Epilepsi Pada Kehamilan - Universitas Sumatera Utara

advertisement
EPILEPSI PADA KEHAMILAN
Dr ISKANDAR JAPARDI
Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah
UniversitaS Sumatera Utara
I.
Pendahuluan
Epilepsi merupakan kelainan neurologik, dimana pada ibu hamil
membutuhkan tata laksana yang adekuat dan tanpa beresiko baik terhadap ibu/bayi
(Laidlaw, 1988; Gilroy, 1992). Menurut statistik Amerika Serikat, 0.5% kehamilan
dijumpai pada wanita epilepsi. Resiko pada wanita epilepsi yang hamil lebih besar
dari pada wanita normal yang hamil. Untuk menanggulangi banyak resiko, maka
dokter ahli kandungan dan dokter ahli neurologi bekerjasama agar bayi dan ibu
mengalami keselamatan jasmani dan rohani. Angka kematian neonatus pada pasien
epilepsi yang hamil adalah tiga kali dibandingkan populasi normal (Gilroy, 1992).
Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi bervariasi. Kira-kira ¼ kasus frekuensi
bangkitan akan meningkat terutama pada trimester terakhir. Seperempatnya lagi
menurun dan separuhnya tidak mengalami perubahan selama kehamilan (Holmes,
1985; Shorvon, 1988).
Pengobatan wanita epilepsi yang hamil pada umumnya dilakukan menurut
prinsip yang sama seperti pada pasien tidak hamilo. Resiko yang dialami janin
karena bangkitan yang dialami ibu mungkin sama besar dengan yang disebabkan
obat anti epilepsi. Malformasi yang disebabkan terapi obat anti epilepsi akan terjadi
pada 4-8 minggu pertama dalam pertumbuhan janin (Shorvon, 1988).
II.
Efek kehamilan terhadap epilepsi
Epilepsi pada kehamilan dibagi adlam 2 kelompok:
1. Yang sebelumnya sudah menderita epilepsi
2. Berkembang menjadi epilepsi selama hamil
Wanita-wanita yang mendapat bangkitan selama masa reproduksi, dapat
terjadi secara insidentil pada kehamilan(Laidlaw, 1988).
Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan pada ibu epilepsi yang hamil
adalah estrogen dan progesteron. Pada seorang wanita yang hamil kadar estrogen
dalam darah akan menurun,sehingga merangsang aktifitas enzim asam glutamat
dekarboksilase dan karena itu sintesa gamma amino butiric acid (GABA) akan
menurun dalam otak. Dengan menurunnya konsentrasi GABA di otak akan
merangsang bangkitan epilepsi (Laidlaw, 1988; Gilroy, 1992).
Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi glomerulus
berkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya kadar obat dalam
plasma akan menurun. Retensi cairan yang terjadi menyebabkan hiponatremi.
Keadaan ini akan menimbulkan gangguan parsial dari “sodium pump” yang
mengakibatkan peninggian eksitabilitas neuron dan mempresitasi bangkitan (Plum,
1982: Laidlaw, 1988).
Pada pasien wanita epilepsi yang hamil sangat sulit untuk menduga terjadinya
bangkitan, karena fenomena ini tidak berhubungan dengan tipe bangkitan selama
2002 digitized by USU digital library
1
menderita epilepsi (Yerby, 1991; Lander, 1992). Terjadinya suatu bangkitan sangat
berbahaya baik untuk ibu maupun fetus akibat trauma yang timbul. Supresi detak
jantung janin selama proses persalinan akibat bangkitan yang timbul.
Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Schmid dan kawan-kawan, ari 122
wanita hamil, ditemukan bahwa kehamilan tidak berpengaruh terhadap frekuensi
bangkitan pada 68 kehamilan (50%), jumlah bagkitan meningkat 37%, dan
frekuensi bangkitan menurun pada 13% (Laidlaw, 1988).
Studi terdahulu menemukan pasien-pasien dengan epilepsi yang berat
kemungkinan akan bertambah buruk, dan kadar obat anti epilepsi yang diminum
tidak sesuai, tetapi studi yang baru membuktikan bahwa perburukan tidak terjadi
(Holmes, 1985; Liadlaw, 1988)
Pada wanita hamil volume plasma meningkat kira-kira sepertiga pada
trisemester ketiga, hal ini disebabkan oleh efek dilusi. Penentuan danangka
penurunan dari konsentrasi obat anti epilepsi berbeda ubtuk setiap jenis obat.
Penurunan kadar obat dalam adrah untuk fenitoin kira-kira 80% terjadi pada
trisemester pertama, juga serupa dengan fenobarbital. Untuk karbamazepin terbesar
penurunannya pada trisemester ketiga (Yerby,1991).
Pada wanita hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti
epilepsi maka pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu:
1. pemeriksaan kadar obat dalam darah
2. EEG
3. CT Scan, bila ada kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadium
kehamilan.
Perubahan-perubahan konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus dimonitor
setiap bulan.
III. Komplikasi Kehamilan
Wanita epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik adlam masa
kehamilan dari pada wanita penduduk rata-rata. Pengaruh epilepsi terhadap
kehamilan yaitu:
1. Melahirkan bayi prematur, didapat 4-11%
2. Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr, ditemukan pada 7 –
10%
3. Mikrosefali
4. Apgar skor yang rendah (Yerby, 1991)
Hiilesmaa mengikuti 138 kehamilan wanita epilepsi dibandingkan dengan 150
orang sebagai kontrol, yang sesuai adalah umur, paritas, sosial ekenomi dan jenis
kelamin fetus. Beberapa peneliti tak dapat membuktikan bahwa komplikasi pada
kehamilan tidak lebih besar pada wanita epilepsi (Laidlaw, 1988).
2002 digitized by USU digital library
2
IV.
Komplikasi persalinan
Neonatus wanita epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak resiko karena
kesukaran yang akan dialami ketika partus berjalan. Partus prematur lebih sering
terjadi pada wanita epilepsi. Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksi
uterus yang melemah, ruptur membran yang terlalu dini. Oleh karena itu maka
partus wanita epilepsi hampir selalu harus dipimpin oleh pakar obstetrik.
Penggunaan firsep atau vakum sering dilakukan dan juga seksio saesar. (dikutip dari
Warta Epilepsi. 1992)
Teramo dan kawan-kawan (1985) menemukan, tak seorangpun dari 170
bangkitan umum pada 48 kehamilan yang diikuti selama 24 jam menunjukkan
komplikasi obstetrik (laidlaw, 1988).
Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah:
! Frekuensi bangkitan meningkat 33%
! Perdarahan post partum meningkat 10%
! Bayi mempunyai resiko 3% berkembang menjadi epilepsi
! Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat
resiko 1)% terjadi perdarahan perinatal pada bayi (Johnston, 1992)
V.
Pengobatan / Tata laksana
Seorang wanita epilepsi yang merencanakan untuk hamil selalu khawatir
terhadap janin, kehamilan, perkembangan danperawatan bayi. Hal ini membutuhkan
pengawasan khusus, baik sebelum dan selama hamil, dan penyuluhan prekonsepsi
haruslah merupakan bagian yang penting untuk pencegahan dan persiapan (Laidlaw,
1988).
Penyuluhan Prekonsepsi
Pada umumnya perkembangan malformasi fetal sudah dimulai sebelum
wanita menyadari kehamilannya secara mantap. Penutupan langit-langit terjadi pada
hari ke 47 kehamilan. Wanita epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang resiko
hamil yang berhubungan dengan penggunaan obat anti epilepsi. Mereka harus tahu
juga bahwa serangan epileptik dapat membahayakan kandungan dan diri sendiri.
Namun demikian mereka harus mengetahui bahwa resiko dapat diperkecil dengan
tindakan pencegahan. Dalam masalah tersebut, dokter harus memberikan advis
yang tepat dalam menghadapi dua problematik yang rumit ini. Disatu pihak ia harus
menggunakan obat anti epilepsi untuk mengontrol timbulnya serangan epileptik pada
ibu yang hamil dan sekaligus iaharus mencegah terkenanya fetus oleh efek obat anti
epilepsi digunakan oleh ibu yang hamil. Terapi yang dianjurkan ialah penggunaan
monoterapi dengan dosis serendah mungkin paad tahap pertama kehamilan. Dosis
dapat dinaikkan pada trisemester ketiga kehamilan. Pada tahap lanjut dapat
diberikan juga vitamin K (20mg/hari) untuk mencegah perdarahan neonatal
(Laidlaw, 1988; Warta Epilepsi,1992)
Efek Terotogenik Obat Anti Epilepsi
1.
Hipotesa mekanisme terjadinya teratogenisitas obat anti epilepsi adalah:
Metabolisme obat anti epilepsi terjadi melalui komponen arene oksid atau
epoksid, yang sebagian besar merupakan komponen reaktif yang bersifat
teratogenik.
2002 digitized by USU digital library
3
2.
3.
4.
Kelainan genetik yang disebabkan oleh hidrolase epoksid meningkatkan resiko
terhadap toksisitas fetus, atau alternatif lain
Radikal bebas yang dihasilkan dari metabolisme obat anti epilepsi danbersifat
sitotoksik.
Kelainan genetik yang disebabkan oleh “free radical scavenging activity”
meningkatkan resiko terhadap toksisitas fetus (Yerby,1991; Johnston,1992).
Prosentase malformasi akibat obat anti epilepsi adalah:
1. Trimetadion, lebih 50%
2. Fenitoin, 30%
3. Sodium Valproat, 1,2%
4. Karbamazepin, 0,5-1 %
5. Fenobarbital, 0,6% (Yerby, 1991)
Konsentrasi obat anti epilepsi dalamplasma wanita hamil yang akan
melahirkan bayi malformasi selalu lebih tinggi dari pada kadar obat anti epilepsi pada
wanita epilepsi hamil yang melahirkan tanpa malformasi. Para wanita epilepsi yang
hamil dengan menggunakan berbagai jenis obat anti epilepsi lebih mudah melahirkan
bayi dengan malformasi dari pada wanita epilepsi wanita epilepsi yang hamil
memakai obat epilepsi tunggal. Sudah barang tentu multipel dan penggunaan dosis
tinggi berhubungan dengan jenis epilepsi yang tidak mudah terkontrol. (Dikutip dari
Warta Epilepsi, 1992).
Malformasi fetal yang berhubungan dengan obat-obat anti epilepsi,lagi pula
dengan adanya kemungkinan neonatus cacad akibat malformasi dan anomali
kongenital. Studi Meadow (1968), yang mencakup kasus kehamilan sejumlah 427
pada 186 wanita epilepsi yang menggunakan obat anti epilepsi, menemukan anak
dengan cacad (bibir dan langit-langit sumbing) yang berjumlah cukup banyak.
Meadow dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa malformasi kongenital pada anak
yang terkena efek obat anti epilepsi adalah 2 kali lebih sering dibandingkan anak
yang tidak terkena efek obat anti epilepsi (Yerby, 1991). Malformasi untuk populasi
rata-rata berkisar antara 2-3%, sedangkan untuk bayi yang dilahirkan oleh ibu
epilepsi antara 1,25 – 11% (Yerby,1991). Menurut peneliti lain berkisar 4-6%
(Johnston, 1992).
Obat-obat anti epilepsi
Penelitian pada binatang telah terbukti bahwa semua obat-obat anti epilepsi
adalah bersifat teratogenik dan dihubungkan dengan kadar obat anti epilepsi
misalnya fenitoip, berakibat malformasi pada tikus, tergantung pada jenis tikus
dandosis yang diberikan. Salah satu bentuk malformasi tersebut adalah palatum
yang terbelah dan ini merupakan malformasi yang terbanyak tampak pada epilepsi
(Laidlaw, 1988; Hirano, 1989). Umumnya obat anti epilepsi yang digunakan adalah
fenitoin,karbamazepin, dan sodium valproat, dihubungkan dengan malformasi
konginetal minor seperti wajah dismorfik dan hipoplasia phalang distal. Trimetadion
dihubungkan dengan abnormalitas berat, dan fenobarbital adalah obat anti epilepsi
yang paling rendah toksisitasnya (laidlaw, 1988; Adams, 1989; Johnston, 1992).
Obat-obat tersebut adalah:
1. Trimetadion
Dapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik disebut sindrom
trimetadion fetus. German dan kawan-kawan (1970) melaporkan bahwa
dalam satu keluarga terdapat 4 bayi yang mengalami malformasi dilahirkan
dari ibu yang menderita epilepsi dengan menggunakan obat ini; studi lanjutan
2002 digitized by USU digital library
4
mengkonfirmasi terhadap resiko tinggi pada sindrom ini,yang mana dapat
menyebabkan perkembangan yang lambat, anomali kraniofasial dan kelainan
jantung bawaan. Golongan obat ini tidak digunakan pada kehamilan (Laidlaw,
1988; Gilroy, 1992; Johnston, 1992)
2. Fenitoin
Obat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti epilepsi pada kehamilan
danmempunyai
efek
teratogenik.
Terdapat
kejadian
sedikit
yang
menyebabkan malformasi mayor pada manusia. Sampai sekarang sebagian
besar pasien-pasien diobati dengan beberapa obat anti epilepsi,sehingga sulit
untuk mengevaluasi efek obat secara individual. Angka malformasi total pada
305 anak yang dilahirkan oleh ibu tanpa epilepsi adalah 6,4 % (laidlaw,
1988; Yerby,1991; Johnston, 1992)
Penggunaan fenitoin dapat mengakibatkan terjadinya sindrom hidantoin
fetus. Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Hanson dan Smith
(1975)untuk menggambarkan pola abnormalitas yang diamati pada neonatus,
dimana ibu epilepsi yang hamil diberikan obat fenitoin, biasanya dikombinasi
dengan
fenobarbital.
Sindrom
ini
terdiri
dari
abnormalitas
kraniofasial,kelainan anggota gerak, defisiensi pertumbuhan, retardasi mental
baik ringan atau sedang (Gilroy, 1992). Studi prospektif dari 35 bayi pada
prenatal diberi obat golongan hidantoin, Hansons dan kawan-kawan (1976)
menemukan 11% mempunyai gambaran sebagai sindroma ini (laidlaw, 1988’
Yerbi, 1991). Dosis fenitoin antara 150-600 mg/hari.
3. Sodium Valproat
Obat ini relatif baru dan sedikit data yang berefek pada uterus. Penggunaan
obat ini dapat mengakibatkan kelainan pada janin berupa sindrom valproat
fetus. Pernah dilaporkan terhadap 7 bayi yang dilahirkan dari ibu epilepsi
yang menggunakan obat ini berupa kelainan pada wajah dengan ciri-ciri:
lipatan epikantus inferior, jembatan hidung yang datar, filtrum yang dangkal
(Yerby, 1991). Obat ini pada manusia dapat menembus plasenta secara
bebas dan memberikan dosis yang lebih tinggi pada neonatus dari ibu.
(Laidlaw, 1988).
Pada studi prospektif dari 12 bayi, pada anternatal diberikan sodium valproat
menunjukkan semuanya normal. Pada kasus sporadik pernah dilaporkan
bahwa obat ini dapat menyebabkan kelainan “neural tube defect”. Pada
wanita epilepsi yang hamil bila diberikan obat ini dapat menyebabkan
kelainan tersebut kira-kira 1,2% (Laidlaw, 1988; Gilroy,1992; Johnston,
1992). Dosis sodiumm valproat antara 600-3000 mg/hari
4. Karbamazepin
Obat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi dapat menyebabkan
retardasi pertumbuhan kepala janin. Hiilesmaa dan kawan-kawan (1981)
didalam penelitiannya terhadap 133 wanita menunjukkan bahwa penggunaan
obat ini (tunggal) atau kombinasi dengan fenobarbital dapat menyebabkan
retardasi (Laidlaw, 1988). Juga pernah dilaporkan dari 25 anak dari ibu yang
menggunakan obat karbamazepin tunggal ditemukan 20% dengan gangguan
perkembangan (Yerby, 1991). Belakangan ini dilaporkan bahwa karbamazepin
mengakibatkan meningkatnya kasus spina bifida sebanyak 0,5 – 1,0%
(Dikutip dari Warta Epilepsi, 1992). Dosis karbamazepin 400-1800 mg/hari.
2002 digitized by USU digital library
5
5. Fenobarbital
Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studi
awalmengatakan bahwa sebagian besar manita epilepsi mendapat kombinasi
antara fenotoin dan fenobarbital. Efek teratogenik obat ini kurang bila
dibandingkan dengan obat anti epilepsi lain dan pada manusia, Shapiro dan
kawan-kawan (1976) menemukan fenobarnbital tidak menyebabkan
meningkatnya angka malformasi (Laidlaw, 1988; Yerby,1991).
Pemakaian obat ini dapat mengakibatkan sindrom fenobarbital fetus, yang
berupa Dismorfim wajah, gangguan pertumbuhan pre dan postnatal,
perkembangan lambat (Yerby, 1991).
Bagian Obstetri dan Ginekologi Akademi Amerika menganjurkan pemakaian
fenobarbital sebagai obat pilihan untuk wanita epilepsi yang hamil
(Yerby,1991).
Sullivan (1975), pada penelitiannya terhadap tikus yang hamil diberikan obat
ini mengakibatkan bibir and palatum sumbing berkisar antara 0.6 – 3.9%
(Yerbi, 1991). Dosis Fenobarbital antara 30 – 240 mg/hari (Gilman AG, 1991)
VI.
Kesimpulan
Telah dibicarakan ep pada kehamilan berupa: efek kehamilan terhadap
epilepsi,komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan dan pengobatan/tata laksana
epilepsi pada kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA
Adams RD., Victor M. 1989. Principles of Neurology. 5th ed. Singapore : Mc Graw
Hill Book.
Gilroy J. 1992. Basic neurology. 2nd ed. Singapore : Mc Graw Hill Book
Gilman AG., Rall TW., Nies AS., Taylor P. 1991. The Pharmacological basis of
therapeutics. 8th ed. Vol. 1. Singapore : Pergomen Press
Holmes GL., Weber DA. 1985. Effect of pregnancy on development of Seizure.
Epilepsia (26)4: 299-302
Johnston MV., MacDonal RL., Young AB. 1992. Principles of drug therapy in
neurology. Philadelphia : FA Davis, p. 102-104
Laidlaw J., Riches A., Oxley J. 1988. A textbook of epilepsi. 3th ed. New York :
Churchill Livingstone, p. 203-211; 544-557
Lander CM. 1992. Managing the pregnant epileptic patient. Journal of Pediatrics
Obstetrics and Gynecology. 18(4), p. 26-30
Plum F.. Fosner JB. 1982. The Diagnosis of stupor and coma. 3th ed. Philadelphia
: FA Davis Company, p. 251-253
Shorvan SD. 1988. Epilepsi untuk praktek umum. Jakarta : Ciba Geigy Pharma
Indonesia, p. 84-87
Warta Epilepsi. 1992. Epilepsi dan hormon, (37), p. 1-8
Yerby MS. 1991. Pregnancy and teratogenesis in woman and epilepsy. JohnWiley &
Sons, p. 163-181.
2002 digitized by USU digital library
6
Download