Perbedaan Bahasa Laki-Laki dan Perempuan - e

advertisement
PERBEDAAN BAHASA SISWA LAKI-LAKI DAN SISWA
PEREMPUAN: SEBUAH STUDI KASUS DI KELAS V SDN 09
AIR TAWAR BARAT PADANG SUMATERA BARAT
Oleh
Zul Amri
FBSS Universitas Negeri Padang
Abstract
Male and female are said to speak differently in any communities. Many
studies have made use of oral discourse as the source of the data and it is
very rare found that the studies make use of written discources. This study
is based on the students writing entitled “Experience during Vacation”.
They are the fifth grade of 09 Elementary School Air Tawar Barat
Padang. After analyzing their writings, it is found that female students
produce more words, more verbs, more sentences (verbal or nominal and
simple or embedded) compared to male students. In addition, female
students produce less mistakes in using capital letter and other
mechanical matters. The male students, on the other hand, produce less
words, less verbs, less sentences (verbal or nominal and simple or
embedded) compared to female students. In addition, male students
produce more mistakes in using capital letter and other mechanical
matters. One interesting thing is that even though male students produce
less verbs in numbers, they have more various verbs compared to female
students. Many female students use the same verbs as others and some use
the same verbs repeatedly in their writings. The male students did not
repeat the use of the same words very often.
Keywords/ phrases: language, male, female, students, letter
A. PENDAHULUAN
Laki-laki dan perempuan berbeda
secara fisik dan non-fisik. Wardaugh
(1998: 310) menyatakan bahwa secara
fisik dapat dilihat dan diteliti bahwa (1)
kadar lemak yang terdapat pada tubuh
perempuan melebihi kadar lemak yang
ada pada tubuh laki-laki, (2) jumlah otot
yang ada pada tubuh laki-laki melebihi
jumlah otot yang terdapat pada tubuh
perempuan, (3) fisik laki-laki lebih kuat
dari fisik perempuan, (4) perempuan
memiliki berat badan lebih ringan dari
laki-laki, (5) perempuan lebih cepat
dewasa dan tua dibanding dengan lakilaki, (6) perempuan memiliki rerata
umur yang lebih panjang dari laki-laki,
dan (7) perempuan mempunyai karakter
suara yang berbeda dari laki-laki. Semua
itu, terutama karakter suara menjadikan
bahasa yang digunakan oleh perempuan
berbeda dengan bahasa yang digunakan
oleh laki-laki.
Perbedaan bahasa laki-laki dan
perempuan, menurut beberapa ahli
bahasa, karena memang mereka telah
dikondisikan oleh masyarakat dimana
mereka dibesarkan untuk berbeda
(Philips, Steele, dan Tanz, 1987 dalam
Wardaugh, 1998: 310). Perbedaan karakter suara mungkin disebabkan oleh
norma yang mengatur bagaimana seharusnya suara perempuan ketika mereka
bicara. Sedangkan perbedaan keterampil96
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
an berbicara dapat dijelaskan karena
perbedaan tingkat pendidikan antara
laki-laki dan perempuan.
Perbedaan bahasa laki-laki dan
perempuan telah banyak diteliti orang,
tapi umumnya menggunakan bahasa
lisan sebagai sumber data. Schiffrin
(1994: 115-127) menggunakan bahasa
percakapan dengan mengupasnya secara
panjang lebar dalam subtopik micro- and
macro-identity displays: alignments and
gender. Sejalan dengan itu Scollon dan
Scollon (1995: 229-24) juga menggunakan bahasa percakapan dengan
judul Gender Discourse: Intergender
Discourse. Holmes (1992: 164-181) juga
membicarakan perbedaan bahasa lakilaki dan perempuan dengan mengarah
pada bahasa lisan. Dia mengatakan
„Women and men do not speak in exactly
the same way as each other in any
community’. Dari kalimat ini dapat
diketahui bahwa fokusnya adalah bahasa
lisan karena kata „speak’. Sumarsono
dan Pranata (2002: 97-130) mengkaji
bahasa dalam hubungannya denga jenis
kelamin. Namun, secara umum, dia juga
merujuk kepada data-data lisan untuk
membedakan bahasa laki-laki dan bahasa
perempuan. Coulmas (2005: 36-49) juga
membicarakan masalah bahasa laki-laki
dan perempuan dan juga membahas
bahasa lisan dibawah subjudul Gendered
speech: sex as a factor of linguistic
choice. Mary Bucholtz dalam Duranti
(2001: 75) juga membahas „.... male and
female
speakers’
(bahasa
lisan
perempuan dan laki-laki).
Studi ini dianggap penting karena
berbeda dengan yang disebutkan di atas.
Studi ini juga dimaksudkan untuk
mengetahui bahasa laki-laki dan bahasa
perempuan tetapi data yang digunakan
adalah bahasa tulis. Studi ini didasarkan
pada bahasa tulis siswa kelas V Sekolah
Dasar Nomor 09 Air Tawar Barat
Padang. Semua siswa diminta membuat
satu karangan dengan judul yang sama,
yaitu, Pengalaman Selama Libur,
sehingga diharapkan perbedaan yang
terdapat dalam karangan itu dapat
menjadi bahan rujukan dalam melihat
perbedaan bahasa tulis seswa laki-laki
dan siswa perempuan.
Masalah utama studi ini adalah
“Apakah terdapat perbedaan bahasa tulis
laki-laki dan perempuan dalam karangan
“Pengalaman Selama Libur” siswa kelas
V SD 09 Air Tawar Barat Padang?
Untuk mendukung pertanyaan di
atas diajukan beberapa pertanyaan
pertanyaan berikut.
1. Apakah terdapat perbedaan jumlah
kata yang digunakan siswa laki-laki
dan perempuan dalam mengungkapkan kegiatan selama libur?
2. Apakah terdapat perbedaan jumlah
kata kerja yang digunakan siswa
laki-laki dan perempuan dalam
mengungkapkan kegiatan selama
libur?
3. Apakah terdapat perbedaan jumlah
kalimat yang digunakan siswa lakilaki dan siswa perempuan dalam
mengungkapkan kegiatan selama
libur?
4. Apakah terdapat perbedaan jenis
kalimat yang digunakan siswa lakilaki dan perempuan dalam mengungkapkan kegiatan selama libur?
5. Yang manakah di antara kedua
gender tersebut menggunakan bahasa
yang lebih standar?
Studi ini dimaksudkan untuk
mengungkapkan perbedaan bahasa siswa
laki-laki dan perempuan dalam menulis
karangan. Perbedaan difokuskan kepada
jumlah kata, jumlah kata kerja, jumlah
kalimat, jumah Jenis kalimat (verba atau
non-verba dan tunggal ata jamak),
penggunaan tanda baca yang didasarkan
pada karangan siswa dengan judul
“Kegiatan Selama Libur”.
B. KAJIAN TEORI TERKAIT
1. Komunikasi dan Bahasa
Gee (1993: 2) menyatakan bahwa
hewan menggunakan berbagai bentuk
komunikasi, tetapi hanya manusia yang
menggunakan bahasa. Ada dua macam
97
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
sistem komunikasi hewan. Pertama
sistem komunikasi yang ditemui pada
lebah dan kedua suara yang dikeluarkan
oleh kera dan burung. Kalau dibandingkan dengan kedua ini, terdapat beberapa
persamaan antara alat komunikasi yang
mereka gunakan dengan bahasa manusia,
tetapi memiliki banyak sekali perbedaan
yang mendasar.
Manusia berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa yang melebihi
tingkatan alat komunikasi yang digunakan oleh hewan-hewan yang disebutkan
di atas. Bahasa manusia bukan hanya
berupa gerakan seperi yang dilakukan
lebah dan juga bukan hanya seperti
suara-suara yang dikeluarkan oleh kera
dan burung. Bahasa manusia dapat
digunakan untuk pesan-pesan yang tidak
terbatas. Bahasa manusia itu kreatif.
Berdasarkan kosa-kata yang ada manusia
dapat membuat kalimat yang sangat
banyak yang bahkan belum didengar
sebelumnya. Untuk mengkomunikasikan jarak, seperti pada dunia lebah,
manusia tidak perlu memanjangkan
ucapan, misalnya jauh, jauuh, jauuuh,
dan selanjutnya, tetapi dapat menambahkan kata lain, misalnya lebih jauh, lebih
jauh lagi, sangat jauh, dan seterusnya
(Gee,1993: 4).
2. Bahasa lisan dan bahasa tulis
Beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa manusia menggunakan
bahasa untuk mengomunikasikan ide dan
pikiran baik secara lisan maupun secara
tulisan. Bahasa bukan hanya untuk
mengomunikasikan pikiran, bahkan
bahasa juga dapat mempengaruhi pikiran
(Sumarsono dan Pranata, 2002: 18).
Sehingga diyakini bahwa pikiran dan
bahasa mempunyai hubungan yang
sangat erat. Bahasa yang keluar dari
seseorang
melambangkan
keadaan
pikiran dan keadaan pikiran seseorang
akan terungkap lewat bahasa yang
dikeluarkan.
Bahasa lisan adalah bahasa yang
digunakan oleh manusia untuk mengkomunikasikan ide dan pikiran melalui
alat bicara. Sedangkan bahasa tulisan
adalah bahasa yang digunakan manusia
dengan menuliskannya pada kertas atau
pada tempat-tempat menulis lainnya
dengan menggunakan alat tulis tertentu.
Kenyataan menunjukkan bahwa manusia
biasanya mempunyai keunggulan masing
-masing dalam kedua kelompok tersebut.
Ada yang mempunyai kemampuan yang
sangat bagus dalam menggunakan
bahasa lisan tetapi tidak begitu bagus
dalam bahasa tulisan. Sebaliknya ada
orang yang sangat bagus dan produktif
dalam bahasa tulisan tetapi tidak begitu
bagus dalam menggunakan bahasa lisan.
Chaer (2003: 82) menyatakan
bahwa karena bahasa didefinisikan
sebagai sistem bunyi, maka yang dibayangkan tentang bahasa itu adalah
bahasa lisan dan linguisitiks itu artinya
bahasa yang dilafalkan dengan alat ucap
bukan yang dituliskan. Oleh karena itu
tidak dapat disangkal bahwa para ahli
bahasa
lebih
banyak
melakukan
penelitian dan pembahasan mengenai
bahasa lisan sehingga bahasa lisan juga
disebut dengan bahasa primer. Bahasa
tulis disebut bahasa sekunder dan
penelitian dan pengkajian tentang bahasa
ini tidak sebanyak tentang bahasa lisan.
Hal ini memang dapat dipahami karena
bahasa lisan lebih duluan hadir
dibanding bahasa tulisan dan bahkan
sekarang masih ada bahasa yang hanya
digunakan secara lisan dan tidak
dituliskan.
Meskipun demikian, peranan
bahasa tulis semakin lama semakin
dirasakan pentingnya. Berbagai komunikasi sekarang didominasi oleh bahasa
tulisan. Buku-buku, majalah, surat kabar,
surat-menyurat, tulisan-tulisan di internet
dan media lainnya menggunakan bahasa
tulisan. Penggunaan alat teleponpun
sekarang memiliki layanan pesan tertulis
yang disebut dengan short message
service (SMS).
Selanjutnya, Sumarsono dan
Pranata (2003: 83) mengemukakan
bahwa bahasa tulis adalah merupakan
rekaman dari bahasa lisan yang
98
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
dimaksudkan untuk menyimpan bahasa
tersebut atau untuk menyampaikan
kepada orang lain yang berada dalam
ruang dan waktu yang berbeda.
Di antara hal-hal yang perlu
dikuasai dan diketahui untuk dapat
memproduksi bahasa tulis yang baik
adalah penguasaan tentang kata dan
tentang kalimat. Penguasaan ini akan
sangat menentukan dalam menghasilkan
suatu karangan.
Kata adalah yang selalu digunakan sehari-hari tapi susah mendefinisikannya. Gee (1993: 158-9) menyatakan
bahwa sulit mendefinisikan “kata” itu
walaupun telah sangat sering digunakan.
Dalam tulisan, kata bahasa Inggris
ditulis dengan memberi pemisah
diataranya. Namun bagaimana kalau
bahasa yang tidak mempunyai bahasa
tulis? Untuk itu, Gee mendefinisikan
kata dengan “… any string of sounds
that can be separated from what
precedes and what follows it in a
sentence by other words” (serangkaian
bunyi yang dapat dipisahkan oleh yang
mendahului dan yang mengikuti dalam
sebuah kalimat oleh kata-kata lain).
Pengusasaan
tentang
kata
memegang peranan penting dalam
memproduksi bahasa, baik lisan maupun
tulisan. Penguasaan tehadap kata bukan
berarti hanya menguasai jumlah kata
yang banyak dalam satu bahasa, tetapi
bagaimana membentuk kata yang
diinginkan dari bentuk yang ada, seperti
membentuk kata benda dari kata kerja
dan sebaliknya serta seterusnya. Pemahaman ini akan membantu orang dalam
memilih jenis kata yang tepat dan
membuat orang lain memahami yang
dimaksudkan.
Sihombing dan Kentjono (2005: 130)
membagi kata kepada dua kelompok
besar, yaitu partikel dan kata penuh.
Partikel pada suatu bahasa mempunyai
jumlah yang terbatas dan cenderung
tidak bertambah jumlahnya. Sedangkan
kata penuh, jumlahnya sangat banyak
dan cenderung bertambah terus sesuai
dengan kebutuhan. Makna kata penuh
bersifat leksikal. Kata penuh ini terdiri
dari nomina (kata benda), verba (kata
kerja), adjektiva (kata sifat), adverbia
(kata keterangan), preposisi (kata depan),
konjungsi (kata sambung), dan numeralia (kata bilangan).
Beberapa ahli mengemukakan
pengertian kalimat secara berbeda-beda
sesuai dengan pemahaman dan kadar
keahlian mereka terhadap bahasa dan
bahasa apa yang mereka maksudkan.
Sibombing dan Kentjono (2005: 132)
mengelompokkan kalimat berdasarkan
lima criteria, yakni 1) berdasarkan
jumlah dan macam klausa (kalimat
tunggal, kalimat bersusun, kalimat majemuk atau kalimat setara, dan kalimat
majemuk bersusun), 2) berdasarkan
struktur intern klausa utama (kalimat
lengkap dan kalimat tak lengkap), 3)
berdasarkan jenis tanggapan yang
diharapkan (kalimat pernyataan, kalimat
pertanyaan, dan kalimat perintah, 4)
berdasarkan sifat hubungan pelaku dan
perbuatan (kalimat aktif, kalimat pasif,
kalimat tengah, dan kalimat netral , dan
5) berdasarkan ada tidaknya unsur ingkar
atau unsur negatif di dalam predikat
(kalimat positif dan kalimat negatif).
Menurut Chaer (2003: 240),
kalimat adalah “satuan sintaksis yang
tersusun dari konstituen dasar, yang
biasanya berupa klausa, dilengkapi
dengan konjungsi bila diperlukan, serta
disertai dengan intonasi final”. Lebih
jauh Chaer (2003: 243-53) mengemukakan bahwa kalimat terdiri dari beberapa
jenis, yakni, kalimat inti dan kalimat
non-inti, kalimat tunggal dan kalimat
majemuk, kalimat mayor dan kalimat
minor, kalimat verbal dan kalimat nonverbal (nomina), dan kalimat bebas dan
kalimat terikat.
Kalimat inti disebut juga dengan
kalimat dasar yang dibentuk dari klausa
inti yang lengkap dengan bersifat
deklaratif, aktif, dan affirmatif. Kalimat
inti tidak ditentukan oleh panjang dan
pendek sebuah kalimat. Kalimat yang
panjang juga dapat dikatakan kalimat
inti. Misalnya, “Yenni mengikuti
99
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
pelatihan penelitian tindakan kelas”,
adalah kalimat inti. Selanjutnya, kalimat,
“Tati bermenung”, juga kalimat inti.
Kalimat inti dapat diubah
menjadi kalimat non - inti melalui suatu
proses yang disebut dengan proses
transformasi. Kalimat inti “Yenni mengikuti pelatihan penelitian tindakan
kelas”, dapat ditransformasi menjadi
kalimat non-inti dengan menempatkan
“tidak” setelah subjek “Yenni”, sehingga
menjadi “Yenni tidak mengikuti
pelatihan penelitian tindakan kelas”.
Proses ini disebut trasformasi pengingkaran atau negasi. Di samping itu,
kalimat inti juga dapat dijadikan kalimat
non inti melalui proses pemasifan,
penanyaan, pemerintahan (perintah),
penginversian, pelesapan, dan penambahan.
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa kalimat tunggal adalah
kalimat yang mempunyai satu klausa.
Seperti halnya, kalimat inti dan non-inti,
kalimat tunggal juga tidak ditentukan
oleh panjang pendek kalimat. Contoh:
-
Lisa mengajar bahasa Inggris di
SMA.
Iqbal memiliki kebun jeruk yang
sangat luas di pinggiran danau
Singkarak.
Kalimat majemuk adalah kalimat
yang mempunyai lebih dari satu klausa.
Kalimat majemuk juga dibagi lagi
menjadi kalimat majemuk koordinatif
(setara), kalimat majemuk subordinatif
(bertingkat), dan kalimat majemuk
kompleks. Kalimat majemuk koordinatif
adalah kalimat majemuk yang kedua
klausanya mempunyai status yang sama,
yang setara, atau yang sederajat. Kedua
klausa tersebut biasanya dihubungkan
oleh konjungsi koordinatif, antara lain,
dan, lalu, kemudian, tetapi, sedangkan,
dan lain-lain. Contoh:
-
Afi
mendengar
musik,
ayah
membaca Koran, dan Dilla memasak
di dapur. Dia membuka pintu tetapi
tidak kunjung mempersilakan saya
masuk.
Dalam kalimat majemuk subordinatif (bertingkat), klausa yang satu
tidak setara atau sederajat dengan yang
kedua. Klausa yang satu disebut dengan
klausa atasan (bebas) dan yang kedua
disebut klausa bawahan (terikat). Kedua
klausa ini biasanya dihubungkan dengan
konjungsi subordinatif, antara lain
ketika, kalau, meskipun, dan lain-lain.
Contoh:
-
Afi mendengar musik kalau ayah
sedang tidak dirumah.
Walaupun hari hujan, dia tetap pergi
ke sekolah.
Kalimat majemuk kompleks terdiri dari tiga klausa atau lebih. Ketiga
klausa itu ada yang dihubungkan secara
koordinatif dan ada pula yang dihubungkan secara subordinatif. Dengan kata
lain, kalimat majemuk kompleks adalah
gabungan kalimat majemuk koordinatif
dan kalimat majemuk subordinatif,
sehingga ada yang menamakan kalimat
majemuk kompleks ini dengan kalimat
majemuk campuran. Contoh:
-
-
Arry membaca Alqur‟an dan Dilla
menonton televisi karena PRny telah
selesai.
Adam
mengambil
daun
dan
menutupkan
ketubuhnya
untuk
menggantikan pakaiannya yang telah
hilang tiba-tiba karena ia memakan
buah khuldi.
Kalimat mayor adalah kalimat
yang memiliki unsur-unsur yang lengkap
sebagai sebuah kalimat. Contoh:
-
Neneng membagikan uang kepada
mahasiswa.
Amerika dan sekutunya semakin
arogan.
Kalau kalimat mayor memiliki
unsur yang lengkap, kalimat minor
sesuai dengan namanya, tidak memiliki
unsur yang lengkap untuk menjadi
sebuah kalimat. Namun tidak berarti
bahwa kalimat minor tidak dapat
100
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
dipahami.
Kalimat
minor
dapat
dimengerti karena tesedia konteks yang
diketahui oleh pendengar maupun
pembicara sebagai pendukung dalam
menciptakan makna. Contoh:
-
Di Universitas Negeri Jakarta.
Duduklah dengan tenang.
Kalimat verbal adalah kalimat
yang dibentuk dari klausa verbal atau
kalimat yang mempunyai predikat kata
atau frasa verbal. Kalimat non-verbal
adalah kalimat yang mempunyai predikat
bukan kata atau frase verbal: bisa
nominal, ajektifal, adverbial, atau juga
numeralia. Contoh kalimat verbal:
-
Pada hari libur saya pergi ke
Bukittinggi.
Aku bangun pagi sekali
Contoh kalimat non-verbal adalah:
- Medan adalah kampungku.
- Airnya dingin sekali.
Kalimat bebas adalah kalimat
yang dapat berdiri sebagai ujaran
lengkap tanpa terikat dengan kalimat
lain. Kalimat ini dapat memulai suatu
paragraph atau wacana. Sedangkan
kalimat terikat tidak mempunyai potensi
untuk menjadi ujaran lengkap dan biasa
mempunyai
tanda
ketergantungan,
seperti penanda rangkaian, penunjukan,
dan penanda anaforis. Contoh:
Bahasa Minang di pintu gerbang
kepunahan (1). Jumlah penuturnya
semakin sedikit (2). Penutur aslinya
yang sekarang tidak menggunakan
bahasa Minang dalam keluarga (3).
Mereka merasa bangga kalau anakanak tidak menggunakan bahasa
Minang (4).
Kalimat (1) adalah kalimat bebas
dan dapat berdiri sendiri tanpa keberadaan kalimat (2), (3), dan (4). Kalimat
(2), (3), dan (4) adalah kalimat terikat
karena tidak dapat berdiri sendiri dan
harus bersandar kepada kalimat (1).
Kalimat (2) umpamanya tidak dapat
berdiri sendiri karena morfem –nya
merujuk kepada bahasa Minang. Dan
begitu seterusnya yang merujuk kepada
kata kunci ke(punah)an.
3. Perbedaan bahasa laki-laki dan
perempuan
Beberapa referensi menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan antara bahasa
laki-laki dan perempuan. Coulmas
(2005: 36-37) menyatakan bahwa lakilaki dan perempuan memilih kosa kata
yang berbeda karena secara alami
mereka memang berbeda. Kata-kata
tertentu hanya ditemukan pada percakapan sesama laki-laki dan sebaliknya
didapati bahwa kata-kata tertentu sering
digunakan olah perempuan. Schiffrin
(1994: 115-27) misalnya menyatakan
bahwa diet adalah kata yang sering
diidentikan dengan perempuan karena
diet dilakukan untuk tampak lebih
langsing yang dianggap sebagai lambang
kecantikan.
Tannen (1990) dalam Scollon
dan Scollon (1995: 9) menyatakan
bahwa laki-laki dan perempuan berbeda
memang sudah merupakan bawaan atau
alami. Bahasa hanya alat yang digunakan
untuk menyampaikan ide atau pikiran
kepada lawan tutur. Ia mengatakan
bahwa laki-laki dan perempuan dalam
budaya yang sama, bahkan dalam satu
keluarga, sering salah pengertian.
Seorang suami karena ingin menyenangkan hati istri dalam hari ulang tahunnya,
menanyakan apa yang paling diinginkan
pada hari ulang tahunnya. Istrinya
bukannya merasa senang tapi malah
merasa bahwa suaminya selama ini
belum begitu memperhatikan dirinya
sehingga tidak mengetahui kemauannya.
Dia menginginkan bahwa suami
mengetahui itu tanpa harus ditanyakan.
Sebaliknya, suami menanyakan itu agar
dapat membelikan istrinya sesuatu yang
paling diinginkan.
Levine dan Adelman (1993: 69)
mengemukakan
bahwa
perempuan
Amerika secara tradisional mempunyai
cara tak-langsung (lebih sopan dan
101
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
lembut) dibanding laki-laki dalam
melakukan permohonan, menyampaikan
kritik, dan menyampaikan pendapat.
Namun, kalau membahas masalah yang
berkenaan dengan emosi dan perasaan,
perempuan lebih bersifat langsung.
Kemudian timbul perubahan dan
perempuan di tempat kerja bersaha
meniru laki-laki dalam melakukan
permohonan, menyampaikan kritik, dan
menyampaikan pendapat.
Tannen (1991) dalam Scollon
dan Scollon (1995: 232) memperhatikan
suasana diskusi kelas dalam kuliah yang
dipimpin seorang dosen. Hasil observasi
menunjukkan bahwa dalam diskusi
kelas, laki-laki sering mendominasi
pembicaraan sedangkan perempuan tidak
begitu berpartisipasi. Tapi, ketika diskusi
dalam kelompok yang lebih kecil,
mahasiswa perempuan yang tidak biasa
berbicarapun menjadi aktif berbicara.
Sejalan dengan itu, Holmes (1994: 164)
menyatakan bahwa bentuk bahasa yang
digunakan laki-laki dan perempuan
berbeda dalam semua masyarakat tutur.
Perempuan, misalnya, secara linguistik
lebih sopan dari laki-laki.
Bahasa pria dianggap lebih alami
dibanding dengan bahasa perempuan.
Karena itu, beberapa peneliti lebih
cenderung menggunakan pria sebagai
sample penelitian. Multamia dan Basuki
(1989) dalam Sumarsono dan Pranata,
(2002: 98) mengemukakan beberapa
pendapat para ahli dialektologi “tradisional” tentang pengambilan sample
sebagai informan. Dalam tulisan mereka
dinyatakan bahwa Kurath (1939: 43)
berpedapat bahwa informan itu harus
laki-laki karena lebih alami dalam
berbahasa, sedangkan perempuan lebih
sadar diri dan sadar kelas dalam
berbicara.
Perempuan sering “hiperkorek”
dan berusaha menggunakan bahasa baku
(received
pronunciation)
sehingga
bahasa mereka kurang menggambarkan
yang sebenarnya yang diinginkan
peneliti. Perempuan beranggapan bahwa
penggunaan baku dapat mengangkat
derajatnya yang selama ini dianggap
sebagai warga negara kelas dua.
Umumnya laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan kekuasaan
yang lebih besar dari perempuan, namun
dalam berbahasa, perempuan lebih
sering menggunakan bahasa standar dan
laki-laki lebih sering menggunakan
bahasa tidak standar (Coulmas, 2005).
Sejalan dengan itu, Eckert dan Mc
Connel - Ginet (2003) mengemukakan
bahwa walaupun umumnya perempuan
berkedudukan lebih rendah dalam
masyarakat, namun mereka menggunakan bahasa yang lebih standar dengan
tujuan agar dihargai dan disegani oleh
masyarakat, melindungi muka (face)nya,
dan untuk menghindari gangguan atau
tindakan semena-mena dari masyarakat.
Perempuan menggunakan bahasa standar
dalam masyarakat terutama dalam
kegiatan-kegiatan yang lebih formal,
seperti inteaksi di tempat kerja
(Chamber, 1995).
Wardaugh (1998: 316-7) menyatakan bahwa dalam percakapan yang
melibatkan laki-laki dan perempuan,
banyak peneliti sependapat bahwa lakilaki lebih banya berbicara dibandingkan
dengan perempuan. Kalau laki-laki berbicara dengan sesama laki-laki, pembicaraan terfokus kepada kompetisi,
ejekan, olahraga, agresi, dan melakukan
sesuatu. Sedangkan, kalau perempuan
berbicara sesama perempuan, pembicaraan berkisar tentang diri, perasaan,
afiliasi dengan yang lain, rumah, dan
keluarga. Kalau percakapaan antar jenis
kelamin, laki-laki berbicara kurang
agresif dan kompetitif dan perempuan
mengurangi pembicaraannya tentang
rumah dan keluarga.
Perbedaan bahasa laki-laki dan
perempuan secara lebih rinci dikemukakan oleh Sumarsono dan Pranata
(2002:101-10). Dia mengemukakan
bahwa laki-laki dan perempuan berbeda
dalam banyak hal, seperti, gerak anggota
badan dan ekspresi wajah, suara dan
intonasi, fonem, dan ragam bahasa
(kasus Hindia Barat). Di beberapa
102
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
tempat ditemukan bahwa terdapat
perbedaan kata yang dipakai laki-laki
dan perempuan karena masalah tabu dan
tak tabu (kasus Indonesioa dan Zulu
Afrika), sistem kekerabatan (kasus
Indian Amerika di Bolivia), konservatif
dan inovatif (kasus bahasa Indian
Amerika) dan perubahan bentuk kata
(kasus bahasa Chukchi, Siberia), dan
perempuan juga dinyatakan cenderung
menggunakan bahasa ragam tinggi dan
laki-laki menggunakan ragam vernacular
yang untuk lebih menunjukkan kejantanan. Sejalan dengan itu, Sakof juga
menyatakan bahwa laki-laki menggunakan lebih banyak bahasa yang tidak
standar (vernacular) untuk menunjukkan
kemaskulinan.
Kenapa bahasa laki-laki dan
perempuan berbeda? Perbedaan bahasa
laki-laki dan perempuan juga disebabkan
oleh pengaruh dari budaya. Sumarsono
dan Pranata (2002:113) mengemukakan
bahwa perbedaan itu disebabkan oleh
gejala sosial yang erat hubungannya
dengan sikap sosial. Perbedaan itu sudah
dimulai sejak lahir. Coulmas (2005)
menyatakan bahwa perempuan diberi
nama, gelar, dan panggilan yang berbeda
dari laki-laki. Di Indonesia, misalnya,
laki-laki dan perempuan dapat ditebak
dari nama yang digunakan. Ketika
mendengar nama Supeno, orang akan
menebak bahwa yang punya nama
adalah laki-laki. Sementara kalau ada
yang bernama Supinah maka orang
dengan mudah dapat menebak bahwa
yang mempunyai nama itu adalah
seorang perempuan. Selanjutnya, perempuan lebih senang disapa dengan nama
pertama dan dengan panggilan sayang,
manis, kasih, dan sejenisnya. Dan
perempuan juga senang memaggil teman
intimnya dengan sebutan tersebut baik
teman
laki-laki
maupun
teman
perempuan. Tetapi, sebaliknya laki-laki
tidak menggunakan panggilan tersebut
untuk sesama laki-laki.
Penelitian tentang bahasa lakilaki dan perempuan di Indoneisa masih
sedikit. Di antara yang sedikit itu
(Sumarsono dan Pranata, 2002:125-126)
adalah Lauder dan Suhardi (1988)
tentang sikap kebahasaan kaum wanita
di Jakarta. Hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa sikap kebahasaan
kaum perempuan cenderung mendua.
Terdapat pertentangan sikap dalam diri
perempuan. Pada satu sisi dia tidak
begitu menganggap penting penguasaan
bahasa ibu, tetapi pada sisi lain dia lebih
banyak menjadi anggota perkumpulan
sosial yang bernuansa bahasa ibu
(bahasa daerah).
C. METODOLOGI
Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Data yang dikumpulkan
dideskripsikan sebagaimana adanya
kemudian dianalisis dan akhirnya
diambil simpulan dari hasil analisis
terhadap data yang ada.
Data penelitian ini adalah jumlah
kata, jumlah kalimat, jenis kalimat,
penggunaan penggunaan huruf kapital.
Data tersebut diambil dari hasil karangan
yang ditulis siswa kelas V Sekolah Dasar
No. 09 Air Tawar Barat Padang
Sumatera Barat pada tanggal 4 Juni
2007. Ada 27 orang siswa kelas V saat
itu dan tiga di antaranya tidak memenuhi
syarat untuk dijadikan sumber data. Satu
di antaranya (laki-laki) jauh lebih tua
dari rerata teman sekelasnya karena
tinggal kelas beberapa kali pada
tingkatan sebelumnya, satu (perempuan)
mempunyai karangan yang terlalu
pendek (hanya satu paragraf pendek),
dan yang satu lagi (perempuan) tidak
mencantumkan tanggal lahir sehingga
dikhawatirkan tidak dapat mewakili
bahasa siswa perempuan di kelasnya.
Dari 24 karangan yang tinggal ternyata
jumlahnya berimbang antara laki-laki
dan perempuan, yakni, 12 karangan dari
siswa laki-laki dan 12 karangan dari
siswa perempuan.
Data karangan ini dikumpulkan
pada tanggal 4 Juni 2006 melalui guru
masing-masing yang dikoordinatori oleh
Ibuk Arniati, S.Pd, guru kelas IV
Sekolah Dasar Negeri No. 09 Air
103
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
Tawar Barat Padang. Hasil karangan
tersebut dikumpulkan dan dikirimkan ke
alamat penulis melalui jasa pos.
Alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah sebuah
instruksi yang berbunyi: Buatlah sebuah
karangan dengan judul “Pengalaman
Selama Libur”. Semua siswa diharuskan
menulis karangan dengan judul yang
sama agar dapat melihat bahasa mereka
dalam membicarakan topik yang sama.
Waktu yang disediakan adalah 2 x 35
menit (1 x tatap muka).
Ada beberapa langkah yang
dilakukan dalam menganalisis data yang
telah terkumpul. Pertama, data yang ada
diteliti untuk menentukan karangan yang
layak dan tidak layak untuk dijadikan
sumber data. Pada tahap ini telah
dikeluarkan tiga karangan dengan alasan
yang dikemukakan di atas.
Kedua, semua karangan diketik
dengan komputer sesuai dengan aslinya.
Jumlah baris diketik sesuai dengan
jumlah baris yang ada dalam karangan
asli, penggunaan huruf kapital sesuai
dengan tulisan asli, dan penggunaan
tanda baca juga diketikkan sesuai dengan
tanda baca yang ditemukan dalam
karangan asli.
Ketiga, karangan yang sudah
diketik dipisahkan menjadi kalimatkalimat. Perlu disampaikan di sini,
bahwa keputusan menentukan kalimat
atau bukan kalimat ditentukan berdasarkan dua hal. Pertama kalau siswa telah
menempatkan tanda titik (.) di akhir kata,
itu sudah dianggap satu kalimat. Kalau
kalimat sudah harus berhenti tetapi siswa
masih meneruskan tanpa menandai
dengan titik sedangkan idenya sudah
lain, maka diputuskan memenggal
kalimat tersebut kepada lebih dari satu
kalimat.
Keempat, jumlah kata yang
ditemukan pada masing-masing kalimat
yang telah ditetapkan dihitung dengan
manual. Pertama kali penghitungan
jumlah kata dilakukan dengan komputer,
tetapi setelah dihitung ulang dengan
manual ternyata penghitungan yang
dilakukan oleh komputer tidak akurat.
Hal ini bukan disebabkan karena
kesalahan komputer, tetapi ternyata,
sesuai dengan aslinya, ada kata yang
ditulis siswa dengan terpisah dan
komputer menghitungnyas sesuai dengan
pecahan tersebut. Misalnya, kata pan
tai, sebenarnya hanya terdiri dari satu
kata yaitu, pantai, tetapi karena siswa
memisahkannya, maka komputer menghitung dua kata. Jadi kemudian diputuskan untuk menghitung secara manual.
D. HASIL ANALISIS DATA DAN
PEMBAHASAN
Pada bagian ini dikemukakan
hasil yang diperoleh setelah menganalisis semua karangan siswa, baik lakilaki maupun perempuan. Hasil analisis
tersebut dideskripsikan sesuai dengan
urutan pertanyaan pada bagian I.
1. Jumlah kata yang digunakan
Hasil penghitungan terhadap
jumlah kata yang digunakan menunjukkan bahwa jumlah kata yang digunakan
siswa laki-laki berbeda dari jumlah kata
yang digunakan siswa perempuan.
Perbedaan tersebut dalam dilihat pada
tabel berikut.
104
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
Tabel 1
Jumlah dan persentase kata yang digunakan
siswa laki-laki dan perempuan
Siswa
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Jml.
Rerata
Jml. kata
396
275
552
500
305
311
237
422
417
375
375
339
4504
375
Tabel di atas menunjukkan
bahwa secara rerata jumlah kata yang
digunakan siswa perempuan lebih
banyak dari jumlah kata yang digunakan
siswa laki-laki (211: 164). Karangan
terpendek siswa laki-laki menggunakan
84 kata dan karangan terpendek siswa
perempuan 141 kata. Karangan terpanjang siswa menggunakan sebanyak 256
kata dan karangan terpanjang perempuan
menggunakan sebanyak 335 kata. Ini
berarti bahwa rerata siswa perempuan
lebih mampu memproduksi kata-kata
dalam jumlah yang lebih ke dalam
karangan dibandingkan dengan siswa
laki-laki.
2. Jumlah kata kerja dan jenis kata
kerja yang digunakan
Jumlah kata kerja dan jenis kata
kerja yang digunakan oleh siswa lakilaki dan siswa perempuan kelas V SD 09
Air Tawar Barat Padang ternyata
berbeda. Untuk mengetahui jumlah kata
kerja yang digunakan, semua kata kerja
yang digunakan oleh laki-laki dan
perempuan dalam karangan yang mereka
Laki-laki
(%)
230
134
217
256
131
145
84
177
150
170
118
155
1967 (44 %)
164 (44 %)
Perempuan
(%)
166
141
335
244
174
166
153
245
267
205
257
184
2537 (56 %)
211 (56 %)
buat dihitung secara manual dan
kemudian dijumlahkan. Untuk mengetahui jenis kata kerja yang digunakan
oleh siswa laki-laki dan oleh siswa
perempuan dilakukan dengan memberikan angka 1 untuk laki-laki kalau hanya
digunakan oleh laki-laki dan 0 untuk
perempuan kalau tidak digunakan oleh
perempuan dan sebaliknya. Kalau satu
kata kerja digunakan oleh laki-laki dan
perempuan, maka masing-masing diberi
angka 1. Persentase jumlah kata kerja
yang digunakan siswa laki-laki dan
siswa perempuan diperoleh dengan
membagi jumlah kata kerja yang
digunakan dengan jumlah semua kata
yang digunakan dan dikalikan 100.
Sementara untuk mendapatkan persentase jenis kata kerja yang digunakan,
jumlah jenis kata kerja yang digunakan
dibagi jenis semua kata kerja dan
dikalikan 100. Perbedaan jumlah kata
kerja dan jenis kata kerja yang
digunakan siswa laki-laki dan siswa
perempuan dapat dilihat pada tabel
berikut.
105
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
Tabel 2
Jumlah Kata Kerja dan Jenis Kata Kerja
Semua
454
Jumlah Kata Kerja
Laki-Laki
Perempuan
(%)
(%)
202 (44%)
252 (56%)
Dari tabel 1 di atas dapat
diketahui bahwa jumlah kata kerja yang
digunakan oleh perempuan dalam
karangan “Kegiatan Selama Libur” lebih
banyak dari kata kerja yang digunakan
oleh siswa laki-laki. Terdapat sebanyak
454 kata kerja yang digunakan oleh
siswa dalam karangan mereka. Sebanyak
252 (56 %) kata kerja digunakan oleh
siswa perempuan dan sebanyak 202
(44%) kata kerja digunakan oleh siwa
laki-laki.
Namun kalau dihitung jenis kata
kerja yang digunakan, ternyata siswa
laki-laki menggunakan lebih banyak
jenis kata kerja dibandingkan dengan
siswa perempuan. Dari 58 jenis kata
kerja yang digunakan, ternyata laki-laki
menggunakan 49 kata kerja (84%) dan
perempuan menggunakan 33 kata kerja
(57%). Ini berarti bahwa siswa perem-
Jenis Kata Kerja
Semua Laki-Laki Perempuan
(%)
(%)
58
49 (84%)
33 (57 %)
puan lebih sering mengulang pemakaian
kata kerja yang sama dibanding dengan
siswa laki-laki. Kemudian, dapat juga
disampaikan bahwa beberapa siswa
perempuan menggunakan kata kerja
yang sama dalam karangan mereka.
Siswa laki-laki juga mengulangi penggunaan kata kerja yang sama dan
beberapa siswa laki-laki juga menggunakan kata kerja yang sama, tetapi jumlahnya tidak sebanyak siswa perem-puan.
3. Jumlah kalimat serta jumlah
kalimat verbal dan nonverbal
Jumlah kalimat yang digunakan
oleh siswa perempuan dalam karangan
mereka melebihi jumlah kalimat yang
digunakan oleh siswa laki-laki. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 3
Jumlah kalimat dan jumlah kalimat verbal dan nonverbal
siswa laki-laki dan siswa perempuan
Siswa
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Laki-Laki
V
N
Jml
19
7
26
11
3
14
14
8
22
16
8
24
14
3
17
15
3
18
9
2
11
20
4
24
17
1
18
17
3
20
11
4
15
20
1
21
183
47
230
* V = kalimat verbal N = kalimat non-verbal
Perempuan
N
Jml
17
5
22
10
3
13
25
10
35
17
6
23
12
5
17
18
4
22
13
3
16
26
5
31
26
7
33
22
6
28
20
7
27
24
3
27
230
64
294
Jml = jumlah
V
106
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 5 Tahun 3 Desember 2009
Tabel di atas menunjukkan
bahwa, baik siswa laki-laki maupun
siswa
perempuan
lebih
banyak
menggunakan kalimat verbal dibanding
dengan kalimat non-verbal. Dari 230
kalimat yang digunakan oleh siswa lakilaki, 183 di antaranya adalah kalimat
verbal dan hanya 47 kalimat yang
kalimat non-verbal. Dari 294 kalimat
yang digunakan siswa perempuan, 230 di
antaranya adalah kalimat verbal dan
hanya 64 kalimat yang kalimat nonverbal. Dari segi jumlah, kalimat siswa
perempuan lebih banyak dari kalimat
siswa laki-laki. Total jumlah kalimat
siswa perempuan adalah 294 kalimat
sedangkan kalimat siswa laki-laki adalah
230 kalimat. Dan kalau ditinjau dari
jenis kalimat (kalimat verbal dan nonverbal) juga didapati bahwa jumlah
kalimat verbal siswa perempuan juga
melebihi (230 kalimat) kalimat laki-laki
(183 kalimat). Tambahan lagi, jumlah
kalimat non-verbal siswa perempuan
juga melebihi (64 kalimat) jumlah
kalimat non-verbal siswa laki-laki (47
kalimat).
4. Penggunaan kalimat tunggal dan
kalimat majemuk
Tidak berbeda dengan temuan di
atas, hasil penghitungan terhadap jumlah
kalimat tunggal dan kalimat majemuk
yang digunakan siswa laki-laki dan
perempuan juga berbeda. Perbedaan itu
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4
Jumlah kalimat tunggal dan kalimat majemuk
siswa laki-laki dan siswa perempuan
Siswa
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jml
Tunggal
19
11
14
15
14
15
9
20
17
17
11
20
182
Laki-laki
Majemuk
7
3
8
9
3
3
2
4
1
3
4
1
48
Jml
26
14
22
24
17
18
11
24
18
20
15
21
230
Dari tabel di atas terlihat bahwa baik
siswa laki-laki, maupun siswa perempuan lebih banyak menggunakan kalimat
tunggal dari pada kalimat majemuk dan
ini dapat dipahami karena mereka baru
kelas V Sekolah Dasar yang berumur
sekitar 11 tahun. Dari 230 jumlah
kalimat yang dihasilkan siswa laki-laki,
182 di antaranya adalah adalah kalimat
tunggal dan hanya 48 kalimat yang
kalimat majemuk. Dari 289 kalimat yang
Siswa
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Perempuan
Tunggal
Majemuk
17
5
10
3
15
10
17
6
17
5
18
4
13
3
26
5
26
7
22
6
20
7
24
3
225
64
Jml
22
13
25
23
22
22
16
31
33
28
27
27
289
digunakan siswa perempuan, 225 di
antaranya adalah kalimat tunggal dan
hanya 64 kalimat yang kalimat majemuk.
Kalau dibandingkan jumlah kalimat
tunggal dan kalimat majemuk siswa
perempuan dan siswal laki-laki, ternyata
jumlah kalimat tunggal siswa perempuan
juga melebihi (225 kalimat) jumlah
kalimat tunggal laki-laki (182 kalimat).
Dan jumlah kalimat nominal siswa
perempuan juga melebihi (64 kalimat)
107
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
jumlah kalimat siswa laki-laki (48
kalimat).
dengan huruf kapital, tetapi siswa tidak
melakukannya, maka ditulis dengan
huruf kapital kurang. Sebaliknya, kalau
seharusnya tidak menggunakan huruf
kapital, tapi siswa menggunakan huruf
kapital, maka ditulis sebagai huruf
kapital lebih.
Sementara untuk penggunaan
tanda baca, yang diamati hanya penggunaan titik dan koma. Sementara yang
lain diabaikan karena kedua tanda baca
itu yang dominan dalam menulis suatu
karangan. Untuk tanda baca hanya
dilakukan penghitungan dengan menjumlahkan pelanggaran yang dilakukan
terhadap kedua tanda baca tersebut.
Secara lebih lengkap dapat dilihat tabel
berikut.
5. Penggunaan huruf kapital dan
tanda baca
Kesalahan yang menonjol dalam
karangan siswa kelas V SD ini adalah
penggunaan huruf kapital. Banyak sekali
ditemui bahwa siswa cenderung menggunakan huruf kapital untuk huruf
tertentu yang berada pada posisi awal
kata. Misalnya, kata yang dimulai
dengan huruf „s‟ cenderung ditulis
dengan huru kapital. Sementara banyak
permulaan kalimat dan nama kota tidak
ditulis dengan huruf kapital. Masalah
penggunaan huruf kapital dalam tulisan
ini dikelompokkan ke dalam dua kelompok tersebut. Kalau seharusnya ditulis
Tabel 5
Penggunaan huruf kapital dan tanda baca
Siswa laki-laki dan siswa perempuan
Siswa
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jml
Jml
Siswa Laki-laki
Huruf Kapital
Kurang Lebih
14
27
9
24
7
25
7
6
9
32
19
22
4
4
19
25
15
7
14
17
4
4
27
1
148
194
342
Tanda
baca
7
10
15
10
15
7
18
4
11
8
14
119
Tabel di atas menunjukkan
bahwa dari segi jumlah kesalahan, tidak
terdapat begitu besar perbedaan antaran
kesalahan yang dilakukan siswa laki-laki
dan siswa perempuan, baik dalam
119
Siswa
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Siswa Perempuan
Huruf Kapital
Tanda
Kurang Lebih
baca
14
4
4
5
3
19
19
10
1
4
3
4
2
26
5
22
12
5
24
1
18
3
19
8
43
16
21
19
8
8
31
1
11
30
19
120
218
104
338
104
penggunaan huruf kapital maupun
penggunaan tandabaca. Siswa perempuan lebih sedikit melakukan kesalahan
dalam penggunaan huruf kapital dan
tandabaca. Namun kalau dihubungkan
108
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
dengan jumlah kalimat dan jumlah kata
yang digunakan tentu perbedaannya
menjadi cukup signifikan karena jumlah
kalimat dan jumlah kata yang digunakan
siswa perempuan lebih banyak dari
jumlah kata yang digunakan oleh siswa
laki-laki. Data ini dapat memberikan
pemahaman bahwa ternyata bahasa yang
digunakan siswa perempuan memang
lebih standar dibanding dengan bahasa
yang digunakan siswa laki-laki.
Dari analisis terhadap data yang
dikumpulkan bahwa siswa perempuan
menggunakan lebih banyak jumlah kata,
jumlah kata kerja, jumlah kalimat
(termasuk kalimat verbal dan non-verbal,
tunggal dan jamak) dibandingkan siswa
laki-laki. Oleh karena itu, karangan
siswa perempuan lebih panjang dari
karangan siswa laki-laki. Dalam proses
penulisan karangan didapati bahwa siswa
perempuan berusaha menghabiskan
waktu yang disediakan secara maksimal.
Sedangkan siswa laki-laki telah banyak
yang selesai jauh sebelum waktu yang
disediakan berakhir dan ingin cepat
menyerahkan karangannya.
Walaupun
karangan
siswa
perempuan lebih panjang, ternyata siswa
laki-laki menggunakan lebih banyak
jenis kata kerja dibandingkan dengan
siswa perempuan. Dari segi penggunaan
huruf kapital dan tandabaca, baik lakilaki maupun perempuan mengalami
masalah. Namun kalau dibandingkan
keduanya, siswa laki-laki lebih banyak
melakukan kesalahan dalam penulisan
huruf kapital dan tanda baca. Hal ini
memungkinkan untuk menarik kesimpulan bahwa bahasa tulis siswa
perempuan SD 09 Air Tawar Barat
Padang lebih baik dari bahasa tulis siswa
laki-laki.
1. Siswa perempuan menggunakan
lebih banyak kata dalam mengungkapkan kegiatan selama libur
dibandingkan dengan siswa laki-laki.
2. Siswa perempuan menggunakan
lebih banyak kata kerja dalam mengungkapkan kegiatan selama libur
dibandingkan dengan siswa laki-laki.
3. Siswa laki-laki menggunakan lebih
banyak jenis kata kerja dalam
mengungkapkan kegiatan selama
libur dibandingkan dengan siswa
laki-laki.
4. Siswa perempuan menggunakan
lebih banyak kalimat dibandingkan
dengan siswa laki-laki.
5. Siswa perempuan menggunakan
lebih banyak kalimat verbal dan
kalimat non-verbal dibandingkan
dengan siswa laki-laki.
6. Siswa perempuan menggunakan
lebih banyak kalimat tunggal dan
kalimat majemuk dibandingkan
dengan siswa laki-laki.
7. Bahasa tulis perempuan lebih baik
dari bahasa tulis laki-laki.
Studi ini diakui belum dapat
mengupas secara lebih rinci berbagai
perbedaan antara bahasa siswa laki-laki
dan siswa perempuan yang didasarkan
pada karangan siswa. Untuk itu, suatu
studi yang agak mendalam diyakini akan
sangat bermanfaat sehingga semua
perbedaan antara bahasa tulis siswa lakilaki dan perempuan dapat terungkap
secara jelas.
E. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan yang dapat diambil dari
analisis data yang diambil dalam studi
ini diarahkan kepada menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada
permasalahan. Dari bahasan pada bab III
dapat disimpulkan:
109
Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009
DAFTAR PUSTAKA
Bucholtz, M. dalam Duranti A (Ed.) Key
Terms in Language and Culture.
Massachusetts
–
Oxford:
Blackwell Publishers Inc.
Chaer, A. 2003. Linguistik Umum.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sumarsono dan Partana P. 2002.
Sosiolinguistik.
Yogyakarta:
SABDA (Lembaga Studi Agama,
Budaya, dan Perdamaian.
Wardaugh,
Ronald.
1998.
An
Introduction to Sociolinguistics.
3rd Ed. Oxford dan Massachusetts: Blackwell Publishers
Ltd.
Chambers, J.K. 1995. Sociolinguistic
Theory: Linguistic Variation and
Its Social Significance. Oxford:
Basil Blackwell.
Coulmas, F. 2005.Sociolinguistics: The
Study of Speakers’ Choices. New
York: Cambridge University
Press.
Gee, J. P. 1993. An Introduction to
Human Language: Fundamental
Concepts in Linguistics. New
Jersey: Prentice Hall.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to
Sociolinguistics. London – New
York: Longman Group UK
Limited.
Levine, Deena R. dan Adelman, Mara B.
1993. Beyond Language: Crosscultural Communication. New
York: Prentice Hall Inc.
Schiffrin, Deborah. 1994. Approaches to
Discourse. Massachusetts –
Oxford: Balckwell Publishers.
Scollon, Ron. dan Scollon. Suzanne W.
1995. Intercultural Communication. Massachusetts: Blackwell
Publishers.
Sihombing, Leberty P. dan Kencono,
Joko. 2005. Sintaksis dalam
Kushartanti, Yuwono, Untung,
dan Lauder, Multamia (Editor).
Pesona Bahasa: Langkah Awal
Memahami Linguistiks). Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
110
Download