AKTIVITAS PROTEIN UMBI SEBAGAI ANTIPROLIFERASI SEL KANKER MCF-7 DAN KARAKTERISASI LEKTIN UMBI DARI KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) MUHAMMAD ALFARABI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul "Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)" adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Muhammad Alfarabi NIM G363100081 * Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait. RINGKASAN MUHAMMAD ALFARABI. Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume). Dibimbing oleh MIFTAHUDIN, CHAIDIR, dan MARIA BINTANG. Kanker termasuk dari sepuluh besar penyakit yang banyak menyebabkan kematian di Indonesia. Sel kanker memiliki sifat utama, yaitu pertumbuhan sel tidak terhambat secara normal dan dapat menginvasi sel-sel normal lainnya. Masyarakat di Indonesia secara tradisional telah banyak menggunakan tumbuhan keladi tikus (Typhonium sp.) untuk pengobatan kanker. Berdasarkan penelitian sebelumnya, tanaman keladi tikus dari jenis Typhonium divaricatum (L.) Decne yang tumbuh di daerah Chengdu (Cina) memiliki aktivitas sebagai antikanker. Hal ini dikarenakan pada bagian umbi tanaman tersebut mengandung lektin yang dapat menghambat proliferasi sel kanker. Keladi tikus yang tumbuh di Indonesia tidak memiliki informasi ilmiah mengenai hal tersebut hingga saat kini, sehingga tidak ada data fitofarmaka yang mendukung lektin umbi keladi tikus memiliki aktivitas antikanker. Oleh karenanya penelitian ini bertujuan mengidentifikasi protein dan lektin dari umbi keladi tikus (T. flagelliforme) yang tumbuh di beberapa wilayah Indonesia. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah mengenai profil protein dan lektin umbi dari keladi tikus (T. flagelliforme) yang tumbuh di wilayah Indonesia. Informasi ini dapat dijadikan dasar pengembangan produk fitofarmaka berbasis lektin sebagai obat antikanker. Penelitian ini menggunakan umbi segar dari 7 aksesi T. flagelliforme (Lodd.) Blume yang didapatkan dari beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Bogor (Jawa Barat), Yogyakarta (Merapi Farm dan Indmira), Matesih (Jawa Tengah), Singaraja (Bali), Ogan Ilir (Sumatera Selatan), dan Solok (Sumatera Barat). Tanaman tersebut ditumbuhkan di rumah kaca pada Pusat Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Indonesia. Umbi yang digunakan adalah umbi yang dipanen pada umur 1, 3, 5, dan 6 bulan setelah tanam. Umbi tersebut diekstrak proteinnya untuk diukur kadar total protein umbi, nilai toksisitas, dan aktivitas hemaglutinasi dari lektin yang terkandung pada total protein umbi. Aksesi umur 6 bulan setelah tanam yang terpilih berdasar aktivitas hemaglutinasi tertinggi hasil dari proses ekstraksi menggunakan NaCl dilakukan fraksinasi protein terhadap ekstrak protein umbinya untuk mendapatkan lektin terpurifikasi. Tahap selanjutnya adalah identifikasi gen pengkode lektin dilakukan dari setiap aksesi tanaman sehingga didapatkan sekuens basa dari gen tersebut. Selanjutnya, umbi dari tanaman berumur 6 bulan setelah tanam juga dilakukan ekstraksi dengan akuades untuk pengujian terhadap kultur sel mamalia (sel MCF-7 dan fibroblas). Ekstrak protein menggunakan ekstraksi akuades yang sudah diseleksi berdasarkan aktivitas hemaglutinasi dan efek toksik dengan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) dilanjutkan dengan uji antiproliferasi terhadap sel kanker (MCF-7) dan sitotoksisitas terhadap sel normal (fibroblas). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua bobot umbi dari setiap aksesi mengalami peningkatan bobot pada setiap bulannya, terdapat fluktuasi bobot umbi pada beberapa aksesi seperti aksesi Singaraja, Merapi Farm, Indmira, dan Solok. Aksesi Bogor, Ogan Ilir, dan Matesih menunjukan peningkatan bobot umbi pada setiap bulannya, dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam. Hasil pengamatan kadar total protein selama masa tanam menunjukkan bahwa hanya aksesi Ogan Ilir yang kadar total protein umbinya meningkat dari umur tanam 1 bulan hingga 6 bulan, sedangkan 5 aksesi yang lain mengalami fluktuasi kadar total protein umbi selama masa tanam. Kandungan protein umbi pada aksesi Bogor umur 1 bulan tidak terdeteksi. Hasil pengamatan deteksi lektin umbi menunjukkan bahwa lektin umbi telah diproduksi dari umur tanaman 1 bulan setelah tanam, yaitu aksesi Singaraja, Merapi Farm, dan Indmira. Lektin pada aksesi lainnya terdeteksi pada umur tanaman 3 bulan setelah tanam. Tidak terdapat aksesi yang menunjukkan peningkatan kadar lektin secara linier pada umur tanam 1 bulan hingga 6 bulan, kecuali aksesi Bogor. Pengamatan profil protein umbi setiap aksesi menunjukkan protein umbi memiliki banyak kandungan protein yang berbobot molekul di bawah 30 kDa. Protein-protein umbi yang berbobot molekul di atas 30 kDa terdeteksi ketika umur tanaman 5 dan 6 bulan setelah tanam. Fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok dilakukan karena ekstrak protein umbi tersebut memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi. Hasilnya didapatkan lektin terpurifikasi yang terkandung pada umbi aksesi Solok dengan bobot molekul 12.67 kDa, dengan kadar lektin sekitar 0.35 % dari kadar total protein umbi, stabil pada suhu 20-40 °C, dan stabil pada pH 5-7.2. Hasil analisis sekuens basa parsial gen pengkode lektin yang terdeteksi dari setiap aksesi berukuran 600 pb. Sekuens tersebut memiliki kesamaan tertinggi dengan sekuens CDS (Coding DNA Sequence) lektin dari tumbuhan lain famili Araceae, yaitu T. divaricatum, Pinellia ternata, dan Pinellia pedatisecta. Hasil ekstraksi protein umbi menggunakan akuades dari umbi berumur 6 bulan menunjukkan aksesi Bogor memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi, sedangkan aksesi Solok memiliki efek toksisitas terhadap larva udang tertinggi. Oleh karenanya aksesi Bogor dan Solok diuji lanjut ekstrak protein umbinya pada uji antiproliferasi dan sitotoksik. Hasil uji antiproliferasi dengan metode MTT menunjukan bahwa ekstrak protein umbi aksesi Solok memiliki nilai LC50, yaitu 95.36 ppm yang lebih rendah dibandingkan dengan aksesi Bogor, yaitu 102.86 ppm sehingga ekstrak dari aksesi Solok lebih mampu menghambat proliferasi sel MCF-7. Ekstrak aksesi Bogor dan Solok diuji kembali dengan sel fibroblas manusia (sel normal) untuk melihat efek toksik ekstrak terhadap sel non kanker. Proliferasi sel fibroblas meningkat dengan pemberian ekstrak dibandingkan sel fibroblas tanpa perlakuan. Namun, pada konsentrasi ekstrak 100 ppm untuk aksesi Solok pertumbuhan sel fibroblas terhambat 8.33 % dan pada konsentrasi ekstrak 200 ppm untuk aksesi Bogor, pertumbuhan sel fibroblas terhambat 29.90 %. Simpulan penelitian adalah biosintesis lektin pada umbi setiap aksesi T. flagelliforme berlangsung sampai 6 bulan setelah tanam. Ekstrak protein umbi memiliki aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker MCF-7 dan tidak toksik terhadap sel normal fibroblas pada konsentrasi kurang dari 100 ppm untuk aksesi Solok dan konsentrasi kurang dari 200 ppm untuk aksesi Bogor. Lektin yang terdeteksi berbobot molekul 12.67 kDa. Gen parsial penyandi lektin dari setiap aksesi terdeteksi berukuran 600 pb. Key words: Antiproliferasi, lektin, protein umbi, Typhonium flagelliforme, toksisitas SUMMARY MUHAMMAD ALFARABI. Antiproliferative Activity of Tuber Protein on Cancer Cell MCF-7 and Tuber Lectin Characterization from Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume. Under the direction of MIFTAHUDIN, CHAIDIR, and MARIA BINTANG. Many people in Indonesia are suffering breast and cervical cancer. Cancer cell is a cell that continuesly grow without inhibition and it can invade other normal cells. Traditionally, Typhonium flagelliforme was used for anticancer treatment in Indonesia. Previous study showed that the T. divaricatum (L.) Decne from Chengdu (Cina) has anticancer activity because it has antiproliferative effect of tuber lectin on cancer cell line. However, there is no phytopharmaca information about tuber lectin of T. flagelliforme in Indonesia. Therefore, the objective of this research to identify tuber protein and lectin content of T. flagelliforme from Indonesia. The results of this research provided scientific information of T. flagelliforme lectin tuber in Indonesia that can be used for anticancer lectin based drug development. Seven accessions of T. flagelliforme from Bogor (West Java), Yogyakarta (Merapi Farm dan Indmira), Matesih (Central Java), Singaraja (Bali), Ogan Ilir (South Sumatera), and Solok (West Sumatera) were used in this research. Those accessions have been cultivated in greenhouse at Biotech Centre, Agency for The Assessment and Application of Technology, Indonesia. The tubers were harvested from 1, 3, 5, and 6 months old plant and used as plant materials. The tuber total protein content, toxicity effect, and hemagglutination activity was determined from the crude tuber protein extract. The selected of tuber protein extract from 6 months old plant (NaCl extraction) used for protein fractination. The next stage was to identify of lectin gene from all accession. After that, the selected of tuber protein extract from 6 months old plant (water extraction) used for mammalian cell culture test (MCF-7 and fibroblast cells). Those extracts was selected by hemagglutination activity and toxicity effect on BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) before mammalian cell culture test performed. The results showed some accessions have fluctuations of the tuber weight like Singaraja, Merapi Farm, Indmira, and Solok accession. Bogor, Ogan Ilir, and Matesih accession showed tuber weight increasing in each month, from 1 to 6 months planting. The observation of the total protein level during growing period showed that Ogan Ilir protein increased linearly from 1 to 6 months, while other accessions showed fluctuation in total protein level during growing period. Three accessions, Singaraja, Merapi Farm, and Indmira have been produced lectin since 1 month planting. The other accessions, Bogor, Ogan Ilir, Matesih, and Solok were detected of lectin in 3 months planting. There is no accession showed linearly elevated levels of lectin from 1 month to 6 months planting, except Bogor accession. The tuber protein content has many proteins under 30 kDa. The above 30 kDa proteins in tuber were detected in 5 and 6 months old plant. The tuber protein extract of 6 months old plant Solok accession was selected to lectin purification. It has the highest hemagglutination acitivity than the other accessions. The molecular weight of lectin from Solok accession is 12.67 kDa. The lectin content in the total tuber protein is 0.35 %. This lectin was stable in 20-40 °C and pH 5-7.2. The partial coding DNA sequence of each accessions were isolated with the size of 600 bp for each accessions. These sequences have high similarity with the lectin coding DNA sequence of another plants in Araceae, such as T. divaricatum, Pinellia ternata, and Pinellia pedatisecta. The tuber protein extract using water from 6 months old plant showed extract of Bogor accession has the highest hemagglutination activity, while Solok accession has the highest toxicity on shrimp larvae. Therefore, Bogor and Solok accession tested for antiproliferative and cytotoxic effect. Antiproliferasi test results with MTT method showed that the LC50 values of tuber protein extracts of Solok accession lower than Bogor accession. That means Solok accession was be able to inhibited the proliferation of MCF-7 cells. In cytotoxic test, the proliferation of fibroblast cell was increased in lower concentrations of tuber protein extracts. However, in 100 ppm of Solok accesion extract, the proliferation of fibroblast cell was inhibited for 8.33 % and in 200 ppm of Bogor accession extract, the proliferation of fibroblast cell was inhibited for 29.90 %. The conclusion of this research were the lectin biosynthesis occured during growing period. The tuber protein extract has antiproliferative activity on MCF-7 cell and no toxic effect to fibroblast cell under 100 ppm of the tuber protein extract Solok accession and under 200 ppm of the tuber protein extract Bogor accession. The molecular weight of Lectin was detected at 12.67 kDa and the size of isolated partial gene of lectin was 600 bp. Key words: Antiproliferation, lectin, toxicity, tuber protein, Typhonium flagelliforme © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB AKTIVITAS PROTEIN UMBI SEBAGAI ANTIPROLIFERASI SEL KANKER MCF-7 DAN KARAKTERISASI LEKTIN UMBI DARI KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) MUHAMMAD ALFARABI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi Tumbuhan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Hamim, M.Si (Staf pengajar pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor) Dr. Mega Safithri, M.Si (Staf pengajar pada Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor) Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Hamim, M.Si (Staf pengajar pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor) Dr. Siswa Setyahadi (Peneliti pada Teknologi Bioindustri, Laboratoria Pengembangan Teknoogi Industri Agro dan Biomedika, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) Judul Disertasi: Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) Nama : Muhammad Alfarabi NIM : G363100081 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Miftahudin, M.Si Ketua Dr.rer.nat. Chaidir, Apt Anggota Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S Anggota Diketahui Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Miftahudin, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian Tertutup: 3 Agustus 2015 Tanggal Sidang Promosi Doktor: 21 Agustus 2015 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang karena atas rahmat izin dan hidayah-Nya disertasi yang berjudul “Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)” dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Biologi Tumbuhan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pembimbing, yaitu Dr. Ir. Miftahudin, M.Si, Dr.rer.nat Chaidir, Apt., dan Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS yang sudah memberikan arahan dan bimbingan selama penelitian dan penulisan disertasi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Hamim, M.Si, Dr. Mega Safithri, M.Si, dan Dr. Siswa Setyahadi selaku penguji pada ujian tertutup dan ujian terbuka yang telah memberikan saran demi kesempurnaan penulisan disertasi ini. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Dr. Prasetyawan Yunianto sebagai Kepala Laboratorium Teknologi Farmasi Medika yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di lab tersebut. Selain itu, ucapan terima kasih penulis kepada Syofi Rosmalawati, M.AgrSc. beserta staf Laboratorium Bioteknologi Pertanian, Dr. Churiyah beserta staf peneliti Laboratorium Kultur Sel Hewan, Dr. Kurnia Agustini beserta staf peneliti Laboratorium Farmakologi, Dr. Siswa Setyahadi beserta staf peneliti Laboratorium Bioseparasi, Fifit Juniarti, BSc (HONS) beserta staf peneliti Laboratorium Biologi Molekuler, dan Dr.rer.nat Anis Mahsunah yang telah membantu berjalannya proses kegiatan penelitian di Laboratorium BPPT, Puspiptek, Serpong. Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh dosen dan staf Mayor Biologi Tumbuhan, yang telah memberikan bekal ilmu dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada rekan mahasiswa S3 BOT angkatan 2010, rekan kerja Laboratorium Fisiologi dan Genetika Tumbuhan IPB, dan rekan kerja di Laboratorium LapTIAB BPPT. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua, adik, Tyas, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya selama penulis menjalani program Doktor di IPB. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2015 Muhammad Alfarabi DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN viii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat dan Kebaruan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 1 1 2 3 3 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Keladi Tikus Lektin Apoptosis Gen Penyandi Lektin 5 5 6 8 10 3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Tanaman Metode 12 12 12 12 4 HASIL PENELITIAN Bobot Umbi, Protein Umbi, dan Lektin Umbi T. flagelliforme Elektroforegram Protein Umbi Setiap Aksesi Selama Masa Tanam Fraksinasi Protein Umbi T. flagelliforme Aksesi Solok Umur 6 Bulan Setelah Tanam Karakterisasi Lektin Identifikasi Gen Lektin Aktivitas Toksisitas, Antiproliferasi, dan Sitotoksisitas Ekstrak Protein Umbi Umur 6 Bulan Setelah Tanam 20 20 22 5 PEMBAHASAN Profil Bobot Umbi, Protein Umbi, dan Lektin Umbi T. flagelliforme Pola Elektroforegram Total Protein Umbi Setiap Aksesi Selama Masa Tanam Karakteristik Lektin Umbi T. flagelliforme Aksesi Solok Umur 6 Bulan Setelah Tanam Gen Lektin Toksisitas, Antiproliferasi, dan Sitotoksisitas Ekstrak Protein Umbi Umur 6 Bulan Setelah Tanam 34 34 6 SIMPULAN DAN SARAN 42 DAFTAR PUSTAKA 43 LAMPIRAN 46 RIWAYAT HIDUP 52 23 26 27 30 36 36 38 40 DAFTAR TABEL 1 Daerah aksesi T. flagelliforme yang digunakan dalam penelitian 2 Kadar total protein umbi, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas dari ekstraksi protein menggunakan NaCl 25 g umbi T. flagelliforme umur masa tanam 6 bulan 3 Kadar total protein pada proses fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok menggunanakan kolom DEAE-Sepharose dan CM-monolitic 4 Tabel Tahapan Purifikasi Ekstrak Protein Umbi Aksesi Solok Umur 6 Bulan Tanam 5 Hasil BLASTN yang menunjukkan kesamaan tertinggi dari setiap aksesi T. flagelliforme dengan basis data di NCBI 6 Pensejajaran sekuens basa gen pengkode lektin setiap aksesi T. flagelliforme dengan beberapa tumbuhan lain famili Araceae 7 Kadar protein total, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas esktrak akuades 15 g umbi T. flagelliforme berumur 6 bulan masa tanam 8 Daya hambat ekstrak protein umbi aksesi Bogor dan Solok terhadap sel MCF-7 dengan berbagai konsentrasi 9 Daya proliferasi ekstrak protein umbi aksesi Bogor dan Solok terhadap sel fibroblas dengan berbagai konsentrasi 12 24 25 26 28 28 31 31 33 DAFTAR GAMBAR 1 Bagan alur penelitian Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) 2 Typhonium flagelliforme 3 Skema aktifasi caspase 4 Mekanisme lektin dalam menginduksi terjadinya proses apoptosis pada sel kanker 5 Bagian-bagian ekstraksi protein umbi yang dilakukan pada penelitian 6 Peta fisik vektor dan situs pengklonan pGEM®-T Easy 7 Bobot umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1 bulan hingga 6 bulan setelah tanam 8 Kadar total protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1 bulan hingga 6 bulan setelah tanam 9 Aktivitas hemaglutinasi lektin umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam 10 Elektroforegram protein umbi T. flagelliforme (Lodd.) Blume selama masa tanam 11 Kromatogram dan elektroforegram hasil fraksinasi dengan kolom DEAE-Sepharose 12 Kromatogram dan elektroforegram hasil fraksinasi dengan kolom CMmonolitic 13 Karakteristik lektin berdasarkan suhu dan pH 14 Hasil isolasi DNA dan amplifikasi DNA 15 Dendrogram parsial gen pengkode lektin dari 7 aksesi T. flageliforme 16 Inhibisi proliferasi sel MCF-7 dengan ekstrak protein umbi 4 5 8 9 13 16 20 21 22 23 24 25 26 27 30 32 DAFTAR LAMPIRAN 1 Kurva standar larutan protein menggunakan BSA (BovineSerum Albumin) 2 Antiproliferasi ekstrak protein umur 6 bulan setelah tanam dengan ekstraksi menggunakan aquades terhadap sel MCF-7 3 Sitotoksiksitas ekstrak protein umur 6 bulan setelah tanam dengan ekstraksi menggunakan aquades terhadap sel fibroblas 4 Perhitungan bobot molekul 5 Sekuens fragmen gen lektin tiap aksesi 47 47 48 48 49 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kanker merupakan masalah kesehatan yang banyak diderita oleh masyarakat dunia. Satu dari empat penderita kanker di Amerika Serikat meninggal setiap tahunnya (Jemal et al. 2010). Kanker termasuk dari sepuluh besar penyakit yang banyak menyebabkan kematian di Indonesia. Kanker payudara dan leher rahim merupakan jenis kanker yang banyak diderita penderita kanker di Indonesia. Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2013 terdapat sekitar 347792 penderita kanker dan diantaranya 28850 adalah wanita penderita kanker payudara dan leher rahim stadium IV. Jumlah penderita tersebut terus meningkat setiap tahunnya (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2014). Oleh karenanya, kanker merupakan penyakit yang sangat serius bagi masyarakat Indonesia sehingga diperlukan penanganan dari berbagai bidang terkait. Sel kanker memiliki sifat utama, yaitu pertumbuhan sel tidak terhambat secara normal dan dapat menginvasi sel-sel normal lainnya. Sifat tersebut menjadikan sel kanker sangat berbahaya. Sel kanker pada awalnya merupakan sel normal yang tumbuh dan berproliferasi dalam keadaan tidak terkontrol sehingga menjadi tumor atau neoplasma. Tumor tersebut dapat berkembang dan memiliki kemampuan untuk menginvasi jaringan disekitarnya yang disebut malignant. Pada tahap tersebut sudah dapat disebut sebagai sel kanker dan dapat masuk ke dalam pembuluh darah atau limfa untuk membentuk sel kanker di jaringan lain, tahap ini disebut dengan metastases (Alberts et al. 2008), sehingga diperlukan pengobatan yang dapat mencegah, menghambat pertumbuhan, dan mematikan sel kanker. Pengobatan kanker pada umumnya banyak dilakukan dengan kemo/radioterapi. Saat ini, selain menggunakan obat dan kemo/radioterapi, pengobatan kanker dapat dilakukan dengan menggunakan bahan dari tumbuhan-tumbuhan yang berkhasiat sebagai antikanker (Mohan et al. 2010, Liu et al. 2010). Tumbuhan yang telah digunakan dalam pengobatan antikanker dan diproduksi oleh industri farmasi adalah mistletoe (Viscum album L.). Ekstrak mistletoe telah banyak digunakan pada perawatan kanker di negara-negara Eropa. Biasanya diaplikasikan terhadap pasien melalui injeksi subkutan. Efek ekstrak tersebut adalah dapat meningkatkan kelangsungan dan kualitas hidup dari penderita kanker, memperkuat sistem imun tubuh penderita, dan mengurangi gejala dari tumor (Ernst dan CAM-Cancer Consortium 2011). Selain itu, pengobatan kanker menggunakan ekstrak mistletoe yang digabungkan dengan kemo/radioterapi dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam melawan dan bertahan terhadap kanker (Horneber et al. 2010). Ekstrak mistletoe mengandung banyak senyawa aktif biologi seperti flavonoid (derivat dari kuarsetin), polipeptida yang bersifat toksik, fenilpropan, lignan, dan lektin (Mistletoe Lectin I, II, III). Namun, lektin yang banyak dikaji sebagai molekul antikanker dikarenakan kadarnya yang cukup tinggi dibandingkan molekul lainnya pada mistletoe (European Medicines Agency, 2013). Lektin merupakan glikoprotein yang terdapat disemua jenis tumbuhan dan dapat disebut sebagai phytohemagglutinin. Protein ini merupakan protein non katalis yang dapat berikatan spesifik dengan molekul karbohidrat dikarenakan 2 memiliki sedikitnya satu domain yang dapat berikatan secara reversible dengan molekul karbohidrat. Domain inilah yang dapat berinteraksi dengan molekul karbohidrat pada membran sel dan ikatan yang terjadi spesifik sehingga lektin merupakan asal kata dari bahasa latin, yaitu lagere yang artinya memilih (Damme et al. 1998). Contohnya lektin dari Phaseolus lunatus dapat mengaglutinasi spesifik golongan darah A dan lektin dari Lotus tetragonolobus dapat mengaglutinasi spesifik golongan darah O. Ikatan spesifik ini dapat terjadi dikarenakan terdapat interaksi spesifik antara karbohidrat pada permukaan sel dengan lektin (Sharon dan Lis 2004). Lektin dari tumbuhan telah banyak dikaji sebagai antikanker (Abdullaev dan Meija 1997), seperti lektin dari Arisaema tortuosum Schott mampu menghambat proliferasi sel kanker servik SiHa dan usus besar HT29 secara in vitro (Dhuna et al. 2005). Selain itu, Typhonium divaricatum (L.) Decne (keladi tikus) merupakan salah satu tanaman obat tradisional dari Cina yang memiliki aktivitas antikanker. Tanaman ini terdapat di daerah Chengdu (Cina) dan mengandung lektin pada umbinya yang memiliki aktivitas antikanker, yaitu dengan menghambat proliferasi sel kanker prostat Pro01, payudara Bre-04, dan paru Lu-04 secara in vitro (Luo et al. 2007). Masyarakat Indonesia telah banyak memanfaatkan tanaman obat sebagai pengobatan alternatif terhadap penyakit kanker, salah satunya adalah keladi tikus (Typhonium sp.). Tumbuhan ini merupakan kelompok dari jenis keladi yang tumbuh tersebar di wilayah Indonesia tetapi tidak dibudidayakan oleh masyarakat dan tidak dapat dikonsumsi. Jenis Typhonium flagelliforme merupakan jenis yang banyak digunakan untuk ramuan tradisional pengobatan kanker terutama kanker payudara dengan cara direbus atau dibuat serbuk. Oleh karena memiliki genus yang sama dengan T. divaricatum, diduga T. flagelliforme memiliki molekul aktif yang sama yang berperan sebagai antikanker, yaitu lektin pada umbinya. Kajian ilmiah mengenai T. flagelliforme sebagai tanaman obat antikanker belum banyak dilakukan di Indonesia. Selain itu, belum banyak yang mengkaji protein aktif, yaitu lektin dari umbi T. flagelliforme yang tumbuh di wilayah Indonesia. Perumusan Masalah Penggunaan T. flagelliforme oleh masyarakat luas sebagai tanaman obat tradisional untuk mengobati penyakit kanker menunjukkan bahwa pentingnya tanaman tersebut di bidang farmasi. Kenyataannya produk obat berbasis tumbuhan tersebut yang beredar di masyarakat adalah dalam bentuk jamu atau obat tradisional yang diproduksi oleh industri rumah tangga, oleh karenanya molekul aktif ekstrak tersebut tidak diketahui dengan pasti, terutama kandungan lektin pada umbi sehingga mekanisme kerja ekstrak tersebut tidak diketahui. Mekanisme tersebut perlu diketahui sehingga dalam penggunaan ekstrak dapat diketahui dosis yang tepat. Selain itu, karakteristik dari senyawa aktif juga perlu diketahui karena informasi ini sangat diperlukan dalam proses pengembangan obat yang berbasis senyawa tersebut. Selain senyawa aktif, umur dan kondisi tumbuhan yang digunakan pada obat tradisional sangat jarang diketahui sehingga tidak terdapat standar mutu dalam penggunaan tanaman obat, khususnya pada T. flagelliforme sebagai ekstrak herbal antikanker. Faktor-faktor tersebut, yaitu belum teridentifikasi dan 3 terkarakterisasi senyawa aktif yang berperan sebagai antikanker di dalam ekstrak, serta tidak adanya standar mutu penggunaan tumbuhan untuk dijadikan bahan baku sediaan ekstrak dari T. flagelliforme menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengidentifikasi protein umbi dan lektin umbi keladi tikus (T. flagelliforme) yang tumbuh di beberapa wilayah Indonesia. Secara terperinci tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui profil protein umbi dan lektin umbi keladi tikus (T. flagelliforme) yang tumbuh dari beberapa wilayah Indonesia pada masa tanam 1 hingga 6 bulan. 2. Menentukan karakteristik lektin yang terkandung pada umbi keladi tikus. 3. Mengidentifikasi gen penyandi lektin umbi keladi tikus yang tumbuh di beberapa wilayah Indonesia. 4. Mengkaji aktivitas antikanker dari ekstrak protein umbi terhadap sel kanker MCF-7. Manfaat dan Kebaruan Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi ilmiah mengenai fase pertumbuhan T. flagelliforme yang terkait dengan aktivitas lektin umbi. Selain itu, memberikan informasi tentang keragaman profil protein dan lektin umbi T. flagelliforme yang tumbuh di beberapa wilayah Indonesia. Informasi ini dapat dijadikan dasar pengembangan produk fitofarmaka berbasis lektin sebagai obat antikanker. Penelitian ini memiliki kebaruan yaitu: (1) kandungan protein umbi dan aktivitas lektin umbi keladi tikus (T. flagelliforme) dari berbagai aksesi wilayah Indonesia, (2) aktivitas antiproliferasi sel kanker MCF-7 dari ekstrak protein umbi keladi tikus, (3) karakteristik lektin dari aksesi terseleksi, yaitu Solok, (4) parsial gen penyandi lektin dari berbagai aksesi keladi tikus. Ruang Lingkup Penelitian Tahapan penelitian yang dirancang sebagai solusi permasalahan yang ada terdiri atas 3 bagian dengan alur sebagai berikut (Gambar 1), yaitu (1) menganalisis kandungan protein dan aktivitas lektin umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme (dengan umur tanaman 1, 3, 5, dan 6 bulan setelah tanam), (2) mengkarakterisasi lektin terpurifikasi dari aksesi T. flagelliforme terpilih (aksesi Solok berumur 6 bulan setelah tanam), (3) mengidentifikasi gen penyandi lektin dari setiap aksesi T. flagelliforme yang berumur 6 bulan setelah tanam, (4) menganalisis efek toksik terhadap Artemia sp. dan aktivitas lektin dari ekstrak protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme umur 6 bulan setelah tanam, dan (5) menganalisis aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker MCF-7 dan efek toksik terhadap sel nomal fibroblas dari ekstrak protein umbi T. flagelliforme aksesi terpilih yang berumur 6 bulan masa tanam. 4 Umbi T. flagelliforme (aksesi: Bogor, Yogyakarta (Merapi Farm dan Indmira), Matesih, Bali (Singaraja), Ogan Ilir (Sumatera Selatan), dan Solok (Sumatera Barat) Analisis kandungan protein dan aktivitas lektin umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme (dengan umur tanaman 1, 3, 5, dan 6 bulan masa tanam) Karakterisasi lektin terpurifikasi dari aksesi T. flagelliforme terpilih (aksesi Solok berumur 6 bulan setelah tanam) Identifikasi gen penyandi lektin dari setiap aksesi T. flagelliforme yang berumur 6 bulan setelah tanam Analisis efek toksik terhadap larva Artemia sp. dan aktivitas lektin dari ekstrak protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme umur 6 bulan setelah tanam Analisis aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker MCF-7 dan efek toksik terhadap sel nomal fibroblas dari ekstrak protein umbi T. flagelliforme aksesi terpilih yang berumur 6 bulan setelah tanam Karakteristik protein dan lektin umbi T. flagelliforme Gambar 1 Bagan alur penelitian Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) 5 2 TINJAUAN PUSTAKA Keladi Tikus Keladi tikus merupakan tumbuhan yang tersebar luas dari daerah tropis hingga daerah subtropis Asia serta daerah Australia. Tumbuhan ini telah diketahui sampai saat ini terdiri atas 40 spesies. Keladi tikus merupakan tumbuhan herba dan dapat tumbuh mencapai 5-12 cm panjangnya. Tanaman ini memiliki umbi yang tumbuh di bawah permukaan tanah. Daunnya bertangkai membentuk jantung dengan bagian ujung lainnya meruncing serta tepi daun yang rata. Selain itu, daun berwarna hijau dan mengkilap (Wang dan Yang 1996). Batang tumbuhan ini berwarna hijau dan pada pangkal batang berwarna putih. Umbi keladi tikus berwarna cokelat muda dibagian luar dan putih di bagian dalam serta berlendir (Gambar 2) (Syahid 2008). Perkembangbiakan tumbuhan ini dapat dilakukan secara vegetatif dengan pemisahan umbi. Namun, tumbuhan ini tidak dibudidayakan oleh masyarakat (Surachman 2009). Klasifikasi ilmiah dari keladi tikus adalah Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, famili Araceae, subfamily Aroideae, suku Areae, genus Typhonium (Wang dan Yang 1996). Terdapat 3 spesies Typhonium yang penting sebagai tanaman obat, yaitu T. trilobatum, T. roxburghii, dan T. flagelliforme. Secara kekerabatan, T. trilobatum memiliki kesamaan 63 % dengan T. roxburghii sedangkan T. flagelliforme memiliki kesamaan 43 % dengan T. trilobatum dan T. roxburghii (Rout 2006). Tumbuhan keladi tikus ini di Indonesia dan di beberapa negara di Asia digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati kanker dan penyakit lainnya. Secara fitokimia, keladi tikus (T. flagelliforme) memiliki kandungan flavonoid dan alkaloid (Nobakht et al. 2010). Secara ilmiah, penelitian menggunakan ekstrak diklorometana keladi tikus (T. flagelliforme) dapat berperan sebagai anti leukemia dan menginduksi terjadinya apoptosis pada sel (Mohan et al. 2010). Selain itu, keladi tikus (T. divaricatum) mengandung lektin yang dapat berfungsi sebagai antivirus dan anti-proliferatif pada cell line kanker manusia (Luo et al. 2007). Kajian-kajian ilmiah tersebut menjadikan keladi tikus merupakan tumbuhan yang penting bagi perkembangan obat antikanker. Kajian ilmiah mengenai keladi tikus sampai saat ini belum banyak dilakukan, terutama kajian mengenai keragaman kandungan dan aktivitas lektin pada keladi tikus (T. flagelliforme) yang tumbuh di Indonesia. Oleh karena itu hal tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai lektin yang terkandung di keladi tikus yang tumbuh di Indonesia. Gambar 2 Typhonium flagelliforme 6 Lektin Lektin dapat disebut sebagai phytohemagglutinin. Lektin merupakan protein non enzim yang biasa disebut sebagai sugar binding protein atau glikoprotein yang bukan dihasilkan dari reaksi imun. Lektin pertama kali ditemukan di tumbuhan yang diberi nama ricin tetapi glikoprotein ini dapat ditemukan pada organisme lainnya seperti bakteri dan mamalia. Lektin pada organisme dapat terikat pada membran atau terlarut pada cairan biologis. Spesifisitas lektin dapat dikelompokkan berdasarkan interaksinya dengan monosakarida atau oligosakarida sederhana. Interaksi tersebut dapat menghambat reaksi aglutinasi yang diinduksi lektin (Goldstein et al. 1980). Lektin dapat didefinisikan sebagai protein yang mempunyai sedikitnya satu domain non katalis yang dapat berikatan secara reversible dengan molekul karbohidrat secara spesifik. Berdasarkan definisi tersebut, maka secara struktur lektin terdiri atas 4 jenis, yaitu merolectin, hololectin, chimerolectin, superlectin (Peumans dan Damme 1995). Merolectin merupakan lektin yang memiliki satu domain untuk berikatan dengan karbohidrat. Contoh lektin jenis ini adalah hevein dari lateks Hevea brasiliensis (Parijs et al. 1991). Hololectin merupakan lektin yang memiliki sedikitnya dua domain yang identik untuk berikatan dengan karbohidrat secara spesifik. Lektin jenis ini terdapat di banyak jenis tanaman, contohnya adalah concanavalin A. Chimerolectin merupakan jenis lektin yang mempunyai dua domain, yaitu domain yang dapat berikatan dengan karbohidrat dan domain yang memiliki aktivitas biologis lainnya. Dua domain tersebut tidak saling mempengaruhi. Contoh dari lektin jenis ini adalah ricin, dengan domain pertama sebagai tempat berikatan dengan karbohidrat dan domain lainnya memiliki aktivitas toksik. Superlectin merupakan jenis lektin yang hampir sama dengan chimerolectin tetapi memiliki banyak domain identik (Damme et al. 1998). Berdasarkan sumber tumbuhannya, lektin dikelompokkan menjadi 7 famili. Famili pertama adalah lektin legum, yaitu lektin yang berasal dari Leguminoseae. Namun tanaman legum dapat memproduksi lektin selain famili lektin legum seperti tipe 2 RIP (Ribosom Inactivating Protein) related lectin. Famili kedua disebut chitin binding lectin, yaitu lektin yang mempunyai sedikitnya satu domain hevein. Famili ketiga adalah tipe 2 RIP (Ribosom Inactivating Protein) related lectin, yaitu lektin yang memiliki aktivitas inaktivasi ribosom. Famili keempat adalah jacalin, yaitu lektin yang berasal dari biji nangka dan yang berasal dari tanaman yang secara evolusi terkait dengan nangka atau memiliki kesamaan struktur termasuk lektin jenis jacalin. Famili kelima adalah lektin amaranthin, yaitu lektin yang berasal dari genus Amaranthus. Famili keenam adalah lektin floem Cucurbitaceae, yaitu lektin yang berasal dari eksudat floem spesies Cucurbitaceae. Famili ketujuh adalah monocot mannose binding lectin (MMBL), yaitu lektin yang berasal dari tumbuhan monokotil dan spesifik berikatan dengan manosa (Damme et al. 1998). Lektin jenis MMBL ditemukan pada jaringan vegetatif seperti daun, bunga, umbi, akar, dan rhizoma. Lektin jenis ini terdapat dua macam, yaitu jenis yang memiliki satu domain dan dua domain. Jenis lektin ini dapat ditemukan pada enam famili tumbuhan monokotil, yaitu Alliaceae, Amaryllidaceae, Araceae, Bromeliaceae, Liliaceae, dan Orchidaceae (Damme et al. 1998). Keladi tikus 7 (Typhonium sp.) tergolong famili Araceae, sehingga lektin yang terkandung di tumbuhan tersebut termasuk jenis MMBL. Lektin jenis ini dapat berikatan spesifik dengan manosa, yaitu gula sederhana epimer C-2 dari glukosa. Lektin dari famili Araceae memiliki bobot molekul 12-14 kDa bila dideteksi dengan elektroforesis SDS-PAGE (Damme et al. 1998). Lektin ini pertama kali terungkap pada tahun 1987 (Damme et al. 1987), namun lektin yang dihasilkan dari genus Typhonium belum banyak dikaji secara ilmiah. Informasi ilmiah lektin genus ini sangat sedikit bila dibandingkan dengan lektin dari famili legume yang telah dikaji secara lengkap beberapa dekade seperti khasiat dan jalur biosintesisnya (Damodaran et al. 2008). Proses biosintesis lektin pada tumbuhan sama seperti sintesis protein pada umumnya. Perbedaan terdapat setelah proses biosintesis terjadi, yaitu lektin ditranslokasi ke jaringan penyimpan seperti vakuola. Oleh karenanya, lektin berfungsi sebagai protein cadangan bagi tumbuhan (Damme et al. 1998). Contohnya pada umbi Typhonium divaricatum (L.) Decne, terdapat lektin dengan bobot molekul 48 kDa dan stabil pada kisaran temperatur 20-60 °C dan pH 5.68.6 (Luo et al. 2007). Lektin bagi tumbuhan berperan sebagai pelindung dari mikroba patogen, herbivora atau predator. Lektin juga berperan dalam melindungi biji dari predator. Sebagai contoh beberapa biji tanaman legum mengandung lektin sehingga ketika biji tersebut dimakan oleh predator atau herbivora maka lektin tersebut akan berikatan dengan glikoprotein yang berada pada usus halus dan menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi (Hans dan Heldt 2005). Selain itu, lektin dapat menggumpalkan sel-sel darah merah dari berbagai jenis hewan. Reaksi tersebut dapat terjadi karena interaksi antara situs-situs pengikatan pada lektin dengan reseptor spesifik glikokonjugat di permukaan membran sel. Oleh karena fungsi lektin pada tumbuhan terdapat kaitan dengan pertahanan dan interaksi tumbuhan dengan lingkungan dibandingkan dengan fungsinya sebagai pertumbuhan dan perkembangan, maka lektin dapat digolongkan pada kelompok metabolit sekunder (Makkar et al. 2007). Kemampuan lektin yang dapat berikatan spesifik dengan senyawa karbohidrat menjadikan lektin dapat diaplikasikan untuk identifikasi sel, kajian mengenai glikoprotein, kajian histokimia, dan kajian sitokimia. Selain itu, lektin juga bersifat mitogenik, yaitu memiliki kemampuan merangsang limfosit ketika proses mitosis (Sharon dan Lis 2004). Lektin dapat berperan sebagai antikanker dengan mekanisme secara umum melalui proses apoptosis pada sel kanker sehingga pertumbuhan sel kanker terhambat. Contohnya lektin dari tumbuhan legum seperti ConA dan ConBr, mampu menghambat proses proliferasi sel kanker seperti sel HL-60 dan MOLT-4 (Martins et al. 2012). Selain itu, dapat menghambat pertumbuhan sel kanker melanoma A375. Proses tersebut terjadi melalui proses apoptosis yang diinduksi oleh lektin melalui mekanisme caspase (Liu et al. 2009a). Deteksi lektin dari suatu larutan protein umbi pada penelitian ini menggunakan uji hemaglutinasi. Penggunaan uji ini dikarenakan lektin memiliki aktivitas mengaglutinasi sel, terutama sel darah merah sehingga lektin dapat disebut phytohemmagglutinin (Goldstein et al. 1980). Adanya aktivitas aglutinasi pada eritrosit dari suatu larutan protein dengan konsentrasi rendah, menunjukkan larutan tersebut mengandung lektin. 8 Oleh karena lektin merupakan molekul protein, maka dalam proses karakterisasinya diperlukan lektin yang terpurifikasi. Tahapan purifikasi merupakan proses eksploitasi protein target yang pada penelitian ini protein targetnya adalah lektin. Purifikasi yang baik adalah mendapatkan protein target dalam jumlah yang banyak dengan meminimalkan kehilangan aktifitasnya serta menghilangkan kontaminan (protein lain) secara maksimal (Rosenberg 2005). Purifikasi protein dilakukan menggunakan teknik kromatografi menggunakan kolom kromatografi. Kolom yang digunakan dapat berupa kolom afinitas, penukar ion, atau filtrasi gel. Setelah didapatkan lektin terpurifikasi, karakterisasi lektin diperlukan untuk menentukan sifat-sifat lektin terpurifikasi. Paramameter yang perlu diamati adalah aktivitas lektin terhadap temperatur dan pH. Aktivitas lektin diketahui dari uji hemmagglutinasi. Hal ini dilakukan karena lektin merupakan protein sehingga sangat dipengaruhi oleh temperatur dan pH. Bila temperatur terlalu tinggi akan mendenaturasi protein, bila terlalu rendah akan terjadi inaktivasi protein sehingga aktivitasnya menurun. Nilai pH, akan berpengaruh pada konformasi protein, sehingga pH yang tidak tepat akan menurunkan aktivitas protein (Nelson dan Cox 2008). Apoptosis Apoptosis merupakan kematian sel terencana dan tujuannya pada kondisi normal untuk menghilangkan sel yang tidak diinginkan. Karakteristik sel yang mengalami apoptosis adalah terjadi kondensasi sitoplasma dan nukleus, fragmentasi pada DNA, kontraksi sel, terjadi autofagositosis pada sel tersebut, dan tidak teraturnya konformasi membran sel. Secara morfologi, sel yang mengalami apoptosis terdapat kerusakan seperti terbentuknya tonjolan di bagian membran (Hengartner 2000). Caspase merupakan protease yang menginduksi apoptosis pada sel normal dan terdapat di sitosol sebagai procaspase (caspase inaktif). Ketika terdapat sinyal aktivasi caspase, maka aktifnya satu caspase mengaktifkan reaksi irreversible kaskade caspase (Gambar 3) (Alberts et al. 2008). Aktifasi procaspase Kaskade caspase Aktif caspase 1 molekul caspase mengaktifkan caspase lain potongan inaktif procaspase Aktif caspase prodomains molekul terpotong oleh kaspase Potongan protein sitosol Potongan protein inti sel Gambar 3 Skema aktifasi caspase (Alberts et al. 2008) 9 Faktor yang dapat mengaktifkan caspase adalah faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik merupakan sinyal protein yang dapat berikatan dengan reseptor kematian sel yang terdapat di permukaan sel. Ketika protein ekstraseluler berikatan dengan reseptor tersebut, maka ligand protein ekstraseluler-reseptor membentuk kompleks sinyal induksi kematian (Death Inducing Signaling Complexs) yang dapat merubah procaspase menjadi caspase. Faktor intrinsik melibatkan sitokrom c dari mitokondria. Pelepasan sitokrom c diinduksi oleh sinyal dari luar sel yang bersifat pro-apoptotik. Sitokrom c yang dilepas berikatan dengan adaptor protein aktifator procaspase Apaf1 dan membentuk kompleks sinyal induksi kematian yang merubah procaspase menjadi caspase (Alberts et al. 2008). Lektin dapat menginduksi caspase dengan kedua jalur tersebut (Liu et al. 2010). Contohnya lektin mistletoe dapat menginduksi terjadinya ketidakstabilan permeabilitas membran mitokondria sehingga melepaskan senyawa ROS dan sitokrom c yang menginduksi apoptosis melalui caspase (Seifert et al. 2008). Mekanisme molekuler lektin dalam menginduksi proses apoptosis pada sel kanker dapat dilakukan dengan banyak jalur. POL (Polygonatum odoratum Lectin) yang merupakan lektin dari kelompok MMBL dapat menginduksi proses apoptosis melalui jalur reseptor kematian sel dengan meningkatkan protein intraseluler yang terkait dengan kematian sel (Fas-Associated protein Death Domain) sehingga mengaktivasi caspase 8. Selain itu, dengan pemberian POL pada sel kanker, dapat menyebabkan terganggunya potensial transmembran mitokondria sehingga sitokrom c dilepaskan dari mitokondria dan hal tersebut mengaktivasi caspase 9 serta caspase 3. Pemberian POL dengan konsentrasi rendah pada sel kanker pun dapat meningkatkan efek apoptosis dari faktor nekrosis seluler (Liu et al. 2009b). Lain halnya jalur apoptosis yang dinduksi oleh lektin dari P. cyrtonema (PCL). Lektin tersebut menginduksi terekspresinya protein Bax sebagai protein inisiator apoptosis sel dan menghambat kerja protein Bcl-xL yaitu protein yang berfungsi untuk mencegah pelepasan molekul dari mitokondria. PCL juga menginduksi mitokondria untuk menghasilkan senyawa oksigen radikal (Reactive Oxygene Species) sehingga mengaktifkan protein lain yang terkait dengan stres oksidatif sel (Liu et al. 2009c). Oleh karenanya, proses induksi apoptosis oleh lektin banyak melibatkan jalur sinyal seluler sehingga jalur apoptosis sel merupakan mekanisme utama dari lektin sebagai antiproliferasi terhadap sel kanker (Gambar 4). Gambar 4 Mekanisme lektin dalam menginduksi terjadinya proses apoptosis pada sel kanker (Liu et al. 2010) 10 Aktivitas lektin sebagai antiproliferasi terhadap sel kanker dimodelkan menggunakan uji toksisitas terhadap larva Artemia sp. dengan menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) dan sel kanker pada penelitian ini. Metode BSLT merupakan metode awal yang efesien untuk mengetahui aktivitas suatu senyawa bioaktif atau untuk mengetahui efek toksik suatu ekstrak. Larva Artemia sp. digunakan pada metode ini karena larva ini adalah hewan sederhana sehingga dapat dianalogikan sebagai sel tunggal dan mudah untuk dikontrol untuk diuji ketahanannya terhadap toksisitas ekstrak senyawa bioaktif tumbuhan (Churiyah 2005). Setelah terkonfirmasi larutan protein yang mengandung lektin memiliki efek toksik pada Artemia sp., pengujian dilanjutkan dengan menggunakan sel kanker, yaitu MCF-7. Efek toksik dari ekstrak dapat terlihat bila ekstrak dapat menghambat proliferasi sel MCF-7. Bila proliferasi sel kanker tidak terjadi penurunan, maka ekstrak protein yang mengandung lektin tidak dapat berfungsi sebagai antikanker atau tidak memiliki aktivitas antikanker pada jenis kanker tersebut (Monks et al. 1991). Gen Penyandi Lektin Studi pada lektin tumbuhan menunjukkan bahwa protein tersebut terbagi dalam 7 superfamili berdasarkan sumber tumbuhan penghasil lektin. Legum lektin yang terdapat pada biji tanaman legum merupakan jenis lektin pertama dan telah banyak dikaji dari jenis lektinnya dan gen pengkode lektin tersebut. Phyto-erythro agglutinating (PHA-E) dan Phyto-leuco agglutinating (PHA-L) adalah lektin yang terdapat pada Phaseolus vulgaris. Kedua protein tersebut dikodekan dari gen dlec1 dan dlec2. Kedua gen tersebut tidak memiliki intron dan memiliki 2 kodon ATG pada urutan basa 11-14 (Hoffman dan Donaldson 1985). Selain itu, pada tanaman legum diketahui dapat memiliki lebih dari satu jenis lektin. Dolichos biflorus memiliki lektin pada biji dan DB58 (terdapat pada batang dan daun). Lektin pada biji terdeteksi pada tahap pematangan embrio dan tidak terdeteksi pada tahap perkecambahan. Lektin ini tidak terdapat pada organ tanaman dewasa, sedangkan lektin DB58 terdeteksi pada batang dan daun pada tahap perkecambahan. Kedua jenis lektin ini dikodekan oleh dua gen yang berbeda yang tidak mengandung intron tetapi terletak di orientasi transkripsi yang sama (Talbot dan Etzler 1978, Etzler et al. 1984, Harada et al. 1990). Mistletoe (Viscum album L) merupakan tumbuhan yang mengandung 3 jenis lektin toksik pada daunnya, yaitu MLI, MLII, dan MLIII. Lektin tersebut tergolong dalam jenis lektin type 2 RIP related lectin dan banyak digunakan dalam pengobatan kanker. Perbedaan ketiga lektin tersebut adalah bobot molekul dan spesifitas reaksi dengan molekul karbohidrat. MLI merupakan senyawa aktif utama di dalam ekstrak mistletoe yang digunakan untuk terapi tumor. Ketiga protein ini dikodekan dari gen ml1p, ml2p, dan ml3p. Secara kuantitatif, transkripsi gen ml1p lebih dominan dari kedua gen lainnya. Ketiga gen ini tidak mengandung intron dan mengkodekan lektin dalam bentuk perkusor lektin tunggal (Kourmanova et al. 2004). Gen pengkode lektin dari genus Typhonium, yaitu dari kelompok MMBL hanya sedikit diketahui. Informasi ilmiah yang telah diketahui adalah cDNA lengkap dari Typhonium divaricatum Lectin (TDL) dari daerah Chengdu (Cina) memiliki ukuran 1145 pb, terdiri atas 813 pb ORF (Open Reading Frame) dan mengkode perkusor lektin yang terdiri atas 271 asam amino 11 dengan bobot molekul 29 kDa (Luo et al. 2007). Selain itu, Kong et al. (2006) melaporkan bahwa lektin T. divaricatum dari daerah Chongqing memiliki ukuran cDNA lengkap 870 pb dengan 594 pb ORF. Kedua gen tersebut diduga tidak mengandung intron. 12 3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Analisis total protein umbi, aktivitas lektin umbi, toksisitas dan penanaman T. flagelliforme dari bulan Februari 2011 hingga Februari 2013 dilakukan di laboratorium Pusat Teknologi Farmasi Medika dan Balai Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Serpong, Indonesia. Sedangkan analisis identifikasi genetika lektin dilakukan di laboratorium Fisiologi dan Genetika Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA, IPB dari bulan Maret 2013 hingga Januari 2015. Bahan Tanaman Penelitian ini menggunakan umbi segar dari 7 aksesi T. flagelliforme (Lodd.) Blume yang didapatkan dari berbagai wilayah di Indonesia (Tabel 1). Tanaman tersebut telah diaklimatisasi dan ditumbuhkan di dalam rumah kaca (November 2009 hingga Januari 2011) pada Balai Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Serpong, Indonesia. Tanaman yang telah teraklimatisasi menjadi tanaman mother stock. Setiap umbi yang digunakan pada penelitian ditanam pada media yang sama dengan menggunakan wadah polybag yang berbeda dengan tanaman mother stock dan ditanam berkelompok berdasarkan umur masa tanam 1, 3, 5, dan 6 bulan di rumah kaca. Umbi yang digunakan sebagai umbi awal adalah anakan umbi dari umbi utama pada tanaman mother stock lalu ditanam dan dipanen pada umur tanaman 1, 3, 5, dan 6 bulan. Tabel 1 Daerah aksesi T. flagelliforme yang digunakan dalam penelitian Aksesi Bogor Singaraja Merapi Farm Indmira Ogan Ilir Matesih Solok Lokasi Jawa Barat Bali Yogyakarta Yogyakarta Sumatera Selatan Jawa Tengah Sumatera Barat Metode Ekstraksi Protein Umbi. Prosedur ekstraksi protein umbi yang dilakukan berdasar metode Luo et al. (2007) dengan modifikasi. Ekstraksi protein umbi dari setiap aksesi yang dilakukan pada penelitian ini terdiri atas 3 bagian dengan tahapan yang sama (Gambar 5). Bagian ekstraksi pertama dilakukan dari umbi tanaman yang berumur 1 hingga 6 bulan setelah tanam, menggunakan pelarut 0.15 M NaCl, dan bobot umbi tertentu sesuai dengan umur tanaman. Bagian kedua 13 dilakukan dari umbi tanaman yang berumur 6 bulan setelah tanam sebanyak 15 g dengan menggunakan pelarut akuades dan ekstrak ini digunakan untuk analisis toksisitas terhadap Artemia sp. serta sel MCF-7. Bagian ketiga dilakukan dari umbi tanaman yang berumur 6 bulan setelah tanam sebanyak 25 g dengan menggunakan pelarut 0.15 M NaCl dan ekstrak ini digunakan untuk fraksinasi protein umbi. Selain itu, umbi yang digunakan untuk 3 ekstraksi tersebut ditanam berbeda kelompok, yaitu kelompok pertama ditanam untuk ekstraksi bagian pertama, kelompok dua ditanam untuk ekstraksi bagian kedua, dan kelompok ketiga ditanam untuk ekstraksi bagian ketiga. Tahapan ekstraksi diawali dengan membersihkan umbi yang akan digunakan, lalu ditimbang bobotnya. Umbi segar yang sudah dibersihkan lalu diblender dan dicampur dengan pelarut yang volumenya dua kali dari bobot umbi. Setelah direndam semalam pada 4 °C, campuran tersebut disentrifugasi (Hettich Mikro 22R, Germany) dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit dalam kondisi dingin. Supernatan yang dihasilkan adalah ekstrak kasar protein umbi. Ekstraksi Protein Umbi - Umbi berumur 1, 3, 5, dan 6 bulan setelah tanam - Bobot yang digunakan sesuai dengan yang dihasilkan tanaman selama masa tanam 1, 3, 5, dan 6 bulan - Pelarut: 0.15 M NaCl - Umbi berumur 6 bulan setelah tanam - Bobot: 15 g - Pelarut: akuades - Umbi berumur 6 bulan setelah tanam - Bobot: 25 g - Pelarut: 0.15 M NaCl Gambar 5 Bagian-bagian ekstraksi protein umbi yang dilakukan pada penelitian Uji Kadar Total Protein Metode Bradford. Konsentrasi total protein terlarut diukur kadarnya dengan menggunakan metode Bradford. Protein BSA (Bovine Serum Albumin) digunakan sebagai larutan protein baku. Kurva standar yang digunakan adalah hasil regresi linear dari protein BSA dengan konsentrasi bertingkat yang diukur pada panjang gelombang 595 nm. Konsentrasi protein ekstrak didapatkan dari hasil pengukuran nilai absorbansi larutan pada panjang gelombang 595 nm, lalu diplotkan pada persamaan kurva standar (Bintang 2010). Setiap ekstrak protein umbi yang didapatkan pada penelitian ini dihitung kadar total proteinnya dengan menggunakan metode ini. Perhitungan kadar total protein umbi dilakukan dengan formulasi sebagai berikut: Kadar total = konsentrasi total protein (mg/ml) x volume pelarut ekstrak (ml) protein (mg) Uji Hemaglutinasi. Uji ini dilakukan untuk mengidentifikasi lektin yang terkandung pada protein terlarut. Uji ini dilakukan menggunakan 96-well micro 14 titer U plate. Eritrosit domba sebanyak 50 µl (2% di dalam phosphate buffer saline pH 7.0) dicampur dengan ekstrak kasar protein umbi dengan berbagai jumlah volume (150, 125, 100, 75, 50, 25, 12.5 µL). Hasil reaksi tersebut dilihat setelah 2 jam inkubasi pada suhu ruang. Aktivitas hemaglutinasi dari reaksi dinyatakan dalam unit, yaitu perbandingan volume eritrosit yang digunakan dengan volume ekstrak ( Wang et al. 2000). Hasil positif reaksi aglutinasi adalah warna merah seragam pada larutan sedangkan hasil negatif aglutinasi adalah warna merah titik di tengah. Setiap larutan protein dari hasil ektraksi dilakukan uji hemaglutinasi untuk mendeteksi kandungan lektin. Perhitungan hemaglutinasi dapat dirumuskan sebagai berikut: Aktivitas hemaglutinasi = Volume eritrosit Volume larutan protein Visualisasi Profil Protein dengan SDS-PAGE. Profil protein yang didapatkan dari tiap ekstrak dan hasil fraksinasi divisualisasikan dengan sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Gel yang digunakan terdiri dari 4 % stakcing gel dan 12 % separating gel. Sebanyak 17 µl larutan protein di dalam loading dye (1:1) dimasukan ke setiap sumur. Elektroforesis dilakukan dengan mini gel electrophoresis unit dengan voltase stabil pada 165 V selama 45 menit. Pewarnaan pita protein menggunakan coomassie brilliant blue (Biorad, USA) dan unstained protein ladder (Fermentas, USA) digunakan untuk marka bobot molekul protein (Bintang 2010). Fraksinasi Esktrak Protein Umbi Aksesi Terseleksi dengan Metode Kromatografi. Ekstrak protein umbi yang terseleksi untuk dilakukan fraksinasi adalah ekstrak protein umbi aksesi Solok umur 6 bulan setelah tanam. Ekstrak kasar protein umbi disaring dengan 0.2 µm micro filter, lalu sebanyak 2 ml filtrat dimasukan ke dalam HiTrap DEAE-Sepharose Fast Flow column (GE Healthcare Life Science, USA) yang sudah diekuilibrasi dengan 20 mM Tris-HCl pH 8.0. Larutan protein tersebut dielusi dengan 30 ml larutan gradien 0-1 M NaCl dan laju alir yang digunakan adalah 1 ml/menit. Larutan buffer dari fraksi aktif pada tahap ini diganti dengan 20 mM buffer asetat pH 4.3 menggunakan HiTrap Desalting column (GE Healthcare Life Science, USA). Setelah itu, larutan protein dimasukan ke dalam CM monolithic column (BIA Separations, Austria) yang sudah diekuilibrasi dengan 20 mM buffer asetat pH 4.3. Larutan protein ini dielusi dengan 30 ml larutan gradien 0-1 M NaCl dan laju alir yang digunakan adalah 2 ml/menit. Fraksi aktif dari tahap ini kemudian diganti larutan buffernya dengan PBS pH 7.2 (Luo et al. 2007 dengan modifikasi). Karakterisasi Lektin Terhadap Suhu dan pH. Pengukuran kestabilan lektin terhadap suhu dilakukan dengan melihat aktivitas aglutinasinya pada uji hemaglutinasi setelah diinkubasi pada berbagai suhu. Lektin (di dalam PBS pH 7.2) diinkubasi pada suhu 20, 30, 40, 50, 60, 70, and 80 °C selama 30 menit. Kemudian, larutan didinginkan pada suhu ruang selama 5 menit dan diuji aktivitas aglutinasinya. Sedangkan pengukuran kestabilan lektin terhadap pH dilakukan dengan melihat aktivitas aglutinasinya setelah larutan lektin dilarutkan pada berbagai 100 mM larutan buffer, yaitu buffer asetat (pH 5 and 6), PBS pH 7.2, 15 buffer Tris-HCl (pH 8 and 9). Larutan tersebut diinkubasi 30 menit pada suhu ruang dan diuji aktivitas aglutinasinya (Luo et al. 2007 dengan modifikasi). Isolasi DNA. Metode isolasi DNA ini menggunakan metode dari Doyle dan Doyle (1987) dengan beberapa modifikasi. Bahan tanaman yang digunakan adalah bagian daun dari setiap aksesi T. flagelliforme. Tahap awal dari proses adalah 100 mg daun dipotong dan dimasukan ke dalam microtube ukuran 2 mL. Selanjutnya daun tersebut digerus dengan kondisi direndam pada N2 cair. Setelah halus ditambahkan dengan 650 µL buffer ekstraksi yang telah diinkubasi pada temperatur 65 °C dan mengandung 2 % PVP (Poly Vinyl Pyrrolidone) serta 2 µL merkaptoetanol. Campuran tersebut diinkubasi pada temperatur 65 °C selama 30 menit dengan setiap 10 menit diaduk. Sebelum ditambah dengan kloroformisoamilalkohol (24:1) sebanyak satu kali volume, campuran diinkubasi di dalam es selama 5 menit. Campuran tersebut diaduk secara perlahan selama 10 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 menit pada temperatur 4 °C. Supernatan yang terbentuk ditambahkan fenol-kloroform-isoamilalkohol (25:24:1) sebanyak satu kali volume dan diaduk secara perlahan selama 10 menit. Setelah itu, disentrifugasi kembali dengan kecepatan 10000 rpm selama 10 menit pada temperatur 4 °C. Supernatan yang dihasilkan ditambahkan 2 M Na-asetat pH 5.2 sebanyak 0.1 volume dan etanol absolut sebanyak 2 kali volume. Larutan diaduk perlahan selama 5 menit dan disimpan semalam pada temperatur -20 °C untuk mengendapkan DNA. Setelah diendapkan semalam, larutan disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 10 menit pada temperatur 4 °C. Supernatan yang didapatkan dihilangkan dan endapan yang terbentuk ditambah etanol 70 % sebanyak 500 µL. Kemudian, disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 5 menit pada temperatur 4 °C. Larutan etanol 70 % dihilangkan dan endapan DNA dikeringkan pada inkubator 37 °C. Setelah kering, ditambahkan 20 µL ddH2O dan 5 µL RNAse untuk diinkubasi pada temperatur 37 °C selama 10 menit. Setelah itu dilakukan inaktivasi RNAse dengan menginkubasi larutan pada temperatur 70 °C selama 10 menit. DNA yang didapat disimpan pada temperatur -20 °C. Analisis Profil Larutan DNA. Analisis visualisasi profil larutan DNA menggunakan elektroforesis gel agarosa. Konsentrasi gel yang digunakan adalah 1 % dengan buffer TBE (Tris-Boric-EDTA) sebagai pelarut serbuk agarosa (LE GQ Top Vision, Fermentas, Kanada). Kemudian larutan ditempatkan pada cetakan gel dan diberi sisir untuk mencetak sumur pada gel. Larutan gel tersebut telah mengandung 8 µL etidium bromida (EtBr) untuk gel dengan volume 100 mL. Setelah gel memadat, dipindahkan ke bak elektroforesis yang berisi larutan TBE 1X. Larutan DNA sebanyak 3 µL ditambahkan dengan loading dye sebanyak 2 µL dan diaduk. Setelah itu, larutan DNA tersebut dimasukan ke dalam sumur-sumur gel agarosa. Elektroforesis dilakukan dengan voltase konstan 75 V selama 45 menit. Marka DNA yang digunakan adalah DNA lamda (50 ng/µL). Selanjutnya, hasil elektroforesis divisualisasi dengan sinar UV. Perhitungan ukuran DNA dilakukan dengan cara membandingkan pita DNA dengan pita DNA lamda dan jumlah volume yang digunakan pada proses elektroforesis. 16 Perancangan primer. Primer yang digunakan pada penelitian ini dirancang berdasarkan basis data (www.ncbi.nlm.nih.gov/) sekuen complete CDS lektin beberapa tumbuhan yang memiliki famili sama dengan T. flagelliforme, yaitu Araceae. Tumbuhan tersebut adalah Pinellia ternata (JF293072.1; EU199445.1), Remusatia vivipara (EU924066.1), Typhonium divaricatum (EF194099.1), Pinellia cordata (EF090419.1), Pinellia pedatisecta (AY451853.1), Arisaema lobatum (AY557617.1), dan Arisaema amurense (EU409835.1). Sekuen tersebut dilakukan pensejajaran menggunakan program Bioedit 7 untuk mendapatkan bagian conserve sequence. Hasil pensejajaran digunakan untuk merancang primer dengan menggunakan sekuens basa pada bagian ujung 5' dan 3'. Selanjutnya, sekuen primer yang didapatkan dianalisis kembali dengan BLASTN (www.ncbi.nlm.nih.gov/) untuk mengetahui kesesuaiannya dengan basis data yang telah digunakan dalam perancangan primer. Analisis Amplikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Analisis fragmen lektin dari DNA genom dilakukan dengan primer spesifik lektin yang dirancang dari beberapa sekuens CDS (Coding DNA Sequence) dan full length cDNA lektin tanaman famili Araceae. Primer yang digunakan adalah 5'TCT TCC TCC TCC CGG CCA TC-3' sebagai forward dan 5'-GAG CTC GCC CTT GTG GTT CA-3' sebagai reverse. Reaksi PCR menggunakan kit KAPA2G™ Fast ReadyMix (2x) (Kapa Biosystems, USA) dengan volume total 25 µl. Komposisi PCR yang digunakan adalah 100 ng DNA template, 10 µM primer forward dan reverse, 1x KAPA2G™ Fast ReadyMix (2x), dan free nuclease water sampai volume total 25 µl. Program PCR yang digunakan adalah pra-denaturasi 95°C, 3 menit; diikuti dengan 35 siklus denaturasi 95°C, 15 detik; penempelan primer 55°C, 15 detik; pemanjangan 72°C, 20 detik; dan diakhiri dengan pasca-PCR 72°C, 10 menit; penyimpanan 4°C, 10 menit. Hasil PCR ini dianalisis lanjut sekuensnya dan divisualisasi kembali dengan elektroforesis. Penyisipan Fragmen Lektin ke dalam Vektor pGEM®-T Easy. Proses penyisipan fragmen lektin dengan vektor pGEM®-T Easy menggunakan kloning kit pGEM®-T Easy Vector System (Gambar 6) (Promega, USA). Komposisi reaksi ligasi yang digunakan adalah 5µl 2X Rapid Ligation Buffer, 1 µl vektor pGEM®-T Easy , 2 µl produk PCR, 1 µl T4 DNA Ligase, dan 1µl free nuclease water. Kemudian, campuran diinkubasi pada suhu 4 °C selama semalam. Gambar 6 Peta fisik vektor dan situs pengklonan pGEM®-T Easy (Promega 2010) 17 Introduksi Vektor pGEM®-T Easy ke dalam Bakteri Escherichia coli DH5α. Proses introduksi vektor pGEM®-T Easy_lektin ke dalam bakteri Escherichia coli DH5α dilakukan mengikuti metode Transform Aid Bacterial Transformation Kit (Thermo Scientific, USA). Bakteri transforman ditumbuhkan dalam media seleksi Luria Agar (LA) yang mengandung 100 ppm ampisilin. Koloni bakteri yang tumbuh diambil untuk PCR koloni dengan tahapan lisis pada awal proses PCR. Kondisi program lisis yaitu 96ºC, 5 menit; 50ºC, 1,5 menit; 96ºC, 1,5 menit; 45ºC, 1,5 menit, 96ºC, 1 menit; 40ºC, 1 menit (PCR di pause untuk memasukkan mix PCR); kemudian diikuti dengan 35 siklus program PCR dengan menggunakan metode KAPA2G™ Fast ReadyMix (2x) (Kapa Biosystems, USA). Berdasarkan PCR koloni, maka koloni yang positif membawa vektor pGEM®-T Easy_lektin diisolasi menggunakan GeneJET Plasmid Miniprep Kit (Thermo Scientific, USA). Hasil isolasi ini dianalisis lanjut sekuensnya. Analisis Sekuens. Analisis ini dilakukan untuk mengkonfirmasi bahwa sekuens yang didapatkan merupakan sekuens dari gen lektin umbi T. flagelliforme. Analisis menggunakan BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) pada NCBI (National Center for Biotechnology Information) untuk menunjukkan homologinya dengan gen lektin dari tumbuhan lainnya. Sedangkan untuk pensejajaran antara fragmen DNA setiap aksesi dan dengan tumbuhan lainnya menggunakan program BioEdit 7. Analisis dendrogram gen lektin menggunakan program MEGA5 dengan metode maximum parsimony dan bootstrap sebanyak 1000 kali. Uji Toksisitas Metode BSLT. Ekstrak protein yang didapatkan diuji toksisitas dengan menggunakan metode brine shrimp lethality test (BSLT). Media pertumbuhan untuk telur larva udang menggunakan air laut buatan menggunakan 38 g garam di dalam 1 l akuades. Ruang untuk inkubasi telur yang digunakan terdapat bagian tanpa dan terkena cahaya. Telur udang Artemia sp. diinkubasi pada bagian tanpa cahaya selama 24 jam pada suhu ruang. Telur yang menetas pada bagian terkena cahaya dipindahkan ke media pertumbuhan yang baru dan diinkubasi kembali dengan terkena cahaya selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah itu, 10 larva udang dipindahkan kembali ke tabung uji yang berisi 5 ml media pertumbuhan dan ekstrak kasar protein umbi dengan berbagai konsentrasi (5, 7.5, 10, 15, 20 ppm). Campuran tersebut diinkubasi dengan terkena cahaya selama 24 jam pada suhu ruang. Kemudian, persentase kematian dari udang tersebut diukur pada tiap konsentrasi ekstrak dan diukur nilai LC50 (Meyer et al. 1982) Uji Antiproliferasi Sel Kanker Metode MTT. Uji ini dilakukan untuk mengevaluasi aktivitas antiproliferasi dari ekstrak protein umbi T. flagelliforme secara in vitro dengan menggunakan metode MTT (3-(4, 5-dimethylthiazol-2-yl)-2, 5-diphenyltetrazolium bromide) terhadap sel kanker MCF-7 yang didapatkan dari Pusat Teknologi Farmasi dan Medika, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Indonesia. Sel kanker ditumbuhkan pada media RPMI (Roswell Park Memorial Institute) 1640 yang mengandung 10 % serum fetal bovine (Gibco, USA) dan 1 % penisilin-streptomisin (Gibco, USA) pada inkubator CO2 (5 % CO2) dengan suhu 37 °C selama 24 jam. Setelah itu, sel ditumbuhkan pada 96- 18 well plate dengan konsentrasi sel 5x103 di setiap sumur dan diinkubasi dengan kondisi yang sama seperti sebelumnya. Berbagai konsentrasi ekstrak protein (6.25, 12.5, 25, 100, 200 ppm) ditambahkan kemudian lalu diinkubasi kembali dengan kondisi yang sama seperti sebelumnya. Selanjutnya, setiap sumur dicuci dengan PBS (Phosphate Buffer Saline) pH 7.0 untuk menghilangkan sel yang mati, lalu ditambahkan 100 µL MTT (0.5 mg/ml di dalam PBS) dan diinkubasi kembali selama 4 jam pada inkubator CO2 pada suhu 37 °C. Sebanyak 100 µL SDS 20 % ditambahkan setelah inkubasi, lalu dilakukan inkubasi kembali pada ruang gelap selama semalam. Sel yang hidup akan mereduksi reagen MTT yang berwarna kuning dengan bantuan suksinat dehidrogenase mitokondria sehingga membentuk molekul formazan yang berwarna ungu (American Type Culture Collection 2011). Endapan formazan yang terbentuk setelah inkubasi diukur absorbansinya pada panjang gelombang 570 nm dan hasil tersebut digunakan untuk mengukur nilai LC50 (Luo et al. 2007 dengan modifikasi). Perhitungan daya hambat proliferasi sel diformulasikan sebagai berikut: Daya hambat = Absorban sel terkoreksi – Absorban ekstrak terkoreksi x 100% Absorban sel terkoreksi Uji Sitotoksisitas Terhadap Sel Normal Metode MTT Uji sitotoksisitas dilakukan untuk mengetahui efek toksik ekstrak protein umbi T. flagelliforme terhadap sel normal atau sel non kanker. Sel yang digunakan adalah sel fibroblas manusia. Sel tersebut didapatkan dari Pusat Teknologi Farmasi dan Medika, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Indonesia. Metode yang digunakan untuk pengujian ini menggunakan metode MTT. Sel fibroblas ditumbuhkan pada media RPMI 1640 yang mengandung 10 % serum fetal bovine (Gibco, USA) dan 1 % penisilin-streptomisin (Gibco, USA) pada inkubator CO2 (5 % CO2) dengan suhu 37 °C selama 48 jam. Setelah itu, sel ditumbuhkan pada 96-well plate dengan konsentrasi sel 5x104 di setiap sumur dan diinkubasi dengan kondisi yang sama seperti sebelumnya selama 24 jam. Berbagai konsentrasi ekstrak protein (6.25, 12.5, 25, 100, 200 ppm) ditambahkan kemudian lalu diinkubasi kembali dengan kondisi yang sama seperti sebelumnya. Selanjutnya, setiap sumur dicuci dengan PBS pH 7.0 untuk menghilangkan sel yang mati, lalu ditambahkan 100 µL MTT (0.5 mg/ml di dalam PBS) dan diinkubasi kembali selama 4 jam pada inkubator CO2 pada suhu 37 °C. Sebanyak 100 µL SDS 20 % ditambahkan setelah inkubasi, lalu dilakukan inkubasi kembali pada ruang gelap selama semalam. Endapan formazan yang terbentuk setelah inkubasi diukur absorbansinya pada panjang gelombang 570 nm dan hasil tersebut digunakan untuk mengukur persentase daya proliferasi ekstrak terhadap sel fibroblas (Luo et al. 2007 dengan modifikasi). Perhitungan daya proliferasi sel diformulasikan sebagai berikut: Daya proliferasi = Absorban ekstrak terkoreksi x 100% Absorban sel terkoreksi 19 Rancangan Percobaan. Setiap umbi T. flagelliforme ditanam berkelompok berdasar kelompok umur masa tanam 1, 3, 5, dan 6 bulan dan kelompok ekstraksi (kelompok pertama ditanam untuk ekstraksi bagian pertama, kelompok dua ditanam untuk ekstraksi bagian kedua, dan kelompok ketiga ditanam untuk ekstraksi bagian ketiga). Data yang digunakan untuk analisis bobot, protein total, dan aktivitas lektin setiap masa tanam didapatkan dari dua ulangan penanaman umbi perkelompok umur masa tanam. Data yang digunakan untuk analisis toksisitas terhadap Artemia sp. dan sel kanker serta untuk fraksinasi protein umbi didapatkan dari tiga kali ulangan menggunakan umbi dari setiap aksesi yang berumur 6 bulan setelah tanam. Seluruh data dinyatakan sebagai nilai rata-rata ± standar deviasi. 20 4 HASIL PENELITIAN Bobot Umbi, Protein Umbi, dan Lektin Umbi T. flagelliforme Bagian pertama tahapan penelitian adalah menganalisis bobot, protein, dan lektin umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme selama masa tanam. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan umbi dan protein yang terkandung. Aksesi-aksesi dari T. flagelliforme ditumbuhkan di rumah kaca selama periode tanam 1, 3, 5, dan 6 bulan. Hasil pengamatan menunjukkan tidak semua bobot umbi dari setiap aksesi mengalami peningkatan bobot pada masa tanam, terdapat fluktuasi bobot umbi pada beberapa aksesi seperti aksesi Singaraja, Merapi Farm, Indmira, dan Solok. Aksesi Bogor, Ogan Ilir, dan Matesih menunjukan kecenderungan peningkatan bobot umbi pada masa tanam, dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam. Bobot umbi terendah pada umur 1 bulan setelah tanam dimiliki oleh umbi dari aksesi Ogan ilir, bobotnya seperempat dari bobot umbi tertinggi aksesi Merapi Farm. Bobot umbi tertinggi pada umur 6 bulan setelah tanam dimiliki oleh umbi dari aksesi Singaraja, bobot umbinya lebih tinggi 1.5 kali dari bobot umbi terendah aksesi Solok. Walaupun bobot umbi aksesi Singaraja mengalami fluktuasi pada masa tanam, namun bobot umbi tertingginya terjadi pada umur 6 bulan setelah tanam. Aksesi lainnya, yaitu Merapi Farm, Indmira, dan Solok mengalami kecenderungan penurunan bobot umbi pada umur 6 bulan setelah tanam dari bulan sebelumnya. Kecenderungan Bobot umbi aksesi Merapi Farm tertinggi pada umur 3 bulan setelah tanam, sedangkan aksesi Indmira dan Solok umur 5 bulan setelah tanam (Gambar 7). 9 8 Bobot umbi (g) 7 6 5 4 3 2 1 1 month 3 months 5 months 6 months 0 Gambar 7 Bobot umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1 bulan hingga 6 bulan setelah tanam. Data pada grafik batang disajikan dengan ± standar deviasi 21 Protein umbi yang telah dipanen dari seluruh aksesi, dihitung kadar total protein umbinya. Hasil menunjukkan hanya aksesi Ogan Ilir kadar total protein umbinya cenderung meningkat secara linier dari umur 1 bulan hingga 6 bulan setelah tanam, sedangkan 5 aksesi yang lain mengalami fluktuasi kadar total protein umbi selama masa tanam. Aksesi Bogor pada umur 1 bulan setelah tanam tidak terdeteksi adanya protein pada umbi. Kadar protein umbi tertinggi pada umur 1 bulan setelah tanam dimiliki oleh aksesi Merapi Farm, kadar tersebut 5 kali lebih tinggi daripada kadar protein umbi terendah aksesi Ogan Ilir. Kadar protein umbi tertinggi pada umur 6 bulan setelah tanam dimiliki oleh aksesi Merapi Farm, kadar tersebut 2 kali lebih tinggi daripada kadar protein umbi terendah aksesi Solok. Aksesi Bogor, Singaraja, Ogan Ilir, dan Matesih cenderung memiliki kadar protein tertinggi pada umur 6 bulan setelah masa tanam dari setiap masing-masing aksesi tersebut. Tiga aksesi lainnya seperti aksesi Merapi Farm, Indmira, dan Solok cenderung mengalami penurunan kadar total protein umbi pada umur 6 bulan setelah tanam. Kecenderungan kadar total protein umbi tertinggi aksesi Merapi Farm terjadi pada umur 3 bulan setelah tanam, aksesi Indmira terjadi pada umur 5 bulan setelah tanam, dan aksesi Solok terjadi pada umur 5 bulan setelah tanam (Gambar 8). Hasil pengamatan deteksi lektin umbi terdapat 3 aksesi menunjukkan bahwa lektin umbi telah diproduksi dari umur 1 bulan setelah tanam, yaitu aksesi Singaraja, Merapi Farm, dan Indmira. Hal ini ditunjukkan dengan adanya aktivitas hemaglutinasi dari ekstrak protein umbi aksesi tersebut. Lektin pada aksesi lainnya terdeteksi pada umur 3 bulan setelah tanam. Tidak terdapat aksesi yang menunjukkan kecenderungan peningkatan kadar lektin secara linier dari umur 1 bulan hingga 6 bulan setelah tanam. Aksesi Bogor dan Merapi Farm menunjukkan kecenderungan aktivitas hemaglutinasi tertinggi pada umur 6 bulan setelah tanam dari setiap masing-masing aksesi tersebut. Aksesi Indmira, Matesih, dan Solok menunjukkan kecenderungan kadar lektin tertinggi pada umur 5 bulan setelah 16 Protein total (mg) 14 12 10 8 1 month 6 3 months 4 5 months 2 6 months 0 Gambar 8 Kadar total protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1 bulan hingga 6 bulan setelah tanam. Data pada grafik batang disajikan dengan ± standar deviasi 22 tanam dari masing-masing aksesi tersebut. Aksesi Ogan Ilir cenderung menunjukkan kadar lektin tertinggi pada umur tanam 3 bulan, sedangkan aksesi Singaraja menunjukkan aktivitas hemaglutinasi yang cenderung stabil pada umur 1 hingga 5 bulan tanam (Gambar 9). Aktivitas hemaglutinasi (unit) 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 1 month 0,3 3 months 0,2 5 months 0,1 6 months 0 Gambar 9 Aktivitas hemaglutinasi lektin umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam. Data pada grafik batang disajikan dengan ± standar deviasi Elektroforegram Protein Umbi Setiap Aksesi Selama Masa Tanam Setelah didapatkan nilai kadar total protein umbi dari setiap aksesi selama masa tanam, dilakukan visualisasi profil protein umbi selama masa tanam dengan menggunakan metode SDS-PAGE. Profil protein umbi umur 1 bulan setelah tanam setiap aksesi T. flagelliforme menunjukkan protein berbobot molekul dibawah 30 kDa. Dua aksesi, yaitu Merapi Farm dan Indmira menunjukkan pita protein yang lebih tebal daripada aksesi lainnya, sehingga diasumsikan pada umur 1 bulan setelah tanam, umbi kedua aksesi tersebut memiliki kandungan protein cukup tinggi. Umur 3 bulan setelah tanam, setiap aksesi menunjukkan pita protein yang lebih tebal berbobot molekul dibawah 30 kDa dari bulan sebelumnya dan aksesi Merapi Farm menunjukkan pita protein diatas 30 kDa. Hal ini menunjukkan ada pertambahan kandungan dan variasi protein umbi selama masa tanam. Umur 5 bulan dan 6 bulan setelah tanam, setiap aksesi menunjukkan pertambahan kandungan dan variasi profil protein umbi dengan terdapatnya pita protein dari 200 kDa hingga dibawah 15 kDa. Secara keseluruhan menunjukkan protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme banyak mengandung protein berbobot molekul dibawah 30 kDa (Gambar 10). 23 Gambar 10 Elektroforegram protein umbi T. flagelliforme (Lodd.) Blume selama masa tanam. (A) 1 bulan, (B) 3 bulan, (C) 5 bulan, (D) 6 bulan. M: Markers (kDa), 1: Bogor, 2: Singaraja, 3: Merapi Farm, 4: Indmira, 5: Ogan Ilir, 6: Matesih, 7: Solok Fraksinasi Protein Umbi T. flagelliforme Aksesi Solok Umur 6 Bulan Setelah Tanam Bagian kedua dari penelitian ini adalah melakukan fraksinasi protein umbi T. flagelliforme. Hasil yang didapatkan dari proses fraksinasi adalah lektin terpurifikasi. Umbi yang digunakan untuk tahapan ini adalah umbi yang berumur 6 bulan setelah tanam, hal ini berdasarkan hasil kajian dari tahap pertama penelitian bahwa terdapat kecenderungan pada umur 6 bulan setelah tanam kadar protein total dan lektin umbi beberapa aksesi dihasilkan secara maksimal. Selain itu, diasumsikan umur 6 bulan setelah tanam kondisi umbi telah cukup dewasa sehingga diharapkan lektin yang terkandung pada umbi cukup banyak. Ekstrak protein umbi dari proses ekstraksi menggunakan 0.15 M NaCl dan dengan jumlah umbi sebanyak 25 g. Ekstrak yang didapatkan dari setiap aksesi T. flagelliforme diukur kembali kadar total protein umbi, toksisitas, dan aktivitas hemaglutinasi. Hal ini bertujuan untuk menseleksi aksesi yang memiliki kadar lektin yang cukup untuk dilakukan purifikasi lektin sehingga tidak terdapat hambatan dalam proses purifikasi karena kandungan lektin yang rendah. Hasil uji menunjukkan bahwa aksesi Solok memiliki kadar total protein tertinggi dan aksesi Matesih terendah. Efek toksik tertinggi dimiliki oleh aksesi Bogor dengan nilai LC 50 terendah dibanding aksesi lainnya, sedangkan aksesi Ogan Ilir memiliki efek toksik terendah. Aktivitas hemaglutinasi tertinggi dimiliki oleh aksesi Solok dan yang terendah dimiliki oleh aksesi Singaraja (Tabel 2). Aktivitas hemaglutinasi ini menunjukkan keberadaan lektin umbi sehingga apabila aktivitasnya tinggi, diasumsikan lektin umbi yang terkandung cukup banyak pada ekstrak. Oleh sebab 24 Tabel 2 Kadar total protein umbi, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas dari ekstraksi protein menggunakan NaCl 25 g umbi T. flagelliforme umur masa tanam 6 bulan Aksesi Bogor Singaraja Merapi Farm Indmira Ogan Ilir Matesih Solok Kadar protein total (mg) 46.63 ± 0.16 40.38 ± 0.46 41.45 ± 0.15 41.15 ± 0.00 44.08 ± 0.26 36.10 ± 0.00 48.80 ± 0.00 Aktivitas hemaglutinasi (HU) 0.30 ± 0.26 0.22 ± 0.19 0.33 ± 0.33 0.43 ± 0.06 0.52 ± 0.13 0.44 ± 0.38 1.00 ± 0.00 Nilai toksisitas (LC50 = ppm) 10.65 ± 0.71 12.87 ± 0.58 14.73 ± 0.46 14.68 ± 0.17 16.15 ± 0.25 15.07 ± 0.66 12.07 ± 0.98 itu, ekstrak protein umbi aksesi Solok terseleksi untuk dilakukan purifikasi dengan metode kromatografi. Kolom yang digunakan pada proses fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok menggunakan kolom kromatografi penukar ion, yaitu kolom DEAESepharose sebagai penukar anion dan CM-monolitic sebagai penukar kation. Keberadaan lektin pada fraksi-fraksi yang terbentuk dideteksi dengan uji hemaglutinasi. Fraksi A2 dari hasil fraksinasi kolom DEAE-Sepharose merupakan fraksi aktif dan setelah dilakukan analisis dengan elektroforesis didapatkan bahwa fraksi ini terdiri atas 2 jenis protein dengan perkiraan berbobot molekul 11.84 dan 19.10 kDa (Gambar 11A dan 11B). Fraksi B2 adalah fraksi aktif dari hasil fraksinasi kolom CM-monolitic dan setelah dilakukan analisis dengan elektroforesis fraksi ini terdiri dari 1 jenis protein dengan perkiraan berbobot molekul 12.67 kDa (Gambar 12A dan 12B). Kadar total protein pada fraksi A2 dan B2 adalah 3.71 dan 0.17 mg. Kadar total protein didapatkan pada fraksi A2 adalah 7.7 % bila dibandingkan kadar total protein umbi pada ekstrak protein umbi aksesi Solok (48.80 mg). Kadar dari total Gambar 11 (A) Kromatogram fraksinasi protein dengan kolom DEAE-Sepharose, *) Fraksi aktif protein, protein, konsentrasi garam, dan konduktivitas garam. (B) Hasil elektroforegram fraksi protein A2 dengan SDS-PAGE 25 protein yang didapatkan pada fraksi B2 adalah 4.66 % bila dibandingkan dengan kadar total protein umbi pada fraksi A2. Bila dibandingkan dengan kadar total protein umbi aksesi Solok, yaitu sebesar 48.8 mg, kadar lektin umbi yang terkandung pada T. flagelliforme aksesi solok pada fraksi B2 adalah sekitar 0.35 % dari kadar protein total protein umbi (Tabel 3). Oleh karena itu, lektin yang didapatkan dari aksesi Solok memiliki perkiraan bobot molekul 12.67 kDa dengan kadar sebesar 0.35% dari kadar protein total umbi. Setiap tahapan fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok menggunakan kromatografi penukar ion, kolom DEAE-Sepharose sebagai penukar anion dan CM-monolitic sebagai penukar kation menurunkan kadar total protein umbi bila dibandingkan dengan kadar total protein ekstrak. Aktivitas spesifik hemaglutinasi dari setiap fraksi meningkat dikarenakan semakin terseleksinya protein pada fraksi tersebut dikarenakan protein yang diinginkan adalah lektin yang mempunyai aktivitas hemaglutinasi. Kenaikan spesifisitas ini diikuti dengan peningkatan kelipatan purifikasi dari setiap tahapan fraksinasi. Oleh karena itu diharapkan spesifisitas dan kelipatan purifikasi dari suatu tahapan fraksinasi adalah tinggi. Gambar 12 (A) Kromatogram fraksinasi protein dengan kolom CM-monolitic. *) Fraksi aktif protein, protein, konsentrasi garam, dan konduktivitas garam. (B) Hasil elektroforegram fraksi protein B2 dengan SDS-PAGE Tabel 3 Kadar total protein pada proses fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok menggunanakan kolom DEAE-Sepharose dan CM-monolitic Kolom DEAE-Sepharose CM monolitic a Total Protein (mg) 3.71 0.17 Persentase Protein (%) 7.70a 4.66b Persentase Lektin (%) 0.35c Persentase menunjukkan kadar total protein yang dihasilkan fraksi A2 dari kolom DEAESepharose dibandingkan dengan kadar total protein ekstrak aksesi Solok (48.80 mg) b Persentase menunjukkan kadar total protein yang dihasilkan fraksi B2 dari kolom CM-monolitic dibandingkan dengan kadar total protein yang didapatkan dari fraksi A2 c Persentase menunjukkan lektin umbi aksesi Solok yang didapatkan pada fraksi A2 dibandingkan dengan kadar total protein ekstrak aksesi Solok (48.80 mg) 26 Spesifisitas dan kelipatan purifikasi dari tahapan fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok hingga mendapatkan lektin terpurifikasi terdapat pada Tabel 4. Tabel 4 Tabel Tahapan Purifikasi Ekstrak Protein Umbi Aksesi Solok Umur 6 Bulan Tanam Proses Total Protein (mg) Ekstrak kasar DEAESepharose CM monolithic 48.80 Aktivitas Aktivitas Hemaglutinasi Hemaglutinasi (HU) Spesifik (HU/mg)a 1.00 0.02 Recovery (%)b Kelipatan Purifikasic 100.00 1.00 3.71 0.66 0.17 66.00 8.67 0.17 0.44 0.39 44.30 19.05 a Perbandingan aktivitas hemaglutinasi dengan kadar total protein Pesentase perbandingan aktivitas hemaglutinasi dengan aktivitas hemaglutinasi ekstrak kasar c Perbandingan aktivitas hemaglutinasi spesifik dengan aktivitas hemaglutinasi sepsifik ekstrak kasar b Karakterisasi Lektin 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Aktivitas Hemaglutinasi (HU) Aktivitas Hemaglutinasi (HU) Lektin terpurifikasi dikarakterisasi berdasarkan kestabilan aktivitas hemaglutinasinya pada selang suhu dan pH tertentu. Hasil uji karakterisasi lektin berdasarkan suhu menunjukkan bahwa lektin stabil pada suhu 20-40 °C, dan sedikit menurun pada suhu 50 °C, dan menurun hingga suhu 70 °C. Aktivitas lektin pada suhu 60-70 °C lebih rendah 0.6 kali dari aktivitasnya pada suhu 2040 °C. Aktivitas lektin tidak terdeteksi pada suhu 80 °C. Hasil uji karakterisasi lektin berdasarkan nilai pH menunjukkan fluktuasi aktivitas lektin pada pH 5.0-7.2 dan menurun pada pH 8.0-9.0. Terdapat peningkatan aktivitas lektin sebesar 1.2 kali dari pH 5.0 ke 6.0 dan menurun sebesar 1.2 kali ke pH 7.2. Aktivitas lektin menurun kembali dari nilai pH 7.2 hingga 9.0 dengan nilai penurunan sebesar 2 kali dari nilai pH 7.2. Aktivitas lektin tertinggi terjadi pada saat pH 6.0. (Gambar 13). (A) 20 30 40 Suhu °C 50 60 70 80 1,1 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 (B) 5 6 7,2 8 9 pH Gambar 13 (A) Aktvitas hemaglutinasi lektin umbi aksesi Solok setelah diinkubasi pada suhu 20-80 °C, (B) aktivitas hemaglutinasi lektin umbi aksesi Solok setelah diinkubasi pada pH 5.0-9.0. Data pada grafik batang disajikan dengan ± standar deviasi. 27 Identifikasi Gen Lektin Identifikasi gen penyandi lektin merupakan bagian dari tahap kedua penelitian yang terkait dengan karakteristik lektin umbi T. flagelliforme. Proses identifikasi dilakukan dengan mengisolasi DNA total dari daun T. flagelliforme menggunakan metode CTAB (hexadecyltrimethylammonium bromide). Metode ini sangat baik untuk mengisolasi DNA dari daun dengan jumlah yang sedikit. Molekul DNA yang telah diisolasi kemudian dilihat kualitas dan kuantitasnya dengan membandingkan dengan DNA λ pada elektroforesis (Gambar 14A). Jumlah DNA lamda yang digunakan adalah 100 ng. Jumlah DNA tersebut merupakan jumlah yang tepat untuk campuran pada proses PCR sehingga hasil isolasi DNA dilakukan pengenceran sebanyak tujuh kali sebelum diamplifikasi dengan PCR. Hasil amplifikasi menunjukkan ukuran produk yang sama dari setiap aksesi. Produk yang dihasilkan memiliki ukuran 600 pb (pasang basa) dari setiap aksesi (Gambar 14B). Setelah itu, fragmen DNA lektin tersebut disisipkan ke dalam vektor pGEM®-T Easy dan diintroduksikan ke dalam bakteri Escherichia coli DH5α. Vektor tersebut diisolasi dari bakteri untuk dianalisis sekuens basa vektor tersebut. Sekuen basa gen pengkode lektin setiap aksesi T. flagelliforme yang telah didapatkan dari proses sekuensing dengan vektor pGEM®-T Easy selanjutnya dilakukan uji BLASTN. Hasil BLASTN pada NCBI menunjukkan sekuens basa pengkode lektin yang didapat dari tiap aksesi menunjukkan kesamaan di atas 80 % dengan sekuens basa lektin dari tumbuhan T. divaricatum yang merupakan tumbuhan bergenus sama dan tumbuhan yang merupakan satu famili Araceae, yaitu Pinellia ternata dan P. Pedatisecta. Aksesi Bogor, Merapi Farm, Indmira, 1 1 2 3 4 5 6 7 λ A 1 2 3 4 5 6 7 M pb 600 500 B Gambar 14 (A) Hasil isolasi DNA dan (B) hasil amplifikasi DNA. Aksesi: (1) Bogor, (2) Singaraja, (3) Merapi Farm, (4) Indmira, (5) Ogan Ilir, (6) Matesih, dan (7) Solok. Marka yang digunakan pada hasil isolasi DNA adalah DNA λ dan pada amplifikasi 100 pb ladder. 28 dan matesih memiliki kesamaan tertinggi dengan T. divaricatum. Aksesi Bogor menunjukkan kesamaan tertinggi dengan T. divaricatum dengan nilai 87 %, sedangkan aksesi Merapi Farm, Indmira, dan Matesih menunjukkan kesamaan tertinggi dengan T. divaricatum sebesar 88 %. Selain itu, aksesi Singaraja, Ogan Ilir, dan Solok memiliki kesamaan tertinggi dengan P. ternata. Aksesi Singaraja menunjukkan kesamaan 86 % dengan P. ternata, aksesi Ogan Ilir memiliki kesamaan tertinggi sebesar 88 %, dan aksesi Solok menunjukkan kesamaan tertinggi sebesar 84 % (Tabel 5). Tabel 5 Hasil BLASTN yang menunjukkan kesamaan tertinggi dari setiap aksesi T. flagelliforme dengan basis data di NCBI Aksesi Bogor Merapi Farm Indmira Matesih Ogan Ilir Singaraja Solok T. divaricatum % Nilai E Query Kesamaan cover 87 0 97 88 0 98 88 1e-174 94 88 3e-180 99 P. ternata % Nilai E Kesamaan 88 86 84 0 2e-166 3e-130 Query cover 98 98 99 Selain itu, penjajaran sekuens basa dilakukan untuk melihat kesamaan sekuens terhadap aksesi satu dengan aksesi lain serta gen pengkode lektin dari tumbuhan lain yang termasuk famili Araceae, seperti T. divaricatum, Remusatia vivipara, P. ternata, P. pedatisecta, Arisaema lobatum, dan A. amurense (Tabel 8). Tabel 6 Pensejajaran sekuens basa gen pengkode lektin setiap aksesi T. flagelliforme dengan beberapa tumbuhan lain famili Araceae Keterangan: JF293072.1; EU199445.1 (P. ternata), EU924066.1 (R. vivipara), EF194099.1 (T. divaricatum), EF090419.1 (P. cordata), AY451853.1 (P. pedatisecta), AY557617.1 (A. lobatum), dan EU409835.1 (A. amurense) 29 Tabel 6 Pensejajaran sekuens basa gen pengkode lektin setiap aksesi T. flagelliforme dengan beberapa tumbuhan lain famili Araceae (lanjutan) Keterangan: JF293072.1; EU199445.1 (P. ternata), EU924066.1 (R. vivipara), EF194099.1 (T. divaricatum), EF090419.1 (P. cordata), AY451853.1 (P. pedatisecta), AY557617.1 (A. lobatum), dan EU409835.1 (A. amurense) 30 Sekuen basa lektin yang telah dianalisis BLASTN diuji lanjut untuk membuat dendrogram setiap aksesi T. fagelliforme dengan lektin dari tumbuhan lain dalam famili Araceae. Hasil dendrogram menunjukkan gen pengkode lektin dari 7 aksesi membentuk 4 kelompok. Terdapat 3 pasang aksesi memiliki kekerabatan yang dekat, yaitu aksesi Bogor dengan Matesih, Ogan Ilir dengan Singaraja, dan Merapi farm dengan Indmira. Aksesi Solok memiliki percabangan tersendiri tetapi menunjukkan kekerabatan yang dekat dengan Merapi farm dan Indmira. Bila dibandingkan dengan lektin tumbuhan lainnya, lektin T. flagelliforme memiliki kekerabatan yang dekat dengan lektin dari T. divaricatum (EF194099.1 ) dan P. ternata (EU199445.1), sedangkan dengan lektin dari P. ternata (JF 293072.1) memiliki kekerabatan yang lebih jauh (Gambar 15). BOGOR SINGARAJA 100 OGAN ILIR 58 83 100 100 MERAPI FARM INDMIRA SOLOK MATESIH EF 194009.1 EU 199445.1 JF 293072.1 Gambar 15 Dendrogram parsial gen pengkode lektin dari 7 aksesi T. flageliforme. JF293072.1 dan EU199445.1 (P. ternata), EF194099.1 (T. divaricatum) Aktivitas Toksisitas, Antiproliferasi, dan Sitotoksisitas Ekstrak Protein Umbi Umur 6 Bulan Setelah Tanam Bagian ketiga dari penelitian ini adalah menguji efek toksik ekstrak protein umbi T. flagelliforme terhadap larva Artemia sp. dan sel kanker serta sel normal. Hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasi kegunaan obat herbal berbasis T. flagelliforme yang telah banyak digunakan oleh masyarakat dan memodelkan aktivitas lektin umbi T. flagelliforme sebagai antiproliferasi sel kanker dalam pengembangan obat herbal berbasis lektin. Ekstrak protein umbi yang digunakan adalah 15 g umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme yang berumur 6 bulan setelah tanam dan diekstrak menggunakan akuades. Sebelum dilakukan uji toksisitas, terlebih dahulu dilakukan pengukuran kembali terhadap kadar total protein dan aktivitas hemaglutinasi dari ekstrak tersebut. Kadar protein total umbi dan aktivitas hemaglutinasi yang menunjukan keberadaan lektin umbi tertinggi dimiliki oleh aksesi Bogor. Kadar protein total terendah dimiliki oleh aksesi Singaraja. Aktivitas hemaglutinasi terendah dimiliki oleh aksesi Merapi Farm. 31 Hasil uji toksisitas menunjukkan bahwa aksesi Solok memiliki nilai LC 50 terendah, yaitu 9.93 ppm, sedangkan aksesi Singaraja, memiliki nilai LC 50 tertinggi, yaitu 22.7 ppm (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak protein umbi dari aksesi Solok memiliki efek toksik tertinggi dibandingkan aksesi lainnya karena dengan konsentrasi ekstrak terendah telah dapat mematikan populasi sebanyak 50 %. Oleh karena aksesi Bogor memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi yang menunjukkan bahwa terdapat kandungan lektin umbi tertinggi dan aksesi Solok memiliki efek toksisitas tertinggi maka kedua aksesi tersebut diuji lanjut ekstrak protein umbinya pada uji antiproliferasi terhadap sel MCF-7 dan sitotoksik terhadap sel fibroblas. Tabel 7 Kadar protein total, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas esktrak akuades 15 g umbi T. flagelliforme berumur 6 bulan masa tanam Aksesi Protein total (mg) Bogor Singaraja Merapi Farm Indmira Ogan Ilir Matesih Solok 28.51 ± 0.38 17.43 ± 0.15 21.22 ± 0.15 24.87 ± 0.75 21.85 ± 0.28 21.75 ± 0.10 21.21 ± 0.05 Aktivitas hemaglutinasi (unit) 0.66 ± 0.00 0.57 ± 0.15 0.52 ± 0.13 0.57 ± 0.15 0.61 ± 0.09 0.61 ± 0.09 0.55 ± 0.09 Nilai toksisitas (LC50 = ppm) 19.72 ± 7.47 22.77 ± 4.63 19.84 ± 4.69 17.29 ± 1.17 16.69 ± 1.24 16.36 ± 1.93 9.93 ± 1.00 Hasil uji antiproliferasi terhadap sel MCF-7 dengan metode MTT menunjukkan bahwa ekstrak protein umbi aksesi Solok memiliki daya hambat terendah pada konsentrasi ekstrak terendah, yaitu 6.25 ppm dengan daya hambat sebesar - 6.19 % yang berarti menginduksi proliferasi sel MCF-7 sebesar 6.19 %. Daya hambat tertinggi dari aksesi Solok terjadi pada konsentrasi ekstrak tertinggi, yaitu 200 ppm dengan daya hambat 77.43 %. Daya hambat dari konsentrasi terendah (6.25 ppm) aksesi Bogor sebesar 2.84 %, sedangkan daya hambat tertinggi terjadi pada konsentrasi tertinggi (200 ppm) sebesar 69.55 %. Nilai LC 50 aksesi Solok adalah 95.36 ppm sedangkan aksesi Bogor sebesar 102.86 ppm, hal ini menunjukkan daya hambat aksesi Solok terhadap sel MCF-7 lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi Bogor (Tabel 8). Pengamatan mikroskopik pada sel Tabel 8 Daya hambat ekstrak protein umbi aksesi Bogor dan Solok terhadap sel MCF-7 dengan berbagai konsentrasi Ekstrak Protein Umbi Aksesi Bogor (ppm) 6.25 12.5 25 100 200 Daya Hambat (%) 2.84 50.61 46.27 46.14 69.55 Ekstrak Protein Umbi Aksesi Solok (ppm) 6.25 12.5 25 100 200 Daya Hambat (%) -6.19 47.35 45.35 49.56 77.43 32 MCF-7 yang diberikan ekstrak protein umbi sebesar 200 ppm dari kedua aksesi tersebut menunjukkan bahwa sel tersebut mengalami penghambatan proliferasi dan cenderung mengalami kematian (Gambar 16). B A C Gambar 16 Inhibisi proliferasi sel MCF-7 dengan ekstrak protein umbi (40 kali perbesaran). (A) Sel MCF-7 kontrol, (B) hasil penambahan 200 ppm ekstrak protein umbi aksesi Bogor ke sel MCF-7, (C) hasil penambahan 200 ppm ekstrak protein umbi aksesi Solok ke sel MCF7. Tanda panah menunjukkan kondisi sel MCF-7 Setelah dilakukan uji antiproliferasi terhadap sel kanker MCF-7, ekstrak protein umbi dari kedua aksesi tersebut diuji kembali efek toksiknya terhadap sel normal, yaitu sel fibroblas. Pertumbuhan sel fibroblas meningkat dengan pemberian ekstrak dibandingkan sel fibroblas tanpa perlakuan tetapi pada perlakuan dengan konsentrasi ekstrak yang tinggi, pertumbuhan sel fibroblas terhambat. Pertumbuhan sel fibroblas tertinggi dengan perlakuan ekstrak protein umbi aksesi Solok terjadi pada konsentrasi ekstrak 12.5 ppm, yaitu dengan daya proliferasi sebesar 141.66 % dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan. Pertumbuhan sel fibroblas menurun dari konsentrasi ekstrak protein umbi aksesi Solok 25 hingga 200 ppm dan pada konsentrasi ekstrak 100 ppm, proliferasi sel fibroblas terhambat sebesar 8.33 %. Hal ini ditunjukkan dari daya proliferasi sel fibroblas sebesar – 91.67 % dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan. Perlakuan konsentrasi ekstrak protein umbi 200 ppm menghambat proliferasi sel fibroblas sebesar 41.60 %. Hal ini ditunjukkan dengan daya proliferasi sel fibroblas pada perlakuan konsentrasi tersebut sebesar -58.40 % dibandingkan dengan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan. Oleh karenanya pemberian ekstrak protein umbi aksesi Solok mampu menginduksi proliferasi sel fibroblas dari konsentrasi 6.25 hingga 25 ppm, sedangkan dari konsentrasi ekstrak 100 hingga 200 ppm, pertumbuhan sel fibroblas terhambat dibandingkan dengan sel fibroblas kontrol (Tabel 5). Konsentrasi ekstrak protein umbi aksesi Bogor yang memberikan pertumbuhan sel fibroblas maksimal adalah pada 25 ppm, yaitu sebesar 170.83 % daya proliferasi dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan. Pertumbuhan sel fibroblas mulai menurun dari pemberian konsentrasi ekstrak protein umbi aksesi Bogor 100 ppm dan pada konsentrasi ekstrak tertinggi, yaitu 200 ppm jumlah sel fibroblas lebih rendah daripada sel fibroblas kontrol, proliferasi sel fibroblas terhambat sebesar 29.10 % dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa 33 perlakuan. Oleh karenanya pemberian ekstrak protein umbi aksesi Bogor mampu menginduksi proliferasi sel fibroblas dari konsentrasi 6.25 hingga 100 ppm, sedangkan pada perlakuan konsentrasi ekstrak 200 ppm, pertumbuhan sel fibroblas terhambat dibandingkan dengan kontrol (Tabel 9). Oleh karena ekstrak protein umbi aksesi Solok sudah menghambat proliferasi sel fibroblas pada konsentrasi 100 ppm dan hambatan proliferasi terhadap sel fibroblas dari ekstrak protein umbi aksesi Bogor pada perlakuan konsentrasi 200 ppm, maka ekstrak protein umbi aksesi Solok lebih bersifat toksik terhadap sel fibroblas dibandingkan dengan aksesi Bogor. Namun, pada perlakuan konsentrasi rendah hingga 25 ppm, ekstrak protein umbi dari kedua aksesi tersebut tidak toksik terhadap sel normal. Tabel 9 Efek berbagai konsentrasi ekstrak protein umbi aksesi Bogor dan Solok terhadap daya proliferasi sel fibroblas Ekstrak Protein Daya proliferasi Ekstrak Protein Daya proliferasi Umbi Aksesi (%) Umbi Aksesi (%) Bogor (ppm) Solok (ppm) 6.25 108.33 6.25 120.83 12.5 158.33 12.5 141.66 25 170.83 25 133.33 100 141.66 100 -91.67 200 -70.90 200 -58.40 34 5 PEMBAHASAN Profil Bobot Umbi, Protein Umbi, dan Lektin Umbi T. flagelliforme Keladi tikus sudah dikenal masyarakat Indonesia sebagai tanaman obat yang berkhasiat dalam pengobatan kanker. Banyak masyarakat yang menggunakan tanaman ini sebagai pengobatan alternatif kanker atau digunakan bersamaan dengan pengobatan konvensional. Khasiat yang dirasakan oleh penderita kanker setelah mengkonsumsi obat herbal dari T. flagelliforme adalah dapat meminimalisir efek samping dari kemo atau radioterapi, bahkan ada yang dapat menyembuhkan penyakit kanker yang dideritanya. Keladi tikus merupakan jenis tumbuhan yang umum dan banyak ditemukan di Jawa dan menjadi suatu tanaman gulma. Tiga spesies Typhonium yang terdapat di pulau Jawa, yaitu T. horsfieldii, T. flagelliforme, dan T. roxburghii, namun jenis T. flagelliforme merupakan jenis yang dikenal luas masyarakat sebagai tanaman keladi tikus dan banyak digunakan sebagai tanaman obat antikanker (Yuzammi 2011). Oleh karena tumbuhan ini tidak banyak dibudidayakan dan tidak dapat dikonsumsi, maka informasi mengenai pertumbuhan tumbuhan ini dan senyawa aktif yang berperan sebagai antikanker belum jelas terkonfirmasi secara ilmiah. Selain itu, tidak banyak kajian mengenai senyawa aktif yang berperan sebagai antikanker dari tumbuhan tersebut. Hal tersebut sangat penting untuk diketahui bila tumbuhan ini akan dimanfaatkan menjadi suatu sumber tanaman obat atau herbal terstandar karena dengan diketahuinya tahapan pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman obat serta senyawa aktifnya, maka akan mempermudah mendapatkan senyawa aktif dari tanaman tersebut secara optimal dan dosis yang tepat dalam penggunaannya ke penderita kanker. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan kajian mengenai fase pertumbuhan yang terkait dengan senyawa aktif dari T. flagelliforme, yaitu lektin pada tahap pertama penelitian ini. Umbi yang digunakan pada analisis ini dipanen saat umur 1, 3, 5, dan 6 bulan setelah tanam. Penentuan waktu panen maksimal hingga umur 6 bulan setelah tanam karena dari pengamatan di rumah kaca, memasuki umur masa tanam 7 bulan, tanaman tersebut mulai berbunga. Hal ini menunjukkan bahwa T. flagelliforme dengan masa tanam 7 bulan telah mengalami perubahan siklus hidup dari tahap vegetatif menjadi tahap generatif. Umbi telah diketahui merupakan perkembangan dari organ batang dan menjadi tempat penyimpanan cadangan fotosintat utama selama tahap perkembangan vegetatif. Setelah memasuki tahap generatif, buah menjadi tempat penyimpanan cadangan fotosintat. Oleh karenanya tahap perkembangan umbi tidak optimal ketika tumbuhan berada di tahap generatif (Taiz dan Zeiger 2002). Oleh karenanya, pengamatan dilakukan hingga umur 6 bulan setelah tanam. Umbi pada penelitian ini menjadi organ utama dan tidak terdapat organ lain dari T. flagelliforme yang dikaji dalam penelitian ini. Hal ini terkait dengan fokus kajian senyawa aktif dari T. flagelliforme, yaitu lektin. Penelitian sebelumnya yang telah menunjukkan keberadaan lektin pada umbi T. divaricatum dan lektin tersebut memiliki aktivitas antiproliferasi terhadap beberapa sel kanker (Luo et al. 2007). Penelitian lain menunjukkan bahwa ekspresi lektin pada T. divaricatum hanya terdapat pada umbi. Hal tersebut diketahui dengan mendeteksi ekspresi 35 lektin dari jaringan yang berbeda pada tanaman tersebut, yaitu daun, tangkai daun, dan umbi. Ketiga jaringan tersebut tidak memberikan hasil positif setelah dilakukan analisis Northren blot kecuali pada umbi (Kong et al. 2006). Oleh karenanya, hal-hal tersebut yang mendasari penggunaan umbi menjadi material utama untuk mengkaji lektin T. flagelliforme. Hasil pengamatan terhadap bobot umbi dan kadar total protein umbi menunjukkan terdapatnya fluktuasi data selama masa tanam pada beberapa aksesi. Namun fluktuasi bobot umbi pada beberapa aksesi seperti Singaraja, Indmira, Ogan Ilir, dan Solok cenderung terkait polanya dengan kadar total protein umbi. Hal ini dapat terjadi karena ada proses fisiologis pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang menggunakan cadangan karbohidrat dan protein dari umbi. Cadangan nutrisi yang tersimpan pada organ vegetatif seperti umbi dan biji digunakan untuk nutrisi pada tahap awal pertumbuhan dan perkembangan tanaman, misalnya pada proses perkecambahan. Cadangan karbohidrat pada umbi dapat digunakan untuk proses metabolisme dan pembentukan struktur sel baru, sehingga ada proses pemuatan dan perombakan nutrisi cadangan pada organ vegetatif (Hans dan Heldt 2005). Pengamatan kandungan lektin pada protein umbi dilakukan dengan uji hemaglutinasi. Hal ini dilakukan karena lektin secara alami dapat mengaglutinasi sel darah merah (Sharon dan Lis 2004). Hasil pengamatan aktivitas lektin umbi menunjukkan bahwa dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam terjadi fluktuasi aktivitas hemaglutinasi dan aktivitas tersebut tidak terkait dengan kadar total protein umbi, artinya bila kadar total protein umbi tinggi, belum tentu aktivitas hemaglutinasinya tinggi. Selain itu, hasil pengamatan menunjukkan bahwa beberapa aksesi telah menunjukkan aktivitas hemaglutinasi dari umur 1 bulan setelah tanam dan beberapa aksesi lainnya baru terdapat aktivitas hemaglutinasi pada umur 3 bulan setelah tanam. Hal ini menunjukkan bahwa lektin telah diproduksi sejak awal pertumbuhan karena lektin merupakan protein cadangan utama pada tumbuhan famili Araceae yang disimpan pada organ vegetatif. Lektin tersebut dapat digunakan pada proses metabolisme atau sebagai pertahanan pada tumbuhan tersebut ketika dibutuhkan (Damme et al. 1995). Oleh karena lektin sebagai protein cadangan, kadarnya dapat terjadi fluktuasi karena fungsinya sebagai protein cadangan yang dapat disimpan dan digunakan pada proses metabolisme. Selain itu, karena lektin dapat juga berfungsi sebagai pertahanan, kadar lektin dapat meningkat bila ada serangan patogen dan pada kondisi normal disintesis dengan jumlah yang sedikit (Damme et al. 1998). Bila dikaitkan dengan kadar total protein, terdapat beberapa aksesi seperti Ogan Ilir, Matesih, dan Solok memiliki kandungan total protein pada umur 1 bulan setelah tanam dan tidak memiliki aktivitas hemaglutinasi. Hal ini dapat terjadi karena tahap perkembangan tanaman dapat mempengaruhi kadar lektin pada tanaman. Contohnya pada gandum, kadar lektin meningkat pada saat perkecambahan hingga 34 hari setelah penanaman (Mishkind et al. 1980). Contoh lainnya pada Dolichos biflorus, tidak ditemukan lektin pada saat perkembangan biji, namun saat pemanjangan batang, kadar lektin meningkat lalu menurun setelah proses pemanjangan selesai (Roberts dan Etzler 1984). Oleh karenanya, dari hasil pengamatan bobot umbi, kadar total protein umbi, dan aktivitas lektin umbi dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam dapat dikatakan bahwa setiap aksesi memiliki kecenderungan peningkatan bobot umbi 36 dan kadar protein umbi selama masa tanam. Selain itu, lektin pada beberapa aksesi telah diproduksi dari awal pertumbuhan dan diproduksi secara terus menerus selama masa tanam. Pola Elektroforegram Total Protein Umbi Setiap Aksesi Selama Masa Tanam Pita protein yang terdeteksi pada elektroforegram menunjukkan variasi protein yang terkandung pada umbi T. flagelliforme. Umur 1 bulan setelah tanam terdeteksi pita-pita protein berbobot molekul dibawah 30 kDa, bila dikaitkan dengan lektin pada tumbuhan famili Araceae yang memiliki memiliki bobot molekul 12-14 kDa (Damme et al. 1998), lektin umbi setiap aksesi T. flagelliforme terkandung pada pita dibawah bobot molekul 15 kDa. Telah diketahui bahwa lektin pada tumbuhan famili Araceae merupakan protein cadangan utama pada tumbuhan tersebut dan telah diproduksi sejak awal pertumbuhan dan hal ini ditunjukkan pada elektroforegram. Pita-pita protein diatas 30 kDa terdeteksi setelah umur 5 bulan setelah tanam, hal ini terjadi karena pada umur tersebut umbi telah memasuki fase dewasa sehingga protein yang terkandung pada umbi lebih bervariasi daripada umbi muda. Namun pita-pita protein yang berbobot molekul diatas 30 kDa tidak setebal pita protein dibawah 30 kDa sehingga hal ini menunjukkan bahwa protein umbi T. flagelliforme banyak mengandung protein berbobot molekul dibawah 30 kDa dan memperkuat penelitian sebelumnya bahwa lektin merupakan protein cadangan utama pada tumbuhan famili Araceae (Damme et al. 1995). Karakteristik Lektin Umbi T. flagelliforme Aksesi Solok Umur 6 Bulan Setelah Tanam Proses fraksinasi protein umbi dilakukan untuk mendapatkan lektin umbi terpurifikasi. Hasil uji aktivitas hemaglutinasi dan toksisitas terhadap protein total umbi sebelum dilakukan fraksinasi protein umbi menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan antara efek toksisitas dengan aktivitas lektin umbi karena aksesi yang memiliki efek toksisitas tertinggi berbeda dengan aksesi yang memiliki aktivitas lektin tertinggi. Hal ini dapat terjadi karena pada uji hemaglutinasi merupakan uji yang terkait dengan aktivitas lektin berinteraksi dengan eritrosit sehingga molekul lain yang tidak memiliki aktivitas tersebut tidak dapat menunjukkan aktivitas hemaglutinasi (Wang et al. 2000). Sedangkan uji toksisitas dengan metode BSLT tidak spesifik terhadap lektin, setiap molekul yang dapat memberikan efek toksik terhadap larva Artemia sp. akan dapat mematikan larva tersebut. Oleh karenanya hal ini menunjukkan bahwa pada protein umbi terdapat molekul lain selain lektin yang dapat memberikan efek toksik, namun pada penelitian ini belum dapat teridentifikasi molekul lain tersebut. Meskipun demikian, uji toksisitas metode BSLT perlu dilakukan untuk memodelkan efek toksik larutan protein terhadap sel kanker. Berdasarkan hal tersebut, ekstrak protein umbi yang terseleksi adalah esktrak dari aksesi Solok karena memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi. 37 Proses fraksinasi yang dilakukan menggunakan metode kromatografi kolom dengan menggunakan kolom penukar ion. Walaupun metode ini merujuk pada penelitian sebelumnya (Luo et al. 2007), tetapi tidak ada informasi yang menyatakan bahwa ada prosedur tertentu dalam pemilihan kolom kromatografi untuk purifikasi lektin. Berbagai jenis kolom dapat saja digunakan untuk purifikasi lektin seperti kolom filtrasi gel atau kolom afinitas, namun disesuaikan dengan kondisi tahapan penelitian. Bila telah diketahui lektin target memiliki afinitas tertentu dengan suatu molekul seperti manan, yaitu suatu molekul polisakarida, maka kolom yang tepat digunakan untuk purifikasi lektin adalah kolom afinitas dengan matriks manan-agarose (Sudmoon et al. 2008). Bila belum diketahui reaksi spesifik dari lektin tersebut dapat digunakan kolom filtrasi gel, penukar ion, atau kombinasi keduanya. Bila proses purifikasi lektin menggunakan kombinasi kolom filtrasi gel-penukar ion, penggunaan kolom penukar ion digunakan pada tahap awal purifikasi dikarenakan kolom ini memisahkan protein berdasarkan muatan, yaitu positif dan negatif sehingga bila protein target bermuatan positif maka dengan penggunaan kolom penukar ion sudah mengeliminasi protein bermuatan negatif (GE Healthcare 2004), artinya sudah menghilangkan sebanyak 50 % protein yang tidak diinginkan. Hal ini mempermudah dalam proses purifikasi, sedangkan bila menggunakan kolom filtrasi gel yang pemisahannya berdasar bobot molekul pada awal tahapan purifikasi, maka akan banyak terbentuk fraksi protein berdasarkan bobot molekulnya yang harus dicek setiap fraksi dengan bobot molekul yang sama atau mendekati protein target. Kombinasi penggunaan kolom kromatografi penukar anion dan kation juga dapat digunakan bila protein target belum diketahui muatannya atau protein tersebut dapat bersifat amfoter sehingga didapatkan fraksi protein yang lebih spesifik. Hasil fraksinasi pertama menggunakan kolom DEAE-sepharose yaitu kolom penukar anion menunjukkan fraksi protein aktif yang didapatkan memiliki 2 pita protein, yaitu 19.10 kDa dan 11.84 kDa pada elektroforegram. Hal ini menunjukkan pada fraksi tersebut terdapat 2 jenis protein. Protein-protein yang terdeteksi pada kolom ini memiliki muatan negatif dikarenakan kolom penukar anion memiliki matriks bermuatan positif (GE Healthcare 2004). Oleh karenanya, proses purifikasi dilanjutkan dengan menggunakan kolom kedua, yaitu CMmonolitic, yaitu kolom penukar kation untuk mendapatkan lektin terpurifikasi. Hasil tahapan ini menunjukkan bahwa terdapat 1 pita protein yang dapat diasumsikan dari 1 jenis protein dengan bobot molekul 12.67 kDa. Berdasarkan keaktifan terhadap uji hemaglutinasi dan model kromatogram purifikasi yang dihasilkan hanya 1 puncak dengan kolom CM-monolitic, maka protein pada fraksi ini dapat dinyatakan lektin. Protein yang dihasilkan dari kolom penukar kation adalah protein yang bermuatan positif karena matrik pada kolom penukar kation adalah bermuatan negatif (GE Healthcare 2004). Oleh karena fraksi lektin dapat ditemukan dalam kondisi muatan positif dan negatif yang diakibatkan dari perbedaan larutan buffer pada kolom, maka fraksi lektin dari T. flagelliforme aksesi Solok diasumsikan bersifat amfoter yaitu suatu sifat protein yang dapat bermuatan positif atau negatif pada larutan buffer tertentu (Rosenberg 2005). Luo et al. (2007) menyatakan lektin umbi dari genus T. divaricatum memiliki bobot molekul 12 kDa berdasarkan hasil elektroforegram SDS-PAGE, setelah dikombinasikan dengan perhitungan bobot molekul menggunakan kolom filtrasi 38 gel, bobot molekul lektin terdeteksi 48 kDa sehingga diasumsikan lektin tersebut tetramer. Lektin yang didapatkan dari penelitian ini adalah 0.17 mg atau 0.35 % dari kadar protein total umbi aksesi Solok. Hasil ini lebih rendah dari lektin yang didapatkan pada umbi T. divaricatum, yaitu 100 mg atau 12 % dari kadar total protein umbi (Luo et al. 2007). Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kuantitas dan kualitas umbi yang digunakan seperti habitat tanaman yang berbeda dan spesies tanaman yang berbeda. Lektin terpurifikasi yang didapatkan dalam penelitian ini kemudian dianalisis kestabilan aktivitasnya terhadap suhu dan pH. Hal ini perlu dilakukan karena lektin merupakan molekul protein. Suhu dan pH sangat mempengaruhi aktivitas dari suatu protein. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan perubahan pada struktur lektin melalui putusnya ikatan-ikatan protein pada struktur tersiernya sehingga protein akan terdenaturasi, sedangkan suhu yang terlalu rendah akan menghambat terjadinya interaksi antar molekul yang disebabkan kondisi yang tidak optimum untuk terjadinya reaksi. Nilai pH sangat berpengaruh pada muatan protein, perubahan pH yang berarti akan merubah muatan protein dan dapat menyebabkan protein terdenaturasi (Murray et al. 2003). Oleh karenanya, bila diketahui kondisi optimum suhu dan pH dari lektin, informasi ini akan mempermudah dalam penggunaan lektin dalam aplikasi berbasis lektin. Hasil menunjukkan bahwa lektin umbi T. flagelliforme aksesi Solok stabil pada selang suhu 20-40 °C dan pada nilai pH 5-7.2. Karaktersitik ini tidak berbeda jauh dengan lektin dari T. divaricatum yang stabil pada suhu 2060 °C dan nilai pH 5.6-8.6 (Luo et al. 2007). Oleh karenanya dengan karakteristik yang sama dan bobot molekul yang tidak jauh berbeda maka lektin umbi T. flagelliforme aksesi Solok terdapat pada famili lektin yang sama dengan lektin umbi T. divaricatum, yaitu monocot mannose binding lectin. Gen Lektin Lektin merupakan molekul protein hasil translasi dari mRNA pada ribosom, sedangkan mRNA merupakah hasil transkripsi dari DNA yang membentuk suatu urutan genom dan merupakan blueprint suatu organisme, sehingga sekuen suatu gen sangat mempengaruhi protein. Oleh karenanya, mengetahui gen dari suatu protein penting dikarenakan dapat lebih memahami karakteristik protein tersebut dan jalur biosintesisnya pada suatu organisme. Proses identifikasi gen lektin menggunakan primer yang dirancang dari beberapa basis data complete CDS lektin tumbuhan famili Araceae yang terdapat di NCBI. Hal ini dilakukan karena lektin jenis monocot mannose binding lectin merupakan kelompok protein yang terdapat pada famili Amaryllidaceae, Alliaceae, Araceae, Bromeliaceae, dan Orchidaceae (Damme et al. 1998). Genus Typhonium merupakan bagian dari famili Araceae, sehingga lektin pada yang dihasilkan dari famili tersebut memiliki bagian sekuens yang conserve. Merancang primer dari bagian tersebut mempermudah mendapatkan rancangan primer yang spesifik terhadap gen pengkode lektin. Hasil amplifikasi DNA dengan rancangan primer tersebut menghasilkan produk PCR yang disisipkan ke dalam vektor pGEM®-T Easy dan diintroduksikan ke dalam bakteri Escherichia coli DH5α sebelum dilakukan analisis sekuens. 39 Proses tersebut dilakukan untuk menyimpan produk PCR pada bakteri kompeten sehingga tidak rusak dan dapat diproduksi oleh bakteri tersebut. Seleksi yang digunakan saat proses introduksi vektor ke bakteri menggunakan seleksi media antibiotik. Media yang digunakan adalah Luria Agar yang mengandung antibiotik jenis ampisilin dengan konsentrasi 100 ppm. Hal ini dilakukan karena pada vektor pGEM®-T Easy memiliki bagian yang mengekspresikan protein resisten ampisilin sehingga bakteri yang berhasil diintroduksikan dengan vektor pGEM®-T Easy akan tumbuh pada media yang mengandung ampisilin dengan konsentrasi tertentu (Promega 2010). Setelah vektor terkonfirmasi dengan baik maka dilakukan proses sekuensing. Hasil analisis sekuens menunjukkan bahwa fragmen gen lektin dari tiap aksesi memiliki variasi pada urutan basa tertentu. Bila dikaitkan dengan hasil uji hemaglutinasi selama masa tanam dari setiap aksesi, terdapat variasi aktivitas lektin dari setiap aksesi. Hal ini mengasumsikan bahwa variasi pada fragmen gen lektin mempengaruhi aktivitas lektin karena perbedaan urutan basa pada gen memungkinkan mengkode asam amino yang berbeda sehingga urutan asam amino pada suatu protein berbeda. Berbedanya urutan asam amino pada suatu protein, dapat menyebabkan perbedaan konformasi protein yang mengakibatkan terdapatnya perbedaan aktivitas protein tersebut, terutama bila terjadi perbedaan konformasi pada situs aktif dari suatu protein (Albert et al. 2008). Terdeteksinya 600 pb gen penyandi lektin dari setiap aksesi T. flagelliforme menunjukkan bahwa sekuens tersebut adalah parsial gen dari gen penyandi lektin. Hal ini ditunjukkan karena full lenght cDNA lektin dari T. divaricatum memiliki ukuran 1145 pb (Luo et al. 2007). Selain itu, gen lektin dari tumbuhan famili Araceae lainnya yang telah dikarakterisasi, yaitu lektin dari Zantedeschia aethiopica memiliki ukuran 2233 pb dan pada gen tersebut tidak terdeteksi terdapat intron (Chen et al. 2004). Hal ini terbukti dengan hasil pensejajaran sekuens parsial gen dari setiap aksesi T. flagelliforme yang menunjukkan tidak adanya celah ketika disejajarkan dengan sekuen full lenght cDNA lektin dari tumbuhan Araceae lainnya sehingga keseluruhan sekuen tersebut merupakan bagian dari ekson gen penyandi lektin. Dendrogram yang dibentuk menunjukkan adanya kekerabatan antar aksesi T. flagelliforme dan dengan tumbuhan Araceae lainnya berdasarkan gen lektin. Kekerabatan yang tinggi antar aksesi ditunjukkan oleh aksesi Singaraja dengan Ogan Ilir dan Merapi Farm dengan Indmira. Setiap aksesi menunjukkan kekerabatan yang dekat dengan lektin dari tumbuhan satu genus, yaitu T. divaricatum dan tumbuhan satu famili, yaitu P. ternata. Bentuk dendrogram ini dapat berubah karena sekuen yang digunakan dari setiap aksesi merupakan sekuen parsial, bila didapatkan sekuen yang lengkap memungkinkan terjadinya perubahan percabangan dendrogram dan peningkatan kekerabatan antara aksesi dengan tumbuhan Araceae lainnya. Kekerabatan gen lektin dari setiap aksesi dan dengan tumbuhan Araceae lainnya dapat terkonfirmasi baik bila telah didapatkan sekuen lengkap gen penyandi lektin dan sekuen asam amino lektin tersebut. Telah diketahuinya parsial gen penyandi lektin dari setiap aksesi T. flagelliforme dapat membantu menjawab permasalahan yang belum terjawab pada penelitian ini dan mempermudah pengembangan penelitian berbasis lektin. Permasalahan yang belum terjawab pada penelitian ini adalah fluktuasi aktivitas lektin pada beberapa aksesi dan perbedaan dimulainya proses biosintesis lektin umbi. Bila gen penyandi lektin telah lengkap diketahui, maka dimungkinkan 40 untuk mempelajari proses ekspresi gen dan jalur biosintesis lektin umbi sehingga dapat diketahui penyebab permasalahan tersebut. Misalnya dengan mempelajari promoter gen lektin tersebut sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan perbedaan waktu ekspresi dari lektin serta fluktuasi aktivitas lektin umbi. Selain itu, untuk pengembangan lektin sebagai obat kanker, dapat dilakukan rekayasa genetik untuk memproduksi lektin secara cepat dengan kualitas yang sama setiap ulangan. Misalnya menggunakan metode DNA rekombinan dan bakteri sebagai tempat ekspresi sehingga mempercepat proses produksi lektin bila dibandingkan menggunakan tumbuhan. Rekayasa protein dapat dimungkinkan dilakukan bila gen penyandi lektin telah diketahui karena perubahan pada sekuen asam amino tertentu dapat meningkatkan aktivitas dan spesifisitas suatu protein (Albert et al. 2008). Toksisitas, Antiproliferasi, dan Sitotoksisitas Ekstrak Protein Umbi Umur 6 Bulan Masa Tanam Kegunaan obat herbal berbasis lektin adalah sebagai antiproliferasi terhadap sel kanker. Oleh karenanya, protein umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme yang mengandung lektin diuji efek toksiknya terhadap larva Artemia sp. dan sel kanker MCF-7 serta terhadap sel normal. Ekstraksi yang digunakan untuk mendapatkan protein umbi pada uji ini menggunakan akuades sebagai pelarut, berbeda dengan proses ekstraksi pada uji sebelumnya yang menggunakan larutan 0.15 M NaCl. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pemakaian larutan garam untuk uji lanjut menggunakan sel MCF-7 dan fibroblast dikarenakan salinitas sangat mempengaruhi kehidupan sel. Selain itu, media yang digunakan untuk pertumbuhan kedua sel tersebut adalah RPMI 1640 yang sudah terdapat NaCl sebanyak 6 g/L dan garam lainnya (ATCC, USA). Ekstrak yang didapatkan lalu diukur kembali kadar total protein umbinya dan diuji kembali aktivitas hemaglutinasinya dikarenakan menggunakan pelarut yang berbeda dengan proses ekstraksi pada metode fraksinasi protein. Hasil menunjukkan terdapat perbedaan aksesi yang memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi dan kadar protein total tertinggi. Saat ekstraksi menggunakan larutan 0.15 M NaCl (Tabel 2), kadar protein total dan aktivitas hemaglutinasi tertinggi dimiliki oleh aksesi Solok. Saat ekstraksi menggunakan larutan akuades (Tabel 3), aksesi Bogor memiliki kadar protein total dan aktivitas hemaglutinasi tertinggi. Selain kuantitas umbi yang berbeda, pelarut dalam proses ekstraksi juga mempengaruhi protein yang terekstrak dan aktivitas hemaglutinasinya. Penggunaan larutan NaCl lebih dapat mengekstrak protein umbi daripada menggunakan akuades karena suatu larutan garam dengan konsentrasi tertentu dapat memberikan efek salting in terhadap protein, yaitu peningkatan kekuatan ionik dari suatu larutan sehingga meningkatkan kelarutan dari protein terlarut (Rosenberg 2005). Bila dilihat dari hasil uji hemaglutinasi dan toksisitas terhadap larva Artemia sp., bahwa tidak ada keterkaitan aksesi yang memiliki aktivitas hemaglutinasi juga memiliki efek toksik yang tinggi. Hal ini juga terjadi pada ekstrak protein umbi yang diekstrak menggunakan larutan NaCl (Tabel 2). Nilai LC50 ekstrak protein pada Tabel 2 dan 3 menunjukkan nilai LC50 dibawah 100 ppm sehingga menunjukkan bahwa ekstrak protein umbi dari setiap aksesi memiliki efek toksik. Suatu senyawa bahan 41 alam dikatakan memiliki efek toksik bila memiliki nilai LC 50 di bawah 1000 ppm sedangkan bila nilai LC50 di atas 1000 ppm dikatakan tidak memiliki nilai toksik (Meyer et al. 1982). Oleh karenanya, walaupun memiliki kandungan total protein berbeda, tetapi ekstrak yang diekstraksi dengan NaCl dan akuades memiliki efek toksik. Penggunaan sel kanker payudara MCF-7 didasarkan karena penyakit kanker payudara merupakan penyakit kanker terbanyak diderita selain kanker mulut rahim di Indonesia (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2014). Selain itu, penggunaan empiris ekstrak T. flagelliforme lebih banyak digunakan untuk mengobati kanker payudara pada masyarakat. Sel fibroblas digunakan untuk mewakili sel normal atau sel non kanker manusia sehingga dapat diamati reaksi yang terjadi antara sel normal dengan ekstrak protein umbi. Hasil uji antiproliferasi terhadap sel MCF-7 dan sitotoksik terhadap sel fibroblas menunjukkan bahwa pada konsentrasi rendah ekstrak protein umbi sudah dapat menghambat proliferasi sel kanker dan tidak toksik pada sel non kanker. Karakteristik tersebut telah menunjukkan ekstrak protein umbi T. flagelliforme dari aksesi Solok dan Bogor berpotensi dijadikan obat kanker, namun perlu diuji kembali terhadap sel kanker lainnya dan pengujian secara in vivo. Bila dikaji kembali respon ekstrak protein umbi kedua aksesi tersebut terhadap sel kanker MCF-7 dan fibroblas sebagai sel normal, terdapat 2 respon yang berbeda, yaitu sebagai antiproliferasi terhadap sel kanker dan mampu menginduksi sel normal pada konsentrasi rendah, yaitu di bawah 100 ppm untuk ekstrak aksesi Solok dan di bawah 200 ppm untuk ekstrak aksesi Bogor. Hal tersebut menunjukkan terdapat peranan lektin terhadap perbedaan respon tersebut. Lektin telah diketahui dapat menghambat dan menstimulasi pertumbuhan sel. Hal ini disebabkan terjadinya interaksi spesifik pada permukaan sel yang diakibatkan adanya perbedaan komposisi gula dari glikoprotein pada permukaan sel kanker dan sel normal (Sharon dan Lis 2004). Oleh karenanya, walau bahan uji yang digunakan ekstrak protein umbi tetapi dari respon ekstrak terhadap kedua sel tersebut menunjukkan kerja dari lektin yang terkandung pada ekstrak tersebut. 42 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 1. Lektin yang terkandung pada umbi T. flagelliforme (Lodd.) Blume aksesi Solok memiliki bobot molekul 12.67 kDa, dengan kadar lektin sekitar 0.35 % dari kadar total protein umbi, stabil pada suhu 20-40 °C, dan pH 5-7.2. 2. Total protein umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme (Lodd.) Blume banyak terkandung protein dengan bobot molekul dibawah 30 kDa. 3. Biosintesis lektin umbi terjadi dari umur 1 bulan setelah tanam kecuali pada aksesi Bogor, Ogan Ilir, Matesih, dan Solok. Biosintesis ini berlangsung selama masa tanam hingga umur 6 bulan setelah tanam. 4. Kadar protein dan aktivitas lektin umbi T. flagelliforme cenderung meningkat selama masa tanam. 5. Sekuens parsial gen pengkode lektin dari tiap aksesi telah diketahui dan berukuran 600 bp. Sekuens tersebut memiliki kesamaan tertinggi dengan sekuens CDS lektin dari tumbuhan lain famili Araceae, yaitu T. divaricatum, Pinellia ternata, dan Pinellia pedatisecta. 6. Konsentrasi ekstrak protein umbi yang dapat menghambat proliferasi sel kanker MCF-7 dan tidak bersifat toksik pada sel fibroblas (sel non kanker) adalah 12.5 ppm. Saran untuk penelitian berikutnya sehingga dapat melengkapi hasil penelitian ini adalah: 1. Perlunya dilakukan uji antiproliferasi sel kanker terhadap selain sel MCF-7 dan membandingkan aktivitas tersebut antara ekstrak total protein dengan lektin. 2. Perlunya dilakukan uji antikanker secara in vivo terhadap lektin tersebut. 3. Perlunya dilakukan deteksi lengkap gen pengkode lektin sehingga dapat diaplikasikan produksi lektin secara bioteknologi. 43 DAFTAR PUSTAKA Abdullaev FI, Meija EG de. 1997. Antitumor effect of plant lectins. Nat Toxins 5: 157-163 Alberts B et al. 2008. Molecular Biology of The Cell 5th Ed. New York (US): Garland Science, Taylor & Francis Group American Type Culture Collection. 2011. MTT cell proliferation assay. Manassas (US): American Type Culture Collection Bintang M. 2010. Biokimia-Teknik Penelitian. Jakarta (ID): Erlangga Chen Z, Sun X, Tang K. 2004. Genomic cloning and characterization of a novel lectin gene from Zantedeschia aethiopica. Bioscience Rep 24: 225-234 Churiyah. 2005. Protein bioaktif dari bagian tanaman dan akar transgenik Cucurbitaceae serta aktivitas antiproliferasi galur sel kanker in vitro [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Damme EJM van, Allen AK, Peumans WJ. 1987. Isolation and characterization of a lectin with exclusive specificity towards mannose from snowdrop (Galanthus nivalis) bulbs. FEBS Lett 215: 140-144 Damme EJM van et al. 1995. Characterization and molecular cloning of the lectin from Arum maculatum L. Plant Physiol 107: 1147-1158 Damme EJM van, Peumans WJ, Barre A, Rouge P. 1998. Plant lectins: a composite of several distinct families of structurally and evolutionary related proteins with diverse biological roles. Crc Rev Plant Sci 17: 575-692 Damodaran D, Jeyakani J, Chauhan A, Kumar N, Chandra NR, Surolia A. 2008. Cancer Lectin DB: a database of lectins relevant to cancer. Glycoconjugate J 25: 191-198 Dhuna V et al. 2005. Purification and characterization of a lectin from Arisaema tortuosum Schott having in-vitro anticancer activity against human cancer cell lines. J Biochem Mol Biol 38: 526-532 Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation from small amount of fresh leaf tissue. Phytochem Bull 19:11-15 Ernst E, The CAM-Cancer Consortium. 2011. Mistletoe (Viscum album). http://www.cam-cancer.org/CAM-Summaries/Herbal-products/MistletoeViscum-album. [30 Maret 2011]. Etzler ME et al. 1984. Subcellular localizations of two Dolichos biflorus lectins. Plant Physiol 76: 871-878 European Medicines Agency. 2013. Assessment report on Viscum album L. herba. London (UK): European Medicines Agency GE Healthcare. 2004. Ion Exchange Chromatography & Chromatofocusing: Principles and Methods. Uppsala (SE): GE Healthcare Bio-Sciences AB Goldstein IJ, Hughes RC, Monsigny M, Osawa T, Sharon N. 1980. What should be called a lectin. Nature 285: 66 Hans, Heldt W. 2005. Plant Biochemistry 3th ed. San Diego (US): Elsevier Academic Press Harada JJ et al. 1990. Two lectin genes differentially expressed in Dolichos biflorus differ primarily by a 116-base pair sequence in their 5’ flanking regions. J Biol Chem 265: 4997-5001 44 Hengartner MO. 2000. The biochemistry of apoptosis. Nature 407: 770-776 Hoffman LM, Donaldson DD. 1985. Characterization of two Phaseolus vulgaris phytohemagglutinin genes closely linked on the chromosome. The EMBO J 4: 883-889 Horneber M, Bueschel G, Huber R, Linde K, Rostock M. 2010. Mistletoe therapy in oncology. The Cochrane Lib issue 4 Jemal A, Siegel R, Xu J, Ward E. 2010. Cancer Statistic 2010. CA Cancer J Clin 60: 277-300 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta (ID): Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Kong W et al. 2006. Characterization of a mannose-binding lectin gene from Typhonium divaricatum (L.) Decne. Afr J Biotechnol 5: 793-799 Kourmanova AG, Sourdakina OJ, Olsnes S, Kozlov JV. 2004. Cloning and characterization of the genes encoding toxic lectins in mistletoe (Viscum album L). Eur J Biochem 271: 2350–2360 Liu B et al. 2009a. Antiproliferative activity and apoptosis-inducing mechanism of Concanavalin A on human melanoma A375 cells. Arch Biochem Biophys 482: 1-6 Liu B, Cheng Y, Bian HJ, Bao JK. 2009b. Molecular mechanisms of Polygonatum cyrtonema lectin induced apoptosis and autophagy in cancer cells. Autophagy 5: 253–255 Liu B et al. 2009c. Induction of apoptosis by Polygonatum odoratum lectin and its molecular mechanisms in murine fibrosarcoma L929 cells. Biochim. Biophys. Acta (BBA) – Gen. Subjects 1790: 840-844 Liu B, Bian HJ, Bao JK. 2010. Plant lectins: potential antineoplastic drugs from bench to clinic. Cancer Lett 287: 1-12 Luo Y et al. 2007. A novel mannose-binding tuber lectin from Typhonium divaricatum (L.) Decne (family Araceae) with antiviral activity against HSV-II and anti-proliferative effect on human cancer cell lines. J Biochem Mol Biol 40: 358-367 Makkar HPS, Siddhuraju P, Becker K. 2007. Plant Secondary Metabolite: Methods in Molecular Biology Vol 393. New Jersey (US): Humana Press Martins GVF et al. 2012. Antiproliferative effects of lectins from Canavalia ensiformis and Canavalia brasiliensis in human leukimia cell lines. Toxicol in Vitro 26: 1161-1169 Meyer BN et al. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. J Med Plant Res 45: 31-34 Mishkind M, Keegstra K, Palevitz BA. 1980. Distribution of wheat germ agglutinin in young wheat plants. Plant Physiol 66: 950-955 Mohan S et al. 2010. In vitro ultramorphological assessment of apoptosis on CEMss induced by linoleic acid-rich fraction from Typhonium flagelliforme tuber. eCAM 1-13 Monks A et al. 1991. Feasibility of a high-flux anticancer drug screen using a diverse panel of cultured human tumor cell lines. J Nat Cancer Inst 83: 757766 Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Harper's Illustrated Biochemistry 26th ed. New York (US): The McGraw-Hill Companies, Inc 45 Nelson DL, Cox MM. 2008. Lehninger Principle of Biochemistry 5th ed. New York (US): WH Freeman and Company Nobakht GM, Kadir MA, Stanslas J. 2010. Analysis of preliminary phytochemical screening of Typhonium falgelliforme. Afr J Biotechnol 9: 1655-1657 Parijs JV, Broekaert WF, Goldstein IJ, Peumans WJ. 1991. Hevein: an antifungal protein from rubber-tree (Hevea brasiliensis) latex. Planta 183: 258–262 Peumans WJ, Damme EJMV. 1995. Lectins as plant defense proteins. Plant Physiol 109: 347-352 Promega. 2010. Technical manual: pGEM-T® and pGEM-T® Easy Vector Systems. Madison (US): Promega Corporation Roberts DM, Etzler ME. 1984. Development and distribution of a lectin from the stems and leaves of Dolichos biflorus. Plant Physiol 76: 879-884 Rosenberg IM. 2005. Protein Analysis and Purification. Boston (US): Birkhäuser Rout GR. 2006. Evaluation of genetic relationship in Typhonium species through random amplified polymorphic DNA markers. Biol Plantarum 50: 127-130 Seifert G et al. 2008. Molecular mechanisms of mistletoe plant extract-induced apoptosis in acute lymphoblastic leukemia in vivo and in vitro. Cancer Lett 264: 218–228 Sharon N, Lis H. 2004. History of lectin: from hemagglutinins to biological recognition molecules. Glycobiol 14: 53-62 Sudmoon et al. 2008. Thermostable mannose-binding lectin from Dendrobium findleyanum with activities dependent on sulfhydryl content. Acta Biochim Biophys Sin 40: 811-818 Surachman D. 2009. Penggunaan beberapa taraf konsentrasi paklobutrazol dalam media konservasi keladi tikus (Typhonium flagelliforme Lodd.) in vitro. Buletin Teknik Pertanian 14: 31-33 Syahid SF. 2008. Keragaman morfologi, pertumbuhan, produksi, mutu, dan fitokimia keladi tikus (Typhonium flagelliforme Lodd.) Blume asal variasi somaklonal. Jurnal Littri 14: 113-118 Talbot CF, Etzler ME. 1978. Development and distribution of Dolichos biflorus lectin as measured by radioimmunoassay. Plant Physiol 61: 847-850 Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology third edition. Massachusetts (US): Sinauer Associates Inc. Wang H, Gao J, Ng TB. 2000. A new lectin with highly potent antihepatoma and antisarcoma activities from the oyster mushroom (Pleurotus ostreatus). Biochem Biophys Res Commun 275: 810-816 Wang JC, Yang KC. 1996. The genus Typhonium (Araceae) in Taiwan. Botanical Bull Acad Sin 37: 159-163 Yuzammi. 2011. The genus Typhonium Schott (ARACEAE - AREAE) in Java. Di dalam: Didik W, editor. Prosiding Seminar Nasional “ Konservasi Tumbuhan Tropika: Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan”; Cibodas, 7 April 2011. Cibodas: UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas – LIPI. hlm 544-549 46 LAMPIRAN 47 Lampiran 1 Kurva standar larutan protein menggunakan BSA (Bovine Serum Albumin) Konsentrasi (mg/mL) 0.25 0.50 0.75 1.00 1.25 1.50 0.116 0.235 0.300 0.377 0.457 0.524 Absorbansi (595 nm) 0.114 0.234 0.300 0.376 0.457 0.525 0.115 0.236 0.300 0.377 0.457 0.523 Rerata SD 0.115 0.235 0.300 0.377 0.457 0.524 0.001 0.001 0 0.0005 0 0.001 Persamaan linier: y = 0.0558 + 0.3186 x ; r = 99.57 Lampiran 2 Antiproliferasi ekstrak protein umur 6 bulan setelah tanam dengan ekstraksi menggunakan aquades terhadap sel MCF-7 Absorbansi sel MCF-7 Perlakuan (ppm) Media Sel Bogor 6.25 12.5 25 50 100 200 Solok 6.25 12.5 25 50 100 200 Absorban 0.136 0.923 0.919 0.478 0.535 0.960 0.546 0.292 0.604 0.362 0.366 0.365 0.360 0.194 0.136 0.880 0.984 0.528 0.524 0.770 0.536 0.540 0.580 0.289 0.323 0.354 0.341 0.206 Rerata 0.137 0.824 0.661 0.498 0.541 0.906 0.520 0.250 0.543 0.348 0.339 0.300 0.268 0.198 0.136 0.875 0.854 0.501 0.533 0.878 0.534 0.361 0.575 0.333 0.342 0.339 0.323 0.199 Absorban Terkoreksi 0 0.739 0.718 0.365 0.397 0.792 0.398 0.225 0.480 0.238 0.247 0.244 0.228 0.104 48 Lampiran 3 Sitotoksiksitas ekstrak protein umur 6 bulan setelah tanam dengan ekstraksi menggunakan aquades terhadap sel fibroblas Absorbansi sel fibroblast Perlakuan (ppm) Media Sel Bogor 6.25 12.5 25 50 100 200 Solok 6.25 12.5 25 50 100 200 Absorban 0.174 0.201 0.206 0.217 0.217 0.201 0.204 0.196 0.202 0.211 0.210 0.200 0.197 0.179 0.169 0.187 0.199 0.209 0.206 0.216 0.207 0.184 0.192 0.206 0.197 0.193 0.192 0.186 Rerata 0.169 0.193 0.183 0.197 0.209 0.196 0.202 0.180 0.202 0.198 0.195 0.195 0.187 0.187 0.170 0.194 0.196 0.208 0.211 0.204 0.204 0.187 0.199 0.204 0.202 0.196 0.192 0.184 Lampiran 4 Perhitungan bobot molekul Jarak total yang ditempuh: 44 mm Jarak fraksi: DEAE = 35 dan 42 mm CM = 41 mm MF: jarak migrasi fraksi jarak total Log BM: axis dan MF: ordinat, y = 1.7763 – 0.76567x; r = 97.96 Pita Marka 1 2 3 4 BM (kDa) 200 50 30 15 Jarak (mm) 2.5 16 30 40 Bobot molekul fraksi - DEAE : 19.10 dan 11.83 kDa - CM : 12.67 kDa Log BM 2.301 1.698 1.477 1.176 MF 0.0568 0.3636 0.6818 0.9090 Absorban Terkoreksi 0 0.024 0.026 0.038 0.041 0.034 0.034 0.017 0.029 0.034 0.032 0.026 0.022 0.014 49 Lampiran 5 Sekuens fragmen gen lektin tiap aksesi Aksesi Bogor TTTCTTCTTCTTCCTCCTCCCGGCCATCCTCGGCCTCGCCACATCTCGGT CAGCCGCCGCAGTGGGCACAAACTACATGCTGTCCGGCGAAACCCTAA ACAGGAACGACCATCTCAGGAACGGCGACTTCGACTTGGTCATGCAGG ACGACTGCAACCTCGTCCTCTACAACGGCGGTTGGCAGTCCGACACCG CCAACAGAGGGCAGGACTGCCGGCTCACCCTGACCGACCGCGGCGA GCTCCTCATCCAAGACCGCGACGGAACCAACGTCTGGAGCAGCGGCTC CCGGGGAAAGA GGGGCAACTACGCCGCCGTCGTCCATCCCGACGG GAAACTGGTCATCTACGGCCCCGCCGTCTTCAAGATCAACCCGTGGGT GCCCGGCCTCAACAGCCTGCAGAAGCGCGGCGGCGACGCCCCCTTCCC GGCCAACATGCTCTTCTCCGGCCAGGTCCTCCACAACGACCAGAGGCT CACGGCGAGGAACCACATGCTGGTGATGCAGGGCGACTGCAACCTGG TCCTCTACGGCGGCAAGTTCGGGTGGCAGTCCAACACCCACGGCAACG GCGAGA Aksesi Singaraja TTCTTCTTCTTCCTCCTCCCGGCCATCCTCGGCCTCGTCGTCCCACGCCC AGTCGCGGCGGTAGGCACCAACTACCTGCTGTCCGGCGAAACTCTAAA CAACGAAGGACATCTCAAGAACGGCGACTTCGACTTGATCATGCAAG GTGACTGCAACCTCGTCCTCTACAATGGCGGTTGGCAGTCCAACACGG CGAACAGAGGACGGGACTGCAAGCTCACCCTGACCGACCGCGGCGAG CTCATCATCAAGGCCGGCGACGGATCCAACGTCTGGAGCAGCGGCTCC CAGTCGGTGACGGGCAACTACACCGCCGTTGTCCACCCGGATGGGAAA CTGGTCGTCCACGGACCGTCCGTCTTCAAGATCAACCCAGGGGTTTCC GGCCTCAACAGCCTGCGCCTCGGCAACAACCCCTCCACCTCCAACATG CTATTCTCCGACGAGGTCCTCTACGCCGACGGCAAGCTCACCGCGAGG AACCTTGTGCTGGTGATGCAGGGCGACTGCAACCTGGTGCTGTACGGC GGCAAGTACGGGTGGCAGTCCGACACCCACGGCAA Aksesi Merapi Farm GCTCGCCGTTGCCGTGGGTGTTGGACTGCCACCCGAACTTGCCGCCGT ACAGGACGAAGTTGCAGTCGCCCTGCATCACCAGCATGTGGTTCCTCG CGGTGAGCCTCTCGTCGTTTTGGAGGACCTGGCCGGAGAAGAGCATGT TGGAGGTGGAGGGGATGTTGCCGAGGCGCAGGCTGTTGAGGCCGGGA ACCCATGGGTCGATCTTGAAGACGGACGGGCCGTAGATGACCAGTCTC CCCTCGGGGTGGACGACGGCGGCGTAGTTGCCCCTCTCCGACTGGGAG CCGCTGCTCCAGACGTTGGTTCCGTCGCGGTCTTGGATGAGGAGCTCG CCGCGGTCGGTCAGGGTGAGCTTGCAGTCCCGTCCCCTGTTGGCGGTG TTTGACTGCCAGTTGCCGTTGTAGAGGACGAGGTTGCAGTCGTCCTGC ATGACCAAGTCGAAGTCGCCGTTCCTGAGGTGTCCGTCCCTGTTCAGG GTTTCGCCGGACAGCAGGTAGTTGGTCCCTACTGCCGCGGCTGCTGCT GGGACGACGATGACGAGGATGACGAGGAGGAGGAAGAAGAAGAA 50 Aksesi Indmira TGCTCGCCGTTGCCGTGGGTGTTGGACTGCCACCCGAACTTGCCGCCG TACAGCACCAGGTTGCAGTCGCCCTGCATCACCAGCATGTGGTTCCTC GCGGTGAGCTTCTCGTCGCTGTAGAGGACCTGGCCGGAGAAGAGCATG TTGGACGTGAAGGGGACGTCGCCGAGCCGCATGCTGTTGAGGCCGGC AACCCATGGGTGGATCTTGAAGACGGACGGGCCGTAGATGACGAGTTT CCCCTCCGGATGGAGGACGGCGGCGTAGTTGCCCCTCTTCTACTGGGA GCCGCTGCTCCAGACGTTGGTTCCGTCGCGGTCTTCGATGATGAGCTC GCCGCGGTCGGTCAGGGTGAGCTTGCAGTCCTGTCCTCTGTTGGCGGT GTTGGACTGCCGCTTGCCGTTGTAGAGGACGAGGATGCAGTCGTCCTG CATGATCACGTCGAAGTCGCCGTTCTTGATATGATCATCCCTGTTGATG ATTTCGCCGGACGACATGTAGTTGGTGCCCACTGCCGCGGCTGATCCA GGGACGACGATGACGAGGACGAGGATGAGGAGGAAGAAGAAGA Aksesi Ogan Ilir TCTTCTTCTTCTTCCTCCTCCCGGCCATCCTCGGCCTCGTCGTCCCACGC CCAGCCGCGGCGGTAGGCACCAACTACCTGCTGTCCGGCGAAACCCTA AACACCGACGGACATCTCAAGAGCGGCGACTCCGACTTGGTCATGCAG GATGACTGCAACCTCGTCCTCTACAATGGCGGTTGGCAGTCCAACACG GCGAACAGAGGACGGGACTGCAAGCTCACCCTGACCGACCGCGGCG AGCTCATCATCAAGGCCGGCGACGGATCCAACGTCTGGAGCAGCGGCT CCCAGTCGGTGACGGGCAACTACACCGCCGTTGTCCACCCGGATGGGA AACTGGTCGTCCACGGACCGTCCGTCTTCAAGATCAACCCATGGGTTT CCGGCCTCAACAGCCTGCGCCTCGGCAACAACCCCTCCACCTCCAACA TGCTATTCTCCGGCGAGGTCCTCTACGCCGACGGCAAGCTCACCGCGA GGAACCACGTGCTGGTGATGCAGGGCGACTGCAACCTGGTGCTGTACG GCGGCAAGTACGGGTGGCAGTCCAACACCCACGGCAACGGCCAGC Aksesi Matesih AACTACTTACTGTCCGGCGAAACCCTAAACACGAACAACCACCTCAAA AACGGCGACTTCGAATTGGTCATGCAGGATGACTGCAACCTCGTCCTC TACAATGGCAATTGGCAGTCCAACACCGCCAACAGGGGACGAGACTG CAAGCTCACCCTGACCGACCGCGGCGAGCTCATCATCCGAGACCGCGA CGGAGCCAACGTCTGGAGCAGCGGTTCCCGGTCGGAGAGGGGCAAGT ACGCCGCCGTCGTCCATCCGGAGGGGAAACTGGTCATCTACGGCCCTT CCGTGTTCAAGATCGACCCCTGGGCCCCCGGCCTCAACAGCCTGAGGC AGCTCGGCGACGTCCGATTCACGGCCAACATGCTCTTCTCCGGCCAAG TCCTCAACAGTGACGAGAAGCTCACTGCAAGGAACCACATGCTGGTGA TGCAGGGCGACTGCAACCTGGTCCTGTACGGCGGCAAATTCGGGTGGC AGTCCAACACCCACGGCAACGGCGAGCACTGCTTCGTGAGGCTGAACC ACAAGGGCGAGCTCAACATCATCAA Aksesi Solok GCTCGCCGTTGCCGTGGGTGTTGGACTGCCACCCGAATTTGCCGCCGT ACAGGACCAGGTTGCAGTCGCCCTGCATCACCAGCATGTGGTTCCTTG CAGTGAGCTTCTCGTCACTGTTGAGGACTTGGCCGGAGAAGAGCATGT TGGCCGTGAATCGGACGTCGCCGAGCTGCCTCAGGCTGTTGAGGCCGG GGGCCCAGGGGTCGATCTTGAACACGGAAGGGCCGTAGATGACCAGT 51 TTCCCCTCCGGATGGACGACGGCGGCGTACTTGCCCCTCCCCCACTTCC AGCCGCTGCTCCTGCTCCTGAATCCGTCTCCGTCTTGGATGATGATCTC GCCGCCGTCGCTCACGGTGAGCTTGCAGTCCCGTCCCCTGCTGCCGGT GTTGGACTGCCACTGGCCGTTGTCGATGACGAGGATGAAGTCGTCCTG CTTGAGCATGTCGAAGTCGCCGTTCCTGATATGGACGTCCCTGTTCATG GTTTCGCCGGACACCAAGTAGTTGGTGCCTATCGCCACTGCTGCACCT GACCTAACGATGACGAGGATGACCAGGAAGAGGAAGAAGAAGAAAA 52 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 04 Juni 1986. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Mohamad Zatul Iqbal Moenaf dan Dewi Rukmini. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 47 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Penulis berhasil menyelesaikan program S1 pada tahun 2008, kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke pogram S2 pada Program Studi Biokimia dan berhasil meraih gelar Master Sains pada tahun 2010. Tahun 2010 penulis melanjutkan ke program S3 pada Program Studi Biologi Tumbuhan dan kegiatan penelitian disertasi memperoleh dukungan dari dana penelitian Program DIPA tahun 2012, Pusat Teknologi dan Farmasi Medika, BPPT dengan nomor kontrak (01)-3466/01/2012. Pada tahun 2013, penulis menjadi staf pengajar di Departemen Biokimia Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Indonesia. Hasil penelitian tahap satu dari disertasi ini telah dipublikasi di Internasional Journal of Biosciences pada volume 6, no 12, halaman 52-60, tahun 2015. Sedangkan publikasi lain yang dimiliki penulis telah diterbitkan di HAYATI Journal of Biosciences voluem 17, no 4, halaman 201-204, tahun 2010.