PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan ruang merupakan suatu upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang yang secara hakiki harus dipandang sebagai bagian dari aspek-aspek spasial dari proses pembangunan (Rustiadi et al. 2006). Inkonsistensi atau ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dan ruang yang ada dengan arahan yang diperintahkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi pokok permasalahan terjadinya degradasi sumberdaya lahan. Kondisi penyimpangan tersebut terutama disebabkan adanya alih fungsi pada kawasan hutan dan kawasan resapan air. Degradasi lahan menjadi permasalahan dunia yang penting di abad 21, karena berdampak terhadap penurunan produktifitas pertanian, kerusakan lingkungan, berpengaruh kepada keamanan pangan dan kualitas hidup serta terjadi penurunan kualitas tanah (Eswaran et al. 2001). Adanya lahan kritis merupakan salah satu gambaran terjadinya degradasi lahan yang pada umumnya disebabkan oleh adanya kegiatan manusia yang secara langsung merusak daya dukung tanah/lahan seperti pemanfaatan lereng bukit untuk lahan pertanian yang tidak sesuai dengan kemampuan/peruntukannya, tidak menerapkan teknologi konservasi, bahkan dapat juga berubah fungsi menjadi areal permukiman. Lahan kritis merupakan lahan yang sudah tidak produktif lagi serta kondisinya tidak memungkinkan lagi untuk diusahakan sebagai lahan pertanian, kecuali bila ada upaya rehabilitasi terlebih dahulu. Salah satu upaya merehabilitasi lahan kritis yang dilakukan pemerintah adalah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya sebagai penyangga kehidupan tetap terjaga (Departemen Kehutanan, 2003a). Kegiatan RHL sangat strategis bagi kepentingan nasional sehingga kegiatan tersebut diarahkan sebagai 2 gerakan berskala nasional yang melibatkan baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Gerakan tersebut dinamakan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) yang penyelenggaraannya dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi. Untuk merehabilitasi lahan kritis, lahan perlu diidentifikasi dan dipetakan. Identifikasi dan pemetaan lahan kritis sangat berguna bagi perencana untuk menentukan daerah prioritas dalam rangka pemanfaatan dan pengembangan wilayah. Kegiatan identifikasi lahan kritis apabila dikaitkan dengan penataan ruang dapat dilaksanakan dengan menggunakan survey wilayah secara langsung di lapangan, namun memerlukan waktu yang cukup lama serta memiliki kelemahan untuk menjangkau daerah-daerah yang sulit untuk didatangi. Untuk mengatasi keadaan tersebut dapat dibantu dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Penginderaan jauh merupakan suatu teknik yang memungkinkan orang dapat mengumpulkan data tanpa langsung terjun ke lapangan atau penjelajahan lapangan seluruh area. Dengan demikian cara ini lebih menghemat waktu dan biaya dibandingkan dengan cara konvensional (Lillesand dan Kiefer, 1987 dalam Zulfikar, 1999). Karakteristik lahan berupa kenampakan penutupan lahan (land cover) dapat dilihat dari data penginderaan jauh. Bila ditunjang dengan data lainnya, seperti erosi, kelerengan, dan pengelolaan lahan dapat dilakukan proses identifikasi hingga pemetaan lahan kritis dengan sistem informasi geografis. Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG, mulai dikenal pada awal tahun 1980-an, yang terus berkembang pesat seiring dengan perkembangan komputer baik hardware (perangkat keras) maupun software (perangkat lunak) hingga era tahun 1990-an (Puntodewo et al. 2003). SIG saat ini dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi dan memetakan lahan kritis serta dapat dilakukan suatu pengkajian terhadap lahan kritis tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pola tata ruang wilayah serta kegiatan rehabilitasi lahan. 3 Perumusan Masalah Dalam perencanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan diperlukan data dan informasi tentang tingkat kekritisan lahan terhadap lahan-lahan yang memerlukan penanganan. Mengingat areal penanganan yang sangat luas maka lahan-lahan kritis tersebut perlu diidentifikasi dan dipetakan agar ketepatan sasaran lokasi yang akan ditangani kegiatan rehabilitasi lahan dapat lebih maksimal. Kegiatan GERHAN merupakan suatu upaya untuk menangani dan mengurangi lahan yang mengalami kerusakan serta lahan kritis dan lahan yang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi seperti bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan yang matang terhadap sasaran lokasi kegiatan GERHAN agar tujuan kegiatan tersebut dapat berhasil dengan baik dan maksimal. Kegiatan GERHAN yang telah dilaksanakan di Kabupaten Sumedang pada tahun 2003 sampai dengan 2005 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Luas Areal dan Jumlah Kelompok Tani GERHAN Tahun 2003 s.d 2005 di Kabupaten Sumedang No. Tahun 1 2 3 2003 2004 2005 Jumlah Luas Areal GERHAN (Ha) 2,740 3,200 2,185 8,125 Jumlah Kelompok Tani GERHAN (Kelompok) 116 144 92 352 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang, 2006 Salah satu aspek yang dikaji dalam melihat potensi fisik dasar adalah penggunaan lahan eksisting pada suatu wilayah. Hal tersebut dikarenakan penggunaan lahan merupakan gambaran dari pemanfaatan lahan yang terdapat di wilayah Kabupaten Sumedang. Pesatnya pertumbuhan penduduk cenderung diikuti dengan meningkatnya aktifitas sosial ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya aktifitas tersebut berdampak terhadap peningkatan kebutuhan lahan baik itu pada lahan pertanian maupun non pertanian. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dan tidak terkendali dapat mengakibatkan berbagai bencana seperti lahan kritis, tanah longsor dan banjir. Pada Tabel 2 dapat dilihat jenis penggunaan lahan 4 di Kabupaten Sumedang yang mengalami pergeseran dalam kurun waktu 4 (empat tahun) antara tahun 1996 sampai dengan tahun 2000. Tabel 2. Jenis Penggunaan Lahan yang mengalami pergeseran antara Tahun 1996 dan 2000 Tahun 1996 Tahun 2000 Selisih (Ha) Luas Persentase Luas Persentase (+/-) (Ha) (%) (Ha) (%) 1 Permukiman 9,698.93 6.37 10,059.68 6.61 360.75 (+) 2 Industri 395.21 0.26 468.34 0.31 73.13 (+) 3 Sawah 34,486.84 22.66 34,411.68 22.61 75.16 (-) 4 Pertanian Lahan Kering 49,770.54 32.70 50,412.44 33.12 641.90 (+) 5 Padang - 1,877.38 1.23 1,877.38(+) 6 Tanah Galian C 364.16 0.24 370.16 0.24 6.00 (+) Sumber: RTRW Kabupaten Sumedang, 2002 No. Penggunaan Lahan Keterkaitan antara penggunaan lahan dan ketersediaan lahan bagi pengembangan Wilayah Kabupaten Sumedang digunakan untuk mendapatkan informasi lahan yang tidak dapat dikembangkan dan yang dapat dikembangkan guna memacu perkembangan wilayah di masa yang akan datang. Lahan yang tidak dapat dikembangkan merupakan lahan yang penggunaannya dilindungi, seperti hutan lindung, areal konservasi, hutan suaka dan penggunaan lahan lainnya yang dikuatkan oleh peraturan-peraturan yang mengaturnya. Sedangkan lahan yang dapat dikembangkan merupakan lahan yang dapat dibudidayakan baik untuk budidaya pertanian maupun budidaya non pertanian. Melihat kondisi demikian, apabila dikaitkan dengan tingkat kekritisan lahan maka perlu dilakukan kajian untuk mengetahui sejauhmana sebaran posisi kawasan – kawasan yang tertuang pada pola tata ruang terhadap tingkat kekritisan lahan, hal ini sangat berguna bagi seorang perencana untuk memprediksi rencana pola tata ruang agar mampu diterapkan untuk masa mendatang. Apabila dilihat dari latar belakang rencana penelitian serta uraian di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan, sebagai berikut: 1. Bagaimana cara pemanfatan dan pengolahan SIG dalam identifikasi perkembangan lahan kritis di Kabupaten Sumedang ? 2. Bagaimana sebaran lokasi kegiatan GERHAN terhadap tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Sumedang ? 5 3. Bagaimana sebaran Rencana Pola Tata Ruang Wilayah terhadap tingkat kekritisan lahan Kabupaten Sumedang ? Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang muncul seperti yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi dan melakukan pemetaan perkembangan lahan kritis di Kabupaten Sumedang dari 2 (dua) titik tahun yaitu tahun 2000 dan 2005. 2. Mengkaji sebaran lokasi kegiatan GERHAN terhadap tingkat kekritisan lahan Kabupaten Sumedang. 3. Mengkaji sebaran Rencana Pola Tata Ruang Wilayah terhadap tingkat kekritisan lahan Kabupaten Sumedang. Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bersama antara masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya dalam mengkaji penanganan lahan kritis melalui kegiatan rehabilitasi lahan serta arahan pola tata ruang di Kabupaten Sumedang. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dilaksanakan pada seluruh wilayah Kabupaten Sumedang termasuk areal Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) Tahun 2003 sampai dengan Tahun 2005 seluas 8.125 Ha yang tersebar di 23 kecamatan serta Rencana Pola Tata Ruang Kabupaten Sumedang. Asumsi yang digunakan pada penelitian ini bahwa semua data adalah data sekunder yang berasal dari dinas/instansi di Kabupaten Sumedang dan tidak dilakukan cek lapangan (groundcheck). TINJAUAN PUSTAKA Lahan Kritis Definisi Lahan kritis Definisi dan kriteria lahan kritis telah dibuat oleh beberapa instansi pemerintah. Perbedaan pengertian ini perlu diselaraskan untuk meminimalisir perbedaan dalam penentuan deliniasi lahan kritis. Perbedaan ini timbul dikarenakan adanya dasar pengelompokkan penamaan yang berbeda yang disesuaikan dengan keperluan tugas tiap instansi. Kurnia et al. (2005) menyebutkan bahwa pengertian yang menggambarkan kerusakan lahan dengan degradasi lahan (land degradation), yaitu suatu proses yang menyebabkan produktivitas lahan menjadi rendah, baik sementara maupun tetap. Proses tersebut meliputi berbagai bentuk tingkat kerusakan tanah (soil degradation), pengaruh manusia terhadap sumberdaya lahan, penggundulan hutan (deforestation), dan penurunan produktivitas padang penggembalaan. Dampak kerusakan antara lain berubahnya permukaan tanah serta hilangnya tanah lapisan atas dan vegetasi. Pada penggunaan istilah “lahan kritis”, perlu dijelaskan tentang segi kekritisannya. Notohadiprawiro (2006) menjelaskan bahwa ada lahan yang kritis (gawat) menurut keadaan fisiknya. Lahan mengalami rusak berat, sehingga harkat kemampuannya berada jauh di bawah harkat tepian. “Rusak” dapat berarti: Tanahnya tererosi berat Tanahnya mengalami penimbunan yang merusak (detrimental deposition). Tanahnya terdegradasi berat karena : Pelindian (leaching), Penggaraman, Pemasaman (pembentukan tanah sulfat masam), Alkalinitas yang sangat meningkat (pengembangan tanah sodik), Pelonggokan racun tanaman (Al, B), Gleisasi, Kehancuran struktur karena dispersi kuat, atau karena pemampatan, Pendangkalan jeluk mempan (effective depth) karena penebalan lapisan padas, Kehilangan daya serap air atau daya simpan lengas tanah karena pengeringan yang tak-terbalikkan (irreversible desiccation) sebagai akibat pengatusan lampau batas (mudah terjadi pada tanah gambut). Sumber air mengering karena neraca hidrologi rusak. 5 3. Bagaimana sebaran Rencana Pola Tata Ruang Wilayah terhadap tingkat kekritisan lahan Kabupaten Sumedang ? Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang muncul seperti yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi dan melakukan pemetaan perkembangan lahan kritis di Kabupaten Sumedang dari 2 (dua) titik tahun yaitu tahun 2000 dan 2005. 2. Mengkaji sebaran lokasi kegiatan GERHAN terhadap tingkat kekritisan lahan Kabupaten Sumedang. 3. Mengkaji sebaran Rencana Pola Tata Ruang Wilayah terhadap tingkat kekritisan lahan Kabupaten Sumedang. Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bersama antara masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya dalam mengkaji penanganan lahan kritis melalui kegiatan rehabilitasi lahan serta arahan pola tata ruang di Kabupaten Sumedang. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dilaksanakan pada seluruh wilayah Kabupaten Sumedang termasuk areal Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) Tahun 2003 sampai dengan Tahun 2005 seluas 8.125 Ha yang tersebar di 23 kecamatan serta Rencana Pola Tata Ruang Kabupaten Sumedang. Asumsi yang digunakan pada penelitian ini bahwa semua data adalah data sekunder yang berasal dari dinas/instansi di Kabupaten Sumedang dan tidak dilakukan cek lapangan (groundcheck).