ISSN: 2579-3985 “Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat” LPPM STIKes PERINTIS PADANG TAHUN 2017 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ PROSIDING SEMINAR KEPERAWATAN BY NERS FOR NERS “Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat” REVIEWER : Yendrizal Jafri, S.Kp, M.Biomed Ns. Yaslina, M.Kep, Sp. Kom Isna Ovari, S.Kp, M.Kep Dewi Yudiana Shinta, M.Si, Apt Editor : Fitra Wahyuni, M.Si Diterbitkan Oleh : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIKes Perintis Padang Alamat Penerbit : Jl. Adinegoro Simpang Kalumpang Lubuk Buaya Padang, Sumatera Barat – Indonesia Telp. (+62751) 481992, Fax. (+62751) 481962 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Copyright@2017 ISSN : 2579-3985 LPPM STIKes Perintis Padang i Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita senantiasa dalam keadaan sehat wal’afiat untuk dapat melaksanakan aktifitas yang menjadi tanggung jawab kita. Shalawat dan salam kita sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan kepada zaman yang terang akan penuh ilmu pengetahuan, semoga kita menjadi pengikutnya yang mendapat syafaat pada akhir zaman, Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Pada kesempatan ini izinkan kami Panitia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya kegiatan ini serta kepercayaan yang diberikan kepada kami untuk menyajikan materi Seminar Keperawatan by Ners For Ners: “Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat” yang diselenggarakan di Aula Kampus II STIKes Perintis Padang yang berada di Kota Bukittinggi pada Tanggal 25 Maret 2017. Prosiding ini berisi full paper yang disajikan pada acara tersebut. Akhir kata kami Panitia berharap agar kumpulan paper ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia kesehatan dimasa yang akan datang, atas segala kekurangan kami mohon maaf. Wassalam, Bukittinggi, 25 Maret 2017 TTD PANITIA LPPM STIKes Perintis Padang ii Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ DAFTAR ISI MAKALAH KEPERAWATAN Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Pengontrolan Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Oleh : Ernalinda Rosya, Feri Randani (Prodi PSIK STIKes Perintis Padang) ............... 1 Hubungan Derajat Dimensia Dengan Status Personal Hygiene Pada Lansia Oleh : Yaslina, Isra Aini, Falerisiska Yunere (Prodi PSIK STIKes Perintis Padang) ..... 12 Komunikasi dalam Keluarga dengan Perkembangan Bahasa Pada Anak Usia 5-6 Tahun Oleh : Yendrizal Jafri, Sandria Oktafiana (Prodi PSIK STIKes Perintis Padang) .......... 19 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Abortus di RSUD Adnaan WD Payakumbuh Oleh : Hidayati, Dina Destri Putri (Prodi Profesi Ners STIKes Perintis Padang) ..... 24 Hubungan Stroke Berulang Dengan Kemampuan Fungsional Pada Pasien Stroke Di Poliklinik Neurologi RSSN Oleh : Lisa Mustika Sari (Prodi Sarjana Ilmu Keperawatan (PSIK) STIKes Perintis Padang) ....................................................................................................................... 32 Reaksi Cemas Klien Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Berhubungan Dengan Informasi Dan Motivasi Perawat Ruangan Hemodialisa Oleh : Isna Ovari (Prodi Profesi Ners STIKes Perintis Padang) .............................. 38 Hubungan Kemampuan Kognitif Dengan Succesful Aging Dalam Pemeliharaan Kesehatan Pada Lansia DiWilayah Kerja Puskesmas Lasi Kabupaten Agam Tahun 2016 Oleh : Yuli Permata Sari, Rahmi Yusra dan Jendrizal Jafri (STIKes Perintis Padang) .......................................................................................................................................... 46 Supervisi Kepala Ruang Dengan Kepatuhan Perawat Pelaksana Cuci Tangan Lima Momen di RSUD Padang Pariaman Oleh : Endra Amalia, Fauzia Amana Fitra, Hidayati (Prodi Sarjana Ilmu Keperawatan (PSIK) STIKes Perintis Padang) ................................................................................ 51 Hubungan Stress dan Pemenuhan Kebutuhan Tidur Dengan Keseimbangan Tubuh pada Pasien Vertigo di Poli Neurologi RSUD Bukittinggi Oleh : Dia Resti Nanda Demur (Prodi PSIK STIKes Perintis Padang) ........................... 57 Hubungan Kecerdasan Emosional Dan Spiritual Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Klien Gagal Ginjal Kronik Di poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr Achmad Muchtar Bukittinggi Oleh : Ida Suryati (Prodi PSIK STIKes Perintis Padang)................................................ 65 LPPM STIKes Perintis Padang iii Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Hubungan Pelaksanaan Orientasi Pasien Baru Dengan Kepuasan Pasien di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Dr Achmad Muchtar Bukittinggi Tahun 2016 Oleh : Vera Sesrianty, Diky Leksono Segoro (Prodi PSIK STIKes Perintis Padang)...... 73 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pelaksanaan Senam Hamil Oleh: Mera Delima, Monika Blezinki, Maidaliza (Prodi PSIK STIKes Perintis Padang) .......................................................................................................................................... 79 Hubungan Tipe Keluarga Dengan Perilaku Agresif pada Remaja Di SMAN I Kecamatan 2x11 Kayu Tanam Oleh : Falerisiska Yunere, Fauzan Azima (Prodi PSIK STIKes Perintis Padang) .......... 89 Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Kualitas Tidur Pasien Pasca Operasi Oleh : Muhammad Arif, Putri Wulandari (Prodi PSIK STIKes Perintis Padang) ........... 98 Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri dan Involusio Uterus Pada Ibu Post Operasi Sectio Caesarea di Rumah Sakit Achmad Mochtar Bukittinggi Oleh : Lisa Fradisa, Windy Widiya, Mera Delima (Prodi PSIK STIKes Perintis Padang) .......................................................................................................................................... 108 MAKALAH HEALTH SCIENCE Efektifitas Metoda Hidrolisis Asam dan Metoda Enzimatik untuk Pembuatan Bioetanol dari Limbah Kulit Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Oleh : Betti Rosita (Prodi DIV Teknologi Laboratorium Medik) ..................................... 113 Perbedaan Ekspresi Gen SCUBE2 pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 antara Lama Menderita <5 Tahun dengan ≥5 Tahun Oleh : Chairani, Hirowati Ali, Raflis Rustam (Magister Ilmu Biomedik FK Unand) ...... 124 Kesesuaian Uji Widal dengan Tubex (Immunoassay) Pada Penderita Suspek Infeksi Demam Tifoid Oleh : Renowati (Prodi DIV Teknologi Laboratorium Medik) ........................................ 129 LPPM STIKes Perintis Padang iv Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PENGONTROLAN GULA DARAH PADA PASIEN DM ErnalindaRosya1, Feri Randani2 Program Studi Profesi Ners STIKes Perintis Padang [email protected] ²Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang [email protected] 1 Abstract DM is a degenerative disease that requires serious treatment because the disease can not be cured. DM causes dangerous complications for patients who eventually lead to death. The increasing prevalence of DM in Indonesia in 2007 is 1.1% to 2.1% in 2013. Bukittinggi City has the highest prevalence in West Sumatera (1.5%). Efforts to address the increasing prevalence of DM one of them by controlling blood sugar regularly. This research is to know the Family Support Relationship With Controlling Blood Sugar on Diabetes Mellitus Patients, using a descriptive method with correlation study design, then data is processed by using Chi- Square test. The study also involved 40 people with DM. The results of statistical tests in this study found no relationship of family support with blood sugar control in DM patients. Researchers suggest that the results of this study are included in the SOP of non-communicable disease management program and provide health education to patients and families about family support for blood sugar control. Keywords: Family Support, Blood Sugar Control, Diabetes Millitus 1. PENDAHULUAN Penyakit DM merupakan penyebab kematian nomor 6 di dunia dan di Indonesia merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit jantung (KEMENKES RI, 2013). Berdasarkan data dari WHO (2006), diperkirakan terdapat 171 juta orang didunia menderita diabetes pada tahun 2000 dan diprediksi akan meningkat menjadi 366 juta penderita pada tahun 2030. Sekitar 4,8 juta di dunia telah meninggal akibat DM. Sepuluh besar negara dengan prevalensi DM tertinggi di dunia pada tahun 2000 adalah India, Cina, Amerika, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil, Italia, dan Bangladesh. Indonesia menduduki posisi keempat dunia setelah India, Cina, dan Amerika dalam prevalensi DM. Pada tahun 2000 masyarakat Indonesia yang menderita DM adalah sebesar 8,4 juta jiwa dan diprediksi akan meningkat pada tahun 2030 menjadi 21,3 juta jiwa. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013 dilaporkan bahwa prevalensi DM sebanyak 2,1% lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2007 sebanyak 1,1%. prevalensi DM pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki dan cendrung lebih banyak pada masyarakat yang tingkat pendidikannya tinggi dari pada tingkat pendidikan rendah, hal ini kemungkinan akibat pola hidup yang tidak sehat (Kemenkes RI, 2013). Prevalensi penyakit DM di Provinsi Sumatera Barat memiliki prevalensi penyakit DM Tipe 2 diatas prevalensi Nasional. RISKESDAS Provinsi Sumatra Barat menyatakan bahwa prevalensi DM tipe 2 juga tinggi di kota Bukittinggi yaitu sebesar 1,5 %. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomi dan kimiawi dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. komplikasi yang sering dilakukan adalah dengan melakukan diet, obat penurunan kadar gula darah dan latihan fisik untuk mengontrol kenormalan kadar gula dalam darah. Namun penyakit diabetes merupakan penyakit degeneratif yang terjadi seumur hidup, maka banyak penderita diabetes yang mengalami depresi dan kecemasan dengan gejala perubahan pola hidup yang drastis untuk mengelola penyakitnya, sehingga di perlukan dukungan LPPM STIKes Perintis Padang 1 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ moral baik dari profesional keluarga dan sahabat (Thaylor, 1995 dalam Sayfunurmazah). Dukungan keluarga sangat penting bagi penderita DM untuk pengontrolan gula darahnya. Perhatian dan dukungan dari keluarga menimbulkan kepercayaan diri bagi penderita, untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan baik. Penderita mau menuruti saransaran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya. Keluarga juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dengan bantuan jika diperlukan. Keluarga merupakan bagian terpenting bagi semua orang, begitu pula bagi penderita DM. mereka memulai berbenah diri, mulai mengontrol pola makan dan aktifitas. Hal tersebut sangat membutuhkan bantuan dari orang sekitar terutama keluarga, dengan menceritakan kondisi DM pada orang terdekat, maka akan membantu dalam kontrol diet dan program pengobatan. BPOM RI (2006) menjelaskan bahwa faktor lingkungan dan keluarga merupakan faktor yang berpengaruh dalam pengontrolan gula darah pada pasien DM. Pernyataan diatas didukung oleh penelitian yang dilakukan Mayberry Lindsay S (2012), tentang family support, medication adherence and glycemic control among adults with diabetes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan keluarga berpengaruhterhadap pengobatan diabetes yaitunya pengontrolan glukosa darah pada pasien diabetes. Keluarga merupakan faktor penting bagi setiap orang, keluarga tempat kita baerbagi kebahagiaan dan kesedihan, begitu juga bagi pasien DM. Mereka yang menderita DM akan rendah diri, putus asa, dan mudah tersinggung. Sehingga dalam pengendalian DM dibutuhkan bantuan keluarga baik dukungan moril maupun spiritual. Faktor lingkungan dan keluarga merupakan faktor yang berpengaruh dalam menumbuhkan kepatuhan pasien. Sehingga dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga sangat berpengaruh bagi pasien diabetes dalam melakukan pengendalian kadar gula darah. Sehingga penderita DM dapat menghindari gejala komplikasi (BPOM RI, 2006). Uraian diatas menjadi dasar bagi peneliti melihat hubungan dukungan keluarga dengan pengontrolan gula darah pada pasien DM dan mengetahui distribusi frekuensi dukungan informasional, emosional, penilaian dan instrumental pada pasien DM. Selain itu untuk melihat distribusi pengontrolan gula darah pada pasien DM 2. METODOLOGENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif, metode Correlation Study.Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas Rasimah Ahmad Kota Bukittinggi,karena daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki penyakit DM yang dari dulu masih bertahan sampai saat sekarang ini. Penelitian ini mulai pada tanggal bulan April sampai bulan Agustus 2016. Populasi penelitian ini adalah penderita DM di wilayah Puskesmas Rasimah Ahmad Kota Bukittinggi pada tahun 2016 yang berjumlah 40 orang. pada penelitian ini tidak menggunakan sampel,semua populasi dijadikan subjek penelitian. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu: Pasien diabetes yang masih berada di wilayah kerja Puskesmas Rasimah Ahmad tahun 2016, Pasien diabetes yang bersedia menjadi responden, Pasien yang ada saat penelitian dan bisa dikunjungi ke rumah, Pasien yang bersedia untuk di teliti. Sedangkan kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah: Pasien yang pakai insulin dan pasien yang mempunyai komplikasi seperti jantung. Proses pengumpulan data di Puskesmas Rasimah Ahmad Kota Bukittinggi dilakukan dengan tahapan pemberian penjelasan tentang tujuan, manfaat, prosedur penilaian yang akan dilaksanakan kepada responden. Setelah responden dimintai persetujuan yang dibuktikan dengan cara menandatangani informedconcent, membagikan kuesioner kepada responden dan memberikan penjelasan tentangcara mengisinya. Selama pengisian kuesioner, peneliti berada dekat responden. Waktu yang diberikan kepada responden untuk mengisi kuesioner selama lebih kurang 15 menit sampai 20 menit. Setelah kuesioner diisi oleh responden maka peneliti mengumpulkan kuesioner dan meneliti kelengkapannya. Peneliti melakukan observasi pada responden ditemani oleh petugas LPPM STIKes Perintis Padang 2 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ laboratorium untuk mencek gula darah responden. Petugas laboratorium melakukan pengecekan gula darah dan peneliti mencatat hasil gula darah responden. Lembaran format yang sudah dikumpulkan pada penelitian ini akan dianalisa, kemudian diolah dengan sistem computerisasi dengan tahapan sebagai berikut: Editing, Coding, Skoring, Entry data dan Cleaning pengumpulan data yang digunakan adalah dengan membagikan kuesioner kepada responden yang mengalami DM di Wilayah Puskesmas Rasimah Ahmad Kota Bukittinggi Tahun 2016. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Univariat Pada penelitian ini 40 orang dijadikan sebagai subjek penelitian. Metode Tabel 1. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga Di Puskesmas Rasimah Ahmad Kota Bukittinggi Tahun 2016 (n=40) Dukungan Keluarga Frekuensi (f) Persentase (%) Informasional Mendukung 32 80 Tidak Mendukung 8 20 Penilaian Mendukung 35 87,5 Tidak Mendukung 5 12,5 Instrumental Mendukung 35 87,5 Tidak Mendukung 5 12,5 Emosional Mendukung 35 87,5 Tidak Mendukung 5 12,5 Total 40 100 Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga memberikan dukungan penilaian, instrumental, emosional serta Informasional a. Dukungan Informasional dihadapi, meliputi pemberian nasehat, Peneliti dapat menjelaskan sebagian besar pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang 80% responden dengan dukungan dibutuhkan dan informasi ini dapat disampaikan informasionalnya mendukung. Penelitian ini kepada orang lain yang mungkin menghadapi sesuai dengan teori Freadmen (2011) Keluarga persoalan yang sama atau hampir sama. berfungsi sebagai kolektor dan disseminiator Menurut asumsi peneliti bahwa dukungan informasi tentang dunia yang dapat digunakan informasional ini sangat lah penting untuk untuk mengungkap suatu masalah. Manfaat dari pengobatan anggota keluarga yang sakit dukungan ini adalah dapat menekan munculnya dikarenakan dukungan ini berisi nasehat, usulan, suatu stresor karena informasi yang diberikan saran, petunjuk dan pemberian informasi. dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus Maksudnya disini yaitu memberikan informasi pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini yang baru terhadap penyembuhan penyakit yang adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan di derita oleh anggota keluarga yang sakit, pemberian informasi. memberikan informasi tentang terapi yang Informasi yaitu bantuan informasi yang dilakukan, memberikan informasi mengenai disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang segala sesuatu yang menjadi pantangan bagi dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang anggota keluarga yang sakit. LPPM STIKes Perintis Padang 3 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ b. Dukungan Penilaian Peneliti dapat menjelaskan bahwa sebagian besar 87,5% responden dengan dukungan penilaiannya mendukung. Dukungan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita. Penilaian ini biasa positif dan negatif yang mana pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga maka penilaian yang sangat membantu adalah penilaian yang positif. Menurut asumsi peneliti bahwa dukungan dengan penilaian ini sangat lah penting dikarenakan berisi perhatian, pengahargaan, pengakuan, dan support. Maksudnya disini adalah bahwa keluarga harus memberikan perhatian yang lebih kepada anggota keluar keluarga yang sakit meliputi perhatian terhadap masalah kesehatannya seperti jadwal dalam pemeriksaan kesehatannya, jadwal dalam minum obat, jadwal dalam makan sehari-hari. Memberikan support kepada anggota keluarga yang sakit bahwa penyakit bisa di sembuhkan dan dikontrol dengan cara memeriksakan kesehatan secara teratur ke pelayanan kesehatan. c. Dukungan Instrumental Peneliti dapat menjelaskan bahwa sebahagian besar 87,5 % responden dengan dukungan instrumentalnya mendukung. Penelitian ini sesuai dengan teori Freadmen (2011) Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit diantaranya: bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi, tenaga dan sarana. Manfaat dukungan ini adalah mendukung pulihnya energi atau stamina dan semangat yang menurun selain itu individu merasa bahwa masih ada perhatian atau kepedulian dari lingkungan terhadap seseorang yang sedang mengalami kesusahan atau penderitaan. Dukungan instrumental, bantuan bentuk ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan aktivitasnya berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya, misalnya dengan menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan obat-obat yang dibutuhkan dan lain-lain. Menurut asumsi peneliti bahwa dukungan instrumental sangat penting untuk dilaksanakan dikarenakan pada dukungan ini berisi bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi, tenaga dan sarana. Maksudnya disi yaitu jika ada anggota keluarga yang sakit maka anggota keluarga yang lebih mampu bisa menanggung biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit. dan memberikan tempat yang lebih nyaman bagi anggota keluarga yang sakit, serta anggota keluarga yang lain harus siap materi, maupun tenaga jika seandainya nantik ada keadaan yang mendesak mengenai pengobatannya. d. Dukungan Emosional Peneliti dapat menjelaskan bahwa sebahagian besar 87,5% responden dengan dukungan emosionalnya mendukung. Penelitian ini sesuai dengan teori Freadmen (2011) Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penugasan terhadap emosi. Manfaat dari dukungan ini adalah secara emosional menjamin nilai-nilai individu (baik pria maupun wanita) akan selalu terjaga kerahasiannya dari keingintahuan orang lain. Aspek-aspek yang dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk efeksi, adanya kepercayaan, perhatian dan mendengarkan serta didengarkan. Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan empati, cinta dan kepercayaan dan penghargaan. dengan demikian seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tida menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, bersimpai dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya. Menurut asumsi peneliti bahwa dukungan emosional ini sangat penting dalam dukungan keluarga dikarenakan dukungan emosional berisi adanya kepercayaan, perhatian dan mendengarkan serta didengarkan. maksudnya disini adalah keluarga sebaiknya mendengarkan apa yang dibicarakan oleh anggota keluarga yang sakit, dan memberikan perhatian kepada anggota keluarga yang sakit berupa kasih LPPM STIKes Perintis Padang 4 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ sayang, perhatian terhadap kesehatannya, perhatian terhadapsegala yang menjadi pantangan penderita DM, memberikan perhatian yang lebih mengenai diit penderita DM, sehingga penyakit yang di derita oleh anggota keluarga bisa teratasi dan terkontrol. Hasil penelitian yang menggambarkan pengontrolan gula darah pada pasien DM dapat dilihat ditabel berikut, Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengontrolan Gula Darah Di Puskesmas Rasimah Ahmad Kota Bukittinggi Tahun 2016 Pengontrolan gula Jumlah Persentase (%) Darah Terkontrol 17 42,5 Tidak terkontrol 23 57,5 Total 40 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari separoh 57,5% responden gula darahnya tidak terkontrol. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori dilakukan pada pasien DM (Dochterman & Freadmen (2011) Keluarga bertindak sebagai Bulechek, 2004). Diet yang baik untuk para sebuah bimbingan umpan balik, membimbing diabetes adalah jumlah makanan, jadwal yang dan menengahi masalah serta sebagai sumber teratur serta jenis makanan yang dimakan validator identitas anggota keluarga diantaranya: bervariasi yang kaya nutrisi dan rendah memberikan support, pengakuan, penghargaan karbohidrat. Selain pasien Diabetes Militus dan perhatian. patuh dalam melaksanakan perintah, mentaati Dengan menerapkan aturan ketat dalam hal aturan dan disiplin dalam menjalankan program asupan makanan dan perilaku hidup, diharapkan diet yang sudah ditentukan, sehingga komplikasi penderita akan hidup secara normal meskipun dapat dikendalikan. Diet standar untuk diabetes menyandang diabetes. Secara sederhana, aturan di indonesia menganut diet tinggi karbohidrat, untuk penderita diabetes adalah menurunkan rendah lemak dan tinggi serat. serat terdapat berat badan untuk penderita diabetes yang pada tumbuh-tumbuhan, biji-bijian dan buahmengalami obesitas dan mempertahankan berat buahan (Waspadji, 2007). badannya agar tetap proporsional. Selain itu juga Menurut Susilo & Wulandari (2011) perlu mengatur pola makan dengan penatalaksanaan terapi untuk mengelola diabetes mengkonsumsi makanan yang berkadar protein militus terdiri dari terapi non farmakologis dan tinggi seperti telur, ikan, buncis, sayuran terapi farmakologis. Terapi non farmakologis bewarna hijau gelap, kacang-kacangan, dan lain dilakukan dengan mengubah gaya hidup sebagainya. Serta menghindari mengkonsumsi diantaranya yaitu diet dan olahraga. mengingat makanan yang berkadar tepung tinggi (Susanto, mekanisme dasar kelainan diabetes militus 2010). adalah terdapatnya faktor genetik, resistensi Penelitian ini di perkuat oleh penelitian insulin dan insufisiensi sel β pankreas, maka yang dilakukan oleh Khasanah Uswatun (2014), cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar tentang pengelolaan diet dan olahraga dapat tersebut harus tercermin pada langkah menstabilkan kadar gula darah pada penderita pengelolaan, dalam pengelolaan diabetes militus diabetes militus tipe 2 diwilayah langkah pertama yang harus dilakukan adalah Ambarketawang. Jumlah sampel dalam pengelolaan nonfarmakologis. terapi penelitian ini adalah 24 orang. Hasil penelitian farmakologis diberikan apabila perubahan gaya ini menunjukkan terdapat pengaruh pengelolaan hidup tidak atau kurang efektif untuk diet dan olahraga terdapat kestabilan kadar gula mengontrol glukosa darah dalam konmdisi darah pada penderita diabetes militus tipe 2 normal. dengan p value 0,00. Menurut asumsi peneliti bahwa Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengontrolan gula darah yang baik dapat pendekatan non farmakologis diantaranya patuh dilakukan dengan mengubah gaya hidup terhadap diet merupakan intervensi yang dapat seseorang dari gaya hidup yang salah menjadi LPPM STIKes Perintis Padang 5 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ gaya hidup sehat seperti memperhatikan makanan yang dimakan seperti memakan makanan yang bergizi, makan lauk pauk, sayursayuran dan buah-buahan, membatasi jumlah makananan yang dimakan, makan dengan waktu yang tepat. Olahraga teratur dan memeriksakan kesehatan ke pelayanan kesehatan secara teratur. 3.2 Analisis Bivariat Analisis untuk melihat hubungan dukungan keluarga dengan pengontrolan gula darah bisa dilihat dari tabel berikut: Tabel 3. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pengontrolan Gula Darah pada Pasien DM di Wilayah Puskesmas Rasimah Ahmad Kota Bukittinggi Tahun 2016 Dukungan Keluarga Pengontrolan Gula Darah F Total P value Tidak Terkontrol Terkontrol f % f % Informasional 0,936 Tidak Mendukung 4 50% 4 50% 8 100% Mendukung 13 40,6% 19 59,4% 32 100% 17 45,5% 23 57,5% 40 Instrumental 0,373 Tidak Mendukung 1 20% 4 80% 5 100% Mendukung 16 45,7% 19 54,3% 35 100% 17 45,5% 23 57,5% 40 Emosional 0,677 Tidak Mendukung 2 28,6% 5 71,4% 7 100% Mendukung 15 45,5% 18 54,5% 33 100% 17 45,5 23 57,5 40 Penilaian 0,373 Tidak Mendukung 1 20% 4 80% 5 100% Mendukung 16 45,7% 19 54,3% 35 100% 17 45,5 23 57,5 40 a. Hubungan Dukungan Informasional Dengan Pengontrolan Gula Darah Hasil penelitian menunjukkan bahwa dirumah, keluarga tidak bisa menjelaskan hubungan dukungan informasional yang tentang pentingnya berolahraga sekurangmendukung dari 32 responden yang gula darah kurangnya 3 jam per minggu, keluarga tidak bisa terkontrol adalah 19 (59,4%), sedangkan gula mengingatkan untuk kontrol, minum obat, darah yang tidak terkontrol 13 (40,6%). Hasil uji latihan (olahraga) dan diet DM, keluarga tidak statistik diperoleh nilai p value = 0,936 (p>α) dapat menjelaskan tentang pentingnya makan maka disimpulkan tidak adanya hubungan antara sayur dan buah. dukungan informasional dengan pengontrolan Penelitian ini bertolak belakang dengan gula darah. Dari hasil analisis diperoleh OR= penelitian yang dilakukan oleh Susanti Mei 1,462 artinya responden yang memiliki Linda (2013), tentang dukungan keluarga dukungan informasional, tidak mendukung tidak meningkatkan kepatuhan diet pasien diabetes mempunyai peluang 1,462 kali untuk militus di ruangan rawat inap RS Baptis Kediri. pengontrolan gula darahnya tidak terkontrol Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 25 dibandingkan responden yang memiliki orang. Hasil penelitian ini menunjukkan pengontrolan gula darahnya terkontrol. dukungan keluarga meningkatkan kepatuhan Pada penelitian ini tidak adanya dukungan diet pasien diabetes militus dengan p value keluarga yang bisa memberikan informasi baru 0,000. tentang pengobatannya, keluarga tidak Penelitian ini bertolak belakang dengan bisamenyarankan kepada pasien untuk rutin teori Freadmen (2011) Keluarga berfungsi mengikuti kegiatan olahraga di puskesmas dan sebagai kolektor dan disseminiator informasi LPPM STIKes Perintis Padang 6 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ tentang dunia yang dapat digunakan untuk mengungkap suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stresor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Menurut Susilo & Wulandari (2011) penatalaksanaan terapi untuk mengelola diabetes militus terdiri dari terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis dilakukan dengan mengubah gaya hidupdiantaranya yaitu diet dan olahraga. mengingat mekanisme dasar kelainan diabetes militus adalah terdapatnya faktor genetik, resistensi insulin dan insufisiensi sel β pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar tersebut harus tercermin pada langkah pengelolaan, dalam pengelolaan diabetes militus langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologis. terapi farmakologis diberikan apabila perubahan gaya hidup tidak atau kurang efektif untuk mengontrol glukosa darah dalam konmdisi normal. Menurut asumsi peneliti dukungan informasional dalam keluarga sangat lah penting untuk pengobatan, karena dukungan informasional tersebut berisi nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi dari keluarga pada pasien yang menderita DM. Pada dukungan ini keluarga bisa memberikan informasi baru tentang pengobatannya, keluarga bisa menyarankan kepada pasien untuk rutin mengikuti kegiatan olahraga di puskesmas dan dirumah, keluarga bisa menjelaskan tentang pentingnya berolahraga sekurang-kurangnya 3 jam per minggu, keluarga bisa mengingatkan untuk kontrol, minum obat, latihan (olahraga) dan diet DM, keluarga dapat menjelaskan tentang pentingnya makan sayur dan buah. Disini keluarga mendukung dalam semua hal yang berkaitan dengan penyakit anggota keluarga yang sakit tetapi keluarga yang sakit memiliki gula darah hanya sebagian yang terkontrol dengan baik, kebanyakan gula darahnya tidak terkontrol. b. Hubungan Dukungan Instrumental Dengan Pengontrolan Gula Darah Hasil penelitian menunjukkan bahwa mampu dalam hal ekonomi sehingga tidak dapat hubungan dukungan dalam penilaian yang memodifikasi rumah dan memberikan mendukung dari 35 responden yang gula darah kesempatan pada anggota keluarga yang terkontrol adalah 19 (54,3%), sedangkan gula menderita penyakit DM untuk memilih fasilitas darah yang tidak terkontrol 16 (45,7%). Hasil uji yang diinginkan, serta tidak dapat memberikan statistik diperoleh nilai p value = 0,373 (p>α) dana untuk biaya terapi dan motivasi pada pasien maka disimpulkan tidak adanya hubungan antara DM dalam menjalankan terapi. dukungan penilaian dengan pengontrolan gula Peneliti dapat menjelaskan bahwa sebagian darah. Dari hasil analisis diperoleh OR= 0,297 besar 87,5% responden dengan dukungan artinya responden yang memiliki dukungan penilaiannya mendukung. Peneliti juga dapat instrumental yang tidak mendukung tidak menjelaskan bahwa lebih dari separoh 57,5% mempunyai peluang 0,297 kali untuk responden gula darahnya tidak terkontrol. pengontrolan gula darahnya tidak terkontrol Penelitian ini bertolak belakang dengan dibandingkan responden yang memiliki penelitian yang dilakukan oleh Susanti Mei pengontrolan gala darahnya terkontrol. Linda (2013), tentang dukungan keluarga Sumber dukungan yang ada, tidak dapat meningkatkan kepatuhan diet pasien diabetes dilakukan oleh keluarga dengan cara mengenal militus di ruangan rawat inap RS Baptis Kediri. adanya gangguan kesehatan sedini mungkin Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 25 seperti pada saat anggota keluarga yang orang. Hasil penelitian ini menunjukkan menderita penyakit diabetes militus mengalami dukungan keluarga meningkatkan kepatuhan keluhan ketika kadar gula darah meningkat atau diet pasien diabetes militus dengan p value menurun. Keluarga tidak dapat saling membantu 0,000. untuk memberikan perawatan, pada penelitian Penelitian ini bertolak belakang dengan ini juga di dapatkan anggota keluarga yang tidak teori Freadmen (2011) Keluarga merupakan LPPM STIKes Perintis Padang 7 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit diantaranya: bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi, tenaga dan sarana. Manfaat dukungan ini adalah mendukung pulihnya energi atau stamina dan semangat yang menurun selain itu individu merasa bahwa masih ada perhatian atau kepedulian dari lingkungan terhadap seseorang yang sedang mengalami kesusahan atau penderitaan. Menurut Almatsier (2004), tujuan diet DM adalah membantu pasien memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk mendapatkan kontrol yang lebih baik, dengan cara: mempertahankan kadar gula darah supaya mendekati normal dengan menyeimbangkan asupan makanan dengan insulin, dengan obat penurun glukosa oral dan aktivitas fisik, mencapai dan mempertahankan kadar lipid serum normal, memberi cukup energi untuk mempertahankan atau mencapai berat badan normal, menghindari dan menangani komplikasi akut pasien yang menggunakan insulin seperti hipoglikemi, komplikasi jangka pendek dan jangka lama serta masalah yang berhubungan dengan latihanjasmani, meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal. Menurut asumsi peneliti Sumber dukungan yang ada dapat dilakukan oleh keluarga dengan cara mengenal adanya gangguan kesehatan sedini mungkin seperti pada saat anggota keluarga yang menderita penyakit diabetes militus mengalami keluhan ketika kadar gula darah meningkat atau menurun. Keluarga dapat saling membantu untuk memberikan perawatan, pada penelitian ini juga di dapatkan anggota keluarga yang mampu dalam hal ekonomi sehingga dapat memodifikasi rumah dan memberikan kesempatan pada anggota keluarga yang menderita penyakit DM untuk memilih fasilitas yang diinginkan, serta memberikan dana untuk biaya terapi dan motivasi pada pasien DM dalam menjalankan terapi. Dukungan keluarga yang optimal dapat diberikan oleh keluarga yang telah mampu memahami fungsi keluarga dalam pemeliharaan kesehatan yaitu mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarganya. kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti. Keluarga perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarganya. perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian anggota keluarga yang lain. pada penelitian ini keluarga sangat mendukung anggota keluarganya dalam pengontrolan gula darah, namun sebagian anggota keluarga yang mempunyai gula darah terkontrol, kebanyakan gula darahnya tidak terkontrol. c. Hubungan Dukungan Emosional Dengan Pengontrolan Gula Darah Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang menderita DM. Keluarga tidak hubungan dukungan instrumental yang mendengarkan keluhan dan segala ke inginan mendukung dari 35 responden yang gula darah yang dirasakan oleh anggota keluarga yang sakit. terkontrol adalah 19 (54,3%), sedangkan gula Keluarga tidak dapat mengingatkan makanan darah yang tidak terkontrol 16 (45,7%). Hasil uji yang dilarang untuk penderita DM, keluarga statistik diperoleh nilai p value = 0,373 (p>α) tetap mencintai dan memperhatikan keadaan maka disimpulkan tidak adanya hubungan antara anggota keluarganya yang sakit, keluarga tidak dukungan instrumental dengan pengontrolan menunjukkan wajah yang menyenangkan saat gula darah. Dari hasil analisis diperoleh OR= membantu atau melayani anggota keluarga yang 0,297 artinya responden yang memiliki sakit. dukungan instrumental yang tidak mendukung Penelitian ini bertolak belakang dengan tidak mempunyai peluang 0,297 kali untuk penelitian yang dilakukan oleh Susanti Mei pengontrolan gula darahnya tidak terkontrol Linda (2013), tentang dukungan keluarga dibandingkan responden yang memiliki meningkatkan kepatuhan diet pasien diabetes pengontrolan gala darahnya terkontrol. militus di ruangan rawat inap RS Baptis Kediri. Pada dukungan ini keluarga tidak Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 25 memberikan perhatian yang lebih pada anggota orang. Hasil penelitian ini menunjukkan LPPM STIKes Perintis Padang 8 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ dukungan keluarga meningkatkan kepatuhan diet pasien diabetes militus dengan p value 0,000. Penelitian ini bertolak belakang dengan teori Freadmen (2011) Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penugasan terhadap emosi. Manfaat dari dukungan ini adalah secara emosional menjamin nilai-nilai individu (baik pria maupun wanita) akan selalu terjaga kerahasiannya dari keingintahuan orang lain. Aspek-aspek yang dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk efeksi, adanya kepercayaan, perhatian dan mendengarkan serta didengarkan. Menurut Susilo & Wulandari (2011) penatalaksanaan terapi untuk mengelola diabetes militus terdiri dari terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis dilakukan dengan mengubah gaya hidup diantaranya yaitu diet dan olahraga. mengingat mekanisme dasar kelainan diabetes militus adalah terdapatnya faktor genetik, resistensi insulin dan insufisiensi sel β pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar tersebut harus tercermin pada langkah pengelolaan, dalam pengelolaan diabetes militus langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologis. terapi farmakologis diberikan apabila perubahan gaya hidup tidak atau kurang efektif untuk mengontrol glukosa darah dalam konmdisi normal. Menurut asumsi peneliti bahwa dukungan emosional penting untuk dilakukan pada pasien yang menderita DM. Dukungan emosional dari keluarga ini berisi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk efeksi, adanya kepercayaan,perhatian dan mendengarkan serta didengarkan. Pada dukungan ini keluarga memberikan perhatian yang lebih pada anggota keluarga yang menderita DM. Keluarga selalu mendengarkan keluhan dan segala ke inginan yang dirasakan oleh anggota keluarga yang sakit. Keluarga sebaiknya selalu mengingatkan makanan yang dilarang untuk penderita DM, keluarga tetap mencintai dan memperhatikan keadaan anggota keluarganya yang sakit, keluarga selalu menunjukkan wajah yang menyenangkan saat membantu atau melayani anggota keluarga yang sakit. pada penelitian ini keluarga sangat mendukung anggota keluarganya yang sakit namun anggota keluarga yang sakit hanya sebahagian gula darahnya yang terkontrol, kebanyakan tidak terkontrol dengan baik. d. Hubungan Dukungan Penilaian Dengan Pengontrolan Gula Darah Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengambil obat ke puskesmas, keluarga tidak hubungan dukungan emosional yang mengetahui jadwal pemeriksaan kesehatan mendukung dari 33 responden yang gula darah anggota keluarga yang sakit, keluarga tidak terkontrol adalah 18 (54,5%), sedangkan gula pernah menanyakan keluhan-keluhan yang darah yang tidak terkontrol 15 (45,5%). Hasil uji alami, keluarga tidak dapat memberikan statistik diperoleh nilai p value = 0,677 (p>α) dorongan kepada anggota keluarga yang sakit maka disimpulkan tidak adanya hubungan antara untuk mematuhi diet. dukungan emosional dengan pengontrolan gula Penelitian bertolak belakang dengan darah. Dari hasil analisis diperoleh OR= 0,480 penelitia yang dilakukan oleh Susanti Mei Linda artinya responden yang memiliki dukungan (2013), tentang dukungan keluarga emosional tidak mendukung, tidak mempunyai meningkatkan kepatuhan diet pasien diabetes peluang 0,480 kali untuk pengontrolan gula militus di ruangan rawat inap RS Baptis Kediri. darahnya tidak terkontrol dibandingkan Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 25 responden yang memiliki pengontrolan gala orang. Hasil penelitian ini menunjukkan darahnya terkontrol. dukungan keluarga meningkatkan kepatuhan Pada penelitian ini keluarga tidak dapat diet pasien diabetes militus dengan p value menyuruh anggota keluarga yang sakit untuk 0,000. mengontrol gula darah minimal 1 kali dalam Penelitian bertolak belakang dengan sebulan, keluarga tidakdapat menemani penelitia yang dilakukan oleh Susanti Mei Linda LPPM STIKes Perintis Padang 9 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ (2013), tentang dukungan keluarga meningkatkan kepatuhan diet pasien diabetes militus di ruangan rawat inap RS Baptis Kediri. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 25 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan keluarga meningkatkan kepatuhan diet pasien diabetes militus dengan p value 0,000. Penelitian ini bertolak belakang dengan teori Freadmen (2011) Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi masalah serta sebagai sumber validator identitas anggota keluarga diantaranya: memberikan support, pengakuan, penghargaan dan perhatian. Menurut Susanto (2010), dengan menerapkan aturan ketat dalam hal asupan makanan dan perilaku hidup, diharapkan penderita akan hidup secara normal meskipun menyandang diabetes. Secara sederhana, aturan untuk penderita diabetes adalah menurunkan berat badan untuk penderita diabetes yang mengalami obesitas dan mempertahankan berat badannya agar tetap proporsional. Selain itu juga perlu mengatur pola makan dengan mengkonsumsi makanan yang berkadar protein tinggi seperti telur, ikan, buncis, sayuran bewarna hijau gelap, kacangkacangan, dan lain sebagainya. Serta menghindari mengkonsumsi makanan yang berkadar tepung tinggi. Menurut asumsi penelitian dukungan dalam penilaian ini sangat lah penting untuk anggota keluarga yang menderita DM. Karena dukungan ini berisi support, pengakuan, penghargaan dan perhatian. Keluarga dapat menyuruh anggota keluarga yang sakit untuk mengontrol gula darah minimal 1 kali dalam sebulan, keluarga dapat menemani mengambil obat ke puskesmas, keluarga mengetahui jadwal pemeriksaan kesehatan anggota keluarga yang sakit, keluarga menanyakan keluhan-keluhan yang alami, keluarga memberikan dorongan kepada anggota keluarga yang sakit untuk mematuhi diet. Dengan dukungan dalam penilaian ini keluarga dapat memperhatikan anggota keluarga yang sakit sehingga gula darah pada pasien DM dapat terkontrol dengan baik. pada penelitian ini keluarga memberikan dukungan dengan baik pada anggota keluarga yang sakit namun anggota keluarga yang sakit hanya sebagian gula darahnya yang terkontrol, kebanyakan gula darahnya tidak terkontrol. 4. KESIMPULAN Peneliti dapat menjelaskan sebagian besar responden mendapat dukungan dari keluarga, baik itu dukungan informasional, dukungan penilaian, instrumental dan dukungan emosional. Dijelaskan bahwa lebih dari separoh 57,5% responden gula darahnya tidak terkontrol. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,936 (p>α) untuk dukungan informasional, p value =0,373 (p>α) untuk dukungan penilaian, p value = 0,373 (p>α) untuk dukungan instrumental dan p value =0,677 (p>α) untuk dukungan emosional. Dari hasil uji statistik tersebut dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan pengontrolan gula darah pasien DM 5. REFERENSI Agromedia, Redaksi. 2009. Solusi Sehat Mengatasi Diabetes.Agromedia Pustaka. Jakarta. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar :Keperawatan Medikal Bedah Vol 2,EGC. Jakarta. Dalimartha, 2012. Makanan dan Herbal UntukPenderita DM. Penebar Swadaya. Jakarta. Ernaeni, 2013. Kepatuhan Diit DenganPengendalian Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Militus Usia Lanjut di Puskesmas Padang Sari Semarang. Frieedman, M. Marilyn. 1998. KeperawatanKeluarga Teori dan Praktek. EGC:Jakarta. Hastono, Susanto Priyo. 2006. Basic Data Analysis For Health Research Training.Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Khasanah. U. 2014. Pengelolaan Diet dan Olahraga Dapat Menstabilkan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Militus Tipe 2 Diwilayah Ambarketawang. Marjohan. 2013. Hubungan Dukungan KeluargaDengan Motivasi Pasien Stroke Dalam Melakukan Pengaturan LPPM STIKes Perintis Padang 10 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Posisi Untuk Mencegah Kerusakan Integritas di Neurologi di RSSN Bukittinggi. Mayberry Lindsay S, 2012. Family Support,Medication Adherence and Glycemic Control Among Adults With Diabetes. Medical Record. 2015. Data Puskesmas RasimahAhmad. Kota Bukittinggi. Purnomo, R.T. 2014. Hubungan DukunganKeluarga Dengan Motivasi Klien DM Untuk Melakukan Latihan Fisik di Dinas Kesehatan dan Kesejahtraan Sosial Kabupaten Klaten. Saifunurmazah. 2013. Kepatuhan PenderitaDiabetes militus Dalam Menjalani Terapi Olahraga dan Diet pada Penderita DM tipe 2 di RSUD Dr. Soesselo Sawi. Smeltzer & Bare. 2003. Buku Ajar KeperawatanMedikal Bedah. EGC. Jakarta Susanti M.L, 2013. Dukungan KeluargaMeningkatkan Kepatuhan Diet Pasien Diabetes Militus Di Ruangan Rawat Inap Rs Baptis Kediri Romadhani T.P. 2014. Hubungan DukunganKeluarga Dengan Motivasi Klien DM Untuk Melakukan Latihan Fisik di Dinas Kesehatan dan Kesejahtraan Sosial Kabupaten Klaten Taylor, E Shelly. 1995. Healthy Psychology. Mc Graw Hill Inc. Singapura. Wardani, 2014. Dukungan Keluarga dan Pengendalian Kadar Gula Darah dengan Gejala Komplikasi Mikrovaskuler. Surabaya. -------. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 LPPM STIKes Perintis Padang 11 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ HUBUNGAN DERAJAT DEMENSIA DENGAN KONDISI PERSONAL HYGIENE LANSIA DI PSTW KASIH SAYANG IBU BATUSANGKAR TAHUN 2016 Yaslina1, Isra Aini2, Falerisiska Yunere3 Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Email : [email protected] Abstract According to the WHO Welfare mentioned that further Seniors Age 60 Years is age old starters. Based on the survey world, further Period Age estimated More than 624 million orangutans. In Indonesia ON Year 2008-2012 elderly has reached 7.56% Of the total population, from West Sumatra province carrying the elderly population as much as 8.09%. The elderly Term Stay PSTW Kasih Sayang Ibu Batusanggkar this 70 people elderly, the elderly Yang Of Residential There is obtained there with 28 people elderly dementia. Purpose Of Research Singer That's review know Relations degree of personal hygiene condition of dementia with the elderly mother PSTW Kasih Sayang Ibu Batusanggkar Year 2016. Population Research singer is 28 orangutans. The singer has performed research on date July 12 until July 15, 2016 in PSTW Kasih Sayang Ibu Batusanggkar. Singer Research studies using descriptive method with correelation design, are later developed using Chi Square test. Statistical test results TIN Value p = 0.020 (p <α) so Of Research Conducted by researchers their relationship degrees of dementia with between the kondisipersonal cleanliness in PSTW Kasih Sayang Ibu Batusanggkar Year 2016. Suggested shown to the Institution PSTW Kasih Sayang Ibu order can be improving hygiene conditions personal at elderly is dementia. Keywords: degree of dementia, personal hygiene conditions 1. PENDAHULUAN Setiap manusia pasti mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Proses menua pun adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Penuaan adalah perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu (Stanley,2006). Proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu,tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua hakekatnya merupakan proses alamiah,yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda,baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami penurunan kondisi misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur,rambut memutih,pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk,gerakan lambat, figure tubuh yang tidak proporsional dan daya ingat pun menjadi lemah atau pikun ( Nugroho, 2006). Di Indonesia pada tahun 2008-2012 lansia telah mencapai 7,56% dari keseluruhan penduduknya. Dan data dari Provinsi Sumatra Barat tercatat penduduk lansia sebanyak 8,09% (BPS RI,2012). Ada beberapa perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia seperti, mengalami penurunan kemampuan daya ingat atau biasa disebut demensia atau pikun, kehilangan memori secara perlahan, kehilangan keseimbangan dan propriosepsi, tidak mampu melakukan tugas dengan baik,kehilangan kepribadian seperti perasaan yang tidak stabil,rasa tersinggung,kurang mempercayai orang lain dan,lupa untuk melakukan hal yang penting misalnya saja merawat diri seperti kurang menjaga kebersihan diri dan lingkungan nya (Rosdhal dkk, 2014). Menurut Aspiani (2014) demensia (pikun) dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari atau dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap fungsi LPPM STIKes Perintis Padang 12 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ kehidupan sehari-hari. Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa,melaninkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku. Penderita demensia cendrung dikatakan pikun atau identik dengan sifat pelupa.Hal ini sanagt mempengaruhi aktifitas sehari-hari termasuk merawat dirinya, sehingga lansia kurang memelihara kebersihan dirinya. Di dalam kehidupan sehari-hari, kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya ( Wartonah, 2010 ). Kebutuhan personal hygiene harus menjadi prioritas utama bagi lansia.Agar lansia tersebut terhindar dari penyakit.Kebersihan diri meliputi kebersihan dari kulit kepala dan rambut, mata, telinga, hidung, kuku kaki dan tangan, mulut, genitalia, dan tubuh secara keseluruhannya. Sehingga diperlukan pendekatan kesehatan keluarga ataupun masyarakat yang luas untuk meningkatkan perawatan diri dan kualitas hidupnya. Lansia yang kurang menjaga personal hygiene dapat menyebabkan penyakit kulit, penampilan tidak rapi, dan bau badan, serta kuku yang panjang dan kotor yang mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit. Untuk itu lansia perlu tahu apa pentingnya menjaga kebersihan diri serta lingkungannya dan mampu mengurus dirinya sendiri tanpa bergantung kepada orang lain (Tarwoto, 2010 ). Menurut Syailendra (2011) terdapat demensia pada lansia mencapai 78% di Indonesia dengan umur 65 tahun, dan akan meningkat tiap tahunnya. Hasil penelitian Kartinah (2011),di Panti Wredha Dharma Bakti terdapat 45% lansia kurang memenuhi personal hygiene nya, dan 21% lansia yang mampu memenuhi personal hygienenya. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskiptif corelatif yaitu mengetahui hubungan derajat demensia dengan kondisi personal hygiene pada lansia di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar tahun 2016. Rancangan penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti yaitu Total Sampling Penelitian ini dilakukan di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar tahun 2016 dengan alasan lansia yang tinggal disana banyak yang mengalami demensia dengan personal hygienenya yang kurang baik. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 12-15 Juli 2016. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah populasi dalam penelitian ini seluruh lansia dengan demensia di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar sebanyak 28 orang. Defenisi Operasional adalah mendefenisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek dan fenoma (Nursalam, 2011). Variabel independent dari judul ini adalah derajat demensia sedangkan variabel dependennya adalah kondisi personal hygiene. 2.1. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data ini dimulai sebelum mendapatkan surat dari kampus untuk melengkapi data lansia yang mengalami demensia. Kemudian setelah didapatkan data lansia, ada 28 orang lansia yang mengalami demensia. Lansia demensia dengan personal hyginenya yang buruk dan kurang bersih. Lalu setelah mendapatkan surat izin penelitian dari kampus, peneliti langsung memberikan surat izin kepada kepala PSTW Kasih Sayang Ibu di Batusangkar. Setelah mendapatkan izin peneliti kemudian melihat keadaan lansia yang demensia dengan personal hygienenya yang kurang terjaga. Peneliti meminta data lansia yang demensia di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar kepada petugas yang berada disana. Peneliti menemui dan memperkenalkan diri pada lansia yang demensia di PSTW di setiap wisma yang dikunjungi (wisma apel, anggur, jambu, jeruk dan pepaya).Peneliti menjelskan tujuannya, setelah dijelaskan lansia setuju untuk diberikan pertanyaan. Kemudian peneliti menanyakan dan LPPM STIKes Perintis Padang 13 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ melihat sesuai lembar kuesioner dan lembar observasi selama 15-20 menit langsung diberi nilai dan diisi. Sesuai pertanyaan dengan cara melihat keadaan lansia pada saat itu. Dihari pertama peneliti hanya mendapatkan 13 orang lansia untuk didata karena ada beberapa lansia yang tidak berada di PSTW karena dijemput keluarganya, kemudian dihari kedua peneliti hanya mendapatkan 5 orang lansia, lalu dihari ketiga peneliti mendapatkan 4 orang lansia dan hari terakhir ada 6 orang lansia. Jadi peneliti hanya membutuhkan 4 hari untuk meneliti di PSTW Kasih Sayang Ibu di Batusangkar. Setelah itu peneliti mengucapkan terimakasih kepada lansiadan petugas di PSTW Kasih Sayang Ibu batusangkar. Kemudian setelah data terkumpul data akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan komputerisasi. 2.2. Cara Pengolahan Data Setelah data terkumpul diolah dengan menggunakan langkah-langkah : Editing (pengecekan data), Coding (Pengkodean data), Entry (memasukan data kedalam komputer) Cleansing (pengecekan kembali data yang sudah dimasukan) Prossesing (Memproses data) merupakan langkah memproses data agar dapat dianalisis. Pemprosesan data dilakukan dengan cara meng-entry data dari lembar observasi kedalam program komputer, pengolahan data menggunakan rumus t-test dependen. 2.3. Analisa Data Analisa ini dilakukan untukmenjelaskan atau mendeskripsikankarakteristik setiap variable penelitian, yang disajikan dalam bentuk table distribusi frekuensi dan persentase (Notoadmodjo, 2010). Analisa bivariat yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variable yang diteliti. Pengujian hipotesa untuk mengambil keputusan tentang apakah hipotesis yang diajukan cukup meyakinkan untuk ditolak atau diterima dengan menggunakan ujistatitik ChiSquare tes. 2.4. Etika Penelitian Mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut : 1)Informed Consent (Pernyataan Persetujuan) Informed concent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan. Peneliti harus menghormati keputusan calon responden untuk menyetujui atau tidak menyetujui menjadi responden dalam penelitian ini. 2)Anonimity (Tanpa Nama) Tidak mencantumkan nama responden dalam lembar observasi yang digunakan, tetapi menukarnya dengan kode atau inisial nama responden, termasuk dalam penyajian hasil penelitian. 3)Confidentiality (Kerahasiaan) Peneliti menjamin bahwa data yang diberikan oleh responden akan dijaga kerahasiannya, baik informasi yang diberikan maupun masalahmasalah lainnya. Pertimbangan etik dalam penelitian ini juga disesuaikan dengan prinsip dasar Komite Etik Penelitian Kesehatan Indonesia (KNEP, 2007). a)Human Right (Martabat Manusia) Peneliti menghormati harkat martabat manusia kepada responden dengan memberikan kebebasan untuk memutuskan sendiri keterlibatannya dalam penelitian. b)Beneficence (Berbuat Baik) Peneliti menerapkan prinsip etik berbuat baik dengan meminimalkan resiko penelitian agar sebanding dengan manfaat yang diterima dan peneliti merancang penelitian disain penelitian dengan memenuhi persyaratan ilmiah dan berdasar pada referensi terkait, jika terjadi ketidaknyamanan pada responden, maka peneliti akan menghentikan wawancara dan membebaskan responden untuk melanjutkan atau tidak. c)Justice (Keadilan) Adalah kewajiban untuk memberlakukan partisipan secara adil dalam setiap tahapan penelitian, hal ini diterapkan untuk memenuhi hak partisipan untuk mendapatkan penanganan yang adil. LPPM STIKes Perintis Padang 14 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Analisa Univariat 1) Distribusi Frekuensi Derajat Demensia Tabel 1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Derajat Demensia Di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar Tahun 2016 Derajat demensia f Persentase (%) Ringan 21 75 Sedang 7 25 Berat 0 0 Total 28 100 Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa lebih dari separoh 21 orang responden dengan persentase 75% memiliki derajat demensia rendah. 2) Distribusi Frekuensi Kondisi Personal Hygiene Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Kondisi Personal HygieneDi PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar Tahun 2016 Kondisi Personal f Persentase Hygiene (%) Bersih 19 67,9 Tidak bersih 9 32,1 Total 28 100 Berdasarkan table 2 dapat dilihat bahwa lebih dari separoh 19 orang responden dengan persentase 67,9 % memiliki kondisi personal hygiene bersih. Analisa Bivariat 1) Hubungan Derajat Demensia Dengan Kondisi Personal Hygiene Pada Lansia Di Pstw Kasih Sayang Ibu Batusangkar Tahun 2016 Tabel 3. Hubungan Derajat Demensia Dengan Kondisi Personal Hygiene Pada Lansia Di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar Tahun 2016 Derajat Demensia Kondisi Hygiene Bersih Personal Total Ringan f 17 % 81 Tidak bersih f % 4 19 Sedang 2 28,6 5 71,4 7 100 Berat 0 0 0 0 0 0 Total 19 67,9 9 32,1 28 100 F 21 % 100 P val ue OR value 0,02 10,62 Berdasarkan penelitian menunjukkan hubungan antara derajat demensia dengan kondisi personal hygiene, terdapat sebanyak 17 orang responden dengan persentasi 81% dari 30 orang responden yang mengalami kondisi personal hygienenya bersih dengan derajat demensia ringan. Terdapat sebanyak 4 orang responden dengan persentasi 19% dari 30 orang responden yang mengalami kondisi personal hygienenya tidak bersih dengan derajat demensia ringan. Terdapat sebanyak 2 orang responden dengan persentasi 28,6% dari 30 orang responden yang mengalami kondisi personal hygienenya bersih dengan derajat demensia sedang. Terdapat sebanyak 5 orang responden dengan persentasi 71,4% dari 30 orang responden yang mengalami kondisi personal hygienenya tidak bersih dengan derajat demensia sedang. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,020 (p<α) maka disimpulkan adanya hubungan antara derajat demensia dengan kondisi personal hygiene pada lansia di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar Tahun 2016. Dari hasil analisis diperoleh OR=10,625 artinya responden yang memiliki derajat demensia rendah mempunyai peluang 10,625 kali untuk kondisi personal hygiene bersih dibandingkan dengan responden demensia yang sedang. LPPM STIKes Perintis Padang 15 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 3.2. Pembahasan Analisa Univariat 1) Distribusi Frekuensi Derajat Demensia Berdasarkan distribusi frekuensi derajat demensia dapat dilihat bahwa lebih dari separoh 21 orang responden dengan persentase 75% memiliki derajat demensia ringan. Penelitian ini sesuai dengan teori dalam Kozier (2002) demensia merupakan proses yang membahayakan dan berlangsung lambat, yang mengakibatkan hilangnya fungsi kognitif secara progresif. Kondisi ini dikarakteristikan dengann perubahan memori, penilaian, bahasa, penalaran abstrak dan kemampuan menyelesaikan masalah serta perilaku impulsive, dan disorientasi. Tipe demensia yang paling ditemui sering adalah penyakit Alzheimer. Penyakit demensia yang reversible sangat penting diketahui karena pengobatan yang baik pada penderita dapat kembali menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal. Menurut John (1994) bahwa lansia yang mengalami demensia juga akan mengalami keadaan yang sama seperti orang deprewi yaitu akan mengalami deficit aktifitas kehidupan sehari-hari(AKS). Menurut asumsi peneliti dimensia merupakan suatu permasalahan kesehatan pada lansia yang sangat umum, karena pada lansia sudah mengalami penurunan fungsi-fungsi sistem tubuh, seperti menurunn daya ingat pada lansia. Lansia sering lupa akan sesuatu yang dibutuhkannya dikarenakan oleh faktor usia sehingga menurunnya daya ingat. permasalahan kesehatan demensia itu sendiri bisa mempengaruhi kehidupan lansia tersebut, bahkan lansia lupa dengan keluarga dia sendiri jika mengalami demensia berat. 2) Distribusi Frekuensi Kondisi Personal Hygiene Berdasarkan kondisi personal hygiene dapat dilihat bahwa lebih dari separoh 19 orang responden dengan persentase 67,9 % memiliki kondisi personal hygiene bersih. Penelitian ini di perkuat oleh penelitian Kolompok(2004), tentang prilaku sehat usia lanjut di Panti Wredha Senja Cerah, Kota Manado menunjukkan bahwa potensipsikososial dengan prilaku hidup sehat terdapat hubungan. semakin baik potensi psikososial lansia menjadikan perilaku hidup sehat semakin baik. Penelitian ini seesuai dengan teori menurut Wartonah (2013) personal hygiene berasal dari bahasa yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat.Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Perawatan diri merupakan salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesejahteraan, dan kesehatan sesuai denagn kondisi kesehatannya, seseorang dinyataka terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri (DEPKES,2000). Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal-hal yang sangat berpengaruh itu diantaranya kebudayaan, social, keluarga, pendidikan, persepsi seseorang terhadap kesehatan serta tingkat perkembanagan (Astutiningsing,2006). Menurut asumsi peneliti bahwa personal hygiene sangat lah penting bagi kehidupan sehari-hari karena merupakan suatu kebutuhan. kebersihan diri dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang dan ingatan seseorang dalam melaksanakan proses kebersihan diri. Perawatan diri merupakan salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesejahteraan, dan kesehatan sesuai dengan kondisi kesehatannya, seseorang dinyataka terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri. Analisis Bivariat 1) Hubungan Derajat Demensia Dengan Kondisi Personal Hygiene Pada Lansia Di Pstw Kasih Sayang Ibu Batusangkar Tahun 2016 Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara derajat demensia dengan LPPM STIKes Perintis Padang 16 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ kondisi personal hygiene, terdapat sebanyak 17 orang responden dengan persentasi 81% dari 28 orang responden yang mengalami kondisi personal hygienenya bersih dengan derajat demensia ringan. Terdapat sebanyak 4 orang responden dengan persentasi 19% dari 28 orang responden yang mengalami kondisi personal hygienenya tidak bersih dengan derajat demensia ringan. Terdapat sebanyak 2 orang responden dengan persentasi 28,6% dari 28 orang responden yang mengalami kondisi personal hygienenya bersih dengan derajat demensia sedang. Terdapat sebanyak 5 orang responden dengan persentasi 71,4% dari 28 orang responden yang mengalami kondisi personal hygienenya tidak bersih dengan derajat demensia sedang. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,020 (p<α) maka disimpulkan adanya hubungan antara derajat demensia dengan kondisi personal hygiene pada lansia di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar Tahun 2016. Dari hasil analisis diperoleh OR=10,625 artinya responden yang memiliki derajat demensia sedang mempunyai peluang 10,625 kali untuk kondisi personal hygiene tidak bersih. Penelitian ini diperkuat oleh penelitian Erdhayanti (2014), tentang hubungan tingkat pengetahuan lansia dengan perilaku lansia dalam pemenuhan personal hygiene di panti Wreda Darma Baktipanjang Surakarta. Hasil statistik didapatkan nilai p value 0,014 sehingga kesimpulannya ada hubungan tingkat pengetahuan lansia dengan perilaku lansia dalam pemenuhan personal hygiene. Penelitian ini sesuai dengan teori Dalam Kozier (2002) demensia merupakan proses yang membahayakan dan berlangsung lambat, yang mengakibatkan hilangnya fungsi kognitif secara progresif. Kondisi ini dikarakteristikan dengann perubahan memori, penilaian, bahasa, penalaran abstrak dan kemampuan menyelesaikan masalah serta perilaku impulsive, dan disorientasi. Tipe demensia yang paling ditemui sering adalah penyakit Alzheimer. Jadi, demensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian beratnya sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari dan aktifitas social.Kemunduran kognitif pada demensia biasanya diawali dengan kemunduran memori/daya ingat (pelupa). Demensia terutama disebabkan oleh penyakit Alzheimer berkaitan erat dengan lanjut usia (Nugroho,2008). Penyakit demensia yang reversible sangat penting diketahui karena pengobatan yang baik pada penderita dapat kembali menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal. Menurut John(1994) bahwa lansia yang mengalami demensia juga akan mengalami keadaan yang sama seperti orang deprewi yaitu akan mengalami deficit aktifitas kehidupan sehari-hari(AKS). Menurut Perry (2005) personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melalukukan perawatan kebersihan untuk dirinya. Menurut asumsi peneliti kebersihan diri pada lansia sangatlah penting dikerenakan merupakan kebutuhan yang mendasar pada diri. Semakin rendah derajat demensia lansia maka semakin baik kebersihan dirinya. Demensia ringan bisa mengingat dan mampu melakukan kebutuhan dasarnya seperti mandi dan kegiatan lainnya. Bertolak belakang dengan demensia berat tidak bisa mengingat dan tidak mampu melakukan kebutuhan dasarnya, dan tidak mampu mengingat orang-orang yang biasa bersamanya. Demensia ringan sangat berhubungan dengan personal hygiene yang baik dan bersih. 4. KESIMPULAN Setelah dilakukan penelitian pada bulan 21 Juni sampai 20 Juli 2016, tentang hubungan derajat demensia dengan kondisi personal hygiene pada lansia Di Pstw Kasih Sayang Ibu Batusangkar Tahun 2016, dengan jumlah responden 28 orang sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Lebih dari separoh 21 orang responden dengan persentase 75% memiliki derajat demensia rendah. 2. Lebih dari separoh 19 orang responden dengan persentase 67,9 % memiliki kondisi personal hygiene bersih. 3. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,020 (p<α) maka disimpulkan adanya hubungan LPPM STIKes Perintis Padang 17 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ antara derajat demensia dengan kondisi personal hygiene pada lansia di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar Tahun 2016. 5. REFERENSI Alimul Hidayat, Aziz. (2008). Risetkeperawatandanteknikpenelitiani lmiah.Salembamedika : Jakarta. Anonim , (1998). Undang-undang Nomor.13 tentangkesejahteraanlanjutusia.Penerb it WHO. Aspiani , R. Y. (2014). Buku ajar asuhankeperawatangerontik.Aplikasi NANDA, NIC dan NOC. Edisi1 : Jakarta. Boedhi, Darmajo . (2014). Buku ajar ilmukesehatanusialanjut.Penerbit FKUI Jakarta : EGC Bulletin, lansia. (2012). Gambarankesehatanlanjutusia di Indonesiadan bulletin jendelainformasikesehatan .EGC : Jakarta . Depkes, RI. (2013). Risetkesehatandasar .Jakarta :badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan RI. EGC : Jakarta Depkes, RI. (2001). Profilkesehatan Indonesia menuju Indonesia sehat 2010. Jakarta :DepartemenKesehatan RI Erdhayanti, S. danKartinah.(2011). Hubungandantingkatpengetahuanlansi adenganperilakudalam personal hygiene dip anti werdadarmabaktipanjang.PenerbitFak ultasIlmuKesehatanUM : Surakarta. Grayson. D. J. (2014). Concept subtitation a teaching strategy for helping student disentangle related physics concept .EGC : America Journal . Kozier, Barbara dkk.(2008). Buku ajar fundamental keperawatan.Edisi : 1.penerbit: Bukukedokteran: Jakarta. Maryam , R. Sitidkk. (2008). Mengenalusialanjutdancaracaraperawatannya. Salembamedika: Jakarta . Nugroho , W. (2006). Keperawatangerontikdangetriatri .Edisi : 3. Penerbitbukukedokteran : Jakarta . Nursalam, (2011).Konsepdanpenerapanmetodolo gipenelitianilmukeperawatan. PT GramdiaPustakaUtama : Jakarta Notoatmodjo S. (2005). Metodologipenelitiankesehatan. PT RinekaCipta : Jakarta Padila .(2013). Buku ajar keperawatangerontik.Penerbit :Nuhamedika . Yogyakarta. Potter, P. A. & Perry, A.G. (2005).Bukuajar fundamental keperawatankonsep proses danpraktek.Edisi : 4. Jakarta. Rosdahl, C. B & Kowalski, M. T. (2014).Buku ajar keerawatandasar .Edisi: 1. Penerbit :bukukedokteran. EGC : Jakarta. Sheila L. Videbeck, PhD, RN. (2008). Buku ajar keperawatanjiwa.Penerbit :bukukedokteran.EGC : Jakarta. Stanley, M &Beare, P.G. (2006).Buku ajar keperawatangerontik.EGC : Jakarta. Sugiyono. (2007). Metodepenelitianpendidikanpendekat ankuantitatif, kualitatifdanR&D.EGC : Bandung Tarwoto, Wartonah. (2010). Kebutuhandasarmanusiadan proses keperawatan. Edisi:4Salembamedika : Jakarta. LPPM STIKes Perintis Padang 18 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ KOMUNIKASI DALAM KELUARGA DENGAN PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN Yendrizal Jafri1, Sandria Oktafianti2, Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Email : [email protected]; [email protected] 1,2 Abstract Communication in the family is an important factor in language development children. Factors affecting the development of children's language is a psychosocial environmental factors that stimulation done by parents in the form of verbal communication, non-verbal children. The purpose of this study was to determine the relationship Communication Language Development In Families With Children Aged 5-6 Year. The research method is quantitative non-experimental, design "descriptive correlation", with a statistical test "Chi-Square Test". The population studied was children aged 5-6 year with sample of 30 children in kindergarten Aisyiyah Suliki. Sampling by using the technique of "total sampling". The results of research can be conclude that the value of an verago of communication good in the family is 60% and communication is not good in the family 40%. While the experience the development of the good at the is 43,3% and the development of the language not good at the child is 56,7%. Statistical test results obtained p value = 0.002 (p <α), then statistically Ha accepted that there is relationship between Communication Family With Language Development in Children Ages 5-6 years. This study is increase communication in stimulating development of child and for next research to the more develop the knowledge of factors of variable, with the longer research and more samples. Keywords: family communication, language development of children 1. PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan sosial. Pendidikan dapat diselenggarakan di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menjadi sangat penting mengingat potensi kecerdasan dan dasar-dasar perilaku seseorang terbentuk pada rentang usia dini. PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal berbentuk TK, RA atau bentuk lain yang sederajat (Noorlaila, 2010). Periode usia perkembangan dapat dimulai dari usia prenatal (konsepsi-lahir), masa bayi (lahir-1 tahun), kanak-kanak awal (toddler dan prasekolah), kanak-kanak pertengahan (6-12 tahun) dan masa kanak-kanak akhir (11-19 tahun) (Wong, 2009). Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi sampai remaja yang mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan menuju proses kematangan. Salah satu perkembangan yang dapat diukur dalam perkembangan anak adalah perkembangan bahasa (Depkes, 2006). Perkembangan bahasa anak usia 5 – 6 tahun sudah dapat mengungkapkan lebih dari 2500 kosakata, lingkup kosakata yang dapat diungkapkan anak menyangkut warna, ukuran, bentuk, rasa, bau, keindahan, kecepatan, suhu, perbedaan, perbandingan jarak dan permukaan (kasar-halus), anak usia 5 – 6 tahun dapat melakukan peran pendengar yang baik, dapat berpatisipasi dalam satu percakapan. Percakapan yang dilakukan oleh anak usia 5 – 6 tahun telah menyangkut berbagai komentarnya terhadap apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan orang lain, serta apa yang dilihatnya. Anak usia 5 – 6 tahun sudah dapat melakukan ekspresi diri, LPPM STIKes Perintis Padang 19 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ menulis, membaca bahkan berpuisi (Susanto, 2011). Perkembangan merupakan proses bertambahnya jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur. Pertumbuhan dan perkembangan pada anak terjadi secara fisik, intelektual, maupun emosional. Pada semua dimensi tumbuh kembang terdapat urutan yang jelas dan dapat diperkirakan tetapi laju perkembangan setiap anak tidak sama. Terdapat variasi yang besar dalam hal usia pencapaian tahap perkembangannya. Sebagian tumbuh dan berkembang cepat sedangkan yang lainnya lambat dalam mencapai maturitas (Wong, 2009). Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak, salah satunya adalah faktor lingkungan psikososial yaitu, stimulasi yang dilakukan oleh orang tua dalam bentuk komunikasi (komunikasi verbal, non verbal maupun pola komunikasi laissez-faire, protektif, pluralistik dan konsensual) kepada anak. Cara dan komunikasi orang tua pada anak yang salah sering menyebabkan keterlambatan, karena perkembangan terjadi akibat proses meniru dan pembelajaran dari lingkungan dan bahasa tidak dipelajari dalam kevakuman sosial (Santrock, 2007). Anak berkembang dalam keluarga, sehingga dalam keluarga banyak didominasi oleh hubungan antara orang tua dan anak. Komunikasi dalam keluarga menjadi faktor penting dalam perkembangan bahasa pada anak. Komunikasi keluarga yang adekuat memungkinkan keluarga mensosialisasikan anak dengan baik (Wong, 2006). Menurut National Center For Health Statistics (NCHS), berdasarkan laporan orang tua (diluar gangguan pendengaran serta celah pada palatum), angka kejadian gangguan bicara 0,9% pada anak dibawah usia 5 tahun, dan 1,94% pada usia 5 – 12 tahun. Berdasarkan hasil ini, diperkirakan gangguan bicara dan bahasa pada anak adalah sekitar 4-5% (Soetjiningsih, 1995). Di kota Blitar dengan metode kuesioner praskrining perkembangan (KPSP) sebanyak 6.005 anak, dengan hasil perkembangan anak 83,4% normal, 3,9% meragukan, 1,5% diduga mengalami penyimpangan atau delay (Rina & Umu). Sedangkan prevalensi di Indonesia sebesar 13-18% (Sitaresmi dkk, 2008). Berdasarkan hasil survai dan observasi di TK Aisyiyah Suliki diketahui terdapat 30 anak, hasil observasi menunjukkan 3 dari 10 anak atau sekitar 3% anak mengalami gangguan perkembangan bahasa. Dan dari hasil wawancara dengan kepala sekolah pada tanggal 21 Maret 2016 banyak anak yang mengalami gangguan perkembangan bahasa di TK Aisyiyah Suliki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Komunikasi dalam Keluarga dengan Perkembangan Bahasa pada Anak Usia 5 – 6 tahun. 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak TK Aisyiyah Suliki sebanyak 30 orang anak. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 orang anak dengan teknik sampling Total Sampling. Tempat dan Waktu Penelitian, Penelitian ini dilakukan di TK Aisyiyah Suliki. TK Aisyiyah Suliki secara geografis terletak dipusat Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota. Waktu penelitian peneliti dilaksanakan pada Februari - Juli 2016. Pengumpulan Data, peneliti mengunjungi rumah anak untuk menjelaskan maksud tujuan kepada orang tua anak serta menjalin hubungan kepercayaan dengan keluarga, lalu membagikan kuesioner kepada orang tua anak serta menjelaskan cara pengisian kuesioner dan didampingi oleh peneliti. Alat Pengumpulan Data, Alat pengumpulan data berupa kuesioner. Kuesioner tersebut dibagikan kepada responden berdasarkan jumlah sampel yang telah ditentukan. Di dalamnya terdapat 12 buah pertanyaan untuk komunikasi dalam keluarga dan 15 pertanyaan untuk perkembangan bahasa pada anak usia 5 – 6 tahun. Pengolahan Dan Analisis Data, Editing (Penyuntingan), Coding (Pengodean), Entry (Memasukkan Data), Cleaning (Pengecekan), Scoring (Penilaian) dan Processing (Pengolahan Data) LPPM STIKes Perintis Padang 20 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Analisa Data, Analisa univariat untuk mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Statistik bivariat untuk mengetahui apakah ada hubungan komunikasi dalam keluarga dengan perkembangan bahasa pada anak usia 5-6 tahun, digunakan uji statistic dengan cara chi-square. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Komunikasi Dalam Keluarga Anak Komunikasi Dalam f % Keluarga Baik 18 60 % Tidak Baik 12 40 % Jumlah 30 100 % Dari tabel 1 di atas diketahui bahwa dari 30 orang responden lebih dari separoh responden (60%) komunikasi baik dalam keluarga. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Deasy dkk (2011), tentang komunikasi dalam keluarga diperoleh data sebagian besar responden komunikasi dalam keluarganya baik yaitu sebanyak 72,9%. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rina & Umu (2013), tentang pola komunikasi orang tua didapatkan bahwa hampir setengahnya orang tua menggunakan pola komunikasi pluralistik yaitu sebanyak 41,7%. Dipertegas dengan teori yang dimunculkan oleh Muwarni (2009), Komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi dalam sebuah keluarga, yang merupakan cara seorang anggota keluarga untuk berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya, sekaligus sebagai wadah dalam membentuk dan mengembangkan nilainilai yang dibutuhkan sebagai pegangan hidupnya ketika berada dalam lingkungan masyarakat. Jika sebuah pola komunikasi keluarga tidak terjadi secara harmonis tentu akan mempengaruhi perkembangan anak. Tanpa komunikasi, sepilah kehidupan keluarga dari kegiatan berbicara, berdialog, bertukar pikiran akan hilang. Akibatnya kerawanan hubungan antara anggota keluarga sukar dihindari, oleh karena itu komunikasi antara suami istri, komunikasi antara orang tua dengan anak perlu dibangun secara harmonis dalam rangka membangun hubungan yang baik dalam keluarga. Beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga yaitu citra diri dan citra orang lain, suasana psikologis, lingkungan fisik, kepemimpinan, bahasa, perbedaan usia (Djamarah, 2004). Hasil penelitian yang peneliti lakukan, peneliti beramsumsi bahwa komunikasi yang baik dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan bahasa pada anak Tabel 2. Distribusi Frekuensi Perkembangan Bahasa Pada Anak Usia 5 – 6 Tahun. Perkembangan f % Bahasa Pada Anak Baik 13 43,3 % Tidak Baik 17 56,7 % Jumlah 30 100 % Dari tabel 2 di atas diketahui bahwa dari 30 orang responden lebih dari separoh responden (56,7%) mengalami perkembangan bahasa tidak baik pada anak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Deasy dkk (2011), tentang perkembangan bahasa pada anak diperoleh data sebagian besar responden perkembangan bahasanya baik yaitu sebanyak 59 anak (84,3 %). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rina & Umu (2013), tentang perkembangan bahasa anak didapatkan bahwa sebagian besar perkembangan bahasa anak sesuai yaitu sebanyak 66,7%. Perkembangan bahasa adalah kemampuan berbahasa lisan pada anak yang berkembang karena terjadi kematangan dari organ-organ bicara juga karena lingkungan ikut membantu mengembangkannya (Gunarsa, 2008). Permasalahan yang terjadi pada anak prasekolah adalah keterlambatan perkembangan bahasa, terutama dalam penguasaan kosa kata (Taningsih, 2006). Perkembangan kemampuan berbahasa bertujuan agar anak didik mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud LPPM STIKes Perintis Padang 21 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ adalah lingkungan di sekitar anak antara lain lingkungan teman sebaya, teman bermain, orang dewasa, baik yang ada di rumah, di sekolah, maupun dengan tetangga di sekitar tempat tinggalnya (Depdikas, 2005). Hasil penelitian yang peneliti lakukan, peneliti berasumsi bahwa perkembangan bahasa anak dipengaruhi oleh komunikasi dalam keluarga. Tabel 3. Hubungan Komunikasi Dalam Keluarga Dengan Perkembangan Bahasa Pada Anak Usia 5–6 Tahun Perkembangan Bahasa Pada Anak Komunikasi Dalam Keluarga Baik Tidak Baik Total f % f % f % Baik 12 66,7 6 33,3 18 100 Tidak Baik 1 8,3 11 91,7 12 100 Jumlah 13 43,3 17 56,7 30 100 P value OR 0,002 22,000 Dari Tabel 3 di atas dilihat bahwa 18 responden yang melakukan komunikasi baik dalam keluarga yang mengalami perkembangan bahasa baik pada anak yaitu 66,7 % dan perkembangan bahasa tidak baik pada anak yaitu 33,3%. Dan 12 responden yang mengalami perkembangan bahasa tidak baik pada anak yang melakukan komunikasi yang tidak baik dalam keluarga yaitu 91,7% dan komunikasi tidak baik dalam keluarga yaitu 8,3%. Dari hasil tersebut dilakukan uji Chi-Square responden yang karakteristik perkembangan dengan komputerisasi maka di dapat hasil p bahasa yang baik dengan komunikasi baik Value = 0,002 < 0,05 sehingga p Value < α, sebanyak 49 orang (70,0 %), yang sedang maka secara statistik Ha diterima sehingga ada sebanyak 9 orang (12,9 %), yang kurang 1 orang Hubungan antara Komunikasi Dalam Keluarga (1,4%). Dengan Perkembangan Bahasa Pada Anak Usia Hasil penelitian ini sejalan dengan 5 – 6 Tahun. Oods Ratio = 22,000 yang artinya penelitian yang dilakukan oleh Deasy dkk komunikasi dalam keluarga yang baik akan (2011), tentang hubungan antara komunikasi berpeluang sebesar 22,000 kali lebih baik dalam keluarga dengan perkembangan bahasa perkembangan bahasanya dibandingkan dengan anak usia prasekolah di TK Tunas Rimba anak yang tidak berkomunikasi baik dalam Mranggen Demak Tahun 2011 didapat bahwa keluarganya. responden yang karakteristik perkembangan Hasil penelitian ini sejalan dengan bahasa yang baik dengan komunikasi baik penelitian yang dilakukan oleh Deasy dkk sebanyak 49 orang (70,0 %), yang sedang (2011), tentang hubungan antara komunikasi sebanyak 9 orang (12,9 %), yang kurang 1 orang dalam keluarga dengan perkembangan bahasa (1,4%). anak usia prasekolah di TK Tunas Rimba Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Mranggen Demak Tahun 2011 didapat bahwa penelitian yang dilakukan oleh Rina & Umu LPPM STIKes Perintis Padang 22 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ (2013), tentang Hubungan Pola Komunikasi Orang Tua Dengan Perkembangan Bahasa Anak Prasekolah (Usia 2-5 Tahun) di PAUD Hidayatul Ilmi Tambak Agung Kabupaten Mojokerto tahun 2013 dapat diketahui bahwa 15 orang dari 36 responden yang menerapkan pola komunikasi pluralistik didapat hampir seluruhnya perkembangan bahasa anak sesuai yaitu sebanyak 80 %. Dan dapat diketahui bahwa 9 orang dari total responden yang menerapkan pola komunikasi konsesual didapat hampir seluruhnya perkembangan bahasa sesuai yaitu sebanyak 88,9 %. Komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi dalam sebuah keluarga, yang merupakan cara seorang anggota keluarga untuk berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya, sekaligus sebagai wadah dalam membentuk dan mengembangkan nilai-nilai yang dibutuhkan sebagai pegangan hidupnya ketika berada dalam lingkungan masyarakat. Jika sebuah pola komunikasi keluarga tidak terjadi secara harmonis tentu akan mempengaruhi perkembangan anak (Muwarni, 2009). Perkembangan bahasa adalah kemampuan berbahasa lisan pada anak yang berkembang karena terjadi kematangan dari organ-organ bicara juga karena lingkungan ikut membantu mengembangkannya (Gunarsa, 2008). Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan, peneliti berasumsi bahwa komunikasi keluarga yang baik mempengaruhi perkembangan bahasa pada anak, tapi sebaliknya jika komunikasi tidak baik maka perkembangan bahasa anak pun tidak baik. Dibuktikan dengan hasil penelitian dari 30 responden didapatkan 12 responden (66,7%) yang berkomunikasi baik dalam keluarga dan perkembangan bahasanya juga baik. Dan masih terdapat 6 responden (33,3%) yang berkomunikasi baik dalam keluarga dan perkembangan bahasanya tidak baik. Hal ini di pengaruhi oleh faktor seperti pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, lingkungan. Lebih dari separoh (56,7%) responden mengalami perkembangan bahasa yang tidak baik pada anak. Terdapat hubungan yang bermakna antara komunikasi dalam keluarga dengan perkembangan bahasa pada anak usia 5 - 6 tahun (p=0,002). 5. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2006. Kurikulum Berbasis Kompetensi TK. Jakarta : Dorektorat Jendral Pendidikan Dasar Menengah Deasy dkk. 2011. Hubungan Antara Komunikasi Dalam Keluarga Dengan Perkembangan Bahasa Pada Anak Usia Prasekolah. Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta Gunarsa, S. D. 2008. Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia IDAI. 2010. Tumbuh Kembang Anak Dan Remaja Buku Ajar 1. Jakarta : Sagung Seto Muwarni, Anita. 2009. Komunikasi Terapeutik Panduan Bagi Keperawatan. Fitramaya : Yogyakarta Rina & Umu. 2013. Hubungan Pola Komunikasi Orang Tua Dengan Perkembangan Bahasa Anak Prasekolah (Usia 2-5 tahun). Santrock J. W. 2007. Perkembangan Anak. Edisi 11. Jilid 1. Jakarta : Erlangga Wong. dkk. dkk. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Alih Bahasa Neti. Jakarta : EGC --------------------. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Alih Bahasa Neti. Jakarta : EGC Yusuf. S. 2011. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya 4. KESIMPULAN Lebih dari separoh (60%) responden berkomunikasi baik dalam keluarga. LPPM STIKes Perintis Padang 23 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ABORTUS DI RSUD DR. ADNAAN WD PAYAKUMBUH Hidayati ¹, Dina Destri Putri ² Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang E-mail : [email protected] 1,2 Abstract Abortion is the interruption or release of 20-week old fetus or fetal weight of less than 500 grams or panjag fetus is less than 25 cm. Abortion is influenced by several factors: age, parity, spacing pregnancies and abortion history. In the Adnaan WD Hospital Payakumbuh obtained from a medical recordof 50 patient sex perienced a miscarriage in the last 4 months. The purpose of this study was to determine the factors associated with the incidence of abortion in Hospital Dr. Adnaan WD Payakumbuh. This study used a descriptive analytic methods Retrospective Study design approach, then the data is processed by using ChiSquare test. The population in this study were 200 people with a sample of 50respondents. Research results of univariate obtained more than half of the 56% of the age of the patient is not a trisk, moret han half the 58% factor of parity is not atrisk, while the spacing pregnancies at 50% of risk with no riskand a history of abortion more than half 54% never happened and abortion more than half 66% not occurabortion. The testre sult sobtained forage statustik p value of 0.016, p value 0.001 parity ,pregnancy spacing p value of 0.000 and a history of abortion p value 0,047,the four factors of abortion above its p value <0.05. In conclusion there is are lationsip between age ,parity , spacing pregnancies, history of abortion by abortion. It is advisable toinstitutional Hospital Midwifery or polyparticular space tobe able to provide educationor heal the ducation about abortion. Keywords : Abortion, Pregnancy 1. PENDAHULUAN Kejadian abortus di Indonesia berkisar antara 750.000 sampai 1,5 juta kasus. Abortus di Indonesia terjadi baik didaerah perkotaan maupun pedesaan. Data yang di rilis oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 2003 menyatakan tingkat abortus di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan negaranegara maju didunia, yakni mencapai 2,3 juta abortus pertahun (Depkes RI, 2003). Riwayat abortus pada penderita abortus merupakan predisposisi terjadinya abortus berulang. Kejadiannya sekitar 3-5% data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus pasangan punya resiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, resikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah 30-45%. Menurut Suryadi (1994) penderita dengan riwayat abortus 1 kali dan 2 kali menunjukkan adanya pertumbuhan janin yang terlambat pada kehamilan berikutnya melahirkan bayi prematur. Sedangkan dengan riwayat abortus 3 kali atau lebih, ternyata terjadi pertumbuhan janin yang terlambat, prematuritas (Suryadi, 1994). Di Sumatera Barat angka kematian ibu tahun 2016 sebesar 230 per 100.000 kelahiran hidup dan menurun tahun 2007 sebesar 229 per kelahiran hidup dengan angka kematian bayi (AKB) sebesar 2,7 per 1000 kelahiran hidup dan meningkat menjadi 16,5 per 1000 kelahiran hidup (DINKES Sumatera Barat, 2007). Berdasarkan survey RSUD Dr.AdnaanWD Payakumbuh di dapatkan dari catatan Rekam Medik 50 orang pasien mengalami abortus dalam 4 bulan terakhir. Ini merupakan angka kejadian abortus yang tinggi yang tercatat di RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh. Berdasarkan wawancara denga kepala ruangan kebidanan RSUD. Dr. Adnan WD Payakumbuh mengatakan bahwa banyak pasien yang dirawat diruang kebidanan karena mengalami abortus 42 % terjadi pada kelompok usia diatas 35 tahun, kemudian di ikuti kelompok usia 30-34 tahun LPPM STIKes Perintis Padang 24 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ dan antara 25-29 tahun. Hal ini disebabkan usia diatas 35 tahun secara medik merupakan usia yang rawan untuk kehamilan. Selain itu ibu cendrung memberi perhatian yang kurang terhadap kehamilannya dikarenakan sudah mengalami kehamilan lebih dari sekali dan tidak bermasalah pada kehamilan sebelumnya (RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh). Berdasarkan uraian di atas penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian abortus di RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian abortus di Ruang Kebidanan di RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh. Faktor- faktor tersebut adalah faktor resiko usia,paritas, jarak kehamilan,riwayat abortus.Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan secara Retrospektif Study,yaitu pengumpulan data di mulai dari efek atau akibat yang telah terjadi, kemudian dari efek tersebut ditelusuri penyebabnya atau variabel-variabel yang mempengaruhi akibat tersebut (Notoatmodjo,2005). Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Kebidanan RSUD Dr.Adnaan WD Payakumbuh. Populasi pada penelitian ini semua pasien yang mengalami kejadian abortus di rawat di Ruang Kebidanan RSUD Dr.Adnaan WD Payakumbuh sebanyak 50 orang dijadikan sampel. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Analisis Bivariat Tabel 1. Hubungan Faktor Usia Dengan Kejadian Abortus di RSUD Dr.Adnaan WD Payakumbuh Kejadian abortus Total Faktor usia Terjadi Tidak Terjadi P value OR value f % f % F % Beresiko 12 54,5 10 45,5 22 100 0,016 5,520 Tidak Beresiko 5 17,9 23 82,1 28 100 Total 17 34 33 66 50 100 Berdasarkan Tabel 1 didapatkan bahwa faktor usia yang beresiko terjadi abortus sebanyak 12 orang (54,5%), faktor usia yang beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 10 orang (45,5%), faktor usia yang tidak beresiko terjadi abortus sebanyak 5 orang (17,9%), faktor usia yang tidak beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 23 orang (82,1%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,016 dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara faktor usia dengan kejadian abortus. Hasil analisis didapatkan nilai OR = 5,520 artinya faktor usia yang beresiko berpeluang 5,520 kali terjadinya kejadian abortus dibandingkan dengan yang tidak beresiko Tabel 2. Hubungan Faktor Paritas Dengan Kejadian Abortus di RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh Kejadian abortus Total Faktor paritas Terjadi Tidak Terjadi P value OR value F % F % F % Beresiko 16 55,2 13 44,8 29 100 0,001 24,615 Tidak Beresiko 1 4,8 20 95,2 21 100 Total 17 34 23 66 50 100 Berdasarkan Tabel 2 didapatkan bahwa faktor paritas yang beresiko terjadi abortus sebanyak 16 orang (55,2%), faktor paritas yang beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 13 orang (44,8%), faktor paritas yang tidak beresiko terjadi abortus sebanyak 1 orang (4,8%), faktor paritas tidak beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 20 orang (95,2%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value LPPM STIKes Perintis Padang 25 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 0,001 dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara faktor paritas dengan kejadian abortus. Hasil analisis didapatkan nilai OR = 24,615 artinya faktor paritas yang beresiko berpeluang 24,615 kali terjadinya kejadian abortus dibandingkan dengan yang tidak beresiko. Tabel 3. Hubungan Faktor Jarak Kehamilan Dengan Kejadian Abortus di RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh Kejadian abortus Total Faktor jarak Terjadi Tidak Terjadi P value OR value kehamilan F % f % F % Beresiko 15 60 10 40 25 100 0,000 17,250 Tidak Beresiko 2 8 23 92 25 100 Total 17 34 33 66 50 100 Berdasarkan Tabel 3 didapatkan bahwa faktor jarak kehamilan yang beresiko terjadi abortus sebanyak 15 orang (60%), faktor jarak kehamilan yang beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 10 orang (40%), faktor jarak kehamilan yang tidak beresiko terjadi abortus sebanyak 2orang (8%), faktor jarak kehamilan tidak beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 23 orang (92%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,000 dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara faktor jarak kehamilan dengan kejadian abortus. Hasil analisis didapatkan nilai OR = 17,250 artinya faktor jarak kehamilan yang beresiko berpeluang 17,250 kali terjadinya kejadian abortus dibandingkan dengan yang tidak beresiko. Tabel 4. Hubungan Faktor Riwayat Abortus dengan Kejadian Abortus di RSUD Dr. Adnaan WD Kejadian abortus Total Faktor riwayat Terjadi Tidak Terjadi P value OR value abortus f % F % F % Pernah terjadi 13 48,1 14 51,9 27 100 0,047 4,411 Tidak pernah terjadi 4 17,4 19 82,1 23 100 Total 17 34 33 66 50 100 Berdasarkan Tabel 4 didapatkan bahwa pernah terjadi faktor riwayat abortus terjadi abortus sebanyak 13 orang (48,1%), pernah terjadi faktor riwayat abortus tidak terjadi abortus sebanyak 14 orang (51,9%), tidak pernah terjadi faktor riwayat abortus terjadi abortus sebanyak 4 orang (17,4%), tidak pernah terjadi faktor riwayat abortus tidak terjadi abortus sebanyak 19 orang (82,1%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,047 dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara faktor riwayat abortus dengan kejadian abortus. Hasil analisis didapatkan nilai OR = 4,411 artinya pernah terjadinya faktor riwayat abortus berpeluang 4,411 kali terjadinya kejadian abortus dibandingkan dengan yang tidak beresiko. 3.2. Pembahasan Analisis Univariat a. Faktor Usia Hasil penelitian dapat dilihat bahwa lebih dari separuh faktor usia yang tidak beresiko sebanyak 28 orang responden (56%). Berdasarkan penelitian Putri, di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten bahwa usia <20 tahun >35 tahun mengalami abortus didapatkan hasil distribusi frekuensi umur ibu 26% yang beresiko abortus. Sedangkan menurut penelitian Ricika (2014), tentang hubungan umur dengan kejadian abortus di RSU PKU Muhammadiyah Bantul, didapatkan hasil distribusi frekuensi umur ibu dari 30 orang responden yang mengalami abortus didapatkan 18 responden (60%) dengan umur tidak beresiko, dan 12 responden (40%) dengan umur beresiko. Pada kehamilan usia muda keadaan ibu masih labil dan belum siap mental untuk menerima kehamilannya. Akibatnya, selain tidak ada persiapan, kehamilannya tidak dipelihara dengan baik. Kondisi ini menyebabkan ibu jadi stres dan akan LPPM STIKes Perintis Padang 26 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ meningkatkan resiko terjadinya abortus (Prawihardjo, 2002). Pada usia 35 tahun atau lebih kesehatan ibu sudah menurun. Akibatnya, ibu hamil pada usia tersebut mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai anak premature, persalinan lama, perdarahan dan abortus (Leveno, 2009). Resiko abortus meningkat seiring dengan usia ibu. Frekuensi abortus yang secara klinis terdeteksi meningkat 12% pada wanita berusia <20 tahun, menjadi 26% pada usia >40 tahun. Ibu yang telah mengalami abortus pada trimester I banyak terdapat pada ibu yang hamil muda yaitu umur 18 tahun, lebih rendah kejadiannya pada wanita 20-35 tahun dan berkembang meningkat tajam pada usia >35 tahun (Cuninghams, 2005). Kehamilan pada usia ibu <20 tahun merupakan resiko pada ibu dan janin karena organ-organ reproduksi belum matang dan berfungsi secara optimal termasuk endrometrium tempat implementasi dan berkembangnya usia kehamilan untuk pemberian nutrisi, oksigenasi janin menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Depkes, RI, 2004). Menurut analisis peneliti bahwa kejadian abortus biasanya terjadi pada usia yang lebih muda karena organ-organ reproduksi masih belum matang atau berfungsi secara optimal, atau usia yang lebih tua karena kesehatan ibu sudah menurun, yang mempunyai faktor risiko, atau penyakit penyerta, semakin produktif usia seseorang semakin terhindar orang tersebut dari kejadian abortus. b. Faktor Paritas Hasil penelitian dapat dilihat bahwa lebih dari separuh faktor paritas yang tidak beresiko sebanyak 29 orang responden (58%). Berdasarkan hasil penelitian Putri pada tahun 2013 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten bahwa >3 yang banyak mengalami abortus yaitu sebanyak 140 responden (48,2%) dari 194 responden yang mengalami abortus. Sedangkann menurut penelitian Ernawaty (2011), dengan bahwa hubungan paritas dengan kejadian abortus di instalasi rawat inap kebidanan RSU DRM Soewandhie Surabaya. Didapatkan hasil univariat bahwa >3 yang banyak mengalami abortusyaitu sebanyak 197 responden (67,03%) yang mengalami abortus. Sedangkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ernawati dan Putri karena penelitian ini lebih dari separoh yang tidak beresiko. Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun mati. Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman di tinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal, sedangkan resiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagai kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wikjosastro, 2002). Seorang wanita memerlukan waktu selama 2-3 tahun agar dapat pulih secara fisiologis dari satu kehamilan atau persalinan dan mempersiapkan diri untuk kehamilan berikutnya (Prawirohardjo, 2009). Menurut analisis peneliti jarak kehamilan harus diperhatikan untuk kesehatan kehamilan yang akan datang, karena semakin singkat jarak kehamilan seseorang maka akan berisiko terhadap kehamilan selanjutnya. Pada saat melahirkan dinding- dinding rahim akan menjadi tegang, dan belum pulih setelah melahirkan sebaiknya jarak kehamilan perlu diatur. Selain untuk kesehatan janin, dan juga untuk kesehatan ibu. c. Faktor Jarak Kehamilan Hasil penelitian dapat dilihat bahwa separuh mempunyai faktor jarak kehamilan tidak beresiko sebanyak 25 orang responden (50%), sama dengan yang beresiko sebanyak 25 orang (50%). Berdasarkan hasil penelitian Putri pada tahun 2013 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten bahwa mayoritas ibu dan jarak kehamilan < 2 tahun yang banyak mengalami abortus yaitu sebanyak 138 responden (37,2%) dari 194 responden yang mengalami abortus. Sedangkan jarak kehamilan > 2 tahunyang mengalami abortus sebanyak 56 responden (15,1%) dari 194 responden yang mengalami abortus. Sedangkan menurut penelitian Qodariyah (2013), tentang hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian abortus di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun LPPM STIKes Perintis Padang 27 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 2013. Didapatkan hasil univariat jarak kehamilan jauh (>4tahun) sebanyak 23 orang responden (57,5%) dan minoritas ibu yang mengalami abortus spontan termasuk dalam sebelumnya. Sedangkan pada kelompok yang tidak mengalami abortus, ada 28 (14,0%) pasien yang pernah mengalami abortus sebelumnya dan sebanyak 172 (86%) pasien yang tidak memiliki riwayat sebelumnya. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmani karena penelitian ini lebih dari separuh pernah terjadi abortus. Riwayat abortus pada penderita abortus merupakan predisposisier jadinya abortus berulang. Kejadiannya sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus pasangan punya resiko15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah 30-45% (Prawirohardjo,2009). d. Faktor RiwayatAbortus Hasil penelitian dapat dilihat bahwa lebih dari separoh pernah terjadi abortus 27 orang 54%. Berdasarkan hasil penelitian Rahmani tahun 2014 menunjukkan bahwa pada pasien yang mengalami abortus, ada sebanyak 26 (26,3%) pasien yang pernah mengalami abortus sebelumnya dan terdapat 73 (73,7%) pasien yang tidak memiliki riwayat abortus. Menurut analisis peneliti bahwa semakin banyak jumlah anak yang dilahirkan maka semakin beresiko untuk anak selanjutnya kerena pada dinding-dinding rahim akan mengalami perubahan, kerusakan pada pembuluh-pembuluh darah. Seorang ibu yang melahirkan mempunyai resiko kesehatannya dan juga bagi kesehatan anaknya. Hal ini beresiko karena pada ibu dapat timbul kerusakan-kerusakan pada pembuluh darah dinding uterus yang mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin. Jumlah anak yang dilahirkan akan mempengaruhi kehamilanyang akan datang karena semakin banyak jumlah anak yang dilahirkan maka semakin beresiko terhadap kejadian abortus dikarenakan sistem reproduksi sudah mengalami penurunan fungsi. e. KejadianAbortus Hasil penelitian dapat dilihat bahwa lebih dari separoh kejadian abortus tidak terjadi sebanyak 33 orang responden (66%). Keguguran atau abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup didunia luar, tanpa mempersoalkan sebabnya. Menurut WHO, aborsi berarti keluarnya janin dengan berat badan janin <500gram atau usia kehamilan <22 minggu. Mengingat kondisi penanganan bayi baru lahir berbeda-beda diberbagai negara, usia kehamilan seperti pada defenisi abartus dapat berbeda-beda pula. Di negara maju oleh karena teknologi ilmu kedokteran yang canggih, keguguran saat ini artinya sebagai keluarnya hasil konsepsi ketika usia kehamilan <20 minggu atau berat janin <500 gram (Martaadisoebrata, 2013). Menurut New Shorter Oxford Dictionari (2002), abortus adalah persalinan kurang bulan sebelum usia janin yang memungkinkan untuk hidup, dalam hal ini kata ini bersinonim dengan keguguran. Abortus spontan dengan kromosom normal lebih sering dialami wanita usia lanjut 14-19% (Wahyuningsih, 2009). Menurut analisis peneliti kejadian abortus merupakan kejadian yang sangat mengancam keselamatan janin dan ibu. Semakin sering ibu mengalami abortus maka semakin membahayakan pada kehamilan yang akan datang karena abortus yang berulang bisa merusak dinding-dinding rahim, pembuluh darah pada rahim. Analisis Bivariat a. Hubungan Faktor Usia dengan Kejadian Abortus Di RSUD. Adnaan WD Hasil penelitian didapatkan bahwa faktor usia yang beresiko terjadi abortus sebanyak 12 orang (54,5), faktor usia yang beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 10 orang (45,5%), faktor usia yang tidak beresiko terjadi abortus sebanyak 5 orang (17,9), faktor usia yang tidak beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 23 orang (82,1). Hasil uji statistik di dapatkan nilai p value 0,016 dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara faktor usia dengan kejadian abortus. Hasil analisis didapatkan nilai OR = 5,520 artinya faktor usia yang beresiko berpeluang 5,520 kali terjadinya kejadian abortus dibandingkan dengan yang tidak LPPM STIKes Perintis Padang 28 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ beresiko. Menurut penelitian diatas dihubungkan dengan penelitian Rahmani tahun 2014 didapatkan hasil penelitian hubungan antara usia ibu dengan kejadian abortus diperoleh hasil uji statistik dengan p value 0,000 artinya ada hubungan antara usia ibu dengan kejadian abortus. Menurut analisis peneliti semakin muda usia seseorang maka akanberesiko terjadinya abortus dan semakin tua umur seseorang akan beresiko terhadap terjadinya abortus. Maka merencanakan kehamilan sebaiknya pada usia produktif karena pada usia produktif sistem organ reproduksi secara anatomi sangat sempurna atau baik sehingga dapat meminimalkan kejadian abortus. b. Hubungan Faktor Paritas Dengan Kejadian Abortus di RSUD Dr.Adnaan WD Payakumbuh Hasil penelitian didapatkan bahwa faktor paritas yang beresiko terjadi abortus sebanyak 16 orang (55,2%), faktor paritas yang beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 13 orang (44,8%), faktor paritas yang tidak beresiko terjadi abortus sebanyak 1 orang (4,8%), faktor paritas tidak beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 20 orang (95,2%). Hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue 0,001 dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara faktor paritas dengan kejadian abortus. Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 24,615 artinya faktor paritas yang beresiko berpeluang 24,615 kali terjadinya kejadian abortus dibandingkan dengan yang tidak beresiko. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rahmani tahun (2012), hasil analisis hubungan antara paritas dengan kejadian abortus diperoleh bahwa hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0.001 maka dapat disimpulkan ada hubungan kejadian abortus antara pasien yang memiliki paritas <1 dan >5 dengan pasien yang paritasnya 1-5 (ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian abortus). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ernawaty (2011), tentang hubungan paritas dengan kejadian abortus di instalasi rawat inap kebidanan RSU DR M Soewandhie Surabaya tahun 2011. Hasil uji statistik didapatkan pvalue 0,027 artinya adanya hubungan antara paritas dengan kejadian abortus. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmani dan Ernawati karena sama-sama berhubungan antara paritas dengan kejadian abortus. Menurut analisis peneliti jumlah anak yang dilahirkan akan berpengaruh dengan kejadian abortus, semakin banyak jumlah anak yang dilahirkan maka semakin beresiko terhadap kehamilan selanjutnya karena area sekitar rahim sudah mengalami penurunan fungsi, dinding rahim sudah berangsur rusak, pembuluh darah juga mulai rusak di sekitar rahim, oleh sebab itu jumlah anak yang dilahirkan sebaiknya diatur supaya bisa meminimalkan kejadian abortus. c. Hubungan Faktor Jarak Kehamilan Dengan Kejadian Abortus di RSUD dr. AdnaanWD Payakumbuh Hasil penelitian didapatkan bahwa faktor jarak kehamilan yang beresiko terjadi abortus sebanyak 15 orang (60%), faktor jarak kehamilan yang beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 10 orang (40%), faktor jarak kehamilan yang tidak beresiko terjadi abortus sebanyak 2 orang (8%), faktor jarak kehamilan tidak beresiko tidak terjadi abortus sebanyak 23 orang (92%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,000 dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara faktor jarak kehamilan dengan kejadian abortus. Hasil analisis didapatkan nilai OR= 17,250 artinya faktor jarak kehamilan yang beresiko berpeluang 17,250 kali terjadinya kejadian abortus dibandingkan dengan yang tidak beresiko. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmani dan Qodariyah karena sama-sama berhubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian abortus. Jarak kehamilan sangat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya. Seorang wanita memerlukan waktu selama 23tahun agar dapat pulih secara fisiologis dari satu kehamilan atau persalinan dan mempersiapkan diri untuk kehamilan berikutnya (Prawirohardjo, 2009). Menurut analisis peneliti didapatkan semakin dekat jarak kehamilan seseorang maka semakin beresiko terhadap kejadian abortus, karena jarak kehamilan yang dekat akan membuat dinding rahim belum stabil dan akan menjadi rusak karena belum lama siap LPPM STIKes Perintis Padang 29 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ melahirkan keadaan pada dinding rahim belum stabil atau belum bekerja dengan sempurna. 3. d. Hubungan Faktor Riwayat Abortus Dengan Kejadian Abortus di RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh Hasil penelitian didapatkan bahwa pernah terjadi faktor riwayat abortus terjadi abortus sebanyak 13 orang (48,1%), pernah terjadi faktor riwayat abortus tidak terjadi abortus sebanyak 14 orang (51,9%), tidak pernah terjadi faktor riwayat abortus terjadi abortus sebanyak 4 orang (17,4%), tidak pernah terjadi faktor riwayat abortus tidak terjadi abortus sebanyak 19 orang (82,1%). Hasil ujistatistik didapatkan nilai p value 0,047 dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara faktor riwayat abortus dengan kejadian abortus. Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 4,411 artinya pernah terjadinya faktor riwayat abortus berpeluang 4,411kali terjadinya kejadian abortus dibandingkan dengan yang tidak beresiko. Riwayat abortus pada penderita abortus merupakan predisposisi terjadinya abortus berulang. Kejadiannya sekitar 3-5% data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus pasangan punya resiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, resikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah 30-45%. Menurut analisis peneliti semakin banyak riwayat abortus seseorang maka semakin besar orang tersebut akan mengalami kejadian abortus karena, kejadian abortus berulang akan membuat keadaan rahim akan rusak dan penurunan fungsi karena dikurek. Pada kehamilan selanjutnya akan membuat anak akan sulit berkembang di dalam rahim. 4. KESIMPULAN Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 responden dengan kejadian abortus di RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh tahun 2016, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Lebih dari separoh faktor usia yang tidak beresiko sebanyak 28 orang responden dengan persentasi 56 %. 2. Lebih dari separoh yang faktor paritas yang tidak besiko sebanyak29 orang responden dengan persentasi 58% danseparoh lagi yang 4. 5. 6. 7. 8. 9. faktor paritas yang beresiko sebanyak 21 responden dengan persentasi 42%. Separoh mempunyai faktor jarak kehamilan tidak beresiko sebanyak 25 orang responden dengan persentasi 50%, dan yang beresiko sebanyak 25 orang dengan persentase 50%. Lebih dari separoh pernah terjadi abortus 27 orang dengan persentase54%. Lebih dari separoh kejadian abortus tidak terjadi sebanyak 33 orang responden dengan persentasi 66%. Ada hubungan antara faktor usia dengan kejadian abortus di RSUD Adnaan WD dengan p value 0,016. Ada hubungan antara paritas dengan kejadian abortus di RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh dengan p value 0,001. Ada hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian abortus diRSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh dengan p value 0,000. Ada hubungan antara riwayat kehamilan dengan kejadian abortus diRSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh dengan p value 0,047. 5. REFERENSI Arikunto S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Prektik,edrevisi VI, penerbit PT RinekaCipta, Jakarta Cuningham, F.G. (2005). Obstetri Williams. Jakarta : EGC Edisi: 21 Prawirihardjo, Sarwono,2009.ImuKebidanan, PenerbitYayasanBina Pustaka Sarwono, Prawirohadjo, Jakarta. Dinas Kesehatan Sumatera Barat. 2007.Angka Kematian Ibu danBayi. Enimeiliya,EstiWahyuningsih.BukuSakuKebida nan.Jakarta: EGC, 2009. Erniwati. 2011.Hubungan antara Paritas DenganKejadianAbortusdiRSU DR MSoewandhie Surabaya. Hidayat. 2009. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Bineka Cipta. Kenneth J.Leveno Obstetri Williams : Panduan Ringkas, ed.21 Jakarta : EGC, 2009. Manuaba,IBG, 2007,Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga BerencanauntukPendidikan Bidan, Jakarta. ManuabaIBG, 2010.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk LPPM STIKes Perintis Padang 30 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ PendidikanBidanEdisi2.Jakarta : ECG. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005.Metodologi penelitian kesehatan,P.T. Rineka Cipta. Jakarta. Nursalam 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Kesehatan, jakarta : RinekaCipta, Jakarta. Prawirohardjo, Sarwono.2009.Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.Jakarta:PT Bina Pustaka Rukiyah,dkk.2009.asuhankebidanan1 (kehamilan). Jakarta : Trans Info Media LPPM STIKes Perintis Padang 31 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ STROKE BERULANG DENGAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL PADA PASIEN STROKE DI POLIKLINIK NEUROLOGI RSSN BUKITTINGGI Lisa Mustika Sari Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Email: [email protected] Abstract Stroke is the third largest cause of death after heart disease and cancer, with a mortality rate of 18% to 37% for the first stroke and 62% for recurrent stroke, and also a major cause of disability. Disability and mortality rising in the case of recurrent stroke are much higher than the rate of disability and death from stroke earlier cases, it will result in the fulfillment of functional ability in activities of daily life. The purpose of the research is to determine the relationship of recurrent stroke incidence with the functional capabilities on stroke patients. The research at the Neurology Clinic National Stroke Hospital Bukittinggi by the method of descriptive correlation with cross-sectional approach and accidental sampling of sampling to 40 people, and data processing used the chi - square. The instrument used a questionnaire. The research has suggested relationship of recurrent stroke with functional ability on stroke patients with P Value = 0,010 and OR = 9,750 which means that Ha is accepted. The conclusion is there is relationship of recurrent stroke incidence with the functional capabilities on stroke patients in Neurology Clinic National Stroke Hospital Bukittinggi. It is expected the extension to Nationel Stroke Hospital Bukittinggiofsecondaryprevention measures like healthy lifestyle, treatment, and stroke riskfactorcontrolcan bedone directlythroughcounselingor indirectlythroughmediasuch asposters and brochure. Keywords: Stroke, Functional Capabilities, Stroke Recurrent Stroke 1. PENDAHULUAN Stroke yang juga dikenal dengan istilah cerebrovascular accident atau brain attack, merupakan kerusakan mendadak pada peredaran darah dalam otak dalam satu pembuluh darah atau lebih. Serangan stroke akan mengganggu atau mengurangi pasokan oksigen dan umumnya menyebabkan kerusakan yang serius atau nekrosis pada jaringan otak (Kowalak, et al. 2011). Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain (Rskesdas, 2013) Berat atau ringannya dampak serangan stroke tersebut sangat bervariasi, tergantung pada lokasi dan luas daerah otak yang rusak. Bila aliran darah terputus hanya pada area yang kecil atau terjadi pada daerah otak yang tidak rawan, efeknya ringan dan berlangsung sementara. Sebaliknya, bila aliran darah terputus pada daerah yang luas atau pada bagian otak yang vital, terjadi kelumpuhan yang parah sampai pada kematian. (Vitahealth. et al. 2004). Stroke mengenai 1 dari 600 pasien per tahun, dan sekitar 5% populasi berusia di atas 65 tahun akan mengalami stroke. Pada sekitar 85% kasus penyebabnya iskemik (trombosis atau emboli), 10% disebabkan oleh perdarahan intra serebral, dan 5% akibat perdarahan subarakhnoid. Stroke merupakan penyebab dari 12% kematian negara industri. Pada unit stroke, 5-13% kasus memiliki lesi nonvaskular (tumor, perdarahan subdural, paresis pasca kejang, migren, infeksi intakranial, gangguan metabolik, histeria). (Rubenstein. et al, 2005). Stroke adalah masalah neurologik primer di AS dan di dunia. Meskipun upaya pencegahan telah menimbulkan penurunan pada insiden dalam beberapa tahun terakhir, stroke adalah peringkat ketiga penyebab kematian setelah jantung dan kanker, dengan laju mortalitas 18% sampai 37% untuk stroke pertama dan sebesar 62% untuk stroke berulang, dan stroke juga LPPM STIKes Perintis Padang 32 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ menjadi penyebab kecacatan utama (Smeltzer & Bare, 2002). Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat. Secara umum, dapat dikatakan angka kejadian stroke adalah 200 per 100.000 penduduk. Dalam satu tahun, di antara 100.000 penduduk, maka 200 orang akan menderita stroke. (Yayasan Stroke Indonesia, 2012). Stroke berulang merupakan stroke yang terjadi lebih dari satu kali dan hal yang mengkhawatirkan pasien stroke karena dapat memperburuk keadaan dan meningkatnya biaya perawatan. Bahaya yang ditimbulkan oleh stroke berulang adalah kecacatan dan bisa mengakibatkan kematian. Faktor yang mempengaruhi terjadinya stroke berulang diantaranya faktor yang tidak dapat diubah seperti usia, jenis kelamin, ras, keturunan dan faktor yang dapat diubah seperti hipertensi, diabetes mellitus, kelainan jantung, merokok, aktivitas fisik/olahraga, kepatuhan kontrol, obesitas, konsumsi alkohol, diit. Resiko tertinggi bagi stroke berulang adalah dalam 6-12 bulan setelah stroke sebelumnya. Secara rata-rata 1 dari 10 orang mengalami stroke kedua dalam setahun, dan 3 dari 10 mengalami stroke berulang dalam lima tahun pertama setelah stroke awal (Feigin, 2007). Menurut penelitian siswanto, 2010 fakor faktor yang mempengaruhi terjadinya stroke berulang dengn hasil ada hubungan kebiasaan merokok, komsumsi alkohol, kepatuhan diit dan kepatuhan kontrol ke dokter, dan kebiasan berolahraga terhadapa kejadian stroke berulang dengan Pvalue 0,008. Kecacatan dan angka kematian yang timbul pada kasus stroke berulang jauh lebih tinggi dari angka kecacatan dan kematian dari kasus stroke sebelumnya, sehingga sudah jelas bagi kita bahwa melakukan penatalaksanaan stroke sangatlah dibutuhkan (Makmur T , 2007 ). Permasalahan yang ditimbulkan oleh stroke bagi kehidupan manusia sangat kompleks. Adanya gangguan-gangguan fungsi vital otak seperti gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan, gangguan kontrol postur, gangguan sensasi, gangguan refleks gerak akan menurunkan kemampuan fungsional individu sehari-hari. Pasien dengan kondisi stroke akan mengalami banyak gangguan-gangguan yang bersifat fungsional. Kelemahan ekstremitas sesisi, kontrol tubuh yang buruk serta ketidakstabilan pola berjalan (Irfan, 2010). Kemampuan fungsional berfokus pada perawatan diri : makan, mandi / higiene, berpakaian/berdandan, toileting dan mobilisasi. Kemampuan fungsional bergantung pada pergerakan persendian yang baik, kekuatan otot dan keutuhan sistem neurologis. Ketidakmampuan hampir selalu menyebabkan kehilangan fungsi yang melibatkan sistem muskoloskeletal, neurologis dan kardiovaskuler (Smeltzer & Bare, 2001). Penilaian pemeriksaan fungsional dilakukan dengan parameter indeks barthel (Mardiman. et al, 2007). Terdapat 80% penderita stroke mempunyai defisit neuromotor sehingga memberikan gejala kelumpuhan sebelah badan dengan tingkat kelemahan bervariasi dari yang lemah hingga berat, kehilangan sensibilitas, kegagalan sistem koordinasi, perubahan pola jalan, hingga terganggunya keseimbangan. Hal ini akan mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan aktifitas hidup seharihari/kemampuan fungsionalnya (Widianto, 2009). Aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) adalah aktivitas perawatan diri yang harus dilakukan setiap hari untuk memenuhi kebutuhandan tuntutan hidup sehari hari. AKS meliputi higiene/mandi, berpakaian/berdandan, makan dan toileting. Banyak pasien tidak mampu melaksanakan aktivitas ini dengan mudah. Kemampuan untuk melakukan AKS sering merupakan kunci untuk kemandirian, kembali ke rumah, dan aktif kembali ke komunitas (Smeltzer & Bare, 2001). Tingkat keberhasilan pada penderita stroke dalam melakukan AKS dapat dinilai dengan kemampuan merawat dirinya sendiri (AKS personal). Jika AKS personal ini dilakukan secara rutin akan membuat penderita lebih percaya diri dengan kemampuannya untuk menghadapi hari depan. AKS yang rutin dilakukan merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk dapat merawat LPPM STIKes Perintis Padang 33 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ dirinya secara mandiri, yang meliputi perawatan diri sendiri (makan, mandi, berpakaian, toileting, dll). (Smeltzer & Bare, 2002). Angka kejadian stroke 2 tahun belakang ini yaitu tahun 2012 adalah 1816 kasus dan tahun 2013 adalah 1937 kasus. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus kejadian stroke setiap tahunnya (RSSN Bukittinggi). Tujuan Umum Penelitian adalah apakah ada hubungan stroke berulang dengan kemampuan fungsional pada pasien stroke di poliklinik RSSN Bukittinggi Tujuan Khusus Penelitian adalah untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian stroke berulang, untuk mengetahui distribusi frekuensi kemampuan fungsional pasien stroke, dan untuk mengetahui hubungan stroke berulang dengan kemampuan fungsional pasien stroke. Analisa univariat yang dilakukan dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi dan statistik deskriptif untuk melihat dari variabel independen yaitu stroke berulang dan variabel dependen yaitu kemampuan fungsional. Analisa bivariat yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yang diteliti. Pengujian hipotesa untuk mengambil keputusan tentang apakah hipotesa yang diajukan cukup meyakinkan untuk di tolak atau diterima dengan menggunakan uji statistik chisquare test. 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien stroke di poliklinik neurologi RSSN Bukittinggi yang berjumlah 40 orang.Instrument untuk pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuisioner yang menggunakan indeks barthel dengan mengacu pada kerangka konsep.Pengambilan Data dilakukan dengan Setelah melakukan uji coba, maka peneliti memilih responden yang memenuhi kriteria untuk dijadikan responden yang telah terpilih untuk bersedia menjadi responden, maka pengumpulan data dilakukan dengan tahapan pemberian penjelasan tentang tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian yang akan dilaksanakan kepada responden. Setelah responden memahami penjelasan yang diberikan, responden diminta persetujuannya yang dibuktikan dengan menandatangani informant consent dan untuk pengisian kuisioner diisi langsung oleh responden atau dibantu oleh keluarga responden.Setelah data terkumpul diklasifikasikan dalam beberapa kelompok menurut sub variabel yang ada didalam pertanyaan. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dilakukan analisa univariat dan analisa bivariat. LPPM STIKes Perintis Padang 34 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Tabel 1. Distribusi Frekuensi Stroke Berulang Pada Pasien Stroke Di Poliklinik Neurologi Kejadian n % Stroke berulang 17 42,5 Stroke tidak berulang 23 57,5 Total 40 100,0 Berdasarkan dari tabel 1 dapat dilihat bahwa dari 40 orang responden diperoleh sebagian besar responden (57,5%) mengalami stroke tidak berulang. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kemampuan Fungsional Pada Pasien StrokeDi Poliklinik Neurologi Kemampuan Fungsional N % Ketergantungan Berat 25 62,5 Ketergantungan Ringan 15 37,5 Total 40 100,0 Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa dari 40 orang responden didapatkan lebih dari separoh responden (62,5%) berada pada tingkat ketergantungan berat. Tabel 3. Hubungan Stroke Berulang Dengan Kemampuan Fungsional Pada Pasien StrokeDi Poliklinik Neurologi Kemampuan Fungsional No Stroke Berulang Ketergantungan Berat Total Ketergantungan Ringan n % n % n % 1 Iya 15 88,2 2 11,8 17 100 2 Tidak 10 43,5 13 56,5 23 100 25 131,7 15 68,3 40 200 Total P Value OR 0,010 9,750 Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa dari 40 orang responden, 17 responden yang mengalami stroke berulang, 15 responden (88,2%) diantaranya mengalami ketergantungan berat 2 responden (11,8%) mengalami ketergantungan ringan, dan 23 orang responden yang tidak mengalami stroke berulang 10 responden (43,5%) diantaranya mengalami ketergantungan berat 13 responden (56,5%) mengalami ketergantungan ringan. mengalami stroke berulang. Sedangkan data 3.2. Pembahasan yang diperoleh dari hasil penelitian tentang Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil kemampuan fungsional responden didapatkan, penelitian tentang stroke berulang didapatkan, bahwa dari 40 orang responden diperoleh bahwa dari 40 orang responden terdapat 42,5% sebagian besar responden (62,5%) mengalami LPPM STIKes Perintis Padang 35 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ ketergantungan berat. Sehingga dapat dilihat bahwa dari 40 orang responden, 17 responden yang mengalami stroke berulang, 15 responden (88,2%) diantaranya mengalami ketergantungan berat 2 responden (11,8%) mengalami ketergantungan ringan, dan 23 orang responden yang tidak mengalami stroke berulang 10 responden (43,5%) diantaranya mengalami ketergantungan berat 13 responden (56,5%) mengalami ketergantungan ringan. Dari hasil uji statistik Chi-Square didapat p value = 0,010 dengan nilai α = 0,05 maka p value < 0,05 sehingga Ha diterima yaitu ada hubungan bermakna antara stroke berulang dengan kemampuan fungsional pada pasien stroke Di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Nilai kemaknaan hubungan antara dua variabel di atas memiliki OR sebanyak 9,750 artinya stroke berulang beresiko 9 kali mengalami ketergantungan pada pasien stroke dibanding pasien yang tidak stroke berulang. Menurut teori, stroke berulang didefenisikan sebagai kejadian serebrovaskuler baru yang mempunyai satu di antara kriteria berikut yaitu: defisit neurologi yang berbeda dengan kejadian stroke pertama, kejadian yang meliputi daerah anatomi atau daerah pembuluh darah yang berbeda dengan stroke pertama, kejadian mempunyai sub tipe stroke yang berbeda dengan tipe kejadian stroke pertama (Moroney, 1998, dalam Siswanto 2010). Stroke berulang merupakan stroke yang terjadi lebih dari satu kali dan hal yang mengkhawatirkan pasien stroke karena dapat memperburuk keadaan dan meningkatnya biaya perawatan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya stroke berulang diantaranya faktor yang tidak dapat diubah seperti usia, jenis kelamin, ras, keturunan dan faktor yang dapat diubah seperti hipertensi, diabetes mellitus, kelainan jantung, merokok, aktivitas fisik/olahraga, kepatuhan kontrol, obesitas, konsumsi alkohol, diit. Perjalanan penyakit stroke sangat beragam, penderita tersebut dapat sembuh sempurna, ada pula sembuh dengan cacat ringan, sedang sampai berat. Pada kasus berat dapat menyebabkan kematian, pada kasus yang dapat bertahan hidup beberapa kemungkinan terjadi stroke berulang, dimensia dan depresi. Stroke merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kecacatan pada usia diatas 45 tahun (Simon FP , 2006 ). Resiko tertinggi bagi stroke berulang adalah dalam 6-12 bulan setelah stroke sebelumnya. Secara rata-rata 1 dari 10 orang mengalami stroke kedua dalam setahun, dan 3 dari 10 mengalami stroke berulang dalam lima tahun pertama setelah stroke awal (Feigin, 2007). Menurut penelitian siswanto, 2010 fakor faktor yang mempengaruhi terjadinya stroke berulang dengn hasil ada hubungan kebiasaan merokok, komsumsi alkohol, kepatuhan diit dan kepatuhan kontrol ke dokter, dan kebiasan berolahraga terhadapa kejadian stroke berulang dengan Pvalue 0,008 Kemampuan fungsional adalah suatu bentuk pengukuran kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari – hari secara mandiri. Penentuan kemampuan fungsional dapat mengidentifikasi kemampuan dan keterbatasan klien sehingga memudahkan pemilihan intervensi yang tepat (Maryam, 2008). Menurut penelitian Makmur T (2007), tingkat kecacatan dan angka kematian yang timbul pada kasus stroke berulang jauh lebih tinggi dari angka kecacatan dan kematian dari kasus stroke sebelumnya, sehingga sudah jelas bagi kita bahwa melakukan penatalaksanaan stroke sangatlah dibutuhkan (Makmur T , 2007). Adapun kecacatan yang dimiliki penderita stroke meliputi ketidakmampuan berkomunikasi, dan kehilangan motorik, seperti keterbatasan dalam melakukan aktivitas dan perawatan diri (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut penelitian A, Rochester, MN, dimana stroke dapat menyebabkan kelumpuhan pada anggota badan, hilangnya sebagian ingatan atau kemampuan bicara, 27% tidak mempunyai sisa kecacatan fisik, 24% mengalami cacat ringan, 23% mengalami kecacatan sedang, 11% mempunyai cacat mencolok, dan 6% yang mengalami cacat berat (Gordon, 2008). Analisis peneliti bahwa, hal ini disebabkan karena ketidaktahuan responden dan keluarga mengenai cara pencegahan terhadap stroke berulang. Seseorang yang pernah terserang stroke berulang mempunyai ketergantungan yang lebih besar dari stroke pertama kali, terutama bila tidak segera mendapatkan LPPM STIKes Perintis Padang 36 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ perawatan. Dan jika seseorang telah menderita stroke maka terdapat gangguan-gangguan fungsi vital otak seperti gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan, gangguan kontrol postur, gangguan sensasi, gangguan refleks gerak yang akan menurunkan kemampuan fungsional individu sehari-hari, dimana kemampuan fungsional bergantung pada pergerakan persendian yang baik, kekuatan otot dan keutuhan sistem neurologis. Karena itu perlu dilakukan penatalaksanaan stroke sedini mungkin untuk meningkatkan kemandirian pasien stroke berulang maupun yang tidak. 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian diketahui bahwa stroke berulang pada pasien stroke memiliki hubungan yang bermakna dengan kemampuan fungsional pada pasien stroke. Semakin sering seseorang terkena serangan stroke, maka semakin besar tingkat kecacatan dan ketergantungan pasien stroke tersebut. Maka dari itu jika seseorang telah terkena serangan stroke untuk yang pertama sekali agar bisa dilakukan penatalaksanaan stroke secepatnya, dan pemberian informasi kesehatan seputar faktor resiko terjadinya stroke berulang sangatlah dibutuhkan baik kepada pasien maupun keluarga. (DP3FT). Surakarta: Akademi fisioterapi Depkes RI Mahendra, et al. 2007. Atasi Stroke Dengan Tanaman Obat. Jakarta: Penebar Swadaya Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses dan Praktek. Edisi 4 Volume 1. Jakarta: EGC Rubenstein, et al. 2005. Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga Medical Series Smeltzer & Barre. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Volume 1. Jakarta: EGC Siti Maryam, et al. 2008. MengenalUsia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika Vitahealth. 2004. Stroke. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Yuliaji siswanto . 2010 . Faktor faktor risiko yang mempengaruhi kejadia stroke Berulang di RS Dr. Kariadi 5. DAFTAR PUSTAKA BPPK. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Departemen Kesehatan RI Feigin, Valery. 2007. Stroke : Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Gordon F. Neil. 2007. Stroke Panduan latihan Lengkap. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Jakarta: Erlangga Kowalak, et al. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC Makmur T., Anwar Y., Nasution D., 2002 . Gambaran Stroke Berulang di RS H. Adam Malik Medan. Nusantara Mardiman, dkk. 2007. Dokumentasi Persiapan Praktek Profesional Fisioterapi LPPM STIKes Perintis Padang 37 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ REAKSI CEMAS KLIEN YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISA BERHUBUNGAN DENGAN INFORMASI DAN MOTIVASI PERAWAT RUANGAN HEMODIALISA Isna Ovari Dosen Keperawatan STIKes Perintis Padang Email: [email protected] Abstract Clients who will undergo hemodialysis fear and anxiety. This anxiety arises because of the threat from within the patient, causing the patient's psychological and behavioral responses that can be observed. Results of interviews with some of the patients, they say, despite being repeatedly come Hemodialysis therapy, still anxious to undergo hemodialysis therapy. This study aimed to determine the relationship of information and Motivating nurse in the room with the level of anxiety in patients undergoing hemodialysis Hospital Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Descriptive analytic method with cross sectional design. The population is all terminal renal failure patients undergoing hemodialysis in Space Hemodialysis Hospital Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, with an average of 80 patients per month, the sampling technique is total sampling, as many as 60 people. Processing and analysis of data is computerized. Results of univariate analysis are known 75.0% of respondents did not experience anxiety (adaptive), (76.7%) stating clearly the information nurses, and 66.7% earn high motivation of nurses. The results of the bivariate analysis is known to have a relationship information of Nurses in the room with the patient's anxiety level (p = 0.003 and OR = 7,429), and there is a relationship between motivation of the nurse in the room with the patient's anxiety level (p = 0.027 and OR = 4,636). Expected in hospital management in order to make the SOP information and motivation for patients undergoing hemodialysis therapy is right and proper, which is useful for reducing anxiety clients. Keywords: Information, Motivation, Anxiety Hemodialysis Patients 1. PENDAHULUAN Hemodialisa merupakan salah satu alternatif terapi pengganti pasien gagal ginjal terminal. Cara ini terbukti sangat efektif mengeluarkan cairan, elektrolit, dan sisa-sisa metabolisme tubuh. Sesuai dengan cara kerjanya, hemodialisa hanya dilakukan 1 - 3 kali setiap minggu dan 4 – 5 jam setiap dialysis, sehingga cairan, elektrolit dan sisa-sisa metabolisme yang selalu terbentuk dari waktu ke waktu akan tetap berada dalam peredaran darah di luar waktu dialisa (Baradero dkk, 2008). Di Amerika pada tahun 2009 di perkirakan terdapat 116.395 orang penderita gagal ginjal yang baru. Lebih dari 380.000 penderita gagal ginjal menjalani hemodialisis reguler. Pada tahun 2011 di Indonesia terdapat 15.353 pasien yang baru menjalani hemodialisa dan pada tahun 2012 terjadi peningkatan pasien yang menjalani hemodialisa sebanyak 4.268 orang sehingga secara keseluruhan terdapat 19.621 pasien yang baru menjalani hemodialisa. Sampai akhir tahun 2012 terdapat 244 unit hemodialisis di Indonesia (Rahman, 2014). Di RS. Dr. M. Djamil Padang, pasien Gagal Ginjal Terminal yang menjalani hemodialisis regular dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan, yaitu tahun 2012 sebanyak 64 pasien, tahun 2013 sebanyak 85 pasien, dan tahun 2014 sebanyak 158 pasien (Rekam Medis RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2014). RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi merupakan salah satu RS rujukan di Provinsi Sumatra Barat dan juga sebagai RS pendidikan yang mempunyai teknologi medis lengkap, di Rumah Sakit ini terdapat 6 unit alat hemodialisis. Berdasarkan hasil dari survey awal dari Medical Record RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi didapatkan jumlah pasien yang menjalani hemodialisa meningkat setiap tahunnya dimana selama tahun 2012 terdapat 62 orang pasien yang menjalani hemodialisis, tahun LPPM STIKes Perintis Padang 38 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 2013 sebanyak 71 orang, dan tahun 2014 terdapat 80 orang pasien (Rekam Medis RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, 2014). Menurut Irmawati (2008), pasien gagal ginjal, cendrung mengalami kecemasan. Hal ini disebabkan karena pasien harus melaksanakan hemodialisa seumur hidup dan berdampak pada finansial yang cukup besar. Pendapat tersebut didukung oleh Iskandarsyah (2006) yang mengatakan bahwa pasien gagal ginjal dapat mengalami gangguan dalam fungsi kognitif, sosialisasi dan dan psikologis yang sebenarnya sudah ditunjukkan sejak pertama kali pasien mengalami gagal ginjal (Slametiningsih, 2012). Tekanan mental atau kecemasan pada pasien yang menjalani hemodialisa diakibatkan oleh kepedulian yang berlebihan akan masalah yang sedang dihadapi (nyata) ataupun yang dibayangkan mungkin terjadi. Terlebih karena penyakit gagal ginjal yang merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan kematian, dan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Pasien yang menjalani hemodialisa mengalami berbagai masalah yang timbul akibat tidak berfungsinya ginjal. Hal tersebut muncul setiap waktu sampai akhir kehidupan. Ketidakberdayaan serta kurangnya penerimaan diri pasien menjadi faktor psikologis yang mampu mengarahkan pasien pada tingkat stres, cemas bahkan depresi (Ratnawati, 2011). Klien yang akan menjalani hemodialisis mengalami depresi, ketakutan dan kecemasan. Tingkat kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor biologis maupun fisiologis, baik dari dalam pasien maupun dari luar pasien, penerimaan terhadap pelaksanaan hemodialisis, sosial ekonomi, usia pasien, kondisi pasien lama dan frekuensi menjalani hemodialisis. Kecemasan ini timbul karena ancaman dari dalam diri pasien sehingga menimbulkan respon psikologis dan perilaku pasien yang dapat diamati, sedangkan ancaman dari luar diri pasien hemodialisis dapat bersumber dari respon manusia (perawat), interaksi manusia dan lingkungan yang terpapar oleh alat- alat yang digunakan. Pasien yang mengalami dialisis jangka panjang maka akan merasa khawatir atas kondisi sakitnya yang tidak dapat di ramalkan dan berefek terhadap gaya hidup (Brunner & Suddart, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2014) dengan judul Hubungan Tindakan Hemodialisais dengan Tingkat Kecemasan Pasien di Ruangan Hemodialisa RSUD Labuang Baji Pemprov Sulawesi Selatan, diketahui bahwa 59,9 % responden yang menjalani terapi hemodialisa, mengalami kecemasan sedang. Pasien yang melakukan tindakan hemodialisis satu kali tingkat kecemasannya sedang, sedangkan pasien yang melakukan tindakan hemodialisis dua kali tingkat kecemasannya ringan atau semakin lama pasien menjalani tindakan hemodialisis maka tingkat kecemasannya berkurang oleh karena pasien sudah mencapai tahap accepted (menerima) terhadap pelaksanaan hemodialisa. Menghadapi permasalahan psikologis yang timbul pada pasien hemodialisis tersebut, maka motivasi sangat berperan penting, dimana dorongan untuk memperpanjang usia adalah faktor yang utama. Motivasi merupakan kekuatan yang menjadi pendorong kegiatan individu yang menunjukkan suatu kondisi dalam diri individu yang mendorong atau menggerakkan individu tersebut melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan (Irwanto, 2002 dalam Wahyuni, 2010). Berdasarkan pengamatan dan hasil diskusi peneliti di ruang Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, ditemukan banyak pasien yang baru terapi hemodialisis cemas dan takut untuk datang menjalani tindakan Hemodialisa karena penusukan pada daerah femoral yang membuat mereka kesakitan. Pasien baru tersebut juga cemas dengan biaya yang mesti dikeluarkan untuk dialisis, dimana biaya untuk satu kali hemodialisa mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 1.080.000,-. Sementara pasien yang sudah sering melakukan hemodialisa, merasa cemas dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk transportasi dan akomodasi setiap menjalani terapi hemodialisa, karena dalam I minggu harus rutin 2 kali dilakukan terapi Hemodialisa. Untuk mengatasi kecemasan tersebut, perawat di ruangan memberikan informasi dan menganjurkan pemasangan cimino (AV Fistula) ke Padang, agar pasien tidak perlu cemas lagi dengan penusukan di daerah paha dalam LPPM STIKes Perintis Padang 39 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ menjalani terapi hemodialisa. Perawat juga memberikan informasi tentang biaya hemodialisa gratis bagi pasien yang memiliki kartu BPJS atau Askes. Sementara untuk mengurangi biaya transportasi dan akomodasi pasien, perawat memberikan motivasi agar pasien selalu patuh menjalani diet dan terapi hemodialisa, sehingga dapat meningkatkan status kesehatanya dan mereka tidak perlu merepotkan banyak orang untuk mengantarkan ke Rumah Sakit. Namun demikian, hasil wawancara dengan beberapa orang pasien, mereka mengatakan walaupun sudah berulang kali datang menjalani terapi Hemodialisa, tetap saja cemas dalam menjalani terapi hemodialisa. Kecemasan itu membuat tekanan darahnya naik, rasa sesak nafas, sulit tidur gelisah, kehilangan nafsu makan dan takut akan kematian. Mereka merasa cemas akan ketergantungan dengan alat-alat dialisis, perubahan-perubahan yang dialami setelah mejalani terapi Hemodialisa seperti perubahan gaya hidup dan banyaknya pantangan yang harus dihindari. Tetapi dengan adanya informasi dan motivasi yang diberikan perawat yang menanganinya, maka kecemasan tersebut sudah berkurang. Oleh sebab itu maka peneliti terarik untuk meneliti Hubungan Informasi dan Movitasi Perawat di Ruangan dengan Reaksi Cemas Pasien yang Menjalani Terapi Hemodialisa di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan informasi dan movitasi Perawat di Ruangan dengan reaksi cemas pasien yang menjalani terapi hemodialisa di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi 2.2. Sampel Sampel pada penelitian ini diambil secara total sampling, yaitu seluruh anggota populasi dijadikan sebagai sampel, berjumlah 60 orang. 2.3. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dan wawancara terpimpin dengan terlebih dahulu memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan penelitian, memberikan surat persetujuan menjadi responden, dan memberi kuesioner yang berbentuk multiple choise dan daftar ceklist yang akan dikumpul kembali oleh peneliti untuk diperiksa kelengkapannya 2.4. Pengolahan Data Data yang terkumpul pada penelitian ini telah diolah melalui tahap Editing (pemeriksaan kelengkapan data), Coding (pengkodean), Procesing (Pengolahan data dengan program komputer), Cleaning (pembersihan/cek data). 2.5. Analisis Data Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian, yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase, yang terdiri dari distribusi frekuensi informasi, motivasi perawat dan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa. Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan. Analisis hasil uji statistic dengan menggunakan ChiSquare test, untuk menyimpulkan adanya hubungan 2 variabel, 2. METODE PENELITIAN 2.1. Desain Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain cross sectional yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktorfaktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat. LPPM STIKes Perintis Padang 40 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil No 1. Tabel 1. Karakteristik Responden Karakteristik F % Umur - Produktif (15 – 54 tahun) 30 50,0 - Tidak produktif (> 54 tahun) 30 50,0 2. Jenis kelamin - Laki-laki 32 53,3 - Perempuan 28 46,7 3. Pendidikan - Rendah (SD & SMP) 29 48,3 - Tinggi (SMA & PT) 31 51,7 4. Pekerjaan - Bekerja 30 50,0 - Tidak bekerja 30 50,0 5. Status Perkawinan - Belum kawin 7 11,7 - Kawin 43 71,7 - Janda/duda 10 16,7 6. Status Rawatan - Askes 18 30,0 - BPJS 37 61,7 - Umum 5 8,3 Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 60 responden, proporsi responden (50,0 %) responden merupakan usia produktif (15 – 54 tahun) dan 50% usia tidak produktif, (53,3 %) berjenis kelamin laki-laki, pendidikan tinggi (51,7%), bekerja (50,0 %), kawin (71,7 %) dan status rawatan BPJS (61,7%). Analisis Univariat Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden menurut Reaksi Cemas Pasien, Informasi dan Motivasi Perawat di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Reaksi Cemas Frekuensi % Adaptif - Tidak cemas 34 56,7 - Kecemasan ringan 11 18,3 Mal adaptif - Kecemasan sedang 8 13,3 - Kecemasan berat 7 11,7 Informasi Perawat - Jelas 46 76,7 - Kurang jelas 14 23,3 Motivasi dari Perawat - Tinggi 40 66,7 - Rendah 20 33,3 Tabel 2 menunjukkan dari 60 responden, lebih dari sebagian tidak mengalami kecemasan (adaptif) yaitu sebanyak 45 orang (75,0 %). Dapat diartikan bahwa pada umumnya responden tidak lagi merasa khawatir dengan pelaksanaan terapi hemodialisa dan telah bisa menerima keadaannya. Berdasarkan tabel diketahui bahwa dari 60 responden, lebih dari sebagian menyatakan informasi perawat jelas, yaitu sebanyak 46 orang (76,7 %). Dapat diartikan bahwa informasi yang diberikan perawat di ruangan hemodialisa sudah cukup jelas menurut responden. LPPM STIKes Perintis Padang 41 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa dari 60 responden, lebih dari sebagian memperoleh motivasi tinggi dari perawat, yaitu sebanyak 40 orang (66,7 %). Dapat diartikan bahwa perawat mampu memberikan motivasi yang tinggi pada lebih dari sebagian responden untuk menjalani terapi hemodialisa. Analisis Bivariat Tabel 3. Hubungan Informasi dari Perawat Dengan Reaksi Cemas Pasien OR Reaksi Cemas Jumlah Informasi (CI 95 %) Adaptif Maladaptif pvalue Perawat N % N % N % Jelas 39 84,8 7 15,2 46 100 7,429 Kurang jelas 6 42,9 8 57,1 14 100 Total 45 75,0 15 25,0 60 100 0,003 (1,96628,075) Tabel 3. menunjukkan dari 46 responden yang menyatakan informasi perawat jelas, terdapat 39 orang (84,8 %) yang kecemasannya adaptif. Sedangkan dari 14 responden yang menyatakan informasi perawat kurang jelas, hanya terdapat 6 orang (42,9%) yang kecemasannya adaptif. Dengan demikian, proporsi responden yang adaptif (tidak mengalami kecemasan) lebih banyak pada responden yang menyatakan bahwa informasi perawat jelas. Sementara proporsi responden yang maladaptif lebih banyak pada responden yang menyatakan informasi perawat kurang jelas. Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p = 0,003 (p < 0,05) artinya ada hubungan informasi dari Perawat di Ruangan dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani terapi hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2015. Nilai Odds Ratio diperoleh 7,429 dapat diartikan bahwa responden yang menyatakan informasi perawat jelas berpeluang 7,429 kali untuk adaptif, dibandingkan dengan responden yang menyatakan informasi perawat kurang jelas. Tabel 4. Hubungan Motivasi dari Perawat dengan Reaksi Cemas Pasien Reaksi Cemas OR Jumlah Motivasi (CI 95 %) Adaptif Maladaptif pvalue Perawat N % N % n % Tinggi 34 85,0 6 15,0 40 100 4,636 Rendah 11 55,0 9 45,0 20 100 Total 45 75,0 15 25,0 60 100 0,027 (1,34615,968) Pada table 4. dapat diketahui bahwa dari 40 responden yang menyatakan motivasi dari perawat tinggi, terdapat 34 orang (85,0 %) kecemasannya adaptif. Sedangkan dari 20 responden yang menyatakan motivasi dari perawat rendah, hanya 11 orang (55,0%) yang kecemasannya adaptif. Dengan demikian, proporsi responden yang adaptif (tidak mengalami kecemasan) lebih banyak pada responden yang menyatakan bahwa motivasi perawat tinggi. Sementara proporsi responden yang maladaptif lebih banyak pada responden yang menyatakan motivasi dari perawat rendah. Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p = 0,027 (p < 0,05) artinya ada hubungan motivasi dari Perawat di Ruangan dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani terapi hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2015. Nilai Odds Ratio diperoleh 4,636 dapat diartikan bahwa responden yang menyatakan motivasi dari perawat tinggi berpeluang 4,636 kali untuk adaptif, dibandingkan dengan responden yang menyatakan motivasi dari perawat rendah. 3.2. Pembahasan Hubungan Informasi Perawat Tingkat Kecemasan Pasien dengan Dari 46 responden yang menyatakan informasi perawat jelas, terdapat 39 orang (84,8 %) yang adaptif. Sedangkan dari 14 responden yang menyatakan informasi perawat kurang LPPM STIKes Perintis Padang 42 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ jelas, hanya terdapat 6 orang (42,9%) yang adaptif. Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p = 0,003 (p < 0,05) dan OR = 7,429 artinya ada hubungan informasi dari Perawat di Ruangan dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani terapi hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2015. Responden yang menyatakan informasi perawat jelas berpeluang 7,429 kali untuk adaptif, dibandingkan dengan responden yang menyatakan informasi perawat kurang jelas Untuk mengatasi rasa cemas ada beberapa langkah yang dapat anda lakukan. Langkahlangkah tersebut bukanlah suatu hal rumit sebaliknya langkah tersebut sederhana sekali. Setiap orang dapat mempraktekkannya. Langkah-langkah tersebut terdiri dari 3 (tiga) langkah sebagai berikut: Langkah I, Menganalisis (menilai) keadaan yang terjadi dengan berani dan jujur. Perhitungkanlah apakah akibat terburuk yang mungkin terjadi karena kegagalan itu. Langkah II; Setelah memperhitungkan akibat - akibat terburuk yang mungkin terjadi, selanjutnya bermufakat (sepakat) dengan diri sendiri untuk menerima akibat-akibat paling terburuk itu jika memang perlu. Langkah III ; Pusatkanlah waktu dan tenaga untuk memperbaiki segala keburukankeburukan yang telah di perhitungkan tadi, lakukan semua itu dengan senang pasrah dan tawakal. Ketiga langkah di atas tadi telah sukses menghantarkan orang-orang dimana pun untuk melaksanakan pekerjaannya pada kehidupan nyata (Pratsetyono, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Vivi (2012) dengan judul Pendekatan Kognitif-Perilaku untuk Mengurangi Kecemasan pada Pasien Gagal Ginjal Terminal memperoleh kesimpulan bahwa pendekatan kognitif perilaku dapat menurunkan kecemasan pada pasien gagal ginjal terminal. Pendekatan kognitif yang dilakukan adalah dengan memberikan edukasi mengenai penyakit sehingga pasien dapat mengubah asumsi-asumsi yang salah tentang penyakit yang dirasakan. Menurut asumsi peneliti, adanya hubungan informasi dari petugas dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani terapi hemodialisa karena melalui informasi yang diberikan petugas tentang efek samping hemodialisa, diet hemodialisa, dan akibat jika melakukan hemodialisa tidak sesuai jadwal, maka pasien dapat memperhitungkan akibat tidak menjalani terapi hemodialisa. Sehingga pada akhirnya pasien mampu mengatasi rasa cemas terhadap penyakit dan terapi yang dijalani. Pada akhirnya, setelah beberapa kali menjalani terapi hemodialisa maka pasien bisa menerima kondisi tersebut dan tidak merasa cemas lagi (adaptif). Sebaliknya pasien yang merasa informasi yang diberikan perawat kurang jelas, maka mereka akan merasa cemas terhadap biaya yang harus dikeluarkan dalam setiap kali terapi. Namun demikian, juga ditemukan responden yang menyatakan informasi petugas jelas tetapi mengalami kecemasan sedang dan berat. Hal ini dapat terjadi karena mereka masih memiliki tanggung jawab terhadap keluarga, sehingga cemas dengan aktifitas (pekerjaan) yang terganggu jika harus mengikuti hemodialisa setiap minggu. Sebaliknya responden yang menyatakan informasi dari petugas kurang jelas, tetapi mereka tidak mengalami kecemasan disebabkan adanya dukungan dari keluarga yang membuat mereka tidak berasa terbebani dan dapat menjalani terapi hemodialisa dengan rileks dan santai. Hubungan Motivasi dari Perawat dengan Tingkat Kecemasan Pasien Dari 40 responden yang menyatakan motivasi dari perawat tinggi, terdapat 34 orang (85,0 %) yang adaptif. Sedangkan dari 20 responden yang menyatakan motivasi dari perawat rendah, hanya terdapat 11 orang (55,0%) yang adaptif. Hasil uji statistik chisquare didapatkan nilai p = 0,027 (p < 0,05) dan OR = 4,636 artinya ada hubungan motivasi dari Perawat di Ruangan dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani terapi hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2015. Responden yang menyatakan motivasi dari perawat tinggi berpeluang 4,636 kali untuk adaptif, dibandingkan dengan responden yang menyatakan motivasi dari perawat rendah Menghadapi permasalahan psikologis yang timbul pada pasien hemodialisis berupa LPPM STIKes Perintis Padang 43 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ kecemasan, maka motivasi sangat berperan penting, dimana dorongan untuk memperpanjang usia adalah faktor yang utama. Motivasi merupakan kekuatan yang menjadi pendorong kegiatan individu yang menunjukkan suatu kondisi dalam diri individu yang mendorong atau menggerakkan individu tersebut melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan (Irwanto, 2002 dalam Wahyuni, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Sudarya (2013) mengemukakan bahwa dukungan perawat yang dapat diberikan perawat kepada pasien yang menjalani terapi hemodialisa adalah dalam bentuk penghargaan seperti memotivasi pasien untuk sabar, memberikan semangat pada pasien selama menjalani hemodialisis, memotivasi untuk berdoa, mendengarkan keluhan pasien. Dukungan perawat dalam bentuk penghargaan dapat bermanfaat untuk memberikan motivasi kepada pasien agar bersedia menjalani hemodialisis secara teratur. Menurut asumsi peneliti, adanya hubungan motivasi dari petugas dengan kecemasan pasien yang menjalani terapi hemodialisa karena melalui motivasi yang diberikan petugas maka pasien akan termotivasi dan bersemangat dalam menjalani terapi hemodialisa, sehingga rasa cemas terhadap tindakan hemodialisa dapat berkurang dan tidak mengganggu psikis dan fisiologis pasien. Sebaliknya responden yang mendapatkan motivasi rendah dari petugas, akan kehilangan minat dan sedih, rasa gelisah dan tidak tenang karena aktiftasnya tidak berjalan normal seperti biasanya semenjak menjalani terapi hemodialisa. Namun demikian, juga ditemukan responden yang memperoleh motivasi tinggi dari petugas tetapi mengalami kecemasan. Hal ini dapat terjadi karena mereka merasa cemas dengan biaya transportasi dan akomodasi yang harus dikeluarkan setiap kali menjalani hemodialisa. Sebaliknya responden yang menyatakan motivasi dari perawat rendah dan tidak mengalami kecemasan disebabkan keluarga selalu memberikan dukungan agar mereka patuh menjalani terapi hemodialisa. Dengan adanya dukungan dari keluarga tersebut maka kecemasan pasien berkurang dan merasa tidak menjadi beban keluarga lagi. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya rasa ketakutan ditinggal sendiri, tidak mudah tersinggung dan kurangnya gejala fisiologis yang dialami. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat diperoleh kesimpulan: 1. Lebih dari sebagian responden tidak mengalami kecemasan (adaptif), yaitu sebanyak 34 orang (56,7 %) 2. Lebih dari sebagian responden menyatakan informasi perawat jelas, yaitu sebanyak 46 orang (76,7 %) 3. Lebih dari sebagian responden memperoleh motivasi tinggi dari perawat, yaitu sebanyak 40 orang (66,7 %) 4. Ada hubungan informasi dari Perawat di Ruangan dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2015 (p = 0,003 dan OR = 7,429) 5. Ada hubungan motivasi dari Perawat di Ruangan dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2015 (p = 0,027 dan OR = 4,636) 5. REFERENSI Az-Zahrani, Musfir. 2005. Konseling Terapi. Jakarta. Gema Insani Baradero, Mary dkk. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Gagal Ginjal, EGC. Jakarta Brunner & Suddarth, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Vol II. EGC. Jakarta Ester, Monica. 2005. Pedoman Perawatan Pasien. EGC. Jakarta Rahman, Abdul. 2014. Hubungan Tindakan Hemodialisais dengan Tingkat Kecemasan Pasien di Ruangan Hemodialisa RSUD. Labuang Baji Pemprov Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosisi Volume 4 Nomor 5 Tahun 2014 . ISSN : 23021721 LPPM STIKes Perintis Padang 44 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Ratnawati. 2011. Tingkat Kecemasan Pasien Dengan Tindakan Hemodialisa Di BLUD RSU Dr.M.M Dunda Kabupaten GorontaloJurnal Health & Sport, Vol. 3, Nomor 2, Agustus 2Afi :285 – 362 RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. 2014. Rekam Medis RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi RSUP Dr. M. Djamil Padang. 2014. Rekam Medis RSUP Dr. M. Djamil Padang Slametiningsih. 2012. Pengaruh Logoterapi Individu Paradoxical Intention terhadap Penurunan Kecemasan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisa di RS Islam Cempaka Putih Jakarta Pusat. Tesis. FIK-UI Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC Stuart and Sundden .2007. Buku Saku keperawatan Jiwa, edisi 3 (alih Bahasa), Jakarta : EGC Wahyuni. 2010. Analisis Motivasi Terapi Hemodialisis Pada Penderita Gagal Ginjal (Studi Kasus di Rumah Sakit Islam Klaten Tahun 2010). Skripsi. FMIPA-Undip LPPM STIKes Perintis Padang 45 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ HUBUNGAN KEMAMPUAN KOGNITIF DENGAN SUCCESFUL AGING DALAM PEMELIHARAAN KESEHATAN PADA LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LASI KABUPATEN AGAM TAHUN 2016 Yuli Permata Sari1, Rahmi Yusra2, Yendrizal Jafri3 1 Prodi D III Keperawatan, Stikes Perintis Sumbar Email : [email protected] 2 Prodi Ilmu Keperawatan, Stikes Perintis Sumbar Email : [email protected] Abstract The study of the elderly in Puskesmas Lasi Agam motivated because based on an initial survey conducted by researchers, showed that more than 65% of healthy elderly, did not suffer from dementia and has the ability to think good and more than 50% of the elderly are able to do health care independently. The purpose of this study was to determine the relationship Cognitive Ability to Successful Aging in Health Care for the Elderly in Puskesmas Lasi Agam Year 2016. The study design used is descriptive analytic with cross sectional approach. The number of samples in this study were 348 elderly people aged 60-69 years. Data collection tools used were questionnaires, sampling techniques are Multistgage Random Sampling with chi-square statistical test. The result showed elderly people who have mild cognitive abilities as much as 62.6% and the elderly who have successful aging are well within health care as much as 69.5%. Statistical test result p value = 0.001 (p <0.05) means that there is a relationship of cognitive ability with successful aging in the health care of the elderly. Expected to families who have elderly people to pay more attention to the health of the elderly so that in old age the elderly can get a good successful aging in health maintenance and recommended to further researchers to further develop this research with other methods such experiment. Keywords: Cognitive Ability, Elderly, Successful Aging 1. PENDAHULUAN Menurut undang undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia pada bab 1 pasal 2 menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai umur 60 keatas. Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun keatas (Effendi dan Makhfudli, 2009). Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO seseorang disebut lanjut usia (elderly) jika berumur 60-69 tahun. Menurut Menurut Depkes (2011), lansia meliputi : pra lansia kelompok usia 45-59 tahun, lansia antara 60-69 tahun, lansia berresiko kelompok usia > 70 tahun. Kesimpulan dari pembagiaan umur menurut beberapa ahli, bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang telah berumur 65 tahun keatas (Nugroho, 2008). Menurut WHO pada tahun 2000-2005 populasi lansia 7,74% dengan batas umur 66 tahun. Tahun 2011 jumlah penduduk dunia telah mencapai angka 7 milyar jiwa dan I milyar diantaranya adalah penduduk lanjut usia, dan pada tahun 2015 penduduk lansia mencapai 36 juta jiwa atau 11,35% dengan populasi penduduk. WHO memperkirakan tahun 2025 jumlah lansia diseluruh dunia akan mencapai 1,2 milyar orang yang akan terus bertambah hingga 2 milyar orang pada tahun 2050 (WHO, 2015). Indonesia seperti Negara-negara lain dikawasan asia pasifik akan mengalami penuaan penduduk dengan amat cepat. Pada tahun 2012 Indonesia termasuk Negara asia ke-3 dengan jumlah absolut populasi diatas 60 tahun terbesar yakni setelah Cina (200 juta), India (100 juta) dan menyusul Indonesia (25 juta). Bahkan diperkirakan Indonesia akan mencapai 100 juta lanjut usia dalam tahun 2050. (KemenKes RI, 2013) Menurut BPS Sumbar jumlah penduduk di Sumatera Barat tahun 2012 tercatat sebesar 4.904.460 jiwa dan 5,6 % diantaranya adalah LPPM STIKes Perintis Padang 46 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ penduduk berusia tua (>65 tahun). Jumlah tersebut diperkirakan akan bertambah sesuai dengan peningkatan usia harapan hidup. Sedangkan untuk jumlah Lansia yang ada di Kabupaten Agam 41.518 jiwa per 433.874 orang yang tersebar di 16 Kecamatan. Kecamatan IV Angkek termasuk memiliki jumlah penduduk Lansia terbanyak di Kabupaten Agam yaitu 3.333 jiwa per 43.191 jiwa (7,7%) (Dinkes Kabupaten Agam, 2013). Berdasarkan data yang didapatkan dari puskesmas Lasi bahwa jumlah Lansia yang terdapat di Wilayah Kerja Puskesmas Lasi pada bulan Maret 2016 adalah sebanyak 6.682 jiwa, yang terdiri dari 2.961 jiwa Lansia laki-laki dan 3.721 jiwa Lansia perempuan. Jumlah Lansia diatas dibagi kedalam Pra Lansia (45-59 tahun) sebanyak 2.822 jiwa, yang terdiri dari 1.351 jiwa laki-laki dan 1.471 jiwa perempuan, Lansia (6069 tahun) sebanyak 2.709 jiwa, yang terdiri dari 1.167 jiwa laki-laki dan 1.542 jiwa perempuan, Lansia resiko tinggi ≥ 70 tahun sebanyak 1.151 jiwa, yang terdiri dari 443 jiwa laki-laki dan 708 jiwa perempuan. Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara generatif yang berdampak pada perubahan-perubahan pada manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga perasaan, kognitif, sosial dan seksual. Menurut Azizah (2010) perubahan kognitif terjadi pada perubahan daya ingat (Memory), IQ (Intelegent quocient), kemampuan belajar, kemampuan pemahaman, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, kebijaksanaan dan kinerja. Namun tidak semua lansia mengalami perubahan atau penurunan akibat penuaan, menurut model normatif, lansia akan meraih masa tua yang berhasil (successful aging) jika mampu memenuhi tugas psikologis pada tiap tahapan rentang hidup. Dalam mencapai masa tua yang berhasil (successful aging), lansia harus dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Keadaan fisik dapat memengaruhi perkembangan aspek lainnya seperti pekerjaan, masa pensiun, hubungan intim, dan kesehatan mental. Demikian pula dengan kondisi kognitif ataupun interaksi lansia dengan lingkungan akan saling memengaruhi satu sama lain. Berdasarkan wawancara peneliti dengan 7 orang lansia di Puskesmas Lasi Kabupaten Agam pada hari Sabtu tanggal 16 April 2016, 5 orang lansia mengatakan pergi ke Puskesmas untuk mengikuti program inovativ lansia yang ada di Puskesmas yaitu senam lansia. Sedangkan 3 orang lansia lainnya mengatakan mereka sedang memeriksakan kesehatan mereka di Puskesmas. Serta diperoleh informasi dari petugas puskesmas bahwa dari kegiatan posyandu lansia yang dilakukan terdapat lebih dari 65 % Lansia sehat, tidak menderita dimensia dan memiliki kemampuan berfikir yang baik. Serta lebih dari 50 % lansia mampu melakukan pemeliharaan kesehatan mereka secaramandiri. Hanya sekitar 25% Lansia yang menderita sakit seperti Hipertensi, ISPA dan Gastritis. Oleh sebab itu maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan kemampuan kognitif dengan succesful aging dalam pemeliharaan kesehatan pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesma Lasi Kabupaten Agam Tahun 2016. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kemampuan kognitif dengan successful aging dalam pemeliharaan kesehatan pada lansia di wilayah kerja puskesmas lasi tahun 2016. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain crosss sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah lansia usia 60-69 tahun di wilayah kerja puskesmas lasi kabupaten agam tahun 2016 dengan jumlah sampel sebanyak 348 orang responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Multistage random sampling. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara dengan panduan kuisioner. Cara pengolahan data dalam penelitian ini adalah pemeriksaan data (editing), pemberian tanda (coding), pemberian skor (skoring), memasukan data (entri), pembersihan data ( cleaning), memproses data ( processing). Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa univariat untuk menjelaskan karakteristik setiap variabel penelitian dan analisa bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel penelitian. dimana hasil analisa chi-square pada bivariat dibandingkan dengan nilai p , apabila p ≤ 0,05 artinya secara statistik LPPM STIKes Perintis Padang 47 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ bermakna dan apabila nilai p > 0,05 artinya secara statistik tidak bermakna. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Lasi Kabupaten Agam Tahun 2016 Kemampuan Kognitif f % Ringan 218 62,6 % Sedang 130 37,4 % Jumlah 348 100% Berdasarkan tabel 1 diatas menunjukan bahwa lebih dari separoh responden memiliki kemampuan kognitif ringan yaitu sebanyak 62,6 %. Kemam puan Kognitif Ringan Sedang Jumlah aging yang baik dalam pemeliharaan kesehatan 76,1 % sedangkan sebanyak 23,9 % memiliki successful aging yang kurang baik dalam pemeliharaan kesehatan. Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p = 0,001 (p< 0,05) yang menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara kemampuan kognitif dengan successful aging dalam pemeliharaan kesehatan pada lansia dengan OR = 2,268 yang berarti bahwa lansia yang mempunyai kemampuan kognitif ringan berpeluang memiliki successful aging yang baik dalam pemeliharaan kesehatan dibandingkan dengan lansia yang memiliki kemampuan kognitif sedang. 3.2. Pembahasan Berdasarkan hasil analisa univariat diatas menunjukan bahwa lebih dari separoh responden memiliki kemampuan kognitif ringan yaitu Tabel 2. Distribusi Frekuensi Succesful Aging sebanyak 62,6 %. Hal ini sejalan dengan dalam Pemeliharaan Kesehatan pada Lansia di penelitian yang dilakukan oleh Marlina Dwi Wilayah Kerja Puskesmas Lasi Kabupaten Rosita (2012), yang melakukan penelitian pada Agam Tahun 2016 lansia dengan hasil sebagian besar lansia Succesful Aging dalam mempunyai fungsi kognitif baik yaitu sejumlah Pemeliharaan Kesehatan f % 53,8 %. Penelitian yang sama juga dilakukan 69,5 oleh Rachel Mongisidi (2012) berdasarkan hasil Baik 242 % pemeriksaan fungsi kognitif pada seluruh sampel dengan menggunakan MMSE menunjukkan 30,5 bahwa hampir sebagian besar yaitu 72.1% dari Kurang Baik 106 % sampel yang berusia di atas 60 tahun ini masih Jumlah 348 100% memiliki kemampuan yang normal. Berdasarkan tabel 2 diatas menunjukan Alat ukur yang biasa digunakan untuk bahwa lebih dari separoh responden memiliki mengukur kemampuan kognitif adalah successful aging yang baik dalam pemeliharaan menggunakan MMSE (Mini Mental Status kesehatan yaitu sebanyak 69,5 Examination) yang mempunyai interpretasi nilai normal, ringan, sedang dan berat. Namun pada Table 3. Hubungan Kemampuan Kognitif penelitian ini peneliti hanya menggunakan 2 dengan Successful Aging dalam Pemeliharaan buah nilai interpretasi yaitu ringan dan sedang. Kesehatan pada Lansia di Wilayah Kerja Menurut analisis peneliti, berdasarkan hasil Puskesmas Lasi Kabupaten Agam Tahun 2016 penelitian yang dilakukan peneliti didapatkan Succesful Aging bahwa seorang lansia yang memiliki Jumlah P OR Kurang Baik kemampuan kognitif ringan pada umumnya Baik adalah seorang lansia yang masih aktif baik f % f % f % 166 76,1 52 23,9 218 100 0,001 2.268 dalam bekerja ataupun aktivitas fisik lainnya 76 58,5 54 41,5 130 100 seperti olahraga dan kegiatan sosial dalam 10 masyarakat serta lansia yang tinggal bersama 242 69,5 30,5 348 100 6 keluarga memiliki kemampuan kognitif ringan Berdasarkan tabel .3 diatas didapatkan dibandingkan dengan lansia yang tinggal sendiri. bahwa dari 218 responden mempunyai kemampuan kognitif ringan memiliki successful LPPM STIKes Perintis Padang 48 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Berdasarkan hasil analisa univariat diatas menunjukan bahwa lebih dari separoh responden memiliki successful aging yang baik dalam pemeliharaan kesehatan yaitu sebanyak 69,5 %. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yenny Marlina Nathalia Napitupulu ( 2012) yang melakukan penelitian pada 100 orang lansia dengan hasil sebanyak 97 % lansia mempunyai successful aging yang baik dalam pemeliharaan kesehatan. Penelitian yang sama dilakukan oleh Hamidah, Aryani Tri Wrastari (2012) dengan hasil diketahui bahwa lansia di Selangor, Malaysia, lebih banyak mempunyai successful aging yang tinggi dalam pemeliharaan kesehatan sebanyak 89 %. Menurut analisis peneliti, berdasarkankan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa lansia yang mempunyai successful aging yang baik dalam pemeliharaan kesehatan adalah lansia yang mampu melakukan pemeliharaan kesehatan secara mandiri, seperti melakukan pengobatan atau memeriksakan kesehatan ketempat pelayanan kesehatan, mempunyai kebiasaan makan yang baik, dan aktif dalam kegiatan agama maupun sosial di masyarakat. Berdasarkan hasil analisa bivariat didapatkan bahwa dari 218 responden mempunyai kemampuan kognitif ringan memiliki successful aging yang baik dalam pemeliharaan kesehatan 76,1 % sedangkan sebanyak 23,9 % memiliki successful aging yang kurang baik dalam pemeliharaan kesehatan. Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p = 0,001 (p< 0,05) yang menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara kemampuan kognitif dengan successful aging dalam pemeliharaan kesehatan pada lansia dengan OR = 2,268 yang berarti bahwa lansia yang mempunyai kemampuan kognitif ringan berpeluang memiliki successful aging yang baik dalam pemeliharaan kesehatan dibandingkan dengan lansia yang memiliki kemampuan kognitif sedang. Nehlig (2010) mengatakan bahwa kognisi adalah suatu konsep yang kompleks yang melibatkan aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor. Nehlig juga mengatakan bahwa konsep kognitif (dari bahasa Latin cognosere, (“untuk mengetahui” atau “untuk mengenali”) merujuk kepada kemampuan untuk memproses informasi, menerapkan ilmu,dan mengubah kecenderungan. Suadirman (2011) menjelaskan bahwa kegiatan adalah esensi hidup sepanjang hidup dan sepanjang umur. Dimana seseorang yang tetap aktif, baik secara fisik, mampu membina hubungan sosial dengan lingkungan secara baik, individu mampu menjaga kesehatan fisiknya dihari tua, mendapatkan dukungan untuk dirinya baik dari keluarga maupun dari lingkungan, serta dapat memposisikan dirinya dengan baik dalam menghadapi fase lanjut usianya dan terlibat aktif dalam berbagai macam aktivitas sehingga memberikan kontribusi dan kepuasaan bagi dirinya, akan membawa individu tersebut menuju usia lanjut berhasil (successful aging). Dorris (2003) berpendapat bahwa Successful Aging adalah kondisi yang tidak ada penyakit, artinya sehat secara fisik, aman secara finansial, hidupnya masih produktif dan mempunyai pekerjaan, mandiri dalam hidupnya, mampu berpikir optimis dan positif, dan masih mampu terlibat aktif dengan orang lain yang dapat memberikan makna dan dukungan secara social dan psikologis. Menurut analisis peneliti, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti didapatkan bahwa seorang lansia yang memiliki kemampuan kognitif ringan pada umumnya adalah seorang lansia yang masih aktif baik dalam bekerja ataupun aktivitas fisik lainnya seperti olahraga dan kegiatan sosial dalam masyarakat serta lansia yang tinggal bersama keluarga memiliki kemampuan kognitif ringan dibandingkan dengan lansia yang tinggal sendiri dan lansia yang mempunyai successful aging yang baik dalam pemeliharaan kesehatan adalah lansia yang mampu melakukan pemeliharaan kesehatan secara mandiri, seperti melakukan pengobatan atau memeriksakan kesehatan ketempat pelayanan kesehatan, mempunyai kebiasaan makan yang baik, dan aktif dalam kegiatan agama maupun sosial di masyarakat 4. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan kemampuan kognitif dengan successful aging dalam pemeliharaan kesehatan pada lansia di Wilayah LPPM STIKes Perintis Padang 49 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Kerja Puskesmas Lasi Tahun 2016 dengan 348 responden didapatkan kesimpulan lebih dari separoh responden memiliki kemampuan kognitif ringan yaitu sebanyak 62,6 % dan lebih dari separoh responden memiliki successful aging yang baik dalam pemeliharaan kesehatan yaitu sebanyak 69,5 % serta berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p = 0,001 (p< 0,05) yang menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara kemampuan kognitif dengan successful aging dalam pemeliharaan kesehatan pada lansia dengan OR = 2,268 yang berarti bahwa lansia yang mempunyai kemampuan kognitif ringan berpeluang memiliki successful aging yang baik dalam pemeliharaan kesehatan dibandingkan dengan lansia yang memiliki kemampuan kognitif sedang. Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik (edisi 3). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan (edisi 2). Jakarta: Salemba Medika. 5. REFERENSI Dinas Kesehatan Kabupaten Agam. 2016 :Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Agam. Dorland, W.A Newman. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC, 2002 Dorris, 2003.Successful and active aging.The Journal on Active Aging.2 (6), November Desember. Hamidah. Successful aging melalui dukungan sosial. Jurnal Psikologi Unair. Volume 14 no.02 Hal108-118 Hamida & Aryani 2012. Studi Eksplorasi Successful Aging melalui Dukungan Sosial bagi Lansia di Indonesia dan Malaysia. Jurnal INSAN 14 (2). Kusumoputro S, Sidiarto LD, Samino, Munir R, Nugroho W. Kiat panjang umur dengan gerak dan latih otak. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia; 2008. Makhfundi, Effend, Ferry. Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. 2009. Nehlig, A. Journal of Alzheimer Disease 20 : S58-S94. 2010 Notoadmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta LPPM STIKes Perintis Padang 50 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ SUPERVISI KEPALA RUANG DENGAN KEPATUHAN PERAWAT MELAKSANAKAN CUCI TANGAN LIMA MOMEN DI RSUD PADANG PARIAMAN Endra Amalia1*, Fauzia Amama Fitra2, Hidayati3. Program Studi D III Keperawatan STIKes Perintis Padang Email: [email protected] Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Email: [email protected] Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Email: [email protected] Abstract Each patient have the right to safety and her during during treatment at the hospital namely avoid any risk nosocomial infections, and prevent the occurrence loss to patients who caused by faulty of the medical officers, paramedics or non-medis ( indonesian dept of health, 2013 ). One of the obligations of health workers to wash their hands, which is the most important technique in the prevention and control nosocomial infections. The purpose of this research is look at the relationship supervision head space by compliance nurse in implementing washing the hands of five moment in inpatient rooms surgery and interne rsud the pariaman. Design research used is dekriptif the correlation with approach cross sectional. Research showed that more than half of the nurse said supervision done by the head of space is good, with 21 people ( 52.5 % ). Most nurse disobedient in implementing washing the hands of five moment, with 31 people ( 77.5 % ). The results of the analysis statistics showing that the p = much as 0.021. In conclusion is no link between supervision head space by compliance nurse in implementing washing the hands of five moment with or = 11,077 it means nurse who said supervision head space good had a chance 11,077 times to obey in implementing washing the hands of five moment than nurse who said supervision head less space good Keywords: supervision, head of space, nurses implementing, washing hands five moment 1. PENDAHULUAN Pelayanan keperawatan merupakan pelayanan 24 jam dan terus menerus, dengan jumlah tenaga keperawatan yang begitu banyak dan berada di berbagai unit kerja rumah sakit. Dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien, perawat melakukan prosedur atau tindakan keperawatan yang dapat menimbulkan resiko salah begitu besar (Maria dkk, 2013). Undang Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, menyatakan bahwa “Setiap pasien mempunyai hak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit”. Salah satu poinnya yaitu menghindari adanya resiko infeksi nosokomial di rumah sakit, dan mencegah terjadinya kerugian pada pasien yang diakibatkan kesalahan dari petugas medis, paramedis atau non-medis (Depkes RI, 2013). Menurut pendapat Perry & Potter (2005), salah satu kewajiban dari tenaga kesehatan yaitu dengan mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi di Rumah Sakit diakibatkan karena ada transmisi organisme patogen yang didapat pasien dalam waktu 3 x 24 jam pertama masa hospitalisasi. Dengan menjalankan universal precaution yang salah satunya adalah dengan mencuci tangan pada setiap penanganan pasien di rumah sakit merupakan cara paling ampuh untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial (Perry & Potter, 2005). Kegagalan untuk melakukan kebersihan tangan dan kesehatan tangan yang tepat dianggap sebagai sebab utama terjadinya infeksi nosokomial dan penyebaran multiresistensi di fasilitas pelayanan kesehatan dan telah diakui sebagai kontributor yang LPPM STIKes Perintis Padang 51 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ penting terhadap timbulnya wabah (Maryunani, 2011) Resiko infeksi nosokomial merupakan masalah penting di seluruh dunia. Infeksi ini terus meningkat dari 1% di beberapa Negara Eropa dan Amerika sampai lebih dari 40% di Asia, Amerika latin dan Afrika (Depkes RI, 2011). Di Indonesia sendiri menurut studi yang dilakukan di sebelas rumah sakit di DKI Jakarta pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapatkan infeksi yang baru selama dirawat sedangkan di RSUP Dr.Sardjito, Surabaya kejadian infeksi nosokomial mencapai 73% dan infeksi nosokomial mencapai 5,9% berasal dari kamar operasi RSUP Dr. Sardjito, Surabaya (Napitupulu, 2009). Teknik paling mendasar dalam mencegah, mengendalikan, dan mengurangi tingkat infeksi yang terjadi adalah dengan cara mencuci tangan. Namun, pelaksanaan cuci tangan itu sendiri belum mendapat respon yang maksimal. Kepatuhan perawat tidak terlepas dari perilaku seorang perawat yang sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan perawat ataupun pihak rumah sakit sebagai supervisi (Niven, 2002). Supervisi merupakan bagian dari fungsi directing (penggerakkan atau pengarahan) dalam fungsi manajemen yang berperan untuk mempertahankan agar segala kegiatan yang telah diprogramkan dapat dilaksanakan dengan benar dan lancar. Supervisi secara langsung memungkinkan kepala ruang menemukan berbagai hambatan atau permasalahan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan di ruangan dengan mengkaji secara menyeluruh faktorfaktor yang mempengaruhinya dan bersama dengan staf keperawatan untuk mencari jalan pemecahannya (Suarli dkk, 2010). Biasanya kepatuhan (cuci tangan) bersifat sementara, artinya bahwa tindakan (cuci tangan) itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, kepatuhan itupun ditinggalkan (Niven, 2002). Di Indonesia penelitian tentang penerapan cuci tangan yang dilakukan oleh Elies, Asih, dan Sastra pada tahun 2014 dengan judul “Penerapan Hand Hygiene Perawat Ruang Rawat Inap Rumah Sakit di Malang” menunjukkan bahwa pada 58 perawat didapat 135 kesempatan, yaitu angka kepatuhan cuci tangan sebelum kontak dengan pasien (4%), sebelum tindakan aseptik atau invasif (27%), setelah kontak dengan cairan tubuh pasien (67%), sesudah kontak dengan pasien (27%), setelah kontak dengan benda lingkungan sekitar pasien (56%). Dari hasil studi tersebut yang paling rendah yaitu dimana angka kepatuhan cuci tangan sebelum kontak dengan pasien masih dilaporkan hasilnya kurang memuaskan. Pelaksanaan cuci tangan tinggi saat perawat atau tenaga kesehatan khawatir tertular penyakit karena kontak dengan mikro organisme, misal darah dan urin. WHO telah mengembangkan Moments untuk Kebersihan Tangan yaitu Cuci Tangan lima momen (Five Moments for Hand Hygiene), yang telah diidentifikasi sebagai waktu kritis ketika kebersihan tangan harus dilakukan yaitu: 1. Sebelum menyentuh pasien. 2. Sebelum prosedur aseptik atau invasif. 3. Setelah terpajan resiko cairan tubuh. 4. Setelah menyentuh pasien. 5. Setelah menyentuh benda-benda yang melingkupi pasien. Dua dari lima momen untuk kebersihan tangan terjadi sebelum kontak. Indikasi "sebelum" momen ditujukan untuk mencegah risiko penularan mikroba untuk pasien. Tiga lainya terjadi setelah kontak, hal ini ditujukan untuk mencegah risiko transmisi mikroba ke petugas kesehatan perawatan dan lingkungan pasien. Suarli & Bahtiar (2010), menjelaskan bahwa pengertian supervisi secara umum adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh “atasan” sebagai kepala ruang terhadap pekerjaan yang dilakukan “bawahan” sebagai perawat pelaksana untuk kemudian bila ditemukan masalah, segera diberikan bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya. Unsur-unsur pokok dalam supervisi dijelaskan oleh Suarli dan Bahtiar (2010), sebagai berikut : pelaksana, sasaran, frekuensi, tujuan, teknik. Teknik ada 2 yaitu tidak langsung dan langsung. Teknik langsung adalah teknik supervisi dapat dilakukan langsung pada kegiatan yang sedang berlangsung. Sedangkan teknik tidak langsung adalah Supervisi dilakukan melalui laporan tertulis seperti laporan klien dan catatan asuhan keperawatan pada LPPM STIKes Perintis Padang 52 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ setiap shift pagi, sore dan malam, dapat juga dilakukan dengan menggunakan laporan lisan seperti pada saat timbang terima shift, ronde keperawatan maupun rapat dan jika memungkinkan memanggil secara khusus para ketua tim dan perawat pelaksana. Anwar Kurniadi (2010), menjelaskan peran supervisor adalah sebagai berikut : a. Melakukan koordinasi tugas dengan unit terkait dan atasan. b. Membuat keputusan tentang kegiatan perencanaan dan pengorganisasian serta evaluasi yang akan dipakai. c. Memberikan pengarahan langsung dan tidak langsung, dan melakukan penilaian kinerja staf. d. Mempelajari dokumen laporan, catatan perkembangan organisasi dan penggunaan sumber daya. e. Melakukan pemantauan kegiatan keperawatan dan non keperawatan bawahan. f. Melakukan evaluasi dan koreksi terhadap penyimpangan. Berdasarkan survey awal yang dilakukan di RSUD Padang Pariaman pada tanggal 15 April 2016 pada pukul 08.00-10.00 WIB menunjukkan hasil observasi 6 dari 10 perawat tidak melakukan cuci tangan terlebih dahulu sebelum tindakan keperawatan kepada pasien. Didapatkan dua perawat tidak melakukan cuci tangan terlebih dahulu sebelum tindakan perawatan dekubitus dan luka pasca operasi. Perawat yang melakukan tindakan keperawatan seperti memberikan injeksi obat melalui IV dan SC ada dua perawat tidak melakukan cuci tangan sebelum tindakan. Hasil wawancara dengan perawat didapatkan bahwa perawat langsung menggunakan sarung tangan tanpa terlebih dahulu melakukan cuci tangan dengan alasan banyak pasien. Perawat sebenarnya dalam segi pengetahuan dalam cuci tangan sudah baik, namun kepatuhan dalam pelaksanaan cuci tangan belum dilakukan pada cuci tangan lima momen. Supervisi oleh kepala ruang yang fokus dalam pelaksanaan hand hygiene perawat belum maksimal dilaksanakan. Tindakan supervisi biasanya hanya mengenai managemen keperawatan dan administrasi keperawatan. Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu “apakah ada hubungan supervisi kepala ruang dengan kepatuhan perawat dalam melaksanakan cuci tangan lima momen di ruang rawat inap bedah dan interne RSUD Padang Pariaman?” 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah dekriptif korelasi dengan pendekatan cross sectionaL. Populasi dalam penelitan ini adalah semua perawat yang ada di ruang rawat inap bedah dan interne RSUD Padang Pariaman sebanyak 40 orang. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 40 orang dengan teknik pengambilan sampel adalah total Sampling. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Supervisi Kepala Ruang di Ruang Rawat Inap Bedah dan Interne RSUD Padang Pariaman Tahun 2016 Supervisi f % Baik 21 52.5 Kurang Baik 19 47.5 Total 40 100.0 Berdasarkan tabel diatas diatas terlihat bahwa dari 40 orang perawat pelaksana, supervisi kepala ruang lebih dari separuh perawat menyatakan supervisi yang dilakukan oleh kepala ruang adalah baik, yaitu sebanyak 21 orang (52,5%). Hasil penelitian ini sejalan dengan Perawat dalam Pelaksanaan Dokumentasi penelitian yang telah dilakukan oleh Vienty Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap (2015) dengan judul, Hubungan Fungsi RSUD Kepulauan Mentawai Tahun 2015, Pengarahan Kepala Ruangan Dengan Kepatuhan didapatkan hasil bahwa 55% responden LPPM STIKes Perintis Padang 53 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ menyatakan bahwa fungsi pengarahan kepala ruang kurang baik. Supervisi kepala ruangan merupakan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan secara berkesinambungan oleh kepala ruangan sebagai supervisor mencakup masalah pelayanan keperawatan, masalah ketenagaan, dan perawatan agar pasien mendapat pelayanan yang bermutu setiap saat (Depkes 2000). Menurut asumsi peneliti bahwa supervisi yang dilakukan secara konsisten oleh kepala ruang akan berpeluang untuk meningkatkan kepatuhan perawat. Kepala ruang sebagai supervisor hendaknya selalu memberikan dukungan kepada perawat dalam melaksanakan tugasnya. Kepala ruang bertanggung jawab untuk melakukan supervisi kepada perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan pada pasien di ruang perawatan yang dipimpinnya dan juga mengawasi perawat pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepatuhan Perawat dalam Melaksanakan Cuci Tangan lima momen di Ruang Rawat Inap Bedah dan Interne RSUD Padang Pariaman Tahun 2016 Kepatuhan f % Patuh 9 22.5 Tidak Patuh 31 77.5 Total 40 100.0 Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa dari 40 orang perawat pelaksana, sebahagian besar perawat tidak patuh dalam melaksanakan cuci tangan lima momen, yaitu sebanyak 31 orang (77.5%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hanifah (2015), dengan judul Hubungan Pengawasan Kepala Ruang Dengan Tingkat Kepatuhan Perawat Dalam Penggunaan Glove Pada Tindakan Injeksi Di RSUD Wonosari didapatkan hasil bahwa sebagian besar (90%) kepatuhan perawat adalah cukup. Patuh adalah suka menuruti perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pranoto, 2007). Pendapat lain Niven (2002), menyatakan kepatuhan perawat adalah sejauh mana perilaku seorang perawat sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan perawat ataupun pihak rumah sakit sebagai supervisi. Menurut Teori Kelman (2010), perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman atau sanksi jika tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut, tahap ini disebut tahap kesediaan. Hal ini menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi dalam tahap kesedian atau kepatuhan bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada supervisi petugas. Tetapi begitu supervisi itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Menurut asumsi peneliti di Ruang Rawat Inap Bedah dan Interne RSUD Padang Pariaman, sebagian besar perawat tidak patuh dalam melaksanakan tindakan cuci tangan lima momen, dimana berdasarkan observasi yang peneliti lakukan pada umumnya perawat tidak melakukan tindakan cuci tangan sebelum menyentuh pasien serta sebelum melakukan tindakan infasiv dan mencuci tangan hanya dilakukan setelah perawat selesai melakukan tindakan terhadap pasien. Hal ini membuktikan bahwa masih kurangnya kesadaran dan kepatuhan perawat dalam melaksanakan cuci tangan lima momen dimana perawat harus mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, sebelum dan sesudah menyentuh pasien dan menyentuh area sekitar pasien, serta perawat harus mencuci tangan setelah terkena cairan tubuh pasien. Berdasarkan temuan tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa LPPM STIKes Perintis Padang 54 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ sebagian besar perawat di ruang rawat inap Bedah dan Interne tidak patuh dalam melakukan cuci tangan lima momen. Tabel 3. Hubungan Supervisi Kepala Ruang dengan Kepatuhan Perawat dalam Melaksanakan Cuci Tangan lima momen di Ruang Rawat Inap Bedahdan Interne RSUD Padang Pariaman Tahun 2016 Kepatuhan Cuci Total Tangan lima momen Supervisi p OR Tidak Patuh Kepala Ruang value (95%CI) Patuh f % f % f % BBaik 8 38,1 13 61,9 21 100 11,077 0,021 Kurang Baik 1 5,3 18 94,7 19 100 (1,230-99,755) Jumlah 9 22,5 31 77,5 40 100 Berdasarkan tabel diatas. diketahui bahwa dari 21 orang responden yang menyatakan supervisi kepala ruang baik, yang patuh dalam melaksanakan cuci tangan lima momen ditemukan 8 orang (38,1%) perawat. Sedangkan dari 19 orang responden yang menyatakan supervisi kepala ruang kurang baik, yang patuh dalam melaksanakan cuci tangan lima momen ditemukan 1 orang (5,3%) perawat. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara supervisi kepala ruang dengan kepatuhan perawat dalam melaksanakan cuci tangan lima momen dengan nilai p = 0,021 dan OR = 11,077 artinya perawat yang menyatakan supervisi kepala ruang baik berpeluang 11,077 kali untuk patuh dalam melaksanakan cuci tangan lima momen dibandingkan perawat yang menyatakan supervisi kepala ruang kurang baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan dengan baik karena perawat tidak lagi merasa penelitian yang telah dilakukan oleh Sudrajat diawasi dan dinilai oleh kepala ruangan. (2015) dengan judul Faktor-Faktor Yang Tindakan yang paling sering ditinggalkan Berhubungan Dengan Kepatuhan Perawat oleh perawat adalah mencuci tangan sebelum Dalam Pelaksanaan Hand Hygiene Sebelum menyentuh atau memberikan tindakan kepada Tindakan Keperawatan Di RSUD Dr. pasien, karena tindakan ini dianggap tidak terlalu Soedirman Kebumen didapatkan hasil bahwa penting karena perawat telah mencuci tangan ada hubungan supervisi kepala ruang dengan setelah melakukan tindakan sebelumnya, kepatuhan perawat dalam pelaksanaan hand sehingga sebagian besar perawat di Ruang hygiene dengan nilai p = 0,001 dan OR = 18,500. Rawat Inap Bedah dan Interne tidak patuh dalam Supervisi secara langsung memungkinkan pelaksanaan cuci tangan lima momen. Pada kepala ruang menemukan berbagai hambatan penelitian ini juga ditemukan sebahagian atau permasalahan dalam pelaksanaan asuhan perawat yang menyatakan bahwa supervisi keperawatan di ruangan dengan mengkaji secara kepala ruang kurang baik, tetapi patuh dalam menyeluruh faktor-faktor yang melaksanakan cuci tangan lima momen dan mempengaruhinya dan bersama dengan staf sebagian perawat yang menyatakan bahwa keperawatan untuk mencari jalan pemecahannya supervisi kepala ruang baik tapi tidak patuh (Suarli dkk, 2010). dalam melaksanakan cuci tangan lima momen. Biasanya kepatuhan (cuci tangan) bersifat Kondisi ini dipengaruhi oleh faktor lain, sementara, artinya bahwa tindakan di RSUD diantaranya adalah faktor sikap dan pengalaman Padang Pariaman khususnya di ruang rawat inap kerja perawat. Dimana perawat dengan sikap Bedah dan Interne diketahui bahwa pelaksanaan kerja yang positif serta dengan pengalaman kerja supervisi kepala ruang tidak dilakukan secara yang baik cenderung memahami dan terus menerus sehingga pada saat kepala ruang mengutamakan keselamatan pasien dengan tidak melakukan supervisi, maka tindakan cuci melaksanakan setiap indikator yang ada dalam tangan lima momen sering tidak dilaksanakan standar operasional prosedur kerja, termasuk LPPM STIKes Perintis Padang 55 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ dalam pelaksanaan cuci tangan lima momen. Faktor lain diantaranya, yaitu tindakan supervisi kepala ruangan tidak dilakukan secara teratur dalam kurun waktu tertentu sehingga informasi tentang tindakan supervisi tidak sampai. Menurut asumsi peneliti ada hubungan antara supervisi kepala ruang dengan kepatuhan perawat dalam melaksanakan cuci tangan lima momen, dimana supervisi perawat sangat dibutuhkan dalam mengontrol, mengawasi dan mendorong perawat untuk melaksanakan seluruh prosedur keperawatan sesuai standar operasional prosedur (SOP) karena tanpa supervisi yang baik, tingkat kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP cenderung menurun dan sering melalaikan beberapa indikator yang dianggap tidak terlalu kritikal sehingga banyak pelaksanaan tindakan keperawatan yang tidak dilakukan sesuai standar operasional prosedur kerja. Begitu juga dengan kepatuhan perawat dalam melaksanakan cuci tangan lima momen di Ruang Rawat Inap Bedah dan Interne RSUD Padang Pariaman, dimana ditemukan bahwa kepatuhan perawat terlihat pada saat dilakukan supervisi dan saat supervisi tidak dilakukan dengan baik, kepatuhan perawat cenderung menurun dan tindakan cuci tangan tidak dilakukan sesuai tahap indikator lima momen. 4. KESIMPULAN Lebih dari separuh, yaitu sebesar 52,5% perawat menyatakan bahwa supervisi kepala ruang baik. Sebahagian besar, yaitu sebesar 77,5% perawat tidak patuh dalam melaksanakan cuci tangan lima momen. Setelah dilakukan uji Chi-Square didapatkan nilai p = 0.021 (p ≤ 0.05 = Ho ditolak), yang berarti adanya hubungan supervisi kepala ruang dengan kepatuhan perawat dalam melaksanakan cuci tangan lima momen, dengan nilai OR = 11,077, yang artinya perawat yang menyatakan supervisi kepala ruang baik berpeluang 11,077 kali untuk patuh dalam melaksanakan cuci tangan lima momen dibandingkan perawat yang menyatakan supervisi kepala ruang kurang baik. 5. REFERENSI Alimul Hidayat, Aziz. (2009). Metodologi Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Trihendradi. (2009). Step by Step SPSS 16 Analisa Data Statistik. Yogyakarta:Andi. Alimul Hidayat, Aziz. (2005). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik AnalisaData. Jakarta: Salemba Medika. Kozier, Barbara, dkk. (2010). Buku Ajar Fundamental keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 7, Volume 1. Jakarta: EGC Potter, Patricia A. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Volume 2, Edisi 4 Jakarta: EGC Notoadmojo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan Cetakan Kedua.Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta Suarli, dkk. (2010). Manajemen Keperawatan dengan Pendekatan Praktis. Jakarta: Erlangga Gillies, D. A. (1994). Manajemen Keperawatan Suatu Pendekatan Sistem. Terjemahan Illiois W. B. Saunders Company Kron, T. (1987). Management of Patient Care: Putting Leadership Skill To Work. Philadelphia : W. B . Saunders Company Muninjaya, A. A. G. (2004). Manajemen Kesehatan. Jakarta : EGC Swansburg, R. C. (1999). Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. Jakarta : EGC Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta Kelman, Herbert. (1958). Compliance, Identification and Internalization; Threes processes of attitude change. Journal of Conflict Resolution. Milgram, Stanley. (1974). "Behavioral Study of Obedience".Journal of Abnormal and Social Psychology67. p.371-378.Yale University. (Online). Tersedia: http://www.wordnik. com/words/ obedience/ definitions).[28 April 2016]. LPPM STIKes Perintis Padang 56 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ HUBUNGAN STRESS DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN TIDUR DENGAN KESEIMBANGAN TUBUH PADA PASIEN VERTIGO DI POLI NEUROLOGI RSSN BUKITTINGGI Dia Resti Dewi Nanda Demur 1 Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Sumatra Barat Email : [email protected] Abstract Vertigo is a sensation of movement disorder that is the sensations of motion of the body or surrounding environment, especially of autonomic tissue irritation caused by the body's balance resulting indisruption of the vestibular system. After the observation of nine, more than a half respondents experiencied vertigo caused by stress and sleep disorders fulfillment with the balance of the body in patients with vertigo.Thus, the very important role of nurses performed balance checks body of Romberg Test, test steping and Past-pointing. This study aims to determine the relationship of stress and sleep with a balance of meeting the needs of the patient's body Poly Neurology National Stroke Haspital vertigo in Bukittinggi 2014, which was conducted in Agust 2014, witha total sample of 30 respondents. The design of this study used the descriptive analytical method with crosssectional approach. Techniques used in the sampling Accidental sampling. Based on the results of the univariate test in the know that the incidence of stress in vertigo patients 14(46.7%) experienced moderate stress, 12(40%) mild stress, 4(13.3%) severe stress. Meeting the needs of sleep in patients with vertigo 18(60%) meeting the needs of disturbed sleep and 12(40%) are not disturbed. Body balance vertigo patients, 14 Respondents (46.7%) balanced and 16(53.3%) out of balance. According to the bivariate analysis, there is a link between stress and sleep with the balance to meet the needs of patients pda's body Poly Neurology National Stroke Hospital vertigo in New Bukittinggi with a value of P value = 0.03. It can be concluded that there is a relationship between stress and sleep with the balance of meeting the needs of thepatient's body Poly Neurology National Stroke Hospital vertigo in Bukittinggi in 2014, hopping in this research that can it be useful for National Stroke Hospital in Bukittinggi avoid the things that can cause disruption of the balance of the body in patients to with vertigo. Keywords: Body balance, Sleeping needs, Stress, and Vertigo 1. PENDAHULUAN Vertigo merupakan kasus yang sering ditemui. Secara tidak langsung, kata vertigo berasal dari bahasa Yunani “vertere” yang artinya memutar. Vertigo merupakan salah satu gejala sakit kepala yang sering disertai pusing yang berputar atau pusing tujuh keliling. Vertigo termasuk kedalam gangguan keseimba ngan tubuh yang dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyongan, rasa seperti melayang atau dunia seperti terjungkir balik (Lumbantobing, 2007 ). Di Indonesia dari 119 penyakit puyeng oleh kelainan tubuh yang disebut dengan kelainan otologik. Menurut Hain (2000) mendapatkan bahwa 49% menderita Vertigo Perifer Paroksismal Benigna, 18,5% penyakit miniere, 13,5% parese vestibular unilateral , 8% parese vestibular bilateral, 6% disfungsi telinga tengah dan 5% fistula. Dari 74 penderita dengan keluhan puyeng yang disebabkan oleh kelainan neurologik.(Hain, 2000). Penyakit vertigo ini berhubungan sistem keseimbangan tubuh. Dalam otak terdapat alat keseimbangan tubuh sentral berupa alat keseimbangan perifer (tepi) dan Otak kecil (cerebellum) yang letaknya di bagian belakang kepala yang merupakan pusat keseimbangan tubuh. Gejala yang timbul yang dikarenakan terganggunya sistem keseimbangan tubuh yaitu seperti stres dan gangguan pemenuhan kebutuhan tidur yang dialami oleh seseorng. Meskipun tidak mungkin untuk mendiagnosa secara pasti penyebab gangguan keseimbangan LPPM STIKes Perintis Padang 57 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ pada seseorang, suatu gejala sering dapat digolongkan kedalam suatu gangguan keseimbangan adalah penyakit yang mengenai sistem persyrafan yaitu terutama penyakit vertigo yang berhubungan dengan keseimbangan tubuh. (Wartonah & Tarwoto. 2006). Demikian juga di RSSN Bukittinggi, dari studi pendahuluan di RSSN Bukittingi jumlah pasien yang mengalami vertigo satu bulan terakhir ini, yaitu pada bulan Desember 2013 sebanyak 32 orang yang berobat di Poli Neurologi dengan berbagai kondisi seperti pasien yang mengalami gangguan keseimbangan, yaitu seperti pusing, sakit kepala, mual dan muntah, penglihatan berkunangkunang dan gangguan sakit kepala lainnya. (Data Medikal Record,nRSSN Bukittinggi, 2013) Maka dari itu, sangat pentingnya peran perawat dalam melakukan pemeriksaan keseimbangan tubuh pada pasien yang mengalami gangguan stress dan pemenuhan kebutuhan tidur dengan keseimbangan tubuh pada pasien vertigo yang mampu melakukan pengkajian dan pemeriksaan tes keseimbangan tubuh, dan mampu menganalisis dan menentukan pasien yang mengalami gangguan keseimbangan tubuh pada pasien vertigo. 2. METODE PENELITIAN a. Desain penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan crossectional. b. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah pasien vertigo yang berobat di poli neurologi RSSN Bukittinggi pada saat melakukan penelitian yang berjumlah 30 orang. c. Instrument Instrument untuk pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan lembar kuesioner yang berupa instumen stres yang menggunakan modifikasi Depresion Anxiety Stres Scale (DASS) ,instrumen pemenuhan kebutuhan tidur yang menggunakan modifikasi gangguan ritme sikardian (pemenuhan kebutuhan tidur) dan lembar observasi yang berisikan hasil pemeriksaan tes keseimbangan yang terdiri dari test Romberg, stepping test dan past pointing yang dilakukan oleh responden. d. Prosedur pengumpulan data Peneliti memilih responden yang memenuhi kriteria untuk dijadikan responden. Kemudian peneliti meminta persetujuan menjadi responden sambil memperkenal kan diri kepada calon responden. Pengumpulan data dilakukan dengan tahap pemberian penjelasan tentang tujuan, manfaat dan prosedur cara pemeriksaan tes keseimbangan yang akan dilaksanakan kepada responden. Setelah responden memahami penjelasan yang telah diberikan oleh peneliti, responden diminta persetujuannya yang dibuktikan dengan menandatangani informed consent dan untuk pengisian lembar kuesioner diisi oleh peneliti dengan cara menanyakan langsung kepada responden. Setelah pengisian kuesioner, maka peneliti meminta kepada responden untuk melakukan pemeriksaan tes keseimbangan. Setelah selesai melakukan tes pemeriksaan keseimbangan, setelah itu peneliti menuliskan hasil tes pemeriksaan keseimbangan responden pada lembar observasi yang telah disediakan oleh peneliti. Setelah lembar kuesioner dan observasi diisi oleh peneliti dengan cara menanyakan langsung kepada responden, setelah itu peneliti mengkoreksi, apakah lembar kuesioner dan observasi tersebut telah diisi semua. Setelah itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada responden. e. Pengolahan data Setelah data terkumpul diklassifikasikan dalam beberapa kelompok menurut sub variabel yang ada didalam pernyataan. Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan langkah-langkah seperti pemeriksaan data (editing), pemberian tanda (coding), pengelompokkan (tabulating), entry data , memproses data (proccessing), pembersihan data (cleaning). LPPM STIKes Perintis Padang 58 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Analisa univariat 1) Stres Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kejadian Stress Pasien Vertigo Di Poli Neurologi RSSN Bukittinggi Tahun 2014 No Stress f % 1. Ringan 12 40 2. Sedang 14 46,7 3. Berat 4 13,3 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa 14 (46,7%) hampir sebagian pasien vertigo mengalami kejadian stres sedang. 2) Pemenuhan Kebutuhan Tidur Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pemenuhan Kebutuhan Tidur Pasien Vertigo Di Poli Neurologi RSSN Bukittinggi Tahun 2014 No Kebutuhan Tidur F % 1. Tidak terganggu 12 40 2. Terganggu 18 60 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa 18 (60%) lebih dari separoh pasien vertigo dengan kategori pemenuhan kebutuhan tidur terganggu. 3) Keseimbangan Tubuh Tabel 3. Distribusi Frekuensi Keseimbangan Tubuh Pasien Vertigo Di Poli Neurologi RSSN Bukittinggi Tahun 2014 No Keseimbangan F % Tubuh 1. Seimbang 14 46,7 2. Tidak Seimbang 16 53,3 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa 16 (53,3%) lebih dari sebagian pasien vertigo dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang. Analisa Bivariat 1) Hubungan Stress dengan Keseimbangan Tubuh Tabel 4. Hubungan Stress dengan Keseimbangan Tubuh Pasien Vertigo Di Poli Neurologi RSSN Bukittinggi Tahun 2014 Keseimbangan Tubuh Total Tidak No Stress Seimbang P Seimbang f % F % f % 1. Ringan 9 75 3 25 12 100 0,039 2. Sedang 4 28,6 10 71,4 14 100 3. Berat 1 25 3 75 4 100 Jumlah 14 46,7 16 53,3 30 100 Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa dari 14 pasien vertigo yang mengalami kejadian stress sedang, 10 (71,4%) dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang. Sedangkan dari 12 pasien vertigo yang mengalami kejadian stress ringan, 3 (25%) pasien dengan kategori keseimbangan tubuh LPPM STIKes Perintis Padang 59 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ tidak seimbang dan dari 4 pasien yang mengalami kejadian stress berat, 3 (75%) pasien dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kejadian stress dengan keseimbangan tubuh pasien vertigo (p Value = 0,039). 2) Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Tidur dengan Keseimbangan Tubuh Tabel 5. Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Tidur dengan Keseimbangan Tubuh Pasien Vertigo Di Poli Neurologi RSSN Bukittinggi Tahun 2014 Keseimbangan Tubuh Total OR Tidak No Kebutuhan Tidur Seimbang p (95% Seimbang f % CI) f % f % 1. Tidak terganggu 10 83,3 2 16,7 12 100 0,004 17,500 2. Terganggu 4 22,2 14 77,8 18 100 (2,667114,846 Jumlah 14 46,7 16 53,3 30 100 Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa dari 18 responden dengan gangguan pemenuhan tidur, tercatat 14 (77,8%) responden dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang. Sedangkan dari 12 pasien yang tidak mengalami gangguan kebutuhan tidur, tercatat 2 (16,7%) dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemenuhan kebutuhan tidur dengan keseimbangan tubuh pasien vertigo (p value = 0,004) dan pasien dengan gangguan kebutuhan tidur berpeluang dengan nilai 17,5 dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang dibandingkan pasien yang tidak mengalami gangguan kebutuhan tidur. 3.2. Pembahasan Analisa Univariat 1) Stres Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 diketahui bahwa 14 (46,7%) dari 30 orang pasien vertigo mengalami kejadian stress ringan, 12 (40%) stress ringan dan 4 (13,3%) pasien mengalami kejadian stress berat. Penyakit vertigo merupakan salah satu kelainan yang dirasakan akibat manifestasi dari kejadian atau gangguan lain. Misalnya adanya stress seperti stres ringan, sedang maupun tinggi yang mengakibatkan terganggunya kenyamanan pada seseorang. Salah satu akibat dari kejadian atau gangguan tersebut sehingga seseorang akan mengalami vertigo. (Joesoef AA, 2006) Stress adalah suatu kondisi dinamik dalam mana seseorang individu mengalami masalah yang tidak dapat dihindari yang terjadi dalam suatu peluang. Stress adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stressor psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Kendala atau tuntunan yang dikaitkan dengan apa yang diinginkannya dan hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan tidak penting. (Susilawati dkk, 2005). Hasil penelitian Jasmen Manarung 2008, diperoleh bahwa terdapat hubungan antara stres dengan keseimbangan tubuh pada pasien vertigo, dengan hasil frekuensi tertinggi 58,5 % stres sedang, 32,5 % stres ringan dan 21,5% stres berat. Maka dari itu ada nya hubungan antara stres dengan penyakit vertigo. Menurut asumsi peneliti sebagian besar pasien vertigo mengalami kejadian stress baik itu stress ringan, sedang, atau berat. Pada umumnya pasien dengan kejadian stress diakibatkan oleh penyakit vertigo yang sering kambuh yang mengakibatkan kegelisahan, berdebar-debar dan bahkan menjadi masalah bagi seseorang yang mengakibatkan sakit kepala. 2) Pemenuhan Kebutuhan Tidur Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2 diketahui bahwa 18 (60%) dari 30 pasien vertigo mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur dan 12 (40%) tidak mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur. Setiap seseorang memiliki kebutuhan tidur yang berbeda. Setalah beberapa hari mengalami pengurangan tidur seseorang akan mengalami, pusing, pening, kepala terasa enteng (berat), dan LPPM STIKes Perintis Padang 60 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ terganggunya keseimbangan tubuh. Apabila pengurangan tidur dilanjutkan seseorang akan mengalami penurunan aktivitas dan sistem imunitas tidak dapat berfungsi secara normal sehingga kehilangan kekebalan terhadap tubuh yang akan menyebabkan penyakit vertigo. (Siswanto. 2007) Tidur adalah keadaan istirahat normal dan kebutuhan tidur yang dibutuhkan seseorang selama 24 jam yang perubahan kesadarannya terjadi secara periodik. Tidur merupakan efek restoratif dan sangat penting bagi kesehatan dan kelangsungan hidup yang tergantung pada usia dan kondisi fisik. Seseorang perlu tidur antara empat sampai sembilan jam dalam setiap 24 jam untuk dapat berfungsi secara normal. Gangguan tidur dapat terjadi jika seseorang mempunyai kesulitan untuk tidur, tetap tidur atau merasa sangat lelah ketika bangun dari tidur yang lama (Linda Carman,2000). Hasil penelitian dari Dedi Suhendar 2010, menyatakan bahwa frekuensi hasil penelitian yang berhubuhan dengan pemenuhan kebutuhan tidur dengan keseimbangan tubuh pada pasien vertigo, dari 161 pasien vertigo di RS Sukanto Jakarta terlihat bahwa 95 orang (59%) kebutuhan tidurnya terganggu dan 66 orang (41%) kebutuhan tidur nya tidak terganggu. Menurut asumsi peneliti mayoritas penderita vertigo mengalami pemenuhan kebutuhan tidur, karena salah satu faktor penyebab kejadian vertigo adalah kurangnya frekuensi tidur yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, sehingga seseorang yang kurang tidur sering mengalami pusing, sakit kepala sukar berkonsentrasi serta berbagai kendala lainnya. 3) Keseimbangan Tubuh Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 3 diketahui bahwa terdapat 16 (53,3%) dari 30 orang pasien dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang dan 14 (46,7%) dengan kategori keseimbangan tubuh seimbang. Keseimbangan tubuh adalah kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan tubuh ketika di tempatkan di berbagai posisi dan kemampuan untuk mempertahankan postur dan pusat gravitasi yang dapat dicapai pada bidang tumpu terutama ketika saat posisi tegak dan jongkok. Semakin sejajar dengan postur tubuh dan semakin besar keseimbangan nya.(Potter, Patricia A, 2005). Keseimbangan tubuh juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif untuk mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh dengan di dukung oleh sistem muskuloskleletal dan bidang tumpu. Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efisien.(Asmadi. 2008). Menurut hasil penelitian Mirazal Diza 2009, dengan judul Pengaruh Senam Vertigo Terhadap Keseimbangan Tubuh Pada Pasien Vertigo Di RS Siti Khodijah Sepanjang, dari 30 pasien pada bulan Desember 2009, 17 responden (56,6 %) yang mengalami gangguan keseimbangan tubuh dan 13 responden (43,3%) tidak mengalami gangguan keseimbangan tubuh. Menurut asumsi peneliti dengan keseimbangan tubuh ini merupakan suatu penyakit yang berhubungan dengan terganggunya psikologis seseorang seperti pusing, mual , muntah dan gangguan keseimbangan tubuh lainnya. Keseimbangan tubuh ini sangat berhubungan dengan penyakit vertigo karena penyakit vertigo merupakan suatu penyakit kepala yang disertai pusing, pening dan sempoyongan yang disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh. Analisa Bivariat 1) Hubungan Stress dengan Keseimbangan Tubuh Pasien Vertigo Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4 diketahui bahwa dari 14 pasien vertigo yang mengalami kejadian stres sedang, 10 (71,4%) dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang. Sedangkan dari 12 pasien vertigo yang mengalami kejadian stress ringan, 3 (25%) pasien dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang dan dari 4 pasien yang mengalami kejadian stres berat, 3 (75%) pasien dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa (P value = 0,039) terdapat LPPM STIKes Perintis Padang 61 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ hubungan antara kejadian stress dengan keseimbangan tubuh pasien vertigo. Berbeda jenis penyakit vertigo, berbeda pula penyebabnya. Walaupun kesemuanya pada dasarnya berhubungan dengan saraf di kepala, penyakit vertigo ini pun penyebabnya berbeda dari berbagai jenis sakit kepala. Pada kebanyakan kasus, sakit kepala ini disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu stress (Siswanto, 2007). Pada setiap penyakit stres merupakan alasan utama yang mendasari orang mudah sekali terkena penyakit vertigo. Stres bisa disebabkan oleh banyak hal, misalnaya karena, bobot pekerjaan yang berlebihan, alergi pada sesuatu ,karena masalah lain, merasa cemas berlebih dan stres akan sesuatu yang nantinya memaksa otak kita bekerja lebih dari porsinya.Orang yang dalam kondisi stres berpeluang terkena penyakit di bagian kepala dan perut yang disertai mual, muntah yang juga disertai sakit kepala. Otak merupakan inti yang sangat pentingbagi anggota tubuh yang lain untuk bergerak, jika otak tidak seimbang karena stress, kemungkinan karena kurangnya suplai O2(oksigen) masuk ke otak yang akan menyebabkan peyakit vertigo. (Alimul, Azis. 2007) Vertigo merupakan gejala suatu penyakit. Sederet penyebab vertigo ini dapat disebutkan antara lain adanya benturan akibat kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obatobatan sehingga menyebabkan terlalu sedikit atau terlalu banyaknya aliran darah ke otak. Adakalanya vertigo disebabkan oleh stres meski penderita mengalami kepala berputar tujuh keling sampai mutah-muntah namun jika stres dapat ditanggulangi, penyakit vertigo pun juga dapat teratasi (hilang). (Patricia A,Potter 2005) Menurut penelitian Agung Widodo (2009) RSU islam Kustati Surakarta yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara stres dengan keseimbangan tubuh (P value = 0,003). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara stres dengan keseimbangan tubuh pada pasien vertigo Di RSU Islam Kustati Surakarta. Menurut asumsi peneliti terdapat hubungan antara kejadian stress dengan keseimbangan tubuh pada pasien vertigo. Seseorang yang dalam kondisi stress yang berkepanjangan, berpeluang menderita penyakit di bagian kepala dan perut yang disertai mual, muntah yang juga disertai sakit kepala. Otak merupakan inti yang sangat penting bagi anggota tubuh yang lain untuk bergerak, jika otak tidak seimbang karena stres, kemungkinan karena suplay O2 masuk ke otak akan menyebabkan penyakit vertigo serta gangguan keseimbangan tubuh. Pada penelitian ini juga ditemukan responden dengan kejadian stress berat tetapi tidak mengalami gangguan keseimbangan tubuh serta responden dengan kejadian stress yang lebih ringan tetapi mengalami gangguan keseimbangan tubuh. Kondisi ini dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu faktor lama menderita vertigo stadium vertigo yang diderita oleh pasien. 2) Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Tidur dengan Keseimbangan Tubuh Pasien Vertigo Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.4 diketahui bahwa dari 18 responden dengan gangguan pemenuhan tidur, tercatat 14 (77,8%) responden dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang. Sedangkan dari 12 pasien yang tidak mengalami gangguan kebutuhan tidur, tercatat 2 (16,7%) dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemenuhan kebutuhan tidur dengan keseimbangan tubuh pasien vertigo (P value = 0,004) dan pasien dengan gangguan kebutuhan tidur berpeluang dengan hasil (17,5) dengan kategori keseimbangan tubuh tidak seimbang dibandingkan pasien yang tidak mengalami gangguan kebutuhan tidur. Fungsi tidur adalah suatu kebutuhan istirahat bagi seseorang setelah melakukan aktivitas seharian. Fungsi tidur dipercaya untuk mengembalikan, waktu untuk istirahat dan perbaikan untuk tubuh. Apabila kurang tidur atau istirahat bisa mengakibatkan pusing, gangguan konsentrasi, dan gangguan pada keseimbangan tubuh. Bahkan Satu malam tampa tidur dapat meningkatkan aktivitas sistem imun secara sementara dan tubuh akan beraksi terhadap pangurangan tidur seolah-olah merasa LPPM STIKes Perintis Padang 62 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ sakit pada kepala yang diakibatkan oleh terganggunya sistem vestibular yang terbagi menjadi vertigo perifer (akibat gangguan pada end organ) dan vertigo sentral (akibat gangguan pada saraf vestibular atau hubungan sentral menuju batang otak atau cerebellum). (Mansjoer, 2000). Setiap seseorang memiliki kebutuhan tidur yang berbeda. Setalah beberapa hari mengalami pengurangan tidur seseorang akan mengalami, pusing, pening, kepala terasa enteng (berat), dan terganggunya keseimbangan tubuh . Apabila pengurangan tidur dilanjutkan seseorang akan mengalami penurunan aktivitas dan sistem imunitas tidak dapat berfungsi secara normal sehingga kehilangan kekebalan terhadap tubuh yang akan menyebabkan penyakit vertigo.(Siswanto. 2007) Menurut hasil penelitian Dedi Suhendar (2010), Di Ruang Inap RS Sukanto jakarta Pusat dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pemenuhan kebutuhan tidur dengan keseimbangan tubuh (P value = 0,019). Dari hasil penelian ditunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemenuhan kebutuhan tidur dengan keseimbangan tubuh pasien vertigo Di Ruang Inap RS Sukanto Jakarta Pusat. Menurut asumsi peneliti terdapat hubungan antara pemenuhan kebutuhan tidur dengan keseimbangan tubuh pasien vertigo. Pasien dengan kategori gangguan pemenuhan kebutuhan tidur cenderung mengalami gangguan keseimbangan tubuh, seseorang yang tidak mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur dan kondisi sistem kekebalan tubuh yang baik, tidak mengalami gangguan pada keseimbangan tubuh seseorang tersebut. Tidur merupakan salah satu sarana untuk memperbaiki kondisi tubuh serta mengembalikan kesegaran tubuh. Apabila setelah beberapa hari kekurangan tidur, seseorang akan mengalami pusing, kepala terasa berat dan terganggunya sistem keseimbangan tubuh. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Hubungan Stress dan Pemenuhan Kebutuhan Tidur dengan Keseimbangan Tubuh pada Pasien Vertigo di Poli Neurologi RSSN Bukittinggi Tahun 2014, dapat disimpulkan bahwa : 1. Hampir dari separoh pasien vertigo mengalami kejadian stress sedang, 40% mengalami stress ringan dan 13,3% mengalami stress berat 2. Lebih dari sebagian (60%) responden mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur. 3. Lebih dari sebagian (53,3%) pasien vertigo mengalami gangguan keseimbangan tubuh 4. Terdapat hubungan antara kejadian stress dengan keseimbangan tubuh pada pasien vertigo ( p value = 0,039) 5. Terdapat hubungan antara gangguan pemenuhan kebutuhan tidur dengan keseimbangan tubuh pasien vertigo (p value = 0,004) 5. REFERENSI Alimul, Azis. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC http://www.aadan.co.cc/konsep cemas, dan adaptasi.htm Coates Thomas J, 2001. Mengatasi Gangguan Tidur Tampa Obat. Bandung: CV Pionis Jaya Kalat, James W. 2010. Biological Psychology. Ed 9. Jakarta: EGC Kusuma Wati, Farida dkk. 2010 Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika Linda Carman, 2007. Kesehatan Jiwa Psikiatri. Jakarta: EGC Lumbatobing, 2007 Penyakit Vertigo Tujuh Keliling. Jakarta Lumban Tobing. S.M, 2003, Vertigo, Jakarta : FK UI Mansjoer, Arif M, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta: EGC Nursalam, 2002 . Konsep Dan Penerapan Metodelogi Riset Keperawatan. Ed: 2 Jakarta : Salemba Medika Potter, Patricia A, 2005. Fundamentals Of Nursing. Ed 4. Jakarta: EGC Rahayu, Nira.2011. Neuronitis Vestibular. LPPM STIKes Perintis Padang 63 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Robert, Priharjo, 2000. Pemenuhan Aktivitas Istirahat Pasien. Jakarta: EGC Siswanto. 2007. Kesehatan Mental; Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya. Yogyakarta: Andi Suliswati dkk. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC Weiner L. Howard, 2002 Buku Saku Neurologi . Ed 5. Jakarta: EGC Wartonah, Tarwoto. 2006. KDM dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Resika Aditama LPPM STIKes Perintis Padang 64 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN SPIRITUAL TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM RSUD Dr. AHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI Ida Suryati STIKes Perintis Padang Email : [email protected] Abstract Based on (WHO) globally more than 500 million people have chronic kidney disease. Based Chronic Kidney disturbance in Indonesia as many as 2,345 people obtained the data experienced by the age group between 25-60 years of age. Based on the data that researchers get from MR Hospital Dr Ahmad Mochtar Bukittinggi 2015 visit to the Poli Disease In as many as 996 people, from January to December 2015, the average monthly cost as many as 83 people. Objective This study to determine the relationship Emotional and Spiritual Intelligence Against Anxiety Levels of CRF patients in Polyclinic Hospital Dr.Ahmad Mochtar Bukittinggi Year 2016. In 2016 from January to April as many as 320 people, the average monthly cost as many as 80 people. The population in this study were 80 people. This research has been conducted on July 16 until July 21, 2016 at the Polyclinic Hospital Medicine. DR. Achmad Mochtar Bukittinggi. This research uses descriptive method with correlation study design, and data processed using Chi Square test. Statistical test results obtained by value p = 0.002 (p <α), we conclude the relationship between emotional intelligence levels of anxiety. Statistical test results obtained by value p = 0.008 (p <α) then concluded their spiritual relationship between the level of anxiety. Keywords : Emotional Intelligence, Spiritual, Level Anxiety, GGK 1. PENDAHULUAN Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup berlanjut, serta bersifat persisten dan irreversible (Mansjoer, 2000). Cronik Kidney Desease (CKD) yaitu suatu gangguan fungsi renal yang progresif irreversible yang disebabkan oleh adanya penimbunan limbah metabolic didalam darah, sehingga kemampuan tubuh tidak mampu mengeksresikan sisa-sisa sampah metabolisme dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes). ( Doenges, 1999). Berdasarkan estimasi badan kesehatan dunia (WHO) secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah atau hemodalisa (Lewis, Heitkamper & Dirksen, 2004). Di Indonesia gagal ginjal kronis merupakan salah satu masalah kesehatan yang memiliki angka kejadian yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari Indinesian Renal Registry (IRR), pada tahun 2007 terdapat sekitar 6.862 norang yang menderita gagal ginjal kronis dan mengalami peningkatan pada tahun 2011 menjadi 15.353 orang (IRR, 2011). Kenaikan jumlah penderita gagal hinjal cukup banyak, karena dalam satu tahun kenaikan jumlah penderita sebanyak 112 pasien. Salah satu faktor penyebab peningkatan angka penderita gagal ginjal dari tahun ke tahun didunia ini, salah satunya disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap deteksi dini penyakit tersebut ( Antara Sumut, 2009). Ganguan Ginjal Kronik di Indonesia didapatkan data sebanyak 2.345 orang yang dialami oleh golongan umur usia antara 25-60 tahun, yang akan beresiko gangguan ginjal adalah mereka yang masa pengaturan cairan atau LPPM STIKes Perintis Padang 65 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ mereka yang selalu mengkosumsi makanan yang banyak mengandung potassium dan ureum yang tinggi sehingga akan menutup saluran cenalis pada ginjal. Penyakit ini banyak ini banyak terjadi pada daerah-daerah yang suhunya tidak terlalu dingin atau tidak terlalu panas dimana pengaturan sekresi akan mudah terganggu. Dari data tersebut penyakit gangguan ginjal banyak yang dialami oleh masyarakat ekonomi menengah keatas (Humalik.2014). Berdasarkan hasil penelitian Michellia Dasril (2014) Bahwa dari hasil penelitian awalnya pada poliklinik khusus perkemihan (Visica Urinaria) RSUP.DR.M.Djamil Padang, di peroleh data dari Rekam Medis selama beberapa tahun terakhir pasien gagal ginjal kronik mengalami peningkatan, yaitu tahun 2012 melayani 95 orang dan sekitar 45% diantaranya komplikasi dan melakukan konsul rutin ke poliklinik. Kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan atau kekuatan yang tidak jelas dan hebat. Hal ini terjadi sebagai reaksi terhadap sesuatu yang di alami oleh seseorang (Nugroho,Wahyudi,2000). Kecemasan adalah kebingungan, khawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya (Suliswati et al, 2005). Penyebab dari kecemasan Terdiri dari ancaman terhadap integritas fisik meliputi sumber internal meliputi kegagalan mekanisme fisiologi sistem imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal salah satunya penyakit GGK. Sumber eksternal meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polusi lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal. Rasa cemas dan takut terhadap penyakit gagal ginjal kronik juga sangat berpengaruh kepada Kecerdasan emosional dan spritual (Suliswati et al, 2005). Spiritual adalah suatu usaha dalam mencari arti kehidupan, tujuan dan panduan dalam menjalani kehidupan bahkan pada orang-orang yang tidak memercayai adanya Tuhan. (Ellison, 2002). Spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. setiap faktor diperlukan untuk membangun dan mempertahankan hubungan dinamis pribadi seseorang dengan tuhan atau sebagainya didefebisikan oleh individu itu dan keluar dari hubungan itu untuk mengalami pengampunan, cinta, harapan, kepercayaan, makna dan tujuan dalam hidup (Stallwood & Stool dalam Mc Sherry, 2006). Berdasarkan data yang peneliti dapatkan dari MR RSUD Dr. Ahmad Mochtar Bukittinggi dari bulan Januari sampai Desember tahun 2015 di Poliklinik Penyakit Dalam sebanyak 996 orang, dengan rata-rata perbulannya sebanyak 83 orang. Sedangkan data pada tahun 2016 dari bulan Januari sampai April sebanyak 320 orang, dengan rata-rata perbulannya sebanyak 80 orang. Dari hasil wawancara singkat yang dilakukan oleh peneliti dengan 5 orang pasien di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Ahmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 1 april 2016 didapatkan bahwa 3 orang diantara pasien GGK tersebut mengatakan bagaimana cara penyakitnya bisa sembuh, dan pasien tersebut sudah mulai bosan berkunjung untuk berobat ke Poli Penyakit Dalam setiap bulannya, pasien tersebut mulai menyerah dan mengatakan serahkan saja pada Allah SWT, pasien tersebut juga mengatakan bahwa dia juga merasa tegang, tidak bisa istirahat, mudah menangis, tidur tidak nyenyak. Sedangkan 2 orang penderita GGK mengatakan bahwa dia akan sabar menjalani pengobatan dan menyebutkan serahkan saja kepada Allah, karena penyakit kita semua datang dari Nya, dan dialah yang mengetahui semua (Medical Record RSUD.Dr.Ahcmad Mochtar Bukittinggi, April 2016). 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang artinya penelitian ini bertujuan untuk memecahkan dan menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang didalam penelitian deskriptif jenis penelitian yang digunakan adalah metode Correelation Study. “Correelation Study” yaitu merupakan penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu sisi atau sekelompok objek (Notoatmodjo, 2005). Penelitian dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Ahmad Mochtar Bukittinggi, LPPM STIKes Perintis Padang 66 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ dengan banyaknya penyakit Gagal Ginjal Kroni (GGK) di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD.DR.Ahmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 16 Juli sampai 21 Juli 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah 80 orang pasien yang mengalami GGK. Teknik yang digunakan dalam penentuan sampel untuk penelitian ini secara purposive sampling dengan jumlah sampel 66 orang responden yang sesuai dengan criteria sampel. Alat yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan : kuesioner. Analisis untuk menguji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan uji kolmogorov smirnov. Selanjutnya peneliti melakukan analisis data untuk menguji hipotesis dengan menggunakan uji chi-squart. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kecerdasan Emosional di Poliklinik penyakit dalam RSUD. Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 Kecerdasan emosional Frekuensi Persentase (%) Rendah 20 30,3 Tinggi 46 69,7 Total 66 100 Hasil analisis dari table 1 dapat dilihat distribusi frekuensi kecerdasan emosional bahwa lebih dari separoh 46 (69,7% ) responden mempunyai kecerdasan emosional tinggi. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Spiritual di Poliklinik penyakit dalam RSUD. Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 Spiritual Frekuensi Persentase (%) Tidak baik 24 36,4 Baik 42 63,6 Total 66 100 Hasil analisis dari table 2 dapat dilihat distribusi frekuensi spiritual bahwa lebih dari separoh 42 (63,6% ) responden dengan persentasi mempunyai spiritual baik. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan tingkat kecemasan di Poliklinik penyakit dalam RSUD. Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016 Tingkat Kecemasan Ringan Sedang Total Frekuensi 59 7 66 Persentase (%) 89,4 10,6 100 Hasil analisis dari table 3 dapat dilihat distribusi frekuensi tingkat kecemasan bahwa lebih dari separoh 59 (89,4%) responden dengan kategori tingkat kecemasan ringan. LPPM STIKes Perintis Padang 67 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Tabel 4. Hubungan kecerdasan emosional dengan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik di Poliklinik penyakit dalam RSUD. Total Tingkat Kecemasan Kecerdasan emosional Kecemasan ringan Rendah Tinggi Total F 14 45 59 % 70 97,8 89,4 Kecemas an sedang F % 6 30 1 2,2 7 10,6 Kecem asan berat F % 0 0 0 0 0 0 P value OR value 0,002 0,052 Panik F 0 0 0 % 0 0 0 f 20 46 66 % 100 100 100 Hasil analisis dari tabel 4 dapat dijelaskan bahwa kecerdasan emosional tinggi dengan tingkat kecemasan ringan sebanyak 45 orang (97,8%), sedangkan untuk kecemasan sedang sebanyak 1 orang (2,2 %), untuk kecerdasan emosional rendah dengan tingkat kecemasan ringan sebanyak 14 orang (70 %), sedangkan untuk kecemasan rsedang sebanyak 6 orang (30 %). Dari hasil tersebut dilakukan uji chi square dengan menggunakan komputerisasi maka didapatkan nilai P value = 0,002 (p<0,05) maka disimpulkan adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan tingkat kecemasan. Dari hasil analisis diperoleh OR= 0,052 artinya responden yang memiliki kecerdasan emosional tinggi mempunyai peluang 0,052 kali untuk mengalami kecemasan ringan dibandingkan responden yang memiliki kecerdasan emosional rendah. Tabel 5. Hubungan spiritual dengan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik di Poliklinik penyakit dalam RSUD DR. Ahmad Mochtar pada tahun 2016 Spiritual Tingkat Kecemasan Kecemasan Kecema ringan san sedang F % f % Kecema san berat F % 0 0 Tidak Baik 18 75 6 25 Baik 41 97,6 1 2,4 0 Total 59 89,4 7 10, 6 0 Total P value Panik f 0 % 0 F % 24 100 0 0 0 42 100 0 0 0 66 100 0,008 O R val ue 0,0 73 Hasil analisis dari tabel 5 dapat dijelaskan bahwa spiritual dengan tingkat kecemasan, terdapat 18 (75%) dari 24 orang responden mengalami kecemasan ringan yang mempunyai spiritual tidak baik. Terdapat sebanyak 6 (25 %) dari 24 orang responden mengalami kecemasan sedang yang mempunyai spiritual tidak baik. Terdapat sebanyak 41 (97,6 %) dari 42 orang responden yang mengalami kecemasan ringan yang mempunyai spiritual baik. Terdapat sebanyak 1 (2,4%) dari 42 orang responden yang mengalami kecemasan sedang yang mempunyai spiritual baik. Dari hasil tersebut dilakukan uji chi square dengan menggunakan komputerisasi maka didapatkan nilai P value = 0,008 (p< 0,05) maka disimpulkan adanya hubungan antara spiritual dengan tingkat kecemasan. Dari hasil analisis diperoleh OR= 0,073 artinya responden yang memiliki spiritual baik mempunyai peluang 0,073 kali untuk mengalami kecemasan ringan dibandingkan responden yang memiliki spiritual tidak baik. responden dengan persentasi 69,7% mempunyai 3.2. Pembahasan kecerdasan emosional tinggi. Sementara untuk a. Kecerdasan Emosional kecerdasan emosional rendah sebanyak 20 orang Hasil penelitian ini didapatkan kecerdasan dengan persentase 30,3%. emosional bahwa hampir semuanya 46 orang LPPM STIKes Perintis Padang 68 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk memahami serta mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan kejernihan berfikir otak rasional, tetapi mampu menampilkan beberapa kecakapan, baik kecakapan pribadi maupun kecakapan antar pribadi (Goleman, 2002). Menurut asumsi peneliti, semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang maka akan semakin baik seseorang tersebut untuk menciptakan, mengenal, mengekspresikan, mamahami, dan mengevalusi emosi diri dan orang lain, untuk tujuan membimbing pemikiran dan tindakan yang secara sukses selaras dengan permintaan dan tekanan lingkungan. b. Frekuensi Spiritual Hasil penelitian ini didapatkan spiritual bahwa hampir semuanya 42 orang responden dengan persentasi 63,6% mempunyai spiritual baik. Sementara untuk spiritual tidak baik sebanyak 24 orang responden dengan persentase 36,4%. Hal ini menggambarkan bahwa sebagian besar responden lebih tahu akan hikmah kejadian yang ia alami dan menjadikan perjalanan dan tenungan, sebagian besar responden juga memiliki sikap, perilaku serta pola pikir yang sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh tuhan nya sehingga dapat memaknai kehidupan ini secara positif. Stallwood dan Stool dalam McSherry (2006) menyatakan bahwa spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Setiap faktor diperlukan untuk membangun dan mempertahankan hubungan dinamis pribadi seseorang dengan Tuhan atau sebagaimana didefenisikan oleh individu itu dan keluar dari hubungan itu untuk mengalami pengampunan, cinta, harapan, kepercayaan, makna dan tujuan dalam hidup. Kebutuhan spiritual tidak murni terkait dengan agama atau kepercayan terhadap Tuhan tetapi filosofi semantik terhadap kehidupan atau mencari makna dan tujuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alfiannur (2015), tentang hubungan antara kecerdasan spiritual dengan tingkat kecemasan pasien GGK yang menjalani hemodialisa. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan tingkat kecemasan pasien GGK yang menjalani hemodialisa. Penelitian terkait yang dilakukan oleh Purwaningrum (2013), tentang hubungan aktivitas spiritual dengan tingkat stres pada pasien GGK yang menjalani HD di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2013. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan antara aktivitas spiritual dengan tingkat stres pada pasien GGK yang mengalami HD. Menurut asumsi peneliti bahwa semakin baik spiritual, akan mendewasakan seseorang tersebut sehingga ia menjadi lebih matang, kuat, dan lebih siap menjalani kehidupan, seseorang yang memiliki spiritual yang baik mampu memaknai hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Makna positif akan mampu membangkitkan jiwa, melakukan perbuatan dan tindakan yang positif, maka kecemasan yang di alami akan semakin rendah dan sebaliknya semakin buruk spiritual seseorang maka kecemasan yang dialami akan semakin berat. c. Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Hasil penelitian ini didapatkan tingkat kecemasan bahwa hampir semuanya 59 orang responden dengan persentasi 89,4% mempunyai tingkat kecemasan ringan. Sementara untuk tingkat kecemasan sedang sebanyak 7 orang responden dengan persentase 10,6%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Musa (2015) tentang hubungan tindakan hemodialisa dengan tingkat kecemasan klien gagal ginjal kronik di ruangan Dahlia RSUP Prof Dr.R. Kondou Manado didapatkan bahwa 110 orang (85,2%) pasien HD mengalami kecemasan ringan, 79 orang (41,8%) mengalami kecemasan berat. Kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan atau ketakutan yang tidak jelas dan hebat. Hal ini terjadi sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dialami oleh seseorang (Nugroho Wahyudi, 2000). Menurut asumsi peneliti pada pasien gagal ginjal kronik tentunya memiliki tingkat kecemasan yang berbeda-beda hal ini dipengaruhi karena adanya faktor usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, tipe kepribadian, lingkungan dan situasi. Penyebab kecemasan yang dialami biasanya dikarenakan proses pengobatan, cemas karena ketidak pastian akan LPPM STIKes Perintis Padang 69 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ kesembuhan. Semakin berat penyakit yang dialami seseorang maka kecemasan yang dihadapi juga akan berat. d. Hubungan Kecerdasan Emosional Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan hasil analisa hubungan antara kecerdasan emosional dengan tingkat kecemasan, terdapat 14 (70%) dari 20 orang responden mengalami kecemasan ringan yang mempunyai kecerdasan emosional rendah. Terdapat sebanyak 6 (30 %) dari 20 orang responden mengalami kecemasan sedang yang mempunyai kecerdasan emosional rendah. Terdapat sebanyak 45 (97,8 %) dari 46 orang responden yang mengalami kecemasan ringan yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi. Terdapat sebanyak 1 (2,2%) dari 46 orang responden yang mengalami kecemasan sedang yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,002 (p<α) maka disimpulkan adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan tingkat kecemasan. Dari hasil analisis diperoleh OR= 0,052 artinya responden yang memiliki kecerdasan emosional tinggi mempunyai peluang 0,052 kali untuk mengalami kecemasan ringan dibandingkan responden yang memiliki kecerdasan emosional rendah. Supriatno (2006) mengartikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan (verbal dan nonverbal) yang memungkinkan seseorang untuk menciptakan, mengenal, mengekspresikan, mamahami, dan mengevalusi emosi diri dan orang lain, untuk tujuan membimbing pemikiran dan tindakan yang secara sukses selaras dengan permintaan dan tekanan lingkungan, Kecemasan merupakan sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan bisa muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi. Menurut asumsi peneliti semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang maka semakin baik kemampuan, memahami dan mengimplementasikan suatu permasalahan yang dihadapi seperti penyakit GGK yang di alami sekarang akan menimbul kan kecemasan tertentu. semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang maka kecemasan yang dialami akan semakin ringan. jika sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional yang dialami seseorang maka akan semakin berat tingkat kecemasan yang dialami sesuai keadaan penyakit pasien. e. Hubungan Spiritual Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan hasil analisa hubungan antara spiritual dengan tingkat kecemasan, terdapat 18 (75%) dari 24 orang responden mengalami kecemasan ringan yang mempunyai spiritual tidak baik. Terdapat sebanyak 6 (25 %) dari 24 orang responden mengalami kecemasan sedang yang mempunyai spiritual tidak baik. Terdapat sebanyak 41 (97,6 %) dari 42 orang responden yang mengalami kecemasan ringan yang mempunyai spiritual baik. Terdapat sebanyak 1 (2,4%) dari 42 orang responden yang mengalami kecemasan sedang yang mempunyai spiritual baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,008 (p<α) maka disimpulkan adanya hubungan antara spiritual dengan tingkat kecemasan. Dari hasil analisis diperoleh OR= 0,073 artinya responden yang memiliki spiritual baik mempunyai peluang 0,073 kali untuk mengalami kecemasan ringan dibandingkan responden yang memiliki spiritual tidak baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Avita (2012) yang menunjukkan ada pengaruh kecerdasan spiritual terhadap kecemasan menghadapi kematian. Hal ini disebabkan karena lansia (71-80 tahun) yang kecerdasan spiritualnya tinggi menganggap kematian bukanlah akhir dari kehidupan dan bukanlah suatu ancaman baginya, akan tetapi kematian adalah suatu pendorong bagi dirinya untuk menjalani hidup lebih baik. Penelitian ini juga di perkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Alfiannur (2015), tentang hubungan antara kecerdasan spiritual dengan tingkat kecemasan pasien GGK yang menjalani hemodialisa. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan tingkat kecemasan pasien GGK yang menjalani hemodialisa. Menurut Santrock (2005) faktor yang mempengaruhi seberapa baik seseorang mengatasi perasaan adalah filosofi atau kepercayaan religious dan kemampuannya dalam mengatasi masalah, yang mana hal ini merupakan salah satu indikator seseorang yang LPPM STIKes Perintis Padang 70 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ memiliki kecerdasan spiritual. Seseorang yang mempunyai spiritual yang baik dapat bersikap pasrah dan berserah diri terhadap keadaan yang dialaminya dan juga dapat menerima dengan ikhlas keadaan tersebut dengan takdir yang harus dijalani agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan mendapatkan derajat yang lebih tinggi disisi Tuhan (Anggaraini, 2012). Menurut asumsi peneliti, seseorang yang memiliki spiritual yang tinggi mampu menghadapi kenyataan akan permasalahan yang dialami dengan baik dan tetap berperan aktif dalam menjalankan tangguang jawabnya di kehidupan ini. Penerimaan seseorang terhadap permasalahan yang dialami dapat mengurangi kecemasan menghadapi penyakitnya dalam tingkatan tertentu, tetapi jika sebaliknya seseorang tidak dapat berfikir secara positif terhadap permasalahan yang dialami maka akan menyebabkan kecemasan bertamabah besar. 4. KESIMPULAN Distribusi frekuensi kecerdasan emosional bahwa hampir semuanya 46 orang responden dengan persentasi 69,7% mempunyai kecerdasan emosional tinggi. Sementara untuk kecerdasan emosional rendah sebanyak 20 orang dengan persentase 30,3%. Distribusi frekuensi spiritual bahwa hampir semuanya 42 orang responden dengan persentasi 63,6% mempunyai spiritual baik. Sementara untuk spiritual tidak baik sebanyak 24 orang responden dengan persentase 36,4%. Distribusi frekuensi tingkat kecemasan bahwa hampir semuanya 59 orang responden dengan persentasi 89,4% mempunyai tingkat kecemasan ringan. Sementara untuk tingkat kecemasan sedang sebanyak 7 orang responden dengan persentase 10,6%. Adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan tingkat kecemasan, dengan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,002 (p<α). Adanya hubungan antara spiritual dengan tingkat kecemasan, dengan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,008 (p<α). 5. REFERENSI Alfianur, Fajri. 2015. Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa. Skipsi Universitas Riau. Pekan Baru. Andri, 2013.Gangguan Psikiatrik Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik. Jakarta. Aroem, Hari Ratna, 2015. Gambaran Kecemasan Dan Kualitas Hidup Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisa. Skripsi Surakarta. Aziz, Alimul. 2008. Metode Penelitian dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Rineka Cipta Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol 2, Jakarta. EGC. Doenges, Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta. EGC Efendy Nazrul. 2007. Pengantar Kesehatan Masyarakat. Jakarta. EGC Guyton, Arthur c. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta. EGC Hamid. 2008.Kecerdasan Spritual. Zikrul Hakim.Jakarta. Hastono, Susanto Priyo. 2006. Basic Data Analysis For Health Research Training. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hidayat, Alimul, A. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta Salemba Medika Medical Record. 2015. Data RSUD Achmad Mochtar. Bukittinggi. Mulyanna, Saputri. 2011. Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Mekanisme Koping Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di RS. DR Wahidin Su Dirohusodo, Skripsi Makasar. Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Applikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. Salemba Medika. Notoadmojo, Soekijo, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta. Notoadmojo, Soekijo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta LPPM STIKes Perintis Padang 71 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Nursalam, 2011. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika. Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta. EGC Price, A Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta. EGC Purwaningrum, Febrianita, 2013. Hubungan Aktivitas Spiritual Dengan Tingkat Stres Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa.Skripsi Yogyakarta. Saryono. 2010. Kumpulan Instrumen Penelitian. Bantul. Mulya Medika. Smeltzer & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC Stuart, Gail & Sundeen, Sandra. 2005. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. EGC Supriatno S.E. 2006. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional. Jakarta. FISIP UI. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Taylor, E Shelly. 1995. Healthy Psychology. Mc Graw Hill Inc. Singapura. LPPM STIKes Perintis Padang 72 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ HUBUNGAN PELAKSAAN ORIENTASI PASIEN BARU DENGAN KEPUASAN PASIEN DI RUANG RAWAT INAP BEDAH RUMAH SAKIT ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI Vera Sesrianty1 Diky Leksono Segoro Program Studi D III Keperawatan STIKes Perintis Padang PSIK STIKes Perintis Padang Email : [email protected] Abstract Psychologically problem of new patient is an urgent thing to be attention. Explanation of the treatment is a starting point relationship between nurses and the patient. A good relationship of them can be influencing the patient satisfaction. This study aimed to examine the relationship implementation of new patient orientation with patient satisfaction in surgical ward Achmad Mochtar hospital Bukittinggi in 2016. The study design used descriptive correlation with crosssectional approach. Collecting data using a questionnaire containing the implementation of new patient orientation and patient satisfaction. The research sample numbering 85 people admitted to the surgical ward Ahmad Mochtar hospital Bukittinggi. In this study showed that there is a connection with the implementation of new patient orientation patient satisfaction in inpatient surgical Ahmad Mochtar Hospital Bukittinggi in 2016 with p-value of 0.01. It is concluded that there is a connection with the implementation of new patient orientation patient satisfaction in inpatient surgical Ahmad Mochtar Hospital Bukittinggi in 2016. It is expected that this study can be used as a benchmark to make nursing services for the better. Keywords : new patient orientation, patient satisfaction 1. PENDAHULUAN Perkembangan masyarakat dalam menyikapi masalah kesehatan saat ini semakin kritis, maka standar pelayanan mutu kesehatan akan menjadi hal yang sangat penting. Pelayanan yang menjadi sorotan masyarakat tidak hanya pada masalah pelayanan medis semata, tetapi pelayanan penunjang dan pelayanan non medis yang ada di institusi pelayanan kesehatan akan menjadi hal yang penting. Mutu merupakan faktor sentral dari setiap upaya untuk memberikan upaya pelayanan kesehatan (Wijono, 2006). Konsumen pelayanan kesehatan semakin lama semakin mempunyai pengetahuan tentang berbagai isu dalam pelayanan kesehatan dan memberi perhatian besar kepada apa yang mereka dengar tentang rumah sakit, pasien, sebelum tindakan aseptik ataudokter dan kualitas keperawatan yang dirasakan. Betapapun majunya teknologi yang digunakan oleh sebuah rumah sakit, pengalaman pasien dengan penyakit dan pelayanan medis yang dialaminya merupakan ukuran kualitas yang sejati (Perry & Potter, 2007). Vestal (1995, dalam Windy 2007) mengatakan bahwa jika pasien dan keluarga mempunyai penilaian yang negatif terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya, maka keluhan dan protes terhadap rumah sakit akan meningkat. Hal tersebut tidak akan terjadi jika perawat menginformasikan tentang segala sesuatu yang akan dilakukan terhadap pasien, salah satunya adalah melalui program orientasi pasien yang baru masuk untuk dirawat di rumah sakit. Keperawatan memegang peranan kunci kepuasan pasien karena keperawatan merupakan salah satu profesi yang paling mempengaruhi setiap dimensi kualitas jasa. Memberikan pelayanan yang memuaskan pasien merupakan suatu prioritas dan membantu perawat untuk dapat mengembangkan terapi dan pendekatan yang tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan tetapi juga membuat mereka tertarik dan mau berpartisipasi dalam perawatan. Selain itu perawat memegang peranan kunci LPPM STIKes Perintis Padang 73 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ untuk melakukan koordinasi perawatan mulai dari pasien masuk sampai pulang dengan cara mempertahankan pendekatan holistik yang dibutuhkan untuk mengenal dan mengantisipasi kebutuhan pelayanan pasien. Pelayanan keperawatan yang bermutu adalah pelayanan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa, serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Upaya untuk memberikan keperawatan bermutu ini dapat dimulai perawat dari adanya rasa tanggung jawab perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional. Pada saat pasien masuk ke rumah sakit semua petugas harus memperlakukan pasien dengan sopan dan profesional karena pada proses inilah pelayanan kepada konsumen telah dimulai. Pada masa awal masuk ini, apabila pasien menerima perlakuan yang kurang baik, maka pasien akan mengganggap semua petugas kesehatan tidak profesional. Sebaliknya jika pasien dan keluarga merasa diterima maka perawat dan petugas lain dapat mulai membentuk hubungan yang terapeutik dengan pasien (Perry & Potter 2007). Menurut Sitorus (2006), Orientasi pasien baru merupakan kegiatan yang penting dilakukan agar hubungan saling percaya (trust) antara perawat dan pasien dapat terbina dengan baik. Orientasi pasien baru juga merupakan kontrak antara perawat dan pasien/keluarga dimana terdapat kesepakatan dalam memberikan asuhan keperawatan. Setiap rumah sakit mempunyai kontrak antara perawat dan pasien/keluarga dimana terdapat kesepakatan dalam memberikan asuhan keperawatan. Setiap rumah sakit mempunyai kebijakan dan prosedur yang harus diinformasikan kepada pasien dan keluarga terkait dengan hak-hak pasien, peraturan rumah sakit dan kegiatankegiatan perawatan yang akan diterima oleh pasien selama menjalani perawatan di rumah sakit, semua informasi tersebut dapat disampaikan pada saat pertama kali pasien masuk melalui kegiatan orientasi pasien baru. Orientasi pasien baru ini dimulai dari tahap pra interaksi, orientasi sampai tahap evaluasi. Hal ini dimaksudkan bahwa dengan bentuk keperawatan yang komprehensip maka dapat melihat manusia sebagai makhluk holistik yang utuh dan unik. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kewajiban perawat adalah menghormati hak pasien diantaranya adalah memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit, memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi. Hak-hak pasien ini dapat dilakukan oleh perawat melalui orientasi yang dilakukan oleh perawat terhadap pasien baru. Orientasi pasien baru merupakan kontrak antara perawat dan pasien/keluarga dimana terdapat kesepakatan antara perawat dengan pasien/keluarganya dalam memberikan Asuhan keperawatan. Kontrak ini diperlukan agar hubungan saling percaya antara perawat dan pasien/ keluarga dapat terbina (Nining, 2008). Praktik orientasi dilakukan saat pertama kali pasien datang (24 jam pertama) dan kondisi pasien sudah tenang. Orientasi diberikan pada pasien dan didampingi anggota keluarga yang dilakukan di kamar pasien dengan menggunakan format orientasi. Selanjutnya pasien Berdasarkan penilaian pelayanan mutu RSUD Dr.Achmad Mochtar terhadap nilai indeks kepuasan masyarakat pada tahun 2013 sebesar 75%, tahun 2014 naik sebesar 75,15%, tahun 2015 81,56%. Realisasi Indikator kinerja Indek Kepuasan Masyarakat (IKM) Tahun 2015 81,56% dibandingkan dengan standar nasional >90% menunjukkan capaian TOI Tahun 2015 masih di bawah target nasional (Laporan Kinerja RSAM 2015). Jumlah pasien yang dirawat di ruang bedah pada tahun 2013 sebanyak 1230 orang dan pada tahun 2015 terjadi peningkatan sebanyak 1320 orang. Berdasarkan wawancara bahwa praktik orientasi pasien baru ada dilaksanakan di ruangan bedah. Peneliti juga mewawancarai 3 orang pasien mengenai kepuasan terhadap pelayanan perawat saat pasien baru masuk ke ruangan dan mereka mengatakan cukup puas dengan pelayanan di ruangan Ruangan Bedah. Pasien mengatakan ada diperkenalkan mengenai prosedur dan aturan di rumah sakit, namun penjelasannya diberikan dengan singkat dan jelas. Pada pasien yang pertama masuk rumah sakit mereka mengatakan masih bingung dan takut terhadap kondisi yang LPPM STIKes Perintis Padang 74 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ di alami dan perawat hanya menjelaskan keadaan pasien apabila ditanyakan. 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah dekriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitan ini adalah semua pasien yang di rawat inap bedah RSUD Ahmad Mochtar Bukittinggi sebanyak 110 orang. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 85 orang dengan teknik Accidental Sampling. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pelaksanaan Orientasi Pasien Baru di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Ahmad Mochtar Bukittinggi No Pelaksanaan Orientasi Frekuensi Persentase (%) 1. Buruk 30 35,3 2. Baik 55 64,7 Total 85 100 Berdasarkan table 1 diatas diatas dapat diketahui dari 85 responden, lebih dari separoh menyatakan pelaksanaan orientasi pasien baru di ruang rawat inap bedah RSUD Ahmad Mochtar sudak baik sebanyak 55 orang (64,7%). Tabel 2. Distribusi frekuensi responden menurut kepuasan pasien di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Ahmad Mochtar Bukittinggi No Kepuasan Pasien Frekuensi Persentase (%) 1. 2. Tidak Puas 42 49,4 Puas 43 50,6 Total 85 100 Berdasarkan tabel 2 diatas dapat diketahui dari 85 responden, lebih dari separoh menyatakan kepuasan pasien di ruang rawat inap bedah RSUD Ahmad Mochtar sudah puas sebanyak 43 orang (50.6%). Tabel 3. Hubungan Pelaksanaan Orientasi Pasien Baru Dengan Kepuasan Pasien di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Ahmad Mochtar Bukittinggi Orientasi Kepuasan Pasien Pasien Jumlah p Odds Tidak Puas Puas Value Ratio Baik Buruk Total N % N % n % 21 21 42 70 38,2 49,4 9 34 43 30 61,8 50,6 30 55 85 100 100 100 0,010 3,778 Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa dari 55 responden yang mengatakan orientasi pasien baru baik sebesar 34 (61,8%) responden yang merasa puas. Sedangkan dari 30 responden yang menyatakan orientasi pasien baru kurang baik hanya 9 (30%) responden yang merasa puas. Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p-value sebesar 0,010 (p ≤ 0,05) artinya ada hubungan pelaksanaan orientasi pasien baru dengan kepuasan pasien di ruang rawat inap bedah RSUD Ahmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016. Nilai Oods Ratio 3,778 artinya responden yang menyatakan praktek orientasi pasien baru baik, berpeluang 3 kali untuk puas dengan pelayanan keperawatan, dibandingkan dengan responden yang menyatakan pelaksanaan orientasi pasien baru kurang baik. LPPM STIKes Perintis Padang 75 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 3.2. Pembahasan Orientasi terhadap pasien baru adalah suatu cara untuk menerima pasien baru di suatu ruangan dengan mengenalkan mengenai ruangan, perawatan, medis dan tata tertib ruangan (Nursalam, 2002). Hal ini juga sejalan dengan penelitian Indrayana (2015) dengan judul hubungan keaktifan petugas penerimaan pasien baru rawat jalan dengan kelengkapan pengisian identitas pasien dengan hasil pengisian identitas pasien pada lembar ringkasan riwayat klinik yang lengkap adalah 32 lembar (42,1%) dan yang tidak lengkap adalah 44 lembar (57,9%). Pasien yang menilai petugas penerimaan pasien memiliki keaktifan tinggi adalah 35 pasien (46,1%) dan memiliki keaktifan rendah adalah 41 pasien (53,9%). Nilai P value = 0,000 (0,000 < 0,05) dan nilai OR = 37 sehingga ada hubungan antara keaktifan petugas penerimaan pasien baru rawat jalan dengan kelengkapan pengisian identitas pasien. Berdasarkan teori dan penelitian diatas, maka peneliti berpendapat bahwa banyaknya responden yang menyatakan pelaksanaan orientasi pasien baru di ruang rawat inap bedah sudah baik karena adanya kesadaran dari perawat untuk memberikan pelayanan prima kepada pasien seperti menjaga kebersihan ruangan yang ditempati pasien (99%), memberikan informasi yang memadai kepada pasien/keluarga mengenai perawatan pasien (88%), perawat yang mudah dihubungi saat dibutuhkan serta memberikan perawatan yang maksimal saat pasien baru masuk ke ruangan (100%) Hal ini menjadi faktor-faktor yang memepengaruhi terhadap baiknya orientasi pasien baru di ruang rawat inap bedah RSUD Ahmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016. Menurut Tjiptono (2008), setiap orang yang membeli produk baik dalam rupa barang atau jasa tentu mempunyai harapan terhadap produk yang dibelinya, termasuk juga dalam membeli jasa pelayanan keperawatan/kesehatan di rumah sakit. Lebih lanjut disampaikan oleh Supranto (2006) bahwa harapan yang tinggi apabila tidak terpenuhi atau kenyataan pelayanan (persepsi) tidak sesuai dengan harapannya (kurang) dapat mengakibatkan seseorang merasa tidak puas dan kecewa terhadap produk yang dibelinya. Hal ini ditunjang oleh teori oleh Huber (1996, dalam Hamid, 2000) yang menyatakan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan sangat ditunjang oleh kualitas pelayanan yang diberikan oleh profesi keperawatan, seperti juga disampaikan oleh Huber (1996, dalam Hamid, 2000) bahwa pelayanan kesehatan di rumah sakit, 90 % adalah pelayanan keperawatan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila citra suatu RS dinilai dari aktivitas dan kinerja pelayanan keperawatan. Seperti disampaikan oleh Aditama (2003) bahwa tujuan pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan bermutu kepada masyarakat, yaitu memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan dan keinginan pelanggan sehingga dapat memberikan kepuasan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2015) dengan judul Hubungan Peran Mandiri Perawat dengan Kepuasan Pasien di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Ahmad Mochtar Bukittinggi dengan hasil sebesar 65% responden menyatakan peran mandiri perawat kurang baik dan 62,5% responden menyatkan kurang puas dengan peran mandiri perawat. Dengan hasil statistik p-value 0,026 dengan OR=6, ada hubungan yang signifikan antara peran mandiri perawat dengan kepuasan pasien. Berdasarkan teori dan penelitian diatas peneliti berasumsi, banyak responden yang mengatakan puas terhadap pelayanan di ruang inap bedah karena baiknya sikap perawat dalam memberikan pelayanan,cara perawat berkomunikasi menyampaikan informasi sebesar (84%) serta perhatian perawat terhadap kondisi pasien saat pasien pertama kali masuk ruangan (79%) . Kepuasan pasien sangat dipengaruhi oleh pelayanan keperawatan yang optimal terutama sejak pasien pertama masuk ke ruangan. Dimana tindakan yang dilakukan perawat sangat berhubungan dengan keberhasilan proses keperawatan yang nantinya akan mempengaruhi kkepuasan pasien secara keseluruhan. Menurut Ragusti (2008) Program orientasi dimaksudkan untuk menyamakan persepsi mengenai halhal yang akan diterima/dilakukan terhadap pasien selama menjalani perawatan disesuaikan dengan standar pelayanan yang ada LPPM STIKes Perintis Padang 76 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ di rumah sakit. Dengan demikian sangat difahami bahwa seseorang yang masuk ke rumah sakit sebelum dilakukan orientasi pada saat awal masuk, mempunyai harapan untuk mendapatkan hak-haknya seperti yang seharusnya diterima tetapi setelah mendapatkan program orientasi dapat memberikan pemahaman secara lebih proporsional terhadap harapannya terkait dengan pelayanan keperawatan yang diterima. Pelanggan rumah sakit bersifat majemuk, yaitu pasien, keluarganya dan handai taulan yang menjenguknya yang secara langsung atau tidak langsung turut merasakan bagaimana jasa disampaikan. Oliver (Supranto, 2006) mendefinisikan bahwa kepuasan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan hasil yang dirasakan dengan harapannya. Sementara menurut Parasuraman, Zeithmal & sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan hasil yang dirasakan dengan harapannya. Sementara menurut Parasuraman, Zeithmal & Berry (1990, dalam Tjiptono, 2008) menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan sebagai kesenjangan antara harapan dan persepsi (kenyataan) pelanggan tentang pelayanan yang diterimanya. Pasien akan merasa puas apabila kinerja/layanan kesehatan yang diperoleh sama/melebihi harapan atau sebaliknya. Jika kinerja belum sesuai dengan harapan pasien, maka akan menjadi masukan bagi organisasi pelayanan kesehatan agar berusaha untuk memperbaiki atau memenuhinya. Namun jika pelayanan kesehatan sudah sesuai dengan harapannya, maka pasien akan selalu datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan tersebut (Pohan,2007). Penelitian yang dilakukan oleh Susilowati Tri (2008) meneliti tentang hubungan pengetahuan perawat tentang standar pelayanan keperawatan dengan pelaksanaan standar operasional prosedur pasien baru di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. OEN Surakarta mendapatkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang standar pelayanan keperawatan dengan pelaksanaan SOP pasien baru, dalam penelitian ini juga diketahui bahwa pengetahuan perawat tentang pelaksanaan SOP yang rendah cukup besar yaitu sebanyak 38,1%. Sejalan dengan penelitian diatas,hasil penelitian Sudaryani (2008) menyatakan bahwa kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan setelah diberikan pendidikan kesehatan pada persiapan pulang lebih meningkat secara bermakna dari pada yang tidak diberikan pendidikan kesehatan, yaitu 83,38 % pada kelompok intervensi dan 67,17 % pada kelompok kontrol. Merujuk pada beberapa penemuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien akan mendapatkan kepuasan yang lebih baik dalam menerima pelayanan keperawatan jika perawat telah menerapkan praktik keperawatan yang sesuai dengan indikator pelayanan rumah sakit dimana salah satunya yaitu penerapan orientasi pada pasien baru. Menurut asumsi peneliti, pelaksanaan orientasi pasien baru dalam memberikan pelayanan kepada pasien sangat penting ditunjang dengan sikap peduli atau empati dan keramahan serta komunikasi yang baik antara pasien/ keluarga dengan petugas kesehatan akan menimbulkan ras puas karena pasien merasa diperhatikan dan terpenuhinya harapan terhadap pelayanan keperawatan di rumah sakit. Ulasanulasan diatas mendukung pernyataan Azwar (2006) bahwa kualitas pelayanan kesehatanditunjukkan oleh tingkat kesempurnan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien, makin sempurna kepuasan tersebut makin baik pula kualitas pelayanan kesehatan tersebut. 4. KESIMPULAN Lebih dari separo menyatakan pelaksanaan orientasi pasien baru baik sebesar 55 (64,7%) responden.Lebih dari separo menyatakan sudah puas sebanyak 43 orang (50.6%) responden. Ada hubungan pelaksanaan orientasi pasien baru dengan kepuasan pasien yang dirawat di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Ahmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 dengan nilai pvalue = 0,010 dan Oods Ratio sebesar 3,778. 5. REFERENSI Barata, A.A. (2006). Dasar-dasar pelayanan prima, persiapan membangun budaya pelayanan prima untuk meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Cetakan III. Jakarta: PT Gramedia. LPPM STIKes Perintis Padang 77 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Dewi, Rizka (2015) Hubungan Peran Mandiri Perawat dengan Kepuasan Pasien di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Ahmad Mochtar Handoko.H.T. (2001). Management Personalia & Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: BPFE. Hastono, S.P (2007). Basic data analysis for health research. Depok : FKM-UI. Helmitra, (2014). Hubungan Pelaksanaan Orientasi Pasien dengan Kepatuhan Menjalnkan Aturan di Ruangan MAKP di Rumah sakit Gorontalo.Skripsi. Universitas Negeri Gorontalo. Huber, D.L. (2000). Leadership And Nursing Care Management. Philadelphia, Pennsylvania. Indrayana (2014) Hubungan Keaktifan Petugas Penerimaan Pasien Baru Rawat Jalan dengan Kelengkapan Pengisian Identitas Pasien. Skripsi. Universitas Esa Unggul Kottler, et, al, (2000). Manjemen Pemasaran Edisi Millenium. Jakarta : Bumi Aksara Kottler, et, al, (2004). Dasar-Dasar pemasaran. Jakarta : Bumi Aksara Kozier, B, et, al. (1997). Fundamental of nursing concepts, process and practice (fifth edition). California : Eddison Wasley Publishing Company. Laporan Kinerja Rumah Sakit Umum Achmad Mochtar Bukittinggi 2015. Moenir, H.A.S. (2004). Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia. Jakarta : PT Bumi Aksara. Nooria, Widoningsing, (2008). Pengaruh Persepsi Kualitas Jasa Pelayanan terhadap Kepuasan Pasien dan Loyalitas Pelanggan di RSU Saras Husada. Skripsi. Universitas Muhamadiyah Surakarta. Nursalam. (2011). Manajemen keperawatan aplikasi dalam praktek keperawatan profesional. Jakarta : Salemba Medika. Pohan, Imbolo ( 2007 ). Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan : Dasar - Dasar Pengertian dan Penerapan. Jakarta : EGC Potter, A.P. & Perry, G.A. (2007). Fundamental of Nursing : conceps, procces & practice. St Louis : MOsby Year Book. Parasuraman, A., Zeithhaml, V.A., Berry, L.L. (1997). Delivery Quality Service : balancing customer perception and axpectation, New York : The Press. Prasetyo, R. & Ihalauw, J. (2005). Perilaku Konsumen. Yogyakarta : Andi Press. Putri (2012) Hubungan Pemberian Penkes Dengan Kepuasan Pasien Di Rsam Bukittinggi. Skripsi. Stikes Perintis Padang Ragusti. (2008). Orientasi pasien baru : pemberi informasi. http://www.scribd.com/Standar2/d/9884307. Diunduh pada tanggal 23 Maret 2016. LPPM STIKes Perintis Padang 78 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PELAKSANAAN SENAM HAMIL 1,2,3 Mera Delima 1*, Monika Blesinki 2, Maidaliza 3 Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Perintis Sumbar *email: [email protected] email: [email protected] email: [email protected] Abstract Pregnant gymnastic is the part of antenatal care which is useful for optimizing of mother health, eliminate complaints of pregnancy and simplify the delivery process. Some maternal factors such as knowledge, age, education, parity and work allegedly associated to taking part in of pregnant gymnastic. Target of research is knowing relation/link of some factor of the implementation of a pregnant gymnastic. Average of pregnant women’s visit at health centers Payakumbuh Ibuh is 83 people where 39 people in gestational age more than 22 weeks, but many of them are not doing pregnancy exercise.The study design is Descriptive Analytical by using approach of cross sectional. Population of research are pregnant mother who third trimester of visit in Ibuh Health Center as many as 39 pregnant women. This study uses the technique of "total sampling" as a sampling technique. The data obtained are then processed with a computerized statistical Chi-Square test for bivariate analysis which if p ≤ 0.05 then the result count is "meaningful" and if p> 0.05 then the statistic is called "not significant "and test for multivariate regression. From result of research known by mother pregnant 53,8% owning high knowledge about a pregnant gymnastic, 89,7% in 2030 years old, 79,5% owning good education, 51,3% owning more than 2 children, 64,1% working, and 71,8% not expressing of pregnant gymnastic. With chi-square test (α=0,05) indicate that having relation with the implementation of pregnant gymnastic is knowledge, education, parity and work. From the multivariate analysis it can be concluded that work factor is dominant factors related to the implementation of pregnant gymnastics in Ibuh Health Center Payakumbuh with p value = 0,006. Based on these results suggested to health workers to increase the mother’s motivation to do pregnancy exercise at the health center or independently at home. Keywords : Knowledge, Age, Education, Parity, Work and Implementation of Pregnancy Exercise. 1. PENDAHULUAN Angka Kematian Ibu (AKI) disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah fisik ibu selama kehamilan. Dalam rangka mempercepat penurunan angka kematian ibu (AKI) dan memfokuskan percepatan pencapaian target MDGS, yaitu meningkatkan kesehatan ibu. Kesehatan ibu dapat ditingkatkan salah satunya sengan mengoptimalkan kondisi fisik ibu hamil misalnya dengan latihan fisik atau olahraga (Muhimah, 2010). Menurut Reeder (2011), olahraga selama kehamilan bermanfaat bergantung pada status kesehatan, kondisi dan tahap kehamilan wanita. Menurut Aulia (2014), ada beragam jenis olahraga yang dapat diikuti oleh ibu hamil. Salah satu jenis senam yang ditujukan bagi ibu hamil dalam menjaga kondisi kesehatannya dan mempersiapkan proses persalinannya adalah senam hamil. Senam hamil adalah bagian dari perawatan antenatal pada beberapa pusat pelayanan kesehatan. Senam hamil dilakukan oleh ibu sejak usia kehamilan 22 minggu sampai masa kelahiran. Senam sebelum melahirkan juga mengoptimalkan fisik ibu, memelihara serta menghilangkan keluhan-keluhan yang terjadi akibat proses kehamilan. Senam hamil dapat dilakukan sendiri di rumah, tetapi cara dan tahapan harus disesuaikan dengan kondisi tubuh, umur kandungan, serta aturan yang dianjurkan oleh instruktur guna menghindari adanya kesalahan gerakan yang menimbulkan efek yang berbahaya. Ibu juga perlu berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter guna mengantisipasi LPPM STIKes Perintis Padang 79 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ gangguan kehamilan, seperti letak plasenta di bawah (Muhimah, 2010). Senam hamil memberikan suatu hasil produk kehamilan atau outcome persalinan yang lebih baik dibandingkan dengan ibu yang tidak melakukan senam hamil. Secara keseluruhan senam hamil berdampak pada peningkatan kesehatan ibu hamil. Latihan rileksasi sangat membantu menghilangkan ketegangan mental dan fisik ibu sekaligus bagi janin. Dengan demikian ibu hamil lebih mudah menghadapi persalinan tanpa adanya kecemasan. Selain itu, senam hamil juga merupakan suatu bentuk latihan yang memperkuat dan mempertahankan elastisitas dinding perut, ligament-ligamen, otototot dasar panggul yang berhubungan dengan proses persalinan (Aulia, 2014). Berdasarkan jurnal Br J Sports Med (2013), penelitian yang melibatkan 3.482 wanita hamil didapatkan bahwa hanya 14,6% responden yang mengikuti latihan selama kehamilan. Menurut Gaffar (2009) dalam Ratnawati (2010), faktor yang mempengaruhi partisipasi ibu mengikuti senam hamil adalah kurangnya pengetahuan, kesibukan bekerja, dan banyaknya anak yang membuat ibu sibuk merawat anaknya. Studi pendahuluan dilakukan dengan peneliti didapatkan ibu hamil trimester III yang bisa mengikuti senam hamil sebanyak 39 ibu hamil yang mana 67% yaitu 26 orang tidak melakukan senam hamil dengan alasan bekerja atau mengurus anak di rumah. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisa faktor - faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan senam hamil pada ibu hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Sumatera Barat Tahun 2015. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian analitik deskriptif dengan menggunakan pendekatan cross sectional, dilakukan di puskesmas Ibuh Payakumbuh. Populasi dalam penelitian ini ibu hamil trimester III di Puskesmas Ibuah Payakumbuh Sumatera Barat tahun 2015 yang bisa mengikuti senam hamil sebanyak 39 orang dimana teknik pengambilan sampel yang digunakan ialah total sample. Data yang dikumpulkan meliputi : pengetahuan tentang senam hamil, umur, pendidikan, paritas dan pekerjaan. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, penelitian dilakukan pada bulan Juni tahun 2015. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Univariat Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengetahuan, Umur, Pendidikan, Pekerjaan Ibu Hamil dan Pelaksanaan Senam Hamil Di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Tahun 2015 No. Variabel Jumlah Persentasi (%) 1. Tingkat Pengetahuan 1) Rendah 21 53,8 2) Tinggi 18 46,2 2. Umur 1) Beresiko 4 10,3 2) Tidak Beresiko 35 89,7 3. Tingkat Pendidikan 1) Rendah 8 20,5 2) Tinggi 31 79,5 4. Pariras 1) Anak ≤ 2 19 48,7 2) Anak > 2 20 51,3 5. Pekerjaan LPPM STIKes Perintis Padang 80 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 1) Tidak bekerja 2) Bekerja 6. Pelaksanaan Senam Hamil 1) Tidak Melakukan 2) Melakuakan Total Berdasarkan analisa univariat dari 39 ibu hamil trimester III di Puskesmas Ibuh Payakumbuh didapatkan analisa sebagai berikut: 1) Pengetahuan Didapatkan 21 orang (53,8%) memiliki pengetahuan rendah mengenai senam hamil, hal ini dikarenakan karena kurangnya pengetahuan responden dan kurangnya informasi yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2007), bahwa pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung atau melaui pengalaman orang lain dan sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan diperlukan penyuluhan kesehatan yang bertujuan untuk tercapainya perubahan kesehatan, membina dan memelihara hidup sehat serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan optimal. Menurut asumsi peneliti, pengetahuan ibu hamil yang rendah tentang senam hamil dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan ibu dari bidan dan masih banyak ibu yang tidak mengetahui informasi mengenai senam hamil. tapi masih ada dari sebagian ibu yang berpengetahuan tinggi tentang senam dikarenakan mendapatkan informasi baik dari tenaga kesehatan, orang lain, atau media lainnya. 2) Umur Hasil penelitian didapatkan 35 orang (89,7%) berada pada usia tidak beresiko ( 20 - 30 tahun ). Menurut Wiknjosastro (2006) dalam karya tulis Metrisya pada tahun 2013, umur ibu pada saat hamil merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat resiko kehamilan persalinan. Menurut Manuaba (2011), usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun sedangkan usia yang kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dimana pada usia tersebut mempunyai risiko untuk sering mengalami anemia, gangguan tumbuh kembang janin, 14 25 35,9 64,1 28 11 39 71,8 28,2 100 keguguran, prematuritas atau BBLR, gangguan persalinan, dan preeklampsi dan pendarahan antepartum. Risiko tersebut beberapa diantaranya merupakan kontraindikasi dari pelaksanaan senam hamil dan akan menjadi salah satu faktor ibu hamil tidak melakukan senam hamil. Menurut asumsi peneliti lebih dari separuh ibu hamil berada pada usia reproduksi (tidak beresiko) disebabkan karena penyuluhan kesehatan yang gencar dilakukan oleh tenaga kesehatan, agar ibu sebaiknya hamil maupun bersalin pada usia reproduksi sehat yaitu rentang usia 20-35 tahun, melalui penyuluhan akan meningkatkan pengetahuan ibu dan hal tersebut dapat mengubah sikap dan perilaku ibu untuk hamil dan bersalin pada usia reproduksi sehat. 3) Pendidikan Hasil penelitian didapatkan 31 responden (79,5%) memiliki tingkat pendidikan tinggi. Menurut Sumarwan (2002), tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, cara berfikir, cara pandang bahkan presepsi seseorang terhadap masalah. Ibu hamil yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik akan responsive terhadap informasi Dari hasil penelitian ini didapatkan sebagian besar ibu hamil berada pada usia 20-30 tahun. Menurut peneliti ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat sudah memiliki kesadaran dan pengetahuan yang tinggi yang sudah mengetahui tentang usia reproduksi yang aman untuk hamil dan melahirkan. 4) Paritas Hasil penelitian didapatkan 20 responden (51,3%) memiliki anak >2 orang. Menurut Purhito (2006) di dalam karya tulis Metrisya pada tahun 2014, paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin hidup bukan jumlah janin yang di lahirkan. Banyaknya paritas berpengaruh terhadap resiko kesehatan LPPM STIKes Perintis Padang 81 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ reproduksi wanita saat kehamilan maupun melahirkan. Menurut asumsi peneliti dari hasil penelitian yang menunjukkan sebagian responden memiliki anak > 2 dikarenakan masih banyak ibu hamil yang kurang memperhatikan kesehatan reproduksi. Diharapkan kepada tenaga kesehatan untuk dapat memberikan penyuluhan kepada ibu dan keluarga agar lebih memperhatikan kesehatan ibu dan janin, sehingga muncul kesadaran ibu dan keluarga untuk selalu mempertahankan kesehatan ibu selama hamil dan mengurangi terjadinya komplikasi terhadap kehamilan 5) Pekerjaan Hasil penelitian didapatkan 25 responden (64,1%) bekerja. Menurut Anoraga (2001) di dalam karya tulis Metrisya pada tahun 2013, pekerjaan adalah kegiatan yang direncanakan dan dilakukan oleh ibu hamil dengan meniggalkan rumah serta keluarga minimal 6 jam perhari, yang mana membutuhkan tenaga dan pikiran dan juga dapat mencapai hasilnya. Menurut asumsi peneliti dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari ibu hamil bekerja, akan menghasilkan income sehingga keadaan ekonomi akan baik, dan kebutuhan nutrisi terpenuhi tetapi kutang memiliki waktu untuk memeriksakan kehamilan atau berpartisipasi dalam program atau kelas ibu hamil. 6) Pelaksanaan Senam Hamil Hasil penelitian didapatkan 28 responden (71,8%) tidak melakukan senam hamil. Menurut Yuliasari (2010), senam hamil merupakan suatu terapi latihan gerak untuk mempersiapkan ibu hamil baik fisik maupun mental pada persalinan yang cepat, aman dan spontan. Menurut asumsi peneliti banyak ibu tidak melakukan senam hamil dikarenakan banyak faktor penghalang ibu untuk mengikuti atau melakukan senam hamil ini, seperti faktor yang disebutkan di dalam penelitin terdahulu bahwa pelaksanaan senam juga dipengaruhi oleh faktor eksternal dari ibu hamil seperti dukungan keluarga. Analisa Bivariat Hasil analisa bivariat didapatkan hasil bahwa : 1) Hubungan Faktor Pengetahuan Dengan Pelaksanaan Senam Hamil Pada Ibu Hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Tahun 2015 Tabel 2. Hubungan Faktor Pengetahuan Dengan Pelaksanaan Senam Hamil Pada Ibu Hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Tahun 2015 Pelaksanaan Senam Hamil Jumlah Tidak Pengetahuan P Value Melakukan Melakukan Rendah Tinggi Total n 20 8 28 % 71,4 28,6 100 Dari table 2 dapat dilihat dari 39 responden terdapat 28 responden tidak melakukan senam hamil yang memeliki tingkat pengetahuan rendah 20 responden (71,4%) dan tingkat pendidikan tinggi 8 responden (28,6%). Kemudian terdapat 11 responden yang melakukan senam hamil dengan tingkat pengetahuan tinggi 10 responden (90,9%) dan tingkat pengetahuan rendah 1 responden (9,1%). n 1 10 11 % 9,1 90,9 100 n 21 18 39 % 53,8 46,2 100 0,002 Dapat disimpulkan bahwa ibu hamil yang tidak melakukan senam hamil sebagian besar memiliki pengetahuan yang rendah mengenai senam hamil dan hamper semua ibu yang melakukan senam hamil memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai senam hamil. Dari hasil uji statistik Chi-Square di dapat p= 0,002 jika dibandingkan dengan nilai α = 0.05 maka p < 0.05 sehingga Ho ditolak dengan LPPM STIKes Perintis Padang 82 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ kesimpulan bahwa ada hubungan faktor pengetahuan dengan pelaksanaan senam hamil pada ibu hamil di puskesmas Ibuh Payakumbuh tahun 2015. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Yuliasari (2010), didapatkan hasil uji statistic menunjukkan nilai p value < 0,05 yang dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pelaksanaan senam hamil. Menurut asumsi peneliti ibu hamil yang memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai senam hamil akan lebih cenderung untuk melakukan senam hamil. sebaliknya ibu hamil yang memiliki pengetahuan rendah mengenai senam hamil akan cenderung untuk tidak melakukan senam hamil, hal ini di karenakan kurangnya pengetahuan ibu mengenai langkahlangkah, tujun ataupun manfaat dari senam hamil. Dengan demikian hendaknya petugas kesehatan lebih meningkatkan lagi pengetahuan ibu hamil agar dapat memberimotivasi dan informasi kepada masyarakat. 2) Hubungan Faktor Umur Dengan Pelaksanaan Senam Hamil Pada Ibu Hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Tahun 2015 Tabel 3. Hubungan Faktor Umur Dengan Pelaksanaan Senam Hamil Pada Ibu Hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Tahun 2015 Variables in the Equation B S.E. Wald Df Sig. Exp(B) Step 1a Umur 20,423 2,010E4 0,000 1 0,999 7,404E8 Constant -41,626 4,019E4 0,000 1 0,999 0,000 a. Variable(s) entered on step 1:umur. Dari hasil pengolahan data dapat dilihat dari hasil uji statistik di dapat p= 0,093 jika dibandingkan dengan nilai α = 0.05 maka p > 0.05 sehingga Ho diterima dengan kesimpulan bahwa tidak ada hubungan faktor umur dengan pelaksanaan senam hamil pada ibu hamil di puskesmas Ibuh Payakumbuh tahun 2015. Usia 20–35 tahun merupakan interval usia aman bagi seorang wanita untuk bereproduksi yaitu hamil dan melahirkan, terlebih untuk kelahiran dan persalinan anak pertama. Pada usia ini wanita berada dalam puncak masa kesuburannya, wanita yang berusia ≥ 35 tahun kesuburannya mulai menurun sehingga dapat mempengaruhi kondisi pertumbuhan dan perkembangan janin (Widyawati, 2010). Komplikasi selama kehamilan lebih sering terjadi ketika wanita mencapai umur ≥ 35 tahun. Hal ini juga sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Maulany (2004) di dalam tulisan Yuliasari pada tahun 2010, makin tua atau makin muda usia wanita dari interval usia reproduksi sehat tersebut, akan meningkatkan pula risiko ancaman kesakitan dan kematian yang dihadapi akibat kehamilan dan persalinan. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dalam Aulia (2011) tentang hubungan tingkat kepatuhan ibu hamil trimester III yang menjalankan program senam hamil dengan lama persalinan di RS Panti Wilasa Citarum Semarang dengan hasil penelitian dari 30 responden yang mengikuti program tersebut LPPM STIKes Perintis Padang 83 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ keseluruhan responden berada pada usia 20–35 tahun. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ada hubungan umur dengan pelaksanaan senam hamil. Menurut asumsi peneliti umur ibu beresiko memiliki pengaruh dalam pelaksanaan senam hamil dikarenakan seperti yang diungkapkan dalam teori bahwa ibu hamil yang berada pada usia beresiko akan menyebabkan komplikasi sehingga tidak dianjurkan untuk melakukan senam hamil. Peneliti juga berpendapat bahwa tidak dilaksanaan senam hamil ini juga dikarenakan faktor penghambat yang lain serpti minat. Hal ini di perkuat oleh hasil penelitian yang dilakuakan oleh Aini pada tahun 2013 didapatkan dari 30 responden yang mayoritas berumur 25-30 tahun memiliki minat yang rendah dalam melakukan senam hamil. 3) Hubungan Faktor Pendidikan Dengan Pelaksanaan Senam Hamil Pada Ibu Hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Tahun 2015 Tabel 4. Hubungan Faktor Pendidikan Dengan Pelaksanaan Senam Hamil Pada Ibu Hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Tahun 2015 Variables in the Equation B S.E. Wald Df Sig. Exp(B) a Step 1 Pendidikan 20,605 1,421E4 0,000 1 0,999 8,885E8 Constant -41,808 2,842E4 0,000 1 0,999 0,000 a. Variable(s) entered on step 1: pendidikan. Dari tabel 4 di atas dapat dilihat dari hasil uji statistik di dapat p= 0.014 jika dibandingkan dengan nilai α = 0.05 maka p < 0.05 sehingga Ha diterima dengan kesimpulan bahwa ada hubungan faktor tingkat pendidikan dengan pelaksanaan senam hamil pada ibu hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh tahun 2015. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, cara berfikir, cara pandang bahkan presepsi seseorang terhadap masalah. Ibu hamil yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik akan responsive terhadap informasi (Sumarwan, 2002). Penelitian ini sesuai dengan pendapat Kuncoroninggrat yang dikutip oleh Mubarak (2006) bahwa semakin tinggi pendidikan maka makin mudah pula bagi individu untuk menerima informasi untuk memperkaya pengetahuannya. ibu hamil dapat memperoleh penegtahuan dan pemahaman yang baik tentang senam hamil meningkatkan kesehatan kehamilannya. Menurut asumsi peneliti tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi pelaksanaan senam hamil, dikarenakan semakin tinggi pendidikan yang dimiliki responden maka semakin tinggi dan berwawasan luas mengetahui tentang senam hamil, maka minat untuk melakukan senam hamilpun akan semakin tinggi, namun meskipun demikian masih ada faktor penghambat seperti kurangnya motivasi atau tidak ada waktu dikarenakan pekerjaan yang dikuatkan oleh pernyataan dari Ratnawati pada penelitiannya pada tahuan 2010 bahwa semakin sibuk ibu hamil maka semakin enggan pula untuk mengikuti senam hamil karena waktu yang mereka miliki semakin sedikit. LPPM STIKes Perintis Padang 84 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 4) Hubungan Faktor Paritas Dengan Pelaksanaan Senam Hamil Pada Ibu Hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Tahun 2015 Tabel 5. Hubungan Faktor Paritas Dengan Pelaksanaan Senam Hamil Pada Ibu Hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Tahun 2015 Variables in the Equation B S.E. Wald df Sig. Exp(B) a Step 1 Paritas -21,521 8,987E3 0,000 1 0,998 0,000 Constant 21,840 8,987E3 0,000 1 0,998 3,054E9 a. Variable(s) entered on step 1: paritas. Dari table 5 di atas dapat dilihat dari hasil uji statistik di dapat p= 0,000 jika dibandingkan dengan nilai α = 0.05 maka p < 0.05 sehingga Ho ditolak dengan kesimpulan bahwa ada hubungan faktor paritas dengan pelaksanaan senam hamil pada ibu hamil di puskesmas Ibuh Payakumbuh tahun 2015. Menurut Puruhito (2006) di dalam tulisan Metrisya, paritas merupakan jumlah kehamilan yang menghasilkan janin hidup bukan jumlah janin yang dilahirkan. Banyaknya paritas berpengaruh terhadap resiko kesehatan reproduksi wanita saat kehamilan maupun melahirkan. Menurut asumsi peneliti bahwa paritas (jumlah anak) berpengaruh terhadap pelaksanaan, semakin banyak jumlah anak yang dimiliki maka semakin sibuk ibu dalam mengasuh anak sehingga tidak ada waktu serta enggan melakukan senam hamil. Sebaliknya jika jumlah anak sedikit maka akan cenderung untuk ibu hamil melakukan senam hamil. Sesuai dengan penyataan Gaffar (2009) dalam jurnal Ratnawati (2010) juga mengemukakan bahwa jumlah anak juga mempengaruhi pelaksanaan senam hamil oleh ibu hamil karena banyaknya anak akan membuat ibu sibuk merawat anaknya. Dari penjelasan diatas peneliti berasumsi bahwa jumlah anak akan mempengaruhi pelasanaan senam hamil dikarenakan waktu mengurusi anak dan rumah tangga menghambat ibu untuk melakukan senam hamil di puskesmas, namun untuk menyiasati masalah pelaksanaan senam hamil yang sangat bermanfaat ini, ibu hamil bisa melakukan senam hamil secara mandiri di rumah dengan panduan buku atau informasi dari tenaga kesehatan sehingga akan memudahkan ibu hamil untuk melakukan senam hamil. 5) Hubungan Faktor Pekerjaan Dengan Pelaksanaan Senam Hamil Pada Ibu Hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Tahun 2015 Tabel 6. Hubungan Faktor Pekerjaan Dengan Pelaksanaan Senam Hamil Pada Ibu Hamil di Puskesmas Ibuh Payakumbuh Tahun 2015 Pelaksanaan Senam Hamil Jumlah Tidak Pekerjaan P Value Melakukan Melakukan n % n % n % Tidak Bekerja 5 17,9 9 81,8 14 35,9 0,0005 Bekerja 23 82,1 2 18,2 25 64,1 Total 28 100 11 100 39 100 Dari table.6 di atas dapat dilihat dari 39 responden terdapat 28 responden tidak melakukan senam hamil dimana yang bekerja sebanyak 23 responden (82,1%) dan yang tidak bekerja sebanyak 5 responden (17,9%). Kemudian terdapat 11 responden yang LPPM STIKes Perintis Padang 85 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ melakukan senam hamil dimana 9 responden (82,8%) tidak bekerja dan 2 responden (18,2%) yang bekerja. Dapat disimpulakan bahwa sebagian besar dari ibu yang tidak melakukan senam hamil dan sebagian kecil ibu yang melakukan senam hamil yang bekerja, sedangkan hanya sebagian kecil ibu yang tidak melakukan senam hamil dan sebagian besar ibu yang melakukan senam hamil tidak memiliki pekerjaan. Dari hasil uji statistik Chi-Square di dapat p= 0,0005 jika dibandingkan dengan nilai α = 0.05 maka p < 0.05 sehingga Ho ditolak dengan kesimpulan bahwa ada hubungan faktor pekerjaandengan pelaksanaan senam hamil pada ibu hamil di puskesmas Ibuh Payakumbuh tahun 2015. Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ibu hamil tidak berpartisipasi mengikuti senam hamil. Tuntutan ekonomi membuat ibu hamil giat bekerja agar mampu memenuhi kebutuhan hidup, mencari makan dan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Berbagai macam pekerjaan dilakukan, seperti berjualan di pasar, menjadi pembantu rumah tangga, dan ada pula sebagai buruh pabrik. Selain itu, tuntutan karir juga mendorong ibu hamil untuk giat bekerja, karena dengan bekerja dapat menuangkan apresiasi seni dan bakatnya sehingga dapat meningkatkan prestasi kerja. Selanjutnya meningkatnya prestasi kerja akan meningkatkan pula jabatan dan gaji seseorang. Ibu hamil yang berkarir dapat mengembangkan dirinya, hal tersebut membuat ibu hamil semakin tidak memiliki banyak waktu luang untuk mengikuti senam hamil. Penelitian ini sesuai dengan pernyataan Brayshaw (2006) di dalam tulisan Yuliasari pada tahun 2013, bahwa kesibukan bekerja, mengasuh anak, dan kemajuan teknologi membuat ibu hamil lebih memilih di rumah untuk menonton TV daripada mengikuti senam hamil. Seseorang yang sibuk tidak akan dengan mudahnya mengikuti suatu kegiatan tertentu jika banyak hal yang harus dikerjakan. Salah satu kesibukan tersebut adalah pekerjaan. Seorang wanita yang bekerja pasti akan sibuk dengan pekerjaannya. Sebagian besar waktu digunakan untuk bekerja sehingga tidak sempat untuk melakukan kegiatan lain. Menurut asumsi peneliti pekerjaan mempengaruhi ibu hamil dalam pelaksanaan senam hamil, disebabkan karena ibu hamil yang bekerja akan menghabiskan waktunya untuk bekerja, mengurus rumah tangga sehingga akan cenderung tidak dapat meluangkan waktu untuk melakukan senam hamil. sebaliknya bagi ibu hamil yang tidak bekerja akan memiliki banyak waktu untuk melakukan senam hamil. Analisa Multivariat Pada penelitian dapat diketahui terdapat 4 faktor yang memenuhi kriteria sebagai kandidat model setelah dilakukan penyaringan p≤0.25 yaitu pengetahuan, pendidikan, paritas dan pekerjaan. Selanjutnya disaring kembali menjadi p ≤ 0.05, dari variabel tersebut nilai p > 0.05 dikeluarkan satu persatu maka dilakukan pemodelan multivariate kedua maka didapat pengetahuan, paritas dan pekerjaan. Kemudian dilakukan lagi pemodelan ketiga didapatkan variabel pengetahuan dan pekerjaan yang memiliki nilai p ≤ 0,05. Pekerjaan ditetapkan menjadi faktor dominan yang berhubungan dengan pelaksanaan senam hamil dikarenakan pada hasil analisa multivariat memiliki p value yang kecil yaitu 0,06. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Gafar (2010) dalam jurnal Ratnawati bahwa pekerjaan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ibu hamil tidak berpartisipasi mengikuti senam hamil dan faktor yang mempengaruhi partisipasi ibu mengikuti senam hamil adalah kurangnya pengetahuan, kesibukan bekerja, rasa malas, tidak percaya diri dan banyaknya anak. Diperkuat oleh pendapat Ratnawati bahwa seorang wanita yang bekerja pasti akan sibuk dengan pekerjaannya. Sebagian besar waktu digunakan untuk bekerja sehingga tidak sempat untuk melakukan kegiatan lain. Teori ini diperkuat oleh pendapat Aini di dalam Jurnal UMM yang berpendapat bahwa kemungkinan minat senam hamil disebabkan karena kurangnya waktu, kelelahan, fasilitas yang sulit dijangkau, dan tidak adanya dukungan dari orang sekitar. Hal ini sesuai dengan teori WHO bahwa sikap seseorang akan terwujud didalam suatu tindakan tergantung situasi saat itu. LPPM STIKes Perintis Padang 86 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Menurut asumsi peneliti dari hasil penelitian didapatkan faktor pekerjaan paling berpengaruh pada pelaksanaan senam hamil karena dari hasil yang didapatkan bahwa lebih banyak ibu yang tidak melakukan senam hamil dikarenakan bekerja. Bagi ibu hamil yang bekerja akan menyita waktu, tenaga dan membuat kelelahan pada ibu sehingga akan mengurungkan niat serta minat ibu untuk melakukan senam hamil, sebaliknya bagi ibu hamil yang tidak memiliki perkerjaan akan memiliki waktu untuk melakukan senam hamil. Namun ibu hamil juga dapat melakukan senam hamil tersebut di rumah setelah pekerjaan selesai seperti pada sore atau malam hari, untuk itu diharapkan kepada perawat atau teneaga kesehatan agar memberikan pengetahuan bisa melalui penyuluhan serta memberikan tuntunan gerakan senam hamil agar ibu hamil bisa melakukan senam hamil secara mandiri di rumah. 4. KESIMPULAN Ada hubungan faktor pengetahuan dengan pelaksanaan senam hamil pada ibu hamil di puskesmas Ibuh Payakumbuh tahun 2015. 1) Lebih dari separuh ibu hamil memiliki pengetahuan rendah mengenai senam hamil. 2) Sebagian besar dari ibu hamil berada pada usia tidak beresiko. 3) Sebagian besar dari ibu hamil memiliki tingkat pendidikan tinggi. 4) Lebih separuh dari ibu hamil memiliki anak >2 orang. 5) Lebih separuh dari ibu hamil bekerja. 6) Sebagian besar dari ibu hamil tidak melakukan senam hamil. 7) ada hubungan pengetahuan dengan pelaksanaan senam hamil 8) Tidak ada hubungan umur dengan pelaksanaan senam hamil 9) Tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan pelaksanaan senam hamil 10) Ada hubungan faktor paritas dengan pelaksanaan senam hamil pada ibu hamil 11) Ada hubungan faktor pekerjaan dengan pelaksanaan senam hamil. 12) Pekerjaan merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan pelaksanaan senam hamil. 5. REFERENSI Aini, Nur Nailis Sa’adah, dkk. 2013. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Senam Hamil Dengan Minat Melakukan Senam Hamil Di Bps Ar-Rahman Kecamatan Bandungan. http://perpusnwu.web.id. Diakses 5 Juli 2015. Aulia. 2014. Hamil Sehat Dengan Beragam Olahraga Ibu Hamil. Jogjakarta: Buku Biru Br J Sports Med. 2013. May ; 47(8):515-20. Do pregnant women follow exercise guidelines? Prevalence data among 3482 women, and prediction of low-back pain, pelvic girdle pain and depression. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2 2904295 . Diakses 19 Maret 2015. Kusmiyati, Yuni, Heni Puji Wahyuningsih, Sujiyatini. 2009. Perawatan Ibu Hamil (Asuhan Ibu Hamil). Yogyakarta: Fitramay Manuaba, IBG. 2011. Memahami Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Arcan Metrisya, Dhea Gianti. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Hiperemisis Gravidarum di RSUD Dr. Achamd Mochtar Bukittinggi Tahun 2013. Muhimah, Nanik dan Abdullah Safe’i. 2010. Panduan Lengkap Senam Sehat Hkusus Ibu Hamil. Jogjakarta : Power Book. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. Ratnawati , Sri dan Sri Utami. 2010. Hubungan Antara Pekerjaan Dengan Partisipasi Ibu Mengikuti Senam Hamil di Urj Poli Hamil Ii Rsud Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forike. Vol. I No.3 Juli 2010 : 243-248. Reeder, Sharon J. 2011. Keperawatan Martenitas : Kesehatan Wanita, Bayi & Keluarga, Ed 18, Vol.1. Jakarta : EGC Widyawati. Fariani Syahrul. 2012. Pengaruh Senam Hamil Terhadap Proses Persalinan Dan Status Kesehatan Neonatus di Rumah Bersalin Gratis – LPPM STIKes Perintis Padang 87 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Rumah Zakat Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 316–324. Yuliasari, dkk. 2010. Skirpsi Hubungan pengetahuan dan Sikap dengan Pelaksanaan Senam Hamil di Puskesmas Ciputat Tanggerang Selatan Tahun 2010. LPPM STIKes Perintis Padang 88 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU NPD (NARSISTIC PERSONALITY DISORDER) PADA AGREGAT REMAJA Falerisiska Yunere 1, Fauzan Azima 2 Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Perintis SumBar Email: [email protected] Abstract Adolescence is a transition period which is marked by changes puberty is marked by physical and psychological changes. Narcissism or narcissistic behavior is becoming a phenomenon quite warm in the community. The tendency of behavior often associated with teenagers, this seems to have become so easily be encountered in this keseharian.Penelitian aims to determine the factors associated with the behavior of the NPD (narsistic personality disorder) in adolescent aggregate. Thus, the design of this study usingapproach. cross sectionalSamples were taken from SMA Negeri 1 Situjuah as many as 80 people taken by stratified randomsampling.Techniques of collecting data by questionnaire. Based on analysis using computerized withtest chi-square for relations appreciation of older people with NPD obtained p = p = 0.813 OR = 1.155, the relationship between lack of empathy with the incidence of NPD, p = 0.814 OR = 0.857, the relationship between the lack of understanding the feelings of others with NPD events, p = 0,316 OR = 0.574, the relationship between self-Importance with NPD events, p = 0.015 OR = 0.259, the relationship between grandiouse manner with NPD events, p = 0.008 OR = 2,465.Dapat concluded that there was a significant relationship between self importance to the NPD and grandiose manner with NPD.Diharapkan this study can be a reference material for future research on NPD as well as reading materials for educators to know about the psychological development of students .. Keywords: Appreciation of the parents, Grandiose manner, dependence on others, lack of empathy, self importance, NPD 1. PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa peralihan yang salah satunya ditandai oleh perubahan pubertas yang ditandai oleh perubahan fisik dan psikis. Permasalahan akibat perubahan fisik banyak dirasakan oleh remaja sehingga berpengaruh terhadap kepercayaan diri mereka. Selain permasalahan fisik, faktor lingkungan sangat mempengaruhi seorang remaja. Penerimaan dan penghargaan dari teman sebaya sangat mempengaruhi penghargaan diri remaja. Kesalahan dalam mengembangkan kepercayaan diri dan penghargaan diri ini dapat mengakibatkan gangguan perilaku narsistik (Erickson, 2001). Perilaku narsistik atau narsis kini tengah menjadi fenomena yang cukup hangat di masyarakat. Kecenderungan perilaku yang sering diidentikkan dengan kaum remaja ini, agaknya telah menjadi hal yang begitu mudah kita jumpai dalam keseharian. Bahkan bukan tidak mungkin kita menjadi salah seorang diantaranya. Perasaan seperti itu harus dibedakan dengan rasa percaya diri. Orang yang memiliki percaya diri, mengetahui kualitas diri sendiri, tapi tidak tergantung pada pujian orang lain untuk merasa nyaman, serta lebih terbuka terhadap kritik dan saran. Narsis sebaliknya, mereka butuh dukungan dan perhatian serta pengakuan dari orang lain untuk menjaga kepercayaan dirinya (Soetardjo, 2010). Narsisisme adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang mengalami gejala ini disebut narsisis Istilah ini pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos dia dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya, sehingga tenggelam (Freud, 1914 ) Di Indonesia narsisme berkembang semenjak social media di dunia maya semakin marak,hal ini di buktikan dengan data yang dimiliki Kementerian Komunikasi dan LPPM STIKes Perintis Padang 89 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Informatika, total ada 43,06 juta orang yang menggunakan situs jejaring sosial Facebook dan tweeter di Indonesia. untuk pengguna Twitter,Indonesia berada di urutan tertinggi kelima di dunia, dengan 19,5 juta pengguna. Sedangkan untuk total pengguna jasa internet di Indonesia sebanyak 60 juta orang (Kemenkominfo,2013). Kata Narsis identik dengan seorang yang bergaya di depan kamera.Entah karena apa, khususnya di kalangan ABG, aktifitas memotret diri sendiri begitu merata pada remaja di Indonesia. Fenomena ini menumbuhkan dan mempopulerkan kata narsis untuk merujuk pada seseorang yang begitu senang memotret dirinya sendiri, perkembangan memotret ini dari waktu kewaktu mengalami perkembangan dari foto dari depan (Front Style Camera) marak tahun 2000 – 2002 selanjutnya Foto "Piss" ( Give me V for / Peace ) marak tahun 20022003 selanjutnya foto dari atas (Over Head Cute Style) marak tahun 2003 -2006 berkembang lagi tahun 2010 foto dengan mengunakan gadget dan foto di dalam mobil.(Jurnal penyimpangan psikologi remaja, 2013) Sejatinya narsisme bukan hanya identik dengan memotret diri(berfoto) akan tetapi banyak perilaku yang tanpa di sadari remaja itu sudah mencerminkan perilaku narsis tersebut.Menurut American Pshycologist Assotiation(APA),2012 dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam social media ternyata memiliki dampak secara psikologis baik positif maupun negatif. Dampak psikologis positif yang dapat diperoleh antara lain adanya keterbukaan diri yang tidak terbatas yang berguna untuk memenuhi kebutuhan afiliasi seseorang,memperoleh validasi sosial, meningkatkan kontrol sosial, meraih pengklarifikasian diri, dan melatih pengekspresian diri. Selain itu, proses komunikasi juga menjadi lebih mudah dan cepat untuk dilakukan, karena sudah tidak terbatas jarak, ruang, dan waktu. Tetapi, keterbukaan diri dalam sosal media juga memiliki dampak negatif yaitu berkurangnya aspek privasi dalam diri seseorang. padahal privasi memiliki fungsi untuk mengembangkan identitas pribadi, melakukan evaluasi diri, dan membantunya mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri (personal autonomy) pengaruh dunia maya saat ini memiliki andil besar dalam pelampiasan penyimpangan penyimpangan kejiwaan.khususnya prilaku narsisme yang dimana penderita dapat dengan mudahnya menunjukkan pencitraan dirinya pada lingkungan social (Halgin, 2011). Narsissistic personality disorder secara umum di pengaruhi oleh bagaimana apresiasi dan penerimaaan dari lingkungan social individu tersebut, obsesi terhadap pikiran pikiran pikiran pentingnya diri mereka sendiri, serta keinginan menjadi pusat perhatian dari orang lain, mereka juga cendrung menekankan potensi positif dan penampilan fisik mereka, dan cendrung berbicara dengan istilah global yang memperlihatkan sebagai orang yang mampu mengejar sesuatu hal dengan kemampuan mereka sendiri, perilaku seperti ini sering menimbulkan perilaku lack of emphaty terhadap kemampuan orang lain(Halgin, 2011). Orang orang yang mengalami narsis secara aktual menderita self-esteem rendah,dan merasakan kekosongan dan nyeri sebagai hasil dari rejection (penolakan)dari orang tua,setiap anak membutuhkan orang tua memberikan ketenangan hati dan respon positif dalam menghargai,tanpa hal tersebut anak menjadi tidak nyaman,perasaan tidak nyaman di ungkapkan secara berlawanan dalam arti mementingkan kepentingan sendiri (Halgin, 2011). Berdasarkan laporan dari US Surgeon General, 1 dari 10 anak menderita gangguan mental yang cukup parah yang akan mengganggu perkembangan mereka (A Children’s Mental illness Crisis, 2001). Lebih banyak anak anak Amerika yang mengalami gangguan mental daripada gabungan penderita Diabetes, AIDS, dan leukimia (Chamberlin, 2001) namun 60% - 80% anak anak dengan gangguan mental tidak memperoleh penanganan yang mereka butuhkan (Goldberg, 2001 dalam Nevid, 2003). Beck et,al (2004) berpendapat bahwa orang dengan gangguan kepribadian narsistik mempunyai pandangan bahwa mereka adalah orang yang luar biasa yang pantas di perlakukan lebih baik daripada manusia biasa, mereka kurang pengertian terhadap perasaan orang lain LPPM STIKes Perintis Padang 90 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ karena mereka menganggap diri mereka lebih baik daripada orang lain. Secara garis besar Narsisme adalah kecenderungan untuk memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian selain itu juga tumbuh perasaan paling mampu, paling unik. Kristanto dalam penelitiannya mengenai Kecenderungan Kejadian Narsistik Pada Remaja didapatkan hasil 64% remaja pengguna media sosial seperti facebook, twitter dan lain-lain tergolong narsis. Hal ini ditandai dengan 24% remaja terobsesi dengan penampilan fisiknya, 24% remaja menyukai menjadi pusat perhatian, 40% senang memfoto dan melukis dirinya di Hp, 12% sisanya terfokus kepada kecantikan diri, prestasi, dan keinginan menjadi pusat perhatian. Berdasarkan survey awal yang peneliti lakukan di SMA Negeri 1 Situjuah Kabupaten Lima Puluh Kota ditemukan fakta lapangan bahwasanya dari beberapa orang siswa/siswi yang di tanyai tentang prilaku narsis, lebih dari 65% mereka melakukan, diantaranya penggunaan media sosial. Dari gambaran data mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh siswa di SMA Negeri 1 Situjuah yang peneliti dapatkan dari Data Record BP SMA Negeri 1 Situjuah diperoleh hasil, dari 93% pelanggaran ringan yang dilakukan oleh siswa-siswi SMA Negeri 1 Situjuah 70% pelanggaran yang dilakukan adalah memodifikasi seragam sekolah (memendekkan baju seragam untuk perempuan dan mengganti pola celana seragam sekolah bagi laki-laki). Berdasarkan survey tersebut penulis tertarik untuk mengetahui “Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku NPD (Narsistic Personality Disorder) pada agregat remaja SMA Negeri 1 Situjuah Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2015”. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian metode deskriptif analitikyang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan prilaku Narsistic Personality Disorder di SMA Negeri 1 Situjuah Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2015. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Apresiasi Dari Orang Tua Pada Agregat Remaja Di Sma Negeri 1 Situuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015 Apresiasi dari orang tua f % Tidak 45 56.3 Ya 35 43.7 Total 80 100 Pada tabel 1 dapat terlihat bahwa lebih dari setengah responden mendapatkan apresiasi positif dari orang tua yaitu 43,7%. Penelitian ini serupa dengan penelitian ini bukan berarti orang tua harus selalu Ashani (2012), orang tua berperan penting dalam memberikan pujian tanpa memberikan hukuman pembentukan kepribadian anak. Pengharaan atas atas kesalahannya. Memberikan hukuman ynag prestasi yang diraih dan hukuman atas kesalahan bersifat mendidik menurut penulis juga yang dilakukan anak menjadi salah satu hal yang merupakan salah satu bentuk apresiasi positif. hanya bisa dan efektif apabila dilakukan oleh orang tua. Hal ini semacam take and give atau reward and punishment. Menurut asumsi peneliti, anak memerlukan apresiasi positif dari orang tuanya untuk keberhasilannya sebagai salah satu bentuk penghargaan orang tua atas usahanya. Tapi hal LPPM STIKes Perintis Padang 91 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lack of Empathy Pada Agregat Remaja Di SMA Negeri 1 Situuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015 Lack of empathy f % Tidak 41 51.2 Ya 39 48.8 Total 80 100 Pada tabel 2 terlihat bahwa 48,8% responden kurang memahami dan merasakan perasaan orang lain (lack of empathy). Menurut Loema (2007), individu tidak pandang orang lain dan pemahaman terhadap mampu membedakan antara apa yang dikatakan perasaan orang lain tidak lengkap dan akurat atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan sehingga ia tidak mampu memberikan penilaian individu itu sendiri. Dengan perlakuan dengan cara yang tepat. perkembangan aspek kognitif seseorang, Menurut asumsi peneliti, hampir dari kemampuan untuk menerima sudut pandang setengah responden tidak mampu merasakan apa orang lain dan pemahaman terhadap perasaan yang dirasakan oleh orang lain. Hal ini orang lain tidak lengkap dan akurat sehingga ia umumnya terjadi pada remaja. Disebabkan oleh tidak mampu memberikan perlakuan dengan ketidakmatangan emosional mereka sehingga cara yang tepat. mereka masih memikirkan apa yang mereka Individu tidak mampu membedakan antara rasakan dan kadang-kadang atau bahkan sering apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain tanpa memikirkan perasaan orang lain. Seiring dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. berjalannya usia dan kematangan emosional Dengan perkembangan aspek kognitif keadaan ini dengan sendirinya akan berkurang. seseorang, kemampuan untuk menerima sudut Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Ketergantungan Kepada Orang Lain Pada Agregat Remaja Di Sma Negeri 1 Situuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015 Ketergantungan kepada orang lain F % Tidak 27 33.7 Ya 53 66.3 Total 80 100 Lebih dari setengah atau 66,3% responden menganggap bahwa ketergantungan kepada orang lain menunjukkan kelemahan dan berbahaya. Merupakan sebuah prilaku yang dimana Individu dengan gangguan ini biasanya penderita narsistic merasa dirinya akan mencurigai, hypersensitive, rigid, anxios kehilangan perhatian perhatian dari lingkungan (pencemburu) dan argumentative. Mereka social jika mereka bergantung kepada orang lain, melihat diri mereka sendiri sebagai pribadi yang dan membahayakan eksistensi mereka. Oleh baik dan tidak memiliki cacat (Sutardjo, 2010) karena itu penderita narsistic personality disorder selalu menyembunyikan kelemahan mereka dan lebih sering memprioritaskan serta memperlihatkan potensi positif pada diri mereka. Hal ini seringkali membuat penderita narsistik personality disorder menutup diri untuk menerima bantuan dari orang lain. LPPM STIKes Perintis Padang 92 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Self Importance Pada Agregat Remaja Di SMA Negeri 1 Situuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015 Self importance F % tidak 45 56.2 ya 35 43.8 Total 80 100 Dari tabel 4 dapat terlihat bahwa 43,8% responden masih menganggap dirinya paling penting. Karakteristik narsistik personality disorder orang.dalam menjalin hubungan interpersonal mirip dengan karakteristik histrionic personality ,mereka membuat permintaan yang tidak dapat disorder,orang orang narsistik personality di terima secara rasional atau tidak beralasan disorder bersandar pada evaluasi diri (self- (unreasonable) kepada orang lain untuk evaluation) mereka terokupasi (terpaku)pada mengikuti keinginan keinginan pikiran pikiran mengenai pentingnya diri mereka mereka,mengabaikan kebutuhan dan keinginan sendiri (self-importance) dan fantasi mengenai orang lain untuk mendapatkan kekuatan,dan kekuatan (power) dan keberhasilan (succees) merupakan orang orang yang arogan (arrogant) dan memandang diri mereka sendiri sebagai dan merendahkan (demeaning) (Sutardjo, 2010). orang yang superior (berkuasa) atas banyak Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Grandiouse Manner Pada Agregat Remaja Di SMA Negeri 1 Situuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015 Grandiose manner F % tidak 40 50 ya 40 50 Total 80 100 Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa setengah responden kerap bertindak dramatis dan berlebihan terhadap sesuatu (grandiose manner). Grandiosity adalah sikap memandang dirinya sebagai sosok atau figure yang memiliki derajat lebih tinggi dari pada orang lain yang berada di sekitarnya, Kebesaran mengacu pada rasa realistis superioritas - pandangan berkelanjutan diri sendiri sebagai lebih baik daripada yang lain yang menyebabkan narsisis untuk melihat orang lain dengan perasaan jijik atau rendah - serta rasa keunikan: keyakinan bahwa beberapa orang lain tidak memiliki kesamaan apa pun dengan diri sendiri nya sendiri dan hanya dapat dipahami oleh beberapa orang atau orang khusus saja(Sutardjo, 2010). Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Narsistic Personality Disorder Pada Agregat Remaja Di Sma Negeri 1 Situuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015 Narsistic personality disorder F % tidak 54 67.5 narsis 26 32.5 Total 80 100 Pada tabel 6 terlihat bahwa 67,5% responden tidak tergolong narsistic personality disorder. Sisanya 32,5% responden tergolong narsistic personality disorder. LPPM STIKes Perintis Padang 93 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Tabel 7. Hubungan Apresiasi Dari Orang Tua Dengan Kejadian NPD Pada Agregat Remaja Di SMA Negeri 1 Situuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015 kejadian NPD apresiasi jumlah dari orang terjadi tidak terjadi P tua f % F % f % tidak baik 31 38,75 14 17,5 45 56,25 0,813 Baik 23 28,75 12 15 35 43,75 54 67,5 26 32,5 80 100 Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa dari 45 orang responden yang tidak mendapatkan apresiasi positif dari orang tua 31 orang diantanya terjadi narsistic personality disorder (NPD). Berdasarkan uji statitik didapatkan p value = 0,813 (p≥0,05) maka Ha ditolak, dapat disimpulakan bahwa tidak ada hubungan antara apresiasi dari orang tua dengan kejadian NPD. Penelitian serupa yang dilakuan Ashani (2012), mengatakan orang tua berperan penting dalam pembentukan kepribadian anak. Pengharaan atas prestasi yang diraih dan hukuman atas kesalahan yang dilakukan anak menjadi salah satu hal yang hanya bisa dan efektif apabila dilakukan oleh orang tua. Hal ini semacam take and give atau reward and punishment. Menurut asumsi peneliti, anak memerlukan apresiasi positif dari orang tuanya untuk keberhasilannya sebagai salah satu bentuk penghargaan orang tua atas usahanya. Tapi hal ini bukan berarti orang tua harus selalu memberikan pujian tanpa memberikan hukuman atas kesalahannya. Memberikan hukuman ynag bersifat mendidik menurut penulis juga merupakan salah satu bentuk apresiasi positif. Namun, jika dikaitkan dengan kejadian narsistik yang terjadi pada remaja berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara kurangnya apresiasi positif dari orang tua dengan kejadian NPD. Tabel 8. Hubungan Lack of Empathy Denga Kejadian NPD Pada Agregat Remaja Di Sma Negeri 1 Situjuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015 kejadian NPD Jumlah lack of Terjadi tidak terjadi P empathy f % F % f % Tidak 27 33,75 14 17,5 45 51,25 Ya 27 33,75 12 15 35 48,75 0,814 54 67,5 26 32,5 80 100 Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa dari 45 orang responden yang kurang mampu memahami perasaan orang lain 27 diantaranya mengalami narsistic personality disorder (NPD). Berdasarkan uji statitik didapatkan p value = 0,814 (p≥0,05) maka Ha ditolak, dapat disimpulakan bahwa tidak ada hubungan antara Lack of Empathy dengan kejadian NPD. Menurut Loema (2007), individu tidak Individu tidak mampu membedakan antara mampu membedakan antara apa yang dikatakan apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. penilaian individu itu sendiri. Dengan Dengan perkembangan aspek kognitif perkembangan aspek kognitif seseorang, seseorang, kemampuan untuk menerima sudut kemampuan untuk menerima sudut pandang pandang orang lain dan pemahaman terhadap orang lain dan pemahaman terhadap perasaan perasaan orang lain tidak lengkap dan akurat orang lain tidak lengkap dan akurat sehingga ia sehingga ia tidak mampu memberikan tidak mampu memberikan perlakuan dengan perlakuan dengan cara yang tepat. cara yang tepat. LPPM STIKes Perintis Padang 94 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Menurut asumsi peneliti, hampir dari setengah responden tidak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Hal ini umumnya terjadi pada remaja. Disebabkan oleh ketidakmatangan emosional mereka sehingga mereka masih memikirkan apa yang mereka rasakan dan kadang-kadang atau bahkan sering tanpa memikirkan perasaan orang lain. Sigmund freud(1914) memandang narsisme sebagai fase yang di lalui semua anak sebelum menyalurkan (transfering)cinta mereka kepada diri mereka sendiri dan orang orang yang berarti (significant person).anak anak dapat terfiksasi pada fase narsistic ini,bagaimanapun jika mereka mengalami bahwa orang orang yang mengasuhnya tidak dapatdi percaya dan memutuskan bahwa mereka hanya bersandar pada diri mereka sendiri atau jika mereka memiliki orang tua yang selalu menuruti mereka dan menanamkan pada diri mereka suatu perasaan bangga atas kemampuan dan harga diri mereka (lihat juga Homey,1939) kemudia ahli psikodinamika (kernberg,1989 & Kohut 1971) berpendapat bahwa orang orang narsistik secara aktual menderita self-esteem rendah,dan merasakan kekosongan dan nyeri sebagai hasil dari rejection (penolakan)dari orang tua,dan bahwa perilaku perilaku narsistik merupakan reaksi formasi untuk menghadapi masalah masalah tersebut melalu self-worth (penghargaan terhadap diri sendiri) (Sutardjo, 2010). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan peneliti bahwa tidak ada hubungan antara Lack of Empathy dengan kejadian NPD. Tabel 9. Hubungan Ketergantungan Kepada Orang Lain Dengan Kejadian NPD Pada Agregat Remaja Di Sma Negeri 1 Situjuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015 kejadian NPD Jumlah Terjadi tidak terjadi ketergantungan berbahaya P f % f % f % tidak 16 20 11 13,75 27 33,75 ya 38 47,5 15 18,75 53 66,25 0,316 54 67,5 26 32,5 80 100 Dari tabel 9 terlihat bahwa dari 66,25% responden yang menganggap ketergantungan kepada orang lain adalah sesuatu yang membahayakan 47,5% terjadi NPD. Berdasarkan uji statitik didapatkan p value = 0,316 (p≥0,05) maka Ha ditolak, dapat disimpulakan bahwa tidak ada hubungan menganggap ketergantungan kepada orang lain adalah sesuatu yang membahayakan dengan kejadian NPD. Nischal (2008) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa ketergantungan kepada orang lain merupakan suatu bentuk kebutuhan manusia dalam menjalani hubungan social. Ketergantungan kepada orang lain tidak selalu dinilai positif. Ketergantungan kepada orang lain yang berlebihan dapat menimbulkan sifat-sifat posesif dan takut kehilangan. Hal seperti ini bila berlangsung dalam waktu yang lama dan ditambah koping individu yang tidak konstruktif dapat menyebabkan gangguan kejiwaan seperti psikopat. Menurut asumsi peneliti ketergantungan kepada orang lain tidak menyebabkan seseorang melakukan NPD atau narsistic personality disorder akan tetapi menjadi salah satu factor penyebab gangguan kepribadian lainnya. Seseorang yang memiliki ketergantungan kepada orang lain dalam tingkat tinggi menyebabkannnya takut kehilangan. Tabel 10. Hubungan Self Importance Denga Kejadian NPD Pada Agregat Remaja Di Sma Negeri 1 Situjuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015 kejadian NPD Jumlah self importance terjadi tidak terjadi P OR Tidak f % f % f % 25 31,25 20 25 45 56,25 LPPM STIKes Perintis Padang 0.015 95 0,259 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Ya 29 36,25 6 7,5 35 43,75 54 67,5 26 27,5 80 80 Dari tabel 10 terlihat 36,25% responden yang lebih mementingkan dirinya sendiri menagalami narsistic personality disorder (NPD). Berdasarkan uji statitik didapatkan p value = 0,015 (p<0,05) maka Ha diterima, dapat disimpulakan bahwa ada hubungan self importance dengan kejadian NPD. OR didapatkan 0,259 artinya seseorang yang lebih mementingkan dirinya sendiri beresiko sebesar 0,259 kali melakukan narsistic personality disorder. Menurut asumsi peneliti seseorang yang memepunyai orientasi dan harapan berlebih terhadap dirinya cenderung memiliki kepribadian yang hiperaktif dan keinginan berlebih untuk diekspos dan terkenal. Keinginan ini biasa diikuti dengan action atau sikap. Kecenderungan remaja melakukan ekspose terhadap dirinya di dunia maya. Hal ini lah disebut dengan Narsistic Personality Disorder. Tabel 11. Hubungan Grandiouse Manner Dengan Kejadian NPD Pada Agregat Remaja Di Sma Negeri 1 Situjuah Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015 kejadian NPD Jumlah Grandiouse Terjadi tidak terjadi p OR manner f % f % f % tidak 33 41,25 7 8,75 40 50 ya 21 26,25 19 23,75 40 50 0,008 4,265 54 67,5 26 32,5 80 100 Dari tabel 11 terlihat 40% responden yang bersikap dramatis dan berlebihan 26,25% menagalami narsistic personality disorder (NPD). Berdasarkan uji statitik didapatkan p value = 0,008 (p<0,05) maka Ha diterima, dapat disimpulakan bahwa ada hubungan self importance dengan kejadian NPD. OR didapatkan 4,265 artinya seseorang yang cenderung bersikap dramatis dan berlebihan beresiko sebesar 4,625 kali melakukan narsistic personality disorder. Menurut asumsi peneliti, sikap seseorang Disorder (NPD) terdapat dua faktor yang yang mendramatisir keadaan memungkinkan berhubungan secara signifikan yaitu self mengekspresikan keinginannya secara importance dan grandiose manner. berlebihan. Berbeda dengan Self importance, seseorang dengan grandiose manner biasanya 5. REFERENSI akan melakukan narsistik personality disorder Alimul, Aziz. 2003. Riset Keperawatan & kearah yang negative. Keinginan mereka untuk Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : diekspose menyebabkannya kadang melanggar Salemba Medika. atura. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan Boeree, C. George.2005. Personality Theories. terdapat beberapa pelajar yang melakukan Yogyakarta: Primashopie. grandiose manner. Diantaranya mereka Davidson, Gerald C., John M. Neale, & Ann M. melakukan modivikasi seragam sekolah agar Kring. 2004. Abnormal Psychology (9th terlihat lebih menarik. Mereka biasanya lebih Edition). US: john wiley & sons, inc. sensitive terhadap hal-hal yang berbau Halgin, P Richard & Sussan Krauss. 2011. penghargaan dan aktualisasi terhadap dirinya. Psikologi Abnormal: Perspektif Klinis pada Gangguan Psikologis Buku 2 4. KESIMPULAN (Edisi 6). Salemba Humanika: Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian faktor-faktor Keliat, Budi Anna. 2002. Gangguan Konsep yang berhubungan dengan kejadian narsistic Diri. Jakarta : EGC. personality disorder pada agrega remaja dapat _______.2010.Psikologi Abnormal Jilid 2, disimpulkan bahwa dari lima faktor yang Penerbit Salemba Humanika berhubungan dengan Narsistic Personality LPPM STIKes Perintis Padang 96 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Kartini, Kartono .2009, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual,Penerbit Mandar Maju Millon, Theodore, Seth G., Carrie M., Sarah M., & Rowena R. 2004. Personality Disorder In Modern Life. US: john wiley & sons, inc. Monk, F.J. , 2002. Psikologi Perkembangan .Gadjah Mada University Press:Yogyakarta. Nursalam. 2003. Konsep Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Nevid, J., Rahtus S., & Beverly G. 2003. Psikologi Abnormal. Jakarta: Penerbit Erlangga. Pervin, L.A dan Jhon, O.P. 2001. Personality Theory and Research. New York. Papalia, Diane E. Old, Sally Wendkos. Feldman, Ruth Duskin. 2009. Human Development / Perkembangan Manusia. Buku 1. Edisi 10. Jakarta : Salemba Humanika. Soetardjo. 2010. PengantarPsikologi Abnormal. Jakarta : Refika Aditama Sarwono, Sarlito. 2005. Psikologi Remaja. Jakarta : Balai Pustaka _______.2010. Psikologi Remaja (Edisi Revisi) .Jakarta: Rajawali Pers Suliswati, Payapo. 2000, dkk. Konsep Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC Sutrisno Hadi. 2004. Metodologi Research II, Yogyakarta: PP UGM. Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta:Graha Ilmu Stuart, Gail. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC Tri Dayakisni. 2003. Psikologi Sosial, Buku I. Malang: UMM Press Videbeck,Sheila.2001. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC Wiramihardja, Sutardjo A. 2007. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT Refika Aditama Yusuf, Syamsu.2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:ROSDA LPPM STIKes Perintis Padang 97 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ PENGARUH TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP KUALITAS TIDUR PASIEN PASCA OPERASI DI RUANGAN BEDAH RSUD LUBUK SIKAPING TAHUN 2016 Muhammad Arif1,Putri Wulandari2 Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Email: [email protected] Abstract Postoperative patients need more sleep than healthy people in increasing cure process. Sleeping need which enough beside determined by sleep quantity and also sleep quality. The results of interviews with 6 postoperative patient, 4 of 5 patients said have sleep disturbance less than 8 hours and often wake up at night. Complementary therapy in solving patients’ sleeping need to minimalize the use of medicine is classical music therapy. The purpose of the research is to know Influence Classical Music Therapy of Sleep Qualit of postoperative patients in Surgical Ward RSUD Lubuk Sikaping in 2016. Pre-Experimental study design with one-group pre-posttest design approach. The research was conducted in June 28th – July 13th 2016 to postoperative patients in Surgical Ward RSUD Lubuk Sikaping with sample of 16 patients. The result of more than half (93.8%) of postoperative patients have poor sleep quality before been giving classical music therapy. More than half (68.8%) postoperative patients have good sleep quality after been giving classical music therapy. So there is influence classical music therapy of sleep quality of postoperative patients in Surgical Ward RSUD Lubuk Sikaping in 2016 with p- value=0.000 (α = 0.05). Perhaps the result of this research can support the others study and theory about classical music therapy in improving sleep quality of postoperative patients. Keywords: postoperative, sleep quality, music therapy 1. PENDAHULUAN Pembedahan baik elektif maupun kedaruratan adalah peristiwa komplek yang menegangkan (Smeltzer & Bare, 2001). Tindakan pembedahan secara global mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. World Health Organization dalam suatu studi memperkirakan 266,2 juta hingga 359,5 juta operasi dilakukan pada tahun 2012. Estimasi ini mengalami peningkatan 38% selama delapan tahun sebelumnya. Dimana diperkirakan 234.2 juta operasi yang dilakukan di seluruh dunia pada tahun 2004. Di Indonesia rata-rata angka operasi adalah sebesar 1.839 per 100.000 populasi per tahun nya. (WHO, 2015). Pascaoperatif adalah masa yang dimulai ketika masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah (Smeltzer & Bare, 2002). Pada saat klien kembali ke area penerimaan rawat jalan atau unit keperawatan, klien biasanya terjaga dan menyadari sejumlah ketidaknyamanan seperti nyeri, haus, distensi abdomen, mual, retensi urin, konstipasi, gelisah dan sulit tidur (Rosdach, 2012). Disamping keluhan ketidaknyamanan seperti nyeri pasca operasi, pembedahan juga mempengaruhi pasien secara psikologi. Gangguan psikologi setelah operasi seperti depresi pascaoperatif dapat menimbulkan gejala seperti anoreksia, menangis hebat, kehilangan ambisi, menolak orang lain, perasaan kesal, dan gangguan tidur (insomnia) (Kozier et al., 2010). Kesulitan tidur / insomnia merupakan keadaan yang kerap dikeluhkan dengan kendala-kendala seperti kesulitan tidur, tidur tidak tenang, kesulitan menahan tidur, sering terbangun dipertengahan malam, dan seringnya terbangun diawal (Rafknowledge, 2004). Tidur merupakan suatu status istirahat yang terjadi selama periode tertentu yang ditandai dengan penurunan kesadaran dan penyediaan waktu untuk perbaikan dan kesembuhan sistem tubuh dengan mengurangi interaksi dengan lingkungan dan akan mengakibatkan segarnya LPPM STIKes Perintis Padang 98 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ seseorang dan merasakan kesejahteraan (Potter & Perry, 2006). Saat tidur otak memperbaiki dirinya sendiri dan merangsang pembentukan sistem kekebalan, tidur juga merupakan sebuah reflek yang rumit yang mensyaratkan relaksasi dan sejumlah kondisi lain. Fasilitas untuk proses ini dikenal sebagai tidur higinis (hygiene) (Rafknowledge, 2004). Menurut Lanywati (2001), kebutuhan tidur yang cukup, ditentukan selain oleh jumlah faktor jam tidur (kuantitas tidur), juga oleh kedalaman tidur (kualitas tidur). Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak merasa lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman disekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2008). Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun, dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepuasan tidur. Kualitas tidur dapat diukur menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Alat ini merupakan alat untuk menilai kualitas tidur yang terdiri dari 19 poin pertanyaan yang berada di dalam 7 komponen nilai, 19 pertanyaan tersebut mengkaji secara luas faktor yang berhubungan dengan tidur seperti durasi tidur, latensi tidur, dan masalah tidur (Buysse et al, 1989). Mubarak (2008) mengemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kualitas tidur diantaranya penyakit, lingkungan, kelelahan, gaya hidup, stres emosional, stimulan dan alcohol, diet, merokok, medikasi, dan motivasi. Sementara menurut Nurlela (2009) dalam penelitiannya pada pasien post operasi laparatomi RS PKU Muhamadiyah Gombong menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas tidur pasien post operasi laparatomi adalah fisiologis, psikologis, dan lingkungan. Faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi kualitas tidur pasien post operasi laparatomi adalah faktor fisiologis. Dampak bagi pasien post operasi yang mengalami gangguan kebutuhan tidur antara lain proses penyembuhan luka yang lama, dimana fungsi dari tidur adalah untuk regenerasi sel-sel tubuh yang rusak menjadi baru (Kozier, 2010). Gangguan pada kualitas tidur pasien dapat diatasi dengan terapi farmakologi berupa obatobatan dan terapi komplementer. Perawat dapat memberikan intervensi kolaborasi pemberian pengobatan seperti analgesik dan sedatif maupun obat penenang serta plasebo sebelum tidur (Heriana, 2014). Namun penanganan berupa obat-obatan dapat menimbulkan efek samping seperti yang dijelaskan oleh Kee & Hayes (1996) bahwa efek samping yang sering ditimbulkan pada sedatif-hipnotik diantaranya hangover (rasa mengantuk yang tersisa yang mengakibatkan kerusakan waktu reaksi), toleransi terhadap dosis obat, dan ketergantungan. Efek samping yang ditimbulkan dari terapi farmakologis dapat diminimalkan dengan mempertimbangkan penggunaan terapi komplementer sebagai pilihan, seperti yang dikemukakan oleh Widyatuti (2008) bahwa terapi komplementer merupakan alternatif perawatan yang optimal karena terapi komplementer merupakan pengembangan terapi tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang mempengaruhi keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan spiritual. Menurut Kate and Richard Mucci dalam bukunya The Healing Sound of Music, memaparkan bahwa tubuh manusia mempunyai ritme tersendiri. Kemampuan seseorang mencapai ritme dan suara-suara dalam diri mereka membuat penyembuhan musikal menjadi semakin efektif (Hastomi & Sumaryati, 2012). Maka terapi musik merupakan salah satu terapi komplementer non invasif yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas tidur.Dalam kedokteran, terapi musik ini disebut sebagai terapi pelengkap (complementary medicine). Potter juga mendefinisikan terapi musik sebagai teknik yang digunakan dalam penyembuhan suatu penyakit dengan menggunakan bunyi dan irama tertentu (Suryana, 2012). Menurut para pakar terapi musik, tubuh manusia memiliki pola getar dasar. Kemudian vibrasi musik terkait erat dengan frekuensi dasar tubuh atau pola getar dasar dapat memiliki efek LPPM STIKes Perintis Padang 99 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ penyembuhan yang sangat hebat bagi tubuh, pikiran, dan jiwa manusia yang menimbulkan perubahan emosi, organ, hormone, enzim, sel-sel dan atom (Kozier et al, 2010). Melalui musik Hipothalamus dimanipulasi agar tidak bereaksi terlalu kuat terhadap stresor yang diterimanya. Hal ini disebabkan karena musik merangsang hipofisis untuk melepaskan endorphin (optat alami) yang akan menghasilkan euforia dan sedasi, sehingga pada akhirnya akan mampu menurunkan nyeri, stres, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri yang dirasakannya (Campbell, 2002). Respon ini dapat dipengaruhi oleh jenis musik, melodi, harmoni, ritme, dan tempo serta kandungan verbal di dalamnya (Bernadi et al, 2005). Penelitian yang dilakukan Wang (2013) di China dengan menggunakan desain systematic review and meta-analysis dengan menganalisis studi dengan randomized controlled design dan orang dewasa sebagai respondennya. Dari hasil review 10 studi yang melibatkan 557 responden tersebut didapatkan P value< 0,001 dengan kesimpulan musik dapat membantu dalam meningkatkan kualitas tidur pada pasien dengan gangguan tidur akut dan kronis. Terapi musik juga digunakan oleh Sahamantya (2014) dalam penelitiannya pada pasien stroke. Penelitian quasi experiment dengan desain one group pre test-post test ini memberikan perlakuan terapi musik klasik Mozart. Melalui uji statistik hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap kualitas tidur pada pasien stroke yang menjalani rawat inap. Terapi musik sudah terbukti efektif dalam mengatasi gangguan tidur untuk pasien rawat inap dalam berbagai penelitian. Namun dalam penelitian ini peneliti memberikan perlakuan terapi musik pasif dengan menggunakan jenis musik klasik pada pasien rawat inap untuk mempengaruhi kualitas tidurnya pasca pembedahan. Berdasarkan data bulanan pada Bulan Maret 2016 pasien pasca operasi yang dirawat inap di Ruangan Bedah RSUD Lubuk Sikaping adalah sebanyak 47 orang dengan diagnosa appendicitis, Fibro Adenomma Mammae (FAM), fraktur, dan benigna neoplasma. Perawatan yang dilakukan perawat pada pasien pasca operasi di ruangan ini adalah melakukan perawatan luka pada pagi hari, pengaturan posisi, pemenuhan nutrisi dan manajemen nyeri secara farmakologis dan nonfarmakologis seperti teknik relaksasi. Pada survey awal tanggal 13 April 2016 ditemukan pasien rawat inap pasca operasi adalah sebanyak 5 orang dengan diagnosa appendicitis dan hernia. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada pasien, 4 dari 5 orang pasien menyatakan mengalami gangguan tidur dengan waktu tidur kurang dari 8 jam dan sering terbangun di malam hari. 2 dari 4 orang pasien yang mengalami gangguan tidur mengatakan mengalami kesulitan tidur karena nyeri dan gelisah, dan 2 orang pasien memaparkan tentang lingkungan rumah sakit yang tidak nyaman seperti cahaya ruangan yang terlalu terang, pengunjung atau keluarga yang ada di ruangan, dan perubahan suasana lingkungan yang berbeda dengan keseharian di rumah. Berdasarkan informasi dari perawat diketahui bahwa sebagian besar pasien pasca operasi mengalami gangguan tidur pada hari-hari pertama setelah operasi terutama hari ke-1. Gangguan tidur dialami pasien terkait dengan nyeri yang dirasakan setelah pembedahan. Pasien dengan masalah istirahat tidur tidak diberikan obat tidur oleh perawat, tetapi diberikan penghilang nyeri. Namun, walaupun diberikan obat nyeri pasien tetap mengalami gangguan tidur pada hari-hari pertama setelah pembedahan. Dari hasil wawancara dengan perawat didapatkan informasi bahwa terapi alternatif seperti musik klasik belum pernah digunakan sebagai intervensi keperawatan . Perawat mengemukakan bahwa belum adanya informasi mengenai terapi musik dan sarana yang menunjang untuk pelaksanaan terapi musik seperti perangkat audio di ruangan. Dari hasil observasi di Ruangan Bedah RSUD Lubuk Sikaping peneliti juga tidak menemukan sarana yang menunjang untuk melakukan intervensi terapi musik. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh terapi musik klasik terhadap kualitas tidur Pasien pasca operasi di ruangan bedah LPPM STIKes Perintis Padang 100 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 2. METODE PENELITIAN a. Desain Penelitian Menggunakan metode pra eksperimental dengan pendekatan one-group pre-posttest design. b. Populasi Dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah pasien pasca operasi di ruangan bedah RSUD Lubuk Sikaping. Pada penelitian yang dilakukan pada tanggal 28 Juni – 13 Juli 2016 menggunakan Sampel yang berjumlah 16 orang. c. Instrument Instrument dalam pengumpulan data penelitian ini menggunakan kuesioner, lembar observasi, mp3 player, dan earphone. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan umur Standar 95% CI Mean Minimum Maximum Deviasi Lower Upper 36,31 12,726 15 55 29,53 43,09 Pada tabel diatas didapatkan rerata umur responden adalah 36,31 tahun (CI: 29,53 – 43,09) dengan standar deviasi sebesar 12,726. Responden yang termuda berusia 15 tahun dan yang paling tua adalah 55 tahun. Hasil estimasi interval dapat disimpulkan 95% diyakini bahwa rerata umur pasien pasca operasi di Ruangan Bedah RSUD Lubuk Sikaping berkisar antara 29,53 tahun sampai dengan 43,09 tahun Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Responden Persentase (%) (orang) Laki – laki 8 50.0 Perempuan 8 50.0 Total 16 100.0 Pada tabel diatas didapatkan data bahwa responden dengan jenis kelamin laki-laki sama banyak dengan perempuan dengan persentase 50%. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengalaman Operasi Pengalaman Operasi Jumlah Responden Persentase (%) (orang) Tidak Pernah 15 93.8 Pernah 1 6.2 Total 16 100.0 Pada tabel 3 tentang distribusi frekuensi responden berdasarkan pengalaman operasi, lebih dari separuh responden tidak pernah mengalami operasi sebelumnya sebanyak 93,8%. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Status Pekerjaan Jumlah Responden Persentase (%) (orang) Tidak Bekerja 8 50.0 Bekerja 8 50.0 Total 16 100.0 Pada tabel diatas berdasarkan status pekerjaan, responden yang bekerja sama banyak dengan responden yang tidak bekerja dengan persentase 50%. LPPM STIKes Perintis Padang 101 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kualitas Tidur Pasien Pasca Operasi Sebelum Diberikan Terapi Musik Klasik Kualitas Tidur Frekuensi Persentase (%) (pretest) Baik 1 6.2 Buruk 15 93.8 Total 16 100.0 Pada tabel 5 tentang distribusi frekuensi responden berdasarkan kualitas tidur pasien pasca operasi sebelum diberikan terapi musik klasik, lebih dari separuh (93.8%) memiliki kualitas tidur yang buruk. Berdasarkan hasil penelitian yang fisik yang dapat menyebabkan gangguan tidur. dilakukan terhadap 16 orang pasien pasca Individu yang sakit membutuhkan waktu tidur operasi di Ruangan Bedah RSUD Lubuk yang lebih banyak daripada biasanya. Di Sikaping tahun 2016 diperoleh data bahwa samping itu, siklus bangun – tidur selama sakit sebagian besar pasien berada pada kategori juga dapat mengalami gangguan. kualitas tidur buruk sebelum dilakukan terapi Responden dalam penelitian ini sebagian musik klasik. Hal ini disebabkan oleh nyeri, besar atau sebanyak 93,8% tidak pernah ketidaknyamanan terhadap peralatan medis yang mengalami operasi sebelumnya, hal ini dapat terpasang di tubuh pasien, dan suasana ruangan mempengaruhi kualitas tidur terkait dengan stres yang mempengaruhi istirahat tidur pasien. pembedahan. Yang mana dikemukakan oleh Penelitian ini sejalan dengan penelitian Mubarak (2008) mengenai stres emosional Sahanantya (2014), dengan data sebelum terapi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi musik sebagian besar (57,7%) responden kualitas tidur. Ansietas dan depresi sering kali mempunyai kualitas tidur yang buruk. mengganggu tidur seseorang. Kondisi ansietas Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa dapat meningkatkan kadar norepinefrin dalam sebagian kecil responden memiliki kualitas tidur darah melalui stimulasi sistem saraf simpatis. baik, hal ini terlihat dari hasil pengukuran pada Kondisi ini menyebabkan berkurangnya siklus responden tersebut menunjukkan berada pada tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta kategori baik. Sahanantya (2014) dalam sering terjaganya saat tidur. penelitiannya juga menemukan sebagian kecil Menurut asumsi peneliti pasien pasca (42,3%) responden mempunyai kualitas tidur operasi mengalami tidur dengan kualitas yang baik sebelum terapi dilakukan. buruk disebabkan oleh rasa nyeri setelah Pada saat klien kembali ke area penerimaan pembedahan, ketidaknyamanan dengan suasana rawat jalan atau unit keperawatan pasca operasi di rumah sakit, dan stres akibat penyakit dan menurut Rosdalch (2012) klien biasanya terjaga tindakan operasi. Sementara istirahat tidur dan menyadari ketidaknyamanan seperti nyeri, dibutuhkan untuk perbaikan tubuh dalam proses haus, distensi abdomen, mual, retensi urin, pemulihan pasca operasi. konstipasi, gelisah, dan sulit tidur. Kualitas tidur merupakan kemampuan individu untuk tetap tertidur dan untuk mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat (Kozier et al, 2004). Pasien pasca operasi membutuhkan tidur yang cukup selama perawatan setelah pembedahan terutama untuk penyembuhan luka, seperti yang dikemukakan Kozier et al (2010) bahwa tidur juga penting untuk sintesis protein, yang memungkinkan terjadinya proses perbaikan. Mubarak (2008) mengemukakan bahwa Penyakit dapat menyebabkan nyeri atau distres LPPM STIKes Perintis Padang 102 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kualitas Tidur Pasien Pasca Operasi Sesudah Diberikan Terapi Musik Klasik Kualitas Tidur Frekuensi Persentase (%) (posttest) Baik 11 68.8 Buruk 5 31.2 Total 16 100.0 Pada tabel 6 tentang distribusi frekuensi responden berdasarkan kualitas tidur pasien pasca operasi sesudah diberikan terapi musik klasik, lebih dari separuh (68.8%) responden dengan kualitas tidur baik. Responden yang memiliki kualitas tidur buruk menurun menjadi 31.2%. Setelah dilakukan terapi musik klasik pada pengunjung yang ramai pada malam hari pasien pasca operasi dan dilakukan pengukuran menyebabkan pasien tidak konsentrasi dan kembali (posttest) kualitas tidur terdapat menikmati musik pada saat mendengarkan penurunan skor yang menunjukkan kualitas tidur musik. baik pada 11 orang responden (68,8%) dan 5 Penelitian Nurlela (2009) pada pasien post orang responden (31,2%) berada pada kategori operasi lapparatomi menemukan bahwa faktor buruk. Penelitian ini sejalan dengan data yang mempengaruhi kualitas tidur pasien post penelitian Sahanantya (2013) mengenai kualitas operasi adalah fisiologis, psikologis, dan tidur sesudah dilakukan terapi musik pada pasien lingkungan. Faktor yang paling dominan dalam stroke yang dirawat inap ditemukan pada mempengaruhi kualitas tidur pasien post operasi sebagian besar responden (69,2%) mempunyai adalah faktor fisiologis. kualitas tidur yang baik. Sedangkan dalam Responden dalam penelitian ini adalah studinya mengenai pengaruh terapi musik dewasa berusia rerata 36,31 tahun dengan terhadap tingkat gangguan tidur pada pasien standar deviasi=12,726. Menurut Potter & Perry paska operasi lapparatomi, Fahmi (2012) (2006) durasi dan kualitas tidur beragam di memperoleh data sebagian besar pasien (81,8%) antara orang-orang dari semua kelompok usia. tingkat gangguan tidurnya berada pada tingkat Pada dewasa muda rerata tidur di malam hari 6 ringan setelah diberikan terapi musik. sampai 81/2 jam, tetapi hal ini bervariasi. Adalah Sebagian besar responden mengalami hal yang umum untuk tuntutan gaya hidup yang perubahan kualitas tidur setelah dilakukan terapi mengganggu pola tidur yang umum. Stres musik klasik. Hal ini terlihat dari skor yang pekerjaan, hubungan keluarga, dan aktivitas diperoleh saat pengukuran kembali setelah terapi sosial dapat mengarah pada insomnia (misalnya musik dilakukan selama 3 hari, dimana terjadi kesulitan memulai dan/atau mempertahankan penurunan rerata skor sebanyak 2,25 sehingga tidur. Sementara pada dewasa tengah total waktu responden mengalami perubahan menjadi yang digunakan untuk tidur malam hari muali kategori yang lebih baik dari sebelum dilakukan menurun. Jumlah tidur tahap 4 mulai menurun, terapi. suatu penurunan yang berlanjut dengan Namun masih terdapat sebagian pasien bertambahnya usia. yang berada pada kategori buruk dalam kualitas Menurut analisis peneliti, pasien pasca tidur. Berdasarkan observasi dan wawancara operasi perlu melakukan terapi musik, karena yang peneliti lakukan ini disebabkan oleh rasa selain mudah dilakukan, juga tidak memiliki nyeri yang hebat. Hal ini sesuai dengan Kozier dampak buruk pada kesehatan pasien. Hasil et al (2010) bahwa kondisi penyakit yang wawancara langsung dengan responden yang membutuhkan tindakan pembedahan mungkin melakukan terapi musik klasik sesuai arahan akan menimbulkan rasa nyeri yang hebat peneliti selama 3 hari dan tidak mengkonsumsi sehingga mengganggu istirahat. Penyebab lain obat tidur, mengalami perubahan diantaranya diantaranya adalah rasa jenuh dalam bisa tidur dalam waktu kurang dari 30 menit dan mendengarkan musik, waktu pendengaran yang menjadi lebih tenang. tidak sesuai dengan arahan yang diberikan yaitu 15-30 menit, adanya keluarga pasien lain dan LPPM STIKes Perintis Padang 103 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Tabel 7. Perbedaan Kualitas Tidur Uji T-test Rerata pada Pasien Pasca Operasi Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Musik Klasik di Ruangan Bedah RSUD Lubuk Sikaping 95% CI Std. pKualitas Tidur Mean T Deviation value Lower Upper Sebelum Terapi 6,25 1.342 5,54 6,96 Musik Klasik 5,730 0,000 Sesudah Terapi 4,00 1.211 3,35 4,65 Musik Klasik Selisih 2,25 Berdasarkan tabel 8 tentang Analisa perbedaan hasil Uji T-test rerata pada pasien pasca operasi sebelum dan sesudah diberikan terapi musik klasik di Ruangan Bedah RSUD Lubuk Sikaping terdapat perbedaan yang bermakna. Rerata kualitas tidur pasien pasca operasi sebelum diberikan terapi musik klasik adalah sebesar 6,25 dengan standar deviasi 1,342. Dari hasil estimasi interval 95% diyakini bahwa rerata kualitas tidur pasien pasca operasi sebelum terapi musik klasik berkisar antara 5,54 – 6,96. Sedangkan sesudah diberikan terapi musik klasik rerata kualitas tidur pasien pasca operasi menjadi 4.00 dengan standar deviasi 1,211. Dari hasil estimasi interval 95% diyakini bahwa rerata kualitas tidur pasien pasca operasi sesudah terapi musik klasik berkisar antara 3,35 – 4,65 Hal ini menunjukkan adanya penurunan nilai kualitas tidur setelah dilakukan terapi musik klasik yaitu sebesar 2,25 dengan standar deviasi 1,571. Hasil uji statistik untuk melihat ada pengaruh terapi musik klasik terhadap kualitas tidur pasien pasca operasi dilihat pada Paired t-test, terdapat nilai p = 0,000. Jika dibandingkan dengan nilai α maka p ≤ α (0,05), maka H0 ditolak. Hal ini dibuktikan dengan nilai t = 5,730 sedangkan perbandingan dengan t-tabel = 2,131 yaitu nilai t hitung > t- tabel (5,730 > 2,131). Maka hasil tersebut dapat diinterpretasikan bahwa ada pengaruh terapi musik klasik terhadap kualitas tidur pada pasien pasca operasi. Pada penelitian ini dilakukan pretest signifikan pada kualitas tidur pasien pasca sebelum diberikan perlakuan dan posttest operasi setelah melakukan terapi musik klasik. sesudahnya untuk mengetahui perbedaan Tidur merupakan status perubahan kualitas tidur sebelum dan sesudah terapi musik kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu klasik. Berdasarkan hasil penelitian yang terhadap lingkungan menurun (Mubarak, 2008). dilakukan, dapat dilihat distribusi responden dari Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk hasil pengukuran terhadap nilai pretest dan tetap tertidur dan untuk mendapatkan jumlah postest kualitas tidur menunjukkan dari 16 orang tidur REM dan NREM yang tepat (Kozier et al, responden setelah dilakukan terapi musik klasik, 2010). Mubarak (2008) mengemukakan bahwa mengalami perubahan kualitas tidur, dimana banyak faktor yang mempengaruhi kualitas tidur sebelum dilakukan terapi musik (pretest) diantaranya penyakit, lingkungan, kelelahan, responden dominan berada pada kategori buruk gaya hidup, stres emosional, stimulan dan yaitu sebanyak 93,8% responden. Sedangkan alkohol, diet, merokok, medikasi, dan motivasi. setelah dilakukan terapi musik (posttest) Bouhairi et al (2006) mengemukakan menurun menjadi 31,2% pada kategori buruk bahwa musik merupakan metode yang paling sementara 68,8% responden berada pada diterima yang digunakan oleh perawat dalam kategori kualitas tidur baik. memperbaiki kualitas tidur pasien (Wang, 2014). Perbedaan Kualitas tidur pasien pasca Melalui terapi musik, individu juga dapat operasi di Ruangan Bedah RSUD Lubuk mengalihkan persepsi waktu mereka dari jam, Sikaping sebelum dan sesudah dilakukan terapi menit, dan detik sebenarnya (yang dipersepsikan musik klasik di ukur dengan menggunakan di hemisfer kiri otak). Menjadi waktu yang paired t-test dengan tingkat kemaknaan p= 0,000 dialami – yang dipersepsikan lewat ingatan. ( ≤ 0,05) dan didapatkan nilai t = 5,730 Pendengar dapat benar-benar kehilangan urutan sedangkan t tabel adalah t=2,131, maka dapat waktu selama masa yang panjang, yang disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang memungkinkan mereka mengurangi rasa cemas, LPPM STIKes Perintis Padang 104 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ takut, dan nyeri (Kozier et al, 2010). Terapi musik khususnya secara pasif akan menekankan pada physical, emotional intellectual aesthetic or spiritual dari musik itu sendiri sehingga klien akan merasakan ketenangan atau relaksasi (Natalina, 2013). Rasa tenang dan relaks dapat membantu seseorang untuk tertidur, seperti yang dikemukakan oleh Potter & Perry (2006) ketika seseorang mencoba tertidur, mereka akan menutup mata dan berada dalam posisi relaks. Stimulus ke RAS (Reticular Activating System) menurun. Pada beberapa bagian, BSR (Bulbar Synchronizing Region) mengambil alih, yang menyebabkan tertidur. Penelitian Sahanantya (2014) tentang pengaruh pemberian terapi musik Mozart terhadap kualitas tidur dengan p= 0,000. Hal ini diperkuat oleh studi analisis yang dilakukan Wang (2014) pada 10 penelitian dimana musik dapat membantu dalam perbaikan kualitas tidur pada pasien dengan gangguan tidur (p< 0,001). Namun pada penelitian ini ada sebagian responden yang tidak mengalami perubahan setelah dilakukan terapi musik, yaitu 6,2% orang responden yang sebelumnya mempunyai kualitas tidur baik tetap berada pada kategori baik, sedangkan 31,2% orang responden tetap berada pada kategori buruk, hal ini bisa disebabkan karena pada saat melakukan terapi musik responden tidak mengikuti arahan dan petunjuk melakukan terapi musik dari peneliti. Hal ini berkaitan dengan karakteristik responden yang lebih dari separuh tidak pernah mengalami operasi sebelumnya, pengalaman operasi berkaitan dengan nyeri yang dirasakan dan stres pembedahan yang dapat mempengaruhi istirahat-tidur pasien. Yang mana dikemukakan oleh Mubarak (2008) mengenai faktor yang mempengaruhi kualitas tidur diantaranya penyakit dan stres emosional. Penyakit dapat menyebabkan nyeri atau distres fisik yang dapat menyebabkan gangguan tidur. Sedangkan kondisi ansietas dapat meningkatkan kadar norepinefrin dalam darah melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya siklus tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta sering terjaganya saat tidur. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas tidur pasien pasca operasi yang dirawat inap di rumah sakit adalah faktor lingkungan. Hasil penelitian Bukit (2005) menunjukkan bahwa dari 100 pasien yang dirawat di rumah sakit 77% memiliki kualitas tidur yang buruk disebabkan oleh faktor fisiologis seperti nyeri, faktor tindakan perawat, faktor psikologi seperti cemas, dan faktor lingkungan. Keadaan lingkungan yang mengganggu tidur klien adalah suara bising, suhu ruangan panas, tempat tidur tidak nyaman, dan lampu terlalu terang. Keadaan lingkungan yang kurang kondusif ini dapat mempengaruhi pelaksanaan terapi musik pada responden. Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas maka peneliti berasumsi bahwa ketika melakukan terapi musik klasik dalam keadaan tenang selama 15-30 menit selama tiga hari, pasien dapat memiliki kualitas tidur yang baik pasca operasi. Hal ini disebabkan oleh ketenangan dan rasa relaks yang diperoleh pasien saat mendengarkan musik yang diperlukan dalam pengaturan tidur. Sedangkan pada pasien yang masih memiliki kualitas tidur buruk sesudah dilakukan terapi disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya rasa nyeri, stres, lingkungan yang tidak nyaman, dan tidak melakukan terapi musik sesuai prosedur dan arahan. Penelitian tentang terapi musik klasik dapat memperbaiki kualitas tidur yang mana terlihat setelah dilakukan selama tiga hari dengan mendengarkan musik selama 15-30 menit secara teratur dan sesuai dengan prosedur terapi musik. Dengan demikian didapatkan hasil penelitian bahwa terapi musik klasik mempengaruhi kualitas tidur pasien pasca operasi di Ruangan Bedah RSUD Lubuk Sikaping Tahun 2016. 4. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tanggal 28 Juni sampai 13 Juli 2016 kepada 16 responden tentang Pengaruh Terapi Musik Klasik terhadap Kualitas Tidur Pasien Pasca Operasi di Ruangan Bedah RSUD Lubuk Sikaping Tahun 2016, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Responden rerata berusia 36,31 tahun, dengan jumlah laki-laki dan perempuan sama banyak, terdapat jumlah yang sama antara responden yang bekerja dengan tidak bekerja, LPPM STIKes Perintis Padang 105 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ dan lebih dari separuh tidak pernah mengalami operasi sebelumnya. 2. Rerata kualitas tidur responden sebelum dilakukan terapi musik klasik lebih dari separuh adalah buruk. 3. Rerata kualitas tidur responden sesudah dilakukan terapi musik klasik lebih dari separuh adalah baik. 4. Ada pengaruh terapi musik klasik terhadap kualitas tidur pasien pasca operasi di Ruangan Bedah RSUD Lubuk Sikaping tahun 2016 dengan p- value=0,000 (α = 0,05). 5. REFERENSI Bernadi, I. et al (2009). Dynamic Interactions between musical, cardiovascular, and Cerebral Rythm in Humans. Circulation. Buysse, D. et al (1989). The pittsburh sleep quality indeks: A new instrument for psychiatric practice and research. Psyciatric research. Ireland: Elsevier Scientific Publishers. Bukit (2005). Kualitas Tidur dan Faktor-Faktor Gangguan Tidur Klien Lanjut Usia yang Dirawat Inap di Ruang Penyakit Dalam Rumah Sakit, Medan. Jurnal Keperawatan Indonesia Volume 9. Campbell, D. (2002). Efek Mozart Bagi Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cronin et al., (2001). Postoperative Sleep Disturbance: Influences of Opioids and Pain in Humans. SLEEP. Vol 21 Djohan. (2006). Terapi Musik Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Galangpress. Hastomi, I. & Sumaryati, E., (2012). Terapi Musik. Jogjakarta: Javalitera. Heriana, Pelapiana. (2014). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Tanggerang: Binarupa Aksara. Hidayat, A.Aziz Alimul. (2008). Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. Kee, Joyce. L. & Hayes, Evelyn. R., (1996). Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC. Kozier et al. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik, Edisi 7, Volume 1. Jakarta: EGC Lanywati, E., (2001). Insomnia dan Gangguan Sulit Tidur. Jakarta: Kanisius. Mubarak, Wahit (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori & Aplikasi dalam praktik. Jakarta: EGC Mulier, J. & Baerdemaeker L. D. (2013). Postoperative sleep disturbances: a review and an observational study. Mies CRIVITS. Universiteit Gent Natalina, (2013). Terapi Musik Bidang Keperawatan. Jakarta: Mitra Wacana. Nurlela, S., Saryono, Yuniar, L., (2009). Faktorfaktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur Pasien Post Operasi Laparatomi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, volume 5 Potter, P.A., Perry, A.G., (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik, Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC Rafknowledge (2004). Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya. Jakarta: PT Alex Media Komputindo. Rosdalch, Caroline. B., (2012). Buku Ajar Keperawatan Dasar Edisi 10 Vol. 3. Jakarta: EGC. Sahanantya, A. R. (2014). Pengaruh Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Kualitas Tidur Pada Pasien Stroke di Rumah Sakit Pantiwilasa Citarum Semarang. Naskah Publikasi. Semarang. Smeltzer & Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 1. Jakarta: EGC. Suryana, Dayat. (2012) Terapi Musik. https://books.google.co.id/books Diakses pada tanggal 14 Maret 2016. Wang, Chun-Fang et al (2014). Music Therapy Improves Sleep Quality in Acute and Chronic Sleep Disorder. International Journal of Nursing Studies. Diakses pada tanggal 31 Maret 2016. WHO (2015). Size and Distribution of Global Volume of Surgery in 2012. Diakses Pada Tanggal 30 Maret 2016. Widyatuti. (2008). Terapi Komplementer dalam Keperawatan. Jurnal Keperawatan LPPM STIKes Perintis Padang 106 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Indonesia Volume 12, No. 1. Diakses pada tanggal 11 April 2016. LPPM STIKes Perintis Padang 107 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ PENGARUH MOBILISASI DINI TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI DAN INVOLUSIO UTERUS PADA IBU POST OPERASI SECTIO CAESAREA DI RUMAH SAKIT ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI 1 Lisa Fradisa1 , Windy Widiya 2 , Mera Delima 3 Program Studi Diploma III Keperawatan STIKes Perintis Padang Email : [email protected] 2 Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang 3 Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Abstract Mothers with sectio caesarea who directly perform early mobilization starting from bed rest to sit and stand-alone allows the mother to recover condition. Based on the preliminary sutdi get 60% of patients post sectio caesarea on the second day was still lying in bed. While doing an interview to the 10 respondents, researchers used a measuring device that pain Numerical Rating Scale obtained patients are still afraid to mobilize such as moving the body or legs. This study was aimed to discover the effect of Early Mobilization Against Decrease Pain Intensity And Involusio Uterus On Mother Post Surgery Sectio Caesarea Moechtar Achmad Hospital in 2016. The research method that is preexperimental design, this study uses one group pretest-posttest design. Samples were taken by accidental sampling, as many as 20 people. The research result showed that there is the effect of early mobilization of the reduction in pain intensity and involusio uterus, expected nurses and midwives in midwifery Space can apply early mobilization in overcoming pain and involusio uterus in patients post sectio caesarea. Keywords: early mobilization , pain intensity , involusio uterus 1. PENDAHULUAN Sectio caesarea adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500gr (Sarwono, 2009). Seperti yang diketahui bahwa sectio caesarea adalah satu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut (Mochatar, 1992). Indikasi medis ada dua faktor yang mempengaruhi yaitu faktor janin dan faktor ibu. Faktor janin terdiri dari bayi terlalu besar, kelainan letak, ancaman gawat janin, janin abnormal, faktor plasenta, kelainan tali pusat, dan bayi kembar, sedangkan pada faktor ibu terdiri dari usia, jumlah anak yang dilahirkan (paritas), tulang panggul, riwayat persalinan yang lalu dengan sectio caesarea. Survei data awal pada tanggal 5 Januari dari RSUD. dr. Achmad Moechtar Bukittinggi jumlah pasien dengan sectio caesarea dalam 1 tahun terakhir adalah sebanyak 370 persalinan. Berdasarkan sutdi pendahuluan di RSUD. dr. Achmd Moechtar Bukittinggi di dapatkan 60% pasien post sectio caesarea pada hari kedua masih berbaring di tempat tidur. Rasa nyeri bagian operasi sangat di rasakan. Saat melakukan wawancara kepada 10 pasien sectio caesarea, peneliti menggunakan alat pengukur nyeri yaitu Numerik Rating Scale (NRS) dimana diperoleh pasien masih takut untuk melakukan mobilisasi seperti menggerakkan badan atau kaki. Tingkat nyeri yang di ukur dengan NRS pada ibu post sectio caesarea berada pada nilai 6 sampai 7. Berdasarkan fenomena tersebut dan pentingnya mobilisasi dini untuk penyembuhan luka post sectio caesarea dan pemulihan kesehatan ibu. Alasan peneliti memilih judul tentang “pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan intensitas nyeri dan involusio uterus pada ibu post operasi caesarea di ruang kebidanan Rumah Sakit Achmad Moechtar Bukittinggi”. karena peneliti ingin mengetahui apakah ada pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan intensitas nyeri dan involusio uters LPPM STIKes Perintis Padang 108 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ pada ibu post operasi caesarea dan ingin mengetahui efek dari tidak melakukan mobilisasi dini.terhadap penurunan intensitas nyeri dan involusio uteri pada ibu Sectio Caesarea (SC) di ruang kebidanan Rumah Sakit Achmad Moechtar tahun 2016 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, metode penelitian yaitu pre eksperimental design, karena design ini belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh. Penelitian ini menggunakan one group pre test– post test design, yaitu mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek.digunakan uji statistik Paired test. Penelitian ini membahas tentang Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Dan Involusio Uters Pada Ibu Post Operasi Caesarea di Rumah Sakit Achmad Moechtar Tahun 2016. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pelaksanaan mobilisasi pada pasien post operasi sectio caesarea dan yang menjadi variabel dependen dalam penelitian ini adalah penurunan nyeri post operasi sectio caesarea dan penurunan involusio uterus. Penelitian ini menggunakan lembar observasi Mobilisasi, lembar observasi penurunan involusio Uterus, dan lembar observasi intensias nyeri sebagai alat ukur penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling dengan jumlah sampel sebanyak 20 orang dengan pembagian 10 orang kelompok control dan 10 orang kelompok kasus. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Febuari 2016. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Penelitian ini dilakukan pada tanggal 22 Febuari – 10 Maret 2016 dengan mengambil dan mengolah data dari lembar Observasi yang telah diisi oleh peneliti di Ruang Kebidanan RS Achmad Mochtar Bukittinggi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling dengan jumlah sampel sebanyak 20 orang. Desain penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, metode penelitian yaitu pre eksperimental design, karena design ini belum merupakan eksperimen sungguh- sungguh. Penelitian ini menggunakan one group pre test–post test design, yaitu mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Setelah seluruh data terkumpul selanjutnya dilakukan pengelolaan data, pemberian kode, memasukkan data ke komputer serta melakukan data untuk mengetahui distribusi frekuensi penurunan intensitas nyeri pada ibu post partum Sectio Caesarea (SC), distribusi frekuensi penurunan involusio uterus pada ibu post partum Sectio Caesarea (SC), pelaksanaan mobilisasi pada ibu post Sectio Caesarea (SC) dan pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan intensitas nyeri dan involusio uteri pada ibu Sectio Caesarea (SC).Analisa data dilakukan secara komputerisasi dengan perangkat statistik menggunakan uji Paired test pada derajat kemaknaan 95 %. 3.2. Pembahasan Analisa Univariat a. Hasil Nyeri Hasil univariat nyeri dapat dilihat dari 10 responden pasien observasi yang tidak dilakukan mobilisasi didapatkan hasil bahwa lebih dari separoh responden mengalami tingkat nyeri berat yaitu (90%). Sedangkan berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat dari 10 responden Kasus yang dilakukan mobilisasi diketahui bahwa lebih dari separoh responden mengalami tingkat nyeri sedang (60%) dan nyeri ringan (40%). Hasil penelitian Sumara, dkk (2013) dengan judul pengaruh mobilisasi dini terhadap penyembuhan luka post sectio caesarea dapat disimpulkan bahwa jumlah persalinan dengan tindakan sectio caesarea di RSUD sleman sebesar 51,3 % , penyembuhan luka post sectio caesarea pada ibu yang melakukan mobilisasi dini dengan pendampingan intensif sebesar 100%, penyebuhan luka post sectio caesarea pada ibu dengan melakukan mobilisasi dini rutin sebesar 88%. Potter dan Perry (2005) menyatakan nyeri di definisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya, sedangkan menurut Wartonah (2005), nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan bersifat sangat subyektif karena LPPM STIKes Perintis Padang 109 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Menurut analisis Hasil uji statistik pengaruh mobilisasi dini terhadap intensitas nyeri pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol menggunakan paired test, diperoleh nilai Sig. (2tailed) sebesar 0,001 yang lebih kecil dari α penelitian (0,05), yang berarti ada pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan intensitas nyeri luka post section caesarea di Ruang Kebidanan di RS. Achmad Mochtar Bukittinggi Pada penelitian ini ditemukan bukti bahwa terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan intensitas nyeri luka post section caesarea, sehingga diharapkan perawat dan bidan di Ruang Kebidanan dapat menerapkan mobilisasi dini dalam pengembangan managemen non farmakologis dalam mengatasi nyeri pasien post sectio caesarea sehingga dapat meningkatkan kenyamanan terhadap nyeri bagi pasien. b. Hasil Involusio Uterus Hasil univariat involusio uterus dapat dilihat dari 10 responden observasi didapatkan hasil bahwa lebih separoh responden mengalami penurunan involusio uterus yg kurang baik yaitu sebanyak (60%). Sedangkan berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat dari 10 responden kasus yang dilakukan mobilisasi diketahui bahwa semua responden mengalami penurunan involusio uterus yg baik sebanyak (100%). Involusio uterus adalah kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil baik dalam bentuk maupun posisi. Selain uterus, vagina, ligamen uterus dan otot dasar panggul juga kembali kek keadaan sebelum hamil. Apabila ligamen uterus dan otot dasar panggul tidak kembali kekeadaan sebelum hamil kemungkinan terjadinya prolaps semakin besar. Selama proses involusi, uterus menipis dan mengeluarkan lochea yang digantikan dengan endometrium baru. Setelah kelahiran bayi dan plasenta terlepas, otot uterus berkontraksi sehingga sirkulasi darah yang menuju uterus berhenti dan kejadian ini disebut dengan iskemia. Menurut analisis Hasil uji statistik pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan involusio uterus pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol menggunakan paired test, diperoleh nilai Sig. (2-tailed) sebesar 0,005 yang lebih kecil dari α penelitian (0,05), yang berarti ada pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan involusio uterus post section caesarea di Ruang Kebidanan di RS. Achmad Mochtar Bukittinggi Berdasarkan hasil penelitian di BLUD RS dr. H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin sebagian besar responden adalah melakukan mobilisasi dini yaitu sebanyak 34 responden (70.8%) dan yang paling sedikit adalah tidak melakukan mobilisasi dini yaitu sebanyak 14 responden (29.2%). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa responden yang melakukan mobilisasi lebih banyak jumlahnya dari pada responden yang tidak melakukan mobilisasi. Hal ini menunjukan banyak responden yang telah melakukan mobilisasi setelah melahirkan baik dengan persalinan SC 6 jam maupun persalinan normal 2 jam. Sedangkan pada penelitian ini peneliti melakukan observasi dengan menggunakan lembar observasi dan mengukur turun atau tidaknya tinggi fundus uteridengan membandingkan teori yang telah ada. Berdasarkan hasil penelitian di BLUD RS dr. H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin diketahui sebagian besar adalah terjadinya penurunan tinggi fundus uteri pada responden yaitu sebanyak 34 responden (70.8%) dan yang paling sedikit adalah tidak Mobilisasi Dini Dengan Penurunan Tinggi Fundus Uteri 21 terjadinya penurunan yaitu sebanyak 14 responden (29.2%). Menurut (Manuaba, 2008) mobilisasi dini/aktivitas segera, dilakukan segera setelah beristirahat beberapa jam setelah beranjak dari tempat tidur ibu postpartum, sedangkan involusi atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus berangsur – angsur akan mengecil sehingga pada akhir kala nifas besarnya seperti semula dengan berat 30 gram (Ambarwati dan Retna, 2009). Pada penelitian ini ditemukan bukti bahwa terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan involusio uterus post section caesarea, sehingga diharapkan perawat dan bidan di Ruang Kebidanan dapat menerapkan mobilisasi dini dalam pengembangan managemen non farmakologis dalam mengatasi masalah penurunan involsio uterus pasien post LPPM STIKes Perintis Padang 110 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ sectio caesarea sehingga dapat meningkatkan kenyamanan terhadap pasien. Analisa Bivariat Pengaruh Mobilisasi Terhadap Intensitas Nyeri Dan Penuruna Involusio Uterus Hasil analisa bivariat pengaruh mobilisasi dini terhadap intensitas nyeri dan penurunan involusio uterus dapat dilihat dari 10 responden observasi tanpa dilakukan mobilisasi di dapatkan 7 responden diketahui mengalami nyeri berat dan 6 responden diketahui mengalami involusio uterus yang kurang baik, sedangkan dari 10 responden kasus yang dilakukan mobilisasi di dapatkan 6 responden diketahui mengalami nyeri sedang dan 4 responden mengalami nyeri ringan, dan dari 10 responden yang dilakukan mobilisasi di dapatkan hasil bahwa semua responden mengalami involusio uterus yang baik. Hasil uji statistik Paired Test dengan diperoleh nilai p = 0,001 (p < 0,05). Dari nilai p tersebut dapat dijelaskan bahwa Ha di terima artinya ada pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan intenstias nyeri dan involusio uterus post section caesarea di RSUD. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016. Ibu bersalin dengan operasi sectio caesarea memiliki resiko tinggi karena dilakukan pembedahan dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau insisi transabdominal uterus, pasien dengan post operasi sectio caesarea akan merasakan nyeri. Rasa nyeri merupakan stressor yang dapat menimbulkan stress dan ketegangan dimana individu dapat berespon secara biologis dan prilaku yang menimbulkan respon fisik dan psikis. Respon fisik meliputi perubahan keadaan umum, wajah, denyut nadi, pernafasan, suhu badan, sikap badan, dan apabila nafas semakin berat dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan syok, sedangkan respon psikis akibat nyeri dapat merangsang respon stress yang dapat mengurangi sisitem imun dalam peradangan, serta menghambat penyembuhan respon yang lebih parah akan mengarah pada ancaman merusak diri sendiri (Orwin,2006) Nyeri merupakan kejadian yang tidak menyenangkan, mengubah gaya hidup dan kesejahteraan individu. Potter dan Perry (2005) menyatakan nyeri di definisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya, sedangkan menurut Wartonah (2005), nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan bersifat sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Ibu dengan indikasi sectio caesarea yang langsung melakukan mobilisasi dini yang dimulai dengan tirah baring hingga duduk dan berdiri sendiri memungkinkan ibu memulihkan kondisinya dan ibu bisa segera merawat anaknya. Selain itu perubahan yang terjadi pada ibu pasca sectio caesarea akan cepat memulihkan kontraksi uterus (invousio terus) dengan terjadinya penurunan tinggi fundus uterus, mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, dengan mobilisasi sirkulasi darah normal atau lancar sehingga resiko terjadinya trombosis dan tromboemboli dapat di hindarkan(Fefendi,2008). Analisis peneliti responden yang tidak melakukan mobilisasi dini mengalami nyeri berat dan jugan involusio uterus yang kurang baik dikarenakan Mobilisasi dini pada ibu yang mengalami sectio caesarea berguna untuk mencegah tromboemboli, kekakuan otot, pembedahan, melancarkan siklus peredaran darah dan mencegah terjadinya perdarahan (Manuaba, 2004). Bila tidak melakukan mobilisasi dengan segera maka akan terjadi peningkatan suhu tubuh karena adanya involusio uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan dan menyebabkan infeksi, kontraksi uterus tidak baik meyebabkan terjadinya perdarahan karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah terbuka. Selain itu pada responden yang dilakukan mobilisasi dini mengalami nyeri sedang dan juga ringan. Ibu dengan indikasi sectio caesarea yang langsung melakukan mobilisasi dini yang dimulai dengan tirah baring hingga duduk dan berdiri sendiri memungkinkan ibu memulihkan kondisinya dan ibu bisa segera merawat anaknya. Selain itu perubahan yang terjadi pada ibu pasca sectio caesarea akan cepat LPPM STIKes Perintis Padang 111 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ memulihkan kontraksi uterus (invousio terus) dengan terjadinya penurunan tinggi fundus uterus. 4. KESIMPULAN Pada penelitian disimpulkan bahwa terdapat pengaruh mobilisasi dini dari penurunan intensitas nyeri dan involusio uterus pada ibu post operasi sectio caesarea. 5. REFERENSI Andarmoyo, S.(2013). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri, Yogyakarta: ArRuzz Anonymous.(2007). Angka kejadian sectio caesarea di indonesia menurut data survey nasional. jakarta Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian : suatu pendekatan praktek edisi revisi VI jakarta : rineka cipta. Aritonang, I . (2000). Pemantauan pertumbuhan balita. Jakarta : PT. Kanisius. Arum, R(2011). Hubungan mobilisasi dini dengan intensitas nyeri ibu post sectio caesarea di RSUD Dr. Haryoto lumajang. Jurnal kesehatan, Universitas Brawijaya Malang. Astutik, P. (2014). Mobilisasi terhadap penurunan tingkat nyeri ibu post operasi Sectio Caesarea di care unit ruang post anastesi RSUD dr. Harjono Ponorogo.jurnal kesehatan STIKes Satria Bakti Nganjuk, vol.1 No. 1, juni 2014 Carpenito, L, J.(2009). Diagosis keperawaatan, aplikasi pada praktek klinis : edisi 9. Jakarta : EGC Corwin, E.J. (2006). Patofisiologi. Jakarta : EGC Cunningham, F.G.caark, S.L, hankins, G. D. V, gillstrap, L.C. Mc. Donald, P.C, norman. Et. Al. (2006). Obstertri william, Edisi : 21, Vol : 1. Jakarta : EGC Kasdu,D(2005) operasi casarea masalah dan solusinya, Puspa Swara, jakarta Manuaba, I.B.G (2004) Kapita Selecta Pelaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi Dan KB. Jakarta : EGC Nursalam. (2011). Konsep Dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Novita, S. (2010). Gambaran Kasus Persalinan Seksio Sesarea Ruang Bakung Timur RSUP: Sanglah Denpasar Potter dan perry. (2005). Fundamental Keperawatan : konsep proses dan praktek jakarta : EGC Sari. N. D (2010 )dengan judul Gambaran Faktor-Faktor Yang Mempengerahui Mobilisasi Dini Pada Ibu Postpartum Sectio Caesarea di Rumah Sakit Umum Daerah Sigli. Jurnal kesehatan, Universitas Kesehatan Smeltzer dan bare (2005). Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC Sumara, DKK (2014). Pengaruh mobilisasi dini terhadap penyembuhan Luka Post Operasi Sectio Caesarea di RSUD.Sleman. jurnal ilmiah kesehatan diagnosis volume 4 nomor 5 tahun 2014 Wartonah dan Tarwoto (2006). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses. UI LPPM STIKes Perintis Padang 112 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ EFEKTIFITAS METODA HIDROLISIS ASAM DAN METODA ENZIMATIK UNTUK PEMBUATAN BIOETANOL DARI LIMBAH KULIT UBI JALAR (Ipomoea batatas L) Betti Rosita Prodi DIV Teknologi Laboratorium Medik Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis Padang Email: [email protected] Abstract Bioethanol is an alternative energy source and a renewable fuel that is more secure and environmentally friendly. One example is the raw material for making bietanol residual waste processing foodstuffs such as sweet potato skin. This sweet potato peel waste can be used as raw material for bioethanol production because it contains starch, cellulose, hemicellulose, lignin and sugar. The formation process of bioethanol from starch through two stages by the hydrolysis and fermentation. The method for determining levels of ethanol produced in this study to determine differences in levels of ethanol produced by the method hodrolisis acid and enzymatic hydrolysis. In this study testing the effectiveness of the two methods with the parameters of the fermentation time, variations in the volume of the enzyme is added as well as variations in the concentration of this experimental asam. This research was experimental study to determine levels of bioethanol produced from sweet potato skin waste treatment. The results showed for the method of acid (HCL) ethanol content 4.1% glucose produced by 8.9% and the concentration of 0,6M HCL optimum fermentation time on the 6th day, while for the enzymatic method ethanol content of 5.6%, glucose 15.5% and a volume of 2 ml enzyme optimum fermentation time on the 2nd day. It can be concluded that the method is more effective enzymatic hydrolysis to produce ethanol than the acid hydrolysis method (HCL) from sweet potato skin waste Keywords: Kulitubi sweet, acid hydrolysis, enzymatic hydrolysis, fermentation, bio-ethanol. 1. PENDAHULUAN Bioetanol merupakan sumber energi alternatif dan suatu bahan bakar terbarukan yang lebih aman dan ramah lingkungan. Pembuatan bioetanol umumnya menggunakan bahan yang mengandung karbohidrat tinggi seperti umbi– umbian contohnya ubi jalar. Sementara limbah dari ubi jalar sendiri dibiarkan terbuang dan membusuk. Untuk itu pembuatan bioetanol dari kulit ubi jalar ini menjadi alternatif selain menangani permasalahan dilingkungan dapat pula menangani kelangkaan bahan bakar di Indonesia karena semakin menipisnya bahan bakar fosil yang merupakan bahan utama pembuat bahan bakar selama ini Salah satu contoh bahan baku pembuatan bietanol adalah limbah sisa pengolahan bahan makanan seperti kulit ubi jalar. Limbah kulit ubi jalar ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol karena mengandung pati, selulosa, hemiselulosa, lignin dan gula. Proses pembentukan bioetanol dari pati melalui dua tahap yaitu dengan proses hidrolisis dan fermentasi. Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel pada keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Fermentasi merupakan suatu kegiatan peng-uraian bahan-bahan karbohidrat yang tidak menimbulkan bau busuk dan menghasilkan gas karbondioksida. Hidrolisis merupakan proses dimana pati dikonversi menjadi glukosa dengan katalisis enzim α-amilase. Hal ini bertujuan untuk memecah selulosa dan hemiselulosa menjadi monosakarida (glukosa dan xylosa) yang kemudian difermentasi menjadi etanol. Hidrolisis asam adalah hidrolisis yang menggunakan asam yang dapat mengubah polisakarida (pati) menjadi glukosa, asam yang dipakai biasanya adalah asam klorida, asam sulfat, asam nitrat dan asam perklorat. Hidrolisa selulosa merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menghasilkan glukosa. LPPM STIKes Perintis Padang 113 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Metoda penentuan kadar etanol yang dihasilkan pada penelitian ini untuk mengetahui perbedaan kadar etanol yang dihasilkan dengan menggunakan metoda hodrolisis asam dan hidrolisis enzimatis. Pada penelitian ini dilakukan pengujian efektifitas kedua metoda tersebut dengan parameter waktu fermentasi, variasi volume enzim yang ditambahkan serta variasi konsentrasi asam. Bioetanol Bioetanol adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Rumus molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O atau rumus bangunnya CH3-CH2OH. Bioetanol tidak berwarna dan tidak berasa tetapi memiliki bau yang khas. Bahan ini dapat memabukkan jika diminum. Karena sifatnya yang tidak beracun bahan ini banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri makanan dan minuman (Khairani dalam Setiawati et al., 2013).Bioetanol dapat juga diartikan juga sebagai bahan kimia yang diproduksi dari bahan pangan yang mengandung pati, seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu. Bioetanol merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak premium (Khairani dalam Setiawati et al., 2013). Menurut Khairani, 2007 bahan baku pembuatan bioetanol ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: a. Bahan sukrosa Bahan-bahan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain nira, tebu, nira nipati, nira sargum manis, nira kelapa, nira aren, dan sari buah mete. b. Bahan berpati Bahan-bahan yang termasuk kelompok ini adalah bahan-bahan yang mengandung pati atau karbohidrat. Bahan-bahan tersebut antara lain tepung-tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lain-lain. c. Bahan berselulosa (lignoselulosa ) Bahan berselulosa (lignoselulosa) artinya adalah bahan tanaman yang mengandung selulosa (serat), antara lain kayu, jerami, batang pisang, dan lain- lain. Berdasarkan ketiga jenis bahan baku tersebut, bahan berselulosa merupakan bahan yang jarang digunakan dan cukup sulit untuk dilakukan. Hal ini karena adanya lignin yang sulit dicerna sehingga proses pembentukan glukosa menjadi lebih sulit (Khairani, 2007). Bioetanol merupakan proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat (pati) menggunakan bantuan Sacharomyces serevisiae. Produksi bioetanol dari tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) dengan beberapa metode diantaranya dengan hidrolisis asam atau enzim. Metode hidrolisis secara enzimatis lebih sering digunakan karena lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan katalis asam. Glukosa yang diperoleh selanjutnya dilakukan proses fermentasi dengan menambahkan ragi sehingga diperoleh bioetanol sebagai sumber energi (Pudjaatmaka dan Qodratillah, 1999). Mikroorganisme yang digunakan adalah Saccharomycess ceriviceae. Manusia memanfaatkan Saccharomyces cereviceae untuk melangsungkan fermentasi, baik dalam makanan maupun dalam minuman yang mengandung alkohol. Jenis mikroba ini mampu mengubah cairan yang mengandung gula menjadi alkohol dan gas CO2 secara cepat dan efisien (Sudarmadji et al., 1989). Fermentasi Fermentasi merupakan kegiatan mikrobia pada bahan pangan sehingga dihasilkan produk yang dikehendaki. Mikrobia yang umumnya terlibat dalam fermentasi adalah bakteri, khamir dan kapang. Contoh bakteri yang digunakan dalam fermentasi adalah Acetobacter xylinum pada pembuatan nata decoco, Acetobacter aceti pada pembuatan asam asetat(Winarno dalam Nababan, 2013). Secara umum proses fermentasi alkohol terjadi dari pemecahan karbohidrat melalui suatu degradasi dari monosakarida yaitu glukosa menjadi asam piruvat. Asam piruvat ini selanjutnya akan dirombak menjadi etanol dan juga CO2 yang biasanya berlangsung melalui proses oksidasi reduksi dengan menggunakan DNPH+H+ sebagai donor elektron (Winarno dalam Nababan, 2013). Konsentrasi alkohol dari hasil fermentasi dipengaruhi beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja dari mikroorganisme. pH optimum pada proses fermentasi berkisar antara LPPM STIKes Perintis Padang 114 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 4.5–5 dimana ketika pH di bawah atau di atasnya maka akan mempengaruhi efektivitas enzim yang dihasilkan mikroorganisme dalam membentuk kompleks enzim substrat. Selain itu dapat menyebabkan terjadinya denaturasi sehingga menurunkan aktivitas enzim (Poedjiadi et al., 2006). Enzim Selulosa Selulase dapat diproduksi oleh fungi, bakteri, dan ruminansia. Produksi enzim secara komersial biasanya menggunakan fungi atau bakteri. Fungi yang bisa menghasilkan selulase antara lain genus Tricoderma, Aspergillus, dan Penicillium. Jenis fungi yang biasa digunakan dalam produksi selulase adalah Aspergillus niger (Ikram et al., 2005). Selulase merupakan salah satu enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Enzim selulase memegang peranan penting dalam proses biokonversi limbah-limbah organik berselulosa menjadi glukosa, protein sel tunggal, makanan ternak, etanol dan lain-lain (Chalal dalam Saropah et al., 2012). Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam atau enzim. Hidrolisis menggunakan asam biasanya dilakukan pada temperatur tinggi. Proses ini relatif mahal karena membutuhkan energi yang cukup tinggi. Baru pada tahun 1980-an mulai dikembangkan hidrolisisselulosa dengan menggunakan enzim selulase (Coraldalam Sa’adah et al.,2010). Saccharomyces cereviseae Saccharomyces adalah genus dalam kerajaan jamur yang mencakup banyak jenis ragi. Saccharomyces adalah dari berasal dari bahasa Latin yang berarti gula jamur. Saccharomyces merupakan mikroorganisme bersel satu tidak berklorofil, termasuk termasuk kelompok Eumycetes. Tumbuh baik pada suhu 30oC dan pH 4.8 (Diplanga, 2012). Beberapa kelebihan Saccharomyces dalam proses fermentasi yaitu mikroorganisme ini cepat berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap suhu yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat mengadakan adaptasi. Pertumbuhan Saccharomyces dipengaruhi oleh adanya penambahan nutrisi yaitu unsur C sebagai sumber karbon, unsur N yang diperoleh dari penambahan urea, amonium dan pepton, mineral dan vitamin. Suhu optimum untuk fermentasi antara 28–30oC (Diplanga, 2012). Hidrolisis Enzimatik Hidrolisis adalah reaksi kimia antara air dengan suatu zat lain yang menghasilkan satu zat baru atau lebih dan juga dekomposisi suatu larutan dengan menggunakan air. Proses ini melibatkan pengionan molekul air ataupun peruraian senyawa yang lain (Pudjaatmaka dan Qodratillah 1999). Hidrolisis merupakan tahapan selanjutnya dalam pembuatan etanol berbahan baku lignosellulosa. Hal ini bertujuan untuk memecah selulosa dan hemiselulosa menjadi monosakarida (glukosa dan xylosa) yang kemudian akan difermentasi menjadi etanol (Nababan, 2013). Reaksi Hidrolisis: (C6H10O5)n + n H2O nC6H12O6 Polisakarida/selulosaAir Glukosa Reaksi antara air dan pati berlangsung sangat lambat sehingga diperlukanbantuan katalisator untuk memperbesar kereaktifan air. Katalisator bisa berupaasam maupun enzim(Groggins dalam Retno et al., 2011). Hidrolisis Asam Hidrolisis asam adalah hidrolisis yang menggunakan asam yang dapat mengubah polisakarida (pati) menjadi glukosa, asam yang dipakai biasanya adalah asam klorida, asam sulfat, asam nitrat dan asam perklorat. Hidrolisa selulosa merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menghasilkan glukosa. Reaksi hidrolisa menurut Fachry et al. (2013) yaitu: Didalam metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dipapar-kan dengan asam pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu, dan menghasilkan monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Hidrolisis asam dapat dikelompokkan menjadi hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer (Taherzadeh & Karimi dalam Shofiyanto, 2008). 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat eksperimen untuk mengetahui efektifitas metoda hidrolisis asam dan metoda enzimatik untuk pembuatan bioetanol dari limbah kulit ubi jalar. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Autoclave, Waterbath Shaker,jarum ose, neraca LPPM STIKes Perintis Padang 115 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ analitik, lampu spritus, buret 50 mL, corong, blender, erlenmeyer 250 mL, erlenmeyer 500 mL, erlenmeyer tutup asah 100 mL, beaker glass 250 mL, neraca analitik, autoclave, buret 50 mL, standard dan klem, corong , hot plate, labu ukur 50 mL, labu ukur 100 mL, labu ukur 200 mL, labu ukur 250 mL, labu ukur 500 mL, labu ukur 1 L, kondenser volume, pipet gondok 10 mL, pipet gondok 25 mL, gelas ukur 50 mL, pipet takar 10 mL, pipet tetes, stopwatch, labu destilasi, density hydrometer, thermometer, slang, vakum, pH meter. 2.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kulit ubi jalar, Roti berjamur, Yeast Saccaromyces cerevisiae, Aquadest, NaCl Fisiologis steril, kertas saring, kapas, etanol 96 %, nutrisi urea 0.03 gr, MgSO4.7H2O 0.005 mL, KH2PO4 0.0023 gr, reagen NaOH 0.1 M, Larutan Luff-Schoorl(Na2CO3 anhidrat, Asam sitrat, CuSO4.5H2O), batu didih, Natrium thio sulfat (Na2S2O3) 0.1 N, H2SO4 25 % , amilum 0.5 %, larutan KI 20 %, (NH4)2HPO4 10 %, Pb Asetat, KIO3 0.1 N, kertas pH universal, Alumunium foil, batu didih, karet gelang.HCl pa, air suling (aquades) 2.2. Prosedur Kerja metoda hidrolisis enzimatik 1) Penanaman Aspergillus niger Panaskan ujung kawat ose pada api bunsen sampai berwarna merah, setelah itu tanam jamur roti ke media PDA (Potato Dextrose Agar) dengan teknik empat sektor. Inkubasi pada suhu 30 0C selama 3 x 24 jam. 2) Penyimpanan Inokulum Celupkan ujung ose ke dalam etanol 96 % lalu dipanaskan pada api bunsen sampai berwarna merah. Setelah itu, biakan Aspergillus niger dari media PDA diambil dengan menggunakan kawat ose tersebut dan dicelupkan beberapa saat pada media cair hingga tampak keruh. Selanjutnya media cair ditutup dengan kapas dan diinkubasi pada suhu ± 300C selama 24 jam. 3) Produksi Enzim Selulase Dalam Media Cair Padat Kulit Ubi Jalar dicacah dan dikeringkan kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender. Setelah itu, timbang 20 gram kulit ubi jalar dan masukkan kedalam beacker glass 250 mL dan tambahkan nutrisi urea 0.03 gr, MgSO4.7H2O 0.005 gr, KH2PO4 0.0023 gr.Tambahkan 80 ml aquadest kemudian media disterilkan didalam autoclave pada suhu 1200C selama 15 menit. Media yang telah disterilkan kemudian didinginkan.Setelah media dingin, suspensi spora Aspergillus niger ditambahkan sebanyak 10 ml pada media tersebut. Selanjutnya, media diinkubasi pada suhu ± 300C dengan waktu fermentasi selama 96 jam. 4) Pengambilan Enzim Hasil fermentasi diestrak dengan aquadest sebanyak 100 ml lalu diletakkan pada waterbath shaker 150 rpm selama 1 jam. Selanjutnya cairan hasil fermentasi dipisahkan dengan menggunakan kertas saring hingga didapatkan enzim selulosa.Enzim yang diperoleh kemudian disimpan di lemari pendingin dan siap digunakan. 5) Pembuatan Bioetanol Menurut Fachry et al. (2013) prosedur kerja untuk penentuan waktu fermentasi optimum terhadap persentase etanol dan penentuan persentase etanol optimum terhadap variasi volume enzim adalah sebagai berikut : 6) Pretreatment Kulit Ubi Jalar Limbah kulit ubi jalar dibersihkan dan dikeringkan dengan suhu ruangan. Kemudian limbah kulit ubi jalar yang sudah kering dihaluskan menggunakan blander dalam bentuk bubuk. 7) Proses Delignifikasi Bubuk kulit ubi jalar ditimbang dengan neraca analitik masing-masing 20 gram, lalu masukan kedalam 5 buah erlenmeyer 500 mL.Tambahkan 200 mL NaOH 0.1 M kedalam masing-masing erlenmeyer tersebut, tutup erlenmeyer dengan kapas dan aluminium foil serta ikat menggunakan karet. Kemudian dipanaskan dalamautoclave pada suhu 121oC dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.Bubur hasil delignifikasi dicuci menggunakan aquadest beberapa kali dengan cara disaring hingga pHnya netral. 8) Proses Hidrolisis Enzimatik Untuk penentuan waktu fermentasi optimum terhadap persentase etanol, bubur hasil delignifikasi ditambah enzim selulosa sebanyak LPPM STIKes Perintis Padang 116 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 6 mL. Sedangkan untuk penentuan persentase etanol optimum terhadap variasi volume enzim, bubur hasil delignifikasi ditambah enzim dengan variasi volume 2 mL, 4 mL, 6 mL, 8 mL, 10 mL. Erlenmeyer tersebut ditutup dengan kapas dan alumunium foil lalu diikat dengan karet kemudian diletakkan di waterbath shacker kecepatan 160 rpm selama 24 jam. 9) Proses Fermentasi Bubur hasil hidrolisis diatur pH-nya menjadi 4-5. Ditambahkan 2 gram Saccaromyces cereviciae dan 0.2 gram nutrient (urea) dan dihomogenkan. Setelah itu ditutup erlemeyer dengan kapas dan alumunium foil lalu diikat dengan karetyang berisi bubur kulit ubi jalar. Selanjutnya larutan difermentasi selama 2 hari, 4 hari, 6 hari, 8 hari dan 10 hari (sesuai dengan perlakuan) untuk penentuan waktu fermentasi optimum terhadap persentase etanol. Sedangkan penentuan persentase etanol optimum terhadap variasi volume enzimlarutan difermentasi selama waktu optimum fermentasi yang telah didapatkan (sesuai dengan perlakuan). Selanjutnya memisahkan larutan dengan bubur kulit ubi jalar sehingga diperoleh cairan alkohol dan air. 2.3. Prosedur kerja metoda asam 1) Pembuatan Bioetanol Menurut Fachry et al. (2013) penentuan waktu fermentasi optimum terhadap persentase etanol dan penentuan persentase etanol optimum terhadap variasi konsentrasi asam (HCl) adalah sebagai berikut : 2) Proses Hidrolisis dengan Asam HCl Untuk penentuan waktu fermentasi optimum terhadap persentase etanol, bubur hasil delignifikasi ditambah 200 mL HCl dengan konsentrasi 0.6 M. Sedangkan untuk penentuan persentase etanol optimum terhadap variasi konsentrasi asam (HCl), bubur hasil delignifikasi ditambah 200 mL HCl dengan variasi konsentrasi 0.2, 0.4, 0.6, 0.8 dan 1 M. Erlenmeyer tersebut ditutup dengan kapas dan alumunium foil lalu diikat dengan karet kemudian dipanaskan dalam autoclave pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 atm selama 60 menit dan bubur kulit ubi jalar didinginkan. 3) Proses Fermentasi Bubur hasil hidrolisis diatur pH-nya menjadi 4-5. Ditambahkan 2 gram Saccaromyces cereviciae dan 0.2 gram nutrient (urea) dan dihomogenkan. Setelah itu ditutup erlemeyer dengan kapas dan alumunium foil lalu diikat dengan karetyang berisi bubur kulit ubi jalar. Selanjutnya larutan difermentasi selama 2 hari, 4 hari, 6 hari, 8 hari dan 10 hari (sesuai dengan perlakuan) untuk penentuan waktu fermentasi optimum terhadap persentase etanol. Sedangkan penentuan persentase etanol optimum terhadap variasi konsentrasi asam (HCl) larutan difermentasi selama waktu optimum fermentasi yang telah didapatkan (sesuai dengan perlakuan). Selanjutnya memisahkan larutan dengan bubur kulit ubi jalar sehingga diperoleh cairan alkohol dan air. 4) Proses Destilasi Merangkai dan menyalakan peralatan destilasi dengan benar. Cairan hasil fermentasi lalu dimasukkan kedalam labu destilasi.Temperatur pemanas dijaga pada suhu 68 oC. Proses destilasi dilakukan selama 1.5–2 jam sampai etanol tidak menetes lagi. Mengukur destilat (etanol) yang dihasilkan. 5) Penentuan Kadar Etanol Etanol hasil fermentasi diukur kadar etanolnya menggunakan density hydro-meter. 6) Penentuan Kadar Glukosa (SNI 01-28921992) Penentuan kadar glukosa berdasarkan SNI 01-2892-1992 adalah sebagai berikut : Timbang seksama 2 gram sampel kulit ubi jalar kemudian langsung keproses delignifikasi dan hidrolisis. Setelah itu langsung ke perlakuan pemeriksaan kadar glukosa. Masukan bubur hasil hidrolisis kedalam labu ukur 250 mL tambahkan sedikit aquadest dan homogenkan. Tambahkan 5 mL Pb Asetat setengah basa (10 %) dan goyangkan. Teteskan 1 tetes larutan (NH4)2HPO4 10 % (bila timbul endapan putih maka penambahan Pb Asetat setengah basa (10 %) sudah cukup). Tambahkan 15 mL larutan (NH4)2HPO4 10 % untuk menguji apakah Pb Asetat setengah basa (10 %) sudah diendapkan seluruhnya dan teteskan 1-2 tetes (NH4)2HPO4 10 %, apabila tidak timbul endapan berarti penambahan (NH4)2HPO4 10 % sudah cukup. Goyangkan dan tepatkan isi labu ukur sampai LPPM STIKes Perintis Padang 117 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Metoda Enzimatik Penentuan Waktu Fermentasi Optimal Terhadap Persentase Etanol Pada Gambar 1. menggambarkan hasil dari pengukuran kadar Etanol dengan menggunakan alat Density Hydrometer dalam variasi waktu. 6 5.6 Etanol (%) tanda garis dengan aquadest, homogenkan 12 kali biarkan dan saring. Pipet 10 mL larutan hasil penyaringan dan masukan ke dalam erlenmeyer 500 mL. Tambahkan 15 mL aquadest dan 25 mL larutan luff schoorl (dengan pipet gondok) serta beberapa butir batu didih. Pasang kondensor volume pada mulut erlenmeyer dan lakukan refluk, waktu 3 menit sudah mendidih. Panaskan terus menerus 10 menit (pakai stopwatch) kemudian angkat dan segera dinginkan dalam bak berisi air (jangan digoyang). Setelah dingin tambahkan 10 mL larutan KI 20 % dan 25 mL larutan H2SO4 25 % (hati-hati terbentuk gas CO2). Titrasi dengan larutan natrium thio sulfat 0.1 N (hingga kuning gading) tambahkan larutan amilum 0.5 % sebagai indikator dan titrasi kembali dengan natrium thio sulfat 0.1 N (hingga Titik Akhir Titrasi ditandai dengan hilangnya warna biru) dicatat sebagai V1. Kerjakan penetapan blanko dengan 25 mL air dan 25 mL larutan luff schoorl dicatat sebagai V2. 5 4.8 4.8 4.1 4 4.1 3 0 2 4 6 8 10 Waktu Fermentasi (Hari) 12 Gambar 1. Waktu Fermentasi Optimal Terhadap Persentase Etanol Dari gambar diatas didapatkan hasil yaitu waktu optimum untuk mendapatkan kadar etanol sebanyak-banyaknya dalam waktu yang lebih cepat (optimum) yaitu pada waktu 2 hari karena Rumus Persentase Gula berdasarkan SNI 01- dalam waktu 2 hari saja sudah didapatkan kadar 2892-1992 yaitu : etanol sebesar 5.6 % sedangkan pada 4 hari dan W1 x fp 6 hari didapatkan kadar etanol yang sama yaitu Persentase Gula sebelum inversi= x 100 %4.8 % dan pada 8 hari dan 10 hari didapatkan W Keterangan : kadar etanol yang sama yaitu 4.1 %. Terlihat W1 = glukosa, mg (tabel luff school) bahwa semakin lama waktu fermentasi maka (V2-V1) x N Thio semakin berkurang kadar etanolnya karena mg glukosa= setelah kondisi optimum tercapai, kadar 0.1N bioetanol yang diperoleh menurun dan apabila Fp = faktor pengenceran proses fermentasi tetap dilanjutkan maka W = Bobot sampel (mg) bioetanol yang dihasilkan cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena substrat yang dikonversi menjadi produk oleh mikroorganisme telah habis (Pramita et al., 2014). Pada gambar diatas nampak bahwa pada hari keempat terjadi penurunan kadar etanolnya. Penentuan Volume Optimal Enzim Terhadap Persentase Etanol Setelah diketahui waktu optimum dari pembuatan bioetanol dengan metoda hidrolisis enzimatik dan fermentasi ini maka dilakukan variasi volume enzim untuk mengetahui berapa volume enzim yang paling optimum untuk mendapatkan kadar etanol. Pada gambar 2. menggambarkan hasil dari pengukuran kadar LPPM STIKes Perintis Padang 118 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 6 5.6 5.6 Etanol (%) 5.5 5 4.8 4.8 4.8 4.5 4 0 5 10 Volume Enzim (mL) 15 Glukosa (%) Gambar 2. Volume Optimal Enzim Terhadap Persentase Etanol Dari gambar diatas didapatkan hasil yaitu volume enzim maksimal pada waktu fermentasi 2 hari yaitu 4 mL dan 2 mL. Pada hasil diatas didapatkan persentase yang kebanyakan sama persentasenya karena alat Density Hydrometer hanya membaca berat jenis cairan tiga angka dibelakang koma sehingga persentasenya pun hanya satu angka dibelakang koma dan hasilnya bisa dikatakan sama. Penentuan Kadar Glukosa Hal lain yang mempengaruhi kadar etanol yaitu glukosa, maka pada penelitian ini setelah didapatkan variasi waktunya maka dilakukan pengerjaan penentuan kadar glukosanya. Penentuan kadar glukosa dilakukan setelah tahapan hidrolisis enzimatik dengan menggunakan metode Luff-schoorl. Pada gambar menunjukkan kadar glukosa dalam waktu 2 hari (waktu optimum). 18 16 14 12 10 8 15.59 14.00 12.1311.69 10.95 0 5 10 Volume Enzim (mL) 15 Gambar 3. Pengaruh kadar Glukosa terhadap Volume Enzim Dari Gambar 3. dapat terlihat bahwa persentase kadar glukosa yang tertinggi pada waktu fermentasi 2 hari dengan volume enzim 2 mL yaitu 15.59. Sedangkan persentase terendah pada volume enzim 10 ml yaitu 10.95. Ini menunjukkan bahwa semakin besar volume enzim yang ditambahkan maka kadar glukosanya semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh proses hidrolisis yang dilakukan oleh mikroorganisme untuk memecah selulosa menjadi glukosa mulai berkurang (Seftian et al., 2012). Hubungan Persentase Etanol dengan Persentase Glukosa pada Limbah Kulit Ubi Jalar % Kadar (Etanol dan Volume Enzim) Etanol dengan menggunakan alat Density Hydrometer dalam variasi Volume Enzim. 18 16 15.59 14 14.00 12.13 11.69 10.95 12 10 % Etanol 8 5.65.6 4.84.84.1 6 4 % Glukosa 2 0 10 20 Volume Enzim (ml) Gambar 4. Hubungan Persentase Etanol dengan Persentase Glukosa pada Variasi Volume Enzim dalam Waktu Optimum Fermentasi yaitu 2 Hari Dari Gambar 4. diatas dapat dilihat bahwa kadar glukosa mempengaruhi banyaknya persentase etanol yang dihasilkan karena semakin tinggi kadar glukosa yang dihasilkan maka etanol yang terbentuk semakin banyak, karena bahan yang akan difermentasi menjadi etanol adalah glukosa (Dilaplanga, S, et al., 2012), begitupun sebaliknya apabila glukosa sedikit akan mengakibatkan sedikit pula yang diubah menjadi etanol. Pada Gambar 4.4 diatas kadar glukosa terbanyak pada volume enzim 2 ml pada waktu fermentasi 2 hari yaitu sebanyak 15.59 % dengan kadar etanolnya 5.6 % dan kadar glukosa paling sedikit pada volume enzim 10 ml didapatkan kadar glukosa 10.95 % dengan kadar etanolnya 4.1 %. LPPM STIKes Perintis Padang 119 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 5 Kadar Etanol (%) 3.2. Metoda Asam Penentuan Waktu Fermentasi Optimum terhadap Persentase Etanol Pada Gambar 5 menggambarkan hasil dari pengukuran kadar etanol menggunakan alat Density Hydrometer dengan variasi waktu fermentasi pada konsentrasi asam (HCl) 0.6 M terhadap 20 g sampel kulit ubi jalar. 4.1 4 3.4 3.4 3.4 2.7 3 2 0.2 0.4 0.6 0.8 Konsentrasi HCl (M) 1 Kadar Etanol (%) 5 4.1 4 3 3.4 2.7 3.4 2.7 2 2 4 6 8 10 Waktu Fermentasi (Hari) Gambar 5. Waktu fermentasi optimum terhadap persentase etanol Berdasarkan gambar di atas didapatkan waktu fermentasi optimum terhadap persentase etanol yaitu pada hari ke-6 menghasilkan persentase etanol 4.1%. Dapat dijelaskan bahwa semakin lama waktu fermentasi maka, semakin tinggi persentase etanol yang dihasilkan. Disebabkan karena semakin lama waktu fermentasi maka, semakin banyak glukosa yang tereduksi menjadi alkohol terutama etanol tetapi terdapat batas maksimum aktivitas mikroba. Pada penelitian ini terdapat penurunan kadar etanol, sehingga penelitian ini sudah mencapai kondisi optimum dan jika fermentasi sudah mencapai waktu optimum maka, persentase etanol yang dihasilkan semakin berkurang (Fachry et al., 2013). Penentuan Persentase Etanol Optimum terhadap Variasi Konsentrasi Asam (HCl) Pada Gambar 6menggambarkan hasil dari pengukuran kadar etanol dengan variasi konsentrasi asam (HCl)terhadap 20 g sampel kulit ubi jalar yang difermentasi selama 6 hari. Gambar 6. Konsentrasi optimum asam (HCl) terhadap persentase etanol Berdasarkan gambar di atas bahwa konsentrasi optimum asam (HCl) terhadap persentase etanol pada waktu fermentasi 6 hari yaitu konsentrasi asam (HCl) 0.6 M menghasilkan kadar etanol paling tinggi yaitu 4.1%. Dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi molaritas asam (HCl) maka persentase etanol yang dihasilkan juga semakin tinggi dan jika konsentrasi asam (HCl) sudah mencapai batas optimum maka, persentase etanol semakin berkurang (Fachry et al., 2013). Pada proses hidrolisa, proton H+ dari senyawa HCl akan mengubah gugus serat dari kulit ubi jalar menjadi gugus radikal bebas. Gugus radikal bebas tersebut kemudian akan berikatan dengan gugus OH- dari H2O dan bereaksi pada suhu 121 0C sehingga menghasilkan glukosa. Pada saat kebutuhan H+ dari HCl telah mencukupi pembentukan gugus radikal bebas dari kulit ubi jalar maka glukosa yang dihasilkan maksimal (Fachry et al., 2013; Indral et al., 2012) dimana kondisi optimum dari variasi konsentrasi asam (HCl) tersebut berada di konsentrasi HCl 0.6 M, hal ini dilihat dari kadar glukosa yang dihasilkan yang terdapat pada gambar 7. Penentuan Kadar Glukosa Penentuan kadar glukosa pada kulit ubi jalar metode iodometri dengan larutan luff schoorl yang dilakukan setelah proses hidrolisis asam. Pada gambar 7 menunjukkan kadar glukosa dengan variasi konsentrasi asam (HCl). LPPM STIKes Perintis Padang 120 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 Kadar Glukosa (%) ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 9 8 7 6 5 4 3 2 8.88 6.06 6.62 6.55 3.93 0.2 0.4 0.6 0.8 Konsentrasi HCl (M) 1 Gambar 7. Hubungan persentase glukosa terhadap konsentrasi asam (HCl) Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa persentase kadar glukosa yang tertinggi terdapat pada konsentrasi asam (HCl) 0.6 M sebesar 8.88 %. Hal itu menunjukkan bahwa hubungan konsentrasi asam (HCl) berbanding lurus dengan persentase glukosa. Semakin tinggi konsentrasi asam (HCl), maka kadar glukosa yang dihasilkan akan semakinmeningkat. Namun jika konsentrasi asam (HCl) sudah mencapai batas optimum maka, terjadi penurunan persentase glukosa (Minarni et al., 2013). Hubungan antara Persentase Etanol dengan Persentase Glukosa pada Limbah Kulit Ubi Jalar 8.88 9 Kadar Etanol dan Glukosa (%) 8 6.62 7 6.55 6.06 6 Kadar Etanol 5 4 4.1 3.4 3.4 3.93 Kadar Gluko sa 3.4 2.7 3 2 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 Konsentrasi HCl (M) Gambar 8. Hubungan antara persentase etanol dengan persentase glukosa pada limbah kulit ubi jalar Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa kenaikan persentase glukosa berbanding lurus dengan kenaikan persentase etanol. Persentase glukosa mempengaruhi banyaknya persentase etanol yang dihasilkan karena semakin tinggi persentase glukosa yang dihasilkan maka etanol yang terbentuk semakin banyak, karena bahan yang akan difermentasi menjadi etanol adalah glukosa (Dilaplanga, S, et al., 2012). Sebaliknya apabila glukosa sedikit akan mengakibatkan sedikit pula etanol yang terbentuk. Pada gambar 8 konsentrasi HCl 0.2 M menghasilkan glukosa 6.06 % dan etanol 3.4 %, konsentrasi HCl 0.4 M menghasilkan glukosa 6.62 % dan etanol 3.4 %, kondisi optimum terdapat pada konsentrasi HCl 0.6 M dengan glukosa 8.88 % dan etanol 4.1 %, kemudian persentase glukosa mengalami penurunan mulai dari konsentrasi HCl 0.8 M dengan glukosa 6.55 % dan etanol 3.4 %, konsentrasi HCl 1 M dengan glukosa 3.93 % dan etanol 2.7 %. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dari penelitian efektifitas metoda hidrolisis asam dan metoda enzimatik untuk pembuatan bioetanol dari limbah kulit ubi jalar (ipomoea batatas l) dapat disimpulkan: bahwa untuk metoda asam (HCL) kadar etanol 4,1% kadar glukosa yang dihasilkan 8,9 % dan konsentrasi HCL 0,6M waktu optimum fermentasi pada hari ke-6 sedangkan untuk metoda enzimatis kadar etanol 5,6% , kadar glukosa 15,5% dan volume enzim 2 ml waktu optimum fermentasi pada hari ke-2. Dapat disimpulkan bahwa metoda hidrolisis enzimatis lebih efektif menghasilkan etanol dibandingkan metoda hidrolisis asam (HCL) dari limbah kulit ubi jalar 5. REFERENSI Banati, F. S. Zulaika, E. Hidayati, T.N. 2009. Pengaruh Penambahan Enzim αAmilase Pada Fermentasi Karbohidrat Ekstrak Ulva fasciata Dari Balekambang, Malang Menggunakan Ragi Roti Fermipan. Jurnal jurusan Biologi FMIPA ITS : Surabaya. Diplanga. S., Isa. I., Alio. L. 2012. Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Menjadi Etanol Dengan Cara Hidrolisis Dan Fermentasi LPPM STIKes Perintis Padang 121 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Menggunakan Saccharomyces Cerevisiae.Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan IPA. Universitas Negeri Gorontalo : Gorontalo. Hadi, P.U., A. Djulin, A.K. Zakaria, V. Darwis & J. Situmorang. 2006. Prospek pengembangan sumber energi alternatif (biofuel) : fokus pada jarak pagar. Seminar Hasil Penelitian Tugas Akhir : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Bogor Hasyim, A dan Yusuf, M. 2008. Diversifikasi Produk Ubi Jalar Sebagai Bahan Pangan Substitusi Beras. Tabloid Sinar Tani : Malang Jayanti, R.T, 2011. Pengaruh pH, Suhu Hidrolisis Enzim α-Amilase dan Konsentrasi Ragi Roti Untuk Produksi Etanol Menggunakan Pati Bekatul. Jurnal Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret : Surakarta. Nababan, D. A. 2013. Hidrolisis Enzimatik untuk Meningkatkan Produksi Bioetanol Dari Makroalga (Eucheuma Cottoni). Fakultas Teknologi Pertanian. IPB : Bogor. Nasrulloh. 2009. Hidrolisis Asam dan Enzimatis Pati Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Menjadi Glukosa sebagai Substrat Fermentasi Etanol. Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta N. Azizah, A. N. Al-‐Baarri, S. Mulyani. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, Ph, Dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol Dari Whey Dengan Substitusi Kulit Nanas. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Semarang. Poedjiadi, Anna dan F. M. Titin Supriyanti. 2006. Dasar – dasar Biokimia. Jakarta : UI.Press Pramita. D.L., Yenie. E., Muria. S. R.2014. Pembuatan Bioetanol dari Kulit Nenas Menggunakan Enzim Selulase dan Yeast Saccharomyces Cerevisiae dengan Proses Simultaneous Sacharificatian and Fermentation (SSF) terhadap Variasi Konsentrasi Inokulum dan Waktu Fermentasi.Laboratorium Rekayasa Bioproses Jurusan Teknik KimiaUniversitas Riau : Riau Pudjaatmaka, A.H. dan Qodratillah, M.T. 1999. Kamus Kimia. Balai Pustaka : Jakarta. Retno. D.T., Nuri. W. 2011.Pembuatan Bioetanol dari Kulit Pisang. Jurusan Teknik Kimia FTI UPN Veteran : Yogyakarta. Rizani, K. Z. 2000. Pengaruh Konsentrasi Gula Reduksi dan Inokulum (Saccharomyces cerevisiae) pada proses Fermentasi Sari Kulit Nanas (Ananas comocus L. Merr) untuk produksi etanol. Skripsi. Jurusan Biologi. FMIPA. Universitas Brawijaya, Malang. Sa’adah. Z., Ika. N., Abdullah. Produksi Enzim Selulosa oleh Aspergillus niger Menggunakan Substrat Jerami dengan Sistem Fermentasi Padat. Jurusan Teknik Kimia Universitas Dipenogoro : Semarang. Saropah. D. A., Jannah. A., Maunatin. A, Kinetasi Reaksi Enzimatis Ekstrak Kasar Enzim Selulase Bakteri Selulolitik Hasil Isolasi Dari Bekatul. UIN Maulana Malik Ibrahim : Malang. Setiawati. D., Sinaga. A., Dewi. T. 2013. Proses Pembuatan Bioetanol Dari kulit Pisang Kepok. Universitas Sriwijaya : Palembang. SH, Siregar. 2010. Pemanfaatan Ubi Jalar.USU : Medan Skadrongautama, 2009. Bahan Bakar Nabati (Bioetanol). Yogyakarta: KhalifahNiaga antabura. Sudarmadji. S., Haryono. B., dan Suhardi, 1989, Mikrobiologi Pangan, PAU Pangan dan Gizi Universitas Gaja Mada, Yogyakarta. Sukmawati, R. F., Milati. S. 2009. Pembuatan Bioetanol dari Kulit Singkong. Fakultas Teknik Kimia Universitas Sebelas Maret : Surakarta. Wuryanti. 2008. Pengaruh Penambahan Biotin Pada Media Pertumbuhan Terhadap LPPM STIKes Perintis Padang 122 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Produksi Sel Aspergillus niger. Jurusan Kimia : UNDIP. LPPM STIKes Perintis Padang 123 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ PERBEDAAN EKSPRESI GEN SCUBE2 PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 ANTARA LAMA MENDERITA < 5 TAHUN DENGAN ≥ 5 TAHUN Chairani1, Hirowati Ali2, Raflis Rustam3 Magister Ilmu Biomedik FK-Unand Email: [email protected] Abstract Diabetes mellitus (DM) is one of the main causes of early death in worldwide. DM reported as cause of death by 41% of patients who are known as cardiovascular disease as a complication of diabetes. SCUBE2 the indicated genes involved in inflammation, expressed as endothelial dysfunction in patients with diabetes mellitus type 2. The purpose of this study was to determine differences in gene expression SCUBE2 in patients with type 2 diabetes among the long-suffering <5 years with ≥ 5 years. The study design was cross-sectional comparative observation on 18 patients with DM type 2 which suffering < 5 years, 18 patients with diabetes DM type 2 which suffering ≥ 5 years in dr. Rasidin hospital in Padang and 18 non-DM as a control. Samples were selected by consecutive sampling. The gene expression of SCUBE2 was examined in Biomedical Laboratory Faculty of Medicine, University of Andalas with real-time PCR method. Data were analyzed by chisquare test and independent T test to analyze the characteristics of the respondent, and the analysis of differences in gene expression of SCUBE2 in DM type 2 and the control group. The result showed the average gene expression SCUBE2 on the group's long-suffering type 2 diabetes mellitus < 5 years (1.01 SD± 0.84) and (0.71 SD± 0.50) in patients with type 2 diabetes suffer ≥ 5 years old, higher than controls (0.30 SD± 0.31). There are significant differences in gene expression SCUBE2 among patients with type 2 diabetes with controls (p <0.05) for both long-suffering <5 years and ≥ 5 years, but there are no significant differences between SCUBE2 gene expression in patients with type 2 diabetes long-suffering < 5 years with ≥ 5 years. Key words: Gene expression SCUBE2, long suffering from diabetes mellitus type 2 1. PENDAHULUAN Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang paling sering di dunia, sekitar 180 juta penduduk pada tahun 2008, dan diperkirakan mencapai 360 juta penduduk pada tahun 2030. Lima hingga 10 persen merupakan tipe 1 (tergantung insulin) dan 90 hingga 95 % merupakan tipe 2 (tidak tergantung insulin). Prevalensi DM untuk semua kelompok umur diperkirakan 2,8 % di tahun 2008 menjadi 4,4 % di tahun 2030.1,2 Diabetes berhubungan dengan resiko perkembangan penyakit arteri koroner 2 sampai 4 kali lipat. Laporan dari Adult treatment Panel of The National Cholesterol Education Program, bahwa DM Tipe 2 sebanding dengan resiko penyakit arteri koroner. Pada pasien yang diketahui dengan arteri koroner dan diabetes, rerata kematian mencapai 45 % di atas 7 tahun dan 75 % diatas 10 tahun. Diperkirakan 50 % dari pasien diabetes meninggal 5 tahun setelah infark miokard.16 Penelitian yang dilakukan oleh Srinivasan et al (2015) menyatakan bahwa pada penderita DM tipe 2 dengan lama menderita kurang 5 tahun berkemungkinan mengalami penyempitan pembuluh darah jantung (angioplasti) dan pada penderita DM tipe 2 yang menderita 5- 10 tahun dan lebih dari 10 tahun berkemungkinan menderita coronary artery bypass graft (CABG).17 Gangguan metabolik yang terjadi pada penderita DM tipe 2 seperti hiperglikemia, asam lemak bebas, dan resistensi insulin menyebabkan abnormalitas fungsi sel endotel, yang merupakan lesi awal arterosklerosis.14 Pada permukaan sel endotel pembuluh darah LPPM STIKes Perintis Padang 124 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ ditemukan suatu gen baru yaitu SCUBE (Signal peptide-CUB_EGF domain containing protein) yang terdapat pada vaskuler endothelial dan organ- organ yang kaya akan sirkulasi.3 SCUBE 1 pertama kali diidentifikasi pada sel endotel manusia dan diekspresikan dalam platelet dan lesi pembuluh darah aterosklerosis. Hanya saja, fungsi biologis SCUBE 1 pada aterosklerosis atau pembentukan trombus masih belum jelas.18 melaporkan bahwa konsentrasi Plasma SCUBE1 meningkat pada pasien Arteri Coronari Syndrome (ACS) dan Acute Ischemic Stroke (AIS) tetapi tidak pada pasien Coronary Arteri Disease (CAD). 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan Balai Laboratorium Kesehatan Sumatera Barat bekerjasama dengan RSUD dr. Rasidin Kota Padang. 18 orang pasien DM tipe 2 lama menderita < 5 tahun dan 18 orang penderita DM tipe 2 ≥ 5 tahun berusia 35-74 tahun di RSUD dr. Rasidin Kota Padang diikutsertakan dalam penelitian ini. Pasien DM tipe 2 dipilih dan didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, kriteria DM dari WHO 2011, yang memiliki satu dari kriteria berikut ini: 1) Gejala klasik DM dan kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl, 2) Glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, 3) HbA1c >6,5%, dan 4) Glukosa darah 2 jam sesudah makan ≥200 mg/dl. Kelompok kontrol dipilih sebanyak 18 orang dengan umur 35-74 tahun, glukosa darah puasa ≤99 mg/dl, dan glukosa darah 2 jam sesudah makan ≤139 mg/dl, tanpa ada riwayat keluarga DM, riwayat hipertensi, penyakit ginjal, dan penyakit metabolik kronis, serta tidak sedang menderita tuberkulosis. Pasien DM tipe 2 dengan komplikasi akut berupa hipoglikemia, ketoasidosis, infeksi, penyakit tiroid, hipertensi esensial, imunosupresi, diabetes gestasional, riwayat konsumsi obat-obat terlarang, antikonvulsan, steroid, obat tiroksin, suplemen vitamin, dan diabetes gestasional dikeluarkan dari penelitian. Semua hasil anamnesis dicatat dan dikumpulkan. Informed consent diminta dari setiap subjek penelitian. Penelitian ini telah disetujui oleh komite etik penelitian. Terhadap sampel yang memenuhi kriteria penelitian, darah diambil sebanyak 3 ml dari vena cubiti untuk diperiksa ekspresi gen SCUBE2. Ekspresi gen SCUBE2 secara real-time PCR. Hasil penelitian diolah secara statistik, dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis rasio ekspresi gen SCUBE2 memakai metode Livak. Data ekspresi gen SCUBE2 pada ketiga kelompok terdistribusi normal. Uji T Independen digunakan untuk menganalisa perbedaan ekspresi gen SCUBE2. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Pada penelitian ini, sebagian besar sampel pada penelitian ini adalah perempuan (Tabel 1) dan rerata umur pada kelompok DM tipe 2 lebih tinggi daripada kelompok kontrol, yaitu 59,83±7,8 dengan p<0,05 (Tabel 2). Rerata ekspresi gen SCUBE2 pada kelompok DM tipe 2 lama menderita < 5 tahun dan ≥ 5 tahun lebih tinggi (Gambar 1). Hasil analisis uji T independen ekspresi gen SCUBE2 pada kelompok DM tipe 2 < 5 tahun dan ≥ 5 tahun dengan kontrol memperlihatkan terdapat perbedaan yang bermakna secara statistic (p < 0,05), sedangkan pada penderita DM tipe 2 lama menderita < 5 tahun dengan ≥ 5 tahun tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistic (p ≥ 0,05). Tabel 1. Distribusi responden menurut jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total DMT2 lama menderita < 5tahun f % 6 33 12 67 10 19 0 DMT2 lama menderita < 5tahun f % 6 33 12 67 LPPM STIKes Perintis Padang 125 Kontrol f 8 10 % 44 56 20 100 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Tabel 2. Rerata umur responden Kelompok DMT2 lama < 5 tahun DMT2 lama ≥ 5 tahun Konrol Umur Rerata SD 51,61 5,425 59,83 7,80 42,89 6,45 P value 0,001 Gambar 1. Perbedaan ekspresi Gen SCUBE2 3.2 Pembahasan Pada kedua kelompok sampel, baik kelompok DM Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada penderita DM tipe 2 lebih banyak berjenis kelamin perempuan dan rerata umur kelompok DM tipe 2 lama menderita < 5 tahun adalah 51,61 tahun dengan standar deviasi 5,425, sedangkan pada kelompok DM tipe 2 lama menderita ≥ 5 tahun adalah 59,83 dengan standar deviasi 7,801. Hasil riset kesehatan dasar juga menyebutkan bahwa berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi berada di rentang usia 55- 64 tahun sebanyak 5,5 %. Penderita DM sebagian besar ditemukan pada perempuan (2,3 %) dibandingkan dengan laki- laki (2,0 %).5 Penelitian Jelantik & Haryati (2014) diwilayah kerja puskesmas Mataram yakni dari bulan Januari sampai dengan Juni 2013, dilaporkan sebanyak 620 kasus DM yang terdiri dari 359 kasus yang terjadi pada perempuan dan 261 kasus terdapat pada laki - laki. Pada penelitian ini umur terendah pada kelompok penderita DM tipe 2 yaitu 42 tahun, hal ini membuktikan bahwa prevalensi DM pada orang muda juga meningkat, Penelitian Gu et al (2003) menyatakan bahwa di negara Cina menunjukkan 88 % peningkatan penderita DM pada umur 35-44 tahun. Di India Selatan, prevalensi DM pada umur < 44 tahun telah meningkat dari 25 % pada tahun 2000 menjadi 36 % pada tahun 2006.2,13 Umur tertinggi pada kelompok penderita DM tipe 2 pada penelitian ini yaitu 72 tahun, hal ini membuktikan bahwa pada usia lanjut sekitar 50% lansia mengalami intoleransi glukosa dengan kadar gula darah puasa normal. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi DM maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun. Penelitian Trisnawati & Setyono (2013) yang menyatakan bahwa kelompok umur ≥ 45 tahun memiliki resiko menderita DM tipe 2.11 Pada penelitian ini, data ekspresi gen SCUBE2 terdistribusi normal dengan rerata ekspresi sebesar 0,30 SD±0,31 pada kontrol; sedangkan pada kelompok DM tipe 2 lama menderita < 5 tahun didapatkan rerata ekspresi sebesar 1,00 SD±0,84 dan pada kelompok DM tipe 2 lama menderita ≥ 5 tahun didapatkan rerata ekspresi sebesar 0,70 SD±0,50. Kelompok DM tipe 2 dan kontrol samasama mengekspresikan gen SCUBE2 tetapi dalam jumlah yang berbeda. Ekspresi gen SCUBE2 ditemukan lebih tinggi pada penderita DM tipe 2 dibandingkan kontrol karena ekspresi gen SCUBE2 kemungkinan dipengaruhi oleh sitokin pro inflamasi seperti TNF- α dan IL-1 ß yang diketahui sebagai respon inflamasi ketika terjadi disfungsi endotel pada penderita DM tipe 2. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yang et al (2002) yang membuktikan adanya ekspresi gen SCUBE2 pada human umbilical vein endothelial cells (HUVEC) setelah distimulasi dengan TNF-α dan IL-1ß. Penelitian yang dilakukan oleh Spranger et al (2002) pada penderita DM tipe 2 dan non DM, menyimpulkan bahwa pada penderita DM tipe 2 terjadi reaksi inflamasi yang ditandai dengan meningkatnya produksi sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL-1ß dan IL-6.6,7,8,9 Ekspresi gen SCUBE2 pada penderita DM tipe 2 lama menderita < 5 tahun tidak berbeda secara statistik dengan penderita DM tipe 2 lama menderita ≥ 5 tahun, hal ini membuktikan bahwa LPPM STIKes Perintis Padang 126 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ ekspresi gen SCUBE2 tidak saja ditemukan pada awal DM tipe 2, tetapi berlanjut setelah menderita DM tipe 2 selama ≥ 5 tahun, tetapi dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan pada penderita DM tipe 2 lama menderita < 5 tahun. Hal ini berkemungkinan dikarenakan pada penderita DM tipe 2 lama menderita ≥ 5 tahun telah mendapatkan terapi pengobatan yang berpengaruh pada kadar sitokin pro inflamasi pada penderita DM tipe 2. Peningkatan produksi sitokin pro inflamasi menandakan progresivitas penyakit DM tipe 2 yang mengarah pada gangguan vaskuler sehingga menyebabkan aterosklerosis.10 Observasi lebih lanjut dengan imunohistokimia dan imunofluoresens, terlihat ekspresi gen SCUBE2 pada serial section arteri koroner manusia mulai dari penebalan tunika intima hingga pembentukan plak aterosklerosis lanjut dimana ditemukan adanya sel busa (foam cell) dan necrotic core. Pada tahap penebalan tunika intima, gen SCUBE2 terekspresi bersama dengan sel-sel otot polos pembuluh darah dan makrofag, serta sel.8 Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu tidak mengelompokkan penderita DM tipe 2 berdasarkan terkontrol dan tidak terkontrol. Pada penelitian ini tidak melakukan pemeriksaan kadar sitokin pro inflamasi pada penderita DM tipe 2, yang merupakan faktor yang berpengaruh terhadap ekspresi gen SCUBE2. 4. KESIMPULAN Pada penelitian ini dapat disimpulkan terdapat perbedaan ekspresi gen SCUBE2 yang bermakna antara penderita DM tipe 2 dengan kontrol,akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara penderita DM tipe 2 lama menderita < 5 tahun dengan ≥ 5 tahun. 5. REFERENSI Ali, H, Emoto, N, Yagi, K et al. Localization and characterization of a novel secreted protein, SCUBE 2, in the development and progression of atherosclerosis. Kobe J Med Sci 2013; 59: E122-31. Boden, G, Shulman, GI 2002,’Free fatty acids in obesity and type 2 diabetes defining their role in the development of insulin resistance and beta cell dysfunction’, Eur J Invest, Vol. 32, hh.14-23. Creager, MA& Luscher, TF 2003,‘Diabetes and vascular disease: patophysiology, clinical consequences, and medical therapy: part I’,Circulation, vol. 108, hh 1527-1532 Dai, DF, Thajeb, P, Tu, CF, Chen, CH, Yang, RB, Chen, JJ et al. 2008, ‘Plasma concentration of SCUBE1 : a Novel Platetet Protein is elevated in Patients with acute coronary syndrome and Ischemic stroke’, Journal of American College of Cardiology, Vol.51, hh.2174-2180. Gu, D, Reynolds, K, Duan, X, Xin, X, Chen, J, Wu, X et al 2003,’Prevalence of diabetes and impaired fasting glucose in the Chinese adult population: international collaborative study of cardiovascular disease in Asia (interAsia)’,Diabetalogia, Vol.46, hh. 1190-1198. Jelantik , Haryati 2014,’Hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin, kegemukan dan hipertensi dengan kejadian diabetes mellitus tipe 2 di wilayah kerja puskesmas mataram, Media bina ilmiah, Vol.8, hh. 39- 44. Kementerian Kesehatan RI. Diabetes melitus penyebab kematian nomor 6 di dunia: Kemenkes tawarkan solusi cerdik melalui posbind, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013. Node, K, Inoue, T 2009,’Postprandial hyperglycemia as an etiological factor in vascular failure’, Biomed Central, hh.110. Ramachandran, A, Mary, S, Yamuna, A, Muguresan, N, Snehalata, C 2008,’High prevalence of diabetes and cardiovascular risk factors associated with urbanization in India’, Diabetes Care,Vol.15, hh.838898. Spranger, J, Kroke, A, Hoffman, K, Bergman, MB, Ristow, M et al 2003,’ Inflammatory cytokines and the risk to develop type 2 diabetes, result of the prospective population- based european prospective investigation into cancer and nutrition (EPIC)- postdam study’, Diabetes, Vol.52, hh. 812-817. LPPM STIKes Perintis Padang 127 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Srinivasan, MP, Kamath, PK, Mahabala, C 2016,’Severity of coronary artery disease in type 2 diabetes mellitus : does the timing matter?’, IHJ , Vol.68, hh.158-163. Trisnawati, SK, Setyorogo, S 2013,’ Faktor resiko diabetes melitus tipe 2 di puskesma Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012’, Jurnal ilmiah kedokteran, Vol.5, hh. 6-11. Tsai, MT, Cheng, CJ, Lin, YC et al. Isolation and characterization of a secreted, cell-surface glycoprotein SCUBE2 from humans. J Biochem 2009; 422: 119-28. Waspadji, S. Buku ajar penyakit dalam: Komplikasi kronik diabetes, mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi pengelolaan’. Jilid III. Edisi 4, Jakarta: FK UI; 2009. h. 1923-4. Wild, S, Roglic, G, Green, A, Sicree, R, King, H 2004. ‘Global prevalence of diabetes. Estimates for the year 2000 and projections for 2030’. Diabetes Care, Vol.27, hh. 1047-1053. Wu, BT, Su, YH, Tsai, MT, Wasserman, SM, Topper, JN, Yang, RB 2004, ‘A novel secreted, cell-surface glycoprotein containing multiple epidermal growth factor-like repeats and one CUB domain is highly expressed in primary osteoblasts and bones’, The Journal of Biological Chemistry, vol. 279, hh. 37486- 37490. Yang, RB, Domingos Ng, CK, Wasserman, SM et al. Identification of a novel family of cell-surface proteins expressed in human vascular endothelium. The Journal of Biological Chemistry 2002; 277: 4636473. LPPM STIKes Perintis Padang 128 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ KESESUAIAN UJI WIDAL DENGAN TUBEX (IMMUNOASSAY) PADA PENDERITA SUSPEK INFEKSI DEMAM TIFOID Renowati Prodi DIV Teknologi Laboratorium Medik Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis Padang Email: [email protected] Abstract Typhoid fever is still a health problem especially in developing countries. Serologic tests are used to help diagnose typhoid fever. Widal examination is still widely used although less specific. Tubex TF which is a serodiagnostic test that has better sensitivity and specificity than Widal. This study aims to determine the suitability between Widal examination with Tubex TF in patients suspected of typhoid fever. Design The study was a cross sectional study with cross sectional design of suspected typhoid fever patients who had been diagnosed by clinicians based on clinical symptoms as suspected of typhoid fever. This research using Kappa examination of Widal using the method of latex agglutination and Immunoasay (Tubex TF) is the method of inhibition magnetic binding immunoassay. Statistical analysis for this study using Kappa test. There is good agreement between Widal and Tubex TF test with kappa value = 0.63. Keywords: typhoid fever, Widal, Tubex TF. 1. PENDAHULUAN Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut dari sistem retikuloendotelial, usus, jaringan limfoid dan kandung empedu yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serovar typhi atau Salmonella typhi yang ditandai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot, nafsu makan menurun, konstipasi atau diare, mual, muntah, malaise, menggigil, splenomegali, hepatomegali, rose spots (bintikbintik merah) pada dada dan perut. Komplikasi utama demam enterik adalah perdarahan danperforasi usus. Penyakit ini ditularkan melalui makanan dan air minum yang terkontaminasi (WHO, 2013). Salmonella merupakan bakteri patogen yang menyebabkan infeksi pada manusia dan hewan serta dapat menyerang jaringan ekstra intestinal, menyebabkan demam enterik keadaan ini yang paling parah berupa demam tifoid. Salmonella typhi termasuk famili Enterobacteriaceae. Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang, bersifat fakultatif anaerob, berflagel peritrika, tidak berspora, Bakteri ini tidak memfermentasi laktosa dan menghasilkan sedikit hidrogen sulfida (Misnadiarly, 2014; Winn et al., 2006). Gambar 1. Salmonella typhi (water health educator.com) Salmonella typhi memiliki 4 komponen antigenik penting yaitu Vi, O, H dan OMP (Outer Membrane Protein). Antigen Vi terletak pada lapisan terluar mengandung dua kelompok determinan antigen yaitu O-acetyl yang imunodominan dan N-acetyl&carboxyl (Jain, 2007). Antigen Vi merupakan faktor virulensi dengan mencegah antibodi anti O berikatan dengan antigen O dan juga menghambat komponen C3 komplemenmelekat ke Salmonella typhi. Antigen Vi merupakan antigen independenlimfosit T dan respons imunnya di mediasi oleh sel B (Marshall et al., 2012; WHO, 2013). Antigen O merupakan lipopolisakarida (LPS), yang dikenal sebagai endotoksin atau antigen somatik. Lipopolisakarida merupakan komponen utama membran luar dari bakteri Gram negatif yaitu 75% dari seluruh permukaan. LPPM STIKes Perintis Padang 129 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Struktur dasar LPS terdiri dari 3 bagian yaitu acetylated glukosamine disaccharide (lipid A), core oligosakarida, dan antigen O yang merupakan rantai heteropolisakarida. Unit oligosakarida terjalin ke inti melalui asam heteroligosakarida yang kovalen dalam rangkaian lipiodal (Winn et al., 2006); Rezania et al., 2011). Antigen H dikenal juga sebagai antigen flagella, mengandung protein polimerase yaitu flagelin yang merupakan bagian yang penting dalam respon imun dengan BM 51-57 kDa. Salmonella mempunyai dua antigen H yaitu fase 1 (produk gen fli C) dan fase 2 (produk gen fli B), fase 1 antigennya lebih spesifik untuk Salmonella typhi (Aykala & Alsam, 2015). Outer membrane protein merupakan struktur yang terdapat pada permukaan bakteri Gram negatif dan berperan penting mempertahankan integritas serta permeabilitas selektif membran bakteri (Nasronudin, 2007) Gambar 2. Struktur Antigen Salmonella typhi (digilib.unila.ac.id) Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel(terutama sel-M) dan selanjutnya masuk ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembangdan difagosit olehsel-sel fagosit terutama oleh makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag masuk ke dalam sirkulasi darah mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atauruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia kedua kalinya dengan disertai tandatanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitan ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi masuk ke dalam sirkulasi darah setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik (Setia S dkk, 2014). Beberapa uji serologi dikembangkan untuk mendeteksi adanya antigen atau antibodi terhadap Salmonella typhi. Bakteri ini mengeksperesikan sejumlah struktur imunogenik pada permukaannya, yang digunakan sebagai dasar identifikasi serologi antara lain O dan H. Uji Widal merupakan uji serologi tertua yang memiliki banyak keterbatasan. Akhir-akhir ini telah dikembangkan berbagai uji serologi untuk menyempurnakan uji Widal. Pemeriksaan komersial yang tersedia adalah Tubex TF (Baker et al., 2010; Thriemer et al., 2013) Secara klinis sulit untuk membedakan demam tifoid dengan demam akut lainnya sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk mendukung diagnosis penyakit ini. Biakan kuman merupakan pemeriksaan baku emas tetapi sering memberikan hasil negatif, membutuhkan waktu lama, dan fasilitas laboratorium mikrobiologi. Uji serologi merupakan alternatif pilihan walaupun belum cukup digunakan sebagai sarana pendukung diagnostik demam tifoid (Widodo, 2009; Parry et al., 2011). Uji widal merupakan uji serologi tertua yang digunakan untuk mendeteksi antibodi Salmonella typhi. Pemeriksaan ini merupakan metode standar yang mendeteksi adanya aglutinasi pada serum penderita tifoid terhadap antigen O dan H Salmonella typhi (Parry et al, 2011). Uji Widal sampai saat ini masih banyak digunakan secara luas di negara berkembang LPPM STIKes Perintis Padang 130 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ termasuk Indonesia karena mudah, murah dan cepat. Menurut WHO (2003) Uji Widal memiliki tingkat sensitifitas dan spesifisitas sedang (moderate). Uji Widal ini dapat memberikan negatif palsu hingga 30% dari sampel kultur positif demam tifoid (Nasronudin, 2007). Tubex TF merupakan uji serodiagnostik secara khusus mendeteksi IgM LPS O9 Salmonella typhi. Antigen O9 digunakan pada uji Tubex TF ini karena epitop imunodominan dideoxyhexose hanya ditemukan pada Salmonella typhi (PBI, 2011; Mehta, 2012). Tubex TF merupakan tes aglutinasi kompetitif semikuantitatif yang sederhana dan cepat menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan resolusi dan sensitifitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang spesifik ditemukan pada Salmonella serogroup D dan tidak ditemukan pada organisme lain. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM (PBI, 2011; WHO, 2011). Metoda Tubex TF ini adalah mendeteksi antibodi melalui kemampuannya untuk memblok ikatan antara reagent monoclonal anti-O9Salmonella typhi (antibody-coated indicator particlage) dengan reagent O9 Salmonella typhi(antigencoated magnetic particle) sehingga terjadi pengendapan dan pada akhirnya tidak terjadi perubahan warna. Tes Tubex ini menggunakan sistem pemeriksaan yang unik dimana tes ini mendeteksi serum antibodi immunoglobulin M (Ig M) terhadap antigen O9 (LPS) yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella typhi. Pada orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM antiO9 LPS (Lim et al., PBI,2011). Antigen O9 imunodominan sehingga dapat merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang sel limfosit B tanpa bantuan sel limfosit T. Sifat inilah yang menyebabkan respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti O9 dapat dilakukan lebih dini yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Uji Tubex TF hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak digunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau (PBI, 2011; Mehta, 2012). Pada penelitian Haryanto et al., (2007) di Jakarta mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas Tubex TF masing-masing sebesar 100% dan 90%. Meta analisis oleh Thiemer et al., (2013) mendapatkan rata-rata sensitifitas dan spesifisitas Tubex TF berturut-turut adalah 69 % dan 88%. Beberapa penelitian menyatakan kesulitan dalam interpretasi hasil Tubex TF yang bervariasi antar pembaca dan sampel yang digunakan tidak boleh ikterik dan hemolisis (Baker et al., 2010; Ley et al., 2011). Berdasarkan paparan di atas, peneliti ingin mengetahui kesesuaian pemeriksaan Widal dengan immunoassay tubex TF Salmonella pada pasien tersangka demam tifoid 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang akan digunakan oleh peneliti adalah cross sectional dengan rancangan potong lintang. Pada penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah demam tifoid dan variabel independennya yaitu uji Widal dan Tubex TF. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutivesampling. Besar Sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus sampel tunggal estimasi proporsi dengan ketepatan relatif (Dahlan, 2009). n = Za2P d2 Keterangan : Za : 1,96 P : 0,5 (proporsi sebelumnya tidak diketahui) Q : 1-P D : 0,2 (judment peneliti, ketepatan reletif secara klinis yang masih dapat diterima adalah ≤ 0,25) n = Za2PQ d2 = (1,96)2x (0,5 x 0,5) 0,22 = 0,96 = 24 orang 0,04 Dari perhitungan rumus besar sampel di atas diperoleh sampel minimal sebanyak 24 orang selanjutnya ditambah 20 % sehingga total sampel sebanyak 30 orang. LPPM STIKes Perintis Padang 131 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Variabel dalam penelitian ini adalah variabel dependen (terikat) atau adalah demam tifoid, dan variabel independen (bebas) yaitu uji Widal dan Tubex TF. Kriteria Inklusi dan Eksklusi dalam penelitian ini adalah Kriteria Inklusi : Pasien bersedia ikut penelitian (informed consent), pasien tersangka demam tifoid yang telah didiagnosis oleh klinisi, pasien dengan gejala klinis demam > 37,5 0C, sakit kepala, mual, muntah, nyeri perut, myalgia, malaise, menggigil, splenomegali, hepatomegali, cotage tongue, rose spots (bintik-bintik merah) pada dada dan perut, nyeri otot,konstipasi atau diare. Sedangnkan Kriteria Eksklusi adalah pasien tersangka demam tifoid dengan leukopenia berat (leukosit < 1.000/µL) dan ibu hamil. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Spuit 3 cc, torniquet dan vacuutainer clot activator. Bahan yang dipakai pada penelitian ini adalah Kapas dengan alkohol 70 % dan sampel yang digunakan yaitu darah pasien tersangka deman tifoid yang diambil serumnya, kit widal, tubex TF Cara pengambilan sampel dalam peneitian ini adalah diambil darah pasien tersangka demam tifoid sebanyak 2 mL ditampung dalam vacuutainerclot activator setelah itu diamkan selama 15-30 menit dan dilakukan sentrifugasi untuk mendapatkan serum selama 15 menit 3000 RPM, serum disimpan pada suhu -200C sampai waktu pemerikasaan dan sampel siap digunakan untuk pemeriksaan. Pengumpulan Data Data Primer adalah data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap sampel darah pasien tersangka demam tifoid. Data Sekunder adalah data yang meliputi gambaran dari catatan rekam medis pasien tersangka demam tifoid berdasarkan nama, umur, jenis kelamin dan keterangan klinis sementara. Cara Pengumpulan Data dikumpulkan melalui eksperimen di laboratorium Rumah Sakit Tingkat IV 01.07.05 Bukittinggi. Pengolahan Data dan Analisa Data Data diolah dengan menggunakan program spss dan analisa data adalah Analisa univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi dari masing-masing variabel yaitu pemeriksaan Widal dan Tubex TF pada variabel indepenen dan demam tifoid sebagai variabel dependen. Data yang diperoleh dari hasil penelitiandianalisis dengan Kappa Statistik. Berdasarkan nilai Kappa akan mengukur sejauh mana reabilitas diantara 2 uji yang digunakan dan menunjukkan kekuatan kesesuaian dari uji tersebut. Hasil analisis dari 2 uji yang dilakukan akan dimasukkan ke dalam tabel 2x2. Uji kesesuaian menggunakan nilai Kappa dengan interpretasi (Cunningham, 2009) menggunakan Microsoft excel SPSS 17.0. Tabel 2 x 2 Rater B Rater A Totals Sensitifitas Spesifisitas Kappa Yes No Total s Yes a b (a+b) No c d a+c b+d (c+d) N : (a/a+c) x 100 % : (d/b+d) x 100 % : (Po - Pe) / (1 – Pe) Po = (a+d) / N Pe= ((a+c)(a+b) + (b+d)(c+d)) / N2 Ket : Po = Proporsi yang diamati dari uji kesesuaian Pe= Proporsi yang diharapkan dari kesesuaian Uji kesesuaian menggunakan nilai Kappa dengan interpretasi (Cunningham, 2009) < 0 : Sangat lemah ( Less than chance agreement) 0,0 – 0,2 : lemah (slight agreement) 0,21 – 0,4 : kurang (fair agreement) 0,41 – 0,6 : sedang (moderate agreement) 0,61 - 0,8 : baik (subtantial agreement) 0,81–1,0 :baik sekali (almost perfect agreement) Range nilai Kappa = - 1 sampai +1 -1= Menunjukkan ketidaksesuaian sempurna +1 = Menunjukkan kesesuaian sempurna LPPM STIKes Perintis Padang 132 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik dasar subjek penelitian dapat 3.1. Hasil dilihat pada tabel dibawah ini Tabel (4.1). Karakteristik Dasar Subjek Penelitian Tabel 1. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian Variabel n (%) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 9 (30) 21(70) Mean ± SD Minimal Maximal Umur (tahun) Hemoglobin (g/dL) Laki-laki Perempuan 29 ± 18 3 79 13,5±3,1 13,4±1,86 6,6 9,0 15,8 16,6 Leukosit (per µL) 10533 ± 12117 212.400 ± 148.810 1.600 67.000 28.000 669.000 Trombosit (per µL) Pada tabel 1 menunjukkan bahwa lebih dari separoh subjek penelitian (70%) berjenis kelamin perempuan. Umur subjek penelitianbervariasi mulai dari anak-anak sampai usia lanjut (3-79 tahun) dengan rerata 29±SD. Pemeriksaan kadar hemoglobin subjek penelitian laki-laki 13,5 g/dL ± SD dan subjek penelitian perempuan 13,4 g/dL± SD.Kadar hemoglobin terendah dari subjek penelitian lakilaki 6,6 g/dl dan tertinggi 15,8 g/dL sedangkan pada subjek penelitian perempuan hemoglobin terendah 9,0 g/dL dan tertinggi 16,6 g/dL. Median hitung jumlah leukosit dari subjek penelitian adalah 10533 µL± SD, dengan jumlah leukosit terendah 1.600 µL dan tertinggi 67.000 µL. Rerata hitung jumlah trombosit subjek penelitian adalah 212.400 µL± SD, dengan jumlah trombosit terendah 28.000 µL dan tertinggi 669.000 µL. Uji Sensitifitas dan Spesifisitas Tubex TF dan Widal Parameter yang diperiksa pada subjek penelitian adalah Tubex TF dan Widal. Tabel di bawah ini (tabel 4.2)menampilkan hasil pemeriksaan Tubex TF dan Widal. Tabel 4.2 Uji Sensitifitas dan Spesifisitas Hasil TubexTF dan Uji Widal Tubex TF Jumlah Uji Widal Positif Negatif Positif 21 0 21 Negatif 5 4 9 26 4 30 Jumlah Sensitifitas Spesifisitas Kappa : : : (a/a+c)x 100% = 80,7 % (d/b+d) x 100 % = 100 % 0,63 LPPM STIKes Perintis Padang 133 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Dari nilai sensitifitas 80,7 % pada pemeriksaan dengan uji Widal dapat diartikan bahwa uji Widal ini akan mampu mendeteksi 80,7% dengan benar subjek penelitianyang dinyatakan positif demam tifoid berdasarkan titer anti-O atau anti-H ≥ 1/160. Nilai Spesifisitas 100% berarti dengan menggunakan uji Widal dapat mengidentifikasi dengan benar persentase yang tidak positif menderita demam tifoid dan terbukti tidak positif tifoid sebanyak 100%. Uji kesesuaian dihitung dengan Kappa cohen yaitu 0,63 yang berarti antarapemeriksaan Widal denganTubex TFpada subjek penelitian tersangka demam tifoid memiliki tingkat kesesuain yang baik (substantial agreement) berdasarkan nilai Kappa dengan interpretasi (Cunningham, 2009). 3.2. Pembahasan Karakteristik Dasar Subjek Penelitian Subjek penelitian berjumlah 30 orang, lebih banyak dijumpai perempuan (70%) dibanding laki-laki (30%). Hasil ini sama dengan yang dilakukan oleh setiono et al., (2010) di Bandung yang mendapatkan perempuan (60%) lebih banyak dari laki-laki(40%). Penelitian yang dilakukan Amery & Saif (2014) di Yaman juga mendapatkan persentase perempuan lebih banyak dari laki-laki yaitu 62%. Secara epidemiologi tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan. Umur subjek penelitian bervariasi mulai dari yang terkecil 3 tahun sampai usia lanjut 79 tahun dengan mean ± SDyaitu 29 ±18.WHO (2011)menyatakan bahwa sebagian besar kasus demam tifoid di daerah endemis terjadi pada umur yang luas, mulai dari 3-19 tahun. Menurut kepustakaan demam tifoid memang banyak ditemukan pada anak usia sekolah dan dewasa muda. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan makan di pinggir jalan, mencuci tangan dan sistem imun yang rendah (Parry et al., 2011). Penelitian ini menemukan rerata kadar hemoglobin pada subjek penelitian perempuan berkisar antara 9,0 – 16,0 g/dL dengan mean ± SD yaitu 13,4 ± 1,86. Menurut kepustakaan infeksi sistemik Salmonella typhi ke sumsum tulang menyebabkan penurunan produksi erittrosit sehingga pada penderita demam tifoid dapat ditemukan anemia (Widodo, 2009; Gordon & Feasley, 2014). Mean ± SD jumlah leukosit 10.533±12.117 dengan jumlah terendah 1.600/µL dan tertinggi 67.000/µL. Menurut kepustakaan, leukopenia dapat terjadi pada penderita demam tifoid karena infeksi Salmonella typhimenyebabkan marginalisasi atau perpindahanleukosit dari sirkulasi ke dinding pembuluh darah sehingga leukosit dalam sirkulasi berkurang (Widodo, 2009; Abro et al., 2009). Rerata jumlah trombosit didapat 212.400±/148.810 dengan jumlah berkisar antara 28.000/µL sampai 669.000/µL. Menurut kepustakaan, trombositopenia dapat terjadi pada penderita demam tifoid akibat infeksi sistemik Salmonella typhike sumsum tulang yang menyebabkan penurunan produksi trombosit. Trombositopenia juga terjadi karena destruksi yang meningkat di sistem retikuloendotelial (Widodo, 2009; Feasley & Gordon, 2014). Hasil Pemeriksaan Tubex TF dan Widal Pemeriksaan Widal titer anti-O ≥ 1/160 atau anti-H ≥ 1/160didapat 21 (80,7%) orang positif demam tifoid. Berdasarkan WHO (2011), interpretasi uji Widal menggunakan sepasang sampel yang diambil pada fase akut dan konvalesen. Uji Widal yang dikatakan positif jika terdapat kenaikan 4 kali lipat, tetapi hal ini sulit dilakukan. Serum tunggal dapat digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid jika cut off populasi lokal dan pasien dengan klinis demam tifoid.Sampai saat ini di Indonesia belum ada kesepakatan titer cut offWidal untuk diagnostik. Pada penelitian Loho et al., (2000) menyatakan titer Widal 1/160 untuk aglutinin O atau H mendukung diagnosis demam tifoid. Titer anti-O 1/160 sebagai kriteria tunggal yang didapat tingkat sensitifitas 70% dan spesifisitas 90%, dan jika digunakan titer anti-H sebagai kriteria tunggaldidapatkan tingkat sensitifitas 50% dan spesifisitas 90%. Penelitian yang dilakukan Aftab dan khursid (2009) di Pakistan menyatakan bahwa titer 1/320 untuk anti-O atau anti-H mempunyai nilai diagnostik untuk demam tifoid. Nilai cut offWidal berbeda-beda karena dipengaruhi oleh derajat endemisitas masing-masing daerah. Sebanyak 26 orang (86,7%) dinyatakan positif demam tifoid dengan pemeriksaan Tubex LPPM STIKes Perintis Padang 134 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ TF. Berbagai penelitian melaporkan sensitifitas dan spesifisitas Tubex TF berbeda-beda. Penelitian Keddy et al., (2011) di Afrikamendapatkan hasil yang sedikit agak berbeda, yang mana sensitivitas dan spesifisitas Tubex TF terhadap kultur kuman masing-masing sebesar 73% dan 69%. Penelitian Fadeelet al., (2011) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas Tubex TF sebesar 75%dan 87%. Baker et al., (2010) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas Tubex TF tidak lebih baik di bandingkan uji Widal.Sensitifitas dan spesifisitas yang berbedabeda ini disebabkan oleh geografi, populasi dan metoda yang digunakan berbeda. Uji Kesesuaian antara Widal dengan Tubex TF Pada penelitian ini mendapatkan uji kesesuaian antara Widal dengan Tubex TF dengan interpretasi baik (Substantial agreement) pada pasien tersangka demam tifoid dengan gejala demam klinis > 37,50C, Coated tongue, sakit kepala, mual, muntah, nyeri perut, konstipasi atau diare. Uji Widal mendeteksi agglutinin O dan Hdengan menggunakan antigen somatik O dan antigen H. Antibodi terhadap antigen O muncul hari ke 6-8 dan antibodi terhadap antigen H hari ke 10-12 setelah terpapar penyakit(WHO, 2003). Pada penelitian ini pemeriksaan Widal memakainilai cut off anti-O ≥ 1/160 atau anti-H ≥ 1/160 didapatkan 21 (80,7%) orang positif demam tifoid. Berdasarkan WHO (2011), interpretasi uji Widal menggunakan sepasang sampel yang diambil pada fase akut dan konvalesen. Uji Widal dikatakan positif jika terdapat kenaikan titer 4 kali lipat, tetapi hal ini sulit. Serum tunggal dapat digunakan untuk diagnosis demam tifoid jika memakai cut off populasi lokal dan pada pasien dengan klinis demam tifoid. Sampai saat ini di Indonesia belum ada kesepakatan mengenai titer cut off Widal untuk diagnostik. Pemeriksaan Tubex TF merupakan pemeriksaan semi kuantitatif in vitro dengan prinsip mendeteksi adanya antibod IgM menggunakan antigen spesifik O9 LPS Salmonella typhi. Antibodi terhadap antigen O Sensitivitas Tubex TF setara dengan 15-20 µg/mL antibodi IgM Salmonella typhi yang analog dengan panas hari ke 5 (PBI, 2011). Kriteria pengambilan sampel pada penelitian ini adalah pasien demam ≥ seminggu sehingga dapat meningkatkan sensitivitas pemeriksaan Keddy et al., (2011) menyatakan waktu antara timbulnya gejala dengan pengumpulan sampel dapat mempengaruhi performance pemeriksaan berbasis antibodi. Pengerjaan Tubex TF memerlukan beberapa langkah yang memerlukan ketelitian dan pengalaman. Baker et al., (2010) menyatakan bahwa kekurangan Tubex TF terletak pada sistem skor berdasarkan warna, dimana perbedaan warna yang jelas hanya pada angka 10 (positif kuat) dan 0 (negatif). Selain itu pembacaan antar operator bervariasi dan ada warna yang tidak dapat diinterpretasikan. Ley et al., (2011) diAfrika menyatakan bahwa kelemahan Tubex TF adalah kesulitan pada interpretasi hasil yang bervariasi antar pembaca. Perubahan warna yang disesuaikan dengan skala warna membutuhkan pengalaman dan kondisi penerangan yang baik. Selain itu Tubex TF tidak dapat digunakan untuk sampel yang hemolisis dan ikterik walaupun hal ini telah diatasi dengan pencucian tetapi akan memperbanyak penggunaan reagen yang tentu saja menambah biasa pemeriksaan. Dari penelitian 30 orang pasien pada tersangka demam tifoid didapat 86,7%dinyatakan positif demam tifoid ini dengan pemeriksaan Tubex TF. 4. KESIMPULAN 1. Terdapatnya tingkat sensitifitas antara pemeriksaan Widal dengan Tubex TFpada pasien tersangka demam tifoid adalah 80,7%. 2. Terdapatnya tingkat spesifisitas antara pemeriksaan Widal dengan Tubex TFpada pasien tersangka demam tifoid adalah 100%. 3. Terdapatnyatingkat kesesuaian yang baik (substantial agreement) antara pemeriksaan Widal dengan Tubex TF pada pasien tersangka demam tifoid. 5. REFERENSI Aykala AI, Alsam, 2015,Extended Spectrum Beta Lactamase Producing Strain of Salmonella Species, J Microbiology vol. 2 no. 5, p: 57-70. Ameri GA, Saif N, 2014, A Prevalence Study of Typhoid Fever in Yemen, in Brit J Microbiol Res vol. 4 no. 2, p: 214-223. LPPM STIKes Perintis Padang 135 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Baker S, Favorov M, Dougan G, 2010, Searching for The Elusive Typhoid Diagnostic in BMC Infectious Disease vol. 10 no 45, p: 1-8. Bio Ventures for Global Health, 2015, Rapid Diagnostic Test, BVGH, USA Cunningham M, 2009, More Than Just A Kappa Efficient: A Program To. Fully Characterized Inter Rater Reliability Between Two Raters, SAS Global Forum 2009, p: 1-7. Dahlan S, 2009, Besar Sampel Penelitian, Salemba Medika, p: 32-33. Fadeel MA, House BL, Wasfy MM, Klena JD, Habashy EE, Said MM, et al.,2011, Evaluation of a newly developed ELISA gaints Widal, Tubex-TF and Typhidot for typhoid fever surveilance, in J Infec Dev Ctries volume volume 3 no. 5, p: 169-175. Feasley NA, Gordon MA, 2014, Salmonella Infection, in Mansons Tropical Disease,23rd edition, p: 337-343. http://digilib.unila.ac.id/2422/BAB%2011.pdf http://idlbiotech.com/product http://www.waterhealtheducator.com/DiseaseFocus-Salmonellatyphi.html Kaur K, Jain SK, 2012, Role of Antigen and virulence Factors of Salmonella enterica serovar typhi in its Pathogenesis, in Microbiol Res 167, p: 199-210. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL 7 et al., 2011, Sensitivity and Spesifisity of typhoid Fever Rapid Antibody test for Laboratory Diagnosis at two subsaharan Africa site, in Bull Health World Organ no: 89, p: 640-47S. Ley B, Thriemer K, Ame SM, Mtove JM, Seidlein LV, Amos B, et al., 2011, Assessment and Comparative Analysis of A Rapid Dignostic test (Tubex) for Diagnosis of Typhoid Fever Among Hospitalized Children in Rural Tanzania in BMC Infectious Disease vol. 11 no. 147, p: 2-6. Lim PL,Tam FC, Cheong YM,Jegathesan, 1998, One Step 2 Minute Test to Detect Typhoid SpecificAntibodiesBased on ParticleSeparation inTubes, in Clin Microbiol 36, 1998, p: 2271-2278. Loho T, Sutanto H, Silman E, Evaluasi Nilai Diagnostik Pemeriksaan Enzym Immunoassay (EIA) Dot Blot Menggunakan Outer Membrane Protein (OMP) Berat Molekul (BM) 50kDa Kuman Salmonella typhi dan Uji Widal Pada Penderita Demam tifoid di RS Persahabatan Jakarta. In: Demam Tifoid Peran Mediator, Diagnosis dan Terapi. Pusat Informasi dan Penerbitan FKUI, Jakarta: 2000:22-24. Marshall JL, Langarica AF, Kingslet RA, Hithcock JR, Ross RA, Macias CL, et al., 2012, The capsular vi polysaccharide from Salmonella typhi is a B1b antigen, in immunol vol. 189, 5527-32. Mehta K, 2012, Newer Diagnostic Metods and Drugs in the Treatment of Enteric Fever, in J Incect Dis. 2, p: 660-61. Misnadiarly,Husjain Djajaningrat, 2014, Mikrobiologi untuk Klinik dan Laboratorium, Rineka Cipta, Jakarta. Nasronudin, 2007, Demam tifoid in Penyakit Infeksi di Indonesia, Airlangga University Press, p: 121-125. Parry CM, Wijedoru, L, Arjyal A, Baker S, 2011, The Utility of Diagnostic Test for Enteric Fever in Endemic Location, in Rev Anti Infect There vol. 9 no. 6, p: 711-25. PT Pasific Biotekindo Intralab, 2011, Informasi Produk TUBEX TF Diagnosisi Tifoid Definitif Semi Kuantitatif dengan Metode IMBI, Jakarta. Rezania S, Amirmozzafari M, Tabarrael B, Tehrani MJ, Zarei A, Alizadeh R, et al., 2011, Extraction, purification and Characterization of Lipopolysaccharide from Eschericia coli and Salmonella typhi, in Med Microbiol, vol. 3 no. 1, p: 1-7. Setia S, Idrus A, Aru WS, Marcellus SK, Bambang S, Ari FS dkk., 2014, Demam Tifoid in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi keenam Jilid I, p: 549557,Interna Publishing, Jakarta Pusat. Setiono AB, Qiantori A, Suwa H, Ohta T, Characteristic and risk factor for typhoid fever after Tsunami, earth quake and LPPM STIKes Perintis Padang 136 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ under normal conditions in Indonesia, in BMC research. 2010:( 106): 2-9. Thriemer K, Ley B, Menten J, Jacobs J, Ende J, 2013, A systematic review and meta analysis of the performance of two point of care of typhoid fever test Tubex TF and Typhidot, in endemic countries, in Pos one vol. 8, 1-9. Widodo J, 2009, Demam Tifoid in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Interna Publishing,p: 2797-2806. Winn W, Allen S, Janda W, Koneman E, Schreckenberger P et al., 2006, The Enterobacteriaceae, In: Koneman’s Color Atlas and Texbook of Diagnostic Microbiology, Lippincott Williams and Wikins, p: 211-194. Word Health Organization,2010, The Immunological Basis for Immunization Series, Departement of Immunization, vaccines and Bilogicals, p: 7-9. Word Health Organization, 2011, Guidelines Management of Typhoid Fever, pp: 612. Word Health Organization, 2013, Guidelines on the Quality, Safety, and Efficacy of Typhoid Conjugate vaccine,pp: 5-12 LPPM STIKes Perintis Padang 137 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan by Ners for Ners ISSN: 2579-3985 ‘Peningkatan Profesionalisme Perawat dalam Pelaksanaan Home Care untuk Kemandirian dan Pencapaian Keluarga Sehat’ Copyright @ 2016 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIKes Perintis Padang Alamat Penerbit : Jl. Adinegoro Simpang Kalumpang Lubuk Buaya Padang, Sumatera Barat – Indonesia Telp. (+62751) 481992, Fax. (+62751) 481962 LPPM STIKes Perintis Padang