6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deksametason Deksametason merupakan salah satu obat golongan kortokosteroid sintetik yang berfungsi sebagai imunosupresan dan anti-inflamasi. Deksametason (16 alpha methyl, 9 alpha fluoro-prednisolone) dihasilkan dengan penggandengan gugus methyl pada karbon 16, dalam posisi alpha (Kusumaadhi dan Ismail, 2010). Kortikosteroid adalah suatu hormon yang dibuat oleh bagian korteks (luar) dari kelenjar adrenal. Kortikosteroid sintetik diambil dari asam folat ternak atau steroid sapogenin yang ditemukan pada tumbuhan (Katzung, 2002). Deksametason digolongkan ke dalam kelompok glukokortikoid yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat dan lemak. Hasil dari sintetis deksametason memiliki dua derivat yaitu deksametason asetat dan deksametason natrium fosfat. Deksametason bertindak sebagai anti-inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid serta menurunkan kerja eosinofil. Deksametason memiliki efek farmakologis yang luas dan dapat digunakan untuk berbagai macam kondisi penyakit sehingga kerap disebut sebagai obat “dewa” (Ridho dan Ismail, 2010). Seperti obat sintetis lainnya, deksametason memiliki beberapa efek toksik yang merugikan bagi tubuh seperti pada ginjal yang merupakan organ ekskresi utama. Penggunaan deksametason yang berlebihan bisa menjadi faktor profibrotik pada chronic inflammatory kidney disease yang terjadi pada neonatal (Kimura et al., 6 7 2009). Deksametason juga dapat mengakibatkan perubahan abnormal struktur histologis tubulus ginjal (Ridho dan Ismail, 2010). Deksametason dapat menyebabkan peningkatan osmolaritas permeabilitas dari membran brush border ginjal. Selain itu deksametason dapat menimbulkan retensi natrium yang diakibatkan kekurangan kalium (Katzung, 2002). Retensi cairan tubuh yang diakibatkan dari retensi natrium yang berlebihan dan kekurangan ion kalium dapat mengakibatkan transport aktif ion di dalam ginjal. Perubahan transpor aktif ion dapat mengakibatkan perubahan muatan listrik permukaan sel epitel tubulus, yang merupakan salah satu faktor predisposisi dari kerusakan tubulus akibat toksik atau nekrosis tubular akut (Kumar et al., 2005). Deksametason dapat juga menimbulkan nefrokalsinosis melalui peningkatan kadar kalsium plasma (Kumar et al., 2005). Deposit kalsium pada ginjal terjadi pada kondisi hiperkalsemi karena proses kalsifikasi metastatik. Proses nefrokalsinosis dapat menimbulkan obstruksi tubular yang dapat menimbulkan iskemi pada tubulus, sehigga memicu terjadinya degenerasi pada ginjal (Ridho dan Ismail, 2010). 2.2 Vitamin E Vitamin merupakan subtansi esensial untuk proses metabolisme normal dalam tubuh. Vitamin E adalah salah satu vitamin yang larut dalam lemak dan berfungsi sebagai antioksidan. Secara struktur kimiawi vitamin E memiliki 8 isomer, yaitu 7 8 dikelompokkan dalam 4 tokoferol (α, β, γ, δ) dan 4 tokotrienol (α, β, γ, δ) (BrigeliusFlohe dan Treber, 1999). Suplemen vitamin E di alam yang terbanyak adalah dalam bentuk α-tokoferol (Winarsi, 2007). Gambar 2. Struktur vitamin E. Keterangan A. Kelompok tocopherol. B. Kelompok tocotrienol (Brigelius-Flohe, 1999) Vitamin E telah diketahui sebagai antioksidan yang mampu mempertahankan integritas membran sel. Senyawa ini juga dilaporkan bekerja sebagai scavenger radikal bebas oksigen, peroksi lipid, dan oksigen singlet (Winarsi, 2007). Sebagai antioksidan, vitamin E berfungsi sebagai donor ion hidrogen yang mampu mengubah radikal peroksil menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak (Wardlaw dan Jeffrey, 2007). 8 9 Vitamin E merupakan salah satu zat organik kompleks yang dibutuhkan tubuh dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu, harus didatangkan dari luar tubuh melalui makanan dan minuman. Aktivitas vitamin E sebagai antioksidan dapat dibuktikan dengan adanya perpindahan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur cincin ke radikal bebas yang mengakibatkan terbentuknya ikatan radikal bebas tersebut (Almatsier, 2001). Vitamin E stabil pada pemanasan, namun akan rusak bila pemanasan terlalu tinggi. Vitamin E bersifat basa jika tidak ada oksigen dan tidak terpengaruh oleh asam pada suhu 100° C. Vitamin E diserap secara difusi pasif selanjutnya di dalam dinding usus digabungkan dengan kilomikron (lipoprotein) yang kemudian diserap sistem limfatik. Vitamin E diabsorpsi baik melalui saluran pencernaan. Betalipoprotein mengikat vitamin E dalam darah dan mendistribusikan ke semua jaringan. Ekskresi vitamin sebagian besar dilakukan dalam empedu secara lambat dan sisanya diekskresi melalui urin sebagai glukoronida dari asam tokoferonat atau metabolit lain (Dewoto, 2007 ; Kamiensky dan Keogh 2006). Menurut recommended dietary allowance (RDA), kebutuhan harian vitamin E pada perempuan dan laki-laki dewasa adalah 15 mg (22,4 IU) (Johnson et al., 2003). Dosis maksimal yang masih bisa ditoleransi adalah 1000 mg/hari (Padayatti et al., 2004). Pasien kanker membutuhkan vitamin E hingga 400 mg/hari untuk meningkakan imunitas tubuh dalam melawan radikal bebas (Aminullah et al., 2012). 9 10 2.3 Tikus Putih Tikus putih dengan nama ilmiah Rattus novergicus merupakan hewan coba yang kerap digunakan sebagai sarana penelitian biomedis. Kaitannya dengan biomedis, tikus putih digunakan sebagai model penyakit manusia dalam hal genetika. Hal tersebut karena kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi dan metabolisme dari tikus putih mirip dengan manusia. Tikus putih merupakan hewan nokturnal dan sosial. Habitat yang cocok untuk tikus putih memiliki temperatur berkisar 19°C hingga 23°C (Wolfenshon dan Lloyd, 2013). Menurut Sugiyanto (1995), taksonomi dari tikus putih adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Klas Ordo Famili Subfamili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Mamalia : Rodensia : Muridae : Murinae : Rattus : novergicus Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi. Tikus putih tidak terlalu bersifat fotofobik seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktifitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya. Ada dua sifat yang membedakan tikus putih dengan hewan percobaan yang lain, yaitu bahwa tikus putih tidak dapat muntah karena sruktur anatomi yang tidak lazim di tempat esophagus bermuara ke dalam lambung. Selain itu, tikus putih tidak mempunyai kantung empedu (Mangkoewidjojo, 1998). Data fisiologis tikus putih (Rattus novergicus) dapat dilihat pada Tabel 1. 10 11 Tabel 1. Data Fisiologis Tikus Putih (Rattus novergicus) Nilai Fisiologis Berat tikus dewasa Kadar Jantan 450 - 520g Betina 250 - 300 g 5 - 10g/100g berat badan 10 ml/100 g berat badan 3 - 4 tahun 250 - 450 kali / menit 36°C - 40°C Kebutuhan makan Kebutuhan minum Jangka hidup Detak Jantung Temperatur rektal Tekanan Darah: Sistol Diastol Laju pernafasan Serum protein (g/dl) Albumin (g/dl) Globulin (g/dl) Glukosa (g/dl) Nitrogen urea darah (mg/dl) Kreatinin (mg/dl) Total bilirubin (mg/dl) Kolesterol (mg/dl) Sumber: Wolfenshon dan Lloyd (2013) 84 – 134 mmHg 60 mmHg 70 – 115 kali / menit 5.6 - 7.6 3.8 - 4.8 1.8 - 3 50 - 135 15 - 21 0.2 - 0.8 0.2 - 0.55 40 – 130 1.4 Ginjal Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan berkembang untuk beberapa fungsi, diantaranya: ekskresi produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam dan basa, sekresi berbagai hormon serta mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstraseluler dalam batas-batas normal (Cotran et al., 2007; Wilson, 2005). Ginjal merupakan organ ekskresi utama pada vertebrata yang berbentuk mirip kacang. Ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan 11 12 mengontrol keseimbangan asam basa melalui pengeluaran bersama dengan air dalam bentuk urin (Guyton dan Hall, 1997). Korteks ginjal terdiri dari pars konvulata dan pars radiata. Pars konvulata/kontorta tersusun dari korpuskuli ginjal dan tubuli yang membentuk labirin kortikal. Pars radiata tersusun dari bagian-bagian lurus (segmen lurus tubulus proksimal dan segmen lurus tubulus distal) dari nefron dan duktus koligens. Massa jaringan korteks yang mengelilingi setiap piramid medula membentuk sebuah lobus renis, dan setiap berkas medula merupakan pusat dari lobulus renis. Jaringan korteks juga terdapat diantara piramid medula, yang disebut kolumna Bertin (Gartner dan Hiatt, 2007; Stevens dan Lowe, 2005). Ginjal tikus putih bertekstur lembut, berwarna coklat kemerahan, berada di dorsal dinding tubuh, dikelilingi jaringan lemak dan termasuk unilobular dengan papilla tunggal. Ginjal kanan normalnya berada lebih anterior dari pada ginjal kiri dan pada jantan lebih berat dibanding betina (Seely, 1999). Kerusakan ginjal karena zat toksik dapat diidentifikasi berdasarkan perubahan struktur histologi, yaitu nekrosis tubular akut (NTA) yang secara morfologi ditandai dengan dekstruksi epitel tubulus proksimal. Sel epitel tubulus proksimal peka terhadap anoksia dan mudah hancur karena keracunan akibat kontak dengan bahan-bahan yang diekskresikan melalui ginjal. Pada NTA nefrotoksik terlihat gambaran korteks ginjal pucat, membesar dan edem, kongesti piramid, 12 13 vakuolisasi sitoplasma sel epitel tubulus dan terbanyak di tubulus proksimal (Suhita, 2013). Tubulus merupakan saluran-saluran panjang bergulung dan dikelilingi oleh pembuluh-pembuluh kapiler darah. Tubulus yang letaknya dekat dengan badan malphigi disebut tubulus proksimal, sedangkan tubulus letaknya jauh dari badan malphigi disebut tubulus distal. Sel epitel tubulus proksimal ginjal secara normal berbentuk kuboid selapis dengan batas sel yang tidak jelas, sitoplasma eosinofilik bergranula dan inti sel besar, bulat, berbentuk sferis di tengah sel. Puncak-puncak sel yang menghadap ke lumen tubulus mempunyai mikrovili cukup panjang yang disebut brush border (Gartner dan Hiatt, 2007). Sel epitel tubulus sangat peka terhadap anoksia dan rentan terhadap toksin. Beberapa faktor memudahkan tubulus mengalami toksik, termasuk permukaan bermuatan listrik yang luas untuk reabsorbsi tubulus, sistem transpor aktif untuk ion dan asam organik, dan kemampuan melakukan pemekatan secara efektif. Selain itu kadar sitokrom P450 yang tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan (Cotran et al., 2007; Katzung, 2002). Tubulus proksimal merupakan bagian yang paling sering mengalami degenerasi karena paparan zat nephrotoksik. Hal tersebut dikarenakan sistem transport aktif untuk ion, asam-asam organik, protein dengan berat molekul rendah, peptida, dan logam-logam berat sebagian besar terjadi di tubulus proksimal sehingga menyebabkan akumulasi dan toksisitas tubulus proksimal 13 yang pada akhirnya 14 mengakibatkan degenerasi tubulus proksimal. Tubulus proksimal memiliki epitel yang lemah dan mudah bocor (Ridho dan Ismail, 2010). Struktur histologi ginjal dapat dilihat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Gambar 3. Struktur histologis ginjal tikus putih jantan normal. Terlihat tubulus distal (A) dan tubulus proksimal (B) (H&E, 400x.). 14 15 Gambar 4. Mikrofotografi tubulus ginjal tikus putih normal Keterangan: DC (Distal Convoluetedtubuled), PC (Proxsimal Convoluetedtubuled), BB (Bursh Border) (Putri et al., 2013). 15