Economic Analysis Of Sustainable Management Of

advertisement
5 PEMBAHASAN
5.1 Pengelolaan Kapasitas Stok dan Potensi Ekonomi Lestari Sumberdaya
Ikan
5.1.1 Pengelolaan Kapasitas Stok Lestari Sumberdaya Ikan
Pada Bab 4 telah dijelaskan bahwa ikan manyung, tenggiri, peperek,
kembung, dan tongkol merupakan hasil tangkapan utama (85,6 %) nelayan di
Kabupaten Indramayu. Selama ini, hasil tangkapan utama ini menjadi pemasok
penting ikan segar untuk pasar, swalayan, dan industri pengolahan hasil perikanan
yang terdapat di Kabupaten Indramayu dan daerah lainnya di Propinsi Jawa Barat
dan DKI Jakarta, dan bahkan untuk tujuan ekspor. Menurut DPK Kabupaten
Indramayu (2010b), di samping pasar ikan segar, ikan hasil tangkapan nelayan di
Kabupaten Indramayu menjadi penyuplai penting bahan baku industri yang
terdapat di Karawang, Bekasi, dan Jakarta Utara, dimana pengirimannya
dilakukan setiap hari. Produksi perikanan laut di Kabupaten Indramayu termasuk
stabil dan pada tahun 2009 mencapai 108.554,6 ton dengan nilai sekitar Rp
1.383.687.650.000.
Mengingat pentingnya peran hasil perikanan laut dari Kabupaten
Indramayu ini, maka sumberdaya ikan yang terutama dari jenis hasil tangkapan
utama nelayan ini perlu dilestarikan.
Menurut DKP (2004), pelestarian stok
sumberdaya ikan menjadi bagian penting dari rencana strategis perikanan nasional
yang harus diimplementasikan pada semua zona pengelolaan perikanan Indonesia.
Kapasitas stok lestari (MSY) menjadi acuan penting dari setiap operasi
penangkapan ikan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan Indonesia, dimana
pemanfaatan yang dilakukan tidak boleh melebihi kapasitas stok lestari yang ada.
Pada Bab 4 telah dijelaskan bahwa kapasitas stok lestari (MSY)
sumberdaya ikan manyung, tenggiri, peperek, kembung, dan kakap di perairan
yang menjadi fishing ground nelayan di Kabupaten Indramayu masing-masing
mencapai 1291,37 ton per tahun, 1120,70 ton per tahun, 4227,93 ton per tahun,
1135,76 ton per tahun, dan 5343,58 ton per tahun. Kapasitas stok lestari ini perlu
patokan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Indramayu, karena
72
pada kondisi ini sumberdaya ikan tersebut memberi manfaat maksimal bagi
nelayan dan masyarakat pesisir, serta kelestarian tetap terjaga. Musick, et. al
(2008) menyatakan pemanfaatan sumberdaya ikan yang bersesuaian dengan
kapasitas stok lestari dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan di masa
mendatang. Hal ini karena pada kondisi ini tingkat pemanfaatan sumberdaya tidak
melebihi laju perkembangan sumberdaya ikan dan habitatnya.
Namun bila kapasitas stok sumberdaya ikan tersebut dibandingkan dengan
jumlah produksi ikan aktual di Kabupaten Indramayu, maka pemanfaatan
sumberdaya ikan tenggiri dan kembung sudah melebihi kapasitas stok lestarinya,
sedangkan pemanfaatan ikan manyung, peperek, dan tongkol masih di bawah
kapasitas stok lestarinya.
Hasil pada Bab 4 menunjukkan bahwa tingkat
pemanfaatan ikan tenggiri dan kembung di atas 100 %, yaitu masing-masing
122,72 % dan 139,64 %. Sedangkan tingkat pemanfaatan ikan manyung, peperek,
dan tongkol masing-masing 70,32 %, 66,39 %, dan 48,01 %.
Fauzi (2010)
menyatakan bahwa tingkat pemanfaatan yang belum mencapai 100 % kapasitas
stok lestari (MSY) dapat memberi manfaat ekonomi yang berarti masyarakat
pesisir tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya ikan itu sendiri.
Terkait
dengan ini, kapasitas stok lestari sumberdaya ikan harus dikelola dan dijaga
dengan baik, sehingga sumberdaya ikan yang menjadi sumberdaya mata
pencaharian utama nelayan dan masyarakat pesisir Kabupaten Indramayu terus
terpelihara.
Pengelolaan kapasitas stok lestari sumberdaya ikan ini dapat dilakukan
dengan mengatur jumlah upaya penangkapan ikan sehingga tidak melebihi upaya
penangkapan yang optimal dan wajar bagi berkembangnya sumberdaya ikan
tersebut kembali. Pada Bab 4 dijelaskan bahwa upaya penangkapan optimal
(Emsy) untuk sumberdaya ikan manyung, tenggiri, peperek, kembung, dan
tongkol di Kabupaten Indramayu masing-masing 4683 trip per tahun, 3202 trip
per tahun, 3232 trip per tahun, 11402 trip per tahun, dan 4026 trip per tahun.
Upaya penangkapan optimal ini harus menjadi acuan dalam mengatur jumlah trip
operasi penangkapan oleh kapal/usaha perikanan tangkap yang dapat menangkap
kelima jenis hasil tangkapan utama tersebut. Dalam aplikasinya pengaturan ini
dapat dilakukan melalui penertiban pengurusan izin melaut, penertiban zona
73
penangkapan untuk setiap jenis/ukuran kapal, dan pengawasan dalam bongkar
muat di pelabuhan (PPI Karangsong). Hamdan et.al (2006) menyatakan bahwa
perizinan, zonasi, dan bongkar-muat lebih mudah diawasi di Kabupaten
Indramayu karena selain aktivitas perikanan tangkap tersentralisasi di PPI
Karangsong, juga karena administrasi pelabuhan dan syah bandar yang baik di
lokasi.
Pengelolaan kapasitas stok lestari (MSY) sumberdaya ikan ini menjadi hal
yang mutlak dilakukan untuk menjamin keberlanjutan usaha perikanan yang
menjadi penopang ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir, terutama untuk ikan
tenggiri dan kembung yang sudah mengalami kelebihan tangkap.
Usaha
perikanan yang bisa menangkap kedua jenis sumberdaya ikan ini hendaknya
mengalihkan operasi penangkapannya pada ikan ekonomi penting lain yang masih
berpeluang ditingkatkan pemanfaatannya, seperti ikan manyung, peperek, tongkol,
dan lainnya. Fauzi (2004) menyatakan dalam konteks ekonomi berkelanjutan,
sumberdaya alam dengan cadangan melimpah dapat ditingkatkan pemanfaatan,
sedangkan sumberdaya alam dengan cadangan yang semakin menipis perlu
dikonservasi kembali. Bila hal ini dapat dilakukan secara konsisten, kapasitas stok
lestari sumberdaya ikan di Kabupaten Indramayu dapat terjaga dengan baik.
Hal ini mutlak dilakukan, karena bila melihat hasil regresi terhadap CPUE
dan effort selama kurun waktu lima belas tahun terakhir (1996 – 2010), maka
pengaruh peningkatan effort (upaya penangkapan) cenderung negatif terhadap
CPUE. Hal ini ditandai oleh nilai independent (b) dalam regresi yang negatif
untuk kelima jenis sumberdaya ikan tersebut. Mustaruddin (2009) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa kecenderungan menurun hasil tangkapan yang
didapat nelayan Indramayu dalam setiap trip operasi penangkapan yang
dilakukannya menjadi titik lemah pengelolaan perikanan dalam skala industri di
Kabupaten Indramayu. Hal ini tidak hanya mengurangi minat investor untuk
berinvestasi di bidang perikanan tetapi juga menjadi penghambat kesejahteraan
nelayan dan optimisme pengelolaan perikanan di Kabupaten Indramayu. Terkait
dengan ini, maka kapasitas stok lestari kelima sumberdaya ikan ekonomi penting
tersebut perlu dijaga dengan baik. Pemerintah melalui unit pelaksana teknis (UPT)
74
perlu mengatur operasi penangkapan ikan yang ada, dan secara berkala memberi
penyuluhan/pembinaann akan pentingnya kelestarian stok sumberdaya ikan.
5.1.2 Pengelolaan Potensi Ekonomi Lestari Sumberdaya Ikan
Hasil tangkapan utama nelayan di Kabupaten Indramayu, seperti ikan
manyung, tenggiri, peperek, kembung, dan tongkol mempunyai potensi ekonomi
yang sangat besar. Potensi ekonomi tersebut memberi ruang untuk pemanfaatan
sumberdaya ikan tersebut. Hasil analisis kapasitas stok yang dijelaskan pada
bagian sebelumnya memberi arahan tentang jumlah ikan yang dapat dimanfaatkan
secara maksimum, tanpa mengganggu kelestarian kelima sumberdaya ikan
tersebut. Konversi kapasitas stok lestari ke dalam nilai uang memberi informasi
tentang potensi ekonomi lestari sumberdaya ikan tersebut. Pada Bab 4 dijelaskan
bahwa potensi ekonomi lestari (MEY) sumberdaya ikan manyung di Kabupaten
Indramayu mencapai 16.471.401.174 per tahun.
Potensi ekonomi lestari ini
sangat besar dan dapat dioptimalkan pemanfaatannya. Sparre dan Venema (1999)
menyatakan bahwa optimalisasi pemanfaatan potensi ekonomi lestari sumberdaya
ikan dapat dilakukan selama pemanfaatan yang ada saat ini tidak melebihi
kapasitas stok lestari yang ada dan ini diindikasi oleh upaya penangkapan aktual
yang masih rendah.
Upaya penangkapan aktual (Eaktual) sumberdaya ikan manyung di
Kabupaten Indramayu sekitar 1569 trip per tahun, sedangkan upaya penangkapan
ekonomi optimal (Emey) sekitar 4738 trip per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
upaya penangkapan yang ada saat ini masih bisa ditingkatkan. Terkait dengan ini,
maka usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT),
payang, dan rawai tetap dapat dikembangkan lebih lanjut untuk tujuan
penangkapan berupa ikan manyung. Namun demikian, pengembangan tersebut
perlu dilakukan secara terkendali sehingga tidak terjadi kelebihan upaya tangkap
dan biaya produksi tinggi yang menyebabkan TR = TC (kondisi OA, keuntungan
0). Wilson, et. al (2002) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan
potensial dapat dilakukan dengan memobilisasi secara tepat/terkendali usaha
perikanan yang sesuai dan hal ini harus didukung secara integratif oleh semua
75
komponen perikanan terkait.
Partisipasi dan dukungan yang positif dari
komponen/stakeholders perikanan harus diberikan sehingga pengelolaan tersebut
bisa memberi manfaat maksimal bagi nelayan dan masyarakat pesisir secara
keseluruhan di Kabupaten Indramayu.
Untuk sumberdaya ikan tenggiri dan peperek, masing-masing mempunyai
potensi ekonomi lestari (MEY) sekitar Rp 31.745.619.591 per tahun dan Rp
54.907.433.923 per tahun. Potensi ekonomi lestari kedua jenis ikan termasuk
besar, namun untuk ikan tenggiri sudah terjadi kelebihan tangkap. Hasil analisis
sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri
di Kabupaten Indramayu ini mencapai 122,72 %, terjadi kelebihan tangkap sekitar
22,72 % dari potensi lestari yang ada. Hal ini juga ditunjukkan oleh upaya
penangkapan aktual ikan tenggiri (Eaktual = 5998,06 trip per tahun) yang lebih
tinggi daripada upaya penangkapan ekonomi optimal (Emey = 3125 trip per
tahun). Oleh karena itu, operasi penangkapan ikan tenggiri perlu dikurangi di
perairan Kabupaten Indramayu. Hal ini merupakan tindakan pengelolaan yang
perlu diambil untuk kapasitas stok sumberdaya ikan tenggiri tetap lestari di
perairan Kabupaten Indramayu dan juga dapat memberi manfaat ekonomi yang
berkelanjutan bagi generasi mendatang. Tomascik, et. al (1997) menyatakan
bahwa kegiatan pengelolaan tidak hanya dimaksudkan untuk mengatur dan
memanfaatkan suatu sumberdaya tetapi juga merupakan kegiatan pengendalian
dan pencegahan sehingga terjadi keseimbangan ekologis pada sumberdaya
tersebut dan lingkungan sekitarnya.
Untuk sumberdaya ikan peperek karena tingkat pemanfaatannya baru
mencapai 66,39 %, maka dapat ditingkatkan mendekati potensi ekonomi lestari
yang ada. Terkait dengan ini, maka jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap
(JIT), dan payang dapat dikembangkan lagi dengan fokus utama pada
penangkapan
sumberdaya
ikan
peperek
tersebut.
Namun
demikian,
pengembangan ini juga harus ada kelanyakan pengembangan usaha perikanan
tangkap tersebut ekonomi. Bagian 5.3 akan membahas kelayakan pengembangan
setiap usaha perikanan yang digunakan dalam pemanfaatan kelima jenis
sumberdaya ikan potensial yang ada. Bila melihat upaya penangkapannya, maka
upaya penangkapan aktual ikan peperek (Eaktual = 845,04 trip per tahun) masih
76
jauh lebih rendah daripada upaya penangkapan ekonomi optimalnya (Emey =
3177 trip per tahun) sehingga sangat berpeluang untuk dikembangkan.
Dibandingkan dengan lima sumberdaya ikan lainnya, potensi ekonomi
lestari (MEY) ikan kembung termasuk paling kecil, yaitu sekitar Rp
9.911.840.550 per tahun. Upaya penangkapan ekonomi optimal (Emey) ikan
kembung ini mencapai 11820 trip per tahun, sedangkan upaya penangkapan
aktualnya (Eaktual) mencapai 11830,73 trip per tahun. Terkait dengan ini, maka
upaya penangkapan ikan kembung sudah melebihi upaya penangkapan maksimum
yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Hal ini juga
ditunjukkan oleh tingkat pemanfaatannya yang sudah mencapai 139,64 % dari
kapasitas stok lestari yang ada. Sedangkan Mamuaya, et. al (2007) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa pemanfaatan yang melebihi daya dukung akan
sangat cepat menyebabkan kelangkaan sumberdaya ikan dan memerlukan waktu
puluhan tahun.
Bila upaya penangkapan tersebut terus ditingkatkan, maka bukan tidak
mungkin upaya penangkapan mendekati Eoa (14150 trip per tahun), sehingga
menyebabkan usaha perikanan tidak memperoleh keuntungan dari operasi
penangkapan ikan kembung yang dilakukannya (TR = TC). Terkait dengan ini,
maka operasi penangkapan ikan kembung menggunakan jaring insang hanyut
(JIH), jaring insang tetap (JIT), dan jaring klitik (JK) sebaiknya dikurangi dan
penangkapan dialihkan kepada sasaran yang potensial lainnya, misalnya ikan
manyung, peperek, dan tongkol. Fauzi (2010) menyatakan bahwa kondisi dimana
penerimaan total (total revenue/TR) menurun akibat upaya penangkapan yang
berlebihan sehingga mendekati biaya operasional penangkapan total (total
cost/TC) akan memberi dampak yang kurang baik pengelolaan perikanan, dimana
pendapatan nelayan menurun, terjadi perebutan fishing ground, daya beli turun,
harga beli tidak stabil, dan lainnya.
Potensi ekonomi lestari (MEY) ikan tongkol di perairan Kabupaten
Indramayu mencapai Rp 42.547.409.047 per tahun. Potensi ekonomi ini termasuk
besar dan bila melihat tingkat pemanfaatannya (baru sekitar 48,01 %), maka
sangat terbuka peluang untuk pengembangannya. Suman, et.al (1993) menyatakan
bahwa pemanfaatan sumberdaya dapat ditingkatkan hingga mendekati potensi
77
lestariya, dan bila hal ini dilakukan secara konsisten, maka dapat menjamin
keberlanjutan pemanfaatan ekonomi sumberdaya ikan tersebut di masa
mendatang. Terkait dengan ini, maka pengaturan dan pengawasan pemanfaatan
oleh usaha jaring insang hanyut (JIH), jaring klitik (JK), rawai tetap, dan handline
perlu dilakukan secara serius oleh nelayan, aparat terkait, dan masyarakat. Oleh
karena di Kabupaten Indramayu, usaha perikanan ini umumnya terpusat di PPI
Karangsong, maka pengaturan dan pengawasan tersebut lebih mudah dilakukan.
Untuk memberi manfaat ekonomi yang memadai bagi nelayan pelakunya, maka
disamping dari jenis ikan potensial yang ditangkap, usaha perikanan tangkap
harus layak secara finansial untuk dilakukan. Bagian berikut akan menjelaskan
hal ini, sehingga terjadi keberlanjutan ekonomi berbasis usaha perikanan di
Kabupaten Indramayu.
5.2 Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap
5.2.1 Kelayakan Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap
Usaha perikanan tangkap dapat dijamin keberlanjutannya, bila usaha
perikanan tangkap layak secara finansial terutama dalam memberi manfaat bagi
nelayan pelakunya.
Munasinghe (1993) menyatakan bahwa pembangunan
berkelanjutan dapat terjadi bila kegiatan pembangunan tersebut terasa manfaatnya
bagi kemakmuran masyarakat. Kemakmuran merupakan kondisi dimana daya
beli meningkat dan masyarakat mempunyai kemudahan dalam memenuhi
berbagai kebutuhan dasar dalam hidupnya. Usaha perikanan tangkap bisa
dirasakan manfaatnya secara nyata bila menghasilkan keuntungan yang cukup dan
dapat menunjang kehidupan nelayan pelakunya.
Hasil analisis pada Bab 4 menempatkan jaring insang hanyut (JIH) sebagai
usaha perikanan tangkap dengan keuntungan/rente ekonomi tertinggi setiap
tahunnya, yaitu mencapai Rp 1.029.134.326. Bila diperbandingkan modal usaha
yang dikeluarkan, maka usaha perikanan JIH menghasilkan tingkat pengembalian
(rate of return) investasi sekitar 42,01 %. Tingkat pengembalian investasi tersebut
sangat bagus dan bahkan jauh di atas bunga deposito mencapai 6,25 % setiap
tahunnya. Menurut Hamdan, et. al (2006), usaha perikanan yang mempunyai
tingkat pengembalian investasi yang tinggi akan mempercepat perkembangan
78
usaha, memberi kepastian terhadap modal investasi, dan memberi kesejahteraan
bagi pelakunya.
Lebih jauh terkait investasi ini, handline, payang, dan rawai tetap
mempunyai tingkat pengembalian investasi (rate of return) yang lebih baik
daripada usaha perikanan tangkap lainnya termasuk JIH, yaitu masing-masing
56,72 %, 58,52 %, dan 66,74 %. Hal ini menunjukkan bahwa menginvestasikan
uang pada usaha perikanan handline, payang, dan rawai tetap jauh lebih baik
daripada mendepositokannya di bank maupun menjalankan usaha perikanan JIH.
Memang dari segi rente ekonomi, ketiga usaha perikanan tangkap ini lebih rendah
daripada usaha perikanan JIH, tetapi karena modal investasi yang dikeluarkan
juga rendah, maka cukup wajar bila keuntungan yang didapat lebih rendah.
Menurut Hanley dan Spash (1993), keberlanjutan usaha ekonomi tidak
sepenuhnya dapat dilihat dari keuntungan yang didapat, karena keuntungan/rente
ekonomi bersifat relatif, yaitu bila skala usaha dan biaya produksi besar, maka
keuntungan dengan nominal besar bisa tidak berarti usaha dapat kembali modal.
Terkait dengan ini, maka analisis yang lebih dalam seperti benefit-cost ratio dan
internal rate of return sangat diperlukan untuk mengkroscek tingkat manfaat dari
sejumlah modal investasi yang dikeluarkan.
Namun secara umum, JIH, JIT, payang, rawai tetap, handline, dan jaring
klitik termasuk layak dikembangkan di Kabupaten Indramayu karena mempunyai
rate of return yang lebih menarik daripada hanya sekedar menyimpan uang modal
di bank. Bunga terbesar yang bisa diterima di bank setiap tahunnya hanya sekitar
6,25 % (bunga deposito), sedangkan bila menjalankan usaha perikanan tersebut
dapat mendapatkan manfaat minimal 31,35 % dari total modal yang
diinvestasikan.
Nilai manfaat yang besar tersebut tentu lebih menarik minat
investor sehingga lebih menjamin keberlanjutan usaha perikanan tangkap di
Kabupaten Indramayu.
5.2.2
Peran Usaha Perikanan Tangkap bagi Ekonomi Kawasan
Bagi Kabupaten Indramayu, usaha perikanan tangkap merupakan kegiatan
ekonomi dominan dan paling banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat
79
lokal. Usaha perikanan tangkap mendukung aktivitas ekonomi berbasis perikanan
dan pengembangan usaha pendukung seperti usaha perbekalan, sumber energi,
jasa pelabuhan, dan lainnya. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pengembangan
usaha perikanan terutama yang berbasis pada penangkapan akan menjadi cikal
bakal pengembangan ekonomi kawasan, karena dapat mendorong berkembangnya
kegiatan pendukung baik dalam pengadaan bahan/peralatan operasi penangkapan,
distribusi hasil tangkapan, maupun jasa pelabuhan.
Energi terutama solar merupakan bahan utama yang dibutuhkan untuk
mendukung operasi penangkapan ikan menggunakan jaring insang hanyut (JIH),
jaring insang tetap (JIT), payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik. Hasil
analisis intensitas energi pada Bab 4 memberi indikasi tentang pentingnya
kegiatan penyediaan bahan bakar solar bagi berlangsungnya kegiatan perikanan di
Kabupaten Indramayu. Setiap kg ikan yang ditangkap nelayan membutuhkan
sejumlah solar dalam jumlah tertentu untuk menangkapnya.
Menurut Hanna
(1995), untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam, maka setiap
satuan sumberdaya input yang digunakan hendaknya dapat menghasilkan
sumberdaya output dengan nilai yang lebih besar dari sumberdaya input.
Harga jual ikan di Kabupaten Indramayu berkisar antara Rp 14.000 – Rp
29.000 per kg. Bila nilai dihubungkan dengan intensitas energi rata-rata usaha
perikanan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), payang, rawai
tetap, handline, dan jaring klitik masing-masing sekitar Rp 447,86 per kg, Rp
386,70 per kg, Rp 434,02 per kg, Rp 1281,75 per kg, Rp 923,58 per kg, dan Rp
1723,19 per kg, maka nilai sumberdaya output jauh lebih besar daripada
sumberdaya input berupa solar. Dalam kaitan ini, maka dari segi intensitas energi,
keenam usaha perikanan tangkap tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan di
lokasi, sehingga perannya bagi pengembangan ekonomi kawasan dapat terus
dilanjutkan.
ekonomi
Menurut Tomascik, et.al (1999), peran usaha perikanan bagi
Indonesia
sangat
dirasakan
di
kawasan
pesisir
dan
untuk
mempertahankannya perlu keseimbangan dengan perkembangan sumberdaya ikan
dan lingkungan sekitarnya.
Usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT),
payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik juga menyerap tenaga kerja yang
80
cukup besar. Setiap usaha perikanan JIH, JIT, dan payang dapat menyerap tenaga
kerja 7 – 15 orang, sedangkan rawai tetap dan jaring klitik dapat menyerapkan
tenaga kerja sekitar 4-8 orang dan setiap handline menyerap tenaga kerja 1 – 3
orang.
Fauzi (2010) menyatakan bahwa nilai manfaat yang diberikan usaha
perikanan kepada nelayan pelakunya akan menjadi jaminan penting keberlanjutan
usaha perikanan tersebut di suatu kawasan perikanan. Hasil analisis intensitas
tenaga kerja pada Bab 4 menjadi gambaran penting tentang manfaat yang bisa
diterima oleh nelayan/tenaga kerja perikanan Kabupaten Indramayu dari setiap kg
ikan yang ditangkapnya.
Jaring insang tetap (JIT), payang, dan rawai tetap mempunyai intensitas
tenaga kerja yang tinggi, masing-masing sekitar Rp 3085,09 per kg, Rp 3144,51
per kg, dan Rp 3211,79 per kg. Bila mengacu kepada nilai intensitas ini, maka
setiap kg ikan yang ditangkap menggunakan JIH, payang, dan rawai tetap maka
akan memberikan manfaat kepada nelayan/tenaga kerja perikanan yang terlibat
masing-masing Rp 3085,09, Rp 3144,51, dan Rp 3211,79. Manfaat tersebut
direalisasikan dalam bentuk upah/bagi hasil setelah melakukan trip operasi
penangkapan. Mengacu kepada hal ini, maka kontribusi ketiga usaha perikanan
tangkap ini dalam mendukung kesejahteraan nelayan sedikit lebih baik daripada
tiga usaha perikanan tangkap lainnya dengan intensitas tenaga kerja yang lebih
kecil.
Bila nilai intensitas tenaga kerja tersebut dibandingkan dengan harga yang
bisa dinikmati pemilik usaha perikanan dari setiap kg ikan yang ditangkapnya,
maka intensitas tenaga kerja ini jauh lebih rendah. Terkait dengan ini, maka
keberlanjutan usaha perikanan tangkap tersebut dapat dipertahankan karena
membawa manfaat bagi nelayan/tenaga kerja perikanan maupun pemilik usaha
perikanan.
Sutisna (2007) dalam penelitiannya di Pantai Selatan Jawa
menyatakan kunci keberhasilan pembangunan perikanan sangat tergantung pada
dukungan masyarakat sekitar. Sementara dukungan masyarakat akan timbul bila
ada manfaat ekonomi yang bisa dinikmati baik dalam kapasitas sebagai nelayan
buruh maupun sebagai nelayan pemilik.
Terkait dengan ini, maka pembinaan dan pengembangan sangat dibutuhkan
sehingga usaha perikanan JIH, JIT, payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik
81
dapat terus memberi manfaat ekonomi bagi berbagai pihak yang terkait.
Manajemen usaha perlu terus dibenahi sehingga efektif dan efisien dalam
pengelolaannya, serta ikan hasil tangkapan yang dijual tetap berkualitas baik.
Intensitas produksi memberi indikasi tentang kinerja manajemen usaha perikanan
tersebut dalam menghasilkan ikan hasil tangkapan yang dibutuhkan pasar.
Menurut Kotler (1997) menyatakan bahwa penerimaan pasar yang baik (harga
jual layak) dari suatu produk menjadi ukuran penting dari keberhasilan produksi.
Sedangkan Mamuaya, et. al (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
keberlanjutan usaha perikanan sangat ditentukan oleh penerimaan pasar terhadap
produk perikanan, kontinyuitas produk, dan nilai manfaat yang diterima pelaku
perikanan.
Bila melihat hasil analisis intensitas produksi pada Bab 4, maka usaha
perikanan JIH, JIT, payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik mempunyai
intensitas produksi yang relatif sama dan termasuk tinggi berkisar Rp 19350/kg –
Rp 21392/kg). Hal ini menunjukkan bahwa kinerja keenam usaha perikanan
tangkap tersebut sudah cukup baik. Perbaikan masih dapat dilakukan, sehingga
harga jual tersebut selalu dapat diraih dalam setiap trip operasi penangkapan ikan
yang dilakukan. Hou (1997) menyatakan bahwa bisnis yang baik harus selalu
mengupayakan harga terbaik dari produk yang dihasilkannya dan hal itu akan
dapat dicapai bila didukung secara penuh dalam praktek produksi yang dilakukan.
Secara sepintas, intensitas produksi payang, rawai tetap, dan handline
cenderung lebih tinggi daripada tiga usaha perikanan tangkap lainnya, dan hal ini
memberi indikasi bahwa ketiganya mempunyai kinerja yang lebih baik. Hal ini
perlu
terus
dipertahankan
sehingga
dapat
mendukung
secara
positif
pengembangan ekonomi kawasan, karena setiap satuan hasil tangkapan yang
diperdagangkan akan memberikan dampak ekonomi baik masyarakat pelakunya
maupun bagi daerah dalam bentuk retribusi, pajak perawatan muara, dan lainnya.
Fauzi (2005) menyatakan bahwa sebagian dari manfaat ekonomi yang diterima
usaha bisnis harus disisihkan untuk pemeliharaan sumberdaya dan lingkungan.
Retribusi dan pajak pengelolaan sumberdaya diarahkan untuk maksud ini
sehingga perlu didukung dan dikelola secara transparan.
82
Intensitas biaya memberi gambaran tentang perimbangan keseluruhan
biaya yang digunakan dengan output berupa ikan hasil tangkapan selama
menjalankan usaha perikanan tangkap. Handline merupakan usaha perikanan
tangkap intensitas biaya rata-rata terendah yang mencapai Rp 2430,85 per kg. Hal
ini memberi indikasi bahwa dalam pengusahaan handline terjadi penghematan
signifikan. Menurut Hanley dan Spash (1993), penggunaan biaya yang rendah
dapat meningkatkan nilai manfaat suatu produk kepada pelakunya. Hal ini karena
untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sama dengan usaha perikanan tangkap
lainnya, handline mengeluarkan biaya yang lebih rendah.
Berkurangnya biaya operasi suatu usaha perikanan tangkap terjadi karena
ada penghematan dalam penggunaan berbagai kebutuhan operasi. Bila melihat
lebih jauh, kapal handline yang berukuran relatif kecil di Kabupaten Indramayu
dapat dioperasikan secara manual dengan dayung (tanpa mesin dan bahan bakar).
Hal ini tentu lebih baik karena keuntungan/bagi hasil bagi nelayan pelaku menjadi
lebih banyak. Bila dapat dilakukan secara konsisten, maka keberlanjutan usaha
perikanan tangkap tersebut di Kabupaten Indramayu dapat lebih terjaga, begitu
juga perannya bagi kesejahteraan nelayan dan ekonomi kawasan. Hermawan
(2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keberlanjutan usaha perikanan
tidak lepas dari tingkat pemanfaatan usaha bagi rumah tangga nelayan (RTN).
Usaha perikanan tangkap yang memberikan penghematan dalam biaya, handal
dalam penangkapan ikan, serta memberi manfaat banyak pada masyarakat sekitar
akan selalu dilindungi dan dipertahankan keberlanjutan. Usaha perikanan JIH,
JIT, payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik melibatkan banyak nelayan
lokal (sekitar 90 %) dan mempunyai rate of return yang baik (> bunga bank),
sehingga layak dikembangkan di masa datang.
5.2.3. Arahan Pengembangan Usaha Perikanan Menurut Interaksi Variabel
Ekonomi Terkait
Pada Bab 4 diilustrasikan pola interaksi variabel intensitas energi (Ei),
intensitas tenaga kerja (Li), intensitas produksi (Pi), dan intensitas biaya (Ci)
dalam mendukung produksi ikan oleh usaha perikanan tangkap di Kabupaten
Indramayu. Untuk usaha prikanan JIH misalnya diilustrasikan dengan rumus
83
YJIH= 16812,565-2,095EiJIH-1,210LiJIH+0,016PiJIH-0,554CiJIH. Berdasarkan
ilustrasi tersebut, peningkatan jumlah energi yang digunakan (EiJIH), upaha
tenaga kerja (LiJIH), dan biaya produksi (CiJIH) tidak dapat meningkatkan
produksi ikan dalam operasi usaha perikanan JIH, namun justru sebaliknya. Hal
ini bisa jadi karena penggunaan energi dan biaya lainnya dapat meningkat bila
nelayan kesulitan mendapatkan hasil tangkapan yang memadai.
Konidis tersebut umumnya terjadi pada musim paceklik, dimana nelayan
terkadang lebih sibuk mencari fishing ground yang tepat daripada melakukan
operasional penangkapan (setting). Menurut Mamuaya, et. al (2006), pencarian
fishing ground bisa memakan waktu lama dan berada ditempat jauh pada bulanbulan tertentu, dan bila hal ini berlanjut dapat menambah biaya solar (energi),
upah (karena lebih lama melaut), dan biaya operasianl lainnya. Terkait dengan ini,
maka dalam operasional JIH di Kabupaten Indramayu perlu memperhatikan pola
tersebut. Sebaiknya tidak memaksa melakukan kegiatan penangkapan bila pada
bulan-bulan tertentu diindikasi hasil tangkapan sulit didapat karena dapat
menyebabkan pemborosan dalam operasional penangkapan ikan.
Peningkatan nilai jual hasil tangkapan ikan oleh JIH (PiJIH) cenderung
memacu peningkatan produksi ikan, dimana setiap harga naik Rp 16 dapat
memacu peningkatan produksi ikan sebesar 1 ton. Sudarsono (1986) menyatakan
bahwa dalam aplikasi teknis perdagangan, harga jual selalu menjadi pelecut
peningkatan produksi, karena setiap peningkatan harga jual/nilai produk akan
langsung menjadi tambahan keuntungan dalam pemasaran produk tersebut. Hal
ini perlu menjadi perhatian, untuk pengembangan usaha perikanan JIH yang
umumnya dilakukan dalam skala besar, sehingga manfaatnya lebih terasa bagi
nelayan dan masyarakat sekitar.
Pola interaksi variabel intensitas energi JIT (EiJIT), intensitas tenaga kerja
JIT (LiJIT), intensitas produksi JIT (PiJIT), dan intensitas biaya JIT (CiJIT) dalam
mendukung produksi ikan oleh usaha perikanan JIT yang diilustrasikan dengan
rumus YJIT = 10226,986-3,265EiJIT+0,270LiJIT-0,022PiJIH-0,438CiJIT, juga
memberikan gambaran variabel yang mendukung secara positif dan negatif.
Penambahan upah tenaga kerja cenderung mendukung secara positif peningkatan
produksi ikan pada usaha perikanan JIT. Menurut Fauzi (2004), apresiasi yang
tinggi terhadap tenaga kerja dapat meningkatkan kinerja dan loyalitas mereka
84
dalam berusaha. Pengaruh apresiasi dalam bentuk penambahan upah atau bonus
tersebut terkadang tidak bisa diprediksi, pada kondisi tertentu dapat membawa
dampak pantastis dan pada kondisi lainnya bisa sangat kecil dan bahkan tidak ada.
Berdasarkan ilustrasi rumus tersebut, penambahan energi, intensitas
produksi, dan pembiayaan tidak berbanding lurus dengan jumlah produksi JIT.
Hal ini bisa jadi penambahan pembiayaan tersebut lebih untuk menormalkan
kondisi produksi pada kondisi sulit, daripada untuk meningkatkan kinerja poduksi
yang ada. Nikijuluw (2002) menyatakan perhitungan bisnis perikanan hendaknya
perlu dilakukan secara matang sehingga tidak ada pembengkakan biaya di
kemudian hari. Hal ini penting supaya usaha perikanan tersebut dapat dikelola
secara berkelanjutan hingga masa mendatang.
Pengaruh upah tenaga kerja pada usaha perikanan payang juga positif bagi
peningkatan produksi, seperti diilustrasikan pada rumus YPy = 15191,6410,724EiPy+0,199LiPy-0,113PiPy-0,619CiPy.
Berdasarkan ilustrasi ini, setiap
peningkatan Rp 199 upah tenaga kerja dapat meningkatkan jumlah produksi
sekitar 1 ton. Sedangkan pengaruh penambahan solar dan biaya lainnya dalam
operasi penangkapan ikan menggunakan payang ini cenderung tidak bisa
membantu peningkatan jumlah produksi. Hal ini karena bahan operasional dan
pembiayaan tersebut ditambah lebih karena kesulitan hasil tangkapan yang
didapat nelayan dan bukan perbaikan kinerja sudah terbentuk. Menurut Pearce
dan Robinson (1997), kinerja merupakan cerminan dari budaya kerja suatu
kegiatan bisnis, yang bila sudah terbentuk dan diikuti bersama sulit untuk dirubah
kembali.
Dalam
operasional
usaha
perikanan
rawai
tetap,
peningkatan
upah/intensitas tenaga kerja (LiRT) dan peningkatan harga jual/intensitas produksi
(PiRT) cenderung memacu peningkatan jumlah produksi ikan di Kabupaten
Indramayu. Nilai positif untuk koefisien LiRT dan PiRT pada rumus YRT =
1127,835 - 0,154EiRT + 0,016LiRT + 0,011PiRT - 0,045CiRT (Bab 4)
mengindikasikan hal ini. Hal ini bisa jadi karena rawai tetap biasanya diusahakan
dalam skala menengah ke bawah, dimana apresiasi yang tinggi kepada tenaga
kerja dan harga jual yang positif sangat mudah meningkatkan motivasi tenaga
kerja/ABK yang rata-rata hanya 6 orang per unit rawai tetap. Menurut Hermawan
(2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ABK usaha perikanan tangkap
85
skala kecil umumnya lebih kompak daripada usaha perikanan berskala industri.
Hal ini karena mereka umumnya berasal dari kerabat dan saling mengenal dengan
baik satu sama lain. Terkait dengan ini, maka apresiasi dalam bentuk tambahan
upah, bonus atau lembur perlu diperhatikan dengan baik pada usaha rawai tetap
ini, dan operasi penangkapan perlu dioptimalkan pada saat harga jual baik.
Penambahan biaya produksi pada usaha perikanan handline cenderung
meningkatkan kinerja usaha (jumlah produksi ikan meningkat), sedangkan pada
usaha perikanan jaring klitik dampak positif tersebut tidak terjadi. Bila melihat
lebih jauh, peningkatan biaya produksi pada handline cenderung terjadi
penambahan atau peningkatan kualitas umpan, sedangkan yang lainnya tidak
banyak berubah. Bila demikian, maka peningkatan jumlah produksi ikan cukup
wajar terjadi karena umpan yang digunakan lebih baik. Hal ini perlu menjadi
perhatian penting dalam operasional usaha perikanan tangkap yang menggunakan
umpan.
Sedangkan pada usaha perikanan jaring klitik, umpan tidak digunakan
sehingga peningkatan biaya dapat terjadi bila ada penambahan bahan bakar
(solar), perbekalan dan lainnya. Sedangkan penambahan solar jaring klitik (EiJK)
juga tidak membawa dampak baik pada peningkatan jumlah produksi (YJK),
seperti ditunjukkan pada rumus YJK = 185,663-0,013EiJK-0,007LiJK-0,002CiJK.
Hal ini memberi indikasi bahwa penambahan biaya dalam operasi penangkapan
ikan pada jaring klitik tidak di Kabupaten Indramayu belum menyentuh secara
langsung pada kegiatan teknis penangkapan ikan. Monintja (2001) menyatakan
bahwa aspek teknis seperti umpan, alat tangkap, dan alat bantu penangkapan
(GIS, fish finder, dan lainnya) harus dipersiapkan setiap teras kehandalannya
dalam operasi penangkapan ikan . Terkait dengan ini, maka aspek teknis yang
berpengaruh langsung pada kegiatan penangkapan perlu menjadi perhatian dan
dipersiapkan secara serius, terutama pada usaha perikanan skala kecil yang
terbatas/sederhana peralatannnya.
86
5.3. Strategi Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan
5.3.1
Prioritas Strategi Pengembangan
Berdasarkan hasil analisis Bab 4, strategi perbaikan manajemen usaha
perikanan
(MNJUSAHA)
mempunyai
rasio
kepentingan
paling
tinggi
dibandingkan empat opsi alternatif strategi pengembangan lainnya, yaitu
mencapai 0,255.
inconsistency
Hasil analisis ini dapat dipercaya karena mempunyai
sekitar
0,05,
dipercaya/diperbolehkan < 0,1.
sedangkan
batas
inconsistency
yang
Hal ini dapat dipahami karena, karena
pengelolaan usaha perikanan di lokasi Kabupaten Indramayu belum dilaksanakan
dengan baik, meskipun hasil tangkapan ikan umumnya memuaskan. Menurut
DPK Kabupaten Indramayu (2010), sebagian nelayan belum tertib dalam
administrasi kerja terutama terkait dengan siklus keuangan, dimana banyak
penggunaan uang diluar keperluan melaut yang tidak dicatat sehingga sering
membebani keuangan terutama bila berangkat melaut.
Disamping itu, serah
terima barang (bahan perbekalan maupun hasil tangkapan) sering tidak dikontrol
sehingga memberi peluang untuk terjadinya kecurangan oleh petugas yang tidak
bertanggung jawab.
Terkait dengan ini dan berdasarkan hasil analisis AHP, maka opsi strategi
perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) menjadi strategi prioritas
pertama untuk pengembangan ekonomi berkelanjutan berbasis usaha perikanan di
Kabupaten Indramayu. Strategi pembinaan SDM perikanan (BINASDM) menjadi
strategi prioritas kedua karena mempunyai rasio kepentingan tertinggi (RK =
0,230) pada inconsistensy terpercaya 0,05. Setiawan (2007) dalam penelitian
menhyatakan bahwa pengembangan sumberdaya manusia (SDM) perlu menjadi
menjadi perhatian penting untuk keberlanjutan usaha perikanan. Keberhasilan
usaha perikanan yang berskala kecil sangat tergantung pada kemampuan nelayan
pemilik dalam menentukan fishing ground dan pengelolaan keuangan usaha.
Sedangkan menurut Muslich (1993), pengembangan usaha ekonomi
menempatkan jenis usaha dan keahlian manusia sebagai penggerak utama usaha
ekonomi dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif. Pengembangan
87
kerjasama pemodalan merupakan strategi ekonomi yang tepat untuk membantu
pembiayaan usaha perikanan skala kecil di Kabupaten Indramayu, seperti
handline dan jaring klitik. Strategi kerjasama ini menjadi strategi prioritas ketiga
dalam mendukung pengembangan ekonomi berkelanjutan di Kabupaten
Indramayu. Strategi ini mempunyai rasio kepentingan 0,193 pada inconsistensy
terpercaya 0,05. Menurut Nikijuluw (2002), pengembangan kerjasama diantara
usaha ekonomi yang saling bergantung bahan baku, usaha perikanan dengan
perbankan, dan pengusaha besar dengan nelayan kecil sangat dibutuhkan pada
resim pengelolaan yang cenderung berpihak kepada pelaku ekonomi besar.
Strategi pengembangan kerjasama pemodalan dapat disinkronkan dengan
strategi pengembangan usaha perikanan skala kecil (prioritas keempat). Hal ini
karena usaha perikanan kecil tidak terlalu banyak berkembang di lokasi, dimana
perhatian dan bantuan lebih banyak diberikan kepada usaha perikanan skala besar
seperti jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), dan payang.
Kerjasama pemodalan diharapkan dapat membantu pelaku perikanan skala kecil
sehingga lebih eksis dan dapat mendukung secara maksimal pembangunan
perikanan di lokasi. Hasil analisis Bab 4 disebutkan bahwa usaha perikanan skala
kecil di Kabupaten Indramayu mempunyai tingkat pengembalian (rate of return)
yang baik, misalnya seperti rawai tetap sekitar 58,52 %, handline sekitar 66,74 %,
dan jaring klitik 43,53 %.
Terkait dengan ini, maka pengembangan usaha
perikanan skala kecil layak dilakukan termasuk dengan melakukan kerjasama
pemodalan.
Pengembangan usaha pendukung perikanan merupakan strategi prioritas
kelima (RK = 0,135 pada inconsistency terpercaya 0,05) untuk mendukung
pengembangan ekonomi berkelanjutan berbasis usaha perikanan di Kabupaten
Indramayu. Pengembangan usaha pendukung perikanan menjadi prioritas terakhir
bisa jadi karena selama ini di lokasi telah banyak berkembang usaha pendukung
seperti koperasi, SPBU, pabrik es, dan kios penyediaan perbekalan. menurut
DPK Kabupaten Indramayu (2010), penyediaan es balok, bahan bakar, dan
perbekalan tidak mengalami kesulitan di Kabupaten Indramayu karena semuanya
dikordinir oleh Koperasi Nelayan Karangsong.
88
5.3.2 Sensitivitas Strategi Prioritas
Diantara berbagai strategi pengembangan yang ada, strategi prioritas
pertama akan menjadi strategi terpilih atau diandalkan pertama kali untuk
mendukung
tujuan
pengembangan
yang
ditetapkan.
Terkait
dengan
pengembangan ekonomi berkelanjutan berbasis usaha perikanan di Kabupaten
Indramayu, maka strategi perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA)
tentu menjadi pilihan.
Dalam mendukung aplikasinya secara nyata di lokasi, maka strategi
perbaikan
manajemen
usaha perikanan perlu diketahui sensitivistasnya.
Informasi tentang sensitifitas ini tidak hanya penting untuk mengetahui
keunggulan perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) sebagai
strategi prioritas, tetapi juga penting untuk membuat langkah antisipasi
pengelolaan akibat berbagai perubahan yang ada di lokasi. Informasi tersebut
dapat
menjadi
panduan
untuk
implementasi
berbagai
program
terkait
pengembangan ekonomi berkelanjutan berbasis usaha perikanan di Kabupaten
Indramayu maupun lokasi lainnya.
Di alam nyata, berbagai perubahan dapat terjadi akibat adanya intervensi
dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengembangkan suatu aspek
pengelolaan tertentu yang menurutnya dianggap lebih baik/lebih menguntungkan.
Strategi perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) harus dapat
mensiasati berbagai perubahan tersebut sehingga tetap merupakan strategi terbaik
dan terandalkan bagi pengembangan ekonomi berkelanjutan di pesisir Kabupaten
Indramayu.
Pada Tabel 5.1 disajikan tingkat sensitivitas strategi perbaikan
manajemen usaha perikanan (strategi prioritas) untuk mensiasati berbagai
intervensi kepentingan stakeholders/pihak terkait dalam bentuk pemberian
perhatian pada pengembangan aspek/kriteria pengelolaan tertentu.
89
Tabel 5.1. Sensitivitas strategi prioritas
No.
1
2
3
Kriteria/Aspek
Pengembangan
Sumberdaya dan
lingkungan yang baik
Teknis operasi
perikanan baik
Ekonomi dan sosial
baik
Rasio
Kepentingan
(RK) Awal
0,413
Sensitivitas
Range RK
Range RK
Stabil
Sensitif
0–1
Tidak Ada
0,260
0–1
Tidak Ada
0,327
0 – 0,826
0,826– 1
Berdasarkan Tabel 5.1 tersebut, range RK stabil strategi perbaikan
manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) terhadap intervensi kepentingan
untuk pengembangan kondisi sumberdaya dan lingkungan yang lebih baik berada
pada kisaran 0 – 1. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun aspek sumberdaya dan
lingkungan tidak diperhatikan sama sekali (RK = 0) dalam pengelolaan usaha
perikanan di Kabupaten Indramayu, maupun menjadi satu-satunya aspek
pengelolaan yang dikembangkan, tidak akan merubah pilihan perbaikan
manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) sebagai strategi prioritasnya.
Hendriwan et. al (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sumberdaya ikan
merupakan penyebab utama kegiatan perikanan tangkap di Teluk Lampung,
sehingga bila perhatian diberikan sepenuhnya kepada pengembangan sumberdaya
ikan dan lingkungan perairan, maka semua stakhokders perikanan mendukung.
Terkait hal ini, maka cukup wajar bila perhatian terhadap pengembangan
sumberdaya ikan dan lingkungan perairan diberikan secara maksimal di
Kabupaten Indramayu, karena perannya yang besar dalam mendukung kegiatan
ekonomi berbasis perikanan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, program
perikanan belum terkait langsung dengan konservasi sumberdaya ikan dan
lingkungan (RK = 0), namun ikan masih bisa didapatkan di perairan Kabupaten
Indramayu.
Hal yang sama juga untuk aspek teknis operasi perikanan. Ada tidaknya
program pengembangan untuk menjadikan ukuran kapal standar, transfer
teknologi, dan metode operasi efektif dalam pengelolaan perikanan Kabupaten
Indramayu, tidak akan menyebabkan perbaikan manajemen usaha perikanan
(MNJUSAHA) tergantikan oleh strategi lainnya. Hal ini karena manajemen usaha
90
penting untuk mengatur siklus keuangan pada usaha perikanan terutama yang
berskala besar sehingga terjadi perimbangan antara pengeluaran dengan
pendapatan. Setiawan, et.al (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa usaha
perikanan skala kecil yang masih sederhana alat tangkap dan metode operasinya
juga membutuhkan manajemen usaha yang baik untuk tetap eksis dan
memberikan manfaat maksimal kepada nelayan pelakuknya.
Strategi perbaikan manajemen usaha perikanan (MNJUSAHA) hanya
sensitif terhadap aspek ekonomi dan sosial.
Bila perhatian terhadap aspek
ekonomi dan sosial saat ini (RK awal = 0,327) ditingkatkan sehingga lebih dari
82,6 % (RK > 0,826), maka strategi perbaikan manajemen usaha perikanan
(MNJUSAHA) tidak efektif lagi untuk mengembangkan ekonomi Kabupaten
Indramayu dengan berbasis pada operasional usaha perikanan tangkap yang ada.
Tetapi strategi tersebut akan digantikan oleh strategi pembinaan SDM perikanan.
Perhatian berlebih terhadap aspek sosial dan ekonomi tersebut dapat berupa
pengelolaan usaha hanya difokuskan pada pencapaian keuntungan tinggi, semua
kebutuhan keluarga nelayan ingin dipenuhi dari usaha perikanan tangkap,
sehingga semua upaya ditempuh (termasuk yang merusak lingkungan dan habitat
ikan) untuk mendapatkan hasil tangkapan banyak dan menguntungkan. Pada
kondisi ini perbaikan manajemen usaha bukan menjadi prioritas lagi, tetapi
pembinaan SDM lebih dibutuhkan untuk mengontrol perilaku pengelolaan
tersebut.
Hasil analisis sensitivitas ini memberi arahan untuk implementasi
strategi prioritas (perbaikan manajemen usaha perikanan) dan pada kondisi mana
harus digantikan oleh strategi lainnya, sehingga pengembangan ekonomi berbasis
usaha perikanan dapat berkelanjutan.
91
Download