11. TINJAUAN PUSTAKA Ciri Tanah Ultisol dan Vertisol Tanah Ultisol di Indonesia menempati areal yang cukup luas, yaitu sekitar 42,3 juta ha (Sri Adiningsih et a/, 1997; Rochayati et a/, 1997). Tanah ini umumnya diusahakan untuk pertanian tanaman pangan lahan kering dan perkebunan. Ultisol merupakan ordo tanah yang berkembang dari bahan induk tua di daerah dengan curah hujan tinggi dan suhu tanah lebih tinggi dari 8" C (Hardjowigeno, 1993). Tanah ini mempunyai horison argilik, bersifat masam dengan kejenuhan basa rendah. Kendala kesuburan tanah yang utama adalah tingkat kemasamannya yang tinggi (pH rendah), kejenuhan aluminium (Al) umumnya tinggi, miskin unsur-unsur hara N, PI K, Ca, Mg dan S, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa rendah (Djaenudin dan Sudjadi, 1987). KejenuhanAl yang tinggi dapat meracunitanaman dan menghambat pertumbuhan akar sehingga hara K tidak optimum diserap oleh tanaman. Tanah Ultisol pada umumnya didominasi oleh tipe mineral liat 1 : 1 (kaolinit). Mineral liat 1 : 1 terdiri dari lembar-lembar oktahedra aluminium dan tetrahedra silikat yang diikat bersama oleh ikatan hidrogen. Ukuran ruang antar misel tetap dengan jarak dasar 7,14A. Mineral ini mempunyai muatan negatif yang berubahubah tergantung pH (pH dependent charge), sedang muatan permanen hanya sedikit (Tan, 1998). Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada tanah yang didominasi oleh mineral liat kaolinit umumnya rendah yaitu berkisar antara 1 sampai 10 cmol kg-' dan dapat berubah dengan perubahan pH. Mineral liat pada tanah Ultisol di daerah Kotabumi Lampung Utara didominasi oleh mineral liat kaolinit (Prasetyo ef a/., 1997). Demikian juga mineral liat tanah sawah di daerah Lampung didominasi oleh mineral liat kaolinit (Prasetyo dan Kasno, 2001). Tanah yang didominasi oleh mineral liat kaolinit mempunyai daya sangga tanah yang rendah. Sulaeman eta/. (2000) menyampaikan bahwa daya sangga tanah Ultisol terlihat terendah dibanding tanah lnceptisoldan Vertisol. Pada tanah dengan daya sangga rendah berarti kemampuan tanah mengikat K cukup rendah, sehingga pemupukan K lebih mudah tersedia, namun mudah hilang tercuci pada daerah dengan curah hujan yang tinggi. Dalam kondisi demikian pemupukan K yang efisien akan dicapai apabila tanah Ultisol diberi amelioran terlebih dahulu atau pemupukan K diberikan 2 sampai 3 kali dalam satu musim tanam. Vertisol merupakan tanah yang didominasi oleh mineral liat tipe 2 : 1 (smektit), bersifat netral dengan KTK yang tinggi. Mineral tipe 2 : 1 terdiri dari satu lembar oktahedra aluminium diapit oleh dua lembar tetrahedra silikat yang diikat bersama oleh ikatan OH. lkatan yang menahan lapisan-lapisan secara nisbi lemah, sehingga ruang antarmisel akan mengembang dengan kenaikkan kadar air dan sebaliknya akan mengkerut dengan penurunan kadar air. Pada kondisi kering jarak dasar pencirinya 12,4 - 14 8, dan jarak dasar saat mengembang 17,O 8,. KTK pada mineral smektit adalah sekitar 70 cmol kg-' dan luas permukaan spesifiknya 700 - 800 m2g-I. Kadar Ca pada tanah ini cukup tinggi sehingga komplekjerapan dan larutan tanahnya dijenuhi oleh Ca, sedangkan K dapat dipertukarkan rendah. Sifat utama tanah yang didominasi oleh mineral liat smektit adalah mengembang saat basah dan mengkerut saat kering. Pada kondisi mengembang ion K lebih mudah dipertukarkan dibanding pada kondisi mengkerut. Grimme (1985) menyampaikan bahwa hara K cukup tersedia pada periode dengan curah hujan cukup dan berada di bawah optimum pada periode kering. Tanah sawah di daerah Madiun diklasifikasikan sebagai Chromic Hapluderts dan didominasi oleh mineral liat smektit (Prasetyo etal., 1996), sedang di daerah Ngawi tanah diklasifikasikan sebagai Typic Pelludert yang juga didominasi oleh mineral liat smektit (Subagyo, 1983). Selanjutnya Prasetyo et a/, (1996) menyatakan bahwa kationdapat dipertukarkan pada tanah ini didominasi oleh Ca2' yaitu 27,35-58,40 cmol kg-' dan Mg2' 8,56-11,93 cmol kg-', sedangkan K hanya 0,24-0,63 cmol kg-'. Batas kritis hara K terekstrak N NH,OAc, pH 7 tanah sawah di Madiun - Ngawi adalah 0,30 cmol kg-' (Team Pembina Uji Tanah, 1973). Kapasitas erap hara K pada tanah Ultisol Lampung dan Vertisol Ngawi berturutturut adalah 0,7995 dan 25,878 m.e. g-', daya sangga 15,92 dan 212,8 m.e. 100 g-' serta K-labil 0,0420 dan 0,2209 cmol kg-' (Sulaeman etal., 2000). M-Ot5, Bentuk K dalam Tanah Kalium merupakan salah satu hara makro setelah N dan P. Kalium dalam tanah terdapat dalam jumlah yang cukup bervariasi, yaitu antara 0,3 - 2,5% (Mutscher, 1995; Havlin et a/., 1999). Kalium dalam tanah berada dalam struktur mineral, berikatan dengan muatan negatif permukaan partikel dan berada dalam larutan tanah. Di daerah tropik total K dalam tanah berada dalam jumlah yang rendah. Rendahnya hara K di daerah tropik ini karena secara alami kadar K dalam tanah rendah, tingkat pelapukan yang cepat (Ritchey, 1979) dan pencucian yang tinggi (Mutscher, 1995). Widjaja-Adhi et a/. (1990) menyampaikan dalam proses pemasaman K bersama kation lainnya terdesak oleh ion H ' dan AT+ sehingga K' mudah tercuci. Siklus K dalam sistem tanah-tanaman tertera pada Gambar I. Pemupukan K 1 5 K dapat 6 dipertukarkan A 11 10 IK tidak tersedial 1 2 v a 9 Gambar 1. Siklus K dalam Sistem Tanah-Tanaman (Cao dan Hu, 1995) Keterangan : Absorpsi, Sekresi, Adsorpsi, 7. lrigasi 9. Pelapukan I'l.Fiksasi 1. 3. 5. 2. 4. 6. 8. 10. Dilepas, Pemberian, Desorpsi, Hujan. Mineralisasi Kalium dalam tanah berada dalam bentuk K dalam larutan, K dapat dipertukarkan (exchangeable K), dan K tidak dapat dipertukarkan misalnya K yang difiksasi. Secara dinamik akan terbentuk suatu keseimbanganyang saling mengisi dari bentuk-bentuk K tersebut. Kalium yang ditambahkan maupun yang diangkut oleh hasil atau residu tanaman berpengaruh terhadap dinamika K dalam tanah, yang selanjutnya mempengaruhi ketersediaan K bagi tanaman. Grimme (1985) menyatakan bahwa keseimbangan konsentrasi K dalam larutan tanah tergantung pada K dapat dipertukarkan, pH, jumlah dan jenis mineral liat. Penambahan K ke dalam tanah dapat berasal dari pupuk yang diberikan dalam upaya meningkatkan hasil tanaman. Kalium yang berasal dari pupuk ini merupakan K yang dapat langsung diserap oleh tanaman. Selain dari pupuk, penambahan hara K dalam larutan berasal dari pelapukan mineral penyusuntanah atau yang terfiksasi, K dapat dipertukarkan, sekresi tanaman dan pelepasan dari mikroorganisme. Air pengairan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dapat menyumbang hara K sebesar berturut-turut 7 - 47, 12 - 35 dan 20 - 74 kg K ha-l musim-' (Soepartini et a/., 1996). Berkurangnya K dalam larutan tanah dapat terjadi karena diserap oleh tanaman, berkeseimbangan dengan K dapat dipertukarkan dan K difiksasi atau tercuci. Kehilangan K juga disebabkan oleh pelapukan dan pencucian yang intensif pada kondisi curah hujan dan suhu yang tinggi. Pengamatan keseimbangan pemasukan dan pengeluaran hara K di daerah tropik dan subtropik sejak tahun 1949 - 1985 menunjukkan bahwa keseimbangan K selalu minus dan berkisar antara -69,9 sampai -224,O ribu t K,O (Cao dan Hu, 1995). Pengapuran meningkatkan KTK tanah masam (pH dependent charge) sehingga meningkatkan kemampuan tanah untuk mengikat K dan menurunkan tingkat pencucian K. Untuk mengetahui konsentrasi K dalam tanah yang diperlukan untuk rekomendasi pemupukan digunakan berbagai metode. Kalium terekstrak N NH40Ac pH 7 merupakan metode yang umum dipakai. Metode tersebut dapat mengekstrak K dalam larutan dan K dapat dipertukarkan. Kalium yang tersedia bagi tanaman adalah yang dapat diekstrak dengan garam netral seperti N NH40Ac pH 7 dan yang berada dalam larutan tanah (Ritchey, 1979). Pembuatan peta status hara K lahan sawah di Jawa Barat digunakan pengekstrak 25% HCI (Soepartini, 1995). Cara lain adalah analisis K dengan menggunakan metode Q/1 10 sehingga dapat diperoleh K labil atau dapat dipertukarkan, K terfiksasi, nisbah aktivitas K atau K tersedia dan daya sangga K. Status dan Batas Kritis K dan Ca dalam Tanah Status hara K terekstrak 25% HCI dikelompokkan menjadi 3, yaitu rendah, sedang dan tinggi masing-masing dengan kadar K ~ 1 010 , - 20 dan >20 mg K,O 100 g-'. Dari hasil survei lahan sawah di Jawa menunjukkan bahwa lahan sawah dengan status K rendah sebanyak 39,8%, status K sedang 36,4% dan status K tinggi 23,8% (Sri Adiningsih eta/., 1995). Batas kritis suatu hara tertentu merupakan batas dimana tanaman mengalami defisiensi apabila konsentrasi hara kurang dari nilai tersebut. Batas kritis hara K dipelajari dengan menghubungkan antara hasil tanaman atau kadar K dalam tanaman dengan hara K dalam tanah. Untuk menentukan batas kritis ini, kalium terekstrak Olsen yang dimodifikasi (0,5 N NaHCO, + 0,01 M EDTA), N NH40Ac pH 7 dan Mehlich telah dipelajari pada tanah Ultisol di Sumatera Barat oleh Gill (1988). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa K terekstrak Olsen yang dimodifikasi memiliki korelasi yang lebih baik dengan produksi tanaman dibanding dengan K terekstrak N NH,OAc pH 7 dan Mehlich. Batas kritis hara K pada lahan kering di daerah Sitiung telah dipelajari oleh Gill (1988). Batas kritis hara K terekstrak Mehlich 1 untuk padi gogo adalah 0,20 cmol I-', untuk jagung adalah 0,22 cmol I-' dan untuk kacang hijau dan kacang tunggak adalah 0,20 cmol I-'. Batas kritis hara K terekstrak Mehlich 1 adalah 0,12 cmol kg-'. Batas kritis hara K terekstrak N NH40Ac pH 7 pada tanah Ultisol di Sitiung untuk padi gogo adalah 0,14 cmol kg-', dan untuk kedelai 0,14 dan 0,16 cmol kg-' (Dierolf dan Yost, 2000). Batas kritis hara K pada lahan sawah di P. Lombok dengan menggunakan pengekstrak 25% HCI dan N NH40AcpH 7 adalah 10 mg K20100 g-' dan 0,4 cmol K kg-' (Soepartini et a/., 1994). Disampaikan juga bahwa batas kritis K terekstrak N NH40Ac pH7 yang umum digunakan adalah 0,2 cmol K kg-', dan bervariasi - antara 0 , l - 0,4 cmol K kg-'. Variasi batas kritis tergantung dari tekstur tanah, tipe mineral liat dan status K. Batas kritis hara Ca pada lahan kering jarang dipelajari, padahal lahan kering yang bersifat masam, seperti Ultisol dan Oxisol, dijumpai dalam jumlah yang cukup luas di luar P. Jawa. Masalah utama lahan kering masam adalah tingginya kemasaman tanah (pH rendah) dan rendahnya Ca2'. Upaya menanggulangi masalah pH rendah ini adalah melalui pengapuran yang dosis kapurnya ditentukan dengan menggunakan pendekatan Al-dd atau kejenuhan Al. Kapur selain meningkatkan pH tanah juga menambah hara Ca. lnteraksi K dengan Hara Lain Pemupukan K dapat meningkatkan hasil padi pada semua tingkat pemupukan N pada tanah Aluvial di Bengal Barat, India (Tandon, 1995). Pada tanah dengan kecukupan K, pemupukan N akan meningkatkan hasil jagung dan efisiensi pemupukan N di Illinois dan Ohio (Dibb, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara hara K dengan N. Menurut Dobermann dan Fairhust (2000) pertumbuhan tanaman padi sawah optimum apabila rasio N:K pada jerami berkisar antara 1:1 dan 1:1,4. Respon tanaman terhadap pemupukan P juga meningkat dengan pemupukan K. Demikian juga sebaliknya, respon pemupukan K umumnya meningkat dengan pemupukan P. Hasil jagung pada pemupukan 60 kg P ha-' (Palam Christmas) adalah 2,85 t ha-' dan meningkat menjadi 3,28 t ha-' setelah ditambah 150 kg KC1 ha-' (Mulyadi dan Purnomo, 1997). Rata-rata hasil tanaman selama 12 musim kering di Maligaya menunjukkan bahwa pemupukan K tanpa P adalah 0,83 t ha-', sedangkan pemupukan K dengan P menjadi 1,38 t ha-' (De Datta, 1985). Sementara itu penambahan Ca melalui pengapuran dapat meningkatkan hasil kedelai, jagung, kacang tanah dan kacang hijau pada setiap tingkat pemupukan K (Wade etal., 1988). Hasil yang sama dilaporkan pada percobaan pengapuran pada tanah Ultisol di Kuamang Kuning, Jambi (Sri Adiningsih etal., 1988). Pada umumnya AKO semakin negatif dengan pengapuran dan pemupukan K atau pelepasan K ke dalam larutan tanah semakin meningkat (Sparks dan Liebhardt, 1981). Disampaikanjuga bahwa umumnya pengapuran meningkatkan daya sangga akibat meningkatnya KTK tergantung pH. Kation lain dalam tanah maupun yang ditambahkan juga berpengaruh terhadap keseimbangan hara K dalam tanah. Ketidakseimbangan unsur dalam tanah berpengaruh terhadap jumlah dan distribusi ion K' dalam komplek jerapan. Ritchey (1979) menyampaikan bahwa kation lain yang berpengaruh adalah A13' dan Mn2' pada tanah masam, dan Rb', Na' serta NH,' yang bermuatan sama dan berukuran atom hampir sama dengan K'. Selain itu juga ion Ca2' dan Mg2' dapat bersaing secara efektif dengan K' dalam komplek jerapan. Tanah dengan kadar K tinggi dapat menghambat serapan Ca dan Mg (Dibb, 1998). McLean (1977) menyampaikan bahwa perbandingan yang ideal antara Ca, Mg, K dan H dalam tanah adalah 65,10,5 dan 20%. Ketersediaan dan Serapan K Serapan K oleh tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan hara K, Ca, Mg dan hara lainnya. Nitrogen berpengaruh terhadap serapan K. Serapan K diketahui lebih tinggi pada lahan yang dipupuk NO, daripada NH,' (Dibb, 1998). Kadar K pada tanaman yang tinggi berpengaruh negatif terhadap konsentrasi Mg dalam tanaman, terutama pada tanah dengan kadar Mg rendah. Disampaikanjuga oleh Dibb (1988) bahwa kadar K yang tinggi dalam tanah juga berpengaruh negatif terhadap serapan B, Fe, dan Mo oleh tanaman. Keseimbangan hara K dalam tanah dipengaruhi oleh penambahan unsur tersebut melalui pemupukan dan pemberian bahan organik. Penambahan bahan organik berupa jerami sebagai usaha pengembalian residu dapat meningkatkan KTK tanah sawah Latosol di Sukabumi (Sri Adiningsih, 1988). Peningkatan KTK tanah berarti meningkatkan kemampuan tanah untuk mengikat hara K sehingga tidak mudah hilang karena tercuci. Pengembalian residu tanaman padi gogo pada tanah di Sitiung sangat efektif dapat mempertahankan hasil tanaman dan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan K (Gill dan Sri Adiningsih, 1986). Disampaikan juga bahwa penambahan 10 t Calopogonium sp. ha*' sebagai pupuk hijau dapat meningkatkan kadar K terekstrak Modified Olsen yang sama dengan batas kritis, yaitu 0,12 cmol kg-'. Dierolf dan Yost (2000) menyampaikanbahwa pengembalian sisa panen dapat mempertahankan K tanah di atas batas kritis. Pengaruh K terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Lahan kering tanah Ultisol pada umumnya kekurangan hara K. Pemupukan K dosis rendah (10-20 kg K ha-') pada tanah ini mampu meningkatkan hasil kedelai 2 kali lipat (Gill dan Sri Adiningsih, 1986). Jerami padi gogo dan hasil kedelai optimum dicapai pada pemupukan 100 dan 120 kg K ha-'. Penelitian pemupukan K di Kuamang Kuning, Jambi menunjukkan bahwa tanaman jagung respon terhadap pemupukan K (Sri Adiningsih et al., 1988). Pengapuran dapat meningkatkan pH tanah dan menurunkan Al-dd sehingga K yang ditambahkan dapat masuk ke dalam komplek jerapan dan tidak mudah tercuci. Tujuan pemberian kapur pada tanah masam adalah untuk meniadakanpengaruhAI3+terhadap ketersediaan hara dan pertumbuhantanaman. Wade et al. (1986) menghitung kebutuhan kapur untuk tanaman kedelai dengan kejenuhan kemasaman. Batas toleransi kejenuhan kemasaman untuk tanaman kedelai adalah 10 - 15%. Wade et al. (1988) melaporkan bahwa batas toleransi tanaman terhadap kejenuhan Al pada kacang hijau 5%, kedelai 15%, kacang tanah 28%, jagung 29%, kacang tunggak 55% dan padi gogo 70%. Tanpa pengapuran atau kejenuhan Al dalam tanah 70% hasil kedelai tidak respon terhadap pemupukan K, sementara pengapuran sampai kejenuhan Al mencapai 40% memberi batas kritis 0,12 cmol I-' dan pengapuran sampai kejenuhan Al mencapail 0% batas kritis naik yaitu 0,18 cmol I-' (Gill, 1988). Peningkatan batas kritis dengan penambahan kapur diikuti dengan peningkatan hasil tanaman. Dengan demikian walaupun kebutuhan pupuk K pada tanah yang dikapur lebih tinggi, tetapi efisiensi penggunaan pupuk K semakin meningkat.