Perubahan Representasi Kartun Panji Koming dalam

advertisement
Perubahan Representasi Kartun Panji Koming dalam Menyampaikan Pesan
Politik di Koran Kompas Pada Masa Orba Hingga Pasca Reformasi
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penelitian mengenai kartun dan sisi politiknya ini muncul ketika
sekarang telah banyak media dan konsep penyampaian politik dengan cara yang
lebih menarik dari sebelumnya, salah satunya yaitu dengan menggunakan kartun.
Konsep-konsep yang semula dipergunakan untuk hal lain ternyata dapat
digunakan untuk menyampaikan hal yang lebih “berat” seperti politik. Maka dari
itu muncul ide penelitian mengenai kartun dan representasi politik. Penelitian ini
ingin melihat bagaimana kartun Panji Koming yang ada di koran Kompas berubah
representasinya sebagai penyampai pesan politik pada saat orde baru dan pasca
reformasi. Seperti kita ketahui bersama kondisi media massa saat orde baru dan
saat pasca reformasi kondisinya jauh berbeda. Pembatasan-pembatasan terhadap
media massa sangat mempengaruhi adanya kartun dan isi kartun di media massa.
Maka dari itu akan sangat menarik jika kita melihat bagaimana perubahan cara
kartun merepresentasikan pesan politiknya di media massa, salah satunya Panji
Koming di koran Kompas.
Alasan terpilihnya kartun sebagai bagian dalam penelitian ini adalah
kartun memang merupakan hal yang biasa ada dalam masyarakat, tapi bagaimana
jika kartun mempunyai unsur politis. Kartun yang semula identik sebagai media
1
hiburan terutama hiburan anak-anak, kini mengalami proses perubahan
representatif, menjadi sedikit lebih “nakal” dengan membumbuinya dengan unsur
politis. Seperti yang kita ketahui saat ini banyak media cetak seperti koran,
majalah dan media cetak lainnya yang menggunakan media kartun sebagai
penyampai pesan-pesan politik yang ingin mereka sampaikan. Sebenarnya cara ini
merupakan cara yang telah lama digunakan selama bertahun-tahun.
”Penggunaan kartun dalam konteks politik pada pemerintahan
mulai dikenal pada tahun 1843 ketika ratu victoria memimnta pangeran
albert untuk mempelopori suatu pameran kartun yang diselenggarakan di
gedung parlemen Inggris. Selanjutnya kartun politik mulai efektif digunakan
secara besar-besaran sebagai strategi perang urat syaraf yakni pada
pemerintahan nazi jerman dibawah joseph gobbels kartun menjadi media
yang efektif untuk perang urat syaraf”.1
Pesan-pesan yang berupa sindiran dan kritikan terhadap suatu kasus dan
isu serta peristiwa-peristiwa yang sedang hangat dibicarakan dialihkan
menggunakan media kartun, sehingga terkesan lebih ringan dan dapat diterima
oleh berbagai kalangan.
“Kaum psikolog, terutama ahli propaganda, meyakini prinsip
utama otak manusia, yang menjadi alasan mengapa kartun menjadi media
efektif di dalam membangkitkan keberpihakan. Ada beberapa argumen yang
mendasarinya (diilhami dari tulisan schulze. Wechsunger, 2000, political
propaganda, dan jalaluddin rakhmat (1986) psikologi komunikasi.
Bandung : remadja rosda karya). Pertama, otak manusia didesain untuk
memaknai image, bukan kata. Kedua, otak akan menangkap gejala “berita”
atau “kata”, kemudian akan dikonversi ke dalam bentuk image. Ketiga,
kartun politik merupakan media yang sangat efektif dalam membangun
komunikasi politik. keempat, credo goebbels, dalam komunikasi politik
terutama propaganda yakin sekali dengan konsep goebbels, tentang siapa
yang menjadi target (“to whom”) dari propaganda, sasaran efektifnya
orang yang tidak berpendidikan.”2
1
Munawar ahmad “menyimak relasi kekuasaan dalam kartun” dalam Jurnal ilmu sosial dan ilmu
politik vol. 5 no. 1 juli 2001, hal 122
2
Ibid, Munawar Ahmad, hal 123
2
Seiring berjalannya waktu, representasi yang ditimbulkan oleh media
ekspresi kartun semakin lama semakin berubah. Perubahan itu bukan hanya
perubahan secara visual namun perubahan itu juga terdapat dalam isinya yang
terlihat lebih berat. Dapat kita lihat pada koran-koran dan media massa lain yang
menampilkan kartun sebagai salah satu isi dari media mereka untuk
menyampaikan pesan. Misalnya saja dalam koran Kompas terdapat halaman yang
berisi beberapa judul kartun yang hampir semuanya menunjukkan sisi politik dan
cara pandang politis mereka terhadap sebuah kasus yang sedang hangat dibahas di
Kompas. Seolah-olah tiap sisi dalam media massa itu akan dijadikan sebuah alat
penguat sisi pandang dan pendapat media terhadap suatu kasus.
Kartun memang sebagai sebuah media yang mampu diterima masyarakat
dengan sangat baik. Sehingga banyak sekali perubahan penambahan jenis kartun
dari waktu ke waktu sehingga menjadi lebih beragam. Proses yang akhirnya
membawa kartun yang biasanya dilihat sebagai hiburan berubah perannya
menjadi sejauh ini, menjadi media penyampai politik seperti yang telah kita
rasakan sekarang. Kartun memang mempunyai dampak luar biasa terhadap
pemahaman masyarakat Indonesia mengenai suatu kasus dan isu yang sedang
hangat dibicarakan.
GM Sudarta yang merupakan pencipta salah satu karakter kartun terkenal
Oom Pasikom di koran kompas pernah menyatakan bahwa ”kartun di Indonesia
belakangan ini sudah bisa menjadi karya seni yang menyimpan gema panjang,
sarat oleh pesan dan estetika, disamping kadar humornya. Tapi karikatur dalam
3
arti editorial cartoon masih sedikit. Ini mungkin erat kaitannya dengan opini dan
kritik, yang masih memerlukan pertanggungjawaban yang rumit”
3
Dari
pernyataan ini kita dapat melihat bahwa beberapa waktu belakangan karya seni
rupa yang berupa kartun sudah bisa bertransformasi menjadi penyampai pesan
yang sarat akan unsur politik. Pesan tersebut dapat dilihat secara tersurat maupun
tersirat. Dan bisa kita lihat bahwa kartun menjadi semakin terbuka dengan
potensinya sebagai alat politik.
Contoh kartun yang menyampaikan unsur politiknya secara tersirat
adalah Oom Pasikom dari koran Kompas yang masih menggunakan sindiran
secara lebih halus. Sedangkan kartun yang lebih terbuka dan tersurat adalah
kartun Si Kribo dan Timun di koran yang sama, yakni Kompas, yang
menyampaikan pesannya secara lebih terbuka dan lebih gampang ditangkap
pesannya. Dan dari sekian banyak kartun yang ada di koran terutama di koran
Kompas, Panji Kominglah yang akhirnya terpilih karena merupakan salah satu
kartun yang sudah sangat populer di masyarakat. Tak hanya itu saja, kartun Panji
Koming juga telah ada sejak orde baru sehingga relevan untuk dilihat
perbedaannya saat orde baru dan sekarang, pasca reformasi. Alasan lain pemilihan
Panji Koming adalah karena kartun ini ada pada koran Kompas yang kita ketahui
sejak dulu telah memiliki penikmatnya sendiri dan memiliki angka penjualan yang
tinggi.
“Misalnya saja tahun 1970 kebanyakan surat kabar terjual kurang dari
20000 eksemplar.hanya 4 yang memiliki sirkulasi melebihi angka 40000: koran
3
Prisma 5 Mei 1987. “Karikatur: Mati Ketawa Cara Indonesia”. Hal 49 (dikutip dari skripsi tulisan
Gusti Indah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah
Mada yang berjudul “Menyimak Relasi Kekuasaan Dalam Karikatur; Studi tentang Terorisme
Berbalut Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas 2001-2003”)
4
berhaluan radikal merdeka (82000), dua surat kabar kristiani yang prestisius yakni
kompas (75000)dan sinar Harapan (65000) serta berita yudha miliki tentara
(75000)”.4
Angka diatas dapat menjelaskan bagaimana posisi koran Kompas dimata
masyarakat Indonesia pada masa itu. Bahkan hingga saat ini koran tersebut sangat
mudah untuk kita temukan setiap harinya. Jadi tak ada alasan untuk tidak
menjadikan koran ini, terutama kartun Panji Koming yang hadir setiap minggunya
di Koran Kompas sebagai objek penelitian yang menarik untuk dikaji. Dan pada
penelitian ini akan mengambil masa antara periode tahun 1990-an dan tahun
2000-an sebagai bahan yang dominan dikaji sedangkan dalam beberapa bagian
akan mengambil dari tahun1970-an dan tahun 1980-an sebagai penguat tulisan.
Sebenarnya penelitian mengenai kartun ini bukanlah yang pertama, bahkan dapat
kita katakan bahwa tidak sedikit yang membahas tentang kartun meskipun tema
yang diambil itu tidak sama. Selain itu kartun lain pernah dibahas oleh salah satu
mahasiswa di Jurusan Ilmu Pemerintahan dalam skripsinya yang juga mengangkat
salah satu kartun yaitu mengenai Oom Pasikom.
Penggambaran Oom Pasikom ini pernah disampaikan pada skripsi yang
pernah ditulis oleh Gusti Indah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial
& Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Skripsi yang berjudul “Menyimak
Relasi Kekuasaan Dalam Karikatur; Studi tentang Terorisme Berbalut Karikatur
Oom Pasikom di Harian Kompas 2001-2003”. Skripsi ini menceritakan
bagaimana Oom Psikom menanggapi aksi-aksi terorisme dan penanganannya di
Indonesia. Dengan skripsi ini jelas sekali bahwa sekarang kartun di media massa
4
Atmakusumah 1980: 232 menyitir kritis mengupas suratkabar, cipta loka caraka, badan lektur
pembinaan mental, jakarta, 1970, hlm. 69-70 (dikutip dari David T.Hill. “Pers di Masa Orde Baru”.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta. 2011. Hal. 36)
5
terutama dalam kasus ini media cetak, menjadi sebuah alat untuk menyampaikan
pesan poltik.
Tulisan lain yang juga pernah membahas mengenai kartun adalah tulisan
dari Munawar Ahmad, “Menyimak Relasi Kekuasaan dalam Kartun”. Salah satu
tulisan dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik vol.5 no.1 Juli 2004 ini
membicarakan mengenai kartun dengan relasi kuasa. Tulisan ini menceritakan
mengenai penggunaan kartun yang dijadikan sarana politik, dan dalam hal ini
yang diangkat adalah mengenai hubungan relasi kuasa yang menjadi bagian dalam
politik dengan kartun.
Kedua tulisan ini merupakan beberapa tulisan yang mendasari penulis
untuk mengangkat kartun sebagai objek penelitian yang sangat menarik untuk
dikaji. Tulisan-tulisan tersebut seakan menjelaskan bahwa hal-hal yang “ringan”
pun dapat dipolitisasi. Hal tersebut pula yang ingin penulis angkat dalam
penelitian ini, kartun dan peluangnya sebagai sarana politik. Namun setiap tulisan
pasti mempunyai perbedaan, baik perbedaan sudut pandang, cara menyampaikan
maupun materi yang disampaikan meskipun dengan satu tema yang sama. Dalam
penelitian ini penulis tidak akan mengangkat mengangkat tema mengenai kartun
dan terorisme serta tidak akan melihat secara khusus antara relasi kuasa dan
kartun seperti tulisan atau penelitian yang telah disampaikan sebelumnya.
Meskipun dalam beberapa hal penelitian ini akan menggunakan tulisan dari
penelitian sebelumnya untuk dijadikan refrensi dalam penulisan. Telah banyak
penelitian yang mengulas tentang kartun dan politik, namun bagi penggemar Panji
6
Koming tulisan ini mungkin saja bisa menjadi hal yang menarik untuk diikuti
karena lebih spesifik mengenai salah satu kartun populer di Indonesia.
Studi yang dilakukan oleh Munawar Ahmad, “Menyimak Relasi
Kekuasaan dalam Kartun”. Salah satu tulisan dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik vol.5 no.1 Juli 2004 ini membicarakan mengenai kartun dengan relasi
kuasa. Kartun yang dimaksud dalam tulisan tersebut tidak menyebutkan secara
spesifik kartun yang digunakan. Baik apakah kartun tersebut berasal dari media
cetak maupun elektronik.
Dalam tulisan tersebut jangka waktu kartun yang
digunakan tidak disebutkan secara lebih lengkap, sehingga penggunaan tulisan
tersebut sebagai refrensi bisa digunakan dalam kurun waktu yang lama.
Berbeda halnya dengan tulisan yang akan penulis sampaikan. Dalam
penelitian ini penulis hanya berfokus kepada satu jenis kartun dari media cetak
yaitu kartun Panji Koming, sehingga bisa saja penelitian ini tidak sesuai apabila
digunakan atau dibandingkan dengan menggunakan kartun yang lain. Selain itu
rentan waktu yang digunakan dalam penelitian ini hanya terbatas pada masa orde
baru dan pasca orde baru. Meskipun terdapat perbedaan antara penelititan ini
dengan beberapa refrensi yang digunakan, namun tetap terdapat persamaan dan
garis besar dari kedua penelitian ini.
Kedua penelitian ini sama-sama
menggunakan kartun sebagai tema utama penelitian dan melihat kartun sebagai
suatu sarana dalam menyampaikan unsur-unsur politik.
Apapun bahasa dan cara menyampaikan pesan-pesan yang sarat akan
unsur politik dalam sebuah kartun, kita tetap dapat menarik sebuah kesimpulan
bahwa kartun sudah mengalami sebuah transformasi dalam pergeseran fungsi
7
representasinya atau dapat kita katakan telah bertambah fungsi dan perannya.
Itulah mengapa penelitian ini dibuat. Penelitian yang ingin mengetahui secara
lebih mendalam pergeseran yang terjadi seperti apa dan bagaimana dapat terjadi.
Sehingga dapat membawa kita kepada pemahaman yang lebih mendalam akan
pentingnya berpikir kritis terhadap semua hal yang ada dihadapan kita dan lebih
menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak selalu sama di setiap perjalanan
waktunya atau dengan kata lain berkembang dinamis sesuai dengan perjalanan
waktu.
B. RUMUSAN MASALAH
Fenomena yang terjadi dalam kartun di Indonesia, salah satunya kartun
Panji koming yang membuat peneliti merasa tertarik untuk menelitinya. Sehingga
tercetuslah sebuah rumusan masalah yang ingin dihadirkan dalam penelitian ini
yakni mengenai
“Bagaimana perubahan representasi kartun Panji Koming dalam
menyampaikan pesan politik di Koran Kompas pada masa Orba dan pasca
reformasi?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana kartun di
media massa Indonesia, terlebih dalam hal ini kartun Panji Koming di koran
Kompas yang notabene sebagai media yang diteliti, mengalami pergeseran dalam
penyampaian isi dan makna yang terkandung didalamnya. Khusunya dalam
8
penelitian ini pada masa Orde Baru dan Pasca Reformasi. Peneliti ingin
mengetahui pergeseran yang dialami oleh kartun Panji Koming dalam hal
representasi politik. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui seperti apa
perubahan-perubahan yang terjadi selama orde baru menuju era pasca orde baru
(jika memang ada perubahan) atau bahkan mungkin tidak ada perubahan sama
sekali.
Penelitian ini juga ingin mengetahui dan membuktikan apakah faktor
berubahnya sistem rezim yang berkuasa memang dapat menyebabkan perubahan
dan pergeseran representasi dari media massa suatu negara. Terutama dalam hal
ini adalah kartun Panji Koming. Dan seperti apa bentuk perubahannya serta
bagaimana dampak yang dapat ditimbulkan dari perubahan tersebut. Karena kita
tahu bahwa rezim orde baru merupakan orde yang menjadi sejarah tersendiri bagi
bangsa Indonesia merupakan rezim yang berbeda dari rezim-rezim penerusnya.
Rezim yang telah mengakar selama 32 tahun di Indonesia ini telah membentuk
masyarakat Indonesia sedemikian rupa. Pengaruh orde baru sudah sangat melekat
kuat pada kehidupan dan budaya di masyarakat Indonesia. Lalu bagaimana halnya
jika kemudian Indonesia berganti dengan rezim yang berbeda jauh dari rezim
sebelumnya.
Hal yang tersebut diatas telah memancing keingintahuan penulis terhadap
hal tersebut. Terlebih karena banyaknya orang yang berpendapat bahwa media
massa itu dapat berubah tergantung kondisi pada saat itu, dimana dan siapa yang
berkuasa. Jadi bisa kita katakan secara sederhana bahwa baik gambar maupun
tulisan mempunyai muatan pesan yang berbeda dan hal ini dapat dipolitisasi
9
dengan mudah oleh orang ataupun pihak yang menginginkannya. Karena itu
penelitian ini juga bertujuan supaya kedepannya masyarakat bisa lebih kritis
terhadap segala sesuatu termasuk pemberitaan yang ada di media, baik di media
cetak maupun media elektronik. Seperti telah disebutkan diatas bahwa
pemberitaan-pemberitaan tersebut mempunyai representasi dan hidden interest
masing-masing. Diharapkan dengan adanya tulisan ini masyarakat bisa lebih
menyadari ternyata hal kecil disekitar kita, seperti kartun yang kita nikmati seharihari bisa mengalami perubahan yang mungkin tidak disadari sebelumnya.
D. KERANGKA TEORI
D.1 Kartun
Kartun merupakan suatu karya seni rupa dua dimensi yang berupa
gambaran atas sebuah benda hidup maupun benda tak hidup yang dikemas
sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu kesan tersendiri dan mempunyai
makna. Karya 2 dimensi lainnya yang sering rancu dengan kartun adalah
penyebutan kartun dan karikatur. Terkadang terjadi tumpang tindih pemaknaan
kartun dan karikatur oleh sebagian orang. Karikatur sebenarnya merupakan salah
satu jenis dari kartun. Karikatur sendiri adalah pencitraan berlebihan atas wajah
seseorang yang biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan
penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek.5 Sehingga dapat kita
5
GM. Sudarta. “Karikatur: Mati Ketawa Cara Indonesia”. Prisma 5 Mei 1987. Hal 49-50 (dikutip
dari skripsi tulisan Gusti Indah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Menyimak Relasi Kekuasaan Dalam Karikatur; Studi
tentang Terorisme Berbalut Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas 2001-2003”)
10
katakan bahwa kartun mempunyai lingkup yang lebih luas dibanding karikatur
yang merupakan bagian dari kartun.
Kartun mempunyai tema yang beragam, mulai dari masalah cinta, perang,
politik, ekonomi, kehidupan sehari-hari, seni budaya, agama, olahraga, mode,
sampai adat istiadat dan hal-hal yang surealistis sekalipun (Yustiniadi, 1996:50).6
Jenis-jenis kartun yang ada antara lain;7
1. Kartun editorial (editorial cartoon) yang digunakan sebagai visualisasi
tajuk rencana surat kabar atau majalah. Kartun ini biasanya
membicarakan masalah politik atau peristiwa aktual sehingga disebut
kartun politik. Kartun ini sekarang tidak hanya ada pada media cetak
tapi juga telah ada di media elektronik, seperti di beberapa acara di
stasiun Televisi dan di situs-situs di internet.
2. Kartun murni (gag cartoon) yang dimaksud sekedar sebagai lelucon
atau olok-olokan tanpa bermaksud mengulas suatu permasalahan atau
peristiwa aktual. Sehingga dapat dikatakan kartun jenis ini lebih netral,
karena hanya bertujuan untuk sekedar lelucon dan menghibur.
3. Kartun komik (comic cartoon) yang dalam media cetak merupakan
susunan gambar, biasanya terdiri dari tiga sampai enam kotak. Isinya
hanya komentar humoris tentang suatu peristiwa atau masalah aktual.
Sedangkan dalam media elektronik misalnya saja pada jenis kartun
6
Gusti Indah, “Menyimak Relasi Kekuasaan Dalam Kerikatur; studi Tentang Terorisme Berbalut
Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas periode 2001-2003”, tahun 2009
7
Klasifikasi ini terdapat dalam penbahasan-pembahasan kartun (Cipta Adi Pustaka, 1990, 201)
dikutip dari skripsi tulisan Gusti Indah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan lmu
Politik Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Menyimak Relasi Kekuasaan Dalam Karikatur;
Studi tentang Terorisme Berbalut Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas 2001-2003”)
11
yang ditonton oleh anak-anak, yang biasanya kebanyakan berisi
mengenai pengetahuan, petualangan maupun tentang imajinasi
seseorang yang ditumpahkan dalam bentuk gambar yang bergerak.
D.2 Kartun di Media Massa
Kartun semula identik dengan hiburan bagi anak-anak. Karena kartun
yang ada biasanya berisi mengenai suatu imajinasi seseorang terhadap lingkungan,
benda, maupun kejadian yang hanya ada pada dunia khayal mereka. Namun
seiring berjalannya waktu kartun tidak hanya menjadi media hiburan yang
menyenangkan melainkan juga merambah ke hal-hal yang lebih serius dan lebih
berat.
Media yang digunakan untuk menuangkan atau menggambar kartun ada
bermacam-macam. Dahulu orang hanya akan menggambar kartun pada sebuah
kertas. Namun saat ini media penuang kartun tidak hanya terbatas pada kertas
semata, bahkan sekarang ada dimana-mana. Di dinding-dinding yang ada disekitar
kita juga terdapat kartun yang biasa disebut dengan mural maupun grafiti. Bahkan
tanpa kita sadari kartun juga ada di benda-benda yang kita gunakan dalam
kehidupan sehari-hari seperti baju, lemari, mug, tempat pensil dan lain sebagainya.
Namun yang paling sering kita temui sekarang adalah penggunaan kartun
pada media massa, baik media massa cetak maupun elektronik. Kartun di media
massa Indonesia sudah ada sejak 1930-an. Saat ini dengan teknologi yang lebih
canggih kartun juga muncul di televisi. Setiap hari di hampir semua stasiun
televisi terdapat kartun, baik itu berupa kartun yang utuh dan membentuk sebuah
12
kisah maupun hanya bagian-bagian yang mengandung makna. Kita dapat melihat
kartun juga digunakan untuk iklan, baik iklan sebuah produk, iklan politik,
maupun iklan layanan masyarakat. Dalam beberapa media elektronik (TV dan
situs Internet), kartun juga kadang digunakan sebagai ikon dari perusahaan
mereka. Misalnya saja TV One yang menggunakan sosok kartun “Bang One”
sebagai ikon dari TV One. Tak jarang pula Bang One hadir sebagai perwakilan
dari sisi pandang TV One terhadap sebuah isu yang sedang berkembang.
Begitu pula yang terjadi di media cetak. Di setiap majalah maupun koran
yang kita baca setiap hari, terdapat halaman atau kolom yang menyediakan tempat
khusus untuk kartun. Kartun yang membawa pesan kritik sosial, yang muncul
disetiap penerbitan surat kabar adalah political cartoon atau editorial cartoon,
yakni versi lain dari editorial atau tajuk rencana dalam versi gambar humor, dan
inilah yang biasa disebut dengan karikatur.8
Dari kartun yang ringan hingga kartun yang berisi tentang hal yang berat,
selalu kita jumpai di media massa. Dengan berbagai alasan keberadaan kartun di
media massa yang menjadikannya sebagai hiburan, penyampai berita atau pesan,
maupun menjadi alat propaganda, dapat kita katakan bahwa kartun sudah
merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari media massa. Jadi saat ini
kartun sudah bukan merupakan hal yang asing lagi. Bahkan kartun tidak lagi
terbatas pada penikmat kalangan anak-anak dan remaja saja. Tapi kartun juga
8
Ibid (dikutip dari skripsi tulisan Gusti Indah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan
lmu Politik Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Menyimak Relasi Kekuasaan Dalam
Karikatur; Studi tentang Terorisme Berbalut Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas 20012003”)
13
sudah dapat masuk ke ranah dunia orang dewasa, dengan pemberitaan yang lebih
berat dan sesuai dengan pemikiran orang dewasa pada umumnya.
D.3 Representasi
Representasi sendiri mempunyai pengertian mewakili.9 Representasi juga
berarti menyampaikan sebuah pesan dan sebagai pertunjukan definisi yang
mempengaruhi opini dan aksi. Representasi atau gambaran-gambaran dan ide-ide
yang dibentuk dalam pikiran memiliki implikasi yang sangat luas bagi orangorang dalam konteks yang nyata. Representasi yang bersifat imajiner dapat
mempengaruhi pihak dalam dunia nyata baik dalam mengambil keputusan dan
tindakan tertentu. Merepresentasikan artinya menyampaikan atau menggambarkan
sebuah ide dan keinginan yang ada di dalam pikiran seseorang terhadap sesuatu.
Dan terkadang dengan merepresentasikan sesuatu bisa berarti seseorang
mempunyai tujuan yang ingin dicapai.
Representasi secara umum dapat kita bedakan menjadi beberapa jenis,
yang pertama adalah representasi yang dapat dilihat dan dirasakan secara
langsung atau tersurat. Representasi yang kedua adalah representasi yang tersirat
atau dapat dikatakan terdapat hidden interest di dalamnya sehingga dibutuhkan
sebuah pemikiran yang lebih mendalam untuk menangkap makna sesungguhnya.
Representasi dapat dilakukan melalui beberapa media seperti tulisan dan gambar
yang telah disesuaikan dengan apa yang ingin direpresentasikan.
9
http://kbbi.web.id/representasi
14
Dalam tulisan Spivak, dia menekankan fakta bahwa, representasi adalah
salah satu jenis dari tindakan berbicara, dengan seorang pembicara dan seorang
pendengar. 10 Dengan kata lain representasi adalah cara pandang salah satu pihak
yang ditujukan untuk pihak lain atau suatu hal. Pandangan ini berupa sesuatu hal
yang imaginer, yang tidak dapat ditangkap atau dilihat secara langsung, tetapi
dapat dirasakan dan dipahami. Sehingga representasi antara satu orang dengan
yang lain terhadap suatu hal yang sama bisa jadi tidak sama. Karena seperti yang
telah disebutkan diatas bahwa representasi bersifat imajiner. Bahkan terkadang
terhadap suatu kasus yang sama, tiap orang bisa berpandangan berbeda. Bahkan
bisa juga satu orang dan orang lain punya cara pandang yang sama atau bisa
dikatakan representasi satu orang dapat disetujui oleh orang lain dan atau
merepresentasikan orang lain juga. Representasi inilah yang membuat suatu
tulisan atau gambar mempunyai sebuah arti.
D.4 Kartun, Media dan Representasi
Kartun, media massa dan representasi merupakan hal yang dapat
memperkuat satu sama lain. Kartun membutuhkan sebuah media massa untuk
menuangkannya dan memperluasnya kepada masyarakat, bisa berupa kartun pada
media cetak maupun media elektronik. Kartun yang ada pada suatu media massa
biasanya mempunyai suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai. Tujuan inilah yang
10
Hartinigsih dan Pambudi, 2006, „Membaca Gayatri Chakravorty Spivakā€Ÿ, Kunci Cultural
Studies, [online] diunduh dari http://kunci.or.id/esai/misc/maria_gayatri.htm diakses pada 25
januari 2009 (dikutip dari skripsi tulisan Dewi Nurul Maliki Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas Gadjah Mada dengan judul “Representasi Kelompok
Minoritas dalam Tubuh Mayoritas Dominan; studi kasus tentang perlawanan Jemaat amadiyah
Indonesia Cabang Yogyakarta terhadap Klaim-klaim Hegemonik Kelompok mainstream Islam
dalam upaya mendapatkan hak hidup legal (kembali)”)
15
kemudian direpresentasikan melalui kartun yang gambarnya dan alurnya
disesuaikan dengan tujuan dan kemudian akan diperluas melalui media massa.
Hal ini diperkuat oleh kutipan dari tulisan Munawar Ahmad berikut:
“Misi tersembunyi yang dikemas dalam kartun bisa dimaknai sebagai
suatu perjuangan untuk menata ulang struktur kekuasaan. Melalui media massa,
kartunis menjadi bagian dalam suatu gerakan dalam bentuk penggalangan
wacana kearah relasi kekuatan yang semakin terhindar dari spiral kekerasan.”11
Kutipan tersebut memperkuat dugaan adanya hidden interest dan
representasi politik dalam kartun, dan hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk
tujuan tertentu. Tidak bisa kita remehkan bagaimana kartun bekerja secara efektif
dan efisien.
Sedangkan yang dimaksud dengan politik representasi adalah bagaimana
seseorang dapat menyampaikan pandangannya yang mungkin terkadang imaginer,
kepada pihak lain supaya pihak–pihak yang dimaksud dapat menangkap dan
mengerti maksud yang sesungguhnya. Politik representasi ini biasanya berkaitan
dengan kekuasaan terhadap suatu hal tertentu yang mempunyai maksud supaya
pihak lain dapat terpengaruh dengan apa yang dia pikirkan. Layaknya penanaman
suatu ide tertentu terhadap sesuatu. Dengan begitu orang dapat terbawa dan masuk
dalam pemikiran pihak yang melakukan politik representatif tersebut sehingga
bisa terpengaruh dan melakukan hal yang diinginkan oleh pelaku politik
representatif.
Dalam kasus penggunaan kartun dalam media massa pun juga terdapat
politik representatif. Media massa dapat menggunakan cara berbeda-beda dari
11
Munawar Ahmad.2001. “Menyimak Relasi Kekuasaan dalam Kartun” dalam Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. vol. 5 no. 1. Juli 2001
16
biasanya tak hanya berupa tulisan yang tidak terlalu menarik perhatian banyak
orang. Banyak media massa yang kemudian menggantinya dengan kartun, suatu
media yang lain dari biasanya untuk menyampaikan pesan. Seperti yang telah
disebut diatas bahwa dalam politik representatif bisa terdapat suatu pesan
tersembunyi yang terselip dalam penggunaan kartun tersebut. Media massa juga
menggunakan kartun sebagai alat penyampai pesan politik secara lebih halus dan
lebih mudah ditangkap makna apa yang terkandung dibaliknya.
Selain itu politik representatif kartun yang dilakukan oleh media massa
juga bisa saja mempunyai tujuan mempengaruhi ideologi dan pemikiranpemikiran dari media massa tersebut. Misalnya pada suatu kasus, salah satu media
sangat kontra. Hal itu akan nampak pada kartun yang ditampilkan. Kartun-kartun
yang dibuat untuk mendukung argumentasi serta point of view-nya secara
langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi beberapa pihak dan
membuatnya berpikiran sama dengan media massa tersebut. Jadi politik
representatif yang digunakan oleh media massa melalui media kartun dapat
menghasilkan hal yang sangat luar biasa dalam mempengaruhi pihak yang ingin
dipengaruhi.
Kartun yang ada pada suatu media massa, biasanya akan mempunyai
ideologi dan arah pemikiran yang sama. Akan sangat jarang sekali terjadi
kemungkinan bahwa kartun dan media massa berideologi berbeda. Suatu media
massa pasti sudah memilih kartun yang boleh tampil pada salah satu halamannya.
Meskipun perannya mungkin tidak terlalu terlihat, tetapi kartun yang ditampilkan
akan mewakili sudut pandang dari media massa tersebut. Sudut pandang dan
17
ideologi yang sama kemudian akan memudahkan dalam merepresentasikan suatu
hal. Hubungan seperti inilah yang akhirnya dapat menguatkan antara media massa,
katun dan representasi.
E. DEFINISI KONSEPTUAL
Politik Representatif
Politik representatif adalah pemberian pesan atau definisi tertentu yang
sudah dipolitisasi dari suatu pihak untuk mempengaruhi seseorang, beberapa
orang maupun banyak orang untuk melancarkan niatnya terhadap suatu hal yang
biasanya berkaitan dengan kekuasaan dan tujuan tertentu dapat dilakukan secara
tersurat maupun secara tersirat.
F. METODE PENELITIAN
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
Ikonografi. Metode ini dipilih karena metode analisis ikonografi dianggap paling
tepat untuk digunakan dalam meneliti studi yang ingin melihat pergeseran
representasi kartun Panji Koming di koran Kompas dari masa Orba hingga pasca
reformasi ini. Kartun merupakan sebuah karya seni berupa gambar dan terkadang
disertai dengan tulisan biasanya mempunyai makna, maka dari itu kartun dalam
beberapa kesempatan bisa dijadikan sebagai simbol. Simbol-simbol dan makna
inilah yang biasanya dikaji dalam analisis Ikonografi.
Selain karena alasan yang telah disebutkan diatas, alasan lain
dipergunakannya metode analisis Ikonografi karena data-data yang akan dipakai
18
dalam penelitian ini hampir seluruhnya merupakan data tertulis yang didapat dari
berbagai sumber. Data tertulis yang ada baik berupa percakapan maupun narasi ini
biasanya menggunakan unit bahasa tertentu. Data-data tersebut antara lain
diperoleh dari media massa Kompas terutama pada halaman diletakkannya Panji
Koming, yang merupakan kajian utama dari penelitian ini. Data penunjang
lainnya juga didapatkan dari beberapa buku, jurnal dan penelitian-penelitian
sebelumnya yang didapatkan dari Perpustakaan serta data dari sumber sekunder
lain seperti hasil pencarian di internet. Data-data tersebut nantinya akan dianalisis
untuk kemudian bisa menjawab rumusan masalah.
Studi ini berkaitan dengan gambar dan tulisan yang membentuk sebuah
cerita. Cara analisis studi ini tentu saja dengan memperhatikan kedua hal tersebut
yaitu gambar dan tulisan (prolog dan dialog). Gambar dan tulisan ini akan sangat
menguatkan satu sama lain. Jika kita melihat sebuah gambar maka tulisan akan
lebih memperjelas, begitupula sebaliknya. Kecenderungan gambar (tokoh, latar
belakang dan hal yang dilakukan) serta pemilihan tata bahasa dan kata tersebut
yang akan dianalisis. Analisis terhadap tokoh ini tidak terlepas dari tema utama
studi ini yakni mengenai representasi politik. Jadi gambar dan tulisan dalam
kartun yang dijadikan contoh kemudian akan dikaitkan dengan representasi politik
seperti yang telah dijelaskan diatas. Cara analisis yang demikianlah yang menjadi
alasan mengapa analisis ikonografi dianggap lebih tepat dalam penelitian ini.
Salah satu data primer yang akan digunakan berasal dari koran Kompas
terutama pada bagian kartun Panji Koming. Koran Kompas yang akan dipakai
adalah beberapa koran Kompas edisi yang ada pada jaman Orde Baru dan
19
beberapa edisi sekarang, Pasca Reformasi. Koran ini dapat didapatkan melalui
koran dalam bentuk eksemplar maupun dalam bentuk koran on-line yang banyak
digunakan saat ini. Namun kebanyakan data diambil dari kantor koran Kompas
yang merupakan tempat penyimpanan data koran Kompas yang paling lengkap,
berupa softfile. Dari sekian banyak edisi dan kartun Panji Koming yang ada,
hanya akan digunakan beberapa sampel kartun saja. Pemilihan sampel yang akan
digunakan dalam studi dipilih selain dari tahunnya yang mewakili dari tiap masa
(era orba dan pasca reformasi) juga dipilih sampel dengan gambar dan cerita yang
mudah dipahami. Sampel juga dipilih berdasarkan edisi dengan gambar dan cerita
yang dirasa lebih menarik dan lebih mewakili apa yang ingin disampaikan studi
ini daripada edisi-edisi lain yang berhasil didapatkan oleh penulis.
Sistematika penyusunan penelitian ini adalah dengan mengumpulkan
data terlebih dahulu. Seperti yang telah disebutkan diatas, data berupa data tertulis
baik data primer maupun data sekunder. Data tersebut kemudian akan dianalisa
dari segi gambar (pemilihan gerakan, ekspresi dan cara menggambar), unit
bahasanya
berdasarkan
kecenderungan
penulisan,
cara
pandang
dan
representasinya. Setelah itu analisa isi dari kartun Panji Koming dalam koran
Kompas akan coba dilihat dengan referensi yang ada untuk lebih meyakinkan
analisa yang telah dibuat. Analisa dari tiap bab kemudian akan ditarik garis
besarnya untuk membantu membuat kesimpulan yang akan diletakkan pada bab
terakhir.
20
Pendekatan yang dipakai dalam analisa penelitian ini diperkenalkan oleh
Erwin Panofsky. Panofsky membagi menginterpretasi objek seni dan gambar
melalui tiga tahapan analisis makna secara ikonografi dan ikonologi yaitu;12
1. Tahap Preiconographical
Tahapan untuk mengidentifikasi melalui hal-hal lazim yang sudah
dikenal (alami). Tahapan ini disebut pemahaman secara faktual dan
ekspresional. Pemahaman ini didasarkan pada pengalaman masing-masing
individu
terhadap
suatu
objek
gambar.
Dengan
mengamati
dan
mengidentifikasi unsur artistik dari objek gambar (konfigurasi tertentu dari
garis dan warna, atau bentuk dan material yang merepresentasikan objek
keseharian tertentu), hubungan-hubungan yang terjadi pada objek dan
identifikasi kualitas ekspresional tertentu dengan melakukan pengamatan
pose atau gesture dari objek.
2. Tahap Iconographical
Tahapan untuk mengidentifikasi makna sekunder dengan melihat
hubungan antara motif sebuah seni dengan tema, konsep atau makna yang
lazim terhadap peristiwa yang diangkat oleh sebuah gambar. Motif-motif
yang kemudian dikenali pembawa makna sekunder disebut sebagai
image/citra/wujud.
3. Tahap Interpretasi Iconology
12
Erwin Panofsky, “Studies In Iconology”, Oxfort University Press, New York, 1939 (diambil dari
tulisan yang berjudul “Kajian Makna Kartun Editorial Melalui Pendekatan Ikonografi” diunggah
oleh Basnendar dalam http://basnendar.dosen.isi-ska.ac.id/2010/07/26/kajian-makna-kartuneditorial-melalui/ )
21
Pada tahapan ini makna yang paling hakiki dan mendasar dari isi
sebuah karya kartun benar-benar dipahami. Pemahaman mengenai makna
intristik yang terdapat dalam sebuah objek diperoleh dengan menggunakan
prinsip-prinsip dasar yang kemudian dapat menunjukkan perilaku sikap
dasar dari sebuah bangsa, kurun waktu, strata sosial, ajakan religius dan
filosofis tertentu.
G. SISTEMATIKA BAB
Penelitian ini berencana untuk dibuat dalam beberapa bab. Bab-bab yang
akan disusun diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih bagi
pembaca dan memudahkan pembaca untuk memahami apa saja yang ingin
disampaikan oleh penulis. Dan bab-bab yang akan disusun nanti semoga dapat
mengarahkan pembaca kepada tujuan penulis terhadap penelitian ini.
Bab II berisi tentang representasi yang disajikan oleh kartun Panji
Koming. Representasi ini spesifik pada tahun-tahun dimasa orde baru berkuasa.
Kartun Panji Koming ini telah ada sejak masa orde baru sehingga kita sudah bisa
melihat arah kecendrungan representasi kartun ini. Terlebih dimasa ini media
massa tidak dapat bergerak sebebas sekarang. Media massa masih berada dibawah
pengawasan pemerintah secara ketat, sehingga dimungkinkan berita dan cara
orang untuk menulis artikel ataupun sajian lain menjadi terpengaruh dengan hal
tersebut.
Bab III berisi tentang politik Representatif kartun Panji Koming pada
saat pasca orde baru. Isi yang disampaikan mungkin akan hampir sama, tetapi
22
dengan melihat yang sama pada masa yang berbeda akan memberikan gambaran
yang berbeda pula. Terlebih masa pasca orde baru media sudah lebih berkembang,
apalagi setelah terjadinya reformasi yang telah membawa banyak perubahan bagi
kondisi sosial dan politik Indonesia. Sehingga pada masa sekarang penelitian ini
mempunyai persepsi terdapat perubahan pada representasi Panji Koming setelah
orde baru.
Bab IV berisi tentang perbandingan dan perbedaan politk representatif
yang dilakukan oleh Panji Koming saat masa orde baru dan pasca reformasi. Apa
saja perbedaannya dan hubungan perbedaan itu dengan perubahan rezim yang ada.
Mencoba menguraikan perbedaan yang signifikan dan bagaimana hal tersebut bisa
terjadi. Jadi dengan kata lain bab ini berisi jawaban atas rumusan masalah yang
telah tertulis diatas.
23
Bab 2
Profil Kompas
Koran Kompas merupakan koran yang telah ada sejak beberapa dekade
yang lalu. Kompas resmi didirikan pada tanggal 28 Juni 1965. Ide awal dari
pendirian koran ini berasal dari Panglima TNI AD Letjen Ahmad Yani yang
kemudian diutarakan pada Menteri Perkebunan pada saat itu yakni Drs Frans Seda.
Drs Frans Seda kemudian bekerjasama dengan Drs Jacob Oetama dan Mr
Auwjong Peng Koen yang telah berpengalaman dalam media cetak. Kemudian
mereka mendirikan sebuah yayasan yang bernama Yayasan Bentara Rakyat pada
16 Januari 1965. 13
Melalui Yayasan Bentara Rakyat kemudian dibentuklah media cetak
yang semula diberi nama bentara rakyat, namun karena usulan dari presiden saat
itu, Ir Soekarno, namanya pun kemudian diubah menjadi Kompas. Pemberian
nama kompas ini mempunyai makna pemberi arah dan jalan dalam mengarungi
lautan dan rimba. Tujuan utama Kompas dibentuk adalah sebagai salah satu cara
menghadang pemberitaan pers komunis. 14 Dan dalam kemunculan perdananya,
Kompas terbit sebanyak 4828 eksemplar. Saat ini Kompas diterbitkan oleh PT
Kompas Media Nusantara.
Kompas lahir dan berkembang dengan cukup pesat. Oplah penjualannya
pun selalu mencapai angka yang besar. Surat harian Kompas telah mampu beredar
dihampir seluruh wilayah Indonesia. Maka tak heran jika Kompas menjadi salah
13
14
http://print.kompas.com/about/sejarahkompas.html
http://www.kompasgramedia.com/aboutkg/history
24
satu koran yang mempunyai oplah terbesar di Indonesia. Untuk memastikan
akuntabilitas distribusi harian Kompas, Koran Kompas menggunakan jasa ABC
(Audit Bureau of Circulations) untuk melakukan audit semenjak tahun 1976.
Berdasarkan hasil survey pembaca tahun 2008, profil pembaca koran Kompas
mayoritas berasal dari kalangan (Strata Ekonomi dan Sosial) menengah ke atas
yang tercermin dari latar belakang pendidikan dan kondisi keuangan. Data ini juga
menunjukkan dimana posisi koran Kompas dapat diterima oleh masyarakat.
Perjalanan Kompas ternyata tidak semulus seperti yang dibayangkan
pada kemunculan perdananya. Kompas pernah dua kali dilarang terbit dengan
alasan yang berbeda. Pada larangan terbit yang pertama tanggal 2 Oktober 1965,
Kompas dan semua surat kabar dilarang untuk terbit sementara. 15 Larangan ini
diperintahkan oleh Penguasa Pelaksana Perang Daerah Jakarta Raya. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi rasa bingung masyarakat mengenai berita peristiwa
Gerakan 30 September yang saat itu tengah terjadi. Pelarangan ini tidak
berlangsung lama karena pada tanggal 6 Oktober 1965, Kompas sudah kembali
terbit.
Beberapa tahun kemudian Kompas kembali menuai kendala. Kompas
dilarang terbit untuk kedua kalinya pada 21 Januari 1978. 16 Pada pelarangan kali
ini pun Kompas tidak sendiri, bersama enam surat kabar lainnya, Kompas
dilarang terbit untuk sementara. Alasan pelarangan yang kedua ini terkait
pemberitaan seputar aksi mahasiswa yang menentang kepemimpinan Soeharto,
15
16
http://print.kompas.com/about/sejarahkompas.html
ibid
25
Presiden saat itu, menjelang sidang MPR 1978. Kompas pun kembali terbit pada 5
Februari 1978.
Konflik, tuntutan, inovasi dan prestasi merupakan hal yang wajar terjadi
pada sebuah media massa. Terlebih hal ini terjadi pada salah satu media massa
terbesar di Indonesia, seperti Kompas. Selain banyak kendala, Kompas juga
melakukan banyak inovasi seperti memanfaatkan perkembangan teknologi saat ini.
Kompas tidak hanya menyediakan berita berupa media cetak saja. Dunia maya
dan sosial media pun ikut dalam bagian inovasi yang dilakukan oleh Kompas.
Kompas membuat situs sendiri yang bisa diakses kapan saja melalui internet, dan
juga bergabung pada beberapa media sosial yang sangat populer pada kalangan
anak muda. Sehingga Kompas juga berusaha meraih pembaca dari kalangan anak
muda. Dengan melakukan inovasi tersebut Kompas telah berhasil mendapatkan
berbagai macam penghargaan yang patut dibanggakan.
Bisa bertahan selama beberapa dekade merupakan suatu penghargaan
sendiri bagi suatu media. Tapi didalam redaksi Kompas sendiri pasti sering terjadi
pergantian orang, baik pekerja maupun pemimpin, yang dapat mempengaruhi
tumbuh kembang Kompas, dan hal ini sangat wajar terjadi pada suatu perusahaan
atau organisasi. Kompas telah mengalami perubahan redaksi selama beberapa kali.
Sejak pertama kali didirikan tahun 1965, pemimpin redaksi Kompas
dipegang oleh Jakob Oetama dan Pemimpin Umum Kompas dipegang oleh PK
Ojong yang keduanya sekaligus merupakan pendiri Kompas. Pada tahun 1980 PK
Ojong wafat dan posisinya diambil alih oleh Jakob Oetama, sehingga Jakob
Oetama harus merangkap jabatan sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum
26
Kompas. Seiring dengan berkembangnya Kompas Gramedia, Jakob Oetama pun
menjadi Presiden Direktur Kompas Gramedia dan di tahun 2008 menjabat sebagai
Presiden Komisaris Kompas Gramedia. Jakob Oetama digantikan posisinya
sebagai pemimpin redaksi Kompas pada tahun 2000.
Nama yang muncul menggantikan Jakob Oetama yang telah menjabat
pemimpin redaksi selama beberapa dekade adalah Suryopratomo. Suryopratomo
bukanlah orang baru didalam tubuh Kompas. Suryopratomo atau yang biasa
dipenggil dengan nama Tommy telah bergabung dengan Kompas sejak Februari
1987. Etos kerjanya selama 13 tahun ternyata mampu meyakinkan petinggi
Kompas untuk memilih dan mengangkatnya sebagai pemimpin redaksi Kompas.
Suryopratomo menjadi pemimpin redaksi Kompas pada tahun 2000.
Suryopratomo kemudian digantikan oleh Bambang Wisudo sejak tahun
2008. Bambang Wisudo pun bukan orang baru dalam Kompas. Bambang Wisudo
diketahui sebagai wartawan senior di Kompas dan telah lama bekerja disana.
Akan tetapi Bambang Wisudo tidak menjabat pemimpin redaksi Kompas dalam
jangka waktu yang lama. Posisi pemimpin redaksi Kompas pun berpindah tangan
kepada Rikard Bagun pada tahun 2009 yang hingga saat ini masih memimpin
redaksi Kompas.
Dalam jangka waktu lebih dari 4 dekade, Kompas telah mengalami
perubahan pemimpin redaksi selama beberapa kali. Selama itu pula Kompas
mengusung konsep yang sama. Dari awal kemunculannya Kompas mengusung
konsep
“Humanisme
transedental”
(humanisme
imani)
atau
dengan
mengedepankan unsur humanisme yang disesuaikan dengan masyarakat yang
27
berubah secara cepat. Konsep ini merupakan konsep yang diusung oleh Jakob
Oetama. Konsep ini bahkan diusung Kompas sebagai visi dan misi dari Kompas.
Visi dan Misi Kompas adalah “Menjadi Perusahaan yang terbesar, terbaik,
terpadu dan tersebar di Asia Tenggara melalui usaha berbasis pengetahuan yang
menciptakan masyarakat tedidik, tercerahkan, menghargai kebhinekaan dan adil
sejahtera". Visi misi ini kemudian berpengaruh pada haluan politik yang diambil
oleh Kompas sebagai media massa. Haluan politik yang ingin diusung kemudian
adalah netral dimana tidak akan mengerah pada satu poros politik tertentu tapi
lebih mengedepankan kemanusiaan dan norma. Hal ini agaknya tidak terlepas dari
awal pembentukan Kompas yang sebagian besar redaksinya adalah wartawan
Katolik dan pembentukan Kompas adalah untuk menentang pemberitaan
Komunis17.
17
Sebagian besar data bab dua dari http://print.kompas.com/about/sejarahkompas.html dan
http://www.kompasgramedia.com/aboutkg/history
28
Bab 3
Panji Koming dalam Bingkai Orde Baru
a.
Pengantar
Pembicaraan mengenai orde baru rasanya tidak akan pernah habis untuk
diperbincangkan. Orde baru merupakan bagian dari sejarah yang dialami oleh
Indonesia dalam perjalanan politiknya. Orde yang cukup fenomenal di Indonesia
ini dapat mendatangkan pengalaman yang luar biasa terhadap kehidupan
bernegara di Indonesia bahkan di beberapa bagian masih terasa hingga saat ini.
Dari segi politik maupun dalam segi sosial orde ini mampu menjadi sejarah yang
tidak akan pernah dilupakan. Orde baru membawa nuansa yang cukup fenomenal
untuk dikenang pada saat ini. Masa ini akan selalu menjadi tolok ukur
perkembangan sosial politik Indonesia. Ide pengembangan sistem yang terjadi
pada orde ini mungkin merupakan sistem yang tepat untuk saat itu, tapi untuk saat
ini sepertinya hal ini tidak demikian. Maka dari itu kita belajar akan satu hal
bahwa dunia selalu berubah secara dinamis dan akan selalu begitu.
Seperti hal lainnya yang memiliki sisi negatif dan sisi positif, demikian
pula yang dialami oleh orde baru. Orde ini layaknya dua sisi mata uang yang
saling bertolak belakang. Disatu sisi orde ini sangat diagung-agungkan, disisi lain
mendapat kecaman luar biasa dari berbagai pihak. Bahkan hingga tingkat
internasional kepemerintahan di orde ini menjadi pembicaraan. Kita tahu
bagaimana di era ini pembangunan luar biasa dilakukan. Terutama pembangunan
fisik yang terpusat di wilayah Pulau Jawa. Gedung-gedung, bangunan lain dan
infrastruktur banyak dibuat di ibu kota, Jakarta. Situasi keamanan pun dianggap
29
“damai”. Sangat jarang terjadi tindakan kriminal terhadap masyarakat biasa yang
tidak “neko-neko”. Orang-orang yang dianggap tidak “sesuai” dengan pemerintah
akan disingkirkan. Bahkan jika kita bertanya kepada orang-orang yang pernah
mengalami masa ini (orde baru, sekitar tahun 1970-an dan 1980-an) misalnya,
sebagian besar akan mengatakan bahwa mereka senang disaat itu keamanan
sangat terjamin dan harga barang-barang kebutuhan pokok terjangkau. Hal ini
mungkin dikarenakan militer yang sangat berpengaruh pada waktu itu. Mereka
merasa lebih aman dan ekonomi mereka lebih sejahtera. Seakan tidak akan ada
yang bisa menumbangkan negara Indonesia terutama saat orde ini. Sama sekali
hampir tidak ada kerapuhan yang terlihat.
Akan tetapi kita tahu bahwa dibalik itu semua terdapat sisi lain dari orde
ini yang dianggap membawa “malapetaka” bagi sebagian pihak. Ketatnya campur
tangan pemerintah dalam segala sendi kehidupan malah menjadi bumerang untuk
negara yang memiliki masyarakat dengan pemikiran yang terus berkembang.
Diantaranya mengenai isu kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat
yang dibatasi, yang akhir-akhir ini isu tersebut cukup menjadi sorotan banyak
pihak.
Tak hanya kebebasan dalam seni dan politik, hampir semua segi
kehidupan manusia seolah-olah dibatasi oleh pemerintah. Pembatasan ini dalam
artian semua hal diatur oleh pemerintah. Pembatasan yang mengakibatkan
keleluasaan masyarakat yang ingin berekspresi dan berpendapat sangat terbatas.
Selain karena peraturan yang tentu saja bersifat memaksa, keterbatasan
masyarakat juga karena ketakutan mereka akan ancaman yang selalu mengintai
30
kehidupan mereka. Rasa takut tersebut menyebabkan mereka tidak mau dan
enggan untuk mengekspresikan keinginan ataupun apa yang mereka pikirkan.
Jangankan untuk mengungkapkan secara frontal atau radikal, bahasa ataupun cara
mereka ingin berkreasi dan berekspresipun diatur dan dibatasi. Sedikit saja
“kesalahan” dalam pengungkapan suatu hal bisa saja berakibat sangat fatal.
Salah satu pihak yang merasa gerah dengan keterbatasan ini adalah
media, baik media cetak maupun media elektronik yang saat itu masih sangat
terbatas. Ruang gerak mereka dibatasi oleh peraturan-peraturan yang sangat ketat.
Kebiasaan dari orde baru yang telah dilakukan selama puluhan tahun ini tentu
menimbulkan kejenuhan dari masyarakatnya.
Media yang mengalami dan dapat beroperasi pada saat orde baru salah
satunya adalah koran Kompas. Sehingga dapat kita katakan bahwa koran Kompas
merupakan salah satu media yang menjadi saksi mata dalam pertumbuhan
Indonesia selama beberapa dekade belakangan. Layaknya media cetak lainnya, di
dalam koran Kompas terdapat bermacam-macam artikel. Ada juga halaman yang
berisi seperti opini, politik, ekonomi dan bahkan kumpulan-kumpulan kartun yang
dijadikan dalam satu halaman.
Kartun-kartun yang terdapat dalam koran bisa dikatakan menjadi salah
satu jalur untuk menyalurkan pendapat ini sedikit banyak berusaha diintervensi
oleh pemerintah. Namun dengan cara-cara yang cerdas kartun-kartun ini
membawa pengaruh yang sedikit banyak dapat membuka pemikiran orang yang
membacanya. Kartun yang salah satunya sudah ada sejak orde baru hingga
sekarang adalah Panji Koming.
31
Kita tahu bahwa setiap media mengutarakan pendapat mempunyai ide
dan representasinya sendiri. Dengan demikian jika secara kasat mata kita akan
melihat bahwa representasi Panji Koming akan terpengaruh dengan kondisi saat
itu. Kita pasti akan berpersepsi bahwa Panji Koming akan tunduk dengan rezim
yang berkuasa beserta aturan-aturan mainnya. Persepsi-persepsi dan prasangka
yang ada ini akan kita lihat lebih jauh pada pembahasan yang lebih jelas dibawah
ini.
b.
Perjuangan media saat orde baru
Dimanapun dan kapanpun media merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dalam suatu negara. Media dapat memberikan informasi dalam
berbagai hal. Media yang notabene merupakan perantara antara penyalur pendapat
dan yang merupakan target dari suatu pendapat, selalu dinilai penting untuk
menjalin komunikasi yang mungkin tidak akan pernah bisa dijalin secara langsung
oleh banyak pihak. Peran-peran penting ini layak untuk kita jadikan suatu
informasi yang dapat mengiringi tumbuh kembang suatu negara dan tolak ukur
keterbukaan mereka akan berbagai hal. Hal-hal seperti inilah yang menjadikan
media selalu dibutuhkan oleh berbagai pihak sebagai “jembatan” antara
pemerintah dengan masyarakat. Dengan begitu media dapat menjadi pihak yang
netral, bisa memberikan pendapat dan informasi sesuai dengan yang dirasakan
dan keadaan sebenarnya.
Namun cerita itu akan berbeda jika media saja sudah diintervensi oleh
satu pihak yang kuat. Misalnya saja diintervensi oleh pemerintah maupun pihak
32
swasta yang kuat. Seperti halnya yang terjadi saat Orde Baru. Tidak semua media
dapat bergerak bebas pada masa ini. Baik media cetak maupun elektronik sangat
dipilih mana yang boleh dan mana yang tidak boleh beroperasi. Salah satu media
elektronik yakni televisi pada saat itu hanya ada satu dan merupakan televisi
nasional milik pemerintah, TVRI (Televisi Republik Indonesia). Sehingga semua
yang ditampilkan pastinya telah diatur sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Media begitu diintervensi oleh pemerintah. Dengan begitu tayangantayangan dalam televisi berisi mengenai hal-hal yang tidak merugikan pemerintah
dan mengandung kepentingan-kepentingan pemerintah. Bahkan hingga hadirnya
televisi swasta, pengawasan tetap dilangsungkan secara ketat. Meskipun televisi
tersebut bukan milik pemerintah, tapi pihak swasta juga tidak bisa berbuat banyak
karena sistem yang saat itu tidak memungkinkan bagi pihak swasta untuk
“mandiri” tanpa campur tangan pemerintah. Bisa dikatakan bahwa televisi swasta
itu “bercitarasa” televisi pemerintah.
Hal demikian agaknya wajar saja karena ketika suatu pihak atau
seseorang mempunyai kekuasaan tertentu maka dia akan menggunakannya demi
melancarkan keinginannya. Beriringan dengan kekuasaan yang begitu besar
pastinya semua hal dapat dikontrol dengan mudah dan seakan semuanya ada
dalam genggaman tangan. Yang terjadi pada saat itu kepentingannya adalah
melancarkan rencana-rencana yang disusun oleh Orde Baru yang banyak orang
katakan sebagai langkah untuk mencapai negara semi otoriter. Cara yang
digunakan kemudian salah satunya adalah dengan mengintervensi media. Dengan
demikian tidak sembarangan media diijinkan untuk beroperasi pada waktu itu.
33
“Beberapa batasan-batasan yang dikenakan dalam media massa
pada masa orde baru terlihat pada Undang-Undang (No.11) tahun 1966
tentang Prinsip-prinsip Dasar Pers. Pada UU tersebut menyatakan bahwa
“Pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan” (bab 2, pasal 4) dan
“Kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara”
(pasal 5.1) serta ”Penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun” (bab 4,
pasal 8.2). pada kenyataannnya, semua itu guyonan belaka. Selama „masa
peralihanā€Ÿ yang tak jelas ujung pangkalnya (bab 9, pasal 20, 1.a) para
penerbitan surat kabar wajib memilikidua izin yang saling terkait. Dua izin
tersebut adalah Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan yang
nyata-nyata sebuah lembaga sipil dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga
keamanan militer KOPKAMTIB. Tanpa kedua izin tersebut, secara hukum
sebuah media niscaya tak mungkin terbit. Apabila salah satu atau kedua
lembaga tersebut mencabut izin tersebut, secara efektif media itu
dibereidel.”18
Kutipan diatas sedikit banyak dapat menggambarkan bahwa media massa
pada masa itu tidak dapat melakukan hal yang tidak diijinkan oleh pemerintah
atau hal-hal yang dapat menyudutkan pemerintah. Mendapatkan “kepercayaan”
dari pemerintah untuk dapat produktif merupakan suatu hal yang “istimewa”.
Bahkan pada rentan waktu berjayanya orde baru ada masa-masa dimana suatu
media akan ditutup dan tidak diperbolehkan untuk beroperasi. Kejadian tersebut
mungkin lebih mengarah pada media cetak yang sudah lebih banyak ada di
Indonesia pada waktu itu dan kejadian tersebut sering kita ketahui sebagai
“pembreidelan”.
Sejarah
telah
mencatat
bahwa
melalui
Kepmenpen
No.
01/PER/Menpen/1984 itulah hegemoni negara terhadap media dimulai.
19
Peraturan tersebut yang juga memunculkan pembreidelan. Pembreidelan tersebut
berlaku pada media cetak yang tidak sepaham dengan pemerintah atau dianggap
“berbahaya”. Sedangkan untuk media cetak yang diperbolehkan akan diberi surat
18
David T Hill, “Pers di Masa Orde Baru”, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, hal
34-35
19
Redi Panuju, “Relasi Kuasa”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal.53
34
ijin dengan konsekuensi yang telah diketahui. Surat ijin yang diberi nama SIUPP
(Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) ini merupakan salah satu cara untuk mengikat
media massa. Dengan adanya surat ijin ini maka pemerintah beranggapan akan
dapat mengontrol media yang ada secara lebih efektif dan lebih aman bagi orde
baru. Hal ini terlihat seperti tindakan yang mengarah antara ingin mengontrol dan
menertibkan media atau merupakan ketakutan berlebihan dari pemerintah saat itu
mengenai masa depannya yang dipengaruhi dari kekuatan media.
Media dalam menanggapi hal ini juga tidak dapat berbuat banyak karena
jika mereka salah melangkah maka mereka akan berakhir dalam sekejap. Bisa
dibilang jika media pada masa ini mengalami salah tingkah, sebab disatu sisi
media ingin menampilkan berita yang mereka yakini benar tapi disisi lain mereka
juga harus menaati peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk menghindari hal
yang tidak diinginkan. Sehingga apa yang ingin mereka tampilkan harus disaring
terlebih dahulu.
Media yang mempunyai ideologi dan pemikirannya masing-masing harus
pintar-pintar menyampaikan apa yang mereka maksud dengan menyesuaikan
dengan kondisi media saat itu. Sangat dilematis memang, karena media tidak
dapat melakukan hal yang merupakan fungsi utama dari media itu sendiri. Masa
ini merupakan masa yang berat sekaligus menjadi masa yang tidak akan pernah
terlupakan bagi sejarah perubahan tata cara berkomunikasi dalam suatu media
terutama media cetak. Ekspresi yang ingin media sampaikan untuk mewakili apa
yang dipikirkan oleh orang-orang diluar sana harus sedikit terpendam dengan
ketidakleluasan mereka dalam penggunaan kata-kata dan gambar-gambar. Kata35
kata dan gambar yang akan diedarkan tidak boleh mengandung muatan provokasi
dan menjatuhkan pemerintah, bisa dibilang harus sesuai dengan versi pemerintah.
Seperti kita ketahui bahwa pada masa itu masyarakat tidak boleh terlalu
vulgar dan vokal dalam membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan politik.
Bahkan untuk sekedar obrolan ringan pun, hal tersebut tidak diperkenankan.
Mungkin saja pada waktu itu banyak alasan yang dipikirkan pemerintah jika
masyarakat berpolitik aktif dan “melek” politik, salah satunya masyarakat akan
lebih sadar politik. Dengan begitu masyarakat menjadi lebih mudah terjadi
perbedaan dalam berpolitik dan sangat rentan terjadi perseteruan, dimana pada
saat itu orde baru sangat memperhatikan kestabilan keamanan. Kekhawatiran
lainnya adalah masyarakat dapat lebih kritis untuk mengkritik pemerintah.
Pada waktu itu masyarakat memang sangat dibatasi untuk menjadi
anggota suatu partai politik. Masyarakat hanya diperbolehkan aktif ketika Pemilu
(Pemilihan Umum) berlangsung, yaitu dengan memberikan suara dan peristiwa ini
sering disebut sebagai floating mass (masyarakat mengambang). Jika dilihat untuk
konteks saat ini mungkin hal tersebut sangat tidak relevan, akan tetapi begitulah
yang terjadi pada masa itu. Orang-orang yang ingin membaca suatu media yang
dilarang oleh pemerintah atau suatu buku tertentu mengenai suatu paham
(misalnya saja tentang komunisme yang pada saat itu sangat dikecam) yang
dianggap terlarang pun harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi, karena
sanksi yang berat pun mengancam didepan mata mereka yang disinyalir mengarah
pada pemberontakan. Bahkan penulis-penulis yang pada saat itu dengan nekat
36
melakukan akan mendapatkan sanksi. Semua itu dengan alasan pemerintah ingin
menjaga keamanan dan kestabilan politik.
Peraturan lain yang mengikat media antara lain Surat Keputusan Jaksa
Agung Republik Indonesia Nomor: Kep.052/JA/5/1981, Instruksi Jaksa Agung
Republik Indonesia No. Ins-007/JA/4/1990 yang merupakan dasar pelarangan
peredaran beberapa buku seperti buku yang berujudul Anak Manusia dan Anak
Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Noer, dan lain sebagainya. 20 Alasanalasan yang disangkutpautkan dengan keadilan dan kesejahteraan ini justru
menimbulkan hal yang sebaliknya bagi media. Media begitu terkekang dan tidak
bebas. Mungkin itulah mengapa pada saat berakhirnya orde baru media
mendapatkan euforia tersendiri bagi kehidupan jurnalistik mereka.
Terlihat bahwa dalam beberapa tahun terakhir sebelum terjadinya
reformasi 1998, media malah menjadi tempat dan semangat baru bagi orang-orang
untuk mengeluarkan pendapatnya dalam menentang pemerintah. Pesan-pesan dan
berita yang dibawa oleh media berhasil mempengaruhi pemikiran orang-orang
yang juga menginginkan perubahan. Jadi bisa dibilang bahwa media massa adalah
sarana yang sangat efektif untuk mengusik cara pikir dan cara pandang seseorang
secara halus dan “mematikan”. Bahkan arus pikir publik akan dikendalikan dan
dapat diarahkan sehingga bisa sesuai dengan pemikiran orang dibalik media
massa yang dibaca maupun dianut.
Hal tersebut juga bersangkutan dengan representasi ideologi yang dibawa
oleh media itu. Siapa yang berada dibalik media tersebut dan apa yang
20
Ibid, Redi Panuju, hal 54
37
direpresentasikan oleh isi media biasanya sedikit banyak akan mempengaruhi
pembaca dan arus pembicaraan kedepan. Fungsi-fungsi media seperti inilah yang
mungkin ditakuti saat orde baru dan diantisipasi oleh pemerintah pada masa itu
dengan memberikan kontrol yang kuat. Jika suatu media merepresentasikan
sesuatu dan yang direpresentasikan sangat mengena ke hati masyarakat atau juga
merepresentasikan keluhan banyak pihak, maka ini dapat dijadikan sebuah tenaga
tersendiri bagi orang yang menyetujuinya.
Tidak dapat dipungkiri jika seseorang telah percaya pada sesuatu, maka
dia akan percaya dan akan membenarkan semua hal yang ada pada yang dipercaya.
Seperti jika seseorang telah merasa cocok dengan suatu merk produk shampo atau
sabun, maka dia akan mempercayai kata-kata yang tertulis pada merk tersebut dan
merasa apapun yang tertulis dalam merk tersebut itu benar adanya. Begitu juga
jika seseorang mempercayai media mengenai pendapat-pendapat yang ada, maka
dia akan selalu mendukung, mempercayai dan bahkan termotivasi dan terinspirasi
dengan apa yang diberitakan media tersebut. Meskipun sebenarnya bisa saja
representasi yang diterjemahkan adalah milik sang penulis atau suatu pihak kuat
yang mengendalikan.
Mempengaruhi psikis pembaca adalah salah satu tujuan utamanya untuk
mendapatkan dukungan dari masyarakat luas akan hal-hal yang tertera pada media
tersebut. Mungkin saja karena pemerintah saat itu telah mengetahui tentang
betapa besarnya kekuatan media membalikkan keadaan, maka pemerintah orde
baru melakukan tindakan preventif sebelum mereka menggunakan kelebihan itu.
Maka pada masa orde baru terjadilah tindakan-tindakan seperti yang banyak
38
diceritakan dalam banyak buku. Terlebih pada buku yang menyangkutpautkan
antara pemerintah orde baru dengan media kala itu.
c.
Representasi Kartun Panji Koming saat Orde Baru
Media massa merupakan salah satu bentuk media dalam berkomunikasi.
Ada yang berbentuk komunikasi audio, visual dan audio visual. Media
komunikasi visual selain melalui tulisan adalah melalui gambar. Media visual
yang berupa gambar bisa kita lihat dimana saja. Bisa berupa mural yang sering
kita lihat pada tembok-tembok suatu bangunan, juga bisa berupa kartun dalam
berbagai jenisnya. Sehingga saat ini kita sudah tidak asing lagi mengenai gambargambar yang digunakan untuk berkomunikasi.
Mungkin jika kita dengar kata kartun yang terlintas dalam pikiran kita
adalah suatu gambar yang biasa dikonsumsi anak-anak dengan gambar yang lucu,
menarik serta berwarna-warni. Biasanya kartun dibuat untuk tujuan berupa
hiburan ataupun edukasi. Namun sebenarnya kartun sudah tidak asing lagi dalam
hal lain misalnya saja dalam hal yang berkaitan dengan sosial, ekonomi dan
politik.
Misalnya saja jika kita melihat mural, selain memberikan efek
mengindahkan tapi dalam mural tersebut biasanya berisi muatan yang sarat akan
sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya.
Pada abad 20, kartun sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di
dunia dan Indonesia khususnya. Hal ini terlihat dengan maraknya berbagai cerita
anak-anak yang dikemas dengan cara yang sangat menarik yaitu dengan
memvisualkannya melalui gambar yang berwarna-warni atau yang sekarang akrab
39
dengan telinga kita sebagai kartun. Begitu banyaknya cerita-cerita yang dijadikan
kartun, terutama yang berasal dari negara di luar Indonesia, sedikit banyak telah
mempengaruhi cara penyampaian pesan seperti dahulu yang telah ada sebelumnya.
Biasanya dalam kartun anak-anak akan disampaikan pesan-pesan moral
yang dikemas secara ringan sehingga mudah dipahami terlebih oleh anak-anak
sebagai media pembelajaran yang menyenangkan. Sebenarnya kartun tidak hanya
identik dengan cerita anak-anak ataupun sebuah kisah, namun juga terkadang
dijadikan sebagai sebuah simbol, penyampai pesan dan sebagai penyampai kritik.
Hal ini terlihat dengan adanya berbagai jenis kartun yang salah satunya adalah
karikatur.
Karikatur biasanya menggambarkan seseorang dengan mimik-mimik
lucu yang disesuaikan dengan peristiwa yang sedang marak atau menggambarkan
identitas khasnya ataupun dengan hal-hal yang dibuat untuk menyindir. Cara itu
ternyata cukup efektif untuk mempengaruhi orang. Sehingga kita tidak heran lagi
ketika saat ini kartun dijadikan sarana iklan berbagai produk maupun layanan
masyarakat baik media cetak maupun elektronik. Kartun secara umum dianggap
bisa menjadi penyampai yang bagus untuk setiap pihak yang menggunakan.
Pelibatan media dalam mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat ternyata
cukup jitu dalam menggerakan masa untuk mencapai kekuasaan.
Masa-masa kemunculan kartun diiringi pula dengan banyaknya kartunis
yang ada di Indonesia, sebut saja Dwi Koendoro, Tito Bastian dan lain sebagainya.
Para kartunis ini cukup produktif pada masa orde baru dengan menghasilkan
karya-karya khas mereka. Salah satu kartun yang telah ada sejak masa kekuasaan
40
Soeharto adalah Panji Koming. Panji Koming merupakan kartun buatan seorang
kartunis yang telah lama malang melintang didunia kartun, Dwi Koendoro. Kartun
ini telah ada di koran Kompas sejak tanggal 14 Oktober 1979. Dengan mengusung
kartun dalam bentuk komik pendek, Panji Koming berhasil menarik perhatian
banyak orang. Kompas yang merupakan salah satu media cetak yang diberi ijin
(SIUPP) oleh pemerintah, harus menyeleksi isi dari korannya supaya tidak terkena
pembreidelan oleh pemerintah yang marak terjadi pada masa itu. Dan akhirnya
terpilihlah Panji Koming sebagai salah satu pengisinya. Meskipun hanya mengisi
kolom yang cukup kecil dan harus bersisihan dengan kartun-kartun lain, namun
kartun ini sangat menarik perhatian para pembaca koran Kompas.
Panji Koming seperti oase di padang pasir yang memberikan
pemandangan baru bagi pembacanya. Dengan adanya kartun yang mengisi salah
satu halaman di koran membuat media cetak ini tidak harus selalu diisi dengan
berita yang ditulis dengan bahasa formal, serius dan dikemas secara “rapi”. Panji
Koming bukan merupakan satu-satunya kartun yang mengisi koran Kompas,
masih ada beberapa kartun yang berbentuk komik lagi yang masing-masing
memang memiliki ciri khasnya sendiri. Namun yang paling menonjol dan yang
menjadi ciri khas dari kartun Panji Koming adalah pemakaian karakternya yang
menggunakan orang-orang dengan latar belakang kerajaan di Indonesia jaman
dulu.
Hal ini cukup menarik karena melibatkan unsur budaya Indonesia, yaitu
budaya kerajaan Jawa, lebih tepatnya kerajaan Majapahit. Namun penggambaran
kerajaan disini seakan lebih cenderung menggambarkan miniatur dari Indonesia.
41
Ada beberapa tokoh yang digunakan dalam kartun ini yaitu Panji
Koming (Gambar 1) sendiri yang juga digunakan sebagai judul dari komik ini,
Pailul (Gambar 2) yang merupakan rekan Panji Koming, Ni Woro Ciblon
(Gambar 3) dan beberapa tokoh tambahan lain yang menggambarkan situasi
kerajaan seperti petinggi-petinggi kerajaan dan lain sebagainya. Tiga karakter
utama ini menggambarkan masyarakat biasa yang ada dalam kehidupan seharihari dan terkadang mereka mengungkapkan apa yang dipikirkan masyarakat
terhadap peristiwa yang terjadi pada saat itu dan tentu saja menggunakan bahasa
yang sangat diatur supaya tidak dilarang oleh pemerintah.
Panji Koming
Pailul
Ni
Woro
Ciblon
(Gambar 1)
(Gambar 2)
(Gambar 3)
Setting tempat yang digunakan seperti yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa kartun ini menggunakan setting kerajaan Jawa. Sehingga tidak heran jika
terkadang bahasa yang digunakan agak tercampur bahasa Jawa dan dengan istilah
serta penamaan Jawa. Tokoh-tokoh ini dalam penampilannya setiap hari Minggu
selalu mempunyai tema-tema yang menarik untuk dibicarakan, terutama tema
mengenai isu-isu panas yang sedang terjadi saat itu. Meskipun hanya dalam
42
beberapa kolom gambar (rata-rata 6 gambar) tiap minggunya, Panji Koming ingin
menyampaikan isu, pesan maupun kritik.
Secara umum dan keseluruhan, jika kita lihat sepintas Panji Koming
merupakan komik yang menceritakan mengenai kehidupan kerajaan, khususnya
situasi kerajaan Jawa sehari-hari. Bahkan terkadang terlihat sangat kocak dengan
gaya bercandanya yang khas. Seakan tidak ada yang beda antara kartun ini dengan
kartun-kartun lain yang serupa. Akan tetapi ternyata dibalik itu semua kartun ini
mempunyai misi khusus yang diusung oleh penciptanya, Dwi koendoro.
Berbicara mengenai misi khusus, sepertinya setiap pengamat ataupun
penggemar komik Panji Koming telah mengetahui hal ini sejak lama. Dalam
setiap penampilannya di Kompas, Panji Koming berperan sangat bagus terutama
yang berkaitan dengan penyampaian pendapatnya terhadap situasi yang sedang
dihadapi. Mungkin hal inilah yang membuat Panji Koming menarik perhatian
para pemerhati komik dan para pembaca umumnya hingga masih bertahan sampai
saat ini yang notabene telah berganti jaman dan era.
Pendapat-pendapat yang juga sama dipikirkan oleh pembaca seolah
tersalurkan dengan adanya kartun ini, terlebih pada jaman orde baru masyarakat
tidak dapat bergerak banyak. Dimasa orde baru pun Panji Koming seakan tidak
terikat dengan adanya batasan yang ditetapkan oleh pemerintah mengenai
ketentuan di media massa. Bahkan terkadang menimbulkan efek yang tidak terlalu
bagus bagi beberapa pihak yang bersangkutan dengan Panji Koming.
Pendapat ini sangat beralasan ketika kita telah membaca dan menganalisa
Panji Koming lebih cermat. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Panji
43
Koming sedah ada sejak tahun 1979, dimana ditahun tersebut merupakan tahun
berkuasanya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Semua orang yang
hidup pada jaman itu sangat paham bahwa dalam setiap pembicaraan baik lisan
maupun tulisan harus “diolah” terlebih dahulu supaya lulus “seleksi” dari
pemerintah. Dengan kata lain kita akan mempunyai persepsi bahwa Panji Koming
telah lulus untuk urusan itu. Namun pendapat tersebut agaknya sedikit meleset.
Panji Koming yang memang berlatar belakang cerita kerajaan terkesan
sangat tidak formal dan layaknya kartun pada umumnya yang mempunyai alur
cerita fiksi atau karangan kreatifitas sang pencipta kartun tersebut. Tapi ternyata
alur cerita yang ditampilkan dalam setiap penayangan Panji Koming adalah cerita
yang dapat kita katakan serius. Dikatakan demikian karena dalam beberapa edisi,
kartun Panji Koming menggambarkan situasi yang sedang terjadi, khususnya di
Indonesia.
Banyak cerita Panji Koming yang menggambarkan tentang hal yang
terjadi di Indonesia. Misalnya saja pada salah satu kartun Panji Koming dalam
koran Kompas edisi Minggu 5 Mei 1991 yang menggambarkan mengenai kasus
pencucian uang.21
21
Lihat Kompas edisi Minggu, 5 Mei 1991, halaman 11
44
Pada edisi ini diceritakan bahwa Panji Koming sedang mencuci uang
kepeng yang pada masa kerajaan digunakan supaya “kimpling” dan tidak tahu
asal-usulnya. Kemudian sang sahabat, Pailul bertanya mengapa uang itu harus
dicuci karena bukankah sebaiknya “mencuci orangnya”. Memang jika dilihat
secara sepintas cerita ini tidak mengandung apa-apa, hanya seorang Panji Koming
yang sedang disuruh untuk mencuci uang logam. Tapi dengan penjelasan dan
kata-kata dari Pailul yang menyarankan untuk mencuci orangnya, sedikit banyak
telah menjelaskan bahwa cerita ini adalah cerita untuk menyindir.
Sasaran yang disindir adalah orang-orang yang melakukan pencucian
uang atau orang yang menyelewengkan materi atau uang yang kemudian
disembunyikan dan dihilangkan asal-usulnya supaya tidak dapat dilacak sehingga
tidak bisa dikenai hukuman atas perilakunya yang menyimpang hukum. Perilaku
ini sudah pasti tidak baik karena sama saja dengan mencuri. Maka pada cerita ini
Dwi Koendoro sebagai pembuat Panji Koming ingin memberikan sentilan.
Sentilan ini sepertinya ditujukan bagi penegak hukum supaya bertindak cepat dan
45
tepat dengan menangkap sang pelaku pencucian uang, bukan hanya melacak
aliran uang yang disalahgunakan.
Cerita lainnya yang cukup menarik perhatian adalah cerita untuk
menyindir kinerja pemerintah. Seperti halnya pada Kompas edisi Minggu 26
Februari 1984 yang bercerita mengenai pendapat masyarakat terhadap
penyesuaian.22
Kita tahu bahwa kata “penyesuaian” sering didengar pada masa orde baru
untuk menunjukkan adanya perubahan baik harga maupun peraturan lain. Pada
cerita ini Panji Koming dan Pailul sedang berbincang mengenai masyarakat yang
harus selalu siap menghadapi penyesuaian. Dan ketika mereka sedang berbincang,
tiba-tiba ada orang yang memakai pakaian dengan ukuran kebesaran. Orang itu
22
Lihat Kompas edisi Minggu, 26 Februari 1984, halaman IX
46
menarik perhatian Panji Koming dan Pailul sehingga melontarkan kata-kata yang
cukup menyindir pemerintah seperti “ya atau tidak, setuju atau tidak, pokoknya
sesuai”. Kalimat ini menunjukkan peraturan yang dibuat saat itu tidak sesuai
dengan keinginan masyarakat yang merasa peraturan yang dibuat oleh pemerintah
itu “gombor” atau tidak pas. Namun masyarakat tidak dapat berbuat banyak dan
hanya bisa menerima penyesuaian yang ada, meskipun hal tersebut tidak sesuai
dengan kondisi masyarakat. Cerita pada edisi ini juga menunjukkan bahwa
pemerintah telah semena-mena membuat peraturan tanpa memikirkan apakah
keputusan yang diambil sudah sesuai atau tidak. Apapun peraturannya masyarakat
harus patuh tanpa bisa berbuat apa-apa.
Dua cerita diatas hanya sebagian cerita yang dibuat oleh Dwi Koendoro
dalam Panji Koming pada masa orde baru. Dengan menggunakan analisa
ikonografi, kita akan mengidentifkasi seperti apa representasi kartun Panji
Koming di masa orde baru. Pada tahap 1 (preikonografi); gambar yang digunakan
pada kedua contoh seri Panji Koming adalah gambar kartun sederhana hanya
dengan warna hitam dan putih. Menggambarkan tokoh dengan bentuk yang lucu
dan menghibur. Kartun ini mengambil latar belakang kerajaan Jawa maka tokohtokoh kartun dalam Panji Koming dibuat menyerupai karakter orang pada jaman
dahulu yang terlihat dari pakaian, rambut dan perlengkapan mereka.
Begitupun dengan tokohnya ada yang memperlihatkan masyarakat pada
masa kerajaan Jawa dan ada pula prajurit dan petinggi kerajaan yang mewakili
sosok pemerintah. Mimik muka yang dipakai untuk masyarakat digambarkan
dengan muka yang tirus dan terlihat menderita. Sedangkan yang dipakai untuk
47
prajurit dan bangsawan dibuat dengan mimik muka angkuh dan dengan muka dan
badan yang lebih besar serta lebar. Bahasa yang digunakan dalam kartun Panji
Koming pada masa orde baru adalah bahasa Indonesia yang dicampur dengan
menggunakan istilah-istilah bahasa Jawa.
Gambar pertama memperlihatkan orang dengan pakaian masyarakat
kerajaan Jawa yang sedang mencuci dan benda yang dicuci adalah uang terlihat
dari bentuk bulat semacam uang koin yang lazim digunakan pada jaman dulu.
Ada tokoh lain yang bertanya tentang kegiatan tersebut yang juga memakai
pakaian masyarakat Jawa. Ada pula tokoh lain yang memakai baju untuk petinggi
kerajaan Jawa yang berjalan hilir mudik. Gambar kedua memperlihatkan dua
orang yang memakai baju masyarakat Jawa jaman dahulu. Baju tersebut terlihat
kekecilan dan bahkan hingga sobek. Kemudian terdapat gambar seseorang lagi
yang memakai baju petinggi kerajaan Jawa. Baju tersebut terlihat sangat
kebesaran untuknya.
Tahap 2 (ikonografi); pada gambar pertama digambarkan sosok Panji
Koming dan Pailul yang sedang mencuci, tetapi benda yang dicuci adalah uang.
Gambar ini berkaitan dengan tema yang diangkat pada edisi tersebut yakni
mengenai pencucian uang. Istilah “pencucian uang” ini kemudian diwujudkan
dalam gambar melakukan kegiatan benar-benar mencuci uang dalam arti
sebenarnya. Pada gambar tersebut terdapat tokoh pejabat yang sedang berjalan
hilir mudik, tokoh ini muncul sebagai gambaran siapa yang melakukan pencucian
uang tersebut.
48
Pada gambar kedua digambarkan tokoh Panji Koming dan Pailul yang
memakai baju kekecilan bahkan hingga sobek sedangkan tokoh satu lagi yang
merupakan perwujudan dari pejabat atau pemerintah memakai baju yang sangat
kebesaran untuk dirinya. Hal ini berkaitan dengan tema yang diangkat pada saat
itu mengenai peraturan yang dibuat. Peraturan-peraturan tersebut terkadang dibuat
tidak pas. Untuk rakyat peraturan dibuat mengikat dan ketat sedangkan untuk
pejabat dan orang yang mempunyai jabatan tertentu peraturannya sangat longgar.
Tahap ketiga (ikonologi); dari gambar pertama keseluruhan bercerita
tentang pencucian uang yang dilakukan oleh pejabat yang digambarkan hilir
mudik berjalan. Pencucian ini dilakukan kepada masyarakat atau dengan kata lain
pencucian uang dihilangkan jejaknya kepada masyarakat yang saat itu kurang
begitu mengerti tentang pencucian uang. Penggambaran masyarakat pada tokoh
Panji Koming dan Pailul mencerminkan bagaimana perasaan masyarakat pada
saat itu mengenai kasus tersebut. Masyarakat menilai melalui percakapan yang
ada bahwa seharusnya yang dicuci bukanlah uangnya melainkan orangnya. Yang
dimaksud disini adalah pencucian uang merupakan hal yang tidak baik dan
seharusnya yang benar-benar ditindak adalah orangnya yakni dengan menghukum
atau benar-benar membuat jera pelaku pencucian uang. Namun hal ini tidak
disebutkan secara langsung, mengingat kondisi politik pada saat itu.
Pada saat orde baru mengungkapkan hal seperti pencucian uang bahkan
langsung ditujukan kepada seseorang merupakan hal yang tabu. Masyarakat tidak
berani melakukan hal demikian karena jika sampai melakukannya dan diketahui
oleh pihak yang memiliki kepentingan maka dia dapat menemui kesulitan atau
49
mendapatkan ancaman. Terlebih pada saat orde baru pemerintah sangat
memperhatikan masalah kestabilan keamanan. Dengan munculnya isu tersebut
maka dianggap akan mengganggu kestabilan keamanan, sehingga orang atau
pihak yang meluncurkan opini tersebut akan ditindak lanjut.
Kedua pihak yang diceritakan disini seperti Panji Koming dan Pailul
merepresentasikan dari sisi masyarakat khususnya masyarakat Indonesia pada era
tersebut yang hanya bisa beropini dan berpendapat secara diam-diam tanpa berani
menindaklanjuti, serta pihak pemerintah atau pejabat yang dikritik melalui gambar
seorang tokoh pejabat tinggi kerajaan yang sibuk berjalan kesana kemari. Kartun
Panji Koming ini dibuat untuk menggambarkan pendapat dari sudut pandang
masyarakat. Hal ini bertujuan supaya kritik yang mereka sampaikan bisa didengar
oleh pemerintah dan ditindaklanjuti. Tujuan lainnya adalah supaya dengan cara
yang sederhana ini masyarakat lebih peduli dengan fenomena yang terjadi
disekitar mereka supaya lebih berhati-hati dengan adanya pencucian uang tersebut
dan jangan sampai menjadi korban untuk “mencuci uang”.
Gambar kedua lebih bertitik berat pada pembuatan suatu peraturan.
Dimana peraturan dibuat seharusnya untuk mengatur menjadi lebih baik dan tidak
mempersulit masyarakatnya. Akan tetapi pada kenyataanya terkadang penerapan
peraturan sangat tidak pas. Masyarakat yang seharusnya menerapkan peraturan
dengan sebenar-benarnya adalah seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Namun
terkadang peraturan itu akan sangat ketat penerapannya pada masyarakat kecil
atau masyarakat biasa hingga terkadang sangat menyusahkan. Sedangkan
50
penerapan bagi orang yang mempunyai jabatan tinggi dan memiliki kekuasaan
tertentu justru sangat longgar.
Cerita-cerita tersebut sebenarnya sangat sensitif untuk ukuran media
massa saat itu. Bagaimana tidak, karena cerita-cerita tersebut telah menyinggung
sesuatu yang memang tengah terjadi pada waktu itu. Terutama dalam hal ini
menyinggung pemerintah yang saat orde baru sangat kuat. Memang tidak secara
langsung pesan dan kritik dari cerita tersebut diungkapkan secara terbuka,
melainkan menggunakan cerita yang sedikit diplesetkan baik setting, benda
maupun orangnya. Tapi meskipun diplesetkan, hal itu berdasarkan dengan
kejadian nyata, pemberitaan yang sedang berkembang di media maupun dari apa
yang dirasakan oleh penulis. Jangankan orang atau pihak yang disinggung, orang
awam pun mungkin akan langsung paham dengan apa yang sedang dibicarakan.
Mungkin inilah yang menyebabkan Kompas sempat diberitakan mendapatkan
peringatan pembreidelan. Orang-orang yang berpikiran sama pastinya akan setuju
dengan apa yang digambarkan oleh Dwi Koendoro. Mungkin juga orang yang
tadinya tidak berpikir demikian, juga menyetujui apa yang disampaikannya.
Semua cerita dan pesan yang disampaikan dalam kartun Panji Koming ini tidak
lepas dari peran Dwi Koendoro.
Dwi Koendoro sebagai sang pembuat Panji Koming mempunyai peran
besar atas arah representasi dari kartun ini. Dari sekian banyak cerita Panji
Koming rata-rata menggambarkan mengenai pemikiran dari masyarakat Indonesia
pada umumnya. Dwi Koendoro berhasil mengangkat isu-isu yang bermuatan
politis dan mengemasnya menggunakan kartun lucu yang menarik. Bisa dibilang
51
kartun ini menggunakan prinsip “sambil menyelam minum air”. Mengapa
demikian karena secara tidak langsung Dwi Koendoro menanamkan pikiranpikiran kritis terhadap penikmat kartun. Sambil menghibur, Panji Koming juga
memberikan pandangan politik baru.
Panji Koming yang menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari
memperlihatkan bahwa sebenarnya masyarakat atau publik itu memiliki
pemikiran tersendiri mengenai pemerintahan yang memimpin mereka. Masyarakat
juga memantau bagaimana pergerakan pemerintah beserta fenomena yang terjadi
disekitar mereka. Jadi meskipun dibuat oleh Dwi Koendoro dan mengandung
ideologi serta pendapatnya, bisa dibilang jika Panji Koming pada saat itu
merepresentasikan seorang kartunis yakni Dwi Koendoro dan masyarakat
Indonesia. Cerita dalam kartun Panji Koming yang memiliki muatan politik
didalamnya mampu menggiring pemikiran pembaca dan penikmat kartun kedalam
tahap yang tidak hanya sekedar hiburan semata tapi juga untuk ke tahap yang
lebih mendalam mengenai suatu fenomena kekuasaan, politik dan kepemimpinan
(cerita yang sebagian besar ditujukan untuk pemerintah).
Representasi yang diangkat oleh Dwi Koendoro juga tidak semata-mata
tentang anti kekuasaan yang pada masa orde baru bisa dibilang merintis
kepemimpinan yang otoriter. Panji Koming sepertinya juga ingin mengangkat
mengenai representasi sebagian dari masyarakat yang haus akan kebebasan.
Kebebasan yang pada masa itu hanya sebuah konsep, tidak dapat dinikmati
masyarakat dengan bebas terutama dalam menentukan pilihan politik mereka.
Meskipun hal ini membuat pertanyaan baru mengapa kartun ini berhasil “lolos”
52
dari ketatnya peraturan pemerintah, sedangkan banyak buku dan para aktivis yang
ingin juga mengungkapkan pendapatnya tidak diberikan ijin untuk itu.
Representasi Panji Koming ini juga cukup mengejutkan untuk saya dan
mungkin juga sebagian orang lain. Karena perkiraan saya tentang apa yang terjadi
atau apa yang diceritakan Panji Koming jauh dari bayangan sebelumnya. Dalam
keadaan yang tidak memungkinkan dan diintervensi dengan begitu ketatnya,
kebanyakan orang akan melakukan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pihak
yang melakukan intervensi. Namun sebaliknya yang terjadi pada Panji Koming
yang melakukan hal sebaliknya.
Perkiraan dan bayangan yang timbul ketika melihat ada sebuah kartun
yang “survive” dengan keadaan politik seperti itu, pastinya akan berpikir jika
kartun ini hanya kartun biasa yang tidak mempunyai muatan politik yang
menentang pemerintah. Akan tetapi Panji Koming mampu membuktikan bahwa
dengan tidak 100% mematuhi pemerintah dan dengan sedikit perjuangan dalam
beberapa kesempatan sering diberi peringatan oleh pemerintah, sebuah kartun
dapat merepresentasikan diri dari sang pembuat yakni Dwi Koendoro dan
masyarakat yang mulai kritis melihat sisi politik yang terjadi. Bahkan dapat
bertahan hingga melewati datangnya pergantian masa dari era orde baru.
d.
Kesimpulan
Dari cerita-cerita dan penjelasan yang telah disebutkan diatas sedikit
banyak kita dapat melihat bagaimana kita tidak boleh memandang sebelah mata
mengenai sesuatu. Sesuatu yang terkadang tidak terduga ternyata dapat membawa
53
kita untuk lebih jauh melangkah. Media visual yang salah satunya berupa kartun
ternyata mempunyai efek yang luar biasa. Ditengah-tengah pendapat yang
menyatakan kartun itu hanya merupakan konsumsi anak-anak, terbukti bahwa
efek yang dapat dibawa kartun tidak sesederhana yang dibayangkan. Dahulu sulit
dibayangkan kartun bisa dipolitisasi, tapi pada kenyataannya kartun dapat
digunakan untuk itu, bahkan dapat dibilang cukup hebat.
Panji Koming adalah salah satu kartun yang bisa membuktikan hal
tersebut. Dia mampu “menyusupkan” nuansa politik yang cukup kental. Dibalik
gambarnya yang dianggap lucu dan menghibur, dia mampu membawa cerita baru.
Sedikit mengejutkan sebenarnya, ketika Panji Koming berani mengungkapkan
hal-hal yang mungkin tidak sembarang orang berani mengungkapkannya. Seperti
yang telah disebutkan dan dijelaskan diatas isu-isu yang diangkat tidak hanya
merepresentasikan sesuatu yang “aman-aman saja”. Tapi isu sensitif untuk era
orde baru pun diungkapkan. Bahkan banyak orang yang mungkin menyetujuinya
secara diam-diam dengan cara terus menunggu edisi berikutnya untuk dibaca.
Panji Koming pada era orde baru ini menyampaikan pesan politiknya
atau merepresentasikan politiknya terhadap suatu kasus dengan cara yang halus.
Percakapan hanya berkisar antar tiga tokoh utama untuk menyinggung sesuatu
ditunjang dengan penggambaran setting yang sesuai (atau terkadang sedikit
diplesetkan). Representasi yang disampaikan pun biasanya mengarah pada apa
yang diinginkan masyarakat dan tentu saja hal tersebut seperti bertentangan
dengan pemerintah. Bahasa yang digunakan pada masa ini untuk menyampaikan
representasinya juga dengan bahasa yang masih sopan dan tidak terlalu frontal.
54
Gambar yang ditampilkan sangat menunjukkan pesan yang ingin disampaikan,
tetapi tidak pernah memunculkan gambar suatu tokoh yang mengarah pada suatu
tokoh tertentu secara detail. Dengan kondisi politik yang terjadi pada waktu itu
yang notabene masyarakat tidak terlalu bebas berekspresi, Panji Koming juga
mampu merepresentasikan apa yang dipikirkan dan ingin diungkapkan sebagian
besar masyarakat pada masa itu.
Jika kita kaitkan dengan maksud tersembunyi, Panji Koming pada era ini
berhasil menyampaikan maksud tersembunyinya yakni dapat mempengaruhi
masyarakat pada waktu itu supaya lebih sadar politik. Hal ini dapat kita lihat dari
besarnya minat masyarakat terhadap koran Kompas dan kartun Panji Koming
berdasarkan besarnya eksemplar yang berhasil dijual, serta kepopuleran Panji
Koming yang ditunggu-tunggu tiap minggunya. Semua ini juga tidak terlepas dari
campur tangan Kompas yang memberikan ruang tersendiri bagi kartun-kartun
seperti Panji Koming dan kartun lainnya untuk berekspresi. Padahal kita tahu
untuk mendapatkan ijin edar untuk media cetak saat orba sangatlah susah dengan
pengawasan yang cukup ketat. Meskipun pernah diberhentikan ijin edarnya,
nyatanya Kompas tetap mempertahankan halaman khusus kartun ini. Hal ini
menimbulkan kesimpulan bahwa Kompas mungkin juga mempunyai representasi
yang hampir sama dengan Panji Koming.
Jadi dengan kata lain kartun Panji Koming ini memiliki representasi
politik yang tidak hanya merepresentasikan pemikiran pembuatnya saja tetapi
juga masyarakat pada waktu itu. Kata representasi yang selalu diakitkan dengan
masalah politik ternyata mampu membuat sebuah kartun bisa begitu bermakna
55
dan dapat dipolitisasi sedemikian rupa sehingga secara tidak langsung memiliki
efek yang luar biasa bagi penikmatnya.
Meskipun
kebanyakan
representasi
yang
dimunculkan
terkesan
bertentangan dengan pemerintah dan petinggi-petinggi negara, namun Panji
Koming mencoba mengangkat nilai-nilai yang seharusnya ada dalam masyarakat.
Hal
yang
paling
penting
diungkapkan
adalah
mengenai
pengelolaan
kepemerintahan, kepemimpinan dan kepedulian berdasarkan moral yang diyakini
masyarakat setempat, Indonesia. Jadi dapat kita katakan Panji Koming, meskipun
hidup dalam era orde baru namun dia tidak merepresentasikan pemerintah orde
baru justru Panji Koming mampu memberikan kritik dengan cara yang khas.
56
Bab 4
Wajah Baru Panji Koming Pasca Orde Baru
a.
Pengantar
Pasca reformasi membawa gelombang perubahan yang begitu signifikan
bagi negara Indonesia khususnya. Kondisi negara yang selama ini ada seakan
diputar balik 180 derajat. Semuanya terasa sangat berbeda dan seperti kehilangan
keseimbangan. Ekonomi, sosial dan politik berubah cara pandangnya secara
drastis. Fase ini seakan menjadi fase titik balik bagi negara ini.
Dalam bidang ekonomi, pada masa ini Indonesia seperti menata kembali
dari awal. Carut marut yang terjadi pada masa orba menjadikan kondisi ekonomi
harus diperbaiki secepatnya. Namun hingga saat ini agaknya hal tersebut belum
selesai dan masih terus diperbaiki. Sedangkan dalam bidang sosial dan politik,
cara pandang yang tadinya diarahkan untuk satu tujuan sekarang lebih beragam.
Meski sebenarnya sudah ada keberagaman sejak dulu, akan tetapi orang-orang
lebih bisa mengungkapkan keberagamannya setelah era ini. Semua orang
sekarang lebih bebas untuk mengungkapkan pendapatnya dan cara pandangnya
mengenai sesuatu. Bahkan hal ini termasuk dalam hak asasi manusia yang telah
dilindungi oleh undang-undang.
Kebebasan ini dimanfaatkan secara maksimal oleh semua pihak, baik
orang-orang yang dahulu tidak punya kesempatan untuk berekspresi maupun
masyarakat pada umumnya. Mungkin masa ini masa yang telah ditunggu-tunggu
setelah penantian sekian tahun, meskipun banyak orang yang masih merasa
57
bahagia disaat orde baru. Banyak yang merasa di era orde baru mereka lebih
senang, sejahtera dan aman.
Perubahan ini memang memiliki dampak positif dan negatif yang harus
dihadapi. Dampak positifnya tentu saja kebebasan untuk mengeksplorasi diri
sendiri itu bisa lebih terbuka lebar. Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadi
kegoncangan dimasyarakat yang sekian tahun lamanya telah terbiasa dengan
situasi dan keadaan yang ada, dan tiba-tiba mereka harus berubah drastis. Hal
tersebut tentu saja membuat suatu kegoyahan dimana masyarakat tiba-tiba
berubah dengan persepsi yang berubah luar biasa.
Diluar itu semua agaknya perubahan ini juga membuat perubahan yang
sangat berarti bagi media di Indonesia. Ideologi dan ekspresi yang ingin
disampaikan oleh media bisa lebih leluasa untuk mengemukakan pendapatnya.
Ide-ide kreatif yang dahulu sangat susah untuk diterima, sekarang menjadi hal
biasa. Perbedaan pendapat bukan lagi ancaman dan masalah. Bahkan jika kita
melarang orang yang ingin berpendapat, kita dapat dikenai sanksi mengenai hak
asasi
manusia
untuk
berekspresi.
Media
semakin
percaya
diri
untuk
memperlihatkan visi, misi dan cara pandang mereka masing-masing. Dalam
beberapa kasus malah menggunakan cara yang lebih ekstrim dan radikal.
Sehingga dalam menanggapi satu kasus yang sama, cara tangkap dan respon
masing-masing media akan berbeda. Hal itu terlihat dari pemilihan kata, gaya
bahasa maupun gambar. Mungkin ini juga karena media tidak harus lagi terikat
oleh pemerintah, yang harus selalu sesuai dengan kepentingan pemerintah.
58
Media yang semakin luas mengemukakan pendapatnya juga berpengaruh
pada artikel yang ditulis oleh berbagai penulis. Hal ini mungkin juga yang akan
membawa perubahan pada kartun Panji Koming karya Dwi koendoro itu. Komik
yang telah ada sejak orde baru ini sangat cocok untuk dilihat apakah ada
perbedaannya saat orde baru berkuasa dengan saat ini yang sejak reformasi telah
berganti pemimpin berkali-kali. Barangkali dengan melihat representasi Panji
Koming saat ini, kita bisa menjadi lebih kritis dan lebih peka terhadap sedikit saja
perubahan yang terjadi disekitar kita. Dengan begitu kita bisa menjadi mawas diri
untuk menghadapi segala perubahan bentuk dan cara pandang yang ada selama ini.
Selain itu pikiran kita juga akan lebih terbuka dan sedikit banyak dapat
memahami perbedaan pendapat setiap orang. Dengan pemikiran bahwa cara dan
media untuk berekspresi semakin luas sehingga apa yang direpresentasikan pun
bisa saja lebih luas atau bahkan lebih sempit dan spesifik seiring lebih
heterogennya cara pandang masyarakat saat ini, pasca orde baru.
b.
Kondisi Media Pasca Reformasi
Gelombang perubahan semenjak reformasi tahun 1998 memang tidak
main-main. Perubahan yang dibawa sangatlah banyak. Perubahan politik,
ekonomi, sosial dan perubahan-perubahan lainnya menjadi bagian dari gelombang
ini. Dapat dikatakan bahwa Indonesia seakan-akan dibalik 180 derajat. Namun
moment ini merupakan masa titik balik bagi sebagian kalangan. Masa yang
ditunggu-tunggu bagi pihak-pihak yang berkaitan, seperti media massa, aktivis
59
dan pihak lain yang selama ini menuntut adanya kebebasan HAM untuk
berekspresi dan berpendapat.
Media tidak mau menyia-nyiakan kesempatan seperti sekarang ini.
Terlebih seiring berkembangnya isu demokrasi yang saat ini selalu disebut-sebut
dalam berbagai persoalan. Demokrasi yang merupakan isu besar dalam datangnya
reformasi membuat segala sesuatu yang dikaitkan dengannya dianggap akan lebih
bebas dan lebih mudah. Keterikatan yang longgar terhadap penguasa menjadi
salah satu kata kunci bagi berkembangnya cara orang berkomunikasi, berekspresi
dan berpendapat.
Media massa pasca orde baru berlomba-lomba untuk menunjukkan
eksistensi mereka dengan cara masing-masing. Satu masalah yang sama akan
terlihat berbeda pada setiap media massa karena perbedaan pandangan dari tiap
media massa. Perbedaan tersebut bisa dituangkan dalam bentuk lisan maupun
tulisan. Dalam media cetak, yang paling penting digunakan biasanya adalah
pemilihan kata-kata untuk suatu berita. Misalnya judul yang digunakan hanya
berbeda satu kata saja akan menimbulkan efek yang berbeda bagi yang
membacanya. Kadang ada kata yang bisa memprovokasi atau bahkan ada kata
yang terkesan menimbulkan simpati. Selain kata-kata, media cetak yang
menggunakan gambar juga akan memilih gambar yang sesuai dengan pemikiran
media tersebut. Sehingga dalam satu media dengan berbagai berita dapat ditarik
satu garis merah yang menunjukkan ideologi mereka.
Pemilihan kata, gambar dan meletakkan suatu berita bukan satu-satunya
cara menunjukkan eksistensi suatu media saat ini. Media juga dapat membuat
60
berita yang mungkin dulu sangat tabu untuk dibicarakan. Meskipun ada batasan
atau dapat dikatakan aturan main untuk media yang tertulis dalam kode etik
jurnalistik, namun saat ini dunia jurnalistik sudah lebih mudah untuk
menampilkan berita-berita yang di masa sebelumnya dianggap sensitif. Dengan
kata lain media massa saat ini sudah lebih ekspresif untuk mengungkapkan apa
yang ingin diangkat.
Tekanan dari pemerintah yang dulu sangat ketat pun sekarang agaknya
sudah tidak terlihat lagi. Pemerintah sudah memberikan kebebasan kepada media
untuk berekspresi. Bahkan terkadang beberapa kesempatan media sudah berani
untuk “melawan” pemerintah dengan pemberitaan mereka. Hal ini sama sekali
bukan hal yang mengagetkan lagi saat ini. Hampir disetiap kolom opini di satu
media cetak ada kritik tentang pemerintah yang dilontarkan oleh penulisnya. Tapi
tidak sedikit pula yang memuji beberapa perkembangan.
Hal yang saat ini sedang menjadi tren dikalangan politisi yang
bersangkutan dengan media adalah penggunaan media untuk kampanye. Entah
karena mengikuti tren atau memang telah menyadari kegunaan media, banyak
politisi yang menjadikan media salah satu rekannya. Dalam hal ini terlebih
menggunakan media jejaring sosial yang sedang “booming” di kalangan
masyarakat. Dari media sosial ini mereka bisa menjalin jaringan, mengumpulkan
masa, mengetahui pendapat masyarakat secara langsung dan tentu saja bisa
berkampanye. Apalagi bagi politisi yang akan mencalonkan dirinya pada
pemilihan kepala daerah atau kepala negara. Inspirasi ini mungkin muncul
61
semenjak keberhasilan Barack Obama dalam perjalanannya mencapai pemimpin
negara adikuasa, Amerika Serikat, yang menggunakan media jejaring sosial.
Media saat ini terasa makin kreatif dan inovatif. Banyak ragam dan cara
yang digunakan dan info yang diberikan. Hal ini seiring dengan berkurangnya
ketakutan dan kekhawatiran dalam kesalahan penyampaian pendapat. Bukan tidak
ada sanksi, tapi jangkauan dalam improvisasi jauh lebih luas. Sehingga media
semakin mudah untuk mengeksplorasi hal-hal yang dahulu dianggap tabu. Kita
juga menjadi semakin tahu bahwa ternyata banyak sekali pemikiran yang ada
dalam media, diluar perkiraan kita.
Memang banyak sisi positif yang bisa diambil dari masa ini akan tetapi
jangan lupa, ternyata ada juga sisi negatif yang kita dapat di masa ini. Jika
berkaitan dengan public figure, banyak diantara mereka yang privasinya
terganggu. Kekurangan lain adalah masalah kesiapan masyarakat dalam
kebebasan. Selama 32 tahun masyarakat terbiasa dengan kepemimpinan orde baru,
maka saat situasi berubah masyarakat seperti mengalami goncangan yang hebat,
antara
menerimanya
dengan
senang
hati
serta
masih
bingung
untuk
menggunakannya dan ada pula yang menyalahgunakan kebebasan tersebut.
Pro dan kontra dalam perubahan situasi ini memang merupakan suatu hal
yang biasa dalam suatu isu. Lebih nyaman manakah perubahan ini bagi semua
pihak, bisa kita lihat seiring berjalannya waktu. Apakah situasi ini akan berubah
lebih baik atau bahkan sebaliknya, lebih buruk. Tapi apapun itu sebenarnya
sebuah era merupakan dampak dari era sebelumnya. Semuanya berkaitan antara
yang satu dengan yang lain. Sehingga apapun yang terjadi saat ini, baik sisi baik
62
maupun sisi buruknya, sesungguhnya merupakan harmonisasi dari masa lalu yang
telah dilewati.
Perubahan yang sangat mengejutkan bagi sebagian orang ini, sangat
menarik untuk kita kaji. Seperti yang telah disebutkan diatas, hampir sebagian
besar sendi kehidupan masyarakat di Indonesia mengalami perubahan. Tapi tetap
saja masih ada peluang suatu hal tidak berubah. Meskipun itu merupakan suatu
hal kecil. Dalam tulisan sebelumnya kita telah melihat perubahan media secara
universal. Namun ada hal yang membuat penasaran, yakni apakah salah satu
konten atau isinya juga ikut berubah? Sebut saja kartun Panji Koming. Panji
Koming masih bertahan hingga saat ini. Biasanya sesuatu yang bisa bertahan
adalah sesuatu yang bisa diterima pada masanya. Sehingga ada kemungkinan
Panji Koming merupakan media yang melakukan hal tersebut. Tapi untuk
melihatnya lebih jelas, mari kita bahas permasalahan tersebut.
c.
Representasi Panji Koming Pasca Reformasi
Telah disebutkan diatas bahwa peristiwa reformasi tahun 1998 membawa
perubahan yang cukup signifikan bagi negara dan bangsa Indonesia. Isu yang dulu
hanya wacana saja sekarang sepertinya tidak tabu lagi dibicarakan. Misalnya saja
isu tentang demokrasi yang saat ini sedang diagung-agungkan. Demokrasi yang
juga merupakan isu pokok dalam perubahan kondisi di Indonesia ini, hampir
selalu disangkutpautkan dalam setiap permasalahan yang bersangkutan dengan
orang banyak. Baik dalam perbincangan santai maupun dalam pertemuan serius
kepemerintahan. Bahkan dalam hal “kecil” pun demokrasi akan terus dibawa63
bawa karena demokrasi dianggap sebagai konsep yang sangat baik saat ini. Dan
seperti yang telah diceritakan sebelumnya mengenai kartun Panji Koming, fokus
utama dari tulisan ini, sepertinya saat ini demokrasi juga merupakan isu yang juga
tidak luput dari pemberitaannya.
Pada masa pasca orde baru seperti sekarang ini, media dan publik sudah
tidak lagi punya tekanan untuk mengungkapkan apa yang ingin mereka
ungkapkan. Media yang dulu sangat terbatasi, sekarang malah bisa mempunyai
ideologi sendiri. Tidak harus semuanya bergantung dan sesuai dengan keinginan
pemerintah. Bahkan terkadang pemilihan katanya pun semakin tajam dan tak
segan lagi menyanjung dan menjatuhkan secara langsung. Semuanya berjalan
sesuai keinginan mereka.
Kehidupan sosial masyarakat pun amat sangat berubah saat ini
dibandingkan era sebelumnya. Obrolan tentang semua hal termasuk sosial, politik,
budaya dan hal-hal lain pun bisa dengan mudah dibicarakan di berbagai tempat
bahkan sebagai obrolan warung kopi. Dalam bidang politikpun saat ini lebih
bebas. Pembentukan partai politik dan organisasi-organisasi lain pun lebih leluasa.
Masyarakat bisa dengan mudah mengikuti suatu partai tertentu yang saat ini
sangat beragam dan berkegiatan aktif didalamnya. Hal ini mungkin dianggap
sebagai efek positif yang dibawa oleh era pasca orde baru, karena dengan begitu
pemikiran manusia tidak dikerdilkan lagi hanya dengan melihat satu sisi cara
pandang. Namun seperti yang telah diungkapkan sebelumnya efek negatifnya
adalah jika ada orang yang menyalahgunakan kesempatan mereka sehingga
64
dianggap mengganggu privasi orang terlalu dalam. Meskipun sebenarnya
mengganggu atau tidak adalah hal yang relatif.
Salah satu yang mungkin terpengaruh dengan semua perubahan ini
adalah Panji Koming. Telah disebutkan bahwa Panji Koming telah ada semenjak
era orde baru. Kondisi yang baru ini biasanya akan membuat pengalaman baru
dan cara pandang baru. Panji Koming sudah terkenal dengan ciri khasnya yang
“sangat Indonesia” dengan menggunakan setting kerajaan di Indonesia. Dengan
menggunakan setting tersebut, Panji Koming mampu memanfaatkannya untuk
kritik sosial dan penggambaran kondisi masa itu, meskipun harus menemui
berbagai halangan yang ada didepan mata. Dengan begitu kita pasti akan berpikir
bahwa seperti saat sekarang ini yang cukup minim “penghalang” untuk
mengungkapkan
pendapat,
Panji
Koming
akan
lebih
mampu
untuk
memanfaatkannya. Hal ini hanya akan menjadi asumsi jika tidak kita lihat secara
langsung dan jelas. Jadi kita harus melihat beberapa contoh pendapat dalam
kartun Panji Koming pasca orde baru untuk melihat sudut pandangnya saat ini.
Salah satu contoh Panji Koming yang terbit pada era pasca orde baru kita
bisa melihat pada edisi Minggu 25 September 2005 yang berisi tentang sindiran
terhadap kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras dari negara lain.23
23
Lihat Kompas edisi Minggu 25 September 2005, halaman 14
65
Terlihat dalam edisi ini para petani yang sedang panen besar dan
melimpah tidak jadi berbahagia atas keberhasilan mereka bercocoktanam. Hal ini
tak lain dan tak bukan karena pemerintah menerapkan sistem impor bahan pokok
yang sebenarnya para petani pun mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Pada
sudut pandang ini pemerintah dinilai sewenang-wenang melakukan kebijakan
yang merugikan petani dan hasil panen yang tidak tahu akan dikemanakan karena
harganya akan semakin menurun, sehingga tidak sesuai dengan biaya produksi
dan lamanya pengelolaan. Tidak lain hal ini ditujukan bagi pemerintah Indonesia
supaya lebih memperhatikan kesejahteraan petani Indonesia yang semakin hari
semakin kesulitan menyesuaikan dengan kebijakan yang ada.
66
Contoh lain adalah mengenai mengenai perilaku “wakil rakyat” yang
dimunculkan pada Panji Koming di koran Kompas edisi Minggu 30 Oktober
2005.24
Edisi ini adalah edisi yang mengecam cukup keras terhadap tindakan
yang dilakukan wakil rakyat saat ini. Para wakil ini menganggap mereka telah
bekerja sangat keras sehingga mereka patut untuk mendapatkan reward atas apa
yang telah mereka lakukan. Namun hal ini seakan tidak melihat lagi siapa yang
mereka wakili dan apa yang terjadi terhadap mereka. Orang-orang yang mereka
wakili banyak yang masih hidup seperti sedia kala tanpa ada perubahan. Pesan
yang terasa adalah lebih dari itu, seakan kartun Panji Koming pada edisi ini ingin
memperlihatkan bahwa orang-orang yang telah menduduki kedudukan yang tinggi
di pemerintahan, banyak yang tidak layak menerimanya. Mereka hanya
mementingkan hak mereka tanpa memperdulikan apakah kewajiban mereka telah
24
Lihat Kompas edisi Minggu 30 Oktober 2005, halaman 13
67
dilaksanakan dengan baik atau tidak. Totalitas dan kesungguhan mereka
dipertanyakan oleh masyarakat yang merasakan bahwa menjangkau wakil mereka
saja cukup sulit apalagi menyampaikan pendapat mereka.
Sedangkan yang terdapat pada edisi Minggu 18 Desember 2005, Panji
Koming bercerita mengenai koruptor.25
Tindakan korupsi dan koruptor yang sejak jaman dahulu sebenarnya telah
ada. Koruptor itu bukan orang yang sembarangan yang bertindak begitu saja tanpa
pikir panjang. Dalam cerita ini digambarkan bahwa para koruptor “sebenarnya”
berhasil lolos dari jeratan hukum. Orang-orang yang ditangkap adalah orang yang
menjadi umpan dalam strategi mereka lolos dari jeruji besi. Orang-orang yang
menerima sogokan akan lebih mudah untuk diumpankan, sehingga berita atau
perhatian akan terfokus pada hal tersebut. Dan digambarkan bahwa mereka yang
menjadi koruptor seperti tikus dan belut yang licin serta sulit ditangkap. Selain
berhasil mengambil yang bukan hak mereka, koruptor yang ada di Indonesia
25
Lihat Kompas edisi Minggu 18 Desember 2005, halaman 13
68
(yang dimaksudkan pada cerita ini) juga berhasil mengalihkan perhatian sehingga
tetap “aman”.
Tindakan ini sampai menimbulkan reaksi dari Panji Koming yang
menyampaikan bahwa mereka tidak sekedar campuran tikus dan belut tapi yang
disampaikan adalah “dia (para koruptor) itu campuran tikus sama monyet, pemain
sandiwara dan juga akrobat, kalau makan pisang dia makan pisangnya, dia buang
kulitnya membuat orang lain terpeleset-peleset.” Dari kalimat tersebut kita bisa
merasakan pesan yang disampaikan mengandung arti yaitu gerak-gerik koruptor
tidaklah semudah yang dibayangkan tetapi ada strateginya yang terkadang
menimbulkan ketidakberuntungan bagi pihak lain yang terlibat dengannya. Bukan
berarti orang-orang yang berhasil disuap itu tidak bersalah, tapi jika jauh lebih jeli
dilihat Panji Koming ingin memberi pesan bahwa seharusnya koruptor
“sebenarnya” harus dicari juga dan ditindak.
Tiga edisi diatas merupakan penggambaran kartun Panji Koming yang
ada pasca orde baru. Panji Koming yang masih datang seminggu sekali di koran
Kompas, sepertinya belum kehilangan “pamor” dan karismanya dalam menarik
perhatian publik. Pada abad 21 ini masih banyak peminatnya. Hal ini terbukti
dengan berkembangnya Panji Koming seiring perkembangan teknologi (terutama
komunikasi) yang saat ini sangat cepat. Sosial media yang saat ini tengah
digemari oleh hampir seluruh rakyat Indonesia juga dijadikan peluang oleh kartun
Panji Koming mengirimkan pesannya. Dengan begitu tanpa membaca koran
Kompas di setiap Minggunya, penggemar Panji Koming masih dapat menikmati
69
ceritanya. Tapi meskipun begitu agaknya karakter Panji Koming sudah menempel
di koran Kompas.
Kembali pada tiga edisi kartun yang telah dijabarkan diatas. Kita akan
mencoba menganalisanya menggunakan analisa ikonografi. Tahap pertama
(preikonografi); pada gambar pertama, kartun Panji Koming edisi ini dibuat
sedikit lebih berwarna. Namun warna yang digunakan bukan warna terang dan
warna hanya digunakan untuk mewarnai latar belakang. Gambar latar belakang
dan wajah tokoh dibuat sedikit lebih detail. Garis-garis pada wajah dan mimik
muka serta latar belakang yang dipakai dibuat sedikit lebih nyata dan terkesan
lebih serius tanpa mengurangi kelucuan yang dapat kita tangkap dari gambar
tersebut. Penggambaran latar belakang dibuat secara jelas seperti penggambaran
tanaman padi dan karung-karung beras yang ditumpuk. Terdapat lima karakter
pada edisi ini, empat karakter dibuat seperti kartun pada umumnya dan satu lagi
karakter karikatur yang menyerupai salah satu tokoh masyarakat. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Jawa sesuai
dengan tema kartun Panji Koming.
Pada gambar kedua Panji Koming seluruhnya berwarna hitam putih.
Terdapat lima karakter pada edisi ini. Tiga diantaranya merupakan karakter kartun
komik sedangkan dua lagi merupakan karikatur dari sosok masyarakat. Salah satu
karakter tengah mendengarkan denyut jantung dari tiga orang yang berbeda dua
diantaranya karakter komik biasa dan satu lagi adalah karakter karikatur suatu
tokoh. Terdapat latar belakang pagar pembatas yang ditunjukkan dengan garisgaris vertikal yang kemudian dibagian luar terdapat seseorang. Ada pula latar
70
belakang kerajaan dengan menggambarkan kursi ukir yang biasanya dipakai oleh
petinggi kerajaan. Penggambaran tokoh kartun dan latar belakang dibuat sedikit
lebih detail. Hal ini terlihat dari penggambaran wajah yang diserupakan karakter
tertentu terutama pada karikatur serta penggambaran latar belakang. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Jawa.
Gambar ketiga terlihat hanya memunculkan warna hitam dan putih.
Penggambaran komik kartun ini terlihat lebih detail dari kartun komik
kebanyakan. Garis-garis wajah karakter dibuat agak detail terutama pada karakter
yang berbentuk karikatur. Terdapat sembilan karakter pada kartun Panji Koming
edisi ini. Diantara sembilan karakter tersebut terdapat dua karakter karikatur, dua
lagi dibuat sedikit gelap seperti sedang berada pada tempat gelap, selebihnya
merupakan karakter kartun komik biasa. Dalam karakter komik tersebut terdapat
dua karakter anak-anak, hal ini terlihat pada ukuran yang dipakai untuk
menggambarkannya. Dua karakter ini memiliki ukuran yang lebih kecil serta
memberikan ciri-ciri anak kecil seperti model rambut dan cara berpakaiannya.
Bahasa yang digunakan pada kartun Panji Koming ini adalah bahasa Indonesia
yang dicampur dengan bahasa Jawa.
Tahap kedua adalah tahap ikonografi; gambar pertama bertema mengenai
import beras. Gambar padi yang ada pada edisi ini untuk lebih menunjukkan tema
utama dari kartun edisi ini. Padi yang melimpah tidak membuat petani bahagia hal
ini terlihat dari mimik muka karakter petani yang memperlihatkan mimik muka
sedih. Hal ini karena adanya import beras yang dilakukan oleh petinggi negara,
seperti terlihat pada gambar. Karakter karikatur suatu tokoh petinggi kerajaan
71
yang merepresentasikan pejabat negara pada saat ini menaiki sebuah kapal yang
berisi penuh dengan karung berisi beras. Kapal berisi penuh karung dan beras
mengibaratkan negara yang membuat peraturan untuk mengimpor beras dari
negara lain. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk membantu petani dan
masyarakat yang diperkuat pada dialog yang digunakan. Alih-alih membantu
ternyata hal ini justru membuat petani sedih dan kesal seperti yang terlihat pada
karakter petani yang menunjukkan raut muka tidak suka.
Gambar kedua bertema mengenai kelakuan petinggi negara dan wakil
rakyat yang tidak sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. Jika dikaitkan
dengan gambar yang ada terlihat seseorang mendengar denyut jantung dua orang
bunyinya seperti denyut jantung pada umumnya, sedangkan ketika mendengarkan
suara denyut jantung salah satu karakter yang mewakili wakili rakyat bunyinya
adalah uang. Hal ini sebagai simbol bahwa banyak wakil rakyat yang tidak
memikirkan rakyatnya tapi lebih memikirkan bagaimana memperkaya diri sendiri.
Bahkan dianggap apa yang wakil rakyat ini dapatkan tidak sesuai dengan kinerja
mereka yang masih harus dipertanyakan. Karakter karikatur satu lagi
menunjukkan seorang pemimpin yang tidak memperdulikan hal demikian.
Pemimpin ini merasa bahwa wakil rakyat ini patut mendapatkan semua fasilitas.
Hal ini diperlihatkan dengan adanya tulisan “cuek” pada sekitar gambar karakter
tersebut. Bahkan terdapat gerbang yang ditinggikan untuk membatasi rakyat
masuk dan hanya bisa berteriak diluar pagar tersebut, hal ini terlihat dari gambar
pagar yang tinggi dan seseorang yang sedang berteriak di belakangnya.
72
Gambar ketiga bertema mengenai tindakan korupsi dan suap yang telah
ada sejak dulu. Kasus korupsi sering menyebut pelakunya dengan sebutan tikus.
Koruptor diibaratkan sebagai tikus karena sifat tikus yang makannya rakus dan
tidak pilih-pilih. Kemudian ada penyebutan belut yang digunakan untuk
mengibaratkan koruptor yang sangat licin dan susah untuk ditangkap oleh pihak
yang berwenang sesuai dengan sifat hewan belut yang licin dan sulit ditangkap.
Ada pula penyebutan monyet untuk menunjukkan sifat koruptor yang suka
korupsi namun membuat orang lain yang mendapatkan dampaknya seperti monyet
yang setelah memakan pisang kemudian membuang kulitnya sembarangan
sehingga membuat orang lain terpeleset. Istilah-istilah ini pun sudah tidak asing
lagi di telinga masyarakat bahkan hingga anak kecil, hal ini tergambar dari
karakter dua anak kecil (bujel dan trinil) yang telah mengetahui istilah tersebut
meskipun tidak tahu makna sesungguhnya.
Tahap ketiga (ikonologi); gambar pertama bercerita mengenai import
beras yang dilakukan oleh pemerintah yang pada saat itu sedang hangat
diberitakan. Pemerintah mengambil keputusan ini dengan dalih untuk membantu
masyarakat karena kekurangan bahan pangan sekaligus membantu petani untuk
memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Namun yang dirasakan oleh petani
sebenarnya adalah mereka merasa dirugikan dengan adanya import beras tersebut.
Dengan adanya import beras maka harga beras yang mereka panen akan turun
harganya dipasaran. Hal ini tentu saja sangat merugikan bagi petani, dengan
begitu mereka tidak akan mendapat keuntungan yang lebih. Bahkan beras-beras
ini nantinya akan sangat sulit dipasarkan karena biasanya harga dan kualitas beras
73
akan bersaing dengan harga dan kualitas beras import. Selain itu import beras
seakan hanya dijadikan alasan bagi beberapa pihak terkait untuk mendapatkan
keuntungan dari adanya import tersebut, seperti pengambilan keuntungan karena
pengadaan import beras. Pihak yang dimaksud ini terlihat pada karakter karikatur
yang ada pada gambar. Karikatur tersebut menyerupai seseorang yang berkaitan
dengan kasus import beras yang tidak bisa dengan pasti disebutkan namanya, akan
tetapi mengarah pada sosok yang melakukan pengadaan import beras. Dengan
kata lain import beras ini dijadikan “kedok” bagi pelakunya untuk mendapatkan
keuntungan alih-alih membantu petani dan masyarakat. Edisi ini lebih
menampilkan suara hati petani yang keberatan dengan adanya import beras.
Gambar kedua bercerita mengenai perangai sebagian wakil rakyat yang
hanya memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan fasilitas. Hingga hal ini di
diumpamakan hingga denyut jantung merekapun berbunyi uang seperti yang
nampak pada gambar kedua. Panji Koming edisi berisi mengenai kekecewaan
masyarakat terhadap kelakuan wakil rakyat yang selalu menuntut hak-hak mereka
dan perbaikan fasilitas tetapi tidak sesuai dengan kinerja mereka yang tidak
maksimal. Behakan diagmbarkan pula banyak wakil rakyat yang tertidur ketika
mereka seharusnya bekerja seperti yang terdapat pada gambar dan ada pula tulisan
huruf “z” yang dalam penggunaannya sehari-hari mewakili perilaku orang ketika
sedang tertidur. Wakil rakyat tersebut selalu beranggapan bahwa mereka telah
bekerja sangat keras untuk kepentingan masyarakat, hingga mereka merasa pantas
dengan fasilitas kelas satu dan fasilitas mewah lainnya bahkan terkadang
cenderung menuntut hal-hal yang berlebihan dan mengada-ada. Namun kinerja
74
mereka tidak berdampak signifikan pada rakyat, hal inilah yang membuat rakyat
terkadang gerah dengan kelakuan mereka. Kritik, protes dan suara rakyat lainnya
seakan tidak didengarkan oleh pemimpin yang malah membiarkan kelakuan wakil
rakyat tersebut. Malah pemimpin disini terkesan tidak peduli dengan adanya
tulisan cuek. Penggambaran pemimpin disini diwakili dengan salah satu karakter
karikatur yang terdapat pada gambar, yang mengarah pada salah satu pemimpin
yang berkepentingan dan berkaitan dengan hal ini. Gerbang tinggi pun dipasang
untuk membatasi protes dan suara rakyat yang tidak setuju dengan adanya
perlakuan tersebut. Sehingga yang didengar disini bukanlah suara rakyat namun
suara pihak yang berkepentingan. Hal inilah yang ingin disampaikan oleh
masyarakat, bahwa kinerja dan kewajiban wakil rakyat harus diperbaiki terlebih
dahulu sebelum mereka meminta hak-hak dan imbalan mereka yang terkadang
berlebihan.
Gambar ketiga bercerita mengenai perumpamaan yang dipakai untuk
mewakili tindalan korupsi. Tindakan korupsi yang dilakukan oleh sebagian orang
dan dengan pemberitaan yang sudah sangat mudah diakses saat ini membuat
istilah-istilah yang dipakai tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Anak-anak kecil
pun sudah sangat terbiasa dengan istilah-istilah tersebut, seperti yang dilakukan
oleh Trinil dan Bujel (karakter anak kecil pada gambar). Istilah seperti tikus
digunakan untuk mengumpamakan seseorang yang melakukan tindakan korupsi
atau memakan uang rakyat. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa
tindakan korupsi merupakan salah satu tindakan rakus seperti yang dilakukan
tikus yang dapat memakan apa saja. Tindakan ini juga menyebabkan dia bisa
75
masuk penjara, hal ini mengarah pada salah satu tokoh yang melakukan korupsi
yang digambarkan melalui salah satu karikatur yang menyerupai. Bentuk lain dari
koruptor digambarkan sebagai belut yang sangat licin ditangkap. Belut ini sebagai
simbol dari koruptor yang sangat susah sekali untuk dijerat oleh hukum. Dalam
gambar ketiga pun diperlihatkan ada dua orang, bahwa mereka dapat berjalan
mengendap-endap tanpa terkena cahaya. Hal ini memberikan penjelasan bahwa
sebenarnya terdapat diluar sana banyak sekali koruptor yang belum terjerat oleh
hukum dan masih berkeliaran secara bebas. Bentuk koruptor satu lagi yang
disebutkan adalah campuran antara tikus dan monyet. Yang dimaksud disini
adalah koruptor yang selain rakus tetapi juga lincah menyembunyikan
tindakannya dan malah merugikan orang lain, dia yang bertindak tapi orang lain
yang
terkena
imbasnya.
Menariknya
dari
istilah
ketiga
ini
adalah
penggambarannya dengan karikatur yang menyerupai seseorang dan sedang
membawa gula. Hal ini memperlihatkan bahwa orang yang dimaksud disini
adalah orang yang terkait dengan kasus korupsi gula yang pada saat itu sedang
terjadi.
Kita bisa melihat jika Panji Koming pada saat ini, pasca orde baru,
seolah-olah dengan atau tanpa sadar mengemukakan bahwa Panji Koming ini
anti-pati terhadap pemerintah. Hal ini dapat kita ketahui melalui tema-tema yang
diambilnya selama ini sebagian besar adalah berupa kritik terhadap pemerintah.
Entah hanya karena isu yang sedang hangat atau karena keinginan pembuat Panji
Koming pribadi yang melakukannya. Melalui tokoh-tokoh yang dibuat, pembuat
76
Panji Koming seperti ingin memberikan teguran keras pada petinggi-petinggi
negara.
Kartun Panji Koming pasca orba, sedikit banyak telah menambahkan
beberapa komponen dalam edisinya kini. Panji Koming yang dibuat berwarna
pada beberapa bagian menjadikan kartun ini terlihat lebih fresh dan lebih menarik.
Karakternya pun tak hanya berkutat pada Panji Koming, Pailul, Ni Woro Ciblon
dan beberapa lainnya. Ada karakter-karakter tambahan yang dibuat sesuai dengan
tema cerita yang dibuat. Ada karakter utama tambahan seperti bujel dan trinil
(gambar a dan gambar b) dan ada juga karakter yang hanya muncul untuk edisi
tertentu (misalnya gambar c dan gambar d).
Mungkin hal ini dilakukan supaya kartun ini terlihat lebih menarik dan
yang pasti dapat menyampaikan pesan dengan lebih efektif. Bahkan terkadang
terlihat lebih menarik ketika pada kartun ini menampilkan karakter seseorang
dengan digambar sebagai karikatur. Ketika pertama kali melihat orang yang
membacanya pasti tertarik dengan karikatur yang dibuat dan akan menebak-nebak
siapa yang digambar demikian. Dan pastinya karakter dalam karikatur tersebut
disesuaikan dengan penggambaran di publik. Karikatur pada penambahan cerita
bisa diartikan dua hal, berupa sanjungan atau justru malah sebaliknya, hinaan
kepada orang yang dikarikaturkan.
77
(gambar a)
(gambar b)
(gambar c)
(gambar d)
Selain karikatur baru, karakter-karakter lama tidak kalah menariknya
dengan karikatur tokoh-tokoh tersebut. Panji Koming dan teman-temannya yang
juga mempunyai karakter sendiri, memiliki daya tarik yang luar biasa. Entah
karena perubahan jaman yang lebih terbuka dan keleluasaan lebih yang dimiliki
tiap orang, Panji Koming dan teman-temannya yang masih ada hingga kini terasa
berbeda dengan karakternya yang lebih kuat. Bahkan dalam beberapa edisi, Panji
Koming dan teman-temannya lebih berani mengungkapkan pendapatnya secara
langsung. Antara lain dengan kata-kata yang langsung disampaikan pada karakter
lain dan karikatur tokoh yang dibuat. Beberapa edisi juga memperlihatkan mereka
langsung berteriak pada karikatur tokoh yang berhubungan dengan cerita tentang
keluhan mereka. Mungkin hal ini terlihat lebih frontal dibanding dengan edisiedisi yang lalu.
Pendalaman karakter-karakter diatas merupakan salah satu sisi yang
menyokong makin kuatnya karakter kartun ini. Terlihat bahwa Panji Koming pada
saat ini merepresentasikan pemikiran pembuatnya dan pemikiran masyarakat pada
umumnya. Hal ini semakin menguatkan representasi yang dibawa adalah sebagai
78
kartun yang anti pemerintah. Terlebih saat ini era yang menganggap demokrasi,
keterbukaan dan kebebasan merupakan harga mati bagi negara.
Kondisi
yang
mendukung ini
membuat
Panji
Koming
berani
mengungkapkan pendapatnya dengan begitu terbuka dengan kata-kata yang lugas
dan gambar yang lebih terang, kepada tokoh yang dituju. Jadi bisa dikatakan
kondisi sosial dan politik pada saat era pasca orde baru mempengaruhi karakter
dari setiap tokoh kartun yang diceritakan dan alur cerita yang diusung oleh Panji
Koming menjadi lebih berani mengungkapkan pendapatnya. Baik dari segi bahasa
maupun gambar pun juga berubah dibeberapa bagian.
Memang bukan hal yang mengagetkan lagi saat ini bahwa banyak pihak
yang secara berterus terang menyatakan setuju atau tidak setuju, kecewa atau
tidak, suka atau tidak, kepada siapa saja termasuk pemerintah yang berkuasa.
Maka dari itu wajar bila kartun yang sudah cukup lama ada selama beberapa
dekade belakangan dan mengisi salah satu media nasional yang terkenal, Kompas,
menuangkan representasi yang masih berpihak pada kaum lemah, masyarakatnya
dan bangsa Indonesia. Serta menyatakan anti-pemerintah dengan penyebabpenyebab yang disebutkan tiap kali mengulas suatu tema pada tiap edisinya.
d.
Kesimpulan
Perubahan memang telah terjadi di Indonesia. Impact yang dibawa pun
juga luar biasa. Bahkan bagi hal yang mungkin masih jarang dan asing
disangkutpautkan dengan kondisi masyarakat umum, politik pada khususnya. Lagi
dan lagi kita membicarakan tentang kartun dan perubahan fungsinya dalam
79
komunikasi. Sejak orde baru kartun Panji Koming sedari awal sudah menetapkan
pilihannya untuk tidak sama dengan kartun lain yang lebih menghindar tentang
politik karena sasaran pemasarannya. Panji Koming pasca orde baru, secara
tampilan memang lebih berwarna. Panji Koming saat ini, terlihat sama dengan
media lain yang memanfaatkan kesempatan yang ada. Setelah “menikmati” masamasa orde baru, kartun Panji Koming mampu bertahan hingga saat ini.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Panji Koming juga memanfaatkan
kesempatan yang ada. Kondisi perubahan politik, sosial, ekonomi, budaya dan
lain sebagainya yang jauh berbeda ini agaknya sangat menguntungkan bagi media
karena mempunyai kesempatan lebih banyak saat ini. Sisi idealisme pembuat
Panji Koming sangat terasa sekali ketika kita melihat Panji Koming, baik gambar
maupun kata-kata yang digunakan. Representasi yang dibawa pun tentu saja
merepresentasikan sang pembuat Panji Koming, Dwi Keondoro, yang masih
mempertahankan representasinya sebagai pihak yang mewakili masyarakat umum
dan menentang pemerintah ataupun hal tertentu. Terasa sekali Panji Koming
pasca orde baru lebih agresif dan lebih lugas. Sehingga siapa yang disindir dan
apa kemauan dari Dwi Koendoro sebagai pembuat Panji Koming terlihat jelas.
Dari segi tampilan gambar, Panji Koming pada pasca reformasi dalam
beberapa edisi jauh lebih berwarna hal ini mungkin seiring berkembanganya
teknologi dan kemauan pasar yang lebih beragam. Dalam kasus-kasus tertentu
pun Panji Koming menampilkan karikatur dari tokoh tertentu yang berkaitan
dengan kasus tersebut dan biasanya tokoh yang dikarikaturkan adalah tokoh yang
akan dikritik oleh Panji Koming. Kehadiran karikatur ini tidak semata-mata untuk
80
menambah jumlah tokoh yang ada didalam cerita, tokoh-tokoh yang
dikarikaturkan ini juga akan berinteraksi dengan tokoh-tokoh utama yang
biasanya akan langsung menyampaikan pertanyaan yang ingin diketahui, kritik
dan lain sebagainya. Penggunaan bahasa Panji Koming pada masa ini terlihat
lebih lugas dan santai. Hal ini mungkin juga dikarenakan kondisi politik pada
masa ini yang lebih bebas untuk mengungkapkan pendapat.
Apabila kita kaitkan dengan maksud tersembunyi, nampaknya tidak ada
lagi yang disembunyikan oleh Panji Koming. Dengan Panji Koming yang lebih
terbuka dan lebih lugas mengungkapkan pendapatnya, masyarakat tidak perlu lagi
mencari-cari makna apa yang tersembunyi dibalik cerita Panji Koming di setiap
edisinya. Semuanya telah diungkapkan secara tegas dan jelas melalui sebuah
komik pendek. Maksud tersembunyi untuk lebih menyadarkan masyarakat tentang
politikpun sudah tidak ada lagi seiring dengan perkembangan tentang kesadaran
politik pada masyarakat yang sudah cukup tinggi masa ini.
Koran Kompas yang masih setia menaungi Panji Koming dalam rentan
waktu yang cukup lama hingga pasca reformasi, mampu menunjukkan eksistensi
Panji Koming. Kompas yang tidak lagi mengkhawatirkan pembreidelan oleh
pemerintah ikut bereforia dalam kebebasan yang didapat oleh media massa.
Kompas juga mempersilakan Panji Koming menikmati kebebasan tersebut dengan
beberapa perubahan dalam bentuk fisik dan bahasa yang digunakan. Panji
Koming masih dipertahankan sebagai salah satu sisi pandang yang ingin
ditampilkan oleh Kompas. Meskipun saat ini Kompas lebih bebas untuk
81
menyampaikan representasinya sendiri dalam berbagai artikel yang ada, Panji
Koming tetap menjadi bagian penting untuk menyampaikan suara masyarakat.
Dalam setiap karya pasti ada ideologis sang pembuat, namun Panji
Koming ini masih merepresentasikan hal yang sama yakni sisi atau sudut pandang
politik dari masyarakat pada umumnya merepresentasikan opini-opini masyarakat
yang beredar pada media. Meskipun pada masa ini pihak yang merasa terwakili
dengan representasi tersebut tentu saja berkurang yang disebabkan lebih besarnya
kebebasan
berekspresi
masyarakat
masa
ini
sehingga
keberagaman
representasipun juga akan semakin tinggi. Representasi politik Panji Koming
hanya akan terbatas pada segmen tertentu. Terutama dalam hal ini masyarakat
yang merasa kurang diperhatikan oleh pemerintah, tidak setuju dengan tindakan
pemerintah ataupun pejabat-pejabat tinggi, dan masyarakat yang kritis terhadap
setiap isu yang beredar, serta pihak yang satu pemikiran dengan Panji Koming.
82
Bab 5
Perbandingan Kartun Panji Koming
a.
Pengantar
Dua bab sebelumnya telah sedikit banyak menjelaskan keadaan yang
terjadi di dua era yang berbeda 180 derajat. “Perubahan” seakan menjadi kata
penting yang selalu timbul dalam berbagai isu yang berhembus. Kita tidak akan
pernah menemukan pangkal dan ujung jika membicarakan mengenai politik dan
segala yang berhubungan dengannya. Hal yang sepertinya tidak terkait dengan
politik pun bisa diplintir dan dipolitisasi sedemikian rupa menjadi hal yang kental
berbau politik. Layaknya kartun yang sebagian orang berpikir itu hanya “makanan”
anak-anak dan dijadikan media pembelajaran bagi hal-hal sederhana yang
berhubungan dengan pendidikan dan lain-lain. Kartun ternyata jauh lebih hebat
dari yang pernah diduga.
Sudah sejak lama hal ini dilakukan. Sama halnya yang terjadi pada
kartun Panji Koming yang telah melakukannya semenjak jaman orde baru.
Padahal kita tahu pada saat itu, politik merupakan hal yang sensitif untuk
dibicarakan dalam masyarakat umum. Kartun yang bersifat gembira dan kekanakkanakan sedikit banyak sudah menghilang darinya, bahkan sejak kemunculan
pertamanya ditahun 1979. Hal ini seakan mengukuhkan bahwa kartun Panji
Koming ini tidak bisa diremehkan. Meskipun terlihat dengan gaya bercandanya
yang khas, kartun ini selalu membawa makna yang jauh lebih dalam daripada
yang terlihat diluarnya.
83
Pesan yang singkat, padat dan jelas, coba dilakukan oleh Panji Koming.
Sedikit mengejutkan memang, ketika suatu media dengan caranya berani
menyampaikan itu semua. Sedangkan pada saat itu banyak sekali penulis beserta
tulisan-tulisannya yang dilarang karena dianggap sebagai “pembangkang”,
provokator dan berbahaya bagi integrasi bangsa (menurut pemerintah). Bahkan
yang paling terkenal adalah tentang menghilangnya orang-orang yang aktif dan
menjadi aktivis dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan menggugat
pemerintah terhadap masyarakatnya.
Peristiwa
penting
yang
menandai
keberhasilan
masyarakat
menumbangkan pemimpin yang berkuasa saat orde baru pun datang. Reformasi
merupakan saat yang ditunggu bagi masyarakat Indonesia. Tuntutan akan
kebebasan dan demokrasi seakan dijawab melalui peristiwa ini. Reformasi seolah
menjadi pintu gerbang menuju Indonesia yang lebih terbuka dan Indonesia impian.
Euforia ini tidak hanya dirasakan oleh orang-orang yang paham dengan apa yang
terjadi jika terjadi perubahan kepemimpinan. Orang-orang yang sebenarnya tidak
terlalu peduli dengan itu semua pun ikut dalam euforia kegembiraaan yang
dialami. Meskipun perubahan yang secara tiba-tiba ini juga menimbulkan
kebingungan bagi masyarakat, bagaikan kehilangan kebiasaan yang telah ada
selama puluhan tahun lamanya.
Panji Koming yang berhasil bertahan melintasi jaman sepertinya juga
tertarik dengan segala perubahan yang terjadi. Dimasa pasca orde baru, Panji
Koming masih berkarya dan masih ada. Selain hal-hal yang sudah ada sejak orde
baru, inovasi lain dalam media seakan terus berkembang saja. Dalam era yang
84
sudah tidak mempersulit media, sudah seharusnya mereka bisa berkembang lebih
baik lagi. Meskipun kemungkinan untuk lebih buruk atau bertahan di posisi
semula pasti ada. Jika melihat pada bab 2 dan bab 3, sepertinya Panji Koming
ingin membuktikan salah satu dari kemungkinan tersebut. Terlebih dari segi
representasi yang dibawa Panji Koming, yang merupakan tujuan utama
terbentuknya tulisan ini.
b.
Perbedaan Representasi Panji Koming saat Orba dan Pasca Orba
Kondisi saat orde baru dan pasca terjadinya reformasi, yang berhasil
menumbangkan era orde baru, memang sangat jauh berbeda. Perbedaan yang
sangat signifikan ini dirasakan baik dari “mayarakat biasa” hingga “para petinggi”.
Tumbangnya orde baru memang dirasa sebagai suatu pencapaian yang luar biasa
karena pada masa itu masyarakat seolah terkekang dengan pembentukan
kekuasaan pemerintah yang tanpa batas. Meskipun pada masa peralihan
merupakan masa yang suram bagi siapapun yang mengalaminya. Kondisi sosial,
ekonomi dan politik seakan kehilangan arah akibat perubahan drastis tersebut.
Bahkan bisa dibilang hampir lumpuh karena gerakan-gerakan yang banyak terjadi
pada era tersebut. Namun masa-masa tersebut kini telah beralih menjadi masa
yang seperti kita rasakan sekarang. Dan saat ini orang-orang mulai terbiasa
dengan kondisi ini, meski agak sulit untuk meninggalkan kebiasaan lama yang
telah dibangun selama 32 tahun.
Perubahan era, jaman dan kekuasaan diharapkan membawa semua hal
kearah yang lebih baik, tapi apapun itu pasti ada kekuarangan dan kelebihannya.
85
Tidak semua hal menjadi lebih baik setelah terjadinya pergantian kekuasaan dan
rezim. Perekonomian, sosial dan politik, nyatanya beberapa bagian masih dalam
posisi yang sama. Kondisi ini terlihat pada pemberitaan di media yang
menyatakan hal demikian meski dengan persepsi yang berbeda antara media yang
satu dengan yang lain. Media massa memang bisa dijadikan salah satu patokan
bagaimana keadaan masyarakat dan pemerintahan di suatu tempat. Pendapat
demikian muncul ketika banyak yang meyakini bahwa sebagian besar opini publik
dibentuk oleh media, begitu pula sebaliknya bahwa apa yang muncul di media
massa biasanya hasil dari apa yang sedang “heboh” di masyarakat. Bisa dibilang
media massa dan opini publik merupakan suatu kesatuan yang saling
berkesinambungan.
Kata “berkesinambungan” itulah yang mungkin terkadang membuat
sulitnya pelacakan dari mana berita tersebut berasal. Diluar itu semua, media
mempunyai peran yang besar dalam kehidupan manusia. Media memberikan
informasi yang mungkin sulit didapat oleh sebagian orang karena beberapa faktor.
Media juga merupakan wadah pembelajaran politik bagi orang yang
menikmatinya. Sebab dengan adanya informasi dari media, masyarakat bisa
mendapatkan sudut pandang, pengalaman politik dan belajar kritis terhadap apa
yang ditulis media. Media massa bukanlah satu-satunya cara untuk bisa
menggambarkan kondisi dan situasi yang ada serta menanamkan pembelajaran.
Cara yang bisa ditempuh seniman untuk bisa bergabung dalam dunia
media salah satunya, bagi seniman yang bergerak dibidang seni visual, adalah
dengan membuat kartun yang memiliki pesan layaknya media massa pada
86
umumnya. Salah satu yang menempuh jalan tersebut adalah Dwi Koendoro.
Dengan konsep kartun yang dibuatnya, salah satunya Panji Koming yang ada di
koran Kompas tiap minggu, dia mampu “berpolitik” melalui gaya yang berbeda.
Politik selalu dianggap sebagai hal yang berat, menakutkan dan tidak
familiar pada sebagian orang. Politik juga dinilai hal yang menyeramkan dan
seolah-olah ingin dihindari. Padahal sebenarnya politik dalam bentuk apapun itu
ada dalam setiap segi kehidupan manusia. Tapi dengan menjamurnya sekian
banyak cara seperti salah satunya kartun pada komik maupun di media massa,
politik menjadi hal yang tidak asing lagi. Orang-orang juga makin sadar akan
keberadaan politik dan pentingnya mempelajari hal tersebut. Cara yang
menyenangkan tentang mempelajari politik tersebut, selain menarik perhatian
orang, dengan kartun si pembuat kartun juga bisa menyelipkan sudut pandangnya
mengenai suatu kejadian. Sehingga tidak heran para pecinta kartun tertentu juga
mempunyai cara pandang yang hampir atau bahkan sama dengan kartun idolanya.
Panji Koming yang merupakan salah satu kartun yang cukup dikenal di
Indonesia kiranya dapat dijadikan contoh. Terlebih kartun ini telah malang
melintang selama puluhan tahun dan sepertinya tidak kehilangan pamornya.
Mungkin salah satu alasannya adalah pemikiran dari si pembuatnya, Dwi
Koendoro yang menyebutkan bahwa “Kartunis yang baik dan mampu bertahan
dalam situasi apa pun juga adalah kartunis yang mengenal nilai-nilai yang berlaku
di masyarakatnya, dewasa, berwawasan luas, serta tahu di ruang dan waktu mana
dia berada”.26 Sehingga dalam keadaan apapun juga kartunis masih bisa berkarya
26
kompas, selasa 5 april 1994, halaman 16
87
dan menghasilkan sesuatu, yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Dengan
alasan demikian kita pasti berpikir bahwa kartun ini pasti juga akan ikut berubah
ketika Indonesia juga mengalami pergeseran.
Pergeseran yang dimaksud disini adalah mengenai pergeseran ideologis
dan representasi. Untuk fungsi sendiri, kartun telah mengalami pergeseran fungsi
sudah sejak lama bahkan mungkin sebelum adanya Panji Koming, di luar negeri
hal semacam ini sudah dipakai. Fungsi kartun berubah dari sekedar hiburan dan
bagian dari memperindah sesuatu semata kemudian beralih menjadi media iklan,
kampanye, kartun politik dan lain sebagainya. Cara ini dirasa lebih lembut dan
lebih efektif, dengan cara yang tidak menghakimi orang akan lebih santai untuk
menanggapi. Mungkin untuk itulah semakin banyak kartun-kartun seperti ini dan
cara-cara lain yang lebih menyenangkan untuk menyampaikan berita atau isu
yang dianggap berat, seperti isu-isu politik.
Telah dijelaskan diatas bahwa kartun bisa menjadi sarana dalam
menyampaikan pesan dan pembelajaran politik bagi masyarakat. Panji Koming
pun demikian. Sejak awal kemunculannya di tahun 1979, Panji Koming telah
memilih jalur untuk menjadi kartun yang kritis dan memiliki pesan. Bab 2 telah
menceritakan bagaimana Panji Koming menyampaikan ideologinya dengan cara
yang
tidak
membuat
pemerintah
menggunakan
kekuasaannya
untuk
menghentikan penayangannya. Meskipun beberapa kali Kompas menerima
teguran, tapi hal ini tidak menyurutkan Kompas untuk menayangkan Panji
Koming setiap hari Minggu. Bahasa halus khas Jawa dan setting tempat yang
88
mendukung, dapat menciptakan suasana yang seakan-akan dapat menggambarkan
kehidupan Indonesia pada saat orde baru yang sangat Jawasentris dan
menggunakan pemerintahan otoriter mirip kerajaan.
Tahun dan era yang berganti nampaknya tidak menyurutkan langkah
kartun Panji Koming untuk berkiprah. Nyatanya dia mampu bertahan selama ini.
Bahkan dengan latar kerajaan dan dengan caranya mengkritik setiap isu, Panji
Koming masih relevan untuk diterapkan saat ini. Padahal masyarakat saat ini
sudah mulai banyak yang melek politik, sehingga dengan cara yang
bagaimanapun menyampaikan politik baik serius maupun santai akan tetap
diterima dengan baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh sebagian masyarakat yang
masih terbawa kebiasaan lama yang masih sungkan untuk membicarakan politik
dengan begitu terbuka. Atau bahkan masyarakat ingin mencari suasana yang lebih
menyenangkan untuk membicarakan hal yang “membosankan” seperti ini.
Dengan begitu Panji Koming masih mendampingi koran Kompas hingga saat ini.
Akan tetapi ada satu pertanyaan yang kiranya akan mengusik untuk diketahui
yaitu apakah Panji Koming itu bertahan hingga saat ini dengan representasi yang
sama atau berbeda.
Pada bab ini akan berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut
berdasarkan dua bab sebelumnya. Dua bab sebelumnya telah menjelaskan kondisi
Panji Koming pada dua era yang berbeda. Era yang pertama adalah era orde baru
yang sangat mendominasi, sedangkan era lainnya adalah era yang mungkin tidak
seketat era sebelumnya meskipun bukan berarti lebih baik atau lebih buruk. Dua
perbandingan waktu ini sebenarnya telah memberikan perbedaan tersendiri bagi
89
kehadiran Panji Koming. Saya sebut demikian karena dengan perbedaan waktu
tersebut maka masyarakat yang ditujupun otomatis telah berbeda. Sehingga efek
yang ditimbulkan pun berbeda, meskipun jika seumpamanya ada satu kasus yang
sama. Hal tersebut mungkin berkaitan dengan pola pikir masyarakat yang telah
berubah sebagian, sehingga tanggapan dari masyarakat pun akan berbeda pula.
Bisa saja suatu kasus jika dilemparkan ke masyarakat saat orde baru dapat
menimbulkan aksi provokasi, sedangkan disaat pasca orde baru akan dianggap
sesuatu yang biasa saja. Begitu pula sebaliknya, jika dilemparkan pada saat orde
baru bisa saja tidak mendapat respons positive, tapi ketika dibahas sekarang akan
timbul tanggapan-tanggapan kritis dari masyarakat.
Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah representasi dari Panji Koming
itu sendiri. Bila kita lihat sekilas, Panji Koming tidak mengalami perubahan
apapun setelah pergantian rezim. Masih menggunakan konsep latar belakang
kerajaan, dengan tokoh utama yang masih sama pula. Perubahan yang secara fisik
langsung bisa kita amati adalah tentang kartun yang terlihat lebih berwarna, tidak
hanya hitam putih saja. Ada juga penambahan beberapa karakter seperti trinil dan
bujel yang merupakan sosok anak kecil serta terdapat penambahan karikatur yang
mungkin berbeda tiap isu. Karikatur tersebut disesuaikan dengan hal yang ingin
diangkat dalam cerita. Namun seperti kita ketahui bahwa karikatur adalah salah
satu jenis kartun yang menggambarkan secara fisik semirip mungkin dan
menampilkan ciri khas dari tokoh atau seseorang. Karikatur ini nampaknya lebih
menguatkan mengenai kritik yang akan disampaikan. Sedangkan trinil dan bujel
sebagai cara pandang polos khas anak-anak yang menanggapi suatu kasus secara
90
apa adanya. Penambahan beberapa aktor ini sepertinya digunakan untuk
memperkuat cerita. Selain itu kartun Panji Koming juga terlihat makin ekspresif.
Bahkan melalui karikatur tersebut, para karakter seperti Panji Koming dan Pailul
mampu berbuat hal-hal yang ingin diperbuat terhadap mereka sebagai gambaran
dari penulis mengenai tokoh yang dikarikaturkan.
Panji Koming saat Orde Baru
(Kompas edisi Minggu 5 Mei 1991)
91
(Kompas edisi Minggu 26 Februari 1984)
Panji Koming pasca Orde Baru
92
(Kompas edisi Minggu 25 September 2005)
(Kompas edisi Minggu 18 Desember 2005)
Perbedaan akan semakin jelas jika kita telah membaca Panji Koming
dalam dua era yang berbeda tersebut. Terutama bila kita ingin mengetahui
perbedaan representasi dari kartun ini. Dengan membacanya, beberapa gambar
tambahan tersebut akan semakin kuat maknanya. Beberapa perbedaan dalam
percakapan yang ada pada cerita Panji Koming salah satunya adalah kata-kata
yang digunakan terlihat lebih langsung dan lebih tajam. Seperti analisa ikonografi
yang telah kita lakukan pada dua bab sebelumnya.
Edisi Panji Koming masa orde baru memang sudah mengkritik
pemerintahan dan hal-hal lain, serta tak segan-segan ikut serta dalam pembicaraan
politik. Namun pada era ini, jika dibandingkan dengan Panji Koming yang
sekarang, bahasanya masih lebih “halus” dan dalam pengungkapannya masih
93
terkesan memberikan nasehat secara umum kepada semua orang meskipun
ditujukan untuk beberapa pihak. Dan yang paling khas adalah pesan tersebut akan
disampaikan hanya antar karakter, misalnya Panji Koming dengan Pailul atau
dengan Ni Woro Ciblon dan lain sebagainya.
Sedangkan Panji Koming pasca orde baru, kita akan bisa merasakan
bahwa terdapat dorongan euforia kebebasan berpendapat yang dapat kita rasakan.
Posisi Panji Koming pada era ini sebenarnya tidak berbeda terlalu jauh dengan
masa orde baru. Panji Koming masih sebagai kartun yang “berpolitik”, dalam arti
Panji Koming berani untuk ikut dalam permasalahan-permasalahan politik. Kritik
terhadap pemerintah dan penguasa-penguasa lain pun juga masih gencar
diutarakan. Akan tetapi kali ini interaksi tidak hanya seputar karakter-karakter
tetap, tapi juga kepada karakter dalam bentuk karikatur yang tidak muncul tiap
edisi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa karikatur biasanya akan dibuat semirip
mungkin dengan orang yang ditiru, baik secara fisik maupun ciri khasnya dalam
berbicara dan bersikap.
Interaksi tersebut seakan-akan mengungkapkan bahwa siapapun saat ini
berhak untuk berbicara kepada siapa saja termasuk para pemimpin mereka dengan
lebih leluasa. Percakapan dan interaksi ini juga memperlihatkan bahwa
masyarakat pun sudah tidak sungkan lagi mengutarakan pendapatnya kepada
pemimpinnya. Bahkan pada beberapa edisi, karikatur-karikatur yang kebanyakan
menggambarkan mengenai pejabat atau pemegang kekuasan lainnya, dimarahi
dan dimaki-maki sedemikian rupa tanpa memerdulikan lagi siapa yang mereka
maki. Memperlihatkan bahwa Dwi Koendoro ingin menggambarkan kondisi saat
94
ini yang tidak seperti dahulu. Masyarakat dapat mengutarakan isi hati mereka
dengan bebas tanpa adanya ketakutan berlebih akan sanksi tertentu jika mereka
melakukan hal yang dianggap kesalahan pada masa orde baru.
Bila dapat disimpulkan bahwa kartun Panji Koming pada saat orde baru
dan pasca orde baru itu berubah. Meskipun tidak sesignifikan yang terbayangkan
ketika melihat perbedaan kedua masa, namun Panji Koming nampaknya juga
sama dengan pihak-pihak lain yang mengalami perbedaan dan ingin menikmati
perbedaan tersebut. Pertama-tama kita akan melihat perbedaan Panji Koming
diantara kedua era ini melalui analisa ikonografi.
Tahap pertama (preikonografi); dari sisi preikonografi kita dapat melihat
sedikit perbedaan dari cara penggambaran. Pada era orde baru kartun digambar
dengan karakter yang dibuat lucu dan garis-garis wajah tidak dibuat dengan begitu
detail. Sedangkan pada masa pasca orba penggambaran karakter wajah terlihat
lebih detail terutama pada garis-garis wajah yang menunjukkan ekspresi. Selain
itu perbedaan terlihat pada penggambaran latar belakang. Penggambaran latar
belakang terlihat lebih penuh pada masa pasca orba sedangkan pada masa orba
penggambaran latar belakang terlihat lebih sederhana dan minimalis. Dari segi
warna, pada era orde baru warna yang digunakan hanya warna hitam dan putih
sedangkan pada pasca orba dalam beberapa edisinya sudah berani menggunakan
warna lain yang lebih berwarna-warni meskipun tidak pada semua bagian.
Perbedaan yang paling mencolok adalah keberadaan karikatur. Pada masa orba
tidak disertakan karikatur yang menyerupai suatu tokoh sedangkan pada masa
pasca orba hampir di setiap edisinya terdapat gambar karikatur dan bahkan bisa
95
terdapat lebih dari satu karikatur. Bahasa yang digunakan sama-sama
menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur beberapa istilah bahasa Jawa. Ada
pula penambahan beberapa kata-kata penguat pada gambar di era pasca orba,
seperti pada gambar Panji Koming edisi 30 Oktober 2005 yang menambahkan
kata “uang” disebelah gambar karikatur wakil rakyat yang sedang meneriakkan
haknya dan juga kata “cuek” yang ada disebelah karikatur pemimpin yang tidak
peduli terhadap apa yang terjadi serta penambahan huruf “z” pada salah satu
karakter yang menunjukkan bahwa karakter pada gambar tersebut sedang
melakukan aktifitas tidur.
Tahap kedua (ikonografi); baik saat orde baru maupun pasca orba, kartun
Panji Koming dibuat sesuai dengan tema yang diangkat. Hanya saja dalam segi
penyampaian sedikit berbeda. Hal tersebut terlihat dari bahasa dan tindakan dalam
kartun. Bahasa yang digunakan pada kedua masa ini sebenarnya sama, yakni
sama-sama menggunakan bahasa Indonesia yang sedikit dicampur dengan bahasa
Jawa. Namun pada masa orde baru pemilihan kata dibuat lebih halus dan lebih
banyak menggunakan istilah untuk mengekspresikan. Dan pemilihan kata
biasanya tidak langsung pada pelaku. Sedangkan pasca orba kata-kata yang
digunakan terlihat lebih berani untuk mengungkapkan. Dalam mengungkapkan
pun bahkan langsung pada pihak terkait, seperti pemberian karakter karikatur
yang menyerupai orang yang dimaksud dalam kasus yang disebutkan. Kata-kata
dan gerakan tokoh kartun pun dibuat lebih ekspresif.
Tahap ketiga (ikonologi); ikonologi lebih mengarah pada makna intrinsik
yang ada pada kartun. Pada kedua masa ini sebenarnya mempunyai makna
96
intrinsik yang hampir sama yakni sama-sama memberikan kritik kepada
pemerintah dari sudut pandang rakyat, baik rakyat secara umum maupun rakyat
pada segmen tertentu seperti petani dan yang lainnya. Akan tetapi yang
membedakan disini adalah pada masa orde baru pesan dan kritik tersebut
disampaikan dengan cara yang lebih halus atau dengan kata lain disampaikan
secara tersirat, sedangkan pada masa pasca orba penyampaiannya sudah lebih
gamblang dan terbuka atau biasa disebut secara tersurat. Kedua cara ini juga
menunjukkan bahwa kondisi masyarakat menanggapi kondisi politik di kedua era
ini berbeda. Hal ini agaknya dipengaruhi dari kondisi politik pada saat orde baru
dan pasca orba yang sangat berbeda jauh. Kondisi masyarakat pada saat orde baru
sangat terbatas untuk mengungkapkan pendapatnya karena memang peraturan,
serta situasi yang tidak mendukung dan tidak memungkinkan. Berbeda halnya
dengan kondisi pasca orba yang jauh lebih bebas dalam mengungkapkan
pendapatnya. Sehingga cara yang digunakan untuk menyampaikan suatu isu ke
masyarakat sangat berbeda.
Jika kita bagi menjadi bagian yang lebih kecil, bahwa perbedaan
representasi dua masa ini bisa kita bagi dalam beberapa bagian antara lain;
a) tampilan & bahasa
Kriteria pembanding yang satu ini bisa kita lihat secara kasat mata.
Tampilan kartun Panji Koming tidak mengalami terlalu banyak perubahan
dari masa Orde Baru hingga pasca Orde Baru. Karakter yang digunakan dan
setting dari kartun ini pun masih menggunakan karakter dan latar belakang
yang sama pula, yakni panji Koming sebagai karakter utama dengan latar
97
belakang kehidupan masyarakat pada masa kerajaan Majapahit. Hanya saja
pada masa pasca Orde Baru dalam beberapa edisi tampilannya semakin
berwarna dan terdapat beberapa karakter baru, serta terdapat karakter yang
disesuaikan dengan tema yang diangkat oleh kartun Panji Koming pada
edisi tersebut. Gambar yang ditampilkan pada era pasca Orde Baru lebih
detail daripada gambar pada masa Orde Baru, hal ini terlihat pada guratan
wajah dan latar belakangnya. Sedangkan untuk bahasa,
bahasa yang
digunakan pada masa Orde Baru dan pasca Orde Baru masih menggunkan
bahasa yang sama yaitu bahasa Indonesia yang santai dan digunakan seharihari, serta dalam beberapa istilah disisipi dengan bahasa Jawa atau istilah
yang tengah tren pada masa itu. Sehingga pada dua era ini bahasanya
hampir tidak ada perbedaan.
b) tujuan & sasaran
Apabila kita amati, sejak dulu tujuan dari Panji Koming adalah
menceritakan situasi yang ada pada masa tersebut, terlebih yang sering
diceritakan adalah kondisi politik. Hal tersebut berlangsung hingga saat ini.
Tujuan Panji Koming adalah memberitahukan kepada masyarakat situasi
dan kondisi yang ada dan menyampaikan hal yang ingin diketahui
masyarakat secara umum
kepada pemerintah, dan berusaha untuk
memberikan kritik kepada pihak-pihak tertentu jika memang diperlukan.
Sasarannya pun juga masih sama yaitu merupakan kritik kepada pemerintah
maka hal ini sebagai salah satu jalur masyarakat untuk menyampaikan
pendapatnya kepada pemerintah. Sasarannya lainnya adalah masyarakat,
98
Panji Koming ingin memberitahukan kepada masyarakat tentang kondisi
yang ada, supaya masyarakat lebih waspada dan mengetahui situasi yang
ada. Hal ini bisa dikatakan bahwa Panji Koming ingin menjadi jembatan
antara pemerintah dengan masyarakat. Tujuan dan sasaran ini tidak nampak
begitu berbeda antara era Orde Baru dan pasca Orde Baru.
c) cara penyampaian kepada pembaca
Yang dimaksud pada kriteria ini adalah bagaimanakah cara kartun
Panji Koming dalam dua era yang berbeda ini menyampaikan hal-hal yang
ingin dia
sampaikan. Bisa kita katakan bahwa pada masa orde baru
representasinya adalah tersirat sedangkan representasi yang ditampilkan saat
pasca
orde
baru
merupakan
representasi
yang
mengungkapkan
representasinya secara langsung atau tersurat. Alasan penyebutan tersebut
dikarenakan alasan yang telah disebutkan sebelumnya. Panji Koming era
orde baru disebut menampilkan representasi tersirat karena dalam setiap
kritikan dan pesan yang sesungguhnya dari cerita tersebut tidak dikatakan
dengan bahasa tulisan secara langsung, tetapi menggunakan kata yang agak
diplesetkan. Pada masa pasca orde baru disebut menggunakan representasi
langsung karena pada masa ini bahasa yang digunakan lebih lugas dan
menampilkan makna yang sesungguhnya dari apa yang sebenarnya ingin
diceritakan oleh penulis Panji Koming, Dwi Koendoro. Meskipun standing
point dari cerita Panji Koming dalam dua era tersebut bisa dibilang sama,
yakni memberikan kritik pada pemerintah dan lingkarannya.
d) Media yang menaungi
99
Media yang menaungi Panji Koming sejak awal kemunculannya
adalah koran harian Kompas. Hal ini tidak berganti hingga hari ini,
meskipun situasi politik Indonesia sudah berganti dan media massa sudah
banyak menjamur. Terlebih hal ini terkait dengan usia koran Kompas yang
sudah berdiri selama beberapa dekade dan telah mengalami perubahan
kepemimpinan selama beberapa kali. Namun hal ini tidak menyurutkan
langkah Panji Koming untuk tetap bertahan pada satu media massa.
Beberapa faktor yang disinyalir mengakibatkan perubahan representasi
pada diri Panji Koming antara lain perbedaan waktu yang terus berkembang,
perbedaan masa, perbedaan kepemimpinan pada media massa yang menaungi,
perbedaan relasi kuasa, dan perbedaan budaya dan komunikasi. Perbedaanperbedaan tersebut nampaknya sangat menunjang dalam perubahan yang
dilakukan oleh Panji Koming. Terutama perubahan rezim atau kepemimpinan
yang juga mempengaruhi paradigma yang dibawa masyarakat pada suatu negara.
Faktor-faktor tersebut dkiranya dapat mempengaruhi media secara umum,
sehingga Panji Koming yang merupakan salah satunya juga mengalami hal
tersebut. Faktor-faktor tersebut juga terdapat alasan didalamnya sehingga disebut
sebagai salah satu yang berpengaruh dalam perubahan yang terjadi pada diri
kartun Panji Koming.
Perbedaan waktu merupakan salah satu alasan yang diungkapkan diatas.
Hal ini dikarenakan dengan adanya perbedaan waktu maka isu, kebiasaan, cara
pandang, teknologi dan hal lain sebagainya dalam masyarakat dan negara jelas
juga berbeda. Sehingga perbedaan waktu merupakan salah satu faktor penting
100
dalam perubahan ini. Perbedaan waktu juga berhubungan dengan faktor
berikutnya yakni perubahan masa atau era. Perubahan era yang dimaksud disini
adalah perubahan orang-orang yang hidup pada dua jaman tersebut.
Tentu saja dalam dua era yang berbeda ini orang-orang yang berpengaruh
dalam sebuah negara pasti akan berubah baik banyak maupun sedikit. Sehingga
kebudayaan, adat isitadat dan gaya hidup pun ikut berubah. Itulah mengapa Panji
Koming akan menyesuaikan diri atau lebih tepatnya disesuaikan dengan tren yang
sedang berkembang di Indonesia. Perubahan waktu pula yang menentukan siapa
pihak yang direpresentsikan. Mungkin saja pada saat orde baru pihak yang
direpresentasikan adalah hampir seluruh rakyat Indonesia, sedangkan sekarang
waktu juga banyak merubah masyarakat yang ada pada era tersebut. Sehingga
kemungkinan yang muncul adalah pihak yang direpresentasikan jauh lebih
spesifik dari pada saat orde baru.
Perubahan lainnya adalah mengenai perubahan kepemimpinan pada
intern media. Hal ini dinilai sangat berpengaruh terhadap setiap media mungkin
dihampir seluruh bagian di dunia. Perubahan kepemimpinan identik dengan
berubahnya tokoh. Dengan tokoh yang berbeda otomatis cara seseorang untuk
memimpin pun berbeda. Hal ini berdampak pada kebijakan yang dibuat oleh
kepemimpinan tersebut. Terlihat jelas pada kasus ini nampak perubahan yang
cukup signifikan pada pembuatan kebijakan mengenai publikasi media massa.
Telah dijelaskan diatas pembatasan pada media massa di dua era ini sangat
berbeda jauh. Di satu masa, media begitu terkekang, terbatas serta didominasi
oleh satu pihak. Sedangakan di masa yang lainnya, media diberi kebebasan yang
101
bisa dibilang cukup luas dan dapat dikendalikan secara mandiri oleh media
tersebut. Tentu hal tersebut berpengaruh pada kreativitas awak media untuk
membuat berita.
Relasi kuasa menjadi bagian penting dalam tumbuh kembang suatu
media dalam satu negara. Dalam hal ini yang dimaksud dengan relasi kuasa
adalah relasi antara pemerintah, media dan masyarakat yang ada pada jaman
tersebut. Kita tahu bahwa salah satu fungsi dari media adalah menjadi jembatan
antara pemerintah dan masyarakat. Disaat pemerintah begitu sangat kuat dan
otoriter terhadap media dan masyarakat yang tidak terlalu kuat, maka yang
dihasilkan adalah media yang hanya sebagai alat komunikasi satu arah saja.
Komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat. Dapat kita sebut bahwa media
hanya bisa menjadi alat penyampai keputusan-keputusan pemerintah yang
berakibat pada kurangnya kontrol dari masyarakat melalui media. Sedangkan jika
pemerintah, media dan masyarakat mempunyai porsi yang hampir sama maka
komunikasi dua arah dapat terjalin. Pemerintah dapat memberitahukan kebijakan
yang telah disetujui dan bahkan pertanggungjawabannya, masyarakat dapat
melakukan kontrol terhadap kegiatan pemerintah serta menyampaikan pendapat
kepada pemerintah melalui media massa dan media massa dapat memberitakan
hal yang menurut pandangan mereka layak ditampilkan tanpa didominasi oleh
negara. Relasi kuasa yang tidak menempatkan kekuasaan penuh pada satu pihak
saja ini biasanya ditujukan supaya bisa terjalin komunikasi antara ketiga pihak
tersebut atau bahkan lebih dari itu.
102
Hal berikutnya yang mempengaruhi pergeseran tersebut adalah adanya
pergeseran budaya dan cara berkomunikasi dalam masyarakat. Indonesia dikenal
di luar negeri sebagai negara yang ramah dan cara pemikiran masyarakatnya yang
masih cenderung sederhana dengan budaya yang masih tradisional. Semenjak kita
mengenal istilah “globalisasi” sepertinya hal ini sudah tidak terlalu relevan untuk
digunakan. Budaya-budaya negara barat banyak masuk ke Indonesia seiring
berkembangnya teknologi komunikasi. Semua orang seakan-akan dapat melihat
dunia tanpa harus pergi ke semua negara. Dan budaya yang banyak masuk ke
Indonesia ini nampaknya telah mempengaruhi sebagian masyarakat Indonesia
yang terkadang dijadikan patokan dalam sebuah gaya hidup tertentu bahkan tak
jarang pula gengsi, sehingga masyarakat makin tertarik dengan hal-hal demikian.
Percampuran budaya dan cara komunikasi yang sekarang dimiliki oleh
masyarakat Indonesia yang semakin beragam mau tidak mau mendorong setiap
hal, tak terkecuali kartun Panji Koming, untuk menggeser cara komunikasi
mereka kepada masyarakat yang budayanya telah bergeser dari era sebelumnya.
Hal ini dilakukan supaya hal bisa menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Jadi
meskipun tergolong kartun “lawas” tapi masih dapat diterima oleh masyarakat
saat ini dan terlebih dapat dinikmati oleh mereka. Terlebih saat ini masyarakat
lebih dimudahkan dengan adanya internet, dengan begitu sewaktu-waktu dapat
mengakses Panji Koming dengan lebih mudah lagi.
Sebenarnya yang terjadi terhadap Panji Koming tidak hanya perubahan
saja. Perubahan waktu memang menimbulkan perbedaan terhadap Panji Koming
tetapi secara garis besar masih terdapat persamaan antara kartun Panji Koming
103
yang dulu (masa orde baru) dengan yang sekarang (pasca orde baru). Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya bahwa secara fisik Panji Koming tidak melupakan
karakter dasar yang telah menjadi ciri khasnya yaitu dengan berlatarbelakang
kerajaan Jawa dan menggunakan bahasa serta kebudayaan Jawa sebagai
perumpamaan. Selain itu karakter utamanya pun tidak mengalami banyak
perubahan. Tokoh Panji Koming tetap menjadi tokoh utama yang menjelaskan
alur cerita. Poin yang selalu diangkat pun mengenai kritik, pendapat dan rasa
heran yang dirasakan oleh masyarakat pada umumnya. Kritik dan pendapat ini
tidak berubah meskipun banyak perubahan yang terjadi ketika berganti
kepemimpinan.
Pada dasarnya semua faktor yang telah disebutkan diatas tidak sematamata untuk mempengaruhi perubahan dalam media massa. Lebih dalam dari itu
adalah adanya posisi politik atau posisi tawar yang dimiliki media, terutama
dalam hal ini kartun, dalam kehidupan berpolitik dan pengaruhnya terhadap
perubahan pemikiran masyarakat dalam menggunakan kesempatannya sebaik
mungkin dalam sebuah negara. Terlihat sebagai sedikit pembuktian bahwa dengan
sedikit menyesuaikan dengan masyarakat, sebuah kartun mendapatkan apresiasi
dari banyak orang hingga saat ini.
Apresiasi yang ditujukan untuk Panji Koming seakan menjadi pertanda
setuju dari masyarakat terhadap cerita, pesan, kritik dan hal lain yang diangkat
oleh Panji Koming dalam setiap kemunculannya. Bisa dibilang saat ini posisi
tawar sebuah media yang disebut dengan kartun, sepertinya tidak dapat dibilang
sepele. Dari hal-hal yang dianggap remeh tersebut ternyata terdapat sebuah hal
104
yang mungkin dapat menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal yang sama
dengan apa yang mereka lihat secara ringan namun membekas dalam ingatan. Hal
ini juga menunjukkan bahwa berpolitik tidak harus dari hal-hal yang “besar”, hal
yang “kecil” pun dapat dijadikan sarananya. Perubahan dalam hal kecil tersebut
berperan besar dalam segi kehidupan yang terkadang jarang untuk diperhatikan.
Dan mungkin saja hal kecil ini dapat merubah pikiran seseorang dengan
pemkiran-pemikiran baru yang membawanya menuju hal besar.
c.
Kesimpulan
Hal apapun di dunia ini nampaknya tidak ada yang tidak mempunyai
kesempatan untuk berubah. Apapun alasan, penyebab dan tujuannya, perubahan
tidak mengenal ruang dan waktu. Seperti halnya yang telah dibuktikan oleh kartun
Panji Koming. Kita telah melihat bagaimana kondisi Panji Koming saat orde baru
dan pasca reformasi. Meskipun tujuan dari Panji Koming masih sama yakni
tentang sarana penyampai kritik politik sosial, namun dengan berubahnya
beberapa hal yang telah disebutkan diatas, representasi Panji Koming yang
merupakan isu utama dalam tulisan ini ternyata mengalami sedikit perubahan.
Perubahan ini terjadi pada beberapa bagian penting baik dari segi fisik maupun
non fisik, serta pada siapa pihak yang direpresentasikan.
Dari segi gambar jelas kita dapat melihat perbedaan yang cukup
signifikan. Gambar Panji Koming pada masa pasca reformasi terlihat lebih
berwarna daripada kartun Panji Koming pada masa orba. Dan jika kita amati lebih
dalam lagi tokoh-tokoh yang muncul dalam masa pasca reformasi pun lebih
105
beragam, tidak hanya berkutat pada tiga tokoh utama yang saling berinteraksi.
Kemunculan karikatur-karikatur pada masa ini terlihat lebih menyemarakkan
gambar dan cerita dan kartun Panji Koming. Dengan adanya karikatur tersebut,
cara berdialog Panji Komingpun sedikit berubah, jika pada masa orba dialog
hanya seputar tiga tokoh utama, sedangkan pasca reformasi dialog juga dilakukan
oleh karikatur suatu tokoh sehingga terlihat lebih interaktif.
Penggunaan bahasa juga sedikit berbeda. Bahasa yang digunakan pada
masa orba cenderung lebih halus dan menyiratkan maksud-maksud dan pesanpesan tertentu. Pada pasca reformasi bahasa yang digunakan terlihat lebih santai,
lugas dan apa adanya. Cara pandang politik (representasi politik) Panji Koming
pada masa orba dan pasca reformasi sebenarnya tidak berubah. Panji Koming
dalam kedua masa itu masih merepresentasikan pembuat Panji Koming, Dwi
Koendoro yang masih pada posisinya yakni merepresentasikan apa yang
dipikirkan, dikehendaki dan diinginkan oleh masyarakat pada umumnya. Panji
Koming juga masih mengkritik dan selalu mempertanyakan situasi yang terjadi,
pemerintah dan hal lain sebagainya, yang selalu memperlihatkan bahwa Panji
Koming selalu menjadi pengkritik pemerintah secara tidak langsung.
Namun segmen orang-orang yang direpresentasikan mungkin sudah
berubah. Pada saat orba, Panji Koming seakan-akan merepresentasikan seluruh
masyarakat Indonesia. Sedangkan pada masa pasca reformasi segmentasinya
sudah lebih berkurang dikarenakan lebih bebasnya orang dapat berekspresi,
sehingga masyarakat juga punya banyak pilihan politik. Sehingga maksud
tersembunyi Panji Koming pada saat orba yakni untuk lebih menyadarkan
106
masyarakat mengenai politik, sekarang tidak lagi terlihat. Pasca reformasi Panji
Koming tampil lebih terbuka sehingga seperti tidak ada maksud yang
disembunyikan. Panji Koming hadir sebagai salah satu kartun idealis dengan
representasinya sendiri yang mewakili pembuatnya dan orang-orang yang
berpikiran sama.
Dapat kita lihat masyarakat sekarang lebih mudah mengakses berita dan
informasi politik yang ringan tidak hanya dari kartun komik di media cetak.
Media massa begitu pesat berkembang, sehingga masyarakat lebih mudah
menemukan kartun-kartun serupa dimedia cetak maupun elektronik lain dan
bahkan yang lebih cocok dengan pemikiran mereka. Kita dapat melihat bagaimana
media massa mempunyai peranan penting bagi efek yang ditimbulkan oleh sebuah
kartun. Jika media yang menaunginya tidak cukup inovatif, maka kartun ini juga
tidak akan begitu terlihat keberadaannya. Panji Koming termasuk salah satu
kartun yang memanfaatkan perkembangan media massa pada saat ini. Saat era
orba Panji Koming hanya mengandalkan keberadaannya pada koran Kompas.
Sedangkan saat ini Panji Koming juga dapat diakses melalui beberapa situs
internet dan jejaring sosial yang tengah populer.
Perubahan atau pergeseran representasi ini juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang telah disebutkan diatas. Faktor-faktor tersebut tidak serta
merta hanya mengubah hal-hal yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari
saja tapi juga hal yang jarang diperhatikan seperti kartun. Satu perubahan dapat
disebabkan oleh beberapa perubahan, begitu pula sebaliknya beberapa perubahan
bisa disebabkan oleh satu perubahan.
107
Bab-bab diatas nampaknya sedikit banyak telah menjawab pertanyaan
yang telah disampaikan sebelumnya. Menjawab apakah kartun Panji koming yang
merupakan kartun dua jaman berubah representasinya atau tidak. Dan ternyata
terbukti bahwa Panji Koming berubah representasi. Semula Panji Koming seakan
merepresentasikan seluruh masyarakat Indonesia yang menginginkan perubahan
dari pemerintah serta dari koran Kompas yang menaunginya. Namun sekarang
seiring dengan berkembangnya karakteristik, ideologi dan gaya hidup manusia,
Panji Koming hanya mewakili sebagian dari masyarakat Indonesia yang
berpikiran sama. Karena pada saat ini masyarakat Indonesia lebih heterogen baik
dari segi apapun. Keheterogenan tersebut yang membuat masyarakat menjadi
lebih terbagi-bagi lagi dalam sekat yang tidak terlihat. Sehingga tidak heran jika
kartun Panji Koming mengalami perubahan representasi.
108
Download