BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan di ruang perawatan anak RSUD Dr Moewardi Surakarta. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret- September 2015 dengan jumlah subyek sebanyak 30. Karakteristik dasar subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Karakteristik dasar subyek penelitian Karakteristik dasar n (30) Jenis kelamin Laki-laki 12 Perempuan 18 Usia Kurang dari 1 tahun 12 Lebih dari 1 tahun 18 Status Gizi Baik 14 Kurang 16 Jenis Penyakit Bedah 25 Bukan bedah 5 Rasio PaO2/FiO2 < 500mmHg sebelum transfusi 18 > 500mmHg sebelum transfusi 12 AaDO2 < 25mmHg sebelum transfusi 29 > 25mmHg sebelum transfusi 1 Dari total 30 subyek yang dirawat di ruang pediatric intensive care unit didapatkan jumlah sampel perempuan lebih banyak dari laki-laki. Usia termuda adalah 1 bulan dan usia paling tua adalah 12 tahun, dengan kelompok usia paling banyak adalah lebih dari 1 tahun sebanyak 18 subyek . Demikian juga dengan jumlah subyek dengan gizi baik hampir seimbang dengan gizi kurang . Didapatkan lebih banyak subyek yang menjalani prosedur pembedahan yakni sebesar 25 subyek. Lebih banyak subyek yang memiliki Rasio PaO2/FiO2 < 500mmHg sebelum transfusi sel darah merah. Sementara kadar AaDO2 < 25mmHg pada sebelum transfusi sel darah merah lebih banyak dibanding AaDO2 > 25mmHg. Tabel 4.2. Perbedaan rasio PaO2/FiO2 sebelum dan sesudah transfusi sel darah merah Rerata Selisih IK 95% Nilai p PaO2/FiO2 sebelum(n=30) 484,09 63,21 29,97-96,46 P<0,01 PaO2/FiO2 sesudah(n=30) 420,87 Perbedaan antara rasio PaO2/FiO2 sebelum dan sesudah transfusi sel darah merah terlihat pada tabel 4.2. Dari tabel diatas didapatkan nilai rata-rata rasio PaO2/FiO2 sebelum transfusi sel darah merah sebesar 484,09 mmHg sedangkan rasio PaO2/FiO2 sesudah transfusi sel darah merah sebesar 420,87mmHg. Dengan penurunan rasio PaO2/FiO2 yang dapat terjadi sesudah pemberian transfusi sel darah merah dapat mencapai 29,97-96,46mmHg. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa didapatkan perbedaan bermakna rasio PaO2/FiO2 sebelum dan sesudah pemberian transfusi sel darah merah (p<0,01). Tabel 4.3. Perbedaan kadar AaDO2 sebelum dan sesudah transfusi sel darah merah Rerata Selisih IK 95% Nilai p AaDO2 sebelum(n=30) 15,41 14,18 8,45- 19,91 P<0,04 AaDO2 sesudah(n=30) 29,59 Perbedaan antara AaDO2 sebelum dan sesudah transfusi sel darah merah terlihat pada tabel 4.3. Dari tabel diatas didapatkan nilai rata-rata AaDO2 sebelum transfusi sel darah merah sebesar 15,41 mmHg sedangkan AaDO2 sesudah transfusi sel darah merah sebesar 29,59. Dengan kenaikan AaDO2 yang dapat terjadi sesudah pemberian transfusi sel darah merah dapat mencapai 8,4519,91mmHg. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa didapatkan perbedaan bermakna AaDO2 sebelum dan sesudah pemberian transfusi sel darah merah (p<0,04). Tabel 4.4. Insidensi perburukan oksigenasi dengan parameter rasio PaO2/FiO2 setelah pemberian transfusi sel darah merah Frekuensi persen Rasio PaO2/FiO2 Meningkat 5 16,7% Menurun 25 83,3% Total 30 100% Pada tabel 4.4. Menggambarkan insidensi perburukan oksigenasi dengan parameter rasio PaO2/FiO2 setelah pemberian transfusi sel darah merah dimana dari tabel diatas didapatkan 83,3% dari jumlah subyek yang diteliti mengalami penurunan rasio PaO2/FiO2 setelah pemberian transfusi sel darah merah. Tabel 4.5. Insidensi perburukan oksigenasi dengan parameter AaDO2 setelah pemberian transfusi sel darah merah Frekuensi persen AaDO2 Meningkat 27 90% Menurun 3 10% Total 30 100% Pada tabel 4.5. Menggambarkan Insidensi perburukan oksigenasi dengan parameter AaDO2 setelah pemberian transfusi sel darah merah dimana dari tabel diatas didapatkan 90% dari jumlah sampel yang diteliti mengalami peningkatan nilai AaDO2 setelah pemberian transfusi sel darah merah B. Pembahasan Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara transfusi sel darah merah dengan kadar AaDO2 dan rasio PaO2/FiO2. Tabel 4.2 didapatkan perbedaan yang bermakna pada rasio PaO2/FiO2 sebelum dan sesudah pemberian transfusi sel darah merah (p<0,01), dimana rasio PaO2/FiO2 menjadi lebih rendah setelah pemberian transfusi sel darah merah. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Koch et al pada tahun 2009 pada 16.847 pasien yang menjalani coronary artery bypass grafting (CABG) dari September 1998 sampai 2006 yang diberikan transfusi sel darah merah. Dimana didapatkan hasil pemberian transfusi sel darah merah memberikan komplikasi perburukan pada fungsi paru, menyebabkan gagal nafas, waktu intubasi yang lebih lama, acute respiratory distress syndrome, peningkatan angka reintubasi. Namun pada penelitian ini juga menyatakan tidak ada hubungan dari rasio PaO2/FiO2 < 300 mmHg dengan transfusi sel darah merah. Pada penelitian ini didapatkan 65% pasien yang mendapatkan transfusi sel darah merah intraoperatif dan 64% yang tidak mendapatkan transfuse sel darah merah. Dari kedua kelompok ini sebelum mendapatkan transfusi sel darah merah memiliki nilai rasio PaO2/FiO2 <300mmHg yang mana sudah dapat memenuhi criteria transfusion acute lung injury. tidak dapat digunakan sebagai parameter perburukan oksigenasi setelah pemberian transfusi sel darah merah. Oleh karena itu penelitian ini tidak memberikan hasil yang berbeda bermakna diantara kedua kelompok yang diteliti. Hasil yang berbeda tersebut kemungkinan karena 50% subyek penelitian yang diambil sesudah mengalami pembedahan jantung sehingga sudah memiliki rasio PaO2/FiO2 yang rendah yakni < 250mmHg, yang mana sudah dapat memenuhi kriteria transfusion acute lung injury rasio PaO2/FiO2 200-300mmHg. Sementara menurut penelitian Zag-Bogovic et al yang dilakukan secara kohort prospektif sejak januari 2009 sampai Maret 2010 di Universitas Zagreb yang melibatkan 262 pasien. Penelitian ini menilai saturasi oksigen dan fraksi oksigen. Pada penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yang didiagnosis transfusion acute lung injury dan kelompok kontrol pasien dengan atau tanpa perburukan pernafasan tapi bukan merupakan acute lung injury. Dimana pada penelitian ini didapatkan transfuse sel darah merah merupakan faktor resiko untuk menjadi transfusion acute lung injury dengan OR 1,23 dengan interval kepercayaan 1,101,37.Penelitian ini menyatakan terdapat penurunan rasio PaO2/FiO2 setelah transfusi sel darah merah pada kelompok yang dicurigai yang dicurigai menderita acute lung injury , hal ini sesuai dengan semakin tinggi dari nilai ASA saat oprasi, semakin rendah nilai hemoglobin, lamanya masa operasi. Namun hasil dari penelitian ini dianjurkan para klinisi untuk melakukan perhitungan rasio PaO2/FiO2 secara berkala guna mendeteksi terjadinya transfusion acute lung injury (Koch et al,2009; Zag-Bogovic et al , 2014). Pada tabel 4.3 menunjukan bahwa terjadi peningkatan yang bermakna pada nilai AaDO2 pasien setelah 6 jam mendapatkan transfusi sel darah merah. Menurut P.Toy, dkk dalam National Heart Lung and Blood Institute Working Group on TRALI:definition and review, definisi dari TRALI yaitu bila terdapat bukti radiologis terjadinya edema pulmo dan hipoksia pada pasien setelah mendapatkan transfusi lebih dari 6 jam. Patofisiologi terjadinya TRALI terbaru dikenal dengan “two hit mechanism” atau dua mekanisme klinis independen, yang pertama adalah terkait dengan kondisi klinis pasien (infeksi, pelepasan sitokin, operasi, atau penggunaan ventilator) yang menyebabkan aktivasi endotel paru yang berujung pada edema alveolar. Kejadian kedua adalah seiring masuknya darah dari donor terdapat pula pemasukan Human Leukosit Antigen class 1 (HLA) dan Human Netrofil Antigen (HNA) antibodi ataupun bioactive modifier (misalkan lipid) yang menyebabkan aktivasi neutrofil sehingga dapat merusak pembuluh darah paru yang menyebabkan kerusakan endotel dan kebocoran kapiler. Hasil penelitian ini juga ini sejalan dengan penelitian Weiskopf et al yang menyatakan transfusi darah dapat memicu pelepasaan berbagai sitokin dalam tubuh, dan sitokin yang berpengaruh terhadap pertukaran oksigen adalah vascular endothelial growth factor (VEGF) yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dan menyebabkan edema intersisial sehingga menghambat pertukaran udara di dalam paru yang terlihat pada meningkatnya kadar AaDO2. Hal ini sejalan dengan penelitian Kaner et al bahwa VEGF yang memicu peningkatan permeabilitas kapiler banyak terdapat diparu yang berujung pada gangguan pertukaran udara. Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah protein yang diproduksi oleh sel yang merangsang vaskulogenesis dan angiogenesis. VEGF umumnya diproduksi pada sel paru dan dapat memberikan pasokan oksigen ke jaringan ketika sirkulasi darah tidak memadai. Fungsi utama VEGF adalah untuk menciptakan pembuluh darah baru. Ketika VEGF diekspresikan berlebihan maka dapat berkontribusi terhadap penyakit dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Efek tersebut baru terjadi lebih dari 6 jam setelah VEGF diproduksi. Hal ini bertentangan dengan penelitian James dan Greenough pada tahun 1996 untuk mengetahui efak transfusi sel darah merahpada bayi-bayi prematur yang menggunakan ventilator. Pada penelitian ini diambil subyek yang ditansfusi rata-rata 15cc/kg. Untuk membuat kadar hematokrit ≤ 40 %. Sementara pada tujuan khusus dari penelitian ini mengukur mean airway pressure (MAP), index oxygenation dan AaDO2 pada sebelum dan sesudah transfusi sel darah mereh. Dari penelitian ini menunjukan adanya perbaikan nilai AaDO2 sebelum dan sesudah transfusi sel darah merah yakni tepat sebelum transfusi sel darah merah dengan jam ke -12 dan jam ke 24 sesudah transfusi sel darah merah. Sementara menurut penelitian Zheng, Wu dan Wang pada tahun 2012 dengan tujuan untuk menilai keefektifan transfusi sel darah merah yang mana dilakukan pada dua kelompok dewasa yang menjalani operasi ortopedi. Kedua kelompok pada penelitian ini sama-sama mendapatkan transfuse sel darah merah namun dengan perhitungan jumlah transfusi darah merah yang berbeda. Parameter keefektifan transfuse yang dinilai dari penelitian ini adalah nilai AaDO2 . Walau penelitian ini mengukur efektifitas transfusi sel darah merah pada kedua kelompok namun diukur juga nilai AaDO2 sebelum dilakukan transfusi sel darah merah dan dari data tersebut terdapat perbedaan nilai AaDO2 sebelum dan sesudah transfusi sel darah merah.Dari penelitian tidak terdapat perbedaan yang bermakna kadar AaDO2 setelah transfusi sel darah merah pada kedua kelompok yang diteliti, namun pada penelitian tersebut diambil sampel untuk menilai AaDO2 sebelum operasi, 12 jam sesudah operasi, 24 jam sesudah oprasi dan 48 jam sesudah operasi terdapat peningkatan kadar AaDO2 pada kedua kelompok >25mmHg (Weiskopf et al, 2012; Kaner et al,2011; Mura, 2011; James dan Greenough, 1997; Zheng, Wu dan Wang 2013). Pada tabel 4.4 dan 4.5 tergambar insidensi terjadinya perburukan oksigenasi yang cenderung tinggi setelah pemberian transfusi sel darah merah, hal ini sesuai dengan penelitian Mulder et al yang cukup tinggi seperti pada orang dewasa, dan pada penelitian ini dijelaskan bahwa semakin tinggi nilai perburukan oksigenasi pasien akibat transfusi maka semakin tinggi lama rawat. Dalam penelitian ini disimpulkan nilai pediatric risk of mortality yang tinggi pada saat masuk, anak yang menderita sepsis, dan penggunaan alat ventilator lebih beresiko untuk terjadi transfusion acute lung injury. Namun diagnosis TRALI sering luput dari mata klinisi karena dipandang merupakan perburukan dari penyakit dasar. Diharapkan hasil penelitian tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan pemberian transfusi khususnya pada anak dengan penyakit kritis (Mulder et al; 2015) C. Kelemahan penelitian Kelemahan penelitian ini adalah tidak seperti pemeriksaan echocardiografi guna menyingkirkan lesi intrakardiak yang dapat mempengaruhi proses okigenasi, dan rotgen paru untuk lebih pasti menegakkan diagnosis TRALI sebelum pengambilan sampel. Karenanya belum dapat disingkirkan perburukan oksigenasi murni akibat pemeberian transfusi sel darah merah atau perjalanan dari penyakit pasien mengingat subyek penelitian ini adalah anak dengan penyakit kritis yang