Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015 70 Pertumbuhan Rumput

advertisement
Pertumbuhan Rumput Pionir Ditanam secara Monokultur dan Polikultur melalui Hydroseeding
di Tanah Pasca Penambangan Batubara dari Kalimantan Selatan
1)
1),2)
Amalia Fadhila Rahma, 2)Endang Arisoesilaningsih
Laboratorium Ekologi dan Diversitas Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Brawijaya Malang
Email : 1)[email protected] & 2) [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini yaitu membandingkan perkecambahan biji rumput pionir dan lokal di
tanah kebun dan mulsa hydroseeding. Selain itu, juga diamati pertumbuhan, kerapatan dan kerimbunan
rumput lokal yang ditanam dengan teknik hydroseeding secara monokultur atau polikultur pada tanah
pasca penambangan batubara dari Kalimantan Selatan. Spesies pionir yang digunakan antara lain
Eleusine indica (L.), Paspalum conjugatum P. J. Bergius, Sporobolus indicus (L.) R. Br. dan Eulalia
amaura (Buese) Ohwi. Biji rumput sebanyak 32 ditanam pada tanah kebun dan mulsa hydroseeding untuk
mengamati persentase dan waktu perkecambahan. Selanjutnya, biji empat spesies rumput tersebut
ditanam monokultur dan polikultur pada mulsa di atas tanah pasca pertambangan dengan ulangan tiga
sampai lima. Variabel yang diamati waktu dan persentase perkecambahan, kerapatan, panjang daun
maksimum, tinggi tanaman, kerimbunan dan rasio pertumbuhan panjang akar/tanaman bagian atas.
Data dianalisis deskriptif dan uji beda menggunakan one way ANOVA, uji Brown Forsythe atau uji-t,
analisis cluster serta biplot. Hasil penelitian menunjukkan semua rumput pionir yang ditanam
monokultur dapat berkecambah pada tanah kebun dan mulsa hydroseeding. Sebaliknya, kecambah E.
indica dan E. amaura lebih sedikit pada sistem polikultur. Persentase perkecambahan biji ditanam pada
tanah kebun secara monokultur lebih tinggi dan waktu perkecambahan lebih cepat dibandingkan dengan
penanaman pada hydroseeding. Hydroseeding secara monokultur cenderung memiliki kerapatan dan
pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan polikultur. Akar semua spesies rumput berkembang di tanah
pasca pertambangan berukuran lebih panjang dibandingkan tanaman bagian atas.
Kata kunci : Hydroseeding, perkecambahan, rumput pionir, tanah pasca pertambangan batubara
ABSTRACT
The aims of this research were to compare germination of local and pioneer grasses seeds sown in
garden soil and hydroseeding mulch. Furthermore, we also observed growth, density and coverage of the
grasses planted in monoculture or polyculture systems applied in a post coal mining tailing from the South
Kalimantan. Species used were Eleusine indica (L.), Paspalum conjugatum P.J.Bergius, Sporobolus indicus
(L.) R.Br. and Eulalia amaura (Buese) Ohwi. Thirty two seeds of each grass were sown on a garden soil
and mulch of hydroseeding to observe rate and time of germination. The seds of each species (in
monoculture treatment) and composited species (in polyculture treeatment) were then mixed with mulch
and spreaded above the coal mining tailing put in plastic pot. Each treatment were replicated 3 to 5 times.
The observed variables were the time and rate of germination, density, maximum length of leave blade,
plant height and coverage, root/shoot length ratio. Data were analyzed descriptively and statistically using
one way Anova, Brown Forsythe or t tests, cluster and biplot analysis. Results of research showed that
seeds of all pioneer grasses sown in monoculture germinated in both media, garden soil and hydroseeding
mulch. Otherwise, E. indica and E. amaura seeds were less germinated in polyculture system. In
monoculture system, germination rate of seeds sown on the soil was higher, moreover seeds rapidly
germinated rather than those of hydroseeding mulch. Density, growth and coverage of monoculture grass
tent higher than polyculture ones. Root system of all species developed well in the mining tailing, therefore
its grew longer than their shoot.
Key word : Coal mining tailing, germination, hydroseeding, pioneer grasses
PENDAHULUAN
Eksploitasi
batubara
di
Indonesia
khususnya Kalimantan Selatan telah membuka
lahan hutan yang luas. Kegiatan penambangan
batubara memberikan dampak mencakup
Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015
perubahan sifat fisika, biologi dan kimia serta
peningkatan
erosivitas
dan
penurunan
produktivitas tanah [1]. Solusi yang telah
dilakukan selama ini oleh perusahaan-perusahaan
tambang skala menengah ke atas untuk
70
memperbaiki kesuburan tanah umumnya dengan
revegetasi. Revegetasi yang dilakukan umumnya
menggunakan tumbuhan pionir dan cepat
tumbuh berupa pepohonan [2]. Akan tetapi,
pertumbahan pohon relatif lebih lambat
dibandingkan herba. Oleh karena itu, dewasa ini
terdapat kegiatan revegetasi alternatif dengan
teknik hydroseeding yaitu teknik penanaman
dengan campuran biji dan mulsa [3].
Kegiatan
reklamasi
lahan
pasca
pertambangan dengan teknik hydroseeding
umumnya banyak dilakukan menggunakan biji
rumput dan tumbuhan eksotik seperti pohon
sengon (Paraserianthes falcataria) dan akasia
(Acasia mangium) [4]. Masalah serius
mengancam keberadaan spesies lokal dengan
masuknya spesies eksotik. Hilangnya suatu
habitat spesies lokal maka akan menyebabkan
hilangnya komponen biodiversitas lain yang ada
di ekosistem tersebut seperti serangga, burung
dan satwa liar asli terancam hilang [5]. Beberapa
tumbuhan rumput lokal yang dapat tumbuh
secara polikultur pada tanah pasca penambangan
batubara antara lain, Sporobolus indicus (L.) R.
Br., Eleusine indica (L.), Paspalum conjugatum
P. J. Bergius dan Eulalia amaura (Buese) Ohwi.
Keempat spesies tersebut termasuk golongan
Poaceae memiliki sifat toleran, cepat tumbuh,
sun plants, dan tumbuhan C4 [6]. Tumbuhan C4
menjadi pionir dan tumbuh kodominan dengan
tumbuhan C3 di tanah kritis berkapur [7]. Tujuan
dari penelitian ini yaitu untuk membandingkan
perkecambahan biji rumput lokal di tanah kebun
dan mulsa hydroseeding. Selain itu, juga
dilakukan pengamatan pertumbuhan, kerapatan
dan kerimbunan rumput lokal yang ditanam
dengan teknik hydroseeding secara monokultur
atau polikultur pada tanah pasca penambangan
batubara dari Kalimantan Selatan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni
2014 – Januari 2015 di Rumah Kaca Jurusan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya.
Spesies yang digunakan adalah rumput yang
tumbuh liar di tanah pasca pertambangan
batubara di Kalimantan Selatan, yaitu Eleusine
indica (L.), Paspalum conjugatum P.J.Bergius,
Sporobolus indicus (L.) R.Br. dan Eulalia
amaura (Buese) Ohwi. Media tersusun dari tanah
yang diambil dari lahan pasca pertambangan
batubara dari Kalimantan Selatan setinggi 4 cm
dan ditambahkan di atasnya mulsa setinggi 0,5
Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015
cm. Mulsa disusun oleh kompos daun
Leguminosae dan daun waru, cocopeat, kompos
feses kerbau, perekat, Mikroorganisme Lokal
(MOL) dan air. Seluruh bahan mulsa dicampur
hingga membentuk suspensi semi solid.
Kemudian mulsa ini dicampur dengan 32 biji
setiap spesies pada monokultur, sedangkan pada
penanaman polikultur menggunakan 32 biji
campuran (8 biji masing-masing spesies).
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan
menyiram secara periodik sehingga tanah berada
dalam kapasitas lapang.
Pengamatan pertumbuhan dimulai saat biji
berkecambah pada media tanam dan dilakukan
pengamatan dua kali seminggu selama delapan
minggu meliputi waktu dan persentase
perkecambahan, kerapatan, panjang daun
maksimum, tinggi tanaman dan kerimbunan.
Pada waktu panen diamati rasio pertumbuhan
panjang akar/tanaman bagian atas. Data
dianalisis deskriptif dan uji beda menggunakan
one way ANOVA yang dilanjutkan dengan uji
Tukey’s pada α=5% dalam SPSS 16.00 for
Windows. Apabila varian data tidak homogen,
data dianalisis menggunakan uji Brown Forsythe
yang dilanjutkan dengan uji Games-Howell pada
α=5%. Sementara itu, data panjang daun empat
spesies rumput antara monokultur dan polikultur
dianalisis uji beda menggunakan Independent
Sampel t-test. Variasi perkecambahan dan
pertumbuhan antar spesies pada media tanam
dikelompokkan berdasarkan analisis multivariat
dengan analisis cluster dan biplot menggunakan
Open Source software PAST.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biji empat spesies rumput pionir secara
monokultur mampu berkecambah pada media
tanah kebun maupun pada mulsa yang
disebarkan di atas tanah pasca penambangan
batubara (Gambar 1). Waktu perkecambahan biji
monokultur dan polikultur pada mulsa diamati
lebih lama dibandingkan dengan perkecambahan
biji pada tanah kebun. Selain itu, persentase
perkecambahan biji rumput bervariasi pada tiap
spesies dan dipengaruhi oleh media (Tabel 1).
Perkecambahan biji pada semua media kurang
serentak, terutama pada rumput P. conjugatum
dan E. amaura, sehingga masih ada yang
berkecambah hingga umur 15 hst. Adapun faktor
penyebab tidak serentak biji untuk berkecambah
meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor
internal yang mempengaruhi perkecambahan biji
antaran lain tingkat kemasakan biji, ukuran biji,
71
penghambat perkecambahan dan dormansi [8].
Selain itu, faktor eksternal meliputi suhu, cahaya
matahari, pH dan kelembaban tanah [9].
Keterangan : A: tanah kebun 12 hst, B : mulsa tanah
pasca penambangan 10 hst, a ( E. indica), b ( E.
amaura), c (P. conjugatum), d ( S. indicus). Skala=1
cm.
Tabel 1. Persentase perkecambahan biji rumput
pionir monokultur di tanah kebun, monokultur serta
polikultur di mulsa hydroseeding
Keterangan: Sp (Spesies), M (Monokultur), P (Polikultur), Mu
(Mulsa), TT (Tanah tambang).
Gambar 1. Perkecambahan biji beberapa spesies
rumput pionir
Kerapatan (%)
100
b
Sp
b
80
Waktu biji mulai
berkecambah (hst)*
% Perkecambahan*
TK
M+Mu
+TT
P+Mu
+TT
TK
M+Mu+
TT
P+Mu+T
T
18,8
42,7
40,6
39,6
14,4
44,4
57,5
14,6
5,0
30,2
45,4
39,6
3
3
2
2
8
6
4
8
6
6
4
6
60
40
Ei
Pc
Si
Ea
a
20
0
15 32 41 61 23 36 49 15 32 41 61 23 36
Ei
Pc
Si
Ea
Perlakuan dan Waktu Pengamatan (hst)
Gambar 2. Persentase kerapatan beberapa spesies Poaceae selama 61 hst pada sistem monokultur dan
polikultur. Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji Brown Forsythe dilanjutkan
dengan Games-Howell pada α=5%, Ei : E. indica, Pc : P. conjugatum, Si : S. indicus, Ea: E. amaura.
Kecambah empat spesies rumput mampu
tumbuh pada media mulsa hydroseeding secara
monokultur dan polikultur. Kerapatan rumput
yang ditanam secara monokultur dan polikultur
bervariasi antar spesies dan antar ulangan
(Gambar 2). Semua spesies memiliki kerapatan
yang cenderung tetap setelah 32 hst kecuali
kecambah P. conjugatum dan E. amaura. Biji
dua spesies tersebut tidak berkecambah secara
serentak. Kerapatan Poaceae ini lebih besar dari
Papilionaceae [10] dan lebih rendah dari
Cyperaceae [11]. Persentase kerapatan S. indicus
dan P. conjugatum pada sistem monokultur
menunjukkan kesamaan dengan sistem polikultur
(Gambar 1). Untuk aplikasi di lapang disarankan
jumlah biji ditanam lebih banyak karena
mengantisipasi adanya predasi dari detrivor.
Panjang daun empat spesies yang ditanam
secara monokultur dan polikultur cenderung
meningkat selama pengamatan (Gambar 3).
Tidak terdapat perbedaan panjang daun pada
semua spesies baik monokultur maupun
polikultur begitu pula dengan morfologi di
lingkungan [12]. Rumput S. indicus pada
penanaman monokultur memiliki daun lebih
panjang dibandingkan pada sistem polikultur.
Rumput E. indica memiliki panjang daun paling
baik pada kedua perlakuan dengan panjang ratarata daun 14 cm pada monokultur dan 16 cm
pada polikultur hingga 61 hst.
Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015
Pertumbuhan tinggi empat spesies rumput
menunjukkan
kesamaan,
mengalami
peningkatan selama pengamatan dan sistem
penanaman tidak mempengaruhi pertumbuhan
tinggi (Gambar 4). Namun, spesies E. indica
cenderung memiliki tinggi tanaman paling besar
pada dua sistem penanaman serta sesuai dengan
morfologi di lingkungan [12]. Pada rumput S.
indicus dan P. conjugatum yang ditanam
monokultur cenderung lebih tinggi daripada
polikultur, sebaliknya dengan rumput E. amaura.
Pada hydroseeding dengan mulsa seperti ini
menunjukkan P. conjugatum dan S. indicus lebih
kompetitif dibandingkan E. indica dan E.
amaura. Tiga spesies rumput yang ditanam
monokultur selain S. indicus, menunjukkan
variasi
kemampuan
penutupan
tanah
dibandingkan dengan rumput polikultur (Gambar
5). Peningkatan kerimbunan terjadi selama
pengamatan terutama setelah 23 hst pada S.
indicus, P. conjugatum dan polikultur.
72
Panjang Daun (cm)
25
20
a
a
a
15
a
M
a
b
a
a
P
M
P
M
10
5
0
M
P
P
Perlakuan
Tinggi Tanaman (cm)
Keterangan : notasi berbeda pada tiap-tiap
jenis tanaman menunjukkan perbedaan nyata
pada α = 5% berdasarkan uji-t, M
(monokultur), P (polikultur), Ei (E. indica), Pc
(P. conjugatum), Si (S. indicus), Ea (E.
amaura).
30
25
20
15
10
5
0
100
80
60
40
20
0
Kerimbunan (%)
Gambar 3. Panjang maksimum daun beberapa spesies
Poaceae selama 61 hst
c
b
b
a
a
23 32 41 61 27 36 49 23 32 41 61 27 36 49 23 32 41 61
Ei
Pc
Si
Ea
Po
a
a
a
Media dan Waktu Pengamatan (hst)
a a
a a
a
Gambar 5. Persentase kerimbunan beberapa spesies
Poaceae selama 61 hst
M P M P M P M P M P M P M P M P
32
61
32
61
32
61
32
61
Media dan Waktu Pengamatan (hst)
Gambar 4. Tinggi tanaman beberapa spesies
Poaceae selama 61 hst
Keterangan : M (monokultur), P
(polikultur), Ei (E. indica), Pc (P.
conjugatum), Si (S. indicus), Ea (E.
amaura).
Notasi
yang
berbeda
menunjukkan
perbedaan
nyata
berdasarkan uji Brown Forsythe yang
dilanjutkan dengan Games-Howell pada
α=5%.
Rumput P. conjugatum menunjukkan
kerimbunan nyata tertinggi dibandingkan semua
perlakuan. Rumput S. indicus dan polikultur
memiliki kerimbunan sama dan nyata lebih
tinggi dibandingkan E. indica dan E. amaura.
Selain itu, rumput memiliki kemampuan
penutupan permukaan tanah lebih besar
dibandingkan Cyperaceae [11], namun lebih
rendah dari Papilionaceae yang memiliki kanopi
lebih lebar [10].
Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015
Keterangan : M (monokultur), P (polikultur),
Ei (E. indica), Pc (P. conjugatum), Si (S.
indicus), Ea (E. amaura). Notasi berbeda
menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji
ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Tukey
pada α = 5%.
Akar empat spesies rumput pionir mampu
tumbuh, berkembang baik dan menembus tanah
pasca pertambangan secara monokultur maupun
polikultur hingga akar menyentuh dasar pot
(Gambar 6). Hasil panen pada 61 hst
menunjukkan bahwa rumput E. indica memiliki
akar yang paling panjang dibandingkan tiga
spesies lainnya. Empat spesies rumput yang
ditanam secara monokultur dan polikultur
memiliki nilai root/shoot lebih dari 1 artinya,
akar jauh lebih panjang daripada tanaman bagian
atas (Gambar 7). Terbukti nilai root/shoot yang
lebih dari 1 rumput menjadi lebih efektif sebagai
agen bioengineering stabilisasi tanah untuk
mengatasi permasalahan erosi permukaan
melalui proses restraint dan infiltration [13].
Nilai root/shoot tertinggi yaitu pada rumput E.
indica yang ditanam polikultur dengan nilai
6,90. Namun, tidak berbeda dengan spesies yang
lain, baik pada penanaman monokultur maupun
polikultur Rumput P. conjugatum (buffalo grass)
termasuk hydroseed yang sering digunakan oleh
kontraktor hydroseeding selain Zoysia grass
(rumput Jepang) dan Bermuda grass (Cynodon
dactylon [14].
73
Gambar 6. Kemampuan akar rumput berkembang di tanah pasca pertambangan dan perbandingan ukuran
panjang akar pada 61 hst
Keterangan : Ei (E. indica), Pc (P. conjugatum), Si (S. indicus), Ea (E. amaura). Skala = 2,5 cm
R/S ratio ukuran
panjang
20
15
10
5
0
A
a
a
a
P
M
P
a
M
a
P
a
a
M
P
a
M
Perlakuan
Gambar 7. R/S ratio ukuran panjang beberapa
spesies Poaceae pada 61 hst
Keterangan : Ei (E. indica), Pc (P.
conjugatum), Si (S. indicus), Ea (E.
amaura). Notasi yang berbeda pada R/S
ratio menunjukkan
perbedaan nyata
berdasarkan uji Brown Forsythe yang
dilanjutkan dengan Games-Howell pada
α=5%.
Ketiga rumput tersebut merupakan tumbuhan
merayap dengan pertumbuhan yang cepat dan
akar yang kuat namun, Zoysia grass dari
fitoregion Pasifik Selatan dan Asia Timur [15]
dan Bermuda grass dari Eropa Selatan [16].
Berdasarkan
semua
variabel
perkecambahan dan pertumbuhan, maka empat
spesies dapat dikelompokkan menjadi empat
(Gambar 8). Kelompok 1 (E. indica dan E.
amaura) ditandai dengan rendahya semua
variabel perkecambahan dan pertumbuhan.
Kelompok 2 (polikultur) ditandai dengan
panjang daun, tinggi tanaman dan root/shoot
ratio yang tinggi. Pada kelompok 3 (S. indicus)
hanya ditandai dengan kerapatan relatif dan
perkecambahan yang tinggi. Selanjutnya,
kelompok 4 (P. conjugatum ) ditandai
denganPengelompokan pada kerapatan relatif
yang tinggi. semua spesies rumput dilakukan
untuk mengetahui spesies yang memiliki variabel
perkecambahan
dan
pertumbuhan
yang
signifikan sehingga dapat direkomendasikan
sebagai hydroseed pada kontraktor hydroseeding.
Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015
B
Gambar 8. Pengelompokan biji beberapa spesies
rumput di mulsa di atas tanah pasca
pertambangan batubara
Keterangan: A: Analisis cluster dengan jarak
Euclidean; B: analisis biplot; Ei (E. indica), Pc
(P. conjugatum), Si (S. indicus), Ea (E. amaura).
%Kec : persentase perkecambahan; KR:
kerapatan
relatif;
%DR:
pesentase
kerimbunan; R/Sratio : root-shoot ratio; Pd:
panjang daun, Tt: tinggi tanaman.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa semua rumput pionir yang
ditanam monokultur dapat berkecambah pada
tanah kebun dan mulsa hydroseeding.
Sebaliknya, kecambah E. indica dan E.amaura
lebih sedikit pada sistem polikultur. Persentase
perkecambahan biji ditanam pada tanah kebun
secara monokultur lebih tinggi dan waktu
perkecambahan lebih cepat dibandingkan dengan
penanaman pada hydroseeding. Hydroseeding
secara monokultur cenderung memiliki kerapatan
74
dan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan
polikultur. Akar semua spesies rumput
berkembang baik di tanah pasca pertambangan
dan berukuran lebih panjang dibandingkan
tanaman bagian atas.
[4]
[5]
SARAN
Berdasarkan penelitian yang sudah
dilakukan diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi perkecambahan E. indica dan E.
amaura. Spesies yang direkomendasikan untuk
aplikasi hydroseeding polikultur revegetasi tanah
pasca pertambangan batubara yaitu P.
conjugatum dan E. indica karena memiliki
persentase
perkecambahan,
pertumbuhan,
root/shoot ratio dan produktivitas yang lebih
baik serta meningkatkan kualitas tanah.
[6]
[7]
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan puji syukur kepada
Allah SWT sehingga penelitian dan penulisan
karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penulis
juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
Ir. Edy Boedianto, MT sebagai Kepala Tambang
PT. Amanah Adi Mulia Tbk. yang telah
menyediakan tanah pasca pertambangan, Dr.
Catur Retnaningdyah sebagai Kalab. Ekologi dan
Diversitas Hewan, Dr.Bagyo Yanuwiadi sebagai
dosen penguji dan Purnomo, SSi. sebagai laboran
yang memfasilitasi penelitian. Terima kasih juga
kepada rekan tim penelitian hydroseeding Dwi
Yulianingsih, S.Si, Rufaidah Nur Baiti, S.Si dan
semua pihak atas kerjasamanya untuk membantu
penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini.
[8]
[9]
[10]
[11]
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
Setiadi, Y. & P. D. M. H. Karti. 2001.
Reklamasi Lahan Pasca Tambang Timah
di PT. Kobatin. Laporan Penelitian. Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi LPPM. IPB.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tanaman. 2009. Laporan aplikasi uji coba
penanaman dengan metode hydroseeding
di Tahura Ngargoyoso, Karang Anyar,
Jawa Tengah. Pusat Litbang Hutan
Tanaman. Bogor.
Kay, B.L, A. R. Evans & A. Y. James.
1977. Soaking Procedure and Hydroseeder
Damage to Common Bermuda grass.
http://agron.scijournals.org. Diakses
tanggal 2 Mei 2015.
Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 2 | 2015
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
Simberlof, D. & P. Stiling. 1996. Risks of
species
introduced
for
biological
control. Biological Conservation 78: 185192.
McNeeley, J. A. Mooney, H. A. Neville,
L. E. P. Schei & J. K. Waage. 2001.
Global Strategy on Invasive Alien Species.
IUCN – the World Conservation Union.
Bern.
Young, J. A., B. L. Kay & R. A. Evans.
2008. Accelerating the Germination of
Common Bermudagrass for Hydroseeding.
http://agron.scijournals.org.
Diakses
tanggal 25 Oktober 2014
Arisoesilaningsih, E. and Suyono. 2015.
Diversity of drought-resistant plants and
the benefits of their biomass for improving
fertility of a degraded soil of Brantas River
Basin. Journal of Degraded and Mining
Lands Management. 2(2): 313 - 318
Taiz, L. & E. Zeiger. 2002. Plant
Physiology.
Sinauer
Associates,
Sunderland. 690 pp.
Chachalis, D. & Reddy, K.N., 2000.
Factors affecting Campsis radicans seed
germination
and
seedling
emergence.Weed Science, 48: 212-216,
doi: 10.1614/0043-1745.
Baiti, R. N. & E. Arisoesilaningsih. 2015.
Reklamasi Tanah Pasca Pertambangan
Batubara
dengan
Hydroseeding
Menggunakan
Biji
Beberapa
Papilionaceae Lokal. Jurnal Biotropika. 3
(1): 36-41.
Yulianingsih, D. & E. Arisoesilaningsih.
2015. Efektivitas Beberapa Mulsa sebagai
Media Pertumbuhan Teki Pionir di Tanah
Pasca Pertambangan Batubara dari
Kalimantan Selatan. Jurnal Biotropika. 3
(1): 27-31
Backer, C. A. & R. C. Brink. 1965. Flora
of Java Vol. II. Noordhoff-Groningen.
Amsterdam.
Gray, D. H. 2004. Biotechnical and Soil
Bioengineering Slope Stabilization. John
Wiley and Sons. New York.
Ohio City Production Inc. 2012. Grasses
Hydroseeding. http://www.landscapeamerica.com. Diakses tanggal 30 Maret
2015.
Laegard, S. & P.N. Peterson. 2001.
Gramineae Part 2. Sweden and Section for
Botany. Stockholm.
Stone, B. 1970. The Flora of Guam.
Micronesica.
75
Download