Pertumbuhan Rumput Pionir Ditanam secara Monokultur dan Polikultur melalui Hydroseeding di Tanah Pasca Penambangan Batubara dari Kalimantan Selatan 1) 1),2) Amalia Fadhila Rahma, 2)Endang Arisoesilaningsih Laboratorium Ekologi dan Diversitas Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya Malang Email : 1)[email protected] & 2) [email protected] ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini yaitu membandingkan perkecambahan biji rumput pionir dan lokal di tanah kebun dan mulsa hydroseeding. Selain itu, juga diamati pertumbuhan, kerapatan dan kerimbunan rumput lokal yang ditanam dengan teknik hydroseeding secara monokultur atau polikultur pada tanah pasca penambangan batubara dari Kalimantan Selatan. Spesies pionir yang digunakan antara lain Eleusine indica (L.), Paspalum conjugatum P. J. Bergius, Sporobolus indicus (L.) R. Br. dan Eulalia amaura (Buese) Ohwi. Biji rumput sebanyak 32 ditanam pada tanah kebun dan mulsa hydroseeding untuk mengamati persentase dan waktu perkecambahan. Selanjutnya, biji empat spesies rumput tersebut ditanam monokultur dan polikultur pada mulsa di atas tanah pasca pertambangan dengan ulangan tiga sampai lima. Variabel yang diamati waktu dan persentase perkecambahan, kerapatan, panjang daun maksimum, tinggi tanaman, kerimbunan dan rasio pertumbuhan panjang akar/tanaman bagian atas. Data dianalisis deskriptif dan uji beda menggunakan one way ANOVA, uji Brown Forsythe atau uji-t, analisis cluster serta biplot. Hasil penelitian menunjukkan semua rumput pionir yang ditanam monokultur dapat berkecambah pada tanah kebun dan mulsa hydroseeding. Sebaliknya, kecambah E. indica dan E. amaura lebih sedikit pada sistem polikultur. Persentase perkecambahan biji ditanam pada tanah kebun secara monokultur lebih tinggi dan waktu perkecambahan lebih cepat dibandingkan dengan penanaman pada hydroseeding. Hydroseeding secara monokultur cenderung memiliki kerapatan dan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan polikultur. Akar semua spesies rumput berkembang di tanah pasca pertambangan berukuran lebih panjang dibandingkan tanaman bagian atas. Kata kunci : Hydroseeding, perkecambahan, rumput pionir, tanah pasca pertambangan batubara ABSTRACT The aims of this research were to compare germination of local and pioneer grasses seeds sown in garden soil and hydroseeding mulch. Furthermore, we also observed growth, density and coverage of the grasses planted in monoculture or polyculture systems applied in a post coal mining tailing from the South Kalimantan. Species used were Eleusine indica (L.), Paspalum conjugatum P.J.Bergius, Sporobolus indicus (L.) R.Br. and Eulalia amaura (Buese) Ohwi. Thirty two seeds of each grass were sown on a garden soil and mulch of hydroseeding to observe rate and time of germination. The seds of each species (in monoculture treatment) and composited species (in polyculture treeatment) were then mixed with mulch and spreaded above the coal mining tailing put in plastic pot. Each treatment were replicated 3 to 5 times. The observed variables were the time and rate of germination, density, maximum length of leave blade, plant height and coverage, root/shoot length ratio. Data were analyzed descriptively and statistically using one way Anova, Brown Forsythe or t tests, cluster and biplot analysis. Results of research showed that seeds of all pioneer grasses sown in monoculture germinated in both media, garden soil and hydroseeding mulch. Otherwise, E. indica and E. amaura seeds were less germinated in polyculture system. In monoculture system, germination rate of seeds sown on the soil was higher, moreover seeds rapidly germinated rather than those of hydroseeding mulch. Density, growth and coverage of monoculture grass tent higher than polyculture ones. Root system of all species developed well in the mining tailing, therefore its grew longer than their shoot. Key word : Coal mining tailing, germination, hydroseeding, pioneer grasses PENDAHULUAN Eksploitasi batubara di Indonesia khususnya Kalimantan Selatan telah membuka lahan hutan yang luas. Kegiatan penambangan batubara memberikan dampak mencakup Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015 perubahan sifat fisika, biologi dan kimia serta peningkatan erosivitas dan penurunan produktivitas tanah [1]. Solusi yang telah dilakukan selama ini oleh perusahaan-perusahaan tambang skala menengah ke atas untuk 70 memperbaiki kesuburan tanah umumnya dengan revegetasi. Revegetasi yang dilakukan umumnya menggunakan tumbuhan pionir dan cepat tumbuh berupa pepohonan [2]. Akan tetapi, pertumbahan pohon relatif lebih lambat dibandingkan herba. Oleh karena itu, dewasa ini terdapat kegiatan revegetasi alternatif dengan teknik hydroseeding yaitu teknik penanaman dengan campuran biji dan mulsa [3]. Kegiatan reklamasi lahan pasca pertambangan dengan teknik hydroseeding umumnya banyak dilakukan menggunakan biji rumput dan tumbuhan eksotik seperti pohon sengon (Paraserianthes falcataria) dan akasia (Acasia mangium) [4]. Masalah serius mengancam keberadaan spesies lokal dengan masuknya spesies eksotik. Hilangnya suatu habitat spesies lokal maka akan menyebabkan hilangnya komponen biodiversitas lain yang ada di ekosistem tersebut seperti serangga, burung dan satwa liar asli terancam hilang [5]. Beberapa tumbuhan rumput lokal yang dapat tumbuh secara polikultur pada tanah pasca penambangan batubara antara lain, Sporobolus indicus (L.) R. Br., Eleusine indica (L.), Paspalum conjugatum P. J. Bergius dan Eulalia amaura (Buese) Ohwi. Keempat spesies tersebut termasuk golongan Poaceae memiliki sifat toleran, cepat tumbuh, sun plants, dan tumbuhan C4 [6]. Tumbuhan C4 menjadi pionir dan tumbuh kodominan dengan tumbuhan C3 di tanah kritis berkapur [7]. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membandingkan perkecambahan biji rumput lokal di tanah kebun dan mulsa hydroseeding. Selain itu, juga dilakukan pengamatan pertumbuhan, kerapatan dan kerimbunan rumput lokal yang ditanam dengan teknik hydroseeding secara monokultur atau polikultur pada tanah pasca penambangan batubara dari Kalimantan Selatan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014 – Januari 2015 di Rumah Kaca Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya. Spesies yang digunakan adalah rumput yang tumbuh liar di tanah pasca pertambangan batubara di Kalimantan Selatan, yaitu Eleusine indica (L.), Paspalum conjugatum P.J.Bergius, Sporobolus indicus (L.) R.Br. dan Eulalia amaura (Buese) Ohwi. Media tersusun dari tanah yang diambil dari lahan pasca pertambangan batubara dari Kalimantan Selatan setinggi 4 cm dan ditambahkan di atasnya mulsa setinggi 0,5 Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015 cm. Mulsa disusun oleh kompos daun Leguminosae dan daun waru, cocopeat, kompos feses kerbau, perekat, Mikroorganisme Lokal (MOL) dan air. Seluruh bahan mulsa dicampur hingga membentuk suspensi semi solid. Kemudian mulsa ini dicampur dengan 32 biji setiap spesies pada monokultur, sedangkan pada penanaman polikultur menggunakan 32 biji campuran (8 biji masing-masing spesies). Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan menyiram secara periodik sehingga tanah berada dalam kapasitas lapang. Pengamatan pertumbuhan dimulai saat biji berkecambah pada media tanam dan dilakukan pengamatan dua kali seminggu selama delapan minggu meliputi waktu dan persentase perkecambahan, kerapatan, panjang daun maksimum, tinggi tanaman dan kerimbunan. Pada waktu panen diamati rasio pertumbuhan panjang akar/tanaman bagian atas. Data dianalisis deskriptif dan uji beda menggunakan one way ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Tukey’s pada α=5% dalam SPSS 16.00 for Windows. Apabila varian data tidak homogen, data dianalisis menggunakan uji Brown Forsythe yang dilanjutkan dengan uji Games-Howell pada α=5%. Sementara itu, data panjang daun empat spesies rumput antara monokultur dan polikultur dianalisis uji beda menggunakan Independent Sampel t-test. Variasi perkecambahan dan pertumbuhan antar spesies pada media tanam dikelompokkan berdasarkan analisis multivariat dengan analisis cluster dan biplot menggunakan Open Source software PAST. HASIL DAN PEMBAHASAN Biji empat spesies rumput pionir secara monokultur mampu berkecambah pada media tanah kebun maupun pada mulsa yang disebarkan di atas tanah pasca penambangan batubara (Gambar 1). Waktu perkecambahan biji monokultur dan polikultur pada mulsa diamati lebih lama dibandingkan dengan perkecambahan biji pada tanah kebun. Selain itu, persentase perkecambahan biji rumput bervariasi pada tiap spesies dan dipengaruhi oleh media (Tabel 1). Perkecambahan biji pada semua media kurang serentak, terutama pada rumput P. conjugatum dan E. amaura, sehingga masih ada yang berkecambah hingga umur 15 hst. Adapun faktor penyebab tidak serentak biji untuk berkecambah meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perkecambahan biji antaran lain tingkat kemasakan biji, ukuran biji, 71 penghambat perkecambahan dan dormansi [8]. Selain itu, faktor eksternal meliputi suhu, cahaya matahari, pH dan kelembaban tanah [9]. Keterangan : A: tanah kebun 12 hst, B : mulsa tanah pasca penambangan 10 hst, a ( E. indica), b ( E. amaura), c (P. conjugatum), d ( S. indicus). Skala=1 cm. Tabel 1. Persentase perkecambahan biji rumput pionir monokultur di tanah kebun, monokultur serta polikultur di mulsa hydroseeding Keterangan: Sp (Spesies), M (Monokultur), P (Polikultur), Mu (Mulsa), TT (Tanah tambang). Gambar 1. Perkecambahan biji beberapa spesies rumput pionir Kerapatan (%) 100 b Sp b 80 Waktu biji mulai berkecambah (hst)* % Perkecambahan* TK M+Mu +TT P+Mu +TT TK M+Mu+ TT P+Mu+T T 18,8 42,7 40,6 39,6 14,4 44,4 57,5 14,6 5,0 30,2 45,4 39,6 3 3 2 2 8 6 4 8 6 6 4 6 60 40 Ei Pc Si Ea a 20 0 15 32 41 61 23 36 49 15 32 41 61 23 36 Ei Pc Si Ea Perlakuan dan Waktu Pengamatan (hst) Gambar 2. Persentase kerapatan beberapa spesies Poaceae selama 61 hst pada sistem monokultur dan polikultur. Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji Brown Forsythe dilanjutkan dengan Games-Howell pada α=5%, Ei : E. indica, Pc : P. conjugatum, Si : S. indicus, Ea: E. amaura. Kecambah empat spesies rumput mampu tumbuh pada media mulsa hydroseeding secara monokultur dan polikultur. Kerapatan rumput yang ditanam secara monokultur dan polikultur bervariasi antar spesies dan antar ulangan (Gambar 2). Semua spesies memiliki kerapatan yang cenderung tetap setelah 32 hst kecuali kecambah P. conjugatum dan E. amaura. Biji dua spesies tersebut tidak berkecambah secara serentak. Kerapatan Poaceae ini lebih besar dari Papilionaceae [10] dan lebih rendah dari Cyperaceae [11]. Persentase kerapatan S. indicus dan P. conjugatum pada sistem monokultur menunjukkan kesamaan dengan sistem polikultur (Gambar 1). Untuk aplikasi di lapang disarankan jumlah biji ditanam lebih banyak karena mengantisipasi adanya predasi dari detrivor. Panjang daun empat spesies yang ditanam secara monokultur dan polikultur cenderung meningkat selama pengamatan (Gambar 3). Tidak terdapat perbedaan panjang daun pada semua spesies baik monokultur maupun polikultur begitu pula dengan morfologi di lingkungan [12]. Rumput S. indicus pada penanaman monokultur memiliki daun lebih panjang dibandingkan pada sistem polikultur. Rumput E. indica memiliki panjang daun paling baik pada kedua perlakuan dengan panjang ratarata daun 14 cm pada monokultur dan 16 cm pada polikultur hingga 61 hst. Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015 Pertumbuhan tinggi empat spesies rumput menunjukkan kesamaan, mengalami peningkatan selama pengamatan dan sistem penanaman tidak mempengaruhi pertumbuhan tinggi (Gambar 4). Namun, spesies E. indica cenderung memiliki tinggi tanaman paling besar pada dua sistem penanaman serta sesuai dengan morfologi di lingkungan [12]. Pada rumput S. indicus dan P. conjugatum yang ditanam monokultur cenderung lebih tinggi daripada polikultur, sebaliknya dengan rumput E. amaura. Pada hydroseeding dengan mulsa seperti ini menunjukkan P. conjugatum dan S. indicus lebih kompetitif dibandingkan E. indica dan E. amaura. Tiga spesies rumput yang ditanam monokultur selain S. indicus, menunjukkan variasi kemampuan penutupan tanah dibandingkan dengan rumput polikultur (Gambar 5). Peningkatan kerimbunan terjadi selama pengamatan terutama setelah 23 hst pada S. indicus, P. conjugatum dan polikultur. 72 Panjang Daun (cm) 25 20 a a a 15 a M a b a a P M P M 10 5 0 M P P Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Keterangan : notasi berbeda pada tiap-tiap jenis tanaman menunjukkan perbedaan nyata pada α = 5% berdasarkan uji-t, M (monokultur), P (polikultur), Ei (E. indica), Pc (P. conjugatum), Si (S. indicus), Ea (E. amaura). 30 25 20 15 10 5 0 100 80 60 40 20 0 Kerimbunan (%) Gambar 3. Panjang maksimum daun beberapa spesies Poaceae selama 61 hst c b b a a 23 32 41 61 27 36 49 23 32 41 61 27 36 49 23 32 41 61 Ei Pc Si Ea Po a a a Media dan Waktu Pengamatan (hst) a a a a a Gambar 5. Persentase kerimbunan beberapa spesies Poaceae selama 61 hst M P M P M P M P M P M P M P M P 32 61 32 61 32 61 32 61 Media dan Waktu Pengamatan (hst) Gambar 4. Tinggi tanaman beberapa spesies Poaceae selama 61 hst Keterangan : M (monokultur), P (polikultur), Ei (E. indica), Pc (P. conjugatum), Si (S. indicus), Ea (E. amaura). Notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji Brown Forsythe yang dilanjutkan dengan Games-Howell pada α=5%. Rumput P. conjugatum menunjukkan kerimbunan nyata tertinggi dibandingkan semua perlakuan. Rumput S. indicus dan polikultur memiliki kerimbunan sama dan nyata lebih tinggi dibandingkan E. indica dan E. amaura. Selain itu, rumput memiliki kemampuan penutupan permukaan tanah lebih besar dibandingkan Cyperaceae [11], namun lebih rendah dari Papilionaceae yang memiliki kanopi lebih lebar [10]. Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015 Keterangan : M (monokultur), P (polikultur), Ei (E. indica), Pc (P. conjugatum), Si (S. indicus), Ea (E. amaura). Notasi berbeda menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada α = 5%. Akar empat spesies rumput pionir mampu tumbuh, berkembang baik dan menembus tanah pasca pertambangan secara monokultur maupun polikultur hingga akar menyentuh dasar pot (Gambar 6). Hasil panen pada 61 hst menunjukkan bahwa rumput E. indica memiliki akar yang paling panjang dibandingkan tiga spesies lainnya. Empat spesies rumput yang ditanam secara monokultur dan polikultur memiliki nilai root/shoot lebih dari 1 artinya, akar jauh lebih panjang daripada tanaman bagian atas (Gambar 7). Terbukti nilai root/shoot yang lebih dari 1 rumput menjadi lebih efektif sebagai agen bioengineering stabilisasi tanah untuk mengatasi permasalahan erosi permukaan melalui proses restraint dan infiltration [13]. Nilai root/shoot tertinggi yaitu pada rumput E. indica yang ditanam polikultur dengan nilai 6,90. Namun, tidak berbeda dengan spesies yang lain, baik pada penanaman monokultur maupun polikultur Rumput P. conjugatum (buffalo grass) termasuk hydroseed yang sering digunakan oleh kontraktor hydroseeding selain Zoysia grass (rumput Jepang) dan Bermuda grass (Cynodon dactylon [14]. 73 Gambar 6. Kemampuan akar rumput berkembang di tanah pasca pertambangan dan perbandingan ukuran panjang akar pada 61 hst Keterangan : Ei (E. indica), Pc (P. conjugatum), Si (S. indicus), Ea (E. amaura). Skala = 2,5 cm R/S ratio ukuran panjang 20 15 10 5 0 A a a a P M P a M a P a a M P a M Perlakuan Gambar 7. R/S ratio ukuran panjang beberapa spesies Poaceae pada 61 hst Keterangan : Ei (E. indica), Pc (P. conjugatum), Si (S. indicus), Ea (E. amaura). Notasi yang berbeda pada R/S ratio menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji Brown Forsythe yang dilanjutkan dengan Games-Howell pada α=5%. Ketiga rumput tersebut merupakan tumbuhan merayap dengan pertumbuhan yang cepat dan akar yang kuat namun, Zoysia grass dari fitoregion Pasifik Selatan dan Asia Timur [15] dan Bermuda grass dari Eropa Selatan [16]. Berdasarkan semua variabel perkecambahan dan pertumbuhan, maka empat spesies dapat dikelompokkan menjadi empat (Gambar 8). Kelompok 1 (E. indica dan E. amaura) ditandai dengan rendahya semua variabel perkecambahan dan pertumbuhan. Kelompok 2 (polikultur) ditandai dengan panjang daun, tinggi tanaman dan root/shoot ratio yang tinggi. Pada kelompok 3 (S. indicus) hanya ditandai dengan kerapatan relatif dan perkecambahan yang tinggi. Selanjutnya, kelompok 4 (P. conjugatum ) ditandai denganPengelompokan pada kerapatan relatif yang tinggi. semua spesies rumput dilakukan untuk mengetahui spesies yang memiliki variabel perkecambahan dan pertumbuhan yang signifikan sehingga dapat direkomendasikan sebagai hydroseed pada kontraktor hydroseeding. Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015 B Gambar 8. Pengelompokan biji beberapa spesies rumput di mulsa di atas tanah pasca pertambangan batubara Keterangan: A: Analisis cluster dengan jarak Euclidean; B: analisis biplot; Ei (E. indica), Pc (P. conjugatum), Si (S. indicus), Ea (E. amaura). %Kec : persentase perkecambahan; KR: kerapatan relatif; %DR: pesentase kerimbunan; R/Sratio : root-shoot ratio; Pd: panjang daun, Tt: tinggi tanaman. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semua rumput pionir yang ditanam monokultur dapat berkecambah pada tanah kebun dan mulsa hydroseeding. Sebaliknya, kecambah E. indica dan E.amaura lebih sedikit pada sistem polikultur. Persentase perkecambahan biji ditanam pada tanah kebun secara monokultur lebih tinggi dan waktu perkecambahan lebih cepat dibandingkan dengan penanaman pada hydroseeding. Hydroseeding secara monokultur cenderung memiliki kerapatan 74 dan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan polikultur. Akar semua spesies rumput berkembang baik di tanah pasca pertambangan dan berukuran lebih panjang dibandingkan tanaman bagian atas. [4] [5] SARAN Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan E. indica dan E. amaura. Spesies yang direkomendasikan untuk aplikasi hydroseeding polikultur revegetasi tanah pasca pertambangan batubara yaitu P. conjugatum dan E. indica karena memiliki persentase perkecambahan, pertumbuhan, root/shoot ratio dan produktivitas yang lebih baik serta meningkatkan kualitas tanah. [6] [7] UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT sehingga penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir. Edy Boedianto, MT sebagai Kepala Tambang PT. Amanah Adi Mulia Tbk. yang telah menyediakan tanah pasca pertambangan, Dr. Catur Retnaningdyah sebagai Kalab. Ekologi dan Diversitas Hewan, Dr.Bagyo Yanuwiadi sebagai dosen penguji dan Purnomo, SSi. sebagai laboran yang memfasilitasi penelitian. Terima kasih juga kepada rekan tim penelitian hydroseeding Dwi Yulianingsih, S.Si, Rufaidah Nur Baiti, S.Si dan semua pihak atas kerjasamanya untuk membantu penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini. [8] [9] [10] [11] DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] Setiadi, Y. & P. D. M. H. Karti. 2001. Reklamasi Lahan Pasca Tambang Timah di PT. Kobatin. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi LPPM. IPB. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. 2009. Laporan aplikasi uji coba penanaman dengan metode hydroseeding di Tahura Ngargoyoso, Karang Anyar, Jawa Tengah. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor. Kay, B.L, A. R. Evans & A. Y. James. 1977. Soaking Procedure and Hydroseeder Damage to Common Bermuda grass. http://agron.scijournals.org. Diakses tanggal 2 Mei 2015. Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015 [12] [13] [14] [15] [16] Simberlof, D. & P. Stiling. 1996. Risks of species introduced for biological control. Biological Conservation 78: 185192. McNeeley, J. A. Mooney, H. A. Neville, L. E. P. Schei & J. K. Waage. 2001. Global Strategy on Invasive Alien Species. IUCN – the World Conservation Union. Bern. Young, J. A., B. L. Kay & R. A. Evans. 2008. Accelerating the Germination of Common Bermudagrass for Hydroseeding. http://agron.scijournals.org. Diakses tanggal 25 Oktober 2014 Arisoesilaningsih, E. and Suyono. 2015. Diversity of drought-resistant plants and the benefits of their biomass for improving fertility of a degraded soil of Brantas River Basin. Journal of Degraded and Mining Lands Management. 2(2): 313 - 318 Taiz, L. & E. Zeiger. 2002. Plant Physiology. Sinauer Associates, Sunderland. 690 pp. Chachalis, D. & Reddy, K.N., 2000. Factors affecting Campsis radicans seed germination and seedling emergence.Weed Science, 48: 212-216, doi: 10.1614/0043-1745. Baiti, R. N. & E. Arisoesilaningsih. 2015. Reklamasi Tanah Pasca Pertambangan Batubara dengan Hydroseeding Menggunakan Biji Beberapa Papilionaceae Lokal. Jurnal Biotropika. 3 (1): 36-41. Yulianingsih, D. & E. Arisoesilaningsih. 2015. Efektivitas Beberapa Mulsa sebagai Media Pertumbuhan Teki Pionir di Tanah Pasca Pertambangan Batubara dari Kalimantan Selatan. Jurnal Biotropika. 3 (1): 27-31 Backer, C. A. & R. C. Brink. 1965. Flora of Java Vol. II. Noordhoff-Groningen. Amsterdam. Gray, D. H. 2004. Biotechnical and Soil Bioengineering Slope Stabilization. John Wiley and Sons. New York. Ohio City Production Inc. 2012. Grasses Hydroseeding. http://www.landscapeamerica.com. Diakses tanggal 30 Maret 2015. Laegard, S. & P.N. Peterson. 2001. Gramineae Part 2. Sweden and Section for Botany. Stockholm. Stone, B. 1970. The Flora of Guam. Micronesica. 75