kajian yuridis terhadap penerapan pasal 9 ayat (1) huruf k dan pasal

advertisement
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1)
HURUF K DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN
1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/Pdt.Sus/2012
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
SANI CIPTI RIANTI
E1A011003
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
2
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K
DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012
Disusun oleh:
SANI CIPTI RIANTI
E1A011003
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal :
Februari 2015
Pembimbing I/
Pembimbing II/
Penguji I
Penguji II
I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum.
NIP. 19610520 198703 1 002
Penguji III
H. Suyadi, S.H., M.Hum
Agus Mardianto, S.H.,M.H.
NIP. 19611010 198703 1 001 NIP. 19650831 200312 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
3
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul :
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K
DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
DALAM
PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012
Yang diajukan untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto merupakan
hasil karya saya sendiri dan semua data yang terdapat didalam skripsi ini dapat
saya pertanggungjawabkan secara hukum.
Demikian pernyataan ini saya buat jika dikemudian hari terbukti bahwa
skripsi saya ini tidak sesuai dengan pernyataan saya tersebut diatas, saya bersedia
menerima semua sanksi yang akan diajukan termasuk pencabutan gelar sarjana
yang telah saya peroleh.
Purwokerto,
Februari 2015
Yang Membuat Pernyataan,
SANI CIPTI RIANTI
NIM. E1A011003
4
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat serta hidayah-Nya,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KAJIAN YURIDIS
TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K DAN PASAL 10
HURUF
C
UNDANG-UNDANG
NO.
8
TAHUN
1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan
berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sebagai bentuk rasa syukur dengan
segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bapak I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I
yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran
yang sangat membangun serta banyak menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan khususnya dalam lingkup Hukum Perlindungan Konsumen
bagi penulis, sehingga penulis mendapatkan kelancaran dan kemudahan
dalam mengerjakan skripsi sampai selesai.
5
3. Bapak H. Suyadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat
membangun dalam penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Agus Mardianto,S.H.,MH. selaku Dosen Penguji Skripsi yang turut
menilai dan memberi masukan pada skripsi penulis.
5. Ibu Krisnhoe Kartika Wahyoeningsih, SH.,M.Hum. selaku Dosen
Pembimbing Akademik di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang
telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
yang telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan.
8. Kedua orang tua tercinta yang selalu mendoakan, memberi nasihat dan
motivasi selama penulis mengerjakan skripsi.
Semoga karya kecil yang penuh kekurangan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan bagi kemajuan kita bersama.
Purwokerto,
Februari 2015
Penulis
6
ABSTRAK
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K
DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012
Oleh :
SANI CIPTI RIANTI
E1A011003
Iklan merupakan salah satu media yang digunakan oleh pelaku usaha
untuk memperkenalkan produk mereka. Konsumen menggunakan iklan sebagai
sarana untuk memperoleh informasi mengenai barang dan atau jasa pada tahap
pratransaksi. Pada beberapa kasus sengketa konsumen, telah terjadi pelanggaran
oleh pelaku usaha terkait dengan penyampaian informasi melalui iklan yang tidak
sesuai dengan kondisi sebenarnya mengenai suatu barang yang mengarah kepada
iklan menyesatkan. Informasi mengenai kondisi suatu barang dan atau jasa
merupakan hak konsumen yang diatur dalam Undang-Undang sehingga pelaku
usaha berkewajiban untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi suatu
produk secara benar, jelas, dan jujur kepada konsumen. Kasus sengketa konsumen
terkait dengan iklan menyesatkan yang telah diadili pada tingkat Mahkamah
Agung yaitu kasus antara PT. Nissan Motor Indonesia selaku pelaku usaha
melawan Ludmilla Arif selaku konsumen. Ludmilla Arif merasa dirugikan akibat
ketidaksesuaian informasi terkait penggunaan bahan bakar produk PT. Nissan
Motor Indonesia yang pada iklan dinyatakan irit namun setelah penggunaan
selama kurang lebih 2 bulan, konsumsi bahan bakar produk PT. Nissan Motor
Indonesia tidak sesuai dengan yang diiklankan. Putusan Mahkamah Agung
Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012 memutus bahwa PT. Nissan Motor Indonesia terbukti
melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena pelaku usaha
telah menawarkan suatu janji atau kondisi yang tidak benar dan menyesatkan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana data
diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012 sudah tepat
dalam menerapkan hukumnya karena PT. Nissan Motor Indonesia memenuhi
unsur-unsur yang dimuat dalam Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kosumen.
Penerapan hukum oleh hakim pada putusan tersebut kurang lengkap. PT. Nissan
Motor Indonesia dalam pertimbangan hukum hakim pada putusan tersebut
seharusnya juga dinyatakan melanggar Pasal 1458 KUHPerdata dan Pasal 1474
KUHPerdata terkait tanggung jawab penjual untuk menanggung kebendaan yang
dijualnya serta melanggar Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang memuat mengenai hak konsumen terkait
informasi mengenai kondisi barang dan atau jasa.
Kata kunci : Pelaku Usaha, Konsumen, Informasi, Iklan, Iklan Menyesatkan
7
ABSTRACT
JURIDICAL STUDY OF THE APPLICATION OF ARTICLE 9 PARAGRAPH (1)
LETTER K AND ARTICLE 10 LETTER C OF LAW NO 8 OF 1999 ON
CONSUMER PROTECTION IN THE SUPREME COURTS DECISION NUMBER
659 K/PDT.SUS/2012
by :
SANI CIPTI RIANTI
E1A01003
Advertisement is a media used by business to introduce their products.
Consumers use it as a mean to obtain the information about the goods and or
services before they do transaction. In some cases of consumer disputes, there has
been a violation by business associated with the information delivered by the
advertisement that does not correspond to the actual conditions of the goods
which leads to the misleading advertisement. To know the actual information
about the conditions of the goods or services is the consumers right set out in the
act, so that businesses oblige to pass the actual information about the products to
the consumers. The case of consumer disputes related to the misleading
advertisement that has been tried in the Supreme Court is the case between PT.
Nissan Motor Indonesia as the business against Ludmilla Arif as the consumer.
Ludmilla Arif felt disadvantaged due to a mismatch information related to the use
of fuel products of PT. Nissan Motor Indonesia because the advertisement stated
that the product was economical, but in fact after about two month use it was not
as what it was advertised. Supreme Court decision Number 659 K/Pdt.Sus/2012
concluded that PT. Nissan Motor Indonesia has proven to violate the provisions
of Article 9 paragraph (1) letter k and Article 10 letter c of Law No. 8 of 1999 on
Consumer Protection because business had offered a promise or condition that is
not true and misleading. This study used normative juridical method where data
obtained from library research. The results of this study stated that the judge in
the Supreme Court Decision Number 659 K/Pdt.Sus/2012 was right in applying
the law as PT. Nissan Motor Indonesia met the elements contained in Article 9
paragraph (1) letter k and Article 10 letter c of Law No. 8 of 1999 on Consumer
Protection. Application of the law by the judge in the decision is less complete.
PT. Nissan Motor Indonesia in the legal considerations should also be declared
that it also violated the Article 1458 Civil Code and 1474 Civil Code related to
the responsibility of the seller to bear the material it sells, and it also violated the
Article 4 letter c of law No. 8 of 1999 on Consumer Protection which contains the
consumers rights related to the actual information of the goods or services.
Keyword : Business, Consumer, Information, Advertisement, Misleading
Advertisement
8
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
i
HALAMAN PENGESAHAAN
ii
HALAMAN KEASLIAN SKRIPSI
iii
PRAKATA
iv
ABSTRAK
vi
ABSTRACT
vii
DAFTAR ISI
viii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN .........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Rumusan Masalah ...................................................................
9
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
9
D. Kegunaan Penelitian................................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
10
A. Konsumen ...............................................................................
10
1. Pengertian Konsumen .......................................................
10
2. Hak dan Kewajiban Konsumen .........................................
15
3. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen .......................
21
B. Pelaku Usaha ...........................................................................
28
1. Pengertian Pelaku Usaha ...................................................
28
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ....................................
31
9
3. Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha ....................
32
4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha .........................................
35
C. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan
Konsumen ...............................................................................
41
D. Iklan.........................................................................................
46
1. Pengertian Iklan ................................................................
46
2. Iklan yang Menyesatkan ...................................................
49
3. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Penyampaian
BAB III
BAB IV
BAB V
Iklan Menyesatkan ............................................................
54
METODE PENELITIAN ..............................................................
61
A. Metode Pendekatan ................................................................
61
B. Spesifiasi Penelitian ...............................................................
61
C. Lokasi Penelitian ....................................................................
62
D. Sumber Data ...........................................................................
62
E. Metode Pengumpulan Data ....................................................
63
F. Metode Penyajian Data ..........................................................
63
G. Metode Analisis Data .............................................................
64
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................
65
A. Hasil Penelitian ......................................................................
65
B. Pembahasan ............................................................................
92
PENUTUP ....................................................................................... 109
A. Simpulan ................................................................................
109
B. Saran .......................................................................................
110
10
DAFTAR PUSTAKA
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang
tinggi menjadikannya sebagai negara dengan tingkat konsumsi yang tinggi
pula. Kebutuhan masyarakat terhadap barang dan atau jasa yang selalu
bertambah harus dapat diimbangi oleh pelaku usaha dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat selaku konsumen. Perkembangan ekonomi yang pesat
saat ini terlebih dengan adanya perdagangan bebas, menimbulkan persaingan
yang ketat antar pelaku usaha karena berarti akan semakin banyak jumlah
produk sejenis yang beredar dipasaran. Pelaku usaha berupaya untuk
mempertahankan konsumen dan lebih jauh berpikir untuk memperluas
kawasan pasar. Persaingan pelaku usaha akibat perdagangan bebas ini akan
berdampak
kepada
konsumen
karena
dalam
menjalankan
kegiatan
ekonominya tidak menutup kemungkinan terjadi praktik-praktik kegiatan
usaha yang curang antara lain menyangkut kualitas atau mutu barang,
informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya.
Konsumen sebagai penikmat barang dan atau jasa tersebut kemudian dituntut
untuk lebih cermat dalam menyeleksi produk-produk yang beredar sesuai
dengan keinginan, kebutuhan dan jangan sampai menimbulkan kerugian.
Kerugian yang dialami konsumen tidak terlepas dari tingkat pendidikan
12
konsumen yang rendah, sedangkan teknologi komunikasi semakin maju,
sehingga dengan mudah menjangkau masyarakat luas.
Tahapan awal yang dibutuhkan oleh konsumen sebelum mengkonsumsi
suatu barang dan atau jasa yaitu dengan mencari informasi tentang produk
tersebut. Informasi produk ini sangat penting bagi konsumen karena dengan
informasi ini konsumen akan lebih berhati-hati mempergunakan dana yang
tersedia untuk membeli produk yang sesuai dengan kebutuhan.
“Pelaku usaha berupaya untuk menginformasikan berbagai hal
mengenai produk yang dipasarkannya kepada konsumen, antara lain :
tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat,
kualitas produk, keamanan, harga, tentang berbagai persyaratan atau
cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, ketersedian
suku cadang, pelayanan purna jual, dan hal-hal lain yang berkenaan
dengan itu”.1
Idealnya, pelaku usaha tidak hanya menonjolkan kelebihan dari produk
tersebut namun
juga perlu diimbangi dengan informasi yang memuat
kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh produk bersangkutan.
Pelaku usaha dengan kemampuan mereka dalam memperkenalkan atau
mempromosikan produknya menggunakan banyak cara agar konsumen dapat
tertarik terhadap produk yang mereka tawarkan. Salah satu cara yang
digunakan oleh pelaku usaha untuk mempromosikan produknya yaitu melalui
iklan. Iklan sebagai salah satu bentuk informasi yang dijadikan sarana oleh
pelaku usaha untuk melakukan penawaran kepada konsumen terhadap produk
yang mereka produksi yang dapat disebut sebagai tahap pratransaksi,
1
A.Z. Nasution, 1, Hukum
Yogyakarta:Diadit Media, 2001, hal.5.
Perlindungan Konsumen
(Suatu Pengantar),
13
sehingga iklan juga dapat dianggap sebagai janji yang disampaikan oleh
pelaku usaha kepada calon pembeli produknya.
Iklan digunakan sebagai alat komunikasi dari pelaku usaha kepada
konsumen. Berdasarkan iklan tersebut maka konsumen dapat menilai
kejujuran pelaku usaha dalam menyampaikan informasi produk melalui iklan.
Banyak akses yang dapat ditempuh pelaku usaha dalam penyampaian iklan
tersebut misalnya melalui televisi, internet maupun surat kabar. Keberadaan
iklan sangat mudah ditemui oleh masyarakat karena memang sifatnya yang
dapat terlihat, terdengar, tertonton dimana saja tergantung dimana iklan itu
disampaikan. Iklan mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi sikap
orang yang melihatnya menjadi konsumtif dan memiliki daya pikat.
Keberhasilan suatu produk menarik konsumen sangat bergantung dari
bagaimana produk tersebut dipasarkan, sehingga penawaran dalam bentuk
iklan ini dikemas secara menarik.
Kenyataannya, saat ini tidak selamanya iklan yang ditayangkan
diberbagai media dapat diterima dalam pemahaman yang sama pada setiap
konsumen. Permasalahan tersebut kemudian menyebabkan informasi yang
disampaikan oleh pelaku usaha melalui iklan tidak dapat diterima atau
disalahtafsirkan oleh konsumen. Selain itu juga terhadap iklan yang
ditayangkan tidak semuanya memberikan keuntungan kepada konsumen, ada
beberapa iklan yang dianggap telah merugikan yang mengarah kepada iklan
yang menyesatkan konsumen sebagai pengguna produk tersebut. Konsumen
14
menanggung akibat dari ketidakjujuran informasi melalui media iklan yang
terus menerus disajikan secara luas kepada konsumen.
Berkaitan dengan pelanggaran dalam penyampaian informasi melalui
iklan, ada sebanyak 409 laporan kasus dugaan pelanggaran produk/merek dan
materi iklan yang diterima Badan Pengawas Periklanan (BPP) dalam rentang
waktu tahun 2008-2013 (Februari 2013) dengan rincian 41 kasus pada tahun
2008, 121 kasus tahun 2009, 96 kasus pada tahun 2010, 84 kasus pada tahun
2011, 55 kasus pada tahun 2012, dan 13 kasus pada bulan Januari hingga
Februari 2013.
Media iklan yang sangat berpengaruh dalam tahap pratransaksi kadang
tidak disadari konsumen telah menyampaikan informasi yang tidak sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya tentang suatu produk. Padahal informasi
mengenai suatu barang atau jasa yang akan digunakan konsumen merupakan
salah satu hak konsumen. Hak ini dimaksudkan agar konsumen dapat
memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan
informasi tersebut konsumen dapat memilih produk yang diinginkan dan
sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan
dalam penggunaan produk. Kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa
yang selalu bertambah membuat pelaku usaha berlomba-lomba untuk
menarik minat masyarakat terhadap produk mereka dan tidak jarang pelaku
usaha tersebut melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan dalam
kegiatan usaha mereka.
15
Selama penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku
usaha sulit untuk dibenahi, maka menjadi kewajiban konsumen untuk
meningkatkan kehati-hatian dalam memilih produk-produk yang akan mereka
konsumsi. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dibentuk suatu peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan
terhadap konsumen.
“Pada tanggal 20 April 1999, Pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan suatu kebijakan baru mengenai perlindungan konsumen
dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang dimuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 42 dan Tambahan Lebaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini
berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000, yang merupakan awal
pengakuan perlindungan konsumen dan secara legitimasi formal
menjadi sarana kekuatan hukum bagi konsumen dan tanggung jawab
pelaku usaha sebagai penyedia/pembuat produk bermutu”.2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
bukan untuk mematikan pelaku usaha, namun untuk menciptakan
keseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen karena pada praktiknya
posisi konsumen di Indonesia masih sangat lemah dibanding dengan posisi
pelaku usaha. Konsumen sebenarnya berpotensi untuk memiliki posisi yang
seimbang dengan pelaku usaha mengingat posisi kedua belah pihak yang
saling membutuhkan, selain itu pula karena kemajuan usaha pelaku usaha
sangat tergantung pada konsumen. Kedudukan pelaku usaha yang tampak
lebih dominan dalam kegiatan ekonomi menjadikan belum dapat tercapainya
keseimbangan kedudukan konsumen dan pelaku usaha. Pemerintah melalui
2
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor. hal. 5.
16
Undang-Undang Perlindungan Konsumen berupaya untuk menciptakan
keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen dengan tidak hanya
mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen, namun juga mengatur
tentang pelaku usaha yang dapat dilihat dengan dimuatnya pengaturan
mengenai hak, kewajiban, perbuatan yang dilarang
dan tanggung jawab
pelaku usaha. Pengaturan tentang pelaku usaha ini dikarenakan dalam
melaksanakan kegiatan ekonominya tidak jarang terjadi pelanggaran terhadap
hak-hak konsumen.
Pada beberapa kasus sengketa konsumen diketahui bahwa telah terjadi
pelanggaran terhadap hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal tersebut
mengatur apa saja hak yang dimiliki oleh konsumen dan harus dipenuhi
pelaku usaha. Salah satunya hak konsumen tersebut yaitu hak atas informasi
yang benar mengenai suatu barang atau jasa.
Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutan bahwa :
”Hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa”.
Informasi tersebut baik yang didapat secara langsung atau bisa melalui
pernyataan yang ditempel pada kemasan produk atau bisa juga diperoleh
melalui iklan-iklan dan pemberitaan yang bersifat promosi yang sengaja
dibuat oleh pelaku usaha untuk menarik minat konsumen atas barang yang
mereka produksi.
17
Berdasarkan Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen sebagaimana disebutkan diatas bahwa pelaku usaha
berkewajiban untuk memberikan informasi yang jelas dan benar terhadap
barang yang akan mereka pasarkan. Tidak memadainya informasi yang
disampaikan kepada konsumen, merupakan salah satu bentuk cacat produk.
Lebih lanjut berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha tersebut didalam Pasal
9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dinyatakan bahwa :
“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti”.
Selanjutnya disebutkan pula dalam Pasal 10 huruf c Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa :
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang/atau jasa yang ditujukan
untuk
diperdagangkan
dilarang
menawarkan,
mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai : kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti
rugi atas suatu barang dan atau jasa”.
Kasus sengketa konsumen yang terkait dengan pelanggaran oleh pelaku
usaha terhadap informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai suatu barang
telah banyak yang terungkap. Iklan yang mengandung informasi mengenai
produk mereka nyata-nyata telah merugikan konsumen. Iklan tersebut
dianggap telah menyesatkan konsumen sebagai pengguna barang dan atau
18
jasa tersebut. Salah satu kasus sengketa konsumen yang dimaksud yaitu
sengketa antara PT. Nissan Motor Indonesia selaku pelaku usaha melawan
Ludmilla Arif selaku konsumen. Kasus ini terjadi karena pelaku usaha telah
melanggar hak konsumen yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kasus
yang telah mendapat putusan yang inkracht ditingkat Mahkamah Agung ini
menyebutkan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia
terbukti melanggar
ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena pelaku usaha telah
menawarkan suatu janji atau kondisi yang tidak benar dan menyesatkan.
Pasal 62 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen memang tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran hak
konsumen sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 4 huruf c UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun hakim
seharusnya menggunakan pasal tersebut sebagai landasan dalam menerapkan
Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dan penelaahan terhadap putusan
Mahkamah Agung Nomor 659/K/Pdt.Sus/2012 mengenai penerapan Pasal 9
ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dalam kasus antara PT. Nissan Motor
Indonesia melawan Ludmilla Arif.
19
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
Bagaimana penerapan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 659/K/Pdt.Sus/2012 ?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui penerapan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10
huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 659/K/Pdt.Sus/2012.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoretis
Memberikan sumbangan teoretis berupa khasanah keilmuan dalam bidang
perlindungan hukum terhadap konsumen yang didapat atau diperoleh dari
perkuliahan.
2. Kegunaan praktis
Mengajak konsumen dan pelaku usaha lebih berhati-hati dalam
menerapkan hak dan kewajiban mereka serta
hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan serta pengetahuan bagi para pihak
yang berkompeten dan berminat pada hal serupa.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsumen
1.
Pengertian konsumen
Kegiatan ekonomi tidak terlepas dari para pihak yang terlibat
didalamnya yaitu konsumen sebagai pembeli atau penikmat barang dan
atau jasa dan pelaku usaha sebagai pihak yang menghasilkan dan
memasarkan produknya. Kedua pihak tersebut saling membutuhkan satu
sama lain, konsumen membutuhkan pelaku usaha untuk memproduksi
barang dan atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan
pelaku usaha membutuhkan konsumen untuk memperoleh keuntungan
dari penjualan produk mereka.
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer
(Inggris-Amerika),
atau
consument/konsument
(Belanda).
Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam
posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah
(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.
Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana penggunaan tersebut. Begitu pula
Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi kata consumer sebagai
pemakai atau konsumen.3
Menurut Az. Nasution definisi konsumen yaitu :4
1) Setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan
barang dan atau jasa untuk kegunaan tertentu. Yang dimaksud
setiap orang adalah orang alamiah maupun orang yang
diciptakan menurut hukum atau badan hukum
3
Az. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan
Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pusaka Sinar Harapan, Jakarta. hal.
25.
4
Ibid, hal. 69.
21
2) Konsumen antara adalah orang yang mendapatkan barang dan
atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan
atau jasa lain untuk diperdagangkan (untuk tujuan komersiil)
3) Konsumen akhir adalah setiap orang yang mendapatkan dan
atau menggunakan barang atau jasa untuk tujuan memenuhi
kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga
dan tidak diperdagangkan kembali (tidak untuk tujuan
komersill).
Definisi konsumen yang dirumuskan secara yuridis formal dapat
dilihat dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yaitu :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Selanjutnya penjelasan dari pasal 1 butir 2 diatas bahwa didalam
kepustakaan ekonomi dikenal adanya konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu
produk,
sedangkan
konsumen
antara
adalah
konsumen
yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk
lainnya. Pengertian konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen
akhir, hal ini karena pengertian kosumen menurut pasal 1 butir 2 diatas
menyebutkan adanya syarat “tidak untuk diperdagangkan” sehingga
konsumen akhir mengkonsumsi barang dan atau jasa yang telah mereka
bayar untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, atau rumah
tangganya. Perbedaan kepentingan dan tujuan penggunaan barang dan
22
atau jasa oleh konsumen antara dan konsumen akhir dijadikan sebagai
tolak ukur dalam menentukan perlindungan yang diperlukan.
Unsur-unsur dalam definisi konsumen menurut Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu :5
a. Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti orang yang
berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang”
sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang
individual yang lazim disebut natuurlijk persoon atau termasuk
juga badan hukum (rechtpersoon). Tentu yang paling tepat
tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang
perseorangan, namun konsumen harus mencakup juga badan
usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum.
b. Pemakai
Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir
(ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat
digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus
menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta
merta hasil dari transaksi jual beli.
c. Barang dan/atau jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai
pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini
“produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mengartikan barang sebagai benda, baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik
dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
untuk
diperdagangkan,
dipakai,
dipergunakan,
atau
dimanfaatkan oleh konsumen. Jasa diartikan sebagai setiap
layanan berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian
“disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus
ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu
orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus
(tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian
tersebut.
5
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, 2000. hal. 4-9.
23
d. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat
sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang
makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi
dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, transaksi
terlebih dulu sebelum bangunannya jadi.
e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk
hidup lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang
diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas
pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar
ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang
dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri
sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain,
seperti hewan dan tumbuhan.
f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni
hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam
peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.
Pengertian konsumen menurut Undang-Undang pada masingmasing negara tentu berbeda, walaupun tetap mempunyai makna yang
sama yaitu konsumen barang dan atau jasa. Berikut pengertian
Konsumen di beberapa negara antara lain :
1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
di
India,
menentukan bahwa konsumen adalah setiap orang pembeli
barang yang disepakati, menyangkut cara dan pembayarannya,
tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk
dijual atau lain-lain keperluan komersil.
2) Dalam Perundang-Undangan Australia, konsumen adalah
setiap orang yang mendapatkan barang tertentu dengan harga
yang ditetapkan (setinggi-tingginya 40.000 dollar Australia)
atau jika harganya lebih, maka kegunaan barang tersebut untuk
keperluan pribadi, domestik dan atau rumah tangga (normally
used for personal, family or household).
3) Dalam Undang-Undang Jaminan Produk (Amerika Serikat)
ditemukan ketentuan-ketentuan ayat (1) dan ayat (2), yang
menunjukan konsumen adalah setiap pembeli produk
konsumen, yang tidak untuk dijual kembali dan pada
umumnya untuk dipergunakan untuk kepentingan pribadi,
24
keluarga atau rumah tangga (personal, family or household).
Amerika Serikat mengartikan istilah konsumen lebih luas lagi
yaitu termasuk “korban pemakaian produk cacat”, baik korban
tersebut pembeli, bukan pembeli tapi pemakai, bahkan juga
korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum
dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.
4) BW Baru Belanda (NBW) seperti termuat dalam ketentuanketentuan tentang syarat-syarat umum perjanjian (algemene
voor worden), konsumen diartikan sebagai orang alamiah
(yang mengadakan perjanjian) tidak berlaku selaku orang yang
menjalankan suatu profesi atau perusahaan.
5) Di Spanyol konsumen diartikan tidak hanya individu (orang),
tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau
pemakai terakhir. Konsumen tidak harus terikat dalam
hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen
tidak identik dengan pembeli.
Berdasarkan pengertian di atas, ada beberapa unsur penting
seseorang disebut sebagai konsumen, yaitu :
1) Setiap orang pembeli barang yang disepakati menyangkut
harga dan cara pembayarannya dan tidak untuk dijual kembali
atau komersil.
2) Setiap orang yang mendapatkan barang tertentu dengan harga
yang ditetapkan, kemudian menggunakan barang itu untuk
kepentingan pribadi, domestik atau rumah tangga.
3) Orang alamiah (orang yang mengadakan perjanjian) tidak
bertindak sebagai orang yang menjalankan profesi atau
perusahaan.
Mengenai transaksi konsumen dimaksudkan “proses terjadinya
peralihan pemilikan barang dan/atau pemanfaatan jasa dari pelaku usaha
kepada konsumen”. Transaksi konsumen terdiri atas tiga tahap, yaitu :6
a.
6
Tahap pratransaksi konsumen
Pada tahap ini, transaksi atau penjualan/pembelian
barang dan/atau jasa belum terjadi. Konsumen bijak yang akan
mengadakan transaksi barang dan/atau jasa tertentu harus
mempertimbangkan pembeliannya dengan mengaitkan pada
dana/uang yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam tahap ini
yang paling vital bagi konsumen adalah informasi atau
Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 17.
25
b.
c.
2.
keterangan yang benar, jelas, dan jujur serta akses untuk
mendapatkannya dari pelaku usaha yang beritikad baik dan
bertanggung jawab.
Tahap transaksi konsumen
Pada tahap ini terjadi proses peralihan kepemilikan
barang dan/atau jasa tertentu dari pelaku usaha kepada
konsumen. Pada saat ini, telah terdapat kecocokan pilihan
barang dan/atau jasa dengan persyaratan pembelian serta harga
yang harus dibayarnya. Perilaku pelaku usaha pada tahap
transaksi konsumen sangat menentukan, seperti penentuan
harga produk konsumen, penentuan persyaratan perolehan dan
pembatalan perolehannya, klausul-klausul, khususnya klausul
baku yang mengikuti transaksi dan persyaratan-persyaratan
penjaminan, keistimewaan atau kemanjuran yang dikemukakan
dalam transaksi barang dan/atau jasa. Informasi itu dapat
berupa informasi lisan maupun tulisan atau dengan
menggunakan media elektronik dalam segala bentuknya.
Tahap purnatransaksi Konsumen
Tahap ini merupakan tahapan pemakaian, yaitu
penggunaan dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
telah beralih pemiliknya atau pemanfaatannya dari pelaku
usaha kepada konsumen. Informasi yang diperoleh konsumen
sebelum melakukan transaksi, pada tahap ini dapat diketahui
apakah sesuai atau tidak dengan deskripsi yang diklaim oleh
pelaku usaha karena barang dan atau jasa mulai digunakan atau
mulai dinikmati.
Hak dan kewajiban konsumen
Pemerintah dengan diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen berupaya untuk menciptakan iklim
usaha yang sehat dengan menyeimbangkan kedudukan antara konsumen
dengan pelaku usaha. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat
sebelumnya konsumen cenderung berada dalam posisi yang lemah,
konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis yang digunakan untuk meraup
keuntungan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi,
cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen, karena itu konsumen harus dilindungi salah satunya dengan
26
mengakomodir hak dan kewajiban konsumen kedalam suatu bentuk
peraturan yang bersifat mengikat.
Berkaitan dengan hak-hak konsumen, sebelum diundangkannya
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
telah ada pengelompokkan mengenai hak dasar konsumen. Pada tahun
1962 misalnya pengelompokkan hak-hak konsumen dikemukakan oleh
Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, yaitu :7
a. The right to safe product;
b. The right to be informed about product;
c. The right to definite choices in selecting products;
d. The right to be heard regarding consumer interest.
Hak-hak konsumen kemudian juga diatur dalam Resolusi PBB
Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines
for Consumer) merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu
dilindungi, meliputi :
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan
dan keamanannya;
b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial
konsumen;
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat
sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;
d. Pendidikan konsumen;
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau
organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan
kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan mereka.
7
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010. hal. 32.
27
Kedua pengelompokkan hak-hak konsumen diatas sebagian besar
nampak menjadi inspirasi dalam penyusunan Pasal 4 Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Salah satu hak konsumen yang penting yaitu hak atas informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa sehingga pelaku usaha berkewajiban untuk mencantumkan informasi
yang benar pada setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen.
Konsumen sebelum menentukan pilihan untuk mengkonsumsi suatu
barang dan/atau jasa tentu akan mencari informasi mengenai barang dan
atau jasa tersebut. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai
mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia informasi dapat diartikan :
a. Penerangan;
28
b. Keterangan; pemberitahuan; kabar atau berita (tentang);
c. Keseluruhan makna yang menunjang amanat, telah terlihat
didalam bagian-bagian amanat itu.
Menurut Jogiyanto HM., informasi yaitu :
“Hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna
dan lebih berarti bagi penerimanya yang menggambarkan suatu
kejadian-kejadian (event) yang nyata (fact) yang digunakan untuk
pengambilan keputusan.”8
Pada saat ini konsumen membutuhkan banyak informasi yang lebih
relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat ini
:9
a. Terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja
penjualnya;
b. Daya beli konsumen makin meningkat;
c. Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran sehingga
belum banyak diketahui semua orang;
d. Model-model produk cepat berubah;
e. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka
akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau
penjual.
Hak untuk memperoleh informasi ini dimaksudkan agar konsumen
dapat memperoleh gambaran tentang suatu produk yang akan mereka
konsumsi apakah sudah sesuai dengan kebutuhannya serta menghindari
terjadinya kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.
Kesalahan dalam pemberian informasi dapat juga merupakan salah satu
8
https://www.academia.edu/5524982/Definisi-Definisi_Informasi,
diakses
tanggal 1 Januari 2015.
9
Suyadi, Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum
Univesitas Jenderal Soedirman. 2007. hal. 88.
29
bentuk cacat produk, sehingga hak atas informasi ini sangat penting.
Pemenuhan hak ini akan menguntungkan konsumen dan pelaku usaha,
bagi konsumen akan meningkatkan efisiensi dalam memilih produk serta
meningkatkan kesetiaanya terhadap produk tertentu sehingga akan
memberikan keuntungan bagi perusahaan yang menghasilkan produk
tersebut.
“Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut diantaranya
adalah mengenai manfaat kegunaan produk; efek samping atas
penggunaan produk; tanggal kadaluwarsa; serta identitas produsen
dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik
secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang dilakukan dengan
mencantumkan pada label yang melekat ada kemasan produk,
maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik
melalui media cetak maupun media elektronik”.10
Informasi tentang barang atau jasa konsumen memegang peranan
penting. Informasi yang benar dan bertanggung jawab merupakan
kebutuhan pokok konsumen sebelum konsumen itu dapat mengambil
keputusan untuk mengadakan atau menunda atau tidak mengadakan
transaksi bagi kebutuhan hidupnya. Informasi barang atau jasa dapat
diperoleh dari berbagai sumber dan dalam berbagai bentuk.
Informasi dapat berbentuk :11
a. Label atau etiket produk;
b. Kegiatan meningkatkan penjualan dengan menggunakan
pamflet, brosur, leaflet, selembaran dan sebagainya;
c. Kegiatan hubungan kemasyarakatan, misalnya pelepasan
produk (ekspor) perdana;
d. Periklanan atau lain-lain dengan cara memperkenalkan produk
pada konsumen, mempertahankan dan/atau meningkatkannya.
10
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. hal 41.
11
Suyadi, Op.cit., hal. 90.
30
Informasi harus diberikan secara sama bagi semua konsumen
dalam perdagangan yang sangat mengandalkan informasi. Terlebih dengan
sudah semakin berkembangnya teknologi maka semakin banyak dan
mudah akses yang dapat digunakan masyarakat konsumen dalam rangka
untuk memenuhi kebutuhan akan informasi mengenai barang dan jasa
yang akan mereka konsumsi. Kemudahan dalam memperoleh informasi ini
dalam praktiknya tidak didukung dengan kemampuan dan kesempatan
yang sama pada setiap konsumen yang disebabkan oleh beberapa faktor
sehingga tidak semua informasi dapat sampai kepada konsumen.
“Di masyarakat telah dikenal istilah consumer ignorance, yaitu
ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan
teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan sehingga dapat
saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha.”
Berkaitan dengan kewajiban konsumen disebutkan dalam Pasal 5
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu:
a.
b.
c.
d.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Selain kewajiban konsumen yang diatur dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, untuk memberikan
31
pengetahuan yang lebih luas Zumrotin menyatakan bahwa kewajiban yang
harus dipenuhi untuk memperkuat posisi konsumen adalah :12
a. Kewajiban bersikap kritis
Dalam setiap melakukan aktifitas berkonsumsi konsumen
berkewajiban menggunakan daya kritisnya, mendahulukan
“kebutuhan” dan tidak atas dasar “keinginan”. Menggunakan
daya pikir sehingga tidak mudah terpengaruh oleh iklan dan
tidak percaya begitu saja tentang kehebatan suatu produk yang
disampaikan pengusaha.
b. Mayoritas konsumen kita kurang aktif untuk menambah
pengetahuan tentang barang. Padahal mempunyai pengetahuan
tentang barang sangat membantu konsumen dalam memilih,
memperlakukan atau memelihara barang yang dikonsumsinya.
c. Kewajiban menggalang solidaritas antar konsumen
Apabila solidaritas antar konsumen dapat dikoordinasikan
dengan baik, akan mewujudkan suatu kekuatan yang akan
diperhitungkan oleh pengusaha. Kekuatan konsumen yang solid
sangat potensial untuk memperbaiki nasib konsumen. Sayang
sekali masih banyak masyarakat kita yang tidak tahu hak dan
kewajiban yang mereka miliki, apalagi mengamalkannya.
Namun secara bertahap suatu masyarakat akan berubah sikap,
sejalan dengan perkembangan ekonomi dan pendidikan mereka.
3.
Perlindungan Hukum terhadap Konsumen
Hukum tumbuh dan berkembang didalam masyarakat seiring
dengan perkembangan zaman. Terciptanya hukum karena perlunya
pengaturan
terhadap
perbuatan-perbuatan
yang
dilakukan
oleh
masyarakat baik itu hubungan antar sesama individu maupun
hubungannya dengan negara. Keadaan masyarakat yang terus berubah
mengharuskan hukum mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
agar tercapai suatu keadaan yang tertib. Hukum yang awalnya berupa
suatu kebiasaan kemudian mulai dijadikan sebagai suatu aturan yang
12
Suyadi, Op,cit., hal. 78.
32
bersifat memaksa dan mempunyai sanksi dengan mengkodivikasi hukum
tersebut. Harapannya agar kebiasaan yang telah dikodivikasi memberikan
suatu kepastian kepada masyarakat. Definisi hukum menurut beberapa
sarjana hukum :13
1. E. Utrech
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata
tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karenanya
pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan
tindakan dari pemerintah masyarakat itu.
2. J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto
Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang
dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan hukum.
3. S.M Amin
Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari
norma-norma dan sanksi-sanksi, serta tujuan hukum adalah
mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia.
Beberapa definisi di atas menyimpulkan bahwa hukum merupakan
sekumpulan peraturan yang bersifat memaksa yang ditujukan untuk
mengatur tingkah laku manusia yang apabila dilanggar maka akan
diambil
suatu tindakan hukum
berupa pemberian sanksi
bagi
pelanggarnya.
Masyarakat sebagai subyek hukum, dengan adanya hukum
disamping mendapatkan suatu kepastian juga memperoleh suatu
perlindungan terhadap setiap perbuatan mereka yang memang perlu
diakomodir dengan adanya jaminan perlindungan hukum karena
13
CST. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia (Cetakan Ke-6), Jakarta: Balai
Pustaka, 1997. hal. 38.
33
perlindungan hukum ini merupakan salah satu hak setiap warga negara.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada
subyek hukum melalui seperangkat peraturan baik yang tertulis maupun
lisan, bersifat preventif maupun represif. Pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan dituntut agar dapat menjalankan kewajibannya berkaitan
dengan memberikan perlindungan hukum kepada semua warga negara
tanpa diskriminasi.
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen sebenarnya
merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.
Az. Nasution memberikan batasan terhadap Hukum Konsumen dan
Hukum Perlindungan Konsumen yaitu :
Hukum Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan
produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya
dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan Hukum Perlindungan
Konsumen merupakan bagian khusus dari Hukum Konsumen yaitu
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan
dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara
penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.14
Perlindungan yang diberikan kepada konsumen, secara umum
dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :15
1. Perlindungan Preventif
Perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat
konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau
memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai dari
melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang
dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk
14
A.Z. Nasution, Op.cit, hal. 22.
http://putriagustia.blogspot.com/2012/05/perlindungankonsumen.html. diakses
tanggal 8 Desember 2014.
15
34
membeli atau menggunakan atau memanfaatkan barang dan
jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut.
2. Perlindungan Kuratif
Perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat
dari penggunaan atau pemanfaatan barang dan atau jasa tertentu
oleh konsumen. Perlu diperhatikan bahwa konsumen belum
tentu dan tidak perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan
pembeli barang dan atau jasa, meskipun pada umumnya
konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang atau jasa.
Seseorang dikatakan kosumen, cukup jika orang tersebut adalah
pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau
jasa, tidak perlu ia mendapatkannya melalui pembelian atau
pemberian.
Berkaitan dengan perlindungan hukum yang khususnya ditujukan
untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen yang kedudukannya
di Indonesia masih dianggap lemah, maka pemerintah pada tanggal 20
April 1999 mengundangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Menurut hasil penelitian Badan dan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN), sebagaimana dikutip N.H.T. Siahaan, ada 5
(lima) faktor yang melemahkan konsumen antara lain :16
1) Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hakhaknya
2) Belum terkondisikannya “Masyarakat Konsumen” karena
memang sebagian masyarakat ada yang belum mengetahui
tentang apa saja hak-haknya dan kemana hak-hanya akan dapat
disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari
standar barang dan atau jasa yang sewajarnya
3) Belum terkondisikannya masyarakat konsumen menjadi
masyarakat yang mempunyai kemauan untuk menuntut hakhaknya
4) Proses peradilan yang ruwet dan memakan waktu yang
berkepanjangan
5) Posisi konsumen yang selalu lemah.
16
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen yang Dirugikan, Visimedia, Jakarta,
2008, hal. 30.
35
Secara umum dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen akan menciptakan perlindungan hukum
yang mengandung unsur kepastian, sehingga lebih mendidik konsumen
agar kritis terhadap perbuatan-perbuatan pelaku usaha yang merugikan.
Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, berkaitan dengan Perlindungan Konsumen
telah disinggung dalam GBHN 1993 melalui TAP MPR Nomor
II/MPR/1993, Bab IV huruf F butir 4a yang menyatakan bahwa :
“…pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus
barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi
dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi
kepentingan konsumen…”
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen merumuskan :
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen”.
Hukum perlindungan konsumen berisi materi yang bertujuan untuk
melindungi kepentingan konsumen, tetapi perlindungan ini tidak hanya
terdapat di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
“Perlindungan Konsumen itu pada dasarnya bukan merupakan
awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan
konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa Undang-
36
Undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen.
Penjelasan resmi Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
juga menyatakan bahwa di kemudian hari masih terbuka
kemungkinan terbentuknya Undang-Undang baru yang pada
dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen.
Dengan demikian, Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan
memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan
konsumen”.17
Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
diharapkan
agar
dapat
terciptanya
kegiatan
usaha
perdagangan yang sehat, tidak hanya bagi pelaku usaha tapi juga bagi
konsumen selaku pengguna barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh
pelaku usaha. Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa perlindungan konsumen
bertujuan :
a.
b.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa;
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
Menciptakan
sistem
perlindungan
konsumen
yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha;
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
c.
d.
e.
f.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen memberikan
keseimbangan antara kedudukan pelaku usaha dan konsumen dengan
17
Suyadi, Op.cit, hal. 6
37
diuraikannya apa saja hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Hal
ini dimaksudkan untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pada masingmasing pihak disamping itu juga sebagai sarana untuk lebih memberikan
kepastian hukum.
Usaha-usaha perlindungan terhadap konsumen tidak hanya
dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat dan lembagalembaga yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pemerintah
bertanggung jawab dalam melakukan pembinaan dan pengawasan
sedangkan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat hanya melakukan pengawasan.
Tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk
memberdayakan konsumen agar mendapat hak-haknya, sementara
itu tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pengawasan
penyelenggaraan perlindungan konsumen juga menjadi bagian
yang penting dalam upaya membangun kegiatan usaha yang positif
dan dinamis, sehingga hak-hak konsumen tetap bisa diperhatikan
oleh para pelaku usaha.18
Pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan
perlindungan konsumen diatur dalam Bab VII UUPK yang terdiri dari dua
bagian :
a. Bagian pertama tentang Pembinaan yang diatur dalam Pasal 29
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
18
Abdul Halim Barkatullah, Op.cit, hal. 63.
38
b. Bagian kedua tentang Pengawasan yang diatur dalam Pasal 30
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis
terkait. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian
dan/atau survey. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang
risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan
dan lain-lain
yang diisyaratkan berdasarkan
ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Hasil
pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat
dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis. Apabila hasil
pengawasan ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri
teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
B. Pelaku Usaha
1. Pengertian pelaku usaha
Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen :
39
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian di atas adalah
perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor,
dan lain-lain baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia. Pengertian pelaku usaha
menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen sangat luas yaitu bukan hanya pelaku usaha, melainkan
hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara pelaku usaha dan
konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara).
Pengertian pelaku usaha menurut Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki persamaan dengan
pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara
Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah :
“pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku;
pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya
sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namaya, tanda
pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan
produk asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan
maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan
(leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan;
pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir
tidak dapat ditentukan”.19
19
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit., hal 9.
40
Pengertian pelaku usaha yang demikian luasnya memudahkan
konsumen untuk menuntut ganti rugi apabila dirugikan akibat produk
yang mereka konsumsi, karena banyaknya pihak yang dapat digugat.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
seharusnya lebih memberikan rincian mengenai pengertian pelaku usaha
seperti yang dikemukakan dalam Product Liability Directive (selanjutnya
disebut directive) yang diterapkan di Eropa, sehingga konsumen dapat
lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan
tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk. Directive
digunakan sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa
(MEE) dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan
Konsumen. Pasal 3 Directive menentukan bahwa :20
a. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap
bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap
orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda
pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai
produsen;
b. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang
yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau
untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha
perdagangannya dalam masyarakat Eropa, akan dipandang
sebagai produsen dalam arti directive ini;
c. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya,
maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat
sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang
menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama
mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan
produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus
barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan
tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana yang
20
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2013, hal. 21.
41
dimaksud dalam
dicantumkan.
2.
ayat
(2),
sekalipun
nama
produsen
Hak dan kewajiban pelaku usaha
Setiap pihak dalam melakukan hubungan hukum mempunyai hak
dan kewajibannya masing-masing. Hak dan kewajiban tersebut antara
yang satu dengan yang lain tidak boleh saling merugikan. Demi
kelancaran hubungan hukum tersebut perlu diterapkan ketentuanketentuan yang berlaku agar hukum tersebut dapat berjalan dengan tertib,
lancar, dan teratur serta mempunyai kepastian hukum.
Pasal 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa hak pelaku usaha yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha dimuat dalam Pasal 7 Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
42
d.
e.
f.
g.
3.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/ata mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau
yang diperdagangkan;
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pamakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Selain mengatur mengenai hak dan kewajiban bagi pelaku usaha,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga
mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang bagai pelaku
usaha. Perbuatan yang dilarang ini dimuat dalam Bab IV Pasal 8 sampai
dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha
yaitu
antara
lain
larangan
dalam
memproduksi
atau
memperdagangkan, larangan dalam menawarkan atau mempromosikan
atau mengiklankan, larangan dalam penjualan secara obral atau lelang,
dan larangan dalam ketentuan periklanan. Berkaitan dengan promosi atau
iklan terhadap suatu barang dan/atau jasa disebutkan dalam Pasal 9 ayat
(1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
bahwa
pelaku
usaha
dilarang
menawarkan,
mempromosikan,
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau
seolah-olah :
43
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan
harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode
tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau
memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu,
keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
Barang dan/atau jasa tersebut telah dibuat oleh perusahaan
yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
Barang tersebut berasal daerah tertentu;
Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang
dan/atau jasa lain;
Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan
tanpa keterangan yang lengkap;
Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau
jasa
yang
ditujukan
untuk
diperdagangkan
dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan
yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a.
b.
c.
d.
e.
Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu
barang dan/atau jasa;
Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang
ditawarkan;
Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Adanya pasal tersendiri yang mengatur mengenai perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha bertujuan untuk memberikan perlindungan
hukum bagi konsumen serta meminimalisir terjadinya pelanggaran
terhadap hak-hak konsumen dan juga untuk menghindari adanya
44
persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha. Selain itu dengan
adanya pengelompokkan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha ini akan memudahkan dalam penerapan hukumnya apabila
dikemudian hari pelaku usaha melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang.
Menurut beberapa ahli :
“penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori,
metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk
suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau
golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya”.21
Penerapan hukum adalah :
“Pelaksanaan norma hukum dalam kasus/putusan/tindakan, atau
hukum dalam keadaan konkrit (Law in concreto; Living law)”.22
Hakim melalui putusannya menerapkan hukum sesuai dengan
unsur-unsur dalam pasal-pasal yang telah dilanggar oleh pelaku.
Pelanggaran terhadap suatu pasal harus memenuhi seluruh unsur yang
dimaksudkan dalam pasal tersebut agar suatu perbuatan dapat dikatakan
sebagai pelanggaran. Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian
ini mengkaji mengenai penerapan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10
huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Pelaku usaha terbukti secara sah dan meyakinkan telah
21
http://internetsebagaisumberbelajar.blogspot.com/2010/07/pengertianpenerapan
.html. diakses tanggal 10 November 2014.
22
Muhammad Joni, 2003, Efektivitas Penerapan Hukum, http://www. Advokat
muhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas-penerapan-hukum.html
diakses tanggal 10 November 2014.
45
melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf K dan Pasal 10 huruf c
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yaitu menawarkan sesuatu janji atau kondisi yang tidak benar dan
menyesatkan. Putusan Mahkamah Agung yang sudah inkracht ini
memutus bahwa pelaku usaha telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana
yang disebutkan dalam pasal tersebut yang dijabarkan pada alasan-alasan
dan pertimbangan hakim.
4.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi tanggung jawab
yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan usahanya tidak jarang terjadi kelalaian sehingga
menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pelaku usaha sebagai penghasil
produk tersebut yang seyogyanya mengetahui mengenai setiap proses
produksi hingga produk siap untuk dipasarkan, menjadikannya perlu
dibebani suatu pertanggung jawaban pada setiap produk yang telah
mereka pasarkan.
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut :23
a. Kesalahan (liability based on fault)
Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur
kesalahan yang dilakukanya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang
lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum
mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu adanya
perbuatan; adanya unsur kesalahan; adanya kerugian yang
23
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008. hal. 92.
46
b.
c.
d.
e.
diderita; adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan
kerugian. Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang
bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum” tidak hanya
bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan
kesusilaan dalam masyarakat.
Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liabilty)
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap
bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai
ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jika diterapkan dalam
kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan,
karena yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu
ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tentu saja konsumen
tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan.
Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk
digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan
kesalahan si terguat.
Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of
nonliability)
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk
selalu bertanggung jawab. Prinsip praduga untuk tidak selalu
bertanggung jawab ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi
konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian
biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
Tanggung jawab mutlak (strict liability)
Prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan
tidak sebagai faktor yang menentukan, namun ada
pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force
majeur.
Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat
disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai
klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen
bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak
menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk
membatasi maksimal tanggung jawabnya.
Shidarta mengatakan bahwa :
“Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat
penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus
pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam
menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa
47
jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak
terkait”.24
Tanggung jawab pelaku usaha timbul karena adanya hubungan
antara pelaku usaha dengan konsumen. Pelaku usaha dapat dikenakan
pertanggungjawaban apabila barang yang dibeli dan telah dikonsumsi
mengakibatkan timbulnya kerugian bagi konsumen.
Agnes M. Toar mendefinisikan tanggung jawab pelaku usaha
(product liability) sebagai :
“tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke
dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian
karena cacat yang melekat pada produk tersebut”.25
Selanjutnya, definisi tersebut dapat dijabarkan atas bagian-bagian
sebagai berikut :26
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Tanggung
jawab
meliputi
baik
tanggung
jawab
kontraktual/berdasarkan suatu perjanjian, maupun tanggung
jawab perundang-undangan/berdasarkan perbuatan melanggar
hukum;
Para produsen; termasuk ini adalah, produsen/pembuat, grossir
(whole-saler), leveransir dan pengecer (detailer) professional;
Produk; semua benda bergerak atau tidak bergerak/tetap;
Yang telah dibawa produsen ke dalam peredaran; yang telah
ada dalam peredaran karena tindakan produsen;
Menimbulkan
kerugian;
segala
kerugian
yang
ditimbulkan/disebabkan oleh produk dan kerusakan atau
musnahnya produk; dan
Cacat yang melekat pada produk; kekurangan pada produk
yang menjadi penyebab timbulnya kerugian.
Hukum perlindungan konsumen mengenal adanya istilah tanggung
jawab produk. Tanggung jawab produk merupakan terjemahan dari
24
Shidarta, op. cit., hal. 59.
Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 65.
26
Ahmadi Miru, Op.cit., hal. 31.
25
48
bahasa Belanda “verantwoordelijkheid” yang artinya adalah tanggung
jawab produsen, pengolah atau “non manufacturing seller” berhubungan
dengan kerusakan terhadap orang atau harta pihak pembeli yang
disebabkan oleh produk yang telah dijual.
Indonesia sebagai negara yang sedang menuju pada era
industrialisasi, perlu memberikan perhatian khusus mengenai tanggung
jawab pelaku usaha. Masalah ini berkaitan erat dengan persaingan dalam
era perdagangan bebas maupun dengan makin meningkatnya perhatian
terhadap perlindungan konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen sebagai bukti kongkrit dari bentuk
perhatian pemerintah melindungi konsumen telah mengatur tentang
tanggung jawab pelaku usaha. Tanggung jawab yang dimaksud dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
adalah tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pelaku
usaha sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Tanggung jawab tersebut adalah
“minimal” artinya tanggung jawab dari pelaku usaha tidak sekedar yang
ada dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen saja tetapi dapat meliputi kewajiban-kewajiban yang
seharusnya dilakukan sebagaimana mestinya sebagai pelaku usaha, dapat
berdasarkan undang-undang lain, ketentuan-ketentuan lain yang pada
akhirnya tanggung jawab ini akan berdampak positif kepada konsumen.
49
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha dalam bab
tersendiri yaitu Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Berkaitan
dengan prinsip tanggung jawab, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen menggunakan prinsip semi-strict
liability27 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 tentang Tanggung
Jawab Pelaku Usaha, dijelaskan sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
Pelaku usaha bertangung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa
yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya
unsur kesalahan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa
kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah prinsip
tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang
menentukan,
namun
ada
pengecualian-pengecualian
yang
memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab. Pada strict
liability mengharuskan adanya hubungan kausal antara subjek yang
bertanggung jawab dengan kesalahannya.
27
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal. 106
50
Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia meliputi 3
(tiga) bagian penting. Pertama, faktor-faktor eksternal hukum yang
akan mempengaruhi perkembangan dan pembaruan hukum
perlindungan konsumen termasuk penerapan prinsip tanggung
jawab mutlak. Kedua, faktor internal sistem hukum, yaitu elemen
struktur dan budaya hukum dalam rangka penerapan prinsip
tanggung jawab mutlak di Indonesia. Ketiga, adalah ruang lingkup
materi atau subtansi dari prinsip tanggung jawab mutlak yang perlu
diatur dalam undang-undang.28
Pada prinsipnya tanggung jawab pelaku usaha yang diatur dalam
Bab IV Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen ini dibagi dalam 4 (empat) bagian :29
a.
b.
Bagian pertama dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mengatur tentang tanggung jawab. Pelaku usaha yang
bertanggung jawab berdasarkan pasal-pasal di atas adalah :
1) Pelaku usaha dalam bidang perdagangan;
2) Pelaku usaha dalam bidang jasa;
3) Pelaku usaha periklanan;
4) Importir barang;
5) Importir jasa.
Bagian kedua dari Pasal 23 sampai dengan Pasal 26 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
disamping mengatur tanggung jawab juga mengatur
perlindungan bagi konsumen untuk menuntut ganti rugi atau
mengajukan gugatan apabila dirugikan.
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam
kasus pidana (Pasal 22 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen) dan pembuktian terhadap
ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan (Pasal 28
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen).
Pembebasan tanggung jawab pelaku usaha.
c.
d.
Tujuan tanggung jawab pelaku usaha ini agar dalam memproduksi
barang mereka lebih berhati-hati baik dalam menjaga kualitas produk
28
29
Ibid, hal. 108.
Suyadi, Op.cit., hal. 43
51
yang dihasilkan dan dalam penggunaan bahan sehingga tercapai produk
yang diinginkan dan tidak merugikan konsumen.
C. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen
Pada dasarnya hukum mengatur suatu hubungan antara individu
yang satu dengan individu yang lain, antara individu dengan masyarakat,
dan antara masyarakat dengan masyarakat. Hubungan hukum adalah sebuah
perikatan antara dua pihak, dimana disatu pihak ada hak dan dipihak lain
ada kewajiban. Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa perikatan lahir
dari perjanjian atau dari Undang-Undang. Berkaitan dengan penelitian ini
maka akan dibahas mengenai hubungan hukum antara pelaku usaha dengan
konsumen berupa perikatan yang lahir dari perjanjian.
Menurut J.Satrio :
“perjanjian secara umum dapat mempunyai arti yang luas dan
sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian
yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau
diangap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk didalamnya
perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Dalam arti sempit
perjanjian disini hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan
hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang
dimaksud oleh Buku III BW”.30
Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah :
“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadarp satu orang lain atau
lebih”.
Pengertian diatas menyimpulkan bahwa perjanjian merupakan
tindakan hukum yang dilakukan dua pihak atau lebih.
30
J.Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 23.
52
Perjanjian harus memenuhi syarat sahya suatu perjanjian agar
berlaku secara sah dan mengikat para pihak. Pasal 1320 KUHPerdata
mengatur sahnya perjanjian sebagai berikut :
a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c.
Suatu hal tertentu;
d.
Suatu sebab yang halal.
Mengenai jenis-jenis perjanjian, seperti yang disebutkan dalam
Pasal 1319 KUHPerdata bahwa ada dua kelompok perjanjian, yaitu
perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama. Perjanjian bernama adalah
perjanjian yang oleh pembentuk Undang-Undang diberi nama khusus dan
ada pengaturannya didalam KUHPerdata.
“Didalam KUHPerdata diatur sebanyak 15 macam perjanjian yaitu
perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar, perjanjian sewa
menyewa, perjanjian melakukan pekerjaan atau perjanjian kerja
atau perjanjian perburuhan, perjanjian perseroan atau maatschap
atau perjanjian perserikatan perdata atau perjanjian persekutuan,
perjanjian perkumpulan, persetujuan pemberian (hibah), perjanjian
penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam
mengganti, perjanjian bunga tetap atau bunga abadi, perjanjian
untung-untungan, perjanjian pemberian kuasa (last geving),
perjanjian penanggungan (borgtocht atau guarantee), dan
perjanjian perdamaian”.31
Jenis perjanjian tak bernama tidak diatur dalam KUHPerdata dan
pada Undang-Undang tidak dikenal suatu nama tertentu, namun dalam
kehidupan sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu misalnya
perjanjian sewa beli, perjanjian leasing, perjanjian kredit, dan sebagainya.
31
Nur Wakhid, Hukum Perjanjian, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Sedirman, 2012. hal. 65.
53
Perjanjian tak bernama ini timbul karena dalam perkembangannya
KUHPerdata tidak memenuhi kebutuhan masyarakat berkaitan dengan
transaksi ekonomi dan perdagangan, juga karena dianutnya asas kebebasan
berkontrak didalam KUHPerdata.
Dilihat dari sekian banyak jenis perjanjian, yang memiliki
hubungan dengan penelitian ini yaitu perjanjian jual beli. Pengaturan
mengenai perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 KUHPerdata.
Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan bahwa :
“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., :
“perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara
pihak penjual dan pihak pembeli”.32
Mengenai pihak dalam perjanjian jual beli, menurut Wiryono
Prodjodikoro ada 2 macam subyek :
“yang pertama dapat berupa individu, yaitu : penjual dan pembeli,
dan yang kedua adalah seorang dapat berupa suatu badan hukum.
Kedua subyek hukum tersebut dalam suatu perjanjian jual beli,
masing-masing mempunyai hak dan kewajiban”.
Pengertian diatas menyimpulkan bahwa unsur pokok dari jual beli
adalah barang dan harga dengan penjual dan pembeli sebagai pihak32
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta:
Sinar Grafika, 2003, hlm. 49.
54
pihaknya. Pihak pada perjanjian jual beli dalam pemenuhan prestasinya
masing-masing diberi hak dan kewajiban oleh pembentuk undang-undang.
Secara umum penjual berhak menerima harga barang yang telah dijualnya
dari pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak
dan kewajiban penjual yaitu menyerahkan barang yang dijual kepada
pembeli. Pihak pembeli berhak menerima barang yang telah dibelinya dan
pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang yang dibeli kepada
penjual.
Selain kewajiban penjual yang secara umum disebutkan diatas,
menurut ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata penjual memiliki 3 (tiga)
kewajiban pokok mulai dari sejak jual-beli terjadi yaitu :33
1.
2.
3.
Memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkan
kepada pembeli hingga saat penyerahannya.
Menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telah
ditentukan, atau jika telah ditentukan saatnya, atas permintaan
pembeli.
Menanggung kebendaan yang dijual tersebut.
Kewajiban penjual yang diatur dalam Pasal 1474 KUHPerdata,
menyebutkan bahwa penjual mempunyai 2 (dua) kewajiban utama yaitu
menyerahkan suatu barang dan menanggungnya.
Berkaitan dengan pengaturan mengenai hak dan kewajiban pembeli,
menurut Pasal 1513 KUHPerdata kewajiban pembeli adalah membayar harga
pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut
perjanjian. Pasal 1515 KUHPerdata menambahkan bahwa meskipun pembeli
tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan membayar bunga dari harga
33
Ibid, hal. 127.
55
pembelian, jika barang yang dijual dan diserahkan memberi hasil atau lain
pendapatan. Hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang yang telah
dibelinya dari penjual. Penyerahan oleh penjual kepada pembeli menurut
Pasal 1459 KUHPerdata merupakan cara peralihan hak milik dari kebendaan
yang dijual tersebut.
Berdasarkan penjelasan pasal-pasal diatas dapat diketahui bahwa
kewajiban pihak pembeli merupakan hak dari pihak penjual dan sebaliknya
bahwa kewajiban dari pihak penjual merupakan hak dari pihak pembeli.
Kegiatan jual beli pada prakteknya tidak selamanya dapat berjalan
sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Baik penjual maupun pembeli tidak
jarang mereka melakukan wanprestasi dengan alasan apapun. Berkaitan
dengan hal ini maka perlu adanya suatu pertanggungjawaban apabila terjadi
wanprestasi. Secara umum wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu
pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak
menurut selayaknya dengan yang diperjanjikan.
Wanprestasi seorang debitur (si berutang) dapat berupa :34
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Akibat wanprestasi bagi debitur yaitu ia berkewajiban untuk
bertanggungjawab dalam bentuk pemberian ganti rugi. Ganti rugi yang
34
60.
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.
56
diberikan senilai dengan kerugian-kerugian nyata yang ditimbulkan akibat
terjadinya wanprestasi. Mengenai penuntutan ganti rugi telah diatur oleh
Undang-Undang dengan tujuan untuk memberikan batasan terhadap apa saja
yang dapat dituntut sebagai ganti rugi.
D. Iklan
1.
Pengertian iklan
Salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan informasi
mengenai suatu produk kepada konsumen yaitu melalui iklan. Sebagai
tahapan pratransaksi iklan dapat digunakan sebagai sarana pemenuhan
hak konsumen untuk memperoleh informasi. Iklan dapat digunakan
sebagai alat untuk berkomunikasi kepada masyarakat konsumen
pengguna barang dan jasa dalam menyampaikan informasi mengenai
produk barang maupun jasa.
Menurut Zumrotin K Susilo :
“Iklan atau sering juga disebut dengan pariwara adalah pengenalan
atau penyebarluasan informasi suatu barang atau jasa untuk
menarik minat beli konsumen terhadap barang atau jasa yang akan
dan sedang diperdagangkan melalui media cetak atau elektronik”.35
Etika Pariwara Indonesia/EPI (Kode Etik Periklanan Indonesia)
sebagai self regulation dari pelaku usaha Periklanan Indonesia dalam Bab
II Pedoman huruf D memberi definisi tentang iklan, yaitu :
35
Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan yang
Menyesatkan, PT. Ghalia Indonesia, Bogor: 2010, hal. 19.
57
“Iklan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu produk yang
disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang
dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat”.
Menurut William Wells, John Burnet, dan Sandra Moriarty,
terdapat 6 unsur iklan yaitu : 36
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Iklan merupakan suatu bentuk komunikasi dengan
pembayaran, walaupun dalam beberapa bentuk iklan tertentu
dipergunakan sebagai iklan layanan masyarakat untuk
kepentingan sosial;
Sponsor yang menjadi pemrakarsa iklan tersebut dapat
diidentifikasi;
Kebanyakan iklan berupaya untuk membujuk dan
mempengaruhi konsumen untuk melakukan sesuatu, atau
meningkatkan perhatian konsumen terhadap suatu produk atau
perusahaan;
Pesan-pesan dalam iklan disampaikan dengan mempergunakan
berbagai media massa yang berbeda;
Dapat menjangkau konsumen potensial yang cukup luas;
Iklan bersifat non personal karena mempergunakan bentuk
komunikasi massal dalam penyampaian pesan.
Menurut Sudarto dalam tulisannya yang berjudul “Periklanan
dalam Surat Kabar Indonesia” mengungkapkan bahwa :
“iklan adalah suatu komunikasi yang harus memenuhi ke empat hal
berikut : komunikasi tidak langsung, melalui media komunikasi
masa, dibayar berdasarkan tarif tertentu, dan diketahui secara jelas
sponsor atau pemasang iklannya.” 37
Beberapa pengertian iklan diatas menyimpulkan bahwa fungsi dan
peranan
iklan
sebagai
salah
satu
media
pemasaran
untuk
memperkenalkan, mempengaruhi, dan membujuk konsumen untuk
36
Ibid. hal. 100.
Sudarto dalam Alo Liliweri, 1996, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Balai
Citra Aditya Bakti, Bandung. hal. 72.
37
58
membeli barang dan/atau jasa yang diiklankan dengan mempergunakan
berbagai media periklanan.
Berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan periklanan terlihat adanya
beberapa unsur, yaitu sebagai berikut :38
1.
2.
3.
Pelaku usaha, yaitu pemimpin perusahaan atau pengusaha yang
memproduksi suatu produk.
Konsumen, yaitu pemakai/pembeli suatu produk.
Produk (barang dan/atau jasa) yang diproduksi dan dianjurkan
pada konsumen agar mau membelinya.
Message, yaitu pesan-pesan anjuran tentang suatu produk
kepada konsumen.
Efek, yaitu perubahan tingkah laku konsumen, dimana ia
menerima anjuran pesan-pesan iklan yang mengakibatkan ia
membeli produk.
4.
5.
Di Indonesia saat ini memang belum ada pengaturan secara khusus
mengenai periklanan, namun ada beberapa peraturan yang didalamnya
menyinggung mengenai iklan antara lain dalam Undang-Undang No.32
Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang No.7 Tahun 1996
tentang Pangan, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, PP No. 69
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, serta regulasi sendiri yang
merupakan produk dari asosiasi atau organisasi pelaku usaha yang
sejenis, yaitu kode etik periklanan Indonesia/etika pariwara Indonesia
(EPI).
Ketentuan mengenai periklanan secara umum telah ada tetapi
belum diatur secara khusus, namun dalam kenyataannya masih banyak
terdapat pelanggaran-pelanggaran oleh pelaku usaha yang merugikan
38
Dedi Harianto, Op.cit., hal. 101.
59
konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen pun telah mengatur mengenai larangan kegiatan pelaku usaha
dibidang periklanan. Pasal-pasal yang berkaitan dengan penelitian ini
yaitu Pasal 9 yang secara umum memuat mengenai larangan pelaku
usaha dalam menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar dan Pasal 10 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang secara umum
memuat bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
yang
ditujukan
untuk
diperdagangkan
dilarang
menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak
benar atau menyesatkan.
Menurut Sutedjo Hadiwasito, ketua bidang hukum dan perundangundangan PPPI, terdapat enam faktor yang menyebabkan banyaknya
iklan yang melanggar EPI, yaitu :39
1.
2.
3.
4.
Tidak adanya kekuatan penuh dari tim penilai iklan;
Terjadinya bias antara konsep iklan dan hasil yang ditayangkan;
Pemerintah lambat dalam menindak iklan yang melanggar;
Gaya beriklan di Indonesia yang hanya menonjolkan kekuatan
penjualan;
5. Masih ada ketentuan yang kurang jelas (gray area) dalam buku
panduan beriklan;
6. Lemahnya daya kreatifitas pembuat iklan.
2.
Iklan yang menyesatkan
Iklan yang menyesatkan dapat diartikan sebagai suatu berita yang
berisi informasi mengenai suatu barang dan atau jasa yang mendorong
dan membujuk konsumen yang dipasang didalam media massa seperti
39
Ibid. hal. 70.
60
surat kabar atau majalah, namun isi berita yang disajikan belum diketahui
kebenarannya sehingga dapat merugikan konsumen.
Adapun beberapa hal yang menjadi latar belakang perilaku pelaku
usaha membuat iklan-iklan menyesatkan, disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu :40
a. Belum terdapatnya peraturan khusus setingkat undang-undang
yang mengatur kegiatan periklanan
b. Budaya hukum konsumen di Indonesia yang belum mampu
bersikap kritis dalam mencermati berbagai bentuk pelanggaran
iklan
c. Terjadinya persaingan yang tidak sehat (unfair competition) di
antara sesama pelaku usaha dalam beriklan
d. Ketiadaan sanksi hukum yang tegas terhadap pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran atas ketentuan iklan
e. Kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait serta tidak
berjalannya fungsi pengawasan.
Menurut Yusuf Shofie, iklan termasuk salah satu dari 6 (enam)
sebab potensial yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen, yaitu
:41
1.
2.
3.
Ketidaksesuaian iklan/informasi produk dengan kenyataan;
Produk tidak sesuai dengan standar ketentuan/peraturan
perundang-undangan;
Produk cacat meskipun masih dalam garansi atau belum
kedaluarsa;
Tingkat keamanan produk diinformasikan tidak secara
proporsional;
Sikap konsumtif konsumen;
Ketidaktahuan konsumen tentang penggunaan produk.
4.
5.
6.
Walaupun iklan dapat merugikan konsumen, namun bagi banyak
pelaku usaha di Indonesia, iklan seolah-olah dianggap sebagai suatu alat
40
41
Ibid, hal. 264.
Ibid. hal. 6.
61
promosi yang tidak memiliki akibat hukum. Iklan yang dapat merugikan
konsumen dapat berupa :42
1. Bait advertising, adalah suatu iklan yang menarik, namun
penawaran yang disampaikan tidak jujur untuk menjual produk
karena pengiklan tidak bermaksud menjual barang yang
diiklankan. Tujuannya agar konsumen mengganti membeli
barang yang diiklankan dengan barang jualan lainnya yang
biasanya lebih mahal atau lebih menguntungkan pengiklan.
2. Blind advertising, adalah suatu iklan yang cenderung
membujuk konsumen untuk berhubungan dengan pengiklan,
namun tidak menyatakan tujuan utama iklan tersebut untuk
menjual barang atau jasa, dan tidak menyatakan identitas
pengiklan.
3. False advertising, adalah jika representasi tentang fakta dalam
iklan adalah salah, yang diharapkan untuk membujuk
pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian
tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan
kecurangan atau penipuan.
Sejauh ini belum ada pengertian secara khusus mengenai iklan
menyesatkan, sehingga berkaitan dengan iklan menyesatkan hanya dapat
diketahui dari beberapa pendapat ahli. Penjelasan lebih rinci diberikan
salah satunya oleh Sri Handayani yang menjelaskan bahwa iklan
menyesatkan tersebut meliputi :43
a. Iklan yang mengelabui konsumen tentang barang dari kualitas,
kuantitas, bahan, kegunaan dan harga, serta tarif, ketepatan
waktu dan jaminan;
b. Iklan yang memuat informasi tentang resiko pemakaian barang;
c. Iklan yang tidak memuat informasi tentang resiko pemakaian
barang;
d. Iklan yang mengekploitasi tanpa izin tentang suatu kejadian
atau kegiatan seseorang;
e. Iklan yang melanggar etika periklanan;
f. Iklan yang melanggar peraturan tentang periklanan;
g. Iklan yang melanggar etika dan peraturan (tehnis) periklanan.
42
43
Ahmadi Miru, Op. cit., hal. 38.
Dedi Harianto, Op.cit., hal. 109.
62
Suatu iklan menyesatkan dapat diketahui telah
menyesatkan
setelah suatu barang atau jasa tersebut digunakan. Disisi lain tidak ada
suatu patokan yang dapat digunakan oleh konsumen untuk menilai
apakah iklan itu menyesatkan atau tidak.
Ukuran penentuan informasi yang menyesatkan dalam iklan, dapat
dikemukakan standar ukuran dari The Federal Trade Commision
(FTC) yang menyatakan bahwa suatu iklan dapat dikatakan
mengandung representasi yang keliru, atau kurang lengkap
(ommision) berdasarkan adanya “fakta material”, yaitu fakta yang
penting bagi konsumen untuk dipergunakan sebagai panduan dalam
memutuskan untuk membeli atau mempergunakan suatu produk.
Iklan tersebut harus ditujukan khusus kepada konsumen tertentu
yang rasional. Konsumen tersebut, dalam memilih atau membeli
barang atau jasa yang dibutuhkan, benar-benar didasarkan atas
pertimbangan yang matang berdasarkan informasi yang
diterimanya melalui iklan.44
Mayoritas konsumen Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh
iklan-iklan yang beredar dimedia massa. Mereka cenderung tidak
mempertimbangkan mengenai kebenaran iklan tersebut. Konsumen
dituntut untuk lebih berhati-hati dalam mencermati informasi yang
disampikan melalui iklan, karena hingga saat ini masih saja ditemukan
pelaku usaha yang tidak jujur dan cenderung menjadikan konsumen
hanya sebagai objek. Keadaan yang demikian membutuhkan adanya
pengawasan lebih lanjut oleh pihak yang terkait didalamnya agar
membantu konsumen untuk lebih bijak dalam memahami setiap
penawaran melalui iklan.
Persaingan usaha yang semakin ketat mengharuskan pelaku usaha
yang tidak merata kemampuannya untuk lebih kreatif dan inovatif agar
44
Ibid, hal. 20.
63
lebih menarik minat konsumen atas produk mereka. Tuntutan yang
demikian tidak jarang menempatkan pelaku usaha dalam pilihan yang
sulit, termasuk melakukan praktik bisnis yang tidak jujur.
Guna melaksanakan pengawasan terhadap kebenaran muatan
informasi yang terdapat dalam suatu iklan, telah ditetapkan beberapa
standar kriteria penentuan iklan dalam beberapa peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, seperti dalam Undang-Undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah
No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan beberapa
ketentuan yang bersifat administratif dari Menteri Kesehatan, Menteri
Komunikasi dan Informasi, maupun Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM), serta dalam Etika Pariwara Indonesia sebagai kode
etik periklanan dari kalangan pelaku usaha periklanan.
Berdasarkan hal tersebut, dapat ditentukan beberapa bentuk praktik
penyesatan informasi yang terdapat dalam iklan, antara lain sebagai
berikut :45
a. Iklan yang mengelabui konsumen (misleading) mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, harga, tarif, ketepatan
waktu, jaminan dan garansi barang dan/atau jasa.
b. Tidak memenuhi janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam
iklan.
c. Mendeskripsikan/memberikan informasi secara keliru, salah,
maupun tidak tepat (deceptive) mengenai barang dan/atau jasa.
d. Memberikan gambaran secara tidak lengkap (ommission)
mengenai informasi barang dan/atau jasa.
e. Memberikan informasi yang berlebihan (puffery) mengenai
kualitas, sifat, kegunaan, kemampuan barang dan/atau jasa.
45
Ibid, hal. 112.
64
f. Membuat perbandingan barang dan/atau jasa yang
menyesatkan konsumen.
g. Menawarkan barang dan/atau jasa dengan kondisi yang
menarik tetapi kemudian menawarkan barang dan/atau jasa lain
dengan kondisi yang lain pula (bait and switch advertising).
h. Menyebutkan apa yang dapat diharapkan dari suatu produk
tanpa menyinggung tentang apa yang tidak dapat diharapkan
(resiko/efek samping).
i. Memberikan kesaksian yang tidak benar (mempergunakan
seseorang yang ternyata bukan pemakai produk tersebut).
Mengenai iklan yang menyesatkan, Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan dalam Pasal 10 Bab
IV bahwa penyampaian iklan menyesatkan merupakan perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha.
3.
Tanggung jawab pelaku usaha terhadap penyampaian iklan menyesatkan
Konsumen sebagai penerima langsung dampak negatif iklan
menyesatkan sudah sepatutnya mendapatkan pertanggungjawaban dari
pelaku usaha atas penyampaian iklan tersebut.
Secara garis besar, pertanggungjawaban itu sendiri muncul terkait
dengan dua hal, yaitu :46
a. Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya;
b. Menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan/ atau media
periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik
periklanan.
Setiap aktivitas periklanan, dari proses pembuatan sampai
penayangan iklan tersebut di media elektronik maupun media cetak,
46
Ibid, hal. 199.
65
setidaknya ada beberapa pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut
dengan menjalankan fungsinya masing-masing, antara lain :47
a. Pengiklan, yaitu badan usaha yang memesan iklan dan
membayar biaya pembuatannya untuk promosi/pemasaran
produknya dengan menyampaikan pesan-pesan dan berbagai
informasi lainnya tentang produk tersebut kepada perusahaan
iklan;
b. Perusahaan periklanan, yaitu perusahaan atau biro iklan yang
merancang, membuat atau menciptakan iklan berdasarkan
pesan atau informasi yang disampaikan pengiklan kepadanya;
c. Media periklanan, yaitu media non elektronik (Koran, majalah,
dan seterusnya) atau media elektronik (seperti radio, televisi,
dan seterusnya) yang digunakan untuk menyiarkan dan/atau
menayangkan iklan-iklan tertentu.
Pihak yang paling bertanggung jawab mengenai muatan informasi
produk adalah pengiklan sebagai pihak penghasil barang dan/atau jasa.
Menyangkut daya kreativitas dalam pembuatan iklan merupakan
tanggung jawab perusahaan periklanan dan media iklan, karena
berdasarkan daya imajinasi mereka iklan dapat tampil lebih memikat dan
mampu mengundang perhatian konsumen.
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
mengatur
mengenai
kemungkinan
untuk
meminta
pertanggungjawaban para pihak pada kegiatan periklanan yang telah
disesuaikan dengan dua kemungkinan tersebut. Bagi pengiklan
dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagai
berikut :
47
A.Z. Nasution, Op.cit., hal.9.
66
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran nama baik dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.”
Berkaitan dengan keharusan untuk bertanggung jawab bagi
perusahaan periklanan atau media iklan dimuat dalam Pasal 20 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa :
“Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang
diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”.
Kerugian yang diderita konsumen setelah menggunakan atau
mengkonsumsi barang atau jasa yang diiklankan karena tidak adanya
kesesuaian antara informasi yang disampaikan dengan penerapan dalam
penggunaannya atau tidak sesuai dengan kondisi yang dijanjikan pelaku
usaha. Informasi produk yang disampaikan pelaku usaha mengandung
hak-hak konsumen yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha, hal ini
dikaitkan dengan tujuan kegiatan periklanan yaitu penyebarluasan
informasi produk agar dapat dijadikan panduan bagi konsumen dalam
memilih dan membeli barang dan atau jasa.
Berkaitan
dengan
tanggung
jawab,
iklan
tidak
boleh
menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat. Masingmasing pihak dalam kegiatan periklanan mempunyai bobot tanggung
jawab berbeda yang diukur menurut komponen pelaku usaha periklanan.
Pengiklan bertanggung jawab atas kebenaran informasi produk
yang disampaikan kepada pelaku usaha periklanan. Perusahaan
67
periklanan bertanggung jawab atas ketepatan unsur persuasi yang
disampaikannya dalam pesan iklan, sedangkan media periklanan
bertanggung jawab untuk kesepadanan iklan yang disiarkan dengan
nilai-nilai sosial budaya dari masyarakat yang menjadi sasaran
siarannya.48
Pengiklan dianggap sebagai pihak yang paling tahu mengenai iklan
yang disampaikan, sehingga ia berkewajiban untuk bertanggungjawab
mengenai
kandungan informasi yang terdapat dalam iklan tersebut.
Berkaitan dengan tanggung jawab untuk mencegah pemberian informasi
yang menyesatkan konsumen perusahaan periklanan dan media iklan
juga bertanggung jawab, yaitu dengan selalu menyaring informasi yang
akan diiklankan pada saat proses negosiasi antara pengiklan dengan
perusahaan periklanan, proses penuangan ide kreatif perusahaan
periklanan dalam pembuatan iklan, sampai pada saat di mana iklan
tersebut disampaikan kepada media untuk ditayangkan. Perusahaan
periklanan dan media iklan dapat terhindar dari kewajiban untuk
bertanggung jawab apabila dalam proses pembuatan sampai penayangan
iklan tersebut di media massa, telah melakukan kewajibannya untuk
menyaring setiap informasi yang diterimanya dari pengiklan.
“tindakan penyesatan informasi iklan dapat dijadikan sebagai dasar
untuk menuntut pertanggungjawaban pengiklan, perusahaan
periklanan, maupun media iklan, berdasarkan adanya wanprestasi
(ingkar janji) atau perbuatan melawan hukum, berkaitan dengan
suatu gugatan ganti rugi dalam periklanan”.49
Disebutkan pula oleh Yusuf Sofie bahwa :
48
49
Dedi Harianto, Op,cit,. hal. 67.
Ibid, hal. 21.
68
“dalam realisasinya, tanggungjawab penyampaian iklan menganut
sistem pertanggungjawaban air terjun (water fall) atau sistem
pertanggungjawaban
secara
suksesif/berurutan,
sehingga
pertanggungjawaban dalam periklanan meliputi tanggung jawab
pengiklan, perusahan periklanan, pelaku usaha media elektronik
maupun non elektronik yang menayangkan iklan tersebut”.50
Banyaknya pihak yang terlibat dalam kegiatan periklanan
menyebabkan kegiatan periklanan berada dibawah kewenangan beberapa
departemen/instansi terkait. Kendala yang kemudian timbul adalah
mengenai tumpang tindihnya kewenangan masing-masing departemen
atau instansi serta kurangnya koordinasi antar lembaga, sehingga jika
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan periklanan maka akan timbul
permasalahan departemen/instansi mana yang berwenang untuk meminta
pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan. Mengenai bagaimana
menentukan besar kecil pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan
sesuai dengan peran dan partisipasinya dalam proses pembuatan iklan
tersebut, masih perlu adanya pengaturan untuk menjamin kepastian.
Sebagai panduan guna menentukan pertanggungjawaban pelaku
usaha periklanan, dapat dilihat pada uraian berikut :51
a. Produsen, apabila sebuah iklan yang ditayangan atas
permintaan produsen baik itu bentuknya maupun yang
menyangkut tentang isinya, sehingga biro iklan dan media yang
mengiklankannya hanya bersifat pasif dalam arti bahwa mereka
hanya membuat secara utuh sesuai dengan permintaan
produsen, maka dalam hal ini yang bertanggung jawab secara
penuh adalah produsen yang bersangkutan.
b. Biro iklan, dalam hal ini produsen dan media iklan bersifat
pasif, sedangkan biro iklan yang mendesain bentuk termasuk
50
51
Ibid.
Ibid. hal. 208.
69
isinya, maka yang bertanggung jawab adalah biro iklan yang
bersangkutan.
c. Media iklan, apabila dalam mengiklankan suatu produk
produsen dan biro iklan telah menetapkan bentuk dan isi iklan,
akan tetapi dalam penayangannya terjadi perubahan, di mana
setelah ditayangkan berbeda dengan sebenarnya, maka yang
bertanggung jawab adalah media iklan yang bersangkutan.
Menurut panduan di atas, pertanggungjawaban para pihak
ditentukan berdasarkan peran aktif para pihak sebagai sumber informasi
dalam proses pembuatan iklan tersebut.
Bagi pelaku usaha periklanan yang tidak mengetahui adanya hal
yang menyesatkan atau pernyataan yang salah sesuai dengan pesanan
pemesan iklan, sesuai asas maka pelaku usaha periklanan yang tidak
mengetahui itikad buruk pemesan iklan, tidak sepatutnya mendapatkan
sanksi berdasarkan ketentuana Pasal 17 Undang-Undang No. Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Pihak yang seharusnya dimintai
pertanggungjawaban atas kerugian konsumen akibat iklan yang isinya
menyesatkan atau mengandung pernyataan yang salah adalah pelaku
usaha pemesan iklan.
Ketiadaan undang-undang khusus periklanan yang seharusnya
dapat dijadikan pedoman dalam kegiatan periklanan, menjadikan
persoalan penentuan tanggung jawab ini harus dilakukan kasus per kasus,
tergantung pada peran masing-masing pihak dalam proses pembuatan
dan pemasangan iklan tersebut serta bagaimana Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) atau hakim di pengadilan meletakkan beban
tanggung jawab masing-masing pihak dalam perkara yang dihadapkan
70
kepada mereka atas suatu perbuatan periklanan yang menimbulkan
kerugian.
Berkaitan penyampaian informasi iklan menyesatkan, dengan
melihat paraf/tanda tangan perusahaan mana yang terdapat dalam
draft akhir iklan yang kemudian disiarkan melalui media massa.
Pihak yang membubuhkan tanda tangan tersebut dianggap sebagai
pelaku usaha yang paling bertanggung jawab terhadap informasi
iklan menyesatkan tersebut.52
Kewajiban untuk bertanggungjawab ini dalam rangka memberikan
suatu perlindungan bagi konsumen dari perbuatan pelaku usaha yang
merugikan berkaitan dengan pemberian informasi kepada konsumen
mengenai suatu barang dan atau jasa. Pemerintah bukan bermaksud
untuk mempersempit ruang gerak pelaku usaha dengan cara memberi
batasan terhadap cara pemasaran suatu produk, namun diharapkan agar
dapat berlangsung suatu kegiatan usaha yang sehat dan terciptanya
hubungan yang saling menguntungkan antara pelaku usaha dengan
konsumen.
52
Ibid. hal. 211.
71
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep
legal positif, yang mengemukakan bahwa hukum identik dengan normanorma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat yang berwenang.
Konsep ini juga melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri,
bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat sehari-hari.53
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menelaah fakta terkait
dengan permasalahan yang akan diteliti, kemudian dicari kesesuaiannya
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan doktrin.
Adapun peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan yaitu UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitis yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan
dengan teori-teori hukum, norma hukum, doktrin, serta praktek pelaksanaan
hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas.
53
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, PT. Ghalia
Indonesia, Jakarta:1990, Halaman13.
72
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan
Universitas Jenderal Soedirman dan Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman serta media elektronik dengan
menggunakan media internet.
D. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yaitu bahan pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi yaitu Putusan
Mahkamah Agung, buku-buku perpustakaan, peraturan perundang-undangan,
karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
materi penelitian. Dari bahan hukum sekunder tersebut dapat dibagi dan
diuraikan ke dalam tiga bagian, yaitu :
a.
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritif
artinya mempunyai suatu otoritas, mutlak dan berkekuatan hukum
mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar,
peraturan perundang-undangan, cacatan resmi, lembaran negara
penjelasan, risalah, putusan hukum dan yurisprudensi. Bahan
hukum ini terdiri dari : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari
73
para ahli hukum dalam bentuk buku-buku yang berpengaruh,
artikel, jurnal-jurnal hukum, serta pendapat para sarjana. Bahan
sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak
dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan
bahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekuder untuk
melengkap deskripsi suatu realitas.
c.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang sifatnya melengkapi dan
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipandang relevan dan memadai untuk
memperoleh data sekunder dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan,
dilakukan melalui penelaahan data dan literatur yang berkaitan dengan
peraturan perundang-undangan yang diterapkan dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012.
F. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian
yang disusun secara sistematis. Sistematis di sini artinya data-data yang
diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan
permasalahan yang diteliti, sehingga secara keseluruhan merupakan satu
kesatuan yang utuh.
74
G. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisa secara normatif kualitatif yaitu
dengan menjabarkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum
atau kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan.
Data dianalisa dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam
peraturan-peraturan yang berlaku, serta memperhatikan pula doktrin yang
masih berkaitan dengan ketentuan dalam peraturan perundangan tersebut.
Kemudian dari analisa tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban
terhadap permasalahan yang diteliti.
75
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012, yang menghasilkan data-data sebagai
berikut :
1.
Pihak dalam Perkara
1.1. Pemohon Kasasi
PT. NISSAN MOTOR INDONESIA, yang diwakili oleh Presiden
Direktur PT. Nissan Motor Indonesia, berkedudukan di Gedung
Nissan TB. Simatupang 5th Floor, Jalan R.A. Kartini Kav 11-S
Nomor 7 Jakarta Selatan, dalam hal ini memberi kuasa kepada Dr.
HINCA IP PANJAITAN, SH.,MH.ACCS dan kawan, para
advokat, beralamat di CITYLOFTS SUDIRMAN Suite 1021, Jalan
KH. Mas Mansyur Nomor 121, Jakarta 10220, selanjutnya disebut
Pemohon Kasasi dan dahulu merupakan Pemohon/Termohon
dalam Perkara Arbitrase BPSK.
1.2. Termohon Kasasi
LUDMILLA ARIF, bertempat tinggal di Jalan Kalibata Tengah,
Komp. PT. PAS Nomor 1 Warung Buncit, Jakarta Selatan, dalam
hal ini memberi kuasa kepada DAVID M.L. TOBING, SH.,M.Kn.
dan kawan-kawan, para Advokat, beralamat di Wisma Bumiputra,
76
Lantai 15, Jalan Jenderal Sudirman Kav.75, Jakarta 12910,
selanjutnya disebut Termohon Kasasi dan dahulu merupakan
Termohon/Pemohon dalam Perkara Arbitrase BPSK.
2.
Duduk Perkara
2.1. Bahwa Termohon sebagai konsumen telah dirugikan oleh Pemohon
karena apa yang diiklankan oleh Pemohon terkait dengan produk
Nissan March baik di surat kabar maupun internet bahwa konsumsi
BBM Nissan March Matic hasil pemakaian di dalam kota adalah
185 km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami
Termohon setelah pemakaian produk kurang lebih 1-2 bulan;
2.2. Bahwa setelah Termohon menggunakan Nissan March kurang
lebih 1-2 bulan, Pemohon menyampaikan ke Pihak Nissan Warung
Buncit, bahwa menurut perhitungan Termohon, rata-rata konsumsi
BBM jauh berbeda/di bawah dengan iklan pada Nissan March di
surat kabar/internet. Dan atas pertimbangan tersebut, Termohon
membatalkan pembelian Mobil Nissan March dan meminta uang
pengembalian mobil sebesar RP. 159.000.000,00 (seratus lima
puluh sembilan juta rupiah);
2.3. Bahwa Pemohon tidak pernah mengiklankan bahwa konsumsi
BBM Nissan March hasil pemakaian di dalam kota adalah 18,5
km/liter;
2.4. Bahwa informasi konsumsi BBM Nissan March merupakan hasil
test drive 6 (enam) unit mobil Nissan March bertransmisi Manual
77
dan 6 (enam) unit mobil Nissan March bertransmisi Otomatis yang
dilaksanakan pada tanggal 4-6 November 2010 dengan menempuh
rute Jakarta – Cikampek – Kanci – Ajibarang – Gombong –
Petanahan – Wates – Yogyakarta, yang diikuti oleh perwakilan dari
sekitar 29 (dua puluh sembilan) media cetak dan elektronik;
2.5. Bahwa Termohon menyatakan apa yang diiklankan oleh Pemohon
bahwa konsumsi BBM Nissan March Matic hasil pemakaian di
dalam kota adalah 18,5 km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan
yang dialami Termohon setelah pemakaian produk kurang lebih 1-2
bulan, didasarkan Termohon pada pemberitaan-pemberitaan (bukan
iklan) sebagai berikut :

Pemberitaan yang berjudul “First Impressions Trying Nissan
March” di www.kompas.com edisi 15 November 2010;

Pemberitaan yang berjudul “Konsumsi BBM Nissan March
Matic 18,5 km/liter” di www.detikhot.com edisi 15 November
2010;

Pemberitaan yang berjudul “Nissan March, Lincah Saat
Dikebut” di www.investor.co.id edisi 18 Januari 2011.
2.6. Bahwa sebagai bentuk apresiasi layanan Pemohon terhadap
konsumennya in casu Termohon, pada tanggal 14 Juli 2011
Pemohon telah melakukan pemeriksaan sesuai standar terhadap
produk a quo yang telah dipakai Termohon selama kurang lebih 12 bulan, dan hasilnya produk a quo dinyatakan tidak bermasalah.
78
Adapun
pemeriksaan/pengetesan
tersebut
dilakukan
dengan
menggunakan bahan bakar Shell, start dari SPBU Shell Ciputat jam
11.05 wib menuju gardu Tol Ciputat melalui Jalan Tol Lingkar
Luar hingga gardu Tol Rototan (PP) dan kembali ke SPBU Shell
Ciputat pada pukul 12.38 wib. Dengan total jarak tempuh 80 km,
waktu tempuh 1 jam 33 menit, rata-rata kecepatan 51,60 km/jam,
total isi bahan bakar 3,19 liter, diketahui konsumsi BBM produk a
quo adalah 25,07 km/liter;
3.
Amar Putusan Arbitrase BPSK
(Putusan Arbitrase BPSK Nomor 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012)
3.1. Menyatakan klaim iklan Nissan march yang menyatakan konsumsi
BBM jarak tempuh/km melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan
Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen;
3.2. Mengabulkan Gugatan Pemohon untuk sebagian;
3.3. Menyatakan transaksi mobil Nissan March dibatalkan;
3.4. Memerintahkan kepada Pihak Pemohon untuk menyerahkan mobil
Nissan March dan Pihak Termohon (PT. Nissan Motor Indonesia)
mengembalikan uang pembelian mobil sebesar Rp. 150.000.000,(seratus lima puluh juta rupiah) dengan tunai.
4.
Keberatan terhadap Putusan BPSK
Bahwa Pemohon dengan ini secara tegas menyatakan keberatan atas
Putusan Arbitrase BPSK No.: 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012 tanggal 16
79
Februari 2012 yang secara nyata telah lalai menerapkan hukumnya dalam
memberikan pertimbangan hukum atas perkara a quo.
4.1. Pemohon Keberatan atas Pertimbangan Hukum Majelis BPSK
Provinsi DKI Jakarta yang menyatakan “Bahwa Pemohon
menentukan
untuk
membeli
Nissan
March,
salah
satu
pertimbangannya adalah karena tertarik dengan iklan Nissan
March, baik di surat kabar maupun media online internet, bahwa
konsumsi BBM Nissan March adalah 18,5 km/liter. Bahwa setelah
Pemohon menggunakan Nissan March kurang lebih 1-2 bulan,
Pemohon menyampaikan ke Pihak Nissan Warung Buncit, bahwa
menurut perhitungan Pemohon, rata-rata konsumsi BBM jauh
berbeda/di bawah dengan iklan pada iklan Nissan March di surat
kabar/internet.
Dan
atas
pertimbangan
tersebut,
Pemohon
membatalkan pembelian Mobil Nissan March dan meminta uang
pengembalian mobil sebesar RP. 159.000.000,00 (seratus lima
puluh sembilan juta rupiah)”.
4.1.1. Bahwa berdasarkan fakta hukum, yang menjadi pokok
perkara a quo adalah dalil Termohon yang menyatakan
telah dirugikan oleh Pemohon karena apa yang diiklankan
oleh Pemohon terkait dengan produk Nissan March baik di
surat kabar maupun internet bahwa konsumsi BBM Nissan
March Matic hasil pemakaian di dalam kota adalah 18,5
km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami
80
Termohon setelah pemakaian produk a quo kurang lebih 12 bulan. Adapun dalil Termohon tersebut didasarkan pada
pemberitaan-pemberitaan (bukan iklan) sebagai berikut :

Pemberitaan yang berjudul “First Impressions Trying
Nissan
March”
di
www.kompas.com
edisi
15
November 2010;

Pemberitaan yang berjudul “Konsumsi BBM Nissan
March Matic 18,5 km/liter” di www.detikhot.com edisi
15 November 2010;

Pemberitaan yang berjudul “Nissan March, Lincah Saat
Dikebut” di www.investor.co.id edisi 18 Januari 2011.
4.1.2. Bahwa merupakan fakta hukum, Pemohon tidak pernah
mengiklankan bahwa konsumsi BBM Nissan March Matic
hasil pemakaian di dalam kota adalah 18,5 km/liter.
Informasi konsumsi BBM Nissan March merupakan hasil
test drive 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi
Manual dan 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi
Otomatis yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 November
2010 dengan menempuh rute Jakarta-Cikampek-KanciAjibarang-Gombong-Petanahan-Wates-Yogyakarta,
yang
diikuti oleh perwakilan dari sekitar 29 (dua puluh sembilan)
media cetak dan elektronik, yang kemudian dibuat
81
pemberitaannya oleh media cetak dan elektronik tersebut.
Jadi jelas itu adalah pemberitaan, bukan iklan.
4.1.3. Bahwa merupakan fakta hukum, pada tanggal 14 Juli 2011
Pemohon telah melakukan pemeriksaan sesuai standar
terhadap produk a quo yang telah dipakai Termohon selama
kurang lebih 1-2 bulan, dan hasilnya produk a quo
dinyatakan
tidak
pemeriksaan/pengetesan
bermasalah.
tersebut
dilakukan
Adapun
dengan
menggunakan bahan bakar Shell, start dari SPBU Shell
Ciputat jam 11.05 wib menuju gardu Tol Ciputat melalui
Jalan Tol Lingkar Luar hingga gardu Tol Rorotan (PP) dan
kembali ke SPBU Shell Ciputat pada pukul 12.38 wib.
Dengan total jarak tempuh 8 km, waktu tempuh 1 jam 33
menit, rata-rata kecepatan 51,60 km/jam, total isi bahan
bakar 3,19 liter, diketahui konsumsi BBM produk a quo
adalah 25,07 km/liter.
4.2. Pemohon Keberatan atas pertimbangan hukum Majelis BPSK
Provinsi
DKI
Jakarta
yang
menyatakan
“Bahwa
dengan
memperhatikan fakta-fakta di atas, keberadaan klaim iklan Nissan
March menggunakan konsumsi BBM untuk jarak tempuh/km
melanggar Ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 9 ayat (1) huruf k dan
Pasal 10 huruf c.”
82
4.2.1. Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi
“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan suatu barang/atau jasa secara tidak benar,
dan/atau seolah-olah : - huruf (k) : menawarkan sesuatu
yang mengandung janji yang belum pasti.”
4.2.2. Bahwa Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi “Pelaku usaha
dalam menawarkan, barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk
diperdagangkan
dilarang
menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan
yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : - huruf c :
kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas
sesuatu barang dan/atau jasa.”
4.2.3. Bahwa berdasarkan fakta hukum, Pemohon tidak pernah
menawarkan, tidak pernah mempromosikan, tidak pernah
mengiklankan produk a quo secara tidak benar, dan/atau
seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji
yang belum pasti dan atau menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar
atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan,
hak atau ganti rugi atas produk a quo.
83
4.2.4. Bahwa Majelis BPSK Priovinsi DKI Jakarta menggunakan
pemberitaan-pemberitaan (bukan iklan) sebagai berikut :
 Pemberitaan yang berjudul “First Impressions Trying
Nissan March” di www.kompas.com edisi 15 November
2010;
 Pemberitaan yang berjudul “Konsumsi BBM Nissan
March Matic 18,5 km/liter” di www.detikhot.com edisi
15 November 2010;
 Pemberitaan yang berjudul “Nissan March, Lincah Saat
Dikebut” di www.investor.co.id edisi 18 Januari 2011.
yang diajukan Termohon sebagai bukti dan dasar satusatunya alasan pengaduannya ke BPSK Provinsi DKI
Jakarta, yang kemudian oleh Majelis BPSK Provinsi DKI
Jakarta dijadikan sebagai dasar pertimbangan hukum dalam
mengambil putusan dengan menetapkan Pemohon telah
melanggar Ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 9 ayat
(1) huruf k dan Pasal 10 huruf c, tentulah pertimbangan
hukum tersebut sangat keliru dan tidak berdasarkan hukum
serta secara nyata-nyata salah. Karena ketiga bukti itu
adalah
murni
bentuknya
pemberitaan,
bukan
iklan/penawaran. Sangat berbeda makna dan pengertian
antara iklan dengan pemberitaan. Pemberitaan adalah
84
produk jurnalistik yang menjadi domain media yang
bersangkutan dan otonom tanpa mendapatkan pembayaran,
sedangkan iklan adalah produk informasi yang disiarkan
oleh media sesuai dengan pesanan pemasang iklan dengan
membayar
sejumlah
uang
kepada
media
yang
memasangnya.
4.3. Bahwa perbuatan Termohon yang mengajukan tiga pemberitaan
sebagai bukti sebagaimana dimaksud dalam dalil butir 4.2.4 yang
diklaim dan diakui serta dinyatakan sebagai iklan adalah nyatanyata merupakan tipu muslihat Termohon mengelabui Majelis
Hakim sehingga akhirnya Majelis Hakim terkelabui dalam
mengambil keputusan dengan menyatakan bahwa perbuatan
Pemohon melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
5.
Petitum/Tuntutan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar memberikan putusan sebagai
berikut :
5.1. Menerima Gugatan Pemohon untuk seluruhnya;
5.2. Membatalkan Putusan Arbitrase BPSK No.: 099/Pts.A/BPSKDKI/II/2012 tanggal 16 Februari 2012;
85
5.3. Menyatakan Putusan Arbitrase BPSK No.: 099/Pts.A/BPSKDKI/II/2012 tanggal 16 Februari 2012 tidak berkekuatan hukum;
5.4. Menghukum Termohon semula Pemohon untuk membayar biaya
perkara.
5.5. Atau apabila Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain,
maka Pemohon dengan ini mohon putusan yang seadil-adilnya.
6.
Amar Putusan Pengadilan Tingkat Pertama
(Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
Nomor
130/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel)
6.1. Menolak Permohonan Pemohon tersebut;
6.2. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.316.000,00 (tiga ratus enam belas ribu rupiah).
7.
Alasan Pengajuan Kasasi
7.1. Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam proses persidangan
di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut
“BPSK”) Provinsi DKI Jakarta dan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak
terpisahkan;
7.2. Bahwa Pemohon Kasasi keberatan atas amar putusan Judex Facti
yang menolak Permohonan Pemohon tersebut. Sebab berdasarkan
fakta hukum, perkara a quo adalah perkara gugatan perdata bukan
permohonan. Itulah sebabnya di dalam register perkara jelas ditulis
Perkara Perdata Nomor : 130/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel. Jika perkara a
86
quo adalah berbentuk permohonan maka dalam register perkara
akan tertulis Permohonan Nomor : 130/Pdt.P/2012/PN.Jkt.Sel.
Dengan demikian berdasarkan fakta hukum sebagaimana tersebut
di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan isi amar putusan Judex
Facti yang menyatakan “Menolak Permohonan Pemohon” tersebut
adalah keliru dan karenanya patut dibatalkan;
7.3. Bahwa pada tanggal 18 Oktober 2011, Termohon Kasasi telah
mengadukan Pemohon Kasasi ke BPSK, dengan pokok perkara dan
tuntutan hukum, bahwa Termohon Kasasi sebagai konsumen
merasa dirugikan oleh Pemohon Kasasi, karena menurut Termohon
Kasasi apa yang diiklankan oleh Pemohon Kasasi terkait dengan
iklan (quod non) produk Nissan March, bahwa konsumsi BBM
Nissan March Matic hasil pemakaian dalam kota adalah 18,5
km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami Termohon
Kasasi setelah memakai produk Nissan March selama kurang lebih
1-2 bulan;
7.3.1. Bahwa sesungguhnya Pemohon Kasasi tidak pernah
mengiklankan mengenai jumlah konsumsi BBM Nissan
March tersebut. Informasi mengenai konsumsi BBM Nissan
March sebenarnya berasal dari artikel dan/atau berita yang
ditulis oleh perwakilan dari sekitar 29 (dua puluh sembilan)
media cetak dan elektronik, berdasarkan pada hasil testdrive 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi manual
87
dan 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi otomatis
yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 November 2010;
7.3.2. Di dalam persidangan baik dalam persidangan BPSK
maupn persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa dasar dari dalaildalil Termohon Kasasi dalam pengaduan ke BPSK tersebut
sebenarnya berasal dari artikel yang ditulis media, bukan
iklan atau advertorial dari Pemohon Kasasi selaku pelaku
usaha. Adapun artikel-artikel dimaksud adalah sebagai
berikut :
 Artikel di www.kompas.com edisi tanggal 15 November
2010, berjudul : “First Impressions Trying Nissan
March”;
 Artikel di www.detikhot.com edisi tanggal 15 November
2010, berjudul : “Konsumsi BBM Nissan March Matic
18,5 km/liter”;
 Artikel di www.investor.co.id edisi tanggal 18 Januari
2011, berjudul : “Nissan March, Lincah Saat Dikebut”;
(selanjutnya disebut sebagai “Artikel-artikel”)
7.3.3. Bahwa makna dan pengertian antara iklan dengan artikel
atau pemberitaan adalah sangat berbeda, dimana artikel atau
pemberitaan adalah produk jurnalistik yang menjadi domain
media yang bersangkutan dan otonom tanpa mendapatkan
88
pembayaran, sedangkan iklan adalah produk informasi yang
disiarkan oleh media sesuai dengan pesanan pemasang iklan
dengan membayar sejumlah uang kepada media yang
memasangnya;
Perbuatan Termohon Kasasi yang mengajukan artikelartikel yang diklaim dan diakui serta dinyatakan sebagai
iklan, semata-mata hanyalah untuk mengelabui dan
membingungkan Judex Facti mengambil kesimpulan yang
sesuai dengan keinginan Termohon Kasasi;
7.3.4. Bahwa sesungguhnya Pemohon Kasasi selaku pelaku usaha
telah menanggapi keluhan Termohon Kasasi tersebut di atas
dengan melakukan pemeriksaan sesuai standar terhadap
produk Nissan March yang telah dipakai Termohon Kasasi
selama kurang lebih 1-2 bulan lamanya tersebut, dan
hasilnya produk a quo dinyatakan tidak bermasalah. Bahkan
Pemohon Kasasi bersama-sama dengan Termohon Kasasi,
juga telah melakukan test-drive menggunakan Nissan
March milik Termohon Kasasi sesuai dengan cara yang
tertera pada artikel-artikel tersebut di atas, yang hasilnya
adalah sebagai berikut :
 Test-drive I
tanggal 5 April 2011 1 liter untuk 18 km
 Test-drive II tanggal 14 Mei 2011 1 liter untuk 17 km
 Test-drive III tanggal 14 Juli 2011 1 liter untuk 22,7 km,
89
dimana Pemohon Kasasi menolak ikut.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hasil test drive tersebut di
atas, terbukti bahwa produk Nissan March milik Termohon
Kasasi sudah sesuai dengan keterangan-keterangan yang
terdapat dalam artikel-artikel tersebut, namun ternyata
Judex Facti mengabaikan pemeriksaan dan hasil test-drive
tersebut dan tidak mempertimbangkannya dalam Putusan.
7.4. Bahwa Judex Facti salah menerapkan hukum pembuktian karena
terbukti tidak ada satupun bukti-bukti Termohon Kasasi yang
mendukung dalil-dalil Termohon Kasasi yang menyatakan bahwa
Termohon Kasasi menggunakan produk Nissan March di bawah 1
liter untuk 18,5 km.
7.4.1. Bahwa jika dicermati dengan seksama, berdasarkan buktibukti yang diajukan oleh Termohon Kasasi dalam perkara a
quo,
ternyata
selain
bukti
kepemilikan
kendaraan,
Termohon Kasasi hanya menunjukkan bukti berupa artikelartikel yang memberitakan mengenai produk Nissan March
semata, namun tidak ada bukti nyata yang membenarkan
dan/atau menunjukkan bahwa Termohon Kasasi dalam
mengendarai produk Nissan March membutuhkan konsumsi
BBM kurang dari 18,5 km/liter.
7.4.2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 huruf d Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
90
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas
dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
secara tetulis, harus memuat secara benar dan lengkap
mengenai bukti perolehan, baik berupa bon, faktur, kwitansi
maupun dokumen bukti lain, sebagaimana terkutip sebagai
berikut :
“Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara
tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai :
a. Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris dan
kuasanya disertai bukti diri;
b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha;
c. Barang atau jasa yang diadukan;
d. Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi dan dokumen
bukti lain);
e. Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang
atau jasa tersebut;
f. Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut
diperoleh;
g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila
ada.”
7.4.2.1.
Bahwa dalam perkara a quo, Termohon Kasasi
terbukti tidak dapat menunjukkan adanya bukti
perolehan berupa bon, faktur, kwitansi dan
91
dokumen bukti lain, yang dapat membuktikan dan
membenarkan bahwa Termohon Kasasi selama
12
bulan
memakai
produk
Nissan
March
membutuhkan konsumsi BBM kurang dari 18,5
km/liter;
7.4.2.2.
Bahwa
sedangkan
keterangan
saksi
Aryo
Wirawarman, selaku konsumen yang katanya
memiliki produk Nissan March, tidak dapat
dianggap sebagai bagian dari pembuktian, karena
saksi Aryo Wirawarman dihadirkan sebagai
pemilik
Nissan
March,
tetapi
menunjukkan
STNK
ataupun
menunjukkan
bahwa
saksi
tidak
dapat
BPKB
yang
adalah
pemilik.
Bagaimana keterangannya dapat diberikan beban
sebagai suatu kesaksian ?. Lagi pula, kekuatan
pembuktian dari kesaksian seorang saksi saja
tidak didukung dengan alat bukti lainnya tidak
dapat dianggap sempurna (asas unus testis nullus
testis). Pasal 1905 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata berbunyi : “Keterangan seorang saksi
saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka
pengadilan tidak boleh dipercaya”.
92
7.4.2.3.
Bahwa
tidak
adanya
membenarkan
Termohon
dan
Kasasi
bukti
yang
menguatkan
dalam
dapat
dalil-dalil
perkara
a
quo,
sebenarnya juga telah diakui oleh Judex Facti
dalam pertimbangan hukumnya yang terdapat
pada paragraf 1 dan paragraf 2 halaman putusan
Judex
Facti
yang masing-masing
berbunyi
sebagai berikut :
Paragraf 1 halaman 34 Putusan Judex Facti
“Menimbang, bahwa dipersidangan telah pula
didengar keterangan saksi Aryo Wirawarman
yang menerangkan bahwa saksi juga pemilik
mobil Nissan March sebagaimana dalam bukti T14 namun saksi tidak membawa STNK dan
BPKBnya”;
Paragraph 2 halaman 34 Putusan Judex Facti
“Menimbang, bahwa dari bukti-bukti Termohon
(baca : Termohon Kasasi) tersebut di atas,
Majelis Hakim menilai hanya sebagai brosur,
booklet,
artikel,
korespondensi
iklan
antara
Nissan
March
Termohon
dan
(baca
:
Termohon Kasai) dengan Dino Apriadi Gautama,
sedangan
keterangan
saksi
(baca
:
Aryo
93
Wirawarman)
hanya
untuk
kendaraannya
sendiri”.
Dengan demikian, terbukti tidak ada satupun
saksi maupun bukti yang diajukan oleh Termohon
Kasasi dalam perkara a quo, yang menguatkan
dalil-dalil Termohon Kasasi, yang menyatakan
bahwa konsumsi BBM Nissan March milik
Termohon Kasasi kurang dari 18,5 km/liter,
sehingga sudah seharusnya apabila Majelis
Hakim Tingkat Kasasi menolak atau setidaktidaknya
menyatakan
pengaduan
Termohon
Kasasi dalam perkara a quo tidak dapat diterima.
7.5. Judex Facti salah menerapkan hukum karena mempertimbangkan
artikel-artikel sebagai iklan yang dibuat oleh Pemohon Kasasi.
7.5.1. Bahwa Pemohon Kasasi juga menolak dengan tegas
pertimbangan hukum Majelis BPSK Provinsi DKI Jakarta,
yang pada intinya menyatakan bahwa Pemohon Kasasi telah
melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 9 ayat (1) huruf
k dan Pasal 10 huruf c, karena tidak berdasar hukum, keliru
dan nyata-nyata salah.
7.5.2. Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan
94
bahwa
“Pelaku
usaha
dilarang
menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa
secara tidak benar, dan/atau seolah-olah menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti”;
7.5.3. Bahwa Pasal 10 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan bahwa
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
yang
ditujukan
menawarkan,
untuk
diperdagangkan
mempromosikan,
dilarang
mengiklankan
atau
membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan
mengenai kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi
atas suatu barang dan/atau jasa”.
7.5.4. Bahwa Pemohon Kasasi sama sekali tidak pernah
menawarkan, tidak pernah mempromosikan dan tidak
pernah mengiklankan produk secara tidak benar, dan/atau
seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji
yang belum pasti dan/atau menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang benar atau
menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan, hak
atau ganti rugi atas produk-produk Pemohon Kasasi,
termasuk namun tidak terbatas produk Nissan March;
7.5.5. Bahwa artikel-artikel tersebut di atas yang diajukan oleh
Termohon Kasasi sebagai bukti dan dasar satu-satunya
95
alasan pengaduan Termohon Kasasi ke BPSK DKI Jakarta,
yang kemudian dijadikan sebagai dasar pertimbangan
hukum oleh BPSK DKI Jakarta dalam mengambil Putusan,
dengan
menyatakan
bahwa
Pemohon
Kasasi
telah
melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen adalah sangat keliru dan tidak
berdasar hukum, karena jelas artikel-artikel tersebut di atas
bukanlah iklan, melainkan pemberitaan yang ditulis oleh
para
wartawan
media
itu
sendiri
dengan
otonom
berdasarkan kenyataan yang mereka alami sendiri saat
mengikuti test drive yang dilaksanakan pada tanggal 4-6
November 2010;
7.5.6. Bahwa hal tersebut sesuai dengan keterangan FX. Ridwan
Handoyo, yang menyatakan bahwa artikel-artikel tersebut di
atas, yang menjadi bukti dalam perkara a quo,
adalah
merupakan kategori berita dan bukan iklan karena tidak ada
transaksi ekonomi dan ada nama wartawan yang tercantum
sebagai penulisnya;
Bahwa dengan demikian, Majelis Hakim Kasasi Yang
Terhormat, bahwa perbuatan Termohon Kasasi yang
mengklaim, mengakui serta menyatakan pemberitaan yang
terdapat dalam artikel-artikel tersebut sebagai iklan inilah
yang Pemohon Kasasi maksud sebagai bentuk dari bagian
96
suatu tipu muslihat Termohon Kasasi untuk mengelabui
Judex Facti dalam perkara a quo sehingga salah dalam
mempertimbangkan dan mengambil keputusan.
Dengan demikian secara sah dan meyakinkan bahwa
putusan arbitrase a quo sangat beralasan hukum untuk
dibatalkan sesuai dengan ketentuan Pasal 70 dan Penjelasan
Umum alinea ke-18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang mengatur tentang alasan pembatalan putusan
arbitrase.
7.6. Judex Facti salah menerapkan hukum karena tidak konsisten dalam
mempertimbangkan bukti-bukti pada perkara a quo.
BPSK Provinsi DKI Jakarta sendiri terbukti tidak yakin dengan
keputusannya.
7.6.1. Bahwa
BPSK
Provinsi
DKI
Jakarta
dalam
mempertimbangkan pada paragraf 1 halaman 5 Putusan
Arbitrase, yang juga dijadikan bukti dalam perkara a quo,
ternyata juga tidak merasa yakin akan perbedaan hasil
pengujian
konsumsi
BBM
Nissan
March
sehingga
membutuhkan pengujian dari pihak ketiga/independent,
sebagaimana terkutip sebagai berikut :
“Bahwa dalam hal adanya perbedaan hasil pengujian, untuk
menjaga independensi hasil pengujian/tidak ada conflict of
97
interest,
perlu
adanya
pengujian
dari
pihak
ketiga/independent yang disepakati oleh kedua belah pihak
Pemohon dan Termohon (PT. NMI) menyangkut metode
pengujian dan pihak yang melaksanakan pengujian”;
7.6.2. Bahwa hingga saat ini tidak ada pihak ketiga/independent
yang
telah
ditunjuk
menyangkut
metode
untuk
melaksanakan
pengujian
dan
pengujian
pihak
yang
melaksanakan pengujian dimaksud, sehingga belum ada
hasil
pengujian
yang
dapat
membuktikan
dan/atau
membenarkan dalil-dalil yang diajukan Termohon Kasasi
dalm perkara a quo.
7.6.3. Bahwa namun demikian, BPSK Provinsi DKI Jakarta dalam
Putusannya ternyata serta merta menyatakan Pemohon
Kasasi bersalah melanggar Undang-Undang Nomor 8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan
Konsumen
dan
menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar sejumlah
uang ke Termohon Kasasi, walaupun belum ada hasil
pengujian yang membuktikan bersalah tidaknya Pemohon
Kasasi dalam perkara a quo.
7.6.4. Bahwa ketidakkonsistenan Judex Facti dalam perkara a quo
juga tercermin pada pertimbangan hukumnya dalam
Putusan,
dimana
pada
satu
sisi
Judex
Facti
mempertimbangkan keterangan ahli FX. Ridwan Handoyo
98
yang menyatakan bahwa artikel-artikel yang menjad bukti
dalam perkara a quo, adalah merupakan kategori berita dan
bukan iklan, dan menilai bahwa bukti-bukti yang diajukan
oleh Temohon Kasasi hanya sebagai brosur, booklet,
artikel, iklan Nissan March dan korespondensi antara
Termohon Kasasi dengan Dino Apriadi Gautama, namun di
sisi lain Judex Facti ternyata menolak permohonan kasasi
Pemohon Kasasi.
7.6.5. Bahwa hal tersebut membuktikan ketidakkonsistenan Judex
Facti dalam menerapkan hukum, dimana pada satu sisi
Judex Facti telah memberikan pertimbangan-pertimbangan
hukum yang menyatakan tidak ada bukti Termohon Kasasi
yang dapat membuktikan dan/atau menunjukkan kesalahan
Pemohon Kasasi dalam perkara a quo, akan tetapi di sisi
lain Judex Facti ternyata menerimaan pengaduan Termohon
Kasasi dan menghukum Pemohon Kasasi, tanpa didasari
bukti yang seharusnya diajukan oleh Temohon Kasasi.
Bahwa dengan demikian menjadi
sangat
beralasan untuk
membatalkan putusan arbitrase dimaksud sesuai dengan ketentuan
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur tetang alasan
pembatalan putusan arbitrase.
99
7.7. Judex
Facti
salah
menerapkan
hukum
karena
tidak
mempertimbangkan korelasi antara bukti-bukti yang diajukan
dengan keterangan ahli dalam perkara a quo.
7.7.1. Bahwa Judex Facti dalam Putusan a quo terbukti tidak
mempertimbangkan korelasi antara bukti-bukti yang ada
dengan keterangan ahli dalam perkara a quo. Bahwa
terbukti tidak ada satupun dari bukti yang diajukan
Termohon Kasasi tersebut, yang dapat membenarkan atau
menguatkan dalil-dalil Termohon Kasasi dalam perkara a
quo.
7.7.2. Bahwa selain itu, keterangan ahli FX. Ridwan Handoyo
dalam perkara a quo juga menyatakan bahwa bukti-bukti
yang
diajukan
Termohon
Kasasi
telah
salah
dipertimbangkan, dimana artikel/berita dipertimbangkan
sebagai iklan.
7.7.3. Bahwa apabila bukti
dan keterangan ahli
tersebut
dipertimbangkan secara bersama-sama, maka tidak ada
kesalahan Pemohon Kasasi dalam perkara a quo yang dapat
dibuktikan dengan Termohon Kasasi, dan Judex Facti tidak
memiliki landasan juridis bagi pertimbangan putusannya.
7.7.4. Bahwa dengan mempertimbangannya bukti-bukti yang
tidak terbukti kebenarannya tersebut menunjukkan bahwa
Judex Facti telah salah serta melanggar prinsip pembuktian
100
untuk
memberi
landasan
juridis
bagi
pertimbangan
putusannya. Ini juga berarti Judex Facti tidak cukup cermat
dalam memeriksa perkara a quo. Hal tersebut sejalan
dengan doktrin hukum Prof. Soedikno Mertokusumo, yang
dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa “Pada
hakikatnya membuktikan dalam arti juridis berarti memberi
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa
perkara bersangkutan, guna memberi kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di
persidangan”.
Bahwa
dengan
fakta-fakta
di
atas,
jelas
terbukti
bahwa
pertimbangan Judex Facti tidak didasari oleh bukti-bukti yang
tidak benar, dan karenanya menunjukkan bahwa Judex Facti tidak
memberi dasar hukum yang cukup bagi Putusan a quo dan
sekaligus merupakan pelanggaran terhadap asas pembuktian yang
menyebabkan Putusan a quo cacat hukum dan karenanya harus
dibatalkan, karena sudah memenuhi makna pembuktian yang
dimaksudkan dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
mengatur tentang alasan pembatalan putusan arbitrase.
8.
Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung
8.1. Bahwa terhadap keberatan-keberatan Pemohon Kasasi tersebut
tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dengan seksama
101
memori kasasi tanggal 14 Mei 2012 dan kontra memori kasasi
tanggal 8 Juni 2012 dihubungkan dengan pertimbangan Judex
Facti, dalam hal ini Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
ternyata tidak salah menerapkan hukum dan telah memberi
pertimbangan yang cukup dan benar, dengan pertimbangan sebagai
berikut :
8.1.1. Bahwa fakta-fakta yang terungkap di persidangan ternyata
pelaku usaha i.c. PT. Nissan Motor Indonesia terbukti
melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10
huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yaitu menawarkan sesuatu janji
atau kondisi yang tidak benar dan menyesatkan;
8.1.2. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf c
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 putusan
Arbitrase BPSK hanya dapat dibatalkan apabila terpenuhi
unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal
70 Undang-Undang Arbitrase. Dalam pemeriksaan di
persidangan Pemohon Keberatan/Pemohon Kasasi tidak
dapat memberikan bukti dalam bentuk putusan pengadilan
yang menunjukkan bahwa putusan BPSK diambil atas dasar
tipu muslihat yang dilakukan oleh Termohon Keberatan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 70 huruf c
Undang-Undang Arbitrase;
102
8.2. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa
putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
Nomor
130/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel. tanggal 17 April 2012 dalam perkara
ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang,
oleh itu permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
PT. NISSAN MOTOR INDONESIA tersebut harus ditolak;
8.3. Bahwa karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Pemohon
Keberatan ditolak, maka Pemohon Kasasi/Pemohon Keberatan
harus dihukum untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi.
9.
Diktum Putusan Mahkamah Agung
9.1. Menolak permohonan dari Pemohon Kasasi PT. NISSAN
MOTOR INDONESIA tersebut;
9.2. Menghukum
Pemohon
Kasasi/Pemohon
Keberatan
untuk
membayar biaya perkara pada tingkat kasasi yang ditetapkan
sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
B. Pembahasan
Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha salah satunya diatur
dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-undang tersebut memuat mengenai hak, kewajiban, dan perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha. Hal ini bertujuan agar pelaku usaha
mengerti apa yang menjadi hak, kewajiban dan perbuatan yang dilarang
dalam menjalankan kegiatan usaha mereka. Kenyataannya, tidak semua
103
pelaku usaha mengerti tentang hal tersebut sehingga masih banyak terjadi
pelanggaran-pelanggaran yang kemudian menimbulkan kerugian bagi
konsumen. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud bisa dalam bentuk tidak
melaksanakan apa yang telah diwajibkan dalam peraturan perundangundangan atau sebaliknya melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang
sebagaimana yang diatur dalam Bab IV mengenai perbuatan yang dilarang
bagi pelaku usaha Pasal 8 sampai Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Menurut Nurmadjito, kualifikasi terhadap larangan pelaku usaha dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
bertujuan :
“untuk mengupayakan terciptanya tertib perdagangan dalam rangka
menciptakan iklim usaha yang sehat. Ketertiban tersebut sebagai bentuk
perlindungan konsumen, karena larangan itu untuk memastikan bahwa
produk yang diperjualbelikan dalam masyarakat dilakukan dengan cara
tidak melanggar hukum. Seperti praktek menyesatkan pada saat
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan memperdagangkan atau
mengedarkan produk barang dan/atau jasa yang palsu, atau hasil dari
suatu kegiatan pembajakan.”54
Kasus sengketa konsumen antara Ludmilla Arif selaku konsumen dan
PT. Nissan Motor Indonesia selaku pelaku usaha setelah diadili ditingkat
kasasi, menyatakan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia terbukti melanggar
Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Putusan Mahkamah Agung ini
54
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar
Maju, Bandung, 2000, hal. 18.
104
sekaligus menguatkan Putusan BPSK dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dalam gugatan yang sama.
Sengketa konsumen ini bermula dari adanya hubungan hukum yang
berasal dari perjanjian jual beli antara PT. Nissan Motor Indonesia dengan
Ludmilla Arif. Hubungan hukum adalah sebuah perikatan antara dua pihak,
dimana disatu pihak ada hak dan dipihak lain ada kewajiban. Pasal 1457
KUHPerdata menyebutkan bahwa :
“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., :
“perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak
penjual dan pihak pembeli”.55
Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.2., 2.5. dan 3.3. dihubungkan
dengan Pasal 1457 KUHPerdata dan pendapat Salim H.S., SH., M.S., ada
suatu hubungan hukum jual beli antara PT. Nissan Motor Indonesia dengan
Ludmila Arif. Data tersebut menyebutkan bahwa Ludmilla Arif selaku
konsumen telah dirugikan oleh PT. Nissan Motor Indonesia terkait dengan
produk Nissan March yang tidak sesuai dengan apa yang diiklankan setelah
pemakaian produk kurang lebih 1-2 bulan dan pada data selanjutnya telah
disampaikan adanya transaksi mobil Nissan March. Pada jual beli, transaksi
55
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika, 2003, hlm. 49.
105
merupakan suatu bentuk persetujuan dari perjanjian jual beli yang
sebelumnya telah disepakati oleh para pihak.
Pihak pada perjanjian jual beli dalam pemenuhan prestasinya masingmasing diberi hak dan kewajiban oleh pembentuk undang-undang. Secara
umum penjual berhak menerima harga barang yang telah dijualnya dari
pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak dan
kewajiban penjual yaitu menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
Kewajiban penjual yang diatur dalam Pasal 1474 KUHPerdata, yaitu :
“Ia mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan
menanggungnya.”
Menurut Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, ketentuan umum
mengenai perikatan untuk menyerahkan sesuatu (Pasal 1235 KUHPerdata)
dan ketentuan yang diatur secara khusus dalam ketentuan jual beli (Pasal
1474 KUHPerdata), penjual memiliki 3 (tiga) kewajiban pokok mulai dari
sejak jual beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata. Menurut
ketentuan tersebut, secara prinsip penjual memiliki kewajiban untuk :
1. Memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkan kepada
pembeli hingga saat penyerahannya.
2. Menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telah ditentukan,
atau jika tidak telah ditentukan saatnya, atas permintaan pembeli.
3. Menanggung kebendaan yang dijual tersebut.
Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.2., 2.3. dihubungkan dengan
Pasal 1474 KUHPerdata serta pendapat Gunawan Widjaja dan Kartini
Muljadi dapat dideskripsikan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia telah
menerima haknya sebagai pelaku usaha karena adanya pembayaran sejumlah
106
uang oleh Ludmilla Arif atas pembelian Mobil Nissan March, namun PT.
Nissan Motor Indonesia tidak memenuhi kewajibannya untuk menanggung
kebendaan yang dijualnya karena adanya ketidaksesuaian antara iklan dengan
kenyataan berkaitan dengan konsumsi BBM.
Berkaitan dengan pengaturan mengenai hak dan kewajiban pembeli,
Pasal 1513 KUHPerdata menyatakan bahwa :
“Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada
waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian”.
Hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang yang telah dibelinya
dari penjual. Penyerahan oleh penjual kepada pembeli menurut Pasal 1459
KUHPerdata merupakan cara peralihan hak milik dari kebendaan yang dijual
tersebut.
Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.2., 3.3., dan 3.4., apabila
dikaitkan dengan Pasal 1513 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa Ludmilla
Arif telah melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya dan telah pula
menerima haknya berupa penyerahan barang yaitu Mobil Nissan March yang
telah dibelinya.
Kegiatan jual beli dalam prakteknya tidak selamanya dapat berjalan
sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Baik penjual maupun pembeli tidak
jarang melakukan wanprestasi dengan alasan apapun. Berkaitan dengan hal
ini maka perlu adanya suatu pertanggungjawaban apabila terjadi wanprestasi.
Secara umum wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu pelaksanaan
107
kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya dengan yang diperjanjikan.
Wanprestasi seorang debitur (si berutang) dapat berupa :56
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat
wanprestasi
bagi
debitur
yaitu
ia
berkewajiban
untuk
bertanggungjawab dalam bentuk pemberian ganti rugi.
Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.1., 2.2., dan 4.2.4. dikaitkan
dengan Pasal 1458 KUHPerdata dan Pasal 1474 KUHPerdata dapat
dideskripsikan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia harus bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita Ludmilla Arif karena ketidaksesuaian informasi
mengenai penggunaan BBM produk Nissan March. Ganti rugi yang diberikan
senilai dengan kerugian-kerugian nyata yang ditimbulkan akibat terjadinya
wanprestasi. Mengenai penuntutan ganti rugi telah diatur oleh UndangUndang dengan tujuan untuk memberikan batasan terhadap apa saja yang
dapat dituntut sebagai ganti rugi. Ketentuan tentang tanggung jawab PT.
Nissan Motor Indonesia sebagai penjual yang disebutkan di atas kemudian
dapat dihubungkan dengan Pasal 9 ayat 1 huruf k dan Pasal 10 huruf c serta
Pasal 4 huruf c terkait dengan informasi yang dirumuskan dalam UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
56
Ibid, hal. 60.
108
Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :
”Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : (k)
menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.”
Unsur-unsur dari Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen di atas yaitu :
1.
Pelaku usaha
Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
2.
Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah
Larangan bagi pelaku usaha yang dimaksudkan dalam unsur ini
yaitu bahwa dalam menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa pelaku usaha harus menyampaikanya secara benar
dan sesuai dengan keadaan barang dan/atau jasa tersebut. Tujuannya agar
konsumen mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan kebutuhan
mereka setelah mengetahuinya melalui informasi yang didapat pada
tahapan pratransaksi. Pelaku usaha dalam menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan suatu barang dan atau jasa dapat disampaikan melalui
109
berbagai macam media pemasaran, antara lain melalui brosur, iklan baik
di media cetak, elektronik, maupun internet yang dapat dengan mudah
diakses oleh konsumen.
Kata seolah-olah mengandung arti bahwa barang atau jasa yang
ditawarkan, diproduksi atau diiklankan adalah tidak sama atau tidak
sesuai dengan yang ditawarkan, diproduksi atau diiklankan agar
konsumen tertarik untuk membeli atau mengkonsumsi barang tersebut.
Pelaku usaha mempunyai maksud agar konsumen percaya atas barang
yang dijual padahal tidak demikian kondisi atau kualitas barang tersebut.
Cara-cara yang digunakan tersebut disatu sisi memang menguntungkan
pelaku usaha namun disisi lain sangat merugikan konsumen karena
informasi mengenai suatu barang dan/atau jasa yang akan mereka
konsumsi tidak sesuai dengan kondisi barang yang sebenarnya.
Menjual barang yang tidak sesuai dengan kondisi barang yang
sebenarnya berkaitan dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen merupakan pelanggaran
terhadap asas itikad baik dalam melakukan perjanjian.
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa :
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Asas itikad baik pada perjanjian jual beli berkaitan dengan
hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yaitu para pihak
dalam perjanjian jual beli harus melaksanakan isi perjanjian berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan dan kemauan baik dari para pihak.
110
3.
Menawarkan sesuatu janji yang belum pasti
Pelaku usaha dalam tahapan pratransaksi pada saat melakukan
penawaran kepada konsumen sudah tentu akan menyampaikan informasi
mengenai barang/dan atau jasa yang mereka produksi. Pada tahapan ini
informasi yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui
media-media pemasaran terutama mengenai kelebihan suatu produk
tersebut dapat dikatakan sebagai janji dari pelaku usaha kepada
konsumen.
“hakekat iklan dalam kerangka perlindungan konsumen merupakan
janji dari pihak yang mengumumkan, dengan demikian iklan dalam
berbagai bentuknya mengikat pihak yang mengumumkan dengan
segala akibatnya.”57
Berdasarkan janji-janji tersebut, konsumen akan dapat menilai
kejujuran pelaku usaha dalam menyampaikan informasi produk melalui
iklan. Janji merupakan daya tarik yang kuat untuk mendorong orang
membaca iklan tersebut dan produk yang diiklankan akan cepat
berpindah ke tangan pembeli, sehingga janji yang disampaikan melalui
media iklan harus didukung oleh kegunaan atau manfaat yang dapat
diperoleh konsumen dengan membeli produk yang diingikan.
Berdasarkan data hasil penelitian nomor 4.1.1., 4.2., 4.2.4., dan 7.3. dapat
dideskripsikan bahwa apa yang dilakukan oleh PT. Nissan Motor Indonesia
sudah memenuhi unsur-unsur pada Pasal 9 ayat (1) huruf Undang-Undang
57
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Op.cit., hal. 19.
111
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam hal ini berkaitan
dengan kegiatan pelaku usaha yang dilarang menawarkan, mempromosikam,
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolaholah menawarkan suatu janji yang belum pasti. PT. Nissan Motor Indonesia
dalam kegiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan mobil Nissan
March di surat kabar maupun internet menyatakan bahwa konsumsi BBM
Nissan March adalah 18,5 km/liter yang tidak sesuai dengan kenyataan yang
dialami Termohon setelah pemakaian produk kurang lebih 1-2 bulan.
Pernyataan yang disampaikan oleh PT. Nissan Motor Indonesia
mengenai penggunaan BBM yang irit merupakan suatu bentuk janji dari
pelaku usaha kepada konsumen dan dijadikan sebagai alasan konsumen untuk
membeli mobil tersebut. Apabila janji tersebut tidak sesuai dengan kenyataan
maka dapat dijadikan alasan bagi konsumen untuk meminta agar jual beli
dibatalkan atau bahkan mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi ke
pengadilan.
Pelaku usaha dalam menyampaikan informasi kepada konsumen tidak
hanya mempertimbangkan keuntungan pribadi dan mengorbankan konsumen
dengan menawarkan janji-janji yang belum pasti mengenai produk mereka
dengan tujuan agar konsumen membeli produk yang mereka tawarkan.
Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk
diperdagangkan
dilarang
menawarkan,
mempromosikan,
112
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai : (c) kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti
rugi atas suatu barang dan/atau jasa.”
Unsur-unsur dari Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen di atas yaitu :
1.
Pelaku usaha
Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
2.
Dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan
Setiap barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
akan melalui rangkaian kegiatan pemasaran yang salah satunya yaitu
proses penawaran kepada konsumen. Proses ini dapat dijadikan sarana
bagi pelaku usaha untuk menarik minat konsumen terhadap barang yang
mereka produksi dengan cara menginformasikan secara detail mengenai
barang tersebut.
3.
Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan
113
Menurut Yusuf Shofie, iklan termasuk salah satu dari 6 (enam)
sebab potensial yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen, yaitu
:58
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Ketidaksesuaian iklan/informasi produk dengan kenyataan;
Produk tidak sesuai dengan standar ketentuan/peraturan
perundang-undangan;
Produk cacat meskipun masih dalam garansi atau belum
kedaluarsa;
Tingkat keamanan produk diinformasikan tidak secara
proporsional;
Sikap konsumtif konsumen;
Ketidaktahuan konsumen tentang penggunaan produk.
Penjelasan lebih rinci diberikan salah satunya oleh Sri Handayani
yang menjelaskan bahwa iklan menyesatkan tersebut meliputi :59
a. Iklan yang mengelabui konsumen tentang barang dari kualitas,
kuantitas, bahan, kegunaan dan harga, serta tarif, ketepatan
waktu dan jaminan;
b. Iklan yang memuat informasi tentang resiko pemakaian barang;
c. Iklan yang tidak memuat informasi tentang resiko pemakaian
barang;
d. Iklan yang ngekploitasi tanpa izin tentang suatu kejadian atau
kegiatan seseorang;
e. Iklan yang melanggar etika periklanan;
f. Iklan yang melanggar peraturan tentang periklanan;
g. Iklan yang melanggar etika dan peraturan (tehnis) periklanan.
Sebagai sumber informasi, pelaku usaha melalui media-media
pemasaran seperti iklan seharusnya tidak menyampaikan informasi yang
menyesatkan karena lebih lanjut penyesatan ini dapat dikualifikasikan
sebagai suatu pentuk penipuan.
4.
Mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti rugi atas suatu
barang dan/atau jasa
58
59
Dedi Harianto, Op.cit., hal. 6.
Ibid. hal. 109.
114
Setiap barang dan/atau jasa yang telah diproduksi dan kemudian
dipasarkan oleh pelaku usaha harus dilengkapi dengan informasi yang
jelas dan jujur mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti
rugi atas suatu barang dan/atau jasa. Konsumen berhak untuk mengetahui
mengenai kondisi dan keadaan dari barang dan/atau jasa yang akan
mereka konsumsi agar lebih memberikan kepastian dan jaminan atas
penggunaan barang dan atau jasa tersebut sehingga tidak menimbulkan
kerugian dikemudian hari.
Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.1., 4.1.1., 4.2., 4.2.4., dan 7.3.
apabila dikaitkan dengan unsur-unsur Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dideskripsikan bahwa
tindakan yang dilakukan oleh PT. Nissan Motor Indonesia memenuhi unsurunsur yang terdapat pada 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang
Perlindungan
Konsumen.
Unsur
larangan
menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar
atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti rugi
atas suatu barang dan atau jasa dapat dilihat dari berbagai iklan-iklan pada
media yang digunakan oleh PT. Nissan March Indonesia dalam menawarkan
produk mereka.
Ketidaksesuaian antara informasi pada iklan dengan kondisi produk yang
sebenarnya terkait dengan pengunaan BBM produk PT. Nissan Motor
Indonesia dapat dijadikan sebagai bukti bahwa PT. Nissan Motor Indonesia
telah menyampaikan iklan yang menyesatkan. Suatu iklan menyesatkan dapat
115
diketahui telah menyesatkan setelah suatu barang atau jasa tersebut
digunakan. Konsumen dituntut untuk lebih berhati-hati dalam mencermati
informasi yang disampaikan melalui iklan, karena hingga saat tidak ada
patokan yang dapat digunakan oleh konsumen untuk menilai apakah iklan
tersebut menyesatkan atau tidak. Disisi lain pelaku usaha wajib memberikan
informasi yang benar mengenai kondisi suatu barang dan atau jasa. Hal ini
perlu karena sebagian besar kerugian yang diderita oleh konsumen karena
adanya ketidaksesuaian informasi mengenai barang dan/atau jasa. Media
pemasaran yang digunakan oleh pelaku usaha pada tahap pratransaksi pun
perlu diberikan perhatian khusus karena media merupakan alat komunikasi
antara pelaku usaha dengan konsumen untuk memperkenalkan suatu barang
dan/atau jasa. Salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan
informasi kepada konsumen yaitu melalui iklan.
Pelanggaran terhadap Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat
dihubungkan dengan adanya hak konsumen berkaitan dengan informasi
mengenai barang dan/atau jasa yang akan mereka konsumsi sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa :
“Hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.”
116
Hak konsumen yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatas disebutkan pula
didalam Pasal 7 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh pelaku usaha.
Pasal 7 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa :
“Kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.”
Menurut Jogiyanto HM., informasi yaitu :
“Hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan
lebih berarti bagi penerimanya yang menggambarkan suatu kejadiankejadian (event) yang nyata (fact) yang digunakan untuk pengambilan
keputusan.”
Berdasarkan data hasil penelitian nomor 4.1. apabila dihubunngkan
dengan Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan pendapat Jogiyanto HM., bahwa Ludmilla Arif
membeli Mobil Nissan March karena tertarik dengan iklan Nissan March baik
di surat kabar maupun media online internet bahwa konsumsi BBM Nissan
March adalah 18,5 km/liter. Data tersebut mendeskripsikan bahwa informasi
tentang barang atau jasa memegang peranan penting dalam pertimbangan
konsumen sebelum memutuskan untuk mengkonsumsi suatu barang atau jasa
117
tertentu. Informasi yang benar dan bertanggung jawab merupakan kebutuhan
pokok konsumen sebelum konsumen itu dapat mengambil keputusan untuk
mengadakan atau menunda atau tidak mengadakan transaksi bagi kebutuhan
hidupnya. Informasi barang atau jasa dapat diperoleh dari berbagai sumber
dan dalam berbagai bentuk.
Hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa merupakan salah satu hak
konsumen yang sangat penting karena pada era perdagangan bebas saat ini
persaingan yang semakin ketat menyebabkan pelaku usaha terkadang
mengesampingkan kebenaran informasi untuk menarik minat konsumen atas
produk mereka, sehingga informasi oleh pelaku usaha seringkali bersifat
mengelabui konsumen dengan memberikan informasi yang tidak benar.
Hak untuk memperoleh informasi ini dimaksudkan agar konsumen dapat
memperoleh gambaran tentang suatu produk yang akan mereka konsumsi
apakah sudah sesuai dengan kebutuhannya serta menghindari terjadinya
kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Konsumen sebelum
menentukan pilihan untuk mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa tentu
akan mencari informasi mengenai barang dan atau jasa tersebut. Informasi ini
diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru
atas produk barang dan jasa. Kesalahan dalam pemberian informasi dapat
juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, sehingga hak atas informasi
ini sangat penting. Pemenuhan hak ini akan menguntungkan konsumen dan
pelaku usaha, bagi konsumen akan meningkatkan efisiensi dalam memilih
118
produk serta meningkatkan kesetiaanya terhadap produk tertentu sehingga
akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang menghasilkan produk
tersebut.
Berdasarkan Pasal 7 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan pendapat Jogiyanto HM., maka dapat
dideskripsikan bahwa informasi adalah sesuatu yang sangat penting bagi
konsumen agar konsumen mendapatkan penjelasan yang maksimal atas
sebuah produk. Oleh karena itu kaitannya dengan penelitian ini maka PT.
Nissan Motor Indonesia harus dinyatakan melanggar Pasal 4 huruf c UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disamping telah
melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana telah dibuktikan
dalam pengadilan.
119
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka dapat diambil suatu
simpulan yaitu hakim dalam menerapkan hukumnya sudah tepat karena PT.
Nissan Motor Indonesia memenuhi unsur-unsur yang dimuat dalam Pasal 9
ayat (1) huruf k berkaitan dengan kegiatan pelaku usaha yang dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa
secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan suatu janji yang belum
pasti. Pernyataan yang disampaikan oleh PT. Nissan Motor Indonesia
mengenai penggunaan BBM yang irit merupakan suatu bentuk janji dari
pelaku usaha kepada konsumen dan dijadikan sebagai alasan bagi konsumen
untuk membeli mobil tersebut. Apabila janji tersebut tidak sesuai dengan
kenyataan maka dapat dijadikan alasan bagi konsumen untuk meminta agar
jual beli dibatalkan atau bahkan mengajukan gugatan berdasarkan
wanprestasi ke pengadilan.
Penerapan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 659
K/Pdt.Sus/2012 juga sudah tepat karena PT. Nissan Motor Indonesia
memenuhi unsur-unsur yang dimuat dalam pasal tersebut yaitu unsur larangan
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak
120
atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa yang dapat dilihat dari media
iklan yang digunakan PT. Nissan Motor Indonesia dalam menawarkan produk
mereka. Ketidaksesuaian antara informasi pada iklan dengan kondisi produk
yang sebenarnya terkait penggunaan BBM produk PT. Nissan Motor
Indonesia dapat dijadikan sebagai bukti bahwa PT. Nissan Motor Indonesia
telah menyampaikan iklan yang menyesatkan.
B. Saran
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan
maka
penulis
memberikan saran bahwa hakim seyogyanya membuat pertimbangan hukum
yang lengkap dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012
dengan menyatakan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia juga melanggar
ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata dan Pasal 1474 KUHPerdata mengenai
jual beli yang memuat tentang tanggung jawab penjual untuk menanggung
kebendaan yang dijual, dalam hal ini PT. Nissan Motor Indonesia harus
bertanggung jawab terhadap kebendaan yang dijualnya karena adanya
informasi yang tidak sesuai mengenai produk yang mereka jual sehingga
menimbulkan kerugian bagi konsumen serta melanggar Pasal 4 huruf c
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
memuat mengenai hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sebagai landasan dalam
menerapkan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
121
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Barkatullah, Abdul Halim. 2010. Hak-Hak Konsumen. Bandung: Nusa Media.
Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
Harianto, Dedi. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang
Menyesatkan. Bogor: Ghalia Indonesia.
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen.
Bandung: Mandar Maju.
Kansil, CST. 1997. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar
Grafika.
Liliweri, Alo. 1996. Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Miru, Ahmadi. 2013. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nasution, Az. 1995. Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan
Hukum pada Perlidungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
____________. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar).
Yogyakarta: Diadit Media.
Salim, H.S. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak.
Jakarta: Sinar Grafika.
Satrio, J. 1992. Hukum Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Grasindo.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen yang Dirugikan. Jakarta: Visimedia.
122
Sutedi, Adrian. 2008. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia.
Suyadi. 2007. Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Purwokerto:
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Wakhid, Nur. 2012. Hukum Perjanjian. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman
Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sumber Lain
http://putriagustia.blogspot.com/2012/05/perlindungankonsumen.html.diakses
tanggal 8 Desember 2014.
http://internetsebagaisumberbelajar.blogspot.com/2010/07/pengertianpenerapan
.html. diakses tanggal 10 November 2014.
Muhammad Joni, 2003, Efektivitas Penerapan Hukum, http://www. Advokat
muhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas-penerapanhukum.html diakses tanggal 10 November 2014.
Download