PERBEDAAN BAHASA SISWA LAKI-LAKI DAN SISWA PEREMPUAN: SEBUAH STUDI KASUS DI KELAS V SDN 09 AIR TAWAR BARAT PADANG SUMATERA BARAT Oleh Zul Amri FBSS Universitas Negeri Padang Abstract Male and female are said to speak differently in any communities. Many studies have made use of oral discourse as the source of the data and it is very rare found that the studies make use of written discources. This study is based on the students writing entitled “Experience during Vacation”. They are the fifth grade of 09 Elementary School Air Tawar Barat Padang. After analyzing their writings, it is found that female students produce more words, more verbs, more sentences (verbal or nominal and simple or embedded) compared to male students. In addition, female students produce less mistakes in using capital letter and other mechanical matters. The male students, on the other hand, produce less words, less verbs, less sentences (verbal or nominal and simple or embedded) compared to female students. In addition, male students produce more mistakes in using capital letter and other mechanical matters. One interesting thing is that even though male students produce less verbs in numbers, they have more various verbs compared to female students. Many female students use the same verbs as others and some use the same verbs repeatedly in their writings. The male students did not repeat the use of the same words very often. Keywords/ phrases: language, male, female, students, letter A. PENDAHULUAN Laki-laki dan perempuan berbeda secara fisik dan non-fisik. Wardaugh (1998: 310) menyatakan bahwa secara fisik dapat dilihat dan diteliti bahwa (1) kadar lemak yang terdapat pada tubuh perempuan melebihi kadar lemak yang ada pada tubuh laki-laki, (2) jumlah otot yang ada pada tubuh laki-laki melebihi jumlah otot yang terdapat pada tubuh perempuan, (3) fisik laki-laki lebih kuat dari fisik perempuan, (4) perempuan memiliki berat badan lebih ringan dari laki-laki, (5) perempuan lebih cepat dewasa dan tua dibanding dengan lakilaki, (6) perempuan memiliki rerata umur yang lebih panjang dari laki-laki, dan (7) perempuan mempunyai karakter suara yang berbeda dari laki-laki. Semua itu, terutama karakter suara menjadikan bahasa yang digunakan oleh perempuan berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh laki-laki. Perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan, menurut beberapa ahli bahasa, karena memang mereka telah dikondisikan oleh masyarakat dimana mereka dibesarkan untuk berbeda (Philips, Steele, dan Tanz, 1987 dalam Wardaugh, 1998: 310). Perbedaan karakter suara mungkin disebabkan oleh norma yang mengatur bagaimana seharusnya suara perempuan ketika mereka bicara. Sedangkan perbedaan keterampil96 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 an berbicara dapat dijelaskan karena perbedaan tingkat pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan telah banyak diteliti orang, tapi umumnya menggunakan bahasa lisan sebagai sumber data. Schiffrin (1994: 115-127) menggunakan bahasa percakapan dengan mengupasnya secara panjang lebar dalam subtopik micro- and macro-identity displays: alignments and gender. Sejalan dengan itu Scollon dan Scollon (1995: 229-24) juga menggunakan bahasa percakapan dengan judul Gender Discourse: Intergender Discourse. Holmes (1992: 164-181) juga membicarakan perbedaan bahasa lakilaki dan perempuan dengan mengarah pada bahasa lisan. Dia mengatakan „Women and men do not speak in exactly the same way as each other in any community’. Dari kalimat ini dapat diketahui bahwa fokusnya adalah bahasa lisan karena kata „speak’. Sumarsono dan Pranata (2002: 97-130) mengkaji bahasa dalam hubungannya denga jenis kelamin. Namun, secara umum, dia juga merujuk kepada data-data lisan untuk membedakan bahasa laki-laki dan bahasa perempuan. Coulmas (2005: 36-49) juga membicarakan masalah bahasa laki-laki dan perempuan dan juga membahas bahasa lisan dibawah subjudul Gendered speech: sex as a factor of linguistic choice. Mary Bucholtz dalam Duranti (2001: 75) juga membahas „.... male and female speakers’ (bahasa lisan perempuan dan laki-laki). Studi ini dianggap penting karena berbeda dengan yang disebutkan di atas. Studi ini juga dimaksudkan untuk mengetahui bahasa laki-laki dan bahasa perempuan tetapi data yang digunakan adalah bahasa tulis. Studi ini didasarkan pada bahasa tulis siswa kelas V Sekolah Dasar Nomor 09 Air Tawar Barat Padang. Semua siswa diminta membuat satu karangan dengan judul yang sama, yaitu, Pengalaman Selama Libur, sehingga diharapkan perbedaan yang terdapat dalam karangan itu dapat menjadi bahan rujukan dalam melihat perbedaan bahasa tulis seswa laki-laki dan siswa perempuan. Masalah utama studi ini adalah “Apakah terdapat perbedaan bahasa tulis laki-laki dan perempuan dalam karangan “Pengalaman Selama Libur” siswa kelas V SD 09 Air Tawar Barat Padang? Untuk mendukung pertanyaan di atas diajukan beberapa pertanyaan pertanyaan berikut. 1. Apakah terdapat perbedaan jumlah kata yang digunakan siswa laki-laki dan perempuan dalam mengungkapkan kegiatan selama libur? 2. Apakah terdapat perbedaan jumlah kata kerja yang digunakan siswa laki-laki dan perempuan dalam mengungkapkan kegiatan selama libur? 3. Apakah terdapat perbedaan jumlah kalimat yang digunakan siswa lakilaki dan siswa perempuan dalam mengungkapkan kegiatan selama libur? 4. Apakah terdapat perbedaan jenis kalimat yang digunakan siswa lakilaki dan perempuan dalam mengungkapkan kegiatan selama libur? 5. Yang manakah di antara kedua gender tersebut menggunakan bahasa yang lebih standar? Studi ini dimaksudkan untuk mengungkapkan perbedaan bahasa siswa laki-laki dan perempuan dalam menulis karangan. Perbedaan difokuskan kepada jumlah kata, jumlah kata kerja, jumlah kalimat, jumah Jenis kalimat (verba atau non-verba dan tunggal ata jamak), penggunaan tanda baca yang didasarkan pada karangan siswa dengan judul “Kegiatan Selama Libur”. B. KAJIAN TEORI TERKAIT 1. Komunikasi dan Bahasa Gee (1993: 2) menyatakan bahwa hewan menggunakan berbagai bentuk komunikasi, tetapi hanya manusia yang menggunakan bahasa. Ada dua macam 97 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 sistem komunikasi hewan. Pertama sistem komunikasi yang ditemui pada lebah dan kedua suara yang dikeluarkan oleh kera dan burung. Kalau dibandingkan dengan kedua ini, terdapat beberapa persamaan antara alat komunikasi yang mereka gunakan dengan bahasa manusia, tetapi memiliki banyak sekali perbedaan yang mendasar. Manusia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang melebihi tingkatan alat komunikasi yang digunakan oleh hewan-hewan yang disebutkan di atas. Bahasa manusia bukan hanya berupa gerakan seperi yang dilakukan lebah dan juga bukan hanya seperti suara-suara yang dikeluarkan oleh kera dan burung. Bahasa manusia dapat digunakan untuk pesan-pesan yang tidak terbatas. Bahasa manusia itu kreatif. Berdasarkan kosa-kata yang ada manusia dapat membuat kalimat yang sangat banyak yang bahkan belum didengar sebelumnya. Untuk mengkomunikasikan jarak, seperti pada dunia lebah, manusia tidak perlu memanjangkan ucapan, misalnya jauh, jauuh, jauuuh, dan selanjutnya, tetapi dapat menambahkan kata lain, misalnya lebih jauh, lebih jauh lagi, sangat jauh, dan seterusnya (Gee,1993: 4). 2. Bahasa lisan dan bahasa tulis Beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa manusia menggunakan bahasa untuk mengomunikasikan ide dan pikiran baik secara lisan maupun secara tulisan. Bahasa bukan hanya untuk mengomunikasikan pikiran, bahkan bahasa juga dapat mempengaruhi pikiran (Sumarsono dan Pranata, 2002: 18). Sehingga diyakini bahwa pikiran dan bahasa mempunyai hubungan yang sangat erat. Bahasa yang keluar dari seseorang melambangkan keadaan pikiran dan keadaan pikiran seseorang akan terungkap lewat bahasa yang dikeluarkan. Bahasa lisan adalah bahasa yang digunakan oleh manusia untuk mengkomunikasikan ide dan pikiran melalui alat bicara. Sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa yang digunakan manusia dengan menuliskannya pada kertas atau pada tempat-tempat menulis lainnya dengan menggunakan alat tulis tertentu. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia biasanya mempunyai keunggulan masing -masing dalam kedua kelompok tersebut. Ada yang mempunyai kemampuan yang sangat bagus dalam menggunakan bahasa lisan tetapi tidak begitu bagus dalam bahasa tulisan. Sebaliknya ada orang yang sangat bagus dan produktif dalam bahasa tulisan tetapi tidak begitu bagus dalam menggunakan bahasa lisan. Chaer (2003: 82) menyatakan bahwa karena bahasa didefinisikan sebagai sistem bunyi, maka yang dibayangkan tentang bahasa itu adalah bahasa lisan dan linguisitiks itu artinya bahasa yang dilafalkan dengan alat ucap bukan yang dituliskan. Oleh karena itu tidak dapat disangkal bahwa para ahli bahasa lebih banyak melakukan penelitian dan pembahasan mengenai bahasa lisan sehingga bahasa lisan juga disebut dengan bahasa primer. Bahasa tulis disebut bahasa sekunder dan penelitian dan pengkajian tentang bahasa ini tidak sebanyak tentang bahasa lisan. Hal ini memang dapat dipahami karena bahasa lisan lebih duluan hadir dibanding bahasa tulisan dan bahkan sekarang masih ada bahasa yang hanya digunakan secara lisan dan tidak dituliskan. Meskipun demikian, peranan bahasa tulis semakin lama semakin dirasakan pentingnya. Berbagai komunikasi sekarang didominasi oleh bahasa tulisan. Buku-buku, majalah, surat kabar, surat-menyurat, tulisan-tulisan di internet dan media lainnya menggunakan bahasa tulisan. Penggunaan alat teleponpun sekarang memiliki layanan pesan tertulis yang disebut dengan short message service (SMS). Selanjutnya, Sumarsono dan Pranata (2003: 83) mengemukakan bahwa bahasa tulis adalah merupakan rekaman dari bahasa lisan yang 98 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 dimaksudkan untuk menyimpan bahasa tersebut atau untuk menyampaikan kepada orang lain yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Di antara hal-hal yang perlu dikuasai dan diketahui untuk dapat memproduksi bahasa tulis yang baik adalah penguasaan tentang kata dan tentang kalimat. Penguasaan ini akan sangat menentukan dalam menghasilkan suatu karangan. Kata adalah yang selalu digunakan sehari-hari tapi susah mendefinisikannya. Gee (1993: 158-9) menyatakan bahwa sulit mendefinisikan “kata” itu walaupun telah sangat sering digunakan. Dalam tulisan, kata bahasa Inggris ditulis dengan memberi pemisah diataranya. Namun bagaimana kalau bahasa yang tidak mempunyai bahasa tulis? Untuk itu, Gee mendefinisikan kata dengan “… any string of sounds that can be separated from what precedes and what follows it in a sentence by other words” (serangkaian bunyi yang dapat dipisahkan oleh yang mendahului dan yang mengikuti dalam sebuah kalimat oleh kata-kata lain). Pengusasaan tentang kata memegang peranan penting dalam memproduksi bahasa, baik lisan maupun tulisan. Penguasaan tehadap kata bukan berarti hanya menguasai jumlah kata yang banyak dalam satu bahasa, tetapi bagaimana membentuk kata yang diinginkan dari bentuk yang ada, seperti membentuk kata benda dari kata kerja dan sebaliknya serta seterusnya. Pemahaman ini akan membantu orang dalam memilih jenis kata yang tepat dan membuat orang lain memahami yang dimaksudkan. Sihombing dan Kentjono (2005: 130) membagi kata kepada dua kelompok besar, yaitu partikel dan kata penuh. Partikel pada suatu bahasa mempunyai jumlah yang terbatas dan cenderung tidak bertambah jumlahnya. Sedangkan kata penuh, jumlahnya sangat banyak dan cenderung bertambah terus sesuai dengan kebutuhan. Makna kata penuh bersifat leksikal. Kata penuh ini terdiri dari nomina (kata benda), verba (kata kerja), adjektiva (kata sifat), adverbia (kata keterangan), preposisi (kata depan), konjungsi (kata sambung), dan numeralia (kata bilangan). Beberapa ahli mengemukakan pengertian kalimat secara berbeda-beda sesuai dengan pemahaman dan kadar keahlian mereka terhadap bahasa dan bahasa apa yang mereka maksudkan. Sibombing dan Kentjono (2005: 132) mengelompokkan kalimat berdasarkan lima criteria, yakni 1) berdasarkan jumlah dan macam klausa (kalimat tunggal, kalimat bersusun, kalimat majemuk atau kalimat setara, dan kalimat majemuk bersusun), 2) berdasarkan struktur intern klausa utama (kalimat lengkap dan kalimat tak lengkap), 3) berdasarkan jenis tanggapan yang diharapkan (kalimat pernyataan, kalimat pertanyaan, dan kalimat perintah, 4) berdasarkan sifat hubungan pelaku dan perbuatan (kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat tengah, dan kalimat netral , dan 5) berdasarkan ada tidaknya unsur ingkar atau unsur negatif di dalam predikat (kalimat positif dan kalimat negatif). Menurut Chaer (2003: 240), kalimat adalah “satuan sintaksis yang tersusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final”. Lebih jauh Chaer (2003: 243-53) mengemukakan bahwa kalimat terdiri dari beberapa jenis, yakni, kalimat inti dan kalimat non-inti, kalimat tunggal dan kalimat majemuk, kalimat mayor dan kalimat minor, kalimat verbal dan kalimat nonverbal (nomina), dan kalimat bebas dan kalimat terikat. Kalimat inti disebut juga dengan kalimat dasar yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap dengan bersifat deklaratif, aktif, dan affirmatif. Kalimat inti tidak ditentukan oleh panjang dan pendek sebuah kalimat. Kalimat yang panjang juga dapat dikatakan kalimat inti. Misalnya, “Yenni mengikuti 99 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 pelatihan penelitian tindakan kelas”, adalah kalimat inti. Selanjutnya, kalimat, “Tati bermenung”, juga kalimat inti. Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat non - inti melalui suatu proses yang disebut dengan proses transformasi. Kalimat inti “Yenni mengikuti pelatihan penelitian tindakan kelas”, dapat ditransformasi menjadi kalimat non-inti dengan menempatkan “tidak” setelah subjek “Yenni”, sehingga menjadi “Yenni tidak mengikuti pelatihan penelitian tindakan kelas”. Proses ini disebut trasformasi pengingkaran atau negasi. Di samping itu, kalimat inti juga dapat dijadikan kalimat non inti melalui proses pemasifan, penanyaan, pemerintahan (perintah), penginversian, pelesapan, dan penambahan. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa kalimat tunggal adalah kalimat yang mempunyai satu klausa. Seperti halnya, kalimat inti dan non-inti, kalimat tunggal juga tidak ditentukan oleh panjang pendek kalimat. Contoh: - Lisa mengajar bahasa Inggris di SMA. Iqbal memiliki kebun jeruk yang sangat luas di pinggiran danau Singkarak. Kalimat majemuk adalah kalimat yang mempunyai lebih dari satu klausa. Kalimat majemuk juga dibagi lagi menjadi kalimat majemuk koordinatif (setara), kalimat majemuk subordinatif (bertingkat), dan kalimat majemuk kompleks. Kalimat majemuk koordinatif adalah kalimat majemuk yang kedua klausanya mempunyai status yang sama, yang setara, atau yang sederajat. Kedua klausa tersebut biasanya dihubungkan oleh konjungsi koordinatif, antara lain, dan, lalu, kemudian, tetapi, sedangkan, dan lain-lain. Contoh: - Afi mendengar musik, ayah membaca Koran, dan Dilla memasak di dapur. Dia membuka pintu tetapi tidak kunjung mempersilakan saya masuk. Dalam kalimat majemuk subordinatif (bertingkat), klausa yang satu tidak setara atau sederajat dengan yang kedua. Klausa yang satu disebut dengan klausa atasan (bebas) dan yang kedua disebut klausa bawahan (terikat). Kedua klausa ini biasanya dihubungkan dengan konjungsi subordinatif, antara lain ketika, kalau, meskipun, dan lain-lain. Contoh: - Afi mendengar musik kalau ayah sedang tidak dirumah. Walaupun hari hujan, dia tetap pergi ke sekolah. Kalimat majemuk kompleks terdiri dari tiga klausa atau lebih. Ketiga klausa itu ada yang dihubungkan secara koordinatif dan ada pula yang dihubungkan secara subordinatif. Dengan kata lain, kalimat majemuk kompleks adalah gabungan kalimat majemuk koordinatif dan kalimat majemuk subordinatif, sehingga ada yang menamakan kalimat majemuk kompleks ini dengan kalimat majemuk campuran. Contoh: - - Arry membaca Alqur‟an dan Dilla menonton televisi karena PRny telah selesai. Adam mengambil daun dan menutupkan ketubuhnya untuk menggantikan pakaiannya yang telah hilang tiba-tiba karena ia memakan buah khuldi. Kalimat mayor adalah kalimat yang memiliki unsur-unsur yang lengkap sebagai sebuah kalimat. Contoh: - Neneng membagikan uang kepada mahasiswa. Amerika dan sekutunya semakin arogan. Kalau kalimat mayor memiliki unsur yang lengkap, kalimat minor sesuai dengan namanya, tidak memiliki unsur yang lengkap untuk menjadi sebuah kalimat. Namun tidak berarti bahwa kalimat minor tidak dapat 100 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 dipahami. Kalimat minor dapat dimengerti karena tesedia konteks yang diketahui oleh pendengar maupun pembicara sebagai pendukung dalam menciptakan makna. Contoh: - Di Universitas Negeri Jakarta. Duduklah dengan tenang. Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal atau kalimat yang mempunyai predikat kata atau frasa verbal. Kalimat non-verbal adalah kalimat yang mempunyai predikat bukan kata atau frase verbal: bisa nominal, ajektifal, adverbial, atau juga numeralia. Contoh kalimat verbal: - Pada hari libur saya pergi ke Bukittinggi. Aku bangun pagi sekali Contoh kalimat non-verbal adalah: - Medan adalah kampungku. - Airnya dingin sekali. Kalimat bebas adalah kalimat yang dapat berdiri sebagai ujaran lengkap tanpa terikat dengan kalimat lain. Kalimat ini dapat memulai suatu paragraph atau wacana. Sedangkan kalimat terikat tidak mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap dan biasa mempunyai tanda ketergantungan, seperti penanda rangkaian, penunjukan, dan penanda anaforis. Contoh: Bahasa Minang di pintu gerbang kepunahan (1). Jumlah penuturnya semakin sedikit (2). Penutur aslinya yang sekarang tidak menggunakan bahasa Minang dalam keluarga (3). Mereka merasa bangga kalau anakanak tidak menggunakan bahasa Minang (4). Kalimat (1) adalah kalimat bebas dan dapat berdiri sendiri tanpa keberadaan kalimat (2), (3), dan (4). Kalimat (2), (3), dan (4) adalah kalimat terikat karena tidak dapat berdiri sendiri dan harus bersandar kepada kalimat (1). Kalimat (2) umpamanya tidak dapat berdiri sendiri karena morfem –nya merujuk kepada bahasa Minang. Dan begitu seterusnya yang merujuk kepada kata kunci ke(punah)an. 3. Perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan Beberapa referensi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan. Coulmas (2005: 36-37) menyatakan bahwa lakilaki dan perempuan memilih kosa kata yang berbeda karena secara alami mereka memang berbeda. Kata-kata tertentu hanya ditemukan pada percakapan sesama laki-laki dan sebaliknya didapati bahwa kata-kata tertentu sering digunakan olah perempuan. Schiffrin (1994: 115-27) misalnya menyatakan bahwa diet adalah kata yang sering diidentikan dengan perempuan karena diet dilakukan untuk tampak lebih langsing yang dianggap sebagai lambang kecantikan. Tannen (1990) dalam Scollon dan Scollon (1995: 9) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda memang sudah merupakan bawaan atau alami. Bahasa hanya alat yang digunakan untuk menyampaikan ide atau pikiran kepada lawan tutur. Ia mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan dalam budaya yang sama, bahkan dalam satu keluarga, sering salah pengertian. Seorang suami karena ingin menyenangkan hati istri dalam hari ulang tahunnya, menanyakan apa yang paling diinginkan pada hari ulang tahunnya. Istrinya bukannya merasa senang tapi malah merasa bahwa suaminya selama ini belum begitu memperhatikan dirinya sehingga tidak mengetahui kemauannya. Dia menginginkan bahwa suami mengetahui itu tanpa harus ditanyakan. Sebaliknya, suami menanyakan itu agar dapat membelikan istrinya sesuatu yang paling diinginkan. Levine dan Adelman (1993: 69) mengemukakan bahwa perempuan Amerika secara tradisional mempunyai cara tak-langsung (lebih sopan dan 101 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 lembut) dibanding laki-laki dalam melakukan permohonan, menyampaikan kritik, dan menyampaikan pendapat. Namun, kalau membahas masalah yang berkenaan dengan emosi dan perasaan, perempuan lebih bersifat langsung. Kemudian timbul perubahan dan perempuan di tempat kerja bersaha meniru laki-laki dalam melakukan permohonan, menyampaikan kritik, dan menyampaikan pendapat. Tannen (1991) dalam Scollon dan Scollon (1995: 232) memperhatikan suasana diskusi kelas dalam kuliah yang dipimpin seorang dosen. Hasil observasi menunjukkan bahwa dalam diskusi kelas, laki-laki sering mendominasi pembicaraan sedangkan perempuan tidak begitu berpartisipasi. Tapi, ketika diskusi dalam kelompok yang lebih kecil, mahasiswa perempuan yang tidak biasa berbicarapun menjadi aktif berbicara. Sejalan dengan itu, Holmes (1994: 164) menyatakan bahwa bentuk bahasa yang digunakan laki-laki dan perempuan berbeda dalam semua masyarakat tutur. Perempuan, misalnya, secara linguistik lebih sopan dari laki-laki. Bahasa pria dianggap lebih alami dibanding dengan bahasa perempuan. Karena itu, beberapa peneliti lebih cenderung menggunakan pria sebagai sample penelitian. Multamia dan Basuki (1989) dalam Sumarsono dan Pranata, (2002: 98) mengemukakan beberapa pendapat para ahli dialektologi “tradisional” tentang pengambilan sample sebagai informan. Dalam tulisan mereka dinyatakan bahwa Kurath (1939: 43) berpedapat bahwa informan itu harus laki-laki karena lebih alami dalam berbahasa, sedangkan perempuan lebih sadar diri dan sadar kelas dalam berbicara. Perempuan sering “hiperkorek” dan berusaha menggunakan bahasa baku (received pronunciation) sehingga bahasa mereka kurang menggambarkan yang sebenarnya yang diinginkan peneliti. Perempuan beranggapan bahwa penggunaan baku dapat mengangkat derajatnya yang selama ini dianggap sebagai warga negara kelas dua. Umumnya laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan kekuasaan yang lebih besar dari perempuan, namun dalam berbahasa, perempuan lebih sering menggunakan bahasa standar dan laki-laki lebih sering menggunakan bahasa tidak standar (Coulmas, 2005). Sejalan dengan itu, Eckert dan Mc Connel - Ginet (2003) mengemukakan bahwa walaupun umumnya perempuan berkedudukan lebih rendah dalam masyarakat, namun mereka menggunakan bahasa yang lebih standar dengan tujuan agar dihargai dan disegani oleh masyarakat, melindungi muka (face)nya, dan untuk menghindari gangguan atau tindakan semena-mena dari masyarakat. Perempuan menggunakan bahasa standar dalam masyarakat terutama dalam kegiatan-kegiatan yang lebih formal, seperti inteaksi di tempat kerja (Chamber, 1995). Wardaugh (1998: 316-7) menyatakan bahwa dalam percakapan yang melibatkan laki-laki dan perempuan, banyak peneliti sependapat bahwa lakilaki lebih banya berbicara dibandingkan dengan perempuan. Kalau laki-laki berbicara dengan sesama laki-laki, pembicaraan terfokus kepada kompetisi, ejekan, olahraga, agresi, dan melakukan sesuatu. Sedangkan, kalau perempuan berbicara sesama perempuan, pembicaraan berkisar tentang diri, perasaan, afiliasi dengan yang lain, rumah, dan keluarga. Kalau percakapaan antar jenis kelamin, laki-laki berbicara kurang agresif dan kompetitif dan perempuan mengurangi pembicaraannya tentang rumah dan keluarga. Perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan secara lebih rinci dikemukakan oleh Sumarsono dan Pranata (2002:101-10). Dia mengemukakan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam banyak hal, seperti, gerak anggota badan dan ekspresi wajah, suara dan intonasi, fonem, dan ragam bahasa (kasus Hindia Barat). Di beberapa 102 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 tempat ditemukan bahwa terdapat perbedaan kata yang dipakai laki-laki dan perempuan karena masalah tabu dan tak tabu (kasus Indonesioa dan Zulu Afrika), sistem kekerabatan (kasus Indian Amerika di Bolivia), konservatif dan inovatif (kasus bahasa Indian Amerika) dan perubahan bentuk kata (kasus bahasa Chukchi, Siberia), dan perempuan juga dinyatakan cenderung menggunakan bahasa ragam tinggi dan laki-laki menggunakan ragam vernacular yang untuk lebih menunjukkan kejantanan. Sejalan dengan itu, Sakof juga menyatakan bahwa laki-laki menggunakan lebih banyak bahasa yang tidak standar (vernacular) untuk menunjukkan kemaskulinan. Kenapa bahasa laki-laki dan perempuan berbeda? Perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan juga disebabkan oleh pengaruh dari budaya. Sumarsono dan Pranata (2002:113) mengemukakan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh gejala sosial yang erat hubungannya dengan sikap sosial. Perbedaan itu sudah dimulai sejak lahir. Coulmas (2005) menyatakan bahwa perempuan diberi nama, gelar, dan panggilan yang berbeda dari laki-laki. Di Indonesia, misalnya, laki-laki dan perempuan dapat ditebak dari nama yang digunakan. Ketika mendengar nama Supeno, orang akan menebak bahwa yang punya nama adalah laki-laki. Sementara kalau ada yang bernama Supinah maka orang dengan mudah dapat menebak bahwa yang mempunyai nama itu adalah seorang perempuan. Selanjutnya, perempuan lebih senang disapa dengan nama pertama dan dengan panggilan sayang, manis, kasih, dan sejenisnya. Dan perempuan juga senang memaggil teman intimnya dengan sebutan tersebut baik teman laki-laki maupun teman perempuan. Tetapi, sebaliknya laki-laki tidak menggunakan panggilan tersebut untuk sesama laki-laki. Penelitian tentang bahasa lakilaki dan perempuan di Indoneisa masih sedikit. Di antara yang sedikit itu (Sumarsono dan Pranata, 2002:125-126) adalah Lauder dan Suhardi (1988) tentang sikap kebahasaan kaum wanita di Jakarta. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa sikap kebahasaan kaum perempuan cenderung mendua. Terdapat pertentangan sikap dalam diri perempuan. Pada satu sisi dia tidak begitu menganggap penting penguasaan bahasa ibu, tetapi pada sisi lain dia lebih banyak menjadi anggota perkumpulan sosial yang bernuansa bahasa ibu (bahasa daerah). C. METODOLOGI Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Data yang dikumpulkan dideskripsikan sebagaimana adanya kemudian dianalisis dan akhirnya diambil simpulan dari hasil analisis terhadap data yang ada. Data penelitian ini adalah jumlah kata, jumlah kalimat, jenis kalimat, penggunaan penggunaan huruf kapital. Data tersebut diambil dari hasil karangan yang ditulis siswa kelas V Sekolah Dasar No. 09 Air Tawar Barat Padang Sumatera Barat pada tanggal 4 Juni 2007. Ada 27 orang siswa kelas V saat itu dan tiga di antaranya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sumber data. Satu di antaranya (laki-laki) jauh lebih tua dari rerata teman sekelasnya karena tinggal kelas beberapa kali pada tingkatan sebelumnya, satu (perempuan) mempunyai karangan yang terlalu pendek (hanya satu paragraf pendek), dan yang satu lagi (perempuan) tidak mencantumkan tanggal lahir sehingga dikhawatirkan tidak dapat mewakili bahasa siswa perempuan di kelasnya. Dari 24 karangan yang tinggal ternyata jumlahnya berimbang antara laki-laki dan perempuan, yakni, 12 karangan dari siswa laki-laki dan 12 karangan dari siswa perempuan. Data karangan ini dikumpulkan pada tanggal 4 Juni 2006 melalui guru masing-masing yang dikoordinatori oleh Ibuk Arniati, S.Pd, guru kelas IV Sekolah Dasar Negeri No. 09 Air 103 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 Tawar Barat Padang. Hasil karangan tersebut dikumpulkan dan dikirimkan ke alamat penulis melalui jasa pos. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah sebuah instruksi yang berbunyi: Buatlah sebuah karangan dengan judul “Pengalaman Selama Libur”. Semua siswa diharuskan menulis karangan dengan judul yang sama agar dapat melihat bahasa mereka dalam membicarakan topik yang sama. Waktu yang disediakan adalah 2 x 35 menit (1 x tatap muka). Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam menganalisis data yang telah terkumpul. Pertama, data yang ada diteliti untuk menentukan karangan yang layak dan tidak layak untuk dijadikan sumber data. Pada tahap ini telah dikeluarkan tiga karangan dengan alasan yang dikemukakan di atas. Kedua, semua karangan diketik dengan komputer sesuai dengan aslinya. Jumlah baris diketik sesuai dengan jumlah baris yang ada dalam karangan asli, penggunaan huruf kapital sesuai dengan tulisan asli, dan penggunaan tanda baca juga diketikkan sesuai dengan tanda baca yang ditemukan dalam karangan asli. Ketiga, karangan yang sudah diketik dipisahkan menjadi kalimatkalimat. Perlu disampaikan di sini, bahwa keputusan menentukan kalimat atau bukan kalimat ditentukan berdasarkan dua hal. Pertama kalau siswa telah menempatkan tanda titik (.) di akhir kata, itu sudah dianggap satu kalimat. Kalau kalimat sudah harus berhenti tetapi siswa masih meneruskan tanpa menandai dengan titik sedangkan idenya sudah lain, maka diputuskan memenggal kalimat tersebut kepada lebih dari satu kalimat. Keempat, jumlah kata yang ditemukan pada masing-masing kalimat yang telah ditetapkan dihitung dengan manual. Pertama kali penghitungan jumlah kata dilakukan dengan komputer, tetapi setelah dihitung ulang dengan manual ternyata penghitungan yang dilakukan oleh komputer tidak akurat. Hal ini bukan disebabkan karena kesalahan komputer, tetapi ternyata, sesuai dengan aslinya, ada kata yang ditulis siswa dengan terpisah dan komputer menghitungnyas sesuai dengan pecahan tersebut. Misalnya, kata pan tai, sebenarnya hanya terdiri dari satu kata yaitu, pantai, tetapi karena siswa memisahkannya, maka komputer menghitung dua kata. Jadi kemudian diputuskan untuk menghitung secara manual. D. HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini dikemukakan hasil yang diperoleh setelah menganalisis semua karangan siswa, baik lakilaki maupun perempuan. Hasil analisis tersebut dideskripsikan sesuai dengan urutan pertanyaan pada bagian I. 1. Jumlah kata yang digunakan Hasil penghitungan terhadap jumlah kata yang digunakan menunjukkan bahwa jumlah kata yang digunakan siswa laki-laki berbeda dari jumlah kata yang digunakan siswa perempuan. Perbedaan tersebut dalam dilihat pada tabel berikut. 104 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 Tabel 1 Jumlah dan persentase kata yang digunakan siswa laki-laki dan perempuan Siswa No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Jml. Rerata Jml. kata 396 275 552 500 305 311 237 422 417 375 375 339 4504 375 Tabel di atas menunjukkan bahwa secara rerata jumlah kata yang digunakan siswa perempuan lebih banyak dari jumlah kata yang digunakan siswa laki-laki (211: 164). Karangan terpendek siswa laki-laki menggunakan 84 kata dan karangan terpendek siswa perempuan 141 kata. Karangan terpanjang siswa menggunakan sebanyak 256 kata dan karangan terpanjang perempuan menggunakan sebanyak 335 kata. Ini berarti bahwa rerata siswa perempuan lebih mampu memproduksi kata-kata dalam jumlah yang lebih ke dalam karangan dibandingkan dengan siswa laki-laki. 2. Jumlah kata kerja dan jenis kata kerja yang digunakan Jumlah kata kerja dan jenis kata kerja yang digunakan oleh siswa lakilaki dan siswa perempuan kelas V SD 09 Air Tawar Barat Padang ternyata berbeda. Untuk mengetahui jumlah kata kerja yang digunakan, semua kata kerja yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan dalam karangan yang mereka Laki-laki (%) 230 134 217 256 131 145 84 177 150 170 118 155 1967 (44 %) 164 (44 %) Perempuan (%) 166 141 335 244 174 166 153 245 267 205 257 184 2537 (56 %) 211 (56 %) buat dihitung secara manual dan kemudian dijumlahkan. Untuk mengetahui jenis kata kerja yang digunakan oleh siswa laki-laki dan oleh siswa perempuan dilakukan dengan memberikan angka 1 untuk laki-laki kalau hanya digunakan oleh laki-laki dan 0 untuk perempuan kalau tidak digunakan oleh perempuan dan sebaliknya. Kalau satu kata kerja digunakan oleh laki-laki dan perempuan, maka masing-masing diberi angka 1. Persentase jumlah kata kerja yang digunakan siswa laki-laki dan siswa perempuan diperoleh dengan membagi jumlah kata kerja yang digunakan dengan jumlah semua kata yang digunakan dan dikalikan 100. Sementara untuk mendapatkan persentase jenis kata kerja yang digunakan, jumlah jenis kata kerja yang digunakan dibagi jenis semua kata kerja dan dikalikan 100. Perbedaan jumlah kata kerja dan jenis kata kerja yang digunakan siswa laki-laki dan siswa perempuan dapat dilihat pada tabel berikut. 105 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 Tabel 2 Jumlah Kata Kerja dan Jenis Kata Kerja Semua 454 Jumlah Kata Kerja Laki-Laki Perempuan (%) (%) 202 (44%) 252 (56%) Dari tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa jumlah kata kerja yang digunakan oleh perempuan dalam karangan “Kegiatan Selama Libur” lebih banyak dari kata kerja yang digunakan oleh siswa laki-laki. Terdapat sebanyak 454 kata kerja yang digunakan oleh siswa dalam karangan mereka. Sebanyak 252 (56 %) kata kerja digunakan oleh siswa perempuan dan sebanyak 202 (44%) kata kerja digunakan oleh siwa laki-laki. Namun kalau dihitung jenis kata kerja yang digunakan, ternyata siswa laki-laki menggunakan lebih banyak jenis kata kerja dibandingkan dengan siswa perempuan. Dari 58 jenis kata kerja yang digunakan, ternyata laki-laki menggunakan 49 kata kerja (84%) dan perempuan menggunakan 33 kata kerja (57%). Ini berarti bahwa siswa perem- Jenis Kata Kerja Semua Laki-Laki Perempuan (%) (%) 58 49 (84%) 33 (57 %) puan lebih sering mengulang pemakaian kata kerja yang sama dibanding dengan siswa laki-laki. Kemudian, dapat juga disampaikan bahwa beberapa siswa perempuan menggunakan kata kerja yang sama dalam karangan mereka. Siswa laki-laki juga mengulangi penggunaan kata kerja yang sama dan beberapa siswa laki-laki juga menggunakan kata kerja yang sama, tetapi jumlahnya tidak sebanyak siswa perem-puan. 3. Jumlah kalimat serta jumlah kalimat verbal dan nonverbal Jumlah kalimat yang digunakan oleh siswa perempuan dalam karangan mereka melebihi jumlah kalimat yang digunakan oleh siswa laki-laki. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3 Jumlah kalimat dan jumlah kalimat verbal dan nonverbal siswa laki-laki dan siswa perempuan Siswa No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Laki-Laki V N Jml 19 7 26 11 3 14 14 8 22 16 8 24 14 3 17 15 3 18 9 2 11 20 4 24 17 1 18 17 3 20 11 4 15 20 1 21 183 47 230 * V = kalimat verbal N = kalimat non-verbal Perempuan N Jml 17 5 22 10 3 13 25 10 35 17 6 23 12 5 17 18 4 22 13 3 16 26 5 31 26 7 33 22 6 28 20 7 27 24 3 27 230 64 294 Jml = jumlah V 106 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 5 Tahun 3 Desember 2009 Tabel di atas menunjukkan bahwa, baik siswa laki-laki maupun siswa perempuan lebih banyak menggunakan kalimat verbal dibanding dengan kalimat non-verbal. Dari 230 kalimat yang digunakan oleh siswa lakilaki, 183 di antaranya adalah kalimat verbal dan hanya 47 kalimat yang kalimat non-verbal. Dari 294 kalimat yang digunakan siswa perempuan, 230 di antaranya adalah kalimat verbal dan hanya 64 kalimat yang kalimat nonverbal. Dari segi jumlah, kalimat siswa perempuan lebih banyak dari kalimat siswa laki-laki. Total jumlah kalimat siswa perempuan adalah 294 kalimat sedangkan kalimat siswa laki-laki adalah 230 kalimat. Dan kalau ditinjau dari jenis kalimat (kalimat verbal dan nonverbal) juga didapati bahwa jumlah kalimat verbal siswa perempuan juga melebihi (230 kalimat) kalimat laki-laki (183 kalimat). Tambahan lagi, jumlah kalimat non-verbal siswa perempuan juga melebihi (64 kalimat) jumlah kalimat non-verbal siswa laki-laki (47 kalimat). 4. Penggunaan kalimat tunggal dan kalimat majemuk Tidak berbeda dengan temuan di atas, hasil penghitungan terhadap jumlah kalimat tunggal dan kalimat majemuk yang digunakan siswa laki-laki dan perempuan juga berbeda. Perbedaan itu dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4 Jumlah kalimat tunggal dan kalimat majemuk siswa laki-laki dan siswa perempuan Siswa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jml Tunggal 19 11 14 15 14 15 9 20 17 17 11 20 182 Laki-laki Majemuk 7 3 8 9 3 3 2 4 1 3 4 1 48 Jml 26 14 22 24 17 18 11 24 18 20 15 21 230 Dari tabel di atas terlihat bahwa baik siswa laki-laki, maupun siswa perempuan lebih banyak menggunakan kalimat tunggal dari pada kalimat majemuk dan ini dapat dipahami karena mereka baru kelas V Sekolah Dasar yang berumur sekitar 11 tahun. Dari 230 jumlah kalimat yang dihasilkan siswa laki-laki, 182 di antaranya adalah adalah kalimat tunggal dan hanya 48 kalimat yang kalimat majemuk. Dari 289 kalimat yang Siswa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Perempuan Tunggal Majemuk 17 5 10 3 15 10 17 6 17 5 18 4 13 3 26 5 26 7 22 6 20 7 24 3 225 64 Jml 22 13 25 23 22 22 16 31 33 28 27 27 289 digunakan siswa perempuan, 225 di antaranya adalah kalimat tunggal dan hanya 64 kalimat yang kalimat majemuk. Kalau dibandingkan jumlah kalimat tunggal dan kalimat majemuk siswa perempuan dan siswal laki-laki, ternyata jumlah kalimat tunggal siswa perempuan juga melebihi (225 kalimat) jumlah kalimat tunggal laki-laki (182 kalimat). Dan jumlah kalimat nominal siswa perempuan juga melebihi (64 kalimat) 107 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 jumlah kalimat siswa laki-laki (48 kalimat). dengan huruf kapital, tetapi siswa tidak melakukannya, maka ditulis dengan huruf kapital kurang. Sebaliknya, kalau seharusnya tidak menggunakan huruf kapital, tapi siswa menggunakan huruf kapital, maka ditulis sebagai huruf kapital lebih. Sementara untuk penggunaan tanda baca, yang diamati hanya penggunaan titik dan koma. Sementara yang lain diabaikan karena kedua tanda baca itu yang dominan dalam menulis suatu karangan. Untuk tanda baca hanya dilakukan penghitungan dengan menjumlahkan pelanggaran yang dilakukan terhadap kedua tanda baca tersebut. Secara lebih lengkap dapat dilihat tabel berikut. 5. Penggunaan huruf kapital dan tanda baca Kesalahan yang menonjol dalam karangan siswa kelas V SD ini adalah penggunaan huruf kapital. Banyak sekali ditemui bahwa siswa cenderung menggunakan huruf kapital untuk huruf tertentu yang berada pada posisi awal kata. Misalnya, kata yang dimulai dengan huruf „s‟ cenderung ditulis dengan huru kapital. Sementara banyak permulaan kalimat dan nama kota tidak ditulis dengan huruf kapital. Masalah penggunaan huruf kapital dalam tulisan ini dikelompokkan ke dalam dua kelompok tersebut. Kalau seharusnya ditulis Tabel 5 Penggunaan huruf kapital dan tanda baca Siswa laki-laki dan siswa perempuan Siswa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jml Jml Siswa Laki-laki Huruf Kapital Kurang Lebih 14 27 9 24 7 25 7 6 9 32 19 22 4 4 19 25 15 7 14 17 4 4 27 1 148 194 342 Tanda baca 7 10 15 10 15 7 18 4 11 8 14 119 Tabel di atas menunjukkan bahwa dari segi jumlah kesalahan, tidak terdapat begitu besar perbedaan antaran kesalahan yang dilakukan siswa laki-laki dan siswa perempuan, baik dalam 119 Siswa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Siswa Perempuan Huruf Kapital Tanda Kurang Lebih baca 14 4 4 5 3 19 19 10 1 4 3 4 2 26 5 22 12 5 24 1 18 3 19 8 43 16 21 19 8 8 31 1 11 30 19 120 218 104 338 104 penggunaan huruf kapital maupun penggunaan tandabaca. Siswa perempuan lebih sedikit melakukan kesalahan dalam penggunaan huruf kapital dan tandabaca. Namun kalau dihubungkan 108 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 dengan jumlah kalimat dan jumlah kata yang digunakan tentu perbedaannya menjadi cukup signifikan karena jumlah kalimat dan jumlah kata yang digunakan siswa perempuan lebih banyak dari jumlah kata yang digunakan oleh siswa laki-laki. Data ini dapat memberikan pemahaman bahwa ternyata bahasa yang digunakan siswa perempuan memang lebih standar dibanding dengan bahasa yang digunakan siswa laki-laki. Dari analisis terhadap data yang dikumpulkan bahwa siswa perempuan menggunakan lebih banyak jumlah kata, jumlah kata kerja, jumlah kalimat (termasuk kalimat verbal dan non-verbal, tunggal dan jamak) dibandingkan siswa laki-laki. Oleh karena itu, karangan siswa perempuan lebih panjang dari karangan siswa laki-laki. Dalam proses penulisan karangan didapati bahwa siswa perempuan berusaha menghabiskan waktu yang disediakan secara maksimal. Sedangkan siswa laki-laki telah banyak yang selesai jauh sebelum waktu yang disediakan berakhir dan ingin cepat menyerahkan karangannya. Walaupun karangan siswa perempuan lebih panjang, ternyata siswa laki-laki menggunakan lebih banyak jenis kata kerja dibandingkan dengan siswa perempuan. Dari segi penggunaan huruf kapital dan tandabaca, baik lakilaki maupun perempuan mengalami masalah. Namun kalau dibandingkan keduanya, siswa laki-laki lebih banyak melakukan kesalahan dalam penulisan huruf kapital dan tanda baca. Hal ini memungkinkan untuk menarik kesimpulan bahwa bahasa tulis siswa perempuan SD 09 Air Tawar Barat Padang lebih baik dari bahasa tulis siswa laki-laki. 1. Siswa perempuan menggunakan lebih banyak kata dalam mengungkapkan kegiatan selama libur dibandingkan dengan siswa laki-laki. 2. Siswa perempuan menggunakan lebih banyak kata kerja dalam mengungkapkan kegiatan selama libur dibandingkan dengan siswa laki-laki. 3. Siswa laki-laki menggunakan lebih banyak jenis kata kerja dalam mengungkapkan kegiatan selama libur dibandingkan dengan siswa laki-laki. 4. Siswa perempuan menggunakan lebih banyak kalimat dibandingkan dengan siswa laki-laki. 5. Siswa perempuan menggunakan lebih banyak kalimat verbal dan kalimat non-verbal dibandingkan dengan siswa laki-laki. 6. Siswa perempuan menggunakan lebih banyak kalimat tunggal dan kalimat majemuk dibandingkan dengan siswa laki-laki. 7. Bahasa tulis perempuan lebih baik dari bahasa tulis laki-laki. Studi ini diakui belum dapat mengupas secara lebih rinci berbagai perbedaan antara bahasa siswa laki-laki dan siswa perempuan yang didasarkan pada karangan siswa. Untuk itu, suatu studi yang agak mendalam diyakini akan sangat bermanfaat sehingga semua perbedaan antara bahasa tulis siswa lakilaki dan perempuan dapat terungkap secara jelas. E. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan yang dapat diambil dari analisis data yang diambil dalam studi ini diarahkan kepada menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada permasalahan. Dari bahasan pada bab III dapat disimpulkan: 109 Lingua Didaktika Volume 3 Edisi 1 Tahun 3 Desember 2009 DAFTAR PUSTAKA Bucholtz, M. dalam Duranti A (Ed.) Key Terms in Language and Culture. Massachusetts – Oxford: Blackwell Publishers Inc. Chaer, A. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sumarsono dan Partana P. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA (Lembaga Studi Agama, Budaya, dan Perdamaian. Wardaugh, Ronald. 1998. An Introduction to Sociolinguistics. 3rd Ed. Oxford dan Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd. Chambers, J.K. 1995. Sociolinguistic Theory: Linguistic Variation and Its Social Significance. Oxford: Basil Blackwell. Coulmas, F. 2005.Sociolinguistics: The Study of Speakers’ Choices. New York: Cambridge University Press. Gee, J. P. 1993. An Introduction to Human Language: Fundamental Concepts in Linguistics. New Jersey: Prentice Hall. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London – New York: Longman Group UK Limited. Levine, Deena R. dan Adelman, Mara B. 1993. Beyond Language: Crosscultural Communication. New York: Prentice Hall Inc. Schiffrin, Deborah. 1994. Approaches to Discourse. Massachusetts – Oxford: Balckwell Publishers. Scollon, Ron. dan Scollon. Suzanne W. 1995. Intercultural Communication. Massachusetts: Blackwell Publishers. Sihombing, Leberty P. dan Kencono, Joko. 2005. Sintaksis dalam Kushartanti, Yuwono, Untung, dan Lauder, Multamia (Editor). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistiks). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 110