BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara penghasil kakao (Theobroma cacao L.) terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Produksi kakao di Indonesia pada tahun 2010/2011 mencapai 450.000 ton dan diperkirakan pada tahun 2011/2012 produksi kakao Indonesia mencapai 500.000 ton. Pada tahun 2011, luas tanaman kakao di Indonesia mencapai 1.677.254 Ha dengan produksi sebesar 712.231 ton dan didominasi oleh perkebunan rakyat (94,5%) (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011). Limbah hasil panen dan pengolahan pertanian termasuk kulit atau cangkang buah kakao belum dimanfaatkan secara optimal. Kulit buah kakao banyak digunakan sebagai kayu bakar di pedesaan. Kulit buah kakao telah diteliti dapat digunakan sebagai bahan pembuatan bioetanol (Pratiwi, dkk., 2010), bahan pembuatan karbon aktif (Cruz, dkk, 2012), pakan ternak (Puastuti dan Susanna, 2014), bahan baku pembuatan Carboxymethyl Cellulose (CMC) (Nisa, dkk., 2014) dan bahan baku produk pangan (Wijaya, 2014). Kulit buah kakao (Cocoa pod husk, CPH) merupakan limbah dari pengolahan biji kakao. Pengolahan buah kakao menghasilkan sejumlah besar kulit buah kakao sebagai limbah (Alemawor, dkk., 2009). Berat kulit buah kakao berkisar antara antara (70-75)% dari berat buah utuh kakao, di mana setiap ton buah kakao akan menghasilkan 700-750 kg kulit buah kakao (Cruz, dkk., 2012). Kulit buah kakao mengandung 74,0% holoselulosa, 35,4% selulosa, 37,0% hemiselulosa dan 14,7% lignin (Daud, dkk., 2013). Asam laktat digunakan secara luas sebagai penyedap rasa dan pengawet dalam industri makanan, kulit dan tekstil. Asam laktat dapat dipolimerisasi menjadi polilactic acid untuk pembuatan plastik biodegradable yang digunakan untuk aplikasi medis (Hofvendahl dan Hahn–Hägerdal, 2000). Plastik biodegradable atau bioplastik bersifat dapat terdegradasi secara alami jika dibandingkan dengan plastik konvensional yang terbuat dari bahan baku petroleum. Bioplastik telah berkembang lebih dari 10 tahun lalu, namun 1 2 perkembangan kearah plastik komersial sangat lambat. Hal ini disebabkan karena harga mahal dan sifat yang berbeda dari plastik konvensional. Namun dengan isu menipisnya cadangan minyak bumi maka bioplastik akan segera menjadi kompetitif dibanding plastik lainnya (Abdel-Rahman, 2013). Asam laktat dapat dibuat melalui proses fermentasi maupun sintesis kimia. Fermentasi merupakan metoda yang paling banyak digunakan oleh industri untuk menghasilkan asam laktat. Sembilan puluh persen dari 80.000 ton asam laktat yang dihasilkan di seluruh dunia setiap tahun dibuat dengan cara fermentasi oleh bakteri asam laktat dan sisanya dihasilkan melalui sintesis kimia yaitu hidrolisis laktonitril. Salah satu keunggulan metode fermentasi adalah asam laktat yang dihasilkan bisa diatur hanya terdiri dari satu enantiomer berdasarkan bakteri yang digunakan (Hofvendahl dan Hahn–Hägerdal, 2000). Bahan lignoselulosa dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku alternatif dalam pembuatan asam laktat dengan metode fermentasi. Penambahan yeast ekstrak 15% pada kultur Lactobacillus delbreuckii menghasilkan perolehan asam laktat tertinggi (Busairi dan Mat, 2005). Fermentasi limbah ampas tebu dengan bakteri Lactobacillus delbreuckii menghasilkan 67,0 g/L asam laktat (Adsul, dkk, 2007). Okano, dkk (2009) melakukan fermentasi asam laktat dari limbah tongkol jagung dengan menggunakan bakteri Lactobacillus plantarum dan menghasilkan 73,2 g/L asam laktat. Laopaiboon, dkk. (2010) melakukan penelitian fermentasi asam laktat dari hidrolisat ampas tebu yang didetoksifikasi dengan amberlite oleh bakteri Lactococus lactis IO-1 dengan sistem batch dan menghasilkan 10,85 g/L asam laktat Tahapan utama konversi lignoselulosa menjadi asam laktat melalui proses fermentasi adalah 1) perlakuan awal untuk menghilangkan lignin, 2) hidrolisis untuk memecah polimer selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana, 3) fermentasi oleh bakteri yang sesuai (Abdel-Rahman, 2011). Proses penghilangan lignin (delignifikasi) merupakan tahapan paling krusial, dimana struktur lignoselulosa mengalami perubahan yang memungkinkan enzim selulase dan air dapat menembus selulosa serta mempertegas perbedaan karakteristik selulosa, hemiselulosa dan lignin (Chen, dkk., 2010, Brown, 2003 dalam Harimurti dan 3 Sumangat, 2010). Delignifikasi pada lignoselulosa dapat dilakukan secara fisikawi, kimiawi, dan biologis. Delignifikasi secara kimiawi yang dapat dilakukan adalah perlakuan dengan asam, alkali, dan reagen pelarut selulosa. Perlakuan delignifikasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa perlakuan kimiawi menggunakan NaOH dengan pengaturan konsentrasi. NaOH dipilih karena larutan ini cukup efektif dalam meningkatkan hasil hidrolisis, dan relatif lebih murah dibandingkan dengan reagen kimia lainnya. NaOH dapat memisahkan lignin dengan tidak merusak struktur selulosa dan dapat dilakukan pada temperatur ruang (Tarmidi, 1999). Tahapan hidrolisis bertujuan untuk memecah polisakarida menjadi monomer gula sederhana yang dilakukan secara kimia ataupun enzimatis. Hidrolisis enzimatik selulosa menjadi glukosa dilakukan oleh enzim selulase yang merupakan katalis yang sangat spesifik. Keuntungan hidrolisis enzimatis antara lain tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (pH 4,5-5,0 dan suhu 40-50°C), berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif. (El-Zawawy, dkk., 2011). Hidrolisis secara kimia dilakukan dengan asam dengan menggunakan jenis asam H2SO4 maupun HCl. Metode hidrolisis asam lebih sederhana, tanpa harus melalui beberapa tahapan seperti pada hidrolisis secara enzimatis. Selain itu juga hidrolisis secara asam memerlukan waktu proses yang relatif lebih singkat, teknologi yang lebih sederhana, pengaturan kondisi proses yang lebih mudah, serta biaya yang lebih murah karena tidak melibatkan enzim (Taherzadeh dan Karimi, 2007). Namun metode hidrolisis secara asam memiliki beberapa kelemahan, yaitu adanya produk samping yang tidak diinginkan, sehingga dapat menurunkan mutu produk. Selain itu rendemen yang dihasilkan juga lebih rendah, karena pada hidrolisis asam rantai polisakarida dipotong secara acak (Rodiansono, dkk., 2013). Metode fermentasi dapat digolongkan berdasarkan jenis bakteri yang digunakan: (1) metoda heterofermentatif, menghasilkan kurang dari 1,8 mol asam laktat per mol heksosa dengan hasil fermentasi lainnya dengan jumlah yang signifikan diantaranya asam asetat, etanol, gliserol, manitol dan karbondioksida; 4 (2) metoda homofermantatif yang hanya menghasilkan asam laktat, atau menghasilkan produk samping dengan jumlah yang sangat kecil. Metoda homofermentatif ini banyak digunakan di industri, dengan konversi yield glukosa menjadi asam laktat lebih dari 90% (Hofvendahl dan Hahn–Hägerdal, 2000). Bakteri Lactobacillus plantarum merupakan salah satu bakteri homofermentatif, yang hidup dengan kisaran suhu 5-53°C dan pada kondisi pH 4,5–6,5, suhu optimum biasanya berkisar 30-40°C (Pelczar, 1988). I.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mempelajari pengaruh variasi konsentasi basa NaOH pada proses delignifikasi limbah kulit buah kakao 2. Menentukan kondisi optimum proses hidrolisis asam kulit buah kakao yang telah didelignifikasi 3. Menentukan kondisi optimum proses hidrolisis enzimatis kulit buah kakao yang telah didelignifikasi 4. Mempelajari penggunaan glukosa hasil hidrolisis optimum sebagai media fermentasi asam laktat dengan bakteri Lactobacillus plantarum I.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan manfaat berupa : 1. Peningkatan nilai tambah limbah kulit buah kakao 2. Pemanfaatan limbah kulit buah kakao akan dapat mengurangi pencemaran lingkungan. 3. Pemanfaatan limbah kulit buah kakao akan menekan biaya produksi asam laktat karena diperoleh dari bahan baku berharga murah yang berupa limbah tanaman perkebunan.