pengamanan batas wilayah negara kesatuan republik indonesia

advertisement
PENGAMANAN BATAS WILAYAH NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA
DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
JOKO SANTOSO
104045201508
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/1431 H
PENGAMANAN BATAS WILAYAH NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA
DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
Joko Santoso
Nim: 104045201508
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Prof. Dr. Hj. Amany Burhanudin Lubis, Lc, MA
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/1431 H
KATA PENGANTAR
‫ ا ا
ا‬
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya berupa
Rahmat dan Inayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini,
walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Shalawat beriringan sanjungan kepada Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, yang diutus membawa misi
islam keseluruh pelosok dunia sampai akhirat.
Selanjutnya menyadari bahwa penulis skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. Asmawi, M.Ag selaku ketua Jurusan dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag
selaku sekertaris Jurusan Siyasah Syar’iyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dan melayani dalam
penyelesaian skripsi dan melengkapi persyaratan administrasi.
3.
Yang terhormat Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanudin Lubis, MA selaku Dosen
Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, fikiran dan tenaga untuk
memberikan bimbingan, pengarahan dan nasihat kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4.
Segenap pengurus Perpustakaan Utama, perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitasnya.
5.
Yang teramat sangat besar pengorbanannya Bapak, Ibu dan (almh) ibuku
tercinta, kakak-kakakku Mba Yanti, Ka Joko, Mas Sony, Mba Susan, Mas Anto,
Mba Acied, Mas Redy, Mba Wiwik, adikku yang bontot Wawan, serta
Keponakan-keponakanku Didot, ade, Nahda, Rakan, Kiki, Labib, yang telah
memberikan dorongan, semangat, bantuan beserta do’a yang tulus ikhlas kepada
penulis.
6.
Rini Wulandari (Dede), yang sudah banyak memberikan dukungan moral, waktu,
semangat serta do’anya yang tulus ikhlas kepada penulis hingga terselesaikannya
skripsi ini. (you are the one only),
7.
Teman-teman Aliansi SS 2004 yang Penulis banggakan: Iyan (Oting) selaku
ketua Aliansi SS 2004 yang katanya dia sendiri sih terpilih secara aklamasi yang
udah ngebantu banget dalam semua-muanya (thanks for all ya bro..!!), H. Asep
yang kalau ngomong nyenengin hati, Bauk El-Marshush sang puitis, Heri yang
perutnya gendut banget kaya kuburan kucing, Arman yang doyan nyindir, Arul,
Jaki yang lagi gila Musik, mbah bocah tua nyolot, Atul, Dira, Urwah, Santi,
Putri, Jejen, Ajay Si pendekar, yang selalu mendampingi dan memberikan
semangat, ketika penulis di puncak keputusasaan sampai penulis bangkit untuk
menyelesaikan skripsi ini.
8.
Teman-teman Forum Mahasiswa Alumni Lirboyo (FORMAL): Gus Nur Ahmad
Satria yang sudah banyak membantu penulis dalam memberikan motivasi,
sumbangan pikiran serta arahan-arahan yang sangat membantu penulis sampai
akhirnya terselesaikannya skripsi ini, kang Hafidz, Kang Afifi, Gus Jainal, Gus
Day, Raden Andi, Gus Dedi, Gus Sa’ad, Gus Mu’in, Gus Hayat, Gus Dur, Gus
Amin, Gus Fadhil, Gus Toy, Gus syarif, Dll “trimakasih semuanya “.
9.
Sahabat-sahabat setia-Ku Oiem, aris, Bus, para pedagang 007, “Keysard Band”
David, Steve, Yoyo, Arthur, Marlon, dan semuanya, terimakasih atas semua
kebaikan ,keceriaan, dan kebersamaannya selama ini.
10. Bang Udin sudah penulis anggap Orang tua yang sering bawain makanan ke
kosan dan selalu mendukung, memberikan motivasi, masukannya, serta seluruh
sahabat terimakasih atas semua dukungan dan do’anya.
Kebaikan yang telah semua berikan kepada penulis, tak mampu penulis
membalasnya hanya Allah SWT yang akan membalasnya dengan pahala berlipat
ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya.
Jakarta, Februari 1430 H/2010 M
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………...………. i
DAFTAR ISI …………………………………………………………...………… iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………….1
B. Perumusan Masalah…………………………………………......12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………..……..12
D. Metode Penelitian………………………………………………13
E. Tinjauan Pustaka………………………………….………….…14
F. Sistematika Penulisan…………………………….…….……….15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN BATAS WILAYAH
DALAM PERTAHANAN KEAMANAN ISLAM
A. Konsep Pertahanan dan Keamanan dalam Perspektif alQur’an
dan
Hadits…………………………………………..………….17
B.
Jihad
Sebagai
Sistem
Pertahanan
……………………………...22
C.
Kewajiban
Membangun
Militer……………………..27
Kekuatan
BAB III BATAS WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
A. Ruang Lingkup Wilayah Batas Negara…………………………34
B. Hak-Hak Berdaulat Wilayah…………………...……………….45
C. Pertanggungjawaban Negara …………………………………..49
BAB IV KESENJANGAN ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 43 TAHUN
2008 SERTA PENERAPANNYA
A. Perselisihan dan Sanksi Hukum…………………..……………52
B. Kelemahan Pertahanan di Perbatasan…………….……………57
BAB V PENUTUP.
A. Kesimpulan……………………………………….…………….63
B. Saran-saran……………………………………………………..66
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….68
LAMPIRAN
BAB I
BATAS WILAYAH NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 43
TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DALAM PERSPEKTIF
KETATANEGARAAN ISLAM
A. Latar Belakang Masalah
Konsep Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui oleh seluruh dunia,
yang mana pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan ini merupakan suatu
anugerah yang besar serta rahmat yang senantiasa diberikan oleh Tuhan yang Maha
Esa kepada bangsa Indonesia. Luas wilayah laut Indonesia meliputi 2/3 dari seluruh
wilayah perairan yang menjadi kesatuan dengan daratan. Dengan luas wilayah
Indonesia baik daratan maupun perairan, nilai srategis perairan Indonesia menjadi
sorotan dunia. Indonesia letaknya secara geografis di persimpangan jalan antara
Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia dan antara Benua Asia dengan Benua
Australia, karena itu merupakan daerah yang sering dilewati pelayaran Internasional
maka akan menjadi tanggung jawab besar bagi bangsa Indonesia dalam pengelolaan
dan pengamanannya, maka dalam prakteknya dilapangan suatu proses tanggungjawab
dalam pengelolaan dan pengamanannnya bangsa Indonesia memerlukan kekuatan
serta kemampuan dalam bidang maritim yang besar, kuat serta modern. Dalam
pengelolan Sumber Daya Alam besar yang terkandung di dalamnya seperti: ikan ,
mineral, koral, batu laut, dan lain sebagainya itu semua perlu adanya teknologi dan
peralatan yang canggih yang tak membutuhkan sedikit dana dalam pengelolaan dan
pelestarianya sehingga bisa tetap terjaga .
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga
Merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil
laut dari garis pantai (Coastal baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang mengelilingi
Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda. Namun ketetapan batas tersebut,
yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai lagi untuk memenuhi
kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia.
Atas
pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara (Archipelago) yang
dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Isi pokok dari deklarasi tersebut “Bahwa segala perairan di sekitar, di antara
dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik
Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari
wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian
dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik
Indonesia”.
Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undangundang Nomor 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Ketetapan wilayah
Republik Indonesia yang semula sekitar 2 juta km2 (daratan) berkembang menjadi
sekitar 5,1 juta km2 (meliputi daratan dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan
luas sebesar sekitar 3,1 juta km2, dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2 dan
perairan laut nusantara sekitar 2,8 juta km2.1
Pada konferensi Hukum Laut di Geneva tahun 1958, Indonesia belum berhasil
mendapatkan pengakuan Internasional. Namun baru pada Konferensi Hukum Laut
pada sidang ke tujuh di Geneva tahun 1978. Konsepsi Wawasan Nusantara mendapat
pengakuan dunia internasional. Hasil perjuangan yang berat selama sekitar 21 tahun
mengisyaratkan kepada Bangsa Indonesia bahwa visi maritim seharusnya merupakan
pilihan yang tepat dalam mewujudkan negara Kesatuan Republik Indonesia.2
Melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982,
yang hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara, negara-negara kepulauan
(Archipelagic states) memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Eksklusif seluas 200
mil laut diluar wilayahnya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai hak
mengelola (yurisdiksi) terhadap Zona Ekonomi Eksklusif,
meskipun baru
meratifikasinya. Hal itu kemudian dituangkan dalam Undang-undang No. 17 tanggal
13 Desember 1985 tentang pengesahan UNCLOS (United Nations Convention on the
Law of the Sea). Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) mencapai
jarak 200 mil laut, dikukur dari garis dasar wilayah Indonesia ke arah laut lepas.
Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Undang-undang Nomor 5/1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Konsekuensi dari implementasi Undangundang tersebut adalah bahwa luas wilayah perairan laut Indonesia bertambah sekitar
1
Merebut Kedaulatan Laut Dalam, GATRA Edisi Khusus Januari 2006, hal. 16-17
2
Merebut Kedaulatan Laut Dalam, hal. 19
2,7 juta Km2, sehingga menjadi sekitar 5,8 juta Km2.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan
delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu, 1. Perairan Pedalaman (internal
waters), 2. Perairan kepulauan (archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional, 3. Laut Teritorial (teritorial waters), 4.
Zona tambahan ( contingous waters), 5. Zona ekonomi eksklusif (exclusif economic
zone), 6. Landas Kontinen (continental shelf), 7. Laut lepas (high seas), 8. Kawasan
dasar laut internasional (international sea-bed area).3
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur pemanfaatan laut sesuai dengan status
hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan
dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan
pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan,
zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif,
misalnya hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada di zona tersebut.
Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara
manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian
warisan umat manusia.4
Secara geografis, dengan jumlah 17.508 pulau dan panjang pantai hingga
mencapai 95.180 kilometer agenda menjaga keutuhan NKRI perlu menjadi prioritas.
3
4
T. May Rudy, Hukum Internasional 2 ( Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hal. 17-21
Jacub Rais, Wilayah Lautan: Common Property Dilemmas dan warisan umat manusia,
GATRA Edisi Khusus Januari 2006, hal. 20
Pemerintah RI perlu tegas atas berbagai provokasi yang mengganggu kedaulatan
wilayah RI. Menjaga keutuhan NKRI, meliputi keutuhan dan kedaulatan wilayah
negara dan wilayah perbatasan, serta pengembangan dan pemberdayaan di
masyarakat wilayah perbatasan. Kedaulatan dan keutuhan NKRI dimaksud meliputi
wilayah daratan, wilayah perairan, dan wilayah udara mutlak. Indonesia harus
memiliki landasan hukum yang kuat terkait eksistensi wilayah negara dan wilayah
perbatasan.5
Munculnya beberapa provokasi yang mengganggu kedaulatan NKRI perlu
menjadi perhatian Pemerintah RI. Misalnya kasus Blok Ambalat, pencurian hasil laut
oleh kapal-kapal asing, dan penyelundupan kayu hasil illegal logging ke negara lain.
Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sebuah undang-undang yang
khusus mengatur tentang wilayah negara, yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2008 tentang wilayah negara.
Disebutkan dalam Pasal 1 Butir 9 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008
bahwa landas kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya
dari area di bawah permukaan laut yang di luar laut territorial, sepanjang kelanjutan
alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak
200 mil laut dari garis pangkal di mana lebar laut territorial diukur, dalam hal
pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 mil
5
Letjen TNI Hadi Waluyo, Mempertahankan Kedaulatan: Pulau-pulau Terdepan di Wilayah
Daratan NKRI, Jurnal Yudhagama nomor 70 tahun XXVI Maret 2006
laut sampai dengan jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter.6
Menyikapi ketentuan Pasal 1 Butir 9 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008
tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa ketentuan tentang batas landas kontinen
tersebut masih belum dapat dilaksanakan atau dijadikan acuan sepenuhnya. Artinya
masih memungkinkan terjadinya konflik tentang pengakuan wilayah Indonesia
dengan negara tetangga.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Hampir 17000 pulau
besar dan kecil tersebar di seluruh perairan Nusantara. Sebagaimana diucapkan oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan, saat ini terdapat 90 pulau berada dititik terluar
wilayah Indonesia, 88 di antaranya berbatasan langsung dengan negara tetangga.
Tidak hanya Pulau. Sipadan dan Ligitan saja pulau-pulau yang kepemilikannya cukup
rawan. Sebenarnya, beberapa pulau di Perairan Indonesia mempunyai potensi untuk
hilang, semisal Pulau Lapis di Kalimantan Barat yang kebudayaan penduduknya
lebih dekat ke Thailand daripada Indonesia. Masyarakat di Pulau Myangas di
perbatasan Filipina, dominan dipengaruhi kebudayaan Filipina. Selain itu, pulau
Nipah yang saat ini disengketakan dengan Singapura dan Malaysia, berkaitan dengan
penambangan pasir laut. Ada sekitar 12 pulau yang belum jelas kekuatan hukumnya
dengan negara tetangga. Jarak laut pulau-pulau terluar tersebut dengan wilayah
negara tetangga tidak ada 100 mil, sehingga untuk menentukan batas-batasnya masih
banyak kendala. Contohnya saja adalah jarak antara pulau Bintan (Indonesia) dan
6
Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara,
(Bandung:Citra Umbara,2008)
Johor (Malaysia) yang jaraknya diperkirakan 11 mil laut.7
Dari contoh tersebut di atas, terlihat bahwa ketentuan Pasal 1 Butir 9 UndangUndang Nomor 43 Tahun 2008 tidak dapat diterapkan pada penentuan batas wilayah
antara Pulau Bintan (Indonesia) dan Johor (Malaysia). Dari uraian tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa di luar batas-batas laut yang telah disepakati secara
bilateral/trilateral, batas laut yang lainnya sebagian besar belum tegas/pasti.
Keterlambatan penentuan batas perairan secara pasti merupakan kerugian bagi
Indonesia. Hal ini sekaligus menjadi tantangan untuk segera menuntaskannya, namun
bilamana pada tahun 2009 belum dilakukan penyerahan batas laut ke PBB dengan
mendepositkan peta batas laut, Indonesia akan kehilangan kesempatan atau
tertundanya pengakuan dunia internasional atas hak-haknya sebagai negara maritim
yang dijamin hukum laut internasional/UNCLOS 1982 (tahun 2009 adalah limit
waktu dari PBB untuk penentuan batas laut).
Penentuan geostrategi adalah politik dalam pelaksanaan yaitu upaya
bagaimana mencapai tujuan atau sasaran yang ditetapkan sesuai dengan keinginan
politik. Sebagai contoh pertimbangan geostrategis untuk negara dan bangsa Indonesia
adalah kenyataan posisi silang Indonesia dari berbagai aspek, disamping aspek-aspek
geografi juga dari aspek demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
pertahanan keamanan. Posisi silang Indonesia tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1.
Geografi: Wilayah Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia,
7
Viva news, Kapal Perang Milik Malaysia Melanggar Batas Wilayah RI. Diunduh pada Hari
Selasa, 26 Mei 2009.
serta di antara samudra Pasifik dan samudra Hindia.
2.
Demografi: penduduk Indonesia terletak diantara penduduk jarang di selatan
(Australia) dan penduduk padat di utara (RRC dan Jepang)
3.
Ideologi: ideologi Indonesia (Pancasila) terletak diantara liberalisme di selatan
(Australia dan Selandia Baru ) dan komunisme di utara (RRC, Vietnam, dan
Korea Utara)
4.
Politik: Demokrasi Pancasila terletak diantara demokrasi liberal di selatan dan
demokrasi rakyat.
5.
Ekonomi: Ekonomi Indonesia terletak dianatara ekonomi kapitalis dan selatan
Sosialis di utara.
6.
Sosial: Masyarakat Indonesia terletak diantara masyarakat individualisme di
selatan dan masyarakat sosialisme di utara.
7.
Budaya: Budaya Indonesia terletak diantara budaya barat di selatan dan budaya
timur di utara.
8.
Hankam: Geopolitik dan geostrategi Hankam (Pertahanan dan Keamanan)
Indonesia terletak di antara wawasan kekuatan maritim di selatan dan wawasan
kekuatan kontinetal di utara.
Dari uraian di atas didapatkan beberapa aspek pendukung tentang bagaimana
bangsa Indonesia seharusnya dapat bersikap dalam hal menentukan geostrategi dalam
kehidupan bernegara ataupun hubungan internasional dengan bangsa lain. Sehingga
bisa dikatakan sangat ironis sekali ketika Indonesia sebagia negara kepulauan yang
mana memiliki luas perairan yang terbesar yang kaya akan potensi sumberdaya alam
laut yang tidak bisa dikatakan sedikit, memiliki suatu kekuatan dan kemampuan
pertahanan dan keamanan yang bertugas dalam pertahanan dan keamanan perairan
yang lemah. Kelemahan dalam pertahanan dan pengamanan ini dapat dilihat dari
tidak kejelasannya batas laut yang dimiliki oleh Indonesia sehingga ini merupakan
tugas dari suatu satuan keamanan terkhusus pertahanan dan keamanan laut atau
maritim. Dengan lemahnya keamanan menyebabkan semakin maraknya kejahatan
yang terjadi di laut. Sehingga dua hal yaitu Pertahanan dan Keamanan adalah suatu
hal yang sangat penting dan tidak bisa dikatakan suatu hal yang biasa tapi justru harus
menjadi sorotan utama atau menjadi suatu prioritas yang harus difikirkan oleh negara.
Pertahanan dan keamanan merupakan kebutuhan asasi (dharuriyah) setiap
manusia, masyarakat dan negara, kapan dan di mana saja. Sebab dengan adanya
pertahanan dan keamanan, manusia, masyarakatnya dan negara akan mampu
mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. al-Qur’an merangkum kedua
kebutuhan asasi itu dalam term al-amn, atau keamanan.
Kata al-amn (keamanan) dalam al-Qur’an terdapat 45 kali, 8 namun kata
tersebut dalam hubungannya dengan keamanan dan pertahanan memiliki makna yang
amat luas. Di dalamnya paling tidak terkandung dua makna. Pertama, saling
mempercayai, bukan saling mencurigai. Kedua, makna ketenangan dan kedamaian,
bukan pertentangan dan permusuhan.
Oleh karena itu, menjadi tugas dan tanggung jawab semua komponen bangsa
8
Wahbah al-Zuhaili dkk, Buku Pintar Al-Quran Seven in One, Terj. Imam al-Ghazali
Masykur dkk, (Jakarta: Almahira, 2009), hal. 826-827
untuk mewujudkan pertahanan dan menciptakan (al-amn) atas nama negara. Secara
kelembagaan rakyat dan negara Republik Indonesia telah melimpahkan amanah
(menciptakan al-amn) pada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Disadari atau tidak,
amanah itu selain berkonotasi horizontal (berasal dari harapan rakyat Indonesia), juga
berkonotasi vertical (kepercayaan dari Tuhan). Akan tetapi, sesuai sifatnya sebagai
amanah kolektif, pertahanan dan keamanan tidak hanya menjadi tanggung jawab
TNI, melainkan juga segenap komponen bangsa sebagai implementasi dari bela
negara.9
Hukum internasional merupakan rujukan resmi dari pertentangan atau
perselisihan antar negara lebih-lebih mengenai masalah batas wilayah negara
sehingga menjadi penting untuk melibatkan hukum internasional. Dalam Islam
mendapatkan bandingnya dalam konsep siyar, yang mana merupakan cabang dari
shari’ah. Tapi, pengertian siyar memiliki cakupan pengertian yang unik. Keunikan
yang dikandung oleh siyar dapat ditemukan dalam perlakuan yang membedakan
antara hubungan negara Muslim dan non-Muslim. Di samping itu, juga meliputi
hubungan antara negara-negara muslim itu sendiri. Yang terakhir ini dikelompokan
pada hubungan antar negara-negara Muslim, yang didasarkan pada ummah dan
solidaritas sebagai muslim. Setidak-tidaknya, kontribusi Islam dapat dibuktikan
melalui teori dan rumusan konsep pengelompokan negara dalam keadaan perang dan
damai. Dalam konsepsi siyar terdapat beberapa kelompok: negara Islam (darul
9
Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution (ed), Islam dan Reformasi TNI, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogyakarta, 2000), hal. 9
Islam), negara Islam yang ada dalam kekuasaan negara non-Islam (darul harb), dan
negara dalam keadaan perjanjian (darul ahd). Di samping itu, konsep kedaulatan
dalam siyar terkait dengan sumber klasik Islam, yaitu dari \ad-Daulah dan sikap
netralitas dari satu negara Islam terhadap dua negara yang sedang bertikai. 10
Karena tingginya problem tentang batas wilayah, mendorong pemerintah
Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang wilayah
negara. Sehingga sebagai negara yang mayoritas penduduknya menganut agama
Islam, tinjauan hukum ketatanegaraan Islam terhadap Undang-undang wilayah negara
tersebut seperti terkait dengan hukum-hukum seputar tindak kriminal (hudud),
menurut hemat penulis sangat penting sekali, Sehingga umat Islam dapat menghayati
Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara, dalam kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan latar belakang di atas tersebut, karya ilmiah ini berusaha
mengelaborasi lebih lanjut problem batas wilayah negara dalam konteks Undangundang Nomor 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara, menurut perspektif
ketatanegaraan Islam, maka penulis tertarik untuk, mengkaji lebih dalam bentuk
sebuah skripsi atau karya ilmiah dengan judul
“Batas Wilayah Negara Menurut Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam”
10
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung,
Refika Aditama, 2006), hal 37-38
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk mengkaji lebih dalam dan mendasar tentang Undang-undang Nomor 43
Tahun 2008 tentang wilayah negara, terutama mengenai ketentuan batas wilayah
negara, maka penulis perlu membatasi masalah, sedangkan batasan skripsi yang
penulis simpulkan adalah berkisar pada permasalahan yang berhubungan dengan
batas wilayah negara menurut Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
wilayah negara dalam pandangan hukum ketatanegaraan Islam
Perumusan masalah yang penulis ajukan dalam tulisan ini adalah:
1.
Bagaimana aturan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang wilayah
negara mengenai batas wilayah negara dapat diimplementasikan di Republik
Indonesia?
2.
Bagaimana perspektif ketatanegaraan Islam terhadap Undang-undang Nomor 43
Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dalam hal batas wilayah negara?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Untuk mengetahui latar belakang munculnya Undang-undang Nomor 43 Tahun
2008
2.
Untuk mengetahui aturan Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
wilayah negara mengenai batas wilayah negara diimplementasikan di Republik
Indonesia
3.
Untuk menjelaskan secara jelas perspektif ketatanegaraan Islam terhadap
Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara dalam hal batas
wilayah negara
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para praktisi hukum di Indonesia
dalam menangani masalah konflik batas wilayah negara
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipahami dan diimplementasikan oleh
warga negara sebagai pembuktian akan kecintaan pada Negara Kesatuan
Republik Indonesia
D. Metode Penelitian.
Salah satu tahapan yang penting dalam penulisan karya ilmiah adalah
penerapan metodologi yang tepat yang digunakan sebagai pedoman penelitian dalam
mengungkap fenomena serta mengembangkan hubungan antara teori yang
menjelaskan gambaran situasi dengan realitas yang terjadi sesungguhnya.
Penelitian ini dapat di golongkan sebagai penelitian normatif, yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau sekunder. Teknik pengumpulan data
penelitian ini menggunakan studi dokumenter. Dalam penelitian ini sumber data
dibagi tiga yaitu11: Pertama, sumber data primer meliputi Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara Kedua, bahan hukum
sekunder yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer, seperti, buku-buku tentang pertahanan negara, batas wilayah, dan
11
Soerjono Soekamto dan Sri Mujdi, “Penelitian Hukum Normatif ; Suatu Tinjauan Singkat “,
(Jakarta : PT Raja Grafindo 2006), hal, 24.
ketatanegaran Indonesia serta hukum ketatanegaraan Islam. Ketiga, bahan tersier,
yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder seperti, kamus, ensiklopedia dan indeks kumulatif.
Dalam menganalisa data-data hasil penelitian ini, penulis menggunakan
metode teknik pendekatan kualitatif untuk memahami fenomena sosial yang diteliti.
Artinya, dalam penelitian ini terdapat usaha menambah informasi kualitatif, dapat
diperoleh pula data yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan
sifat-sifat populasi yang diteliti. Pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah buku “ Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2008”.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam menjaga keaslian judul yang akan penulis ajukan dalam proposal
skripsi ini perlu kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi
pertimbangan yang diantaranya yaitu, yaitu :
1.
Buku yang berjudul Hukum internasional, penulis T. May Rudy, yang
menjelaskan tentang sejarah awal lahirnya hukum laut serta penjelasannya yang
meliputi sejarah, konsep serta perjanjian-perjanjian yang ada didalamnya.
2.
Buku yang berjudul Islam dan Reformasi TNI relasi Rakyat – TNI mewujudkan
pertahanan Negara, penulis Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, yang
salah satunya menjelaskan beberapa konsep mewujudkan pertahanan Negara dari
berbagai konsep, serta menjelaskan sistem pertahanan keamanan di Indonesia.
3.
Buku putih pertahanan Negara
Republik Indonesia yang diberi judul
“INDONESIA mempertahankan tanah air memasuki abad 21” penulis Matori
Abdul Djalil, yang memuat tentang bentuk upaya perubahan pada sistem
pertahanan negara, konsep, pengawasan, perubahan yang harus dilakukan serta
membahas tentang beberapa bentuk ancaman-ancaman yang datang dari dalam
maupun luar Negara serta yang berkaitan dengan pertahanan negara di Indonesia.
4.
Dalam buku yang berjudul “Kedudukan Militer Dalam Islam “ penulis Debby A,
Nasution, yang memuat tentang sistem pertahanan dan keamanan pada masa
rasulullah, yang mana banyak terjadi beberapa perang pada masa rasulullah dan
strategi yang dilakukan rasul dalam menghadapi beberapa ancaman yang datang
dari pihak musuh demi mempertahankan keamanan negara.
5.
Buku yang berjudul “Dinamika Reformasi Sektor Keamanan“ penulis Rusdi
Marpaung, di antaranya memuat tentang bentuk paradigma keamanan nasional
dan pertahanan negara di Indonesia, rekonstruksi gelar pertahanan negara di
Indonesia, serta membahas sistem pertahanan negara.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini disajikan dalam 5 (lima) bab yang mana antar bab satu
dengan yang lain ada kesinambungan dan saling melengkapi. Adapun setiap bab
merupakan penekanan atau spesifikasi tambahan mengenai topik-topik tertentu yang
terdiri atas; Bab satu (I), pendahuluan. Pada bab ini penulis menguraikan tentang
dasar pemikiran yang menjadi latar belakang masalah, kemudian pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan yang menjelaskan alur berfikir penulis. Bab dua, menjelaskan
tinjauan umum tentang hubungan batas wilayah dalam Pertahanan Keamanan Islam
meliputi penjelasan tentang konsep pertahanan dan keamanan dalam perspektif alQur’an dan hadits, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai Jihad sebagai
sistem Pertahanan, pada akhir bab dua akan dijelaskan mengenai Kewajiban
membangun kekuatan militer. Bab tiga, penulis menguraikan tentang batas wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam bab ini meliputi tentang ruang lingkup
wilayah batas negara, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang Prinsipprinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kemudian akan dijelaskan
mengenai Hak-hak berdaulat wilayah, serta pada akhir bab ini akan dibahas tentang
sanksi hukum terhadap pelanggar perbatasan wilayah. Selanjutnya, dalam bab empat,
penulis menjelaskan tentang batas wilayah negara dalam pandangan ketatanegaraan
Islam, dalam bab ini meliputi penjelasan mengenai batas negara dalam pandangan
Islam dan kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai pandangan hukum
ketatanegaraan Islam terhadap Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
wilayah negara mengenai batas wilayah. Terakhir adalah bab lima. Dalam bab ini,
penulis membagi dalam dua sub bab yaitu penutup yang berisi kesimpulan dan
rekomendasi. Kesimpulan dan rekomendasi diletakkan oleh penulis di akhir penulisan
dengan pertimbangan sistematis penulisan skripsi agar mudah dibaca kandungan isi
skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG HUBUNGAN BATAS WILAYAH DALAM PERTAHANAN
ISLAM
A.
Konsep Pertahanan dan Keamanan dalam Perspektif Al-Quran dan
Hadits
Keamanan, dari kata dasar aman, ialah kondisi yang bebas dari bahaya, 12 di
dalamnya paling tidak terdapat empat kondisi yaitu: Pertama, perasaan bebas dari
gangguan fisik dan psikis. Kedua, bebas dari pada kekhawatiran. Ketiga, perasaan
dilindungi dari segala bahaya. Keempat, perasaan damai lahiriah dan batiniah.13
Dalam kaitan dengan pembelaan negara, pertahanan negara, pertahanan batas wilayah
negara, pertahana nasional dimaksudkan sebagai kekuatan, kemampuan, daya tahan
dan keuletan yang menjadi tujuan suatu bangsa untuk menghadapi tantangan,
ancaman, hambatan dan gangguan yang datang dari luar atau pun dari dalam, yang
secara langsung atau tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan
negara.
Dalam Islam, ketahanan dan keamanan sangat terkait dengan kehidupan, dan
kedua kata ini dalam bahasa agama Islam disebut dengan al-amn. Karena itu,
12
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 29
Hasyim Irianto, et. Al., Buku Panduan Ceramah Kamtubmas Dalam Perspektif Islam
(Medan: Jabal Rahmat, 2000), hlm. 5
hubungan yang signifikan di atas paling tidak dapat dilihat dari dua sisi. Pertama ,
keamanan sendiri berasal dari bahasa arab, yaitu al-amn, yang berarti aman tentram.
Kedua, keamanan terkait dengan keimanan, karena iman sebagai suatu keteguhan
dalam hati akan menciptakan rasa aman. Orang yang beriman adalah orang yang
aman, yaitu aman dari segala gangguan dan kegundahan, baik di dunia apalagi di
akhirat nanti, tanpa dihinggapi rasa takut
Dari pengertian di atas, kajian tentang pertahanan dan keamanan, paling tidak
terkait dengan kondisi empiris, konsisi ideal yang diharapkan , dan faktor-faktor yang
menyebabkan ada atau tidaknya kondisi-kondisi di atas. Ketahanan dan keamanan
sebagai kondisi ideal dari suatu masyarakat atau negara diilustrasikan al Quran
dengan ungkapan “baldatun thayyibah,” seperti dijelaskan dalam QS. As-Saba’ ayat
15

⌧
-.#&☺/0 *+☺ ( "#$%&' ! ;<:
45679:
(
!123 !
D9EF B#C< A >@ !0= /#0
MN" ⌦:1JK⌧L GH:0
Artinya “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan)
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik
dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". (QS. Saba’: 15)
Sesuai dengan ayat di atas, Saba adalah sebuah negara yang aman dan
makmur. namun karena masyarakatnya tidak mengindahkan ajaran agama, mereka
merusak ekosistem, akhirnya negara yang subur dan makmur berubah menjadi negara
yang tandus dan kering, secara geografis negara tersebut terdapat di negara Yaman
sekarang.14
Dengan mengambil kejadian negara Saba’ di atas, dalam pandangan Islam,
Negara yang adil makmur haruslah memiliki ketahanan dan keamanan dalam semua
aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Ketahanan sosial ialah
adanya daya dukung sosial yang kuat, sehingga hubungan sosial terjamin secara kuat
di antara mereka. Ketahanan politik ialah terjaminnya stabilitas politik dari ancaman
baik dari dalam maupun dari luar. Ketahanan budaya ialah adanya budaya suatu
masyarakat yang tahan dari serbuan budaya asing. Sedangkan ketahanan agama ialah
terciptanya keimanan yang kuat, sehingga tidak goyah dalam menghadapi berbagai
macam ancaman, baik ancaman secara fisik, seperti tekanan dari agama lain ;
ancaman ekonomis, seperti perlakuan pelanggaran hukum, seperti korupsi; ancaman
ideologi, seperti Komunisme, Marxisme, Ateisme dan lain-lain; maupun ancaman
dari pengamalan ajaran agama.
Di dalam upaya perwujudan ketahanan dan keaman perlu dikerahkan segenap
potensi dan kemampuan, seperti digambarkan dalam QS. al-Anfal ayat 60
14
Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution (ed), Islam dan Reformasi TNI, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2000), hal. 5
PQ2S$T#
#%

!0:0*0
"Z6E&S6# XY#<9: W0 GBV12 (U
`a#
%0
_@<
[\1]=2
Pf0g ( cd=&e 0 Jb%00
A
☺;32
ja#
f1☺;32
hi
"ZED&T m * l⌧` ( !1JKk2 #0
hi
PQf0*0
E
n#1
`a#
M4" [\1☺;3J2
Artinya “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa
saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. Al-Anfal: 60)
Ayat di atas menjelaskan bahwa pertahanan pada akhirnya terkait dengan
tindakan pertahanan diri (militer), yang dalam bahasa agama disebut denga jihad.
Jihad, sebagi suatu ajaran Islam, merupakan elan vital pengembangan dan kelestarian
ajaran Islam. Islam tidak akan berkembang dan atau tidak akan bertahan tanpa
aktivitas jihad. Itulah sebabnya doktrin Jihad menempati posisi strategis signifikan
dalam ajaran Islam, sehingga jihad dujadikan sebagai kewajiban komunal (wajib
kifayah), dan bisa mengarah pada kewajiban personal (wajib ain) ketika suasana
membutuhkan. Begitu pentingnya ajaran ini hampir-hampir dijadikan sebagai rukun
Islam yang keenam.15
Seperti juga pandangan al-Qur’an, al-Hadits sebagai pemberi penjelasan
tambahan terhadap al-Quran memberikan perhatian khusus dalam upaya mewujudkan
ketahanan dan keamanan serta upaya menghindari adanya gangguan ketahanan dan
keamanan. Dari QS. al-Anfal ayat 60 di atas dipahami bahwa upaya menciptakan dan
mempertahankan ketahanan dan keamanan harus mengerahkan segenap kemampuan
dan peralatan, termasuk kuda perang, yang dalam bahasa modern sebagi transportasi
militer
Ayat ini dipertegas lagi oleh sebuah hadits yang menegaskan bahwa suatu
ketika
Nabi
Muhammad
memerintahkan
pengikutnya
(sahabatnya)
untuk
mempersiapkan kekuatan. Sahabat bertanya apa yang dimaksud dengan kekuatan,
nabi menjawab al-ramy (panah). Panah dalam hadits di atas tentu harus dipahami
secara kontekstual. Sebagai suatu alat yang mampu menjangkau sasaran jarak jauh,
dalam arti modern panah tentu dapat dimaknakan sebagai peluru kendali atau rudal
yang mampu mencapai sasaran jarak jauh, seperti panah. Hal ini dipahami dari hadits:
َ ‫ ا‬:َ‫ََِوْا ُِْةِ َُا َ اُْةَ َ رَﺱُْلَ اِ؟ وَ
َل‬
“Siapkanlah kekuatan. “sahabat bertanya apakah kekuatan itu? Nabi
menjawab, kekuatan itu panah”. (HR. Muslim)16
15
Debby A. Nasution, Kedudukan Militer Dalam Islam.( Yogyakarta: Tiara Wacana,
2003),hal 134
16
Imam Abi al-Husaini, Shahih Muslim, juz II, (Beirut: Libanon), hal.163
Dalam Islam, seperti dijelaskan hadits, pertahanan, kecuali dalam arti fisik,
juga dalam arti non fisik, yaitu kemampuan mengendalikan hawa nafsu. Perang
terhadap hawa nafsu di gambarkan oleh hadits:
ِ َ%ْ‫ِ(َدِ اَْآ‬$ َِ‫ِ(َدِ اَْ*ْ)َ ِ ا‬$ْ !ِ َ"ْ#َ$َ‫ر‬
“Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar” (H.R.
Baihaqi)17
Ungkapan nabi ini muncul ketika pulang dari perang Badar yang besar. Begitu
besarnya perang ini sehingga sahabat bertanya, masihkah ada perang (jihad) yang
lebih besar lagi. Pertanyaan ini dijawab nabi sesuai dengan hadits di atas. Ini memberi
isyarat bahwa pertahanan sebenarnya dalam arti non fisik, yaitu pengendalian hawa
nafsu. Dalam arti yang lebih luas, ketahanan dan keamanan digambarkan oleh hadist
dalam bentuk doa nabi, yang berbunyi:
ِ‫َل‬$+ ‫ِ ا ْ!ِ وَ
َ(ْ ِ ا‬,َ%َ-َ.َ‫ِ و‬/ْ0ُ%ْ‫ْ!ِ وَا‬%ُ1ْ‫ِ وَا‬/ََ2ْ‫ِ وَا‬3ْ1َ#ْ‫َ ِ!َ ا‬4ُِ‫ اَُْذ‬6+‫(ُ إِﻥ‬-َ‫ا‬
“Ya Tuhanku, aku berlindung bagi-Mu dari kelemahan (fisik dan rohani), sikap
malas, penakut dan kikir, hutang yang lebih banyak dari kekayaan, dan dari
keterkaan atau rasa takut”. (HR Muslim)18
Dari hadits ini tersirat bahwa ketahanan memilki tiga makna, yaitu ketahanan
jasmani dalam bentuk sehat secara fisik, ketahanan rohani dan mental, dalam bentuk
sehat kejiwaan dan terhindar dari sikap malas, penakut dan mengalami tekanan dari
luar; dan ketahanan secara ekonomi, sehingga hutang tidak melebihi kekayaan.
17
18
Ihya ‘Ulum al-Din’, juz III, (Beirut: Libanon), hal. 110
Imam Abi al-Husaini, Shahih Muslim, juz II, (Beirut: Libanon), hal. 577
B.
Jihad Sebagai Sistem Pertahanan
Sejak dunia mengenal bentuk kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak ada
suatu negara pun yang tidak memiliki undang-undang pertahanan dan keamanan,
yang dengannya setiap negara mengatur cara dan bentuk negara bersangkutan dalam
menjalankan pertahanan, melakukan penyerangan, dan meningkatkan upaya
memelihara keamanan guna melindungi wilayah negara dan warga negaranya.
Sebagaimana halnya, tidak mungkin suatu negara tanpa angkatan perang,
persenjataan dan latihan perang.terhadap undang-undang demikian, tidak ada
manusia yang berakal sehat menyatakan kecamannya dan menganggapnya sebagai
pelanggaran atas Hak-hak Asasi Manusia, apalagi mengecamnya sebagai kekuatan
yang mengancam keamanan dan keselamatan negara lain. Juga, tidak ada yang
menganggapnya sebagai tindakan teroris atau agresi. Tetapi, justru diterima sebagai
hal yang rasional, bahkan termasuk salah satu piagam PBB yang membenarkan
perang sebagai alat untuk mendamaikan pihak-pihak yang saling bertempur namun
ironis bila ada sebuah negara hanya berbekal kecurigaan adanya negara lain yang
membahayakan negerinya, lalu dengan tidak adil, menghancur-leburkan negara yang
dianggap sebagai sarang teroris atau lawan yang berbahaya.
Mengapa Syari’at Jihad dalam perspektif Islam, Syari‘at Jihad merupakan alat
pertahanan dan keamanan negara. Al-Qur’an menyebutkan filosofi jihad dengan katakata berikut “Kalau sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia
oleh sebagian yang lainnya, niscaya gereja-gereja, biara-biara, sinagog-sinagos, dan
masjid-masjid di mana nama Tuhan disebutkan, pasti telah tumbang.” (Q.S. Al Hajj
(22) ayat 40).
]d=pg ( !1'd=eo* c/a#
!1 1J \0* si
Z]r&@
q=<
`a# t6C&g hi10 ja# #B[<:
yz2<
vw2<
u%#%k#
ltE<0
t1
{]|}G
#wqC =hbE 4p0 €1;30
„\q…Mkg0 kq=ƒhb `a# T#
†"1 /a# „\ K>;q…M ( ja#
M4" L‡d‡
Artinya “(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa
alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah".
dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian
yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumahrumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa”. (Q.S. Al Hajj
(22) ayat 40)
Ayat ini menjelaskan filsafat dan keharusan perang. Berbagai umat, berbagi
bangsa, dan berbagai kelompok memperoleh kekuasaan dan berkembang di muka
bumi. Mereka tetap berkuasa dan mengendalikan kepentingan umatnya sampai
mereka mulai melakukan penyimpangan dan kesewenang wenangan terhadap
mereka. Berangsur-angsur mereka kehilangan kekuasaan dan kaum lain yang lebih
baik dan adil menggantikan mereka, dan menetapkan diri mereka di muka bumi.
Proses ini berlangsung terus di mana orang yang berbuat mungkar dan aniaya akan
selalu digantikan oleh umat dan kaum yang lebih baik. Ayat ini mengacu pada prinsip
ketuhanan universal ini, menurut prinsip di mana tidak seorang pun dibenarkan untuk
memegang kekuasaan di muka bumi ini untuk selama-lamanya, karena hal itu dapat
menyebabkan kekacauan dan penindasan di muka bumi. Filsafat jihad diringkaskan
dalam ayat Al-Quran: “Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi penindasan
dan sampai agama Allah ditegakkan. Tetapi jika mereka menghentikan perlawanan,
maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap para penindas.” (QS. Al-Baqarah
(2) ayat 193). Kekuatan ini ditujukan pada Nabi Muhammad oleh musuh yang
menyudutkannya sedemikian rupa sehingga beliau hanya tinggal memiliki dua
pilihan, mati atau mempertahankan keyakinan dan nyawanya. Beliau memilih jalan
kedua dengan penuh semangat dan kekuatan serta pertongan allah, beliau akhirnya
berhasil.19
Jihad memainkan peranan yang sangat penting dalam mempertahankan
ideologi Islam, dan Al-Quran telah memberikan penekanan yang besar pada
keutamaan konsep ini. Dapat diutarakan bahwa dalam hal ini semua usaha dan tenaga
dilakukan semata-mata untuk mencari keridaan Allah semata. Tidak boleh ada unsur
lainnya, betapa pun kecilnya yang melekat dalam usaha ini, yang berbau pengultusan
pribadi, kemegahan, atau keuntungan pribadi dalam bentuk apa pun juga. Al Qur’an
menegaskan Syari’at Jihad dimaksudkan antara lain: Pertama, menegakkan kebenaran
dan keadilan ketika kebenaran dan keadilan dihancurkan oleh golongan dzhalim dan
sesat. Keadilan dan kebenaran merupakan pilar-pilar penjamin ketenteraman dan
19
Ulumul Qur’an Nomor 7 volume II/1990/1411,hal. 59.
keselamatan hidup umat manusia. Bila hal ini terancam, maka Islam mengijinkan
Jihad. Kedua, menjamin kebebasan umat manusia merasakan cahaya kebenaran dan
hidayah Islam tanpa ada perasaan takut sedikit pun terhadap tekanan dan ancaman
dari mana pun. Bila ada kekuatan-kekuatan yang menghalangi kebebasan ini, maka
Islam membenarkan dilakukannya Jihad dengan harta dan jiwa. Ketiga, membangun
harga diri umat Islam dalam berhadapan dengan musuh-musuhnya supaya tidak
dihinakan dan dipermainkan. Guna mencegah kesewenangan musuh-musuh Islam
terhadap kaum Muslimin, maka Jihad merupakan sarana paling ampuh untuk
menggentarkan niat tercela musuh-musuh Islam (Qs. Muhammad: 35). Keempat,
membebaskan golongan lemah dari penindasan penguasa tiran, supaya kaum tiran
menghentikan tindakan tiraninya kepada golongan lemah. Maka, senjata yang paling
ampuh untuk menundukkan kelompok tiran adalah dengan Jihad (Qs. An Nisaa: 75).
Dan kelima, memelihara kewibawaan Islam di hadapan musuh-musuhnya agar umat
Islam tidak dirampas hak-haknya dan Islam dapat memelihara suasana perdamaian
dan kesejahteraan dunia (Qs. Al Anfaal: 60).20 Lima hal tersebut di atas merupakan
realitas yang ada dalam kehidupan manusia sepanjang zaman. Sehingga, Islam harus
memberikan respon dan solusi yang sejalan dengan tuntutan dinamika kehidupan
manusia di mana saja dan kapan saja. Yaitu, adanya undang-undang pertahanan diri
dari penyerangan musuh yang bersifat universal, rasional, dan realistis sejalan dengan
tabiat dasar manusia.
20
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Terj. Fadli Bahri, (Jakarta: Darul Falah,
2007), hal 101-116.
Semua agama mempunyai cara-cara tersendiri dalam mengungkap tentang
pentingnya pertahanan sebuah negara dan agama, terlebih agama Islam dengan
konsep jihad yang ditawarkan sehingga dapat dipahami bahwa mempertahankan
sebuah Negara adalah sebuah keharusan bagi semua umat manusia, lemahnya sebuah
negara akan membuat lemahnya pemberdayaan umat.
C. Kewajiban Membangun Kekuatan Militer.
Eric A. Nordlinger mengatakan bahwa Angkatan Bersenjata atau militer
merupakan lambang kedaulatan negara dan pertahanan utama bagi kemungkinan
serangan negara, baik dari luar maupun dari dalam. Jean Jaurus, bapak ideologi
sosialisme Perancis menyatakan bahwa “Perdamaian hanya bisa dijaga dengan
pertahanan yang hebat sehingga semua pikiran dan keinginan untuk melakukan agresi
menjadi binasa.21
Dalam Islam kewajiban untuk membangun kekuatan militer bagi kaum
muslim secara jelas diperintahkan oleh Allah, Langkah ini dilakukan guna
mempersiapkan menghadapi musuh, dari luar maupun dari dalam baik yang jelas
maupun yang samar-samar. Firman Allah Swt.
PQ2S$T# #%  !0:0*0
"Z6E&S6# XY#<9: W0 GBV12 (U
`a#
%0
_@<
[\1]=2
Pf0g ( cd=&e 0 Jb%00
21
Debby A. Nasution, Kedudukan Militer Dalam Islam, ,hal 401
A ☺;32 ja# f1☺;32 hi
"ZED&T m * l⌧` ( !1JKk2 #0
hi
PQf0*0
E
n#1
`a#
M4" [\1☺;3J2
Artinya ”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh) kekuatan apa saja yang
kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang,- yang dengan
persiapan itu-kalian membuat gentar musuh kalian tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kalian nafkahkan di jalan Allah niscaya akan
dibalas dengan sempurna pada kalian dan kalian tidak akan dianiaya (dirugikan)”.
(QS. Al-Anfal: 60)
Sayyid Quthb mengatakan bahwa melakukan persiapan dengan berbagai
macam kekuatan militer merupakan kewajiban yang mendampingi kewajiban
berjihad.22 Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa ayat ini merupakan perintah allah
kepada kaum muslimin untuk mempersiapkan berbagai jenis persenjataan untuk
bertempur melawan musuh-musuh mereka. Untuk itu mereka harus mengerahkan
semua kekuatan dan kemampuan yang ada.. Rasulullah Saw. Pernah membaca ayat
ini ketika berkhutbah di atas mimbar, kemudian beliau berkat “Ingatlah,
sesungguhnya yang dimaksud kekutan adalah melontarIngatlah sesungguhnya
kekuasaan itu adalah melontar. “23 Yang dimaksud melontar disini pada masa itu,
ialah kemampuan memanah dengan sasaran yang tepat. Sedangkan pengertiannya
22
Anthony Black, Pemikiran Politik Islam, Terj. Abdullah
Ariestiyawati.(Jakarta: Serambi 2006),hal 573-582
23
Ali dan
Maryana
Al-Imam Abul-Fida Ismail bin Katsir Al-Qursyi Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, juz II
(Beirut: Dar aljayl,t.th), hal 321
untuk masa sekarang, tentu kemampuan menembak dengan menggunakan berbagai
macam peralatan militer modern
Kemudian isi ayat selanjutnya menerangkan tujuan dari mempersiapkan
kekuatan militer yang solid, yaitu menimbulkan ras takut dan gentar di hati musuhmusuh mereka, baik musuh yang datang dari luar maupun dari dalam. Di ujung ayat,
Allah menegaskan bahwa semua biaya atau anggaran yang dikeluarkan untuk
kepentingan ini akan dibalas oleh Allah dengan pembalasan yang sempurna.
Sayid Quthb menyatakan bahwa Islam harus memiliki kekuatan militer yang
mendampinginya di permukaan bumi untuk membebaskan semua manusia, maka
tugas pertama kekuatan militer ini dilapangan dakwah adalah ialah menghilangkan
semua rintangan dan kezaliman yang menghalangi kebebasan manusia untuk memilih
akidah Islam atau tetap pada keyakinannya semula dan kemudian melindungi setiap
individu yang telah memilihnya. Kedua, menimbulkan rasa gentar terhadap orangorang yang memusuhi agama ini sehingga mereka tidak pernah berpikir untuk
menyerang negara yang telah dijaga oleh kekuatan militer ini. Yang ketiga,
meningkatkan rasa gentar tersebut dalam hati para musuh sehingga mereka tidak
pernah berpikir untuk menahan langkah maju Islam, yang terus bergerak
membebaskan manusia di seluruh permukaan bumi. Dan tugas ke empat dari
kekuatan militer Islam ialah menghancurkan semua kekuatan lain di muka bumi yang
menempatkan dirinya sebagai tuhan, menindas manusia serta tidak mau mengakui ke-
Tuhan-an allah satu-satunya; yang dari situ tegaknya pemerintah-Nya, Dia yang
Maha Esa dan Maha Suci.24
Syaikhul-Islam Ibnu Taymiyyah (menegaskan, bahwa kedaulatan sebuah
pemerintahan (Negara) ditopang oleh dua buah tiang. Tiang yang pertama adalah
kekuata militer dan tiang yang kedua ialah Amânah sebagaimana firman allah swt:
{<0‰Šp
#&☺ˆ&;
{#
M(
q=&e
„\
!
;=46`$T#
+Q‹#
:‡"16#
=&6`$T#
MŒ"
Artinya “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya".(Surah Al-Qashsash (28): 26)
Selanjutnya Syaikhul-Islam Ibnu Taymiyyah mengatakan, bahwa tiap-tiap
propinsi atau daerah dari pemerintahan harus memiliki kekuatan militer yang
memadai. Adapun ta’rif (definisi) “kekuatan” dalam ayat ini – menurut beliau – bila
ditujukan bagi para komandan militer mengacu kepada keberanian, pengetahuan yang
lengkap tentang berbagai macam taktik dan cara bertempur dan pemahamannya yang
baik terhadap berbagai macam peralatan militer serta kegunaannya. Inilah yang
ditunjukkan oleh firman allâh:
PQ2S$T# #%  !0:0*0
"Z6E&S6# XY#<9: W0 GBV12 (U
`a#
%0
_@<
[\1]=2
24
Sayyid Quthb, Fi Zilalil Qur’an jilid IV, Terj. Ahmad Sudzai (Jakarta: Gema Insani Pers,
2007), hal. 49
Pf0g ( cd=&e 0 Jb%00
A ☺;32 ja# f1☺;32 hi
"ZED&T m * l⌧` ( !1JKk2 #0
hi
PQf0*0
E
n#1
`a#
M4" [\1☺;3J2
Artinya “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa
saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Surah Al-Anfâl (8): (60)
Pengertian “kekuatan” bila ditujukan dalam hal menjalankan pemerintahan di
tengah-tengah masyarakat, mengacu kepada pengetahuan akan ukuran keadilan yang
sesuai dengan Kitabullâh dan Sunnah Rasûlullâh Saw. serta kemampuan
melaksanakan dan menegakkan berbagai macam peraturan dan undang-undang.
Adapun “Amânah” pengertiannya mengacu kepada rasa takut kepada allah, tidak
menjual ayat-ayat allah dengan harga yang sedikit dan tidak merasa gentar terhadap
manusia.25 Tiga hal ini telah Allah wajibkan bagi semua aparat penegak hukum,
sebagaimana firman-Nya:
#wqC ˆ:1$# #k6‡f0* a#Šf
#w 6m
A
⌦:1f0
‡Ž2]
!1☺;3T0* c/a# [\1gG%#
1gp<V=#0 !0g#&] c/
!1…JK$T# #&☺< :#D@Q‹#0
@6E;3 !1fhb0 `a# 43pQ
(
u%#%# !1‘’ h⌧C A a&wJ
!0q“‘;Z
hi0
"1‘e#0
P/ (0 A Ž⌧g3 #&☺0P l4”p#`<
25
Nurcolis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban ( Jakarta: Paramadina, 2000) hal, 557
&•Šp‰0o‰C ja# .‡f0* a#&☺< P 6m
M" 0=Kp6# 2]
Artinya “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara
orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orangorang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan
memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu
janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah
kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orangorang yang kafir. (Surah Al-Mâidah (5): 44)
Menjaga batas wilayah negara merupakan bagian penting dari sistem
pertahanan, sehingga
sudah menjadi ketentuan dimana setiap negara yang
menghendaki negaranya aman maka langkah awal untuk menjaga adalah dengan
menjaga batas wilayah dari suatu negara, Al-mawardi mengemukakan bahwa
menjaga batas wilayah merupakan tugas dan tanggung jawab dari seorang imam. Almawardi lebih lanjut menyebut tugas dan tanggungjawab seorang imam adalah:
1.
Menjaga prinsip-prinsip
agama
yang mapan dan menjadi consensus generasi Islam awal
2.
Melaksanakan hukum (peradilan)
di kalangan masyarakat, dan melerai pertengkeran antara dua kelompok yang
bertikai
3.
Memelihara
kehidupan
perekonomian masyarakat sehingga rakyat memiliki rasa aman atas diri dan
hartanya
4.
Menegakkan
hukuman
untuk
menjaga hak-hak manusia dari penindasan dan perampasan
5.
Membentengi perbatasan negara
untuk mencegah serbuan (serangan) musuh
6.
Melakukan jihad melawan musuh
Islam, melalui dakwah agar mereka menjadi muslim atau menjadi ahl aldhimmah (non muslim yang tinggal di bawah kekuasaan Islam)
7.
Mengumpulkan
fa’i
(rampasan
dari musuh bukan dengan perang) dan zakat baik yang wajib menurut syariah
maupun yang wajib menurut ijtihad
8.
Mengatur kekayaan negara (taqdir
al-ataya) yang ada di bait al-mal, dengan memperhatikan keseimbanagan (tidak
boros dan tidak pelit, tapi seimbang dan proposional)
9.
Mengikuti nasehat orang yang
bijaksana dan menyerahkan urusan pemerintahan dan keuangan kepada orangorang yang bisa dipercaya
10.
Melakukan pengawasan terhadap
urusan-urusan pemerintahan dan mengawasi keadaan, untuk mengatur kehidupan
umat dan memelihara agama26
Menurut
Al-Mawardi,
selama
seorang
imam
mampu
melaksanakan
tanggungjawab dan kewajibannya dan tetap memenuhi syarat-syarat
yang
dibutuhkan, maka rakyat wajib memberikan loyalitas dan dukungan terhadap
kepemimpinan.
Dari pemaparan yang dikemukakan Al-Mawardi di atas menjadi jelas bahwa
masalah perbatasan wilayah dalam pandangan Islam sangat erat hubungannya dengan
tugas dan tanggungjawab dari pemimpin. Oleh sebab itu pemimpin harus memilki
kemampuan dan kecerdikan dalam mengelola pertahanan negara. Sehingga bisa
dikatakan bahwa pembuatan aturan melalui undang-undang tentang perbatasan
negara dari sebuah negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kemauan
dari seorang kepala negara, sejauh mana kepala negara mampu membuktikan
kemampuannya dalam menjaga atau melindungi negaranya dari intervensi pihak
asing.
26
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Terj. Fadli Bahri (Jakarta: Darul Falah,
2007), hal. 23-24
BAB III
BATAS WILAYAH NKRI
A. Ruang Lingkup Wilayah Batas Negara
Negara merupakan sebuah tatanan hukum, maka segala masalah yang timbul
dalam teori umum tentang negara harus dapat diterjemahkan ke dalam masalahmasalah yang dapat dipahami dalam teori umum tentang negara. Doktrin tradisional
membedakan tiga “unsur” negara: teritorialnya, rakyatnya, dan kekuasaannya.
Sehingga yang dianggap sebagai esensi suatu negara ialah bahwa negara itu
mempunyai suatu teritorial dengan batas-batas tertentu.27 Dalam sejarah Indonesia,
wilayah darat pulau-pulau zaman kolonial Belanda serta merta dijadikan acuan untuk
penarikan tata batas laut kini, sedangkan di negara Asia Tenggara lain semisal
Filipina, negara ini cenderung bertahan pada tata batas historisnya, yaitu mengacu
pada tata batas Spanyol-Amerika Serikat dalam dokumen Paris Treaty 1898.
Pada sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 misalnya terjadi perdebatan dalam
rangka penentuan teritori nasional. Saat itu, 66 anggota BPUPKI yang hadir pecah ke
dalam tiga faksi dengan opsi wilayah berbeda, yaitu (1). Wilayah negara Hindia
belanda yang dulu (2). Wilayah Hindia Belanda ditambah Borneo Utara, ditambah
Papua dan Timor seluruhnya (3), Wilayah Hindia Belanda dahulu ditambah Malaka,
ditambah Papua, ditambah Timor, dan kepulauan sekitarnya. Tarik menarik mengenai
rentang wilayah itu diselesaikan sidang itu dengan mekanisme voting. Hasilnya,
27
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung: PT. Nusamedia
Nuansa,2006), hal. 297
pilihan nomor (2) dipilih 39 anggota. Opsi (1) dipilih 19 anggota dan opsi (3)
didukung 6 anggot, sementara satu abstain.28 Artinya, wilayah negara yang ingin
dipatok para elit founding fathers Indonesia itu adalah wilayah Hindia Belanda plus,
yaitu, plus Borneo Utara, plus Papua dan Plus Timor Portugis.
Memang saat itu wilayah-wilayah yang hendak dijadikan tambahan ini masih
diduduki Jepang. Para founding parents Indonesia berasumsi wilayah-wilayah itu
akan dengan gampang diberikan pihak Jepang dengan logika sederhana bukankah
pihak Jepang sendiri yang membentuk BPUPKI. Opsi para pendiri itu jelas tidak
realistis bagi ‘bayi’ negara Indonesia saat itu. Opsi mayoritas BPUPKI itu terbukti
tidak berdaya diwujudkan. Tak heran, menjelang kemerdekaan, rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akhirnya mengambil jalan realistis
memutuskan wilayah Indonesia sekadar meliputi 8 propinsi: Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda kecil. PPKI
menyebut daerah-daerah ini ‘untuk sementara’. Ketetapan PPKI ini tidak dapat
diwujudkan sehingga akhirnya, wilayah negara Indonesia sederhananya sekedar
menjiplak wilyah negara
Hindia Belanda. Disimpulkan demikian, karena
dicantumkannya aturan peralihan UUD 1945. Dengan aturan itu, negara Indonesia
28
Bahar Safroedin, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 28 Mei – 22 Agustus
1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
dalam hal wilayah menganut uti possidentis juris atau sekedar meneruskan aturan
tentang wilayah kekuasaan negara Hindia Belanda sebelumnya.29
Wilayah itu dalam istilah para penguasa tentara jepang saat itu disebut sebagai
To indo30. Dengan prinsip uti possidentis juris, secara khusus untuk wilayah laut,
diartikan Indonesia pada saat proklamasi menetapkan rentang wilayah laut teritorial 3
mil. Batas laut teritorial itu memang ditetapkan negara Hindia Belanda tahun 1939
dalam produk hukum bernama Territorial Zee en Maritime Kringen Ordonantie
(TZMKO) yang tertera pada Staatblad NO. 442 tahun 1939. Wilayah warisan itu
tidak diotak-atik Indonesia lagi. Dalam artian ditambah-kurangkan. Pada Konstitusi
RIS 1949 wilayah nasional sekadar dibagi-bagi ke dalam beberapa negara bagian saja
(RIS).31
Kemudian wilayah nasional yang disepakati tahun 1945 itu dijadikan acuan
sejak Indonesia mempergunakan UUDS 1950. Dan tujuh tahun sesudahnya wilayah
itu dirumuskan via Deklarasi Djuanda Desember 1957. Pada waktu itu wilayah laut
semua daerah Indonesia diasumsikan bertambah dari 3 mil ke 12 mil. Kemudian saat
Indonesia kembali ke UUD 1945 lewat dekrit presiden Soekarno 5 Juli 1959. Batasbatas darat negara kolonial Hindia Belanda tetap diacu, sedang untuk rentang laut
29
Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadilr, Daerah Perbatasan Keterbatasan
Perbatasan, (Yogyakarta, FUSPAD, 2008), hal 165
30
Silalahi S, Dasar-dasar Indonesia Merdeka, Versi Para Pendiri Negara, (Jakarta:
Gramedia Pustaka utama, 2001), hal 20
31
Makalah Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno, S.H. pada
acara pembekalan kepada Peserta Pendidikan Kursus Kader Pimpinan (Suskapin) Tingkat Nasional
Tahun 2009 Komando Nasional Resimen Mahasiswa Indonesia, tanggal 23 Oktober 2009 di Gedung
Candraca Grup 3 Kopassus Cijantung Jakarta Timur.
teritorialnya sudah mengacu pada deklarasi Djuanda. 32 Penetapan batas-batas darat
Indonesia ternyata dapat disebut lebih cepat dirampungkan dibanding dengan batasbatas laut. Batas-batas darat Indonesia ke negara tetangga Malaysia, Papua dan Timor
Leste praktis sudah diakurkan. Sedang batas-batas laut negara kita sebagian besar
masih terkatung-katung.
Batas darat Indonesia dengan malaysia di Borneo Utara, sudah disepakati
mengacu pada perjanjian batas antara kerajaan Inggris dan Pemerintahan Hindia,
yaitu Treaty 1891, Konvensi 1915 di Konvensi 1928. Panjang garis batasnya adalah
sekitar 2000 Km. Penetapan batas darat ini dulu didasarkan pada batasan alam , yaitu
mengikuti punggung gunung dan garis pemisah air (watershed).33
Batas darat lain di ujung Timur sudah disepakati dengan negara Papua Nugini
(PNG). Sebagian batasnya tergolong batasnya tergolong batas buatan (artifisial),
yaitu ditetapkaan pada meridian astronomis 141 bujur timur, mulai dari pantai utara
Irian Jaya (Papua) ke selatan sampai memotong sungai Fly. Di sungai ini kemudian
penentuan batas mengikuti batas alam , yaitu mengikuti thalweg sungai terus ke
selatan hingga ke titik sungai yang memotong meridian 141 14101’10’’ bujur timur.
Selanjutnya dari situ mengikuti garis meridian itu ke muara sungai Bensbach di
pantai selatan. Sedang survei dan demarkasi perbatasan RI-PNG sepanjang 1780 Km
sudah dilakukan dua negara. Di jalur perbatasan telah ditempatkan 52 pilar MM1
sampai MM14 (MM = Meridian Monument) sebagai pilar batas utama. Penetapan
32
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2006), hal. 112
Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadilr, Daerah Perbatasan Keterbatasan
Perbatasan, (Yogyakarta: FUSPAD, 2008), hal. 166
33
batas dan penegasan titik-titik demarkasi sudah dikukuhkan pihak Indonesia dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1973 lengkap dengan rincian lampiranya. Sedang,
batas darat dengan negara Timor Leste, yang berpisah dari Indonesia tahun 1999,
didasarkan pada perjanjian pemerintah Hindia Belanda dan Portugis tahun 1904 dan
Permanent Court Award Tahun 1914. Sejak tahun 2006 sudah dilakukan upaya
deliensi. Panjang garis batas darat di batas darat Selatan ini adalah sejauh 270 km.
Yang dirasa sebagai kerumitan dalam tata batas darat Selatan ini adalah sejauh 270
Km. Yang dirasa sebagai kerumitan dalam tata batas darat dengan Timor Leste adalah
posisi Distrik Oekusi yang merupakan wilayah Timor Leste yang masuk menjuruk di
antara wilayah-wilayah daratan Indonesia (di provinsi Nusa Tenggara Timur).34
Distrik itu seolah enclave Timor leste dalam wilayah negara Indonesia. Lain hal
dengan wilayah daratan, penetapan batas di wilayah laut lebih lambat. Karena
memang lebih rumit. Salah satu masalahnya adalah perkembangan berbagai acuan
konsepsi hukum laut. Baik terkait prinsip, pranata hukum serta metode penetapan
batas, delimitasi dan demarkasi.
Perkembangan pemikiran hukum laut internasional memang dapat disebut
sangat pesat. Salah satu segmen penting perkembangan itu adalah apa yang disebut
“Perang Buku” (battle of books), yaitu polemik hakikat hukum laut internasional
antara para pemikir Belanda dengan pentolan ahli hukumnya Hugo de Groot alias
Grotius melempar gagasan prinsipil mare liberum (kebebasan laut) tahun 1690.
34
Wila, Marnixon, Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan Antar Negara, (Bandung: PT.Antara, 2006), hal. 17
Sedang para “pendekar” hukum laut Inggris mengajukan paradigma lain
menentangnya. Di antaranya, oleh William Welwood dan John Selden yang
mengusung prinsip mare clausum (laut tertutup) tahun 1635.35 Perkembangan konsep
hukum laut selanjutnya berkembang dalam badan-badan dunia. Misalnya,
pembahasan konsepsi hukum laut negara kepulauan di PBB tahun 1950-an. Di
antaranya, tahun 1950 dan 1957 Filipina dan Indonesia mengajukan definisi negara
kepulauan dsb.36 Meskipun demikian, ternyata lepas dari pemikiran hukum laut
internasional , penentuan batas laut antara dua negara bertetangga menjadi banyak
terkendala perbedaan penafsiran batas, acuan sumber hukum,
klaim sejarah
kepemilikkan serta klaim peta-peta yang berbeda, bahkan bertentangan.
Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan mengeluarkan Undangundang Nomor 17/1985. Dengan mengacu pada acuan hukum ini beberapa pranata
perbatasan laut nasional akan dituntaskan. Berikut diberikan sekadar gambaran
capaian penetapan batas laut Indonesia untuk beberapa pranata hukum laut yaitu,
Batas Laut Teritorial (BLT), batas laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Batas
Landasan Kontinen (BLK), Batas Laut Teritorial (BLT) Indonesia yang selebar 12
mil laut dari garis pangkal sebagian besar sudah disepakati dengan negara lain,
kecuali dengan Timor Leste. Dengan negara yang baru merdeka ini masih harus
ditentukan garis-garis pangkal kepulauan di pulau Leti, kisar, Wetar, liran, alor,
35
Wahyono Ary, et al., 2000, Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, Media
Pressindo, Yogyakarta, hal. 10
36
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, (Bandung: PT. Alumni Bandung, 2005), hal. 309
pantar hingga pulau vatek dan titik dasar sekutu di pulau timor. Di samping itu,
Indonesia harus merampungkan perundingan tiga pihak (tripartit) dengan Singapura
dan Malaysia untuk menyepakati BLT di Selat Singapura bagian barat dan timur yang
lebarnya kurang dari 24 mil serta bersinggungan dengan perbatasan tiga negara. (2).
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mengacu pada Undang-undang Nomor 17/1985
Indonesia tidak menghadapi kesulitan menetapkan batas ZEE itu ke wilayah laut
bebas. Yaitu hanya dengan menarik garis pangkal sejauh 200 mil ke laut bebas
tersebut. Namun untuk batas laut yang berhadapan dengan wilayah negara-negara
tetangga dengan jarak yang kurang dari 400 mil dari garis pangkal masing-masing
harus ditetapkan lewat perundingan bilateral. Artinya untuk penetapan batas laut ZEE
itu Indonesia masih harus menetapkann batas pada wilayah laut yang: (a) Berhadapan
dengan Malaysia dan Singapura di selat malaka (b) Berhadapan dengan Malaysia di
laut natuna sebelah barat dan timur (c) Berhadapan dengan Vietnam di laut Cina
selatan sebelah utara (3) Batas laut kontinen (BLK) mengacu pada Undang-undang Nomor 1/1973 tenta
kepulauan Indonesia.37 Hal itu berlaku di seluruh wilayah perairan Indonesia, kecuali
pada segmen segmen wilayah tertentu yang memerlukan kesepakatan khusus dengan
negara tetangga, yaitu (a) Berhadapan dengan India dan Thailand di laut Andaman (b)
Berhadapan dengan Thailand di selat malaka bagian utara (c) Berhadapan dengan
Malaysia di selat Malabagian selatan serta dilaut natuna bagian timur dan barat (d)
Berhadapan dengan Vietnam di laut Cina Selatan (e) berhadapan dengan Filipina di
37
Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadilr, Daerah Perbatasan Keterbatasan
Perbatasan, (Yogyakarta: FUSPAD, 2008), hal. 166-169
laut Sulawesi (f) berhadapan dengan pulau di samudra pasifik (g) berhadapan dengan
Australia di laut arafura, laut timor, samudra Hindia dan wilayah perairan di sekitar
pulau Christmas (h) Berhadapan dengan Timor Leste di laut timor. Selain itu juga
terdapat titik-titik BLK yang titik batasnya harus ditentukan bersama oleh tiga negara
sekaligus (three junction point), yaitu: Three junction point di laut andaman antara
Indonesia, India dan Thailand dan three junction point di selat malaka bagian utara
antara Indonesia, Thailand dan Malaysia. Kini sebagian BLK dengan negara tetangga
sudah disepakati dan dikukuhkan dalam produk hukum nasional. Namun beberapa
masalah dalam proses negiosiasi antara lain dengan Filipina, Vietnam, Palau dan
Timor Leste.38
Membicarakan batas kedaulatan negara di udara, terutama batas atasnya,
menjadi semakin menarik akhir-akhir ini karena perkembangan teknologi bidang
kedirgantaraan sudah begitu pesat sekali. Sejak zaman dulu sebenarnya sudah banyak
upaya manusia untuk mengatur hal yang agak rumit tentang udara. Dalam hukum
Romawi dikenal suatu prinsip yang berbunyi Cujus est solum, Ejus est usque coelum,
yang berarti bahwa barang siapa memiliki sebidang tanah, ia juga memiliki apa yang
berada di dalam tanah dan juga ruang yang berada di atasnya tanpa batas (ad
infinitum; up to the sky). Hukum Romawi menolak prinsip open sky.39
38
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2006), hal. 17-24
39
Priyatna Abdurrasyid, Prinsip-prinsip Hukum Angkasa, (Jakarta: PT Sinar Grafika Offset,
2002), hal. 97
Dalam membahas persoalan kedaulatan suatu negara biasanya akan
berhubungan langsung dengan suatu analisis tentang mata rantai, yang terdiri dari
aspek-aspek politik, hukum, dan ekonomi. Dari sisi ini, aspek politik dan ekonomilah
yang akan selalu menonjol. Aspek hukum, terutama sekali hukum udara khususnya di
negara kita, posisinya jauh tertinggal. Padahal dalam menyongsong masa depan yang
ditandai dengan pesatnya kemajuan teknologi dirgantara, mau atau tidak mau, suka
atau tidak suka, kita akan banyak berhadapan dengan masalah hukum udara.
Pengaruh dari hukum Romawi tentang hak kepemilikan di udara terdapat di dalam
hukum Indonesia, yakni dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 571,
yang berbunyi, “Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya,
kepemilikan atas segala yang ada di atasnya dan di dalam tanah”.40
Mengacu kepada hal ini, tentu dapat diartikan, dalam konteks yang lebih
besar, dalam hal ini negara, maka daerah kedaulatan negara akan termasuk di
dalamnya kedaulatan negara di udara. Perangkat negara yang ditugaskan untuk
menjaga kedaulatan negara di udara adalah angkatan udara, dalam hal ini TNI
Angkatan Udara.41
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, yaitu tahun 1944, telah terbentuk
Convention on International Civil Aviation, Chicago, 7 Desember 1944. Dalam Pasal
1 juga disebutkan bahwa “Setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan
40
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, (Bandung: PT. Alumni Bandung, 2005), hal. 312-338
41
http://www.legalitas.org. Di unduh pada Hari jum’at tanggal 12 Februari 2010 pada pukul
17.29
eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya”. Selanjutnya disebutkan juga
bahwa “hak lintas damai” di ruang udara nasional suatu negara, seperti halnya pada
hukum laut, ditiadakan. Jadi tidak satu pun pesawat udara asing diperbolehkan
melalui ruang udara nasional suatu negara tanpa izin negara yang bersangkutan.
Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, telah meratifikasi Konvensi
Geneva 1944 sehingga kita menganut pemahaman bahwa setiap negara memiliki
kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya, dan
tidak dikenal adanya hak lintas damai.42
Dengan demikian dapat dibayangkan betapa berat tugas dan tanggung jawab
TNI Angkatan Udara, yang harus menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia di udara. Menjadi lebih rumit lagi tugas ini karena ada sebagian wilayah
udara kedaulatan Republik Indonesia yang berstatus sebagai wilayah yang Indonesia
tidak memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif, yaitu wilayah udara yang
berada di bawah pengaturan Flight Information Region (FIR) Singapura. 43 Di wilayah
udara kedaulatan RI inilah semua pengaturan penerbangan berada di bawah otoritas
Singapura. Sungguh merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Ditambah lagi
karena sudah berlangsung puluhan tahun, sering kali otoritas pengatur lalu lintas
udara Singapura bertindak berlebihan dalam mengatur pesawat Indonesia di atas
wilayah Indonesia sendiri dengan mengatasnamakan keselamatan penerbangan (yang
42
Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadilr, Daerah Perbatasan Keterbatasan
Perbatasan, (Yogyakarta: FUSPAD, 2008), hal. 137
43
http://www.depkominfo.go.id/?action=view&pid=news&id=5183 di unduh pada Tanggal
12 Februari 2010 pada pukul 17.15
sebenarnya adalah bisnis penerbangan) di Bandara Changi untuk kepentingan
Singapura sendiri. Semua penerbang
Indonesia yang pernah atau sering
melaksanakan tugasnya di wilayah ini pasti merasakan kejanggalan yang sangat tidak
mengenakkan ini. Di ibaratkan bergerak di rumah sendiri, tetapi harus mendapat izin
dan diatur mutlak oleh tetangganya, dengan rumah yang jauh lebih kecil atau dari
paviliunnya.
Lebih memilukan lagi, ada orang yang berpendapat bahwa hal itu adalah
sesuatu yang sudah benar adanya dan harap diterima saja sebagai suatu kenyataan.
Sikap inilah yang antara lain membawa bangsa kita sampai bisa terjajah selama 350
tahun oleh Belanda. Tidak bisa dibantah, atas nama keselamatan penerbangan dan
atas nama kemajuan teknologi kita yang tertinggal, hal ini terjadi. Memang seluruh
kolom udara telah dibagi habis dalam pengorganisasian pengaturan lalu lintas udara
bagi negara-negara anggota International Civil Aviation Organization yang telah
diatur dalam Civil Air Safety Regulation (CASR). Namun, membiarkan hal ini
berlangsung terus-menerus tanpa ada upaya sama sekali untuk mengoreksinya adalah
suatu hal yang sangat merendahkan harga diri dan kehormatan bangsa. Hal ini juga
menyimpang dari sikap kita yang telah meratifikasi Konvensi Geneva 1944 tentang
kedaulatan negara di udara yang lengkap dan eksklusif. 44
B. Hak-hak berdaulat Wilayah
44
Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno, S.H. pada acara
pembekalan kepada Peserta Pendidikan Kursus Kader Pimpinan (Suskapin) Tingkat Nasional Tahun
2009 Komando Nasional Resimen Mahasiswa Indonesia, tanggal 23 Oktober 2009 di Gedung
Candraca Grup 3 Kopassus Cijantung Jakarta Timur.
Kedaulatan negara atas wilayah merupakan salah satu prinsip dasar bagi
terciptanya hubungan antar negara yang damai, sehingga dapat dimengerti bahwa
kedaulatan yang dimaksud adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara untuk
melaksanakan kewenangannya sebatas dalam wilayah-wilayah yang telah menjadi
bagian dari kekuasaannya. Pembahasan mengenai prinsip fundamental ini tidak bisa
dilakukan dalam suatu perlakuan yang eksklusif, dalam artian dengan mengabaikan
perkembangan kontemporer dalan hukum internasional itu sendiri entah secara
praktis maupun teoritik. Tentang dari mana sumber kedaulatan yang dimiliki oleh
pemerintah itu dapat dijawab dari kenyataan tentang adanya teori- teori kedaulatan.45
a. Teori tentang kedaulatan negara
Kedaulatan adalah terjemahan dari kata “Souvereinteit” yang asal katanya
superanur atau superanitas yang berarti kekuasaan atau kewenangan yang tertinggi di
dalam suatu wilayah. Teori-teori kedaulatan setidaknya terdapat empat teori
kedaulatan yaitu (1) kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan yang memandang bahwa
kekuasaan pemerintah itu berasal dari Tuhan. Dalam paham ini bisa dimengerti jika
kemudian ternyata pemerintah sering bertindak atas nama Tuhan tak bisa diganggu
gugat. Implikasi dari teori ini adalah adanya negara-negara teokrasi (2) kedaulatan
rakyat demokrasi yaitu teori kedaulatan yang memandang bahwa kekuasaan itu
berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus
berpijak pada keinginan rakyat (demos = rakyat, krator = pemerintah). J.J. Roesseau
45
Mohammad Irfan, Membangun Visi Baru Bernegara, (Jakarta: PT. Fariz Putra Perdana,
2000), hal. 65
mengemukakan bahwa pemberian kekuasaan kepada pemerintah di dalam paham
demokrasi ini adalah melalui
“perjanjian masyarakat” (social contract) yang
berkonsekuensi bahwa jika dalam menjalankan tugasnya pemerintah itu bertindak
secara bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka pemerintah itu dapat
dimazulkan (dijatuhkan) oleh rakyatnya. (3) kedaulatan negara yaitu teori kedaulatan
yang memandang bahwa negara berdaulat karena ada negara. Jadi sumber kedaulatan
adalah negara itu sendiri. Karena ada negara maka ada kekuasaan yang diperoleh oleh
pemerintah dari negara itu. Otto Mayer, seorang Jerman mengatakan bahwa negara
mempunyai kekuasaan adalah menurut kehendak alam karena adanya negara itu.
Kedaulatan ini tidak diperoleh dari siapa pun juga melainkan diperoleh secara
alamiah karena ada negara. Pemerintah berkuasa sebagai alat negara. (4) kedaulatan
hukum yaitu teori kedaulatan yang memandang bahwa kekuasaan itu bersumber dari
aturan hukum (supremasi hukum).
Keempat teori ini berangkat dari gagasan dan realitas, artinya keempat teori
ini bisa dilihat dalam realita ketatanegaraan diberbagai belahan dunia. Bahkan di
Indonesia, menurut Wirjono Prodjodikoro keempat teori ini bisa diakui sama. Tetapi
yang jelas adalag tidak ada satupun
dari keempat teori itu yang mempunyai
kebenaran mutlak karena pada akhirnya, teori yang manapun, bisa disalah gunakan.
Yang penting sebenarnya adalah semangat para penyelenggara serta moral kekuasaan
yang melandasinya.46
46
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta:PT. Rineka
Cipta, 2001), hal. 66-67
Hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban negara.
Persoalan hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara telah dimulai sejak abad
ke-17 dengan landasan teori kontrak sosial. Sehingga pada abad 1916, American
Insitute of International Law (AIIL) mengadakan seminar dan menghasilkan
Declaration of the Rights and duties of Nations, yang disusul dengan sebuah kajian
yang berjudul Fundamental Right and Duties of American Republics; dan sampai
dirampungkannya konvensi Montevideo tahun 1933. Hasil konvensi Montevideo ini
kemudian menjadi rancangan Deklarasi tentang hak dan kewajiban negara-negara
yang disusun oleh komisi hukum internasional (ILC) PBB pada tahun 1949. Namun
komisi tersebut tidak pernah berhasil menghasilkan usulan yang memuaskan negaranegara.
Deklarasi, prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban negara yang
terkandung dalam rancangan tersebut adalah sebagai berikut:
Hak-hak negara:
1.
Hak atas kemerdekaan
2.
Hak untuk melaksanakan juirisdiksi terhadap wilayah, orang dan benda yang
berada didalam wilayahnya
3.
Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan negara-negara
lain
4.
Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif
Kewajiban-kewajiban negara:
1.
Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang
terjadi di negara lain
2.
Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di negara lain
3.
Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya
dengan memperrhatikan hak-hak manusia
4.
Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian
dan keamanan internasional
5.
Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai
6.
Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata
7.
kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui caracara kekerasan
8.
Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik
9.
Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain sesuai
dengan hukum internasional47
Dalam bab IV tentang hak-hak berdaulat bagian kesatu pasal 7, dikatakan
Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulatan dan hak-hak lain di wilayah
Yurisdiksi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan hukum internasional.48
C.Pertanggungjawaban negara
47
Jawahir Thantowi, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung: PT Refika Aditama,
2006), hal. 113
48
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara,
(bandung: Citra Umbara, 2008), hal. 405
Tanggung jawab negara muncul sebagai akibat dari prinsip persamaan dan
kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum internasional. Prinsip ini kemudian
memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya untuk menuntut
reparasi. Dalam undang-undang RI Nomor 43 tahun tentang wilayah negara dalam
bab V tentang kewenangan pasal 9 dikatakan bahwa pemerintah dan pemerintah
daerah, berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan
kawasan perbatasan. Dalam hukum nasional dibedakan antara pertanggungjawaban
perdata dan pidana; begitu pula dalam hukum internasional terdapat beberapa
ketentuan yang serupa dengan hukum nasional tapi hal ini tidak menonjol. Di
samping itu, hukum internasional mengenai pertanggungjawaban belum berkembang
begitu pesat.
Pertanggungjawaban muncul, biasanya, diakibatkan oleh pelanggaran atas
hukum internasional. Suatu negara dikatakan bertanggungjawab dalam hal negara
tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan
wilayah negara lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan diplomatik
negara lain, bahkan memperlakukan warga asing dengan seenaknya. Oleh karena itu,
pertanggungjawaban negara berbeda-beda kadarnya tergantung pada kewajiban yang
diembannya atau besar dari kerugiaan yang telah ditimbulkan.
Hukum pertanggungjawaban memilki keterkaitan erat dengan hukum
perjanjian. Perbedaannya, hukum perjanjian menentukan berlakunya kewajiban dari
traktat
sedangkan
hukum
mengenai
pertanggungjawaban
menentukan
apa
konsekuensi hukum bagi pelanggarannya. Termasuk kadar sanksi yang dijatuhkan.
Mengenai Undang-undang RI Nomor 43 tahun 2008 tentang wilayah negara
penjatuhan sanksi bisa dilihat pada Bab VIII tentang larangan Pasal 20 dikatakan (1)
Setiap orang dilarang melakukan upaya menghilangkan, merusak, mengubah, atau
memindahkan tanda-tanda batas negara, atau melakukan pengurangan luas wilayah
negara (2) Setiap orang dilarang menghilangkan, merusak, mengubah, memindahkan
tanda-tanda batas atau melakukan tindakan lain yang mengakibatkan tanda-tanda
batas tersebut tidak berfungsi.
Sebuah sengketa mengenai persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh
pelanggaran-pelanggaran terhadap kewajibaan internasional yang terdapat dalam
hukum kebiasaan atau kewajiban dari perjanjian internasional-dapat berlangsung di
tingkat nasional maupun internasional. Walau secara tradisional permintaan
tanggungjawab hanya terjadi dalam hubungan antar negara, tapi pada saat ini terdapat
cara baru yakni permintaan tanggungjawab oleh individu kepada negara, misal dalam
kaitannya dengan pelanggaran atas Konvensi HAM Eropa.49
Dalam
hukum
internasional
tidak
terdapat
perbedaan
antara
pertanggungjawaban perdata dan pidana sebagaimana dikenal oleh hukum nasional.
Belum pernah ada negara yang dituntut dalam kaitannya dengan penjatuhan hukum
pidana. Dalam hal kejahatan oleh negara (state crime) semua negara dianggap
49
T. May Rudy, Hukum Internasional 2 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hal. 124
terugikan dan dapat meminta pertanggungjawaban. Dan kesemuanya tidak ada yang
bisa dikatakan sebagai pertanggungjawaban pidana.50
Pembentukan Mahkamah Pidana internasional sungguh merupakan peristiwa
bersejarah sangat penting dalam perkembangan sistem hukum karena selanjutnya
individu-individu
dapat diseret ke suatu mahkamah internasional bila terbukti
melakukan tindak pidana kejahatan perang dan terhadap kemanusiaan.
50
Lihat, Boer Mauna, Hukum Internasional, hal. 285-301, Moh. Mahfud MD. Membangun
Politik Hukum, menegakkan Konstitusi, hal. 20-21, Jawahir Thontowi, Hukum Internasional hal. 193194
BAB IV
KESENJANGAN ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 43
TAHUN 2008 DAN PENERAPANNYA
A.
Perselisihan dan Sanksi
Integritas wilayah Indonesia yang sebagian besar terdiri dari laut merupakan
prasyarat tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu
penyebab ancaman disintegrasi bangsa di beberapa wilayah adalah kesenjangan sosial
antara kawasan yang satu dengan lainnya. Integritas wilayah dapat dijamin apabila,
laut dapat dijadikan penghubung pulau-pulau yang dapat mendistribusikan orang dan
barang secara lancar. Oleh karenanya dibutuhkan sistem transportasi laut yang murah
dalam jumlah yang memadai. Kesadaran akan kondisi geografi Indonesia dengan dua
pertiga wilayahnya merupakan laut, telah menempatkan keutuhan wilayah nasional
sebagai hal penting yang harus dijaga bersama. Pemikiran laut serta udara diatasnya
sebagai pemisah antarpulau dan antar wilayah tidak relevan bagi Indonesia, laut
merupakan media pemersatu antar pulau, antar daerah dan antar penduduk. Integritas
atau keutuhan wilayah diwujudkan dengan membangun karakter satu bangsa yang
“Bhinneka Tunggal Ika”. Hal ini, menjadikan laut sebagai perekat persatuan dan
kesatuan bangsa.
Luasnya kawasan laut dan udara nasional tidak menjadi kendala bila hasrat
untuk bersatu senantiasa dapat ditumbuhkan di antara sesama anak bangsa.
Hubungan antar pulau dan antar daerah di seluruh pelosok nusantara melalui laut
merupakan alternatif transportasi barang dan jasa yang semurah-murahnya tetapi
dengan mutu pelayanan sebaik-baiknya. Menjadikan laut dan udara sebagai jalur
perdagangan barang dan jasa dapat meningkatkan petumbuhan daerah.
Secara
simultan hal tersebut akan meningkatkan kemakmuran seluruh bangsa dan
pemerataan pertumbuhan secara berkeadilan di setiap daerah untuk memperkecil
kesenjangan sosial. Untuk itulah, faktor keamanan di kawasan-kawasan laut dan
udara tersebut menjadi prasyarat utama bagi kelangsungan pembangunan nasional
sektor pertahanan.51
Sementara pada kawasan darat, ditinjau dari berbagai aspek kehidupan
masyarakat di pulau-pulau terdepan yang berpenduduk, secara umum memang sangat
rawan terhadap provokasi dan “iming-iming” negara asing untuk melakukan tindak
pelanggaran, seperti membiarkan bahkan membantu pihak asing dalam upaya
pengerukan pasir, illegal loging, illegal fishing, penyelundupan barang-barang
terlarang dan lain sebagainya, di Indonesia keterlibatan TNI Angkatan Darat
merupakan hal yang penting, dalam artian mempertahankan kedaulatan pulau-pulau
terdepan termasuk cegah dini dan cegah tangkal terhadap segala bentuk kerawanan
dan ancaman diseluruh wilayah daratan tersebut
Wilayah perbatasan negara di laut (batas maritim) dan pulau-pulau terluar
Indonesia belum sepenuhnya mendapat perhatian dan pengelolaan dari pemerintah.
51
Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadilr, Daerah Perbatasan Keterbatasan
Perbatasan, (Yogyakarta: FUSPAD, 2008), hal. 121
Hal ini dapat menimbulkan potensi konflik di kemudian hari, diperkuat lagi dengan
keterbatasan sumber daya dan perlengkapan perang serta anggaran yang kurang.
Sehingga kawasan udara dan laut sangat mudah untuk menjadi sasaran musuh atau
sesorang yang ingin melanggar hukum. 52
Perselisihan perbatasan terjadi karena terganggunya stabilitas keamanan di
perairan, perdaratan serta perudaraan Indonesia dan dikawasan yurisdiksi nasional.
Kemudiaan perbatasan yang kurang jelas mengenai batas wilayah RI ( hal ini penulis
telah menjelaskan di bab 3), mengakibatkan seringnya permasalahan batas wilayah
menjadi area konflik antar negara tetangga.
Permasalahan pulau-pulau terdepan misalnya karena letaknya yang terpencil,
daerah perbatasan umumnya rawan kegiatan yang berpotensi sebagai ancaman dan
gangguan baik dari aspek darat, laut, maupun udara. Kemudian permasalahan
perbatasan
baik
permasalahan
tradisional
seperti:
pelanggaran
wilayah,
penyelundupan, migran gelap, tenaga kerja illegal, penyelundupan kayu, penerbangan
gelap, maupun ancaman global seperti: kejahatan lintas bangsa (transnational crime),
arus imigrasi lintas agama (transnational imigration flow), teroris lintas bangsa,
penyebaran penyakit menular, pengrusakan lingkungan hidup lintas bangsa,
perompakan di laut, serta jaringan perdagangan senjata dan narkoba, sudah sangat
merisaukan dan mengusik eksistensi dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) maupun kelangsungan hidup generasi masa depan.
52
Wila, Marnixon, Konsepsi Hukum Dalam Pengaturan dan Penelolaan Wilayah
Perbatasan Antar Negara, Alumni Bandung, 2006), hal. 84
Dalam Undang-undang RI Nomor 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara
dicantumkan mengenai sanksi pidana untuk pelanggar perbatasan, namun perlu
diingat bahwa setiap hukum pidana dari suatu negara berlaku di wilayah negara itu
sendiri. Hal ini merupakan sesuatu yang pokok dan asas yang paling tua, serta sesuatu
yang logis.
Asas teritorial atau wilayah ini menunjukkan bahwa siapapun yang
melakukan tindak pidana di wilayah negara tempat berlakunya hukum pidana, harus
tunduk pada hukum pidana itu. Semua negara, termasuk Indonesia menganut asas ini.
Yang menjadi patokan adalah tempat atau wilayah, sedangkan orangnya tidak
dipersoalkan.
Asas teritorial atau wilayah ini tercantum dalam Pasal 2 KUHP, yang
berbunyi: “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan suatu tindak
pidana”. 53 Menurut Pasal ini, setiap orang yang melakukan tindak pidana dalam
wilayah negara Republik Indonesia harus dikenakan hukuman, baik ia orang
Indonesia asli maupun orang asing. Dengan berlakunya ketentuan dan asas ini maka
terjelmalah kedaulatan negara di wilayahnya sendiri sehingga warga negara bisa
mendapatkan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, warga negara yang berada di
perbatasan. Kewajiban suatu negara lah untuk menegakkan hukum dan memelihara
53
M. Boediarto-K. Wantjik Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1982), hal. 9
ketertiban hukum di wilayahnya sendiri terhadap siapapun yang melanggar peraturan
yang dibuatnya.
Wilayah suatu negara terdiri atas tanah daratan, laut sampai 12 mil, dan ruang
udara di atasnya. Khusus di Indonesia dianut wawasan Nusantara, yang menyatakan
bahwa semua wilayah laut antara Pulau-pulau Nusantara merupakan wilayah
Indonesia. Dengan demikian, luas darat dan laut Indonesia 12 mil diukur dari Pulaupulau Indonesia terluar, berikut wilayah udara di atasnya.
Asas teritorial ini diperluas oleh Pasal 3 KUHP, dengan memandang
kendaraan air (vaartuig) Indonesia sebagai ruang tempat berlakunya hukum pidana,
meskipun kendaraan air atau kapal tersebut berada di luar wilayah Indonesia. Pasal 3
KUHP tersebut berbunyi: “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di
dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.54
Menurut Pasal ini, siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam atau di
atas kendaraan air Indonesia, meskipun berada di wilayah negara lain, misalnya
sedang berlabuh di pelabuhan negara asing, dapat dituntut oleh jaksa dan dihukum
oleh pengadilan negara Indonesia.55 Ketentuan pidana bagi pelanggar batas wilayah
hal. 44
54
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Tiara Wacana, 1994), hal. 69
55
Wirjono projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT. Eresco, 1981),
dapat dilihat dalam bab 9 ketentuan pidana Pasal 21 pada Undang-undang RI Nomor
43 Tahun 2008 tentang wilayah negara beserta penjelasanannya.
B. Kelemahan Pertahanan di Perbatasan RI
Kemampuan sebuah negara untuk menjaga kedaulatan negara mempunyai
implikasi pemahaman, Pertama, negara-negara memiliki kedaulatan yang sama.
Kedua, negara-negara tidak bisa campur tangan dalam persoalan negara-negara lain.
Ketiga, negara-negara memiliki yurisdiksi atas wilayah secara eksklusif. Keempat,
negara-negara masing-masing diasumsikan memiliki kompetensi. Kelima, negaranegara hanya dapat dibebani kewajiban dalam hal negara tersebut memberikan
persetujuannya. Keenam, negara-negara hampir memiliki kewenangan penuh untuk
memutuskan pergi berperang. Ketujuh, hukum internasional positif hanya dapat
mengikat suatu negara apabila negara tersebut telah secara eksplisit dan suka rela
untuk diikat oleh itu. Kesemua ini dapat kita perdebatkan dalam kaitannya dengan
keadaan aktual.56
Poin pertama yang menyatakan semua negara memiliki kedaulatan yang sama
secara politik hal ini sangat diragukan yang dibuktikan dengan kemampuan ekonomi
yang sangat beragam dari negara-negara yang ada. Poin kedua tidak bisa dipahami
secara absolut sebagai bukti adalah ketika terjadinya pemilu di satu negara
56
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung:
PT. Refika Aditama, 2006), hal. 173
membutuhkan legitimasi dari komunitas internasional. Ketiga yang menyatakan
negara-negara memiliki yurisdiksi atas wilayahnya secara eksklusif harus dipahami
dengan beberapa pengecualian misal dalam suatu negara sudah dinyatakan tidak
mampu mengadakan sebuah peradilan secara fair maka komunitas internasional turun
tangan.57 Poin keempat ini menurut secara faktual asumsi ini diragukan. Poin nomor
lima ini jelas-jelas tidak bisa dipegang karena pada saat ini terdapat kewajiban
ataupun norma-norma yang tergolong dalam katagori itu sendiri. Poin keenam sangat
tidak masuk akal karena dimulai dengan konferensi Hague, Pakta Briand-Kellog
sampai piagam PBB merupakan bukti apabila perang digunakan sebagai instrumen
kebijakan merupakan tindakan yang illegal. Poin ketujuh ini terkait dengan poin
kelima diatas.58 Dalam Bab 4 Undang-undang RI Nomor 43 tentang wilayah negara
dijelaskan bahwa negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain
diwilayah Yurisdiksi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional, sehingga menurut saya dalam aplikasi
mengenai makna kedaulatan yang ada dimaksud di pasal sering sulit untuk
diaplikasikan pada era global seperti sekarang ini.
Sedangkan secara kelembagaan aplikasi pada Undang-undang RI Nomor 43
2008 tentang wilayah negara mengalami pada aplikasi pemahaman, misalnya belum
adanya pemahaman yang sama dalam penerapan Undang-undang Pemerintah Daerah,
57
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung: PT. Nusamedia
Nuansa), hal. 464
58
Jawahir Thontowi, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2006), hal. 174
mengakibatkan timbulnya tuntutan Pemda yang menginginkan adanya batas
pengelolaan laut (pengkavlingan laut) didasarkan kepada wilayah daerah otonom dan
bentrokan antar nelayan tradisional yang disebabkan perebutan wilayah tangkap. 59
Sehingga pengembangan kualitas sumber daya manusia menjadi penting
untuk diperhatikan, hal ini terkait dengan Bab. 7 tentang peran serta masyarakat yang
tercantum pada Pasal 19 Undang-undang RI Nomor 43 Tahun 2008 tentang wilayah
negara, peningkatan sumber daya manusia juga terkait dengan fasilitas yang
menunjang seperti pendidikan,60 Sehingga peran serta masyarakat akan lebih cepat
untuk diwujudkan. Meningkatnya kualitas sumber daya masyarakat akan membuat
mudah peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Pemahaman
masyarakat terhadap wawasan nusantara yang juga merupakan wawasan nasional
Indonesia sebagai upaya mrembangkitkan rasa kebangsaan dan kepeduliaan terhadap
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga mengalami penurunan
yang sangat drastis dengan bukti semakin banyaknya warga negara menjadi agen
kejahatan diperbatasan, sehingga amanat Undang-undang tentang batas wilayah harus
sering untuk disosialisasikan ke tengah masyarakat. Problem perlengkapan
persenjataan, pendidikan kemiliteran dan sebagainya, juga menjadi problem serius
yang hingga ini masih mengalami perdebatan dari berbagai kalangan
7 Makalah Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno, S.H. pada
acara pembekalan kepada Peserta Pendidikan Kursus Kader Pimpinan (Suskapin) Tingkat Nasional
Tahun 2009 Komando Nasional Resimen Mahasiswa Indonesia, tanggal 23 Oktober 2009 di Gedung
Candraca Grup 3 Kopassus Cijantung Jakarta Timur, hal. 12
60
Letjen TNI Hadi Waluyo, Mempertahankan Kedaulatan: Pulau-pulau Terdepan di Wilayah
Daratan NKRI, Jurnal Yudhagama nomor 70 tahun XXVI Maret 2006, hal. 14-15
Mengacu kepada persepsi di atas menjadi jelas bahwa untuk menciptakan
keamanan di laut, darat dan udara diperlukan pendekatan yang komprehensif dan
integral serta menyangkut upaya dan usaha multisektoral yang melibatkan banyak
instansi. Akhir-akhir ini, penegakan keamanan menjadi semakin rumit dengan
meningkatnya kualitas kejahatan yang tidak lagi mengenal batas negara atau dikenal
dengan sebutan kejahatan lintas negara atau trans-national crime atau trans-national
organised crime (TOC)61
Potensi ancaman tersebut diatas akan mempengaruhi semua aspek kehidupan
dalam hubungan antarnegara, hubungan negara dan masyarakat serta hubungan antar
masyarakat, sehingga TNI sebagai komponen utama pertahanan negara perlu
mencermati dengan baik agar kecenderungan dan fenomena dari interaksi-interaksi
tersebut dapat direspon dengan tepat.
Lepasnya pulau-pulau terluar di Indonesia akibat lemahnya pertahanan di
perbatasan kita, timor-timur misalnya rumitnya dalam tata batas darat dengan Timor
Leste yaitu mengenai posisi distrik Oekusi yang merupakan wilayah Timor Leste
yang masuk menjuruk diantara wilayah-wilayah daratan Indonesia (Propinsi NTT).
Adanya enclave Oekusi di tengah wilayah Indonesia merupakan kenyataan yang
cukup spesifik didalam menangani masalah perbatasan dengan Timor Leste. Lalu
lintas manusia dan barang dari Oekusi melalui wilayah Indonesia perlu diatur
sedemikian rupa sehingga dapat memperkecil potensi gangguan keamanan, terlebih
61
Mayjen TNI M. SOCHIB “ Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas: Dilema Penanganan
Keamanan dalam TNI-POLRI di Masa Perubahan Politik, (Bandung: Program Magister Studi
Pertahanan ITB Bandung, 2002), hal. 126-134
kerena masih adanya sentimen-sentimen masa lalu terutama oleh penduduk ex TimorTimur. Diwilayah perbatasan darat lainnya juga masih berpotensi timbulnya
gangguan keamanan, seperti perdagangan ilegal dan penyelundupan, serta gangguan
kriminal, termasuk pelintas batas tradisional. Isu-isu milisi yang masih sering
diangkat oleh pihak-pihak tertentu, berpotensi mengganggu hubungan kedua negara.
Masih terdapatnya sejumlah pengungsi Timor Leste di wilayah Timor Barat juga
akan banyak berpengaruh terhadap penyelesaian masalah-masalah keamanan di
perbatasan. Penempatan TNI di wilayah perbatasan diharapkan dapat membantu
menegakkan keamanan dan masih perlu dipertahankan keberadaannya. 62
Ketika Soeharto dipaksa turun dari jabatan Presiden oleh kondisi politik dan
ekonomi turun dari jabatan Presiden oleh kondisi politik dan ekonomi pada tahun
1998, posisi Presiden digantikan oleh B.J. Habibie. Cara pandang Habibie terhadap
masalah Timor-Timur berbeda dengan Soeharto, di mana Soeharto ingin
mempertahankan Timor-Timur sebagai bagian dari Indonesia dengan berbagai cara,
sementara Habibie lebih memandang sebagai beban ekonomi. Dari segi gaya
diplomasi, keduanya memiliki persamaan yang lebih memfokuskan pada diplomasi
untuk meningkatkan hubungan antar pemerintah. 63
Diplomasi publik hanya ditangani dalam kasus-kasus khusus. Kesaman lain
adalah keduanya lebih mempercayai orang-orang terdekatnya daripada sistem
62
Rusdi Marpaung, Demokrasi Yang Selektif Terhadap Penegakan HAM, (Jakarta: Imparsial,
2006), hal. 104-105
63
Matori Abdul Djalil, Indonesia Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, (Jakarta:
Gramedia pustaka, 2002), hal. 94
pengambilan keputusan politik yang berlaku Tawaran otonomi luas (Juni 1998), yang
diikuti opsi referendum (Januari 1999), memunculkan perdebatan yang seru di dalam
negeri. Dalam pandangan Habibie, referendum merupakan cara penyelesaian masalah
sekali dan untuk selamanya . Akan tetapi Habibie luput untuk memperhitungkan
faktor-faktor eksternal seperti perubahan politik dunia pasca Perang Dingin,
bergesernya peran AS dan PBB, dan perubahan cara pandang pemerintah di Australia
terhadap isu Timor-Timur. Selain itu, peran media massa dan NGO (Non Goverment
Organisation) internasional juga semakin besar sebagai kelompok penekan yang
dapat berpengaruh kebijakan pemerintah.
Di dalam negeri, Habibie juga salah memperhitungkan situasi ekonomi dan
politik pasca Soeharto. Ketika keputusan untuk memberikan opsi kedua diumumkan,
rakyat tengah mengalami krisis ekonomi yang belum pulih sejak tahun 1997. Secara
umum, kebijakan yang diambil Habibie mencerminkan kurangnya informasi dan
pemahaman terhadap masalah Timor-Timur. Ini terlihat dari penyederhanaan
pandangan
terhadap
masalah
dan
diredusinya
isu
sebagai
ketergantungan ekonomi Timor-Timur yang besar terhadap Indonesia.
semata-mata
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keberadaan Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara
secara konseptual sangat ideal. Hanya saja, dalam tataran praktis dan implementasi,
mengalami beberapa kendala, terlebih pada Pasal 1 ayat 9 (tentang landasan kontinen
Indonesia), persoalannya adalah :
1.
Persoalan perbatasan wilayah negara. Misalnya, perbatasan darat dengan
Malaysia itu hilang dan bergesernya beberapa patok batas yang telah dibuat dan
di tancap bersama serta direkutnya warga Indonesia menjadi milisi penjaga
perbatasan Malaysia-Indonesia. Demikian juga rumitnya dalam tata batas darat
dengan Timor Leste yaitu mengenai posisi distrik Oekusi yang merupakan
wilayah Timor Leste yang masuk menjuruk diantara wilayah-wilayah daratan
Indonesia (Propinsi NTT). Distrik itu seolah-olah endclave Timor Leste dalam
wilayah Indonesia. Perbatasan laut juga mengalami hal yang sama dimana salah
satu masalah batas laut yang dihadapi Indonesia adalah berkaitan dengan
penentuan batas-batas laut utara ke Filipina dari kawasan satas, dsb. Ini, terkait
dengan ketentuan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008
tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa ketentuan tentang batas landas
kontinen tersebut masih belum dapat dilaksanakan atau dijadikan acuan
sepenuhnya. Artinya masih memungkinkan terjadinya konflik tentang pengakuan
wilayah Indonesia dengan negara tetangga.
2.
Kewenangan pengelolaan, pemanfaatan wilayah negara dan kawasan perbatasan
yang tercantum dalam Pasal 9 sampai 13 (perihal kewenangan). Dalam tataran
diplomasi kita masih sangat lemah. Misalnya persengketaan di blok Ambalat.
3.
Peran serta masyarakat. Dalam Bab 7 Pasal 19, keterbatasan wilayah khas itu
meniscayakan perlunya dirumuskan strategi pembangunan khas kepulauan
perbatasan dengan melibatkan masyarakat dalam beberapa program dan proyek
pemerintah serta memperhitungkan dampaknya secara seksama bagi perbaikan
dan mutu kehidupan masyarakat sehingga pemerintah harus berdiri dalam posisi
mendorong tumbuhnya prakarsa masyarakat perbatasan.
4.
Keberadaan undang-undang tentang wilayah negara merupakan sarana
meningkatkan ekonomi bagi masyarakat daerah di perbatasan.
Batas wilayah negara dalam ketatanegaraan Islam bisa dilihat dari tugas dan
fungsi seorang imam atau khalifah. Perbatasan wilayah merupakan tanggung jawab
penuh seorang imam untuk menjaga, mengelola dan mempertahankan batas wilayah
negara. Sehingga dalam kaitan dengan Undang-undang RI Nomor 43 Tahun 2008
tentang wilayah negara, Islam memiliki semangat ajaran yang sama hal ini dibuktikan
dengan penemuan penulis mengenai keutamaan menjaga perbatasan dalam hadits
nabi dikatakan bahwa : Ribath (orang yang berjaga ditapal batas wilayah kaum
muslimin, guna mencegah serangan musuh) sehari semalam lebih baik dari puasa dan
sholat malam sebulan. Kalau seorang mati (dalam kondisi ini), amalnya akan
mengalir dan dicurahkan rezeki atasnya serta dijamin bebas dari ujian (kubur).
B. Saran-saran
Peta geopolitik dan geostrategi dunia masih tetap akan dibayangi oleh
ancaman yang dapat mempengaruhi stabilitas keamanan suatu negara maupun
kawasan tertentu. Di sisi lain, sejalan dengan pesatnya perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Ilpengtek), bentuk-bentuk ancamanpun semakin
bervariasi dan dapat mendatangkan risiko yang sangat besar bagi kelangsungan hidup
suatu bangsa dan negara.
Ancaman tersebut, bukan saja bersumber dari luar negeri
namun dapat juga berasal dari dalam negeri. Kondisi ini mengharuskan Bangsa
Indonesia untuk tetap waspada mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk yang
dapat mengancam kepentingan nasional dan integritas Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)
Kita tahu Lautan kita mempunyai nilai strategis bagi kehidupan Bangsa
Indonesia
maupun
bagi
lalu
merupakan
satu
kesatuan
lintas
wilayah
pelayaran
yang
utuh
internasional.
sebagaimana
Wilayah
visi
laut
bangsa
Indonesia dalam Wawasan Nusantara. Oleh karena itu, setiap upaya untuk
melakukan
pelanggaran
di
wilayah
perairan
yurisdiksi Indonesia
dianggap
sebagai suatu ancaman bagi seluruh Bangsa Indonesia.
Sangat kita sayangkan Sumber daya alam laut Indonesia yang sangat
kaya dapat memancing pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkannya secara
ilegal.
Situasi
yang
demikian,
berpotensi
menimbulkan
berbagai ancaman,
antara lain konflik antar negara, kegiatan ilegal di dan lewat laut yang
mengganggu stabilitas keamanan di laut. Perwujudan stabilitas keamanan di
laut
diselenggarakan melalui operasi penegakan kedaulatan dan penegakan
hukum di laut, sekaligus untuk mewujudkan dampak penangkalan.
Ini yang patut kita sadari bersama bahwa tuntutan tugas ke depan
dalam
melaksanakan
penegakan
kedaulatan
dan
penegakan
hukum
di
wilayah laut NKRI akan semakin berat dan kompleks, sehingga tanpa adanya
sinergitas yang solid diantara para stakeholder yang memiliki kewenangan
penegakan hukum di laut, akan sulit untuk mencapai pengawasan penegakan
hukum di laut sesuai dengan yang diinginkan. Hal tersebut diarahkan dalam
rangka menciptakan kondisi laut yang aman dan terkendali
Wilayah daratan perbatasan perlu memberdayakan masyarakat sekitar
sehingga
masyarakat
negaranya
kesehjahteraan
membangkitkan
ini
aspek
mampu
berdiri
rakyat
di
motivasi pembelaan
ekonomi
menjadi
dan
memiliki
perbatasan
terhadap
penting
merupakan
bangsa.
untuk
kepedulian
terhadap
sarana
untuk
Sehingga dalam hal
diperhatikan.
Problem
ketimpangan ekonomi dihampir semua daerah perbatasan adalah penyebab
hilangnya
idealisme
dari
anak
bangsa,
sehingga
dengan
adanya
undang-
undang ini besar harapan selain mempertahankan negara juga sebagai sarana
untuk memperdayakan masyarakat wilayah di perbatasan.
Memanfaatkan
pulau-pulau
terluar
di
perbatasan
sebagai
tempat
untuk dijadikan rehabilitasi narapidana, sehingga di daerah perbatasan dapat
selalu
terkontrol oleh
dijadikannya
sumber
aparatur
yang
negara
bermanfaat
dan masyarakat
bagi
aset
khususnya.
bangsa
yang
Lebih
terlupakan
maka pemerintah disini seharusnya lebih memperhatikan aset-aset
tersebut
agar bisa berguna bagi kepentingan bangsa.
Oleh
jangan
sebab
itu,
diharapkan
kedepannya
(pemerintah
khususnya)
lagi kita meremehkan betapa pentingnya wilayah perbatasan kita.
Sebagaimana harus kita jaga dan kita pertahankan. Kita sudah mempunyai
undang-undang
saatnya
kita
yang
mengatur
fungsikan
tentang
akan
batas
keberadaan
wilayah
dan
sekarang
undang-undang
sebagaimana dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur di dalamnya.
lah
tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin juz 1 hal. 27, Beirut Libanon
Al-Mawardi, tt, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut, Libanon
Al-Zuhaili, Wahbah dkk, Buku Pintar Al-Quran Seven in One, terj. Imam Ghazal
Masykur dkk, Almahira, Jakarta, 2009
Amal, Ichlasul, dan Armaidy Armawi, 1995, Sumbangan Ilmu Sosial Terhadap
Konsepsi Ketahanan Nasional, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
1995
Asshiddqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, 2001
Ayyubi Nazhin, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, London:
Routledg, 1991
Azhary, Muhammad Tahir Negara Hukum, (Jakarta: PT. Prenada Media, 2004)
Black Anthony, Pemikiran Politik Islam, Terj. Abdullah Ali dan Maryana
Ariestiyawati. Jakarta: Serambi 2006
Boediarto, M Saleh K. Wantjik, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: PT. Alumni Bandung, 2005
Djalil Abdul, Matori INDONESIA mempertahankan tanah air memasuki abad
21,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2002
Djazuli, Ahmad, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Ramburambu Syariah, Jakarta: Prenada Media, 2003
GATRA Edisi KHUSUS Januari, Di Laut Kita (Belum) Jaya, Jakarta, 2006
Hamzah, Andi, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Tiara Wacana, 1994
Harahap, Syahrin dan Hasan Bakti Nasution (ed), Islam dan Reformasi TNI, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 2000
Irfan, Mohammad Membangun Visi Baru Bernegara, Jakarta: PT. Fariz Putra
Perdana, 2000
Irianto Hasyim, et. Al., Buku Panduan Ceramah Kamtibmas Dalam Perspektif Islam
Medan: Jabal Rahmat, 2000
Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Nusamedia&Nuansa,
Bandung, 2006
Madjid Nurcolis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000
Marnixon, Wila, Konsepsi Hukum Dalam Pengaturan dan Penelolaan Wilayah
perbatasan antar negara, Bandung: Antara, 2006
Marpaung, Rusdi, dkk, Dinamika Reformasi Sektor Keamanan, Imparsial, Jakarta,
2005
MD, Moh. Mahfud Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2001)
Nasution Debby A, Kedudukan Militer Dalam Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana,
2003
Nur Mufid dan A. Nur Fuad, Bedah AL-Ahkamus Sulthaniyyah Al-Mawardi,
Surabaya: Pustaka Progressif, 2000
Priyatna Abdurrasyid, Prinsip-prinsip Hukum Angkasa, Jakarta: PT. Sinar Grafika
Offset, 2002
Projodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco,
1981
Rudy May T., Hukum Internasional 2, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006
S. Waqar Ahmad Husaini. Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, terj. Anas
Mahyuddin, Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983
Salindeho, Winsulangi dan Pitres Sombowadilr, Daerah Perbatasan Keterbatasan
Perbatasan, Jogja: FUSPAD, 2008
Silalahi, S, Dasar-dasar Indonesia Merdeka, Versi Para Pendiri Negara, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka utama, 2001
SOCHIB, M, Mayjen TNI. “ Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas: Dilema
Penanganan Keamanan dalam TNI-POLRI di Masa Perubahan Politik,
(Bandung: Program Magister Studi Pertahanan ITB Bandung, 2002
Soekamto, Soerjono dan Sri Mujdi, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan
Singkat ,PT Raja Grafindo, Jakarta. 2006
Thontowi Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,
Bandung, Refika Aditama, 2006
Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
PN Balai Pustaka, Cetakan 5, 1995
Trianto
dan Titik Triwulan Tutik, Falsafah Negara
Kewarganegaraan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2007
dan
Pendidikan
Wahyono Ary, et al, Hak Ulayat Laut dikawasan Timur Indonesia, Yogyakarta: PT.
Media Pressindo, 2000
Waluyo Hadi Letjen TNI, Mempertahankan Kedaulatan: Pulau-pulau Terdepan di
Wilayah Daratan NKRI, Jurnal Yudhagama Nomor 70 tahun XXVI maret
2006
Sumber Internet
http://www.depkominfo.go.id/?action=view&pid=news&id=5183
http://www.legalitas.org.
http://www.Viva News,com
Undang-undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 dan 3 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Pertahanan Negara Beserta Penjelasannya,
Citra Umbara, Bandung
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, Tentang Tentara
Nasional Indonesia Beserta Penjelasannya, Citra Umbara, Bandung
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah
Negara beserta penjelasannya, Citra Umbara, Bandung
Download