Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah

advertisement
MODAL SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN
EKONOMI KELUARGA DI DAERAH
PERDESAAN PROVINSI JAMBI
SUANDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Modal Sosial dan
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi” adalah
karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2007
Suandi
A561020061
2
RINGKASAN
SUANDI. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah
Perdesaan Provinsi Jambi. Dibimbing oleh
UJANG SUMARWAN,
SUPRIHATIN GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, dan EUIS SUNARTI.
Teknologi, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan faktor
penting dalam menentukan kapasitas masyarakat untuk menghasilkan suatu
produk. Namun demikian, faktor produksi tersebut belum mampu melihat tingkat
interdependensi antar individu dalam masyarakat kalau tidak didukung oleh
faktor institusi dan nilai yang berlaku di masyarakat. Pengalaman selama ini,
setiap peningkatan kesejahteraan, masyarakat dianggap sebagai “mesin rusak,”
dan pengetahuan yang ada digunakan untuk memperbaiki “mesin” tersebut.
Disamping itu, determinan kesejahteraan (well-being) hanya terbatas pada faktor
fisik (alam, ekonomi, dan sumberdaya manusia), dan sedikit sekali melihat
kesejahteraan dalam konteks modal sosial. Padahal modal sosial merupakan
sumberdaya terpenting dalam kehidupan masyarakat karena modal ini merupakan
jaringan/hubungan keluarga terhadap dunia luar baik bersifat formal maupun
informal untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada di masyarakat termasuk
masalah peningkatan kesejahteraan keluarga.
Penduduk Provinsi Jambi, seperti penduduk lainnya di Indonesia,
mengelompok sesuai dengan ciri yang dianut masyarakat, seperti: pola
penguasaan lahan, karakteristik sosio-budaya, dan etnisitas sehingga dapat
berpengaruh terhadap income inequality. Melihat
adanya perbedaan
pengelompokan masyarakat di Provinsi Jambi, tingkat kesejahteraan yang
diharapkan memiliki nilai tersendiri dan peran modal sosial dalam arti jalinan
jaringan kerja baik secara formal maupun info rmal satu dengan lainnya adalah
cukup penting. Hingga saat ini, penelitian dan pengembangan konsep modal sosial
dan perannya dalam pembangunan, terutama kaitannya dengan kesejahteraan
masyarakat di Indonesia masih belum banyak dilakukan.
Tujuan penelitian adalah (1) Mengidentifikasi dan mengkaji tingkat
kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jamb i, (2)
Mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi
keluarga, (3) Mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga
berdasarkan wilayah agroekologi, (4) Menganalisis pengaruh modal sosial
terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga, dan (5) Menghasilkan model
pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan. Desain penelitian adalah cross
sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi: Kabupaten Kerinci dan
Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Waktu pengumpulan data penelitian selama
delapan bulan, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2007. Variabel
penelitian adalah sosio-demografi, manajemen sumberdaya, modal sosial (asosiasi
lokal dan karakter masyarakat) dan variabel kesejahteraan ekonomi keluarga
(kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif). Data penelitian bersumber dari
data sekunder dan primer yang diambil dengan cara observasi, wawancara
langsung, indepth interview dan Focus Group Discussion (FGD). Jumlah sampel
3
penelitian 325 keluarga atau 10 persen dari populasi ( 3.257 keluarga) yang
diambil secara berturut-turut dengan cara cluster, purposive, dan simple random
sampling. Data dianalisis melalui model Structural Equation Modelling (SEM)
dengan program LISREL (versi 8.7).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi
keluarga (objektif dan subjektif) di daerah penelitian tergolong sejahtera.
Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga secara positif dipengaruhi oleh faktor
manajemen keuangan, tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat
asosiasi bagi keluarga dan faktor tingkat keterpercayaan masyarakat. Distribusi
tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif) di daerah
penelitian relatif merata. Tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah
pegunungan lebih merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan di wilayah
pesisir pantai. Pengujian melalui model SEM, ternyata laten variabel modal sosial
(asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi
keluarga. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial yang dimiliki oleh keluarga
maka tingkat kesejahteraan mereka semakin baik.
Peran modal sosial terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga
dapat dilihat dari berbagai bentuk, yakni: (1) Menurut mekanisme. Oleh karena
modal sosial bukan merupakan kapital yang dapat me ntransformasi langsung
terhadap suatu hasil yang diharapkan maka ia dapat dikatakan produktif atau
berperan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga harus melalui
berbagai mekanisme. Sesuai dengan manfaat dan akses dari modal sosial yang
diharapkan masyarakat sehingga efek modal sosial yang dapat mempengaruhi
penghasilan dan kesejahteraan ekonomi keluarga yaitu melalui tiga mekanisme,
yakni: sharing informasi diantara anggota kelompok, sistem kerja bersama atau
gotong royong (collective action) baik untuk kegiatan produktif maupun kegiatan
sosial, dan pengambilan keputusan bersama (musyawarah). (2) Menurut tipe
interaksi sosial. Besar kecilnya pengaruh modal sosial terhadap peningkatan
kesejahteraan ekonomi keluarga sangat ditentukan oleh tipe interaksi sosial yang
berkembang atau yang diikuti oleh anggota keluarga, seperti: interaksi sosial
melalui kekerabatan keluarga( bonding), melalui kolega atau teman ( bridging)
dan interaksi sosial melalui lembaga atau institusi formal (lingking). (3) Menurut
dimensi modal sosial. Sesuai dengan konsep yang dikembang dalam penelitian ini
dan didukung oleh sosial budaya masyarakat maka dimens i modal sosial yang
digunakan yaitu terdiri dari dua dimensi besar yang saling berhubungan secara
kausalitas, yakni: asosiasi lokal dan dimensi karakter. Dimensi asosiasi lokal
dilihat dari aspek: jumlah asosiasi yang diikuti, tingkat partisipasi, dan manfaat
asosiasi, sedangkan dimensi karakter, terdiri dari: keterpercayaan, solidaritas, dan
dimensi semangat kerja. Peran lain dari modal sosial yaitu memfasilitasi berbagai
akses di masyarakat, seperti: suplai air dan irigasi, kredit, dan akses dalam
mendapatkan input pertanian/teknologi. Oleh karena itu, penguatan modal sosial
sangat tepat dalam pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi keluarga.
Kata-kata kunci: kesejahteraan ekonomi keluarga, disparitas, modal sosial, dan
pemberdayaan masyarakat.
4
ABSTRACT
SUANDI. Social capital and family economic well-being in rural area of Jambi
Province. Under the direction of UJANG SUMARWAN, SUPRIHATIN
GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, and EUIS SUNARTI.
The objectives of this study are: (1) to analyze the family economic wellbeing, (2) to analyze factors effect on family economic well-being, and (3) to
comprehend and analyze disparities of family economic well-being, (4) to explore
the effect of social capital variables on family objective and subjective economic
well-being, and (5) to develop the community development model in rural area
of Jambi Province. The research design is cross sectional and was carried out in
Kerinci and East Tanjung Jabung districts from January to August 2006. Variables
used are socio-demography, family resource management, social capital, and
family economic well-being both objective and subjective economic well-being.
325 household samples are chosen using cluster, purposive and random sampling
methods. Data were collected using survay, indepth interview, and Focus Group
Discussion (FGD). Descriptive, regression analyze, and Structural Equation
Modeling (SEM) models were used for data analyzed. The results show that
family economic well-being consisted of objective and subjective economic wellbeing are not poor. Management of family livelihood, participation of family in
local asociation, using of asociation in family, and trust factors have positive
effect on family objective economic well-being. Family economic well-being
consisted of objective and subjective economic well-being are equal (no
disparities) among family in the research area. Family economic well-being in
mountainous area, however, is better than compared to the family in coastal area.
Finally, social capital (asociation and people character) both directly and
indirectly has a significant effect on family economic well-being in mountainous
area. The research finding also showed that there was no significant effect of
social capital on family economic well-being in coastal area. The roles of social
capital in generating family economic well-being are created through: (1) sharing
informations, (2) asociation activities, and (3) collective actions. Besides, the
social capital also give access to: (1) irrigation for farming and water supply for
household needs, (2) credit for agriculture activities, and (3) agricultural input and
technology for farmers. The research come to the conclusion that strengthening
social capital is very important in community development to increase family
economic well-being in rural area.
Key words: family economic well-being, disparities, social capital, and community
development.
5
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2007
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
6
MODAL SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN
EKONOMI KELUARGA DI DAERAH
PERDESAAN PROVINSI JAMBI
SUANDI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
7
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
1. Makmur Sunusi, Ph.D.
2. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc.
8
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi
:
Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi
Keluarga Di Daerah Perdesaan Provinsi
Jambi
Nama
:
Suandi
NRP.
:
A561020061
Program Studi
:
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwa n, M.Sc
Ketua
Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS
Anggota
Prof. Dr. Pang S. Asngari
Anggota
Dr. Ir. Euis Sunarti, MS
Anggota
Diketahui
Koordinator Phasing Out
Program Studi GMK
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS
Tanggal Ujian: 16-08-2007.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS
Tanggal Lulus: 24 September 2007
9
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Adapun judul
karya ilmiah ini adalah “Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di
Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. ” Karya ilmiah ini dibuat sebagai syarat guna
penyelesaian studi Program Doktor (S3) pada Program Studi Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga (GMK).
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc.,
selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS.,
Prof. Dr. Pang S. Asngari, serta Dr. Ir. Euis Sunarti, MS., masing- masing sebagai
anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam
memberikan saran dan masukan guna penyempurnaan karya ilmiah ini.
Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ali Khomsan
selaku ketua Progam Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK)
Sekolah Pascasarjana IPB yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua dan mertua,
isteri dan anak-anak serta keluarga lainnya atas segala doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Amien!
Bogor, September 2007
Suandi
10
Riwayat Hidup
Penulis dilahirkan di Jujun Kerinci pada tanggal 01 Nopember 1963 sebagai
anak kedua dari pasangan Bapak Sulaiman Taher dan Ibu Siti Aman. Pendidikan
sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Jambi, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi
Kependudukan pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) dan
menamatkannya pada tahun 1996. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor
pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK) diperoleh
pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Ditjen DIKTI
Departemen Pendidikan Nasional.
Penulis bekerja sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian Universitas Jambi dari tahun 1989 sampai sekarang. Bidang
keahlian yang menjadi tanggung jawab penulis pa da Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi ialah bidang Ekonomi Sumberdaya
Manusia dan Kesejahteraan Keluarga.
Selama bekerja sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Jambi, penulis pernah dipercaya memangku jabatan
sebagai Ketua Program Studi Agribisnis pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Jambi periode 2001-2004 dan pada periode yang sama
sebagai Anggota Se nat Fakultas Pertanian Universitas Jambi.
Publikasi buku yang dihasilkan penulis selama bekerja sebagai dosen pada
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi, adalah: (1)
Profil Statistik dan Indikator Gender Provinsi Jambi, (2) Kebijakan Pembangunan
Pendidikan di Provinsi Jambi Berbasis Gender, dan (3) Aplikasi Stuctural Equation
Modeling (SEM) dalam Penelitian Keluarga. Publikasi ilmiah yang telah diterbitkan
selama tiga tahun terakhir, adalah: (1) Kondisi Sosio-demografi dan Kemiskinan di
Perdesaan Provinsi Jambi, (2) Hubungan Pekerja Anak terhadap Sosial Ekonomi
Rumahtangga di Kota Jambi, dan (3) Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. Publikasi ilmiah penulis
yang terakhir adalah merupakan bagian dari disertasi.
11
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .....................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiii
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang ..........................................................................
1
Masalah Masalah ......................................................................
5
Tujuan Penelitian ......................................................................
7
Kegunaan Penelitian .................................................................
7
Keterbatasan Penelitian ............................................................
8
Pembaruan Penelitian ...............................................................
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
8
Kesejahteraan ekonomi keluarga ..............................................
9
Keterkaitan Institusi Keluarga dengan Sistem Kesejahteraan
di Daerah Perdesaan ..................................................................
13
Persepsi Kesejahteraan ekonomi keluarga ................................
16
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif .............................................
18
Konsep Modal Sosial ................................................................
21
Perkembangan Penelitian tentang Modal Sosial .......................
25
Beberapa Dimensi dan Tingkat Hubungan Modal Sosial .........
27
Interaksi Sosial Kehidupan Masyarakat ....................................
28
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN...................
32
Kerangka Berpikir .....................................................................
32
Hipotesis Penelitian ...................................................................
34
METODE PENELITIAN ..........................................................................
35
Desain, dan Lokasi Penelitian ...................................................
35
Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data .......................
36
Waktu Pengumpulan Data Penelitian .......................................
37
Sampel Penelitian ....................................................................
39
12iii
9
Halaman
Analisis Data .............................................................................
42
Uji Reliabilitas ...........................................................................
57
Definisi Operasional ..................................................................
59
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
62
Gambaran Umum Daerah Penelitian ........................................
63
Karakteristik Keluarga Contoh ..................................................
72
ARTIKEL I: PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN
SUMBERDAYA DAN MODAL SOSIAL TERHADAP
KESEJAHTERAAN EKONOMI OBJEKTIF KELUARGA
BERDASARKAN WILAYAH AGROEKOLOGI ..............................
ABSTRAK ...............................................................................................
86
86
ABSTRACT .............................................................................................
87
PENDAHULUAN ....................................................................................
88
METODE PENELITIAN ..........................................................................
90
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
93
Sosio Demografi Keluarga .......................................................
93
Manajemen Sumberdaya Keluarga............................................
101
Modal Sosial .............................................................................
111
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga .............................................
Kesejahteraan Ekonomi Objektif ..................................
121
122
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan
Ekonomi Objektif ......................................................................
125
Disparitas Pengeluaran Keluarga ..................................
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
127
Kesimpulan ...............................................................................
130
Saran ..........................................................................................
131
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
131
13
130
Halaman
ARTIKEL II: PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN
SUMBERDAYA DAN MODAL SOSIAL TERHADAP
KESEJAHTERAAN EKONOMI SUBJEKTIF KELUARGA DI
PERDESAAN PROVINSI JAMBI .....................................................
ABSTRAK ...............................................................................................
133
133
ABSTRACT .............................................................................................
134
PENDAHULUAN ....................................................................................
135
METODE PENELITIAN ..........................................................................
136
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
139
Sosio Demografi Keluarga ........................................................
139
Manajemen Sumberdaya Keluarga............................................
142
Modal Sosial .............................................................................
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif .............................................
145
151
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Ekonomi
Subjektif .............................................................................................
158
Disparitas Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ................
160
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
162
Kesimpulan ................................................................................
Saran ..........................................................................................
162
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
164
163
ARTIKEL III: PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP
KESEJAHTERAAN EKONOMI KELUARGA DI
WILAYAH PERDESAAN PROVINSI JAMBI ....................
ABSTRAK ................................................................................................
ABSTRACT ..............................................................................................
PENDAHULUAN .....................................................................................
166
166
167
168
METODE PENELITIAN ..........................................................................
169
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
172
Modal Sosial ..............................................................................
172
Asosiasi Lokal ...............................................................
Karakter Masyarakat .....................................................
172
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga .............................................
194
14
185
Halaman
Kesejahteraan Ekonomi Objektif ..................................
195
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif .................................
199
Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ................
207
Model Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Perdesaan ........
216
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
219
Kesimpulan ................................................................................
219
Saran ..........................................................................................
220
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
220
PEMBAHASAN UMUM .........................................................................
223
Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ................
223
Peran Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi
Keluarga ................................................................................
227
Implikasi Penelitian Keterkaitan Modal Sosial dengan
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga .............................................
237
Model Pemberdayaan Masyarakat di Daerah Perdesaan ..........
238
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
241
Kesimpulan ................................................................................
Saran ..........................................................................................
241
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
245
LAMPIRAN ..............................................................................................
256
15
243
DAFTAR TABEL
Halaman
2
Perkembangan Kualitas Manusia Indonesia dan ASEAN
diukur dari HDI (1996-2004) ....................................................
Sistem, Subsistem dan Faktor- faktor Kesejahteraan .................
12
3
Definisi, Maksud/Tujuan dan Analisis Modal Sosial ................
24
4
Jenis dan Metode Pengumpulan Data .......................................
38
5
41
6
Jumlah Responden dan Informan Indepth Intrerview
Berdasarkan Kabupaten, Kecamatan dan Desa di Daerah
Penelitian, tahun 2006 ....………………………………….......
Matrik-matrik Model Laten Variabel ........................................
7
Matrik-matrik Model Pengukuran .............................................
51
8
Godness of Fit Indecs ................................................................
55
9
Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Pertanyaan,
nilai ?-cronbach dan ?-cronbach standarisasi, 2006 .................
58
Konstruk/Variabel Penelitian, Indikator, Nilai dan Skala
Pengukuran Penelitian, 2006. ...................................................
61
Penduduk Berumur 10 tahun Ke Atas Menurut Jenis Kelamin
dan Kepandaian Membaca/Menulis di Provinsi Jambi, 20022004 (%) ....................................................................................
67
Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SD, SLTP, dan SLTA
Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi, 2000 ............ ......
69
13
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi
Anak, 2006 ................................................................................
73
14
Sebaran Contoh Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah,
2006 ...........................................................................................
74
Sebaran Contoh Berdasarkan Tipe Rumah, 2006 .....................
75
16
Sebaran Contoh Berdasarkan Luas Lantai Rumah, 2006 ..........
76
17
Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Dinding Rumah, 2006 .......
77
18
Sebaran Contoh Berdasarkan Atap Rumah, 2006 .....................
78
19
Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Lantai Rumah, 2006 .........
79
1
10
11
12
15
vii
16
4
49
Halaman
20
Sebaran Contoh Berdasarkan Fasilitas Rumah, 2006 ...............
80
21
Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas
Umum, 2006 ..............................................................................
82
22
Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas
Umum, 2006 ..............................................................................
83
23
Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan Fasilitas
Umum, 2006 ..............................................................................
84
24
Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan masingmasing Fasilitas Umum, 2006 ...................................................
85
25
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Suami,
Tahun 2006 ................................................................................
95
26
Sebaran Contoh Berdasarkan Pendidikan Non Formal Suami,
2006 ...........................................................................................
96
27
Sebaran Contoh Berdasarkan Kelompok Umur Terpilih, 2006
...................................................................................................
99
28
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Beban Ketergantungan
Keluarga, 2006 ..........................................................................
100
29
Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Sumberdaya
Keluarga, 2006 ..........................................................................
105
30
Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Waktu Keluarga,
2006 ...........................................................................................
106
31
Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Anggota Keluarga,
2006 ...........................................................................................
108
32
Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Keuangan
Keluarga, 2006 .........................................................................
109
33
Sebaran Contoh dengan Manajemen yang Dirasakan Baik
Berdasarkan Sumberdaya, 2006 ................................................
110
34
Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang
Diikuti, 2006 .............................................................................
112
35
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota
Keluarga dalam Asosiasi Lokal, 2006 ......................................
114
36
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota
Keluarga pada Pertemuan Asosiasi Lokal, 2006 .......................
115
17
Halaman
37
Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi
Keluarga, 2006 ..........................................................................
116
38
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan
Masyarakat, 2006 ......................................................................
118
39
Sebaran Contoh Berdasarkan Solidaritas Masyarakat, 2006 .............
119
40
Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja, 2006 ................
121
41
Sebaran Contoh Menurut Tingkat Pengeluaran Keluarga,
Tahun 2006 ................................................................................
123
42
Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan
Keluarga, Tahun 2006 ...............................................................
124
43
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan
Ekonomi Objektif Keluarga, Tahun 2006 .................................
126
44
Indeks Kuznet Tingkat Pengeluaran Keluarga ..........................
128
45
Sebaran Contoh Menurut Kepuasan terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Sehari-hari, 2006 .....................................................
151
46
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Pangan, 2006 .......................................
154
47
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Non Pangan, 2006 ...............................
155
48
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Investasi Sumberdaya manusia, 2006 .......................
157
49
Persentase Contoh Merasa Puas Terhadap Pemenuhan Alokasi
Kebutuhan Sehari-hari, 2006 .....................................................
158
50
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan
Ekonomi Subjektif Keluarga, Tahun 2006 ................................
159
51
Indeks Kuznet Tingkat Kepuasan Keluarga ..............................
161
52
Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Pertanyaan,
nilai ?-cronbach dan ?-cronbach standarisasi, 2006 .................
170
53
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Asosiasi Lokal yang
Dimiliki, 2006 ...........................................................................
173
54
Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang
Diikuti, 2006 .............................................................................
174
18
Halaman
55
Sebaran Contoh Berdasarkan Partisipasi Anggota Keluarga
dalam Asosiasi Lokal, 2006 ......................................................
175
56
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota
Keluarga pada Pertemuan Asosiasi Lokal, 2006 ......................
177
57
Sebaran Contoh Berdasarkan Pengambilan Keputusan
Keluarga dalam Pertemuan, 2006 .............................................
177
58
Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi
Keluarga, 2006 ..........................................................................
178
59
Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Asosiasi Lokal Bagi
Keluarga, 2006 ............................................................................
180
60
Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Asosiasi Lokal bagi
Keluarga, 2006 ..........................................................................
183
61
Sebaran Contoh Berdasarkan Berbagai Akses Asosiasi Lokal
bagi Keluarga, 2006 ..................................................................
184
62
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Heterogenitas Asosiasi
Lokal, 2006 ...............................................................................
185
63
Sebaran Contoh Berdasarkan Karakter Masyarakat, 2006 .......
187
64
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan
Masyarakat, 2006 ......................................................................
187
65
Sebaran Contoh Berdasarkan Solidaritas Masyarakat, 2006 .............
190
66
Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja, 2006 ...............
193
67
Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan
Keluarga, Tahun 2006 ...............................................................
196
68
Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Pangan Keluarga,
2006 ...........................................................................................
197
69
Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Non Pangan
Keluarga, 2006 ..........................................................................
198
70
Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Investasi
Sumberdaya Manusia, 2006 ......................................................
199
71
Sebaran Contoh Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Sehari- hari, 2006 .......................................................................
200
72
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Pangan, 2006 .......................................
203
19
Halaman
73
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Non Pangan, 2006 ...............................
204
74
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Investasi Sumberdaya Manusia, 2006 .
206
75
Persentase Contoh Keluarga Merasa Puas Terhadap
Pemenuhan Alokasi Kebutuhan Sehari- hari, 2006 ...................
206
76
Goodness of Fit Index Pengaruh Modal Sosial terhadap
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga, 2006 ...................................
208
77
Nilai Gamma dan Betha antar Variabel Laten Pengaruh Modal
Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga, 2006 .........
212
20
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Perkembangan Perekonomian Indonesia dari 1990-2000 .........
3
2
Modal Sosial sebagai Sumberdaya ............................................
23
3
Kerangka Konseptual Modal Sosial ..........................................
31
4
Kerangka Berpikir: Hubungan Modal Sosial dengan
Kesejahteraan Keluarga .............................................................
34
5
Letak Lokasi Wilayah Penelitian ..............................................
36
6
Desain dan Lokasi Penelitian ....................................................
41
7
Kerangka Analisis .....................................................................
42
8
Distribusi Contoh di Daerah Penelitian Berdasarkan Tingkat
Pendidikan Tertinggi Anak, 2006 .............................................
73
9
Kurva Lorenz Tingkat Pengeluaran Keluarga ...........................
129
10
Kurva Lorenz Tingkat Kepuasan Keluarga ...............................
162
11
Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan Provinsi Jambi ...
209
Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai Provinsi Jambi ..
210
Pemberdayaan Keluarga Berbasis Modal Sosial .......................
217
12
13
21
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Deskripsi Wilayah Penelitian di Kabupaten Kerinci Menurut
Kecamatan dan Desa, Tahun 2006 ............................................
256
2
Deskripsi Wilayah Penelitian di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur Menurut Kecamatan dan Desa, 2006 .............................
257
3
Distribusi Responden di Daerah Penelitian Berdasarkan
Asosiasi Lokal yang Bermanfaat bagi Keluarga, 2006. ............
258
4
Distribusi Responden di Daerah Penelitian Berdasarkan
Heterogenitas Asosiasi Lokal yang Diikuti Keluarga, 2006......
259
5
Matrik Korelasi antara Variabel Sosio-demografi dan
Manajemen Sumberdaya Keluarga dengan Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan, Tahun 2006 ........
260
Matrik Korelasi antara Variabel Sosio-demografi dan
Manajemen Sumberdaya Keluarga dengan Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai, Tahun 2006 ......
261
Matrik Korelasi antara Variabel Modal Sosial dengan
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan,
2006 ...........................................................................................
262
Matrik Korelasi antara Variabel Modal Sosial dengan
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai,
2006 ...........................................................................................
263
9
Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi
Keluarga di Wilayah Pegunungan .............................................
264
10
Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi
Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai ...........................................
266
11
Alternatif Model Komplit di Wilayah Perdesaan Provinsi
Jambi ........................................................................................
268
6
7
8
22
xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fakta menunjukkan bahwa perluasan kerjasama sosial politik dunia belum
dapat mencegah adanya perbedaan (disparities) dan ketidaksamaan (inequality)
antar negara. Menurut laporan United Nations (Santamarina et al., 2002:93),
secara moral hal ini merupakan tantangan besar dari waktu ke waktu dan menjadi
pemicu berbagai persoalan dalam perencanaan pembangunan masa mendatang.
Beberapa ahli memperkirakan, dengan adanya perbedaan dan ketidaksamaan
tingkat kesejahteraan masyarakat antar negara di dunia dapat mengakibatkan
terjadinya instabilitas. Oleh karena itu, PBB yang disponsori oleh UNDP,
mengadakan ”Millenium Summit” dengan nama ”Millenium Development Goals
(MDGs) pada bulan September 2000 yang diikuti oleh 189 negara termasuk
Indonesia dengan menghasilkan beberapa komitmen resmi, antara lain:
mengurangi deprivasi global yang meliputi kemiskinan, kelaparan, kesehatan, dan
Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada masyarakat di seluruh dunia,
khususnya negara- negara berkembang.
Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan
sumberdaya manusia telah disepakati delapan tujuan pembangunan dengan 12
target dan 48 indikator pembangunan yang harus dicapai pada tahun 2015.
Apabila komitmen tersebut dapat dicapai sesuai dengan target yang daharapkan
maka negara-negara berkembang pada tahun 2015 dapat hidup sejahtera dan
makmur seperti negara-negara maju. Pencapaian indikator utama dapat terlihat
dari kemajuan pembangunan dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan
kelaparan, pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang stabil (United
Nations, 2003).
Untuk mempercepat program pembangunan Millenium Development
Goals (MDGs), bangsa Indonesia harus bekerja keras terutama meningkatkan
kinerja pemerintah dalam arti menerapkan good governance yang bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tertib, bersih dan berwibawa. Menurut
pengamatan dan evaluasi Asian Development Bank (ADB), bangsa Indonesia
masih lemah dan rendah dalam menjalankan berbagai indikator pembangunan,
23
seperti: (1) indikator kebebasan berpendapat dan akuntabilitas, (2) kestabilan
politik, (3) efektivitas pemerintah, (4) kualitas peraturan, (5) ketaatan atas hukum,
dan (6) kontrol korupsi (ADB, 2005;12). Berdasarkan indeks persepsi korupsi
yang disusun oleh Transparancy International, Indonesia menduduki urutan 122
dari 133 negara dan jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara ASEAN
lainnya (seperti: Malaysia, Thailand, dan Filipina, masing- masing hanya
menduduki peringkat 37, 70 dan 92).
Indonesia dengan jumlah penduduk 217,07 juta menyebar kedalam 33
provinsi (BPS, 2004). Berdasarkan data terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia
rata-rata 4,1 persen pertahun dengan pendapatan perkapita sekitar Rp 2.014.565,per tahun. Lima belas tahun terakhir, seperti terlihat pada grafik, tampak bahwa
perkembangan perekonomian Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan cukup signifikan baik diukur dari aspek Gross Domestic Product
(GDP), maupun pendapatan perkapita kecuali pada tahun 1998 perkembangan
perekonomian Indonesia turun drastis yaitu mencapai -13,3 persen akibat krisis
multi dimensi (ekonomi, moneter dan krisis moral). Namun demikian, secara
perlahan dari tahun 1999 sampai sekarang, perekonomian Indonesia pulih kembali
(Gambar 1). Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan bidang ekonomi yang
dijalankan oleh pemerintah cukup berhasil, sedangkan tingkat kesejahteraan
(sumberdaya manusia) yang mengacu pada nilai Human Development Index
(HDI) dari tahun ke tahun terjadi sebaliknya (penurunan).
Merujuk pada laporan UNDP, tampaknya peringkat HDI Indonesia dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan terus menerus. Hal ini merefleksikan
bahwa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami penurunan. Dengan arti kata, pembangunan sektor sosial dalam rangka
meningkatkan SDM ternyata tidak sejalan dengan pembangunan ekonomi.
Rendahnya investasi pembangunan sektor sosial (gizi, kesehatan dan
pendidikan) mengakibatkan kualitas SDM Indonesia jauh tertinggal dibandingkan
dengan kualitas SDM negara-negara ASEAN. Seperti terlihat pada Tabel 1,
kualitas SDM Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan kualitas SDM
negara-negara tetangga kecuali pada tahun 1998, nilai HDI Indonesia sedikit lebih
baik dibandingkan dengan negara Filipina namun pada tahun 2000 dan 2004,
24
indeks HDI Indonesia meningkat cukup drastis yaitu mencapai 109 pada tahun
2000 dan 108 pada tahun 2004, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan HDI
negara-negara ASEAN. Data terakhir menunjukkan bahwa indikator HDI, yakni:
usia harapan hidup Indonesia baru mencapai 67,2 tahun, tingkat melek huruf
sebesar 90,4 persen, rata-rata lama sekolah hanya 7,1 tahun, dan indikator
pendapatan per kapita baru mencapai Rp.591.200.- per tahun (Anonim,
Jumlah (Rp)
2006b:285).
45,00
40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
tahun
GDP (puluhan-triliun)
PPK (00.000)
Keterangan: GDP (Gross Domestic Product); PPK (Pendapatan Per Kapita)
Gambar 1 Perkembangan Perekonomian Indonesia, Selama 1990 - 2000
Apabila merujuk pada pola pembangunan Indonesia dalam Pasal 33 UUD
1945 yang memberi arah pembangunan ekonomi untuk menuju kesejahteraan
sosial. Kata kunci pembangunan di Indonesia adalah kualitas SDM. Kemudian,
UU RI No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
tahun 2000-2004, pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang
ekonomi serta sosial budaya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembangunan
ekonomi yang dikembangkan selama ini tidak berdampak positif terhadap kualitas
SDM. Artinya adalah, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi, GDP dan
pendapatan perkapita ternyata tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan
kualitas Sumber Daya Manusia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tujuan
pembangunan untuk mewujudkan pembangunan Indonesia seutuhnya belum
tercapai.
25
Tabel 1 Perkembangan Kualitas Manusia Indonesia dan ASEAN diukur dari Nilai
HDI (1996-2004)
No
01
02
03
04
05
06
Negara
Brunei
Indonesia
Malaysia
Filipina
Thailand
Singapore
Tahun
1996
36
102
53
95
52
3
1998
33
96
60
98
59
28
2000
25
109
56
77
67
22
2004
34
108
61
84
74
25
Sumber: Departemen Kesehatan (Baliwati, YF, et al., 2004) dan Anonim (2006b)
Seperti yang dialami oleh penduduk dunia ternyata di Indonesia tidak jauh
berbeda bahwa kesejahteraan masyarakat antar daerah menunjukkan tingkat
disparitas dan inequality yang cukup kentara.
Apabila kesejahteraan didekati
dengan nilai Product Domestic Regional Bruto (PDRB), ternyata pembangunan
terpusat di pulau Jawa yaitu mencapai 59,56 persen dari total pendapatan,
Sumatera 22,05 persen, sedangkan pulau lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan lainlain) hanya 8,22 persen. Kesenjangan pendapatan atau disparitas kesejahteraan
penduduk ini bermuara dari pola pembangunan yang mengacu pada pembangunan
ekonomi, dan dilaksanakan secara fragmented dengan bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi dan sedikit sekali menyentuh pembangunan sumberdaya manusia apalagi
pembangunan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat.
Padahal tujuan pembangunan adalah membangun manusia Indonesia
seutuhnya dengan arah pembangunan yang berorientasi kepada masyarakat.
Berkenaan dengan itu, arah pembangunan masa akan datang harus dilaksanakan
secara holistik dan komprehensif dengan melibatkan masyarakat. Supaya arah
pembangunan ini dapat berjalan dengan efektif dan efisien maka pola
pembangunan ini dapat memanfaatkan berbagai bentuk struktur sosial yang ada
dimasyarakat dan salah satunya adalah modal sosial. Modal sosial adalah berupa
tingkat kepercayaan, rasa percaya, norma dan jaringan kerja baik informal
maupun formal yang ada di masyarakat mempunyai peran yang cukup penting dan
dapat memicu peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi (James
Coleman, (1990), Pierre Bourdieu, (1993), Robert Putnam, (1995), dan Francis
Fukuyama, (1999). Studi kasus di Indonesia, World Bank melaporkan bahwa
26
modal sosial mempunyai kontribusi dan berpengaruh positif terhadap peningkatan
kesejahteraan rumahtangga (Grootaert, 1999). Hal ini sejalan dengan visi dan misi
program Millenium
Development
Goals
(MDGs) bahwa pemberantasan
kemiskinan dan kelaparan berbasis pada masyarakat atau penduduk sehingga
penduduk dunia pada tahun 2015, minimal separo dari target pembangunan bebas
dari kemiskinan, kemelaratan dan sejenisnya.
Masalah Penelitian
Kesejahteraan diartikan suatu tata nilai kehidupan dan penghidupan bagi
setiap individu, keluarga dan masyarakat terhadap berbagai aspek, seperti:
ekonomi, sosial, maupun spritual untuk mengadakan usaha- usaha pemenuhan
kebutuhan jasmani dan rohani (Undang Undang Dasar 1945). Kesejahteraan dapat
dibedakan melalui dua pendekatan pengukuran, yakni: kesejahteraan objektif dan
kesejahteraan subjektif.
Pengukuran kesejahteraan objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan
suatu masyarakat dapat diukur dengan nilai rata-rata dan diukur dengan patokan
tertentu (seperti: ekonomi, sosial dan ukuran lainnya). Dengan kata lain, tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya diukur dengan
patokan yang sama. Menurut Pollak dan Wales (Lokshin dan Ravallion, 2000:
281), pengukuran kesejahteraan obyektif tidak mampu menggambarkan/
mengidentifikasi perilaku permintaan keluarga akan kebutuhannya. Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan hidup maka paradigma
kesejahteraan berubah menjadi pengukuran kesejahteraan dalam konteks
“subjektif” atau disebut dengan istilah subjective well-being yaitu melihat standar
hidup yang dimiliki oleh individu atau kelompok masyarakat.
Kesejahteraan subjektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu,
keluarga dan masyarakat berbeda satu dengan lainnya karena perbedaan tata nilai
dan sosio-budaya yang dimiliki. Kesejahteraan subjektif secara filosofis
merupakan tipe kesejahteraan yang dapat menyentuh langsung tata nilai
kehidupan dan penghidupan masyarakat karena pendekatan ini melihat
berdasarkan sosio-budaya dan karakteristik masyarakat. Pendekatan ini dapat
27
dirasakan manfaat dan pengaruhnya secara langsung (kebahagiaan dan kepuasan)
oleh individu, keluarga dan masyarakat. Sehubungan dengan itu, tingkat
kesejahteraan masyarakat dengan indikator subjektif dapat pula melihat tingkat
ketergantungan dimensi standar hidup (standard of living) masyarakat.
Penduduk Provinsi Jambi dikenal dengan tiga kelompok komunitas
masyarakat, yakni: masyarakat yang berada pada wilayah dataran rendah, dataran
tinggi atau pegunungan dan wilayah pesisir pantai atau pasang surut. Wilayah
dataran rendah misalnya, didominasi oleh masyarakat Melayu ditambah dengan
pendatang (transmigran dari Jawa dan Bali) denga n hasil utama karet dan kelapa
sawit, wilayah pesisir pantai atau pasang surut didominasi oleh masyarakat
Melayu, Bugis dan Banjar (migrasi spontan) dengan komoditas utama perikanan
laut, perkebunan kelapa dalam dan usahatani padi sawah pasang surut, sedangkan
di wilayah dataran tinggi atau pegunungan didominasi oleh suku Melayu-Kerinci
dengan komoditas utama perkebunan kulit manis (cassiavera), kopi dan usahatani
padi sawah irigasi. Dengan kata lain, Provinsi Jambi terutama di wilayah dataran
rendah dan wilayah pesisir pantai memiliki etnisitas yang cukup beragam
sehingga dapat berpengaruh terhadap income inequality. Etnisitas berperan
penting sebagai determinan dalam memicu income inequality (Easterly, 1999);
(Lazear, 1995); (Coppin dan Olsen, 1998) dan (Malan, 2000). Setiap peningkatan
sebesar satu unit jumlah kelompok ethnics dalam suatu kelompok masyarakat
akan dapat meningkatkan minimal sebesar 3 persen income inequality (Robinson,
2002:8). Namun demikian, dengan etnisitas yang beragam akan kaya dengan
modal sosial karena memiliki tingkat koneksi atau jaringan kerja yang banyak
dalam kelompok masyarakat baik jaringan sosial maupun ekonomi. Keberagaman
modal sosial ini akan sangat bermanfaat bagi keluarga untuk meningkatkan
kesejahteraan.
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat sehingga besar kecilnya
nilai disparitas dan income inequality di masyarakat dapat mencirikan tingkat
kesejahteraan satu keluarga dengan keluarga lainnya, sedangkan tingkat
kesejahteraan ekonomi keluarga baik kesejahteraan ekonomi objektif maupun
kesejahteraan ekonomi subjektif sangat ditentukan oleh faktor sosio-demografi
keluarga, seperti: tingkat pendidikan, keterampilan, struktur umur dan beban
28
ketergantungan keluarga. Menurut Deacon dan Firebough (1981), keluarga adalah
unik karena setiap keluarga memiliki ciri yang berbeda satu dengan lainnya.
Sebagai contoh, ada keluarga yang memiliki kekayaan sumberdaya yang
berlebihan tetapi tingkat kesejahteran mereka relatif sama bahkan kadang-kadang
lebih rendah dengan keluarga sumberdaya terbatas, dan sebaliknya keluarga yang
memiliki kekayaan sumberdaya terbatas tetapi tingkat kesejahteraan mereka
berkecukupan. Dengan adanya keunikan keluarga ini, bagaimana peran
manajemen sumberdaya dan modal sosial yang dimiliki keluarga? Dan upayaupaya apa saja yang dapat dilakukan untuk memecahkan berbagai persoalaan
yang dihadapi masayarakat?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi dan menganalisis tingkat kesejahteraan ekonomi
keluarga dan modal sosial yang ada di daerah perdesaan serta merumuskan model
pemberdayaan keluarga.
Tujuan Khusus
(1) Mengidentifikasi dan mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di
daerah perdesaan Provinsi Jambi,
(2) Mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi
keluarga,
(3) Mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga berdasarkan
wilayah agroekologi,
(4) Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga,
(5) Menghasilkan model pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan.
Kegunaan Penelitian
(1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dalam pertimbangan
pengambilan berbagai kebijakan pemberdayaan keluarga,
(2) Sebagai bahan kajian dan pengembangan ilmu keluarga khususnya mengenai
permodelan peningkatan kesejahteraan keluarga.
29
Keterbatasan Penelitian
Unit analisis dalam penelitian ini menggunakan keluarga dan belum
memisahkan unit analisis berdasarkan kelompok/asosiasi yang berkembang di
daerah penelitian dan tipe hubungan sehingga tidak dapat membedakan antara
proporsi aktivitas masyarakat yang produktif (ekonomi) dan non-produktif (sosial)
dari berbagai tipe yang ada.
Kebaruan Penelitian
(1) Mengembangkan konsep modal sosial dengan mengkombinasikan dimensi
struktural dan dimensi karakter masyarakat,
(2) Mengembangkan konsep kesejahteraan melalui pendekatan kesejahteraan
ekonomi objektif dan pendekatan kesejahteraan ekonomi subjektif, dan
(3) Mengembangkan model pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal
sosial.
30
TINJAUAN PUSTAKA
Kesejahteraan Keluarga
Secara umum diketahui bahwa dimensi kesejahteraan sangat luas dan
kompleks karena suatu taraf kesejahteraan tidak hanya berupa ukuran yang dapat
terlihat
(visible)
saja
tetapi
termasuk
kesejahteraan
non-visible
(non-
material/spritual). Menurut Morris dan Leiser (1979), kesejahteraan penduduk
suatu negara dapat diukur dengan pengukuran indeks komposit dari kualitas
manusia atau disebut dengan istilah PQLI. Physical Quality of Life Index (PQLI)
atau di Indonesia dikenal dengan istilah Indeks Mutu Hidup (IMH) yaitu
merupakan indeks komposit dari tingkat kematian bayi (IMR), usia harapan hidup
(expectation of life/ei) dan persentase angka melek huruf dari penduduk dewasa
berumur 15 tahun keatas (LIT). Angka IMR digunakan angka 229, karena IMR
terbesar didunia adalah 229 yaitu di Gabon, sedangkan angka harapan hidup (ei)
adalah 38, karena angka (ei) terendah didunia adalah 38. Untuk nilai terttinggi
PQLI adalah 100, sedangkan terendah adalah 0. Artinya, semakin tinggi nilai
PQLI atau mendekati 100 maka tingkat kesejahteraan (kualitas penduduk)
semakin baik, dan sebaliknya.
Kemudian, era tahun 1990-an, yang disponsori oleh UNDP, indikator
keberhasilan pembangunan atau kesejahteraan penduduk menggunakan ukuran
Human Development Index (HDI) dengan indikator yang tidak jauh berbeda
dengan indikator yang digunakan pada pengukuran PQLI, yaitu: tingkat harapan
hidup, tingkat melek huruf orang dewasa, rata-rata lama sekolah dan tingkat
pendapatan perkapita. Namun, beberapa tahun terakhir, pengukuran kualitas
manusia (kesejahteraan) berkembang dengan berbagai istilah, yakni: Human
Poverty Index
(HPI), Gender Development Index
Empowerment Measure (GEM).
(GDI), dan Gender
HPI menggunakan empat indikator, yakni:
kelahiran yang tidak dapat bertahan sampai usia 40 tahun, tingkat buta huruf
orang dewasa, persentase penduduk yang tidak dapat memiliki akses pada fasilitas
kesehatan dan persentase balita yang kurang makan. Pengukuran kualitas manusia
(kesejahteraan) dengan pendekatan GDI menggunakan indikator proporsi
penduduk laki- laki dan perempuan pada indikator tingkat harapan hidup, tingkat
31
melek huruf, rata-rata lama sekolah dan proporsi penduduk laki- laki dan
perempuan dalam memperoleh pendapatan, sedangkan pendekatan GEM
menggunakan indikator persentase penduduk perempuan terlibat dalam partai
politik, jumlah pegawai profesional dan persentase pendapatan yang diperoleh
dari penduduk perempuan (UNDP, 2004).
Secara mikro terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis
tingkat kesejahteraan keluarga, antara lain: kesejahteraan, kesejahteraan finansial,
status ekonomi, situasi ekonomi, interaksi sosial, dan lain- lain. Dari beberapa
konsep tersebut dapat dijabarkan lebih operasional, terutama dalam konteks
kesejahteraan yang bersifat nyata (ekonomi dan finansial). Seperti yang
dikemukakan oleh Ferguson, Horwood dan Beutrais (Sumarwan dan Hira, 1993)
bahwa kesejahteraan keluarga dapat dibedakan kedalam kesejahteraan ekonomi
(family economic well-being) dan kesejahteraan material (family material wellbeing). Kesejahteraan ekonomi keluarga (family economic well-being) misalnya,
diukur dalam pemenuhan akan input keluarga (pendapatan, upah, aset dan
pengeluaran), sedangkan kesejahteraan material keluarga (family material wellbeing) diukur dari berbagai bent uk barang dan jasa yang diakses oleh keluarga.
Ukuran lain kesejahteraan keluarga yaitu kesejahteraan berdasarkan
konsep kebutuhan minimum (kalori) berdasarkan konversi beras yang dikonsumsi
oleh keluarga (Sajogyo, 1996). Menurut Sajogyo, keluarga yang tergolong
sejahtera dalam arti terpenuhinya kebutuhan fisik minimum yaitu keluarga yang
sudah mampu mengkonsumsi beras minimal 320 kg beras/orang/tahun
(perdesaan) dan 480 kg beras/orang/tahun (perkotaan).
Menurut Maslow, kesejahteraan keluarga diukur dari kualitas sumberdaya
manusia (fisik dan non fisik), sedangkan Word Bank (2004) mengukur
kesejahteraan keluarga dilihat dari proxy pengeluaran. Menurut World Health
Organization (WHO) (Santamarina et al., 2002:97), terdapat enam kategori dari
kesejahteraan (quality of life or individu well-being), yakni: (1) fisik, (2) psikologis,
(3) tingkat kemandirian, (4) hubungan sosial, (5) lingkungan dan (6) spritual.
Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan yaitu
pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nsional (BKKBN). BPS misalnya,
32
mengukur kesejahteraan dilihat dari konsep kebutuhan minimum (kalori) proxy
pengeluaran yaitu rata-rata Rp.152.847,- per kapita per bulan (SUSENAS, 2006),
sedangkan BKKBN membagi kesejahteraan keluarga kedalam tiga kebutuhan,
yakni: (1) kebutuhan dasar (basic needs) yang terdiri dari pangan, sandang, papan
dan kesehatan, (2) kebutuhan sosial psikologis (social psychological needs) yang
terdiri dari pendidikan, rekreasi, transportasi, interaksi sosial internal dan
eksternal, dan (3) kebutuhan pengembangan (developmental needs) yang terdiri
dari tabungan, pendidikan khusus/kejuruan, dan akses terhadap informasi.
Cara mengukur kesejahteraan dapat dilihat dari dua pendekatan, yakni:
(1) Kesejahteraan diukur dengan pendekatan objektif atau disebut dengan istilah
kesejahteraan objektif. Pendekatan dengan indikator objektif melihat bahwa
tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara
rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran
lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan
pendekatan yang baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap
sama). Menurut Erik (Milligan et al., 2006:22), ukuran yang sering digunakan
yaitu terminologi uang, pemilikan akan tanah, pengetahuan, energi, keamanan,
dan lain- lain. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensional dan
digunakan untuk kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan
mudah dilakukan, namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat
yang sebenarnya.
(2) Kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif atau disebut dengan istilah
kesejahteraan subjektif. Menurut Noll (Milligan et al., 2006:22), kesejahteraan
dengan pendekatan subjektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan
yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang lain. Ukuran ini
merupakan ukuran kesejahteraan yang banyak digunakan di negara maju
termasuk Amerika Serikat. Hasil penelitian Sumarwan dan Hira (1993) pada
delapan negara bagian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kesejahteraan
masyarakat sangat dirasakan melalui ukuran tingkat kepuasan finansial yang
dimiliki dan dikuasai (Milligan et al., 2006:22).
Berdasarkan tingkat ketergantungan dari dimensi standar hidup (standard
of living) masyarakat, maka tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dibedakan
33
kedalam satu sistem kesejahteraan (well-being) dan dua subsistem, yakni: (1)
subsistem sosial, dan (2) subsistem ekonomi dengan beberapa faktor (Tabel 2)
(World Bank: Santamarina et al., 2002:93), sedangkan di negara- negara maju,
seperti Canada menggunakan 19 indikator kualitas hidup masyatakat (quality of
life) yang tersebar kedalam empat subsistem, yakni: (1) Indikator ekonomi: (a)
GDP perkapita, (b) pendapatan perkapita, (c) inovasi, (d) lapangan kerja, (e)
melek huruf, dan (f) tingkat pendidikan; (2) Indikator kesehatan: (a) usia harapan
hidup, (b) status kesehatan, (c) tingkat kematian bayi (IMR), dan (d) aktivitas
fisik; (3) Indikator lingkungan: (a) kualitas udara, (b) kualitas air, (c) biodiversity,
dan (d) lingkungan yang sehat, (4) Indikator keamanan dan keselamatan
masyarakat: (a) sukarela, (b) diversity, (c) berpartisipasi dalam aktivitas budaya,
(d) berpartisipasi dalam kegiatan politik, dan (e) keamanan dan keselamatan
(Sharpe, 2004:30).
Tabel 2 Sistem, Subsistem dan Faktor-faktor Kesejahteraan Keluarga
Sistem
Subsistem
Faktor-faktor
a.
Kesejahteraan Manusia (individu)
- fisik
- Psikologi
- Spritual
- Skills dan leisure
b.
Kesejahteraan sosial
- pendidikan
- kesehatan
- Network dan hubungan sosial
- life style dan budaya
- struktur dan dinamika penduduk
- Kekuatan sosial
- Kebersamaan, solidaritas dan tanggung jawab
Konsumsi
Hak pemilikan akan tanah
Tingkat kemiskinan
Aktivitas ekonomi
Sosial
Ekonomi
c.
d.
f.
g.
Sumber: World Bank (Santamarina et al., 2002:93) disederhanakan.
34
Keterkaitan Institusi Keluarga dengan Sistem
Kesejahteraan di Daera h Perdesaan
Keluarga dapat dilihat sebagai salah satu subsistem dalam
masyarakat. Subsistem Keluarga dalam masyarakat memiliki fungsi dan tanggung
jawab secara sinergis dengan subsistem lainnya, seperti sistem sosial, ekonomi,
politik, pendidikan dan aga ma. Dengan adanya interaksi subsistem-subsistem
tersebut, keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam
masyarakat (equilibrium state). Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem
sosial yang tertib (social order), dan selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban
dalam sistem sosial yang lebih besar lagi. Dengan kata lain, keluarga memiliki
fungsi mikro dan fungsi makro.
Secara mikro, keluarga berfungsi sebagai penghubung antara keluarga
dengan keluarga lain serta hubungan antar anggota kelua rga. Secara makro,
terdapat hubungan keluarga dengan masyarakat luas. Ketertiban sosial akan dapat
tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing- masing
individu akan mengetahui di mana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang
melandasi struktur tersebut. Struktur dalam keluarga diakui dapat menjadikan
institusi keluarga sebagai sistem kesatuan, ada tiga elemen utama dalam struktur
internal keluarga, yaitu: (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial,
ketiganya saling kait mengkait.
Menurut Parsons (Megawangi,
2001:66), konsep pokok keluarga
adalah solidaritas. Maksud dari solidaritas dalam keluarga yaitu saling
mau
menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka
saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi
keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan keluarga tercapai.
Setiap anggota keluarga mempunyai kepercayaan bahwa solidaritas keluarga
sebagai landasan untuk dapat menumbuhkan solidaritas dan kepercayaan kepada
masyarakat yang lebih luas.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya
individualisme dalam keluarga dan masyarakat, kelompok konservatif memiliki
norma bersama terhadap peraturan perilaku (behavior). Keputusan yang harus
diambil mengarah pada kepentingan bersama dengan tidak menghilangkan hak
azasi manusia sebagai makhluk sosial dengan melakukan berbagai penyesuaian.
35
Pendapat Parson ini banyak di dukung oleh ahli-ahli agama yang ada didunia ini
terutama yang berkaitan dengan institusi perkawinan dan tanggung jawab.
Implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, menurut Parsonnian
(Megawangi, 2001:66), keluarga layaknya seperti organisme hidup. Ia diibarat
kan hewan berdarah panas yang dapat memelihara temperatur tubuhnya agar tetap
konstan walaupun kondisi lingkungan berubah. Parsonnian melihat bahwa
institusi keluarga tidak statis atau tidak dapat berubah. Sebaliknya, keluarga
sangat tanggap terhadap perkembangan atau perobahan lingkungan, artinya
keluarga selalu dapat beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan
atau apa yang disebut dengan istilah keseimbangan dinamis (dynamic
equilibrium).
Teori tentang perilaku yang dihubungkan dengan perkembangan sosial
ekonomi masyarakat memberikan gambaran bahwa pada tahap awal proses
industrialisasi, akumulasi kapital merupakan faktor penentu keberhasilan
ekonomi. Karakter masyarakat pada tahap akumulasi kapital dikatakan sebagai
karakter yang ”represif” yaitu hemat, disiplin, suka bekerja keras, dan berjiwa
wiraswasta. Individu dengan karakter yang demikian mampu menahan dirinya
(self-denail), yakni reward harus ditunda sampai terlihat hasil yang nyata.
Karakter yang ”represif ” ini dibentuk semenjak anak usia dini di dalam keluarga.
Otoritas orang tua pada tahap awal industrialisasi di Barat sebetulnya masih
dihormati oleh anak-anaknya sehingga secara efektif keluarga dapat membentuk
karakter individu.
Sejalan dengan perkembangan konsep basic need, tampaknya diikuti
perubahan pandangan gaya hidup masyarakat terutama pada era post-modren
(globalisasi). Masyarakat tadinya berperilaku disiplin, hemat dan suka bekerja
keras, ternyata pada masa ini nampaknya masyarakat lebih bersifat ekspresif atau
konsumtif dibandingkan dengan pola awal industrialisasi. Karakter individu yang
ekspresif ini cenderung lebih independen dan ingin bebas, berperilaku untuk
memenuhi nafsu konsumsinya. Karakter ekspresif dikenal dengan sikapnya yang
senang memanjakan dirinya (self-indulgence) dan mementingkan keuntungan
(reward) daripada kerja keras (hard-work). Bahkan reward bisa diperoleh dahulu,
36
misalnya dengan adanya credit card, yaitu sistem buy now and pay later. Hal ini
tentu berbeda dengan individu yang berperilaku ”represif.”
Globalisasi berarti mendunia, menjadikan semua orang di dunia ini
memiliki model yang sama. Menurut Ponomban, Fendry (Manshur, 2003),
globalisasi bersumber pada realitas liberalisasi ekonomi. Globalisasi merupakan
derap langkah perkembangan teknologi dan komunikasi serta perdagangan
internasional kini mendasarkan dirinya pada paradigma borderless world yang
tidak mengenal batas-batas teritorial kedaulatan negara dan bangsa. Dengan
demikian, akar dari kecenderungan ini adalah kemajuan teknologi yang membuka
jalan bagi terciptanya mekanisme transaksi ekonomi yang begitu canggih
sehingga mendorong dinamika sosial lainnya. Sehubungan dengan itu, tidak pelak
lagi bahwa globalisasi dapat mengakibatkan pemudaran batasan-batasan ruang
yang selama ini menjadi acuan geografis dan kultural. Identitas kultural sebuah
bangsa, misalnya: suku, etnis, dan agama serta kebudayaan lain semakin berubah
diganti dengan identitas campuran yang plural. Anthony Giddens (1997) melihat
bahwa terdapat berbagai implikasi buruk yang diakibatkan gebrakan globalisasi,
seperti adanya resiko kehidupan, penetrasi budaya yang menghasilkan ancaman
terhadap kultural dan nilai- nilai lokal, termasuk persepsi atas kedaulatan sebuah
bangsa. Desakan-desakan globalisasi misalnya tampak terlihat sekali di Indonesia
dengan larisnya komoditas Mc Donald, CNN, Jurassic Park, Laser Disc, model
pakaian terbaru, bahkan AIDS.
Kembali pada pola atau perilaku masyarakat yang berbasis global (postmodern) ternyata hal lain tak kalah menariknya pada individu-ekspresif yaitu
berorientasi pada kepuasan pribadi, dan cenderung lebih mementingkan
kepentingan pribadi daripada kepentingan kolektif. Hubungan kemasyarakatan
lebih bersifat instrumental yaitu hubungan berlandaskan untung rugi. Padahal
menurut Fukuyama, negara yang maju dan makmur adalah negara yang
mememiliki tingkat toleransi dan kebersamaan ya ng tinggi. Tampaknya, hal ini
bisa terjadi sejalan dengan teori perkembangan bahwa masyarakat pada industri
tinggi (post-mosdern) adalah other-directed: mencari tahu cara berperilaku dari
hal- hal lain di lingkungan dekatnya (Riesman, 1953). Disamping itu, ekspansi
pasar global ini berpengaruh pula pada hubungan di dalam keluarga. Maka
37
terciptalah floating mass, yaitu masyarakat yang sudah tercabut dari akarnya
(keluarga, institusi keagamaan, dan komunitas). Fungsi kontrol sosial keluarga,
agama dan masyarakat menjadi tidak efektif lagi sehingga terjadilah keruntuhan
social order seperti yang terjadi di AS.
Persepsi Kesejahteraan Keluarga
Menurut Kayam (Sugiyanto, 1996:58), persepsi adalah pandangan
seseorang terhadap suatu obyek sehingga individu tersebut memberikan reaksi
tertentu yang dihasilkan dari kemampuan mengorganisasikan pengamatan dan
berhubungan dengan penerimaan atau penolakan. Berdasarkan pendekatan
psikologis, persepsi merupakan penghayatan langsung oleh seorang pribadi atau
proses-proses ya ng menghasilkan penghayatan langsung (Noerhadi, 1982),
sedangkan pendekatan sosiologis, persepsi merupakan hasil pengalaman
sekelompok manusia dalam hubungannya dengan obyek atau peristiwa sosial
yang diamati. Kunci pemahaman terhadap persepsi masyarakat pada suatu obyek,
terletak pada pengenalan dan penafsiran yang unik terhadap obyek pada suatu
situasi tertentu dan bukan sebagai suatu pencatatan terhadap situasi tertentu
tersebut (Thoha, 1981).
Kreg (Sugiyanto, 1996:59) mendefinisikan persepsi masyarakat tentang
sesuatu adalah proses perubahan kognitif masyarakat untuk manafsirkan serta
memahami dunia yang berbeda di sekitarnya. Menurut Litterer (Asngari, 1984),
mekanisme pembentukan persepsi seseorang yaitu melalui tiga tahapan, yakni:
selectivity, (2) closure, dan (3) interpretation. Artinya, pembentukan persepsi
diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi
dari pemilihan atau penyaringan, kemudian informasi tersebut disusun menjadi
satu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari
keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa lalu
memegang peranan penting. Informasi yang disampaikan pada seseorang
merupakan stimulus, kemudian diteruskan keotak oleh syaraf sensoris sehingga
seseorang akan memahami dan menyadari stimulus tersebut, selanjutnya orang
tersebut melakukan tindakan (Asngari, 1984).
38
Tinggi rendahnya stimulus seseorang dalam mempersepsikan sesuatu
dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Thorndike (1988), faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu obyek adalah faktor bawaan dan
lingkungan. Faktor bawaan misalnya, adalah faktor bakat, minat, kemauan,
perasaan, fantasi, dan tanggapan, sedangkan faktor lingkungan adalah faktor
pendidikan, lingkunga n sosial masyarakat dan faktor lingkungan lainnya.
Berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, menurut Twikromo et al.,
(Sumarti, 1999:23), persepsi terbangun melalui pengalaman dan berbagai macam
proses dalam usaha manusia menjalin hubungan dengan lingkungan mereka.
Artinya, persepsi kesejahteraan akan terbentuk melalui pengalaman hidup
manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (keluarga, kelompok, dan
masyarakat) dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup (Sumarti, 1999:24).
Dengan kata lain, kesejahteraan adalah wujud kebudayaan dan terbentuk dalam
proses interaksi sosial dalam masyarakat sehingga persepsi kesejahteraan
masyarakat desa akan berbeda dengan persepsi kesejahteraan masyarakat kota
bahkan berbeda dengan persepsi yang dibuat oleh pemerintah na mun kesemuanya
dipengaruhi oleh nilai- nilai yang menjadi pedoman hidupnya untuk mewujudkan
kesejahteraan itu sendiri. Pada masyarakat desa misalnya, nilai- nilai kesejahteraan
diwujudkan dari nilai- nilai lokal yang diperoleh dari hasil sosialisasi dari nilainilai budaya dan agama, sedangkan nilai- nilai kesejahteraan dari sisi pemerintah
merupakan kebijakan yang sudah dirumuskan secara baku, misalnya ”keluarga
kecil bahagia dan sejahtera” padahal menurut konsep kesejahteraan secara
sosiologis dan psikologis bahwa setiap manusia mempunyai nilai tersendiri
tentang persepsi kesejahteraan. Hal ini sependapat dengan Ihromi dan Saifuddin
(Sumarti, 1999:25) bahwa rumusan baku tersebut tidak secara langsung menjadi
realitas yang terwujud dalam kehidupan masyarakat desa yang memiliki
keragaman budaya dan etnis.
Pendekatan yang digunakan seseorang tentang persepsi kesejahteraan
(kesejahteraan subjektif) adalah kebahagiaan dan kepuasan. Namun secara
operasional, menurut Campbell, Converse, dan Rodgers (Sumarwan dan Hira,
1993:346), variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan
dengan variabel kebahagiaan karena ia dapat lebih mudah melihat gap antara
39
aspirasi dengan tujuan yang ingin dicapai. Sen (Peck dan Goodwin, 2003:17),
menambahkan
bahwa
tingkat
kepuasan
dapat
menggambarkan
tingkat
kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi atau dapat menjangkau berbagai
kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan (happiness) hanya dapat
merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan
masyarakat dan institusi. Kemudian, kepuasan (satisfaction) individu, keluarga
dan atau masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi
barang dan jasa serta harapan masa depan (Peck dan Goodwin, 2003:7). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh banyak
faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Seperti yang dibuktikan oleh
Sumarwan dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat,
ternyata
tingkat
kepuasan
(kesejahteraan)
finansial keluarga
perdesaan
dipengaruhi oleh faktor umur, pendapatan keluarga, aset, sikap (perceived locus of
control), dan kecukupan pendapatan.
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif
Menurut Hayo dan Seifert (2003:330), ada tiga alasan studi tentang
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) dewasa ini sangat menarik/penting
dilakukan oleh beberapa peneliti di dunia, karena:
(1) KES merupakan variabel kunci dalam kebijakan ekonomi. Bukti empiris
ditunjukkan oleh Frey dan Stutzer (2000) bahwa lembaga politik berkaitan
erat dengan kebahagiaan masyarakat. Hal senada juga dilakukan oleh Di
Della et al. (2001) bahwa makro ekonomi suatu negara berkorelasi positif
dengan KES. Ia menemukan, kesejahteraan ekonomi subyektif mampu
melihat hubungan maksimisasi kesejahteraan secara langsung begitu juga
hasil penelitian yang dilakukan oleh Clark dan Oswald (Hayo dan Seifert,
2003:330), serta Hinks dan Carola (2005), bahwa KES berkorelasi negatif
dengan tingkat pengangguran. Artinya, semakin tinggi tingkat kesejahteraan
subjektif seorang individu atau kelompok maka tingkat pengangguran
semakin kecil, dan sebaliknya.
40
(2) KES sebagai dasar pertimbangan dalam politik ekonomi. Menurut Firmuc
(Hayo dan Seifert, 2003), kepuasan ekonomi masyarakat akan mempengaruhi
dukungannya terhadap ekonomi pasar dan demokrasi,
(3) KES sebagai dasar untuk melihatkan kondisi ekonomi objektif dan subjektif
ketika membuat perbandingan kesjahteraan. KES dapat menggambarkan
kesejahteraan ekonomi objektif, seperti: pendapatan perkapita. Kemudian,
KES tidak hanya dapat merefleksikan kekayaaan tetapi juga dapat
menggambarkan kondisi kehidupan obyektif. Sebagai contoh konkrit, studi di
negara barat ternyata terdapat perbedaan persepsi antara kondisi kehidupan
obyektif dengan kesejahteraan subyektif. Artinya, kondisi kehidupan objektif
baik belum tentu kondisi kehidupan subjektif juga baik, dan sebaliknya.
KES tidak hanya dapat merefleksikan tingkat kesejahteraan relatif tetapi
juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan absolut. Hal ini sejalan dengan
pendapat Kapteyn et al. (1987:240) bahwa pengukuran kesejahteraan subjektif
(proxy subjective poverty), keluarga dapat mengukur dengan lebih akurat atas
income yang mereka miliki atau kebutuhan atas persepsi mereka sendiri.
Pendekatan
pengukuran
KES
menggunakan
istilah subyektivitas
(subjectivity) atau relativitas (relativity). Kedua-duanya menggunakan terminologi
persepsi (Peck dan Goodwin, 2003:16),
namun, kedua pendekatan tersebut
memiliki dampak atau konsekuensi masing- masing. Pendekatan relativitas
misalnya, memiliki beberapa konsekuensi, yakni: (1) ”ever-rising bar of perceived
need”. Artinya, kesejahteraan yang dirasakan bukan kesejahteraan sesaat tetapi
sudah sampai membandingkan dari waktu tertentu dengan waktu lain, misalnya:
membandingkan kesejahteraan sekarang dengan waktu lalu atau yang akan
datang, (2) ada unsur absorbsi informasi baru dari luar, dan (3) ”relativity wellbeing” tidak menggambarkan persepsi kesejahteraan secara keseluruhan,
sedangkan pendekatan subjektifitas dapat menggambarkan kesejahteraan lebih
komplek dan nilainya lebih berharga dari barang-barang dan jasa di pasar.
Artinya, individu/keluarga tidak saja mendapatkan pendapatan yang diharapkan
dari kesejahteraan yang dimiliki tetapi lebih dari itu. Kesejahteraan dalam konteks
subjektivitas juga dapat menggambarkan berbagai aspek dalam kehidupannya,
41
seperti: lapangan pekerjaan/aktivitas ekonomi, tingkat independensi, semangat
hidup, dan kesejahteraan waktu luang (leisure) (Ravallion dan Lokshin, 2001).
Sehubungan dengan hal diatas, menurut Graham dan Pettinato (Peck dan
Goodwin, 2003:18), beberapa studi dewasa ini menggunakan pendekatan
Kesejahteraan Ekonomi Subjketif (KES) sebagai pendekatan dalam mengukur
transisi suatu negara. Hal serupa juga digunakan oleh Stewart (Peck dan Goodwin,
2003:18) dalam mengukur tingkat kesejahteraan wilayah di negara-negara Eropa
(European Union). Studi terbaru di negara-negara Eropa Timur menunjukkan
bahwa KES berkorelasi positif terhadap kepuasan hidup masyarakat (Hayo dan
Seifert, 2003:346). Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kesejahteraan
ekonomi subyektif maka tingkat kepuasan hidup masyarakat semakin tinggi. Hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa persepsi kesejahteraan ekonomi subjektif
dapat berpengaruh dalam pembentukan pasar. Kasus di China, hasil wawancara
terhadap 10.700 keluarga pada 32 kota diperoleh hasil bahwa KES mempunyai
efek positif terhadap restrukturisasi pasar ekonomi bagi pemerintah China
terutama dalam menghadapi pasar global (Nielsen et al., 2004).
Berdasarkan lapangan pekerjaan, ternyata sektor informal berkorelasi
negatif terhadap KES (proksi kepuasan finansial) (Carbonell dan Gerxhani, 2005).
Terdapatnya korelasi negatif antar sektor informal dengan kesejahteraan ekonomi
subyektif
karena
adanya
perbedaan
perolehan
pendapatan.
Maksudnya,
kesejahteraan ekonomi subyektif individu yang bekerja di sektor informal lebih
rendah dari pendapatan yang diterima. Namun disisi lain, penelitian yang
dilakukan oleh Peck dan Goodwin (2003:19), menunjukkan bahwa tingkat
pendapatan keluarga tidak begitu kuat
mempengaruhi KES karena tingkat
pendapatan keluarga belum mampu menggambarkan tingkat kepuasan keluarga
secara keseluruhan
KES adalah individual. Teori ekonomi membuktikan bahwa kesejahteraan
secara agregat mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi individu (trickle
down effect). Oleh karena itu, kesejahteraan ekonomi masyarakat bisa merupakan
jumlah kesejahteraan ekonomi semua individu yang tinggal di beberapa wilayah
dalam kelompok masyarakat. Menurut Peck dan Goodwin (2003:22), tingkat
kesejahteraan ekonomi subyektif dalam masyarakat dapat mempersepsikan lebih
42
adil (fairness) dalam pendistibusian kekayaan (wealth), kepercayaan (trust) dan
reciprocity diantara individu dan atau kelompok. Sehubungan dengan itu, World
Bank (Peck dan Goodwin, 2003:22) konsep KES berhubungan kuat secara paralel
dengan konsep modal sosial, karena konsep modal sosial merupakan bentuk dari
interaksi sosial dalam masyarakat (quantity and quality) melalui institusi, relasi,
dan norma yang diakui dan dipatuhi secara bersama-sama.
Beberapa hasil penelitian yang dilaporkan oleh World Bank, terungkap
bahwa modal sosial dapat berkontribusi dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial,
dan psikologi, seperti: pertumbuhan GDP, efisiensi pasar tenaga kerja, pencapaian
tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mengurangi kejahatan (crime), kesehatan,
dan
peningkatan
efektivitas
institusi
pemerintah.
Hasil
penelitian
lain
menunjukkan keterkaitan antara KES dengan modal sosial, seperti dibuktikan oleh
Peck dan Goodwin (2003:24). Studi mereka terakhir menunjukkan bahwa kualitas
hidup masyarakat di Canada, memiliki hubungan yang sangat kompleks
diantaranya adalah keterkaitan antara struktur masyarakat dengan kesejahteraan
individu sehingga tidak mengherankan bahwa dewasa ini peran modal sosial
(hubungan sosial) dalam masyarakat memiliki dampak positif terhadap kualitas
hidup.
Konsep Modal Sosial
Menurut Woolcock (Winter, 2000), konsep modal sosial
pertama kali
dikembangkan oleh L.F. Hanifan sejak tahun 1916 di daerah bagian Barat
Virginia.
Menurut Bourdieu (Winter, 2000), modal sosial merupakan wujud
nyata (sumberdaya) dari suatu institusi kelompok. Modal sosial
jaringan kerja yang bersifat dinamis dan bukan alamiah.
merupakan investasi strategis
merupakan
Modal sosial
baik secara individu maupun kelompok. Sadar
ataupun tidak sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial
secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang
(Bourdieu, 1986:251). Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan tetangga,
teman kerja (tempat kerja), maupun hubungan antar famili.
Bourdieu menggambarkan bahwa modal sosial
merupakan kumpulan
sumberdaya yang dimiliki setiap keanggotaan dalam suatu kelompok
43
yang
digunakan secara bersama-sama. Sebagai contoh, ketersediaan jaringan sosial
dalam masyarakat dapat membantu peningkatkan produksi dan ekonomi anggota
melalui pemanfaatan koneksi sosial (pemasaran hasil). Menurut Bourdeiu, modal
ekonomi
merupakan sumberdaya dasar, namun modal sosial berperan besar
dalam meningkatkan modal ekonomi seseorang (individu). Jika dibandingkan
dengan
Bourdeiu,
Coleman
menggunakan
terminologi
berbeda
dalam
menggambarkan modal sosial. Coleman menggambarkan modal sosial bukan
dari sesuatu yang terlihat hasil tetapi lebih kepada sesuatu yang dilakukan atau
dengan kata lain fungsi dari modal sosial itu sendiri. Ia memandang bahwa modal
sosial memiliki nilai yang terkandung didalamnya terutama dalam struktur sosial.
Oleh karena itu, Coleman (Winter, 2000), menyebut modal sosial sebagai
sumberdaya karena ia dapat memberi kontribusi terhadap kesejahterran individu
dan masyarakat seperti halnya dengan sumberdaya lain (alam, ekonomi dan
sumberdaya manusia) (Gambar 2).
Dengan arti kata, Coleman melihat bahwa struktur sosial memiliki
berbaga i bentuk tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan oleh individu dan
masyarakat, yakni: kewajiban (obligation) dan harapan, informasi, dan normanorma yang dapat menghambat dan mendorong perilaku manusia. Disisi lain,
Coleman melihat bahwa struktur sosia l memiliki trust yang tinggi. Oleh karena
itu, ia percaya kepada orang lain tentang hal-hal yang dikerjakan untuk
kepentingan bersama, karena dalam kehidupan manusia yang memiliki struktur
sosial pasti memiliki harapan dan kewajiban yang sama antar individu. Coleman
mengaplikasikan konsep modal sosial lebih menekankan pada bentuk norma dan
sanksi terutama dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Salah satu konsep
yang ia terapkan pada masyarakat yaitu konsep modal sosial
pendidikan.
pada lembaga
Ia melihat bahwa struktur sosial keluarga cukup berperan dalam
meningkatan prestasi belajar anak di sekolah. Dengan kata lain, Coleman
mengaplikasikan modal sosial keluarga terhadap peningkatan sumberdaya
manusia baik dalam hubungan kekerabatan (bonding) maupun hubungan dalam
masyarakat (bridging).
44
Modal Alam
-
-
Modal Ekonomi
Cahaya matahari,
Atmosfir,
Air, tanah, mineral,
Flora dan fauna,
Sumber energi,
Fungsi Ekosistem,
Dan lain-lain
- Aset ekonomi: gedung,
lembaga pemerintah, perusahaan,
- Infrastruktur: air, listrik, transportasi dan komunikasi.
- Fasilitas umum: kesehatan,
dan pendidikan.
- Teknologi.
Modal sosial
Modal Manusia
Jaringan/hubungan
kepercayaan,
Asosiasi,
Norma,
Keimanan.
Tipe hubungan:
Kapasitas Personal:
- Kesehatan
- Pendidikan
- Keterampilan dan
Bonding, bridging, dan
linking
- Ilmu Pengetahuan
Kelembagaan, Sosial Budaya, Politik dan Hukum
Dampak Positif dan Negatif
Kesejahteraan Individu dan Masyarakat
- Kesehatan
- Pendidikan dan pelatihan
- Lapangan Pekerjaan
- Rumahtangga
- Fungsi keluarga dan masyarakat
- Sumberdaya ekonomi
- Kejahatan dan keadilan
- Kependudukan
- Kebudayaan dan leisure
- Kualitas lingkungan
- Pertumbuhan ekonomi
- Kepaduan sosial
Sumber: Edwards, (2004:13).
Gambar 2 Modal Sosial sebagai Sumberdaya
Secara makro, Putnam (Winter, 2000) berpendapat bahwa konsep modal
sosial dapat berupa: hubungan/jaringan, kepercayaan, dan norma- norma yang
45
merupakan fasilitas bersama dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Operasionalisasi konsep modal sosial menurut Putnam berbeda dengan konsep
yang dikembangkan oleh Bourdieu dan Coleman. Konsep modal sosial menurut
Putnam, aplikasinya lebih menekankan pada tingkat wilayah (regional, democratic
institutions, dan economic development).
Walaupun terminologi modal sosial
menurut Putnam agak berbeda dengan Bourdieu dan Coleman namun kepercayaan
norma (norms of trust) dan reciprocity dalam jaringan-jaringan atau hubungan
sosial/ekonomi merupakan unsur terpenting dalam modal sosial dan merupakan
sumberdaya.
Putnam
mengukur
modal
sosial
terfokus
pada
sistem
perilaku
perkembangan ekonomi dan politik pada tingkat regional dan negara (national).
Kemudian, aspek yang dikaji tentang modal sosial menurut Putnam yaitu
berkaitan dengan sistem norma yang berlaku pada bidang ekonomi dan politik.
Pengukuran modal sosial menurut Putnam harus melibatkan beberapa asosiasi
dan institusi formal yang diakui secara syah. Berikut beberapa batasan tentang
modal sosial menurut beberapa ahli (Tabel 3).
Tabel 3 Definisi, Maksud/tujuan dan Analisis Modal Sosial
-
Definisi
Maksud/tujuan
Analysis
Bourdeiu
Sumberdaya sosial yang
menyediakan akses untuk
kepentingan kelompok
Untuk menjamin
tercapainya modal
ekonomi
Individual
dalam
kelompok
Coleman
Melihat aspek struktur sosial ,
setiap aktor dapat
memanfaatkan sumberdaya
tersebut untuk mencapai
kepentingan bersama
Untuk menjamin
tercapainya
sumberdaya
manusia yang
berkualitas
Individual
dalam
keluarga
dan
masyarakat
Jaringan/hubungan,
kepercayaan, dan normanorma merupakan fasilitas
bersama dan dapat
dimanfaatkan bersama
Untuk menjamin
tercapainya sistem
ekonomi dan
demokrasi yang
efektif
Region dan
negara
Putnam
Sumber: Winter, (2000).
46
Berdasarkan berbagai konsep diatas, maka konsep modal sosial menurut
berbagai ahli memiliki terminologi berbeda, seperti: Coleman (1988), melihat
modal sosial dari sudut pandang struktur sosial; Fukuyama (1999) berpendapat
sebagai budaya dan kepercayaan; Bourdieu (1995) berpendapat sebagai
jaringan/hubungan; Woolckok (1998) berpendapat sebagai norma; dan Putnam
(1995) melihat modal sosial dari sudut pandang organisasi sosial (Flores,
Margerita dan Fernando, 2003:1).
Perkembangan Penelitian tentang Modal Sosial
Konsep modal sosial sekarang ini, banyak menjadi perhatian dan kajian
pada berbagai lembaga atau institusi termasuk lembaga riset. Seperti Putman,
Leonardi, dan Naneti (Hobbs, 2000) melihat bahwa di masyarakat modern Italia,
modal sosial: “corak organisasi sosial, kepercayaan, norma dan jaringan sosial
dapat meningkatkan efisiensi dan kemudahan berbagai kehidupan masyarakat
melalui pemanfaatan fasilitas bersama”. Hal ini di dukung oleh hasil penelitian
Bank Dunia (2000), bahwa institusi, hubungan kemasyarakatan, dan norma dapat
meningkatkan kuantitas dan kualitas interaksi sosial masyarakat sehingga pada
gilirannya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat baik dalam keperluan individu
maupun kepentingan bersama.
Modal sosial
yang
dipercayai,
merupakan multi konsep, antara lain norma-norma sosial
hubungan
sosial
dan
organisiasi/asosiasi
yang
dapat
mempengaruhi hubungan diantara anggota masyarakat dan merupakan aset bagi
individu dan kolektif dalam menghasilkan kesejahteraan bersama. Secara makro,
modal sosial dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi. Menurut Fernando (2003), modal sosial merupakan modal alamiah,
hubungan solidaritas dan asosiasi produktif. Kemudian berdasarkan tipe, modal
sosial dapat dilihat secara individu, bisnis, masyarakat, dan pemerintahan. Tipe
individu misalnya merupakan hubungan person yang mempunyai relasi dan dapat
dimanfaatkan oleh dirinya dan orang lain.
Menurut Narayan dan Pritchett (1999:872-873), modal sosial
dapat
mempengaruhi berbagai bentuk keluaran (outcomes) bagi masyarakat melalui
lima mekanisme, yakni (1) dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
47
memonitor berbagai kegiatan atau kebijakan pemerintah melalui jaringan sosial
(social network); (2) dapat meningkatkan berbagai bentuk tindakan atau kebijakan
bersama dalam memecahkan berbagai persoalan dalam masyarakat; (3) dapat
memudahkan berbagai bentuk difusi inovasi melalui peningkatan hubungan antar
individu; (4) dapat mengurangi ketidaksempurnaan informasi yang diterima
masyarakat, seperti dalam pemanfaatan fasilitas kredit, berbagai bentuk produksi,
lahan pertanian, dan lapangan kerja; dan (5) dapat meningkatkan asuransi informal
(informal insurance) bagi rumahtangga.
Coller (Hobbs, 2000) membedakan modal sosial pemerintah dengan modal
sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu menerapkan berbagai peran
undang-undang/peraturan, kebebasan, tata nilai, norma-norma serta hubungan
yang bersifat informal yang ada di masyarakat. Di dalam masyarakat, modal sosial
pemerintah terbatas karena proporsi kontrak secara luas ditentukan oleh
kepercayaan dan modal sosial masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh Rose (1999)
melalui
studi
di
Rusia
bahwa
hubungan
individu
dalam
masyarakat
mengutamakan jaringan informal, dan kerjasama masyarakat, sedangkan
organisiasi formal hampir tidak berfungsi.
Berkaitan dengan manfaat dan fungsi jaringan informa l dalam masyarakat
sehingga output yang ditimbulkannya bisa berpengaruh secara positif dan negatif.
Menurut Olson (1982), output negatif sangat dirasakan bagi masyarakat yaitu
besarnya cost yang ditanggungkan, sedangkan ouput positif cukup banyak baik
dilihat dalam bentuk ekonomi maupun sosial. Seperti hasil penelitian Schneider
et al., (1997), jaringan/ikatan hubungan cukup bermanfaat dan menguntungkan
bagi masyarakat dalam pembangunan sosial terutama dalam berbagai aktivitas
pendidikan. Menurut Ostroms (1994) dan Lam (1996), bahwa jaringan sosial
dapat membantu dalam berbagai bentuk proyek masyarakat seperti proyek irigasi.
Lebih tegas lagi dikemukakan oleh Falk dan Kilpatrick (1999) bahwa jaringan
sosial di masyarakat dapat melakukan berbagai bentuk akumulasi modal (ekonomi
dan sosial).
Hasil penelitian Winter (2000) menunjukkan bahwa modal sosial dapat
mempengaruhi kestabilan kehidupan keluarga dan kemandirian masyarakat. Tau
(2003) memperlihatkan bahwa faktor modal sosial mampu mempengaruhi
48
perekonomian di beberapa negara Afrika. Seperti yang dipresentasekan pada saat
Konferensi Ekonomi masyarakat Afrika Selatan pada tanggal 17-19 September
tahun 2003, dia menyebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
Afrika dapat meningkat dari 1,8 persen pada periode 1980-1990 menjadi 2,7
persen pada periode 1990-2000 melalui pemanfaatakan fasilitas institusi sosial
politik.
Beberapa Dimensi dan Tingkat
Hubungan Modal Sosial
Menurut Grootaert (1999), modal sosial mempunyai enam dimensi, yakni:
(1) jumlah keanggotaan, (2) tingkat keberagaman anggota kelompok/organisasi,
(3) intensitas pertemuan, (4) tingkat pengambilan keputusan, (5) besarnya tingkat
kontribusi(uang dan tenaga), dan (6) orientasi masyarakat. World Bank melihat
bahwa modal sosial memiliki dimensi, sebagai berikut: (1) jaringan/ikatan
hubungan dan kelompok/organisasi, (2) solidaritas dan kepercayaan, (3) kegotong
royongan (collective action and cooperations), (4) komunikasi dan informasi, (5)
inklusi dan kohesi sosial dalam masyarakat, dan (6) kebijakan dan pemberdayaan
(Grootaert, 2004:5).
Putnam (Winter, 2000) mengidentifikasikan modal sosial menjadi enam
dimensi, yakni: (1) kebiasaan (tipe perjanjian: formal dan informal), (2) tujuan
bersama (antar institusi saling hormat menghormati), (3) hubungan dalam
pergaulan“bridging” (Trust dan reciprocity) saling membangun secara bersamasama), (4) modal sosial sebagai perantara (kepercayaan dapat membangun sistem
kedekatan antar individu), (5) intensitas hubungan (intensitas hubunga n antar
individu merupakan kekayaan dan keuntungan ganda dalam masyarakat), and (6)
lokasi sosial (menjalin hubungan kekerabatan (tetangga) dengan baik dapat
membangun sumberdaya modal sosial). Haddad (2000:2) membagi modal sosial
kedalam
tiga dimensi, yakni: (1) tingkat partisipasi rumahtangga dalam
kelompok, (2) fungsi kelompok bagi rumahtangga, dan (3) tingkat kepercayaan
rumahtangga dalam kelompok.
Menurut Woolcock (Thomas dan Heres, 2004), modal sosial dapat dilihat
dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi (type of networks). Pertama, modal
kekerabatan (bonding capital), yaitu ikatan hubungan
49
yang berkaitan dengan
hubungan kekerabatan (emosional tinggi) yakni: hubungan antar anggota
keluarga, teman dekat, dan tetangga. Kedua, modal pergaulan (bridging capital),
yaitu tingkat kekerabatan relatif lebih jauh seperti: teman kerja, dan kolega.
Ketiga, hubungan kelembagaan (linking capital), yaitu ikatan hubungan lebih
renggang
lagi
dibandingkan kedua
ikatan
hubungan
diatas. Hubungan
kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan hubungan secara formal ( formal
institutions) baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat
luas. Berkenaan dengan itu, menurut Edward (2004:14) bahwa modal sosial dapat
berkontribusi dalam meningkatkan keakraban dan kebersamaan dalam kehidupan
masyarakat. Apalagi seorang individu atau kelompok masyarakat dalam
menjalinkan interaksi sosial dapat mengembangkan nilai- nilai atau norma- norma
yang mereka miliki di masyarakat baik antar sistem jaringan bonding, bridging
maupun sistem jaringan linking dengan struktur yang terbuka dan komunikatif.
Namun demikian, Edward menambahkan bahwa kefektifan proses komunikasi
antar individu atau kelompok masyarakat harus didukung oleh kondisi politik
yang kondusif, menegakkan supremasi hukum, adanya kelembagaan yang good
governance dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan (Gambar 3).
Modal sosial memiliki multi konsep antara struktur dan kualitas hubungan.
Menurut Stone (2001), Stone dan Hugkes (2002) (Anonim, 2003:3), terdapat tiga
tipe jaringan sosial (social networks), yakni: (1) jaringan informal (informal ties):
hubungan dalam anggota rumahtangga, teman, tetangga dekat dan teman kerja, (2)
jaringan sosial dalam masyarakat: hubungan antar masyarakat lokal, antar
wilayah, dan kelompok lain, dan (3) jaringan sosial dalam institusi (institutional
relationship): sistem pemerintahan, partai, perguruan tinggi, dan lain- lain.
Menurut Coleman (1988, dan 1990), modal sosial melalui jaringan sosial dapat
berperan dalam membentuk modal manusia dan ekonomi.
Interaksi Sosial Kehidupan Masyarakat
Interaksi sosial yang berlangsung dalam masyarakat mencirikan suatu
dinamika yang terpola berdasarkan nilai- nilai yang dianut oleh masyarakat itu
sendiri. Interaksi sosial merupakan inti dari kehidupan suatu masyarakat yang
50
berlangsung antara individu dan individu, individu dan kelompok dan kelompok
dengan kelompok. Menurut Simmel (Johnson, 1985:257), melalui interaksi timbal
balik individu, maka ia saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Semua itu
dapat merubah sikap, dan mencerminkan perubahan relasi antar individu,
organisasi atau antar institusi (Garna, 1992:10). Salah satu konsep penting dalam
sistem sosial adalah institutionalization, yaitu pola-pola interaksi yang mapan
antara pelaku sosial yang memiliki status dan peranan tertentu.
Menurut Barth (1969), interaksi sosial merupakan hubungan yang terjadi
antara identitas- identitas sosial yang berbeda dan merupakan interaksi dan simbolsimbol yang diaktifkan oleh masing- masing pelaku yang terlibat dalam interaksi
tersebut dan sesuai dengan kepentingan mereka masing- masing. Berger dan
Lukman (Johnson,
1986:67) menyebutkan bahwa masyarakat dan berbagai
institusinya diciptakan dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan
interaksi sosia l manusia.
Menurut Sayogyo (1984:10), interaksi sosial perlu dibedakan tiga hal
pokok, yaitu: (1) orang-orang yang bertindak, (2) kelompok masyarakat yaitu
semua orang yang berinteraksi satu sama lain dengan membina hubungan sosial
dalam beragam proses, dan (3) kebudayaan yaitu seluruh arti berdasarkan nilainilai dan norma- norma yang dihayati bersama serta sarana yang menjadi penyalur
dari yang disampaikan dalam kejadian setiap interaksi. Interaksi sosial terjadi
dalam tiga jenis proses sosial yang bersifat menyatukan, yaitu: proses kerjasama,
asimilasi, akomodasi. Proses sosial lainnya yaitu proses sosial berlawanan, yaitu:
konflik, kontraversi dan persaingan.
Interaksi sosial mempunyai dimensi-dimensi struktural yang terdiri atas
tiga
bagian,
yaitu: (1)
jarak
sosial
yang
menunjukkan
kemungkinan
relasi/hubungan sosial antara pelaku-pelaku tertentu mengikat sampai seberapa
jauh orang-orang atau grup dapat bertemu, (2) integrasi sosial yang menunjukan
besar-kecilnya keselarasan/harmoni di dalam proses sosial, dan (3) tingkatan
sosial yang menunjukkan perbedaan kedudukan lebih tinggi dan lebih rendah
(Sayogyo, 1984:10).
51
Proses sosial dalam arti adanya konflik yang timbul dalam interaksi sosial
di dalam masyarakat menjadi inti pembahasan teori konflik yang dikembangkan
oleh Dahrendorf yang bersifat pendekatan Struktural Non Marxis (Nasikun, 1985;
dan Verger, 1985). Menurut teori ini konflik adalah suatu gejala yang melekat di
dalam setiap masyarakat sebagai akibat dari proses perubahan yang terus menerus
berlangsung di dalam masyarakat yang dilatarbelakangi motivasi dan keinginan
yang antagonistis atau bertentangan dari dua kategori sosial yaitu kelompok yang
memiliki authority atau kekuasaan dan kelompok yang tidak memiliki authority.
Sebagai gejala yang melekat dalam kehidupan masyarakat maka konflik hanya
akan lenyap bersama dengan lenyapnya masyarakat. Karena itu apa yang
dilakukan orang hanyalah mengendalikan agar konflik yang terjadi diantara
berbagai kekuatan sosial yang saling berlawanan itu tidak akan terwujud dalam
bentuk kekerasan. Bentuk pengendalian itu dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu
(1) konsiliasi yang terwujud di dalam lembaga- lembaga demokratis, (2) mediasi
yaitu kesepakatan kedua pihak yang bertentangan untuk menunjukkan pihak
ketiga memberikan pertimbangan dan nasehat, dan (3) arbitrasi atau perwasitan
yaitu kesepakatan kedua pihak menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak
ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan
konflik antara kedua pihak (Nasikun, 1985).
Menurut Koentjaraningrat (1984), ada empat macam prinsip hubungan yang
mengikat suatu masyarakat khususnya sekelompok orang di desa, yaitu; (1) prinsip
hubungan kekerabatan yang membentuk persekutuan hukum, (2) prinsip hubungan
tinggal dekat yang melahirkan persekutuan territorial, (3) prinsip hubungan yang tidak
timbul dari masyarakat perdesaan sendiri tetapi datang dari atas desa yang memunculkan
persekutuan hukum dari atas, dan (4) prinsip tujuan khusus persekutuan hukum atas
kebutuhan disebabkan misalnya faktor ekologis. Mead (Soekanto, 1984:8) mengatakan
bahwa manusia mempunyai kemampuan berinteraksi dengan pihak-pihak lain, dengan
perantaraan lambang-lambang yang memberi arti pada aktivitas hidupnya. Berdasarkan
perbedaan makna terhadap la mbang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari antar
kelompok masyarakat dapat mengakibatkan menyempitnya proses interaksi yang terjadi,
sedangkan pemaknaan lambang yang sama akan memperluas aktivitas kehidupan
sehingga memberi nilai bagi kehidupan sosial ekonomi.
52
-
Kebudayaan
Bahasa,
Sejarah,
Gender,
Agama,
Seni, dan
sport
Politik:
Modal sosial
- Peran UU,
- Transparansi
proses politik,
- Good
governance
Tipe jaringan:
Bonding, Bridging
dan linking
Transaksi
jaringan:
Komposisi
jaringan:
keluarga,
teman,
tetangga,
kolega,
organisasi/
kelompok.
- Memperkuat
dukungan,
- Meningkat
pengetahuan,
- negosiasi,
- penerapan sanksi.
Kualitas
jaringan:
- Norma-norma:
# kepercayaan,
# imbalan,
# efikasi
# kebersamaan,
- partisipasi sosial
- partisispasi ekon.
Struktur
jaringan:
-
Supremasi Hukum:
- independensi
pengadilan,
- Transparansi
proses hukum,
- Kebebasan
berpendapat.
jumlah,
keterbukaan,
komunikasi,
mobilitas,dan
Kelembagaan:
- tingkat hubungan.
Dampak Positif:
- Implementasi
kebijakan,
- Stabilitas
ekonomi
Dampak Negatif:
- Pengembangan jaringan kerja,
- Peningkatan pengetahuan,
- Peningkatan kepercayan
masyarakat,
- Kebahagiaan masyarakat,
- Kepuasan mengontrol diri,
- transaction cost,
- Pemecahan masalah.
- Adanya hubungan tidak
seimbang (unbalance
bonding),
- Menurunkan fungsi keluarga
(unbalance bridging),
- Korupsi (unbalance linking)
- Kekacauan dalam masyarakat
Sumber: Edwards, (2004:14)
Gambar 3 Kerangka Konsepsual Modal Sosial
53
KERANGKA BERPIKIR DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
Kerangka Berpikir
Determinan kesejahteraan (well-being) tidak hanya terbatas pada faktor
fisik (alam, ekonomi, dan sumberdaya manusia) namun dapat juga dilihat dalam
konteks modal sosial (Morris, 1998). Modal sosial adalah sumberdaya terpenting
dalam kehidupan masyarakat karena modal ini merupakan
jaringan/hubungan
keluarga terhadap dunia luar (tetangga dan masyarakat luas) untuk memecahkan
berbagai persoalan termasuk masalah kebutuhan dasar (ekonomi dan psikologi)
keluarga.
Hasil penelitian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa keberadaan modal
sosial (jaringan sosial) individu rumahtangga yang kuat dalam kehidupan
masyarakat berperan untuk mendapatkan berbagai bentuk akses. Dengan kata
lain, anggota keluarga yang memiliki tingkat modal sosial yang kuat berpengaruh
sangat nyata dan signifikan terhadap peningkatan pengeluaran keluarga per kapita
(proxy pendapatan)(Haddad, 2002:2). Hal ini sejalan dengan tiga studi ekonomi
yang dilakukan oleh Knach dan Keefer (1997), Narayan dan Pritchett (1999) dan
Grootaert (1999) secara empiris membuktikan bahwa modal sosial dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarga. Penelitian di daerah perdesaan Tanzania
misalnya, modal sosial individu berhubungan positif dengan income. Artinya,
semakin tinggi tingkat modal sosial individu maka terjadi peningkatan income
sebesar 20-30 persen setiap keluarga (Narayan dan Pritchett, 1999). Modal sosial
dapat mempengaruhi income melalui berbagai kemudahan yang ada di
masyarakat, seperti: penggunaan input pertanian yang modern, dan memperoleh
fasilitas kredit pertanian lebih mudah/cepat. Dengan demikian, modal sosial
berkorelasi positif dengan kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan modal sosial
yang tinggi memiliki tingkat pengeluaran per kapita lebih besar, aset dan tabungan
lebih banyak serta memiliki akses kredit lebih mudah dibandingkan dengan
keluarga yang memiliki investasi modal sosial terbatas (Grootaert, 1999:62).
Secara ekonomi, modal sosial dapat bermanfaat dan menguntungkan
dalam keluarga karena keluarga yang memiliki modal sosial dapat berinteraksi
54
32
33
dengan dunia luar dan modal dasar dalam pembangunan sebagai transaction cost
(Fukuyama, 1999). Sebagai contoh, berbagai problem tentang pekerjaan
(pertanian dan non-pertanian) dapat diatasi melalui pemanfaatan jaringan sosial
terutama informasi tentang pasar dan teknologi serta informasi lainnya (Collier,
1998).
Menurut Portes (Grootaert, 1999:4), modal sosial dapat berupa jaringan
sosial atau struktur sosial. Dalam struktur sosial, dapat diukur pada tingkatan
mikro, meso, dan makro. Tingkatan makro misalnya, dapat berupa institusi
pemerintah yang memiliki peraturan dan undang-undang yang jelas dan tegas
sehingga berdampak terhadap kinerja ekonomi nasional. Modak sosial pada
tingkatan meso dan mikro, berupa norma dan jaringan yang dibangun melalui
interaksi antar individu dan keluarga dalam struktur sosial masyarakat. Struktur
sosial yang dimaksud dan terdapat dimasyarakat yaitu asosiasi atau institusi lokal.
Ciri negara makmur adalah negara yang mempunyai kualitas sumberdaya
manusia (karakter) yang tinggi dan ditunjukkan oleh: (1) kehidupan sosial relatif
damai, (2) sedikit konflik, dan (3) terdapat tingkat toleransi yang tinggi dalam
kehidupan bermasyarakat. Keunggulan ini ditunjukkan oleh faktor modal sosial
yang tinggi, yaitu masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.
Sehubungan dengan itu, menurut Fukuyama (Djalil dan Megawangi, 2003:6),
untuk mencapai masyarakat madani, masing- masing individu dan golongan
masyarakat harus dapat menjujung tinggi rasa saling hormat, kebersamaan,
toleransi, kejujuran, dan menjalankan kewajibannya.
Keluarga sebagai suatu sistem dalam masyarakat seperti sistem lainnya
yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berhubungan baik sistem lingkungan
fisik yang berupa lingkungan alamiah dan atau buatan maupun sistem lingkungan
sosial. Menurut Parsons (1965), sistem keluarga memiliki tiga elemen utama,
yakni: (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial yang saling
berhubungan satu sama lainnya (interralated). Hubungan antar elemen untuk
mewujudkan satu fungsi tertentu terjadi, dan tidak saja bersifat alami tetapi juga
dibentuk oleh berbagai faktor atau kekuatan yang ada disekitar keluarga seperti
nilai- nilai atau norma serta faktor- faktor lain yang ada di masyarakat salah
satunya adalah modal sosial.
55
34
Namun demikian, keberfungsian faktor modal sosial bagi keluarga di
masyarakat harus ditunjang oleh potensi sumberdaya lain yang dimiliki oleh
masing- masing keluarga terutama di daerah perdesaan. Berdasarkan klasifikasi
sumberdaya, ada ada empat macam sumberdaya, yakni: sumberdaya fisik/alam,
ekonomi, manusia termasuk sosio-demografi, dan sumberdaya atau modal sosial.
Dari keempat sumberdaya tersebut hanya ada tiga sumberdaya yang masuk
kedalam sistem keluarga sebagai input yakni: sumberdaya manusia, ekonomi dan
sumberdaya sosial. Sumberdaya manusia dan ekonomi digabung menjadi satu
kesatuan input yakni status sosial ekonomi, sedangkan sumberdaya sosial menjadi
input tersendiri yang disebut modal sosial. Seperti telah disebutkan sebelumnya
bahwa ketiga sumberdaya tersebut tidak akan dapat digunakan atau dimanfaatkan
secara optimal tanpa ada ditunjang oleh pengelolaan sumberdaya yang baik.
Dengan arti kata, peran manajemen sumberdaya disini sangat penting dalam
mengelola berbagai sumberdaya yang dimiliki keluarga untuk meningkatkan
kesejahteraan baik kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan
ekonomi subjektif.
SISTEM KELUARGA
Input
Lingk. Makro
(Alam/Buatan)
Lingk. Makro
(SistemMasy)
Lingk. Mikro
Modal
Alam
Modal
Ekonomi
Modal
Manusia
Modal
Sosial
Proses
Status
Sosial
Ekonomi
Output
Kesejahteraan
Ekonomi
Objektif
Manajemen
Sumberdaya
Keluarga
Kesejahteraan
Ekonomi
Subjektif
Modal
Sosial
Feed back
Diteliti
:
Tidak diteliti:
Gambar 4. Kerangka Berpikir: Hubungan Modal Sosial dengan
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga
56
35
Hipotesis Penelitian
(1) Faktor
sosio-demografi,
dan
manajemen
sumberdaya
keluarga
berpengaruh secara nyata terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga,
(2) Terdapat ketidakmerataan kesejahteraan ekonomi keluarga di Provinsi
Jambi berdasarkan agroekologi wilayah,
(3) Faktor modal sosial berpengaruh secara nyata terhadap kesejahteraan
ekonomi keluarga; dan
(4) Peningkatan modal sosial merupakan model yang tepat secara struktural
dalam pemberdayaan keluarga kaitannya dengan kesejahteraan.
57
METODE PENELITIAN
Desain, dan Lokasi Penelitian
Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi
Jambi dengan dua Kabupaten terpilih, yaitu: Kabupaten Tanjung Jabung Timur
dan Kabupaten Kerinci (Gambar 5). Terpilihnya kedua Kabupaten tersebut sebagai
wilayah penelitian dengan pertimbangan diharapkan dapat mewakili karakteristik
kabupaten yang ada di Provinsi Jambi baik dilihat dari aspek ekologi, ekonomi maupun
sosial budaya. Kabupaten Tanjung Jabung Timur misalnya, dapat mewakili wilayah
pesisir pantai/pasang surut, mayoritas masyarakat berasal dari suku Melayu, Bugis dan
Banjar (migrasi spontan) dengan komoditas utama usaha nelayan, perkebunan kelapa
dalam, dan usahatani padi sawah pasang surut. Kabupaten Kerinci mewakili masyarakat
wilayah pegunungan atau dataran tinggi, mayoritas masyarakat didominasi oleh suku
Melayu-Kerinci dengan komoditas utama usahatani padi sawah irigasi, perkebunan kulit
manis (cassiavera), dan perkebunan kopi disamping usahatani tanaman pangan dan
sayuran.
SEP
UCU
K JA
MBI
SEMB
ILAN
Daerah
Pesisir pantai
H
LURA
TANJAB BARAT
TANJAB. TIMUR
TEBO
KOTA JAMBI
MUARO JAMBI
BUNGO
BATANGHARI
KERINCI
Daerah
Pegunungan
SAROLANGUN
MERANGIN
Luas
Jumlah Kab, Kota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk
Pertum Penduduk
Pertum Ekonomi
PDRB (hrg berlaku)
Gambar 5 Letak Lokasi Wilayah Penelitian
58
36
: 53,435 km²
: 9 Kab dan 1 Kota
: 2.657.536 jiwa(2006)
: 50 orang/ km²
: 1,98 %/tahun (2004/2005)
: 5,57% (2004/2005)
: Rp.22,5 trilyun (2006)
Sumber, Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Data penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh langsung dari keluarga dan responden terpilih, sedangkan data sekunder
diperoleh dari instansi dan lembaga terkait disamping dari laporan hasil penelitian,
jurnal maupun majalah yang memuat tentang masalah modal sosial dan
kesejahteraan.
Jenis atau variabel penelitian dibagi ke dalam lima kelompok, yaitu:
karakteristik keluarga, sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, modal
sosial, dan variabel kesejahteraan (objektif dan subjektif). Karakteristik keluarga
dan sosio-demografi, variabel yang diteliti meliputi: (1) jumlah anggota keluarga,
(2) umur orang tua (kepala dan ibu rumahtangga), (3) tingkat pendidikan orang
tua (Kepala dan ibu rumahtangga) dan anak, (4) tingkat keterampilan kepala
keluarga,
(5) mata pencaharian kepala dan ibu rumahtangga, (6 ) kepastian
pemilikan lahan (lahan pertanian dan permukiman) dan perahu/kapal, (7)
pendapatan rumahtangga, (8) kondisi perumahan (permanen/sederhana), dan (9)
fasilitas perumahan (air minum, alat penerangan, dan aksesibilitas).
Aspek
manajemen sumberdaya keluarga, variabel yang diteliti, meliputi: (1) manajemen
waktu, (2) manajemen anggota keluarga, dan (3) manajemen keuangan.
Aspek modal sosial dibagi dalam dua dimensi, yakni dimensi asosiasi
lokal, dan dimensi karakter masyarakat. Variabel yang termasuk kedalam dimensi
asosiasi lokal, meliputi: (1) jumlah kelompok/organisasi yang diikuti, (2) tingkat
partisipasi keluarga dalam kelompok/organisiasi, dan (3) manfaat kelompok/
organisasi, sedangkan untuk dimensi karakter masyarakat, meliputi: (1) kepercayaan,
(2) solidaritas, dan (3) semangat kerja.
Aspek kesejahteraan ekonomi keluarga dibagi dalam dua dimensi, yakni
kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi subjektif. Variabel
kesejahteraan ekonomi objektif, meliputi: (1) kebutuhan pangan, (2) kebutuhan
non pangan, dan (3) kebutuhan investasi sumberdaya manusia,
sedangkan
variabel yang diteliti untuk kesejahteraan subjektif yaitu melihat tingkat kepuasan
keluarga, meliputi: (1) pemenuhan kebutuhan pangan, (2) pemenuhan kebutuhan non
59
pangan, dan (3) pemenuhan kebutuhan investasi sumberdaya manusia. Disamping
data pokok penelitian ditambah denga n data pendukung yaitu data karakteristik
wilayah. Adapun variabel yang diambil mengenai karakteristik wilayah yaitu
meliputi: (1) data geografi, (2) demografi, (3) sosial budaya, (4) sistem
keorganisasian masyarakat, dan (5) data aksesibilitas wilayah.
Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan observasi.
Untuk mendapatkan data lebih mendalam, pengumpulan data dilanjutkan dengan
metode wawancara mendalam (Indepth Interview) terhadap beberapa responden
terpilih dan Focus Group Discussion (FGD). Untuk lebih jelasnya jenis dan teknik
pengumpulan data penelitian masing- masing variabel dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis dan Metode Pengumpulan Data
No
Jenis Data
Metode Pengumpulan Data
01
Karakteristik dan Sosio
Demografi Keluarga
Wawancara langsung, dan
observasi
02
Manajemen Sumberdaya
Keluarga
Wawancara langsung, dan
observasi
03
Sumber Penghasilan Keluarga
Wawancara langsung
04
Aspek Perumahan
05
Fasilitas Perumahan
06
Kesejahteraan ekonomi keluarga
07
Pengeluaran Keluarga
08
Aset/Jumlah Kekayaan
09
Modal Sosial
10
Karakteristik Wilayah
Wawancara langsung dan
observasi
Wawancara langsung dan
observasi
Wawancara langsung, observasi,
indepth interview, dan FGD.
Wawancara langsung
Wawancara langsung, dan
observasi
Wawancara langsung, observasi,
indepth interview, dan FGD.
Wawancara bebas dan
Observasi
Waktu Pengumpulan Data Penelitian
Waktu pengumpulan data penelitian selama delapan bulan, mulai dari
bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2006. Pengumpulan data penelitian
60
dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan data atau penelitian
penjajakan (uji coba kuesioner). Tahap kedua adalah pengumpulan data primer
dan sekunder.
Selama penelitian penjajakan,
pengumpulan data penelitian berjalan
dengan lancar dan tidak ditemui kendala atau hambatan yang berarti. Namun
demikian, peneliti harus menyesuaikan waktu dengan responden. Kasus di
wilayah pesisir pantai misalnya atau responden yang berprofesi nelayan, peneliti
harus menunggu waktu mereka tidak melaut atau pada musim gelombang. Seperti
diketahui, nelayan umumnya di daerah penelitian melaut pada siang hari dan
pulang pada pagi hari sekitar jam 6.00-7.00 WIB setelah itu mereka istirahat tidur.
Artinya, selama musim melaut mereka hampir tidak punya waktu untuk
wawancara termasuk keperluan penelitian. Oleh karena itu, peneliti melakukan
wawancara dengan responden yang berprofesi nelayan selama mereka tidak
melaut yaitu antara bulan desember sampai bulan pebruari.
Hal yang sama juga ditemui di wilayah pegunungan yang mana mayoritas
petani adalah berprofesi sebagai petani sawah. Mereka bekerja mulai dari jam
7.00 – 16.00 WIB. Namun petani sawah ini memiliki waktu senggang lebih
banyak dibandingkan dengan nelayan terutama pada malam hari. Oleh karena itu,
peneliti mengumpul data di wilayah ini harus pada waktu malam hari. Dengan
konsekuensi waktu yang diperlukan peneliti cukup singkat sekali. Namun
demikian, dalam waktu yang relatif singkat ini peneliti dapat mengumpulkan
responden dan menjaring berbagai informasi yang diperlukan dalam penelitian
atas bantuan tokoh masyarakat dan pemuda setempat mengenai tempat tinggal
responden.
Lama Wawancara dan Pendalaman Pertanyaan
Peneliti
sebelum
berangkat
melakukan
pengumpulan
data
sudah
mempersiapkan kuesioner sedemikian rupa terutama waktu yang diperlukan
selama wawancara. Dari 15 responden yang diambil selama penelitian penjajakan,
ternyata rata-rata waktu yang diperlukan untuk wawancara berkisar antara 45
menit sampai satu jam. Dengan arti kata, pengumpulan data selama penelitian
61
penjajakan cukup lancar dan tidak membosankan bagi responden sehingga
validitas dan reliabilitas data yang diharapkan dari responden cukup representatif.
Kelancaran pelaksanaan penelitian penjajakan ini tidak terlepas dari
persiapan sebelum keberangkatan ke lapangan terutama instrumen yang
digunakan dalam penjaringan informasi data dalam penelitian ini. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini sudah dipersiapkan selama lebih kurang 6 (enam)
bulan yang lalu dengan bantuan atau bimbingan komisi pimbimbing. Dengan
demikian, kedalam dan keluasan informasi yang diharapkan serta kata-kata yang
digunakan dalam menjaring informasi sudah didiskusikan beberapa kali antara
peneliti dengan komisi pembimbing dan atau antar komisi pembimbing sehingga
tingkat validitas dan reliabilitas sudah cukup memadai dan dapat dihandalkan.
Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam instrumen
penelitian cukup dipahami oleh responden. Apalagi pelaksanaan penelitian
penjajakan ini dilakukan langsung oleh peneliti sendiri.
Sampel Penelitian
Daerah penelitian ditentukan dengan metode cluster sampling yaitu
dengan cara membagi daerah berdasarkan agroekologi wilayah sehingga terpilih
wilayah dataran tinggi (pegunungan) yaitu Kabupaten Kerinci dan daerah pesisir
(pasang
surut)
daerah/wilayah
yaitu
Kabupaten
penelitian
Tanjung
berdasarkan
Jabung
agroekologi,
Timur.
mengingat
Diambilnya
distribusi
penduduk Provinsi Jambi menyebar berdasarkan tipologi tersebut. Selanjutnya,
kecamatan dan desa/kelurahan penelitian diambil secara purposive dan mengikuti
pola yang ada di masing- masing wilayah Kabupaten, sedangkan responden
(rumahtangga) diambil secara acak sederhana (simple random sampling) sebesar
325 orang atau 10 persen dari jumlah rumahtangga yang ada pada seluruh desa
penelitian (3.257 rumahtangga)(Tabel 5). Jumlah sampel yang digunakan sebagai
indepth interview sebanyak 33 orang atau 10 persen dari jumlah responden
masing- masing desa.
62
Tabel 5 Jumlah Responden dan Informan Indepth Interview Berdasarkan Kabupaten,
Kecamatan dan Desa Di daerah penelitian, 2006
No
1
Daerah Penelitian
Kabupaten Kerinci:
Responden
Indepht.Int
484
382
48
38
5
4
476
404
48
40
5
4
303
409
30
41
3
4
435
364
3.257
44
36
325
4
4
33
11 Kecamatan Keliling Danau
111 Desa Jujun
112 Desa Koto Agung
12 Kecamatan Merangin
121 Desa Muak
122 Desa Pondok
2
Kabupaten Tanjung Jabung Timur
-
21 Kecamatan Nipah Panjang
211 Desa Nipah Panjang I
212 Desa Nipah panjang II
22 Kecamatan Mendahara Ilir
221 Desa Mendahara Ilir
222 Desa Pangkal Duri
Total
Jumlah sampel
Jumlah
KK/Petani*)
Sumber: Monografi Masing-masing Desa Penelitian, tahun 2006.
Secara ringkas, metode pengambilan sampel penelitian dan distribusi responden
dapat dilihat pada gambar desain dan lokasi penelitian (Gambar 6).
Provinsi
Jambi
Cluster sampling
Kabupaten
Kerinci
Kecamatan
Desa
Jujun
Kabupaten
Tanjabtim
Kecamatan
Merangin
Keliling Danau
Desa
Kt. Agung
Desa
Muak
6 bulan
Desa
Pondok
Kecamatan
Kecamatan
Nipah Panjang
Mendahara Ilir
Desa
Desa
Nph Pjg I
Nph Pjg II
Desa
Mend Ilir
Desa
P.Duri
10 %
Purposive
Rumahtangga
Gambar 6 Desain dan Lokasi Penelitian
63
Simple R.S.
Analisis Data
Sebelum dilakukan analisis data perlu dilihat keterkaitan antara satu
variabel dengan variabel lainnya. Seperti terlihat pada Gambar 7, variabel sosiodemografi, modal sosial dan manajemen sumberdaya keluarga sebagai variabel
exogenous berhubungan secara kausalitas dengan variabel endogenous yaitu
kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif).
SOSIO
DEMOGRAFI
KESEJAHTERAAN
EKONOMI KELUARGA
• Pendidikan Suami
• Keterampilan Suami
• Beban Ketergantungan
MODAL SOSIAL
MANAJEMEN
SUMBERDAYA
ASOSIASI LOKAL
• Waktu
• Anggota Keluarga
• Keuangan
• Jumlah Asosiasi
• Tingkat Partisipasi
• Manfaat Asosiasi
KESEJAHTERAAN
EKONOMI OBJEKTIF
(Kebutuhan)
• Pangan
• Non pangan
• Investasi
KESEJAHTERAAN
EKONOMI SUBJEKTIF
(Kepuasan)
KARAKTER MASYARAKAT
• Pemenuhan Pangan
• Pemenuhan Non pangan
• Pemenuhan Investasi
• Keterpercayaan
• Solidaritas
• Semangat Kerja
Gambar 7 Kerangka Analisis Penelitian
Analisis data dimulai dari melakukan sortasi, dan “coding”. Kemudian
dilanjutkan analisis data secara deskriptif dengan menggunakan tabel frekuensi tunggal
untuk data karakteristik keluarga, sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga,
modal sosial dan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga. Untuk menjawab masingmasing tujuan penelitian menggunakan analisis sebagai berikut:
(a) Utuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan
ekonomi keluarga (objektif dan subjektif) di analisis dengan uji regresi
berganda. Uji Regresi Berganda (multiple regression) dengan fungsi produk si:
64
Fungsi Produksi Kesejahteraan Ekonomi Keluarga
Y i = α + b1 EDU1 +b2 SKILL2 + b3DR3 + b4 MW4 + b5 MAK5+ b6 MK6 + b7 ASLOK 7 +
b8 TP8 + b9 MA9 + b10KM10+ b11 TS11+ b12 SK12+ b13 WLYH13 + ei
Keterangan:
Yi
= Tingkat Pengeluaran Keluarga (Rp/keluarga/tahun),
EDU1 = Pendidikan suami,
SKILL2 = Pendidikan Non Formal Suami,
DR 3
= Beban Ketergantungan Keluarga,
MW 4 = Manajemen Waktu,
MAK5 = Manajemen Anggota Keluarga,
MK6
= Manajemen Keuangan,
ASLOK7 = Jumlah Asosiasi yang diikuti,
TP8
= Tingkat Partisipasi dalam Asosiasi Lokal,
MA 9
= Manfaat Asosiasi Lokal bagi Keluarga,
KM 10 = Keterpercayaan Masyarakat,
TS11
= Tingkat Solidaritas,
SK12
= Semangat Kerja Masyarakat,
WLYH13 = Dummy Wilayah Penelitian
α
= intercepts, and
eI
= error term.
Sebelum dilakukan pengujian secara statistik perlu dilihat nilai Koefisien
Determinasi Ganda (R2 ), dan uji Korelasi antar variabel bebas (r). Koefisien
Determinasi Ganda (R2 ) adalah untuk melihat kontribusi semua variabel
bebas terhadap variabel terikat. Dengan arti kata, apakah model yang
digunakan dalam penelitian valid atau tidak. Nilai R2
diperoleh dari
perbandingan antara nilai Sum Square Regression (SSreg) dengan nilai Sum
Square Total (SStot ) dengan rumus sebagai berikut:
n
R2 =
SS reg
SS total
=
∑
i =1
n
∑
i =1

y 

2
−

 yi − y 


2
∧
 y i −

−
atau R 2 = 1 −
SS reg
SStotal
Nilai R2 terdapat antara 0 dan 1. Apabila nilai R2 = 0,70, mencerminkan
tingkat kontribusi variabes bebas (independen variabel) terhadap variabel
terikat cukup kuat. Artinya, model yang digunakan cukup valid, dan
sebaliknya apabila nilai R2 = 0,70, maka kontribusi variabel independen
terhadap variabel dependen kurang kuat (tidak valid) (Myers, 1990:37).
65
Uji Korelasi antar variabel bebas (r) dilakukan untuk mengetahui besarnya
korelasi antar variabel bebas sehingga dapat mendeteksi ada tidaknya
kolinearitas berganda (multicollinearity). Uji Korelasi antar variabel bebas
(r) diperoleh akar dari R2 . Setelah mendapat nilai R2 dan (r) baru dilakukan
uji statistik. Adapun uji yang digunakan adalah sebagai berikut:
(1) Uji F (over all test)
Uji F digunakan untuk membuktikan semua variabel independen (variabel
bebas) secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap variabel
dependen (variabel terikat). Rumus uji F adalah sebagai berikut:
SSreg/k
F hitung = -----------------SSres/(N-k-1)
Keterangan:
SSreg
SSres
k
N
= Sum Square Regression
= Sum Square Error
= jumlah peubah bebas
= jumlah kasus (responden).
Apabila nilai F hitung > F tabel (0,05), berarti H0 ditolak dan diterima H1 .
Artinya, seluruh variabel independen (jumlah anggota keluarga, umur suami,
umur isteri, pendidikan suami, pendidikan isteri, keterampilan suami, beban
ketergantungan, dan penghasilan keluarga) secara bersama-sama berpengaruh
nyata terhadap tingkat pengeluaran keluarga. Sebaliknya, apabila nilai F
hitung < F tabel (0,05), berarti H0 diterima dan tolak H1 . Artinya, seluruh
variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap
tingkat pengeluaran keluarga.
(2) Uji t (partial test)
Uji t digunakan untuk membuktikan semua variabel independen (variabel
bebas) secara individual mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen
(variabel terikat). Uji t diperoleh dari hasil perbandingan antara Koefisien
Regresi (Bi) dengan Standar Error (Se). Apabila nilai t-hitung > t-tabel
(0,05), berarti H0 ditolak dan diterima H1 . Artinya, variabel independen
(jumlah anggota keluarga, umur suami,
66
umur isteri, pendidikan suami,
pendidikan
isteri,
keterampilan
suami,
beban
ketergantungan,
dan
penghasilan keluarga ) secara individual berpengaruh nyata terhadap tingkat
pengeluaran keluarga. Sebaliknya, apabila nilai t-hitung < t-tabel (0,05),
berarti H0 diterima dan ditolak H1 . Artinya, setiap variabel independen secara
individual tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pengeluaran keluarga.
(b) Untuk mengidentifikasi dan mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan
ekonomi keluarga di Provinsi Jambi berdasarkan Agroekologi wilayah
dianalisis dengan menggunakan Model Kuznets, dan Uji Mann-Whitney (Utest).
(1) Model Kuznets melihat pemerataan kesejahteraan
keluarga
(objektif
dan
subjektif)
berdasarkan
perbandingan
ekonomi
antara
kesejahteraan dari 40 persen kelompok penerima kesejahteraan terbawah
dengan 10 persen kelompok penerima kesejahteraan teratas. Kesejahteraan
masyarakat dikatakan merata atau hampir merata apabila nilai dari kelompok
penerima kesejahteraan 40 persen terbawah lebih besar dari 17 persen, kurang
merata (ketidakmerataan sedang) yaitu 12-17 persen, dan di bawah 12 persen
disebut sebagai tidak merata (ketidakmerataan tinggi). Model Kuznets telah
teruji baik di negara maju maupun negara berkembang. Untuk mendapatkan
hasil yang lebih komplit maka pengujian pemerataan kesejahteraan ekonomi
keluarga dilanjutkan dengan menggunakan uji atau melihat nilai Bobot
Kesenjangan (BK) kesejahteraan. Uji ini telah dikembangkan oleh Bank
Dunia dan Kuzne ts dengan formula bahwa BK diperoleh dari perbandingan
antara persentase kesejahteraan pada kelompok penerima 40 persen terbawah
terhadap persentase kesejahteraan ekonomi keluarga pada kelompok
penerima kesejahteraan 10 persen teratas. Kesejahteraan dikatakan merata,
apabila memiliki nilai BK mendekati 4, sedangkan kesejahteraan dikatakan
tidak merata atau terjadi kesenjangan apabila memiliki nilai BK sebesar 0,3
atau lebih kecil dari 0,3. (2)
Untuk melihat perbedaan ketidakmerataan
kesejahteraan ekonomi keluarga di kedua wilayah dilanjutkan dengan Uji
Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney (U Test) menurut Siegel (1985: 154),
bahwa :
67
n1n2
U − µu
2
Z − score =
=
σu
(n1 )( n2 )( n1 + n2 + 1)
12
n ( n + 1)
n ( n + 1)
dimana U = n1n2 + 1 1
− R1 atau U = n1n2 + 2 2
− R2
2
2
n1
Dimana Ri (Ranking) =
x N(populasi ) .
n - max
U−
Keterangan:
Z-score
Ui
Ri
ni
Ni
= nilai perbedaan ketidaksamarataan kesejahteraan ekonomi keluarga,
= jumlah nilai distribusi kesejahteraan ekonomi keluarga,
= Ranking kesejahteraan ekonomi keluarga,
= jumlah populasi penelitian masing-masing wilayah, dan
= jumlah populasi penelitian (total).
(c) Untuk mengetahui pengaruh faktor modal sosial terhadap kesejahteraan
ekonomi keluarga (objektif dan subjektif) di daerah perdesaan Provinsi Jambi
di analisis melalui model Structural Equation Model (SEM) dengan program
Linear Structural Releationship (LISREL) versi 8.7. Banyak penelitian
menggunakan analisis data dengan melihat frekuensi means, persentase dan
korelasi. Untuk analisis yang lebih kompleks, misalnya untuk melihat
pengaruh sebab akibat (kausal), ada juga yang melakukan penelitian dengan
analisis metode Regresi. Analisis regresi memiliki kelemahan-kelemahan
karena bersandar pada asumsi-asumsi yang harus dipenuhi. Misalnya asumsi
bahwa semua variabel bebas diukur tanpa kesalahan (tidak ada kesalahan
pengukuran) dan variabel bebas/variabel penjelas diasumsikan dapat diukur
secara langsung. Akan tetapi dalam bidang sosial termasuk kajian bidang ilmu
keluarga ada variabel yang tidak bisa diukur secara langsung, misalnya
variabel social economic status (SES) yang dapat diukur melalui variabel lain
yaitu tingkat pendidikan, penghasilan dan pekerjaan sebagai variabel
indikator. Dalam kasus seperti ini untuk memasukkan variabel SES ke dalam
model persamaan regresi, dibentuk suatu indeks berdasarkan variabel- variabel
indikatornya denga n melakukan penggabungan dari variabel tingkat
pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Penggabungan ini bisa dilakukan
dengan melalui penjumlahan data mentah atau data yang sudah dibagikan dari
68
ketiga variabel tersebut atau menggunakan skor berdasarkan komponen utama
maka indikasi ini masih saja tidak berperilaku seperti nilai sebenarnya yang
mengukur SES dengan realibel secara sempurna. Indeks tersebut masih
mengandung galat (error). Penggunaan asumsi tersebut memberikan
keterbatasan pada penggunaan metode regresi. Jika asumsi tersebut tidak
dipenuhi maka hasil yang diperoleh tentu tidak sesuai dengan yang
sebenarnya.
Melalui perkembangan ilmu bidang statistik, para peneliti telah dimungkinkan
untuk menganalisis data sebab akibat dengan menggunakan metode la in yaitu
dengan menggunakan permodelan persamaan struktural (Structural Equation
Modelling/SEM). SEM merupakan gabungan dari model regresi dan analisis
alur (path analysis) (Bollen, 1989). Dengan menggunakan model ini,
kelemahan-kelemahan model regresi seperti kasus SES dapat diatasi dengan
baik. Misalnya, variabel SES disebut sebagai variabel tak teramati (latent) dan
tiga variabel lainnya disebut disebut variabel indikator bagi SES. Dalam
model ini semua variabel laten dimasukkan ke dalam model. Dengan
demikian tidak perlu ada asumsi bahwa setiap variabel dapat diukur secara
langsung, karena secara langsungpun variabel dapat dimasukkan ke dalam
model. Model persamaan struktural telah diterapkan dalam berbagai bidang
seperti ekonometrika, biometrika, psikologi dan sosiologi.
Tujuan Model Hubungan Struktural
a. Membentuk model struktural yang menghubungkan variabel pengamatan
atau variabel yang terukur (variabel bebas dan variabel tak bebas) dengan
variabel- variabel laten atau variabel yang tidak terukur (endogenus dan
eksogenus).
b. Menerapkan LISREL untuk mendapatkan struktur hubungan yang
optimum, dan
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi variabel laten
endogenus.
69
Bolen (1989) menyatakan bahwa model persamaan struktural dapat
dipandang dalam beberapa aspek, yaitu :
a. Sebagai persamaan regresi dengan perbedaan asumsi dimana dalam
persamaan struktur kesalahan pengukuran dalam variabel penjelas
diperbolehkan sebagaimana pada variabel tak bebasnya.
b. Sebagai persamaan yang terdiri dari analisis faktor yang memperbolehkan
pengaruh langsung dan tidak langsung antar faktor.
c. Sebagai persamaan yang memasukkan indikator dan variabel tak terstruktur
(variabel laten).
Terdapat vektor variabel tak bebas η’ = (η1 , η2 , ..., ηm) dan vektor variabel
bebas ξ’ = (ξ1 , ξ2 , ..., ξn ). Dalam bentuk yang paling umum, model
persamaan struktural menurut Joreskog dan Sorbom dalam Bollen KA
(1989:11) terdiri dari dua bagian yaitu:
Model Laten Variabel
Menggambarkan hubungan sebab akibat diantara variabel- variabel laten,
pengaruh-pengaruh sebab akibat baik langsung, tak langsung maupun total
efek dan menggambarkan variabel- variabel yang dapat diterangkan atau tidak
dapat diterangkan, yaitu :
η = Βη + Γξ + ξ
Keterangan:
§ B adalah matriks m x m yang merupakan koefisien regresi dari variabel
endogenus terhadap variabel endogenus lainnya yang merupakan pengaruh
langsung antar variabel endogenus.
§ Γ adalah matriks m x n dari koefisien regresi dari variabel eksogenus
terhadap variabel endogenus yang merupakan pengaruh variabel eksogenus
ξ pada variabel endogenus.
§ ξ adalah vektor galat berukuran m x 1.
70
Pengaruh tidak langsung antar variabel endogenus = Bk sedangkan pengaruh
tidak langsung variabel eksogenus pada varibel endogenus akhir = (1 + B + B
+ B2 + ... + Bk+1 ) x Γ, sedangkan total efek merupakan penjumlahan dari
pengaruh langsung dengan pengaruh tidak langsung. Weeks (Bollen, 1989)
mengembangkan model matriks partisi kompleks yang dapat menerima
beragam tingkat konstruksi laten. Dalam model Weeks, vektor variabel
pengamatan x direalisasikan ke variabel laten dengan struktur :



j =1 
q
x =µ+

 ?j

j
∑ ∏?
i =1
i
dimana µ adalah vektor rataan dan bentuk dalam tanda kurung menggantikan
matriks perkalian Λ1 , Λ2 , ..., Λj. Vektor y juga memiliki struktur yang serupa
dalam bentuk variabel laten η.



j=1 
q
y =µ +
j
∑ ∏?
i =1
i

?j


Variabel laten yang hanya mempengaruhi satu variabel disebut faktor
laten unik, sedangkan variabel laten yang mempengaruhi lebih dari satu
variabel pengukuran disebut faktor laten umum.
Tabel 6 Matriks- matriks Model Laten Variabel
Nama
Deskripsi
Simbol
Unsur
Notasi
LISREL
Variabel laten endogenus
η
mx1
η
Xi
Variabel laten exogenus
ξ
nx1
ξ
Zeta
Error
ζ
mx1
ζ
Hubungan antara konstruk
endogen
Hubungan antara konstruk
eksogen dan endogen
B
ßnn
BE
Γ
Ynm
GA
Variabel
Eta
Model Laten Variabel:
Beta
Gamma
Phi
Korelasi antara konstruk eksogen
F
F mm
PH
Psi
Korelasi persamaan struktural
atau konstruk endogen
?
?n
PS
71
Model persamaan struktural melibatkan dua tipe konstrak laten yaitu:
(a) Variabel laten eksogenus adalah variabel tak terukur yang tidak
dipengaruhi oleh variabel lain di dalam sistem.
(b) Variabel laten endogenus adalah variabel tak terukur yang diakibatkan
oleh variabel lain di dalam sistem.
Bentuk
endogenus
dan
eksogenus
adalah
model
khusus,
sehingga
dimungkinkan suatu variabel merupakan variabel eksogenus di satu
model namun endogenus di model lain. Dimungkinkan pula, suatu
variabel menunjukkan eksogenus namun dapat dipengaruhi oleh variabelvariabel eksogenus lainnya.
Model Pengukuran
Menggambarkan hubungan antara variabel- variabel indikator (variabel
pengamatan) dengan variabel-variabel tak terukur (variabel laten) yang
dibangunnya. Adapun model pengukuran ini ada dua yaitu :
x = Λx ξ + δ dan
y = Λy η + ε
Keterangan:
§ η adalah vektor m x 1 dari variabel endogenus (variabel terikat yang terukur),
§ ξ adalah vektor n x 1 dari variabel eksogenus (variabel bebas yang tak
terukur),
§ y adalah vektor p x 1 dari variabel terukur atau variabel indikator bagi
variabel endogenus (variabel terikat yang terukur),
§ Λy adalah matriks p x m koefisien loading dari y terhadap variabel
endogenus (η),
§ ε adalah galat pengukuran y berukuran p x 1,
§ x adalah vektor q x 1 dari variabel terukur atau variabel indikator bagi
variabel eksogenus (variabel bebas yang tak terukur),
§ Λx adalah matriks q x n koefisien loading dari x terhadap variabel
eksogenus (ξ), dan
§ δ adalah vektor galat pengukuranx berukuran q x 1.
72
Menurut Bollen (1989), sistem persamaan struktural terdiri atas:
a. Variabel acak, yaitu variabel laten (laten variabel), variabel pengamatan
(observed variabel) dan variabel simpangan (disturbance/error variabel),
b. Paramaeter struktural, dan
c. Variabel tak acak, yaitu variabel penjelas nilai-nilai sama pada contoh
acak berulang (fixed or nonstochatic variabel). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel 7.
Tabel 7 Matriks- matriks Model Pengukuran
Nama
Deskripsi
Simbol
Unsur
Notasi
LISREL
Indikator observasi dari η
Y
px1
y
-
Indikator observasi dari ε
X
qx1
x
Epsilon
Error dari y
E
px1
e
Delta
Error dari x
δ
qx1
δ
Variabel
-
Model Pengukuran:
Lamda-X
Lamda-Y
Theta-delta
Thetaepsilon
Koefisien jalur indikator
eksogen
Koefisien jalur indikator
endogen
Matriks error indikator
konstruk eksogen
Matriks error indikator
konstruk endogen
?
x
λxpn
LX
?
y
λy qn
LY
Td
dpp
TD
Tε
ε qq
TE
Evaluasi Kriteria Goodness-of-fit
Pada langkah ini kesesuaian model dievaluasi melalui telaah terhadap
berbagai kriteria goodness-of-fit. Untuk itu tindakan pertama yang dilakukan
adalah mengevaluasi apakah data yang digunakan dapat memenuhi asumsiasumsi SEM.
a. Uji Kesesuaian & Uji Statistik
Dalam analisis SEM tidak ada alat uji statistik tunggal untuk mengukur
atau menguji hipotesis mengenai model (Hair et al., 1995; Joreskog &
73
Sorbom, 1989; Long, 1983; Tabachnick & Fidel, 1996). Umumnya
terhadap berbagai jenis fit index yang digunakan untuk mengukur derajad
keseuaian antara model yang dihipotesakan dengan data yang disajikan.
Peneliti diharapkan untuk melakukan pengujian dengan menggunakan
beberapa fit indeks untuk mengukur kebenaran model yang diajukannya.
Berikut ini disajikan beberapa indeks kesesuaian dan nilai cut off untuk
digunakan dalam menguji apakah sebuah model dapat diterima atau ditolak.
(1) ?2-Chi-Square Statistic
Alat uji fundamental untuk mengukur kehandalan model secara
menyeluruh adalah analisis Khi-Kuadrat.. Khi-Kuadrat ini bersifat sangat
sensitif terhadap besarnya sampel yang digunakan. Karena itu, bila jumlah
sampel adalah cukup besar yaitu lebih dari 200 sampel, maka statistik chisquare ini harus didampingi dengan alat uji lainnya (Hair et al., 1995;
Tabachnick & Fidel, 1996). Model yang diuji akan dipandang baik atau
memuaskan bila nilai chi-squarenya rendah. Semakin kecil nilai ?2
semakin baik model itu (karena dalam uji beda chi-square, ?2=0, berarti
benar-benar tidak ada perbedaan, Ho diterima) dan diterima berdasarkan
probabilitas dengan nilai cut off sebesar p>0.05 atau p>0.10 (Hulland et
al., 1996).
Karena tujuan analisis adalah mengembangkan dan menguji sebuah model
yang sesuai dengan data atau yang fit terhadap data, maka yang dibutuhkan
justeru sebuah nilai ?2 yang tidak signifikan, yang menguji hipotesa nol
bahwa estimasi populasi kovarians tidak sama dengan sampel kovarians.
Nilai ?2 ini dapat juga dibandingkan dengan derajat bebas (degrees of
freedom) untuk mendapatkan nilai ?2-relatif dan digunakan untuk
membuat kesimpulan bahwa nilai ?2-relatif yang tinggi menandakan
adanya perbedaan yang signifikan antara matriks kovarians yang
diobservasi dan yang diestimasi. Dalam pengujian ini nilai ?2 yang rendah
menghasilkan sebuah tingkat signifikansi yang lebih besar dari 0.05 akan
74
mengindikasikan tak adanya perbedaan yang signifikan antara matriks
kovarians data dan matriks kovarians yang diestimasi (Hair et al., 1995)
Seperti dikemukakan diatas, Khi-Kuadrat bersifat sangat sensitif terhadap
besarnya sampel yaitu terhadap sampel yang terlalu kecil (<50) maupun
terhadap sampel yang terlalu besar (>500). Oleh karena itu penggunaa KhiKuadrat hanya sesuai bila ukuran sampel adalah antara 100 dan 200
sampel. Bila ukuran sampel ada di luar rentang itu, uji signifikansi akan
menjadi kurang reliabel. Oleh karena itu pengujian ini perlu dilengkapi
dengan alat uji yang lainnya. Menurut Baker et al. (2005:9), uji yang tepat
dalam menghandel jumlah sampel yang besar diantaranya yaitu
menggunakan uji Comparative Fit Index (CFI) dan uji Root Mean Square
Error of Approximation (RMSEA) dengan masing- masing cut-off: CFI >
0,94 (fit) dan RMSEA < 0,08 (fit).
(2) RMSEA – Thew Root Mean Square Error of Approximation
RMSEA
adalah
mengkompensasi
sebuah
nilai
indeks
Khi-Kuadrat
yang
dapat
dalam
digunakan
sampel
yang
untuk
besar
(Baumgartner & Homburg, 1996). Nilai RMSEA menunjukkan kehandalan
model (goodness of fit) yang dapat diharapkan bila model diestimasi dalam
populasi (Hair et al., 1995). Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama
dengan 0.08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model dan nilai ini
diambil dari nilai derajat bebas (degrees of freedom) (Browne & Cudeck,
1993). Lebih lanjut Browne & Cudeck menegaskan bahwa nilai RMSEA
sekitar 0.08 atau kurang, mengindikasikan model yang digunakan lebih fit
bila dibandingkan dengan nilai RMSEA lebih besar dari 0.08.
(3) GFI – Goodness of Fit Index
Indeks kesesuaian (fit indeks) ini akan menghitung proporsi tertimbang
dari varians dalam matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks
kovarians populasi yang terestimasikan (Bentler, 1983; Tanaka & Huba,
1989). Indeks ini dihasilkan melalui rumus sebagai berikut:
75
GFI =
tr (σ'Wσ)
tr (s' W' s)
dimana penyebut (numerator) adalah jumlah varians tertimbang kuadrad
dari matriks kovarians model yang diestimasi, sementara pembilang
(denumerator) adalah jumlah tertimbang kuadrad dari matriks kovarians
sampel. W adalah matriks bobot yang dipilih sesuai dengan metode
estimasi yang dipilih. GFI adalah sebuah ukuran non-statistikal yang
mempunyai rentang nilai antara 0 (poor fit) sampai dengan 1.0 (Perfect fit).
Nilai yang tinggi dalam indeks ini menunjukkan sebuah better fit.
(4) AGFI – Adjusted Goodness-of-fit Index
Tanaka dan Huba (1989) menyatakan bahwa GFI adalah anolog dari R2
dalam regresi berganda. Fit indeks ini dapat diadjust terhadap degress of
freedom yang tersedia untuk menguji diterima tidaknya model (Arbuckle,
1999). Indeks ini diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
AGFI = 1 - (1 - GFI)
db
d
Keterangan:
G
db = ∑ p ( g ) = jumlah - sampel - moments
k =1
d = derajat bebas (degress of freedom)
tingkat penerimaan yang direkomendasikan adalah bila GFI mempunyai
nilai sama dengan atau lebih besar dari 0.9 (Hair et al.: Hulland et al.,
1996). Perlu diketahui bahwa baik GFI maupun AGFI adalah kriteria yang
memperhitungkan proporsi tertimbang dari varians dalam sebuah matriks
kovarians sampel. Nilai sebesar 0.95 dapat diinterpretasikan sebagai
tingkatan yang baik-good overall model fit (baik) sedangkan besaran nilai
antara 0.90-0.95 menunjukkan tingkatan cukup-adequate fit (Hulland et
al., 1996).
(5) CMIN/DF The minimum sample discrepancy function
(CMIN) dibagi dengan degree of freedomnya akan menghasilkan indeks
CMIN/DF, yang umumnya dilaporkan oleh para peneliti sebagai salah satu
76
indikator untuk mengukur tingkat fitnya sebuah model. Dalam hal ini
CMIN/DF tidak lain adalah statistik chi-square, ?2 dibagi Dfnya sehingga
disebut ?2 relatif. Nilai ?2 relatif kurang dari 2.0 atau bahkan kadang
kurang dari 3.0 adalah indikasi dari acceptable fit antara model dan data
(Arbuckle,1997). Dengan demikian indeks- indeks yang dapat digunakan
untuk menguji kelayakan sebuah model adalah seperti yang diringkas
padaTabel 8.
Tabel 8 Goodness of Fit Indices
No
Goodness of fit index
Cut-off
value
01
X2 (Chi – Square)
no sign.
02
03
Significaned Propability
RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation)
= 0.05
= 0.08
04
05
RMR (Root Mean Square Residual)
SRMR (Standardized Root Mean Square Residual)
= 0.05
= 0.05
06
GFI (Goodness of Fit Index)
= 0.90
07
08
AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index)
PGFI (Parsimony Goodness of Fit Index)
= 0.90
= 0.50
09
10
NNFI or TLI or RNI (Non- normed Fit Index)
CFI (Comparative Fit Index)
= 0.95
= 0.94
11
RFI (Relative Fit Index)
= 0.95
12
CMIN/DF
= 2.00
Keunggulan, dan Kelemahan SEM
SEM dengan A Latent Variable memiliki tiga keunggulan dalam
persamaan simultan dengan tingkat estimasi yang lebih tepat dan akurat:
(1) Pengukuran model (atau submodel) pada variabel dependent endogenous,
(2) Pengukuran (sub) model pada variabel independent exogenous, dan
(3) Persamaan (sub) model, semua estimasi secara simultan.
SEM adalah model struktural yang digunakan untuk menguji pengaruh
(efek regresi) dari variabel exogenous terhadap variabel endogenous dan
77
sebaliknya. SEM suatu pengukuran model bagi variabel endogenous terutama
yang melibatkan variabel endogenous dan exogenous tersembunyi.
Model SEM adalah pengukuran digunakan untuk menguji variabel yang lebih
spesifik/ a latent variable (tidak diamati). Model SEM hampir sama dengan
Analysis Factor tetapi memiliki perbedaan yang mendasar. Model SEM, semua
unsur-unsur matriks melukiskan variabel tersembunyi (faktor) dalam kaitannya
dengan kombinasi linear-variabel yang diamati dan menerima nilai nol. NilaiNilai ini (faktor yang memuat) biasanya mengukur korelasi antar faktor dan
variabel yang diamati, dan perputaran secara rutin dilakukan untuk membantu
menginterpretasikan faktor dengan memaksimalkan banyaknya pemuatan
dengan nilai mutlak tinggi dan rendah. Namun nilai covarian yang ditentukan
dalam menguji model harus tidak bernilai nol. Kemudian, model SEM melihat
hubungan efek baik efek langsung maupun total efek. Arah efek adalah mata
rantai antar suatu variabel produktif dan variabel target. Oleh karena itu hampir
semua variabel mengarahkan efek sesuai dengan arah panah di dalam suatu
model.
Model SEM melalui program LISREL didesain dalam bentuk model
struktural yang mempunyai keistimewaan dan keunggulan dalam menganalisis
data yang bersifat laten dan memiliki hubungan kausalitas. Dengan demikian,
Model ini tidak begitu valid dan pemborosan apabila menganalisis data yang
bersifat fungsional dengan jumlah sampel kecil dan jenis data nominal serta
data observasi bukan dalam bentuk data laten.
Konstruksi Peubah Laten Eksogenus Penelitian:
Xij = Λxξ + δ
....................................................................................
Keterangan:
ξ1
ξ11
ξ12
ξ13
ξ2
ξ21
ξ22
untuk ξ = 1; j = 1, 2, 3
untuk ξ = 2; j = 1, 2, 3
untuk ξ = 3; j = 1, 2, 3
untuk ξ = 4; j = 1, 2, 3
= peubah laten eksogenus sosio-demografi
= peubah pengamatan “pendidikan kepala keluarga”
= peubah pengamatan “pendidikan non formal kepala keluarga”
= peubah pengamatan “beban ketergantungan keluarga”
= peubah laten eksogenus manajemen sumberdaya keluarga
= peubah pengamatan “manajemen sumberdaya waktu”
= peubah pengamatan “manajemen sumberdaya anggota keluarga”
78
(1)
ξ23 = peubah pengamatan “manajemen keuangan keluarga”
ξ3 = peubah laten eksogenus asosiasi lokal
ξ31 = peubah pengamatan “jumlah asosiasi yang diikuti”
ξ32 = peubah pengamatan “tingkat partisipasi”
ξ33 = peubah pengamatan “manfaat asosiaisi”
ξ4 = peubah laten eksogenus karakter masyarakat
ξ41 = peubah pengamatan “keterpercayaan”
ξ42 = peubah pengamatan “solidaritas”
ξ43 = peubah pengamatan “semangat kerja”
ξ = vektor n x 1 dari variabel eksogenus,
x = vektor q x 1 dari variabel terukur,
Λx = matriks q x n koefisien loading, dan
δ = vektor galat.
Konstruksi Peubah Laten Endogenus Penelitian:
Yij = Λy η + ε
....................................................................................... (2)
Keterangan:
untuk η = 1, j = 1, 2, 3
untuk η = 2, j = 1, 2, 3
η1 = peubah laten endogenus kesejahteraan ekonomi objektif
η11 = peubah pengamatan “kebutuhan pangan keluarga”
η12 = peubah pengamatan “kebutuhan non pangan keluarga”
η13 = peubah pengamatan “kebutuhan investasi sumberdaya manusia”
η2 = peubah laten endogenus kesejahteraan ekonomi subjektif
η21 = peubah pengamatan “pemenuhan kebutuhan pangan keluarga”
η22 = peubah pengamatan “pemenuhan kebutuhan non pangan keluarga”
η23 = peubah pengamatan “pemenuhan kebutuhan investasi sumberdaya manusia”
η = vektor m x 1 dari variabel endogenus,
y = vektor p x 1 dari variabel terukur,
Λy = matriks p x m koefisien loading, dan
ε = vektor galat.
Uji Reliabilitas
Tingkat validitas penelitian salah satunya ditentukan oleh reliabilitas
instrumen atau tingkat konsistensi antar konstrak variabel penelitian. Reliabilitas
adalah ukuran mengenai konsistensi internal dari indikator- indikator sebuah
konstrak yang menunjukkan derajad sampai dimana masing- masing indikator itu
mengindikasikan sebuah konstrak/faktor laten yang umum. Dengan kata lain,
bagaimana hal-hal yang spesifik saling membantu dalam menjelaskan sebuah
fenomena yang umum. Reliabilitas salah satunya dapat diuji dengan menggunakan
nilai Cronbach’s Alpha (Cr) melalui program SPSS. Pengujian ini dilakukan
dengan tujuan agar setiap indikator masing- masing peubah yang digunakan dalam
model dapat diketahui kehandalannya. Cr Dapat dirumuskan sebagai berikut:
79
k


k  σ t2 − ∑ σ t2 
i =1

Cr = 
2
(k − 1)σ t
Keterangan:
K
σ t2
σ i2
= Jumlah item pertanyaan
= Keragaman total
= Keragaman masing- masing item pertanyaan.
Instrumen telah handal/reliabel digunakan, apabila nilai Cr > 0,6.
Hasil pengujian dilapangan menunjukkan bahwa reliabilitas instrumen
yang digunakan dalam penelitian tentang “Modal Sosial dan Kesejahteraan
ekonomi keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi” cukup handal dan
signifikan dengan nilai a-cronbach antara 0,672-0,920. Namun demikian, apabila
dibandingkan dengan nilai a-cronbach setelah distansdarisasi pada setiap item
pertanyaan ternyata masih terdapat beberapa item pertanyaan yang memiliki nilai
yang lebih besar. Artinya, instrumen penelitian ini lebih handal/reliabel lagi
apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut dikeluarkan kalau memang tidak memberi
kontribusi penting terhadap penjaringan informasi dalam penelitian. Namun data
menunjukkan bahwa rentang perbedaan nilai tersebut tidak terlalu mencolok
terhadap standar nilai yang diperoleh yaitu berkisar antara 0,01 – 0,029. Maka
oleh sebab itu, item- item pertanyaan tersebut masih dapat dipertahankan. Adapun,
peubah-peubah penelitian yang memperoleh kesenjangan nilai a-cronbach dalam
penelitian ini seperti pada peubah penelitian Modal Sosial terdapat perbedaan
nilai sebesar 0,029 atau antara 0,887 - 0,916 (pertanyaan tentang manfaat dari
asosiasi yang diikuti masyarakat). Oleh karena item pertanyaan ini penting untuk
melihat kontribusi kelompok/organisasi (modal sosial) terhadap peningkatan
kesejahteraan ekonomi keluarga maka secara content validitas cukup besar
sehingga pertanyaan ini tetap dipertahankan. Untuk lebih jelasnya nilai reliabilitas
instrumen penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
80
Tabel 9 Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Petanyaan, Nilai
a cronbach dan Nilai a-cronbach Standarisasi, 2006
No
01
02
03
04
Peubah Penelitian
Jumlah
item
Sosio-Demografi Keluarga
3
Manajemen Sumberdaya Keluarga (Total)
12
a. Manajemen Waktu
4
b. Manajemen Anggota Keluarga
4
c. Manajemen Keuangan
4
Modal Sosial (MS) (Total)
12
a. Asosiasi Lokal (Aslok)
4
b. Karakter Masyarakat (Kmas)
8
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES)
3
a-cronbach
0,720
0,885
0,867
0,879
0,880
0,920
0,887
0,890
0,893
a-cronbach
standarisasi
0,916
-
Definisi Operasional
Modal sosial merupakan bentuk jaringan kerja sosial dan ekonomi di masyarakat
yang terjadi antar individu dan kelompok baik formal maupun informal
yang bermanfaat dan menguntungkan. Besarnya modal sosial diukur
melalui dua dimensi, yakni: asosiasi lokal, dan dimensi karakter
masyarakat.
Asosiasi lokal diukur dalam bentuk Kelompok dan organisasi.
Kelompok: atau kelompok informal merupakan hubungan dua individu atau lebih
(face to face interaction), masing- masing individu menyadari
tugas/wewenangnya dan saling ketergantungan untuk mencapai tujuan
bersama (Johnson: Sarwono, 2005:5).
Organisasi: suatu unit sosial yang berupa ”wadah” sekelompok atau beberapa
kelompok orang guna melakukan proses kegiatan yang terkoordinasikan
dengan menetapkan pembagian tugas, wewenang, tanggung jawab dan
peranan setiap anggota untuk mencapai tujuan. (Chester Barnard
(Ruwiyanto, Wahyudi, 1988:24). Tinggi rendah kontribusi asosiasi lokal
terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga diukur secara komposit dari
dimensi asosiasi lokal dengan nilai sebagai berikut: (1) sangat rendah, (2)
rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi.
Karakter masyarakat yaitu pola hidup masyarakat dalam kehidupan sehari- hari.
Karakter masyarakat dapat dilihat dari dua pola yakni pola represif dan
pola ekspresif. Pola hidup masyarakat dapat diukur dengan tiga dimensi,
yakni: keterpercayaan, solidaritas, dan dimensi semangat kerja.
Keterpercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang terhadap
perkataan, perjanjian, dan tindakatan secara konsisten pada saat
terjalinnya hubungan antar individu atau kelompok/organisasi. Tingkat
81
keterpercayaan seseorang dapat dilihat dari dimensi: tingkat komitmen,
kejujuran dan tanggung jawab.
Solidaritas yaitu saling mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari
sebuah sistem, dimana mereka saling bergantung satu sama lain, mereka
saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga
ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai. Solidaritas masyarakat
dilihat dari tiga aspek: tingkat ketergantungan antar anggota masyarakat,
saling bantu membantu, dan aspek kepekaan terhadap kemajuan desa.
Semangat Kerja yaitu seorang individu mampu mencurahkan waktu secara
optimal dalam setiap aktivitas sehari- hari. Semangat kerja masyarakat
diukur dari disiplin dan keule tan kerja masyarakat. Tinggi rendah
kontribusi karakter masyarakat terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga
diukur secara komposit dari dimensi sebagai berikut: (1) sangat rendah,
(2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi.
Kesejahteraan yaitu kondisi relatif yang didefinisikan dan dibentuk masyarakat
melalui proses interaksi sosial. Pendefinisian kesejahteraan tersebut
didasarkan pada stratifikasi sosial dalam masyarakat. Kesejahteraan
diukur dengan dua pendekatan yakni: Kesejahteraan Ekonomi Objektif
dan Kesejahteraan Ekonomi Subjektif. Tinggi rendahnya tingkat
kesejahteraan ekonomi objektif diukur dari nilai komposit kesejahteraan
ekonomi objektif keluarga (rasio) dari tiga variabel, yakni: (1)
Kebutuhan pangan, (2) Kebutuhan non pangan, dan (3) Kebutuhan
investasi sumberdaya manusia dengan nilai sebagai berikut: (1) tidak
sejahtera, (2) kurang sejahtera, (3) sejahtera, dan (4) sangat sejahtera.
Kesejahteraan ekonomi subjektif (subjective economic well-being) yang
diukur dengan tingkat kepuasan keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan
keluarga.
Kepuasan (satisfaction) sesuatu yang dirasakan oleh keluarga dengan perasaan
senang atau puas dengan tingkat kesejahteraan yang dimiliki. Tinggi
rendahnya tingkat kepuasan keluarga diukur dari nilai komposit
kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga dari tiga variabel, yakni: (1)
Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, (2) Kepuasan
terhadap pemenuhan kebutuhan non pangan, dan (3) Kepuasan terhadap
pemenuhan kebutuhan investasi dengan nilai sebagai berikut: (1) tidak
puas, (2) kurang puas, (3) merasa puas, dan (4) sangat puas. Peubah yang
digunakan dalam analisis disparitas adalah peubah kesejahteraan
ekonomi objektif froxy pengeluaran dan peubah kesejahteraan ekonomi
subjektif secara total, sedangkan dalam analisis struktural adalah
menggunakan peubah kesejahteraan dalam konteks distribusi, yaitu:
alokasi pengeluaran dan kepuasan terhadap kebutuhan pangan, non
pangan dan alokasi pengeluaran dan kepuasan terhadap kebutuhan
investasi sumberdaya manusia.
82
Sosio Demografi Keluarga. Tinggi rendahnya tingkat status sosio demografi
yang dimiliki keluarga dan diukur dari nilai komposit dari tiga variabel,
yakni: (1) Tingkat Pendidikan (SD, SLTP, SLTA dan PT); (2) Tingkat
Keterampilan (tidak terampil, kurang terampil, terampil, dan sangat
terampil); dan variabel (3) Beban tanggungan (sangat tinggi, tinggi,
rendah dan sangat rendah) dengan nilai sebagai berikut: (1) sangat
rendah, (2) rendah, (3) baik, dan (4) sangat baik.
MSDK (Manajemen Sumberdaya Keluarga). Tinggi rendahnya tingkat MSDK
keluarga diukur dari nilai komposit dari tiga variabel, yakni: (1)
Manajemen waktu; (2) Manajemen Anggota Keluarga (AK); dan variabel
(3) Manajemen keuangan dengan nilai sebagai berikut: (1) Sangat
kurang, (2) kurang, (3) baik, dan (4) Sangat baik.
Tabel 10 Konstruk/Variabel Penelitian, Indikator, Nilai dan Skala Pengukuran Penelitian,
Tahun 2006
No
01
02
Konstruk/Variabel
Sosio-Demografi
Indikator
(1) Tingkat Pendidikan
(2) Tingkat Keterampilan
(3) Beban tanggungan
Manajemen
Sumberdaya Keluarga
(1) Manajemen waktu
(2) Manajemen AK
(3) Manajemen uang
Modal sosial:
- Asosiasi lokal
(1) jumlah asosiasi yang diikuti,
(2) tingkat partisipasi ,
(3) Manfaat asosiasi
Jumlah asosiasi yang
diikuti
Tingkat partisipasi
03
Manfaat asosiasi
- Karakter
Masyarakat
(1) Keterpercayaan
(2) Solidaritas
(3) Kerja Keras
04
Kesejahteraan
Ekonomi Objektif
(1) Kebutuhan pangan
(2) Kebutuhan non pangan
(3) Kebutuhan investasi
05
Kesejahteraan
Ekonomi Subjektif
(kepuasan)
(1) Kepuasan Pemenuhan pangan
(2) Kepuasan Pemenuhan non pgn.
(3) Kepuasan Pemenuhan investasi
83
Nilai
1. sangat rendah
2. rendah
3. tinggi
4. sangat tinggi
1. sangat kurang
2. kurang
3. baik
4. sangat baik
1. sangat rendah
2. rendah
3. tinggi
4. sangat tinggi
Skala
Ordinal
Ordinal
ordinal
1. sangat kecil
2. sedikit
3. banyak
4. sangat banyak
ordinal
1. tidak aktif
2. kurang aktif
3. aktif
4. sangat aktif
ordinal
1. tidak bermanfaat
2. kurang bermanfaat
3. bermanfaat
4. sangat bermanfaat
1. sangat rendah
2. rendah
3. tinggi
4. sangat tinggi
ordinal
Ordinal
1. tidak sejahtera
2. kurang sejahtera
3. sejahtera
4. sangat sejahtera
Ordinal
1. sangat tidak puas
2. kurang puas
3. puas, dan
4. sangat puas
ordinal
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan penelitian tentang “Modal Sosial dan Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi” memuat tentang: (1)
Gambaran Umum Daerah Penelitian, (2) Karakteristik Keluarga Contoh.
(3) Artikel I: Pengaruh Faktor Sosio-demografi, Manajemen Sumberdaya
Keluarga, dan Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Objektif Keluarga
Berdasarkan Wilayah Agroekologi yang terdiri dari: (a) Abstrak, (b) Abstract, (c)
Pendahuluan, (d) Metode Penelitian, (e) Hasil dan Pembahasan: Sosio-demografi
Keluarga
(tingkat
ketergantungan);
pendidikan
suami,
keterampilan
suami,
dan
beban
Manajemen Sumberdaya Keluarga (Manajemen Waktu,
Manajemen Anggota Keluarga, dan Manajemen Keuangan); Modal Sosial
(Asosiasi Lokal dan Karakter Masyarakat); dan Kesejahteraan Ekonomi Objektif
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengeluaran Keluarga, dan Disparitas
Kesejahteraan ekonomi keluarga, (f) Kesimpulan dan Saran.
(4) Artikel II: Pengaruh Faktor Sosio-demografi, Manajemen Sumberdaya
Keluarga, dan Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Keluarga
di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi yang terdiri dari: (a) Abstrak, (b) Abstract,
(c) Pendahuluan, (d) Metode Penelitian, (e) Hasil dan Pembahasan: Sosiodemografi Keluarga (tingkat pendidikan suami, keterampilan suami, dan beban
ketergantungan);
Manajemen Sumberdaya Keluarga (Manajemen Waktu,
Manajemen Anggota Keluarga, dan Manajemen Keuangan); Modal Sosial
(Asosiasi Lokal dan Karakter Masyarakat); dan Kesejahteraan Ekonomi Objektif
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengeluaran Keluarga, dan Disparitas
Kesejahteraan ekonomi keluarga, (f) Kesimpulan dan Saran.
(5) Artikel III: Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan ekonomi
keluarga di Wilayah Perdesaan Provinsi Jambi yang terdiri dari: (a) Abstrak, (b)
Abstract, (c) Pendahuluan, (d) Metode Penelitian, (e) Hasil dan Pembahasan:
Modal Sosial (Asosiasi Lokal dan Karakter Masyarakat), Kesejahteraan ekonomi
keluarga (Kesejahteraan Ekonomi Objektif, dan Kesejahteraan Ekonomi
Subjektif), dan Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan ekonomi keluarga,
dan (f) Kesimpulan dan Saran.
84
Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kondis i Geografis Daerah
Provinsi Jambi mempunyai luas wilayah sekitar 53.435,38 Km2 dan
terletak antara 00 45’ – 20 45’ Lintang Selatan serta 1010 0’ – 1040 55’ Bujur
Timur, membujur di pantai timur pulau Sumatera, berbatasan: sebelah utara
dengan Provinsi Riau, sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan
Bengkulu, sebelah timur dengan Selat Berhala, dan sebelah barat berbatasan
dengan Provinsi Sumatera Barat.
Provinsi Jambi seperti halnya dengan wilayah-wilayah lainnya di
Indonesia beriklim tropis yang dipengaruhi oleh sistem angin Muson. Curah hujan
cukup tinggi, selama periode 2000-2004 hujan mencapai sekitar 107 - 312 mm
dengan suhu udara minimum dan maksimum rata-rata 22,20 C dan 32,80 C serta
kelembaban udara rata-rata 84 persen. Dengan iklim seperti di atas, Provinsi
Jambi memiliki hutan tropis yang cukup luas yang terdiri Hutan Suaka Alam
(602.900 Ha), Hutan Lindung (181.200 Ha), Hutan Produksi (1.436.200 Ha), dan
Hutan Konversi seluas 726.900 Ha. Sebagian kawasan Hutan Lindung dan Hutan
Suaka Alam seluas 588.462 Ha telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Nasional
Kerinci Seblat.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi (2005), Provinsi
Jambi memiliki daerah dataran rendah dengan ketinggiaan 0-100 m dpl (di atas
permukaan laut) mencakup areal seluas 31800 km2 atau kira-kira 60 persen dari
seluruh luas wilayah yang ada dan luas wilayah ini termasuk daerah pesisir pantai
atau daerah pasang surut. Dari jumlah tersebut hampir separo (± 11.400 km2 )
berupa daerah rawa-rawa terutama di sepanjang pantai dan tepi sungai Batang
Hari sampai pada muara sungai Batang Hari (Tanjung Jabung Timur). Wilayah
lainnya adalah dataran tinggi dan pegunungan. Daerah dataran tinggi dicirikan
dengan daerah yang berbukit-bukit dengan ketinggian antara 100-500 m dpl
terdapat di sebagian wilayah Tebo, Bungo, Merangin, dan sebagian termasuk di
Kabupaten Sarolangun dengan luas wilayah diperkirakan 12.470 km2 atau sekitar
23 persen dari seluruh luas wilayah. Terakhir yaitu daerah pegunungan dengan
85
ketinggian antara 500 – 3800 m dpl terdapat di kabupaten Kerinci, sebagian
Merangin dengan luas wilayah 9.165 km2 atau sekitar 17 persen.
Penduduk
Provinsi Jambi dihuni oleh 2.657.536 jiwa, atau sekitar 1,19 persen dari
seluruh penduduk Indonesia (BPS Provinsi Jambi, 2006). Apabila dibandingkan
dengan luas wilayah, Provinsi Jambi memiliki kepadatan penduduk sebesar 50
orang/km2 . Berdasarkan jenis kelamin, penduduk laki- laki sebanyak 1.336.924
jiwa, dan penduduk perempuan sebanyak 1.320.612 jiwa dengan rasio jenis
kelamin (sex ratio) sebesar 101. Artinya terdapat sebanyak 101 orang penduduk
laki- laki dalam 100 penduduk perempuan. Hal ini me ngindikasikan bahwa rasio
jenis kelamin penduduk Provinsi Jambi hampir berimbang antara penduduk lakilaki dan penduduk perempuan. Apabila dikelompokkan, distribusi penduduk
berumur (0-14) tahun sebesar 30,90 persen, penduduk berumur (15-64) tahun
sebesar 65,97 persen, sedangkan penduduk berumur (65 keatas) tahun hanya
sebesar 3,13 persen dengan beban ketergantungan (dependency ratio) sebesar 52.
Artinya, dalam 100 orang penduduk produktif menanggung beban bagi penduduk
belum dan tidak produktif untuk kebutuhan konsumtif sebanyak 52 orang.
Selama dua dasa warsa terakhir, pola persebaran penduduk di Provinsi
Jambi di masing- masing kabupaten/kota tidak menunjukkan perubahan yang
berarti. Kota Jambi merupakan daerah terpadat yaitu mencapai 2.246 orang per
km2 , dan daerah terpadat kedua terdapat di Kabupaten Kerinci dengan kepadatan
73 orang per km2 , sedangkan daerah paling jarang penduduk yaitu terdapat di
Kabupaten Sarolangun dengan kepadatan 31 orang/km2 . Terkonsentrasinya
penduduk di Kota Jambi karena daerah ini merupakan ibukota Provinsi dengan
berbagai fasilitas yang dimiliki sehingga mempunyai daya tarik tersendiri bagi
penduduk di daerah sekitarnya untuk bermigrasi. Apabila dibandingkan dengan
Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung yang kepadatan
penduduknya di atas 100 orang per km2 serta Provinsi di Pulau Jawa yang
mempunyai kepadatan lebih dari 700 orang per km2 , maka kepadatan penduduk
Provinsi Jambi masih tergolong jarang. Melihat kondisi seperti ini, penduduk
Provinsi Jambi masih bisa ditambah dengan cara mengatur arus migrasi, tingkat
86
kelahiran dan kematian. Hal terpenting pertambahan penduduk bisa menyebar ke
seluruh kabupaten yang ada dan dikelola dengan baik.
Selama dua dasawarsa ini penduduk Provinsi Jambi telah bertambah
962.690 orang. Pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun selama periode 19801990 sebesar 3,40 persen, sedangkan pertumbuhan untuk periode 1990-2005
hanya 1,98 persen per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan tersebut, penduduk
Provinsi Jambi diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun
2038. Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Sumatera dan
Indonesia, laju pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi tergolong tinggi karena
dipengaruhi oleh arus transmigrasi baik reguler yang diatur oleh pemerintah
maupun migrasi spontan. Kemudian, berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi
Jambi selama dua dekade terakhir pertumbuhan penduduknya cukup tinggi.
Selama periode 1990-2005 hanya Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kerinci
yang mempunyai laju pertumbuha n penduduk relatif rendah, yaitu masing- masing
1,22 persen dan 1,52 persen, sedangkan laju pertumbuhan kabupaten/kota lainnya
mencapai lebih dari 2 persen per tahun, bahkan Kabupaten Merangin mencapai 6
persen per tahun.
Sosial Budaya
Penduduk Provinsi Jambi terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Secara
etnis penduduk asli Jambi termasuk dalam ras melayu yang dibedakan menjadi
Melayu Muda (Deutron Melayu) dan Melayu Tua (Porto Melayu). Adapun yang
termasuk dalam kategori Deutron Melayu adalah orang Melayu Jambi, orang
Penghulu, dan Suku Bidah, sedangkan Suku Bajau, Kerinci, dan orang Batin
termasuk dalam Ras Porto Melayu (Depdikbud, 1985:27). Penduduk pendatang
yang tinggal di Provinsi Jambi antara lain berasal dari Jawa, Minangkabau, Bugis,
Palembang, Banjar, Batak, dan Sunda. Hasil Sensus Penduduk 2000 menunjukkan
bahwa 5 suku terbesar yang menghuni Provinsi Jambi adalah Suku Melayu Jambi
(34,7 persen), Jawa (27,6 persen), Kerinci (10,6 persen), Minang (5,5 persen), dan
Melayu lainnya (5,2 persen), sedangkan 16,4 persen sisanya Batak, Sunda,
Bugis, Cina, dan lain- lain.
87
Provinsi Jambi memiliki potensi kebudayaan yang cukup banyak, seperti
peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, seni budaya dan kerajinan tradisional.
Provinsi Jambi memiliki 123 situs peninggalan sejarah, dengan rincian di Kota
Jambi 5 situs, Kabupaten Batang Hari dan Muaro Jambi 31 situs, Kabupaten Tebo
dan Bungo sebanyak 16 situs, di Kabupaten Merangin dan Sarolangun 16 situs,
Kabupaten Kerinci 49 situs, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung
Jabung Barat sebanyak 6 situs (Bappeda Provinsi Jambi, buku 2, 1989 : 231).
Angka Kemampuan Membaca dan Menulis Huruf Latin
Tingkat
pencapaian
program
pembangunan
pendidikan
meningkatkan taraf pendidikan masyarakat secara umum biasa
dalam
perubahan dan
perkembangan tingkat pendidikan masyarakat yang berhasil dicapai pada periode
waktu tertentu. Hasil pembangunan bidang pendidikan dapat dilihat melalui
beberapa indikator, antara lain kemampuan membaca (angka buta huruf), rata-rata
lama sekolah dan tingkat atau jenjang pendidikan yang ditamatkan.
Penduduk buta huruf adalah penduduk yang tidak dapat membaca dan
menulis huruf latin yang masing- masing merupakan keterampilan dasar yang
diajarkan di kelas-kelas awal jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Indikator
yang biasa digunakan untuk melihat penduduk buta huruf adalah proporsi jumlah
penduduk buta huruf terhadap seluruh penduduk. Angka buta huruf merupakan
indikator dasar yang merefleksikan taraf pendidikan penduduk. Semakin tinggi
angka buta huruf menunjukkan semakin rendahnya taraf pendidikan penduduk
sehingga pada gilirannya semakin rendah pula kualitas sumberdaya masyarakat
dan sebalinya.
Secara rasional, pendidikan selalu dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan.
Salah satu indikator kesejahteraan yang terpenting adalah tingkat buta huruf.
Tingkat buta huruf seringkali digunakan untuk melihat kualitas hidup suatu
masyarakat dan merupakan kebalikan dari keadaan mampu membaca dan
menulis (melek huruf). Kemampuan itu merupakan syarat minimal penduduk
untuk dapat berperan secara maksimal dalam membina keluarga dan menjalani
kehidupan sosial. Karena dari kemampuan baca tulis atau melek huruf
88
merupakan indikator penting bagi seseorang dapat tidaknya menerima pesan
tertulis dan bisa berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan atau tidak.
Disamping
itu,
secara
optimal
bisa tidaknya
menikmati
hasil- hasil
pembangunan. Rata-rata penduduk Provinsi Jambi berumur 10 tahun ke atas
yang mempunyai kemampuan baca tulis berkisar antara 93-97 persen (Tabel
11) dengan
perincian persentase anak laki- laki selalu lebih besar
dibandingkan dengan perempuan baik pada tahun 2002, 2003 maupun pada
tahun 2004, demikian juga pada setiap kabupaten.
Tabel 11 Penduduk Berumur 10 tahun Ke Atas Menurut Jenis Kelamin dan
Kepandaian Membaca/Menulis, Provinsi Jambi, 2002-2004 (%)
2002
No
Kabupaten/Kota
Lakilaki
2003
Perem
puan
Lakilaki
2004
Perem
puan
Lakilaki
Perem
Puan
01
Kerinci
95.43
92.40
97.21
92.12
97.94
94.77
02
Merangin
98.08
94.28
99.45
94.37
99.34
95.09
03
Sarolangun
95.23
88.26
97.44
91.28
97.07
91.63
04
Batanghari
99.26
95.14
98.35
94.88
97.94
96.48
05
Muaro Jambi
97.54
90.42
97.34
92.22
96.69
91.50
06
Tanjab Timur
95.61
93.82
95.51
89.45
96.03
90.37
07
Tanjab Barat
98.48
94.46
99.26
96.65
98.99
97.21
08
Tebo
96.71
88.82
97.46
93.29
98.13
92.97
09
Bungo
98.36
92.41
96.42
92.56
98.00
94.37
10
-
Kota Jambi
Provinsi Jambi
99.43
96.83
99.01
95.49
99.18
96.16
97.56
93.08
97.87
93.43
98.06
94.31
Sumber: BPS,Susenas Provinsi Jambi 2003-2005.
Secara keseluruhan, di Provinsi Jambi terdapat sekitar 4 persen penduduk
yang tidak dapat baca tulis atau buta huruf. Apabila dibedakan berdasarkan
kabupaten/kota, ternyata presentase penduduk tersebut cukup bervaritaif. Seperti
pada tahun 2002, persentase terbesar terdapat di Kabupaten Sarolangun baik lakilaki maupun perempuan, sedangkan pada tahun 2003 dan 2004,
terbesar terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
89
persentase
Fasilitas Pendidikan
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar manusia untuk
menge mbangkan kepribadian melalui sekolah atau cara yang lain.
Agar
pendidikan dapat dimiliki dan dinikmati oleh seluruh penduduk sesuai
kemampuan masing- masing, maka pendidikan harus menjadi tanggung jawab
bersama masing- masing individu, keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Penyelenggaraan pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa
dan sekaligus meningkatkan kualitas penduduk. Upaya mencapai tujuan tersebut
tidak terlepas dari tersedianya sarana dan prasarana pendidikan. Disamping
prasarana
pendidikan, seperti alat-alat pendidikan dan buku pelajaran,
tercukupinya jumlah sekolah dan guru sangat penting bagi terselenggaranya
proses belajar mengajar yang baik. Dengan demikian sekolah, guru, dan murid
merupakan tiga komponen dasar sistim pendidikan.
Seperti tertera pada Tabel 12, jumlah sekolah, murid, dan guru untuk
masing- masing tingkat pendidikan kabupaten/kota di provinsi Jambi cukup
bervariasi. Secara umum, Kota Jambi dan Kabupaten Kerinci mempunyai jumlah
sekolah dan guru lebih banyak dibanding dengan kabupaten lain. Hal ini
menyebabkan penduduk di kedua daerah tersebut mempunyai rata-rata tingkat
pendidikan lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat pendidikan penduduk
kabupaten lain (Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jambi, 2002). Berdasarkan
rasio guru dan murid, tampaknya cukup rasional karena rata-rata rasio guru dan
murid di Provinsi Jambi antara 17-20. Seperti terlihat pada Tabel 12 bahwa rasio
guru dan murid untuk sekolah dasar (SD) 20 : 1. Artinya, terdapat 1 orang guru
dalam 20 orang siswa. Rasio murid dan guru pada jenjang pendidikan SLTP dan
SLTA masing- masing 17 : 1, dan 20 : 1.
90
Tabel 12 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SD, SLTP, SLTA Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2000
SD
SLTP
Seko
Seko
Murid Guru
Murid Guru
lah
lah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Kerinci
309
38531 2426
44
12731
846
Merangin
297
41892 2272
28
6988
379
Sarolangun
210
29272 1466
20
4679
204
Batanghari
185
28910 1424
24
5307
328
Muaro Jambi
221
37485 1720
26
6810
415
Tanjab Timur
220
28692 1574
18
5115
246
Tanjab Barat
184
32070 1411
15
4170
260
Tebo
224
34248 1562
27
7505
474
Bungo
226
37418 1936
34
8379
527
Kota Jmbi
243
54825 2467
56
19224 1165
Jumlah
2319 363343 18258
292
80908 4844
Sumber : Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jambi, 2002
Kabupaten/
Kota
SLTA
Seko
lah
(8)
15
13
9
12
10
5
8
10
13
61
156
Murid Guru
(9)
8462
3957
758
2468
2077
1157
2252
2300
4464
23624
51519
(10)
449
277
144
278
173
73
114
216
322
571
2617
Perekonomian Daerah
Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan
pembangunan bidang ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi, pendapatan
perkapita dan laju pertumbuhan pendapatan tersebut. Pertumbuhan ekonomi
Provinsi Jambi Tahun 2005 mencapai 5,57 persen dan jauh lebih tinggi bila
dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2000 yaitu hanya 2,20 persen.
Selama periode 2000-2005, pendapatan perkapita meningkat dari Rp.1.759.430
pada tahun 2000 menjadi Rp.3.373.222 pada tahun 2005, sedangkan berdasarkan
harga konstan 1993 pendapatan perkapita Provinsi Jambi pada tahun 2000 sebesar
Rp. 1.372.119 dan pada tahun 2005 turun menjadi Rp. 1.248.614, atau mengalami
perlambatan pertumbuhan rata-rata 2,25 persen pertahun. Berdasarkan laporan
Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi ternyata sampai tahun 2005, sektor pertanian
masih memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB (28,8%).
Berdasarkan indikator makro ekonomi, perkembangan ekonomi daerah
dapat dilihat dari sisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara absolut
berdasarkan harga berlaku bahwa PDRB Provinsi Jambi bergerak naik secara
kontinu dari tahun 2004-2005, yaitu sebesar Rp.18.487.943 juta pada tahun 2004,
dan naik menjadi Rp.22.487.011 juta tahun 2005 atau terjadi peningkatn sebesar
21,6 persen.
91
Berdasarkan harga konstan tahun 1993, PDRB Provinsi Jambi juga
menunjukkan perkembangan yang cukup berarti walaupun tingkat peningkatannya
tidak setajam PDRB berdasarkan angka absolut. Seperti pada tahun 2004, PDRB
Provinsi Jambi
sebesar Rp. 11.953.885 juta, dan meningkat menjadi
Rp.12.619.972 juta pada tahun 2005 atau terjadi peningkatan sebesar 5,6 persen
(BPS, Provinsi Jambi 2006).
Berdasarkan indikator PDRB, kinerja pemerintah Provinsi Jambi secara
keseluruhan cukup baik, karena pertumbuhan perekonomian daerah dalam masa
krisis ekonomi dan otonomi daerah menunjukkan perbaikan walaupun secara
sektoral masih terdapat kesulitan untuk memperbaiki kinerjanya. Transformasi
struktural yang diharapkan untuk menggeser kinerja daerah yang hanya bertumpu
kepada produk-produk primer sudah mulai terjadi hanya saja cukup lambat
sehingga nilai tambah sektoral masih terus mengalir keluar atau dinikmati oleh
provinsi atau daerah lain. Perubahan paradigma kebijakan pembangunan adalah
salah satu kunci perbaikan ke depan untuk mempercepat pertumbuhan daerah dan
meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Aksesibilitas
Dari sisi potensi perekonomian Provinsi jambi termasuk dalam kawasan
segi tiga pertumbuhah Indonesia – Malaysia - Singapura (IMS-GT). Jarak tempuh
Jambi ke Singapura jalur laut melalui Batam dengan menggunakan kapal cepat
Jet-foil sekitar 5 jam. Secara lokasi Jambi termasuk dalam kawasan imbas segitiga
pertumbuhan ekonomi yang meningkat akibat spill over effect dari SIBAJO dan
IMS-GT.
Aksesibiltas di Provinsi Jambi cukup tinggi hal ini dikarenakan oleh
adanya sarana transportasi baik darat, udara dan perairan. Jaringan jalan darat di
Provinsi Jambi yang telah dibangun sampai tahun 1996, sepanjang 7.886,887 km
yang terdiri dari : jalan negara sepanjang 855.397 km, jalan provinsi sepanjang
1.153.397 km, dan jalan kabupaten sepanjang 5.878,342 km. Jalan negara
merupakan jalan lintas Sumatera yang memanjang dari utara ke selatan. Jalan
darat ini memiliki beberapa terminal yang teletak di semua kota atau kabupaten:
yaitu (1) Kota Jambi: terminal Simpang Rimbo, dan terminal Rawa Sari, (2) Kabupaten
92
Batanghari: terminal Muara Bulian, dan terminal Muara Tembesi, (3) Kabupaten
Bungo : terminal Muara Bungo, dan terminal Muara Tebo, (4) Kabupaten Tebo:
terminal Muara Tebo, (5) Kabupaten Marangin: terminal Bangko, (6) Kabupaten
Sarolangun: terminal Sarolangun Bangko, dan terminal Singkut, (7) Kabupaten
Kerinci: terminal Kumun (Sungai Penuh), (8) Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar):
terminal Pembengis (Kuala Tungkal), dan (9) Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim):
terminal Muara Sabak.
Dilihat dari transportasi air (sungai dan laut), Provinsi Jambi memiliki
cukup banyak pelabuhan terutama pelabuhan sungai, seperti pelabuhan BOM
Baru (Kota Jambi), Muara Bulian, Muara Tembesi, Suak Kandis (Kabupaten
Batanghari), Sungai Bengkal, Muara Tebo (Kabupaten Bungo-Tebo), Pauh,
Sarolangun (Kabupaten Sarolangun Bangko), Puding, Rantau Rasau, Nipah
Panjang, Sungai Lokan, Mendahara dan Kampung Laut (Kabupaten Tanjung
Jabung Timur), sedangkan pelabuhan laut ada lima darmaga, yakni: Talang Duku
(Kota Jambi), Muara Sabak, Kuala Tungkal, Nipah Panjang dan Mendahara. Dari
segi perhubungan udara, Provinsi Jambi memiliki 2 bandara yaitu bandara Sultan
Thaha (Kota Jambi) dan Bandara perintis Depati Parbo (Kabupaten Kerinci).
Distribusi dan Pemanfaatan Lahan
Seperti tertera pada kondisi geografis bahwa Provinsi Jambi mempunyai
luas wilayah sekitar 53.435,38 Km2 . Dari luas wilayah tersebut lahan yang tersisa
untuk pertanian, pemukiman, perindustrian dan pertambangan hanya 2.538.153
ha. Berdasarkan data tersebut, jumlah penduduk per luasan lahan pertanian atau
kepadatan penduduk agraris sekitar 0.9 jiwa /ha atau 90 jiwa/Km2 . Angka ini
lebih besar dari Provinsi Sumatera Selatan, Riau. Jika lahan tersebut dikurangi
dengan untuk fasilitas umum, pemukiman, perkantoran, industri, waduk, danau
dan konsesi pertambangan yang diasumsikan sekitar 30 persen maka lahan
pertanian yang tersisa hanya
1.776.707 ha.
Lahan pertanian yang tersedia
terdapat lahan kritis seluas 17.015 ha dan semi kritis seluas 584.584 ha serta
potensial kritis seluas 378.702 ha.
Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini
sangat rentan bila tidak dilakukan usaha pengelolaan yang lebih baik di masa akan
93
datang. Keprihatinan ini telah terbukti dengan menurunnya produktivitas lahan
pertanian (pangan) dari tahun ke tahun.
Karakteristik Keluarga Contoh
Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak
Pola dan distribusi penduduk menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan
dapat menggambarkan taraf pendidikan penduduk secara keseluruhan. Semakin
tinggi persentase pend uduk yang menamatkan pendidikan pada jenjang yang lebih
tinggi menunjukkan kondisi pendidikan penduduk yang semakin membaik.
Tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh seorang penduduk merupakan salah satu
parameter kualitas sumberdaya manusia sehingga pendidikan merupakan hal yang
sangat mutlak diperlukan apalagi pada masa millennium ini.
Menurut Ananta dan Hatmadji (Suandi, dan Ernawati, 2005), tingkat
pendidikan merupakan salah satu tolok ukur yang sering digunakan untuk
mengukur tingkat kemajuan suatu daerah atau masyarakat. Pendidikan tidak
hanya mencerdaskan kehidupan masyarakat yang bersangkutan, melainkan juga
meningkatkan mutu masyarakat tersebut. Dengan mutu yang tinggi dan baik,
jumlah penduduk tidak lagi merupakan beban atau tanggungan masyarakat
melainkan sebagai modal atau aset pembangunan. Disisi lain, Sumitro (Suandi,
dan Ernawati, 2005) melihat bahwa tingkat pendidikan dapat berpengaruh dalam
keterampilan teknis dan kecerdasan akademis untuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri, rumahtangga dan bahkan masyarakat luas baik untuk keperluan pangan,
penciptaan lapangan kerja baru yang produktif serta dapat mengembangkan dan
mengelola sumberdaya manusia itu sendiri.
Hasil analisis dari penelitian ini bahwa proporsi anak-anak keluarga
contoh yang tamat pada jenjang pendidikan SLTP kebawah masih tergolong
relatif besar yaitu mencapai lebih dari 40 persen (Tabel 13). Apalagi dibedakan
berdasarkan wilayah penelitian bahwa anak-anak keluarga contoh yang
berdomisili di wilayah Pesisir pantai memperoleh rata-rata pendidikan SLTP
kebawah mencapai 57,6 persen (Gambar 8).
94
Tabel 13 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak, Tahun
2006
No
Sebaran Keluarga Contoh (orang)
Wilayah
Wilayah
Total
pegunungan
Pesisir pantai
Tingkat
pendidikan
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
01
< Sekolah Dasar
37
21.3
55
36.4
92
28.3
02
SLTP
40
23.0
32
21.2
72
22.2
03
SLTA
58
33.3
52
34.4
110
33.8
04
Diploma dan Sarjana
39
22.4
12
7.9
51
15.7
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
40
35
30
25
W.Gunung
W.Pesisir
20
15
Total
10
5
0
<SD
SLTP
SLTA
PT
Gambar 8 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak,
Tahun 2006
Padahal mengacu kepada peraturan pemerintah bahwa minimal pendidikan
anak yaitu tamat pada jenjang pendidikan SLTP (pendidikan dasar 9 tahun). Hasil
observasi dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat setempat diperoleh
informasi bahwa rendahnya tingkat pendidikan anak-anak di lokasi penelitian
(kasus di Kecamatan Mendahara Ilir) disamping kemauan dan kemampuan orang
tua dan anak didik ya ng rendah juga dipengaruhi oleh faktor aksesibilitas sekolah
terutama transportasi yang terbatas. Hasil observasi menunjukkan bahwa alat
transportasi yang digunakan masyarakat di lokasi penelitian adalah alat
95
transportasi sungai dengan biaya relatif mahal dan frekuensi yang terbatas apalagi
pada musim air pasang tinggi maka mobilitas transportasi berkurang.
Status Kepemilikan Rumah
Status rumah keluarga contoh di daerah penelitian berupa: hak milik,
sewa, dan numpang. Adapun yang dimaksud dengan hak milik yaitu hak
kepemilikan rumah tersebut dikuasai langsung oleh keluarga contoh sendiri tanpa
dapat diganggu gugat oleh siapapun yang ditunjukkan oleh tanda bukti dari adat
atau kelompok kalbu, berupa tanda batas bangunan. Status kepemilikan sewa
yaitu mendiami rumah orang lain dengan konpensasi membayar uang atau biaya
ataupun bentuk lainnya untuk perbaikan atau pemeliharaan rumah tersebut,
sedangkan status kepemilikan numpang yaitu mendiami rumah orang lain, orang
tua ataupun mendiami rumah keluarga lainnya tanpa ada perjanjian pembayaran
uang atau biaya kompensasi.
Status kepemilikan rumah (Tabel 14) merupakan salah satu variabel yang
menjadi indikator kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, semakin baik status
kepemilikan rumah keluarga contoh maka diasumsikan bahwa kondisi
kesejahteraan ekonomi keluarga tersebut tergolong sejahtera, dan sebaliknya.
Berkenaan dengan itu, data lapangan menunjukkan bahwa status kepemilikan
rumah keluarga contoh di daerah penelitian sebesar 80 persen lebih merupakan
hak milik.
Tabel 14 Sebaran Contoh Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah, 2006
No
Status Pemilikan
Rumah
01
Hak Milik
02
03
-
Wilayah
pegunungan
Jumlah
Persen
Sebaran Contoh
Wilayah
Pesisir pantai
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
139
79.9
149
98.6
288
88.6
Sewa
2
1.1
1
0.7
3
0.9
Numpang
33
19.0
1
0.7
34
10.5
Total
174
100.0
151
100.0
325
100.0
96
Apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian, ternyata status
kepemilikan yang berupa hak milik paling besar terdapat di wilayah pesisir pantai
yaitu mencapai 98 persen atau hampir mendekati 100 persen, sedangkan di
wilayah pegunungan hanya 79,9 persen (Tabel 14). Hal ini mengindikasikan
bahwa status kepemilikan rumah keluarga contoh di daerah penelitian cukup baik,
dan ini merupakan salah satu modal sebagai aset kekayaan keluarga. Namun
demikian, status kepemilikan ini belum tentu bisa digunakan sebagai tolok ukur
kekayaan suatu rumahtangga karena belum dihubungkan dengan tipe rumah
termasuk luas dan jenis bahan bangunan yang digunakan. Berdasarkan hasil
wawancara dan pengamatan lapangan, tampaknya masyarakat di daerah penelitian
lebih dari separo memiliki tipe rumah semi permanen dan permanen (54 %)
(Tabel 15). Adapun kriteria yang digunakan untuk melihat tipe rumah ini dilihat
dari jenis lantai, dinding, dan jenis atap yang digunakan. Misalnya, jenis lantai
dan dinding terbuat dari beton maka tipe rumah tersebut tergolong pada kelompok
permanen, sedangkan jenis dinding terbuat dari papan dan sejenis maka rumah
tersebut tergolong semi permanen, dan apabila jenis lantai dan dinding terbuat
dari kayu dan sejenis maka termasuk pada kelompok rumah sederhana.
Tabel 15 Sebaran Contoh Berdasarkan Tipe Rumah, Tahun 2006
No
Tipe Rumah
Wilayah
pegunungan
Jumlah
Persen
Sebaran Contoh
Wilayah
Pesisir pantai
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
01
Sangat Sederhana
36
20.7
45
29.8
81
24.9
02
Sederhana
19
10.9
48
31.8
67
20.6
03
Semi Permanen
85
48.9
48
31.8
133
40.9
04
Permanen
34
19.5
10
6.6
44
13.6
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Luas Lantai Rumah
Luas lantai rumah berkaitan dengan jumlah anggota keluarga yang
mendiami rumah tersebut sehingga pada gilirannya berdampak kepada keserasian,
97
dan kesehatan anggota keluarga. Artinya, semakin sempit rumah maka tingkat
keserasian dan kesehatan anggota keluarga akan terganggu karena terbatasnya
ruang pergerakan udara dalam rumah. Rata-rata luas rumah atau luas lantai rumah
keluarga contoh 55,6 M2. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian,
ternyata rata-rata luas rumah paling besar terdapat di wilayah pegunungan yaitu
seluas 59,5 M2, sedangkan di wilayah pesisir pantai rata-rata 51,7 M2 (Tabel 16).
Berdasarkan rata-rata luas rumah perkapita yaitu 13,5 M2 di wilayah pegunungan
dan 11,2 M2 di wilayah pesisir pantai. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata
luas rumah keluarga contoh di daerah penelitian tergolong baik karena hasil
penelitian di daerah miskin yang rata-rata luasnya sekitar 47,5 M2 (Suandi,
2002:43).
Tabel 16 Sebaran Contoh Berdasarkan Luas Lantai Rumah, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Luas Lantai
Rumah
(M2)
Wilayah
pegunungan
Jumlah
Persen
Wilayah
Pesisir pantai
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
01
Sangat Kecil (< 36)
53
30.5
38
25.2
91
28.0
02
Kecil (36-45)
24
13.8
52
34.4
76
23.4
03
Luas (46-72)
51
29.3
38
25.2
89
27.4
04
Sangat Luas (> 72)
46
26.4
23
15.2
69
21.2
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
-
Rata-rata
59,5 M2
51,7 M2
55,6 M2
Jenis Dinding Rumah
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa jenis dinding rumah berkaitan erat
dengan kualitas rumah atau tingkat kesejahteraan seorang individu, misalnya jenis
dinding terbuat dari papan dan sejenis maka rumah tersebut tergolong semi
permanen, dan apabila jenis dinding terbuat dari kayu dan sejenis maka termasuk
pada kelompok rumah sederhana. Dengan arti kata, kelompok masyarakat tersebut
diasumsikan berada pada kelompok masyarakat kurang berkecukupan atau
tergolong miskin, dan sebaliknya. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan
98
lapangan diperoleh informasi bahwa rata-rata dinding rumah keluarga contoh di
daerah penelitian sebagian besar terbuat dari kayu yaitu hampir mencapai 60
persen (Tabel 17). Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian, ternyata
jenis dinding rumah yang terbuat dari kayu mayoritas terdapat di wilayah pesisir
pantai yaitu 90 persen lebih, sedangkan di wilayah pegunungan hanya sekitar 35
persen. Menurut hasil pengamatan lapangan dan wawancara mendalam dengan
beberapa tokoh masyarakat setempat terutama di daerah Kecamatan Mendahara
Ilir (wilayah pesisir pantai) tentang jenis dinding rumah yang digunakan oleh
masyarakat setempat sangat dipengaruhi oleh faktor alam karena umumnya di
wilayah pesisir pantai ini adalah wilayah pasang surut dengan kondisi alam
“berpayo” sehingga sulit sekali membangun rumah dengan jenis bangunan dari
beton kalaupun ada harus mengeluarkan biaya cukup mahal. Sebaliknya, di
wilayah pegunungan kondisi alam cukup mendukung pembangunan rumah
dengan jenis dinding yang terbuat dari beton.
Tabel 17 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Dinding Rumah, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Jenis Dinding
Rumah
Wilayah
pegunungan
Jumlah
01
Bambu
02
Persen
Wilayah
Pesisir pantai
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
8
4.6
0
0.0
8
2.5
Kayu
53
30.5
141
93.4
194
59.7
03
Sebagian Tembok
27
15.5
3
2.0
30
9.2
04
Tembok
86
49.4
5
3.3
91
28.0
05
Marmar
0
0.0
2
1.3
2
0.6
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Jenis Atap Rumah
Jenis atap rumah keluarga contoh peran dan fungsinya tidak jauh berbeda
dengan dinding rumah karena kedua variabel ini sangat berkaitan satu dengan
lainnya. Seperti peran dan fungsi dinding rumah maka atap rumah juga berkaitan
erat dengan kualitas rumah atau tingkat kesejahteraan seorang individu, misalnya
99
jenis atap terbuat dari sirap atau nipah dan sejenis maka rumah tersebut tergolong
sederhana. Dengan arti kata, kelompok masyarakat tersebut diasumsikan berada
pada kelompok masyarakat kurang berkecukupan atau tergolong miskin, dan
sebaliknya. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan diperoleh
informasi bahwa rata-rata atap rumah keluarga contoh di daerah penelitian
sebagian besar terbuat dari seng yaitu hampir mencapai 100 persen (Tabel 18).
Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kesejahteraan ekonomi keluarga contoh di
daerah penelitian berdasarkan dari jenis atap rumah tergolong baik. Apabila
dibedakan berdasarkan daerah penelitian, ternyata jenis atap rumah di kedua
wilayah tersebut yakni wilayah pegunungan dan wilayah pesisir pantai mayoritas
terbuat dari seng yaitu mencapai 95 persen.
Tabel 18 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Atap Rumah, Tahun 2006
No
Jenis
Atap Rumah
Sebaran Contoh
Wilayah Pesisir
pantai
Wilayah
pegunungan
Jumlah
Persen
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
01
Nipah
0
0
1
0.7
1
0.3
02
Sirap
0
0
0
0.0
0
0.0
03
Seng
174
100.0
143
94.7
317
97.5
04
Genteng
0
0.0
7
4.6
7
2.2
-
Total
174
100.0
151
100.0
325
100.0
Jenis Lantai Rumah
Seperti halnya jenis dinding, atap rumah maka jenis lantai rumah juga erat
kaitannya dengan kualitas rumah atau tingkat kesejahteraan seorang individu,
misalnya jenis lantai terbuat dari kayu dan sejenis maka rumah tersebut tergolong
sederhana, dan sebaliknya apabila jenis lantai terbuat dari semen/beton dan sejenis
maka termasuk pada kelompok rumah permanen. Dengan arti kata, jenis lantai
rumah dapat menentukan tingk at kesejahteraan seorang individu atau keluarga.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan diperoleh informasi
bahwa rata-rata jenis lantai rumah keluarga contoh di daerah penelitian sebagian
100
besar terbuat dari kayu yaitu hampir mencapai 70 persen dan melebihi dari
persentase dinding rumah yang terbuat dari kayu (60 %) (Tabel 19). Apabila
dibedakan berdasarkan daerah penelitian, ternyata tidak jauh berbeda dengan jenis
dinding rumah yaitu sebagian besar terdapat di wilayah pesisir pantai (93 %),
sedangkan di wilayah pegunungan hanya sekitar 49 persen. Banyaknya jenis lantai
rumah yang terbuat dari kayu di wilayah pesisir pantai dan seperti halnya jenis
dinding rumah disebabkan oleh faktor alam karena umumnya di wilayah pesisir
pantai ini adalah wilayah pasang surut dengan kondisi alam “berpayo” sehingga
sulit sekali membangun rumah dengan jenis bangunan dari beton kalaupun ada
harus mengeluarkan biaya cukup mahal. Sebaliknya, di wilayah pegunungan
kondisi alam cukup mendukung pembangunan rumah denga n jenis lantai yang
terbuat dari beton.
Tabel 19 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Lantai Rumah, Tahun 2006
No
Jenis
Lantai Rumah
Wilayah
pegunungan
Jumlah
Persen
Sebaran Contoh
Wilayah
Pesisir pantai
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
01
Kayu
85
48.9
140
92.7
225
69.2
02
Semen/beton
88
50.5
7
4.6
95
29.2
03
Keramik
1
0.6
4
2.7
5
1.6
-
Total
174
100.0
151
100.0
325
100.0
Fasilitas Rumah
Fasilitas rumah sangat mendukung dari kualitas rumah atau tingkat
kesejahteraan seorang individu atau keluarga contoh. Adapun yang diukur tentang
fasilitas rumah keluarga contoh ini yaitu berupa alat penerangan yang digunakan,
air kebutuhan minum dan fasilitas jamban keluarga. Berdasarkan
hasil
wawancara dan observasi lapangan diperoleh informasi bahwa rata-rata fasilitas
rumah yang dimiliki keluarga contoh di daerah penelitian tergolong baik (55 %).
Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian, ternyata fasilitas rumah di
kedua wilayah relatif sama baik di wilayah pegunungan maupun
101
di wilayah
pesisir pantai karena masing- masing wilayah tersebut yang tergolong pada tingkat
fasilitas rumah yang baik masing- masing adalah 59 dan 50 persen (Tabel 20).
Tabel 20 Sebaran Contoh Berdasarkan Fasilitas Rumah yang Dimiliki, 2006
No
Fasilitas Rumah
Yang Dimiliki
Wilayah
pegunungan
Jumlah
Persen
Sebaran Contoh
Wilayah
Pesisir pantai
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
01
Sangat Kurang
36
20.7
74
49.0
110
33.8
02
Kurang
36
20.7
0
0.0
36
11.1
03
Baik
33
19.0
2
1.3
35
10.8
04
Sangat Baik
69
39.6
75
49.7
144
44.3
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa fasilitas rumah keluarga contoh di
daerah penelitian diukur dari fasilitas alat penerangan yang digunakan, air minum
dan fasilitas jamban keluarga. Berdasarkan hasil wawancara dengan keluarga
contoh diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang cukup mencolok
antara fasilitas yang dimiliki masing- masing wilayah. Misalnya fasilitas air
minum, di wilayah pesisir pantai mayoritas menggunakan fasilitas air minum
berasal dari air hujan yaitu lebih dari 95 persen, sedangkan di wilayah
pegunungan sebanyak 55 persen lebih keluarga contoh menggunakan fasilitas air
minum berasal dari fasilitas PDAM dan air sumur pribadi. Hal kedua yang
menarik diperhatikan yaitu fasilitas alat penerangan yang digunakan keluarga
contoh, hasil wawancara dan pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa
wilayah pesisir pantai mayoritas menggunakan fasilitas penerangan berasal dari
PLN yaitu lebih dari 95 persen, sedangkan di wilayah pegunungan yang
menggunakan fasilitas penerangan berasal dari PLN hanya sebanyak 58 persen.
Menurut hemat peneliti, terdapatnya perbedaan cukup mencolok fasilitas rumah
yang dimiliki keluarga contoh di kedua daerah penelitian ini disebabkan oleh dua
hal, pertama faktor alam dan kedua faktor asal permukiman. Faktor alam
misalnya, seperti disebutkan sebelumnya bahwa di wilayah pesisir pantai adalah
wilayah pasang surut sehingga sulit sekali membangun sumur pribadi dan jaringan
102
air minum keperluan keluarga melalui PDAM, dan kedua di wilayah ini
diuntungkan karena merupakan daerah tujuan transmigrasi sehingga memiliki
fasilitas alat penerangan yang disubsidi oleh pemerintah. Namun lain halnya
dengan
wilayah
pegunungan
dengan
kondisi
alam
sangat
mendukung
pengembanga n jaringan fasilitas air minum keperluan keluarga tetapi wilayah ini
bukan merupakan wilayah tujuan transmigrasi sehingga tidak ada subsidi fasilitas
penerangan dari pihak pemerintah. Fasilitas rumah lainnya yang sangat penting
dalam melihat tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga contoh di daerah penelitian
yaitu fasilitas jamban keluarga. Berdasarkan wawancara dari keluarga contoh
diperoleh hasil bahwa di wilayah pesisir pantai yang memiliki jamban keluarga
hampir mencapai 100 persen, sedangkan di wilayah pegunungan hanya sekitar 30
persen.
Jarak Rumah dengan Fasilitas Umum
Jarak rumah dengan fasilitas umum (Tabel 21) dan (Tabel 22) merupakan
salah satu variabel penting dalam melihat tingkat kesejahteraan seorang individu
atau keluarga tertentu namun sampai sekarang juah-dekatnya jarak rumah dengan
fasilitas umum belum ada kesepekatan yang baku baik dari ukuran Badan Pusat
Statistik maupun dari BKKBN. Hasil wawancara diperoleh rata-rata jarak rumah
dengan fasilitas umum di daerah penelitian berkisar antara 200,8 – 4.117 meter.
Seperti terlihat pada Tabel 21 bahwa rata-rata jarak rumah paling jauh terdapat di
wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 4.117 meter, sedangkan di wilayah
pegunungan jarak rumah keluarga contoh dengan fasilitas umum hanya 200,8
meter. Relatif jauhnya jarak rumah keluarga contoh di wilayah pesisir pantai
disebabkan oleh faktor alam, sebagian besar permukiman keluarga di wilayah
pesisir pantai berpencar di sepanjang pantai timur sumatera (wilayah pantai
Provinsi Jambi) dengan jarak relatif jauh antara satu wilayah dengan wilayah
lainnya. Seperti jarak permukiman penduduk di desa mendahara ilir dengan pasar
dan jalan utama atau jalan kabuapten berjarak sekitar 18.000 meter.
103
Tabel 21 Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas Umum,
Tahun 2006
No
Jarak Rumah
Dengan Fasilitas
Umum
01
Sangat Dekat (< 0.5 km)
02
Dekat (0.5-0.9 Km)
03
Jauh (1–1.4 km)
04
Sangat Jauh ( > 1,5km)
-
Total
-
Rata-rata
Wilayah
pegunungan
Jumlah
Persen
Sebaran Contoh
Wilayah Pesisir
pantai
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
124
71.2
60
39.7
184
56.6
21
12.1
17
11.3
38
11.7
4
2.3
19
12.6
23
7.1
25
14.4
55
36.4
80
24.6
174
100.00
151
100.00
325
100.00
200,8 m
4.117 m
2.158,5 m
Berdasarkan fasilitas umum yang ada di sekitar wilayah penelitian, seperti
tertera pada Tabel 22, ternyata jarak paling dekat terdapat pada fasilitas rumah
ibadah yaitu mencapai 90 persen lebih dengan jarak yang dekat dan sangat dekat
dengan rumah keluarga contoh, dan kedua terdapat pada fasilitas pendidikan yaitu
mencapai 70 persen lebih, sedangkan jarak paling jauh terdapat pada fasilitas
pasar yaitu sekitar 65 persen lebih yang merupakan jarak rumah keluarga contoh
dengan pasar merupakan jarak yang jauh dan sangat jauh. Sekali lagi disampaikan
bahwa rata-rata jarak rumah keluarga contoh di wilayah penelitian yang paling
jauh terdapat di wilayah pesisir pantai kecuali jarak rumah dengan fasilitas rumah
ibadah.
Akses terhadap Fasilitas Umum
Seperti halnya dengan jarak rumah, akses terhadap fasilitas umum juga
merupakan variabel penting dalam melihat tingkat kesejahteraan seorang individu
atau keluarga tertentu. Tabel 23 memperlihatkan bahwa kondisi akses rumah
dengan fasilitas umum tidak jauh berbeda dengan kondisi jarak rumah dimana
akses rumah paling kurang lancar terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu
mencapai 45 persen, sedangkan di wilayah pegunungan akses rumah keluarga
contoh dengan fasilitas umum yang kurang dan tidak lancar hanya 19 persen.
104
Tabel 22 Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas Umum, 2006
No
01
Jarak Rumah
Dengan Fasilitas
Umum (km)
Jumlah
Persen
0.0
100
30.8
17
9.8
6
4.0
23
7.1
5
2.8
15
9.9
20
6.1
52
174
29.9
100.00
130
151
86.1
100.00
182
325
56.0
100.00
159
91.3
64
42.4
223
68.6
10
5.8
6
4.0
16
4.9
1
0.6
0
0.0
1
0.3
4
174
2.3
100.00
81
151
53.6
100.00
85
325
26.2
100.00
128
73.6
51
33.8
179
55.1
25
14.4
36
23.8
61
18.8
6
3.4
46
30.5
52
16.0
15
174
8.6
100.00
18
151
11.9
100.00
33
325
10.1
100.00
Sangat Dekat (< 0.5 km)
84
48.3
78
51.7
162
49.9
Dekat (0.5-0.9 Km)
33
19.0
12
7.9
45
13.8
7
4.0
15
9.9
22
6.8
50
174
28.7
100.00
46
151
30.5
100.00
96
325
29.5
100.00
151
86.8
106
70.2
257
79.1
18
10.3
25
16.6
43
13.2
2
1.2
19
12.5
21
6.5
3
174
1.7
100.00
1
151
0.7
100.00
4
325
1.2
100.00
Total
Jalan Utama:
Sangat Dekat (< 0.5 km)
Dekat (0.5-0.9 Km)
Jauh (1–1.4 km)
Sangat Jauh ( > 1,5km)
Total
Fasilitas Pendidikan:
Sangat Dekat (< 0.5 km)
Dekat (0.5-0.9 Km)
Jauh (1–1.4 km)
Sangat Jauh ( > 1,5km)
Total
Fasilitas Kesehatan:
Jauh (1–1.4 km)
Sangat Jauh ( > 1,5km)
Total
Fasilitas Ibadah:
Sangat Dekat (< 0.5 km)
Dekat (0.5-0.9 Km)
Jauh (1–1.4 km)
Sangat Jauh ( > 1,5km)
-
Persen
0
Sangat Jauh ( > 1,5km)
05
Jumlah
57.5
Jauh (1–1.4 km)
04
Persen
100
Dekat (0.5-0.9 Km)
03
Jumlah
Total
Pasar Terdekat:
Sangat Dekat (< 0.5 km)
02
Wilayah
pegunungan
Sebaran Contoh
Wilayah Pesisir
pantai
Total
Relatif besarnya persentase akses rumah keluarga contoh di wilayah pesisir pantai
yang kurang dan tidak lancar dan seperti halnya dengan kondisi jarak rumah yaitu
105
disebabkan oleh faktor alam karena permukiman keluarga contoh di wilayah
pesisir pantai berpencar di sepanjang pantai timur sumatera dengan jarak relatif
jauh antara satu wilaya h dengan wilayah lainnya dengan alat transportasi yang
relatif terbatas sehingga tingkat aksesibilitas sangat terbatas. Sebaliknya, di
wilayah pegunungan memiliki jarak permukiman dengan fasilitas umum relatif
dekat dengan alat transportasi lancar sehingga sangat memungkinkan tingkat
aksesibilitas masyarakat sangat terbuka dan lancar.
Tabel 23 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan Fasilitas Umum, 2006
Sebaran Contoh
No
Akses Rumah
Dengan Fasilitas
Umum
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
0
0
Wilayah Pesisir
pantai
Jumlah Persen
0
0
Total
Jumlah Persen
0
0
01
02
Tidak Memiliki Akses
Kurang Lancar
33
19.0
68
45.0
101
31.1
03
Lancar
64
36.8
81
53.6
145
44.6
04
Sangat Lancar
77
44.2
2
1.4
79
24.3
Total
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Berdasarkan sebaran fasilitas umum yang ada di sekitar wilayah
penelitian, seperti tertera pada Tabel 24, ternyata akses paling lancar terdapat pada
fasilitas rumah ibadah yaitu mencapai 90 persen lebih dan akses paling lancar
kedua terdapat pada fasilitas pendidikan yaitu mencapai 75 persen, sedangkan
akses yang kurang dan tidak lancar terdapat pada fasilitas pasar yaitu sekitar 50
persen lebih. Relatif besarnya persentase yang kurang dan tidak lancar akses
masyarakat dengan fasilitas pasar
disebabkan oleh faktor keberadaan pasar
terutama di wilayah pesisir pantai. Menurut hasil pengamatan lapangan diperoleh
informasi bahwa pasar umumnya berada di kota Kabupaten. Seperti penuturan
beberapa keluarga contoh, mereka berbelanja untuk keperluan rumahtangga harus
pergi ke pasar kabupaten karena di desa tempat mereka tinggal tidak tersedia
pasar secara lengkap untuk kebutuhan rumahtangga dan lain halnya di wilayah
pegunungan bahwa pasar tradisional hampir tersedia di setiap kecamatan bahkan
di beberapa desa contoh, seperti desa Jujun dan Koto Agung memiliki pasar
106
tradisional tersendiri sehingga memudahkan bagi keluarga contoh untuk
berbelanja keperluan rumahtangga.
Tabel 24 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan masing- masing
Fasilitas Umum, 2006
No
01
Akses Rumah
Dengan Fasilitas
Umum
Jumlah
Persen
0
87.4
12.6
0
100.0
0
172
79
74
325
0
52.9
24.3
22.8
100.0
0
32
57
85
174
0.0
18.4
32.8
48.9
100.0
0
91
59
1
151
0.0
60.3
39.1
.7
100.0
0
123
116
86
325
0.0
37.8
35.7
26.5
100.0
Sangat Lancar
0
34
62
78
0.0
19.5
35.6
44.8
0
46
105
0
0.0
30.5
69.5
0.0
0
80
167
78
0.0
24.6
51.4
24.0
Total
174
100.0
151
100.0
325
100.0
0
55
75
44
174
0
31.6
43.1
25.3
100.0
0
50
99
2
151
0.0
33.1
65.6
1.3
100.0
0
105
174
46
325
0
32.3
53.5
14.2
100.0
0
3
64
107
174
0.0
1.7
36.8
61.5
100.0
0
20
125
6
151
0.0
13.2
82.8
4.0
100.0
0
23
189
113
325
0.0
7.1
58.2
34.8
100.0
Total
Jalan Utama:
Tidak Memiliki Akses
Kurang Lancar
Lancar
Sangat Lancar
Total
Fasilitas Pendidikan:
Tidak Memiliki Akses
Kurang Lancar
Lancar
Fasilitas Kesehatan:
Tidak Memiliki Akses
Kurang Lancar
Lancar
Sangat Lancar
Total
Fasilitas Ibadah:
Tidak Memiliki Akses
Kurang Lancar
Lancar
Sangat Lancar
-
Persen
0
132
19
0
151
Sangat Lancar
05
Jumlah
0.0
23.0
34.5
42.5
100.0
Lancar
04
Persen
0
40
60
74
174
Kurang Lancar
03
Jumlah
Pasar Terdekat:
Tidak Memiliki Akses
02
Jumlah Keluarga Contoh
Wilayah
Wilayah
Total
pegunungan
Pesisir pantai
Total
107
ARTIKEL 1
PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN SUMBERDAYA KELUARGA
DAN MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN
EKONOMI OBJEKTIF KELUARGA BERDASARKAN
WILAYAH AGROEKOLOGI
Suandi1 , Ujang Sumarwan2 , Suprihatin Guhardja2 , Pang S. Asngari 3 , Euis Sunarti2
ABSTRAK
Provinsi Jambi dikenal dengan tiga kelompok komunitas masyarakat,
yakni: masyarakat yang berada pada wilayah dataran rendah, dataran tinggi, dan
wilayah pesisir pantai atau dikenal dengan wilayah pasang surut. Dari ketiga
kelompok komunitas tersebut terdapat berbagai kelompok ethnicity terutama di
wilayah pesisir pantai dan wilayah dataran rendah sehingga dapat berpengaruh
terhadap income inequality. Tujuan penelitian adalah: (1) mengidentifikasi dan
mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga, (2) mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga, dan
(3) mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga
berdasarkan wilayah agroekologi. Desain penelitian adalah cross sectional.
Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi: Kabupaten Kerinci dan Kabupaten
Tanjung Jabung Timur. Pengumpulan data berlangsung selama delapan bulan
mulai bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2007. Data yang dikumpulkan,
meliputi: (1) sosio-demografi, (2) manajemen sumberdaya keluarga, (3) modal
sosial: asosiasi lokal, dan karakter masyarakat, dan (4) kesejahteraan ekonomi
objektif keluarga (proxy pengeluaran keluarga). Metode pengumpulan data
dilakukan dengan cara survai terhadap 325 rumahtangga dan dilanjutkan metode
Indepth Interview terhadap 33 informan dan Focus Group Discussion (FGD)
terhadap beberapa keluarga terpilih dengan jumlah 10 kelompok. Analisis data
menggunakan Uji Regresi Berganda melalui program SPSS versi 13, model
Kuznets, Kurva Lorenz dan dilanjutkan Uji Mann-Whitney (U-test). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi objektif keluarga secara
positif dipengaruhi oleh faktor manajemen sumberdaya keluarga, dan faktor
modal sosial terutama faktor manajemen keuangan keluarga, tingkat partisipasi
keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi bagi keluarga, dan faktor
keterpercayaan masyarakat. Distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi objektif
keluarga di daerah penelitian relatif baik di wilayah pesisir maupun di wilayah
pegunungan. Namun demikian, tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga
yang berada di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan tingkat
kesejahteraan yang berada di wilayah pesisir pantai.
Key words: kesejahteraan ekonomi objektif keluarga, disparitas, dan agroekologi
1
2
3
Dosen Tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Dosen Tetap pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB
Dosen Tetap pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB
86
108
THE EFFECT OF SOCIO-DEMOGRAPHY, FAMILY RESOURCE
MANAGEMENT, AND SOCIAL CAPITAL ON FAMILY
OBJECTIVE ECONOMIC WELL-BEING IN
AGROECOLOGY AREA
ABSTRACT
The objectives of this study are: (1) to comprehend and analyze of family
objective economic well-being, (2) to analyze factors effect on family objective
economic well-being, and (3) to comprehend and analyze disparities of family
objective economic well-being. The research design is cross sectional and was
carried out in Kerinci and East Tanj ung Jabung districts from January to August
2006. Variables used are family objective economic well-being, sociodemography, resources management, and social capital. Variable of sociodemografphy are educations of husband, skills of husband, and dependenc y ratio.
Variable of resources management are management of times, household size, and
management of family livelihood, and Variable of social capital are local
asociation, and community characters. 325 household samples are chosen using
cluster, purposive and random sampling methods. Data were collected using
survay, indepth interview, and Focus Group Discussion (FGD). Descriptive,
Regression, Model Kuznets, and Mann-Whitney (U-test) were used for data
analyzed. The results show that management of family livelihood, participation of
family in local asociation, using of asociation in family, and trust factors have
positive effect on family objective economic well-being, whereas, the education
of husband, skills of husband, dependency ratio, management of times,
managements of household size, and asociation size do not show any effects.
Family objective economic well-being are equal (no disparities) among family in
the research area. Family objective economic well-being in mountainous area,
however, is better than that of the family in coastal area.
Key words: family objective economic well-being, disparities, and agroecology
area.
87
109
PENDAHULUAN
Apabila merujuk pada pola pembangunan Indonesia dalam Pasal 33 UUD
1945 yang memberi arah pembangunan ekonomi untuk menuju kesejahteraan
sosial. Kata kunci pembangunan di Indonesia adalah kualitas Sumberdaya
Manusia (SDM). Kemudian, Undang-undang Republik Indonesia nomor 25 tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004,
pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial
budaya. Berdasarkan data terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 4,1
persen pertahun dengan pendapatan perkapita sekitar
Rp 2.014.565,- per tahun.
Lima belas tahun terakhir, perkembangan perekonomian Indonesia dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan cukup signifikan baik diukur dari aspek Gross
Domestic Product (GDP), maupun pendapatan perkapita kecuali pada tahun 1998
perkembangan perekonomian Indonesia turun mencapai -13,3 persen akibat krisis
multi dimensi (ekonomi, moneter dan krisis moral). Pada tahun 1999 sampai
sekarang, perekonomian Indonesia pulih kembali (2000) dengan pendapatan per
kapita sebesar Rp. 1.800.050,-. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan
bidang ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah cukup berhasil. Namun
demikian, tingkat kesejahteraan (sumberdaya manusia) yang mengacu pada nilai
Human Development Index (HDI) dari tahun ke tahun terjadi sebaliknya
(penurunan). Seperti pada tahun 2002, kualitas SDM Indonesia berada pada
peringkat 102 dan jauh lebih rendah dibandingkan dengan kualitas SDM negaranegara tetangga (Malaysia, Tailand, Singapura dan Filipina), dan pada tahun 2003
indeks HDI Indonesia meningkat menjadi 112 dari 175 negara (UNDP, 2003).
Dengan arti kata, pembangunan sektor sosial dalam rangka meningkatkan SDM
ternyata tidak sejalan dengan pembangunan ekonomi.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang
dikembangkan selama ini tidak menunjukkan korelasi positif dengan kualitas
SDM. Artinya, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi, GDP dan pendapatan
perkapita ternyata tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tujuan pembangunan untuk
mewujudkan pembangunan Indonesia seutuhnya belum tercapai.
88
110
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu masalah pemerataan pembangunan
yang dikembangkan pemerintah Indonesia dan tampaknya seperti yang dialami
oleh beberapa penduduk dunia bahwa kesejahteraan masyarakat antar daerah
menunjukkan tingkat disparitas dan inequality cukup kentara.
Apabila
kesejahteraan diproksikan dengan nilai Product Domestic Regional Bruto
(PDRB), ternyata pembangunan terpusat di pulau Jawa yaitu mencapai 59,56
persen dari total pendapatan, Sumatera 22,05 persen, sedangkan pulau lainnya
(Kalimantan, Sulawesi dan lain- lain) hanya 8,22 persen. Kesenjangan pendapatan
atau disparitas kesejahteraan penduduk ini bermuara dari pola pembangunan yang
dikembangkan dan dijalankan oleh pemerintah semenjak pemerintahan Orde Baru
sampai sekarang. Program pembangunan mengacu pada pembangunan ekonomi,
dan dilaksanakan secara fragmented dengan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi
dan sedikit sekali menyentuh pembangunan sumberdaya manusia apalagi
pembangunan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat.
Padahal menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 1992, pasal 1, ayat 4,
pengertian kualitas penduduk (kesejahteraan) adalah kondisi penduduk dalam
aspek fisik dan non fisik serta ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan
sebagai manusia yang berbudaya, berkepribadian, dan hidup layak. Kesejahteraan
yang diharapkan adalah kualitas manusia Indonesia baik kualitas fisik maupun
non fisik. Kualitas SDM yang menjadi prasyarat terbentuknya manusia Indonesia
dengan tingkat produktivitas kerja yang tinggi dan merata pada setiap daerah.
Kesejahteraan diartikan suatu tata nilai kehidupan dan penghidupan bagi setiap
individu, keluarga dan masyarakat dalam berbagai aspek, seperti: ekonomi, sosial,
maupun spritual untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani
dan rohani (Undang Undang Dasar 1945).
Penduduk Provinsi Jambi, seperti
penduduk lainnya di Indonesia,
mengelompok sesuai dengan ciri yang dianut, seperti: pola penguasaan lahan,
karakteristik sosio-budaya, dan etnisitas sehingga di Provinsi Jambi dikenal
dengan tiga kelompok komunitas masyarakat, yakni: masyarakat yang berada
pada wilayah dataran rendah; dataran tinggi dan wilayah pasang surut. Wilayah
dataran rendah misalnya, didominasi oleh masyarakat Melayu ditambah dengan
111
pendatang (transmigran dari Jawa dan Bali) dengan hasil utama karet dan kelapa
sawit. Wilayah pasang surut didominasi oleh masyarakat Bugis dan Banjar
(migrasi spontan) dan Melayu dengan komoditas utama hasil perkebunan kelapa
dalam, hasil laut
dan padi sawah pasang surut, sedangkan di wilayah dataran
tinggi didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan komoditas utama hasil
perkebunan kulit manis (cassiavera), kopi dan padi sawah irigasi. Keadaan
tersebut dapat menyebabkan tingkat ethnicity yang cukup beragam antar wilayah
di Provinsi Jambi sehingga dapat berpengaruh terhadap income inequality, karena
ethnicity merupakan determinan penting dalam memicu income inequality
(Easterly, 1999); (Lazear, 1995); (Coppin dan Olsen, 1998) dan (Malan, 2000).
Setiap peningkatan sebesar satu unit jumlah kelompok ethnics dalam suatu
kelompok masyarakat akan dapat meningkatkan minimal sebesar 3 persen income
inequality (Robinson, 2002:8). Sehubungan dengan itu maka penelitian ini
bertujuan: (1) mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan
ekonomi objektif (proxy pengeluaran keluarga), (2) mengkaji perbedaan tingkat
kesejahteraan ekonomi objektif keluarga berdasarkan wilayah agroekologi.
METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi
Jambi dengan dua Kabupaten terpilih, yaitu: Kabupaten Tanjung Jabung Timur
dan Kabupaten Kerinci. Terpilihnya kedua Kabupaten tersebut sebagai wilayah
penelitian, dengan pertimbangan kedua wilayah tersebut dapat mewakili
karakteristik kabupaten yang ada di Provinsi Jambi baik dilihat dari aspek ekologi,
ekonomi maupun sosial budaya. Kabupaten Tanjung Jabung Timur misalnya,
dapat mewakili wilayah pesisir pantai/pasang surut, mayoritas masyarakat berasal
dari suku Melayu, Bugis dan Banjar (migrasi spontan) dengan komoditas utama
hasil laut, kelapa dalam,
dan padi sawah pasang surut. Kabupaten Kerinci
mewakili masyarakat wilayah pegunungan atau dataran tinggi, mayoritas
masyarakat didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan komoditas utama padi
sawah irigasi, kulit manis (cassiavera), dan kopi.
112
Waktu pengumpulan data penelitian selama delapan bulan, mulai dari
bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2006. Pengumpulan data penelitian
dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan data atau penelitian
penjajakan (uji coba kuesioner). Tahap kedua adalah pengumpulan data primer
dan sekunder.
Uji Reliabilitas
Tingkat validitas penelitian salah satunya ditentukan oleh reliabilitas
instrumen atau tingkat konsistensi antar konstruk variabel penelitian. Untuk
menguji besar kecilnya nilai reliabilitas instrument penelitian menggunakan tolok
ukur nilai a-cronbach. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai a-cronbach
penelitian berkisar antara 0,720 – 0,893. Dengan demikian, tingkat reliabilitas
antar konstrak variabel penelitian atau informasi yang terjaring cukup dapat
dihandalkan karena berdasarkan standar nilai paling rendah yaitu sebesar 0,60.
Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data
Data penelitian bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh langsung dari keluarga terpilih melalui metode wawancara dengan
dipandu daftar pertanyaan (kuesioner) dan pedoman wawancara yang telah
dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder diperoleh dari instansi dan lembaga
terkait disamping dari laporan hasil penelitian, journal maupun majalah yang
memuat tentang masalah kesejahteraan keluarga.
Jenis atau variabel penelitian dibagi kedalam empat kelompok, yaitu:
sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga dan variabel kesejahteraan
ekonomi keluarga (proxy pengeluaran keluarga). Sosio-demografi, meliputi: (1)
tingkat pendidikan kepala keluarga, (2) tingkat pendidikan non formal kepala
keluarga, dan (3) beban ketergantungan keluarga. Aspek manajemen sumberdaya
keluarga, meliputi: (1) manajemen waktu, (2) manajemen anggota keluarga, dan
(3) manajemen keuangan keluarga. Modal sosial (asosiasi lokal dan karakter
individu). Asosiasi lokal, meliputi: (1) jumlah asosiasi yang diikuti, (2) tingkat
partisipasi dan (3) manfaat asosiasi, sedangkan variabel karakter masyarakat,
meliputi: (1) keterpercayaan, (2) solidaritas, dan (3) semangat kerja. Aspek
113
kesejahteraan ekonomi objektif keluarga, meliputi: (1) kebutuhan pangan, (2) non
pangan, dan (3) kebutuhan investasi sumberdaya manusia.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara survai melalui daftar
pertanyaan (kuesioner) dan daftar wawancara disamping pengumpulan data secara
observasi. Untuk mendapatkan informasi lebih mendalam, pengumpulan data
dilanjutkan dengan metode Focus Group Discussion (FGD) dan Indepth Interview
terhadap beberapa keluarga terpilih.
Sampel Penelitian
Daerah/sampel penelitian (kabupaten penelitian) ditentukan dengan
metode cluster sampling yaitu berdasarkan agroekologi wilayah sehingga terpilih
wilayah dataran tinggi (pegunungan) dan daerah pesisir pantai (pasang surut).
Diambilnya daerah/wilayah penelitian berdasarkan agroekologi, mengingat
distribusi penduduk Provinsi Jambi menyebar berdasarkan tipologi tersebut.
Selanjutnya, desa/kelurahan penelitian diambil secara purposive sampling dan
mengikuti pola pada masing- masing wilayah Kabupaten dan Kecamatan,
sedangkan keluarga diambil secara simple random sampling sebesar 325 orang
atau 10 persen dari jumlah keluarga yang ada pada masing- masing desa wilayah
penelitian. Kemudian, jumlah sampel yang digunakan sebagai indepth interview
atau Focus Group Discussion (FGD) sebesar 33 orang atau 10 persen dari jumlah
keluarga masing- masing desa.
Analisis Data
Analisis data dimulai dari melakukan sortasi, dan “coding”. Kemudian
dilanjutkan analisis data secara deskriptif dengan menggunakan tabel frekuensi
tunggal untuk data sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, modal
sosial dan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga. Untuk menguji faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga
(proxy pengeluaran keluarga) diuji dengan Regresi berganda melalui program
SPSS versi 13. Untuk
me ngidentifikasi atau melihat tingkat pemerataan
kesejahteraan di daerah penelitian diuji menggunakan model Kuznets, Kurva
Lorenz, dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (U-test).
114
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sosio Demografi Keluarga
Pendidikan Suami
Menurut teori human capital, kualitas sumberdaya manusia selain
ditentukan oleh tingkat kesehatan juga ditentukan tingkat pendidikan. Pendidikan
dipandang tidak hanya dapat menambah pengetahuan tetapi dapat juga
meningkatkan keterampilan (keahlian) tenaga kerja sehingga pada gilirannya
dapat
meningkatkan
produktivitas.
Produktivitas
di
satu
pihak
dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan dilain pihak dapat meningkatkan
penghasilan dan kesejahteraan penduduk. Berarti terjadi korelasi positif antara
tingkat pendidikan dengan produktivitas kerja. Semakin tinggi tingkat pendidikan
maka produktivitas tenaga kerja semakin tinggi dan sebaliknya, semakin rendah
tingkat pendidikan yang ditamatkan maka produktivitas kerja semakin rendah.
Dengan demikian, tingkat pendidikan berkaitan erat dengan lapangan pekerjaan
dan jabatan yang disandangkannya. Artinya, semakin baik lapangan pekerjaan dan
jabatan yang dimiliki maka tingkat pendapatan yang diperoleh juga baik, dan
sebaliknya. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah (GBHN, 2004) bahwa
keberhasilan pembangunan dapat dirasakan dalam berbagai sektor seperti
pendidikan, taraf hidup, dan pekerjaan. Keberhasilan itu dapat dicapai antara lain
dengan memanfaatkan jumlah penduduk yang besar melalui peningkatan usaha
pembinaan, pengembangan dan potensi sumberdaya manusia, terutama dengan
memperluas fasilitas dan meningkatkan mutu pendidikan.
Hal tersebut sejalan dengan Ananta, dan Hatmadji (Suandi dan Ernawati,
2005) bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu tolok ukur yang sering
digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu daerah atau masyarakat.
Pendidikan tidak hanya mencerdaskan kehidupan masyarakat yang bersangkutan,
melainkan juga meningkatkan mutu masyarakat tersebut. Dengan mutu yang
tinggi dan baik, jumlah penduduk tidak lagi merupakan beban atau tanggungan
masyarakat melainkan sebagai modal atau aset pembangunan. Disisi lain, tingkat
pendidikan dapat berpengaruh dalam keterampilan teknis dan kecerdasan
akademis untuk memenuhi kecukupan pangan, penciptaan lapangan kerja baru
115
yang produktif serta dapat mengembangkan dan mengelola sumberdaya manusia
(human resources) itu sendiri (Sumitro: Suandi dan Ernawati, 2005).
Hasil pengumpulan data lapang, ternyata persentase terbesar (48,9 %)
kepala keluarga (suami) memiliki pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah.
Artinya, mayoritas responden belum mencapai tingkat pendidikan dasar yang
digariskan oleh pemerintah yaitu pendidikan 9 tahun. Padahal tingkat pendidikan
cukup berperan dalam kelancaran penerimaan dan menjalankan teknologi baru
termasuk teknologi pertanian. Apabila dilihat berdasarkan wilayah penelitian,
ternyata tingkat pendidikan responden terendah terdapat di wilayah pesisir pantai
dengan persentase responden yang berpendidikan Sekolah Dasar kebawah
mencapai 53,6 persen, sedangkan di wilayah pegunungan hanya 44,8 persen.
Lebih memprihatinkan lagi, dimana responden di wilayah pesisir pantai ini
persetase yang berpendidikan tidak tamat Sekolah Dasar mencapai 29,1 persen.
Hal ini dikhawatirkan dalam pengembangan sumberdaya manusia dan
pembangunan daerah kedepan karena tingkat pendidikan yang rendah ini menjadi
beban pemerintah kalau tidak diantisipasi dan melakukan berbagai terebosan
pembangunan demi kamajuan masyarakat dan daerah.
Menurut Walker (Suandi dan Ernawati, 2005), pendidikan merupakan
proses pengembangan pengetahuan, keterampilan, maupun sikap seseorang yang
dilaksanakan secara terencana sehingga diperoleh perubahan-perubahan dalam
meningkatkan taraf hidup. Dalam pembangunan pertanian, wawasan dan
pandangan seseorang diartikan sebagai cara seseorang merespon suatu inovasi
pertanian dan membangun gagasan dalam perencanaan usahatani. Dengan
demikian, pengukuran tingkat pendidikan sangat bermanfaat dalam memprediksi
kondisi wawasan pengetahuan dalam asas pemikiran petani terhadap inovasi dan
proses adopsi yang menyertai inovasi tersebut. Oleh karena itu, tingkat pendidikan
yang relatif baik (tinggi) diharapkan dapat membantu dalam upaya pemberdayaan
masyarakat pertanian melalui upaya pembangunan pertanian secara menyeluruh.
Tabel 25 menunjukkan bahwa pada umumnya tingkat pendidikan
masyarakat relatif rendah. Dengan kondisi demikian, tingkat pengetahuan dan
pemahaman masyarakat secara formal tergolong rendah termasuk kedalam tata
116
cara pengelolaan rumahtangga. Padahal menurut Mubyarto (1992), bahwa tingkat
pendidikan masyarakat perdesaan akan mempengaruhi cara berpikir dalam
pengelolaan usahataninya terutama kemampuan manajemen, penerimaan inovasi
baru dan pengambilan keputusan dalam memperhitungkan produktifitas usaha tani
mereka.
Tabel 25 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Suami, 2006
No Tingkat pendidikan
Suami
Wilayah
Pegunungan
Jumlah
Persen
Sebaran Contoh
Wilayah
Pesisir Pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Tidak Tamat SD
19
10.9
44
29.1
63
19.4
02
Sekolah Dasar
59
33.9
37
24.5
96
29.5
03
SLTP
58
33.3
55
36.4
113
34.8
04
SLTA+
38
21.8
15
9.9
53
16.3
174
100.0
151
100.0
325
100,0
-
Total
Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka penyerapan
informasi atau inovasi baru akan lebih mudah dengan tingkat interaksi yang lebih
cepat dibandingkan dengan petani yang tingkat pendidikan relatif lebih rendah.
Disisi lain, tinggi rendah tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi pilihan
lapangan pekerjaan yang diminati atau ditekuni. Semakin rendah tingkat
pendidikan maka mereka lebih cenderung memilih pekerjaan yang tidak
memerlukan penanganan yang lebih rumit atau tingkat keterampilan tinggi dan
sebaliknya.
Pendidikan Non Formal
Tingkat pendidikan non formal suami (responden) atau kepala keluarga
diambil dari banyak dan lamanya menekuni pendidikan non formal baik pada
bidang keahlian maupun mendapat pendidikan atau pelatihan pada bidang lain
sehingga dalam pengkategorian ada yang disebut dengan mereka yang sangat
sering mengikuti pendidikan, sering mengikuti pendidikan, kurang mengikuti
pendidikan, dan tidak pernah mengikuti pendidikan non formal. Berdasarkan hasil
117
pengumpulan data melalui wawancara dan pengamatan lapangan diperoleh
informasi bahwa rata-rata suami atau kepala keluarga keterlibatan mengikuti
pendidikan non formal tergolong relatif rendah. Hal ini dapat dibuktikan melalui
distribusi data responden yang berdasarkan jumlah pendidikan non formal yang
diikuti, hampir 80,3 persen responden tergolong pada kelompok kurang mengikuti
pendidikan non formal. Tabel 26 juga menginformasikan bahwa lebih dari 56 persen
responden tergolong kepada kelompok yang tidak pernah sama sekali mengikuti
pendidikan non formal (tidak memiliki keterampilan). Dengan arti kata, responden di
daerah penelitian mayoritas tidak/belum pernah menerima pendidikan ataupun pelatihan
dari istansi pemerintah/swasta baik pada bidang yang ditekuni maupun profesi lainnya.
Tabel 26 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Non Formal Suami,
Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Pendidikan Non
Wilayah
Wilayah
Total
Formal yang diikuti
Pegunungan
Pesisir pantai
Suami
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
01
02
03
04
-
Tidak pernah
mengikuti pendidikan
Kurang mengikuti
pendidikan
Sering mengikuti
pendidikan
Sangat sering
mengikuti pendidikan
Total
84
48.3
101
66.9
185
56.9
37
21.3
39
25.8
76
23.4
29
16.7
9
6.0
38
11.7
24
13.8
2
1.3
26
8.0
174
100.0
151
100.0
325
100,00
Apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian, tampaknya hampir di
kedua wilayah ini memiliki tingkat keterampilan responden yang rendah tetapi
berdasarkan data yang ada ternyata persentase terbesar responden yang tidak
memiliki tingkat keterampilan yaitu responden yang berada di wilayah pesisir
pantai yaitu sekitar 66,9 persen, sedangkan responden di wilayah pegunungan
yang tidak terampil sebanyak 48,3 persen. Bagi responden yang memiliki
keterampilan khususnya responden yang berada di daerah perdesaan pegunungan
tampaknya sebagian besar mengikuti pendidikan atau pelatihan di bidang
pertanian yang dimotori oleh Dinas Pertanian Kabupaten dan Dinas Pertanian
Provinsi, sedangkan keterampilan lain yang dimiliki responden di wilayah
118
pegunungan yaitu mengikuti pelatihan di bidang teknik “las karbit ” yang
dilaksanakan oleh Departeme n Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Kerinci.
Rendahnya tingkat keterampilan suami di daerah penelitian akan
berdampak kepada kesejahteraan keluarga dan pembangunan daerah apalagi
diperparah dengan rendahnya tingkat pendidikan formal yang dimiliki. Menurut
hemat peneliti, perlu ada tindakan nyata “action” oleh pemerintah setempat
kepada masyarakat secara umum dan responden khususnya dalam berbagai
pemberdayaan baik secara kelompok maupun massal. Dengan harapan, semakin
tinggi
tingkat
keterampilan
masyarakat
maka
akan
berpengaruh
pada
produktivitas kerja sehingga pada gilirannya akan berdampak pada naiknya
pendapatan.
Tingkat Beban Ketergantungan Keluarga
Beban Ketergantungan (dependency ratio) merupakan perbandingan atau
ratio antara jumlah anggota keluarga yang produktif dengan jumlah anggota
keluarga yang belum dan tidak produktif dalam memberi nafkah untuk keperluan
keluarga. Beban Ketergantungan (dependency ratio) diambil dari data komposisi
keluarga menurut kelompok umur 14 tahun ke bawah (kelompok umur belum
produktif), kelompok umur antara 15-64 tahun (kelompok umur produktif) dan
kelompok umur 65 tahun keatas (kelompok umur tidak produktif).
Menurut Shryock dan Siegel (1976; 113), data tentang komposisi keluarga
berdasarkan
kelompok
umur
sanga t
besar
manfaatnya
dalam
berbagai
perencanaan pembangunan terutama yang berkaitan dengan jasa dan lembaga
kemasyarakatan, seperti: kecukupan akan sekolah, guru, fasilitas kesehatan,
pangan dan perumahan. Kemudian, Kasto, (1995;7) melihat bahwa variabel umur
sangat erat kaitannya dengan mortalitas, fertilitas dan mobilitas penduduk. Oleh
karena itu, komposisi penduduk dapat dilihat hubungannya dengan kecukupan
(penduduk sebagai beban) dan sumberdaya (tenaga kerja) dalam proses
pembangunan.
119
Berdasarkan pernyataan diatas, tampaknya bahwa komposisi penduduk
atau rumahtangga berdasarkan kelompok umur, salah satu variabel yang perlu
diketahui adalah kelompok umur penduduk sebagai beban (belum dan atau tidak
produktif) dan sumbedaya (produktif). Dengan kata lain melihat perbandingan
antara penduduk produktif dengan penduduk yang belum dan atau tidak produktif.
Mengingat besar kecilnya persentase penduduk yang produktif dengan penduduk
belum dan atau tidak produktif akan menentukan besar kecilnya beban
tanggungan penduduk yang bersangkutan dan tingkat kemajuan pembangunan
suatu kelompok masyarakat. Perbandingan antara penduduk produktif dengan
penduduk yang belum dan atau tidak produktif akan ditentukan oleh nilai atau
ukuran Beban Ketergantungan (dependency ratio). Artinya, semakin besar jumlah
penduduk yang belum dan atau tidak produktif maka nilai Dependency Ratio
semakin besar. Dengan arti kata, penduduk produktif akan menanggung beban
bagi kelompok penduduk yang belum dan atau tidak produktif untuk kecukupan
mereka baik sebagai kecukupan pokok, seperti: kecukupan pangan, sandang,
papan maupun kecukupan lainnya. Namun demikian, sebelum mempelajari
tingkat Beban Ketergantungan (Dependency Ratio) penduduk, terlebih dahulu
harus mengetahui komposisi penduduk (posisi penduduk muda atau tua) dengan
jalan melihat persentase antara kelompok umur penduduk di bawah 15 tahun dan
persentase kelompok umur di atas 64 tahun.
Komposisi penduduk suatu daerah dapat dikatakan muda atau tua menurut
Shryrock dan Siegel (1976: 202) dapat ditentukan melalui nilai persentase
penduduk yang berumur di bawah 15 tahun, 65 tahun ke atas dan rasio antara
penduduk yang berumur 65 tahun ke atas dengan penduduk yang berumur di
bawah 15 tahun. Apabila persentase penduduk umur di bawah 15 tahun lebih dari
40 persen, umur 65 tahun kurang dari 5 persen dengan rasio penduduk umur 65 ke
atas dengan penduduk umur di bawah 15 tahun kurang dari 15 persen maka
struktur penduduk tersebut tergolong “muda” atau dikenal dengan istilah struktur
penduduk yang bersifat exspansive (Tabel 27). Apabila persentase penduduk umur
di bawah 15 tahun kurang dari 30 persen, umur 65 tahun lebih dari 10 persen
dengan rasio penduduk umur 65 ke atas dengan penduduk umur di bawah 15
tahun lebih dari 30 persen maka struktur pend uduk tersebut tergolong “tua”.
120
Tabel 27 Sebaran Contoh Berdasarkan Kelompok Umur Terpilih, 2006
Sebaran Contoh
No
01
02
03
-
Kelompok Umur Terpilih
(tahun)
Kelompok Umur Belum
Produktif (0-14)
KelompokUmur
Produktif (15-64)
Kelompok Umur Tidak
Produktif (>65)
Total
Wilayah
Pegunungan
Wilayah
Pesisir pantai
Jumlah
Persen
Jumlah Persen
267
34,8
227
479
62,5
21
767
Total
Jumlah
Persen
32,5
494
33,7
466
66,8
945
64,5
2,7
5
0,7
26
1,8
100,0
698
100,0
1.465
100,00
Data lapangan menunjukkan bahwa komposisi penduduk responden di
daerah penelitian menurut struktur umur penduduk masih tergolong muda namun
hampir menuju pada struktur penduduk tua. Hal ini ditandai dengan persentase
penduduk usia di bawah 15 tahun masih diatas angka 30 persen (33,7 %) dengan
jumlah penduduk yang berumur di atas 65 tahun atau umur tidak produktif sebesar
1,8 persen. Hal senada juga ditunjukkan oleh kelompok umur yang ada di wilayah
pegunungan dan wilayah pesisir pantai dengan nilai tidak jauh berbeda satu
dengan lainnya.
Dari data komposisi penduduk berdasarkan persentase penduduk muda
dan tua akan dapat menentukan nilai dari beban ketergantungan suatu kelompok
penduduk tersebut. Kalau kelompok umur 0-14 tahun dianggap sebagai kelompok
penduduk yang belum produktif secara ekonomis, kelompok penduduk 15-64
tahun sebagai kelompok penduduk produktif, dan kelompok penduduk umur 65
tahun ke atas sebagai kelompok penduduk yang tidak produktif maka beban
ketergantungan (dependency ratio) penduduk produktif di daerah penelitian
sebesar 55 (Tabel 28).
121
Tabel 28 Sebaran Contoh BerdasarkanTingkat Beban Ketergantungan Keluarga,
Tahun 2006
No
01
02
03
04
Tingkat Beban
Ketergantungan
Beban Tanggungan
sangat kecil (0-24 %)
Beban Tanggungan
kecil (25-49 %)
Beban Tanggungan
besar (50-74 %)
Beban Tanggungan
sangat besar ( > 75 %)
-
Total
-
Rata-rata (%)
Wilayah
Pegunungan
Sebaran Contoh
Wilayah
Pesisir pantai
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
23
13.2
25
16.6
48
14,8
36
20.7
42
27.8
78
24.0
62
35.6
40
26.5
102
31,4
53
30.5
44
29.1
97
29,8
174
100.0
151
100.0
325
100,0
60
50
55
Artinya, dalam 100 orang usia produktif dari keluarga-keluarga contoh di
daerah penelitian menanggung beban 55 orang yang berusia belum dan tidak
produktif untuk kecukupan konsumtif. Hal ini mengindikasikan bahwa beban
tanggungan bagi anggota keluarga usia produktif di daerah penelitian masih
tergolong besar walaupun nilai beban ketergantungan ini lebih kecil dibandingkan
dengan nilai rasio ketergantungan Propinsi Jambi tahun 2003 (56), dan bahkan
nasional (Suandi, dan Bambang, 2003: 17).
Angka beban ketergantungan tenaga kerja belum dan atau tidak produktif
terhadap tenaga kerja produktif di daerah penelitian jauh lebih kecil bila
dibandingkan dengan batas angka beban ketergantungan di Negara- negara
berkembang (60) (Shryrock dan Siegel (1976:202). Relatif rendahnya tingkat
ketergantungan penduduk belum dan tidak produktif terhadap penduduk produktif
dapat mendorong terhadap kemajuan pembangunan selanjutnya. Mengingat
tingginya angka
rasio beban tanggungan sebagai faktor penghambat
pembangunan ekonomi karena sebagian dari pendapatan yang diperolah dari
golongan yang produktif terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kecukupan
122
mereka yang belum produktif untuk kecukupan akan pangan, fasilitas pendidikan
dan fasilitas lainnya (Mantra, 2000:92).
Manajemen Sumberdaya Keluarga
Kata manajemen berasal dari kata manage, sedangkan kata manage dalam
buku ”Webster’s New Collegiate Dictionary” berasal dari bahasa Italia
”maneggio”, sedangkan maneggio berasal dari bahasa Latin yaitu ”manus” artinya
tangan (Siagian, 1998:9). Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah manajemen adalah
”the act or act of managing, conduct, direction, and control” (tindakan atau seni
mengatur, membimbing, mengarahkan dan memantau). Menurut Terry (Siagian,
1996), manajemen adalah upaya mencapai tujuan dengan menggunakan tangan
orang lain.
Berkenaan dengan istilah keluarga, menurut Burgers dan Locke (Guhardja S
et al., 1992), keluarga adalah sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
anggotanya terikat oleh adanya hubungan perkawinan (suami+isteri) serta
hubungan darah (anak kandung) atau adopsi (anak pungut). Apabila dilihat dari
konsep sistem, keluarga adalah suatu sistem yang seperti sistem lainnya yang
terdiri dari elemen-elemen yang saling berhubungan. Menurut Parsons (1965),
sistem keluarga memiliki tiga elemen utama, yakni: (1) status sosial, (2) fungsi
sosial, dan (3) norma sosial yang saling berhubungan satu sama lainnya
(interralated). Hubungan antar elemen untuk mewujudkan satu fungsi tertentu
terjadi, dan tidak saja bersifat alami tetapi juga dibentuk oleh berbagai faktor atau
kekuatan yang ada disekitar keluarga seperti nilai- nilai atau norma serta faktorfaktor lain yang ada di masyarakat.
Menurut Parsons (Megawangi, 2001:66), konsep pokok keluarga adalah
solidaritas. Maksud dari solidaritas dalam keluarga yaitu saling mau menerima,
merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka saling
bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan
bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan keluarga tercapai. Setiap
anggota keluarga percaya bahwa solidaritas keluarga merupakan landasan untuk
dapat menumbuhkan solidaritas dan kepercayaan kepada masyarakat yang lebih
luas. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya individualisme dalam keluarga
123
dan masyarakat, kelompok konservatif memiliki norma bersama terhadap
peraturan perilaku (behavior). Keputusan yang harus diambil mengarah pada
kepentingan bersama dengan tidak menghilangkan hak azasi manusia sebagai
makhluk sosial dengan melakukan berbagai penyesuaian. Pendapat Parson ini
banyak di dukung oleh ahli-ahli agama yang ada didunia ini terutama yang
berkaitan dengan institusi perkawinan dan tanggung jawab.
Implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, keluarga layaknya
seperti organisme hidup. Ia diibaratkan hewan berdarah panas yang dapat
memelihara temperatur tubuhnya agar tetap konstan walaup un kondisi lingkungan
berubah. Parsonnian melihat bahwa institusi keluarga tidak statis, sebaliknya
keluarga sangat tanggap terhadap perkembangan atau perubahan lingkungan,
artinya keluarga selalu dapat beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan
lingkungan atau disebut dengan istilah keseimbangan dinamis (dynamic
equilibrium).
Fungsi keluarga adalah bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan
dan
mengembangkan
anggota-anggotanya.
Dengan
demikian
pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu
pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan formal, informal dan non formal
Dalam pengembangan sumberdaya manusia, keluarga diperlukan baik sebagai
unit pusat produksi maupun sebagai unit pusat konsumsi. Sebagai unit produksi,
keluarga mengartikuasikan relasi pasar dan non pasar. Dalam konteks masyarakat
madani, terdapat sebuah gagasan yang mengedepankan peran masyarakat yang
terbentuk dari keluarga. Keluarga dalam susbsistem masyarakat juga tidak akan
lepas dari interaksi dengan subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam
masyarakat, misalnya sistem ekono mi, politik, pendidikan dan agama. Dengan
adanya interaksi subsistem-subsistem tersebut, keluarga berfungsi untuk
memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state).
Konsep Sumberdaya: sebagai alat atau bahan yang tersedia dan diketahui
potensinya untuk memenuhi keinginan (Guhardja S et al., 1992). Sumberdaya ini
tidak selalu bersifat langka tetapi dapat pula bersifat melimpah. Sumberdaya yang
melimpah memudahkan dalam memenuhi keinginan dan sebaliknya. Klasifikasi
sumberdaya berdasarkan jenisnya,
yaitu:
124
(1)
sumberdaya
manusia,
(2)
sumberdaya non manusia/materi (benda/barang), dan (3) sumberdaya waktu dan
energi. Sumberdaya manusia meliputi: (1) Ciri pribadi/personal, dan (2) ciri
interpersonal. Adapun yang dimaksud dengan ciri pribadi adalah pengetahuan
(cognitive), perasaan (affective) dan ketrampilan (psichomotoric), derajat
kesehatan, bakat, tingkat intelegensia, minat dan sensitivitas (kepekaan). Adapun
yang dimaksud dengan ciri interpersonal, meliputi: jalinan hubungan antar
manusia dalam bentuk kerjasama, gotong royong, keintiman, dan keterbukaan
atau ketertutupan.
Sumberdaya materi terdiri dari: (1) benda-benda/barang-barang, dan (2)
jasa yang berguna bagi manusia. Kemudian, ada sumberdaya waktu dan energi.
Waktu merupakan sumberdaya yang unik, karena jumlahnya tidak dapat
ditambah, dikurangi, diakumulasi atau disimpan dan jumlahnya sama bagi setiap
orang yaitu 24 jam sehari. Adapun energi dapat berupa sumberdaya manusia
maupun sumberdaya non manusia.
Berdasarkan nilai ekonomi, ada sumberdaya ekonomi dan sumberdaya
non-ekonomi. Sumberdaya ekonomi, dicirikan oleh kelangkaan sumberdaya
tersebut sehingga dapat dipertukarkan dan dapat diukur untuk keperluan proses
produksi dan distribusi termasuk pekerjaan rumahtangga. Sumberdaya nonekonomi, cirinya dengan jumlah relatif tak terbatas dan tidak dapat dipertahankan
serta sulit diukur, contoh, kasih sayang, dan lain- lain. Namun nilai ekonomi
sumberdaya dapat berbeda berdasarkan tempat. Berdasarkan asal/letak dapat
dibagi dua, yaitu: (1) sumberdaya lingkungan mikro/internal, dan (2) sumberdaya
lingkungan makro/ekternal.
Pengukuran-pengukuran sumberdaya diperlukan untuk memudahkan
dalam perbandingan serta pengalokasian sumberdaya, maka dibutuhkan suatu
dasar umum dalam pengukuran suatu sumberdaya. Ada dua alat ukur sumberdaya,
yakni: (1) uang, dan (2) waktu. Uang dapat menilai harga barang/jasa serta dapat
mengukur potensi manusia seperti pengetahuan dan ketrampilan. Kemudian, hasil
suatu pekerjaan dapat diukur melalui waktu.
Seperti pada umumnya suatu sistem, sistem keluarga dalam memenuhi
fungsinya menerima masukan (input) yang berupa: materi, energi, dan informasi
yang memasuki sistem keluarga yang diklasifikasikan sebagai sumberdaya dan
125
kebutuhan. Dalam keluarga, sumberdaya ini digunakan dalam rangka memenuhi
kebutuhan. Sumberdaya yang telah digunakan ini akan keluar dari sistem keluarga
sebagai output dan masuk sebagai input ke dalam sistem lingkungan. Kebutuhan
merupakan “input” yang nenumbuhkan rangsangan, motivasi, dan arti pada
kegiatan yang berlangsung di dalam sistem. Proses perubahan “input ” dari materi,
energi dan informasi menjadi “outpout” disebut througput atau trans formasi.
Berkenaan dengan tujuan penelitian ini yaitu tentang keterkaitan
manajemen sumberdaya keluarga dengan tingkat kesejahteraan maka sumberdaya
yang di pakai sebagai variabel penelitian atau loading variabel dari manajemen
adalah (1) manajemen sumberdaya waktu, (2) manajemen anggota keluarga, dan
(3) manajemen keuangan keluarga.
Untuk mendapat variabel sumberdaya keluarga dalam satu kesatuan yang
utuh maka perlu penggunaan sumberdaya keluarga dalam usaha atau proses
mencapai sesuatu yang dianggap penting oleh keluarga. Hasil dari penggunaan
sumberdaya diharapkan lebih baik dari pengorbanan (Guhardja S et al., 1992).
Secara implisit dapat dijelaskan bahwa manajemen sumberdaya keluarga dapat
dilihat dari dua pendekatan, pertama: manajemen sumberdaya keluarga terfokus
pada pengalokasian tenaga dan waktu sesuai dengan peran anggota keluarga, dan
pendekatan kedua bahwa manajemen sumberdaya keluarga dilihat dari proses dan
manfaat dari sumberdaya itu sendiri. Sehubungan dengan itu, sesuai dengan
tujuan penelitian maka penelitian ini menggunakan pendekatan kedua, yaitu
melihat manajemen sumberdaya berdasarkan proses dan manfaat sumberdaya itu
sendiri.
Seperti terlihat pada Tabel 29, bahwa rata-rata tingkat manajemen
sumberdaya keluarga di daerah penelitian tergolong baik karena lebih dari 60
persen kelompok responden tergolong pada kelompok dengan tingkat pengelolaan
sumberdaya keluarga secara keseluruhan termasuk baik dan sangat baik.
Tingginya persentase manajemen sumberdaya keluarga di daerah penelitian
terlihat dari persentase manajemen pemanfaatan waktu, manajemen anggota
keluarga dan manajemen keuangan. Namun, apabila di kelompok berdasarkan
daerah penelitian tampaknya persentase responden dalam mengelola sumberdaya
keluarga yang relatif lebih baik terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai
126
70 persen lebih, sedangkan persentase responden dalam mengelola sumberdaya
keluarga di wilayah pesisir pantai yang termasuk baik dan sangat baik hanya
sekitar 43 persen. Terdapatnya perbedaan tingkat pengelolaan sumberdaya
keluarga di daerah penelitian ini tampaknya akan mempengaruhi tingkat
kesejahteraan keluarga.
Tabel 29 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Sumberdaya Keluarga, Tahun
2006
Sebaran Contoh
No
Manajemen
Sumberdaya
Keluarga
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat Kurang
17
9.8
25
16.6
42
12.9
02
Kurang
30
17.2
56
37.1
86
26.5
03
Baik
77
44.3
50
33.1
127
39.1
04
Sangat Baik
50
28.7
20
13.2
70
21.5
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tingginya tingkat
pengelolaan sumberdaya keluarga di wilayah pegunungan tidak terlepas dari
kerjasama anggota keluarga terutama antara isteri dan suami. Hasil indepth
interview dengan salah seorang isteri keluarga contoh yaitu ibu Nurwati, bahwa di
keluarga mereka terutama dalam masalah konsumsi keluarga baik konsumsi
pangan, konsumsi non pangan, dan bahkan investasi pendidikan dan kesehatan
selalu dilakukan secara bersama-sama antara isteri dengan suami dan kadangkadang ibu Nurwati dan suaminya minta informasi kepada anak-anak khususnya
anak yang paling besar. Menurut peneliti, kondisi seperti ini perlu dicontoh
sebagai tauladan dalam pengelolaan sumberdaya keluarga.
Manajemen Waktu
Seperti tertera pada Tabel 30 bahwa persentase manajemen waktu keluarga
di daerah penelitian tergolong relatif baik. Terdapat ha mpir 59 persen keluarga
responden di daerah penelitian menyatakan bahwa mereka merasa cukup baik
127
dalam memanfaat waktu. Namun demikian, berdasarkan daerah penelitian
ternyata proporsi keluarga contoh yang memiliki persentase pengelolaan waktu
lebih baik (kategori baik+sangat baik) paling besar terdapat di wilayah
pegunungan (63,2 %), sedangkan proporsi keluarga contoh di wilayah pesisir
pantai (53,6 %).
Tabel 30 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Waktu Keluarga, 2006
Sebaran Contoh
No
Manajemen Waktu
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat Kurang
19
10.9
34
22.5
53
16.3
02
Kurang
45
25.9
36
23.8
81
24.9
03
Baik
51
29.3
53
35.1
104
32.0
04
Sangat Baik
59
33.9
28
18.5
87
26.8
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Manajemen waktu dalam penelitian ini dilihat dari
tiga aspek, yakni:
aspek target jangka pendek, pemanfaatan waktu yang dimiliki, dan wujud kerja
yang diharapkan. Dalam hal aspek target jangka pendek, rata-rata keluarga contoh
di daerah penelitian yang bisa mencapai target yang telah ditentukan dengan baik
sekitar 55 persen, dan sebaliknya terdapat sebanyak 45 persen keluarga contoh
yang belum mencapai target yang ditentukan sebelumnya (Lampiran 5). Hasil
yang diperoleh keluarga contoh di daerah penelitian ini sudah tergolong pada
kelompok berhasil karena sudah dapat membuat perencanaan pemanfaatan waktu
yang dimiliki. Pemanfaatan waktu jangka pendek keluarga contoh terutama dilihat
kegiatan mencari nafkah (kebutuhan konsumsi pangan keluarga).
Dimensi pemanfaatan waktu yang dimiliki anggota keluarga, hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pemanfaatan waktu juga menunjukkan
hasil yang relatif baik dan melebihi persentase manajemen waktu dalam target
jangka pendek (65 %). Kemudian, manajemen waktu dari aspek harapan yang
diwujudkan oleh anggota keluarga contoh baik di wilayah pegunungan maupun di
wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 64 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa
128
keluarga contoh di daerah penelitian cukup baik dalam merencanakan sesuatu
untuk kebutuhan keluarga dan dapat memanfaatkan sumberdaya dengan sebaikbaiknya sebagai keperluan keluarga.
Manajemen Anggota Keluarga
Seperti tertera pada Tabel 31, rata-rata manajemen sumberdaya anggota
keluarga di daerah penelitian sedikit lebih baik dibandingkan dengan manajemen
sumberdaya waktu (61 persen). Seperti halnya pada kasus manajemen
sumberdaya waktu, proporsi keluarga dengan manajemen sumberdaya anggota
keluarga yang baik paling besar terdapat di wilaya h pegunungan yaitu mencapai
71 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya sekitar 50 persen.
Manajemen sumberdaya anggota keluarga, seperti halnya dengan
manajemen waktu yaitu mengandung beberapa aspek, yakni: dukungan psikologis
terhadap kemajuan anak, manajemen anggota keluarga usia produktif, dan
manajemen anggota keluarga lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata
ketiga aspek tersebut rata-rata tingkat manajemen atau pengelolaan sumberdaya
tersebut tergolong baik yaitu berkisar antara 62,1–70,4 persen.
Dari ketiga aspek tersebut, manajemen yang paling tinggi persentasenya
terdapat dalam pengelolaan sumberdaya tenaga kerja produktif yaitu mencapai
70,4 persen, sedangkan persentase terendah yaitu manajemen terhadap dukungan
psikologis kemajua n anak (62,1 %).
Tabel 31 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Anggota Keluarga, 2006
Sebaran Contoh
No
Manajemen
Anggota Keluarga
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat Kurang
20
11.5
34
22.5
54
16.6
02
Kurang
31
17.8
42
27.8
73
22.5
03
Baik
71
40.8
46
30.5
117
36.0
04
Sangat Baik
52
29.9
29
19.2
81
24.9
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
129
Relatif rendahnya
terhadap
dukungan psikologis keluarga contoh (orang tua)
kemajuan anak terutama pendidikan disebabkan oleh tingkat
pengetahuan orang tua yang rendah disamping waktu yang terbatas. Artinya,
keluarga contoh (orang tua) di daerah penelitian mayoritas waktu diperuntukkan
untuk bekerja. Lain halnya dengan manajemen anggota keluarga produktif. Hasil
pengamatan lapangan menunjukkan bahwa rata-rata anggota keluarga produktif
(>15 tahun atau tidak sedang dalam bangku sekolah) di daerah penelitian selalu
membantu pekerjaan orang tua (kepala keluarga dan atau ibu) baik pekerjaan
domestik maupun pekerjaan publik. Sebagai contoh, yaitu salah satu anggota
keluarga dari bapak H. Yusuf di desa Nipah Panjang I Kecamatan Nipah Panjang
Kabupaten Tanjung Jabung Timur selalu membantu orang tua mengangkut buah
kelapa setelah dipanen dan pekerjaan ini dikerjakannya setiap kali panen kelapa.
Manajemen
anggota
keluarga
lainnya
yaitu
berkenaan
dengan
pemanfaatan sumberdaya keluarga lainnya. Seperti hasil wawancara mendalam
dengan salah seorang responden yaitu bapak Kamal Eka, yang bersangkutan
mengatakan sebagai berikut:
“jika pekerjaan yang membutuhkan waktu banyak padahal tenaga
terbatas maka alternatif pemecahannya adalah memanfaatkan tenaga
isteri dan anak, dan jika ternyata juga tidak cukup kita terpaksa upah
tenaga luar dan kondisi seperti ini yang sering terjadi di wilayah
pegunungan pada waktu panen padi sawah.”
Manajemen Keuangan Keluarga
Manajemen keuangan keluarga sangat penting dalam memajukan
kesejahteraan keluarga baik dalam pengalokasian untuk kecukupan konsumsi
maupun keperluan investasi atau pengembangan usaha. Seperti tertera pada Tabel
32, rata-rata manajemen atau pengelolaan keuangan keluarga di daerah penelitian
yang termasuk pada kelompok baik dan sangat baik yaitu mencapai 60 persen. Hal
ini mengindikasikan bahwa manajemen keluarga di daerah penelitian tergolong
baik dan dapat dikategorikan sebagai petani maju. Padahal menurut hasil
penelitian sebelumnya bahwa rata-rata petani di daerah perdesaan tingkat
manajemennya sangat terbatas (Suandi, 1998 dan Suandi, 2000).
130
Tabe l 32 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Keuangan Keluarga, 2006
Sebaran Contoh
No
Manajemen
Keuangan Keluarga
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat Kurang
21
12.1
29
19.2
50
15.4
02
Kurang
27
15.5
52
34.4
79
24.3
03
Baik
71
40.8
54
35.8
125
38.5
04
Sangat Baik
55
31.6
16
10.6
71
21.8
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Berdasarkan daerah penelitian, tampaknya proporsi keluarga dengan
manajemen keuangan yang baik, terbesar terdapat di wilayah pegunungan yaitu
mencapai 72 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 46 persen. Seperti
halnya dengan manajemen
lainnya, manajemen keuangan mengandung lima
aspek, yakni: strategi mendapatkan penghasilan, alokasi belanja keperluan
konsumsi, alokasi belanja keperluan produktif, manajemen biaya pendidikan anak
(pendidikan formal dan non formal), dan manajemen pengembangan usaha.
Berdasarkan hasil perhitungan diperloleh gambaran bahwa manajemen yang baik
paling tinggi terdapat pada manajemen belanja untuk keperluan produktif yaitu
mencapai 65 persen, sedangkan terendah terdapat pada manajemen pengembangan
usaha hanya 54 persen. Angka ini sudah cukup repsentatif dari manajemen yang
tergolong baik dan sangat baik. Khusus yang berkaitan dengan manajemen
pengembangan usaha, hasil temuan di lapangan menyimpulkan bahwa terbatasnya
kemampuan cara petani atau responden dalam mengelola atau merencanakan
berbagai usaha kedepan untuk kemajuan keluarga salah satu faktor utama adalah
tingkat pendidikan dan keterampilan petani yang terbatas.
Manajemen keuangan lainnya yang tergolong rendah yaitu manajemen
biaya pendidikan anak (biaya pendidikan tambahan/keterampilan) (60 %). Relatif
rendahnya persentase manajemen keluarga terhadap biaya pendidikan anak (biaya
pendidikan tambahan/keterampilan) disamping faktor kemauan dan kemampuan
orang tua dan anak terbatas, fasilitas atau sarana pendidikan keterampilan terbatas
131
atau sulit dijangkau, dan faktor pendapatan keluarga responden yang terbatas
untuk keperluan tersebut terutama di wilayah pesisir pantai.
Tabel 33 Sebaran Contoh dengan Manajemen yang Dirasa Baik Berdasarkan
Sumberdaya, 2006
Sebaran Contoh (%)
No
Sumberdaya Keluarga
Wilayah
pegunungan
Wilayah
pesisir Pantai
Rata-rata
01
Waktu
63,2
53,6
58,4
02
Anggota Keluarga
70,7
49,7
60,2
03
Keuangan
72,4
46,4
59,4
68,8
49,9
59,3
-
Rata-rata
Apabila dirinci berdasarkan persentase dan jenis sumberdaya maka dari
Tabel 33 dapat dilihat bahwa manajemen sumberdaya waktu yang baik tertinggi
sebesar 58,4 persen. Artinya, terdapat 58 persen lebih keluarga responden di
daerah penelitian menyatakan bahwa mereka merasa cukup baik dalam
memanfaat waktu. Namun demikian, berdasarkan wilayah agroekologi ternyata
proporsi keluarga contoh dengan manajemen yang tergolong baik terdapat di
wilayah pegunungan (63,2 %), dan lebih besar dibandingkan dengan proporsi
keluarga contoh di wilayah pesisir (54 %). Dilihat dari jenis sumberdaya yang
dimiliki keluarga contoh seperti terlihat pada Tabel 33, ternyata persentase
keluarga contoh dengan manajemen yang baik lebih banyak pada manajemen
sumberdaya anggota keluarga dibandingkan dengan manajemen sumberdaya
waktu dan keuangan (Tabel 33).
Modal Sosial
Modal sosial merupakan bentuk jaringan kerja sosial dan ekonomi di
masyarakat yang terjadi antar individu dan kelompok baik formal maupun
informal yang bermanfaat dan menguntungkan. Modal sosial dikategorikan
melalui dua dimensi yang saling berhubungan (interrelated), yakni:
132
dimensi
struktural, dan dimensi karakter4 . Dimensi struktural diukur dalam bentuk
kelompok dan organisasi (asosiasi lokal). Tinggi rendah kontribusi asosiasi lokal
terhadap kesejahteraan keluarga diukur secara komposit dari dimensi (a) jumlah
asosiasi yang diikuti, (b) tingkat partisipasi dalam asosiasi, dan (c) manfaat
asosiasi dengan nilai sebagai berikut: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan
(4) sangat tinggi, sedangkan dimensi karakter diukur dari nilai komposit: (a)
tingkat keterpercayaan, (b) solidaritas, dan (c) semangat kerja dengan nilai: (1)
sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi.
Jumlah Asosiasi Lokal yang Diikuti
Keluarga Contoh
Jumlah asosiasi lokal yang diikuti keluarga contoh di daerah penelitian
dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu: sangat sedikit (satu asiosiasi),
sedikit (dua asosiasi), banyak (tiga asosiasi), dan sangat banyak (lebih dari tiga
asosiasi). Hasil pengamatan lapangan diperoleh bahwa jumlah asosiasi lokal yang
diikuti keluarga contoh di daerah penelitian tergolong besar karena lebih dari 59
persen keluarga contoh mengikuti sebanyak tiga atau lebih asosiasi lokal (Tabel
34). Dengan semakin banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota
keluarga contoh diharapkan dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat
kebersamaan dan solidaritas sesama anggota masyarakat sehingga pada gilirannya
akan berdampak terhadap kesejahteraan dan kemajuan desa. Kemudian, pada
masa era globalisasi, reformasi dan otonomi daerah, asosiasi lokal yang
berkembang di daerah dan diikuti oleh anggota ma syarakat akan sangat berperan
dalam membendung dan menopang berbagai informasi berupa inovasi baru yang
datang dari luar terutama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
pembangunan daerah. Adapun asosiasi yang berkembang di daerah penelitian
berjumlah 18 asosiasi, baik asosiasi formal maupun nonformal/kelompok
(Lampiran 3).
4
Konsep ini mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu (1986), Coleman (1988),
dan Putnam, Leonardi, dan Nanetti (1993), Grootaert (1997), Woolcock (1998), Fukuyama
(1999), Uphoff (1999) (Dasgupta P., 2000:218), dan Flores dan Fernando (2003) (disempurnakan).
133
Tabel 34 Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang diikuti
Keluarga, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Jumlah Asosiasi
Lokal yang diikuti
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat sedikit (=1)
26
14.9
35
23.2
61
18.8
02
Sedikit (=2)
31
17.8
39
25.8
70
21.5
03
Banyak (=3)
61
35.1
51
33.8
112
34.5
04
Sangat banyak (> 3)
56
32.2
26
17.2
82
25.2
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Pada Tabel 34 tampak terdapat perbedaan yang cukup besar sebaran
contoh keluarga antara wilayah
pegunungan
dengan wilayah
pesisir pantai
dalam mengikuti asosiasi lokal. Melalui tabel tersebut dapat diketahui bahwa
keluarga contoh di wilayah pegunungan yang mengikuti asosiasi lokal sebanyak
tiga macam atau lebih mencapai 67 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai
hanya 51 persen. Relatif banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh
anggota keluarga contoh di wilayah
pegunungan
disebabkan perkembangan
asosiasi itu sendiri dan keterkaitan antara satu kalbu dengan kalbu lainnya yang
memiliki tingkat kekeluargaan tinggi. Hal ini terungkap melalui diskusi dengan
salah satu tokoh cendikiwan muda yaitu bapak Sulaiman, beliau menuturkan:
”kehidupan masyarakat disini mengelompok dalam kalbu masing-masing.
Kenapa saya katakan demikian, mayoritas mata pencaharian masyarakat
di wilayah pegunungan adalah pertanian padi sawah, sedangkan lahan
padi sawah tersebut umumnya bukan merupakan hak milik tetapi adalah
”sistem gilir ganti” dalam satu kalbu begitu juga dalam sitem
pengerjaannya dilakukan secara bersama-sama apa yang disebut dengan
”kerja kalbu5 ” dan sistem kelompok ”handel6 .”
5
6
Sistem kalbu yaitu sistem kerja bersama (saling tolong menolong) tanpa upah dalam satu garis turunan
Sistem handel artinya sistem kerja kelompok dengan mengambil upahan dan setiap mendapat upahan uang
disimpan dan dibagikan menjelang hari raya idul fitri.
134
Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga
Tingkat partisipasi anggota keluarga contoh dalam asosiasi lokal dilihat
dari dua aspek, yakni: tingkat keaktifan dalam pertemuan dan pengambilan
keputusan selama mengikuti pertemuan. Seperti tersaji pada Tabel 35, 58 persen
dari seluruh keluarga contoh merupakan anggota yang aktif dan sangat aktif dalam
asosiasi. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian
ternyata anggota keluarga contoh di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat
partisipasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan anggota keluarga contoh di
wilayah
pegunungan, masing masing 49, dan 66 persen. Dengan kata lain,
anggota keluarga contoh di daerah wilayah pesisir pantai kurang aktif dalam
mengikuti berbagai aktivitas dan pertemuan kelompok/organisasi sehingga akan
berdampak kepada produktivitas kelembagaan itu sendiri. Lebih jelas sebaran
contoh keluarga berdasarkan tingkat partsisipasi anggota keluarga dalam asosiasis
lokal padat dilihat pada Tabel 35.
Berdasarkan tingkat partisipasi dalam pertemuan, seperti tertera pada
Tabel 36, dimana tingkat partisipasi anggota keluarga sangat tinggi sekali yaitu
mencapai angka 72 persen dengan frekuensi pertemuan lebih dari 75 persen dan
bahkan 60 persen diantaranya aktif mengikuti pertemuan kelompok/organisasi
setiap kali pertemuan7 (Tabel 36).
Tabel 35 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga dalam
Asosiasi Lokal, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Tidak aktif
28
16.1
29
19.2
57
17.5
02
Kurang aktif
32
18.4
48
31.8
80
24.6
03
Aktif
57
32.8
41
27.2
98
30.2
04
Sangat aktif
57
32.8
33
21.9
90
27.7
174
100.0
151
100.0
325
100.0
7
Tingkat Partisipasi
dalam Asosiasi
Lokal
Total
Keluarga Contoh Wilayah Pegunungan yang ikut setiap pertemuan = 68,2 %
Keluarga Contoh Wilayah Pesisir Pantai yang ikut setiap pertemuan = 50,3 %
Keluarga Contoh Total yang ikut setiap pertemuan = 60.4 %
135
Kalau berdasarkan daerah penelitian hasilnya tidak jauh berbeda dengan tingkat
partisipasi dalam asosiasi lokal tetapi proporsi pada tingkat pertemuan ini tidak
begitu kentara. Melihat dari tingkat frekuensi pertemuan anggota keluarga contoh
dalam asosiasi yang diikuti ini menunjukkan bahwa keterkaitan keluarga contoh
dengan asosiasi lokal yang berkembang dimasyarakat cukup kuat. Asosiasi
masyarakat baik berupa kelembagaan sosial, ekonomi maupun kelembagan lain
seperti pendidikan, kesehatan bahkan politik cukup penting bagi masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh kecil, peran asosiasi lokal bagi kehidupan masyarakat
yaitu pemanfaatan air irigasi untuk keperluan mengairi tanaman padi sawah.
Seperti yang diutarakan oleh Kepala Desa Jujun (Supratman Yunus):
”Air irigasi yang diperlukan oleh masyarakat terutama yang
menggunakan irigasi desa,
bukan irigasi pemerintah, harus diatur
dalam kelompok kalbu. Kalau tidak ada peran kelompok kalbu pola
pengairan menjadi tidak teratur dan tidak efisien karena setiap orang
harus menjaga bendungan air irigasi setiap hari, tetapi dengan adanya
kelompok penjaga air irigasi ini, mereka dapat memelihara secara
bergiliran dan sesuai dengan waktu dan keperluan dari masing-masing
anggota kelompok.”
Tabel 36 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga pada
Pertemuan Asosiasi Lokal, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Tingkat Partisipasi
dalam Pertemuan
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Tidak aktif (0-25 %)
19
4.3
14
4.1
33
4.2
02
Kurang aktif (26-50 %)
53
12.1
80
23.4
133
17.0
03
Aktif (51-75 %)
25
5.7
28
8.2
53
6.8
04
Sangat aktif (> 75 %)
343
77.9
220
64.3
563
72.0
-
Total
440
100.0
342
100.0
782
100.0
-
Rata-rata
86
79
136
83
Manfaat Kelompok/Organisasi bagi
Keluarga
Faktor manfaat secara struktural merupakan elemen penting dalam modal
sosial karena faktor ini berkaitan erat dengan keterlibatan anggota masyarakat
dalam asosiasi. Artinya, semakin besar nilai manfaat dari suatu asosiasi bagi
keluarga maka kontribusi setiap anggota keluarga semakin besar dan sebaliknya.
Manfaat asosiasi bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup besar hal ini
ditandai dengan tingginya proporsi keluarga yang mencapai 70 persen lebih
(Tabel 37). Hal senada juga ditunjukkan oleh persentase keluarga contoh di kedua
daerah penelitian yang menyatakan bahwa asosiasi yang mereka ikuti sangat
bermanfaat dengan nilai masing- masing 75 persen di pegunungan dan 68 persen
di wilayah pesisir pantai.
Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) di desa Koto Agung Kecamatan
Keliling Danau wilayah pegunungan menyimpulkan bahwa asosiasi desa yang
ada di daerah ini baik asosiasi formal maupun informal cukup penting dalam
meningkatkan perekonomian dan hubungan sosial dalam masyarakat. Seperti
dicontohkan oleh salah seorang peserta yaitu bapak Sapri Joni, ia menuturkan
sebagai berikut:
”keberadaan asosiasi di desa kami ini sangat berperan sekali terutama
sistem kerja gotong royong (collective action), misalnya membangun
jalan menuju ke sentra produksi (kebun), membangun dan atau
membersih hulu sungai untuk pengairan persawahan, membangun
fasilitas umum (masjid), madrasah, dan fasilitas umum lainnya.”
Cukup banyak jenis asosiasi lokal yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga
contoh baik untuk keperluan ekonomi, pendidikan maupun keperluan sosial.
Lebih dari 18 asosiasi (formal dan informal) lokal yang dapat dimanfaatkan oleh
keluarga contoh untuk berbagai keperluan atau kepentingan. Apabila dibedakan
berdasarkan daerah penelitian ternyata asosiasi lokal terbanyak yang berkembang
dan dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh terdapat di wilayah pegunungan
yaitu sebanyak 16 asosiasi, sedangkan di wilayah
asosiasi.
137
pesisir pantai
hanya 10
Tabel 37 Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi Keluarga, Tahun
2006
Sebaran Contoh
No
Manfaat Asosiasi
Lokal
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Tidak bermanfaat
17
9.8
23
15.2
40
12.3
02
Kurang bermanfaat
26
14.9
24
15.9
50
15.4
03
Bermanfaat
69
39.7
67
44.4
136
41.8
04
Sangat bermanfaat
62
35.6
37
24.5
99
30.5
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Karakter Masyarakat
Karakter seorang individu merupakan “the sum total of the disinguishing
qualities of a person” atau sering juga disebut dengan istilah “moral exellence and
strength” (Webster, 1993). Lichona (Hastuti, 2006,11) melihat bahwa karakter
terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait satu sama lainnya, yakni: pengetahuan
tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan
perilaku bermoral (moral behavior). Artinya, seorang individu yang berkarakter
baik apabila individu tersebut dapat mengetahui tentang berbagai kebaikan
(knowing the good), menginginkan dan selalu mencintai kebaikan (loving the
good), dan selalu melakukan berbagai tindakan yang baik (acting the good).
Implementasi dalam kehidupan sehari- hari dan seorang individu yang berkarakter
baik dapat dilihat pada pola hidup dan interaksi sosial mereka dengan masyarakat
dalam konteks: nilai keterpercayaan, solidaritas dan semangat kerja. Nilai
keterpercayaan diukur dari tiga dimensi, yaitu: komitmen terhadap norma yang
berlaku, kejujuran, dan tanggung jawab. Solidaritas masyarakat dilihat dari aspek:
tingkat ketergantungan antar anggota masyarakat, saling bantu membantu, dan
aspek kepekaan terhadap kemajuan desa, sedangkan aspek semangat kerja diukur
dari disiplin dan keuletan kerja masyarakat.
Tingkat Keterpercayaan Masyarakat
138
Keterpercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang
terhadap perkataan, perjanjian, dan tindakan secara konsisten pada saat terjalinnya
hubungan antar individu atau kelompok/organisasi dalam masyarakat. Tingkat
keterpercayaan seseorang dapat dilihat dari dimensi: tingkat komitmen, kejujuran
dan tanggung jawab. Seperti terlihat pada Tabel 38, bahwa tingkat keterpercayaan
masyarakat di daerah penelitian tergolong relatif baik karena hasil perhitungan
diperoleh proporsi keluarga contoh yang tergolong pada kelompok keterpercayaan
tinggi dan sangat tinggi yaitu mencapai 57,8 persen. Artinya, hampir sebagian
besar masyarakat di daerah perdesaan Provinsi Jambi memiliki tingkat
keterpercayaan tinggi.
Berdasarkan wilayah penelitian, ternyata terdapat perbedaan yang cukup
besar kelompok masyarakat yang memiliki tingkat keterpercayaan tinggi antara
masyarakat di daerah wilayah pesisir pantai dengan daerah wilayah pegunungan.
Hasil pengelompokan menunjukkan bahwa masyarakat di daerah perdesaan
wilayah
pegunungan
memiliki tingkat keterpercayaan jauh lebih baik
dibandingkan dengan tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di daerah
perdesaan wilayah pesisir pantai
dengan nilai masing- masing 75,9 dan 37,1
persen. Relatif tingginya tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah
pegunungan sangat terkait dengan pola hubungan individu dalam masyarakat.
Pola hubungan atau interaksi individu dalam masyarakat Kerinci yaitu menganut
sistem ”kalbu.” Sistem kalbu adalah interaksi sosial/hubungan sosial masyarakat
dalam kelompok atau turunan tertentu yang dibingkai dalam sebuah kedepatian
dan lembaga adat dengan satu tujuan. Artinya, satu depati dengan depati yang lain
saling kait mengkait dan saling ketergantungan untuk membangun sebuah
kelembagaan yang kokoh yang disebut dengan kelembagaan adat.
139
Tabel 38 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan Masyarakat, Tahun
2006
Sebaran Contoh
No
Tingkat
Keterpercayaan
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat rendah
15
8.6
16
10.6
31
9.5
02
Rendah
27
15.5
79
52.3
106
32.6
03
Tinggi
87
50.0
48
31.8
135
41.5
04
Sangat tinggi
45
25.9
8
5.3
53
16.3
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Tingkat Solidaritas Masyarakat
Solidaritas masyarakat merupakan kondisi masyarakat saling
mau
menerima, memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, saling bergantung satu
sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga
ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai. Tinggi rendahnya tingkat
solidaritas masyarakat dilihat dari tiga dimensi: ketergantungan satu sama lainnya,
saling bantu membantu, dan adanya kepekaan terhadap kemajuan desa. Secara
operasional solidaritas masyarakat merupakan frekuensi interaksi antara satu
individu dengan individu lainnya yang merujuk pada seberapa jauh individu
melakukan kontak-kontak langsung antara satu dengan lainnya. Semakin positif
sifat interrelasi diantara anggota masyarakat yang berupa solidaritas, atau
semangat kemasyarakatan, semakin besar kecenderungannya untuk saling
memperhatikan keinginan masing- masing dalam mencari jalan ke arah saling
memberi kepuasan dan kerjasama. Kerjasama tersebut berupa koordinasi dalam
tindakan mereka guna mencapai hasil yang sama-sama disenangi, tetapi di
samping itu kerjasama tersebut dapat berupa usaha bersama untuk mengubah
situasi atau aturan main. Dengan perubahan itu tercipta kesempatan bagi mereka
untuk mendapatkan situasi dan aturan main yang cocok dalam mereka
berhubungan. Menurut Burns (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003:99), semakin
berhasil koordinasi yang dilakukan untuk berbagai tindakan, semakin positif dan
140
kuat orientasi yang tertuju pada kelompok dari para individu yang bersangkutan
dan sebaliknya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat solidaritas masyarakat di daerah
penelitian relatif merata antara solidaritas masyarakat yang baik dan kurang baik
karena data yang diperoleh diantara kedua tingkat solidaritas tersebut relatif
berimbang: 41,5 persen tingkat solidaritas kurang baik dan 58,5 persen tingkat
solidaritas tergolong baik (Tabel 39).
Tabel 39 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Solidaritas Masyarakat, Tahun
2006
Sebaran Contoh
No Tingkat Solidaritas
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat rendah
11
6.3
31
20.5
42
12.9
02
Rendah
30
17.2
63
41.7
93
28.6
03
Tinggi
70
40.2
41
27.2
111
34.2
04
Sangat tinggi
63
36.2
16
10.6
79
24.3
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Namun, menurut wilayah penelitian ternyata persentase masyarakat terbesar yang
memiliki tingkat solidaritas tergolong baik terdapat di wilayah pegunungan (76,4
persen) dan persentase ini tidak jauh berbeda dengan persentase tingkat
keterpercayaan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi bahwa tingginya tingkat
solidaritas masyarakat di daerah perdesaan wilayah pegunungan seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya karena kuatnya kelembagaan adat yang ada di daerah
tersebut.
Semangat Kerja Masyarakat
Seorang individu atau kelompok masyarakat dikatakan atau dicirikan
sebagai seorang semangat kerja tinggi (tipe pekerja keras) apabila mereka selalu
melakukan kegiatan dengan disiplin (ulet, pantang menyerah) dan melakukan
pekerjaan dengan segera serta memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien.
141
Salah satu contoh dari seorang individu atau sekekelompok masyarakat tergolong
pada karakter kerja keras adalah petani-petani jawa seperti yang dikemukakan
oleh Mubyarto (Swasono dan Singarimbun, 1985), yaitu petani-petani dari Jawa
bekerja dengan ulet, rajin dan tekun, termasuk kesediaan untuk bekerja lama
diterik matahari. Pendapat Mubyarto itu sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Weber (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003: 106) bahwa terdapat kaitan antara
perkembangan suatu masyarakat dengan sikap diri terhadap arti kerja. Weber
mencontohkan kaum Calvinis menganut prinsip bahwa kerja keras merupakan
suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan atau
kebahagian spiritual. Kerja keras merupakan suatu panggilan rohani untuk
mencapai kesempurnaan hidup. Konsekuensi dari pandangan ini tidak saja bekerja
keras, hidup hemat dan sederhana namun sanggup pula menjadikan diri sebagai
wiraswasta. Keadaan tersebut membawa berkah pada kehidupan ekonomi.
Keluarga contoh dari kedua wilayah penelitian yang dapat digolongkan
pada kelompok masyarakat dengan tipe bekerja keras hanya 38 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa etos kerja masyarakat di daerah penelitian tergolong
rendah. Apabila dilihat berdasarkan wilayah penelitian ternyata proporsi keluarga
contoh yang memiliki etos kerja yang rendah terdapat di wilayah pesisir pantai
yaitu mencapai 70 persen, sedangkan masyarakat di wilayah pegunungan hanya
52 persen (Tabel 40).
Kurangnya masyarakat untuk bekerja keras di daerah penelitian terutama
di wilayah pesisir pantai terlihat dari kurangnya pemanfaatan waktu kerja, sistem
kerja banyak bersifat individual dan kurang kesungguhan dalam menghadapi
berbagai pekerjaan terutama pekerjaan produktif terkecuali keluarga contoh yang
berada di daerah penelitian tergabung dalam kelo mpok transmigrasi mereka
umumnya relatif lebih produktif dibandingkan dengan masyarakat non
transmigran.
142
Tabel 40 Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja Masyarakat, 2006
Sebaran Contoh
No
Semangat Kerja
Masyarakat
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat rendah
25
14.4
28
18.5
53
16.3
02
Rendah
67
38.5
79
52.3
146
44.9
03
Tinggi
46
26.4
35
23.2
81
24.9
04
Sangat tinggi
36
20.7
9
6.0
45
13.8
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga
Menurut Lokshin dan Ravallion (Straus s, 2004:63),
pengertian
kesejahteraan dilihat dari dua pendekatan, yakni: kesejahteraan objektif dan
kesejahteraan subjektif. Noll (Milligan et al., 2006:22), melihat bahwa
kesejahteraan objektif adalah tingkat kesejahteraan individu atau kelompok
masyarakat yang diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran
ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan
masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku (tingkat kesejahteraan
masyarakat semuanya dianggap sama), sedangkan kesejahteraan subjektif adalah
tingkat kesejahteraan seorang individu yang dilihat secara personal yang diukur
dalam bentuk kepuasan dan kebahagiaan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Sumarti, (1999:32) bahwa kesejahteraan subjektif individu atau keluarga adalah
wujud kebudayaan yang dihasilkan melalui proses pengalaman hidup sekelompok
manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (fisik dan sosial). Artinya,
pengertian kesejahteraan haruslah berpedoman kepada subjektivitas (lokal)
masyarakat setempat. Namun demikian, inti dari kesejahteraan adalah melihat
kesenjangan antara aspirasi dengan tujuan yang ingin dicapai pada segolongan
masyarakat maka menurut Campbell, Converse, dan Rodgers (Sumarwan dan
Hira, 1993:346), tolok ukur yang relevan dan akurat tentang kesejahteraan
subjektif adalah menggunakan istilah “kepuasan.” Kemudian, Sen (Peck dan
Goodwin,
2003:17),
menambahkan
143
bahwa
tingkat
kepuasan
dapat
menggambarkan tingkat kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi atau
dapat menjangkau berbagai kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan
(happiness) hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu
dalam aksesnya dengan masyarakat dan institusi.
Menurut Angel, Black Well, dan Miniard (Sumarwan, 2003) bahwa
kepuasan “satisfaction is defined here as past consumption evalution that a
chosen alternative at least meets or exceeds expectation” (kepuasan merupakan
hasil evaluasi dari konsumsi yang la lu sehingga alternatif yang dipilih paling tidak
sesuai dengan kriteria atau melebihi kriteria yang diharapkan). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh banyak faktor, baik
faktor internal maupun faktor eksternal. Seperti yang dibuktikan oleh Sumarwan
dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat, ternyata tingkat
kepuasan (kesejahteraan) finansial keluarga perdesaan dipengaruhi oleh faktor
umur, pendapatan keluarga, aset, sikap (perceived locus of control), dan
kecukupan pendapatan.
Kesejahteraan Ekonomi Objektif
Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga di wilayah penelitian diukur
dengan proxy besarnya pengeluaran keluarga. Pengeluaran keluarga yaitu
pengeluaran yang diperuntukkan pembelian kebutuhan keluarga sehari- hari, yakni
kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, pengeluaran keluarga
dialokasikan untuk kebutuhan pangan, non pangan dan investasi. Porsi
pengeluaran tersebut akan mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu kelompok
masyarakat (Mangkuprawira, 2002: 74). Hasil pengamatan lapangan, terdapat
perbedaan yang cukup mencolok antara pengeluaran kecil (miskin) dengan
pengeluaran relatif besar (keluarga berkecukupan). Seperti tertera pada Tabel 41,
distribusi pengeluaran pada kelompok hampir berkecukupan keatas mencapai 79,4
persen atau hampir mendekati 80 persen. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah
penelitian ternyata kelompok ini terbesar terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu
mencapai angka 87 persen lebih, sedangkan di wilayah pegunungan hanya sekitar
72 persen. Namun demikian, proporsi pengeluaran keluarga di wilayah pesisir
pantai yang relatif besar tersebut masih belum mencukupi untuk keperluan sehari-
144
hari mereka. Menurut pengakuan keluarga, pengeluaran yang besar ini
dipengaruhi oleh harga bahan pokok dan harga bahan lainnya untuk keperluan
keluarga sehari- hari.
Tabel 41 Sebaran Contoh Menurut Tingkat Pengeluaran Keluarga, 2006
No Tingkat Pengeluaran
(Rp.000) per kapita
per tahun
01
Sangat miskin
(< Rp. 1.320)
02
Miskin
03
(Rp.1.320 – Rp.1.760)
Hampir
berkecukupan
(Rp.1.760 – Rp.2.640)
04
Berkecukupan
( > Rp.2.640)
-
Total
-
Rata-rata (Rp.)
Wilayah
pegunungan
Sebaran Contoh
Wilayah pesisir
pantai
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
15
8.6
2
1.3
17
5.2
33
19.0
17
11.3
50
15.4
83
47.7
62
41.1
145
44.6
43
24.7
70
46.3
113
34.8
174
100.0
151
100.0
325
100,0
2.183.000
2.674.000
2.411.000
Berdasarkan pendapatan rumahtangga menurut Wie (Suratiyah, et al.,
1994:45) bahwa kemiskinan dapat dilihat melalui pendekatan “kebutuhan dasar”
yang pada tahap pertama mencakup kebutuhan konsumsi perorangan (personal
consumption items) yang meliputi kebutuhan akan sandang, pangan dan papan.
Tahap selanjutnya, mencakup kebutuhan akan pelayanan sosial (public service)
misal fasilitas pendidikan, kesehatan, air minum yang bersih, hak atas pekerjaan
produktif yang memberikan imbalan layak, prasarana yang mampu menghasilkan
barang dan jasa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar, serta
partisipasi seluruh penduduk dalam pengambilan keputusan.
Kemudian, Bank Dunia (Tukiran, 1993:14) membuat batasan bahwa
tingkat kemiskinan dapat dilihat dari skala ekuivalen pendapatan perkapita yang
digunakan untuk mengukur pemenuhan kebutuhan dasar minimum, sedangkan
Sajogyo (Faturrohman dan Mollo, 1995:5) membuat batasan garis kemiskinan
berdasarkan setara dengan harga beras yang berlaku di pasaran dengan membagi
menjadi empat kelompok tingkatan kemiskinan, yaitu di bawah 240; 240 sampai
145
320; 320 sampai 480; dan di atas 480 kilogram ekuivalen beras. Klasifikasi ini
tampaknya mampu me ngelompokkan penduduk secara lebih rinci. Kelompok
paling bawah disebut sangat miskin, selanjutnya miskin, hampir berkecukupan
dan terakhir berkecukupan. Atas dasar ukuran di atas, hasil penelitian
menunjukkan (Tabel 41) bahwa relatif besar persentase keluarga berkecukupan
(34,8%), sedangkan yang tergolong sangat miskin hanya 5,2 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa keluarga di daerah penelitian berdasarkan pada tingkat
pengeluaran dapat di kategorikan pada kelompok sejahtera.
Seperti terlihat pada Tabel 42, total pengeluaran keluarga per tahun di
wilayah penelitian adalah sebesar Rp.10.541.000, dan jumlah pengeluaran ini
diatas rata-rata tolok ukur kesejahteraan dengan pendekatan Badan Pusat Statistik.
Tabel 42 Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan Keluarga,
Tahun 2006
Jenis
Sebaran Contoh
Pengeluaran
Wilayah
pegunungan
Wilayah
pesisir pantai
No
Rata-rata
Keluarga
(tahun)
01
02
03
-
Pangan
Non pangan
Investasi
Total
Pengeluaran
Rp.
Rp.
%
4.694.000 52,6
3.000.000 32,6
1.519.000 14,8
%
5.208.000
4.185.000
2.468.000
44,6
35,3
20,1
Rp.
4.951.000
3.592.000
1.994.000
%
48,6
34,0
17,4
9.217.000 100.00 11.865.000 100,00 10.541.000 100,00
Dari jumlah pengeluaran tersebut persentase terbesar dialokasikan untuk pangan
(48,6
%),
kemudian
diikuti
pengeluaran
non-pangan (sandang, energi,
komunikasi, sosial dan lainnya) sebesar 34 persen, dan terkecil adalah
pengeluaran untuk investasi (pendidikan dan kesehatan) hanya sebesar 17,4
persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pola konsumsi keluarga terhadap
konsumsi pangan masih tergolong besar namun jauh lebih rendah bila
dibandingkan dengan hasil penelitian Suhardjo, dan Hardinsyah (1988),
Retnaningsih (1995), dan Mangkuprawira (2002) yaitu berkisar antara 60-70
persen. Berkenaan dengan itu, mengacu kepada alokasi pengeluaran maka tingkat
kesejahteraan keluarga di daerah penelitian tergolong relatif sejahtera.
146
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Kesejahteraan Ekonomi Objektif
Hasil pendugaan parameter persamaan kesejahteraan ekonomi objektif
keluarga di daerah penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien R2 adalah 0.286
(Tabel 43) dan jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai standard koefisien R2
yaitu 0,70.
Padahal Koefisien Determinasi Ganda (R2 ) adalah untuk melihat
kontribusi semua variabel bebas terhadap variabel terikat. Melihat hasil yang
diperoleh melalui uji model ini ternyata kontribusi semua variabel bebas terhadap
variabel terikat (kesejahteraan ekonomi objektif) kurang kuat sehingga model ini
kurang valid atau tidak dapat begitu dihandalkan (Myers, 1990:37). Namun, nilai
uji F relatif baik, yaitu sebesar 9,587. Uji F digunakan untuk membuktikan semua
variabel independen (variabel bebas) secara bersama-sama mempunyai pengaruh
terhadap variabel dependen (variabel terikat). Apabila nilai F hitung > F tabel (0,05), berarti
H0 ditolak dan diterima H1 .
Artinya, seluruh variabel independen (sosio-demografi,
manajemen sumberdaya keluarga, asosiasi lokal dan karakter masyarakat) secara
bersama-sama berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan ekonomi objektif.
Sebaliknya, apabila nilai F hitung < F tabel(0,05) , berarti H0 diterima dan tolak H1 .
Artinya, seluruh variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh
nyata terhadap kesejahteraan ekonomi objektif.
Tabel 43 mengindikasikan bahwa tingginya tingkat kesejahteraan ekonomi
objektif keluarga sebagian besar dipengaruhi oleh faktor modal sosial terutama
adalah faktor tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi
lokal dan keterpercayaan masyarakat masing- masing berpengaruh positif terhadap
tingkat kesejahteraan ekonomi objektif. Artinya, semakin banyak keterlibatan
keluarga dalam kegiatan asosiasi lokal dan aktif mengikuti berbagai kegiatan
asosiasi lokal maka tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga semakin
baik. Asosiasi lokal yang paling aktif diikuti dan banyak dimanfaatkan bagi
keluarga terutama keluarga di wilayah pegunungan yaitu untuk keperluan
peningkatan kebutuhan pangan, tambahan modal, dan asosiasi yang bergerak
dibidang pendidikan. Faktor lain yang berpengaruh positif terhadap kesejahteraan
ekonomi objektif yaitu manajemen sumberdaya keluarga terutama manajemen
keuangan. Manajemen keuangan, seperti disebutkan sebelumnya berperan penting
147
dalam pengelolaan kekayaan keluarga baik kekayaan jumlah aset yang dimiliki,
biaya kebutuhan keluarga maupun pengelolaan tentang bidang usaha yang
dikembangkan. Artinya, semakin baik keluarga mengelola sumberdaya tersebut
maka tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga semakin baik pula.
Tabel 43 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan Ekonomi
Objektif Keluarga, Tahun 2006
Nilai pendugaan
No
Peubah Penelitian
Nilai t-hitung
01
Constant
7,348
02
Pendidikan Suami
-1,277
03
Pendidikan Non Formal Suami
1,662
04
Beban Ketergantungan Keluarga
0,866
05
Manajemen Waktu
06
Manajemen Anggota Keluarga
-2,035*
07
Manajemen Keuangan
1,907*
08
Jumlah Aslok yang diikuti
0,469
09
Tingkat partisipasi dalam Aslok
2,345*
10
11
12
Manfaat Aslok bagi Keluarga
Keterpercayaan masyarakat
Tingkat Solidaritas
2,413*
2,190*
-1,482
13
14
-
Semangat Kerja
Dummy wilayah penelitian
1,705
-0,87
R2 = 0.535
R2 Adj = 0.286
Uji Model
(F)
1,178
df = 13
t-tabel(0,05) = 1,77
10.418
t -tabel(0,0 1) = 2,65
Keterangan: (*) dengan alpha = 0.05, berpengaruh nyata dan (**) dengan alpha=0.01, berpengaruh sangat nyata.
Tabel 43 juga menunjukkan bahwa faktor sosio-demografi tidak
berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi objektif. Hal
ini diduga, faktor sosio-demografi keluarga contoh di kedua wilayah penelitian
relatif homogen dan rata-rata rendah terutama faktor pendidikan dan keterampilan
yang dimiliki suami sehingga tidak dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan
ekonomi objektif keluarga.
148
Disparitas Kesejahteraan Ekonomi Objektif
Pengukuran disparitas dalam ilmu ekonomi yaitu mengukur pembagian
pemerataan
suatu
kelompok
masyarakat.
menggunakan pendekatan pemerataan
Pengukuran
pengeluaran,
disparitas
dapat
melalui: pengeluaran
individu, wilayah, maupun pengeluaran sektoral (Cowell: Arbia Giuseppe, et al.
2005:9). Salah satu alat ukur yang sering digunakan adalah model Kuznets (Arbia
Giuseppe et al. 2005:12).
Model Kuznets melihat pemerataan pengeluaran
berdasarkan perbandingan pengeluaran dari 40 persen kelompok penerima
pengeluaran terbawah dibandingkan dengan 10 persen kelompok penerima
pengeluaran teratas. Pengeluaran keluarga dikatakan merata atau hampir merata
apabila nilai dari kelompok penerima pengeluaran 40 persen terbawah lebih besar
dari 17 persen, 12-17 persen dikatakan kurang merata (ketidakmerataan sedang),
dan di bawah 12 persen disebut sebagai kelompok tidak merata (ketidakmerataan
tinggi). Perlu disampaikan, model Kuznets ini telah teruji baik dinegara maju
maupun negara berkembang. Dengan arti kata, model ini tidak terbatas pada pola
pengeluaran atau pendapatan tertentu saja.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih komplit maka pengujian pemerataan
pengeluaran keluarga dilanj utkan dengan menggunakan uji atau melihat nilai BK
(Bobot Kesenjangan) pengeluaran. Uji ini telah dikembangkan oleh Bank Dunia
dan Kuznets dengan formula bahwa BK diperoleh dari perbandingan antara
persentase pengeluaran pada kelompok penerima 40 persen terbawah terhadap
persentase pengeluaran keluarga pada kelompok penerima penghasilan 10 persen
teratas. Pengeluaran dikatakan merata, apabila memiliki nilai BK mendekati 4,
sedangkan pengeluaran dikatakan tidak merata atau terjadi kesenjangan apabila
memiliki nilai BK sebesar 0,3 atau lebih kecil dari 0,3.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
kondisi
distribusi
tingkat
pengeluaran keluarga menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan yakni
distribusi pengeluaran keluarga antara kelompok terendah dengan kelompok
penerima
pengeluaran
paling
atas
relatif
merata
dengan
nilai
Bobot
Ketidaksamarataan (BK) masing- masing wilayah 1,6 dan 1,9 (Tabel 44). Angkaangka yang diperoleh dari perhitungan ini jauh lebih besar dari nilai standar yang
buat oleh Kuznets yaitu 0,3. Kendatipun demikian, hasil perhitungan yang
149
diperoleh ini juga belum sampai bisa mendekati angka 4. Tetapi menurut Kuznets,
nilai bobot Ketidaksamarataan lebih besar dari 0,5 sudah merupakan nilai yang
cukup sempurna. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran keluarga
di kedua wilayah penelitian relatif merata. Distribusi pengeluaran keluarga di
daerah penelitian secara sederhana dapat dilukiskan dalam bentuk Kurva Lorenz
(Gambar 9).
Tabel 44 Indeks Kuznets Tingkat Pengeluaran Keluarga
No
01
02
03
Nilai Pembatas
40 % penerima
pengeluaran terbawah
10 % penerima
pengeluaran teratas
Wilayah
pegunungan
Wilayah pesisir
pantai
(n=174)
(107.346/380.014) x
100 = 28,3
(56373/380.014) x 100
= 14,8
(n=151)
(106.212/403.789) x 100
= 26,3
(65654/403.789) x 100
= 16,3
1,9
1,6
Bobot Ketidaksamarataan
(BK)
Khusus pengeluaran keluarga yang berdomisili di wilayah pesisir pantai
memiliki hasil yang bertolak belakang dengan hasil temuan Easterly (1999), Malan
(2000) dan hasil temuan Robinson (2002:8) di beberapa negara Eropa, Amerika dan
Afrika. Menurut mereka, terdapat pengaruh cukup signifikan terhadap peningkatan
income inequality apabila terdapat peningkatan etnisitas. Seperti diketahui di wilayah
pesisir pantai tingkat etnisitas cukup beragam yakni: suku bugis, banjar, melayu dan
jawa. Tidak terdapatnya kesenjangan pengeluaran keluarga di wilayah pesisir pantai
faktor utama adalah sumber penghasilan. Seperti disebutkan sebelumnya, di daerah
penelitian sumber penghasilan masyarakat relatif terbatas yait u hanya tertumpu pada
usaha kelapa dalam dan nelayan, dan sebagian kecil usahatani padi sawah pasang
surut dengan harga relatif rendah. Hal ini sejalan dengan hasil temuan Bukenya dan
Gebremedhin (2002:14) melalui studi empiris di Amerika Serikat menemukan bahwa
sumber pengahasilan atau lapangan kerja (labor market) berpengaruh sangat nyata
terhadap ketidakmerataan income (income inequality). Dengan kata lain, keterbatasan
sumber mata pencaharian tidak berdampak terhadap ketidakmerataan income
masyarakat. Faktor lain yang menyebabkan tidak terdapatnya kesenjangan
penghasilan diantara keluarga di wilayah pesisir pantai karena kehidupan masyarakat
cukup harmonis diantara satu etnis dangan etnis lainnya dimana mereka saling bantu
150
membantu dan saling ketergantungan. Dengan arti kata, pola kehidupan yang penuh
keakraban tanpa adanya kejahatan dan kekerasan ini dapat mempengaruhi
ketentraman dan kenyaman interaksi sosial sehingga pada gilirannya akan
mendukung akan tingkat kesamarataan penghasilan (Parsley, 2001:12). Namun
demikian, melalui uji model Mann-Whitney (U-test) dapat diketahui bahwa
tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan
dengan tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir pantai dengan nilai zskor masing- masing wilayah 9,6 dan 2,4 (Z- table= 4,05). Menurut Gradstein Mark
(2007:266), semakin merata distribusi kesejahteraan masyarakat maka tingkat
demokratisasi semakin baik. Dengan arti kata, tingkat keharmonisan dan
kekeluargaan masyarakat semakin kuat.
120
Persentase
100
80
60
40
20
0
0
20
40
60
80
100
120
Persentase Penerimaan Pengeluaran
pegunungan
pesisir
Gambar 9 Kurva Lorenz Tingkat Pengeluaran Keluarga
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(1) Tingkat kesejahteraan ekonomi objektif proxy pengeluaran keluarga per tahun
sebesar Rp.10.541.000, dan jumlah pengeluaran ini diatas rata-rata tolok ukur
151
kesejahteraan dengan pendekatan Badan Pusat Statistik. Persentase terbesar
dialokasikan untuk pangan kebutuhan pangan (48,6 %), non-pangan
(sandang, energi, komunikasi, sosial dan lainnya) sebesar 34 persen, dan
terkecil adalah pengeluaran untuk investasi (pendidikan dan kesehatan) hanya
sebesar 17,4 persen. Mengacu kepada alokasi pengeluaran, tingkat ekonomi
keluarga di daerah penelitian tergolong relatif sejahtera dengan distribusi
keluarga yang tergolong pada kelompok sejahtera mencapai 79,4 persen.
Berdasarkan wilaya h penelitian ternyata kelompok terbesar terdapat di
wilayah pesisir pantai yaitu mencapai angka 87 persen lebih, sedangkan di
wilayah pegunungan
keluarga yang tergolong pada kelompok sejahtera
sekitar 72 persen.
(2) Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga secara positif dipengaruhi oleh faktor
manajemen sumberdaya keluarga, dan faktor modal sosial terutama faktor
manajemen keuangan keluarga, tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi
lokal, manfaat asosiasi bagi keluarga, dan faktor keterpercayaan masya rakat.
Artinya, semakin baiknya faktor manajemen keuangan keluarga, besarnya
tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, besarnya manfaat asosiasi
lokal bagi keluarga, dan tingginya keterpercayaan masyarakat maka tingkat
kesejahteraan ekonomi objektif semakin baik.
(2) Distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga di daerah penelitian
relatif merata karena diperoleh distribusi kesejahteraan keluarga antara
kelompok terendah dengan kelompok kesejahteraan paling atas relatif merata
baik di wilayah pesisir maupun di wilayah pegunungan. Namun demikian,
tingkat kesejahteraan keluarga yang berada di wilayah pegunungan lebih
merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan yang berada di wilayah
pesisir pantai.
Saran
130
Hasil penelitian ini belum mampu mengungkapkan tingkat disparitas dan
ketidaksamarataan kesejahteraan keluarga berdasarkan agroekologi wilayah di
daerah perdesaan maka perlu penelitian lebih mendalam tentang keterkaitan
distribusi kesejahteraan keluarga di daerah perdesaan dengan memasukkan
152
variabel jumlah anggota keluarga dan mata pencaharian utama masyarakat sebagai
confounding factor.
DAFTAR PUSTAKA
Arbia G, Laura de Dominics, dan P Gianfranco. 2005. The Relationship between
Regional Growth and Regional Inequality in EU and Transition
Countries: a Spatial Econometric Approach. In preparation for the
Workshop of Spatial Econometrics, Kiel, April 8-9, 2005. Amsterdam:
Departemen of Spatial Economics, Free University, De Boelelaan 1105,
1081HV, Netherlands. E- mail: [email protected]
Bukenya, J.O., dan T.G Gebremedhin. 2002. An Emperical Analysis of Family
Income Distribution in the United States. Research Paper. Departement of
Agricultural an Resource Economics, West Virginia University, 26506.
Faturrochman, dan M Marcelinius. 1995. Kemiskinan dan Kependudukan di
Pedesaan Jawa: Analisis Data Susenas 2. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Gradstein M. 2007. “Inequality, Demogracy and the Protection of Property
Rights.” The Economic Journal, 117 (January) 252-269. America:
Blacwell Publising, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK and
350 Main Street, Malden, MA 02148, USA.
Hardinsyah, dan Suhardjo. 1987. Ekonomi Gizi. Bogor: Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya.
Mangkuprawira S. 2002. “Analisis Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga di
Daerah Industri Tenun Pedesaan.” Media Gizi & Keluarga. Bogor: Jurusan
Gizi Masyarakat & Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian-Institut
Pertanian Bogor. Vol 25/2-2002. ISSN 0216-9363.
Mantra I.B. 2000. Dasar-dasar Demografi. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Mubyarto. 1992. Menanggulangi Kemiskinan. Yogyakarta: Ad itya Media.
Myers, RH. 1990. Classical and Modern Regression with Applications. Boston:
Edisi Kedua. PWS-KENT Publishing Company.
Parsley T.J. 2001. “Basic Examination of the Correlation between Crime Rates
and Income Inequality. ” Morgantown, WV 26506-6825: Research Paper.
Regional Research Institute, West Virginia University.
Robinson B. 2002. Income Inequality and Ethnicity: An International View.
Washington: Second Inequality and Pro-Poor Growth Spring Conference
the World Bank, Washington DC, June, 9-10, 2002.
153
Siegel S. 1998. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta:
Gramedia.
Suandi, dan Bambang. 2003. Profil Statistik dan Indikator Gender di Propinsi
Jambi. Jakarta: Kerjasama Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta,
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Japan
International Cooperation Agency (JICA).
Suandi, dan Ernawati. 2005. “Analisis Kebijaksanaan Pendidikan Provinsi Jambi
Berbasis Gender.” Laporan Penelitian. Jambi: Kerjasama Dirjen Dikti
dengan Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Jambi.
Sukartawi. 1985. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia.
Suratiyah K, Djuwari, Supriyanto, dan R Lestari. 2003. Studi Analisa Usahatani
untuk Tujuh Komoditas di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Yogyakarta:
Kerjasama Bappeda bantul Yogyakarta dengan Fakultas Pertanian UGM.
Todaro M. P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta : Erlangga.
Tukiran. 1993. ‘Penentuan Desa Miskin: Analisis Potensi Desa 1990.’ Populasi,
1(4) : 13-23.
154
ARTIKEL 2
PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN SUMBERDAYA
KELUARGA DAN MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN
EKONOMI SUBJEKTIF KELUARGA DI DAERAH
PERDESAAN PROVINSI JAMBI
Suandi 8, Ujang Sumarwan9, Suprihatin Guhardja2, Pang S. Asngari 10, Euis Sunarti 2
ABSTRAK
Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan keluarga yang berkaitan dengan
kesejahteraan sangat ditentukan oleh fungsi keluarga. Fungsi keluarga memiliki
peran yang penting yakni pengambilan keputusan dalam berbagai aktivitas
anggota keluarga, meliputi aktivitas proses produksi, mencari nafkah, konsumsi
pangan, dan non pangan. Keberhasilan pengambilan keputusan kebutuhan
konsumsi keluarga sangat ditentukan oleh cara pengelolaan berbagai sumberdaya
yang dimiliki. Tujuan penelitian adalah: (1)
mengidentifikasi dan mengkaji
tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga, (2) menganalisis pengaruh
sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, dan modal sosial terhadap
kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga, dan (3) mengkaji perbedaan tingkat
kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga berdasarkan wilayah agroekologi.
Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi:
Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Pengumpulan data
berlangsung selama delapan bulan mulai bulan Januari sampai dengan bulan
Agustus 2007. Data yang dikumpulkan, meliputi: (1)
sosio-demografi, (2)
manajemen sumberdaya keluarga, (3) modal sosial: asosiasi lokal, dan karakter
masyarakat, dan (4) kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga. Metode
pengumpulan data dilakukan dengan cara survai terhadap 325 rumahtangga dan
dilanjutkan metode Indepth Interview terhadap 33 informan dan Focus Group
Discussion (FGD) terhadap beberapa keluarga terpilih dengan jumlah 10
kelompok. Analisis data menggunakan Uji Regresi Berganda melalui program
SPSS versi 13, model Kuznets, Kurva Lorenz dan dilanjutkan Uji Mann-Whitney
(U-test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sosio-demografi, manajemen
sumberdaya, dan faktor modal sosial tidak mempengaruhi tingkat kesejahteraan
ekonomi subjektif keluarga. Tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga
tergolong merata namun tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga yang berada di
wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan
yang berada di wilayah pesisir pantai.
Key words: kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga, disparitas, dan agroekologi.
8
9
Dosen Tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Dosen Tetap pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB
10
Dosen Tetap pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB
133
155
THE EFFECT OF SOCIO-DEMOGRAPHY, FAMILY RESOURCE
MANAGEMENT, AND SOCIAL CAPITAL ON FAMILY
SUBJECTIVE ECONOMIC WELL-BEING IN
RURAL AREA OF JAMBI PROVINCE
ABSTRACT
The objectives of the study are: (1) to comprehend and analyze of family
subjective economic well-being, (2) to explore the effect of socio-demography,
family resource management, and social capital variables on family subjective
economic well-being, and (3) to comprehend and analyze disparities of family
subjective economic well-being. The research design is cross sectional and was
carried out in Kerinci and East Tanjung Jabung districts from January to August
2006. Variables used are fa mily subjective economic well-being, sociodemography, resources management, and social capital. Variable of sociodemografphy are educations of husband, skills of husband, and dependency ratio.
Variable of family resources management are management of times, household
size, and management of family livelihood, and Variable of social capital are
local asociation, and community characters. 325 household samples are chosen
using cluster, purposive and random sampling methods. Data were collected using
surva y, indepth interview, and Focus Group Discussion (FGD). Descriptive,
Regression, Model Kuznets, and Mann-Whitney (U-test) were used for data
analyzed. The results show that socio-demography, family resources management,
and social capital factors do not effect on family subjective economic well-being.
Family subjective economic well-being are equal (no disparities) among family in
the research area. Family subjective economic well-being in mountainous area,
however, is better than that of the family in coastal area.
Key words: family subjective economic well-being, disparities, and agroecology
area.
134
156
PENDAHULUAN
Keluarga dapat dilihat sebagai salah satu subsistem dalam sistem
masyarakat. Subsistem keluarga dalam masyarakat memiliki fungsi dan tanggung
jawab secara sinergis dengan subsistem lainnya, seperti: subsistem sosial,
ekonomi, politik, pendidikan, dan agama. Dengan adanya interaksi subsistemsubsistem tersebut, keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial
dalam masyarakat (equilibrium state). Keseimbangan akan menciptakan sebuah
sistem sosial yang tertib (social order), dan selanjutnya dapat mempengaruhi
ketertiban dalam sistem sosial yang lebih besar lagi. Dengan kata lain, keluarga
memiliki fungsi mikro dan fungsi makro.
Secara mikro, keluarga berfungsi
sebagai penghubung antara keluarga dengan keluarga lain serta hubungan antar
anggota keluarga. Secara makro, terdapat hubungan keluarga dengan masyarakat
luas. Ketertiban sosial akan dapat tercipta kalau ada struktur atau strata dalam
keluarga, dimana masing- masing individu akan mengetahui di mana posisinya,
dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur tersebut. Struktur dalam
keluarga diakui dapat menjadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan, ada
tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu: (1) status sosial, (2)
fungsi sosial, dan (3) norma sosial, ketiganya adalah saling kait mengkait
(interralated).
Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan keluarga, di dalam fungsi
keluarga terdapat peran yang penting yakni pengambilan keputusan dalam
berbagai aktivitas anggota keluarga yang meliputi aktivitas proses produksi,
mencari nafkah, konsumsi pangan, dan non pangan. Keberhasilan pengambilan
keputusan ditentukan oleh banyak faktor baik faktor ekternal maupun faktor
internal. Faktor internal misalnya, adalah faktor jumlah anggota keluarga, status
keluarga (single atau lengkap), dan pendidikan baik pendidikan formal maupun
non formal dari kepala keluarga dan isteri/ibu, sedangkan faktor eksternal adalah
faktor luar, seperti sumberdaya alam, ketersediaan lapangan kerja, dan kebijakan
pemerintah. Disisi lain, pemenuhan kebutuhan keluarga atau pola konsumsi sangat
menentukan status keluarga karena distribusi konsumsi keluarga menentukan
derajat kecukupan keluarga baik kecukupan yang bersifat konsumtif maupun
135
157
produktif (investasi). Artinya, apabila terdapat ketidakseimbangan antara
konsumsi pangan, non-pangan, dan kebutuhan investasi maka dapat menentukan
status keluarga (miskin/sejahtera). Sebagai contoh, keluarga yang mengkonsumsi
bahan pangan lebih dari 50 persen, maka kelompok keluarga tersebut tergolong
pada kelompok miskin walaupun tingkat penghasilan mereka diatas rata-rata, dan
hal ini didukung oleh hasil penelitian Suhardjo, Hardinsyah, dan Riyadi (1988),
Retnaningsih (1995) dan Mangkuprawira (2002:78).
Oleh karena itu, penelitian tentang kesejahteraan ekonomi keluarga
kaitannya dengan pola manajemen dan faktor sosio-demografi secara kausalitas
menarik untuk diteliti. Hal lain yang sangat mendukung penelitian dan
pengembangan konsep manajemen sumberdaya keluarga dan pengaruh faktor
sosio-demografi terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga secara kausalitas ini di
Indonesia masih belum banyak dilakukan maka tujuan penelitian: (1)
mengidentifikasi dan mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga,
(2) menganalisis pengaruh sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga,
dan modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga, dan (3)
mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga berdasarkan
wilayah agroekologi.
METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi
Jambi dengan dua Kabupaten terpilih, yaitu: Kabupaten Tanjung Jabung Timur
dan Kabupaten Kerinci. Terpilihnya kedua Kabupaten tersebut sebagai wilayah
penelitian, dengan pertimbangan kedua wilayah tersebut dapat mewakili
karakteristik kabupaten yang ada di Provinsi Jambi baik dilihat dari aspek ekologi,
ekonomi maupun sosial budaya. Kabupaten Tanjung Jabung Timur misalnya,
dapat mewakili wilayah pesisir pantai/pasang surut, mayoritas masyarakat berasal
dari suku Melayu, Bugis dan Banjar (migrasi spontan) dengan komoditas utama
hasil laut, kelapa dalam,
dan padi sawah pasang surut. Kabupaten Kerinci
mewakili masyarakat wilayah pegunungan atau dataran tinggi, mayoritas
158
masyarakat didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan komoditas utama padi
sawah irigasi, kulit manis (cassiavera), dan kopi.
Waktu pengumpulan data penelitian selama delapan bulan, mulai dari
bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2006. Pengumpulan data penelitian
dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan data atau penelitian
penjajakan (uji coba kuesioner). Tahap kedua adalah pengumpulan data primer
dan sekunder.
Uji Reliabilitas
Tingkat validitas penelitian salah satunya ditentukan oleh reliabilitas
instrumen atau tingkat konsistensi antar konstruk variabel penelitian. Untuk
menguji besar kecilnya nilai reliabilitas instrument penelitian menggunakan tolok
ukur nilai a-cronbach. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai a-cronbach
penelitian berkisar antara 0,720 – 0,893. Dengan demikian, tingkat reliabilitas
antar konstrak variabel penelitian atau informasi yang terjaring cukup dapat
dihandalkan karena berdasarkan standar nilai paling rendah yaitu sebesar 0,60.
Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data
Data penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh langsung dari keluarga dan responden terpilih, sedangkan data sekunder
diperole h dari instansi dan lembaga terkait disamping dari laporan hasil penelitian,
jurnal maupun majalah yang memuat tentang masalah kesejahteraan ekonomi
keluarga kaitannya dengan faktor sosio-demografi, dan faktor manajemen
sumberdaya.
Jenis atau variabel penelitian dibagi kedalam empat kelompok, yaitu:
sosio-demografi,
manajemen sumberdaya keluarga, modal sosial dan variabel
kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga. Sosio-demografi, meliputi: (1) tingkat
pendidikan kepala keluarga, (2) tingkat pendidikan no n formal kepala keluarga,
dan (3) beban ketergantungan keluarga. Aspek manajemen sumberdaya keluarga,
meliputi: (1) manajemen waktu, (2) manajemen anggota keluarga, dan (3)
manajemen keuangan keluarga. Aspek modal sosial, meliputi: (1) jumlah asosiasi
159
yang diikuti, (2) tingkat partisipasi anggota keluarga dalam asosiasi lokal, (3)
manfaat asosiasi bagi keluarga, (4) tingkat keterpercayaan masyarakat, (5)
solidaritas masyarakat, dan (6) semangat kerja masyarakat. Aspek kesejahteraan
ekonomi keluarga dilihat dari kesejahteraan ekonomi subjektif.
Metode
pengumpulan data dilakukan melalui wawancara (survai) dan observasi. Untuk
mendapatkan data lebih mendalam, pengumpulan data dilanjutkan dengan metode
wawancara mendalam (Indepth Interview) terhadap beberapa responden terpilih
dan Focus Group Discussion (FGD).
Sampel Penelitian
Daerah penelitian ditentukan dengan metode cluster sampling yaitu
dengan cara membagi daerah berdasarkan agroekologi wilayah sehingga terpilih
wilayah dataran tinggi (pegunungan) yaitu Kabupaten Kerinci dan daerah pesisir
pantai (pasang surut) yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Diambilnya
daerah/wilayah
penelitian
berdasarkan
agroekologi,
mengingat
distribusi
penduduk Provinsi Jambi menyebar berdasarkan tipologi tersebut. Selanjutnya,
kecamatan dan desa/kelurahan penelitian diambil secara purposive dan mengikuti
pola yang ada di masing- masing wilayah Kabupaten, sedangkan responden
(rumahtangga) diambil secara acak sederhana (simple random sampling) sebesar
325 orang atau 10 persen dari jumlah rumahtangga yang ada pada seluruh desa
penelitian (3.257 rumahtangga). Jumlah sampel yang digunakan sebagai indepth
interview sebanyak 33 orang atau 10 persen dari jumlah responden masing- masing
desa.
Analisis Data
Analisis data dimulai dari melakukan sortasi, dan “coding”. Kemudian
dilanjutkan analisis data secara deskriptif dengan menggunakan tabel frekuensi
tunggal untuk data sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, modal
sosial dan tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga. Untuk menguji
faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif
keluarga diuji dengan Regresi berganda melalui program SPSS versi 13. Untuk
mengidentifikasi atau melihat tingkat pemerataan kesejahteraan di daerah
160
penelitian diuji menggunakan model Kuznets, Kurva Lorenz, dan dilanjutkan
dengan uji Mann-Whitney (U-test).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sosio Demografi Keluarga
Pendidikan Suami
Persentase terbesar (48,9 %) kepala keluarga (suami) memiliki pendidikan
Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Artinya, mayoritas responden belum mencapai
tingkat pendidikan dasar yang digariskan oleh pemerintah yaitu pendidikan 9
tahun. Padahal tingkat pendidikan cukup berperan dalam kelancaran penerimaan
dan menjalankan teknologi baru termasuk teknologi pertanian. Apabila dilihat
berdasarkan wilayah penelitian, ternyata tingkat pendidikan responden terendah
terdapat di wilayah pesisir pantai dengan persentase responden yang
berpendidikan Sekolah Dasar kebawah mencapai 53,6 persen, sedangkan di
wilayah pegunungan hanya 44,8 persen. Lebih memprihatinkan lagi, dimana
responden di wilayah pesisir pantai ini persetase yang berpendidikan tidak tamat
Sekolah Dasar mencapai 29,1 persen. Hal ini dikhawatirkan dalam pengembangan
sumberdaya manusia dan pembangunan daerah kedepan karena tingkat
pendidikan yang rendah ini menjadi beban pemerintah kalau tidak diantisipasi dan
melakukan berbagai terebosan pembangunan demi kamajuan masyarakat dan
daerah. Dengan kondisi demikian, tingkat pengetahuan dan pemahaman
masyarakat secara formal tergolong rendah termasuk kedalam tata cara
pengelolaan rumahtangga. Padahal menurut Mubyarto (1992), bahwa tingkat
pendidikan masyarakat perdesaan akan mempengaruhi cara berpikir dalam
pengelolaan usahataninya terutama kemampuan manajemen, penerimaan inovasi
baru dan pengambilan keputusan dalam memperhitungkan produktifitas usahatani
mereka (Tabel 25).
Pendidikan Non Formal
Tingkat pendidikan non formal suami (responden) atau kepala keluarga
diambil dari banyak dan lamanya menekuni pendidikan non formal baik pada
bidang keahlian maupun mendapat pendidikan atau pelatihan pada bidang lain
161
sehingga dalam pengkategorian ada yang disebut dengan mereka yang sangat
sering mengikuti pendidikan, sering mengikuti pendidikan, kurang mengikuti
pendidikan, dan tidak pernah mengikuti pendidikan non formal. Berdasarkan hasil
pengumpulan data melalui wawancara dan pengamatan lapangan diperoleh
informasi bahwa rata-rata suami atau kepala keluarga keterlibatan mengikuti
pendidikan non formal tergolong relatif rendah. Hal ini dapat dibuktikan melalui
distribusi data responden yang berdasarkan jumlah pendidikan non formal yang
diikuti, hampir 80,3 persen responden tergolong pada kelompok kurang mengikuti
pendidikan non formal. Lebih dari 56 persen responden tergolong kepada
kelompok yang tidak pernah sama sekali mengikuti pendidikan non formal (tidak
memiliki keterampilan). Dengan arti kata, responden di daerah penelitian
mayoritas tidak/belum pernah menerima pendidikan ataupun pelatihan dari istansi
pemerintah/swasta baik pada bidang yang ditekuni maupun profesi lainnya (Tabel 26).
Berdasarkan wilayah penelitian, tampaknya hampir di kedua wilayah ini
memiliki tingkat keterampilan responden yang rendah tetapi berdasarkan data
yang ada ternyata persentase terbesar responden yang tidak memiliki tingkat
keterampilan yaitu responden yang berada di wilayah pesisir pantai yaitu sekitar
66,9 persen, sedangkan responden di wilayah pegunungan yang tidak terampil
sebanyak 48,3 persen. Bagi responden yang memiliki keterampilan khususnya
responden yang berada di daerah perdesaan pegunungan tampaknya sebagian
besar mengikuti pendidikan atau pelatihan di bidang pertanian yang dimotori oleh
Dinas Pertanian Kabupaten dan Dinas Pertanian Provinsi, sedangkan keterampilan
lain yang dimiliki responden di wilayah pegunungan yaitu mengikuti pelatihan di
bidang teknik “las karbit” yang dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Kerinci.
Rendahnya tingkat keterampilan suami di daerah penelitian akan
berdampak kepada kesejahteraan ekonomi keluarga dan pembangunan daerah
apalagi diperparah dengan rendahnya tingkat pendidikan formal yang dimiliki.
Menurut hemat peneliti, perlu ada tindakan nyata “action” oleh pemerintah
setempat kepada masyarakat secara umum dan responden khususnya dalam
berbagai pemberdayaan baik secara kelompok maupun massal. Dengan harapan,
semakin tinggi tingkat keterampilan masyarakat maka akan berpengaruh pada
162
produktivitas kerja sehingga pada gilirannya akan berdampak pada naiknya
pendapatan.
Tingkat Beban Ketergantungan Keluarga
Komposisi penduduk responden di daerah penelitian menurut struktur
umur penduduk masih tergolong muda namun hampir menuju pada struktur
penduduk tua. Hal ini ditandai dengan persentase penduduk usia di bawah 15
tahun masih diatas angka 30 persen (33,7 %) dengan jumlah penduduk yang
berumur di atas 65 tahun atau umur tidak produktif sebesar 1,8 persen. Hal senada
juga ditunjukkan oleh kelompok umur yang ada di wilayah pegunungan dan
wilayah pesisir pantai dengan nilai tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. Dari
data komposisi penduduk berdasarkan persentase penduduk muda dan tua akan
dapat menentukan nilai dari beban ketergantungan suatu kelompok penduduk
tersebut. Kalau kelompok umur 0-14 tahun dianggap sebagai kelompok penduduk
yang belum produktif secara ekonomis, kelompok penduduk 15-64 tahun sebagai
kelompok penduduk produktif, dan kelompok penduduk umur 65 tahun ke atas
sebagai kelompok penduduk yang tidak produktif maka beban ketergantungan
(dependency ratio) penduduk produktif di daerah penelitian sebesar 55 (Tabel 28).
Artinya, dalam 100 orang usia produktif dari keluarga-keluarga contoh di
daerah penelitian menanggung beban 55 orang yang berusia belum dan tidak
produktif untuk kecukupan konsumtif. Hal ini mengindikasikan bahwa beban
tanggungan bagi anggota keluarga usia produktif di daerah penelitian masih
tergolong besar walaupun nilai beban ketergantungan ini lebih kecil dibandingkan
dengan nilai rasio ketergantungan Propinsi Jambi tahun 2003 (56), dan bahkan
nasional (Suandi, dan Bambang, 2003: 17). Angka beban ketergantungan tenaga
kerja belum dan atau tidak produktif terhadap tenaga kerja produktif di daerah
penelitian jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan batas angka beban
ketergantungan di Negara- negara berkembang (60) (Shryrock dan Siegel
(1976:202). Relatif rendahnya tingkat ketergantungan penduduk belum dan tidak
produktif terhadap penduduk produktif dapat mendorong terhadap kemajuan
pembangunan selanjutnya. Mengingat tingginya angka rasio beban tanggungan
sebagai faktor penghambat pembangunan ekonomi karena sebagian dari
pendapatan yang diperolah dari golongan yang produktif terpaksa harus
163
dikeluarkan untuk memenuhi kecukupan mereka yang belum produktif untuk
kecukupan akan pangan, fasilitas pendidikan dan fasilitas lainnya (Mantra,
2000:92).
Manajemen Sumberdaya Keluarga
Manajemen Waktu
Persentase manajemen waktu keluarga di daerah penelitian tergolong
relatif baik. Terdapat hampir 59 persen keluarga responden di daerah penelitian
menyatakan bahwa mereka merasa cukup baik dalam memanfaat waktu. Namun
demikian, berdasarkan daerah penelitian ternyata proporsi keluarga contoh yang
memiliki persentase pengelolaan waktu lebih baik (kategori baik+sangat baik)
paling besar terdapat di wilayah pegunungan (63,2 %), sedangk an proporsi
keluarga contoh di wilayah pesisir pantai (53,6 %).
Manajemen waktu dalam penelitian ini dilihat dari
tiga aspek, yakni:
aspek target jangka pendek, pemanfaatan waktu yang dimiliki, dan wujud kerja
yang diharapkan. Dalam hal aspek target jangka pendek, rata-rata keluarga contoh
di daerah penelitian yang bisa mencapai target yang telah ditentukan dengan baik
sekitar 55 persen, dan sebaliknya terdapat sebanyak 45 persen keluarga contoh
yang belum mencapai target yang ditentukan sebelumnya. Hasil yang diperoleh
keluarga contoh di daerah penelitian ini sudah tergolong pada kelompok berhasil
karena sudah dapat membuat perencanaan pemanfaatan waktu yang dimiliki.
Pemanfaatan waktu jangka pendek keluarga contoh terutama dilihat kegiatan
mencari nafkah (kebutuhan konsumsi pangan keluarga). Dimensi pemanfaatan
waktu yang dimiliki anggota keluarga, hasil penelitian menunjukkan bahwa ratarata pemanfaatan waktu juga menunjukkan hasil yang relatif baik dan melebihi
persentase manajemen waktu dalam target jangka pendek (65 %). Kemudian,
manajemen waktu dari aspek harapan yang diwujudkan oleh anggota keluarga
contoh baik di wilayah pegunungan maupun di wilayah pesisir pantai yaitu
mencapai 64 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa keluarga contoh di daerah
penelitian cukup baik dalam merencanakan sesuatu untuk kebutuhan keluarga dan
164
dapat memanfaatkan sumberdaya dengan sebaik-baiknya sebagai keperluan
keluarga (Tabel 30).
Manajemen Anggota Keluarga
Rata-rata manajemen sumberdaya anggota keluarga di daerah penelitian
sedikit lebih baik dibandingkan dengan manajemen sumberdaya waktu (61
persen). Seperti halnya pada kasus manajemen sumberdaya waktu, proporsi
keluarga dengan
manajemen sumberdaya anggota keluarga yang baik paling
besar terdapat di wilayah pegununga n yaitu mencapai 71 persen, sedangkan di
wilayah pesisir pantai hanya sekitar 50 persen. Manajemen sumberdaya anggota
keluarga, seperti halnya dengan manajemen waktu yaitu mengandung beberapa
aspek, yakni: dukungan psikologis terhadap kemajuan anak, manajemen anggota
keluarga usia produktif, dan manajemen anggota keluarga lainnya. Berdasarkan
hasil penelitian, ternyata ketiga aspek tersebut rata-rata tingkat manajemen atau
pengelolaan sumberdaya tersebut tergolong baik yaitu berkisar antara 62,1–70,4
persen. Dari ketiga aspek tersebut, manajemen yang paling tinggi persentasenya
terdapat dalam pengelolaan sumberdaya tenaga kerja produktif yaitu mencapai
70,4 persen, sedangkan persentase terendah yaitu manajemen terhadap dukungan
psikologis kemajuan anak (62,1 %) (Tabel 31).
Relatif rendahnya
dukungan psikologis keluarga contoh (orang tua)
terhadap kemajuan anak terutama pendidikan disebabkan oleh tingkat
pengetahuan orang tua yang rendah disamping waktu yang terbatas. Artinya,
keluarga contoh (orang tua) di daerah penelitian mayoritas waktu diperuntukkan
untuk bekerja. Lain halnya dengan manajemen anggota keluarga produktif. Hasil
pengamatan lapangan menunjukkan bahwa rata-rata anggota keluarga produktif
(>15 tahun atau tidak sedang dalam bangku sekolah) di daerah penelitian selalu
membantu pekerjaan orang tua (kepala keluarga dan atau ibu) baik pekerjaan
domestik maupun pekerjaan publik. Sebagai contoh, yaitu salah satu anggota
keluarga dari bapak H. Yusuf di desa Nipah Panjang I Kecamatan Nipah Panjang
Kabupaten Tanjung Jabung Timur selalu membantu orang tua mengangkut buah
kelapa setelah dipanen dan pekerjaan ini dikerjakannya setiap kali panen kelapa.
165
Manajemen Keuangan Keluarga
Manajemen keuangan keluarga sangat penting dalam memajukan
kesejahteraan ekonomi keluarga baik dalam pengalokasian untuk kebutuhan
konsumsi maupun keperluan investasi atau pengembangan usaha. Rata-rata
manajemen atau pengelolaan keuangan keluarga di daerah penelitian yang
termasuk pada kelompok baik dan sangat baik yaitu mencapai 60 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa manajemen keluarga di daerah penelitian tergolong baik
dan dapat dikategorikan sebagai petani maju. Padahal menurut hasil penelitian
sebelumnya bahwa rata-rata petani di daerah perdesaan tingkat manajemennya
sangat terbatas (Suandi, 1998 dan Suandi, 2000) (Tabel 32).
Berdasarkan daerah penelitian, tampaknya proporsi keluarga dengan
manajemen keuangan yang baik, terbesar terdapat di wilayah pegunungan yaitu
mencapai 72 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 46 persen. Seperti
halnya dengan manajemen
lainnya, manajemen keuangan mengandung lima
aspek, yakni: strategi mendapatkan penghasilan, alokasi belanja keperluan
konsumsi, alokasi belanja keperluan produktif, manajemen biaya pendidikan anak
(pendidikan formal dan non formal), dan manajemen pengembangan usaha.
Berdasarkan hasil perhitungan diperloleh gambaran bahwa manajemen yang baik
paling tinggi terdapat pada manajemen belanja untuk keperluan produktif yaitu
mencapai 65 persen, sedangkan terendah terdapat pada manajemen pengembangan
usaha hanya 54 persen. Angka ini sudah cukup repsentatif dari manajemen yang
tergolong baik dan sangat baik. Khusus yang berkaitan dengan manajemen
pengembangan usaha, hasil temuan di lapangan menyimpulkan bahwa terbatasnya
kemampuan cara petani atau responden dalam mengelola atau merencanakan
berbagai usaha kedepan untuk kemajuan keluarga salah satu faktor utama adalah
tingkat pendidikan dan keterampilan petani yang terbatas.
Manajemen keuangan lainnya yang tergolong rendah yaitu manajemen
biaya pendidikan anak (biaya pendidikan tambahan/keterampilan) (60 %). Relatif
rendahnya persentase manajemen keluarga terhadap biaya pendidikan anak (biaya
pendidikan tambahan/keterampilan) disamping faktor kemauan dan kemampuan
orang tua dan anak terbatas, fasilitas atau sarana pendidikan keterampilan terbatas
166
atau sulit dijangkau, dan faktor pendapatan keluarga responden yang terbatas
untuk keperluan tersebut terutama di wilayah pesisir pantai.
Apabila dirinci berdasarkan persentase dan jenis sumberdaya maka dari
ketiga sumberdaya yang dimiliki keluarga contoh, manajemen sumberdaya waktu
yang baik tertinggi sebesar 58,4 persen. Artinya, terdapat 58 persen lebih keluarga
responden di daerah penelitian menyatakan bahwa mereka merasa cukup baik
dalam memanfaat waktu. Namun demikian, berdasarkan wilayah agroekologi
ternyata proporsi keluarga contoh dengan manajemen yang tergolong baik
terdapat di wilayah pegunungan (63,2 %), dan lebih besar dibandingkan dengan
proporsi keluarga contoh di wilayah pesisir (54 %). Persentase keluarga contoh
dengan manajemen yang baik lebih banyak pada manajemen sumberdaya anggota
keluarga dibandingkan dengan manajemen sumberdaya waktu dan keuangan
(Tabel 33).
Modal Sosial
Modal sosial merupakan bentuk jaringan kerja sosial dan ekonomi di
masyarakat yang terjadi antar individu dan kelompok baik formal maupun
informal yang bermanfaat dan menguntungkan. Modal sosial dikategorikan
melalui dua dimensi yang saling berhubungan (interrelated), yakni:
dimensi
struktural, dan dimensi karakter11 . Dimensi struktural diukur dalam bentuk
kelompok dan organisasi (asosiasi lokal). Tinggi rendah kontribusi asosiasi lokal
terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga diukur secara komposit dari dimensi (a)
jumlah asosiasi yang diikuti, (b) tingkat partisipasi dalam asosiasi, dan (c)
manfaat asosiasi dengan nilai sebagai berikut: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3)
tinggi, dan (4) sangat tinggi, sedangkan dimensi karakter diukur dari nilai
komposit: (a) tingkat keterpercayaan, (b) solidaritas, dan (c) semangat kerja
dengan nilai: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi.
11
Konsep ini mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu (1986), Coleman (1988),
dan Putnam, Leonardi, dan Nanetti (1993), Grootaert (1997), Woolcock (1998), Fukuyama
(1999), Uphoff (1999) (Dasgupta P., 2000:218), dan Flores dan Fernando (2003) (disempurnakan).
167
Jumlah Asosiasi Lokal yang Diikuti
Keluarga Contoh
Jumlah asosiasi lokal yang diikuti keluarga contoh di daerah penelitian
dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu: sangat sedikit (satu asiosiasi),
sedikit (dua asosiasi), banyak (tiga asosiasi), dan sangat banyak (lebih dari tiga
asosiasi). Hasil pengamatan lapangan diperoleh bahwa jumlah asosiasi lokal yang
diikuti keluarga contoh di daerah pene litian tergolong besar karena lebih dari 59
persen keluarga contoh mengikuti sebanyak tiga atau lebih asosiasi lokal (Tabel
34). Dengan semakin banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota
keluarga contoh diharapkan dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat
kebersamaan dan solidaritas sesama anggota masyarakat sehingga pada gilirannya
akan berdampak terhadap kesejahteraan dan kemajuan desa. Kemudian, pada
masa era globalisasi, reformasi dan otonomi daerah, asosiasi lokal yang
berkembang di daerah dan diikuti oleh anggota masyarakat akan sangat berperan
dalam membendung dan menopang berbagai informasi berupa inovasi baru yang
datang dari luar terutama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
pembangunan daerah. Adapun asosiasi yang berkembang di daerah penelitian
berjumlah 18 asosiasi, baik asosiasi formal maupun nonformal/kelompok
(Lampiran 3).
Pada Tabel 34 tampak terdapat perbedaan yang cukup besar sebaran
contoh keluarga antara wilayah
pegunungan
dengan wilayah
pesisir pantai
dalam mengikuti asosiasi lokal. Melalui tabel tersebut dapat diketahui bahwa
keluarga contoh di wilayah pegunungan yang mengikuti asosiasi lokal sebanyak
tiga macam atau lebih mencapai 67 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai
hanya 51 persen. Relatif banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh
anggota keluarga contoh di wilayah
pegunungan
disebabkan perkembangan
asosiasi itu sendiri dan keterkaitan antara satu kalbu dengan kalbu lainnya yang
memiliki tingkat kekeluargaan tinggi. Hal ini terungkap melalui diskusi dengan
salah satu tokoh cendikiwan muda yaitu bapak Sulaiman, beliau menuturkan:
”kehidupan masyarakat disini mengelompok dalam kalbu masing-masing.
Kenapa saya katakan demikian, mayoritas mata pencaharian masyarakat
di wilayah pegunungan adalah pertanian padi sawah, sedangkan lahan
168
padi sawah tersebut umumnya bukan merupakan hak milik tetapi adalah
”sistem gilir ganti” dalam satu kalbu begitu juga dalam sitem
pengerjaannya dilakukan secara bersama-sama apa yang disebut dengan
”kerja kalbu12 ” dan sistem kelompok ”handel13 .”
Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga
Tingkat partisipasi anggota keluarga contoh dalam asosiasi lokal dilihat
dari dua aspek, yakni: tingkat keaktifan dalam pertemuan dan pengambilan
keputusan selama mengikuti pertemuan. Seperti tersaji pada Tabel 35, 58 persen
dari seluruh keluarga contoh merupakan anggota yang aktif dan sangat aktif dalam
asosiasi. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian
ternyata anggota keluarga contoh di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat
partisipasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan anggota keluarga contoh di
wilayah
pegunungan, masing masing 49, dan 66 persen. Dengan kata lain,
anggota keluarga contoh di daerah wilayah pesisir pantai kurang aktif dalam
mengikuti berbagai aktivitas dan pertemuan kelompok/organisasi sehingga akan
berdampak kepada produktivitas kelembagaan itu sendiri.
Manfaat Kelompok/Organisasi bagi
Keluarga
Faktor manfaat secara struktural merupakan elemen penting dalam modal
sosial karena faktor ini berkaitan erat dengan keterlibatan anggota masyarakat
dalam asosiasi. Artinya, semakin besar nilai manfaat dari suatu asosiasi bagi
keluarga maka kontribusi setiap anggota keluarga semakin besar dan sebaliknya.
Manfaat asosiasi bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup besar hal ini
ditandai dengan tingginya proporsi keluarga yang mencapai 70 persen lebih
(Tabel 37). Hal senada juga ditunjukkan oleh persentase keluarga contoh di kedua
daerah penelitian yang menyatakan bahwa asosiasi yang mereka ikuti sangat
bermanfaat dengan nilai masing- masing 75 persen di pegunungan dan 68 persen
di wilayah pesisir pantai.
12
13
Sistem kalbu yaitu sistem kerja bersama (saling tolong menolong) tanpa upah dalam satu garis turunan
Sistem handel artinya sistem kerja kelompok dengan mengambil upahan dan setiap mendapat upahan uang
disimpan dan dibagikan menjelang hari raya idul fitri.
169
Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) di desa Koto Agung Kecamatan
Keliling Danau wilayah pegunungan menyimpulkan bahwa asosiasi desa yang
ada di daerah ini baik asosiasi formal maupun informal cukup penting dalam
meningkatkan perekonomian dan hubungan sosial dalam masyarakat. Seperti
dicontohkan oleh salah seorang peserta yaitu bapak Sapri Joni, ia menuturkan
sebagai berikut:
”keberadaan asosiasi di desa kami ini sangat berperan sekali terutama
sistem kerja gotong royong (collective action), misalnya membangun
jalan menuju ke sentra produksi (kebun), membangun dan atau
membersih hulu sungai untuk pengairan persawahan, membangun
fasilitas umum (masjid), madrasah, dan fasilitas umum lainnya.”
Cukup banyak jenis asosiasi lokal yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga
contoh baik untuk keperluan ekonomi, pendidikan maupun keperluan sosial.
Lebih dari 18 asosiasi (formal dan informal) lokal yang dapat dimanfaatkan oleh
keluarga contoh untuk berbagai keperluan atau kepentingan. Apabila dibedakan
berdasarkan daerah penelitian ternyata asosiasi lokal terbanyak yang berkembang
dan dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh terdapat di wilayah pegunungan
yaitu sebanyak 16 asosiasi, sedangkan di wilayah
pesisir pantai
hanya 10
asosiasi.
Karakter Masyarakat
Tingkat Keterpercayaan Masyarakat
Keterpercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang
terhadap perkataan, perjanjian, dan tindakan secara konsisten pada saat terjalinnya
hubungan antar individu atau kelompok/organisasi dalam masyarakat. Tingkat
keterpercayaan seseorang dapat dilihat dari dimensi: tingkat komitmen, kejujuran
dan tanggung jawab. Tingkat keterpercayaan masyarakat di daerah penelitian
tergolong relatif baik karena hasil perhitungan diperoleh proporsi keluarga contoh
yang tergolong pada kelompok keterpercayaan tinggi dan sangat tinggi yaitu
mencapai 57,8 persen. Artinya, hampir sebagian besar masyarakat di daerah
perdesaan Provinsi Jambi memiliki tingkat keterpercayaan tinggi.
170
Berdasarkan wilayah penelitian, ternyata terdapat perbedaan yang cukup
besar kelompok masyarakat yang memiliki tingkat keterpercayaan tinggi antara
masyarakat di daerah wilayah pesisir pantai dengan daerah wilayah pegunungan.
Hasil pengelompokan menunjukkan bahwa masyarakat di daerah perdesaan
wilayah
pegunungan
memiliki tingkat keterpercayaan jauh lebih baik
dibandingkan dengan tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di daerah
perdesaan wilayah pesisir pantai
dengan nilai masing- masing 75,9 dan 37,1
persen. Relatif tingginya tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah
pegunungan sangat terkait dengan pola hubungan individu dalam masyarakat.
Pola hubungan atau interaksi individu dalam masyarakat Kerinci yaitu menganut
sistem ”kalbu.” Sistem kalbu adalah interaksi sosial/hubungan sosial masyarakat
dalam kelompok atau turunan tertentu yang dibingkai dalam sebuah kedepatian
dan lembaga adat dengan satu tujuan. Artinya, satu depati dengan depati yang lain
saling kait mengkait dan saling ketergantungan untuk membangun sebuah
kelembagaan yang kokoh yang disebut dengan kelembagaan adat (Tabel 38).
Tingkat Solidaritas Masyarakat
Solidaritas masyarakat merupakan kondisi masyarakat saling
mau
menerima, memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, saling bergantung satu
sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga
ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai. Tinggi rendahnya tingkat
solidaritas masyarakat dilihat dari tiga dimensi: ketergantungan satu sama lainnya,
saling bantu membantu, dan adanya kepekaan terhadap kemajuan desa. Secara
operasional solidaritas masyarakat merupakan frekuensi interaksi antara satu
individu dengan individu lainnya yang merujuk pada seberapa jauh individu
melakukan kontak-kontak langsung antara satu dengan lainnya. Semakin positif
sifat interrelasi diantara anggota masyarakat yang berupa solidaritas, atau
semangat kemasyarakatan, semakin besar kecenderungannya untuk saling
memperhatikan keinginan masing- masing dalam mencari jalan ke arah saling
memberi kepuasan dan kerjasama. Kerjasama tersebut berupa koordinasi dalam
tindakan mereka guna mencapai hasil yang sama-sama disenangi, tetapi di
171
samping itu kerjasama tersebut dapat berupa usaha bersama untuk mengubah
situasi atau aturan main. Dengan perubahan itu tercipta kesempatan bagi mereka
untuk mendapatkan situasi dan aturan main yang cocok dalam mereka
berhubungan. Menurut Burns (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003:99), semakin
berhasil koordinasi yang dilakukan untuk berbagai tindakan, semakin positif dan
kuat orientasi yang tertuju pada kelompok dari para individu yang bersangkutan
dan sebaliknya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat solidaritas masyarakat di daerah
penelitian relatif merata antara solidaritas masyarakat yang baik dan kurang baik
karena data yang diperoleh diantara kedua tingkat solidaritas tersebut relatif
berimbang: 41,5 persen tingkat solidaritas kurang baik dan 58,5 persen tingkat
solidaritas tergolong baik (Tabel 39). Namun, menurut wilayah
penelitian
ternyata persentase masyarakat terbesar yang memiliki tingkat solidaritas
tergolong baik terdapat di wilayah pegunungan (76,4 persen) dan persentase ini
tidak jauh berbeda dengan persentase tingkat keterpercayaan masyarakat. Hal ini
dapat dimaklumi bahwa tingginya tingkat solidaritas masyarakat di daerah
perdesaan wilayah pegunungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya karena
kuatnya kelembagaan adat yang ada di daerah tersebut.
Semangat Kerja Masyarakat
Keluarga contoh dari kedua wilayah penelitian yang dapat digolongkan
pada kelompok masyarakat dengan tipe bekerja keras hanya 38 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa etos kerja masyarakat di daerah penelitian tergolong
rendah. Apabila dilihat berdasarkan wilayah penelitian ternyata proporsi keluarga
contoh yang memiliki etos kerja yang rendah terdapat di wilayah pesisir pantai
yaitu mencapai 70 persen, sedangkan masyarakat di wilayah pegunungan hanya
52 persen (Tabel 40). Kurangnya masyarakat untuk bekerja keras di daerah
penelitian terutama di wilayah pesisir pantai terlihat dari kurangnya pemanfaatan
waktu kerja, sistem kerja banyak bersifat individual dan kurang kesungguhan
dalam menghadapi berbagai pekerjaan terutama pekerjaan produktif terkecuali
keluarga contoh yang berada di daerah penelitian tergabung dalam kelompok
172
transmigrasi mereka umumnya relatif lebih produktif dibandingkan dengan
masyarakat non transmigran.
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif
Berdasarkan hasil wawancara dengan keluarga contoh diperoleh informasi
bahwa distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif (subjective economic
well-being) di daerah penelitian relatif cukup baik. Hal ini ditandai dengan
persentase keluarga di wilayah penelitian yang merasa puas dalam pemenuhan
keperluan mereka sehari- hari, baik kebutuhan pangan, non pangan maupun
pemenuhan kebutuhan investasi relatif memuaskan yaitu mencapai 60,3 persen.
Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan wilayah agroekologi ternyata
persentase terbesar terdapat di wilayah pegunungan yaitu 68,4 persen, sedangkan
di wilayah pesisir pantai yang merasa puas dalam pemenuhan kebutuhan mereka
sehari- hari hanya sekitar 51 persen (Tabel 45).
Tabel 45 Sebaran Contoh Menurut Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Seharihari, Tahun 2006
No
01
02
03
04
-
Kepuasan Terhadap
pemenuhan
Kebutuhan
Sehari-hari
Sangat Tidak Puas
Kurang Puas
Merasa Puas
Sangat Puas
Total
Sebaran Contoh
Wilayah
pegunungan
Jumlah
%
26
14.9
29
16.7
57
32.8
62
35.6
174
100.0
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah
%
27
17.9
47
31.1
50
33.1
27
17.9
151
100.0
Total
Jumlah
53
76
107
89
16.3
23.4
32.9
27.4
325
100.0
%
Berkenaan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di
wilayah pesisir pantai disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: faktor
fisik/alam, sumberdaya manusia, sumber usaha dan faktor aksesibilitas. Faktor
fisik/alam misalnya, bahwa di daerah penelitian mayoritas kesuburan tanah relatif
rendah karena umumnya di daerah ini merupakan wilayah pasang surut dengan
tanah bergambut. Kemudian, aspek sumberdaya manusia ternyata rata-rata
pendidikan masyarakat setempat adalah sekolah dasar kebawah, dan sedikit sekali
tamatan sekolah menengah apalagi perguruan tinggi (Badan Pusat Statistik
173
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2005). Kemudian, di wilayah pesisir pantai
tingkat aksesibilitas wilayah relatif rendah atau terbatas karena alat transportasi
yang umum digunakan adalah transportasi sungai dengan menggunakan perahu
tempel/pompong dan speed boot dengan tingkat frekuensi perjala nan terbatas.
Aspek mata pencaharian atau sumber usaha, hasil observasi dan diskusi
dengan kepala desa dan tokoh masyarakat dapat disimpulkan bahwa mayoritas
masyarakat di wilayah pesisir pantai ini memiliki mata pencaharaian utama sangat
terbatas yaitu ha nya sebagai nelayan dan usahatani kelapa. Berkenaan dengan
usahatani, kepala desa bertutur sebagai berikut:
“penghasilan masyarakat dari usahatani kelapa hampir tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga karena rendahnya harga kelapa butiran yaitu
sekitar Rp.650 per buah, sedangkan hasil yang diperoleh setiap pemanenan
yaitu selama 4 bulan sekali dengan produksi rata-rata 2,5 ton dengan
penghasilan sebesar Rp.1.625.000,- dan perlu diketahui bahwa penghasilan
ini belum termasuk biaya pemanenan dan biaya angkut.”
Kemudian, penjelasan dari bapak Haji Abdullah tentang nelayan, beliau ini
disamping tokoh masyarakat atau orang yang disegani juga bekerja sebagai
nelayan. Kesimpulan beliau tidak jauh berbeda dengan pernyataan dari kepala
desa.
“Penghasilan nelayan di daerah ini relatif rendah disamping jumlah
tangkapan yang kecil juga modal usaha yang terbatas. Mayoritas nelayan
dimodali oleh pemilik modal, mereka bekerja sebagai nelayan buruhan.
Disamping itu, usaha nelayan sangat dipengaruhi musim, apalagi kondisi
sekarang tidak sama dengan kondisi musim beberapa tahun yang silam.
Seorang nelayan susah menebak kapan musim pasang/gelombang dan
kapan musim surut sehingga akan mempengaruhi penghasilan atau hasil
tangkapannya.”
Mengenai tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga atau tingkat kepuasan
masyarakat
di wilayah pegunungan yang relatif cukup baik ditandai dengan
tingginya persentase responden yang merasa puas atau sangat puas dengan tingkat
kesejahteraan yang dimiliki yaitu mencapai 68,4 persen.
Relatif tingginya
persentase masyarakat di wilayah pegunungan yang merasa puas dengan tingkat
174
kesejahteraan yang dimiliki dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung, antara
lain: kondisi alam, lapangan kerja, aksesibilitas wilayah dan potensi sumberdaya
manusia. Kondisi alam misalnya, oleh karena daerah penelitian berada di daerah
pegunungan sehingga kesuburan tanah relatif baik (jenis tanah latosol) dan cukup
menguntungkan untuk usaha tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan
(Balitbangda Provinsi Jambi, 2003). Seperti diketahui, usaha utama di daerah
penelitian adalah usahatani padi sawah, dan perkebunan kulit manis dan kopi
disamping itu juga ada usaha tanaman pangan seperti usahatani kentang, cabe, dan
pangan lainnya.
Relatif banyaknya cabang usaha masyarakat sehingga membuka peluang
berbagai macam lapangan kerja baik dari sektor off-farm, seperti: agroindustri
(usaha dodol kentang, keripik pisang, anyaman, dan lain- lain), industri
rumahtangga (perabot rumahtangga, dan membatik),
jasa (transportasi, dan
telekomunikasi), perhotelan, maupun sektor lainnya sehingga pada gilirannya
akan berdampak kepada penghasilan masyarakat secara menyeluruh. Seperti
dikemukakan oleh Mubyarto (1991), faktor lapangan kerja sangat menentukan
penghasilan atau kesejahteraan ma syarakat. Kemudian, di wilayah pegunungan
tingkat aksesibilitas wilayah relatif cukup baik, seperti transportasi cukup lancar
walaupun terbatas pada transportasi darat, dan hampir setiap jam frekuensi
perjalanan dari desa ke kota kabupaten dan sebaliknya selalu tersedia. Kemudian,
aksesibilitas lain yang sangat mendukung kelancaran perekonomian daerah yaitu
tersedianya
sarana
penerangan (PLN),
air
minum
(PDAM),
dan
alat
telekomunikasi. Sehubungan alat telekomunikasi, hasil observasi dan pengamatan
lapangan bahwa di wilayah pegunungan pada saat melakukan penelitian diketahui
hampir di setiap ibu kota kecamatan telah ada “tower telekomunikasi” dari
berbagai macam cabang (indosat, telkomsel, dan lain- lain). Dengan arti kata, di
daerah ini hampir di setiap desa sudah bisa menggunakan jasa telekomunikasi
seperti layaknya di daerah perkotaan.
Kepuasan terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pangan
Kepuasan keluarga contoh terhadap pemenuhan kebutuhan pangan
keluarga dikaji dalam dua aspek yakni: aspek frekuensi makan setiap hari dan
175
keragaman pangan yang dikonsumsi keluarga. Melalui dua pendekatan ini
diharapkan keperluan pangan anggota keluarga yang ada di daerah penelitian
terpenuhi dari segi kecukupan akan zat gizi yang diperlukan. Seperti tertera pada
Tabel 46, proporsi terbesar (61 %) keluarga contoh di daerah penelitian merasa
puas dalam konsumsi pangan. Apabila dikelompokkan berdasar daerah penelitian
ternyata masyarakat yang paling banyak merasa puas dalam penyediaan konsumsi
pangan terdapat di daerah pegunungan (72 %), sedangkan di daerah pesisir pantai
yang merasa puas hanya sekitar 49 persen.
Tabel 46 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Pangan, 2006
Sebaran Contoh
No
Tingkat Pemenuhan
Kebutuhan
Pangan
Wilayah
Pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah Pesisir
Pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah Persen
01
Sangat Tidak Puas
13
7.5
17
11.3
30
9.2
02
Kurang Puas
35
20.1
59
39.1
94
28.9
03
Merasa Puas
73
42.0
46
30.5
119
36.6
04
Sangat Puas
53
30.5
29
19.2
82
25.2
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa frekuensi makan keluarga
responden di daerah penelitian relatif terpenuhi. Persentase masyarakat pada
golongan ini yang mencapai 80 persen lebih menyatakan bahwa mereka biasa
makan setiap hari tiga kali dengan menu makanan cukup beragam yaitu makan
nasi dengan lauk pauk (bergantian antara daging, ayam dan ikan), sayur dan
pangan lainnya.
Kepuasan terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Non Pangan
Pemenuhan kebutuhan non pangan diukur dari pemenuhan akan sandang
atau pakaian, papan/perumahan, energi dan komunikasi ditambah dengan
pemenuhan kebutuhan sosial.
Pemenuhan sandang misalnya walaupun bukan
merupakan kecukupan dasar tetapi ia sangat diperlukan dalam menjalankan
176
berbagai aktivitas sehari- hari. Oleh karena itu, tingkat pemenuhan kebutuhan
sandang ini sangat penting diperhatikan. Begitu juga kecukupan akan perumahan
dan energi serta alat komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi
keluarga dengan tingkat pemenuhan kebutuhan non pangan cukup baik (merasa
puas dan sangat puas) mencapai 52 persen. Namun, proporsi keluarga dengan
persentase yang merasa puas dan sangat puas dalam konsumsi non pangan lebih
kecil dibandingkan dengan persentase keluarga yang merasa puas dan sangat puas
dalam konsumsi pangan.
Tabel 47
Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan
Kebutuhan Non Pangan, 2006
Terhadap Pemenuhan
Sebaran Contoh
No
01
Tingkat
Pemenuhan
Non Pangan
Sangat Tidak Puas
02
Wilayah
Pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah Pesisir
Pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah Persen
32
18,4
35
23,2
67
20,6
Kurang Puas
38
21,8
52
34,4
90
27,7
03
Merasa Puas
59
33,9
38
25,2
97
29,9
04
Sangat Puas
45
25,9
26
17,2
71
21,8
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Apabila dibedakan berdasarkan wilayah agroekologi ternyata persentase
terbesar (59,8 %) yang merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan
kebutuhan non pangan terdapat di wilayah pegunungan, sedangkan di wilayah
pesisir pantai hanya 42,4 persen. Hasil pengamatan dilapangan me nunjukkan
bahwa relatif rendahnya persentase masyarakat di wilayah pesisir pantai yang
merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan kecukupan non pangan
disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: harga non pangan, seperti pakaian yang
ditawarkan dipasaran relatif mahal, terbatasnya pasar karena terbatasnya
aksesibilitas jalan, dan faktor selera namun demikian, di daerah ini banyak
ditemui pasaran pakaian-pakaian bekas.
Bagian lain dari pemenuhan kebutuhan non pangan yaitu kepuasan dalam
kegiatan sosial. Sikap sosial merupakan kebutuhan pribadi masing- masing
responden yang sulit diukur secara kuantitatif namun kepuasan ini bisa dilihat dari
177
(kontribusi) yang diberikan keluarga responden dalam berbagai kegiatan sosial
masyarakat baik kegiatan yang disponsori oleh pemerintah, misalnya kegiatan
Hari Ulang Tahun Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus dan kegiatan
lainnya maupun kegiatan sosial budaya masyarakat dan agama, seperti kegiatan
acara adat, dan kegiatan-kegiatan hari besar agama terutama hari besar agama
islam. Besar kecilnya kontribusi untuk kegiatan sosial merupakan salah satu tolok
ukur tingkat kesejahteraan dan status seseorang dalam masyarakat. Secara
terdapat 50 persen lebih responden merasa puas dan sangat puas. Apabila
dibedakan berdasarkan daerah penelitian tampaknya persentase terbesar masih
terdapat di wilayah pegunungan yaitu 60 persen, sedangkan di wilayah pesisir
pantai sekitar 51 persen. Relatif besarnya proporsi responden dengan kegiatan
sosial di wilayah pegunungan menurut pengamatan peneliti adalah wajar
disamping kepedulian sosial masyarakat yang relatif tinggi juga disebabkan oleh
intensitas kegiatan sosial masyarakat relatif lebih banyak dibandingkan dengan
kegiatan sosial di wilayah pesisir pantai.
Kepuasan terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Investasi Sumberdaya Manusia
Pemenuhan kebutuhan investasi sumberdaya manusia dibagi dalam dua
kelompok yaitu pemenuhan kebutuhan terhadap biaya pendidikan dan biaya
kesehatan. Pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan misalnya, sangat penting
sekali untuk pembangunan sumberdaya manusia masa akan datang. Oleh karena
itu, investasi dibidang pendidikan adalah mutlak demi masa depan terutama anakanak usia sekolah. Pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anak usia sekolah ini
dilihat dari tingkat kebutuhan biaya yang diperlukan oleh anak didik baik
keperluan yang bersifat wajib, seperti SPP, uang pembangunan sekolah, biaya
OSIS, maupun keperluan lainnya, seperti: buku teks, biaya transpor, dan uang
jajan.
Kepuasan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, melalui hasil wawancara
diperoleh informasi bahwa rata-rata tingkat pemenuhan kecukupan investasi
keluarga (Tabel 48) di daerah penelitian baru dirasakan oleh sebagain kecil
178
responden (45,9 persen) dan lebih kecil dibandingkan dengan persentase tingkat
pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan. Hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan kebutuhan bagi masyarakat disamping terbatasnya penghasilan yang
dimiliki. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata persentase
terbesar yang merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan
investasi
sumberdaya manusia terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 53,5 persen,
sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 37,1 persen.
Dari kedua pemenuhan kebutuhan investasi tersebut, persentase responden
yang merasa puas dengan pemenuhan kebutuhan pendidikan baru mencapai 43
persen. Artinya, di daerah penelitian masih banyak yang belum merasa puas
terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan. Berdasarkan wilayah penelitian
tampaknya pemenuhan kebutuhan yang paling rendah terdapat di wilayah pesisir
pantai yaitu hanya 33 persen, sedangkan pemenuhan kebutuhan pendidikan di
wilayah pegunungan sudah mencapai 51 persen. Hal ini merupakan pemikiran
serius oleh pemerintah setempat untuk kemajuan pembangunan daerah kedepan.
Dengan arti kata, pemenuhan kebutuhan pendidikan masyarakat terutama anak
usia sekolah perlu dimasukkan sebagai prioritas pembangunan disamping
pembangunan fisik dan infrastruktur lainnya. Dan lain halnya dengan investasi
untuk kesehatan, data menunjukkan bahwa rata-rata investasi keluarga untuk
kesehatan relatif lebih tinggi walaupun masih lebih rendah dari pemenuhan
kebutuhan pangan dan non pangan yaitu sekitar 48 persen.
Tabel 48 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan
Sumberdaya Manusia, 2006
Pemenuhan Investasi
Sebaran Contoh
No
01
Tingkat
Pemenuhan
Investasi
Sangat Tidak Puas
02
Wilayah
Pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah Pesisir
Pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah Persen
34
19.5
36
23.8
70
21.5
Kurang Puas
47
27.0
59
39.1
106
32.6
03
Merasa Puas
53
30.5
39
25.8
92
28.3
04
Sangat Puas
40
23.0
17
11.3
57
17.6
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
179
Apabila dirinci berdasarkan alokasi kecukupan sehari- hari keluarga,
tampaknya distribusi kepuasan pemenuhan kecukupan keluarga di wilayah
penelitian juga menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan antara keluarga
yang berada di wilayah pesisir dengan keluarga yang berada di wilayah
pegunungan (Tabel 49). Artinya, rata-rata proporsi keluarga contoh dengan
tingkat kepuasan tinggi yang berada di wilayah pegunungan adalah relatif besar
dibandingkan dengan keluarga contoh yang berada di wilayah pesisir. Hal ini
mengindikasikan bahwa kesejahteraan ekonomi objektif (proksi pengeluaran)
tidak selalu menentukan tingkat kepuasan keluarga di daerah penelitian.
Tabel 49 Persentase Contoh Merasa Puas Terhadap Pemenuhan Alokasi Kebutuhan
Sehari-hari, 2006
Sebaran Contoh (%)
Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Alokasi Kebutuhan
Sehari-hari
Wilayah
pegunungan
Wilayah
pesisir
pantai
Ratarata
01
Puas terhadap pemenuhan pangan
72,5
49,7
61,1
02
Puas terhadap pemenuhan non
pangan
Puas terhadap pemenuhan
investasi
59,5
42,6
51,1
53,4
37,4
45,4
61,8
43,2
52,5
No
03
-
Rata-rata
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif
Hasil pendugaan parameter persamaan kesejahteraan ekonomi
subjektif keluarga di daerah penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien R2
adalah 0.138 (Tabel 50) dan jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai standard
koefisien R2 yaitu 0,70. Padahal Koefisien Determinasi Ganda (R2 ) adalah untuk
melihat kontribusi semua variabel bebas terhadap variabel terikat. Melihat hasil
yang diperoleh melalui uji model ini ternyata kontribusi semua variabel bebas
terhadap variabel terikat (kesejahteraan ekonomi objektif) kurang kuat sehingga
model ini kurang valid atau tidak dapat begitu dihandalkan (Myers, 1990:37). Hal
yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan oleh nilai uji F dengan nilai sebesar
180
3,829. Padahal uji F digunakan untuk membuktikan semua variabel independen
(variabel bebas) secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap variabel
dependen (variabel terikat). Apabila nilai F hitung > F tabel
(0,05),
berarti H0
ditolak dan diterima H1 . Artinya, seluruh variabel independen (sosio-demografi,
manajemen sumberdaya keluarga, asosiasi lokal dan karakter masyarakat) secara
bersama-sama berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan ekonomi subjektif.
Sebaliknya, apabila nilai F hitung < F tabel(0,05) , berarti H0 diterima dan tolak H1 .
Artinya, seluruh variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh
nyata terhadap kesejahteraan ekonomi subjektif. Dengan demikian, pengujian
model dan variabel independen secara bersama-sama tidak menunjukkan tingkat
signifikansi terhadap kesejahteraan ekonomi subjektif.
Tabel 50 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan Ekonomi
Subjektif Keluarga, Tahun 2006
No
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
Nilai pendugaan
Nilai tUji Model
hitung
(F)
6,669
-0,303
0,821
-0,478
3,829
0,756
0,380
-0,113
1,315
-1,005
-0,492
0,396
1,525
0,924
-1,340
Peubah Penelitian
Constant
Pendidikan Suami
Pendidikan Non Formal Suami
Beban Ketergantungan Keluarga
Manajemen Waktu
Manajemen Anggota Keluarga
Manajemen Keuangan
Jumlah Aslok yang diikuti
Tingkat partisipasi dalam Aslok
Manfaat Aslok bagi Keluarga
Keterpercayaan masyarakat
Tingkat Solidaritas
Semangat Kerja
Dummy wilayah penelitian
R2 = 0.371
R2 Adj = 0.138
df = 13
t-tabel(0,05) = 1,77
t-tabel(0,01) = 2,65
Keterangan: (*) dengan alpha = 0.05, berpengaruh nyata dan (**) dengan alpha=0.01, berpengaruh sangat nyata.
Tabel 50 mengindikasikan bahwa tingginya tingkat kesejahteraan ekonomi
subjektif keluarga di wilayah penelitian tidak dipengaruhi oleh faktor sosio
demografi, manajemen sumberdaya keluarga dan faktor modal sosial karena
melalui pengujian melalui uji regresi berganda tidak ditemukan variabel
independen yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif.
Dengan arti kata, semakin banyak keterlibatan keluarga dalam kegiatan asosiasi
181
lokal dan aktif mengikuti berbagai kegiatan asosiasi lokal maupun pengembangan
sumberdaya keluarga
maka tidak akan dapat meningkatkan kesejahteraan
ekonomi subjektif. Tabel 42 juga menunjukkan bahwa faktor sosio-demografi
tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi
objektif. Hal ini diduga, faktor sosio-demografi keluarga contoh di kedua wilayah
penelitian relatif homogen dan rata-rata rendah terutama faktor pendidikan dan
keterampilan yang dimiliki suami sehingga tidak dapat mempengaruhi tingkat
kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga.
Disparitas Kesejahteraan Ekonomi Subjektif
Pengukuran disparitas kesejahteraan ekonomi subjektif, seperti halnya
pengukuran disparitas kesejahteraan ekonomi objektif yaitu menggunakan Model
Kuznets dan Kurva Lorenz. Model ini mengukur pembagian pemerataan tingkat
kepuasan pemenuhan kebutuhan keluarga pada kelompok penerima kepuasan
terbawah dengan kelompok penerima kepuasan teratas. Dengan kata lain, melihat
pemerataan kepuasan pemenuhan kebutuhan keluarga berdasarkan perbandingan
tingkat kepuasan dari 40 persen kelompok penerima kepuasan pemenuhan
kebutuhan keluarga terbawah dibandingkan dengan 10 persen kelompok penerima
tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan keluarga teratas.
Berdasarkan data yang tersedia dan alat uji yang digunakan, maka
diperloeh hasil distribusi kepuasan keluarga di daerah penelitian baik tingkat
kepuasan keluarga di wilayah pesisir pantai maupun di wilayah pegunungan
ternyata memiliki tingkat distribusi kepuasan keluarga cukup merata. Seperti
tertera pada Tabel 51, diperoleh hasil bahwa kelompok 40 persen penerima
kepuasan terbawah rata-rata di atas 17 persen. Sebaliknya, distribusi penghasilan
10 persen kelompok penerima kepuasan teratas dengan nilai juga cukup baik yaitu
di bawah 17 persen.
Analisis berikut dari perhitungan perbandingan antara 40 persen kelompok
penerima kepuasan terbawah dengan 10 persen kelompok penerima kepuasan
teratas yaitu dengan uji Bobot Kesenjangan (BK). Hasil perhitungan diperoleh
bahwa kedua wilayah penelitian menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan
dengan nilai berkisar antara 2,24–1,9. Apabila merujuk kepada standar yang
182
digunakan oleh Bank Dunia dan Kuznets maka distribusi kepuasan keluarga di
kedua wilayah penelitian tergolong merata walaupun nilai dari BK ini tidak
mecapai 4 tetapi jauh lebih besar dari angka 0,3.
Tabel 51 Indeks Kuznets Tingkat Kepuasan Keluarga
No
01
02
03
Nilai Pembatas
40 % penerima kepuasan
terbawah
10 % penerima kepuasan teratas
Wilayah
pegunungan
Wilayah pesisir
pantai
(n=174)
(139,66/599) x 100
= 23,32
(62,28/599) X 100
= 10,4
(n=151)
(106,52/492) x 100
= 21,65
(54,83/492) x 100
Bobot Ketidaksamarataan (BK)
2,24
= 11,4
1,9
Sebagai tindak lanjut pengukuran distribusi kepuasan keluarga, seperti
halnya dengan pengukuran pengeluaran dilanjutkan dengan pengukuran melalui
Kurva Lorenz. Seperti tertera pada Gambar 10, maka dapat disimpulkan bahwa
distribusi kepuasan keluarga di daerah penelitian tampaknya tidak jauh berbeda
dengan tingkat distribusi penghasilan dan pengeluaran keluarga yaitu relatif
merata baik keluarga yang berada di wilayah pesisir maupun di wilayah
pegunungan, distribusi kepuasan keluarga cukup merata karena kurva lorenz yang
terlukis hampir mendekati kurva kesama-rataan. Hal ini mengindikasikan bahwa
pemerataan kepuasan di kedua wilayah penelitian hampir mendekati sempurna
karena nilai pembatas, yakni: distribusi penerima kepuasan 40 persen ter bawah
memiliki slop yang relatif kecil dengan nilai di atas batas standar yaitu di atas 17
persen, dan begitu juga distribusi penerimaan kepuasan 10 persen teratas relatif
berimbang dengan 40 persen penerima kepuasan terendah. Namun demikian,
melalui uji model Mann-Whitney (U-test) dapat diketahui bahwa tingkat
kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga di wilayah pegunungan relatif lebih
merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga di
wilayah pesisir pantai dengan nilai z-skor masing- masing wilayah -14,6 dan 7,5
(Z- table= 4,05). Menurut Gradstein Mark (2007:266), semakin merata distribusi
kesejahteraan masyarakat maka tingkat demokratisasi semakin baik. Dengan arti
kata, tingkat keharmonisan dan kekeluargaan masyarakat semakin kuat.
183
120
persentase
100
80
60
40
20
0
0
20
40
60
80
100
120
Persentase Penerimaan Kepuasan
pegunungan
pesisir
Gambar 10 Kurva Lorenz Tingkat Kepuasan Keluarga
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(1) Distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif (subjective economic wellbeing) di daerah penelitian relatif cukup baik. Hal ini ditandai dengan
besarnya persentase keluarga di wilayah penelitian yang merasa puas dalam
pemenuhan keperluan mereka sehari-hari, baik kebutuhan pangan, non
pangan maupun pemenuhan kebutuhan investasi relatif memuaskan yaitu
mencapai 60,3 persen. Proporsi pemenuhan kebutuhan pangan sebesar 61
persen, non pangan 52 persen, dan pemenuhan kebutuhan investasi
sumberdaya manusia baru mencapai 45,9 persen. Berdasarkan wilayah
agroekologi, ternyata persentase tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif
terbesar terdapat di wilayah pegunungan yaitu 68,4 persen, sedangkan di
wilayah pesisir pantai yang merasa puas dalam pemenuhan kebutuhan
mereka sehari- hari hanya sekitar 51 persen.
(2) Kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga secara bersama-sama dan individu
tidak dipengaruhi oleh faktor sosio-demografi, manajemen sumberdaya
keluarga, dan faktor modal sosial. Dengan arti kata, semakin baiknya faktor
184
sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, dan modal sosial, tidak
akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi subjektif
keluarga.
(3) Distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi subjetif keluarga di daerah
penelitian relatif merata karena diperoleh distribusi kesejahteraan ekonomi
keluarga antara kelompok terendah dengan kelompok kesejahteraan paling
atas relatif merata baik di wilayah pesisir maupun di wilayah pegunungan.
Namun demikian, tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga yang
berada di wilayah pegunungan relatif lebih merata dibandingkan dengan
tingkat kesejahteraan yang berada di wilayah pesisir pantai.
Saran
(1) Perlu penelitian lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga di wilayah perdesaan
terutama yang dapat mendukung dan berpengaruh terhadap peningkatan
kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga secara struktural dan holistik.
(2) Perlu perhatian pemerintah menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya
peningkatan sumberdaya manusia di wilayah perdesaan terutama dalam
pengembangan program wajib belajar melalui subsidi pendidikan.
(3) Hasil penelitian ini belum mampu mengungkapkan tingkat disparitas dan
ketidaksamarataan kesejahteraan ekonomi keluarga berdasarkan agroekologi
wilayah di daerah perdesaan maka perlu penelitian lebih mendalam tentang
keterkaitan distribusi kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan
dengan memasukkan variabel jumlah anggota keluarga dan mata pencaharian
utama masyarakat sebagai confounding factor.
185
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Proseding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
________. 2005. Data Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Muara Sabak:
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
[Balitbangda Provinsi Jambi] Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah
Provinsi Jambi . 2003. “Evaluasi Kebutuhan Penempatan Transmigrasi di
Provinsi Jambi.” Jambi: Balitbangda Provinsi Jambi.
Becker, R.F. 1995. An Economic Analysis of Fertility. Dalam The Essence of
B.E.C.K.E.R. Ramon Febrero dan Pedro S. Schwartz. Hoover Institution
Press. California: Stanford University, Stanford.
Bollen, K.A. 1989. Stuctural Equation with Latent Variable. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
Bollen, Kenneth A., L Jennifer, dan G Stecklov. 2002. Socioeconomic Status,
Permanent Income, and Fertility: A Latent Variable Approach. Carolina
Population Center University of North Carolina at Chapel Hill 123 W,
Franklin Street Chapel Hill, NC 27516.
Guhardja S, Hidayat S, Hartoyo, dan Herien P. 1992. Pengembangan Sumberdaya
Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Joreskog G, Sorbom K.D, Stephen DT, dan Mathilda T. 1999. LISREL 8, New
Statistical Features. Chicago: SSI (Scientific Software International) Inc.
Mangkuprawira, Syafri. 2002. “Analisis Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga di
Daerah Industri Tenun Pedesaan.” Media Gizi & Keluarga. Bogor:
Jurusan Gizi Masyarakat & Sumberdaya Keluarga Fakultas PertanianInstitut Pertanian Bogor. Vol 25/2-2002. ISSN 0216-9363.
Mantra IB. 2000. Dasar-dasar Demografi. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Megawangi R. 2001. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender. Bandung: Mizan Pustaka. Kronik Indonesia Ba ru.
Siagian H. 1996. Manajemen Suatu Pengantar. Bandung: Alumni.
Suandi. 1998. “Studi Kemiskinan di Daerah Perdesaan Kabupaten Tanjung
Jabung Provinsi Jambi.” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian
Universitas Jambi.
______. 2000. “Studi Kemiskinan di Daerah Perdesaan Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi.” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian
Universitas Jambi.
186
______. 2002. “Kondisi Sosio-Demografi dan Kemiskinan di Daerah Perdesaan
Provinsi Jambi.” Jambi: Lembaga Penelitian Universitas Jambi.
Suandi, dan Bambang. 2003. “Profil Statistik dan Indikator Gender di Propinsi
Jambi.” Jakarta: Kerjasama Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta,
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Japan
International Cooperation Agency (JICA).
Suandi, dan Ernawati. 2005. “Analisis Kebijaksanaan Pendidikan Provinsi Jambi
Berbasis Gender.” Laporan Penelitian. Jambi: Kerjasama Dirjen Dikti
dengan Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Jambi.
187
ARTIKEL 3
PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN
EKONOMI KELUARGA DI WILAYAH PERDESAAN
PROVINSI JAMBI
ABSTRAK
Modal sosial merupakan sumberdaya terpenting dalam kehidupan
masyarakat karena modal ini merupakan jaringan/hubungan keluarga terhadap
dunia luar baik bersifat forma l maupun informal untuk memecahkan berbagai
persoalan yang ada di masyarakat. Tujuan penelitian adalah (1) Mengidentifikasi
dan menganalisis tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan
Provinsi Jambi, (2) Menganalisis pengaruh modal sosia l terhadap kesejahteraan
ekonomi keluarga di daerah perdesaan, dan (3)
Menghasilkan model
pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan. Desain penelitian adalah cross
sectional. P enelitian dilakukan di Provinsi Jambi dengan mengambil dua
Kabupaten, yaitu: Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Kerinci.
Waktu pengumpulan data penelitian selama 8 bulan. Variabel penelitian: (1)
kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif), (2) modal sosial (asosiasi
lokal dan karakter masyarakat). Data penelitian bersumber dari data primer dan
sekunder yang diambil dengan cara observasi, wawancara langsung, indepth
interview dan Focus Group Discussion (FGD). Sampel penelitian sebanyak 325
rumahtangga atau 10 persen dari populasi ( 3.257 rumahtangga) yang diambil
secara bertutur-turut dengan cara cluster, purposive, dan simple random sampling.
Analisis data menggunakan model Structural Equation Modelling (SEM) dengan
program LISREL (versi 8.7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laten variabel
modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung
maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap tingkat
kesejahteraan ekonomi keluarga terutama di wilayah pegunungan. Artinya,
semakin tinggi tingkat modal sosial yang dimiliki oleh keluarga maka tingkat
kesejahteraan mereka semakin baik. Peran modal sosial dalam meningkatkan
kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan dapat melalui tiga
mekanisme, yakni: (1) berbagi informasi, (2) intensitas berkelompok dan (3)
mekanisme tindakan bersama (collective action). Peran lain dari modal sosial
yaitu memfasilitasi berbagai akses di masyarakat, seperti: pengadaan air dan
irigasi, kredit, dan akses dalam mendapatkan input pertanian/ teknologi. Oleh
karena itu, penguatan modal sosial sangat tepat dalam pemberdayaan masyarakat
perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga.
Kata-kata kunci: kesejahteraan ekonomi keluarga, modal sosial, dan pemberdayaan
masyarakat.
166
188
THE EFFECT OF SOCIAL CAPITAL ON FAMILY ECONOMIC
WELL-BEING IN RURAL OF JAMBI PROVINCE
ABSTRACT
The objectives of this study are: (1) to comprehend and analyze the
objective and the subjective family well-being, (2) to explore the effect of social
capital variables on family objective and subjective economic well-being. and (3)
to develop the community development model in rural area of Jambi Province.
The research design is cross sectional and was carried out in Kerinci and East
Tanjung Jabung districts from January to August 2006. Variables used are social
capital, and family well-being both objective and subjective economic wellbeing. 325 household samples are chosen using cluster, purposive and random
sampling methods. Data were collected using survay, indepth interview, and
Focus Group Discussion (FGD). Descriptive, and Structural Equation Modeling
(SEM) models were used for data analyzed. The results show that social capital
(asociation and people character) both directly and indirectly has a significant
effect on family economic well-being in mountainous area. The research finding
also showed that there was no significant effect of social capital on family
economic well-being in coastal area. The roles of social capital in generating
family well-being are created through: (1) sharing informations, (2) asociation
activities, and (3) collective actions. Besides, the social capital also give access to:
(1) irrigation for farming and water supply for household needs, (2) credit for
agriculture activities, and (3) agricultural input and technology for farmers. The
research come to the conclusion that strengthening social capital is very important
in community development to increase family well-being in rural area.
Key words: family economic well-being, social capital, and community development.
167
189
PENDAHULUAN
Teknologi, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan faktor
penting dalam menentukan kapasitas masyarakat untuk menghasilkan suatu
produk. Namun demikian, faktor produksi tersebut belum mampu melihat tingkat
interdependensi antar individu
faktor institusi dan
dalam masyarakat kalau tidak didukung oleh
nilai yang berlaku di masyarakat (Pakpahan, 1996:115).
Pengalaman selama ini, setiap peningkatan kesejahteraan, masyarakat dianggap
sebagai “mesin rusak,” dan pengetahuan yang ada digunakan untuk memperbaiki
“mesin” tersebut. Disamping itu, determinan kesejahteraan (well-being) hanya
terbatas pada faktor fisik (alam, ekonomi, dan sumberdaya manusia), dan sedikit
sekali melihat kesejahteraan dalam konteks modal sosial (Morris, 1998). Padahal
modal sosial merupakan sumberdaya terpenting dalam kehidupan masyarakat
karena modal ini merupakan jaringan/hubungan keluarga terhadap dunia luar baik
bersifat formal maupun informal untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada
di masyarakat.
Penduduk Provinsi Jambi, seperti
penduduk lainnya di Indonesia,
mengelompok sesuai dengan ciri yang dianut masyarakat, seperti: pola
penguasaan lahan, karakteristik sosio-budaya, dan etnisitas sehingga dapat
berpengaruh
terhadap
income
inequality.
Melihat
adanya
perbedaan
pengelompokan masyarakat di Provinsi Jambi, tingkat kesejahteraan yang
diharapkan memiliki nilai tersendiri dan peran modal sosial dalam arti jalinan
jaringan kerja baik secara formal maupun info rmal satu dengan lainnya adalah
cukup penting. Hingga saat ini, penelitian dan pengembangan konsep modal sosial
dan perannya dalam pembangunan, terutama kaitannya dengan kesejahteraan
masyarakat di Indonesia masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi dan menganalisis tingkat
kesejahteraan ekonomi keluarga (objective and subjective economic well-being) di
daerah perdesaan Provinsi Jambi, (2) menganalisis pengaruh modal sosial
terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan, dan (3)
menghasilkan model pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan.
168
190
METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi
Jambi dengan mengambil dua Kabupaten, yaitu: Kabupaten Tanj ung Jabung
Timur dan Kabupaten Kerinci. Terpilihnya kedua Kabupaten tersebut sebagai
wilayah penelitian dengan pertimbangan diharapkan dapat mewakili karakteristik
kabupaten yang ada di Provinsi Jambi baik dilihat dari aspek ekologi, ekonomi
maupun sosial budaya. Kabupaten Tanjung Jabung Timur misalnya, dapat
mewakili wilayah pesisir pantai (pasang surut), mayoritas masyarakat berasal dari
suku Melayu, Bugis dan suku Banjar (migrasi spontan) dengan mata pencaharian
utama sebagai nelayan, usaha perkebunan kelapa dalam, dan padi sawah pasang
surut. Kabupaten Kerinci mewakili masyarakat wilayah pegunungan (dataran
tinggi), mayoritas masyarakat didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan mata
pencaharian utama usahatani padi sawah, usaha perkebunan kulit manis
(cassiavera), dan perkebunan kopi.
Waktu pengumpulan data penelitian selama delapan bulan, mulai dari
bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2006. Pengumpulan data penelitian
dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan data atau penelitian
penjajakan (uji coba kuesioner). Tahap kedua adalah pengumpulan data primer
dan sekunder.
Uji Reliabilitas
Tingkat validitas penelitian salah satunya ditentukan oleh reliabilitas
instrumen atau tingkat konsistensi antar konstruk variabel penelitian. Untuk
menguji besar kecilnya nilai reliabilitas instrument penelitian menggunakan tolok
ukur nilai a-cronbach. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai a-cronbach
penelitian berkisar antara 0,887 – 0,920. Dengan demikian, tingkat reliabilitas
antar konstrak variabel penelitian atau informasi yang terjaring cukup dapat
dihandalkan karena berdasarkan standar nilai paling rendah yaitu sebesar 0,60.
Namun dalam sub kelompok variabel masih terdapat sedikit kesenjangan nilai
169
191
yang diperoleh pada konstruk penelitian dibandingkan secara total tetapi rentang
perbedaan nilai tersebut tidak terlalu mencolok maka masih dapat dipertahankan.
Adapun, peubah-peubah penelitian yang memperoleh kesenjangan nilai a-cronbach
dalam penelitian ini yaitu peubah penelitian ”Modal Sosial” terdapat perbedaan
nilai sebesar 0,029 atau antara 0,887 - 0,916 (pertanyaan tentang manfaat dari
asosiasi). Secara jelas distribusi nilai
a-cronbach penelitian dapat dilihat pada
Tabel 52.
Tabel 52 Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Petanyaan, nilai
a-cronbach dan nilai a-cronbach setelah distandarisasi
Jumlah
Item
a-cronbach
? -cronbach Based
on Standardized
Items
Modal Sosial (MS) (Total)
12
0,920
-
a. Asosiasi Lokal (Aslok)
4
0,887
0,916 *)
b. Karakter Masyarakat (Kmas)
8
0,890
-
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES)
12
0,893
-
Total
36
0,905
-
No
Peubah Penelitian
01
02
-
Keterangan:
*)
pertanyaan tentang manfaat asosiasi lokal bagi keluarga
Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data
Data penelitian bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh langsung dari rumahtangga dan keluarga terpilih melalui metode
wawancara dengan dipandu daftar pertanyaan (kuesioner) dan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder diperoleh dari
instansi dan lembaga terkait disamping dari laporan hasil penelitian, journal
maupun majalah yang memuat tentang masalah modal sosial dan kesejahteraan
ekonomi keluarga.
Jenis atau variabel penelitian dibagi kedalam dua kelompok, yaitu: modal
sosial (asosiasi lokal dan karakter individu) dan kesejahteraan ekonomi keluarga.
Asosiasi lokal, meliputi: jumlah asosiasi yang diikuti, tingkat partisipasi dan
manfaat
asosiasi,
sedangkan
variabel
karakter
masyarakat,
meliputi:
keterpercayaan, solidaritas, dan semangat kerja. Aspek kesejahteraan ekonomi
192
keluarga dibagi dalam dua dimensi, yakni kesejahteraan ekonomi objektif dan
kesejahteraan ekonomi subjektif. Kesejahteraan ekonomi objektif, meliputi: (1)
kebutuhan pangan, (2) non pangan, dan (3) kebutuhan investasi sumberdaya
manusia,
sedangkan
kesejahteraan subjektif yaitu melihat tingkat kepuasan
keluarga, meliputi: (1) pemenuhan kebutuhan pangan, (2) pemenuhan non pangan,
dan (3) pemenuhan kebutuhan investasi.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara survai melalui daftar
pertanyaan (kuesioner) dan daftar wawancara disamping pengumpulan data secara
observasi. Untuk mendapatkan informasi lebih mendalam, pengumpulan data
dilanjutkan dengan metode Focus Group Discussion (FGD) dan Indepth Interview
terhadap beberapa keluarga terpilih.
Sampel Penelitian
Daerah/sampel penelitian (kabupaten penelitian) ditentukan dengan
metode cluster sampling yaitu berdasarkan agroekologi wilayah sehingga terpilih
wilayah dataran tinggi (pegunungan) dan daerah pesisir pantai (pasang surut).
Diambilnya daerah/wilayah penelitian berdasarkan agroekologi, mengingat
distribusi penduduk Provinsi Jambi menyebar berdasarkan tipologi tersebut.
Selanjutnya, desa/kelurahan penelitian diambil secara purposive sampling dan
mengikuti pola pada masing- masing wilayah Kabupaten dan Kecamatan,
sedangkan keluarga (rumahtangga) diambil secara simple random sampling
sebesar 325 orang atau 10 persen dari jumlah rumahtangga yang ada pada masingmasing desa wilayah penelitian.
Kemudian, jumlah sampel yang digunakan
sebagai indepth interview atau Focus Group Discussion (FGD) sebesar 33 orang
atau 10 persen dari jumlah keluarga masing- masing desa.
Analisis Data
Analisis data dimulai dari melakukan sortasi, dan “coding”. Kemudian
dilanjutkan analisis data secara deskriptif dengan menggunakan tabel frekuensi
tunggal untuk data modal sosial, dan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga.
Untuk melihat hubungan modal sosial terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi
193
keluarga secara struktural dianalisis dengan model Structural Equation Modelling
(SEM) melalui program LISREL (versi 8.7)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Modal Sosial
Modal sosial merupakan bentuk jaringan kerja sosial dan ekonomi di
masyarakat yang terjadi antar individu dan kelompok baik formal maupun
informal yang bermanfaat dan menguntungkan. Modal sosial dikategorikan
melalui dua dimensi yang saling berhubungan (interrelated), yakni:
dimensi
struktural, dan dimensi karakter14 . Dimensi struktural diukur dalam bentuk
kelompok dan organisasi (asosiasi lokal). Tinggi rendah kontribusi asosiasi lokal
terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga diukur secara komposit dari dimensi (a)
jumlah asosiasi yang diikuti, (b) tingkat partisipasi dalam asosiasi, dan (c)
manfaat asosiasi dengan nilai sebagai berikut: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3)
tinggi, dan (4) sangat tinggi, sedangkan dimensi karakter diukur dari nilai
komposit: (a) tingkat keterpercayaan, (b) solidaritas, dan (c) semangat kerja
dengan nilai: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi.
Asosiasi Lokal
Dari hasil pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa tingkat
asosiasi lokal yang dimiliki keluarga contoh di daerah penelitian cukup bervariasi
baik dilihat dari jumlah asosiasi yang diikuti, partisipasi maupun manfaat dari
asosiasi lokal. Namun, sebagian besar keluarga contoh memiliki asosiasi lokal
tergolong tinggi yaitu mencapai 57,3 persen. Artinya, proporsi keluarga contoh
yang memiliki asosiasi lokal pada tingkat tinggi dan sangat tinggi mencapai 57,3
persen. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan asosiasi lokal bagi keluarga
contoh di daerah penelitian cukup penting. Apabila dibedakan berdasarkan daerah
penelitian ternyata kelompok masyarakat dengan tingkat asosiasi lokal tinggi dan
14
Konsep ini mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu (1986), Coleman (1988),
dan Putnam, Leonardi, dan Nanetti (1993), Grootaert (1997), Woolcock (1998), Fukuyama
(1999), Uphoff (1999) (Dasgupta P., 2000:218), dan Flores dan Fernando (2003) (disempurnakan).
194
sangat tinggi terdapat di wilayah pegunungan dengan persentase sebesar 67
persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai sekitar 46 persen.
Tabel 53 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Asosiasi Lokal yang Dimiliki,
Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Tingkat Asosiasi
Lokal
Wilayah
pegunungan
Jumlah
Persen
Wilayah pesisir
pantai
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
01
Sangat rendah
23
13.2
27
17.9
50
15.4
02
Rendah
34
19.5
55
36.4
89
27.4
03
Tinggi
81
46.6
56
37.1
137
42.2
04
Sangat tinggi
36
20.7
13
8.6
49
15.1
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Besarnya persentase keluarga contoh dengan asosiasi lokal yang rendah
dan sangat rendah yang terdapat di wilayah pesisir pantai sangat erat kaitannya
dengan jumlah dan tingkat partisipasi mereka dalam kelompok atau organisasi
yang terdapat dalam desa. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa
keterlibatan keluarga contoh dalam berbagai asosiasi lokal sangat sedikit, baik
kegiatan ekonomi maupun kegia tan lainnya, dan hal ini diperparah lagi oleh
jumlah asosiasi yang berkembang di wilayah pesisir pantai sangat terbatas bila
dibandingkan dengan daerah wilayah pegunungan.
Jumlah Asosiasi Lokal yang Diikuti
Keluarga Contoh
Jumlah asosiasi lokal yang diikuti keluarga contoh di daerah penelitian
dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu: sangat sedikit (satu asiosiasi),
sedikit (dua asosiasi), banyak (tiga asosiasi), dan sangat banyak (lebih dari tiga
asosiasi). Hasil pengamatan lapangan diperoleh bahwa jumlah asosiasi lokal yang
diikuti keluarga contoh di daerah penelitian tergolong besar karena lebih dari 59
persen keluarga contoh mengikuti sebanyak tiga atau lebih asosiasi lokal (Tabel
54). Dengan semakin banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota
keluarga contoh diharapkan dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat
195
kebersamaan dan solidaritas sesama anggota masyarakat sehingga pada gilirannya
akan berdampak terhadap kesejahteraan dan kemajuan desa. Kemudian, pada
masa era globalisasi, reformasi dan otonomi daerah, asosiasi lokal yang
berkembang di daerah dan diikuti oleh anggota masyarakat akan sangat berperan
dalam membendung dan menopang berbagai informasi berupa inovasi baru yang
datang dari luar terutama yang berkaitan dengan kehid upan masyarakat dan
pembangunan daerah. Adapun asosiasi yang berkembang di daerah penelitian
berjumlah 18 asosiasi, baik asosiasi formal maupun nonformal/kelompok
(Lampiran 3).
Tabel 54 Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang diikuti
Keluarga, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Jumlah Asosiasi
Lokal yang diikuti
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat sedikit (=1)
26
14.9
35
23.2
61
18.8
02
Sedikit (=2)
31
17.8
39
25.8
70
21.5
03
Banyak (=3)
61
35.1
51
33.8
112
34.5
04
Sangat banyak (> 3)
56
32.2
26
17.2
82
25.2
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Pada Tabel 54 tampak terdapat perbedaan yang cukup besar sebaran
contoh keluarga antara wilayah
pegunungan
dengan wilayah pesisir pantai
dalam mengikuti asosiasi lokal. Melalui tabel tersebut dapat diketahui bahwa
keluarga contoh di wilayah pegunungan yang mengikuti asosiasi lokal sebanyak
tiga macam atau lebih mencapai 67 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai
hanya 51 persen. Relatif banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh
anggota keluarga contoh di wilayah
pegunungan
disebabkan perkembangan
asosiasi itu sendiri dan keterkaitan antara satu kalbu dengan kalbu lainnya yang
memiliki tingkat kekeluargaan tinggi. Hal ini terungkap melalui diskusi dengan
salah satu tokoh cendikiwan muda yaitu bapak Sulaiman, beliau menuturkan:
196
”kehidupan masyarakat disini mengelompok dalam kalbu masing-masing.
Kenapa saya katakan demikian, mayoritas mata pencaharian masyarakat
di wilayah pegunungan adalah pertanian padi sawah, sedangkan lahan
padi sawah tersebut umumnya bukan merupakan hak milik tetapi adalah
”sistem gilir ganti” dalam satu kalbu begitu juga dalam sitem
pengerjaannya dilakukan secara bersama-sama apa yang disebut dengan
”kerja kalbu15 ” dan sistem kelompok ”handel16 .”
Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga
Tingkat partisipasi anggota keluarga contoh dalam asosiasi lokal dilihat
dari dua aspek, yakni: tingkat keaktifan dalam pertemuan dan pengambilan
keputusan selama mengikuti pertemuan. Seperti tersaji pada Tabel 55, 58 persen
dari seluruh keluarga contoh merupakan anggota yang aktif dan sangat aktif dalam
asosiasi. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian
ternyata anggota keluarga contoh di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat
partisipasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan anggota keluarga contoh di
wilayah pegunungan, masing masing 49, dan 66 persen.
Tabel 55 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga
dalam Asosiasi Lokal, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Tingkat Partisipasi
dalam Asosiasi
Lokal
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Tidak aktif
28
16.1
29
19.2
57
17.5
02
Kurang aktif
32
18.4
48
31.8
80
24.6
03
Aktif
57
32.8
41
27.2
98
30.2
04
Sangat aktif
57
32.8
33
21.9
90
27.7
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
15
16
Total
Sistem kalbu yaitu sistem kerja bersama (saling tolong menolong) tanpa upah dalam satu garis turunan
Sistem handel artinya sistem kerja kelompok dengan mengambil upahan dan setiap mendapat upahan uang
disimpan dan dibagikan menjelang hari raya idul fitri.
197
Dengan kata lain, anggota keluarga contoh di daerah wilayah
pesisir pantai
kurang aktif dalam mengikuti berbagai aktivitas dan pertemuan kelompok/
organisasi sehingga akan berdampak kepada produktivitas kelembagaan itu
sendiri. Lebih jelas sebaran contoh keluarga berdasarkan tingkat partsisipasi
anggota keluarga dalam asosiasis lokal padat dilihat pada Tabel 55.
Berdasarkan tingkat partisipasi dalam pertemuan, seperti tertera pada
Tabel 70, dimana tingkat partisipasi anggota keluarga sangat tinggi sekali yaitu
mencapai angka 72 persen dengan frekuensi pertemuan lebih dari 75 persen dan
bahkan 60 persen diantaranya aktif mengikuti pertemuan kelompok/organisasi
setiap kali pertemuan17 (Tabel 56). Kalau berdasarkan daerah penelitian hasilnya
tidak jauh berbeda dengan tingkat partisipasi dalam asosiasi lokal tetapi proporsi
pada tingkat pertemuan ini tidak begitu kentara. Melihat dari tingkat frekuensi
pertemuan anggota keluarga contoh dalam asosiasi yang diikuti ini menunjukkan
bahwa keterkaitan keluarga contoh dengan asosiasi lokal yang berkembang
dimasyarakat cukup kuat. Asosiasi masyarakat baik berupa kelembagaan sosial,
ekonomi maupun kelembagan lain seperti pendidikan, kesehatan bahkan politik
cukup penting bagi masyarakat dalam kehidupan sehari- hari.
Sebagai contoh kecil, peran asosiasi lokal bagi kehidupan masyarakat
yaitu pemanfaatan air irigasi untuk keperluan mengairi tanaman padi sawah.
Seperti yang diutarakan oleh Kepala Desa Jujun (Supratman Yunus):
”Air irigasi yang diperlukan oleh masyarakat terutama yang
menggunakan irigasi desa,
bukan irigasi pemerintah, harus diatur
dalam kelompok kalbu. Kalau tidak ada peran kelompok kalbu pola
pengairan menjadi tidak teratur dan tidak efisien karena setiap orang
harus menjaga bendungan air irigasi setiap hari, tetapi dengan adanya
kelompok penjaga air irigasi ini, mereka dapat memelihara secara
bergiliran dan sesuai dengan waktu dan keperluan dari masing-masing
anggota kelompok.”
17
Keluarga Contoh Wilayah Pegunungan yang ikut setiap pertemuan = 68,2 %
Keluarga Contoh Wilayah Pesisir Pantai yang ikut setiap pertemuan = 50,3 %
Keluarga Contoh Total yang ikut setiap pertemuan = 60.4 %
198
Tabel 56 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga pada
Pertemuan Asosiasi Lokal, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Tingkat Partisipasi
dalam Pertemuan
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Tidak aktif (0-25 %)
19
4.3
14
4.1
33
4.2
02
Kurang aktif (26-50 %)
53
12.1
80
23.4
133
17.0
03
Aktif (51-75 %)
25
5.7
28
8.2
53
6.8
04
Sangat aktif (> 75 %)
343
77.9
220
64.3
563
72.0
-
Total
440
100.0
342
100.0
782
100.0
-
Rata-rata
86
79
83
Pengambilan Keputusan
Keikutsertaan anggota keluarga contoh dalam pengambilan keputusan
pada pertemuan asosiasi lokal cukup penting bagi kelembagaan yang mereka ikut i
karena hal ini sangat menentukan tingkat kemajuan dan peran dari kelembagaan
tersebut. Berdasarkan data pada Tabel 57, tampaknya anggota keluarga contoh
sangat aktif dalam mengambil berbagai keputusan pada setiap kali pertemuan
asosiasi.
Tabel 57 Sebaran Contoh Berdasarkan Keikutsertaan Anggota Keluarga dalam
Pengambilan Keputusan pada Setiap Pertemuan, 2006
Sebaran Contoh
No
Pengambilan
Keputusan dalam
Pertemuan Asosiasi
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Tidak aktif
10
1.9
11
2.9
21
2.3
02
Kurang aktif
85
15.8
69
18.3
154
16.8
03
Aktif
442
82.3
298
78.8
740
80.9
537
100.0
378
100.0
915
100.0
-
Total
Hal ini mengindikasikan begitu pentingnya asosiasi bagi masyarakat karena
kelembagaan atau asosiasi yang mereka ikuti memiliki akses yang tinggi dalam
199
berbagai fasilitas publik. Namun demikian, seperti terlihat pada Tabel 57, masih
ada diantara anggota keluarga yang tidak aktif dalam mengambil berbagai
keputusan pada setiap pertemuan tetapi angka ini sangat relatif kecil yaitu sekitar
2,3 persen. Ketidakaktifan anggota keluarga contoh dalam pengambilan keputusan
pada setiap pertemuan disamping faktor partisipasi yang rendah juga disebabkan
oleh faktor dominasi pimpinan sidang pada setiap pertemuan.
Manfaat Kelompok/Organisasi bagi
Keluarga
Faktor manfaat secara struktural merupakan elemen penting dalam modal
sosial karena faktor ini berkaitan erat dengan keterlibatan anggota masyarakat
dalam asosiasi. Artinya, semakin besar nilai manfaat dari suatu asosiasi bagi
keluarga maka kontribusi setiap anggota keluarga semakin besar dan sebaliknya.
Manfaat asosiasi bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup besar hal ini
ditandai dengan tingginya proporsi keluarga yang mencapai 70 persen lebih
(Tabel 58). Hal senada juga ditunjukkan oleh persentase keluarga contoh di kedua
daerah penelitian yang menyatakan bahwa asosiasi yang mereka ikuti sangat
bermanfaat dengan nilai masing- masing 75 persen di pegunungan dan 68 persen
di wilayah pesisir pantai.
Tabel 58 Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi Keluarga,
Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Manfaat Asosiasi
Lokal
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Tidak bermanfaat
17
9.8
23
15.2
40
12.3
02
Kurang bermanfaat
26
14.9
24
15.9
50
15.4
03
Bermanfaat
69
39.7
67
44.4
136
41.8
04
Sangat bermanfaat
62
35.6
37
24.5
99
30.5
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) di desa Koto Agung Kecamatan
Keliling Danau wilayah pegunungan menyimpulkan bahwa asosiasi desa yang
200
ada di daerah ini baik asosiasi formal maupun informal cukup penting dalam
meningkatkan perekonomian dan hubungan sosial dalam masyarakat. Seperti
dicontohkan oleh salah seorang peserta yaitu bapak Sapri Joni, ia menuturkan
sebagai berikut:
”keberadaan asosiasi di desa kami ini sangat berperan sekali terutama
sistem kerja gotong royong (collective action), misalnya membangun
jalan menuju ke sentra produksi (kebun), membangun dan atau
membersih hulu sungai untuk pengairan persawahan, membangun
fasilitas umum (masjid), madrasah, dan fasilitas umum lainnya.”
Cukup banyak jenis asosiasi lokal yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga
contoh baik untuk keperluan ekonomi, pendidikan maupun keperluan sosial.
Lebih dari 18 asosiasi (formal dan informal) lokal yang dapat dimanfaatkan oleh
keluarga contoh untuk berbagai keperluan atau kepentingan. Apabila dibedakan
berdasarkan daerah penelitian ternyata asosiasi lokal terbanyak yang berkembang
dan dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh terdapat di wilayah pegunungan
yaitu sebanyak 16 asosiasi, sedangkan di wilayah
pesisir pantai
hanya 10
asosiasi.
Manfaat, dalam hal ini tingkat kebutuhan masyarakat dari asosiasi lokal
yang mereka ikuti secara rinci tertera pada Tabel 59. Dari Tabel tersebut tampak
asosiasi sosial merupakan persentase terbesar yang dibutuhkan oleh anggota
keluarga contoh yaitu mencapai 33 persen, kemudian persentase terbesar kedua
adalah asosiasi yang bergerak untuk kebutuhan pangan yaitu mencapai 24 persen,
sedangkan persentase terkecil yaitu asosiasi yang bergerak di bidang kesehatan (6
persen). Namun, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian tampaknya
terdapat perbedaan kebutuhan asosiasi dari kedua wilayah penelitian. Jenis
asosiasi yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat di wilayah pegunungan
berturut-turut adalah asosiasi yang bergerak dibidang pangan, pendidikan, sosial
dan permodalan, sedangkan di wilayah pesisir pantai
hanya tertumpu pada
kelompok sosial yaitu mencapai 46 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa
masyarakat yang terdapat di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat interaksi
sosial di masyarakat tergolong rendah. Kenyataan ini didukung oleh hasil diskusi
201
(FGD) denga n tokoh-tokoh masyarakat baik yang berada di Kecamatan Nipah
Panjang maupun di Kecamatan Mendahara Ilir:
”Umumnya masyarakat di daerah ini hubungan antar sesama anggota
masyarakat sangat terbatas. Menurut mereka keterbatasan hubungan
keakraban antar sesama anggota masyarakat karena banyaknya
kelompok kesukuan yang ada di daerah ini karena kami umumnya adalah
transmigran (spontan dan umum) sehingga sulit untuk membuat satu
kesatuan asosiasi yang utu h untuk kepentingan bersama. Disisi lain,
masyarakat disini lebih banyak melakukan aktivitas secara individual
daripada kelompok kecuali kalau ada anggota masyarakat yang
mendapat musibah (meninggal) itupun hanya membantu memberi doa
yang disebut sebagai asosiasi sosial (yasinan).”
Table 59 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Asosiasi Lokal bagi Anggota
Keluarga, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Kebutuhan
Asosiasi Lokal
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Pangan
135
30.7
59
17.2
194
24.8
02
Pendidikan
115
26.1
40
11.7
155
19.8
03
Kesehatan
21
4.8
27
7.9
48
6.2
04
Tambahan modal
68
15.4
58
17.0
126
16.1
05
Sosial
101
23.0
158
46.2
259
33.1
440
100.0
342
100.0
782
100.0
-
Total
Kebutuhan asosiasi di wilayah pegunungan seperti tertera pada Tabel 59,
dapat dijelaskan bahwa kebutuhan asosiasi terbesar yang dibutuhkan oleh
masyarakat adalah asosiasi yang bergerak di bidang pangan yaitu mencapai 30
persen. Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa asosiasi yang bergerak di
bibidang pangan ini berasal tiga jenis asosiasi yang berkembang di masyarakat
(Lampiran 3), yakni: asosiasi Kelompok Usahatani (KUT), Kelompok
Perkumpulan Petani Pemakai Air (KP3A) dan asosiasi Kelembagaan Adat.
Asosiasi KUT misalnya adalah asosiasi yang di sponsori oleh pemerintah yang
202
bergerak dibidang pertanian: bantuan bibit (tanaman, ternak dan ikan) dan bantuan
lainnya, KP3A adalah asosiasi desa yang berkembang dimasyarakat di wilayah
pegunungan yaitu kelompok pengelola air irigasi yang digunakan untuk pengairan
padi sawah, dan kelembagaan adat disamping berfungsi sebagai lembaga sosial,
pendidikan juga berperan sebagai kelompok yang bergerak untuk keperluan
pangan masyarakat (contoh: raskin).
Asosiasi terbesar kedua yang berkembang di wilayah pegunungan dan
dibutuhkan oleh masyarakat yaitu asosiasi yang bergerak di bidang pendidikan
(26 persen). Melihat distribusi yang ada, asosiasi yang bergerak dibidang
pendidikan ini berasal dari
beberapa jenis asosiasi, yakni: Asosiasi Karang
Taruna, Majlis Taklim, PKK, kelompok keagamaan, kesenian tradisional dan
asosiasi kelembagaan adat. Asosiasi Karang Taruna adalah asosiasi kepemudaan
yang bergerak dibidang pendidikan/pelatihan atau pola sejenisnya (olaharaga,
kesenian) yang dapat meningkatkan keterampilan masyarakat. Majlis Taklim
adalah kelompok pengajian khususnya ibu- ibu/wanita yang secara rutin (1 bulan
sekali) melaksanakan belajar bersama baik dalam bentuk ceramah, diskusi
maupun bentuk lainnya dengan tujuan meningkatkan ilmu pengetahuan. Kegiatan
yang sama juga terdapat pada asosiasi PKK, kelompok keagamaan: selain majlis
taklim terdapat kelompok keagamaan Muhammadiyah baik dari kalangan pemuda
maupun kelompok lainnya, kesenian tradisional, seperti ”tari asyek” dan
kelembagaan adat yaitu berfungsi untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan masyarakat. Khusus peran kelembagaan adat dalam bidang
pendidikan yaitu secara periodik tokoh-tokoh adat mengadakan semacam
lokakarya dan diskusi terhadap calon-calon ”depati” dan ”ninik mamak ” dari
berbagai kelompok ”kalbu” tentang seluk beluk adat yang dianut di masyarakat
setempat dan cara-ara penyelesaiannya.
Asosiasi lain yang cukup memberi andil terhadap kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat di wilayah pegunungan adalah asosiasi yang bergerak
di bidang sosial, tambahan modal dan kesehatan. Asosiasi yang bergerak di
bidang sosial adalah asosiasi ”leg,” kelembagaan adat, kesenian tradisional, dan
asosiasi Persatuan Buru Babi (PBB). Asosiasi ”leg” di wilayah
pegunungan
secara umum disebut kelompok yasinan. Oleh karena, asosiasi ini mayoritas
203
bergerak pada kelompok kalbu maka kelompok ini disebut dengan istilah ”leg 18 .”
Adapun asosiasi yang bergerak dalam bidang tambahan modal terdiri dari
beberapa asosiasi, yakni: asosiasi ”handel19 ,” arisan, KUT dan Koperasi (KUD
dan keluarga). Asosiasi ”handel” sangat efektif membatu keluarga baik untuk
keperluan lebaran (pada saat lebaran) maupun untuk keperluan tambahan modal
kerja karena yang mendapatkan bantuan dari asosiasi ini (uang milik bersama)
tidak dikenakan bunga. Asosiasi POSYANDU sebagai asosiasi yang bergerak
dibidang kesehatan tampaknya masih relatif kecil manfaatnya bagi masyarakat.
Rendahnya manfaat POSYANDU bagi masyarakat di daerah perdesaan diduga
banyak disebabkan oleh faktor kesungguhan pemerintah memberikan akses
pelayanan kepada masyarakat. Hampir sebagian besar POSYANDU yang ada di
daerah penelitian sudah banyak yang tidak berfungsi lagi, namun demikian
dengan adanya program revitalisasi POSYANDU diharapkan asosiasi tersebut
dapat melayani masyarakat terutama pelayanan kesehatan anak-anak.
Berbicara mengenai akses keluarga contoh di daerah penelitian terhadap
asosiasi lokal tidak jauh berbeda dengan manfaat yang dapat dirasakan oleh
keluarga responden. Secara umum dapat dijelaskan bahwa akses keluarga contoh
di daerah penelitian seperti tertera pada Tabel 60 cukup banyak. Hal ini terlihat
dari proporsi keluarga contoh yang memiliki akses terhadap asosiasi ini yang
tergolong besar dan sangat besar yaitu mencapai 53 persen. Kalau dibandingkan
dengan manfaat asosiasi seperti tertera pada Tabel 58 tampaknya persentase
responden yang memiliki akses (besar dan sangat besar) pada asosiasi lokal relatif
lebih rendah namun lebih dari separo responden merasakan bahwa asosiasi lokal
sudah cukup memberikan berbagai kemudahan bagi me reka.
Berdasarkan daerah penelitian, proporsi terbesar keluarga contoh
merasakan memiliki akses besar dan sangat besar pada asosiasi lokal berada di
wilayah pegunungan (58 %), sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya sekitar 48
persen. Akses masyarakat terutama di wilayah pegunungan terhadap masing18
“leg” artinya sekumpulan atau sekelompok orang yang berasal dari hubungan pertalian darah
atau garis turunan tertent u (bonding) dengan tujuan bersama terutama kerjasama pada saat
menghadapi musibah kematian, secara umum disebut dengan istilah kelompok yasinan.
19
“handel” artinya sistem kerja kelompok (kalbu) dengan mengambil upahan dan setiap mendapat
upahan, penghasilannya disimpan terlebih dahulu dan dibagikan menjelang hari raya idul fitri.
204
masing asosiasi cukup merata kecuali akses terhadap pelayanan kesehatan dan
fasilitas publik (3,7 dan 3,4 %). Akses masyarakat paling besar terhadap
kebutuhan keluarga contoh terdapat pada asosiasi yang bergerak di bidang
pertanian (pengadaan air dan irigasi, kredit, dan input pertanian/ teknologi) yaitu
mencapai 43 persen (Tabel 61). Artinya, hampir dari separo asosiasi lokal yang
berkembang di wilayah pegunungan yang bergerak di bidang pertanian.
Tabel 60 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Aksesibilitas Asosiasi Lokal bagi
Keluarga, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Tingkat
Aksesibilitas
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat Kecil
31
17.8
36
23.8
67
20.6
02
Kecil
42
24.1
42
27.8
84
25.8
03
Besar
80
46.0
52
34.4
132
40.6
04
Sangat Besar
21
12.1
21
13.9
42
12.9
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Kemudian, pelayanan asosiasi lokal terbesar kedua dalam mendukung dan
membantu kemajuan dan kesejahteraan ekonomi keluarga yaitu asosiasi yang
bergerak di bidang pendidikan dan pelatihan dengan persentase mencapai 26
persen. Hal ini memberi gambaran bahwa masyarakat wilayah pegunungan lebih
cenderung memilih asosiasi yang dapat membantu atau mendukung kehidupan
mereka sehari- hari. Dengan kata lain, asosiasi terpenting pertama adalah asosiasi
yang bergerak di bidang pertanian karena hal ini erat kaitannya dengan kecukupan
pangan, dan seperti diketahui bahwa kecukupan pangan adalah kecukupan utama
dalam kehidupan sehari- hari atau disebut dengan kecukupan primer. Berikutnya,
masyarakat wilayah pegunungan disamping memperhatikan masalah kecukupan
akan pangan (konsumtif) mereka juga memperhatikan masa depan mereka
terutama masa depan anak-anak khususnya dalam pengembangan sumberdaya
manusia sehingga perioritas kedua keterlibatan mereka dalam asosiasi lokal
adalah asosiasi yang bergerak dibidang pendidikan. Secara implisit, bahwa
205
masyarakat wilayah pegunungan lebih rasional dan proporsional memilih atau
mengikuti asosiasi yang berkembang dimasyarakat. Hasil konkrit ini sekaligus
dapat menepis dari anggapan beberapa ahli tentang fungsi, manfaat dan akses dari
modal sosial secara struktural (asosiasi lokal) terhadap kesejahteraan ekono mi
keluarga atau masyarakat20 . Mereka menganggap bahwa modal sosial hanya
pergantian istilah dari kegiatan sosial belaka, padahal hasil temuan lapangan
menunjukkan bahwa modal sosial berperan penting dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan ekonomi keluarga.
Tabel 61 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Asosiasi Lokal bagi Keluarga,
Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Akses Asosiasi
Lokal
01
Pendidikan dan
pelatihan
02
Pelayanan
Kesehatan
Pengadaan air dan
Irigasi
Kredit/keuangan
03
04
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
115
26.2
40
11.7
155
19.8
17
3.7
27
7.9
44
5.6
54
12.3
0
0.0
54
6.9
67
15.2
54
15.8
121
15.5
05
Input
pertanian/teknologi
71
16.2
50
14.6
121
15.5
06
Sosial
101
23.0
158
46.2
259
33.1
07
Fasilitas Publik
15
3.4
13
3.8
28
3.6
440
100.0
342
100.0
782
100.0
-
Total
Tingkat Heterogenitas Asosiasi
Tingkat heterogenitas asosiasi lokal adalah tingkat keberagaman dari jenis
dan jumlah asosiasi yang diikuti oleh anggota keluarga contoh. Dengan kata lain,
semakin banyak jenis dan jumlah asosiasi yang diikuti oleh anggota keluarga
contoh maka tingkat asosiasi yang dimiliki semakin beragam (heterogen). Tingkat
heterogenitas asosiasi erat kaitannya dengan tingkat keterlibatan anggota keluarga
dalam asosiasi tersebut hubungannya dengan tingkat kesejahteraan. Artinya,
20
Kelompok masyarakat yang memiliki tingkat hubungan yang kuat (interralated) antara potensi
kognitif/karakter masyarakat dengan asosiasi yang berkembang.
206
semakin tinggi tingkat heterogenitas asosiasi yang diikuti oleh anggota keluarga
maka diharapkan dapat memberikan fungsi ganda terhadap kesejahteraan ekonomi
keluarga.
Seperti terlihat pada Tabel 62 bahwa tingkat heterogenitas asosiasi yang
diikuti anggota keluarga contoh cukup tinggi, hal ini dapat dibuktikan dari
persentase anggota keluarga yang memiliki tingkat heterogenitas tinggi dan sangat
tinggi yaitu mencapai 52 persen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
manfaat dan akses asosiasi bagi keluarga cukup penting sehingga heterogenitas
asosiasi yang diikuti tampaknya juga memberikan kontribusi yang sama terutama
keragaman asosiasi yang bersifat produktif.
Tabel 62 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Heterogenitas Asosiasi Lokal,
Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Tingkat
Heterogenitas
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Tidak Heterogen
28
16.1
39
25.8
67
20.6
02
Kurang Heterogen
39
22.4
50
33.1
89
27.4
03
Heterogen
57
32.8
40
26.5
97
29.8
04
Sangat heterogen
50
28.7
22
14.6
72
22.2
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Karakter Masyarakat
Karakter seorang individu merupakan “the sum total of the disinguishing
qualities of a person” atau sering juga disebut dengan istilah “moral exellence and
strength” (Webster, 1993). Lichona (Hastuti, 2006,11) melihat bahwa karakter
terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait satu sama lainnya, yakni: pengetahuan
tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan
perilaku bermoral (moral behavior). Artinya, seorang individu yang berkarakter
baik apabila individu tersebut dapat mengetahui tentang berbagai kebaikan
(knowing the good), menginginkan dan selalu mencintai kebaikan (loving the
good), dan selalu melakukan berbagai tindakan yang baik (acting the good).
207
Implementasi dalam kehidupan sehari- hari dan seorang individu yang berkarakter
baik dapat dilihat pada pola hidup dan interaksi sosial mereka dengan masyarakat
dalam konteks: nilai keterpercayaan, solidaritas dan semangat kerja. Nilai
keterpercayaan diukur dari tiga dimensi, yaitu: komitmen terhadap norma yang
berlaku, kejujuran, dan tanggung jawab. Solidaritas masyarakat dilihat dari aspek:
tingkat ketergantungan antar anggota masyarakat, saling bantu membantu, dan
aspek kepekaan terhadap kemajuan desa, sedangkan aspek semangat kerja diukur
dari disiplin dan keuletan kerja masyarakat.
Pada Tabel 63 tampak lebih dari 50 persen keluarga contoh di daerah
penelitian tergolong pada kelompok dengan karakter masyarakat yang tinggi dan
sangat tinggi. Dengan arti kata, bahwa rata-rata pola hidup dan interaksi sosial
masyarakat di daerah penelitian khususnya di daerah perdesaan Provinsi Jambi
relatif kondusif. Namun, apabila dibedakan berdasarkan wilayah
penelitian
ternyata proporsi terbesar keluarga contoh pada kelompok karakter yang tinggi
dan sangat tinggi terdapat di wilayah pegunungan (74,8 %), sedangkan
masyarakat di wilayah
pesisir pantai
hanya
sekitar 33,8 persen. Artinya,
kelompok masyarakat yang memiliki karakter baik (kelompok karakter tinggi +
sangat tinggi) di wilayah pesisir pantai jauh lebih kecil dibandingkan dengan
kelompok masyarakat yang ada di wilayah
pegununga n. Hasil pengamatan
lapangan dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat di wilayah pesisir
pantai diperoleh kesimpulan bahwa rendahnya karakter masyarakat di daerah
penelitian disebabkan keberagaman etnisitas. Menurut bapak Haji Said Yahya,
salah satu tokoh masyarakat yang berhasil dari usaha nelayan menuturkan:
“di daerah ini terdapat empat suku besar yang berkembang dengan pola
dan gaya hidup yang sangat kontras satu dengan lainnya, yakni: suku
melayu, bugis, banjar, dan suku jawa. Keempat suku tersebut memiliki
ciri dan kepentingan masing-masing sehingga akan berdampak terhadap
kepentingan masyarakat secara umum dan pada gilirannya dapat
merenggangkan interaksi sosial masyarakat secara utuh.”
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Robinson (2002:8) bahwa
keberagaman etnisitas dapat mempengaruhi tingkat income inequality dan
kebersamaan masyarakat.
208
Tabel 63 Sebaran Contoh Berdasarkan Karakter Masyarakat, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Karakter
Masyarakat
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat rendah
16
9.2
23
15.2
39
12.0
02
Rendah
28
16.1
77
51.0
105
32.3
03
Tinggi
85
48.9
43
28.5
128
39.4
04
Sangat tinggi
45
25.9
8
5.3
53
16.3
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Tingkat Keterpercayaan Masyarakat
Keterpercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang
terhadap perkataan, perjanjian, dan tindakan secara konsisten pada saat terjalinnya
hubungan antar individu atau kelompok/organisasi dalam masyarakat. Tingkat
keterpercayaan seseorang dapat dilihat dari dimensi: tingkat komitmen, kejujuran
dan tanggung jawab. Seperti terlihat pada Tabel 64, bahwa tingkat keterpercayaan
masyarakat di daerah penelitian tergolong relatif baik karena hasil perhitungan
diperoleh proporsi keluarga contoh yang tergolong pada kelompok keterpercayaan
tinggi dan sangat tinggi yaitu mencapai 57,8 persen. Artinya, hampir sebagian
besar masyarakat di daerah perdesaan Provinsi Jambi memiliki tingkat
keterpercayaan tinggi.
Tabel 64 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan Masyarakat,
Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Tingkat
Keterpercayaan
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat rendah
15
8.6
16
10.6
31
9.5
02
Rendah
27
15.5
79
52.3
106
32.6
03
Tinggi
87
50.0
48
31.8
135
41.5
04
Sangat tinggi
45
25.9
8
5.3
53
16.3
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
209
Berdasarkan wilayah penelitian, ternyata terdapat perbedaan yang cukup
besar kelompok masyarakat yang memiliki tingkat keterpercayaan tinggi antara
masyarakat di daerah wilayah pesisir pantai dengan daerah wilayah pegunungan.
Hasil pengelompokan menunjukkan bahwa masyarakat di daerah perdesaan
wilayah
pegunungan
memiliki tingkat keterpercayaan jauh lebih baik
dibandingkan dengan tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di daerah
perdesaan wilayah pesisir pantai
dengan nilai masing- masing 75,9 dan 37,1
persen. Relatif tingginya tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah
pegunungan sangat terkait dengan pola hubungan individu dalam masyarakat.
Pola hubungan atau interaksi individu dalam masyarakat Kerinci yaitu menganut
sistem ”kalbu.” Sistem kalbu adalah interaksi sosial/hubungan sosial masyarakat
dalam kelompok atau turunan tertentu yang dibingkai dalam sebuah kedepatian
dan lembaga adat dengan satu tujuan. Artinya, satu depati dengan depati yang lain
saling kait mengkait dan saling ketergantungan untuk membangun sebuah
kelembagaan yang kokoh yang disebut dengan kelembagaan adat.
Bapak Syamsir, sebagai salah satu tokoh adat di desa Jujun yang vokal
dan memiliki pengetahuan adat yang cukup mendalam di desa penelitian, ber
tutur sebagai berikut:
”segala aktivitas di desa ini harus berpedoman kepada adat. Lembaga
adat adalah lembaga formal bagi masyarakat desa sehingga aturanaturan yang ada dalam kelembagaan adat harus diikuti dan dituruti,
kalau tidak, jelas ada sanksi.” Lembaga adat cukup kuat di desa ini
karena dari tokoh-tokoh kita sebelumnya membingkai kelembagaan adat
dengan agama sehingga dasar kelembagaan adat disebut ”adat
bersendikan sarak, sarak bersendikan kitabullah.” Artinya, dasar adat
adalah hasil mupakat, sedangkan hasil mupakat ini berdasarkan
kesepekatan yang tertuang dalam alquran. Oleh karena itu, segala
sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat ataupun yang diucapkan dalam
kehidupan sehari-hari harus berpedoman kepada aturan-aturan dalam
adat.”
Berdasarkan keterangan-keterangan dan pernyataan-pernyataan dari salah
seorang informan tadi dapat disimpulkan bahwa keterpercayaan seorang individu
yang mapan dan dapat dipercayai di daerah perdesaan wilayah pegunungan
210
karena mereka merasakan bahwa dirinya adalah milik orang lain dan sebaliknya
masyarakat luas adalah bagian dari kepentingan mereka dalam menjalankan
interaksi/hubungan sosial. Kembali kepada hubungan masyarakat dalam
kelompok ”kalbu” dan kedepatian kaitannya dengan keterpercayaan masyarakat
adalah hubungan kekerabatan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Dimana tercapainya keterpercayaan masyarakat yang kuat dalam kelompok kalbu
dan kedepatian disebabkan oleh adanya komitmen, kejujuran dan tanggung jawab
masing- masing anggota untuk kepentingan bersama.
Tingkat Solidaritas Masyarakat
Solidaritas masyarakat merupakan kondisi masyarakat saling
mau
menerima, memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, saling bergantung satu
sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga
ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai. Tinggi rendahnya tingkat
solidaritas masyarakat dilihat dari tiga dimensi: ketergantungan satu sama lainnya,
saling bantu membantu, dan adanya kepekaan terhadap kemajuan desa. Secara
operasional solidaritas masyarakat merupakan frekuensi interaksi antara satu
individu dengan individu lainnya yang merujuk pada seberapa jauh individu
melakukan kontak-kontak langsung antara satu dengan lainnya. Semakin positif
sifat interrelasi diantara anggota masyarakat yang berupa solidaritas, atau
semangat kemasyarakatan, semakin besar kecenderungannya untuk saling
memperhatikan keinginan masing- masing dalam mencari jalan ke arah saling
memberi kepuasan dan kerjasama. Kerjasama tersebut berupa koordinasi dalam
tindakan mereka guna mencapai hasil yang sama-sama disenangi, tetapi di
samping itu kerjasama tersebut dapat berupa usaha bersama untuk mengubah
situasi atau aturan main. Dengan perubahan itu tercipta kesempatan bagi mereka
untuk mendapatkan situasi dan aturan main yang cocok dalam mereka
berhubungan. Menurut Burns (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003:99), semakin
berhasil koordinasi yang dilakukan untuk berbagai tindakan, semakin positif dan
kuat orientasi yang tertuju pada kelompok dari para individu yang bersangkutan
dan sebaliknya.
211
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat solidaritas masyarakat di daerah
penelitian relatif merata antara solidaritas masyarakat yang baik dan kurang baik
karena data yang diperoleh diantara kedua tingkat solidaritas tersebut relatif
berimbang: 41,5 persen tingkat solidaritas kurang baik dan 58,5 persen tingkat
solidaritas tergolong baik (Tabel 65).
Tabel 65 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Solidaritas Masyarakat, Tahun
2006
Sebaran Contoh
No Tingkat Solidaritas
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat rendah
11
6.3
31
20.5
42
12.9
02
Rendah
30
17.2
63
41.7
93
28.6
03
Tinggi
70
40.2
41
27.2
111
34.2
04
Sangat tinggi
63
36.2
16
10.6
79
24.3
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Namun, menurut wilayah penelitian ternyata persentase masyarakat terbesar yang
memiliki tingkat solidaritas tergolong baik terdapat di wilayah pegunungan (76,4
persen) dan persentase ini tidak jauh berbeda dengan persentase tingkat
keterpercayaan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi bahwa tingginya tingkat
solidaritas masyarakat di daerah perdesaan wilayah pegunungan seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya karena kuatnya kelembagaan adat yang ada di daerah
tersebut.
Solidaritas/kohesi sosial yang berkembang di wilayah
pegunungan
karena mereka memiliki tingkat jarak sosial yang saling mendekat satu dengan
lainnya.
Menurut Durkheim (Rahardjo: Balitbabangda Provinsi Jambi, 2003)
bahwa solidaritas atau kohesi sosial memiliki dua tipe, yaitu : (1) kohesi yang
didasarkan atas kesamaan-kesamaan diantara para anggota kelompok, dan (2)
kohesi yang didasarkan atas hubungan saling tergantung dalam divisi kerja
(division of labor). Kohesi sosial pertama dilandasi solidaritas yang terbentuk oleh
kesamaan-kesamaan para anggota kelompok, yang oleh Emile Durkheim disebut
212
solidaritas mekanik, sedangkan kohesi sosial kedua dilandasi oleh solidaritas yang
terbentuk justeru oleh perbedaan namun saling tergantung diantara para anggota
kelompok yang oleh Emile Durkheim disebut solidaritas organik. Kemudian, jika
kondisi jarak sosial tersebut dikaitkan dengan solidaritas mekanik. Maka Sorokin,
Zimmerman dan Galpin (Smith dan Zopf: Balitbabangda Provinsi Jambi, 2003)
dapat menginventarisasikan kedalam 14 (variabel) kesamaan yang membentuk
solidaritas mekanik, yakni : (1) kekerabatan dan hubungan darah; (2) perkawinan;
(3) kesamaan dalam agama atau kepercayaan; (4) kesamaan dalam bahasa dan
adat setempat; (5) pemilikan dan penggunaan tanah bersama; (6) prosimitas atau
kedekatan dalam suatu daerah; (7) adanya tanggung Jawab bersama; (8)
kebersamaan dalam kepentingan okupasi; (9) kebersamaan dalam kepentingan
ekonomi; (10) sama-sama menjadi bawahan dari seorang tuan tanah;(11)
kesamaan dalam akses terhadap suatu lembaga atau keagenan (agency); (12)
pertahanan dan keamanan bersama; (13) saling tolong-menolong; dan (14) hidup
dan pengalaman bersama.
Berbicara masalah solidaritas,
ditemukan perbedaan yang cukup
menyolok antara masyarakat yang berada di wilayah pegunungan
dengan
masyarakat yang berada di wilayah pesisir pantai. Masyarakat di wilayah
pegunungan misalnya, jarak sosial terwujud dari: perkawinan (kekeluargaan/
kalbu), kesamaan dalam agama atau kepercayaan, kedekatan dalam suatu daerah,
adanya tanggungjawab bersama, kesamaan dalam akses terhadap suatu lembaga
(agency), pertahanan dan keamanan bersama, dan saling tolong- menolong.
Dengan demikian, ciri solidaritas yang terbentuk di wilayah
pegunungan
mengarah pada solidaritas organik. Artinya, hubungan sosial yang terjadi antar
anggota masyarakat adalah society bukan community karena hubungan terjalin
melalui hubungan kalbu, kedepatian, dan kelembagaan adat dan merupakan
hubungan kekerabatan yang kuat dan kokoh dimana setiap ada persoalan dalam
masyarakat selalu adanya usaha untuk mengatur hubungan yang terjadi lebih
mendalam. Durkheim memandang ikatan sosial yang mekanistik ada pada
community, sedangkan society mengandung ikatan sosial yang organik. Pengertian
ikatan sosial yang mekanistik yaitu dihubungkan dengan hubungan saling
ketergantungan yang sekaligus saling isi mengisi tanpa harus diatur secara rinci,
213
sedangkan pengertian ikatan sosial organik yaitu dihubungkan dengan adanya
usaha- usaha untuk mengorganisir hubungan tersebut secara rinci dengan harapan
agar supaya berjalan lebih teratur.
Solidaritas antar masyarakat yang berada di wilayah pesisir pantai banyak
bersifat: kebersamaan dalam kepentingan pekerjaan, kebersamaan dalam
kepentingan ekonomi, dan saling tolong- menolong. Dengan demikian, ciri
solidaritas yang terbentuk dalam wilayah
ini mengarah pada bagian terbesar
solidaritas mekanistik dibanding dengan organik. Artinya, hubungan sosial yang
terjadi antar anggota masyarakat lebih berciri community dibanding society
sehingga ikatan yang terbentuk dikarenakan satu sama lain merasa saling
ketergantungan dan saling isi mengisi tanpa harus adanya usaha unt uk mengatur
hubungan yang terjadi secara mendalam.
Semangat Kerja Masyarakat
Seorang individu atau kelompok masyarakat dikatakan atau dicirikan
sebagai seorang semangat kerja tinggi (tipe pekerja keras) apabila mereka selalu
melakukan kegiatan dengan disiplin (ulet, pantang menyerah) dan melakukan
pekerjaan dengan segera serta memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien.
Salah satu contoh dari seorang individu atau sekekelompok masyarakat tergolong
pada karakter kerja keras adalah petani-petani jawa seperti yang dikemukakan
oleh Mubyarto (Swasono dan Singarimbun, 1985), yaitu petani-petani dari Jawa
bekerja dengan ulet, rajin dan tekun, termasuk kesediaan untuk bekerja lama
diterik matahari. Pendapat Mubyarto itu sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Weber (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003: 106) bahwa terdapat kaitan antara
perkembangan suatu masyarakat dengan sikap diri terhadap arti kerja. Weber
mencontohkan kaum Calvinis menganut prinsip bahwa kerja keras merupakan
suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan atau
kebahagian spiritual. Kerja keras merupakan suatu panggilan rohani untuk
mencapai kesempurnaan hidup. Konsekuensi dari pandangan ini tidak saja bekerja
keras, hidup hemat dan sederhana namun sanggup pula menjadikan diri sebagai
wiraswasta. Keadaan tersebut membawa berkah pada kehidupan ekonomi.
214
Keluarga contoh dari kedua wilayah penelitian yang dapat digolongkan
pada kelompok masyarakat dengan tipe bekerja keras hanya 38 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa etos kerja masyarakat di daerah penelitian tergolong
rendah. Apabila dilihat berdasarkan wilayah penelitian ternyata proporsi keluarga
contoh yang memiliki etos kerja yang rendah terdapat di wilayah pesisir pantai
yaitu mencapai 70 persen, sedangkan masyarakat di wilayah pegunungan hanya
52 persen (Tabel 66).
Tabel 66 Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja Masyarakat, 2006
Sebaran Contoh
No
Semangat Kerja
Masyarakat
Wilayah
pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah
Persen
01
Sangat rendah
25
14.4
28
18.5
53
16.3
02
Rendah
67
38.5
79
52.3
146
44.9
03
Tinggi
46
26.4
35
23.2
81
24.9
04
Sangat tinggi
36
20.7
9
6.0
45
13.8
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Kurangnya masyarakat untuk bekerja keras di daerah penelitian terutama
di wilayah pesisir pantai terlihat dari kurangnya pemanfaatan waktu kerja, sistem
kerja banyak bersifat individual dan kurang kesungguhan dalam menghadapi
berbagai pekerjaan terutama pekerjaan produktif terkecuali keluarga contoh yang
berada di daerah penelitian tergabung dalam kelompok transmigrasi mereka
umumnya relatif lebih produktif dibandingkan dengan masyarakat non
transmigran.
Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa setiap anggota rumah tangga di
daerah transmigrasi memiliki berbagai ragam pekerjaan, baik bidang pekerjaan
usahatani (pangan dan perkebunan) maupun pekerjaan dibidang jasa sehingga
mereka
dapat
memperoleh
penghasilan
yang
berfungsi
untuk
menjaga
kelangsungan hidup keluarga. Hal ini sejalan dengan temuan Abdoellah
(Balibangda, 2003) bahwa transmigran memiliki empat strategi yang diterapkan
untuk tetap eksis dalam mempertahankan kehidupannya di lokasi transmigrasi
yaitu; pertama strategi di bidang pertanian dengan membuka lahan baru yaitu
215
menanam ketela pohon, memelihara ternak. Kedua, strategi di bidang pangan
dengan mengubah pola makanan sampai mengurangi makanan yang dikonsumsi
terutama ini dilakukan ketika terjadi gangguan musim. Ketiga, strategi reproduksi
dimana para warga transmigrasi beranggapan bahwa keluarga besar mempunyai
keuntungan secara ekonomi bagi orang tua. Anak bukanlah menjadi beban
keluarga. Mereka beranggapan bahwa jumlah anak yang banyak akan
memperbaiki kondisi ekonomi keluarga dan juga memenuhi permintaan tenaga
kerja.Keempat, kemampuan untuk mengaplikasikan teknologi pertanian yang
diterima sebelum berangkat menuju lokasi transmigrasi. Salah satu aspek yang
penting dalam kegiatan pertanian ini adalah kemampuan masyarakat transmigrasi
untuk menerapkan dan mengadopsi suatu teknologi usaha tani yang dianjurkan.
Besar kecilnya manfaat dari yang dirasakan oleh petani dari pembekalan
keterampilan di bidang pertanian ini akan sangat berarti bagi peningkatan
kesejahteraan mereka. Para warga masyarakat transmigrasi sebelum diberangkatkan
menuju lokasi mereka diberi bekal pengetahuan dan kemampuan di bidang
pertanian. Pengetahuan dan kemampuan yang diberikan disesuaikan dengan lokasi
transmigrasi yang dituju, terutama yang berkaitan dengan tanaman-tanaman yang
cocok dengan keadaan tanah setempat.
Kesejahteraan Eonomi Keluarga
Menurut Lokshin dan Ravallion (Straus s, 2004:63),
pengertian
kesejahteraan dilihat dari dua pendekatan, yakni: kesejahteraan objektif dan
kesejahteraan subjektif. Noll (Milligan et al., 2006:22), melihat bahwa
kesejahteraan objektif adalah tingkat kesejahteraan individu atau kelompok
masyarakat yang diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran
ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan
masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku (tingkat kesejahteraan
masyarakat semuanya dianggap sama), sedangkan kesejahteraan subjektif adalah
tingkat kesejahteraan seorang individu yang dilihat secara personal yang diukur
dalam bentuk kepuasan dan kebahagiaan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Sumarti, (1999:32) bahwa kesejahteraan subjektif individu atau keluarga adalah
216
wujud kebudayaan yang dihasilkan melalui proses pengalaman hidup sekelompok
manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (fisik dan sosial). Artinya,
pengertian kesejahteraan haruslah berpedoman kepada subjektivitas (lokal)
masyarakat setempat. Namun demikian, inti dari kesejahteraan adalah melihat
kesenjangan antara aspirasi dengan tujuan yang ingin dicapai pada segolongan
masyarakat maka menurut Campbell, Converse, dan Rodgers (Sumarwan dan
Hira, 1993:346), tolok ukur yang relevan dan akurat tentang kesejahteraan
subjektif adalah menggunakan istilah “kepuasan”. Kemudian, Sen (Peck dan
Goodwin,
2003:17),
menambahkan
bahwa
tingkat
kepuasan
dapat
menggambarkan tingkat kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi atau
dapat menjangkau berbagai kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan
(happiness) hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu
dalam aksesnya dengan masyarakat dan institusi.
Menurut Angel, Black Well, dan Miniard (Sumarwan, 2003) bahwa
kepuasan “satisfaction is defined here as past consumption evalution that a
chosen alternative at least meets or exceeds expectation” (kepuasan merupakan
hasil evaluasi dari konsumsi yang lalu sehingga alternatif yang dipilih paling tidak
sesuai dengan kriteria atau melebihi kriteria yang diharapkan). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh banyak faktor, baik
faktor internal maupun faktor eksternal. Seperti yang dibuktikan oleh Sumarwan
dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat, ternyata tingkat
kepuasan (kesejahteraan) finansial keluarga perdesaan dipengaruhi oleh faktor
umur, pendapatan keluarga, aset, sikap (perceived locus of control), dan
kecukupan pendapatan.
Kesejahteraan Ekonomi Objektif
Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga di wilayah penelitian diukur
dengan proxy besarnya pengeluaran keluarga. Seperti terlihat pada Tabel 67, total
pengeluaran keluarga per tahun di wilayah penelitian adalah sebesar
Rp.10.541.000, dan jumlah pengeluaran ini diatas rata-rata tolok ukur
kesejahteraan dengan pendekatan Badan Pusat Statistik. Dari jumlah pengeluaran
217
tersebut persentase terbesar dialokasikan untuk pangan (48,6 %), kemudian diikuti
pengeluaran non-pangan (sandang, energi, komunikasi, sosial dan lainnya) sebesar
34 persen, dan terkecil adalah pengeluaran untuk investasi (pendidikan dan
kesehatan) hanya sebesar 17,4 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pola
konsumsi keluarga terhadap konsumsi pangan masih tergolong besar namun jauh
lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Suhardjo, dan Hardinsyah
(1988), Retnaningsih (1995), dan Mangkuprawira (2002) yaitu berkisar antara 6070 persen. Berkenaan dengan itu, mengacu kepada alokasi pengeluaran maka
tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah penelitian tergolong relatif
sejahtera.
Tabel 67 Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan Keluarga,
Tahun 2006
No
01
02
03
-
Jenis
Pengeluaran
Keluarga
(tahun)
Pangan
Non pangan
Investasi
Total
Pengeluaran
Sebaran Contoh
Wilayah pegunungan
Rp.
Wilayah pesisir pantai
Rp.
%
4.694.000 52,6
3.000.000 32,6
1.519.000 14,8
5.208.000
4.185.000
2.468.000
%
44,6
35,3
20,1
Rata-rata
Rp.
4.951.000
3.592.000
1.994.000
%
48,6
34,0
17,4
9.217.000 100.00 11.865.000 100,00 10.541.000 100,00
Pangan
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang
dimakan seseorang individu atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Dalam
aspek gizi, tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk memperoleh sejumlah zat
gizi yang diperlukan tubuh minimal untuk memenuhi kebutuhan energi dan
protein. Kebutuhan kalori/energi biasanya diperoleh dari konsumsi makanan
pokok, sedangkan kebutuhan protein sebagian besar berasal dari konsumsi hewani
dan nabati. Unt uk mengukur kebutuhan kalori dan protein seorang individu yaitu
berdasarkan pada standar angka kecukupan energi dan protein dari Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VIII (LIPI, 2004) bahwa manusia dewasa memerlukan
kalori sebesar 2.200 kal/kap/hari dan memerlukan sebesar 48 gr/kap/hari protein.
218
Berdasarkan distribusi pengeluaran, pada kelompok sejahtera dan sangat
sejahtera ternyata persentase pengeluaran pangan rata-rata tergolong tinggi yaitu
mencapai 80 persen lebih (Tabel 68). Hal ini sangat memungk inkan karena
kebutuhan pangan mutlak diperlukan bagi keluarga. Berdasarkan wilayah
agroekologi ternyata persentase pengeluaran pangan terbesar (kelompok sejahtera
dan sangat sejahtera) terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 89 persen,
sedangkan di wilayah peisisir pantai hanya 70 persen. Hal ini berkorelasi positif
dengan data yang terdapat pada Tabel 72 bahwa di wilayah pegunungan secara
relatif kebutuhan pangannya lebih besar diandingkan dengan di wilayah pesisir
pantai.
Tabel 68 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Pangan Keluarga, 2006
Sebaran Contoh
No
Kebutuhan
Pangan
Wilayah pegunungan
Total
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
01
Tidak sejahtera
0
0.0
3
2.0
3
.9
02
Kurang sejahtera
18
10.3
41
27.2
59
18.2
03
Sejahtera
118
67.8
101
66.9
219
67.4
04
Sangat sejahtera
38
21.8
6
3.9
44
13.5
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Non Pangan
Pengeluaran non pangan diperuntukkan untuk sandang, papan, energi,
komunikasi dan sosial.
Seperti tertera pada Tabel 69, terjadi sebaliknya dari
pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan masih sangat rendah. Data
menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen keluarga contoh menyatakan
pengeluaran non pangan mereka masih terbatas, kondisi ini terjadi kedua wilayah
penelitian (wilayah pegunungan dan pesisir pantai). Hasil yang lebih
memprihatinkan lagi yaitu pengeluaran non pangan di wilayah pegunungan
kondisi mereka yang tergolong tidak sejahtera mencapai 90 persen lebih.
219
Tabel 69 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Non Pangan, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Kebutuhan
Non Pangan
Wilayah pegunungan
Total
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
01
Tidak sejahtera
158
90.8
122
80.8
280
86.2
02
Kurang sejahtera
13
7.5
16
10.6
29
8.9
03
Sejahtera
3
1.7
8
5.3
11
3.4
04
Sangat sejahtera
0
0.0
5
3.3
5
1.5
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Investasi Sumberdaya Manusia
Pengeluaran investasi sumberdaya manusia ditujukan bagi biaya
pendidikan dan biaya kesehatan. Melalui investasi ini diharapkan tingkat
pendidikan dan derajat kesehatan keluarga menjadi lebih baik. Dengan adanya
investasi pendidikan dapat membantu proses pengembangan pengetahuan,
keterampilan, maupun sikap seseorang yang dilaksanakan secara terencana
sehingga diperoleh perubahan-perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Dalam
pembangunan berkelanjutan, wawasan dan pandangan seseorang sangat berarti
sekali dalam merespon berbagai inovasi untuk membangun gagasan dalam
perencanaan. Dengan demikian, tingkat pendidikan sangat bermanfaat dalam
memprediksi kondisi wawasan pengetahuan dalam asas pemikiran individu
terhadap inovasi dan proses adopsi yang menyertai inovasi tersebut. Oleh karena
itu, dengan tingkat pendidikan yang relatif baik (tinggi), keluarga contoh lebih
memilih kehidupan yang rasional seperti memiliki jumlah anak lebih sedikit
karena dengan memiliki jumlah yang lebih sedikit akan diperoleh keuntungan,
antara lain: dapat mempertinggi status ia sandang dan tingginya opportunity cost
pengasuhan (Axinn, dan Barber Willis: Bollen, dan Glanville, 2002: 7-8).
Menurut Becker (1995), anak merupakan fungsi utilitas dimana anak yang
berkualitas berasal dari keluarga yang memiliki jumlah anak sedikit dengan
tingkat pendidikan atau kualitas tinggi. Semakin tinggi tingkat investasi untuk
pendidikan anak dalam keluarga maka kualitas sumberdaya keluarga atau
220
kesejahteraan ekonomi keluarga relatif lebih baik. Namun demikian, hasil temuan
dilapangan diperoleh bahwa rata-rata pengeluaran investasi keluarga contoh di
daerah penelitian relatif rendah yaitu hanya 17,4 persen (Tabel 70).
Tabel 70 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Investasi Sumberdaya Manusia,
Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
Kebutuhan
Investasi
01
Tidak sejahtera
02
Kurang sejahtera
-
Total
Wilayah pegunungan
Total
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
170
97.7
146
96.7
316
97.2
4
2.3
5
3.3
9
2.8
174
100.0
151
100.0
325
100.0
Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di daerah penelitian masih
menganggap bahwa anak adalah faktor produksi bukan faktor konsumsi. Artinya,
anak dilihat dari jumlah bukan dari kualitas anak yang dimiliki. Tabel 70
memperlihatkan kenyataan yang tidak jauh berbeda dengan bukti empiris pada
Tabel 72 bahwa pengeluaran investasi pendidikan di daerah penelitian masih
sangat terbatas dimana distribusi mereka mengelompok pada golongan tidak
sejahtera yaitu mencapai 97 persen.
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif
Kesejahteraan ekonomi subjektif (subjective economic well-being) di
daerah penelitian relatif cukup baik. Hal ini ditandai dengan persentase keluarga
di wilayah penelitian yang merasa puas dalam pemenuhan keperluan mereka
sehari- hari, baik kebutuhan pangan, non pangan maupun pemenuhan kebutuhan
investasi yaitu mencapai 60,3 persen. Namun demikian, apabila dibedakan
berdasarkan wilayah agroekologi ternyata persentase terbesar terdapat di wilayah
pegunungan yaitu 68,4 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai yang merasa
puas dalam pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari hanya sekitar 51 persen
(Tabel 71).
221
Tabel 71 Sebaran Contoh Menurut Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Sehari- hari, Tahun 2006
No
01
02
03
04
-
Kepuasan Terhadap
pemenuhan
Kebutuhan
Sehari-hari
Sangat Tidak Puas
Kurang Puas
Merasa Puas
Sangat Puas
Total
Sebaran Contoh
Wilayah
pegunungan
Jumlah
%
26
14.9
29
16.7
57
32.8
62
35.6
174
100.0
Wilayah pesisir
pantai
Jumlah
%
27
17.9
47
31.1
50
33.1
27
17.9
151
100.0
Total
Jumlah
53
76
107
89
16.3
23.4
32.9
27.4
325
100.0
%
Rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah pesisir
pantai disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: faktor fisik/alam, sumberdaya
manusia, sumber usaha dan faktor aksesibilitas. Faktor fisik/alam misalnya, di
daerah penelitian mayoritas kesuburan tanah relatif rendah karena umumnya
daerah ini merupakan wilayah pasang surut dengan tanah bergambut. Kemudian,
aspek sumberdaya manusia ternyata rata-rata pendidikan masyarakat setempat
adalah sekolah dasar kebawah, dan sedikit sekali tamatan sekolah menengah
apalagi perguruan tinggi (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung
Timur, 2005). Kemudian, di wilayah pesisir pantai tingkat aksesibilitas wilayah
relatif rendah atau terbatas karena alat transportasi yang umum digunakan adalah
transportasi sungai dengan menggunakan perahu tempel/pompong dan speed boot
dengan tingkat frekuensi perjalanan terbatas.
Mata pencaharian atau sumber usaha mayoritas masyarakat di wilayah
pesisir pantai ini memiliki mata pencaharaian utama sangat terbatas yaitu hanya
sebagai nelayan dan usahatani kelapa. Berkenaan dengan usahatani, kepala desa
bertutur sebagai berikut:
“penghasilan masyarakat dari usahatani kelapa hampir tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga karena rendahnya harga kelapa butiran
yaitu sekitar Rp.650 per buah, sedangkan hasil yang diperoleh setiap
pemanenan yaitu selama 4 bulan sekali dengan produksi rata -rata 2,5 ton
dengan penghasilan sebesar Rp.1.625.000,- dan perlu diketahui bahwa
penghasilan ini belum termasuk biaya pemanenan dan biaya angkut.”
222
Kemudian, penjelasan dari bapak Haji Abdullah tentang nelayan, beliau ini
disamping tokoh masyarakat atau orang yang disegani juga bekerja sebagai
nelayan. Kesimpulan beliau tidak jauh berbeda dengan pernyataan dari kepala
desa.
“Penghasilan nelayan di daerah ini relatif rendah disamping jumlah
tangkapan yang kecil juga modal usaha yang terbatas. Mayoritas
nelayan dimodali oleh pemilik modal, mereka bekerja sebagai nelayan
buruhan. Disamping itu, usaha nelayan sangat dipengaruhi musim,
apalagi kondisi sekarang tidak sama dengan kondisi musim beberapa
tahun yang silam. Seorang nelayan susah menebak kapan musim
pasang/gelombang dan kapan musim surut sehingga akan mempengaruhi
penghasilan atau hasil tangkapannya.”
Mengenai tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga atau tingkat kepuasan
masyarakat
di wilayah pegunungan yang relatif cukup baik ditandai dengan
tingginya persentase responden yang merasa puas atau sangat puas dengan tingkat
kesejahteraan yang dimiliki yaitu mencapai 68,4 persen.
Relatif tingginya
persentase masyarakat di wilayah pegunungan yang merasa puas dengan tingkat
kesejahteraan yang dimiliki dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung, antara
lain: kondisi alam, lapangan kerja, aksesibilitas wilayah dan potensi sumberdaya
manusia. Kondisi alam misalnya: daerah penelitian berada di daerah pegunungan
sehingga kesuburan tanah relatif baik (jenis tanah latosol) dan cukup
menguntungkan untuk usaha tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan
(Balitbangda Provinsi Jambi, 2003). Seperti diketahui, usaha utama di daerah
penelitian adalah usahatani padi sawah, dan perkebunan kulit manis dan kopi
disamping itu juga ada usaha tanaman pangan seperti usahatani kentang, cabe, dan
pangan lainnya.
Relatif banyaknya cabang usaha masyarakat membuka peluang berbagai
macam lapangan kerja baik dari sektor off-farm, seperti: agroindustri (usaha dodol
kentang, keripik pisang, anyaman, dan lain- lain), industri rumahtangga (perabot
rumahtangga, dan membatik), jasa (transportasi, dan telekomunikasi), perhotelan,
maupun sektor lainnya sehingga pada gilirannya akan berdampak kepada
penghasilan masyarakat secara menyeluruh. Seperti dikemukakan oleh Mubyarto
223
(1991), faktor lapangan kerja sangat menentukan penghasilan atau kesejahteraan
masyarakat. Kemudian, di wilayah pegunungan tingkat aksesibilitas wilayah
relatif cukup baik, seperti transportasi cukup lancar walaupun terbatas pada
transportasi darat, dan hampir setiap jam perjalanan dari desa ke kota kabupaten
dan sebaliknya selalu tersedia. Kemudian, aksesibilitas lain yang sangat
mendukung kelancaran perekonomian daerah yaitu tersedianya sarana penerangan
(PLN), air minum (PDAM), dan alat telekomunikasi. Sehubungan alat
telekomunikasi, ternyata di
wilayah pegunungan hampir di setiap ibu kota
kecamatan telah ada “tower telekomunikasi” dari berbagai macam cabang
(indosat, telkomsel, dan lain- lain). Dengan arti kata, di daerah ini hampir di setiap
desa sudah bisa menggunakan jasa telekomunikasi seperti layaknya di daerah
perkotaan.
Kepuasan terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Pangan
Kepuasan keluarga contoh terhadap pemenuhan kebutuhan pangan
keluarga dikaji dalam dua aspek yakni: aspek frekuensi makan setiap hari dan
keragaman pangan yang dikonsumsi keluarga. Melalui dua pendekatan ini
diharapkan keperluan pangan anggota keluarga yang ada di daerah penelitian
terpenuhi dari segi kecukupan akan zat gizi yang diperlukan. Seperti tertera pada
Tabel 72, proporsi terbesar (61 %) keluarga contoh di daerah penelitian merasa
puas dalam konsumsi pangan. Apabila dikelompokkan berdasar daerah penelitian
ternyata masyarakat yang paling banyak merasa puas dalam penyediaan konsumsi
pangan terdapat di daerah pegunungan (72 %), sedangkan di daerah pesisir pantai
yang merasa puas hanya sekitar 49 persen.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa frekuensi makan keluarga
responden di daerah penelitian relatif terpenuhi. Persentase masyarakat pada
golongan ini yang mencapai 80 persen lebih menyatakan bahwa mereka biasa
makan setiap hari tiga kali dengan menu makanan cukup beragam yaitu makan
nasi dengan lauk pauk (bergantian antara daging, ayam dan ikan), sayur dan
pangan lainnya.
224
Tabel 72 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Pangan, 2006
Sebaran Contoh
No
Tingkat Pemenuhan
Kebutuhan
Pangan
Wilayah
Pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah Pesisir
Pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah Persen
01
Sangat Tidak Puas
13
7.5
17
11.3
30
9.2
02
Kurang Puas
35
20.1
59
39.1
94
28.9
03
Merasa Puas
73
42.0
46
30.5
119
36.6
04
Sangat Puas
53
30.5
29
19.2
82
25.2
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Kepuasan terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Non Pangan
Pemenuhan kebutuhan non pangan diukur dari pemenuhan akan sandang
atau pakaian, papan/perumahan, energi dan komunikasi ditambah dengan
pemenuhan kebutuhan sosial. Pemenuhan sandang misalnya walaupun bukan
merupakan kecukupan dasar tetapi ia sangat diperlukan dalam menjalankan
berbagai aktivitas sehari- hari. Oleh karena itu, tingkat pemenuhan kebutuhan
sandang ini sangat penting diperhatikan. Begitu juga kecukupan akan perumahan
dan energi serta alat komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi
keluarga dengan tingkat pemenuhan kebutuhan non pangan cukup baik (merasa
puas dan sangat puas) mencapai 52 persen (Tabel 73). Namun, proporsi keluarga
dengan persentase yang me rasa puas dan sangat puas dalam konsumsi non pangan
lebih kecil dibandingkan dengan persentase keluarga yang merasa puas dan sangat
puas dalam konsumsi pangan.
Apabila dibedakan berdasarkan wilayah agroekologi ternyata persentase
terbesar (59,8 %) yang merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan
kebutuhan non pangan terdapat di wilayah pegunungan, sedangkan di wilayah
pesisir pantai hanya 42,4 persen. Relatif rendahnya persentase masyarakat di
wilayah pesisir pantai yang merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan
kecukupan non pangan disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: harga non pangan,
seperti pakaian yang ditawarkan dipasaran relatif mahal, dan terbatasnya pasar
225
karena terbatasnya aksesibilitas jalan, namun demikian di daerah ini banyak
ditemui pasar pakaian-pakaian bekas.
Tabel 73 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Non Pangan, 2006
Sebaran Contoh
No
01
Tingkat
Pemenuhan
Non Pangan
Sangat Tidak Puas
02
Wilayah
Pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah Pesisir
Pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah Persen
32
18,4
35
23,2
67
20,6
Kurang Puas
38
21,8
52
34,4
90
27,7
03
Merasa Puas
59
33,9
38
25,2
97
29,9
04
Sangat Puas
45
25,9
26
17,2
71
21,8
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Bagian lain dari pemenuhan kebutuhan non pangan yaitu kepuasan dalam
kegiatan sosial. Sikap sosial merupakan kebutuhan pribadi masing- masing
responden yang sulit diukur secara kuantitatif namun kepuasan ini bisa dilihat dari
kontribusi keluarga responden dalam berbagai kegiatan sosial masyarakat.
Kegiatan-kegiatan tersebut, dapat berupa kegiatan yang disponsori oleh
pemerintah, misalnya kegiatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia setiap
tanggal 17 Agustus, maupun kegiatan sosial budaya masyarakat dan agama,
seperti kegiatan acara adat, dan kegiatan-kegiatan hari besar agama terutama hari
besar agama islam. Besar kecilnya kontribusi untuk kegiatan sosial merupakan
salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan dan status seseorang dalam
masyarakat. Terdapat 50 persen lebih responden merasa puas dan sangat puas.
Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian tampaknya persentase terbesar
masih terdapat di wilayah pegunungan yaitu 60 persen, sedangkan di wilayah
pesisir pantai sekitar 51 persen. Relatif besarnya proporsi respond en dengan
kegiatan sosial di wilayah pegunungan merupakan hal yang wajar, karena
kepedulian sosial masyarakat yang relatif tinggi juga disebabkan oleh intensitas
kegiatan sosial masyarakat relatif lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan
sosial di wilayah pesisir pantai.
226
Kepuasan terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Investasi Sumberdaya Manusia
Pemenuhan kebutuhan investasi sumberdaya manusia dibagi dalam dua
kelompok yaitu pemenuhan kebutuhan terhadap biaya pendidikan dan biaya
kesehatan. Pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan misalnya, sangat penting
untuk pembangunan sumberdaya manusia masa akan datang. Oleh karena itu,
investasi dibidang pendidikan adalah mutlak demi masa depan terutama anakanak usia sekolah. Pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anak usia sekolah ini
dilihat dari tingkat kebutuhan biaya yang diperlukan oleh anak didik baik
keperluan yang bersifat wajib, seperti SPP, uang pembangunan sekolah, biaya
OSIS, maupun keperluan lainnya, seperti: buku teks, biaya transpor, dan uang
jajan.
Kepuasan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, melalui hasil wawancara
diperoleh informasi bahwa rata-rata tingkat pemenuhan kecukupan investasi
keluarga (Tabel 74) di daerah penelitian baru dirasakan oleh sebagain kecil
responden (45,9 persen) dan lebih kecil dibandingkan dengan persentase tingkat
pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan. Hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan kebutuhan bagi masyarakat disamping terbatasnya penghasilan yang
dimiliki. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata persentase
terbesar yang merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan
investasi
sumberdaya manusia terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 53,5 persen,
sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 37,1 persen.
Dari kedua pemenuhan kebutuhan investasi tersebut, persentase responden
yang merasa puas dengan pemenuhan kebutuhan pendidikan baru mencapai 43
persen. Artinya, di daerah penelitian masih banyak yang belum merasa puas
terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan. Berdasarkan wilayah penelitian
tampaknya pemenuhan kebutuhan yang paling rendah terdapat di wilayah pesisir
pantai yaitu hanya 33 persen, sedangkan pemenuhan kebutuhan pendidikan di
wilayah pegunungan sudah mencapai 51 persen. Hal ini perlu dipikirkan secara
serius oleh pemerintah setempat untuk kemajuan pembangunan daerah kedepan.
Pemenuhan kebutuhan pendidikan masyarakat terutama anak usia sekolah perlu
227
dimasukkan sebagai prioritas pembangunan disamping pembangunan fisik dan
infrastruktur lainnya. Lain halnya dengan investasi untuk kesehatan, data
menunj ukkan bahwa rata-rata investasi keluarga untuk kesehatan relatif lebih
tinggi walaupun masih lebih rendah dari pemenuhan kebutuhan pangan dan non
pangan yaitu sekitar 48 persen.
Tabel 74 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan
Investasi Sumberdaya Manusia, Tahun 2006
Sebaran Contoh
No
01
Tingkat
Pemenuhan
Investasi
Sangat Tidak Puas
02
Wilayah
Pegunungan
Jumlah Persen
Wilayah Pesisir
Pantai
Jumlah Persen
Total
Jumlah Persen
34
19.5
36
23.8
70
21.5
Kurang Puas
47
27.0
59
39.1
106
32.6
03
Merasa Puas
53
30.5
39
25.8
92
28.3
04
Sangat Puas
40
23.0
17
11.3
57
17.6
174
100.0
151
100.0
325
100.0
-
Total
Apabila dirinci berdasarkan alokasi kebutuhan sehari-hari keluarga,
tampaknya distribusi kepuasan pemenuhan kebutuhan keluarga di wilayah
penelitian juga menunjukkan perbedaan yang cukup besar antara keluarga yang
berada di wilayah pesisir dengan keluarga yang berada di wilayah pegunungan
(Tabel 75).
Tabel 75 Persentase Contoh Merasa Puas Terhadap Pemenuhan Alokasi
Kebutuhan Sehari-hari, 2006
Sebaran Contoh (%)
No
01
02
03
-
Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Alokasi Kebutuhan
Sehari-hari
Puas terhadap pemenuhan pangan
Wilayah
pesisir pantai
Ratarata
72,5
49,7
61,1
59,5
42,6
51,1
53,4
37,4
45,4
61,8
43,2
52,5
Puas terhadap pemenuhan non
pangan
Puas terhadap pemenuhan
investasi sumberdaya manusia
Wilayah
pegunungan
Rata-rata
228
Proporsi keluarga contoh dengan tingkat kepuasan tinggi yang berada di wilayah
pegunungan adalah relatif besar dibandingkan dengan keluarga contoh yang
berada di wilayah pesisir. Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan ekonomi
objektif (proxy pengeluaran) tidak selalu menentukan tingkat kepuasan keluarga
di daerah penelitian.
Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga
Keterkaitan modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga
(economic well-being) dianalisis dengan menggunakan model SEM. Melalui
model ini dapat diketahui pengaruh atau hubungan antar konstrak secara
kausalitas. Sesuai dengan hipotesis, sehingga variabel konstrak terdiri dari empat
bagian variabel laten, yakni: (1) Asosiasi Lokal (Aslok) dengan loading variabel:
(X1) jumlah asosiasi yang diikuti, (X2) tingkat partisipasi, dan (X3) manfaat
asosiasi, (2) Karakter Masyarakat (Kmas) dengan loading variabel: (X4)
kepercayaan, (X5) solidaritas, dan (X6) semangat kerja, (3) Kesejahteraan
Ekonomi Objektif (KEO) dengan loading variabel: (Y1) kebutuhan pangan, (Y2)
non-pangan,
dan
(Y3)
kebutuhan
investasi
sumberdaya
manusia,
(4)
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) dengan loading variabel: (Y4)
pemenuhan kebutuhan pangan, (Y5) non-pangan, dan (Y6) pemenuhan kebutuhan
investasi sumberdaya manusia.
Berdasarkan analisis melalui model SEM dengan program LISREL
diperoleh hasil bahwa tingkat validitas konstrak penelitian pengaruh modal sosial
dengan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah penelitian cukup
valid. Artinya, model- model yang disusun dalam rancangan penelitian cocok atau
fit dengan data yang dikumpulkan. Kecocokan atau kehandalan rancangan
penelitian dan data yang dijaring ditandai oleh nilai- nilai alat uji yang digunakan.
Nilai hasil pengujian model mendekati dan melebihi dari cut-off value yang
dikehendaki pada masing- masing alat uji (Tabel 76). Menurut Joreskog dan
Sorbom (Freund, dan Carneli, 2004:104) bahwa ada 31 alat uji yang digunakan
dalam menguji model.
229
Tabel 76 Goodness of Fit Index Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga
No
1
2
3
4
Goodness of Fit Index
X2 (Chi – Square) = no sign atau lebih kecil
RMSEA (Root Mean Square Error of
Approximation)
GFI (Goodness of Fit Index)
CFI (Comparative Fit Index)
Cut-off
value
Wilayah
pegununga
n
Wilayah
Pesisir
pantai
0,00
< 0,08
0,00
0,07
0,00
0,03
> 0,90
> 0,94
0,99
1,00
0,99
1,00
Sumber: Joreskog & Sorbom (Freund, dan Carneli, 2004:104)
Namun, uji yang sering digunakan dan relevan yaitu mengukur nilai ChiSquare (X2 ), Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA), Goodness of
Fit Index (GFI) dan nilai Comparative Fit Index (CFI) (Baker, et al., 2005;9).
Melalui hasil pengujian model ternyata item loadings untuk variabel- variabel laten
dalam model juga menunjukkan konsistensi internal (reliabilitas) cukup signifikan
kecuali loading variabel jumlah asosiasi yang diikuti responden dan loading
varibel manfaat asosiasi bagi keluarga di wilayah pesisir pantai yang memiliki
koefisien yang relatif lebih rendah. Seperti terlihat pada Gambar 11 yaitu di
wilayah pegunungan, variabel laten asosiasi lokal (Aslok) misalnya yang terdiri
dari tiga dimensi yakni: jumlah asosiasi, tingk at partisipasi, dan manfaat asosiasi
memiliki nilai loading yang cukup signifikan. Melalui model diketahui item
loadings (X1) jumlah asosiasi yang diikuti (? = 0,84), (X2) tingkat partisipasi (? =
0,59), dan (X3) manfaat asosiasi (? = 0,40). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh
item loadings pada variabel laten karakter masyarakat dan kesejahteraan ekonomi
keluarga semuanya
menunjukkan nilai (? ) yang signifikan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa variabel modal sosial (asosiasi lokal dan karakter
masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif
sangat nyata dan signifikan terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi objektif dan
kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga (subjective economic well-being)
dengan nilai betha (ß) masing- masing adalah 10,76 dan 8,23.
230
10,8**
ASLOK
8,2**
0,41
KMAS
KEO
5,5**
11**
KES
(**) Alpha = 0,01, T-table > 2,4
Keterangan :
Aslok (Asosiasi Lokal): (X1) Jumlah asosiasi yg diikuti, (X2) tingkat partisipasi, dan (X3) manfaat asosiasi. Kmas (Karakter
masyarakat ): (X4) keterpercayaan , (X5) solidaritas, dan (X6) semangat kerja. KEO (Kesejahteraan Ekonomi Objektif): (Y1) kebutuhan
pangan, (Y2) kebutuhan non-pangan, dan (Y3) investasi. KES (Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ): (Y1) kepuasan pemenuhan
pangan, (Y2) kepuasan pemenuhan non-pangan, dan (Y6) kepuasan pemenuhan investasi.
Gambar 11 Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan Keluarga
di Wilayah Pegunungan Provinsi Jambi, Tahun 2006
Hal ini membuktikan hipotesis yang dibangun sebelumnya bahwa modal
sosial dalam hal ini asosiasi lokal dan karakter masyarakat secara kausalitas dapat
mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, semakin tinggi
tingkat modal sosial yang dimiliki oleh keluarga maka semakin baik pula tingkat
kesejahteraan mereka. Namun, di wilayah
pesisir pantai terjadi sebaliknya
(Gambar 12) bahwa laten variabel modal sosial (asosiasi lokal dan karakter
masyarakat) secara bersama-sama berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, setiap peningkatan modal sosial
(asosiasi lokal dan karakter masyarakat) akan dapat mengurangi tingkat
kesejahteraan ekonomi keluarga baik kesejahteraan ekonomi objektif maupun
kesejahteraan ekonomi subjektif. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat partisipasi
masyarakat pesisir pantai dalam kelompok dan organisasi terutama asosiasi yang
produktif tidak seperti pada masyarakat di wilayah pergunungan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pesisir pantai bergerak dalam asosiasi
sosial, seperti yasinan yaitu mencapai 43 persen, majlis taklim 20 persen,
perkumpulan kesukuan dan perkumpulan lainnya 22 persen sedangkan asosiasi
yang produktif dari segi ekonomi hanya 15 persen.
231
ASLOK
- 4**
KEO
- 3,8**
-0,32
KMAS
1,9
10,5**
KES
(**) Alpha = 0,01, T- table > 2,4
Keterangan:
Aslok (Asosiasi Lokal): (X1) Jumlah asosiasi yg diikuti , (X2) tingkat partisipasi, dan (X3) manfaat asosiasi. Kmas (Karakter
masyarakat): (X4) keterpercayaan, (X5) solidaritas, dan (X6) semangat kerja . KEO (Kesejahteraan Ekonomi Objektif ): (Y1) kebutuhan
pangan, (Y2) kebutuhan non pangan , dan (Y3) investasi . KES (Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ): (Y1) kepuasan pemenuhan
pangan, (Y2) kepuasan pemenuhan non-pangan, dan (Y6) kepuasan pemenuhan investasi.
Gambar 12 Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan Keluarga
di Wilayah Pesisir Pantai Provinsi Jambi, Tahun 2006
Berkenaan dengan peran modal sosial terhadap peningkatan kesejahteraan
ekonomi keluarga di wilayah
pegunungan ternyata melalui model SEM dan
didukung oleh hasil analisis deskriptif tentang manfaat dan akses modal sosial
terhadap kebutuhan keluarga menunjukkan bahwa modal sosial berupa jumlah
asosiasi, tingkat partisipasi serta kegunaan atau manfaat asosiasi bagi keluarga
sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga. Modal sosial yang
paling dirasakan bermanfaat oleh masyarakat adalah asosiasi yang bergerak di
bidang produksi pangan yaitu mencapai 30 persen. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa asosiasi yang bergerak di bidang produksi pangan ini terdiri dari tiga jenis
asosiasi yang berkembang di masyarakat, yakni: asosiasi Kredit Usahatani Tani
(KUT), Kelompok Perkumpulan Petani Pemakai Air (KP3A) dan asosiasi
Kelembagaan Adat. Asosiasi KUT misalnya adalah asosiasi yang disponsori oleh
pemerintah yang bergerak di bidang pertanian dengan kegiatan: bantuan bibit
(tanaman, ternak dan ikan) dan bantuan lainnya, KP3A adalah asosiasi desa yang
berkembang di masyarakat terutama di wilayah pegunungan yaitu kelompok
pengelola air irigasi yang digunakan untuk pengairan padi sawah.
Sesuai dengan kondisi alam dan mata pencaharian utama masyarakat
setempat (usahatani padi sawah), KP3A ini berkembang dengan pesat dan banyak
232
kelompok KP3A dijumpai dalam berbagai kelompok kalbu pada masing- masing
desa di wilayah pegunungan. Kelompok ini memegang peranan penting dalam
meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya produksi usahatani dan
produktivitas kerja karena KP3A disamping berperan dalam penyaluran air irigasi
juga dapat mengatasi atau membantu dalam penghematan waktu kerja petani.
Kondisi ini di dukung budaya yang dianut di wilayah pegunungan dalam sistem
pengelolaan usahatani padi sawah yang disebut sistem ”kalbu.” Sistem kalbu ini
sangat memudahkan dalam membangun kerja bersama. Keakraban dan latar
belakang budaya yang sama menguntungkan dalam pemanfaatan fasilitas
bersama karena memiliki tingkat emosional yang tinggi untuk kepentingan
bersama. Kahkoren (Grootaert, 1999:45) mencontohkan pengelolaan bendungan
irigasi di Bangladesh mirip dengan sistem kalbu yang ada di masyarakat jambi. Ia
membuktikan semangat kerjasama bagi kelompok yang berasal dari etnis dan
budaya yang sama sangat menguntungkan dalam pengelolaan bendungan irigasi
terutama semangat kerjasama.
Modal sosial lain yang cukup penting dalam meningkatkan kesejahteraan
ekonomi keluarga adalah kelompok ”handel.”21 Melalui kelompok ini,
penghasilan keluarga dapat bertambah karena adanya hasil dari nilai kerja
anggota keluarga dalam kelompok kerja bersama (collective action). Rata-rata
anggota keluarga terlibat dalam kegiatan kelompok handel yaitu dua orang
dengan frekuensi kerja selama sebulan dua kali dan setahun sepuluh bulan kerja
efektif dengan nilai per setiap kegiatan kelompok handel per orang rata-rata
sebesar Rp.20.000,- dan melalui hasil analisis diperoleh bahwa kegiatan
kelompok handel dapat memberikan kontribusi terhadap penghasilan keluarga
sebesar Rp.600.000,- per tahun (5,8 %) dari total penghasilan keluarga. Hasil
temuan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Grootaer
(1999:55) bahwa setiap satu orang anggota keluarga aktif mengikuti kegiatan
asosiasi lokal terutama asosiasi bidang produksi dapat meningkatkan penghasilan
keluarga sebesar 6,2 persen per kapita per tahun.
21
“handel” artinya sistem kerja kelompok (kalbu) dengan mengambil upahan dan setiap mendapat
upahan, penghasilannya disimpan terlebih dahulu dan dibagikan dalam satu tahun
sekali.
233
Studi yang sama juga ditemui di
Amerika Latin, bahwa terdapat
perbedaan positif sangat nyata dan signifikan dalam tingkat keaktifan anggota
keluarga pada kegiatan asosiasi lokal dalam meningkatkan kesejahteraan
ekonomi keluarga (Durkin, 2000:2). Disisi lain, modal sosial dapat berperan
dalam mendapatkan berbagai akses fasilitas publik di masyarakat, seperti:
pengadaan air dan irigasi, kredit, dan input pertanian/teknologi. Besarnya akses
modal sosial ini karena adanya jaringan yang dibangun pada berbagai kelompok
(produksi dan sosial) di masyarakat. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda
dengan hasil temuan Haddad (2002:2) di Afrika Selatan bahwa keberadaan
modal sosial (jaringan sosial) individu rumahtangga yang kuat ternyata dapat
berperan untuk mendapatkan berbagai bentuk akses dalam masyarakat. Hasil
penelitian terbaru ya ng telah dibuktikan oleh Granoveter (Bandiera dan Amran,
2006:870) melalui penelitiannya di Mozambique tentang adopsi teknologi baru
oleh petani melalui jaringan sosial (social networks) yang berkembang di
masyarakat terutama jaringan yang terbangun melalui kelompok tetangga dan
keluarga (bonding and bridging). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
hubungan sosial dalam kelompok masyarakat berpengaruh positif sangat nyata
dan signifikan terhadap petani dalam mengadopsi teknologi baru di daerah
perdesaan.
Tabel 77 Nilai gamma (f ) dan betha (ß) antar Variabel Laten Pengaruh Modal
Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga, 2006
No
Variabel
Latent
Wilayah pegunungan
KEO
KES
Wilayah pesisir pantai
KEO
KES
langsung
Tidak
langsung
Langsung
Tidak
langsung
langsung
Tidak
langsung
langsung
Tidak
langsung
-
8,23**
8,23**
3,97**
-
3,83**
3,83**
-
5,49**
-
-
-
1,85
-
-
10,97**
-
-
-
10,53**
-
01
Aslok
02
Kmas
10,76*
*
-
03
KEO
-
Keterangan: (**) menunjukkan tanda pengaruh sangat nyata.
Tingginya
motivasi petani untuk menerapkan teknologi baru melalui
jaringan sosial ini tidak terlepas dari tingkat keterpercayaan mereka terhadap
kelompok masyarakat tersebut karena mereka memiliki rasa percaya, saling
234
membutuhkan, dan tidak pernah ada kerusakan hubungan. Berkenaan dengan
teknologi baru, ada empat peran dalam merubah perilaku manusia, yakni: (1)
intermediary, (2) amplifier, (3) determinant, dan peran (4) sebagai promoter
(Midden, Cees JH et al. 2007:156).
Kemudian, kelembagaan adat disamping berfungsi sebagai lembaga sosial,
pendidikan juga berperan sebagai kelompok yang bergerak untuk keperluan
pangan masyarakat (contoh: raskin). Modal sosial lain yang cukup penting dalam
meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga yaitu kelompok ”handel” dan
majlis taklim. Kedua kelompok ini memberi andil dalam kemajuan ekonomi,
pendidikan dan sosial anggota keluarga. Kelompok ”handel” misalnya, melalui
sistem kerja bersama (collective action) dapat menambah tabungan keluarga, dan
kelompok majlis taklim dapat meningkatkan pengetahuan, dan keterampilan
keluarga dalam menangani masalah sosial dan spritual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial dapat berperan dalam
meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga baik dilihat dari aspek peningkatan
kesejahteraan dalam penyediaan akan pangan, pendidikan (sumberdaya manusia),
tambahan modal, kesehatan maupun kesejahteraan dari aspek sosial melalui
jaringan sosial yang berkembang dimasyarakat. Hasil temuan ini didukung oleh
temuan Coleman (1990) bahwa modal sosial melalui jaringan sosial dapat
berperan dalam pembentukan sumberdaya manusia dan ekonomi. Sharma dan
Zeller (1997) membuktikan bahwa sejumlah kelompok masyarakat di Bangladesh
menunjukkan pengaruh positif sangat nyata dan signifikan terhadap pelayanan
kredit bagi anggota kelompok. Kemudian, Schneider et al., (1997) melihat bahwa
jaringan/ikatan hubungan cukup bermanfaat dan menguntungkan bagi masyarakat
dalam pembangunan sosial terutama dalam berbagai aktivitas pendidikan. Lebih
tegas lagi dikemukakan oleh Falk dan Kilpatrick (1999) bahwa jaringan sosial di
masyarakat dapat melakukan berbagai bentuk akumulasi modal (ekonomi dan
sosial).
Temuan lain dari hasil penelitian ini yaitu kontribusi anggota keluarga
dalam kelompok sosial dan kelompok lainnya yang produktif juga menunjukkan
hasil yang cukup signifikan. Dimana keterlibatan anggota keluarga dalam
kegiatan pada berbagai asosiasi lokal akan dapat meningkatkan penghasilan
235
keluarga melalui tambahan fasilitas akses kelompok. Sebagai contoh keikutsertaan
dalam kelompok ”handel”. Artinya, satu orang anggota dalam keluarga yang
terlibat dalam kegiatan kelompok ”handel” hanya memperoleh satu bagian dari
penghasilan tetapi kalau lebih berarti jumlah penghasilan juga bertambah. Hasil
temuan ini juga banyak ditemukan di negara-negara lain. Seperti hasil temuan
Grootaer (1999:55) bahwa setiap satu orang anggota keluarga aktif mengikuti
kegiatan asosiasi lokal terutama asosiasi bidang produksi dapat meningkatkan
penghasilan keluarga sebesar 6,2 persen per kapita per tahun. Studi yang sama
juga ditemui di Amerika Latin, bahwa terdapat perbedaan positif sangat nyata dan
signifikan tingkat keaktifan anggota keluarga dalam kegiatan asosiasi lokal dalam
meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga (Durkin, 2000:2).
Modal sosial berhubungan secara struktural dengan penghasilan keluarga.
Dimana modal sosial dapat memfasilitasi keluarga untuk mendapatkan berbagai
akses dalam masyarakat untuk keperluan keluarga seperti input pertanian, fasilitas
kredit dan kecukupan lain. Oleh karena itu, tingkat heterogenitas modal sosial
berpengaruh positif sangat nyata dan signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi
keluarga.
Keterkaitan Modal Sosial dengan
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga
Oleh karena modal sosial bukan merupakan kapital yang dapat
mentransformasi langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan maka ia dapat
dikatakan produktif atau berperan dalam meningkatkan penghasilan atau
kesejahteraan ekonomi keluarga harus melalui berbagai mekanisme. Sesuai
dengan manfaat dan akses modal sosial yang diharapkan masyarakat maka efek
modal sosial yang dapat mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan ekonomi
keluarga adalah melalui tiga mekanisme, yakni: berbagi informasi diantara
anggota kelompok, sistem kerja bersama atau gotong royong (collective action)
baik untuk kegiatan produktif maupun kegiatan sosial, dan pengambilan
keputusan bersama (musyawarah). Hasil temuan ini didukung oleh konsep yang
dikembangkan oleh Naraya n dan Pritchett (1999:872-873) yaitu bahwa modal
sosial dapat mempengaruhi berbagai bentuk keluaran (outcomes) bagi masyarakat
236
melalui lima mekanisme, yakni (1) dapat meningkatkan kemampuan masyarakat
dalam memantau berbagai kegiatan atau kebijakan pemerintah melalui jaringan
sosial (social network), (2) dapat meningkatkan berbagai bentuk tindakan atau
kebijakan bersama dalam memecahkan berbagai persoalan dalam masyarakat, (3)
dapat memudahkan berbagai bentuk difusi inovasi melalui peningkatan hubungan
antar individu, (4) dapat mengurangi ketidaksempurnaan informasi yang diterima
masyarakat, seperti dalam pemanfaatan fasilitas kredit, berbagai bentuk produksi,
lahan pertanian, dan lapangan kerja, dan (5) dapat meningkatkan asuransi
informal (informal insurance) bagi rumahtangga.
Besar kecilnya pengaruh modal sosial terhadap peningkatan penghasilan
dan kesejahteraan ekonomi keluarga sangat ditentukan oleh tipe interaksi sosial
yang berkembang atau yang diikuti oleh anggoat keluarga responden. Namun
demikian, tipe interaksi ini sangat bergantung pada jenis dan keragaman asosiasi
yang terdapat dimasyarakat. Seperti terlihat pada lampiran 3 bahwa jenis asosiasi
lokal yang terdapat di daerah penelitian cukup heterogen baik yang berakar dari
kelompok masyarakat sendiri maupun yang disponsori oleh pemerintah maka tipe
interaksi sosial yang berkembang di daerah penelitian menganut trio tipe, yakni:
interaksi sosial melalui kekerabatan keluarga( bonding), melalui kolega atau
teman ( bridging) dan interaksi sosial melalui lembaga atau institusi formal
(linking). Hasil yang terdapat di daerah penelitian ini sejalan dengan konsep
yang dikembangkan oleh Woolcock (Thomas dan Heres, 2004), bahwa modal
sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi (type of networks).
Pertama, modal kekerabatan (bonding capital), yaitu ikatan hubungan
yang
berkaitan dengan hubungan kekerabatan (emosional tinggi) yakni: hubungan antar
anggota keluarga, teman dekat, dan tetangga. Kedua, modal pergaulan (bridging
capital), yaitu tingkat kekerabatan relatif lebih jauh seperti: teman kerja, dan
kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking capital), yaitu ikatan hubungan
lebih renggang lagi dibandingkan kedua ikatan hubungan diatas. Hubungan
kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan hubungan secara formal ( formal
institutions) baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat
luas.
237
Sesuai dengan konsep yang dikembang dalam penelitian ini dan didukung
oleh sosial budaya masyarakat maka dimensi modal sosial yang digunakan yaitu
terdiri dari dua dimensi besar yang saling berhubungan secara kausalitas, yakni:
asosiasi lokal dan dimensi karakter. Kemudian, dimensi asosiasi lokal dilihat dari
aspek: jumlah asosiasi yang diikuti, tingkat partisipasi, manfaat asosiasi, dan
tingkat heterogenitas asosiasi yang diikuti responden, sedangkan dimensi karakter,
terdiri dari: keterpercayaan, solidaritas, dan dimensi semangat kerja keras.
Dimensi-dimensi yang dikembangkan di daerah penelitian ini di dukung teori
yang dikembangkan oleh Putnam (Winter, 2000) bahwa modal sosial dibagi
kedalam enam dimens i, yakni: (1) kebiasaan (tipe perjanjian: formal dan
informal), (2) tujuan bersama (antar institusi saling hormat menghormati), (3)
hubungan dalam pergaulan“bridging” (Trust dan reciprocity saling membangun
secara bersama-sama), (4) modal sosial sebagai perantara (keterpercayaan dapat
membangun sistem kedekatan antar individu), (5) intensitas hubungan (intensitas
hubungan antar individu merupakan kekayaan dan keuntungan ganda dalam
masyarakat), dan (6) lokasi sosial (menjalin hubungan kekerabatan (tetangga)
dengan baik
dapat membangun sumberdaya modal sosial). World Bank juga
membagi bahwa modal sosial memiliki enam dimensi namun dalam konteks
sedikit agak berbeda, yakni: (1) jaringan/ikatan hubungan dan kelompok/
organisasi, (2) solidaritas dan kepercayaan, (3) kegotong royongan (collective
action and cooperations), (4) komunikasi dan informasi, (5) inklusi dan kohesi
sosial dalam masyarakat, dan (6) politik dan pemberdayaan (Grootaert, 2004:5).
Namun Haddad (2000:2) membagi modal sosial yang lebih sederhana dari Putnam
dan Konsep World Bank yaitu ke dalam 3 (tiga) dimensi, yakni: (1) tingkat
partisipasi rumahtangga dalam kelompok, (2) fungsi kelompok bagi rumahtangga,
dan (3) tingkat keterpercayaan rumahtangga dalam kelompok.
Model Pemberdayaan Masyarakat di
Wilayah Perdesaan
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu
dihubungkan dengan konsep pendidikan/penyuluhan sumberdaya manusia untuk
terjadinya keberdayaan dan kemandirian, partisipasi, memiliki jaringan kerja dan
238
berkeadilan. Menurut Mcardle (Hikmat, 2001:2), pemberdayaan merupakan
proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen
melaksanakan keputusan tersebut dan dapat bekerja secara mandiri. Implikasinya,
seperti yang dicontohkan oleh Schumacker dalam pemberdayaan masyarakat
miskin (Thomas: Hikmat, 2001:2). Pemberdayaan masyarakat miskin dapat
tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur sosial yang tidak berpengaruh negatif
terhadap kekuasaan (powerful). Dengan kata lain, kelompok miskin dapat
diberdayakan melalui pendidikan/penyuluhan tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEKS) sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan.
INPUT
Proses
Pemberdayaan
•Struktur
Sosial
• Sistem kerja
Kelompok
•Karakter
Masyarakat
OUTCOME
OUTPUT
• Lap. Pekerjaan
Kesejahteraan
Ekonomi
Objektif
• SD. Ekonomi
• Jaringan kerja
• Pendidikan &
Pelatihan
• Produktivitas kerja
• Membangun
Networking
• Ilmu pengetahuan
• Kepercayaan Masy
•Status sosial
ekonomi
• Capacity Building
• Kepaduan sosial
• Azas demokrasi
• Transaction cost
• Interaksi sosial
• Kepuasan
mengontrol diri
Kesejahteraan
Ekonomi
Subjektif
feed back
Gambar 13 Pemberdayaan Keluarga Berbasis Modal Sosial
Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal
sosial
diartikan
sebagai
proses
pembelajaran
orang
dewasa
yang
berkesinambungan dan ditujukan untuk memberikan kekuatan baik kekuatan
ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial maupun kekuatan pengetahuan spritual.
Pemberdayaan ini dilakukan secara sinergis antara pihak luar (pemerintah,
lembaga non pemerintah, maupun stakeholder) dengan tokoh masyarakat dan
peserta atau kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan
dengan pola individu dan kelompok. Kegiatan pemberdayaan dilakukan dua
239
tahap, tahap pertama adalah pembekalan kognitif (pengetahuan: ekonomi, sosial
maupun spritual), dan tahap kedua adalah pembekalan dalam bentuk action atau
disebut dengan istilah intervensi secara ekonomi. Model pemberdayaan bagi
masyarakat perdesaan di wilayah
penelitian menggunakan pendekatan input-
proses-output dan outcome yang di dasarkan pada model teoritis yang telah teruji
dan dikonfirmasikan melalui model persamaan struktural (SEM).
Kasus di wilayah pesisir pantai, dan sesuai dengan permasalahan yang
dighadapi maka model atau strategi pemberdayaan dimulai dari cara mengatasi
berbagai barier (rintangan) budaya (cultural) yang melekat selama ini yaitu
budaya pasrah dan kurang memanfaatkan waktu. Sebagai contoh, mereka sebagai
nelayan harus menghadapi berbagai musim. Menurut pengakuan nelaya n, ada tiga
musim melaut, yakni: (1) musim penimur (musim makmur atau musim panen)
terjadi lebih kurang tiga bulan yaitu antara bulan april-juni, (2) musim normal
terjadi lebih kurang lima bulan yaitu antara bulan juli- november, dan (3) musim
pacak kelik atau sering disebut dengan istilah musim pacak gadai terjadi lebih
kurang empat bulan yaitu antara bulan desember – maret. Selama musim pacak
gadai ini, menurut hasil Focus Group Discussion (FGD) pada kelompok nelayan
dahlia dan indepth interview dengan bapak Nasib, diperoleh informasi bahwa
selama musim pacak kelik mereka hanya tinggal di rumah dan sesuai dengan
istilah yaitu musim pacak gadai maka musim ini para nelayan membelanjakan
semua penghasilan yang diperoleh sebelumnya dan tidak ada upaya untuk mencari
pekerjaan alternatif.
Berdasarkan hal tersebut dan sesuai dengan teori yang ada serta hasil
penelitian lainnya maka model strategi pemberdayaan masyarakat pesisir pantai
atau khususnya nelayan adalah memberdayakan mereka dalam mengikis barier
cultural pasrah dengan mencari alternatif pekerjaan yaitu dalam bentuk mixedfarming melalui modal sosial kelompok kerja bersama baik berasal dari kelompok
kesukuan maupun kelompok kerja nelayan. Adapun usaha untuk kelompok kerja
sebagai pekerjaan sampingan yaitu usaha perkebunan kelapa dalam, dagang, jasa
angkutan dan lain sebagainya yang sesuai dengan pola usahatani yang
berkembang di wilayah sekitar pesisir pantai. Hal lain yang perlu diberdayakan
240
masyarakat nelayan yaitu menggalang silaturrahmi diantara kelo mpok kesukuan.
Menurut Hardinsyah (2007:84), melalui silaturahmi dapat membangun
interaksi dan hubungan sosial yang kuat, untuk: (1) menumbuhkan rasa saling
simpati,
saling
pengertian,
saling
menghargai
dan
kasih
sayang,
(2)
mempermudah akses terhadap berbagai informasi termasuk informasi kesempatan
kerja dan kesempatan usaha, (3) menumbuhkan nilai-nilai yang disepekati
bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah bersama dan bahkan tak jarang
menghasilkan kelembagaan usaha bersama, dan (4) membangun kembali ingataningatan yang telah ada yang dikonteksikan dalam kepentingan sosial dan ekonomi
bagi kehidupan individu yang bersilaturarahmi maupun masyarakat secara luas.
Secara rinci strategi pemberdayaan masyarakat pesisir pantai melalui
analisis Strength, Weakness, Opportunity dan Threat (SWOT). Menurut UNDP
(Puspitawati, 2006:285), SWOT ini merupakan suatu tehnik analisis manajemen
dengan cara mengidentifikasi secara internal mengenai kekuatan dan kelemahan
dan secara eksternal mengenai peluang dan ancaman. Analisis SWOT ini
dipertimbangkan dalam kaitannya dengan konsep strategis dalam rangka
menyusun program aksi untuk mencapai tujuan kegiatan dengan cara
memaksimalkan kekuatan dan peluang, dan meminimalkan kelemahan dan
ancaman sehingga mengurangi resiko dan dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi kegiatan program untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga.
Analisis SWOT pemberdayaan masyarakat pesisir pantai berbasis modal sosial
adalah sebagai berikut:
(1) Pertimbangan dari segi kekuatan atau strength adalah masyarakat Kabupaten
Tanjung Timur memiliki motivasi belajar yang tinggi, tingkat ketergantungan
masyarakat masih kuat, dan potensi lahan pertanian masih luas dan perlu
penanganan lebih intensif.
(2) Pertimbangan dari segi kelemahan atau weakness adalah keterbatasan tingkat
pendidikan, dan pengetahuan yang dimiliki, adanya budaya (cultural) pasrah
dan kurang memanfaatkan waktu kerja secara optimal sehingga tingkat
penghasilan yang diperoleh bertumpu pada usaha nelayan, terbatasnya modal
untuk pengembangan usaha, dan rendahnya tingkat keterpercayaan antara
241
nelayan (buruh) dengan pemilik modal sehingga penghasilan yang diperoleh
rendah, serta terbatasnya sarana transportasi.
(3) Pertimbangan dari segi peluang atau opportunities, Muara Sabak adalah
wilayah strategis karena merupakan daerah lintasan segi tiga emas kawasan
pantai timur antara Singapura, Batam, dan Johor (SIBAJO) dan Singapura,
Johor, dan Riau (SIJORI). Letak geografis yang strategis ini menjadi peluang
yang baik bagi perkembangan ekonomi daerah Kabupaten Tanjung Jabung
Timur sehingga kebijakan di bidang peningkatan kesejahteraan ekonomi
keluarga disamping meningkatkan pengembangan usaha nelayan juga
diharapkan mengembangkan usaha lain termasuk jasa.
(4) Pertimbangan dari segi ancaman atau threat bahwa di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur khususnya di Kecamatan Mendahara Ilir dan Nipah Panjang
semakin terbatasnya kawasan atau wilayah tangkap, dan semakin tingginya
tingkat pencemaran laut yang diakibatkan oleh limbah industri.
Melalui
hasil
penelitian dan kajian SWOT, maka rekomendasi
pembangunan peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah pesisir
pantai diprioritaskan kepada:
(1) Pengembangan
karakter
masyarakat
melalui
berbagai
pelatihan
dan
pendidikan secara non formal termasuk pengembangan pendidikan agama
terutama bagi orang dewasa putus sekolah dan orang tua (kepala keluarga).
(2) Membangun
sistem
kerja
kelompok
dan
networking
yang
saling
menguntungkan diantara kelompok masyarakat dan stakeholder lainnya.
(3) Membangun usaha kerja bersama melalui mitra kerja dan penanaman modal
bagi buruh nelayan.
(4) Membangun berbagai fasilitas masyarakat yang mendukung usaha nelayan
termasuk pembangunan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi.
242
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(1) Tingkat kesejahteraan ekono mi keluarga di wilayah perdesaan Provinsi Jambi
baik dilihat dari kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan
ekonomi subjektif adalah tergolong relatif baik. Kesejahteraan ekonomi
objektif secara rata-rata melebihi tingkat kesejahteraan yang ditentukan oleh
Badan Pusat Statistik, sedangkan kesejahteraan ekonomi subjektif ditandai
dengan tingginya persentase masyarakat setempat yang merasa puas dalam
pemenuhan keperluan mereka sehari- hari, baik kebutuhan pangan, non-pangan
maupun kebutuhan investasi sumberdaya manusia yang relatif memuaskan
yaitu mencapai 52,5 persen.
(2) Modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung
maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap tingkat
kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga
(subjective
economic
well-being)
di
wilayah
pegunungan.
Hal
ini
membuktikan hipotesis yang dibangun sebelumnya bahwa asosiasi lokal dan
karakter masyarakat secara bersama-sama dapat mempengaruhi tingkat
kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial
yang ada di masyarakat maka tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di
masyarakat tersebut semakin baik.
(3) Model pemberdayaan keluarga di wilayah perdesaan adalah berbasis modal
sosial. Pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal sosial diartikan
sebagai proses pembelajaran orang dewasa yang berkesinambungan dan
ditujukan untuk memberikan kekuatan baik kekuatan ekonomi, ilmu
pengetahuan, sosial maupun kekuatan spritual.
Saran
(1) Oleh karena kesejahteraan individu tidak sama dan tidak dapat disamakan
maka kedepan, kebijakan pemerintah menetapkan tolok ukur kesejahteraan
ekonomi keluarga tidak terbatas pada tolok ukur kesejahteraan objektif yang
243
mengukur kesejahteraan dari nilai pendekatan baku. Tetapi sudah melihat
kepada kecukupan masyarakat dengan pendekatan kepuasan (subjective
economic well-being).
(2) Dalam mengambil kebijakan peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga di
wilayah perdesaan perlu mempertimbangkan indikator ”modal sosial” sebagai
variabel penentu kesejahteraan.
(3) Penguatan modal sosial sangat tepat dalam pemberdayaan masyarakat
perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga (kesejahteraan
ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi subjektif).
DAFTAR PUSTAKA
Baker, Kristine R., Ofstedal Mary Beth, Zimmer Zachary, Tang Zhe, dan Chuang Yi-Li.
2005. Reciprocal Effects of Health and Economic Well-being among Older Adults
in Taiwan and Beijing. New York: Working Paper No. 197. ISSN: 1554-8538.
Policy Research Division. Population Council. Inc.
Bandiera Oriana, dan Imran Rasul. 2006. Social Networks and Technology Adoption in
Northern Mozambique. The Economic Journal, 116 (October) 869-902.
America: Blacwell Publising, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK
and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA.
Bollen, K.A. 1989. Stuctural Equation with Latent Variable. Washington: John Wiley &
Sons, Inc.
Coleman, James. 1998. Social Capital in the Creation of Human Capital.
http://poverty.worldbank.org/library/subtopic/5038/
Dasgupta, F., dan Serageldin, 2000. Social Capital: A Multifaceted Perspective. The
World Bank, Washington: ISBN 0-8213-4562-1.
Durkin, John. 2000. Measuring Social Capital and Its Economic Impact. Chicago: Horis
Graduate School of Public Policy Studies University of Chicago.
Flores, Margarita, dan Fernando. 2003. Social Capital and Poverty Lessons from Case
Studies in Mexico and Central America. ESA Working Paper No. 03-12. Vol
25, Number 1. New York: Agricultural and Development Economics Division,
The Food and Agricultural Organization of the United Nations.
Freund, Anat, dan Abraham, Carneli, 2004. The Relationship between Work
Commitment and Organizational Citizenship Behavior among Lawyers in the
Private Sector. The Journal of Behavioral and Applied Management. Vol. 5,
No.2, p:93-113, winter 2004.
244
Grootaert, Christian. 1999. Social Capital, Household Well-being and Poverty in
Indonesia. Working Paper No. 6. Washington: The World Bank, Social
Development Departement. DC 20433, USA.
Haddad, Lawrence, dan John Maluccio. 2000. Social Capital and Household Well-being
in South Africa: Patways of Influnce. New York: Prepered for presentation at
the Study of African Economies. International Food policy Research Institute.
Hardinsyah, 2007. “Inovasi Gizi dan Pengembangan Modal Sosial.” Orasi Ilmiah Guru
Besar Tetap Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
Bogor: IPB, Bogor.
Hikmat, 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press
Bandung.
Joreskog, G. Karl, Sorbom Dag, Stephen Du Toit; dan Mathilda doToit. 1999. LISREL 8,
New Statistical Features. Chicago: SSI (Scientific Software International) Inc.
Midden Cees JH, Florian G. Kaiser, dan L. Teddy McCalley. 2007. Technology’s Four
Roles in Understanding Individuals’ Conservation of Natural Resources. Journal
of Social Issue, Vol. 63, No. 1, 2007, pp:155-174. Netherlands: Eindhoven
University of Technology, Departemen of Human -Technology Interaction. Email: [email protected]
Milligan, Sue, Fabian Angela, Coope Pat, dan Errington Chris. 2006. Family Wellbeing
Indicators from the 1981-2001 New Zealand Cencuses. New Zealand: Published
in June 2006 by Statistics New Zealand in Conjunction with The University of
Auckland and University of Otago. 2006, ISBN 0-478-26982-X.
Narayan, Deepa, dan Pritchett, Lant. 1999. Cents and Sociability: Household Income and
Social Capital in Rural Tanzania . Economic Development and Cultural Change,
Vol. 47, No. 4 (Jul., 1999), 871-897.
Pakpahan, Agus. 1996. “Penaggulangan Kemiskinan: Prinsip Dasar, Metodologi dan
Upaya Penanggulangannya.” Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di
Indonesia. Jakarta: Diedit oleh Sajogyo. Grasindo,
Peck Frank, dan Vicki, Goodwin. 2003. Economic Well-being of Communities and
Regional Economic Development: Poles Apart?. Research Paper Series- No. 7
January, 2003. Centre Regional Economic Development. Northumbria
University.
Robinson, Brooks B. 2002. Income Inequality and Ethnicity: An International View.
Second Inequality and Pro-Poor Growth. Washington: Spring Conference the
World Bank, Washington DC, June, 9-10, 2002.
Strauss, John, Kathleen Beegle, Agus Dwiyanto, Yulia Herawati, Daan Pattinasarany,
Elan Satriawan, Bondan Sikoki, Sukamdi, dan Firman Witoelar, 2004. Indonesian
Living Standards: Before and After the Financial Crisis. RAND Corporation,
Santa Monica, USA, and Institute of Southeast-Asian Studies, Singapure.
Sumarti, Titik M.C. 1999. “Persepsi Kesejahteraan dan Tindakan Kolektif Orang Jawa
dalam Kaitannya dengan Gerakan Masyarakat dalam Pembangunan Keluarga
245
Sejahtera di Pedesaan.” Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Sumarwan, Ujang, dan Tahira, Hira. 1993. “The Effects of Percieved Locus of Control
and Percieved Incomes Adequacy on Satisfaction with Financial Status of Rural
Households.” Dalam Journal of Family Economic Issues. Vol. 14(4), Winter
1993. pp:343-64.
246
PEMBAHASAN UMUM
Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga
Apabila merujuk pada pola pembangunan Indonesia dalam Pasal 33 UUD
1945 yang memberi arah pembangunan ekonomi untuk menuju kesejahteraan
sosial. Kata kunci pembangunan di Indonesia adalah kualitas Sumberdaya
Manusia (SDM). Kemudia n, UU RI No 25 tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, pembangunan pangan dan
gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang dikembangkan selama ini tidak
berdampak positif terhadap kualitas SDM. Artinya adalah, setiap peningkatan
pertumbuhan ekonomi, GDP dan pendapatan perkapita ternyata tidak berpengaruh
positif terhadap peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa tujuan pembangunan untuk mewujudkan pembangunan
Indonesia seutuhnya belum tercapai.
Seperti yang dialami oleh penduduk dunia ternyata di Indonesia tidak jauh
berbeda bahwa kesejahteraan masyarakat antar daerah menunjukkan tingkat
disparitas dan inequality yang cuk up kentara.
Apabila kesejahteraan didekati
dengan nilai Product Domestic Regional Bruto (PDRB), ternyata pembangunan
terpusat di pulau Jawa yaitu mencapai 59,56 persen dari total pendapatan,
Sumatera 22,05 persen, sedangkan pulau lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan lainlain) hanya 8,22 persen. Kesenjangan pendapatan atau disparitas kesejahteraan
penduduk ini bermuara dari pola pembangunan yang mengacu pada pembangunan
ekonomi, dan dilaksanakan secara fragmented dengan bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi dan sedikit sekali menyentuh pembangunan sumberdaya manusia apalagi
pembangunan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat.
Padahal tujuan pembangunan adalah membangun manusia Indonesia
seutuhnya dengan arah pembangunan yang berorientasi kepada masyarakat.
Berkenaan dengan itu, arah pembangunan masa akan datang harus dilaksanakan
secara holistik dan komprehensif dengan melibatkan masyarakat. Supaya arah
pembangunan ini dapat berjalan dengan efektif dan efisien maka pola
pembangunan ini dapat memanfaatkan berbagai bentuk struktur sosial yang ada
223
247
dimasyarakat dan salah satunya adalah modal sosial. Modal sosial adalah berupa
tingkat keterpercayaan, rasa percaya, norma dan jaringan kerja baik informal
maupun formal yang ada di masyarakat mempunyai peran yang cukup penting dan
dapat memicu peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi (James
Coleman, (1990), Pierre Bourdieu, (1993), Robert Putnam, (1995), dan Francis
Fukuyama, (1999). Studi kasus di Indonesia, World Bank melaporkan bahwa
modal sosial mempunyai kontribusi dan berpengaruh positif terhadap peningkatan
kesejahteraan keluarga (Grootaert, 1999). Hal ini sejalan dengan visi dan misi
program Millenium
Development
Goals
(MDGs) bahwa pemberantasan
kemiskinan dan kelaparan berbasis pada masyarakat atau penduduk sehingga
penduduk dunia pada tahun 2015, minimal separo dari target pembangunan bebas
dari kemiskinan, kemelaratan dan sejenisnya.
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga
dan Disparitas
Kesejahteraan diartikan suatu tata nilai kehidupan dan penghidupan bagi
setiap individu, keluarga dan masyarakat terhadap berbagai aspek, seperti:
ekonomi, sosial, maupun spritual untuk mengadakan usaha- usaha pemenuhan
kebutuhan jasmani dan rohani. Oleh karena itu, program pembangunan
peningkatan kesejahteraan harus dilaksanakan secara holistik dan komprehensif,
sedangkan selama ini pendekatan yang digunakan untuk menilai tingkat
kesejahteraan masyarakat hanya bertumpu pada pendekatan ekonomi baik yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) maupun Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) sehingga program yang dijalankan selama ini
belum banyak hasil yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Untuk mengatasi hal
tersebut, penelitian tentang kesejahteraan keluarga di daerah perdesaan Provinsi
Jambi menggunakan dua pendekatan, yakni: Kesejahteraan Ekonomi Objektif
(KEO) dan Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES). Kesejahteraan Ekonomi
Objektif (KEO) keluarga di wilayah penelitian diukur dengan proxy besarnya
pengeluaran keluarga. Pengeluaran keluarga yaitu pengeluaran yang diperuntukkan
pembelian kebutuhan keluarga sehari- hari, yakni kebutuhan pokok dan kebutuhan
lainnya. Dengan kata lain, pengeluaran keluarga dialokasikan untuk kebutuhan
248
pangan, non pangan dan kebutuhan investasi sumberdaya manusia. Porsi
pengeluaran tersebut akan mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu kelompok
masyarakat (Mangkuprawira, 2002: 74). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara pengeluaran kecil (miskin)
dengan pengeluaran relatif besar (keluarga berkecukupan). Distribusi pengeluaran
pada kelompok hampir berkecukupan keatas mencapai 79,4 persen. Apabila
dibedakan berdasarkan wilayah agroekologi ternyata persentase pengeluaran
terbesar keluarga contoh terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 87
persen lebih, sedangkan di wilayah pegunungan hanya sekitar 72 persen. Merujuk
pada standar kemiskinan, ternyata persentase pengeluaran keluarga contoh yang
berada pada tingkatan pengeluaran kurang berkecukupan hanya sebesar 34,8
persen, sedangkan yang tergolong sangat miskin hanya 5,2 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa keluarga contoh di daerah penelitian berdasarkan pada
tingkat pengeluaran dapat di kategorikan pada kelompok sejahtera.
Distribusi tingkat pengeluaran keluarga menunjukkan hasil yang cukup
menggembirakan yakni distribusi pengeluaran keluarga antara kelompok terendah
dengan kelompok penerima pengeluaran paling atas relatif merata. Kelompok 40
persen penerima pengeluaran terbawah rata-rata di atas 17 persen, sedangkan
distribusi pengeluaran 10 persen kelompok penerima pengeluaran teratas dengan
nilai juga cukup baik yaitu antara 14-16 persen. Dengan kata lain, terdapat nilai
Bobot Ketidaksamarataan (BK) masing- masing wilayah 1,6 dan 1,9. Nilai BK
wilayah pesisir pantai relatif lebih kecil dibandingkan dengan BK wilayah
pegunungan. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran keluarga di
wilayah pesisir pantai relatif sedikit kurang merata dibandingkan dengan distribusi
pengeluaran keluarga di daerah penelitian wilayah pegunungan. Ketidaksamarataan
pengeluaran masyarakat nelayan disebabkan adanya pola hubungan kerja antara
buruh dengan majikan. Dengan kata lain, terjadi saling ketidak percayaan antara
nelayan (buruhan) dengan pemilik modal dalam mengelola usaha.
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) adalah wujud kebudayaan dan
terbentuk dalam proses interaksi sosial dalam masyarakat sehingga persepsi
kesejahteraan masyarakat desa akan berbeda dengan persepsi kesejahteraan
masyarakat kota bahkan berbeda dengan persepsi yang dibuat oleh pemerintah
249
namun kesemuanya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang menjadi pedoman hidupnya
untuk mewujudkan kesejahteraan itu sendiri. Kesejahteraan masyarakat desa
diperoleh dari nilai- nilai lokal melalui hasil sosialisasi dari nilai- nilai budaya dan
agama karena secara sosiologis dan psikologis bahwa setiap manusia mempunyai
nilai tersendiri tentang persepsi kesejahteraan. Secara operasional, ada dua
pendekatan mengenai KES yaitu pendekatan kebahagiaan dan kepuasan. Namun
variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan dengan
variabel kebahagiaan karena ia dapat lebih mudah melihat kesenjangan antara
aspirasi dengan tujuan yang ingin dicapai.
Tingkat kepuasan dapat
menggambarkan tingkat kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi atau
dapat menjangkau berbagai kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan
(happiness) hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu
dalam aksesnya dengan masyarakat dan institusi.
Kemudian, kepuasan
(satisfaction) individu, keluarga dan atau masyarakat dapat menggambarkan
tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan jasa serta harapan masa depan
(Peck dan Goodwin, 2003:7).
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) diukur dengan melihat tingkat
kepuasan keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan sehari- hari. Data menunj ukkan
bahwa distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga (subjective
economic well-being) di wilayah penelitian relatif baik. Hal ini ditandai dengan
persentase masyarakat setempat yang merasa puas dalam pemenuhan keperluan
mereka sehari- hari, baik kebutuhan pangan, non pangan maupun investasi relatif
memuaskan yaitu mencapai 60,3 persen. Namun demikian, apabila dibedakan
berdasarkan wilayah penelitian ternyata persentase terbesar kesejahteraan
masyarakat
sedangkan di
terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 68,4 persen,
wilayah pesisir, tingkat kesejahteraan yang merasa puas dalam
pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari hanya sekitar 51 persen. Hal ini
berhubungan terbalik dengan tingkat pengeluaran keluarga. Dengan arti kata,
tingkat pengeluaran sebagai proxy kesejahteraan ekonomi objektif tidak selalu
berkorelasi positif dengan tingkat kepuasan. Hasil analisis menunjukkan bahwa
distribusi kepuasan keluarga di daerah penelitian baik pada tingkat kepuasan
keluarga di wilayah pesisir pantai maupun di wilayah pegunungan
250
ternyata
memiliki tingkat distribusi cukup merata, yakni 40 persen penerima kepuasan
terbawah rata-rata di atas 17 persen. Sebaliknya, distribusi penghasilan 10 persen
kelompok penerima kepuasan teratas denga n nilai juga cukup baik yaitu di bawah
17 persen. Berdasarkan data distribusi tersebut dapat diketahui bahwa BK kedua
wilayah penelitian menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan dengan nilai
berkisar antara 2,24–1,9. Apabila merujuk kepada standar yang digunakan oleh
Bank Dunia dan Kuznets maka distribusi kepuasan keluarga di kedua wilayah
penelitian tergolong merata karena jauh lebih besar dari angka 0,3. Namun,
melalui hasil analisis (Uji U-test) diperoleh bahwa tingkat kesejahteraan keluarga
di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan keluarga di wilayah
pesisir pantai baik kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi
subjektif (kepuasan keluarga).
Peran Modal Sosial terhadap Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga
Modal sosial merupakan investasi strategis baik secara individu maupun
kelompok. Sadar ataupun tidak sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan
hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Penelitian tentang modal sosial kaitannya dengan
kesejahteraan sudah cukup banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya
namun konsep penelitian tentang modal sosial baru melihat dalam konteks
institusi atau kelembagaan dan jaringan kerja,
padahal modal sosial bukan
semata- mata bentuk kelembagaan atau jaringan kerja yang terdapat di masyarakat
tetapi perannya cukup kompleks karena berkaitan erat dengan perilaku anggota
kelompok atau asosiasi baik formal maupun informal. Untuk itu, melalui penelitian
keterkaitan modal sosial dengan kesejahteraan keluarga ini mengkombinasikan antara
konsep kelembagaan dan karakter individu. Modal sosial merupakan bentuk
jaringan kerja sosial dan ekonomi di masyarakat yang terjadi antar individu dan
kelompok baik formal maupun informal yang bermanfaat dan menguntungkan.
Modal sosial dikategorikan melalui dua dimensi yang saling berhubungan
251
(interrelated), yakni: dimensi struktural, dan dimensi karakter 22 . Hasil pelitian
menunjukkan bahwa tingkat asosiasi lokal yang dimiliki keluarga contoh di
daerah penelitian cukup bervariatif baik dilihat dari jumlah asosiasi yang diikuti,
partisipasi maupun manfaat dari asosiasi lokal itu sendiri. Namun, sebagian besar
keluarga contoh memiliki asosiasi lokal tergolong tinggi yaitu mencapai 57,3
persen. Artinya, proporsi keluarga contoh yang memiliki asosiasi lokal pada
tingkat tinggi dan sangat tinggi mencapai 57,3 persen. Hal ini mengindikasikan
bahwa kepemilikan asosiasi lokal bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup
penting. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata kelompok
masyarakat yang memiliki tingkat asosiasi lokal tertinggi (kepemilikan asosiasi
lokal tinggi+sangat tinggi) terdapat di wilayah pegunungan dengan persentase
sebesar 67 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai sekitar 53 persen. Relatif
rendahnya tingkat asosiasi lokal yang dimiliki keluarga contoh yang terdapat di
wilayah
pesisir pantai
sangat erat kaitannya dengan jumlah dan tingkat
partisipasi mereka dalam kelompok atau organisasi yang terdapat dalam desa.
Keterlibatan keluarga contoh dalam berbagai asosiasi lokal sangat sedikit sekali,
baik kegiatan ekonomi maupun kegiatan lainnya, dan hal ini diperparah lagi oleh
jumlah asosiasi yang berkembang di wilayah pesisir pantai sangat terbatas bila
dibandingkan dengan daerah wilayah pegunungan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah asosiasi lokal yang diikuti
keluarga contoh di daerah penelitian tergolong besar karena lebih dari 59 persen
keluarga contoh mengikuti sebanyak tiga atau lebih asosiasi lokal. Dengan semakin
banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota keluarga contoh
diharapkan dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat kebersamaan dan
solidaritas sesama anggota masyarakat sehingga pada gilirannya akan berdampak
terhadap kesejahteraan dan kemajuan desa. Kemudian, pada masa era globalisasi,
reformasi dan otonomi daerah, asosiasi lokal yang berkembang di daerah dan
diikuti oleh anggota masyarakat akan sangat berperan dalam membendung dan
22
Konsep ini mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu (1986), Coleman (1988),
dan Putnam, Leonardi, dan Nanetti (1993), Grootaert (1997), Woolcock (1998), Fukuyama
(1999), Uphoff (1999) (Dasgupta P., 2000:218), dan Flores dan Fernando (2003) (disempurnakan).
252
menopang berbagai informasi berupa inovasi baru yang datang dari luar terutama
yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan pembangunan daerah.
Tinggi rendahnya peran modal sosial terhadap kesejahteraan keluarga
dilihat dari tingkat partisipasi mayarakat dalam berbagai kelompok atau asosiasi.
Tingkat partisipasi anggota keluarga contoh dalam asosiasi lokal dilihat dari dua
aspek, yakni tingkat keaktifan dalam pertemuan dan pengambilan keputusan
selama mengikuti pertemuan. Rata-rata partisipasi anggota keluarga dalam
mengikuti
berbagai
kegiatan
atau
pertemuan
dalam
kelompok/asosiasi
kemasyarakatan cukup tinggi yaitu mencapai 57 persen. Dengan arti kata, setiap
anggota
keluarga
dapat
mengikuti
berbagai
kegiatan
atau
pertemuan
kelompok/asosiasi lebih dari 50 persen. Namun demikian, apabila dibedakan
berdasarkan daerah penelitian ternyata anggota keluarga contoh di wilayah pesisir
pantai
memiliki tingkat partisipasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan
anggota keluarga contoh di wilayah
pegunungan, masing masing 49, dan 66
persen. Dengan kata lain, anggota keluarga contoh di daerah wilayah pesisir
pantai
kurang aktif dalam mengikuti berbagai aktivitas dan pertemuan
kelompok/asosiasi sehingga akan berdampak kepada produktivitas kelembagaan
itu sendiri.
Variabel manfaat secara struktural merupakan elemen penting dalam
modal sosial karena variabel ini berkaitan erat dengan keterlibatan seorang
individu atau kelompok dalam asosiasi. Artinya, semakin besar nilai manfaat dari
suatu asosiasi bagi keluarga maka kontribusi setiap aktor semakin besar dan
sebaliknya. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tingkat manfaat
asosiasi bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup besar, hal ini ditandai
dengan tingginya nilai persentase yaitu mencapai 70 persen lebih. Hasil Focus
Group Discussion (FGD) di wilayah pegunungan menyimpulkan bahwa asosiasi
desa yang ada di daerah ini baik asosiasi formal maupun informal cukup penting
dalam meningkatkan perekonomian dan hubungan sosial dalam masyarakat.
Keberadaan asosiasi di desa pegunungan sangat berperan sekali terutama sistem
kerja gotong royong ”collective action”, misalnya membangun jalan menuju ke
sentra produksi (kebun), membangun dan atau membersih hulu sungai untuk
pengairan persawahan, membangun fasilitas umum (masjid), madrasah, dan
253
fasilitas umum lainnya. Hasil temuan lapangan diperolah informasi bahwa
terdapat lebih dari 18 asosiasi (formal dan informal) lokal yang dapat
dimanfaatkan oleh keperluan atau kepentingan keluarga responden. Apabila
dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata asosiasi lokal terbanyak yang
berkembang dan dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh terdapat di wilayah
pegunungan yaitu sebanyak 16 unit, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya
10 unit.
Secara keseluruhan, asosiasi sosial merupakan persentase terbesar yang
dibutuhkan bagi anggota keluarga contoh yaitu mencapai 33 persen, kemudian
persentase terbesar kedua adalah asosiasi yang bergerak untuk kebutuhan pangan
yaitu mencapai 24 persen, sedangkan persentase terkecil yaitu asosiasi yang
bergerak di bidang kesehatan (6 persen). Namun, apabila dibedakan berdasarkan
daerah penelitian tampaknya terdapat perbedaan yang cukup signifikan kebutuhan
asosiasi yang terdapat di wilayah pegunungan dengan wilayah pesisir pantai.
Kebutuhan asosiasi di wilayah pegunungan misalnya, kebutuhan asosiasi dari
lima kelompok yang berkembang di masyarakat
kebutuhannya cukup
proporsional kecuali asosiasi yang bergerak di bidang kesehatan, sedangkan
kebutuhan asosiasi yang terdapat di wilayah pesisir pantai hanya tertumpu pada
kelompok sosial yaitu mencapai 46 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa
masyarakat yang terdapat di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat interaksi
sosial di masyarakat tergolong rendah. Kenyataan ini didukung oleh hasil diskusi
(FGD) dengan tokoh-tokoh masyarakat bahwa umumnya masyarakat di daerah
tersebut memiliki tingkat hubungan antar sesama anggota masyarakat sangat
terbatas. Keterbatasan hubungan keakraban antar sesama anggota masyarakat
karena banyaknya kelompok kesukuan sehingga sulit untuk membuat satu
kesatuan asosiasi untuk kepentingan bersama. Disisi lain, masyarakat pesisir lebih
banyak melakukan aktivitas secara individual daripada kelompok kecuali kalau
ada anggota masyarakat yang mendapat musibah (meninggal) itupun hanya
membantu memberi doa ya ng disebut sebagai asosiasi sosial (yasinan).
Kebutuhan asosiasi terbesar yang dibutuhkan oleh masyarakat di wilayah
pegunungan adalah asosiasi yang bergerak di bidang pangan yaitu mencapai 30
persen. Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa asosiasi ya ng bergerak di
254
bibidang pangan ini berasal tiga jenis asosiasi yang berkembang di masyarakat,
yakni: Kelompok Usahatani (KUT), Kelompok Perkumpulan Petani Pemakai Air
(KP3A) dan asosiasi Kelembagaan Adat. KUT misalnya adalah asosiasi yang di
sponsori oleh pemerintah yang bergerak dibidang pertanian: bantuan bibit
(tanaman, ternak dan ikan) dan bantuan lainnya, KP3A adalah asosiasi desa yang
berkembang dimasyarakat di wilayah pegunungan yaitu kelompok pengelola air
irigasi yang digunakan untuk pengairan padi sawah, dan kelembagaan adat
disamping berfungsi sebagai lembaga sosial, pendidikan juga berperan sebagai
kelompok yang bergerak untuk keperluan pangan masyarakat (contoh: raskin).
Asosiasi terbesar kedua yang berkembang di wilayah pegunungan dan
dibutuhkan oleh masyarakat yaitu asosiasi yang bergerak di bidang pendidikan
(26 persen). Melihat distribusi yang ada, asosiasi yang bergerak dibidang
pendidikan ini berasal dari
beberapa jenis asosiasi, yakni: Asosiasi Karang
Taruna, Majlis Taklim, PKK, kelompok keagamaan, dan kelompok kesenian
tradisional. Asosiasi lain yang cukup memberi andil terhadap kesejahteraan
masyarakat di wilayah pegunungan adalah asosiasi yang bergerak di bidang
sosial, tambahan modal dan kesehatan. Asosiasi yang bergerak di bidang sosial
adalah asosiasi ”leg,” kelembagaan adat, kesenian tradisional, dan asosiasi PBB.
Asosiasi ”leg” di wilayah pegunungan secara umum disebut kelompok yasinan.
Oleh karena, asosiasi ini mayoritas bergerak pada kelompok kalbu maka
kelompok ini disebut dengan istilah ”leg 23 .” Asosiasi yang bergerak dalam bidang
tambahan modal terdiri dari beberapa asosiasi, yakni: asosiasi ”handel 24 ,” arisan,
KUT dan Koperasi (KUD dan keluarga). Asosiasi ”handel” sangat efektif
membatu keluarga baik untuk keperluan lebaran (pada saat lebaran) maupun
untuk keperluan tambahan modal kerja karena yang mendapatkan bantuan dari
asosiasi ini (uang milik bersama) tidak dikenakan bunga. Asosiasi POSYANDU
sebagai asosiasi yang bergerak dibidang kesehatan tampaknya masih relatif kecil
manfaatnya bagi masyarakat. Namun demikian, menurut hemat peneliti rendahnya
23
“leg” artinya sekumpulan atau sekelompok orang yang berasal dari hubungan pertalian darah
atau garis turunan tertentu (bonding) dengan tujuan bersama terutama kerjasama pada saat
menghadapi musibah kematian, secara umum disebut dengan istilah kelompok yasinan.
24
“handel” artinya sistem kerja kelompok (kalbu) dengan mengambil upahan dan setiap mendapat
upahan, penghasilannya disimpan terlebih dahulu dan dibagikan menjelang hari raya idul fitri.
255
manfaat POSYANDU bagi masyarakat di daerah perdesaan banyak disebabkan
oleh faktor kesungguhan pemerintah memberikan akses pelayanan kepada
masyarakat. Hasil temuan di lapangan diperoleh informasi bahwa hampir sebagian
besar POSYANDU yang ada di daerah penelitian sudah banyak yang tidak
berfungsi lagi namun dengan adanya upaya revitalisasi POSYANDU diharapkan
asosiasi tersebut dapat melayani masyarakat terutama pelayanan kesehatan anakanak.
Dimensi lain dari modal sosial adalah karakter anggota masyarakat.
Karakter seorang individu merupakan “the sum total of the disinguishing qualities
of a person” atau sering juga disebut dengan istilah “moral exellence and
strength” (Webster, 1993). Lichona (Hastuti, 2006,11) melihat bahwa karakter
terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait satu sama lainnya, yakni: pengetahuan
tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan
perilaku bermoral (moral behavior). Artinya, seorang individu yang berkarakter
baik apabila mereka dapat mengetahui tentang berbagai kebaikan (knowing the
good), menginginkan dan selalu mencintai kebaikan (loving the good), dan
seorang individu selalu melakukan berbagai tindakan yang baik (acting the good).
Implementasi dalam kehidupan sehari- hari dan seorang individu yang berkarakter
baik dapat dilihat pada pola hidup dan interaksi sosial mereka dengan masyarakat
dalam konteks: nilai keterpercayaan, solidaritas dan semangat kerja. Nilai
keterpercayaan diukur dari tiga dimensi, yaitu: komitmen terhadap norma yang
berlaku, kejujuran, dan tanggung jawab. Solidaritas masyarakat dilihat dari aspek:
tingkat ketergantungan antar anggota masyarakat, saling bantu membantu, dan
aspek kepekaan terhadap kemajuan desa, sedangkan aspek semangat kerja diukur
dari disiplin dan keuletan kerja masyarakat.
Hasil pengamatan lapangan, terdapat lebih dari 50 persen keluarga contoh
di daerah penelitian tergolong pada kelompok dengan karakter masyarakat yang
tinggi dan sangat tinggi. Dengan arti kata, bahwa rata-rata pola hidup dan
interaksi sosial masyarakat di daerah penelitian khususnya di daerah perdesaan
Provinsi Jambi relatif kondusif. Namun, apabila dibedakan berdasarkan wilayah
penelitian ternyata proporsi keluarga contoh terbesar pada kelompok karakter
yang tinggi dan sangat tinggi terdapat di wilayah pegunungan (74,8 %),
256
sedangkan masyarakat di wilayah pesisir pantai yang tergolong pada kelompok
berkarakter tinggi dan sangat tinggi hanya sekitar 33,8 persen. Artinya, kelompok
masyarakat yang memiliki karakter baik (kelompok karakter tinggi + sangat
tinggi) di wilayah pesisir pantai jauh lebih kecil dibandingkan dengan kelompok
masyarakat yang ada di wilayah pegunungan . Hasil pengamatan lapangan dan
wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat di wilayah
pesisir pantai
diperoleh kesimpulan bahwa rendahnya karakter masyarakat di daerah penelitian
disebabkan keberagaman etnisitas. Terdapat empat suku besar yang berkembang
dengan pola dan gaya hidup yang sangat kontras satu dengan lainnya, yakni: suku
melayu, bugis, banjar, dan suku jawa. Keempat suku tersebut memiliki ciri dan
kepentingan masing- masing sehingga akan berdampak terhadap kepentingan
masyarakat secara umum dan pada gilirannya dapat merenggangkan interaksi
sosial masyarakat secara utuh. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Robinson
(2002:8) bahwa keberagaman etnisitas dapat mempengaruhi tingkat income
inequality dan kebersamaan masyarakat.
Elemen pertama tentang karakater masyarakat adalah keterpercayaan.
Keterpercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang terhadap
perkataan, perjanjian, dan tindakan secara konsisten pada saat terjalinnya
hubungan antar individu atau kelompok/organisasi dalam masyarakat. Tingkat
keterpercayaan seseorang dapat dilihat dari dimensi: tingkat komitmen, kejujuran
dan tanggung jawab. Rata-rata tingkat keterpercayaan masyarakat di daerah
penelitian tergolong relatif baik karena nilai kelompok masyarakat yang tergolong
pada kelompok keterpercayaan tinggi dan sangat tinggi yaitu mencapai 57,8
persen. Artinya, hampir sebagian besar masyarakat di daerah perdesaan Provinsi
Jambi memiliki tingkat keterpercayaan tinggi. Berdasarkan wilayah penelitian,
ternyata terdapat perbedaan yang cukup besar kelompok masyarakat yang
memiliki tingkat keterpercayaan tinggi antara masyarakat di wilayah pesisir
pantai dengan wilayah pegunungan . Hasil pengelompokan menunjukkan bahwa
masyarakat di wilayah pegunungan memiliki tingkat keterpercayaan jauh lebih
baik dibandingkan dengan tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah
pesisir pantai dengan nilai masing- masing 75,9 dan 37,1 persen. Relatif tingginya
tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah
257
pegunungan sangat
terkait dengan pola hubungan individu dalam masyarakat. Pola hubungan atau
interaksi individu dalam masyarakat Kerinci yaitu menganut sistem ”kalbu.”
Sistem kalbu adalah interaksi sosial/hubungan sosial masyarakat dalam kelompok
atau turunan tertentu yang dibingkai dalam sebuah kedepatian dan lembaga adat
dengan satu tujuan. Artinya, satu depati dengan depati lain saling kait mengkait
dan saling ketergantungan untuk membangun sebuah kelembagaan yang kokoh
yang disebut dengan kelembagaan adat.
Hasil FGD menunjukkan bahwa keterpercayaan seorang individu yang
mapan dan dapat dipercayai di wilayah pegunungan karena mereka merasakan
bahwa dirinya adalah milik orang lain dan sebaliknya masyarakat luas adalah
bagian dari kepentingan mereka dalam menjalankan interaksi/hubungan sosial.
Tercapainya keterpercayaan yang terkait dengan hubungan masyarakat dalam
kelompok kalbu dan kedepatian disebabkan oleh adanya komitmen, kejujuran dan
tanggung jawab masing- masing anggota untuk kepentingan bersama.
Elemen kedua dari karakter adalah solidaritas. Solidaritas yaitu saling
mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana
mereka saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi
keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai. Tinggi
rendahnya tingkat solidaritas masyarakat dilihat dari tiga dimensi: ketergantungan
satu sama lainnya, saling bantu membantu, dan adanya kepekaan terhadap
kemajuan desa. Secara operasional solidaritas masyarakat merupakan frekuensi
interaksi antara satu individu dengan individu lainnya yang merujuk pada
seberapa jauh individu melakukan kontak-kontak langsung antara satu dengan
lainnya. Semakin positif sifat interrelasi diantara anggota kelompok yang berupa
solidaritas, atau semangat kemasyarakatan, semakin besar kecenderungannya
untuk saling memperhatikan keinginan masing- masing dalam mencari jalan ke
arah saling memberi kepuasan dan kerjasama. Hasil analisis menunjukkan bahwa
tingkat solidaritas masyarakat di daerah penelitian relatif merata antara solidaritas
masyarakat yang baik dan kurang baik karena data yang diperoleh diantara kedua
tingkat solidaritas tersebut relatif berimbang: 41,5 persen tingkat solidaritas
kurang baik dan 58,5 persen tingkat solidaritas tergolong baik. Namun, menurut
wilayah penelitian ternyata persentase masyarakat terbesar yang memiliki tingkat
258
solidaritas tergolong baik terdapat di wilayah pegunungan (76,4 persen). Hasil
wawancara menunjukkan bahwa tingginya tingkat solidaritas masyarakat di
wilayah pegunungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya karena kuatnya
kelembagaan adat yang ada di daerah tersebut.
Elemen ketiga dari karakter masyarakat adalah semangat kerja. Seorang
individu atau kelompok masyarakat dikatakan atau dicirikan sebagai seorang
semangat kerja tinggi (tipe pekerja keras) apabila mereka selalu melakukan
kegiatan dengan disiplin (ulet, pantang menyerah) dan melakukan pekerjaan
dengan segera serta memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keluarga contoh di daerah penelitian yang
dapat digolongkan pada kelompok masyarakat dengan tipe bekerja keras hanya 38
persen. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata etos kerja masyarakat di daerah
penelitian tergolong rendah. Apabila dilihat berdasarkan wilayah
penelitian
ternyata masyarakat keluarga contoh yang memiliki etos kerja yang rendah terdapat
di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 70 persen, sedangkan masyarakat di
wilayah
pegunungan
hanya
52 persen. Kurangnya sifat masyarakat untuk
bekerja keras di daerah penelitian terutama di wilayah pesisir pantai terlihat dari
kurangnya pemanfaatan waktu kerja, sistem kerja banyak bersifat individual dan
kurang kesungguhan dalam menghadapi berbagai pekerjaan terutama pekerjaan
produktif terkecuali keluarga contoh yang berada di daerah penelitian tergabung
dalam kelompok transmigrasi mereka umumnya relatif lebih produktif
dibandingkan dengan masyarakat lain non transmigran. Hal ini ditunjukkan oleh
fakta bahwa setiap anggota rumah tangga di daerah transmigrasi memiliki
berbaga i ragam pekerjaan, baik bidang pekerjaan usahatani (pangan dan
perkebunan) maupun pekerjaan dibidang jasa sehingga mereka dapat memperoleh
penghasilan yang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga.
Oleh karena modal sosial bukan merupakan kapital yang dapat
mentransformasi langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan maka ia dapat
dikatakan produktif atau berperan dalam meningkatkan penghasilan atau
kesejahteraan keluarga harus melalui berbagai mekanisme. Sesuai dengan
manfaat dan akses dari modal sosial yang diharapkan masyarakat sehingga efek
modal sosial yang dapat mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan keluarga
259
yaitu melalui tiga mekanisme, yakni: sharing informasi diantara anggota
kelompok, sistem kerja bersama atau gotong royong (collective action) baik
untuk kegiatan produktif maupun kegiatan sosial, dan pengambilan keputusan
bersama (musyawarah). Hasil temuan ini didukung oleh konsep yang
dikembangkan oleh Naraya n dan Pritchett (1999:872-873) bahwa modal sosial
dapat mempengaruhi berbagai bentuk keluaran (outcomes) bagi masyarakat
melalui lima mekanisme, yakni (1) dapat meningkatkan kemampuan masyarakat
dalam memonitor berbagai kegiatan atau kebijakan pemerintah melalui jaringan
sosial (social network); (2) dapat meningkatkan berbaga i bentuk tindakan atau
kebijakan bersama dalam memecahkan berbagai persoalan dalam masyarakat; (3)
dapat memudahkan berbagai bentuk difusi inovasi melalui peningkatan hubungan
antar individu; (4) dapat mengurangi ketidaksempurnaan informasi yang diterima
masyarakat, seperti
dalam pemanfaatan fasilitas kredit, berbagai bentuk
produksi, lahan pertanian, dan lapangan kerja;
dan (5) dapat meningkatkan
asuransi informal (informal insurance) bagi rumahtangga.
Besar kecilnya pengaruh modal sosial terhadap peningkatan penghasilan
dan kesejahteraan keluarga sangat ditentukan oleh tipe interaksi sosial yang
berkembang atau yang diikuti oleh anggota keluarga. Namun demikian, tipe
interaksi ini sangat bergantung dengan jenis dan keragaman asosiasi yang
terdapat dimasyarakat. Jenis asosiasi lokal yang terdapat di daerah penelitian
cukup heterogen baik yang berakar dari kelompok masyarakat sendiri maupun
yang disponsori oleh pemerintah maka tipe interaksi sosial yang berkembang di
daerah penelitian menganut trio tipe, yakni: interaksi sosial melalui kekerabatan
keluarga( bonding), melalui kolega atau teman ( bridging) dan interaksi sosial
melalui lembaga atau institusi formal (lingking). Hasil yang terdapat di daerah
penelitian ini
sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Woolcock
(Thomas dan Heres, 2004), bahwa modal sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan
hubungan atau koneksi (type of networks). Pertama, modal kekerabatan (bonding
capital), yaitu ikatan hubungan yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan
(emosional tinggi) yakni: hubungan antar anggota keluarga, teman dekat, dan
tetangga. Kedua, modal pergaulan (bridging capital), yaitu tingkat kekerabatan
relatif lebih jauh dibandingkan dengan modal kekerabatan, seperti: teman kerja,
260
dan kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking capital), yaitu ikatan
hubungan lebih renggang lagi dibandingkang kedua ikatan hubungan diatas.
Hubungan kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan hubungan secara formal
(formal institutions) baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan
masyarakat luas.
Implikasi Penelitian Keterkaitan Modal Sosial
dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga
Setelah dilakukan uji pengaruh antara variabel laten eksogenus (sosiodemografi, manajemen sumberdaya dan variabel modal sosial) secara bersamasama terhadap variabel laten endogenus kesejahteraan (kesejahteraan ekonomi
objektif dan subjektif) ternyata modal sosial tidak menunjukkan tingkat
signifikansi terhadap kesejahteraan keluarga. Setelah dilakukan modifikasi model
(alternatif-2),
laten variabel eksogenus asosiasi lokal dan karakter masyarakat
digabung menjadi satu laten variabel yaitu menjadi laten variabel modal sosial
diperoleh hasil bahwa laten variabel sosio-demografi berpengaruh positif terhadap
kesejahteraan keluarga baik terhadap kesejahteraan ekonomi objektif maupun
kesejahteraan ekonomi subjektif dengan nilai betha masing- masing adalah 6,55
dan 10,84.
Melalui uji model berikut yaitu alternatif model ketiga, laten variabel
sosio-demografi dikeluarkan, dan asosiasi lokal dan karakter masyarakat kembali
dimasukkan sebagai laten variabel. Hasil analisis menunjukkan bahwa laten
variabel eksogenus manajemen sumberdaya keluarga, asosiasi lokal dan laten
variabel eksogenus karakter masyarakat tidak menunjukkan signifikansi terhadap
laten variabel endogenus tingkat kesejahteraan keluarga (Lampiran 21). Alternatif
model lainnya (alternatif-4),
laten variabel sosio-demografi masih tetap
dikeluarkan, sedangkan laten variabel asosiasi lokal dan karakter masyarakat
kembali digabungkan menjadi satu laten variabel dengan nama laten variabel
modal sosial. Hasil analisis menunjukkan, hanya laten variabel eksogenus modal
sosial yang berpengaruh positif terhadap kesejahteraan keluarga baik terhadap
kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif dengan
nilai betha masing- masing adalah 3,01 dan 3,18. sedangkan laten variabel
261
manajemen sumberdaya keluarga tidak menunjukkan signifikansi terhadap
kesejahteraan keluarga.
Melalui pengujian berbagai alternatif model secara komplit ini dapat
disimpulkan bahwa laten variabel eksogenus modal sosial tidak dapat
menunjukkan tingkat signifikansinya terhadap kesejahteraan keluarga baik
terhadap kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif
pada saat pengujian model secara bersama-sama. Hal ini diduga bahwa laten
variabel modal sosial tidak bisa digabungkan secara bersamaan dengan laten
variabel eksogenus lainnya dalam melihat keterkaitannya terhadap kesejahteraan
kerluarga karena variabel modal sosial tidak berpengaruh secara langsung
terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga. Namun secara terpisah, laten
variabel modal sosial menunjukkan signifikansi yang cukup kuat terhadap
kesejahteraan keluarga.
Model Pemberdayaan Masyarakat
di Daerah Perdesaan
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu
dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.
Menurut McArdle (Hikmat, 2001:2) pemberdayaan adalah sebagai proses
pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekue n melaksanakan
keputusan tersebut dan dapat bekerja secara mandiri. Implikasinya, seperti yang
dicontohkan oleh Schumacker dalam pemberdayaan masyarakat miskin (Thomas:
Hikmat, 2001:2). Pemberdayaan masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang
oleh adanya struktur sosial yang tidak berpengaruh negatif terhadap kekuasaan
(powerful). Dengan kata lain, kelompok miskin dapat diberdayakan melalui ilmu
pengetahuan
dan
kemandirian
sehingga
dapat
berperan
sebagai
agen
pembangunan.
Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal
sosial
diartikan
sebagai
proses
pembelajaran
orang
dewasa
yang
berkesinambungan dan ditujukan untuk memberikan kekuatan baik kekuatan
ekonomi, ilmu pengetahuan sosial maupun kekuatan pengetahuan spritual.
Pemberdayaan ini dilakukan secara sinergis antara pihak luar (pemerintah,
262
lembaga non pemerintah, maupun stakeholder) dengan tokoh masyarakat dan
peserta atau aktor yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan dengan pola
individu dan kelompok. Kegiatan pemberdayaan dilakukan dua tahap, tahap
pertama adalah pembekalan kognitif (pengetahuan: ekonomi, sosial maupun
spritual), dan tahap kedua adalah pembekalan dalam bentuk action atau disebut
dengan istilah intervensi secara ekonomi.
Model pemberdayaan bagi
masyarakat perdesaan di daerah penelitian
menggunakan pendekatan input-proses-output dan outcome yang di dasarkan pada
model teoritis yang telah teruji dan dikonfirmasikan melalui model persamaan
struktural (SEM). Sebetulnya,
model pemberdayaan ini merupakan upaya
meningkatkan keberadaan masyarakat perdesaan melalui proses pembelajaran
yang menggunakan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa yang dilaksanakan
secara berkesinambungan oleh fasilitator yang dapat mendukung dan memberikan
andil dalam pembangunan masyarakat. Berdasarkan model persamaan struktural
(SEM), maka dirumuskan model pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis
modal sosial dengan harapan menghasilkan masyarakat madani (civil society).
Hasil temuan ini didukung oleh hasil penelitian Lawang (2004:215) pada Program
Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) se Indonesia bahwa pemberdayaan masyarakat lebih mudah
dilakukan melalui modal sosial terutama pada komunitas sosial yang memiliki
tradisi kebersamaan yang cukup lama dan memiliki struktur sosial yang muncul
dari kehidupan mereka sehari- hari.
Kasus di wilayah pesisir pantai, dan sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi maka model atau strategi pemberdayaan dimulai dari cara mengatasi
berbagai barrier (rintangan) budaya (cultural) yang melekat selama ini yaitu
budaya pasrah dan kurang memanfaatkan waktu. Sebagai contoh, mereka sebagai
nelayan harus menghadapi berbagai musim. Menurut pengakuan nelayan, ada tiga
musim melaut, yakni: (1) musim penimur (musim makmur atau musim panen)
terjadi lebih kurang tiga bulan yaitu antara bulan April-Juni, (2) musim normal
terjadi lebih kurang lima bulan yaitu antara bulan Juli-November, dan (3) musim
pacak kelik atau sering disebut dengan istilah musim pacak gadai terjadi lebih
263
kurang empat bulan yaitu antara bulan Desember–Maret. Selama musim pacak
gadai ini, menurut hasil Focus Group Discussion (FGD) pada kelompok nelayan
dan indepth interview, diperoleh informasi bahwa selama musim pacak kelik
mereka hanya tinggal di rumah dan sesuai dengan istilah yaitu musim pacak gadai
maka musim ini para nelayan membelanjakan semua penghasilan yang diperoleh
sebelumnya dan tidak ada upaya untuk mencari pekerjaan alternatif. Berdasarkan
hal tersebut dan sesuai dengan teori yang ada serta hasil penelitian lainnya maka
model strategi pemberdayaan masyarakat pesisir pantai atau khususnya nelayan
adalah memberdayakan mereka dalam mengikis barrier cultural pasrah dengan
mencari alternatif pekerjaan yaitu dalam bentuk mixed-farming melalui modal
sosial kelompok kerja bersama baik berasal dari kelompok kesukuan maupun
kelompok kerja nelayan. Adapun usaha untuk kelompok kerja bersama sebagai
pekerjaan sampingan yaitu usaha perkebunan kelapa dalam, dagang,
jasa
angkutan dan lain sebagainya yang sesuai dengan pola usahatani yang
berkembang di wilayah sekitar pesisir pantai. Hal lain yang perlu diberdayakan
masyarakat nelayan yaitu menggalang silaturrahmi diantara kelompok kesukuan.
Menurut Hardinsyah (2007:84), melalui silaturahmi dapat membangun
interaksi dan hubungan sosial yang kuat, untuk: (1) menumbuhkan rasa saling
simpati,
saling
pengertian,
saling
menghargai
dan
kasih
sayang,
(2)
mempermudah akses terhadap berbagai informasi termasuk informasi kesempatan
kerja dan kesempatan usaha, (3) menumbuhkan nilai-nilai yang disepekati
bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah bersama dan bahkan tak jarang
menghasilkan kelembagaan usaha bersama, dan (4) membangun kembali ingataningatan yang telah ada yang dikonteksikan dalam kepentingan sosial dan ekonomi
bagi kehidupan individu yang bersilaturarahmi maupun masyarakat secara luas.
264
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(1) Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga dengan menggunakan pengeluaran
adalah sebesar Rp.10.541.000,- per tahun dengan distribusi pengeluaran pada
kelompok keluarga sejahtera mencapai 79,4 persen. Alokasi untuk kebutuhan
pangan 48,9 persen, non-pangan (sandang, energi, komunikasi, sosial dan
lainnya) sebesar 33 persen, dan sebesar 18,1 persen adalah pengeluaran untuk
kebutuhan investasi sumberdaya manusia. Dengan menggunakan kriteria
Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata keluarga contoh di daerah penelitian
tergolong sejahtera karena rata-rata pengeluaran lebih besar dari rata-rata
standar kebutuhan minimum dan alokasi pengeluaran kebutuhan pangan lebih
rendah dari keluarga miskin.
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif keluarga (subjective economic well-being)
di daerah penelitian adalah tergolong relatif baik. Hal ini ditandai dengan
tingginya persentase (60,3 %) keluarga contoh yang merasa puas dalam
pemenuhan keperluan mereka sehari- hari, baik kebutuhan pangan, non
pangan maupun kebutuhan investasi sumberdaya manusia. Persentase
keluarga dengan kesejahteraan yang memuaskan terbesar terdapat di wilayah
pegunungan yaitu mencapai 68,4 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai
yang merasa puas dalam pemenuhan kebutuhan mereka sehari- hari hanya
sekitar 51 persen.
Distribusi tingkat kesejahteraan keluarga (kesejahteraan ekonomi objektif dan
kesejahteraan ekonomi subjektif) di daerah penelitian relatif merata namun
tingkat kesejahteraan keluarga contoh di wilayah pegunungan lebih merata
dibandingkan dengan keluarga contoh di wilayah pesisir pantai.
(2) Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga secara positif dipengaruhi oleh faktor
manajemen sumberdaya keluarga, dan faktor modal sosial terutama faktor
manajemen keuangan keluarga, tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi
lokal, manfaat asosiasi bagi keluarga, dan faktor keterpercayaan masyarakat.
Artinya, semakin baiknya faktor manajemen keuangan keluarga, besarnya
tingkat partisipasi keluarga dalam 241
asosiasi lokal, besarnya manfaat asosiasi
265
lokal bagi keluarga, dan tingginya keterpercayaan masyarakat maka tingkat
kesejahteraan ekonomi objektif semakin baik.
(3) Modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung
maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap tingkat
kesejahteraan
keluarga
terutama
di
wilayah
pegunungan.
Hal
ini
membuktikan hipotesis yang dibangun sebelumnya yaitu asosiasi lokal dan
karakter
masyarakat
secara
kausalitas
dapat
mempengaruhi
tingkat
kesejahteraan keluarga. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial yang
dimiliki oleh keluarga maka tingkat kesejahteraan mereka semakin baik.
Modal sosial
berperan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga baik
dilihat dari aspek peningkatan kesejahteraan dalam penyediaan akan produksi
pangan, non pangan maupun aspek investasi sumberdaya manusia melalui
jaringan kelompok sosial dan kelompok ekonomi. Besarnya peran modal
sosial ini dilihat dari tingk at keterlibatan anggota keluarga dalam kelompok
produktif, sosial dan kelompok lainnya yang berkembang di masyarakat,
misalnya: kelompok KP3A, KUT, ”handel” dan ”kelompok adat.”
Kontribusi modal sosial terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga melalui
tiga aspek, yakni: (1) aspek dimensi (asosiasi lokal: jumlah asosiasi yang
diikuti, tingkat partisipasi, dan manfaat asosiasi, sedangkan dimensi karakter
masyarakat terdiri dari: keterpercayaan, solidaritas, dan semangat kerja; (2)
aspek mekanisme, melalui: jaringan informasi diantara anggota kelompok,
sistem kerja bersama atau gotong royong (collective action) baik untuk
kegiatan produktif maupun kegiatan sosial, dan mekanisme melalui
pengambilan keputusan bersama (musyawarah); dan (3) aspek tipe jaringan
(bonding, bridging dan linking).
(4) Model pemberdayaan keluarga di wilayah perdesaan adalah berbasis modal
sosial. Pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal sosial diartikan
sebagai proses pembelajaran orang dewasa yang berkesinambungan dan
ditujukan untuk memberikan kekuatan baik kekuatan ekonomi, ilmu
pengetahuan, sosial maupun kekuatan spritual. Proses pemberdayaan dimulai
dari memahami dan mempelajari berbagai input, proses pemberdayaan,
output, dan outcome. Faktor input adalah: struktur sosial masyarakat, karakter
266
individu, dan status sosial ekonomi masyarakat. Proses pemberdayaan
tentang: sistem kerja kelompok, pendidikan dan pelatihan, azas demokrasi,
dan pemberdayaan tentang interaksi sosial di masyarakat. Output yang
diharapkan adalah: lapangan pekerjaan, sumberdaya ekonomi, jaringan kerja,
produktivitas kerja, ilmu pengetahuan, keterpercayaan masyarakat, kepaduan
sosial, transaction cost, dan kepuasan dalam mengontrol diri. Outcome dari
proses pemberdayaan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga
(kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif).
Saran
(4) Oleh karena kesejahteraan individu tidak sama dan tidak dapat disamakan
maka kedepan, kebijakan pemerintah menetapkan tolok ukur kesejahteraan
keluarga tidak terbatas pada tolok ukur kesejahteraan objektif yang mengukur
kesejahteraan dari nilai pendekatan baku tetapi sudah harus melihat kepada
kebutuhan masyarakat dengan pendekatan kepuasan (subjective economic
well-being).
(5) Faktor manajemen sumberdaya sangat berperan dalam meningkatkan
kesejahteraan keluarga (kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan
ekonomi subjektif) maka penelitian yang berkaitan dengan sistem keluarga
struktural- fungsional harus memperhatikan variabel manajemen sumberdaya
sebagai confounding factor.
(6) Asosiasi lokal yang telah terbentuk di masyarakat perdesaan terutama asosiasi
lokal yang berakar dari masyarakat perlu dipertahankan dan dikembangkan
sebagai sarana berbagai kegiatan pemberdayaan untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga.
(7) Perlu penelitian lebih mendalam mengkaji dinamika asosiasi lokal masyarakat
perdesaan dalam berbagai dimensi, mekanisme dan tipe jaringan yang
berkembang dimasyarakat.
(8) Dalam mengambil kebijakan peningkatan kesejahteraan keluarga di daerah
perdesaan perlu mempertimbangkan indikator ”modal sosial” sebagai variabel
penentu kesejahteraan.
267
(9) Penguatan modal sosial sangat tepat dalam pemberdayaan masyarakat
perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan tujuan
mencapai masyarakat madani (civil society).
268
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Measuring Social Capital: Current Collections and Future
Directions. Discussion Paper. Australia: Australian Bureau of Statistics.
_______. 2002. Data Statistik Provinsi Jambi. Jambi: Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Jambi.
_______. 2003a. Statistik Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat.
Jakarta.
_______. 2003b. Millenium Development Goals (MDGs): In Asia and the Facific.
Meeting the Chalenger of Poverty Reduction. New York: United Nations.
_______. 2004a. Survai Sosial Ekonomi Nasioanal (SUSENAS). Jakarta: Badan
Pusat Statistik (BPS) Pusat.
_______. 2004b. The Economic of Democracy: Financing Human Development
in Indonesia. Indonesia Human Development Report 2004. Jakarta:
Kerjasama BPS, BAPPENAS dengan UNDP.
_______. 2005a. Jalan Menuju Pemulihan: Memperbaiki Iklim Investasi di
Indonesia. Economics and Research Department. Development Indicators
and Policy Research Division. Asian Development Bank (ADB).
________. 2005b. Data Statistik Provinsi Jambi. Jambi: Badan Pusat Statistik
(BPS) Provinsi Jambi.
________. 2006a. Statistik Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat.
Jakarta.
________. 2006b. Human Development Report 2006. Beyond scarcity: power,
poverty, and the global water crisis. New York: United Nations
Development Programme (UNDP).
Arbia Giuseppe, Laura de Dominics, dan Gianfranco Piras. 2005. The
Relationship between Regional Growth and Regional Inequality in EU
and Transition Countries: a Spatial Econometric Approach. In
preparation for the Workshop of Spatial Econometrics, Kiel, April 8-9,
2005. Amsterdam: Departemen of Spatial Economics, Free University,
De Boelelaan 1105, 1081HV, Netherlands. E-mail: [email protected]
245
269
Asngari, Pang S. 1984. “Persepsi Direktur Penyuluhan Tingkat Kresidenan dan
Kepala Penyuluh Pertanian terhadap Peranan dan Fungsi Lembaga
Penyuluhan Pertanian di Negara Bagian Texas Amerika Serikat.” Media
Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor: Volume
9 Nomor 2.
Baker Kristine R, Ofstedal Mary Beth, Zimmer Zachary, Tang Zhe, dan Chuang
Yi-Li. 2005. Reciprocal Effects of Health and Economic well-being
among Older Adults in Taiwan and Beijing. Working Paper No. 197. New
York: Policy Research Division. Population Council. Inc. ISSN: 15548538.
[Balitbangda Provinsi Jambi] Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah
Provinsi Jambi. 2003. “Evaluasi Kebutuhan Penempatan Transmigrasi di
Provinsi Jambi.” Jambi: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah
(Balitbangda) Provinsi Jambi.
Baliwati, Y.F., A. Khomsan, dan C.M. Dwiriani. 2004. Pengantar Pangan dan
Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Bandiera Oriana, dan Imran Rasul. 2006. “Social Networks and Technology
Adoption in Northern Mozambique.” The Economic Journal, 116
(October) 869-902. America: Blacwell Publising, 9600 Garsington Road,
Oxford OX4 2DQ, UK and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA.
Barth, F. 1969. Ecologic Relations of Ethnic Groups in Swat North Pakistan,
Theori in Athropology, a Sources Book. Chicago: Aldine Publishing
Company.
Becker, 1995. An Economic Analysis of Fertility. Dalam The Essence of
B.E.C.K.E.R. Ramon Febrero dan Pedro S. Schwartz. Hoover Institution
Press. California: Stanford University, Stanford.
Beckett, Megan, dan Pebley Anne R. 2002. Ethnicity, Language, and Economic
Well-being in Rural Guatemala. Working Paper Series 02-05. DRU-2845NICHD. RAND. Labor and Population Program.
Bollen, K.A. 1989. Stuctural Equation with Latent Variable. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
Bollen, Kenneth A., L, Jennifer, dan G, Stecklov. 2002. Socioeconomic Status,
Permanent Income, and Fertility: A Latent Variable Approach. Carolina
Population Center University of North Carolina at Chapel Hill 123 W,
Franklin Street Chapel Hill, NC 27516.
Budiarti T, 2004. “Keadilan dalam Konteks Dominasi Sosial dan Kepercayaan. ”
Disertasi. Jakarta: Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
270
Bukenya, J.O., dan T.G, Gebremedhin. 2002. “An Emperical Analysis of Family
Income Distribution in the United States.” Research Paper. Departement
of Agricultural an Resource Economics, West Virginia University, 26506.
Bullen P, Guide, dan J, Onyx. 1998. Social Capital Questionaire. Measuring
Social Capital in Five Comminities in NSW.
Carbonell Ada Ferre-I, Gerxhani Klarita. 2005. Subjective Well-being and
(In)Formal Sector in a Transition Country. Netherland: Amsterdam
Institute for Advanced Labour Studies and Faculty of Economics and
Econometrics, University of Amsterdam.
Coleman, James. 1998. Social Capital in the Creation of Human Capital.
http://poverty.worldbank.org/library/subtopic/5038/
Collier, Paul. 1998. Social Capital and Poverty. Working paper No.4. Social
Capital Initiative. The World Bank. Washington: Social Development
Departement. DC 20433, USA.
Dasgupta F, dan I, Serageldin. 2000. Social Capital: A Multifaceted Perspective.
The World Bank. Washington: D.C. ISBN 0-8213-4562-1
[Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jambi. 1985.
“Data Penduduk Provinsi Jambi.” Jambi: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Depdikbud) Provinsi Jambi.
Djalil, Sofyan dan Ratna Megawangi. 2003. Iklim Globalisasi dan Peran Agama
dalam Mempersiapkan Masyarakat Indonesia Sejahtera. DarusalamBanda Aceh: Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry.
Durkin, John. 2000. Measuring Social Capital and Its Economic Impact. Chicago:
Horis Graduate School of Public Policy Studies University of Chicago.
Edwards, RW. 2004. Measuring Social Capital: An Australian Framework and
Indicators. Australia: Australian Bureau of Statistics. ISBN 0 642 47937 2.
England, Paula, dan Nancy. 1997. Reconceptualizing Human Capital. Canada:
Paper, Presented at the annual meeting of the American Sociological
Association, Toronto, August, 1997.
Faturrochman, dan Molo, Marcelinius. 1995. Kemiskinan dan Kependudukan di
Pedesaan Jawa: Analisis Data Susenas 2. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
271
Flores, Margarita, dan Fernando. 2003. Social Capital and Poverty Lessons from
Case Studies in Mexico and Central America. ESA Working Paper No.
03-12. Vol 25, Number 1. Agricultural and Development Economics
Division, The Food and Agricultural Organization of the United Nations.
Folbre, Nancy. 2002. The revolt of the magig pudding: sharing care in Australia.
http://www.onlineopinion.comau/2002/Apr02/Folbre.htm.
Freund, Anat, dan Abraham, Carneli. 2004. “The Relationship between Work
Commitment and Organizational Citizenship Behavior among Lawyers
in The Private Sector.” The Journal of Behavioral and Applied
Management. Vol. 5, No.2, p:93-113, winter 2004.
Fukuyama, Francis. 2000. The Great Disruption: Human Nature and the
Reconstitution of Social Order. A Touchstone Book; Published by Simon
& Schuster. New York, London, Toronto, Sydney, Singapore.
Garna, J. K. 1992. Beberapa Dasar Ilmu-Ilmu Sosial. Bandung: Program
Pascasarjana, Universitas Padjadjaran Bandung.
_______. 1996. “Ilmu- ilmu Sosial: Dasar-Konsep-Posisi.” Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Pandjajaran.
Gradstein, Mark. 2007. “Inequality, Demogracy and the Protection of Property
Rights.” The Economic Journal, 117 (January) 252-269. America:
Blacwell Publising, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK and
350 Main Street, Malden, MA 02148, USA.
Gregorio, Dant Di. 2004. “Human Capital, Social Capital, and Executive
Compensation: How does the Slice of pie Executive Appropriate Compare
to what they bring to the table?”
Grootaert, Christian. 1999. Social Capital, Household Well-being and Poverty in
Indonesia. Working Paper No. 6. Washington: The World Bank, Social
Development Departement. DC 20433, USA.
_______, Narayan Deepa, Veronica Nyhan Jones, dan Michael, Woolcock. 2004.
Measuring Social Capital: An Integrated Questionaire. Washington: The
Wold Bank.
Guhardja, Suprihatin, Hidayat Syarief, Hartoyo, dan Herien Puspitawati. 1993.
Pengembangan Sumberdaya Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Haddad, Lawrence, dan John Maluccio. 2000. Social Capital and Household
Well-being in South Africa: Patways of Influnce. Prepered for presentation
at the Study of African Economies. Washington: International Food policy
Research Institute. DC 20006 USA.
272
Hardinsyah dan Suhardjo. 1987. Ekonomi Gizi. Bogor: Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Hardinsyah, 2007. “Inovasi Gizi dan Pengembangan Modal Sosial.” Orasi Ilmiah
Guru Besar Tetap Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian
Bogor. Bogor: IPB, Bogor.
Hastuti, Dwi. 2006. “Analisis Pengaruh Model Pendidikan Prasekolah pada
Pembentukan Anak Sehat, Cerdas dan Berkarakter Secara Berkelanjutan.”
Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Hayo, Bernd, dan Seifert, Wolfgang. 2003. “Subjective Economic Well-being in
Eastern Europe.” Journal of Economic Psychology 24 (2003) 329-384.
Herath, Dhammika. 2003. Social Capital and Poverty: An analysis of the Efficacy
of the Social Capital Approach to Understand a Culture of Poverty
Sitution. Sweden: Guthenburg University, Departement of Peace and
Development Research.
Hikmat, Hary. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora
Utama Press Bandung.
Hinks, Thimothy, dan Greueu Carola. 2005. What is the Structure of South
African Happiness Equations? Evidence from Quality of Life Surveys.
Nairobi: 10th African Econometrics Conference, July 2-4 th 2005.
Hobbs, Graham. 2000. What is Social Capital? A Brief Literature Overview.
Economic and Social Research Foundation.
Hoff, Bart, Ridder, dan Eline, Aukema. 2003. The Eagerness to Share: Knowledge
Sharing, Ict and Social Capital. Amsterdam: University Amsterdam and
Amsterdam School of Communication Research, Klovenier sburgwal 48,
1012 CX.
Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Joreskog, G. Karl, Sorbom Dag, Stephen Du Toit, dan Mathilda, doToit. 1999.
LISREL 8, New Statistical Features. Chicago: SSI (Scientific Software
International) Inc.
Juhl Hans Jorn, Poulsen Carsten Stig, Kristensen Kai, Bech Anne C, dan Englund
Erling. 1995. Structuring latent consumer needs using LISREL. MAPP
working paper no 27. ISSN-0907-2101.
273
Karlan, Dean S. 2004. Using Experimental Economics to Measure Social Capital
and Predict Finantial Decisions. Departement of Economics Princeton
University.
Kiiskinen, Urpo. 2002. A Health Production Approach to the Economic Analysis
of Health Promotion. Academic Dissertation For the Degree of Doctor of
Philosophy. New York: Departement of Economics and Related Studies
University of New York, United Kingkom, USA.
Koentjaraningrat. 1984. Penduduk Indonesia. Masalah-Masalah Pembangunan.
Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES. Bagian II.
Jakarta.
Knight John, dan Linda Yueh. 2002. The Role of Social Capital in the Labour
Market in China. America: Departemen of Economics university of
Oxford.
Lawang, Rober, M.Z. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu
Pengantar. Jakarta: FISIP UI PRESS. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia.
Mangkuprawira, Syafri. 2002. “Analisis Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga di
Daerah Industri Tenun Pedesaan.” Media Gizi & Keluarga. Bogor: Jurusan
Gizi Masyarakat & Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian-Institut
Pertanian Bogor. Vol 25/2-2002. ISSN 0216-9363.
Mantra, Ida Bagus. 2000. Dasar-dasar Demografi. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Matsueda, Hao. 2000. Family Dinamycs Through Childhood: A Sibling Model of
Behavior. http://citeseer.ist.ist.psu.edu/contex/1080021/0
Mayer, Margit, dan Katherine Rankin. 2002. Social Capital and (Community)
Development: A North/South Perspective.
http://poverty.worldbank.org/library/view/14443
Megawangi, Ratna. 1993. “Keluarga Sebagai Wahana Pembangunan Bangsa:
Tinjauan Antara Harapan dan Kendala.” Published Essays / Articles on
Character Building Issues Jilid 2. Jakarta: Indonesia Heritage
Foundation.
_______. 1994. “Globalisasi dan Kestabilan Masyarakat.” Published Essays /
Articles on Character Building Issues Jilid 1. Jakarta: Indonesia Heritage
Foundation.
_______. 2001. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender. Mizan Pustaka. Bandung: Kronik Indonesia Baru.
274
_______. 2003. Perspektif Holistik dalam Program peningkatan Kualitas
Sumberdaya Manusia. Paper.
Midden Cees JH, Florian G. Kaiser, dan L. Teddy McCalley. 2007. Technology’s
Four Roles in Understanding Individuals’ Conservation of Natural
Resources. Journal of Social Issue, Vol. 63, No. 1, 2007, pp:155-174.
Netherlands: Eindhoven University of Technology, Departemen of
Human-Technology Interaction. E- mail: [email protected]
Mignone, Javier. 2003. Measuring Social Capital: A Guide for First Nations
Communities. Canada: Canadian Population Health Initiative (CPHI),
Canadian Institute for Health Information (CIHI), Centre for Aboriginal
Health Research, and University of Manitoba. Ottawa. ISBN: 1-55392343-X.
Miller, Taya. 2002. “Associations between Marital Quality and Parenting: Does
Marital Quality Affect the Degree to which Parents Encourage Autonomy
in their Childreen?.” The Berkeley McNair Research Journal. (p:153-172).
Milligan Sue, Fabian Angela, Coope Pat, dan Errington Chris. 2006. Family
Wellbeing Indicators from the 1981-2001 New Zealand Cencuses. New
Zealand: Published in June 2006 by Statistics New Zealand in
Conjunction with The University of Auckland and University of Otago.
2006, ISBN 0-478-26982-X.
Morris, dan Leiser. 1979. The PQLI: Measuring Progress in Meeting Basics
Needs. New York: Communique, No. 32. USA.
Morse, Jennifer Roback. 2001. An Interview with Jennifer Roback Morse.
http://www.alf.org/alfnews/alf80.shtml.
Mubyarto. 1992. Menanggulangi Kemiskinan. Yogyakarta: Aditya Media.
Myers, RH. 1990. Classical and Modern Regression with Applications. Boston:
Second Edition. PWS-KENT Publishing Company.
Narayan, Deepa, dan Lant Pritchett. 1999. Cents and Sociability: Household
Income and Social Capital in Rural Tanzania. Tanzania: Economic
Development and Cultural Change, Vol. 47, No. 4 (Jul., 1999), 871-897.
Narayan, Deepa, dan Michael F. Cassidy. 2001. A Dimensional Approach to
Measuring Social Capital: Development and Validation of a Social
Capital Inventory. Vol. 49(2): 59-102 SAGE Publication, London,
Thousand Oaks, CA and New Delhi.
275
[National Economic and Social Forum]. 2003. The Policy Implications of Social
Capital. Forum Report No. 28. ISBN-1-899276-32-7.
Nielsen Ingrid, Nyland Chris, Smyth Russell, dan Zhu Cherrie Jiuhua. 2004.
Perception of Subjective Economic Well-being and Support for Market
Reform among China’s Urban Population. Australia: Department of
Economics Monash University.
Pakpahan, Agus. 1996. “Penaggulangan Kemiskinan: Prinsip Dasar, Metodologi
dan Upaya Penanggulangannya”. Dalam Memahami dan Menanggulangi
Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Diedit oleh Sajogyo. Grasindo.
Parsley, T.J. 2001. Basic Examination of the Correlation between Crime Rates
and Income Inequality. Research Paper. Regional Research Institute,
West Virginia University, Morgantown, WV 26506-6825.
Peck Frank, Goodwin Vicki. 2003. Economic Well-being of Communities and
Regional Economic Development: Poles Apart?. Research Paper SeriesNo. 7 January, 2003. Centre Regional Economic Development.
Northumbria University.
Pope, Jeanette. 2003. Social Capital and Social Capital Indicators: A Reading
List. Working Paper Series No. 1. Australia: Public Health Information
Development Unit. National Library of Australia.
Productivity Commission. 2003. Social Capital: Reviewing the Concept and its
Policy Implication. Commission Reseacrh Paper. Canberra: ISBN 1 74037
132 2, AusInfo.
Puspitawati, Herien, 2006. “Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan
Sekolah terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) di Kota Bogor.” Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Reimer, Bill. 2004. Measuring Social Capital at the Community Level. Canada:
Social Sciences Humanities Research Council of Canada.
[email protected]
Robert A. Hinde, dan Joan Stevenson-Hinde. 1988. Relationships within
Families: mutual influences. America: Clarendon Press-oxpord, USA.
Robinson, Brooks B. 2002. Income Inequality and Ethnicity: An International
View. Washington: Second Inequality and Pro-Poor Growth Spring
Conference the World Bank, Washington DC, June, 9-10, 2002.
276
Ruwiyanto, Wahyudi. 1988. “Pengaruh Faktor- faktor Dinamika Organisasi
Lembaga Pendidikan Karya terhadap Manfaat Sosioekonomi Warga
Belajar.” Disertasi. Bogor: Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sajogyo. 1984. Bunga Rampai Perekonomi Desa. Bogor: Kerjasama Yayasan
Obor Indonesia dan Institut Pertanian Bogor.
_______. 1996. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Menyambut
Ulang Tahun ke-70 Prof. Sajogyo. Yogyakarta: Yayasan Agro Ekonomika
Sandefur, Gary, Ann Meter dan Pedro Hernandez. 1999. Families, Social Capital
and Educational Continuation. Center for Demography and Ecology,
University of Wisconsin-Madison. CDE Working Paper No. 99-19.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan
Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sharma, M dan M, Zeller. 1997. “Repayment Performance in group-based Credit
Programs in Bangladesh: An Empirical Analysis. World Development 25
(10), pp: 1731-1742.
Sharpe, Andrew. 2004. Literature Review of Frameworks for Macro-Indicators.
CSLS Research Report 2004-03. Canada: Centre for the Study of Living
Standards (CSLS). Ottawa.
Siagian, H. 1996. Manajemen Suatu Pengantar. Bandung: Alumni.
Siegel, Sidney. 1998. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta:
Gramedia.
Soekanto, Soerjono. 1984. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta:
Ghalia.
_______. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Ra ja Grafindo Persada.
Strauss, John, Kathleen Beegle, Agus Dwiyanto, Yulia Herawati, Daan
Pattinasarany, Elan Satriawan, Bondan Sikoki, Sukamdi, dan Firman
Witoelar, 2004. Indonesian Living Standards: Before and After the
Financial Crisis. RAND Corporation, Santa Monica, USA, and Institute
of Southeast-Asian Studies, Singapure.
Stone, Wendy. 2001. Measuring Social Capital. Australia: Australian Institute of
Family Studies, Research Working Paper No. 21.
Stone, Wendy dan Jody Hughes. 2002. Social Capital: Emperical Meaning and
Measurement Validity. Australia: Australian Institute of Family Studies,
Working Paper No. 27. ISSN 1446-9863.
277
Stone, Wendy Matthew Gray dan Jody Hughes. 2003. Social Capital at Work:
How Family, friends and civic ties relate to labour market outcomes.
Australia: Australian Institute of Family Studies, Working Paper No. 31.
Suandi. 1998. “Studi Kemiskinan di Daerah Perdesaan Kabupaten Tanjung
Jabung Provinsi Jambi. ” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian
Universitas Jambi.
______. 2000. “Studi Kemiskinan di Daerah Perdesaan Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi.” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian
Universitas Jambi.
______. 2002. “Kondisi Sosio-Demografi dan Kemiskinan di Daerah Perdesaan
Provinsi Jambi.” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian
Universitas Jambi.
Suandi, dan Bambang. 2003. Profil Statistik dan Indikator Gender di Propinsi
Jambi. Jakarta: Kerjasama Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta,
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Japan
International Cooperation Agency (JICA).
Suandi, dan Ernawati. 2005. “Analisis Kebijaksanaan Pendidikan Provinsi Jambi
Berbasis Gender.” Laporan Penelitian. Jambi: Kerjasama Dirjen Dikti
dengan Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Jambi.
Sudarsky, John. 1998. Barometer of Social Capital.
http://poverty.worldbank.org/library/view/14443
_______. 2004. “Democracy in Latin America: Crisis or Demands of New
Citizens? Reflections from the Wave of Democracy, the Accumulation of
Social Capital and Bogota’s Practice of Participatory Planning.” To be
presented in the meeting of the Wold Value survey Association. Budapest:
Panel, The Crisis of Democracy in Latin America, September 2004.
Sugiyanto. 1996. “Persepsi Masyarakat tentang Penyuluhan Pembangunan dalam
Pembangunan Masyarakat Perdesaan.” Disertasi. Bogor: Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sukartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sumarti, Titik MC. 1999. “Persepsi Kesejahteraan dan Tindakan Kolektif Orang
Jawa dalam kaitannya dengan gerakan Masyarakat dalam Pembangunan
Keluarga Sejahtera di Pedesaan.” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
278
Sumarwan, Ujang, dan Hira, Tahira. 1993. “The Effects of Percieved Locus of
Control and Percieved Incomes Adequacy on Satisfaction with Financial
Status of Rural Households”. In Journal of Family Economic Issues. Vol.
14(4), Winter 1993. pp:343-64.
Sumarwan, Ujang. 2003. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam
Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Suratiyah, K., Djuwari, Supriyanto, dan Lestari Rahayu. 2003. Studi Analisa
Usahatani untuk Tujuh Komoditas di Kabupaten Bantul Yogyakarta.
Yogyakarta: Kerjasama Bappeda bantul Yogyakarta dengan Fakultas
Pertanian UGM.
Susman-Stillman, A.R, Appleyard Karen, dan Siebenbruner Jessica. 2003. “For
Better or For Worse: An Ecological Perspective on Parents’ Relationships
and Parent-Infant Interaction.” Zero to Three Article. (p:4-12).
Tau, L.M. 2003. Investing in Social Capital to Stimulate Economic Growth and
Grade in Africa. paper presennted in the Biennial Conference of the
Economic Society of South Africa, 17-19 September 2003. Somerset west,
Western Cape.
Thomas Frank, dan Jeroen Heres. 2004. Social Capital Communicating. Socquit
and results from EURESCOM’S P903 study. E-Living Results
Conferences RWI essen, 20-21 January, 2004.
Thomas J. Socha, dan Glen H. Stamp. 1995. Parent, Children, & Communication
Frontiers of Theory & Research. Lawrence Erlbaum Associates, USA.
Todaro, M. P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta : Erlangga.
Tukiran. 1993. "Penentuan Desa Miskin: Analisis Potensi Desa 1990." Populasi,
Yogyakarta: 1(4) : 13-23.
Tuomi, Ikka. 2004. Social Capital Setting the Scene. European Commission,
Joint Research Centre.
UNESCO. 2002. Social Capital and Poverty Reduction: Which Role for the Civil
Society Organizations and the state?. UNESCO.
Winter, Ian. 2000. Towards a theorised understanding of family life and Social
Capital. Working Paper No. 21. ISSN 1440-4761. Australia: Australian
Institute of Family Studies.
Woolcock, Michael. 2001. Social Capital in Theory and Practice: Reducing
poverty by Building Partnership between States, Market and Civil Societ y.
[email protected]
279
LAMPIRAN
280
281
Download