5 PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Kapasitas Stok dan Potensi Ekonomi Lestari Sumberdaya Ikan 5.1.1 Pengelolaan Kapasitas Stok Lestari Sumberdaya Ikan Pada Bab 4 telah dijelaskan bahwa ikan manyung, tenggiri, peperek, kembung, dan tongkol merupakan hasil tangkapan utama (85,6 %) nelayan di Kabupaten Indramayu. Selama ini, hasil tangkapan utama ini menjadi pemasok penting ikan segar untuk pasar, swalayan, dan industri pengolahan hasil perikanan yang terdapat di Kabupaten Indramayu dan daerah lainnya di Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, dan bahkan untuk tujuan ekspor. Menurut DPK Kabupaten Indramayu (2010b), di samping pasar ikan segar, ikan hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Indramayu menjadi penyuplai penting bahan baku industri yang terdapat di Karawang, Bekasi, dan Jakarta Utara, dimana pengirimannya dilakukan setiap hari. Produksi perikanan laut di Kabupaten Indramayu termasuk stabil dan pada tahun 2009 mencapai 108.554,6 ton dengan nilai sekitar Rp 1.383.687.650.000. Mengingat pentingnya peran hasil perikanan laut dari Kabupaten Indramayu ini, maka sumberdaya ikan yang terutama dari jenis hasil tangkapan utama nelayan ini perlu dilestarikan. Menurut DKP (2004), pelestarian stok sumberdaya ikan menjadi bagian penting dari rencana strategis perikanan nasional yang harus diimplementasikan pada semua zona pengelolaan perikanan Indonesia. Kapasitas stok lestari (MSY) menjadi acuan penting dari setiap operasi penangkapan ikan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan Indonesia, dimana pemanfaatan yang dilakukan tidak boleh melebihi kapasitas stok lestari yang ada. Pada Bab 4 telah dijelaskan bahwa kapasitas stok lestari (MSY) sumberdaya ikan manyung, tenggiri, peperek, kembung, dan kakap di perairan yang menjadi fishing ground nelayan di Kabupaten Indramayu masing-masing mencapai 1291,37 ton per tahun, 1120,70 ton per tahun, 4227,93 ton per tahun, 1135,76 ton per tahun, dan 5343,58 ton per tahun. Kapasitas stok lestari ini perlu patokan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Indramayu, karena 72 pada kondisi ini sumberdaya ikan tersebut memberi manfaat maksimal bagi nelayan dan masyarakat pesisir, serta kelestarian tetap terjaga. Musick, et. al (2008) menyatakan pemanfaatan sumberdaya ikan yang bersesuaian dengan kapasitas stok lestari dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan di masa mendatang. Hal ini karena pada kondisi ini tingkat pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi laju perkembangan sumberdaya ikan dan habitatnya. Namun bila kapasitas stok sumberdaya ikan tersebut dibandingkan dengan jumlah produksi ikan aktual di Kabupaten Indramayu, maka pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri dan kembung sudah melebihi kapasitas stok lestarinya, sedangkan pemanfaatan ikan manyung, peperek, dan tongkol masih di bawah kapasitas stok lestarinya. Hasil pada Bab 4 menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan ikan tenggiri dan kembung di atas 100 %, yaitu masing-masing 122,72 % dan 139,64 %. Sedangkan tingkat pemanfaatan ikan manyung, peperek, dan tongkol masing-masing 70,32 %, 66,39 %, dan 48,01 %. Fauzi (2010) menyatakan bahwa tingkat pemanfaatan yang belum mencapai 100 % kapasitas stok lestari (MSY) dapat memberi manfaat ekonomi yang berarti masyarakat pesisir tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya ikan itu sendiri. Terkait dengan ini, kapasitas stok lestari sumberdaya ikan harus dikelola dan dijaga dengan baik, sehingga sumberdaya ikan yang menjadi sumberdaya mata pencaharian utama nelayan dan masyarakat pesisir Kabupaten Indramayu terus terpelihara. Pengelolaan kapasitas stok lestari sumberdaya ikan ini dapat dilakukan dengan mengatur jumlah upaya penangkapan ikan sehingga tidak melebihi upaya penangkapan yang optimal dan wajar bagi berkembangnya sumberdaya ikan tersebut kembali. Pada Bab 4 dijelaskan bahwa upaya penangkapan optimal (Emsy) untuk sumberdaya ikan manyung, tenggiri, peperek, kembung, dan tongkol di Kabupaten Indramayu masing-masing 4683 trip per tahun, 3202 trip per tahun, 3232 trip per tahun, 11402 trip per tahun, dan 4026 trip per tahun. Upaya penangkapan optimal ini harus menjadi acuan dalam mengatur jumlah trip operasi penangkapan oleh kapal/usaha perikanan tangkap yang dapat menangkap kelima jenis hasil tangkapan utama tersebut. Dalam aplikasinya pengaturan ini dapat dilakukan melalui penertiban pengurusan izin melaut, penertiban zona 73 penangkapan untuk setiap jenis/ukuran kapal, dan pengawasan dalam bongkar muat di pelabuhan (PPI Karangsong). Hamdan et.al (2006) menyatakan bahwa perizinan, zonasi, dan bongkar-muat lebih mudah diawasi di Kabupaten Indramayu karena selain aktivitas perikanan tangkap tersentralisasi di PPI Karangsong, juga karena administrasi pelabuhan dan syah bandar yang baik di lokasi. Pengelolaan kapasitas stok lestari (MSY) sumberdaya ikan ini menjadi hal yang mutlak dilakukan untuk menjamin keberlanjutan usaha perikanan yang menjadi penopang ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir, terutama untuk ikan tenggiri dan kembung yang sudah mengalami kelebihan tangkap. Usaha perikanan yang bisa menangkap kedua jenis sumberdaya ikan ini hendaknya mengalihkan operasi penangkapannya pada ikan ekonomi penting lain yang masih berpeluang ditingkatkan pemanfaatannya, seperti ikan manyung, peperek, tongkol, dan lainnya. Fauzi (2004) menyatakan dalam konteks ekonomi berkelanjutan, sumberdaya alam dengan cadangan melimpah dapat ditingkatkan pemanfaatan, sedangkan sumberdaya alam dengan cadangan yang semakin menipis perlu dikonservasi kembali. Bila hal ini dapat dilakukan secara konsisten, kapasitas stok lestari sumberdaya ikan di Kabupaten Indramayu dapat terjaga dengan baik. Hal ini mutlak dilakukan, karena bila melihat hasil regresi terhadap CPUE dan effort selama kurun waktu lima belas tahun terakhir (1996 – 2010), maka pengaruh peningkatan effort (upaya penangkapan) cenderung negatif terhadap CPUE. Hal ini ditandai oleh nilai independent (b) dalam regresi yang negatif untuk kelima jenis sumberdaya ikan tersebut. Mustaruddin (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kecenderungan menurun hasil tangkapan yang didapat nelayan Indramayu dalam setiap trip operasi penangkapan yang dilakukannya menjadi titik lemah pengelolaan perikanan dalam skala industri di Kabupaten Indramayu. Hal ini tidak hanya mengurangi minat investor untuk berinvestasi di bidang perikanan tetapi juga menjadi penghambat kesejahteraan nelayan dan optimisme pengelolaan perikanan di Kabupaten Indramayu. Terkait dengan ini, maka kapasitas stok lestari kelima sumberdaya ikan ekonomi penting tersebut perlu dijaga dengan baik. Pemerintah melalui unit pelaksana teknis (UPT) 74 perlu mengatur operasi penangkapan ikan yang ada, dan secara berkala memberi penyuluhan/pembinaann akan pentingnya kelestarian stok sumberdaya ikan. 5.1.2 Pengelolaan Potensi Ekonomi Lestari Sumberdaya Ikan Hasil tangkapan utama nelayan di Kabupaten Indramayu, seperti ikan manyung, tenggiri, peperek, kembung, dan tongkol mempunyai potensi ekonomi yang sangat besar. Potensi ekonomi tersebut memberi ruang untuk pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Hasil analisis kapasitas stok yang dijelaskan pada bagian sebelumnya memberi arahan tentang jumlah ikan yang dapat dimanfaatkan secara maksimum, tanpa mengganggu kelestarian kelima sumberdaya ikan tersebut. Konversi kapasitas stok lestari ke dalam nilai uang memberi informasi tentang potensi ekonomi lestari sumberdaya ikan tersebut. Pada Bab 4 dijelaskan bahwa potensi ekonomi lestari (MEY) sumberdaya ikan manyung di Kabupaten Indramayu mencapai 16.471.401.174 per tahun. Potensi ekonomi lestari ini sangat besar dan dapat dioptimalkan pemanfaatannya. Sparre dan Venema (1999) menyatakan bahwa optimalisasi pemanfaatan potensi ekonomi lestari sumberdaya ikan dapat dilakukan selama pemanfaatan yang ada saat ini tidak melebihi kapasitas stok lestari yang ada dan ini diindikasi oleh upaya penangkapan aktual yang masih rendah. Upaya penangkapan aktual (Eaktual) sumberdaya ikan manyung di Kabupaten Indramayu sekitar 1569 trip per tahun, sedangkan upaya penangkapan ekonomi optimal (Emey) sekitar 4738 trip per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa upaya penangkapan yang ada saat ini masih bisa ditingkatkan. Terkait dengan ini, maka usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), payang, dan rawai tetap dapat dikembangkan lebih lanjut untuk tujuan penangkapan berupa ikan manyung. Namun demikian, pengembangan tersebut perlu dilakukan secara terkendali sehingga tidak terjadi kelebihan upaya tangkap dan biaya produksi tinggi yang menyebabkan TR = TC (kondisi OA, keuntungan 0). Wilson, et. al (2002) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan potensial dapat dilakukan dengan memobilisasi secara tepat/terkendali usaha perikanan yang sesuai dan hal ini harus didukung secara integratif oleh semua 75 komponen perikanan terkait. Partisipasi dan dukungan yang positif dari komponen/stakeholders perikanan harus diberikan sehingga pengelolaan tersebut bisa memberi manfaat maksimal bagi nelayan dan masyarakat pesisir secara keseluruhan di Kabupaten Indramayu. Untuk sumberdaya ikan tenggiri dan peperek, masing-masing mempunyai potensi ekonomi lestari (MEY) sekitar Rp 31.745.619.591 per tahun dan Rp 54.907.433.923 per tahun. Potensi ekonomi lestari kedua jenis ikan termasuk besar, namun untuk ikan tenggiri sudah terjadi kelebihan tangkap. Hasil analisis sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri di Kabupaten Indramayu ini mencapai 122,72 %, terjadi kelebihan tangkap sekitar 22,72 % dari potensi lestari yang ada. Hal ini juga ditunjukkan oleh upaya penangkapan aktual ikan tenggiri (Eaktual = 5998,06 trip per tahun) yang lebih tinggi daripada upaya penangkapan ekonomi optimal (Emey = 3125 trip per tahun). Oleh karena itu, operasi penangkapan ikan tenggiri perlu dikurangi di perairan Kabupaten Indramayu. Hal ini merupakan tindakan pengelolaan yang perlu diambil untuk kapasitas stok sumberdaya ikan tenggiri tetap lestari di perairan Kabupaten Indramayu dan juga dapat memberi manfaat ekonomi yang berkelanjutan bagi generasi mendatang. Tomascik, et. al (1997) menyatakan bahwa kegiatan pengelolaan tidak hanya dimaksudkan untuk mengatur dan memanfaatkan suatu sumberdaya tetapi juga merupakan kegiatan pengendalian dan pencegahan sehingga terjadi keseimbangan ekologis pada sumberdaya tersebut dan lingkungan sekitarnya. Untuk sumberdaya ikan peperek karena tingkat pemanfaatannya baru mencapai 66,39 %, maka dapat ditingkatkan mendekati potensi ekonomi lestari yang ada. Terkait dengan ini, maka jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), dan payang dapat dikembangkan lagi dengan fokus utama pada penangkapan sumberdaya ikan peperek tersebut. Namun demikian, pengembangan ini juga harus ada kelanyakan pengembangan usaha perikanan tangkap tersebut ekonomi. Bagian 5.3 akan membahas kelayakan pengembangan setiap usaha perikanan yang digunakan dalam pemanfaatan kelima jenis sumberdaya ikan potensial yang ada. Bila melihat upaya penangkapannya, maka upaya penangkapan aktual ikan peperek (Eaktual = 845,04 trip per tahun) masih 76 jauh lebih rendah daripada upaya penangkapan ekonomi optimalnya (Emey = 3177 trip per tahun) sehingga sangat berpeluang untuk dikembangkan. Dibandingkan dengan lima sumberdaya ikan lainnya, potensi ekonomi lestari (MEY) ikan kembung termasuk paling kecil, yaitu sekitar Rp 9.911.840.550 per tahun. Upaya penangkapan ekonomi optimal (Emey) ikan kembung ini mencapai 11820 trip per tahun, sedangkan upaya penangkapan aktualnya (Eaktual) mencapai 11830,73 trip per tahun. Terkait dengan ini, maka upaya penangkapan ikan kembung sudah melebihi upaya penangkapan maksimum yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Hal ini juga ditunjukkan oleh tingkat pemanfaatannya yang sudah mencapai 139,64 % dari kapasitas stok lestari yang ada. Sedangkan Mamuaya, et. al (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemanfaatan yang melebihi daya dukung akan sangat cepat menyebabkan kelangkaan sumberdaya ikan dan memerlukan waktu puluhan tahun. Bila upaya penangkapan tersebut terus ditingkatkan, maka bukan tidak mungkin upaya penangkapan mendekati Eoa (14150 trip per tahun), sehingga menyebabkan usaha perikanan tidak memperoleh keuntungan dari operasi penangkapan ikan kembung yang dilakukannya (TR = TC). Terkait dengan ini, maka operasi penangkapan ikan kembung menggunakan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), dan jaring klitik (JK) sebaiknya dikurangi dan penangkapan dialihkan kepada sasaran yang potensial lainnya, misalnya ikan manyung, peperek, dan tongkol. Fauzi (2010) menyatakan bahwa kondisi dimana penerimaan total (total revenue/TR) menurun akibat upaya penangkapan yang berlebihan sehingga mendekati biaya operasional penangkapan total (total cost/TC) akan memberi dampak yang kurang baik pengelolaan perikanan, dimana pendapatan nelayan menurun, terjadi perebutan fishing ground, daya beli turun, harga beli tidak stabil, dan lainnya. Potensi ekonomi lestari (MEY) ikan tongkol di perairan Kabupaten Indramayu mencapai Rp 42.547.409.047 per tahun. Potensi ekonomi ini termasuk besar dan bila melihat tingkat pemanfaatannya (baru sekitar 48,01 %), maka sangat terbuka peluang untuk pengembangannya. Suman, et.al (1993) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya dapat ditingkatkan hingga mendekati potensi 77 lestariya, dan bila hal ini dilakukan secara konsisten, maka dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan ekonomi sumberdaya ikan tersebut di masa mendatang. Terkait dengan ini, maka pengaturan dan pengawasan pemanfaatan oleh usaha jaring insang hanyut (JIH), jaring klitik (JK), rawai tetap, dan handline perlu dilakukan secara serius oleh nelayan, aparat terkait, dan masyarakat. Oleh karena di Kabupaten Indramayu, usaha perikanan ini umumnya terpusat di PPI Karangsong, maka pengaturan dan pengawasan tersebut lebih mudah dilakukan. Untuk memberi manfaat ekonomi yang memadai bagi nelayan pelakunya, maka disamping dari jenis ikan potensial yang ditangkap, usaha perikanan tangkap harus layak secara finansial untuk dilakukan. Bagian berikut akan menjelaskan hal ini, sehingga terjadi keberlanjutan ekonomi berbasis usaha perikanan di Kabupaten Indramayu. 5.2 Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap 5.2.1 Kelayakan Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Usaha perikanan tangkap dapat dijamin keberlanjutannya, bila usaha perikanan tangkap layak secara finansial terutama dalam memberi manfaat bagi nelayan pelakunya. Munasinghe (1993) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat terjadi bila kegiatan pembangunan tersebut terasa manfaatnya bagi kemakmuran masyarakat. Kemakmuran merupakan kondisi dimana daya beli meningkat dan masyarakat mempunyai kemudahan dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar dalam hidupnya. Usaha perikanan tangkap bisa dirasakan manfaatnya secara nyata bila menghasilkan keuntungan yang cukup dan dapat menunjang kehidupan nelayan pelakunya. Hasil analisis pada Bab 4 menempatkan jaring insang hanyut (JIH) sebagai usaha perikanan tangkap dengan keuntungan/rente ekonomi tertinggi setiap tahunnya, yaitu mencapai Rp 1.029.134.326. Bila diperbandingkan modal usaha yang dikeluarkan, maka usaha perikanan JIH menghasilkan tingkat pengembalian (rate of return) investasi sekitar 42,01 %. Tingkat pengembalian investasi tersebut sangat bagus dan bahkan jauh di atas bunga deposito mencapai 6,25 % setiap tahunnya. Menurut Hamdan, et. al (2006), usaha perikanan yang mempunyai tingkat pengembalian investasi yang tinggi akan mempercepat perkembangan 78 usaha, memberi kepastian terhadap modal investasi, dan memberi kesejahteraan bagi pelakunya. Lebih jauh terkait investasi ini, handline, payang, dan rawai tetap mempunyai tingkat pengembalian investasi (rate of return) yang lebih baik daripada usaha perikanan tangkap lainnya termasuk JIH, yaitu masing-masing 56,72 %, 58,52 %, dan 66,74 %. Hal ini menunjukkan bahwa menginvestasikan uang pada usaha perikanan handline, payang, dan rawai tetap jauh lebih baik daripada mendepositokannya di bank maupun menjalankan usaha perikanan JIH. Memang dari segi rente ekonomi, ketiga usaha perikanan tangkap ini lebih rendah daripada usaha perikanan JIH, tetapi karena modal investasi yang dikeluarkan juga rendah, maka cukup wajar bila keuntungan yang didapat lebih rendah. Menurut Hanley dan Spash (1993), keberlanjutan usaha ekonomi tidak sepenuhnya dapat dilihat dari keuntungan yang didapat, karena keuntungan/rente ekonomi bersifat relatif, yaitu bila skala usaha dan biaya produksi besar, maka keuntungan dengan nominal besar bisa tidak berarti usaha dapat kembali modal. Terkait dengan ini, maka analisis yang lebih dalam seperti benefit-cost ratio dan internal rate of return sangat diperlukan untuk mengkroscek tingkat manfaat dari sejumlah modal investasi yang dikeluarkan. Namun secara umum, JIH, JIT, payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik termasuk layak dikembangkan di Kabupaten Indramayu karena mempunyai rate of return yang lebih menarik daripada hanya sekedar menyimpan uang modal di bank. Bunga terbesar yang bisa diterima di bank setiap tahunnya hanya sekitar 6,25 % (bunga deposito), sedangkan bila menjalankan usaha perikanan tersebut dapat mendapatkan manfaat minimal 31,35 % dari total modal yang diinvestasikan. Nilai manfaat yang besar tersebut tentu lebih menarik minat investor sehingga lebih menjamin keberlanjutan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. 5.2.2 Peran Usaha Perikanan Tangkap bagi Ekonomi Kawasan Bagi Kabupaten Indramayu, usaha perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi dominan dan paling banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat 79 lokal. Usaha perikanan tangkap mendukung aktivitas ekonomi berbasis perikanan dan pengembangan usaha pendukung seperti usaha perbekalan, sumber energi, jasa pelabuhan, dan lainnya. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pengembangan usaha perikanan terutama yang berbasis pada penangkapan akan menjadi cikal bakal pengembangan ekonomi kawasan, karena dapat mendorong berkembangnya kegiatan pendukung baik dalam pengadaan bahan/peralatan operasi penangkapan, distribusi hasil tangkapan, maupun jasa pelabuhan. Energi terutama solar merupakan bahan utama yang dibutuhkan untuk mendukung operasi penangkapan ikan menggunakan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik. Hasil analisis intensitas energi pada Bab 4 memberi indikasi tentang pentingnya kegiatan penyediaan bahan bakar solar bagi berlangsungnya kegiatan perikanan di Kabupaten Indramayu. Setiap kg ikan yang ditangkap nelayan membutuhkan sejumlah solar dalam jumlah tertentu untuk menangkapnya. Menurut Hanna (1995), untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam, maka setiap satuan sumberdaya input yang digunakan hendaknya dapat menghasilkan sumberdaya output dengan nilai yang lebih besar dari sumberdaya input. Harga jual ikan di Kabupaten Indramayu berkisar antara Rp 14.000 – Rp 29.000 per kg. Bila nilai dihubungkan dengan intensitas energi rata-rata usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik masing-masing sekitar Rp 447,86 per kg, Rp 386,70 per kg, Rp 434,02 per kg, Rp 1281,75 per kg, Rp 923,58 per kg, dan Rp 1723,19 per kg, maka nilai sumberdaya output jauh lebih besar daripada sumberdaya input berupa solar. Dalam kaitan ini, maka dari segi intensitas energi, keenam usaha perikanan tangkap tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan di lokasi, sehingga perannya bagi pengembangan ekonomi kawasan dapat terus dilanjutkan. ekonomi Menurut Tomascik, et.al (1999), peran usaha perikanan bagi Indonesia sangat dirasakan di kawasan pesisir dan untuk mempertahankannya perlu keseimbangan dengan perkembangan sumberdaya ikan dan lingkungan sekitarnya. Usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik juga menyerap tenaga kerja yang 80 cukup besar. Setiap usaha perikanan JIH, JIT, dan payang dapat menyerap tenaga kerja 7 – 15 orang, sedangkan rawai tetap dan jaring klitik dapat menyerapkan tenaga kerja sekitar 4-8 orang dan setiap handline menyerap tenaga kerja 1 – 3 orang. Fauzi (2010) menyatakan bahwa nilai manfaat yang diberikan usaha perikanan kepada nelayan pelakunya akan menjadi jaminan penting keberlanjutan usaha perikanan tersebut di suatu kawasan perikanan. Hasil analisis intensitas tenaga kerja pada Bab 4 menjadi gambaran penting tentang manfaat yang bisa diterima oleh nelayan/tenaga kerja perikanan Kabupaten Indramayu dari setiap kg ikan yang ditangkapnya. Jaring insang tetap (JIT), payang, dan rawai tetap mempunyai intensitas tenaga kerja yang tinggi, masing-masing sekitar Rp 3085,09 per kg, Rp 3144,51 per kg, dan Rp 3211,79 per kg. Bila mengacu kepada nilai intensitas ini, maka setiap kg ikan yang ditangkap menggunakan JIH, payang, dan rawai tetap maka akan memberikan manfaat kepada nelayan/tenaga kerja perikanan yang terlibat masing-masing Rp 3085,09, Rp 3144,51, dan Rp 3211,79. Manfaat tersebut direalisasikan dalam bentuk upah/bagi hasil setelah melakukan trip operasi penangkapan. Mengacu kepada hal ini, maka kontribusi ketiga usaha perikanan tangkap ini dalam mendukung kesejahteraan nelayan sedikit lebih baik daripada tiga usaha perikanan tangkap lainnya dengan intensitas tenaga kerja yang lebih kecil. Bila nilai intensitas tenaga kerja tersebut dibandingkan dengan harga yang bisa dinikmati pemilik usaha perikanan dari setiap kg ikan yang ditangkapnya, maka intensitas tenaga kerja ini jauh lebih rendah. Terkait dengan ini, maka keberlanjutan usaha perikanan tangkap tersebut dapat dipertahankan karena membawa manfaat bagi nelayan/tenaga kerja perikanan maupun pemilik usaha perikanan. Sutisna (2007) dalam penelitiannya di Pantai Selatan Jawa menyatakan kunci keberhasilan pembangunan perikanan sangat tergantung pada dukungan masyarakat sekitar. Sementara dukungan masyarakat akan timbul bila ada manfaat ekonomi yang bisa dinikmati baik dalam kapasitas sebagai nelayan buruh maupun sebagai nelayan pemilik. Terkait dengan ini, maka pembinaan dan pengembangan sangat dibutuhkan sehingga usaha perikanan JIH, JIT, payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik 81 dapat terus memberi manfaat ekonomi bagi berbagai pihak yang terkait. Manajemen usaha perlu terus dibenahi sehingga efektif dan efisien dalam pengelolaannya, serta ikan hasil tangkapan yang dijual tetap berkualitas baik. Intensitas produksi memberi indikasi tentang kinerja manajemen usaha perikanan tersebut dalam menghasilkan ikan hasil tangkapan yang dibutuhkan pasar. Menurut Kotler (1997) menyatakan bahwa penerimaan pasar yang baik (harga jual layak) dari suatu produk menjadi ukuran penting dari keberhasilan produksi. Sedangkan Mamuaya, et. al (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keberlanjutan usaha perikanan sangat ditentukan oleh penerimaan pasar terhadap produk perikanan, kontinyuitas produk, dan nilai manfaat yang diterima pelaku perikanan. Bila melihat hasil analisis intensitas produksi pada Bab 4, maka usaha perikanan JIH, JIT, payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik mempunyai intensitas produksi yang relatif sama dan termasuk tinggi berkisar Rp 19350/kg – Rp 21392/kg). Hal ini menunjukkan bahwa kinerja keenam usaha perikanan tangkap tersebut sudah cukup baik. Perbaikan masih dapat dilakukan, sehingga harga jual tersebut selalu dapat diraih dalam setiap trip operasi penangkapan ikan yang dilakukan. Hou (1997) menyatakan bahwa bisnis yang baik harus selalu mengupayakan harga terbaik dari produk yang dihasilkannya dan hal itu akan dapat dicapai bila didukung secara penuh dalam praktek produksi yang dilakukan. Secara sepintas, intensitas produksi payang, rawai tetap, dan handline cenderung lebih tinggi daripada tiga usaha perikanan tangkap lainnya, dan hal ini memberi indikasi bahwa ketiganya mempunyai kinerja yang lebih baik. Hal ini perlu terus dipertahankan sehingga dapat mendukung secara positif pengembangan ekonomi kawasan, karena setiap satuan hasil tangkapan yang diperdagangkan akan memberikan dampak ekonomi baik masyarakat pelakunya maupun bagi daerah dalam bentuk retribusi, pajak perawatan muara, dan lainnya. Fauzi (2005) menyatakan bahwa sebagian dari manfaat ekonomi yang diterima usaha bisnis harus disisihkan untuk pemeliharaan sumberdaya dan lingkungan. Retribusi dan pajak pengelolaan sumberdaya diarahkan untuk maksud ini sehingga perlu didukung dan dikelola secara transparan. 82 Intensitas biaya memberi gambaran tentang perimbangan keseluruhan biaya yang digunakan dengan output berupa ikan hasil tangkapan selama menjalankan usaha perikanan tangkap. Handline merupakan usaha perikanan tangkap intensitas biaya rata-rata terendah yang mencapai Rp 2430,85 per kg. Hal ini memberi indikasi bahwa dalam pengusahaan handline terjadi penghematan signifikan. Menurut Hanley dan Spash (1993), penggunaan biaya yang rendah dapat meningkatkan nilai manfaat suatu produk kepada pelakunya. Hal ini karena untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sama dengan usaha perikanan tangkap lainnya, handline mengeluarkan biaya yang lebih rendah. Berkurangnya biaya operasi suatu usaha perikanan tangkap terjadi karena ada penghematan dalam penggunaan berbagai kebutuhan operasi. Bila melihat lebih jauh, kapal handline yang berukuran relatif kecil di Kabupaten Indramayu dapat dioperasikan secara manual dengan dayung (tanpa mesin dan bahan bakar). Hal ini tentu lebih baik karena keuntungan/bagi hasil bagi nelayan pelaku menjadi lebih banyak. Bila dapat dilakukan secara konsisten, maka keberlanjutan usaha perikanan tangkap tersebut di Kabupaten Indramayu dapat lebih terjaga, begitu juga perannya bagi kesejahteraan nelayan dan ekonomi kawasan. Hermawan (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keberlanjutan usaha perikanan tidak lepas dari tingkat pemanfaatan usaha bagi rumah tangga nelayan (RTN). Usaha perikanan tangkap yang memberikan penghematan dalam biaya, handal dalam penangkapan ikan, serta memberi manfaat banyak pada masyarakat sekitar akan selalu dilindungi dan dipertahankan keberlanjutan. Usaha perikanan JIH, JIT, payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik melibatkan banyak nelayan lokal (sekitar 90 %) dan mempunyai rate of return yang baik (> bunga bank), sehingga layak dikembangkan di masa datang. 5.2.3. Arahan Pengembangan Usaha Perikanan Menurut Interaksi Variabel Ekonomi Terkait Pada Bab 4 diilustrasikan pola interaksi variabel intensitas energi (Ei), intensitas tenaga kerja (Li), intensitas produksi (Pi), dan intensitas biaya (Ci) dalam mendukung produksi ikan oleh usaha perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. Untuk usaha prikanan JIH misalnya diilustrasikan dengan rumus 83 YJIH= 16812,565-2,095EiJIH-1,210LiJIH+0,016PiJIH-0,554CiJIH. Berdasarkan ilustrasi tersebut, peningkatan jumlah energi yang digunakan (EiJIH), upaha tenaga kerja (LiJIH), dan biaya produksi (CiJIH) tidak dapat meningkatkan produksi ikan dalam operasi usaha perikanan JIH, namun justru sebaliknya. Hal ini bisa jadi karena penggunaan energi dan biaya lainnya dapat meningkat bila nelayan kesulitan mendapatkan hasil tangkapan yang memadai. Konidis tersebut umumnya terjadi pada musim paceklik, dimana nelayan terkadang lebih sibuk mencari fishing ground yang tepat daripada melakukan operasional penangkapan (setting). Menurut Mamuaya, et. al (2006), pencarian fishing ground bisa memakan waktu lama dan berada ditempat jauh pada bulanbulan tertentu, dan bila hal ini berlanjut dapat menambah biaya solar (energi), upah (karena lebih lama melaut), dan biaya operasianl lainnya. Terkait dengan ini, maka dalam operasional JIH di Kabupaten Indramayu perlu memperhatikan pola tersebut. Sebaiknya tidak memaksa melakukan kegiatan penangkapan bila pada bulan-bulan tertentu diindikasi hasil tangkapan sulit didapat karena dapat menyebabkan pemborosan dalam operasional penangkapan ikan. Peningkatan nilai jual hasil tangkapan ikan oleh JIH (PiJIH) cenderung memacu peningkatan produksi ikan, dimana setiap harga naik Rp 16 dapat memacu peningkatan produksi ikan sebesar 1 ton. Sudarsono (1986) menyatakan bahwa dalam aplikasi teknis perdagangan, harga jual selalu menjadi pelecut peningkatan produksi, karena setiap peningkatan harga jual/nilai produk akan langsung menjadi tambahan keuntungan dalam pemasaran produk tersebut. Hal ini perlu menjadi perhatian, untuk pengembangan usaha perikanan JIH yang umumnya dilakukan dalam skala besar, sehingga manfaatnya lebih terasa bagi nelayan dan masyarakat sekitar. Pola interaksi variabel intensitas energi JIT (EiJIT), intensitas tenaga kerja JIT (LiJIT), intensitas produksi JIT (PiJIT), dan intensitas biaya JIT (CiJIT) dalam mendukung produksi ikan oleh usaha perikanan JIT yang diilustrasikan dengan rumus YJIT = 10226,986-3,265EiJIT+0,270LiJIT-0,022PiJIH-0,438CiJIT, juga memberikan gambaran variabel yang mendukung secara positif dan negatif. Penambahan upah tenaga kerja cenderung mendukung secara positif peningkatan produksi ikan pada usaha perikanan JIT. Menurut Fauzi (2004), apresiasi yang tinggi terhadap tenaga kerja dapat meningkatkan kinerja dan loyalitas mereka 84 dalam berusaha. Pengaruh apresiasi dalam bentuk penambahan upah atau bonus tersebut terkadang tidak bisa diprediksi, pada kondisi tertentu dapat membawa dampak pantastis dan pada kondisi lainnya bisa sangat kecil dan bahkan tidak ada. Berdasarkan ilustrasi rumus tersebut, penambahan energi, intensitas produksi, dan pembiayaan tidak berbanding lurus dengan jumlah produksi JIT. Hal ini bisa jadi penambahan pembiayaan tersebut lebih untuk menormalkan kondisi produksi pada kondisi sulit, daripada untuk meningkatkan kinerja poduksi yang ada. Nikijuluw (2002) menyatakan perhitungan bisnis perikanan hendaknya perlu dilakukan secara matang sehingga tidak ada pembengkakan biaya di kemudian hari. Hal ini penting supaya usaha perikanan tersebut dapat dikelola secara berkelanjutan hingga masa mendatang. Pengaruh upah tenaga kerja pada usaha perikanan payang juga positif bagi peningkatan produksi, seperti diilustrasikan pada rumus YPy = 15191,6410,724EiPy+0,199LiPy-0,113PiPy-0,619CiPy. Berdasarkan ilustrasi ini, setiap peningkatan Rp 199 upah tenaga kerja dapat meningkatkan jumlah produksi sekitar 1 ton. Sedangkan pengaruh penambahan solar dan biaya lainnya dalam operasi penangkapan ikan menggunakan payang ini cenderung tidak bisa membantu peningkatan jumlah produksi. Hal ini karena bahan operasional dan pembiayaan tersebut ditambah lebih karena kesulitan hasil tangkapan yang didapat nelayan dan bukan perbaikan kinerja sudah terbentuk. Menurut Pearce dan Robinson (1997), kinerja merupakan cerminan dari budaya kerja suatu kegiatan bisnis, yang bila sudah terbentuk dan diikuti bersama sulit untuk dirubah kembali. Dalam operasional usaha perikanan rawai tetap, peningkatan upah/intensitas tenaga kerja (LiRT) dan peningkatan harga jual/intensitas produksi (PiRT) cenderung memacu peningkatan jumlah produksi ikan di Kabupaten Indramayu. Nilai positif untuk koefisien LiRT dan PiRT pada rumus YRT = 1127,835 - 0,154EiRT + 0,016LiRT + 0,011PiRT - 0,045CiRT (Bab 4) mengindikasikan hal ini. Hal ini bisa jadi karena rawai tetap biasanya diusahakan dalam skala menengah ke bawah, dimana apresiasi yang tinggi kepada tenaga kerja dan harga jual yang positif sangat mudah meningkatkan motivasi tenaga kerja/ABK yang rata-rata hanya 6 orang per unit rawai tetap. Menurut Hermawan (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ABK usaha perikanan tangkap 85 skala kecil umumnya lebih kompak daripada usaha perikanan berskala industri. Hal ini karena mereka umumnya berasal dari kerabat dan saling mengenal dengan baik satu sama lain. Terkait dengan ini, maka apresiasi dalam bentuk tambahan upah, bonus atau lembur perlu diperhatikan dengan baik pada usaha rawai tetap ini, dan operasi penangkapan perlu dioptimalkan pada saat harga jual baik. Penambahan biaya produksi pada usaha perikanan handline cenderung meningkatkan kinerja usaha (jumlah produksi ikan meningkat), sedangkan pada usaha perikanan jaring klitik dampak positif tersebut tidak terjadi. Bila melihat lebih jauh, peningkatan biaya produksi pada handline cenderung terjadi penambahan atau peningkatan kualitas umpan, sedangkan yang lainnya tidak banyak berubah. Bila demikian, maka peningkatan jumlah produksi ikan cukup wajar terjadi karena umpan yang digunakan lebih baik. Hal ini perlu menjadi perhatian penting dalam operasional usaha perikanan tangkap yang menggunakan umpan. Sedangkan pada usaha perikanan jaring klitik, umpan tidak digunakan sehingga peningkatan biaya dapat terjadi bila ada penambahan bahan bakar (solar), perbekalan dan lainnya. Sedangkan penambahan solar jaring klitik (EiJK) juga tidak membawa dampak baik pada peningkatan jumlah produksi (YJK), seperti ditunjukkan pada rumus YJK = 185,663-0,013EiJK-0,007LiJK-0,002CiJK. Hal ini memberi indikasi bahwa penambahan biaya dalam operasi penangkapan ikan pada jaring klitik tidak di Kabupaten Indramayu belum menyentuh secara langsung pada kegiatan teknis penangkapan ikan. Monintja (2001) menyatakan bahwa aspek teknis seperti umpan, alat tangkap, dan alat bantu penangkapan (GIS, fish finder, dan lainnya) harus dipersiapkan setiap teras kehandalannya dalam operasi penangkapan ikan . Terkait dengan ini, maka aspek teknis yang berpengaruh langsung pada kegiatan penangkapan perlu menjadi perhatian dan dipersiapkan secara serius, terutama pada usaha perikanan skala kecil yang terbatas/sederhana peralatannnya. 86 5.3. Strategi Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan 5.3.1 Prioritas Strategi Pengembangan Berdasarkan hasil analisis Bab 4, strategi perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) mempunyai rasio kepentingan paling tinggi dibandingkan empat opsi alternatif strategi pengembangan lainnya, yaitu mencapai 0,255. inconsistency Hasil analisis ini dapat dipercaya karena mempunyai sekitar 0,05, dipercaya/diperbolehkan < 0,1. sedangkan batas inconsistency yang Hal ini dapat dipahami karena, karena pengelolaan usaha perikanan di lokasi Kabupaten Indramayu belum dilaksanakan dengan baik, meskipun hasil tangkapan ikan umumnya memuaskan. Menurut DPK Kabupaten Indramayu (2010), sebagian nelayan belum tertib dalam administrasi kerja terutama terkait dengan siklus keuangan, dimana banyak penggunaan uang diluar keperluan melaut yang tidak dicatat sehingga sering membebani keuangan terutama bila berangkat melaut. Disamping itu, serah terima barang (bahan perbekalan maupun hasil tangkapan) sering tidak dikontrol sehingga memberi peluang untuk terjadinya kecurangan oleh petugas yang tidak bertanggung jawab. Terkait dengan ini dan berdasarkan hasil analisis AHP, maka opsi strategi perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) menjadi strategi prioritas pertama untuk pengembangan ekonomi berkelanjutan berbasis usaha perikanan di Kabupaten Indramayu. Strategi pembinaan SDM perikanan (BINASDM) menjadi strategi prioritas kedua karena mempunyai rasio kepentingan tertinggi (RK = 0,230) pada inconsistensy terpercaya 0,05. Setiawan (2007) dalam penelitian menhyatakan bahwa pengembangan sumberdaya manusia (SDM) perlu menjadi menjadi perhatian penting untuk keberlanjutan usaha perikanan. Keberhasilan usaha perikanan yang berskala kecil sangat tergantung pada kemampuan nelayan pemilik dalam menentukan fishing ground dan pengelolaan keuangan usaha. Sedangkan menurut Muslich (1993), pengembangan usaha ekonomi menempatkan jenis usaha dan keahlian manusia sebagai penggerak utama usaha ekonomi dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif. Pengembangan 87 kerjasama pemodalan merupakan strategi ekonomi yang tepat untuk membantu pembiayaan usaha perikanan skala kecil di Kabupaten Indramayu, seperti handline dan jaring klitik. Strategi kerjasama ini menjadi strategi prioritas ketiga dalam mendukung pengembangan ekonomi berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Strategi ini mempunyai rasio kepentingan 0,193 pada inconsistensy terpercaya 0,05. Menurut Nikijuluw (2002), pengembangan kerjasama diantara usaha ekonomi yang saling bergantung bahan baku, usaha perikanan dengan perbankan, dan pengusaha besar dengan nelayan kecil sangat dibutuhkan pada resim pengelolaan yang cenderung berpihak kepada pelaku ekonomi besar. Strategi pengembangan kerjasama pemodalan dapat disinkronkan dengan strategi pengembangan usaha perikanan skala kecil (prioritas keempat). Hal ini karena usaha perikanan kecil tidak terlalu banyak berkembang di lokasi, dimana perhatian dan bantuan lebih banyak diberikan kepada usaha perikanan skala besar seperti jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), dan payang. Kerjasama pemodalan diharapkan dapat membantu pelaku perikanan skala kecil sehingga lebih eksis dan dapat mendukung secara maksimal pembangunan perikanan di lokasi. Hasil analisis Bab 4 disebutkan bahwa usaha perikanan skala kecil di Kabupaten Indramayu mempunyai tingkat pengembalian (rate of return) yang baik, misalnya seperti rawai tetap sekitar 58,52 %, handline sekitar 66,74 %, dan jaring klitik 43,53 %. Terkait dengan ini, maka pengembangan usaha perikanan skala kecil layak dilakukan termasuk dengan melakukan kerjasama pemodalan. Pengembangan usaha pendukung perikanan merupakan strategi prioritas kelima (RK = 0,135 pada inconsistency terpercaya 0,05) untuk mendukung pengembangan ekonomi berkelanjutan berbasis usaha perikanan di Kabupaten Indramayu. Pengembangan usaha pendukung perikanan menjadi prioritas terakhir bisa jadi karena selama ini di lokasi telah banyak berkembang usaha pendukung seperti koperasi, SPBU, pabrik es, dan kios penyediaan perbekalan. menurut DPK Kabupaten Indramayu (2010), penyediaan es balok, bahan bakar, dan perbekalan tidak mengalami kesulitan di Kabupaten Indramayu karena semuanya dikordinir oleh Koperasi Nelayan Karangsong. 88 5.3.2 Sensitivitas Strategi Prioritas Diantara berbagai strategi pengembangan yang ada, strategi prioritas pertama akan menjadi strategi terpilih atau diandalkan pertama kali untuk mendukung tujuan pengembangan yang ditetapkan. Terkait dengan pengembangan ekonomi berkelanjutan berbasis usaha perikanan di Kabupaten Indramayu, maka strategi perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) tentu menjadi pilihan. Dalam mendukung aplikasinya secara nyata di lokasi, maka strategi perbaikan manajemen usaha perikanan perlu diketahui sensitivistasnya. Informasi tentang sensitifitas ini tidak hanya penting untuk mengetahui keunggulan perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) sebagai strategi prioritas, tetapi juga penting untuk membuat langkah antisipasi pengelolaan akibat berbagai perubahan yang ada di lokasi. Informasi tersebut dapat menjadi panduan untuk implementasi berbagai program terkait pengembangan ekonomi berkelanjutan berbasis usaha perikanan di Kabupaten Indramayu maupun lokasi lainnya. Di alam nyata, berbagai perubahan dapat terjadi akibat adanya intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengembangkan suatu aspek pengelolaan tertentu yang menurutnya dianggap lebih baik/lebih menguntungkan. Strategi perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) harus dapat mensiasati berbagai perubahan tersebut sehingga tetap merupakan strategi terbaik dan terandalkan bagi pengembangan ekonomi berkelanjutan di pesisir Kabupaten Indramayu. Pada Tabel 5.1 disajikan tingkat sensitivitas strategi perbaikan manajemen usaha perikanan (strategi prioritas) untuk mensiasati berbagai intervensi kepentingan stakeholders/pihak terkait dalam bentuk pemberian perhatian pada pengembangan aspek/kriteria pengelolaan tertentu. 89 Tabel 5.1. Sensitivitas strategi prioritas No. 1 2 3 Kriteria/Aspek Pengembangan Sumberdaya dan lingkungan yang baik Teknis operasi perikanan baik Ekonomi dan sosial baik Rasio Kepentingan (RK) Awal 0,413 Sensitivitas Range RK Range RK Stabil Sensitif 0–1 Tidak Ada 0,260 0–1 Tidak Ada 0,327 0 – 0,826 0,826– 1 Berdasarkan Tabel 5.1 tersebut, range RK stabil strategi perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) terhadap intervensi kepentingan untuk pengembangan kondisi sumberdaya dan lingkungan yang lebih baik berada pada kisaran 0 – 1. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun aspek sumberdaya dan lingkungan tidak diperhatikan sama sekali (RK = 0) dalam pengelolaan usaha perikanan di Kabupaten Indramayu, maupun menjadi satu-satunya aspek pengelolaan yang dikembangkan, tidak akan merubah pilihan perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) sebagai strategi prioritasnya. Hendriwan et. al (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sumberdaya ikan merupakan penyebab utama kegiatan perikanan tangkap di Teluk Lampung, sehingga bila perhatian diberikan sepenuhnya kepada pengembangan sumberdaya ikan dan lingkungan perairan, maka semua stakhokders perikanan mendukung. Terkait hal ini, maka cukup wajar bila perhatian terhadap pengembangan sumberdaya ikan dan lingkungan perairan diberikan secara maksimal di Kabupaten Indramayu, karena perannya yang besar dalam mendukung kegiatan ekonomi berbasis perikanan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, program perikanan belum terkait langsung dengan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan (RK = 0), namun ikan masih bisa didapatkan di perairan Kabupaten Indramayu. Hal yang sama juga untuk aspek teknis operasi perikanan. Ada tidaknya program pengembangan untuk menjadikan ukuran kapal standar, transfer teknologi, dan metode operasi efektif dalam pengelolaan perikanan Kabupaten Indramayu, tidak akan menyebabkan perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) tergantikan oleh strategi lainnya. Hal ini karena manajemen usaha 90 penting untuk mengatur siklus keuangan pada usaha perikanan terutama yang berskala besar sehingga terjadi perimbangan antara pengeluaran dengan pendapatan. Setiawan, et.al (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa usaha perikanan skala kecil yang masih sederhana alat tangkap dan metode operasinya juga membutuhkan manajemen usaha yang baik untuk tetap eksis dan memberikan manfaat maksimal kepada nelayan pelakuknya. Strategi perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) hanya sensitif terhadap aspek ekonomi dan sosial. Bila perhatian terhadap aspek ekonomi dan sosial saat ini (RK awal = 0,327) ditingkatkan sehingga lebih dari 82,6 % (RK > 0,826), maka strategi perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) tidak efektif lagi untuk mengembangkan ekonomi Kabupaten Indramayu dengan berbasis pada operasional usaha perikanan tangkap yang ada. Tetapi strategi tersebut akan digantikan oleh strategi pembinaan SDM perikanan. Perhatian berlebih terhadap aspek sosial dan ekonomi tersebut dapat berupa pengelolaan usaha hanya difokuskan pada pencapaian keuntungan tinggi, semua kebutuhan keluarga nelayan ingin dipenuhi dari usaha perikanan tangkap, sehingga semua upaya ditempuh (termasuk yang merusak lingkungan dan habitat ikan) untuk mendapatkan hasil tangkapan banyak dan menguntungkan. Pada kondisi ini perbaikan manajemen usaha bukan menjadi prioritas lagi, tetapi pembinaan SDM lebih dibutuhkan untuk mengontrol perilaku pengelolaan tersebut. Hasil analisis sensitivitas ini memberi arahan untuk implementasi strategi prioritas (perbaikan manajemen usaha perikanan) dan pada kondisi mana harus digantikan oleh strategi lainnya, sehingga pengembangan ekonomi berbasis usaha perikanan dapat berkelanjutan. 91