UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT “X” TANGERANG SELATAN SKRIPSI ROULI MEPARIA UTAMI NIM: 1112102000104 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYTULLAH JAKARTA JUNI 2016 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT “X” TANGERANG SELATAN SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi ROULI MEPARIA UTAMI NIM: 1112102000104 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYTULLAH JAKARTA JUNI 2016 ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah basil karya saya sendiri, dan semua somber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar Nama : Rouli Meparia Utami NIM : 1112102000104 Tanda tangan : Tanggal iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING Nama : Rouli Meparia Utami NIM : 1112102000104 Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Demam Tifoid Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 Disetujui oleh: Pembimbing I Pembimbing II ;1)~ Dr. Delina Hasan.M.Kes., Apt Nurmeilis, M.Si., Apt NIP: 195602101987032003 NIP: 197404302005012003 Mengetahui, Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN SyarifHidayatullah Jakarta Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt NIP. 197404302005012003 iv HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh: Nama : Rouli Meparia Utami NIM : 1112102000104 Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Demam Tifoid Anak di lnstalasi Rawat Inap Rumah Sakit "X" Tangerang Selatan Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu, Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta DEWAN PENGUJI Pembimbing 1 :Dr. Dra. Delina Hasan,M.Kes., Apt ( Pembimbing 2: Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt c Penguji 1 :Dr. Azrifitria, M.Si., Apt Penguji 2 : Yardi, Ph.D., Apt N1) (~') (~ Ditetapkan di : Jakarta Tanggal v ABSTRAK Nama : Rouli Meparia Utami NIM : 1111102000104 Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Identifikasi Drug Related Problems pada Pasien Demam Tifoid Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang termasuk Indonesia. Di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan demam tifoid menduduki peringkat kedua setelah diare akut. Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian atau masalah yang tidak diinginkan terkait terapi obat pasien yang berpengaruh pada outcome yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian DRPs pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan. Adapun kategori DRPs yang diidentifikasi meliputi ketidaktepatan pemilihan obat, dosis obat kurang, dosis obat lebih, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi dan interaksi obat. Penelitian ini juga untuk mengetahui pengaruh antara jumlah penyakit penyerta terhadap jumlah DRPs dan pengaruh jumlah penggunaan obat terhadap jumlah DRPs. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan pengumpulan data secara retrospektif. Data yang digunakan adalah data rekam medis. Data yang diperoleh dikaji secara deskriptif berdasarkan literatur. Penelitian ini menunjukkan bahwa jenis DRPs yang paling banyak terjadi adalah dosis obat lebih (35,18%), diikuti dosis obat kurang (33,33%), interaksi obat (16,67%), indikasi tanpa obat (9,26%) dan obat tanpa indikasi (5,56%). Jumlah penyakit penyerta berpengaruh secara bermakna terhadap jumlah DRPs (P = 0,008). Jumlah penggunaan obat tidak berpengaruh secara bermakna terhadap jumlah DRPs (P = 0,526). Kata kunci: demam tifoid, drug related problems, anak vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ABSTRACT Name : Rouli Meparia Utami NIM : 1112102000104 Major Study : Pharmacy Title : Identification of Drug Related Problems (DRPs) Inpatien Paediatric Typhoid Fever in “X” Hospital Tangerang Selatan Typhoid fever is still a health problem in developing countries such as Indonesia. At “X” Hospital Tangerang Selatan, typhoid fever was ranked second after acute diarrhea. Drug Related Problems (DRPs) are events or unwanted problems related to the patient's drug therapy which affects the desired outcome. This study aimed to identify the incidence of DRPs in children with typhoid fever at “X” Hospital Tangerang Selatan. The categories of DRPs were identified include improper drug selection, dosage too low, dosage too high, indication without medication, medication without indication and drug interactions. This study was also to determine the influence of the number of comorbidities on the number of DRPs and influence the amount of drug use on the number of DRPs. This study is a nonexperimental study with retrospective data collection. The data used are the medical records. The data obtained were examined descriptively based on the literature. This study shows that the most commonly type of DRPs was dosage too high (35.18%), followed by a dosage too low (33.33%), drug interaction (16.67%), indication without medication (9.26%) and medication without indication (5.56%). The number of comorbidities significantly affect on the number of DRPs (P = 0.008). The amount of drug use did not influence significantly on the number of DRPs (P = 0.526). Keyword: typhoid fever, drug related problems, children vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada saya. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat. Syukur atas limpahan cinta dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Demam Tifoid Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan”. Skripsi ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud dan berjalan lancar tanpa bantuan, dukungan, bimbingan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada: (1) Ibu Dr. Delina Hasan, M.Si., Apt. dan Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, dalam penelitian ini juga untuk kesabaran dalam membimbing, memberikan saran, dukungan serta kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga terselesaikannya skripsi ini. (2) Bapak Dr. Arief Sumantri, S.KM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (3) Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (4) Seluruh pihak dosen pengajar Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh pendidikan. (5) Ibu Ria beserta seluruh pihak karyawan ruang administrasi medik yang telah banyak membantu kelancaran dalam pengambilan data. (6) Kedua orang tua tercinta, ayahanda Tobroni dan ibunda Lilis Suryani yang tidak pernah lelah untuk memberikan doa, dukungan moril maupun materil, viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cinta, kasih sayang, semangat dan motivasi kepada penulis dari kecil hingga saat ini. (7) Adik tersayang Rolli Prabu Dwilaksana, serta seluruh keluarga besar atas semangat, dukungan dan doa kepada penulis. (8) Achmad Angri Ramadhan atas semangat, bantuan, dan doa yang bisa menguatkan penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir ini. (9) Nursetyowati Rahayu, Pipit Fitriyah, Putri Wulandari, Zaenab Salsabila, Mauliana atas kebersamaan, persaudaraan, persahabatan, doa, semangat, dukungan, serta selalu menemani dan mendengarkan penulis. (10) Teman seperjuangan penelitian Nabilah Urwatul, Verona Shaqila dan Anissa Florensia atas masukan, bantuan, kesabaran, dan semangat selama masa penelitian hingga penyusunan skripsi. (11) Teman-teman Farmasi 2012 khususnya Farmasi 2012 kelas BD atas kebersamaan, serta berbagi suka dan duka selama perkuliahan. (12) Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian dan penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis berharao kritik dan saran atas kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dunia kefarmasian. Ciputat, Penulis ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Rouli Meparia Utami NIM : 1112102000104 Program Studi: Farmasi Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis karya : Skripsi demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsilk:arya ilmiah saya, dengan judul: IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI INSTLASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT "X"TANGERANGSELATAN untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pemyataan persutujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenamya. Dibuat di: Jakarta Pada Tanggal: 12 Juni 2016 Yang menyatakan, (Roul~tami) X UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................... iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................... iv HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... v ABSTRAK ................................................................................................. vi ASBTRACT ............................................................................................... vii KATA PENGANTAR ............................................................................... viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......... x DAFTAR ISI .............................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiv DAFTAR TABEL ..................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvi DAFTAR ISTILAH .................................................................................. xvii BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitin ............................................................................. 4 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 4 1.5. Ruang Lingkup............................................................................... 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 6 2.1 Drug Related Problems ................................................................... 6 2.1.1 Ketidaktepatan pemilihan obat .............................................. 7 2.1.2 Dosis Kurang dari Dosis Terapi............................................. 7 2.1.3 Dosis Melebihi Dosis Terapi ................................................. 7 2.1.4 Indikasi Tanpa Obat ............................................................... 8 2.1.5 Obat Tanpa Indikasi ............................................................... 8 2.1.6 Interaksi Obat ......................................................................... 9 2.2 Demam Tifoid ................................................................................ 11 2.2.1 Definisi Demam Tifoid .......................................................... 11 2.2.2 Epidemiologi .......................................................................... 12 xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.2.3 Patogenesis............................................................................. 12 2.2.4 Etiologi................................................................................... 13 2.2.5 Gejala Klinis .......................................................................... 14 2.2.6 Penegakan Diagnosis. ............................................................ 16 2.2.7 Penatalaksanaan ..................................................................... 17 2.3 Pediatri ............................................................................................ 23 2.4 Rumah Sakit .................................................................................... 24 2.4.1 Peran Apoteker di Rumah Sakit ............................................. 25 2.5 Rekam Medis................................................................................... 27 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ..... 29 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................ 29 3.2 Definisi Operasional........................................................................ 30 BAB 4 METODE PENELITIAN ............................................................. 32 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 32 4.2 Desain Penelitian .......................................................................... 32 4.3 Populasi dan Sampel ..................................................................... 32 4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ........................................................ 32 4.5 Prosedur Penelitian ....................................................................... 33 4.5.1 Persiapan.............................................................................. 33 4.5.2 Pengumpulan Data............................................................... 33 4.5.3 Pengolahan Data .................................................................. 34 4.6 Analisis Data ................................................................................. 34 4.6.1 Analisis Univariat ................................................................ 35 4.6.2 Analisis Bivariat .................................................................. 35 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 36 5.1 Hasil ................................................................................................ 36 5.1.1 Karakteristik Pasien ............................................................... 36 5.1.2 Profil Penggunaan Obat ......................................................... 37 5.1.2.1 Jumlah Penggunaan Obat ........................................... 39 5.1.3 Drug Related Problems .......................................................... 39 5.1.3.1 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat. ...................... 40 5.1.3.2 DRPs Dosis Obat Kurang. ........................................ 40 xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5.1.3.3 DRPs Dosis Obat Berlebih. ........................................ 41 5.1.3.4 DRPs Indikasi Tanpa Obat. ........................................ 41 5.1.3.5 DRPs Obat Tanpa Indikasi. ........................................ 42 5.1.3.6 DRPs Interaksi Obat................................................... 43 5.1.4 Analisis Bivariat .................................................................... 44 5.1.4.1 Analisis Hubungan Penyakit Penyerta dan DRPs ...... 44 5.1.4.2 Analisis Hubungan Jumlah Obat dan DRPs .............. 45 5.2 Pembahasan .................................................................................... 46 5.2.1 Karakteristik Pasien ............................................................... 46 5.2.2 Profil Penggunaan Obat ......................................................... 47 5.2.2.1 Jumlah Penggunaan Obat ........................................... 49 5.2.3 Drug Related Problems .......................................................... 49 5.2.3.1 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat. ...................... 49 5.2.3.2 DRPs Dosis Obat Kurang. ........................................ 50 5.2.3.3 DRPs Dosis Obat Berlebih. ........................................ 51 5.2.3.4 DRPs Indikasi Tanpa Obat. ........................................ 51 5.2.3.5 DRPs Obat Tanpa Indikasi. ........................................ 52 5.2.3.6 DRPs Interaksi Obat................................................... 52 5.2.4 Analisis Bivariat .................................................................... 54 5.2.4.1 Analisis Hubungan Penyakit Penyerta dan DRPs ...... 54 5.2.4.2 Analisis Hubungan Jumlah Obat dan DRPs .............. 55 BAB 6 PENUTUP...................................................................................... 56 6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 56 6.2 Saran ................................................................................................ 56 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 57 xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Patofisiologi Demam Tifoid ...................................................... 13 xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1 Gejala Demam Tifoid.................................................................. 15 Tabel 1.2 Antibiotika dan Dosis Penggunaan untuk Demam Tifoid .......... 19 Tabel 3.1 Definisi Operasional ................................................................... 30 Tabel 5.1 Karekteristik Pasien Demam Tifoid ............................................ 36 Tabel 5.2 Distribusi Obat Antibiotik........................................................... 37 Tabel 5.3 Distribusi Obat Lain .................................................................... 38 Tabel 5.4 Distribusi Jenis Penggunaan Obat............................................... 39 Tabel 5.5 Distribusi Kategori DRPs ........................................................... 40 Tabel 5.6 Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat Kurang............................ 40 Tabel 5.7 Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat lebih ............................... 41 Tabel 5.8 Distribusi DRPs Kategori Indikasi Tanpa Obat .......................... 42 Tabel 5.9 Distribusi DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi .......................... 42 Tabel 5.10 Distribusi DRPs Kategori Interaksi Obat .................................. 43 Tabel 5.11 Distribusi DRPs Kategori Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan dan Mekanisme ...................................................... 44 Tabel 5.12 Hasil Analisis Hubungan Penyakit Penyerta dengan DRPs ..... 44 tabel 5.13 Hasil Analsis Hubungan Jumlah Obat dengan DRPs ................. 45 xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Data Pasien .............................................................................. 63 Lampiran 2 Data Obat ................................................................................. 113 Lampiran 3 Penilaian DRPs yang Dialami Pasien Demam Tifoid Anak.... 116 Lampiran 4 Data Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat Kurang ................ 117 Lampiran 5 Data Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat Lebih .................. 118 Lampiran 6 Data Distribusi DRPs Kategori Interaksi Obat ........................ 119 xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR ISTILAH 5-HT3 : Serotonin AR-H2 : Antagonis Reseptor Histamin 2 BAB : Buang Air Besar CFU : Colony Form Unit DBD : Demam Berdarah Dengue ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut ISK : Infeksi Saluran Kemih NP : Nomor Pasien PPM IDAI : Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia SMRS : Surat Masuk Rumah Sakit UGD : Unit Gawat Darurat xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid yang biasa kita kenal juga dengan demam enterik atau tifus merupakan sindrom klinis yang dihasilkan oleh infeksi organisme Salmonella typhi. Hingga saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di negara-negara berkembang terutama negara-negara dengan tingkat sanitasi yang rendah termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri kasus ini tersebar merata diseluruh provinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 385 per 100.000 penduduk per tahun dan di daerah perkotaan 760 per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar 600.000 dari 1,5 juta kasus per tahun dengan angka kematian sebesar 3,1% sampai 10,4% (Pawitro dkk, 2002). Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 prevalensi demam tifoid mencapai 1,6%. Di tahun 2010 demam tifoid masih menduduki peringkat tiga dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia (Kemenkes, 2010). Insiden tertinggi demam tifoid terdapat pada anak-anak. Demam tifoid pada anak banyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi klinis yang ringan. Masa inkubasi demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari dengan gejala yang timbul sangat bervariasi (Musnelina, 2004). Data dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangukusumo, Jakarta ada sekitar 50 kasus demam tifoid pertahun dan penyakit ini termasuk 10 kasus terbanyak penyebab morbiditas pada penyakit rawat inap. Dalam penggunaannya, antibiotika berbeda dengan penggunaan jenis obatobatan yang lainnya, selain harus memperhatikan pasien dan obat kita juga harus memperhatikan karakteristik dari infeksi yang akan ditangani (Gyssen, 2005). Penggunaan antibiotika yang tidak tepat tidak akan memperbaiki keadaan karena tujuan terapi yang optimal tidak akan tercapai, dapat menimbulkan resistensi, interaksi obat, efek samping serta melonjaknya biaya pengobatan (Van der Meer, 2001). Penggunaan obat pada anak-anak tidak seperti pada orang dewasa pada umumnya, mengingat anak berbeda dengan orang dewasa. Kejadian kesalahan 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 dalam pengobatan serta resiko kesalahan yang serius lebih sering terjadi pada anak dibandingkan pada orang dewasa terkait dengan masalah perhitungan dosis, tidak adanya standar dosis bagi anak serta tidak terdapat bentuk sediaan dan formulasi yang sesuai (Prest, 2003). Menurut Cohen (1999), anak menempati peringkat kedua yang sering dilibatkan dalam kejadian Drug Related Problems (DRPs) setelah geriatri. DRPs merupakan kejadian yang tidak diinginkan dari pengalaman pasien terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diharapkan (Strand, 1990). Penelitian di Saudi Arabia menyatakan sebesar 45,2% pasien anak usia 0-18 tahun mengalami DRPs. Faktor resiko terjadinya DRPs pada anak-anak disebabkan adanya polifarmasi obat dalam peresepan di unit pelayanan kesehatan di Saudi Arabia (Rashed et al., 2012). Pada penelitian yang dilakukan di Eropa, dari 451 kasus DRPs pada anak, angka kejadian DRPs kategori dosis obat kurang terjadi sebesar 18,4%, kemudian diikuti kategori interaksi obat (4,0%), obat tanpa indikasi (2,2%) dan dosis obat lebih (1,8%) (Bouvy, 2004). Di Swedia, dari 249 kasus DRPs pada anak, angka kejadian DRPs kategori masalah pemilihan obat dan dosis pada anak terjadi sebesar 34%, kemudian diikuti kategori interaksi obat sebesar 12% (Kimland, 2006). Untuk itu anak harus diprioritaskan dalam penanganan DRPs karena kondisi fisiologisnya belum sempurna sehingga faktor-faktor absorbsi, distribusi, metabolisme serta ekskresi obat tidak bisa disamakan begitu saja dengan orang dewasa. Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan merupakan rumah sakit negeri yang memiliki peralatan lengkap. Dari studi penulusuran yang telah dilakukan diketahui jumlah pasien yang mengalami demam tifoid dengan atau tanpa penyakit penyerta yang dirawat inap pada tahun 2014 adalah 317 pasien, sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 367 pasien. Nilai ini menunjukkan jumlah yang cukup tinggi. Apabila jumlah pasien demam tifoid yang dirawat inap tinggi sedangkan jumlah tenaga medis kurang maka monitoring pasien dan pemberian obat pada pasien kurang maksimal. Hal tersebut dapat mendorong terjadinya Drug Related Problems terutama pada pasien anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan periode tahun 2015. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 Disinilah diperlukan adanya peran farmasis yang memiliki komitmen kuat dan berkemampuan dalam menangani kejadian DRPs guna meminimalkan angka kejadian DRPs. Pada praktik pelayanan farmasi klinik apoteker atau farmasis memegang peranan penting dalam pencapaian terapi obat dan menghindari terjadinya Drug Related Problems (DRPs). Dalam hal ini farmasis harus memiliki pengetahuan tentang penggunaan obat pada anak-anak agar dapat memberikan saran yang tepat bagi dokter, perawat, tenaga medis lainnya maupun orang tua anak (Prest, 2003). Selain itu, untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka dalam penentuan kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi yang disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya (Permenkes RI, 2014). Berdasarkan paparan di atas, bahwa pemilihan obat untuk pasien anak dengan demam tifoid adalah penting untuk menghindari dan menurunkan angka kejadian DRPs, sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas pelayanan di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penyakit demam tifoid merupakan penyakit yang berbahaya baik terhadap orang dewasa maupun anak-anak dan sering ditemui di negara-negara berkembang seperti Indonesia. 1.2.2 Prevalensi penyakit ini menurut data Riskesdas tahun 2007 adalah 1,60%. 1.2.3 Terapi demam tifoid dibagi menjadi pengobatan simptomatik dan spesifik dengan antibiotik sehingga membutuhkan terapi kombinasi. 1.2.4 Penggunaan kombinasi obat yang tidak tepat dapat meningkatkan resiko terjadinya Drug Related Problems. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan pada penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui jenis DRPs yang terjadi pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan tahun 2015. 2. Mengetahui pengaruh antara penyakit penyerta dengan DRPs yang dialami pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan tahun 2015. 3. Mengetahui pengaruh antara jumlah penggunaan obat dengan DRPs yang dialami pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan tahun 2015. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan serta wawasan tentang drug related problem yang terjadi pada pengobatan pasien demam tifoid anak. 1.4.2 Manfaat Metodologi Penelitian ini dilakukan secara retrospesktif dan diharapkan dapat dijadikan referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis sejenis di rumah sakit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5 yang memiliki karakteristik yang sama dengan Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan. 1.4.3 Manfaat Aplikatif Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan dalam menetapkan penangan atau pengobatan demam tifoid pada pasien anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian dengan judul “Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Demam Tifoid Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan” hanya dibatasi pada identifikasi DRPs yang ditinjau dari ketidaktepatan pemilihan obat, dosis obat kurang, dosis obat lebih, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, dan interaksi obat pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan. Pada penelitian ini desain yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan retrospektif. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2016 sampai dengan April 2016 di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dengan jumlah sampel sebanyak 50. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Drug Related Problems (DRPs) Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) mendefinisikan DRPs adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (PCNE, 2010). DRPs dapat juga dikatakan sebagai suatu pengalaman atau kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien (Cipolle, R. J., et al., 1998). Terdapat dua jenis DRPs, yaitu DRPs aktual dan potensial. Keduanya memiliki perbedaan tetapi pada kenyataannya problem yang muncul tidak selalu terjadi dengan segera dalam prakteknya. DRPs aktual adalah suatu masalah yang telah terjadi dan farmasis wajib mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Sedangkan DRPs potensial dikarenakan resiko yang sedang berkembang jika farmasis tidak turun tangan (Rovers, J. P., et al., 2003). Ada 8 kategori dari Drug Related Problems (Strand et al, 1990): a. Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk kondisi tersebut. b. Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak mempunyai indikasi medis yang valid. c. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi tidak mendapatkan obat yang tidak aman, tidak paling efektif, dan kontraindikasi dengan pasien tesebut. d. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut kurang. e. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tesebut lebih. f. Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang merugikan. g. Pasien mempunyai kondisi medis akibat interaksi obat - obat, obat - makanan, obat - hasil laboratorium. 6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7 h. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi tidak mendapatkan obat yang diresepkan. 2.1.1 Ketidaktepatan Pemilihan Obat Ketidaktepatan pemilihan obat merupakan keadaan dimana pasien telah diresepkan obat yang salah. Pertama, terapi obat yang digunakan untuk mengobati kondisi medis pasien tidak efektif. Kedua, obat yang diterima pasien bukan merupakan obat yang paling efektif. Ketiga, pasien mempunyai kontraindikasi atau menimbulkan alergi terhadap obat yang diterima. Keempat, pasien menerima kombinasi obat yang sama efektifnya dengan terapi obat tunggal. Kelima, pasien menerima obat yang lebih mahal bukan obat yang lebih murah dan memiliki efektivitas yang sama (Mahmoud, 2008). 2.1.2 Dosis Obat Kurang dari Dosis Terapi Pada dasarnya, dosis semua obat dipertimbangkan berdasarkan penyakit, dan informasi riwayat pasien. Dosis dapat dikatakan kurang optimal jika konsentrasi obat di serum tidak tercapai bersamaan dengan adanya tanda-tanda dan gejala, maka hal ini dapat dikatakan DRP (Strand dkk, 1990). Parameter lain dosis rendah adalah frekuensi pemberian dosis yang tidak sesuai, jarak dan waktu pemberian terapi obat terlalu singkat, penyimpanan obat yang tidak sesuai (misalnya, menyimpan obat di tempat yang terlalu panas atau lembab, menyebabkan degradasi bentuk sediaan dan dosis subterapi), pemberian obat yang tidak sesuai dan interaksi obat (Mahmoud, 2008). 2.1.3 Dosis Obat Melebihi Dosis Terapi Hal ini terjadi ketika dosis yang diberikan terlalu tinggi untuk memberikan efek, dosis obat ditingkatkan secara cepat, frekuensi pemberian, durasi terapi, cara pemberian obat pada pasien yang tidak tepat, dan konsentrasi obat diatas kisaran terapi (Strand, et al, 1998). Seorang pasien yang menerima dosis obat yang terlalu tinggi dan mengalami efek toksik yang tergantung dosis atau konsentrasi menunjukkan pasien mengalami DRPs (Cippole et.al 1998). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 Pemberian obat dengan dosis berlebih mengakibatkan toksisitas. Hal ini dapat disebabkan oleh: a. Dosis obat terlalu tinggi untuk pasien b. Konsentrasi obat dalam plasma pasien di atas rentang terapi yang dikehendaki c. Dosis obat pasien dinaikkan terlalu cepat d. Pasien mengakumulasi obat karena pemberian yang kronis e. Obat, dosis, rute, formulasi tidak sesuai f. Fleksibilitas dosis dan interval tidak sesuai (Strand dkk, 1990). 2.1.4 Indikasi Tanpa Obat Indikasi tanpa obat adalah terjadi ketika pasien mengalami gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat, pasien menderita penyakit kronis lain sehingga membutuhkan terapi obat lanjutan, pasien membutuhkan kombinasi obat untuk memperoleh efek sinergis, pasien berpotensi untuk mengalami resiko gangguan penyakit baru yang dapat dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaksis atau premedikasi (Mahmoud, 2008). 2.1.5 Obat Tanpa Indikasi Obat tanpa indikasi adalah terjadi ketika seorang pasien mendapatkan terapi obat yang tidak perlu, yang indikasi klinisnya tidak ada pada saat itu (Mahmoud, 2008). Pemberian obat tanpa indikasi disamping merugikan penderita secara finansial juga dapat merugikan penderita yang berpotensi memberikan efek yang tidak dikehendaki. Pemberian obat tanpa indikasi ini dapat disebabkan oleh (Cippole, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005): a. Penderita menggunakan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit pada saat ini b. Penyakit penderita terkait dengan penyalahgunaan obat, alkohol atau merokok c. Kondisi medis penderita lebih baik ditangani dengan terapi non obat seperti diet, olahraga atau operasi d. Penderita memperoleh polifarmasi untuk kondisi yang indikasinya cukup mendapat terapi obat tunggal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 9 e. Penderita memperoleh terapi obat untuk mengatasi efek obat yang tidak dikehendaki yang disebabkan oleh obat lain yang seharusnya dapat diganti dengan obat yang lebih sedikit efek sampingnya. 2.1.6 Interaksi Obat Dapat dikatakan interaksi jika terjadi efek dari satu obat yang dipengaruhi dengan adanya obat lain, jamu, makanan, minuman atau oleh beberapa bahan kimia. Hasil interaksi dapat berbahaya jika terjadi peningkatan toksisitas obat. Namun terdapat juga interaksi obat yang tidak benar-benar mempengaruhi sama sekali seperti efek aditif dari kedua obat yang memiliki efek yang sama (Stockley, 2008). 2.1.6.1 Mekanisme Interaksi Obat Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi 2 secara umum yaitu: 1. Interaksi Farmakokinetik Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada berbagai tahap meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (Aslam et al., 2003). a. Absorpsi Terjadi perubahan absorpsi pada gastrointestinal dengan berbagai mekanisme. Suatu obat mengakibatkan absoprsi obat lain menjadi lebih cepat, lambat, sedikit atau menjadi berlebih. Perubahannya bisa terjadi pada pH saluran cerna, flora usus, terjadi kompleksasi, atau perubahan motilitas saluran cerna (Tatro, 2001). b. Distribusi Pada interaksi ini dapat terjadi melalui beberapa hal, yaitu: interaksi ikatan protein dan induksi atau inhibisi transpor protein obat (Stockley, 2008). c. Metabolisme Sebagian besar obat dimetabolisme di hati, terutama oleh enzim sitokrom P450 monooksigenase. Induksi enzim oleh suatu obat dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengurangi efeknya. Sebaliknya penghambatan enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan peningkatan toksisitas obat lain (Aslam et al., 2003). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 d. Ekskresi Sebagian besar obat dieksresikan melalui empedu atau urin, pengecualian untuk obat anestesi inhalasi. Interaksi dapat dilihat dari perubahan pH, perubahan aliran dara diginjal, ekskresi empedu dan ekskresi tubulus ginjal (Stockley, 2008). 2. Interaksi Farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek dari satu obat terjadi perubahan karena adanya obat lain. Terkadang obat bersaing untuk reseptor tertentu misalnya agonis beta2, seperti salbutamol, dan beta bloker seperti propranolol) namun seringkali reaksi terjadi secara langsung dan mempengaruhi mekanime fisiologi. Interaksi ini diklasifikasikan menjadi beberapa tipe: a. Interaksi aditif atau sinergis Jika dua obat memiliki efek farmakologis yang sama dan diberikan secara bersama-sama maka dapat memberikan efek yang aditif. Misalnya, alkohol menekan SSP, dan jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar (misalnya ansiolitik, hipnotik, dll) dapat meningkatkan efek ngantuk. b. Interaksi antagonis atau berlawanan Interaksi ini berbeda dengan interaksi aditif, dimana ada beberapa pasang obat dengan kerja yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah dengan menghambat kompetitif efek vitamin K (Stockley, 2008). Merupakan interaksi dimana efek suatu obat diubah oleh obat lain. Hal ini dapat terjadi akibat kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem fisiologi yang sama. Interaksi yang paling aman terjadi sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel atau enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama, sebaliknya antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat (Aslam et al., 2003). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 11 2.1.6.2 Tingkat Keparahan Interaksi Obat Keparahan interaksi dapat diklasifikasikan ke berdasarkan tingkatan keparahanan: minor, moderate, atau major. 1. Keparahan minor Interaksi obat minor biasanya memberikan potensi yang rendah secara klinis dan tidak membutuhkan terapi tambahan. Contoh interaksi minor adalah interaksi hidralazin dan furosemid. Dimana efek farmakologis furosemid dapat meningkat jika diberikan bersamaan dengan hidralazin, tetapi secara klinis tidak signifikan. Interaksi obat minor dapat diatasi dengan menilai rejimen pengobatan. 2. Keparahan moderate Interaksi moderate sering membutuhkan pengaturan dosis atau dilakukan pemantauan. Contohnya, obat rifampisin dan isoniazid yang dapat menyebabkan peningkatan terjadinya hepatotoksisitas. Namun, kombinasi ini masih sering digunakan dan diiringi dengan melakukan pemantauan enzim hati. 3. Keparahan major Interaksi major pada umumnya harus dihindari bila memungkinkan, karena dapat menyebabkan potensi toksisitas yang serius. Contohnya, ketokonazol yang dapat menyebabkan peningkatan cisaprid sehingga dapat memperpanjang interval QT dan mengancam jiwa. Sehingga kombinasi ini tidak disarankan untuk digunakan (Atkinson, dkk., 2007). 2.2 Demam Tifoid 2.2.1 Definisi Demam Tifoid Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam (38o C atau lebih) selama satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Rampengan, 2008). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 12 2.2.2 Epidemiologi Demam Tifoid Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003, terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 3,5%. Angka kejadian penyakit demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai dengan 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Simanjutak (2009) mengemukakan bahwa insiden tifoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-180 per 100.000 penduduk. Demikian juga dari telaah kasus demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500 per 100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan (Kemenkes, 2006). 2.2.3 Patogenesis Demam Tifoid Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak (Sudoyo, 2006). Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembangbiak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembangbiak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembangbiak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembangbiak, dan bersama cairan empedu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi (Widodo, 2006). Kelainan utama terjadi di ileum terminal dan plaque Peyeri yang hiperplasia (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi (Rampengan, 2008). Makanan dan minuman yang tercemar S. typhi Mulut Lambung Usus Halus Menyebar ke bagian tubuh lain Hati dan Limfa Plak Peyer Gambar 1.1 Patofisiologi Demam tifoid Sumber: Nasronuddin, et al. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya: Airlangga UniveRumah Sakitity Press, p. 121-24. 2.2.4 Etiologi Demam Tifoid Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi yang berhasil diisolasi pertama kali oleh Gaffkey di Jerman pada tahun 1884 (Pawitro dkk, 2002). Kuman ini merupakan kuman Gram negatif, motil dan menghasilkan spora. Dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit dan mati pada pemanasan 70o C selama 15 menit maupun oleh antiseptik (Rampengan, 2008). Salmonella typhi mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu: 1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 14 2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella. 3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan erat dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin. 4. Antigen Outer Membrane Protein (OMP) Salmonella typhi merupakan bagian dari dinding sel terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya (Pasaribu, 2001). Kuman ini mudah dimusnahkan jika berada di luar tubuh karena akan mati terkena sinar matahari tetapi tahan terhadap pembekuan. Organisme ini dapat dibunuh dengan desinfektan dan perebusan selama 15 menit. Pada keadaan kering umumnya mati dalam beberapa menit. Jika melekat pada tinja akan terlindungi dan dapat bertahan hidup sekalipun tinja sudah hancur. Kemampuanya hidup pada tinja tergantung pada peningkatan temperatur, komposisi tinja dan kehadiran organisme lain. Pada keadaan normal tidak bisa bertahan lama dalam tanah. Dalam sampah kasar hanya dapat bertahan selama 12 hari dan di septic tank selama 14 hari (Soeharyo, 1996). 2.2.5 Gejala Klinis Demam Tifoid Masa inkubasi dari Salmonella typhi pada anak adalah sekitar 10-14 hari. Gejala klinis dari demam tifoid sangat bervariasi mulai dari gejala klinis yang ringan sehingga tidak memerlukan perawatan yang khusus sampai dengan gejala klinis yang berat sehingga membutuhkan perawatan khusus. Pada umumnya semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada permulaan penyakit. Biasanya pola demam pada demam tifoid dikenal dengan istilah step-ladder temperature chart selama 2-7 hari yang ditandai dengan demam terus-menerus dan setiap harinya ada kenaikan suhu secara bertahap dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama yang bisa mencapai 40º C. Demam akan bertahan tinggi dan akan berangsur turun di minggu keempat. Pada demam tifoid pasien akan mengeluhkan demam yang meningkat di sore dan malam hari dan berangsur turun pada pagi hari. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 15 Demam yang sangat tinggi mengakibatkan munculnya keluhan pada saraf pusat seperti kesadaran menurun bahkan sampai koma (Soedarmo, 2012). Gejala sistemik yang muncul menyertai gajala demam antara lain sakit kepala, malaise, anoreksia, nausea, myalgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Ketika demam sangat tinggi disertai dengan asupan cairan yang kurang maka bisa timbul syok hipovolemik. Penurunan pulsasi juga timbul pada saat demam. Demam tifoid juga menimbulkan gejala pada gastrointestinal yang keluhannya dapat berupa diare lalu obstipasi, ataupun obstipasi lalu diare. Pada sebagian pasien lidah akan terlihat kotor dengan bagian tengah lidah terlihat putih sedangkan bagian pinggir lidah terlihat kemerahan. Pada anak banyak dijumpai gejala meteorismus. Hepatomegaly lebih banyak dijumpai pada anak Indonesia dibandingkan dengan splenomegaly. Pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang dengan kulit putih dapat terlihat rose spot yaitu berupa ruam makulopapular berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm yang muncul pada hari ke 7-10 dan akan bertahan selama 2-3 hari. Rose spot tersebut tidak pernah dilaporkan terjadi pada pasien anak di Indonesia (Soedarmo, 2012). Tabel 2.1 Gejala Demam Tifoid Periode Penyakit Minggu Pertama Minggu Kedua Minggu Ketiga Keluhan Panas berlangsung terus-menerus, tipe panas step ladder yang mencapai 40º C, menggigil dan nyeri kepala Rash, nyeri abdomen, konstipasi, delirium Gejala Gangguan saluran cerna Patologi Bakterimia Rose spot, splenomegaly dan hepatomegaly Komplikasi: perdarahan saluran cerna, perforasi dan syok Melena, ileus, ketegangan abdomen dan koma Vasculitis disertai adanya hyperplasia pada payer’s patches Ulserasi pada plaque Peyeri disertai ploriferasi dan peritonitis Kolesistitis dan karier kronik Minggu Keempat, Keluhan menurun, dst relaps dan penurunan berat badan Sumber: Nasronudin dkk, 2007 Tampak sakit berat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 16 2.2.6 Penegakan Diagnosis Demam Tifoid Penegakan diagnosis untuk demam tifoid didasarkan dengan gejala klinis berupa demam, keluhan gastrointestinal dan dapat disertai dengan keluhan penurunan kesadaran yang ditunjang dengan pemerikasaan laboratorium. Diagnosis pasti atau diagnosis definitif demam tifoid ditegakkan ketika ditemukannya Salmonella typhi pada hasil kultur darah, sumsum tulang, atau lesi anatomi lain. Berikut adalah kriteria yang bisa membantu penegakan diagnosis untuk demam tifoid: a) Kasus demam tifoid yang sudah dikonfirmasi Apabila pasien demam dengan suhu 38º C atau lebih yang sudah diderita minimal 3 hari dengan hasil kultur (darah, sumsum tulang, cairan usus) positif ditemukan Salmonella typhi. b) Kemungkinan kasus demam tifoid Apabila ada pasien demam dengan suhu 38º C atau lebih yang sudah diderita minimal 3 hari dengan hasil uji sero diagnosis atau deteksi antigen yang positif tapi tanpa pemeriksaan kultur Salmonella typhi. c) Kronik karier Ekskresi dari Salmonella typhi di urin atau feses setelah 1 tahun atau lebih setelah terserang demam tifoid akut. 2.2.6.1 Uji Serologis Widal Uji serologis widal merupakan suatu metode serologis yang memeriksa derajat aglutinasi antibody terhadap antigen somatik (O) dengan antigen flagelar (H). Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan menggunakan uji widal menunjukkan nilai 1 positif 96% yang artinya apabila hasil positif 96% kasus benar demam tifoid. Biasanya antibodi O akan terdeteksi pada hari ke 6-8 sedangkan antigen H terdeteksi pada hari ke 10-12 setelah timbulnya penyakit. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli, diagnosis dapat ditegakkan apabila terjadi kenaikan sebesar 4 kali titer O aglutinin sekali periksa >1/200 atau pada titer sepasang. Aglutinin H sering dikaitkan dengan infeksi masa lalu atau pasca imunisasi. Sedangkan aglutinin Vi dipakai untuk mendeteksi karier infeksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 17 Salmonella typhi. Meskipun banyak para ahli mengemukakan bahwa uji serologis widal kurang dapat dipercaya karena dapat memberikan hasil positif palsu maupun negatif palsu namun uji widal yang paling sering digunakan oleh para dokter untuk menegakkan diagnosis demam tifoid. 2.2.6.2 IDL Tubex Test Tes tubex sering dijadikan pilihan untuk meneggakan diagnosis demam tifoid arena mudah dilakukan serta hasilnya bisa langsung dilihat hanya dalam waktu 2 menit. Tes tubex menunjukkan hasil yang lebih spesifik karena tes ini mendeteksi antibody terhadap antigen tunggal yang terdapat di Salmonella typhi yaitu antigen O9 yang merupakan antigen yang sangat spesifik yang tidak ditemukan di mikroorganisme lain. Hasil tubex yang positif dapat dijadikan penunjang ditegakkannya diagnosis demam tifoid. 2.2.6.3 IgM Dipstick Test IgM dipstick test didesain untuk serodiagnosis dari demam tifoid dengan mendeteksi antibody IgM spesifik Salmonella typhi yang terdapat dalam serum. Pemeriksaan dengan menggunakan IgM dipstick ini mudah dan efisien sehingga sering digunakan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid ketika kultur darah tidak tersedia. 2.2.7 Penatalaksanaan Demam Tifoid Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Eradikasi total bakteri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan karier merupakan hal yang penting untuk dilakukan (Nelwan, 2012). Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi: istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal (Kemenkes, 2006). Langkah-langkah dukungan penting dalam penanganan demam tifoid, seperti hidrasi oral atau intravena, penggunaan antipiretik, gizi yang tepat dan transfusi darah jika dibutuhkan. Pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 18 dengan muntah terus-menerus, diare berat dan distensi abdomen memerlukan rawat inap dan terapi antibiotik parenteral (WHO, 2003). 2.2.7.1 Perawatan Umum dan Nutrisi Pasien demam tifoid, dengan gambaran klinik jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang memiliki fasilitas perawatan (Kemenkes, 2006). a. Tirah Baring Pasien yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila gejala klinis berat, pasien harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Jika penyakit membaik, makan dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Buang air besar dan kecil sebaiknya dibantu oleh perawat. Hindari pemasangan kateter urin tetap, bila tidak ada indikasi (Kemenkes, 2006). b. Nutrisi • Cairan Pasien harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada pasien sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis cairan parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi dosis, cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal (Kemenkes, 2006). • Diet Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk pasien tifoid, biasanya diklasifikasikan atas: diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. Bila keadaan pasien baik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini). Tapi bila pasien dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19 Pasien dengan kesadaran menurun diberi diet secara parenteral melalui pipa lambung. Diet parenteral dipertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi perdarahan dan atau perforasi (Kemenkes, 2006). • Terapi Simptomatik Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum pasien: - Vitamin - Antipiretik - Antiemetik (Kemenkes, 2006) 2.2.8 Antibiotika untuk Demam Tifoid Obat pilihan yang digunakan pada demam tiofid dibagi menjadi lini pertama dan lini kedua. Antibiotika lini pertama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol, penisilin dan trimetoprim-sulfametoxazole (kotrimoksazol). Bila pemberian salah satu antibiotika lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotika lain atau dipilih antibiotika lini kedua yaitu seftriakson, sefiksim dan kuinolon. Berikut adalah tabel rekomendasi pemberian antibiotika pada demam tifoid menurut Kementrian Kesehatan: Tabel 3. Antibiotika dan Dosis Penggunaan untuk Demam Tifoid Antibiotika Kloramfenikol Dosis Dewasa: 4 x 500 mg selama 10 hari Anak 100 mg/kgBB/hari, per oral atau intravena, dibagi 4 dosis, selama 1014 hari Seftriakson Dewasa: 2-4gr/hari selama 3-5 hari Anak: 20-80 mg/kgBB/ hari, IM atau IV, dosis tunggal selama 5 hari Kelebihan dan Keuntungan • Merupakan obat yang sering digunakan dan telah lama dikenal efektif untuk tifoid • Murah dan dapat diberikan peroral serta sensitivitas masih tinggi • Pemberian PO/IV • Tidak diberikan bila lekosit <2000/mm3 • Cepat menurunkan suhu, lama pemberian pendek dan dapat dosis tunggal serta cukup aman untuk anak. • Pemberian IV UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20 Ampisilin dan Dewasa: 1.5-2 Amoksisilin selama 7-10 hari Kotrimoksazol Kuinolon gr/hr Anak: 100 mg/kgBB/hari per oral atau intravena, dibagi 3 dosis, selama 10 hari. Dewasa: 2 x (160-800) selama 7-10 hari Anak: 4-6 mg/kgBB/ hari, per oral, dibagi 2 dosis, selama 10 hari. Siprofloksasin 2 x 500 mg selama 1 minggu Ofloksasin 2 x (200 - 400) selama 1 minggu Sefiksim Anak: 20 mg/kgBB/hari, per oral, dibagi menjadi 2 dosis, selama 10 hari Tiamfenikol Dewasa: 4 x 500 mg/hari Anak: 50 mg/kgbb/hari selama 5-7 hari bebas panas Sumber: Kemenkes, 2006 • Aman untuk pasien hamil • Sering dikombinasi dengan kloramfenikol pada pasien kritis • Tidak mahal • Pemberian PO/IV • Tidak mahal • Pemberian per oral • Pefloksasin dan Fleroksasin lebih cepat menurunkan suhu • Efektif mencegah relaps dan kanker • Pemberian peroral • Pemberian pada anak tidak dianjurkan karena efek samping pada pertumbuhan tulang • Aman untuk anak • Efektif • Pemberian per oral • Dapat dipakai untuk anak dan dewasa • Dilaporkan cukup sensitif pada beberapa daerah 2.2.8.1 Kloramfenikol Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan pasien demam tifoid anak. Kloramfenikol berikatan secara reversibel pada tempat reseptor subunit ribosom 50s bakteri, obat ini mencegah perubahan asam amino menjadi rantai peptida sehingga menghambat sintesis protein baru (Puspita, 2012). Kloramfenikol yang diberikan secara oral memiliki waktu paruh 4-6 jam dan akan mengalami absorbsi secara cepat dan lengkap dengan bioavailabilitas sebesar 80%. Setelah diabsorbsi selanjutnya obat tersebut akan didistribusi ke seluruh jaringan tidak terkecuali susunan saraf pusat dan cairan serebrospinal. Sebanyak 30% sampai 40% dari kloramfenikol yang beredar dalam sirkulasi terikat dengan protein dan obat ini mudah menembus membran sehingga dapat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 21 terdistribusi melalui plasenta dan terkandung pada ASI. Anak-anak biasanya diberikan kloramfenikol palmitat per oral dengan dosis 50-75 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberiaan dengan dosis maksimum 4 g/hari selama 10-14 hari. Selain sediaan per oral tersedia pula kloramfenikol sediaan parenteral yaitu kloramfenikol suksinat dengan dosis 25-50 mg/kg/hari yang dapat diberikan secara intravena maupun intramuskular. Efek samping yang umum terjadi pada penggunaan kloramfenikol adalah sakit kepala, diare, mual dan ruam (Puspita, 2012). Kloramfenikol akan berinteraksi dengan hidantoin, barbiturate, warfarin dan sulfonilurea. Interaksi yang timbul berupa perpanjangan waktu paruh dan peningkatan kosentrasi darah dari obat-obat tersebut. Selain itu, kloramfenikol juga dapat menurunkan efek dari obat sianokobalamin dan vaksin tifoid (Puspita, 2012). 2.2.8.2 Seftriakson Setelah maraknya kerjadian resistensi terhadap kloramfenikol, ampisilin dan TMP-SMZ, sefalosporin generasi ketiga kini menjadi pilihan untuk terapi demam tifoid, terutama seftriakson. Aktivitas antimikrobanya sama dengan penisilin yaitu menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara berikatan dengan satu atau lebih protein pengikat penisilin, menghambat tahap akhir transpeptidase dari sintesis peptidoglikan dan mengaktivasi enzim autolitik pada dinding sel bakteri sehingga menyebabkan kerusakan dinding sel dan kematian bakteri. Obat ini didistribusi secara luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh tidak terkecuali cairan serebrospinal. Seftriakson terikat pada protein plasma sebesar 85% sampai 95% dan memiliki waktu paruh 9 jam (Puspita, 2012). Dosis seftriakson yang dianjurkan untuk anak adalah 20-80 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 g/hari) selama 5-7 hari. Dari hasil penelitian oleh tim dokter Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universtitas Indonesia (FKUI) pemberian seftriakson lebih dianjurkan dibandingkan pemberian kloramfenikol karena terapi kloramfenikol membutuhkan waktu selama 14 hari. Pada pemberian seftriakson demam akan turun dan hasil kultur akan negatif pada hari keempat sehingga pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan waktu 5-7 hari saja sehingga akan menekan biaya pengobatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 22 Selain itu sudah banyak kasus multidrug resistance Salmonella typhi (MDRST) terhadap kloramfenikol (Puspita, 2012). 2.2.8.3 Penisilin Penisilin merupakan obat beta-laktam yang bekerja sebagai obat antimikroba dengan merusak dinding bakteri. Golongan penisilin yang bisa digunakan untuk pengobatan demam tifoid adalah ampisilin dan amoksisilin. Penisilin bekerja dengan cara mengganggu sintesis dinding sel bakteri selama proses multiplikasi berlangsung dengan cara berikatan dengan dua atau lebih protein pengikat penisilin, menyebabkan kematian dinsing sel dan menghasilkan aktivitas bakterisid untuk bakteri yang sensitif (Puspita, 2012). Penisilin dapat diberikan secara oral maupun parenteral. Absorpsi obat akan berlangsung secara cepat dan lengkap setelah pemberian parenteral, sedangkan dengan pemberian secara oral akan diabsorpsi hampir utuh sebesar 74% - 92% dari dosis tunggal yang diberikan dan dipengaruhi oleh kestabilan asam dan ikatan protein. Setelah diabsorpsi penisilin akan didistribusi ke dalam jaringan dan cairan tubuh, namun penisilin tidak menembus dinding sel dan tidak larut dalam sel. Amoksisilin dan ampisilin mempunyai spektrum dan aktivitas yang sama, hanya saja amoksisilin lebih mudah diserap usus sehingga dalam pemberiannya dosis amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan dosis ampisilin. Dosis untuk anak yang dianjurkan adalah 100-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis pemberian oral. Namum ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang bila dibandingkan dengan kloramfenikol sehingga jarang dijadikan pilihan untuk terapi demam tifoid (Puspita, 2012). 2.2.8.4 Trimetoprim dan Sulfametoksazol (TMP-SMZ) Efek antimikroba dari trimetoprim adalah menghambat reduksi asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat menyebabkan enzim pada pembentukan asam folat terhambat, sedangkan sulfametoksazol bekerja dengan cara menghambat pembentukan asam dihidrofolat dari asam para-aminobenzoat (PABA). TMP-SMZ diabsorpsi hampir utuh (90% - 100%) dan didistribusian ke seluruh jaringan dan cairan tubuh tidak terkecuali cairan serebrospinal serta dapat melewati plasenta. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 23 Trimetoprim berikatan dengan protein plasma sebesar 45% dan dimetabolisme menjadi oksida dan metabolit terhidroksilasi. Sedangkan sulfametoksazol berikatan dengan protein plasma sebesar 68% dan dimetabolisme menjadi N-asetilasi dan glukoronida. Dosis yang dianjurkan untuk anak adalah 6-12 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis atau setiap 12 jam. Dapat diberikan secara oral dengan air dalam keadaan perut kosong atau secara intravena, tidak boleh diberikan secara intramuscular (Puspita, 2012). 2.2.8.5 Kuinolon Kuinolon bekerja sebagai antimikroba dengan menghambat topoisomerase II (DNA-gyrase) dan topoisomerase IV pada bakteri sehingga menghambat sintesis protein dan meningkatkan kerusakan DNA untai ganda bakteri. Obat ini diabsobsi secara baik setelah diberikan secara oral dengan bioavailabilitas mencapai 85%98% dan didistribusi secara luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh. Waktu paruh Kuinolon pada anak adalah 4-5 jam. Untuk pengobatan demam tifoid dosis Kuinolon yang dianjurkan untuk anak adalah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis diberikan secara oral. Menurut WHO sampai saat ini Kuinolon masih memberikan hasil yang sangat baik untuk pengobatan demam tifoid pada dewasa, namun pada anak penggunaannya tidak dianjurkan karena efeknya dapat menyebabkan kerusakan pada sendi dan menghambat pertumbuhan tulang (Puspita, 2012). 2.3 Pediatri Masa kanak-kanak menggambarkan suatu periode pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Penggunaan obat pada anak merupakan hal yang bersifat khusus karena berkaitan dengan perbedaan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh maupun enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekresi obat, sehingga hanya terdapat sejumlah kecil obat yang telah diberi ijin untuk digunakan pada anak-anak, yang memiliki bentuk sediaan yang sesuai (Prest, 2003). Menurut American Academy of Pediatric (AAP), pediatri adalah spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial kesehatan anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 24 sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatri juga merupakan disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial, lingkungan dan dampak penyakit pada perkembangan anak. Anak-anak berbeda dari orang dewasa secara anatomis, fisiologis, imunologis, psikologis, perkembangan dan metabolisme. Secara internasional populasi pediatri dikelompokkan menjadi: a. Preterm newborn infants (bayi prematur yang baru lahir). b. Term newborn infants (bayi yang baru lahir umur 0-28 hari). c. Infants and toddlers (bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan umur > 28 hari sampai 23 bulan). d. Children (anak-anak umur 2-11 tahun). e. Adolescents (anak remaja umur 12 sampai 18 tahun tergantung daerah). Usia didefinisikan dalam hari, bulan dan tahun lengkap (WHO, 2007). The British Paediatric Association (BPA) menggolongkan populasi pediatrik dengan mengusulkan rentang waktu berikut yang didasarkan pada saat terjadinya perubahan-perubahan biologis: a. Neonatus: awal kelahiran sampai usia 1 bulan b. Bayi: usia 1 bulan sampai 2 tahun c. Anak: usia 2 tahun sampai 12 tahun d. Remaja: usia 12 tahun sampai 18 tahun (Prest, 2003). 2.4 Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyebab penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) dan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar, 2003). Pada umumnya tugas rumah sakit adalah menyediakan keperluan untuk pemeliharaan dan pemulihaan kesehatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 983/Menkes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 25 dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pecegahan serta melaksanakan rujukan. Rumah sakit pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi: a. Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialitik luas dan subspesialistik luas. b. Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan subspesialistik terbatas. c. Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar. d. Rumah sakit umum kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar (Siregar, 2003). Guna melaksanakan tugasnya, rumah sakit mempunyai berbagai fungsi, yaitu: a) menyelenggarakan pelayanan medik b) pelayanan penunjang medik dan nonmedik c) pelayanan dan asuhan keperawatan d) pelayanan rujukan e) pendidikan dan pelatihan f) penelitian dan pengembangan g) administrasi umum dan keuangan ( Siregar, 2003). 2.4.1 Peran Apoteker di Rumah Sakit Seorang farmasis memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada pasien (Patient Oriented). Sebagai seorang farmasis, peningkatan mutu pelayanan ini dapat dilakukan melalui suatu proses pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical care). Praktek Pharmaceutical care merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26 (Permenkes, 2014). Salah satu wujud kegiatan ini adalah dengan melakukan suatu analisa terhadap drug related problems (DRPs) dari setiap terapi yang dipertimbangkan serta diberikan kepada pasien (Fitria, Dana., 2015). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa peran Apoteker di rumah sakit salah satunya adalah melakukan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin (PMK Nomor 58, 2014). Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi: a. Pengkajian dan pelayanan Resep b. Penelusuran riwayat penggunaan Obat c. Rekonsiliasi Obat d. Pelayanan Informasi Obat (PIO) e. Konseling f. Visite g. Pemantauan Terapi Obat (PTO) h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) j. Dispensing sediaan steril k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) Salah satu pelayanan farmasi klinik yang dapat dilakukan adalah Evaluasi Pengunaan Obat (EPO). EPO merupakan program yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan dari EPO adalah mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat, membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu, memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat, dan menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat (PMK Nomor 58, 2014). Evaluasi penggunaan obat dapat dilakukan secara kualitatif. Evaluasi secara kualitatif penggunaan obat dapat dilakukan dengan cara menilai aspek-aspek dalam penggunaan obat seperti indikasi, kontraindikasi, efek samping, dosis, terapi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 27 duplikasi, interaksi obat, hasil terapi dan biaya seluruh terapi. Evaluasi penggunaan obat sangat penting dilakukan oleh Apoteker karena dapat menjamin ketepatan peresepan dan penggunaan obat, cost effective serta dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan sehingga dapat menentukan dasar pengobatan yang rasional (WHO Collaborating Centre for Drug Utilization Research and Clinical Pharmacological Services, 2003). 2.5 Rekam Medis Rekam medis merupakan sejarah ringkas, jelas dan akurat dari kehidupan dan kesakitan pasien, ditulis dari sudut pandang medis. Berdasarkan surat keputusan Dirjen pelayanan medik, rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang pasien selama dirawat di rumah sakit baik rawat jalan maupun rawat inap (Siregar, 2003). Kegunaan rekam medik: a. Sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan pasien. b. Sarana komunikasi antara dokter dan setiap profesional yang berkontribusi pada perawatan pasien. c. Bukti dokumen penyebab kesakitan pasien dan pengobatan selama dirawat di rumah sakit. d. Sebagai dasar evaluasi perawatan yang diberikan kepada pasien. e. Membantu dalam keputusan hukum pasien, rumah sakit dan praktisi yang bertanggung jawab. f. Data untuk bahan penelitian dan pendidikan. g. Dasar perhitungan biaya (Siregar, 2003). Ada dua jenis rekam medik rumah sakit: a) Rekam medis untuk pasien rawat jalan termasuk pasien gawat darurat yang berisi tentang identitas pasien, hasil anamnesis (keluhan utama), riwayat sekarang, riwayat penyakit yang pernah diderita, riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkan atau yang dapat ditularkan, hasil pemeriksaan (fisik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28 laboratorium, pemeriksaan khusus lainnya), diagnostik kerja dan pengobatan atau tindakan. b) Rekam medis untuk pasien rawat inap hampir sama dengan isi rekam medis untuk pasien rawat jalan kecuali beberapa hal seperti: persetujuan pengobatan atau tindakan, catatan konsultasi, catatan perawatan oleh perawat dan tenaga kesehatan lainnya, catatan observasi klinik, hasil pengobatan, resume akhir dan evalusi pengobatan (Muninjaya, 2004). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Rekam Medik Pasien Demam Tifoid Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi Karakteristik pasien: - Jenis kelamin - Usia Penggunaan Obat: - Berat badan - Obat Antibiotika - Penyakit penyerta - Obat Lain Drug Related Problems Ketidaktepatan Dosis Dosis Indikasi Obat Interaksi pemilihan obat obat obat tanpa tanpa obat berlebih kurang obat indikasi 29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 30 3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No. Definisi Cara Ukur Skala Ukur 1) Jenis Kelamin Kondisi fisik yang menentukan status seseorang laki-laki atau perempuan. Melihat data rekam medis pasien. Nominal 2) Usia Lamanya hidup seseorang dilihat dari tanggal lahir atau ulang tahun terakhir. Melihat data rekam medis pasien. Rasio 3) Penyakit Penyerta Penyakit lain Melihat data selain demam rekam medis tifoid yang dialami pasien. oleh pasien 2. Antibiotika 3. Obat Lain Obat antimikroba yang digunakan pasien demam tifoid Obat-obat selain antibiotika yang digunakan pasien demam tifoid 1. Variabel Kategori Karakteristik Pasien Melihat data rekam medis pasien. Melihat data rekam medis pasien 0. Laki – laki 1. Perempuan 0. 2 – 5 tahun 1. 6 – 12 tahun Nominal 0. Tidak ada penyakit penyerta 1. Ada penyakit penyerta Nominal 1. Seftriakson 2. Sefotaksim 3. Sefuroksim 4. Tiamfebikol Nominal 1. Antiinfeksi 2. Obat Gastrointestinal 3. Kortikosteroid 4. Antihistamin 5. Analgetik & antipiretik 6. Hipnoyiksedatif 7. Antiepilepsi 8. Mukolitik 9. Bronkodilator 10. Vitamin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 31 4. 5 6. 7 8 9 10. Drug Related Masalah yang Problems timbul akibat (DRPs) penggunaan obatobat oleh pasien demam tifoid Ketidaktepat Pasien an pemilihan mendapatkan obat obat yang salah, tidak aman, tidak efektif dan kontra indikasi dengan kondisi pasien Dosis obat Takaran atau kurang jumlah tertentu obat yang diberikan kepada pasien demam tifoid kurang dari dosis standar pada literatur. Dosis obat Takaran atau berlebih jumlah tertentu obat yang diberikan kepada pasien demam tifoid melebihi dari dosis standar pada literatur. Indikasi Pasien mengalami tanpa obat indikasi tetapi tidak diberikan obat Melihat data rekam medis pasien. Nominal 0. Tidak terjadi DRPs 1. Terjadi DRPs Melihat data rekam medis pasien Nominal 0. Tidak tepat 1. Tepat Melihat data rekam medis pasien. Nominal 0. Tidak Tepat Dosis 1. Tepat Dosis Melihat data rekam medis pasien. Nominal 0. Tidak Ada Melihat data rekam medis pasien. Nominal Obat tanpa Pasien menerima indikasi obat namun tidak ada indikasi Interaksi Keadaan yang Obat terjadi jika menggunakan dua obat atau lebih sehingga memberikan efek yang tidak diinginkan. Melihat data Nominal rekam medis pasien. Melihat Nominal referensi Drugs.com, Medscape, dan Drug Information Handbook. 1. Ada 0. Tidak Ada 1. Ada 0. Tidak Ada 1. Ada 0. Tidak Ada 1. Ada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Banten 15419. Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai Juni 2016. 4.2 Desain Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional (potong lintang), diharapkan dengan desain ini tujuan penelitian dapat dicapai. Data variabel yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan secara retropsektif dari data rekam medis pasien. 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan pada periode Januari 2015 sampai Desember 2015. 4.3.2 Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diambil sebagai sampel penelitian. Jumlah sampel adalah sebesar 50. 4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.4.1 Kriteria Inklusi • Pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan • Pasien anak dengan umur 2-12 tahun • Pasien dengan atau tanpa penyakit penyerta • Pasien dengan rekam medis yang lengkap 32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 33 4.4.2 Kriteria Eksklusi • Pasien pulang paksa sebelum terapi selesai dilaksanakan 4.5 Prosedur Penelitian 4.5.1 Persiapan a. Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan. b. Penyerahan surat persetujuan penelitian dari Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4.5.2 Pengumpulan Data a. Penelusuran data pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan periode Januari 2015 sampai Desember 2015. b. Pengambilan data dan pencatatan data hasil rekam medis di ruang rekam medis, yaitu: • Nama pasien • Usia pasien • Berat badan pasien • Jenis kelamin pasien • Tanggal perawatan • Data penggunaan obat, yaitu: - Nama obat - Dosis obat - Lama penggunaan obat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 34 4.5.3 Pengolahan data a. Editing data Proses pemeriksaan ulang kelengkapan data dan mengeluarkan data-data yang tidak memenuhi kriteria agar dapat diolah dengan baik serta memudahkan proses analisa. Kesalahan data dapat diperbaiki dan kekurangan data dilengkapi dengan mengulang pengumpulan data. b. Coding data Proses pemberian kode tertentu pada tiap-tiap data yang diperoleh. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka-angka atau huruf untuk membedakan antara data atau identitas data yang akan dianalisa. c. Entry data Proses penempatan data ke dalam bentuk tabel yang telah diberi kode sesuai dengan kebutuhan analisa. d. Cleaning data Data yang sudah diinput diperiksa kembali untuk memastikan data bersih dari kesalahan dan siap untuk dianalisa lebih lanjut. 4.6 Analisis Data Analisis dilakukan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan kejadian drug related problem (DRPs) kategori ketidaktepatan pemilihan obat, dosis obat kurang, dosis obat berlebih, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi dan interaksi obat yang terjadi pada pasien demam tifoid anak. Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences). Analisis data yang dilakukan meliputi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 35 4.6.1 Analisis Univariat Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap variabel yang ada secara deskriptif (Notoatmodjo, 2003). Data yang telah dikategorikan ditampilkan sebagai frekuensi kejadian. Adapun analisis data dengan menggunakan analisis univariat adalah karakteristik pasien (usia, jenis kelamin dan penyakit penyerta), penggunaan obat pada pasien dan kejadian DRPs. 4.6.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan/berkorelasi dan untuk melihat kemaknaan antara variabel independen dan variabel dependen. Adapun analisis data dengan menggunakan analisis Bivariat adalah pengaruh penyakit penyerta terhadap kejadian DRPs dan pengaruh jumlah obat terhadap kejadian DRPs. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Karakteristik Pasien Karakteristik pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan tahun 2015 meliputi jenis kelamin, usia, dan penyakit penyerta. Berdasarkan pengambilan data, jumlah pasien anak yang terdiagnosis demam tifoid adalah sebanyak 96 pasien dan didapat 50 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini. Tabel 5.1 Karakteristik Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015 Karakteristik Pasien N Persentase (%) Berdasarkan jenis kelamin Laki-laki 30 60,0 Perempuan 20 40,0 Total 50 100 Berdasarkan usia pasien 2-5 tahun 19 38,0 6-12 tahun 31 62,0 Total 50 100 Berdasarkan Penyakit Penyerta Status Penyakit Penyerta Tanpa penyakit penyerta 13 26,0 Dengan penyakit penyerta 37 74,0 Total 50 100 Jenis Penyakit Penyerta Demam berdarah dengue 11 24,4 Febris 10 22,2 Anemia 3 6,7 Tuberkulosis paru 3 6,7 Demam reumathoid 2 4,4 Lainnya 13 31,1 Total 42 100 Ket: Lainnya: Kejang Demam Kompleks (KDK), Sepsis, Urtikaria, ISPA, Dispepsia, ISK, Bronkopneumonia, Asma, Diare, Pansitopenia, Diare dan Gastroenteritis 36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 37 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa pasien demam tifoid anak dengan jenis kelamin laki-laki lebih mendominasi (60,0%), dengan usia yang paling dominan adalah 6-12 tahun (62,0%). Sebagian besar pasien demam tifoid anak mengalami penyakit penyerta (74%). Adapun penyakit penyerta yang paling banyak dialami oleh pasien demam tifoid anak adalah demam berdarah dengue (24,4%) dan diikuti dengan febris (22,2%). 5.1.2 Profil Penggunaan Obat Profil penggunaan obat pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan digolongkan berdasarkan Paediatric Dosage Handbook. Antibiotik yang digunakan dalam penanganan demam tifoid dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.2 Distribusi Penggunaan Obat Antibiotik pada Pengobatan Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, tahun 2015 No 1 2 Penggunaan Obat Sefalosporin - Seftriakson - Sefotaksim - Sefuroksim Kloramfenikol - Tiamfenikol Total N Persentase (%) 47 1 1 94,0 2,0 2,0 1 50 2,0 100 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar antibiotik yang digunakan dalam penanganan kasus demam tifoid adalah seftriakson (94,0%), kemudian diikuti sefotaksim (2,0%), sefuroksim (2,0%) dan tiamfenikol (2,0%). Selain untuk pengobatan demam tifoid, pasien juga diberikan obat lain untuk mengobati gejala dan penyakit penyerta yang dialami pasien. Adapun obat lain yang digunakan dalam penangan gejala dan penyakit penyerta dapat dilihat pada tabel berikut: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 38 Tabel 5.3 Distribusi Penggunaan Obat Lain pada Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penggunaan Obat Antiinfeksi A. Antibiotik Aminoglikosida - Gentamisin B. Antibiotik Beta Laktam Golongan Lain - Meropenem C. Antivirus - Methisoprinol D. Antijamur - Fluconazol Obat Gastrointestinal A. PPI (Proton Pump Inhibitor) - Omeprazol - Pantoprazol B. Antihistamin AR-H2 - Ranitidin C. Antagonis Reseptor 5HT-3 - Ondansetron D. Antasida E. Probiotik - Lacto B Kortikosteroid - Deksametason - Metilprednisolon Antihistamin - Setirizin - CTM (Chlorpheniramin Maleat) Analgesik, Anti-inflamasi dan Antipiretik - Parasetamol Ansiolitik, Sedatif-Hipnotik dan Antipsikotik - Diazepam Antiepilepsi - Asam Valproat Mukolitik - Ambroksol Bronkodilator dan Antiasma - Seretide N Persentase (%) 2 1,07 2 1,07 7 3,74 1 0,53 2 1 1,07 0,53 16 8,56 18 1 9,63 0,53 6 3,21 7 1 3,74 0,53 3 1 1,60 0,53 47 25,13 2 1,07 1 0,53 10 5,35 1 0,53 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 39 10 11 Vitamin dan Mineral - Ferriz - Zinc Sulfat - Apyalis Terapi Suportif - IVFD Ringer Laktat - IVFD NaCl 0,9% Total 1 6 1 0,53 3,21 0,53 38 12 187 20,32 6,42 100,0 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa terdapat persentase yang tinggi pada penggunaan parasetamol (25,13%), kemudian diikuti ondansetron (9,63%) dan ranitidin (8,56%). 5.1.2.1 Jenis Penggunaan Obat Jenis obat yang digunakan oleh pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.4 Distribusi Jenis Penggunaan Obat pada Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015 Jenis Penggunaan Obat 2 jenis obat 3 jenis obat 4jenis obat ≥5 jenis obat Total N 11 18 11 10 50 Persentase (%) 22,0 36,0 22,0 20,0 100 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa jumlah penggunaan 3 jenis obat merupakan jumlah yang paling banyak diterima pasien (36,0%). Kemudian diikuti 2 jenis obat (22,0%), 4 jenis obat (22,0%) dan >5 jenis obat (20,0%). 5.1.3 Drug Related Problems (DRPs) Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien digambarkan secara deskriptif dalam bentuk persentase. Kejadian DRPs pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 40 Tabel 5.5 Distribusi Kategori DRPs pada Pasien demam Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015 Kategori DRP Pasien Ketidaktepatan pemilihan obat Dosis obat kurang Dosis obat lebih Indikasi tanpa obat Obat tanpa indikasi Interaksi obat Total 1 12 5 3 1 3 25 Persentase Persentase Frekuensi (%) (%) 4,0 1 3,03 48,0 13 39,40 20,0 5 15,15 12,0 3 9,09 4,0 1 3,03 12,0 10 30,30 100,0 33 100,0 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa kasus DRPs paling banyak terjadi pada kategori dosis obat kurang (39,40%), diikuti kategori interaksi obat (30,30%), dosis obat lebih (15,15%), indikasi tanpa obat (9,09%), ketidaktepatan pemilihan obat (3,03%) dan obat tanpa indikasi (3,03%). 5.1.3.1 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan 1 pasien (4,0%) dengan 1 kasus (3,03%) yang mengalami kejadian DRPs kategori ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan tahun 2015. 5.1.3.2 DRPs Dosis Obat Kurang Kejadian DRPs kategori dosis obat kurang pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.6 Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat Kurang pada Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015 No. 1 2 3 4 Golongan Terapi Obat Antivirus Antihistamin AR-H2 Mukolitik Probiotik Terapi Obat Methisoprinol Ranitidin Ambroksol Lacto B® Total Frekuensi 6 1 1 5 13 Persentase (%) 46,16 7,69 7,69 38,46 100,0 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 41 Berdasarkan Tabel 5.5, menunjukkan bahwa terdapat 12 pasien (48,0%) dengan 13 kejadian (39,40%) DRPs kategori dosis obat kurang pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan. Adapun jenis obat yang paling sering berpotensi dosis obat kurang (Tabel 5.6) adalah methisoprinol dan Lacto B®. Selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 6. 5.1.3.3 DRPs Dosis Obat Berlebih Kejadian DRPs kategori dosis obat berlebih pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.7 Distribusi DRPs Kategori Dosis Obat Berlebih pada Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015 No. Golongan Terapi Obat Terapi Obat 1 Antagonis Reseptor 5- Ondansetron HT3 2 Antibiotik sefalosporin Seftriakson 3 Antibiotik beta laktam Meropenem golongan lain Total Frekuensi 3 Persentase (%) 60,0 1 1 20,0 20,0 5 100,0 Berdasarkan Tabel 5.5, menunjukkan bahwa terdapat 5 pasien (20,0%) dengan 5 kasus (15,15%) yang mengalami kejadian DRPs kategori dosis obat berlebih pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan. Adapun jenis obat yang paling sering berpotensi dosis obat lebih (Tabel 5.7) adalah ondansetron. Selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 7. 5.1.3.4 DRPs Indikasi Tanpa Obat Kejadian DRPs kategori indikasi tanpa obat pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 42 Tabel 5.8 Distribusi DRPs Kategori Indikasi Tanpa Obat pada Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015 NP 15 26 47 Gejala / Diagnosa Demam kurang lebih 3 hari, mual, muntah, nafsu makan menurun / Demam tifoid dan Anemia Defisiensi Besi Demam kurang lebih 4 hari SMRS, 1 hari SMRS demam tinggi, mual, BAB cair warna coklat kurang lebih 4 hari SMRS (diare akut), batuk 1 hari SMRS / Demam tifoid, Tonsillitis, Anemia Defisiensi Besi dan Diare Demam kurang lebih 4 hari SMRS, mual, BAB cair warna coklat, batuk / Demam tifoid dan Anemia Defisiensi Besi Obat yang Diterima Indikasi Tanpa Obat Parasetamol, Seftriakson Anemia Defisiensi Besi Parasetamol, Metilprednisolon, Seftriakson Anemia Defisiensi Besi Lacto B®, Zinc, Parasetamol Anemia Defisiensi Besi Berdasarkan tabel 5.5, menunjukkan bahwa terdapat 3 pasien (12,0%) dengan 3 kasus (9,09%) yang mengalami kejadian DRPs kategori indikasi tanpa obat pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan. 5.1.3.5 DRPs Obat Tanpa Indikasi Kejadian DRPs kategori obat tanpa indikasi pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.9 Distribusi DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi pada Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015 NP 4 Gejala / Diagnosa Kejang beberapa saat sebelum masuk UGD, demam / Demam tifoid, DBD, Epilepsi Obat yang Diterima Parasetamol, Metisoprinol, Diazepam, Depakene, Seftriakson, Parasetamol drip, Dexametason Obat Tanpa Indikasi Parasetamol diberikan dalam dua bentuk sediaan yang berbeda namun waktu pemberian sama (duplikasi obat) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 43 Berdasarkan Tabel 5.5, menunjukkan bahwa terdapat 1 pasien (4,0%) dengan 1 kasus (3,03%) yang mengalami kejadian DRPs kategori obat tanpa indikasi pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan. 5.1.3.6 DRPs Interaksi Obat Kejadian DRPs kategori interaksi obat pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.10 Distribusi DRPs Kategori Interaksi Obat pada Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan, Tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tingkat Keparahan Parasetamol – Diazepam Farmakokinetik Minor Parasetamol – Asam Valproat Farmakokinetik Minor Diazepam – Deksametason Farmakokinetik Minor Diazepam – Asam Valproat Farmakokinetik Moderat Parasetamol – Isoniazid Farmakokinetik Moderat Diazepam – Isoniazid Farmakokinetik Moderat Parasetamol – Rifampin Farmakokinetik Minor Diazepam – Rifampin Farmakokinetik Minor Gentamisin - Sefotaksim Unknown Moderat Sumber: http://www.drugs.com, Medscape, Stockley Interaksi Obat Mekanisme Frekuensi 2 1 1 1 1 1 1 1 1 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa terdapat 10 kejadian (30,30%) DRPs kategori interaksi obat. Adapun kejadian DRPs interaksi obat berdasarkan mekanisme interaksi dan tingkat keparahan interaksi obat dapat dilihat pada tabel di bawah ini: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 44 Tabel 5.11 Distribusi Interaksi Obat Berdasarkan Mekanisme dan Tingkat Keparahan Interaksi Obat Interaksi Obat Mekanisme Total Tingkat Keparahan Kategori Farmakokinetik Farmakodinamik Unknown Jumlah 9 0 1 10 6 4 0 10 Ringan (minor) Sedang (moderat) Berat (mayor) Total Persentase (%) 90,0 0 10,0 100 60,0 40,0 0 100 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa hasil analisa terhadap kasus interaksi obat berdasarkan mekanisme interaksi, sebanyak 9 (90,0%) kejadian merupakan interaksi farmakokinetik dan 1 kejadian (10,0%) merupakan interaksi unknown dan tidak terdapat interaksi obat pada jenis interaksi farmakodinamik. Sedangkan berdasarkan tingkat keparahan interaksi obat, sebanyak 6 kejadian (60,0%) terjadi pada tingkat keparahan minor, sebanyak 4 kejadian (40,0%) terjadi pada tingkat keparahan moderat dan tidak terdapat interaksi obat pada tingkat keparahan mayor. 5.1.4 Hasil Analisis Bivariat 5.1.4.1 Analisis Hubungan Antara Jumlah Penyakit Penyerta dengan DRPs Berdasarkan analisis hubungan penyakit penyerta dengan DRPs menggunakan metode Chi-Square dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 5.12 Hasil Analisis Hubungan Antara Penyakit Penyerta dengan DRPs Penyakit Penyerta Tidak ada penyakit penyerta Kejadian DRPs Tidak Terjadi DRPs Terjadi DRPS % terhadap % terhadap total tidak total Jumlah Jumlah terjadinya terjadinya DRPs DRPs 7 53,8 6 Nilai P 0,008 16,2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 45 Ada penyakit penyerta Total 6 46,2 31 83,8 13 100,0 37 100,0 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa pengaruh penyakit penyerta terhadap DRPs dengan menggunakan metode Chi-Square didapatkan P = 0,008 (P< 0,05), maka diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penyakit penyerta dengan DRPs. 5.1.4.2 Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan DRPs Berdasarkan analisis hubungan jumlah jenis obat dengan DRPs menggunakan metode Chi-Square dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 5.13 Hasil Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan DRPs Jumlah Obat 2 jenis obat 3 jenis obat 4 jenis obat ≥5 jenis obat Total Kejadian DRPs Tidak Terjadi DRPs Terjadi DRPS % terhadap % terhadap total tidak total Jumlah Jumlah terjadinya terjadinya DRPs DRPs 2 15,3 5 13,5 3 23,1 7 19,0 4 30,8 10 27,0 4 30,8 15 40,5 13 100,0 37 100,0 Nilai P 0,006 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa pengaruh jumlah jenis obat terhadap DRPs dengan menggunakan metode Chi-Square didapatkan P = 0,006 (P < 0,05), maka diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jumlah jenis obat dengan kejadian DRPs. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 46 5.2 Pembahasan 5.2.1 Karakteristik Pasien Berdasarkan hasil penelitian, pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan didominasi oleh pasien berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sejalan dengan Ganesh, R yang menyatakan bahwa insiden demam tifoid pada laki-laki 1,29 kali lebih banyak daripada perempuan (Ganesh, R., dkk. 2009). Penyataan tersebut juga didukung dengan beberapa penelitian lainnya, seperti penelitian yang dilakukan di Medan (Sinurat, Seprida., 2009), di Jakarta (Musnelina, Lili., dkk., 2004), dan penelitian yang dilakukan di Bandung (Nuraini, Fuzna., ddk. 2015). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (2007), dimana pasien demam tifoid lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Malisa, Allen., dkk (2010), menunjukkan bahwa pasien demam tifoid berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di Jakarta oleh Hadinegoro, Sri Rezeki., dkk., (2008). Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disebabkan karena perbedaan lokasi dan wilayah penelitian serta terbatasnya jumlah sampel yang diteliti. Dari evaluasi karateristik jenis kelamin pada pasien demam tifoid anak terlihat bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dikarenakan anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas diluar rumah dan tidak memperhatikan kebersihan makanan sehingga memungkinkan anak laki – laki mendapatkan resiko lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan (Musnelina,Lili.,dkk. 2004). Berdasarkan perbedaan usia, kasus penyakit demam tifoid yang menyerang pasien anak banyak terjadi pada kelompok usia 6 - 12 tahun, kemudian diikuti kelompok usia 2 - 5 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Musnelina, Lili., dkk (2004) yang menyatakan bahwa kejadian demam tifoid pada anak usia lima tahun ke atas lebih banyak daripada anak usia di bawah lima tahun. Hasil ini juga didukung dengan beberapa hasil penelitian lainnya, seperti penelitian yang dilakukan di Jakarta (Ochiai, R Leon., dkk., 2008), di Pulau Jawa (Raflizar., dkk., 2010), di Asia Tenggara (Buckle, Geoffry. C., et al., 2012), di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 47 India (Ganesh, R., et al., 2009) dan di Afrika (Breiman, Robert F., et al., 2011) yang menyatakan bahwa usia yang paling umum menderita demam tifoid adalah kelompok usia di atas lima tahun. Kelompok usia ini lebih rentan mengalami kejadian demam tifoid dikarenakan pada usia tersebut ruang lingkup gerak anak lebih luas sehingga memungkinkan anak mengenal jajanan di luar rumah, sedangkan tempat jajan tersebut belum tentu terjamin kebersihannya (Nuraini F.A., dkk., 2015) Berdasarkan penyakit penyerta, sebagian besar pasien demam tifoid anak mengalami penyakit penyerta. Penyakit penyerta merupakan penyakit lain selain demam tifoid yang diderita oleh pasien demam tifoid. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian di Sibolga (Simanjuntak, Alista., 2015) dan di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakamyang (Harahap, N., 2009) menyatakan bahwa sebagian besar pasien yang menderita demam tifoid tidak mengalami penyakit penyerta. Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disebabkan karena perbedaan lokasi dan daerah penelitian serta terbatasnya jumlah sampel yang diteliti. Sebagian besar pasien demam tifoid anak menderita penyakit penyerta. Adapun jenis penyakit penyerta (Tabel 5.1) yang paling banyak terjadi pada pasien demam tifoid di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan adalah demam berdarah dengue. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinurat di Medan yang menyatakan bahwa penyakit penyerta yang paling banyak dialami pasien demam tifoid adalah demam berdarah dengue (Sinurat, Seprida., 2009). 5.2.2 Profil Penggunaan Obat Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar terapi antibiotik yang digunakan dalam penanganan kasus demam tifoid adalah seftriakson yang merupakan obat antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga. Berdasarkan Tata Laksana Demam Tifoid di Indonesia, seftriakson merupakan obat lini kedua sebagai terapi untuk mengatasi demam tifoid. Antibiotika lini pertama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol, penisilin dan trimethoprim-sulfametoksazol (Kemenkes, 2006). Berdasarkan hasil penelitian Marcks (2010) di Ghana, isolat Salmonella typhi resisten terhadap kloramfenikol (73%), trimethoprim- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 48 sulfametoksazol (71%) dan penisilin (70%) (Marcks, 2010). Seftriakson dan siprofloksasin terbukti efektif melawan MDRS (Multi Drug-Resistant Salmonella) dan menjadi obat pilihan dalam penangan demam tifoid (Butler, 2011). Namun, salah satu strain Salmonella typhi telah resisten terhadap siprofloksasin. Namun, seluruh isolat rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pada saat ini sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) dianggap sebagai antibiotik pilihan untuk pengobatan empirik demam tifoid (Dimitros, 2012). Selain itu seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan demam tifoid jangka pendek. Mekanisme kerja dari obat ini adalah secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel tubuh manusia, mempunyai spektrum luas, penetrasi jaringan cukup baik, dan resistensi kuman masih terbatas (Musnelina, Lili., dkk., 2004). Penggunaan obat selain antibiotik pada pengobatan demam tifoid dipengaruhi oleh gejala dan penyakit penyerta yang diderita pasien. Demam adalah gejala utama demam tifoid yang disertai gejala lain seperti pusing, mual dan muntah, lidah kotor dan ditutupi selaput putih. Pada umumnya penderita mengalami nyeri perut dan ulu hati (Kepmenkes RI., 2006). Parasetamol sering digunakan sebagai analgesik dan antipiretik. Antipiretik seperti parasetamol digunakan untuk menurunkan demam, yang merupakan gejala yang sering timbul pada kasus demam tifoid. Lalu ondansetron yang digunakan pada pasien demam tifoid adalah untuk menangani gejala mual dan muntah. Selanjutnya terdapat obat ranitidin yang digunakan untuk mengatasi gejala nyeri perut dan ulu hati. Pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan terapi suportif yang digunakan yaitu cairan kristaloid seperti ringer laktat dan NaCl 0,9 %. Terapi suportif yang paling banyak digunakan yaitu ringer laktat. Cairan ringer laktat digunakan sebagai cairan rumatan atau pemeliharaan/maintenance dan juga untuk menggantikan cairan ekstraseleluler yang hilang dari tubuh. Sesuai dengan Tata Laksana Demam Tifoid di Indonesia, larutan yang direkomendasikan untuk pasien demam tifoid antara lain ringer laktat dan NaCl 0,9% sebagai cairan kristaloid. Pada dasarnya penggunaan cairan infus ringer laktat dan NaCl 0,9% adalah untuk memenuhi kebutuhan cairan atau elektrolit pada tubuh pasien demam tifoid (Kepmenkes RI, 2006). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 49 5.2.2.1 Jumlah Penggunaan Obat Pasien demam tifoid anak selama dirawat tidak hanya menerima obat untuk mengobati demam tifoid tetapi juga obat lain untuk mengatasi masalah gejala dan penyakit penyerta yang dialami pasien, sehingga pasien membutuhkan terapi kombinasi dengan jumlah obat yang digunakan bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah obat yang paling banyak digunakan pasien adalah 3 jenis obat, kemudian diikuti 2 jenis obat, 4 jenis obat dan >5 jenis obat. 5.2.3 Drug Related Problems (DRPs) Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dari pengalaman pasien akibat terapi obat sehingga secara aktual maupun potensial dapat mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan (Strand, et al., 1990). Pada masalah ini, peran farmasi sangat dibutuhkan untuk menimalisir terjadinya DRPs pada penggunaan obat. Evaluasi DRPs bertujuan untuk menjamin pengobatan yang diberikan kepada pasien berhasil mencapai efek terapi dan pasien mendapatkan pengobatan yang aman, berkhasiat, dan bermutu. Evaluasi DRPs terdiri dari beberapa kategori yaitu: ketidaktepatan pemilihan obat, dosis obat kurang, dosis obat berlebih, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, interaksi obat, dan ketidakpatuhan pasien. Namun, pada penelitian ini tidak dilakukan evaluasi kategori ketidakpatuhan pasien dikarenakan penelitian ini bersifat retrospektif. Pada evaluasi DRPs, pasien dikatakan mengalami DRPs pada pengobatannya jika pasien mengalami satu atau lebih dari kategori DRPs tersebut. Pasien dikatakan tidak mengalami DRPs jika seluruh obat yang digunakan oleh pasien tidak satupun mengalami kategori DRPs tersebut. Gambaran penilaian evaluasi DRPs berdasarkan pemberian obat pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan dapat dilihat pada Tabel5.5. 5.2.3.1 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat Ketidaktepatan pemilihan obat adalah pasien mendapatkan obat yang salah, tidak aman, bukan yang paling efektif dan kontra indikasi terhadap kondisi patologi pasien (gangguan ginjal dan hati). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 50 Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa terdapat satu pasien yang mengalami ketidaktepatan pemilihan obat, yaitu pada pasien nomor 29. Berdasarkan hasil diagnosa, pasien mengalami Infeksi Saluran kemih (ISK) dan diberi obat meropenem. Berdasarkan Pediatric Urinary Tract Infections (Chang., et al., 2006) dan PPM IDAI, tatalaksana ISK pada anak adalah menggunakan sefotaksim atau gentamisin. Dosis untuk sefotaksim adalah 150 mg/kg BB/hari dibagi setiap 6-8 jam dan dosis untuk gentamisin adalah 5 mg/kg BB/hari setiap 8 jam (PPM IDAI). 5.2.3.2 DRPs Dosis Obat Kurang Dosis obat kurang adalah pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut dibawah dosis standar terapi. Kriteria dosis kurang adalah pemakaian dosis obat kurang dari 80% dosis standar terapi (Yasin, 2009). Pemberian obat dengan dosis yang terlalu rendah mengakibatkan efek terapi yang diinginkan tidak tercapai. Dosis yang diberikan harus sesuai dengan keadaan pasien dan dosis yang sudah ditetapkan pada literatur. Berdasarkan hasil penelitian, dosis obat kurang terjadi pada pasien yang menerima methisoprinol, ambroksol, ranitidin, setirizin, dan Lacto B®. Pemberian methisoprinol kurang dari dosis terapi karena dosis yang diberikan per harinya tidak sesuai dengan dosis anak per kilogram berat badan. Menurut literatur, dosis pemberian methisoprinol untuk pasien anak adalah 50 mg/kgBB/hari diberikan dalam 3-4 dosis terbagi (Deborah, 1986; Martindale, 2009). Dosis obat kurang juga terjadi pada pemberian ambroksol, ranitidin, setirizin dan parasetamol (selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 6). Pada penelitian ini juga ditemukan frekuensi pemberian obat yang tidak tepat pada Lacto B®. Pasien mendapat Lacto B® dengan frekuensi dua kali satu sachet sehari. Frekuensi pemakaian Lacto B® untuk anak >1 tahun adalah tiga kali satu sachet (tiap sachet mengandung 1 x 107 CFU) sehari. Maka, seharusnya pasien mendapatkan Lacto B® dengan frekuensi tiga kali sehari. Pemberian obat dengan dosis kurang dapat menyebabkan obat dalam keadaan subterapetik sehingga obat tidak dapat memberikan efek terapi (Yasin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 51 2009). Suatu obat akan menghasilkan efek terapetik jika kadar obat di dalam darah atau bioavailabilitas obat mencapai kadar terapi yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Oleh karena itu, penggunaan obat dengan dosis terapi yang sesuai sangat penting untuk menghasilkan efek terapetik yang menandakan bahwa terapi yang diberikan berhasil. 5.2.3.3 DRPs Dosis Obat Berlebih Dosis obat berlebih adalah pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut di atas nilai batas dosis standar terapi. Kriteria dosis berlebih adalah pemakaian dosis obat lebih dari 125% dosis standar terapi (Yasin, 2009). Pemberian obat dengan dosis melebihi dosis standar terapi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan risiko efek toksik. Dosis yang diberikan harus sesuai dengan keadaan pasien dan dosis yang sudah ditetapkan pada literatur. Berdasarkan hasil penelitian, dosis obat lebih terjadi pada pasien yang menerima obat ondansetron, seftriakson, dan meropenem. Jenis obat yang paling sering diberikan dengan dosis berlebih (Tabel 5.7) adalah ondansetron. Pemberian ondansetron melebihi dosis terapi karena dosis yang diberikan per harinya tidak sesuai dengan dosis anak per kilogram berat badan dan melebihi dari dosis maksimum. Menurut PieÅ›cik-Lech., dkk (2012), dosis pemberian ondansetron untuk pasien anak adalah 0,15 - 0,3 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 8 mg/hari. Dosis obat berlebih juga terjadi pada pemberian seftriakson dan meropenem. Menurut literatur (Paediatric Dosage Handbook) dosis seftriakson untuk pasien anak adalah 20- 80 mg/kg BB/hari dengan dosis maksimum 80 mg/kg BB/hari dan dosis meropenem untuk pasien anak adalah 20 mg/kg BB setiap 8 jam dengan dosis maksimum 1000 mg/hari (selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 7). 5.2.3.4 DRPs Indikasi Tanpa Obat Indikasi tanpa obat adalah pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut. Penilaian analisa DRPs indikasi tanpa obat pada pasien demam tifoid UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 52 didasarkan dari kondisi pasien dan hasil laboratorium elektrolit & darah pasien. Pasien dikatakan butuh tambahan obat jika terdapat kondisi klinis pasien yang belum diberi terapi obat, dana tau pasien mengalami gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat tambahan yang dapat dilihat dari keluhan, diagnosa, dan hasil laboratorium pasien. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan sebanyak tiga pasien mengalami DRPs indikasi tanpa obat. Seluruh pasien mengalami anemia defisiensi besi (ADB), tetapi tidak memperoleh suplemen besi. Berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), pemberian suplementasi besi pada anak ADB penting karena kekurangan besi dapat menganggu tumbuh kembang anak. Pemberian suplementasi besi untuk anak usia 2-12 tahun adalah 1 mg/kgBB/hari (IDAI, 2011). Penyakit penyerta yang diderita pasien harus dipertimbangkan karena dapat memperburuk keadaan pasien jika tidak ditangani dengan baik. 5.2.3.5 DRPs Obat Tanpa Indikasi Obat tanpa indikasi adalah pemberian obat yang tidak sesuai dengan indikasi atau diagnosa pada pasien. Ada dua kriteria yang merupakan kategori obat tanpa indikasi, yaitu pemberian obat tanpa adanya indikasi dan adanya duplikasi penggunaan obat (polifarmasi). Duplikasi obat adalah pemberian atau penggunaan dua obat atau lebih untuk indikasi yang sama (Yasin, N.M., 2009). Berdasarkan hasil penelitian, terdapat satu kasus kategori DRPs obat tanpa indikasi, yaitu duplikasi penggunaan obat (polifarmasi). Pada pasien nomor 4, pasien mendapatkan dua parasetamol dalam bentuk sediaan oral dan parenteral dengan waktu pemberian yang sama. Pemberian duplikasi parasetamol dapat menyebabkan meningkatnya resiko toksisitas pada pasien demam tifoid anak, terutama efek hepatotoksik. 5.2.3.6 DRPs Interaksi Obat Interaksi obat yang terjadi merupakan semua interaksi obat yang mungkin atau potensial terjadi pada terapi obat yang diberikan kepada 50 pasien demam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 53 tifoid anak, baik interaksi obat yang dapat dihindari ataupun interaksi obat yang tidak dapat dihindari. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa terdapat total kejadian interaksi obat sebanyak sepuluh kejadian dimana sembilan kejadian merupakan interaksi farmakokinetik dan satu kejadian merupakan interakasi unknown. Mekanisme interaksi obat secara farmakokinetik menunjukkan bahwa salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma kedua obat meningkat atau menurun. Akibatnya terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektifitas obat tersebut (Fradgley, 2003). Interaksi obat dengan mekanisme unknown merupakan mekanisme interaksi obat yang belum diketahui secara jelas mekanismenya yakni tidak termasuk kedalam mekanisme farmakodinamik maupun farmakokinetik. Tidak ada kejadian interaksi obat secara farmakodinamik. Mekanisme interaksi obat farmakodinamik menunjukkan bahwa obat-obat yang diberikan saling berinteraksi pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologi yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergis (saling memperkuat) dan antagonis (saling meniadakan). Beberapa alternatif penatalaksanaan interaksi obat adalah menghindari kombinasi obat dengan memilih obat pengganti yang tidak berinteraksi, penyesuaian dosis obat, pemantauan pasien atau meneruskan pengobatan seperti sebelumnya jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal atau bila interaksi tersebut tidak bermakna secara klinis (Fradgley, 2003). Berdasarkan hasil penelitian, interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah pada interaksi obat secara minor, interaksi obat ini mungkin mengganggu atau tidak disadari (interaksi obat diduga terjadi) tetapi tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap efek obat yang diinginkan. Selanjutnya interaksi obat terbanyak kedua adalah dengan tingkat keparahan moderat. Interaksi obat secara moderat ini termasuk jenis interaksi obat yang diutamakan untuk dicegah dan diatasi jika interaksi obat yang dihasilkan lebih berbahaya dibandingkan manfaatnya, sebaiknya menggunakan alternatif lain jika ada. Seperti pada interaksi diazepam dengan asam valproat, dimana asam valproat meningkatkan kadar serum dari diazepam sebesar dua kali lipat dengan cara menurunkan glukoronidasi diazepam sehingga efek diazepam meningkat. Jika diazepam dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 54 asam valproat digunakan secara bersamaan, monitoring toksisitas diazepam (sedasi berlebih) (Stockley’s Drug Interactions). Kemudian pada interaksi parasetamol dengan isoniazid, dimana isoniazid dapat meningkatkan efek hepatotoksistas dari parasetamol. Isoniazid meningkatkan efek hepatotoksisitas parasetamol dengan cara menginduksi enzim CYP2E1 sehingga metabolisme parasetamol menjadi metabolit toksik meningkat. Untuk itu monitoring secara ketat hasil lab yang menunjukkan efek hepatotoksik dan hentikan penggunaan jika terlihat efek hepatotoksik (Stockley’s Drug Interactions). Pada interaksi diazepam dengan isoniazid, isoniazid menurunkan bersihan diazepam dengan cara berperan sebagai inhibitor enzim dan menyebabkan metabolisme diazepam menurun, sehingga efek diazepam meningkat. Dalam penggunaan diazepam dan isoniazid secara bersamaan, kurangi dosis diazepam (Stockley’s Drug Interactions). Pada interaksi gentamisin dengan sefotaksim, sefotaksim meningkatkan efek nefrotoksik dari gentamisin dengan mekanisme yang belum diketahui (unknown). Managemen dengan menggunakan dosis efektif terendah dari gentamisin dan sefotaksim jika kedua obat digunakan bersamaan dan monitor secara ketat fungsi ginjal pasien (Stockley’s Drug Interactions). Pada penelitian ini tidak ditemukan interaksi obat dengan tingkat keparahan mayor. Interaksi obat dengan tingkat keparahan mayor diutamakan untuk dicegah dan diatasi karena efek potensial membahayakan jiwa atau menyebabkan kerusakan permanen. 5.2.4 Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh jumlah penyakit penyerta terhadap jumlah DRPs dan pengaruh jumlah penggunaan obat terhadap jumlah DRPs pada pasien demam tifoid. 5.2.4.1 Analisis Hubungan Antara Penyakit Penyerta dengan DRPs Berdasarkan hasil penelitian, diketahui nilai signifikani yang diperoleh = 0,008. Hal ini menunjukkan bahwa P <0,05, maka berarti ada pengaruh bermakna antara penyakit penyerta dengan DRPs yang terjadi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil studi yang dilakukan oleh Belaiche, S., et al. (2012) di Perancis, yang menyatakan jumlah DRPs meningkat pada masing-masing pasien sama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 55 dengan meningkatnya jumlah kondisi penyakit penyerta (Belaiche, S., et al., 2012). 5.2.4.2 Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan DRPs Berdasarkan hasil penelitian, diketahui nilai signifikansi yang diperoleh = 0,006. Hal ini menunjukkan bahwa P <0,05, maka berarti ada pengaruh bermakna antara jumlah penggunaan obat dengan jumlah DRPs. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Manley, H. J., et al (2003), yang menunjukkan bahwa DRPs meningkat signifikan terhadap jumlah obat yang diberikan (P = 0.049) (Manley, H. J., et al., 2003). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan 1. Karakteristik pasien berdasarkan usia yang paling banyak adalah usia di atas 5 tahun sebanyak 31 pasien (62,0%). Berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak adalah laki-laki yaitu 30 pasien (60,0%). Berdasarkan penyakit penyerta yang paling banyak adalah DBD yaitu 11 pasien (22,0%). 2. Jenis DRPs yang paling banyak terjadi pada pasien demam tifoid anak di Rumah Sakit “X” Tangerang Selatan adalah dosis obat kurang, kemudian diikuti dengan interaksi obat, dosis obat berlebih, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi dan ketidaktepatan pemilihan obat. 6.2 3. Ada pengaruh antara penyakit penyerta dengan DRPs (P < 0,05). 4. Ada pengaruh antara jumlah obat dengan DRPs (P < 0,05). Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara mendalam dengan metode prospektif agar dapat mengetahui keadaan sebenarnya mengenai penyakit dan pasien demam tifoid sehingga dapat mencegahan dan mengatasi kejadian Drug Related Problems (DRPs). 2. Perlu adanya kerjasama dan kolaborasi yang tepat antara dokter, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian dan pengobatan pada pasien, sehingga didapatkan terapi yang tepat, efektif, dan aman. 56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR PUSTAKA Ahmed Zulfikar Bhutta. Enteric Fever (Typhoid fever). In: Nelson Text Book of Pediatric. 19th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p.954-958. Aslam, M., Tan, C. K., Prayitno, A. (2003). Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy), Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal. 18. Belaiche, Stephanie, et al. 2012. Pharmaceutical Care in Chronic Kidney Disease: experience at Grenoble University Hospital from 2006 to 2010. Journal Nephrol. 25, (4), p.558-565. Bouvy, M.L., Paulino, E.I., eGastelurutia, M.A., Guerreiro, M., dan Buurma, H. 2004. Drug Related Problems Identified by European Community Pharmacists in Patients Discharged From Hospital. Pharmacy World and Science, 26: p.353–360. Breiman, RF., et.al. 2012. Population-Based Incidence of Typhoid Fever in an Urban Informal Settlement and a Rural Area in Kenya: Implications for Typhoid Vaccine Use in Africa. http://www.plosone.com, Diakses pada 17 Mei 2016 Buckle, GC., Walker, Christia LF., Black, RE. 2012. Typhoid fever and Paratyphoid Fever: Systematic Reviews to Estimate Global Morbidity and Mortality for 2010. Journal of Global Health: 10.7189/jogh.02.010401 Butler, T. Treatment of Typhoid Fever in the 21st Century: Promises and Shortcoming. European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases 2011; 17: 959-963 Campoli-Richard, D.M., Sorkin, E.M., Heel, R.C. Inosine Pranobex: A Preliminary Review of Its Pharmacodynamic and Pharmacokinetic Properties, and Therapeutic Efficacy. ADIS Drug Information Service. Drugs 32: 3383-424 (1986) Chamber, Henry F. Obat kemoterapetik. Dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik Katzung. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2011. p.775-776, 759-760,788-794 57 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 58 Cohen, Michael R., et.al. Serious Adverse Drug Events Reported to the Food and Drug Administration, 1998-2005. Arch Intern Med. 2007;167(16):17521759 Dimitros, Farmakiotis., et.al. Typhoid Fever in an Inner City Hospital: A 5-Year Retrospective Review. Journal of Travel Medicine 2013; Volume 20 (issue 1): 17-21 Drugs.com. Drug Interactions Checker. Diakses Mei, 2016. http://www.drugs.com/drug_interactions.php. Fradgley, S. (2003). Interaksi Obat, Dalam Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy) Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Gramedia. Ganesh, Ramaswamy., et.al. Profile of Typhoid Fever in Children from a Tertiary Care Hospital in Chennai South India. Indian J Pediatric (2010) 77: 10891092 Gyssen, Inge C. Audits For Monitoring The Quality Of Antimicrobial Prescriptions. In: Antibiotic Policies Fighting Resistance. New York: Springer. 2005. p.197-208 Hadinegoro, SR. Masalah multi drug resistance pada demam tifoid anak. Cermin Dunia Kedokteran 1999; 124: 5-10. Harahap, Nurhayati. 2011. (Skripsi) Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2009. Medan: Universitas Sumatera Utara Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Suplementasi Besi untuk Anak. Badan Penerbit IDAI. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. h.14 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman pengendalian Demam Tifoid Kimland, Elin., Bergman, Ulf., Lindemalm, Synnöve., Böttiger, Ylva., 2006. Drug Related Problems and Off-Label Drug Treatment in Children as Seen at a Drug Information Centre. Eur J Pediatr (2007) 166:527–532 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 59 Mahmoud, M. A. (2008). Drug Therapy Problems and Quality of Life in Patients with Chronic Kidney Disease. University Sains Malaysia. Malisa, Allen., Nyaki, Honest. 2010. Prevalence and constraints of typhoid fever and its control in an endemic area of Singida region in Tanzania: Lessons for effective control of the disease. Journal of Public Health and Epidemiology Vol. 2(5), pp. 93-99 Manley, Harold J., McClaran, Marcy L., Overbay, Debra K., Wright, Marcia A., Reid, Gerald M., Bender, Walter L., Neufeld, Timothy K., Hebbar, S., dan Muther, Richard S. (2003a). Factors Associated with Medication-Related Problems in Ambulatory Hemodialysis Patients. American Journal of Kidney Disease. 41, 386-393. Stockley, I. H. (2008). Stockley’s Drug Interaction, 8th edition. London: Pharmaceutical Press. Martindale. (2009). The Complete Drug Reference, 36th edition. London: Pharmaceutical Press. Medscape.com. Drug Interactions Checker. Diakses Mei, 2016. http://www.medscape.com/druginfo/druginterchecker. MIMS Indonesia. (2015/2016). MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 15. Jakarta: PT Medidata Indonesia. Muninjaya, A.A. Gede. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: 220-234 Musnelina L., Afdhal, A., Gani., dan Andayani. 2004, Pola Pemberian Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid Anak Di Rumah Sakit fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002, Makara Kesehatan, Vol. 8, No 1: 27-31 Nasronudin. Demam Tifoid. Dalam: Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press; 2007. h.121-136 Nelwan, RH. 2012, Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Jakarta: CDK-192/Vol. 39, th.2012. Nuraini, FA., dkk. Perbandingan Kloramfenikol dengan Seftriakson terhadap Lama Hari Turun Demam pada Anak Demam Tifoid. Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: 2460-657x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 60 Ochiai, RL., et.al., A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and implications for controls. Bulletin of the World Health Organization 2008;86:260–268 Paleari, Davide., Rossi G.A., Nicolini, G., Olivieri, D. Ambroxol: A Multifaceted Molecule with Additional Therapeutic Potentials in Respiratory Disorders of Childhood. Drug Discovery Case History (2011) 6(11):1203-1214 Pasaribu, Syahril. Immunologi Demam Tifoid. Majalah Kedokteran Nusantara, Maret, Vol. 34, No. 1. 2002 Pawitro, E., Noorvitry, M., Darmawandono, W. 2002. Demam Tifoid. Dalam: Ilmu Penyakit Anak Diagmosa dan Penatalaksanaan, Edisis 1, Salemba Medika, Jakarta Permenkes. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Menteri Kesehatan RI. PCNE. (2010). PCNE Classification for Drug Related Problems. Pharmaceutical Care Network Europe Foundation, V6.2 revised 14-01-2010vm, 1-9. Pickering, Larry K., Clearly, Thomas G. Infections of the gastrointestinal tract. In: Krugman’s Infectious Diseases of Children. 11th edition. Philadelphia: Mosby; 2004. p.212-218 Prest, M., 2003, Penggunaan Obat pada Anak-anak, dalam Aslam., Tan K., C., dan Prayitno A., (Editor), Farmasi Klinik (Clinical Pharmacy) Menuju Pengobatan yang rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, hal 191-192, Jakarta, Elex Media Komputindo. Puspita, Angelina. 2012. (Skripsi) Profil Pemberian Antibiotika Rasional pada Pasien Demam Tiofid Anak di Bangsal Rawat Inap RSUD Tangerang Tahun 2010-2011, hal 4-11. Jakarta: Fakultas Farmasi UIN Syarif Hidayatullah. Rafilzar., Herawati, M. H. 2010. Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Tifoid di Pulau Jawa. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No. 4: 1357-1365 Rampengan, N.H., Laurent, I. 2008. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 61 Rashed, N.A., Neubert, A., Tomlin S., 2012, Epidemiology and potential associated risk factors of drug-related problems in hospitalised children in the United Kingdom and Saudi Arabia, Volume 68, Issue 12, pp 1657-1666, Euoropean Journal, Diakses 12 Maret 2016 Riskesdas. (2007). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Simanjuntak, A.B., Hiswani., Jemadi. 2015. Karakteristik Penderita Tifus Abdominalis dengan Pemeriksaan Test Widal Rawat Inap di RSU Dr. F. L. Tobing Sibolga Januari 2010 – Juli 2012. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Departemen Epidemiologi Universitas Sumatera Utara. Sinurat, Seprida. 2009. (Skripsi) Evaluasi Interaksi Obat pada Pasien Pediatrik demam Tifoid di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 – Desember 2014. Medan: Universitas Sumatera Utara. Siregar, Charles J.P., Lia A. 2003. Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 7-18. Soedarmo, Sumarno S.P., Gama, Herry., Rezki, Sri SH., Irawan, HS. Demam Tifoid. Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi ke 2. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. 2012. h.338-345 Soeharyo, H. Pengendalian Demam Tifoid. Jurnal Jaringan Epidemiologi Nasional No.1. 1996 Strand, L.M., Helper, D.D. (1990). Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care. American Journal of Hospital Pharmacy. 1(47): 533543. Stockley, I. H. (2008). Stockley’s Drug Interaction, 8th edition. London: Pharmaceutical Press. Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV. Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006. Taketomo, C.K., Hodding, J.H., dan Kraus, D.M. 2012. Pediatric & Neonatal Dosage Handbook with International Trade Names Index. Edisi ke-18. Ohio: Lexicomp. Halaman 284, 289, 334, 703, 962, 999. Tatro, D.S. (2001). Drug Interaction Facts, Edisi kelima, St Louis Missouri: A Wolters Kluwer Company. Halaman 56-123. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 62 Van der Meer, J.W.M., Gyssen, I.C. Quality of Antimicrobial Drug Prescription in Hospital. Europian Sociaty of Clinical Microbiology and Infectious Diseases. 2001; 7 (supplement 6): 12-15 World Health Organization. Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention. Communicable Disease Surveillance and Response Vaccines and Biological World Health Organization; 2003. Halaman 11-16 Yasin, Nanang Munif., Suwono, Joko., Supriyanti, Eri. 2009. Drug Related Problem (DRP) Dalam Pengobatan Dengue Hemoraggic Fever (DHF) pada Pasien Pediatri. Majalah Farmasi Indonesia, 20(1), 27-34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 1 Data Pasien Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar :1 :L : 5 th : 17 kg : 5 /1/15 – 11/1/15 (7 hari) :: demam tifoid dan DHF grade II : demam, mual dan muntah, BAB hitam, bibir kering, sakit perut seperti melilit : sembuh Metisoprinol 250 mg/5 mL Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Ranitidin Ondansentron Terapi Obat 3 x ½ cth 4 x ½ cth 1 x 750 mg 2 x 25 mg 1 x 2 mg Hari ke-1: Hemoglobin 11,5 g/dL Leukosit 3,8 .103/uL Hematokrit 34 % Trombosit 68 .103/uL Hasil Laboratorium Hari ke-3: Hemoglobin 11,1 g/dL Leukosit 5,6 .103/uL Hematokrit 33 % Trombosit 15 .103/uL Hari ke-5 Hemoglobin 9,2 g/dL Leukosit 5,4 .103/uL Hematokrit 30 % Trombosit 37 .103/uL Hari ke-2: Hemoglobin 10,4 g/dL Leukosit 3,2 .103/uL Hematokrit 31 % Trombosit 27 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 10,5 g/dL Leukosit 2,4 .103/uL Hematokrit 31 % Trombosit 22 .103/uL Hari ke-6 Hemoglobin 9,8 g/dL Leukosit 5,4 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 94 .103/uL Oral Widal Test Typhi O: 1/160 Paratyphi BH: 1/80 Oral IV IV IV 63 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk :2 :P : 8 th : 21 kg : 5 /1/15 – 11/1/15 (7 hari) : : demam Tifoid, Kejang Demam : demam naik turun selama 10 hari, pusing, kejang 2 kali, kesadaran menurun Kondisi keluar Seftriakson Parasetamol Deksametason : sembuh Terapi Obat 1 x 1500 mg 3 x 200 mg 3 x 2 mg Hari ke-1: Hemoglobin 11,5 g/dL Leukosit 3,8 .103/uL Hematokrit 34 % Trombosit 68 .103/uL Hasil Laboratorium Hari ke-3: Hemoglobin 11,1 g/dL Leukosit 5,6 .103/uL Hematokrit 33 % Trombosit 15 .103/uL Hari ke-5 Hemoglobin 9,2 g/dL Leukosit 5,4 .103/uL Hematokrit 30 % Trombosit 37 .103/uL Hari ke-2: Hemoglobin 10,4 g/dL Leukosit 3,2 .103/uL Hematokrit 31 % Trombosit 27 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 10,5 g/dL Leukosit 2,4 .103/uL Hematokrit 31 % Trombosit 22 .103/uL Hari ke-6 Hemoglobin 9,8 g/dL Leukosit 5,4 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 94 .103/uL IV IV (drip) IV Widal Test Typhi O: 1/320 Paratyphi CO: 1/160 Typhi H: 1/80 64 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar :3 :L : 7 th : 22 kg : 18/1/15 – 19/1/15 (2 hari) : : demam Tifoid, Obs. Febris, DBD : demam selama 3 hari, mual, muntah, batuk tidak berdahak : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Ondansentron Terapi Obat 4 x 2 cth 1 x 1000 mg 2 x 4 mg Hasil Laboratorium Hari ke-1: Hari ke-2: Hemoglobin 11,5 g/dL Hemoglobin 10,8 g/dL 3 Leukosit 6,7 .10 /uL Leukosit 3,7 .103/uL Hematokrit 34 % Hematokrit 33 % 3 Trombosit 262 .10 /uL Trombosit 213 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/320 Paratyphi BO: 1/160 Paratyphi AH: 1/80 Paratyphi CH: 1/80 Dengue Test NS-1: (+) Oral IV IV 65 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Diagnosa akhir Keluhan masuk Kondisi keluar :4 :P : 5 th : 14 kg : 21 /1/15 – 27/1/15 (7 hari) : : demam Tifoid, DBD, Gangguan Elektrolit : demam Tifoid, DBD, Gangguan Elektrolit, Susp. Epilepsi : kejang beberapa saat sebelum masuk UGD, demam : sembuh Terapi Obat Parasetamol 120 mg/5 mL 3 x 1 cth Metisoprinol 250 mg/5 mL 3 x 1 cth Diazepam 3 x 0.5 mg Asam valproate 250 mg/5 mL 2 x ½ cth Seftriakson 1 x 750 mg Parasetamol drip 2 x 150 mg Dexametason 1 x 1,5 mg Hari ke-1: Leukosit 8,1 .103/uL Hematokrit 36 % Eritrosit 4,4 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 1 % Segmen 60 % Limfosit 25 % Monosit 13 % GDS 61 mg/dL Kalium 4,7 mmol/L Ureum 20 mg/dL Kreatinin 0,4 mg/dL Oral Oral Oral Oral IV IV IV Hasil Laboratorium Hari ke-2: Leukosit 5,6 .103/uL Hematokrit 33 % Hari ke-6 Leukosit 7,4 .103/uL Hematokrit 33 % Hari ke-3: Leukosit 5,0 .103/uL Hematokrit 33 % Hari ke-7 Leukosit 6,7 .103/uL Hematokrit 33 % Hari ke-4: Leukosit 8,6.103/uL Hematokrit 39 % Widal Test Typhi O: (+) Paratyphi BO: (+) Typhi H: (+) Paratyphi BH: (+) Hari ke-5 Leukosit 9,6 .103/uL Hematokrit 36 % 66 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar Parasetamol Seftriakson Ondansentron Ranitidine :5 :P : 11 th : 32.5 kg : 11 /2/15 – 13/2/15 (3 hari) : : demam tifoid, DBD : demam, mual, lemas : sembuh Terapi Obat 4 x 400 mg 1 x 2000 mg 2 x 8 mg 2 x 40 mg Hari ke-1: Hemoglobin 14,4 g/dL Leukosit 2,7 .103/uL Hematokrit 44 % Trombosit 51 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/80 Paratyphi BO: 1/160 Paratyphi CO: 1/80 Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 15,1 g/dL Leukosit 3,7 .103/uL Hematokrit 47 % Trombosit 26 .103/uL Hari ke-3: Hemoglobin 15,6 g/dL Leukosit 10 .103/uL Hematokrit 48 % Trombosit 31 .103/uL Dengue Test Anti dengue igG: (+) Anti dengue igM: (+) IV (drip) IV IV IV 67 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk :6 :L : 7 th : 55 kg : 20 /2/15 – 24/2/15 (5 hari) : : susp. febris, Susp. App : demam naik turun kurang lebih 5 hari, mual, muntah, perut terasa sakit, BAB mencret Kondisi keluar : sembuh Metisoprinol 250 mg/5 mL Seftriakson Ranitidine Terapi Obat 3 x ½ cth 2 x 1000 mg 2 x 50 mg Oral IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 19,8 g/dL Leukosit 5,9 .103/uL Hematokrit 58 % Trombosit 45 .103/uL Eritrosit 7,9 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 1 % Segmen 50 % Limfosit 33 % Monosit 15 % GDS 107 mg/dL Natrium 126 mmol/L Kalium 6,1 mmol/L Klorida 97 mmol/L Ureum 20 mg/dL Kreatinin 0,4 mg/dL Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 13,0 g/dL Leukosit 6 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 24 .103/uL Hari ke-3: Hemoglobin 12,8 g/dL Leukosit 4,5 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 39 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 12,1 g/dL Leukosit 5,1 .103/uL Hematokrit 36 % Trombosit 87 .103/uL Hari ke-5: Hemoglobin 12,2 g/dL Leukosit 5,7 .103/uL Hematokrit 36 % Trombosit 274 .103/uL Widal Test Typhi O: (+) Paratyphi BO: (+) Typhi H: (+) Dengue Test Anti dengue igG: (+) 68 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk :7 :L : 5 th : 15 kg : 21/2/15 – 27/2/15 (7 hari) : : demam tifoid, febris, susp. App : demam naik turun kurang lebih 6 hari, mual, muntah, makanan tidak bisa masuk, BAB mencret, bibir pecah2 dan berdarah Kondisi keluar Antasid syr Seftriakson Ranitidine : sembuh Terapi Obat 3 x 1 cth 3 x 750 mg 2 x 25 mg Hari ke-1: Hemoglobin 11,7 g/dL Leukosit 21,4 .103/uL Hematokrit 34 % Trombosit 433 .103/uL Eritrosit 4,2 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 2 % Batang 2 % Segmen 86 % Limfosit 6 % Monosit 4 % Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 11,3 g/dL Leukosit 23,4 .103/uL Hematokrit 32 % Trombosit 491 .103/uL Widal Test Typhi O: (+) Paratyphi BO: (+) Typhi H: (+) Oral IV IV 69 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar :8 :P : 2 th : 12.5 kg : 25/2/15 – 28/2/15 (4 hari) : : demam Tifoid, malnutisi sedang, TB paru : demam, sesak, tampak pucat : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Terapi Obat 4 x 1 cth 1 x 500 mg Hari ke-1: Hemoglobin 8,7 g/dL Leukosit 18,1 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 720 .103/uL Eritrosit 4,1 .103/uL LED 120 mm Basofil 0 % Oral IV Hasil Laboratorium Hari ke-4: Hemoglobin 8,9 g/dL Leukosit 6,6 .103/uL Hematokrit 30 % Trombosit 432 .103/uL MCV 69 f MC 21 Pg MCHC 31 g/dL GDS 138 mg/dL Ureum 16 mg/dL Kreatinin 0,29 mg/dL SGOT 26 U/L SGPT 10 U/L Widal Test Typhi O: 1/320 70 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar Parasetamol Seftriakson Ranitidine :9 :L : 6 th : 20 kg : 25/2/15 – 27/2/15 (3 hari) : : demam Tifoid, Obs. Febris, Vomitus : demam dan muntah dari 2 hari yang lalu : sembuh Terapi Obat 3 x 250 mg 1 x 2000 mg 2 x 25 mg Oral IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 13,5 g/dL Leukosit 10,6 .103/uL Hematokrit 39 % Trombosit 451 .103/uL Eritrosit 5,3 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 2 % Batang 2 % Segmen 73 % Limfosit 13 % Monosit 10 % MCV 74 f MC 16 Pg MCHC 34 g/dL GDS 82 mg/dL Ureum 55 mg/dL Kreatinin 0,5 mg/dL SGOT 35 U/L SGPT 15 U/L Natrium 135 mmol/L Kalium 4,4 mmol/L Kalsium mmol/L Klorida 98 mmol/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 13,5 g/dL Leukosit 17,6 .103/uL Hematokrit 40 % Trombosit 491 .103/uL Eritrosit 5,2 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 1 % Segmen 84 % Limfosit 12 % Monosit 2 % GDS 74 mg/dL Ureum 45 mg/dL Kreatinin 0,8 mg/dL SGOT 27 U/L SGPT 15 U/L Natrium 137 mmol/L Kalium 4,4 mmol/L Kalsium 1,27 mmol/L Widal Test Typhi O: 1/320 71 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk : 10 :P : 9 th : 36 kg : 6/3/15 – 14/3/15 (9 hari) : : demam Tifoid : demam kura lebih 6 hari, menggigil, sakit kepala, sakit perut, muntah satu hari sebelum masuk RS, BAK agak kuning, BAB keras bulat2 kecil dan berwna agak hitam Kondisi keluar : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Parasetamol Ranitidine Terapi Obat 3 x 1 cth 1 x 2000 mg 4 x 400 mg 2 x 25 mg Hari ke-1: Hemoglobin 12,6 g/dL Leukosit 24,6 .103/uL Hematokrit 40 % Trombosit 515 .103/uL Eritrosit 4,9 .103/uL Basofil 16 % Hari ke-4: Hemoglobin 12,7 g/dL Leukosit 21,7 .103/uL Hematokrit 40 % Trombosit 515 .103/uL Hasil Laboratorium Hari ke-8: Hemoglobin 12,7 g/dL Leukosit 14,7 .103/uL Hematokrit 41 % Trombosit 553 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/160 Paratyphi AO: 1/160 Paratyphi BO: 1/160 Paratyphi CO: 1/320 Typhi H: 1/80 Hari ke-10: Hemoglobin 13,1 g/dL Leukosit 6,5 .103/uL Hematokrit 41 % Trombosit 420 .103/uL Oral IV IV IV 72 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk : 11 :L : 7 th : 22 kg : 14/3/15 – 18/3/15 (5 hari) : : Demam Tifoid, Febris, DBD : Demam selama 3 hari SMRS, mual, muntah, pusing, batuk, perut terasa sakit, BAB mencret Kondisi keluar : sembuh Ambroksol 30 mg/5 mL Seftriakson Pantoprazole vial 40 mg Terapi Obat 3 x ½ cth 2 x 550 mg 2 x ½ vial Oral IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 16,1 g/dL Leukosit 8,7 .103/uL Hematokrit 48 % Trombosit 26 .103/uL Hasil Laboratorium Hari ke-3: Hemoglobin 13,0 g/dL Leukosit 8,5 .103/uL Hematokrit 39 % Trombosit 87 .103/uL Hari ke-2: Hemoglobin 13,0 g/dL Leukosit 8,4 .103/uL Hematokrit 39 % Trombosit 46 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 13,1 g/dL Leukosit 8,9 .103/uL Hematokrit 39 % Trombosit 175 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/320 Paratyphi AO: 1/80 Paratyphi CO: 1/160 Paratyphi BH: 1/80 Anti Dengue Test IgG: (+) IgM: (+) Hari ke-5: Hemoglobin 13,2 g/dL Leukosit 9,4 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 142 .103/uL 73 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta / (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk : 12 :P : 10 th : 33 kg : 14/3/15 – 21/3/15 (8 hari) : : demam Tifoid : demam kurang lebih 1 minggu, mual, nyeri ulu hati, mencret, pusing Kondisi keluar : sembuh Parasetamol tab Seftriakson Ranitidine vial 25 mg/mL Terapi Obat 3x1 1 x 1500 mg 2 x 1 vial Oral IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 13,4 g/dL Leukosit 5,3 .103/uL Hematokrit 40 % Trombosit 175 .103/uL Eritrosit 4,8 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 2 % Batang 2 % Segmen 51 % Limfosit 40 % Monosit 5 % MCV 83 f MC 28 Pg MCHC 34 g/dL GDS 105 mg/dL Ureum 23 mg/dL Kreatinin 0,63 mg/dL Natrium 134 mmol/L Kalium 4,5 mmol/L Klorida 102 mmol/L Hasil Laboratorium Hari ke-3: Hemoglobin 13,0 g/dL Leukosit 5,1 .103/uL Hematokrit 39 % Trombosit 193 .103/uL Eritrosit 4,8 .103/uL LED 56 mm Basofil 0 % Eosinophil 2 % Batang 2 % Segmen 51 % Limfosit 56 % Monosit 4 % MCV 82 f MC 27 Pg MCHC 193 g/dL Hari ke-6: Hemoglobin 12,8 g/dL Leukosit 5,5 .103/uL Hematokrit 39 % Trombosit 261 .103/uL Eritrosit 4,7 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 2 % Batang 1 % Segmen 41 % Limfosit 50 % Monosit 6 % MCV 83 f MC 27 Pg MCHC 33 g/dL Widal Test Typhi O: 1/80 Paratyphi CO: 1/80 74 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 13 :P : 4 th : 11 kg : 17/3/15 – 21/3/15 (5 hari) : : demam Tifoid : demam naik turun selama 3 hari, patuk dan pilek : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Terapi Obat 4 x 1 cth 1 x 750 mg Oral IV Hari ke-1: Hemoglobin 7,9 g/dL Leukosit 22,0 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 604 .103/uL Eritrosit 4,6 .103/uL Basofil 1 % Eosinophil 1 % Batang 2 % Segmen 60 % Limfosit 26 % Monosit 10 % MCV 61 f MC 17 Pg MCHC 28 g/dL GDS 98 mg/dL SGOT 21 U/L SGPT 11 U/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 8,2 g/dL Leukosit 8,6 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 743 .103/uL Hari ke-3: Hemoglobin 8,6 g/dL Leukosit 7,2 .103/uL Hematokrit 31 % Trombosit 706 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/320 Paratyphi AO: 1/160 Paratyphi BO: 1/320 Paratyphi CO: 1/320 Typhi H: 1/320 Paratyphi AH: 1/160 Paratyphi BH: 1/320 Paratyphi CH: 1/80 75 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk : 14 :L : 5 th : 17 kg : 19/3/15 – 24/3/15 (6 hari) : : demam Tifoid, Sepsis : demam kurang lebih 5 hari, batuk kurang lebih 2 Hari ke-1: Hemoglobin 11,1 g/dL Leukosit 19,7 .103/uL Hematokrit 35 % Trombosit 564 .103/uL Hasil Laboratorium Widal Test Typhi O: 1/160 Paratyphi AO: 1/160 Paratyphi BO: 1/80 Typhi H: 1/80 Paratyphi AH: 1/80 Paratyphi BH: 1/80 hari, mual, nafsu makan menurun Kondisi keluar : sembuh Ambroksol 30 mg/5 mL Seftriakson Ondansentron Parasetamol Terapi Obat 3 x ½ cth 1 x 1000 mg 2 x 4 mg 4 x 200 mg Oral IV IV IV 76 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk : 15 :L : 5 th : 15 kg : 24/3/15 – 25/3/15 (7 hari) : : demam Tifoid, Anemia, Susp. Defisiensi zat besi : demam kurang lebih 3 hari, mual, muntah, nafsu Hari ke-1: Hemoglobin 9,7 g/dL Leukosit 11,8 .103/uL Hematokrit 30,1 % Trombosit 332 .103/uL Eritrosit .103/uL Basofil 0 % makan menurun Kondisi keluar : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Terapi Obat 4 x ½ cth 1 x 750 mg Oral IV Widal Test Typhi O: 1/80 Paratyphi BO: 1/80 Paratyphi CO: 1/320 Paratyphi CH: 1/80 Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 8,9 g/dL Leukosit 9,8 .103/uL Hematokrit 28,3 % Trombosit 301 .103/uL Eritrosit 4,60 .103/uL Basofil 0 % Hari ke-3: Hemoglobin 11,2 g/dL Leukosit 7,0 .103/uL Hematokrit 32 % Trombosit 279 .103/uL Eritrosit 5,15 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 3 % Segmen 54 % Limfosit 18 % Monosit 14 % MCV 62 f MC 21 Pg MCHC 35 g/dL 77 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 16 :P : 3 th : 11.5 kg : 27/3/15 – 29/3/15 (3 hari) : : demam tifoid dan urtikaria : demam kurang lebih 5 hari, timbul bitnik2 merah dan gatal yang semakin melebar setelah makan abon : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Setirizin 5 mg/5 mL Chlorpheniramin Maleat Seftriakson Terapi Obat 4 x 1.5 mL 2 x ½ cth 3 x 1 mg 1 x 600 mg Hari ke-1: Hemoglobin 10,8 g/dL Leukosit 28,1 .103/uL Hematokrit 33 % Trombosit 448 .103/uL Eritrosit .103/uL Oral Oral Oral IV Hasil Laboratorium Hari ke-3: Hemoglobin 12,3 g/dL Leukosit 12,5 .103/uL Hematokrit 36 % Trombosit 480 .103/uL Eritrosit 4,8 .103/uL LED 35 mm Basofil 1 % Eosinophil 6 % Batang 1 % Segmen 34 % Limfosit 52 % Monosit 6 % Widal Test Typhi O: 1/320 Paratyphi AO: 1/160 Paratyphi BO: 1/80 Typhi H: 1/80 78 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 17 :L : 2 th : 9 kg : 27/3/15 – 29/3/15 (3 hari) : : demam tifoid dan DBD : demam, mual, muntah, lemas, pusing : sembuh Metisoprinol 250 mg/5 mL Parasetamol 120 mh/5 mL Terapi Obat 3 x ½ cth 3 x 1 cth Oral Oral Hari ke-1: Hemoglobin 13,4 g/dL Leukosit 5,3 .103/uL Hematokrit 40 % Trombosit 175 .103/uL Eritrosit 4,8 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 2 % Batang 2 % Segmen 51 % Limfosit 40 % Monosit 5 % MCV 83 f MC 28 Pg MCHC 34 g/dL GDS 105 mg/dL Ureum 23 mg/dL Kreatinin 0,63 mg/dL Natrium 134 mmol/L Kalium 4,5 mmol/L Klorida 102 mmol/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 12,3 g/dL Leukosit 12,5 .103/uL Hematokrit 36 % Trombosit 480 .103/uL Eritrosit 4,8 .103/uL Basofil 1 % Eosinophil 6 % Batang 1 % Segmen 34 % Limfosit 52 % Monosit 6 % Hari ke-3: Hemoglobin 11,2 g/dL Leukosit 7,0 .103/uL Hematokrit 32 % Trombosit 279 .103/uL Eritrosit 5,15 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 3 % Segmen 54 % Limfosit 18 % Monosit 14 % Widal Test Typhi O: 1/160 Paratyphi BO: 1/80 Paratyphi BH: 1/80 79 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar Parasetamol Seftriakson Ondansentron : 18 :L : 9 th : 26 kg : 10/4/15 – 13/4/15 (4 hari) : : demam tifoid, dan anemia : demam naik turun kurang lebih 2 minggu, lemas, mual, muntah, perut sakit, pusing : sembuh Terapi Obat 4 x 300 mg 1 x 1500 mg 2 x 4 mg Hari ke-1: Hemoglobin 7,1 g/dL Leukosit 5,5 .103/uL Hematokrit 20 % Trombosit 315 .103/uL Eritrosit 2,7.103/uL LED 102 mm Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 1 % Segmen 48 % Hasil Laboratorium Limfosit 43 % Monosit 5 % MCV 76 f MC 26 Pg MCHC 33 g/dL Ureum 20 mg/dL Kreatinin 0,40 mg/dL Widal Test Typhi O: 1/320 Paratyphi AO: 1/160 Paratyphi BO: 1/80 Typhi H: 1/80 IV IV IV 80 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar Seftriakson Ranitidin Ondansentron : 19 :L : 11 th : 35 kg : 13/4/15 – 15/4/15 (3 hari) : : demam tifoid, DBD dan febris : demam naik turun kurang lebih 1 minggu, tangan dan kaki dingin, mual, muntah, makanan tidak bisa masuk, perut terasa sakit, BAB mencret, bibir pecah2 dan berdarah : sembuh Terapi Obat 1 x 1750 mg 2 x 1 mg 3 x 8 mg Hari ke-1: Hemoglobin 16,2 g/dL Leukosit 8,6 .103/uL Hematokrit 46 % Trombosit 33 .103/uL Eritrosit 6,4 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 3 % Segmen 52 % Limfosit 34 % Monosit 10 % GDS 109 mg/dL IV IV IV Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 11,4 g/dL Leukosit 6,1 .103/uL Hematokrit 32 % Trombosit 38 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 11,5 g/dL Leukosit 4,0 .103/uL Hematokrit 33 % Trombosit 99 .103/uL Hari ke-3: Hemoglobin 11,4 g/dL Leukosit 4,2 .103/uL Hematokrit 33 % Trombosit 39 .103/uL Hari ke-5: Hemoglobin11,5 g/dL Leukosit 5,1.103/uL Hematokrit 34 % Trombosit 168 .103/uL Tubex Test Score: 2 81 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 20 :P : 5 th : 15 kg : 16/4/15 – 20/4/15 (5 hari) : : demam tifoid, anemia dan febris : demam naik-turun dan menggigil selama 3 hari hanya timbul sore-malam SMRS, tidak nafsu makan, perut terasa sakit, batuk pilek, mual : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Ambroksol 15 mg/5 mL Ferris Seftriakson Ranitidin 25 mg/mL Terapi Obat 3 x 2 cth 3 x 1 cth 1 x 1 ml 1 x 900 mg 2 x 1 mL Hari ke-1: Hemoglobin 9,7 g/dL Leukosit 4,6 .103/uL Hematokrit 33 % Trombosit 196 .103/uL GDS 91 mg/dL SGOT 37 U/L SGPT 14 U/L Oral Oral Oral Hasil Laboratorium Hari ke-3: Hemoglobin 10,6 g/dL Leukosit 4,9 .103/uL Hematokrit 36 % Trombosit 185 .103/uL Eritrosit 5,6 .103/uL LED 17 mm Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 2 % Segmen 57 % Limfosit 34 % Monosit 6 % MCV 65 f MC 19 Pg MCHC 30 g/dL Widal Test Typhi O: 1/320 Paratyphi BO: 1/160 Paratyphi CO: 1/320 Paratyphi CH: 1/80 IV IV 82 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 21 :L : 5 th : kg : 24/4/15 – 26/4/15 (3 hari) : : demam tifoid, pneumonia dan diare akut : demam hilang timbul kurang lebih 4 hari SMRS, batuk, kadang2 sesak, mencret 2 kali ada ampas dan lender, nafsu makan menurun : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Zircum 20 mg/5 mL Lacto B Setirizin 5 mg/5 mL Gentamisin Sefotaksim Terapi Obat 4 x 2 cth 1 x 1 cth 1 x 1 sach 1 x 1 cth 1 x 80 mg 3 x 1250 mg Oral Oral Oral Oral IV IV Hasil Laboratorium Hari ke-1: Hari ke-4: Hemoglobin 15,2 g/dL Hemoglobin 16,0 g/dL 3 Leukosit 11,8 .10 /uL Leukosit 13,5 .103/uL Hematokrit 44 % Hematokrit 46 % 3 Trombosit 397.10 /uL Trombosit 209 .103/uL 3 Eritrosit 5,7 .10 /uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Tubex Test Batang 3 % Score: 2 Segmen 73 % Limfosit 16 % Monosit 7 % MCV 77 f MC 27 Pg MCHC 35 g/dL 83 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 22 :P : 10 th : 21 kg : 28/4/15 – 2/5/15 (5 hari) : : demam tifoid dan anemia : demam selama 5 hari, nyeri sendi pada bahu kanan : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Dexametason Terapi Obat 4 x 2 cth 1 x 1500 mg 3 x 2 mg Hari ke-1: Hemoglobin 11,9 g/dL Leukosit 13,1 .103/uL Hematokrit 35 % Trombosit 374 .103/uL Eritrosit 4,0 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 1 % Segmen 63 % Hasil Laboratorium Limfosit 27 % Monosit 8 % MCV 87 f MC 29 Pg MCHC 34 g/dL GDS 127 mg/dL Natrium 139 mmol/L Kalium 4,7 mmol/L Klorida 102 mmol/L Widal Test Typhi O: 1/160 Paratyphi BO: 1/160 Typhi H: 1/80 Oral IV IV 84 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar Parasetamol Seftriakson Ondansentron : 23 :P : 8 th : 29 kg : 4/5/15 – 7/5/15 (4 hari) : : demam tifoid, febris dan DBD : demam kurang lebih 4 hari SMRS, mual, pusing, batuk, kalau menelan terasa sakit, keluar bintik merah di seliuruh tubuh : sembuh Terapi Obat 4 x 300 mg 1 x 1500 mg 2 x 4 mg Hari ke-1: Hemoglobin 12,7 g/dL Leukosit 8,7 .103/uL Hematokrit 41 % Trombosit 227 .103/uL GDS 106 mg/dL SGOT 27 U/L SGPT 9 U/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 11,8 g/dL Leukosit 9,9 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 216 .103/uL Hari ke-3: Hemoglobin 12,0 g/dL Leukosit 5,7 .103/uL Hematokrit 39 % Trombosit 249 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 11,3 g/dL Leukosit 5,9 .103/uL Hematokrit 36 % Trombosit 253 .103/uL Tubex Test Score: 4 IV IV IV 85 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 24 :P : 8 th : 19.5 kg : 4/5/15 – 9/5/15 (6 hari) : : demam tifoid dan febris : demam naik turun, mual, muntah, pusing, batuk : sembuh Metisoprinol 250 mg/5mL Parasetamol Seftriakson Ranitidin 25 mg/mL Ondansentron Dexametason Terapi Obat 3 x 1 cth 4 x 200 mg 1 x 750 mg 2 x 1 mL 2 x 4 mg 3 x 2.7 mg Oral IV IV IV IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 12,9 g/dL Leukosit 7,5 .103/uL Hematokrit 39 % Trombosit 291 .103/uL Eritrosit 4,8 .103/uL LED 47 mm Basofil 1 % Eosinophil 1 % Batang 3 % Segmen 57 % Limfosit 7 % Monosit 11 % MCV 82 f MC 27 Pg MCHC 33 g/dL Hasil Laboratorium Hari ke-4: Hemoglobin 12,6 g/dL Leukosit 3,5 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 164 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/80 Paratyphi AO: 1/160 Hari ke-6: Hemoglobin 12,9 g/dL Leukosit 8,2 .103/uL Hematokrit 40 % Trombosit 153 .103/uL 86 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 25 :P : 2 th : 12 kg : 10/5/15 – 12/5/15 (3 hari) : : demam tifoid, febris dan ISPA : demam sejak 5 hari SMRS, batuk pilek, muntah, perut kembung, nafsu makan menurun : sembuh Ambroksol 15 mg/5 mL Parasetamol 120 mg/5 mL Oralit Seftriakson Ondansentron Terapi Obat 3 x 1 cth 4 x 1 cth 2x1 1 x 600 mg 2 x 2 mg Hari ke-1: Natrium 135 mmol/L Kalium 3,3 mmol/L Kalsium 105 mmol/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 11,7 g/dL Leukosit 9,7 .103/uL Hematokrit 36 % Trombosit 476 .103/uL GDS 134 mg/dL Ureum 19 mg/dL Kreatinin 0,3 mg/dL SGOT 34 U/L SGPT 20 U/L Widal Test Typhi O: 1/320 Paratyphi BO: 1/160 Paratyphi CO: 1/320 Paratyphi CH: 1/80 Oral Oral Oral IV IV 87 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 26 :L : 8 th : 20 kg : 21/5/15 – 23/5/15 (3 hari) : : demam Tifoid, tonsillitis akut, obs. Febris, anemia gravis, diare akut tanpa dehidrasi : demam kurang lebih 4 hari SMRS, 1 hari SMRS demam tinggi, mual, BAB cair warna coklat kurang lebih 4 hari SMRS, batuk 1 hari SMRS : sembuh Metilprednisolon Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Terapi Obat 3 x 4 mg 3 x 2 cth 1 x 1000 mg Oral Oral IV Hari ke-1: Hemoglobin 5,7 g/dL Leukosit 2,9 .103/uL Hematokrit 22 % Trombosit 291 .103/uL Eritrosit 4,0 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 2 % Batang 4 % Segmen 30 % Limfosit 56 % Monosit 8 % MCV 55 f MC 14 Pg MCHC 26 g/dL Ureum 12 mg/dL Kreatinin 0,32 mg/dL SGOT 35 U/L SGPT 16 U/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 10,7 g/dL Leukosit 32,5 .103/uL Hematokrit 30 % Trombosit 577 .103/uL Eritrosit 3,7 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 2 % Batang 2 % Segmen 85 % Limfosit 8 % Monosit 3 % GDS 178 mg/dL Widal Test Typhi O: 1/80 Paratyphi AO: 80 Paratyphi BO: 1/160 Hari ke-3: Hemoglobin 12,2 g/dL Leukosit 13,1 .103/uL Hematokrit 35 % Trombosit 613 .103/uL 88 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 27 :P : 7 th : 33 kg : 22/5/15 – 26/5/15 (5 hari) : : demam tifoid, DBD dan febris : demam 6 hari SMRS meningkat pada malam hari, mencret, mual, lemas : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Ondansentron Terapi Obat 3 x 1 cth 1 x 2000 mg 2 x 4 mg Oral IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 15,8 g/dL Leukosit 5,1 .103/uL Hematokrit 46 % Trombosit 44 .103/uL Eritrosit 6,3 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 2 % Batang 2 % Segmen 62 % Limfosit 25 % Monosit 9 % GDS 98 mg/dL Natrium 125 mmol/L Kalium 3,6 mmol/L Klorida 92 mmol/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 12,3 g/dL Leukosit 4,2 .103/uL Hematokrit 36 % Trombosit 53 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 11,3 g/dL Leukosit 3,0 .103/uL Hematokrit 32 % Trombosit 90 .103/uL Hari ke-3: Hemoglobin 11,6 g/dL Leukosit 3,8 .103/uL Hematokrit 34 % Trombosit 84 .103/uL Hari ke-5: Hemoglobin 12,2 g/dL Leukosit 4,5 .103/uL Hematokrit 37 % Trombosit 120 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/160 Paratyphi BO: 1/160 Typhi H: 1/80 89 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 28 :L : 7 th : 43 kg : 26/5/15 – 30/5/15 (5 hari) : : demam tifoid dan DBD : demam kurang lebih 1 minggu SMRS, mual, 1 hari SMRS muncul kemerahan di tubuh, muntah, lemas, pusing : sembuh Terapi Obat Seftriakson 2 x 1000 mg Ondansentron ampul 4 mg/2mL 2 x 1 ampul Hari ke-1: Hemoglobin 15,9 g/dL Leukosit 5,7 .103/uL Hematokrit 47 % Trombosit 47 .103/uL LED 30 mm Hari ke-2: Hemoglobin 15,1 g/dL Leukosit 8,1 .103/uL Hematokrit 45 % Trombosit 42 .103/uL Hasil Laboratorium Hari ke-3: Hemoglobin 12,6 g/dL Leukosit 6,8 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 43 .103/uL Hari ke-5: Hemoglobin 13,0 g/dL Leukosit 7,4 .103/uL Hematokrit 39 % Trombosit 102 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 12,7 g/dL Leukosit 6,7 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 86 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/80 Paratyphi BO: 1/80 Paratyphi CO: 1/320 Paratyphi CH: 1/80 IV IV 90 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 29 :L : 3 th : 10.6 kg : 1/6/15 – 5/6/15 (5 hari) : : demam tifoid, ISK, TBC on OAT, Kejang Demam dan DBD : demam kurang lebih 10 hari SMRS, batuk pilek, mencret 3 hari pertama, nafsu makan menurun : sembuh Terapi Obat Diazepam 3 x 1.5 mg OAT (rifampin/isoniazid/pyrazinamide) 3 tab Ambroksol 15 mg/5 mL 3 x 1 cth Methisoprinol 250 mg/5 mL 3 x 1 cth Seftriakson 3 x 550 mg Parasetamol 3 x 150 mg Dexametason tablet 0,5 mg 3 x ½ tab Meropenem vial 0,5 g 1 x 1 vial Oral Oral Oral Oral IV IV Oral IV Hari ke-1: Hemoglobin 11,9 g/dL Leukosit 4,1 .103/uL Hematokrit 35 % Trombosit 110 .103/uL Eritrosit 4,4 .103/uL Basofil 1 % Eosinophil 1 % Batang 2 % Segmen 30 % Limfosit 54 % Monosit 14 % MCV 78 f MC 27 Pg MCHC 35 g/dL Hari ke-2: Hemoglobin 10,5 g/dL Leukosit 5,7 .103/uL Hematokrit 32 % Trombosit 107 .103/uL Hasil Laboratorium Hari ke-3: Hemoglobin 11,2 g/dL Leukosit 5,8 .103/uL Hematokrit 35 % Trombosit 138 .103/uL MCV 76 f MC 25 Pg MCHC 33 g/dL Hari ke-4: Hemoglobin 11,0 g/dL Leukosit 7,5 .103/uL Hematokrit 35 % Trombosit 202 .103/uL Hari ke-5: Hemoglobin 10,8 g/dL Leukosit 8,6 .103/uL Hematokrit 34 % Trombosit 255 .103/uL Hari ke-6: Hemoglobin 11,0 g/dL Leukosit 2,7 .103/uL Hematokrit 31 % Trombosit 176 .103/uL Eritrosit 3,9 .103/uL LED 45 mm Basofil 1 % Eosinophil 1 % Batang 2 % Segmen 74 % Limfosit 15 % Monosit 7 % MCV 77 f MC 28 Pg MCHC 36 g/dL Hari ke-7: Hemoglobin 11,5 g/dL Leukosit 11,9 .103/uL Hematokrit 36 % Trombosit 461 .103/uL Tubex Test Score: 6 91 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 30 :P : 12 th : 47 kg : 10/6/15 – 23/6/15 (14 hari) : : demam tifoid dan anemia : demam kurang lebih 3 hari, mual, muntah, nafsu makan menurun, nyeri sendi pada bahu kanan : sembuh Omeprazol 20 mg Parasetamol Seftriakson Ranitidin Ondansentron Parasetamol drip Meropenem Ambroksol15 mg/5 mL Terapi Obat 2 x 1 cap 4 x 500 mg 1 x 2000 mg 3 x 50 mg 2 x 4 mg 500 mg 3 x 1000 mg 3 x 1 cth Oral Oral IV IV IV IV IV Oral Hari ke-1: Hemoglobin 9,4 g/dL Leukosit 16,5 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 422 .103/uL Eritrosit 3,5 .103/uL Basofil 1 % Eosinophil 2 % Batang 3 % Segmen 80 % Limfosit 8 % Monosit 6 % MCV 79 f MC 27 Pg MCHC 34 g/dL Hari ke-2: Hemoglobin 9,6 g/dL Leukosit 8,5 .103/uL Hematokrit 51 % Trombosit 397 .103/uL Hasil Laboratorium Hari ke-3: Hemoglobin 8,7 g/dL Leukosit 6,9 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 265 .103/uL Hari ke-6: Hemoglobin 8,9 g/dL Leukosit 17,9 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 489 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 8,5 g/dL Leukosit 4,1 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 221 .103/uL Hari ke-5: Hemoglobin 8,9 g/dL Leukosit 9,8 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 366 .103/uL 92 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 31 :P : 4 th : 14.5 kg : 23/6/15 – 27/6/15 (5 hari) : : demam tifoid : demam naik-turun kurang lebih 6 hari lebih sering sore-malam hari, lemas, nafsu makan menurun, batuk, sering berkeringat pada malam hari : sembuh Ambroksol 15 mg/5 mL Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Terapi Obat 3 x ½ cth 4 x 1 cth 1 x 600 mg Oral Oral IV Hari ke-1: Hemoglobin 12,6 g/dL Leukosit 8,6 .103/uL Hematokrit 37 % Trombosit 357 .103/uL Eritrosit 5,3.103/uL LED 42 mm Basofil 1 % Eosinophil 1 % Batang 2 % Segmen 59 % Limfosit 2 % Monosit 10 % MCV 70 f MC 24 Pg MCHC 34 g/dL Hasil Laboratorium Hari ke-4: Hemoglobin 12,0 g/dL Leukosit 8,1 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 626 .103/uL SGOT 27 U/L SGPT 10 U/L Widal Test Paratyphi BO: 1/160 Paratyphi CO: 1/80 Typhi H: 1/80 Tubex Test Score: 2 93 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 32 :L : 8 th : 20 kg : 25/6/15 – 1/7/15 (7 hari) : : demam tifoid, diare dan vomitus : demam naik rurun, mual, muntah, mencret : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Ondansentron Terapi Obat 3 x 2 cth 1 x 1500 mg 3 x 4 mg Hari ke-1: Natrium 127 mmol/L Kalium 3,7 mmol/L Klorida 101 mmol/L Hasil Laboratorium Hari ke-3: Hemoglobin 10,4 g/dL Leukosit 9,3 .103/uL Hematokrit 31 % Trombosit 265 .103/uL Natrium 119 mmol/L Kalium 5,1 mmol/L Klorida 95 mmol/L Hari ke-4: Natrium 128 mmol/L Kalium 5,1 mmol/L Klorida 98 mmol/L Widal Test Typhi O: 1/160 Paratyphi BO: 1/160 Typhi H: 1/80 Oral IV IV 94 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 33 :P : 2 th : 10 kg : 26/6/15 – 28/6/15 (3 hari) : : demam tifoid, DBD : demam selama 11 hari, mual, BAB encer : sembuh Lacto B Parasetamol 120 mg/5 mL Zinc 20 mg Seftriakson Ranitidin Terapi Obat 2 x 1 sach 3 x ½ cth 1 x 1 tab 2 x 500 mg 1 x 1 mg Hari ke-1: Hemoglobin 9,5 g/dL Leukosit 2,4 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 90 .103/uL Ureum 9 mg/dL Kreatinin 0,26 mg/dL SGOT 143 U/L SGPT 31 U/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 8,7 g/dL Leukosit 3,5 .103/uL Hematokrit 26 % Trombosit 110 .103/uL Hari ke-3: Hemoglobin 9,2 g/dL Leukosit 4,4 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 111 .103/uL Tubex Test Score: 6 Oral Oral Oral IV IV 95 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 34 :P : 10 th : 24 kg : 28/6/15 – 1/7/15 (4 hari) : : demam tifoid, febris, DBD grade II : demam kurang lebih 4 hari, SMRS, mual, muntah 2 kali, makan sedikit : sembuh Metisoprinol 250 mg/5 mL Seftriakson Terapi Obat 3 x 1 cth 1 x 1250 mg Hari ke-1: Hemoglobin 14,9 g/dL Leukosit 6,2 .103/uL Hematokrit 43 % Trombosit 71 .103/uL Hasil Laboratorium Hari ke-3: Hemoglobin 13,1 g/dL Leukosit 6,6 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 76 .103/uL Hari ke-2: Hemoglobin 12,1 g/dL Leukosit 7,0 .103/uL Hematokrit 35 % Trombosit 50 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 14,1 g/dL Leukosit 7,1 .103/uL Hematokrit 40 % Trombosit 99 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/320 Typhi H: 1/160 Paratyphi BH: 1/160 Tubex Test Score: 6 Oral IV 96 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 35 :L : 7 th : 24 kg : 10/8/15 – 13/8/15 (4 hari) :: dema tifoid, febris dan DBD : dibawa dari UGD dengan keluhan demam sejak 1 hari yang lalu. Demam naik turun, hasil pemeriksaan NS1 positif. Belum BAB selama 2 hari : sembuh Metisoprinol 250 mg/5 mL Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Parasetamol drip Terapi Obat 3 x 1 cth 3 x 2 cth 1 x 1000 mg 250 mg Oral Oral IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 13,4 g/dL Leukosit 5,3 .103/uL Hematokrit 39 % Trombosit 220 .103/uL Eritrosit 4,7 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 0 % Batang 2 % Segmen 71 % Limfosit 16 % Monosit 11 % GDS 83 mg/dL Ureum 21 mg/dL Kreatinin 0,37 mg/dL SGOT 30 U/L SGPT 12 U/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 13,2 g/dL Leukosit 3,0 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 224 .103/uL Widal Test Typhi H: 1/160 Hari ke-4: Hemoglobin 14,0 g/dL Leukosit 3,2 .103/uL Hematokrit 40 % Trombosit 204 .103/uL 97 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 36 :L : 8 th : 24 kg : 26/8/15 – 30/8/15 (5 hari) : : demam tifoid, DBD grade II : demam hilang timbul selama 6 hari, mual, lemas, pusing, nafsu makan menurun. : sembuh Parasetamol 500 mg Seftriakson Ranitidin 25 mg/mL Ondansentron 4 mg/2 mL Terapi Obat 3 x ½ tab 1 x 1000 mg 2 x 1 mL 2 x 1 mL Oral IV IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 14,0 g/dL Leukosit 3,4 .103/uL Hematokrit 42 % Trombosit 47 .103/uL Eritrosit 5,9 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 2 % Batang 3 % Segmen 33 % Limfosit 44 % Monosit 18 % MCV 70 f MC 24 Pg MCHC 34 g/dL GDS 89 mg/dL Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 11,2 g/dL Leukosit 4,9 .103/uL Hematokrit 33 % Trombosit 53 .103/uL Hari ke-3: Hemoglobin 10,8 g/dL Leukosit 4,4 .103/uL Hematokrit 32 % Trombosit 89 .103/uL Hari ke-5: Hemoglobin 11,6 g/dL Leukosit 4,2 .103/uL Hematokrit 34 % Trombosit 124 .103/uL Tubex Test Score: 3 IgG Dengue IgG: (+) IgM: (-) Hari ke-4: Hemoglobin 11,4 g/dL Leukosit 3,7 .103/uL Hematokrit 34 % Trombosit 102 .103/uL 98 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar Sefuroksim Gentamisin Seftriakson Parasetamol : 37 :P : 2 th : 8 kg : 10/9/15 – 18/9/15 (9 hari) :: demam tifoid, bronkopneumonia dan malnutrisi : demam timbul terutama pada malam hari, sudah 7 kali berobat tidak ada perubahan, muntah, BAB cair, batuk kurang lebih 4 hari : sembuh Terapi Obat 3 x 400 mg 1 x 60 mg 1 x 500 mg 4 x 100 mg IV IV IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 9,7 g/dL Leukosit 14,1 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 434 .103/uL Eritrosit 4,6 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 0 % Batang 1 % Segmen 44 % Limfosit 45 % Monosit 10 % MCV 73 f MC 25 Pg MCHC 34 g/dL SGOT 32 U/L SGPT 25 U/L Albumin 5,1 Natrium 134 mmol/L Kalium 4,6 mmol/L Kalsium 105 mmol/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 11,6 g/dL Leukosit 13,1 .103/uL Hematokrit 34 % Trombosit 274 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/320 Paratyphi AO: 1/160 Paratyphi BO: 1/80 Typhi H: 1/80 Hari ke-3: Hemoglobin 9,7 g/dL Leukosit 11,4 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 265 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 10,6 g/dL Leukosit 11,6 .103/uL Hematokrit 32 % Trombosit 766 .103/uL 99 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 38 :L : 6 th : 19 kg : 22/9/15 – 25/9/15 (4 hari) : asma : demam tifoid, asma, pneumonia : demam selama 1 minggu terutama malam hari, batuk selama 2 minggu, sesak, muntah, kadan2 nyeri ulu hati, riwayat asma kambuh 1 minggu ini : sembuh Seretide 250 Ambroksol 15 mg/5 mL Setirizin 5 mg/5 mL Parasetamol drip Seftriakson Ranitidin 25 mg/1mL Dexametason Terapi Obat 2x1 3 x 1 cth 1 x 1 cth 4 x 250 mg 1 x 1000 mg 2 x 1 mL 1 x 4 mg Oral Oral Oral IV IV IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 11,4 g/dL Leukosit 6,2 .103/uL Hematokrit 33 % Trombosit 238 .103/uL Eritrosit 1,3.103/uL LED 43 mm Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 1 % Segmen 59 % Limfosit 33 % Monosit 6 % MCV 75 f MC 26 Pg MCHC 35 g/dL Hasil Laboratorium Hari ke-4: Hemoglobin 10,3 g/dL Leukosit 6,6 .103/uL Hematokrit 31 % Trombosit 251 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/160 Paratyphi AO: 1/160 Paratyphi BO: 1/80 Typhi H: 1/80 Paratyphi AH: 1/80 Paratyphi BH: 1/80 100 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 39 :L : 6 th : 16.5 kg : 29/9/15 – 11/1/15 (7 hari) : : demam tifoid, ISK : demam naik-turun kurang lebih 4 minggu SMRS tidak menggunakan penurun panas, mual, muntah 3 kali, sehari selama 8 hari, batuk tidak berdahak, peut terkadang nyeri : sembuh Ambroksol 15 mg/5 mL Parasetamol drip Seftriakson Ondansentron Terapi Obat 3 x 1 cth 3 x 200 mg 1 x 1000 mg 3 x 2 mg Oral IV IV IV Hasil Laboratorium Hari ke-1: Tubex Test Hemoglobin 9,0 g/dL Score: 2 Leukosit 10,3 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 497 .103/uL Widal Test Eritrosit 5,1 .103/uL Paratyphi BO: 1/80 LED 64 mm Basofil 0 % Eosinophil 1 % Anti Dengue Test Batang 3 % IgG: (-) Segmen 64 % IgM: (+) Limfosit 24 % Monosit 8 % MCV 55 f MC 18 Pg MCHC 32 g/dL 101 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 40 :L : 12 th : 23 kg : 5/10/15 – 7/10/15 (3 hari) : : demam tifoid, DBD : demam 5 hari SMRS meningkat pada malam hari, mencret, mual, lemas : sembuh Lacto B Zircum 20 mg/5 mL Parasetamol drip Seftriakson Terapi Obat 2 x 1 sach 1 x 1 cth 4 x 300 mg 1 x 1500 mg Oral Oral IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 9,7 g/dL Leukosit 14,1 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 434 .103/uL Eritrosit 4,6 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 0 % Batang 1 % Segmen 44 % Limfosit 45 % Monosit 10 % MCV 73 f MC 25 Pg MCHC 34 g/dL SGOT 32 U/L SGPT 25 U/L Albumin 5,1 Natrium 134 mmol/L Kalium 4,6 mmol/L Kalsium 105 mmol/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 9,0 g/dL Leukosit 10,3 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 497 .103/uL Eritrosit 5,1 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 3 % Segmen 64 % Limfosit 24 % Monosit 8 % Widal Test Typhi O: 1/160 Paratyphi BO: 1/320 Paratyphi CO: 1/160 Typhi H: 1/80 Paratyphi BH: 1/160 Hari ke-3: Hemoglobin 9,7 g/dL Leukosit 14,1 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 434 .103/uL Eritrosit 4,6 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 0 % Batang 1 % Segmen 44 % Limfosit 45 % Monosit 10 % Tubex Test Score: 2 Anti Dengue Test IgG: (-) IgM: (+) 102 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 41 :L : 6 th : 16 kg : 5/10/15 – 8/10/15 (4 hari) : : demam tifoid, febris, virus infection : demam 4 hari SMRS, mual, muntah, batuk lama, pilek, BAB mencret 5 kali SMRS : sembuh Ambroksol 15 mg/5 mL Parasetamol Seftriakson Ondansentron Terapi Obat 3 x 1 cth 4 x 200 mg 1 x 750 mg 3 x 2 mg Hari ke-1: Hemoglobin 12,3 g/dL Leukosit 19,8 .103/uL Hematokrit 37 % Trombosit 647 .103/uL Hasil Laboratorium Hari ke-4: Hemoglobin 11,5 g/dL Leukosit 10,3 .103/uL Hematokrit 35 % Trombosit 523 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/320 Paratyphi AO: 1/160 Paratyphi BO: 1/80 Typhi H: 1/80 Oral IV IV IV 103 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar Dexipenem Parasetamol : 42 :L : 12 th : 35 kg : 11/10/15 – 17/10/15 (7 hari) : : demam tifoid, bronkopneumonia : demam naik-turun kurang lebih 1 bulan SMRS, mual, batuk, belum BAB 1 hari, sakit perut : sembuh Terapi Obat 3x1g 4 mg Oral Oral Hari ke-1: Hemoglobin 11,0 g/dL Leukosit 3,6 .103/uL Hematokrit 33 % Trombosit 191 .103/uL Eritrosit 4,2 .103/uL LED 67 mm Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 2 % Segmen 51 % Limfosit 41 % Monosit 5 % MCV 80 f MC 26 Pg MCHC 33 g/dL Hasil Laboratorium Hari ke-5: Hemoglobin 11,6 g/dL Leukosit 3,8 .103/uL Hematokrit 35 % Trombosit 181 .103/uL GDS 85 mg/dL Ureum 14 mg/dL Kreatinin 0,61 mg/dL Natrium 133 mmol/L Kalium 3,4 mmol/L Kalsium 100 mmol/L Widal Test Typhi O: 1/80 Paratyphi BO: 1/80 Typhi H: 1/320 Tubex Test Score: 10 104 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar Lacto B Zinc 20 mg Dexametason Parasetamol Seftriakson Ranitidin Ondansentron : 43 :L : 7 th : 21 kg : 25/10/15 – 26/10/15 (2 hari) : : demam tifoid, diare akut : demam naik-turun sejak 1 hari SMRS, mual, muntah 4 kali, BAB cair ada ampas sedikit : sembuh Terapi Obat 2 x 1 sach 1 x 1 tab 3 x 2.3 mg 3 x 300 mg 1 x 1500 mg 1 x 12.5 mg 3 x 25 mg Oral Oral IV IV IV IV IV Hasil Laboratorium Hari ke-1: Widal Test Hemoglobin 12,4 g/dL Typhi O: 1/160 Leukosit 11,0 .103/uL Paratyphi BO: 1/160 Hematokrit 36 % Paratyphi CH: 1/160 3 Trombosit 246 .10 /uL Eritrosit 4,4.103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 0 % Segmen 81 % Limfosit 11 % Monosit 7 % MCV 83 f MC 28 Pg MCHC 34 g/dL 105 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 44 :P : 8 th : 22.5 kg : 28/10/15 – 30/10/15 (3 hari) : : demam tifoid : demam kurang lebih 2 minggu, mual, pusing : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Terapi Obat 3 x 2 cth 1 x 1500 mg Oral IV Hari ke-1: Hemoglobin 13,4 g/dL Leukosit 5,3 .103/uL Hematokrit 40 % Trombosit 175 .103/uL Eritrosit 4,8 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 2 % Batang 2 % Segmen 51 % Limfosit 40 % Monosit 5 % MCV 83 f MC 28 Pg MCHC 34 g/dL GDS 105 mg/dL Ureum 23 mg/dL Kreatinin 0,63 mg/dL Natrium 134 mmol/L Kalium 4,5 mmol/L Klorida 102 mmol/L Hemoglobin 13,4 g/dL Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 9,0 g/dL Leukosit 10,3 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 497 .103/uL Eritrosit 5,1 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 3 % Segmen 64 % Limfosit 24 % Monosit 8 % Widal Test Typhi O: 1/80 Paratyphi AO: 1/160 Hari ke-3: Hemoglobin 9,7 g/dL Leukosit 14,1 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 434 .103/uL Eritrosit 4,6 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 0 % Batang 1 % Segmen 44 % Limfosit 45 % Monosit 10 % Tubex Test Score: 4 106 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 45 :L : 5 th : 16 kg : 16/10/15 – 20/10/15 (5 hari) : : demam tifoid : demam naik-turun 1 minggu, mual, pusing, nafsu makan menurun : sembuh Parasetamol 120 mg/5 mL Seftriakson Terapi Obat 4 x 2 cth 1 x 750 mg Hari ke-2: Hemoglobin 12,2 g/dL Leukosit 6,7 .103/uL Hematokrit 355 % Trombosit 381 .103/uL Eritrosit 4,3 .103/uL LED 57 mm Basofil 0 % Eosinophil 4 % Batang 3 % Segmen 57 % Hasil Laboratorium Hari ke-5: Hemoglobin 12,1 g/dL Leukosit 8,5 .103/uL Hematokrit 35 % Trombosit 456 .103/uL Limfosit 38 % Monosit 8 % MCV 81 f MC 28 Pg MCHC 35 g/dL Tubex Test Score: 4 Oral IV 107 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 46 :L : 7 th : 21 kg : 18/11/15 – 21/11/15 (4 hari) : : demam tifoid : demam pada malam hari kurang lebih 1 minggu SMRS, tidak mau makan karena setiap makan muntah : sembuh Parasetamol120 mg/5 mL Omeprazol 20 mg Seftriakson Ondansentron Terapi Obat 4 x 1 ½ cth 1 x 1 cap 1 x 1500 mg 2 x 4 mg Hari ke-1: Hemoglobin 13,8 g/dL Leukosit 11,6 .103/uL Hematokrit 40 % Trombosit 329 .103/uL Hasil Laboratorium Widal Test Typhi O: 1/160 Paratyphi BO: 1/320 Paratyphi CO: 1/160 Typhi H: 1/80 Oral Oral IV IV 108 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar Lacto B Zinc Seftriakson : 47 :L : 5 th : 15 kg : 19/11/15 – 21/11/15 (3 hari) : : demam tifoid, febris dan anemia : demam kurang lebih 4 hari SMRS, mual, BAB cair warna coklat, batuk : sembuh Terapi Obat 2 x 1 sach 1 x 20 mg 1 x 750 mg Oral Oral IV Hari ke-1: Hemoglobin 9,7 g/dL Leukosit 14,1 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 434 .103/uL Eritrosit 4,6 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 0 % Batang 1 % Segmen 44 % Limfosit 45 % Monosit 10 % MCV 73 f MC 25 Pg MCHC 34 g/dL SGOT 32 U/L SGPT 25 U/L Albumin 5,1 Natrium 134 mmol/L Kalium 4,6 mmol/L Kalsium 105 mmol/L Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 9,0 g/dL Leukosit 10,3 .103/uL Hematokrit 28 % Trombosit 497 .103/uL Eritrosit 5,1 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 3 % Segmen 64 % Limfosit 24 % Monosit 8 % Widal Test Typhi O: 1/320 Paratyphi AO: 1/80 Paratyphi CO: 1/160 Paratyphi BH: 1/80 Hari ke-3: Hemoglobin 9,7 g/dL Leukosit 14,1 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 434 .103/uL Eritrosit 4,6 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 0 % Batang 1 % Segmen 44 % Limfosit 45 % Monosit 10 % Anti Dengue IgG: (+) IgM: (+) Tubex Test Score: 4 109 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar Parasetamol Seftriakson : 48 :P : 12 th : 31 kg : 30/11/15 – 2/12/15 (4 hari) : : demam tifoid, DBD : demam kurang lebih 6 hari SMRS, mual, 1 hari SMRS muncul kemerahan di seluruh tubuh, muntah, lemas, pusing : sembuh Terapi Obat 3 x 250 mg 1 x 1500 mg Hari ke-1: Hemoglobin 13,4 g/dL Leukosit 5,5 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 35 .103/uL Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 12,9 g/dL Leukosit 6,8 .103/uL Hematokrit 37 % Trombosit 145 .103/uL Hari ke-3: Hemoglobin 13,5 g/dL Leukosit 6,1 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 189 .103/uL Tubex Test Score: 6 Oral IV 110 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 49 :L : 5 th : 15 kg : 15/12/15 – 24/12/15 (10 hari) : : demam tifoid, DBD, dan diare akut : demam kurang lebih 10 hari, mual, mencret, sakit perut, lemas, BAB cair 3-4 kali sehari selama 3 hari ada ampas : sembuh L-Bio Zinc Seftriakson Ranitidin 25 mg/mL Terapi Obat 3 x 1 sach 1 x 20 mg 1 x 720 mg 2 x 1 mL Oral Oral IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 13,7 g/dL Leukosit 4,8 .103/uL Hematokrit 38 % Trombosit 112.103/uL Eritrosit 5,0 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 3 % Segmen 57 % Limfosit 17 % Monosit 4 % MCV 75 f MC 27 Pg MCHC 36 g/dL Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 11,9 g/dL Leukosit 9,6 .103/uL Hematokrit 34 % Trombosit 123 .103/uL Eritrosit 4,4 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 1 % Segmen 52 % Limfosit 39 % Monosit 7 % MCV 77 f MC 27 Pg MCHC 35 g/dL SGOT 183 U/L SGPT 53 U/L Natrium 135 mmol/L Kalium 3,7 mmol/L Klorida 106 mmol/L Hari ke-3: Hemoglobin 11,8 g/dL Leukosit 6,8 .103/uL Hematokrit 33 % Trombosit 111 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 11,1 g/dL Leukosit 10,0 .103/uL Hematokrit 32 % Trombosit 198 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/80 Paratyphi BO: 1/80 Paratyphi CO: 1/320 Paratyphi CH: 1/80 111 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lanjutan) Pasien Jenis kelamin Usia BB Lama dirawat Riw. Penyakit Diagnosa masuk Keluhan masuk Kondisi keluar : 50 :L : 10 th : 26.5 kg : 21/12/15 – 26/12/15 (6 hari) : : demam tifoid : demam naik-turun kurnag lebih 2 minggu SMRS, batuk, mual, 1 hari SMRS menggigil, nafsu makan menurun : sembuh Apyalis Ambroksol 15 mg/5 mL Parasetamol drip Seftriakson Dexametason Terapi Obat 1 x 1 cth 3 x 1 cth 250 mg 1 x 1000 mg 3 x 4 mg Oral Oral IV IV IV Hari ke-1: Hemoglobin 9,8 g/dL Leukosit 4,4 .103/uL Hematokrit 29 % Trombosit 146 .103/uL Eritrosit 3,6 .103/uL Basofil 0 % Eosinophil 1 % Batang 2 % Segmen 27 % Limfosit 61 % Monosit 9 % MCV 82 f MC 28 Pg MCHC 33 g/dL Hasil Laboratorium Hari ke-2: Hemoglobin 11,5 g/dL Leukosit 4,8 .103/uL Hematokrit 34 % Trombosit 158 .103/uL Hari ke-3: Hemoglobin 10,5 g/dL Leukosit 4,3 .103/uL Hematokrit 31 % Trombosit 165 .103/uL Hari ke-4: Hemoglobin 11,4 g/dL Leukosit 4,5 .103/uL Hematokrit 33 % Trombosit 368 .103/uL Widal Test Typhi O: 1/80 Paratyphi BO: 1/160 Paratyphi CO: 1/80 112 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 2 Data Obat No Golongan Obat Antiinfeksi 1 1.1 Antibiotik Sefalosporin Jenis Obat Frekuensi Persentase (%) Seftriakson Anak dengan BB <50 kg: 20 - 80 mg/kg BB satu kali sehari. Maksimum: 80 mg/kg BB/hari. Anak dengan BB ≥50 kg: 1 - 2 g satu kali sehari. Maksimum: 4 g/hari dalam 2 dosis terbagi. Anak dengan BB <50kg: 100 - 200 mg/kg BB/hari diberikan dalam 3-4 dosis terbagi Anak dengan BB ≥50kg: 1 - 2 g setiap 6 - 8 jam Maksimum: 12 g/hari 75 - 150 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis terbagi. Maksimum: 6 g/hari 2 - 2.5 mg/kg BB/hari setiap 8 jam Maksimum: 120 mg/hari 20 mg/kg BB/dosis setiap 8 jam Maksimum: 1 g/hari 50 mg/kg BB/hari dalam 3 - 4 dosis terbagi. Maksimal: 100 mg/kg BB/hari dalam 4 - 5 dosis terbagi Sefotaksim Sefuroksim 1.2 Antibiotik Aminoglikosida 1.3 Antibiotik Beta Laktam Golongan Lain 1.4 Antivirus Obat Gastrointestinal 2 2.1 PPI (Proton Pump Inhibitor 2.2 Antihistamin AR-H2 2.3 Antagonis Reseptor 5HT3 Dosis Standar per Hari Gentamisin Meropenem Methisoprinol Omeprazol 20 - 40 mg satu kali sehari Pantoprazol Ranitidin 20 mg satu kali sehari 2 - 4 mg/kg BB/hari dua kali sehari. Maksimal: 200 mg/hari 0,15 – 0,3 mg/kg BB/hari Maksimum: 8 mg/hari Ondansetron 113 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.4 Antidiare Kortikosteroid 3 Lacto B Deksametason 3 x 1 sachet/hari diberikan bersama makanan Anak 1 - 5 thn: 0.25 - 1 mg/hari Anak 6 - 12 thn: 0.25 - 2 mg/hari Maksimum: 16 mg/hari 1 - 2 mg/kg BB/hari dalam 2 dosis terbagi Maksimum: 60 mg/hari Anak 2 - 5 thn: 5 mg satu kali sehari Anak 6 - 12 thn: 5 - 10 mg satu kali sehari Metilprednisolon 4 Antihistamin Setirizin CTM (Chlorpheniramin Maleat) 7 Analgesik, Anti-inflamasi Parasetamol dan Antipiretik Ansiolitik, Sedatif Diazepam Hipnotik dan Antipsikotik Antiepilepsi Asam Valproat 8 Mukolitik Ambroksol 9 Bronkodilator dan Antiasma Seretide 5 6 Anak 2 - 5 thn: 1 mg setiap 4 - 6 jam. Maksimum: 6 mg/hari Anak 6 - 12 thn: 2 mg setiap 4 - 6 jam. Maksimum: 12 mg/hari 10 - 15 mg/kg BB/dosis setiap 4 - 6 jam bila perlu. Tidak lebih dari 5 dosis dalam 24 jam 1 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis terbagi Maksimum: 10 mg/hari 10 - 15 mg/kg BB/hari dalam 2 - 4 dosis terbagi Maksimum: 60 mg/kg BB/hari Anak 2 - 5 thn: 2 - 3 kali 7,5 mg/hari Anak 6 - 12 thn: 2 - 3 kali 15 mg/hari 2 kali inhalasi seretide inhaler 50 atau 125 114 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 Vitamin dan Mineral Ferris Anak 2-6 thn: 2,5 mL/hari Anak 7-12 thn: 5 mL/hari Zinc Sulfat 20 mg satu kali sehari Apyalis Anak 2-5 thn: 1 x 1 cth/hari Anak >5 thn: 2 x 1 cth/hari 115 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 3 Penilai1an DRPs yang Dialami Pasien Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan NP 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 KTPO 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 DK 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 Penilaian DRPs DL ITO 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 OTI 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 IO 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Keterangan: NP: nomor pasien KTPO: ketidaktepatan pemilihan obat DK: dosis obat kurang DL: dosis obat lebih ITO: indikasi tanpa obat OTI: obat tanpa indikasi IO: interaksi obat 116 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 4 Kejadian Dosis Obat Kurang NP 1 6 Umur/ BB 5/17 7/55 Nama Obat Dosis Standar Methisoprinol (oral) 50 mg/kgBB/ hari (T = 850 mg/hari) 50 mg/kgBB/ hari (T = 2750 mg/hari) 2x2-4 mg/kgBB (T = 220 - 240 mg/ hari) 2 - 3 x 15 mg/ hari (T = 3045 mg/hari) 3 x 125 mg (T = 375 mg/hari) 3 x 125 mg (T = 375 mg/hari) 2 x 50 mg (T = 100 mg/hari) Dosis rendah 3 x 7,5 mg (T = 22,5 mg) Dosis rendah 50 mg/kgBB/ hari (T = 450 mg/hari) 3 x 1 sachet 3 x 125 mg (T = 375 mg/hari) 1 x 1 sachet Dosis rendah 50 mg/kgBB /hari (T = 975 mg/hari) 3 x 1 sachet 3 x 250 mg (T = 750 mg/hari) 2 x 1 sachet 50 mg/kgBB/ hari (T = 1200 mg/hari) 50 mg/kgBB/ hari (T = 1200 mg/hari) 3 x 1 sachet 3 x 250 mg (T = 750 mg/hari) 3 x 250 mg (T = 750 mg/hari) 2 x 1 sachet 3 x 1 sachet 2 x 1 sachet 3 x 1 sachet 2 x 1 sachet Methisoprinol (oral) Ranitidin (i.v) 11 7/22 Ambroksol (oral) 17 2/9 Methisoprinol (oral) 21 6/24 24 8/19,5 Lacto B (oral) Methisoprinol (oral) 33 2/10 34 10/24 35 7/24 Methisoprinol (oral) 40 12/23 43 7/21 47 5/15 Lacto B (oral) Lacto B (oral) Lacto B (oral) Lacto B (oral) Methisoprinol (oral) Dosis Pakai Ket Dosis rendah Dosis rendah Dosis rendah Dosis rendah Dosis rendah Dosis rendah Dosis rendah Dosis rendah Dosis rendah Dosis rendah Sumber ADIS Drug Information Services ADIS Drug Information Services Paediatric Dosage Handbook, MIMS 2015/2016, Drug Discovery Case History ADIS Drug Information Services MIMS 2015/2016 ADIS Drug Information Services MIMS 2015/2016 ADIS Drug Information Services ADIS Drug Information Services MIMS 2015/2016 MIMS 2015/2016 MIMS 2015/2016 Ket: T: total 117 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 5 Kejadian Dosis Obat Lebih NP 5 Umur/ BB 11/32, 5 Nama Obat Dosis Standar Ondansetron (i.v) 0,15 - 0,3 mg/kgBB/hari Max: 8 mg/hari Dosis Pakai Ket Sumber 2 x 8 mg (T = 16 mg/hari) Dosis berlebih 1 x 20 - 80 mg/kgBB/hari (T = 400-1600 mg/hari) Max: 80 mg/kgBB/hari 0,15 - 0,3 mg/kgBB/hari Max: 8 mg/hari 1 x 2000 mg (T = 2000 mg/hari) Dosis berlebih Paediatric Dosage Handbook, NICE, AP&T Alimentary Pharmacology and Therapeutics Paediatric Dosage Handbook 3 x 8 mg (T = 24 mg/hari) Dosis berlebih 9 6/20 Seftriakson (i.v) 19 11/35 Ondansetron (i.v) 32 8/20 Ondansetron (i.v) 0,15 - 0,3 mg/kgBB/hari Max: 8 mg/hari 3 x 4 mg (T = 12 mg/hari) Dosis berlebih 42 12/35 Meropenem (i.v) 3 x 10 - 20 mg/kgBB/hari Max: 1000 mg/hari 3 x 1000 mg Dosis berlebih Paediatric Dosage Handbook, NICE, AP&T Alimentary Pharmacology and Therapeutics Paediatric Dosage Handbook, NICE, AP&T Alimentary Pharmacology and Therapeutics Paediatric Dosage Handbook Ket: T: total 118 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 6 Kejadian DRPs Interaksi Obat NP 1 2 3 4 Terapi Obat Metisoprinol Parasetamol Seftriakson Ranitidine Ondansentron Seftriakson Deksametason Parasetamol Parasetamol Seftriakson Ondansentron Parasetamol Metisoprinol Diazepam Asam valproat Seftriakson Deksametason Interaksi Obat (IO) Mekanisme IO Jenis IO DRPs IO 0 0 0 Parasetamol - Diazepam Diazepam menurunkan kadar parasetamol dengan cara meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme parasetamol dapat meningkatkan level hepatotoksik metabolit parasetamol Parasetamol Diazepam – Asam menurunkan kadar Valproat parasetamol dengan cara meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme parasetamol dapat meningkatkan level hepatotoksik metabolit parasetamol Diazepam - Deksametason Deksametaso meningkatkan n kadar atau efek dari diazepam dengan cara mempengaruhi enzim CYP3A4 Diazepam – Asam valproate Asam meningkatkan Valproat kadar diazepam dalam darah dengan cara menghambat metabolisme diazepam Farmakokinetik Minor 1 Farmakokinetik Minor Farmakokinetik Minor Farmakokinetik Moderat 119 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Seftriakson Parasetamol Ondansentron Ranitidine Metisoprinol Seftriakson Ranitidine Antasid Seftriakson Ranitidine Parasetamol Seftriakson Parasetamol Seftriakson Ranitidine Parasetamol Seftriakson Ranitidine Ambroksol Seftriakson Pantoprazol Parasetamol Seftriakson Ranitidine Parasetamol Puyer batuk Seftriakson Ambroksol Seftriakson Ondansentron Parasetamol Parasetamol Seftriakson Parasetamol Setirizim CTM Seftriakson Parasetamol Metisoprinol Seftriakson Ondansentron Parasetamol Seftriakson Ranitidine Ondansentron Parasetamol Ambroksol Puyer batuk Ferris Ranitidine Seftriakson 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 120 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Puyer batuk Parasetamol Zircum Lacto B Setirizin Gentamisin Sefotaksim Parasetamol Seftriakson Deksametason Seftriakson Ondansentron Parasetamol Metisoprinol Seftriakson Ranitidine Parasetamol Ondansentron Deksametason Ambroksol Parasetamol Oralit Puyer batuk Seftriakson Ondansentron Parasetamol Metilprednisol on Seftriakson Parasetamol Seftriakson Ondansentron Seftriakson Ondansentron Diazepam OAT (isoniazid, pyrazinamide, rifampin) Ambroksol Methisoprinol Tiamfenikol Seftriakson Parasetamol Dexametason Fluconazole Meropenem Sefotaksim - Gentamisin Gentamisin meningkatkan efek nefrotoksik dari sefotaksim Unknown Moderat 0 0 0 0 0 0 0 0 Diazepam - Diazepam Parasetamol menurunkan kadar parasetamol dengan cara meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme parasetamol dapat meningkatkan level hepatotoksik metabolit parasetamol Parasetamol - Isoniazid mungkit Isoniazid meningkatkan efek hepatotoksisitas dari parasetamol dengan cara menginduksi enzim Farmakokinetik Minor 1 Farmakokinetik Moderat 121 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta CYP2E1 sehingga metabolisme parasetamol meningkat Diazepam - Isoniazid Isoniazid menurunkan bersihan diazepam. Mekanisme: isoniazid sebagai penghambat enzim sehingga metabolisme diazepam menurun Parasetamol - Rifampin Rifampin meningkatkan metabolisme parasetamol sehingga dapat meningkatkan efek hepatotoksitas Diazepam - Rifampin Rifampin meningkat metabolism dan bersihan diazepam. Mekanisme: rifampin bekerja sebagai penginduksi enzim hati 30 31 32 33 34 35 Parasetamol Omeprazol Seftriakson Ranitidine Ondansentron Meropenem Ambroksol Parasetamol Ambroksol Seftriakson Parasetamol Seftriakson Ondansentron Parasetamol Lacto B Zinc Seftriakson Ranitidine Metisoprinol Seftriakson Metisoprinol Parasetamol Seftriakson Farmakokinetik Moderat Farmakokinetik Minor Farmakokinetik Minor 0 0 0 0 0 0 122 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 Parasetamol Seftriakson Ondansentron Ranitidine Sefuroksim Gentamisin Seftriakson Parasetamol Ambroksol Setirizin Seretide (Salmeterol– Fluticason) Seftriakson Parasetamol Ranitidine Deksametason Ambroksol Seftriakson Ondansentron Parasetamol Lacto B Zircum Seftriakson Parasetamol Ambroksol Seftriakson Parasetamol Ondansentron Dexipenem Parsetamol Lacto B Zinc Seftriakson Deksametason Parasetamol Ondansentron Ranitidine Parasetamol Seftriakson Parasetamol Seftriakson Parasetamol Puyer batuk Omeprazol Seftriakson Ondansentron Lacto B Zinc Seftriakson Parasetamol Seftriakson 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 123 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 49 50 L - Bio Zinc Parasetamol Ranitidine Seftriakson Apyalis Ambroksol Seftriakson Parasetamol Deksametason 0 0 124 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta