AKTIVITAS PROTEIN UMBI SEBAGAI

advertisement
AKTIVITAS PROTEIN UMBI SEBAGAI ANTIPROLIFERASI
SEL KANKER MCF-7 DAN KARAKTERISASI LEKTIN UMBI
DARI KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)
MUHAMMAD ALFARABI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul "Aktivitas Protein
Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi
dari Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)" adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Muhammad Alfarabi
NIM G363100081
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN
MUHAMMAD ALFARABI. Aktivitas Protein Umbi sebagai
Antiproliferasi Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi
Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume). Dibimbing oleh MIFTAHUDIN,
CHAIDIR, dan MARIA BINTANG.
Kanker termasuk dari sepuluh besar penyakit yang banyak menyebabkan
kematian di Indonesia. Sel kanker memiliki sifat utama, yaitu pertumbuhan sel
tidak terhambat secara normal dan dapat menginvasi sel-sel normal lainnya.
Masyarakat di Indonesia secara tradisional telah banyak menggunakan tumbuhan
keladi tikus (Typhonium sp.) untuk pengobatan kanker. Berdasarkan penelitian
sebelumnya, tanaman keladi tikus dari jenis Typhonium divaricatum (L.) Decne
yang tumbuh di daerah Chengdu (Cina) memiliki aktivitas sebagai antikanker. Hal
ini dikarenakan pada bagian umbi tanaman tersebut mengandung lektin yang
dapat menghambat proliferasi sel kanker. Keladi tikus yang tumbuh di Indonesia
tidak memiliki informasi ilmiah mengenai hal tersebut hingga saat kini, sehingga
tidak ada data fitofarmaka yang mendukung lektin umbi keladi tikus memiliki
aktivitas antikanker. Oleh karenanya penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
protein dan lektin dari umbi keladi tikus (T. flagelliforme) yang tumbuh di
beberapa wilayah Indonesia. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan
informasi ilmiah mengenai profil protein dan lektin umbi dari keladi tikus (T.
flagelliforme) yang tumbuh di wilayah Indonesia. Informasi ini dapat dijadikan
dasar pengembangan produk fitofarmaka berbasis lektin sebagai obat antikanker.
Penelitian ini menggunakan umbi segar dari 7 aksesi T. flagelliforme
(Lodd.) Blume yang didapatkan dari beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Bogor
(Jawa Barat), Yogyakarta (Merapi Farm dan Indmira), Matesih (Jawa Tengah),
Singaraja (Bali), Ogan Ilir (Sumatera Selatan), dan Solok (Sumatera Barat).
Tanaman tersebut ditumbuhkan di rumah kaca pada Pusat Bioteknologi, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Indonesia. Umbi yang digunakan adalah
umbi yang dipanen pada umur 1, 3, 5, dan 6 bulan setelah tanam. Umbi tersebut
diekstrak proteinnya untuk diukur kadar total protein umbi, nilai toksisitas, dan
aktivitas hemaglutinasi dari lektin yang terkandung pada total protein umbi.
Aksesi umur 6 bulan setelah tanam yang terpilih berdasar aktivitas hemaglutinasi
tertinggi hasil dari proses ekstraksi menggunakan NaCl dilakukan fraksinasi
protein terhadap ekstrak protein umbinya untuk mendapatkan lektin terpurifikasi.
Tahap selanjutnya adalah identifikasi gen pengkode lektin dilakukan dari setiap
aksesi tanaman sehingga didapatkan sekuens basa dari gen tersebut. Selanjutnya,
umbi dari tanaman berumur 6 bulan setelah tanam juga dilakukan ekstraksi
dengan akuades untuk pengujian terhadap kultur sel mamalia (sel MCF-7 dan
fibroblas). Ekstrak protein menggunakan ekstraksi akuades yang sudah diseleksi
berdasarkan aktivitas hemaglutinasi dan efek toksik dengan metode BSLT (Brine
Shrimp Lethality Test) dilanjutkan dengan uji antiproliferasi terhadap sel kanker
(MCF-7) dan sitotoksisitas terhadap sel normal (fibroblas).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua bobot umbi dari setiap
aksesi mengalami peningkatan bobot pada setiap bulannya, terdapat fluktuasi
bobot umbi pada beberapa aksesi seperti aksesi Singaraja, Merapi Farm, Indmira,
dan Solok. Aksesi Bogor, Ogan Ilir, dan Matesih menunjukan peningkatan bobot
umbi pada setiap bulannya, dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam. Hasil
pengamatan kadar total protein selama masa tanam menunjukkan bahwa hanya
aksesi Ogan Ilir yang kadar total protein umbinya meningkat dari umur tanam 1
bulan hingga 6 bulan, sedangkan 5 aksesi yang lain mengalami fluktuasi kadar
total protein umbi selama masa tanam. Kandungan protein umbi pada aksesi
Bogor umur 1 bulan tidak terdeteksi. Hasil pengamatan deteksi lektin umbi
menunjukkan bahwa lektin umbi telah diproduksi dari umur tanaman 1 bulan
setelah tanam, yaitu aksesi Singaraja, Merapi Farm, dan Indmira. Lektin pada
aksesi lainnya terdeteksi pada umur tanaman 3 bulan setelah tanam. Tidak
terdapat aksesi yang menunjukkan peningkatan kadar lektin secara linier pada
umur tanam 1 bulan hingga 6 bulan, kecuali aksesi Bogor. Pengamatan profil
protein umbi setiap aksesi menunjukkan protein umbi memiliki banyak
kandungan protein yang berbobot molekul di bawah 30 kDa. Protein-protein umbi
yang berbobot molekul di atas 30 kDa terdeteksi ketika umur tanaman 5 dan 6
bulan setelah tanam.
Fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok dilakukan karena ekstrak
protein umbi tersebut memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi. Hasilnya
didapatkan lektin terpurifikasi yang terkandung pada umbi aksesi Solok dengan
bobot molekul 12.67 kDa, dengan kadar lektin sekitar 0.35 % dari kadar total
protein umbi, stabil pada suhu 20-40 °C, dan stabil pada pH 5-7.2.
Hasil analisis sekuens basa parsial gen pengkode lektin yang terdeteksi dari
setiap aksesi berukuran 600 pb. Sekuens tersebut memiliki kesamaan tertinggi
dengan sekuens CDS (Coding DNA Sequence) lektin dari tumbuhan lain famili
Araceae, yaitu T. divaricatum, Pinellia ternata, dan Pinellia pedatisecta.
Hasil ekstraksi protein umbi menggunakan akuades dari umbi berumur 6
bulan menunjukkan aksesi Bogor memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi,
sedangkan aksesi Solok memiliki efek toksisitas terhadap larva udang tertinggi.
Oleh karenanya aksesi Bogor dan Solok diuji lanjut ekstrak protein umbinya pada
uji antiproliferasi dan sitotoksik. Hasil uji antiproliferasi dengan metode MTT
menunjukan bahwa ekstrak protein umbi aksesi Solok memiliki nilai LC50, yaitu
95.36 ppm yang lebih rendah dibandingkan dengan aksesi Bogor, yaitu 102.86
ppm sehingga ekstrak dari aksesi Solok lebih mampu menghambat proliferasi sel
MCF-7. Ekstrak aksesi Bogor dan Solok diuji kembali dengan sel fibroblas
manusia (sel normal) untuk melihat efek toksik ekstrak terhadap sel non kanker.
Proliferasi sel fibroblas meningkat dengan pemberian ekstrak dibandingkan sel
fibroblas tanpa perlakuan. Namun, pada konsentrasi ekstrak 100 ppm untuk aksesi
Solok pertumbuhan sel fibroblas terhambat 8.33 % dan pada konsentrasi ekstrak
200 ppm untuk aksesi Bogor, pertumbuhan sel fibroblas terhambat 29.90 %.
Simpulan penelitian adalah biosintesis lektin pada umbi setiap aksesi T.
flagelliforme berlangsung sampai 6 bulan setelah tanam. Ekstrak protein umbi
memiliki aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker MCF-7 dan tidak toksik
terhadap sel normal fibroblas pada konsentrasi kurang dari 100 ppm untuk aksesi
Solok dan konsentrasi kurang dari 200 ppm untuk aksesi Bogor. Lektin yang
terdeteksi berbobot molekul 12.67 kDa. Gen parsial penyandi lektin dari setiap
aksesi terdeteksi berukuran 600 pb.
Key words: Antiproliferasi, lektin, protein umbi, Typhonium flagelliforme,
toksisitas
SUMMARY
MUHAMMAD ALFARABI. Antiproliferative Activity of Tuber Protein on
Cancer Cell MCF-7 and Tuber Lectin Characterization from Typhonium
flagelliforme (Lodd.) Blume. Under the direction of MIFTAHUDIN, CHAIDIR,
and MARIA BINTANG.
Many people in Indonesia are suffering breast and cervical cancer. Cancer
cell is a cell that continuesly grow without inhibition and it can invade other
normal cells. Traditionally, Typhonium flagelliforme was used for anticancer
treatment in Indonesia. Previous study showed that the T. divaricatum (L.) Decne
from Chengdu (Cina) has anticancer activity because it has antiproliferative effect
of tuber lectin on cancer cell line. However, there is no phytopharmaca
information about tuber lectin of T. flagelliforme in Indonesia. Therefore, the
objective of this research to identify tuber protein and lectin content of T.
flagelliforme from Indonesia. The results of this research provided scientific
information of T. flagelliforme lectin tuber in Indonesia that can be used for
anticancer lectin based drug development.
Seven accessions of T. flagelliforme from Bogor (West Java), Yogyakarta
(Merapi Farm dan Indmira), Matesih (Central Java), Singaraja (Bali), Ogan Ilir
(South Sumatera), and Solok (West Sumatera) were used in this research. Those
accessions have been cultivated in greenhouse at Biotech Centre, Agency for The
Assessment and Application of Technology, Indonesia. The tubers were harvested
from 1, 3, 5, and 6 months old plant and used as plant materials. The tuber total
protein content, toxicity effect, and hemagglutination activity was determined
from the crude tuber protein extract. The selected of tuber protein extract from 6
months old plant (NaCl extraction) used for protein fractination. The next stage
was to identify of lectin gene from all accession. After that, the selected of tuber
protein extract from 6 months old plant (water extraction) used for mammalian
cell culture test (MCF-7 and fibroblast cells). Those extracts was selected by
hemagglutination activity and toxicity effect on BSLT (Brine Shrimp Lethality
Test) before mammalian cell culture test performed.
The results showed some accessions have fluctuations of the tuber weight
like Singaraja, Merapi Farm, Indmira, and Solok accession. Bogor, Ogan Ilir, and
Matesih accession showed tuber weight increasing in each month, from 1 to 6
months planting. The observation of the total protein level during growing period
showed that Ogan Ilir protein increased linearly from 1 to 6 months, while other
accessions showed fluctuation in total protein level during growing period. Three
accessions, Singaraja, Merapi Farm, and Indmira have been produced lectin since
1 month planting. The other accessions, Bogor, Ogan Ilir, Matesih, and Solok
were detected of lectin in 3 months planting. There is no accession showed
linearly elevated levels of lectin from 1 month to 6 months planting, except Bogor
accession. The tuber protein content has many proteins under 30 kDa. The above
30 kDa proteins in tuber were detected in 5 and 6 months old plant.
The tuber protein extract of 6 months old plant Solok accession was selected
to lectin purification. It has the highest hemagglutination acitivity than the other
accessions. The molecular weight of lectin from Solok accession is 12.67 kDa.
The lectin content in the total tuber protein is 0.35 %. This lectin was stable in
20-40 °C and pH 5-7.2.
The partial coding DNA sequence of each accessions were isolated with the
size of 600 bp for each accessions. These sequences have high similarity with the
lectin coding DNA sequence of another plants in Araceae, such as T. divaricatum,
Pinellia ternata, and Pinellia pedatisecta.
The tuber protein extract using water from 6 months old plant showed
extract of Bogor accession has the highest hemagglutination activity, while Solok
accession has the highest toxicity on shrimp larvae. Therefore, Bogor and Solok
accession tested for antiproliferative and cytotoxic effect. Antiproliferasi test
results with MTT method showed that the LC50 values of tuber protein extracts of
Solok accession lower than Bogor accession. That means Solok accession was be
able to inhibited the proliferation of MCF-7 cells. In cytotoxic test, the
proliferation of fibroblast cell was increased in lower concentrations of tuber
protein extracts. However, in 100 ppm of Solok accesion extract, the proliferation
of fibroblast cell was inhibited for 8.33 % and in 200 ppm of Bogor accession
extract, the proliferation of fibroblast cell was inhibited for 29.90 %.
The conclusion of this research were the lectin biosynthesis occured during
growing period. The tuber protein extract has antiproliferative activity on MCF-7
cell and no toxic effect to fibroblast cell under 100 ppm of the tuber protein
extract Solok accession and under 200 ppm of the tuber protein extract Bogor
accession. The molecular weight of Lectin was detected at 12.67 kDa and the size
of isolated partial gene of lectin was 600 bp.
Key words: Antiproliferation, lectin, toxicity, tuber protein, Typhonium
flagelliforme
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
AKTIVITAS PROTEIN UMBI SEBAGAI ANTIPROLIFERASI
SEL KANKER MCF-7 DAN KARAKTERISASI LEKTIN UMBI
DARI KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)
MUHAMMAD ALFARABI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup:
Dr. Hamim, M.Si
(Staf pengajar pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor)
Dr. Mega Safithri, M.Si
(Staf pengajar pada Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka:
Dr. Hamim, M.Si
(Staf pengajar pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor)
Dr. Siswa Setyahadi
(Peneliti pada Teknologi Bioindustri, Laboratoria Pengembangan
Teknoogi Industri Agro dan Biomedika, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi)
Judul Disertasi: Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus (Typhonium
flagelliforme (Lodd.) Blume)
Nama
: Muhammad Alfarabi
NIM
: G363100081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Miftahudin, M.Si
Ketua
Dr.rer.nat. Chaidir, Apt
Anggota
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Miftahudin, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian Tertutup: 3 Agustus 2015
Tanggal Sidang Promosi Doktor: 21 Agustus 2015 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang karena atas rahmat izin dan hidayah-Nya disertasi yang
berjudul “Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi Sel Kanker MCF-7 dan
Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.)
Blume)” dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Biologi Tumbuhan, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pembimbing, yaitu Dr. Ir.
Miftahudin, M.Si, Dr.rer.nat Chaidir, Apt., dan Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS
yang sudah memberikan arahan dan bimbingan selama penelitian dan penulisan
disertasi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Hamim, M.Si, Dr. Mega
Safithri, M.Si, dan Dr. Siswa Setyahadi selaku penguji pada ujian tertutup dan
ujian terbuka yang telah memberikan saran demi kesempurnaan penulisan
disertasi ini.
Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Dr. Prasetyawan Yunianto
sebagai Kepala Laboratorium Teknologi Farmasi Medika yang telah mengizinkan
penulis melakukan penelitian di lab tersebut. Selain itu, ucapan terima kasih
penulis kepada Syofi Rosmalawati, M.AgrSc. beserta staf Laboratorium
Bioteknologi Pertanian, Dr. Churiyah beserta staf peneliti Laboratorium Kultur
Sel Hewan, Dr. Kurnia Agustini beserta staf peneliti Laboratorium Farmakologi,
Dr. Siswa Setyahadi beserta staf peneliti Laboratorium Bioseparasi, Fifit Juniarti,
BSc (HONS) beserta staf peneliti Laboratorium Biologi Molekuler, dan Dr.rer.nat
Anis Mahsunah yang telah membantu berjalannya proses kegiatan penelitian di
Laboratorium BPPT, Puspiptek, Serpong. Ungkapan terima kasih juga penulis
ucapkan kepada seluruh dosen dan staf Mayor Biologi Tumbuhan, yang telah
memberikan bekal ilmu dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
dengan baik. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada rekan mahasiswa S3 BOT
angkatan 2010, rekan kerja Laboratorium Fisiologi dan Genetika Tumbuhan IPB,
dan rekan kerja di Laboratorium LapTIAB BPPT. Ungkapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada orang tua, adik, Tyas, serta seluruh keluarga atas segala
doa, dukungan, dan kasih sayangnya selama penulis menjalani program Doktor di
IPB.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Muhammad Alfarabi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat dan Kebaruan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
3
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Keladi Tikus
Lektin
Apoptosis
Gen Penyandi Lektin
5
5
6
8
10
3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan Tanaman
Metode
12
12
12
12
4 HASIL PENELITIAN
Bobot Umbi, Protein Umbi, dan Lektin Umbi T. flagelliforme
Elektroforegram Protein Umbi Setiap Aksesi Selama Masa Tanam
Fraksinasi Protein Umbi T. flagelliforme Aksesi Solok Umur 6 Bulan
Setelah Tanam
Karakterisasi Lektin
Identifikasi Gen Lektin
Aktivitas Toksisitas, Antiproliferasi, dan Sitotoksisitas Ekstrak Protein
Umbi Umur 6 Bulan Setelah Tanam
20
20
22
5 PEMBAHASAN
Profil Bobot Umbi, Protein Umbi, dan Lektin Umbi T. flagelliforme
Pola Elektroforegram Total Protein Umbi Setiap Aksesi Selama
Masa Tanam
Karakteristik Lektin Umbi T. flagelliforme Aksesi Solok Umur 6 Bulan
Setelah Tanam
Gen Lektin
Toksisitas, Antiproliferasi, dan Sitotoksisitas Ekstrak Protein Umbi
Umur 6 Bulan Setelah Tanam
34
34
6 SIMPULAN DAN SARAN
42
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
46
RIWAYAT HIDUP
52
23
26
27
30
36
36
38
40
DAFTAR TABEL
1 Daerah aksesi T. flagelliforme yang digunakan dalam penelitian
2 Kadar total protein umbi, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas
dari ekstraksi protein menggunakan NaCl 25 g umbi T. flagelliforme
umur masa tanam 6 bulan
3 Kadar total protein pada proses fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi
Solok menggunanakan kolom DEAE-Sepharose dan CM-monolitic
4 Tabel Tahapan Purifikasi Ekstrak Protein Umbi Aksesi Solok Umur 6
Bulan Tanam
5 Hasil BLASTN yang menunjukkan kesamaan tertinggi dari setiap
aksesi T. flagelliforme dengan basis data di NCBI
6 Pensejajaran sekuens basa gen pengkode lektin setiap aksesi T.
flagelliforme dengan beberapa tumbuhan lain famili Araceae
7 Kadar protein total, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas esktrak
akuades 15 g umbi T. flagelliforme berumur 6 bulan masa tanam
8 Daya hambat ekstrak protein umbi aksesi Bogor dan Solok terhadap sel
MCF-7 dengan berbagai konsentrasi
9 Daya proliferasi ekstrak protein umbi aksesi Bogor dan Solok terhadap
sel fibroblas dengan berbagai konsentrasi
12
24
25
26
28
28
31
31
33
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alur penelitian Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi
Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus
(Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)
2 Typhonium flagelliforme
3 Skema aktifasi caspase
4 Mekanisme lektin dalam menginduksi terjadinya proses apoptosis pada
sel kanker
5 Bagian-bagian ekstraksi protein umbi yang dilakukan pada penelitian
6 Peta fisik vektor dan situs pengklonan pGEM®-T Easy
7 Bobot umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1 bulan hingga 6
bulan setelah tanam
8 Kadar total protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1
bulan hingga 6 bulan setelah tanam
9 Aktivitas hemaglutinasi lektin umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari
umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam
10 Elektroforegram protein umbi T. flagelliforme (Lodd.) Blume selama
masa tanam
11 Kromatogram dan elektroforegram hasil fraksinasi dengan kolom
DEAE-Sepharose
12 Kromatogram dan elektroforegram hasil fraksinasi dengan kolom CMmonolitic
13 Karakteristik lektin berdasarkan suhu dan pH
14 Hasil isolasi DNA dan amplifikasi DNA
15 Dendrogram parsial gen pengkode lektin dari 7 aksesi T. flageliforme
16 Inhibisi proliferasi sel MCF-7 dengan ekstrak protein umbi
4
5
8
9
13
16
20
21
22
23
24
25
26
27
30
32
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kurva standar larutan protein menggunakan BSA (BovineSerum
Albumin)
2 Antiproliferasi ekstrak protein umur 6 bulan setelah tanam dengan
ekstraksi menggunakan aquades terhadap sel MCF-7
3 Sitotoksiksitas ekstrak protein umur 6 bulan setelah tanam dengan
ekstraksi menggunakan aquades terhadap sel fibroblas
4 Perhitungan bobot molekul
5 Sekuens fragmen gen lektin tiap aksesi
47
47
48
48
49
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kanker merupakan masalah kesehatan yang banyak diderita oleh
masyarakat dunia. Satu dari empat penderita kanker di Amerika Serikat meninggal
setiap tahunnya (Jemal et al. 2010). Kanker termasuk dari sepuluh besar penyakit
yang banyak menyebabkan kematian di Indonesia. Kanker payudara dan leher
rahim merupakan jenis kanker yang banyak diderita penderita kanker di Indonesia.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2013 terdapat
sekitar 347792 penderita kanker dan diantaranya 28850 adalah wanita penderita
kanker payudara dan leher rahim stadium IV. Jumlah penderita tersebut terus
meningkat setiap tahunnya (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2014).
Oleh karenanya, kanker merupakan penyakit yang sangat serius bagi masyarakat
Indonesia sehingga diperlukan penanganan dari berbagai bidang terkait.
Sel kanker memiliki sifat utama, yaitu pertumbuhan sel tidak terhambat
secara normal dan dapat menginvasi sel-sel normal lainnya. Sifat tersebut
menjadikan sel kanker sangat berbahaya. Sel kanker pada awalnya merupakan sel
normal yang tumbuh dan berproliferasi dalam keadaan tidak terkontrol sehingga
menjadi tumor atau neoplasma. Tumor tersebut dapat berkembang dan memiliki
kemampuan untuk menginvasi jaringan disekitarnya yang disebut malignant. Pada
tahap tersebut sudah dapat disebut sebagai sel kanker dan dapat masuk ke dalam
pembuluh darah atau limfa untuk membentuk sel kanker di jaringan lain, tahap ini
disebut dengan metastases (Alberts et al. 2008), sehingga diperlukan pengobatan
yang dapat mencegah, menghambat pertumbuhan, dan mematikan sel kanker.
Pengobatan kanker pada umumnya banyak dilakukan dengan kemo/radioterapi.
Saat ini, selain menggunakan obat dan kemo/radioterapi, pengobatan kanker dapat
dilakukan dengan menggunakan bahan dari tumbuhan-tumbuhan yang berkhasiat
sebagai antikanker (Mohan et al. 2010, Liu et al. 2010).
Tumbuhan yang telah digunakan dalam pengobatan antikanker dan
diproduksi oleh industri farmasi adalah mistletoe (Viscum album L.). Ekstrak
mistletoe telah banyak digunakan pada perawatan kanker di negara-negara Eropa.
Biasanya diaplikasikan terhadap pasien melalui injeksi subkutan. Efek ekstrak
tersebut adalah dapat meningkatkan kelangsungan dan kualitas hidup dari
penderita kanker, memperkuat sistem imun tubuh penderita, dan mengurangi
gejala dari tumor (Ernst dan CAM-Cancer Consortium 2011). Selain itu,
pengobatan kanker menggunakan ekstrak mistletoe yang digabungkan dengan
kemo/radioterapi dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam melawan dan
bertahan terhadap kanker (Horneber et al. 2010). Ekstrak mistletoe mengandung
banyak senyawa aktif biologi seperti flavonoid (derivat dari kuarsetin),
polipeptida yang bersifat toksik, fenilpropan, lignan, dan lektin (Mistletoe Lectin I,
II, III). Namun, lektin yang banyak dikaji sebagai molekul antikanker dikarenakan
kadarnya yang cukup tinggi dibandingkan molekul lainnya pada mistletoe
(European Medicines Agency, 2013).
Lektin merupakan glikoprotein yang terdapat disemua jenis tumbuhan dan
dapat disebut sebagai phytohemagglutinin. Protein ini merupakan protein non
katalis yang dapat berikatan spesifik dengan molekul karbohidrat dikarenakan
2
memiliki sedikitnya satu domain yang dapat berikatan secara reversible dengan
molekul karbohidrat. Domain inilah yang dapat berinteraksi dengan molekul
karbohidrat pada membran sel dan ikatan yang terjadi spesifik sehingga lektin
merupakan asal kata dari bahasa latin, yaitu lagere yang artinya memilih (Damme
et al. 1998). Contohnya lektin dari Phaseolus lunatus dapat mengaglutinasi
spesifik golongan darah A dan lektin dari Lotus tetragonolobus dapat
mengaglutinasi spesifik golongan darah O. Ikatan spesifik ini dapat terjadi
dikarenakan terdapat interaksi spesifik antara karbohidrat pada permukaan sel
dengan lektin (Sharon dan Lis 2004). Lektin dari tumbuhan telah banyak dikaji
sebagai antikanker (Abdullaev dan Meija 1997), seperti lektin dari Arisaema
tortuosum Schott mampu menghambat proliferasi sel kanker servik SiHa dan usus
besar HT29 secara in vitro (Dhuna et al. 2005). Selain itu, Typhonium
divaricatum (L.) Decne (keladi tikus) merupakan salah satu tanaman obat
tradisional dari Cina yang memiliki aktivitas antikanker. Tanaman ini terdapat di
daerah Chengdu (Cina) dan mengandung lektin pada umbinya yang memiliki
aktivitas antikanker, yaitu dengan menghambat proliferasi sel kanker prostat Pro01, payudara Bre-04, dan paru Lu-04 secara in vitro (Luo et al. 2007).
Masyarakat Indonesia telah banyak memanfaatkan tanaman obat sebagai
pengobatan alternatif terhadap penyakit kanker, salah satunya adalah keladi tikus
(Typhonium sp.). Tumbuhan ini merupakan kelompok dari jenis keladi yang
tumbuh tersebar di wilayah Indonesia tetapi tidak dibudidayakan oleh masyarakat
dan tidak dapat dikonsumsi. Jenis Typhonium flagelliforme merupakan jenis yang
banyak digunakan untuk ramuan tradisional pengobatan kanker terutama kanker
payudara dengan cara direbus atau dibuat serbuk. Oleh karena memiliki genus
yang sama dengan T. divaricatum, diduga T. flagelliforme memiliki molekul aktif
yang sama yang berperan sebagai antikanker, yaitu lektin pada umbinya. Kajian
ilmiah mengenai T. flagelliforme sebagai tanaman obat antikanker belum banyak
dilakukan di Indonesia. Selain itu, belum banyak yang mengkaji protein aktif,
yaitu lektin dari umbi T. flagelliforme yang tumbuh di wilayah Indonesia.
Perumusan Masalah
Penggunaan T. flagelliforme oleh masyarakat luas sebagai tanaman obat
tradisional untuk mengobati penyakit kanker menunjukkan bahwa pentingnya
tanaman tersebut di bidang farmasi. Kenyataannya produk obat berbasis
tumbuhan tersebut yang beredar di masyarakat adalah dalam bentuk jamu atau
obat tradisional yang diproduksi oleh industri rumah tangga, oleh karenanya
molekul aktif ekstrak tersebut tidak diketahui dengan pasti, terutama kandungan
lektin pada umbi sehingga mekanisme kerja ekstrak tersebut tidak diketahui.
Mekanisme tersebut perlu diketahui sehingga dalam penggunaan ekstrak dapat
diketahui dosis yang tepat. Selain itu, karakteristik dari senyawa aktif juga perlu
diketahui karena informasi ini sangat diperlukan dalam proses pengembangan
obat yang berbasis senyawa tersebut.
Selain senyawa aktif, umur dan kondisi tumbuhan yang digunakan pada
obat tradisional sangat jarang diketahui sehingga tidak terdapat standar mutu
dalam penggunaan tanaman obat, khususnya pada T. flagelliforme sebagai ekstrak
herbal antikanker. Faktor-faktor tersebut, yaitu belum teridentifikasi dan
3
terkarakterisasi senyawa aktif yang berperan sebagai antikanker di dalam ekstrak,
serta tidak adanya standar mutu penggunaan tumbuhan untuk dijadikan bahan
baku sediaan ekstrak dari T. flagelliforme menjadi dasar dilakukannya penelitian
ini.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah mengidentifikasi protein umbi dan lektin
umbi keladi tikus (T. flagelliforme) yang tumbuh di beberapa wilayah Indonesia.
Secara terperinci tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui profil protein umbi dan lektin umbi keladi tikus (T. flagelliforme)
yang tumbuh dari beberapa wilayah Indonesia pada masa tanam 1 hingga 6
bulan.
2. Menentukan karakteristik lektin yang terkandung pada umbi keladi tikus.
3. Mengidentifikasi gen penyandi lektin umbi keladi tikus yang tumbuh di
beberapa wilayah Indonesia.
4. Mengkaji aktivitas antikanker dari ekstrak protein umbi terhadap sel kanker
MCF-7.
Manfaat dan Kebaruan Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai fase pertumbuhan T. flagelliforme yang terkait dengan aktivitas lektin
umbi. Selain itu, memberikan informasi tentang keragaman profil protein dan
lektin umbi T. flagelliforme yang tumbuh di beberapa wilayah Indonesia.
Informasi ini dapat dijadikan dasar pengembangan produk fitofarmaka berbasis
lektin sebagai obat antikanker.
Penelitian ini memiliki kebaruan yaitu: (1) kandungan protein umbi dan
aktivitas lektin umbi keladi tikus (T. flagelliforme) dari berbagai aksesi wilayah
Indonesia, (2) aktivitas antiproliferasi sel kanker MCF-7 dari ekstrak protein umbi
keladi tikus, (3) karakteristik lektin dari aksesi terseleksi, yaitu Solok, (4) parsial
gen penyandi lektin dari berbagai aksesi keladi tikus.
Ruang Lingkup Penelitian
Tahapan penelitian yang dirancang sebagai solusi permasalahan yang ada
terdiri atas 3 bagian dengan alur sebagai berikut (Gambar 1), yaitu (1)
menganalisis kandungan protein dan aktivitas lektin umbi dari setiap aksesi T.
flagelliforme (dengan umur tanaman 1, 3, 5, dan 6 bulan setelah tanam), (2)
mengkarakterisasi lektin terpurifikasi dari aksesi T. flagelliforme terpilih (aksesi
Solok berumur 6 bulan setelah tanam), (3) mengidentifikasi gen penyandi lektin
dari setiap aksesi T. flagelliforme yang berumur 6 bulan setelah tanam, (4)
menganalisis efek toksik terhadap Artemia sp. dan aktivitas lektin dari ekstrak
protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme umur 6 bulan setelah tanam, dan (5)
menganalisis aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker MCF-7 dan efek toksik
terhadap sel nomal fibroblas dari ekstrak protein umbi T. flagelliforme aksesi
terpilih yang berumur 6 bulan masa tanam.
4
Umbi T. flagelliforme (aksesi: Bogor, Yogyakarta (Merapi Farm dan
Indmira), Matesih, Bali (Singaraja), Ogan Ilir (Sumatera Selatan), dan
Solok (Sumatera Barat)
Analisis kandungan protein dan aktivitas lektin umbi dari
setiap aksesi T. flagelliforme (dengan umur tanaman 1, 3,
5, dan 6 bulan masa tanam)
Karakterisasi lektin terpurifikasi
dari aksesi T. flagelliforme
terpilih (aksesi Solok berumur 6
bulan setelah tanam)
Identifikasi gen penyandi lektin
dari setiap aksesi T. flagelliforme
yang berumur 6 bulan setelah
tanam
Analisis efek toksik terhadap
larva Artemia sp. dan aktivitas
lektin dari ekstrak protein umbi
setiap aksesi T. flagelliforme
umur 6 bulan setelah tanam
Analisis aktivitas antiproliferasi
terhadap sel kanker MCF-7 dan efek
toksik terhadap sel nomal fibroblas
dari ekstrak protein umbi T.
flagelliforme aksesi terpilih yang
berumur 6 bulan setelah tanam
Karakteristik protein dan
lektin umbi T. flagelliforme
Gambar 1 Bagan alur penelitian Aktivitas Protein Umbi sebagai Antiproliferasi
Sel Kanker MCF-7 dan Karakterisasi Lektin Umbi dari Keladi Tikus
(Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Keladi Tikus
Keladi tikus merupakan tumbuhan yang tersebar luas dari daerah tropis
hingga daerah subtropis Asia serta daerah Australia. Tumbuhan ini telah diketahui
sampai saat ini terdiri atas 40 spesies. Keladi tikus merupakan tumbuhan herba
dan dapat tumbuh mencapai 5-12 cm panjangnya. Tanaman ini memiliki umbi
yang tumbuh di bawah permukaan tanah. Daunnya bertangkai membentuk jantung
dengan bagian ujung lainnya meruncing serta tepi daun yang rata. Selain itu, daun
berwarna hijau dan mengkilap (Wang dan Yang 1996). Batang tumbuhan ini
berwarna hijau dan pada pangkal batang berwarna putih. Umbi keladi tikus
berwarna cokelat muda dibagian luar dan putih di bagian dalam serta berlendir
(Gambar 2) (Syahid 2008). Perkembangbiakan tumbuhan ini dapat dilakukan
secara vegetatif dengan pemisahan umbi. Namun, tumbuhan ini tidak
dibudidayakan oleh masyarakat (Surachman 2009). Klasifikasi ilmiah dari keladi
tikus adalah Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, famili
Araceae, subfamily Aroideae, suku Areae, genus Typhonium (Wang dan Yang
1996).
Terdapat 3 spesies Typhonium yang penting sebagai tanaman obat, yaitu T.
trilobatum, T. roxburghii, dan T. flagelliforme. Secara kekerabatan, T. trilobatum
memiliki kesamaan 63 % dengan T. roxburghii sedangkan T. flagelliforme
memiliki kesamaan 43 % dengan T. trilobatum dan T. roxburghii (Rout 2006).
Tumbuhan keladi tikus ini di Indonesia dan di beberapa negara di Asia digunakan
sebagai obat tradisional untuk mengobati kanker dan penyakit lainnya. Secara
fitokimia, keladi tikus (T. flagelliforme) memiliki kandungan flavonoid dan
alkaloid (Nobakht et al. 2010). Secara ilmiah, penelitian menggunakan ekstrak
diklorometana keladi tikus (T. flagelliforme) dapat berperan sebagai anti leukemia
dan menginduksi terjadinya apoptosis pada sel (Mohan et al. 2010). Selain itu,
keladi tikus (T. divaricatum) mengandung lektin yang dapat berfungsi sebagai
antivirus dan anti-proliferatif pada cell line kanker manusia (Luo et al. 2007).
Kajian-kajian ilmiah tersebut menjadikan keladi tikus merupakan tumbuhan
yang penting bagi perkembangan obat antikanker. Kajian ilmiah mengenai keladi
tikus sampai saat ini belum banyak dilakukan, terutama kajian mengenai
keragaman kandungan dan aktivitas lektin pada keladi tikus (T. flagelliforme)
yang tumbuh di Indonesia. Oleh karena itu hal tersebut menarik untuk dikaji lebih
lanjut mengenai lektin yang terkandung di keladi tikus yang tumbuh di Indonesia.
Gambar 2 Typhonium flagelliforme
6
Lektin
Lektin dapat disebut sebagai phytohemagglutinin. Lektin merupakan protein
non enzim yang biasa disebut sebagai sugar binding protein atau glikoprotein
yang bukan dihasilkan dari reaksi imun. Lektin pertama kali ditemukan di
tumbuhan yang diberi nama ricin tetapi glikoprotein ini dapat ditemukan pada
organisme lainnya seperti bakteri dan mamalia. Lektin pada organisme dapat
terikat pada membran atau terlarut pada cairan biologis. Spesifisitas lektin dapat
dikelompokkan berdasarkan interaksinya dengan monosakarida atau oligosakarida
sederhana. Interaksi tersebut dapat menghambat reaksi aglutinasi yang diinduksi
lektin (Goldstein et al. 1980).
Lektin dapat didefinisikan sebagai protein yang mempunyai sedikitnya satu
domain non katalis yang dapat berikatan secara reversible dengan molekul
karbohidrat secara spesifik. Berdasarkan definisi tersebut, maka secara struktur
lektin terdiri atas 4 jenis, yaitu merolectin, hololectin, chimerolectin, superlectin
(Peumans dan Damme 1995).
Merolectin merupakan lektin yang memiliki satu domain untuk berikatan
dengan karbohidrat. Contoh lektin jenis ini adalah hevein dari lateks Hevea
brasiliensis (Parijs et al. 1991). Hololectin merupakan lektin yang memiliki
sedikitnya dua domain yang identik untuk berikatan dengan karbohidrat secara
spesifik. Lektin jenis ini terdapat di banyak jenis tanaman, contohnya adalah
concanavalin A. Chimerolectin merupakan jenis lektin yang mempunyai dua
domain, yaitu domain yang dapat berikatan dengan karbohidrat dan domain yang
memiliki aktivitas biologis lainnya. Dua domain tersebut tidak saling
mempengaruhi. Contoh dari lektin jenis ini adalah ricin, dengan domain pertama
sebagai tempat berikatan dengan karbohidrat dan domain lainnya memiliki
aktivitas toksik. Superlectin merupakan jenis lektin yang hampir sama dengan
chimerolectin tetapi memiliki banyak domain identik (Damme et al. 1998).
Berdasarkan sumber tumbuhannya, lektin dikelompokkan menjadi 7 famili.
Famili pertama adalah lektin legum, yaitu lektin yang berasal dari Leguminoseae.
Namun tanaman legum dapat memproduksi lektin selain famili lektin legum
seperti tipe 2 RIP (Ribosom Inactivating Protein) related lectin. Famili kedua
disebut chitin binding lectin, yaitu lektin yang mempunyai sedikitnya satu domain
hevein. Famili ketiga adalah tipe 2 RIP (Ribosom Inactivating Protein) related
lectin, yaitu lektin yang memiliki aktivitas inaktivasi ribosom. Famili keempat
adalah jacalin, yaitu lektin yang berasal dari biji nangka dan yang berasal dari
tanaman yang secara evolusi terkait dengan nangka atau memiliki kesamaan
struktur termasuk lektin jenis jacalin. Famili kelima adalah lektin amaranthin,
yaitu lektin yang berasal dari genus Amaranthus. Famili keenam adalah lektin
floem Cucurbitaceae, yaitu lektin yang berasal dari eksudat floem spesies
Cucurbitaceae. Famili ketujuh adalah monocot mannose binding lectin (MMBL),
yaitu lektin yang berasal dari tumbuhan monokotil dan spesifik berikatan dengan
manosa (Damme et al. 1998).
Lektin jenis MMBL ditemukan pada jaringan vegetatif seperti daun, bunga,
umbi, akar, dan rhizoma. Lektin jenis ini terdapat dua macam, yaitu jenis yang
memiliki satu domain dan dua domain. Jenis lektin ini dapat ditemukan pada
enam famili tumbuhan monokotil, yaitu Alliaceae, Amaryllidaceae, Araceae,
Bromeliaceae, Liliaceae, dan Orchidaceae (Damme et al. 1998). Keladi tikus
7
(Typhonium sp.) tergolong famili Araceae, sehingga lektin yang terkandung di
tumbuhan tersebut termasuk jenis MMBL. Lektin jenis ini dapat berikatan
spesifik dengan manosa, yaitu gula sederhana epimer C-2 dari glukosa. Lektin
dari famili Araceae memiliki bobot molekul 12-14 kDa bila dideteksi dengan
elektroforesis SDS-PAGE (Damme et al. 1998). Lektin ini pertama kali terungkap
pada tahun 1987 (Damme et al. 1987), namun lektin yang dihasilkan dari genus
Typhonium belum banyak dikaji secara ilmiah. Informasi ilmiah lektin genus ini
sangat sedikit bila dibandingkan dengan lektin dari famili legume yang telah
dikaji secara lengkap beberapa dekade seperti khasiat dan jalur biosintesisnya
(Damodaran et al. 2008).
Proses biosintesis lektin pada tumbuhan sama seperti sintesis protein pada
umumnya. Perbedaan terdapat setelah proses biosintesis terjadi, yaitu lektin
ditranslokasi ke jaringan penyimpan seperti vakuola. Oleh karenanya, lektin
berfungsi sebagai protein cadangan bagi tumbuhan (Damme et al. 1998).
Contohnya pada umbi Typhonium divaricatum (L.) Decne, terdapat lektin dengan
bobot molekul 48 kDa dan stabil pada kisaran temperatur 20-60 °C dan pH 5.68.6 (Luo et al. 2007).
Lektin bagi tumbuhan berperan sebagai pelindung dari mikroba patogen,
herbivora atau predator. Lektin juga berperan dalam melindungi biji dari predator.
Sebagai contoh beberapa biji tanaman legum mengandung lektin sehingga ketika
biji tersebut dimakan oleh predator atau herbivora maka lektin tersebut akan
berikatan dengan glikoprotein yang berada pada usus halus dan menyebabkan
gangguan penyerapan nutrisi (Hans dan Heldt 2005). Selain itu, lektin dapat
menggumpalkan sel-sel darah merah dari berbagai jenis hewan. Reaksi tersebut
dapat terjadi karena interaksi antara situs-situs pengikatan pada lektin dengan
reseptor spesifik glikokonjugat di permukaan membran sel. Oleh karena fungsi
lektin pada tumbuhan terdapat kaitan dengan pertahanan dan interaksi tumbuhan
dengan lingkungan dibandingkan dengan fungsinya sebagai pertumbuhan dan
perkembangan, maka lektin dapat digolongkan pada kelompok metabolit sekunder
(Makkar et al. 2007). Kemampuan lektin yang dapat berikatan spesifik dengan
senyawa karbohidrat menjadikan lektin dapat diaplikasikan untuk identifikasi sel,
kajian mengenai glikoprotein, kajian histokimia, dan kajian sitokimia. Selain itu,
lektin juga bersifat mitogenik, yaitu memiliki kemampuan merangsang limfosit
ketika proses mitosis (Sharon dan Lis 2004).
Lektin dapat berperan sebagai antikanker dengan mekanisme secara umum
melalui proses apoptosis pada sel kanker sehingga pertumbuhan sel kanker
terhambat. Contohnya lektin dari tumbuhan legum seperti ConA dan ConBr,
mampu menghambat proses proliferasi sel kanker seperti sel HL-60 dan MOLT-4
(Martins et al. 2012). Selain itu, dapat menghambat pertumbuhan sel kanker
melanoma A375. Proses tersebut terjadi melalui proses apoptosis yang diinduksi
oleh lektin melalui mekanisme caspase (Liu et al. 2009a).
Deteksi lektin dari suatu larutan protein umbi pada penelitian ini
menggunakan uji hemaglutinasi. Penggunaan uji ini dikarenakan lektin memiliki
aktivitas mengaglutinasi sel, terutama sel darah merah sehingga lektin dapat
disebut phytohemmagglutinin (Goldstein et al. 1980). Adanya aktivitas aglutinasi
pada eritrosit dari suatu larutan protein dengan konsentrasi rendah, menunjukkan
larutan tersebut mengandung lektin.
8
Oleh karena lektin merupakan molekul protein, maka dalam proses
karakterisasinya diperlukan lektin yang terpurifikasi. Tahapan purifikasi
merupakan proses eksploitasi protein target yang pada penelitian ini protein
targetnya adalah lektin. Purifikasi yang baik adalah mendapatkan protein target
dalam jumlah yang banyak dengan meminimalkan kehilangan aktifitasnya serta
menghilangkan kontaminan (protein lain) secara maksimal (Rosenberg 2005).
Purifikasi protein dilakukan menggunakan teknik kromatografi menggunakan
kolom kromatografi. Kolom yang digunakan dapat berupa kolom afinitas, penukar
ion, atau filtrasi gel. Setelah didapatkan lektin terpurifikasi, karakterisasi lektin
diperlukan untuk menentukan sifat-sifat lektin terpurifikasi. Paramameter yang
perlu diamati adalah aktivitas lektin terhadap temperatur dan pH. Aktivitas lektin
diketahui dari uji hemmagglutinasi. Hal ini dilakukan karena lektin merupakan
protein sehingga sangat dipengaruhi oleh temperatur dan pH. Bila temperatur
terlalu tinggi akan mendenaturasi protein, bila terlalu rendah akan terjadi
inaktivasi protein sehingga aktivitasnya menurun. Nilai pH, akan berpengaruh
pada konformasi protein, sehingga pH yang tidak tepat akan menurunkan aktivitas
protein (Nelson dan Cox 2008).
Apoptosis
Apoptosis merupakan kematian sel terencana dan tujuannya pada kondisi
normal untuk menghilangkan sel yang tidak diinginkan. Karakteristik sel yang
mengalami apoptosis adalah terjadi kondensasi sitoplasma dan nukleus,
fragmentasi pada DNA, kontraksi sel, terjadi autofagositosis pada sel tersebut, dan
tidak teraturnya konformasi membran sel. Secara morfologi, sel yang mengalami
apoptosis terdapat kerusakan seperti terbentuknya tonjolan di bagian membran
(Hengartner 2000). Caspase merupakan protease yang menginduksi apoptosis
pada sel normal dan terdapat di sitosol sebagai procaspase (caspase inaktif).
Ketika terdapat sinyal aktivasi caspase, maka aktifnya satu caspase mengaktifkan
reaksi irreversible kaskade caspase (Gambar 3) (Alberts et al. 2008).
Aktifasi procaspase
Kaskade caspase
Aktif caspase
1 molekul caspase
mengaktifkan
caspase lain
potongan
inaktif
procaspase
Aktif caspase
prodomains
molekul terpotong oleh kaspase
Potongan protein
sitosol
Potongan protein inti sel
Gambar 3 Skema aktifasi caspase (Alberts et al. 2008)
9
Faktor yang dapat mengaktifkan caspase adalah faktor ekstrinsik dan
intrinsik. Faktor ekstrinsik merupakan sinyal protein yang dapat berikatan dengan
reseptor kematian sel yang terdapat di permukaan sel. Ketika protein ekstraseluler
berikatan dengan reseptor tersebut, maka ligand protein ekstraseluler-reseptor
membentuk kompleks sinyal induksi kematian (Death Inducing Signaling
Complexs) yang dapat merubah procaspase menjadi caspase. Faktor intrinsik
melibatkan sitokrom c dari mitokondria. Pelepasan sitokrom c diinduksi oleh
sinyal dari luar sel yang bersifat pro-apoptotik. Sitokrom c yang dilepas berikatan
dengan adaptor protein aktifator procaspase Apaf1 dan membentuk kompleks
sinyal induksi kematian yang merubah procaspase menjadi caspase (Alberts et al.
2008). Lektin dapat menginduksi caspase dengan kedua jalur tersebut (Liu et al.
2010). Contohnya lektin mistletoe dapat menginduksi terjadinya ketidakstabilan
permeabilitas membran mitokondria sehingga melepaskan senyawa ROS dan
sitokrom c yang menginduksi apoptosis melalui caspase (Seifert et al. 2008).
Mekanisme molekuler lektin dalam menginduksi proses apoptosis pada sel
kanker dapat dilakukan dengan banyak jalur. POL (Polygonatum odoratum
Lectin) yang merupakan lektin dari kelompok MMBL dapat menginduksi proses
apoptosis melalui jalur reseptor kematian sel dengan meningkatkan protein
intraseluler yang terkait dengan kematian sel (Fas-Associated protein Death
Domain) sehingga mengaktivasi caspase 8. Selain itu, dengan pemberian POL
pada sel kanker, dapat menyebabkan terganggunya potensial transmembran
mitokondria sehingga sitokrom c dilepaskan dari mitokondria dan hal tersebut
mengaktivasi caspase 9 serta caspase 3. Pemberian POL dengan konsentrasi
rendah pada sel kanker pun dapat meningkatkan efek apoptosis dari faktor
nekrosis seluler (Liu et al. 2009b). Lain halnya jalur apoptosis yang dinduksi oleh
lektin dari P. cyrtonema (PCL). Lektin tersebut menginduksi terekspresinya
protein Bax sebagai protein inisiator apoptosis sel dan menghambat kerja protein
Bcl-xL yaitu protein yang berfungsi untuk mencegah pelepasan molekul dari
mitokondria. PCL juga menginduksi mitokondria untuk menghasilkan senyawa
oksigen radikal (Reactive Oxygene Species) sehingga mengaktifkan protein lain
yang terkait dengan stres oksidatif sel (Liu et al. 2009c). Oleh karenanya, proses
induksi apoptosis oleh lektin banyak melibatkan jalur sinyal seluler sehingga jalur
apoptosis sel merupakan mekanisme utama dari lektin sebagai antiproliferasi
terhadap sel kanker (Gambar 4).
Gambar 4 Mekanisme lektin dalam menginduksi terjadinya proses
apoptosis pada sel kanker (Liu et al. 2010)
10
Aktivitas lektin sebagai antiproliferasi terhadap sel kanker dimodelkan
menggunakan uji toksisitas terhadap larva Artemia sp. dengan menggunakan
metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) dan sel kanker pada penelitian ini.
Metode BSLT merupakan metode awal yang efesien untuk mengetahui aktivitas
suatu senyawa bioaktif atau untuk mengetahui efek toksik suatu ekstrak. Larva
Artemia sp. digunakan pada metode ini karena larva ini adalah hewan sederhana
sehingga dapat dianalogikan sebagai sel tunggal dan mudah untuk dikontrol untuk
diuji ketahanannya terhadap toksisitas ekstrak senyawa bioaktif tumbuhan
(Churiyah 2005). Setelah terkonfirmasi larutan protein yang mengandung lektin
memiliki efek toksik pada Artemia sp., pengujian dilanjutkan dengan
menggunakan sel kanker, yaitu MCF-7. Efek toksik dari ekstrak dapat terlihat bila
ekstrak dapat menghambat proliferasi sel MCF-7. Bila proliferasi sel kanker tidak
terjadi penurunan, maka ekstrak protein yang mengandung lektin tidak dapat
berfungsi sebagai antikanker atau tidak memiliki aktivitas antikanker pada jenis
kanker tersebut (Monks et al. 1991).
Gen Penyandi Lektin
Studi pada lektin tumbuhan menunjukkan bahwa protein tersebut terbagi
dalam 7 superfamili berdasarkan sumber tumbuhan penghasil lektin. Legum lektin
yang terdapat pada biji tanaman legum merupakan jenis lektin pertama dan telah
banyak dikaji dari jenis lektinnya dan gen pengkode lektin tersebut. Phyto-erythro
agglutinating (PHA-E) dan Phyto-leuco agglutinating (PHA-L) adalah lektin
yang terdapat pada Phaseolus vulgaris. Kedua protein tersebut dikodekan dari gen
dlec1 dan dlec2. Kedua gen tersebut tidak memiliki intron dan memiliki 2 kodon
ATG pada urutan basa 11-14 (Hoffman dan Donaldson 1985). Selain itu, pada
tanaman legum diketahui dapat memiliki lebih dari satu jenis lektin. Dolichos
biflorus memiliki lektin pada biji dan DB58 (terdapat pada batang dan daun).
Lektin pada biji terdeteksi pada tahap pematangan embrio dan tidak terdeteksi
pada tahap perkecambahan. Lektin ini tidak terdapat pada organ tanaman dewasa,
sedangkan lektin DB58 terdeteksi pada batang dan daun pada tahap
perkecambahan. Kedua jenis lektin ini dikodekan oleh dua gen yang berbeda yang
tidak mengandung intron tetapi terletak di orientasi transkripsi yang sama (Talbot
dan Etzler 1978, Etzler et al. 1984, Harada et al. 1990).
Mistletoe (Viscum album L) merupakan tumbuhan yang mengandung 3 jenis
lektin toksik pada daunnya, yaitu MLI, MLII, dan MLIII. Lektin tersebut
tergolong dalam jenis lektin type 2 RIP related lectin dan banyak digunakan
dalam pengobatan kanker. Perbedaan ketiga lektin tersebut adalah bobot molekul
dan spesifitas reaksi dengan molekul karbohidrat. MLI merupakan senyawa aktif
utama di dalam ekstrak mistletoe yang digunakan untuk terapi tumor. Ketiga
protein ini dikodekan dari gen ml1p, ml2p, dan ml3p. Secara kuantitatif,
transkripsi gen ml1p lebih dominan dari kedua gen lainnya. Ketiga gen ini tidak
mengandung intron dan mengkodekan lektin dalam bentuk perkusor lektin
tunggal (Kourmanova et al. 2004). Gen pengkode lektin dari genus Typhonium,
yaitu dari kelompok MMBL hanya sedikit diketahui. Informasi ilmiah yang telah
diketahui adalah cDNA lengkap dari Typhonium divaricatum Lectin (TDL) dari
daerah Chengdu (Cina) memiliki ukuran 1145 pb, terdiri atas 813 pb ORF (Open
Reading Frame) dan mengkode perkusor lektin yang terdiri atas 271 asam amino
11
dengan bobot molekul 29 kDa (Luo et al. 2007). Selain itu, Kong et al. (2006)
melaporkan bahwa lektin T. divaricatum dari daerah Chongqing memiliki ukuran
cDNA lengkap 870 pb dengan 594 pb ORF. Kedua gen tersebut diduga tidak
mengandung intron.
12
3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Analisis total protein umbi, aktivitas lektin umbi, toksisitas dan penanaman
T. flagelliforme dari bulan Februari 2011 hingga Februari 2013 dilakukan di
laboratorium Pusat Teknologi Farmasi Medika dan Balai Bioteknologi, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Serpong, Indonesia. Sedangkan analisis
identifikasi genetika lektin dilakukan di laboratorium Fisiologi dan Genetika
Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA, IPB dari bulan Maret 2013 hingga
Januari 2015.
Bahan Tanaman
Penelitian ini menggunakan umbi segar dari 7 aksesi T. flagelliforme
(Lodd.) Blume yang didapatkan dari berbagai wilayah di Indonesia (Tabel 1).
Tanaman tersebut telah diaklimatisasi dan ditumbuhkan di dalam rumah kaca
(November 2009 hingga Januari 2011) pada Balai Bioteknologi, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Serpong, Indonesia. Tanaman yang telah
teraklimatisasi menjadi tanaman mother stock. Setiap umbi yang digunakan pada
penelitian ditanam pada media yang sama dengan menggunakan wadah polybag
yang berbeda dengan tanaman mother stock dan ditanam berkelompok
berdasarkan umur masa tanam 1, 3, 5, dan 6 bulan di rumah kaca. Umbi yang
digunakan sebagai umbi awal adalah anakan umbi dari umbi utama pada tanaman
mother stock lalu ditanam dan dipanen pada umur tanaman 1, 3, 5, dan 6 bulan.
Tabel 1 Daerah aksesi T. flagelliforme yang digunakan dalam
penelitian
Aksesi
Bogor
Singaraja
Merapi Farm
Indmira
Ogan Ilir
Matesih
Solok
Lokasi
Jawa Barat
Bali
Yogyakarta
Yogyakarta
Sumatera Selatan
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Metode
Ekstraksi Protein Umbi. Prosedur ekstraksi protein umbi yang dilakukan
berdasar metode Luo et al. (2007) dengan modifikasi. Ekstraksi protein umbi dari
setiap aksesi yang dilakukan pada penelitian ini terdiri atas 3 bagian dengan
tahapan yang sama (Gambar 5). Bagian ekstraksi pertama dilakukan dari umbi
tanaman yang berumur 1 hingga 6 bulan setelah tanam, menggunakan pelarut 0.15
M NaCl, dan bobot umbi tertentu sesuai dengan umur tanaman. Bagian kedua
13
dilakukan dari umbi tanaman yang berumur 6 bulan setelah tanam sebanyak 15 g
dengan menggunakan pelarut akuades dan ekstrak ini digunakan untuk analisis
toksisitas terhadap Artemia sp. serta sel MCF-7. Bagian ketiga dilakukan dari
umbi tanaman yang berumur 6 bulan setelah tanam sebanyak 25 g dengan
menggunakan pelarut 0.15 M NaCl dan ekstrak ini digunakan untuk fraksinasi
protein umbi. Selain itu, umbi yang digunakan untuk 3 ekstraksi tersebut ditanam
berbeda kelompok, yaitu kelompok pertama ditanam untuk ekstraksi bagian
pertama, kelompok dua ditanam untuk ekstraksi bagian kedua, dan kelompok
ketiga ditanam untuk ekstraksi bagian ketiga.
Tahapan ekstraksi diawali dengan membersihkan umbi yang akan
digunakan, lalu ditimbang bobotnya. Umbi segar yang sudah dibersihkan lalu
diblender dan dicampur dengan pelarut yang volumenya dua kali dari bobot umbi.
Setelah direndam semalam pada 4 °C, campuran tersebut disentrifugasi (Hettich
Mikro 22R, Germany) dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit dalam
kondisi dingin. Supernatan yang dihasilkan adalah ekstrak kasar protein umbi.
Ekstraksi Protein Umbi
- Umbi berumur 1, 3, 5,
dan 6 bulan setelah
tanam
- Bobot yang digunakan
sesuai dengan yang
dihasilkan tanaman
selama masa tanam 1, 3,
5, dan 6 bulan
- Pelarut: 0.15 M NaCl
- Umbi berumur 6
bulan setelah
tanam
- Bobot: 15 g
- Pelarut: akuades
- Umbi berumur 6
bulan setelah
tanam
- Bobot: 25 g
- Pelarut: 0.15 M
NaCl
Gambar 5 Bagian-bagian ekstraksi protein umbi yang dilakukan pada penelitian
Uji Kadar Total Protein Metode Bradford. Konsentrasi total protein
terlarut diukur kadarnya dengan menggunakan metode Bradford. Protein BSA
(Bovine Serum Albumin) digunakan sebagai larutan protein baku. Kurva standar
yang digunakan adalah hasil regresi linear dari protein BSA dengan konsentrasi
bertingkat yang diukur pada panjang gelombang 595 nm. Konsentrasi protein
ekstrak didapatkan dari hasil pengukuran nilai absorbansi larutan pada panjang
gelombang 595 nm, lalu diplotkan pada persamaan kurva standar (Bintang 2010).
Setiap ekstrak protein umbi yang didapatkan pada penelitian ini dihitung kadar
total proteinnya dengan menggunakan metode ini. Perhitungan kadar total protein
umbi dilakukan dengan formulasi sebagai berikut:
Kadar total = konsentrasi total protein (mg/ml) x volume pelarut ekstrak (ml)
protein (mg)
Uji Hemaglutinasi. Uji ini dilakukan untuk mengidentifikasi lektin yang
terkandung pada protein terlarut. Uji ini dilakukan menggunakan 96-well micro
14
titer U plate. Eritrosit domba sebanyak 50 µl (2% di dalam phosphate buffer
saline pH 7.0) dicampur dengan ekstrak kasar protein umbi dengan berbagai
jumlah volume (150, 125, 100, 75, 50, 25, 12.5 µL). Hasil reaksi tersebut dilihat
setelah 2 jam inkubasi pada suhu ruang. Aktivitas hemaglutinasi dari reaksi
dinyatakan dalam unit, yaitu perbandingan volume eritrosit yang digunakan
dengan volume ekstrak ( Wang et al. 2000). Hasil positif reaksi aglutinasi adalah
warna merah seragam pada larutan sedangkan hasil negatif aglutinasi adalah
warna merah titik di tengah. Setiap larutan protein dari hasil ektraksi dilakukan uji
hemaglutinasi untuk mendeteksi kandungan lektin. Perhitungan hemaglutinasi
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Aktivitas hemaglutinasi =
Volume eritrosit
Volume larutan protein
Visualisasi Profil Protein dengan SDS-PAGE. Profil protein yang
didapatkan dari tiap ekstrak dan hasil fraksinasi divisualisasikan dengan sodium
dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Gel yang
digunakan terdiri dari 4 % stakcing gel dan 12 % separating gel. Sebanyak 17 µl
larutan protein di dalam loading dye (1:1) dimasukan ke setiap sumur.
Elektroforesis dilakukan dengan mini gel electrophoresis unit dengan voltase
stabil pada 165 V selama 45 menit. Pewarnaan pita protein menggunakan
coomassie brilliant blue (Biorad, USA) dan unstained protein ladder (Fermentas,
USA) digunakan untuk marka bobot molekul protein (Bintang 2010).
Fraksinasi Esktrak Protein Umbi Aksesi Terseleksi dengan Metode
Kromatografi. Ekstrak protein umbi yang terseleksi untuk dilakukan fraksinasi
adalah ekstrak protein umbi aksesi Solok umur 6 bulan setelah tanam. Ekstrak
kasar protein umbi disaring dengan 0.2 µm micro filter, lalu sebanyak 2 ml filtrat
dimasukan ke dalam HiTrap DEAE-Sepharose Fast Flow column (GE Healthcare
Life Science, USA) yang sudah diekuilibrasi dengan 20 mM Tris-HCl pH 8.0.
Larutan protein tersebut dielusi dengan 30 ml larutan gradien 0-1 M NaCl dan laju
alir yang digunakan adalah 1 ml/menit. Larutan buffer dari fraksi aktif pada tahap
ini diganti dengan 20 mM buffer asetat pH 4.3 menggunakan HiTrap Desalting
column (GE Healthcare Life Science, USA). Setelah itu, larutan protein
dimasukan ke dalam CM monolithic column (BIA Separations, Austria) yang
sudah diekuilibrasi dengan 20 mM buffer asetat pH 4.3. Larutan protein ini dielusi
dengan 30 ml larutan gradien 0-1 M NaCl dan laju alir yang digunakan adalah 2
ml/menit. Fraksi aktif dari tahap ini kemudian diganti larutan buffernya dengan
PBS pH 7.2 (Luo et al. 2007 dengan modifikasi).
Karakterisasi Lektin Terhadap Suhu dan pH. Pengukuran kestabilan
lektin terhadap suhu dilakukan dengan melihat aktivitas aglutinasinya pada uji
hemaglutinasi setelah diinkubasi pada berbagai suhu. Lektin (di dalam PBS pH
7.2) diinkubasi pada suhu 20, 30, 40, 50, 60, 70, and 80 °C selama 30 menit.
Kemudian, larutan didinginkan pada suhu ruang selama 5 menit dan diuji aktivitas
aglutinasinya. Sedangkan pengukuran kestabilan lektin terhadap pH dilakukan
dengan melihat aktivitas aglutinasinya setelah larutan lektin dilarutkan pada
berbagai 100 mM larutan buffer, yaitu buffer asetat (pH 5 and 6), PBS pH 7.2,
15
buffer Tris-HCl (pH 8 and 9). Larutan tersebut diinkubasi 30 menit pada suhu
ruang dan diuji aktivitas aglutinasinya (Luo et al. 2007 dengan modifikasi).
Isolasi DNA. Metode isolasi DNA ini menggunakan metode dari Doyle dan
Doyle (1987) dengan beberapa modifikasi. Bahan tanaman yang digunakan adalah
bagian daun dari setiap aksesi T. flagelliforme. Tahap awal dari proses adalah 100
mg daun dipotong dan dimasukan ke dalam microtube ukuran 2 mL. Selanjutnya
daun tersebut digerus dengan kondisi direndam pada N2 cair. Setelah halus
ditambahkan dengan 650 µL buffer ekstraksi yang telah diinkubasi pada
temperatur 65 °C dan mengandung 2 % PVP (Poly Vinyl Pyrrolidone) serta 2 µL
merkaptoetanol. Campuran tersebut diinkubasi pada temperatur 65 °C selama 30
menit dengan setiap 10 menit diaduk. Sebelum ditambah dengan kloroformisoamilalkohol (24:1) sebanyak satu kali volume, campuran diinkubasi di dalam
es selama 5 menit. Campuran tersebut diaduk secara perlahan selama 10 menit
dan disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 menit pada temperatur
4 °C. Supernatan yang terbentuk ditambahkan fenol-kloroform-isoamilalkohol
(25:24:1) sebanyak satu kali volume dan diaduk secara perlahan selama 10 menit.
Setelah itu, disentrifugasi kembali dengan kecepatan 10000 rpm selama 10 menit
pada temperatur 4 °C. Supernatan yang dihasilkan ditambahkan 2 M Na-asetat pH
5.2 sebanyak 0.1 volume dan etanol absolut sebanyak 2 kali volume. Larutan
diaduk perlahan selama 5 menit dan disimpan semalam pada temperatur -20 °C
untuk mengendapkan DNA.
Setelah diendapkan semalam, larutan disentrifugasi dengan kecepatan 10000
rpm selama 10 menit pada temperatur 4 °C. Supernatan yang didapatkan
dihilangkan dan endapan yang terbentuk ditambah etanol 70 % sebanyak 500 µL.
Kemudian, disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 5 menit pada
temperatur 4 °C. Larutan etanol 70 % dihilangkan dan endapan DNA dikeringkan
pada inkubator 37 °C. Setelah kering, ditambahkan 20 µL ddH2O dan 5 µL
RNAse untuk diinkubasi pada temperatur 37 °C selama 10 menit. Setelah itu
dilakukan inaktivasi RNAse dengan menginkubasi larutan pada temperatur 70 °C
selama 10 menit. DNA yang didapat disimpan pada temperatur -20 °C.
Analisis Profil Larutan DNA. Analisis visualisasi profil larutan DNA
menggunakan elektroforesis gel agarosa. Konsentrasi gel yang digunakan adalah
1 % dengan buffer TBE (Tris-Boric-EDTA) sebagai pelarut serbuk agarosa (LE
GQ Top Vision, Fermentas, Kanada). Kemudian larutan ditempatkan pada
cetakan gel dan diberi sisir untuk mencetak sumur pada gel. Larutan gel tersebut
telah mengandung 8 µL etidium bromida (EtBr) untuk gel dengan volume 100 mL.
Setelah gel memadat, dipindahkan ke bak elektroforesis yang berisi larutan TBE
1X. Larutan DNA sebanyak 3 µL ditambahkan dengan loading dye sebanyak 2 µL
dan diaduk. Setelah itu, larutan DNA tersebut dimasukan ke dalam sumur-sumur
gel agarosa. Elektroforesis dilakukan dengan voltase konstan 75 V selama 45
menit. Marka DNA yang digunakan adalah DNA lamda (50 ng/µL). Selanjutnya,
hasil elektroforesis divisualisasi dengan sinar UV. Perhitungan ukuran DNA
dilakukan dengan cara membandingkan pita DNA dengan pita DNA lamda dan
jumlah volume yang digunakan pada proses elektroforesis.
16
Perancangan primer. Primer yang digunakan pada penelitian ini dirancang
berdasarkan basis data (www.ncbi.nlm.nih.gov/) sekuen complete CDS lektin
beberapa tumbuhan yang memiliki famili sama dengan T. flagelliforme, yaitu
Araceae. Tumbuhan tersebut adalah Pinellia ternata (JF293072.1; EU199445.1),
Remusatia vivipara (EU924066.1), Typhonium divaricatum (EF194099.1),
Pinellia cordata (EF090419.1), Pinellia pedatisecta (AY451853.1), Arisaema
lobatum (AY557617.1), dan Arisaema amurense (EU409835.1). Sekuen tersebut
dilakukan pensejajaran menggunakan program Bioedit 7 untuk mendapatkan
bagian conserve sequence. Hasil pensejajaran digunakan untuk merancang primer
dengan menggunakan sekuens basa pada bagian ujung 5' dan 3'. Selanjutnya,
sekuen primer yang didapatkan dianalisis kembali dengan BLASTN
(www.ncbi.nlm.nih.gov/) untuk mengetahui kesesuaiannya dengan basis data yang
telah digunakan dalam perancangan primer.
Analisis Amplikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Analisis fragmen lektin dari DNA genom dilakukan dengan primer spesifik lektin
yang dirancang dari beberapa sekuens CDS (Coding DNA Sequence) dan full
length cDNA lektin tanaman famili Araceae. Primer yang digunakan adalah 5'TCT TCC TCC TCC CGG CCA TC-3' sebagai forward dan 5'-GAG CTC GCC
CTT GTG GTT CA-3' sebagai reverse. Reaksi PCR menggunakan kit
KAPA2G™ Fast ReadyMix (2x) (Kapa Biosystems, USA) dengan volume total
25 µl. Komposisi PCR yang digunakan adalah 100 ng DNA template, 10 µM
primer forward dan reverse, 1x KAPA2G™ Fast ReadyMix (2x), dan free
nuclease water sampai volume total 25 µl. Program PCR yang digunakan adalah
pra-denaturasi 95°C, 3 menit; diikuti dengan 35 siklus denaturasi 95°C, 15 detik;
penempelan primer 55°C, 15 detik; pemanjangan 72°C, 20 detik; dan diakhiri
dengan pasca-PCR 72°C, 10 menit; penyimpanan 4°C, 10 menit. Hasil PCR ini
dianalisis lanjut sekuensnya dan divisualisasi kembali dengan elektroforesis.
Penyisipan Fragmen Lektin ke dalam Vektor pGEM®-T Easy. Proses
penyisipan fragmen lektin dengan vektor pGEM®-T Easy menggunakan kloning
kit pGEM®-T Easy Vector System (Gambar 6) (Promega, USA). Komposisi
reaksi ligasi yang digunakan adalah 5µl 2X Rapid Ligation Buffer, 1 µl vektor
pGEM®-T Easy , 2 µl produk PCR, 1 µl T4 DNA Ligase, dan 1µl free nuclease
water. Kemudian, campuran diinkubasi pada suhu 4 °C selama semalam.
Gambar 6 Peta fisik vektor dan situs pengklonan pGEM®-T Easy (Promega 2010)
17
Introduksi Vektor pGEM®-T Easy ke dalam Bakteri Escherichia coli
DH5α. Proses introduksi vektor pGEM®-T Easy_lektin ke dalam bakteri
Escherichia coli DH5α dilakukan mengikuti metode Transform Aid Bacterial
Transformation Kit (Thermo Scientific, USA). Bakteri transforman ditumbuhkan
dalam media seleksi Luria Agar (LA) yang mengandung 100 ppm ampisilin.
Koloni bakteri yang tumbuh diambil untuk PCR koloni dengan tahapan lisis pada
awal proses PCR. Kondisi program lisis yaitu 96ºC, 5 menit; 50ºC, 1,5 menit;
96ºC, 1,5 menit; 45ºC, 1,5 menit, 96ºC, 1 menit; 40ºC, 1 menit (PCR di pause
untuk memasukkan mix PCR); kemudian diikuti dengan 35 siklus program PCR
dengan menggunakan metode KAPA2G™ Fast ReadyMix (2x) (Kapa Biosystems,
USA). Berdasarkan PCR koloni, maka koloni yang positif membawa vektor
pGEM®-T Easy_lektin diisolasi menggunakan GeneJET Plasmid Miniprep Kit
(Thermo Scientific, USA). Hasil isolasi ini dianalisis lanjut sekuensnya.
Analisis Sekuens. Analisis ini dilakukan untuk mengkonfirmasi bahwa
sekuens yang didapatkan merupakan sekuens dari gen lektin umbi T. flagelliforme.
Analisis menggunakan BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) pada NCBI
(National Center for Biotechnology Information) untuk menunjukkan
homologinya dengan gen lektin dari tumbuhan lainnya. Sedangkan untuk
pensejajaran antara fragmen DNA setiap aksesi dan dengan tumbuhan lainnya
menggunakan program BioEdit 7. Analisis dendrogram gen lektin menggunakan
program MEGA5 dengan metode maximum parsimony dan bootstrap sebanyak
1000 kali.
Uji Toksisitas Metode BSLT. Ekstrak protein yang didapatkan diuji
toksisitas dengan menggunakan metode brine shrimp lethality test (BSLT). Media
pertumbuhan untuk telur larva udang menggunakan air laut buatan menggunakan
38 g garam di dalam 1 l akuades. Ruang untuk inkubasi telur yang digunakan
terdapat bagian tanpa dan terkena cahaya. Telur udang Artemia sp. diinkubasi
pada bagian tanpa cahaya selama 24 jam pada suhu ruang. Telur yang menetas
pada bagian terkena cahaya dipindahkan ke media pertumbuhan yang baru dan
diinkubasi kembali dengan terkena cahaya selama 24 jam pada suhu ruang.
Setelah itu, 10 larva udang dipindahkan kembali ke tabung uji yang berisi 5 ml
media pertumbuhan dan ekstrak kasar protein umbi dengan berbagai konsentrasi
(5, 7.5, 10, 15, 20 ppm). Campuran tersebut diinkubasi dengan terkena cahaya
selama 24 jam pada suhu ruang. Kemudian, persentase kematian dari udang
tersebut diukur pada tiap konsentrasi ekstrak dan diukur nilai LC50 (Meyer et al.
1982)
Uji Antiproliferasi Sel Kanker Metode MTT. Uji ini dilakukan untuk
mengevaluasi aktivitas antiproliferasi dari ekstrak protein umbi T. flagelliforme
secara in vitro dengan menggunakan metode MTT (3-(4, 5-dimethylthiazol-2-yl)-2,
5-diphenyltetrazolium bromide) terhadap sel kanker MCF-7 yang didapatkan dari
Pusat Teknologi Farmasi dan Medika, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, Indonesia. Sel kanker ditumbuhkan pada media RPMI (Roswell Park
Memorial Institute) 1640 yang mengandung 10 % serum fetal bovine (Gibco,
USA) dan 1 % penisilin-streptomisin (Gibco, USA) pada inkubator CO2 (5 %
CO2) dengan suhu 37 °C selama 24 jam. Setelah itu, sel ditumbuhkan pada 96-
18
well plate dengan konsentrasi sel 5x103 di setiap sumur dan diinkubasi dengan
kondisi yang sama seperti sebelumnya. Berbagai konsentrasi ekstrak protein (6.25,
12.5, 25, 100, 200 ppm) ditambahkan kemudian lalu diinkubasi kembali dengan
kondisi yang sama seperti sebelumnya. Selanjutnya, setiap sumur dicuci dengan
PBS (Phosphate Buffer Saline) pH 7.0 untuk menghilangkan sel yang mati, lalu
ditambahkan 100 µL MTT (0.5 mg/ml di dalam PBS) dan diinkubasi kembali
selama 4 jam pada inkubator CO2 pada suhu 37 °C. Sebanyak 100 µL SDS 20 %
ditambahkan setelah inkubasi, lalu dilakukan inkubasi kembali pada ruang gelap
selama semalam. Sel yang hidup akan mereduksi reagen MTT yang berwarna
kuning dengan bantuan suksinat dehidrogenase mitokondria sehingga membentuk
molekul formazan yang berwarna ungu (American Type Culture Collection 2011).
Endapan formazan yang terbentuk setelah inkubasi diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 570 nm dan hasil tersebut digunakan untuk mengukur nilai
LC50 (Luo et al. 2007 dengan modifikasi). Perhitungan daya hambat proliferasi sel
diformulasikan sebagai berikut:
Daya hambat = Absorban sel terkoreksi – Absorban ekstrak terkoreksi x 100%
Absorban sel terkoreksi
Uji Sitotoksisitas Terhadap Sel Normal Metode MTT
Uji sitotoksisitas dilakukan untuk mengetahui efek toksik ekstrak protein
umbi T. flagelliforme terhadap sel normal atau sel non kanker. Sel yang digunakan
adalah sel fibroblas manusia. Sel tersebut didapatkan dari Pusat Teknologi
Farmasi dan Medika, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Indonesia.
Metode yang digunakan untuk pengujian ini menggunakan metode MTT. Sel
fibroblas ditumbuhkan pada media RPMI 1640 yang mengandung 10 % serum
fetal bovine (Gibco, USA) dan 1 % penisilin-streptomisin (Gibco, USA) pada
inkubator CO2 (5 % CO2) dengan suhu 37 °C selama 48 jam. Setelah itu, sel
ditumbuhkan pada 96-well plate dengan konsentrasi sel 5x104 di setiap sumur dan
diinkubasi dengan kondisi yang sama seperti sebelumnya selama 24 jam. Berbagai
konsentrasi ekstrak protein (6.25, 12.5, 25, 100, 200 ppm) ditambahkan kemudian
lalu diinkubasi kembali dengan kondisi yang sama seperti sebelumnya.
Selanjutnya, setiap sumur dicuci dengan PBS pH 7.0 untuk menghilangkan sel
yang mati, lalu ditambahkan 100 µL MTT (0.5 mg/ml di dalam PBS) dan
diinkubasi kembali selama 4 jam pada inkubator CO2 pada suhu 37 °C. Sebanyak
100 µL SDS 20 % ditambahkan setelah inkubasi, lalu dilakukan inkubasi kembali
pada ruang gelap selama semalam. Endapan formazan yang terbentuk setelah
inkubasi diukur absorbansinya pada panjang gelombang 570 nm dan hasil tersebut
digunakan untuk mengukur persentase daya proliferasi ekstrak terhadap sel
fibroblas (Luo et al. 2007 dengan modifikasi). Perhitungan daya proliferasi sel
diformulasikan sebagai berikut:
Daya proliferasi = Absorban ekstrak terkoreksi x 100%
Absorban sel terkoreksi
19
Rancangan Percobaan. Setiap umbi T. flagelliforme ditanam berkelompok
berdasar kelompok umur masa tanam 1, 3, 5, dan 6 bulan dan kelompok ekstraksi
(kelompok pertama ditanam untuk ekstraksi bagian pertama, kelompok dua
ditanam untuk ekstraksi bagian kedua, dan kelompok ketiga ditanam untuk
ekstraksi bagian ketiga). Data yang digunakan untuk analisis bobot, protein total,
dan aktivitas lektin setiap masa tanam didapatkan dari dua ulangan penanaman
umbi perkelompok umur masa tanam. Data yang digunakan untuk analisis
toksisitas terhadap Artemia sp. dan sel kanker serta untuk fraksinasi protein umbi
didapatkan dari tiga kali ulangan menggunakan umbi dari setiap aksesi yang
berumur 6 bulan setelah tanam. Seluruh data dinyatakan sebagai nilai rata-rata ±
standar deviasi.
20
4 HASIL PENELITIAN
Bobot Umbi, Protein Umbi, dan Lektin Umbi T. flagelliforme
Bagian pertama tahapan penelitian adalah menganalisis bobot, protein, dan
lektin umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme selama masa tanam. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan umbi dan protein
yang terkandung. Aksesi-aksesi dari T. flagelliforme ditumbuhkan di rumah kaca
selama periode tanam 1, 3, 5, dan 6 bulan. Hasil pengamatan menunjukkan tidak
semua bobot umbi dari setiap aksesi mengalami peningkatan bobot pada masa
tanam, terdapat fluktuasi bobot umbi pada beberapa aksesi seperti aksesi Singaraja,
Merapi Farm, Indmira, dan Solok. Aksesi Bogor, Ogan Ilir, dan Matesih
menunjukan kecenderungan peningkatan bobot umbi pada masa tanam, dari umur
1 hingga 6 bulan setelah tanam. Bobot umbi terendah pada umur 1 bulan setelah
tanam dimiliki oleh umbi dari aksesi Ogan ilir, bobotnya seperempat dari bobot
umbi tertinggi aksesi Merapi Farm. Bobot umbi tertinggi pada umur 6 bulan
setelah tanam dimiliki oleh umbi dari aksesi Singaraja, bobot umbinya lebih tinggi
1.5 kali dari bobot umbi terendah aksesi Solok. Walaupun bobot umbi aksesi
Singaraja mengalami fluktuasi pada masa tanam, namun bobot umbi tertingginya
terjadi pada umur 6 bulan setelah tanam. Aksesi lainnya, yaitu Merapi Farm,
Indmira, dan Solok mengalami kecenderungan penurunan bobot umbi pada umur
6 bulan setelah tanam dari bulan sebelumnya. Kecenderungan Bobot umbi aksesi
Merapi Farm tertinggi pada umur 3 bulan setelah tanam, sedangkan aksesi
Indmira dan Solok umur 5 bulan setelah tanam (Gambar 7).
9
8
Bobot umbi (g)
7
6
5
4
3
2
1
1 month
3 months
5 months
6 months
0
Gambar 7 Bobot umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1 bulan hingga 6
bulan setelah tanam. Data pada grafik batang disajikan dengan ±
standar deviasi
21
Protein umbi yang telah dipanen dari seluruh aksesi, dihitung kadar total
protein umbinya. Hasil menunjukkan hanya aksesi Ogan Ilir kadar total protein
umbinya cenderung meningkat secara linier dari umur 1 bulan hingga 6 bulan
setelah tanam, sedangkan 5 aksesi yang lain mengalami fluktuasi kadar total
protein umbi selama masa tanam. Aksesi Bogor pada umur 1 bulan setelah tanam
tidak terdeteksi adanya protein pada umbi. Kadar protein umbi tertinggi pada
umur 1 bulan setelah tanam dimiliki oleh aksesi Merapi Farm, kadar tersebut 5
kali lebih tinggi daripada kadar protein umbi terendah aksesi Ogan Ilir. Kadar
protein umbi tertinggi pada umur 6 bulan setelah tanam dimiliki oleh aksesi
Merapi Farm, kadar tersebut 2 kali lebih tinggi daripada kadar protein umbi
terendah aksesi Solok. Aksesi Bogor, Singaraja, Ogan Ilir, dan Matesih cenderung
memiliki kadar protein tertinggi pada umur 6 bulan setelah masa tanam dari setiap
masing-masing aksesi tersebut. Tiga aksesi lainnya seperti aksesi Merapi Farm,
Indmira, dan Solok cenderung mengalami penurunan kadar total protein umbi
pada umur 6 bulan setelah tanam. Kecenderungan kadar total protein umbi
tertinggi aksesi Merapi Farm terjadi pada umur 3 bulan setelah tanam, aksesi
Indmira terjadi pada umur 5 bulan setelah tanam, dan aksesi Solok terjadi pada
umur 5 bulan setelah tanam (Gambar 8).
Hasil pengamatan deteksi lektin umbi terdapat 3 aksesi menunjukkan
bahwa lektin umbi telah diproduksi dari umur 1 bulan setelah tanam, yaitu aksesi
Singaraja, Merapi Farm, dan Indmira. Hal ini ditunjukkan dengan adanya aktivitas
hemaglutinasi dari ekstrak protein umbi aksesi tersebut. Lektin pada aksesi
lainnya terdeteksi pada umur 3 bulan setelah tanam. Tidak terdapat aksesi yang
menunjukkan kecenderungan peningkatan kadar lektin secara linier dari umur 1
bulan hingga 6 bulan setelah tanam. Aksesi Bogor dan Merapi Farm menunjukkan
kecenderungan aktivitas hemaglutinasi tertinggi pada umur 6 bulan setelah tanam
dari setiap masing-masing aksesi tersebut. Aksesi Indmira, Matesih, dan Solok
menunjukkan kecenderungan kadar lektin tertinggi pada umur 5 bulan setelah
16
Protein total (mg)
14
12
10
8
1 month
6
3 months
4
5 months
2
6 months
0
Gambar 8 Kadar total protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1
bulan hingga 6 bulan setelah tanam. Data pada grafik batang disajikan
dengan ± standar deviasi
22
tanam dari masing-masing aksesi tersebut. Aksesi Ogan Ilir cenderung
menunjukkan kadar lektin tertinggi pada umur tanam 3 bulan, sedangkan aksesi
Singaraja menunjukkan aktivitas hemaglutinasi yang cenderung stabil pada umur
1 hingga 5 bulan tanam (Gambar 9).
Aktivitas hemaglutinasi (unit)
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
1 month
0,3
3 months
0,2
5 months
0,1
6 months
0
Gambar 9 Aktivitas hemaglutinasi lektin umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari
umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam. Data pada grafik batang
disajikan dengan ± standar deviasi
Elektroforegram Protein Umbi Setiap Aksesi Selama Masa Tanam
Setelah didapatkan nilai kadar total protein umbi dari setiap aksesi selama
masa tanam, dilakukan visualisasi profil protein umbi selama masa tanam dengan
menggunakan metode SDS-PAGE. Profil protein umbi umur 1 bulan setelah
tanam setiap aksesi T. flagelliforme menunjukkan protein berbobot molekul
dibawah 30 kDa. Dua aksesi, yaitu Merapi Farm dan Indmira menunjukkan pita
protein yang lebih tebal daripada aksesi lainnya, sehingga diasumsikan pada umur
1 bulan setelah tanam, umbi kedua aksesi tersebut memiliki kandungan protein
cukup tinggi. Umur 3 bulan setelah tanam, setiap aksesi menunjukkan pita protein
yang lebih tebal berbobot molekul dibawah 30 kDa dari bulan sebelumnya dan
aksesi Merapi Farm menunjukkan pita protein diatas 30 kDa. Hal ini
menunjukkan ada pertambahan kandungan dan variasi protein umbi selama masa
tanam. Umur 5 bulan dan 6 bulan setelah tanam, setiap aksesi menunjukkan
pertambahan kandungan dan variasi profil protein umbi dengan terdapatnya pita
protein dari 200 kDa hingga dibawah 15 kDa. Secara keseluruhan menunjukkan
protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme banyak mengandung protein berbobot
molekul dibawah 30 kDa (Gambar 10).
23
Gambar 10 Elektroforegram protein umbi T. flagelliforme (Lodd.) Blume
selama masa tanam. (A) 1 bulan, (B) 3 bulan, (C) 5 bulan, (D) 6
bulan. M: Markers (kDa), 1: Bogor, 2: Singaraja, 3: Merapi Farm, 4:
Indmira, 5: Ogan Ilir, 6: Matesih, 7: Solok
Fraksinasi Protein Umbi T. flagelliforme Aksesi Solok Umur 6 Bulan Setelah
Tanam
Bagian kedua dari penelitian ini adalah melakukan fraksinasi protein umbi T.
flagelliforme. Hasil yang didapatkan dari proses fraksinasi adalah lektin
terpurifikasi. Umbi yang digunakan untuk tahapan ini adalah umbi yang berumur
6 bulan setelah tanam, hal ini berdasarkan hasil kajian dari tahap pertama
penelitian bahwa terdapat kecenderungan pada umur 6 bulan setelah tanam kadar
protein total dan lektin umbi beberapa aksesi dihasilkan secara maksimal. Selain
itu, diasumsikan umur 6 bulan setelah tanam kondisi umbi telah cukup dewasa
sehingga diharapkan lektin yang terkandung pada umbi cukup banyak. Ekstrak
protein umbi dari proses ekstraksi menggunakan 0.15 M NaCl dan dengan jumlah
umbi sebanyak 25 g. Ekstrak yang didapatkan dari setiap aksesi T. flagelliforme
diukur kembali kadar total protein umbi, toksisitas, dan aktivitas hemaglutinasi.
Hal ini bertujuan untuk menseleksi aksesi yang memiliki kadar lektin yang cukup
untuk dilakukan purifikasi lektin sehingga tidak terdapat hambatan dalam proses
purifikasi karena kandungan lektin yang rendah. Hasil uji menunjukkan bahwa
aksesi Solok memiliki kadar total protein tertinggi dan aksesi Matesih terendah.
Efek toksik tertinggi dimiliki oleh aksesi Bogor dengan nilai LC 50 terendah
dibanding aksesi lainnya, sedangkan aksesi Ogan Ilir memiliki efek toksik
terendah. Aktivitas hemaglutinasi tertinggi dimiliki oleh aksesi Solok dan yang
terendah dimiliki oleh aksesi Singaraja (Tabel 2). Aktivitas hemaglutinasi ini
menunjukkan keberadaan lektin umbi sehingga apabila aktivitasnya tinggi,
diasumsikan lektin umbi yang terkandung cukup banyak pada ekstrak. Oleh sebab
24
Tabel 2 Kadar total protein umbi, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas dari
ekstraksi protein menggunakan NaCl 25 g umbi T. flagelliforme umur
masa tanam 6 bulan
Aksesi
Bogor
Singaraja
Merapi Farm
Indmira
Ogan Ilir
Matesih
Solok
Kadar protein total
(mg)
46.63 ± 0.16
40.38 ± 0.46
41.45 ± 0.15
41.15 ± 0.00
44.08 ± 0.26
36.10 ± 0.00
48.80 ± 0.00
Aktivitas hemaglutinasi
(HU)
0.30 ± 0.26
0.22 ± 0.19
0.33 ± 0.33
0.43 ± 0.06
0.52 ± 0.13
0.44 ± 0.38
1.00 ± 0.00
Nilai toksisitas (LC50 =
ppm)
10.65 ± 0.71
12.87 ± 0.58
14.73 ± 0.46
14.68 ± 0.17
16.15 ± 0.25
15.07 ± 0.66
12.07 ± 0.98
itu, ekstrak protein umbi aksesi Solok terseleksi untuk dilakukan purifikasi
dengan metode kromatografi.
Kolom yang digunakan pada proses fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi
Solok menggunakan kolom kromatografi penukar ion, yaitu kolom DEAESepharose sebagai penukar anion dan CM-monolitic sebagai penukar kation.
Keberadaan lektin pada fraksi-fraksi yang terbentuk dideteksi dengan uji
hemaglutinasi. Fraksi A2 dari hasil fraksinasi kolom DEAE-Sepharose merupakan
fraksi aktif dan setelah dilakukan analisis dengan elektroforesis didapatkan bahwa
fraksi ini terdiri atas 2 jenis protein dengan perkiraan berbobot molekul 11.84 dan
19.10 kDa (Gambar 11A dan 11B).
Fraksi B2 adalah fraksi aktif dari hasil fraksinasi kolom CM-monolitic dan
setelah dilakukan analisis dengan elektroforesis fraksi ini terdiri dari 1 jenis
protein dengan perkiraan berbobot molekul 12.67 kDa (Gambar 12A dan 12B).
Kadar total protein pada fraksi A2 dan B2 adalah 3.71 dan 0.17 mg. Kadar total
protein didapatkan pada fraksi A2 adalah 7.7 % bila dibandingkan kadar total
protein umbi pada ekstrak protein umbi aksesi Solok (48.80 mg). Kadar dari total
Gambar 11 (A) Kromatogram fraksinasi protein dengan kolom DEAE-Sepharose,
*) Fraksi aktif protein,
protein, konsentrasi garam, dan
konduktivitas garam. (B) Hasil elektroforegram fraksi protein A2
dengan SDS-PAGE
25
protein yang didapatkan pada fraksi B2 adalah 4.66 % bila dibandingkan dengan
kadar total protein umbi pada fraksi A2. Bila dibandingkan dengan kadar total
protein umbi aksesi Solok, yaitu sebesar 48.8 mg, kadar lektin umbi yang
terkandung pada T. flagelliforme aksesi solok pada fraksi B2 adalah sekitar
0.35 % dari kadar protein total protein umbi (Tabel 3). Oleh karena itu, lektin
yang didapatkan dari aksesi Solok memiliki perkiraan bobot molekul 12.67 kDa
dengan kadar sebesar 0.35% dari kadar protein total umbi.
Setiap tahapan fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok menggunakan
kromatografi penukar ion, kolom DEAE-Sepharose sebagai penukar anion dan
CM-monolitic sebagai penukar kation menurunkan kadar total protein umbi bila
dibandingkan dengan kadar total protein ekstrak. Aktivitas spesifik hemaglutinasi
dari setiap fraksi meningkat dikarenakan semakin terseleksinya protein pada fraksi
tersebut dikarenakan protein yang diinginkan adalah lektin yang mempunyai
aktivitas hemaglutinasi. Kenaikan spesifisitas ini diikuti dengan peningkatan
kelipatan purifikasi dari setiap tahapan fraksinasi. Oleh karena itu diharapkan
spesifisitas dan kelipatan purifikasi dari suatu tahapan fraksinasi adalah tinggi.
Gambar 12 (A) Kromatogram fraksinasi protein dengan kolom CM-monolitic. *)
Fraksi aktif protein,
protein,
konsentrasi garam, dan
konduktivitas garam. (B) Hasil elektroforegram fraksi protein B2
dengan SDS-PAGE
Tabel 3 Kadar total protein pada proses fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi
Solok menggunanakan kolom DEAE-Sepharose dan CM-monolitic
Kolom
DEAE-Sepharose
CM monolitic
a
Total Protein
(mg)
3.71
0.17
Persentase Protein
(%)
7.70a
4.66b
Persentase Lektin
(%)
0.35c
Persentase menunjukkan kadar total protein yang dihasilkan fraksi A2 dari kolom DEAESepharose dibandingkan dengan kadar total protein ekstrak aksesi Solok (48.80 mg)
b
Persentase menunjukkan kadar total protein yang dihasilkan fraksi B2 dari kolom CM-monolitic
dibandingkan dengan kadar total protein yang didapatkan dari fraksi A2
c
Persentase menunjukkan lektin umbi aksesi Solok yang didapatkan pada fraksi A2 dibandingkan
dengan kadar total protein ekstrak aksesi Solok (48.80 mg)
26
Spesifisitas dan kelipatan purifikasi dari tahapan fraksinasi ekstrak protein umbi
aksesi Solok hingga mendapatkan lektin terpurifikasi terdapat pada Tabel 4.
Tabel 4 Tabel Tahapan Purifikasi Ekstrak Protein Umbi Aksesi Solok Umur 6
Bulan Tanam
Proses
Total
Protein
(mg)
Ekstrak
kasar
DEAESepharose
CM
monolithic
48.80
Aktivitas
Aktivitas
Hemaglutinasi Hemaglutinasi
(HU)
Spesifik
(HU/mg)a
1.00
0.02
Recovery
(%)b
Kelipatan
Purifikasic
100.00
1.00
3.71
0.66
0.17
66.00
8.67
0.17
0.44
0.39
44.30
19.05
a
Perbandingan aktivitas hemaglutinasi dengan kadar total protein
Pesentase perbandingan aktivitas hemaglutinasi dengan aktivitas hemaglutinasi ekstrak kasar
c
Perbandingan aktivitas hemaglutinasi spesifik dengan aktivitas hemaglutinasi sepsifik ekstrak
kasar
b
Karakterisasi Lektin
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
Aktivitas Hemaglutinasi
(HU)
Aktivitas Hemaglutinasi
(HU)
Lektin terpurifikasi dikarakterisasi berdasarkan kestabilan aktivitas
hemaglutinasinya pada selang suhu dan pH tertentu. Hasil uji karakterisasi lektin
berdasarkan suhu menunjukkan bahwa lektin stabil pada suhu 20-40 °C, dan
sedikit menurun pada suhu 50 °C, dan menurun hingga suhu 70 °C. Aktivitas
lektin pada suhu 60-70 °C lebih rendah 0.6 kali dari aktivitasnya pada suhu 2040 °C. Aktivitas lektin tidak terdeteksi pada suhu 80 °C.
Hasil uji karakterisasi lektin berdasarkan nilai pH menunjukkan fluktuasi
aktivitas lektin pada pH 5.0-7.2 dan menurun pada pH 8.0-9.0. Terdapat
peningkatan aktivitas lektin sebesar 1.2 kali dari pH 5.0 ke 6.0 dan menurun
sebesar 1.2 kali ke pH 7.2. Aktivitas lektin menurun kembali dari nilai pH 7.2
hingga 9.0 dengan nilai penurunan sebesar 2 kali dari nilai pH 7.2. Aktivitas lektin
tertinggi terjadi pada saat pH 6.0. (Gambar 13).
(A)
20
30
40
Suhu °C
50
60
70
80
1,1
1
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
(B)
5
6
7,2
8
9
pH
Gambar 13 (A) Aktvitas hemaglutinasi lektin umbi aksesi Solok setelah
diinkubasi pada suhu 20-80 °C, (B) aktivitas hemaglutinasi lektin
umbi aksesi Solok setelah diinkubasi pada pH 5.0-9.0. Data pada
grafik batang disajikan dengan ± standar deviasi.
27
Identifikasi Gen Lektin
Identifikasi gen penyandi lektin merupakan bagian dari tahap kedua
penelitian yang terkait dengan karakteristik lektin umbi T. flagelliforme. Proses
identifikasi dilakukan dengan mengisolasi DNA total dari daun T. flagelliforme
menggunakan metode CTAB (hexadecyltrimethylammonium bromide). Metode
ini sangat baik untuk mengisolasi DNA dari daun dengan jumlah yang sedikit.
Molekul DNA yang telah diisolasi kemudian dilihat kualitas dan kuantitasnya
dengan membandingkan dengan DNA λ pada elektroforesis (Gambar 14A).
Jumlah DNA lamda yang digunakan adalah 100 ng. Jumlah DNA tersebut
merupakan jumlah yang tepat untuk campuran pada proses PCR sehingga hasil
isolasi DNA dilakukan pengenceran sebanyak tujuh kali sebelum diamplifikasi
dengan PCR. Hasil amplifikasi menunjukkan ukuran produk yang sama dari
setiap aksesi. Produk yang dihasilkan memiliki ukuran 600 pb (pasang basa) dari
setiap aksesi (Gambar 14B). Setelah itu, fragmen DNA lektin tersebut disisipkan
ke dalam vektor pGEM®-T Easy dan diintroduksikan ke dalam bakteri
Escherichia coli DH5α. Vektor tersebut diisolasi dari bakteri untuk dianalisis
sekuens basa vektor tersebut.
Sekuen basa gen pengkode lektin setiap aksesi T. flagelliforme yang telah
didapatkan dari proses sekuensing dengan vektor pGEM®-T Easy selanjutnya
dilakukan uji BLASTN. Hasil BLASTN pada NCBI menunjukkan sekuens basa
pengkode lektin yang didapat dari tiap aksesi menunjukkan kesamaan di atas
80 % dengan sekuens basa lektin dari tumbuhan T. divaricatum yang merupakan
tumbuhan bergenus sama dan tumbuhan yang merupakan satu famili Araceae,
yaitu Pinellia ternata dan P. Pedatisecta. Aksesi Bogor, Merapi Farm, Indmira,
1
1
2
3
4
5
6
7
λ
A
1
2
3
4
5
6
7
M pb
600
500
B
Gambar 14 (A) Hasil isolasi DNA dan (B) hasil amplifikasi DNA. Aksesi: (1)
Bogor, (2) Singaraja, (3) Merapi Farm, (4) Indmira, (5) Ogan Ilir, (6)
Matesih, dan (7) Solok. Marka yang digunakan pada hasil isolasi
DNA adalah DNA λ dan pada amplifikasi 100 pb ladder.
28
dan matesih memiliki kesamaan tertinggi dengan T. divaricatum. Aksesi Bogor
menunjukkan kesamaan tertinggi dengan T. divaricatum dengan nilai 87 %,
sedangkan aksesi Merapi Farm, Indmira, dan Matesih menunjukkan kesamaan
tertinggi dengan T. divaricatum sebesar 88 %. Selain itu, aksesi Singaraja, Ogan
Ilir, dan Solok memiliki kesamaan tertinggi dengan P. ternata. Aksesi Singaraja
menunjukkan kesamaan 86 % dengan P. ternata, aksesi Ogan Ilir memiliki
kesamaan tertinggi sebesar 88 %, dan aksesi Solok menunjukkan kesamaan
tertinggi sebesar 84 % (Tabel 5).
Tabel 5 Hasil BLASTN yang menunjukkan kesamaan tertinggi dari setiap aksesi
T. flagelliforme dengan basis data di NCBI
Aksesi
Bogor
Merapi Farm
Indmira
Matesih
Ogan Ilir
Singaraja
Solok
T. divaricatum
%
Nilai E
Query
Kesamaan
cover
87
0
97
88
0
98
88
1e-174
94
88
3e-180
99
P. ternata
%
Nilai E
Kesamaan
88
86
84
0
2e-166
3e-130
Query
cover
98
98
99
Selain itu, penjajaran sekuens basa dilakukan untuk melihat kesamaan
sekuens terhadap aksesi satu dengan aksesi lain serta gen pengkode lektin dari
tumbuhan lain yang termasuk famili Araceae, seperti T. divaricatum, Remusatia
vivipara, P. ternata, P. pedatisecta, Arisaema lobatum, dan A. amurense (Tabel 8).
Tabel 6 Pensejajaran sekuens basa gen pengkode lektin setiap aksesi T.
flagelliforme dengan beberapa tumbuhan lain famili Araceae
Keterangan: JF293072.1; EU199445.1 (P. ternata), EU924066.1 (R. vivipara), EF194099.1
(T. divaricatum), EF090419.1 (P. cordata), AY451853.1 (P. pedatisecta),
AY557617.1 (A. lobatum), dan EU409835.1 (A. amurense)
29
Tabel 6 Pensejajaran sekuens basa gen pengkode lektin setiap aksesi T.
flagelliforme dengan beberapa tumbuhan lain famili Araceae (lanjutan)
Keterangan: JF293072.1; EU199445.1 (P. ternata), EU924066.1 (R. vivipara), EF194099.1
(T. divaricatum), EF090419.1 (P. cordata), AY451853.1 (P. pedatisecta),
AY557617.1 (A. lobatum), dan EU409835.1 (A. amurense)
30
Sekuen basa lektin yang telah dianalisis BLASTN diuji lanjut untuk
membuat dendrogram setiap aksesi T. fagelliforme dengan lektin dari tumbuhan
lain dalam famili Araceae. Hasil dendrogram menunjukkan gen pengkode lektin
dari 7 aksesi membentuk 4 kelompok. Terdapat 3 pasang aksesi memiliki
kekerabatan yang dekat, yaitu aksesi Bogor dengan Matesih, Ogan Ilir dengan
Singaraja, dan Merapi farm dengan Indmira. Aksesi Solok memiliki percabangan
tersendiri tetapi menunjukkan kekerabatan yang dekat dengan Merapi farm dan
Indmira. Bila dibandingkan dengan lektin tumbuhan lainnya, lektin T.
flagelliforme memiliki kekerabatan yang dekat dengan lektin dari T. divaricatum
(EF194099.1 ) dan P. ternata (EU199445.1), sedangkan dengan lektin dari P.
ternata (JF 293072.1) memiliki kekerabatan yang lebih jauh (Gambar 15).
BOGOR
SINGARAJA
100
OGAN ILIR
58
83
100
100
MERAPI FARM
INDMIRA
SOLOK
MATESIH
EF 194009.1
EU 199445.1
JF 293072.1
Gambar 15 Dendrogram parsial gen pengkode lektin dari 7 aksesi T. flageliforme.
JF293072.1 dan EU199445.1 (P. ternata), EF194099.1 (T.
divaricatum)
Aktivitas Toksisitas, Antiproliferasi, dan Sitotoksisitas Ekstrak Protein Umbi
Umur 6 Bulan Setelah Tanam
Bagian ketiga dari penelitian ini adalah menguji efek toksik ekstrak protein
umbi T. flagelliforme terhadap larva Artemia sp. dan sel kanker serta sel normal.
Hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasi kegunaan obat herbal berbasis T.
flagelliforme yang telah banyak digunakan oleh masyarakat dan memodelkan
aktivitas lektin umbi T. flagelliforme sebagai antiproliferasi sel kanker dalam
pengembangan obat herbal berbasis lektin. Ekstrak protein umbi yang digunakan
adalah 15 g umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme yang berumur 6 bulan setelah
tanam dan diekstrak menggunakan akuades. Sebelum dilakukan uji toksisitas,
terlebih dahulu dilakukan pengukuran kembali terhadap kadar total protein dan
aktivitas hemaglutinasi dari ekstrak tersebut. Kadar protein total umbi dan
aktivitas hemaglutinasi yang menunjukan keberadaan lektin umbi tertinggi
dimiliki oleh aksesi Bogor. Kadar protein total terendah dimiliki oleh aksesi
Singaraja. Aktivitas hemaglutinasi terendah dimiliki oleh aksesi Merapi Farm.
31
Hasil uji toksisitas menunjukkan bahwa aksesi Solok memiliki nilai LC 50 terendah,
yaitu 9.93 ppm, sedangkan aksesi Singaraja, memiliki nilai LC 50 tertinggi, yaitu
22.7 ppm (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak protein umbi dari aksesi
Solok memiliki efek toksik tertinggi dibandingkan aksesi lainnya karena dengan
konsentrasi ekstrak terendah telah dapat mematikan populasi sebanyak 50 %. Oleh
karena aksesi Bogor memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi yang menunjukkan
bahwa terdapat kandungan lektin umbi tertinggi dan aksesi Solok memiliki efek
toksisitas tertinggi maka kedua aksesi tersebut diuji lanjut ekstrak protein
umbinya pada uji antiproliferasi terhadap sel MCF-7 dan sitotoksik terhadap sel
fibroblas.
Tabel 7 Kadar protein total, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas esktrak
akuades 15 g umbi T. flagelliforme berumur 6 bulan masa tanam
Aksesi
Protein total
(mg)
Bogor
Singaraja
Merapi Farm
Indmira
Ogan Ilir
Matesih
Solok
28.51 ± 0.38
17.43 ± 0.15
21.22 ± 0.15
24.87 ± 0.75
21.85 ± 0.28
21.75 ± 0.10
21.21 ± 0.05
Aktivitas
hemaglutinasi
(unit)
0.66 ± 0.00
0.57 ± 0.15
0.52 ± 0.13
0.57 ± 0.15
0.61 ± 0.09
0.61 ± 0.09
0.55 ± 0.09
Nilai toksisitas
(LC50 = ppm)
19.72 ± 7.47
22.77 ± 4.63
19.84 ± 4.69
17.29 ± 1.17
16.69 ± 1.24
16.36 ± 1.93
9.93 ± 1.00
Hasil uji antiproliferasi terhadap sel MCF-7 dengan metode MTT
menunjukkan bahwa ekstrak protein umbi aksesi Solok memiliki daya hambat
terendah pada konsentrasi ekstrak terendah, yaitu 6.25 ppm dengan daya hambat
sebesar - 6.19 % yang berarti menginduksi proliferasi sel MCF-7 sebesar 6.19 %.
Daya hambat tertinggi dari aksesi Solok terjadi pada konsentrasi ekstrak tertinggi,
yaitu 200 ppm dengan daya hambat 77.43 %. Daya hambat dari konsentrasi
terendah (6.25 ppm) aksesi Bogor sebesar 2.84 %, sedangkan daya hambat
tertinggi terjadi pada konsentrasi tertinggi (200 ppm) sebesar 69.55 %. Nilai LC 50
aksesi Solok adalah 95.36 ppm sedangkan aksesi Bogor sebesar 102.86 ppm, hal
ini menunjukkan daya hambat aksesi Solok terhadap sel MCF-7 lebih tinggi
dibandingkan dengan aksesi Bogor (Tabel 8). Pengamatan mikroskopik pada sel
Tabel 8 Daya hambat ekstrak protein umbi aksesi Bogor dan Solok terhadap sel
MCF-7 dengan berbagai konsentrasi
Ekstrak Protein Umbi
Aksesi Bogor (ppm)
6.25
12.5
25
100
200
Daya Hambat
(%)
2.84
50.61
46.27
46.14
69.55
Ekstrak Protein Umbi
Aksesi Solok (ppm)
6.25
12.5
25
100
200
Daya Hambat
(%)
-6.19
47.35
45.35
49.56
77.43
32
MCF-7 yang diberikan ekstrak protein umbi sebesar 200 ppm dari kedua aksesi
tersebut menunjukkan bahwa sel tersebut mengalami penghambatan proliferasi
dan cenderung mengalami kematian (Gambar 16).
B
A
C
Gambar 16 Inhibisi proliferasi sel MCF-7 dengan ekstrak protein umbi (40 kali
perbesaran). (A) Sel MCF-7 kontrol, (B) hasil penambahan 200 ppm
ekstrak protein umbi aksesi Bogor ke sel MCF-7, (C) hasil
penambahan 200 ppm ekstrak protein umbi aksesi Solok ke sel MCF7. Tanda panah menunjukkan kondisi sel MCF-7
Setelah dilakukan uji antiproliferasi terhadap sel kanker MCF-7, ekstrak
protein umbi dari kedua aksesi tersebut diuji kembali efek toksiknya terhadap sel
normal, yaitu sel fibroblas. Pertumbuhan sel fibroblas meningkat dengan
pemberian ekstrak dibandingkan sel fibroblas tanpa perlakuan tetapi pada
perlakuan dengan konsentrasi ekstrak yang tinggi, pertumbuhan sel fibroblas
terhambat. Pertumbuhan sel fibroblas tertinggi dengan perlakuan ekstrak protein
umbi aksesi Solok terjadi pada konsentrasi ekstrak 12.5 ppm, yaitu dengan daya
proliferasi sebesar 141.66 % dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan.
Pertumbuhan sel fibroblas menurun dari konsentrasi ekstrak protein umbi aksesi
Solok 25 hingga 200 ppm dan pada konsentrasi ekstrak 100 ppm, proliferasi sel
fibroblas terhambat sebesar 8.33 %. Hal ini ditunjukkan dari daya proliferasi sel
fibroblas sebesar – 91.67 % dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan.
Perlakuan konsentrasi ekstrak protein umbi 200 ppm menghambat proliferasi sel
fibroblas sebesar 41.60 %. Hal ini ditunjukkan dengan daya proliferasi sel
fibroblas pada perlakuan konsentrasi tersebut sebesar -58.40 % dibandingkan
dengan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan. Oleh karenanya pemberian ekstrak
protein umbi aksesi Solok mampu menginduksi proliferasi sel fibroblas dari
konsentrasi 6.25 hingga 25 ppm, sedangkan dari konsentrasi ekstrak 100 hingga
200 ppm, pertumbuhan sel fibroblas terhambat dibandingkan dengan sel fibroblas
kontrol (Tabel 5).
Konsentrasi ekstrak protein umbi aksesi Bogor yang memberikan
pertumbuhan sel fibroblas maksimal adalah pada 25 ppm, yaitu sebesar 170.83 %
daya proliferasi dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan. Pertumbuhan
sel fibroblas mulai menurun dari pemberian konsentrasi ekstrak protein umbi
aksesi Bogor 100 ppm dan pada konsentrasi ekstrak tertinggi, yaitu 200 ppm
jumlah sel fibroblas lebih rendah daripada sel fibroblas kontrol, proliferasi sel
fibroblas terhambat sebesar 29.10 % dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa
33
perlakuan. Oleh karenanya pemberian ekstrak protein umbi aksesi Bogor mampu
menginduksi proliferasi sel fibroblas dari konsentrasi 6.25 hingga 100 ppm,
sedangkan pada perlakuan konsentrasi ekstrak 200 ppm, pertumbuhan sel
fibroblas terhambat dibandingkan dengan kontrol (Tabel 9).
Oleh karena ekstrak protein umbi aksesi Solok sudah menghambat
proliferasi sel fibroblas pada konsentrasi 100 ppm dan hambatan proliferasi
terhadap sel fibroblas dari ekstrak protein umbi aksesi Bogor pada perlakuan
konsentrasi 200 ppm, maka ekstrak protein umbi aksesi Solok lebih bersifat toksik
terhadap sel fibroblas dibandingkan dengan aksesi Bogor. Namun, pada perlakuan
konsentrasi rendah hingga 25 ppm, ekstrak protein umbi dari kedua aksesi
tersebut tidak toksik terhadap sel normal.
Tabel 9 Efek berbagai konsentrasi ekstrak protein umbi aksesi Bogor dan Solok
terhadap daya proliferasi sel fibroblas
Ekstrak Protein
Daya proliferasi
Ekstrak Protein
Daya proliferasi
Umbi Aksesi
(%)
Umbi Aksesi
(%)
Bogor (ppm)
Solok (ppm)
6.25
108.33
6.25
120.83
12.5
158.33
12.5
141.66
25
170.83
25
133.33
100
141.66
100
-91.67
200
-70.90
200
-58.40
34
5 PEMBAHASAN
Profil Bobot Umbi, Protein Umbi, dan Lektin Umbi T. flagelliforme
Keladi tikus sudah dikenal masyarakat Indonesia sebagai tanaman obat yang
berkhasiat dalam pengobatan kanker. Banyak masyarakat yang menggunakan
tanaman ini sebagai pengobatan alternatif kanker atau digunakan bersamaan
dengan pengobatan konvensional. Khasiat yang dirasakan oleh penderita kanker
setelah mengkonsumsi obat herbal dari T. flagelliforme adalah dapat
meminimalisir efek samping dari kemo atau radioterapi, bahkan ada yang dapat
menyembuhkan penyakit kanker yang dideritanya. Keladi tikus merupakan jenis
tumbuhan yang umum dan banyak ditemukan di Jawa dan menjadi suatu tanaman
gulma. Tiga spesies Typhonium yang terdapat di pulau Jawa, yaitu T. horsfieldii, T.
flagelliforme, dan T. roxburghii, namun jenis T. flagelliforme merupakan jenis
yang dikenal luas masyarakat sebagai tanaman keladi tikus dan banyak digunakan
sebagai tanaman obat antikanker (Yuzammi 2011). Oleh karena tumbuhan ini
tidak banyak dibudidayakan dan tidak dapat dikonsumsi, maka informasi
mengenai pertumbuhan tumbuhan ini dan senyawa aktif yang berperan sebagai
antikanker belum jelas terkonfirmasi secara ilmiah. Selain itu, tidak banyak kajian
mengenai senyawa aktif yang berperan sebagai antikanker dari tumbuhan tersebut.
Hal tersebut sangat penting untuk diketahui bila tumbuhan ini akan dimanfaatkan
menjadi suatu sumber tanaman obat atau herbal terstandar karena dengan
diketahuinya tahapan pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman obat serta
senyawa aktifnya, maka akan mempermudah mendapatkan senyawa aktif dari
tanaman tersebut secara optimal dan dosis yang tepat dalam penggunaannya ke
penderita kanker. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan kajian mengenai fase
pertumbuhan yang terkait dengan senyawa aktif dari T. flagelliforme, yaitu lektin
pada tahap pertama penelitian ini.
Umbi yang digunakan pada analisis ini dipanen saat umur 1, 3, 5, dan 6
bulan setelah tanam. Penentuan waktu panen maksimal hingga umur 6 bulan
setelah tanam karena dari pengamatan di rumah kaca, memasuki umur masa
tanam 7 bulan, tanaman tersebut mulai berbunga. Hal ini menunjukkan bahwa T.
flagelliforme dengan masa tanam 7 bulan telah mengalami perubahan siklus hidup
dari tahap vegetatif menjadi tahap generatif. Umbi telah diketahui merupakan
perkembangan dari organ batang dan menjadi tempat penyimpanan cadangan
fotosintat utama selama tahap perkembangan vegetatif. Setelah memasuki tahap
generatif, buah menjadi tempat penyimpanan cadangan fotosintat. Oleh karenanya
tahap perkembangan umbi tidak optimal ketika tumbuhan berada di tahap
generatif (Taiz dan Zeiger 2002). Oleh karenanya, pengamatan dilakukan hingga
umur 6 bulan setelah tanam.
Umbi pada penelitian ini menjadi organ utama dan tidak terdapat organ lain
dari T. flagelliforme yang dikaji dalam penelitian ini. Hal ini terkait dengan fokus
kajian senyawa aktif dari T. flagelliforme, yaitu lektin. Penelitian sebelumnya
yang telah menunjukkan keberadaan lektin pada umbi T. divaricatum dan lektin
tersebut memiliki aktivitas antiproliferasi terhadap beberapa sel kanker (Luo et al.
2007). Penelitian lain menunjukkan bahwa ekspresi lektin pada T. divaricatum
hanya terdapat pada umbi. Hal tersebut diketahui dengan mendeteksi ekspresi
35
lektin dari jaringan yang berbeda pada tanaman tersebut, yaitu daun, tangkai daun,
dan umbi. Ketiga jaringan tersebut tidak memberikan hasil positif setelah
dilakukan analisis Northren blot kecuali pada umbi (Kong et al. 2006). Oleh
karenanya, hal-hal tersebut yang mendasari penggunaan umbi menjadi material
utama untuk mengkaji lektin T. flagelliforme.
Hasil pengamatan terhadap bobot umbi dan kadar total protein umbi
menunjukkan terdapatnya fluktuasi data selama masa tanam pada beberapa aksesi.
Namun fluktuasi bobot umbi pada beberapa aksesi seperti Singaraja, Indmira,
Ogan Ilir, dan Solok cenderung terkait polanya dengan kadar total protein umbi.
Hal ini dapat terjadi karena ada proses fisiologis pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang menggunakan cadangan karbohidrat dan protein dari
umbi. Cadangan nutrisi yang tersimpan pada organ vegetatif seperti umbi dan biji
digunakan untuk nutrisi pada tahap awal pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, misalnya pada proses perkecambahan. Cadangan karbohidrat pada umbi
dapat digunakan untuk proses metabolisme dan pembentukan struktur sel baru,
sehingga ada proses pemuatan dan perombakan nutrisi cadangan pada organ
vegetatif (Hans dan Heldt 2005).
Pengamatan kandungan lektin pada protein umbi dilakukan dengan uji
hemaglutinasi. Hal ini dilakukan karena lektin secara alami dapat mengaglutinasi
sel darah merah (Sharon dan Lis 2004). Hasil pengamatan aktivitas lektin umbi
menunjukkan bahwa dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam terjadi fluktuasi
aktivitas hemaglutinasi dan aktivitas tersebut tidak terkait dengan kadar total
protein umbi, artinya bila kadar total protein umbi tinggi, belum tentu aktivitas
hemaglutinasinya tinggi. Selain itu, hasil pengamatan menunjukkan bahwa
beberapa aksesi telah menunjukkan aktivitas hemaglutinasi dari umur 1 bulan
setelah tanam dan beberapa aksesi lainnya baru terdapat aktivitas hemaglutinasi
pada umur 3 bulan setelah tanam. Hal ini menunjukkan bahwa lektin telah
diproduksi sejak awal pertumbuhan karena lektin merupakan protein cadangan
utama pada tumbuhan famili Araceae yang disimpan pada organ vegetatif. Lektin
tersebut dapat digunakan pada proses metabolisme atau sebagai pertahanan pada
tumbuhan tersebut ketika dibutuhkan (Damme et al. 1995). Oleh karena lektin
sebagai protein cadangan, kadarnya dapat terjadi fluktuasi karena fungsinya
sebagai protein cadangan yang dapat disimpan dan digunakan pada proses
metabolisme. Selain itu, karena lektin dapat juga berfungsi sebagai pertahanan,
kadar lektin dapat meningkat bila ada serangan patogen dan pada kondisi normal
disintesis dengan jumlah yang sedikit (Damme et al. 1998). Bila dikaitkan dengan
kadar total protein, terdapat beberapa aksesi seperti Ogan Ilir, Matesih, dan Solok
memiliki kandungan total protein pada umur 1 bulan setelah tanam dan tidak
memiliki aktivitas hemaglutinasi. Hal ini dapat terjadi karena tahap perkembangan
tanaman dapat mempengaruhi kadar lektin pada tanaman. Contohnya pada
gandum, kadar lektin meningkat pada saat perkecambahan hingga 34 hari setelah
penanaman (Mishkind et al. 1980). Contoh lainnya pada Dolichos biflorus, tidak
ditemukan lektin pada saat perkembangan biji, namun saat pemanjangan batang,
kadar lektin meningkat lalu menurun setelah proses pemanjangan selesai (Roberts
dan Etzler 1984).
Oleh karenanya, dari hasil pengamatan bobot umbi, kadar total protein umbi,
dan aktivitas lektin umbi dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam dapat
dikatakan bahwa setiap aksesi memiliki kecenderungan peningkatan bobot umbi
36
dan kadar protein umbi selama masa tanam. Selain itu, lektin pada beberapa
aksesi telah diproduksi dari awal pertumbuhan dan diproduksi secara terus
menerus selama masa tanam.
Pola Elektroforegram Total Protein Umbi Setiap Aksesi Selama Masa
Tanam
Pita protein yang terdeteksi pada elektroforegram menunjukkan variasi
protein yang terkandung pada umbi T. flagelliforme. Umur 1 bulan setelah tanam
terdeteksi pita-pita protein berbobot molekul dibawah 30 kDa, bila dikaitkan
dengan lektin pada tumbuhan famili Araceae yang memiliki memiliki bobot
molekul 12-14 kDa (Damme et al. 1998), lektin umbi setiap aksesi T.
flagelliforme terkandung pada pita dibawah bobot molekul 15 kDa. Telah
diketahui bahwa lektin pada tumbuhan famili Araceae merupakan protein
cadangan utama pada tumbuhan tersebut dan telah diproduksi sejak awal
pertumbuhan dan hal ini ditunjukkan pada elektroforegram. Pita-pita protein
diatas 30 kDa terdeteksi setelah umur 5 bulan setelah tanam, hal ini terjadi karena
pada umur tersebut umbi telah memasuki fase dewasa sehingga protein yang
terkandung pada umbi lebih bervariasi daripada umbi muda. Namun pita-pita
protein yang berbobot molekul diatas 30 kDa tidak setebal pita protein dibawah
30 kDa sehingga hal ini menunjukkan bahwa protein umbi T. flagelliforme banyak
mengandung protein berbobot molekul dibawah 30 kDa dan memperkuat
penelitian sebelumnya bahwa lektin merupakan protein cadangan utama pada
tumbuhan famili Araceae (Damme et al. 1995).
Karakteristik Lektin Umbi T. flagelliforme Aksesi Solok Umur 6 Bulan
Setelah Tanam
Proses fraksinasi protein umbi dilakukan untuk mendapatkan lektin umbi
terpurifikasi. Hasil uji aktivitas hemaglutinasi dan toksisitas terhadap protein total
umbi sebelum dilakukan fraksinasi protein umbi menunjukkan bahwa tidak ada
keterkaitan antara efek toksisitas dengan aktivitas lektin umbi karena aksesi yang
memiliki efek toksisitas tertinggi berbeda dengan aksesi yang memiliki aktivitas
lektin tertinggi. Hal ini dapat terjadi karena pada uji hemaglutinasi merupakan uji
yang terkait dengan aktivitas lektin berinteraksi dengan eritrosit sehingga molekul
lain yang tidak memiliki aktivitas tersebut tidak dapat menunjukkan aktivitas
hemaglutinasi (Wang et al. 2000). Sedangkan uji toksisitas dengan metode BSLT
tidak spesifik terhadap lektin, setiap molekul yang dapat memberikan efek toksik
terhadap larva Artemia sp. akan dapat mematikan larva tersebut. Oleh karenanya
hal ini menunjukkan bahwa pada protein umbi terdapat molekul lain selain lektin
yang dapat memberikan efek toksik, namun pada penelitian ini belum dapat
teridentifikasi molekul lain tersebut. Meskipun demikian, uji toksisitas metode
BSLT perlu dilakukan untuk memodelkan efek toksik larutan protein terhadap sel
kanker. Berdasarkan hal tersebut, ekstrak protein umbi yang terseleksi adalah
esktrak dari aksesi Solok karena memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi.
37
Proses fraksinasi yang dilakukan menggunakan metode kromatografi kolom
dengan menggunakan kolom penukar ion. Walaupun metode ini merujuk pada
penelitian sebelumnya (Luo et al. 2007), tetapi tidak ada informasi yang
menyatakan bahwa ada prosedur tertentu dalam pemilihan kolom kromatografi
untuk purifikasi lektin. Berbagai jenis kolom dapat saja digunakan untuk
purifikasi lektin seperti kolom filtrasi gel atau kolom afinitas, namun disesuaikan
dengan kondisi tahapan penelitian. Bila telah diketahui lektin target memiliki
afinitas tertentu dengan suatu molekul seperti manan, yaitu suatu molekul
polisakarida, maka kolom yang tepat digunakan untuk purifikasi lektin adalah
kolom afinitas dengan matriks manan-agarose (Sudmoon et al. 2008). Bila belum
diketahui reaksi spesifik dari lektin tersebut dapat digunakan kolom filtrasi gel,
penukar ion, atau kombinasi keduanya. Bila proses purifikasi lektin menggunakan
kombinasi kolom filtrasi gel-penukar ion, penggunaan kolom penukar ion
digunakan pada tahap awal purifikasi dikarenakan kolom ini memisahkan protein
berdasarkan muatan, yaitu positif dan negatif sehingga bila protein target
bermuatan positif maka dengan penggunaan kolom penukar ion sudah
mengeliminasi protein bermuatan negatif (GE Healthcare 2004), artinya sudah
menghilangkan sebanyak 50 % protein yang tidak diinginkan. Hal ini
mempermudah dalam proses purifikasi, sedangkan bila menggunakan kolom
filtrasi gel yang pemisahannya berdasar bobot molekul pada awal tahapan
purifikasi, maka akan banyak terbentuk fraksi protein berdasarkan bobot
molekulnya yang harus dicek setiap fraksi dengan bobot molekul yang sama atau
mendekati protein target. Kombinasi penggunaan kolom kromatografi penukar
anion dan kation juga dapat digunakan bila protein target belum diketahui
muatannya atau protein tersebut dapat bersifat amfoter sehingga didapatkan fraksi
protein yang lebih spesifik.
Hasil fraksinasi pertama menggunakan kolom DEAE-sepharose yaitu
kolom penukar anion menunjukkan fraksi protein aktif yang didapatkan memiliki
2 pita protein, yaitu 19.10 kDa dan 11.84 kDa pada elektroforegram. Hal ini
menunjukkan pada fraksi tersebut terdapat 2 jenis protein. Protein-protein yang
terdeteksi pada kolom ini memiliki muatan negatif dikarenakan kolom penukar
anion memiliki matriks bermuatan positif (GE Healthcare 2004). Oleh karenanya,
proses purifikasi dilanjutkan dengan menggunakan kolom kedua, yaitu CMmonolitic, yaitu kolom penukar kation untuk mendapatkan lektin terpurifikasi.
Hasil tahapan ini menunjukkan bahwa terdapat 1 pita protein yang dapat
diasumsikan dari 1 jenis protein dengan bobot molekul 12.67 kDa. Berdasarkan
keaktifan terhadap uji hemaglutinasi dan model kromatogram purifikasi yang
dihasilkan hanya 1 puncak dengan kolom CM-monolitic, maka protein pada fraksi
ini dapat dinyatakan lektin. Protein yang dihasilkan dari kolom penukar kation
adalah protein yang bermuatan positif karena matrik pada kolom penukar kation
adalah bermuatan negatif (GE Healthcare 2004). Oleh karena fraksi lektin dapat
ditemukan dalam kondisi muatan positif dan negatif yang diakibatkan dari
perbedaan larutan buffer pada kolom, maka fraksi lektin dari T. flagelliforme
aksesi Solok diasumsikan bersifat amfoter yaitu suatu sifat protein yang dapat
bermuatan positif atau negatif pada larutan buffer tertentu (Rosenberg 2005). Luo
et al. (2007) menyatakan lektin umbi dari genus T. divaricatum memiliki bobot
molekul 12 kDa berdasarkan hasil elektroforegram SDS-PAGE, setelah
dikombinasikan dengan perhitungan bobot molekul menggunakan kolom filtrasi
38
gel, bobot molekul lektin terdeteksi 48 kDa sehingga diasumsikan lektin tersebut
tetramer.
Lektin yang didapatkan dari penelitian ini adalah 0.17 mg atau 0.35 % dari
kadar protein total umbi aksesi Solok. Hasil ini lebih rendah dari lektin yang
didapatkan pada umbi T. divaricatum, yaitu 100 mg atau 12 % dari kadar total
protein umbi (Luo et al. 2007). Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kuantitas
dan kualitas umbi yang digunakan seperti habitat tanaman yang berbeda dan
spesies tanaman yang berbeda. Lektin terpurifikasi yang didapatkan dalam
penelitian ini kemudian dianalisis kestabilan aktivitasnya terhadap suhu dan pH.
Hal ini perlu dilakukan karena lektin merupakan molekul protein. Suhu dan pH
sangat mempengaruhi aktivitas dari suatu protein. Suhu yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan perubahan pada struktur lektin melalui putusnya ikatan-ikatan
protein pada struktur tersiernya sehingga protein akan terdenaturasi, sedangkan
suhu yang terlalu rendah akan menghambat terjadinya interaksi antar molekul
yang disebabkan kondisi yang tidak optimum untuk terjadinya reaksi. Nilai pH
sangat berpengaruh pada muatan protein, perubahan pH yang berarti akan
merubah muatan protein dan dapat menyebabkan protein terdenaturasi (Murray et
al. 2003). Oleh karenanya, bila diketahui kondisi optimum suhu dan pH dari
lektin, informasi ini akan mempermudah dalam penggunaan lektin dalam aplikasi
berbasis lektin. Hasil menunjukkan bahwa lektin umbi T. flagelliforme aksesi
Solok stabil pada selang suhu 20-40 °C dan pada nilai pH 5-7.2. Karaktersitik ini
tidak berbeda jauh dengan lektin dari T. divaricatum yang stabil pada suhu 2060 °C dan nilai pH 5.6-8.6 (Luo et al. 2007). Oleh karenanya dengan karakteristik
yang sama dan bobot molekul yang tidak jauh berbeda maka lektin umbi T.
flagelliforme aksesi Solok terdapat pada famili lektin yang sama dengan lektin
umbi T. divaricatum, yaitu monocot mannose binding lectin.
Gen Lektin
Lektin merupakan molekul protein hasil translasi dari mRNA pada ribosom,
sedangkan mRNA merupakah hasil transkripsi dari DNA yang membentuk suatu
urutan genom dan merupakan blueprint suatu organisme, sehingga sekuen suatu
gen sangat mempengaruhi protein. Oleh karenanya, mengetahui gen dari suatu
protein penting dikarenakan dapat lebih memahami karakteristik protein tersebut
dan jalur biosintesisnya pada suatu organisme. Proses identifikasi gen lektin
menggunakan primer yang dirancang dari beberapa basis data complete CDS
lektin tumbuhan famili Araceae yang terdapat di NCBI. Hal ini dilakukan karena
lektin jenis monocot mannose binding lectin merupakan kelompok protein yang
terdapat pada famili Amaryllidaceae, Alliaceae, Araceae, Bromeliaceae, dan
Orchidaceae (Damme et al. 1998). Genus Typhonium merupakan bagian dari
famili Araceae, sehingga lektin pada yang dihasilkan dari famili tersebut memiliki
bagian sekuens yang conserve. Merancang primer dari bagian tersebut
mempermudah mendapatkan rancangan primer yang spesifik terhadap gen
pengkode lektin.
Hasil amplifikasi DNA dengan rancangan primer tersebut menghasilkan
produk PCR yang disisipkan ke dalam vektor pGEM®-T Easy dan diintroduksikan
ke dalam bakteri Escherichia coli DH5α sebelum dilakukan analisis sekuens.
39
Proses tersebut dilakukan untuk menyimpan produk PCR pada bakteri kompeten
sehingga tidak rusak dan dapat diproduksi oleh bakteri tersebut. Seleksi yang
digunakan saat proses introduksi vektor ke bakteri menggunakan seleksi media
antibiotik. Media yang digunakan adalah Luria Agar yang mengandung antibiotik
jenis ampisilin dengan konsentrasi 100 ppm. Hal ini dilakukan karena pada vektor
pGEM®-T Easy memiliki bagian yang mengekspresikan protein resisten ampisilin
sehingga bakteri yang berhasil diintroduksikan dengan vektor pGEM®-T Easy
akan tumbuh pada media yang mengandung ampisilin dengan konsentrasi tertentu
(Promega 2010). Setelah vektor terkonfirmasi dengan baik maka dilakukan proses
sekuensing. Hasil analisis sekuens menunjukkan bahwa fragmen gen lektin dari
tiap aksesi memiliki variasi pada urutan basa tertentu. Bila dikaitkan dengan hasil
uji hemaglutinasi selama masa tanam dari setiap aksesi, terdapat variasi aktivitas
lektin dari setiap aksesi. Hal ini mengasumsikan bahwa variasi pada fragmen gen
lektin mempengaruhi aktivitas lektin karena perbedaan urutan basa pada gen
memungkinkan mengkode asam amino yang berbeda sehingga urutan asam amino
pada suatu protein berbeda. Berbedanya urutan asam amino pada suatu protein,
dapat menyebabkan perbedaan konformasi protein yang mengakibatkan
terdapatnya perbedaan aktivitas protein tersebut, terutama bila terjadi perbedaan
konformasi pada situs aktif dari suatu protein (Albert et al. 2008).
Terdeteksinya 600 pb gen penyandi lektin dari setiap aksesi T. flagelliforme
menunjukkan bahwa sekuens tersebut adalah parsial gen dari gen penyandi lektin.
Hal ini ditunjukkan karena full lenght cDNA lektin dari T. divaricatum memiliki
ukuran 1145 pb (Luo et al. 2007). Selain itu, gen lektin dari tumbuhan famili
Araceae lainnya yang telah dikarakterisasi, yaitu lektin dari Zantedeschia
aethiopica memiliki ukuran 2233 pb dan pada gen tersebut tidak terdeteksi
terdapat intron (Chen et al. 2004). Hal ini terbukti dengan hasil pensejajaran
sekuens parsial gen dari setiap aksesi T. flagelliforme yang menunjukkan tidak
adanya celah ketika disejajarkan dengan sekuen full lenght cDNA lektin dari
tumbuhan Araceae lainnya sehingga keseluruhan sekuen tersebut merupakan
bagian dari ekson gen penyandi lektin.
Dendrogram yang dibentuk menunjukkan adanya kekerabatan antar aksesi T.
flagelliforme dan dengan tumbuhan Araceae lainnya berdasarkan gen lektin.
Kekerabatan yang tinggi antar aksesi ditunjukkan oleh aksesi Singaraja dengan
Ogan Ilir dan Merapi Farm dengan Indmira. Setiap aksesi menunjukkan
kekerabatan yang dekat dengan lektin dari tumbuhan satu genus, yaitu T.
divaricatum dan tumbuhan satu famili, yaitu P. ternata. Bentuk dendrogram ini
dapat berubah karena sekuen yang digunakan dari setiap aksesi merupakan sekuen
parsial, bila didapatkan sekuen yang lengkap memungkinkan terjadinya perubahan
percabangan dendrogram dan peningkatan kekerabatan antara aksesi dengan
tumbuhan Araceae lainnya. Kekerabatan gen lektin dari setiap aksesi dan dengan
tumbuhan Araceae lainnya dapat terkonfirmasi baik bila telah didapatkan sekuen
lengkap gen penyandi lektin dan sekuen asam amino lektin tersebut.
Telah diketahuinya parsial gen penyandi lektin dari setiap aksesi T.
flagelliforme dapat membantu menjawab permasalahan yang belum terjawab pada
penelitian ini dan mempermudah pengembangan penelitian berbasis lektin.
Permasalahan yang belum terjawab pada penelitian ini adalah fluktuasi aktivitas
lektin pada beberapa aksesi dan perbedaan dimulainya proses biosintesis lektin
umbi. Bila gen penyandi lektin telah lengkap diketahui, maka dimungkinkan
40
untuk mempelajari proses ekspresi gen dan jalur biosintesis lektin umbi sehingga
dapat diketahui penyebab permasalahan tersebut. Misalnya dengan mempelajari
promoter gen lektin tersebut sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang dapat
menyebabkan perbedaan waktu ekspresi dari lektin serta fluktuasi aktivitas lektin
umbi. Selain itu, untuk pengembangan lektin sebagai obat kanker, dapat dilakukan
rekayasa genetik untuk memproduksi lektin secara cepat dengan kualitas yang
sama setiap ulangan. Misalnya menggunakan metode DNA rekombinan dan
bakteri sebagai tempat ekspresi sehingga mempercepat proses produksi lektin bila
dibandingkan menggunakan tumbuhan. Rekayasa protein dapat dimungkinkan
dilakukan bila gen penyandi lektin telah diketahui karena perubahan pada sekuen
asam amino tertentu dapat meningkatkan aktivitas dan spesifisitas suatu protein
(Albert et al. 2008).
Toksisitas, Antiproliferasi, dan Sitotoksisitas Ekstrak Protein Umbi Umur 6
Bulan Masa Tanam
Kegunaan obat herbal berbasis lektin adalah sebagai antiproliferasi terhadap
sel kanker. Oleh karenanya, protein umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme yang
mengandung lektin diuji efek toksiknya terhadap larva Artemia sp. dan sel kanker
MCF-7 serta terhadap sel normal. Ekstraksi yang digunakan untuk mendapatkan
protein umbi pada uji ini menggunakan akuades sebagai pelarut, berbeda dengan
proses ekstraksi pada uji sebelumnya yang menggunakan larutan 0.15 M NaCl.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi pemakaian larutan garam untuk uji lanjut
menggunakan sel MCF-7 dan fibroblast dikarenakan salinitas sangat
mempengaruhi kehidupan sel. Selain itu, media yang digunakan untuk
pertumbuhan kedua sel tersebut adalah RPMI 1640 yang sudah terdapat NaCl
sebanyak 6 g/L dan garam lainnya (ATCC, USA). Ekstrak yang didapatkan lalu
diukur kembali kadar total protein umbinya dan diuji kembali aktivitas
hemaglutinasinya dikarenakan menggunakan pelarut yang berbeda dengan proses
ekstraksi pada metode fraksinasi protein. Hasil menunjukkan terdapat perbedaan
aksesi yang memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi dan kadar protein total
tertinggi. Saat ekstraksi menggunakan larutan 0.15 M NaCl (Tabel 2), kadar
protein total dan aktivitas hemaglutinasi tertinggi dimiliki oleh aksesi Solok. Saat
ekstraksi menggunakan larutan akuades (Tabel 3), aksesi Bogor memiliki kadar
protein total dan aktivitas hemaglutinasi tertinggi. Selain kuantitas umbi yang
berbeda, pelarut dalam proses ekstraksi juga mempengaruhi protein yang
terekstrak dan aktivitas hemaglutinasinya. Penggunaan larutan NaCl lebih dapat
mengekstrak protein umbi daripada menggunakan akuades karena suatu larutan
garam dengan konsentrasi tertentu dapat memberikan efek salting in terhadap
protein, yaitu peningkatan kekuatan ionik dari suatu larutan sehingga
meningkatkan kelarutan dari protein terlarut (Rosenberg 2005). Bila dilihat dari
hasil uji hemaglutinasi dan toksisitas terhadap larva Artemia sp., bahwa tidak ada
keterkaitan aksesi yang memiliki aktivitas hemaglutinasi juga memiliki efek
toksik yang tinggi. Hal ini juga terjadi pada ekstrak protein umbi yang diekstrak
menggunakan larutan NaCl (Tabel 2). Nilai LC50 ekstrak protein pada Tabel 2 dan
3 menunjukkan nilai LC50 dibawah 100 ppm sehingga menunjukkan bahwa
ekstrak protein umbi dari setiap aksesi memiliki efek toksik. Suatu senyawa bahan
41
alam dikatakan memiliki efek toksik bila memiliki nilai LC 50 di bawah 1000 ppm
sedangkan bila nilai LC50 di atas 1000 ppm dikatakan tidak memiliki nilai toksik
(Meyer et al. 1982). Oleh karenanya, walaupun memiliki kandungan total protein
berbeda, tetapi ekstrak yang diekstraksi dengan NaCl dan akuades memiliki efek
toksik.
Penggunaan sel kanker payudara MCF-7 didasarkan karena penyakit kanker
payudara merupakan penyakit kanker terbanyak diderita selain kanker mulut
rahim di Indonesia (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2014). Selain itu,
penggunaan empiris ekstrak T. flagelliforme lebih banyak digunakan untuk
mengobati kanker payudara pada masyarakat. Sel fibroblas digunakan untuk
mewakili sel normal atau sel non kanker manusia sehingga dapat diamati reaksi
yang terjadi antara sel normal dengan ekstrak protein umbi. Hasil uji
antiproliferasi terhadap sel MCF-7 dan sitotoksik terhadap sel fibroblas
menunjukkan bahwa pada konsentrasi rendah ekstrak protein umbi sudah dapat
menghambat proliferasi sel kanker dan tidak toksik pada sel non kanker.
Karakteristik tersebut telah menunjukkan ekstrak protein umbi T. flagelliforme
dari aksesi Solok dan Bogor berpotensi dijadikan obat kanker, namun perlu diuji
kembali terhadap sel kanker lainnya dan pengujian secara in vivo.
Bila dikaji kembali respon ekstrak protein umbi kedua aksesi tersebut
terhadap sel kanker MCF-7 dan fibroblas sebagai sel normal, terdapat 2 respon
yang berbeda, yaitu sebagai antiproliferasi terhadap sel kanker dan mampu
menginduksi sel normal pada konsentrasi rendah, yaitu di bawah 100 ppm untuk
ekstrak aksesi Solok dan di bawah 200 ppm untuk ekstrak aksesi Bogor. Hal
tersebut menunjukkan terdapat peranan lektin terhadap perbedaan respon tersebut.
Lektin telah diketahui dapat menghambat dan menstimulasi pertumbuhan sel. Hal
ini disebabkan terjadinya interaksi spesifik pada permukaan sel yang diakibatkan
adanya perbedaan komposisi gula dari glikoprotein pada permukaan sel kanker
dan sel normal (Sharon dan Lis 2004). Oleh karenanya, walau bahan uji yang
digunakan ekstrak protein umbi tetapi dari respon ekstrak terhadap kedua sel
tersebut menunjukkan kerja dari lektin yang terkandung pada ekstrak tersebut.
42
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah:
1. Lektin yang terkandung pada umbi T. flagelliforme (Lodd.) Blume aksesi
Solok memiliki bobot molekul 12.67 kDa, dengan kadar lektin sekitar 0.35 %
dari kadar total protein umbi, stabil pada suhu 20-40 °C, dan pH 5-7.2.
2. Total protein umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme (Lodd.) Blume banyak
terkandung protein dengan bobot molekul dibawah 30 kDa.
3. Biosintesis lektin umbi terjadi dari umur 1 bulan setelah tanam kecuali pada
aksesi Bogor, Ogan Ilir, Matesih, dan Solok. Biosintesis ini berlangsung
selama masa tanam hingga umur 6 bulan setelah tanam.
4. Kadar protein dan aktivitas lektin umbi T. flagelliforme cenderung meningkat
selama masa tanam.
5. Sekuens parsial gen pengkode lektin dari tiap aksesi telah diketahui dan
berukuran 600 bp. Sekuens tersebut memiliki kesamaan tertinggi dengan
sekuens CDS lektin dari tumbuhan lain famili Araceae, yaitu T. divaricatum,
Pinellia ternata, dan Pinellia pedatisecta.
6. Konsentrasi ekstrak protein umbi yang dapat menghambat proliferasi sel
kanker MCF-7 dan tidak bersifat toksik pada sel fibroblas (sel non kanker)
adalah 12.5 ppm.
Saran untuk penelitian berikutnya sehingga dapat melengkapi hasil penelitian ini
adalah:
1. Perlunya dilakukan uji antiproliferasi sel kanker terhadap selain sel MCF-7 dan
membandingkan aktivitas tersebut antara ekstrak total protein dengan lektin.
2. Perlunya dilakukan uji antikanker secara in vivo terhadap lektin tersebut.
3. Perlunya dilakukan deteksi lengkap gen pengkode lektin sehingga dapat
diaplikasikan produksi lektin secara bioteknologi.
43
DAFTAR PUSTAKA
Abdullaev FI, Meija EG de. 1997. Antitumor effect of plant lectins. Nat Toxins 5:
157-163
Alberts B et al. 2008. Molecular Biology of The Cell 5th Ed. New York (US):
Garland Science, Taylor & Francis Group
American Type Culture Collection. 2011. MTT cell proliferation assay. Manassas
(US): American Type Culture Collection
Bintang M. 2010. Biokimia-Teknik Penelitian. Jakarta (ID): Erlangga
Chen Z, Sun X, Tang K. 2004. Genomic cloning and characterization of a novel
lectin gene from Zantedeschia aethiopica. Bioscience Rep 24: 225-234
Churiyah. 2005. Protein bioaktif dari bagian tanaman dan akar transgenik
Cucurbitaceae serta aktivitas antiproliferasi galur sel kanker in vitro [disertasi].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Damme EJM van, Allen AK, Peumans WJ. 1987. Isolation and characterization of
a lectin with exclusive specificity towards mannose from snowdrop (Galanthus
nivalis) bulbs. FEBS Lett 215: 140-144
Damme EJM van et al. 1995. Characterization and molecular cloning of the lectin
from Arum maculatum L. Plant Physiol 107: 1147-1158
Damme EJM van, Peumans WJ, Barre A, Rouge P. 1998. Plant lectins: a
composite of several distinct families of structurally and evolutionary related
proteins with diverse biological roles. Crc Rev Plant Sci 17: 575-692
Damodaran D, Jeyakani J, Chauhan A, Kumar N, Chandra NR, Surolia A. 2008.
Cancer Lectin DB: a database of lectins relevant to cancer. Glycoconjugate J
25: 191-198
Dhuna V et al. 2005. Purification and characterization of a lectin from Arisaema
tortuosum Schott having in-vitro anticancer activity against human cancer cell
lines. J Biochem Mol Biol 38: 526-532
Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation from small amount of fresh leaf
tissue. Phytochem Bull 19:11-15
Ernst E, The CAM-Cancer Consortium. 2011. Mistletoe (Viscum album).
http://www.cam-cancer.org/CAM-Summaries/Herbal-products/MistletoeViscum-album. [30 Maret 2011].
Etzler ME et al. 1984. Subcellular localizations of two Dolichos biflorus lectins.
Plant Physiol 76: 871-878
European Medicines Agency. 2013. Assessment report on Viscum album L. herba.
London (UK): European Medicines Agency
GE Healthcare. 2004. Ion Exchange Chromatography & Chromatofocusing:
Principles and Methods. Uppsala (SE): GE Healthcare Bio-Sciences AB
Goldstein IJ, Hughes RC, Monsigny M, Osawa T, Sharon N. 1980. What should
be called a lectin. Nature 285: 66
Hans, Heldt W. 2005. Plant Biochemistry 3th ed. San Diego (US): Elsevier
Academic Press
Harada JJ et al. 1990. Two lectin genes differentially expressed in Dolichos
biflorus differ primarily by a 116-base pair sequence in their 5’ flanking
regions. J Biol Chem 265: 4997-5001
44
Hengartner MO. 2000. The biochemistry of apoptosis. Nature 407: 770-776
Hoffman LM, Donaldson DD. 1985. Characterization of two Phaseolus vulgaris
phytohemagglutinin genes closely linked on the chromosome. The EMBO J 4:
883-889
Horneber M, Bueschel G, Huber R, Linde K, Rostock M. 2010. Mistletoe therapy
in oncology. The Cochrane Lib issue 4
Jemal A, Siegel R, Xu J, Ward E. 2010. Cancer Statistic 2010. CA Cancer J Clin
60: 277-300
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia
2013. Jakarta (ID): Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kong W et al. 2006. Characterization of a mannose-binding lectin gene from
Typhonium divaricatum (L.) Decne. Afr J Biotechnol 5: 793-799
Kourmanova AG, Sourdakina OJ, Olsnes S, Kozlov JV. 2004. Cloning and
characterization of the genes encoding toxic lectins in mistletoe (Viscum album
L). Eur J Biochem 271: 2350–2360
Liu B et al. 2009a. Antiproliferative activity and apoptosis-inducing mechanism
of Concanavalin A on human melanoma A375 cells. Arch Biochem Biophys
482: 1-6
Liu B, Cheng Y, Bian HJ, Bao JK. 2009b. Molecular mechanisms of
Polygonatum cyrtonema lectin induced apoptosis and autophagy in cancer cells.
Autophagy 5: 253–255
Liu B et al. 2009c. Induction of apoptosis by Polygonatum odoratum lectin and its
molecular mechanisms in murine fibrosarcoma L929 cells. Biochim. Biophys.
Acta (BBA) – Gen. Subjects 1790: 840-844
Liu B, Bian HJ, Bao JK. 2010. Plant lectins: potential antineoplastic drugs from
bench to clinic. Cancer Lett 287: 1-12
Luo Y et al. 2007. A novel mannose-binding tuber lectin from Typhonium
divaricatum (L.) Decne (family Araceae) with antiviral activity against HSV-II
and anti-proliferative effect on human cancer cell lines. J Biochem Mol Biol
40: 358-367
Makkar HPS, Siddhuraju P, Becker K. 2007. Plant Secondary Metabolite:
Methods in Molecular Biology Vol 393. New Jersey (US): Humana Press
Martins GVF et al. 2012. Antiproliferative effects of lectins from Canavalia
ensiformis and Canavalia brasiliensis in human leukimia cell lines. Toxicol in
Vitro 26: 1161-1169
Meyer BN et al. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active
plant constituents. J Med Plant Res 45: 31-34
Mishkind M, Keegstra K, Palevitz BA. 1980. Distribution of wheat germ
agglutinin in young wheat plants. Plant Physiol 66: 950-955
Mohan S et al. 2010. In vitro ultramorphological assessment of apoptosis on
CEMss induced by linoleic acid-rich fraction from Typhonium flagelliforme
tuber. eCAM 1-13
Monks A et al. 1991. Feasibility of a high-flux anticancer drug screen using a
diverse panel of cultured human tumor cell lines. J Nat Cancer Inst 83: 757766
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Harper's Illustrated
Biochemistry 26th ed. New York (US): The McGraw-Hill Companies, Inc
45
Nelson DL, Cox MM. 2008. Lehninger Principle of Biochemistry 5th ed. New
York (US): WH Freeman and Company
Nobakht GM, Kadir MA, Stanslas J. 2010. Analysis of preliminary phytochemical
screening of Typhonium falgelliforme. Afr J Biotechnol 9: 1655-1657
Parijs JV, Broekaert WF, Goldstein IJ, Peumans WJ. 1991. Hevein: an antifungal
protein from rubber-tree (Hevea brasiliensis) latex. Planta 183: 258–262
Peumans WJ, Damme EJMV. 1995. Lectins as plant defense proteins. Plant
Physiol 109: 347-352
Promega. 2010. Technical manual: pGEM-T® and pGEM-T® Easy Vector Systems.
Madison (US): Promega Corporation
Roberts DM, Etzler ME. 1984. Development and distribution of a lectin from the
stems and leaves of Dolichos biflorus. Plant Physiol 76: 879-884
Rosenberg IM. 2005. Protein Analysis and Purification. Boston (US): Birkhäuser
Rout GR. 2006. Evaluation of genetic relationship in Typhonium species through
random amplified polymorphic DNA markers. Biol Plantarum 50: 127-130
Seifert G et al. 2008. Molecular mechanisms of mistletoe plant extract-induced
apoptosis in acute lymphoblastic leukemia in vivo and in vitro. Cancer Lett
264: 218–228
Sharon N, Lis H. 2004. History of lectin: from hemagglutinins to biological
recognition molecules. Glycobiol 14: 53-62
Sudmoon et al. 2008. Thermostable mannose-binding lectin from Dendrobium
findleyanum with activities dependent on sulfhydryl content. Acta Biochim
Biophys Sin 40: 811-818
Surachman D. 2009. Penggunaan beberapa taraf konsentrasi paklobutrazol dalam
media konservasi keladi tikus (Typhonium flagelliforme Lodd.) in vitro. Buletin
Teknik Pertanian 14: 31-33
Syahid SF. 2008. Keragaman morfologi, pertumbuhan, produksi, mutu, dan
fitokimia keladi tikus (Typhonium flagelliforme Lodd.) Blume asal variasi
somaklonal. Jurnal Littri 14: 113-118
Talbot CF, Etzler ME. 1978. Development and distribution of Dolichos biflorus
lectin as measured by radioimmunoassay. Plant Physiol 61: 847-850
Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology third edition. Massachusetts (US):
Sinauer Associates Inc.
Wang H, Gao J, Ng TB. 2000. A new lectin with highly potent antihepatoma and
antisarcoma activities from the oyster mushroom (Pleurotus ostreatus).
Biochem Biophys Res Commun 275: 810-816
Wang JC, Yang KC. 1996. The genus Typhonium (Araceae) in Taiwan. Botanical
Bull Acad Sin 37: 159-163
Yuzammi. 2011. The genus Typhonium Schott (ARACEAE - AREAE) in Java.
Di dalam: Didik W, editor. Prosiding Seminar Nasional “ Konservasi
Tumbuhan Tropika: Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan”; Cibodas, 7
April 2011. Cibodas: UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas –
LIPI. hlm 544-549
46
LAMPIRAN
47
Lampiran 1 Kurva standar larutan protein menggunakan BSA (Bovine
Serum Albumin)
Konsentrasi
(mg/mL)
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
0.116
0.235
0.300
0.377
0.457
0.524
Absorbansi
(595 nm)
0.114
0.234
0.300
0.376
0.457
0.525
0.115
0.236
0.300
0.377
0.457
0.523
Rerata
SD
0.115
0.235
0.300
0.377
0.457
0.524
0.001
0.001
0
0.0005
0
0.001
Persamaan linier: y = 0.0558 + 0.3186 x ; r = 99.57
Lampiran 2
Antiproliferasi ekstrak protein umur 6 bulan setelah tanam dengan
ekstraksi menggunakan aquades terhadap sel MCF-7
Absorbansi sel MCF-7
Perlakuan
(ppm)
Media
Sel
Bogor 6.25
12.5
25
50
100
200
Solok 6.25
12.5
25
50
100
200
Absorban
0.136
0.923
0.919
0.478
0.535
0.960
0.546
0.292
0.604
0.362
0.366
0.365
0.360
0.194
0.136
0.880
0.984
0.528
0.524
0.770
0.536
0.540
0.580
0.289
0.323
0.354
0.341
0.206
Rerata
0.137
0.824
0.661
0.498
0.541
0.906
0.520
0.250
0.543
0.348
0.339
0.300
0.268
0.198
0.136
0.875
0.854
0.501
0.533
0.878
0.534
0.361
0.575
0.333
0.342
0.339
0.323
0.199
Absorban
Terkoreksi
0
0.739
0.718
0.365
0.397
0.792
0.398
0.225
0.480
0.238
0.247
0.244
0.228
0.104
48
Lampiran 3
Sitotoksiksitas ekstrak protein umur 6 bulan setelah tanam dengan
ekstraksi menggunakan aquades terhadap sel fibroblas
Absorbansi sel fibroblast
Perlakuan
(ppm)
Media
Sel
Bogor 6.25
12.5
25
50
100
200
Solok 6.25
12.5
25
50
100
200
Absorban
0.174
0.201
0.206
0.217
0.217
0.201
0.204
0.196
0.202
0.211
0.210
0.200
0.197
0.179
0.169
0.187
0.199
0.209
0.206
0.216
0.207
0.184
0.192
0.206
0.197
0.193
0.192
0.186
Rerata
0.169
0.193
0.183
0.197
0.209
0.196
0.202
0.180
0.202
0.198
0.195
0.195
0.187
0.187
0.170
0.194
0.196
0.208
0.211
0.204
0.204
0.187
0.199
0.204
0.202
0.196
0.192
0.184
Lampiran 4 Perhitungan bobot molekul
Jarak total yang ditempuh: 44 mm
Jarak fraksi: DEAE = 35 dan 42 mm
CM = 41 mm
MF: jarak migrasi fraksi
jarak total
Log BM: axis dan MF: ordinat, y = 1.7763 – 0.76567x; r = 97.96
Pita Marka
1
2
3
4
BM (kDa)
200
50
30
15
Jarak (mm)
2.5
16
30
40
Bobot molekul fraksi
- DEAE : 19.10 dan 11.83 kDa
- CM : 12.67 kDa
Log BM
2.301
1.698
1.477
1.176
MF
0.0568
0.3636
0.6818
0.9090
Absorban
Terkoreksi
0
0.024
0.026
0.038
0.041
0.034
0.034
0.017
0.029
0.034
0.032
0.026
0.022
0.014
49
Lampiran 5 Sekuens fragmen gen lektin tiap aksesi
Aksesi Bogor
TTTCTTCTTCTTCCTCCTCCCGGCCATCCTCGGCCTCGCCACATCTCGGT
CAGCCGCCGCAGTGGGCACAAACTACATGCTGTCCGGCGAAACCCTAA
ACAGGAACGACCATCTCAGGAACGGCGACTTCGACTTGGTCATGCAGG
ACGACTGCAACCTCGTCCTCTACAACGGCGGTTGGCAGTCCGACACCG
CCAACAGAGGGCAGGACTGCCGGCTCACCCTGACCGACCGCGGCGA
GCTCCTCATCCAAGACCGCGACGGAACCAACGTCTGGAGCAGCGGCTC
CCGGGGAAAGA GGGGCAACTACGCCGCCGTCGTCCATCCCGACGG
GAAACTGGTCATCTACGGCCCCGCCGTCTTCAAGATCAACCCGTGGGT
GCCCGGCCTCAACAGCCTGCAGAAGCGCGGCGGCGACGCCCCCTTCCC
GGCCAACATGCTCTTCTCCGGCCAGGTCCTCCACAACGACCAGAGGCT
CACGGCGAGGAACCACATGCTGGTGATGCAGGGCGACTGCAACCTGG
TCCTCTACGGCGGCAAGTTCGGGTGGCAGTCCAACACCCACGGCAACG
GCGAGA
Aksesi Singaraja
TTCTTCTTCTTCCTCCTCCCGGCCATCCTCGGCCTCGTCGTCCCACGCCC
AGTCGCGGCGGTAGGCACCAACTACCTGCTGTCCGGCGAAACTCTAAA
CAACGAAGGACATCTCAAGAACGGCGACTTCGACTTGATCATGCAAG
GTGACTGCAACCTCGTCCTCTACAATGGCGGTTGGCAGTCCAACACGG
CGAACAGAGGACGGGACTGCAAGCTCACCCTGACCGACCGCGGCGAG
CTCATCATCAAGGCCGGCGACGGATCCAACGTCTGGAGCAGCGGCTCC
CAGTCGGTGACGGGCAACTACACCGCCGTTGTCCACCCGGATGGGAAA
CTGGTCGTCCACGGACCGTCCGTCTTCAAGATCAACCCAGGGGTTTCC
GGCCTCAACAGCCTGCGCCTCGGCAACAACCCCTCCACCTCCAACATG
CTATTCTCCGACGAGGTCCTCTACGCCGACGGCAAGCTCACCGCGAGG
AACCTTGTGCTGGTGATGCAGGGCGACTGCAACCTGGTGCTGTACGGC
GGCAAGTACGGGTGGCAGTCCGACACCCACGGCAA
Aksesi Merapi Farm
GCTCGCCGTTGCCGTGGGTGTTGGACTGCCACCCGAACTTGCCGCCGT
ACAGGACGAAGTTGCAGTCGCCCTGCATCACCAGCATGTGGTTCCTCG
CGGTGAGCCTCTCGTCGTTTTGGAGGACCTGGCCGGAGAAGAGCATGT
TGGAGGTGGAGGGGATGTTGCCGAGGCGCAGGCTGTTGAGGCCGGGA
ACCCATGGGTCGATCTTGAAGACGGACGGGCCGTAGATGACCAGTCTC
CCCTCGGGGTGGACGACGGCGGCGTAGTTGCCCCTCTCCGACTGGGAG
CCGCTGCTCCAGACGTTGGTTCCGTCGCGGTCTTGGATGAGGAGCTCG
CCGCGGTCGGTCAGGGTGAGCTTGCAGTCCCGTCCCCTGTTGGCGGTG
TTTGACTGCCAGTTGCCGTTGTAGAGGACGAGGTTGCAGTCGTCCTGC
ATGACCAAGTCGAAGTCGCCGTTCCTGAGGTGTCCGTCCCTGTTCAGG
GTTTCGCCGGACAGCAGGTAGTTGGTCCCTACTGCCGCGGCTGCTGCT
GGGACGACGATGACGAGGATGACGAGGAGGAGGAAGAAGAAGAA
50
Aksesi Indmira
TGCTCGCCGTTGCCGTGGGTGTTGGACTGCCACCCGAACTTGCCGCCG
TACAGCACCAGGTTGCAGTCGCCCTGCATCACCAGCATGTGGTTCCTC
GCGGTGAGCTTCTCGTCGCTGTAGAGGACCTGGCCGGAGAAGAGCATG
TTGGACGTGAAGGGGACGTCGCCGAGCCGCATGCTGTTGAGGCCGGC
AACCCATGGGTGGATCTTGAAGACGGACGGGCCGTAGATGACGAGTTT
CCCCTCCGGATGGAGGACGGCGGCGTAGTTGCCCCTCTTCTACTGGGA
GCCGCTGCTCCAGACGTTGGTTCCGTCGCGGTCTTCGATGATGAGCTC
GCCGCGGTCGGTCAGGGTGAGCTTGCAGTCCTGTCCTCTGTTGGCGGT
GTTGGACTGCCGCTTGCCGTTGTAGAGGACGAGGATGCAGTCGTCCTG
CATGATCACGTCGAAGTCGCCGTTCTTGATATGATCATCCCTGTTGATG
ATTTCGCCGGACGACATGTAGTTGGTGCCCACTGCCGCGGCTGATCCA
GGGACGACGATGACGAGGACGAGGATGAGGAGGAAGAAGAAGA
Aksesi Ogan Ilir
TCTTCTTCTTCTTCCTCCTCCCGGCCATCCTCGGCCTCGTCGTCCCACGC
CCAGCCGCGGCGGTAGGCACCAACTACCTGCTGTCCGGCGAAACCCTA
AACACCGACGGACATCTCAAGAGCGGCGACTCCGACTTGGTCATGCAG
GATGACTGCAACCTCGTCCTCTACAATGGCGGTTGGCAGTCCAACACG
GCGAACAGAGGACGGGACTGCAAGCTCACCCTGACCGACCGCGGCG
AGCTCATCATCAAGGCCGGCGACGGATCCAACGTCTGGAGCAGCGGCT
CCCAGTCGGTGACGGGCAACTACACCGCCGTTGTCCACCCGGATGGGA
AACTGGTCGTCCACGGACCGTCCGTCTTCAAGATCAACCCATGGGTTT
CCGGCCTCAACAGCCTGCGCCTCGGCAACAACCCCTCCACCTCCAACA
TGCTATTCTCCGGCGAGGTCCTCTACGCCGACGGCAAGCTCACCGCGA
GGAACCACGTGCTGGTGATGCAGGGCGACTGCAACCTGGTGCTGTACG
GCGGCAAGTACGGGTGGCAGTCCAACACCCACGGCAACGGCCAGC
Aksesi Matesih
AACTACTTACTGTCCGGCGAAACCCTAAACACGAACAACCACCTCAAA
AACGGCGACTTCGAATTGGTCATGCAGGATGACTGCAACCTCGTCCTC
TACAATGGCAATTGGCAGTCCAACACCGCCAACAGGGGACGAGACTG
CAAGCTCACCCTGACCGACCGCGGCGAGCTCATCATCCGAGACCGCGA
CGGAGCCAACGTCTGGAGCAGCGGTTCCCGGTCGGAGAGGGGCAAGT
ACGCCGCCGTCGTCCATCCGGAGGGGAAACTGGTCATCTACGGCCCTT
CCGTGTTCAAGATCGACCCCTGGGCCCCCGGCCTCAACAGCCTGAGGC
AGCTCGGCGACGTCCGATTCACGGCCAACATGCTCTTCTCCGGCCAAG
TCCTCAACAGTGACGAGAAGCTCACTGCAAGGAACCACATGCTGGTGA
TGCAGGGCGACTGCAACCTGGTCCTGTACGGCGGCAAATTCGGGTGGC
AGTCCAACACCCACGGCAACGGCGAGCACTGCTTCGTGAGGCTGAACC
ACAAGGGCGAGCTCAACATCATCAA
Aksesi Solok
GCTCGCCGTTGCCGTGGGTGTTGGACTGCCACCCGAATTTGCCGCCGT
ACAGGACCAGGTTGCAGTCGCCCTGCATCACCAGCATGTGGTTCCTTG
CAGTGAGCTTCTCGTCACTGTTGAGGACTTGGCCGGAGAAGAGCATGT
TGGCCGTGAATCGGACGTCGCCGAGCTGCCTCAGGCTGTTGAGGCCGG
GGGCCCAGGGGTCGATCTTGAACACGGAAGGGCCGTAGATGACCAGT
51
TTCCCCTCCGGATGGACGACGGCGGCGTACTTGCCCCTCCCCCACTTCC
AGCCGCTGCTCCTGCTCCTGAATCCGTCTCCGTCTTGGATGATGATCTC
GCCGCCGTCGCTCACGGTGAGCTTGCAGTCCCGTCCCCTGCTGCCGGT
GTTGGACTGCCACTGGCCGTTGTCGATGACGAGGATGAAGTCGTCCTG
CTTGAGCATGTCGAAGTCGCCGTTCCTGATATGGACGTCCCTGTTCATG
GTTTCGCCGGACACCAAGTAGTTGGTGCCTATCGCCACTGCTGCACCT
GACCTAACGATGACGAGGATGACCAGGAAGAGGAAGAAGAAGAAAA
52
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 04 Juni 1986. Penulis merupakan
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Mohamad Zatul Iqbal Moenaf
dan Dewi Rukmini. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 47 Jakarta
dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada Departemen Biokimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Penulis berhasil
menyelesaikan program S1 pada tahun 2008, kemudian pada tahun yang sama
penulis melanjutkan ke pogram S2 pada Program Studi Biokimia dan berhasil
meraih gelar Master Sains pada tahun 2010.
Tahun 2010 penulis melanjutkan ke program S3 pada Program Studi
Biologi Tumbuhan dan kegiatan penelitian disertasi memperoleh dukungan dari
dana penelitian Program DIPA tahun 2012, Pusat Teknologi dan Farmasi Medika,
BPPT dengan nomor kontrak (01)-3466/01/2012. Pada tahun 2013, penulis
menjadi staf pengajar di Departemen Biokimia Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Kristen Indonesia.
Hasil penelitian tahap satu dari disertasi ini telah dipublikasi di Internasional
Journal of Biosciences pada volume 6, no 12, halaman 52-60, tahun 2015.
Sedangkan publikasi lain yang dimiliki penulis telah diterbitkan di HAYATI
Journal of Biosciences voluem 17, no 4, halaman 201-204, tahun 2010.
Download