MODAL SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN EKONOMI KELUARGA DI DAERAH PERDESAAN PROVINSI JAMBI SUANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, September 2007 Suandi A561020061 2 RINGKASAN SUANDI. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. Dibimbing oleh UJANG SUMARWAN, SUPRIHATIN GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, dan EUIS SUNARTI. Teknologi, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam menentukan kapasitas masyarakat untuk menghasilkan suatu produk. Namun demikian, faktor produksi tersebut belum mampu melihat tingkat interdependensi antar individu dalam masyarakat kalau tidak didukung oleh faktor institusi dan nilai yang berlaku di masyarakat. Pengalaman selama ini, setiap peningkatan kesejahteraan, masyarakat dianggap sebagai “mesin rusak,” dan pengetahuan yang ada digunakan untuk memperbaiki “mesin” tersebut. Disamping itu, determinan kesejahteraan (well-being) hanya terbatas pada faktor fisik (alam, ekonomi, dan sumberdaya manusia), dan sedikit sekali melihat kesejahteraan dalam konteks modal sosial. Padahal modal sosial merupakan sumberdaya terpenting dalam kehidupan masyarakat karena modal ini merupakan jaringan/hubungan keluarga terhadap dunia luar baik bersifat formal maupun informal untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada di masyarakat termasuk masalah peningkatan kesejahteraan keluarga. Penduduk Provinsi Jambi, seperti penduduk lainnya di Indonesia, mengelompok sesuai dengan ciri yang dianut masyarakat, seperti: pola penguasaan lahan, karakteristik sosio-budaya, dan etnisitas sehingga dapat berpengaruh terhadap income inequality. Melihat adanya perbedaan pengelompokan masyarakat di Provinsi Jambi, tingkat kesejahteraan yang diharapkan memiliki nilai tersendiri dan peran modal sosial dalam arti jalinan jaringan kerja baik secara formal maupun info rmal satu dengan lainnya adalah cukup penting. Hingga saat ini, penelitian dan pengembangan konsep modal sosial dan perannya dalam pembangunan, terutama kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat di Indonesia masih belum banyak dilakukan. Tujuan penelitian adalah (1) Mengidentifikasi dan mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jamb i, (2) Mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga, (3) Mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga berdasarkan wilayah agroekologi, (4) Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga, dan (5) Menghasilkan model pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan. Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi: Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Waktu pengumpulan data penelitian selama delapan bulan, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2007. Variabel penelitian adalah sosio-demografi, manajemen sumberdaya, modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) dan variabel kesejahteraan ekonomi keluarga (kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif). Data penelitian bersumber dari data sekunder dan primer yang diambil dengan cara observasi, wawancara langsung, indepth interview dan Focus Group Discussion (FGD). Jumlah sampel 3 penelitian 325 keluarga atau 10 persen dari populasi ( 3.257 keluarga) yang diambil secara berturut-turut dengan cara cluster, purposive, dan simple random sampling. Data dianalisis melalui model Structural Equation Modelling (SEM) dengan program LISREL (versi 8.7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif) di daerah penelitian tergolong sejahtera. Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga secara positif dipengaruhi oleh faktor manajemen keuangan, tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi bagi keluarga dan faktor tingkat keterpercayaan masyarakat. Distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif) di daerah penelitian relatif merata. Tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan di wilayah pesisir pantai. Pengujian melalui model SEM, ternyata laten variabel modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial yang dimiliki oleh keluarga maka tingkat kesejahteraan mereka semakin baik. Peran modal sosial terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga dapat dilihat dari berbagai bentuk, yakni: (1) Menurut mekanisme. Oleh karena modal sosial bukan merupakan kapital yang dapat me ntransformasi langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan maka ia dapat dikatakan produktif atau berperan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga harus melalui berbagai mekanisme. Sesuai dengan manfaat dan akses dari modal sosial yang diharapkan masyarakat sehingga efek modal sosial yang dapat mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan ekonomi keluarga yaitu melalui tiga mekanisme, yakni: sharing informasi diantara anggota kelompok, sistem kerja bersama atau gotong royong (collective action) baik untuk kegiatan produktif maupun kegiatan sosial, dan pengambilan keputusan bersama (musyawarah). (2) Menurut tipe interaksi sosial. Besar kecilnya pengaruh modal sosial terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga sangat ditentukan oleh tipe interaksi sosial yang berkembang atau yang diikuti oleh anggota keluarga, seperti: interaksi sosial melalui kekerabatan keluarga( bonding), melalui kolega atau teman ( bridging) dan interaksi sosial melalui lembaga atau institusi formal (lingking). (3) Menurut dimensi modal sosial. Sesuai dengan konsep yang dikembang dalam penelitian ini dan didukung oleh sosial budaya masyarakat maka dimens i modal sosial yang digunakan yaitu terdiri dari dua dimensi besar yang saling berhubungan secara kausalitas, yakni: asosiasi lokal dan dimensi karakter. Dimensi asosiasi lokal dilihat dari aspek: jumlah asosiasi yang diikuti, tingkat partisipasi, dan manfaat asosiasi, sedangkan dimensi karakter, terdiri dari: keterpercayaan, solidaritas, dan dimensi semangat kerja. Peran lain dari modal sosial yaitu memfasilitasi berbagai akses di masyarakat, seperti: suplai air dan irigasi, kredit, dan akses dalam mendapatkan input pertanian/teknologi. Oleh karena itu, penguatan modal sosial sangat tepat dalam pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Kata-kata kunci: kesejahteraan ekonomi keluarga, disparitas, modal sosial, dan pemberdayaan masyarakat. 4 ABSTRACT SUANDI. Social capital and family economic well-being in rural area of Jambi Province. Under the direction of UJANG SUMARWAN, SUPRIHATIN GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, and EUIS SUNARTI. The objectives of this study are: (1) to analyze the family economic wellbeing, (2) to analyze factors effect on family economic well-being, and (3) to comprehend and analyze disparities of family economic well-being, (4) to explore the effect of social capital variables on family objective and subjective economic well-being, and (5) to develop the community development model in rural area of Jambi Province. The research design is cross sectional and was carried out in Kerinci and East Tanjung Jabung districts from January to August 2006. Variables used are socio-demography, family resource management, social capital, and family economic well-being both objective and subjective economic well-being. 325 household samples are chosen using cluster, purposive and random sampling methods. Data were collected using survay, indepth interview, and Focus Group Discussion (FGD). Descriptive, regression analyze, and Structural Equation Modeling (SEM) models were used for data analyzed. The results show that family economic well-being consisted of objective and subjective economic wellbeing are not poor. Management of family livelihood, participation of family in local asociation, using of asociation in family, and trust factors have positive effect on family objective economic well-being. Family economic well-being consisted of objective and subjective economic well-being are equal (no disparities) among family in the research area. Family economic well-being in mountainous area, however, is better than compared to the family in coastal area. Finally, social capital (asociation and people character) both directly and indirectly has a significant effect on family economic well-being in mountainous area. The research finding also showed that there was no significant effect of social capital on family economic well-being in coastal area. The roles of social capital in generating family economic well-being are created through: (1) sharing informations, (2) asociation activities, and (3) collective actions. Besides, the social capital also give access to: (1) irrigation for farming and water supply for household needs, (2) credit for agriculture activities, and (3) agricultural input and technology for farmers. The research come to the conclusion that strengthening social capital is very important in community development to increase family economic well-being in rural area. Key words: family economic well-being, disparities, social capital, and community development. 5 © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2007 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. 6 MODAL SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN EKONOMI KELUARGA DI DAERAH PERDESAAN PROVINSI JAMBI SUANDI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 7 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc. Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Makmur Sunusi, Ph.D. 2. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc. 8 LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi : Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi Nama : Suandi NRP. : A561020061 Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwa n, M.Sc Ketua Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS Anggota Prof. Dr. Pang S. Asngari Anggota Dr. Ir. Euis Sunarti, MS Anggota Diketahui Koordinator Phasing Out Program Studi GMK Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS Tanggal Ujian: 16-08-2007. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS Tanggal Lulus: 24 September 2007 9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Adapun judul karya ilmiah ini adalah “Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. ” Karya ilmiah ini dibuat sebagai syarat guna penyelesaian studi Program Doktor (S3) pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK). Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS., Prof. Dr. Pang S. Asngari, serta Dr. Ir. Euis Sunarti, MS., masing- masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan saran dan masukan guna penyempurnaan karya ilmiah ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ali Khomsan selaku ketua Progam Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK) Sekolah Pascasarjana IPB yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua dan mertua, isteri dan anak-anak serta keluarga lainnya atas segala doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Amien! Bogor, September 2007 Suandi 10 Riwayat Hidup Penulis dilahirkan di Jujun Kerinci pada tanggal 01 Nopember 1963 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Sulaiman Taher dan Ibu Siti Aman. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi Kependudukan pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) dan menamatkannya pada tahun 1996. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK) diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jambi dari tahun 1989 sampai sekarang. Bidang keahlian yang menjadi tanggung jawab penulis pa da Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi ialah bidang Ekonomi Sumberdaya Manusia dan Kesejahteraan Keluarga. Selama bekerja sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi, penulis pernah dipercaya memangku jabatan sebagai Ketua Program Studi Agribisnis pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi periode 2001-2004 dan pada periode yang sama sebagai Anggota Se nat Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Publikasi buku yang dihasilkan penulis selama bekerja sebagai dosen pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi, adalah: (1) Profil Statistik dan Indikator Gender Provinsi Jambi, (2) Kebijakan Pembangunan Pendidikan di Provinsi Jambi Berbasis Gender, dan (3) Aplikasi Stuctural Equation Modeling (SEM) dalam Penelitian Keluarga. Publikasi ilmiah yang telah diterbitkan selama tiga tahun terakhir, adalah: (1) Kondisi Sosio-demografi dan Kemiskinan di Perdesaan Provinsi Jambi, (2) Hubungan Pekerja Anak terhadap Sosial Ekonomi Rumahtangga di Kota Jambi, dan (3) Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. Publikasi ilmiah penulis yang terakhir adalah merupakan bagian dari disertasi. 11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiii PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 Latar Belakang .......................................................................... 1 Masalah Masalah ...................................................................... 5 Tujuan Penelitian ...................................................................... 7 Kegunaan Penelitian ................................................................. 7 Keterbatasan Penelitian ............................................................ 8 Pembaruan Penelitian ............................................................... TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 8 Kesejahteraan ekonomi keluarga .............................................. 9 Keterkaitan Institusi Keluarga dengan Sistem Kesejahteraan di Daerah Perdesaan .................................................................. 13 Persepsi Kesejahteraan ekonomi keluarga ................................ 16 Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ............................................. 18 Konsep Modal Sosial ................................................................ 21 Perkembangan Penelitian tentang Modal Sosial ....................... 25 Beberapa Dimensi dan Tingkat Hubungan Modal Sosial ......... 27 Interaksi Sosial Kehidupan Masyarakat .................................... 28 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN................... 32 Kerangka Berpikir ..................................................................... 32 Hipotesis Penelitian ................................................................... 34 METODE PENELITIAN .......................................................................... 35 Desain, dan Lokasi Penelitian ................................................... 35 Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data ....................... 36 Waktu Pengumpulan Data Penelitian ....................................... 37 Sampel Penelitian .................................................................... 39 12iii 9 Halaman Analisis Data ............................................................................. 42 Uji Reliabilitas ........................................................................... 57 Definisi Operasional .................................................................. 59 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 62 Gambaran Umum Daerah Penelitian ........................................ 63 Karakteristik Keluarga Contoh .................................................. 72 ARTIKEL I: PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN SUMBERDAYA DAN MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN EKONOMI OBJEKTIF KELUARGA BERDASARKAN WILAYAH AGROEKOLOGI .............................. ABSTRAK ............................................................................................... 86 86 ABSTRACT ............................................................................................. 87 PENDAHULUAN .................................................................................... 88 METODE PENELITIAN .......................................................................... 90 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 93 Sosio Demografi Keluarga ....................................................... 93 Manajemen Sumberdaya Keluarga............................................ 101 Modal Sosial ............................................................................. 111 Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ............................................. Kesejahteraan Ekonomi Objektif .................................. 121 122 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Objektif ...................................................................... 125 Disparitas Pengeluaran Keluarga .................................. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 127 Kesimpulan ............................................................................... 130 Saran .......................................................................................... 131 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 131 13 130 Halaman ARTIKEL II: PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN SUMBERDAYA DAN MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN EKONOMI SUBJEKTIF KELUARGA DI PERDESAAN PROVINSI JAMBI ..................................................... ABSTRAK ............................................................................................... 133 133 ABSTRACT ............................................................................................. 134 PENDAHULUAN .................................................................................... 135 METODE PENELITIAN .......................................................................... 136 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 139 Sosio Demografi Keluarga ........................................................ 139 Manajemen Sumberdaya Keluarga............................................ 142 Modal Sosial ............................................................................. Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ............................................. 145 151 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ............................................................................................. 158 Disparitas Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ................ 160 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 162 Kesimpulan ................................................................................ Saran .......................................................................................... 162 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 164 163 ARTIKEL III: PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN EKONOMI KELUARGA DI WILAYAH PERDESAAN PROVINSI JAMBI .................... ABSTRAK ................................................................................................ ABSTRACT .............................................................................................. PENDAHULUAN ..................................................................................... 166 166 167 168 METODE PENELITIAN .......................................................................... 169 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 172 Modal Sosial .............................................................................. 172 Asosiasi Lokal ............................................................... Karakter Masyarakat ..................................................... 172 Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ............................................. 194 14 185 Halaman Kesejahteraan Ekonomi Objektif .................................. 195 Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ................................. 199 Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ................ 207 Model Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Perdesaan ........ 216 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 219 Kesimpulan ................................................................................ 219 Saran .......................................................................................... 220 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 220 PEMBAHASAN UMUM ......................................................................... 223 Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ................ 223 Peran Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ................................................................................ 227 Implikasi Penelitian Keterkaitan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ............................................. 237 Model Pemberdayaan Masyarakat di Daerah Perdesaan .......... 238 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 241 Kesimpulan ................................................................................ Saran .......................................................................................... 241 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 245 LAMPIRAN .............................................................................................. 256 15 243 DAFTAR TABEL Halaman 2 Perkembangan Kualitas Manusia Indonesia dan ASEAN diukur dari HDI (1996-2004) .................................................... Sistem, Subsistem dan Faktor- faktor Kesejahteraan ................. 12 3 Definisi, Maksud/Tujuan dan Analisis Modal Sosial ................ 24 4 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ....................................... 38 5 41 6 Jumlah Responden dan Informan Indepth Intrerview Berdasarkan Kabupaten, Kecamatan dan Desa di Daerah Penelitian, tahun 2006 ....…………………………………....... Matrik-matrik Model Laten Variabel ........................................ 7 Matrik-matrik Model Pengukuran ............................................. 51 8 Godness of Fit Indecs ................................................................ 55 9 Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Pertanyaan, nilai ?-cronbach dan ?-cronbach standarisasi, 2006 ................. 58 Konstruk/Variabel Penelitian, Indikator, Nilai dan Skala Pengukuran Penelitian, 2006. ................................................... 61 Penduduk Berumur 10 tahun Ke Atas Menurut Jenis Kelamin dan Kepandaian Membaca/Menulis di Provinsi Jambi, 20022004 (%) .................................................................................... 67 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SD, SLTP, dan SLTA Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi, 2000 ............ ...... 69 13 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak, 2006 ................................................................................ 73 14 Sebaran Contoh Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah, 2006 ........................................................................................... 74 Sebaran Contoh Berdasarkan Tipe Rumah, 2006 ..................... 75 16 Sebaran Contoh Berdasarkan Luas Lantai Rumah, 2006 .......... 76 17 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Dinding Rumah, 2006 ....... 77 18 Sebaran Contoh Berdasarkan Atap Rumah, 2006 ..................... 78 19 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Lantai Rumah, 2006 ......... 79 1 10 11 12 15 vii 16 4 49 Halaman 20 Sebaran Contoh Berdasarkan Fasilitas Rumah, 2006 ............... 80 21 Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas Umum, 2006 .............................................................................. 82 22 Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas Umum, 2006 .............................................................................. 83 23 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan Fasilitas Umum, 2006 .............................................................................. 84 24 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan masingmasing Fasilitas Umum, 2006 ................................................... 85 25 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Suami, Tahun 2006 ................................................................................ 95 26 Sebaran Contoh Berdasarkan Pendidikan Non Formal Suami, 2006 ........................................................................................... 96 27 Sebaran Contoh Berdasarkan Kelompok Umur Terpilih, 2006 ................................................................................................... 99 28 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Beban Ketergantungan Keluarga, 2006 .......................................................................... 100 29 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Sumberdaya Keluarga, 2006 .......................................................................... 105 30 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Waktu Keluarga, 2006 ........................................................................................... 106 31 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Anggota Keluarga, 2006 ........................................................................................... 108 32 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Keuangan Keluarga, 2006 ......................................................................... 109 33 Sebaran Contoh dengan Manajemen yang Dirasakan Baik Berdasarkan Sumberdaya, 2006 ................................................ 110 34 Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang Diikuti, 2006 ............................................................................. 112 35 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga dalam Asosiasi Lokal, 2006 ...................................... 114 36 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga pada Pertemuan Asosiasi Lokal, 2006 ....................... 115 17 Halaman 37 Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi Keluarga, 2006 .......................................................................... 116 38 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan Masyarakat, 2006 ...................................................................... 118 39 Sebaran Contoh Berdasarkan Solidaritas Masyarakat, 2006 ............. 119 40 Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja, 2006 ................ 121 41 Sebaran Contoh Menurut Tingkat Pengeluaran Keluarga, Tahun 2006 ................................................................................ 123 42 Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan Keluarga, Tahun 2006 ............................................................... 124 43 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan Ekonomi Objektif Keluarga, Tahun 2006 ................................. 126 44 Indeks Kuznet Tingkat Pengeluaran Keluarga .......................... 128 45 Sebaran Contoh Menurut Kepuasan terhadap Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari, 2006 ..................................................... 151 46 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pangan, 2006 ....................................... 154 47 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Non Pangan, 2006 ............................... 155 48 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan Investasi Sumberdaya manusia, 2006 ....................... 157 49 Persentase Contoh Merasa Puas Terhadap Pemenuhan Alokasi Kebutuhan Sehari-hari, 2006 ..................................................... 158 50 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Keluarga, Tahun 2006 ................................ 159 51 Indeks Kuznet Tingkat Kepuasan Keluarga .............................. 161 52 Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Pertanyaan, nilai ?-cronbach dan ?-cronbach standarisasi, 2006 ................. 170 53 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Asosiasi Lokal yang Dimiliki, 2006 ........................................................................... 173 54 Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang Diikuti, 2006 ............................................................................. 174 18 Halaman 55 Sebaran Contoh Berdasarkan Partisipasi Anggota Keluarga dalam Asosiasi Lokal, 2006 ...................................................... 175 56 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga pada Pertemuan Asosiasi Lokal, 2006 ...................... 177 57 Sebaran Contoh Berdasarkan Pengambilan Keputusan Keluarga dalam Pertemuan, 2006 ............................................. 177 58 Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi Keluarga, 2006 .......................................................................... 178 59 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Asosiasi Lokal Bagi Keluarga, 2006 ............................................................................ 180 60 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Asosiasi Lokal bagi Keluarga, 2006 .......................................................................... 183 61 Sebaran Contoh Berdasarkan Berbagai Akses Asosiasi Lokal bagi Keluarga, 2006 .................................................................. 184 62 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Heterogenitas Asosiasi Lokal, 2006 ............................................................................... 185 63 Sebaran Contoh Berdasarkan Karakter Masyarakat, 2006 ....... 187 64 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan Masyarakat, 2006 ...................................................................... 187 65 Sebaran Contoh Berdasarkan Solidaritas Masyarakat, 2006 ............. 190 66 Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja, 2006 ............... 193 67 Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan Keluarga, Tahun 2006 ............................................................... 196 68 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Pangan Keluarga, 2006 ........................................................................................... 197 69 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Non Pangan Keluarga, 2006 .......................................................................... 198 70 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Investasi Sumberdaya Manusia, 2006 ...................................................... 199 71 Sebaran Contoh Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Sehari- hari, 2006 ....................................................................... 200 72 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pangan, 2006 ....................................... 203 19 Halaman 73 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Non Pangan, 2006 ............................... 204 74 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Investasi Sumberdaya Manusia, 2006 . 206 75 Persentase Contoh Keluarga Merasa Puas Terhadap Pemenuhan Alokasi Kebutuhan Sehari- hari, 2006 ................... 206 76 Goodness of Fit Index Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga, 2006 ................................... 208 77 Nilai Gamma dan Betha antar Variabel Laten Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga, 2006 ......... 212 20 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perkembangan Perekonomian Indonesia dari 1990-2000 ......... 3 2 Modal Sosial sebagai Sumberdaya ............................................ 23 3 Kerangka Konseptual Modal Sosial .......................................... 31 4 Kerangka Berpikir: Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Keluarga ............................................................. 34 5 Letak Lokasi Wilayah Penelitian .............................................. 36 6 Desain dan Lokasi Penelitian .................................................... 41 7 Kerangka Analisis ..................................................................... 42 8 Distribusi Contoh di Daerah Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak, 2006 ............................................. 73 9 Kurva Lorenz Tingkat Pengeluaran Keluarga ........................... 129 10 Kurva Lorenz Tingkat Kepuasan Keluarga ............................... 162 11 Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan Provinsi Jambi ... 209 Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai Provinsi Jambi .. 210 Pemberdayaan Keluarga Berbasis Modal Sosial ....................... 217 12 13 21 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Deskripsi Wilayah Penelitian di Kabupaten Kerinci Menurut Kecamatan dan Desa, Tahun 2006 ............................................ 256 2 Deskripsi Wilayah Penelitian di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Menurut Kecamatan dan Desa, 2006 ............................. 257 3 Distribusi Responden di Daerah Penelitian Berdasarkan Asosiasi Lokal yang Bermanfaat bagi Keluarga, 2006. ............ 258 4 Distribusi Responden di Daerah Penelitian Berdasarkan Heterogenitas Asosiasi Lokal yang Diikuti Keluarga, 2006...... 259 5 Matrik Korelasi antara Variabel Sosio-demografi dan Manajemen Sumberdaya Keluarga dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan, Tahun 2006 ........ 260 Matrik Korelasi antara Variabel Sosio-demografi dan Manajemen Sumberdaya Keluarga dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai, Tahun 2006 ...... 261 Matrik Korelasi antara Variabel Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan, 2006 ........................................................................................... 262 Matrik Korelasi antara Variabel Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai, 2006 ........................................................................................... 263 9 Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan ............................................. 264 10 Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai ........................................... 266 11 Alternatif Model Komplit di Wilayah Perdesaan Provinsi Jambi ........................................................................................ 268 6 7 8 22 xiii PENDAHULUAN Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa perluasan kerjasama sosial politik dunia belum dapat mencegah adanya perbedaan (disparities) dan ketidaksamaan (inequality) antar negara. Menurut laporan United Nations (Santamarina et al., 2002:93), secara moral hal ini merupakan tantangan besar dari waktu ke waktu dan menjadi pemicu berbagai persoalan dalam perencanaan pembangunan masa mendatang. Beberapa ahli memperkirakan, dengan adanya perbedaan dan ketidaksamaan tingkat kesejahteraan masyarakat antar negara di dunia dapat mengakibatkan terjadinya instabilitas. Oleh karena itu, PBB yang disponsori oleh UNDP, mengadakan ”Millenium Summit” dengan nama ”Millenium Development Goals (MDGs) pada bulan September 2000 yang diikuti oleh 189 negara termasuk Indonesia dengan menghasilkan beberapa komitmen resmi, antara lain: mengurangi deprivasi global yang meliputi kemiskinan, kelaparan, kesehatan, dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada masyarakat di seluruh dunia, khususnya negara- negara berkembang. Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan sumberdaya manusia telah disepakati delapan tujuan pembangunan dengan 12 target dan 48 indikator pembangunan yang harus dicapai pada tahun 2015. Apabila komitmen tersebut dapat dicapai sesuai dengan target yang daharapkan maka negara-negara berkembang pada tahun 2015 dapat hidup sejahtera dan makmur seperti negara-negara maju. Pencapaian indikator utama dapat terlihat dari kemajuan pembangunan dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan kelaparan, pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang stabil (United Nations, 2003). Untuk mempercepat program pembangunan Millenium Development Goals (MDGs), bangsa Indonesia harus bekerja keras terutama meningkatkan kinerja pemerintah dalam arti menerapkan good governance yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tertib, bersih dan berwibawa. Menurut pengamatan dan evaluasi Asian Development Bank (ADB), bangsa Indonesia masih lemah dan rendah dalam menjalankan berbagai indikator pembangunan, 23 seperti: (1) indikator kebebasan berpendapat dan akuntabilitas, (2) kestabilan politik, (3) efektivitas pemerintah, (4) kualitas peraturan, (5) ketaatan atas hukum, dan (6) kontrol korupsi (ADB, 2005;12). Berdasarkan indeks persepsi korupsi yang disusun oleh Transparancy International, Indonesia menduduki urutan 122 dari 133 negara dan jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya (seperti: Malaysia, Thailand, dan Filipina, masing- masing hanya menduduki peringkat 37, 70 dan 92). Indonesia dengan jumlah penduduk 217,07 juta menyebar kedalam 33 provinsi (BPS, 2004). Berdasarkan data terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 4,1 persen pertahun dengan pendapatan perkapita sekitar Rp 2.014.565,per tahun. Lima belas tahun terakhir, seperti terlihat pada grafik, tampak bahwa perkembangan perekonomian Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan cukup signifikan baik diukur dari aspek Gross Domestic Product (GDP), maupun pendapatan perkapita kecuali pada tahun 1998 perkembangan perekonomian Indonesia turun drastis yaitu mencapai -13,3 persen akibat krisis multi dimensi (ekonomi, moneter dan krisis moral). Namun demikian, secara perlahan dari tahun 1999 sampai sekarang, perekonomian Indonesia pulih kembali (Gambar 1). Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan bidang ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah cukup berhasil, sedangkan tingkat kesejahteraan (sumberdaya manusia) yang mengacu pada nilai Human Development Index (HDI) dari tahun ke tahun terjadi sebaliknya (penurunan). Merujuk pada laporan UNDP, tampaknya peringkat HDI Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan terus menerus. Hal ini merefleksikan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Dengan arti kata, pembangunan sektor sosial dalam rangka meningkatkan SDM ternyata tidak sejalan dengan pembangunan ekonomi. Rendahnya investasi pembangunan sektor sosial (gizi, kesehatan dan pendidikan) mengakibatkan kualitas SDM Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan kualitas SDM negara-negara ASEAN. Seperti terlihat pada Tabel 1, kualitas SDM Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan kualitas SDM negara-negara tetangga kecuali pada tahun 1998, nilai HDI Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan dengan negara Filipina namun pada tahun 2000 dan 2004, 24 indeks HDI Indonesia meningkat cukup drastis yaitu mencapai 109 pada tahun 2000 dan 108 pada tahun 2004, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan HDI negara-negara ASEAN. Data terakhir menunjukkan bahwa indikator HDI, yakni: usia harapan hidup Indonesia baru mencapai 67,2 tahun, tingkat melek huruf sebesar 90,4 persen, rata-rata lama sekolah hanya 7,1 tahun, dan indikator pendapatan per kapita baru mencapai Rp.591.200.- per tahun (Anonim, Jumlah (Rp) 2006b:285). 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 tahun GDP (puluhan-triliun) PPK (00.000) Keterangan: GDP (Gross Domestic Product); PPK (Pendapatan Per Kapita) Gambar 1 Perkembangan Perekonomian Indonesia, Selama 1990 - 2000 Apabila merujuk pada pola pembangunan Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945 yang memberi arah pembangunan ekonomi untuk menuju kesejahteraan sosial. Kata kunci pembangunan di Indonesia adalah kualitas SDM. Kemudian, UU RI No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang dikembangkan selama ini tidak berdampak positif terhadap kualitas SDM. Artinya adalah, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi, GDP dan pendapatan perkapita ternyata tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tujuan pembangunan untuk mewujudkan pembangunan Indonesia seutuhnya belum tercapai. 25 Tabel 1 Perkembangan Kualitas Manusia Indonesia dan ASEAN diukur dari Nilai HDI (1996-2004) No 01 02 03 04 05 06 Negara Brunei Indonesia Malaysia Filipina Thailand Singapore Tahun 1996 36 102 53 95 52 3 1998 33 96 60 98 59 28 2000 25 109 56 77 67 22 2004 34 108 61 84 74 25 Sumber: Departemen Kesehatan (Baliwati, YF, et al., 2004) dan Anonim (2006b) Seperti yang dialami oleh penduduk dunia ternyata di Indonesia tidak jauh berbeda bahwa kesejahteraan masyarakat antar daerah menunjukkan tingkat disparitas dan inequality yang cukup kentara. Apabila kesejahteraan didekati dengan nilai Product Domestic Regional Bruto (PDRB), ternyata pembangunan terpusat di pulau Jawa yaitu mencapai 59,56 persen dari total pendapatan, Sumatera 22,05 persen, sedangkan pulau lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan lainlain) hanya 8,22 persen. Kesenjangan pendapatan atau disparitas kesejahteraan penduduk ini bermuara dari pola pembangunan yang mengacu pada pembangunan ekonomi, dan dilaksanakan secara fragmented dengan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan sedikit sekali menyentuh pembangunan sumberdaya manusia apalagi pembangunan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Padahal tujuan pembangunan adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya dengan arah pembangunan yang berorientasi kepada masyarakat. Berkenaan dengan itu, arah pembangunan masa akan datang harus dilaksanakan secara holistik dan komprehensif dengan melibatkan masyarakat. Supaya arah pembangunan ini dapat berjalan dengan efektif dan efisien maka pola pembangunan ini dapat memanfaatkan berbagai bentuk struktur sosial yang ada dimasyarakat dan salah satunya adalah modal sosial. Modal sosial adalah berupa tingkat kepercayaan, rasa percaya, norma dan jaringan kerja baik informal maupun formal yang ada di masyarakat mempunyai peran yang cukup penting dan dapat memicu peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi (James Coleman, (1990), Pierre Bourdieu, (1993), Robert Putnam, (1995), dan Francis Fukuyama, (1999). Studi kasus di Indonesia, World Bank melaporkan bahwa 26 modal sosial mempunyai kontribusi dan berpengaruh positif terhadap peningkatan kesejahteraan rumahtangga (Grootaert, 1999). Hal ini sejalan dengan visi dan misi program Millenium Development Goals (MDGs) bahwa pemberantasan kemiskinan dan kelaparan berbasis pada masyarakat atau penduduk sehingga penduduk dunia pada tahun 2015, minimal separo dari target pembangunan bebas dari kemiskinan, kemelaratan dan sejenisnya. Masalah Penelitian Kesejahteraan diartikan suatu tata nilai kehidupan dan penghidupan bagi setiap individu, keluarga dan masyarakat terhadap berbagai aspek, seperti: ekonomi, sosial, maupun spritual untuk mengadakan usaha- usaha pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani (Undang Undang Dasar 1945). Kesejahteraan dapat dibedakan melalui dua pendekatan pengukuran, yakni: kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Pengukuran kesejahteraan objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dapat diukur dengan nilai rata-rata dan diukur dengan patokan tertentu (seperti: ekonomi, sosial dan ukuran lainnya). Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya diukur dengan patokan yang sama. Menurut Pollak dan Wales (Lokshin dan Ravallion, 2000: 281), pengukuran kesejahteraan obyektif tidak mampu menggambarkan/ mengidentifikasi perilaku permintaan keluarga akan kebutuhannya. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan hidup maka paradigma kesejahteraan berubah menjadi pengukuran kesejahteraan dalam konteks “subjektif” atau disebut dengan istilah subjective well-being yaitu melihat standar hidup yang dimiliki oleh individu atau kelompok masyarakat. Kesejahteraan subjektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu, keluarga dan masyarakat berbeda satu dengan lainnya karena perbedaan tata nilai dan sosio-budaya yang dimiliki. Kesejahteraan subjektif secara filosofis merupakan tipe kesejahteraan yang dapat menyentuh langsung tata nilai kehidupan dan penghidupan masyarakat karena pendekatan ini melihat berdasarkan sosio-budaya dan karakteristik masyarakat. Pendekatan ini dapat 27 dirasakan manfaat dan pengaruhnya secara langsung (kebahagiaan dan kepuasan) oleh individu, keluarga dan masyarakat. Sehubungan dengan itu, tingkat kesejahteraan masyarakat dengan indikator subjektif dapat pula melihat tingkat ketergantungan dimensi standar hidup (standard of living) masyarakat. Penduduk Provinsi Jambi dikenal dengan tiga kelompok komunitas masyarakat, yakni: masyarakat yang berada pada wilayah dataran rendah, dataran tinggi atau pegunungan dan wilayah pesisir pantai atau pasang surut. Wilayah dataran rendah misalnya, didominasi oleh masyarakat Melayu ditambah dengan pendatang (transmigran dari Jawa dan Bali) denga n hasil utama karet dan kelapa sawit, wilayah pesisir pantai atau pasang surut didominasi oleh masyarakat Melayu, Bugis dan Banjar (migrasi spontan) dengan komoditas utama perikanan laut, perkebunan kelapa dalam dan usahatani padi sawah pasang surut, sedangkan di wilayah dataran tinggi atau pegunungan didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan komoditas utama perkebunan kulit manis (cassiavera), kopi dan usahatani padi sawah irigasi. Dengan kata lain, Provinsi Jambi terutama di wilayah dataran rendah dan wilayah pesisir pantai memiliki etnisitas yang cukup beragam sehingga dapat berpengaruh terhadap income inequality. Etnisitas berperan penting sebagai determinan dalam memicu income inequality (Easterly, 1999); (Lazear, 1995); (Coppin dan Olsen, 1998) dan (Malan, 2000). Setiap peningkatan sebesar satu unit jumlah kelompok ethnics dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat meningkatkan minimal sebesar 3 persen income inequality (Robinson, 2002:8). Namun demikian, dengan etnisitas yang beragam akan kaya dengan modal sosial karena memiliki tingkat koneksi atau jaringan kerja yang banyak dalam kelompok masyarakat baik jaringan sosial maupun ekonomi. Keberagaman modal sosial ini akan sangat bermanfaat bagi keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat sehingga besar kecilnya nilai disparitas dan income inequality di masyarakat dapat mencirikan tingkat kesejahteraan satu keluarga dengan keluarga lainnya, sedangkan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga baik kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif sangat ditentukan oleh faktor sosio-demografi keluarga, seperti: tingkat pendidikan, keterampilan, struktur umur dan beban 28 ketergantungan keluarga. Menurut Deacon dan Firebough (1981), keluarga adalah unik karena setiap keluarga memiliki ciri yang berbeda satu dengan lainnya. Sebagai contoh, ada keluarga yang memiliki kekayaan sumberdaya yang berlebihan tetapi tingkat kesejahteran mereka relatif sama bahkan kadang-kadang lebih rendah dengan keluarga sumberdaya terbatas, dan sebaliknya keluarga yang memiliki kekayaan sumberdaya terbatas tetapi tingkat kesejahteraan mereka berkecukupan. Dengan adanya keunikan keluarga ini, bagaimana peran manajemen sumberdaya dan modal sosial yang dimiliki keluarga? Dan upayaupaya apa saja yang dapat dilakukan untuk memecahkan berbagai persoalaan yang dihadapi masayarakat? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengidentifikasi dan menganalisis tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga dan modal sosial yang ada di daerah perdesaan serta merumuskan model pemberdayaan keluarga. Tujuan Khusus (1) Mengidentifikasi dan mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jambi, (2) Mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga, (3) Mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga berdasarkan wilayah agroekologi, (4) Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga, (5) Menghasilkan model pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan. Kegunaan Penelitian (1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dalam pertimbangan pengambilan berbagai kebijakan pemberdayaan keluarga, (2) Sebagai bahan kajian dan pengembangan ilmu keluarga khususnya mengenai permodelan peningkatan kesejahteraan keluarga. 29 Keterbatasan Penelitian Unit analisis dalam penelitian ini menggunakan keluarga dan belum memisahkan unit analisis berdasarkan kelompok/asosiasi yang berkembang di daerah penelitian dan tipe hubungan sehingga tidak dapat membedakan antara proporsi aktivitas masyarakat yang produktif (ekonomi) dan non-produktif (sosial) dari berbagai tipe yang ada. Kebaruan Penelitian (1) Mengembangkan konsep modal sosial dengan mengkombinasikan dimensi struktural dan dimensi karakter masyarakat, (2) Mengembangkan konsep kesejahteraan melalui pendekatan kesejahteraan ekonomi objektif dan pendekatan kesejahteraan ekonomi subjektif, dan (3) Mengembangkan model pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal sosial. 30 TINJAUAN PUSTAKA Kesejahteraan Keluarga Secara umum diketahui bahwa dimensi kesejahteraan sangat luas dan kompleks karena suatu taraf kesejahteraan tidak hanya berupa ukuran yang dapat terlihat (visible) saja tetapi termasuk kesejahteraan non-visible (non- material/spritual). Menurut Morris dan Leiser (1979), kesejahteraan penduduk suatu negara dapat diukur dengan pengukuran indeks komposit dari kualitas manusia atau disebut dengan istilah PQLI. Physical Quality of Life Index (PQLI) atau di Indonesia dikenal dengan istilah Indeks Mutu Hidup (IMH) yaitu merupakan indeks komposit dari tingkat kematian bayi (IMR), usia harapan hidup (expectation of life/ei) dan persentase angka melek huruf dari penduduk dewasa berumur 15 tahun keatas (LIT). Angka IMR digunakan angka 229, karena IMR terbesar didunia adalah 229 yaitu di Gabon, sedangkan angka harapan hidup (ei) adalah 38, karena angka (ei) terendah didunia adalah 38. Untuk nilai terttinggi PQLI adalah 100, sedangkan terendah adalah 0. Artinya, semakin tinggi nilai PQLI atau mendekati 100 maka tingkat kesejahteraan (kualitas penduduk) semakin baik, dan sebaliknya. Kemudian, era tahun 1990-an, yang disponsori oleh UNDP, indikator keberhasilan pembangunan atau kesejahteraan penduduk menggunakan ukuran Human Development Index (HDI) dengan indikator yang tidak jauh berbeda dengan indikator yang digunakan pada pengukuran PQLI, yaitu: tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf orang dewasa, rata-rata lama sekolah dan tingkat pendapatan perkapita. Namun, beberapa tahun terakhir, pengukuran kualitas manusia (kesejahteraan) berkembang dengan berbagai istilah, yakni: Human Poverty Index (HPI), Gender Development Index Empowerment Measure (GEM). (GDI), dan Gender HPI menggunakan empat indikator, yakni: kelahiran yang tidak dapat bertahan sampai usia 40 tahun, tingkat buta huruf orang dewasa, persentase penduduk yang tidak dapat memiliki akses pada fasilitas kesehatan dan persentase balita yang kurang makan. Pengukuran kualitas manusia (kesejahteraan) dengan pendekatan GDI menggunakan indikator proporsi penduduk laki- laki dan perempuan pada indikator tingkat harapan hidup, tingkat 31 melek huruf, rata-rata lama sekolah dan proporsi penduduk laki- laki dan perempuan dalam memperoleh pendapatan, sedangkan pendekatan GEM menggunakan indikator persentase penduduk perempuan terlibat dalam partai politik, jumlah pegawai profesional dan persentase pendapatan yang diperoleh dari penduduk perempuan (UNDP, 2004). Secara mikro terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga, antara lain: kesejahteraan, kesejahteraan finansial, status ekonomi, situasi ekonomi, interaksi sosial, dan lain- lain. Dari beberapa konsep tersebut dapat dijabarkan lebih operasional, terutama dalam konteks kesejahteraan yang bersifat nyata (ekonomi dan finansial). Seperti yang dikemukakan oleh Ferguson, Horwood dan Beutrais (Sumarwan dan Hira, 1993) bahwa kesejahteraan keluarga dapat dibedakan kedalam kesejahteraan ekonomi (family economic well-being) dan kesejahteraan material (family material wellbeing). Kesejahteraan ekonomi keluarga (family economic well-being) misalnya, diukur dalam pemenuhan akan input keluarga (pendapatan, upah, aset dan pengeluaran), sedangkan kesejahteraan material keluarga (family material wellbeing) diukur dari berbagai bent uk barang dan jasa yang diakses oleh keluarga. Ukuran lain kesejahteraan keluarga yaitu kesejahteraan berdasarkan konsep kebutuhan minimum (kalori) berdasarkan konversi beras yang dikonsumsi oleh keluarga (Sajogyo, 1996). Menurut Sajogyo, keluarga yang tergolong sejahtera dalam arti terpenuhinya kebutuhan fisik minimum yaitu keluarga yang sudah mampu mengkonsumsi beras minimal 320 kg beras/orang/tahun (perdesaan) dan 480 kg beras/orang/tahun (perkotaan). Menurut Maslow, kesejahteraan keluarga diukur dari kualitas sumberdaya manusia (fisik dan non fisik), sedangkan Word Bank (2004) mengukur kesejahteraan keluarga dilihat dari proxy pengeluaran. Menurut World Health Organization (WHO) (Santamarina et al., 2002:97), terdapat enam kategori dari kesejahteraan (quality of life or individu well-being), yakni: (1) fisik, (2) psikologis, (3) tingkat kemandirian, (4) hubungan sosial, (5) lingkungan dan (6) spritual. Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan yaitu pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nsional (BKKBN). BPS misalnya, 32 mengukur kesejahteraan dilihat dari konsep kebutuhan minimum (kalori) proxy pengeluaran yaitu rata-rata Rp.152.847,- per kapita per bulan (SUSENAS, 2006), sedangkan BKKBN membagi kesejahteraan keluarga kedalam tiga kebutuhan, yakni: (1) kebutuhan dasar (basic needs) yang terdiri dari pangan, sandang, papan dan kesehatan, (2) kebutuhan sosial psikologis (social psychological needs) yang terdiri dari pendidikan, rekreasi, transportasi, interaksi sosial internal dan eksternal, dan (3) kebutuhan pengembangan (developmental needs) yang terdiri dari tabungan, pendidikan khusus/kejuruan, dan akses terhadap informasi. Cara mengukur kesejahteraan dapat dilihat dari dua pendekatan, yakni: (1) Kesejahteraan diukur dengan pendekatan objektif atau disebut dengan istilah kesejahteraan objektif. Pendekatan dengan indikator objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap sama). Menurut Erik (Milligan et al., 2006:22), ukuran yang sering digunakan yaitu terminologi uang, pemilikan akan tanah, pengetahuan, energi, keamanan, dan lain- lain. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensional dan digunakan untuk kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan mudah dilakukan, namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. (2) Kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif atau disebut dengan istilah kesejahteraan subjektif. Menurut Noll (Milligan et al., 2006:22), kesejahteraan dengan pendekatan subjektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang lain. Ukuran ini merupakan ukuran kesejahteraan yang banyak digunakan di negara maju termasuk Amerika Serikat. Hasil penelitian Sumarwan dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat sangat dirasakan melalui ukuran tingkat kepuasan finansial yang dimiliki dan dikuasai (Milligan et al., 2006:22). Berdasarkan tingkat ketergantungan dari dimensi standar hidup (standard of living) masyarakat, maka tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dibedakan 33 kedalam satu sistem kesejahteraan (well-being) dan dua subsistem, yakni: (1) subsistem sosial, dan (2) subsistem ekonomi dengan beberapa faktor (Tabel 2) (World Bank: Santamarina et al., 2002:93), sedangkan di negara- negara maju, seperti Canada menggunakan 19 indikator kualitas hidup masyatakat (quality of life) yang tersebar kedalam empat subsistem, yakni: (1) Indikator ekonomi: (a) GDP perkapita, (b) pendapatan perkapita, (c) inovasi, (d) lapangan kerja, (e) melek huruf, dan (f) tingkat pendidikan; (2) Indikator kesehatan: (a) usia harapan hidup, (b) status kesehatan, (c) tingkat kematian bayi (IMR), dan (d) aktivitas fisik; (3) Indikator lingkungan: (a) kualitas udara, (b) kualitas air, (c) biodiversity, dan (d) lingkungan yang sehat, (4) Indikator keamanan dan keselamatan masyarakat: (a) sukarela, (b) diversity, (c) berpartisipasi dalam aktivitas budaya, (d) berpartisipasi dalam kegiatan politik, dan (e) keamanan dan keselamatan (Sharpe, 2004:30). Tabel 2 Sistem, Subsistem dan Faktor-faktor Kesejahteraan Keluarga Sistem Subsistem Faktor-faktor a. Kesejahteraan Manusia (individu) - fisik - Psikologi - Spritual - Skills dan leisure b. Kesejahteraan sosial - pendidikan - kesehatan - Network dan hubungan sosial - life style dan budaya - struktur dan dinamika penduduk - Kekuatan sosial - Kebersamaan, solidaritas dan tanggung jawab Konsumsi Hak pemilikan akan tanah Tingkat kemiskinan Aktivitas ekonomi Sosial Ekonomi c. d. f. g. Sumber: World Bank (Santamarina et al., 2002:93) disederhanakan. 34 Keterkaitan Institusi Keluarga dengan Sistem Kesejahteraan di Daera h Perdesaan Keluarga dapat dilihat sebagai salah satu subsistem dalam masyarakat. Subsistem Keluarga dalam masyarakat memiliki fungsi dan tanggung jawab secara sinergis dengan subsistem lainnya, seperti sistem sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan aga ma. Dengan adanya interaksi subsistem-subsistem tersebut, keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state). Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order), dan selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban dalam sistem sosial yang lebih besar lagi. Dengan kata lain, keluarga memiliki fungsi mikro dan fungsi makro. Secara mikro, keluarga berfungsi sebagai penghubung antara keluarga dengan keluarga lain serta hubungan antar anggota kelua rga. Secara makro, terdapat hubungan keluarga dengan masyarakat luas. Ketertiban sosial akan dapat tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing- masing individu akan mengetahui di mana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur tersebut. Struktur dalam keluarga diakui dapat menjadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan, ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu: (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial, ketiganya saling kait mengkait. Menurut Parsons (Megawangi, 2001:66), konsep pokok keluarga adalah solidaritas. Maksud dari solidaritas dalam keluarga yaitu saling mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan keluarga tercapai. Setiap anggota keluarga mempunyai kepercayaan bahwa solidaritas keluarga sebagai landasan untuk dapat menumbuhkan solidaritas dan kepercayaan kepada masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya individualisme dalam keluarga dan masyarakat, kelompok konservatif memiliki norma bersama terhadap peraturan perilaku (behavior). Keputusan yang harus diambil mengarah pada kepentingan bersama dengan tidak menghilangkan hak azasi manusia sebagai makhluk sosial dengan melakukan berbagai penyesuaian. 35 Pendapat Parson ini banyak di dukung oleh ahli-ahli agama yang ada didunia ini terutama yang berkaitan dengan institusi perkawinan dan tanggung jawab. Implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, menurut Parsonnian (Megawangi, 2001:66), keluarga layaknya seperti organisme hidup. Ia diibarat kan hewan berdarah panas yang dapat memelihara temperatur tubuhnya agar tetap konstan walaupun kondisi lingkungan berubah. Parsonnian melihat bahwa institusi keluarga tidak statis atau tidak dapat berubah. Sebaliknya, keluarga sangat tanggap terhadap perkembangan atau perobahan lingkungan, artinya keluarga selalu dapat beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan atau apa yang disebut dengan istilah keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium). Teori tentang perilaku yang dihubungkan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat memberikan gambaran bahwa pada tahap awal proses industrialisasi, akumulasi kapital merupakan faktor penentu keberhasilan ekonomi. Karakter masyarakat pada tahap akumulasi kapital dikatakan sebagai karakter yang ”represif” yaitu hemat, disiplin, suka bekerja keras, dan berjiwa wiraswasta. Individu dengan karakter yang demikian mampu menahan dirinya (self-denail), yakni reward harus ditunda sampai terlihat hasil yang nyata. Karakter yang ”represif ” ini dibentuk semenjak anak usia dini di dalam keluarga. Otoritas orang tua pada tahap awal industrialisasi di Barat sebetulnya masih dihormati oleh anak-anaknya sehingga secara efektif keluarga dapat membentuk karakter individu. Sejalan dengan perkembangan konsep basic need, tampaknya diikuti perubahan pandangan gaya hidup masyarakat terutama pada era post-modren (globalisasi). Masyarakat tadinya berperilaku disiplin, hemat dan suka bekerja keras, ternyata pada masa ini nampaknya masyarakat lebih bersifat ekspresif atau konsumtif dibandingkan dengan pola awal industrialisasi. Karakter individu yang ekspresif ini cenderung lebih independen dan ingin bebas, berperilaku untuk memenuhi nafsu konsumsinya. Karakter ekspresif dikenal dengan sikapnya yang senang memanjakan dirinya (self-indulgence) dan mementingkan keuntungan (reward) daripada kerja keras (hard-work). Bahkan reward bisa diperoleh dahulu, 36 misalnya dengan adanya credit card, yaitu sistem buy now and pay later. Hal ini tentu berbeda dengan individu yang berperilaku ”represif.” Globalisasi berarti mendunia, menjadikan semua orang di dunia ini memiliki model yang sama. Menurut Ponomban, Fendry (Manshur, 2003), globalisasi bersumber pada realitas liberalisasi ekonomi. Globalisasi merupakan derap langkah perkembangan teknologi dan komunikasi serta perdagangan internasional kini mendasarkan dirinya pada paradigma borderless world yang tidak mengenal batas-batas teritorial kedaulatan negara dan bangsa. Dengan demikian, akar dari kecenderungan ini adalah kemajuan teknologi yang membuka jalan bagi terciptanya mekanisme transaksi ekonomi yang begitu canggih sehingga mendorong dinamika sosial lainnya. Sehubungan dengan itu, tidak pelak lagi bahwa globalisasi dapat mengakibatkan pemudaran batasan-batasan ruang yang selama ini menjadi acuan geografis dan kultural. Identitas kultural sebuah bangsa, misalnya: suku, etnis, dan agama serta kebudayaan lain semakin berubah diganti dengan identitas campuran yang plural. Anthony Giddens (1997) melihat bahwa terdapat berbagai implikasi buruk yang diakibatkan gebrakan globalisasi, seperti adanya resiko kehidupan, penetrasi budaya yang menghasilkan ancaman terhadap kultural dan nilai- nilai lokal, termasuk persepsi atas kedaulatan sebuah bangsa. Desakan-desakan globalisasi misalnya tampak terlihat sekali di Indonesia dengan larisnya komoditas Mc Donald, CNN, Jurassic Park, Laser Disc, model pakaian terbaru, bahkan AIDS. Kembali pada pola atau perilaku masyarakat yang berbasis global (postmodern) ternyata hal lain tak kalah menariknya pada individu-ekspresif yaitu berorientasi pada kepuasan pribadi, dan cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan kolektif. Hubungan kemasyarakatan lebih bersifat instrumental yaitu hubungan berlandaskan untung rugi. Padahal menurut Fukuyama, negara yang maju dan makmur adalah negara yang mememiliki tingkat toleransi dan kebersamaan ya ng tinggi. Tampaknya, hal ini bisa terjadi sejalan dengan teori perkembangan bahwa masyarakat pada industri tinggi (post-mosdern) adalah other-directed: mencari tahu cara berperilaku dari hal- hal lain di lingkungan dekatnya (Riesman, 1953). Disamping itu, ekspansi pasar global ini berpengaruh pula pada hubungan di dalam keluarga. Maka 37 terciptalah floating mass, yaitu masyarakat yang sudah tercabut dari akarnya (keluarga, institusi keagamaan, dan komunitas). Fungsi kontrol sosial keluarga, agama dan masyarakat menjadi tidak efektif lagi sehingga terjadilah keruntuhan social order seperti yang terjadi di AS. Persepsi Kesejahteraan Keluarga Menurut Kayam (Sugiyanto, 1996:58), persepsi adalah pandangan seseorang terhadap suatu obyek sehingga individu tersebut memberikan reaksi tertentu yang dihasilkan dari kemampuan mengorganisasikan pengamatan dan berhubungan dengan penerimaan atau penolakan. Berdasarkan pendekatan psikologis, persepsi merupakan penghayatan langsung oleh seorang pribadi atau proses-proses ya ng menghasilkan penghayatan langsung (Noerhadi, 1982), sedangkan pendekatan sosiologis, persepsi merupakan hasil pengalaman sekelompok manusia dalam hubungannya dengan obyek atau peristiwa sosial yang diamati. Kunci pemahaman terhadap persepsi masyarakat pada suatu obyek, terletak pada pengenalan dan penafsiran yang unik terhadap obyek pada suatu situasi tertentu dan bukan sebagai suatu pencatatan terhadap situasi tertentu tersebut (Thoha, 1981). Kreg (Sugiyanto, 1996:59) mendefinisikan persepsi masyarakat tentang sesuatu adalah proses perubahan kognitif masyarakat untuk manafsirkan serta memahami dunia yang berbeda di sekitarnya. Menurut Litterer (Asngari, 1984), mekanisme pembentukan persepsi seseorang yaitu melalui tiga tahapan, yakni: selectivity, (2) closure, dan (3) interpretation. Artinya, pembentukan persepsi diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi dari pemilihan atau penyaringan, kemudian informasi tersebut disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa lalu memegang peranan penting. Informasi yang disampaikan pada seseorang merupakan stimulus, kemudian diteruskan keotak oleh syaraf sensoris sehingga seseorang akan memahami dan menyadari stimulus tersebut, selanjutnya orang tersebut melakukan tindakan (Asngari, 1984). 38 Tinggi rendahnya stimulus seseorang dalam mempersepsikan sesuatu dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Thorndike (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu obyek adalah faktor bawaan dan lingkungan. Faktor bawaan misalnya, adalah faktor bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, dan tanggapan, sedangkan faktor lingkungan adalah faktor pendidikan, lingkunga n sosial masyarakat dan faktor lingkungan lainnya. Berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, menurut Twikromo et al., (Sumarti, 1999:23), persepsi terbangun melalui pengalaman dan berbagai macam proses dalam usaha manusia menjalin hubungan dengan lingkungan mereka. Artinya, persepsi kesejahteraan akan terbentuk melalui pengalaman hidup manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (keluarga, kelompok, dan masyarakat) dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup (Sumarti, 1999:24). Dengan kata lain, kesejahteraan adalah wujud kebudayaan dan terbentuk dalam proses interaksi sosial dalam masyarakat sehingga persepsi kesejahteraan masyarakat desa akan berbeda dengan persepsi kesejahteraan masyarakat kota bahkan berbeda dengan persepsi yang dibuat oleh pemerintah na mun kesemuanya dipengaruhi oleh nilai- nilai yang menjadi pedoman hidupnya untuk mewujudkan kesejahteraan itu sendiri. Pada masyarakat desa misalnya, nilai- nilai kesejahteraan diwujudkan dari nilai- nilai lokal yang diperoleh dari hasil sosialisasi dari nilainilai budaya dan agama, sedangkan nilai- nilai kesejahteraan dari sisi pemerintah merupakan kebijakan yang sudah dirumuskan secara baku, misalnya ”keluarga kecil bahagia dan sejahtera” padahal menurut konsep kesejahteraan secara sosiologis dan psikologis bahwa setiap manusia mempunyai nilai tersendiri tentang persepsi kesejahteraan. Hal ini sependapat dengan Ihromi dan Saifuddin (Sumarti, 1999:25) bahwa rumusan baku tersebut tidak secara langsung menjadi realitas yang terwujud dalam kehidupan masyarakat desa yang memiliki keragaman budaya dan etnis. Pendekatan yang digunakan seseorang tentang persepsi kesejahteraan (kesejahteraan subjektif) adalah kebahagiaan dan kepuasan. Namun secara operasional, menurut Campbell, Converse, dan Rodgers (Sumarwan dan Hira, 1993:346), variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan dengan variabel kebahagiaan karena ia dapat lebih mudah melihat gap antara 39 aspirasi dengan tujuan yang ingin dicapai. Sen (Peck dan Goodwin, 2003:17), menambahkan bahwa tingkat kepuasan dapat menggambarkan tingkat kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi atau dapat menjangkau berbagai kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan (happiness) hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan masyarakat dan institusi. Kemudian, kepuasan (satisfaction) individu, keluarga dan atau masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan jasa serta harapan masa depan (Peck dan Goodwin, 2003:7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Seperti yang dibuktikan oleh Sumarwan dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat, ternyata tingkat kepuasan (kesejahteraan) finansial keluarga perdesaan dipengaruhi oleh faktor umur, pendapatan keluarga, aset, sikap (perceived locus of control), dan kecukupan pendapatan. Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Menurut Hayo dan Seifert (2003:330), ada tiga alasan studi tentang Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) dewasa ini sangat menarik/penting dilakukan oleh beberapa peneliti di dunia, karena: (1) KES merupakan variabel kunci dalam kebijakan ekonomi. Bukti empiris ditunjukkan oleh Frey dan Stutzer (2000) bahwa lembaga politik berkaitan erat dengan kebahagiaan masyarakat. Hal senada juga dilakukan oleh Di Della et al. (2001) bahwa makro ekonomi suatu negara berkorelasi positif dengan KES. Ia menemukan, kesejahteraan ekonomi subyektif mampu melihat hubungan maksimisasi kesejahteraan secara langsung begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Clark dan Oswald (Hayo dan Seifert, 2003:330), serta Hinks dan Carola (2005), bahwa KES berkorelasi negatif dengan tingkat pengangguran. Artinya, semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektif seorang individu atau kelompok maka tingkat pengangguran semakin kecil, dan sebaliknya. 40 (2) KES sebagai dasar pertimbangan dalam politik ekonomi. Menurut Firmuc (Hayo dan Seifert, 2003), kepuasan ekonomi masyarakat akan mempengaruhi dukungannya terhadap ekonomi pasar dan demokrasi, (3) KES sebagai dasar untuk melihatkan kondisi ekonomi objektif dan subjektif ketika membuat perbandingan kesjahteraan. KES dapat menggambarkan kesejahteraan ekonomi objektif, seperti: pendapatan perkapita. Kemudian, KES tidak hanya dapat merefleksikan kekayaaan tetapi juga dapat menggambarkan kondisi kehidupan obyektif. Sebagai contoh konkrit, studi di negara barat ternyata terdapat perbedaan persepsi antara kondisi kehidupan obyektif dengan kesejahteraan subyektif. Artinya, kondisi kehidupan objektif baik belum tentu kondisi kehidupan subjektif juga baik, dan sebaliknya. KES tidak hanya dapat merefleksikan tingkat kesejahteraan relatif tetapi juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan absolut. Hal ini sejalan dengan pendapat Kapteyn et al. (1987:240) bahwa pengukuran kesejahteraan subjektif (proxy subjective poverty), keluarga dapat mengukur dengan lebih akurat atas income yang mereka miliki atau kebutuhan atas persepsi mereka sendiri. Pendekatan pengukuran KES menggunakan istilah subyektivitas (subjectivity) atau relativitas (relativity). Kedua-duanya menggunakan terminologi persepsi (Peck dan Goodwin, 2003:16), namun, kedua pendekatan tersebut memiliki dampak atau konsekuensi masing- masing. Pendekatan relativitas misalnya, memiliki beberapa konsekuensi, yakni: (1) ”ever-rising bar of perceived need”. Artinya, kesejahteraan yang dirasakan bukan kesejahteraan sesaat tetapi sudah sampai membandingkan dari waktu tertentu dengan waktu lain, misalnya: membandingkan kesejahteraan sekarang dengan waktu lalu atau yang akan datang, (2) ada unsur absorbsi informasi baru dari luar, dan (3) ”relativity wellbeing” tidak menggambarkan persepsi kesejahteraan secara keseluruhan, sedangkan pendekatan subjektifitas dapat menggambarkan kesejahteraan lebih komplek dan nilainya lebih berharga dari barang-barang dan jasa di pasar. Artinya, individu/keluarga tidak saja mendapatkan pendapatan yang diharapkan dari kesejahteraan yang dimiliki tetapi lebih dari itu. Kesejahteraan dalam konteks subjektivitas juga dapat menggambarkan berbagai aspek dalam kehidupannya, 41 seperti: lapangan pekerjaan/aktivitas ekonomi, tingkat independensi, semangat hidup, dan kesejahteraan waktu luang (leisure) (Ravallion dan Lokshin, 2001). Sehubungan dengan hal diatas, menurut Graham dan Pettinato (Peck dan Goodwin, 2003:18), beberapa studi dewasa ini menggunakan pendekatan Kesejahteraan Ekonomi Subjketif (KES) sebagai pendekatan dalam mengukur transisi suatu negara. Hal serupa juga digunakan oleh Stewart (Peck dan Goodwin, 2003:18) dalam mengukur tingkat kesejahteraan wilayah di negara-negara Eropa (European Union). Studi terbaru di negara-negara Eropa Timur menunjukkan bahwa KES berkorelasi positif terhadap kepuasan hidup masyarakat (Hayo dan Seifert, 2003:346). Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kesejahteraan ekonomi subyektif maka tingkat kepuasan hidup masyarakat semakin tinggi. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa persepsi kesejahteraan ekonomi subjektif dapat berpengaruh dalam pembentukan pasar. Kasus di China, hasil wawancara terhadap 10.700 keluarga pada 32 kota diperoleh hasil bahwa KES mempunyai efek positif terhadap restrukturisasi pasar ekonomi bagi pemerintah China terutama dalam menghadapi pasar global (Nielsen et al., 2004). Berdasarkan lapangan pekerjaan, ternyata sektor informal berkorelasi negatif terhadap KES (proksi kepuasan finansial) (Carbonell dan Gerxhani, 2005). Terdapatnya korelasi negatif antar sektor informal dengan kesejahteraan ekonomi subyektif karena adanya perbedaan perolehan pendapatan. Maksudnya, kesejahteraan ekonomi subyektif individu yang bekerja di sektor informal lebih rendah dari pendapatan yang diterima. Namun disisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Peck dan Goodwin (2003:19), menunjukkan bahwa tingkat pendapatan keluarga tidak begitu kuat mempengaruhi KES karena tingkat pendapatan keluarga belum mampu menggambarkan tingkat kepuasan keluarga secara keseluruhan KES adalah individual. Teori ekonomi membuktikan bahwa kesejahteraan secara agregat mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi individu (trickle down effect). Oleh karena itu, kesejahteraan ekonomi masyarakat bisa merupakan jumlah kesejahteraan ekonomi semua individu yang tinggal di beberapa wilayah dalam kelompok masyarakat. Menurut Peck dan Goodwin (2003:22), tingkat kesejahteraan ekonomi subyektif dalam masyarakat dapat mempersepsikan lebih 42 adil (fairness) dalam pendistibusian kekayaan (wealth), kepercayaan (trust) dan reciprocity diantara individu dan atau kelompok. Sehubungan dengan itu, World Bank (Peck dan Goodwin, 2003:22) konsep KES berhubungan kuat secara paralel dengan konsep modal sosial, karena konsep modal sosial merupakan bentuk dari interaksi sosial dalam masyarakat (quantity and quality) melalui institusi, relasi, dan norma yang diakui dan dipatuhi secara bersama-sama. Beberapa hasil penelitian yang dilaporkan oleh World Bank, terungkap bahwa modal sosial dapat berkontribusi dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial, dan psikologi, seperti: pertumbuhan GDP, efisiensi pasar tenaga kerja, pencapaian tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mengurangi kejahatan (crime), kesehatan, dan peningkatan efektivitas institusi pemerintah. Hasil penelitian lain menunjukkan keterkaitan antara KES dengan modal sosial, seperti dibuktikan oleh Peck dan Goodwin (2003:24). Studi mereka terakhir menunjukkan bahwa kualitas hidup masyarakat di Canada, memiliki hubungan yang sangat kompleks diantaranya adalah keterkaitan antara struktur masyarakat dengan kesejahteraan individu sehingga tidak mengherankan bahwa dewasa ini peran modal sosial (hubungan sosial) dalam masyarakat memiliki dampak positif terhadap kualitas hidup. Konsep Modal Sosial Menurut Woolcock (Winter, 2000), konsep modal sosial pertama kali dikembangkan oleh L.F. Hanifan sejak tahun 1916 di daerah bagian Barat Virginia. Menurut Bourdieu (Winter, 2000), modal sosial merupakan wujud nyata (sumberdaya) dari suatu institusi kelompok. Modal sosial jaringan kerja yang bersifat dinamis dan bukan alamiah. merupakan investasi strategis merupakan Modal sosial baik secara individu maupun kelompok. Sadar ataupun tidak sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Bourdieu, 1986:251). Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan tetangga, teman kerja (tempat kerja), maupun hubungan antar famili. Bourdieu menggambarkan bahwa modal sosial merupakan kumpulan sumberdaya yang dimiliki setiap keanggotaan dalam suatu kelompok 43 yang digunakan secara bersama-sama. Sebagai contoh, ketersediaan jaringan sosial dalam masyarakat dapat membantu peningkatkan produksi dan ekonomi anggota melalui pemanfaatan koneksi sosial (pemasaran hasil). Menurut Bourdeiu, modal ekonomi merupakan sumberdaya dasar, namun modal sosial berperan besar dalam meningkatkan modal ekonomi seseorang (individu). Jika dibandingkan dengan Bourdeiu, Coleman menggunakan terminologi berbeda dalam menggambarkan modal sosial. Coleman menggambarkan modal sosial bukan dari sesuatu yang terlihat hasil tetapi lebih kepada sesuatu yang dilakukan atau dengan kata lain fungsi dari modal sosial itu sendiri. Ia memandang bahwa modal sosial memiliki nilai yang terkandung didalamnya terutama dalam struktur sosial. Oleh karena itu, Coleman (Winter, 2000), menyebut modal sosial sebagai sumberdaya karena ia dapat memberi kontribusi terhadap kesejahterran individu dan masyarakat seperti halnya dengan sumberdaya lain (alam, ekonomi dan sumberdaya manusia) (Gambar 2). Dengan arti kata, Coleman melihat bahwa struktur sosial memiliki berbaga i bentuk tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan oleh individu dan masyarakat, yakni: kewajiban (obligation) dan harapan, informasi, dan normanorma yang dapat menghambat dan mendorong perilaku manusia. Disisi lain, Coleman melihat bahwa struktur sosia l memiliki trust yang tinggi. Oleh karena itu, ia percaya kepada orang lain tentang hal-hal yang dikerjakan untuk kepentingan bersama, karena dalam kehidupan manusia yang memiliki struktur sosial pasti memiliki harapan dan kewajiban yang sama antar individu. Coleman mengaplikasikan konsep modal sosial lebih menekankan pada bentuk norma dan sanksi terutama dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Salah satu konsep yang ia terapkan pada masyarakat yaitu konsep modal sosial pendidikan. pada lembaga Ia melihat bahwa struktur sosial keluarga cukup berperan dalam meningkatan prestasi belajar anak di sekolah. Dengan kata lain, Coleman mengaplikasikan modal sosial keluarga terhadap peningkatan sumberdaya manusia baik dalam hubungan kekerabatan (bonding) maupun hubungan dalam masyarakat (bridging). 44 Modal Alam - - Modal Ekonomi Cahaya matahari, Atmosfir, Air, tanah, mineral, Flora dan fauna, Sumber energi, Fungsi Ekosistem, Dan lain-lain - Aset ekonomi: gedung, lembaga pemerintah, perusahaan, - Infrastruktur: air, listrik, transportasi dan komunikasi. - Fasilitas umum: kesehatan, dan pendidikan. - Teknologi. Modal sosial Modal Manusia Jaringan/hubungan kepercayaan, Asosiasi, Norma, Keimanan. Tipe hubungan: Kapasitas Personal: - Kesehatan - Pendidikan - Keterampilan dan Bonding, bridging, dan linking - Ilmu Pengetahuan Kelembagaan, Sosial Budaya, Politik dan Hukum Dampak Positif dan Negatif Kesejahteraan Individu dan Masyarakat - Kesehatan - Pendidikan dan pelatihan - Lapangan Pekerjaan - Rumahtangga - Fungsi keluarga dan masyarakat - Sumberdaya ekonomi - Kejahatan dan keadilan - Kependudukan - Kebudayaan dan leisure - Kualitas lingkungan - Pertumbuhan ekonomi - Kepaduan sosial Sumber: Edwards, (2004:13). Gambar 2 Modal Sosial sebagai Sumberdaya Secara makro, Putnam (Winter, 2000) berpendapat bahwa konsep modal sosial dapat berupa: hubungan/jaringan, kepercayaan, dan norma- norma yang 45 merupakan fasilitas bersama dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Operasionalisasi konsep modal sosial menurut Putnam berbeda dengan konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu dan Coleman. Konsep modal sosial menurut Putnam, aplikasinya lebih menekankan pada tingkat wilayah (regional, democratic institutions, dan economic development). Walaupun terminologi modal sosial menurut Putnam agak berbeda dengan Bourdieu dan Coleman namun kepercayaan norma (norms of trust) dan reciprocity dalam jaringan-jaringan atau hubungan sosial/ekonomi merupakan unsur terpenting dalam modal sosial dan merupakan sumberdaya. Putnam mengukur modal sosial terfokus pada sistem perilaku perkembangan ekonomi dan politik pada tingkat regional dan negara (national). Kemudian, aspek yang dikaji tentang modal sosial menurut Putnam yaitu berkaitan dengan sistem norma yang berlaku pada bidang ekonomi dan politik. Pengukuran modal sosial menurut Putnam harus melibatkan beberapa asosiasi dan institusi formal yang diakui secara syah. Berikut beberapa batasan tentang modal sosial menurut beberapa ahli (Tabel 3). Tabel 3 Definisi, Maksud/tujuan dan Analisis Modal Sosial - Definisi Maksud/tujuan Analysis Bourdeiu Sumberdaya sosial yang menyediakan akses untuk kepentingan kelompok Untuk menjamin tercapainya modal ekonomi Individual dalam kelompok Coleman Melihat aspek struktur sosial , setiap aktor dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut untuk mencapai kepentingan bersama Untuk menjamin tercapainya sumberdaya manusia yang berkualitas Individual dalam keluarga dan masyarakat Jaringan/hubungan, kepercayaan, dan normanorma merupakan fasilitas bersama dan dapat dimanfaatkan bersama Untuk menjamin tercapainya sistem ekonomi dan demokrasi yang efektif Region dan negara Putnam Sumber: Winter, (2000). 46 Berdasarkan berbagai konsep diatas, maka konsep modal sosial menurut berbagai ahli memiliki terminologi berbeda, seperti: Coleman (1988), melihat modal sosial dari sudut pandang struktur sosial; Fukuyama (1999) berpendapat sebagai budaya dan kepercayaan; Bourdieu (1995) berpendapat sebagai jaringan/hubungan; Woolckok (1998) berpendapat sebagai norma; dan Putnam (1995) melihat modal sosial dari sudut pandang organisasi sosial (Flores, Margerita dan Fernando, 2003:1). Perkembangan Penelitian tentang Modal Sosial Konsep modal sosial sekarang ini, banyak menjadi perhatian dan kajian pada berbagai lembaga atau institusi termasuk lembaga riset. Seperti Putman, Leonardi, dan Naneti (Hobbs, 2000) melihat bahwa di masyarakat modern Italia, modal sosial: “corak organisasi sosial, kepercayaan, norma dan jaringan sosial dapat meningkatkan efisiensi dan kemudahan berbagai kehidupan masyarakat melalui pemanfaatan fasilitas bersama”. Hal ini di dukung oleh hasil penelitian Bank Dunia (2000), bahwa institusi, hubungan kemasyarakatan, dan norma dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas interaksi sosial masyarakat sehingga pada gilirannya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat baik dalam keperluan individu maupun kepentingan bersama. Modal sosial yang dipercayai, merupakan multi konsep, antara lain norma-norma sosial hubungan sosial dan organisiasi/asosiasi yang dapat mempengaruhi hubungan diantara anggota masyarakat dan merupakan aset bagi individu dan kolektif dalam menghasilkan kesejahteraan bersama. Secara makro, modal sosial dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Menurut Fernando (2003), modal sosial merupakan modal alamiah, hubungan solidaritas dan asosiasi produktif. Kemudian berdasarkan tipe, modal sosial dapat dilihat secara individu, bisnis, masyarakat, dan pemerintahan. Tipe individu misalnya merupakan hubungan person yang mempunyai relasi dan dapat dimanfaatkan oleh dirinya dan orang lain. Menurut Narayan dan Pritchett (1999:872-873), modal sosial dapat mempengaruhi berbagai bentuk keluaran (outcomes) bagi masyarakat melalui lima mekanisme, yakni (1) dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam 47 memonitor berbagai kegiatan atau kebijakan pemerintah melalui jaringan sosial (social network); (2) dapat meningkatkan berbagai bentuk tindakan atau kebijakan bersama dalam memecahkan berbagai persoalan dalam masyarakat; (3) dapat memudahkan berbagai bentuk difusi inovasi melalui peningkatan hubungan antar individu; (4) dapat mengurangi ketidaksempurnaan informasi yang diterima masyarakat, seperti dalam pemanfaatan fasilitas kredit, berbagai bentuk produksi, lahan pertanian, dan lapangan kerja; dan (5) dapat meningkatkan asuransi informal (informal insurance) bagi rumahtangga. Coller (Hobbs, 2000) membedakan modal sosial pemerintah dengan modal sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu menerapkan berbagai peran undang-undang/peraturan, kebebasan, tata nilai, norma-norma serta hubungan yang bersifat informal yang ada di masyarakat. Di dalam masyarakat, modal sosial pemerintah terbatas karena proporsi kontrak secara luas ditentukan oleh kepercayaan dan modal sosial masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh Rose (1999) melalui studi di Rusia bahwa hubungan individu dalam masyarakat mengutamakan jaringan informal, dan kerjasama masyarakat, sedangkan organisiasi formal hampir tidak berfungsi. Berkaitan dengan manfaat dan fungsi jaringan informa l dalam masyarakat sehingga output yang ditimbulkannya bisa berpengaruh secara positif dan negatif. Menurut Olson (1982), output negatif sangat dirasakan bagi masyarakat yaitu besarnya cost yang ditanggungkan, sedangkan ouput positif cukup banyak baik dilihat dalam bentuk ekonomi maupun sosial. Seperti hasil penelitian Schneider et al., (1997), jaringan/ikatan hubungan cukup bermanfaat dan menguntungkan bagi masyarakat dalam pembangunan sosial terutama dalam berbagai aktivitas pendidikan. Menurut Ostroms (1994) dan Lam (1996), bahwa jaringan sosial dapat membantu dalam berbagai bentuk proyek masyarakat seperti proyek irigasi. Lebih tegas lagi dikemukakan oleh Falk dan Kilpatrick (1999) bahwa jaringan sosial di masyarakat dapat melakukan berbagai bentuk akumulasi modal (ekonomi dan sosial). Hasil penelitian Winter (2000) menunjukkan bahwa modal sosial dapat mempengaruhi kestabilan kehidupan keluarga dan kemandirian masyarakat. Tau (2003) memperlihatkan bahwa faktor modal sosial mampu mempengaruhi 48 perekonomian di beberapa negara Afrika. Seperti yang dipresentasekan pada saat Konferensi Ekonomi masyarakat Afrika Selatan pada tanggal 17-19 September tahun 2003, dia menyebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Afrika dapat meningkat dari 1,8 persen pada periode 1980-1990 menjadi 2,7 persen pada periode 1990-2000 melalui pemanfaatakan fasilitas institusi sosial politik. Beberapa Dimensi dan Tingkat Hubungan Modal Sosial Menurut Grootaert (1999), modal sosial mempunyai enam dimensi, yakni: (1) jumlah keanggotaan, (2) tingkat keberagaman anggota kelompok/organisasi, (3) intensitas pertemuan, (4) tingkat pengambilan keputusan, (5) besarnya tingkat kontribusi(uang dan tenaga), dan (6) orientasi masyarakat. World Bank melihat bahwa modal sosial memiliki dimensi, sebagai berikut: (1) jaringan/ikatan hubungan dan kelompok/organisasi, (2) solidaritas dan kepercayaan, (3) kegotong royongan (collective action and cooperations), (4) komunikasi dan informasi, (5) inklusi dan kohesi sosial dalam masyarakat, dan (6) kebijakan dan pemberdayaan (Grootaert, 2004:5). Putnam (Winter, 2000) mengidentifikasikan modal sosial menjadi enam dimensi, yakni: (1) kebiasaan (tipe perjanjian: formal dan informal), (2) tujuan bersama (antar institusi saling hormat menghormati), (3) hubungan dalam pergaulan“bridging” (Trust dan reciprocity) saling membangun secara bersamasama), (4) modal sosial sebagai perantara (kepercayaan dapat membangun sistem kedekatan antar individu), (5) intensitas hubungan (intensitas hubunga n antar individu merupakan kekayaan dan keuntungan ganda dalam masyarakat), and (6) lokasi sosial (menjalin hubungan kekerabatan (tetangga) dengan baik dapat membangun sumberdaya modal sosial). Haddad (2000:2) membagi modal sosial kedalam tiga dimensi, yakni: (1) tingkat partisipasi rumahtangga dalam kelompok, (2) fungsi kelompok bagi rumahtangga, dan (3) tingkat kepercayaan rumahtangga dalam kelompok. Menurut Woolcock (Thomas dan Heres, 2004), modal sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi (type of networks). Pertama, modal kekerabatan (bonding capital), yaitu ikatan hubungan 49 yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan (emosional tinggi) yakni: hubungan antar anggota keluarga, teman dekat, dan tetangga. Kedua, modal pergaulan (bridging capital), yaitu tingkat kekerabatan relatif lebih jauh seperti: teman kerja, dan kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking capital), yaitu ikatan hubungan lebih renggang lagi dibandingkan kedua ikatan hubungan diatas. Hubungan kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan hubungan secara formal ( formal institutions) baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat luas. Berkenaan dengan itu, menurut Edward (2004:14) bahwa modal sosial dapat berkontribusi dalam meningkatkan keakraban dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat. Apalagi seorang individu atau kelompok masyarakat dalam menjalinkan interaksi sosial dapat mengembangkan nilai- nilai atau norma- norma yang mereka miliki di masyarakat baik antar sistem jaringan bonding, bridging maupun sistem jaringan linking dengan struktur yang terbuka dan komunikatif. Namun demikian, Edward menambahkan bahwa kefektifan proses komunikasi antar individu atau kelompok masyarakat harus didukung oleh kondisi politik yang kondusif, menegakkan supremasi hukum, adanya kelembagaan yang good governance dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan (Gambar 3). Modal sosial memiliki multi konsep antara struktur dan kualitas hubungan. Menurut Stone (2001), Stone dan Hugkes (2002) (Anonim, 2003:3), terdapat tiga tipe jaringan sosial (social networks), yakni: (1) jaringan informal (informal ties): hubungan dalam anggota rumahtangga, teman, tetangga dekat dan teman kerja, (2) jaringan sosial dalam masyarakat: hubungan antar masyarakat lokal, antar wilayah, dan kelompok lain, dan (3) jaringan sosial dalam institusi (institutional relationship): sistem pemerintahan, partai, perguruan tinggi, dan lain- lain. Menurut Coleman (1988, dan 1990), modal sosial melalui jaringan sosial dapat berperan dalam membentuk modal manusia dan ekonomi. Interaksi Sosial Kehidupan Masyarakat Interaksi sosial yang berlangsung dalam masyarakat mencirikan suatu dinamika yang terpola berdasarkan nilai- nilai yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Interaksi sosial merupakan inti dari kehidupan suatu masyarakat yang 50 berlangsung antara individu dan individu, individu dan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Menurut Simmel (Johnson, 1985:257), melalui interaksi timbal balik individu, maka ia saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Semua itu dapat merubah sikap, dan mencerminkan perubahan relasi antar individu, organisasi atau antar institusi (Garna, 1992:10). Salah satu konsep penting dalam sistem sosial adalah institutionalization, yaitu pola-pola interaksi yang mapan antara pelaku sosial yang memiliki status dan peranan tertentu. Menurut Barth (1969), interaksi sosial merupakan hubungan yang terjadi antara identitas- identitas sosial yang berbeda dan merupakan interaksi dan simbolsimbol yang diaktifkan oleh masing- masing pelaku yang terlibat dalam interaksi tersebut dan sesuai dengan kepentingan mereka masing- masing. Berger dan Lukman (Johnson, 1986:67) menyebutkan bahwa masyarakat dan berbagai institusinya diciptakan dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi sosia l manusia. Menurut Sayogyo (1984:10), interaksi sosial perlu dibedakan tiga hal pokok, yaitu: (1) orang-orang yang bertindak, (2) kelompok masyarakat yaitu semua orang yang berinteraksi satu sama lain dengan membina hubungan sosial dalam beragam proses, dan (3) kebudayaan yaitu seluruh arti berdasarkan nilainilai dan norma- norma yang dihayati bersama serta sarana yang menjadi penyalur dari yang disampaikan dalam kejadian setiap interaksi. Interaksi sosial terjadi dalam tiga jenis proses sosial yang bersifat menyatukan, yaitu: proses kerjasama, asimilasi, akomodasi. Proses sosial lainnya yaitu proses sosial berlawanan, yaitu: konflik, kontraversi dan persaingan. Interaksi sosial mempunyai dimensi-dimensi struktural yang terdiri atas tiga bagian, yaitu: (1) jarak sosial yang menunjukkan kemungkinan relasi/hubungan sosial antara pelaku-pelaku tertentu mengikat sampai seberapa jauh orang-orang atau grup dapat bertemu, (2) integrasi sosial yang menunjukan besar-kecilnya keselarasan/harmoni di dalam proses sosial, dan (3) tingkatan sosial yang menunjukkan perbedaan kedudukan lebih tinggi dan lebih rendah (Sayogyo, 1984:10). 51 Proses sosial dalam arti adanya konflik yang timbul dalam interaksi sosial di dalam masyarakat menjadi inti pembahasan teori konflik yang dikembangkan oleh Dahrendorf yang bersifat pendekatan Struktural Non Marxis (Nasikun, 1985; dan Verger, 1985). Menurut teori ini konflik adalah suatu gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat sebagai akibat dari proses perubahan yang terus menerus berlangsung di dalam masyarakat yang dilatarbelakangi motivasi dan keinginan yang antagonistis atau bertentangan dari dua kategori sosial yaitu kelompok yang memiliki authority atau kekuasaan dan kelompok yang tidak memiliki authority. Sebagai gejala yang melekat dalam kehidupan masyarakat maka konflik hanya akan lenyap bersama dengan lenyapnya masyarakat. Karena itu apa yang dilakukan orang hanyalah mengendalikan agar konflik yang terjadi diantara berbagai kekuatan sosial yang saling berlawanan itu tidak akan terwujud dalam bentuk kekerasan. Bentuk pengendalian itu dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu (1) konsiliasi yang terwujud di dalam lembaga- lembaga demokratis, (2) mediasi yaitu kesepakatan kedua pihak yang bertentangan untuk menunjukkan pihak ketiga memberikan pertimbangan dan nasehat, dan (3) arbitrasi atau perwasitan yaitu kesepakatan kedua pihak menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik antara kedua pihak (Nasikun, 1985). Menurut Koentjaraningrat (1984), ada empat macam prinsip hubungan yang mengikat suatu masyarakat khususnya sekelompok orang di desa, yaitu; (1) prinsip hubungan kekerabatan yang membentuk persekutuan hukum, (2) prinsip hubungan tinggal dekat yang melahirkan persekutuan territorial, (3) prinsip hubungan yang tidak timbul dari masyarakat perdesaan sendiri tetapi datang dari atas desa yang memunculkan persekutuan hukum dari atas, dan (4) prinsip tujuan khusus persekutuan hukum atas kebutuhan disebabkan misalnya faktor ekologis. Mead (Soekanto, 1984:8) mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan berinteraksi dengan pihak-pihak lain, dengan perantaraan lambang-lambang yang memberi arti pada aktivitas hidupnya. Berdasarkan perbedaan makna terhadap la mbang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari antar kelompok masyarakat dapat mengakibatkan menyempitnya proses interaksi yang terjadi, sedangkan pemaknaan lambang yang sama akan memperluas aktivitas kehidupan sehingga memberi nilai bagi kehidupan sosial ekonomi. 52 - Kebudayaan Bahasa, Sejarah, Gender, Agama, Seni, dan sport Politik: Modal sosial - Peran UU, - Transparansi proses politik, - Good governance Tipe jaringan: Bonding, Bridging dan linking Transaksi jaringan: Komposisi jaringan: keluarga, teman, tetangga, kolega, organisasi/ kelompok. - Memperkuat dukungan, - Meningkat pengetahuan, - negosiasi, - penerapan sanksi. Kualitas jaringan: - Norma-norma: # kepercayaan, # imbalan, # efikasi # kebersamaan, - partisipasi sosial - partisispasi ekon. Struktur jaringan: - Supremasi Hukum: - independensi pengadilan, - Transparansi proses hukum, - Kebebasan berpendapat. jumlah, keterbukaan, komunikasi, mobilitas,dan Kelembagaan: - tingkat hubungan. Dampak Positif: - Implementasi kebijakan, - Stabilitas ekonomi Dampak Negatif: - Pengembangan jaringan kerja, - Peningkatan pengetahuan, - Peningkatan kepercayan masyarakat, - Kebahagiaan masyarakat, - Kepuasan mengontrol diri, - transaction cost, - Pemecahan masalah. - Adanya hubungan tidak seimbang (unbalance bonding), - Menurunkan fungsi keluarga (unbalance bridging), - Korupsi (unbalance linking) - Kekacauan dalam masyarakat Sumber: Edwards, (2004:14) Gambar 3 Kerangka Konsepsual Modal Sosial 53 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Berpikir Determinan kesejahteraan (well-being) tidak hanya terbatas pada faktor fisik (alam, ekonomi, dan sumberdaya manusia) namun dapat juga dilihat dalam konteks modal sosial (Morris, 1998). Modal sosial adalah sumberdaya terpenting dalam kehidupan masyarakat karena modal ini merupakan jaringan/hubungan keluarga terhadap dunia luar (tetangga dan masyarakat luas) untuk memecahkan berbagai persoalan termasuk masalah kebutuhan dasar (ekonomi dan psikologi) keluarga. Hasil penelitian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa keberadaan modal sosial (jaringan sosial) individu rumahtangga yang kuat dalam kehidupan masyarakat berperan untuk mendapatkan berbagai bentuk akses. Dengan kata lain, anggota keluarga yang memiliki tingkat modal sosial yang kuat berpengaruh sangat nyata dan signifikan terhadap peningkatan pengeluaran keluarga per kapita (proxy pendapatan)(Haddad, 2002:2). Hal ini sejalan dengan tiga studi ekonomi yang dilakukan oleh Knach dan Keefer (1997), Narayan dan Pritchett (1999) dan Grootaert (1999) secara empiris membuktikan bahwa modal sosial dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Penelitian di daerah perdesaan Tanzania misalnya, modal sosial individu berhubungan positif dengan income. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial individu maka terjadi peningkatan income sebesar 20-30 persen setiap keluarga (Narayan dan Pritchett, 1999). Modal sosial dapat mempengaruhi income melalui berbagai kemudahan yang ada di masyarakat, seperti: penggunaan input pertanian yang modern, dan memperoleh fasilitas kredit pertanian lebih mudah/cepat. Dengan demikian, modal sosial berkorelasi positif dengan kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan modal sosial yang tinggi memiliki tingkat pengeluaran per kapita lebih besar, aset dan tabungan lebih banyak serta memiliki akses kredit lebih mudah dibandingkan dengan keluarga yang memiliki investasi modal sosial terbatas (Grootaert, 1999:62). Secara ekonomi, modal sosial dapat bermanfaat dan menguntungkan dalam keluarga karena keluarga yang memiliki modal sosial dapat berinteraksi 54 32 33 dengan dunia luar dan modal dasar dalam pembangunan sebagai transaction cost (Fukuyama, 1999). Sebagai contoh, berbagai problem tentang pekerjaan (pertanian dan non-pertanian) dapat diatasi melalui pemanfaatan jaringan sosial terutama informasi tentang pasar dan teknologi serta informasi lainnya (Collier, 1998). Menurut Portes (Grootaert, 1999:4), modal sosial dapat berupa jaringan sosial atau struktur sosial. Dalam struktur sosial, dapat diukur pada tingkatan mikro, meso, dan makro. Tingkatan makro misalnya, dapat berupa institusi pemerintah yang memiliki peraturan dan undang-undang yang jelas dan tegas sehingga berdampak terhadap kinerja ekonomi nasional. Modak sosial pada tingkatan meso dan mikro, berupa norma dan jaringan yang dibangun melalui interaksi antar individu dan keluarga dalam struktur sosial masyarakat. Struktur sosial yang dimaksud dan terdapat dimasyarakat yaitu asosiasi atau institusi lokal. Ciri negara makmur adalah negara yang mempunyai kualitas sumberdaya manusia (karakter) yang tinggi dan ditunjukkan oleh: (1) kehidupan sosial relatif damai, (2) sedikit konflik, dan (3) terdapat tingkat toleransi yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Keunggulan ini ditunjukkan oleh faktor modal sosial yang tinggi, yaitu masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Sehubungan dengan itu, menurut Fukuyama (Djalil dan Megawangi, 2003:6), untuk mencapai masyarakat madani, masing- masing individu dan golongan masyarakat harus dapat menjujung tinggi rasa saling hormat, kebersamaan, toleransi, kejujuran, dan menjalankan kewajibannya. Keluarga sebagai suatu sistem dalam masyarakat seperti sistem lainnya yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berhubungan baik sistem lingkungan fisik yang berupa lingkungan alamiah dan atau buatan maupun sistem lingkungan sosial. Menurut Parsons (1965), sistem keluarga memiliki tiga elemen utama, yakni: (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial yang saling berhubungan satu sama lainnya (interralated). Hubungan antar elemen untuk mewujudkan satu fungsi tertentu terjadi, dan tidak saja bersifat alami tetapi juga dibentuk oleh berbagai faktor atau kekuatan yang ada disekitar keluarga seperti nilai- nilai atau norma serta faktor- faktor lain yang ada di masyarakat salah satunya adalah modal sosial. 55 34 Namun demikian, keberfungsian faktor modal sosial bagi keluarga di masyarakat harus ditunjang oleh potensi sumberdaya lain yang dimiliki oleh masing- masing keluarga terutama di daerah perdesaan. Berdasarkan klasifikasi sumberdaya, ada ada empat macam sumberdaya, yakni: sumberdaya fisik/alam, ekonomi, manusia termasuk sosio-demografi, dan sumberdaya atau modal sosial. Dari keempat sumberdaya tersebut hanya ada tiga sumberdaya yang masuk kedalam sistem keluarga sebagai input yakni: sumberdaya manusia, ekonomi dan sumberdaya sosial. Sumberdaya manusia dan ekonomi digabung menjadi satu kesatuan input yakni status sosial ekonomi, sedangkan sumberdaya sosial menjadi input tersendiri yang disebut modal sosial. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa ketiga sumberdaya tersebut tidak akan dapat digunakan atau dimanfaatkan secara optimal tanpa ada ditunjang oleh pengelolaan sumberdaya yang baik. Dengan arti kata, peran manajemen sumberdaya disini sangat penting dalam mengelola berbagai sumberdaya yang dimiliki keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan baik kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif. SISTEM KELUARGA Input Lingk. Makro (Alam/Buatan) Lingk. Makro (SistemMasy) Lingk. Mikro Modal Alam Modal Ekonomi Modal Manusia Modal Sosial Proses Status Sosial Ekonomi Output Kesejahteraan Ekonomi Objektif Manajemen Sumberdaya Keluarga Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Modal Sosial Feed back Diteliti : Tidak diteliti: Gambar 4. Kerangka Berpikir: Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga 56 35 Hipotesis Penelitian (1) Faktor sosio-demografi, dan manajemen sumberdaya keluarga berpengaruh secara nyata terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga, (2) Terdapat ketidakmerataan kesejahteraan ekonomi keluarga di Provinsi Jambi berdasarkan agroekologi wilayah, (3) Faktor modal sosial berpengaruh secara nyata terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga; dan (4) Peningkatan modal sosial merupakan model yang tepat secara struktural dalam pemberdayaan keluarga kaitannya dengan kesejahteraan. 57 METODE PENELITIAN Desain, dan Lokasi Penelitian Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi dengan dua Kabupaten terpilih, yaitu: Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Kerinci (Gambar 5). Terpilihnya kedua Kabupaten tersebut sebagai wilayah penelitian dengan pertimbangan diharapkan dapat mewakili karakteristik kabupaten yang ada di Provinsi Jambi baik dilihat dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Kabupaten Tanjung Jabung Timur misalnya, dapat mewakili wilayah pesisir pantai/pasang surut, mayoritas masyarakat berasal dari suku Melayu, Bugis dan Banjar (migrasi spontan) dengan komoditas utama usaha nelayan, perkebunan kelapa dalam, dan usahatani padi sawah pasang surut. Kabupaten Kerinci mewakili masyarakat wilayah pegunungan atau dataran tinggi, mayoritas masyarakat didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan komoditas utama usahatani padi sawah irigasi, perkebunan kulit manis (cassiavera), dan perkebunan kopi disamping usahatani tanaman pangan dan sayuran. SEP UCU K JA MBI SEMB ILAN Daerah Pesisir pantai H LURA TANJAB BARAT TANJAB. TIMUR TEBO KOTA JAMBI MUARO JAMBI BUNGO BATANGHARI KERINCI Daerah Pegunungan SAROLANGUN MERANGIN Luas Jumlah Kab, Kota Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk Pertum Penduduk Pertum Ekonomi PDRB (hrg berlaku) Gambar 5 Letak Lokasi Wilayah Penelitian 58 36 : 53,435 km² : 9 Kab dan 1 Kota : 2.657.536 jiwa(2006) : 50 orang/ km² : 1,98 %/tahun (2004/2005) : 5,57% (2004/2005) : Rp.22,5 trilyun (2006) Sumber, Jenis dan Metode Pengumpulan Data Data penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari keluarga dan responden terpilih, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi dan lembaga terkait disamping dari laporan hasil penelitian, jurnal maupun majalah yang memuat tentang masalah modal sosial dan kesejahteraan. Jenis atau variabel penelitian dibagi ke dalam lima kelompok, yaitu: karakteristik keluarga, sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, modal sosial, dan variabel kesejahteraan (objektif dan subjektif). Karakteristik keluarga dan sosio-demografi, variabel yang diteliti meliputi: (1) jumlah anggota keluarga, (2) umur orang tua (kepala dan ibu rumahtangga), (3) tingkat pendidikan orang tua (Kepala dan ibu rumahtangga) dan anak, (4) tingkat keterampilan kepala keluarga, (5) mata pencaharian kepala dan ibu rumahtangga, (6 ) kepastian pemilikan lahan (lahan pertanian dan permukiman) dan perahu/kapal, (7) pendapatan rumahtangga, (8) kondisi perumahan (permanen/sederhana), dan (9) fasilitas perumahan (air minum, alat penerangan, dan aksesibilitas). Aspek manajemen sumberdaya keluarga, variabel yang diteliti, meliputi: (1) manajemen waktu, (2) manajemen anggota keluarga, dan (3) manajemen keuangan. Aspek modal sosial dibagi dalam dua dimensi, yakni dimensi asosiasi lokal, dan dimensi karakter masyarakat. Variabel yang termasuk kedalam dimensi asosiasi lokal, meliputi: (1) jumlah kelompok/organisasi yang diikuti, (2) tingkat partisipasi keluarga dalam kelompok/organisiasi, dan (3) manfaat kelompok/ organisasi, sedangkan untuk dimensi karakter masyarakat, meliputi: (1) kepercayaan, (2) solidaritas, dan (3) semangat kerja. Aspek kesejahteraan ekonomi keluarga dibagi dalam dua dimensi, yakni kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi subjektif. Variabel kesejahteraan ekonomi objektif, meliputi: (1) kebutuhan pangan, (2) kebutuhan non pangan, dan (3) kebutuhan investasi sumberdaya manusia, sedangkan variabel yang diteliti untuk kesejahteraan subjektif yaitu melihat tingkat kepuasan keluarga, meliputi: (1) pemenuhan kebutuhan pangan, (2) pemenuhan kebutuhan non 59 pangan, dan (3) pemenuhan kebutuhan investasi sumberdaya manusia. Disamping data pokok penelitian ditambah denga n data pendukung yaitu data karakteristik wilayah. Adapun variabel yang diambil mengenai karakteristik wilayah yaitu meliputi: (1) data geografi, (2) demografi, (3) sosial budaya, (4) sistem keorganisasian masyarakat, dan (5) data aksesibilitas wilayah. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan observasi. Untuk mendapatkan data lebih mendalam, pengumpulan data dilanjutkan dengan metode wawancara mendalam (Indepth Interview) terhadap beberapa responden terpilih dan Focus Group Discussion (FGD). Untuk lebih jelasnya jenis dan teknik pengumpulan data penelitian masing- masing variabel dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan Metode Pengumpulan Data No Jenis Data Metode Pengumpulan Data 01 Karakteristik dan Sosio Demografi Keluarga Wawancara langsung, dan observasi 02 Manajemen Sumberdaya Keluarga Wawancara langsung, dan observasi 03 Sumber Penghasilan Keluarga Wawancara langsung 04 Aspek Perumahan 05 Fasilitas Perumahan 06 Kesejahteraan ekonomi keluarga 07 Pengeluaran Keluarga 08 Aset/Jumlah Kekayaan 09 Modal Sosial 10 Karakteristik Wilayah Wawancara langsung dan observasi Wawancara langsung dan observasi Wawancara langsung, observasi, indepth interview, dan FGD. Wawancara langsung Wawancara langsung, dan observasi Wawancara langsung, observasi, indepth interview, dan FGD. Wawancara bebas dan Observasi Waktu Pengumpulan Data Penelitian Waktu pengumpulan data penelitian selama delapan bulan, mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2006. Pengumpulan data penelitian 60 dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan data atau penelitian penjajakan (uji coba kuesioner). Tahap kedua adalah pengumpulan data primer dan sekunder. Selama penelitian penjajakan, pengumpulan data penelitian berjalan dengan lancar dan tidak ditemui kendala atau hambatan yang berarti. Namun demikian, peneliti harus menyesuaikan waktu dengan responden. Kasus di wilayah pesisir pantai misalnya atau responden yang berprofesi nelayan, peneliti harus menunggu waktu mereka tidak melaut atau pada musim gelombang. Seperti diketahui, nelayan umumnya di daerah penelitian melaut pada siang hari dan pulang pada pagi hari sekitar jam 6.00-7.00 WIB setelah itu mereka istirahat tidur. Artinya, selama musim melaut mereka hampir tidak punya waktu untuk wawancara termasuk keperluan penelitian. Oleh karena itu, peneliti melakukan wawancara dengan responden yang berprofesi nelayan selama mereka tidak melaut yaitu antara bulan desember sampai bulan pebruari. Hal yang sama juga ditemui di wilayah pegunungan yang mana mayoritas petani adalah berprofesi sebagai petani sawah. Mereka bekerja mulai dari jam 7.00 – 16.00 WIB. Namun petani sawah ini memiliki waktu senggang lebih banyak dibandingkan dengan nelayan terutama pada malam hari. Oleh karena itu, peneliti mengumpul data di wilayah ini harus pada waktu malam hari. Dengan konsekuensi waktu yang diperlukan peneliti cukup singkat sekali. Namun demikian, dalam waktu yang relatif singkat ini peneliti dapat mengumpulkan responden dan menjaring berbagai informasi yang diperlukan dalam penelitian atas bantuan tokoh masyarakat dan pemuda setempat mengenai tempat tinggal responden. Lama Wawancara dan Pendalaman Pertanyaan Peneliti sebelum berangkat melakukan pengumpulan data sudah mempersiapkan kuesioner sedemikian rupa terutama waktu yang diperlukan selama wawancara. Dari 15 responden yang diambil selama penelitian penjajakan, ternyata rata-rata waktu yang diperlukan untuk wawancara berkisar antara 45 menit sampai satu jam. Dengan arti kata, pengumpulan data selama penelitian 61 penjajakan cukup lancar dan tidak membosankan bagi responden sehingga validitas dan reliabilitas data yang diharapkan dari responden cukup representatif. Kelancaran pelaksanaan penelitian penjajakan ini tidak terlepas dari persiapan sebelum keberangkatan ke lapangan terutama instrumen yang digunakan dalam penjaringan informasi data dalam penelitian ini. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sudah dipersiapkan selama lebih kurang 6 (enam) bulan yang lalu dengan bantuan atau bimbingan komisi pimbimbing. Dengan demikian, kedalam dan keluasan informasi yang diharapkan serta kata-kata yang digunakan dalam menjaring informasi sudah didiskusikan beberapa kali antara peneliti dengan komisi pembimbing dan atau antar komisi pembimbing sehingga tingkat validitas dan reliabilitas sudah cukup memadai dan dapat dihandalkan. Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam instrumen penelitian cukup dipahami oleh responden. Apalagi pelaksanaan penelitian penjajakan ini dilakukan langsung oleh peneliti sendiri. Sampel Penelitian Daerah penelitian ditentukan dengan metode cluster sampling yaitu dengan cara membagi daerah berdasarkan agroekologi wilayah sehingga terpilih wilayah dataran tinggi (pegunungan) yaitu Kabupaten Kerinci dan daerah pesisir (pasang surut) daerah/wilayah yaitu Kabupaten penelitian Tanjung berdasarkan Jabung agroekologi, Timur. mengingat Diambilnya distribusi penduduk Provinsi Jambi menyebar berdasarkan tipologi tersebut. Selanjutnya, kecamatan dan desa/kelurahan penelitian diambil secara purposive dan mengikuti pola yang ada di masing- masing wilayah Kabupaten, sedangkan responden (rumahtangga) diambil secara acak sederhana (simple random sampling) sebesar 325 orang atau 10 persen dari jumlah rumahtangga yang ada pada seluruh desa penelitian (3.257 rumahtangga)(Tabel 5). Jumlah sampel yang digunakan sebagai indepth interview sebanyak 33 orang atau 10 persen dari jumlah responden masing- masing desa. 62 Tabel 5 Jumlah Responden dan Informan Indepth Interview Berdasarkan Kabupaten, Kecamatan dan Desa Di daerah penelitian, 2006 No 1 Daerah Penelitian Kabupaten Kerinci: Responden Indepht.Int 484 382 48 38 5 4 476 404 48 40 5 4 303 409 30 41 3 4 435 364 3.257 44 36 325 4 4 33 11 Kecamatan Keliling Danau 111 Desa Jujun 112 Desa Koto Agung 12 Kecamatan Merangin 121 Desa Muak 122 Desa Pondok 2 Kabupaten Tanjung Jabung Timur - 21 Kecamatan Nipah Panjang 211 Desa Nipah Panjang I 212 Desa Nipah panjang II 22 Kecamatan Mendahara Ilir 221 Desa Mendahara Ilir 222 Desa Pangkal Duri Total Jumlah sampel Jumlah KK/Petani*) Sumber: Monografi Masing-masing Desa Penelitian, tahun 2006. Secara ringkas, metode pengambilan sampel penelitian dan distribusi responden dapat dilihat pada gambar desain dan lokasi penelitian (Gambar 6). Provinsi Jambi Cluster sampling Kabupaten Kerinci Kecamatan Desa Jujun Kabupaten Tanjabtim Kecamatan Merangin Keliling Danau Desa Kt. Agung Desa Muak 6 bulan Desa Pondok Kecamatan Kecamatan Nipah Panjang Mendahara Ilir Desa Desa Nph Pjg I Nph Pjg II Desa Mend Ilir Desa P.Duri 10 % Purposive Rumahtangga Gambar 6 Desain dan Lokasi Penelitian 63 Simple R.S. Analisis Data Sebelum dilakukan analisis data perlu dilihat keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Seperti terlihat pada Gambar 7, variabel sosiodemografi, modal sosial dan manajemen sumberdaya keluarga sebagai variabel exogenous berhubungan secara kausalitas dengan variabel endogenous yaitu kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif). SOSIO DEMOGRAFI KESEJAHTERAAN EKONOMI KELUARGA • Pendidikan Suami • Keterampilan Suami • Beban Ketergantungan MODAL SOSIAL MANAJEMEN SUMBERDAYA ASOSIASI LOKAL • Waktu • Anggota Keluarga • Keuangan • Jumlah Asosiasi • Tingkat Partisipasi • Manfaat Asosiasi KESEJAHTERAAN EKONOMI OBJEKTIF (Kebutuhan) • Pangan • Non pangan • Investasi KESEJAHTERAAN EKONOMI SUBJEKTIF (Kepuasan) KARAKTER MASYARAKAT • Pemenuhan Pangan • Pemenuhan Non pangan • Pemenuhan Investasi • Keterpercayaan • Solidaritas • Semangat Kerja Gambar 7 Kerangka Analisis Penelitian Analisis data dimulai dari melakukan sortasi, dan “coding”. Kemudian dilanjutkan analisis data secara deskriptif dengan menggunakan tabel frekuensi tunggal untuk data karakteristik keluarga, sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, modal sosial dan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga. Untuk menjawab masingmasing tujuan penelitian menggunakan analisis sebagai berikut: (a) Utuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif) di analisis dengan uji regresi berganda. Uji Regresi Berganda (multiple regression) dengan fungsi produk si: 64 Fungsi Produksi Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Y i = α + b1 EDU1 +b2 SKILL2 + b3DR3 + b4 MW4 + b5 MAK5+ b6 MK6 + b7 ASLOK 7 + b8 TP8 + b9 MA9 + b10KM10+ b11 TS11+ b12 SK12+ b13 WLYH13 + ei Keterangan: Yi = Tingkat Pengeluaran Keluarga (Rp/keluarga/tahun), EDU1 = Pendidikan suami, SKILL2 = Pendidikan Non Formal Suami, DR 3 = Beban Ketergantungan Keluarga, MW 4 = Manajemen Waktu, MAK5 = Manajemen Anggota Keluarga, MK6 = Manajemen Keuangan, ASLOK7 = Jumlah Asosiasi yang diikuti, TP8 = Tingkat Partisipasi dalam Asosiasi Lokal, MA 9 = Manfaat Asosiasi Lokal bagi Keluarga, KM 10 = Keterpercayaan Masyarakat, TS11 = Tingkat Solidaritas, SK12 = Semangat Kerja Masyarakat, WLYH13 = Dummy Wilayah Penelitian α = intercepts, and eI = error term. Sebelum dilakukan pengujian secara statistik perlu dilihat nilai Koefisien Determinasi Ganda (R2 ), dan uji Korelasi antar variabel bebas (r). Koefisien Determinasi Ganda (R2 ) adalah untuk melihat kontribusi semua variabel bebas terhadap variabel terikat. Dengan arti kata, apakah model yang digunakan dalam penelitian valid atau tidak. Nilai R2 diperoleh dari perbandingan antara nilai Sum Square Regression (SSreg) dengan nilai Sum Square Total (SStot ) dengan rumus sebagai berikut: n R2 = SS reg SS total = ∑ i =1 n ∑ i =1  y   2 −   yi − y  ï£ ï£¸ 2 ∧  y i − ï£ − atau R 2 = 1 − SS reg SStotal Nilai R2 terdapat antara 0 dan 1. Apabila nilai R2 = 0,70, mencerminkan tingkat kontribusi variabes bebas (independen variabel) terhadap variabel terikat cukup kuat. Artinya, model yang digunakan cukup valid, dan sebaliknya apabila nilai R2 = 0,70, maka kontribusi variabel independen terhadap variabel dependen kurang kuat (tidak valid) (Myers, 1990:37). 65 Uji Korelasi antar variabel bebas (r) dilakukan untuk mengetahui besarnya korelasi antar variabel bebas sehingga dapat mendeteksi ada tidaknya kolinearitas berganda (multicollinearity). Uji Korelasi antar variabel bebas (r) diperoleh akar dari R2 . Setelah mendapat nilai R2 dan (r) baru dilakukan uji statistik. Adapun uji yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) Uji F (over all test) Uji F digunakan untuk membuktikan semua variabel independen (variabel bebas) secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen (variabel terikat). Rumus uji F adalah sebagai berikut: SSreg/k F hitung = -----------------SSres/(N-k-1) Keterangan: SSreg SSres k N = Sum Square Regression = Sum Square Error = jumlah peubah bebas = jumlah kasus (responden). Apabila nilai F hitung > F tabel (0,05), berarti H0 ditolak dan diterima H1 . Artinya, seluruh variabel independen (jumlah anggota keluarga, umur suami, umur isteri, pendidikan suami, pendidikan isteri, keterampilan suami, beban ketergantungan, dan penghasilan keluarga) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap tingkat pengeluaran keluarga. Sebaliknya, apabila nilai F hitung < F tabel (0,05), berarti H0 diterima dan tolak H1 . Artinya, seluruh variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pengeluaran keluarga. (2) Uji t (partial test) Uji t digunakan untuk membuktikan semua variabel independen (variabel bebas) secara individual mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen (variabel terikat). Uji t diperoleh dari hasil perbandingan antara Koefisien Regresi (Bi) dengan Standar Error (Se). Apabila nilai t-hitung > t-tabel (0,05), berarti H0 ditolak dan diterima H1 . Artinya, variabel independen (jumlah anggota keluarga, umur suami, 66 umur isteri, pendidikan suami, pendidikan isteri, keterampilan suami, beban ketergantungan, dan penghasilan keluarga ) secara individual berpengaruh nyata terhadap tingkat pengeluaran keluarga. Sebaliknya, apabila nilai t-hitung < t-tabel (0,05), berarti H0 diterima dan ditolak H1 . Artinya, setiap variabel independen secara individual tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pengeluaran keluarga. (b) Untuk mengidentifikasi dan mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di Provinsi Jambi berdasarkan Agroekologi wilayah dianalisis dengan menggunakan Model Kuznets, dan Uji Mann-Whitney (Utest). (1) Model Kuznets melihat pemerataan kesejahteraan keluarga (objektif dan subjektif) berdasarkan perbandingan ekonomi antara kesejahteraan dari 40 persen kelompok penerima kesejahteraan terbawah dengan 10 persen kelompok penerima kesejahteraan teratas. Kesejahteraan masyarakat dikatakan merata atau hampir merata apabila nilai dari kelompok penerima kesejahteraan 40 persen terbawah lebih besar dari 17 persen, kurang merata (ketidakmerataan sedang) yaitu 12-17 persen, dan di bawah 12 persen disebut sebagai tidak merata (ketidakmerataan tinggi). Model Kuznets telah teruji baik di negara maju maupun negara berkembang. Untuk mendapatkan hasil yang lebih komplit maka pengujian pemerataan kesejahteraan ekonomi keluarga dilanjutkan dengan menggunakan uji atau melihat nilai Bobot Kesenjangan (BK) kesejahteraan. Uji ini telah dikembangkan oleh Bank Dunia dan Kuzne ts dengan formula bahwa BK diperoleh dari perbandingan antara persentase kesejahteraan pada kelompok penerima 40 persen terbawah terhadap persentase kesejahteraan ekonomi keluarga pada kelompok penerima kesejahteraan 10 persen teratas. Kesejahteraan dikatakan merata, apabila memiliki nilai BK mendekati 4, sedangkan kesejahteraan dikatakan tidak merata atau terjadi kesenjangan apabila memiliki nilai BK sebesar 0,3 atau lebih kecil dari 0,3. (2) Untuk melihat perbedaan ketidakmerataan kesejahteraan ekonomi keluarga di kedua wilayah dilanjutkan dengan Uji Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney (U Test) menurut Siegel (1985: 154), bahwa : 67 n1n2 U − µu 2 Z − score = = σu (n1 )( n2 )( n1 + n2 + 1) 12 n ( n + 1) n ( n + 1) dimana U = n1n2 + 1 1 − R1 atau U = n1n2 + 2 2 − R2 2 2 n1 Dimana Ri (Ranking) = x N(populasi ) . n - max U− Keterangan: Z-score Ui Ri ni Ni = nilai perbedaan ketidaksamarataan kesejahteraan ekonomi keluarga, = jumlah nilai distribusi kesejahteraan ekonomi keluarga, = Ranking kesejahteraan ekonomi keluarga, = jumlah populasi penelitian masing-masing wilayah, dan = jumlah populasi penelitian (total). (c) Untuk mengetahui pengaruh faktor modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif) di daerah perdesaan Provinsi Jambi di analisis melalui model Structural Equation Model (SEM) dengan program Linear Structural Releationship (LISREL) versi 8.7. Banyak penelitian menggunakan analisis data dengan melihat frekuensi means, persentase dan korelasi. Untuk analisis yang lebih kompleks, misalnya untuk melihat pengaruh sebab akibat (kausal), ada juga yang melakukan penelitian dengan analisis metode Regresi. Analisis regresi memiliki kelemahan-kelemahan karena bersandar pada asumsi-asumsi yang harus dipenuhi. Misalnya asumsi bahwa semua variabel bebas diukur tanpa kesalahan (tidak ada kesalahan pengukuran) dan variabel bebas/variabel penjelas diasumsikan dapat diukur secara langsung. Akan tetapi dalam bidang sosial termasuk kajian bidang ilmu keluarga ada variabel yang tidak bisa diukur secara langsung, misalnya variabel social economic status (SES) yang dapat diukur melalui variabel lain yaitu tingkat pendidikan, penghasilan dan pekerjaan sebagai variabel indikator. Dalam kasus seperti ini untuk memasukkan variabel SES ke dalam model persamaan regresi, dibentuk suatu indeks berdasarkan variabel- variabel indikatornya denga n melakukan penggabungan dari variabel tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Penggabungan ini bisa dilakukan dengan melalui penjumlahan data mentah atau data yang sudah dibagikan dari 68 ketiga variabel tersebut atau menggunakan skor berdasarkan komponen utama maka indikasi ini masih saja tidak berperilaku seperti nilai sebenarnya yang mengukur SES dengan realibel secara sempurna. Indeks tersebut masih mengandung galat (error). Penggunaan asumsi tersebut memberikan keterbatasan pada penggunaan metode regresi. Jika asumsi tersebut tidak dipenuhi maka hasil yang diperoleh tentu tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Melalui perkembangan ilmu bidang statistik, para peneliti telah dimungkinkan untuk menganalisis data sebab akibat dengan menggunakan metode la in yaitu dengan menggunakan permodelan persamaan struktural (Structural Equation Modelling/SEM). SEM merupakan gabungan dari model regresi dan analisis alur (path analysis) (Bollen, 1989). Dengan menggunakan model ini, kelemahan-kelemahan model regresi seperti kasus SES dapat diatasi dengan baik. Misalnya, variabel SES disebut sebagai variabel tak teramati (latent) dan tiga variabel lainnya disebut disebut variabel indikator bagi SES. Dalam model ini semua variabel laten dimasukkan ke dalam model. Dengan demikian tidak perlu ada asumsi bahwa setiap variabel dapat diukur secara langsung, karena secara langsungpun variabel dapat dimasukkan ke dalam model. Model persamaan struktural telah diterapkan dalam berbagai bidang seperti ekonometrika, biometrika, psikologi dan sosiologi. Tujuan Model Hubungan Struktural a. Membentuk model struktural yang menghubungkan variabel pengamatan atau variabel yang terukur (variabel bebas dan variabel tak bebas) dengan variabel- variabel laten atau variabel yang tidak terukur (endogenus dan eksogenus). b. Menerapkan LISREL untuk mendapatkan struktur hubungan yang optimum, dan c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi variabel laten endogenus. 69 Bolen (1989) menyatakan bahwa model persamaan struktural dapat dipandang dalam beberapa aspek, yaitu : a. Sebagai persamaan regresi dengan perbedaan asumsi dimana dalam persamaan struktur kesalahan pengukuran dalam variabel penjelas diperbolehkan sebagaimana pada variabel tak bebasnya. b. Sebagai persamaan yang terdiri dari analisis faktor yang memperbolehkan pengaruh langsung dan tidak langsung antar faktor. c. Sebagai persamaan yang memasukkan indikator dan variabel tak terstruktur (variabel laten). Terdapat vektor variabel tak bebas η’ = (η1 , η2 , ..., ηm) dan vektor variabel bebas ξ’ = (ξ1 , ξ2 , ..., ξn ). Dalam bentuk yang paling umum, model persamaan struktural menurut Joreskog dan Sorbom dalam Bollen KA (1989:11) terdiri dari dua bagian yaitu: Model Laten Variabel Menggambarkan hubungan sebab akibat diantara variabel- variabel laten, pengaruh-pengaruh sebab akibat baik langsung, tak langsung maupun total efek dan menggambarkan variabel- variabel yang dapat diterangkan atau tidak dapat diterangkan, yaitu : η = Βη + Γξ + ξ Keterangan: § B adalah matriks m x m yang merupakan koefisien regresi dari variabel endogenus terhadap variabel endogenus lainnya yang merupakan pengaruh langsung antar variabel endogenus. § Γ adalah matriks m x n dari koefisien regresi dari variabel eksogenus terhadap variabel endogenus yang merupakan pengaruh variabel eksogenus ξ pada variabel endogenus. § ξ adalah vektor galat berukuran m x 1. 70 Pengaruh tidak langsung antar variabel endogenus = Bk sedangkan pengaruh tidak langsung variabel eksogenus pada varibel endogenus akhir = (1 + B + B + B2 + ... + Bk+1 ) x Γ, sedangkan total efek merupakan penjumlahan dari pengaruh langsung dengan pengaruh tidak langsung. Weeks (Bollen, 1989) mengembangkan model matriks partisi kompleks yang dapat menerima beragam tingkat konstruksi laten. Dalam model Weeks, vektor variabel pengamatan x direalisasikan ke variabel laten dengan struktur :    j =1 ï£ q x =µ+   ?j  j ∑ ∏? i =1 i dimana µ adalah vektor rataan dan bentuk dalam tanda kurung menggantikan matriks perkalian Λ1 , Λ2 , ..., Λj. Vektor y juga memiliki struktur yang serupa dalam bentuk variabel laten η.    j=1 ï£ q y =µ + j ∑ ∏? i =1 i  ?j   Variabel laten yang hanya mempengaruhi satu variabel disebut faktor laten unik, sedangkan variabel laten yang mempengaruhi lebih dari satu variabel pengukuran disebut faktor laten umum. Tabel 6 Matriks- matriks Model Laten Variabel Nama Deskripsi Simbol Unsur Notasi LISREL Variabel laten endogenus η mx1 η Xi Variabel laten exogenus ξ nx1 ξ Zeta Error ζ mx1 ζ Hubungan antara konstruk endogen Hubungan antara konstruk eksogen dan endogen B ßnn BE Γ Ynm GA Variabel Eta Model Laten Variabel: Beta Gamma Phi Korelasi antara konstruk eksogen F F mm PH Psi Korelasi persamaan struktural atau konstruk endogen ? ?n PS 71 Model persamaan struktural melibatkan dua tipe konstrak laten yaitu: (a) Variabel laten eksogenus adalah variabel tak terukur yang tidak dipengaruhi oleh variabel lain di dalam sistem. (b) Variabel laten endogenus adalah variabel tak terukur yang diakibatkan oleh variabel lain di dalam sistem. Bentuk endogenus dan eksogenus adalah model khusus, sehingga dimungkinkan suatu variabel merupakan variabel eksogenus di satu model namun endogenus di model lain. Dimungkinkan pula, suatu variabel menunjukkan eksogenus namun dapat dipengaruhi oleh variabelvariabel eksogenus lainnya. Model Pengukuran Menggambarkan hubungan antara variabel- variabel indikator (variabel pengamatan) dengan variabel-variabel tak terukur (variabel laten) yang dibangunnya. Adapun model pengukuran ini ada dua yaitu : x = Λx ξ + δ dan y = Λy η + ε Keterangan: § η adalah vektor m x 1 dari variabel endogenus (variabel terikat yang terukur), § ξ adalah vektor n x 1 dari variabel eksogenus (variabel bebas yang tak terukur), § y adalah vektor p x 1 dari variabel terukur atau variabel indikator bagi variabel endogenus (variabel terikat yang terukur), § Λy adalah matriks p x m koefisien loading dari y terhadap variabel endogenus (η), § ε adalah galat pengukuran y berukuran p x 1, § x adalah vektor q x 1 dari variabel terukur atau variabel indikator bagi variabel eksogenus (variabel bebas yang tak terukur), § Λx adalah matriks q x n koefisien loading dari x terhadap variabel eksogenus (ξ), dan § δ adalah vektor galat pengukuranx berukuran q x 1. 72 Menurut Bollen (1989), sistem persamaan struktural terdiri atas: a. Variabel acak, yaitu variabel laten (laten variabel), variabel pengamatan (observed variabel) dan variabel simpangan (disturbance/error variabel), b. Paramaeter struktural, dan c. Variabel tak acak, yaitu variabel penjelas nilai-nilai sama pada contoh acak berulang (fixed or nonstochatic variabel). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7 Matriks- matriks Model Pengukuran Nama Deskripsi Simbol Unsur Notasi LISREL Indikator observasi dari η Y px1 y - Indikator observasi dari ε X qx1 x Epsilon Error dari y E px1 e Delta Error dari x δ qx1 δ Variabel - Model Pengukuran: Lamda-X Lamda-Y Theta-delta Thetaepsilon Koefisien jalur indikator eksogen Koefisien jalur indikator endogen Matriks error indikator konstruk eksogen Matriks error indikator konstruk endogen ? x λxpn LX ? y λy qn LY Td dpp TD Tε ε qq TE Evaluasi Kriteria Goodness-of-fit Pada langkah ini kesesuaian model dievaluasi melalui telaah terhadap berbagai kriteria goodness-of-fit. Untuk itu tindakan pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi apakah data yang digunakan dapat memenuhi asumsiasumsi SEM. a. Uji Kesesuaian & Uji Statistik Dalam analisis SEM tidak ada alat uji statistik tunggal untuk mengukur atau menguji hipotesis mengenai model (Hair et al., 1995; Joreskog & 73 Sorbom, 1989; Long, 1983; Tabachnick & Fidel, 1996). Umumnya terhadap berbagai jenis fit index yang digunakan untuk mengukur derajad keseuaian antara model yang dihipotesakan dengan data yang disajikan. Peneliti diharapkan untuk melakukan pengujian dengan menggunakan beberapa fit indeks untuk mengukur kebenaran model yang diajukannya. Berikut ini disajikan beberapa indeks kesesuaian dan nilai cut off untuk digunakan dalam menguji apakah sebuah model dapat diterima atau ditolak. (1) ?2-Chi-Square Statistic Alat uji fundamental untuk mengukur kehandalan model secara menyeluruh adalah analisis Khi-Kuadrat.. Khi-Kuadrat ini bersifat sangat sensitif terhadap besarnya sampel yang digunakan. Karena itu, bila jumlah sampel adalah cukup besar yaitu lebih dari 200 sampel, maka statistik chisquare ini harus didampingi dengan alat uji lainnya (Hair et al., 1995; Tabachnick & Fidel, 1996). Model yang diuji akan dipandang baik atau memuaskan bila nilai chi-squarenya rendah. Semakin kecil nilai ?2 semakin baik model itu (karena dalam uji beda chi-square, ?2=0, berarti benar-benar tidak ada perbedaan, Ho diterima) dan diterima berdasarkan probabilitas dengan nilai cut off sebesar p>0.05 atau p>0.10 (Hulland et al., 1996). Karena tujuan analisis adalah mengembangkan dan menguji sebuah model yang sesuai dengan data atau yang fit terhadap data, maka yang dibutuhkan justeru sebuah nilai ?2 yang tidak signifikan, yang menguji hipotesa nol bahwa estimasi populasi kovarians tidak sama dengan sampel kovarians. Nilai ?2 ini dapat juga dibandingkan dengan derajat bebas (degrees of freedom) untuk mendapatkan nilai ?2-relatif dan digunakan untuk membuat kesimpulan bahwa nilai ?2-relatif yang tinggi menandakan adanya perbedaan yang signifikan antara matriks kovarians yang diobservasi dan yang diestimasi. Dalam pengujian ini nilai ?2 yang rendah menghasilkan sebuah tingkat signifikansi yang lebih besar dari 0.05 akan 74 mengindikasikan tak adanya perbedaan yang signifikan antara matriks kovarians data dan matriks kovarians yang diestimasi (Hair et al., 1995) Seperti dikemukakan diatas, Khi-Kuadrat bersifat sangat sensitif terhadap besarnya sampel yaitu terhadap sampel yang terlalu kecil (<50) maupun terhadap sampel yang terlalu besar (>500). Oleh karena itu penggunaa KhiKuadrat hanya sesuai bila ukuran sampel adalah antara 100 dan 200 sampel. Bila ukuran sampel ada di luar rentang itu, uji signifikansi akan menjadi kurang reliabel. Oleh karena itu pengujian ini perlu dilengkapi dengan alat uji yang lainnya. Menurut Baker et al. (2005:9), uji yang tepat dalam menghandel jumlah sampel yang besar diantaranya yaitu menggunakan uji Comparative Fit Index (CFI) dan uji Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) dengan masing- masing cut-off: CFI > 0,94 (fit) dan RMSEA < 0,08 (fit). (2) RMSEA – Thew Root Mean Square Error of Approximation RMSEA adalah mengkompensasi sebuah nilai indeks Khi-Kuadrat yang dapat dalam digunakan sampel yang untuk besar (Baumgartner & Homburg, 1996). Nilai RMSEA menunjukkan kehandalan model (goodness of fit) yang dapat diharapkan bila model diestimasi dalam populasi (Hair et al., 1995). Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0.08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model dan nilai ini diambil dari nilai derajat bebas (degrees of freedom) (Browne & Cudeck, 1993). Lebih lanjut Browne & Cudeck menegaskan bahwa nilai RMSEA sekitar 0.08 atau kurang, mengindikasikan model yang digunakan lebih fit bila dibandingkan dengan nilai RMSEA lebih besar dari 0.08. (3) GFI – Goodness of Fit Index Indeks kesesuaian (fit indeks) ini akan menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi yang terestimasikan (Bentler, 1983; Tanaka & Huba, 1989). Indeks ini dihasilkan melalui rumus sebagai berikut: 75 GFI = tr (σ'Wσ) tr (s' W' s) dimana penyebut (numerator) adalah jumlah varians tertimbang kuadrad dari matriks kovarians model yang diestimasi, sementara pembilang (denumerator) adalah jumlah tertimbang kuadrad dari matriks kovarians sampel. W adalah matriks bobot yang dipilih sesuai dengan metode estimasi yang dipilih. GFI adalah sebuah ukuran non-statistikal yang mempunyai rentang nilai antara 0 (poor fit) sampai dengan 1.0 (Perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks ini menunjukkan sebuah better fit. (4) AGFI – Adjusted Goodness-of-fit Index Tanaka dan Huba (1989) menyatakan bahwa GFI adalah anolog dari R2 dalam regresi berganda. Fit indeks ini dapat diadjust terhadap degress of freedom yang tersedia untuk menguji diterima tidaknya model (Arbuckle, 1999). Indeks ini diperoleh dengan rumus sebagai berikut : AGFI = 1 - (1 - GFI) db d Keterangan: G db = ∑ p ( g ) = jumlah - sampel - moments k =1 d = derajat bebas (degress of freedom) tingkat penerimaan yang direkomendasikan adalah bila GFI mempunyai nilai sama dengan atau lebih besar dari 0.9 (Hair et al.: Hulland et al., 1996). Perlu diketahui bahwa baik GFI maupun AGFI adalah kriteria yang memperhitungkan proporsi tertimbang dari varians dalam sebuah matriks kovarians sampel. Nilai sebesar 0.95 dapat diinterpretasikan sebagai tingkatan yang baik-good overall model fit (baik) sedangkan besaran nilai antara 0.90-0.95 menunjukkan tingkatan cukup-adequate fit (Hulland et al., 1996). (5) CMIN/DF The minimum sample discrepancy function (CMIN) dibagi dengan degree of freedomnya akan menghasilkan indeks CMIN/DF, yang umumnya dilaporkan oleh para peneliti sebagai salah satu 76 indikator untuk mengukur tingkat fitnya sebuah model. Dalam hal ini CMIN/DF tidak lain adalah statistik chi-square, ?2 dibagi Dfnya sehingga disebut ?2 relatif. Nilai ?2 relatif kurang dari 2.0 atau bahkan kadang kurang dari 3.0 adalah indikasi dari acceptable fit antara model dan data (Arbuckle,1997). Dengan demikian indeks- indeks yang dapat digunakan untuk menguji kelayakan sebuah model adalah seperti yang diringkas padaTabel 8. Tabel 8 Goodness of Fit Indices No Goodness of fit index Cut-off value 01 X2 (Chi – Square) no sign. 02 03 Significaned Propability RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) = 0.05 = 0.08 04 05 RMR (Root Mean Square Residual) SRMR (Standardized Root Mean Square Residual) = 0.05 = 0.05 06 GFI (Goodness of Fit Index) = 0.90 07 08 AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index) PGFI (Parsimony Goodness of Fit Index) = 0.90 = 0.50 09 10 NNFI or TLI or RNI (Non- normed Fit Index) CFI (Comparative Fit Index) = 0.95 = 0.94 11 RFI (Relative Fit Index) = 0.95 12 CMIN/DF = 2.00 Keunggulan, dan Kelemahan SEM SEM dengan A Latent Variable memiliki tiga keunggulan dalam persamaan simultan dengan tingkat estimasi yang lebih tepat dan akurat: (1) Pengukuran model (atau submodel) pada variabel dependent endogenous, (2) Pengukuran (sub) model pada variabel independent exogenous, dan (3) Persamaan (sub) model, semua estimasi secara simultan. SEM adalah model struktural yang digunakan untuk menguji pengaruh (efek regresi) dari variabel exogenous terhadap variabel endogenous dan 77 sebaliknya. SEM suatu pengukuran model bagi variabel endogenous terutama yang melibatkan variabel endogenous dan exogenous tersembunyi. Model SEM adalah pengukuran digunakan untuk menguji variabel yang lebih spesifik/ a latent variable (tidak diamati). Model SEM hampir sama dengan Analysis Factor tetapi memiliki perbedaan yang mendasar. Model SEM, semua unsur-unsur matriks melukiskan variabel tersembunyi (faktor) dalam kaitannya dengan kombinasi linear-variabel yang diamati dan menerima nilai nol. NilaiNilai ini (faktor yang memuat) biasanya mengukur korelasi antar faktor dan variabel yang diamati, dan perputaran secara rutin dilakukan untuk membantu menginterpretasikan faktor dengan memaksimalkan banyaknya pemuatan dengan nilai mutlak tinggi dan rendah. Namun nilai covarian yang ditentukan dalam menguji model harus tidak bernilai nol. Kemudian, model SEM melihat hubungan efek baik efek langsung maupun total efek. Arah efek adalah mata rantai antar suatu variabel produktif dan variabel target. Oleh karena itu hampir semua variabel mengarahkan efek sesuai dengan arah panah di dalam suatu model. Model SEM melalui program LISREL didesain dalam bentuk model struktural yang mempunyai keistimewaan dan keunggulan dalam menganalisis data yang bersifat laten dan memiliki hubungan kausalitas. Dengan demikian, Model ini tidak begitu valid dan pemborosan apabila menganalisis data yang bersifat fungsional dengan jumlah sampel kecil dan jenis data nominal serta data observasi bukan dalam bentuk data laten. Konstruksi Peubah Laten Eksogenus Penelitian: Xij = Λxξ + δ .................................................................................... Keterangan: ξ1 ξ11 ξ12 ξ13 ξ2 ξ21 ξ22 untuk ξ = 1; j = 1, 2, 3 untuk ξ = 2; j = 1, 2, 3 untuk ξ = 3; j = 1, 2, 3 untuk ξ = 4; j = 1, 2, 3 = peubah laten eksogenus sosio-demografi = peubah pengamatan “pendidikan kepala keluarga” = peubah pengamatan “pendidikan non formal kepala keluarga” = peubah pengamatan “beban ketergantungan keluarga” = peubah laten eksogenus manajemen sumberdaya keluarga = peubah pengamatan “manajemen sumberdaya waktu” = peubah pengamatan “manajemen sumberdaya anggota keluarga” 78 (1) ξ23 = peubah pengamatan “manajemen keuangan keluarga” ξ3 = peubah laten eksogenus asosiasi lokal ξ31 = peubah pengamatan “jumlah asosiasi yang diikuti” ξ32 = peubah pengamatan “tingkat partisipasi” ξ33 = peubah pengamatan “manfaat asosiaisi” ξ4 = peubah laten eksogenus karakter masyarakat ξ41 = peubah pengamatan “keterpercayaan” ξ42 = peubah pengamatan “solidaritas” ξ43 = peubah pengamatan “semangat kerja” ξ = vektor n x 1 dari variabel eksogenus, x = vektor q x 1 dari variabel terukur, Λx = matriks q x n koefisien loading, dan δ = vektor galat. Konstruksi Peubah Laten Endogenus Penelitian: Yij = Λy η + ε ....................................................................................... (2) Keterangan: untuk η = 1, j = 1, 2, 3 untuk η = 2, j = 1, 2, 3 η1 = peubah laten endogenus kesejahteraan ekonomi objektif η11 = peubah pengamatan “kebutuhan pangan keluarga” η12 = peubah pengamatan “kebutuhan non pangan keluarga” η13 = peubah pengamatan “kebutuhan investasi sumberdaya manusia” η2 = peubah laten endogenus kesejahteraan ekonomi subjektif η21 = peubah pengamatan “pemenuhan kebutuhan pangan keluarga” η22 = peubah pengamatan “pemenuhan kebutuhan non pangan keluarga” η23 = peubah pengamatan “pemenuhan kebutuhan investasi sumberdaya manusia” η = vektor m x 1 dari variabel endogenus, y = vektor p x 1 dari variabel terukur, Λy = matriks p x m koefisien loading, dan ε = vektor galat. Uji Reliabilitas Tingkat validitas penelitian salah satunya ditentukan oleh reliabilitas instrumen atau tingkat konsistensi antar konstrak variabel penelitian. Reliabilitas adalah ukuran mengenai konsistensi internal dari indikator- indikator sebuah konstrak yang menunjukkan derajad sampai dimana masing- masing indikator itu mengindikasikan sebuah konstrak/faktor laten yang umum. Dengan kata lain, bagaimana hal-hal yang spesifik saling membantu dalam menjelaskan sebuah fenomena yang umum. Reliabilitas salah satunya dapat diuji dengan menggunakan nilai Cronbach’s Alpha (Cr) melalui program SPSS. Pengujian ini dilakukan dengan tujuan agar setiap indikator masing- masing peubah yang digunakan dalam model dapat diketahui kehandalannya. Cr Dapat dirumuskan sebagai berikut: 79 k   k  σ t2 − ∑ σ t2  i =1  Cr = ï£ 2 (k − 1)σ t Keterangan: K σ t2 σ i2 = Jumlah item pertanyaan = Keragaman total = Keragaman masing- masing item pertanyaan. Instrumen telah handal/reliabel digunakan, apabila nilai Cr > 0,6. Hasil pengujian dilapangan menunjukkan bahwa reliabilitas instrumen yang digunakan dalam penelitian tentang “Modal Sosial dan Kesejahteraan ekonomi keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi” cukup handal dan signifikan dengan nilai a-cronbach antara 0,672-0,920. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan nilai a-cronbach setelah distansdarisasi pada setiap item pertanyaan ternyata masih terdapat beberapa item pertanyaan yang memiliki nilai yang lebih besar. Artinya, instrumen penelitian ini lebih handal/reliabel lagi apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut dikeluarkan kalau memang tidak memberi kontribusi penting terhadap penjaringan informasi dalam penelitian. Namun data menunjukkan bahwa rentang perbedaan nilai tersebut tidak terlalu mencolok terhadap standar nilai yang diperoleh yaitu berkisar antara 0,01 – 0,029. Maka oleh sebab itu, item- item pertanyaan tersebut masih dapat dipertahankan. Adapun, peubah-peubah penelitian yang memperoleh kesenjangan nilai a-cronbach dalam penelitian ini seperti pada peubah penelitian Modal Sosial terdapat perbedaan nilai sebesar 0,029 atau antara 0,887 - 0,916 (pertanyaan tentang manfaat dari asosiasi yang diikuti masyarakat). Oleh karena item pertanyaan ini penting untuk melihat kontribusi kelompok/organisasi (modal sosial) terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga maka secara content validitas cukup besar sehingga pertanyaan ini tetap dipertahankan. Untuk lebih jelasnya nilai reliabilitas instrumen penelitian dapat dilihat pada Tabel 9. 80 Tabel 9 Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Petanyaan, Nilai a cronbach dan Nilai a-cronbach Standarisasi, 2006 No 01 02 03 04 Peubah Penelitian Jumlah item Sosio-Demografi Keluarga 3 Manajemen Sumberdaya Keluarga (Total) 12 a. Manajemen Waktu 4 b. Manajemen Anggota Keluarga 4 c. Manajemen Keuangan 4 Modal Sosial (MS) (Total) 12 a. Asosiasi Lokal (Aslok) 4 b. Karakter Masyarakat (Kmas) 8 Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) 3 a-cronbach 0,720 0,885 0,867 0,879 0,880 0,920 0,887 0,890 0,893 a-cronbach standarisasi 0,916 - Definisi Operasional Modal sosial merupakan bentuk jaringan kerja sosial dan ekonomi di masyarakat yang terjadi antar individu dan kelompok baik formal maupun informal yang bermanfaat dan menguntungkan. Besarnya modal sosial diukur melalui dua dimensi, yakni: asosiasi lokal, dan dimensi karakter masyarakat. Asosiasi lokal diukur dalam bentuk Kelompok dan organisasi. Kelompok: atau kelompok informal merupakan hubungan dua individu atau lebih (face to face interaction), masing- masing individu menyadari tugas/wewenangnya dan saling ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama (Johnson: Sarwono, 2005:5). Organisasi: suatu unit sosial yang berupa ”wadah” sekelompok atau beberapa kelompok orang guna melakukan proses kegiatan yang terkoordinasikan dengan menetapkan pembagian tugas, wewenang, tanggung jawab dan peranan setiap anggota untuk mencapai tujuan. (Chester Barnard (Ruwiyanto, Wahyudi, 1988:24). Tinggi rendah kontribusi asosiasi lokal terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga diukur secara komposit dari dimensi asosiasi lokal dengan nilai sebagai berikut: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi. Karakter masyarakat yaitu pola hidup masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Karakter masyarakat dapat dilihat dari dua pola yakni pola represif dan pola ekspresif. Pola hidup masyarakat dapat diukur dengan tiga dimensi, yakni: keterpercayaan, solidaritas, dan dimensi semangat kerja. Keterpercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang terhadap perkataan, perjanjian, dan tindakatan secara konsisten pada saat terjalinnya hubungan antar individu atau kelompok/organisasi. Tingkat 81 keterpercayaan seseorang dapat dilihat dari dimensi: tingkat komitmen, kejujuran dan tanggung jawab. Solidaritas yaitu saling mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai. Solidaritas masyarakat dilihat dari tiga aspek: tingkat ketergantungan antar anggota masyarakat, saling bantu membantu, dan aspek kepekaan terhadap kemajuan desa. Semangat Kerja yaitu seorang individu mampu mencurahkan waktu secara optimal dalam setiap aktivitas sehari- hari. Semangat kerja masyarakat diukur dari disiplin dan keule tan kerja masyarakat. Tinggi rendah kontribusi karakter masyarakat terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga diukur secara komposit dari dimensi sebagai berikut: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi. Kesejahteraan yaitu kondisi relatif yang didefinisikan dan dibentuk masyarakat melalui proses interaksi sosial. Pendefinisian kesejahteraan tersebut didasarkan pada stratifikasi sosial dalam masyarakat. Kesejahteraan diukur dengan dua pendekatan yakni: Kesejahteraan Ekonomi Objektif dan Kesejahteraan Ekonomi Subjektif. Tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi objektif diukur dari nilai komposit kesejahteraan ekonomi objektif keluarga (rasio) dari tiga variabel, yakni: (1) Kebutuhan pangan, (2) Kebutuhan non pangan, dan (3) Kebutuhan investasi sumberdaya manusia dengan nilai sebagai berikut: (1) tidak sejahtera, (2) kurang sejahtera, (3) sejahtera, dan (4) sangat sejahtera. Kesejahteraan ekonomi subjektif (subjective economic well-being) yang diukur dengan tingkat kepuasan keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga. Kepuasan (satisfaction) sesuatu yang dirasakan oleh keluarga dengan perasaan senang atau puas dengan tingkat kesejahteraan yang dimiliki. Tinggi rendahnya tingkat kepuasan keluarga diukur dari nilai komposit kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga dari tiga variabel, yakni: (1) Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, (2) Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan non pangan, dan (3) Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan investasi dengan nilai sebagai berikut: (1) tidak puas, (2) kurang puas, (3) merasa puas, dan (4) sangat puas. Peubah yang digunakan dalam analisis disparitas adalah peubah kesejahteraan ekonomi objektif froxy pengeluaran dan peubah kesejahteraan ekonomi subjektif secara total, sedangkan dalam analisis struktural adalah menggunakan peubah kesejahteraan dalam konteks distribusi, yaitu: alokasi pengeluaran dan kepuasan terhadap kebutuhan pangan, non pangan dan alokasi pengeluaran dan kepuasan terhadap kebutuhan investasi sumberdaya manusia. 82 Sosio Demografi Keluarga. Tinggi rendahnya tingkat status sosio demografi yang dimiliki keluarga dan diukur dari nilai komposit dari tiga variabel, yakni: (1) Tingkat Pendidikan (SD, SLTP, SLTA dan PT); (2) Tingkat Keterampilan (tidak terampil, kurang terampil, terampil, dan sangat terampil); dan variabel (3) Beban tanggungan (sangat tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah) dengan nilai sebagai berikut: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) baik, dan (4) sangat baik. MSDK (Manajemen Sumberdaya Keluarga). Tinggi rendahnya tingkat MSDK keluarga diukur dari nilai komposit dari tiga variabel, yakni: (1) Manajemen waktu; (2) Manajemen Anggota Keluarga (AK); dan variabel (3) Manajemen keuangan dengan nilai sebagai berikut: (1) Sangat kurang, (2) kurang, (3) baik, dan (4) Sangat baik. Tabel 10 Konstruk/Variabel Penelitian, Indikator, Nilai dan Skala Pengukuran Penelitian, Tahun 2006 No 01 02 Konstruk/Variabel Sosio-Demografi Indikator (1) Tingkat Pendidikan (2) Tingkat Keterampilan (3) Beban tanggungan Manajemen Sumberdaya Keluarga (1) Manajemen waktu (2) Manajemen AK (3) Manajemen uang Modal sosial: - Asosiasi lokal (1) jumlah asosiasi yang diikuti, (2) tingkat partisipasi , (3) Manfaat asosiasi Jumlah asosiasi yang diikuti Tingkat partisipasi 03 Manfaat asosiasi - Karakter Masyarakat (1) Keterpercayaan (2) Solidaritas (3) Kerja Keras 04 Kesejahteraan Ekonomi Objektif (1) Kebutuhan pangan (2) Kebutuhan non pangan (3) Kebutuhan investasi 05 Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (kepuasan) (1) Kepuasan Pemenuhan pangan (2) Kepuasan Pemenuhan non pgn. (3) Kepuasan Pemenuhan investasi 83 Nilai 1. sangat rendah 2. rendah 3. tinggi 4. sangat tinggi 1. sangat kurang 2. kurang 3. baik 4. sangat baik 1. sangat rendah 2. rendah 3. tinggi 4. sangat tinggi Skala Ordinal Ordinal ordinal 1. sangat kecil 2. sedikit 3. banyak 4. sangat banyak ordinal 1. tidak aktif 2. kurang aktif 3. aktif 4. sangat aktif ordinal 1. tidak bermanfaat 2. kurang bermanfaat 3. bermanfaat 4. sangat bermanfaat 1. sangat rendah 2. rendah 3. tinggi 4. sangat tinggi ordinal Ordinal 1. tidak sejahtera 2. kurang sejahtera 3. sejahtera 4. sangat sejahtera Ordinal 1. sangat tidak puas 2. kurang puas 3. puas, dan 4. sangat puas ordinal HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan penelitian tentang “Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi” memuat tentang: (1) Gambaran Umum Daerah Penelitian, (2) Karakteristik Keluarga Contoh. (3) Artikel I: Pengaruh Faktor Sosio-demografi, Manajemen Sumberdaya Keluarga, dan Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Objektif Keluarga Berdasarkan Wilayah Agroekologi yang terdiri dari: (a) Abstrak, (b) Abstract, (c) Pendahuluan, (d) Metode Penelitian, (e) Hasil dan Pembahasan: Sosio-demografi Keluarga (tingkat ketergantungan); pendidikan suami, keterampilan suami, dan beban Manajemen Sumberdaya Keluarga (Manajemen Waktu, Manajemen Anggota Keluarga, dan Manajemen Keuangan); Modal Sosial (Asosiasi Lokal dan Karakter Masyarakat); dan Kesejahteraan Ekonomi Objektif Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengeluaran Keluarga, dan Disparitas Kesejahteraan ekonomi keluarga, (f) Kesimpulan dan Saran. (4) Artikel II: Pengaruh Faktor Sosio-demografi, Manajemen Sumberdaya Keluarga, dan Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi yang terdiri dari: (a) Abstrak, (b) Abstract, (c) Pendahuluan, (d) Metode Penelitian, (e) Hasil dan Pembahasan: Sosiodemografi Keluarga (tingkat pendidikan suami, keterampilan suami, dan beban ketergantungan); Manajemen Sumberdaya Keluarga (Manajemen Waktu, Manajemen Anggota Keluarga, dan Manajemen Keuangan); Modal Sosial (Asosiasi Lokal dan Karakter Masyarakat); dan Kesejahteraan Ekonomi Objektif Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengeluaran Keluarga, dan Disparitas Kesejahteraan ekonomi keluarga, (f) Kesimpulan dan Saran. (5) Artikel III: Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan ekonomi keluarga di Wilayah Perdesaan Provinsi Jambi yang terdiri dari: (a) Abstrak, (b) Abstract, (c) Pendahuluan, (d) Metode Penelitian, (e) Hasil dan Pembahasan: Modal Sosial (Asosiasi Lokal dan Karakter Masyarakat), Kesejahteraan ekonomi keluarga (Kesejahteraan Ekonomi Objektif, dan Kesejahteraan Ekonomi Subjektif), dan Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan ekonomi keluarga, dan (f) Kesimpulan dan Saran. 84 Gambaran Umum Daerah Penelitian Kondis i Geografis Daerah Provinsi Jambi mempunyai luas wilayah sekitar 53.435,38 Km2 dan terletak antara 00 45’ – 20 45’ Lintang Selatan serta 1010 0’ – 1040 55’ Bujur Timur, membujur di pantai timur pulau Sumatera, berbatasan: sebelah utara dengan Provinsi Riau, sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah timur dengan Selat Berhala, dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat. Provinsi Jambi seperti halnya dengan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia beriklim tropis yang dipengaruhi oleh sistem angin Muson. Curah hujan cukup tinggi, selama periode 2000-2004 hujan mencapai sekitar 107 - 312 mm dengan suhu udara minimum dan maksimum rata-rata 22,20 C dan 32,80 C serta kelembaban udara rata-rata 84 persen. Dengan iklim seperti di atas, Provinsi Jambi memiliki hutan tropis yang cukup luas yang terdiri Hutan Suaka Alam (602.900 Ha), Hutan Lindung (181.200 Ha), Hutan Produksi (1.436.200 Ha), dan Hutan Konversi seluas 726.900 Ha. Sebagian kawasan Hutan Lindung dan Hutan Suaka Alam seluas 588.462 Ha telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Nasional Kerinci Seblat. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi (2005), Provinsi Jambi memiliki daerah dataran rendah dengan ketinggiaan 0-100 m dpl (di atas permukaan laut) mencakup areal seluas 31800 km2 atau kira-kira 60 persen dari seluruh luas wilayah yang ada dan luas wilayah ini termasuk daerah pesisir pantai atau daerah pasang surut. Dari jumlah tersebut hampir separo (± 11.400 km2 ) berupa daerah rawa-rawa terutama di sepanjang pantai dan tepi sungai Batang Hari sampai pada muara sungai Batang Hari (Tanjung Jabung Timur). Wilayah lainnya adalah dataran tinggi dan pegunungan. Daerah dataran tinggi dicirikan dengan daerah yang berbukit-bukit dengan ketinggian antara 100-500 m dpl terdapat di sebagian wilayah Tebo, Bungo, Merangin, dan sebagian termasuk di Kabupaten Sarolangun dengan luas wilayah diperkirakan 12.470 km2 atau sekitar 23 persen dari seluruh luas wilayah. Terakhir yaitu daerah pegunungan dengan 85 ketinggian antara 500 – 3800 m dpl terdapat di kabupaten Kerinci, sebagian Merangin dengan luas wilayah 9.165 km2 atau sekitar 17 persen. Penduduk Provinsi Jambi dihuni oleh 2.657.536 jiwa, atau sekitar 1,19 persen dari seluruh penduduk Indonesia (BPS Provinsi Jambi, 2006). Apabila dibandingkan dengan luas wilayah, Provinsi Jambi memiliki kepadatan penduduk sebesar 50 orang/km2 . Berdasarkan jenis kelamin, penduduk laki- laki sebanyak 1.336.924 jiwa, dan penduduk perempuan sebanyak 1.320.612 jiwa dengan rasio jenis kelamin (sex ratio) sebesar 101. Artinya terdapat sebanyak 101 orang penduduk laki- laki dalam 100 penduduk perempuan. Hal ini me ngindikasikan bahwa rasio jenis kelamin penduduk Provinsi Jambi hampir berimbang antara penduduk lakilaki dan penduduk perempuan. Apabila dikelompokkan, distribusi penduduk berumur (0-14) tahun sebesar 30,90 persen, penduduk berumur (15-64) tahun sebesar 65,97 persen, sedangkan penduduk berumur (65 keatas) tahun hanya sebesar 3,13 persen dengan beban ketergantungan (dependency ratio) sebesar 52. Artinya, dalam 100 orang penduduk produktif menanggung beban bagi penduduk belum dan tidak produktif untuk kebutuhan konsumtif sebanyak 52 orang. Selama dua dasa warsa terakhir, pola persebaran penduduk di Provinsi Jambi di masing- masing kabupaten/kota tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Kota Jambi merupakan daerah terpadat yaitu mencapai 2.246 orang per km2 , dan daerah terpadat kedua terdapat di Kabupaten Kerinci dengan kepadatan 73 orang per km2 , sedangkan daerah paling jarang penduduk yaitu terdapat di Kabupaten Sarolangun dengan kepadatan 31 orang/km2 . Terkonsentrasinya penduduk di Kota Jambi karena daerah ini merupakan ibukota Provinsi dengan berbagai fasilitas yang dimiliki sehingga mempunyai daya tarik tersendiri bagi penduduk di daerah sekitarnya untuk bermigrasi. Apabila dibandingkan dengan Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung yang kepadatan penduduknya di atas 100 orang per km2 serta Provinsi di Pulau Jawa yang mempunyai kepadatan lebih dari 700 orang per km2 , maka kepadatan penduduk Provinsi Jambi masih tergolong jarang. Melihat kondisi seperti ini, penduduk Provinsi Jambi masih bisa ditambah dengan cara mengatur arus migrasi, tingkat 86 kelahiran dan kematian. Hal terpenting pertambahan penduduk bisa menyebar ke seluruh kabupaten yang ada dan dikelola dengan baik. Selama dua dasawarsa ini penduduk Provinsi Jambi telah bertambah 962.690 orang. Pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun selama periode 19801990 sebesar 3,40 persen, sedangkan pertumbuhan untuk periode 1990-2005 hanya 1,98 persen per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan tersebut, penduduk Provinsi Jambi diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2038. Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Sumatera dan Indonesia, laju pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi tergolong tinggi karena dipengaruhi oleh arus transmigrasi baik reguler yang diatur oleh pemerintah maupun migrasi spontan. Kemudian, berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Jambi selama dua dekade terakhir pertumbuhan penduduknya cukup tinggi. Selama periode 1990-2005 hanya Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kerinci yang mempunyai laju pertumbuha n penduduk relatif rendah, yaitu masing- masing 1,22 persen dan 1,52 persen, sedangkan laju pertumbuhan kabupaten/kota lainnya mencapai lebih dari 2 persen per tahun, bahkan Kabupaten Merangin mencapai 6 persen per tahun. Sosial Budaya Penduduk Provinsi Jambi terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Secara etnis penduduk asli Jambi termasuk dalam ras melayu yang dibedakan menjadi Melayu Muda (Deutron Melayu) dan Melayu Tua (Porto Melayu). Adapun yang termasuk dalam kategori Deutron Melayu adalah orang Melayu Jambi, orang Penghulu, dan Suku Bidah, sedangkan Suku Bajau, Kerinci, dan orang Batin termasuk dalam Ras Porto Melayu (Depdikbud, 1985:27). Penduduk pendatang yang tinggal di Provinsi Jambi antara lain berasal dari Jawa, Minangkabau, Bugis, Palembang, Banjar, Batak, dan Sunda. Hasil Sensus Penduduk 2000 menunjukkan bahwa 5 suku terbesar yang menghuni Provinsi Jambi adalah Suku Melayu Jambi (34,7 persen), Jawa (27,6 persen), Kerinci (10,6 persen), Minang (5,5 persen), dan Melayu lainnya (5,2 persen), sedangkan 16,4 persen sisanya Batak, Sunda, Bugis, Cina, dan lain- lain. 87 Provinsi Jambi memiliki potensi kebudayaan yang cukup banyak, seperti peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, seni budaya dan kerajinan tradisional. Provinsi Jambi memiliki 123 situs peninggalan sejarah, dengan rincian di Kota Jambi 5 situs, Kabupaten Batang Hari dan Muaro Jambi 31 situs, Kabupaten Tebo dan Bungo sebanyak 16 situs, di Kabupaten Merangin dan Sarolangun 16 situs, Kabupaten Kerinci 49 situs, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat sebanyak 6 situs (Bappeda Provinsi Jambi, buku 2, 1989 : 231). Angka Kemampuan Membaca dan Menulis Huruf Latin Tingkat pencapaian program pembangunan pendidikan meningkatkan taraf pendidikan masyarakat secara umum biasa dalam perubahan dan perkembangan tingkat pendidikan masyarakat yang berhasil dicapai pada periode waktu tertentu. Hasil pembangunan bidang pendidikan dapat dilihat melalui beberapa indikator, antara lain kemampuan membaca (angka buta huruf), rata-rata lama sekolah dan tingkat atau jenjang pendidikan yang ditamatkan. Penduduk buta huruf adalah penduduk yang tidak dapat membaca dan menulis huruf latin yang masing- masing merupakan keterampilan dasar yang diajarkan di kelas-kelas awal jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Indikator yang biasa digunakan untuk melihat penduduk buta huruf adalah proporsi jumlah penduduk buta huruf terhadap seluruh penduduk. Angka buta huruf merupakan indikator dasar yang merefleksikan taraf pendidikan penduduk. Semakin tinggi angka buta huruf menunjukkan semakin rendahnya taraf pendidikan penduduk sehingga pada gilirannya semakin rendah pula kualitas sumberdaya masyarakat dan sebalinya. Secara rasional, pendidikan selalu dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan. Salah satu indikator kesejahteraan yang terpenting adalah tingkat buta huruf. Tingkat buta huruf seringkali digunakan untuk melihat kualitas hidup suatu masyarakat dan merupakan kebalikan dari keadaan mampu membaca dan menulis (melek huruf). Kemampuan itu merupakan syarat minimal penduduk untuk dapat berperan secara maksimal dalam membina keluarga dan menjalani kehidupan sosial. Karena dari kemampuan baca tulis atau melek huruf 88 merupakan indikator penting bagi seseorang dapat tidaknya menerima pesan tertulis dan bisa berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan atau tidak. Disamping itu, secara optimal bisa tidaknya menikmati hasil- hasil pembangunan. Rata-rata penduduk Provinsi Jambi berumur 10 tahun ke atas yang mempunyai kemampuan baca tulis berkisar antara 93-97 persen (Tabel 11) dengan perincian persentase anak laki- laki selalu lebih besar dibandingkan dengan perempuan baik pada tahun 2002, 2003 maupun pada tahun 2004, demikian juga pada setiap kabupaten. Tabel 11 Penduduk Berumur 10 tahun Ke Atas Menurut Jenis Kelamin dan Kepandaian Membaca/Menulis, Provinsi Jambi, 2002-2004 (%) 2002 No Kabupaten/Kota Lakilaki 2003 Perem puan Lakilaki 2004 Perem puan Lakilaki Perem Puan 01 Kerinci 95.43 92.40 97.21 92.12 97.94 94.77 02 Merangin 98.08 94.28 99.45 94.37 99.34 95.09 03 Sarolangun 95.23 88.26 97.44 91.28 97.07 91.63 04 Batanghari 99.26 95.14 98.35 94.88 97.94 96.48 05 Muaro Jambi 97.54 90.42 97.34 92.22 96.69 91.50 06 Tanjab Timur 95.61 93.82 95.51 89.45 96.03 90.37 07 Tanjab Barat 98.48 94.46 99.26 96.65 98.99 97.21 08 Tebo 96.71 88.82 97.46 93.29 98.13 92.97 09 Bungo 98.36 92.41 96.42 92.56 98.00 94.37 10 - Kota Jambi Provinsi Jambi 99.43 96.83 99.01 95.49 99.18 96.16 97.56 93.08 97.87 93.43 98.06 94.31 Sumber: BPS,Susenas Provinsi Jambi 2003-2005. Secara keseluruhan, di Provinsi Jambi terdapat sekitar 4 persen penduduk yang tidak dapat baca tulis atau buta huruf. Apabila dibedakan berdasarkan kabupaten/kota, ternyata presentase penduduk tersebut cukup bervaritaif. Seperti pada tahun 2002, persentase terbesar terdapat di Kabupaten Sarolangun baik lakilaki maupun perempuan, sedangkan pada tahun 2003 dan 2004, terbesar terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 89 persentase Fasilitas Pendidikan Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar manusia untuk menge mbangkan kepribadian melalui sekolah atau cara yang lain. Agar pendidikan dapat dimiliki dan dinikmati oleh seluruh penduduk sesuai kemampuan masing- masing, maka pendidikan harus menjadi tanggung jawab bersama masing- masing individu, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Penyelenggaraan pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan sekaligus meningkatkan kualitas penduduk. Upaya mencapai tujuan tersebut tidak terlepas dari tersedianya sarana dan prasarana pendidikan. Disamping prasarana pendidikan, seperti alat-alat pendidikan dan buku pelajaran, tercukupinya jumlah sekolah dan guru sangat penting bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang baik. Dengan demikian sekolah, guru, dan murid merupakan tiga komponen dasar sistim pendidikan. Seperti tertera pada Tabel 12, jumlah sekolah, murid, dan guru untuk masing- masing tingkat pendidikan kabupaten/kota di provinsi Jambi cukup bervariasi. Secara umum, Kota Jambi dan Kabupaten Kerinci mempunyai jumlah sekolah dan guru lebih banyak dibanding dengan kabupaten lain. Hal ini menyebabkan penduduk di kedua daerah tersebut mempunyai rata-rata tingkat pendidikan lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat pendidikan penduduk kabupaten lain (Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jambi, 2002). Berdasarkan rasio guru dan murid, tampaknya cukup rasional karena rata-rata rasio guru dan murid di Provinsi Jambi antara 17-20. Seperti terlihat pada Tabel 12 bahwa rasio guru dan murid untuk sekolah dasar (SD) 20 : 1. Artinya, terdapat 1 orang guru dalam 20 orang siswa. Rasio murid dan guru pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA masing- masing 17 : 1, dan 20 : 1. 90 Tabel 12 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SD, SLTP, SLTA Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2000 SD SLTP Seko Seko Murid Guru Murid Guru lah lah (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Kerinci 309 38531 2426 44 12731 846 Merangin 297 41892 2272 28 6988 379 Sarolangun 210 29272 1466 20 4679 204 Batanghari 185 28910 1424 24 5307 328 Muaro Jambi 221 37485 1720 26 6810 415 Tanjab Timur 220 28692 1574 18 5115 246 Tanjab Barat 184 32070 1411 15 4170 260 Tebo 224 34248 1562 27 7505 474 Bungo 226 37418 1936 34 8379 527 Kota Jmbi 243 54825 2467 56 19224 1165 Jumlah 2319 363343 18258 292 80908 4844 Sumber : Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jambi, 2002 Kabupaten/ Kota SLTA Seko lah (8) 15 13 9 12 10 5 8 10 13 61 156 Murid Guru (9) 8462 3957 758 2468 2077 1157 2252 2300 4464 23624 51519 (10) 449 277 144 278 173 73 114 216 322 571 2617 Perekonomian Daerah Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan bidang ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan pendapatan tersebut. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi Tahun 2005 mencapai 5,57 persen dan jauh lebih tinggi bila dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2000 yaitu hanya 2,20 persen. Selama periode 2000-2005, pendapatan perkapita meningkat dari Rp.1.759.430 pada tahun 2000 menjadi Rp.3.373.222 pada tahun 2005, sedangkan berdasarkan harga konstan 1993 pendapatan perkapita Provinsi Jambi pada tahun 2000 sebesar Rp. 1.372.119 dan pada tahun 2005 turun menjadi Rp. 1.248.614, atau mengalami perlambatan pertumbuhan rata-rata 2,25 persen pertahun. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi ternyata sampai tahun 2005, sektor pertanian masih memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB (28,8%). Berdasarkan indikator makro ekonomi, perkembangan ekonomi daerah dapat dilihat dari sisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara absolut berdasarkan harga berlaku bahwa PDRB Provinsi Jambi bergerak naik secara kontinu dari tahun 2004-2005, yaitu sebesar Rp.18.487.943 juta pada tahun 2004, dan naik menjadi Rp.22.487.011 juta tahun 2005 atau terjadi peningkatn sebesar 21,6 persen. 91 Berdasarkan harga konstan tahun 1993, PDRB Provinsi Jambi juga menunjukkan perkembangan yang cukup berarti walaupun tingkat peningkatannya tidak setajam PDRB berdasarkan angka absolut. Seperti pada tahun 2004, PDRB Provinsi Jambi sebesar Rp. 11.953.885 juta, dan meningkat menjadi Rp.12.619.972 juta pada tahun 2005 atau terjadi peningkatan sebesar 5,6 persen (BPS, Provinsi Jambi 2006). Berdasarkan indikator PDRB, kinerja pemerintah Provinsi Jambi secara keseluruhan cukup baik, karena pertumbuhan perekonomian daerah dalam masa krisis ekonomi dan otonomi daerah menunjukkan perbaikan walaupun secara sektoral masih terdapat kesulitan untuk memperbaiki kinerjanya. Transformasi struktural yang diharapkan untuk menggeser kinerja daerah yang hanya bertumpu kepada produk-produk primer sudah mulai terjadi hanya saja cukup lambat sehingga nilai tambah sektoral masih terus mengalir keluar atau dinikmati oleh provinsi atau daerah lain. Perubahan paradigma kebijakan pembangunan adalah salah satu kunci perbaikan ke depan untuk mempercepat pertumbuhan daerah dan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Aksesibilitas Dari sisi potensi perekonomian Provinsi jambi termasuk dalam kawasan segi tiga pertumbuhah Indonesia – Malaysia - Singapura (IMS-GT). Jarak tempuh Jambi ke Singapura jalur laut melalui Batam dengan menggunakan kapal cepat Jet-foil sekitar 5 jam. Secara lokasi Jambi termasuk dalam kawasan imbas segitiga pertumbuhan ekonomi yang meningkat akibat spill over effect dari SIBAJO dan IMS-GT. Aksesibiltas di Provinsi Jambi cukup tinggi hal ini dikarenakan oleh adanya sarana transportasi baik darat, udara dan perairan. Jaringan jalan darat di Provinsi Jambi yang telah dibangun sampai tahun 1996, sepanjang 7.886,887 km yang terdiri dari : jalan negara sepanjang 855.397 km, jalan provinsi sepanjang 1.153.397 km, dan jalan kabupaten sepanjang 5.878,342 km. Jalan negara merupakan jalan lintas Sumatera yang memanjang dari utara ke selatan. Jalan darat ini memiliki beberapa terminal yang teletak di semua kota atau kabupaten: yaitu (1) Kota Jambi: terminal Simpang Rimbo, dan terminal Rawa Sari, (2) Kabupaten 92 Batanghari: terminal Muara Bulian, dan terminal Muara Tembesi, (3) Kabupaten Bungo : terminal Muara Bungo, dan terminal Muara Tebo, (4) Kabupaten Tebo: terminal Muara Tebo, (5) Kabupaten Marangin: terminal Bangko, (6) Kabupaten Sarolangun: terminal Sarolangun Bangko, dan terminal Singkut, (7) Kabupaten Kerinci: terminal Kumun (Sungai Penuh), (8) Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar): terminal Pembengis (Kuala Tungkal), dan (9) Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim): terminal Muara Sabak. Dilihat dari transportasi air (sungai dan laut), Provinsi Jambi memiliki cukup banyak pelabuhan terutama pelabuhan sungai, seperti pelabuhan BOM Baru (Kota Jambi), Muara Bulian, Muara Tembesi, Suak Kandis (Kabupaten Batanghari), Sungai Bengkal, Muara Tebo (Kabupaten Bungo-Tebo), Pauh, Sarolangun (Kabupaten Sarolangun Bangko), Puding, Rantau Rasau, Nipah Panjang, Sungai Lokan, Mendahara dan Kampung Laut (Kabupaten Tanjung Jabung Timur), sedangkan pelabuhan laut ada lima darmaga, yakni: Talang Duku (Kota Jambi), Muara Sabak, Kuala Tungkal, Nipah Panjang dan Mendahara. Dari segi perhubungan udara, Provinsi Jambi memiliki 2 bandara yaitu bandara Sultan Thaha (Kota Jambi) dan Bandara perintis Depati Parbo (Kabupaten Kerinci). Distribusi dan Pemanfaatan Lahan Seperti tertera pada kondisi geografis bahwa Provinsi Jambi mempunyai luas wilayah sekitar 53.435,38 Km2 . Dari luas wilayah tersebut lahan yang tersisa untuk pertanian, pemukiman, perindustrian dan pertambangan hanya 2.538.153 ha. Berdasarkan data tersebut, jumlah penduduk per luasan lahan pertanian atau kepadatan penduduk agraris sekitar 0.9 jiwa /ha atau 90 jiwa/Km2 . Angka ini lebih besar dari Provinsi Sumatera Selatan, Riau. Jika lahan tersebut dikurangi dengan untuk fasilitas umum, pemukiman, perkantoran, industri, waduk, danau dan konsesi pertambangan yang diasumsikan sekitar 30 persen maka lahan pertanian yang tersisa hanya 1.776.707 ha. Lahan pertanian yang tersedia terdapat lahan kritis seluas 17.015 ha dan semi kritis seluas 584.584 ha serta potensial kritis seluas 378.702 ha. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini sangat rentan bila tidak dilakukan usaha pengelolaan yang lebih baik di masa akan 93 datang. Keprihatinan ini telah terbukti dengan menurunnya produktivitas lahan pertanian (pangan) dari tahun ke tahun. Karakteristik Keluarga Contoh Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak Pola dan distribusi penduduk menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan dapat menggambarkan taraf pendidikan penduduk secara keseluruhan. Semakin tinggi persentase pend uduk yang menamatkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi menunjukkan kondisi pendidikan penduduk yang semakin membaik. Tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh seorang penduduk merupakan salah satu parameter kualitas sumberdaya manusia sehingga pendidikan merupakan hal yang sangat mutlak diperlukan apalagi pada masa millennium ini. Menurut Ananta dan Hatmadji (Suandi, dan Ernawati, 2005), tingkat pendidikan merupakan salah satu tolok ukur yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu daerah atau masyarakat. Pendidikan tidak hanya mencerdaskan kehidupan masyarakat yang bersangkutan, melainkan juga meningkatkan mutu masyarakat tersebut. Dengan mutu yang tinggi dan baik, jumlah penduduk tidak lagi merupakan beban atau tanggungan masyarakat melainkan sebagai modal atau aset pembangunan. Disisi lain, Sumitro (Suandi, dan Ernawati, 2005) melihat bahwa tingkat pendidikan dapat berpengaruh dalam keterampilan teknis dan kecerdasan akademis untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, rumahtangga dan bahkan masyarakat luas baik untuk keperluan pangan, penciptaan lapangan kerja baru yang produktif serta dapat mengembangkan dan mengelola sumberdaya manusia itu sendiri. Hasil analisis dari penelitian ini bahwa proporsi anak-anak keluarga contoh yang tamat pada jenjang pendidikan SLTP kebawah masih tergolong relatif besar yaitu mencapai lebih dari 40 persen (Tabel 13). Apalagi dibedakan berdasarkan wilayah penelitian bahwa anak-anak keluarga contoh yang berdomisili di wilayah Pesisir pantai memperoleh rata-rata pendidikan SLTP kebawah mencapai 57,6 persen (Gambar 8). 94 Tabel 13 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak, Tahun 2006 No Sebaran Keluarga Contoh (orang) Wilayah Wilayah Total pegunungan Pesisir pantai Tingkat pendidikan Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen 01 < Sekolah Dasar 37 21.3 55 36.4 92 28.3 02 SLTP 40 23.0 32 21.2 72 22.2 03 SLTA 58 33.3 52 34.4 110 33.8 04 Diploma dan Sarjana 39 22.4 12 7.9 51 15.7 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total 40 35 30 25 W.Gunung W.Pesisir 20 15 Total 10 5 0 <SD SLTP SLTA PT Gambar 8 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak, Tahun 2006 Padahal mengacu kepada peraturan pemerintah bahwa minimal pendidikan anak yaitu tamat pada jenjang pendidikan SLTP (pendidikan dasar 9 tahun). Hasil observasi dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat setempat diperoleh informasi bahwa rendahnya tingkat pendidikan anak-anak di lokasi penelitian (kasus di Kecamatan Mendahara Ilir) disamping kemauan dan kemampuan orang tua dan anak didik ya ng rendah juga dipengaruhi oleh faktor aksesibilitas sekolah terutama transportasi yang terbatas. Hasil observasi menunjukkan bahwa alat transportasi yang digunakan masyarakat di lokasi penelitian adalah alat 95 transportasi sungai dengan biaya relatif mahal dan frekuensi yang terbatas apalagi pada musim air pasang tinggi maka mobilitas transportasi berkurang. Status Kepemilikan Rumah Status rumah keluarga contoh di daerah penelitian berupa: hak milik, sewa, dan numpang. Adapun yang dimaksud dengan hak milik yaitu hak kepemilikan rumah tersebut dikuasai langsung oleh keluarga contoh sendiri tanpa dapat diganggu gugat oleh siapapun yang ditunjukkan oleh tanda bukti dari adat atau kelompok kalbu, berupa tanda batas bangunan. Status kepemilikan sewa yaitu mendiami rumah orang lain dengan konpensasi membayar uang atau biaya ataupun bentuk lainnya untuk perbaikan atau pemeliharaan rumah tersebut, sedangkan status kepemilikan numpang yaitu mendiami rumah orang lain, orang tua ataupun mendiami rumah keluarga lainnya tanpa ada perjanjian pembayaran uang atau biaya kompensasi. Status kepemilikan rumah (Tabel 14) merupakan salah satu variabel yang menjadi indikator kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, semakin baik status kepemilikan rumah keluarga contoh maka diasumsikan bahwa kondisi kesejahteraan ekonomi keluarga tersebut tergolong sejahtera, dan sebaliknya. Berkenaan dengan itu, data lapangan menunjukkan bahwa status kepemilikan rumah keluarga contoh di daerah penelitian sebesar 80 persen lebih merupakan hak milik. Tabel 14 Sebaran Contoh Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah, 2006 No Status Pemilikan Rumah 01 Hak Milik 02 03 - Wilayah pegunungan Jumlah Persen Sebaran Contoh Wilayah Pesisir pantai Total Jumlah Persen Jumlah Persen 139 79.9 149 98.6 288 88.6 Sewa 2 1.1 1 0.7 3 0.9 Numpang 33 19.0 1 0.7 34 10.5 Total 174 100.0 151 100.0 325 100.0 96 Apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian, ternyata status kepemilikan yang berupa hak milik paling besar terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 98 persen atau hampir mendekati 100 persen, sedangkan di wilayah pegunungan hanya 79,9 persen (Tabel 14). Hal ini mengindikasikan bahwa status kepemilikan rumah keluarga contoh di daerah penelitian cukup baik, dan ini merupakan salah satu modal sebagai aset kekayaan keluarga. Namun demikian, status kepemilikan ini belum tentu bisa digunakan sebagai tolok ukur kekayaan suatu rumahtangga karena belum dihubungkan dengan tipe rumah termasuk luas dan jenis bahan bangunan yang digunakan. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan, tampaknya masyarakat di daerah penelitian lebih dari separo memiliki tipe rumah semi permanen dan permanen (54 %) (Tabel 15). Adapun kriteria yang digunakan untuk melihat tipe rumah ini dilihat dari jenis lantai, dinding, dan jenis atap yang digunakan. Misalnya, jenis lantai dan dinding terbuat dari beton maka tipe rumah tersebut tergolong pada kelompok permanen, sedangkan jenis dinding terbuat dari papan dan sejenis maka rumah tersebut tergolong semi permanen, dan apabila jenis lantai dan dinding terbuat dari kayu dan sejenis maka termasuk pada kelompok rumah sederhana. Tabel 15 Sebaran Contoh Berdasarkan Tipe Rumah, Tahun 2006 No Tipe Rumah Wilayah pegunungan Jumlah Persen Sebaran Contoh Wilayah Pesisir pantai Total Jumlah Persen Jumlah Persen 01 Sangat Sederhana 36 20.7 45 29.8 81 24.9 02 Sederhana 19 10.9 48 31.8 67 20.6 03 Semi Permanen 85 48.9 48 31.8 133 40.9 04 Permanen 34 19.5 10 6.6 44 13.6 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Luas Lantai Rumah Luas lantai rumah berkaitan dengan jumlah anggota keluarga yang mendiami rumah tersebut sehingga pada gilirannya berdampak kepada keserasian, 97 dan kesehatan anggota keluarga. Artinya, semakin sempit rumah maka tingkat keserasian dan kesehatan anggota keluarga akan terganggu karena terbatasnya ruang pergerakan udara dalam rumah. Rata-rata luas rumah atau luas lantai rumah keluarga contoh 55,6 M2. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian, ternyata rata-rata luas rumah paling besar terdapat di wilayah pegunungan yaitu seluas 59,5 M2, sedangkan di wilayah pesisir pantai rata-rata 51,7 M2 (Tabel 16). Berdasarkan rata-rata luas rumah perkapita yaitu 13,5 M2 di wilayah pegunungan dan 11,2 M2 di wilayah pesisir pantai. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata luas rumah keluarga contoh di daerah penelitian tergolong baik karena hasil penelitian di daerah miskin yang rata-rata luasnya sekitar 47,5 M2 (Suandi, 2002:43). Tabel 16 Sebaran Contoh Berdasarkan Luas Lantai Rumah, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Luas Lantai Rumah (M2) Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah Pesisir pantai Total Jumlah Persen Jumlah Persen 01 Sangat Kecil (< 36) 53 30.5 38 25.2 91 28.0 02 Kecil (36-45) 24 13.8 52 34.4 76 23.4 03 Luas (46-72) 51 29.3 38 25.2 89 27.4 04 Sangat Luas (> 72) 46 26.4 23 15.2 69 21.2 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total - Rata-rata 59,5 M2 51,7 M2 55,6 M2 Jenis Dinding Rumah Seperti disebutkan sebelumnya bahwa jenis dinding rumah berkaitan erat dengan kualitas rumah atau tingkat kesejahteraan seorang individu, misalnya jenis dinding terbuat dari papan dan sejenis maka rumah tersebut tergolong semi permanen, dan apabila jenis dinding terbuat dari kayu dan sejenis maka termasuk pada kelompok rumah sederhana. Dengan arti kata, kelompok masyarakat tersebut diasumsikan berada pada kelompok masyarakat kurang berkecukupan atau tergolong miskin, dan sebaliknya. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan 98 lapangan diperoleh informasi bahwa rata-rata dinding rumah keluarga contoh di daerah penelitian sebagian besar terbuat dari kayu yaitu hampir mencapai 60 persen (Tabel 17). Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian, ternyata jenis dinding rumah yang terbuat dari kayu mayoritas terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu 90 persen lebih, sedangkan di wilayah pegunungan hanya sekitar 35 persen. Menurut hasil pengamatan lapangan dan wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat setempat terutama di daerah Kecamatan Mendahara Ilir (wilayah pesisir pantai) tentang jenis dinding rumah yang digunakan oleh masyarakat setempat sangat dipengaruhi oleh faktor alam karena umumnya di wilayah pesisir pantai ini adalah wilayah pasang surut dengan kondisi alam “berpayo” sehingga sulit sekali membangun rumah dengan jenis bangunan dari beton kalaupun ada harus mengeluarkan biaya cukup mahal. Sebaliknya, di wilayah pegunungan kondisi alam cukup mendukung pembangunan rumah dengan jenis dinding yang terbuat dari beton. Tabel 17 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Dinding Rumah, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Jenis Dinding Rumah Wilayah pegunungan Jumlah 01 Bambu 02 Persen Wilayah Pesisir pantai Total Jumlah Persen Jumlah Persen 8 4.6 0 0.0 8 2.5 Kayu 53 30.5 141 93.4 194 59.7 03 Sebagian Tembok 27 15.5 3 2.0 30 9.2 04 Tembok 86 49.4 5 3.3 91 28.0 05 Marmar 0 0.0 2 1.3 2 0.6 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Jenis Atap Rumah Jenis atap rumah keluarga contoh peran dan fungsinya tidak jauh berbeda dengan dinding rumah karena kedua variabel ini sangat berkaitan satu dengan lainnya. Seperti peran dan fungsi dinding rumah maka atap rumah juga berkaitan erat dengan kualitas rumah atau tingkat kesejahteraan seorang individu, misalnya 99 jenis atap terbuat dari sirap atau nipah dan sejenis maka rumah tersebut tergolong sederhana. Dengan arti kata, kelompok masyarakat tersebut diasumsikan berada pada kelompok masyarakat kurang berkecukupan atau tergolong miskin, dan sebaliknya. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa rata-rata atap rumah keluarga contoh di daerah penelitian sebagian besar terbuat dari seng yaitu hampir mencapai 100 persen (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kesejahteraan ekonomi keluarga contoh di daerah penelitian berdasarkan dari jenis atap rumah tergolong baik. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian, ternyata jenis atap rumah di kedua wilayah tersebut yakni wilayah pegunungan dan wilayah pesisir pantai mayoritas terbuat dari seng yaitu mencapai 95 persen. Tabel 18 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Atap Rumah, Tahun 2006 No Jenis Atap Rumah Sebaran Contoh Wilayah Pesisir pantai Wilayah pegunungan Jumlah Persen Total Jumlah Persen Jumlah Persen 01 Nipah 0 0 1 0.7 1 0.3 02 Sirap 0 0 0 0.0 0 0.0 03 Seng 174 100.0 143 94.7 317 97.5 04 Genteng 0 0.0 7 4.6 7 2.2 - Total 174 100.0 151 100.0 325 100.0 Jenis Lantai Rumah Seperti halnya jenis dinding, atap rumah maka jenis lantai rumah juga erat kaitannya dengan kualitas rumah atau tingkat kesejahteraan seorang individu, misalnya jenis lantai terbuat dari kayu dan sejenis maka rumah tersebut tergolong sederhana, dan sebaliknya apabila jenis lantai terbuat dari semen/beton dan sejenis maka termasuk pada kelompok rumah permanen. Dengan arti kata, jenis lantai rumah dapat menentukan tingk at kesejahteraan seorang individu atau keluarga. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa rata-rata jenis lantai rumah keluarga contoh di daerah penelitian sebagian 100 besar terbuat dari kayu yaitu hampir mencapai 70 persen dan melebihi dari persentase dinding rumah yang terbuat dari kayu (60 %) (Tabel 19). Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian, ternyata tidak jauh berbeda dengan jenis dinding rumah yaitu sebagian besar terdapat di wilayah pesisir pantai (93 %), sedangkan di wilayah pegunungan hanya sekitar 49 persen. Banyaknya jenis lantai rumah yang terbuat dari kayu di wilayah pesisir pantai dan seperti halnya jenis dinding rumah disebabkan oleh faktor alam karena umumnya di wilayah pesisir pantai ini adalah wilayah pasang surut dengan kondisi alam “berpayo” sehingga sulit sekali membangun rumah dengan jenis bangunan dari beton kalaupun ada harus mengeluarkan biaya cukup mahal. Sebaliknya, di wilayah pegunungan kondisi alam cukup mendukung pembangunan rumah denga n jenis lantai yang terbuat dari beton. Tabel 19 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Lantai Rumah, Tahun 2006 No Jenis Lantai Rumah Wilayah pegunungan Jumlah Persen Sebaran Contoh Wilayah Pesisir pantai Total Jumlah Persen Jumlah Persen 01 Kayu 85 48.9 140 92.7 225 69.2 02 Semen/beton 88 50.5 7 4.6 95 29.2 03 Keramik 1 0.6 4 2.7 5 1.6 - Total 174 100.0 151 100.0 325 100.0 Fasilitas Rumah Fasilitas rumah sangat mendukung dari kualitas rumah atau tingkat kesejahteraan seorang individu atau keluarga contoh. Adapun yang diukur tentang fasilitas rumah keluarga contoh ini yaitu berupa alat penerangan yang digunakan, air kebutuhan minum dan fasilitas jamban keluarga. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan diperoleh informasi bahwa rata-rata fasilitas rumah yang dimiliki keluarga contoh di daerah penelitian tergolong baik (55 %). Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian, ternyata fasilitas rumah di kedua wilayah relatif sama baik di wilayah pegunungan maupun 101 di wilayah pesisir pantai karena masing- masing wilayah tersebut yang tergolong pada tingkat fasilitas rumah yang baik masing- masing adalah 59 dan 50 persen (Tabel 20). Tabel 20 Sebaran Contoh Berdasarkan Fasilitas Rumah yang Dimiliki, 2006 No Fasilitas Rumah Yang Dimiliki Wilayah pegunungan Jumlah Persen Sebaran Contoh Wilayah Pesisir pantai Total Jumlah Persen Jumlah Persen 01 Sangat Kurang 36 20.7 74 49.0 110 33.8 02 Kurang 36 20.7 0 0.0 36 11.1 03 Baik 33 19.0 2 1.3 35 10.8 04 Sangat Baik 69 39.6 75 49.7 144 44.3 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Seperti disebutkan sebelumnya bahwa fasilitas rumah keluarga contoh di daerah penelitian diukur dari fasilitas alat penerangan yang digunakan, air minum dan fasilitas jamban keluarga. Berdasarkan hasil wawancara dengan keluarga contoh diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara fasilitas yang dimiliki masing- masing wilayah. Misalnya fasilitas air minum, di wilayah pesisir pantai mayoritas menggunakan fasilitas air minum berasal dari air hujan yaitu lebih dari 95 persen, sedangkan di wilayah pegunungan sebanyak 55 persen lebih keluarga contoh menggunakan fasilitas air minum berasal dari fasilitas PDAM dan air sumur pribadi. Hal kedua yang menarik diperhatikan yaitu fasilitas alat penerangan yang digunakan keluarga contoh, hasil wawancara dan pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa wilayah pesisir pantai mayoritas menggunakan fasilitas penerangan berasal dari PLN yaitu lebih dari 95 persen, sedangkan di wilayah pegunungan yang menggunakan fasilitas penerangan berasal dari PLN hanya sebanyak 58 persen. Menurut hemat peneliti, terdapatnya perbedaan cukup mencolok fasilitas rumah yang dimiliki keluarga contoh di kedua daerah penelitian ini disebabkan oleh dua hal, pertama faktor alam dan kedua faktor asal permukiman. Faktor alam misalnya, seperti disebutkan sebelumnya bahwa di wilayah pesisir pantai adalah wilayah pasang surut sehingga sulit sekali membangun sumur pribadi dan jaringan 102 air minum keperluan keluarga melalui PDAM, dan kedua di wilayah ini diuntungkan karena merupakan daerah tujuan transmigrasi sehingga memiliki fasilitas alat penerangan yang disubsidi oleh pemerintah. Namun lain halnya dengan wilayah pegunungan dengan kondisi alam sangat mendukung pengembanga n jaringan fasilitas air minum keperluan keluarga tetapi wilayah ini bukan merupakan wilayah tujuan transmigrasi sehingga tidak ada subsidi fasilitas penerangan dari pihak pemerintah. Fasilitas rumah lainnya yang sangat penting dalam melihat tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga contoh di daerah penelitian yaitu fasilitas jamban keluarga. Berdasarkan wawancara dari keluarga contoh diperoleh hasil bahwa di wilayah pesisir pantai yang memiliki jamban keluarga hampir mencapai 100 persen, sedangkan di wilayah pegunungan hanya sekitar 30 persen. Jarak Rumah dengan Fasilitas Umum Jarak rumah dengan fasilitas umum (Tabel 21) dan (Tabel 22) merupakan salah satu variabel penting dalam melihat tingkat kesejahteraan seorang individu atau keluarga tertentu namun sampai sekarang juah-dekatnya jarak rumah dengan fasilitas umum belum ada kesepekatan yang baku baik dari ukuran Badan Pusat Statistik maupun dari BKKBN. Hasil wawancara diperoleh rata-rata jarak rumah dengan fasilitas umum di daerah penelitian berkisar antara 200,8 – 4.117 meter. Seperti terlihat pada Tabel 21 bahwa rata-rata jarak rumah paling jauh terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 4.117 meter, sedangkan di wilayah pegunungan jarak rumah keluarga contoh dengan fasilitas umum hanya 200,8 meter. Relatif jauhnya jarak rumah keluarga contoh di wilayah pesisir pantai disebabkan oleh faktor alam, sebagian besar permukiman keluarga di wilayah pesisir pantai berpencar di sepanjang pantai timur sumatera (wilayah pantai Provinsi Jambi) dengan jarak relatif jauh antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Seperti jarak permukiman penduduk di desa mendahara ilir dengan pasar dan jalan utama atau jalan kabuapten berjarak sekitar 18.000 meter. 103 Tabel 21 Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas Umum, Tahun 2006 No Jarak Rumah Dengan Fasilitas Umum 01 Sangat Dekat (< 0.5 km) 02 Dekat (0.5-0.9 Km) 03 Jauh (1–1.4 km) 04 Sangat Jauh ( > 1,5km) - Total - Rata-rata Wilayah pegunungan Jumlah Persen Sebaran Contoh Wilayah Pesisir pantai Total Jumlah Persen Jumlah Persen 124 71.2 60 39.7 184 56.6 21 12.1 17 11.3 38 11.7 4 2.3 19 12.6 23 7.1 25 14.4 55 36.4 80 24.6 174 100.00 151 100.00 325 100.00 200,8 m 4.117 m 2.158,5 m Berdasarkan fasilitas umum yang ada di sekitar wilayah penelitian, seperti tertera pada Tabel 22, ternyata jarak paling dekat terdapat pada fasilitas rumah ibadah yaitu mencapai 90 persen lebih dengan jarak yang dekat dan sangat dekat dengan rumah keluarga contoh, dan kedua terdapat pada fasilitas pendidikan yaitu mencapai 70 persen lebih, sedangkan jarak paling jauh terdapat pada fasilitas pasar yaitu sekitar 65 persen lebih yang merupakan jarak rumah keluarga contoh dengan pasar merupakan jarak yang jauh dan sangat jauh. Sekali lagi disampaikan bahwa rata-rata jarak rumah keluarga contoh di wilayah penelitian yang paling jauh terdapat di wilayah pesisir pantai kecuali jarak rumah dengan fasilitas rumah ibadah. Akses terhadap Fasilitas Umum Seperti halnya dengan jarak rumah, akses terhadap fasilitas umum juga merupakan variabel penting dalam melihat tingkat kesejahteraan seorang individu atau keluarga tertentu. Tabel 23 memperlihatkan bahwa kondisi akses rumah dengan fasilitas umum tidak jauh berbeda dengan kondisi jarak rumah dimana akses rumah paling kurang lancar terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 45 persen, sedangkan di wilayah pegunungan akses rumah keluarga contoh dengan fasilitas umum yang kurang dan tidak lancar hanya 19 persen. 104 Tabel 22 Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas Umum, 2006 No 01 Jarak Rumah Dengan Fasilitas Umum (km) Jumlah Persen 0.0 100 30.8 17 9.8 6 4.0 23 7.1 5 2.8 15 9.9 20 6.1 52 174 29.9 100.00 130 151 86.1 100.00 182 325 56.0 100.00 159 91.3 64 42.4 223 68.6 10 5.8 6 4.0 16 4.9 1 0.6 0 0.0 1 0.3 4 174 2.3 100.00 81 151 53.6 100.00 85 325 26.2 100.00 128 73.6 51 33.8 179 55.1 25 14.4 36 23.8 61 18.8 6 3.4 46 30.5 52 16.0 15 174 8.6 100.00 18 151 11.9 100.00 33 325 10.1 100.00 Sangat Dekat (< 0.5 km) 84 48.3 78 51.7 162 49.9 Dekat (0.5-0.9 Km) 33 19.0 12 7.9 45 13.8 7 4.0 15 9.9 22 6.8 50 174 28.7 100.00 46 151 30.5 100.00 96 325 29.5 100.00 151 86.8 106 70.2 257 79.1 18 10.3 25 16.6 43 13.2 2 1.2 19 12.5 21 6.5 3 174 1.7 100.00 1 151 0.7 100.00 4 325 1.2 100.00 Total Jalan Utama: Sangat Dekat (< 0.5 km) Dekat (0.5-0.9 Km) Jauh (1–1.4 km) Sangat Jauh ( > 1,5km) Total Fasilitas Pendidikan: Sangat Dekat (< 0.5 km) Dekat (0.5-0.9 Km) Jauh (1–1.4 km) Sangat Jauh ( > 1,5km) Total Fasilitas Kesehatan: Jauh (1–1.4 km) Sangat Jauh ( > 1,5km) Total Fasilitas Ibadah: Sangat Dekat (< 0.5 km) Dekat (0.5-0.9 Km) Jauh (1–1.4 km) Sangat Jauh ( > 1,5km) - Persen 0 Sangat Jauh ( > 1,5km) 05 Jumlah 57.5 Jauh (1–1.4 km) 04 Persen 100 Dekat (0.5-0.9 Km) 03 Jumlah Total Pasar Terdekat: Sangat Dekat (< 0.5 km) 02 Wilayah pegunungan Sebaran Contoh Wilayah Pesisir pantai Total Relatif besarnya persentase akses rumah keluarga contoh di wilayah pesisir pantai yang kurang dan tidak lancar dan seperti halnya dengan kondisi jarak rumah yaitu 105 disebabkan oleh faktor alam karena permukiman keluarga contoh di wilayah pesisir pantai berpencar di sepanjang pantai timur sumatera dengan jarak relatif jauh antara satu wilaya h dengan wilayah lainnya dengan alat transportasi yang relatif terbatas sehingga tingkat aksesibilitas sangat terbatas. Sebaliknya, di wilayah pegunungan memiliki jarak permukiman dengan fasilitas umum relatif dekat dengan alat transportasi lancar sehingga sangat memungkinkan tingkat aksesibilitas masyarakat sangat terbuka dan lancar. Tabel 23 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan Fasilitas Umum, 2006 Sebaran Contoh No Akses Rumah Dengan Fasilitas Umum Wilayah pegunungan Jumlah Persen 0 0 Wilayah Pesisir pantai Jumlah Persen 0 0 Total Jumlah Persen 0 0 01 02 Tidak Memiliki Akses Kurang Lancar 33 19.0 68 45.0 101 31.1 03 Lancar 64 36.8 81 53.6 145 44.6 04 Sangat Lancar 77 44.2 2 1.4 79 24.3 Total 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Berdasarkan sebaran fasilitas umum yang ada di sekitar wilayah penelitian, seperti tertera pada Tabel 24, ternyata akses paling lancar terdapat pada fasilitas rumah ibadah yaitu mencapai 90 persen lebih dan akses paling lancar kedua terdapat pada fasilitas pendidikan yaitu mencapai 75 persen, sedangkan akses yang kurang dan tidak lancar terdapat pada fasilitas pasar yaitu sekitar 50 persen lebih. Relatif besarnya persentase yang kurang dan tidak lancar akses masyarakat dengan fasilitas pasar disebabkan oleh faktor keberadaan pasar terutama di wilayah pesisir pantai. Menurut hasil pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa pasar umumnya berada di kota Kabupaten. Seperti penuturan beberapa keluarga contoh, mereka berbelanja untuk keperluan rumahtangga harus pergi ke pasar kabupaten karena di desa tempat mereka tinggal tidak tersedia pasar secara lengkap untuk kebutuhan rumahtangga dan lain halnya di wilayah pegunungan bahwa pasar tradisional hampir tersedia di setiap kecamatan bahkan di beberapa desa contoh, seperti desa Jujun dan Koto Agung memiliki pasar 106 tradisional tersendiri sehingga memudahkan bagi keluarga contoh untuk berbelanja keperluan rumahtangga. Tabel 24 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan masing- masing Fasilitas Umum, 2006 No 01 Akses Rumah Dengan Fasilitas Umum Jumlah Persen 0 87.4 12.6 0 100.0 0 172 79 74 325 0 52.9 24.3 22.8 100.0 0 32 57 85 174 0.0 18.4 32.8 48.9 100.0 0 91 59 1 151 0.0 60.3 39.1 .7 100.0 0 123 116 86 325 0.0 37.8 35.7 26.5 100.0 Sangat Lancar 0 34 62 78 0.0 19.5 35.6 44.8 0 46 105 0 0.0 30.5 69.5 0.0 0 80 167 78 0.0 24.6 51.4 24.0 Total 174 100.0 151 100.0 325 100.0 0 55 75 44 174 0 31.6 43.1 25.3 100.0 0 50 99 2 151 0.0 33.1 65.6 1.3 100.0 0 105 174 46 325 0 32.3 53.5 14.2 100.0 0 3 64 107 174 0.0 1.7 36.8 61.5 100.0 0 20 125 6 151 0.0 13.2 82.8 4.0 100.0 0 23 189 113 325 0.0 7.1 58.2 34.8 100.0 Total Jalan Utama: Tidak Memiliki Akses Kurang Lancar Lancar Sangat Lancar Total Fasilitas Pendidikan: Tidak Memiliki Akses Kurang Lancar Lancar Fasilitas Kesehatan: Tidak Memiliki Akses Kurang Lancar Lancar Sangat Lancar Total Fasilitas Ibadah: Tidak Memiliki Akses Kurang Lancar Lancar Sangat Lancar - Persen 0 132 19 0 151 Sangat Lancar 05 Jumlah 0.0 23.0 34.5 42.5 100.0 Lancar 04 Persen 0 40 60 74 174 Kurang Lancar 03 Jumlah Pasar Terdekat: Tidak Memiliki Akses 02 Jumlah Keluarga Contoh Wilayah Wilayah Total pegunungan Pesisir pantai Total 107 ARTIKEL 1 PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN SUMBERDAYA KELUARGA DAN MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN EKONOMI OBJEKTIF KELUARGA BERDASARKAN WILAYAH AGROEKOLOGI Suandi1 , Ujang Sumarwan2 , Suprihatin Guhardja2 , Pang S. Asngari 3 , Euis Sunarti2 ABSTRAK Provinsi Jambi dikenal dengan tiga kelompok komunitas masyarakat, yakni: masyarakat yang berada pada wilayah dataran rendah, dataran tinggi, dan wilayah pesisir pantai atau dikenal dengan wilayah pasang surut. Dari ketiga kelompok komunitas tersebut terdapat berbagai kelompok ethnicity terutama di wilayah pesisir pantai dan wilayah dataran rendah sehingga dapat berpengaruh terhadap income inequality. Tujuan penelitian adalah: (1) mengidentifikasi dan mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga, (2) mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga, dan (3) mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga berdasarkan wilayah agroekologi. Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi: Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Pengumpulan data berlangsung selama delapan bulan mulai bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2007. Data yang dikumpulkan, meliputi: (1) sosio-demografi, (2) manajemen sumberdaya keluarga, (3) modal sosial: asosiasi lokal, dan karakter masyarakat, dan (4) kesejahteraan ekonomi objektif keluarga (proxy pengeluaran keluarga). Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara survai terhadap 325 rumahtangga dan dilanjutkan metode Indepth Interview terhadap 33 informan dan Focus Group Discussion (FGD) terhadap beberapa keluarga terpilih dengan jumlah 10 kelompok. Analisis data menggunakan Uji Regresi Berganda melalui program SPSS versi 13, model Kuznets, Kurva Lorenz dan dilanjutkan Uji Mann-Whitney (U-test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi objektif keluarga secara positif dipengaruhi oleh faktor manajemen sumberdaya keluarga, dan faktor modal sosial terutama faktor manajemen keuangan keluarga, tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi bagi keluarga, dan faktor keterpercayaan masyarakat. Distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga di daerah penelitian relatif baik di wilayah pesisir maupun di wilayah pegunungan. Namun demikian, tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga yang berada di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan yang berada di wilayah pesisir pantai. Key words: kesejahteraan ekonomi objektif keluarga, disparitas, dan agroekologi 1 2 3 Dosen Tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi Dosen Tetap pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB Dosen Tetap pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB 86 108 THE EFFECT OF SOCIO-DEMOGRAPHY, FAMILY RESOURCE MANAGEMENT, AND SOCIAL CAPITAL ON FAMILY OBJECTIVE ECONOMIC WELL-BEING IN AGROECOLOGY AREA ABSTRACT The objectives of this study are: (1) to comprehend and analyze of family objective economic well-being, (2) to analyze factors effect on family objective economic well-being, and (3) to comprehend and analyze disparities of family objective economic well-being. The research design is cross sectional and was carried out in Kerinci and East Tanj ung Jabung districts from January to August 2006. Variables used are family objective economic well-being, sociodemography, resources management, and social capital. Variable of sociodemografphy are educations of husband, skills of husband, and dependenc y ratio. Variable of resources management are management of times, household size, and management of family livelihood, and Variable of social capital are local asociation, and community characters. 325 household samples are chosen using cluster, purposive and random sampling methods. Data were collected using survay, indepth interview, and Focus Group Discussion (FGD). Descriptive, Regression, Model Kuznets, and Mann-Whitney (U-test) were used for data analyzed. The results show that management of family livelihood, participation of family in local asociation, using of asociation in family, and trust factors have positive effect on family objective economic well-being, whereas, the education of husband, skills of husband, dependency ratio, management of times, managements of household size, and asociation size do not show any effects. Family objective economic well-being are equal (no disparities) among family in the research area. Family objective economic well-being in mountainous area, however, is better than that of the family in coastal area. Key words: family objective economic well-being, disparities, and agroecology area. 87 109 PENDAHULUAN Apabila merujuk pada pola pembangunan Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945 yang memberi arah pembangunan ekonomi untuk menuju kesejahteraan sosial. Kata kunci pembangunan di Indonesia adalah kualitas Sumberdaya Manusia (SDM). Kemudian, Undang-undang Republik Indonesia nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Berdasarkan data terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 4,1 persen pertahun dengan pendapatan perkapita sekitar Rp 2.014.565,- per tahun. Lima belas tahun terakhir, perkembangan perekonomian Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan cukup signifikan baik diukur dari aspek Gross Domestic Product (GDP), maupun pendapatan perkapita kecuali pada tahun 1998 perkembangan perekonomian Indonesia turun mencapai -13,3 persen akibat krisis multi dimensi (ekonomi, moneter dan krisis moral). Pada tahun 1999 sampai sekarang, perekonomian Indonesia pulih kembali (2000) dengan pendapatan per kapita sebesar Rp. 1.800.050,-. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan bidang ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah cukup berhasil. Namun demikian, tingkat kesejahteraan (sumberdaya manusia) yang mengacu pada nilai Human Development Index (HDI) dari tahun ke tahun terjadi sebaliknya (penurunan). Seperti pada tahun 2002, kualitas SDM Indonesia berada pada peringkat 102 dan jauh lebih rendah dibandingkan dengan kualitas SDM negaranegara tetangga (Malaysia, Tailand, Singapura dan Filipina), dan pada tahun 2003 indeks HDI Indonesia meningkat menjadi 112 dari 175 negara (UNDP, 2003). Dengan arti kata, pembangunan sektor sosial dalam rangka meningkatkan SDM ternyata tidak sejalan dengan pembangunan ekonomi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang dikembangkan selama ini tidak menunjukkan korelasi positif dengan kualitas SDM. Artinya, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi, GDP dan pendapatan perkapita ternyata tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tujuan pembangunan untuk mewujudkan pembangunan Indonesia seutuhnya belum tercapai. 88 110 Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu masalah pemerataan pembangunan yang dikembangkan pemerintah Indonesia dan tampaknya seperti yang dialami oleh beberapa penduduk dunia bahwa kesejahteraan masyarakat antar daerah menunjukkan tingkat disparitas dan inequality cukup kentara. Apabila kesejahteraan diproksikan dengan nilai Product Domestic Regional Bruto (PDRB), ternyata pembangunan terpusat di pulau Jawa yaitu mencapai 59,56 persen dari total pendapatan, Sumatera 22,05 persen, sedangkan pulau lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan lain- lain) hanya 8,22 persen. Kesenjangan pendapatan atau disparitas kesejahteraan penduduk ini bermuara dari pola pembangunan yang dikembangkan dan dijalankan oleh pemerintah semenjak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang. Program pembangunan mengacu pada pembangunan ekonomi, dan dilaksanakan secara fragmented dengan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan sedikit sekali menyentuh pembangunan sumberdaya manusia apalagi pembangunan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Padahal menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 1992, pasal 1, ayat 4, pengertian kualitas penduduk (kesejahteraan) adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan non fisik serta ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang berbudaya, berkepribadian, dan hidup layak. Kesejahteraan yang diharapkan adalah kualitas manusia Indonesia baik kualitas fisik maupun non fisik. Kualitas SDM yang menjadi prasyarat terbentuknya manusia Indonesia dengan tingkat produktivitas kerja yang tinggi dan merata pada setiap daerah. Kesejahteraan diartikan suatu tata nilai kehidupan dan penghidupan bagi setiap individu, keluarga dan masyarakat dalam berbagai aspek, seperti: ekonomi, sosial, maupun spritual untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani (Undang Undang Dasar 1945). Penduduk Provinsi Jambi, seperti penduduk lainnya di Indonesia, mengelompok sesuai dengan ciri yang dianut, seperti: pola penguasaan lahan, karakteristik sosio-budaya, dan etnisitas sehingga di Provinsi Jambi dikenal dengan tiga kelompok komunitas masyarakat, yakni: masyarakat yang berada pada wilayah dataran rendah; dataran tinggi dan wilayah pasang surut. Wilayah dataran rendah misalnya, didominasi oleh masyarakat Melayu ditambah dengan 111 pendatang (transmigran dari Jawa dan Bali) dengan hasil utama karet dan kelapa sawit. Wilayah pasang surut didominasi oleh masyarakat Bugis dan Banjar (migrasi spontan) dan Melayu dengan komoditas utama hasil perkebunan kelapa dalam, hasil laut dan padi sawah pasang surut, sedangkan di wilayah dataran tinggi didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan komoditas utama hasil perkebunan kulit manis (cassiavera), kopi dan padi sawah irigasi. Keadaan tersebut dapat menyebabkan tingkat ethnicity yang cukup beragam antar wilayah di Provinsi Jambi sehingga dapat berpengaruh terhadap income inequality, karena ethnicity merupakan determinan penting dalam memicu income inequality (Easterly, 1999); (Lazear, 1995); (Coppin dan Olsen, 1998) dan (Malan, 2000). Setiap peningkatan sebesar satu unit jumlah kelompok ethnics dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat meningkatkan minimal sebesar 3 persen income inequality (Robinson, 2002:8). Sehubungan dengan itu maka penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi objektif (proxy pengeluaran keluarga), (2) mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga berdasarkan wilayah agroekologi. METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi dengan dua Kabupaten terpilih, yaitu: Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Kerinci. Terpilihnya kedua Kabupaten tersebut sebagai wilayah penelitian, dengan pertimbangan kedua wilayah tersebut dapat mewakili karakteristik kabupaten yang ada di Provinsi Jambi baik dilihat dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Kabupaten Tanjung Jabung Timur misalnya, dapat mewakili wilayah pesisir pantai/pasang surut, mayoritas masyarakat berasal dari suku Melayu, Bugis dan Banjar (migrasi spontan) dengan komoditas utama hasil laut, kelapa dalam, dan padi sawah pasang surut. Kabupaten Kerinci mewakili masyarakat wilayah pegunungan atau dataran tinggi, mayoritas masyarakat didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan komoditas utama padi sawah irigasi, kulit manis (cassiavera), dan kopi. 112 Waktu pengumpulan data penelitian selama delapan bulan, mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2006. Pengumpulan data penelitian dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan data atau penelitian penjajakan (uji coba kuesioner). Tahap kedua adalah pengumpulan data primer dan sekunder. Uji Reliabilitas Tingkat validitas penelitian salah satunya ditentukan oleh reliabilitas instrumen atau tingkat konsistensi antar konstruk variabel penelitian. Untuk menguji besar kecilnya nilai reliabilitas instrument penelitian menggunakan tolok ukur nilai a-cronbach. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai a-cronbach penelitian berkisar antara 0,720 – 0,893. Dengan demikian, tingkat reliabilitas antar konstrak variabel penelitian atau informasi yang terjaring cukup dapat dihandalkan karena berdasarkan standar nilai paling rendah yaitu sebesar 0,60. Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data Data penelitian bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari keluarga terpilih melalui metode wawancara dengan dipandu daftar pertanyaan (kuesioner) dan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder diperoleh dari instansi dan lembaga terkait disamping dari laporan hasil penelitian, journal maupun majalah yang memuat tentang masalah kesejahteraan keluarga. Jenis atau variabel penelitian dibagi kedalam empat kelompok, yaitu: sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga dan variabel kesejahteraan ekonomi keluarga (proxy pengeluaran keluarga). Sosio-demografi, meliputi: (1) tingkat pendidikan kepala keluarga, (2) tingkat pendidikan non formal kepala keluarga, dan (3) beban ketergantungan keluarga. Aspek manajemen sumberdaya keluarga, meliputi: (1) manajemen waktu, (2) manajemen anggota keluarga, dan (3) manajemen keuangan keluarga. Modal sosial (asosiasi lokal dan karakter individu). Asosiasi lokal, meliputi: (1) jumlah asosiasi yang diikuti, (2) tingkat partisipasi dan (3) manfaat asosiasi, sedangkan variabel karakter masyarakat, meliputi: (1) keterpercayaan, (2) solidaritas, dan (3) semangat kerja. Aspek 113 kesejahteraan ekonomi objektif keluarga, meliputi: (1) kebutuhan pangan, (2) non pangan, dan (3) kebutuhan investasi sumberdaya manusia. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara survai melalui daftar pertanyaan (kuesioner) dan daftar wawancara disamping pengumpulan data secara observasi. Untuk mendapatkan informasi lebih mendalam, pengumpulan data dilanjutkan dengan metode Focus Group Discussion (FGD) dan Indepth Interview terhadap beberapa keluarga terpilih. Sampel Penelitian Daerah/sampel penelitian (kabupaten penelitian) ditentukan dengan metode cluster sampling yaitu berdasarkan agroekologi wilayah sehingga terpilih wilayah dataran tinggi (pegunungan) dan daerah pesisir pantai (pasang surut). Diambilnya daerah/wilayah penelitian berdasarkan agroekologi, mengingat distribusi penduduk Provinsi Jambi menyebar berdasarkan tipologi tersebut. Selanjutnya, desa/kelurahan penelitian diambil secara purposive sampling dan mengikuti pola pada masing- masing wilayah Kabupaten dan Kecamatan, sedangkan keluarga diambil secara simple random sampling sebesar 325 orang atau 10 persen dari jumlah keluarga yang ada pada masing- masing desa wilayah penelitian. Kemudian, jumlah sampel yang digunakan sebagai indepth interview atau Focus Group Discussion (FGD) sebesar 33 orang atau 10 persen dari jumlah keluarga masing- masing desa. Analisis Data Analisis data dimulai dari melakukan sortasi, dan “coding”. Kemudian dilanjutkan analisis data secara deskriptif dengan menggunakan tabel frekuensi tunggal untuk data sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, modal sosial dan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga. Untuk menguji faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga (proxy pengeluaran keluarga) diuji dengan Regresi berganda melalui program SPSS versi 13. Untuk me ngidentifikasi atau melihat tingkat pemerataan kesejahteraan di daerah penelitian diuji menggunakan model Kuznets, Kurva Lorenz, dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (U-test). 114 HASIL DAN PEMBAHASAN Sosio Demografi Keluarga Pendidikan Suami Menurut teori human capital, kualitas sumberdaya manusia selain ditentukan oleh tingkat kesehatan juga ditentukan tingkat pendidikan. Pendidikan dipandang tidak hanya dapat menambah pengetahuan tetapi dapat juga meningkatkan keterampilan (keahlian) tenaga kerja sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas. Produktivitas di satu pihak dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan dilain pihak dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan penduduk. Berarti terjadi korelasi positif antara tingkat pendidikan dengan produktivitas kerja. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka produktivitas tenaga kerja semakin tinggi dan sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan yang ditamatkan maka produktivitas kerja semakin rendah. Dengan demikian, tingkat pendidikan berkaitan erat dengan lapangan pekerjaan dan jabatan yang disandangkannya. Artinya, semakin baik lapangan pekerjaan dan jabatan yang dimiliki maka tingkat pendapatan yang diperoleh juga baik, dan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah (GBHN, 2004) bahwa keberhasilan pembangunan dapat dirasakan dalam berbagai sektor seperti pendidikan, taraf hidup, dan pekerjaan. Keberhasilan itu dapat dicapai antara lain dengan memanfaatkan jumlah penduduk yang besar melalui peningkatan usaha pembinaan, pengembangan dan potensi sumberdaya manusia, terutama dengan memperluas fasilitas dan meningkatkan mutu pendidikan. Hal tersebut sejalan dengan Ananta, dan Hatmadji (Suandi dan Ernawati, 2005) bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu tolok ukur yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu daerah atau masyarakat. Pendidikan tidak hanya mencerdaskan kehidupan masyarakat yang bersangkutan, melainkan juga meningkatkan mutu masyarakat tersebut. Dengan mutu yang tinggi dan baik, jumlah penduduk tidak lagi merupakan beban atau tanggungan masyarakat melainkan sebagai modal atau aset pembangunan. Disisi lain, tingkat pendidikan dapat berpengaruh dalam keterampilan teknis dan kecerdasan akademis untuk memenuhi kecukupan pangan, penciptaan lapangan kerja baru 115 yang produktif serta dapat mengembangkan dan mengelola sumberdaya manusia (human resources) itu sendiri (Sumitro: Suandi dan Ernawati, 2005). Hasil pengumpulan data lapang, ternyata persentase terbesar (48,9 %) kepala keluarga (suami) memiliki pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Artinya, mayoritas responden belum mencapai tingkat pendidikan dasar yang digariskan oleh pemerintah yaitu pendidikan 9 tahun. Padahal tingkat pendidikan cukup berperan dalam kelancaran penerimaan dan menjalankan teknologi baru termasuk teknologi pertanian. Apabila dilihat berdasarkan wilayah penelitian, ternyata tingkat pendidikan responden terendah terdapat di wilayah pesisir pantai dengan persentase responden yang berpendidikan Sekolah Dasar kebawah mencapai 53,6 persen, sedangkan di wilayah pegunungan hanya 44,8 persen. Lebih memprihatinkan lagi, dimana responden di wilayah pesisir pantai ini persetase yang berpendidikan tidak tamat Sekolah Dasar mencapai 29,1 persen. Hal ini dikhawatirkan dalam pengembangan sumberdaya manusia dan pembangunan daerah kedepan karena tingkat pendidikan yang rendah ini menjadi beban pemerintah kalau tidak diantisipasi dan melakukan berbagai terebosan pembangunan demi kamajuan masyarakat dan daerah. Menurut Walker (Suandi dan Ernawati, 2005), pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan, keterampilan, maupun sikap seseorang yang dilaksanakan secara terencana sehingga diperoleh perubahan-perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Dalam pembangunan pertanian, wawasan dan pandangan seseorang diartikan sebagai cara seseorang merespon suatu inovasi pertanian dan membangun gagasan dalam perencanaan usahatani. Dengan demikian, pengukuran tingkat pendidikan sangat bermanfaat dalam memprediksi kondisi wawasan pengetahuan dalam asas pemikiran petani terhadap inovasi dan proses adopsi yang menyertai inovasi tersebut. Oleh karena itu, tingkat pendidikan yang relatif baik (tinggi) diharapkan dapat membantu dalam upaya pemberdayaan masyarakat pertanian melalui upaya pembangunan pertanian secara menyeluruh. Tabel 25 menunjukkan bahwa pada umumnya tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah. Dengan kondisi demikian, tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat secara formal tergolong rendah termasuk kedalam tata 116 cara pengelolaan rumahtangga. Padahal menurut Mubyarto (1992), bahwa tingkat pendidikan masyarakat perdesaan akan mempengaruhi cara berpikir dalam pengelolaan usahataninya terutama kemampuan manajemen, penerimaan inovasi baru dan pengambilan keputusan dalam memperhitungkan produktifitas usaha tani mereka. Tabel 25 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Suami, 2006 No Tingkat pendidikan Suami Wilayah Pegunungan Jumlah Persen Sebaran Contoh Wilayah Pesisir Pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Tidak Tamat SD 19 10.9 44 29.1 63 19.4 02 Sekolah Dasar 59 33.9 37 24.5 96 29.5 03 SLTP 58 33.3 55 36.4 113 34.8 04 SLTA+ 38 21.8 15 9.9 53 16.3 174 100.0 151 100.0 325 100,0 - Total Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka penyerapan informasi atau inovasi baru akan lebih mudah dengan tingkat interaksi yang lebih cepat dibandingkan dengan petani yang tingkat pendidikan relatif lebih rendah. Disisi lain, tinggi rendah tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi pilihan lapangan pekerjaan yang diminati atau ditekuni. Semakin rendah tingkat pendidikan maka mereka lebih cenderung memilih pekerjaan yang tidak memerlukan penanganan yang lebih rumit atau tingkat keterampilan tinggi dan sebaliknya. Pendidikan Non Formal Tingkat pendidikan non formal suami (responden) atau kepala keluarga diambil dari banyak dan lamanya menekuni pendidikan non formal baik pada bidang keahlian maupun mendapat pendidikan atau pelatihan pada bidang lain sehingga dalam pengkategorian ada yang disebut dengan mereka yang sangat sering mengikuti pendidikan, sering mengikuti pendidikan, kurang mengikuti pendidikan, dan tidak pernah mengikuti pendidikan non formal. Berdasarkan hasil 117 pengumpulan data melalui wawancara dan pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa rata-rata suami atau kepala keluarga keterlibatan mengikuti pendidikan non formal tergolong relatif rendah. Hal ini dapat dibuktikan melalui distribusi data responden yang berdasarkan jumlah pendidikan non formal yang diikuti, hampir 80,3 persen responden tergolong pada kelompok kurang mengikuti pendidikan non formal. Tabel 26 juga menginformasikan bahwa lebih dari 56 persen responden tergolong kepada kelompok yang tidak pernah sama sekali mengikuti pendidikan non formal (tidak memiliki keterampilan). Dengan arti kata, responden di daerah penelitian mayoritas tidak/belum pernah menerima pendidikan ataupun pelatihan dari istansi pemerintah/swasta baik pada bidang yang ditekuni maupun profesi lainnya. Tabel 26 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Non Formal Suami, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Pendidikan Non Wilayah Wilayah Total Formal yang diikuti Pegunungan Pesisir pantai Suami Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen 01 02 03 04 - Tidak pernah mengikuti pendidikan Kurang mengikuti pendidikan Sering mengikuti pendidikan Sangat sering mengikuti pendidikan Total 84 48.3 101 66.9 185 56.9 37 21.3 39 25.8 76 23.4 29 16.7 9 6.0 38 11.7 24 13.8 2 1.3 26 8.0 174 100.0 151 100.0 325 100,00 Apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian, tampaknya hampir di kedua wilayah ini memiliki tingkat keterampilan responden yang rendah tetapi berdasarkan data yang ada ternyata persentase terbesar responden yang tidak memiliki tingkat keterampilan yaitu responden yang berada di wilayah pesisir pantai yaitu sekitar 66,9 persen, sedangkan responden di wilayah pegunungan yang tidak terampil sebanyak 48,3 persen. Bagi responden yang memiliki keterampilan khususnya responden yang berada di daerah perdesaan pegunungan tampaknya sebagian besar mengikuti pendidikan atau pelatihan di bidang pertanian yang dimotori oleh Dinas Pertanian Kabupaten dan Dinas Pertanian Provinsi, sedangkan keterampilan lain yang dimiliki responden di wilayah 118 pegunungan yaitu mengikuti pelatihan di bidang teknik “las karbit ” yang dilaksanakan oleh Departeme n Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kerinci. Rendahnya tingkat keterampilan suami di daerah penelitian akan berdampak kepada kesejahteraan keluarga dan pembangunan daerah apalagi diperparah dengan rendahnya tingkat pendidikan formal yang dimiliki. Menurut hemat peneliti, perlu ada tindakan nyata “action” oleh pemerintah setempat kepada masyarakat secara umum dan responden khususnya dalam berbagai pemberdayaan baik secara kelompok maupun massal. Dengan harapan, semakin tinggi tingkat keterampilan masyarakat maka akan berpengaruh pada produktivitas kerja sehingga pada gilirannya akan berdampak pada naiknya pendapatan. Tingkat Beban Ketergantungan Keluarga Beban Ketergantungan (dependency ratio) merupakan perbandingan atau ratio antara jumlah anggota keluarga yang produktif dengan jumlah anggota keluarga yang belum dan tidak produktif dalam memberi nafkah untuk keperluan keluarga. Beban Ketergantungan (dependency ratio) diambil dari data komposisi keluarga menurut kelompok umur 14 tahun ke bawah (kelompok umur belum produktif), kelompok umur antara 15-64 tahun (kelompok umur produktif) dan kelompok umur 65 tahun keatas (kelompok umur tidak produktif). Menurut Shryock dan Siegel (1976; 113), data tentang komposisi keluarga berdasarkan kelompok umur sanga t besar manfaatnya dalam berbagai perencanaan pembangunan terutama yang berkaitan dengan jasa dan lembaga kemasyarakatan, seperti: kecukupan akan sekolah, guru, fasilitas kesehatan, pangan dan perumahan. Kemudian, Kasto, (1995;7) melihat bahwa variabel umur sangat erat kaitannya dengan mortalitas, fertilitas dan mobilitas penduduk. Oleh karena itu, komposisi penduduk dapat dilihat hubungannya dengan kecukupan (penduduk sebagai beban) dan sumberdaya (tenaga kerja) dalam proses pembangunan. 119 Berdasarkan pernyataan diatas, tampaknya bahwa komposisi penduduk atau rumahtangga berdasarkan kelompok umur, salah satu variabel yang perlu diketahui adalah kelompok umur penduduk sebagai beban (belum dan atau tidak produktif) dan sumbedaya (produktif). Dengan kata lain melihat perbandingan antara penduduk produktif dengan penduduk yang belum dan atau tidak produktif. Mengingat besar kecilnya persentase penduduk yang produktif dengan penduduk belum dan atau tidak produktif akan menentukan besar kecilnya beban tanggungan penduduk yang bersangkutan dan tingkat kemajuan pembangunan suatu kelompok masyarakat. Perbandingan antara penduduk produktif dengan penduduk yang belum dan atau tidak produktif akan ditentukan oleh nilai atau ukuran Beban Ketergantungan (dependency ratio). Artinya, semakin besar jumlah penduduk yang belum dan atau tidak produktif maka nilai Dependency Ratio semakin besar. Dengan arti kata, penduduk produktif akan menanggung beban bagi kelompok penduduk yang belum dan atau tidak produktif untuk kecukupan mereka baik sebagai kecukupan pokok, seperti: kecukupan pangan, sandang, papan maupun kecukupan lainnya. Namun demikian, sebelum mempelajari tingkat Beban Ketergantungan (Dependency Ratio) penduduk, terlebih dahulu harus mengetahui komposisi penduduk (posisi penduduk muda atau tua) dengan jalan melihat persentase antara kelompok umur penduduk di bawah 15 tahun dan persentase kelompok umur di atas 64 tahun. Komposisi penduduk suatu daerah dapat dikatakan muda atau tua menurut Shryrock dan Siegel (1976: 202) dapat ditentukan melalui nilai persentase penduduk yang berumur di bawah 15 tahun, 65 tahun ke atas dan rasio antara penduduk yang berumur 65 tahun ke atas dengan penduduk yang berumur di bawah 15 tahun. Apabila persentase penduduk umur di bawah 15 tahun lebih dari 40 persen, umur 65 tahun kurang dari 5 persen dengan rasio penduduk umur 65 ke atas dengan penduduk umur di bawah 15 tahun kurang dari 15 persen maka struktur penduduk tersebut tergolong “muda” atau dikenal dengan istilah struktur penduduk yang bersifat exspansive (Tabel 27). Apabila persentase penduduk umur di bawah 15 tahun kurang dari 30 persen, umur 65 tahun lebih dari 10 persen dengan rasio penduduk umur 65 ke atas dengan penduduk umur di bawah 15 tahun lebih dari 30 persen maka struktur pend uduk tersebut tergolong “tua”. 120 Tabel 27 Sebaran Contoh Berdasarkan Kelompok Umur Terpilih, 2006 Sebaran Contoh No 01 02 03 - Kelompok Umur Terpilih (tahun) Kelompok Umur Belum Produktif (0-14) KelompokUmur Produktif (15-64) Kelompok Umur Tidak Produktif (>65) Total Wilayah Pegunungan Wilayah Pesisir pantai Jumlah Persen Jumlah Persen 267 34,8 227 479 62,5 21 767 Total Jumlah Persen 32,5 494 33,7 466 66,8 945 64,5 2,7 5 0,7 26 1,8 100,0 698 100,0 1.465 100,00 Data lapangan menunjukkan bahwa komposisi penduduk responden di daerah penelitian menurut struktur umur penduduk masih tergolong muda namun hampir menuju pada struktur penduduk tua. Hal ini ditandai dengan persentase penduduk usia di bawah 15 tahun masih diatas angka 30 persen (33,7 %) dengan jumlah penduduk yang berumur di atas 65 tahun atau umur tidak produktif sebesar 1,8 persen. Hal senada juga ditunjukkan oleh kelompok umur yang ada di wilayah pegunungan dan wilayah pesisir pantai dengan nilai tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. Dari data komposisi penduduk berdasarkan persentase penduduk muda dan tua akan dapat menentukan nilai dari beban ketergantungan suatu kelompok penduduk tersebut. Kalau kelompok umur 0-14 tahun dianggap sebagai kelompok penduduk yang belum produktif secara ekonomis, kelompok penduduk 15-64 tahun sebagai kelompok penduduk produktif, dan kelompok penduduk umur 65 tahun ke atas sebagai kelompok penduduk yang tidak produktif maka beban ketergantungan (dependency ratio) penduduk produktif di daerah penelitian sebesar 55 (Tabel 28). 121 Tabel 28 Sebaran Contoh BerdasarkanTingkat Beban Ketergantungan Keluarga, Tahun 2006 No 01 02 03 04 Tingkat Beban Ketergantungan Beban Tanggungan sangat kecil (0-24 %) Beban Tanggungan kecil (25-49 %) Beban Tanggungan besar (50-74 %) Beban Tanggungan sangat besar ( > 75 %) - Total - Rata-rata (%) Wilayah Pegunungan Sebaran Contoh Wilayah Pesisir pantai Total Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen 23 13.2 25 16.6 48 14,8 36 20.7 42 27.8 78 24.0 62 35.6 40 26.5 102 31,4 53 30.5 44 29.1 97 29,8 174 100.0 151 100.0 325 100,0 60 50 55 Artinya, dalam 100 orang usia produktif dari keluarga-keluarga contoh di daerah penelitian menanggung beban 55 orang yang berusia belum dan tidak produktif untuk kecukupan konsumtif. Hal ini mengindikasikan bahwa beban tanggungan bagi anggota keluarga usia produktif di daerah penelitian masih tergolong besar walaupun nilai beban ketergantungan ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai rasio ketergantungan Propinsi Jambi tahun 2003 (56), dan bahkan nasional (Suandi, dan Bambang, 2003: 17). Angka beban ketergantungan tenaga kerja belum dan atau tidak produktif terhadap tenaga kerja produktif di daerah penelitian jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan batas angka beban ketergantungan di Negara- negara berkembang (60) (Shryrock dan Siegel (1976:202). Relatif rendahnya tingkat ketergantungan penduduk belum dan tidak produktif terhadap penduduk produktif dapat mendorong terhadap kemajuan pembangunan selanjutnya. Mengingat tingginya angka rasio beban tanggungan sebagai faktor penghambat pembangunan ekonomi karena sebagian dari pendapatan yang diperolah dari golongan yang produktif terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kecukupan 122 mereka yang belum produktif untuk kecukupan akan pangan, fasilitas pendidikan dan fasilitas lainnya (Mantra, 2000:92). Manajemen Sumberdaya Keluarga Kata manajemen berasal dari kata manage, sedangkan kata manage dalam buku ”Webster’s New Collegiate Dictionary” berasal dari bahasa Italia ”maneggio”, sedangkan maneggio berasal dari bahasa Latin yaitu ”manus” artinya tangan (Siagian, 1998:9). Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah manajemen adalah ”the act or act of managing, conduct, direction, and control” (tindakan atau seni mengatur, membimbing, mengarahkan dan memantau). Menurut Terry (Siagian, 1996), manajemen adalah upaya mencapai tujuan dengan menggunakan tangan orang lain. Berkenaan dengan istilah keluarga, menurut Burgers dan Locke (Guhardja S et al., 1992), keluarga adalah sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang anggotanya terikat oleh adanya hubungan perkawinan (suami+isteri) serta hubungan darah (anak kandung) atau adopsi (anak pungut). Apabila dilihat dari konsep sistem, keluarga adalah suatu sistem yang seperti sistem lainnya yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berhubungan. Menurut Parsons (1965), sistem keluarga memiliki tiga elemen utama, yakni: (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial yang saling berhubungan satu sama lainnya (interralated). Hubungan antar elemen untuk mewujudkan satu fungsi tertentu terjadi, dan tidak saja bersifat alami tetapi juga dibentuk oleh berbagai faktor atau kekuatan yang ada disekitar keluarga seperti nilai- nilai atau norma serta faktorfaktor lain yang ada di masyarakat. Menurut Parsons (Megawangi, 2001:66), konsep pokok keluarga adalah solidaritas. Maksud dari solidaritas dalam keluarga yaitu saling mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan keluarga tercapai. Setiap anggota keluarga percaya bahwa solidaritas keluarga merupakan landasan untuk dapat menumbuhkan solidaritas dan kepercayaan kepada masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya individualisme dalam keluarga 123 dan masyarakat, kelompok konservatif memiliki norma bersama terhadap peraturan perilaku (behavior). Keputusan yang harus diambil mengarah pada kepentingan bersama dengan tidak menghilangkan hak azasi manusia sebagai makhluk sosial dengan melakukan berbagai penyesuaian. Pendapat Parson ini banyak di dukung oleh ahli-ahli agama yang ada didunia ini terutama yang berkaitan dengan institusi perkawinan dan tanggung jawab. Implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, keluarga layaknya seperti organisme hidup. Ia diibaratkan hewan berdarah panas yang dapat memelihara temperatur tubuhnya agar tetap konstan walaup un kondisi lingkungan berubah. Parsonnian melihat bahwa institusi keluarga tidak statis, sebaliknya keluarga sangat tanggap terhadap perkembangan atau perubahan lingkungan, artinya keluarga selalu dapat beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan atau disebut dengan istilah keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium). Fungsi keluarga adalah bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan formal, informal dan non formal Dalam pengembangan sumberdaya manusia, keluarga diperlukan baik sebagai unit pusat produksi maupun sebagai unit pusat konsumsi. Sebagai unit produksi, keluarga mengartikuasikan relasi pasar dan non pasar. Dalam konteks masyarakat madani, terdapat sebuah gagasan yang mengedepankan peran masyarakat yang terbentuk dari keluarga. Keluarga dalam susbsistem masyarakat juga tidak akan lepas dari interaksi dengan subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat, misalnya sistem ekono mi, politik, pendidikan dan agama. Dengan adanya interaksi subsistem-subsistem tersebut, keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state). Konsep Sumberdaya: sebagai alat atau bahan yang tersedia dan diketahui potensinya untuk memenuhi keinginan (Guhardja S et al., 1992). Sumberdaya ini tidak selalu bersifat langka tetapi dapat pula bersifat melimpah. Sumberdaya yang melimpah memudahkan dalam memenuhi keinginan dan sebaliknya. Klasifikasi sumberdaya berdasarkan jenisnya, yaitu: 124 (1) sumberdaya manusia, (2) sumberdaya non manusia/materi (benda/barang), dan (3) sumberdaya waktu dan energi. Sumberdaya manusia meliputi: (1) Ciri pribadi/personal, dan (2) ciri interpersonal. Adapun yang dimaksud dengan ciri pribadi adalah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective) dan ketrampilan (psichomotoric), derajat kesehatan, bakat, tingkat intelegensia, minat dan sensitivitas (kepekaan). Adapun yang dimaksud dengan ciri interpersonal, meliputi: jalinan hubungan antar manusia dalam bentuk kerjasama, gotong royong, keintiman, dan keterbukaan atau ketertutupan. Sumberdaya materi terdiri dari: (1) benda-benda/barang-barang, dan (2) jasa yang berguna bagi manusia. Kemudian, ada sumberdaya waktu dan energi. Waktu merupakan sumberdaya yang unik, karena jumlahnya tidak dapat ditambah, dikurangi, diakumulasi atau disimpan dan jumlahnya sama bagi setiap orang yaitu 24 jam sehari. Adapun energi dapat berupa sumberdaya manusia maupun sumberdaya non manusia. Berdasarkan nilai ekonomi, ada sumberdaya ekonomi dan sumberdaya non-ekonomi. Sumberdaya ekonomi, dicirikan oleh kelangkaan sumberdaya tersebut sehingga dapat dipertukarkan dan dapat diukur untuk keperluan proses produksi dan distribusi termasuk pekerjaan rumahtangga. Sumberdaya nonekonomi, cirinya dengan jumlah relatif tak terbatas dan tidak dapat dipertahankan serta sulit diukur, contoh, kasih sayang, dan lain- lain. Namun nilai ekonomi sumberdaya dapat berbeda berdasarkan tempat. Berdasarkan asal/letak dapat dibagi dua, yaitu: (1) sumberdaya lingkungan mikro/internal, dan (2) sumberdaya lingkungan makro/ekternal. Pengukuran-pengukuran sumberdaya diperlukan untuk memudahkan dalam perbandingan serta pengalokasian sumberdaya, maka dibutuhkan suatu dasar umum dalam pengukuran suatu sumberdaya. Ada dua alat ukur sumberdaya, yakni: (1) uang, dan (2) waktu. Uang dapat menilai harga barang/jasa serta dapat mengukur potensi manusia seperti pengetahuan dan ketrampilan. Kemudian, hasil suatu pekerjaan dapat diukur melalui waktu. Seperti pada umumnya suatu sistem, sistem keluarga dalam memenuhi fungsinya menerima masukan (input) yang berupa: materi, energi, dan informasi yang memasuki sistem keluarga yang diklasifikasikan sebagai sumberdaya dan 125 kebutuhan. Dalam keluarga, sumberdaya ini digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Sumberdaya yang telah digunakan ini akan keluar dari sistem keluarga sebagai output dan masuk sebagai input ke dalam sistem lingkungan. Kebutuhan merupakan “input” yang nenumbuhkan rangsangan, motivasi, dan arti pada kegiatan yang berlangsung di dalam sistem. Proses perubahan “input ” dari materi, energi dan informasi menjadi “outpout” disebut througput atau trans formasi. Berkenaan dengan tujuan penelitian ini yaitu tentang keterkaitan manajemen sumberdaya keluarga dengan tingkat kesejahteraan maka sumberdaya yang di pakai sebagai variabel penelitian atau loading variabel dari manajemen adalah (1) manajemen sumberdaya waktu, (2) manajemen anggota keluarga, dan (3) manajemen keuangan keluarga. Untuk mendapat variabel sumberdaya keluarga dalam satu kesatuan yang utuh maka perlu penggunaan sumberdaya keluarga dalam usaha atau proses mencapai sesuatu yang dianggap penting oleh keluarga. Hasil dari penggunaan sumberdaya diharapkan lebih baik dari pengorbanan (Guhardja S et al., 1992). Secara implisit dapat dijelaskan bahwa manajemen sumberdaya keluarga dapat dilihat dari dua pendekatan, pertama: manajemen sumberdaya keluarga terfokus pada pengalokasian tenaga dan waktu sesuai dengan peran anggota keluarga, dan pendekatan kedua bahwa manajemen sumberdaya keluarga dilihat dari proses dan manfaat dari sumberdaya itu sendiri. Sehubungan dengan itu, sesuai dengan tujuan penelitian maka penelitian ini menggunakan pendekatan kedua, yaitu melihat manajemen sumberdaya berdasarkan proses dan manfaat sumberdaya itu sendiri. Seperti terlihat pada Tabel 29, bahwa rata-rata tingkat manajemen sumberdaya keluarga di daerah penelitian tergolong baik karena lebih dari 60 persen kelompok responden tergolong pada kelompok dengan tingkat pengelolaan sumberdaya keluarga secara keseluruhan termasuk baik dan sangat baik. Tingginya persentase manajemen sumberdaya keluarga di daerah penelitian terlihat dari persentase manajemen pemanfaatan waktu, manajemen anggota keluarga dan manajemen keuangan. Namun, apabila di kelompok berdasarkan daerah penelitian tampaknya persentase responden dalam mengelola sumberdaya keluarga yang relatif lebih baik terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 126 70 persen lebih, sedangkan persentase responden dalam mengelola sumberdaya keluarga di wilayah pesisir pantai yang termasuk baik dan sangat baik hanya sekitar 43 persen. Terdapatnya perbedaan tingkat pengelolaan sumberdaya keluarga di daerah penelitian ini tampaknya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga. Tabel 29 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Sumberdaya Keluarga, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Manajemen Sumberdaya Keluarga Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat Kurang 17 9.8 25 16.6 42 12.9 02 Kurang 30 17.2 56 37.1 86 26.5 03 Baik 77 44.3 50 33.1 127 39.1 04 Sangat Baik 50 28.7 20 13.2 70 21.5 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tingginya tingkat pengelolaan sumberdaya keluarga di wilayah pegunungan tidak terlepas dari kerjasama anggota keluarga terutama antara isteri dan suami. Hasil indepth interview dengan salah seorang isteri keluarga contoh yaitu ibu Nurwati, bahwa di keluarga mereka terutama dalam masalah konsumsi keluarga baik konsumsi pangan, konsumsi non pangan, dan bahkan investasi pendidikan dan kesehatan selalu dilakukan secara bersama-sama antara isteri dengan suami dan kadangkadang ibu Nurwati dan suaminya minta informasi kepada anak-anak khususnya anak yang paling besar. Menurut peneliti, kondisi seperti ini perlu dicontoh sebagai tauladan dalam pengelolaan sumberdaya keluarga. Manajemen Waktu Seperti tertera pada Tabel 30 bahwa persentase manajemen waktu keluarga di daerah penelitian tergolong relatif baik. Terdapat ha mpir 59 persen keluarga responden di daerah penelitian menyatakan bahwa mereka merasa cukup baik 127 dalam memanfaat waktu. Namun demikian, berdasarkan daerah penelitian ternyata proporsi keluarga contoh yang memiliki persentase pengelolaan waktu lebih baik (kategori baik+sangat baik) paling besar terdapat di wilayah pegunungan (63,2 %), sedangkan proporsi keluarga contoh di wilayah pesisir pantai (53,6 %). Tabel 30 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Waktu Keluarga, 2006 Sebaran Contoh No Manajemen Waktu Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat Kurang 19 10.9 34 22.5 53 16.3 02 Kurang 45 25.9 36 23.8 81 24.9 03 Baik 51 29.3 53 35.1 104 32.0 04 Sangat Baik 59 33.9 28 18.5 87 26.8 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Manajemen waktu dalam penelitian ini dilihat dari tiga aspek, yakni: aspek target jangka pendek, pemanfaatan waktu yang dimiliki, dan wujud kerja yang diharapkan. Dalam hal aspek target jangka pendek, rata-rata keluarga contoh di daerah penelitian yang bisa mencapai target yang telah ditentukan dengan baik sekitar 55 persen, dan sebaliknya terdapat sebanyak 45 persen keluarga contoh yang belum mencapai target yang ditentukan sebelumnya (Lampiran 5). Hasil yang diperoleh keluarga contoh di daerah penelitian ini sudah tergolong pada kelompok berhasil karena sudah dapat membuat perencanaan pemanfaatan waktu yang dimiliki. Pemanfaatan waktu jangka pendek keluarga contoh terutama dilihat kegiatan mencari nafkah (kebutuhan konsumsi pangan keluarga). Dimensi pemanfaatan waktu yang dimiliki anggota keluarga, hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pemanfaatan waktu juga menunjukkan hasil yang relatif baik dan melebihi persentase manajemen waktu dalam target jangka pendek (65 %). Kemudian, manajemen waktu dari aspek harapan yang diwujudkan oleh anggota keluarga contoh baik di wilayah pegunungan maupun di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 64 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa 128 keluarga contoh di daerah penelitian cukup baik dalam merencanakan sesuatu untuk kebutuhan keluarga dan dapat memanfaatkan sumberdaya dengan sebaikbaiknya sebagai keperluan keluarga. Manajemen Anggota Keluarga Seperti tertera pada Tabel 31, rata-rata manajemen sumberdaya anggota keluarga di daerah penelitian sedikit lebih baik dibandingkan dengan manajemen sumberdaya waktu (61 persen). Seperti halnya pada kasus manajemen sumberdaya waktu, proporsi keluarga dengan manajemen sumberdaya anggota keluarga yang baik paling besar terdapat di wilaya h pegunungan yaitu mencapai 71 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya sekitar 50 persen. Manajemen sumberdaya anggota keluarga, seperti halnya dengan manajemen waktu yaitu mengandung beberapa aspek, yakni: dukungan psikologis terhadap kemajuan anak, manajemen anggota keluarga usia produktif, dan manajemen anggota keluarga lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata ketiga aspek tersebut rata-rata tingkat manajemen atau pengelolaan sumberdaya tersebut tergolong baik yaitu berkisar antara 62,1–70,4 persen. Dari ketiga aspek tersebut, manajemen yang paling tinggi persentasenya terdapat dalam pengelolaan sumberdaya tenaga kerja produktif yaitu mencapai 70,4 persen, sedangkan persentase terendah yaitu manajemen terhadap dukungan psikologis kemajua n anak (62,1 %). Tabel 31 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Anggota Keluarga, 2006 Sebaran Contoh No Manajemen Anggota Keluarga Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat Kurang 20 11.5 34 22.5 54 16.6 02 Kurang 31 17.8 42 27.8 73 22.5 03 Baik 71 40.8 46 30.5 117 36.0 04 Sangat Baik 52 29.9 29 19.2 81 24.9 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total 129 Relatif rendahnya terhadap dukungan psikologis keluarga contoh (orang tua) kemajuan anak terutama pendidikan disebabkan oleh tingkat pengetahuan orang tua yang rendah disamping waktu yang terbatas. Artinya, keluarga contoh (orang tua) di daerah penelitian mayoritas waktu diperuntukkan untuk bekerja. Lain halnya dengan manajemen anggota keluarga produktif. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa rata-rata anggota keluarga produktif (>15 tahun atau tidak sedang dalam bangku sekolah) di daerah penelitian selalu membantu pekerjaan orang tua (kepala keluarga dan atau ibu) baik pekerjaan domestik maupun pekerjaan publik. Sebagai contoh, yaitu salah satu anggota keluarga dari bapak H. Yusuf di desa Nipah Panjang I Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung Timur selalu membantu orang tua mengangkut buah kelapa setelah dipanen dan pekerjaan ini dikerjakannya setiap kali panen kelapa. Manajemen anggota keluarga lainnya yaitu berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya keluarga lainnya. Seperti hasil wawancara mendalam dengan salah seorang responden yaitu bapak Kamal Eka, yang bersangkutan mengatakan sebagai berikut: “jika pekerjaan yang membutuhkan waktu banyak padahal tenaga terbatas maka alternatif pemecahannya adalah memanfaatkan tenaga isteri dan anak, dan jika ternyata juga tidak cukup kita terpaksa upah tenaga luar dan kondisi seperti ini yang sering terjadi di wilayah pegunungan pada waktu panen padi sawah.” Manajemen Keuangan Keluarga Manajemen keuangan keluarga sangat penting dalam memajukan kesejahteraan keluarga baik dalam pengalokasian untuk kecukupan konsumsi maupun keperluan investasi atau pengembangan usaha. Seperti tertera pada Tabel 32, rata-rata manajemen atau pengelolaan keuangan keluarga di daerah penelitian yang termasuk pada kelompok baik dan sangat baik yaitu mencapai 60 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa manajemen keluarga di daerah penelitian tergolong baik dan dapat dikategorikan sebagai petani maju. Padahal menurut hasil penelitian sebelumnya bahwa rata-rata petani di daerah perdesaan tingkat manajemennya sangat terbatas (Suandi, 1998 dan Suandi, 2000). 130 Tabe l 32 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Keuangan Keluarga, 2006 Sebaran Contoh No Manajemen Keuangan Keluarga Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat Kurang 21 12.1 29 19.2 50 15.4 02 Kurang 27 15.5 52 34.4 79 24.3 03 Baik 71 40.8 54 35.8 125 38.5 04 Sangat Baik 55 31.6 16 10.6 71 21.8 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Berdasarkan daerah penelitian, tampaknya proporsi keluarga dengan manajemen keuangan yang baik, terbesar terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 72 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 46 persen. Seperti halnya dengan manajemen lainnya, manajemen keuangan mengandung lima aspek, yakni: strategi mendapatkan penghasilan, alokasi belanja keperluan konsumsi, alokasi belanja keperluan produktif, manajemen biaya pendidikan anak (pendidikan formal dan non formal), dan manajemen pengembangan usaha. Berdasarkan hasil perhitungan diperloleh gambaran bahwa manajemen yang baik paling tinggi terdapat pada manajemen belanja untuk keperluan produktif yaitu mencapai 65 persen, sedangkan terendah terdapat pada manajemen pengembangan usaha hanya 54 persen. Angka ini sudah cukup repsentatif dari manajemen yang tergolong baik dan sangat baik. Khusus yang berkaitan dengan manajemen pengembangan usaha, hasil temuan di lapangan menyimpulkan bahwa terbatasnya kemampuan cara petani atau responden dalam mengelola atau merencanakan berbagai usaha kedepan untuk kemajuan keluarga salah satu faktor utama adalah tingkat pendidikan dan keterampilan petani yang terbatas. Manajemen keuangan lainnya yang tergolong rendah yaitu manajemen biaya pendidikan anak (biaya pendidikan tambahan/keterampilan) (60 %). Relatif rendahnya persentase manajemen keluarga terhadap biaya pendidikan anak (biaya pendidikan tambahan/keterampilan) disamping faktor kemauan dan kemampuan orang tua dan anak terbatas, fasilitas atau sarana pendidikan keterampilan terbatas 131 atau sulit dijangkau, dan faktor pendapatan keluarga responden yang terbatas untuk keperluan tersebut terutama di wilayah pesisir pantai. Tabel 33 Sebaran Contoh dengan Manajemen yang Dirasa Baik Berdasarkan Sumberdaya, 2006 Sebaran Contoh (%) No Sumberdaya Keluarga Wilayah pegunungan Wilayah pesisir Pantai Rata-rata 01 Waktu 63,2 53,6 58,4 02 Anggota Keluarga 70,7 49,7 60,2 03 Keuangan 72,4 46,4 59,4 68,8 49,9 59,3 - Rata-rata Apabila dirinci berdasarkan persentase dan jenis sumberdaya maka dari Tabel 33 dapat dilihat bahwa manajemen sumberdaya waktu yang baik tertinggi sebesar 58,4 persen. Artinya, terdapat 58 persen lebih keluarga responden di daerah penelitian menyatakan bahwa mereka merasa cukup baik dalam memanfaat waktu. Namun demikian, berdasarkan wilayah agroekologi ternyata proporsi keluarga contoh dengan manajemen yang tergolong baik terdapat di wilayah pegunungan (63,2 %), dan lebih besar dibandingkan dengan proporsi keluarga contoh di wilayah pesisir (54 %). Dilihat dari jenis sumberdaya yang dimiliki keluarga contoh seperti terlihat pada Tabel 33, ternyata persentase keluarga contoh dengan manajemen yang baik lebih banyak pada manajemen sumberdaya anggota keluarga dibandingkan dengan manajemen sumberdaya waktu dan keuangan (Tabel 33). Modal Sosial Modal sosial merupakan bentuk jaringan kerja sosial dan ekonomi di masyarakat yang terjadi antar individu dan kelompok baik formal maupun informal yang bermanfaat dan menguntungkan. Modal sosial dikategorikan melalui dua dimensi yang saling berhubungan (interrelated), yakni: 132 dimensi struktural, dan dimensi karakter4 . Dimensi struktural diukur dalam bentuk kelompok dan organisasi (asosiasi lokal). Tinggi rendah kontribusi asosiasi lokal terhadap kesejahteraan keluarga diukur secara komposit dari dimensi (a) jumlah asosiasi yang diikuti, (b) tingkat partisipasi dalam asosiasi, dan (c) manfaat asosiasi dengan nilai sebagai berikut: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi, sedangkan dimensi karakter diukur dari nilai komposit: (a) tingkat keterpercayaan, (b) solidaritas, dan (c) semangat kerja dengan nilai: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi. Jumlah Asosiasi Lokal yang Diikuti Keluarga Contoh Jumlah asosiasi lokal yang diikuti keluarga contoh di daerah penelitian dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu: sangat sedikit (satu asiosiasi), sedikit (dua asosiasi), banyak (tiga asosiasi), dan sangat banyak (lebih dari tiga asosiasi). Hasil pengamatan lapangan diperoleh bahwa jumlah asosiasi lokal yang diikuti keluarga contoh di daerah penelitian tergolong besar karena lebih dari 59 persen keluarga contoh mengikuti sebanyak tiga atau lebih asosiasi lokal (Tabel 34). Dengan semakin banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota keluarga contoh diharapkan dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat kebersamaan dan solidaritas sesama anggota masyarakat sehingga pada gilirannya akan berdampak terhadap kesejahteraan dan kemajuan desa. Kemudian, pada masa era globalisasi, reformasi dan otonomi daerah, asosiasi lokal yang berkembang di daerah dan diikuti oleh anggota ma syarakat akan sangat berperan dalam membendung dan menopang berbagai informasi berupa inovasi baru yang datang dari luar terutama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan pembangunan daerah. Adapun asosiasi yang berkembang di daerah penelitian berjumlah 18 asosiasi, baik asosiasi formal maupun nonformal/kelompok (Lampiran 3). 4 Konsep ini mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu (1986), Coleman (1988), dan Putnam, Leonardi, dan Nanetti (1993), Grootaert (1997), Woolcock (1998), Fukuyama (1999), Uphoff (1999) (Dasgupta P., 2000:218), dan Flores dan Fernando (2003) (disempurnakan). 133 Tabel 34 Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang diikuti Keluarga, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Jumlah Asosiasi Lokal yang diikuti Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat sedikit (=1) 26 14.9 35 23.2 61 18.8 02 Sedikit (=2) 31 17.8 39 25.8 70 21.5 03 Banyak (=3) 61 35.1 51 33.8 112 34.5 04 Sangat banyak (> 3) 56 32.2 26 17.2 82 25.2 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Pada Tabel 34 tampak terdapat perbedaan yang cukup besar sebaran contoh keluarga antara wilayah pegunungan dengan wilayah pesisir pantai dalam mengikuti asosiasi lokal. Melalui tabel tersebut dapat diketahui bahwa keluarga contoh di wilayah pegunungan yang mengikuti asosiasi lokal sebanyak tiga macam atau lebih mencapai 67 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 51 persen. Relatif banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota keluarga contoh di wilayah pegunungan disebabkan perkembangan asosiasi itu sendiri dan keterkaitan antara satu kalbu dengan kalbu lainnya yang memiliki tingkat kekeluargaan tinggi. Hal ini terungkap melalui diskusi dengan salah satu tokoh cendikiwan muda yaitu bapak Sulaiman, beliau menuturkan: ”kehidupan masyarakat disini mengelompok dalam kalbu masing-masing. Kenapa saya katakan demikian, mayoritas mata pencaharian masyarakat di wilayah pegunungan adalah pertanian padi sawah, sedangkan lahan padi sawah tersebut umumnya bukan merupakan hak milik tetapi adalah ”sistem gilir ganti” dalam satu kalbu begitu juga dalam sitem pengerjaannya dilakukan secara bersama-sama apa yang disebut dengan ”kerja kalbu5 ” dan sistem kelompok ”handel6 .” 5 6 Sistem kalbu yaitu sistem kerja bersama (saling tolong menolong) tanpa upah dalam satu garis turunan Sistem handel artinya sistem kerja kelompok dengan mengambil upahan dan setiap mendapat upahan uang disimpan dan dibagikan menjelang hari raya idul fitri. 134 Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga Tingkat partisipasi anggota keluarga contoh dalam asosiasi lokal dilihat dari dua aspek, yakni: tingkat keaktifan dalam pertemuan dan pengambilan keputusan selama mengikuti pertemuan. Seperti tersaji pada Tabel 35, 58 persen dari seluruh keluarga contoh merupakan anggota yang aktif dan sangat aktif dalam asosiasi. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata anggota keluarga contoh di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat partisipasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan anggota keluarga contoh di wilayah pegunungan, masing masing 49, dan 66 persen. Dengan kata lain, anggota keluarga contoh di daerah wilayah pesisir pantai kurang aktif dalam mengikuti berbagai aktivitas dan pertemuan kelompok/organisasi sehingga akan berdampak kepada produktivitas kelembagaan itu sendiri. Lebih jelas sebaran contoh keluarga berdasarkan tingkat partsisipasi anggota keluarga dalam asosiasis lokal padat dilihat pada Tabel 35. Berdasarkan tingkat partisipasi dalam pertemuan, seperti tertera pada Tabel 36, dimana tingkat partisipasi anggota keluarga sangat tinggi sekali yaitu mencapai angka 72 persen dengan frekuensi pertemuan lebih dari 75 persen dan bahkan 60 persen diantaranya aktif mengikuti pertemuan kelompok/organisasi setiap kali pertemuan7 (Tabel 36). Tabel 35 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga dalam Asosiasi Lokal, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Tidak aktif 28 16.1 29 19.2 57 17.5 02 Kurang aktif 32 18.4 48 31.8 80 24.6 03 Aktif 57 32.8 41 27.2 98 30.2 04 Sangat aktif 57 32.8 33 21.9 90 27.7 174 100.0 151 100.0 325 100.0 7 Tingkat Partisipasi dalam Asosiasi Lokal Total Keluarga Contoh Wilayah Pegunungan yang ikut setiap pertemuan = 68,2 % Keluarga Contoh Wilayah Pesisir Pantai yang ikut setiap pertemuan = 50,3 % Keluarga Contoh Total yang ikut setiap pertemuan = 60.4 % 135 Kalau berdasarkan daerah penelitian hasilnya tidak jauh berbeda dengan tingkat partisipasi dalam asosiasi lokal tetapi proporsi pada tingkat pertemuan ini tidak begitu kentara. Melihat dari tingkat frekuensi pertemuan anggota keluarga contoh dalam asosiasi yang diikuti ini menunjukkan bahwa keterkaitan keluarga contoh dengan asosiasi lokal yang berkembang dimasyarakat cukup kuat. Asosiasi masyarakat baik berupa kelembagaan sosial, ekonomi maupun kelembagan lain seperti pendidikan, kesehatan bahkan politik cukup penting bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh kecil, peran asosiasi lokal bagi kehidupan masyarakat yaitu pemanfaatan air irigasi untuk keperluan mengairi tanaman padi sawah. Seperti yang diutarakan oleh Kepala Desa Jujun (Supratman Yunus): ”Air irigasi yang diperlukan oleh masyarakat terutama yang menggunakan irigasi desa, bukan irigasi pemerintah, harus diatur dalam kelompok kalbu. Kalau tidak ada peran kelompok kalbu pola pengairan menjadi tidak teratur dan tidak efisien karena setiap orang harus menjaga bendungan air irigasi setiap hari, tetapi dengan adanya kelompok penjaga air irigasi ini, mereka dapat memelihara secara bergiliran dan sesuai dengan waktu dan keperluan dari masing-masing anggota kelompok.” Tabel 36 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga pada Pertemuan Asosiasi Lokal, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Partisipasi dalam Pertemuan Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Tidak aktif (0-25 %) 19 4.3 14 4.1 33 4.2 02 Kurang aktif (26-50 %) 53 12.1 80 23.4 133 17.0 03 Aktif (51-75 %) 25 5.7 28 8.2 53 6.8 04 Sangat aktif (> 75 %) 343 77.9 220 64.3 563 72.0 - Total 440 100.0 342 100.0 782 100.0 - Rata-rata 86 79 136 83 Manfaat Kelompok/Organisasi bagi Keluarga Faktor manfaat secara struktural merupakan elemen penting dalam modal sosial karena faktor ini berkaitan erat dengan keterlibatan anggota masyarakat dalam asosiasi. Artinya, semakin besar nilai manfaat dari suatu asosiasi bagi keluarga maka kontribusi setiap anggota keluarga semakin besar dan sebaliknya. Manfaat asosiasi bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup besar hal ini ditandai dengan tingginya proporsi keluarga yang mencapai 70 persen lebih (Tabel 37). Hal senada juga ditunjukkan oleh persentase keluarga contoh di kedua daerah penelitian yang menyatakan bahwa asosiasi yang mereka ikuti sangat bermanfaat dengan nilai masing- masing 75 persen di pegunungan dan 68 persen di wilayah pesisir pantai. Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) di desa Koto Agung Kecamatan Keliling Danau wilayah pegunungan menyimpulkan bahwa asosiasi desa yang ada di daerah ini baik asosiasi formal maupun informal cukup penting dalam meningkatkan perekonomian dan hubungan sosial dalam masyarakat. Seperti dicontohkan oleh salah seorang peserta yaitu bapak Sapri Joni, ia menuturkan sebagai berikut: ”keberadaan asosiasi di desa kami ini sangat berperan sekali terutama sistem kerja gotong royong (collective action), misalnya membangun jalan menuju ke sentra produksi (kebun), membangun dan atau membersih hulu sungai untuk pengairan persawahan, membangun fasilitas umum (masjid), madrasah, dan fasilitas umum lainnya.” Cukup banyak jenis asosiasi lokal yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh baik untuk keperluan ekonomi, pendidikan maupun keperluan sosial. Lebih dari 18 asosiasi (formal dan informal) lokal yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh untuk berbagai keperluan atau kepentingan. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata asosiasi lokal terbanyak yang berkembang dan dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh terdapat di wilayah pegunungan yaitu sebanyak 16 asosiasi, sedangkan di wilayah asosiasi. 137 pesisir pantai hanya 10 Tabel 37 Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi Keluarga, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Manfaat Asosiasi Lokal Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Tidak bermanfaat 17 9.8 23 15.2 40 12.3 02 Kurang bermanfaat 26 14.9 24 15.9 50 15.4 03 Bermanfaat 69 39.7 67 44.4 136 41.8 04 Sangat bermanfaat 62 35.6 37 24.5 99 30.5 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Karakter Masyarakat Karakter seorang individu merupakan “the sum total of the disinguishing qualities of a person” atau sering juga disebut dengan istilah “moral exellence and strength” (Webster, 1993). Lichona (Hastuti, 2006,11) melihat bahwa karakter terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait satu sama lainnya, yakni: pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perilaku bermoral (moral behavior). Artinya, seorang individu yang berkarakter baik apabila individu tersebut dapat mengetahui tentang berbagai kebaikan (knowing the good), menginginkan dan selalu mencintai kebaikan (loving the good), dan selalu melakukan berbagai tindakan yang baik (acting the good). Implementasi dalam kehidupan sehari- hari dan seorang individu yang berkarakter baik dapat dilihat pada pola hidup dan interaksi sosial mereka dengan masyarakat dalam konteks: nilai keterpercayaan, solidaritas dan semangat kerja. Nilai keterpercayaan diukur dari tiga dimensi, yaitu: komitmen terhadap norma yang berlaku, kejujuran, dan tanggung jawab. Solidaritas masyarakat dilihat dari aspek: tingkat ketergantungan antar anggota masyarakat, saling bantu membantu, dan aspek kepekaan terhadap kemajuan desa, sedangkan aspek semangat kerja diukur dari disiplin dan keuletan kerja masyarakat. Tingkat Keterpercayaan Masyarakat 138 Keterpercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang terhadap perkataan, perjanjian, dan tindakan secara konsisten pada saat terjalinnya hubungan antar individu atau kelompok/organisasi dalam masyarakat. Tingkat keterpercayaan seseorang dapat dilihat dari dimensi: tingkat komitmen, kejujuran dan tanggung jawab. Seperti terlihat pada Tabel 38, bahwa tingkat keterpercayaan masyarakat di daerah penelitian tergolong relatif baik karena hasil perhitungan diperoleh proporsi keluarga contoh yang tergolong pada kelompok keterpercayaan tinggi dan sangat tinggi yaitu mencapai 57,8 persen. Artinya, hampir sebagian besar masyarakat di daerah perdesaan Provinsi Jambi memiliki tingkat keterpercayaan tinggi. Berdasarkan wilayah penelitian, ternyata terdapat perbedaan yang cukup besar kelompok masyarakat yang memiliki tingkat keterpercayaan tinggi antara masyarakat di daerah wilayah pesisir pantai dengan daerah wilayah pegunungan. Hasil pengelompokan menunjukkan bahwa masyarakat di daerah perdesaan wilayah pegunungan memiliki tingkat keterpercayaan jauh lebih baik dibandingkan dengan tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di daerah perdesaan wilayah pesisir pantai dengan nilai masing- masing 75,9 dan 37,1 persen. Relatif tingginya tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah pegunungan sangat terkait dengan pola hubungan individu dalam masyarakat. Pola hubungan atau interaksi individu dalam masyarakat Kerinci yaitu menganut sistem ”kalbu.” Sistem kalbu adalah interaksi sosial/hubungan sosial masyarakat dalam kelompok atau turunan tertentu yang dibingkai dalam sebuah kedepatian dan lembaga adat dengan satu tujuan. Artinya, satu depati dengan depati yang lain saling kait mengkait dan saling ketergantungan untuk membangun sebuah kelembagaan yang kokoh yang disebut dengan kelembagaan adat. 139 Tabel 38 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan Masyarakat, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Keterpercayaan Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat rendah 15 8.6 16 10.6 31 9.5 02 Rendah 27 15.5 79 52.3 106 32.6 03 Tinggi 87 50.0 48 31.8 135 41.5 04 Sangat tinggi 45 25.9 8 5.3 53 16.3 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Tingkat Solidaritas Masyarakat Solidaritas masyarakat merupakan kondisi masyarakat saling mau menerima, memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai. Tinggi rendahnya tingkat solidaritas masyarakat dilihat dari tiga dimensi: ketergantungan satu sama lainnya, saling bantu membantu, dan adanya kepekaan terhadap kemajuan desa. Secara operasional solidaritas masyarakat merupakan frekuensi interaksi antara satu individu dengan individu lainnya yang merujuk pada seberapa jauh individu melakukan kontak-kontak langsung antara satu dengan lainnya. Semakin positif sifat interrelasi diantara anggota masyarakat yang berupa solidaritas, atau semangat kemasyarakatan, semakin besar kecenderungannya untuk saling memperhatikan keinginan masing- masing dalam mencari jalan ke arah saling memberi kepuasan dan kerjasama. Kerjasama tersebut berupa koordinasi dalam tindakan mereka guna mencapai hasil yang sama-sama disenangi, tetapi di samping itu kerjasama tersebut dapat berupa usaha bersama untuk mengubah situasi atau aturan main. Dengan perubahan itu tercipta kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan situasi dan aturan main yang cocok dalam mereka berhubungan. Menurut Burns (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003:99), semakin berhasil koordinasi yang dilakukan untuk berbagai tindakan, semakin positif dan 140 kuat orientasi yang tertuju pada kelompok dari para individu yang bersangkutan dan sebaliknya. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat solidaritas masyarakat di daerah penelitian relatif merata antara solidaritas masyarakat yang baik dan kurang baik karena data yang diperoleh diantara kedua tingkat solidaritas tersebut relatif berimbang: 41,5 persen tingkat solidaritas kurang baik dan 58,5 persen tingkat solidaritas tergolong baik (Tabel 39). Tabel 39 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Solidaritas Masyarakat, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Solidaritas Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat rendah 11 6.3 31 20.5 42 12.9 02 Rendah 30 17.2 63 41.7 93 28.6 03 Tinggi 70 40.2 41 27.2 111 34.2 04 Sangat tinggi 63 36.2 16 10.6 79 24.3 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Namun, menurut wilayah penelitian ternyata persentase masyarakat terbesar yang memiliki tingkat solidaritas tergolong baik terdapat di wilayah pegunungan (76,4 persen) dan persentase ini tidak jauh berbeda dengan persentase tingkat keterpercayaan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi bahwa tingginya tingkat solidaritas masyarakat di daerah perdesaan wilayah pegunungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya karena kuatnya kelembagaan adat yang ada di daerah tersebut. Semangat Kerja Masyarakat Seorang individu atau kelompok masyarakat dikatakan atau dicirikan sebagai seorang semangat kerja tinggi (tipe pekerja keras) apabila mereka selalu melakukan kegiatan dengan disiplin (ulet, pantang menyerah) dan melakukan pekerjaan dengan segera serta memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien. 141 Salah satu contoh dari seorang individu atau sekekelompok masyarakat tergolong pada karakter kerja keras adalah petani-petani jawa seperti yang dikemukakan oleh Mubyarto (Swasono dan Singarimbun, 1985), yaitu petani-petani dari Jawa bekerja dengan ulet, rajin dan tekun, termasuk kesediaan untuk bekerja lama diterik matahari. Pendapat Mubyarto itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Weber (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003: 106) bahwa terdapat kaitan antara perkembangan suatu masyarakat dengan sikap diri terhadap arti kerja. Weber mencontohkan kaum Calvinis menganut prinsip bahwa kerja keras merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan atau kebahagian spiritual. Kerja keras merupakan suatu panggilan rohani untuk mencapai kesempurnaan hidup. Konsekuensi dari pandangan ini tidak saja bekerja keras, hidup hemat dan sederhana namun sanggup pula menjadikan diri sebagai wiraswasta. Keadaan tersebut membawa berkah pada kehidupan ekonomi. Keluarga contoh dari kedua wilayah penelitian yang dapat digolongkan pada kelompok masyarakat dengan tipe bekerja keras hanya 38 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa etos kerja masyarakat di daerah penelitian tergolong rendah. Apabila dilihat berdasarkan wilayah penelitian ternyata proporsi keluarga contoh yang memiliki etos kerja yang rendah terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 70 persen, sedangkan masyarakat di wilayah pegunungan hanya 52 persen (Tabel 40). Kurangnya masyarakat untuk bekerja keras di daerah penelitian terutama di wilayah pesisir pantai terlihat dari kurangnya pemanfaatan waktu kerja, sistem kerja banyak bersifat individual dan kurang kesungguhan dalam menghadapi berbagai pekerjaan terutama pekerjaan produktif terkecuali keluarga contoh yang berada di daerah penelitian tergabung dalam kelo mpok transmigrasi mereka umumnya relatif lebih produktif dibandingkan dengan masyarakat non transmigran. 142 Tabel 40 Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja Masyarakat, 2006 Sebaran Contoh No Semangat Kerja Masyarakat Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat rendah 25 14.4 28 18.5 53 16.3 02 Rendah 67 38.5 79 52.3 146 44.9 03 Tinggi 46 26.4 35 23.2 81 24.9 04 Sangat tinggi 36 20.7 9 6.0 45 13.8 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Menurut Lokshin dan Ravallion (Straus s, 2004:63), pengertian kesejahteraan dilihat dari dua pendekatan, yakni: kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Noll (Milligan et al., 2006:22), melihat bahwa kesejahteraan objektif adalah tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat yang diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap sama), sedangkan kesejahteraan subjektif adalah tingkat kesejahteraan seorang individu yang dilihat secara personal yang diukur dalam bentuk kepuasan dan kebahagiaan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sumarti, (1999:32) bahwa kesejahteraan subjektif individu atau keluarga adalah wujud kebudayaan yang dihasilkan melalui proses pengalaman hidup sekelompok manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (fisik dan sosial). Artinya, pengertian kesejahteraan haruslah berpedoman kepada subjektivitas (lokal) masyarakat setempat. Namun demikian, inti dari kesejahteraan adalah melihat kesenjangan antara aspirasi dengan tujuan yang ingin dicapai pada segolongan masyarakat maka menurut Campbell, Converse, dan Rodgers (Sumarwan dan Hira, 1993:346), tolok ukur yang relevan dan akurat tentang kesejahteraan subjektif adalah menggunakan istilah “kepuasan.” Kemudian, Sen (Peck dan Goodwin, 2003:17), menambahkan 143 bahwa tingkat kepuasan dapat menggambarkan tingkat kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi atau dapat menjangkau berbagai kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan (happiness) hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan masyarakat dan institusi. Menurut Angel, Black Well, dan Miniard (Sumarwan, 2003) bahwa kepuasan “satisfaction is defined here as past consumption evalution that a chosen alternative at least meets or exceeds expectation” (kepuasan merupakan hasil evaluasi dari konsumsi yang la lu sehingga alternatif yang dipilih paling tidak sesuai dengan kriteria atau melebihi kriteria yang diharapkan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Seperti yang dibuktikan oleh Sumarwan dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat, ternyata tingkat kepuasan (kesejahteraan) finansial keluarga perdesaan dipengaruhi oleh faktor umur, pendapatan keluarga, aset, sikap (perceived locus of control), dan kecukupan pendapatan. Kesejahteraan Ekonomi Objektif Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga di wilayah penelitian diukur dengan proxy besarnya pengeluaran keluarga. Pengeluaran keluarga yaitu pengeluaran yang diperuntukkan pembelian kebutuhan keluarga sehari- hari, yakni kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, pengeluaran keluarga dialokasikan untuk kebutuhan pangan, non pangan dan investasi. Porsi pengeluaran tersebut akan mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu kelompok masyarakat (Mangkuprawira, 2002: 74). Hasil pengamatan lapangan, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara pengeluaran kecil (miskin) dengan pengeluaran relatif besar (keluarga berkecukupan). Seperti tertera pada Tabel 41, distribusi pengeluaran pada kelompok hampir berkecukupan keatas mencapai 79,4 persen atau hampir mendekati 80 persen. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian ternyata kelompok ini terbesar terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai angka 87 persen lebih, sedangkan di wilayah pegunungan hanya sekitar 72 persen. Namun demikian, proporsi pengeluaran keluarga di wilayah pesisir pantai yang relatif besar tersebut masih belum mencukupi untuk keperluan sehari- 144 hari mereka. Menurut pengakuan keluarga, pengeluaran yang besar ini dipengaruhi oleh harga bahan pokok dan harga bahan lainnya untuk keperluan keluarga sehari- hari. Tabel 41 Sebaran Contoh Menurut Tingkat Pengeluaran Keluarga, 2006 No Tingkat Pengeluaran (Rp.000) per kapita per tahun 01 Sangat miskin (< Rp. 1.320) 02 Miskin 03 (Rp.1.320 – Rp.1.760) Hampir berkecukupan (Rp.1.760 – Rp.2.640) 04 Berkecukupan ( > Rp.2.640) - Total - Rata-rata (Rp.) Wilayah pegunungan Sebaran Contoh Wilayah pesisir pantai Total Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen 15 8.6 2 1.3 17 5.2 33 19.0 17 11.3 50 15.4 83 47.7 62 41.1 145 44.6 43 24.7 70 46.3 113 34.8 174 100.0 151 100.0 325 100,0 2.183.000 2.674.000 2.411.000 Berdasarkan pendapatan rumahtangga menurut Wie (Suratiyah, et al., 1994:45) bahwa kemiskinan dapat dilihat melalui pendekatan “kebutuhan dasar” yang pada tahap pertama mencakup kebutuhan konsumsi perorangan (personal consumption items) yang meliputi kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Tahap selanjutnya, mencakup kebutuhan akan pelayanan sosial (public service) misal fasilitas pendidikan, kesehatan, air minum yang bersih, hak atas pekerjaan produktif yang memberikan imbalan layak, prasarana yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar, serta partisipasi seluruh penduduk dalam pengambilan keputusan. Kemudian, Bank Dunia (Tukiran, 1993:14) membuat batasan bahwa tingkat kemiskinan dapat dilihat dari skala ekuivalen pendapatan perkapita yang digunakan untuk mengukur pemenuhan kebutuhan dasar minimum, sedangkan Sajogyo (Faturrohman dan Mollo, 1995:5) membuat batasan garis kemiskinan berdasarkan setara dengan harga beras yang berlaku di pasaran dengan membagi menjadi empat kelompok tingkatan kemiskinan, yaitu di bawah 240; 240 sampai 145 320; 320 sampai 480; dan di atas 480 kilogram ekuivalen beras. Klasifikasi ini tampaknya mampu me ngelompokkan penduduk secara lebih rinci. Kelompok paling bawah disebut sangat miskin, selanjutnya miskin, hampir berkecukupan dan terakhir berkecukupan. Atas dasar ukuran di atas, hasil penelitian menunjukkan (Tabel 41) bahwa relatif besar persentase keluarga berkecukupan (34,8%), sedangkan yang tergolong sangat miskin hanya 5,2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga di daerah penelitian berdasarkan pada tingkat pengeluaran dapat di kategorikan pada kelompok sejahtera. Seperti terlihat pada Tabel 42, total pengeluaran keluarga per tahun di wilayah penelitian adalah sebesar Rp.10.541.000, dan jumlah pengeluaran ini diatas rata-rata tolok ukur kesejahteraan dengan pendekatan Badan Pusat Statistik. Tabel 42 Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan Keluarga, Tahun 2006 Jenis Sebaran Contoh Pengeluaran Wilayah pegunungan Wilayah pesisir pantai No Rata-rata Keluarga (tahun) 01 02 03 - Pangan Non pangan Investasi Total Pengeluaran Rp. Rp. % 4.694.000 52,6 3.000.000 32,6 1.519.000 14,8 % 5.208.000 4.185.000 2.468.000 44,6 35,3 20,1 Rp. 4.951.000 3.592.000 1.994.000 % 48,6 34,0 17,4 9.217.000 100.00 11.865.000 100,00 10.541.000 100,00 Dari jumlah pengeluaran tersebut persentase terbesar dialokasikan untuk pangan (48,6 %), kemudian diikuti pengeluaran non-pangan (sandang, energi, komunikasi, sosial dan lainnya) sebesar 34 persen, dan terkecil adalah pengeluaran untuk investasi (pendidikan dan kesehatan) hanya sebesar 17,4 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pola konsumsi keluarga terhadap konsumsi pangan masih tergolong besar namun jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Suhardjo, dan Hardinsyah (1988), Retnaningsih (1995), dan Mangkuprawira (2002) yaitu berkisar antara 60-70 persen. Berkenaan dengan itu, mengacu kepada alokasi pengeluaran maka tingkat kesejahteraan keluarga di daerah penelitian tergolong relatif sejahtera. 146 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Objektif Hasil pendugaan parameter persamaan kesejahteraan ekonomi objektif keluarga di daerah penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien R2 adalah 0.286 (Tabel 43) dan jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai standard koefisien R2 yaitu 0,70. Padahal Koefisien Determinasi Ganda (R2 ) adalah untuk melihat kontribusi semua variabel bebas terhadap variabel terikat. Melihat hasil yang diperoleh melalui uji model ini ternyata kontribusi semua variabel bebas terhadap variabel terikat (kesejahteraan ekonomi objektif) kurang kuat sehingga model ini kurang valid atau tidak dapat begitu dihandalkan (Myers, 1990:37). Namun, nilai uji F relatif baik, yaitu sebesar 9,587. Uji F digunakan untuk membuktikan semua variabel independen (variabel bebas) secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen (variabel terikat). Apabila nilai F hitung > F tabel (0,05), berarti H0 ditolak dan diterima H1 . Artinya, seluruh variabel independen (sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, asosiasi lokal dan karakter masyarakat) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan ekonomi objektif. Sebaliknya, apabila nilai F hitung < F tabel(0,05) , berarti H0 diterima dan tolak H1 . Artinya, seluruh variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan ekonomi objektif. Tabel 43 mengindikasikan bahwa tingginya tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga sebagian besar dipengaruhi oleh faktor modal sosial terutama adalah faktor tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi lokal dan keterpercayaan masyarakat masing- masing berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi objektif. Artinya, semakin banyak keterlibatan keluarga dalam kegiatan asosiasi lokal dan aktif mengikuti berbagai kegiatan asosiasi lokal maka tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga semakin baik. Asosiasi lokal yang paling aktif diikuti dan banyak dimanfaatkan bagi keluarga terutama keluarga di wilayah pegunungan yaitu untuk keperluan peningkatan kebutuhan pangan, tambahan modal, dan asosiasi yang bergerak dibidang pendidikan. Faktor lain yang berpengaruh positif terhadap kesejahteraan ekonomi objektif yaitu manajemen sumberdaya keluarga terutama manajemen keuangan. Manajemen keuangan, seperti disebutkan sebelumnya berperan penting 147 dalam pengelolaan kekayaan keluarga baik kekayaan jumlah aset yang dimiliki, biaya kebutuhan keluarga maupun pengelolaan tentang bidang usaha yang dikembangkan. Artinya, semakin baik keluarga mengelola sumberdaya tersebut maka tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga semakin baik pula. Tabel 43 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan Ekonomi Objektif Keluarga, Tahun 2006 Nilai pendugaan No Peubah Penelitian Nilai t-hitung 01 Constant 7,348 02 Pendidikan Suami -1,277 03 Pendidikan Non Formal Suami 1,662 04 Beban Ketergantungan Keluarga 0,866 05 Manajemen Waktu 06 Manajemen Anggota Keluarga -2,035* 07 Manajemen Keuangan 1,907* 08 Jumlah Aslok yang diikuti 0,469 09 Tingkat partisipasi dalam Aslok 2,345* 10 11 12 Manfaat Aslok bagi Keluarga Keterpercayaan masyarakat Tingkat Solidaritas 2,413* 2,190* -1,482 13 14 - Semangat Kerja Dummy wilayah penelitian 1,705 -0,87 R2 = 0.535 R2 Adj = 0.286 Uji Model (F) 1,178 df = 13 t-tabel(0,05) = 1,77 10.418 t -tabel(0,0 1) = 2,65 Keterangan: (*) dengan alpha = 0.05, berpengaruh nyata dan (**) dengan alpha=0.01, berpengaruh sangat nyata. Tabel 43 juga menunjukkan bahwa faktor sosio-demografi tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi objektif. Hal ini diduga, faktor sosio-demografi keluarga contoh di kedua wilayah penelitian relatif homogen dan rata-rata rendah terutama faktor pendidikan dan keterampilan yang dimiliki suami sehingga tidak dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga. 148 Disparitas Kesejahteraan Ekonomi Objektif Pengukuran disparitas dalam ilmu ekonomi yaitu mengukur pembagian pemerataan suatu kelompok masyarakat. menggunakan pendekatan pemerataan Pengukuran pengeluaran, disparitas dapat melalui: pengeluaran individu, wilayah, maupun pengeluaran sektoral (Cowell: Arbia Giuseppe, et al. 2005:9). Salah satu alat ukur yang sering digunakan adalah model Kuznets (Arbia Giuseppe et al. 2005:12). Model Kuznets melihat pemerataan pengeluaran berdasarkan perbandingan pengeluaran dari 40 persen kelompok penerima pengeluaran terbawah dibandingkan dengan 10 persen kelompok penerima pengeluaran teratas. Pengeluaran keluarga dikatakan merata atau hampir merata apabila nilai dari kelompok penerima pengeluaran 40 persen terbawah lebih besar dari 17 persen, 12-17 persen dikatakan kurang merata (ketidakmerataan sedang), dan di bawah 12 persen disebut sebagai kelompok tidak merata (ketidakmerataan tinggi). Perlu disampaikan, model Kuznets ini telah teruji baik dinegara maju maupun negara berkembang. Dengan arti kata, model ini tidak terbatas pada pola pengeluaran atau pendapatan tertentu saja. Untuk mendapatkan hasil yang lebih komplit maka pengujian pemerataan pengeluaran keluarga dilanj utkan dengan menggunakan uji atau melihat nilai BK (Bobot Kesenjangan) pengeluaran. Uji ini telah dikembangkan oleh Bank Dunia dan Kuznets dengan formula bahwa BK diperoleh dari perbandingan antara persentase pengeluaran pada kelompok penerima 40 persen terbawah terhadap persentase pengeluaran keluarga pada kelompok penerima penghasilan 10 persen teratas. Pengeluaran dikatakan merata, apabila memiliki nilai BK mendekati 4, sedangkan pengeluaran dikatakan tidak merata atau terjadi kesenjangan apabila memiliki nilai BK sebesar 0,3 atau lebih kecil dari 0,3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi distribusi tingkat pengeluaran keluarga menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan yakni distribusi pengeluaran keluarga antara kelompok terendah dengan kelompok penerima pengeluaran paling atas relatif merata dengan nilai Bobot Ketidaksamarataan (BK) masing- masing wilayah 1,6 dan 1,9 (Tabel 44). Angkaangka yang diperoleh dari perhitungan ini jauh lebih besar dari nilai standar yang buat oleh Kuznets yaitu 0,3. Kendatipun demikian, hasil perhitungan yang 149 diperoleh ini juga belum sampai bisa mendekati angka 4. Tetapi menurut Kuznets, nilai bobot Ketidaksamarataan lebih besar dari 0,5 sudah merupakan nilai yang cukup sempurna. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran keluarga di kedua wilayah penelitian relatif merata. Distribusi pengeluaran keluarga di daerah penelitian secara sederhana dapat dilukiskan dalam bentuk Kurva Lorenz (Gambar 9). Tabel 44 Indeks Kuznets Tingkat Pengeluaran Keluarga No 01 02 03 Nilai Pembatas 40 % penerima pengeluaran terbawah 10 % penerima pengeluaran teratas Wilayah pegunungan Wilayah pesisir pantai (n=174) (107.346/380.014) x 100 = 28,3 (56373/380.014) x 100 = 14,8 (n=151) (106.212/403.789) x 100 = 26,3 (65654/403.789) x 100 = 16,3 1,9 1,6 Bobot Ketidaksamarataan (BK) Khusus pengeluaran keluarga yang berdomisili di wilayah pesisir pantai memiliki hasil yang bertolak belakang dengan hasil temuan Easterly (1999), Malan (2000) dan hasil temuan Robinson (2002:8) di beberapa negara Eropa, Amerika dan Afrika. Menurut mereka, terdapat pengaruh cukup signifikan terhadap peningkatan income inequality apabila terdapat peningkatan etnisitas. Seperti diketahui di wilayah pesisir pantai tingkat etnisitas cukup beragam yakni: suku bugis, banjar, melayu dan jawa. Tidak terdapatnya kesenjangan pengeluaran keluarga di wilayah pesisir pantai faktor utama adalah sumber penghasilan. Seperti disebutkan sebelumnya, di daerah penelitian sumber penghasilan masyarakat relatif terbatas yait u hanya tertumpu pada usaha kelapa dalam dan nelayan, dan sebagian kecil usahatani padi sawah pasang surut dengan harga relatif rendah. Hal ini sejalan dengan hasil temuan Bukenya dan Gebremedhin (2002:14) melalui studi empiris di Amerika Serikat menemukan bahwa sumber pengahasilan atau lapangan kerja (labor market) berpengaruh sangat nyata terhadap ketidakmerataan income (income inequality). Dengan kata lain, keterbatasan sumber mata pencaharian tidak berdampak terhadap ketidakmerataan income masyarakat. Faktor lain yang menyebabkan tidak terdapatnya kesenjangan penghasilan diantara keluarga di wilayah pesisir pantai karena kehidupan masyarakat cukup harmonis diantara satu etnis dangan etnis lainnya dimana mereka saling bantu 150 membantu dan saling ketergantungan. Dengan arti kata, pola kehidupan yang penuh keakraban tanpa adanya kejahatan dan kekerasan ini dapat mempengaruhi ketentraman dan kenyaman interaksi sosial sehingga pada gilirannya akan mendukung akan tingkat kesamarataan penghasilan (Parsley, 2001:12). Namun demikian, melalui uji model Mann-Whitney (U-test) dapat diketahui bahwa tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir pantai dengan nilai zskor masing- masing wilayah 9,6 dan 2,4 (Z- table= 4,05). Menurut Gradstein Mark (2007:266), semakin merata distribusi kesejahteraan masyarakat maka tingkat demokratisasi semakin baik. Dengan arti kata, tingkat keharmonisan dan kekeluargaan masyarakat semakin kuat. 120 Persentase 100 80 60 40 20 0 0 20 40 60 80 100 120 Persentase Penerimaan Pengeluaran pegunungan pesisir Gambar 9 Kurva Lorenz Tingkat Pengeluaran Keluarga KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1) Tingkat kesejahteraan ekonomi objektif proxy pengeluaran keluarga per tahun sebesar Rp.10.541.000, dan jumlah pengeluaran ini diatas rata-rata tolok ukur 151 kesejahteraan dengan pendekatan Badan Pusat Statistik. Persentase terbesar dialokasikan untuk pangan kebutuhan pangan (48,6 %), non-pangan (sandang, energi, komunikasi, sosial dan lainnya) sebesar 34 persen, dan terkecil adalah pengeluaran untuk investasi (pendidikan dan kesehatan) hanya sebesar 17,4 persen. Mengacu kepada alokasi pengeluaran, tingkat ekonomi keluarga di daerah penelitian tergolong relatif sejahtera dengan distribusi keluarga yang tergolong pada kelompok sejahtera mencapai 79,4 persen. Berdasarkan wilaya h penelitian ternyata kelompok terbesar terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai angka 87 persen lebih, sedangkan di wilayah pegunungan keluarga yang tergolong pada kelompok sejahtera sekitar 72 persen. (2) Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga secara positif dipengaruhi oleh faktor manajemen sumberdaya keluarga, dan faktor modal sosial terutama faktor manajemen keuangan keluarga, tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi bagi keluarga, dan faktor keterpercayaan masya rakat. Artinya, semakin baiknya faktor manajemen keuangan keluarga, besarnya tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, besarnya manfaat asosiasi lokal bagi keluarga, dan tingginya keterpercayaan masyarakat maka tingkat kesejahteraan ekonomi objektif semakin baik. (2) Distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga di daerah penelitian relatif merata karena diperoleh distribusi kesejahteraan keluarga antara kelompok terendah dengan kelompok kesejahteraan paling atas relatif merata baik di wilayah pesisir maupun di wilayah pegunungan. Namun demikian, tingkat kesejahteraan keluarga yang berada di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan yang berada di wilayah pesisir pantai. Saran 130 Hasil penelitian ini belum mampu mengungkapkan tingkat disparitas dan ketidaksamarataan kesejahteraan keluarga berdasarkan agroekologi wilayah di daerah perdesaan maka perlu penelitian lebih mendalam tentang keterkaitan distribusi kesejahteraan keluarga di daerah perdesaan dengan memasukkan 152 variabel jumlah anggota keluarga dan mata pencaharian utama masyarakat sebagai confounding factor. DAFTAR PUSTAKA Arbia G, Laura de Dominics, dan P Gianfranco. 2005. The Relationship between Regional Growth and Regional Inequality in EU and Transition Countries: a Spatial Econometric Approach. In preparation for the Workshop of Spatial Econometrics, Kiel, April 8-9, 2005. Amsterdam: Departemen of Spatial Economics, Free University, De Boelelaan 1105, 1081HV, Netherlands. E- mail: [email protected] Bukenya, J.O., dan T.G Gebremedhin. 2002. An Emperical Analysis of Family Income Distribution in the United States. Research Paper. Departement of Agricultural an Resource Economics, West Virginia University, 26506. Faturrochman, dan M Marcelinius. 1995. Kemiskinan dan Kependudukan di Pedesaan Jawa: Analisis Data Susenas 2. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Gradstein M. 2007. “Inequality, Demogracy and the Protection of Property Rights.” The Economic Journal, 117 (January) 252-269. America: Blacwell Publising, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA. Hardinsyah, dan Suhardjo. 1987. Ekonomi Gizi. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Mangkuprawira S. 2002. “Analisis Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga di Daerah Industri Tenun Pedesaan.” Media Gizi & Keluarga. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat & Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian-Institut Pertanian Bogor. Vol 25/2-2002. ISSN 0216-9363. Mantra I.B. 2000. Dasar-dasar Demografi. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Mubyarto. 1992. Menanggulangi Kemiskinan. Yogyakarta: Ad itya Media. Myers, RH. 1990. Classical and Modern Regression with Applications. Boston: Edisi Kedua. PWS-KENT Publishing Company. Parsley T.J. 2001. “Basic Examination of the Correlation between Crime Rates and Income Inequality. ” Morgantown, WV 26506-6825: Research Paper. Regional Research Institute, West Virginia University. Robinson B. 2002. Income Inequality and Ethnicity: An International View. Washington: Second Inequality and Pro-Poor Growth Spring Conference the World Bank, Washington DC, June, 9-10, 2002. 153 Siegel S. 1998. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia. Suandi, dan Bambang. 2003. Profil Statistik dan Indikator Gender di Propinsi Jambi. Jakarta: Kerjasama Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Suandi, dan Ernawati. 2005. “Analisis Kebijaksanaan Pendidikan Provinsi Jambi Berbasis Gender.” Laporan Penelitian. Jambi: Kerjasama Dirjen Dikti dengan Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Jambi. Sukartawi. 1985. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia. Suratiyah K, Djuwari, Supriyanto, dan R Lestari. 2003. Studi Analisa Usahatani untuk Tujuh Komoditas di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Yogyakarta: Kerjasama Bappeda bantul Yogyakarta dengan Fakultas Pertanian UGM. Todaro M. P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta : Erlangga. Tukiran. 1993. ‘Penentuan Desa Miskin: Analisis Potensi Desa 1990.’ Populasi, 1(4) : 13-23. 154 ARTIKEL 2 PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN SUMBERDAYA KELUARGA DAN MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN EKONOMI SUBJEKTIF KELUARGA DI DAERAH PERDESAAN PROVINSI JAMBI Suandi 8, Ujang Sumarwan9, Suprihatin Guhardja2, Pang S. Asngari 10, Euis Sunarti 2 ABSTRAK Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan keluarga yang berkaitan dengan kesejahteraan sangat ditentukan oleh fungsi keluarga. Fungsi keluarga memiliki peran yang penting yakni pengambilan keputusan dalam berbagai aktivitas anggota keluarga, meliputi aktivitas proses produksi, mencari nafkah, konsumsi pangan, dan non pangan. Keberhasilan pengambilan keputusan kebutuhan konsumsi keluarga sangat ditentukan oleh cara pengelolaan berbagai sumberdaya yang dimiliki. Tujuan penelitian adalah: (1) mengidentifikasi dan mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga, (2) menganalisis pengaruh sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, dan modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga, dan (3) mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga berdasarkan wilayah agroekologi. Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi: Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Pengumpulan data berlangsung selama delapan bulan mulai bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2007. Data yang dikumpulkan, meliputi: (1) sosio-demografi, (2) manajemen sumberdaya keluarga, (3) modal sosial: asosiasi lokal, dan karakter masyarakat, dan (4) kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara survai terhadap 325 rumahtangga dan dilanjutkan metode Indepth Interview terhadap 33 informan dan Focus Group Discussion (FGD) terhadap beberapa keluarga terpilih dengan jumlah 10 kelompok. Analisis data menggunakan Uji Regresi Berganda melalui program SPSS versi 13, model Kuznets, Kurva Lorenz dan dilanjutkan Uji Mann-Whitney (U-test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sosio-demografi, manajemen sumberdaya, dan faktor modal sosial tidak mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga. Tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga tergolong merata namun tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga yang berada di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan yang berada di wilayah pesisir pantai. Key words: kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga, disparitas, dan agroekologi. 8 9 Dosen Tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi Dosen Tetap pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB 10 Dosen Tetap pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB 133 155 THE EFFECT OF SOCIO-DEMOGRAPHY, FAMILY RESOURCE MANAGEMENT, AND SOCIAL CAPITAL ON FAMILY SUBJECTIVE ECONOMIC WELL-BEING IN RURAL AREA OF JAMBI PROVINCE ABSTRACT The objectives of the study are: (1) to comprehend and analyze of family subjective economic well-being, (2) to explore the effect of socio-demography, family resource management, and social capital variables on family subjective economic well-being, and (3) to comprehend and analyze disparities of family subjective economic well-being. The research design is cross sectional and was carried out in Kerinci and East Tanjung Jabung districts from January to August 2006. Variables used are fa mily subjective economic well-being, sociodemography, resources management, and social capital. Variable of sociodemografphy are educations of husband, skills of husband, and dependency ratio. Variable of family resources management are management of times, household size, and management of family livelihood, and Variable of social capital are local asociation, and community characters. 325 household samples are chosen using cluster, purposive and random sampling methods. Data were collected using surva y, indepth interview, and Focus Group Discussion (FGD). Descriptive, Regression, Model Kuznets, and Mann-Whitney (U-test) were used for data analyzed. The results show that socio-demography, family resources management, and social capital factors do not effect on family subjective economic well-being. Family subjective economic well-being are equal (no disparities) among family in the research area. Family subjective economic well-being in mountainous area, however, is better than that of the family in coastal area. Key words: family subjective economic well-being, disparities, and agroecology area. 134 156 PENDAHULUAN Keluarga dapat dilihat sebagai salah satu subsistem dalam sistem masyarakat. Subsistem keluarga dalam masyarakat memiliki fungsi dan tanggung jawab secara sinergis dengan subsistem lainnya, seperti: subsistem sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan agama. Dengan adanya interaksi subsistemsubsistem tersebut, keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state). Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order), dan selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban dalam sistem sosial yang lebih besar lagi. Dengan kata lain, keluarga memiliki fungsi mikro dan fungsi makro. Secara mikro, keluarga berfungsi sebagai penghubung antara keluarga dengan keluarga lain serta hubungan antar anggota keluarga. Secara makro, terdapat hubungan keluarga dengan masyarakat luas. Ketertiban sosial akan dapat tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing- masing individu akan mengetahui di mana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur tersebut. Struktur dalam keluarga diakui dapat menjadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan, ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu: (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial, ketiganya adalah saling kait mengkait (interralated). Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan keluarga, di dalam fungsi keluarga terdapat peran yang penting yakni pengambilan keputusan dalam berbagai aktivitas anggota keluarga yang meliputi aktivitas proses produksi, mencari nafkah, konsumsi pangan, dan non pangan. Keberhasilan pengambilan keputusan ditentukan oleh banyak faktor baik faktor ekternal maupun faktor internal. Faktor internal misalnya, adalah faktor jumlah anggota keluarga, status keluarga (single atau lengkap), dan pendidikan baik pendidikan formal maupun non formal dari kepala keluarga dan isteri/ibu, sedangkan faktor eksternal adalah faktor luar, seperti sumberdaya alam, ketersediaan lapangan kerja, dan kebijakan pemerintah. Disisi lain, pemenuhan kebutuhan keluarga atau pola konsumsi sangat menentukan status keluarga karena distribusi konsumsi keluarga menentukan derajat kecukupan keluarga baik kecukupan yang bersifat konsumtif maupun 135 157 produktif (investasi). Artinya, apabila terdapat ketidakseimbangan antara konsumsi pangan, non-pangan, dan kebutuhan investasi maka dapat menentukan status keluarga (miskin/sejahtera). Sebagai contoh, keluarga yang mengkonsumsi bahan pangan lebih dari 50 persen, maka kelompok keluarga tersebut tergolong pada kelompok miskin walaupun tingkat penghasilan mereka diatas rata-rata, dan hal ini didukung oleh hasil penelitian Suhardjo, Hardinsyah, dan Riyadi (1988), Retnaningsih (1995) dan Mangkuprawira (2002:78). Oleh karena itu, penelitian tentang kesejahteraan ekonomi keluarga kaitannya dengan pola manajemen dan faktor sosio-demografi secara kausalitas menarik untuk diteliti. Hal lain yang sangat mendukung penelitian dan pengembangan konsep manajemen sumberdaya keluarga dan pengaruh faktor sosio-demografi terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga secara kausalitas ini di Indonesia masih belum banyak dilakukan maka tujuan penelitian: (1) mengidentifikasi dan mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga, (2) menganalisis pengaruh sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, dan modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga, dan (3) mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga berdasarkan wilayah agroekologi. METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi dengan dua Kabupaten terpilih, yaitu: Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Kerinci. Terpilihnya kedua Kabupaten tersebut sebagai wilayah penelitian, dengan pertimbangan kedua wilayah tersebut dapat mewakili karakteristik kabupaten yang ada di Provinsi Jambi baik dilihat dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Kabupaten Tanjung Jabung Timur misalnya, dapat mewakili wilayah pesisir pantai/pasang surut, mayoritas masyarakat berasal dari suku Melayu, Bugis dan Banjar (migrasi spontan) dengan komoditas utama hasil laut, kelapa dalam, dan padi sawah pasang surut. Kabupaten Kerinci mewakili masyarakat wilayah pegunungan atau dataran tinggi, mayoritas 158 masyarakat didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan komoditas utama padi sawah irigasi, kulit manis (cassiavera), dan kopi. Waktu pengumpulan data penelitian selama delapan bulan, mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2006. Pengumpulan data penelitian dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan data atau penelitian penjajakan (uji coba kuesioner). Tahap kedua adalah pengumpulan data primer dan sekunder. Uji Reliabilitas Tingkat validitas penelitian salah satunya ditentukan oleh reliabilitas instrumen atau tingkat konsistensi antar konstruk variabel penelitian. Untuk menguji besar kecilnya nilai reliabilitas instrument penelitian menggunakan tolok ukur nilai a-cronbach. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai a-cronbach penelitian berkisar antara 0,720 – 0,893. Dengan demikian, tingkat reliabilitas antar konstrak variabel penelitian atau informasi yang terjaring cukup dapat dihandalkan karena berdasarkan standar nilai paling rendah yaitu sebesar 0,60. Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data Data penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari keluarga dan responden terpilih, sedangkan data sekunder diperole h dari instansi dan lembaga terkait disamping dari laporan hasil penelitian, jurnal maupun majalah yang memuat tentang masalah kesejahteraan ekonomi keluarga kaitannya dengan faktor sosio-demografi, dan faktor manajemen sumberdaya. Jenis atau variabel penelitian dibagi kedalam empat kelompok, yaitu: sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, modal sosial dan variabel kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga. Sosio-demografi, meliputi: (1) tingkat pendidikan kepala keluarga, (2) tingkat pendidikan no n formal kepala keluarga, dan (3) beban ketergantungan keluarga. Aspek manajemen sumberdaya keluarga, meliputi: (1) manajemen waktu, (2) manajemen anggota keluarga, dan (3) manajemen keuangan keluarga. Aspek modal sosial, meliputi: (1) jumlah asosiasi 159 yang diikuti, (2) tingkat partisipasi anggota keluarga dalam asosiasi lokal, (3) manfaat asosiasi bagi keluarga, (4) tingkat keterpercayaan masyarakat, (5) solidaritas masyarakat, dan (6) semangat kerja masyarakat. Aspek kesejahteraan ekonomi keluarga dilihat dari kesejahteraan ekonomi subjektif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara (survai) dan observasi. Untuk mendapatkan data lebih mendalam, pengumpulan data dilanjutkan dengan metode wawancara mendalam (Indepth Interview) terhadap beberapa responden terpilih dan Focus Group Discussion (FGD). Sampel Penelitian Daerah penelitian ditentukan dengan metode cluster sampling yaitu dengan cara membagi daerah berdasarkan agroekologi wilayah sehingga terpilih wilayah dataran tinggi (pegunungan) yaitu Kabupaten Kerinci dan daerah pesisir pantai (pasang surut) yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Diambilnya daerah/wilayah penelitian berdasarkan agroekologi, mengingat distribusi penduduk Provinsi Jambi menyebar berdasarkan tipologi tersebut. Selanjutnya, kecamatan dan desa/kelurahan penelitian diambil secara purposive dan mengikuti pola yang ada di masing- masing wilayah Kabupaten, sedangkan responden (rumahtangga) diambil secara acak sederhana (simple random sampling) sebesar 325 orang atau 10 persen dari jumlah rumahtangga yang ada pada seluruh desa penelitian (3.257 rumahtangga). Jumlah sampel yang digunakan sebagai indepth interview sebanyak 33 orang atau 10 persen dari jumlah responden masing- masing desa. Analisis Data Analisis data dimulai dari melakukan sortasi, dan “coding”. Kemudian dilanjutkan analisis data secara deskriptif dengan menggunakan tabel frekuensi tunggal untuk data sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, modal sosial dan tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga. Untuk menguji faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga diuji dengan Regresi berganda melalui program SPSS versi 13. Untuk mengidentifikasi atau melihat tingkat pemerataan kesejahteraan di daerah 160 penelitian diuji menggunakan model Kuznets, Kurva Lorenz, dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (U-test). HASIL DAN PEMBAHASAN Sosio Demografi Keluarga Pendidikan Suami Persentase terbesar (48,9 %) kepala keluarga (suami) memiliki pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Artinya, mayoritas responden belum mencapai tingkat pendidikan dasar yang digariskan oleh pemerintah yaitu pendidikan 9 tahun. Padahal tingkat pendidikan cukup berperan dalam kelancaran penerimaan dan menjalankan teknologi baru termasuk teknologi pertanian. Apabila dilihat berdasarkan wilayah penelitian, ternyata tingkat pendidikan responden terendah terdapat di wilayah pesisir pantai dengan persentase responden yang berpendidikan Sekolah Dasar kebawah mencapai 53,6 persen, sedangkan di wilayah pegunungan hanya 44,8 persen. Lebih memprihatinkan lagi, dimana responden di wilayah pesisir pantai ini persetase yang berpendidikan tidak tamat Sekolah Dasar mencapai 29,1 persen. Hal ini dikhawatirkan dalam pengembangan sumberdaya manusia dan pembangunan daerah kedepan karena tingkat pendidikan yang rendah ini menjadi beban pemerintah kalau tidak diantisipasi dan melakukan berbagai terebosan pembangunan demi kamajuan masyarakat dan daerah. Dengan kondisi demikian, tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat secara formal tergolong rendah termasuk kedalam tata cara pengelolaan rumahtangga. Padahal menurut Mubyarto (1992), bahwa tingkat pendidikan masyarakat perdesaan akan mempengaruhi cara berpikir dalam pengelolaan usahataninya terutama kemampuan manajemen, penerimaan inovasi baru dan pengambilan keputusan dalam memperhitungkan produktifitas usahatani mereka (Tabel 25). Pendidikan Non Formal Tingkat pendidikan non formal suami (responden) atau kepala keluarga diambil dari banyak dan lamanya menekuni pendidikan non formal baik pada bidang keahlian maupun mendapat pendidikan atau pelatihan pada bidang lain 161 sehingga dalam pengkategorian ada yang disebut dengan mereka yang sangat sering mengikuti pendidikan, sering mengikuti pendidikan, kurang mengikuti pendidikan, dan tidak pernah mengikuti pendidikan non formal. Berdasarkan hasil pengumpulan data melalui wawancara dan pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa rata-rata suami atau kepala keluarga keterlibatan mengikuti pendidikan non formal tergolong relatif rendah. Hal ini dapat dibuktikan melalui distribusi data responden yang berdasarkan jumlah pendidikan non formal yang diikuti, hampir 80,3 persen responden tergolong pada kelompok kurang mengikuti pendidikan non formal. Lebih dari 56 persen responden tergolong kepada kelompok yang tidak pernah sama sekali mengikuti pendidikan non formal (tidak memiliki keterampilan). Dengan arti kata, responden di daerah penelitian mayoritas tidak/belum pernah menerima pendidikan ataupun pelatihan dari istansi pemerintah/swasta baik pada bidang yang ditekuni maupun profesi lainnya (Tabel 26). Berdasarkan wilayah penelitian, tampaknya hampir di kedua wilayah ini memiliki tingkat keterampilan responden yang rendah tetapi berdasarkan data yang ada ternyata persentase terbesar responden yang tidak memiliki tingkat keterampilan yaitu responden yang berada di wilayah pesisir pantai yaitu sekitar 66,9 persen, sedangkan responden di wilayah pegunungan yang tidak terampil sebanyak 48,3 persen. Bagi responden yang memiliki keterampilan khususnya responden yang berada di daerah perdesaan pegunungan tampaknya sebagian besar mengikuti pendidikan atau pelatihan di bidang pertanian yang dimotori oleh Dinas Pertanian Kabupaten dan Dinas Pertanian Provinsi, sedangkan keterampilan lain yang dimiliki responden di wilayah pegunungan yaitu mengikuti pelatihan di bidang teknik “las karbit” yang dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kerinci. Rendahnya tingkat keterampilan suami di daerah penelitian akan berdampak kepada kesejahteraan ekonomi keluarga dan pembangunan daerah apalagi diperparah dengan rendahnya tingkat pendidikan formal yang dimiliki. Menurut hemat peneliti, perlu ada tindakan nyata “action” oleh pemerintah setempat kepada masyarakat secara umum dan responden khususnya dalam berbagai pemberdayaan baik secara kelompok maupun massal. Dengan harapan, semakin tinggi tingkat keterampilan masyarakat maka akan berpengaruh pada 162 produktivitas kerja sehingga pada gilirannya akan berdampak pada naiknya pendapatan. Tingkat Beban Ketergantungan Keluarga Komposisi penduduk responden di daerah penelitian menurut struktur umur penduduk masih tergolong muda namun hampir menuju pada struktur penduduk tua. Hal ini ditandai dengan persentase penduduk usia di bawah 15 tahun masih diatas angka 30 persen (33,7 %) dengan jumlah penduduk yang berumur di atas 65 tahun atau umur tidak produktif sebesar 1,8 persen. Hal senada juga ditunjukkan oleh kelompok umur yang ada di wilayah pegunungan dan wilayah pesisir pantai dengan nilai tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. Dari data komposisi penduduk berdasarkan persentase penduduk muda dan tua akan dapat menentukan nilai dari beban ketergantungan suatu kelompok penduduk tersebut. Kalau kelompok umur 0-14 tahun dianggap sebagai kelompok penduduk yang belum produktif secara ekonomis, kelompok penduduk 15-64 tahun sebagai kelompok penduduk produktif, dan kelompok penduduk umur 65 tahun ke atas sebagai kelompok penduduk yang tidak produktif maka beban ketergantungan (dependency ratio) penduduk produktif di daerah penelitian sebesar 55 (Tabel 28). Artinya, dalam 100 orang usia produktif dari keluarga-keluarga contoh di daerah penelitian menanggung beban 55 orang yang berusia belum dan tidak produktif untuk kecukupan konsumtif. Hal ini mengindikasikan bahwa beban tanggungan bagi anggota keluarga usia produktif di daerah penelitian masih tergolong besar walaupun nilai beban ketergantungan ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai rasio ketergantungan Propinsi Jambi tahun 2003 (56), dan bahkan nasional (Suandi, dan Bambang, 2003: 17). Angka beban ketergantungan tenaga kerja belum dan atau tidak produktif terhadap tenaga kerja produktif di daerah penelitian jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan batas angka beban ketergantungan di Negara- negara berkembang (60) (Shryrock dan Siegel (1976:202). Relatif rendahnya tingkat ketergantungan penduduk belum dan tidak produktif terhadap penduduk produktif dapat mendorong terhadap kemajuan pembangunan selanjutnya. Mengingat tingginya angka rasio beban tanggungan sebagai faktor penghambat pembangunan ekonomi karena sebagian dari pendapatan yang diperolah dari golongan yang produktif terpaksa harus 163 dikeluarkan untuk memenuhi kecukupan mereka yang belum produktif untuk kecukupan akan pangan, fasilitas pendidikan dan fasilitas lainnya (Mantra, 2000:92). Manajemen Sumberdaya Keluarga Manajemen Waktu Persentase manajemen waktu keluarga di daerah penelitian tergolong relatif baik. Terdapat hampir 59 persen keluarga responden di daerah penelitian menyatakan bahwa mereka merasa cukup baik dalam memanfaat waktu. Namun demikian, berdasarkan daerah penelitian ternyata proporsi keluarga contoh yang memiliki persentase pengelolaan waktu lebih baik (kategori baik+sangat baik) paling besar terdapat di wilayah pegunungan (63,2 %), sedangk an proporsi keluarga contoh di wilayah pesisir pantai (53,6 %). Manajemen waktu dalam penelitian ini dilihat dari tiga aspek, yakni: aspek target jangka pendek, pemanfaatan waktu yang dimiliki, dan wujud kerja yang diharapkan. Dalam hal aspek target jangka pendek, rata-rata keluarga contoh di daerah penelitian yang bisa mencapai target yang telah ditentukan dengan baik sekitar 55 persen, dan sebaliknya terdapat sebanyak 45 persen keluarga contoh yang belum mencapai target yang ditentukan sebelumnya. Hasil yang diperoleh keluarga contoh di daerah penelitian ini sudah tergolong pada kelompok berhasil karena sudah dapat membuat perencanaan pemanfaatan waktu yang dimiliki. Pemanfaatan waktu jangka pendek keluarga contoh terutama dilihat kegiatan mencari nafkah (kebutuhan konsumsi pangan keluarga). Dimensi pemanfaatan waktu yang dimiliki anggota keluarga, hasil penelitian menunjukkan bahwa ratarata pemanfaatan waktu juga menunjukkan hasil yang relatif baik dan melebihi persentase manajemen waktu dalam target jangka pendek (65 %). Kemudian, manajemen waktu dari aspek harapan yang diwujudkan oleh anggota keluarga contoh baik di wilayah pegunungan maupun di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 64 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa keluarga contoh di daerah penelitian cukup baik dalam merencanakan sesuatu untuk kebutuhan keluarga dan 164 dapat memanfaatkan sumberdaya dengan sebaik-baiknya sebagai keperluan keluarga (Tabel 30). Manajemen Anggota Keluarga Rata-rata manajemen sumberdaya anggota keluarga di daerah penelitian sedikit lebih baik dibandingkan dengan manajemen sumberdaya waktu (61 persen). Seperti halnya pada kasus manajemen sumberdaya waktu, proporsi keluarga dengan manajemen sumberdaya anggota keluarga yang baik paling besar terdapat di wilayah pegununga n yaitu mencapai 71 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya sekitar 50 persen. Manajemen sumberdaya anggota keluarga, seperti halnya dengan manajemen waktu yaitu mengandung beberapa aspek, yakni: dukungan psikologis terhadap kemajuan anak, manajemen anggota keluarga usia produktif, dan manajemen anggota keluarga lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata ketiga aspek tersebut rata-rata tingkat manajemen atau pengelolaan sumberdaya tersebut tergolong baik yaitu berkisar antara 62,1–70,4 persen. Dari ketiga aspek tersebut, manajemen yang paling tinggi persentasenya terdapat dalam pengelolaan sumberdaya tenaga kerja produktif yaitu mencapai 70,4 persen, sedangkan persentase terendah yaitu manajemen terhadap dukungan psikologis kemajuan anak (62,1 %) (Tabel 31). Relatif rendahnya dukungan psikologis keluarga contoh (orang tua) terhadap kemajuan anak terutama pendidikan disebabkan oleh tingkat pengetahuan orang tua yang rendah disamping waktu yang terbatas. Artinya, keluarga contoh (orang tua) di daerah penelitian mayoritas waktu diperuntukkan untuk bekerja. Lain halnya dengan manajemen anggota keluarga produktif. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa rata-rata anggota keluarga produktif (>15 tahun atau tidak sedang dalam bangku sekolah) di daerah penelitian selalu membantu pekerjaan orang tua (kepala keluarga dan atau ibu) baik pekerjaan domestik maupun pekerjaan publik. Sebagai contoh, yaitu salah satu anggota keluarga dari bapak H. Yusuf di desa Nipah Panjang I Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung Timur selalu membantu orang tua mengangkut buah kelapa setelah dipanen dan pekerjaan ini dikerjakannya setiap kali panen kelapa. 165 Manajemen Keuangan Keluarga Manajemen keuangan keluarga sangat penting dalam memajukan kesejahteraan ekonomi keluarga baik dalam pengalokasian untuk kebutuhan konsumsi maupun keperluan investasi atau pengembangan usaha. Rata-rata manajemen atau pengelolaan keuangan keluarga di daerah penelitian yang termasuk pada kelompok baik dan sangat baik yaitu mencapai 60 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa manajemen keluarga di daerah penelitian tergolong baik dan dapat dikategorikan sebagai petani maju. Padahal menurut hasil penelitian sebelumnya bahwa rata-rata petani di daerah perdesaan tingkat manajemennya sangat terbatas (Suandi, 1998 dan Suandi, 2000) (Tabel 32). Berdasarkan daerah penelitian, tampaknya proporsi keluarga dengan manajemen keuangan yang baik, terbesar terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 72 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 46 persen. Seperti halnya dengan manajemen lainnya, manajemen keuangan mengandung lima aspek, yakni: strategi mendapatkan penghasilan, alokasi belanja keperluan konsumsi, alokasi belanja keperluan produktif, manajemen biaya pendidikan anak (pendidikan formal dan non formal), dan manajemen pengembangan usaha. Berdasarkan hasil perhitungan diperloleh gambaran bahwa manajemen yang baik paling tinggi terdapat pada manajemen belanja untuk keperluan produktif yaitu mencapai 65 persen, sedangkan terendah terdapat pada manajemen pengembangan usaha hanya 54 persen. Angka ini sudah cukup repsentatif dari manajemen yang tergolong baik dan sangat baik. Khusus yang berkaitan dengan manajemen pengembangan usaha, hasil temuan di lapangan menyimpulkan bahwa terbatasnya kemampuan cara petani atau responden dalam mengelola atau merencanakan berbagai usaha kedepan untuk kemajuan keluarga salah satu faktor utama adalah tingkat pendidikan dan keterampilan petani yang terbatas. Manajemen keuangan lainnya yang tergolong rendah yaitu manajemen biaya pendidikan anak (biaya pendidikan tambahan/keterampilan) (60 %). Relatif rendahnya persentase manajemen keluarga terhadap biaya pendidikan anak (biaya pendidikan tambahan/keterampilan) disamping faktor kemauan dan kemampuan orang tua dan anak terbatas, fasilitas atau sarana pendidikan keterampilan terbatas 166 atau sulit dijangkau, dan faktor pendapatan keluarga responden yang terbatas untuk keperluan tersebut terutama di wilayah pesisir pantai. Apabila dirinci berdasarkan persentase dan jenis sumberdaya maka dari ketiga sumberdaya yang dimiliki keluarga contoh, manajemen sumberdaya waktu yang baik tertinggi sebesar 58,4 persen. Artinya, terdapat 58 persen lebih keluarga responden di daerah penelitian menyatakan bahwa mereka merasa cukup baik dalam memanfaat waktu. Namun demikian, berdasarkan wilayah agroekologi ternyata proporsi keluarga contoh dengan manajemen yang tergolong baik terdapat di wilayah pegunungan (63,2 %), dan lebih besar dibandingkan dengan proporsi keluarga contoh di wilayah pesisir (54 %). Persentase keluarga contoh dengan manajemen yang baik lebih banyak pada manajemen sumberdaya anggota keluarga dibandingkan dengan manajemen sumberdaya waktu dan keuangan (Tabel 33). Modal Sosial Modal sosial merupakan bentuk jaringan kerja sosial dan ekonomi di masyarakat yang terjadi antar individu dan kelompok baik formal maupun informal yang bermanfaat dan menguntungkan. Modal sosial dikategorikan melalui dua dimensi yang saling berhubungan (interrelated), yakni: dimensi struktural, dan dimensi karakter11 . Dimensi struktural diukur dalam bentuk kelompok dan organisasi (asosiasi lokal). Tinggi rendah kontribusi asosiasi lokal terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga diukur secara komposit dari dimensi (a) jumlah asosiasi yang diikuti, (b) tingkat partisipasi dalam asosiasi, dan (c) manfaat asosiasi dengan nilai sebagai berikut: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi, sedangkan dimensi karakter diukur dari nilai komposit: (a) tingkat keterpercayaan, (b) solidaritas, dan (c) semangat kerja dengan nilai: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi. 11 Konsep ini mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu (1986), Coleman (1988), dan Putnam, Leonardi, dan Nanetti (1993), Grootaert (1997), Woolcock (1998), Fukuyama (1999), Uphoff (1999) (Dasgupta P., 2000:218), dan Flores dan Fernando (2003) (disempurnakan). 167 Jumlah Asosiasi Lokal yang Diikuti Keluarga Contoh Jumlah asosiasi lokal yang diikuti keluarga contoh di daerah penelitian dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu: sangat sedikit (satu asiosiasi), sedikit (dua asosiasi), banyak (tiga asosiasi), dan sangat banyak (lebih dari tiga asosiasi). Hasil pengamatan lapangan diperoleh bahwa jumlah asosiasi lokal yang diikuti keluarga contoh di daerah pene litian tergolong besar karena lebih dari 59 persen keluarga contoh mengikuti sebanyak tiga atau lebih asosiasi lokal (Tabel 34). Dengan semakin banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota keluarga contoh diharapkan dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat kebersamaan dan solidaritas sesama anggota masyarakat sehingga pada gilirannya akan berdampak terhadap kesejahteraan dan kemajuan desa. Kemudian, pada masa era globalisasi, reformasi dan otonomi daerah, asosiasi lokal yang berkembang di daerah dan diikuti oleh anggota masyarakat akan sangat berperan dalam membendung dan menopang berbagai informasi berupa inovasi baru yang datang dari luar terutama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan pembangunan daerah. Adapun asosiasi yang berkembang di daerah penelitian berjumlah 18 asosiasi, baik asosiasi formal maupun nonformal/kelompok (Lampiran 3). Pada Tabel 34 tampak terdapat perbedaan yang cukup besar sebaran contoh keluarga antara wilayah pegunungan dengan wilayah pesisir pantai dalam mengikuti asosiasi lokal. Melalui tabel tersebut dapat diketahui bahwa keluarga contoh di wilayah pegunungan yang mengikuti asosiasi lokal sebanyak tiga macam atau lebih mencapai 67 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 51 persen. Relatif banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota keluarga contoh di wilayah pegunungan disebabkan perkembangan asosiasi itu sendiri dan keterkaitan antara satu kalbu dengan kalbu lainnya yang memiliki tingkat kekeluargaan tinggi. Hal ini terungkap melalui diskusi dengan salah satu tokoh cendikiwan muda yaitu bapak Sulaiman, beliau menuturkan: ”kehidupan masyarakat disini mengelompok dalam kalbu masing-masing. Kenapa saya katakan demikian, mayoritas mata pencaharian masyarakat di wilayah pegunungan adalah pertanian padi sawah, sedangkan lahan 168 padi sawah tersebut umumnya bukan merupakan hak milik tetapi adalah ”sistem gilir ganti” dalam satu kalbu begitu juga dalam sitem pengerjaannya dilakukan secara bersama-sama apa yang disebut dengan ”kerja kalbu12 ” dan sistem kelompok ”handel13 .” Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga Tingkat partisipasi anggota keluarga contoh dalam asosiasi lokal dilihat dari dua aspek, yakni: tingkat keaktifan dalam pertemuan dan pengambilan keputusan selama mengikuti pertemuan. Seperti tersaji pada Tabel 35, 58 persen dari seluruh keluarga contoh merupakan anggota yang aktif dan sangat aktif dalam asosiasi. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata anggota keluarga contoh di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat partisipasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan anggota keluarga contoh di wilayah pegunungan, masing masing 49, dan 66 persen. Dengan kata lain, anggota keluarga contoh di daerah wilayah pesisir pantai kurang aktif dalam mengikuti berbagai aktivitas dan pertemuan kelompok/organisasi sehingga akan berdampak kepada produktivitas kelembagaan itu sendiri. Manfaat Kelompok/Organisasi bagi Keluarga Faktor manfaat secara struktural merupakan elemen penting dalam modal sosial karena faktor ini berkaitan erat dengan keterlibatan anggota masyarakat dalam asosiasi. Artinya, semakin besar nilai manfaat dari suatu asosiasi bagi keluarga maka kontribusi setiap anggota keluarga semakin besar dan sebaliknya. Manfaat asosiasi bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup besar hal ini ditandai dengan tingginya proporsi keluarga yang mencapai 70 persen lebih (Tabel 37). Hal senada juga ditunjukkan oleh persentase keluarga contoh di kedua daerah penelitian yang menyatakan bahwa asosiasi yang mereka ikuti sangat bermanfaat dengan nilai masing- masing 75 persen di pegunungan dan 68 persen di wilayah pesisir pantai. 12 13 Sistem kalbu yaitu sistem kerja bersama (saling tolong menolong) tanpa upah dalam satu garis turunan Sistem handel artinya sistem kerja kelompok dengan mengambil upahan dan setiap mendapat upahan uang disimpan dan dibagikan menjelang hari raya idul fitri. 169 Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) di desa Koto Agung Kecamatan Keliling Danau wilayah pegunungan menyimpulkan bahwa asosiasi desa yang ada di daerah ini baik asosiasi formal maupun informal cukup penting dalam meningkatkan perekonomian dan hubungan sosial dalam masyarakat. Seperti dicontohkan oleh salah seorang peserta yaitu bapak Sapri Joni, ia menuturkan sebagai berikut: ”keberadaan asosiasi di desa kami ini sangat berperan sekali terutama sistem kerja gotong royong (collective action), misalnya membangun jalan menuju ke sentra produksi (kebun), membangun dan atau membersih hulu sungai untuk pengairan persawahan, membangun fasilitas umum (masjid), madrasah, dan fasilitas umum lainnya.” Cukup banyak jenis asosiasi lokal yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh baik untuk keperluan ekonomi, pendidikan maupun keperluan sosial. Lebih dari 18 asosiasi (formal dan informal) lokal yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh untuk berbagai keperluan atau kepentingan. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata asosiasi lokal terbanyak yang berkembang dan dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh terdapat di wilayah pegunungan yaitu sebanyak 16 asosiasi, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 10 asosiasi. Karakter Masyarakat Tingkat Keterpercayaan Masyarakat Keterpercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang terhadap perkataan, perjanjian, dan tindakan secara konsisten pada saat terjalinnya hubungan antar individu atau kelompok/organisasi dalam masyarakat. Tingkat keterpercayaan seseorang dapat dilihat dari dimensi: tingkat komitmen, kejujuran dan tanggung jawab. Tingkat keterpercayaan masyarakat di daerah penelitian tergolong relatif baik karena hasil perhitungan diperoleh proporsi keluarga contoh yang tergolong pada kelompok keterpercayaan tinggi dan sangat tinggi yaitu mencapai 57,8 persen. Artinya, hampir sebagian besar masyarakat di daerah perdesaan Provinsi Jambi memiliki tingkat keterpercayaan tinggi. 170 Berdasarkan wilayah penelitian, ternyata terdapat perbedaan yang cukup besar kelompok masyarakat yang memiliki tingkat keterpercayaan tinggi antara masyarakat di daerah wilayah pesisir pantai dengan daerah wilayah pegunungan. Hasil pengelompokan menunjukkan bahwa masyarakat di daerah perdesaan wilayah pegunungan memiliki tingkat keterpercayaan jauh lebih baik dibandingkan dengan tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di daerah perdesaan wilayah pesisir pantai dengan nilai masing- masing 75,9 dan 37,1 persen. Relatif tingginya tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah pegunungan sangat terkait dengan pola hubungan individu dalam masyarakat. Pola hubungan atau interaksi individu dalam masyarakat Kerinci yaitu menganut sistem ”kalbu.” Sistem kalbu adalah interaksi sosial/hubungan sosial masyarakat dalam kelompok atau turunan tertentu yang dibingkai dalam sebuah kedepatian dan lembaga adat dengan satu tujuan. Artinya, satu depati dengan depati yang lain saling kait mengkait dan saling ketergantungan untuk membangun sebuah kelembagaan yang kokoh yang disebut dengan kelembagaan adat (Tabel 38). Tingkat Solidaritas Masyarakat Solidaritas masyarakat merupakan kondisi masyarakat saling mau menerima, memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai. Tinggi rendahnya tingkat solidaritas masyarakat dilihat dari tiga dimensi: ketergantungan satu sama lainnya, saling bantu membantu, dan adanya kepekaan terhadap kemajuan desa. Secara operasional solidaritas masyarakat merupakan frekuensi interaksi antara satu individu dengan individu lainnya yang merujuk pada seberapa jauh individu melakukan kontak-kontak langsung antara satu dengan lainnya. Semakin positif sifat interrelasi diantara anggota masyarakat yang berupa solidaritas, atau semangat kemasyarakatan, semakin besar kecenderungannya untuk saling memperhatikan keinginan masing- masing dalam mencari jalan ke arah saling memberi kepuasan dan kerjasama. Kerjasama tersebut berupa koordinasi dalam tindakan mereka guna mencapai hasil yang sama-sama disenangi, tetapi di 171 samping itu kerjasama tersebut dapat berupa usaha bersama untuk mengubah situasi atau aturan main. Dengan perubahan itu tercipta kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan situasi dan aturan main yang cocok dalam mereka berhubungan. Menurut Burns (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003:99), semakin berhasil koordinasi yang dilakukan untuk berbagai tindakan, semakin positif dan kuat orientasi yang tertuju pada kelompok dari para individu yang bersangkutan dan sebaliknya. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat solidaritas masyarakat di daerah penelitian relatif merata antara solidaritas masyarakat yang baik dan kurang baik karena data yang diperoleh diantara kedua tingkat solidaritas tersebut relatif berimbang: 41,5 persen tingkat solidaritas kurang baik dan 58,5 persen tingkat solidaritas tergolong baik (Tabel 39). Namun, menurut wilayah penelitian ternyata persentase masyarakat terbesar yang memiliki tingkat solidaritas tergolong baik terdapat di wilayah pegunungan (76,4 persen) dan persentase ini tidak jauh berbeda dengan persentase tingkat keterpercayaan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi bahwa tingginya tingkat solidaritas masyarakat di daerah perdesaan wilayah pegunungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya karena kuatnya kelembagaan adat yang ada di daerah tersebut. Semangat Kerja Masyarakat Keluarga contoh dari kedua wilayah penelitian yang dapat digolongkan pada kelompok masyarakat dengan tipe bekerja keras hanya 38 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa etos kerja masyarakat di daerah penelitian tergolong rendah. Apabila dilihat berdasarkan wilayah penelitian ternyata proporsi keluarga contoh yang memiliki etos kerja yang rendah terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 70 persen, sedangkan masyarakat di wilayah pegunungan hanya 52 persen (Tabel 40). Kurangnya masyarakat untuk bekerja keras di daerah penelitian terutama di wilayah pesisir pantai terlihat dari kurangnya pemanfaatan waktu kerja, sistem kerja banyak bersifat individual dan kurang kesungguhan dalam menghadapi berbagai pekerjaan terutama pekerjaan produktif terkecuali keluarga contoh yang berada di daerah penelitian tergabung dalam kelompok 172 transmigrasi mereka umumnya relatif lebih produktif dibandingkan dengan masyarakat non transmigran. Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Berdasarkan hasil wawancara dengan keluarga contoh diperoleh informasi bahwa distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif (subjective economic well-being) di daerah penelitian relatif cukup baik. Hal ini ditandai dengan persentase keluarga di wilayah penelitian yang merasa puas dalam pemenuhan keperluan mereka sehari- hari, baik kebutuhan pangan, non pangan maupun pemenuhan kebutuhan investasi relatif memuaskan yaitu mencapai 60,3 persen. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan wilayah agroekologi ternyata persentase terbesar terdapat di wilayah pegunungan yaitu 68,4 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai yang merasa puas dalam pemenuhan kebutuhan mereka sehari- hari hanya sekitar 51 persen (Tabel 45). Tabel 45 Sebaran Contoh Menurut Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Seharihari, Tahun 2006 No 01 02 03 04 - Kepuasan Terhadap pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari Sangat Tidak Puas Kurang Puas Merasa Puas Sangat Puas Total Sebaran Contoh Wilayah pegunungan Jumlah % 26 14.9 29 16.7 57 32.8 62 35.6 174 100.0 Wilayah pesisir pantai Jumlah % 27 17.9 47 31.1 50 33.1 27 17.9 151 100.0 Total Jumlah 53 76 107 89 16.3 23.4 32.9 27.4 325 100.0 % Berkenaan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah pesisir pantai disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: faktor fisik/alam, sumberdaya manusia, sumber usaha dan faktor aksesibilitas. Faktor fisik/alam misalnya, bahwa di daerah penelitian mayoritas kesuburan tanah relatif rendah karena umumnya di daerah ini merupakan wilayah pasang surut dengan tanah bergambut. Kemudian, aspek sumberdaya manusia ternyata rata-rata pendidikan masyarakat setempat adalah sekolah dasar kebawah, dan sedikit sekali tamatan sekolah menengah apalagi perguruan tinggi (Badan Pusat Statistik 173 Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2005). Kemudian, di wilayah pesisir pantai tingkat aksesibilitas wilayah relatif rendah atau terbatas karena alat transportasi yang umum digunakan adalah transportasi sungai dengan menggunakan perahu tempel/pompong dan speed boot dengan tingkat frekuensi perjala nan terbatas. Aspek mata pencaharian atau sumber usaha, hasil observasi dan diskusi dengan kepala desa dan tokoh masyarakat dapat disimpulkan bahwa mayoritas masyarakat di wilayah pesisir pantai ini memiliki mata pencaharaian utama sangat terbatas yaitu ha nya sebagai nelayan dan usahatani kelapa. Berkenaan dengan usahatani, kepala desa bertutur sebagai berikut: “penghasilan masyarakat dari usahatani kelapa hampir tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena rendahnya harga kelapa butiran yaitu sekitar Rp.650 per buah, sedangkan hasil yang diperoleh setiap pemanenan yaitu selama 4 bulan sekali dengan produksi rata-rata 2,5 ton dengan penghasilan sebesar Rp.1.625.000,- dan perlu diketahui bahwa penghasilan ini belum termasuk biaya pemanenan dan biaya angkut.” Kemudian, penjelasan dari bapak Haji Abdullah tentang nelayan, beliau ini disamping tokoh masyarakat atau orang yang disegani juga bekerja sebagai nelayan. Kesimpulan beliau tidak jauh berbeda dengan pernyataan dari kepala desa. “Penghasilan nelayan di daerah ini relatif rendah disamping jumlah tangkapan yang kecil juga modal usaha yang terbatas. Mayoritas nelayan dimodali oleh pemilik modal, mereka bekerja sebagai nelayan buruhan. Disamping itu, usaha nelayan sangat dipengaruhi musim, apalagi kondisi sekarang tidak sama dengan kondisi musim beberapa tahun yang silam. Seorang nelayan susah menebak kapan musim pasang/gelombang dan kapan musim surut sehingga akan mempengaruhi penghasilan atau hasil tangkapannya.” Mengenai tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga atau tingkat kepuasan masyarakat di wilayah pegunungan yang relatif cukup baik ditandai dengan tingginya persentase responden yang merasa puas atau sangat puas dengan tingkat kesejahteraan yang dimiliki yaitu mencapai 68,4 persen. Relatif tingginya persentase masyarakat di wilayah pegunungan yang merasa puas dengan tingkat 174 kesejahteraan yang dimiliki dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung, antara lain: kondisi alam, lapangan kerja, aksesibilitas wilayah dan potensi sumberdaya manusia. Kondisi alam misalnya, oleh karena daerah penelitian berada di daerah pegunungan sehingga kesuburan tanah relatif baik (jenis tanah latosol) dan cukup menguntungkan untuk usaha tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003). Seperti diketahui, usaha utama di daerah penelitian adalah usahatani padi sawah, dan perkebunan kulit manis dan kopi disamping itu juga ada usaha tanaman pangan seperti usahatani kentang, cabe, dan pangan lainnya. Relatif banyaknya cabang usaha masyarakat sehingga membuka peluang berbagai macam lapangan kerja baik dari sektor off-farm, seperti: agroindustri (usaha dodol kentang, keripik pisang, anyaman, dan lain- lain), industri rumahtangga (perabot rumahtangga, dan membatik), jasa (transportasi, dan telekomunikasi), perhotelan, maupun sektor lainnya sehingga pada gilirannya akan berdampak kepada penghasilan masyarakat secara menyeluruh. Seperti dikemukakan oleh Mubyarto (1991), faktor lapangan kerja sangat menentukan penghasilan atau kesejahteraan ma syarakat. Kemudian, di wilayah pegunungan tingkat aksesibilitas wilayah relatif cukup baik, seperti transportasi cukup lancar walaupun terbatas pada transportasi darat, dan hampir setiap jam frekuensi perjalanan dari desa ke kota kabupaten dan sebaliknya selalu tersedia. Kemudian, aksesibilitas lain yang sangat mendukung kelancaran perekonomian daerah yaitu tersedianya sarana penerangan (PLN), air minum (PDAM), dan alat telekomunikasi. Sehubungan alat telekomunikasi, hasil observasi dan pengamatan lapangan bahwa di wilayah pegunungan pada saat melakukan penelitian diketahui hampir di setiap ibu kota kecamatan telah ada “tower telekomunikasi” dari berbagai macam cabang (indosat, telkomsel, dan lain- lain). Dengan arti kata, di daerah ini hampir di setiap desa sudah bisa menggunakan jasa telekomunikasi seperti layaknya di daerah perkotaan. Kepuasan terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pangan Kepuasan keluarga contoh terhadap pemenuhan kebutuhan pangan keluarga dikaji dalam dua aspek yakni: aspek frekuensi makan setiap hari dan 175 keragaman pangan yang dikonsumsi keluarga. Melalui dua pendekatan ini diharapkan keperluan pangan anggota keluarga yang ada di daerah penelitian terpenuhi dari segi kecukupan akan zat gizi yang diperlukan. Seperti tertera pada Tabel 46, proporsi terbesar (61 %) keluarga contoh di daerah penelitian merasa puas dalam konsumsi pangan. Apabila dikelompokkan berdasar daerah penelitian ternyata masyarakat yang paling banyak merasa puas dalam penyediaan konsumsi pangan terdapat di daerah pegunungan (72 %), sedangkan di daerah pesisir pantai yang merasa puas hanya sekitar 49 persen. Tabel 46 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pangan, 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pangan Wilayah Pegunungan Jumlah Persen Wilayah Pesisir Pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat Tidak Puas 13 7.5 17 11.3 30 9.2 02 Kurang Puas 35 20.1 59 39.1 94 28.9 03 Merasa Puas 73 42.0 46 30.5 119 36.6 04 Sangat Puas 53 30.5 29 19.2 82 25.2 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Hasil analisis juga menunjukkan bahwa frekuensi makan keluarga responden di daerah penelitian relatif terpenuhi. Persentase masyarakat pada golongan ini yang mencapai 80 persen lebih menyatakan bahwa mereka biasa makan setiap hari tiga kali dengan menu makanan cukup beragam yaitu makan nasi dengan lauk pauk (bergantian antara daging, ayam dan ikan), sayur dan pangan lainnya. Kepuasan terhadap Pemenuhan Kebutuhan Non Pangan Pemenuhan kebutuhan non pangan diukur dari pemenuhan akan sandang atau pakaian, papan/perumahan, energi dan komunikasi ditambah dengan pemenuhan kebutuhan sosial. Pemenuhan sandang misalnya walaupun bukan merupakan kecukupan dasar tetapi ia sangat diperlukan dalam menjalankan 176 berbagai aktivitas sehari- hari. Oleh karena itu, tingkat pemenuhan kebutuhan sandang ini sangat penting diperhatikan. Begitu juga kecukupan akan perumahan dan energi serta alat komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi keluarga dengan tingkat pemenuhan kebutuhan non pangan cukup baik (merasa puas dan sangat puas) mencapai 52 persen. Namun, proporsi keluarga dengan persentase yang merasa puas dan sangat puas dalam konsumsi non pangan lebih kecil dibandingkan dengan persentase keluarga yang merasa puas dan sangat puas dalam konsumsi pangan. Tabel 47 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Kebutuhan Non Pangan, 2006 Terhadap Pemenuhan Sebaran Contoh No 01 Tingkat Pemenuhan Non Pangan Sangat Tidak Puas 02 Wilayah Pegunungan Jumlah Persen Wilayah Pesisir Pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 32 18,4 35 23,2 67 20,6 Kurang Puas 38 21,8 52 34,4 90 27,7 03 Merasa Puas 59 33,9 38 25,2 97 29,9 04 Sangat Puas 45 25,9 26 17,2 71 21,8 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Apabila dibedakan berdasarkan wilayah agroekologi ternyata persentase terbesar (59,8 %) yang merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan kebutuhan non pangan terdapat di wilayah pegunungan, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 42,4 persen. Hasil pengamatan dilapangan me nunjukkan bahwa relatif rendahnya persentase masyarakat di wilayah pesisir pantai yang merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan kecukupan non pangan disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: harga non pangan, seperti pakaian yang ditawarkan dipasaran relatif mahal, terbatasnya pasar karena terbatasnya aksesibilitas jalan, dan faktor selera namun demikian, di daerah ini banyak ditemui pasaran pakaian-pakaian bekas. Bagian lain dari pemenuhan kebutuhan non pangan yaitu kepuasan dalam kegiatan sosial. Sikap sosial merupakan kebutuhan pribadi masing- masing responden yang sulit diukur secara kuantitatif namun kepuasan ini bisa dilihat dari 177 (kontribusi) yang diberikan keluarga responden dalam berbagai kegiatan sosial masyarakat baik kegiatan yang disponsori oleh pemerintah, misalnya kegiatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus dan kegiatan lainnya maupun kegiatan sosial budaya masyarakat dan agama, seperti kegiatan acara adat, dan kegiatan-kegiatan hari besar agama terutama hari besar agama islam. Besar kecilnya kontribusi untuk kegiatan sosial merupakan salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan dan status seseorang dalam masyarakat. Secara terdapat 50 persen lebih responden merasa puas dan sangat puas. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian tampaknya persentase terbesar masih terdapat di wilayah pegunungan yaitu 60 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai sekitar 51 persen. Relatif besarnya proporsi responden dengan kegiatan sosial di wilayah pegunungan menurut pengamatan peneliti adalah wajar disamping kepedulian sosial masyarakat yang relatif tinggi juga disebabkan oleh intensitas kegiatan sosial masyarakat relatif lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan sosial di wilayah pesisir pantai. Kepuasan terhadap Pemenuhan Kebutuhan Investasi Sumberdaya Manusia Pemenuhan kebutuhan investasi sumberdaya manusia dibagi dalam dua kelompok yaitu pemenuhan kebutuhan terhadap biaya pendidikan dan biaya kesehatan. Pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan misalnya, sangat penting sekali untuk pembangunan sumberdaya manusia masa akan datang. Oleh karena itu, investasi dibidang pendidikan adalah mutlak demi masa depan terutama anakanak usia sekolah. Pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anak usia sekolah ini dilihat dari tingkat kebutuhan biaya yang diperlukan oleh anak didik baik keperluan yang bersifat wajib, seperti SPP, uang pembangunan sekolah, biaya OSIS, maupun keperluan lainnya, seperti: buku teks, biaya transpor, dan uang jajan. Kepuasan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, melalui hasil wawancara diperoleh informasi bahwa rata-rata tingkat pemenuhan kecukupan investasi keluarga (Tabel 48) di daerah penelitian baru dirasakan oleh sebagain kecil 178 responden (45,9 persen) dan lebih kecil dibandingkan dengan persentase tingkat pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kebutuhan bagi masyarakat disamping terbatasnya penghasilan yang dimiliki. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata persentase terbesar yang merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan investasi sumberdaya manusia terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 53,5 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 37,1 persen. Dari kedua pemenuhan kebutuhan investasi tersebut, persentase responden yang merasa puas dengan pemenuhan kebutuhan pendidikan baru mencapai 43 persen. Artinya, di daerah penelitian masih banyak yang belum merasa puas terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan. Berdasarkan wilayah penelitian tampaknya pemenuhan kebutuhan yang paling rendah terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu hanya 33 persen, sedangkan pemenuhan kebutuhan pendidikan di wilayah pegunungan sudah mencapai 51 persen. Hal ini merupakan pemikiran serius oleh pemerintah setempat untuk kemajuan pembangunan daerah kedepan. Dengan arti kata, pemenuhan kebutuhan pendidikan masyarakat terutama anak usia sekolah perlu dimasukkan sebagai prioritas pembangunan disamping pembangunan fisik dan infrastruktur lainnya. Dan lain halnya dengan investasi untuk kesehatan, data menunjukkan bahwa rata-rata investasi keluarga untuk kesehatan relatif lebih tinggi walaupun masih lebih rendah dari pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan yaitu sekitar 48 persen. Tabel 48 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Sumberdaya Manusia, 2006 Pemenuhan Investasi Sebaran Contoh No 01 Tingkat Pemenuhan Investasi Sangat Tidak Puas 02 Wilayah Pegunungan Jumlah Persen Wilayah Pesisir Pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 34 19.5 36 23.8 70 21.5 Kurang Puas 47 27.0 59 39.1 106 32.6 03 Merasa Puas 53 30.5 39 25.8 92 28.3 04 Sangat Puas 40 23.0 17 11.3 57 17.6 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total 179 Apabila dirinci berdasarkan alokasi kecukupan sehari- hari keluarga, tampaknya distribusi kepuasan pemenuhan kecukupan keluarga di wilayah penelitian juga menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan antara keluarga yang berada di wilayah pesisir dengan keluarga yang berada di wilayah pegunungan (Tabel 49). Artinya, rata-rata proporsi keluarga contoh dengan tingkat kepuasan tinggi yang berada di wilayah pegunungan adalah relatif besar dibandingkan dengan keluarga contoh yang berada di wilayah pesisir. Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan ekonomi objektif (proksi pengeluaran) tidak selalu menentukan tingkat kepuasan keluarga di daerah penelitian. Tabel 49 Persentase Contoh Merasa Puas Terhadap Pemenuhan Alokasi Kebutuhan Sehari-hari, 2006 Sebaran Contoh (%) Kepuasan Terhadap Pemenuhan Alokasi Kebutuhan Sehari-hari Wilayah pegunungan Wilayah pesisir pantai Ratarata 01 Puas terhadap pemenuhan pangan 72,5 49,7 61,1 02 Puas terhadap pemenuhan non pangan Puas terhadap pemenuhan investasi 59,5 42,6 51,1 53,4 37,4 45,4 61,8 43,2 52,5 No 03 - Rata-rata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Hasil pendugaan parameter persamaan kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga di daerah penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien R2 adalah 0.138 (Tabel 50) dan jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai standard koefisien R2 yaitu 0,70. Padahal Koefisien Determinasi Ganda (R2 ) adalah untuk melihat kontribusi semua variabel bebas terhadap variabel terikat. Melihat hasil yang diperoleh melalui uji model ini ternyata kontribusi semua variabel bebas terhadap variabel terikat (kesejahteraan ekonomi objektif) kurang kuat sehingga model ini kurang valid atau tidak dapat begitu dihandalkan (Myers, 1990:37). Hal yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan oleh nilai uji F dengan nilai sebesar 180 3,829. Padahal uji F digunakan untuk membuktikan semua variabel independen (variabel bebas) secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen (variabel terikat). Apabila nilai F hitung > F tabel (0,05), berarti H0 ditolak dan diterima H1 . Artinya, seluruh variabel independen (sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, asosiasi lokal dan karakter masyarakat) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan ekonomi subjektif. Sebaliknya, apabila nilai F hitung < F tabel(0,05) , berarti H0 diterima dan tolak H1 . Artinya, seluruh variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan ekonomi subjektif. Dengan demikian, pengujian model dan variabel independen secara bersama-sama tidak menunjukkan tingkat signifikansi terhadap kesejahteraan ekonomi subjektif. Tabel 50 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Keluarga, Tahun 2006 No 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 Nilai pendugaan Nilai tUji Model hitung (F) 6,669 -0,303 0,821 -0,478 3,829 0,756 0,380 -0,113 1,315 -1,005 -0,492 0,396 1,525 0,924 -1,340 Peubah Penelitian Constant Pendidikan Suami Pendidikan Non Formal Suami Beban Ketergantungan Keluarga Manajemen Waktu Manajemen Anggota Keluarga Manajemen Keuangan Jumlah Aslok yang diikuti Tingkat partisipasi dalam Aslok Manfaat Aslok bagi Keluarga Keterpercayaan masyarakat Tingkat Solidaritas Semangat Kerja Dummy wilayah penelitian R2 = 0.371 R2 Adj = 0.138 df = 13 t-tabel(0,05) = 1,77 t-tabel(0,01) = 2,65 Keterangan: (*) dengan alpha = 0.05, berpengaruh nyata dan (**) dengan alpha=0.01, berpengaruh sangat nyata. Tabel 50 mengindikasikan bahwa tingginya tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga di wilayah penelitian tidak dipengaruhi oleh faktor sosio demografi, manajemen sumberdaya keluarga dan faktor modal sosial karena melalui pengujian melalui uji regresi berganda tidak ditemukan variabel independen yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif. Dengan arti kata, semakin banyak keterlibatan keluarga dalam kegiatan asosiasi 181 lokal dan aktif mengikuti berbagai kegiatan asosiasi lokal maupun pengembangan sumberdaya keluarga maka tidak akan dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi subjektif. Tabel 42 juga menunjukkan bahwa faktor sosio-demografi tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi objektif. Hal ini diduga, faktor sosio-demografi keluarga contoh di kedua wilayah penelitian relatif homogen dan rata-rata rendah terutama faktor pendidikan dan keterampilan yang dimiliki suami sehingga tidak dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga. Disparitas Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Pengukuran disparitas kesejahteraan ekonomi subjektif, seperti halnya pengukuran disparitas kesejahteraan ekonomi objektif yaitu menggunakan Model Kuznets dan Kurva Lorenz. Model ini mengukur pembagian pemerataan tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan keluarga pada kelompok penerima kepuasan terbawah dengan kelompok penerima kepuasan teratas. Dengan kata lain, melihat pemerataan kepuasan pemenuhan kebutuhan keluarga berdasarkan perbandingan tingkat kepuasan dari 40 persen kelompok penerima kepuasan pemenuhan kebutuhan keluarga terbawah dibandingkan dengan 10 persen kelompok penerima tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan keluarga teratas. Berdasarkan data yang tersedia dan alat uji yang digunakan, maka diperloeh hasil distribusi kepuasan keluarga di daerah penelitian baik tingkat kepuasan keluarga di wilayah pesisir pantai maupun di wilayah pegunungan ternyata memiliki tingkat distribusi kepuasan keluarga cukup merata. Seperti tertera pada Tabel 51, diperoleh hasil bahwa kelompok 40 persen penerima kepuasan terbawah rata-rata di atas 17 persen. Sebaliknya, distribusi penghasilan 10 persen kelompok penerima kepuasan teratas dengan nilai juga cukup baik yaitu di bawah 17 persen. Analisis berikut dari perhitungan perbandingan antara 40 persen kelompok penerima kepuasan terbawah dengan 10 persen kelompok penerima kepuasan teratas yaitu dengan uji Bobot Kesenjangan (BK). Hasil perhitungan diperoleh bahwa kedua wilayah penelitian menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan dengan nilai berkisar antara 2,24–1,9. Apabila merujuk kepada standar yang 182 digunakan oleh Bank Dunia dan Kuznets maka distribusi kepuasan keluarga di kedua wilayah penelitian tergolong merata walaupun nilai dari BK ini tidak mecapai 4 tetapi jauh lebih besar dari angka 0,3. Tabel 51 Indeks Kuznets Tingkat Kepuasan Keluarga No 01 02 03 Nilai Pembatas 40 % penerima kepuasan terbawah 10 % penerima kepuasan teratas Wilayah pegunungan Wilayah pesisir pantai (n=174) (139,66/599) x 100 = 23,32 (62,28/599) X 100 = 10,4 (n=151) (106,52/492) x 100 = 21,65 (54,83/492) x 100 Bobot Ketidaksamarataan (BK) 2,24 = 11,4 1,9 Sebagai tindak lanjut pengukuran distribusi kepuasan keluarga, seperti halnya dengan pengukuran pengeluaran dilanjutkan dengan pengukuran melalui Kurva Lorenz. Seperti tertera pada Gambar 10, maka dapat disimpulkan bahwa distribusi kepuasan keluarga di daerah penelitian tampaknya tidak jauh berbeda dengan tingkat distribusi penghasilan dan pengeluaran keluarga yaitu relatif merata baik keluarga yang berada di wilayah pesisir maupun di wilayah pegunungan, distribusi kepuasan keluarga cukup merata karena kurva lorenz yang terlukis hampir mendekati kurva kesama-rataan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerataan kepuasan di kedua wilayah penelitian hampir mendekati sempurna karena nilai pembatas, yakni: distribusi penerima kepuasan 40 persen ter bawah memiliki slop yang relatif kecil dengan nilai di atas batas standar yaitu di atas 17 persen, dan begitu juga distribusi penerimaan kepuasan 10 persen teratas relatif berimbang dengan 40 persen penerima kepuasan terendah. Namun demikian, melalui uji model Mann-Whitney (U-test) dapat diketahui bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga di wilayah pegunungan relatif lebih merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga di wilayah pesisir pantai dengan nilai z-skor masing- masing wilayah -14,6 dan 7,5 (Z- table= 4,05). Menurut Gradstein Mark (2007:266), semakin merata distribusi kesejahteraan masyarakat maka tingkat demokratisasi semakin baik. Dengan arti kata, tingkat keharmonisan dan kekeluargaan masyarakat semakin kuat. 183 120 persentase 100 80 60 40 20 0 0 20 40 60 80 100 120 Persentase Penerimaan Kepuasan pegunungan pesisir Gambar 10 Kurva Lorenz Tingkat Kepuasan Keluarga KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1) Distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif (subjective economic wellbeing) di daerah penelitian relatif cukup baik. Hal ini ditandai dengan besarnya persentase keluarga di wilayah penelitian yang merasa puas dalam pemenuhan keperluan mereka sehari-hari, baik kebutuhan pangan, non pangan maupun pemenuhan kebutuhan investasi relatif memuaskan yaitu mencapai 60,3 persen. Proporsi pemenuhan kebutuhan pangan sebesar 61 persen, non pangan 52 persen, dan pemenuhan kebutuhan investasi sumberdaya manusia baru mencapai 45,9 persen. Berdasarkan wilayah agroekologi, ternyata persentase tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif terbesar terdapat di wilayah pegunungan yaitu 68,4 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai yang merasa puas dalam pemenuhan kebutuhan mereka sehari- hari hanya sekitar 51 persen. (2) Kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga secara bersama-sama dan individu tidak dipengaruhi oleh faktor sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, dan faktor modal sosial. Dengan arti kata, semakin baiknya faktor 184 sosio-demografi, manajemen sumberdaya keluarga, dan modal sosial, tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga. (3) Distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi subjetif keluarga di daerah penelitian relatif merata karena diperoleh distribusi kesejahteraan ekonomi keluarga antara kelompok terendah dengan kelompok kesejahteraan paling atas relatif merata baik di wilayah pesisir maupun di wilayah pegunungan. Namun demikian, tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga yang berada di wilayah pegunungan relatif lebih merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan yang berada di wilayah pesisir pantai. Saran (1) Perlu penelitian lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga di wilayah perdesaan terutama yang dapat mendukung dan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga secara struktural dan holistik. (2) Perlu perhatian pemerintah menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya peningkatan sumberdaya manusia di wilayah perdesaan terutama dalam pengembangan program wajib belajar melalui subsidi pendidikan. (3) Hasil penelitian ini belum mampu mengungkapkan tingkat disparitas dan ketidaksamarataan kesejahteraan ekonomi keluarga berdasarkan agroekologi wilayah di daerah perdesaan maka perlu penelitian lebih mendalam tentang keterkaitan distribusi kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan dengan memasukkan variabel jumlah anggota keluarga dan mata pencaharian utama masyarakat sebagai confounding factor. 185 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Proseding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). ________. 2005. Data Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Muara Sabak: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tanjung Jabung Timur. [Balitbangda Provinsi Jambi] Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi . 2003. “Evaluasi Kebutuhan Penempatan Transmigrasi di Provinsi Jambi.” Jambi: Balitbangda Provinsi Jambi. Becker, R.F. 1995. An Economic Analysis of Fertility. Dalam The Essence of B.E.C.K.E.R. Ramon Febrero dan Pedro S. Schwartz. Hoover Institution Press. California: Stanford University, Stanford. Bollen, K.A. 1989. Stuctural Equation with Latent Variable. New York: John Wiley & Sons, Inc. Bollen, Kenneth A., L Jennifer, dan G Stecklov. 2002. Socioeconomic Status, Permanent Income, and Fertility: A Latent Variable Approach. Carolina Population Center University of North Carolina at Chapel Hill 123 W, Franklin Street Chapel Hill, NC 27516. Guhardja S, Hidayat S, Hartoyo, dan Herien P. 1992. Pengembangan Sumberdaya Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Joreskog G, Sorbom K.D, Stephen DT, dan Mathilda T. 1999. LISREL 8, New Statistical Features. Chicago: SSI (Scientific Software International) Inc. Mangkuprawira, Syafri. 2002. “Analisis Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga di Daerah Industri Tenun Pedesaan.” Media Gizi & Keluarga. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat & Sumberdaya Keluarga Fakultas PertanianInstitut Pertanian Bogor. Vol 25/2-2002. ISSN 0216-9363. Mantra IB. 2000. Dasar-dasar Demografi. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Megawangi R. 2001. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan Pustaka. Kronik Indonesia Ba ru. Siagian H. 1996. Manajemen Suatu Pengantar. Bandung: Alumni. Suandi. 1998. “Studi Kemiskinan di Daerah Perdesaan Kabupaten Tanjung Jabung Provinsi Jambi.” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian Universitas Jambi. ______. 2000. “Studi Kemiskinan di Daerah Perdesaan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi.” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian Universitas Jambi. 186 ______. 2002. “Kondisi Sosio-Demografi dan Kemiskinan di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi.” Jambi: Lembaga Penelitian Universitas Jambi. Suandi, dan Bambang. 2003. “Profil Statistik dan Indikator Gender di Propinsi Jambi.” Jakarta: Kerjasama Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Suandi, dan Ernawati. 2005. “Analisis Kebijaksanaan Pendidikan Provinsi Jambi Berbasis Gender.” Laporan Penelitian. Jambi: Kerjasama Dirjen Dikti dengan Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Jambi. 187 ARTIKEL 3 PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN EKONOMI KELUARGA DI WILAYAH PERDESAAN PROVINSI JAMBI ABSTRAK Modal sosial merupakan sumberdaya terpenting dalam kehidupan masyarakat karena modal ini merupakan jaringan/hubungan keluarga terhadap dunia luar baik bersifat forma l maupun informal untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Tujuan penelitian adalah (1) Mengidentifikasi dan menganalisis tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jambi, (2) Menganalisis pengaruh modal sosia l terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan, dan (3) Menghasilkan model pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan. Desain penelitian adalah cross sectional. P enelitian dilakukan di Provinsi Jambi dengan mengambil dua Kabupaten, yaitu: Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Kerinci. Waktu pengumpulan data penelitian selama 8 bulan. Variabel penelitian: (1) kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif), (2) modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat). Data penelitian bersumber dari data primer dan sekunder yang diambil dengan cara observasi, wawancara langsung, indepth interview dan Focus Group Discussion (FGD). Sampel penelitian sebanyak 325 rumahtangga atau 10 persen dari populasi ( 3.257 rumahtangga) yang diambil secara bertutur-turut dengan cara cluster, purposive, dan simple random sampling. Analisis data menggunakan model Structural Equation Modelling (SEM) dengan program LISREL (versi 8.7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laten variabel modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga terutama di wilayah pegunungan. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial yang dimiliki oleh keluarga maka tingkat kesejahteraan mereka semakin baik. Peran modal sosial dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan dapat melalui tiga mekanisme, yakni: (1) berbagi informasi, (2) intensitas berkelompok dan (3) mekanisme tindakan bersama (collective action). Peran lain dari modal sosial yaitu memfasilitasi berbagai akses di masyarakat, seperti: pengadaan air dan irigasi, kredit, dan akses dalam mendapatkan input pertanian/ teknologi. Oleh karena itu, penguatan modal sosial sangat tepat dalam pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Kata-kata kunci: kesejahteraan ekonomi keluarga, modal sosial, dan pemberdayaan masyarakat. 166 188 THE EFFECT OF SOCIAL CAPITAL ON FAMILY ECONOMIC WELL-BEING IN RURAL OF JAMBI PROVINCE ABSTRACT The objectives of this study are: (1) to comprehend and analyze the objective and the subjective family well-being, (2) to explore the effect of social capital variables on family objective and subjective economic well-being. and (3) to develop the community development model in rural area of Jambi Province. The research design is cross sectional and was carried out in Kerinci and East Tanjung Jabung districts from January to August 2006. Variables used are social capital, and family well-being both objective and subjective economic wellbeing. 325 household samples are chosen using cluster, purposive and random sampling methods. Data were collected using survay, indepth interview, and Focus Group Discussion (FGD). Descriptive, and Structural Equation Modeling (SEM) models were used for data analyzed. The results show that social capital (asociation and people character) both directly and indirectly has a significant effect on family economic well-being in mountainous area. The research finding also showed that there was no significant effect of social capital on family economic well-being in coastal area. The roles of social capital in generating family well-being are created through: (1) sharing informations, (2) asociation activities, and (3) collective actions. Besides, the social capital also give access to: (1) irrigation for farming and water supply for household needs, (2) credit for agriculture activities, and (3) agricultural input and technology for farmers. The research come to the conclusion that strengthening social capital is very important in community development to increase family well-being in rural area. Key words: family economic well-being, social capital, and community development. 167 189 PENDAHULUAN Teknologi, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam menentukan kapasitas masyarakat untuk menghasilkan suatu produk. Namun demikian, faktor produksi tersebut belum mampu melihat tingkat interdependensi antar individu faktor institusi dan dalam masyarakat kalau tidak didukung oleh nilai yang berlaku di masyarakat (Pakpahan, 1996:115). Pengalaman selama ini, setiap peningkatan kesejahteraan, masyarakat dianggap sebagai “mesin rusak,” dan pengetahuan yang ada digunakan untuk memperbaiki “mesin” tersebut. Disamping itu, determinan kesejahteraan (well-being) hanya terbatas pada faktor fisik (alam, ekonomi, dan sumberdaya manusia), dan sedikit sekali melihat kesejahteraan dalam konteks modal sosial (Morris, 1998). Padahal modal sosial merupakan sumberdaya terpenting dalam kehidupan masyarakat karena modal ini merupakan jaringan/hubungan keluarga terhadap dunia luar baik bersifat formal maupun informal untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Penduduk Provinsi Jambi, seperti penduduk lainnya di Indonesia, mengelompok sesuai dengan ciri yang dianut masyarakat, seperti: pola penguasaan lahan, karakteristik sosio-budaya, dan etnisitas sehingga dapat berpengaruh terhadap income inequality. Melihat adanya perbedaan pengelompokan masyarakat di Provinsi Jambi, tingkat kesejahteraan yang diharapkan memiliki nilai tersendiri dan peran modal sosial dalam arti jalinan jaringan kerja baik secara formal maupun info rmal satu dengan lainnya adalah cukup penting. Hingga saat ini, penelitian dan pengembangan konsep modal sosial dan perannya dalam pembangunan, terutama kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat di Indonesia masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi dan menganalisis tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga (objective and subjective economic well-being) di daerah perdesaan Provinsi Jambi, (2) menganalisis pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan, dan (3) menghasilkan model pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan. 168 190 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi dengan mengambil dua Kabupaten, yaitu: Kabupaten Tanj ung Jabung Timur dan Kabupaten Kerinci. Terpilihnya kedua Kabupaten tersebut sebagai wilayah penelitian dengan pertimbangan diharapkan dapat mewakili karakteristik kabupaten yang ada di Provinsi Jambi baik dilihat dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Kabupaten Tanjung Jabung Timur misalnya, dapat mewakili wilayah pesisir pantai (pasang surut), mayoritas masyarakat berasal dari suku Melayu, Bugis dan suku Banjar (migrasi spontan) dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan, usaha perkebunan kelapa dalam, dan padi sawah pasang surut. Kabupaten Kerinci mewakili masyarakat wilayah pegunungan (dataran tinggi), mayoritas masyarakat didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan mata pencaharian utama usahatani padi sawah, usaha perkebunan kulit manis (cassiavera), dan perkebunan kopi. Waktu pengumpulan data penelitian selama delapan bulan, mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2006. Pengumpulan data penelitian dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan data atau penelitian penjajakan (uji coba kuesioner). Tahap kedua adalah pengumpulan data primer dan sekunder. Uji Reliabilitas Tingkat validitas penelitian salah satunya ditentukan oleh reliabilitas instrumen atau tingkat konsistensi antar konstruk variabel penelitian. Untuk menguji besar kecilnya nilai reliabilitas instrument penelitian menggunakan tolok ukur nilai a-cronbach. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai a-cronbach penelitian berkisar antara 0,887 – 0,920. Dengan demikian, tingkat reliabilitas antar konstrak variabel penelitian atau informasi yang terjaring cukup dapat dihandalkan karena berdasarkan standar nilai paling rendah yaitu sebesar 0,60. Namun dalam sub kelompok variabel masih terdapat sedikit kesenjangan nilai 169 191 yang diperoleh pada konstruk penelitian dibandingkan secara total tetapi rentang perbedaan nilai tersebut tidak terlalu mencolok maka masih dapat dipertahankan. Adapun, peubah-peubah penelitian yang memperoleh kesenjangan nilai a-cronbach dalam penelitian ini yaitu peubah penelitian ”Modal Sosial” terdapat perbedaan nilai sebesar 0,029 atau antara 0,887 - 0,916 (pertanyaan tentang manfaat dari asosiasi). Secara jelas distribusi nilai a-cronbach penelitian dapat dilihat pada Tabel 52. Tabel 52 Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Petanyaan, nilai a-cronbach dan nilai a-cronbach setelah distandarisasi Jumlah Item a-cronbach ? -cronbach Based on Standardized Items Modal Sosial (MS) (Total) 12 0,920 - a. Asosiasi Lokal (Aslok) 4 0,887 0,916 *) b. Karakter Masyarakat (Kmas) 8 0,890 - Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) 12 0,893 - Total 36 0,905 - No Peubah Penelitian 01 02 - Keterangan: *) pertanyaan tentang manfaat asosiasi lokal bagi keluarga Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data Data penelitian bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari rumahtangga dan keluarga terpilih melalui metode wawancara dengan dipandu daftar pertanyaan (kuesioner) dan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder diperoleh dari instansi dan lembaga terkait disamping dari laporan hasil penelitian, journal maupun majalah yang memuat tentang masalah modal sosial dan kesejahteraan ekonomi keluarga. Jenis atau variabel penelitian dibagi kedalam dua kelompok, yaitu: modal sosial (asosiasi lokal dan karakter individu) dan kesejahteraan ekonomi keluarga. Asosiasi lokal, meliputi: jumlah asosiasi yang diikuti, tingkat partisipasi dan manfaat asosiasi, sedangkan variabel karakter masyarakat, meliputi: keterpercayaan, solidaritas, dan semangat kerja. Aspek kesejahteraan ekonomi 192 keluarga dibagi dalam dua dimensi, yakni kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi subjektif. Kesejahteraan ekonomi objektif, meliputi: (1) kebutuhan pangan, (2) non pangan, dan (3) kebutuhan investasi sumberdaya manusia, sedangkan kesejahteraan subjektif yaitu melihat tingkat kepuasan keluarga, meliputi: (1) pemenuhan kebutuhan pangan, (2) pemenuhan non pangan, dan (3) pemenuhan kebutuhan investasi. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara survai melalui daftar pertanyaan (kuesioner) dan daftar wawancara disamping pengumpulan data secara observasi. Untuk mendapatkan informasi lebih mendalam, pengumpulan data dilanjutkan dengan metode Focus Group Discussion (FGD) dan Indepth Interview terhadap beberapa keluarga terpilih. Sampel Penelitian Daerah/sampel penelitian (kabupaten penelitian) ditentukan dengan metode cluster sampling yaitu berdasarkan agroekologi wilayah sehingga terpilih wilayah dataran tinggi (pegunungan) dan daerah pesisir pantai (pasang surut). Diambilnya daerah/wilayah penelitian berdasarkan agroekologi, mengingat distribusi penduduk Provinsi Jambi menyebar berdasarkan tipologi tersebut. Selanjutnya, desa/kelurahan penelitian diambil secara purposive sampling dan mengikuti pola pada masing- masing wilayah Kabupaten dan Kecamatan, sedangkan keluarga (rumahtangga) diambil secara simple random sampling sebesar 325 orang atau 10 persen dari jumlah rumahtangga yang ada pada masingmasing desa wilayah penelitian. Kemudian, jumlah sampel yang digunakan sebagai indepth interview atau Focus Group Discussion (FGD) sebesar 33 orang atau 10 persen dari jumlah keluarga masing- masing desa. Analisis Data Analisis data dimulai dari melakukan sortasi, dan “coding”. Kemudian dilanjutkan analisis data secara deskriptif dengan menggunakan tabel frekuensi tunggal untuk data modal sosial, dan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga. Untuk melihat hubungan modal sosial terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi 193 keluarga secara struktural dianalisis dengan model Structural Equation Modelling (SEM) melalui program LISREL (versi 8.7) HASIL DAN PEMBAHASAN Modal Sosial Modal sosial merupakan bentuk jaringan kerja sosial dan ekonomi di masyarakat yang terjadi antar individu dan kelompok baik formal maupun informal yang bermanfaat dan menguntungkan. Modal sosial dikategorikan melalui dua dimensi yang saling berhubungan (interrelated), yakni: dimensi struktural, dan dimensi karakter14 . Dimensi struktural diukur dalam bentuk kelompok dan organisasi (asosiasi lokal). Tinggi rendah kontribusi asosiasi lokal terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga diukur secara komposit dari dimensi (a) jumlah asosiasi yang diikuti, (b) tingkat partisipasi dalam asosiasi, dan (c) manfaat asosiasi dengan nilai sebagai berikut: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi, sedangkan dimensi karakter diukur dari nilai komposit: (a) tingkat keterpercayaan, (b) solidaritas, dan (c) semangat kerja dengan nilai: (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) tinggi, dan (4) sangat tinggi. Asosiasi Lokal Dari hasil pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa tingkat asosiasi lokal yang dimiliki keluarga contoh di daerah penelitian cukup bervariasi baik dilihat dari jumlah asosiasi yang diikuti, partisipasi maupun manfaat dari asosiasi lokal. Namun, sebagian besar keluarga contoh memiliki asosiasi lokal tergolong tinggi yaitu mencapai 57,3 persen. Artinya, proporsi keluarga contoh yang memiliki asosiasi lokal pada tingkat tinggi dan sangat tinggi mencapai 57,3 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan asosiasi lokal bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup penting. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata kelompok masyarakat dengan tingkat asosiasi lokal tinggi dan 14 Konsep ini mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu (1986), Coleman (1988), dan Putnam, Leonardi, dan Nanetti (1993), Grootaert (1997), Woolcock (1998), Fukuyama (1999), Uphoff (1999) (Dasgupta P., 2000:218), dan Flores dan Fernando (2003) (disempurnakan). 194 sangat tinggi terdapat di wilayah pegunungan dengan persentase sebesar 67 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai sekitar 46 persen. Tabel 53 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Asosiasi Lokal yang Dimiliki, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Asosiasi Lokal Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Total Jumlah Persen Jumlah Persen 01 Sangat rendah 23 13.2 27 17.9 50 15.4 02 Rendah 34 19.5 55 36.4 89 27.4 03 Tinggi 81 46.6 56 37.1 137 42.2 04 Sangat tinggi 36 20.7 13 8.6 49 15.1 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Besarnya persentase keluarga contoh dengan asosiasi lokal yang rendah dan sangat rendah yang terdapat di wilayah pesisir pantai sangat erat kaitannya dengan jumlah dan tingkat partisipasi mereka dalam kelompok atau organisasi yang terdapat dalam desa. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga contoh dalam berbagai asosiasi lokal sangat sedikit, baik kegiatan ekonomi maupun kegia tan lainnya, dan hal ini diperparah lagi oleh jumlah asosiasi yang berkembang di wilayah pesisir pantai sangat terbatas bila dibandingkan dengan daerah wilayah pegunungan. Jumlah Asosiasi Lokal yang Diikuti Keluarga Contoh Jumlah asosiasi lokal yang diikuti keluarga contoh di daerah penelitian dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu: sangat sedikit (satu asiosiasi), sedikit (dua asosiasi), banyak (tiga asosiasi), dan sangat banyak (lebih dari tiga asosiasi). Hasil pengamatan lapangan diperoleh bahwa jumlah asosiasi lokal yang diikuti keluarga contoh di daerah penelitian tergolong besar karena lebih dari 59 persen keluarga contoh mengikuti sebanyak tiga atau lebih asosiasi lokal (Tabel 54). Dengan semakin banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota keluarga contoh diharapkan dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat 195 kebersamaan dan solidaritas sesama anggota masyarakat sehingga pada gilirannya akan berdampak terhadap kesejahteraan dan kemajuan desa. Kemudian, pada masa era globalisasi, reformasi dan otonomi daerah, asosiasi lokal yang berkembang di daerah dan diikuti oleh anggota masyarakat akan sangat berperan dalam membendung dan menopang berbagai informasi berupa inovasi baru yang datang dari luar terutama yang berkaitan dengan kehid upan masyarakat dan pembangunan daerah. Adapun asosiasi yang berkembang di daerah penelitian berjumlah 18 asosiasi, baik asosiasi formal maupun nonformal/kelompok (Lampiran 3). Tabel 54 Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang diikuti Keluarga, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Jumlah Asosiasi Lokal yang diikuti Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat sedikit (=1) 26 14.9 35 23.2 61 18.8 02 Sedikit (=2) 31 17.8 39 25.8 70 21.5 03 Banyak (=3) 61 35.1 51 33.8 112 34.5 04 Sangat banyak (> 3) 56 32.2 26 17.2 82 25.2 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Pada Tabel 54 tampak terdapat perbedaan yang cukup besar sebaran contoh keluarga antara wilayah pegunungan dengan wilayah pesisir pantai dalam mengikuti asosiasi lokal. Melalui tabel tersebut dapat diketahui bahwa keluarga contoh di wilayah pegunungan yang mengikuti asosiasi lokal sebanyak tiga macam atau lebih mencapai 67 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 51 persen. Relatif banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota keluarga contoh di wilayah pegunungan disebabkan perkembangan asosiasi itu sendiri dan keterkaitan antara satu kalbu dengan kalbu lainnya yang memiliki tingkat kekeluargaan tinggi. Hal ini terungkap melalui diskusi dengan salah satu tokoh cendikiwan muda yaitu bapak Sulaiman, beliau menuturkan: 196 ”kehidupan masyarakat disini mengelompok dalam kalbu masing-masing. Kenapa saya katakan demikian, mayoritas mata pencaharian masyarakat di wilayah pegunungan adalah pertanian padi sawah, sedangkan lahan padi sawah tersebut umumnya bukan merupakan hak milik tetapi adalah ”sistem gilir ganti” dalam satu kalbu begitu juga dalam sitem pengerjaannya dilakukan secara bersama-sama apa yang disebut dengan ”kerja kalbu15 ” dan sistem kelompok ”handel16 .” Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga Tingkat partisipasi anggota keluarga contoh dalam asosiasi lokal dilihat dari dua aspek, yakni: tingkat keaktifan dalam pertemuan dan pengambilan keputusan selama mengikuti pertemuan. Seperti tersaji pada Tabel 55, 58 persen dari seluruh keluarga contoh merupakan anggota yang aktif dan sangat aktif dalam asosiasi. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata anggota keluarga contoh di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat partisipasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan anggota keluarga contoh di wilayah pegunungan, masing masing 49, dan 66 persen. Tabel 55 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga dalam Asosiasi Lokal, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Partisipasi dalam Asosiasi Lokal Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Tidak aktif 28 16.1 29 19.2 57 17.5 02 Kurang aktif 32 18.4 48 31.8 80 24.6 03 Aktif 57 32.8 41 27.2 98 30.2 04 Sangat aktif 57 32.8 33 21.9 90 27.7 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - 15 16 Total Sistem kalbu yaitu sistem kerja bersama (saling tolong menolong) tanpa upah dalam satu garis turunan Sistem handel artinya sistem kerja kelompok dengan mengambil upahan dan setiap mendapat upahan uang disimpan dan dibagikan menjelang hari raya idul fitri. 197 Dengan kata lain, anggota keluarga contoh di daerah wilayah pesisir pantai kurang aktif dalam mengikuti berbagai aktivitas dan pertemuan kelompok/ organisasi sehingga akan berdampak kepada produktivitas kelembagaan itu sendiri. Lebih jelas sebaran contoh keluarga berdasarkan tingkat partsisipasi anggota keluarga dalam asosiasis lokal padat dilihat pada Tabel 55. Berdasarkan tingkat partisipasi dalam pertemuan, seperti tertera pada Tabel 70, dimana tingkat partisipasi anggota keluarga sangat tinggi sekali yaitu mencapai angka 72 persen dengan frekuensi pertemuan lebih dari 75 persen dan bahkan 60 persen diantaranya aktif mengikuti pertemuan kelompok/organisasi setiap kali pertemuan17 (Tabel 56). Kalau berdasarkan daerah penelitian hasilnya tidak jauh berbeda dengan tingkat partisipasi dalam asosiasi lokal tetapi proporsi pada tingkat pertemuan ini tidak begitu kentara. Melihat dari tingkat frekuensi pertemuan anggota keluarga contoh dalam asosiasi yang diikuti ini menunjukkan bahwa keterkaitan keluarga contoh dengan asosiasi lokal yang berkembang dimasyarakat cukup kuat. Asosiasi masyarakat baik berupa kelembagaan sosial, ekonomi maupun kelembagan lain seperti pendidikan, kesehatan bahkan politik cukup penting bagi masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Sebagai contoh kecil, peran asosiasi lokal bagi kehidupan masyarakat yaitu pemanfaatan air irigasi untuk keperluan mengairi tanaman padi sawah. Seperti yang diutarakan oleh Kepala Desa Jujun (Supratman Yunus): ”Air irigasi yang diperlukan oleh masyarakat terutama yang menggunakan irigasi desa, bukan irigasi pemerintah, harus diatur dalam kelompok kalbu. Kalau tidak ada peran kelompok kalbu pola pengairan menjadi tidak teratur dan tidak efisien karena setiap orang harus menjaga bendungan air irigasi setiap hari, tetapi dengan adanya kelompok penjaga air irigasi ini, mereka dapat memelihara secara bergiliran dan sesuai dengan waktu dan keperluan dari masing-masing anggota kelompok.” 17 Keluarga Contoh Wilayah Pegunungan yang ikut setiap pertemuan = 68,2 % Keluarga Contoh Wilayah Pesisir Pantai yang ikut setiap pertemuan = 50,3 % Keluarga Contoh Total yang ikut setiap pertemuan = 60.4 % 198 Tabel 56 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota Keluarga pada Pertemuan Asosiasi Lokal, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Partisipasi dalam Pertemuan Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Tidak aktif (0-25 %) 19 4.3 14 4.1 33 4.2 02 Kurang aktif (26-50 %) 53 12.1 80 23.4 133 17.0 03 Aktif (51-75 %) 25 5.7 28 8.2 53 6.8 04 Sangat aktif (> 75 %) 343 77.9 220 64.3 563 72.0 - Total 440 100.0 342 100.0 782 100.0 - Rata-rata 86 79 83 Pengambilan Keputusan Keikutsertaan anggota keluarga contoh dalam pengambilan keputusan pada pertemuan asosiasi lokal cukup penting bagi kelembagaan yang mereka ikut i karena hal ini sangat menentukan tingkat kemajuan dan peran dari kelembagaan tersebut. Berdasarkan data pada Tabel 57, tampaknya anggota keluarga contoh sangat aktif dalam mengambil berbagai keputusan pada setiap kali pertemuan asosiasi. Tabel 57 Sebaran Contoh Berdasarkan Keikutsertaan Anggota Keluarga dalam Pengambilan Keputusan pada Setiap Pertemuan, 2006 Sebaran Contoh No Pengambilan Keputusan dalam Pertemuan Asosiasi Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Tidak aktif 10 1.9 11 2.9 21 2.3 02 Kurang aktif 85 15.8 69 18.3 154 16.8 03 Aktif 442 82.3 298 78.8 740 80.9 537 100.0 378 100.0 915 100.0 - Total Hal ini mengindikasikan begitu pentingnya asosiasi bagi masyarakat karena kelembagaan atau asosiasi yang mereka ikuti memiliki akses yang tinggi dalam 199 berbagai fasilitas publik. Namun demikian, seperti terlihat pada Tabel 57, masih ada diantara anggota keluarga yang tidak aktif dalam mengambil berbagai keputusan pada setiap pertemuan tetapi angka ini sangat relatif kecil yaitu sekitar 2,3 persen. Ketidakaktifan anggota keluarga contoh dalam pengambilan keputusan pada setiap pertemuan disamping faktor partisipasi yang rendah juga disebabkan oleh faktor dominasi pimpinan sidang pada setiap pertemuan. Manfaat Kelompok/Organisasi bagi Keluarga Faktor manfaat secara struktural merupakan elemen penting dalam modal sosial karena faktor ini berkaitan erat dengan keterlibatan anggota masyarakat dalam asosiasi. Artinya, semakin besar nilai manfaat dari suatu asosiasi bagi keluarga maka kontribusi setiap anggota keluarga semakin besar dan sebaliknya. Manfaat asosiasi bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup besar hal ini ditandai dengan tingginya proporsi keluarga yang mencapai 70 persen lebih (Tabel 58). Hal senada juga ditunjukkan oleh persentase keluarga contoh di kedua daerah penelitian yang menyatakan bahwa asosiasi yang mereka ikuti sangat bermanfaat dengan nilai masing- masing 75 persen di pegunungan dan 68 persen di wilayah pesisir pantai. Tabel 58 Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi Keluarga, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Manfaat Asosiasi Lokal Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Tidak bermanfaat 17 9.8 23 15.2 40 12.3 02 Kurang bermanfaat 26 14.9 24 15.9 50 15.4 03 Bermanfaat 69 39.7 67 44.4 136 41.8 04 Sangat bermanfaat 62 35.6 37 24.5 99 30.5 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) di desa Koto Agung Kecamatan Keliling Danau wilayah pegunungan menyimpulkan bahwa asosiasi desa yang 200 ada di daerah ini baik asosiasi formal maupun informal cukup penting dalam meningkatkan perekonomian dan hubungan sosial dalam masyarakat. Seperti dicontohkan oleh salah seorang peserta yaitu bapak Sapri Joni, ia menuturkan sebagai berikut: ”keberadaan asosiasi di desa kami ini sangat berperan sekali terutama sistem kerja gotong royong (collective action), misalnya membangun jalan menuju ke sentra produksi (kebun), membangun dan atau membersih hulu sungai untuk pengairan persawahan, membangun fasilitas umum (masjid), madrasah, dan fasilitas umum lainnya.” Cukup banyak jenis asosiasi lokal yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh baik untuk keperluan ekonomi, pendidikan maupun keperluan sosial. Lebih dari 18 asosiasi (formal dan informal) lokal yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh untuk berbagai keperluan atau kepentingan. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata asosiasi lokal terbanyak yang berkembang dan dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh terdapat di wilayah pegunungan yaitu sebanyak 16 asosiasi, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 10 asosiasi. Manfaat, dalam hal ini tingkat kebutuhan masyarakat dari asosiasi lokal yang mereka ikuti secara rinci tertera pada Tabel 59. Dari Tabel tersebut tampak asosiasi sosial merupakan persentase terbesar yang dibutuhkan oleh anggota keluarga contoh yaitu mencapai 33 persen, kemudian persentase terbesar kedua adalah asosiasi yang bergerak untuk kebutuhan pangan yaitu mencapai 24 persen, sedangkan persentase terkecil yaitu asosiasi yang bergerak di bidang kesehatan (6 persen). Namun, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian tampaknya terdapat perbedaan kebutuhan asosiasi dari kedua wilayah penelitian. Jenis asosiasi yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat di wilayah pegunungan berturut-turut adalah asosiasi yang bergerak dibidang pangan, pendidikan, sosial dan permodalan, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya tertumpu pada kelompok sosial yaitu mencapai 46 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat yang terdapat di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat interaksi sosial di masyarakat tergolong rendah. Kenyataan ini didukung oleh hasil diskusi 201 (FGD) denga n tokoh-tokoh masyarakat baik yang berada di Kecamatan Nipah Panjang maupun di Kecamatan Mendahara Ilir: ”Umumnya masyarakat di daerah ini hubungan antar sesama anggota masyarakat sangat terbatas. Menurut mereka keterbatasan hubungan keakraban antar sesama anggota masyarakat karena banyaknya kelompok kesukuan yang ada di daerah ini karena kami umumnya adalah transmigran (spontan dan umum) sehingga sulit untuk membuat satu kesatuan asosiasi yang utu h untuk kepentingan bersama. Disisi lain, masyarakat disini lebih banyak melakukan aktivitas secara individual daripada kelompok kecuali kalau ada anggota masyarakat yang mendapat musibah (meninggal) itupun hanya membantu memberi doa yang disebut sebagai asosiasi sosial (yasinan).” Table 59 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Asosiasi Lokal bagi Anggota Keluarga, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Kebutuhan Asosiasi Lokal Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Pangan 135 30.7 59 17.2 194 24.8 02 Pendidikan 115 26.1 40 11.7 155 19.8 03 Kesehatan 21 4.8 27 7.9 48 6.2 04 Tambahan modal 68 15.4 58 17.0 126 16.1 05 Sosial 101 23.0 158 46.2 259 33.1 440 100.0 342 100.0 782 100.0 - Total Kebutuhan asosiasi di wilayah pegunungan seperti tertera pada Tabel 59, dapat dijelaskan bahwa kebutuhan asosiasi terbesar yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah asosiasi yang bergerak di bidang pangan yaitu mencapai 30 persen. Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa asosiasi yang bergerak di bibidang pangan ini berasal tiga jenis asosiasi yang berkembang di masyarakat (Lampiran 3), yakni: asosiasi Kelompok Usahatani (KUT), Kelompok Perkumpulan Petani Pemakai Air (KP3A) dan asosiasi Kelembagaan Adat. Asosiasi KUT misalnya adalah asosiasi yang di sponsori oleh pemerintah yang 202 bergerak dibidang pertanian: bantuan bibit (tanaman, ternak dan ikan) dan bantuan lainnya, KP3A adalah asosiasi desa yang berkembang dimasyarakat di wilayah pegunungan yaitu kelompok pengelola air irigasi yang digunakan untuk pengairan padi sawah, dan kelembagaan adat disamping berfungsi sebagai lembaga sosial, pendidikan juga berperan sebagai kelompok yang bergerak untuk keperluan pangan masyarakat (contoh: raskin). Asosiasi terbesar kedua yang berkembang di wilayah pegunungan dan dibutuhkan oleh masyarakat yaitu asosiasi yang bergerak di bidang pendidikan (26 persen). Melihat distribusi yang ada, asosiasi yang bergerak dibidang pendidikan ini berasal dari beberapa jenis asosiasi, yakni: Asosiasi Karang Taruna, Majlis Taklim, PKK, kelompok keagamaan, kesenian tradisional dan asosiasi kelembagaan adat. Asosiasi Karang Taruna adalah asosiasi kepemudaan yang bergerak dibidang pendidikan/pelatihan atau pola sejenisnya (olaharaga, kesenian) yang dapat meningkatkan keterampilan masyarakat. Majlis Taklim adalah kelompok pengajian khususnya ibu- ibu/wanita yang secara rutin (1 bulan sekali) melaksanakan belajar bersama baik dalam bentuk ceramah, diskusi maupun bentuk lainnya dengan tujuan meningkatkan ilmu pengetahuan. Kegiatan yang sama juga terdapat pada asosiasi PKK, kelompok keagamaan: selain majlis taklim terdapat kelompok keagamaan Muhammadiyah baik dari kalangan pemuda maupun kelompok lainnya, kesenian tradisional, seperti ”tari asyek” dan kelembagaan adat yaitu berfungsi untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan masyarakat. Khusus peran kelembagaan adat dalam bidang pendidikan yaitu secara periodik tokoh-tokoh adat mengadakan semacam lokakarya dan diskusi terhadap calon-calon ”depati” dan ”ninik mamak ” dari berbagai kelompok ”kalbu” tentang seluk beluk adat yang dianut di masyarakat setempat dan cara-ara penyelesaiannya. Asosiasi lain yang cukup memberi andil terhadap kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di wilayah pegunungan adalah asosiasi yang bergerak di bidang sosial, tambahan modal dan kesehatan. Asosiasi yang bergerak di bidang sosial adalah asosiasi ”leg,” kelembagaan adat, kesenian tradisional, dan asosiasi Persatuan Buru Babi (PBB). Asosiasi ”leg” di wilayah pegunungan secara umum disebut kelompok yasinan. Oleh karena, asosiasi ini mayoritas 203 bergerak pada kelompok kalbu maka kelompok ini disebut dengan istilah ”leg 18 .” Adapun asosiasi yang bergerak dalam bidang tambahan modal terdiri dari beberapa asosiasi, yakni: asosiasi ”handel19 ,” arisan, KUT dan Koperasi (KUD dan keluarga). Asosiasi ”handel” sangat efektif membatu keluarga baik untuk keperluan lebaran (pada saat lebaran) maupun untuk keperluan tambahan modal kerja karena yang mendapatkan bantuan dari asosiasi ini (uang milik bersama) tidak dikenakan bunga. Asosiasi POSYANDU sebagai asosiasi yang bergerak dibidang kesehatan tampaknya masih relatif kecil manfaatnya bagi masyarakat. Rendahnya manfaat POSYANDU bagi masyarakat di daerah perdesaan diduga banyak disebabkan oleh faktor kesungguhan pemerintah memberikan akses pelayanan kepada masyarakat. Hampir sebagian besar POSYANDU yang ada di daerah penelitian sudah banyak yang tidak berfungsi lagi, namun demikian dengan adanya program revitalisasi POSYANDU diharapkan asosiasi tersebut dapat melayani masyarakat terutama pelayanan kesehatan anak-anak. Berbicara mengenai akses keluarga contoh di daerah penelitian terhadap asosiasi lokal tidak jauh berbeda dengan manfaat yang dapat dirasakan oleh keluarga responden. Secara umum dapat dijelaskan bahwa akses keluarga contoh di daerah penelitian seperti tertera pada Tabel 60 cukup banyak. Hal ini terlihat dari proporsi keluarga contoh yang memiliki akses terhadap asosiasi ini yang tergolong besar dan sangat besar yaitu mencapai 53 persen. Kalau dibandingkan dengan manfaat asosiasi seperti tertera pada Tabel 58 tampaknya persentase responden yang memiliki akses (besar dan sangat besar) pada asosiasi lokal relatif lebih rendah namun lebih dari separo responden merasakan bahwa asosiasi lokal sudah cukup memberikan berbagai kemudahan bagi me reka. Berdasarkan daerah penelitian, proporsi terbesar keluarga contoh merasakan memiliki akses besar dan sangat besar pada asosiasi lokal berada di wilayah pegunungan (58 %), sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya sekitar 48 persen. Akses masyarakat terutama di wilayah pegunungan terhadap masing18 “leg” artinya sekumpulan atau sekelompok orang yang berasal dari hubungan pertalian darah atau garis turunan tertent u (bonding) dengan tujuan bersama terutama kerjasama pada saat menghadapi musibah kematian, secara umum disebut dengan istilah kelompok yasinan. 19 “handel” artinya sistem kerja kelompok (kalbu) dengan mengambil upahan dan setiap mendapat upahan, penghasilannya disimpan terlebih dahulu dan dibagikan menjelang hari raya idul fitri. 204 masing asosiasi cukup merata kecuali akses terhadap pelayanan kesehatan dan fasilitas publik (3,7 dan 3,4 %). Akses masyarakat paling besar terhadap kebutuhan keluarga contoh terdapat pada asosiasi yang bergerak di bidang pertanian (pengadaan air dan irigasi, kredit, dan input pertanian/ teknologi) yaitu mencapai 43 persen (Tabel 61). Artinya, hampir dari separo asosiasi lokal yang berkembang di wilayah pegunungan yang bergerak di bidang pertanian. Tabel 60 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Aksesibilitas Asosiasi Lokal bagi Keluarga, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Aksesibilitas Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat Kecil 31 17.8 36 23.8 67 20.6 02 Kecil 42 24.1 42 27.8 84 25.8 03 Besar 80 46.0 52 34.4 132 40.6 04 Sangat Besar 21 12.1 21 13.9 42 12.9 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Kemudian, pelayanan asosiasi lokal terbesar kedua dalam mendukung dan membantu kemajuan dan kesejahteraan ekonomi keluarga yaitu asosiasi yang bergerak di bidang pendidikan dan pelatihan dengan persentase mencapai 26 persen. Hal ini memberi gambaran bahwa masyarakat wilayah pegunungan lebih cenderung memilih asosiasi yang dapat membantu atau mendukung kehidupan mereka sehari- hari. Dengan kata lain, asosiasi terpenting pertama adalah asosiasi yang bergerak di bidang pertanian karena hal ini erat kaitannya dengan kecukupan pangan, dan seperti diketahui bahwa kecukupan pangan adalah kecukupan utama dalam kehidupan sehari- hari atau disebut dengan kecukupan primer. Berikutnya, masyarakat wilayah pegunungan disamping memperhatikan masalah kecukupan akan pangan (konsumtif) mereka juga memperhatikan masa depan mereka terutama masa depan anak-anak khususnya dalam pengembangan sumberdaya manusia sehingga perioritas kedua keterlibatan mereka dalam asosiasi lokal adalah asosiasi yang bergerak dibidang pendidikan. Secara implisit, bahwa 205 masyarakat wilayah pegunungan lebih rasional dan proporsional memilih atau mengikuti asosiasi yang berkembang dimasyarakat. Hasil konkrit ini sekaligus dapat menepis dari anggapan beberapa ahli tentang fungsi, manfaat dan akses dari modal sosial secara struktural (asosiasi lokal) terhadap kesejahteraan ekono mi keluarga atau masyarakat20 . Mereka menganggap bahwa modal sosial hanya pergantian istilah dari kegiatan sosial belaka, padahal hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa modal sosial berperan penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Tabel 61 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Asosiasi Lokal bagi Keluarga, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Akses Asosiasi Lokal 01 Pendidikan dan pelatihan 02 Pelayanan Kesehatan Pengadaan air dan Irigasi Kredit/keuangan 03 04 Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 115 26.2 40 11.7 155 19.8 17 3.7 27 7.9 44 5.6 54 12.3 0 0.0 54 6.9 67 15.2 54 15.8 121 15.5 05 Input pertanian/teknologi 71 16.2 50 14.6 121 15.5 06 Sosial 101 23.0 158 46.2 259 33.1 07 Fasilitas Publik 15 3.4 13 3.8 28 3.6 440 100.0 342 100.0 782 100.0 - Total Tingkat Heterogenitas Asosiasi Tingkat heterogenitas asosiasi lokal adalah tingkat keberagaman dari jenis dan jumlah asosiasi yang diikuti oleh anggota keluarga contoh. Dengan kata lain, semakin banyak jenis dan jumlah asosiasi yang diikuti oleh anggota keluarga contoh maka tingkat asosiasi yang dimiliki semakin beragam (heterogen). Tingkat heterogenitas asosiasi erat kaitannya dengan tingkat keterlibatan anggota keluarga dalam asosiasi tersebut hubungannya dengan tingkat kesejahteraan. Artinya, 20 Kelompok masyarakat yang memiliki tingkat hubungan yang kuat (interralated) antara potensi kognitif/karakter masyarakat dengan asosiasi yang berkembang. 206 semakin tinggi tingkat heterogenitas asosiasi yang diikuti oleh anggota keluarga maka diharapkan dapat memberikan fungsi ganda terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga. Seperti terlihat pada Tabel 62 bahwa tingkat heterogenitas asosiasi yang diikuti anggota keluarga contoh cukup tinggi, hal ini dapat dibuktikan dari persentase anggota keluarga yang memiliki tingkat heterogenitas tinggi dan sangat tinggi yaitu mencapai 52 persen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa manfaat dan akses asosiasi bagi keluarga cukup penting sehingga heterogenitas asosiasi yang diikuti tampaknya juga memberikan kontribusi yang sama terutama keragaman asosiasi yang bersifat produktif. Tabel 62 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Heterogenitas Asosiasi Lokal, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Heterogenitas Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Tidak Heterogen 28 16.1 39 25.8 67 20.6 02 Kurang Heterogen 39 22.4 50 33.1 89 27.4 03 Heterogen 57 32.8 40 26.5 97 29.8 04 Sangat heterogen 50 28.7 22 14.6 72 22.2 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Karakter Masyarakat Karakter seorang individu merupakan “the sum total of the disinguishing qualities of a person” atau sering juga disebut dengan istilah “moral exellence and strength” (Webster, 1993). Lichona (Hastuti, 2006,11) melihat bahwa karakter terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait satu sama lainnya, yakni: pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perilaku bermoral (moral behavior). Artinya, seorang individu yang berkarakter baik apabila individu tersebut dapat mengetahui tentang berbagai kebaikan (knowing the good), menginginkan dan selalu mencintai kebaikan (loving the good), dan selalu melakukan berbagai tindakan yang baik (acting the good). 207 Implementasi dalam kehidupan sehari- hari dan seorang individu yang berkarakter baik dapat dilihat pada pola hidup dan interaksi sosial mereka dengan masyarakat dalam konteks: nilai keterpercayaan, solidaritas dan semangat kerja. Nilai keterpercayaan diukur dari tiga dimensi, yaitu: komitmen terhadap norma yang berlaku, kejujuran, dan tanggung jawab. Solidaritas masyarakat dilihat dari aspek: tingkat ketergantungan antar anggota masyarakat, saling bantu membantu, dan aspek kepekaan terhadap kemajuan desa, sedangkan aspek semangat kerja diukur dari disiplin dan keuletan kerja masyarakat. Pada Tabel 63 tampak lebih dari 50 persen keluarga contoh di daerah penelitian tergolong pada kelompok dengan karakter masyarakat yang tinggi dan sangat tinggi. Dengan arti kata, bahwa rata-rata pola hidup dan interaksi sosial masyarakat di daerah penelitian khususnya di daerah perdesaan Provinsi Jambi relatif kondusif. Namun, apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian ternyata proporsi terbesar keluarga contoh pada kelompok karakter yang tinggi dan sangat tinggi terdapat di wilayah pegunungan (74,8 %), sedangkan masyarakat di wilayah pesisir pantai hanya sekitar 33,8 persen. Artinya, kelompok masyarakat yang memiliki karakter baik (kelompok karakter tinggi + sangat tinggi) di wilayah pesisir pantai jauh lebih kecil dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang ada di wilayah pegununga n. Hasil pengamatan lapangan dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat di wilayah pesisir pantai diperoleh kesimpulan bahwa rendahnya karakter masyarakat di daerah penelitian disebabkan keberagaman etnisitas. Menurut bapak Haji Said Yahya, salah satu tokoh masyarakat yang berhasil dari usaha nelayan menuturkan: “di daerah ini terdapat empat suku besar yang berkembang dengan pola dan gaya hidup yang sangat kontras satu dengan lainnya, yakni: suku melayu, bugis, banjar, dan suku jawa. Keempat suku tersebut memiliki ciri dan kepentingan masing-masing sehingga akan berdampak terhadap kepentingan masyarakat secara umum dan pada gilirannya dapat merenggangkan interaksi sosial masyarakat secara utuh.” Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Robinson (2002:8) bahwa keberagaman etnisitas dapat mempengaruhi tingkat income inequality dan kebersamaan masyarakat. 208 Tabel 63 Sebaran Contoh Berdasarkan Karakter Masyarakat, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Karakter Masyarakat Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat rendah 16 9.2 23 15.2 39 12.0 02 Rendah 28 16.1 77 51.0 105 32.3 03 Tinggi 85 48.9 43 28.5 128 39.4 04 Sangat tinggi 45 25.9 8 5.3 53 16.3 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Tingkat Keterpercayaan Masyarakat Keterpercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang terhadap perkataan, perjanjian, dan tindakan secara konsisten pada saat terjalinnya hubungan antar individu atau kelompok/organisasi dalam masyarakat. Tingkat keterpercayaan seseorang dapat dilihat dari dimensi: tingkat komitmen, kejujuran dan tanggung jawab. Seperti terlihat pada Tabel 64, bahwa tingkat keterpercayaan masyarakat di daerah penelitian tergolong relatif baik karena hasil perhitungan diperoleh proporsi keluarga contoh yang tergolong pada kelompok keterpercayaan tinggi dan sangat tinggi yaitu mencapai 57,8 persen. Artinya, hampir sebagian besar masyarakat di daerah perdesaan Provinsi Jambi memiliki tingkat keterpercayaan tinggi. Tabel 64 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan Masyarakat, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Keterpercayaan Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat rendah 15 8.6 16 10.6 31 9.5 02 Rendah 27 15.5 79 52.3 106 32.6 03 Tinggi 87 50.0 48 31.8 135 41.5 04 Sangat tinggi 45 25.9 8 5.3 53 16.3 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total 209 Berdasarkan wilayah penelitian, ternyata terdapat perbedaan yang cukup besar kelompok masyarakat yang memiliki tingkat keterpercayaan tinggi antara masyarakat di daerah wilayah pesisir pantai dengan daerah wilayah pegunungan. Hasil pengelompokan menunjukkan bahwa masyarakat di daerah perdesaan wilayah pegunungan memiliki tingkat keterpercayaan jauh lebih baik dibandingkan dengan tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di daerah perdesaan wilayah pesisir pantai dengan nilai masing- masing 75,9 dan 37,1 persen. Relatif tingginya tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah pegunungan sangat terkait dengan pola hubungan individu dalam masyarakat. Pola hubungan atau interaksi individu dalam masyarakat Kerinci yaitu menganut sistem ”kalbu.” Sistem kalbu adalah interaksi sosial/hubungan sosial masyarakat dalam kelompok atau turunan tertentu yang dibingkai dalam sebuah kedepatian dan lembaga adat dengan satu tujuan. Artinya, satu depati dengan depati yang lain saling kait mengkait dan saling ketergantungan untuk membangun sebuah kelembagaan yang kokoh yang disebut dengan kelembagaan adat. Bapak Syamsir, sebagai salah satu tokoh adat di desa Jujun yang vokal dan memiliki pengetahuan adat yang cukup mendalam di desa penelitian, ber tutur sebagai berikut: ”segala aktivitas di desa ini harus berpedoman kepada adat. Lembaga adat adalah lembaga formal bagi masyarakat desa sehingga aturanaturan yang ada dalam kelembagaan adat harus diikuti dan dituruti, kalau tidak, jelas ada sanksi.” Lembaga adat cukup kuat di desa ini karena dari tokoh-tokoh kita sebelumnya membingkai kelembagaan adat dengan agama sehingga dasar kelembagaan adat disebut ”adat bersendikan sarak, sarak bersendikan kitabullah.” Artinya, dasar adat adalah hasil mupakat, sedangkan hasil mupakat ini berdasarkan kesepekatan yang tertuang dalam alquran. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat ataupun yang diucapkan dalam kehidupan sehari-hari harus berpedoman kepada aturan-aturan dalam adat.” Berdasarkan keterangan-keterangan dan pernyataan-pernyataan dari salah seorang informan tadi dapat disimpulkan bahwa keterpercayaan seorang individu yang mapan dan dapat dipercayai di daerah perdesaan wilayah pegunungan 210 karena mereka merasakan bahwa dirinya adalah milik orang lain dan sebaliknya masyarakat luas adalah bagian dari kepentingan mereka dalam menjalankan interaksi/hubungan sosial. Kembali kepada hubungan masyarakat dalam kelompok ”kalbu” dan kedepatian kaitannya dengan keterpercayaan masyarakat adalah hubungan kekerabatan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Dimana tercapainya keterpercayaan masyarakat yang kuat dalam kelompok kalbu dan kedepatian disebabkan oleh adanya komitmen, kejujuran dan tanggung jawab masing- masing anggota untuk kepentingan bersama. Tingkat Solidaritas Masyarakat Solidaritas masyarakat merupakan kondisi masyarakat saling mau menerima, memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai. Tinggi rendahnya tingkat solidaritas masyarakat dilihat dari tiga dimensi: ketergantungan satu sama lainnya, saling bantu membantu, dan adanya kepekaan terhadap kemajuan desa. Secara operasional solidaritas masyarakat merupakan frekuensi interaksi antara satu individu dengan individu lainnya yang merujuk pada seberapa jauh individu melakukan kontak-kontak langsung antara satu dengan lainnya. Semakin positif sifat interrelasi diantara anggota masyarakat yang berupa solidaritas, atau semangat kemasyarakatan, semakin besar kecenderungannya untuk saling memperhatikan keinginan masing- masing dalam mencari jalan ke arah saling memberi kepuasan dan kerjasama. Kerjasama tersebut berupa koordinasi dalam tindakan mereka guna mencapai hasil yang sama-sama disenangi, tetapi di samping itu kerjasama tersebut dapat berupa usaha bersama untuk mengubah situasi atau aturan main. Dengan perubahan itu tercipta kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan situasi dan aturan main yang cocok dalam mereka berhubungan. Menurut Burns (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003:99), semakin berhasil koordinasi yang dilakukan untuk berbagai tindakan, semakin positif dan kuat orientasi yang tertuju pada kelompok dari para individu yang bersangkutan dan sebaliknya. 211 Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat solidaritas masyarakat di daerah penelitian relatif merata antara solidaritas masyarakat yang baik dan kurang baik karena data yang diperoleh diantara kedua tingkat solidaritas tersebut relatif berimbang: 41,5 persen tingkat solidaritas kurang baik dan 58,5 persen tingkat solidaritas tergolong baik (Tabel 65). Tabel 65 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Solidaritas Masyarakat, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Solidaritas Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat rendah 11 6.3 31 20.5 42 12.9 02 Rendah 30 17.2 63 41.7 93 28.6 03 Tinggi 70 40.2 41 27.2 111 34.2 04 Sangat tinggi 63 36.2 16 10.6 79 24.3 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Namun, menurut wilayah penelitian ternyata persentase masyarakat terbesar yang memiliki tingkat solidaritas tergolong baik terdapat di wilayah pegunungan (76,4 persen) dan persentase ini tidak jauh berbeda dengan persentase tingkat keterpercayaan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi bahwa tingginya tingkat solidaritas masyarakat di daerah perdesaan wilayah pegunungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya karena kuatnya kelembagaan adat yang ada di daerah tersebut. Solidaritas/kohesi sosial yang berkembang di wilayah pegunungan karena mereka memiliki tingkat jarak sosial yang saling mendekat satu dengan lainnya. Menurut Durkheim (Rahardjo: Balitbabangda Provinsi Jambi, 2003) bahwa solidaritas atau kohesi sosial memiliki dua tipe, yaitu : (1) kohesi yang didasarkan atas kesamaan-kesamaan diantara para anggota kelompok, dan (2) kohesi yang didasarkan atas hubungan saling tergantung dalam divisi kerja (division of labor). Kohesi sosial pertama dilandasi solidaritas yang terbentuk oleh kesamaan-kesamaan para anggota kelompok, yang oleh Emile Durkheim disebut 212 solidaritas mekanik, sedangkan kohesi sosial kedua dilandasi oleh solidaritas yang terbentuk justeru oleh perbedaan namun saling tergantung diantara para anggota kelompok yang oleh Emile Durkheim disebut solidaritas organik. Kemudian, jika kondisi jarak sosial tersebut dikaitkan dengan solidaritas mekanik. Maka Sorokin, Zimmerman dan Galpin (Smith dan Zopf: Balitbabangda Provinsi Jambi, 2003) dapat menginventarisasikan kedalam 14 (variabel) kesamaan yang membentuk solidaritas mekanik, yakni : (1) kekerabatan dan hubungan darah; (2) perkawinan; (3) kesamaan dalam agama atau kepercayaan; (4) kesamaan dalam bahasa dan adat setempat; (5) pemilikan dan penggunaan tanah bersama; (6) prosimitas atau kedekatan dalam suatu daerah; (7) adanya tanggung Jawab bersama; (8) kebersamaan dalam kepentingan okupasi; (9) kebersamaan dalam kepentingan ekonomi; (10) sama-sama menjadi bawahan dari seorang tuan tanah;(11) kesamaan dalam akses terhadap suatu lembaga atau keagenan (agency); (12) pertahanan dan keamanan bersama; (13) saling tolong-menolong; dan (14) hidup dan pengalaman bersama. Berbicara masalah solidaritas, ditemukan perbedaan yang cukup menyolok antara masyarakat yang berada di wilayah pegunungan dengan masyarakat yang berada di wilayah pesisir pantai. Masyarakat di wilayah pegunungan misalnya, jarak sosial terwujud dari: perkawinan (kekeluargaan/ kalbu), kesamaan dalam agama atau kepercayaan, kedekatan dalam suatu daerah, adanya tanggungjawab bersama, kesamaan dalam akses terhadap suatu lembaga (agency), pertahanan dan keamanan bersama, dan saling tolong- menolong. Dengan demikian, ciri solidaritas yang terbentuk di wilayah pegunungan mengarah pada solidaritas organik. Artinya, hubungan sosial yang terjadi antar anggota masyarakat adalah society bukan community karena hubungan terjalin melalui hubungan kalbu, kedepatian, dan kelembagaan adat dan merupakan hubungan kekerabatan yang kuat dan kokoh dimana setiap ada persoalan dalam masyarakat selalu adanya usaha untuk mengatur hubungan yang terjadi lebih mendalam. Durkheim memandang ikatan sosial yang mekanistik ada pada community, sedangkan society mengandung ikatan sosial yang organik. Pengertian ikatan sosial yang mekanistik yaitu dihubungkan dengan hubungan saling ketergantungan yang sekaligus saling isi mengisi tanpa harus diatur secara rinci, 213 sedangkan pengertian ikatan sosial organik yaitu dihubungkan dengan adanya usaha- usaha untuk mengorganisir hubungan tersebut secara rinci dengan harapan agar supaya berjalan lebih teratur. Solidaritas antar masyarakat yang berada di wilayah pesisir pantai banyak bersifat: kebersamaan dalam kepentingan pekerjaan, kebersamaan dalam kepentingan ekonomi, dan saling tolong- menolong. Dengan demikian, ciri solidaritas yang terbentuk dalam wilayah ini mengarah pada bagian terbesar solidaritas mekanistik dibanding dengan organik. Artinya, hubungan sosial yang terjadi antar anggota masyarakat lebih berciri community dibanding society sehingga ikatan yang terbentuk dikarenakan satu sama lain merasa saling ketergantungan dan saling isi mengisi tanpa harus adanya usaha unt uk mengatur hubungan yang terjadi secara mendalam. Semangat Kerja Masyarakat Seorang individu atau kelompok masyarakat dikatakan atau dicirikan sebagai seorang semangat kerja tinggi (tipe pekerja keras) apabila mereka selalu melakukan kegiatan dengan disiplin (ulet, pantang menyerah) dan melakukan pekerjaan dengan segera serta memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien. Salah satu contoh dari seorang individu atau sekekelompok masyarakat tergolong pada karakter kerja keras adalah petani-petani jawa seperti yang dikemukakan oleh Mubyarto (Swasono dan Singarimbun, 1985), yaitu petani-petani dari Jawa bekerja dengan ulet, rajin dan tekun, termasuk kesediaan untuk bekerja lama diterik matahari. Pendapat Mubyarto itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Weber (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003: 106) bahwa terdapat kaitan antara perkembangan suatu masyarakat dengan sikap diri terhadap arti kerja. Weber mencontohkan kaum Calvinis menganut prinsip bahwa kerja keras merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan atau kebahagian spiritual. Kerja keras merupakan suatu panggilan rohani untuk mencapai kesempurnaan hidup. Konsekuensi dari pandangan ini tidak saja bekerja keras, hidup hemat dan sederhana namun sanggup pula menjadikan diri sebagai wiraswasta. Keadaan tersebut membawa berkah pada kehidupan ekonomi. 214 Keluarga contoh dari kedua wilayah penelitian yang dapat digolongkan pada kelompok masyarakat dengan tipe bekerja keras hanya 38 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa etos kerja masyarakat di daerah penelitian tergolong rendah. Apabila dilihat berdasarkan wilayah penelitian ternyata proporsi keluarga contoh yang memiliki etos kerja yang rendah terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 70 persen, sedangkan masyarakat di wilayah pegunungan hanya 52 persen (Tabel 66). Tabel 66 Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja Masyarakat, 2006 Sebaran Contoh No Semangat Kerja Masyarakat Wilayah pegunungan Jumlah Persen Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat rendah 25 14.4 28 18.5 53 16.3 02 Rendah 67 38.5 79 52.3 146 44.9 03 Tinggi 46 26.4 35 23.2 81 24.9 04 Sangat tinggi 36 20.7 9 6.0 45 13.8 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Kurangnya masyarakat untuk bekerja keras di daerah penelitian terutama di wilayah pesisir pantai terlihat dari kurangnya pemanfaatan waktu kerja, sistem kerja banyak bersifat individual dan kurang kesungguhan dalam menghadapi berbagai pekerjaan terutama pekerjaan produktif terkecuali keluarga contoh yang berada di daerah penelitian tergabung dalam kelompok transmigrasi mereka umumnya relatif lebih produktif dibandingkan dengan masyarakat non transmigran. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa setiap anggota rumah tangga di daerah transmigrasi memiliki berbagai ragam pekerjaan, baik bidang pekerjaan usahatani (pangan dan perkebunan) maupun pekerjaan dibidang jasa sehingga mereka dapat memperoleh penghasilan yang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga. Hal ini sejalan dengan temuan Abdoellah (Balibangda, 2003) bahwa transmigran memiliki empat strategi yang diterapkan untuk tetap eksis dalam mempertahankan kehidupannya di lokasi transmigrasi yaitu; pertama strategi di bidang pertanian dengan membuka lahan baru yaitu 215 menanam ketela pohon, memelihara ternak. Kedua, strategi di bidang pangan dengan mengubah pola makanan sampai mengurangi makanan yang dikonsumsi terutama ini dilakukan ketika terjadi gangguan musim. Ketiga, strategi reproduksi dimana para warga transmigrasi beranggapan bahwa keluarga besar mempunyai keuntungan secara ekonomi bagi orang tua. Anak bukanlah menjadi beban keluarga. Mereka beranggapan bahwa jumlah anak yang banyak akan memperbaiki kondisi ekonomi keluarga dan juga memenuhi permintaan tenaga kerja.Keempat, kemampuan untuk mengaplikasikan teknologi pertanian yang diterima sebelum berangkat menuju lokasi transmigrasi. Salah satu aspek yang penting dalam kegiatan pertanian ini adalah kemampuan masyarakat transmigrasi untuk menerapkan dan mengadopsi suatu teknologi usaha tani yang dianjurkan. Besar kecilnya manfaat dari yang dirasakan oleh petani dari pembekalan keterampilan di bidang pertanian ini akan sangat berarti bagi peningkatan kesejahteraan mereka. Para warga masyarakat transmigrasi sebelum diberangkatkan menuju lokasi mereka diberi bekal pengetahuan dan kemampuan di bidang pertanian. Pengetahuan dan kemampuan yang diberikan disesuaikan dengan lokasi transmigrasi yang dituju, terutama yang berkaitan dengan tanaman-tanaman yang cocok dengan keadaan tanah setempat. Kesejahteraan Eonomi Keluarga Menurut Lokshin dan Ravallion (Straus s, 2004:63), pengertian kesejahteraan dilihat dari dua pendekatan, yakni: kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Noll (Milligan et al., 2006:22), melihat bahwa kesejahteraan objektif adalah tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat yang diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap sama), sedangkan kesejahteraan subjektif adalah tingkat kesejahteraan seorang individu yang dilihat secara personal yang diukur dalam bentuk kepuasan dan kebahagiaan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sumarti, (1999:32) bahwa kesejahteraan subjektif individu atau keluarga adalah 216 wujud kebudayaan yang dihasilkan melalui proses pengalaman hidup sekelompok manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (fisik dan sosial). Artinya, pengertian kesejahteraan haruslah berpedoman kepada subjektivitas (lokal) masyarakat setempat. Namun demikian, inti dari kesejahteraan adalah melihat kesenjangan antara aspirasi dengan tujuan yang ingin dicapai pada segolongan masyarakat maka menurut Campbell, Converse, dan Rodgers (Sumarwan dan Hira, 1993:346), tolok ukur yang relevan dan akurat tentang kesejahteraan subjektif adalah menggunakan istilah “kepuasan”. Kemudian, Sen (Peck dan Goodwin, 2003:17), menambahkan bahwa tingkat kepuasan dapat menggambarkan tingkat kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi atau dapat menjangkau berbagai kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan (happiness) hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan masyarakat dan institusi. Menurut Angel, Black Well, dan Miniard (Sumarwan, 2003) bahwa kepuasan “satisfaction is defined here as past consumption evalution that a chosen alternative at least meets or exceeds expectation” (kepuasan merupakan hasil evaluasi dari konsumsi yang lalu sehingga alternatif yang dipilih paling tidak sesuai dengan kriteria atau melebihi kriteria yang diharapkan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Seperti yang dibuktikan oleh Sumarwan dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat, ternyata tingkat kepuasan (kesejahteraan) finansial keluarga perdesaan dipengaruhi oleh faktor umur, pendapatan keluarga, aset, sikap (perceived locus of control), dan kecukupan pendapatan. Kesejahteraan Ekonomi Objektif Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga di wilayah penelitian diukur dengan proxy besarnya pengeluaran keluarga. Seperti terlihat pada Tabel 67, total pengeluaran keluarga per tahun di wilayah penelitian adalah sebesar Rp.10.541.000, dan jumlah pengeluaran ini diatas rata-rata tolok ukur kesejahteraan dengan pendekatan Badan Pusat Statistik. Dari jumlah pengeluaran 217 tersebut persentase terbesar dialokasikan untuk pangan (48,6 %), kemudian diikuti pengeluaran non-pangan (sandang, energi, komunikasi, sosial dan lainnya) sebesar 34 persen, dan terkecil adalah pengeluaran untuk investasi (pendidikan dan kesehatan) hanya sebesar 17,4 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pola konsumsi keluarga terhadap konsumsi pangan masih tergolong besar namun jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Suhardjo, dan Hardinsyah (1988), Retnaningsih (1995), dan Mangkuprawira (2002) yaitu berkisar antara 6070 persen. Berkenaan dengan itu, mengacu kepada alokasi pengeluaran maka tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah penelitian tergolong relatif sejahtera. Tabel 67 Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan Keluarga, Tahun 2006 No 01 02 03 - Jenis Pengeluaran Keluarga (tahun) Pangan Non pangan Investasi Total Pengeluaran Sebaran Contoh Wilayah pegunungan Rp. Wilayah pesisir pantai Rp. % 4.694.000 52,6 3.000.000 32,6 1.519.000 14,8 5.208.000 4.185.000 2.468.000 % 44,6 35,3 20,1 Rata-rata Rp. 4.951.000 3.592.000 1.994.000 % 48,6 34,0 17,4 9.217.000 100.00 11.865.000 100,00 10.541.000 100,00 Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang individu atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Dalam aspek gizi, tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh minimal untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein. Kebutuhan kalori/energi biasanya diperoleh dari konsumsi makanan pokok, sedangkan kebutuhan protein sebagian besar berasal dari konsumsi hewani dan nabati. Unt uk mengukur kebutuhan kalori dan protein seorang individu yaitu berdasarkan pada standar angka kecukupan energi dan protein dari Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (LIPI, 2004) bahwa manusia dewasa memerlukan kalori sebesar 2.200 kal/kap/hari dan memerlukan sebesar 48 gr/kap/hari protein. 218 Berdasarkan distribusi pengeluaran, pada kelompok sejahtera dan sangat sejahtera ternyata persentase pengeluaran pangan rata-rata tergolong tinggi yaitu mencapai 80 persen lebih (Tabel 68). Hal ini sangat memungk inkan karena kebutuhan pangan mutlak diperlukan bagi keluarga. Berdasarkan wilayah agroekologi ternyata persentase pengeluaran pangan terbesar (kelompok sejahtera dan sangat sejahtera) terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 89 persen, sedangkan di wilayah peisisir pantai hanya 70 persen. Hal ini berkorelasi positif dengan data yang terdapat pada Tabel 72 bahwa di wilayah pegunungan secara relatif kebutuhan pangannya lebih besar diandingkan dengan di wilayah pesisir pantai. Tabel 68 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Pangan Keluarga, 2006 Sebaran Contoh No Kebutuhan Pangan Wilayah pegunungan Total Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen 01 Tidak sejahtera 0 0.0 3 2.0 3 .9 02 Kurang sejahtera 18 10.3 41 27.2 59 18.2 03 Sejahtera 118 67.8 101 66.9 219 67.4 04 Sangat sejahtera 38 21.8 6 3.9 44 13.5 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Non Pangan Pengeluaran non pangan diperuntukkan untuk sandang, papan, energi, komunikasi dan sosial. Seperti tertera pada Tabel 69, terjadi sebaliknya dari pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan masih sangat rendah. Data menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen keluarga contoh menyatakan pengeluaran non pangan mereka masih terbatas, kondisi ini terjadi kedua wilayah penelitian (wilayah pegunungan dan pesisir pantai). Hasil yang lebih memprihatinkan lagi yaitu pengeluaran non pangan di wilayah pegunungan kondisi mereka yang tergolong tidak sejahtera mencapai 90 persen lebih. 219 Tabel 69 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Non Pangan, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Kebutuhan Non Pangan Wilayah pegunungan Total Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen 01 Tidak sejahtera 158 90.8 122 80.8 280 86.2 02 Kurang sejahtera 13 7.5 16 10.6 29 8.9 03 Sejahtera 3 1.7 8 5.3 11 3.4 04 Sangat sejahtera 0 0.0 5 3.3 5 1.5 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Investasi Sumberdaya Manusia Pengeluaran investasi sumberdaya manusia ditujukan bagi biaya pendidikan dan biaya kesehatan. Melalui investasi ini diharapkan tingkat pendidikan dan derajat kesehatan keluarga menjadi lebih baik. Dengan adanya investasi pendidikan dapat membantu proses pengembangan pengetahuan, keterampilan, maupun sikap seseorang yang dilaksanakan secara terencana sehingga diperoleh perubahan-perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Dalam pembangunan berkelanjutan, wawasan dan pandangan seseorang sangat berarti sekali dalam merespon berbagai inovasi untuk membangun gagasan dalam perencanaan. Dengan demikian, tingkat pendidikan sangat bermanfaat dalam memprediksi kondisi wawasan pengetahuan dalam asas pemikiran individu terhadap inovasi dan proses adopsi yang menyertai inovasi tersebut. Oleh karena itu, dengan tingkat pendidikan yang relatif baik (tinggi), keluarga contoh lebih memilih kehidupan yang rasional seperti memiliki jumlah anak lebih sedikit karena dengan memiliki jumlah yang lebih sedikit akan diperoleh keuntungan, antara lain: dapat mempertinggi status ia sandang dan tingginya opportunity cost pengasuhan (Axinn, dan Barber Willis: Bollen, dan Glanville, 2002: 7-8). Menurut Becker (1995), anak merupakan fungsi utilitas dimana anak yang berkualitas berasal dari keluarga yang memiliki jumlah anak sedikit dengan tingkat pendidikan atau kualitas tinggi. Semakin tinggi tingkat investasi untuk pendidikan anak dalam keluarga maka kualitas sumberdaya keluarga atau 220 kesejahteraan ekonomi keluarga relatif lebih baik. Namun demikian, hasil temuan dilapangan diperoleh bahwa rata-rata pengeluaran investasi keluarga contoh di daerah penelitian relatif rendah yaitu hanya 17,4 persen (Tabel 70). Tabel 70 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Investasi Sumberdaya Manusia, Tahun 2006 Sebaran Contoh No Kebutuhan Investasi 01 Tidak sejahtera 02 Kurang sejahtera - Total Wilayah pegunungan Total Wilayah pesisir pantai Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen 170 97.7 146 96.7 316 97.2 4 2.3 5 3.3 9 2.8 174 100.0 151 100.0 325 100.0 Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di daerah penelitian masih menganggap bahwa anak adalah faktor produksi bukan faktor konsumsi. Artinya, anak dilihat dari jumlah bukan dari kualitas anak yang dimiliki. Tabel 70 memperlihatkan kenyataan yang tidak jauh berbeda dengan bukti empiris pada Tabel 72 bahwa pengeluaran investasi pendidikan di daerah penelitian masih sangat terbatas dimana distribusi mereka mengelompok pada golongan tidak sejahtera yaitu mencapai 97 persen. Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Kesejahteraan ekonomi subjektif (subjective economic well-being) di daerah penelitian relatif cukup baik. Hal ini ditandai dengan persentase keluarga di wilayah penelitian yang merasa puas dalam pemenuhan keperluan mereka sehari- hari, baik kebutuhan pangan, non pangan maupun pemenuhan kebutuhan investasi yaitu mencapai 60,3 persen. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan wilayah agroekologi ternyata persentase terbesar terdapat di wilayah pegunungan yaitu 68,4 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai yang merasa puas dalam pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari hanya sekitar 51 persen (Tabel 71). 221 Tabel 71 Sebaran Contoh Menurut Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Sehari- hari, Tahun 2006 No 01 02 03 04 - Kepuasan Terhadap pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari Sangat Tidak Puas Kurang Puas Merasa Puas Sangat Puas Total Sebaran Contoh Wilayah pegunungan Jumlah % 26 14.9 29 16.7 57 32.8 62 35.6 174 100.0 Wilayah pesisir pantai Jumlah % 27 17.9 47 31.1 50 33.1 27 17.9 151 100.0 Total Jumlah 53 76 107 89 16.3 23.4 32.9 27.4 325 100.0 % Rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah pesisir pantai disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: faktor fisik/alam, sumberdaya manusia, sumber usaha dan faktor aksesibilitas. Faktor fisik/alam misalnya, di daerah penelitian mayoritas kesuburan tanah relatif rendah karena umumnya daerah ini merupakan wilayah pasang surut dengan tanah bergambut. Kemudian, aspek sumberdaya manusia ternyata rata-rata pendidikan masyarakat setempat adalah sekolah dasar kebawah, dan sedikit sekali tamatan sekolah menengah apalagi perguruan tinggi (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2005). Kemudian, di wilayah pesisir pantai tingkat aksesibilitas wilayah relatif rendah atau terbatas karena alat transportasi yang umum digunakan adalah transportasi sungai dengan menggunakan perahu tempel/pompong dan speed boot dengan tingkat frekuensi perjalanan terbatas. Mata pencaharian atau sumber usaha mayoritas masyarakat di wilayah pesisir pantai ini memiliki mata pencaharaian utama sangat terbatas yaitu hanya sebagai nelayan dan usahatani kelapa. Berkenaan dengan usahatani, kepala desa bertutur sebagai berikut: “penghasilan masyarakat dari usahatani kelapa hampir tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena rendahnya harga kelapa butiran yaitu sekitar Rp.650 per buah, sedangkan hasil yang diperoleh setiap pemanenan yaitu selama 4 bulan sekali dengan produksi rata -rata 2,5 ton dengan penghasilan sebesar Rp.1.625.000,- dan perlu diketahui bahwa penghasilan ini belum termasuk biaya pemanenan dan biaya angkut.” 222 Kemudian, penjelasan dari bapak Haji Abdullah tentang nelayan, beliau ini disamping tokoh masyarakat atau orang yang disegani juga bekerja sebagai nelayan. Kesimpulan beliau tidak jauh berbeda dengan pernyataan dari kepala desa. “Penghasilan nelayan di daerah ini relatif rendah disamping jumlah tangkapan yang kecil juga modal usaha yang terbatas. Mayoritas nelayan dimodali oleh pemilik modal, mereka bekerja sebagai nelayan buruhan. Disamping itu, usaha nelayan sangat dipengaruhi musim, apalagi kondisi sekarang tidak sama dengan kondisi musim beberapa tahun yang silam. Seorang nelayan susah menebak kapan musim pasang/gelombang dan kapan musim surut sehingga akan mempengaruhi penghasilan atau hasil tangkapannya.” Mengenai tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga atau tingkat kepuasan masyarakat di wilayah pegunungan yang relatif cukup baik ditandai dengan tingginya persentase responden yang merasa puas atau sangat puas dengan tingkat kesejahteraan yang dimiliki yaitu mencapai 68,4 persen. Relatif tingginya persentase masyarakat di wilayah pegunungan yang merasa puas dengan tingkat kesejahteraan yang dimiliki dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung, antara lain: kondisi alam, lapangan kerja, aksesibilitas wilayah dan potensi sumberdaya manusia. Kondisi alam misalnya: daerah penelitian berada di daerah pegunungan sehingga kesuburan tanah relatif baik (jenis tanah latosol) dan cukup menguntungkan untuk usaha tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan (Balitbangda Provinsi Jambi, 2003). Seperti diketahui, usaha utama di daerah penelitian adalah usahatani padi sawah, dan perkebunan kulit manis dan kopi disamping itu juga ada usaha tanaman pangan seperti usahatani kentang, cabe, dan pangan lainnya. Relatif banyaknya cabang usaha masyarakat membuka peluang berbagai macam lapangan kerja baik dari sektor off-farm, seperti: agroindustri (usaha dodol kentang, keripik pisang, anyaman, dan lain- lain), industri rumahtangga (perabot rumahtangga, dan membatik), jasa (transportasi, dan telekomunikasi), perhotelan, maupun sektor lainnya sehingga pada gilirannya akan berdampak kepada penghasilan masyarakat secara menyeluruh. Seperti dikemukakan oleh Mubyarto 223 (1991), faktor lapangan kerja sangat menentukan penghasilan atau kesejahteraan masyarakat. Kemudian, di wilayah pegunungan tingkat aksesibilitas wilayah relatif cukup baik, seperti transportasi cukup lancar walaupun terbatas pada transportasi darat, dan hampir setiap jam perjalanan dari desa ke kota kabupaten dan sebaliknya selalu tersedia. Kemudian, aksesibilitas lain yang sangat mendukung kelancaran perekonomian daerah yaitu tersedianya sarana penerangan (PLN), air minum (PDAM), dan alat telekomunikasi. Sehubungan alat telekomunikasi, ternyata di wilayah pegunungan hampir di setiap ibu kota kecamatan telah ada “tower telekomunikasi” dari berbagai macam cabang (indosat, telkomsel, dan lain- lain). Dengan arti kata, di daerah ini hampir di setiap desa sudah bisa menggunakan jasa telekomunikasi seperti layaknya di daerah perkotaan. Kepuasan terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pangan Kepuasan keluarga contoh terhadap pemenuhan kebutuhan pangan keluarga dikaji dalam dua aspek yakni: aspek frekuensi makan setiap hari dan keragaman pangan yang dikonsumsi keluarga. Melalui dua pendekatan ini diharapkan keperluan pangan anggota keluarga yang ada di daerah penelitian terpenuhi dari segi kecukupan akan zat gizi yang diperlukan. Seperti tertera pada Tabel 72, proporsi terbesar (61 %) keluarga contoh di daerah penelitian merasa puas dalam konsumsi pangan. Apabila dikelompokkan berdasar daerah penelitian ternyata masyarakat yang paling banyak merasa puas dalam penyediaan konsumsi pangan terdapat di daerah pegunungan (72 %), sedangkan di daerah pesisir pantai yang merasa puas hanya sekitar 49 persen. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa frekuensi makan keluarga responden di daerah penelitian relatif terpenuhi. Persentase masyarakat pada golongan ini yang mencapai 80 persen lebih menyatakan bahwa mereka biasa makan setiap hari tiga kali dengan menu makanan cukup beragam yaitu makan nasi dengan lauk pauk (bergantian antara daging, ayam dan ikan), sayur dan pangan lainnya. 224 Tabel 72 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pangan, 2006 Sebaran Contoh No Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pangan Wilayah Pegunungan Jumlah Persen Wilayah Pesisir Pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 01 Sangat Tidak Puas 13 7.5 17 11.3 30 9.2 02 Kurang Puas 35 20.1 59 39.1 94 28.9 03 Merasa Puas 73 42.0 46 30.5 119 36.6 04 Sangat Puas 53 30.5 29 19.2 82 25.2 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Kepuasan terhadap Pemenuhan Kebutuhan Non Pangan Pemenuhan kebutuhan non pangan diukur dari pemenuhan akan sandang atau pakaian, papan/perumahan, energi dan komunikasi ditambah dengan pemenuhan kebutuhan sosial. Pemenuhan sandang misalnya walaupun bukan merupakan kecukupan dasar tetapi ia sangat diperlukan dalam menjalankan berbagai aktivitas sehari- hari. Oleh karena itu, tingkat pemenuhan kebutuhan sandang ini sangat penting diperhatikan. Begitu juga kecukupan akan perumahan dan energi serta alat komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi keluarga dengan tingkat pemenuhan kebutuhan non pangan cukup baik (merasa puas dan sangat puas) mencapai 52 persen (Tabel 73). Namun, proporsi keluarga dengan persentase yang me rasa puas dan sangat puas dalam konsumsi non pangan lebih kecil dibandingkan dengan persentase keluarga yang merasa puas dan sangat puas dalam konsumsi pangan. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah agroekologi ternyata persentase terbesar (59,8 %) yang merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan kebutuhan non pangan terdapat di wilayah pegunungan, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 42,4 persen. Relatif rendahnya persentase masyarakat di wilayah pesisir pantai yang merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan kecukupan non pangan disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: harga non pangan, seperti pakaian yang ditawarkan dipasaran relatif mahal, dan terbatasnya pasar 225 karena terbatasnya aksesibilitas jalan, namun demikian di daerah ini banyak ditemui pasar pakaian-pakaian bekas. Tabel 73 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Non Pangan, 2006 Sebaran Contoh No 01 Tingkat Pemenuhan Non Pangan Sangat Tidak Puas 02 Wilayah Pegunungan Jumlah Persen Wilayah Pesisir Pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 32 18,4 35 23,2 67 20,6 Kurang Puas 38 21,8 52 34,4 90 27,7 03 Merasa Puas 59 33,9 38 25,2 97 29,9 04 Sangat Puas 45 25,9 26 17,2 71 21,8 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Bagian lain dari pemenuhan kebutuhan non pangan yaitu kepuasan dalam kegiatan sosial. Sikap sosial merupakan kebutuhan pribadi masing- masing responden yang sulit diukur secara kuantitatif namun kepuasan ini bisa dilihat dari kontribusi keluarga responden dalam berbagai kegiatan sosial masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut, dapat berupa kegiatan yang disponsori oleh pemerintah, misalnya kegiatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus, maupun kegiatan sosial budaya masyarakat dan agama, seperti kegiatan acara adat, dan kegiatan-kegiatan hari besar agama terutama hari besar agama islam. Besar kecilnya kontribusi untuk kegiatan sosial merupakan salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan dan status seseorang dalam masyarakat. Terdapat 50 persen lebih responden merasa puas dan sangat puas. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian tampaknya persentase terbesar masih terdapat di wilayah pegunungan yaitu 60 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai sekitar 51 persen. Relatif besarnya proporsi respond en dengan kegiatan sosial di wilayah pegunungan merupakan hal yang wajar, karena kepedulian sosial masyarakat yang relatif tinggi juga disebabkan oleh intensitas kegiatan sosial masyarakat relatif lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan sosial di wilayah pesisir pantai. 226 Kepuasan terhadap Pemenuhan Kebutuhan Investasi Sumberdaya Manusia Pemenuhan kebutuhan investasi sumberdaya manusia dibagi dalam dua kelompok yaitu pemenuhan kebutuhan terhadap biaya pendidikan dan biaya kesehatan. Pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan misalnya, sangat penting untuk pembangunan sumberdaya manusia masa akan datang. Oleh karena itu, investasi dibidang pendidikan adalah mutlak demi masa depan terutama anakanak usia sekolah. Pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anak usia sekolah ini dilihat dari tingkat kebutuhan biaya yang diperlukan oleh anak didik baik keperluan yang bersifat wajib, seperti SPP, uang pembangunan sekolah, biaya OSIS, maupun keperluan lainnya, seperti: buku teks, biaya transpor, dan uang jajan. Kepuasan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, melalui hasil wawancara diperoleh informasi bahwa rata-rata tingkat pemenuhan kecukupan investasi keluarga (Tabel 74) di daerah penelitian baru dirasakan oleh sebagain kecil responden (45,9 persen) dan lebih kecil dibandingkan dengan persentase tingkat pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kebutuhan bagi masyarakat disamping terbatasnya penghasilan yang dimiliki. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata persentase terbesar yang merasa puas dan sangat puas terhadap pemenuhan investasi sumberdaya manusia terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 53,5 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 37,1 persen. Dari kedua pemenuhan kebutuhan investasi tersebut, persentase responden yang merasa puas dengan pemenuhan kebutuhan pendidikan baru mencapai 43 persen. Artinya, di daerah penelitian masih banyak yang belum merasa puas terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan. Berdasarkan wilayah penelitian tampaknya pemenuhan kebutuhan yang paling rendah terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu hanya 33 persen, sedangkan pemenuhan kebutuhan pendidikan di wilayah pegunungan sudah mencapai 51 persen. Hal ini perlu dipikirkan secara serius oleh pemerintah setempat untuk kemajuan pembangunan daerah kedepan. Pemenuhan kebutuhan pendidikan masyarakat terutama anak usia sekolah perlu 227 dimasukkan sebagai prioritas pembangunan disamping pembangunan fisik dan infrastruktur lainnya. Lain halnya dengan investasi untuk kesehatan, data menunj ukkan bahwa rata-rata investasi keluarga untuk kesehatan relatif lebih tinggi walaupun masih lebih rendah dari pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan yaitu sekitar 48 persen. Tabel 74 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap Pemenuhan Investasi Sumberdaya Manusia, Tahun 2006 Sebaran Contoh No 01 Tingkat Pemenuhan Investasi Sangat Tidak Puas 02 Wilayah Pegunungan Jumlah Persen Wilayah Pesisir Pantai Jumlah Persen Total Jumlah Persen 34 19.5 36 23.8 70 21.5 Kurang Puas 47 27.0 59 39.1 106 32.6 03 Merasa Puas 53 30.5 39 25.8 92 28.3 04 Sangat Puas 40 23.0 17 11.3 57 17.6 174 100.0 151 100.0 325 100.0 - Total Apabila dirinci berdasarkan alokasi kebutuhan sehari-hari keluarga, tampaknya distribusi kepuasan pemenuhan kebutuhan keluarga di wilayah penelitian juga menunjukkan perbedaan yang cukup besar antara keluarga yang berada di wilayah pesisir dengan keluarga yang berada di wilayah pegunungan (Tabel 75). Tabel 75 Persentase Contoh Merasa Puas Terhadap Pemenuhan Alokasi Kebutuhan Sehari-hari, 2006 Sebaran Contoh (%) No 01 02 03 - Kepuasan Terhadap Pemenuhan Alokasi Kebutuhan Sehari-hari Puas terhadap pemenuhan pangan Wilayah pesisir pantai Ratarata 72,5 49,7 61,1 59,5 42,6 51,1 53,4 37,4 45,4 61,8 43,2 52,5 Puas terhadap pemenuhan non pangan Puas terhadap pemenuhan investasi sumberdaya manusia Wilayah pegunungan Rata-rata 228 Proporsi keluarga contoh dengan tingkat kepuasan tinggi yang berada di wilayah pegunungan adalah relatif besar dibandingkan dengan keluarga contoh yang berada di wilayah pesisir. Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan ekonomi objektif (proxy pengeluaran) tidak selalu menentukan tingkat kepuasan keluarga di daerah penelitian. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Keterkaitan modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga (economic well-being) dianalisis dengan menggunakan model SEM. Melalui model ini dapat diketahui pengaruh atau hubungan antar konstrak secara kausalitas. Sesuai dengan hipotesis, sehingga variabel konstrak terdiri dari empat bagian variabel laten, yakni: (1) Asosiasi Lokal (Aslok) dengan loading variabel: (X1) jumlah asosiasi yang diikuti, (X2) tingkat partisipasi, dan (X3) manfaat asosiasi, (2) Karakter Masyarakat (Kmas) dengan loading variabel: (X4) kepercayaan, (X5) solidaritas, dan (X6) semangat kerja, (3) Kesejahteraan Ekonomi Objektif (KEO) dengan loading variabel: (Y1) kebutuhan pangan, (Y2) non-pangan, dan (Y3) kebutuhan investasi sumberdaya manusia, (4) Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) dengan loading variabel: (Y4) pemenuhan kebutuhan pangan, (Y5) non-pangan, dan (Y6) pemenuhan kebutuhan investasi sumberdaya manusia. Berdasarkan analisis melalui model SEM dengan program LISREL diperoleh hasil bahwa tingkat validitas konstrak penelitian pengaruh modal sosial dengan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah penelitian cukup valid. Artinya, model- model yang disusun dalam rancangan penelitian cocok atau fit dengan data yang dikumpulkan. Kecocokan atau kehandalan rancangan penelitian dan data yang dijaring ditandai oleh nilai- nilai alat uji yang digunakan. Nilai hasil pengujian model mendekati dan melebihi dari cut-off value yang dikehendaki pada masing- masing alat uji (Tabel 76). Menurut Joreskog dan Sorbom (Freund, dan Carneli, 2004:104) bahwa ada 31 alat uji yang digunakan dalam menguji model. 229 Tabel 76 Goodness of Fit Index Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga No 1 2 3 4 Goodness of Fit Index X2 (Chi – Square) = no sign atau lebih kecil RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) GFI (Goodness of Fit Index) CFI (Comparative Fit Index) Cut-off value Wilayah pegununga n Wilayah Pesisir pantai 0,00 < 0,08 0,00 0,07 0,00 0,03 > 0,90 > 0,94 0,99 1,00 0,99 1,00 Sumber: Joreskog & Sorbom (Freund, dan Carneli, 2004:104) Namun, uji yang sering digunakan dan relevan yaitu mengukur nilai ChiSquare (X2 ), Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA), Goodness of Fit Index (GFI) dan nilai Comparative Fit Index (CFI) (Baker, et al., 2005;9). Melalui hasil pengujian model ternyata item loadings untuk variabel- variabel laten dalam model juga menunjukkan konsistensi internal (reliabilitas) cukup signifikan kecuali loading variabel jumlah asosiasi yang diikuti responden dan loading varibel manfaat asosiasi bagi keluarga di wilayah pesisir pantai yang memiliki koefisien yang relatif lebih rendah. Seperti terlihat pada Gambar 11 yaitu di wilayah pegunungan, variabel laten asosiasi lokal (Aslok) misalnya yang terdiri dari tiga dimensi yakni: jumlah asosiasi, tingk at partisipasi, dan manfaat asosiasi memiliki nilai loading yang cukup signifikan. Melalui model diketahui item loadings (X1) jumlah asosiasi yang diikuti (? = 0,84), (X2) tingkat partisipasi (? = 0,59), dan (X3) manfaat asosiasi (? = 0,40). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh item loadings pada variabel laten karakter masyarakat dan kesejahteraan ekonomi keluarga semuanya menunjukkan nilai (? ) yang signifikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata dan signifikan terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga (subjective economic well-being) dengan nilai betha (ß) masing- masing adalah 10,76 dan 8,23. 230 10,8** ASLOK 8,2** 0,41 KMAS KEO 5,5** 11** KES (**) Alpha = 0,01, T-table > 2,4 Keterangan : Aslok (Asosiasi Lokal): (X1) Jumlah asosiasi yg diikuti, (X2) tingkat partisipasi, dan (X3) manfaat asosiasi. Kmas (Karakter masyarakat ): (X4) keterpercayaan , (X5) solidaritas, dan (X6) semangat kerja. KEO (Kesejahteraan Ekonomi Objektif): (Y1) kebutuhan pangan, (Y2) kebutuhan non-pangan, dan (Y3) investasi. KES (Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ): (Y1) kepuasan pemenuhan pangan, (Y2) kepuasan pemenuhan non-pangan, dan (Y6) kepuasan pemenuhan investasi. Gambar 11 Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan Keluarga di Wilayah Pegunungan Provinsi Jambi, Tahun 2006 Hal ini membuktikan hipotesis yang dibangun sebelumnya bahwa modal sosial dalam hal ini asosiasi lokal dan karakter masyarakat secara kausalitas dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial yang dimiliki oleh keluarga maka semakin baik pula tingkat kesejahteraan mereka. Namun, di wilayah pesisir pantai terjadi sebaliknya (Gambar 12) bahwa laten variabel modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) secara bersama-sama berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, setiap peningkatan modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) akan dapat mengurangi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga baik kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat partisipasi masyarakat pesisir pantai dalam kelompok dan organisasi terutama asosiasi yang produktif tidak seperti pada masyarakat di wilayah pergunungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pesisir pantai bergerak dalam asosiasi sosial, seperti yasinan yaitu mencapai 43 persen, majlis taklim 20 persen, perkumpulan kesukuan dan perkumpulan lainnya 22 persen sedangkan asosiasi yang produktif dari segi ekonomi hanya 15 persen. 231 ASLOK - 4** KEO - 3,8** -0,32 KMAS 1,9 10,5** KES (**) Alpha = 0,01, T- table > 2,4 Keterangan: Aslok (Asosiasi Lokal): (X1) Jumlah asosiasi yg diikuti , (X2) tingkat partisipasi, dan (X3) manfaat asosiasi. Kmas (Karakter masyarakat): (X4) keterpercayaan, (X5) solidaritas, dan (X6) semangat kerja . KEO (Kesejahteraan Ekonomi Objektif ): (Y1) kebutuhan pangan, (Y2) kebutuhan non pangan , dan (Y3) investasi . KES (Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ): (Y1) kepuasan pemenuhan pangan, (Y2) kepuasan pemenuhan non-pangan, dan (Y6) kepuasan pemenuhan investasi. Gambar 12 Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai Provinsi Jambi, Tahun 2006 Berkenaan dengan peran modal sosial terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah pegunungan ternyata melalui model SEM dan didukung oleh hasil analisis deskriptif tentang manfaat dan akses modal sosial terhadap kebutuhan keluarga menunjukkan bahwa modal sosial berupa jumlah asosiasi, tingkat partisipasi serta kegunaan atau manfaat asosiasi bagi keluarga sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga. Modal sosial yang paling dirasakan bermanfaat oleh masyarakat adalah asosiasi yang bergerak di bidang produksi pangan yaitu mencapai 30 persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asosiasi yang bergerak di bidang produksi pangan ini terdiri dari tiga jenis asosiasi yang berkembang di masyarakat, yakni: asosiasi Kredit Usahatani Tani (KUT), Kelompok Perkumpulan Petani Pemakai Air (KP3A) dan asosiasi Kelembagaan Adat. Asosiasi KUT misalnya adalah asosiasi yang disponsori oleh pemerintah yang bergerak di bidang pertanian dengan kegiatan: bantuan bibit (tanaman, ternak dan ikan) dan bantuan lainnya, KP3A adalah asosiasi desa yang berkembang di masyarakat terutama di wilayah pegunungan yaitu kelompok pengelola air irigasi yang digunakan untuk pengairan padi sawah. Sesuai dengan kondisi alam dan mata pencaharian utama masyarakat setempat (usahatani padi sawah), KP3A ini berkembang dengan pesat dan banyak 232 kelompok KP3A dijumpai dalam berbagai kelompok kalbu pada masing- masing desa di wilayah pegunungan. Kelompok ini memegang peranan penting dalam meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya produksi usahatani dan produktivitas kerja karena KP3A disamping berperan dalam penyaluran air irigasi juga dapat mengatasi atau membantu dalam penghematan waktu kerja petani. Kondisi ini di dukung budaya yang dianut di wilayah pegunungan dalam sistem pengelolaan usahatani padi sawah yang disebut sistem ”kalbu.” Sistem kalbu ini sangat memudahkan dalam membangun kerja bersama. Keakraban dan latar belakang budaya yang sama menguntungkan dalam pemanfaatan fasilitas bersama karena memiliki tingkat emosional yang tinggi untuk kepentingan bersama. Kahkoren (Grootaert, 1999:45) mencontohkan pengelolaan bendungan irigasi di Bangladesh mirip dengan sistem kalbu yang ada di masyarakat jambi. Ia membuktikan semangat kerjasama bagi kelompok yang berasal dari etnis dan budaya yang sama sangat menguntungkan dalam pengelolaan bendungan irigasi terutama semangat kerjasama. Modal sosial lain yang cukup penting dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga adalah kelompok ”handel.”21 Melalui kelompok ini, penghasilan keluarga dapat bertambah karena adanya hasil dari nilai kerja anggota keluarga dalam kelompok kerja bersama (collective action). Rata-rata anggota keluarga terlibat dalam kegiatan kelompok handel yaitu dua orang dengan frekuensi kerja selama sebulan dua kali dan setahun sepuluh bulan kerja efektif dengan nilai per setiap kegiatan kelompok handel per orang rata-rata sebesar Rp.20.000,- dan melalui hasil analisis diperoleh bahwa kegiatan kelompok handel dapat memberikan kontribusi terhadap penghasilan keluarga sebesar Rp.600.000,- per tahun (5,8 %) dari total penghasilan keluarga. Hasil temuan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Grootaer (1999:55) bahwa setiap satu orang anggota keluarga aktif mengikuti kegiatan asosiasi lokal terutama asosiasi bidang produksi dapat meningkatkan penghasilan keluarga sebesar 6,2 persen per kapita per tahun. 21 “handel” artinya sistem kerja kelompok (kalbu) dengan mengambil upahan dan setiap mendapat upahan, penghasilannya disimpan terlebih dahulu dan dibagikan dalam satu tahun sekali. 233 Studi yang sama juga ditemui di Amerika Latin, bahwa terdapat perbedaan positif sangat nyata dan signifikan dalam tingkat keaktifan anggota keluarga pada kegiatan asosiasi lokal dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga (Durkin, 2000:2). Disisi lain, modal sosial dapat berperan dalam mendapatkan berbagai akses fasilitas publik di masyarakat, seperti: pengadaan air dan irigasi, kredit, dan input pertanian/teknologi. Besarnya akses modal sosial ini karena adanya jaringan yang dibangun pada berbagai kelompok (produksi dan sosial) di masyarakat. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil temuan Haddad (2002:2) di Afrika Selatan bahwa keberadaan modal sosial (jaringan sosial) individu rumahtangga yang kuat ternyata dapat berperan untuk mendapatkan berbagai bentuk akses dalam masyarakat. Hasil penelitian terbaru ya ng telah dibuktikan oleh Granoveter (Bandiera dan Amran, 2006:870) melalui penelitiannya di Mozambique tentang adopsi teknologi baru oleh petani melalui jaringan sosial (social networks) yang berkembang di masyarakat terutama jaringan yang terbangun melalui kelompok tetangga dan keluarga (bonding and bridging). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa hubungan sosial dalam kelompok masyarakat berpengaruh positif sangat nyata dan signifikan terhadap petani dalam mengadopsi teknologi baru di daerah perdesaan. Tabel 77 Nilai gamma (f ) dan betha (ß) antar Variabel Laten Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga, 2006 No Variabel Latent Wilayah pegunungan KEO KES Wilayah pesisir pantai KEO KES langsung Tidak langsung Langsung Tidak langsung langsung Tidak langsung langsung Tidak langsung - 8,23** 8,23** 3,97** - 3,83** 3,83** - 5,49** - - - 1,85 - - 10,97** - - - 10,53** - 01 Aslok 02 Kmas 10,76* * - 03 KEO - Keterangan: (**) menunjukkan tanda pengaruh sangat nyata. Tingginya motivasi petani untuk menerapkan teknologi baru melalui jaringan sosial ini tidak terlepas dari tingkat keterpercayaan mereka terhadap kelompok masyarakat tersebut karena mereka memiliki rasa percaya, saling 234 membutuhkan, dan tidak pernah ada kerusakan hubungan. Berkenaan dengan teknologi baru, ada empat peran dalam merubah perilaku manusia, yakni: (1) intermediary, (2) amplifier, (3) determinant, dan peran (4) sebagai promoter (Midden, Cees JH et al. 2007:156). Kemudian, kelembagaan adat disamping berfungsi sebagai lembaga sosial, pendidikan juga berperan sebagai kelompok yang bergerak untuk keperluan pangan masyarakat (contoh: raskin). Modal sosial lain yang cukup penting dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga yaitu kelompok ”handel” dan majlis taklim. Kedua kelompok ini memberi andil dalam kemajuan ekonomi, pendidikan dan sosial anggota keluarga. Kelompok ”handel” misalnya, melalui sistem kerja bersama (collective action) dapat menambah tabungan keluarga, dan kelompok majlis taklim dapat meningkatkan pengetahuan, dan keterampilan keluarga dalam menangani masalah sosial dan spritual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga baik dilihat dari aspek peningkatan kesejahteraan dalam penyediaan akan pangan, pendidikan (sumberdaya manusia), tambahan modal, kesehatan maupun kesejahteraan dari aspek sosial melalui jaringan sosial yang berkembang dimasyarakat. Hasil temuan ini didukung oleh temuan Coleman (1990) bahwa modal sosial melalui jaringan sosial dapat berperan dalam pembentukan sumberdaya manusia dan ekonomi. Sharma dan Zeller (1997) membuktikan bahwa sejumlah kelompok masyarakat di Bangladesh menunjukkan pengaruh positif sangat nyata dan signifikan terhadap pelayanan kredit bagi anggota kelompok. Kemudian, Schneider et al., (1997) melihat bahwa jaringan/ikatan hubungan cukup bermanfaat dan menguntungkan bagi masyarakat dalam pembangunan sosial terutama dalam berbagai aktivitas pendidikan. Lebih tegas lagi dikemukakan oleh Falk dan Kilpatrick (1999) bahwa jaringan sosial di masyarakat dapat melakukan berbagai bentuk akumulasi modal (ekonomi dan sosial). Temuan lain dari hasil penelitian ini yaitu kontribusi anggota keluarga dalam kelompok sosial dan kelompok lainnya yang produktif juga menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Dimana keterlibatan anggota keluarga dalam kegiatan pada berbagai asosiasi lokal akan dapat meningkatkan penghasilan 235 keluarga melalui tambahan fasilitas akses kelompok. Sebagai contoh keikutsertaan dalam kelompok ”handel”. Artinya, satu orang anggota dalam keluarga yang terlibat dalam kegiatan kelompok ”handel” hanya memperoleh satu bagian dari penghasilan tetapi kalau lebih berarti jumlah penghasilan juga bertambah. Hasil temuan ini juga banyak ditemukan di negara-negara lain. Seperti hasil temuan Grootaer (1999:55) bahwa setiap satu orang anggota keluarga aktif mengikuti kegiatan asosiasi lokal terutama asosiasi bidang produksi dapat meningkatkan penghasilan keluarga sebesar 6,2 persen per kapita per tahun. Studi yang sama juga ditemui di Amerika Latin, bahwa terdapat perbedaan positif sangat nyata dan signifikan tingkat keaktifan anggota keluarga dalam kegiatan asosiasi lokal dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga (Durkin, 2000:2). Modal sosial berhubungan secara struktural dengan penghasilan keluarga. Dimana modal sosial dapat memfasilitasi keluarga untuk mendapatkan berbagai akses dalam masyarakat untuk keperluan keluarga seperti input pertanian, fasilitas kredit dan kecukupan lain. Oleh karena itu, tingkat heterogenitas modal sosial berpengaruh positif sangat nyata dan signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga. Keterkaitan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Oleh karena modal sosial bukan merupakan kapital yang dapat mentransformasi langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan maka ia dapat dikatakan produktif atau berperan dalam meningkatkan penghasilan atau kesejahteraan ekonomi keluarga harus melalui berbagai mekanisme. Sesuai dengan manfaat dan akses modal sosial yang diharapkan masyarakat maka efek modal sosial yang dapat mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan ekonomi keluarga adalah melalui tiga mekanisme, yakni: berbagi informasi diantara anggota kelompok, sistem kerja bersama atau gotong royong (collective action) baik untuk kegiatan produktif maupun kegiatan sosial, dan pengambilan keputusan bersama (musyawarah). Hasil temuan ini didukung oleh konsep yang dikembangkan oleh Naraya n dan Pritchett (1999:872-873) yaitu bahwa modal sosial dapat mempengaruhi berbagai bentuk keluaran (outcomes) bagi masyarakat 236 melalui lima mekanisme, yakni (1) dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memantau berbagai kegiatan atau kebijakan pemerintah melalui jaringan sosial (social network), (2) dapat meningkatkan berbagai bentuk tindakan atau kebijakan bersama dalam memecahkan berbagai persoalan dalam masyarakat, (3) dapat memudahkan berbagai bentuk difusi inovasi melalui peningkatan hubungan antar individu, (4) dapat mengurangi ketidaksempurnaan informasi yang diterima masyarakat, seperti dalam pemanfaatan fasilitas kredit, berbagai bentuk produksi, lahan pertanian, dan lapangan kerja, dan (5) dapat meningkatkan asuransi informal (informal insurance) bagi rumahtangga. Besar kecilnya pengaruh modal sosial terhadap peningkatan penghasilan dan kesejahteraan ekonomi keluarga sangat ditentukan oleh tipe interaksi sosial yang berkembang atau yang diikuti oleh anggoat keluarga responden. Namun demikian, tipe interaksi ini sangat bergantung pada jenis dan keragaman asosiasi yang terdapat dimasyarakat. Seperti terlihat pada lampiran 3 bahwa jenis asosiasi lokal yang terdapat di daerah penelitian cukup heterogen baik yang berakar dari kelompok masyarakat sendiri maupun yang disponsori oleh pemerintah maka tipe interaksi sosial yang berkembang di daerah penelitian menganut trio tipe, yakni: interaksi sosial melalui kekerabatan keluarga( bonding), melalui kolega atau teman ( bridging) dan interaksi sosial melalui lembaga atau institusi formal (linking). Hasil yang terdapat di daerah penelitian ini sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Woolcock (Thomas dan Heres, 2004), bahwa modal sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi (type of networks). Pertama, modal kekerabatan (bonding capital), yaitu ikatan hubungan yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan (emosional tinggi) yakni: hubungan antar anggota keluarga, teman dekat, dan tetangga. Kedua, modal pergaulan (bridging capital), yaitu tingkat kekerabatan relatif lebih jauh seperti: teman kerja, dan kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking capital), yaitu ikatan hubungan lebih renggang lagi dibandingkan kedua ikatan hubungan diatas. Hubungan kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan hubungan secara formal ( formal institutions) baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat luas. 237 Sesuai dengan konsep yang dikembang dalam penelitian ini dan didukung oleh sosial budaya masyarakat maka dimensi modal sosial yang digunakan yaitu terdiri dari dua dimensi besar yang saling berhubungan secara kausalitas, yakni: asosiasi lokal dan dimensi karakter. Kemudian, dimensi asosiasi lokal dilihat dari aspek: jumlah asosiasi yang diikuti, tingkat partisipasi, manfaat asosiasi, dan tingkat heterogenitas asosiasi yang diikuti responden, sedangkan dimensi karakter, terdiri dari: keterpercayaan, solidaritas, dan dimensi semangat kerja keras. Dimensi-dimensi yang dikembangkan di daerah penelitian ini di dukung teori yang dikembangkan oleh Putnam (Winter, 2000) bahwa modal sosial dibagi kedalam enam dimens i, yakni: (1) kebiasaan (tipe perjanjian: formal dan informal), (2) tujuan bersama (antar institusi saling hormat menghormati), (3) hubungan dalam pergaulan“bridging” (Trust dan reciprocity saling membangun secara bersama-sama), (4) modal sosial sebagai perantara (keterpercayaan dapat membangun sistem kedekatan antar individu), (5) intensitas hubungan (intensitas hubungan antar individu merupakan kekayaan dan keuntungan ganda dalam masyarakat), dan (6) lokasi sosial (menjalin hubungan kekerabatan (tetangga) dengan baik dapat membangun sumberdaya modal sosial). World Bank juga membagi bahwa modal sosial memiliki enam dimensi namun dalam konteks sedikit agak berbeda, yakni: (1) jaringan/ikatan hubungan dan kelompok/ organisasi, (2) solidaritas dan kepercayaan, (3) kegotong royongan (collective action and cooperations), (4) komunikasi dan informasi, (5) inklusi dan kohesi sosial dalam masyarakat, dan (6) politik dan pemberdayaan (Grootaert, 2004:5). Namun Haddad (2000:2) membagi modal sosial yang lebih sederhana dari Putnam dan Konsep World Bank yaitu ke dalam 3 (tiga) dimensi, yakni: (1) tingkat partisipasi rumahtangga dalam kelompok, (2) fungsi kelompok bagi rumahtangga, dan (3) tingkat keterpercayaan rumahtangga dalam kelompok. Model Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Perdesaan Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep pendidikan/penyuluhan sumberdaya manusia untuk terjadinya keberdayaan dan kemandirian, partisipasi, memiliki jaringan kerja dan 238 berkeadilan. Menurut Mcardle (Hikmat, 2001:2), pemberdayaan merupakan proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut dan dapat bekerja secara mandiri. Implikasinya, seperti yang dicontohkan oleh Schumacker dalam pemberdayaan masyarakat miskin (Thomas: Hikmat, 2001:2). Pemberdayaan masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur sosial yang tidak berpengaruh negatif terhadap kekuasaan (powerful). Dengan kata lain, kelompok miskin dapat diberdayakan melalui pendidikan/penyuluhan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEKS) sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan. INPUT Proses Pemberdayaan •Struktur Sosial • Sistem kerja Kelompok •Karakter Masyarakat OUTCOME OUTPUT • Lap. Pekerjaan Kesejahteraan Ekonomi Objektif • SD. Ekonomi • Jaringan kerja • Pendidikan & Pelatihan • Produktivitas kerja • Membangun Networking • Ilmu pengetahuan • Kepercayaan Masy •Status sosial ekonomi • Capacity Building • Kepaduan sosial • Azas demokrasi • Transaction cost • Interaksi sosial • Kepuasan mengontrol diri Kesejahteraan Ekonomi Subjektif feed back Gambar 13 Pemberdayaan Keluarga Berbasis Modal Sosial Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal sosial diartikan sebagai proses pembelajaran orang dewasa yang berkesinambungan dan ditujukan untuk memberikan kekuatan baik kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial maupun kekuatan pengetahuan spritual. Pemberdayaan ini dilakukan secara sinergis antara pihak luar (pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun stakeholder) dengan tokoh masyarakat dan peserta atau kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan dengan pola individu dan kelompok. Kegiatan pemberdayaan dilakukan dua 239 tahap, tahap pertama adalah pembekalan kognitif (pengetahuan: ekonomi, sosial maupun spritual), dan tahap kedua adalah pembekalan dalam bentuk action atau disebut dengan istilah intervensi secara ekonomi. Model pemberdayaan bagi masyarakat perdesaan di wilayah penelitian menggunakan pendekatan input- proses-output dan outcome yang di dasarkan pada model teoritis yang telah teruji dan dikonfirmasikan melalui model persamaan struktural (SEM). Kasus di wilayah pesisir pantai, dan sesuai dengan permasalahan yang dighadapi maka model atau strategi pemberdayaan dimulai dari cara mengatasi berbagai barier (rintangan) budaya (cultural) yang melekat selama ini yaitu budaya pasrah dan kurang memanfaatkan waktu. Sebagai contoh, mereka sebagai nelayan harus menghadapi berbagai musim. Menurut pengakuan nelaya n, ada tiga musim melaut, yakni: (1) musim penimur (musim makmur atau musim panen) terjadi lebih kurang tiga bulan yaitu antara bulan april-juni, (2) musim normal terjadi lebih kurang lima bulan yaitu antara bulan juli- november, dan (3) musim pacak kelik atau sering disebut dengan istilah musim pacak gadai terjadi lebih kurang empat bulan yaitu antara bulan desember – maret. Selama musim pacak gadai ini, menurut hasil Focus Group Discussion (FGD) pada kelompok nelayan dahlia dan indepth interview dengan bapak Nasib, diperoleh informasi bahwa selama musim pacak kelik mereka hanya tinggal di rumah dan sesuai dengan istilah yaitu musim pacak gadai maka musim ini para nelayan membelanjakan semua penghasilan yang diperoleh sebelumnya dan tidak ada upaya untuk mencari pekerjaan alternatif. Berdasarkan hal tersebut dan sesuai dengan teori yang ada serta hasil penelitian lainnya maka model strategi pemberdayaan masyarakat pesisir pantai atau khususnya nelayan adalah memberdayakan mereka dalam mengikis barier cultural pasrah dengan mencari alternatif pekerjaan yaitu dalam bentuk mixedfarming melalui modal sosial kelompok kerja bersama baik berasal dari kelompok kesukuan maupun kelompok kerja nelayan. Adapun usaha untuk kelompok kerja sebagai pekerjaan sampingan yaitu usaha perkebunan kelapa dalam, dagang, jasa angkutan dan lain sebagainya yang sesuai dengan pola usahatani yang berkembang di wilayah sekitar pesisir pantai. Hal lain yang perlu diberdayakan 240 masyarakat nelayan yaitu menggalang silaturrahmi diantara kelo mpok kesukuan. Menurut Hardinsyah (2007:84), melalui silaturahmi dapat membangun interaksi dan hubungan sosial yang kuat, untuk: (1) menumbuhkan rasa saling simpati, saling pengertian, saling menghargai dan kasih sayang, (2) mempermudah akses terhadap berbagai informasi termasuk informasi kesempatan kerja dan kesempatan usaha, (3) menumbuhkan nilai-nilai yang disepekati bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah bersama dan bahkan tak jarang menghasilkan kelembagaan usaha bersama, dan (4) membangun kembali ingataningatan yang telah ada yang dikonteksikan dalam kepentingan sosial dan ekonomi bagi kehidupan individu yang bersilaturarahmi maupun masyarakat secara luas. Secara rinci strategi pemberdayaan masyarakat pesisir pantai melalui analisis Strength, Weakness, Opportunity dan Threat (SWOT). Menurut UNDP (Puspitawati, 2006:285), SWOT ini merupakan suatu tehnik analisis manajemen dengan cara mengidentifikasi secara internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara eksternal mengenai peluang dan ancaman. Analisis SWOT ini dipertimbangkan dalam kaitannya dengan konsep strategis dalam rangka menyusun program aksi untuk mencapai tujuan kegiatan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang, dan meminimalkan kelemahan dan ancaman sehingga mengurangi resiko dan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan program untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Analisis SWOT pemberdayaan masyarakat pesisir pantai berbasis modal sosial adalah sebagai berikut: (1) Pertimbangan dari segi kekuatan atau strength adalah masyarakat Kabupaten Tanjung Timur memiliki motivasi belajar yang tinggi, tingkat ketergantungan masyarakat masih kuat, dan potensi lahan pertanian masih luas dan perlu penanganan lebih intensif. (2) Pertimbangan dari segi kelemahan atau weakness adalah keterbatasan tingkat pendidikan, dan pengetahuan yang dimiliki, adanya budaya (cultural) pasrah dan kurang memanfaatkan waktu kerja secara optimal sehingga tingkat penghasilan yang diperoleh bertumpu pada usaha nelayan, terbatasnya modal untuk pengembangan usaha, dan rendahnya tingkat keterpercayaan antara 241 nelayan (buruh) dengan pemilik modal sehingga penghasilan yang diperoleh rendah, serta terbatasnya sarana transportasi. (3) Pertimbangan dari segi peluang atau opportunities, Muara Sabak adalah wilayah strategis karena merupakan daerah lintasan segi tiga emas kawasan pantai timur antara Singapura, Batam, dan Johor (SIBAJO) dan Singapura, Johor, dan Riau (SIJORI). Letak geografis yang strategis ini menjadi peluang yang baik bagi perkembangan ekonomi daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur sehingga kebijakan di bidang peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga disamping meningkatkan pengembangan usaha nelayan juga diharapkan mengembangkan usaha lain termasuk jasa. (4) Pertimbangan dari segi ancaman atau threat bahwa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur khususnya di Kecamatan Mendahara Ilir dan Nipah Panjang semakin terbatasnya kawasan atau wilayah tangkap, dan semakin tingginya tingkat pencemaran laut yang diakibatkan oleh limbah industri. Melalui hasil penelitian dan kajian SWOT, maka rekomendasi pembangunan peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah pesisir pantai diprioritaskan kepada: (1) Pengembangan karakter masyarakat melalui berbagai pelatihan dan pendidikan secara non formal termasuk pengembangan pendidikan agama terutama bagi orang dewasa putus sekolah dan orang tua (kepala keluarga). (2) Membangun sistem kerja kelompok dan networking yang saling menguntungkan diantara kelompok masyarakat dan stakeholder lainnya. (3) Membangun usaha kerja bersama melalui mitra kerja dan penanaman modal bagi buruh nelayan. (4) Membangun berbagai fasilitas masyarakat yang mendukung usaha nelayan termasuk pembangunan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi. 242 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1) Tingkat kesejahteraan ekono mi keluarga di wilayah perdesaan Provinsi Jambi baik dilihat dari kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif adalah tergolong relatif baik. Kesejahteraan ekonomi objektif secara rata-rata melebihi tingkat kesejahteraan yang ditentukan oleh Badan Pusat Statistik, sedangkan kesejahteraan ekonomi subjektif ditandai dengan tingginya persentase masyarakat setempat yang merasa puas dalam pemenuhan keperluan mereka sehari- hari, baik kebutuhan pangan, non-pangan maupun kebutuhan investasi sumberdaya manusia yang relatif memuaskan yaitu mencapai 52,5 persen. (2) Modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga (subjective economic well-being) di wilayah pegunungan. Hal ini membuktikan hipotesis yang dibangun sebelumnya bahwa asosiasi lokal dan karakter masyarakat secara bersama-sama dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial yang ada di masyarakat maka tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di masyarakat tersebut semakin baik. (3) Model pemberdayaan keluarga di wilayah perdesaan adalah berbasis modal sosial. Pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal sosial diartikan sebagai proses pembelajaran orang dewasa yang berkesinambungan dan ditujukan untuk memberikan kekuatan baik kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial maupun kekuatan spritual. Saran (1) Oleh karena kesejahteraan individu tidak sama dan tidak dapat disamakan maka kedepan, kebijakan pemerintah menetapkan tolok ukur kesejahteraan ekonomi keluarga tidak terbatas pada tolok ukur kesejahteraan objektif yang 243 mengukur kesejahteraan dari nilai pendekatan baku. Tetapi sudah melihat kepada kecukupan masyarakat dengan pendekatan kepuasan (subjective economic well-being). (2) Dalam mengambil kebijakan peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah perdesaan perlu mempertimbangkan indikator ”modal sosial” sebagai variabel penentu kesejahteraan. (3) Penguatan modal sosial sangat tepat dalam pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga (kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi subjektif). DAFTAR PUSTAKA Baker, Kristine R., Ofstedal Mary Beth, Zimmer Zachary, Tang Zhe, dan Chuang Yi-Li. 2005. Reciprocal Effects of Health and Economic Well-being among Older Adults in Taiwan and Beijing. New York: Working Paper No. 197. ISSN: 1554-8538. Policy Research Division. Population Council. Inc. Bandiera Oriana, dan Imran Rasul. 2006. Social Networks and Technology Adoption in Northern Mozambique. The Economic Journal, 116 (October) 869-902. America: Blacwell Publising, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA. Bollen, K.A. 1989. Stuctural Equation with Latent Variable. Washington: John Wiley & Sons, Inc. Coleman, James. 1998. Social Capital in the Creation of Human Capital. http://poverty.worldbank.org/library/subtopic/5038/ Dasgupta, F., dan Serageldin, 2000. Social Capital: A Multifaceted Perspective. The World Bank, Washington: ISBN 0-8213-4562-1. Durkin, John. 2000. Measuring Social Capital and Its Economic Impact. Chicago: Horis Graduate School of Public Policy Studies University of Chicago. Flores, Margarita, dan Fernando. 2003. Social Capital and Poverty Lessons from Case Studies in Mexico and Central America. ESA Working Paper No. 03-12. Vol 25, Number 1. New York: Agricultural and Development Economics Division, The Food and Agricultural Organization of the United Nations. Freund, Anat, dan Abraham, Carneli, 2004. The Relationship between Work Commitment and Organizational Citizenship Behavior among Lawyers in the Private Sector. The Journal of Behavioral and Applied Management. Vol. 5, No.2, p:93-113, winter 2004. 244 Grootaert, Christian. 1999. Social Capital, Household Well-being and Poverty in Indonesia. Working Paper No. 6. Washington: The World Bank, Social Development Departement. DC 20433, USA. Haddad, Lawrence, dan John Maluccio. 2000. Social Capital and Household Well-being in South Africa: Patways of Influnce. New York: Prepered for presentation at the Study of African Economies. International Food policy Research Institute. Hardinsyah, 2007. “Inovasi Gizi dan Pengembangan Modal Sosial.” Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB, Bogor. Hikmat, 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press Bandung. Joreskog, G. Karl, Sorbom Dag, Stephen Du Toit; dan Mathilda doToit. 1999. LISREL 8, New Statistical Features. Chicago: SSI (Scientific Software International) Inc. Midden Cees JH, Florian G. Kaiser, dan L. Teddy McCalley. 2007. Technology’s Four Roles in Understanding Individuals’ Conservation of Natural Resources. Journal of Social Issue, Vol. 63, No. 1, 2007, pp:155-174. Netherlands: Eindhoven University of Technology, Departemen of Human -Technology Interaction. Email: [email protected] Milligan, Sue, Fabian Angela, Coope Pat, dan Errington Chris. 2006. Family Wellbeing Indicators from the 1981-2001 New Zealand Cencuses. New Zealand: Published in June 2006 by Statistics New Zealand in Conjunction with The University of Auckland and University of Otago. 2006, ISBN 0-478-26982-X. Narayan, Deepa, dan Pritchett, Lant. 1999. Cents and Sociability: Household Income and Social Capital in Rural Tanzania . Economic Development and Cultural Change, Vol. 47, No. 4 (Jul., 1999), 871-897. Pakpahan, Agus. 1996. “Penaggulangan Kemiskinan: Prinsip Dasar, Metodologi dan Upaya Penanggulangannya.” Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Diedit oleh Sajogyo. Grasindo, Peck Frank, dan Vicki, Goodwin. 2003. Economic Well-being of Communities and Regional Economic Development: Poles Apart?. Research Paper Series- No. 7 January, 2003. Centre Regional Economic Development. Northumbria University. Robinson, Brooks B. 2002. Income Inequality and Ethnicity: An International View. Second Inequality and Pro-Poor Growth. Washington: Spring Conference the World Bank, Washington DC, June, 9-10, 2002. Strauss, John, Kathleen Beegle, Agus Dwiyanto, Yulia Herawati, Daan Pattinasarany, Elan Satriawan, Bondan Sikoki, Sukamdi, dan Firman Witoelar, 2004. Indonesian Living Standards: Before and After the Financial Crisis. RAND Corporation, Santa Monica, USA, and Institute of Southeast-Asian Studies, Singapure. Sumarti, Titik M.C. 1999. “Persepsi Kesejahteraan dan Tindakan Kolektif Orang Jawa dalam Kaitannya dengan Gerakan Masyarakat dalam Pembangunan Keluarga 245 Sejahtera di Pedesaan.” Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sumarwan, Ujang, dan Tahira, Hira. 1993. “The Effects of Percieved Locus of Control and Percieved Incomes Adequacy on Satisfaction with Financial Status of Rural Households.” Dalam Journal of Family Economic Issues. Vol. 14(4), Winter 1993. pp:343-64. 246 PEMBAHASAN UMUM Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Apabila merujuk pada pola pembangunan Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945 yang memberi arah pembangunan ekonomi untuk menuju kesejahteraan sosial. Kata kunci pembangunan di Indonesia adalah kualitas Sumberdaya Manusia (SDM). Kemudia n, UU RI No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang dikembangkan selama ini tidak berdampak positif terhadap kualitas SDM. Artinya adalah, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi, GDP dan pendapatan perkapita ternyata tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tujuan pembangunan untuk mewujudkan pembangunan Indonesia seutuhnya belum tercapai. Seperti yang dialami oleh penduduk dunia ternyata di Indonesia tidak jauh berbeda bahwa kesejahteraan masyarakat antar daerah menunjukkan tingkat disparitas dan inequality yang cuk up kentara. Apabila kesejahteraan didekati dengan nilai Product Domestic Regional Bruto (PDRB), ternyata pembangunan terpusat di pulau Jawa yaitu mencapai 59,56 persen dari total pendapatan, Sumatera 22,05 persen, sedangkan pulau lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan lainlain) hanya 8,22 persen. Kesenjangan pendapatan atau disparitas kesejahteraan penduduk ini bermuara dari pola pembangunan yang mengacu pada pembangunan ekonomi, dan dilaksanakan secara fragmented dengan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan sedikit sekali menyentuh pembangunan sumberdaya manusia apalagi pembangunan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Padahal tujuan pembangunan adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya dengan arah pembangunan yang berorientasi kepada masyarakat. Berkenaan dengan itu, arah pembangunan masa akan datang harus dilaksanakan secara holistik dan komprehensif dengan melibatkan masyarakat. Supaya arah pembangunan ini dapat berjalan dengan efektif dan efisien maka pola pembangunan ini dapat memanfaatkan berbagai bentuk struktur sosial yang ada 223 247 dimasyarakat dan salah satunya adalah modal sosial. Modal sosial adalah berupa tingkat keterpercayaan, rasa percaya, norma dan jaringan kerja baik informal maupun formal yang ada di masyarakat mempunyai peran yang cukup penting dan dapat memicu peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi (James Coleman, (1990), Pierre Bourdieu, (1993), Robert Putnam, (1995), dan Francis Fukuyama, (1999). Studi kasus di Indonesia, World Bank melaporkan bahwa modal sosial mempunyai kontribusi dan berpengaruh positif terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga (Grootaert, 1999). Hal ini sejalan dengan visi dan misi program Millenium Development Goals (MDGs) bahwa pemberantasan kemiskinan dan kelaparan berbasis pada masyarakat atau penduduk sehingga penduduk dunia pada tahun 2015, minimal separo dari target pembangunan bebas dari kemiskinan, kemelaratan dan sejenisnya. Kesejahteraan Ekonomi Keluarga dan Disparitas Kesejahteraan diartikan suatu tata nilai kehidupan dan penghidupan bagi setiap individu, keluarga dan masyarakat terhadap berbagai aspek, seperti: ekonomi, sosial, maupun spritual untuk mengadakan usaha- usaha pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani. Oleh karena itu, program pembangunan peningkatan kesejahteraan harus dilaksanakan secara holistik dan komprehensif, sedangkan selama ini pendekatan yang digunakan untuk menilai tingkat kesejahteraan masyarakat hanya bertumpu pada pendekatan ekonomi baik yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) maupun Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sehingga program yang dijalankan selama ini belum banyak hasil yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, penelitian tentang kesejahteraan keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jambi menggunakan dua pendekatan, yakni: Kesejahteraan Ekonomi Objektif (KEO) dan Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES). Kesejahteraan Ekonomi Objektif (KEO) keluarga di wilayah penelitian diukur dengan proxy besarnya pengeluaran keluarga. Pengeluaran keluarga yaitu pengeluaran yang diperuntukkan pembelian kebutuhan keluarga sehari- hari, yakni kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, pengeluaran keluarga dialokasikan untuk kebutuhan 248 pangan, non pangan dan kebutuhan investasi sumberdaya manusia. Porsi pengeluaran tersebut akan mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu kelompok masyarakat (Mangkuprawira, 2002: 74). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara pengeluaran kecil (miskin) dengan pengeluaran relatif besar (keluarga berkecukupan). Distribusi pengeluaran pada kelompok hampir berkecukupan keatas mencapai 79,4 persen. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah agroekologi ternyata persentase pengeluaran terbesar keluarga contoh terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 87 persen lebih, sedangkan di wilayah pegunungan hanya sekitar 72 persen. Merujuk pada standar kemiskinan, ternyata persentase pengeluaran keluarga contoh yang berada pada tingkatan pengeluaran kurang berkecukupan hanya sebesar 34,8 persen, sedangkan yang tergolong sangat miskin hanya 5,2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga contoh di daerah penelitian berdasarkan pada tingkat pengeluaran dapat di kategorikan pada kelompok sejahtera. Distribusi tingkat pengeluaran keluarga menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan yakni distribusi pengeluaran keluarga antara kelompok terendah dengan kelompok penerima pengeluaran paling atas relatif merata. Kelompok 40 persen penerima pengeluaran terbawah rata-rata di atas 17 persen, sedangkan distribusi pengeluaran 10 persen kelompok penerima pengeluaran teratas dengan nilai juga cukup baik yaitu antara 14-16 persen. Dengan kata lain, terdapat nilai Bobot Ketidaksamarataan (BK) masing- masing wilayah 1,6 dan 1,9. Nilai BK wilayah pesisir pantai relatif lebih kecil dibandingkan dengan BK wilayah pegunungan. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran keluarga di wilayah pesisir pantai relatif sedikit kurang merata dibandingkan dengan distribusi pengeluaran keluarga di daerah penelitian wilayah pegunungan. Ketidaksamarataan pengeluaran masyarakat nelayan disebabkan adanya pola hubungan kerja antara buruh dengan majikan. Dengan kata lain, terjadi saling ketidak percayaan antara nelayan (buruhan) dengan pemilik modal dalam mengelola usaha. Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) adalah wujud kebudayaan dan terbentuk dalam proses interaksi sosial dalam masyarakat sehingga persepsi kesejahteraan masyarakat desa akan berbeda dengan persepsi kesejahteraan masyarakat kota bahkan berbeda dengan persepsi yang dibuat oleh pemerintah 249 namun kesemuanya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang menjadi pedoman hidupnya untuk mewujudkan kesejahteraan itu sendiri. Kesejahteraan masyarakat desa diperoleh dari nilai- nilai lokal melalui hasil sosialisasi dari nilai- nilai budaya dan agama karena secara sosiologis dan psikologis bahwa setiap manusia mempunyai nilai tersendiri tentang persepsi kesejahteraan. Secara operasional, ada dua pendekatan mengenai KES yaitu pendekatan kebahagiaan dan kepuasan. Namun variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan dengan variabel kebahagiaan karena ia dapat lebih mudah melihat kesenjangan antara aspirasi dengan tujuan yang ingin dicapai. Tingkat kepuasan dapat menggambarkan tingkat kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi atau dapat menjangkau berbagai kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan (happiness) hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan masyarakat dan institusi. Kemudian, kepuasan (satisfaction) individu, keluarga dan atau masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan jasa serta harapan masa depan (Peck dan Goodwin, 2003:7). Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) diukur dengan melihat tingkat kepuasan keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan sehari- hari. Data menunj ukkan bahwa distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga (subjective economic well-being) di wilayah penelitian relatif baik. Hal ini ditandai dengan persentase masyarakat setempat yang merasa puas dalam pemenuhan keperluan mereka sehari- hari, baik kebutuhan pangan, non pangan maupun investasi relatif memuaskan yaitu mencapai 60,3 persen. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian ternyata persentase terbesar kesejahteraan masyarakat sedangkan di terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 68,4 persen, wilayah pesisir, tingkat kesejahteraan yang merasa puas dalam pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari hanya sekitar 51 persen. Hal ini berhubungan terbalik dengan tingkat pengeluaran keluarga. Dengan arti kata, tingkat pengeluaran sebagai proxy kesejahteraan ekonomi objektif tidak selalu berkorelasi positif dengan tingkat kepuasan. Hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi kepuasan keluarga di daerah penelitian baik pada tingkat kepuasan keluarga di wilayah pesisir pantai maupun di wilayah pegunungan 250 ternyata memiliki tingkat distribusi cukup merata, yakni 40 persen penerima kepuasan terbawah rata-rata di atas 17 persen. Sebaliknya, distribusi penghasilan 10 persen kelompok penerima kepuasan teratas denga n nilai juga cukup baik yaitu di bawah 17 persen. Berdasarkan data distribusi tersebut dapat diketahui bahwa BK kedua wilayah penelitian menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan dengan nilai berkisar antara 2,24–1,9. Apabila merujuk kepada standar yang digunakan oleh Bank Dunia dan Kuznets maka distribusi kepuasan keluarga di kedua wilayah penelitian tergolong merata karena jauh lebih besar dari angka 0,3. Namun, melalui hasil analisis (Uji U-test) diperoleh bahwa tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan keluarga di wilayah pesisir pantai baik kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif (kepuasan keluarga). Peran Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Modal sosial merupakan investasi strategis baik secara individu maupun kelompok. Sadar ataupun tidak sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian tentang modal sosial kaitannya dengan kesejahteraan sudah cukup banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya namun konsep penelitian tentang modal sosial baru melihat dalam konteks institusi atau kelembagaan dan jaringan kerja, padahal modal sosial bukan semata- mata bentuk kelembagaan atau jaringan kerja yang terdapat di masyarakat tetapi perannya cukup kompleks karena berkaitan erat dengan perilaku anggota kelompok atau asosiasi baik formal maupun informal. Untuk itu, melalui penelitian keterkaitan modal sosial dengan kesejahteraan keluarga ini mengkombinasikan antara konsep kelembagaan dan karakter individu. Modal sosial merupakan bentuk jaringan kerja sosial dan ekonomi di masyarakat yang terjadi antar individu dan kelompok baik formal maupun informal yang bermanfaat dan menguntungkan. Modal sosial dikategorikan melalui dua dimensi yang saling berhubungan 251 (interrelated), yakni: dimensi struktural, dan dimensi karakter 22 . Hasil pelitian menunjukkan bahwa tingkat asosiasi lokal yang dimiliki keluarga contoh di daerah penelitian cukup bervariatif baik dilihat dari jumlah asosiasi yang diikuti, partisipasi maupun manfaat dari asosiasi lokal itu sendiri. Namun, sebagian besar keluarga contoh memiliki asosiasi lokal tergolong tinggi yaitu mencapai 57,3 persen. Artinya, proporsi keluarga contoh yang memiliki asosiasi lokal pada tingkat tinggi dan sangat tinggi mencapai 57,3 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa kepemilikan asosiasi lokal bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup penting. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata kelompok masyarakat yang memiliki tingkat asosiasi lokal tertinggi (kepemilikan asosiasi lokal tinggi+sangat tinggi) terdapat di wilayah pegunungan dengan persentase sebesar 67 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai sekitar 53 persen. Relatif rendahnya tingkat asosiasi lokal yang dimiliki keluarga contoh yang terdapat di wilayah pesisir pantai sangat erat kaitannya dengan jumlah dan tingkat partisipasi mereka dalam kelompok atau organisasi yang terdapat dalam desa. Keterlibatan keluarga contoh dalam berbagai asosiasi lokal sangat sedikit sekali, baik kegiatan ekonomi maupun kegiatan lainnya, dan hal ini diperparah lagi oleh jumlah asosiasi yang berkembang di wilayah pesisir pantai sangat terbatas bila dibandingkan dengan daerah wilayah pegunungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah asosiasi lokal yang diikuti keluarga contoh di daerah penelitian tergolong besar karena lebih dari 59 persen keluarga contoh mengikuti sebanyak tiga atau lebih asosiasi lokal. Dengan semakin banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota keluarga contoh diharapkan dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat kebersamaan dan solidaritas sesama anggota masyarakat sehingga pada gilirannya akan berdampak terhadap kesejahteraan dan kemajuan desa. Kemudian, pada masa era globalisasi, reformasi dan otonomi daerah, asosiasi lokal yang berkembang di daerah dan diikuti oleh anggota masyarakat akan sangat berperan dalam membendung dan 22 Konsep ini mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu (1986), Coleman (1988), dan Putnam, Leonardi, dan Nanetti (1993), Grootaert (1997), Woolcock (1998), Fukuyama (1999), Uphoff (1999) (Dasgupta P., 2000:218), dan Flores dan Fernando (2003) (disempurnakan). 252 menopang berbagai informasi berupa inovasi baru yang datang dari luar terutama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan pembangunan daerah. Tinggi rendahnya peran modal sosial terhadap kesejahteraan keluarga dilihat dari tingkat partisipasi mayarakat dalam berbagai kelompok atau asosiasi. Tingkat partisipasi anggota keluarga contoh dalam asosiasi lokal dilihat dari dua aspek, yakni tingkat keaktifan dalam pertemuan dan pengambilan keputusan selama mengikuti pertemuan. Rata-rata partisipasi anggota keluarga dalam mengikuti berbagai kegiatan atau pertemuan dalam kelompok/asosiasi kemasyarakatan cukup tinggi yaitu mencapai 57 persen. Dengan arti kata, setiap anggota keluarga dapat mengikuti berbagai kegiatan atau pertemuan kelompok/asosiasi lebih dari 50 persen. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata anggota keluarga contoh di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat partisipasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan anggota keluarga contoh di wilayah pegunungan, masing masing 49, dan 66 persen. Dengan kata lain, anggota keluarga contoh di daerah wilayah pesisir pantai kurang aktif dalam mengikuti berbagai aktivitas dan pertemuan kelompok/asosiasi sehingga akan berdampak kepada produktivitas kelembagaan itu sendiri. Variabel manfaat secara struktural merupakan elemen penting dalam modal sosial karena variabel ini berkaitan erat dengan keterlibatan seorang individu atau kelompok dalam asosiasi. Artinya, semakin besar nilai manfaat dari suatu asosiasi bagi keluarga maka kontribusi setiap aktor semakin besar dan sebaliknya. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tingkat manfaat asosiasi bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup besar, hal ini ditandai dengan tingginya nilai persentase yaitu mencapai 70 persen lebih. Hasil Focus Group Discussion (FGD) di wilayah pegunungan menyimpulkan bahwa asosiasi desa yang ada di daerah ini baik asosiasi formal maupun informal cukup penting dalam meningkatkan perekonomian dan hubungan sosial dalam masyarakat. Keberadaan asosiasi di desa pegunungan sangat berperan sekali terutama sistem kerja gotong royong ”collective action”, misalnya membangun jalan menuju ke sentra produksi (kebun), membangun dan atau membersih hulu sungai untuk pengairan persawahan, membangun fasilitas umum (masjid), madrasah, dan 253 fasilitas umum lainnya. Hasil temuan lapangan diperolah informasi bahwa terdapat lebih dari 18 asosiasi (formal dan informal) lokal yang dapat dimanfaatkan oleh keperluan atau kepentingan keluarga responden. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata asosiasi lokal terbanyak yang berkembang dan dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh terdapat di wilayah pegunungan yaitu sebanyak 16 unit, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 10 unit. Secara keseluruhan, asosiasi sosial merupakan persentase terbesar yang dibutuhkan bagi anggota keluarga contoh yaitu mencapai 33 persen, kemudian persentase terbesar kedua adalah asosiasi yang bergerak untuk kebutuhan pangan yaitu mencapai 24 persen, sedangkan persentase terkecil yaitu asosiasi yang bergerak di bidang kesehatan (6 persen). Namun, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian tampaknya terdapat perbedaan yang cukup signifikan kebutuhan asosiasi yang terdapat di wilayah pegunungan dengan wilayah pesisir pantai. Kebutuhan asosiasi di wilayah pegunungan misalnya, kebutuhan asosiasi dari lima kelompok yang berkembang di masyarakat kebutuhannya cukup proporsional kecuali asosiasi yang bergerak di bidang kesehatan, sedangkan kebutuhan asosiasi yang terdapat di wilayah pesisir pantai hanya tertumpu pada kelompok sosial yaitu mencapai 46 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat yang terdapat di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat interaksi sosial di masyarakat tergolong rendah. Kenyataan ini didukung oleh hasil diskusi (FGD) dengan tokoh-tokoh masyarakat bahwa umumnya masyarakat di daerah tersebut memiliki tingkat hubungan antar sesama anggota masyarakat sangat terbatas. Keterbatasan hubungan keakraban antar sesama anggota masyarakat karena banyaknya kelompok kesukuan sehingga sulit untuk membuat satu kesatuan asosiasi untuk kepentingan bersama. Disisi lain, masyarakat pesisir lebih banyak melakukan aktivitas secara individual daripada kelompok kecuali kalau ada anggota masyarakat yang mendapat musibah (meninggal) itupun hanya membantu memberi doa ya ng disebut sebagai asosiasi sosial (yasinan). Kebutuhan asosiasi terbesar yang dibutuhkan oleh masyarakat di wilayah pegunungan adalah asosiasi yang bergerak di bidang pangan yaitu mencapai 30 persen. Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa asosiasi ya ng bergerak di 254 bibidang pangan ini berasal tiga jenis asosiasi yang berkembang di masyarakat, yakni: Kelompok Usahatani (KUT), Kelompok Perkumpulan Petani Pemakai Air (KP3A) dan asosiasi Kelembagaan Adat. KUT misalnya adalah asosiasi yang di sponsori oleh pemerintah yang bergerak dibidang pertanian: bantuan bibit (tanaman, ternak dan ikan) dan bantuan lainnya, KP3A adalah asosiasi desa yang berkembang dimasyarakat di wilayah pegunungan yaitu kelompok pengelola air irigasi yang digunakan untuk pengairan padi sawah, dan kelembagaan adat disamping berfungsi sebagai lembaga sosial, pendidikan juga berperan sebagai kelompok yang bergerak untuk keperluan pangan masyarakat (contoh: raskin). Asosiasi terbesar kedua yang berkembang di wilayah pegunungan dan dibutuhkan oleh masyarakat yaitu asosiasi yang bergerak di bidang pendidikan (26 persen). Melihat distribusi yang ada, asosiasi yang bergerak dibidang pendidikan ini berasal dari beberapa jenis asosiasi, yakni: Asosiasi Karang Taruna, Majlis Taklim, PKK, kelompok keagamaan, dan kelompok kesenian tradisional. Asosiasi lain yang cukup memberi andil terhadap kesejahteraan masyarakat di wilayah pegunungan adalah asosiasi yang bergerak di bidang sosial, tambahan modal dan kesehatan. Asosiasi yang bergerak di bidang sosial adalah asosiasi ”leg,” kelembagaan adat, kesenian tradisional, dan asosiasi PBB. Asosiasi ”leg” di wilayah pegunungan secara umum disebut kelompok yasinan. Oleh karena, asosiasi ini mayoritas bergerak pada kelompok kalbu maka kelompok ini disebut dengan istilah ”leg 23 .” Asosiasi yang bergerak dalam bidang tambahan modal terdiri dari beberapa asosiasi, yakni: asosiasi ”handel 24 ,” arisan, KUT dan Koperasi (KUD dan keluarga). Asosiasi ”handel” sangat efektif membatu keluarga baik untuk keperluan lebaran (pada saat lebaran) maupun untuk keperluan tambahan modal kerja karena yang mendapatkan bantuan dari asosiasi ini (uang milik bersama) tidak dikenakan bunga. Asosiasi POSYANDU sebagai asosiasi yang bergerak dibidang kesehatan tampaknya masih relatif kecil manfaatnya bagi masyarakat. Namun demikian, menurut hemat peneliti rendahnya 23 “leg” artinya sekumpulan atau sekelompok orang yang berasal dari hubungan pertalian darah atau garis turunan tertentu (bonding) dengan tujuan bersama terutama kerjasama pada saat menghadapi musibah kematian, secara umum disebut dengan istilah kelompok yasinan. 24 “handel” artinya sistem kerja kelompok (kalbu) dengan mengambil upahan dan setiap mendapat upahan, penghasilannya disimpan terlebih dahulu dan dibagikan menjelang hari raya idul fitri. 255 manfaat POSYANDU bagi masyarakat di daerah perdesaan banyak disebabkan oleh faktor kesungguhan pemerintah memberikan akses pelayanan kepada masyarakat. Hasil temuan di lapangan diperoleh informasi bahwa hampir sebagian besar POSYANDU yang ada di daerah penelitian sudah banyak yang tidak berfungsi lagi namun dengan adanya upaya revitalisasi POSYANDU diharapkan asosiasi tersebut dapat melayani masyarakat terutama pelayanan kesehatan anakanak. Dimensi lain dari modal sosial adalah karakter anggota masyarakat. Karakter seorang individu merupakan “the sum total of the disinguishing qualities of a person” atau sering juga disebut dengan istilah “moral exellence and strength” (Webster, 1993). Lichona (Hastuti, 2006,11) melihat bahwa karakter terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait satu sama lainnya, yakni: pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perilaku bermoral (moral behavior). Artinya, seorang individu yang berkarakter baik apabila mereka dapat mengetahui tentang berbagai kebaikan (knowing the good), menginginkan dan selalu mencintai kebaikan (loving the good), dan seorang individu selalu melakukan berbagai tindakan yang baik (acting the good). Implementasi dalam kehidupan sehari- hari dan seorang individu yang berkarakter baik dapat dilihat pada pola hidup dan interaksi sosial mereka dengan masyarakat dalam konteks: nilai keterpercayaan, solidaritas dan semangat kerja. Nilai keterpercayaan diukur dari tiga dimensi, yaitu: komitmen terhadap norma yang berlaku, kejujuran, dan tanggung jawab. Solidaritas masyarakat dilihat dari aspek: tingkat ketergantungan antar anggota masyarakat, saling bantu membantu, dan aspek kepekaan terhadap kemajuan desa, sedangkan aspek semangat kerja diukur dari disiplin dan keuletan kerja masyarakat. Hasil pengamatan lapangan, terdapat lebih dari 50 persen keluarga contoh di daerah penelitian tergolong pada kelompok dengan karakter masyarakat yang tinggi dan sangat tinggi. Dengan arti kata, bahwa rata-rata pola hidup dan interaksi sosial masyarakat di daerah penelitian khususnya di daerah perdesaan Provinsi Jambi relatif kondusif. Namun, apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian ternyata proporsi keluarga contoh terbesar pada kelompok karakter yang tinggi dan sangat tinggi terdapat di wilayah pegunungan (74,8 %), 256 sedangkan masyarakat di wilayah pesisir pantai yang tergolong pada kelompok berkarakter tinggi dan sangat tinggi hanya sekitar 33,8 persen. Artinya, kelompok masyarakat yang memiliki karakter baik (kelompok karakter tinggi + sangat tinggi) di wilayah pesisir pantai jauh lebih kecil dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang ada di wilayah pegunungan . Hasil pengamatan lapangan dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat di wilayah pesisir pantai diperoleh kesimpulan bahwa rendahnya karakter masyarakat di daerah penelitian disebabkan keberagaman etnisitas. Terdapat empat suku besar yang berkembang dengan pola dan gaya hidup yang sangat kontras satu dengan lainnya, yakni: suku melayu, bugis, banjar, dan suku jawa. Keempat suku tersebut memiliki ciri dan kepentingan masing- masing sehingga akan berdampak terhadap kepentingan masyarakat secara umum dan pada gilirannya dapat merenggangkan interaksi sosial masyarakat secara utuh. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Robinson (2002:8) bahwa keberagaman etnisitas dapat mempengaruhi tingkat income inequality dan kebersamaan masyarakat. Elemen pertama tentang karakater masyarakat adalah keterpercayaan. Keterpercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang terhadap perkataan, perjanjian, dan tindakan secara konsisten pada saat terjalinnya hubungan antar individu atau kelompok/organisasi dalam masyarakat. Tingkat keterpercayaan seseorang dapat dilihat dari dimensi: tingkat komitmen, kejujuran dan tanggung jawab. Rata-rata tingkat keterpercayaan masyarakat di daerah penelitian tergolong relatif baik karena nilai kelompok masyarakat yang tergolong pada kelompok keterpercayaan tinggi dan sangat tinggi yaitu mencapai 57,8 persen. Artinya, hampir sebagian besar masyarakat di daerah perdesaan Provinsi Jambi memiliki tingkat keterpercayaan tinggi. Berdasarkan wilayah penelitian, ternyata terdapat perbedaan yang cukup besar kelompok masyarakat yang memiliki tingkat keterpercayaan tinggi antara masyarakat di wilayah pesisir pantai dengan wilayah pegunungan . Hasil pengelompokan menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah pegunungan memiliki tingkat keterpercayaan jauh lebih baik dibandingkan dengan tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah pesisir pantai dengan nilai masing- masing 75,9 dan 37,1 persen. Relatif tingginya tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah 257 pegunungan sangat terkait dengan pola hubungan individu dalam masyarakat. Pola hubungan atau interaksi individu dalam masyarakat Kerinci yaitu menganut sistem ”kalbu.” Sistem kalbu adalah interaksi sosial/hubungan sosial masyarakat dalam kelompok atau turunan tertentu yang dibingkai dalam sebuah kedepatian dan lembaga adat dengan satu tujuan. Artinya, satu depati dengan depati lain saling kait mengkait dan saling ketergantungan untuk membangun sebuah kelembagaan yang kokoh yang disebut dengan kelembagaan adat. Hasil FGD menunjukkan bahwa keterpercayaan seorang individu yang mapan dan dapat dipercayai di wilayah pegunungan karena mereka merasakan bahwa dirinya adalah milik orang lain dan sebaliknya masyarakat luas adalah bagian dari kepentingan mereka dalam menjalankan interaksi/hubungan sosial. Tercapainya keterpercayaan yang terkait dengan hubungan masyarakat dalam kelompok kalbu dan kedepatian disebabkan oleh adanya komitmen, kejujuran dan tanggung jawab masing- masing anggota untuk kepentingan bersama. Elemen kedua dari karakter adalah solidaritas. Solidaritas yaitu saling mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai. Tinggi rendahnya tingkat solidaritas masyarakat dilihat dari tiga dimensi: ketergantungan satu sama lainnya, saling bantu membantu, dan adanya kepekaan terhadap kemajuan desa. Secara operasional solidaritas masyarakat merupakan frekuensi interaksi antara satu individu dengan individu lainnya yang merujuk pada seberapa jauh individu melakukan kontak-kontak langsung antara satu dengan lainnya. Semakin positif sifat interrelasi diantara anggota kelompok yang berupa solidaritas, atau semangat kemasyarakatan, semakin besar kecenderungannya untuk saling memperhatikan keinginan masing- masing dalam mencari jalan ke arah saling memberi kepuasan dan kerjasama. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat solidaritas masyarakat di daerah penelitian relatif merata antara solidaritas masyarakat yang baik dan kurang baik karena data yang diperoleh diantara kedua tingkat solidaritas tersebut relatif berimbang: 41,5 persen tingkat solidaritas kurang baik dan 58,5 persen tingkat solidaritas tergolong baik. Namun, menurut wilayah penelitian ternyata persentase masyarakat terbesar yang memiliki tingkat 258 solidaritas tergolong baik terdapat di wilayah pegunungan (76,4 persen). Hasil wawancara menunjukkan bahwa tingginya tingkat solidaritas masyarakat di wilayah pegunungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya karena kuatnya kelembagaan adat yang ada di daerah tersebut. Elemen ketiga dari karakter masyarakat adalah semangat kerja. Seorang individu atau kelompok masyarakat dikatakan atau dicirikan sebagai seorang semangat kerja tinggi (tipe pekerja keras) apabila mereka selalu melakukan kegiatan dengan disiplin (ulet, pantang menyerah) dan melakukan pekerjaan dengan segera serta memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keluarga contoh di daerah penelitian yang dapat digolongkan pada kelompok masyarakat dengan tipe bekerja keras hanya 38 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata etos kerja masyarakat di daerah penelitian tergolong rendah. Apabila dilihat berdasarkan wilayah penelitian ternyata masyarakat keluarga contoh yang memiliki etos kerja yang rendah terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 70 persen, sedangkan masyarakat di wilayah pegunungan hanya 52 persen. Kurangnya sifat masyarakat untuk bekerja keras di daerah penelitian terutama di wilayah pesisir pantai terlihat dari kurangnya pemanfaatan waktu kerja, sistem kerja banyak bersifat individual dan kurang kesungguhan dalam menghadapi berbagai pekerjaan terutama pekerjaan produktif terkecuali keluarga contoh yang berada di daerah penelitian tergabung dalam kelompok transmigrasi mereka umumnya relatif lebih produktif dibandingkan dengan masyarakat lain non transmigran. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa setiap anggota rumah tangga di daerah transmigrasi memiliki berbaga i ragam pekerjaan, baik bidang pekerjaan usahatani (pangan dan perkebunan) maupun pekerjaan dibidang jasa sehingga mereka dapat memperoleh penghasilan yang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga. Oleh karena modal sosial bukan merupakan kapital yang dapat mentransformasi langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan maka ia dapat dikatakan produktif atau berperan dalam meningkatkan penghasilan atau kesejahteraan keluarga harus melalui berbagai mekanisme. Sesuai dengan manfaat dan akses dari modal sosial yang diharapkan masyarakat sehingga efek modal sosial yang dapat mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan keluarga 259 yaitu melalui tiga mekanisme, yakni: sharing informasi diantara anggota kelompok, sistem kerja bersama atau gotong royong (collective action) baik untuk kegiatan produktif maupun kegiatan sosial, dan pengambilan keputusan bersama (musyawarah). Hasil temuan ini didukung oleh konsep yang dikembangkan oleh Naraya n dan Pritchett (1999:872-873) bahwa modal sosial dapat mempengaruhi berbagai bentuk keluaran (outcomes) bagi masyarakat melalui lima mekanisme, yakni (1) dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memonitor berbagai kegiatan atau kebijakan pemerintah melalui jaringan sosial (social network); (2) dapat meningkatkan berbaga i bentuk tindakan atau kebijakan bersama dalam memecahkan berbagai persoalan dalam masyarakat; (3) dapat memudahkan berbagai bentuk difusi inovasi melalui peningkatan hubungan antar individu; (4) dapat mengurangi ketidaksempurnaan informasi yang diterima masyarakat, seperti dalam pemanfaatan fasilitas kredit, berbagai bentuk produksi, lahan pertanian, dan lapangan kerja; dan (5) dapat meningkatkan asuransi informal (informal insurance) bagi rumahtangga. Besar kecilnya pengaruh modal sosial terhadap peningkatan penghasilan dan kesejahteraan keluarga sangat ditentukan oleh tipe interaksi sosial yang berkembang atau yang diikuti oleh anggota keluarga. Namun demikian, tipe interaksi ini sangat bergantung dengan jenis dan keragaman asosiasi yang terdapat dimasyarakat. Jenis asosiasi lokal yang terdapat di daerah penelitian cukup heterogen baik yang berakar dari kelompok masyarakat sendiri maupun yang disponsori oleh pemerintah maka tipe interaksi sosial yang berkembang di daerah penelitian menganut trio tipe, yakni: interaksi sosial melalui kekerabatan keluarga( bonding), melalui kolega atau teman ( bridging) dan interaksi sosial melalui lembaga atau institusi formal (lingking). Hasil yang terdapat di daerah penelitian ini sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Woolcock (Thomas dan Heres, 2004), bahwa modal sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi (type of networks). Pertama, modal kekerabatan (bonding capital), yaitu ikatan hubungan yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan (emosional tinggi) yakni: hubungan antar anggota keluarga, teman dekat, dan tetangga. Kedua, modal pergaulan (bridging capital), yaitu tingkat kekerabatan relatif lebih jauh dibandingkan dengan modal kekerabatan, seperti: teman kerja, 260 dan kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking capital), yaitu ikatan hubungan lebih renggang lagi dibandingkang kedua ikatan hubungan diatas. Hubungan kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan hubungan secara formal (formal institutions) baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat luas. Implikasi Penelitian Keterkaitan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Setelah dilakukan uji pengaruh antara variabel laten eksogenus (sosiodemografi, manajemen sumberdaya dan variabel modal sosial) secara bersamasama terhadap variabel laten endogenus kesejahteraan (kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif) ternyata modal sosial tidak menunjukkan tingkat signifikansi terhadap kesejahteraan keluarga. Setelah dilakukan modifikasi model (alternatif-2), laten variabel eksogenus asosiasi lokal dan karakter masyarakat digabung menjadi satu laten variabel yaitu menjadi laten variabel modal sosial diperoleh hasil bahwa laten variabel sosio-demografi berpengaruh positif terhadap kesejahteraan keluarga baik terhadap kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif dengan nilai betha masing- masing adalah 6,55 dan 10,84. Melalui uji model berikut yaitu alternatif model ketiga, laten variabel sosio-demografi dikeluarkan, dan asosiasi lokal dan karakter masyarakat kembali dimasukkan sebagai laten variabel. Hasil analisis menunjukkan bahwa laten variabel eksogenus manajemen sumberdaya keluarga, asosiasi lokal dan laten variabel eksogenus karakter masyarakat tidak menunjukkan signifikansi terhadap laten variabel endogenus tingkat kesejahteraan keluarga (Lampiran 21). Alternatif model lainnya (alternatif-4), laten variabel sosio-demografi masih tetap dikeluarkan, sedangkan laten variabel asosiasi lokal dan karakter masyarakat kembali digabungkan menjadi satu laten variabel dengan nama laten variabel modal sosial. Hasil analisis menunjukkan, hanya laten variabel eksogenus modal sosial yang berpengaruh positif terhadap kesejahteraan keluarga baik terhadap kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif dengan nilai betha masing- masing adalah 3,01 dan 3,18. sedangkan laten variabel 261 manajemen sumberdaya keluarga tidak menunjukkan signifikansi terhadap kesejahteraan keluarga. Melalui pengujian berbagai alternatif model secara komplit ini dapat disimpulkan bahwa laten variabel eksogenus modal sosial tidak dapat menunjukkan tingkat signifikansinya terhadap kesejahteraan keluarga baik terhadap kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif pada saat pengujian model secara bersama-sama. Hal ini diduga bahwa laten variabel modal sosial tidak bisa digabungkan secara bersamaan dengan laten variabel eksogenus lainnya dalam melihat keterkaitannya terhadap kesejahteraan kerluarga karena variabel modal sosial tidak berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga. Namun secara terpisah, laten variabel modal sosial menunjukkan signifikansi yang cukup kuat terhadap kesejahteraan keluarga. Model Pemberdayaan Masyarakat di Daerah Perdesaan Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Menurut McArdle (Hikmat, 2001:2) pemberdayaan adalah sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekue n melaksanakan keputusan tersebut dan dapat bekerja secara mandiri. Implikasinya, seperti yang dicontohkan oleh Schumacker dalam pemberdayaan masyarakat miskin (Thomas: Hikmat, 2001:2). Pemberdayaan masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur sosial yang tidak berpengaruh negatif terhadap kekuasaan (powerful). Dengan kata lain, kelompok miskin dapat diberdayakan melalui ilmu pengetahuan dan kemandirian sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan. Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal sosial diartikan sebagai proses pembelajaran orang dewasa yang berkesinambungan dan ditujukan untuk memberikan kekuatan baik kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan sosial maupun kekuatan pengetahuan spritual. Pemberdayaan ini dilakukan secara sinergis antara pihak luar (pemerintah, 262 lembaga non pemerintah, maupun stakeholder) dengan tokoh masyarakat dan peserta atau aktor yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan dengan pola individu dan kelompok. Kegiatan pemberdayaan dilakukan dua tahap, tahap pertama adalah pembekalan kognitif (pengetahuan: ekonomi, sosial maupun spritual), dan tahap kedua adalah pembekalan dalam bentuk action atau disebut dengan istilah intervensi secara ekonomi. Model pemberdayaan bagi masyarakat perdesaan di daerah penelitian menggunakan pendekatan input-proses-output dan outcome yang di dasarkan pada model teoritis yang telah teruji dan dikonfirmasikan melalui model persamaan struktural (SEM). Sebetulnya, model pemberdayaan ini merupakan upaya meningkatkan keberadaan masyarakat perdesaan melalui proses pembelajaran yang menggunakan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa yang dilaksanakan secara berkesinambungan oleh fasilitator yang dapat mendukung dan memberikan andil dalam pembangunan masyarakat. Berdasarkan model persamaan struktural (SEM), maka dirumuskan model pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal sosial dengan harapan menghasilkan masyarakat madani (civil society). Hasil temuan ini didukung oleh hasil penelitian Lawang (2004:215) pada Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) se Indonesia bahwa pemberdayaan masyarakat lebih mudah dilakukan melalui modal sosial terutama pada komunitas sosial yang memiliki tradisi kebersamaan yang cukup lama dan memiliki struktur sosial yang muncul dari kehidupan mereka sehari- hari. Kasus di wilayah pesisir pantai, dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi maka model atau strategi pemberdayaan dimulai dari cara mengatasi berbagai barrier (rintangan) budaya (cultural) yang melekat selama ini yaitu budaya pasrah dan kurang memanfaatkan waktu. Sebagai contoh, mereka sebagai nelayan harus menghadapi berbagai musim. Menurut pengakuan nelayan, ada tiga musim melaut, yakni: (1) musim penimur (musim makmur atau musim panen) terjadi lebih kurang tiga bulan yaitu antara bulan April-Juni, (2) musim normal terjadi lebih kurang lima bulan yaitu antara bulan Juli-November, dan (3) musim pacak kelik atau sering disebut dengan istilah musim pacak gadai terjadi lebih 263 kurang empat bulan yaitu antara bulan Desember–Maret. Selama musim pacak gadai ini, menurut hasil Focus Group Discussion (FGD) pada kelompok nelayan dan indepth interview, diperoleh informasi bahwa selama musim pacak kelik mereka hanya tinggal di rumah dan sesuai dengan istilah yaitu musim pacak gadai maka musim ini para nelayan membelanjakan semua penghasilan yang diperoleh sebelumnya dan tidak ada upaya untuk mencari pekerjaan alternatif. Berdasarkan hal tersebut dan sesuai dengan teori yang ada serta hasil penelitian lainnya maka model strategi pemberdayaan masyarakat pesisir pantai atau khususnya nelayan adalah memberdayakan mereka dalam mengikis barrier cultural pasrah dengan mencari alternatif pekerjaan yaitu dalam bentuk mixed-farming melalui modal sosial kelompok kerja bersama baik berasal dari kelompok kesukuan maupun kelompok kerja nelayan. Adapun usaha untuk kelompok kerja bersama sebagai pekerjaan sampingan yaitu usaha perkebunan kelapa dalam, dagang, jasa angkutan dan lain sebagainya yang sesuai dengan pola usahatani yang berkembang di wilayah sekitar pesisir pantai. Hal lain yang perlu diberdayakan masyarakat nelayan yaitu menggalang silaturrahmi diantara kelompok kesukuan. Menurut Hardinsyah (2007:84), melalui silaturahmi dapat membangun interaksi dan hubungan sosial yang kuat, untuk: (1) menumbuhkan rasa saling simpati, saling pengertian, saling menghargai dan kasih sayang, (2) mempermudah akses terhadap berbagai informasi termasuk informasi kesempatan kerja dan kesempatan usaha, (3) menumbuhkan nilai-nilai yang disepekati bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah bersama dan bahkan tak jarang menghasilkan kelembagaan usaha bersama, dan (4) membangun kembali ingataningatan yang telah ada yang dikonteksikan dalam kepentingan sosial dan ekonomi bagi kehidupan individu yang bersilaturarahmi maupun masyarakat secara luas. 264 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1) Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga dengan menggunakan pengeluaran adalah sebesar Rp.10.541.000,- per tahun dengan distribusi pengeluaran pada kelompok keluarga sejahtera mencapai 79,4 persen. Alokasi untuk kebutuhan pangan 48,9 persen, non-pangan (sandang, energi, komunikasi, sosial dan lainnya) sebesar 33 persen, dan sebesar 18,1 persen adalah pengeluaran untuk kebutuhan investasi sumberdaya manusia. Dengan menggunakan kriteria Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata keluarga contoh di daerah penelitian tergolong sejahtera karena rata-rata pengeluaran lebih besar dari rata-rata standar kebutuhan minimum dan alokasi pengeluaran kebutuhan pangan lebih rendah dari keluarga miskin. Kesejahteraan Ekonomi Subjektif keluarga (subjective economic well-being) di daerah penelitian adalah tergolong relatif baik. Hal ini ditandai dengan tingginya persentase (60,3 %) keluarga contoh yang merasa puas dalam pemenuhan keperluan mereka sehari- hari, baik kebutuhan pangan, non pangan maupun kebutuhan investasi sumberdaya manusia. Persentase keluarga dengan kesejahteraan yang memuaskan terbesar terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 68,4 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai yang merasa puas dalam pemenuhan kebutuhan mereka sehari- hari hanya sekitar 51 persen. Distribusi tingkat kesejahteraan keluarga (kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi subjektif) di daerah penelitian relatif merata namun tingkat kesejahteraan keluarga contoh di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan keluarga contoh di wilayah pesisir pantai. (2) Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga secara positif dipengaruhi oleh faktor manajemen sumberdaya keluarga, dan faktor modal sosial terutama faktor manajemen keuangan keluarga, tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi bagi keluarga, dan faktor keterpercayaan masyarakat. Artinya, semakin baiknya faktor manajemen keuangan keluarga, besarnya tingkat partisipasi keluarga dalam 241 asosiasi lokal, besarnya manfaat asosiasi 265 lokal bagi keluarga, dan tingginya keterpercayaan masyarakat maka tingkat kesejahteraan ekonomi objektif semakin baik. (3) Modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga terutama di wilayah pegunungan. Hal ini membuktikan hipotesis yang dibangun sebelumnya yaitu asosiasi lokal dan karakter masyarakat secara kausalitas dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial yang dimiliki oleh keluarga maka tingkat kesejahteraan mereka semakin baik. Modal sosial berperan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga baik dilihat dari aspek peningkatan kesejahteraan dalam penyediaan akan produksi pangan, non pangan maupun aspek investasi sumberdaya manusia melalui jaringan kelompok sosial dan kelompok ekonomi. Besarnya peran modal sosial ini dilihat dari tingk at keterlibatan anggota keluarga dalam kelompok produktif, sosial dan kelompok lainnya yang berkembang di masyarakat, misalnya: kelompok KP3A, KUT, ”handel” dan ”kelompok adat.” Kontribusi modal sosial terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga melalui tiga aspek, yakni: (1) aspek dimensi (asosiasi lokal: jumlah asosiasi yang diikuti, tingkat partisipasi, dan manfaat asosiasi, sedangkan dimensi karakter masyarakat terdiri dari: keterpercayaan, solidaritas, dan semangat kerja; (2) aspek mekanisme, melalui: jaringan informasi diantara anggota kelompok, sistem kerja bersama atau gotong royong (collective action) baik untuk kegiatan produktif maupun kegiatan sosial, dan mekanisme melalui pengambilan keputusan bersama (musyawarah); dan (3) aspek tipe jaringan (bonding, bridging dan linking). (4) Model pemberdayaan keluarga di wilayah perdesaan adalah berbasis modal sosial. Pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal sosial diartikan sebagai proses pembelajaran orang dewasa yang berkesinambungan dan ditujukan untuk memberikan kekuatan baik kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial maupun kekuatan spritual. Proses pemberdayaan dimulai dari memahami dan mempelajari berbagai input, proses pemberdayaan, output, dan outcome. Faktor input adalah: struktur sosial masyarakat, karakter 266 individu, dan status sosial ekonomi masyarakat. Proses pemberdayaan tentang: sistem kerja kelompok, pendidikan dan pelatihan, azas demokrasi, dan pemberdayaan tentang interaksi sosial di masyarakat. Output yang diharapkan adalah: lapangan pekerjaan, sumberdaya ekonomi, jaringan kerja, produktivitas kerja, ilmu pengetahuan, keterpercayaan masyarakat, kepaduan sosial, transaction cost, dan kepuasan dalam mengontrol diri. Outcome dari proses pemberdayaan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga (kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif). Saran (4) Oleh karena kesejahteraan individu tidak sama dan tidak dapat disamakan maka kedepan, kebijakan pemerintah menetapkan tolok ukur kesejahteraan keluarga tidak terbatas pada tolok ukur kesejahteraan objektif yang mengukur kesejahteraan dari nilai pendekatan baku tetapi sudah harus melihat kepada kebutuhan masyarakat dengan pendekatan kepuasan (subjective economic well-being). (5) Faktor manajemen sumberdaya sangat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga (kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi subjektif) maka penelitian yang berkaitan dengan sistem keluarga struktural- fungsional harus memperhatikan variabel manajemen sumberdaya sebagai confounding factor. (6) Asosiasi lokal yang telah terbentuk di masyarakat perdesaan terutama asosiasi lokal yang berakar dari masyarakat perlu dipertahankan dan dikembangkan sebagai sarana berbagai kegiatan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. (7) Perlu penelitian lebih mendalam mengkaji dinamika asosiasi lokal masyarakat perdesaan dalam berbagai dimensi, mekanisme dan tipe jaringan yang berkembang dimasyarakat. (8) Dalam mengambil kebijakan peningkatan kesejahteraan keluarga di daerah perdesaan perlu mempertimbangkan indikator ”modal sosial” sebagai variabel penentu kesejahteraan. 267 (9) Penguatan modal sosial sangat tepat dalam pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan tujuan mencapai masyarakat madani (civil society). 268 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2000. Measuring Social Capital: Current Collections and Future Directions. Discussion Paper. Australia: Australian Bureau of Statistics. _______. 2002. Data Statistik Provinsi Jambi. Jambi: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi. _______. 2003a. Statistik Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat. Jakarta. _______. 2003b. Millenium Development Goals (MDGs): In Asia and the Facific. Meeting the Chalenger of Poverty Reduction. New York: United Nations. _______. 2004a. Survai Sosial Ekonomi Nasioanal (SUSENAS). Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat. _______. 2004b. The Economic of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. Indonesia Human Development Report 2004. Jakarta: Kerjasama BPS, BAPPENAS dengan UNDP. _______. 2005a. Jalan Menuju Pemulihan: Memperbaiki Iklim Investasi di Indonesia. Economics and Research Department. Development Indicators and Policy Research Division. Asian Development Bank (ADB). ________. 2005b. Data Statistik Provinsi Jambi. Jambi: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi. ________. 2006a. Statistik Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat. Jakarta. ________. 2006b. Human Development Report 2006. Beyond scarcity: power, poverty, and the global water crisis. New York: United Nations Development Programme (UNDP). Arbia Giuseppe, Laura de Dominics, dan Gianfranco Piras. 2005. The Relationship between Regional Growth and Regional Inequality in EU and Transition Countries: a Spatial Econometric Approach. In preparation for the Workshop of Spatial Econometrics, Kiel, April 8-9, 2005. Amsterdam: Departemen of Spatial Economics, Free University, De Boelelaan 1105, 1081HV, Netherlands. E-mail: [email protected] 245 269 Asngari, Pang S. 1984. “Persepsi Direktur Penyuluhan Tingkat Kresidenan dan Kepala Penyuluh Pertanian terhadap Peranan dan Fungsi Lembaga Penyuluhan Pertanian di Negara Bagian Texas Amerika Serikat.” Media Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor: Volume 9 Nomor 2. Baker Kristine R, Ofstedal Mary Beth, Zimmer Zachary, Tang Zhe, dan Chuang Yi-Li. 2005. Reciprocal Effects of Health and Economic well-being among Older Adults in Taiwan and Beijing. Working Paper No. 197. New York: Policy Research Division. Population Council. Inc. ISSN: 15548538. [Balitbangda Provinsi Jambi] Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi. 2003. “Evaluasi Kebutuhan Penempatan Transmigrasi di Provinsi Jambi.” Jambi: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Jambi. Baliwati, Y.F., A. Khomsan, dan C.M. Dwiriani. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Bandiera Oriana, dan Imran Rasul. 2006. “Social Networks and Technology Adoption in Northern Mozambique.” The Economic Journal, 116 (October) 869-902. America: Blacwell Publising, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA. Barth, F. 1969. Ecologic Relations of Ethnic Groups in Swat North Pakistan, Theori in Athropology, a Sources Book. Chicago: Aldine Publishing Company. Becker, 1995. An Economic Analysis of Fertility. Dalam The Essence of B.E.C.K.E.R. Ramon Febrero dan Pedro S. Schwartz. Hoover Institution Press. California: Stanford University, Stanford. Beckett, Megan, dan Pebley Anne R. 2002. Ethnicity, Language, and Economic Well-being in Rural Guatemala. Working Paper Series 02-05. DRU-2845NICHD. RAND. Labor and Population Program. Bollen, K.A. 1989. Stuctural Equation with Latent Variable. New York: John Wiley & Sons, Inc. Bollen, Kenneth A., L, Jennifer, dan G, Stecklov. 2002. Socioeconomic Status, Permanent Income, and Fertility: A Latent Variable Approach. Carolina Population Center University of North Carolina at Chapel Hill 123 W, Franklin Street Chapel Hill, NC 27516. Budiarti T, 2004. “Keadilan dalam Konteks Dominasi Sosial dan Kepercayaan. ” Disertasi. Jakarta: Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 270 Bukenya, J.O., dan T.G, Gebremedhin. 2002. “An Emperical Analysis of Family Income Distribution in the United States.” Research Paper. Departement of Agricultural an Resource Economics, West Virginia University, 26506. Bullen P, Guide, dan J, Onyx. 1998. Social Capital Questionaire. Measuring Social Capital in Five Comminities in NSW. Carbonell Ada Ferre-I, Gerxhani Klarita. 2005. Subjective Well-being and (In)Formal Sector in a Transition Country. Netherland: Amsterdam Institute for Advanced Labour Studies and Faculty of Economics and Econometrics, University of Amsterdam. Coleman, James. 1998. Social Capital in the Creation of Human Capital. http://poverty.worldbank.org/library/subtopic/5038/ Collier, Paul. 1998. Social Capital and Poverty. Working paper No.4. Social Capital Initiative. The World Bank. Washington: Social Development Departement. DC 20433, USA. Dasgupta F, dan I, Serageldin. 2000. Social Capital: A Multifaceted Perspective. The World Bank. Washington: D.C. ISBN 0-8213-4562-1 [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jambi. 1985. “Data Penduduk Provinsi Jambi.” Jambi: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Provinsi Jambi. Djalil, Sofyan dan Ratna Megawangi. 2003. Iklim Globalisasi dan Peran Agama dalam Mempersiapkan Masyarakat Indonesia Sejahtera. DarusalamBanda Aceh: Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry. Durkin, John. 2000. Measuring Social Capital and Its Economic Impact. Chicago: Horis Graduate School of Public Policy Studies University of Chicago. Edwards, RW. 2004. Measuring Social Capital: An Australian Framework and Indicators. Australia: Australian Bureau of Statistics. ISBN 0 642 47937 2. England, Paula, dan Nancy. 1997. Reconceptualizing Human Capital. Canada: Paper, Presented at the annual meeting of the American Sociological Association, Toronto, August, 1997. Faturrochman, dan Molo, Marcelinius. 1995. Kemiskinan dan Kependudukan di Pedesaan Jawa: Analisis Data Susenas 2. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. 271 Flores, Margarita, dan Fernando. 2003. Social Capital and Poverty Lessons from Case Studies in Mexico and Central America. ESA Working Paper No. 03-12. Vol 25, Number 1. Agricultural and Development Economics Division, The Food and Agricultural Organization of the United Nations. Folbre, Nancy. 2002. The revolt of the magig pudding: sharing care in Australia. http://www.onlineopinion.comau/2002/Apr02/Folbre.htm. Freund, Anat, dan Abraham, Carneli. 2004. “The Relationship between Work Commitment and Organizational Citizenship Behavior among Lawyers in The Private Sector.” The Journal of Behavioral and Applied Management. Vol. 5, No.2, p:93-113, winter 2004. Fukuyama, Francis. 2000. The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order. A Touchstone Book; Published by Simon & Schuster. New York, London, Toronto, Sydney, Singapore. Garna, J. K. 1992. Beberapa Dasar Ilmu-Ilmu Sosial. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran Bandung. _______. 1996. “Ilmu- ilmu Sosial: Dasar-Konsep-Posisi.” Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pandjajaran. Gradstein, Mark. 2007. “Inequality, Demogracy and the Protection of Property Rights.” The Economic Journal, 117 (January) 252-269. America: Blacwell Publising, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA. Gregorio, Dant Di. 2004. “Human Capital, Social Capital, and Executive Compensation: How does the Slice of pie Executive Appropriate Compare to what they bring to the table?” Grootaert, Christian. 1999. Social Capital, Household Well-being and Poverty in Indonesia. Working Paper No. 6. Washington: The World Bank, Social Development Departement. DC 20433, USA. _______, Narayan Deepa, Veronica Nyhan Jones, dan Michael, Woolcock. 2004. Measuring Social Capital: An Integrated Questionaire. Washington: The Wold Bank. Guhardja, Suprihatin, Hidayat Syarief, Hartoyo, dan Herien Puspitawati. 1993. Pengembangan Sumberdaya Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Haddad, Lawrence, dan John Maluccio. 2000. Social Capital and Household Well-being in South Africa: Patways of Influnce. Prepered for presentation at the Study of African Economies. Washington: International Food policy Research Institute. DC 20006 USA. 272 Hardinsyah dan Suhardjo. 1987. Ekonomi Gizi. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah, 2007. “Inovasi Gizi dan Pengembangan Modal Sosial.” Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB, Bogor. Hastuti, Dwi. 2006. “Analisis Pengaruh Model Pendidikan Prasekolah pada Pembentukan Anak Sehat, Cerdas dan Berkarakter Secara Berkelanjutan.” Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hayo, Bernd, dan Seifert, Wolfgang. 2003. “Subjective Economic Well-being in Eastern Europe.” Journal of Economic Psychology 24 (2003) 329-384. Herath, Dhammika. 2003. Social Capital and Poverty: An analysis of the Efficacy of the Social Capital Approach to Understand a Culture of Poverty Sitution. Sweden: Guthenburg University, Departement of Peace and Development Research. Hikmat, Hary. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press Bandung. Hinks, Thimothy, dan Greueu Carola. 2005. What is the Structure of South African Happiness Equations? Evidence from Quality of Life Surveys. Nairobi: 10th African Econometrics Conference, July 2-4 th 2005. Hobbs, Graham. 2000. What is Social Capital? A Brief Literature Overview. Economic and Social Research Foundation. Hoff, Bart, Ridder, dan Eline, Aukema. 2003. The Eagerness to Share: Knowledge Sharing, Ict and Social Capital. Amsterdam: University Amsterdam and Amsterdam School of Communication Research, Klovenier sburgwal 48, 1012 CX. Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Joreskog, G. Karl, Sorbom Dag, Stephen Du Toit, dan Mathilda, doToit. 1999. LISREL 8, New Statistical Features. Chicago: SSI (Scientific Software International) Inc. Juhl Hans Jorn, Poulsen Carsten Stig, Kristensen Kai, Bech Anne C, dan Englund Erling. 1995. Structuring latent consumer needs using LISREL. MAPP working paper no 27. ISSN-0907-2101. 273 Karlan, Dean S. 2004. Using Experimental Economics to Measure Social Capital and Predict Finantial Decisions. Departement of Economics Princeton University. Kiiskinen, Urpo. 2002. A Health Production Approach to the Economic Analysis of Health Promotion. Academic Dissertation For the Degree of Doctor of Philosophy. New York: Departement of Economics and Related Studies University of New York, United Kingkom, USA. Koentjaraningrat. 1984. Penduduk Indonesia. Masalah-Masalah Pembangunan. Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES. Bagian II. Jakarta. Knight John, dan Linda Yueh. 2002. The Role of Social Capital in the Labour Market in China. America: Departemen of Economics university of Oxford. Lawang, Rober, M.Z. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Jakarta: FISIP UI PRESS. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Mangkuprawira, Syafri. 2002. “Analisis Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga di Daerah Industri Tenun Pedesaan.” Media Gizi & Keluarga. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat & Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian-Institut Pertanian Bogor. Vol 25/2-2002. ISSN 0216-9363. Mantra, Ida Bagus. 2000. Dasar-dasar Demografi. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Matsueda, Hao. 2000. Family Dinamycs Through Childhood: A Sibling Model of Behavior. http://citeseer.ist.ist.psu.edu/contex/1080021/0 Mayer, Margit, dan Katherine Rankin. 2002. Social Capital and (Community) Development: A North/South Perspective. http://poverty.worldbank.org/library/view/14443 Megawangi, Ratna. 1993. “Keluarga Sebagai Wahana Pembangunan Bangsa: Tinjauan Antara Harapan dan Kendala.” Published Essays / Articles on Character Building Issues Jilid 2. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation. _______. 1994. “Globalisasi dan Kestabilan Masyarakat.” Published Essays / Articles on Character Building Issues Jilid 1. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation. _______. 2001. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Mizan Pustaka. Bandung: Kronik Indonesia Baru. 274 _______. 2003. Perspektif Holistik dalam Program peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia. Paper. Midden Cees JH, Florian G. Kaiser, dan L. Teddy McCalley. 2007. Technology’s Four Roles in Understanding Individuals’ Conservation of Natural Resources. Journal of Social Issue, Vol. 63, No. 1, 2007, pp:155-174. Netherlands: Eindhoven University of Technology, Departemen of Human-Technology Interaction. E- mail: [email protected] Mignone, Javier. 2003. Measuring Social Capital: A Guide for First Nations Communities. Canada: Canadian Population Health Initiative (CPHI), Canadian Institute for Health Information (CIHI), Centre for Aboriginal Health Research, and University of Manitoba. Ottawa. ISBN: 1-55392343-X. Miller, Taya. 2002. “Associations between Marital Quality and Parenting: Does Marital Quality Affect the Degree to which Parents Encourage Autonomy in their Childreen?.” The Berkeley McNair Research Journal. (p:153-172). Milligan Sue, Fabian Angela, Coope Pat, dan Errington Chris. 2006. Family Wellbeing Indicators from the 1981-2001 New Zealand Cencuses. New Zealand: Published in June 2006 by Statistics New Zealand in Conjunction with The University of Auckland and University of Otago. 2006, ISBN 0-478-26982-X. Morris, dan Leiser. 1979. The PQLI: Measuring Progress in Meeting Basics Needs. New York: Communique, No. 32. USA. Morse, Jennifer Roback. 2001. An Interview with Jennifer Roback Morse. http://www.alf.org/alfnews/alf80.shtml. Mubyarto. 1992. Menanggulangi Kemiskinan. Yogyakarta: Aditya Media. Myers, RH. 1990. Classical and Modern Regression with Applications. Boston: Second Edition. PWS-KENT Publishing Company. Narayan, Deepa, dan Lant Pritchett. 1999. Cents and Sociability: Household Income and Social Capital in Rural Tanzania. Tanzania: Economic Development and Cultural Change, Vol. 47, No. 4 (Jul., 1999), 871-897. Narayan, Deepa, dan Michael F. Cassidy. 2001. A Dimensional Approach to Measuring Social Capital: Development and Validation of a Social Capital Inventory. Vol. 49(2): 59-102 SAGE Publication, London, Thousand Oaks, CA and New Delhi. 275 [National Economic and Social Forum]. 2003. The Policy Implications of Social Capital. Forum Report No. 28. ISBN-1-899276-32-7. Nielsen Ingrid, Nyland Chris, Smyth Russell, dan Zhu Cherrie Jiuhua. 2004. Perception of Subjective Economic Well-being and Support for Market Reform among China’s Urban Population. Australia: Department of Economics Monash University. Pakpahan, Agus. 1996. “Penaggulangan Kemiskinan: Prinsip Dasar, Metodologi dan Upaya Penanggulangannya”. Dalam Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Diedit oleh Sajogyo. Grasindo. Parsley, T.J. 2001. Basic Examination of the Correlation between Crime Rates and Income Inequality. Research Paper. Regional Research Institute, West Virginia University, Morgantown, WV 26506-6825. Peck Frank, Goodwin Vicki. 2003. Economic Well-being of Communities and Regional Economic Development: Poles Apart?. Research Paper SeriesNo. 7 January, 2003. Centre Regional Economic Development. Northumbria University. Pope, Jeanette. 2003. Social Capital and Social Capital Indicators: A Reading List. Working Paper Series No. 1. Australia: Public Health Information Development Unit. National Library of Australia. Productivity Commission. 2003. Social Capital: Reviewing the Concept and its Policy Implication. Commission Reseacrh Paper. Canberra: ISBN 1 74037 132 2, AusInfo. Puspitawati, Herien, 2006. “Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Bogor.” Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Reimer, Bill. 2004. Measuring Social Capital at the Community Level. Canada: Social Sciences Humanities Research Council of Canada. [email protected] Robert A. Hinde, dan Joan Stevenson-Hinde. 1988. Relationships within Families: mutual influences. America: Clarendon Press-oxpord, USA. Robinson, Brooks B. 2002. Income Inequality and Ethnicity: An International View. Washington: Second Inequality and Pro-Poor Growth Spring Conference the World Bank, Washington DC, June, 9-10, 2002. 276 Ruwiyanto, Wahyudi. 1988. “Pengaruh Faktor- faktor Dinamika Organisasi Lembaga Pendidikan Karya terhadap Manfaat Sosioekonomi Warga Belajar.” Disertasi. Bogor: Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sajogyo. 1984. Bunga Rampai Perekonomi Desa. Bogor: Kerjasama Yayasan Obor Indonesia dan Institut Pertanian Bogor. _______. 1996. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Menyambut Ulang Tahun ke-70 Prof. Sajogyo. Yogyakarta: Yayasan Agro Ekonomika Sandefur, Gary, Ann Meter dan Pedro Hernandez. 1999. Families, Social Capital and Educational Continuation. Center for Demography and Ecology, University of Wisconsin-Madison. CDE Working Paper No. 99-19. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka. Sharma, M dan M, Zeller. 1997. “Repayment Performance in group-based Credit Programs in Bangladesh: An Empirical Analysis. World Development 25 (10), pp: 1731-1742. Sharpe, Andrew. 2004. Literature Review of Frameworks for Macro-Indicators. CSLS Research Report 2004-03. Canada: Centre for the Study of Living Standards (CSLS). Ottawa. Siagian, H. 1996. Manajemen Suatu Pengantar. Bandung: Alumni. Siegel, Sidney. 1998. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia. Soekanto, Soerjono. 1984. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Ghalia. _______. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Ra ja Grafindo Persada. Strauss, John, Kathleen Beegle, Agus Dwiyanto, Yulia Herawati, Daan Pattinasarany, Elan Satriawan, Bondan Sikoki, Sukamdi, dan Firman Witoelar, 2004. Indonesian Living Standards: Before and After the Financial Crisis. RAND Corporation, Santa Monica, USA, and Institute of Southeast-Asian Studies, Singapure. Stone, Wendy. 2001. Measuring Social Capital. Australia: Australian Institute of Family Studies, Research Working Paper No. 21. Stone, Wendy dan Jody Hughes. 2002. Social Capital: Emperical Meaning and Measurement Validity. Australia: Australian Institute of Family Studies, Working Paper No. 27. ISSN 1446-9863. 277 Stone, Wendy Matthew Gray dan Jody Hughes. 2003. Social Capital at Work: How Family, friends and civic ties relate to labour market outcomes. Australia: Australian Institute of Family Studies, Working Paper No. 31. Suandi. 1998. “Studi Kemiskinan di Daerah Perdesaan Kabupaten Tanjung Jabung Provinsi Jambi. ” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian Universitas Jambi. ______. 2000. “Studi Kemiskinan di Daerah Perdesaan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi.” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian Universitas Jambi. ______. 2002. “Kondisi Sosio-Demografi dan Kemiskinan di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi.” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian Universitas Jambi. Suandi, dan Bambang. 2003. Profil Statistik dan Indikator Gender di Propinsi Jambi. Jakarta: Kerjasama Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Suandi, dan Ernawati. 2005. “Analisis Kebijaksanaan Pendidikan Provinsi Jambi Berbasis Gender.” Laporan Penelitian. Jambi: Kerjasama Dirjen Dikti dengan Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Jambi. Sudarsky, John. 1998. Barometer of Social Capital. http://poverty.worldbank.org/library/view/14443 _______. 2004. “Democracy in Latin America: Crisis or Demands of New Citizens? Reflections from the Wave of Democracy, the Accumulation of Social Capital and Bogota’s Practice of Participatory Planning.” To be presented in the meeting of the Wold Value survey Association. Budapest: Panel, The Crisis of Democracy in Latin America, September 2004. Sugiyanto. 1996. “Persepsi Masyarakat tentang Penyuluhan Pembangunan dalam Pembangunan Masyarakat Perdesaan.” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sukartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia. Sumarti, Titik MC. 1999. “Persepsi Kesejahteraan dan Tindakan Kolektif Orang Jawa dalam kaitannya dengan gerakan Masyarakat dalam Pembangunan Keluarga Sejahtera di Pedesaan.” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 278 Sumarwan, Ujang, dan Hira, Tahira. 1993. “The Effects of Percieved Locus of Control and Percieved Incomes Adequacy on Satisfaction with Financial Status of Rural Households”. In Journal of Family Economic Issues. Vol. 14(4), Winter 1993. pp:343-64. Sumarwan, Ujang. 2003. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Suratiyah, K., Djuwari, Supriyanto, dan Lestari Rahayu. 2003. Studi Analisa Usahatani untuk Tujuh Komoditas di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Yogyakarta: Kerjasama Bappeda bantul Yogyakarta dengan Fakultas Pertanian UGM. Susman-Stillman, A.R, Appleyard Karen, dan Siebenbruner Jessica. 2003. “For Better or For Worse: An Ecological Perspective on Parents’ Relationships and Parent-Infant Interaction.” Zero to Three Article. (p:4-12). Tau, L.M. 2003. Investing in Social Capital to Stimulate Economic Growth and Grade in Africa. paper presennted in the Biennial Conference of the Economic Society of South Africa, 17-19 September 2003. Somerset west, Western Cape. Thomas Frank, dan Jeroen Heres. 2004. Social Capital Communicating. Socquit and results from EURESCOM’S P903 study. E-Living Results Conferences RWI essen, 20-21 January, 2004. Thomas J. Socha, dan Glen H. Stamp. 1995. Parent, Children, & Communication Frontiers of Theory & Research. Lawrence Erlbaum Associates, USA. Todaro, M. P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta : Erlangga. Tukiran. 1993. "Penentuan Desa Miskin: Analisis Potensi Desa 1990." Populasi, Yogyakarta: 1(4) : 13-23. Tuomi, Ikka. 2004. Social Capital Setting the Scene. European Commission, Joint Research Centre. UNESCO. 2002. Social Capital and Poverty Reduction: Which Role for the Civil Society Organizations and the state?. UNESCO. Winter, Ian. 2000. Towards a theorised understanding of family life and Social Capital. Working Paper No. 21. ISSN 1440-4761. Australia: Australian Institute of Family Studies. Woolcock, Michael. 2001. Social Capital in Theory and Practice: Reducing poverty by Building Partnership between States, Market and Civil Societ y. [email protected] 279 LAMPIRAN 280 281