struktur wacana, makna, dan fungsi mahalabiu

advertisement
STRUKTUR WACANA, MAKNA, DAN FUNGSI MAHALABIU
(DISCOURSE STRUCTURES, MEANINGS, AND FUNCTIONS OF
MAHALABIU)
Erlita Desriani dan Rustam Effendi
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat,
Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected]
Abstract
Discourse Structures, Meanings, and Functions of Mahalabiu. Mahalabiu is a
discourse that implies multiple (ambiguous), meaning the spoken utterances, usually the
listener to interpret the meaning or intent behind the words is another. Behavior
mahalabiu Banjar is a common language behavior of the use meaningful phrases in
order to outwit new speaker. The purpose of this study was to describe the Discourse
Structure, Meaning and Function mahalabiu. This type of research used in this study
Discourse Structure, Meaning and Function mahalabiu is descriptive research that
intends to provide an overview of data characteristics in accordance with nature itself.
The method used is descriptive method with qualitative approach to the data source in
this study is a collection mahalabiu from an internet site and a thesis of Noorbaity
(2004). Data collection techniques in this study is to use observation techniques of text,
data collection obtained by collecting, reading and classify mahalabiu the structure,
meaning and function. From the research, it can be concluded Discourse Structure is
divided into two parts, namely the introduction and description mahalabiu. Then there
are four types in the distribution of meaning, namely (1) homonym, (2) homophones, (3)
reduction of the phrase, and (4) comments do not match with the topic. Function
mahalabiu five functions, namely (1) functions as a joke / joke material, (2) a function
that tests a person's intelligence, (3) the function of a satirical one, (4) functions as a tool
to tell a state or occupation, and (5 ) function is a tool to educate children.
Keywords: discourse structure, meaning, function, mahalabiu
Abstrak
Struktur Wacana, Makna, dan Fungsi Mahalabiu. Mahalabiu adalah wacana yang
mengandung pengertian ganda (mendua), memiliki makna ujaran yang diucapkannya,
biasanya si pendengar menafsirkan makna atau maksud lain dibalik ucapan tersebut.
Perilaku mahalabiu adalah perilaku berbahasa Banjar yang umum karena adanya
penggunaan ungkapan-ungkapan yang bermakna baru dengan tujuan mengecoh lawan
bicara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Struktur Wacana, Makna
dan Fungsi mahalabiu. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian Struktur
Wacana, Makna, dan Fungsi mahalabiu ialah jenis penelitian deskriptif yang bermaksud
memberikan gambaran ciri-ciri data sesuai dengan sifat alamiah itu sendiri. Metode
yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif Sumber data
dalam penelitian ini adalah kumpulan mahalabiu dari sebuah situs internet dan sebuah
tesis dari Noorbaity (2004). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan teknik observasi teks, pengumpulan data diperoleh dengan
mengumpulkan, membaca dan mengklasifikasikan mahalabiu dengan struktur, makna
dan fungsinya. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan Struktur Wacana dibagi atas dua
bagian, yaitu Pengantar dan deskripsi mahalabiu. Kemudian ada empat jenis dalam
pembagian Makna, yakni (1) homonim, (2) homofon, (3) pengurangan frasa, dan (4)
komen tidak serasi dengan topik. Fungsi mahalabiu ada lima fungsi, yakni (1) fungsi
sebagai gurauan/bahan bercanda, (2) fungsi yang menguji kepandaian seseorang, (3)
fungsi yang menyindir seseorang, (4) fungsi sebagai alat untuk memberitahu suatu
keadaan atau pekerjaan, dan (5) fungsi alat untuk mendidik anak.
Kata-kata kunci: struktur wacana, makna, fungsi, mahalabiu
PENDAHULUAN
Perbuatan berbahasa adalah perbuatan manusia yang ingin mengemukakan pendapat,
pikiran dan keinginan kepada orang lain atau lawan bicara dengan media, baik dalam bentuk
lisan maupun tulisan. Untuk berbahasa orang tidak perlu mempelajari dan menghafal berbagai
aspek pemakaian bahasa, dan berbagai teori yang berhubungan dengan struktur bahasa. Dengan
kata lain, dalam berbahasa terkandung pengertian siapa berbicara, terhadap siapa, menggunakan
bahasa atau kode apa, membicarakan topik apa, di mana dan kapan dilakukan, dan bagaimana
situasinya. Ada banyak ragam pembentukan kata dalam bahasa indonesia. Sebagian besar kata
dibentuk dengan cara menggabungkan beberapa komponen yang berbeda.
Kata-kata mahalabiu ini merupakan salah satu cerita humor yang ada di masyarakat
Banjar, tetapi diperkirakan mahalabiu berasal dari orang-orang Halabiu, orang Halabiu dikenal
sebagai subetnik Banjar yang gemar berteka-teki dan membuat cerita-cerita lucu. Mahalabiu
dituturkan secara lisan dan berkembang dalam satu lingkungan yang memungkinkan mahalabiu
itu hidup dan berkembang serta diterima oleh masyarakat. Tidak sembarang mahalabiu
dituturkan seseorang di suatu tempat, dengan kata lain mahalabiu yang dituturkan oleh seseorang
kepada orang lain harus mempertimbangkan faktor lingkungan sosial dan budaya. Di
Banjarmasin, mahalabiu ini sudah dikenal sejak lama, Di balik kata-kata mahalabiu ini tersirat
sebuah makna di dalamnya melalui percakapan atau dialog. Kalimat mahalabiu memiliki makna
atas ujaran yang diucapkannya, biasanya si pendengar menafsirkan makna atau maksud lain
dibalik ucapan tersebut. Oleh karena itu, mahalabiu tersebut dapat dianalisis dari segi
penggunaan bahasanya, dan struktur kata yang terdapat dalam teka-teki mahalabiu tersebut.
Meskipun kata-kata di dalamnya menggunakan bahasa tidak baku.
Bahasa yang digunakan dalam mahalabiu tersebut adalah bahasa Banjar. Bahasa Banjar
merupakan bahasa yang sudah sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar.
Mahalabiu merupakan salah satu khas Banjar yang memuat cerita-cerita yang bermakna ganda,
yang pada zaman sekarang ini sudah mulai tidak digunakan, atau tidak dketahui oleh banyak
anak-anak zaman sekarang terutama anak-anak masyarakat Banjar. Hal itulah yang
melatarbelakangi peneliti untuk meneliti struktur wacana, makna, dan fungsi mahalabiu.
Sastra lisan banjar pada umumnya bersifat lisan atau diturun-temurunkan secara lisan,
dari mulut ke mulut. Berbicara tentang siapa yang memegang peranan dalam penyampaian sastra
lisan berarti membicarakan tokoh-tokoh yang dalam kehidupannya sehari-hari mempunyai
keahlian khusus dalam menyajikan sastra turun-temurun. Secara umum, orang-orang tua
merupakan penutur sastra lisan banjar, dalam berbagai kesempatan mereka menyampaikan kisah,
hikayat, dongeng dan sejenisnya, muda-mudi pun merupakan penutur cerita yang biasanya
seputar humor dan kadang-kadang berbau porno (Sunarti, 1977: 8)
Sastra lisan Banjar disampaikan dengan bahasa Banjar dalam berbagai dialek. Kalau
diperhatikan dengan teliti maka sesuai dengan keadaan zaman dan tingkat kemajuan hubungan,
pengaruh bahasa daerah lisan dan masuknya bahasa Indonesia ke pedesaan sering terselip dalam
tuturan (Sunarti, 1977: 15). Menurut Sunarti (1977: 21-24), dari segala macam bentuk sastra
Banjar yang hidup dalam masyarakat yang telah dikumpulkan hingga kini dapatlah
diklasifikasikan menurut pembagaian sastra yang umum, yaitu prosa, puisi, dan prosa liris.
Namun ada pula yang tidak bisa sepenuhnya dimasukkan ke dalam salah satu bentuk tersebut.
Bentuk semacam ini dimasukkan ke dalam bentuk-bentuk khusus.
Menurut Danandjaya (1991: 21-22), tradisi lisan adalah yang bentuknya memang murni
lisan. Bentuk-bentuk (genre) yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa
rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b)
ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d)
puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda,
dan dongeng, dan (f) nyanyian rakyat.
Kiranya tidak ada masyarakat Kalimantan selatan khususnya, kecuali anak kecil, yang
tidak tahu dengan istilah “mahalabiu”, karena istilah ini sudah sangat popular di tengah-tengah
masyarakat bila ada seseorang berbicara yang mengandung pengertian ganda (mendua). Karena
itu jika orang tidak berpikir dua kali, biasa salah arti atau tidak mengerti maksud yang
sebenarnya, orang bisa terkecoh dengannya.
Mahalabiu ini sendiri merupakan salah satu cerita humor yang ada di masyarakat Banjar.
Di Banjarmasin, mahalabiu sudah dikenal sejak lama, di balik kata-kata mahalabiu ini tersirat
sebuah makna didalamnya melalui percakapan atau dialog. Kalimat mahalabiu memiliki makna
ujaran yang diucapkannya, biasanya si pendengar menafsirkan makna atau maksud lain dibalik
ucapan tersebut. Tetapi berbeda dengan teka-teki, teka-teki merupakan sebuah pertanyaan yang
memerlukan jawaban, orang yang berteka-teki sengaja menanyakan apa jawaban dari teka-teki
tersebut, sedangkan mahalabiu tidak, walaupun hampir sama, orang yang menuturkan mahalabiu
tidak perlu dengan sengaja meminta jawaban dari lawan tutur, karena mahalabiu itu sendiri
dengan tidak sengaja memancing orang yang mendengar akan berpikir dengan sendirinya apa
yang dituturkan orang yang mahalabiu.
Perilaku mahalabiu adalah perilaku berbahasa Banjar yang umum karena adanya
penggunaan ungkapan-ungkapan yang bermakna baru dengan tujuan mengecoh lawan bicara
(Hapip, 2001: 52). Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pateda (2001: 152-153)
bahwa akhir-akhir ini dalam penggunaan bahasa Indonesia (situasi tidak resmi) terdapat bentukbentuk yang dipelesetkan, yaitu tidak kesewenang-wenangan pemakai bahasa untuk
menggunakan lambang tertentu yang ingin memaknai sesuatu. Heryanto (Pateda, 2001: 153)
mengatakan bahwa plesetan sebagai kegiatan berbahasa yang mengutamakan secara maksimal
berbagai pernyataan dan aneka makna secara sewenang-wenang pada kaitan pertanda, makna
dan realitas empirik.
Struktur Wacana
Dalam praktek berbahasa ternyata kalimat bukanlah satuan sintaksis terbesar seperti
banyak diduga atau diperhitungkan orang selama ini. Kalimat atau kalimat-kalimat ternyata
hanyalah unsur pembentuk satuan bahasa yang lebih besar yang disebut wacana (Chaer, 2007:
265-266).
Wacana sebagai satuan bahasa di atas kalimat dan penggunaan bahasa bersifat dikotomis
(Jumadi, 2010: 47). Wacana juga diartikan sebagai kesatuan makna antarbagian di dalam suatu
bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dapat dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena
setiap bagian dalam wacana itu berhubungan secara padu. Di samping itu, wacana terikat pada
konteks. Kata wacana dalam bahasa Indonesia digunakan untuk mengacu pada bahan bacaan,
percakapan, tuturan (Rani, 2004).
Kita memakai bahasa dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat pertama
menyebabkan timbulnya kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat
ketiga mengacu kembali ke kalimat pertama dan seterusnya. Rentetan kalimat yang berkaitan
yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan
yang dinamakan wacana (Alwi, dkk., 2003: 419)
Makna
Pengertian makna menurut Palmer (Djajasudarma, 1993: 5) adalah pertautan yang ada
diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Pengertian makna menurut Kosasih
(2004: 167) berarti suatu kata atau isi pembicaraan atau pikiran. Jadi, kalau kita ingin mencari
makna suatu kata, kita harus mencari maksud dan mengenal ciri-ciri atau karakter yang
terkandung pada kata tersebut. Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de
Saussure (Chaer, 2007: 287) bahwa makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh
setiap kata atau leksem.
Di dalam buku The Meaning oleh Ogden dan Richards (dalam Pateda, 2001: 81) telah
dikumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna. Bagi orang awam, untuk memahami
makna kata tertentu ia dapat mencari kamus sebab di dalam kamus terdapat makna yang disebut
makna leksikal. Dalam kehidupan sehari-hari orang sulit menerapkan makna yang terdapat di
dalam kamus, sebab makna sebuah kata sering bergeser jika berada dalam satuan kalimat.
Dengan kata lain setiap kata kadang-kadang mempunyai makna luas. Itu sebabnya kadangkadang orang tidak puas dengan makna kata yang tertera di dalam kamus. Hal-hal ini muncul
jika orang bertemu atau berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, metafora, peribahasa, dan
ungkapan.
Menurut Waridah (2009: 314-318) hubungan antarmakna dibagi menjadi empat, yaitu
homonim, homofon, komen tidak serasi dengan topik, dan penghilangan unsur penting dalam
kelompok kata. Homonim berasal dari kata „homas‟, berarti sejenis atau sama, dan „onuma‟
berarti nama. Jadi, homonim diartikan sebagai kata-kata yang bentuk dan cara pelafalannya
sama, tetapi maknanya berbeda. Homofon adalah kata yang cara pelafalannya sama, tetapi
penulisan dan maknanya berbeda. Berikut ini contoh kata-kata berhomofon. Topik merupakan
kata/frasa/klausa yang mengandung informasi yang sudah diketahui oleh lawan bicara (mitra
bicara), sedangkan komen mengandung informasi yang baru dan belum diketahui oleh mitra
bicara. Dalam konvensi tuturan biasa atau tuturan normal, orang berupaya membuat kalimat
dengan baik dan benar, agar komunikasi berjalan lancar. Untuk itu, penutur berupaya memenuhi
syarat-syarat pembentukan kalimat agar sebuah interaksi komunikasi berjalan dalam suasana
yang menyenangkan. Tetapi konvensi komunikasi di atas diabaikan, bagian kalimat yang
menjadi topik dibuat sedemikian rupa sehingga memancing perasaan ingin tahu kalimat
setersunya. Kelanjutan kalimat yang diharapkan oleh mitra bicara ternyata tidak memiliki
hubungan langsung dengan topik yang telah dikemukakan sebelumnya. Kalimat yang dibentuk
dengan cara mengurangi atau menghilangkan sebuah unsur penting dalam kelompok kata yang
berfungsi sebagai subjek, predikat, objek, atau keterangan.
Fungsi dapat dipandang sebagai padanan kata penggunaan dengan pemikiran fungsi
bahasa dapat diartikan cara orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa mereka bila
mereka berbahasa lebih dari satu (Ramlan, 1992: 20)
Fungsi atau guna bahasa dalam teka-teki menurut Alan Dundes (Danandjaya, 1991: 45)
juga mempunyai beberapa fungsi yang dibagi menjadi lima bagian, yaitu (1) sebagai
gurauan/bahan bercandaan, (2) sebagai alat menguji kepandaian, (3) sebagai alat menyindir
seseorang, (4) sebagai alat untuk memberi tahu suatu keadaan atau pekerjaan, dan (5) sebagai
alat untuk mendidik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana struktur wacana,
makna, dan fungsi mahalabiu.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Berkaitan dengan objek yang akan dibahas, metode ini bertujuan untuk
mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan menganalisis data sehingga diperoleh gambaran
menyeluruh tentang struktur wacana, makna, dan fungsi mahalabiu. Data dalam penelitian ini
berwujud teks. Data tersebut terdapat pada kumpulan mahalabiu berupa wacana terhadap
“struktur wacana, makna, dan fungsi mahalabiu”. Sumber data dalam penelitian ini adalah
kumpulan mahalabiu dari sebuah situs internet. Dalam pengumpulan data ini, peneliti
menggunakan teknik observasi teks, pengumpulan data diperoleh dengan mengumpulkan,
membaca, dan mengklasifikasikan mahalabiu dengan struktur, makna dan fungsinya. Teknik
analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yakni dengan menganalisis satu per satu
mahalabiu tersebut.
HASIL
Struktur Wacana Mahalabiu
Struktur mahalabiu di sini dianalisis berdasarkan pengantar (acuan mahalabiu), deskripsi
(penggambaran dari mahalabiu/petunjuk) atau lebih jelasnya menggunakan pembukaan dan isi.
1) Malam Jumat tadi di wadahku urang mangatuk lawang kada pakai kapala (malam Jum’at
tadi di tempatku orang mengetuk pintu tidak pakai kepala)
Struktur mahalabiu ini adalah:
a. Pengantar Mahalabiu
: malam Jum‟at tadi di wadahku
b. Deskripsi Mahalabiu
: urang mangatuk lawang kada pakai kapala
Struktur Mahalabiu (1) terdiri atas dua bagian, pertama (a) sebagai pengantar mahalabiu
yang memberi acuan “malam Jumat tadi di wadahku (malam Jumat tadi di tempatku)”. Kedua
(b) sebagai Deskripsi Mahalabiu yang lebih menggambarkan acuan dari mahalabiu tersebut
“urang mangatuk lawang kada pakai kapala (orang mengetuk pintu tidak pakai kepala)”, orang
yang mendengar kalimat tersebut pasti berpikiran kalau yang mengetuk pintu tersebut adalah
hantu karena tidak mempunyai kepala “kada pakai kepala”, makna pertama inilah yang
mengandung mahalabiu, yang membuat orang berpikir bahwa yang mengetuk pintu itu hantu,
padahal sudah sewajarnya orang mengetuk pintu itu tidak pakai kepala tapi pakai tangan atau
menggunakan tangan untuk mengetuk pintu.
2) Suah marasai rambutan masak habanglah ?(pernah mencicipi rambutan masak merah tidak?)
Struktur mahalabiu ini adalah:
a. Pengantar Mahalabiu
: suah marasai
b. Deskripsi Mahalabiu
: rambutan masak habang
Struktur Mahalabiu (2) terdiri atas dua bagian, pertama (a) “Suah marasai (pernah
mencicipi)” sebagai pengantar mahalabiu yang memberi acuan dengan kata “suah marasai”.
Kedua (b) “rambutan masak habang (rambutan masak merah) sebagai deskripsi mahalabiu atau
penggambaran mahalabiunya. Kalimat “suah marasai rambutan masak habanglah ?” makna
pertama, tentu orang yang pertama kali mendengarnya kebingungan, dalam pikiran orang yang
baru mendengarnya pasti dalam pikirannya rambutan itu dimasak habang atau pakai bumbu
habang (merah), makna pertama ini yang mengandung mahalabiu karena mengecoh pikiran
lawan bicara/pendengarnya, sedangkan makna kedua, tentu rambutan yang sudah masak/matang
berwarna merah “habang”, inilah makna yang sebenarnya.
Makna Mahalabiu
Dalam makna mahalabiu digunakan analisis hubungan antarmakna yang dibagi menjadi
empat bagian, yakni homonim, homofon, pengurangan frasa, dan komen tidak serasi dengan
topik (Waridah, 2009: 314-318).
Makna Mahalabiu yang mencakup Homonim
Homonim berasal dari kata „homas‟, berarti sejenis atau sama, dan „onoma‟, berarti nama.
Jadi, homonim diartikan sebagai kata-kata yang bentuk dan cara pelafalannya sama, tetapi
maknanya berbeda. Beberapa contoh mahalabiu yang mencakup homonim sebagai berikut.
Contoh:
1)
Sidin kada suah kasulitan duit (beliau tidak pernah bermasalah dalam hal keuangan).
Kata “kasulitan” dalam bahasa Banjar bermakna ganda, yakni ada sesuatu yang terselip di
gigi (makanan) dan bermasalah atau sedang mengalami kesusahan. “sidin kada suah kasulitan
duit (beliau tidak pernah bermasalah dengan keuangan)”. Makna pertama, orang yang
mendengar ini akan berpikiran kalau orang ini kaya/mampu karena tidak pernah mengalami
kesulitan dalam keuangan, sedangkan makna kedua, yang dimaksudkan sebenarnya adalah
bermakna kalau beliau itu tidak pernah terselip uang di giginya. Kata “kesulitan” bermakna
“bermasalah/sedang mengalami kesulitan tapi bagi makna mahalabiu, kata “kasulitan” sama
dengan “ada sesuatu yang terselip di sela gigi”
sesuatu yang terselip disela gigi
M1
M2
Mengalami kesusuhan
X
X = Sidin kada suah kasulitan duit
M1 = sesuatu yang terselip di gigi
M2 = Mengalami kesusahan
Makna Mahalabiu yang mencakup Homofon
Homofon adalah kata yang cara pelafalannya sama, tetapi penulisan dan maknanya
berbeda. Beberapa contoh mahalabiu yang Mencakup homofon sebagai berikut.
Contoh:
1)
Urang manukar itik di halabiu dua ikung samaliar (orang membeli itik di halabiu
semeliar)
Pada kata “samaliar” yang dalam bahasa Banjar mempunyai dua kemungkinan, yakni
semiliar atau uang yang berjumlah semiliar (1 miliar) dan sama liar atau sama tidak jinak. Makna
pertama, mungkin ada yang berpikir kalau orang itu membeli dua ekor itik dengan harga 1
miliar, harga 1 miliar buat membeli itik dua ekor, itu adalah sesuatu hal yang sangat luar biasa,
dan tidak masuk akal terkecuali orang itu membeli itik ajaib (yang mempunyai kemampuan
lebih). Makna kedua, yang dimaksudkan di sini adalah “itik yang sama liar (liar = tidak jinak).
Karena kata yang tidak sesuai membuat mahalabiu ini menjadi menarik dan sukar ditebak.
Samaliar
M1
Sama liar
M2
X
X = Urang manukar itik di halabiu dua ikung samaliar
M1 = Samaliar
M2 = Sama liar
Makna Mahalabiu yang mencakup Pengurangan Frasa
Mahalabiu yang di bentuk dengan cara mengurangi atau menghilangkan unsur kata yang
berfungsi sebagai subjek, predikat, objek, keterangan. Beberapa contoh mahalabiu yang
mencakup pengurangan frasa ini sebagai berikut.
Contoh:
1)
Paman pentol maulah pentol bajajak (paman pentol membuat pentol berinjak)
Pada kalimat di atas terdapat pengurangan frasa yang berfungsi keterengan, „maulah
pentol bajajak‟ pendengar akan memaknai kalau membuat pentol itu berinjak atau di injak-injak
menggunakan kaki padahal seharusnya kata tersebut ditambahkan keterangan “paman pentol
maulah pentol bajajak di lantai”. Jadi, yang dimaksudkan paman pentol membuat pentolnya
“berinjak” artian berinjak di sini adalah berinjak di lantai atau berpijak di lantai bukan membuat
pentol yang diinjak-injak.
Diinjak menggunakan kaki
M1
Berinjak atau berpijak di lantai
M2
X
X
M1
M2
= Paman pentol maulah pentol bajajak
= Diinjak-injak menggunakan kaki
= berinjak atau berpijak di lantai
Makna Mahalabiu mencakup komen tidak serasi dengan topik
Mahalabiu di sini dibagi menjadi dua bagian yang berkedudukan sebagai topik dan bagian
yang lain berkedudukan sebagai komen. Dalam bahasa Banjar, topik selalu terdapat pada bagian
awal kalimat. Topik itu, berupa kata/frasa/klausa mengandung informasi yang sudah diketahui
oleh lawan bicara, sedangkan komen mengandung informasi yang baru dan belum diketahui oleh
lawan bicara. Beberapa contoh mahalabiu yang mencakup Komen tidak serasi dengan topik.
Contoh:
1)
Balawasanai ngini jalan rusak inya pambakalnya kada mau diaspal (selamanya ini jalan
rusak karena lurahnya tidak mau diaspal)
Pada kalimat di atas Topik mahalabiu adalah “balawasanai ngini jalan rusak” topik ini
sudah diketahui/dimengerti oleh lawan bicara. Komen terdapat pada kalimat “inya pambakalnya
kada mau diaspal”, komen ini tidak berhubungan dengan topik karena pambakalnya tidak mau
diaspal jalan menjadi rusak. Komen ini sengaja dibuat agar orang yang mendengar menjadi
bingung, lurah atau orang mana saja pasti tidak mau kalau dirinya diaspal. Padahal maksud
yang sebenarnya adalah lurahnya tidak mau mengaspal jalan.
Kada mau diaspal
M1
X
M1
M2
Kada mau mengaspal
M2
X
= Balawasanai ingini jalan rusak inya pambakalnya kada mau diaspal
= kada mau diaspal
= kada mau mengaspal
Fungsi Mahalabiu
Fungsi bahasa terutama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau berkomunikasi di
dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Selain untuk berkomunikasi, sebenarnya dapat juga
digunakan cara lain, misalnya dengan isyarat lambang-lambang atau kode-kode tertentu lainnya
(Chaer, 2006: 2). Fungsi bahasa dapat dianggap berguna sebagai penunjang pikiran. Kedua,
manusia sering kali menggunakan bahasa untuk mengungkapkan diri, artinya untuk mengkaji
apa yang dirasakannya tanpa memperhatikan sama sekali reaksi pendengarnya yang mungkin
muncul. Dalam fungsi mahalabiu digunakan analisis Alan Dundes (Danandjaya, 1991: 45) yang
dibagi menjadi lima bagian, yaitu (1) sebagai gurauan/bahan bercandaan, (2) sebagai alat
menguji kepandaian, (3) sebagai alat menyindir seseorang, (4) sebagai alat untuk memberi tahu
suatu keadaan atau pekerjaan, dan (5) sebagai alat untuk mendidik.
Fungsi untuk gurauan atau bahan bercandaan.
Mahalabiu di sini gunakan hanya untuk bahan gurauan, bercandaan di sela-sela waktu
luang, misalnya pada saat santai berkumpul dengan teman-teman, yang menimbulkan mahalabiu
ini muncul.
Contoh:
“Suah marasai rambutan masak habanglah ?(pernah mencicipi rambutan masak merah tidak?)”
Orang yang mendengar tentu akan tertawa karena rambutan dijadikan masakan masak
habang, memakai bumbu habang (merah).
Fungsi Mahalabiu yang menguji kepandaian seseorang
Mahalabiu sering juga dijadikan sebagai alat untuk menguji kepandaian seseorang,
sampai mana orang itu mampu menjawab atau berpikir bila ada orang yang mengucapkan
mahalabiu. Orang yang menuturkan mahalabiu akan merasa senang apabila orang yang
mendengar tidak bisa menjawab.
Contoh:
“ kanapanah ayam mati ? (kenapa ya ayam mati?)”
Pada kalimat tersebut seolah-olah menanyakan kenapa ayam itu bisa mati? Orang yang
mendengar tentu akan bingung menjawabnya, bisa saja mati karena keracunan, ditabrak mobil
dan sebagainya. Padahal orang yang menuturkan kalimat tersebut tidak bertanya, dia
memberitahu kalau “kana panah ayam mati” ayam mati karena terkena busur panah.
Fungsi sebagai alat untuk menyindir seseorang
Mahalabiu ini juga difungsikan sebagai alat untuk menyindir seseorang secara tidak
langsung.
Contoh:
“jangan talalu badadai kalau pina karing (jangan terlalu berjemur kalau badanmu kering)”
Pada kalimat di atas seseorang mengatakan hal itu kepada lawan bicaranya sebenarnya
memberikan semacam sindiran, karena maksud sebenarnya bukan berjemur tetapi sikap yang
terlalu terbuka, terlalu menampakkan diri terutama bagi gadis-gadis. Kalimat tersebut merupakan
kalimat perintah yang isinya melarang seseorang melakukan sesuatu, artinya „jangan terlalu
berpenampilan berlebihan‟.
Fungsi Mahalabiu sebagai alat memberi tahu keadaan atau pekerjaan
Mahalabiu juga digunakan sebagai alat memberi tahu secara tidak langsung tentang
pekerjaan atau suatu keadaan seseorang.
Contoh:
“Maunjun mulai jam 10.00 sampai jam 11.00 ia itu kada kasiangan (memancing dari
jam 10.00 sampai jam 11.00 tidak kesiangan)”.
Kalimat mahalabiu di atas memberi tahu keadaan/pekerjaan yang sedang ia lakukan, kalimat
tersebut diarahkan pada makna „membersihkan ikan begitu repot‟ karena dalam bahasa Banjar
kata „siang‟ selain bermakna hari yang sudah siang (lawan malam) juga bermakna membersihkan
ikan. Jadi, makna yang selengkapnya adalah memancing dari jam10.00 sampai jam 11.00 begitu
repot membersihkan ikan hasil tangkapan karena begitu banyaknya ikan yang didapat.
Fungsi Mahalabiu sebagai alat untuk mendidik
Mahalabiu juga berfungsi sebagai alat untuk mendidik anak, memberitahu hak-hal dan
sifat yang dianggap baik atau tidak baik dilakukan.
Contoh:
“urang sumbahyang di langgar badosa (orang shalat di surau berdosa)”
Pada kalimat di atas, mahalabiu berfungsi sebagai alat untuk memberitahu hal yang
dianggap tidak baik. Dalam bahasa Banjar, kata „langgar‟ bermakna ganda, yakni „langgar‟
bermakna menabrak dan bermakna surau tempat orang melakukan shalat. Yang dimaksudkan
mahalabiu di atas adalah „orang yang sedang shalat ditabrak berdosa‟.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil identifikasi struktur wacana, makna, dan fungsi
mahalabiu dapat disimpulkan berikut ini.
(1) struktur wacana yang dibagi berdasarkan pengantar (acuan mahalabiu), deskripsi
(penggambaran dari mahalabiu/petunjuk) atau lebih jelasnya menggunakan pembukaan dan isi.
(2) ada empat jenis makna mahalabiu yang digunakan, yakni (a) homonim, (b) homofon, (c)
pengurangan frasa, dan (d) komen tidak serasi dengan topik.
(3) ada lima jenis fungsi mahalabiu yang digunakan, yakni (a) fungsi untuk gurauan atau bahan
bercandaan, (b) fungsi untuk menguji kepandaian, (c) fungsi sebagai alat untuk menyindir
seseorang, (d) fungsi sebagai alat untuk memberi tahu keadaan atau pekerjaan, dan (e) fungsi
sebagai alat untuk mendidik.
Saran
Dari hasil penelitian Struktur wacana, makna, dan fungsi mahalabiu, ada beberapa hal yang
disarankan kepada peneliti lain yang ingin meneliti tentang mahalabiu disarankan melakukan
penelitian yang lebih mendalam lagi dan diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan
perbandingan untuk penelitian mahalabiu yang selanjutnya.
DAFTAR RUJUKAN
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Djajasudarma, Fatimah.1993. Semantik 1 Pengantar Kearah Ilmu Makna. Bandung: PT Eresco
Bandung.
Danandjaya, James. 1991. Foklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: PT
Temprint.
Hapip, Abdul Djebar. 2001. Kamus Banjar-Indonesia. Banjarmasin: PT Grafika Wangi
Kalimantan.
Jumadi. 2010. Wacana: Kajian Kekuasaan Berdasarkan Ancangan Etnografi Komunikasi dan
Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Prisma.
Kosasih, E. 2004. Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ramlan, M. 1992. Bahasa Konteks Dari Teks. Yogyakarta: Fakultas Universitas Gajah Mada.
Rani, Abdul. 2004. Analisis Wacana Sebuah: Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang:
Bayumedia Publishing.
Sunarti. 1977. Sastra Lisan Banjar. Banjarmasin: Proyek Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Banjarmasin.
Tarigan, Henry Guntur. 1988. Wacana. Bandung: PT Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1989. Pengajaran Kompetensi Bahasa. Bandung: PT Angkasa.
Waridah, Ernawati. 2009. EYD dan Seputar Kebahasaan. Jakarta: Kawan Pustaka.
Download