60 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Satu Merah Panggung Di Indonesia tak banyak kelompok teater yang dipimpin oleh seorang perempuan. Satu Merah Panggung salah satunya. Dan Ratna Sarumpaet adalah motor penggerak kelompok itu. Dia pribadi pemberontak. Sejak pertama muncul, berbagai kontroversi mewarnai perjalanan karirnya sebagai sutradara. Perjalanannya cukup unik dan mencengangkan. Banyak yang mencaci tapi tak sedikit pula yang menyanjung. sejak bedirinya pada tahun 1974, Satu merah panggung mengkhususkan porduksi karya-karya barat seperti; Hamlet, Romeo dan Juliet, Othello, dan Antigone. disusul kemudian pada tahun 1994 pementasan Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah, terpasung (1996), Alia: Luka Serambi Mekkah (2000), Anakanak Kegelapan (2003) serta Jamila dan Sang Presiden (2006). Seiring waktu, pengakuan baru diraih Ratna dan Satu Merah Panggung, pada pementesan Antigone karya Jean Anouilh. Daya kritis Ratna kian menguat. Kejatuhan pemerintah otoriter Orde Baru tidak lantas membuat Ratna tenang. Kegelisahannya terus berlanjut. Konflik kekerasan di Aceh, pluralisme dan hak azasi manusia menjadi fokus karya-karyanya. Karya yang sangat disukainya adalah Alia: Luka Serambi Mekkah. Karya itu memantapkan posisi Satu Merah Panggung sebagai kelompok teater yang penting dan diperhitungkan. 60 61 Meskipun Ratna tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang feminis, namun karya-karyanya banyak berbicara tentang perempuan, hak azasi manusia dan seksualitas. Tajamnya kritik Ratna mengantarnya jadi salah satu dari lima perempuan penulis naskah drama paling kuat di dunia. Karya Ratna yang juga penting, Jamila dan Sang Presiden, dibuat untuk menanggapi fenomena pemasungan pluralisme. Lakon mengisahkan tentang pelacur yang menyerahkan diri pada polisi setelah dia membunuh pejabat pemerintah. Lakon itulah yang kemudian diadaptasi menjadi sebuah film yang mendapatkan berbagai penghargaan internasional. Lakon itu kemudian diadaptasi menjadi sebuah film yang mendapat berbagai penghargaan internasional. Selain teater, Satu Merah Panggung juga aktif dalam berbagai aksi kepedulian sosial. Kepedulian ini ditunjukkan dengan mendirikan Ratna Sarumpaet Crisis Center. Pusat penanggulangan krisis ini melakukan berbagai kegiatan dari memberi bantuan obat-obatan dan pakaian di daerah konflik Aceh, menangani kasus lingkungan dan pelanggaran hak azasi manusia di Porsea, Sumatera Utara serta berbagai kegiatan sosial lainnya. 4.2 Film Jamila dan Sang Presiden Jamila dan Sang Presiden adalah sebuah film layar perdana karya sutradara Ratna Sarumpaet, yang mungkin lebih dikenal sebagai seorang sutradara teater serta aktivis perempuan. Naskah cerita film ini sendiri diadaptasi Ratna dari karya teaternya yang berjudul Pelacur dan Sang Presiden, yang sempat meraih 62 banyak pujian sekaligus kritikan dari beberapa pihak di Indonesia selama masa pementasannya. Ratna sendiri pernah menceritakan bahwa kisah Pelacur dan Sang Presiden berawal dari rasa keprihatinannya atas kekurangpedulian pihak pemerintah mengenai kasus penjualan anak di bawah umur yang banyak terjadi di berbagai daerah terpencil di Indonesia. Ratna sendiri pernah berkelana ke Batam, Solo, Indramayu, Surabaya, dan kota-kota di Kalimantan, untuk merekam beragam cerita dari ratusan ribu korban perempuan yang kemudian disatukannya dalam cerita Pelacur dan Sang Presiden yang kemudian ia pentaskan. Dimulai dengan sedikit meragukan (akting yang kurang stabil, dialog naskah yang terasa sangat kaku di beberapa adegan), Jamila dan Sang Presiden kemudian secara perlahan lepas landas dengan gerakan yang stabil dalam menceritakan kisahnya. Harus diakui, nafas aktivis perempuan yang dibawa oleh Ratna Sarumpaet sangat terasa di beberapa bagian naskah film ini. Adalah sangat jelas untuk melihat film ini mencoba menyindir beberapa pihak (selain negara) yang selama ini sering keluar-masuk pemberitaan atas tindakan mereka yang kontroversial. Walau terkesan hanya dibuat dari satu sudut pandang, namun setidaknya Jamila dan Sang Presiden tidak langsung serta merta menjadi sebuah film dengan nada „balas dendam‟ terhadap pihak-pihak yang disindir di sepanjang film. Walau kurangnya eksplorasi beberapa karakter dan terlalu kakunya beberapa baris dialog di beberapa adegan terasa cukup mengganggu, namun 63 naskah film yang kuat, provokatif dan menyentuh serta akting yang sangat baik dari jajaran pemeran film ini, membuat Jamila dan Sang Presiden adalah sebuah debut penyutradaraan film layar lebar yang lumayan berhasil bagi Ratna Sarumpaet. Film bertema sosial politik yang seharusnya lebih banyak lagi dibuat oleh para pembuat film asal Indonesia. Sebagai sebuah karya teater yang diangkat ke layar lebar, Ratna tentu saja tidak akan melupakan bahwa penampilan para pemeran setiap karakter di film ini, dapat mempengaruhi hasil akhir dari kualitas Jamila dan Sang Presiden. Untuk itu, Ratna memilih berbagai nama-nama besar dan dengan jaminan kualitas akting yang sangat memadai untuk menghidupkan setiap karakter di film ini. Namanama seperti Christine Hakim, Surya Saputra, Ria Irawan, Ade Irawan, Marcelino Lefrandt, Dwi Sasono, Eva Celia Latjuba, Fauzi Baadilah dan dipimpin oleh Atiqah Hasiholan yang memerankan karakter Jamila, film ini benar-benar menjadi salah satu film dengan jajaran akting yang sangat memukau di film Indonesia. Di negara dimana sebuah film dengan naskah kuat dan sedikit provokatif adalah sangat jarang ditemukan, tentu Jamila dan Sang Presiden bagaikan sebuah nafas segar di dunia perfilman. Apalagi jika naskah tersebut lumayan berhasil dieksekusi dengan sangat baik oleh sang sutradara, maupun oleh para jajaran pemerannya. Di Indonesia, hal tersebut hanya terjadi sekali dalam jangka beberapa tahun. Jamila dan Sang Presiden adalah salah satu yang berhasil melakukannya. 64 4.2.1 Sinopsis Film Jamila dan Sang Presiden Hidup bukanlah suatu hal yang dapat dihargai dan dianggap sesuatu yang indah dan bermakna bagi seorang Jamila (Atiqah Hasiholan). Datang dari sebuah keluarga miskin, ketika berumur enam tahun, ia dijual oleh sang ayah kepada seorang agen perdagangan anak. Ia kemudian berhasil melarikan diri dan kembali kepada kedua orangtuanya. Oleh sang ibu, ia dititipkan kepada sebuah keluarga, dengan harapan agar Jamila dapat dibesarkan dan disekolahkan untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Namun, di rumah tersebut ia malah menjadi bulan-bulanan seksual bagi dua orang pria yang seharusnya melindungi Jamila dan dijadikannya sebagai keluarga baru baginya. Merasa tertekan dan tak tahan lagi, Jamila melarikan diri. Berbagai penderitaan hidup terus dihadapinya sendirian hingga akhirnya ia bertemu dengan Susi (Ria Irawan), seorang pelacur yang kemudian dekat dengannya dan dianggapnya sebagai satu-satunya teman baiknya. Berkenalan dengan Susi, akhirnya Jamila memilih untuk masuk ke dunia hitam dan menjadi seorang pelacur. Dari sinilah ia bertemu Nurdin (Adjie Pangestu), seorang menteri negara yang kemudian jatuh cinta dengannya. Hidup serasa mulai berputar ke arah yang lebih baik bagi Jamila, hingga suatu saat, ia menemukan bahwa Nurdin telah menikah dengan wanita lain dengan alasan dijodohkan orangtuanya. Secara tidak sengaja, Jamila menembakkan sebuah peluru ke arah Nurdin ketika ia dan Nurdin sedang bertengkar, yang menyebabkan kematian Nurdin. 65 Kematian Nurdin, yang seorang menteri negara, tentu saja menyebabkan seluruh masyarakat gempar. Apalagi setelah masyarakat menemukan bahwa Jamila, seorang pelacur, kemudian menyerahkan dirinya kepada pihak kepolisian dan mengakui kesalahannya telah membunuh Nurdin. Jamila akhirnya dipenjarakan. Kasusnya menarik perhatian seluruh negeri, sekaligus menarik simpati beberapa kalangan, yang berusaha memintakan grasi bagi Jamila. Walau begitu, Jamila tak bergeming dan menolak untuk mengajukan grasi pada presiden. Ia lebih memilih untuk dihukum mati dan terlepas dari seluruh penderitaan hidupnya selama ini. 4.2.2 Penokohan Dalam Film Jamila dan Sang Presiden Tokoh – tokoh dalam film Jamila dan Sang Presiden: 1. Atiqah Hasiholan sebagai Jamila: seorang wanita yang diceritakan sangat menentang trafficking. Dari kecil ia dijual oleh ayahnya sendiri, sehingga terjebak dalam pelacuran saat remaja. Pada akhirnya dipenjara karena mengaku bertanggungjawab atas pembunuhan Menteri Nurdin. 2. Eva Celia Latjuba sebagai Jamila remaja: Jamila remaja yang lugu, polos, rajin mengaji dan juga sangat menyayangi adiknya, Fatima. Berubah menjadi remaja yang kejam, dengan membunuh Paman, dan Sepupunya yang telah menodainya. 3. Dwi Sasono sebagai Ibrahim: seorang pengusaha muda yang kaya raya dan baik hati yang telah jatuh cinta kepada Jamila. Tulus membantu Jamila 66 untuk mengeluarkannya dari penjara dengan mengutus seorang pengacara, Malik. 4. Christine Hakim sebagai Ria: seorang kepala sipir tahanan di sebuah Lembaga Pemasyarakatan. Bersifat tegas dan keras. Banyak tahanan yang takut padanya. Diakhir cerita, ia menjadi baik kepada Jamila karena tidak tega melihat Jamila terpuruk dalam kesalahnya. Dialah salah satu orang yang menyarankan Jamila untuk meminta Grasi kepada presiden. 5. Ria Irawan sebagai Susi: seorang PSK tua yang baik hati. Ia menyelamatkan Jamila kecil saat tertangkap oleh SatPol PP dalam sebuah razia. Susi juga yang mengurus Jamila hingga dewasa. 6. Adjie Pangestu sebagai Nurdin: seorang menteri penanggulangan kemiskinan. Seorang laki-laki dengan karakter kuat yang diceritakan mencintai Jamila. Sampai pada suatu malam, ia merencanakan untuk membunuh Jamila, justru dia yang terbunuh. 7. Marcelino Lefrant sebagai Malik: seorang pengacara yang mengenal Jamila saat menjadi aktifis perempuan. Entah karena bayaran atau kemanusiaan, Malik ditugaskan Ibrahim untuk membujuk Jamila supaya mau dibantu secara hukum. 8. Surya Saputra sebagai Kang Surya: seorang penjaga lapas dimana Jamila dipenjara. Ia memiliki pemikiran yang kritis tentang kasus Jamila yang menurutnya terlalu dipolitisir. Simpatinya terhadap Jamila kemudian dicemburui oleh ibu Ria yang tampaknya menyukai Kang Surya. 67 9. Fauzi Baadilah sebagai Faizal: seorang tokoh Ormas berbau agama yang menentang Jamila mendapatkan Grasinya. Sejak awal kasus Jamila ditangani polisi, Faizal dan anggota ormas nya terus menerus mengadakan demo demi mempercepat proses hukum Jamila. 4.3 Hasil Penelitian 4.3.1 Level Realitas Kode John Fiske atas film Jamila dan Sang Presiden Beberapa kode-kode sosial yang merupakan realitas kita relatif tepat didefinisikan dalam hal media melalui mana mereka dinyatakan – perilaku, makeup, pakaian, ucapan. Tergambar dalam scene-scene berikut ini. Gambar 4.1 SCENE 7 Perilaku: Tampak Susi, seorang pelacur tua yang rebahan diatas kasur sambil berkumur. Dengan seorang laki-laki berdiri disampingnya, membenarkan risleting celananya dengan baju kemeja yang belum semuanya terkancing dengan rapi, merogoh kantong... dan melemparkan uang pada Susi. Make up: hampir tidak terlihat bahwa Susi menggunakan make up. 68 Pakaian: Susi menggunakan pakaian bunga-bunga lengan panjang, dan celana panjang 7/8. Dari warnanya, pakaian Susi tergolong cukup mencolok. Ucapan: (marah) “bayarnya doble... janjinya isep-isep doang” Pada scene ini menggambarkan, ketidakadilan gender dan kekerasan. Dalam hal ini pelacuran. Scene ini menggambarkan secara eksplisit kegiatan Pelacuranan. Dimana laki-laki itu bersiap mengancingi bajunya dan merapihkan riseleting celananya, Susipun merapihkan bajunya. Dari pakaian yang digunakan Susi, mencerminkan bahwa tidak semua pelacur harus berpakaian minim. Susi sudah mempunyai „harga‟ tanpa harus memakai pakaian yang serba terbuka.dan menurut penulis, dari pakaian yang digunakan kaitannya dengan pekerjaan, Susi tergolong pelacur kawakan. Pelacur ini, kental dengan faktor ekonomi. Jelas dengan kata-kata Susi yang meminta bayaran lebih. Meskipun kata-katanya tidak digubris sama sekali oleh laki-laki yang habis memakai jasanya. Susi menerima itu. Mau tak mau. Susi juga nrimo saja perilaku saat laki-laki itu melemparkan uang padanya. Meskipun dia pelacur atau dalam kata lain perempuan bayaran, tetap tidak pantas memberikan uang dengan cara dilempar. Seolah-olah tidak lagi ada “harga” disitu. Dan tindakan itu sangat merendahkan perempuan. Apapun pekerjaannya, perempuan adalah manusia juga. Harusnya setara dengan laki-laki. 69 Gambar 4.2 SCENE 10 Perilaku: beberapa om-om terlihat menggandeng perempuan berbaju minim di sebuah club malam. Make up: perempuan perempuan malam itu tidak memakai make up yang terlalu berlebihan. PAKAIAN: perempuan itu memakai tank top (baju tampa lengan) dengan rok pendek. Sementara para om-om terlihat berpakaian rapih menggunakan jas dan berdasi. Ucapan: -Perempuan dan dunia malam akrab dengan pelacuran. Meksipun tidak ada jaminan perempuan keluar malam adalah pelacur dan perempuan berpakaian minim juga menggambarkan pelacur. Tapi karena stereotipe yang sudah telanjur berkembang di benak masyarakat indonesia. perempuan keluar malam (apalagi menggunakan pakaian yang minim) adalah penggambaran dari tokoh „pelacur‟. Makanya tidak jarang kita mendengar berita, perempuan keluar malam diperkosa; karena stereotipe „perempuan nakal‟ itu tadi. 70 Gambar 4.2(1) CONT’D SCENE 10 PERILAKU: ibrahim bertemu dengan Jamila di sebuah club malam. Dan untuk pertemuan pertama. Ibrahim berani untuk berdiri sedekat itu dan goyang bersama Jamila, bahkan memeluk Jamila dari belakang. Jamila pun, seakan sudah dekat dengan Ibrahim, tampak pada scene ini begitu jelas. Make up: Jamila menggunakan make up natural, dalam arti make up yang tidak berlebihan. PAKAIAN: Ibrahim menggunakan kemeja sedangkan Jamila memakai Dress minim potongan dada rendah sehingga belahan dada nya terlihat. UCAPAN: Jamila (berbisik pada Ibrahim) “Perempuan Jalang di simpang jalan.. menyimpan tempayan dalam dada. Para pejabat datang menyapa.. melepas napsu dan uang jarahan” Scene ini menggambarkan ketidakadilan gender dan stereotipe. Dinamakan stereotipe karena adanya pelabelan atau penanda terhadap suatu kelompok tertentu, inilah yang menimbulkan munculnya ketidakadilan gender. Dimana perempuan yang keluar malam adalah perempuan nakal. Begitulah 71 asumsi yang berkembang dimasyarakat. Meskipun tidak semuanya perempuan yang keluar malam adalah perempuan nakal. Dan perempuan nakal identik dengan pakaian yang minim. Ketidakadilan gender dan stereotipe ini makin kuat dengan kata-kata Jamila kepada Malik “perempuan jalang di simpang jalan menyimpan tempayan dalam dada.. para pejabat datang menyapa. Melepas napsu dan uang jarahan”. Kata Jalang sendiri menurut kamus besar bahasa indonesia adalah tidak dipelihara orang: atau nakal (tentang perbuatan yang melanggar susila). 57 Katakata itu memberi kesan laki-laki pengguna jasanya adalah laki-laki terhormat dan pelacur itulah yang terkesan liar. Padahal tidak semua perempuan dengan baju minim adalah pelacur atau sebaliknya, tidak semua pelacur menggunakan baju yang minim. Tapi, ini semua kembali pada stereotipe “wanita malam” yang sudah terlanjur melekat di benak masyarakat luas di indonesia. Gambar 4.3 SCENE 11 PERILAKU: Jamila keluar club, memberhentikan taksi yang lewat, bermaksud untuk pulang. Malik mengikutinya lalu menarik tangan Jamila. 57 www.kbbi.web.id 72 Make up: meskipun menggunakan make-up, make up yang Jamila gunakan cukup natural. PAKAIAN: Jamila menggunakan dress berpotongan rendah warna abu-abu dan ibrahim menggunakan Kemeja panjang, berwarna hitam. UCAPAN: Ibrahim “boleh saya minta nomer handphone kamu” Scene ini menunjukan ketidakadilan gender dan kekerasan dalam hal ini bentuknya molestation atau jenis kekerasan terselubung dimana Ibrahim sudah menyentuh tangan Jamila, sedangkan Jamila sendiri tidak mau disentuh. Dan dari kata-kata Ibrahim, sungguh menggambarkan kehidupan jaman sekarang dimana menanyakan nomer telepon adalah hal yang lumrah. Gambar 4.4 SCENE 14 PERILAKU: tampak pada Malik sedang meminum susu. Ibunya sedang menata bunga yang ada dihadapannya. Make up: ibu Ibrahim menggunakan make up tipis. Yang berkesan elegan. PAKAIAN: Ibrahim menggunakan kemeja lengan panjang dengan dasi, ibunya menggunakan baju blouse lengan panjang warna biru langit. 73 Ucapan: Ibrahim (mencium pipi ibunya) “pagi mam” Ibu Ibrahim : eh kamu udah bangun” Scene ini mencoba menjelaskan ketidakadilan gender dan beban kerja. Meskipun dikemas dengan sangat halus, karena Ibrahim datang dari keluarga berada. „kelas‟ itu bisa terlihat dari dandanan ibu Ibrahim, full make up yang terkesan elegan, serta rambut yang disanggul keatas, juga pakaian yang menambah kesan „kelas‟ itu sendiri . Tapi tetap saja merupakan bentuk ketidakadilan gender. Adanya anggapan bahwa perempuan sudah selayaknya untuk bekerja di lingkungan domestik, salah satu contohnya adalah pada scene ini dimana ibu Ibrahim, menata bunga di dapur. Gambar 4.5 SCENE 32 PERILAKU: Jamila dikawal polisi memasuki RUTAN tempatnya dipenjara. Faizal, seorang tokoh ormas keagamaan menghadang Jamila, lalu meludahi Jamila. Make up: Jamila terlihat tanpa make up sama sekali. 74 PAKAIAN: Jamila memakai kaus putih dan Jaket kulit warna hitam. Faizal menggunakan baju koko lengan panjang berwarna hitam. UCAPAN: tidak ada dialog antara Jamila dan Faizal. Scene ini menunjukan ketidakadilan gender dan kekerasan, dimana Faizal meludahi Jamila, yang dengan kata lain „meludah‟ itu simbol bahwa Jamila hina dan atau kotor. Laki-laki selalu digambarkan sebagai tokoh yang berkarakter kuat juga mereka yang bertindak baru berfikir. Tetapi, tindakan meludah yang dilakukan Faizal nampaknya memang sengaja dilakukan untuk menggabarkan cemoohan, hinaan mendalam untuk Jamila yang adalah pelacur sekaligus pembunuh. Tapi, serendah apapun harga diri seorang perempuan, tetap saja tidak pantas diperlakukan seperti itu. Gambar 4.6 SCENE 42 PERILAKU: Jamila remaja sedang menuangkan air minum persiapan makan malam. Sementara itu Pamannya, meraba pinggul Jamila. Make up: tidak menggunakan Make-up apapun. PAKAIAN: Jamila menggunakan baju warna pink. 75 UCAPAN: tidak ada ucapan. Hanya saja saat terjadi hal tersebut Jamila langsung marah dan kembali ke dapur setelah dibentak oleh bibi nya. Scene ini menunjukan ketidakadilan Gender dan kekerasan, dalam bentuk kekerasan terselubung. Dimana Paman Jamila meraba pinggul Jamila, tentu saja tanpa kerelaan dari Jamila. bagaimana Jamila bisa rela? Sedangkan tujuan ibunya menitipkanya kepada keluarga Wardiman utamanya agar Jamila terhindar dari perilaku kasar sang ayah; selain itu juga supaya Jamila mendapatkan pendidikan yang layak. Tapi seolah nasib, Jamila yang kabur dari rumah Bu Sri (agen pedagang anak) untuk menghidari tindak pelecehan seksual, di tempat barunya malah dia dilecehkan oleh dua laki-laki sekaligus. Dari segi pakaian yang digunakan, Jamila sama sekali tidak memakai pakaian yang pas dibadan, yang meperlihatkan lekuk tubuhnya. Maksud penulis Jamila tidak menggunakan pakaian yang mengundang birahi para lelaki itu, tapi lelaki itu saja yang memang tidak tahu moral. Gambar 4.7 SCENE 43 76 PERILAKU: Hendra sepupu Jamila menarik Jamila ke atas tempat tidur, Jamila bersikeras untuk mengelak namun tidak bisa. Make up: Jamila tidak menggunakan make-up apapun. PAKAIAN: Jamila menggunakan pakaian tidur. Sementara Hendra menggunakan kemeja panjang warna hitam. UCAPAN: Hendra “Mau kemana kamu... hah?” Scene ini jelas menunjukan ketidakadilan gender dan kekerasan. Yaitu pemerkosaan. Kata-kata “mau kemana kamu.. hah?” yang diucapkan Hendra semakin menjadikan Jamila pada posisi yang tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak berdaya menolak. Sikap Hendra, supupu Jamila yang semena-mena itu mungkin karena Jamila hanya hidup menumpang pada keluarganya. Digambarkan bagaimana keluarga „terhormat‟ (seperti yang diceritakan Jamila pada buku hariannya), mampu melakukan tindakan asusila. Padahal dari segi pakaian yang digunakan, Jamila memakai gaun tidur lengan panjang dan longgar, bukan pakaian minim sama sekali. Jadi tidak dapat dikatakan tindakan pemerkosaan itu terjadi karena pakaian Jamila yang „mengundang‟ birahi Hendra. Tapi, jika melihat skenario film ini, digambarkan malam itu, Hendra baru saja pulang kerumah, dalam keadaan mabuk. Cukup menggambarkan laki-laki yang bagaimana tokoh Hendra itu. 77 Gambar 4.8 SCENE 47 PERIAKU: Pa Kadi menutup pintu sel Jamila. Jamila duduk memeluk kakinya sendiri, seperti menahan perasaannya yang campur aduk. Make up: --PAKAIAN: Pa Kardi menggunakan baju petugas lapas. Sementara Jamila menggunakan baju lengan panjang warna merah dan celana pendek. UCAPAN: Pa Kardi “gak usah semua ucapannya kamu ambil hati” Scene ini menunjukan ketidakadilan gender dan subordinasi, bahwa sepertinya Sukardi menilai ibu Ria sebagai pemimpin yang emosional. Dengan kata-kata itu, Kardi mungkin menunjukan dirinya baik. Namun, disisi lain pula, kata- kata itu seperti celaan untuk ibu Ria, pemimpin lapas itu. Jika dia menganjurkan Jamila untuk tidak mengindahkan semua kata-kata bu Ria, berati mungkin, Pak Kardi sendiripun dalam konteks bawahan terhadap atasan, terkesan tidak mendengarkan semua ucapan dari ibu Ria. 78 Gambar 4.9 SCENE 50 PERILAKU: Jamila remaja baru selesai mencuci pakaian. Dua preman lewat dan menyenggol Jamila hingga pakaian yang dibawanya jatuh. Make up: -PAKAIAN: preman menggunakan pakain preman. Jamila menggunakan kaus lengan panjang warna coklat dan rok panjang berwarna biru muda. UCAPAN: Preman (marah-kasar)“meleng aja sih... makannya jangan meleng...” Scene ini menunjukan ketidakadilan gender dan kekerasan, dimana para preman itu sengaja menyenggol Jamila hingga jatuh. Bentuk kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan seolah-olah menunjukan bahwa perempuan itu tidak bisa melawan, dan dengan kata lain, perempuan selalu menjadi mahluk yang tidak berdaya, lemah. Jadi menerima saja perlakuan dari laki-laki. Terbukti pada scene ini Jamila tidak mengatakan sepatahkatapun untuk mengungkapkan kekesalannya atas perilaku preman-preman itu. Ada banyak kemungkinan mengapa Jamila memilih bungkam setelah diperlakukan seperti itu, salah kemungkinannya adalah karena Jamila takut pada preman-preman itu. 79 Gambar 4.10 SCENE 51 PERILAKU: Jamila sedang tidur di bale. Tiba tiba seseorang laki-laki datang dan meraba betis Jamila hingga Jamila terbangun. Make up: -PAKAIAN: Jamila menggunakan kemeja lengan pendek lusuh warna cream dan rok panjang warna coklat muda. Laki laki itu menggunakan kemeja warna biru muda dan celana panjang. UCAPAN: -Scene ini menunjukan ketidakadilan gender dalam bentuk kekerasan, dimana laki-laki itu berusaha meraba Jamila yang sedang tertidur. Padahal Jamila tidak mengunakan pakaian yang menggundang. Hanya saja laki-laki tidak mampu menahan hasratnya tersebut. Apalagi sosok laki-laki itu digambarkan telah memiliki istri dan anak. 80 Gambar 4.11 SCENE 52 PERILAKU: Jamila meronta saat satpol PP menarik tubuhnya untuk dibawa ke pos. Make up: -PAKAIAN: Petugas satpol PP menggunakan pakaian seragam. Jamila menggunakan kemeja warna cream dan rok panjang warna coklat muda. UCAPAN: -Scene ini menunjukan ketidakadilan gender dan stereotipe. Bahwa perempuan yang keluar malam adalah perempuan nakal. Padahal saat itu Jamila hanya kebetulan berada di tempat razia karena melarikan diri dari kejaran preman pasar yang ingin menodainya. Harusnya petugas itu dapat melihat pakaian Jamila yang lusuh dan penampilannya yang tidak menarik. Karena jika dipikirkan secara logika, mustahil pelacur yang „mangkal‟ menggunakan pakaian seperti yang dipakai Jamila. Siapa yang akan tertarik? Tapi tetap saja tanpa logika, petugas satpol PP itu menarik Jamila. sebuah tindakan yang irasional menurut penulis. 81 Gambar 4.12 SCENE 58 PERILAKU: Jamila menemui Malik bersikeras tidak mau dibela secara hukum. Ibrahim menemui Jamila justru untuk mendesak agar Jamila mau dibantu secara hukum. Make up: -PAKAIAN: Malik memakai kemeja putih. Jamila memakai seragam tahanan. UCAPAN: Malik (menarik paksa bahu Jamila) “kamu membunuh seorang menteri jamila. Kamu bertanggungjawab pada negara, pada masyarakat” Jamila “ini adalah pertanggungjawaban saya malik. Berada di penjara ini adalah pertanggung jawaban saya. Keluar!!” Scene ini menunjukan ketidakadilan gender dan kekerasan. Nampaknya laki-laki sangat senang memaksa perempuan untuk melakukan sesuatu, tapi dengan cara yang kasar. Apakah tidak ada cara lain yang dapat digunakan lakilaki untuk membujuk perempuan? Apalagi Malik dengan background pendidikan seorang pengacara. Dengan perlakuannya yang kasar terhadap Jamila (kliennya). Memang maksud Malik, baik, untuk membujuk Jamila mau dibantu secara 82 hukum. Namun demikian, maksud baik yang disampaikan dengan cara yang kurang tepat seperti cara nya Malik, hasilnya pun bisa jadi tidak baik. Scene ini menunjukan, bahwa kekerasan dapat dilakukan oleh laki-laki manapun, tanpa melihat latar belakang pendidikan. Gambar 4.13 SCENE 66 PERILAKU: Jamila ditarik paksa oleh beberapa petugas lapas. Digiring ke ruangan isolasi. Make up: -PAKAIAN: Jamila mengunakan baju tahanan. Para penjaga lapas menggunakan seragam. UCAPAN: -Scene ini mirip seperti pada saat Jamila remaja yang tertangkap petugas satpol PP. Ketidakadilan gender dan kekerasan. Lagi-lagi, perempuan yang dipaksa melakukan sesuatu seolah menggambarkan bahwa perempuan bersifat mangkel. Tidak penurut, dan keras kepala 83 Gambar 4.14 SCENE 67 PERILAKU: beberapa petugas lapas menggiring Jamila ke sel isolasi. Salah satu, menyeret jamila dan mendorongnya kasar hingga tersungkur di sudut sel. Make up: -PAKAIAN: Jamila memakai seragam tahanan. Para petugas menggunakan seragam. UCAPAN: petugas (memukul dan menendang Jamila)“Sombong kamu ya!! Kamu pikir kamu orang penting? Hah?” Meskipun tindak kekerasan petugas lapas terhadap Jamila digambarkan secara eksplisit, scene ini tetap menunjukan ketidakadilan Gender dan kekerasan. Tindak pemukulan dan menendang Jamila, tergolong kasar dan semena-mena. Apalagi kekerasan yang akrab ditelinga masyarakat adalah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Namun, scene ini menunjukan keragaman bentuk kekerasan pada perempuan yang tidak hanya terjadi dalam lingkup domestik saja (rumah tangga). Terbukti, seorang petugas lapas secara semena-menanya memukul dan menendang Jamila. harusnya petugas lapas mempunyai pendidikan 84 yang tinggi, maksud penulis, ketika pemahaman seseorang tentang lawan jenisnya, baik. Ketika laki-laki memiliki pendidikan yang tinggi, harusnya lakilaki dapat memperlakukan perempuan jauh lebih baik dari mereka, para lelaki yang pendidikannya rendah. Dan harusnya, mereka berpikir bahwa perempuan adalah orang yang melahirkannya. Sehingga harus berpikir ribuan kali untuk melakukan tindakan kekerasan tersebut. Ternyata, pendidikan tinggi tidak menjamin manusianya (laki-laki) bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan pendidikannya, tetapi dalam scene ini, laki-laki yang memuku dan menendang Jamila itu, lebih mengutamakan emosi dibandingkan dengan latarbelakang pendidikannya. Gambar 4.15 SCENE 92 PERILAKU: Nurdin memeperlihatkan apartemen pemberiannya untuk Jamila. Sampai pada kamar Nurdin lalu menuntun Jamila ke atas ranjang. Make up: Jamila menggunakan make up menyesuaikan dengan pakaian yang digunakan 85 PAKAIAN: Nurdin memakai kemeja mewah berwarna kuning gading. Jamila memakai gaun berwarna pink. UCAPAN: tidak ada percakapan saat adegan ranjang itu. Scene ini menunjukan ketidakadilan gender dan kekerasan. Meskipun digambarkan secara eksplisit dan halus tetap saja termasuk dalam ketidakadilan gender. Adegan ranjang ini mengingatkan kembali tetang adengan ranjang Susi dengan laki-laki pengguna jasanya. Sama-sama menggambarkan seolah-olah wanita dapat “dibeli”. Namun terdapat perbedaan dimana, ketika Susi pelacur kelas bawah diperlakukan kasar dengan pemberian uang secara dilempar. Jamila, pelacur kelas atas (sejak bertemu Nurdin) diperlakukan dengan lembut. Hal ini menggambarkan secara nyata bahwa „kelas‟ juga menjadi salah satu faktor ketidakadilan gender. Digambarkan dua laki-laki dari kelas sosial yang sangat berbeda (Nurdin seorang menteri, dan laki-laki pemakai Susi adalah laki-laki biasa) sama-sama mampu melakukan kekerasan terhadap perempuan (pelacur). Pembedanya hanya pada kemasan dari perlakuan kasar itu. Laki-laki dengan pendidikan serta jabatan mengemas kekerasannya dengan bagus, sementara lakilaki dengan pendidikan rendah atau rata-rata lebih gamblang (to the point) dalam perlakuan kasarnya terhadap perempuan. 86 Gambar 4.16 SCENE 96 PERILAKU: Nurdin bertemu Jamila disebuah hotel. Make up: make-up tipis dan terkesan natural PAKAIAN: Nurdin memakai kemeja menggunakan dasi. Jamila menggunakan dress warna hijau tua. UCAPAN: Nurdin (menghempaskan tubuh Jamila ke atas kasur) “ini kan yang elo mau selamanya jadi sundal” 87 Scene ini merupakan plot dari film Jamila dan Sang Presiden. Seperti menjawab pertanyaan penonton bagaimana Nurdin terbunuh. Scene ini terang sekali menggambarkan ketidakadilan gender dan kekerasan. Dimana Nurdin yang digambarkan sebagai laki-laki yang powerfull. tindakan kekerasan itu antara lain: mendorong, mencekik bahkan menodongkan pistol pada Jamila. Dan apa yang dilakukan Jamila terhadap Nurdin hanyalah sebuah pembelaan diri saja. Dan katakata kasar yang diucapkan Nurdin kepada Jamila. “....selamanya jadi sundal”. Sundal yang dalam kamus besar bahasa indonesia berarti Gambar 4.17 SCENE 106 PERILAKU: tampak pada scene beberapa laki-laki,mengangkut anak yang turun dari dalam truk. Make up: -PAKAIAN: para lelaki menggunakan kemeja. Anak-anak menggunakan baju kaos biasa. UCAPAN: -Scene ini menunjukan ketidakadilan gender dan marginalisasi perempuan. Dimana (seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya) korban utama trafficking 88 atau perdagangan manusia adalah anak anak & perempuan. Menurut penulis, hal utama yang menyebabkan tingginya persentasi human trafficking adalah anggapan bahwa perempuan tidak begitu penting. Anak laki-laki harus mendapatkan pendidikan yang layak. Sementara perempuan terjebak dalam pekerjaan domestik. Seperti idiom “perempuan itu urusan dapur, sumur, dan kasur saja” yang sudah berkembang sejak dulu. Idiom ini mungkin dibawa oleh budaya Indonesia yang sebagian besar memenganut patriarki. Sehingga setinggi apapun pendidikan seorang perempuan, tetap dianggap tidak bisa tampil sebagai pemimpin. Hal ini lah yang menurut penulis menjadi sebab utama mengapa wanita mendapatkan ketidakadilan gender. Dan dalam film ini, trafficking seolah menjadi awal terjadinya segala ketidakadilan gender terhadap tokoh utama dalam film, yakni Jamila. 4.3.2 Level Reperesentasi Kode John Fiske atas Film Jamila dan Sang Presiden Kerja Kamera. Kamera ini digunakan melalui sudut dan fokus dalam memberi kita pandangan yang sempurna dari adegan itu, dan dengan demikian pemahaman yang lengkap dari itu. Sebagian besar kesenangan realisme televisi berasal dari rasa kemahatahuan yang memberikan kita. Jarak Camera digunakan untuk mengayunkan simpati kami jauh dari penjahat dan pelaku kekerasan. Jarak kamera normal di televisi adalah medium-shot dan close-up, yang membawa pemirsa ke dalam hubungan intim yang nyaman dengan karakter di layar. 89 Pencahayaan. Film Jamila dan sang Presiden ini menggunakan pencahanyaan yang sewajarnya dipakai dalam film atau gambar bergerak lain. Namun ketika scene-scene dimana Jamila dalam penjara; dalam sel; lighting yang digunakan agak redup. Peneliti berpikir, pencahayaan minim ini berfungsi untuk menarik simpati khalayak; untuk menyiratkan bahwa kehidupan si tokoh utama ini “gelap” Musik. Musik yang menghubungkan dua adegan dimulai pada kunci utama, dan berubah menjadi kecil sebagai adegan berubah menjadi keruh. Musik menjadi wakil perasaan dari tokoh utamanya. Pada scene sedih, musik meredup dengan nada minor. menyesuaikan dengan scene yang ada. Gambar 4.18 SCENE 10 SETTING: Interior Club malam. Malam hari. KAMERA: Medium shoot PENCAHAYAAN: gelap (minim lampu). MUSIK: (back sound suara musik ngebeat) 90 NARASI: -DIALOG: (ad lib para om-om dengan perempuan nya) KONFLIK: -KARAKTER: Dua orang laki-laki berpakaian rapih, berdasi dan memakai jas, merangkul wanita malam. Dari busana yang dikenakan menunjukan orang yang cukup berkuasa. Dalam hal ini, berduit. Dua orang perempuan usia belasan, menggunakan baju minim, dan sudah jelas menggambarkan wanita-wanita ini adalah wanita malam. TINDAKAN: mereka berjalan berpasangan in frame lalu out frame. Pengambilan gambar medium shoot berfungsi untuk penunjuk aktivitas. Berusaha menunjukan hubungan antara subyek dengan situasi yang ada didalamnya. Dan dengan lighting minim yang digunakan, selain untuk menunjukan bahwa setting-nya pada malam hari, juga mengesankan pelacur bekerja di tempat yang “remang-remang”. Back sound musik progressive ini juga sebagai pendukung situasi club pada malam itu. Digambarkan perempuan berbaju minim itu digandeng mesra dan nampak bahagia dengan senyum yang terpancar dari wajah mereka. 91 Gambar 4.18(1) CONT’D SCENE 10 SETTING: Interior Club malam. Malam hari. KAMERA: close up wajah Jamila. PENCAHAYAAN: gelap (minim lampu). MUSIK: (back sound suara musik ngebeat) NARASI: -DIALOG: Ibrahim: kamu siapa sebenarnya? Maskud saya latar belakang kamu.. keluarga?” KONFLIK: mendengar itu, airmuka Jamila langsung berubah. Dan langsung bersiap diri meninggalkan club itu. KARAKTER: Ibrahim & Jamila. TINDAKAN: Jamila surut dari hadapan Ibrahim, mengambil tasnya lalu pergi keluar club. Metode pengambilan gambar close up, berfungsi sebagai penekanan karakter, dialog dramatik, ataupun respon terhadap sebuah situasi. Jelas untuk menggambarkan airmuka Jamila saat merespon dialog dari Ibrahim. Konflik yang 92 timbul nampaknya bukan atara Jamila dengan ibrahim. Tetapi antara Jamila dengan dirinya sendiri. Kata-kata dari Ibrahim lah yang menjadi pemicunya. Seolah menyegarkan kembali ingatan Jamila tentang „keluarga‟ keluarnya sendiri, keluarga yang berantakan. Keluarga yang sudah lama tidak dijumpainya. Keluarga yang melupakannya. Jamila tidak dapat menyembunyikan ekspresi kecewa pada wajahnya. Ibrahim merasa bersalah juga, merasa kata-katanya telah mengubah suasana hati Jamila, tapi dia tidak tahu apa itu? Jamila hanya memikirkan konsep keluarga yang baru saja ditanyakan Ibrahim. Yang sudah meluber dihatinya. Gambar 4.19 SCENE 20 SETTING: Ekterior apartemen Jamila. Lobby apartemen. KAMERA: close up wajah Jamila. PENCAHAYAAN: terang. Secukupnya. MUSIK: (alunan piano) NARASI: -- 93 DIALOG: VO („kamu tidak akan mengerti Ibrahim, dunia ini bukan untukku. Dan aku sudah memutuskan untuk berhenti. Berhenti terhempas-hempas mencari kebebasan semu... berhenti mencari adikku, Fatima, satu-satunya alasanku untuk hidup.” KONFLIK: konflik bathin Jamila. KARAKTER: Jamila. TINDAKAN: mendengar hape nya berbunyi, Jamila merogoh tas dan mengambil hpnya. Tampak nama Ibrahim di layar handphone. Jamila lalu mematikan telponnya dan pergi keluar lobby. Metode pengambilan gambar close up bertujuan untuk mengangkat karakter subyek, dalam hal ini, karakter Jamila yang merupakan tokoh utama dalam film Jamila dan Sang Presiden. Kakater Jamila yang dengan penggunaan kacamata yang terkesan mewah itu, seolah menggambarkan kelas sosial Jamila. tapi disisi lain, penggunaan kacamata pada scene ini ingin memberi kesan „tertutup‟ dari sudut pandang orang lain yang melihat jamila. Penggunaan VO berusaha mengkomunikasikan kepada para penonton tentang apa yang akan terjadi selanjutmnya dalam film ini. Juga memberi gambaran yang nyata tentang alasan mengapa Jamila tidak menerima telpon dari Ibrahim. 94 Gambar 4.20 SCENE 22 SETTING: Interior rumah ibu Sri. Malam hari. Flashback. KAMERA:Medium Shoot PENCAHAYAAN: minim cahaya. MUSIK: suara hujan dan halilintar NARASI: -DIALOG: ““sekolah, sekolah...... anak ga tau diuntung. Ngelawan kamu ya! Kamu pikir ibu beli kamu mahal mahal untuk disekolahin? Jangan mimpi!!” KONFLIK: antara Ibu Sri (agen penjual anak) dengan Jamila kecil. KARAKTER: Jamila kecil & Ibu Sri. TINDAKAN: Ibu Sri menyeret Jamila keluar rumah. Ingin menghukum Jamila. Medium shoot jelas ingin mengambil fokus penonton terhadap subyek, shoot seperti ini sangat efektif untuk menarik perhatian penonton pada apa yang sedang terjadi. Dan jelas tergambar ketidakadilan gender atas subordinasi, dimana kebanyakan korban trafficking adalah perempuan. Ditambahkan dengan dialog 95 dari ibu Sri “sekolah, sekolah...... anak ga tau diuntung. Ngelawan kamu ya! Kamu pikir ibu beli kamu mahal mahal untuk disekolahin? Jangan mimpi!!” Bisa jadi anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi adalah penyebab utama human trafficking (kaitannya dengan faktor ekonomi dalam suatu keluarga). Gambar 4.21 SCENE 26 SETTING: Eksterior Desa Jamila. Subuh. Flashback. KAMERA: Long shoot. PENCAHAYAAN: cukup terang. MUSIK: alunan piano, bernada miror. NARASI: -DIALOG: bu Wardiman itu lebih tua dari ibu. Dia saudara jauh ibu. Dia orang baik dan kawin sama orang penting. Dia pasti anggap kamu anaknya sendiri Mila. Karena dia tidak punya anak gadis seperti kamu. Belajar menerima Mila. Bersyukur.....” KONFLIK: antara Jamila dengan ibunya. 96 KARAKTER: Jamila remaja. Ibu Jamila, dan adik Jamila, Fatima. TINDAKAN: Jamila remaja, ibu Jamila serta adik Jamila berjalan menyusuri persawahan. Longshot dalam scene ini berfungsi untuk memberikan keluasan padangan penonton, sebagai petunjuk waktu dan lokasi. Dimana setting masa lalu yang kental, persawahaan dan gunung yang hijau, juga penutup kepala yang dipakai ibu Jamila, mengesankan masa lalu itu. Dan dengan ibu Jamila yang berjalan pesat meyusuri sawah, sambil menggendong anaknya, nampak sekali ketidakadilan gender dan beban kerja. Dimanapun berada (diluar lingkungan domestik) perempuan selalu tampil sebagai sosok yang tetap mengurusi anak. Dan dari ucapan ibu Jamila, cukup menggambarkan sifat wanita yang harus tegar dalam menghadapi cobaan yang ada dan tetap harus selalu bersyukur. Gambar 4.22 SCENE 35 SETTING: Interior sel Jamila. Malam hari. KAMERA: CLOSE UP wajah Jamila. PENCAHAYAAN: Gelap. 97 MUSIK: alunan biola bernada minor. NARASI: -DIALOG: Jamila: itu hak saya..... tolong kembalikan!” Bu Ria; kamu tidak punya hak sayang!! Ini... satu-satunya hak kamu. Nomor ini. Faham” KONFLIK: antara Jamila dengan Bu Ria KARAKTER: Jamila dan Ibu Ria TINDAKAN: Bu Ria merampas amplop coklat milik Jamila. dan menggantinya dengan baju seragam tahanan. Jamila marah besar. Scene 35 ini mengambil shoot close up yang berfungsi untuk memberikan penekanan terhadap karakter atas suatu tindakan. Pencahayaan yang digunakan agak gelap mungkin untuk menunjukan bahwa setting nya pada malam hari. dan terjadi nya konflik antara ibu Ria dan Jamila adalah karena Jamila merasa haknya dirampas oleh Bu Ria. Meskipun hanya sebuah amplop, tapi tampaknya dari reaksi marah Jamila, amplop itu berisi sesuatu yang sangat penting dalam hidup Jamila. amplop itu juga jika penonton ingat, adalah amplop yang dibawa Jamila saat janjian bertemu dengan Susi, beberasa saat sebelum Jamila menyerahkan diri ke polisi. Dari dialog antara bu Ria dengan Jamila juga menjadi penguat unsur konflik tersebut “kamu tidak punya hak” seolah-olah menggambarkan tokoh bu Ria sebagai kepala sipir yang tegas dan kuat. Sementara Jamila menjadi tokoh yang lemah dan tertindas. Scene ini menjadi lanjutan dari ketidakadilan gender dan stereotipe, dimana Jamila sebagai pelacur, terlanjur dinilai rendah oleh Bu 98 Ria, dan terlebih Jamila sebagai pembunuh. Alunan musik bernada minor yang menjadi backsound berusaha menggambarkan kesedihan dan kepiluan Jamila. Gambar 4.23 SCENE 43 SETTING: Interior kamar Jamila. Malam hari. flashback KAMERA: tehnik pengambilan gambar dengan low angle. PECAHAYAAN: cukup cahaya MUSIK: alunan piano bernada minor NARASI: -DIALOG: “Mau kemana kamu.. hah?” KONFLIK: antara Jamila dan Hendra. KARAKTER: Jamila dan Hendra (sepupu Jamila) TINDAKAN: Hendra menyapu seluruh isi tempat tidur dan menghempaskan tubuh Jamila keatasnya. Low angle sangat tepat digunakan untuk menggambarkan situasi „tertindas‟ maksud saya, ketika para penonton melihatnya, subyek pada gambar 99 tentu terlihat lebih kecil. Jadi, scene ini dengan tehnik pengambilan gambar low angle sangat sempurna untuk menggambarkan ketidakadilan gender dan kekerasan. Dimana Jamila merasa tertindas, tergambar dengan baik melalui tehnik low angle ini. Selain itu, dari dialog yang Hendra ucapkan, Jelas sepertinya Jamila sama sekali tidak punya kekuatan untuk melawan perlakuan Hendra. Masih dengan alunan musik bernada minor yang semakin melengkapi situasi yang sedang terjadi dalam film. Apa yang dilakukan Hendra, sebagai sepupu Jamila sama sekali tidak terpuji, bahkan bejat. Memang Jamila menumpang tinggal dan hidup di rumah keluarganya, tapi bukan berarti juga Jamila bisa diperlakukan sesuka hatinya. Gambar 4.24 SCENE 47 SETTING: Interior sel Jamila. Malam hari. KAMERA: medium long shot. Dengan tehnik framing melalui jeruji sel Jamila. PENCAHAYAAN: cukup MUSIK: -NARASI: -- 100 DIALOG: bu Ria (bicara kepada Sukardi) „kenapa? Gw ini lagi ngatur napi brengsek.keberatan??‟ KONFLIK: antara ibu Ria dengan Jamila. KARAKTER: Jamila, bu Ria dan Sukardi. TINDAKAN: Bu Ria berjalan keluar sel Jamila. Tehnik framing ini cukup menarik. Sehingga tepat untuk menggambarkan Jamila yang seolah „terkurung‟ dengan metode medium longshot yang berfungsi untuk menunjukan hubungan atara subjek dengan situasi yang ada didalamnya, dalam hal ini Jamila dengan situasi terpenjara didalam penjara. Dialog Bu Ria “kenapa? Gw ini lagi ngatur napi brengsek... keberatan”. Menurut penulis, ibu Ria terlanjur melabelkan Jamila dengan stereotipe yang buruk, sehingga ketidakadilan gender itu terjadi. Dan jadilah ibu Ria yang memaki Jamila semuanya. Tanpa mendalami lebih jauh apa yang sebenar-benarnya terjadi. Gambar 4.25 SCENE 52 SETTING: Eksterior jalanan tempat mangkal pelacur. KAMERA:medium close up 101 PENCAHAYAAN: gelap MUSIK: lagu dangdut NARASI: -DIALOG: Susi: “Eh ikut aja.... ikut... gapapa ada gue” KONFLIK: antara Jamila dengan satpol PP KARAKTER: Jamila, Susi, Para pelacur dan satpol PP TINDAKAN: Jamila berusaha menghindar dari tangkapan satpol PP Pada scene ini jelas tergambar ketidakadilan gender dan stereotipe. Dengan medium shot menjadi pendukungnya. Dimana penggunaan medium close up sendiri untuk penekanan karakter. Gambar 4.26 SCENE 53 SETTING: Ekterior rumah ibu Darno. Malam hari. flashback. KAMERA: medium shot PENCAHAYAAN: cukup MUSIK: -NARASI: -- 102 DIALOG: Susi; eeee ngerocos aja kayak petasan injek, anak masih ingusan ini mam.... gw laporin lo mam, macem macem mam....... Bu darno (sewot): heh lonte munafik Susi: germo tua kisut, ga laku Bu darno; nggak tau diri. Lonte ga tau diuntung... sekarang aje lo ngelawan gw... dulu.. KONFLIK: antara Susi dengan ibu Darno (germonya) KARAKTER: Jamila remaja. Susi Ibu Darno TINDAKAN: Susi menghalangi usaha ibu Darno untuk menjual Jamila Scene ini seperti menunjukan bahwa stereotipe „pelacur‟ sangat erat dengan kata-kata kasar yang tidak enak didengar telinga. Scene ini juga menunjukan bahwa pada saat remaja, Susi selalu tampil menjadi pembela dan penyelamat bagi Jamila. Gambar 27 SCENE 61 103 SETTING: Interior lorong depan sel Jamila. KAMERA: medium shot PENCAHAYAAN: cukup MUSIK: -NARASI: -DIALOG: “Lo pikir napi napi lain itu suka sama kelakuan lo? Hidup kayak dihotel, manja manja minta perhatian kang Surya (meludah) udah bagus lu kagak disuruh bersihin jamban! Gue juga kriminal Mila, gue perampok kelas berat. Tapi sebagai perampok, gue punya keahlian, ngak sekedar buka slangkangan kaya lo” KONFLIK: antara Sari dengan Jamila KARAKTER: Jamila & Sari TINDAKAN: Sari memaki Jamila saat Jamila sedang bersiap dibawa bertemu dengan ibu Ria. Scene ini menunjukan begitu buruknya stereotipe “perempuan malam‟ yang menempel dalam diri Jamila. Dimana Sari, napi kriminal dari sel sebelah Jamila, memaki bahkan meludah. Dengan kata – kata kasar “...Tapi sebagai perampok, gue punya keahlian, ngak sekedar buka slangkangan kaya lo” ejekan itu penuh kebencian. Mungkin napi lain iri karena segala kegiatan Jamila terpisah dengan napi lainnya, selain itu juga Jamila mendapatkan perhatian dari kang Surya, petugas lapas yang masih muda dan juga tampan. 104 Gambar 28 SCENE 63 SETTING: Interior Dapur. Siang hari. KAMERA: medium shot PENCAHAYAAN: cukup MUSIK: -NARASI: -DIALOG: “pejabat dan saya sama bu... sama-sama pelacur” KONFLIK: antara Jamila dengan Bu Ria. KARAKTER: Jamila dan Bu Ria TINDAKAN: Bu Ria mengomeli Jamila di dapur umum lapas. Digambarkan dalam film ini, entah bagaimana, ibu Ria mempunyai perasaan kepada Surya, sehingga melihat kedekatan Jamila dengan Surya-lah yang membakar emosi ibu Ria. Jadi kata-kata penuh amarah yang diucapkan ibu Ria, selain karena “stereotipe” tadi adalah juga karena rasa cemburunya atas kedekatan & perhatian Surya kepada Jamila. 105 Gambar 29 SCENE 66 SETTING: Ekterior Lapas KAMERA: long shot PENCAHAYAAN: cukup. MUSIK: -NARASI: -DIALOG: -- (Jamila VO “aku lebih suka meminta presiden untuk menuduriku Bu Ria, ketimbang memintanya memberiku pengampunan. Pengampunan hanya akan memperpanjang kesialanku. Tidak satu orang pun di muka bumi ini ingin jadi pelacur, bu Ria”) KONFLIK: Jamila dengan ibu Ria, juga para petugas lapas yang lain. KARAKTER: Jamila, dan para petugas lapas TINDAKAN: (atas perintah ibu Ria) Petugas lapas menyeret Jamila dengan paksa. Membawa Jamila ke ruang isolasi. 106 Lagi-lagi tidak bosannya, ketidakadilan gender dan stereotipe itu dimunculkan dalam scene. Seperti dalam scene ini, Jamila digambarkan terlan jur terjerat kedalam “strereotipe” itu tadi sehingga seolah-olah berhak menerima perlakuan kasar dan semena-mena. Gambar 30 SCENE 73 SETTING: interior sel Jamila malam hari KAMERA:close up PENCAHAYAAN: gelap MUSIK: alunan piano bernada minor NARASI: -DIALOG: (Kang Surya VO “Terimakasih telah menjadi sahabatku Mila. Terimakasih telah membantu Akang berpikir jernih. Kamu benar, Akang harus merebut hak Akang yang selama ini direnggut orang di luar sana. Tapi Akang tidak akan meninggalkanmu. Sukardi dan kawan-kawan di sel-3 akan menjagamu untuk Akang, dan radio kecil ini akan membantumu mengikuti perkembangan. 107 Ikhlaskan semuanya Mila. Semua yang pernah melukai hatimu. -Surya”) KONFLIK: Konflik batin Jamila. KARAKTER: Jamila. TINDAKAN: Jamila membaca surat dari Surya. Jamila tampak bingung dan seakan tidak percaya akan hadiah yang baru saja diterimanya. Surya memberinya hadiah sebuah Radio. Jamila sendiri-pun nampaknya sudah berpikir bahwa dirinya sendiri adalah perempuan yang tidak baik sehingga tidak pantas menerima perlakuan baik dari oranglain. Tapi hadiah dan terlebih isi surat dari Surya seakan sedikit melepas bebannya. Dengan katakata terakhir dari Surya “Iklaskan semuanya Mila... semua yang pernah melukai hatimu...” pesan itu menjadi sangat berarti bagi Jamila. sebuah nasehat yang positif dan juga digambarkan pada scene secara close-up untuk memberi penegasan kepada penonton tentang reaksi Jamila saat membuka dan membaca surat dari kang Surya. Gambar 31 SCENE 81 SETTING: interior Ruang kerja & aktifitas napi. 108 KAMERA: medium close up PENCAHAYAAN: cukup MUSIK: -NARASI: -DIALOG: ibu Ria “kamu masih punya 36 jam untuk menghidari hikuman mati. Ngak penting presiden datang atau tidak. Minta Grasi!” KONFLIK: antara Jamila dengan ibu Ria KARAKTER: TINDAKAN: bu Ria menasehati Jamila. Masih dalam keadaan bersitegang bu Ria memberikan Jamila sebuah nasehat. Telat nampaknya karena, Jamila sudah terlanjur menerima perlakuan kasar dari ibu Ria dan kini tiba-tiba ibu Ria menjadi baik dan menasehatinya layaknya tidak pernah terjadi apa-apa. Sulit diterima Jamila. dan medium close up pada scene ini berfungsi untuk memperlihatkan ekspresi datar Jamila atas nasihat yang diucapkan ibu Ria. Gambar 32 SCENE 86 109 SETTING: ekterior taman lapas KAMERA: CLOSE UP PENCAHAYAAN: cukup. MUSIK: alunan piano minor NARASI:-DIALOG: “aku mencintai mu Jamila.. aku mencintaimu” KONFLIK: konflik bathin Jamila KARAKTER: Jamila dan Ibrahim. TINDAKAN: ibrahim menarik tangan Jamila, lalu menjatuhkan tubuh Jamila kedalam peluknya. Ibrahim lah yang dari awal begitu perhatian pada kehidupan Jamila. dan sampai detik-detik menjelang eksekusinya, Jamila baru terbuka matanya bahwa didunia ini, di dunia nya yang tidak sempurna masih ada laki-laki yang mencintainya dengan tulus tanpa melihat latar belakang nya sebagai pelacur sekaligus pembunuh. Gambar 33 SCENE 94 110 SETTING: Interior apartemen Jamila. Siang KAMERA: CLOSE UP PENCAHAYAAN: Cukup MUSIK: NARASI: -DIALOG: Jamila “gue hamil susi,, gue hamil dari satu-satunya laki-laki yang gue cintai dan sekarang dia meninggalkan gue” KONFLIK: Jamila dengan dirinya sendiri. KARAKTER: Jamila dan Susi TINDAKAN: Susi menarik Jamila kedalam pelukannya. Dan air mata Jamila tumpah dalam pelukan Susi. Susi merupakan orang penting dalam hidup Jamila. sejak terrtangkap saat razia. Susi lah yang merawat Jamila sampai bertemu dengan Nurdin. Susi, sudah seperti kakak untuk Jamila, dan nampaknya di dalam scene ini, Susi turut sedih atas apa yang terjadi kepada Jamila. Susi begitu mengenal Jamila sebagai sosok permpuan yang kuat, yang biasanya mampu bertahan dalam kondisi kehidupan terburuk. Tapi begitu melihat Jamila terpuruk seperti saat ini, Susi pun sedih melihatnya. Bathin Jamila bergolak, dia sangat ingin mempunyai anak dari Nurdin, tapi ternyata Nurdin pun menganggapnya tidak lebih dari seorang pelacur. Kenyataan pahit itulah yang membuatnya begitu sedih, pilu, memangisi nasibnya sendiri. 111 Gambar 34 SCENE 96 SETTING: Interior kamar Hotel. Malam hari KAMERA: Medium Close Up PENCAHAYAAN: cukup. MUSIK: alunan biola terkesan menegangkan NARASI: -DIALOG: „ini kan yang lo mau selamanya jadi Sundal” KONFLIK: antara Jamila dengan Nurdin KARAKTER: Jamila dan Nurdin TINDAKAN: Nurdin sudah berencana untuk membunuh Jamila. Metode pengambilan gambar pada scene ini close up semuam untuk menunjukan reaksi dari aksi subyek dalam gambar. Nurdin sengaja mengajak Jamila bertemu berniat untuk membunuhnya. terbukti dari Pistol yang dibawanya. Mereka berkelahi, Nurdin memaki Jamila, dan berusaha menembaknya. Tapi pistol itu berhasil direbut oleh Jamila. dan tanpa sengaja pelatuknya tertekan 112 hingga menyebabkan terbunuhnya Nurdin. Kata-kata Nurdin sama sekali tidak enak didengar, telebih Jamila adalah orang yang pernah dicintainya. Dan tampaknya begitu cepatnya bagi Nurdin berubah dari sayang menjadi benci bahkan berbuat kasar kepada Jamila. Gambar 35 SCENE 102 SETTING: Interior Kamar mandi Jamila. malam hari. KAMERA: long shot PENCAHAYAAN: gelap. MUSIK: alunan piano bernada minor. NARASI: -DIALOG: “maaf kan teteh Fatima,,,, maafkan teteh” KONFLIK: konflik bathin Jamila KARAKTER: Jamila. TINDAKAN: Jamila duduk menangis memeluk celengan ayam di kamar mandi didalam selnya. 113 Dia nampak begitu sedih dan haru dengan kenangannya itu. Celengan kenangan bersama adiknya Fatima. Dia ingat tujuan awal dia tinggal bersama ibu Wardiman, untuk sekolah lalu bekerja demi menyekolahkan adiknya, Fatima. Namun keinginan itu menjadi angan-angan saja karena Jamila terperangkap pada kenyataan yang sungguh memilukan. Longshot sendiri menunjukan bagaimana mirisnya kehidupan dipenjara. Kotor, kumuh. 4.3.3 Level Ideologi Kode John Fiske atas Film Jamila dan Sang Presiden Film menampilkan waccana yang dijadikan pintu masuk memahami kondisi masyarakat tertentu. Khrisna Sen (1987) yang melakukan kajian kritis tentang film tahun 1965 sampai 1982, menemukan benang merah atara struktur kekuasaan orde baru dengan film sebagai produk kultural. Film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga konstruksi sosial yang membentuk masyarakat dapat dilihat melalui film. Dalam konteks gender, konstruksi sosial muncul dalam penampulan perempuan dan laki-laki dalam peran-peran sosial, masalah seksual dan reporoduksi, pekerjaan perempuan, gambaran tentang feminitas dan stereotip perempuan. Dari sini kesadaran konstruksi sosial menjadi penting, sebab akan menjadi titik tolak dari proses kreatif. Masalah yang perlu diapresiasi adalah bentukbentuk penindasan yang berasal dari nilai partiarki. Penindasan dapat bergerak dalam bentuk kekerasan fisik sampai kekerasan simbolik yang berssifat psikologis. Pemujaan kecantikan perepuan misalnya, dapat dipandang sebagai 114 kekerasan simbolik jika tujuan akhirnya kepentingan hegemoni pasar dalam struktur kapitalisme. 58 Kode-kode dan kode televisual yang membawa mereka ke penampil keduanya tertanam dalam kode ideologis yang mereka sendiri adalah pembawa. Jika kita mengadopsi praktik ideologis yang sama dalam decoding encoding kita ditarik ke posisi dari, putih laki-laki, kelas menengah Amerika (atau orang Barat) moralitas konvensional. Posisi membaca adalah titik sosial di mana campuran televisual, sosial, dan kode ideologis datang bersama-sama untuk membuat koheren, rasa bersatu: dalam membuat rasa program ini dengan cara ini kita terlibat dalam praktik ideologis diri kita sendiri, kita mempertahankan dan legitimasi ideologi dominan, dan penghargaan kami untuk hal ini adalah kesenangan yang mudah dari pengakuan akrab dan dari kecukupan. Kita telah menjadi "membaca subjek" yang dibangun oleh teks, dan, menurut Althusser (1971), pembangunan subyek ideologi adalah pratek ideologis utama di dalam masyarakat kapitalis. Ideologi Patiarki dimana sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah memiliki otoritas terhadap anak perempuan, anak-anak serta harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan. Kebanyakan sistem patriarki juga adalah sistem patrineal. 58 Ashadi Siregar. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: ketidakadilan konstruksi perempuan di film dan televisi. Yogyakarta. Vol 7 no.3 Maret 2004 115 Partisipasi dalam status publik dan politik atau agama atau atibusi dari berbagai pekerjaan pria dan wanita ditentukan oleh pemabagian kerja secara seksual.59 Gambar 36 SCENE 14 Ibu ibrahim sibuk dengan pekerjaan domestik. Gambar 37 SCENE 15 Malik sebagai sosok “pelindung‟ Jamila 59 http://id.m.wikipedia.org/wiki/Patriarki#section_language 116 Gambar 38 SCENE 24 Ibu Sri, agen pedagang anak, menghukum Jamila kecil. Kata bu Sri “sekolah.. sekolah... kamu pikir saya beli kamu mahal-mahal untuk disekolahin... kalau mau marah.. marah sana sama bapakmu” kata-kata Ibu Sri menjadi penegas dari perilaku patriarki itu sendiri. Gambar 39 SCENE 26 Ibu Jamila mengantar Jamila ke stasiun, sambil menggendong Fatima. 117 Ideologi Kapitalis adalah paham dimana bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dalam hal ini, pihak berduitlah yang bisa “mengatur”. Implikasi dari sistem ini telah diperluas tidak hanya terkait bisnis tetapi juga dalam segi kehidupan yang lainnya. Nampak dalam film ini, bagaimana suatu ormas berbau agama, yang dikomandoi oleh Faizal begitu ngotot untuk menghukum Jamila seberat-beratnya. Bukan sebuah bualan bawa pada kehidupan nyata sering terjadi dimana ormas tertentu dikendalikan orang-orang berduit untuk mengarahkan suatu opini publik. Begitupun bagaimana dalam film ini, Faizal mati-matian mengecam Jamila, adalah karena bayaran orang tertentu. Mengingat kasus pembunuhan yang Jamila lakukan adalah kasus pembunuhan Menteri. Juga Malik yang bertindak sebagai pengacara Jamila, dimana Malik berusaha membela Jamila dengan niat tulus membantu teman, tapi karena Ibrahim membayar Malik dengan mahal agar Malik mau membela kasus Jamila. Gambar 40 SCENE 48 Faisal bertemu dengan ormas berbau agama 118 Gambar 41 SCENE 56 Malik dan pengacara lain mengikuti perkembangan kasus Jamila Gambar 42 SCENE 58 Jamila “berada di penjara ini adalah tanggung jawab saya Malik” 119 Gambar 43 SCENE 68 Forum Pemuda yang berdemo pada saat persidangan Jamila Gambar 44 SCENE 69 Faizal “bagi kami yang penting Jamila dihukum mati yang mulia” 120 Gambar 45 SCENE 87 Faizal “tidak ada Grasi untuk pelacur” Gambar 46 SCENE 90 Jamila menerima uang dari Nurdin 121 Gambar 47 SCENE 101 Presiden terduduk diam, tidak memberikan grasi pada Jamila. 4.4 Pembahasan Ketidakadilan gender digambarkan pada tokoh perempuan dalam film Jamila dan Sang Presiden. Yakni, Jamila. dengan tiga setting waktu yang berbeda yaitu; Jamila kecil, Jamila remaja dan Jamila dewasa, dimana setting dan lokasi serta karakter dalam film ini digambarkan secara nyata (realistis). Pada saat Jamila kecil, tampak sekali budaya priyayi yang kental, penggunaan baju kemben berupa kain bercorak batik, sebagai contohnya. Jamila remaja, setting lokasi yang direpresentasikan, erat kaitannya dengan jaman itu, yakni masih menggunakan kereta sebagai alat transportasinya, juga celengan ayam yang dibawanya kemanamana. Untuk menandakan „jaman‟ dimana Jamila tumbuh. Demikian pula setting waktu pada saat Jamila dewasa, dimana sudah sangat modern, juga terlihat dari penggunaan teknologi. 122 Ketidakadilan gender dalam film Jamila dan Sang Presiden dimanifestasikan kedalam; marginalisasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja yang dialami oleh tokoh perempuan dalam film ini. Salah satu bentuk manifestasi ketidakadilan gender yang sangat eksplisit adalah kekerasan. Yaitu: pemukulan, pemerkosaan, pelacuran, dan molestation atau kekerasan terselubung. Kentalnya unsur kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dalam film ini, menggambarkan budaya patriarki. Sekalipun, tokoh perempuan belum atau bukan istri dari si penyiksa. Ketidakadilan gender yang terjadi karena budaya patriarki ini selanjutnya akan terbentuk menjadi stereotipe perempuan yang mengakibatkan perempuan, dengan segala kelemahannya, berada dibawah kendali laki-laki. Sehingga perempuan hanya dapat bersikap nrima, rela dan tabah. Sikap hormat (perempuan terhadap laki-laki) yang kemudian berubah menjadi rasa takut, malu, dan sungkan inilah membuat mereka menjadi lunak atas kesewenang-wenangan laki-laki. Suatu bentuk pemberontakan perempuan, dalam film inilah yang menyebabkan munculnya konflik baru dalam kehidupan Jamila, sampai akhirnya di jatuhi hukuman mati. Kejadian ini karena Jamila sebagai perempuan dan korban, berusaha melawan ketidakadilan gender itu dengan kekerasan. Dalam 3 waktu: Jamila kecil kabur dari rumah agen pedagang anak. Jamila remaja kabur dengan sebelumnya membunuh dua laki-laki yang memperkosanya. Jamila dewasa kabur dari usaha pembunuhan oleh Nurdin, yang berakhir dengan terbunuhnya Nurdin. 123 Kemajuan jaman yang menggeser norma-norma dan budaya yang mengikat perempuan. Namun demikian, tidak membebaskan perempuan dari kekuasaan laki-laki. Jika pada saat masih kecil, Jamila hanya dapat melakukan perlawanan dengan kabur dari rumah agen pedagang anak, semakin bertumbuh, Jamila makin berani dalam melakukan perlawanan. Saat remajanya dia membunuh dua orang orang sekaligus, yakni paman dan sepupunya yang telah menodai dia. Dan seakan belum lepas dari keinginanya untuk melawan ketidakadilan gender itu, pada saat dewasa ia kembali membunuh, meskipun hanya untuk membela diri. Tapi pada akhirnya Jamila bertanggungjawab atas kesalahannya itu dengan menyerahkan diri ke polisi. Tapi pada akhirnya perlawanan Jamila ini kandas. Dan hanya merupakan perlawanan semu semata. Karena dua tokoh laki-laki yang belum lama dikenalnya, yakni Ibrahim dan Kang Surya yang bersifat baik, dan sungguh bertolak belakang dari sifat laki-laki yang selama ini pernah dikenalnya. Terutama Ibrahim yang dengan tulus berusaha membantu Jamila dengan menunjuk Malik sebagai pengacara pembela Jamila meskipun Jamila menolaknya. Karena dua tokoh laki-laki itu Jamila seakan pasrah dengan ketidakadilan gender yang dialaminya. Pada akhirnya ketidakadilan gender terhadap perempuan disebabkan oleh budaya patriarki yang muncul dari sebuah kebudayaan yang berkembang dalam tatanan masyarakat tertentu. Perempuan selalu menerima ketidakadilan gender, karena laki-laki selalu merasa bahwa merekalah yang mampu lebih berperan ketimbang perempuan. Perempuan adalah sosok yang lemah dimata laki-laki. 124 Tapi dilihat dari sisi lain, perempuan justru sosok yang kuat, karena tabah menghadapi ketidakadilan gender dalam hidup mereka. Bahkan perempuan mampu melakukan pemberontakan atas dirinya, meskipun dalam film ini pemberontakan yang dilakukan oleh tokoh utama, yaitu Jamila adalah pemberontakan yang tidak tepat. Dimana dia berontak dengan cara membunuh laki-laki yang menyakitinya. Film ini sukses memberikan gambaran alur dari ketidakadilan gender itu, dari awal Jamila menjadi korban trafficking oleh ayahnya sendiri, diperkosa dan dilecehkkan oleh paman dan sepupunya, hingga terjebak menjadi pelacur saat dia beranjak dewasa. Latar belakang pendidikan dan ekonomi lah yang menjadi akar masalahnya.