10 BAB II LANDASAN TEORI A. Kesetiaan Abdi Dalem Keraton

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kesetiaan Abdi Dalem Keraton Surakarta
1.
Pengertian kesetiaan abdi dalem Keraton Surakarta
Kesetiaan, berdasarkan pengertian dari Kamus besar Bahasa
Indonesia, adalah ketaatan, pengabdian, dan kepatuhan. Beberapa aspek
dari kesetiaan atau loyalitas dari seorang individu kepada perusahaan atau
sistem, menurut Siswanto (1989) adalah taat pada peraturan yang berlaku,
bertanggung jawab pada perusahaan/sistem yang berlaku, dapat bekerja
sama dengan lingkungan sekitar, terdapat rasa memiliki pada diri individu
terhadap perusahaan/sistem yang berlaku, dapat menjalin hubungan
interpersonal di lingkungan sistem, dan suka terhadap pekerjaan yang
diemban saat ini.
Soegandhi (2013) menyebutkan penjabaran beberapa aspek dari
kesetiaan yang diungkapkan Siswanto (1989) diatas. Aspek ketaatan pada
peraturan berarti setiap kebijakan yang diterapkan oleh sistem dipatuhi dan
dilaksanakan dengan baik. Bertanggung jawab pada sistem yang berlaku
merupakan kesanggupan individu untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya
serta kesadaran akan setiap resiko dari pelaksanaan tugas yang diberikan.
Aspek dapat menjalin hubungan interpersonal di dalam lingkungan berarti
dapat menjalin hubungan antarpribadi yang fleksibel, meliputi hubungan
dengan sesama rekan kerja serta hubungan dengan atasan. Kesukaan
10
11
terhadap
pekerjaan
berarti
individu
tersebut
dapat
mengerjakan
pekerjaannya dengan senang hati yang dapat dilihat dari keunggulannya
dalam bekerja dan tidak pernah menuntut apa yang diterimanya diluar gaji
pokok.
Nitisemito (dalam Darmawan, 2008) menjelaskan aspek kerja sama
dengan lingkungan sekitar dapat dilihat dari kesediaan dan keharmonisan
individu dalam bekerja bersama-sama, baik dengan rekan kerja maupun
atasan. Sedangkan rasa memiliki pada sistem berarti kepentingan sistem
telah menjadi bagian dari kepentingan pribadi individu yang berada pada
sistem tersebut sehingga menjadi lebih berinisiatif dan berpartisipasi aktif
dalam sistem (Naicker, 2008).
Pada masa kini Keraton Kasunanan Surakarta, meskipun tidak lagi
menjadi pusat pemerintahan, administrasi, dan politik, masih berdiri sebagai
pusat pelestarian kebudayaan Surakarta. Salah satu pihak yang berjasa
dalam mempertahankan eksistensi keraton Kasunanan hingga saat ini adalah
para abdi dalem Kasunanan Surakarta.
Abdi dalem, menurut salah satu literatur di Sasono Pustoko, adalah
orang-orang yang bekerja di keraton atau mengabdikan dirinya kepada raja.
Hal senada diungkapkan Widodo (2001) yang menyatakan bahwa abdi
dalem adalah priyayi bodining ratu (priyayi sebagai bawahan raja). Houben
(2002), dalam bukunya mengenai Keraton dan Kompeni, berpendapat
bahwa abdi dalem adalah pembantu kerajaan atau pembantu istana. Allimin
(2007), secara lebih lengkap mengungkapkan bahwa abdi dalem berarti
12
menjadi abdinya budaya Surakarta Hadiningrat serta ditetapkan dengan
surat keputusan pemberian pangkat oleh raja, dimana yang bekerja ada
sangkut pautnya dengan Keraton Surakarta Hadiningrat. Berdasarkan
penjabaran ini, dapat disimpulkan bahwa abdi dalem adalah semua orang
yang mengabdikan dirinya kepada pada raja dan keraton yang ditetapkan
melalui surat keputusan pemberian pangkat oleh raja sebagai priyayi
bawahan raja.
Melalui penjabaran mengenai kesetiaan dan abdi dalem diatas, dapat
disimpulkan bahwa kesetiaan abdi dalem adalah ketaatan, pengabdian, dan
kepatuhan seseorang yang mengabdikan dirinya kepada raja Keraton
Surakarta sebagai priyayi bawahan raja dan ditetapkan dengan surat
keputusan pemberian pangkat oleh raja Keraton Surakarta.
2.
Kedudukan abdi dalem dalam struktur sosial Keraton Surakarta
Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Jawa yang berasal dari
pecahan kerajaan besar Mataram Islam. Pada masa pemerintahannya
dahulu, kerajaan Mataram Islam menggunakan sistem hirarki dalam struktur
sosialnya. Sistem ini masih dilestarikan dan digunakan hingga kini dalam
struktur sosial Keraton Kasunanan Surakarta.
Kedudukan seseorang dalam sistem hirarki ada dua, yakni pertama
orang-orang yang memiliki keturunan atau hubungan darah dengan
penguasa, yakni raja dan kaum bangsawan, kedua, posisinya ditentukan oleh
hirarki dalam pemerintahan (Nurhajarini, 1999).
13
Bagan 1.
Struktur Kelompok Sosial Kasunanan Surakarta
Raja & Keluarga (Sentana Dalem)
Pegawai & Pejabat Kerajaan (Abdi
Dalem)
Rakyat Biasa (Kawula Dalem)
Struktur kelompok sosial Kasunanan Surakarta diatas menggambarkan
bahwa terdapat tiga kelompok besar dalam hirarki sistem (Nurhajarini,
1999), yakni:
a. Raja dan keluarganya (Sentana Dalem)
Lapisan pertama yang menduduki tingkatan sosial teratas
dalam Kasunanan Surakarta adalah raja dan keluarganya. Raja
merupakan pemimpin yang absolut dan mutlak. Keluarga raja atau
siapapun yang memiliki hubungan darah dengan raja juga masuk
kedalam tingkat sosial pertama ini, yang disebut bangsawan atau
sentana dalem. Sentana Dalem adalah kerabat raja yaitu putra-putra
atau ipar raja yang sedang memerintah. Keturunan Raja yang
masuk ke dalam golongan Sentana Dalem adalah permaisuri
sebagai istri raja, putra raja, cucu raja, cicit (buyut), canggah dan
wareng. Keturunan raja setelah wareng termasuk dalam golongan
rakyat biasa (kawula dalem).
14
b. Pegawai dan pejabat kerajaan (Abdi Dalem)
Orang yang bekerja untuk raja disebut sebagai abdi dalem,
atau istilah lainnya adalah priyayi. Abdi dalem terbagi dalam 2
kelompok yaitu: abdi dalem keraton (istana) dan abdi dalem
nagari (kerajaan). Abdi Dalem di dalam kerajaan dibagi menjadi
beberapa golongan yang dipimpin oleh bupati nayaka. Golongangolongan di bawah kekuasaan para bupati nayaka dijadikan satu
merupakan golongan besar yang disebut golongan kepatihan.
Disampingnya masih terdapat golongan kadipaten dan pengulon.
Jika golongan kepatihan mengurusi pemerintahan seluruh kerajaan,
golongan kadipaten mengurusi masalah hal-hal yang berhubungn
dengan kepentingan para putra dan kerabat raja, golongan
kapengulon
mengurusi
hal-hal
yang
berhubungan
dengan
rokhaniah. Golongan kepatihan dikepalai oleh pepatih dalem,
golongan kadipaten dikepalai oleh pangeran adipati anom dan
wakilnya atau seorang pangeran yang ditunjuk raja dan golongan
kapengulon dikepalai oleh penghulu. Abdi dalem keraton bertugas
dalam lingkungan keraton yang terdiri para sentana maupun orang,
sedangkan abdi dalem nagari terdiri dari abdi dalem tungguk dan
abdi dalem prajurit. Abdi dalem tungguk secara berurutan terdiri
atas Patih, Bupati, Nayaka, Panewu, Mantri, Lurah, dan Jajar.
Abdi dalem prajurit bertugas menjaga ketentraman dan keamanan
15
kerajaan, Abdi dalem prajurit dibagi ke dalam dua golongan yaitu
prajurit jero dan prajurit jaba.
c. Rakyat biasa (Kawula Dalem)
Rakyat biasa merupakan tingkatan terendah dalam stratifikasi
sosial masyarakat feodal. Mereka adalah orang-orang yang
diperintah oleh raja dan Sentana dalem. Kawula dalem milik raja
sepenuhnya, raja berwenang menentukan nasib mereka. Pada saat
ini,
pemerintahan telah dipegang sepenuhnya oleh pemerintah
pusat dan daerah (republik) sehingga rakyat biasa tidak lagi berada
dibawah kewenangan raja.
3.
Kondisi kesetiaan seorang abdi dalem Keraton Surakarta
Kesetian seorang abdi dalem masih dapat dilihat dengan jelas di
lingkungan keraton Kasunanan Surakarta. Pengabdian utama abdi dalem
adalah merawat, menjaga, dan mengurus aspek-aspek dalam keraton seperti
rumah tangga, kesenian, dan budaya Jawa. Bagi seorang abdi dalem,
merawat keraton beserta seluruh pusaka di dalamnya merupakan sebuah
kewajiban yang harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh seperti
merawat sesuatu yang bernyawa (Wisudo, 1999).
Pada acara-acara tradisional tertentu, seperti upacara Sekaten, Kirab
Malam Satu Sura dan perayaan Grebeg Syawal, persiapan maksimal dari
abdi dalem jelas terlihat di hari-hari sebelumnya. Seluruh abdi dalem terlibat
dalam persiapan ini. Mulai dari penyediaan konsumsi, pembuatan perangkat
16
tradisional yang dibutuhkan, hingga perawatan dan penjagaan pengisi
upacara. Hal ini dilakukan agar acara berlangsung dapat dengan lancar.
Lain hal dengan abdi dalem prajurit keraton, kesiapsiagaannya dalam
menjaga istana masih terlihat jelas di keraton Kasunanan Surakarta.
Beberapa abdi dalem prajurit ini berdiri di depan pintu utama keraton
Kasunanan Surakarta selama kurang lebih lima jam dengan menggunakan
kostum tertentu yang khas serta tongkat prajurit. Pintu ini dijaga ketat
karena tidak semua orang dapat masuk ke keraton Kasunanan Surakarta
melalui pintu ini.
Salah satu anak lelaki raja Kasunanan Surakarta saat ini, Kanjeng
Gusti Pangeran Harya (KGPH) Puger menyebutkan bahwa pelayanan abdi
dalem terhadap keraton tidak dalam jangka waktu yang sebentar, mayoritas
abdi dalem telah bekerja setidak-tidaknya dua puluh tahun pada keraton
Kasunanan Surakarta (Puger, wawancara pribadi, Februari, 2015).
Pengabdian ini juga dilakukan secara turun-temurun, dari satu generasi abdi
dalem kepada generasi selanjutnya.
Hasil penelitian dari Wisudo (1999) mengungkapkan bahwa abdi
dalem memberikan kesetiaan, mengabdi, dan memiliki etos kerja yang
tinggi tanpa mengharapkan upah. Beberapa abdi dalem menjelaskan bahwa
berkah adalah tujuan utama dari segala kesetiaan yang dilakukannya kepada
keraton dan raja, sebagian abdi dalem lainnya mengaku bahwa mereka
menjadi abdi dalem untuk mengikuti jalan orang tuanya yang juga
merupakan seorang abdi dalem. Sekecil apapun pekerjaan dan tugas yang
17
diberikan kepada abdi dalem diyakini sebagai hal yang berpengaruh pada
seluruh kehidupan keraton, sehingga abdi dalem selalu menjalankan
tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan kesetiaan.
Wawancara pribadi dengan Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH)
Puger, salah seorang pangeran dari keraton Kasunanan Surakarta,
menyebutkan bahwa usia abdi dalem yang bekerja di keraton Surakarta saat
ini berkisar antara empat puluh hingga delapan puluh tahun (Puger,
wawancara pribadi, Februari, 2015). Keseluruhan abdi dalem yang bekerja
di keraton Surakarta kurang lebih lima ratus orang dengan lima pembagian
wilayah kerja, dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1.
Jumlah Abdi Dalem Berdasarkan Wilayah Kerja
No Wilayah Kerja
1
Keputren
2
Sasana Prabu
3
Keparak
4
5
Imogiri
Staf Kantor
Tugas
Mengurus keperluan putri raja
Membersihkan
dan
menjaga
perabotan ruangan, menyiapkan
ruangan bila akan digunakan
Menjaga kebersihan keraton diluar
ruangan
(menyapu
halaman,
memberi sesaji)
Mengurus pemakaman
Mengurus administrasi kantor,
mendata kepustakaan
Jumlah Total
Sumber: (Puger, wawancara pribadi, Februari, 2015)
Jumlah (±)
100 orang
100 orang
140 orang
115 orang
55 orang
500 orang
18
B. Sikap Pro Status Quo
1.
Teori justifikasi sistem
Sikap pro status quo dalam penelitian ini merupakan salah satu
konstruk psikologis dalam tataran individual pada suatu kelompok yang
terdapat dalam teori justifikasi, dalam hal ini justifikasi sistem. Justifikasi
merupakan sebuah konsep dalam psikologi sosial yang menjelaskan
mengenai ide untuk mempertahanakan legitimasi sistem, atau mendukung
pertahanan legitimasi dari orang lain, atau mendukung beberapa bentukbentuk perilaku (Jost dan Banaji, 1994). Teori justifikasi dibagi menjadi tiga
berdasarkan motif-motif yang potensial dialami oleh anggota dari kelompok
yang subordinat atau tidak diuntungkan (disadvantaged): justifikasi ego,
justifikasi kelompok, dan justifikasi sistem.
Justifikasi ego adalah kebutuhan seseorang dalam kelompok untuk
menjaga citra diri sehingga merasa terjustifikasi dan terligitimasi sebagai
individu, justifikasi kelompok adalah keinginan untuk menjaga citra baik
dari suatu kelompok untuk mempertahankan serta men-justifikasi segala
perilaku dari anggota kelompoknya, sedangkan justifikasi sistem merupakan
kebutuhan sosial serta psikologis untuk menginternalisasi status quo dalam
legitimasi status sosial dan melihat hal ini sebagai sesuatu yang baik, adil,
natural, dan bahkan tidak dapat dielakkan (Jost dan Banaji, 1994).
Teori justifikasi sistem membagi sistem menjadi dua kelompok
(Pratto, Sidanius & Levin, 2006). Kelompok pertama adalah kelompok yang
diuntungkan (advantaged) dengan keberjalanan sistem atau yang disebut
19
dengan kelompok dominan. Keuntungan yang didapatkan oleh kelompok ini
seperti status sosial, fasilitas, dan kesejahteraan yang lebih baik dari
kelompok kedua. Kelompok kedua merupakan kelompok yang tidak
diuntungkan (disadvantaged) atau yang disebut dengan kelompok
subordinat. Fasilitas, kesejahteraan, dan status sosial yang didapatkan dan
dimiliki oleh kelompok subordinat lebih rendah daripada kelompok
dominan.
Menurut Jost, Banaji, dan Nosek (2004) teori justifikasi sistem
memiliki enam aspek, yakni: rasionalisasi status quo, favoritisme out-grup,
adanya hak yang ditekan, motif-motif justifikasi ego, kelompok, serta
sistem, peningkatan nilai justifikasi sistem pada kelompok subrodinat, dan
adanya stereotipe-stereotipe yang melengkapi. Keenam aspek ini berasal
dari delapan belas hipotesis yang dikemukakan Jost dan Hunyady (2002).
Rasionalisasi status quo dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam
sistem dengan lebih mengharapkan peristiwa-peristiwa yang lebih mungkin
terjadi daripada peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi. Selain itu anggota
kelompok juga menggunakan stereotip untuk merasionalisasikan perbedaan
status sosial dan mengungkapkan stereotip tersebut secara berbeda
tergantung status yang melekat, guna memperlihatkan bahwa status quo
tersebut terlihat adil. Pada anggota kelompok subordinat, penggunaan
stereotip meningkat dan penjelasan-penjelasan (selemah apapun) akan
diungkapkan untuk merasionalisasikan perbedaan status dalam kelompok.
Kelompok ini akan mengasosiasikan karakteristik-karakteristik positif
20
dengan kelompok dominan dan mengajak anggota kelompok subordinat
lainnya untuk meningkatkan perasaan-perasaan positif mengenai status
kelompok mereka yang rendah.
Favoritisme out-grup terjadi pada kelompok subordinat sebagai
ekspresi dari penginternalisasian dan pengevaluasian susunan sosial yang
berlaku dan meneruskan ketidakadilan sistem. Kelompok subordinat juga
lebih memperlihatkan tekanan mengenai hak-hak yang didapatkan pada
anggota kelompok dominan. Motif-motif justifikasi ego, kelompok, dan
sistem juga mempengaruhi justifikasi sistem. Pada kelompok dominan,
motif ketiga justifikasi tersebut kongruen satu sama lain, sedangkan pada
kelompok subordinat, motif justifikasi ego dan kelompok bertentangan
dengan motif justifikasi sistem. Pada kelompok subordinat dalam sebuah
sistem sosial dengan status quo, saat penurunan motif justifikasi ego dan
kelompok terjadi maka justifikasi sistem akan meningkat (Jost dan Burgess,
2000).
Pada kelompok subordinat, dikarenakan sistem yang berjalan tidak
banyak memberikan keuntungan, tendensi justifikasi sistem meningkat
untuk merasionalisasikan dan mempertahankan sistem dan status quo
berlaku. Stereotip yang menggabungkan aspek-aspek positif dalam aspekaspek negatif agar terjadi keseimbangan perasaan dalam dirinya, seperti
‘miskin namun bahagia’ atau ‘menyedihkan namun terhormat’ juga dapat
meningkatkan justifikasi anggota kelompok pada status quo (Kay dan Jost,
2003).
21
Berdasarkan aspek-aspek justifikasi sistem diatas, kelompok dominan
tentunya akan lebih mudah menerima dan mendukung sistem dibandingkan
kelompok subordinat. Kelompok dominan mendapatkan keuntungankeuntungan dari status sosial maupun ekonomi yang lebih tinggi, sehingga
sikap mendukung sistem dan status quo dapat dengan mudah terjadi (Jost
dan Hunyady, 2002). Pada kelompok subordinat, sistem tidak memberikan
keuntungan pada status sosial maupun ekonomi pada mereka. Jika
kelompok subordinat memiliki keinginan untuk mendukung status quo dan
sistem yang berjalan sebagai sistem yang adil dan terlegitimasi, maka hal ini
akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu pada diri mereka (Jost
dan Hunyady, 2005).
Menurut salah satu aspek sistem justifikasi, yakni mengenai motifmotif justifikasi ego, kelompok, dan sistem, penerimaan kelompok
subordinat pada legitimasi sistem dapat bertentangan dengan citra diri dan
kelompok yang positif (justifikasi ego dan kelompok). Blasi dan Jost (2006)
mengungkapkan bahwa seiring dengan meningkatnya motif-motif justifikasi
sistem, akan terjadi resistensi dalam diri individu terhadap perubahanperubahan yang terjadi di lingkungan kelompok mereka. Implikasi dari hal
ini adalah kelompok pun akan menjadi resisten dan mengalami kesulitan
yang lebih besar dalam menerima peraturan-peraturan maupun figur otoritas
yang mencerminkan ekualitas atau kesamaan. Kemudian hal ini akan
meningkatkan stabilitas pada keseluruhan sistem sosial yang berlaku.
22
Selain secara sistemik, konsekuensi dari justifikasi sistem juga terjadi
dalam tataran individual. Pada individu-individu dalam kelompok
subordinat, jika motif justifikasi sistemnya ditingkatkan dibanding kedua
motif lainnya, maka pertentangan in-group akan meningkat, tingkat self
esteem akan menurun, dan tingkat depresi akan meningkat (Jost dan
Hunyady, 2002). Penelitian lain menunjukkan bahwa, meskipun hal-hal
tersebut terjadi, motif-motif justifikasi sistem justru mampu mengurangi
distress emosi pada individu-individu yang tidak menuntut kesenjangan atau
ketidakadilan yang terjadi. Lebih spesifik lagi, amarah akan moralitas yang
berlaku, rasa bersalah, dan frustrasi juga menurun saat motif-motif
justifikasi sistem meningkat (Jost, Banaji, & Nosek, 2004).
2.
Sikap pro status quo dalam teori justifikasi sistem
Telah dijabarkan sebelumnya bahwa, berdasarkan teori justifikasi
sistem, manusia tidak hanya memiliki sikap positif terhadap diri mereka
sendiri (justifikasi ego) dan kelompok mereka (justifikasi kelompok), tetapi
juga memiliki sikap-sikap yang baik mengenai keseluruhan sistem yang
berlaku (justifikasi sistem). Hal ini menjadikan teori justifikasi sistem
berbeda dari kedua teori lainnya dan lebih jelas dalam mengidentifikasi
konsekuensi-konsekuensi sosial dan psikologis pada pendukung status quo,
terutama anggota-anggota kelompok dengan status lebih rendah atau
subordinat (Jost, Banaji & Nosek, 2004).
23
Teori justifikasi sistem mengungkapkan bahwa manusia memiliki
motivasi untuk membela dan men-justifikasi status quo, walaupun hal ini
tidak menguntungkan bagi sebagian anggota dari suatu kelompok. Susunan
atau strata sosial yang berlaku dilegitimasikan oleh orang-orang di
dalamnya, termasuk dengan mengorbankan kepentingan individual maupun
kelompok. Orang-orang di dalam kelompok tersebut memiliki kebutuhan
psikologis untuk menjaga stabilitas dan ketentraman dalam hidupnya (Jost
dan Hunyady, 2005).
Harapan dari kedua kelompok, baik dominan maupun subordinat,
adalah terciptanya stabilitas dari legitimasi keseluruhan sistem yang berlaku.
Ketidakadilan dan kesenjangan yang terasa diantara kelompok dominan dan
subordinat akan berkurang saat motif-motif justifikasi sistem lebih besar
nilainya
daripada
motif-motif
justifikasi
ego
maupun
kelompok.
Konsekuensi-konsekuensi yang telah dijabarkan sebelumnya, seperti
resistensi pada perubahan dan berkurangnya emosi negatif, tidak dapat
dielakkan jika motif justifikasi sistem telah dianut oleh individu maupun
kelompok, yaitu dengan merasionalisasikan dan mendukung legitimasi dari
sistem yang berlaku atau bersikap pro terhadap status quo.
24
C. Self-enhancement (Peningkatan Nilai Diri)
1.
Pengertian self-enhancement
Self-enhancement atau peningkatan nilai diri merupakan salah satu
peningkatan pada diri yang dapat membuat seseorang dapat merasa lebih
baik terhadap dirinya sendiri guna menjaga self-esteem dalam dirinya
(Sedikides dan Strube, 1995). Sejalan dengan pengertian ini, Alport dan
Fiske secara terpisah (dalam Jordan dan Audia, 2012) mengatakan bahwa
self-enhancement merupakan kebutuhan seseorang untuk melihat ke dalam
dirinya sendiri dengan cara-cara yang positif.
Self-enhancement merupakan keinginan dari individu untuk melihat
secara mendalam aspek-aspek positif pada konsep diri saat menjauhkan diri
dari informasi dan umpan balik yang bersifat negatif. Motif ini dapat
menjadi sangat terlihat dalam situasi-situasi kegagalan, situasi mengancam,
atau situasi yang menyerang self-esteem seseorang (Beauregard dan David,
1998). Termasuk di dalam self-enhancement adalah preferensi positif di atas
perasaan negatif pada diri sendiri (Sedikides dan Gregg, 2008).
Berdasarkan pengertian dan penjelasan diatas, dapat disimpulkan
bahwa self-enhancement adalah peningkatan nilai diri dalam rangka
menumbuhkan aspek-aspek positif dalam rangka mengurangi perasaanperasaan negatif dalam diri.
25
2.
Aspek self-enhancement
Self-enhancement memiliki tiga aspek yang membangunnya (Alicke
dan Sedikides, 2009; Sedikides dan Gregg, 2008), ketiga aspek tersebut
adalah:
a. Positivity embracement atau peningkatan positifisme
Suatu strategi untuk membuat (secara kognitif) dan mendapatkan
(secara perilaku) umpan balik yang positif dari orang lain.
b. Favorable construals atau pemikiran/perasaan menyenangkan
Membentuk suatu kognisi tersendiri (self-serving) mengenai dunia
yang terkadang mengabaikan fakta ataupun minat.
c. Self-affirming reflections atau refleksi-refleksi yang menguatkan diri
Menjaga integritas diri secara kognitif untuk mneghadapi masa kini
maupun ancaman pribadi di masa lalu.
3.
Dimensi self-enhancement
Sedikides dan Gregg (2008) menyusun empat dimensi dari Selfenhancement, yakni:
a. Self-advancing vs. self-protecting
Kedua hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan konsep diri
yang positif atau dengan mengurangi konsep diri yang negatif. Individu
dengan self-esteem yang lebih tinggi cenderung melakukan selfadvancing, sedangkan individu dengan self-esteem rendah lebih
cenderung untuk melakukan self-protecting.
26
b. Publik vs. pribadi
Self-enhancement dapat terjadi di tataran publik maupun di tataran
pribadi. Di tataran publik, seorang individu dapat melakukan presentasi
positif dari dirinya kepada lingkunga sekitarnya, sedangkan di tataran
pribadi, self-enhancement hanya diketahui oleh diri individu itu sendiri.
c. Terpusat vs. periferal
Area potensial untuk melakukan self-enhancement berbeda-beda
bagi setiap orang. Self-enhancement lebih banyak terjadi pada domaindomain yang penting bagi seorang individu (terpusat).
d. Candid vs. taktikal
Self-enhancement dapat terjadi secara candid maupun taktikal. Selfenhancement yang bersifat candid menghasilkan kepuasan atau
kegembiraan yang dapat langsung dirasakan oleh individu tersebut,
sedangkan self-enhancement yang bersifat taktikal dapat memberikan
keutungan-keuntungan yang lebih besar
bagi konsep diri indivdu,
walaupun kepuasan tidak langsung dirasakan
4.
Self enhancement dalam konteks kehidupan kelompok
Manusia, sebagai makhluk sosial, memiliki perbedaan-perbedaan
dalam perilakunya, terutama dalam menjalankan perannya di dalam
kelompoknya. Pada satu kelompok, terdapat individu-individu yang
berusaha keras untuk menjadi dominan dalam kelompoknya, di sisi lain,
terdapat pula individu yang tidak ingin terlihat menonjol dalam kelompok.
Ada
pula
individu-individu
yang
ingin
menjauh
dari
kehidupan
27
berkelompok, sebaliknya, tidak sedikit individu yang justru mengikuti
berbagai macam kelompok. Berbagai macam teori dan perspektif berusaha
menguak jawaban dari sikap-sikap individu dan kaitannya dengan
kehidupan berkelompok. Salah satu dari teori tersebut adalah perspektif
motivasional dan emosional (Forsyth, 2010).
Motivasi adalah mekanisme psikologis yang memberikan arah dan
tujuan pada perilaku. Pendekatan motivasional berfokus dalam peran yang
dimainkan kelompok saat bertemu dengan kebutuhan dasar manusia yang
berhubungan dengan self-esteem. Manusia memiliki cakupan yang luas atas
penilaian mereka terhadap harga diri; individu yang depresi akan merasa
dirinya inferior, kecil, bahkan tidak berharga, sedangkan individu yang
narsistik cenderung selalu menyenangi dirinya sendiri.
Seluruh manusia, memiliki kecenderungan dan motivasi untuk
menjaga dan meningkatkan (enhance) self-esteem dalam diri masingmasing individu. Kemudian, timbul kecenderungan membesar-besarkan
peran yang dijalankannya dalam sebuah kelompok saat kelompok dalam
situasi yang baik, dan menghindar dari tanggung jawab jika terdapat
kegagalan dalam berkelompok. Konsekuensinya, anggota kelompok yang
merasa telah mengerjakan tugas penting atau lebih banyak berinvestasi pada
kelompok, cenderung untuk mengelakkan kegagalan kelompok namun ingin
mendapatkan penghargaan pada keberhasilan kelompok, berbeda dengan
anggota kelompok yang merasa bahwa tugas-tugas dalam kelompok tidak
memiliki dampak pada harga diri (Savitsky dalam Forsyth, 2010)
28
5.
Self enhancement pada kelompok subordinat
Tekanan dari ideologi justifikasi sistem, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, memiliki beberapa konsekuensi-konsekuensi pada tiap
kelompok. Kelompok subordinat, sebagai kelompok dengan status yang
lebih rendah, memiliki konsekuensi yang cenderung negatif. Salah satu
konsekuensi yang dialami oleh kelompok subordinat adalah menurunnya
tingkat self-esteem.
Berdasarkan teori self-enhancement, saat seseorang berada pada
situasi yang melemahkan self esteem, motivasi untuk melihat secara positif
kedalam diri dan menekan aspek-aspek negatif yang muncul akan semakin
meningkat. Hal ini, menurut Forsyth (2010), berguna untuk menjaga
peranan dan harga dirinya dalam kelompok.
Bagi kelompok subordinat, agar sistem yang berlaku tetap terjaga dan
berjalan dengan baik (menganut ideologi justifikasi sistem) dapat menjadi
sebuah tekanan tersendiri. Hal ini dikarenakan banyak hal yang tidak
menguntungkan (baik secara status maupun ekonomi) terjadi kepada
kelompok ini dan hal-hal yang menguntungkan lebih banyak didapatkan
oleh kelompok dominan. Tekanan justifikasi sistem dan sikap pro status quo
inilah yang menurunkan self-esteem kelompok subordinat. Hal ini kemudian
meningkatkan kebutuhan tiap individu dalam kelompok untuk melakukan
self-enhancement (Jost dan Hunaydy, 2005).
29
Kelompok subordinat memahami dengan baik bahwa terdapat
kesenjangan dan ketidakadilan status sosial antara kelompoknya dengan
kelompok dominan, namun penelitian sebelumnya menemukan bahwa
kelompok subordinat justru merupakan kelompok yang lebih mendukung
terjaganya sistem tersebut (Jost, Banaji, & Nosek, 2004). Hal ini, menurut
Jost dan Hunyady (2005), terjadi karena adanya motif-motif psikologis lain,
salah satunya adalah self-enhancement yang dilakukan oleh individuindividu dalam kelompok subordinat.
Melalui self-enhancement yang dilakukan individu dalam kelompok
subordinat, merasionalisasikan kondisi dan peran dalam sistem yang berlaku
akan berjalan dengan lebih mudah, sehingga sikap mendukung pada status
quo justru akan lebih banyak ditampakkan oleh kelompok ini.
D.
Relasi Sikap Pro Status Quo dan Self Enhancement dengan Kesetiaan
Abdi Dalem
Sikap pro status quo atau teori justifikasi sistem mengemukakan bahwa
terdapat penjagaan status dan legitimasi dari sebuah sistem yang dibangun oleh
individu dan kelompok didalamnya (Jost & Banaji, 1994). Teori justifikasi sistem
membagi kelompok dalam suatu sistem sosial menjadi dua: kelompok dominan
dan kelompok subordinat. Kelompok dominan memiliki status sosial yang lebih
tinggi, diikuti dengan kekuatan politis, pendidikan, dan kesejahteraan yang lebih
baik. Sebaliknya, kelompok subordinat mendapatkan status sosial, fasilitas, dan
kesejahteraan yang lebih rendah (Pratto, Sidanius & Levin, 2006). Meskipun
demikian, kedua kelompok tetap mendukung keberjalanan sistem sosial tersebut.
30
Jost dan Hunyady (2005) menjelaskan bahwa dukungan terhadap sistem
dilakukan oleh kelompok subordinat dalam rangka menjaga stabilitas dan
legitimasi sistem, sehingga meminimalisir perubahan yang terjadi dalam sistem.
Dukungan pada status quo ini akan lebih meningkatkan tendensi kelompok
dominan dan subordinat untuk tetap berada di dalam sistem dengan memberikan
berbagai rasionalisasi dalam melihat kesenjangan yang terjadi di dalam sistem
(Jost dan Banaji, 1994). Jost, Banaji, dan Nosek (2004) mengemukakan bahwa
rasionalisasi
dilakukan
kelompok
subordinat
dengan
mengasosiasikan
karakteristik positif kepada kelompok dominan dan lebih menonjolkan perasaanperasaan positif pada status mereka saat ini. Perasaan-perasaan positif ini dapat
membuat kelompok subordinat merasa aman dan nyaman untuk menjalankan
perannya dan menerima statusnya. Hal inilah yang membuat abdi dalem, sebagai
kelompok subordinat, dapat meningkatkan kesetiannya kepada keraton Surakarta.
Menurut teori justifikasi sistem, kekuatan status sosial, kesejahteraan, dan
fasilitas kelompok subordinat lebih rendah dibandingkan dengan kelompok
dominan. Kondisi ini, menurut Jost, Banaji, & Nosek (2004) memiliki
konsekuensi negatif, yakni menurunkan self-esteem kelompok subordinat. Untuk
tetap menjalankan peran sebagai seorang individu, self-esteem seseorang perlu
dipertahankan dengan memotivasi diri untuk membuat dirinya merasa lebih baik
untuk berperan secara positif di dalam kelompok, dengan kata lain melakukan
self-enhancement
(Sedikides
dan
Strube,
1995).
Kelompok
subordinat
mengembangkan stereotip keyakinan-keyakinan yang dapat membantu dalam
mengubah persepsi dan melihat kondisi sistem menjadi lebih positif (Jost dan
31
Banaji, 1994). Hal ini dapat dilakukan dengan menjauhkan diri dari informasi
yang bersifat negatif (Beauregard dan David, 1998), menumbuhkan aspek positif
dalam persepsi (Sedikides dan Gregg, 2008), serta membuat tampilan diri menjadi
lebih positif (Pennington, 2000).
Abdi dalem keraton Surakarta melakukan hal ini dengan mengubah
pandangan bahwa menjadi abdi dalem merupakan sebuah pengabdian dan
melayani raja serta kaum bangsawan akan memberikan berkah kepada mereka
(Saputra, 2012). Selain itu, abdi dalem terlihat selalu memakai kostum khusus,
nama gelar khusus, serta dandanan yang mencerminkan statusnya sebagai abdi
dalem, baik dalam kesehariannya maupun pada saat acara-acara tertentu.
Beberapa cara ini merupakan gambaran dari self-enhancement yang dilakukan
oleh abdi dalem Kasunanan Surakarta dalam rangka menjaga self esteem-nya
sebagai kelompok subordinat. Semakin banyak self-enhancement dilakukan,
kesetiaan abdi dalem kepada keraton Surakarta Hadiningrat juga akan meningkat.
Berdasarkan paparan teori yang telah diuraikan diatas, diduga terdapat
hubungan antara sikap pro status quo dan self-enhancement dengan kesetiaan abdi
dalem. Semakin besar dukungan abdi dalem terhadap sistem keraton Surakarta
dan semakin tinggi self-enhancement yang dilakukan oleh abdi dalem, akan
semakin tinggi pula kesetiaan yang diberikan abdi dalem kepada sistem keraton
Surakarta. Sebaliknya, kesetiaan akan menurun bila dukungan terhadap status quo
keraton Surakarta dan self-enhancement yang dilakukan abdi dalem juga
menurun.
32
E.
Kerangka Pikir
Hubungan antara kesetiaan abdi dalem keraton Surakarta dengan sikap pro
status quo dan self-enhancement dapat digambarkan dengan kerangka pemikiran
sebagai berikut:
Bagan 2.
Kerangka Pemikiran Penelitian
Abdi dalem mendukung status
quo
Abdi dalem setia kepada
sistem keraton
Abdi dalem melakukan
Self-Enhancement
F. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara kesetiaan abdi dalem keraton Kasunanan
Surakarta dengan sikap pro status quo dan self-enhancement
2. Sikap pro status quo merupakan variabel yang lebih tinggi pengaruhnya
terhadap kesetiaan abdi dalem
Download