BAB II LANDASAN TEORI A. Kesetiaan Abdi Dalem Keraton Surakarta 1. Pengertian kesetiaan abdi dalem Keraton Surakarta Kesetiaan, berdasarkan pengertian dari Kamus besar Bahasa Indonesia, adalah ketaatan, pengabdian, dan kepatuhan. Beberapa aspek dari kesetiaan atau loyalitas dari seorang individu kepada perusahaan atau sistem, menurut Siswanto (1989) adalah taat pada peraturan yang berlaku, bertanggung jawab pada perusahaan/sistem yang berlaku, dapat bekerja sama dengan lingkungan sekitar, terdapat rasa memiliki pada diri individu terhadap perusahaan/sistem yang berlaku, dapat menjalin hubungan interpersonal di lingkungan sistem, dan suka terhadap pekerjaan yang diemban saat ini. Soegandhi (2013) menyebutkan penjabaran beberapa aspek dari kesetiaan yang diungkapkan Siswanto (1989) diatas. Aspek ketaatan pada peraturan berarti setiap kebijakan yang diterapkan oleh sistem dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik. Bertanggung jawab pada sistem yang berlaku merupakan kesanggupan individu untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya serta kesadaran akan setiap resiko dari pelaksanaan tugas yang diberikan. Aspek dapat menjalin hubungan interpersonal di dalam lingkungan berarti dapat menjalin hubungan antarpribadi yang fleksibel, meliputi hubungan dengan sesama rekan kerja serta hubungan dengan atasan. Kesukaan 10 11 terhadap pekerjaan berarti individu tersebut dapat mengerjakan pekerjaannya dengan senang hati yang dapat dilihat dari keunggulannya dalam bekerja dan tidak pernah menuntut apa yang diterimanya diluar gaji pokok. Nitisemito (dalam Darmawan, 2008) menjelaskan aspek kerja sama dengan lingkungan sekitar dapat dilihat dari kesediaan dan keharmonisan individu dalam bekerja bersama-sama, baik dengan rekan kerja maupun atasan. Sedangkan rasa memiliki pada sistem berarti kepentingan sistem telah menjadi bagian dari kepentingan pribadi individu yang berada pada sistem tersebut sehingga menjadi lebih berinisiatif dan berpartisipasi aktif dalam sistem (Naicker, 2008). Pada masa kini Keraton Kasunanan Surakarta, meskipun tidak lagi menjadi pusat pemerintahan, administrasi, dan politik, masih berdiri sebagai pusat pelestarian kebudayaan Surakarta. Salah satu pihak yang berjasa dalam mempertahankan eksistensi keraton Kasunanan hingga saat ini adalah para abdi dalem Kasunanan Surakarta. Abdi dalem, menurut salah satu literatur di Sasono Pustoko, adalah orang-orang yang bekerja di keraton atau mengabdikan dirinya kepada raja. Hal senada diungkapkan Widodo (2001) yang menyatakan bahwa abdi dalem adalah priyayi bodining ratu (priyayi sebagai bawahan raja). Houben (2002), dalam bukunya mengenai Keraton dan Kompeni, berpendapat bahwa abdi dalem adalah pembantu kerajaan atau pembantu istana. Allimin (2007), secara lebih lengkap mengungkapkan bahwa abdi dalem berarti 12 menjadi abdinya budaya Surakarta Hadiningrat serta ditetapkan dengan surat keputusan pemberian pangkat oleh raja, dimana yang bekerja ada sangkut pautnya dengan Keraton Surakarta Hadiningrat. Berdasarkan penjabaran ini, dapat disimpulkan bahwa abdi dalem adalah semua orang yang mengabdikan dirinya kepada pada raja dan keraton yang ditetapkan melalui surat keputusan pemberian pangkat oleh raja sebagai priyayi bawahan raja. Melalui penjabaran mengenai kesetiaan dan abdi dalem diatas, dapat disimpulkan bahwa kesetiaan abdi dalem adalah ketaatan, pengabdian, dan kepatuhan seseorang yang mengabdikan dirinya kepada raja Keraton Surakarta sebagai priyayi bawahan raja dan ditetapkan dengan surat keputusan pemberian pangkat oleh raja Keraton Surakarta. 2. Kedudukan abdi dalem dalam struktur sosial Keraton Surakarta Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Jawa yang berasal dari pecahan kerajaan besar Mataram Islam. Pada masa pemerintahannya dahulu, kerajaan Mataram Islam menggunakan sistem hirarki dalam struktur sosialnya. Sistem ini masih dilestarikan dan digunakan hingga kini dalam struktur sosial Keraton Kasunanan Surakarta. Kedudukan seseorang dalam sistem hirarki ada dua, yakni pertama orang-orang yang memiliki keturunan atau hubungan darah dengan penguasa, yakni raja dan kaum bangsawan, kedua, posisinya ditentukan oleh hirarki dalam pemerintahan (Nurhajarini, 1999). 13 Bagan 1. Struktur Kelompok Sosial Kasunanan Surakarta Raja & Keluarga (Sentana Dalem) Pegawai & Pejabat Kerajaan (Abdi Dalem) Rakyat Biasa (Kawula Dalem) Struktur kelompok sosial Kasunanan Surakarta diatas menggambarkan bahwa terdapat tiga kelompok besar dalam hirarki sistem (Nurhajarini, 1999), yakni: a. Raja dan keluarganya (Sentana Dalem) Lapisan pertama yang menduduki tingkatan sosial teratas dalam Kasunanan Surakarta adalah raja dan keluarganya. Raja merupakan pemimpin yang absolut dan mutlak. Keluarga raja atau siapapun yang memiliki hubungan darah dengan raja juga masuk kedalam tingkat sosial pertama ini, yang disebut bangsawan atau sentana dalem. Sentana Dalem adalah kerabat raja yaitu putra-putra atau ipar raja yang sedang memerintah. Keturunan Raja yang masuk ke dalam golongan Sentana Dalem adalah permaisuri sebagai istri raja, putra raja, cucu raja, cicit (buyut), canggah dan wareng. Keturunan raja setelah wareng termasuk dalam golongan rakyat biasa (kawula dalem). 14 b. Pegawai dan pejabat kerajaan (Abdi Dalem) Orang yang bekerja untuk raja disebut sebagai abdi dalem, atau istilah lainnya adalah priyayi. Abdi dalem terbagi dalam 2 kelompok yaitu: abdi dalem keraton (istana) dan abdi dalem nagari (kerajaan). Abdi Dalem di dalam kerajaan dibagi menjadi beberapa golongan yang dipimpin oleh bupati nayaka. Golongangolongan di bawah kekuasaan para bupati nayaka dijadikan satu merupakan golongan besar yang disebut golongan kepatihan. Disampingnya masih terdapat golongan kadipaten dan pengulon. Jika golongan kepatihan mengurusi pemerintahan seluruh kerajaan, golongan kadipaten mengurusi masalah hal-hal yang berhubungn dengan kepentingan para putra dan kerabat raja, golongan kapengulon mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan rokhaniah. Golongan kepatihan dikepalai oleh pepatih dalem, golongan kadipaten dikepalai oleh pangeran adipati anom dan wakilnya atau seorang pangeran yang ditunjuk raja dan golongan kapengulon dikepalai oleh penghulu. Abdi dalem keraton bertugas dalam lingkungan keraton yang terdiri para sentana maupun orang, sedangkan abdi dalem nagari terdiri dari abdi dalem tungguk dan abdi dalem prajurit. Abdi dalem tungguk secara berurutan terdiri atas Patih, Bupati, Nayaka, Panewu, Mantri, Lurah, dan Jajar. Abdi dalem prajurit bertugas menjaga ketentraman dan keamanan 15 kerajaan, Abdi dalem prajurit dibagi ke dalam dua golongan yaitu prajurit jero dan prajurit jaba. c. Rakyat biasa (Kawula Dalem) Rakyat biasa merupakan tingkatan terendah dalam stratifikasi sosial masyarakat feodal. Mereka adalah orang-orang yang diperintah oleh raja dan Sentana dalem. Kawula dalem milik raja sepenuhnya, raja berwenang menentukan nasib mereka. Pada saat ini, pemerintahan telah dipegang sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan daerah (republik) sehingga rakyat biasa tidak lagi berada dibawah kewenangan raja. 3. Kondisi kesetiaan seorang abdi dalem Keraton Surakarta Kesetian seorang abdi dalem masih dapat dilihat dengan jelas di lingkungan keraton Kasunanan Surakarta. Pengabdian utama abdi dalem adalah merawat, menjaga, dan mengurus aspek-aspek dalam keraton seperti rumah tangga, kesenian, dan budaya Jawa. Bagi seorang abdi dalem, merawat keraton beserta seluruh pusaka di dalamnya merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh seperti merawat sesuatu yang bernyawa (Wisudo, 1999). Pada acara-acara tradisional tertentu, seperti upacara Sekaten, Kirab Malam Satu Sura dan perayaan Grebeg Syawal, persiapan maksimal dari abdi dalem jelas terlihat di hari-hari sebelumnya. Seluruh abdi dalem terlibat dalam persiapan ini. Mulai dari penyediaan konsumsi, pembuatan perangkat 16 tradisional yang dibutuhkan, hingga perawatan dan penjagaan pengisi upacara. Hal ini dilakukan agar acara berlangsung dapat dengan lancar. Lain hal dengan abdi dalem prajurit keraton, kesiapsiagaannya dalam menjaga istana masih terlihat jelas di keraton Kasunanan Surakarta. Beberapa abdi dalem prajurit ini berdiri di depan pintu utama keraton Kasunanan Surakarta selama kurang lebih lima jam dengan menggunakan kostum tertentu yang khas serta tongkat prajurit. Pintu ini dijaga ketat karena tidak semua orang dapat masuk ke keraton Kasunanan Surakarta melalui pintu ini. Salah satu anak lelaki raja Kasunanan Surakarta saat ini, Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Puger menyebutkan bahwa pelayanan abdi dalem terhadap keraton tidak dalam jangka waktu yang sebentar, mayoritas abdi dalem telah bekerja setidak-tidaknya dua puluh tahun pada keraton Kasunanan Surakarta (Puger, wawancara pribadi, Februari, 2015). Pengabdian ini juga dilakukan secara turun-temurun, dari satu generasi abdi dalem kepada generasi selanjutnya. Hasil penelitian dari Wisudo (1999) mengungkapkan bahwa abdi dalem memberikan kesetiaan, mengabdi, dan memiliki etos kerja yang tinggi tanpa mengharapkan upah. Beberapa abdi dalem menjelaskan bahwa berkah adalah tujuan utama dari segala kesetiaan yang dilakukannya kepada keraton dan raja, sebagian abdi dalem lainnya mengaku bahwa mereka menjadi abdi dalem untuk mengikuti jalan orang tuanya yang juga merupakan seorang abdi dalem. Sekecil apapun pekerjaan dan tugas yang 17 diberikan kepada abdi dalem diyakini sebagai hal yang berpengaruh pada seluruh kehidupan keraton, sehingga abdi dalem selalu menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan kesetiaan. Wawancara pribadi dengan Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Puger, salah seorang pangeran dari keraton Kasunanan Surakarta, menyebutkan bahwa usia abdi dalem yang bekerja di keraton Surakarta saat ini berkisar antara empat puluh hingga delapan puluh tahun (Puger, wawancara pribadi, Februari, 2015). Keseluruhan abdi dalem yang bekerja di keraton Surakarta kurang lebih lima ratus orang dengan lima pembagian wilayah kerja, dengan rincian sebagai berikut: Tabel 1. Jumlah Abdi Dalem Berdasarkan Wilayah Kerja No Wilayah Kerja 1 Keputren 2 Sasana Prabu 3 Keparak 4 5 Imogiri Staf Kantor Tugas Mengurus keperluan putri raja Membersihkan dan menjaga perabotan ruangan, menyiapkan ruangan bila akan digunakan Menjaga kebersihan keraton diluar ruangan (menyapu halaman, memberi sesaji) Mengurus pemakaman Mengurus administrasi kantor, mendata kepustakaan Jumlah Total Sumber: (Puger, wawancara pribadi, Februari, 2015) Jumlah (±) 100 orang 100 orang 140 orang 115 orang 55 orang 500 orang 18 B. Sikap Pro Status Quo 1. Teori justifikasi sistem Sikap pro status quo dalam penelitian ini merupakan salah satu konstruk psikologis dalam tataran individual pada suatu kelompok yang terdapat dalam teori justifikasi, dalam hal ini justifikasi sistem. Justifikasi merupakan sebuah konsep dalam psikologi sosial yang menjelaskan mengenai ide untuk mempertahanakan legitimasi sistem, atau mendukung pertahanan legitimasi dari orang lain, atau mendukung beberapa bentukbentuk perilaku (Jost dan Banaji, 1994). Teori justifikasi dibagi menjadi tiga berdasarkan motif-motif yang potensial dialami oleh anggota dari kelompok yang subordinat atau tidak diuntungkan (disadvantaged): justifikasi ego, justifikasi kelompok, dan justifikasi sistem. Justifikasi ego adalah kebutuhan seseorang dalam kelompok untuk menjaga citra diri sehingga merasa terjustifikasi dan terligitimasi sebagai individu, justifikasi kelompok adalah keinginan untuk menjaga citra baik dari suatu kelompok untuk mempertahankan serta men-justifikasi segala perilaku dari anggota kelompoknya, sedangkan justifikasi sistem merupakan kebutuhan sosial serta psikologis untuk menginternalisasi status quo dalam legitimasi status sosial dan melihat hal ini sebagai sesuatu yang baik, adil, natural, dan bahkan tidak dapat dielakkan (Jost dan Banaji, 1994). Teori justifikasi sistem membagi sistem menjadi dua kelompok (Pratto, Sidanius & Levin, 2006). Kelompok pertama adalah kelompok yang diuntungkan (advantaged) dengan keberjalanan sistem atau yang disebut 19 dengan kelompok dominan. Keuntungan yang didapatkan oleh kelompok ini seperti status sosial, fasilitas, dan kesejahteraan yang lebih baik dari kelompok kedua. Kelompok kedua merupakan kelompok yang tidak diuntungkan (disadvantaged) atau yang disebut dengan kelompok subordinat. Fasilitas, kesejahteraan, dan status sosial yang didapatkan dan dimiliki oleh kelompok subordinat lebih rendah daripada kelompok dominan. Menurut Jost, Banaji, dan Nosek (2004) teori justifikasi sistem memiliki enam aspek, yakni: rasionalisasi status quo, favoritisme out-grup, adanya hak yang ditekan, motif-motif justifikasi ego, kelompok, serta sistem, peningkatan nilai justifikasi sistem pada kelompok subrodinat, dan adanya stereotipe-stereotipe yang melengkapi. Keenam aspek ini berasal dari delapan belas hipotesis yang dikemukakan Jost dan Hunyady (2002). Rasionalisasi status quo dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam sistem dengan lebih mengharapkan peristiwa-peristiwa yang lebih mungkin terjadi daripada peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi. Selain itu anggota kelompok juga menggunakan stereotip untuk merasionalisasikan perbedaan status sosial dan mengungkapkan stereotip tersebut secara berbeda tergantung status yang melekat, guna memperlihatkan bahwa status quo tersebut terlihat adil. Pada anggota kelompok subordinat, penggunaan stereotip meningkat dan penjelasan-penjelasan (selemah apapun) akan diungkapkan untuk merasionalisasikan perbedaan status dalam kelompok. Kelompok ini akan mengasosiasikan karakteristik-karakteristik positif 20 dengan kelompok dominan dan mengajak anggota kelompok subordinat lainnya untuk meningkatkan perasaan-perasaan positif mengenai status kelompok mereka yang rendah. Favoritisme out-grup terjadi pada kelompok subordinat sebagai ekspresi dari penginternalisasian dan pengevaluasian susunan sosial yang berlaku dan meneruskan ketidakadilan sistem. Kelompok subordinat juga lebih memperlihatkan tekanan mengenai hak-hak yang didapatkan pada anggota kelompok dominan. Motif-motif justifikasi ego, kelompok, dan sistem juga mempengaruhi justifikasi sistem. Pada kelompok dominan, motif ketiga justifikasi tersebut kongruen satu sama lain, sedangkan pada kelompok subordinat, motif justifikasi ego dan kelompok bertentangan dengan motif justifikasi sistem. Pada kelompok subordinat dalam sebuah sistem sosial dengan status quo, saat penurunan motif justifikasi ego dan kelompok terjadi maka justifikasi sistem akan meningkat (Jost dan Burgess, 2000). Pada kelompok subordinat, dikarenakan sistem yang berjalan tidak banyak memberikan keuntungan, tendensi justifikasi sistem meningkat untuk merasionalisasikan dan mempertahankan sistem dan status quo berlaku. Stereotip yang menggabungkan aspek-aspek positif dalam aspekaspek negatif agar terjadi keseimbangan perasaan dalam dirinya, seperti ‘miskin namun bahagia’ atau ‘menyedihkan namun terhormat’ juga dapat meningkatkan justifikasi anggota kelompok pada status quo (Kay dan Jost, 2003). 21 Berdasarkan aspek-aspek justifikasi sistem diatas, kelompok dominan tentunya akan lebih mudah menerima dan mendukung sistem dibandingkan kelompok subordinat. Kelompok dominan mendapatkan keuntungankeuntungan dari status sosial maupun ekonomi yang lebih tinggi, sehingga sikap mendukung sistem dan status quo dapat dengan mudah terjadi (Jost dan Hunyady, 2002). Pada kelompok subordinat, sistem tidak memberikan keuntungan pada status sosial maupun ekonomi pada mereka. Jika kelompok subordinat memiliki keinginan untuk mendukung status quo dan sistem yang berjalan sebagai sistem yang adil dan terlegitimasi, maka hal ini akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu pada diri mereka (Jost dan Hunyady, 2005). Menurut salah satu aspek sistem justifikasi, yakni mengenai motifmotif justifikasi ego, kelompok, dan sistem, penerimaan kelompok subordinat pada legitimasi sistem dapat bertentangan dengan citra diri dan kelompok yang positif (justifikasi ego dan kelompok). Blasi dan Jost (2006) mengungkapkan bahwa seiring dengan meningkatnya motif-motif justifikasi sistem, akan terjadi resistensi dalam diri individu terhadap perubahanperubahan yang terjadi di lingkungan kelompok mereka. Implikasi dari hal ini adalah kelompok pun akan menjadi resisten dan mengalami kesulitan yang lebih besar dalam menerima peraturan-peraturan maupun figur otoritas yang mencerminkan ekualitas atau kesamaan. Kemudian hal ini akan meningkatkan stabilitas pada keseluruhan sistem sosial yang berlaku. 22 Selain secara sistemik, konsekuensi dari justifikasi sistem juga terjadi dalam tataran individual. Pada individu-individu dalam kelompok subordinat, jika motif justifikasi sistemnya ditingkatkan dibanding kedua motif lainnya, maka pertentangan in-group akan meningkat, tingkat self esteem akan menurun, dan tingkat depresi akan meningkat (Jost dan Hunyady, 2002). Penelitian lain menunjukkan bahwa, meskipun hal-hal tersebut terjadi, motif-motif justifikasi sistem justru mampu mengurangi distress emosi pada individu-individu yang tidak menuntut kesenjangan atau ketidakadilan yang terjadi. Lebih spesifik lagi, amarah akan moralitas yang berlaku, rasa bersalah, dan frustrasi juga menurun saat motif-motif justifikasi sistem meningkat (Jost, Banaji, & Nosek, 2004). 2. Sikap pro status quo dalam teori justifikasi sistem Telah dijabarkan sebelumnya bahwa, berdasarkan teori justifikasi sistem, manusia tidak hanya memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri (justifikasi ego) dan kelompok mereka (justifikasi kelompok), tetapi juga memiliki sikap-sikap yang baik mengenai keseluruhan sistem yang berlaku (justifikasi sistem). Hal ini menjadikan teori justifikasi sistem berbeda dari kedua teori lainnya dan lebih jelas dalam mengidentifikasi konsekuensi-konsekuensi sosial dan psikologis pada pendukung status quo, terutama anggota-anggota kelompok dengan status lebih rendah atau subordinat (Jost, Banaji & Nosek, 2004). 23 Teori justifikasi sistem mengungkapkan bahwa manusia memiliki motivasi untuk membela dan men-justifikasi status quo, walaupun hal ini tidak menguntungkan bagi sebagian anggota dari suatu kelompok. Susunan atau strata sosial yang berlaku dilegitimasikan oleh orang-orang di dalamnya, termasuk dengan mengorbankan kepentingan individual maupun kelompok. Orang-orang di dalam kelompok tersebut memiliki kebutuhan psikologis untuk menjaga stabilitas dan ketentraman dalam hidupnya (Jost dan Hunyady, 2005). Harapan dari kedua kelompok, baik dominan maupun subordinat, adalah terciptanya stabilitas dari legitimasi keseluruhan sistem yang berlaku. Ketidakadilan dan kesenjangan yang terasa diantara kelompok dominan dan subordinat akan berkurang saat motif-motif justifikasi sistem lebih besar nilainya daripada motif-motif justifikasi ego maupun kelompok. Konsekuensi-konsekuensi yang telah dijabarkan sebelumnya, seperti resistensi pada perubahan dan berkurangnya emosi negatif, tidak dapat dielakkan jika motif justifikasi sistem telah dianut oleh individu maupun kelompok, yaitu dengan merasionalisasikan dan mendukung legitimasi dari sistem yang berlaku atau bersikap pro terhadap status quo. 24 C. Self-enhancement (Peningkatan Nilai Diri) 1. Pengertian self-enhancement Self-enhancement atau peningkatan nilai diri merupakan salah satu peningkatan pada diri yang dapat membuat seseorang dapat merasa lebih baik terhadap dirinya sendiri guna menjaga self-esteem dalam dirinya (Sedikides dan Strube, 1995). Sejalan dengan pengertian ini, Alport dan Fiske secara terpisah (dalam Jordan dan Audia, 2012) mengatakan bahwa self-enhancement merupakan kebutuhan seseorang untuk melihat ke dalam dirinya sendiri dengan cara-cara yang positif. Self-enhancement merupakan keinginan dari individu untuk melihat secara mendalam aspek-aspek positif pada konsep diri saat menjauhkan diri dari informasi dan umpan balik yang bersifat negatif. Motif ini dapat menjadi sangat terlihat dalam situasi-situasi kegagalan, situasi mengancam, atau situasi yang menyerang self-esteem seseorang (Beauregard dan David, 1998). Termasuk di dalam self-enhancement adalah preferensi positif di atas perasaan negatif pada diri sendiri (Sedikides dan Gregg, 2008). Berdasarkan pengertian dan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa self-enhancement adalah peningkatan nilai diri dalam rangka menumbuhkan aspek-aspek positif dalam rangka mengurangi perasaanperasaan negatif dalam diri. 25 2. Aspek self-enhancement Self-enhancement memiliki tiga aspek yang membangunnya (Alicke dan Sedikides, 2009; Sedikides dan Gregg, 2008), ketiga aspek tersebut adalah: a. Positivity embracement atau peningkatan positifisme Suatu strategi untuk membuat (secara kognitif) dan mendapatkan (secara perilaku) umpan balik yang positif dari orang lain. b. Favorable construals atau pemikiran/perasaan menyenangkan Membentuk suatu kognisi tersendiri (self-serving) mengenai dunia yang terkadang mengabaikan fakta ataupun minat. c. Self-affirming reflections atau refleksi-refleksi yang menguatkan diri Menjaga integritas diri secara kognitif untuk mneghadapi masa kini maupun ancaman pribadi di masa lalu. 3. Dimensi self-enhancement Sedikides dan Gregg (2008) menyusun empat dimensi dari Selfenhancement, yakni: a. Self-advancing vs. self-protecting Kedua hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan konsep diri yang positif atau dengan mengurangi konsep diri yang negatif. Individu dengan self-esteem yang lebih tinggi cenderung melakukan selfadvancing, sedangkan individu dengan self-esteem rendah lebih cenderung untuk melakukan self-protecting. 26 b. Publik vs. pribadi Self-enhancement dapat terjadi di tataran publik maupun di tataran pribadi. Di tataran publik, seorang individu dapat melakukan presentasi positif dari dirinya kepada lingkunga sekitarnya, sedangkan di tataran pribadi, self-enhancement hanya diketahui oleh diri individu itu sendiri. c. Terpusat vs. periferal Area potensial untuk melakukan self-enhancement berbeda-beda bagi setiap orang. Self-enhancement lebih banyak terjadi pada domaindomain yang penting bagi seorang individu (terpusat). d. Candid vs. taktikal Self-enhancement dapat terjadi secara candid maupun taktikal. Selfenhancement yang bersifat candid menghasilkan kepuasan atau kegembiraan yang dapat langsung dirasakan oleh individu tersebut, sedangkan self-enhancement yang bersifat taktikal dapat memberikan keutungan-keuntungan yang lebih besar bagi konsep diri indivdu, walaupun kepuasan tidak langsung dirasakan 4. Self enhancement dalam konteks kehidupan kelompok Manusia, sebagai makhluk sosial, memiliki perbedaan-perbedaan dalam perilakunya, terutama dalam menjalankan perannya di dalam kelompoknya. Pada satu kelompok, terdapat individu-individu yang berusaha keras untuk menjadi dominan dalam kelompoknya, di sisi lain, terdapat pula individu yang tidak ingin terlihat menonjol dalam kelompok. Ada pula individu-individu yang ingin menjauh dari kehidupan 27 berkelompok, sebaliknya, tidak sedikit individu yang justru mengikuti berbagai macam kelompok. Berbagai macam teori dan perspektif berusaha menguak jawaban dari sikap-sikap individu dan kaitannya dengan kehidupan berkelompok. Salah satu dari teori tersebut adalah perspektif motivasional dan emosional (Forsyth, 2010). Motivasi adalah mekanisme psikologis yang memberikan arah dan tujuan pada perilaku. Pendekatan motivasional berfokus dalam peran yang dimainkan kelompok saat bertemu dengan kebutuhan dasar manusia yang berhubungan dengan self-esteem. Manusia memiliki cakupan yang luas atas penilaian mereka terhadap harga diri; individu yang depresi akan merasa dirinya inferior, kecil, bahkan tidak berharga, sedangkan individu yang narsistik cenderung selalu menyenangi dirinya sendiri. Seluruh manusia, memiliki kecenderungan dan motivasi untuk menjaga dan meningkatkan (enhance) self-esteem dalam diri masingmasing individu. Kemudian, timbul kecenderungan membesar-besarkan peran yang dijalankannya dalam sebuah kelompok saat kelompok dalam situasi yang baik, dan menghindar dari tanggung jawab jika terdapat kegagalan dalam berkelompok. Konsekuensinya, anggota kelompok yang merasa telah mengerjakan tugas penting atau lebih banyak berinvestasi pada kelompok, cenderung untuk mengelakkan kegagalan kelompok namun ingin mendapatkan penghargaan pada keberhasilan kelompok, berbeda dengan anggota kelompok yang merasa bahwa tugas-tugas dalam kelompok tidak memiliki dampak pada harga diri (Savitsky dalam Forsyth, 2010) 28 5. Self enhancement pada kelompok subordinat Tekanan dari ideologi justifikasi sistem, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, memiliki beberapa konsekuensi-konsekuensi pada tiap kelompok. Kelompok subordinat, sebagai kelompok dengan status yang lebih rendah, memiliki konsekuensi yang cenderung negatif. Salah satu konsekuensi yang dialami oleh kelompok subordinat adalah menurunnya tingkat self-esteem. Berdasarkan teori self-enhancement, saat seseorang berada pada situasi yang melemahkan self esteem, motivasi untuk melihat secara positif kedalam diri dan menekan aspek-aspek negatif yang muncul akan semakin meningkat. Hal ini, menurut Forsyth (2010), berguna untuk menjaga peranan dan harga dirinya dalam kelompok. Bagi kelompok subordinat, agar sistem yang berlaku tetap terjaga dan berjalan dengan baik (menganut ideologi justifikasi sistem) dapat menjadi sebuah tekanan tersendiri. Hal ini dikarenakan banyak hal yang tidak menguntungkan (baik secara status maupun ekonomi) terjadi kepada kelompok ini dan hal-hal yang menguntungkan lebih banyak didapatkan oleh kelompok dominan. Tekanan justifikasi sistem dan sikap pro status quo inilah yang menurunkan self-esteem kelompok subordinat. Hal ini kemudian meningkatkan kebutuhan tiap individu dalam kelompok untuk melakukan self-enhancement (Jost dan Hunaydy, 2005). 29 Kelompok subordinat memahami dengan baik bahwa terdapat kesenjangan dan ketidakadilan status sosial antara kelompoknya dengan kelompok dominan, namun penelitian sebelumnya menemukan bahwa kelompok subordinat justru merupakan kelompok yang lebih mendukung terjaganya sistem tersebut (Jost, Banaji, & Nosek, 2004). Hal ini, menurut Jost dan Hunyady (2005), terjadi karena adanya motif-motif psikologis lain, salah satunya adalah self-enhancement yang dilakukan oleh individuindividu dalam kelompok subordinat. Melalui self-enhancement yang dilakukan individu dalam kelompok subordinat, merasionalisasikan kondisi dan peran dalam sistem yang berlaku akan berjalan dengan lebih mudah, sehingga sikap mendukung pada status quo justru akan lebih banyak ditampakkan oleh kelompok ini. D. Relasi Sikap Pro Status Quo dan Self Enhancement dengan Kesetiaan Abdi Dalem Sikap pro status quo atau teori justifikasi sistem mengemukakan bahwa terdapat penjagaan status dan legitimasi dari sebuah sistem yang dibangun oleh individu dan kelompok didalamnya (Jost & Banaji, 1994). Teori justifikasi sistem membagi kelompok dalam suatu sistem sosial menjadi dua: kelompok dominan dan kelompok subordinat. Kelompok dominan memiliki status sosial yang lebih tinggi, diikuti dengan kekuatan politis, pendidikan, dan kesejahteraan yang lebih baik. Sebaliknya, kelompok subordinat mendapatkan status sosial, fasilitas, dan kesejahteraan yang lebih rendah (Pratto, Sidanius & Levin, 2006). Meskipun demikian, kedua kelompok tetap mendukung keberjalanan sistem sosial tersebut. 30 Jost dan Hunyady (2005) menjelaskan bahwa dukungan terhadap sistem dilakukan oleh kelompok subordinat dalam rangka menjaga stabilitas dan legitimasi sistem, sehingga meminimalisir perubahan yang terjadi dalam sistem. Dukungan pada status quo ini akan lebih meningkatkan tendensi kelompok dominan dan subordinat untuk tetap berada di dalam sistem dengan memberikan berbagai rasionalisasi dalam melihat kesenjangan yang terjadi di dalam sistem (Jost dan Banaji, 1994). Jost, Banaji, dan Nosek (2004) mengemukakan bahwa rasionalisasi dilakukan kelompok subordinat dengan mengasosiasikan karakteristik positif kepada kelompok dominan dan lebih menonjolkan perasaanperasaan positif pada status mereka saat ini. Perasaan-perasaan positif ini dapat membuat kelompok subordinat merasa aman dan nyaman untuk menjalankan perannya dan menerima statusnya. Hal inilah yang membuat abdi dalem, sebagai kelompok subordinat, dapat meningkatkan kesetiannya kepada keraton Surakarta. Menurut teori justifikasi sistem, kekuatan status sosial, kesejahteraan, dan fasilitas kelompok subordinat lebih rendah dibandingkan dengan kelompok dominan. Kondisi ini, menurut Jost, Banaji, & Nosek (2004) memiliki konsekuensi negatif, yakni menurunkan self-esteem kelompok subordinat. Untuk tetap menjalankan peran sebagai seorang individu, self-esteem seseorang perlu dipertahankan dengan memotivasi diri untuk membuat dirinya merasa lebih baik untuk berperan secara positif di dalam kelompok, dengan kata lain melakukan self-enhancement (Sedikides dan Strube, 1995). Kelompok subordinat mengembangkan stereotip keyakinan-keyakinan yang dapat membantu dalam mengubah persepsi dan melihat kondisi sistem menjadi lebih positif (Jost dan 31 Banaji, 1994). Hal ini dapat dilakukan dengan menjauhkan diri dari informasi yang bersifat negatif (Beauregard dan David, 1998), menumbuhkan aspek positif dalam persepsi (Sedikides dan Gregg, 2008), serta membuat tampilan diri menjadi lebih positif (Pennington, 2000). Abdi dalem keraton Surakarta melakukan hal ini dengan mengubah pandangan bahwa menjadi abdi dalem merupakan sebuah pengabdian dan melayani raja serta kaum bangsawan akan memberikan berkah kepada mereka (Saputra, 2012). Selain itu, abdi dalem terlihat selalu memakai kostum khusus, nama gelar khusus, serta dandanan yang mencerminkan statusnya sebagai abdi dalem, baik dalam kesehariannya maupun pada saat acara-acara tertentu. Beberapa cara ini merupakan gambaran dari self-enhancement yang dilakukan oleh abdi dalem Kasunanan Surakarta dalam rangka menjaga self esteem-nya sebagai kelompok subordinat. Semakin banyak self-enhancement dilakukan, kesetiaan abdi dalem kepada keraton Surakarta Hadiningrat juga akan meningkat. Berdasarkan paparan teori yang telah diuraikan diatas, diduga terdapat hubungan antara sikap pro status quo dan self-enhancement dengan kesetiaan abdi dalem. Semakin besar dukungan abdi dalem terhadap sistem keraton Surakarta dan semakin tinggi self-enhancement yang dilakukan oleh abdi dalem, akan semakin tinggi pula kesetiaan yang diberikan abdi dalem kepada sistem keraton Surakarta. Sebaliknya, kesetiaan akan menurun bila dukungan terhadap status quo keraton Surakarta dan self-enhancement yang dilakukan abdi dalem juga menurun. 32 E. Kerangka Pikir Hubungan antara kesetiaan abdi dalem keraton Surakarta dengan sikap pro status quo dan self-enhancement dapat digambarkan dengan kerangka pemikiran sebagai berikut: Bagan 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Abdi dalem mendukung status quo Abdi dalem setia kepada sistem keraton Abdi dalem melakukan Self-Enhancement F. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara kesetiaan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta dengan sikap pro status quo dan self-enhancement 2. Sikap pro status quo merupakan variabel yang lebih tinggi pengaruhnya terhadap kesetiaan abdi dalem