. Dalam segi bahasa calon anggota baru itu belum bisa berbahasa Indonesia dan belum bisa memahami dan merespon ketika diajak berkomunikasi, artinya bahwa walaupun bahasa melayu Patani itu mirip dengan bahasa Indonesia tetapi harus 62 membutuhkan waktu juga untuk bisa memahami bahasa Indonesia. Dalam komunikasi antarbudaya ketika seseorang berada dalam budaya yang berbeda atau merantau memang disarankan untuk mempelajari latarbelakang budaya tersebut untuk mencapai tujuan agar dapat berkomunikasi dengan lingkungan baru tersebut. Foto pembekalan mental ketika orientasi penerimaan anggota baru HIPPI Sumber : dok. Pribadi Selain kegiatan orientasi penerimaan anggota baru HIPPI, peniliti juga sempat mengikuti acara rutin mereka yaitu yasinan yang disusul dengan acara latihan khutbah jum’at (khusus untuk laki-laki). Dalam kegiatan ini dapat diamati dalam latihan khutbah jumat, penyampaian khutbah jumat itu menggunakan bahasa Indonesia bukan bahasa daerah. Ternyata khutbah di Patani itu penyampaiannya menggunakan bahasa buku yang menggunakan tulisan latin seperti bahasa Indonesia perbedaanya hanya beberapa kata-kata berbahasa melayu, tulisan dalam buku-buku 63 patani ada bermacam-macam yaitu tulisan Jawi (Yawi atau arab melayu) dan tulisan Siam (Thai) dan Bahasa latin seperti Bahasa Indonesia. Foto kegiatan yasinan dan khutbah Sumber : dok. pribadi Bahasa Yawi, (Tulisan Jawi: )بهاس جاويmerupakan transkripsi perkataan Bahasa Thai ยาวี, yang dipahami oleh Orang Thai sebagai Bahasa Melayu Patani (Jawi: )بهاس مالي ڤطاني. Bahasa Yawi juga dipanggil Baso Nayu atau Kecek Nayu dituturkan secara meluas di wilayah-wilayah selatan Thailand, yaitu Narathiwat, Yala, Pattani, dan sesetengah kawasan di Songkhla serta Satun, selain itu ia juga dituturkan di beberapa kawasan utara semenanjung Malaysia terutama sekali Kelantan dan di daerah Baling dan Sik di Kedah. Dianggarkan bahawa terdapat 3 juta 64 orang penutur Bahasa Yawi63. Tulisan Siam (Thai) merupakan tulisn asli Negara Thailand yang huruf-hurufnya mirip dengan tulisan sansekerta. Gambar tulisan Jawi (arab melayu) Sumber : internet Gambar tulisan Siam 63 http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu_Pattani, diakses pada tanggal 19 agustus 2014 pukul 17:41 65 Sumber : internet Keunikan dari mahasiswa yang berasal di Patani ini menurut penulis adalah dalam pemilihan jurusan pendidikan yang mereka ambil. Ternyata sudah banyak mahasiswa-mahasiawa Patani yang melanjutkan Perguruan Tinggi Di Indonesia banyak mengambil Jurusan Bahasa Indonesia. Hal ini terdengar unik menurut saya karena mereka adalah mahasiswa yang bukan dari Negara Indonesia tetapi menggeluti bidang Bahasa Indonesia. Alasan mereka adalah karena di Patani sendiri Bahasa Indonesia sudah ada dalam kurikulum pendidikan di Patani, jadi banyak dibutuhkan guru-guru yang pakar di bidang bahasa Indonesia. Dan lebih unik lagi, setiap mahasiswa yang melanjutkan perguruan tinggi di Indonesia walaupun mereka bukan dari jurusan bahasa Indonesia tetapi mereka selalu disuruh untuk menjadi guruguru Bahasa Indonesia di pendidikan Sekolah Dasar di Patani. Memang terkadang adanya persepsi mengenai identitas suatu budaya secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi 66 menggunakan bahasa asalnya. Persepsi identitas budaya terkadang dimata orang-yang berbeda asal daerah terkadang terkesan lucu, memiliki kesan wong ndeso, ditertawakan, tidak sopan, memalukan, tidak pantas digunakan pada ruang lingkup resmi, logatnya terdengar kasar. Itulah yang membuat seseorang mengakomodasi tindakan dan prilaku mereka ketika berhadapan dengan orang-orang yang dari luar daerah tersebut. Ketika seseorang melakukan interaksi dengan kelompok budaya lain pada dasarnya ia membawa identitas budayanya. Identitas tersebut dapat berupa perilaku dan bahasa. Tidak ada yang salah dengan identitas budaya dan seharusnya tidak perlu merendah diri saat seseorang berhadapan dengan budaya lain. Namun, adakala kelompok-kelompok suatu budaya saat berinteraksi dengan kelompok kebudayaan lain merasa tidak percaya diri dengan bahasa dan dialeknya. Mereka cenderung mengurangi bahkan menghilangkan bahasa dan dialek tersebut dalam pergaulan sehari-hari. Dalam hal ini mengakibatkan suatu proses akomodasi, dimana kelompok budaya yang merasa lebih rendah kemudian berusaha mengakomodasi kelompok budaya yang dianggap lebih tinggi dalam bentuk yang mereka pahami. Berdasarkan pengungkapan dari para informan yang memang sudah agak lama sekitar satu sampai dua tahun tinggal di Indonesia khususnya di Jakarta, mereka terlihat sudah menguasai bahasa percakapan di Indonesia terutama dalam segi bahasa, sudah terdengar penggunaan bahasa-bahasa Jakarta misalnya “iya deh, itu daonk, masa sih”, dari penggunaan kata-kata itu yang diungkapkan para informan yang disebut dengan konvergensi yang Giles dan para koleganya telah tetapkan dalam 67 sebuah pengamatan umum bahwa para pelaku komunikasi seringkali saling meniru prilaku. Mereka menyebutnya pemusatan (convergence) atau penyamaan. Penyamaan ini tentu dilakukan untuk mencapai komunikasi yang efektif ketika berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungan rempat merka merantau. Mahasiswa Patani memang poneliti lihat berusaha untuk membuat penyamaan (convergensi) dari penggunaan Bahasa yang mereka gunakan, mereka berusaha untuk memakai Bahasa Indonesia ketika berkomunikasi walaupun masih banyak keliru penggunaannya dan mereka tidak juga membuat pemisahan (divergensi) yaitu berusaha menonjolkan budaya asli mereka. Menurut pengamatan penulis bahwa ketika mereka berbicara masih banyak pula penggunaan kata-kata yang belum tepat digunakan dalam sebuah kalimat. Misalnya dalam wawancara mereka berpendapat tentang Indonesia “ Indonesia itu menurut saya tarik”, kata Tarik dalam kalimat itu tidak sesuai dengan EYD yang seharusnya “ Indonesia itu menurut saya menarik”. Itulah salah satu penggunaan kata-kata yang belum sempurna ketika mereka berkomunikasi. Begitu pula dalam hal membaca tulisan-tulisan buku bahasa Indonesia dengan logat melayu, misalnya tulisan “Syurga” dibaca dengan “syurgo”. Semua informan mengungkapkan saat berada di Indonesia sebelum beradaptasi dengan baik pertama kali mereka mengalami kejutan budaya (shock culture). Hal seperti ini wajar dialami ketika seseorang berada pada sebuah lingkungan baru. Adaptasi terhadap budaya terutama dilakukan agar hal-hal yang kelak dapat menjadi kendala dalam berkomunikasi dapat dihindari. 68 Berdasarkan pengungkapan semua informan, mereka menemukan sedikit keanehan ketika pertama kali tinggal di Indonesia khususnya di Jakarta. Salah satunya yaitu keanehan pada perempuan-perempuan Indonesia, di Patani sendiri karena mayoritas dari penduduknya adalah beragama islam maka disana semua perempuan Patani mamakai kerudung dan kalaupun ada yang tidak memakai kerudung maka itu adalah orang yang beragama budha. Nah, lain kejadiannya dengan di Indonesia semua informan merasa terkejut dengan perempuan-perempuan Indonesia yang banyak tidak memakai kerudung tetapi beragama islam. Persepsi mereka pertama kali semua perempuan-perempuan yang tidak memakai kerudung adalah non muslim. Seperti wawancara dengan informan dibawah ini dengan logat khas mereka: “pertama masuk Indonesia agaknya aneh gitu, kalau disini tentang budaya itu kayak kerudung misalnya untuk muslim, jadi kalau di Thailand setiap muslim ya muslim perempuannya pakai kerudung trus bajunya baju pakainya baju melayu, beda antara Budha dan muslim. Tapi kalau di Indonesia muslim itu susah beda gitu pakai rok mini tapi shalat gitu jadi agak aneh kalau di Patani yang orang islam itu khususnya perempuan rata-rata menggunakan kerudung”.64 Ungkapan informan lain “ “ada yang aneh yaitu orang-orang Indonesia itu menurut saya kan orang Indonesia itu yang paling banyak muslim ya trus pas sampai di Indonesia kan kalau di Thailand orang yang gak pake kerudung perempuannya orang-orang non muslim tapi orang Indonesia yang aneh itu orang yang gak pake kerudung yang pake baju terbuka dan celana pendek kok itu muslim. Pas pertama kali itu pas di PIM ngeliat perempuan yang gak pake kerudung tadi pada ngantri wudhu kan kalau mau cuci muka ada tempatnya sendiri trus mereka shalat kan itu aneh soalnya kalau disana gak 64 Wawancara dengan Rohanee Cheha, 08-06-214, 10.00 WIB 69 ada yang kayak gitu rata-rata kalau seperti itu orang budha, tapi lama-lama udah biasa, biasa banget”.65 Selain dalam hal pakaian ada pula informan yang mengatakan tentang sedikit keanehan lain khususnya di Jakarta yang ditemui pada kebiasaan masyarakat Indonesia yaitu penggunaan Black Berry Massanger atau yang lebih dikenal dengan BBM, masyarakat Indonesia rata-rata menggunakan BBM, setiap bertemu teman yang pertama ditanya adalah pin BB. Budaya seperti ini aneh menurut informan ini karena di Patani penggunaan BBM tidak diterima oleh sistem Negara hanya Whatsapp dan Facebook saja yang boleh dipergunakan. Seperti petikan wawancara dibawah ini : “kalau di Jakarta sih budaya BBM itu bikin orang jadi sombong gitu jadi dunia privasi sendiri gitu sedangkan temen sebelah gak di ituin pngennya temen jauh, kalau di Thailand jarang ada yang main bbm, di Patani itu gak ada. Dulu sekitar tahun 2011 bbm itu sempat buming tapi setelah itu aplikasi bbm gak diterima lagi di Thailand”.66 Kemacetan juga salah satu menjadi perhatian mereka saat tiba di Indonesia, kerena di Thailand sendiri tidak ada kemacetan di jalan raya dan banyaknya pedagang-pedagang yang berjajaran dipinggir-pinggir jalan juga membuat mereka sedikit aneh karena di Thailand tidak ada yang seperti di Indonesia. 1. Pengungkapan Identitas Budaya Dalam Segi Pakaian Perempuan-perempuan muslimah yang berasal dari Patani Thailand ini mempunyai ciri khas sendiri dalam hal berpakaian. Rata-rata dari perempuan- 65 66 Wawancara dengan Su-aidee Abuwa, 04-06-2014, 21.00 WIB Wawancara dengan Asuan Rira, 04-06-2014, 20.30 WIB 70 perempuan yang penulis lihat ketika berada dalam sebuah perkumpulan pakaian mereka identik dengan menggunakan baju kurung setelan yang dipadu dengan kerudung kurung panjang yang identik berwarna hitam yang mirip sekali dengan perempuan-perempuan muslimah yang berasal dari Malaysia, pakaian seperti itu sudah menjadi adat kebiasaan yang digunakan oleh perempuan-perempuan Patani. Pada umumnya kebanyakan ketika seseorang berada di daerah yang bukan aslinya mereka lambat-laun akan cenderung terpengaruhi dengan budaya di tempat ia tinggal entah itu dari segi bahasa atau pakaian. Tapi berbeda dengan perempuan-perempuan Patani ini, mereka tetap menampilkan identitas budaya aslinya dengan berbusana sesuai dengan kebiasaan perempuan-perempuan Patani pada umumnya karena kebanggaan mereka terhadap budayanya dan kedalaman mereka mengenai ajaran agama islam yang memerintahkan perempuan muslimah untuk menutup aurat dengan sempurna, walaupun di Indonesia sendiri berbusana seperti mereka itu sangat minoritas tetapi mereka tidak merasa terasingkan ketika menggunakan pakaian asli daerahnya. Wajarlah mereka merasakan keanehan ketika melihat perempuanperempuan muslim Indonesia yang menggunakan kerudung tetapi memakai celana levis yang ketat yang sudah lumrah di masyarakat Indonesia. Untuk laki-laki dalam hal berpakaian tidak ada perbedaan dengan busana laki-laki di Indonesia. Walaupun ada satu dan dua orang dari sekian banyak perempuan-perempuan patani yang sudah sedikit terpengaruh dengan pakaian-pakaian perempuan Indonesia. 2. Bentuk- Bentuk Adaptasi Budaya 71 Penyesuaian mahasiswa Thailand tinggal di Indonesia bermacam-macam. Ada yang memang sudah agak terbiasa dari penggunaan Bahasa melayu, misalnya Maryam Ding adalah seorang mahasiswa yang pernah melanjutkan kuliah sampai jenjang D3 di Malaysia kemudian melanjutkan studi jenjang S1 di UIN Jakarta, bagi Maryam ketika tinggal di Indonesia tidak terlalu sulit dalam segi Bahasa karena sudah terbiasa tinggal di Malaysia yang notaben penggunaan Bahasa mirip dengan Bahasa melayu Indonesia. Tapi ada pula yang memulai adaptasi dari awal karena masih buta dengan latarbelakang budaya Indonesia baik dari segi Bahasa maupun prilaku masyarakatnya sehingga membutuhkan waktu untuk belajar Bahasa karena tuntutan pendidikan yang mengharuskan untuk memahami Bahasa Indonesia secara matang.Wajarlah diawal-awal pertemuan dikelas membuat mereka tidak mengerti apa yang dibicarakan dosen, namun dosen juga memahami karena mereka mahasiswa asing maka untuk penjelasan mata pelajaran dijelaskan secara pelan. Ada pula yang harus beradaptasi dari awal, seperti yang pernah saya amati ketika kegiatan orientasi anggota baru HIPPI terlihat bahwa anak-anak yang baru datang dari Patani belum bisa memahami dan mengucapkan kalimat-kalimat percakapan bahasa Indonesia. Ketika penulis ajak bicara mereka masih dengan muka kebingungan Karena tidak memahami apa yang penulis katakan, oleh karenanya mereka sewaktu masa orientasi itu dibekali oleh senior-senior mereka belajar bahasa Indonesia dari mulai belajar huruf-huruf abjad beserta cara membacanya. 72 Bentuk-bentuk penyesuaian diri yang diungkapkan sobur dalam bukunya Psikologi Umum bisa diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu, (a) yang adptive dan (b) yang adjustive. a. Yang adaptive Bentuk penyesuaian diri yang adaptive sering dikenal dengan istilah adaptasi. Bentuk penyesuaian diri ini lebih bersifat badani. Artinya, perubahan-perubahan dalam proses badani untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan. Misalnya berkeringat adalah usaha tubuh untuk mendinginkan tubuh dari suhu yang panas atau dirasakan terlalu panas. Yang adaptive yang dialami mahasiswa Patani ketika tinggal di Indoneisa tidak mengalami penyesuaian yang berat yang mereka rasakan karena dalam segi cuaca antara wilayah Patani dengan Indonesia itu sama jadi mereka tidak mengalami kesulitan harus beradaptasi terhadap keadaan cuaca di Indonesia. c. Yang adjustive Bentuk penyesuaian yang lain, yang tersangkut kehidupan psikis kita, biasanya disebut sebagai bentuk penyesuaian yang adjustive. Karena tersangkutnya kehidupan psikis dalam penyesuaian yang adjustive ini, dengan sendirinya penyesuaian ini berhubungan dengan tingkah laku. Sebagaimana kita ketahui , tingkah laku manusia sebagian besar dilatarbelakangi oleh hal-hal psikis ini, kecuali tingkah laku tertentu dalam bentuk-bentuk gerakan yang sudah menjadi kebiasaan atau gerakan-gerakan refleks. Maka penyesuian ini adalah penyesuaian diri tingkah laku terhadap 73 lingkungan yang dalam lingkungan ini terdapat aturan-aturan atau norma-norma. Singkatnya penyesuaian terhadap norma-norma. Penyesuaian Yang adjustive yang dialami oleh mahasiswa Patani yaitu salah satunya ketika lewat didepan rumah warga, norma kesopanan atau kebiasaan di Indonesia yaitu dengan kebiasaan tegur sapa atau sekedar mengucapkan kata “ persmisi”. Bentuk penyesuaian ini tidak menjadi kendala bagi mereka hanya saja perlu waktu untuk belajar bagaimana dan apa saja norma-norma sosial pada masyarakat Indonesia. 3. Tahap - Tahap Adaptasi Budaya a. Tahap pertama yang disebut dengan periode bulan madu, berdasrkan pengungkapan dari informan bahwa tahap ini terjadi ketika awal-awal tiba di Indonesia. Mereka merasakan senang dan kagum bisa berada di Indonesia menghadapi suasana yang baru dengan keadaan masyarakat Indonesia yang padat khususnya di Jakarta karena mereka melihat hanya di Jakarta saja dan juga banyak sekali kendaraan sedangkan didaerah Patani sendiri masih sepi. b. Tahap kedua masa dimana daya tarik dan kebaruan sering berubah menjadi frustasi, cemas, dan bahkan permusuhan, karena kenyataan hidup dilingkungan atau keadaan yang asing menjadi lebih terlihat. Keadaan ini bedasarkan pengungkapan dari informan tidak mereka alami bukan karena mereka tidak merasakan cemas tetapi perasaan seperti ini hanya sedikit saja terlintas misalnya menghadapi kemacetan dan sedikit aneh melihat keadaan budaya perempuan muslimah Indonesia yang tidak menggunakan kerudung tetapi ini tidak membuat mereka frustasi dan cemas yang berlebihan. 74 c. Tahap ketiga ini mahasiswa Thailand mulai menyesuaikan keseimbangan terhadap lingkung baru yang mereka hadapi dengan membiasakan kembali perbedaan-perbedaan yang ada antara budaya Patani dan Indonesia. d. Setelah mengalami tahap ketiga penyesuaian terus berlanjut, mahasiswa Thailand seiring dengan waktu bisa terbiasa dan memahami dengan perbedaan-perbedaan yang mereka temukan pada masyarakat Indonesia karena perbedaan-perbedaan yang ada antara budaya Patani dan Indonesia tidak mebuat mereka merasa kesulitan untuk menerimanya. 4. Asumsi-Asumsi Dalam Teori Akomodasi Asumsi pertama, persamaan dan perbedaan berbicara dan perilaku terdapat di dalam semua percakapan. Ada beberapa yang dapat penulis temukan perbedaan bahasa yang penulis temukan antara bahasa melayu Patani dengan bahasa Indonesia : Tabel contoh beberapa perbedaan bahasa Patani dan bahasa Indonesia Kata Arti Kecewo kecewa Denge dengan kesedihe kesedihan Kekuate kekuatan Sipa’ Sifat Lepah Lepas Mako Mako 75 Do’ Duduk Cepa’ Cepat Maye Shalat Tempa’ tempat Reh Ya (kata penekanan) Isle Islam Bahaso bahasa Siki’ sedikit Asumsi kedua, cara kita memersepsikan tuturan dan prilaku orang lain akan menentukan bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan. Asumsi ini tidak terdapat pada akomodasi komunikasi pada mahasiswa Patani karena mereka dengan leluasa dapat menggunakan bahasa asli daerah mereka di depan orang-orang luar daerahnya dan ketika berbicara dengan orang-orang Indonesia mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan tidak menghilangkan logat asli mereka. Jadi tidak ada persepsi-persepsi negatif yang mempengaruhi mereka untuk tidak menggunakan dialek asli daerah mereka sendiri. Asumsi kedua ini terjadi ketika ada suatu kelompok yang tidak leluasa dalam mengungkapkan diri dengan identitas budaya aslinya terutama dalam dialek bahasa karena ada persepi-persepsi negatif yang mempengaruhi cara berkomunikasi dengan bahasa asalnya. Penulis menemukan dalam sebuah penelitian yang ditulis oleh mahasiwa Universitas Diponegoro Semarang tentang ada salah satu kelompok yaitu perantau 76 yang berasal dari Banyumasan yang malu untuk menggunakan dialek ngapak-ngapak yaitu dialek asli mereka. Dialek Ngapak-ngapak merupakan bagian dari rumpun Bahasa Jawa, namun banyak orang yang memiliki penilaian tersendiri mengenai dialek Ngapak-ngapak yang dianggap berbeda dengan dialek Bahasa Jawa lainnya. dialek tersebut lucu, memiliki kesan wong ndeso, ditertawakan, tidak sopan, memalukan, tidak pantas digunakan pada ruang lingkup resmi, logatnya terdengar kasar. Persepsi tersebut mempengaruhi para perantau dari Banyumas dalam pengungkapan diri menggunakan dialek Ngapak-ngapak sebagai bagian dari identitas kultural. Hal ini merupakan bentuk emotional vulnerability (identitas kelompok dan identitas individu akan mempengaruhi cara-cara seseorang dalam memersepsikan, berpikir dan berperilaku dalam lingkungan sehari-hari) masyarakat Banyumas untuk dapat diterima dengan baik di tempat mereka merantau. Masyarakat dari kelompok yang memiliki identitas kultural tidak kuat cenderung enggan untuk mengekspresikan latar belakang budayanya bahkan cenderung mengakomodasi kelompok yang memiliki latar belakang budaya yang kuat.67 Bentuk evaluasi perilaku komunikasi yang masyarakat Banyumas itu, pertama adalah melihat situasi atau setting tempat yang memungkinkan mereka berbicara dengan bahasa atau aksennya. Biasanya mereka akan berbicara dengan Dialek Ngapak-ngapak ketika bertemu dengan komunitas yang asal daerahnya sama. Selain itu mereka juga tidak menggunakan bahasa tersebut pada ruang lingkup acara formal. 67 Hanum Salsabila, Akomodasi Komunikasi Dalam Interaksi Antar Budaya Kasus Perantau yang Berasal dari Daerah Banyumasan dalam Mengomunikasikan Identitas Kultural,( skripsi Universitas Diponegoro,Semarang,2011),http://eprints.undip.ac.id/29021/1/SUMMARY_SKRIPSI_Hanum_Salsa bila.pdf, diakses pada tanggal 26 Juni 2014 jam 14:20. 77 Kedua adalah pada tahap awal interaksi mereka cenderung berbicara menggunakan Bahasa Indonesia tanpa melekatkan aksen Ngapak-ngapak. Yang ketiga adalah beradaptasi dengan melakukan penyesuaian terhadap orang lain dalam penggunaan bahasa. Mereka cenderung melakukan penyesuaian bahasa dalam berkomunikasi selama mereka memahami bahasa komunikannya. Asumsi yang ketiga, berkaitan dengan dampak yang memiliki bahasa tehadap orang lain. Secara khusus, bahasa memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan status dan keanggotaan kelompok diantara para komunikator dalam sebuah percakapan.68 Asumsi ini menurut penulis tidak terdapat dalam interaksi mahasiswa Patani dengan orang-orang diluar daerahnya karena dalam asumsi ini berbicara tentang bahasa yang digunakan ketika dalam proses percakapan antara dua orang cenderung merefleksikan individu dengan status sosial yang lebih tinggi. Misal percakapan antara seseorang yang akan melamar pekerjaan ketika dalam proses wawancara maka si pelamar biasanya dituntun oleh pewawancara. Pewawancara sebagai individu dengan status sosial yang lebih tinggi menentukan atmosfer melalui bahasa dan prilakunya. Asumsi keempat, berfokus pada norma dan isu mengenai kepantasan sosial. Setiap kelompok-kelompok budaya pasti memiliki norma-norma di masyarakatnya agar dapat mengatur apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Mahasiswa 68 West, Richard dan H. Turner, Lynn., (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hal. 221 78 Patani yang tinggal di Indonesia sebagai lingkungan baru, mereka seharusnya dapat mengetahui norma-norma prilaku masyarakat Indonesia agar terhindarnya kesalahpahaman ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Berdasarkan pengungkapan dari para informan bahwa mereka seiiring waktu mempelajari sedikitdemi sedikit norma-norma dalam di masyarakat Indonesia. Misalnya norma kesopanan ketika lewat didepan rumah warga di Indonesia umumnya kita harus menundukkan kepala dan mengucapkan kata permisi sebaga tanda kseopanan kita terhadap orang lain. b. Hambatan Dalam Penyesuaian Komunikasi Antarbudaya Hambatan yang dialami oleh para mahasiswa yang berasal dari Patani Thailand ini bisa dikatakan tidak ada hambatan . Hal ini bisa dikatakan menurut peneliti ada dua faktor pendukung kesamaan yang para informan rasakan ketika tinggal di Indonesia yang memang sudah diketahui mereka sebelum memutuskan untuk tinggal di Indonesia dan juga stereotip pofitif yang mereka punya bahwa orangorang Indonesia itu masyarakatnya dikenal dengan keramah-tamahannya. Berdasarkan pengungkapan dari informan-informan yang ada bahwa tinggal di Indonesia walaupun tinggal di Negara asing tetapi mereka merasakan kenyamanan seperti tinggal di Negara sendiri. Faktor pertama kesamaan yang hampir mirip dalam segi bahasa. Bahasa memang merupaka suatu hal yang terpenting dalam kehidupan bermasyarakat terlebih lagi ketika kita berada dilingkungan baru dengan latarbelakang budaya berbeda dan merupakan suatu hal yang menyenangkan ketika kita berada disuatu lingkungan baru apa lagi dalam lingkup berbeda Negara dan 79 ternyata bahasa asli kita dengan bahasa tempat baru itu hampir sama dan mudah untuk dipahami akan menjadi salah satu faktor pendukung kenyamanan kita tinggal ditempat tersebut. Ungkapan dari salah satu informan bahwa betapa sulitnya tinggal di daerah yang bahasanya kita harus benar-benar belajar dari nol tidak seperti di Indonesia mereka memahami Bahasa percakapannya. Seperti ungkapan informan : “Kalau aidi gak belajar dari satu kamus pun tapi dari sosial kita ngobrol, bicara sama teman-teman, pas pertama smsan itu banyak banget terus kalau ada yang gak ngerti tanyak ini artinya apa coba misal kita tinggal di Turki harus belajar lagi dari awal”.69 Dari letak geogarfis memang Patani adalah daerah yang terletak di Selatan Thailand berbatasan dengan Negara Malaysia dan karena dibagi oleh jajahan inggris maka Patani di masukkan ke Negara Thailand, itulah sebabnya Bahasa mereka cenderung lebih kepada Bahasa melayu daripada Bahasa Thai sendiri. Tapi walaupun mereka lebih cenderung menggunakan Bahasa melayu Patani, Bahasa Thai sendiri pun tidak mereka tinggalkan sebagai bahasa ibu. Oleh karena itu bahasa menjadi faktor pendukung bagi mereka untuk tinggal di Indonesia. Seperti dalam petikan wawancara : “kalau misal mengikut rohani Indonesia itu serumpun sama Patani jadi gak terlalu beda, kan rohani tinggal di Patani itu perbatasan diantara Malaysia jadi kalau ngomongnya sama gitu”70 Factor kedua kesamaan dalam hal kepercayaan (agama). Penduduk Patani Thailand selatan merupakan penduduk yang mayoritas memeluk agama islam, walaupun di Negara Thailand sendiri khususnya di daerah Ibu kota Bangkok 69 70 Wawancara dengan aidee pd tgl 4 juni 2014 jam 21.00 Petikan wawancara bersama Rohanee Cheha, 08-06-2014, 10.00 WIB 80 mayoritas penduduknya memeluk agama budha. Hal ini yang menyebabkan mereka merasakan kenyamanan dan rasa persaudaraan terhadap orang-orang Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama islam. Seperti dalam wawancara: “kalau milih kuliah disini agaknya kalau disana (Thailand) mayoritas Budha kalau rohani kan muslim jadi udah D3 disana terus dosen-dosen di Thailand itu kebanyakan alumni dari Indonesia jadi agaknya enaklah disini kuliah”.71 Ada pula yang mengungkapkan alasannya: “Alasan milih Indonesia buat kuliah itu karena di Thailand sudah terbukti bahwa alumni yang lulusan dari Indonesia itu banyak yang berbakti kepada Negara banyak dikampung-kampung diwilayah-wilayah itu banyak yang lulusan Indonesia yang berjasa kepada Negara jadi sangat berbeda dengan Mesir, Suriah, Malaysia itu beda dan kebanyakan kalau di mesir, suriah itu ilmu agama, di Indonesia juga ilmu agama cuman Indonesia itu pemikirannya lebih luas dan modern sesuai dengan keadaan sekarang”.72 Ada pula informan yang mengungkapkan : “karena Indonesia itu terkenal dengan mayoritas Islam gitu jadi emang kalau dari makanan kan enak pasti halal”.73 Alasan informan lain yang mengatakan: “Hidup di Indonesia itu nyaman karena salah satunya dari segi agama , di Indonesia jika kita berpergian dan sudah tiba waktunya untuk shalat maka itu tidak susah untuk mendapatkan tempat shalat tidak seperti di Thailand kalau berpergian ke kota Bangkok sulit sekali untuk mendapatkan tempat ibadah”.74 Begitu juga informan lainnya mengungkapkan: 71 Petikan wawancara bersama Rohanee Cheha, 08-06-2014, 10.00 WIB Petikan wawancara bersama Abdul Hakim, 04-06-2014, 22.00 WIB 73 Wawancara dengan Asuan Rira, 04-06-2014, 20.30 WIB 74 Wawancara dengan Rohanee Cheha, 08-06-2014, 10.00 WIB 72 81 “tinggal di Indonesia itu seperti tinggal dikampung halaman sendiri karena mayoritasnya muslim sama seperti di Patani juga”.75 Perbedaan dalam setiap budaya sudah pasti ada terlebih lagi dalam lingkup berbeda Negara. Seseorang yang ketika berada didaerah tempat ia merantau memang sebaiknya melakukan beberapa cara seperti yang diungkapkan oleh ahli komunikasi Joseph De Vito menawarkan beberapa panduan untuk menghindari hambatan dalam komunikasi antarbudaya:76 1. Kenalilah budaya diri sendiri dan budaya orang lain 2. Mengakui bahwa perbedaan itu ada dalam setiap kelompok, hindari stereotip, jangan terlalu menyamaratakan atau beranggapan bahwa perbedaan dalam suatu kelompok tidak penting. 3. Ingatlah bahwa makna ada pada diri seseorang dan bukan terdapat dalam katakata atau dalam gerak-isyarat yang digunakan. 4. Waspada terhadap aturan-aturan budaya yang berlaku dalam setiap konteks komunikasi antarbudaya. 5. Hindari evaluasi negatif terhadap perbedaan budaya baik secara verbal dan nonverbal. 6. Jaga diri dari kejutan budaya dengan mempelajari sebanyak mungkin budaya yang akan dimasuki. 75 Wawancara dengan Abdul Hakim, 04-06-2014, 22.00 WIB Brent D. Ruben & Lea P. Stewart, Komunikasi dan Prilaku Manusia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013, hal. 378 76 82 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya pada mahasiswa yang berasal dari Patani Thailand yaitu mereka menyesuaikan dan menunjukkan prilaku apa adanya tanpa ada modifikasi komunikasi terutama dalam hal percakapan. Pertama dalam segi bahasa, dalam percakapan tidak adanya setting of communication yang dilakukan artinya mereka berprilaku dengan mengungkapkan identitas budaya asli mereka tanpa ada perasaan-perasaan malu atau minder bahasa yang mereka gunakan ketika berinteraksi dengan orang-orang Indonesia yaitu bahasa Indonesia yang berlogat melayu, antara bahasa daerah Patani dan bahasa Indonesia tidak jauh berbeda hanya saja bahasa Patani itu perbedaannya pada ujung-ujung kata misalnya “saya” menjadi “sayo” dan mereka juga tidak malu untuk menggunakan bahasa asli mereka dihadapan orang-orang luar patani pada saat berinteraksi dengan orang-orang Patani Kedua dalam segi pakaian. Masyarakat Patani mempunyai ciri pakaian khas dalam kesehariannya khususnya untuk perempuan. Masyarakat Patani mayoritas memeluk agama Islam sehingga perempuan-perempuan disana diwajibkan untuk 83 menggunakan kerudung dan di Patani ketika ada perempuan yang tidak menggunkan kerudung persepsinya adalah perempuan Budha, pakaian khas perempuan-perempuan Patani adalah baju setelan kurung yang dipadu dengan kerudung kurung panjang yang identik berwarna hitam. Oleh karena itu mereka merasa heran ketika melihat masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam tetapi masih banyak sekali perempuan muslimah yang tidak menggunakan kerudung., Hambatan peneyesuaian komunikasi dalam interaksi antarbudaya yang dialami oleh mahasiswa Patani tidak ada. Hal ini menurut penulis ada dua faktor kesamaan-kesamaan yang mereka rasakan ketika tinggal di Indonesia sehingga menimbulkan kenyamanan dirasakan. Pertama faktor bahasa yang hampir sama sehingga tidak menyulitkan mereka untuk beradaptasi dengan orang-orang pribumi. Kedua factor kepercayaan, masyarakat Patani yang mayoritas beragama Islam merasakan kenyamanan ketika berada di Indonesia yang juga masyarakatnya mayoritas memeluk Islam ketimbang hidup di Negara Thaialand sendiri yang mayoritas memeluk agama Budha, sehingga mereka mereka merasakan adanya tali persaudaraan yang terjalin ketika bersosialisasi dengan orang-orang Indonesia. B. Saran Masukan dan saran untuk mahasiswa-mahasiswa Patani yang terhimpun dalam Himpunan Persatuan Patani Di Indonesia (HIPPI) teruslah berjuang menuntut ilmu sebanyak-banyaknya jangan pernah takut untuk mencoba, dan bagi mahasiswa Patani Di Indonesia alangkah baiknya memperluas koneksi dengan bersosialisasi dengan orang-orang pribumi seluas-luasnya. Misalnya dengan tinggal bersama dengan orang 84 pribumi agar terbiasa untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sehingga terbiasa untuk mengungkapkan pendapat-pendapat dengan lancar. Untuk mahasiswa yang akan meneliti tentang penelitian komunikasi antarbudaya untuk hendakanya memperkaya teori-teori dan refrensi tentang komunikasi antarbudaya karena penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan dengan melihat Negara Indonesia khususnya yang kaya sekali akan adat dan budaya yang beragama pada kehidupan masyarakatnya. 85 DAFTAR PUSTAKA A. Devito, Joseph, Komunikasi Antarmanusia, Tangerang, Karisma Publishing Group, 2011 Arbi, Armawati, Dakwah dan Komunikasi, Ciputat, UIN Jakarta Press, 2003 Ardianto, Elvinaro&Q-Aness, Bambang, Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya offset, 2007 Brannen, Julia, Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, komunikasi dan prilaku manusia, Depok, PT Raja Grafindo, 2013 Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif, Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2010 Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja grafindo, 2007 D. Ruben, Brent & P. Stewart, Lea, Komunikasi dan Prilaku Manusia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013 Emzir, Metodelogi Penelitian Kualitatif : analisis data, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012 Fathy al-Fatani, Ahmad, Pengantar Sejarah Patani, Kelantan, Pustaka Darussalam, 1994 86 Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung, 1996 Larry, Richard & Edwin, Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta, Salemba Humanika, 2010 Larry, Richard, Edwin, Communication Between Cultures, USA, Wadworth Liliweri, Alo, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007 Liliweri, Alo, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, LKiS, 2003 Modul materi pokok, Komunikasi Antar Budaya, Universitas Terbuka Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, Jakarta, Prenada Media Group, 2013 Mulyana dan Solatun, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008 Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaludin, Komunikasi Antarbudaya, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005 Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009 Mulyana, Dedy Ilmu Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010 Richard, West dan Lynn, H. Turner, (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008) Ruswanto Wawan, Penelitian Komunikasi,Jakarta: penerbit universitas terbuka, 1995 87 Shadily, Hassan, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1993 Sobur, Alex, Psikologi Umum, CV Pustaka Setia, Bandung, 2003 Soyomukti, Nurani, pangantar sosiologi, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2010 Strauss, Anselm & Corbin, Juliet ,Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, PT Bina Ilmu Offset, Surabaya. Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabheta, Bandung, 2010 Syadiliy, Hasan, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1993 Uchjana Effendy, Onong, dinamika komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008 Vardiansyah Dani, Filsafat Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Indeks, 2008 W. Littlejohn, Stephen dan A. Foss, karen, Teori Komunikasi, Jakarta : Salemba Humanika, 2009 SKRIPSI : Skripsi Rohanee Cheha, Pemikiran Pendidikan Islam Haji Sulong (Studi Atas Tokoh Pendidikan Islam Di Patani Thailand Selatan), UMJ, 2013 Skripsi Dirga Maulana, Relasi Media dan Politik: Analisis Terhadap Tv One dan Kepentingan Politik Pemilik, skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, (UIN Jakarta, 2013) INTERNET: http://eprints.undip.ac.id/29021/1/SUMMARY_SKRIPSI_Hanum_Salsabila.pdf, diakses pada tanggal 26 Juni 2014 jam 14:20. 88 http://id.wikipedia.org/wiki/Stereotipe, diakses pada tanggal 14 juni 2014 pukul 16.00 http://ms.wikipedia.org/wiki/Wilayah_Pattani, diakses pada tanggal 19 agustus 2014 pukul 16:46 Modul Materi Pokok, Komunikasi Antarbudaya, Universitas Terbuka,