(DRPs) PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI

advertisement
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)
PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI
INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT “X”
TANGERANG SELATAN
SKRIPSI
ROULI MEPARIA UTAMI
NIM: 1112102000104
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYTULLAH
JAKARTA
JUNI 2016
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)
PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI
INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT “X”
TANGERANG SELATAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
ROULI MEPARIA UTAMI
NIM: 1112102000104
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYTULLAH
JAKARTA
JUNI 2016
ii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah basil karya saya sendiri,
dan semua somber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Rouli Meparia Utami
NIM
: 1112102000104
Tanda tangan :
Tanggal
iii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama
: Rouli Meparia Utami
NIM
: 1112102000104
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi
: Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Demam
Tifoid Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Kota
Tangerang Selatan Tahun 2015
Disetujui oleh:
Pembimbing I
Pembimbing II
;1)~
Dr. Delina Hasan.M.Kes., Apt
Nurmeilis, M.Si., Apt
NIP: 195602101987032003
NIP: 197404302005012003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN SyarifHidayatullah Jakarta
Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt
NIP. 197404302005012003
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama
: Rouli Meparia Utami
NIM
: 1112102000104
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Demam
Tifoid Anak di lnstalasi Rawat Inap Rumah Sakit "X" Tangerang
Selatan
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu, Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
DEWAN PENGUJI
Pembimbing 1 :Dr. Dra. Delina Hasan,M.Kes., Apt
(
Pembimbing 2: Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt
c
Penguji 1
:Dr. Azrifitria, M.Si., Apt
Penguji 2
: Yardi, Ph.D., Apt
N1)
(~')
(~
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal
v
ABSTRAK
Nama
: Rouli Meparia Utami
NIM
: 1111102000104
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Identifikasi Drug Related Problems pada Pasien Demam Tifoid
Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan demam tifoid
menduduki peringkat kedua setelah diare akut. Drug Related Problems (DRPs)
adalah kejadian atau masalah yang tidak diinginkan terkait terapi obat pasien yang
berpengaruh pada outcome yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui angka kejadian DRPs pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit
“X” Tangerang Selatan. Adapun kategori DRPs yang diidentifikasi meliputi
ketidaktepatan pemilihan obat, dosis obat kurang, dosis obat lebih, indikasi tanpa
obat, obat tanpa indikasi dan interaksi obat. Penelitian ini juga untuk mengetahui
pengaruh antara jumlah penyakit penyerta terhadap jumlah DRPs dan pengaruh
jumlah penggunaan obat terhadap jumlah DRPs. Penelitian ini merupakan
penelitian non eksperimental dengan pengumpulan data secara retrospektif. Data
yang digunakan adalah data rekam medis. Data yang diperoleh dikaji secara
deskriptif berdasarkan literatur. Penelitian ini menunjukkan bahwa jenis DRPs yang
paling banyak terjadi adalah dosis obat lebih (35,18%), diikuti dosis obat kurang
(33,33%), interaksi obat (16,67%), indikasi tanpa obat (9,26%) dan obat tanpa
indikasi (5,56%). Jumlah penyakit penyerta berpengaruh secara bermakna terhadap
jumlah DRPs (P = 0,008). Jumlah penggunaan obat tidak berpengaruh secara
bermakna terhadap jumlah DRPs (P = 0,526).
Kata kunci: demam tifoid, drug related problems, anak
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name
: Rouli Meparia Utami
NIM
: 1112102000104
Major Study : Pharmacy
Title
: Identification of Drug Related Problems (DRPs) Inpatien
Paediatric Typhoid Fever in “X” Hospital Tangerang Selatan
Typhoid fever is still a health problem in developing countries such as Indonesia.
At “X” Hospital Tangerang Selatan, typhoid fever was ranked second after acute
diarrhea. Drug Related Problems (DRPs) are events or unwanted problems related
to the patient's drug therapy which affects the desired outcome. This study aimed
to identify the incidence of DRPs in children with typhoid fever at “X” Hospital
Tangerang Selatan. The categories of DRPs were identified include improper drug
selection, dosage too low, dosage too high, indication without medication,
medication without indication and drug interactions. This study was also to
determine the influence of the number of comorbidities on the number of DRPs and
influence the amount of drug use on the number of DRPs. This study is a nonexperimental study with retrospective data collection. The data used are the medical
records. The data obtained were examined descriptively based on the literature. This
study shows that the most commonly type of DRPs was dosage too high (35.18%),
followed by a dosage too low (33.33%), drug interaction (16.67%), indication
without medication (9.26%) and medication without indication (5.56%). The
number of comorbidities significantly affect on the number of DRPs (P = 0.008).
The amount of drug use did not influence significantly on the number of DRPs (P
= 0.526).
Keyword: typhoid fever, drug related problems, children
vii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur tak terhingga penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada saya. Shalawat
serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga dan para sahabat. Syukur atas limpahan cinta dan kasih-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Drug
Related Problems (DRPs) pada Pasien Demam Tifoid Anak di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan”. Skripsi ini penulis susun sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak akan
terwujud dan berjalan lancar tanpa bantuan, dukungan, bimbingan dan doa dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Ibu Dr. Delina Hasan, M.Si., Apt. dan Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt. selaku
dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, dalam
penelitian ini juga untuk kesabaran dalam membimbing, memberikan saran,
dukungan serta kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga
terselesaikannya skripsi ini.
(2) Bapak Dr. Arief Sumantri, S.KM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(3) Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(4) Seluruh pihak dosen pengajar Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu dan pengetahuan
selama penulis menempuh pendidikan.
(5) Ibu Ria beserta seluruh pihak karyawan ruang administrasi medik yang telah
banyak membantu kelancaran dalam pengambilan data.
(6) Kedua orang tua tercinta, ayahanda Tobroni dan ibunda Lilis Suryani yang
tidak pernah lelah untuk memberikan doa, dukungan moril maupun materil,
viii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
cinta, kasih sayang, semangat dan motivasi kepada penulis dari kecil hingga
saat ini.
(7) Adik tersayang Rolli Prabu Dwilaksana, serta seluruh keluarga besar atas
semangat, dukungan dan doa kepada penulis.
(8) Achmad Angri Ramadhan atas semangat, bantuan, dan doa yang bisa
menguatkan penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir ini.
(9) Nursetyowati Rahayu, Pipit Fitriyah, Putri Wulandari, Zaenab Salsabila,
Mauliana atas kebersamaan, persaudaraan, persahabatan, doa, semangat,
dukungan, serta selalu menemani dan mendengarkan penulis.
(10) Teman seperjuangan penelitian Nabilah Urwatul, Verona Shaqila dan Anissa
Florensia atas masukan, bantuan, kesabaran, dan semangat selama masa
penelitian hingga penyusunan skripsi.
(11) Teman-teman Farmasi 2012 khususnya Farmasi 2012 kelas BD atas
kebersamaan, serta berbagi suka dan duka selama perkuliahan.
(12) Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian dan
penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis berharao kritik dan saran atas
kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat
untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dunia
kefarmasian.
Ciputat,
Penulis
ix
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Rouli Meparia Utami
NIM
: 1112102000104
Program Studi: Farmasi
Fakultas
: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis karya
: Skripsi
demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsilk:arya ilmiah saya,
dengan judul:
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN
DEMAM TIFOID ANAK DI INSTLASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT
"X"TANGERANGSELATAN
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pemyataan persutujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenamya.
Dibuat di: Jakarta
Pada Tanggal: 12 Juni 2016
Yang menyatakan,
(Roul~tami)
X
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................. vi
ASBTRACT ............................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......... x
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvi
DAFTAR ISTILAH .................................................................................. xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitin ............................................................................. 4
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 4
1.5. Ruang Lingkup............................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 6
2.1 Drug Related Problems ................................................................... 6
2.1.1 Ketidaktepatan pemilihan obat .............................................. 7
2.1.2 Dosis Kurang dari Dosis Terapi............................................. 7
2.1.3 Dosis Melebihi Dosis Terapi ................................................. 7
2.1.4 Indikasi Tanpa Obat ............................................................... 8
2.1.5 Obat Tanpa Indikasi ............................................................... 8
2.1.6 Interaksi Obat ......................................................................... 9
2.2 Demam Tifoid ................................................................................ 11
2.2.1 Definisi Demam Tifoid .......................................................... 11
2.2.2 Epidemiologi .......................................................................... 12
xi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.3 Patogenesis............................................................................. 12
2.2.4 Etiologi................................................................................... 13
2.2.5 Gejala Klinis .......................................................................... 14
2.2.6 Penegakan Diagnosis. ............................................................ 16
2.2.7 Penatalaksanaan ..................................................................... 17
2.3 Pediatri ............................................................................................ 23
2.4 Rumah Sakit .................................................................................... 24
2.4.1 Peran Apoteker di Rumah Sakit ............................................. 25
2.5 Rekam Medis................................................................................... 27
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ..... 29
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................ 29
3.2 Definisi Operasional........................................................................ 30
BAB 4 METODE PENELITIAN ............................................................. 32
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 32
4.2 Desain Penelitian .......................................................................... 32
4.3 Populasi dan Sampel ..................................................................... 32
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ........................................................ 32
4.5 Prosedur Penelitian ....................................................................... 33
4.5.1 Persiapan.............................................................................. 33
4.5.2 Pengumpulan Data............................................................... 33
4.5.3 Pengolahan Data .................................................................. 34
4.6 Analisis Data ................................................................................. 34
4.6.1 Analisis Univariat ................................................................ 35
4.6.2 Analisis Bivariat .................................................................. 35
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 36
5.1 Hasil ................................................................................................ 36
5.1.1 Karakteristik Pasien ............................................................... 36
5.1.2 Profil Penggunaan Obat ......................................................... 37
5.1.2.1 Jumlah Penggunaan Obat ........................................... 39
5.1.3 Drug Related Problems .......................................................... 39
5.1.3.1 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat. ...................... 40
5.1.3.2 DRPs Dosis Obat Kurang. ........................................ 40
xii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.1.3.3 DRPs Dosis Obat Berlebih. ........................................ 41
5.1.3.4 DRPs Indikasi Tanpa Obat. ........................................ 41
5.1.3.5 DRPs Obat Tanpa Indikasi. ........................................ 42
5.1.3.6 DRPs Interaksi Obat................................................... 43
5.1.4 Analisis Bivariat .................................................................... 44
5.1.4.1 Analisis Hubungan Penyakit Penyerta dan DRPs ...... 44
5.1.4.2 Analisis Hubungan Jumlah Obat dan DRPs .............. 45
5.2 Pembahasan .................................................................................... 46
5.2.1 Karakteristik Pasien ............................................................... 46
5.2.2 Profil Penggunaan Obat ......................................................... 47
5.2.2.1 Jumlah Penggunaan Obat ........................................... 49
5.2.3 Drug Related Problems .......................................................... 49
5.2.3.1 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat. ...................... 49
5.2.3.2 DRPs Dosis Obat Kurang. ........................................ 50
5.2.3.3 DRPs Dosis Obat Berlebih. ........................................ 51
5.2.3.4 DRPs Indikasi Tanpa Obat. ........................................ 51
5.2.3.5 DRPs Obat Tanpa Indikasi. ........................................ 52
5.2.3.6 DRPs Interaksi Obat................................................... 52
5.2.4 Analisis Bivariat .................................................................... 54
5.2.4.1 Analisis Hubungan Penyakit Penyerta dan DRPs ...... 54
5.2.4.2 Analisis Hubungan Jumlah Obat dan DRPs .............. 55
BAB 6 PENUTUP...................................................................................... 56
6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 56
6.2 Saran ................................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 57
xiii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Patofisiologi Demam Tifoid ...................................................... 13
xiv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Gejala Demam Tifoid.................................................................. 15
Tabel 1.2 Antibiotika dan Dosis Penggunaan untuk Demam Tifoid .......... 19
Tabel 3.1 Definisi Operasional ................................................................... 30
Tabel 5.1 Karekteristik Pasien Demam Tifoid ............................................ 36
Tabel 5.2 Distribusi Obat Antibiotik........................................................... 37
Tabel 5.3 Distribusi Obat Lain .................................................................... 38
Tabel 5.4 Distribusi Jenis Penggunaan Obat............................................... 39
Tabel 5.5 Distribusi Kategori DRPs ........................................................... 40
Tabel 5.6 Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat Kurang............................ 40
Tabel 5.7 Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat lebih ............................... 41
Tabel 5.8 Distribusi DRPs Kategori Indikasi Tanpa Obat .......................... 42
Tabel 5.9 Distribusi DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi .......................... 42
Tabel 5.10 Distribusi DRPs Kategori Interaksi Obat .................................. 43
Tabel 5.11 Distribusi DRPs Kategori Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat
Keparahan dan Mekanisme ...................................................... 44
Tabel 5.12 Hasil Analisis Hubungan Penyakit Penyerta dengan DRPs ..... 44
tabel 5.13 Hasil Analsis Hubungan Jumlah Obat dengan DRPs ................. 45
xv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Data Pasien .............................................................................. 63
Lampiran 2 Data Obat ................................................................................. 113
Lampiran 3 Penilaian DRPs yang Dialami Pasien Demam Tifoid Anak.... 116
Lampiran 4 Data Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat Kurang ................ 117
Lampiran 5 Data Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat Lebih .................. 118
Lampiran 6 Data Distribusi DRPs Kategori Interaksi Obat ........................ 119
xvi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISTILAH
5-HT3
: Serotonin
AR-H2
: Antagonis Reseptor Histamin 2
BAB
: Buang Air Besar
CFU
: Colony Form Unit
DBD
: Demam Berdarah Dengue
ISPA
: Infeksi Saluran Pernapasan Akut
ISK
: Infeksi Saluran Kemih
NP
: Nomor Pasien
PPM IDAI
: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
SMRS
: Surat Masuk Rumah Sakit
UGD
: Unit Gawat Darurat
xvii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Demam tifoid yang biasa kita kenal juga dengan demam enterik atau tifus
merupakan sindrom klinis yang dihasilkan oleh infeksi organisme Salmonella typhi.
Hingga saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di
negara-negara berkembang terutama negara-negara dengan tingkat sanitasi yang
rendah termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri kasus ini tersebar merata diseluruh
provinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 385 per 100.000 penduduk per tahun
dan di daerah perkotaan 760 per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar 600.000
dari 1,5 juta kasus per tahun dengan angka kematian sebesar 3,1% sampai 10,4%
(Pawitro dkk, 2002). Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun
2007 prevalensi demam tifoid mencapai 1,6%. Di tahun 2010 demam tifoid masih
menduduki peringkat tiga dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia (Kemenkes,
2010).
Insiden tertinggi demam tifoid terdapat pada anak-anak. Demam tifoid pada
anak banyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi klinis
yang ringan. Masa inkubasi demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari dengan
gejala yang timbul sangat bervariasi (Musnelina, 2004). Data dari Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto
Mangukusumo, Jakarta ada sekitar 50 kasus demam tifoid pertahun dan penyakit
ini termasuk 10 kasus terbanyak penyebab morbiditas pada penyakit rawat inap.
Dalam penggunaannya, antibiotika berbeda dengan penggunaan jenis obatobatan yang lainnya, selain harus memperhatikan pasien dan obat kita juga harus
memperhatikan karakteristik dari infeksi yang akan ditangani (Gyssen, 2005).
Penggunaan antibiotika yang tidak tepat tidak akan memperbaiki keadaan karena
tujuan terapi yang optimal tidak akan tercapai, dapat menimbulkan resistensi,
interaksi obat, efek samping serta melonjaknya biaya pengobatan (Van der Meer,
2001).
Penggunaan obat pada anak-anak tidak seperti pada orang dewasa pada
umumnya, mengingat anak berbeda dengan orang dewasa. Kejadian kesalahan
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
dalam pengobatan serta resiko kesalahan yang serius lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan pada orang dewasa terkait dengan masalah perhitungan dosis, tidak
adanya standar dosis bagi anak serta tidak terdapat bentuk sediaan dan formulasi
yang sesuai (Prest, 2003). Menurut Cohen (1999), anak menempati peringkat kedua
yang sering dilibatkan dalam kejadian Drug Related Problems (DRPs) setelah
geriatri. DRPs merupakan kejadian yang tidak diinginkan dari pengalaman pasien
terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome
yang diharapkan (Strand, 1990).
Penelitian di Saudi Arabia menyatakan sebesar 45,2% pasien anak usia 0-18
tahun mengalami DRPs. Faktor resiko terjadinya DRPs pada anak-anak disebabkan
adanya polifarmasi obat dalam peresepan di unit pelayanan kesehatan di Saudi
Arabia (Rashed et al., 2012). Pada penelitian yang dilakukan di Eropa, dari 451
kasus DRPs pada anak, angka kejadian DRPs kategori dosis obat kurang terjadi
sebesar 18,4%, kemudian diikuti kategori interaksi obat (4,0%), obat tanpa indikasi
(2,2%) dan dosis obat lebih (1,8%) (Bouvy, 2004). Di Swedia, dari 249 kasus DRPs
pada anak, angka kejadian DRPs kategori masalah pemilihan obat dan dosis pada
anak terjadi sebesar 34%, kemudian diikuti kategori interaksi obat sebesar 12%
(Kimland, 2006). Untuk itu anak harus diprioritaskan dalam penanganan DRPs
karena kondisi fisiologisnya belum sempurna sehingga faktor-faktor absorbsi,
distribusi, metabolisme serta ekskresi obat tidak bisa disamakan begitu saja dengan
orang dewasa.
Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan merupakan rumah sakit negeri yang
memiliki peralatan lengkap. Dari studi penulusuran yang telah dilakukan diketahui
jumlah pasien yang mengalami demam tifoid dengan atau tanpa penyakit penyerta
yang dirawat inap pada tahun 2014 adalah 317 pasien, sedangkan pada tahun 2015
sebanyak 367 pasien. Nilai ini menunjukkan jumlah yang cukup tinggi. Apabila
jumlah pasien demam tifoid yang dirawat inap tinggi sedangkan jumlah tenaga
medis kurang maka monitoring pasien dan pemberian obat pada pasien kurang
maksimal. Hal tersebut dapat mendorong terjadinya Drug Related Problems
terutama pada pasien anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan periode tahun
2015.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
Disinilah diperlukan adanya peran farmasis yang memiliki komitmen kuat
dan berkemampuan dalam menangani kejadian DRPs guna meminimalkan angka
kejadian DRPs. Pada praktik pelayanan farmasi klinik apoteker atau farmasis
memegang peranan penting dalam pencapaian terapi obat dan menghindari
terjadinya Drug Related Problems (DRPs). Dalam hal ini farmasis harus memiliki
pengetahuan tentang penggunaan obat pada anak-anak agar dapat memberikan
saran yang tepat bagi dokter, perawat, tenaga medis lainnya maupun orang tua anak
(Prest, 2003). Selain itu, untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman,
maka dalam penentuan kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi
yang disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung
jawabnya (Permenkes RI, 2014).
Berdasarkan paparan di atas, bahwa pemilihan obat untuk pasien anak dengan
demam tifoid adalah penting untuk menghindari dan menurunkan angka kejadian
DRPs, sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas pelayanan di
Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penyakit demam tifoid
merupakan penyakit yang berbahaya baik terhadap orang dewasa maupun
anak-anak dan sering ditemui di negara-negara berkembang seperti
Indonesia.
1.2.2
Prevalensi penyakit ini menurut data Riskesdas tahun 2007 adalah 1,60%.
1.2.3
Terapi demam tifoid dibagi menjadi pengobatan simptomatik dan spesifik
dengan antibiotik sehingga membutuhkan terapi kombinasi.
1.2.4
Penggunaan kombinasi obat yang tidak tepat dapat meningkatkan resiko
terjadinya Drug Related Problems.
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan pada penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui jenis DRPs yang terjadi pada pasien demam tifoid anak di
Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan tahun 2015.
2. Mengetahui pengaruh antara penyakit penyerta dengan DRPs yang
dialami pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang
Selatan tahun 2015.
3. Mengetahui pengaruh antara jumlah penggunaan obat dengan DRPs
yang dialami pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X”
Tangerang Selatan tahun 2015.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan serta wawasan tentang drug related problem yang terjadi pada
pengobatan pasien demam tifoid anak.
1.4.2
Manfaat Metodologi
Penelitian ini dilakukan secara retrospesktif dan diharapkan dapat dijadikan
referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis sejenis di rumah sakit
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
yang memiliki karakteristik yang sama dengan Rumah Sakit “X” Tangerang
Selatan.
1.4.3
Manfaat Aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan
dalam menetapkan penangan atau pengobatan demam tifoid pada pasien anak di
Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan.
1.5
Ruang Lingkup
Penelitian dengan judul “Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada
Pasien Demam Tifoid Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit “X” Tangerang
Selatan” hanya dibatasi pada identifikasi DRPs yang ditinjau dari ketidaktepatan
pemilihan obat, dosis obat kurang, dosis obat lebih, indikasi tanpa obat, obat tanpa
indikasi, dan interaksi obat pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X”
Tangerang Selatan.
Pada penelitian ini desain yang digunakan adalah cross sectional dengan
pendekatan retrospektif. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2016 sampai
dengan April 2016 di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dengan jumlah sampel
sebanyak 50.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Drug Related Problems (DRPs)
Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) mendefinisikan DRPs
adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau
potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (PCNE, 2010). DRPs
dapat juga dikatakan sebagai suatu pengalaman atau kejadian yang tidak
menyenangkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan
dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome
terapi pasien (Cipolle, R. J., et al., 1998).
Terdapat dua jenis DRPs, yaitu DRPs aktual dan potensial. Keduanya
memiliki perbedaan tetapi pada kenyataannya problem yang muncul tidak selalu
terjadi dengan segera dalam prakteknya. DRPs aktual adalah suatu masalah yang
telah terjadi dan farmasis wajib mengambil tindakan untuk memperbaikinya.
Sedangkan DRPs potensial dikarenakan resiko yang sedang berkembang jika
farmasis tidak turun tangan (Rovers, J. P., et al., 2003).
Ada 8 kategori dari Drug Related Problems (Strand et al, 1990):
a.
Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tetapi pasien
tidak mendapatkan obat untuk kondisi tersebut.
b.
Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak mempunyai
indikasi medis yang valid.
c.
Pasien mempunyai kondisi medis tetapi tidak mendapatkan obat yang tidak
aman, tidak paling efektif, dan kontraindikasi dengan pasien tesebut.
d.
Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi
dosis obat tersebut kurang.
e.
Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi
dosis obat tesebut lebih.
f.
Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang merugikan.
g.
Pasien mempunyai kondisi medis akibat interaksi obat - obat, obat - makanan,
obat - hasil laboratorium.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
h.
Pasien mempunyai kondisi medis tetapi tidak mendapatkan obat yang
diresepkan.
2.1.1
Ketidaktepatan Pemilihan Obat
Ketidaktepatan pemilihan obat merupakan keadaan dimana pasien telah
diresepkan obat yang salah. Pertama, terapi obat yang digunakan untuk mengobati
kondisi medis pasien tidak efektif. Kedua, obat yang diterima pasien bukan
merupakan obat yang paling efektif. Ketiga, pasien mempunyai kontraindikasi atau
menimbulkan alergi terhadap obat yang diterima. Keempat, pasien menerima
kombinasi obat yang sama efektifnya dengan terapi obat tunggal. Kelima, pasien
menerima obat yang lebih mahal bukan obat yang lebih murah dan memiliki
efektivitas yang sama (Mahmoud, 2008).
2.1.2
Dosis Obat Kurang dari Dosis Terapi
Pada dasarnya, dosis semua obat dipertimbangkan berdasarkan penyakit,
dan informasi riwayat pasien. Dosis dapat dikatakan kurang optimal jika
konsentrasi obat di serum tidak tercapai bersamaan dengan adanya tanda-tanda dan
gejala, maka hal ini dapat dikatakan DRP (Strand dkk, 1990). Parameter lain dosis
rendah adalah frekuensi pemberian dosis yang tidak sesuai, jarak dan waktu
pemberian terapi obat terlalu singkat, penyimpanan obat yang tidak sesuai
(misalnya, menyimpan obat di tempat yang terlalu panas atau lembab,
menyebabkan degradasi bentuk sediaan dan dosis subterapi), pemberian obat yang
tidak sesuai dan interaksi obat (Mahmoud, 2008).
2.1.3
Dosis Obat Melebihi Dosis Terapi
Hal ini terjadi ketika dosis yang diberikan terlalu tinggi untuk memberikan
efek, dosis obat ditingkatkan secara cepat, frekuensi pemberian, durasi terapi, cara
pemberian obat pada pasien yang tidak tepat, dan konsentrasi obat diatas kisaran
terapi (Strand, et al, 1998). Seorang pasien yang menerima dosis obat yang terlalu
tinggi dan mengalami efek toksik yang tergantung dosis atau konsentrasi
menunjukkan pasien mengalami DRPs (Cippole et.al 1998).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
Pemberian obat dengan dosis berlebih mengakibatkan toksisitas. Hal ini
dapat disebabkan oleh:
a. Dosis obat terlalu tinggi untuk pasien
b. Konsentrasi obat dalam plasma pasien di atas rentang terapi yang dikehendaki
c. Dosis obat pasien dinaikkan terlalu cepat
d. Pasien mengakumulasi obat karena pemberian yang kronis
e. Obat, dosis, rute, formulasi tidak sesuai
f. Fleksibilitas dosis dan interval tidak sesuai (Strand dkk, 1990).
2.1.4
Indikasi Tanpa Obat
Indikasi tanpa obat adalah terjadi ketika pasien mengalami gangguan medis
baru yang memerlukan terapi obat, pasien menderita penyakit kronis lain sehingga
membutuhkan terapi obat lanjutan, pasien membutuhkan kombinasi obat untuk
memperoleh efek sinergis, pasien berpotensi untuk mengalami resiko gangguan
penyakit baru yang dapat dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaksis atau
premedikasi (Mahmoud, 2008).
2.1.5
Obat Tanpa Indikasi
Obat tanpa indikasi adalah terjadi ketika seorang pasien mendapatkan terapi
obat yang tidak perlu, yang indikasi klinisnya tidak ada pada saat itu (Mahmoud,
2008). Pemberian obat tanpa indikasi disamping merugikan penderita secara
finansial juga dapat merugikan penderita yang berpotensi memberikan efek yang
tidak dikehendaki. Pemberian obat tanpa indikasi ini dapat disebabkan oleh
(Cippole, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005):
a.
Penderita menggunakan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit pada
saat ini
b.
Penyakit penderita terkait dengan penyalahgunaan obat, alkohol atau merokok
c.
Kondisi medis penderita lebih baik ditangani dengan terapi non obat seperti
diet, olahraga atau operasi
d.
Penderita memperoleh polifarmasi untuk kondisi yang indikasinya cukup
mendapat terapi obat tunggal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
e.
Penderita memperoleh terapi obat untuk mengatasi efek obat yang tidak
dikehendaki yang disebabkan oleh obat lain yang seharusnya dapat diganti
dengan obat yang lebih sedikit efek sampingnya.
2.1.6
Interaksi Obat
Dapat dikatakan interaksi jika terjadi efek dari satu obat yang dipengaruhi
dengan adanya obat lain, jamu, makanan, minuman atau oleh beberapa bahan kimia.
Hasil interaksi dapat berbahaya jika terjadi peningkatan toksisitas obat. Namun
terdapat juga interaksi obat yang tidak benar-benar mempengaruhi sama sekali
seperti efek aditif dari kedua obat yang memiliki efek yang sama (Stockley, 2008).
2.1.6.1 Mekanisme Interaksi Obat
Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi 2 secara umum yaitu:
1. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada berbagai tahap meliputi
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (Aslam et al., 2003).
a. Absorpsi
Terjadi perubahan absorpsi pada gastrointestinal dengan berbagai
mekanisme. Suatu obat mengakibatkan absoprsi obat lain menjadi lebih
cepat, lambat, sedikit atau menjadi berlebih. Perubahannya bisa terjadi pada
pH saluran cerna, flora usus, terjadi kompleksasi, atau perubahan motilitas
saluran cerna (Tatro, 2001).
b. Distribusi
Pada interaksi ini dapat terjadi melalui beberapa hal, yaitu: interaksi
ikatan protein dan induksi atau inhibisi transpor protein obat (Stockley, 2008).
c. Metabolisme
Sebagian besar obat dimetabolisme di hati, terutama oleh enzim
sitokrom P450 monooksigenase. Induksi enzim oleh suatu obat dapat
meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengurangi efeknya.
Sebaliknya penghambatan enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan
peningkatan toksisitas obat lain (Aslam et al., 2003).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
d. Ekskresi
Sebagian besar obat dieksresikan melalui empedu atau urin,
pengecualian untuk obat anestesi inhalasi. Interaksi dapat dilihat dari
perubahan pH, perubahan aliran dara diginjal, ekskresi empedu dan ekskresi
tubulus ginjal (Stockley, 2008).
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek dari satu obat
terjadi perubahan karena adanya obat lain. Terkadang obat bersaing untuk
reseptor tertentu misalnya agonis beta2, seperti salbutamol, dan beta bloker
seperti propranolol) namun seringkali reaksi terjadi secara langsung dan
mempengaruhi mekanime fisiologi. Interaksi ini diklasifikasikan menjadi
beberapa tipe:
a.
Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat memiliki efek farmakologis yang sama dan diberikan
secara bersama-sama maka dapat memberikan efek yang aditif. Misalnya,
alkohol menekan SSP, dan jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar
(misalnya ansiolitik, hipnotik, dll) dapat meningkatkan efek ngantuk.
b.
Interaksi antagonis atau berlawanan
Interaksi ini berbeda dengan interaksi aditif, dimana ada beberapa pasang
obat dengan kerja yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin
dapat memperpanjang waktu pembekuan darah dengan menghambat
kompetitif efek vitamin K (Stockley, 2008). Merupakan interaksi dimana
efek suatu obat diubah oleh obat lain. Hal ini dapat terjadi akibat kompetisi
pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem fisiologi yang sama.
Interaksi yang paling aman terjadi sinergisme antara dua obat yang bekerja
pada sistem, organ, sel atau enzim yang sama dengan efek farmakologi yang
sama, sebaliknya antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki
efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan
hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat (Aslam et al., 2003).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
2.1.6.2 Tingkat Keparahan Interaksi Obat
Keparahan interaksi dapat diklasifikasikan ke berdasarkan tingkatan
keparahanan: minor, moderate, atau major.
1.
Keparahan minor
Interaksi obat minor biasanya memberikan potensi yang rendah secara
klinis dan tidak membutuhkan terapi tambahan. Contoh interaksi minor adalah
interaksi hidralazin dan furosemid. Dimana efek farmakologis furosemid dapat
meningkat jika diberikan bersamaan dengan hidralazin, tetapi secara klinis
tidak signifikan. Interaksi obat minor dapat diatasi dengan menilai rejimen
pengobatan.
2.
Keparahan moderate
Interaksi moderate sering membutuhkan pengaturan dosis atau dilakukan
pemantauan. Contohnya, obat rifampisin dan isoniazid yang dapat
menyebabkan peningkatan terjadinya hepatotoksisitas. Namun, kombinasi ini
masih sering digunakan dan diiringi dengan melakukan pemantauan enzim
hati.
3.
Keparahan major
Interaksi major pada umumnya harus dihindari bila memungkinkan,
karena dapat menyebabkan potensi toksisitas yang serius. Contohnya,
ketokonazol yang dapat menyebabkan peningkatan cisaprid sehingga dapat
memperpanjang interval QT dan mengancam jiwa. Sehingga kombinasi ini
tidak disarankan untuk digunakan
(Atkinson, dkk., 2007).
2.2
Demam Tifoid
2.2.1
Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam (38o C atau lebih) selama satu
minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran (Rampengan, 2008).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
2.2.2
Epidemiologi Demam Tifoid
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003, terdapat
17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai
600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 3,5%. Angka kejadian
penyakit demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk
per tahun sampai dengan 1.000 per 100.000 penduduk per tahun.
Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis
dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Simanjutak (2009) mengemukakan bahwa
insiden tifoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-180 per 100.000
penduduk. Demikian juga dari telaah kasus demam tifoid di rumah sakit besar di
Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan
rata-rata 500 per 100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5%
sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya
pengobatan (Kemenkes, 2006).
2.2.3
Patogenesis Demam Tifoid
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak
(Sudoyo, 2006).
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina
propia kuman berkembangbiak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembangbiak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembangbiak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke
dalam kandung empedu, berkembangbiak, dan bersama cairan empedu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa
mediator inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi (Widodo, 2006).
Kelainan utama terjadi di ileum terminal dan plaque Peyeri yang hiperplasia
(minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila
sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat
lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan
perdarahan bahkan perforasi (Rampengan, 2008).
Makanan dan
minuman yang
tercemar S. typhi
Mulut
Lambung
Usus
Halus
Menyebar ke
bagian tubuh lain
Hati dan
Limfa
Plak Peyer
Gambar 1.1 Patofisiologi Demam tifoid
Sumber: Nasronuddin, et al. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya:
Airlangga UniveRumah Sakitity Press, p. 121-24.
2.2.4
Etiologi Demam Tifoid
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi yang berhasil
diisolasi pertama kali oleh Gaffkey di Jerman pada tahun 1884 (Pawitro dkk, 2002).
Kuman ini merupakan kuman Gram negatif, motil dan menghasilkan spora. Dapat
hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit
dan mati pada pemanasan 70o C selama 15 menit maupun oleh antiseptik
(Rampengan, 2008).
Salmonella typhi mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu:
1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik
grup.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang
melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat proses
aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses
fagositosis. Antigen Vi berhubungan erat dengan daya invasif bakteri dan
efektivitas vaksin.
4. Antigen Outer Membrane Protein (OMP) Salmonella typhi merupakan bagian
dari dinding sel terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan
peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya (Pasaribu,
2001).
Kuman ini mudah dimusnahkan jika berada di luar tubuh karena akan mati
terkena sinar matahari tetapi tahan terhadap pembekuan. Organisme ini dapat
dibunuh dengan desinfektan dan perebusan selama 15 menit. Pada keadaan kering
umumnya mati dalam beberapa menit. Jika melekat pada tinja akan terlindungi dan
dapat bertahan hidup sekalipun tinja sudah hancur. Kemampuanya hidup pada tinja
tergantung pada peningkatan temperatur, komposisi tinja dan kehadiran organisme
lain. Pada keadaan normal tidak bisa bertahan lama dalam tanah. Dalam sampah
kasar hanya dapat bertahan selama 12 hari dan di septic tank selama 14 hari
(Soeharyo, 1996).
2.2.5
Gejala Klinis Demam Tifoid
Masa inkubasi dari Salmonella typhi pada anak adalah sekitar 10-14 hari.
Gejala klinis dari demam tifoid sangat bervariasi mulai dari gejala klinis yang
ringan sehingga tidak memerlukan perawatan yang khusus sampai dengan gejala
klinis yang berat sehingga membutuhkan perawatan khusus. Pada umumnya semua
pasien demam tifoid selalu menderita demam pada permulaan penyakit. Biasanya
pola demam pada demam tifoid dikenal dengan istilah step-ladder temperature
chart selama 2-7 hari yang ditandai dengan demam terus-menerus dan setiap
harinya ada kenaikan suhu secara bertahap dan mencapai titik tertinggi pada akhir
minggu pertama yang bisa mencapai 40º C. Demam akan bertahan tinggi dan akan
berangsur turun di minggu keempat. Pada demam tifoid pasien akan mengeluhkan
demam yang meningkat di sore dan malam hari dan berangsur turun pada pagi hari.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
Demam yang sangat tinggi mengakibatkan munculnya keluhan pada saraf pusat
seperti kesadaran menurun bahkan sampai koma (Soedarmo, 2012).
Gejala sistemik yang muncul menyertai gajala demam antara lain sakit
kepala, malaise, anoreksia, nausea, myalgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan.
Ketika demam sangat tinggi disertai dengan asupan cairan yang kurang maka bisa
timbul syok hipovolemik. Penurunan pulsasi juga timbul pada saat demam. Demam
tifoid juga menimbulkan gejala pada gastrointestinal yang keluhannya dapat berupa
diare lalu obstipasi, ataupun obstipasi lalu diare. Pada sebagian pasien lidah akan
terlihat kotor dengan bagian tengah lidah terlihat putih sedangkan bagian pinggir
lidah terlihat kemerahan. Pada anak banyak dijumpai gejala meteorismus.
Hepatomegaly lebih banyak dijumpai pada anak Indonesia dibandingkan dengan
splenomegaly. Pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang
dengan kulit putih dapat terlihat rose spot yaitu berupa ruam makulopapular
berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm yang muncul pada hari ke 7-10 dan akan
bertahan selama 2-3 hari. Rose spot tersebut tidak pernah dilaporkan terjadi pada
pasien anak di Indonesia (Soedarmo, 2012).
Tabel 2.1 Gejala Demam Tifoid
Periode Penyakit
Minggu Pertama
Minggu Kedua
Minggu Ketiga
Keluhan
Panas berlangsung
terus-menerus, tipe
panas step ladder
yang mencapai 40º
C, menggigil dan
nyeri kepala
Rash, nyeri
abdomen,
konstipasi, delirium
Gejala
Gangguan saluran
cerna
Patologi
Bakterimia
Rose spot,
splenomegaly dan
hepatomegaly
Komplikasi:
perdarahan saluran
cerna, perforasi dan
syok
Melena, ileus,
ketegangan
abdomen dan
koma
Vasculitis
disertai adanya
hyperplasia pada
payer’s patches
Ulserasi pada
plaque Peyeri
disertai
ploriferasi dan
peritonitis
Kolesistitis dan
karier kronik
Minggu Keempat, Keluhan menurun,
dst
relaps dan
penurunan berat
badan
Sumber: Nasronudin dkk, 2007
Tampak sakit
berat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
2.2.6
Penegakan Diagnosis Demam Tifoid
Penegakan diagnosis untuk demam tifoid didasarkan dengan gejala klinis
berupa demam, keluhan gastrointestinal dan dapat disertai dengan keluhan
penurunan kesadaran yang ditunjang dengan pemerikasaan laboratorium. Diagnosis
pasti atau diagnosis definitif demam tifoid ditegakkan ketika ditemukannya
Salmonella typhi pada hasil kultur darah, sumsum tulang, atau lesi anatomi lain.
Berikut adalah kriteria yang bisa membantu penegakan diagnosis untuk
demam tifoid:
a)
Kasus demam tifoid yang sudah dikonfirmasi
Apabila pasien demam dengan suhu 38º C atau lebih yang sudah diderita
minimal 3 hari dengan hasil kultur (darah, sumsum tulang, cairan usus) positif
ditemukan Salmonella typhi.
b) Kemungkinan kasus demam tifoid
Apabila ada pasien demam dengan suhu 38º C atau lebih yang sudah diderita
minimal 3 hari dengan hasil uji sero diagnosis atau deteksi antigen yang positif
tapi tanpa pemeriksaan kultur Salmonella typhi.
c)
Kronik karier
Ekskresi dari Salmonella typhi di urin atau feses setelah 1 tahun atau lebih
setelah terserang demam tifoid akut.
2.2.6.1 Uji Serologis Widal
Uji serologis widal merupakan suatu metode serologis yang memeriksa
derajat aglutinasi antibody terhadap antigen somatik (O) dengan antigen flagelar
(H). Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan menggunakan
uji widal menunjukkan nilai 1 positif 96% yang artinya apabila hasil positif 96%
kasus benar demam tifoid. Biasanya antibodi O akan terdeteksi pada hari ke 6-8
sedangkan antigen H terdeteksi pada hari ke 10-12 setelah timbulnya penyakit.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli, diagnosis dapat ditegakkan apabila terjadi
kenaikan sebesar 4 kali titer O aglutinin sekali periksa >1/200 atau pada titer
sepasang. Aglutinin H sering dikaitkan dengan infeksi masa lalu atau pasca
imunisasi. Sedangkan aglutinin Vi dipakai untuk mendeteksi karier infeksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
Salmonella typhi. Meskipun banyak para ahli mengemukakan bahwa uji serologis
widal kurang dapat dipercaya karena dapat memberikan hasil positif palsu maupun
negatif palsu namun uji widal yang paling sering digunakan oleh para dokter untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid.
2.2.6.2 IDL Tubex Test
Tes tubex sering dijadikan pilihan untuk meneggakan diagnosis demam
tifoid arena mudah dilakukan serta hasilnya bisa langsung dilihat hanya dalam
waktu 2 menit. Tes tubex menunjukkan hasil yang lebih spesifik karena tes ini
mendeteksi antibody terhadap antigen tunggal yang terdapat di Salmonella typhi
yaitu antigen O9 yang merupakan antigen yang sangat spesifik yang tidak
ditemukan di mikroorganisme lain. Hasil tubex yang positif dapat dijadikan
penunjang ditegakkannya diagnosis demam tifoid.
2.2.6.3 IgM Dipstick Test
IgM dipstick test didesain untuk serodiagnosis dari demam tifoid dengan
mendeteksi antibody IgM spesifik Salmonella typhi yang terdapat dalam serum.
Pemeriksaan dengan menggunakan IgM dipstick ini mudah dan efisien sehingga
sering digunakan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid ketika kultur darah
tidak tersedia.
2.2.7
Penatalaksanaan Demam Tifoid
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Eradikasi total bakteri untuk
mencegah kekambuhan dan keadaan karier merupakan hal yang penting untuk dilakukan
(Nelwan, 2012). Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi
penatalaksanaan yang meliputi: istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang
(baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu
diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi
intestinal maupun ekstraintestinal (Kemenkes, 2006). Langkah-langkah dukungan
penting dalam penanganan demam tifoid, seperti hidrasi oral atau intravena,
penggunaan antipiretik, gizi yang tepat dan transfusi darah jika dibutuhkan. Pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
dengan muntah terus-menerus, diare berat dan distensi abdomen memerlukan rawat
inap dan terapi antibiotik parenteral (WHO, 2003).
2.2.7.1 Perawatan Umum dan Nutrisi
Pasien demam tifoid, dengan gambaran klinik jelas sebaiknya dirawat di
rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang memiliki fasilitas perawatan
(Kemenkes, 2006).
a. Tirah Baring
Pasien yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah
komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila gejala klinis berat, pasien
harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien
harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia
hipostatik dan dekubitus. Jika penyakit membaik, makan dilakukan mobilisasi
secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Buang air besar dan
kecil sebaiknya dibantu oleh perawat. Hindari pemasangan kateter urin tetap,
bila tidak ada indikasi (Kemenkes, 2006).
b. Nutrisi
• Cairan
Pasien harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada pasien sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis cairan
parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada
komplikasi dosis, cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal (Kemenkes, 2006).
• Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya
rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet
untuk pasien tifoid, biasanya diklasifikasikan atas: diet cair, bubur lunak, tim
dan nasi biasa. Bila keadaan pasien baik, diet dapat dimulai dengan diet padat
atau tim (diet padat dini). Tapi bila pasien dengan klinis berat sebaiknya
dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap
sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
Pasien dengan kesadaran menurun diberi diet secara parenteral melalui
pipa lambung. Diet parenteral dipertimbangkan bila ada tanda-tanda
komplikasi perdarahan dan atau perforasi (Kemenkes, 2006).
• Terapi Simptomatik
Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk
perbaikan keadaan umum pasien:
- Vitamin
- Antipiretik
- Antiemetik (Kemenkes, 2006)
2.2.8
Antibiotika untuk Demam Tifoid
Obat pilihan yang digunakan pada demam tiofid dibagi menjadi lini pertama
dan lini kedua. Antibiotika lini pertama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol,
penisilin dan trimetoprim-sulfametoxazole (kotrimoksazol). Bila pemberian salah
satu antibiotika lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotika
lain atau dipilih antibiotika lini kedua yaitu seftriakson, sefiksim dan kuinolon.
Berikut adalah tabel rekomendasi pemberian antibiotika pada demam tifoid
menurut Kementrian Kesehatan:
Tabel 3. Antibiotika dan Dosis Penggunaan untuk Demam Tifoid
Antibiotika
Kloramfenikol
Dosis
Dewasa: 4 x 500 mg
selama 10 hari
Anak 100 mg/kgBB/hari,
per oral atau intravena,
dibagi 4 dosis, selama 1014 hari
Seftriakson
Dewasa: 2-4gr/hari
selama 3-5 hari
Anak: 20-80 mg/kgBB/
hari, IM atau IV, dosis
tunggal selama 5 hari
Kelebihan dan Keuntungan
• Merupakan obat yang sering
digunakan dan telah lama
dikenal efektif untuk tifoid
• Murah dan dapat diberikan
peroral serta sensitivitas
masih tinggi
• Pemberian PO/IV
• Tidak diberikan bila lekosit
<2000/mm3
• Cepat menurunkan suhu,
lama pemberian pendek dan
dapat dosis tunggal serta
cukup aman untuk anak.
• Pemberian IV
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
Ampisilin dan Dewasa: 1.5-2
Amoksisilin
selama 7-10 hari
Kotrimoksazol
Kuinolon
gr/hr
Anak: 100 mg/kgBB/hari
per oral atau intravena,
dibagi 3 dosis, selama 10
hari.
Dewasa: 2 x (160-800)
selama 7-10 hari
Anak: 4-6 mg/kgBB/ hari,
per oral, dibagi 2 dosis,
selama 10 hari.
Siprofloksasin 2 x 500 mg
selama 1 minggu
Ofloksasin 2 x (200 - 400)
selama 1 minggu
Sefiksim
Anak: 20 mg/kgBB/hari,
per oral, dibagi menjadi 2
dosis, selama 10 hari
Tiamfenikol
Dewasa: 4 x 500 mg/hari
Anak: 50 mg/kgbb/hari
selama 5-7 hari bebas
panas
Sumber: Kemenkes, 2006
• Aman untuk pasien hamil
• Sering dikombinasi dengan
kloramfenikol pada pasien
kritis
• Tidak mahal
• Pemberian PO/IV
• Tidak mahal
• Pemberian per oral
• Pefloksasin dan Fleroksasin
lebih cepat menurunkan suhu
• Efektif mencegah relaps dan
kanker
• Pemberian peroral
• Pemberian pada anak tidak
dianjurkan karena efek
samping pada pertumbuhan
tulang
• Aman untuk anak
• Efektif
• Pemberian per oral
• Dapat dipakai untuk anak dan
dewasa
• Dilaporkan cukup sensitif
pada beberapa daerah
2.2.8.1 Kloramfenikol
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan pasien
demam tifoid anak. Kloramfenikol berikatan secara reversibel pada tempat reseptor
subunit ribosom 50s bakteri, obat ini mencegah perubahan asam amino menjadi
rantai peptida sehingga menghambat sintesis protein baru (Puspita, 2012).
Kloramfenikol yang diberikan secara oral memiliki waktu paruh 4-6 jam
dan akan mengalami absorbsi secara cepat dan lengkap dengan bioavailabilitas
sebesar 80%. Setelah diabsorbsi selanjutnya obat tersebut akan didistribusi ke
seluruh jaringan tidak terkecuali susunan saraf pusat dan cairan serebrospinal.
Sebanyak 30% sampai 40% dari kloramfenikol yang beredar dalam sirkulasi terikat
dengan protein dan obat ini mudah menembus membran sehingga dapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
terdistribusi melalui plasenta dan terkandung pada ASI. Anak-anak biasanya
diberikan kloramfenikol palmitat per oral dengan dosis 50-75 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4 kali pemberiaan dengan dosis maksimum 4 g/hari selama 10-14 hari. Selain
sediaan per oral tersedia pula kloramfenikol sediaan parenteral yaitu kloramfenikol
suksinat dengan dosis 25-50 mg/kg/hari yang dapat diberikan secara intravena
maupun intramuskular. Efek samping yang umum terjadi pada penggunaan
kloramfenikol adalah sakit kepala, diare, mual dan ruam (Puspita, 2012).
Kloramfenikol akan berinteraksi dengan hidantoin, barbiturate, warfarin
dan sulfonilurea. Interaksi yang timbul berupa perpanjangan waktu paruh dan
peningkatan kosentrasi darah dari obat-obat tersebut. Selain itu, kloramfenikol juga
dapat menurunkan efek dari obat sianokobalamin dan vaksin tifoid (Puspita, 2012).
2.2.8.2 Seftriakson
Setelah maraknya kerjadian resistensi terhadap kloramfenikol, ampisilin
dan TMP-SMZ, sefalosporin generasi ketiga kini menjadi pilihan untuk terapi
demam tifoid, terutama seftriakson. Aktivitas antimikrobanya sama dengan
penisilin yaitu menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara berikatan
dengan satu atau lebih protein pengikat penisilin, menghambat tahap akhir
transpeptidase dari sintesis peptidoglikan dan mengaktivasi enzim autolitik pada
dinding sel bakteri sehingga menyebabkan kerusakan dinding sel dan kematian
bakteri. Obat ini didistribusi secara luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh tidak
terkecuali cairan serebrospinal. Seftriakson terikat pada protein plasma sebesar
85% sampai 95% dan memiliki waktu paruh 9 jam (Puspita, 2012).
Dosis seftriakson yang dianjurkan untuk anak adalah 20-80 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 g/hari) selama 5-7 hari. Dari hasil
penelitian oleh tim dokter Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universtitas
Indonesia
(FKUI)
pemberian
seftriakson
lebih
dianjurkan
dibandingkan pemberian kloramfenikol karena terapi kloramfenikol membutuhkan
waktu selama 14 hari. Pada pemberian seftriakson demam akan turun dan hasil
kultur akan negatif pada hari keempat sehingga pengobatan dengan seftriakson
hanya membutuhkan waktu 5-7 hari saja sehingga akan menekan biaya pengobatan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
Selain itu sudah banyak kasus multidrug resistance Salmonella typhi (MDRST)
terhadap kloramfenikol (Puspita, 2012).
2.2.8.3 Penisilin
Penisilin merupakan obat beta-laktam yang bekerja sebagai obat
antimikroba dengan merusak dinding bakteri. Golongan penisilin yang bisa
digunakan untuk pengobatan demam tifoid adalah ampisilin dan amoksisilin.
Penisilin bekerja dengan cara mengganggu sintesis dinding sel bakteri selama
proses multiplikasi berlangsung dengan cara berikatan dengan dua atau lebih
protein pengikat penisilin, menyebabkan kematian dinsing sel dan menghasilkan
aktivitas bakterisid untuk bakteri yang sensitif (Puspita, 2012).
Penisilin dapat diberikan secara oral maupun parenteral. Absorpsi obat akan
berlangsung secara cepat dan lengkap setelah pemberian parenteral, sedangkan
dengan pemberian secara oral akan diabsorpsi hampir utuh sebesar 74% - 92% dari
dosis tunggal yang diberikan dan dipengaruhi oleh kestabilan asam dan ikatan
protein. Setelah diabsorpsi penisilin akan didistribusi ke dalam jaringan dan cairan
tubuh, namun penisilin tidak menembus dinding sel dan tidak larut dalam sel.
Amoksisilin dan ampisilin mempunyai spektrum dan aktivitas yang sama, hanya
saja amoksisilin lebih mudah diserap usus sehingga dalam pemberiannya dosis
amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan dosis ampisilin. Dosis untuk anak
yang dianjurkan adalah 100-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis pemberian
oral. Namum ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang bila
dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga jarang dijadikan pilihan untuk terapi
demam tifoid (Puspita, 2012).
2.2.8.4 Trimetoprim dan Sulfametoksazol (TMP-SMZ)
Efek antimikroba dari trimetoprim adalah menghambat reduksi asam
dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat menyebabkan enzim pada pembentukan asam
folat terhambat, sedangkan sulfametoksazol bekerja dengan cara menghambat
pembentukan asam dihidrofolat dari asam para-aminobenzoat (PABA). TMP-SMZ
diabsorpsi hampir utuh (90% - 100%) dan didistribusian ke seluruh jaringan dan
cairan tubuh tidak terkecuali cairan serebrospinal serta dapat melewati plasenta.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
Trimetoprim berikatan dengan protein plasma sebesar 45% dan dimetabolisme
menjadi oksida dan metabolit terhidroksilasi. Sedangkan sulfametoksazol berikatan
dengan protein plasma sebesar 68% dan dimetabolisme menjadi N-asetilasi dan
glukoronida. Dosis yang dianjurkan untuk anak adalah 6-12 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis atau setiap 12 jam. Dapat diberikan secara oral dengan air dalam
keadaan perut kosong atau secara intravena, tidak boleh diberikan secara
intramuscular (Puspita, 2012).
2.2.8.5 Kuinolon
Kuinolon bekerja sebagai antimikroba dengan menghambat topoisomerase
II (DNA-gyrase) dan topoisomerase IV pada bakteri sehingga menghambat sintesis
protein dan meningkatkan kerusakan DNA untai ganda bakteri. Obat ini diabsobsi
secara baik setelah diberikan secara oral dengan bioavailabilitas mencapai 85%98% dan didistribusi secara luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh. Waktu paruh
Kuinolon pada anak adalah 4-5 jam. Untuk pengobatan demam tifoid dosis
Kuinolon yang dianjurkan untuk anak adalah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2
dosis diberikan secara oral. Menurut WHO sampai saat ini Kuinolon masih
memberikan hasil yang sangat baik untuk pengobatan demam tifoid pada dewasa,
namun pada anak penggunaannya tidak dianjurkan karena efeknya dapat
menyebabkan kerusakan pada sendi dan menghambat pertumbuhan tulang (Puspita,
2012).
2.3
Pediatri
Masa kanak-kanak menggambarkan suatu periode pertumbuhan dan
perkembangan yang cepat. Penggunaan obat pada anak merupakan hal yang bersifat
khusus karena berkaitan dengan perbedaan laju perkembangan organ, sistem dalam
tubuh maupun enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekresi
obat, sehingga hanya terdapat sejumlah kecil obat yang telah diberi ijin untuk
digunakan pada anak-anak, yang memiliki bentuk sediaan yang sesuai (Prest,
2003).
Menurut American Academy of Pediatric (AAP), pediatri adalah spesialisasi
ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial kesehatan anak
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatri juga merupakan disiplin ilmu yang
berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial, lingkungan dan dampak penyakit
pada perkembangan anak. Anak-anak berbeda dari orang dewasa secara anatomis,
fisiologis, imunologis, psikologis, perkembangan dan metabolisme.
Secara internasional populasi pediatri dikelompokkan menjadi:
a. Preterm newborn infants (bayi prematur yang baru lahir).
b. Term newborn infants (bayi yang baru lahir umur 0-28 hari).
c. Infants and toddlers (bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan umur > 28
hari sampai 23 bulan).
d. Children (anak-anak umur 2-11 tahun).
e. Adolescents (anak remaja umur 12 sampai 18 tahun tergantung daerah).
Usia didefinisikan dalam hari, bulan dan tahun lengkap (WHO, 2007).
The British Paediatric Association (BPA) menggolongkan populasi
pediatrik dengan mengusulkan rentang waktu berikut yang didasarkan pada saat
terjadinya perubahan-perubahan biologis:
a. Neonatus: awal kelahiran sampai usia 1 bulan
b. Bayi: usia 1 bulan sampai 2 tahun
c. Anak: usia 2 tahun sampai 12 tahun
d. Remaja: usia 12 tahun sampai 18 tahun (Prest, 2003).
2.4
Rumah Sakit
Rumah
sakit
adalah
salah
satu
dari
sarana
kesehatan
tempat
menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan
pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit
(preventif), penyebab penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) dan
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar, 2003).
Pada umumnya tugas rumah sakit adalah menyediakan keperluan untuk
pemeliharaan dan pemulihaan kesehatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor: 983/Menkes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit umum
adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan
secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pecegahan serta
melaksanakan rujukan.
Rumah sakit pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi:
a. Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik spesialitik luas dan subspesialistik luas.
b. Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan
subspesialistik terbatas.
c. Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar.
d. Rumah sakit umum kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik dasar (Siregar, 2003).
Guna melaksanakan tugasnya, rumah sakit mempunyai berbagai fungsi,
yaitu:
a) menyelenggarakan pelayanan medik
b) pelayanan penunjang medik dan nonmedik
c) pelayanan dan asuhan keperawatan
d) pelayanan rujukan
e) pendidikan dan pelatihan
f) penelitian dan pengembangan
g) administrasi umum dan keuangan ( Siregar, 2003).
2.4.1
Peran Apoteker di Rumah Sakit
Seorang farmasis memegang peranan yang sangat penting dalam
peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada pasien (Patient
Oriented). Sebagai seorang farmasis, peningkatan mutu pelayanan ini dapat
dilakukan melalui suatu proses pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical care).
Praktek Pharmaceutical care merupakan suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
(Permenkes, 2014). Salah satu wujud kegiatan ini adalah dengan melakukan suatu
analisa terhadap drug related problems (DRPs) dari setiap terapi yang
dipertimbangkan serta diberikan kepada pasien (Fitria, Dana., 2015).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa peran Apoteker di
rumah sakit salah satunya adalah melakukan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan
farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada
pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient
safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin (PMK Nomor 58,
2014). Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
a.
Pengkajian dan pelayanan Resep
b.
Penelusuran riwayat penggunaan Obat
c.
Rekonsiliasi Obat
d.
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
e.
Konseling
f.
Visite
g.
Pemantauan Terapi Obat (PTO)
h.
Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
i.
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
j.
Dispensing sediaan steril
k.
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Salah satu pelayanan farmasi klinik yang dapat dilakukan adalah Evaluasi
Pengunaan Obat (EPO). EPO merupakan program yang terstruktur dan
berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan dari EPO adalah
mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat,
membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu, memberikan
masukan untuk perbaikan penggunaan obat, dan menilai pengaruh intervensi atas
pola penggunaan obat (PMK Nomor 58, 2014).
Evaluasi penggunaan obat dapat dilakukan secara kualitatif. Evaluasi secara
kualitatif penggunaan obat dapat dilakukan dengan cara menilai aspek-aspek dalam
penggunaan obat seperti indikasi, kontraindikasi, efek samping, dosis, terapi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
duplikasi, interaksi obat, hasil terapi dan biaya seluruh terapi. Evaluasi penggunaan
obat sangat penting dilakukan oleh Apoteker karena dapat menjamin ketepatan
peresepan dan penggunaan obat, cost effective serta dapat meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan sehingga dapat menentukan dasar pengobatan yang rasional
(WHO Collaborating Centre for Drug Utilization Research and Clinical
Pharmacological Services, 2003).
2.5
Rekam Medis
Rekam medis merupakan sejarah ringkas, jelas dan akurat dari kehidupan
dan kesakitan pasien, ditulis dari sudut pandang medis. Berdasarkan surat
keputusan Dirjen pelayanan medik, rekam medis adalah berkas yang berisikan
catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang pasien
selama dirawat di rumah sakit baik rawat jalan maupun rawat inap (Siregar, 2003).
Kegunaan rekam medik:
a. Sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan pasien.
b. Sarana komunikasi antara dokter dan setiap profesional yang berkontribusi pada
perawatan pasien.
c. Bukti dokumen penyebab kesakitan pasien dan pengobatan selama dirawat di
rumah sakit.
d. Sebagai dasar evaluasi perawatan yang diberikan kepada pasien.
e. Membantu dalam keputusan hukum pasien, rumah sakit dan praktisi yang
bertanggung jawab.
f. Data untuk bahan penelitian dan pendidikan.
g. Dasar perhitungan biaya (Siregar, 2003).
Ada dua jenis rekam medik rumah sakit:
a) Rekam medis untuk pasien rawat jalan termasuk pasien gawat darurat yang berisi
tentang identitas pasien, hasil anamnesis (keluhan utama), riwayat sekarang,
riwayat penyakit yang pernah diderita, riwayat keluarga tentang penyakit yang
mungkin diturunkan atau yang dapat ditularkan, hasil pemeriksaan (fisik,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
laboratorium, pemeriksaan khusus lainnya), diagnostik kerja dan pengobatan
atau tindakan.
b) Rekam medis untuk pasien rawat inap hampir sama dengan isi rekam medis
untuk pasien rawat jalan kecuali beberapa hal seperti: persetujuan pengobatan
atau tindakan, catatan konsultasi, catatan perawatan oleh perawat dan tenaga
kesehatan lainnya, catatan observasi klinik, hasil pengobatan, resume akhir dan
evalusi pengobatan (Muninjaya, 2004).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1
Kerangka Konsep
Rekam Medik Pasien
Demam Tifoid
Memenuhi
kriteria inklusi
dan eksklusi
Karakteristik pasien:
- Jenis kelamin
- Usia
Penggunaan Obat:
- Berat badan
- Obat Antibiotika
- Penyakit penyerta
- Obat Lain
Drug Related Problems
Ketidaktepatan
Dosis
Dosis
Indikasi
Obat
Interaksi
pemilihan obat
obat
obat
tanpa
tanpa
obat
berlebih
kurang
obat
indikasi
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
3.2
Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No.
Definisi
Cara Ukur
Skala
Ukur
1) Jenis
Kelamin
Kondisi fisik yang
menentukan status
seseorang laki-laki
atau perempuan.
Melihat data
rekam medis
pasien.
Nominal
2) Usia
Lamanya hidup
seseorang dilihat
dari tanggal lahir
atau ulang tahun
terakhir.
Melihat data
rekam medis
pasien.
Rasio
3) Penyakit
Penyerta
Penyakit lain
Melihat data
selain demam
rekam medis
tifoid yang dialami pasien.
oleh pasien
2.
Antibiotika
3.
Obat Lain
Obat antimikroba
yang digunakan
pasien demam
tifoid
Obat-obat selain
antibiotika yang
digunakan pasien
demam tifoid
1.
Variabel
Kategori
Karakteristik
Pasien
Melihat data
rekam medis
pasien.
Melihat data
rekam medis
pasien
0. Laki – laki
1. Perempuan
0. 2 – 5 tahun
1. 6 – 12 tahun
Nominal 0. Tidak ada
penyakit
penyerta
1. Ada penyakit
penyerta
Nominal 1. Seftriakson
2. Sefotaksim
3. Sefuroksim
4. Tiamfebikol
Nominal 1. Antiinfeksi
2. Obat
Gastrointestinal
3. Kortikosteroid
4. Antihistamin
5. Analgetik &
antipiretik
6. Hipnoyiksedatif
7. Antiepilepsi
8. Mukolitik
9. Bronkodilator
10. Vitamin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
4.
5
6.
7
8
9
10.
Drug Related Masalah yang
Problems
timbul akibat
(DRPs)
penggunaan obatobat oleh pasien
demam tifoid
Ketidaktepat Pasien
an pemilihan mendapatkan obat
obat
yang salah, tidak
aman, tidak efektif
dan kontra indikasi
dengan kondisi
pasien
Dosis obat
Takaran atau
kurang
jumlah tertentu
obat yang
diberikan kepada
pasien demam
tifoid kurang dari
dosis standar pada
literatur.
Dosis obat Takaran atau
berlebih
jumlah tertentu
obat yang
diberikan kepada
pasien demam
tifoid melebihi
dari dosis standar
pada literatur.
Indikasi
Pasien mengalami
tanpa obat
indikasi tetapi
tidak diberikan
obat
Melihat data
rekam medis
pasien.
Nominal
0. Tidak
terjadi
DRPs
1. Terjadi DRPs
Melihat data
rekam medis
pasien
Nominal
0. Tidak tepat
1. Tepat
Melihat data
rekam medis
pasien.
Nominal
0. Tidak Tepat
Dosis
1. Tepat Dosis
Melihat data
rekam medis
pasien.
Nominal
0. Tidak Ada
Melihat data
rekam medis
pasien.
Nominal
Obat tanpa Pasien menerima
indikasi
obat namun tidak
ada indikasi
Interaksi
Keadaan yang
Obat
terjadi jika
menggunakan dua
obat atau lebih
sehingga
memberikan efek
yang tidak
diinginkan.
Melihat data Nominal
rekam medis
pasien.
Melihat
Nominal
referensi
Drugs.com,
Medscape,
dan
Drug
Information
Handbook.
1. Ada
0. Tidak Ada
1. Ada
0. Tidak Ada
1. Ada
0. Tidak Ada
1. Ada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Banten
15419. Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai Juni 2016.
4.2
Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional (potong
lintang), diharapkan dengan desain ini tujuan penelitian dapat dicapai. Data
variabel yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan secara retropsektif dari
data rekam medis pasien.
4.3
Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien demam tifoid anak
yang dirawat inap di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan pada periode Januari
2015 sampai Desember 2015.
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah bagian dari populasi yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
total sampling, yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
diambil sebagai sampel penelitian. Jumlah sampel adalah sebesar 50.
4.4
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1
Kriteria Inklusi
• Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di Rumah Sakit “X”
Tangerang Selatan
• Pasien anak dengan umur 2-12 tahun
• Pasien dengan atau tanpa penyakit penyerta
• Pasien dengan rekam medis yang lengkap
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
4.4.2
Kriteria Eksklusi
• Pasien pulang paksa sebelum terapi selesai dilaksanakan
4.5
Prosedur Penelitian
4.5.1 Persiapan
a.
Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan
penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program
Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
kepada Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan.
b.
Penyerahan surat persetujuan penelitian dari Rumah Sakit “X”
Tangerang Selatan kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4.5.2 Pengumpulan Data
a.
Penelusuran data pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X”
Tangerang Selatan periode Januari 2015 sampai Desember 2015.
b.
Pengambilan data dan pencatatan data hasil rekam medis di ruang
rekam medis, yaitu:
• Nama pasien
• Usia pasien
• Berat badan pasien
• Jenis kelamin pasien
• Tanggal perawatan
• Data penggunaan obat, yaitu:
- Nama obat
- Dosis obat
- Lama penggunaan obat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
4.5.3 Pengolahan data
a.
Editing data
Proses pemeriksaan ulang kelengkapan data dan mengeluarkan
data-data yang tidak memenuhi kriteria agar dapat diolah dengan baik
serta memudahkan proses analisa. Kesalahan data dapat diperbaiki
dan kekurangan data dilengkapi dengan mengulang pengumpulan
data.
b.
Coding data
Proses pemberian kode tertentu pada tiap-tiap data yang
diperoleh. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka-angka
atau huruf untuk membedakan antara data atau identitas data yang
akan dianalisa.
c.
Entry data
Proses penempatan data ke dalam bentuk tabel yang telah diberi
kode sesuai dengan kebutuhan analisa.
d.
Cleaning data
Data yang sudah diinput diperiksa kembali untuk memastikan
data bersih dari kesalahan dan siap untuk dianalisa lebih lanjut.
4.6
Analisis Data
Analisis dilakukan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan
kejadian drug related problem (DRPs) kategori ketidaktepatan pemilihan obat,
dosis obat kurang, dosis obat berlebih, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi dan
interaksi obat yang terjadi pada pasien demam tifoid anak.
Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan
program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences). Analisis data yang
dilakukan meliputi:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
4.6.1 Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis
setiap variabel yang ada secara deskriptif (Notoatmodjo, 2003). Data yang telah
dikategorikan ditampilkan sebagai frekuensi kejadian. Adapun analisis data
dengan menggunakan analisis univariat adalah karakteristik pasien (usia, jenis
kelamin dan penyakit penyerta), penggunaan obat pada pasien dan kejadian DRPs.
4.6.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel
yang diduga berhubungan/berkorelasi dan untuk melihat kemaknaan antara
variabel independen dan variabel dependen. Adapun analisis data dengan
menggunakan analisis Bivariat adalah pengaruh penyakit penyerta terhadap
kejadian DRPs dan pengaruh jumlah obat terhadap kejadian DRPs.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil Penelitian
5.1.1
Karakteristik Pasien
Karakteristik pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang
Selatan tahun 2015 meliputi jenis kelamin, usia, dan penyakit penyerta.
Berdasarkan pengambilan data, jumlah pasien anak yang terdiagnosis demam
tifoid adalah sebanyak 96 pasien dan didapat 50 pasien yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini.
Tabel 5.1 Karakteristik Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit “X”
Tangerang Selatan, Tahun 2015
Karakteristik Pasien
N
Persentase (%)
Berdasarkan jenis kelamin
Laki-laki
30
60,0
Perempuan
20
40,0
Total
50
100
Berdasarkan usia pasien
2-5 tahun
19
38,0
6-12 tahun
31
62,0
Total
50
100
Berdasarkan Penyakit Penyerta
Status Penyakit Penyerta
Tanpa penyakit penyerta
13
26,0
Dengan penyakit penyerta
37
74,0
Total
50
100
Jenis Penyakit Penyerta
Demam berdarah dengue
11
24,4
Febris
10
22,2
Anemia
3
6,7
Tuberkulosis paru
3
6,7
Demam reumathoid
2
4,4
Lainnya
13
31,1
Total
42
100
Ket: Lainnya: Kejang Demam Kompleks (KDK), Sepsis, Urtikaria, ISPA,
Dispepsia, ISK, Bronkopneumonia, Asma, Diare, Pansitopenia, Diare dan
Gastroenteritis
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa pasien demam tifoid anak
dengan jenis kelamin laki-laki lebih mendominasi (60,0%), dengan usia yang
paling dominan adalah 6-12 tahun (62,0%). Sebagian besar pasien demam tifoid
anak mengalami penyakit penyerta (74%). Adapun penyakit penyerta yang paling
banyak dialami oleh pasien demam tifoid anak adalah demam berdarah dengue
(24,4%) dan diikuti dengan febris (22,2%).
5.1.2
Profil Penggunaan Obat
Profil penggunaan obat pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit
“X” Tangerang Selatan digolongkan berdasarkan Paediatric Dosage Handbook.
Antibiotik yang digunakan dalam penanganan demam tifoid dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 5.2 Distribusi Penggunaan Obat Antibiotik pada Pengobatan Pasien Demam
Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, tahun 2015
No
1
2
Penggunaan Obat
Sefalosporin
- Seftriakson
- Sefotaksim
- Sefuroksim
Kloramfenikol
- Tiamfenikol
Total
N
Persentase (%)
47
1
1
94,0
2,0
2,0
1
50
2,0
100
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar antibiotik
yang digunakan dalam penanganan kasus demam tifoid adalah seftriakson
(94,0%), kemudian diikuti sefotaksim (2,0%), sefuroksim (2,0%) dan tiamfenikol
(2,0%). Selain untuk pengobatan demam tifoid, pasien juga diberikan obat lain
untuk mengobati gejala dan penyakit penyerta yang dialami pasien. Adapun obat
lain yang digunakan dalam penangan gejala dan penyakit penyerta dapat dilihat
pada tabel berikut:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
Tabel 5.3 Distribusi Penggunaan Obat Lain pada Pasien Demam Tifoid Anak di
Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Penggunaan Obat
Antiinfeksi
A. Antibiotik Aminoglikosida
- Gentamisin
B. Antibiotik Beta Laktam Golongan Lain
- Meropenem
C. Antivirus
- Methisoprinol
D. Antijamur
- Fluconazol
Obat Gastrointestinal
A. PPI (Proton Pump Inhibitor)
- Omeprazol
- Pantoprazol
B. Antihistamin AR-H2
- Ranitidin
C. Antagonis Reseptor 5HT-3
- Ondansetron
D. Antasida
E. Probiotik
- Lacto B
Kortikosteroid
- Deksametason
- Metilprednisolon
Antihistamin
- Setirizin
- CTM (Chlorpheniramin Maleat)
Analgesik, Anti-inflamasi dan Antipiretik
- Parasetamol
Ansiolitik, Sedatif-Hipnotik dan Antipsikotik
- Diazepam
Antiepilepsi
- Asam Valproat
Mukolitik
- Ambroksol
Bronkodilator dan Antiasma
- Seretide
N
Persentase (%)
2
1,07
2
1,07
7
3,74
1
0,53
2
1
1,07
0,53
16
8,56
18
1
9,63
0,53
6
3,21
7
1
3,74
0,53
3
1
1,60
0,53
47
25,13
2
1,07
1
0,53
10
5,35
1
0,53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
10
11
Vitamin dan Mineral
- Ferriz
- Zinc Sulfat
- Apyalis
Terapi Suportif
- IVFD Ringer Laktat
- IVFD NaCl 0,9%
Total
1
6
1
0,53
3,21
0,53
38
12
187
20,32
6,42
100,0
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa terdapat persentase yang
tinggi pada penggunaan parasetamol (25,13%), kemudian diikuti ondansetron
(9,63%) dan ranitidin (8,56%).
5.1.2.1 Jenis Penggunaan Obat
Jenis obat yang digunakan oleh pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit
“X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.4 Distribusi Jenis Penggunaan Obat pada Pasien Demam Tifoid Anak di
Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015
Jenis Penggunaan Obat
2 jenis obat
3 jenis obat
4jenis obat
≥5 jenis obat
Total
N
11
18
11
10
50
Persentase (%)
22,0
36,0
22,0
20,0
100
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa jumlah penggunaan 3 jenis
obat merupakan jumlah yang paling banyak diterima pasien (36,0%). Kemudian
diikuti 2 jenis obat (22,0%), 4 jenis obat (22,0%) dan >5 jenis obat (20,0%).
5.1.3
Drug Related Problems (DRPs)
Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien digambarkan secara
deskriptif dalam bentuk persentase. Kejadian DRPs pada pasien demam tifoid
anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
Tabel 5.5 Distribusi Kategori DRPs pada Pasien demam Tifoid Anak di Rumah
Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015
Kategori DRP
Pasien
Ketidaktepatan pemilihan obat
Dosis obat kurang
Dosis obat lebih
Indikasi tanpa obat
Obat tanpa indikasi
Interaksi obat
Total
1
12
5
3
1
3
25
Persentase
Persentase
Frekuensi
(%)
(%)
4,0
1
3,03
48,0
13
39,40
20,0
5
15,15
12,0
3
9,09
4,0
1
3,03
12,0
10
30,30
100,0
33
100,0
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa kasus DRPs paling banyak
terjadi pada kategori dosis obat kurang (39,40%), diikuti kategori interaksi obat
(30,30%), dosis obat lebih (15,15%), indikasi tanpa obat (9,09%), ketidaktepatan
pemilihan obat (3,03%) dan obat tanpa indikasi (3,03%).
5.1.3.1 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan 1 pasien (4,0%) dengan 1 kasus
(3,03%) yang mengalami kejadian DRPs kategori ketidaktepatan pemilihan obat
pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan tahun
2015.
5.1.3.2 DRPs Dosis Obat Kurang
Kejadian DRPs kategori dosis obat kurang pada pasien demam tifoid anak
di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.6 Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat Kurang pada Pasien Demam
Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015
No.
1
2
3
4
Golongan Terapi Obat
Antivirus
Antihistamin AR-H2
Mukolitik
Probiotik
Terapi Obat
Methisoprinol
Ranitidin
Ambroksol
Lacto B®
Total
Frekuensi
6
1
1
5
13
Persentase (%)
46,16
7,69
7,69
38,46
100,0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
Berdasarkan Tabel 5.5, menunjukkan bahwa terdapat 12 pasien (48,0%)
dengan 13 kejadian (39,40%) DRPs kategori dosis obat kurang pada pasien
demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan. Adapun jenis obat
yang paling sering berpotensi dosis obat kurang (Tabel 5.6) adalah methisoprinol
dan Lacto B®. Selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 6.
5.1.3.3 DRPs Dosis Obat Berlebih
Kejadian DRPs kategori dosis obat berlebih pada pasien demam tifoid
anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.7 Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat Berlebih pada Pasien Demam
Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015
No. Golongan Terapi Obat
Terapi Obat
1 Antagonis Reseptor 5- Ondansetron
HT3
2 Antibiotik sefalosporin
Seftriakson
3 Antibiotik beta laktam Meropenem
golongan lain
Total
Frekuensi
3
Persentase (%)
60,0
1
1
20,0
20,0
5
100,0
Berdasarkan Tabel 5.5, menunjukkan bahwa terdapat 5 pasien (20,0%)
dengan 5 kasus (15,15%) yang mengalami kejadian DRPs kategori dosis obat
berlebih pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan.
Adapun jenis obat yang paling sering berpotensi dosis obat lebih (Tabel 5.7)
adalah ondansetron. Selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 7.
5.1.3.4 DRPs Indikasi Tanpa Obat
Kejadian DRPs kategori indikasi tanpa obat pada pasien demam tifoid
anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Tabel 5.8 Distribusi DRPs Kategori Indikasi Tanpa Obat pada Pasien Demam
Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015
NP
15
26
47
Gejala / Diagnosa
Demam kurang lebih 3 hari,
mual, muntah, nafsu makan
menurun / Demam tifoid
dan Anemia Defisiensi Besi
Demam kurang lebih 4 hari
SMRS, 1 hari SMRS
demam tinggi, mual, BAB
cair warna coklat kurang
lebih 4 hari SMRS (diare
akut), batuk 1 hari SMRS /
Demam tifoid, Tonsillitis,
Anemia Defisiensi Besi dan
Diare
Demam kurang lebih 4 hari
SMRS, mual, BAB cair
warna coklat, batuk /
Demam tifoid dan Anemia
Defisiensi Besi
Obat yang Diterima
Indikasi Tanpa Obat
Parasetamol,
Seftriakson
Anemia Defisiensi
Besi
Parasetamol, Metilprednisolon,
Seftriakson
Anemia Defisiensi
Besi
Lacto B®, Zinc,
Parasetamol
Anemia Defisiensi
Besi
Berdasarkan tabel 5.5, menunjukkan bahwa terdapat 3 pasien (12,0%)
dengan 3 kasus (9,09%) yang mengalami kejadian DRPs kategori indikasi tanpa
obat pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan.
5.1.3.5 DRPs Obat Tanpa Indikasi
Kejadian DRPs kategori obat tanpa indikasi pada pasien demam tifoid
anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.9 Distribusi DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi pada Pasien Demam
Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015
NP
4
Gejala / Diagnosa
Kejang beberapa saat
sebelum masuk UGD,
demam / Demam tifoid,
DBD, Epilepsi
Obat yang Diterima
Parasetamol,
Metisoprinol,
Diazepam,
Depakene,
Seftriakson,
Parasetamol drip,
Dexametason
Obat Tanpa Indikasi
Parasetamol diberikan
dalam dua bentuk
sediaan yang berbeda
namun waktu
pemberian sama
(duplikasi obat)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
Berdasarkan Tabel 5.5, menunjukkan bahwa terdapat 1 pasien (4,0%)
dengan 1 kasus (3,03%) yang mengalami kejadian DRPs kategori obat tanpa
indikasi pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan.
5.1.3.6 DRPs Interaksi Obat
Kejadian DRPs kategori interaksi obat pada pasien demam tifoid anak di
Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.10 Distribusi DRPs Kategori Interaksi Obat pada Pasien Demam Tifoid
Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tingkat
Keparahan
Parasetamol – Diazepam
Farmakokinetik
Minor
Parasetamol – Asam Valproat
Farmakokinetik
Minor
Diazepam – Deksametason
Farmakokinetik
Minor
Diazepam – Asam Valproat
Farmakokinetik
Moderat
Parasetamol – Isoniazid
Farmakokinetik
Moderat
Diazepam – Isoniazid
Farmakokinetik
Moderat
Parasetamol – Rifampin
Farmakokinetik
Minor
Diazepam – Rifampin
Farmakokinetik
Minor
Gentamisin - Sefotaksim
Unknown
Moderat
Sumber: http://www.drugs.com, Medscape, Stockley
Interaksi Obat
Mekanisme
Frekuensi
2
1
1
1
1
1
1
1
1
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa terdapat 10 kejadian
(30,30%) DRPs kategori interaksi obat. Adapun kejadian DRPs interaksi obat
berdasarkan mekanisme interaksi dan tingkat keparahan interaksi obat dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
Tabel 5.11 Distribusi Interaksi Obat Berdasarkan Mekanisme dan Tingkat
Keparahan Interaksi Obat
Interaksi Obat
Mekanisme
Total
Tingkat Keparahan
Kategori
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Unknown
Jumlah
9
0
1
10
6
4
0
10
Ringan (minor)
Sedang (moderat)
Berat (mayor)
Total
Persentase (%)
90,0
0
10,0
100
60,0
40,0
0
100
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa hasil analisa terhadap
kasus interaksi obat berdasarkan mekanisme interaksi, sebanyak 9 (90,0%)
kejadian merupakan interaksi farmakokinetik dan 1 kejadian (10,0%) merupakan
interaksi unknown dan tidak terdapat interaksi obat pada jenis interaksi
farmakodinamik. Sedangkan berdasarkan tingkat keparahan interaksi obat,
sebanyak 6 kejadian (60,0%) terjadi pada tingkat keparahan minor, sebanyak 4
kejadian (40,0%) terjadi pada tingkat keparahan moderat dan tidak terdapat
interaksi obat pada tingkat keparahan mayor.
5.1.4
Hasil Analisis Bivariat
5.1.4.1 Analisis Hubungan Antara Jumlah Penyakit Penyerta dengan DRPs
Berdasarkan
analisis
hubungan
penyakit
penyerta
dengan
DRPs
menggunakan metode Chi-Square dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.12 Hasil Analisis Hubungan Antara Penyakit Penyerta dengan DRPs
Penyakit
Penyerta
Tidak ada
penyakit
penyerta
Kejadian DRPs
Tidak Terjadi DRPs
Terjadi DRPS
% terhadap
% terhadap
total tidak
total
Jumlah
Jumlah
terjadinya
terjadinya
DRPs
DRPs
7
53,8
6
Nilai P
0,008
16,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
Ada
penyakit
penyerta
Total
6
46,2
31
83,8
13
100,0
37
100,0
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa pengaruh penyakit
penyerta terhadap DRPs dengan menggunakan metode Chi-Square didapatkan P =
0,008 (P< 0,05), maka diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara penyakit penyerta dengan DRPs.
5.1.4.2 Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan DRPs
Berdasarkan analisis hubungan jumlah jenis obat dengan DRPs
menggunakan metode Chi-Square dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.13 Hasil Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan DRPs
Jumlah
Obat
2 jenis
obat
3 jenis
obat
4 jenis
obat
≥5 jenis
obat
Total
Kejadian DRPs
Tidak Terjadi DRPs
Terjadi DRPS
% terhadap
% terhadap
total tidak
total
Jumlah
Jumlah
terjadinya
terjadinya
DRPs
DRPs
2
15,3
5
13,5
3
23,1
7
19,0
4
30,8
10
27,0
4
30,8
15
40,5
13
100,0
37
100,0
Nilai P
0,006
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa pengaruh jumlah jenis obat
terhadap DRPs dengan menggunakan metode Chi-Square didapatkan P = 0,006 (P
< 0,05), maka diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
jumlah jenis obat dengan kejadian DRPs.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
5.2
Pembahasan
5.2.1
Karakteristik Pasien
Berdasarkan hasil penelitian, pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit
“X” Tangerang Selatan didominasi oleh pasien berjenis kelamin laki-laki. Hal ini
sejalan dengan Ganesh, R yang menyatakan bahwa insiden demam tifoid pada
laki-laki 1,29 kali lebih banyak daripada perempuan (Ganesh, R., dkk. 2009).
Penyataan tersebut juga didukung dengan beberapa penelitian lainnya, seperti
penelitian yang dilakukan di Medan (Sinurat, Seprida., 2009), di Jakarta
(Musnelina, Lili., dkk., 2004), dan penelitian yang dilakukan di Bandung
(Nuraini, Fuzna., ddk. 2015). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil Riset
Kesehatan Dasar (2007), dimana pasien demam tifoid lebih banyak yang berjenis
kelamin laki-laki daripada perempuan. Namun, penelitian yang dilakukan oleh
Malisa, Allen., dkk (2010), menunjukkan bahwa pasien demam tifoid berjenis
kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Begitu juga dengan
penelitian yang dilakukan di Jakarta oleh Hadinegoro, Sri Rezeki., dkk., (2008).
Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disebabkan karena
perbedaan lokasi dan wilayah penelitian serta terbatasnya jumlah sampel yang
diteliti. Dari evaluasi karateristik jenis kelamin pada pasien demam tifoid anak
terlihat bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita demam tifoid
dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dikarenakan anak laki-laki lebih sering
melakukan aktivitas diluar rumah dan tidak memperhatikan kebersihan makanan
sehingga memungkinkan anak laki – laki mendapatkan resiko lebih besar terkena
penyakit
demam
tifoid
dibandingkan
dengan
anak
perempuan
(Musnelina,Lili.,dkk. 2004).
Berdasarkan perbedaan usia, kasus penyakit demam tifoid yang
menyerang pasien anak banyak terjadi pada kelompok usia 6 - 12 tahun, kemudian
diikuti kelompok usia 2 - 5 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Musnelina, Lili., dkk (2004) yang menyatakan bahwa kejadian demam tifoid pada
anak usia lima tahun ke atas lebih banyak daripada anak usia di bawah lima tahun.
Hasil ini juga didukung dengan beberapa hasil penelitian lainnya, seperti
penelitian yang dilakukan di Jakarta (Ochiai, R Leon., dkk., 2008), di Pulau Jawa
(Raflizar., dkk., 2010), di Asia Tenggara (Buckle, Geoffry. C., et al., 2012), di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
India (Ganesh, R., et al., 2009) dan di Afrika (Breiman, Robert F., et al., 2011)
yang menyatakan bahwa usia yang paling umum menderita demam tifoid adalah
kelompok usia di atas lima tahun. Kelompok usia ini lebih rentan mengalami
kejadian demam tifoid dikarenakan pada usia tersebut ruang lingkup gerak anak
lebih luas sehingga memungkinkan anak mengenal jajanan di luar rumah,
sedangkan tempat jajan tersebut belum tentu terjamin kebersihannya (Nuraini
F.A., dkk., 2015)
Berdasarkan penyakit penyerta, sebagian besar pasien demam tifoid anak
mengalami penyakit penyerta. Penyakit penyerta merupakan penyakit lain selain
demam tifoid yang diderita oleh pasien demam tifoid. Hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian di Sibolga (Simanjuntak, Alista., 2015) dan di RSUD
Deli Serdang Lubuk Pakamyang (Harahap, N., 2009) menyatakan bahwa sebagian
besar pasien yang menderita demam tifoid tidak mengalami penyakit penyerta.
Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disebabkan karena
perbedaan lokasi dan daerah penelitian serta terbatasnya jumlah sampel yang
diteliti.
Sebagian besar pasien demam tifoid anak menderita penyakit penyerta.
Adapun jenis penyakit penyerta (Tabel 5.1) yang paling banyak terjadi pada
pasien demam tifoid di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan adalah demam
berdarah dengue. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinurat di Medan
yang menyatakan bahwa penyakit penyerta yang paling banyak dialami pasien
demam tifoid adalah demam berdarah dengue (Sinurat, Seprida., 2009).
5.2.2
Profil Penggunaan Obat
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar terapi antibiotik yang
digunakan dalam penanganan kasus demam tifoid adalah seftriakson yang
merupakan obat antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga. Berdasarkan
Tata Laksana Demam Tifoid di Indonesia, seftriakson merupakan obat lini kedua
sebagai terapi untuk mengatasi demam tifoid. Antibiotika lini pertama untuk
demam tifoid adalah kloramfenikol, penisilin dan trimethoprim-sulfametoksazol
(Kemenkes, 2006). Berdasarkan hasil penelitian Marcks (2010) di Ghana, isolat
Salmonella
typhi
resisten
terhadap
kloramfenikol
(73%),
trimethoprim-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
sulfametoksazol (71%) dan penisilin (70%) (Marcks, 2010). Seftriakson dan
siprofloksasin terbukti efektif melawan MDRS (Multi Drug-Resistant Salmonella)
dan menjadi obat pilihan dalam penangan demam tifoid (Butler, 2011). Namun,
salah satu strain Salmonella typhi telah resisten terhadap siprofloksasin. Namun,
seluruh isolat rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pada saat ini
sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) dianggap sebagai antibiotik pilihan
untuk pengobatan empirik demam tifoid (Dimitros, 2012). Selain itu seftriakson
dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan demam tifoid
jangka pendek. Mekanisme kerja dari obat ini adalah secara selektif dapat
merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel tubuh manusia, mempunyai
spektrum luas, penetrasi jaringan cukup baik, dan resistensi kuman masih terbatas
(Musnelina, Lili., dkk., 2004).
Penggunaan obat selain antibiotik pada pengobatan demam tifoid
dipengaruhi oleh gejala dan penyakit penyerta yang diderita pasien. Demam
adalah gejala utama demam tifoid yang disertai gejala lain seperti pusing, mual
dan muntah, lidah kotor dan ditutupi selaput putih. Pada umumnya penderita
mengalami nyeri perut dan ulu hati (Kepmenkes RI., 2006). Parasetamol sering
digunakan sebagai analgesik dan antipiretik. Antipiretik seperti parasetamol
digunakan untuk menurunkan demam, yang merupakan gejala yang sering timbul
pada kasus demam tifoid. Lalu ondansetron yang digunakan pada pasien demam
tifoid adalah untuk menangani gejala mual dan muntah. Selanjutnya terdapat obat
ranitidin yang digunakan untuk mengatasi gejala nyeri perut dan ulu hati.
Pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan
terapi suportif yang digunakan yaitu cairan kristaloid seperti ringer laktat dan
NaCl 0,9 %. Terapi suportif yang paling banyak digunakan yaitu ringer laktat.
Cairan
ringer
laktat
digunakan
sebagai
cairan
rumatan
atau
pemeliharaan/maintenance dan juga untuk menggantikan cairan ekstraseleluler
yang hilang dari tubuh. Sesuai dengan Tata Laksana Demam Tifoid di Indonesia,
larutan yang direkomendasikan untuk pasien demam tifoid antara lain ringer laktat
dan NaCl 0,9% sebagai cairan kristaloid. Pada dasarnya penggunaan cairan infus
ringer laktat dan NaCl 0,9% adalah untuk memenuhi kebutuhan cairan atau
elektrolit pada tubuh pasien demam tifoid (Kepmenkes RI, 2006).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
5.2.2.1 Jumlah Penggunaan Obat
Pasien demam tifoid anak selama dirawat tidak hanya menerima obat
untuk mengobati demam tifoid tetapi juga obat lain untuk mengatasi masalah
gejala dan penyakit penyerta yang dialami pasien, sehingga pasien membutuhkan
terapi kombinasi dengan jumlah obat yang digunakan bervariasi. Berdasarkan
hasil penelitian, jumlah obat yang paling banyak digunakan pasien adalah 3 jenis
obat, kemudian diikuti 2 jenis obat, 4 jenis obat dan >5 jenis obat.
5.2.3
Drug Related Problems (DRPs)
Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu kejadian yang tidak
diinginkan dari pengalaman pasien akibat terapi obat sehingga secara aktual
maupun potensial dapat mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan
(Strand, et al., 1990). Pada masalah ini, peran farmasi sangat dibutuhkan untuk
menimalisir terjadinya DRPs pada penggunaan obat. Evaluasi DRPs bertujuan
untuk menjamin pengobatan yang diberikan kepada pasien berhasil mencapai efek
terapi dan pasien mendapatkan pengobatan yang aman, berkhasiat, dan bermutu.
Evaluasi DRPs terdiri dari beberapa kategori yaitu: ketidaktepatan pemilihan obat,
dosis obat kurang, dosis obat berlebih, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi,
interaksi obat, dan ketidakpatuhan pasien. Namun, pada penelitian ini tidak
dilakukan evaluasi kategori ketidakpatuhan pasien dikarenakan penelitian ini
bersifat retrospektif. Pada evaluasi DRPs, pasien dikatakan mengalami DRPs pada
pengobatannya jika pasien mengalami satu atau lebih dari kategori DRPs tersebut.
Pasien dikatakan tidak mengalami DRPs jika seluruh obat yang digunakan oleh
pasien tidak satupun mengalami kategori DRPs tersebut. Gambaran penilaian
evaluasi DRPs berdasarkan pemberian obat pada pasien demam tifoid anak di
Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada Tabel5.5.
5.2.3.1 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat
Ketidaktepatan pemilihan obat adalah pasien mendapatkan obat yang
salah, tidak aman, bukan yang paling efektif dan kontra indikasi terhadap kondisi
patologi pasien (gangguan ginjal dan hati).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa terdapat satu pasien
yang mengalami ketidaktepatan pemilihan obat, yaitu pada pasien nomor 29.
Berdasarkan hasil diagnosa, pasien mengalami Infeksi Saluran kemih (ISK) dan
diberi obat meropenem. Berdasarkan Pediatric Urinary Tract Infections (Chang.,
et al., 2006) dan PPM IDAI, tatalaksana ISK pada anak adalah menggunakan
sefotaksim atau gentamisin. Dosis untuk sefotaksim adalah 150 mg/kg BB/hari
dibagi setiap 6-8 jam dan dosis untuk gentamisin adalah 5 mg/kg BB/hari setiap 8
jam (PPM IDAI).
5.2.3.2 DRPs Dosis Obat Kurang
Dosis obat kurang adalah pasien mempunyai kondisi medis dan
mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut dibawah dosis standar
terapi. Kriteria dosis kurang adalah pemakaian dosis obat kurang dari 80% dosis
standar terapi (Yasin, 2009). Pemberian obat dengan dosis yang terlalu rendah
mengakibatkan efek terapi yang diinginkan tidak tercapai. Dosis yang diberikan
harus sesuai dengan keadaan pasien dan dosis yang sudah ditetapkan pada
literatur.
Berdasarkan hasil penelitian, dosis obat kurang terjadi pada pasien yang
menerima methisoprinol, ambroksol, ranitidin, setirizin, dan Lacto B®. Pemberian
methisoprinol kurang dari dosis terapi karena dosis yang diberikan per harinya
tidak sesuai dengan dosis anak per kilogram berat badan. Menurut literatur, dosis
pemberian methisoprinol untuk pasien anak adalah 50 mg/kgBB/hari diberikan
dalam 3-4 dosis terbagi (Deborah, 1986; Martindale, 2009). Dosis obat kurang
juga terjadi pada pemberian ambroksol, ranitidin, setirizin dan parasetamol
(selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 6).
Pada penelitian ini juga ditemukan frekuensi pemberian obat yang tidak
tepat pada Lacto B®. Pasien mendapat Lacto B® dengan frekuensi dua kali satu
sachet sehari. Frekuensi pemakaian Lacto B® untuk anak >1 tahun adalah tiga kali
satu sachet (tiap sachet mengandung 1 x 107 CFU) sehari. Maka, seharusnya
pasien mendapatkan Lacto B® dengan frekuensi tiga kali sehari.
Pemberian obat dengan dosis kurang dapat menyebabkan obat dalam
keadaan subterapetik sehingga obat tidak dapat memberikan efek terapi (Yasin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
2009). Suatu obat akan menghasilkan efek terapetik jika kadar obat di dalam
darah atau bioavailabilitas obat mencapai kadar terapi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan efek yang diharapkan. Oleh karena itu, penggunaan obat dengan
dosis terapi yang sesuai sangat penting untuk menghasilkan efek terapetik yang
menandakan bahwa terapi yang diberikan berhasil.
5.2.3.3 DRPs Dosis Obat Berlebih
Dosis obat berlebih adalah pasien mempunyai kondisi medis dan
mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut di atas nilai batas dosis
standar terapi. Kriteria dosis berlebih adalah pemakaian dosis obat lebih dari
125% dosis standar terapi (Yasin, 2009). Pemberian obat dengan dosis melebihi
dosis standar terapi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan risiko efek toksik.
Dosis yang diberikan harus sesuai dengan keadaan pasien dan dosis yang sudah
ditetapkan pada literatur.
Berdasarkan hasil penelitian, dosis obat lebih terjadi pada pasien yang
menerima obat ondansetron, seftriakson, dan meropenem. Jenis obat yang paling
sering diberikan dengan dosis berlebih (Tabel 5.7) adalah ondansetron. Pemberian
ondansetron melebihi dosis terapi karena dosis yang diberikan per harinya tidak
sesuai dengan dosis anak per kilogram berat badan dan melebihi dari dosis
maksimum. Menurut Pieścik-Lech., dkk (2012), dosis pemberian ondansetron
untuk pasien anak adalah 0,15 - 0,3 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 8
mg/hari. Dosis obat berlebih juga terjadi pada pemberian seftriakson dan
meropenem. Menurut literatur (Paediatric Dosage Handbook) dosis seftriakson
untuk pasien anak adalah 20- 80 mg/kg BB/hari dengan dosis maksimum 80
mg/kg BB/hari dan dosis meropenem untuk pasien anak adalah 20 mg/kg BB
setiap 8 jam dengan dosis maksimum 1000 mg/hari (selengkapnya dapat dilihat
pada lampiran 7).
5.2.3.4 DRPs Indikasi Tanpa Obat
Indikasi tanpa obat adalah pasien mempunyai kondisi medis yang
membutuhkan terapi obat tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk indikasi
tersebut. Penilaian analisa DRPs indikasi tanpa obat pada pasien demam tifoid
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
didasarkan dari kondisi pasien dan hasil laboratorium elektrolit & darah pasien.
Pasien dikatakan butuh tambahan obat jika terdapat kondisi klinis pasien yang
belum diberi terapi obat, dana tau pasien mengalami gangguan medis baru yang
memerlukan terapi obat tambahan yang dapat dilihat dari keluhan, diagnosa, dan
hasil laboratorium pasien.
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan sebanyak tiga pasien
mengalami DRPs indikasi tanpa obat. Seluruh pasien mengalami anemia
defisiensi besi (ADB), tetapi tidak memperoleh suplemen besi. Berdasarkan
rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), pemberian suplementasi besi
pada anak ADB penting karena kekurangan besi dapat menganggu tumbuh
kembang anak. Pemberian suplementasi besi untuk anak usia 2-12 tahun adalah 1
mg/kgBB/hari (IDAI, 2011). Penyakit penyerta yang diderita pasien harus
dipertimbangkan karena dapat memperburuk keadaan pasien jika tidak ditangani
dengan baik.
5.2.3.5 DRPs Obat Tanpa Indikasi
Obat tanpa indikasi adalah pemberian obat yang tidak sesuai dengan
indikasi atau diagnosa pada pasien. Ada dua kriteria yang merupakan kategori
obat tanpa indikasi, yaitu pemberian obat tanpa adanya indikasi dan adanya
duplikasi penggunaan obat (polifarmasi). Duplikasi obat adalah pemberian atau
penggunaan dua obat atau lebih untuk indikasi yang sama (Yasin, N.M., 2009).
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat satu kasus kategori DRPs obat tanpa
indikasi, yaitu duplikasi penggunaan obat (polifarmasi). Pada pasien nomor 4,
pasien mendapatkan dua parasetamol dalam bentuk sediaan oral dan parenteral
dengan waktu pemberian yang sama. Pemberian duplikasi parasetamol dapat
menyebabkan meningkatnya resiko toksisitas pada pasien demam tifoid anak,
terutama efek hepatotoksik.
5.2.3.6 DRPs Interaksi Obat
Interaksi obat yang terjadi merupakan semua interaksi obat yang mungkin
atau potensial terjadi pada terapi obat yang diberikan kepada 50 pasien demam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
tifoid anak, baik interaksi obat yang dapat dihindari ataupun interaksi obat yang
tidak dapat dihindari.
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa terdapat total kejadian
interaksi obat sebanyak sepuluh kejadian dimana sembilan kejadian merupakan
interaksi farmakokinetik dan satu kejadian merupakan interakasi unknown.
Mekanisme interaksi obat secara farmakokinetik menunjukkan bahwa salah satu
obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua
sehingga kadar plasma kedua obat meningkat atau menurun. Akibatnya terjadi
peningkatan toksisitas atau penurunan efektifitas obat tersebut (Fradgley, 2003).
Interaksi obat dengan mekanisme unknown merupakan mekanisme interaksi obat
yang belum diketahui secara jelas mekanismenya yakni tidak termasuk kedalam
mekanisme farmakodinamik maupun farmakokinetik. Tidak ada kejadian interaksi
obat secara farmakodinamik. Mekanisme interaksi obat farmakodinamik
menunjukkan bahwa obat-obat yang diberikan saling berinteraksi pada sistem
reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologi yang sama sehingga terjadi efek yang
aditif, sinergis (saling memperkuat) dan antagonis (saling meniadakan). Beberapa
alternatif penatalaksanaan interaksi obat adalah menghindari kombinasi obat
dengan memilih obat pengganti yang tidak berinteraksi, penyesuaian dosis obat,
pemantauan pasien atau meneruskan pengobatan seperti sebelumnya jika
kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal
atau bila interaksi tersebut tidak bermakna secara klinis (Fradgley, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian, interaksi obat yang paling banyak terjadi
adalah pada interaksi obat secara minor, interaksi obat ini mungkin mengganggu
atau tidak disadari (interaksi obat diduga terjadi) tetapi tidak mempengaruhi
secara signifikan terhadap efek obat yang diinginkan. Selanjutnya interaksi obat
terbanyak kedua adalah dengan tingkat keparahan moderat. Interaksi obat secara
moderat ini termasuk jenis interaksi obat yang diutamakan untuk dicegah dan
diatasi jika interaksi obat yang dihasilkan lebih berbahaya dibandingkan
manfaatnya, sebaiknya menggunakan alternatif lain jika ada. Seperti pada
interaksi diazepam dengan asam valproat, dimana asam valproat meningkatkan
kadar serum dari diazepam sebesar dua kali lipat dengan cara menurunkan
glukoronidasi diazepam sehingga efek diazepam meningkat. Jika diazepam dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
asam valproat digunakan secara bersamaan, monitoring toksisitas diazepam
(sedasi berlebih) (Stockley’s Drug Interactions). Kemudian pada interaksi
parasetamol dengan isoniazid, dimana isoniazid dapat meningkatkan efek
hepatotoksistas dari parasetamol. Isoniazid meningkatkan efek hepatotoksisitas
parasetamol dengan cara menginduksi enzim CYP2E1 sehingga metabolisme
parasetamol menjadi metabolit toksik meningkat. Untuk itu monitoring secara
ketat hasil lab yang menunjukkan efek hepatotoksik dan hentikan penggunaan jika
terlihat efek hepatotoksik (Stockley’s Drug Interactions). Pada interaksi diazepam
dengan isoniazid, isoniazid menurunkan bersihan diazepam dengan cara berperan
sebagai inhibitor enzim dan menyebabkan metabolisme diazepam menurun,
sehingga efek diazepam meningkat. Dalam penggunaan diazepam dan isoniazid
secara bersamaan, kurangi dosis diazepam (Stockley’s Drug Interactions). Pada
interaksi
gentamisin
dengan
sefotaksim,
sefotaksim
meningkatkan
efek
nefrotoksik dari gentamisin dengan mekanisme yang belum diketahui (unknown).
Managemen dengan menggunakan dosis efektif terendah dari gentamisin dan
sefotaksim jika kedua obat digunakan bersamaan dan monitor secara ketat fungsi
ginjal pasien (Stockley’s Drug Interactions). Pada penelitian ini tidak ditemukan
interaksi obat dengan tingkat keparahan mayor. Interaksi obat dengan tingkat
keparahan mayor diutamakan untuk dicegah dan diatasi karena efek potensial
membahayakan jiwa atau menyebabkan kerusakan permanen.
5.2.4
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh jumlah penyakit
penyerta terhadap jumlah DRPs dan pengaruh jumlah penggunaan obat terhadap
jumlah DRPs pada pasien demam tifoid.
5.2.4.1 Analisis Hubungan Antara Penyakit Penyerta dengan DRPs
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui nilai signifikani yang diperoleh =
0,008. Hal ini menunjukkan bahwa P <0,05, maka berarti ada pengaruh bermakna
antara penyakit penyerta dengan DRPs yang terjadi. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil studi yang dilakukan oleh Belaiche, S., et al. (2012) di Perancis,
yang menyatakan jumlah DRPs meningkat pada masing-masing pasien sama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
dengan meningkatnya jumlah kondisi penyakit penyerta (Belaiche, S., et al.,
2012).
5.2.4.2 Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan DRPs
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui nilai signifikansi yang diperoleh =
0,006. Hal ini menunjukkan bahwa P <0,05, maka berarti ada pengaruh bermakna
antara jumlah penggunaan obat dengan jumlah DRPs. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Manley, H. J., et al (2003), yang
menunjukkan bahwa DRPs meningkat signifikan terhadap jumlah obat yang
diberikan (P = 0.049) (Manley, H. J., et al., 2003).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 6
PENUTUP
6.1
Kesimpulan
1.
Karakteristik pasien berdasarkan usia yang paling banyak adalah usia
di atas 5 tahun sebanyak 31 pasien (62,0%). Berdasarkan jenis
kelamin yang paling banyak adalah laki-laki yaitu 30 pasien (60,0%).
Berdasarkan penyakit penyerta yang paling banyak adalah DBD yaitu
11 pasien (22,0%).
2.
Jenis DRPs yang paling banyak terjadi pada pasien demam tifoid anak
di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan adalah dosis obat kurang,
kemudian diikuti dengan interaksi obat, dosis obat berlebih, indikasi
tanpa obat, obat tanpa indikasi dan ketidaktepatan pemilihan obat.
6.2
3.
Ada pengaruh antara penyakit penyerta dengan DRPs (P < 0,05).
4.
Ada pengaruh antara jumlah obat dengan DRPs (P < 0,05).
Saran
1.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara mendalam dengan
metode prospektif agar dapat mengetahui keadaan sebenarnya
mengenai penyakit dan pasien demam tifoid sehingga dapat
mencegahan dan mengatasi kejadian Drug Related Problems (DRPs).
2. Perlu adanya kerjasama dan kolaborasi yang tepat antara dokter,
apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kefarmasian dan pengobatan pada pasien, sehingga
didapatkan terapi yang tepat, efektif, dan aman.
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed Zulfikar Bhutta. Enteric Fever (Typhoid fever). In: Nelson Text Book of
Pediatric. 19th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p.954-958.
Aslam, M., Tan, C. K., Prayitno, A. (2003). Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy),
Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta:
Elex Media Komputindo. Hal. 18.
Belaiche, Stephanie, et al. 2012. Pharmaceutical Care in Chronic Kidney Disease:
experience at Grenoble University Hospital from 2006 to 2010. Journal
Nephrol. 25, (4), p.558-565.
Bouvy, M.L., Paulino, E.I., eGastelurutia, M.A., Guerreiro, M., dan Buurma, H.
2004. Drug Related Problems Identified by European Community
Pharmacists in Patients Discharged From Hospital. Pharmacy World and
Science, 26: p.353–360.
Breiman, RF., et.al. 2012. Population-Based Incidence of Typhoid Fever in an
Urban Informal Settlement and a Rural Area in Kenya: Implications for
Typhoid Vaccine Use in Africa. http://www.plosone.com, Diakses pada 17
Mei 2016
Buckle, GC., Walker, Christia LF., Black, RE. 2012. Typhoid fever and
Paratyphoid Fever: Systematic Reviews to Estimate Global Morbidity and
Mortality for 2010. Journal of Global Health: 10.7189/jogh.02.010401
Butler, T. Treatment of Typhoid Fever in the 21st Century: Promises and
Shortcoming. European Society of Clinical Microbiology and Infectious
Diseases 2011; 17: 959-963
Campoli-Richard, D.M., Sorkin, E.M., Heel, R.C. Inosine Pranobex: A
Preliminary Review of Its Pharmacodynamic and Pharmacokinetic
Properties, and Therapeutic Efficacy. ADIS Drug Information Service.
Drugs 32: 3383-424 (1986)
Chamber, Henry F. Obat kemoterapetik. Dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik
Katzung. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2011. p.775-776, 759-760,788-794
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
Cohen, Michael R., et.al. Serious Adverse Drug Events Reported to the Food and
Drug Administration, 1998-2005. Arch Intern Med. 2007;167(16):17521759
Dimitros, Farmakiotis., et.al. Typhoid Fever in an Inner City Hospital: A 5-Year
Retrospective Review. Journal of Travel Medicine 2013; Volume 20 (issue
1): 17-21
Drugs.com.
Drug
Interactions
Checker.
Diakses
Mei,
2016.
http://www.drugs.com/drug_interactions.php.
Fradgley, S. (2003). Interaksi Obat, Dalam Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy)
Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo Gramedia.
Ganesh, Ramaswamy., et.al. Profile of Typhoid Fever in Children from a Tertiary
Care Hospital in Chennai South India. Indian J Pediatric (2010) 77: 10891092
Gyssen, Inge C. Audits For Monitoring The Quality Of Antimicrobial
Prescriptions. In: Antibiotic Policies Fighting Resistance. New York:
Springer. 2005. p.197-208
Hadinegoro, SR. Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak. Cermin
Dunia Kedokteran 1999; 124: 5-10.
Harahap, Nurhayati. 2011. (Skripsi) Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat
Inap di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2009. Medan: Universitas
Sumatera Utara
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Suplementasi Besi untuk Anak. Badan
Penerbit IDAI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. h.14
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman pengendalian Demam Tifoid
Kimland, Elin., Bergman, Ulf., Lindemalm, Synnöve., Böttiger, Ylva., 2006.
Drug Related Problems and Off-Label Drug Treatment in Children as Seen
at a Drug Information Centre. Eur J Pediatr (2007) 166:527–532
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
Mahmoud, M. A. (2008). Drug Therapy Problems and Quality of Life in Patients
with Chronic Kidney Disease. University Sains Malaysia.
Malisa, Allen., Nyaki, Honest. 2010. Prevalence and constraints of typhoid fever
and its control in an endemic area of Singida region in Tanzania: Lessons
for effective control of the disease. Journal of Public Health and
Epidemiology Vol. 2(5), pp. 93-99
Manley, Harold J., McClaran, Marcy L., Overbay, Debra K., Wright, Marcia A.,
Reid, Gerald M., Bender, Walter L., Neufeld, Timothy K., Hebbar, S., dan
Muther, Richard S. (2003a). Factors Associated with Medication-Related
Problems in Ambulatory Hemodialysis Patients. American Journal of
Kidney Disease. 41, 386-393.
Stockley, I. H. (2008). Stockley’s Drug Interaction, 8th edition. London:
Pharmaceutical Press.
Martindale. (2009). The Complete Drug Reference, 36th edition. London:
Pharmaceutical Press.
Medscape.com.
Drug
Interactions
Checker.
Diakses
Mei,
2016.
http://www.medscape.com/druginfo/druginterchecker.
MIMS Indonesia. (2015/2016). MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 15.
Jakarta: PT Medidata Indonesia.
Muninjaya, A.A. Gede. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC: 220-234
Musnelina L., Afdhal, A., Gani., dan Andayani. 2004, Pola Pemberian
Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid Anak Di Rumah Sakit fatmawati
Jakarta Tahun 2001-2002, Makara Kesehatan, Vol. 8, No 1: 27-31
Nasronudin. Demam Tifoid. Dalam: Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya:
Airlangga University Press; 2007. h.121-136
Nelwan, RH. 2012, Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Jakarta: CDK-192/Vol.
39, th.2012.
Nuraini, FA., dkk. Perbandingan Kloramfenikol dengan Seftriakson terhadap
Lama Hari Turun Demam pada Anak Demam Tifoid. Prosiding Pendidikan
Dokter ISSN: 2460-657x
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
Ochiai, RL., et.al., A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden
and implications for controls. Bulletin of the World Health Organization
2008;86:260–268
Paleari, Davide., Rossi G.A., Nicolini, G., Olivieri, D. Ambroxol: A Multifaceted
Molecule with Additional Therapeutic Potentials in Respiratory Disorders
of Childhood. Drug Discovery Case History (2011) 6(11):1203-1214
Pasaribu, Syahril. Immunologi Demam Tifoid. Majalah Kedokteran Nusantara,
Maret, Vol. 34, No. 1. 2002
Pawitro, E., Noorvitry, M., Darmawandono, W. 2002. Demam Tifoid. Dalam:
Ilmu Penyakit Anak Diagmosa dan Penatalaksanaan, Edisis 1, Salemba
Medika, Jakarta
Permenkes. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 58 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Menteri
Kesehatan RI.
PCNE. (2010). PCNE Classification for Drug Related Problems. Pharmaceutical
Care Network Europe Foundation, V6.2 revised 14-01-2010vm, 1-9.
Pickering, Larry K., Clearly, Thomas G. Infections of the gastrointestinal tract.
In: Krugman’s Infectious Diseases of Children. 11th edition. Philadelphia:
Mosby; 2004. p.212-218
Prest, M., 2003, Penggunaan Obat pada Anak-anak, dalam Aslam., Tan K., C.,
dan Prayitno A., (Editor), Farmasi Klinik (Clinical Pharmacy) Menuju
Pengobatan yang rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, hal 191-192,
Jakarta, Elex Media Komputindo.
Puspita, Angelina. 2012. (Skripsi) Profil Pemberian Antibiotika Rasional pada
Pasien Demam Tiofid Anak di Bangsal Rawat Inap RSUD Tangerang
Tahun 2010-2011, hal 4-11. Jakarta: Fakultas Farmasi UIN Syarif
Hidayatullah.
Rafilzar., Herawati, M. H. 2010. Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian
Tifoid di Pulau Jawa. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No. 4: 1357-1365
Rampengan, N.H., Laurent, I. 2008. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
Rashed, N.A., Neubert, A., Tomlin S., 2012, Epidemiology and potential
associated risk factors of drug-related problems in hospitalised children in
the United Kingdom and Saudi Arabia, Volume 68, Issue 12, pp 1657-1666,
Euoropean Journal, Diakses 12 Maret 2016
Riskesdas. (2007). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Simanjuntak, A.B., Hiswani., Jemadi. 2015. Karakteristik Penderita Tifus
Abdominalis dengan Pemeriksaan Test Widal Rawat Inap di RSU Dr. F. L.
Tobing Sibolga Januari 2010 – Juli 2012. Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Departemen Epidemiologi Universitas Sumatera Utara.
Sinurat, Seprida. 2009. (Skripsi) Evaluasi Interaksi Obat pada Pasien Pediatrik
demam Tifoid di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan periode Januari
2014 – Desember 2014. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Siregar, Charles J.P., Lia A. 2003. Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan.
Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 7-18.
Soedarmo, Sumarno S.P., Gama, Herry., Rezki, Sri SH., Irawan, HS. Demam
Tifoid. Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi ke 2. Jakarta:
Ikatan Dokter Indonesia. 2012. h.338-345
Soeharyo, H. Pengendalian Demam Tifoid. Jurnal Jaringan Epidemiologi
Nasional No.1. 1996
Strand, L.M., Helper, D.D. (1990). Opportunities and Responsibilities in
Pharmaceutical Care. American Journal of Hospital Pharmacy. 1(47): 533543.
Stockley, I. H. (2008). Stockley’s Drug Interaction, 8th edition. London:
Pharmaceutical Press.
Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III
edisi IV. Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
Taketomo, C.K., Hodding, J.H., dan Kraus, D.M. 2012. Pediatric & Neonatal
Dosage Handbook with International Trade Names Index. Edisi ke-18.
Ohio: Lexicomp. Halaman 284, 289, 334, 703, 962, 999.
Tatro, D.S. (2001). Drug Interaction Facts, Edisi kelima, St Louis Missouri: A
Wolters Kluwer Company. Halaman 56-123.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Van der Meer, J.W.M., Gyssen, I.C. Quality of Antimicrobial Drug Prescription
in Hospital. Europian Sociaty of Clinical Microbiology and Infectious
Diseases. 2001; 7 (supplement 6): 12-15
World Health Organization. Background Document: The Diagnosis, Treatment
and Prevention. Communicable Disease Surveillance and Response
Vaccines and Biological World Health Organization; 2003. Halaman 11-16
Yasin, Nanang Munif., Suwono, Joko., Supriyanti, Eri. 2009. Drug Related
Problem (DRP) Dalam Pengobatan Dengue Hemoraggic Fever (DHF)
pada Pasien Pediatri. Majalah Farmasi Indonesia, 20(1), 27-34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1 Data Pasien
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
:1
:L
: 5 th
: 17 kg
: 5 /1/15 – 11/1/15 (7 hari)
:: demam tifoid dan DHF grade II
: demam, mual dan muntah, BAB hitam, bibir
kering, sakit perut seperti melilit
: sembuh
Metisoprinol 250 mg/5 mL
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Ranitidin
Ondansentron
Terapi Obat
3 x ½ cth
4 x ½ cth
1 x 750 mg
2 x 25 mg
1 x 2 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 11,5 g/dL
Leukosit 3,8 .103/uL
Hematokrit 34 %
Trombosit 68 .103/uL
Hasil Laboratorium
Hari ke-3:
Hemoglobin 11,1 g/dL
Leukosit 5,6 .103/uL
Hematokrit 33 %
Trombosit 15 .103/uL
Hari ke-5
Hemoglobin 9,2 g/dL
Leukosit 5,4 .103/uL
Hematokrit 30 %
Trombosit 37 .103/uL
Hari ke-2:
Hemoglobin 10,4 g/dL
Leukosit 3,2 .103/uL
Hematokrit 31 %
Trombosit 27 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 10,5 g/dL
Leukosit 2,4 .103/uL
Hematokrit 31 %
Trombosit 22 .103/uL
Hari ke-6
Hemoglobin 9,8 g/dL
Leukosit 5,4 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 94 .103/uL
Oral
Widal Test
Typhi O: 1/160
Paratyphi BH: 1/80
Oral
IV
IV
IV
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
:2
:P
: 8 th
: 21 kg
: 5 /1/15 – 11/1/15 (7 hari)
:
: demam Tifoid, Kejang Demam
: demam naik turun selama 10 hari, pusing, kejang
2 kali, kesadaran menurun
Kondisi keluar
Seftriakson
Parasetamol
Deksametason
: sembuh
Terapi Obat
1 x 1500 mg
3 x 200 mg
3 x 2 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 11,5 g/dL
Leukosit 3,8 .103/uL
Hematokrit 34 %
Trombosit 68 .103/uL
Hasil Laboratorium
Hari ke-3:
Hemoglobin 11,1 g/dL
Leukosit 5,6 .103/uL
Hematokrit 33 %
Trombosit 15 .103/uL
Hari ke-5
Hemoglobin 9,2 g/dL
Leukosit 5,4 .103/uL
Hematokrit 30 %
Trombosit 37 .103/uL
Hari ke-2:
Hemoglobin 10,4 g/dL
Leukosit 3,2 .103/uL
Hematokrit 31 %
Trombosit 27 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 10,5 g/dL
Leukosit 2,4 .103/uL
Hematokrit 31 %
Trombosit 22 .103/uL
Hari ke-6
Hemoglobin 9,8 g/dL
Leukosit 5,4 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 94 .103/uL
IV
IV (drip)
IV
Widal Test
Typhi O: 1/320
Paratyphi CO: 1/160
Typhi H: 1/80
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
:3
:L
: 7 th
: 22 kg
: 18/1/15 – 19/1/15 (2 hari)
:
: demam Tifoid, Obs. Febris, DBD
: demam selama 3 hari, mual, muntah, batuk tidak
berdahak
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Ondansentron
Terapi Obat
4 x 2 cth
1 x 1000 mg
2 x 4 mg
Hasil Laboratorium
Hari ke-1:
Hari ke-2:
Hemoglobin 11,5 g/dL
Hemoglobin 10,8 g/dL
3
Leukosit 6,7 .10 /uL
Leukosit 3,7 .103/uL
Hematokrit 34 %
Hematokrit 33 %
3
Trombosit 262 .10 /uL
Trombosit 213 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/320
Paratyphi BO: 1/160
Paratyphi AH: 1/80
Paratyphi CH: 1/80
Dengue Test
NS-1: (+)
Oral
IV
IV
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Diagnosa akhir
Keluhan masuk
Kondisi keluar
:4
:P
: 5 th
: 14 kg
: 21 /1/15 – 27/1/15 (7 hari)
:
: demam Tifoid, DBD, Gangguan Elektrolit
: demam Tifoid, DBD, Gangguan Elektrolit, Susp.
Epilepsi
: kejang beberapa saat sebelum masuk UGD,
demam
: sembuh
Terapi Obat
Parasetamol 120 mg/5 mL
3 x 1 cth
Metisoprinol 250 mg/5 mL
3 x 1 cth
Diazepam
3 x 0.5 mg
Asam valproate 250 mg/5 mL
2 x ½ cth
Seftriakson
1 x 750 mg
Parasetamol drip
2 x 150 mg
Dexametason
1 x 1,5 mg
Hari ke-1:
Leukosit 8,1 .103/uL
Hematokrit 36 %
Eritrosit 4,4 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 1 %
Segmen 60 %
Limfosit 25 %
Monosit 13 %
GDS 61 mg/dL
Kalium 4,7 mmol/L
Ureum 20 mg/dL
Kreatinin 0,4 mg/dL
Oral
Oral
Oral
Oral
IV
IV
IV
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Leukosit 5,6 .103/uL
Hematokrit 33 %
Hari ke-6
Leukosit 7,4 .103/uL
Hematokrit 33 %
Hari ke-3:
Leukosit 5,0 .103/uL
Hematokrit 33 %
Hari ke-7
Leukosit 6,7 .103/uL
Hematokrit 33 %
Hari ke-4:
Leukosit 8,6.103/uL
Hematokrit 39 %
Widal Test
Typhi O: (+)
Paratyphi BO: (+)
Typhi H: (+)
Paratyphi BH: (+)
Hari ke-5
Leukosit 9,6 .103/uL
Hematokrit 36 %
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
Parasetamol
Seftriakson
Ondansentron
Ranitidine
:5
:P
: 11 th
: 32.5 kg
: 11 /2/15 – 13/2/15 (3 hari)
:
: demam tifoid, DBD
: demam, mual, lemas
: sembuh
Terapi Obat
4 x 400 mg
1 x 2000 mg
2 x 8 mg
2 x 40 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 14,4 g/dL
Leukosit 2,7 .103/uL
Hematokrit 44 %
Trombosit 51 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/80
Paratyphi BO: 1/160
Paratyphi CO: 1/80
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 15,1 g/dL
Leukosit 3,7 .103/uL
Hematokrit 47 %
Trombosit 26 .103/uL
Hari ke-3:
Hemoglobin 15,6 g/dL
Leukosit 10 .103/uL
Hematokrit 48 %
Trombosit 31 .103/uL
Dengue Test
Anti dengue igG: (+)
Anti dengue igM: (+)
IV (drip)
IV
IV
IV
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
:6
:L
: 7 th
: 55 kg
: 20 /2/15 – 24/2/15 (5 hari)
:
: susp. febris, Susp. App
: demam naik turun kurang lebih 5 hari, mual,
muntah, perut terasa sakit, BAB mencret
Kondisi keluar
: sembuh
Metisoprinol 250 mg/5 mL
Seftriakson
Ranitidine
Terapi Obat
3 x ½ cth
2 x 1000 mg
2 x 50 mg
Oral
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 19,8 g/dL
Leukosit 5,9 .103/uL
Hematokrit 58 %
Trombosit 45 .103/uL
Eritrosit 7,9 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 1 %
Segmen 50 %
Limfosit 33 %
Monosit 15 %
GDS 107 mg/dL
Natrium 126 mmol/L
Kalium 6,1 mmol/L
Klorida 97 mmol/L
Ureum 20 mg/dL
Kreatinin 0,4 mg/dL
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 13,0 g/dL
Leukosit 6 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 24 .103/uL
Hari ke-3:
Hemoglobin 12,8 g/dL
Leukosit 4,5 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 39 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 12,1 g/dL
Leukosit 5,1 .103/uL
Hematokrit 36 %
Trombosit 87 .103/uL
Hari ke-5:
Hemoglobin 12,2 g/dL
Leukosit 5,7 .103/uL
Hematokrit 36 %
Trombosit 274 .103/uL
Widal Test
Typhi O: (+)
Paratyphi BO: (+)
Typhi H: (+)
Dengue Test
Anti dengue igG: (+)
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
:7
:L
: 5 th
: 15 kg
: 21/2/15 – 27/2/15 (7 hari)
:
: demam tifoid, febris, susp. App
: demam naik turun kurang lebih 6 hari, mual,
muntah, makanan tidak bisa masuk, BAB mencret,
bibir pecah2 dan berdarah
Kondisi keluar
Antasid syr
Seftriakson
Ranitidine
: sembuh
Terapi Obat
3 x 1 cth
3 x 750 mg
2 x 25 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 11,7 g/dL
Leukosit 21,4 .103/uL
Hematokrit 34 %
Trombosit 433 .103/uL
Eritrosit 4,2 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 2 %
Batang 2 %
Segmen 86 %
Limfosit 6 %
Monosit 4 %
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 11,3 g/dL
Leukosit 23,4 .103/uL
Hematokrit 32 %
Trombosit 491 .103/uL
Widal Test
Typhi O: (+)
Paratyphi BO: (+)
Typhi H: (+)
Oral
IV
IV
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
:8
:P
: 2 th
: 12.5 kg
: 25/2/15 – 28/2/15 (4 hari)
:
: demam Tifoid, malnutisi sedang, TB paru
: demam, sesak, tampak pucat
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Terapi Obat
4 x 1 cth
1 x 500 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 8,7 g/dL
Leukosit 18,1 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 720 .103/uL
Eritrosit 4,1 .103/uL
LED 120 mm
Basofil 0 %
Oral
IV
Hasil Laboratorium
Hari ke-4:
Hemoglobin 8,9 g/dL
Leukosit 6,6 .103/uL
Hematokrit 30 %
Trombosit 432 .103/uL
MCV 69 f
MC 21 Pg
MCHC 31 g/dL
GDS 138 mg/dL
Ureum 16 mg/dL
Kreatinin 0,29 mg/dL
SGOT 26 U/L
SGPT 10 U/L
Widal Test
Typhi O: 1/320
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
Parasetamol
Seftriakson
Ranitidine
:9
:L
: 6 th
: 20 kg
: 25/2/15 – 27/2/15 (3 hari)
:
: demam Tifoid, Obs. Febris, Vomitus
: demam dan muntah dari 2 hari yang lalu
: sembuh
Terapi Obat
3 x 250 mg
1 x 2000 mg
2 x 25 mg
Oral
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 13,5 g/dL
Leukosit 10,6 .103/uL
Hematokrit 39 %
Trombosit 451 .103/uL
Eritrosit 5,3 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 2 %
Batang 2 %
Segmen 73 %
Limfosit 13 %
Monosit 10 %
MCV 74 f
MC 16 Pg
MCHC 34 g/dL
GDS 82 mg/dL
Ureum 55 mg/dL
Kreatinin 0,5 mg/dL
SGOT 35 U/L
SGPT 15 U/L
Natrium 135 mmol/L
Kalium 4,4 mmol/L
Kalsium mmol/L
Klorida 98 mmol/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 13,5 g/dL
Leukosit 17,6 .103/uL
Hematokrit 40 %
Trombosit 491 .103/uL
Eritrosit 5,2 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 1 %
Segmen 84 %
Limfosit 12 %
Monosit 2 %
GDS 74 mg/dL
Ureum 45 mg/dL
Kreatinin 0,8 mg/dL
SGOT 27 U/L
SGPT 15 U/L
Natrium 137 mmol/L
Kalium 4,4 mmol/L
Kalsium 1,27 mmol/L
Widal Test
Typhi O: 1/320
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
: 10
:P
: 9 th
: 36 kg
: 6/3/15 – 14/3/15 (9 hari)
:
: demam Tifoid
: demam kura lebih 6 hari, menggigil, sakit kepala,
sakit perut, muntah satu hari sebelum masuk RS,
BAK agak kuning, BAB keras bulat2 kecil dan
berwna agak hitam
Kondisi keluar
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Parasetamol
Ranitidine
Terapi Obat
3 x 1 cth
1 x 2000 mg
4 x 400 mg
2 x 25 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 12,6 g/dL
Leukosit 24,6 .103/uL
Hematokrit 40 %
Trombosit 515 .103/uL
Eritrosit 4,9 .103/uL
Basofil 16 %
Hari ke-4:
Hemoglobin 12,7 g/dL
Leukosit 21,7 .103/uL
Hematokrit 40 %
Trombosit 515 .103/uL
Hasil Laboratorium
Hari ke-8:
Hemoglobin 12,7 g/dL
Leukosit 14,7 .103/uL
Hematokrit 41 %
Trombosit 553 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/160
Paratyphi AO: 1/160
Paratyphi BO: 1/160
Paratyphi CO: 1/320
Typhi H: 1/80
Hari ke-10:
Hemoglobin 13,1 g/dL
Leukosit 6,5 .103/uL
Hematokrit 41 %
Trombosit 420 .103/uL
Oral
IV
IV
IV
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
: 11
:L
: 7 th
: 22 kg
: 14/3/15 – 18/3/15 (5 hari)
:
: Demam Tifoid, Febris, DBD
: Demam selama 3 hari SMRS, mual, muntah,
pusing, batuk, perut terasa sakit, BAB mencret
Kondisi keluar
: sembuh
Ambroksol 30 mg/5 mL
Seftriakson
Pantoprazole vial 40 mg
Terapi Obat
3 x ½ cth
2 x 550 mg
2 x ½ vial
Oral
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 16,1 g/dL
Leukosit 8,7 .103/uL
Hematokrit 48 %
Trombosit 26 .103/uL
Hasil Laboratorium
Hari ke-3:
Hemoglobin 13,0 g/dL
Leukosit 8,5 .103/uL
Hematokrit 39 %
Trombosit 87 .103/uL
Hari ke-2:
Hemoglobin 13,0 g/dL
Leukosit 8,4 .103/uL
Hematokrit 39 %
Trombosit 46 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 13,1 g/dL
Leukosit 8,9 .103/uL
Hematokrit 39 %
Trombosit 175 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/320
Paratyphi AO: 1/80
Paratyphi CO: 1/160
Paratyphi BH: 1/80
Anti Dengue Test
IgG: (+)
IgM: (+)
Hari ke-5:
Hemoglobin 13,2 g/dL
Leukosit 9,4 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 142 .103/uL
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
/
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
: 12
:P
: 10 th
: 33 kg
: 14/3/15 – 21/3/15 (8 hari)
:
: demam Tifoid
: demam kurang lebih 1 minggu, mual, nyeri ulu
hati, mencret, pusing
Kondisi keluar
: sembuh
Parasetamol tab
Seftriakson
Ranitidine vial 25 mg/mL
Terapi Obat
3x1
1 x 1500 mg
2 x 1 vial
Oral
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 13,4 g/dL
Leukosit 5,3 .103/uL
Hematokrit 40 %
Trombosit 175 .103/uL
Eritrosit 4,8 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 2 %
Batang 2 %
Segmen 51 %
Limfosit 40 %
Monosit 5 %
MCV 83 f
MC 28 Pg
MCHC 34 g/dL
GDS 105 mg/dL
Ureum 23 mg/dL
Kreatinin 0,63 mg/dL
Natrium 134 mmol/L
Kalium 4,5 mmol/L
Klorida 102 mmol/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-3:
Hemoglobin 13,0 g/dL
Leukosit 5,1 .103/uL
Hematokrit 39 %
Trombosit 193 .103/uL
Eritrosit 4,8 .103/uL
LED 56 mm
Basofil 0 %
Eosinophil 2 %
Batang 2 %
Segmen 51 %
Limfosit 56 %
Monosit 4 %
MCV 82 f
MC 27 Pg
MCHC 193 g/dL
Hari ke-6:
Hemoglobin 12,8 g/dL
Leukosit 5,5 .103/uL
Hematokrit 39 %
Trombosit 261 .103/uL
Eritrosit 4,7 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 2 %
Batang 1 %
Segmen 41 %
Limfosit 50 %
Monosit 6 %
MCV 83 f
MC 27 Pg
MCHC 33 g/dL
Widal Test
Typhi O: 1/80
Paratyphi CO: 1/80
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 13
:P
: 4 th
: 11 kg
: 17/3/15 – 21/3/15 (5 hari)
:
: demam Tifoid
: demam naik turun selama 3 hari, patuk dan pilek
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Terapi Obat
4 x 1 cth
1 x 750 mg
Oral
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 7,9 g/dL
Leukosit 22,0 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 604 .103/uL
Eritrosit 4,6 .103/uL
Basofil 1 %
Eosinophil 1 %
Batang 2 %
Segmen 60 %
Limfosit 26 %
Monosit 10 %
MCV 61 f
MC 17 Pg
MCHC 28 g/dL
GDS 98 mg/dL
SGOT 21 U/L
SGPT 11 U/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 8,2 g/dL
Leukosit 8,6 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 743 .103/uL
Hari ke-3:
Hemoglobin 8,6 g/dL
Leukosit 7,2 .103/uL
Hematokrit 31 %
Trombosit 706 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/320
Paratyphi AO: 1/160
Paratyphi BO: 1/320
Paratyphi CO: 1/320
Typhi H: 1/320
Paratyphi AH: 1/160
Paratyphi BH: 1/320
Paratyphi CH: 1/80
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
: 14
:L
: 5 th
: 17 kg
: 19/3/15 – 24/3/15 (6 hari)
:
: demam Tifoid, Sepsis
: demam kurang lebih 5 hari, batuk kurang lebih 2
Hari ke-1:
Hemoglobin 11,1 g/dL
Leukosit 19,7 .103/uL
Hematokrit 35 %
Trombosit 564 .103/uL
Hasil Laboratorium
Widal Test
Typhi O: 1/160
Paratyphi AO: 1/160
Paratyphi BO: 1/80
Typhi H: 1/80
Paratyphi AH: 1/80
Paratyphi BH: 1/80
hari, mual, nafsu makan menurun
Kondisi keluar
: sembuh
Ambroksol 30 mg/5 mL
Seftriakson
Ondansentron
Parasetamol
Terapi Obat
3 x ½ cth
1 x 1000 mg
2 x 4 mg
4 x 200 mg
Oral
IV
IV
IV
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
: 15
:L
: 5 th
: 15 kg
: 24/3/15 – 25/3/15 (7 hari)
:
: demam Tifoid, Anemia, Susp. Defisiensi zat besi
: demam kurang lebih 3 hari, mual, muntah, nafsu
Hari ke-1:
Hemoglobin 9,7 g/dL
Leukosit 11,8 .103/uL
Hematokrit 30,1 %
Trombosit 332 .103/uL
Eritrosit .103/uL
Basofil 0 %
makan menurun
Kondisi keluar
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Terapi Obat
4 x ½ cth
1 x 750 mg
Oral
IV
Widal Test
Typhi O: 1/80
Paratyphi BO: 1/80
Paratyphi CO: 1/320
Paratyphi CH: 1/80
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 8,9 g/dL
Leukosit 9,8 .103/uL
Hematokrit 28,3 %
Trombosit 301 .103/uL
Eritrosit 4,60 .103/uL
Basofil 0 %
Hari ke-3:
Hemoglobin 11,2 g/dL
Leukosit 7,0 .103/uL
Hematokrit 32 %
Trombosit 279 .103/uL
Eritrosit 5,15 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 3 %
Segmen 54 %
Limfosit 18 %
Monosit 14 %
MCV 62 f
MC 21 Pg
MCHC 35 g/dL
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 16
:P
: 3 th
: 11.5 kg
: 27/3/15 – 29/3/15 (3 hari)
:
: demam tifoid dan urtikaria
: demam kurang lebih 5 hari, timbul bitnik2 merah
dan gatal yang semakin melebar setelah makan abon
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Setirizin 5 mg/5 mL
Chlorpheniramin Maleat
Seftriakson
Terapi Obat
4 x 1.5 mL
2 x ½ cth
3 x 1 mg
1 x 600 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 10,8 g/dL
Leukosit 28,1 .103/uL
Hematokrit 33 %
Trombosit 448 .103/uL
Eritrosit .103/uL
Oral
Oral
Oral
IV
Hasil Laboratorium
Hari ke-3:
Hemoglobin 12,3 g/dL
Leukosit 12,5 .103/uL
Hematokrit 36 %
Trombosit 480 .103/uL
Eritrosit 4,8 .103/uL
LED 35 mm
Basofil 1 %
Eosinophil 6 %
Batang 1 %
Segmen 34 %
Limfosit 52 %
Monosit 6 %
Widal Test
Typhi O: 1/320
Paratyphi AO: 1/160
Paratyphi BO: 1/80
Typhi H: 1/80
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 17
:L
: 2 th
: 9 kg
: 27/3/15 – 29/3/15 (3 hari)
:
: demam tifoid dan DBD
: demam, mual, muntah, lemas, pusing
: sembuh
Metisoprinol 250 mg/5 mL
Parasetamol 120 mh/5 mL
Terapi Obat
3 x ½ cth
3 x 1 cth
Oral
Oral
Hari ke-1:
Hemoglobin 13,4 g/dL
Leukosit 5,3 .103/uL
Hematokrit 40 %
Trombosit 175 .103/uL
Eritrosit 4,8 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 2 %
Batang 2 %
Segmen 51 %
Limfosit 40 %
Monosit 5 %
MCV 83 f
MC 28 Pg
MCHC 34 g/dL
GDS 105 mg/dL
Ureum 23 mg/dL
Kreatinin 0,63 mg/dL
Natrium 134 mmol/L
Kalium 4,5 mmol/L
Klorida 102 mmol/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 12,3 g/dL
Leukosit 12,5 .103/uL
Hematokrit 36 %
Trombosit 480 .103/uL
Eritrosit 4,8 .103/uL
Basofil 1 %
Eosinophil 6 %
Batang 1 %
Segmen 34 %
Limfosit 52 %
Monosit 6 %
Hari ke-3:
Hemoglobin 11,2 g/dL
Leukosit 7,0 .103/uL
Hematokrit 32 %
Trombosit 279 .103/uL
Eritrosit 5,15 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 3 %
Segmen 54 %
Limfosit 18 %
Monosit 14 %
Widal Test
Typhi O: 1/160
Paratyphi BO: 1/80
Paratyphi BH: 1/80
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
Parasetamol
Seftriakson
Ondansentron
: 18
:L
: 9 th
: 26 kg
: 10/4/15 – 13/4/15 (4 hari)
:
: demam tifoid, dan anemia
: demam naik turun kurang lebih 2 minggu, lemas,
mual, muntah, perut sakit, pusing
: sembuh
Terapi Obat
4 x 300 mg
1 x 1500 mg
2 x 4 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 7,1 g/dL
Leukosit 5,5 .103/uL
Hematokrit 20 %
Trombosit 315 .103/uL
Eritrosit 2,7.103/uL
LED 102 mm
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 1 %
Segmen 48 %
Hasil Laboratorium
Limfosit 43 %
Monosit 5 %
MCV 76 f
MC 26 Pg
MCHC 33 g/dL
Ureum 20 mg/dL
Kreatinin 0,40 mg/dL
Widal Test
Typhi O: 1/320
Paratyphi AO: 1/160
Paratyphi BO: 1/80
Typhi H: 1/80
IV
IV
IV
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
Seftriakson
Ranitidin
Ondansentron
: 19
:L
: 11 th
: 35 kg
: 13/4/15 – 15/4/15 (3 hari)
:
: demam tifoid, DBD dan febris
: demam naik turun kurang lebih 1 minggu, tangan
dan kaki dingin, mual, muntah, makanan tidak bisa
masuk, perut terasa sakit, BAB mencret, bibir
pecah2 dan berdarah
: sembuh
Terapi Obat
1 x 1750 mg
2 x 1 mg
3 x 8 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 16,2 g/dL
Leukosit 8,6 .103/uL
Hematokrit 46 %
Trombosit 33 .103/uL
Eritrosit 6,4 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 3 %
Segmen 52 %
Limfosit 34 %
Monosit 10 %
GDS 109 mg/dL
IV
IV
IV
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 11,4 g/dL
Leukosit 6,1 .103/uL
Hematokrit 32 %
Trombosit 38 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 11,5 g/dL
Leukosit 4,0 .103/uL
Hematokrit 33 %
Trombosit 99 .103/uL
Hari ke-3:
Hemoglobin 11,4 g/dL
Leukosit 4,2 .103/uL
Hematokrit 33 %
Trombosit 39 .103/uL
Hari ke-5:
Hemoglobin11,5 g/dL
Leukosit 5,1.103/uL
Hematokrit 34 %
Trombosit 168 .103/uL
Tubex Test
Score: 2
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 20
:P
: 5 th
: 15 kg
: 16/4/15 – 20/4/15 (5 hari)
:
: demam tifoid, anemia dan febris
: demam naik-turun dan menggigil selama 3 hari
hanya timbul sore-malam SMRS, tidak nafsu makan,
perut terasa sakit, batuk pilek, mual
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Ambroksol 15 mg/5 mL
Ferris
Seftriakson
Ranitidin 25 mg/mL
Terapi Obat
3 x 2 cth
3 x 1 cth
1 x 1 ml
1 x 900 mg
2 x 1 mL
Hari ke-1:
Hemoglobin 9,7 g/dL
Leukosit 4,6 .103/uL
Hematokrit 33 %
Trombosit 196 .103/uL
GDS 91 mg/dL
SGOT 37 U/L
SGPT 14 U/L
Oral
Oral
Oral
Hasil Laboratorium
Hari ke-3:
Hemoglobin 10,6 g/dL
Leukosit 4,9 .103/uL
Hematokrit 36 %
Trombosit 185 .103/uL
Eritrosit 5,6 .103/uL
LED 17 mm
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 2 %
Segmen 57 %
Limfosit 34 %
Monosit 6 %
MCV 65 f
MC 19 Pg
MCHC 30 g/dL
Widal Test
Typhi O: 1/320
Paratyphi BO: 1/160
Paratyphi CO: 1/320
Paratyphi CH: 1/80
IV
IV
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 21
:L
: 5 th
: kg
: 24/4/15 – 26/4/15 (3 hari)
:
: demam tifoid, pneumonia dan diare akut
: demam hilang timbul kurang lebih 4 hari SMRS,
batuk, kadang2 sesak, mencret 2 kali ada ampas dan
lender, nafsu makan menurun
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Zircum 20 mg/5 mL
Lacto B
Setirizin 5 mg/5 mL
Gentamisin
Sefotaksim
Terapi Obat
4 x 2 cth
1 x 1 cth
1 x 1 sach
1 x 1 cth
1 x 80 mg
3 x 1250 mg
Oral
Oral
Oral
Oral
IV
IV
Hasil Laboratorium
Hari ke-1:
Hari ke-4:
Hemoglobin 15,2 g/dL
Hemoglobin 16,0 g/dL
3
Leukosit 11,8 .10 /uL
Leukosit 13,5 .103/uL
Hematokrit 44 %
Hematokrit 46 %
3
Trombosit 397.10 /uL
Trombosit 209 .103/uL
3
Eritrosit 5,7 .10 /uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Tubex Test
Batang 3 %
Score: 2
Segmen 73 %
Limfosit 16 %
Monosit 7 %
MCV 77 f
MC 27 Pg
MCHC 35 g/dL
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 22
:P
: 10 th
: 21 kg
: 28/4/15 – 2/5/15 (5 hari)
:
: demam tifoid dan anemia
: demam selama 5 hari, nyeri sendi pada bahu kanan
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Dexametason
Terapi Obat
4 x 2 cth
1 x 1500 mg
3 x 2 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 11,9 g/dL
Leukosit 13,1 .103/uL
Hematokrit 35 %
Trombosit 374 .103/uL
Eritrosit 4,0 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 1 %
Segmen 63 %
Hasil Laboratorium
Limfosit 27 %
Monosit 8 %
MCV 87 f
MC 29 Pg
MCHC 34 g/dL
GDS 127 mg/dL
Natrium 139 mmol/L
Kalium 4,7 mmol/L
Klorida 102 mmol/L
Widal Test
Typhi O: 1/160
Paratyphi BO: 1/160
Typhi H: 1/80
Oral
IV
IV
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
Parasetamol
Seftriakson
Ondansentron
: 23
:P
: 8 th
: 29 kg
: 4/5/15 – 7/5/15 (4 hari)
:
: demam tifoid, febris dan DBD
: demam kurang lebih 4 hari SMRS, mual, pusing,
batuk, kalau menelan terasa sakit, keluar bintik
merah di seliuruh tubuh
: sembuh
Terapi Obat
4 x 300 mg
1 x 1500 mg
2 x 4 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 12,7 g/dL
Leukosit 8,7 .103/uL
Hematokrit 41 %
Trombosit 227 .103/uL
GDS 106 mg/dL
SGOT 27 U/L
SGPT 9 U/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 11,8 g/dL
Leukosit 9,9 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 216 .103/uL
Hari ke-3:
Hemoglobin 12,0 g/dL
Leukosit 5,7 .103/uL
Hematokrit 39 %
Trombosit 249 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 11,3 g/dL
Leukosit 5,9 .103/uL
Hematokrit 36 %
Trombosit 253 .103/uL
Tubex Test
Score: 4
IV
IV
IV
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 24
:P
: 8 th
: 19.5 kg
: 4/5/15 – 9/5/15 (6 hari)
:
: demam tifoid dan febris
: demam naik turun, mual, muntah, pusing, batuk
: sembuh
Metisoprinol 250 mg/5mL
Parasetamol
Seftriakson
Ranitidin 25 mg/mL
Ondansentron
Dexametason
Terapi Obat
3 x 1 cth
4 x 200 mg
1 x 750 mg
2 x 1 mL
2 x 4 mg
3 x 2.7 mg
Oral
IV
IV
IV
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 12,9 g/dL
Leukosit 7,5 .103/uL
Hematokrit 39 %
Trombosit 291 .103/uL
Eritrosit 4,8 .103/uL
LED 47 mm
Basofil 1 %
Eosinophil 1 %
Batang 3 %
Segmen 57 %
Limfosit 7 %
Monosit 11 %
MCV 82 f
MC 27 Pg
MCHC 33 g/dL
Hasil Laboratorium
Hari ke-4:
Hemoglobin 12,6 g/dL
Leukosit 3,5 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 164 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/80
Paratyphi AO: 1/160
Hari ke-6:
Hemoglobin 12,9 g/dL
Leukosit 8,2 .103/uL
Hematokrit 40 %
Trombosit 153 .103/uL
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 25
:P
: 2 th
: 12 kg
: 10/5/15 – 12/5/15 (3 hari)
:
: demam tifoid, febris dan ISPA
: demam sejak 5 hari SMRS, batuk pilek, muntah,
perut kembung, nafsu makan menurun
: sembuh
Ambroksol 15 mg/5 mL
Parasetamol 120 mg/5 mL
Oralit
Seftriakson
Ondansentron
Terapi Obat
3 x 1 cth
4 x 1 cth
2x1
1 x 600 mg
2 x 2 mg
Hari ke-1:
Natrium 135 mmol/L
Kalium 3,3 mmol/L
Kalsium 105 mmol/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 11,7 g/dL
Leukosit 9,7 .103/uL
Hematokrit 36 %
Trombosit 476 .103/uL
GDS 134 mg/dL
Ureum 19 mg/dL
Kreatinin 0,3 mg/dL
SGOT 34 U/L
SGPT 20 U/L
Widal Test
Typhi O: 1/320
Paratyphi BO: 1/160
Paratyphi CO: 1/320
Paratyphi CH: 1/80
Oral
Oral
Oral
IV
IV
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 26
:L
: 8 th
: 20 kg
: 21/5/15 – 23/5/15 (3 hari)
:
: demam Tifoid, tonsillitis akut, obs. Febris, anemia
gravis, diare akut tanpa dehidrasi
: demam kurang lebih 4 hari SMRS, 1 hari SMRS
demam tinggi, mual, BAB cair warna coklat kurang
lebih 4 hari SMRS, batuk 1 hari SMRS
: sembuh
Metilprednisolon
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Terapi Obat
3 x 4 mg
3 x 2 cth
1 x 1000 mg
Oral
Oral
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 5,7 g/dL
Leukosit 2,9 .103/uL
Hematokrit 22 %
Trombosit 291 .103/uL
Eritrosit 4,0 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 2 %
Batang 4 %
Segmen 30 %
Limfosit 56 %
Monosit 8 %
MCV 55 f
MC 14 Pg
MCHC 26 g/dL
Ureum 12 mg/dL
Kreatinin 0,32 mg/dL
SGOT 35 U/L
SGPT 16 U/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 10,7 g/dL
Leukosit 32,5 .103/uL
Hematokrit 30 %
Trombosit 577 .103/uL
Eritrosit 3,7 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 2 %
Batang 2 %
Segmen 85 %
Limfosit 8 %
Monosit 3 %
GDS 178 mg/dL
Widal Test
Typhi O: 1/80
Paratyphi AO: 80
Paratyphi BO: 1/160
Hari ke-3:
Hemoglobin 12,2 g/dL
Leukosit 13,1 .103/uL
Hematokrit 35 %
Trombosit 613 .103/uL
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 27
:P
: 7 th
: 33 kg
: 22/5/15 – 26/5/15 (5 hari)
:
: demam tifoid, DBD dan febris
: demam 6 hari SMRS meningkat pada malam hari,
mencret, mual, lemas
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Ondansentron
Terapi Obat
3 x 1 cth
1 x 2000 mg
2 x 4 mg
Oral
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 15,8 g/dL
Leukosit 5,1 .103/uL
Hematokrit 46 %
Trombosit 44 .103/uL
Eritrosit 6,3 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 2 %
Batang 2 %
Segmen 62 %
Limfosit 25 %
Monosit 9 %
GDS 98 mg/dL
Natrium 125 mmol/L
Kalium 3,6 mmol/L
Klorida 92 mmol/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 12,3 g/dL
Leukosit 4,2 .103/uL
Hematokrit 36 %
Trombosit 53 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 11,3 g/dL
Leukosit 3,0 .103/uL
Hematokrit 32 %
Trombosit 90 .103/uL
Hari ke-3:
Hemoglobin 11,6 g/dL
Leukosit 3,8 .103/uL
Hematokrit 34 %
Trombosit 84 .103/uL
Hari ke-5:
Hemoglobin 12,2 g/dL
Leukosit 4,5 .103/uL
Hematokrit 37 %
Trombosit 120 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/160
Paratyphi BO: 1/160
Typhi H: 1/80
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 28
:L
: 7 th
: 43 kg
: 26/5/15 – 30/5/15 (5 hari)
:
: demam tifoid dan DBD
: demam kurang lebih 1 minggu SMRS, mual, 1 hari
SMRS muncul kemerahan di tubuh, muntah, lemas,
pusing
: sembuh
Terapi Obat
Seftriakson
2 x 1000 mg
Ondansentron ampul 4 mg/2mL
2 x 1 ampul
Hari ke-1:
Hemoglobin 15,9 g/dL
Leukosit 5,7 .103/uL
Hematokrit 47 %
Trombosit 47 .103/uL
LED 30 mm
Hari ke-2:
Hemoglobin 15,1 g/dL
Leukosit 8,1 .103/uL
Hematokrit 45 %
Trombosit 42 .103/uL
Hasil Laboratorium
Hari ke-3:
Hemoglobin 12,6 g/dL
Leukosit 6,8 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 43 .103/uL
Hari ke-5:
Hemoglobin 13,0 g/dL
Leukosit 7,4 .103/uL
Hematokrit 39 %
Trombosit 102 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 12,7 g/dL
Leukosit 6,7 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 86 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/80
Paratyphi BO: 1/80
Paratyphi CO: 1/320
Paratyphi CH: 1/80
IV
IV
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 29
:L
: 3 th
: 10.6 kg
: 1/6/15 – 5/6/15 (5 hari)
:
: demam tifoid, ISK, TBC on OAT, Kejang Demam
dan DBD
: demam kurang lebih 10 hari SMRS, batuk pilek,
mencret 3 hari pertama, nafsu makan menurun
: sembuh
Terapi Obat
Diazepam
3 x 1.5 mg
OAT (rifampin/isoniazid/pyrazinamide) 3 tab
Ambroksol 15 mg/5 mL
3 x 1 cth
Methisoprinol 250 mg/5 mL
3 x 1 cth
Seftriakson
3 x 550 mg
Parasetamol
3 x 150 mg
Dexametason tablet 0,5 mg
3 x ½ tab
Meropenem vial 0,5 g
1 x 1 vial
Oral
Oral
Oral
Oral
IV
IV
Oral
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 11,9 g/dL
Leukosit 4,1 .103/uL
Hematokrit 35 %
Trombosit 110 .103/uL
Eritrosit 4,4 .103/uL
Basofil 1 %
Eosinophil 1 %
Batang 2 %
Segmen 30 %
Limfosit 54 %
Monosit 14 %
MCV 78 f
MC 27 Pg
MCHC 35 g/dL
Hari ke-2:
Hemoglobin 10,5 g/dL
Leukosit 5,7 .103/uL
Hematokrit 32 %
Trombosit 107 .103/uL
Hasil Laboratorium
Hari ke-3:
Hemoglobin 11,2 g/dL
Leukosit 5,8 .103/uL
Hematokrit 35 %
Trombosit 138 .103/uL
MCV 76 f
MC 25 Pg
MCHC 33 g/dL
Hari ke-4:
Hemoglobin 11,0 g/dL
Leukosit 7,5 .103/uL
Hematokrit 35 %
Trombosit 202 .103/uL
Hari ke-5:
Hemoglobin 10,8 g/dL
Leukosit 8,6 .103/uL
Hematokrit 34 %
Trombosit 255 .103/uL
Hari ke-6:
Hemoglobin 11,0 g/dL
Leukosit 2,7 .103/uL
Hematokrit 31 %
Trombosit 176 .103/uL
Eritrosit 3,9 .103/uL
LED 45 mm
Basofil 1 %
Eosinophil 1 %
Batang 2 %
Segmen 74 %
Limfosit 15 %
Monosit 7 %
MCV 77 f
MC 28 Pg
MCHC 36 g/dL
Hari ke-7:
Hemoglobin 11,5 g/dL
Leukosit 11,9 .103/uL
Hematokrit 36 %
Trombosit 461 .103/uL
Tubex Test
Score: 6
91
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 30
:P
: 12 th
: 47 kg
: 10/6/15 – 23/6/15 (14 hari)
:
: demam tifoid dan anemia
: demam kurang lebih 3 hari, mual, muntah, nafsu
makan menurun, nyeri sendi pada bahu kanan
: sembuh
Omeprazol 20 mg
Parasetamol
Seftriakson
Ranitidin
Ondansentron
Parasetamol drip
Meropenem
Ambroksol15 mg/5 mL
Terapi Obat
2 x 1 cap
4 x 500 mg
1 x 2000 mg
3 x 50 mg
2 x 4 mg
500 mg
3 x 1000 mg
3 x 1 cth
Oral
Oral
IV
IV
IV
IV
IV
Oral
Hari ke-1:
Hemoglobin 9,4 g/dL
Leukosit 16,5 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 422 .103/uL
Eritrosit 3,5 .103/uL
Basofil 1 %
Eosinophil 2 %
Batang 3 %
Segmen 80 %
Limfosit 8 %
Monosit 6 %
MCV 79 f
MC 27 Pg
MCHC 34 g/dL
Hari ke-2:
Hemoglobin 9,6 g/dL
Leukosit 8,5 .103/uL
Hematokrit 51 %
Trombosit 397 .103/uL
Hasil Laboratorium
Hari ke-3:
Hemoglobin 8,7 g/dL
Leukosit 6,9 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 265 .103/uL
Hari ke-6:
Hemoglobin 8,9 g/dL
Leukosit 17,9 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 489 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 8,5 g/dL
Leukosit 4,1 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 221 .103/uL
Hari ke-5:
Hemoglobin 8,9 g/dL
Leukosit 9,8 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 366 .103/uL
92
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 31
:P
: 4 th
: 14.5 kg
: 23/6/15 – 27/6/15 (5 hari)
:
: demam tifoid
: demam naik-turun kurang lebih 6 hari lebih sering
sore-malam hari, lemas, nafsu makan menurun,
batuk, sering berkeringat pada malam hari
: sembuh
Ambroksol 15 mg/5 mL
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Terapi Obat
3 x ½ cth
4 x 1 cth
1 x 600 mg
Oral
Oral
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 12,6 g/dL
Leukosit 8,6 .103/uL
Hematokrit 37 %
Trombosit 357 .103/uL
Eritrosit 5,3.103/uL
LED 42 mm
Basofil 1 %
Eosinophil 1 %
Batang 2 %
Segmen 59 %
Limfosit 2 %
Monosit 10 %
MCV 70 f
MC 24 Pg
MCHC 34 g/dL
Hasil Laboratorium
Hari ke-4:
Hemoglobin 12,0 g/dL
Leukosit 8,1 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 626 .103/uL
SGOT 27 U/L
SGPT 10 U/L
Widal Test
Paratyphi BO: 1/160
Paratyphi CO: 1/80
Typhi H: 1/80
Tubex Test
Score: 2
93
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 32
:L
: 8 th
: 20 kg
: 25/6/15 – 1/7/15 (7 hari)
:
: demam tifoid, diare dan vomitus
: demam naik rurun, mual, muntah, mencret
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Ondansentron
Terapi Obat
3 x 2 cth
1 x 1500 mg
3 x 4 mg
Hari ke-1:
Natrium 127 mmol/L
Kalium 3,7 mmol/L
Klorida 101 mmol/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-3:
Hemoglobin 10,4 g/dL
Leukosit 9,3 .103/uL
Hematokrit 31 %
Trombosit 265 .103/uL
Natrium 119 mmol/L
Kalium 5,1 mmol/L
Klorida 95 mmol/L
Hari ke-4:
Natrium 128 mmol/L
Kalium 5,1 mmol/L
Klorida 98 mmol/L
Widal Test
Typhi O: 1/160
Paratyphi BO: 1/160
Typhi H: 1/80
Oral
IV
IV
94
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 33
:P
: 2 th
: 10 kg
: 26/6/15 – 28/6/15 (3 hari)
:
: demam tifoid, DBD
: demam selama 11 hari, mual, BAB encer
: sembuh
Lacto B
Parasetamol 120 mg/5 mL
Zinc 20 mg
Seftriakson
Ranitidin
Terapi Obat
2 x 1 sach
3 x ½ cth
1 x 1 tab
2 x 500 mg
1 x 1 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 9,5 g/dL
Leukosit 2,4 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 90 .103/uL
Ureum 9 mg/dL
Kreatinin 0,26 mg/dL
SGOT 143 U/L
SGPT 31 U/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 8,7 g/dL
Leukosit 3,5 .103/uL
Hematokrit 26 %
Trombosit 110 .103/uL
Hari ke-3:
Hemoglobin 9,2 g/dL
Leukosit 4,4 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 111 .103/uL
Tubex Test
Score: 6
Oral
Oral
Oral
IV
IV
95
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 34
:P
: 10 th
: 24 kg
: 28/6/15 – 1/7/15 (4 hari)
:
: demam tifoid, febris, DBD grade II
: demam kurang lebih 4 hari, SMRS, mual, muntah 2
kali, makan sedikit
: sembuh
Metisoprinol 250 mg/5 mL
Seftriakson
Terapi Obat
3 x 1 cth
1 x 1250 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 14,9 g/dL
Leukosit 6,2 .103/uL
Hematokrit 43 %
Trombosit 71 .103/uL
Hasil Laboratorium
Hari ke-3:
Hemoglobin 13,1 g/dL
Leukosit 6,6 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 76 .103/uL
Hari ke-2:
Hemoglobin 12,1 g/dL
Leukosit 7,0 .103/uL
Hematokrit 35 %
Trombosit 50 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 14,1 g/dL
Leukosit 7,1 .103/uL
Hematokrit 40 %
Trombosit 99 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/320
Typhi H: 1/160
Paratyphi BH: 1/160
Tubex Test
Score: 6
Oral
IV
96
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 35
:L
: 7 th
: 24 kg
: 10/8/15 – 13/8/15 (4 hari)
:: dema tifoid, febris dan DBD
: dibawa dari UGD dengan keluhan demam sejak 1
hari yang lalu. Demam naik turun, hasil pemeriksaan
NS1 positif. Belum BAB selama 2 hari
: sembuh
Metisoprinol 250 mg/5 mL
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Parasetamol drip
Terapi Obat
3 x 1 cth
3 x 2 cth
1 x 1000 mg
250 mg
Oral
Oral
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 13,4 g/dL
Leukosit 5,3 .103/uL
Hematokrit 39 %
Trombosit 220 .103/uL
Eritrosit 4,7 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 0 %
Batang 2 %
Segmen 71 %
Limfosit 16 %
Monosit 11 %
GDS 83 mg/dL
Ureum 21 mg/dL
Kreatinin 0,37 mg/dL
SGOT 30 U/L
SGPT 12 U/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 13,2 g/dL
Leukosit 3,0 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 224 .103/uL
Widal Test
Typhi H: 1/160
Hari ke-4:
Hemoglobin 14,0 g/dL
Leukosit 3,2 .103/uL
Hematokrit 40 %
Trombosit 204 .103/uL
97
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 36
:L
: 8 th
: 24 kg
: 26/8/15 – 30/8/15 (5 hari)
:
: demam tifoid, DBD grade II
: demam hilang timbul selama 6 hari, mual, lemas,
pusing, nafsu makan menurun.
: sembuh
Parasetamol 500 mg
Seftriakson
Ranitidin 25 mg/mL
Ondansentron 4 mg/2 mL
Terapi Obat
3 x ½ tab
1 x 1000 mg
2 x 1 mL
2 x 1 mL
Oral
IV
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 14,0 g/dL
Leukosit 3,4 .103/uL
Hematokrit 42 %
Trombosit 47 .103/uL
Eritrosit 5,9 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 2 %
Batang 3 %
Segmen 33 %
Limfosit 44 %
Monosit 18 %
MCV 70 f
MC 24 Pg
MCHC 34 g/dL
GDS 89 mg/dL
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 11,2 g/dL
Leukosit 4,9 .103/uL
Hematokrit 33 %
Trombosit 53 .103/uL
Hari ke-3:
Hemoglobin 10,8 g/dL
Leukosit 4,4 .103/uL
Hematokrit 32 %
Trombosit 89 .103/uL
Hari ke-5:
Hemoglobin 11,6 g/dL
Leukosit 4,2 .103/uL
Hematokrit 34 %
Trombosit 124 .103/uL
Tubex Test
Score: 3
IgG Dengue
IgG: (+)
IgM: (-)
Hari ke-4:
Hemoglobin 11,4 g/dL
Leukosit 3,7 .103/uL
Hematokrit 34 %
Trombosit 102 .103/uL
98
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
Sefuroksim
Gentamisin
Seftriakson
Parasetamol
: 37
:P
: 2 th
: 8 kg
: 10/9/15 – 18/9/15 (9 hari)
:: demam tifoid, bronkopneumonia dan malnutrisi
: demam timbul terutama pada malam hari, sudah 7
kali berobat tidak ada perubahan, muntah, BAB cair,
batuk kurang lebih 4 hari
: sembuh
Terapi Obat
3 x 400 mg
1 x 60 mg
1 x 500 mg
4 x 100 mg
IV
IV
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 9,7 g/dL
Leukosit 14,1 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 434 .103/uL
Eritrosit 4,6 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 0 %
Batang 1 %
Segmen 44 %
Limfosit 45 %
Monosit 10 %
MCV 73 f
MC 25 Pg
MCHC 34 g/dL
SGOT 32 U/L
SGPT 25 U/L
Albumin 5,1
Natrium 134 mmol/L
Kalium 4,6 mmol/L
Kalsium 105 mmol/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 11,6 g/dL
Leukosit 13,1 .103/uL
Hematokrit 34 %
Trombosit 274 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/320
Paratyphi AO: 1/160
Paratyphi BO: 1/80
Typhi H: 1/80
Hari ke-3:
Hemoglobin 9,7 g/dL
Leukosit 11,4 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 265 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 10,6 g/dL
Leukosit 11,6 .103/uL
Hematokrit 32 %
Trombosit 766 .103/uL
99
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 38
:L
: 6 th
: 19 kg
: 22/9/15 – 25/9/15 (4 hari)
: asma
: demam tifoid, asma, pneumonia
: demam selama 1 minggu terutama malam hari,
batuk selama 2 minggu, sesak, muntah, kadan2 nyeri
ulu hati, riwayat asma kambuh 1 minggu ini
: sembuh
Seretide 250
Ambroksol 15 mg/5 mL
Setirizin 5 mg/5 mL
Parasetamol drip
Seftriakson
Ranitidin 25 mg/1mL
Dexametason
Terapi Obat
2x1
3 x 1 cth
1 x 1 cth
4 x 250 mg
1 x 1000 mg
2 x 1 mL
1 x 4 mg
Oral
Oral
Oral
IV
IV
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 11,4 g/dL
Leukosit 6,2 .103/uL
Hematokrit 33 %
Trombosit 238 .103/uL
Eritrosit 1,3.103/uL
LED 43 mm
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 1 %
Segmen 59 %
Limfosit 33 %
Monosit 6 %
MCV 75 f
MC 26 Pg
MCHC 35 g/dL
Hasil Laboratorium
Hari ke-4:
Hemoglobin 10,3 g/dL
Leukosit 6,6 .103/uL
Hematokrit 31 %
Trombosit 251 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/160
Paratyphi AO: 1/160
Paratyphi BO: 1/80
Typhi H: 1/80
Paratyphi AH: 1/80
Paratyphi BH: 1/80
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 39
:L
: 6 th
: 16.5 kg
: 29/9/15 – 11/1/15 (7 hari)
:
: demam tifoid, ISK
: demam naik-turun kurang lebih 4 minggu SMRS
tidak menggunakan penurun panas, mual, muntah 3
kali, sehari selama 8 hari, batuk tidak berdahak, peut
terkadang nyeri
: sembuh
Ambroksol 15 mg/5 mL
Parasetamol drip
Seftriakson
Ondansentron
Terapi Obat
3 x 1 cth
3 x 200 mg
1 x 1000 mg
3 x 2 mg
Oral
IV
IV
IV
Hasil Laboratorium
Hari ke-1:
Tubex Test
Hemoglobin 9,0 g/dL
Score: 2
Leukosit 10,3 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 497 .103/uL
Widal Test
Eritrosit 5,1 .103/uL
Paratyphi BO: 1/80
LED 64 mm
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Anti Dengue Test
Batang 3 %
IgG: (-)
Segmen 64 %
IgM: (+)
Limfosit 24 %
Monosit 8 %
MCV 55 f
MC 18 Pg
MCHC 32 g/dL
101
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 40
:L
: 12 th
: 23 kg
: 5/10/15 – 7/10/15 (3 hari)
:
: demam tifoid, DBD
: demam 5 hari SMRS meningkat pada malam hari,
mencret, mual, lemas
: sembuh
Lacto B
Zircum 20 mg/5 mL
Parasetamol drip
Seftriakson
Terapi Obat
2 x 1 sach
1 x 1 cth
4 x 300 mg
1 x 1500 mg
Oral
Oral
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 9,7 g/dL
Leukosit 14,1 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 434 .103/uL
Eritrosit 4,6 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 0 %
Batang 1 %
Segmen 44 %
Limfosit 45 %
Monosit 10 %
MCV 73 f
MC 25 Pg
MCHC 34 g/dL
SGOT 32 U/L
SGPT 25 U/L
Albumin 5,1
Natrium 134 mmol/L
Kalium 4,6 mmol/L
Kalsium 105 mmol/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 9,0 g/dL
Leukosit 10,3 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 497 .103/uL
Eritrosit 5,1 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 3 %
Segmen 64 %
Limfosit 24 %
Monosit 8 %
Widal Test
Typhi O: 1/160
Paratyphi BO: 1/320
Paratyphi CO: 1/160
Typhi H: 1/80
Paratyphi BH: 1/160
Hari ke-3:
Hemoglobin 9,7 g/dL
Leukosit 14,1 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 434 .103/uL
Eritrosit 4,6 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 0 %
Batang 1 %
Segmen 44 %
Limfosit 45 %
Monosit 10 %
Tubex Test
Score: 2
Anti Dengue Test
IgG: (-)
IgM: (+)
102
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 41
:L
: 6 th
: 16 kg
: 5/10/15 – 8/10/15 (4 hari)
:
: demam tifoid, febris, virus infection
: demam 4 hari SMRS, mual, muntah, batuk lama,
pilek, BAB mencret 5 kali SMRS
: sembuh
Ambroksol 15 mg/5 mL
Parasetamol
Seftriakson
Ondansentron
Terapi Obat
3 x 1 cth
4 x 200 mg
1 x 750 mg
3 x 2 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 12,3 g/dL
Leukosit 19,8 .103/uL
Hematokrit 37 %
Trombosit 647 .103/uL
Hasil Laboratorium
Hari ke-4:
Hemoglobin 11,5 g/dL
Leukosit 10,3 .103/uL
Hematokrit 35 %
Trombosit 523 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/320
Paratyphi AO: 1/160
Paratyphi BO: 1/80
Typhi H: 1/80
Oral
IV
IV
IV
103
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
Dexipenem
Parasetamol
: 42
:L
: 12 th
: 35 kg
: 11/10/15 – 17/10/15 (7 hari)
:
: demam tifoid, bronkopneumonia
: demam naik-turun kurang lebih 1 bulan SMRS,
mual, batuk, belum BAB 1 hari, sakit perut
: sembuh
Terapi Obat
3x1g
4 mg
Oral
Oral
Hari ke-1:
Hemoglobin 11,0 g/dL
Leukosit 3,6 .103/uL
Hematokrit 33 %
Trombosit 191 .103/uL
Eritrosit 4,2 .103/uL
LED 67 mm
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 2 %
Segmen 51 %
Limfosit 41 %
Monosit 5 %
MCV 80 f
MC 26 Pg
MCHC 33 g/dL
Hasil Laboratorium
Hari ke-5:
Hemoglobin 11,6 g/dL
Leukosit 3,8 .103/uL
Hematokrit 35 %
Trombosit 181 .103/uL
GDS 85 mg/dL
Ureum 14 mg/dL
Kreatinin 0,61 mg/dL
Natrium 133 mmol/L
Kalium 3,4 mmol/L
Kalsium 100 mmol/L
Widal Test
Typhi O: 1/80
Paratyphi BO: 1/80
Typhi H: 1/320
Tubex Test
Score: 10
104
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
Lacto B
Zinc 20 mg
Dexametason
Parasetamol
Seftriakson
Ranitidin
Ondansentron
: 43
:L
: 7 th
: 21 kg
: 25/10/15 – 26/10/15 (2 hari)
:
: demam tifoid, diare akut
: demam naik-turun sejak 1 hari SMRS, mual,
muntah 4 kali, BAB cair ada ampas sedikit
: sembuh
Terapi Obat
2 x 1 sach
1 x 1 tab
3 x 2.3 mg
3 x 300 mg
1 x 1500 mg
1 x 12.5 mg
3 x 25 mg
Oral
Oral
IV
IV
IV
IV
IV
Hasil Laboratorium
Hari ke-1:
Widal Test
Hemoglobin 12,4 g/dL
Typhi O: 1/160
Leukosit 11,0 .103/uL
Paratyphi BO: 1/160
Hematokrit 36 %
Paratyphi CH: 1/160
3
Trombosit 246 .10 /uL
Eritrosit 4,4.103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 0 %
Segmen 81 %
Limfosit 11 %
Monosit 7 %
MCV 83 f
MC 28 Pg
MCHC 34 g/dL
105
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 44
:P
: 8 th
: 22.5 kg
: 28/10/15 – 30/10/15 (3 hari)
:
: demam tifoid
: demam kurang lebih 2 minggu, mual, pusing
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Terapi Obat
3 x 2 cth
1 x 1500 mg
Oral
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 13,4 g/dL
Leukosit 5,3 .103/uL
Hematokrit 40 %
Trombosit 175 .103/uL
Eritrosit 4,8 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 2 %
Batang 2 %
Segmen 51 %
Limfosit 40 %
Monosit 5 %
MCV 83 f
MC 28 Pg
MCHC 34 g/dL
GDS 105 mg/dL
Ureum 23 mg/dL
Kreatinin 0,63 mg/dL
Natrium 134 mmol/L
Kalium 4,5 mmol/L
Klorida 102 mmol/L
Hemoglobin 13,4 g/dL
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 9,0 g/dL
Leukosit 10,3 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 497 .103/uL
Eritrosit 5,1 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 3 %
Segmen 64 %
Limfosit 24 %
Monosit 8 %
Widal Test
Typhi O: 1/80
Paratyphi AO: 1/160
Hari ke-3:
Hemoglobin 9,7 g/dL
Leukosit 14,1 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 434 .103/uL
Eritrosit 4,6 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 0 %
Batang 1 %
Segmen 44 %
Limfosit 45 %
Monosit 10 %
Tubex Test
Score: 4
106
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 45
:L
: 5 th
: 16 kg
: 16/10/15 – 20/10/15 (5 hari)
:
: demam tifoid
: demam naik-turun 1 minggu, mual, pusing, nafsu
makan menurun
: sembuh
Parasetamol 120 mg/5 mL
Seftriakson
Terapi Obat
4 x 2 cth
1 x 750 mg
Hari ke-2:
Hemoglobin 12,2 g/dL
Leukosit 6,7 .103/uL
Hematokrit 355 %
Trombosit 381 .103/uL
Eritrosit 4,3 .103/uL
LED 57 mm
Basofil 0 %
Eosinophil 4 %
Batang 3 %
Segmen 57 %
Hasil Laboratorium
Hari ke-5:
Hemoglobin 12,1 g/dL
Leukosit 8,5 .103/uL
Hematokrit 35 %
Trombosit 456 .103/uL
Limfosit 38 %
Monosit 8 %
MCV 81 f
MC 28 Pg
MCHC 35 g/dL
Tubex Test
Score: 4
Oral
IV
107
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 46
:L
: 7 th
: 21 kg
: 18/11/15 – 21/11/15 (4 hari)
:
: demam tifoid
: demam pada malam hari kurang lebih 1 minggu
SMRS, tidak mau makan karena setiap makan
muntah
: sembuh
Parasetamol120 mg/5 mL
Omeprazol 20 mg
Seftriakson
Ondansentron
Terapi Obat
4 x 1 ½ cth
1 x 1 cap
1 x 1500 mg
2 x 4 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 13,8 g/dL
Leukosit 11,6 .103/uL
Hematokrit 40 %
Trombosit 329 .103/uL
Hasil Laboratorium
Widal Test
Typhi O: 1/160
Paratyphi BO: 1/320
Paratyphi CO: 1/160
Typhi H: 1/80
Oral
Oral
IV
IV
108
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
Lacto B
Zinc
Seftriakson
: 47
:L
: 5 th
: 15 kg
: 19/11/15 – 21/11/15 (3 hari)
:
: demam tifoid, febris dan anemia
: demam kurang lebih 4 hari SMRS, mual, BAB cair
warna coklat, batuk
: sembuh
Terapi Obat
2 x 1 sach
1 x 20 mg
1 x 750 mg
Oral
Oral
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 9,7 g/dL
Leukosit 14,1 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 434 .103/uL
Eritrosit 4,6 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 0 %
Batang 1 %
Segmen 44 %
Limfosit 45 %
Monosit 10 %
MCV 73 f
MC 25 Pg
MCHC 34 g/dL
SGOT 32 U/L
SGPT 25 U/L
Albumin 5,1
Natrium 134 mmol/L
Kalium 4,6 mmol/L
Kalsium 105 mmol/L
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 9,0 g/dL
Leukosit 10,3 .103/uL
Hematokrit 28 %
Trombosit 497 .103/uL
Eritrosit 5,1 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 3 %
Segmen 64 %
Limfosit 24 %
Monosit 8 %
Widal Test
Typhi O: 1/320
Paratyphi AO: 1/80
Paratyphi CO: 1/160
Paratyphi BH: 1/80
Hari ke-3:
Hemoglobin 9,7 g/dL
Leukosit 14,1 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 434 .103/uL
Eritrosit 4,6 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 0 %
Batang 1 %
Segmen 44 %
Limfosit 45 %
Monosit 10 %
Anti Dengue
IgG: (+)
IgM: (+)
Tubex Test
Score: 4
109
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
Parasetamol
Seftriakson
: 48
:P
: 12 th
: 31 kg
: 30/11/15 – 2/12/15 (4 hari)
:
: demam tifoid, DBD
: demam kurang lebih 6 hari SMRS, mual, 1 hari
SMRS muncul kemerahan di seluruh tubuh, muntah,
lemas, pusing
: sembuh
Terapi Obat
3 x 250 mg
1 x 1500 mg
Hari ke-1:
Hemoglobin 13,4 g/dL
Leukosit 5,5 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 35 .103/uL
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 12,9 g/dL
Leukosit 6,8 .103/uL
Hematokrit 37 %
Trombosit 145 .103/uL
Hari ke-3:
Hemoglobin 13,5 g/dL
Leukosit 6,1 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 189 .103/uL
Tubex Test
Score: 6
Oral
IV
110
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 49
:L
: 5 th
: 15 kg
: 15/12/15 – 24/12/15 (10 hari)
:
: demam tifoid, DBD, dan diare akut
: demam kurang lebih 10 hari, mual, mencret, sakit
perut, lemas, BAB cair 3-4 kali sehari selama 3 hari
ada ampas
: sembuh
L-Bio
Zinc
Seftriakson
Ranitidin 25 mg/mL
Terapi Obat
3 x 1 sach
1 x 20 mg
1 x 720 mg
2 x 1 mL
Oral
Oral
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 13,7 g/dL
Leukosit 4,8 .103/uL
Hematokrit 38 %
Trombosit 112.103/uL
Eritrosit 5,0 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 3 %
Segmen 57 %
Limfosit 17 %
Monosit 4 %
MCV 75 f
MC 27 Pg
MCHC 36 g/dL
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 11,9 g/dL
Leukosit 9,6 .103/uL
Hematokrit 34 %
Trombosit 123 .103/uL
Eritrosit 4,4 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 1 %
Segmen 52 %
Limfosit 39 %
Monosit 7 %
MCV 77 f
MC 27 Pg
MCHC 35 g/dL
SGOT 183 U/L
SGPT 53 U/L
Natrium 135 mmol/L
Kalium 3,7 mmol/L
Klorida 106 mmol/L
Hari ke-3:
Hemoglobin 11,8 g/dL
Leukosit 6,8 .103/uL
Hematokrit 33 %
Trombosit 111 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 11,1 g/dL
Leukosit 10,0 .103/uL
Hematokrit 32 %
Trombosit 198 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/80
Paratyphi BO: 1/80
Paratyphi CO: 1/320
Paratyphi CH: 1/80
111
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(lanjutan)
Pasien
Jenis kelamin
Usia
BB
Lama dirawat
Riw. Penyakit
Diagnosa masuk
Keluhan masuk
Kondisi keluar
: 50
:L
: 10 th
: 26.5 kg
: 21/12/15 – 26/12/15 (6 hari)
:
: demam tifoid
: demam naik-turun kurnag lebih 2 minggu SMRS,
batuk, mual, 1 hari SMRS menggigil, nafsu makan
menurun
: sembuh
Apyalis
Ambroksol 15 mg/5 mL
Parasetamol drip
Seftriakson
Dexametason
Terapi Obat
1 x 1 cth
3 x 1 cth
250 mg
1 x 1000 mg
3 x 4 mg
Oral
Oral
IV
IV
IV
Hari ke-1:
Hemoglobin 9,8 g/dL
Leukosit 4,4 .103/uL
Hematokrit 29 %
Trombosit 146 .103/uL
Eritrosit 3,6 .103/uL
Basofil 0 %
Eosinophil 1 %
Batang 2 %
Segmen 27 %
Limfosit 61 %
Monosit 9 %
MCV 82 f
MC 28 Pg
MCHC 33 g/dL
Hasil Laboratorium
Hari ke-2:
Hemoglobin 11,5 g/dL
Leukosit 4,8 .103/uL
Hematokrit 34 %
Trombosit 158 .103/uL
Hari ke-3:
Hemoglobin 10,5 g/dL
Leukosit 4,3 .103/uL
Hematokrit 31 %
Trombosit 165 .103/uL
Hari ke-4:
Hemoglobin 11,4 g/dL
Leukosit 4,5 .103/uL
Hematokrit 33 %
Trombosit 368 .103/uL
Widal Test
Typhi O: 1/80
Paratyphi BO: 1/160
Paratyphi CO: 1/80
112
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2 Data Obat
No
Golongan Obat
Antiinfeksi
1
1.1 Antibiotik Sefalosporin
Jenis Obat
Frekuensi
Persentase (%)
Seftriakson
Anak dengan BB <50 kg: 20 - 80 mg/kg BB satu kali
sehari. Maksimum: 80 mg/kg BB/hari.
Anak dengan BB ≥50 kg: 1 - 2 g satu kali sehari.
Maksimum: 4 g/hari dalam 2 dosis terbagi.
Anak dengan BB <50kg: 100 - 200 mg/kg BB/hari
diberikan dalam 3-4 dosis terbagi
Anak dengan BB ≥50kg: 1 - 2 g setiap 6 - 8 jam
Maksimum: 12 g/hari
75 - 150 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis terbagi.
Maksimum: 6 g/hari
2 - 2.5 mg/kg BB/hari setiap 8 jam
Maksimum: 120 mg/hari
20 mg/kg BB/dosis setiap 8 jam
Maksimum: 1 g/hari
50 mg/kg BB/hari dalam 3 - 4 dosis terbagi.
Maksimal: 100 mg/kg BB/hari dalam 4 - 5 dosis terbagi
Sefotaksim
Sefuroksim
1.2 Antibiotik
Aminoglikosida
1.3 Antibiotik Beta Laktam
Golongan Lain
1.4 Antivirus
Obat Gastrointestinal
2
2.1 PPI (Proton Pump
Inhibitor
2.2 Antihistamin AR-H2
2.3 Antagonis Reseptor 5HT3
Dosis Standar per Hari
Gentamisin
Meropenem
Methisoprinol
Omeprazol
20 - 40 mg satu kali sehari
Pantoprazol
Ranitidin
20 mg satu kali sehari
2 - 4 mg/kg BB/hari dua kali sehari.
Maksimal: 200 mg/hari
0,15 – 0,3 mg/kg BB/hari
Maksimum: 8 mg/hari
Ondansetron
113
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4 Antidiare
Kortikosteroid
3
Lacto B
Deksametason
3 x 1 sachet/hari diberikan bersama makanan
Anak 1 - 5 thn: 0.25 - 1 mg/hari
Anak 6 - 12 thn: 0.25 - 2 mg/hari
Maksimum: 16 mg/hari
1 - 2 mg/kg BB/hari dalam 2 dosis terbagi
Maksimum: 60 mg/hari
Anak 2 - 5 thn: 5 mg satu kali sehari
Anak 6 - 12 thn: 5 - 10 mg satu kali sehari
Metilprednisolon
4
Antihistamin
Setirizin
CTM (Chlorpheniramin
Maleat)
7
Analgesik, Anti-inflamasi Parasetamol
dan Antipiretik
Ansiolitik, Sedatif
Diazepam
Hipnotik dan Antipsikotik
Antiepilepsi
Asam Valproat
8
Mukolitik
Ambroksol
9
Bronkodilator dan
Antiasma
Seretide
5
6
Anak 2 - 5 thn: 1 mg setiap 4 - 6 jam.
Maksimum: 6 mg/hari
Anak 6 - 12 thn: 2 mg setiap 4 - 6 jam.
Maksimum: 12 mg/hari
10 - 15 mg/kg BB/dosis setiap 4 - 6 jam bila perlu.
Tidak lebih dari 5 dosis dalam 24 jam
1 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis terbagi
Maksimum: 10 mg/hari
10 - 15 mg/kg BB/hari dalam 2 - 4 dosis terbagi
Maksimum: 60 mg/kg BB/hari
Anak 2 - 5 thn: 2 - 3 kali 7,5 mg/hari
Anak 6 - 12 thn: 2 - 3 kali 15 mg/hari
2 kali inhalasi seretide inhaler 50 atau 125
114
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Vitamin dan Mineral
Ferris
Anak 2-6 thn: 2,5 mL/hari
Anak 7-12 thn: 5 mL/hari
Zinc Sulfat
20 mg satu kali sehari
Apyalis
Anak 2-5 thn: 1 x 1 cth/hari
Anak >5 thn: 2 x 1 cth/hari
115
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3 Penilai1an DRPs yang Dialami Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah
Sakit Umum Kota Tangerang Selatan
NP
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
KTPO
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
DK
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
Penilaian DRPs
DL
ITO
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
OTI
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
IO
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Keterangan:
NP: nomor pasien
KTPO: ketidaktepatan
pemilihan obat
DK: dosis obat kurang
DL: dosis obat lebih
ITO: indikasi tanpa obat
OTI: obat tanpa indikasi
IO: interaksi obat
116
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4 Kejadian Dosis Obat Kurang
NP
1
6
Umur/
BB
5/17
7/55
Nama Obat
Dosis Standar
Methisoprinol
(oral)
50 mg/kgBB/
hari (T = 850
mg/hari)
50 mg/kgBB/
hari (T = 2750
mg/hari)
2x2-4
mg/kgBB
(T = 220 - 240
mg/ hari)
2 - 3 x 15 mg/
hari (T = 3045 mg/hari)
3 x 125 mg
(T = 375
mg/hari)
3 x 125 mg
(T = 375
mg/hari)
2 x 50 mg
(T = 100
mg/hari)
Dosis
rendah
3 x 7,5 mg
(T = 22,5 mg)
Dosis
rendah
50 mg/kgBB/
hari (T = 450
mg/hari)
3 x 1 sachet
3 x 125 mg
(T = 375
mg/hari)
1 x 1 sachet
Dosis
rendah
50 mg/kgBB
/hari (T = 975
mg/hari)
3 x 1 sachet
3 x 250 mg
(T = 750
mg/hari)
2 x 1 sachet
50 mg/kgBB/
hari (T = 1200
mg/hari)
50 mg/kgBB/
hari (T = 1200
mg/hari)
3 x 1 sachet
3 x 250 mg
(T = 750
mg/hari)
3 x 250 mg
(T = 750
mg/hari)
2 x 1 sachet
3 x 1 sachet
2 x 1 sachet
3 x 1 sachet
2 x 1 sachet
Methisoprinol
(oral)
Ranitidin
(i.v)
11
7/22
Ambroksol
(oral)
17
2/9
Methisoprinol
(oral)
21
6/24
24
8/19,5
Lacto B
(oral)
Methisoprinol
(oral)
33
2/10
34
10/24
35
7/24
Methisoprinol
(oral)
40
12/23
43
7/21
47
5/15
Lacto B
(oral)
Lacto B
(oral)
Lacto B
(oral)
Lacto B
(oral)
Methisoprinol
(oral)
Dosis Pakai
Ket
Dosis
rendah
Dosis
rendah
Dosis
rendah
Dosis
rendah
Dosis
rendah
Dosis
rendah
Dosis
rendah
Dosis
rendah
Dosis
rendah
Dosis
rendah
Sumber
ADIS Drug
Information
Services
ADIS Drug
Information
Services
Paediatric Dosage
Handbook,
MIMS
2015/2016, Drug
Discovery Case
History
ADIS Drug
Information
Services
MIMS 2015/2016
ADIS Drug
Information
Services
MIMS 2015/2016
ADIS Drug
Information
Services
ADIS Drug
Information
Services
MIMS 2015/2016
MIMS 2015/2016
MIMS 2015/2016
Ket: T: total
117
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5 Kejadian Dosis Obat Lebih
NP
5
Umur/
BB
11/32,
5
Nama Obat
Dosis Standar
Ondansetron
(i.v)
0,15 - 0,3
mg/kgBB/hari
Max: 8 mg/hari
Dosis Pakai
Ket
Sumber
2 x 8 mg
(T = 16
mg/hari)
Dosis
berlebih
1 x 20 - 80
mg/kgBB/hari
(T = 400-1600
mg/hari)
Max: 80
mg/kgBB/hari
0,15 - 0,3
mg/kgBB/hari
Max: 8 mg/hari
1 x 2000 mg
(T = 2000
mg/hari)
Dosis
berlebih
Paediatric Dosage
Handbook, NICE,
AP&T
Alimentary
Pharmacology
and Therapeutics
Paediatric Dosage
Handbook
3 x 8 mg
(T = 24
mg/hari)
Dosis
berlebih
9
6/20
Seftriakson
(i.v)
19
11/35
Ondansetron
(i.v)
32
8/20
Ondansetron
(i.v)
0,15 - 0,3
mg/kgBB/hari
Max: 8 mg/hari
3 x 4 mg
(T = 12
mg/hari)
Dosis
berlebih
42
12/35
Meropenem
(i.v)
3 x 10 - 20
mg/kgBB/hari
Max: 1000
mg/hari
3 x 1000 mg
Dosis
berlebih
Paediatric Dosage
Handbook, NICE,
AP&T
Alimentary
Pharmacology
and Therapeutics
Paediatric Dosage
Handbook, NICE,
AP&T
Alimentary
Pharmacology
and Therapeutics
Paediatric Dosage
Handbook
Ket: T: total
118
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6 Kejadian DRPs Interaksi Obat
NP
1
2
3
4
Terapi Obat
Metisoprinol
Parasetamol
Seftriakson
Ranitidine
Ondansentron
Seftriakson
Deksametason
Parasetamol
Parasetamol
Seftriakson
Ondansentron
Parasetamol
Metisoprinol
Diazepam
Asam valproat
Seftriakson
Deksametason
Interaksi
Obat (IO)
Mekanisme IO
Jenis IO
DRPs
IO
0
0
0
Parasetamol - Diazepam
Diazepam
menurunkan kadar
parasetamol dengan
cara meningkatkan
metabolisme.
Peningkatan
metabolisme
parasetamol dapat
meningkatkan level
hepatotoksik
metabolit
parasetamol
Parasetamol
Diazepam
–
Asam menurunkan kadar
Valproat
parasetamol dengan
cara meningkatkan
metabolisme.
Peningkatan
metabolisme
parasetamol dapat
meningkatkan level
hepatotoksik
metabolit
parasetamol
Diazepam - Deksametason
Deksametaso meningkatkan
n
kadar atau efek dari
diazepam dengan
cara mempengaruhi
enzim CYP3A4
Diazepam – Asam valproate
Asam
meningkatkan
Valproat
kadar diazepam
dalam darah
dengan cara
menghambat
metabolisme
diazepam
Farmakokinetik Minor
1
Farmakokinetik Minor
Farmakokinetik Minor
Farmakokinetik Moderat
119
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Seftriakson
Parasetamol
Ondansentron
Ranitidine
Metisoprinol
Seftriakson
Ranitidine
Antasid
Seftriakson
Ranitidine
Parasetamol
Seftriakson
Parasetamol
Seftriakson
Ranitidine
Parasetamol
Seftriakson
Ranitidine
Ambroksol
Seftriakson
Pantoprazol
Parasetamol
Seftriakson
Ranitidine
Parasetamol
Puyer batuk
Seftriakson
Ambroksol
Seftriakson
Ondansentron
Parasetamol
Parasetamol
Seftriakson
Parasetamol
Setirizim
CTM
Seftriakson
Parasetamol
Metisoprinol
Seftriakson
Ondansentron
Parasetamol
Seftriakson
Ranitidine
Ondansentron
Parasetamol
Ambroksol
Puyer batuk
Ferris
Ranitidine
Seftriakson
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
120
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Puyer batuk
Parasetamol
Zircum
Lacto B
Setirizin
Gentamisin
Sefotaksim
Parasetamol
Seftriakson
Deksametason
Seftriakson
Ondansentron
Parasetamol
Metisoprinol
Seftriakson
Ranitidine
Parasetamol
Ondansentron
Deksametason
Ambroksol
Parasetamol
Oralit
Puyer batuk
Seftriakson
Ondansentron
Parasetamol
Metilprednisol
on
Seftriakson
Parasetamol
Seftriakson
Ondansentron
Seftriakson
Ondansentron
Diazepam
OAT
(isoniazid,
pyrazinamide,
rifampin)
Ambroksol
Methisoprinol
Tiamfenikol
Seftriakson
Parasetamol
Dexametason
Fluconazole
Meropenem
Sefotaksim - Gentamisin
Gentamisin
meningkatkan efek
nefrotoksik dari
sefotaksim
Unknown Moderat
0
0
0
0
0
0
0
0
Diazepam - Diazepam
Parasetamol
menurunkan kadar
parasetamol dengan
cara meningkatkan
metabolisme.
Peningkatan
metabolisme
parasetamol dapat
meningkatkan level
hepatotoksik
metabolit
parasetamol
Parasetamol - Isoniazid mungkit
Isoniazid
meningkatkan efek
hepatotoksisitas
dari parasetamol
dengan cara
menginduksi enzim
Farmakokinetik Minor
1
Farmakokinetik Moderat
121
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
CYP2E1 sehingga
metabolisme
parasetamol
meningkat
Diazepam - Isoniazid
Isoniazid
menurunkan
bersihan diazepam.
Mekanisme:
isoniazid sebagai
penghambat enzim
sehingga
metabolisme
diazepam menurun
Parasetamol - Rifampin
Rifampin
meningkatkan
metabolisme
parasetamol
sehingga dapat
meningkatkan efek
hepatotoksitas
Diazepam - Rifampin
Rifampin
meningkat
metabolism dan
bersihan diazepam.
Mekanisme:
rifampin bekerja
sebagai
penginduksi enzim
hati
30
31
32
33
34
35
Parasetamol
Omeprazol
Seftriakson
Ranitidine
Ondansentron
Meropenem
Ambroksol
Parasetamol
Ambroksol
Seftriakson
Parasetamol
Seftriakson
Ondansentron
Parasetamol
Lacto B
Zinc
Seftriakson
Ranitidine
Metisoprinol
Seftriakson
Metisoprinol
Parasetamol
Seftriakson
Farmakokinetik Moderat
Farmakokinetik Minor
Farmakokinetik Minor
0
0
0
0
0
0
122
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
Parasetamol
Seftriakson
Ondansentron
Ranitidine
Sefuroksim
Gentamisin
Seftriakson
Parasetamol
Ambroksol
Setirizin
Seretide
(Salmeterol–
Fluticason)
Seftriakson
Parasetamol
Ranitidine
Deksametason
Ambroksol
Seftriakson
Ondansentron
Parasetamol
Lacto B
Zircum
Seftriakson
Parasetamol
Ambroksol
Seftriakson
Parasetamol
Ondansentron
Dexipenem
Parsetamol
Lacto B
Zinc
Seftriakson
Deksametason
Parasetamol
Ondansentron
Ranitidine
Parasetamol
Seftriakson
Parasetamol
Seftriakson
Parasetamol
Puyer batuk
Omeprazol
Seftriakson
Ondansentron
Lacto B
Zinc
Seftriakson
Parasetamol
Seftriakson
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
123
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
50
L - Bio
Zinc
Parasetamol
Ranitidine
Seftriakson
Apyalis
Ambroksol
Seftriakson
Parasetamol
Deksametason
0
0
124
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Download