KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/Pdt.Sus/2012 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh : SANI CIPTI RIANTI E1A011003 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 2 LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012 Disusun oleh: SANI CIPTI RIANTI E1A011003 Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan Disahkan Pada Tanggal : Februari 2015 Pembimbing I/ Pembimbing II/ Penguji I Penguji II I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum. NIP. 19610520 198703 1 002 Penguji III H. Suyadi, S.H., M.Hum Agus Mardianto, S.H.,M.H. NIP. 19611010 198703 1 001 NIP. 19650831 200312 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001 3 PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul : KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012 Yang diajukan untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto merupakan hasil karya saya sendiri dan semua data yang terdapat didalam skripsi ini dapat saya pertanggungjawabkan secara hukum. Demikian pernyataan ini saya buat jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi saya ini tidak sesuai dengan pernyataan saya tersebut diatas, saya bersedia menerima semua sanksi yang akan diajukan termasuk pencabutan gelar sarjana yang telah saya peroleh. Purwokerto, Februari 2015 Yang Membuat Pernyataan, SANI CIPTI RIANTI NIM. E1A011003 4 PRAKATA Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sebagai bentuk rasa syukur dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Bapak I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat membangun serta banyak menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam lingkup Hukum Perlindungan Konsumen bagi penulis, sehingga penulis mendapatkan kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan skripsi sampai selesai. 5 3. Bapak H. Suyadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat membangun dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Agus Mardianto,S.H.,MH. selaku Dosen Penguji Skripsi yang turut menilai dan memberi masukan pada skripsi penulis. 5. Ibu Krisnhoe Kartika Wahyoeningsih, SH.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 7. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan. 8. Kedua orang tua tercinta yang selalu mendoakan, memberi nasihat dan motivasi selama penulis mengerjakan skripsi. Semoga karya kecil yang penuh kekurangan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi kemajuan kita bersama. Purwokerto, Februari 2015 Penulis 6 ABSTRAK KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 9 AYAT (1) HURUF K DAN PASAL 10 HURUF C UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 659 K/PDT.SUS/2012 Oleh : SANI CIPTI RIANTI E1A011003 Iklan merupakan salah satu media yang digunakan oleh pelaku usaha untuk memperkenalkan produk mereka. Konsumen menggunakan iklan sebagai sarana untuk memperoleh informasi mengenai barang dan atau jasa pada tahap pratransaksi. Pada beberapa kasus sengketa konsumen, telah terjadi pelanggaran oleh pelaku usaha terkait dengan penyampaian informasi melalui iklan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya mengenai suatu barang yang mengarah kepada iklan menyesatkan. Informasi mengenai kondisi suatu barang dan atau jasa merupakan hak konsumen yang diatur dalam Undang-Undang sehingga pelaku usaha berkewajiban untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi suatu produk secara benar, jelas, dan jujur kepada konsumen. Kasus sengketa konsumen terkait dengan iklan menyesatkan yang telah diadili pada tingkat Mahkamah Agung yaitu kasus antara PT. Nissan Motor Indonesia selaku pelaku usaha melawan Ludmilla Arif selaku konsumen. Ludmilla Arif merasa dirugikan akibat ketidaksesuaian informasi terkait penggunaan bahan bakar produk PT. Nissan Motor Indonesia yang pada iklan dinyatakan irit namun setelah penggunaan selama kurang lebih 2 bulan, konsumsi bahan bakar produk PT. Nissan Motor Indonesia tidak sesuai dengan yang diiklankan. Putusan Mahkamah Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012 memutus bahwa PT. Nissan Motor Indonesia terbukti melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena pelaku usaha telah menawarkan suatu janji atau kondisi yang tidak benar dan menyesatkan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana data diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012 sudah tepat dalam menerapkan hukumnya karena PT. Nissan Motor Indonesia memenuhi unsur-unsur yang dimuat dalam Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kosumen. Penerapan hukum oleh hakim pada putusan tersebut kurang lengkap. PT. Nissan Motor Indonesia dalam pertimbangan hukum hakim pada putusan tersebut seharusnya juga dinyatakan melanggar Pasal 1458 KUHPerdata dan Pasal 1474 KUHPerdata terkait tanggung jawab penjual untuk menanggung kebendaan yang dijualnya serta melanggar Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memuat mengenai hak konsumen terkait informasi mengenai kondisi barang dan atau jasa. Kata kunci : Pelaku Usaha, Konsumen, Informasi, Iklan, Iklan Menyesatkan 7 ABSTRACT JURIDICAL STUDY OF THE APPLICATION OF ARTICLE 9 PARAGRAPH (1) LETTER K AND ARTICLE 10 LETTER C OF LAW NO 8 OF 1999 ON CONSUMER PROTECTION IN THE SUPREME COURTS DECISION NUMBER 659 K/PDT.SUS/2012 by : SANI CIPTI RIANTI E1A01003 Advertisement is a media used by business to introduce their products. Consumers use it as a mean to obtain the information about the goods and or services before they do transaction. In some cases of consumer disputes, there has been a violation by business associated with the information delivered by the advertisement that does not correspond to the actual conditions of the goods which leads to the misleading advertisement. To know the actual information about the conditions of the goods or services is the consumers right set out in the act, so that businesses oblige to pass the actual information about the products to the consumers. The case of consumer disputes related to the misleading advertisement that has been tried in the Supreme Court is the case between PT. Nissan Motor Indonesia as the business against Ludmilla Arif as the consumer. Ludmilla Arif felt disadvantaged due to a mismatch information related to the use of fuel products of PT. Nissan Motor Indonesia because the advertisement stated that the product was economical, but in fact after about two month use it was not as what it was advertised. Supreme Court decision Number 659 K/Pdt.Sus/2012 concluded that PT. Nissan Motor Indonesia has proven to violate the provisions of Article 9 paragraph (1) letter k and Article 10 letter c of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection because business had offered a promise or condition that is not true and misleading. This study used normative juridical method where data obtained from library research. The results of this study stated that the judge in the Supreme Court Decision Number 659 K/Pdt.Sus/2012 was right in applying the law as PT. Nissan Motor Indonesia met the elements contained in Article 9 paragraph (1) letter k and Article 10 letter c of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection. Application of the law by the judge in the decision is less complete. PT. Nissan Motor Indonesia in the legal considerations should also be declared that it also violated the Article 1458 Civil Code and 1474 Civil Code related to the responsibility of the seller to bear the material it sells, and it also violated the Article 4 letter c of law No. 8 of 1999 on Consumer Protection which contains the consumers rights related to the actual information of the goods or services. Keyword : Business, Consumer, Information, Advertisement, Misleading Advertisement 8 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAAN ii HALAMAN KEASLIAN SKRIPSI iii PRAKATA iv ABSTRAK vi ABSTRACT vii DAFTAR ISI viii BAB I BAB II PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................... 9 C. Tujuan Penelitian .................................................................... 9 D. Kegunaan Penelitian................................................................ 9 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 10 A. Konsumen ............................................................................... 10 1. Pengertian Konsumen ....................................................... 10 2. Hak dan Kewajiban Konsumen ......................................... 15 3. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen ....................... 21 B. Pelaku Usaha ........................................................................... 28 1. Pengertian Pelaku Usaha ................................................... 28 2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha .................................... 31 9 3. Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha .................... 32 4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha ......................................... 35 C. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen ............................................................................... 41 D. Iklan......................................................................................... 46 1. Pengertian Iklan ................................................................ 46 2. Iklan yang Menyesatkan ................................................... 49 3. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Penyampaian BAB III BAB IV BAB V Iklan Menyesatkan ............................................................ 54 METODE PENELITIAN .............................................................. 61 A. Metode Pendekatan ................................................................ 61 B. Spesifiasi Penelitian ............................................................... 61 C. Lokasi Penelitian .................................................................... 62 D. Sumber Data ........................................................................... 62 E. Metode Pengumpulan Data .................................................... 63 F. Metode Penyajian Data .......................................................... 63 G. Metode Analisis Data ............................................................. 64 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 65 A. Hasil Penelitian ...................................................................... 65 B. Pembahasan ............................................................................ 92 PENUTUP ....................................................................................... 109 A. Simpulan ................................................................................ 109 B. Saran ....................................................................................... 110 10 DAFTAR PUSTAKA 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi menjadikannya sebagai negara dengan tingkat konsumsi yang tinggi pula. Kebutuhan masyarakat terhadap barang dan atau jasa yang selalu bertambah harus dapat diimbangi oleh pelaku usaha dalam memenuhi kebutuhan masyarakat selaku konsumen. Perkembangan ekonomi yang pesat saat ini terlebih dengan adanya perdagangan bebas, menimbulkan persaingan yang ketat antar pelaku usaha karena berarti akan semakin banyak jumlah produk sejenis yang beredar dipasaran. Pelaku usaha berupaya untuk mempertahankan konsumen dan lebih jauh berpikir untuk memperluas kawasan pasar. Persaingan pelaku usaha akibat perdagangan bebas ini akan berdampak kepada konsumen karena dalam menjalankan kegiatan ekonominya tidak menutup kemungkinan terjadi praktik-praktik kegiatan usaha yang curang antara lain menyangkut kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya. Konsumen sebagai penikmat barang dan atau jasa tersebut kemudian dituntut untuk lebih cermat dalam menyeleksi produk-produk yang beredar sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan jangan sampai menimbulkan kerugian. Kerugian yang dialami konsumen tidak terlepas dari tingkat pendidikan 12 konsumen yang rendah, sedangkan teknologi komunikasi semakin maju, sehingga dengan mudah menjangkau masyarakat luas. Tahapan awal yang dibutuhkan oleh konsumen sebelum mengkonsumsi suatu barang dan atau jasa yaitu dengan mencari informasi tentang produk tersebut. Informasi produk ini sangat penting bagi konsumen karena dengan informasi ini konsumen akan lebih berhati-hati mempergunakan dana yang tersedia untuk membeli produk yang sesuai dengan kebutuhan. “Pelaku usaha berupaya untuk menginformasikan berbagai hal mengenai produk yang dipasarkannya kepada konsumen, antara lain : tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat, kualitas produk, keamanan, harga, tentang berbagai persyaratan atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, ketersedian suku cadang, pelayanan purna jual, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan itu”.1 Idealnya, pelaku usaha tidak hanya menonjolkan kelebihan dari produk tersebut namun juga perlu diimbangi dengan informasi yang memuat kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh produk bersangkutan. Pelaku usaha dengan kemampuan mereka dalam memperkenalkan atau mempromosikan produknya menggunakan banyak cara agar konsumen dapat tertarik terhadap produk yang mereka tawarkan. Salah satu cara yang digunakan oleh pelaku usaha untuk mempromosikan produknya yaitu melalui iklan. Iklan sebagai salah satu bentuk informasi yang dijadikan sarana oleh pelaku usaha untuk melakukan penawaran kepada konsumen terhadap produk yang mereka produksi yang dapat disebut sebagai tahap pratransaksi, 1 A.Z. Nasution, 1, Hukum Yogyakarta:Diadit Media, 2001, hal.5. Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), 13 sehingga iklan juga dapat dianggap sebagai janji yang disampaikan oleh pelaku usaha kepada calon pembeli produknya. Iklan digunakan sebagai alat komunikasi dari pelaku usaha kepada konsumen. Berdasarkan iklan tersebut maka konsumen dapat menilai kejujuran pelaku usaha dalam menyampaikan informasi produk melalui iklan. Banyak akses yang dapat ditempuh pelaku usaha dalam penyampaian iklan tersebut misalnya melalui televisi, internet maupun surat kabar. Keberadaan iklan sangat mudah ditemui oleh masyarakat karena memang sifatnya yang dapat terlihat, terdengar, tertonton dimana saja tergantung dimana iklan itu disampaikan. Iklan mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi sikap orang yang melihatnya menjadi konsumtif dan memiliki daya pikat. Keberhasilan suatu produk menarik konsumen sangat bergantung dari bagaimana produk tersebut dipasarkan, sehingga penawaran dalam bentuk iklan ini dikemas secara menarik. Kenyataannya, saat ini tidak selamanya iklan yang ditayangkan diberbagai media dapat diterima dalam pemahaman yang sama pada setiap konsumen. Permasalahan tersebut kemudian menyebabkan informasi yang disampaikan oleh pelaku usaha melalui iklan tidak dapat diterima atau disalahtafsirkan oleh konsumen. Selain itu juga terhadap iklan yang ditayangkan tidak semuanya memberikan keuntungan kepada konsumen, ada beberapa iklan yang dianggap telah merugikan yang mengarah kepada iklan yang menyesatkan konsumen sebagai pengguna produk tersebut. Konsumen 14 menanggung akibat dari ketidakjujuran informasi melalui media iklan yang terus menerus disajikan secara luas kepada konsumen. Berkaitan dengan pelanggaran dalam penyampaian informasi melalui iklan, ada sebanyak 409 laporan kasus dugaan pelanggaran produk/merek dan materi iklan yang diterima Badan Pengawas Periklanan (BPP) dalam rentang waktu tahun 2008-2013 (Februari 2013) dengan rincian 41 kasus pada tahun 2008, 121 kasus tahun 2009, 96 kasus pada tahun 2010, 84 kasus pada tahun 2011, 55 kasus pada tahun 2012, dan 13 kasus pada bulan Januari hingga Februari 2013. Media iklan yang sangat berpengaruh dalam tahap pratransaksi kadang tidak disadari konsumen telah menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya tentang suatu produk. Padahal informasi mengenai suatu barang atau jasa yang akan digunakan konsumen merupakan salah satu hak konsumen. Hak ini dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut konsumen dapat memilih produk yang diinginkan dan sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa yang selalu bertambah membuat pelaku usaha berlomba-lomba untuk menarik minat masyarakat terhadap produk mereka dan tidak jarang pelaku usaha tersebut melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan dalam kegiatan usaha mereka. 15 Selama penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha sulit untuk dibenahi, maka menjadi kewajiban konsumen untuk meningkatkan kehati-hatian dalam memilih produk-produk yang akan mereka konsumsi. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dibentuk suatu peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan terhadap konsumen. “Pada tanggal 20 April 1999, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan baru mengenai perlindungan konsumen dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 dan Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000, yang merupakan awal pengakuan perlindungan konsumen dan secara legitimasi formal menjadi sarana kekuatan hukum bagi konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha sebagai penyedia/pembuat produk bermutu”.2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bukan untuk mematikan pelaku usaha, namun untuk menciptakan keseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen karena pada praktiknya posisi konsumen di Indonesia masih sangat lemah dibanding dengan posisi pelaku usaha. Konsumen sebenarnya berpotensi untuk memiliki posisi yang seimbang dengan pelaku usaha mengingat posisi kedua belah pihak yang saling membutuhkan, selain itu pula karena kemajuan usaha pelaku usaha sangat tergantung pada konsumen. Kedudukan pelaku usaha yang tampak lebih dominan dalam kegiatan ekonomi menjadikan belum dapat tercapainya keseimbangan kedudukan konsumen dan pelaku usaha. Pemerintah melalui 2 Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor. hal. 5. 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen berupaya untuk menciptakan keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen dengan tidak hanya mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen, namun juga mengatur tentang pelaku usaha yang dapat dilihat dengan dimuatnya pengaturan mengenai hak, kewajiban, perbuatan yang dilarang dan tanggung jawab pelaku usaha. Pengaturan tentang pelaku usaha ini dikarenakan dalam melaksanakan kegiatan ekonominya tidak jarang terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Pada beberapa kasus sengketa konsumen diketahui bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal tersebut mengatur apa saja hak yang dimiliki oleh konsumen dan harus dipenuhi pelaku usaha. Salah satunya hak konsumen tersebut yaitu hak atas informasi yang benar mengenai suatu barang atau jasa. Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutan bahwa : ”Hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa”. Informasi tersebut baik yang didapat secara langsung atau bisa melalui pernyataan yang ditempel pada kemasan produk atau bisa juga diperoleh melalui iklan-iklan dan pemberitaan yang bersifat promosi yang sengaja dibuat oleh pelaku usaha untuk menarik minat konsumen atas barang yang mereka produksi. 17 Berdasarkan Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana disebutkan diatas bahwa pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan informasi yang jelas dan benar terhadap barang yang akan mereka pasarkan. Tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen, merupakan salah satu bentuk cacat produk. Lebih lanjut berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha tersebut didalam Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa : “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti”. Selanjutnya disebutkan pula dalam Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa : “Pelaku usaha dalam menawarkan barang/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa”. Kasus sengketa konsumen yang terkait dengan pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai suatu barang telah banyak yang terungkap. Iklan yang mengandung informasi mengenai produk mereka nyata-nyata telah merugikan konsumen. Iklan tersebut dianggap telah menyesatkan konsumen sebagai pengguna barang dan atau 18 jasa tersebut. Salah satu kasus sengketa konsumen yang dimaksud yaitu sengketa antara PT. Nissan Motor Indonesia selaku pelaku usaha melawan Ludmilla Arif selaku konsumen. Kasus ini terjadi karena pelaku usaha telah melanggar hak konsumen yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kasus yang telah mendapat putusan yang inkracht ditingkat Mahkamah Agung ini menyebutkan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia terbukti melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena pelaku usaha telah menawarkan suatu janji atau kondisi yang tidak benar dan menyesatkan. Pasal 62 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memang tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran hak konsumen sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 4 huruf c UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun hakim seharusnya menggunakan pasal tersebut sebagai landasan dalam menerapkan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan penelaahan terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 659/K/Pdt.Sus/2012 mengenai penerapan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam kasus antara PT. Nissan Motor Indonesia melawan Ludmilla Arif. 19 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimana penerapan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 659/K/Pdt.Sus/2012 ? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui penerapan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 659/K/Pdt.Sus/2012. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoretis Memberikan sumbangan teoretis berupa khasanah keilmuan dalam bidang perlindungan hukum terhadap konsumen yang didapat atau diperoleh dari perkuliahan. 2. Kegunaan praktis Mengajak konsumen dan pelaku usaha lebih berhati-hati dalam menerapkan hak dan kewajiban mereka serta hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan serta pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten dan berminat pada hal serupa. 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsumen 1. Pengertian konsumen Kegiatan ekonomi tidak terlepas dari para pihak yang terlibat didalamnya yaitu konsumen sebagai pembeli atau penikmat barang dan atau jasa dan pelaku usaha sebagai pihak yang menghasilkan dan memasarkan produknya. Kedua pihak tersebut saling membutuhkan satu sama lain, konsumen membutuhkan pelaku usaha untuk memproduksi barang dan atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan pelaku usaha membutuhkan konsumen untuk memperoleh keuntungan dari penjualan produk mereka. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana penggunaan tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.3 Menurut Az. Nasution definisi konsumen yaitu :4 1) Setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang dan atau jasa untuk kegunaan tertentu. Yang dimaksud setiap orang adalah orang alamiah maupun orang yang diciptakan menurut hukum atau badan hukum 3 Az. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pusaka Sinar Harapan, Jakarta. hal. 25. 4 Ibid, hal. 69. 21 2) Konsumen antara adalah orang yang mendapatkan barang dan atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan atau jasa lain untuk diperdagangkan (untuk tujuan komersiil) 3) Konsumen akhir adalah setiap orang yang mendapatkan dan atau menggunakan barang atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak diperdagangkan kembali (tidak untuk tujuan komersill). Definisi konsumen yang dirumuskan secara yuridis formal dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Selanjutnya penjelasan dari pasal 1 butir 2 diatas bahwa didalam kepustakaan ekonomi dikenal adanya konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir, hal ini karena pengertian kosumen menurut pasal 1 butir 2 diatas menyebutkan adanya syarat “tidak untuk diperdagangkan” sehingga konsumen akhir mengkonsumsi barang dan atau jasa yang telah mereka bayar untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, atau rumah tangganya. Perbedaan kepentingan dan tujuan penggunaan barang dan 22 atau jasa oleh konsumen antara dan konsumen akhir dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan perlindungan yang diperlukan. Unsur-unsur dalam definisi konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu :5 a. Setiap orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijk persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon). Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan, namun konsumen harus mencakup juga badan usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum. b. Pemakai Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. c. Barang dan/atau jasa Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Jasa diartikan sebagai setiap layanan berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut. 5 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, 2000. hal. 4-9. 23 d. Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi. e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Pengertian konsumen menurut Undang-Undang pada masingmasing negara tentu berbeda, walaupun tetap mempunyai makna yang sama yaitu konsumen barang dan atau jasa. Berikut pengertian Konsumen di beberapa negara antara lain : 1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen di India, menentukan bahwa konsumen adalah setiap orang pembeli barang yang disepakati, menyangkut cara dan pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual atau lain-lain keperluan komersil. 2) Dalam Perundang-Undangan Australia, konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang tertentu dengan harga yang ditetapkan (setinggi-tingginya 40.000 dollar Australia) atau jika harganya lebih, maka kegunaan barang tersebut untuk keperluan pribadi, domestik dan atau rumah tangga (normally used for personal, family or household). 3) Dalam Undang-Undang Jaminan Produk (Amerika Serikat) ditemukan ketentuan-ketentuan ayat (1) dan ayat (2), yang menunjukan konsumen adalah setiap pembeli produk konsumen, yang tidak untuk dijual kembali dan pada umumnya untuk dipergunakan untuk kepentingan pribadi, 24 keluarga atau rumah tangga (personal, family or household). Amerika Serikat mengartikan istilah konsumen lebih luas lagi yaitu termasuk “korban pemakaian produk cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai. 4) BW Baru Belanda (NBW) seperti termuat dalam ketentuanketentuan tentang syarat-syarat umum perjanjian (algemene voor worden), konsumen diartikan sebagai orang alamiah (yang mengadakan perjanjian) tidak berlaku selaku orang yang menjalankan suatu profesi atau perusahaan. 5) Di Spanyol konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. Berdasarkan pengertian di atas, ada beberapa unsur penting seseorang disebut sebagai konsumen, yaitu : 1) Setiap orang pembeli barang yang disepakati menyangkut harga dan cara pembayarannya dan tidak untuk dijual kembali atau komersil. 2) Setiap orang yang mendapatkan barang tertentu dengan harga yang ditetapkan, kemudian menggunakan barang itu untuk kepentingan pribadi, domestik atau rumah tangga. 3) Orang alamiah (orang yang mengadakan perjanjian) tidak bertindak sebagai orang yang menjalankan profesi atau perusahaan. Mengenai transaksi konsumen dimaksudkan “proses terjadinya peralihan pemilikan barang dan/atau pemanfaatan jasa dari pelaku usaha kepada konsumen”. Transaksi konsumen terdiri atas tiga tahap, yaitu :6 a. 6 Tahap pratransaksi konsumen Pada tahap ini, transaksi atau penjualan/pembelian barang dan/atau jasa belum terjadi. Konsumen bijak yang akan mengadakan transaksi barang dan/atau jasa tertentu harus mempertimbangkan pembeliannya dengan mengaitkan pada dana/uang yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam tahap ini yang paling vital bagi konsumen adalah informasi atau Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 17. 25 b. c. 2. keterangan yang benar, jelas, dan jujur serta akses untuk mendapatkannya dari pelaku usaha yang beritikad baik dan bertanggung jawab. Tahap transaksi konsumen Pada tahap ini terjadi proses peralihan kepemilikan barang dan/atau jasa tertentu dari pelaku usaha kepada konsumen. Pada saat ini, telah terdapat kecocokan pilihan barang dan/atau jasa dengan persyaratan pembelian serta harga yang harus dibayarnya. Perilaku pelaku usaha pada tahap transaksi konsumen sangat menentukan, seperti penentuan harga produk konsumen, penentuan persyaratan perolehan dan pembatalan perolehannya, klausul-klausul, khususnya klausul baku yang mengikuti transaksi dan persyaratan-persyaratan penjaminan, keistimewaan atau kemanjuran yang dikemukakan dalam transaksi barang dan/atau jasa. Informasi itu dapat berupa informasi lisan maupun tulisan atau dengan menggunakan media elektronik dalam segala bentuknya. Tahap purnatransaksi Konsumen Tahap ini merupakan tahapan pemakaian, yaitu penggunaan dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang telah beralih pemiliknya atau pemanfaatannya dari pelaku usaha kepada konsumen. Informasi yang diperoleh konsumen sebelum melakukan transaksi, pada tahap ini dapat diketahui apakah sesuai atau tidak dengan deskripsi yang diklaim oleh pelaku usaha karena barang dan atau jasa mulai digunakan atau mulai dinikmati. Hak dan kewajiban konsumen Pemerintah dengan diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berupaya untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dengan menyeimbangkan kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat sebelumnya konsumen cenderung berada dalam posisi yang lemah, konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis yang digunakan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen, karena itu konsumen harus dilindungi salah satunya dengan 26 mengakomodir hak dan kewajiban konsumen kedalam suatu bentuk peraturan yang bersifat mengikat. Berkaitan dengan hak-hak konsumen, sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah ada pengelompokkan mengenai hak dasar konsumen. Pada tahun 1962 misalnya pengelompokkan hak-hak konsumen dikemukakan oleh Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, yaitu :7 a. The right to safe product; b. The right to be informed about product; c. The right to definite choices in selecting products; d. The right to be heard regarding consumer interest. Hak-hak konsumen kemudian juga diatur dalam Resolusi PBB Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer) merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, meliputi : a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; d. Pendidikan konsumen; e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. 7 Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010. hal. 32. 27 Kedua pengelompokkan hak-hak konsumen diatas sebagian besar nampak menjadi inspirasi dalam penyusunan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h. i. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Salah satu hak konsumen yang penting yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sehingga pelaku usaha berkewajiban untuk mencantumkan informasi yang benar pada setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen. Konsumen sebelum menentukan pilihan untuk mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa tentu akan mencari informasi mengenai barang dan atau jasa tersebut. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia informasi dapat diartikan : a. Penerangan; 28 b. Keterangan; pemberitahuan; kabar atau berita (tentang); c. Keseluruhan makna yang menunjang amanat, telah terlihat didalam bagian-bagian amanat itu. Menurut Jogiyanto HM., informasi yaitu : “Hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian (event) yang nyata (fact) yang digunakan untuk pengambilan keputusan.”8 Pada saat ini konsumen membutuhkan banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat ini :9 a. Terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya; b. Daya beli konsumen makin meningkat; c. Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran sehingga belum banyak diketahui semua orang; d. Model-model produk cepat berubah; e. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual. Hak untuk memperoleh informasi ini dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran tentang suatu produk yang akan mereka konsumsi apakah sudah sesuai dengan kebutuhannya serta menghindari terjadinya kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Kesalahan dalam pemberian informasi dapat juga merupakan salah satu 8 https://www.academia.edu/5524982/Definisi-Definisi_Informasi, diakses tanggal 1 Januari 2015. 9 Suyadi, Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Univesitas Jenderal Soedirman. 2007. hal. 88. 29 bentuk cacat produk, sehingga hak atas informasi ini sangat penting. Pemenuhan hak ini akan menguntungkan konsumen dan pelaku usaha, bagi konsumen akan meningkatkan efisiensi dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaanya terhadap produk tertentu sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. “Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut diantaranya adalah mengenai manfaat kegunaan produk; efek samping atas penggunaan produk; tanggal kadaluwarsa; serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat ada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media elektronik”.10 Informasi tentang barang atau jasa konsumen memegang peranan penting. Informasi yang benar dan bertanggung jawab merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum konsumen itu dapat mengambil keputusan untuk mengadakan atau menunda atau tidak mengadakan transaksi bagi kebutuhan hidupnya. Informasi barang atau jasa dapat diperoleh dari berbagai sumber dan dalam berbagai bentuk. Informasi dapat berbentuk :11 a. Label atau etiket produk; b. Kegiatan meningkatkan penjualan dengan menggunakan pamflet, brosur, leaflet, selembaran dan sebagainya; c. Kegiatan hubungan kemasyarakatan, misalnya pelepasan produk (ekspor) perdana; d. Periklanan atau lain-lain dengan cara memperkenalkan produk pada konsumen, mempertahankan dan/atau meningkatkannya. 10 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. hal 41. 11 Suyadi, Op.cit., hal. 90. 30 Informasi harus diberikan secara sama bagi semua konsumen dalam perdagangan yang sangat mengandalkan informasi. Terlebih dengan sudah semakin berkembangnya teknologi maka semakin banyak dan mudah akses yang dapat digunakan masyarakat konsumen dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan akan informasi mengenai barang dan jasa yang akan mereka konsumsi. Kemudahan dalam memperoleh informasi ini dalam praktiknya tidak didukung dengan kemampuan dan kesempatan yang sama pada setiap konsumen yang disebabkan oleh beberapa faktor sehingga tidak semua informasi dapat sampai kepada konsumen. “Di masyarakat telah dikenal istilah consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan sehingga dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha.” Berkaitan dengan kewajiban konsumen disebutkan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: a. b. c. d. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Selain kewajiban konsumen yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, untuk memberikan 31 pengetahuan yang lebih luas Zumrotin menyatakan bahwa kewajiban yang harus dipenuhi untuk memperkuat posisi konsumen adalah :12 a. Kewajiban bersikap kritis Dalam setiap melakukan aktifitas berkonsumsi konsumen berkewajiban menggunakan daya kritisnya, mendahulukan “kebutuhan” dan tidak atas dasar “keinginan”. Menggunakan daya pikir sehingga tidak mudah terpengaruh oleh iklan dan tidak percaya begitu saja tentang kehebatan suatu produk yang disampaikan pengusaha. b. Mayoritas konsumen kita kurang aktif untuk menambah pengetahuan tentang barang. Padahal mempunyai pengetahuan tentang barang sangat membantu konsumen dalam memilih, memperlakukan atau memelihara barang yang dikonsumsinya. c. Kewajiban menggalang solidaritas antar konsumen Apabila solidaritas antar konsumen dapat dikoordinasikan dengan baik, akan mewujudkan suatu kekuatan yang akan diperhitungkan oleh pengusaha. Kekuatan konsumen yang solid sangat potensial untuk memperbaiki nasib konsumen. Sayang sekali masih banyak masyarakat kita yang tidak tahu hak dan kewajiban yang mereka miliki, apalagi mengamalkannya. Namun secara bertahap suatu masyarakat akan berubah sikap, sejalan dengan perkembangan ekonomi dan pendidikan mereka. 3. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Hukum tumbuh dan berkembang didalam masyarakat seiring dengan perkembangan zaman. Terciptanya hukum karena perlunya pengaturan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat baik itu hubungan antar sesama individu maupun hubungannya dengan negara. Keadaan masyarakat yang terus berubah mengharuskan hukum mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat agar tercapai suatu keadaan yang tertib. Hukum yang awalnya berupa suatu kebiasaan kemudian mulai dijadikan sebagai suatu aturan yang 12 Suyadi, Op,cit., hal. 78. 32 bersifat memaksa dan mempunyai sanksi dengan mengkodivikasi hukum tersebut. Harapannya agar kebiasaan yang telah dikodivikasi memberikan suatu kepastian kepada masyarakat. Definisi hukum menurut beberapa sarjana hukum :13 1. E. Utrech Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karenanya pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu. 2. J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukum. 3. S.M Amin Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi, serta tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia. Beberapa definisi di atas menyimpulkan bahwa hukum merupakan sekumpulan peraturan yang bersifat memaksa yang ditujukan untuk mengatur tingkah laku manusia yang apabila dilanggar maka akan diambil suatu tindakan hukum berupa pemberian sanksi bagi pelanggarnya. Masyarakat sebagai subyek hukum, dengan adanya hukum disamping mendapatkan suatu kepastian juga memperoleh suatu perlindungan terhadap setiap perbuatan mereka yang memang perlu diakomodir dengan adanya jaminan perlindungan hukum karena 13 CST. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia (Cetakan Ke-6), Jakarta: Balai Pustaka, 1997. hal. 38. 33 perlindungan hukum ini merupakan salah satu hak setiap warga negara. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum melalui seperangkat peraturan baik yang tertulis maupun lisan, bersifat preventif maupun represif. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dituntut agar dapat menjalankan kewajibannya berkaitan dengan memberikan perlindungan hukum kepada semua warga negara tanpa diskriminasi. Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen sebenarnya merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Az. Nasution memberikan batasan terhadap Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen yaitu : Hukum Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian khusus dari Hukum Konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.14 Perlindungan yang diberikan kepada konsumen, secara umum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :15 1. Perlindungan Preventif Perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai dari melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk 14 A.Z. Nasution, Op.cit, hal. 22. http://putriagustia.blogspot.com/2012/05/perlindungankonsumen.html. diakses tanggal 8 Desember 2014. 15 34 membeli atau menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut. 2. Perlindungan Kuratif Perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang dan atau jasa tertentu oleh konsumen. Perlu diperhatikan bahwa konsumen belum tentu dan tidak perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang dan atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang atau jasa. Seseorang dikatakan kosumen, cukup jika orang tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau jasa, tidak perlu ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian. Berkaitan dengan perlindungan hukum yang khususnya ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen yang kedudukannya di Indonesia masih dianggap lemah, maka pemerintah pada tanggal 20 April 1999 mengundangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut hasil penelitian Badan dan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), sebagaimana dikutip N.H.T. Siahaan, ada 5 (lima) faktor yang melemahkan konsumen antara lain :16 1) Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hakhaknya 2) Belum terkondisikannya “Masyarakat Konsumen” karena memang sebagian masyarakat ada yang belum mengetahui tentang apa saja hak-haknya dan kemana hak-hanya akan dapat disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang dan atau jasa yang sewajarnya 3) Belum terkondisikannya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan untuk menuntut hakhaknya 4) Proses peradilan yang ruwet dan memakan waktu yang berkepanjangan 5) Posisi konsumen yang selalu lemah. 16 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen yang Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, hal. 30. 35 Secara umum dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen akan menciptakan perlindungan hukum yang mengandung unsur kepastian, sehingga lebih mendidik konsumen agar kritis terhadap perbuatan-perbuatan pelaku usaha yang merugikan. Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berkaitan dengan Perlindungan Konsumen telah disinggung dalam GBHN 1993 melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV huruf F butir 4a yang menyatakan bahwa : “…pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen…” Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan : “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Hukum perlindungan konsumen berisi materi yang bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen, tetapi perlindungan ini tidak hanya terdapat di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. “Perlindungan Konsumen itu pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa Undang- 36 Undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen. Penjelasan resmi Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen juga menyatakan bahwa di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya Undang-Undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen”.17 Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan agar dapat terciptanya kegiatan usaha perdagangan yang sehat, tidak hanya bagi pelaku usaha tapi juga bagi konsumen selaku pengguna barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan : a. b. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. c. d. e. f. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen memberikan keseimbangan antara kedudukan pelaku usaha dan konsumen dengan 17 Suyadi, Op.cit, hal. 6 37 diuraikannya apa saja hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pada masingmasing pihak disamping itu juga sebagai sarana untuk lebih memberikan kepastian hukum. Usaha-usaha perlindungan terhadap konsumen tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat dan lembagalembaga yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pemerintah bertanggung jawab dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sedangkan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat hanya melakukan pengawasan. Tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen agar mendapat hak-haknya, sementara itu tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen juga menjadi bagian yang penting dalam upaya membangun kegiatan usaha yang positif dan dinamis, sehingga hak-hak konsumen tetap bisa diperhatikan oleh para pelaku usaha.18 Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dalam Bab VII UUPK yang terdiri dari dua bagian : a. Bagian pertama tentang Pembinaan yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 18 Abdul Halim Barkatullah, Op.cit, hal. 63. 38 b. Bagian kedua tentang Pengawasan yang diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survey. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan dan lain-lain yang diisyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis. Apabila hasil pengawasan ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. B. Pelaku Usaha 1. Pengertian pelaku usaha Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : 39 “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian di atas adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. Pengertian pelaku usaha menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sangat luas yaitu bukan hanya pelaku usaha, melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara pelaku usaha dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara). Pengertian pelaku usaha menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah : “pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namaya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan”.19 19 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit., hal 9. 40 Pengertian pelaku usaha yang demikian luasnya memudahkan konsumen untuk menuntut ganti rugi apabila dirugikan akibat produk yang mereka konsumsi, karena banyaknya pihak yang dapat digugat. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya lebih memberikan rincian mengenai pengertian pelaku usaha seperti yang dikemukakan dalam Product Liability Directive (selanjutnya disebut directive) yang diterapkan di Eropa, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk. Directive digunakan sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen. Pasal 3 Directive menentukan bahwa :20 a. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen; b. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti directive ini; c. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana yang 20 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2013, hal. 21. 41 dimaksud dalam dicantumkan. 2. ayat (2), sekalipun nama produsen Hak dan kewajiban pelaku usaha Setiap pihak dalam melakukan hubungan hukum mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing. Hak dan kewajiban tersebut antara yang satu dengan yang lain tidak boleh saling merugikan. Demi kelancaran hubungan hukum tersebut perlu diterapkan ketentuanketentuan yang berlaku agar hukum tersebut dapat berjalan dengan tertib, lancar, dan teratur serta mempunyai kepastian hukum. Pasal 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa hak pelaku usaha yaitu : a. b. c. d. e. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha dimuat dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut: a. b. c. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 42 d. e. f. g. 3. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ata mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pamakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha Selain mengatur mengenai hak dan kewajiban bagi pelaku usaha, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang bagai pelaku usaha. Perbuatan yang dilarang ini dimuat dalam Bab IV Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu antara lain larangan dalam memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan atau mempromosikan atau mengiklankan, larangan dalam penjualan secara obral atau lelang, dan larangan dalam ketentuan periklanan. Berkaitan dengan promosi atau iklan terhadap suatu barang dan/atau jasa disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : 43 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu; Barang dan/atau jasa tersebut telah dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; Barang dan/atau jasa tersebut tersedia; Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; Barang tersebut berasal daerah tertentu; Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain; Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap; Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : a. b. c. d. e. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; Kegunaan suatu barang dan/atau jasa; Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. Adanya pasal tersendiri yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen serta meminimalisir terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen dan juga untuk menghindari adanya 44 persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha. Selain itu dengan adanya pengelompokkan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha ini akan memudahkan dalam penerapan hukumnya apabila dikemudian hari pelaku usaha melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Menurut beberapa ahli : “penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya”.21 Penerapan hukum adalah : “Pelaksanaan norma hukum dalam kasus/putusan/tindakan, atau hukum dalam keadaan konkrit (Law in concreto; Living law)”.22 Hakim melalui putusannya menerapkan hukum sesuai dengan unsur-unsur dalam pasal-pasal yang telah dilanggar oleh pelaku. Pelanggaran terhadap suatu pasal harus memenuhi seluruh unsur yang dimaksudkan dalam pasal tersebut agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pelanggaran. Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini mengkaji mengenai penerapan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha terbukti secara sah dan meyakinkan telah 21 http://internetsebagaisumberbelajar.blogspot.com/2010/07/pengertianpenerapan .html. diakses tanggal 10 November 2014. 22 Muhammad Joni, 2003, Efektivitas Penerapan Hukum, http://www. Advokat muhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas-penerapan-hukum.html diakses tanggal 10 November 2014. 45 melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf K dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu menawarkan sesuatu janji atau kondisi yang tidak benar dan menyesatkan. Putusan Mahkamah Agung yang sudah inkracht ini memutus bahwa pelaku usaha telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang disebutkan dalam pasal tersebut yang dijabarkan pada alasan-alasan dan pertimbangan hakim. 4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi tanggung jawab yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak jarang terjadi kelalaian sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pelaku usaha sebagai penghasil produk tersebut yang seyogyanya mengetahui mengenai setiap proses produksi hingga produk siap untuk dipasarkan, menjadikannya perlu dibebani suatu pertanggung jawaban pada setiap produk yang telah mereka pasarkan. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :23 a. Kesalahan (liability based on fault) Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukanya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu adanya perbuatan; adanya unsur kesalahan; adanya kerugian yang 23 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. hal. 92. 46 b. c. d. e. diderita; adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum” tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liabilty) Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan, karena yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si terguat. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability) Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Tanggung jawab mutlak (strict liability) Prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Shidarta mengatakan bahwa : “Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa 47 jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait”.24 Tanggung jawab pelaku usaha timbul karena adanya hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen. Pelaku usaha dapat dikenakan pertanggungjawaban apabila barang yang dibeli dan telah dikonsumsi mengakibatkan timbulnya kerugian bagi konsumen. Agnes M. Toar mendefinisikan tanggung jawab pelaku usaha (product liability) sebagai : “tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut”.25 Selanjutnya, definisi tersebut dapat dijabarkan atas bagian-bagian sebagai berikut :26 a. b. c. d. e. f. Tanggung jawab meliputi baik tanggung jawab kontraktual/berdasarkan suatu perjanjian, maupun tanggung jawab perundang-undangan/berdasarkan perbuatan melanggar hukum; Para produsen; termasuk ini adalah, produsen/pembuat, grossir (whole-saler), leveransir dan pengecer (detailer) professional; Produk; semua benda bergerak atau tidak bergerak/tetap; Yang telah dibawa produsen ke dalam peredaran; yang telah ada dalam peredaran karena tindakan produsen; Menimbulkan kerugian; segala kerugian yang ditimbulkan/disebabkan oleh produk dan kerusakan atau musnahnya produk; dan Cacat yang melekat pada produk; kekurangan pada produk yang menjadi penyebab timbulnya kerugian. Hukum perlindungan konsumen mengenal adanya istilah tanggung jawab produk. Tanggung jawab produk merupakan terjemahan dari 24 Shidarta, op. cit., hal. 59. Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 65. 26 Ahmadi Miru, Op.cit., hal. 31. 25 48 bahasa Belanda “verantwoordelijkheid” yang artinya adalah tanggung jawab produsen, pengolah atau “non manufacturing seller” berhubungan dengan kerusakan terhadap orang atau harta pihak pembeli yang disebabkan oleh produk yang telah dijual. Indonesia sebagai negara yang sedang menuju pada era industrialisasi, perlu memberikan perhatian khusus mengenai tanggung jawab pelaku usaha. Masalah ini berkaitan erat dengan persaingan dalam era perdagangan bebas maupun dengan makin meningkatnya perhatian terhadap perlindungan konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai bukti kongkrit dari bentuk perhatian pemerintah melindungi konsumen telah mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha. Tanggung jawab yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tanggung jawab tersebut adalah “minimal” artinya tanggung jawab dari pelaku usaha tidak sekedar yang ada dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen saja tetapi dapat meliputi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan sebagaimana mestinya sebagai pelaku usaha, dapat berdasarkan undang-undang lain, ketentuan-ketentuan lain yang pada akhirnya tanggung jawab ini akan berdampak positif kepada konsumen. 49 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha dalam bab tersendiri yaitu Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menggunakan prinsip semi-strict liability27 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha, dijelaskan sebagai berikut : a. b. c. d. e. Pelaku usaha bertangung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya unsur kesalahan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab. Pada strict liability mengharuskan adanya hubungan kausal antara subjek yang bertanggung jawab dengan kesalahannya. 27 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal. 106 50 Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia meliputi 3 (tiga) bagian penting. Pertama, faktor-faktor eksternal hukum yang akan mempengaruhi perkembangan dan pembaruan hukum perlindungan konsumen termasuk penerapan prinsip tanggung jawab mutlak. Kedua, faktor internal sistem hukum, yaitu elemen struktur dan budaya hukum dalam rangka penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia. Ketiga, adalah ruang lingkup materi atau subtansi dari prinsip tanggung jawab mutlak yang perlu diatur dalam undang-undang.28 Pada prinsipnya tanggung jawab pelaku usaha yang diatur dalam Bab IV Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini dibagi dalam 4 (empat) bagian :29 a. b. Bagian pertama dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang tanggung jawab. Pelaku usaha yang bertanggung jawab berdasarkan pasal-pasal di atas adalah : 1) Pelaku usaha dalam bidang perdagangan; 2) Pelaku usaha dalam bidang jasa; 3) Pelaku usaha periklanan; 4) Importir barang; 5) Importir jasa. Bagian kedua dari Pasal 23 sampai dengan Pasal 26 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disamping mengatur tanggung jawab juga mengatur perlindungan bagi konsumen untuk menuntut ganti rugi atau mengajukan gugatan apabila dirugikan. Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana (Pasal 22 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dan pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan (Pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Pembebasan tanggung jawab pelaku usaha. c. d. Tujuan tanggung jawab pelaku usaha ini agar dalam memproduksi barang mereka lebih berhati-hati baik dalam menjaga kualitas produk 28 29 Ibid, hal. 108. Suyadi, Op.cit., hal. 43 51 yang dihasilkan dan dalam penggunaan bahan sehingga tercapai produk yang diinginkan dan tidak merugikan konsumen. C. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen Pada dasarnya hukum mengatur suatu hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain, antara individu dengan masyarakat, dan antara masyarakat dengan masyarakat. Hubungan hukum adalah sebuah perikatan antara dua pihak, dimana disatu pihak ada hak dan dipihak lain ada kewajiban. Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa perikatan lahir dari perjanjian atau dari Undang-Undang. Berkaitan dengan penelitian ini maka akan dibahas mengenai hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen berupa perikatan yang lahir dari perjanjian. Menurut J.Satrio : “perjanjian secara umum dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau diangap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Dalam arti sempit perjanjian disini hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III BW”.30 Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadarp satu orang lain atau lebih”. Pengertian diatas menyimpulkan bahwa perjanjian merupakan tindakan hukum yang dilakukan dua pihak atau lebih. 30 J.Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 23. 52 Perjanjian harus memenuhi syarat sahya suatu perjanjian agar berlaku secara sah dan mengikat para pihak. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur sahnya perjanjian sebagai berikut : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Mengenai jenis-jenis perjanjian, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1319 KUHPerdata bahwa ada dua kelompok perjanjian, yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang oleh pembentuk Undang-Undang diberi nama khusus dan ada pengaturannya didalam KUHPerdata. “Didalam KUHPerdata diatur sebanyak 15 macam perjanjian yaitu perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar, perjanjian sewa menyewa, perjanjian melakukan pekerjaan atau perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan, perjanjian perseroan atau maatschap atau perjanjian perserikatan perdata atau perjanjian persekutuan, perjanjian perkumpulan, persetujuan pemberian (hibah), perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam mengganti, perjanjian bunga tetap atau bunga abadi, perjanjian untung-untungan, perjanjian pemberian kuasa (last geving), perjanjian penanggungan (borgtocht atau guarantee), dan perjanjian perdamaian”.31 Jenis perjanjian tak bernama tidak diatur dalam KUHPerdata dan pada Undang-Undang tidak dikenal suatu nama tertentu, namun dalam kehidupan sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu misalnya perjanjian sewa beli, perjanjian leasing, perjanjian kredit, dan sebagainya. 31 Nur Wakhid, Hukum Perjanjian, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sedirman, 2012. hal. 65. 53 Perjanjian tak bernama ini timbul karena dalam perkembangannya KUHPerdata tidak memenuhi kebutuhan masyarakat berkaitan dengan transaksi ekonomi dan perdagangan, juga karena dianutnya asas kebebasan berkontrak didalam KUHPerdata. Dilihat dari sekian banyak jenis perjanjian, yang memiliki hubungan dengan penelitian ini yaitu perjanjian jual beli. Pengaturan mengenai perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 KUHPerdata. Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., : “perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli”.32 Mengenai pihak dalam perjanjian jual beli, menurut Wiryono Prodjodikoro ada 2 macam subyek : “yang pertama dapat berupa individu, yaitu : penjual dan pembeli, dan yang kedua adalah seorang dapat berupa suatu badan hukum. Kedua subyek hukum tersebut dalam suatu perjanjian jual beli, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban”. Pengertian diatas menyimpulkan bahwa unsur pokok dari jual beli adalah barang dan harga dengan penjual dan pembeli sebagai pihak32 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 49. 54 pihaknya. Pihak pada perjanjian jual beli dalam pemenuhan prestasinya masing-masing diberi hak dan kewajiban oleh pembentuk undang-undang. Secara umum penjual berhak menerima harga barang yang telah dijualnya dari pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak dan kewajiban penjual yaitu menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. Pihak pembeli berhak menerima barang yang telah dibelinya dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang yang dibeli kepada penjual. Selain kewajiban penjual yang secara umum disebutkan diatas, menurut ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata penjual memiliki 3 (tiga) kewajiban pokok mulai dari sejak jual-beli terjadi yaitu :33 1. 2. 3. Memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkan kepada pembeli hingga saat penyerahannya. Menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telah ditentukan, atau jika telah ditentukan saatnya, atas permintaan pembeli. Menanggung kebendaan yang dijual tersebut. Kewajiban penjual yang diatur dalam Pasal 1474 KUHPerdata, menyebutkan bahwa penjual mempunyai 2 (dua) kewajiban utama yaitu menyerahkan suatu barang dan menanggungnya. Berkaitan dengan pengaturan mengenai hak dan kewajiban pembeli, menurut Pasal 1513 KUHPerdata kewajiban pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Pasal 1515 KUHPerdata menambahkan bahwa meskipun pembeli tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan membayar bunga dari harga 33 Ibid, hal. 127. 55 pembelian, jika barang yang dijual dan diserahkan memberi hasil atau lain pendapatan. Hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang yang telah dibelinya dari penjual. Penyerahan oleh penjual kepada pembeli menurut Pasal 1459 KUHPerdata merupakan cara peralihan hak milik dari kebendaan yang dijual tersebut. Berdasarkan penjelasan pasal-pasal diatas dapat diketahui bahwa kewajiban pihak pembeli merupakan hak dari pihak penjual dan sebaliknya bahwa kewajiban dari pihak penjual merupakan hak dari pihak pembeli. Kegiatan jual beli pada prakteknya tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Baik penjual maupun pembeli tidak jarang mereka melakukan wanprestasi dengan alasan apapun. Berkaitan dengan hal ini maka perlu adanya suatu pertanggungjawaban apabila terjadi wanprestasi. Secara umum wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya dengan yang diperjanjikan. Wanprestasi seorang debitur (si berutang) dapat berupa :34 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Akibat wanprestasi bagi debitur yaitu ia berkewajiban untuk bertanggungjawab dalam bentuk pemberian ganti rugi. Ganti rugi yang 34 60. M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 56 diberikan senilai dengan kerugian-kerugian nyata yang ditimbulkan akibat terjadinya wanprestasi. Mengenai penuntutan ganti rugi telah diatur oleh Undang-Undang dengan tujuan untuk memberikan batasan terhadap apa saja yang dapat dituntut sebagai ganti rugi. D. Iklan 1. Pengertian iklan Salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan informasi mengenai suatu produk kepada konsumen yaitu melalui iklan. Sebagai tahapan pratransaksi iklan dapat digunakan sebagai sarana pemenuhan hak konsumen untuk memperoleh informasi. Iklan dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi kepada masyarakat konsumen pengguna barang dan jasa dalam menyampaikan informasi mengenai produk barang maupun jasa. Menurut Zumrotin K Susilo : “Iklan atau sering juga disebut dengan pariwara adalah pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan melalui media cetak atau elektronik”.35 Etika Pariwara Indonesia/EPI (Kode Etik Periklanan Indonesia) sebagai self regulation dari pelaku usaha Periklanan Indonesia dalam Bab II Pedoman huruf D memberi definisi tentang iklan, yaitu : 35 Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan yang Menyesatkan, PT. Ghalia Indonesia, Bogor: 2010, hal. 19. 57 “Iklan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat”. Menurut William Wells, John Burnet, dan Sandra Moriarty, terdapat 6 unsur iklan yaitu : 36 1. 2. 3. 4. 5. 6. Iklan merupakan suatu bentuk komunikasi dengan pembayaran, walaupun dalam beberapa bentuk iklan tertentu dipergunakan sebagai iklan layanan masyarakat untuk kepentingan sosial; Sponsor yang menjadi pemrakarsa iklan tersebut dapat diidentifikasi; Kebanyakan iklan berupaya untuk membujuk dan mempengaruhi konsumen untuk melakukan sesuatu, atau meningkatkan perhatian konsumen terhadap suatu produk atau perusahaan; Pesan-pesan dalam iklan disampaikan dengan mempergunakan berbagai media massa yang berbeda; Dapat menjangkau konsumen potensial yang cukup luas; Iklan bersifat non personal karena mempergunakan bentuk komunikasi massal dalam penyampaian pesan. Menurut Sudarto dalam tulisannya yang berjudul “Periklanan dalam Surat Kabar Indonesia” mengungkapkan bahwa : “iklan adalah suatu komunikasi yang harus memenuhi ke empat hal berikut : komunikasi tidak langsung, melalui media komunikasi masa, dibayar berdasarkan tarif tertentu, dan diketahui secara jelas sponsor atau pemasang iklannya.” 37 Beberapa pengertian iklan diatas menyimpulkan bahwa fungsi dan peranan iklan sebagai salah satu media pemasaran untuk memperkenalkan, mempengaruhi, dan membujuk konsumen untuk 36 Ibid. hal. 100. Sudarto dalam Alo Liliweri, 1996, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Balai Citra Aditya Bakti, Bandung. hal. 72. 37 58 membeli barang dan/atau jasa yang diiklankan dengan mempergunakan berbagai media periklanan. Berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan periklanan terlihat adanya beberapa unsur, yaitu sebagai berikut :38 1. 2. 3. Pelaku usaha, yaitu pemimpin perusahaan atau pengusaha yang memproduksi suatu produk. Konsumen, yaitu pemakai/pembeli suatu produk. Produk (barang dan/atau jasa) yang diproduksi dan dianjurkan pada konsumen agar mau membelinya. Message, yaitu pesan-pesan anjuran tentang suatu produk kepada konsumen. Efek, yaitu perubahan tingkah laku konsumen, dimana ia menerima anjuran pesan-pesan iklan yang mengakibatkan ia membeli produk. 4. 5. Di Indonesia saat ini memang belum ada pengaturan secara khusus mengenai periklanan, namun ada beberapa peraturan yang didalamnya menyinggung mengenai iklan antara lain dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, serta regulasi sendiri yang merupakan produk dari asosiasi atau organisasi pelaku usaha yang sejenis, yaitu kode etik periklanan Indonesia/etika pariwara Indonesia (EPI). Ketentuan mengenai periklanan secara umum telah ada tetapi belum diatur secara khusus, namun dalam kenyataannya masih banyak terdapat pelanggaran-pelanggaran oleh pelaku usaha yang merugikan 38 Dedi Harianto, Op.cit., hal. 101. 59 konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pun telah mengatur mengenai larangan kegiatan pelaku usaha dibidang periklanan. Pasal-pasal yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Pasal 9 yang secara umum memuat mengenai larangan pelaku usaha dalam menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang secara umum memuat bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan. Menurut Sutedjo Hadiwasito, ketua bidang hukum dan perundangundangan PPPI, terdapat enam faktor yang menyebabkan banyaknya iklan yang melanggar EPI, yaitu :39 1. 2. 3. 4. Tidak adanya kekuatan penuh dari tim penilai iklan; Terjadinya bias antara konsep iklan dan hasil yang ditayangkan; Pemerintah lambat dalam menindak iklan yang melanggar; Gaya beriklan di Indonesia yang hanya menonjolkan kekuatan penjualan; 5. Masih ada ketentuan yang kurang jelas (gray area) dalam buku panduan beriklan; 6. Lemahnya daya kreatifitas pembuat iklan. 2. Iklan yang menyesatkan Iklan yang menyesatkan dapat diartikan sebagai suatu berita yang berisi informasi mengenai suatu barang dan atau jasa yang mendorong dan membujuk konsumen yang dipasang didalam media massa seperti 39 Ibid. hal. 70. 60 surat kabar atau majalah, namun isi berita yang disajikan belum diketahui kebenarannya sehingga dapat merugikan konsumen. Adapun beberapa hal yang menjadi latar belakang perilaku pelaku usaha membuat iklan-iklan menyesatkan, disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :40 a. Belum terdapatnya peraturan khusus setingkat undang-undang yang mengatur kegiatan periklanan b. Budaya hukum konsumen di Indonesia yang belum mampu bersikap kritis dalam mencermati berbagai bentuk pelanggaran iklan c. Terjadinya persaingan yang tidak sehat (unfair competition) di antara sesama pelaku usaha dalam beriklan d. Ketiadaan sanksi hukum yang tegas terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas ketentuan iklan e. Kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait serta tidak berjalannya fungsi pengawasan. Menurut Yusuf Shofie, iklan termasuk salah satu dari 6 (enam) sebab potensial yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen, yaitu :41 1. 2. 3. Ketidaksesuaian iklan/informasi produk dengan kenyataan; Produk tidak sesuai dengan standar ketentuan/peraturan perundang-undangan; Produk cacat meskipun masih dalam garansi atau belum kedaluarsa; Tingkat keamanan produk diinformasikan tidak secara proporsional; Sikap konsumtif konsumen; Ketidaktahuan konsumen tentang penggunaan produk. 4. 5. 6. Walaupun iklan dapat merugikan konsumen, namun bagi banyak pelaku usaha di Indonesia, iklan seolah-olah dianggap sebagai suatu alat 40 41 Ibid, hal. 264. Ibid. hal. 6. 61 promosi yang tidak memiliki akibat hukum. Iklan yang dapat merugikan konsumen dapat berupa :42 1. Bait advertising, adalah suatu iklan yang menarik, namun penawaran yang disampaikan tidak jujur untuk menjual produk karena pengiklan tidak bermaksud menjual barang yang diiklankan. Tujuannya agar konsumen mengganti membeli barang yang diiklankan dengan barang jualan lainnya yang biasanya lebih mahal atau lebih menguntungkan pengiklan. 2. Blind advertising, adalah suatu iklan yang cenderung membujuk konsumen untuk berhubungan dengan pengiklan, namun tidak menyatakan tujuan utama iklan tersebut untuk menjual barang atau jasa, dan tidak menyatakan identitas pengiklan. 3. False advertising, adalah jika representasi tentang fakta dalam iklan adalah salah, yang diharapkan untuk membujuk pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan. Sejauh ini belum ada pengertian secara khusus mengenai iklan menyesatkan, sehingga berkaitan dengan iklan menyesatkan hanya dapat diketahui dari beberapa pendapat ahli. Penjelasan lebih rinci diberikan salah satunya oleh Sri Handayani yang menjelaskan bahwa iklan menyesatkan tersebut meliputi :43 a. Iklan yang mengelabui konsumen tentang barang dari kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga, serta tarif, ketepatan waktu dan jaminan; b. Iklan yang memuat informasi tentang resiko pemakaian barang; c. Iklan yang tidak memuat informasi tentang resiko pemakaian barang; d. Iklan yang mengekploitasi tanpa izin tentang suatu kejadian atau kegiatan seseorang; e. Iklan yang melanggar etika periklanan; f. Iklan yang melanggar peraturan tentang periklanan; g. Iklan yang melanggar etika dan peraturan (tehnis) periklanan. 42 43 Ahmadi Miru, Op. cit., hal. 38. Dedi Harianto, Op.cit., hal. 109. 62 Suatu iklan menyesatkan dapat diketahui telah menyesatkan setelah suatu barang atau jasa tersebut digunakan. Disisi lain tidak ada suatu patokan yang dapat digunakan oleh konsumen untuk menilai apakah iklan itu menyesatkan atau tidak. Ukuran penentuan informasi yang menyesatkan dalam iklan, dapat dikemukakan standar ukuran dari The Federal Trade Commision (FTC) yang menyatakan bahwa suatu iklan dapat dikatakan mengandung representasi yang keliru, atau kurang lengkap (ommision) berdasarkan adanya “fakta material”, yaitu fakta yang penting bagi konsumen untuk dipergunakan sebagai panduan dalam memutuskan untuk membeli atau mempergunakan suatu produk. Iklan tersebut harus ditujukan khusus kepada konsumen tertentu yang rasional. Konsumen tersebut, dalam memilih atau membeli barang atau jasa yang dibutuhkan, benar-benar didasarkan atas pertimbangan yang matang berdasarkan informasi yang diterimanya melalui iklan.44 Mayoritas konsumen Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh iklan-iklan yang beredar dimedia massa. Mereka cenderung tidak mempertimbangkan mengenai kebenaran iklan tersebut. Konsumen dituntut untuk lebih berhati-hati dalam mencermati informasi yang disampikan melalui iklan, karena hingga saat ini masih saja ditemukan pelaku usaha yang tidak jujur dan cenderung menjadikan konsumen hanya sebagai objek. Keadaan yang demikian membutuhkan adanya pengawasan lebih lanjut oleh pihak yang terkait didalamnya agar membantu konsumen untuk lebih bijak dalam memahami setiap penawaran melalui iklan. Persaingan usaha yang semakin ketat mengharuskan pelaku usaha yang tidak merata kemampuannya untuk lebih kreatif dan inovatif agar 44 Ibid, hal. 20. 63 lebih menarik minat konsumen atas produk mereka. Tuntutan yang demikian tidak jarang menempatkan pelaku usaha dalam pilihan yang sulit, termasuk melakukan praktik bisnis yang tidak jujur. Guna melaksanakan pengawasan terhadap kebenaran muatan informasi yang terdapat dalam suatu iklan, telah ditetapkan beberapa standar kriteria penentuan iklan dalam beberapa peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, seperti dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan beberapa ketentuan yang bersifat administratif dari Menteri Kesehatan, Menteri Komunikasi dan Informasi, maupun Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), serta dalam Etika Pariwara Indonesia sebagai kode etik periklanan dari kalangan pelaku usaha periklanan. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditentukan beberapa bentuk praktik penyesatan informasi yang terdapat dalam iklan, antara lain sebagai berikut :45 a. Iklan yang mengelabui konsumen (misleading) mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, harga, tarif, ketepatan waktu, jaminan dan garansi barang dan/atau jasa. b. Tidak memenuhi janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam iklan. c. Mendeskripsikan/memberikan informasi secara keliru, salah, maupun tidak tepat (deceptive) mengenai barang dan/atau jasa. d. Memberikan gambaran secara tidak lengkap (ommission) mengenai informasi barang dan/atau jasa. e. Memberikan informasi yang berlebihan (puffery) mengenai kualitas, sifat, kegunaan, kemampuan barang dan/atau jasa. 45 Ibid, hal. 112. 64 f. Membuat perbandingan barang dan/atau jasa yang menyesatkan konsumen. g. Menawarkan barang dan/atau jasa dengan kondisi yang menarik tetapi kemudian menawarkan barang dan/atau jasa lain dengan kondisi yang lain pula (bait and switch advertising). h. Menyebutkan apa yang dapat diharapkan dari suatu produk tanpa menyinggung tentang apa yang tidak dapat diharapkan (resiko/efek samping). i. Memberikan kesaksian yang tidak benar (mempergunakan seseorang yang ternyata bukan pemakai produk tersebut). Mengenai iklan yang menyesatkan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan dalam Pasal 10 Bab IV bahwa penyampaian iklan menyesatkan merupakan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. 3. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap penyampaian iklan menyesatkan Konsumen sebagai penerima langsung dampak negatif iklan menyesatkan sudah sepatutnya mendapatkan pertanggungjawaban dari pelaku usaha atas penyampaian iklan tersebut. Secara garis besar, pertanggungjawaban itu sendiri muncul terkait dengan dua hal, yaitu :46 a. Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya; b. Menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan/ atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik periklanan. Setiap aktivitas periklanan, dari proses pembuatan sampai penayangan iklan tersebut di media elektronik maupun media cetak, 46 Ibid, hal. 199. 65 setidaknya ada beberapa pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut dengan menjalankan fungsinya masing-masing, antara lain :47 a. Pengiklan, yaitu badan usaha yang memesan iklan dan membayar biaya pembuatannya untuk promosi/pemasaran produknya dengan menyampaikan pesan-pesan dan berbagai informasi lainnya tentang produk tersebut kepada perusahaan iklan; b. Perusahaan periklanan, yaitu perusahaan atau biro iklan yang merancang, membuat atau menciptakan iklan berdasarkan pesan atau informasi yang disampaikan pengiklan kepadanya; c. Media periklanan, yaitu media non elektronik (Koran, majalah, dan seterusnya) atau media elektronik (seperti radio, televisi, dan seterusnya) yang digunakan untuk menyiarkan dan/atau menayangkan iklan-iklan tertentu. Pihak yang paling bertanggung jawab mengenai muatan informasi produk adalah pengiklan sebagai pihak penghasil barang dan/atau jasa. Menyangkut daya kreativitas dalam pembuatan iklan merupakan tanggung jawab perusahaan periklanan dan media iklan, karena berdasarkan daya imajinasi mereka iklan dapat tampil lebih memikat dan mampu mengundang perhatian konsumen. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai kemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban para pihak pada kegiatan periklanan yang telah disesuaikan dengan dua kemungkinan tersebut. Bagi pengiklan dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut : 47 A.Z. Nasution, Op.cit., hal.9. 66 “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran nama baik dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” Berkaitan dengan keharusan untuk bertanggung jawab bagi perusahaan periklanan atau media iklan dimuat dalam Pasal 20 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa : “Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”. Kerugian yang diderita konsumen setelah menggunakan atau mengkonsumsi barang atau jasa yang diiklankan karena tidak adanya kesesuaian antara informasi yang disampaikan dengan penerapan dalam penggunaannya atau tidak sesuai dengan kondisi yang dijanjikan pelaku usaha. Informasi produk yang disampaikan pelaku usaha mengandung hak-hak konsumen yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha, hal ini dikaitkan dengan tujuan kegiatan periklanan yaitu penyebarluasan informasi produk agar dapat dijadikan panduan bagi konsumen dalam memilih dan membeli barang dan atau jasa. Berkaitan dengan tanggung jawab, iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat. Masingmasing pihak dalam kegiatan periklanan mempunyai bobot tanggung jawab berbeda yang diukur menurut komponen pelaku usaha periklanan. Pengiklan bertanggung jawab atas kebenaran informasi produk yang disampaikan kepada pelaku usaha periklanan. Perusahaan 67 periklanan bertanggung jawab atas ketepatan unsur persuasi yang disampaikannya dalam pesan iklan, sedangkan media periklanan bertanggung jawab untuk kesepadanan iklan yang disiarkan dengan nilai-nilai sosial budaya dari masyarakat yang menjadi sasaran siarannya.48 Pengiklan dianggap sebagai pihak yang paling tahu mengenai iklan yang disampaikan, sehingga ia berkewajiban untuk bertanggungjawab mengenai kandungan informasi yang terdapat dalam iklan tersebut. Berkaitan dengan tanggung jawab untuk mencegah pemberian informasi yang menyesatkan konsumen perusahaan periklanan dan media iklan juga bertanggung jawab, yaitu dengan selalu menyaring informasi yang akan diiklankan pada saat proses negosiasi antara pengiklan dengan perusahaan periklanan, proses penuangan ide kreatif perusahaan periklanan dalam pembuatan iklan, sampai pada saat di mana iklan tersebut disampaikan kepada media untuk ditayangkan. Perusahaan periklanan dan media iklan dapat terhindar dari kewajiban untuk bertanggung jawab apabila dalam proses pembuatan sampai penayangan iklan tersebut di media massa, telah melakukan kewajibannya untuk menyaring setiap informasi yang diterimanya dari pengiklan. “tindakan penyesatan informasi iklan dapat dijadikan sebagai dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pengiklan, perusahaan periklanan, maupun media iklan, berdasarkan adanya wanprestasi (ingkar janji) atau perbuatan melawan hukum, berkaitan dengan suatu gugatan ganti rugi dalam periklanan”.49 Disebutkan pula oleh Yusuf Sofie bahwa : 48 49 Dedi Harianto, Op,cit,. hal. 67. Ibid, hal. 21. 68 “dalam realisasinya, tanggungjawab penyampaian iklan menganut sistem pertanggungjawaban air terjun (water fall) atau sistem pertanggungjawaban secara suksesif/berurutan, sehingga pertanggungjawaban dalam periklanan meliputi tanggung jawab pengiklan, perusahan periklanan, pelaku usaha media elektronik maupun non elektronik yang menayangkan iklan tersebut”.50 Banyaknya pihak yang terlibat dalam kegiatan periklanan menyebabkan kegiatan periklanan berada dibawah kewenangan beberapa departemen/instansi terkait. Kendala yang kemudian timbul adalah mengenai tumpang tindihnya kewenangan masing-masing departemen atau instansi serta kurangnya koordinasi antar lembaga, sehingga jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan periklanan maka akan timbul permasalahan departemen/instansi mana yang berwenang untuk meminta pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan. Mengenai bagaimana menentukan besar kecil pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan sesuai dengan peran dan partisipasinya dalam proses pembuatan iklan tersebut, masih perlu adanya pengaturan untuk menjamin kepastian. Sebagai panduan guna menentukan pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan, dapat dilihat pada uraian berikut :51 a. Produsen, apabila sebuah iklan yang ditayangan atas permintaan produsen baik itu bentuknya maupun yang menyangkut tentang isinya, sehingga biro iklan dan media yang mengiklankannya hanya bersifat pasif dalam arti bahwa mereka hanya membuat secara utuh sesuai dengan permintaan produsen, maka dalam hal ini yang bertanggung jawab secara penuh adalah produsen yang bersangkutan. b. Biro iklan, dalam hal ini produsen dan media iklan bersifat pasif, sedangkan biro iklan yang mendesain bentuk termasuk 50 51 Ibid. Ibid. hal. 208. 69 isinya, maka yang bertanggung jawab adalah biro iklan yang bersangkutan. c. Media iklan, apabila dalam mengiklankan suatu produk produsen dan biro iklan telah menetapkan bentuk dan isi iklan, akan tetapi dalam penayangannya terjadi perubahan, di mana setelah ditayangkan berbeda dengan sebenarnya, maka yang bertanggung jawab adalah media iklan yang bersangkutan. Menurut panduan di atas, pertanggungjawaban para pihak ditentukan berdasarkan peran aktif para pihak sebagai sumber informasi dalam proses pembuatan iklan tersebut. Bagi pelaku usaha periklanan yang tidak mengetahui adanya hal yang menyesatkan atau pernyataan yang salah sesuai dengan pesanan pemesan iklan, sesuai asas maka pelaku usaha periklanan yang tidak mengetahui itikad buruk pemesan iklan, tidak sepatutnya mendapatkan sanksi berdasarkan ketentuana Pasal 17 Undang-Undang No. Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pihak yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kerugian konsumen akibat iklan yang isinya menyesatkan atau mengandung pernyataan yang salah adalah pelaku usaha pemesan iklan. Ketiadaan undang-undang khusus periklanan yang seharusnya dapat dijadikan pedoman dalam kegiatan periklanan, menjadikan persoalan penentuan tanggung jawab ini harus dilakukan kasus per kasus, tergantung pada peran masing-masing pihak dalam proses pembuatan dan pemasangan iklan tersebut serta bagaimana Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau hakim di pengadilan meletakkan beban tanggung jawab masing-masing pihak dalam perkara yang dihadapkan 70 kepada mereka atas suatu perbuatan periklanan yang menimbulkan kerugian. Berkaitan penyampaian informasi iklan menyesatkan, dengan melihat paraf/tanda tangan perusahaan mana yang terdapat dalam draft akhir iklan yang kemudian disiarkan melalui media massa. Pihak yang membubuhkan tanda tangan tersebut dianggap sebagai pelaku usaha yang paling bertanggung jawab terhadap informasi iklan menyesatkan tersebut.52 Kewajiban untuk bertanggungjawab ini dalam rangka memberikan suatu perlindungan bagi konsumen dari perbuatan pelaku usaha yang merugikan berkaitan dengan pemberian informasi kepada konsumen mengenai suatu barang dan atau jasa. Pemerintah bukan bermaksud untuk mempersempit ruang gerak pelaku usaha dengan cara memberi batasan terhadap cara pemasaran suatu produk, namun diharapkan agar dapat berlangsung suatu kegiatan usaha yang sehat dan terciptanya hubungan yang saling menguntungkan antara pelaku usaha dengan konsumen. 52 Ibid. hal. 211. 71 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legal positif, yang mengemukakan bahwa hukum identik dengan normanorma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat yang berwenang. Konsep ini juga melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat sehari-hari.53 Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menelaah fakta terkait dengan permasalahan yang akan diteliti, kemudian dicari kesesuaiannya dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan doktrin. Adapun peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan yaitu UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori-teori hukum, norma hukum, doktrin, serta praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas. 53 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta:1990, Halaman13. 72 C. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman dan Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman serta media elektronik dengan menggunakan media internet. D. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu bahan pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi yaitu Putusan Mahkamah Agung, buku-buku perpustakaan, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Dari bahan hukum sekunder tersebut dapat dibagi dan diuraikan ke dalam tiga bagian, yaitu : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritif artinya mempunyai suatu otoritas, mutlak dan berkekuatan hukum mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, cacatan resmi, lembaran negara penjelasan, risalah, putusan hukum dan yurisprudensi. Bahan hukum ini terdiri dari : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari 73 para ahli hukum dalam bentuk buku-buku yang berpengaruh, artikel, jurnal-jurnal hukum, serta pendapat para sarjana. Bahan sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekuder untuk melengkap deskripsi suatu realitas. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang sifatnya melengkapi dan memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia. E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dipandang relevan dan memadai untuk memperoleh data sekunder dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, dilakukan melalui penelaahan data dan literatur yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang diterapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012. F. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun secara sistematis. Sistematis di sini artinya data-data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh. 74 G. Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisa secara normatif kualitatif yaitu dengan menjabarkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan. Data dianalisa dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam peraturan-peraturan yang berlaku, serta memperhatikan pula doktrin yang masih berkaitan dengan ketentuan dalam peraturan perundangan tersebut. Kemudian dari analisa tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. 75 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012, yang menghasilkan data-data sebagai berikut : 1. Pihak dalam Perkara 1.1. Pemohon Kasasi PT. NISSAN MOTOR INDONESIA, yang diwakili oleh Presiden Direktur PT. Nissan Motor Indonesia, berkedudukan di Gedung Nissan TB. Simatupang 5th Floor, Jalan R.A. Kartini Kav 11-S Nomor 7 Jakarta Selatan, dalam hal ini memberi kuasa kepada Dr. HINCA IP PANJAITAN, SH.,MH.ACCS dan kawan, para advokat, beralamat di CITYLOFTS SUDIRMAN Suite 1021, Jalan KH. Mas Mansyur Nomor 121, Jakarta 10220, selanjutnya disebut Pemohon Kasasi dan dahulu merupakan Pemohon/Termohon dalam Perkara Arbitrase BPSK. 1.2. Termohon Kasasi LUDMILLA ARIF, bertempat tinggal di Jalan Kalibata Tengah, Komp. PT. PAS Nomor 1 Warung Buncit, Jakarta Selatan, dalam hal ini memberi kuasa kepada DAVID M.L. TOBING, SH.,M.Kn. dan kawan-kawan, para Advokat, beralamat di Wisma Bumiputra, 76 Lantai 15, Jalan Jenderal Sudirman Kav.75, Jakarta 12910, selanjutnya disebut Termohon Kasasi dan dahulu merupakan Termohon/Pemohon dalam Perkara Arbitrase BPSK. 2. Duduk Perkara 2.1. Bahwa Termohon sebagai konsumen telah dirugikan oleh Pemohon karena apa yang diiklankan oleh Pemohon terkait dengan produk Nissan March baik di surat kabar maupun internet bahwa konsumsi BBM Nissan March Matic hasil pemakaian di dalam kota adalah 185 km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami Termohon setelah pemakaian produk kurang lebih 1-2 bulan; 2.2. Bahwa setelah Termohon menggunakan Nissan March kurang lebih 1-2 bulan, Pemohon menyampaikan ke Pihak Nissan Warung Buncit, bahwa menurut perhitungan Termohon, rata-rata konsumsi BBM jauh berbeda/di bawah dengan iklan pada Nissan March di surat kabar/internet. Dan atas pertimbangan tersebut, Termohon membatalkan pembelian Mobil Nissan March dan meminta uang pengembalian mobil sebesar RP. 159.000.000,00 (seratus lima puluh sembilan juta rupiah); 2.3. Bahwa Pemohon tidak pernah mengiklankan bahwa konsumsi BBM Nissan March hasil pemakaian di dalam kota adalah 18,5 km/liter; 2.4. Bahwa informasi konsumsi BBM Nissan March merupakan hasil test drive 6 (enam) unit mobil Nissan March bertransmisi Manual 77 dan 6 (enam) unit mobil Nissan March bertransmisi Otomatis yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 November 2010 dengan menempuh rute Jakarta – Cikampek – Kanci – Ajibarang – Gombong – Petanahan – Wates – Yogyakarta, yang diikuti oleh perwakilan dari sekitar 29 (dua puluh sembilan) media cetak dan elektronik; 2.5. Bahwa Termohon menyatakan apa yang diiklankan oleh Pemohon bahwa konsumsi BBM Nissan March Matic hasil pemakaian di dalam kota adalah 18,5 km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami Termohon setelah pemakaian produk kurang lebih 1-2 bulan, didasarkan Termohon pada pemberitaan-pemberitaan (bukan iklan) sebagai berikut : ï‚· Pemberitaan yang berjudul “First Impressions Trying Nissan March” di www.kompas.com edisi 15 November 2010; ï‚· Pemberitaan yang berjudul “Konsumsi BBM Nissan March Matic 18,5 km/liter” di www.detikhot.com edisi 15 November 2010; ï‚· Pemberitaan yang berjudul “Nissan March, Lincah Saat Dikebut” di www.investor.co.id edisi 18 Januari 2011. 2.6. Bahwa sebagai bentuk apresiasi layanan Pemohon terhadap konsumennya in casu Termohon, pada tanggal 14 Juli 2011 Pemohon telah melakukan pemeriksaan sesuai standar terhadap produk a quo yang telah dipakai Termohon selama kurang lebih 12 bulan, dan hasilnya produk a quo dinyatakan tidak bermasalah. 78 Adapun pemeriksaan/pengetesan tersebut dilakukan dengan menggunakan bahan bakar Shell, start dari SPBU Shell Ciputat jam 11.05 wib menuju gardu Tol Ciputat melalui Jalan Tol Lingkar Luar hingga gardu Tol Rototan (PP) dan kembali ke SPBU Shell Ciputat pada pukul 12.38 wib. Dengan total jarak tempuh 80 km, waktu tempuh 1 jam 33 menit, rata-rata kecepatan 51,60 km/jam, total isi bahan bakar 3,19 liter, diketahui konsumsi BBM produk a quo adalah 25,07 km/liter; 3. Amar Putusan Arbitrase BPSK (Putusan Arbitrase BPSK Nomor 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012) 3.1. Menyatakan klaim iklan Nissan march yang menyatakan konsumsi BBM jarak tempuh/km melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 3.2. Mengabulkan Gugatan Pemohon untuk sebagian; 3.3. Menyatakan transaksi mobil Nissan March dibatalkan; 3.4. Memerintahkan kepada Pihak Pemohon untuk menyerahkan mobil Nissan March dan Pihak Termohon (PT. Nissan Motor Indonesia) mengembalikan uang pembelian mobil sebesar Rp. 150.000.000,(seratus lima puluh juta rupiah) dengan tunai. 4. Keberatan terhadap Putusan BPSK Bahwa Pemohon dengan ini secara tegas menyatakan keberatan atas Putusan Arbitrase BPSK No.: 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012 tanggal 16 79 Februari 2012 yang secara nyata telah lalai menerapkan hukumnya dalam memberikan pertimbangan hukum atas perkara a quo. 4.1. Pemohon Keberatan atas Pertimbangan Hukum Majelis BPSK Provinsi DKI Jakarta yang menyatakan “Bahwa Pemohon menentukan untuk membeli Nissan March, salah satu pertimbangannya adalah karena tertarik dengan iklan Nissan March, baik di surat kabar maupun media online internet, bahwa konsumsi BBM Nissan March adalah 18,5 km/liter. Bahwa setelah Pemohon menggunakan Nissan March kurang lebih 1-2 bulan, Pemohon menyampaikan ke Pihak Nissan Warung Buncit, bahwa menurut perhitungan Pemohon, rata-rata konsumsi BBM jauh berbeda/di bawah dengan iklan pada iklan Nissan March di surat kabar/internet. Dan atas pertimbangan tersebut, Pemohon membatalkan pembelian Mobil Nissan March dan meminta uang pengembalian mobil sebesar RP. 159.000.000,00 (seratus lima puluh sembilan juta rupiah)”. 4.1.1. Bahwa berdasarkan fakta hukum, yang menjadi pokok perkara a quo adalah dalil Termohon yang menyatakan telah dirugikan oleh Pemohon karena apa yang diiklankan oleh Pemohon terkait dengan produk Nissan March baik di surat kabar maupun internet bahwa konsumsi BBM Nissan March Matic hasil pemakaian di dalam kota adalah 18,5 km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami 80 Termohon setelah pemakaian produk a quo kurang lebih 12 bulan. Adapun dalil Termohon tersebut didasarkan pada pemberitaan-pemberitaan (bukan iklan) sebagai berikut : ï‚· Pemberitaan yang berjudul “First Impressions Trying Nissan March” di www.kompas.com edisi 15 November 2010; ï‚· Pemberitaan yang berjudul “Konsumsi BBM Nissan March Matic 18,5 km/liter” di www.detikhot.com edisi 15 November 2010; ï‚· Pemberitaan yang berjudul “Nissan March, Lincah Saat Dikebut” di www.investor.co.id edisi 18 Januari 2011. 4.1.2. Bahwa merupakan fakta hukum, Pemohon tidak pernah mengiklankan bahwa konsumsi BBM Nissan March Matic hasil pemakaian di dalam kota adalah 18,5 km/liter. Informasi konsumsi BBM Nissan March merupakan hasil test drive 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi Manual dan 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi Otomatis yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 November 2010 dengan menempuh rute Jakarta-Cikampek-KanciAjibarang-Gombong-Petanahan-Wates-Yogyakarta, yang diikuti oleh perwakilan dari sekitar 29 (dua puluh sembilan) media cetak dan elektronik, yang kemudian dibuat 81 pemberitaannya oleh media cetak dan elektronik tersebut. Jadi jelas itu adalah pemberitaan, bukan iklan. 4.1.3. Bahwa merupakan fakta hukum, pada tanggal 14 Juli 2011 Pemohon telah melakukan pemeriksaan sesuai standar terhadap produk a quo yang telah dipakai Termohon selama kurang lebih 1-2 bulan, dan hasilnya produk a quo dinyatakan tidak pemeriksaan/pengetesan bermasalah. tersebut dilakukan Adapun dengan menggunakan bahan bakar Shell, start dari SPBU Shell Ciputat jam 11.05 wib menuju gardu Tol Ciputat melalui Jalan Tol Lingkar Luar hingga gardu Tol Rorotan (PP) dan kembali ke SPBU Shell Ciputat pada pukul 12.38 wib. Dengan total jarak tempuh 8 km, waktu tempuh 1 jam 33 menit, rata-rata kecepatan 51,60 km/jam, total isi bahan bakar 3,19 liter, diketahui konsumsi BBM produk a quo adalah 25,07 km/liter. 4.2. Pemohon Keberatan atas pertimbangan hukum Majelis BPSK Provinsi DKI Jakarta yang menyatakan “Bahwa dengan memperhatikan fakta-fakta di atas, keberadaan klaim iklan Nissan March menggunakan konsumsi BBM untuk jarak tempuh/km melanggar Ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c.” 82 4.2.1. Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : - huruf (k) : menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.” 4.2.2. Bahwa Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi “Pelaku usaha dalam menawarkan, barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : - huruf c : kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas sesuatu barang dan/atau jasa.” 4.2.3. Bahwa berdasarkan fakta hukum, Pemohon tidak pernah menawarkan, tidak pernah mempromosikan, tidak pernah mengiklankan produk a quo secara tidak benar, dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti dan atau menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas produk a quo. 83 4.2.4. Bahwa Majelis BPSK Priovinsi DKI Jakarta menggunakan pemberitaan-pemberitaan (bukan iklan) sebagai berikut : ï‚· Pemberitaan yang berjudul “First Impressions Trying Nissan March” di www.kompas.com edisi 15 November 2010; ï‚· Pemberitaan yang berjudul “Konsumsi BBM Nissan March Matic 18,5 km/liter” di www.detikhot.com edisi 15 November 2010; ï‚· Pemberitaan yang berjudul “Nissan March, Lincah Saat Dikebut” di www.investor.co.id edisi 18 Januari 2011. yang diajukan Termohon sebagai bukti dan dasar satusatunya alasan pengaduannya ke BPSK Provinsi DKI Jakarta, yang kemudian oleh Majelis BPSK Provinsi DKI Jakarta dijadikan sebagai dasar pertimbangan hukum dalam mengambil putusan dengan menetapkan Pemohon telah melanggar Ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c, tentulah pertimbangan hukum tersebut sangat keliru dan tidak berdasarkan hukum serta secara nyata-nyata salah. Karena ketiga bukti itu adalah murni bentuknya pemberitaan, bukan iklan/penawaran. Sangat berbeda makna dan pengertian antara iklan dengan pemberitaan. Pemberitaan adalah 84 produk jurnalistik yang menjadi domain media yang bersangkutan dan otonom tanpa mendapatkan pembayaran, sedangkan iklan adalah produk informasi yang disiarkan oleh media sesuai dengan pesanan pemasang iklan dengan membayar sejumlah uang kepada media yang memasangnya. 4.3. Bahwa perbuatan Termohon yang mengajukan tiga pemberitaan sebagai bukti sebagaimana dimaksud dalam dalil butir 4.2.4 yang diklaim dan diakui serta dinyatakan sebagai iklan adalah nyatanyata merupakan tipu muslihat Termohon mengelabui Majelis Hakim sehingga akhirnya Majelis Hakim terkelabui dalam mengambil keputusan dengan menyatakan bahwa perbuatan Pemohon melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 5. Petitum/Tuntutan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar memberikan putusan sebagai berikut : 5.1. Menerima Gugatan Pemohon untuk seluruhnya; 5.2. Membatalkan Putusan Arbitrase BPSK No.: 099/Pts.A/BPSKDKI/II/2012 tanggal 16 Februari 2012; 85 5.3. Menyatakan Putusan Arbitrase BPSK No.: 099/Pts.A/BPSKDKI/II/2012 tanggal 16 Februari 2012 tidak berkekuatan hukum; 5.4. Menghukum Termohon semula Pemohon untuk membayar biaya perkara. 5.5. Atau apabila Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain, maka Pemohon dengan ini mohon putusan yang seadil-adilnya. 6. Amar Putusan Pengadilan Tingkat Pertama (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 130/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel) 6.1. Menolak Permohonan Pemohon tersebut; 6.2. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.316.000,00 (tiga ratus enam belas ribu rupiah). 7. Alasan Pengajuan Kasasi 7.1. Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam proses persidangan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut “BPSK”) Provinsi DKI Jakarta dan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan; 7.2. Bahwa Pemohon Kasasi keberatan atas amar putusan Judex Facti yang menolak Permohonan Pemohon tersebut. Sebab berdasarkan fakta hukum, perkara a quo adalah perkara gugatan perdata bukan permohonan. Itulah sebabnya di dalam register perkara jelas ditulis Perkara Perdata Nomor : 130/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel. Jika perkara a 86 quo adalah berbentuk permohonan maka dalam register perkara akan tertulis Permohonan Nomor : 130/Pdt.P/2012/PN.Jkt.Sel. Dengan demikian berdasarkan fakta hukum sebagaimana tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan isi amar putusan Judex Facti yang menyatakan “Menolak Permohonan Pemohon” tersebut adalah keliru dan karenanya patut dibatalkan; 7.3. Bahwa pada tanggal 18 Oktober 2011, Termohon Kasasi telah mengadukan Pemohon Kasasi ke BPSK, dengan pokok perkara dan tuntutan hukum, bahwa Termohon Kasasi sebagai konsumen merasa dirugikan oleh Pemohon Kasasi, karena menurut Termohon Kasasi apa yang diiklankan oleh Pemohon Kasasi terkait dengan iklan (quod non) produk Nissan March, bahwa konsumsi BBM Nissan March Matic hasil pemakaian dalam kota adalah 18,5 km/liter, tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami Termohon Kasasi setelah memakai produk Nissan March selama kurang lebih 1-2 bulan; 7.3.1. Bahwa sesungguhnya Pemohon Kasasi tidak pernah mengiklankan mengenai jumlah konsumsi BBM Nissan March tersebut. Informasi mengenai konsumsi BBM Nissan March sebenarnya berasal dari artikel dan/atau berita yang ditulis oleh perwakilan dari sekitar 29 (dua puluh sembilan) media cetak dan elektronik, berdasarkan pada hasil testdrive 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi manual 87 dan 6 (enam) unit mobil Nissan March bertranmisi otomatis yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 November 2010; 7.3.2. Di dalam persidangan baik dalam persidangan BPSK maupn persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa dasar dari dalaildalil Termohon Kasasi dalam pengaduan ke BPSK tersebut sebenarnya berasal dari artikel yang ditulis media, bukan iklan atau advertorial dari Pemohon Kasasi selaku pelaku usaha. Adapun artikel-artikel dimaksud adalah sebagai berikut : ï‚· Artikel di www.kompas.com edisi tanggal 15 November 2010, berjudul : “First Impressions Trying Nissan March”; ï‚· Artikel di www.detikhot.com edisi tanggal 15 November 2010, berjudul : “Konsumsi BBM Nissan March Matic 18,5 km/liter”; ï‚· Artikel di www.investor.co.id edisi tanggal 18 Januari 2011, berjudul : “Nissan March, Lincah Saat Dikebut”; (selanjutnya disebut sebagai “Artikel-artikel”) 7.3.3. Bahwa makna dan pengertian antara iklan dengan artikel atau pemberitaan adalah sangat berbeda, dimana artikel atau pemberitaan adalah produk jurnalistik yang menjadi domain media yang bersangkutan dan otonom tanpa mendapatkan 88 pembayaran, sedangkan iklan adalah produk informasi yang disiarkan oleh media sesuai dengan pesanan pemasang iklan dengan membayar sejumlah uang kepada media yang memasangnya; Perbuatan Termohon Kasasi yang mengajukan artikelartikel yang diklaim dan diakui serta dinyatakan sebagai iklan, semata-mata hanyalah untuk mengelabui dan membingungkan Judex Facti mengambil kesimpulan yang sesuai dengan keinginan Termohon Kasasi; 7.3.4. Bahwa sesungguhnya Pemohon Kasasi selaku pelaku usaha telah menanggapi keluhan Termohon Kasasi tersebut di atas dengan melakukan pemeriksaan sesuai standar terhadap produk Nissan March yang telah dipakai Termohon Kasasi selama kurang lebih 1-2 bulan lamanya tersebut, dan hasilnya produk a quo dinyatakan tidak bermasalah. Bahkan Pemohon Kasasi bersama-sama dengan Termohon Kasasi, juga telah melakukan test-drive menggunakan Nissan March milik Termohon Kasasi sesuai dengan cara yang tertera pada artikel-artikel tersebut di atas, yang hasilnya adalah sebagai berikut : ï‚· Test-drive I tanggal 5 April 2011 1 liter untuk 18 km ï‚· Test-drive II tanggal 14 Mei 2011 1 liter untuk 17 km ï‚· Test-drive III tanggal 14 Juli 2011 1 liter untuk 22,7 km, 89 dimana Pemohon Kasasi menolak ikut. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hasil test drive tersebut di atas, terbukti bahwa produk Nissan March milik Termohon Kasasi sudah sesuai dengan keterangan-keterangan yang terdapat dalam artikel-artikel tersebut, namun ternyata Judex Facti mengabaikan pemeriksaan dan hasil test-drive tersebut dan tidak mempertimbangkannya dalam Putusan. 7.4. Bahwa Judex Facti salah menerapkan hukum pembuktian karena terbukti tidak ada satupun bukti-bukti Termohon Kasasi yang mendukung dalil-dalil Termohon Kasasi yang menyatakan bahwa Termohon Kasasi menggunakan produk Nissan March di bawah 1 liter untuk 18,5 km. 7.4.1. Bahwa jika dicermati dengan seksama, berdasarkan buktibukti yang diajukan oleh Termohon Kasasi dalam perkara a quo, ternyata selain bukti kepemilikan kendaraan, Termohon Kasasi hanya menunjukkan bukti berupa artikelartikel yang memberitakan mengenai produk Nissan March semata, namun tidak ada bukti nyata yang membenarkan dan/atau menunjukkan bahwa Termohon Kasasi dalam mengendarai produk Nissan March membutuhkan konsumsi BBM kurang dari 18,5 km/liter. 7.4.2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 huruf d Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia 90 Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen secara tetulis, harus memuat secara benar dan lengkap mengenai bukti perolehan, baik berupa bon, faktur, kwitansi maupun dokumen bukti lain, sebagaimana terkutip sebagai berikut : “Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai : a. Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris dan kuasanya disertai bukti diri; b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha; c. Barang atau jasa yang diadukan; d. Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi dan dokumen bukti lain); e. Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut; f. Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh; g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.” 7.4.2.1. Bahwa dalam perkara a quo, Termohon Kasasi terbukti tidak dapat menunjukkan adanya bukti perolehan berupa bon, faktur, kwitansi dan 91 dokumen bukti lain, yang dapat membuktikan dan membenarkan bahwa Termohon Kasasi selama 12 bulan memakai produk Nissan March membutuhkan konsumsi BBM kurang dari 18,5 km/liter; 7.4.2.2. Bahwa sedangkan keterangan saksi Aryo Wirawarman, selaku konsumen yang katanya memiliki produk Nissan March, tidak dapat dianggap sebagai bagian dari pembuktian, karena saksi Aryo Wirawarman dihadirkan sebagai pemilik Nissan March, tetapi menunjukkan STNK ataupun menunjukkan bahwa saksi tidak dapat BPKB yang adalah pemilik. Bagaimana keterangannya dapat diberikan beban sebagai suatu kesaksian ?. Lagi pula, kekuatan pembuktian dari kesaksian seorang saksi saja tidak didukung dengan alat bukti lainnya tidak dapat dianggap sempurna (asas unus testis nullus testis). Pasal 1905 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi : “Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya”. 92 7.4.2.3. Bahwa tidak adanya membenarkan Termohon dan Kasasi bukti yang menguatkan dalam dapat dalil-dalil perkara a quo, sebenarnya juga telah diakui oleh Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya yang terdapat pada paragraf 1 dan paragraf 2 halaman putusan Judex Facti yang masing-masing berbunyi sebagai berikut : Paragraf 1 halaman 34 Putusan Judex Facti “Menimbang, bahwa dipersidangan telah pula didengar keterangan saksi Aryo Wirawarman yang menerangkan bahwa saksi juga pemilik mobil Nissan March sebagaimana dalam bukti T14 namun saksi tidak membawa STNK dan BPKBnya”; Paragraph 2 halaman 34 Putusan Judex Facti “Menimbang, bahwa dari bukti-bukti Termohon (baca : Termohon Kasasi) tersebut di atas, Majelis Hakim menilai hanya sebagai brosur, booklet, artikel, korespondensi iklan antara Nissan March Termohon dan (baca : Termohon Kasai) dengan Dino Apriadi Gautama, sedangan keterangan saksi (baca : Aryo 93 Wirawarman) hanya untuk kendaraannya sendiri”. Dengan demikian, terbukti tidak ada satupun saksi maupun bukti yang diajukan oleh Termohon Kasasi dalam perkara a quo, yang menguatkan dalil-dalil Termohon Kasasi, yang menyatakan bahwa konsumsi BBM Nissan March milik Termohon Kasasi kurang dari 18,5 km/liter, sehingga sudah seharusnya apabila Majelis Hakim Tingkat Kasasi menolak atau setidaktidaknya menyatakan pengaduan Termohon Kasasi dalam perkara a quo tidak dapat diterima. 7.5. Judex Facti salah menerapkan hukum karena mempertimbangkan artikel-artikel sebagai iklan yang dibuat oleh Pemohon Kasasi. 7.5.1. Bahwa Pemohon Kasasi juga menolak dengan tegas pertimbangan hukum Majelis BPSK Provinsi DKI Jakarta, yang pada intinya menyatakan bahwa Pemohon Kasasi telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c, karena tidak berdasar hukum, keliru dan nyata-nyata salah. 7.5.2. Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan 94 bahwa “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti”; 7.5.3. Bahwa Pasal 10 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan bahwa “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan menawarkan, untuk diperdagangkan mempromosikan, dilarang mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa”. 7.5.4. Bahwa Pemohon Kasasi sama sekali tidak pernah menawarkan, tidak pernah mempromosikan dan tidak pernah mengiklankan produk secara tidak benar, dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti dan/atau menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang benar atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas produk-produk Pemohon Kasasi, termasuk namun tidak terbatas produk Nissan March; 7.5.5. Bahwa artikel-artikel tersebut di atas yang diajukan oleh Termohon Kasasi sebagai bukti dan dasar satu-satunya 95 alasan pengaduan Termohon Kasasi ke BPSK DKI Jakarta, yang kemudian dijadikan sebagai dasar pertimbangan hukum oleh BPSK DKI Jakarta dalam mengambil Putusan, dengan menyatakan bahwa Pemohon Kasasi telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sangat keliru dan tidak berdasar hukum, karena jelas artikel-artikel tersebut di atas bukanlah iklan, melainkan pemberitaan yang ditulis oleh para wartawan media itu sendiri dengan otonom berdasarkan kenyataan yang mereka alami sendiri saat mengikuti test drive yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 November 2010; 7.5.6. Bahwa hal tersebut sesuai dengan keterangan FX. Ridwan Handoyo, yang menyatakan bahwa artikel-artikel tersebut di atas, yang menjadi bukti dalam perkara a quo, adalah merupakan kategori berita dan bukan iklan karena tidak ada transaksi ekonomi dan ada nama wartawan yang tercantum sebagai penulisnya; Bahwa dengan demikian, Majelis Hakim Kasasi Yang Terhormat, bahwa perbuatan Termohon Kasasi yang mengklaim, mengakui serta menyatakan pemberitaan yang terdapat dalam artikel-artikel tersebut sebagai iklan inilah yang Pemohon Kasasi maksud sebagai bentuk dari bagian 96 suatu tipu muslihat Termohon Kasasi untuk mengelabui Judex Facti dalam perkara a quo sehingga salah dalam mempertimbangkan dan mengambil keputusan. Dengan demikian secara sah dan meyakinkan bahwa putusan arbitrase a quo sangat beralasan hukum untuk dibatalkan sesuai dengan ketentuan Pasal 70 dan Penjelasan Umum alinea ke-18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur tentang alasan pembatalan putusan arbitrase. 7.6. Judex Facti salah menerapkan hukum karena tidak konsisten dalam mempertimbangkan bukti-bukti pada perkara a quo. BPSK Provinsi DKI Jakarta sendiri terbukti tidak yakin dengan keputusannya. 7.6.1. Bahwa BPSK Provinsi DKI Jakarta dalam mempertimbangkan pada paragraf 1 halaman 5 Putusan Arbitrase, yang juga dijadikan bukti dalam perkara a quo, ternyata juga tidak merasa yakin akan perbedaan hasil pengujian konsumsi BBM Nissan March sehingga membutuhkan pengujian dari pihak ketiga/independent, sebagaimana terkutip sebagai berikut : “Bahwa dalam hal adanya perbedaan hasil pengujian, untuk menjaga independensi hasil pengujian/tidak ada conflict of 97 interest, perlu adanya pengujian dari pihak ketiga/independent yang disepakati oleh kedua belah pihak Pemohon dan Termohon (PT. NMI) menyangkut metode pengujian dan pihak yang melaksanakan pengujian”; 7.6.2. Bahwa hingga saat ini tidak ada pihak ketiga/independent yang telah ditunjuk menyangkut metode untuk melaksanakan pengujian dan pengujian pihak yang melaksanakan pengujian dimaksud, sehingga belum ada hasil pengujian yang dapat membuktikan dan/atau membenarkan dalil-dalil yang diajukan Termohon Kasasi dalm perkara a quo. 7.6.3. Bahwa namun demikian, BPSK Provinsi DKI Jakarta dalam Putusannya ternyata serta merta menyatakan Pemohon Kasasi bersalah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar sejumlah uang ke Termohon Kasasi, walaupun belum ada hasil pengujian yang membuktikan bersalah tidaknya Pemohon Kasasi dalam perkara a quo. 7.6.4. Bahwa ketidakkonsistenan Judex Facti dalam perkara a quo juga tercermin pada pertimbangan hukumnya dalam Putusan, dimana pada satu sisi Judex Facti mempertimbangkan keterangan ahli FX. Ridwan Handoyo 98 yang menyatakan bahwa artikel-artikel yang menjad bukti dalam perkara a quo, adalah merupakan kategori berita dan bukan iklan, dan menilai bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh Temohon Kasasi hanya sebagai brosur, booklet, artikel, iklan Nissan March dan korespondensi antara Termohon Kasasi dengan Dino Apriadi Gautama, namun di sisi lain Judex Facti ternyata menolak permohonan kasasi Pemohon Kasasi. 7.6.5. Bahwa hal tersebut membuktikan ketidakkonsistenan Judex Facti dalam menerapkan hukum, dimana pada satu sisi Judex Facti telah memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum yang menyatakan tidak ada bukti Termohon Kasasi yang dapat membuktikan dan/atau menunjukkan kesalahan Pemohon Kasasi dalam perkara a quo, akan tetapi di sisi lain Judex Facti ternyata menerimaan pengaduan Termohon Kasasi dan menghukum Pemohon Kasasi, tanpa didasari bukti yang seharusnya diajukan oleh Temohon Kasasi. Bahwa dengan demikian menjadi sangat beralasan untuk membatalkan putusan arbitrase dimaksud sesuai dengan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur tetang alasan pembatalan putusan arbitrase. 99 7.7. Judex Facti salah menerapkan hukum karena tidak mempertimbangkan korelasi antara bukti-bukti yang diajukan dengan keterangan ahli dalam perkara a quo. 7.7.1. Bahwa Judex Facti dalam Putusan a quo terbukti tidak mempertimbangkan korelasi antara bukti-bukti yang ada dengan keterangan ahli dalam perkara a quo. Bahwa terbukti tidak ada satupun dari bukti yang diajukan Termohon Kasasi tersebut, yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil Termohon Kasasi dalam perkara a quo. 7.7.2. Bahwa selain itu, keterangan ahli FX. Ridwan Handoyo dalam perkara a quo juga menyatakan bahwa bukti-bukti yang diajukan Termohon Kasasi telah salah dipertimbangkan, dimana artikel/berita dipertimbangkan sebagai iklan. 7.7.3. Bahwa apabila bukti dan keterangan ahli tersebut dipertimbangkan secara bersama-sama, maka tidak ada kesalahan Pemohon Kasasi dalam perkara a quo yang dapat dibuktikan dengan Termohon Kasasi, dan Judex Facti tidak memiliki landasan juridis bagi pertimbangan putusannya. 7.7.4. Bahwa dengan mempertimbangannya bukti-bukti yang tidak terbukti kebenarannya tersebut menunjukkan bahwa Judex Facti telah salah serta melanggar prinsip pembuktian 100 untuk memberi landasan juridis bagi pertimbangan putusannya. Ini juga berarti Judex Facti tidak cukup cermat dalam memeriksa perkara a quo. Hal tersebut sejalan dengan doktrin hukum Prof. Soedikno Mertokusumo, yang dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa “Pada hakikatnya membuktikan dalam arti juridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara bersangkutan, guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di persidangan”. Bahwa dengan fakta-fakta di atas, jelas terbukti bahwa pertimbangan Judex Facti tidak didasari oleh bukti-bukti yang tidak benar, dan karenanya menunjukkan bahwa Judex Facti tidak memberi dasar hukum yang cukup bagi Putusan a quo dan sekaligus merupakan pelanggaran terhadap asas pembuktian yang menyebabkan Putusan a quo cacat hukum dan karenanya harus dibatalkan, karena sudah memenuhi makna pembuktian yang dimaksudkan dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur tentang alasan pembatalan putusan arbitrase. 8. Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung 8.1. Bahwa terhadap keberatan-keberatan Pemohon Kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dengan seksama 101 memori kasasi tanggal 14 Mei 2012 dan kontra memori kasasi tanggal 8 Juni 2012 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ternyata tidak salah menerapkan hukum dan telah memberi pertimbangan yang cukup dan benar, dengan pertimbangan sebagai berikut : 8.1.1. Bahwa fakta-fakta yang terungkap di persidangan ternyata pelaku usaha i.c. PT. Nissan Motor Indonesia terbukti melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu menawarkan sesuatu janji atau kondisi yang tidak benar dan menyesatkan; 8.1.2. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf c Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 putusan Arbitrase BPSK hanya dapat dibatalkan apabila terpenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase. Dalam pemeriksaan di persidangan Pemohon Keberatan/Pemohon Kasasi tidak dapat memberikan bukti dalam bentuk putusan pengadilan yang menunjukkan bahwa putusan BPSK diambil atas dasar tipu muslihat yang dilakukan oleh Termohon Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 70 huruf c Undang-Undang Arbitrase; 102 8.2. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 130/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel. tanggal 17 April 2012 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, oleh itu permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. NISSAN MOTOR INDONESIA tersebut harus ditolak; 8.3. Bahwa karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Pemohon Keberatan ditolak, maka Pemohon Kasasi/Pemohon Keberatan harus dihukum untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi. 9. Diktum Putusan Mahkamah Agung 9.1. Menolak permohonan dari Pemohon Kasasi PT. NISSAN MOTOR INDONESIA tersebut; 9.2. Menghukum Pemohon Kasasi/Pemohon Keberatan untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). B. Pembahasan Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha salah satunya diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut memuat mengenai hak, kewajiban, dan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Hal ini bertujuan agar pelaku usaha mengerti apa yang menjadi hak, kewajiban dan perbuatan yang dilarang dalam menjalankan kegiatan usaha mereka. Kenyataannya, tidak semua 103 pelaku usaha mengerti tentang hal tersebut sehingga masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang kemudian menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud bisa dalam bentuk tidak melaksanakan apa yang telah diwajibkan dalam peraturan perundangundangan atau sebaliknya melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang sebagaimana yang diatur dalam Bab IV mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha Pasal 8 sampai Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Nurmadjito, kualifikasi terhadap larangan pelaku usaha dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertujuan : “untuk mengupayakan terciptanya tertib perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat. Ketertiban tersebut sebagai bentuk perlindungan konsumen, karena larangan itu untuk memastikan bahwa produk yang diperjualbelikan dalam masyarakat dilakukan dengan cara tidak melanggar hukum. Seperti praktek menyesatkan pada saat menawarkan, mempromosikan, mengiklankan memperdagangkan atau mengedarkan produk barang dan/atau jasa yang palsu, atau hasil dari suatu kegiatan pembajakan.”54 Kasus sengketa konsumen antara Ludmilla Arif selaku konsumen dan PT. Nissan Motor Indonesia selaku pelaku usaha setelah diadili ditingkat kasasi, menyatakan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia terbukti melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Putusan Mahkamah Agung ini 54 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 18. 104 sekaligus menguatkan Putusan BPSK dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam gugatan yang sama. Sengketa konsumen ini bermula dari adanya hubungan hukum yang berasal dari perjanjian jual beli antara PT. Nissan Motor Indonesia dengan Ludmilla Arif. Hubungan hukum adalah sebuah perikatan antara dua pihak, dimana disatu pihak ada hak dan dipihak lain ada kewajiban. Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., : “perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli”.55 Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.2., 2.5. dan 3.3. dihubungkan dengan Pasal 1457 KUHPerdata dan pendapat Salim H.S., SH., M.S., ada suatu hubungan hukum jual beli antara PT. Nissan Motor Indonesia dengan Ludmila Arif. Data tersebut menyebutkan bahwa Ludmilla Arif selaku konsumen telah dirugikan oleh PT. Nissan Motor Indonesia terkait dengan produk Nissan March yang tidak sesuai dengan apa yang diiklankan setelah pemakaian produk kurang lebih 1-2 bulan dan pada data selanjutnya telah disampaikan adanya transaksi mobil Nissan March. Pada jual beli, transaksi 55 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 49. 105 merupakan suatu bentuk persetujuan dari perjanjian jual beli yang sebelumnya telah disepakati oleh para pihak. Pihak pada perjanjian jual beli dalam pemenuhan prestasinya masingmasing diberi hak dan kewajiban oleh pembentuk undang-undang. Secara umum penjual berhak menerima harga barang yang telah dijualnya dari pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak dan kewajiban penjual yaitu menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. Kewajiban penjual yang diatur dalam Pasal 1474 KUHPerdata, yaitu : “Ia mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya.” Menurut Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan sesuatu (Pasal 1235 KUHPerdata) dan ketentuan yang diatur secara khusus dalam ketentuan jual beli (Pasal 1474 KUHPerdata), penjual memiliki 3 (tiga) kewajiban pokok mulai dari sejak jual beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata. Menurut ketentuan tersebut, secara prinsip penjual memiliki kewajiban untuk : 1. Memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkan kepada pembeli hingga saat penyerahannya. 2. Menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telah ditentukan, atau jika tidak telah ditentukan saatnya, atas permintaan pembeli. 3. Menanggung kebendaan yang dijual tersebut. Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.2., 2.3. dihubungkan dengan Pasal 1474 KUHPerdata serta pendapat Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi dapat dideskripsikan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia telah menerima haknya sebagai pelaku usaha karena adanya pembayaran sejumlah 106 uang oleh Ludmilla Arif atas pembelian Mobil Nissan March, namun PT. Nissan Motor Indonesia tidak memenuhi kewajibannya untuk menanggung kebendaan yang dijualnya karena adanya ketidaksesuaian antara iklan dengan kenyataan berkaitan dengan konsumsi BBM. Berkaitan dengan pengaturan mengenai hak dan kewajiban pembeli, Pasal 1513 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian”. Hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang yang telah dibelinya dari penjual. Penyerahan oleh penjual kepada pembeli menurut Pasal 1459 KUHPerdata merupakan cara peralihan hak milik dari kebendaan yang dijual tersebut. Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.2., 3.3., dan 3.4., apabila dikaitkan dengan Pasal 1513 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa Ludmilla Arif telah melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya dan telah pula menerima haknya berupa penyerahan barang yaitu Mobil Nissan March yang telah dibelinya. Kegiatan jual beli dalam prakteknya tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Baik penjual maupun pembeli tidak jarang melakukan wanprestasi dengan alasan apapun. Berkaitan dengan hal ini maka perlu adanya suatu pertanggungjawaban apabila terjadi wanprestasi. Secara umum wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu pelaksanaan 107 kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya dengan yang diperjanjikan. Wanprestasi seorang debitur (si berutang) dapat berupa :56 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Akibat wanprestasi bagi debitur yaitu ia berkewajiban untuk bertanggungjawab dalam bentuk pemberian ganti rugi. Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.1., 2.2., dan 4.2.4. dikaitkan dengan Pasal 1458 KUHPerdata dan Pasal 1474 KUHPerdata dapat dideskripsikan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Ludmilla Arif karena ketidaksesuaian informasi mengenai penggunaan BBM produk Nissan March. Ganti rugi yang diberikan senilai dengan kerugian-kerugian nyata yang ditimbulkan akibat terjadinya wanprestasi. Mengenai penuntutan ganti rugi telah diatur oleh UndangUndang dengan tujuan untuk memberikan batasan terhadap apa saja yang dapat dituntut sebagai ganti rugi. Ketentuan tentang tanggung jawab PT. Nissan Motor Indonesia sebagai penjual yang disebutkan di atas kemudian dapat dihubungkan dengan Pasal 9 ayat 1 huruf k dan Pasal 10 huruf c serta Pasal 4 huruf c terkait dengan informasi yang dirumuskan dalam UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 56 Ibid, hal. 60. 108 Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : ”Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : (k) menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.” Unsur-unsur dari Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di atas yaitu : 1. Pelaku usaha Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. 2. Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah Larangan bagi pelaku usaha yang dimaksudkan dalam unsur ini yaitu bahwa dalam menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa pelaku usaha harus menyampaikanya secara benar dan sesuai dengan keadaan barang dan/atau jasa tersebut. Tujuannya agar konsumen mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan kebutuhan mereka setelah mengetahuinya melalui informasi yang didapat pada tahapan pratransaksi. Pelaku usaha dalam menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa dapat disampaikan melalui 109 berbagai macam media pemasaran, antara lain melalui brosur, iklan baik di media cetak, elektronik, maupun internet yang dapat dengan mudah diakses oleh konsumen. Kata seolah-olah mengandung arti bahwa barang atau jasa yang ditawarkan, diproduksi atau diiklankan adalah tidak sama atau tidak sesuai dengan yang ditawarkan, diproduksi atau diiklankan agar konsumen tertarik untuk membeli atau mengkonsumsi barang tersebut. Pelaku usaha mempunyai maksud agar konsumen percaya atas barang yang dijual padahal tidak demikian kondisi atau kualitas barang tersebut. Cara-cara yang digunakan tersebut disatu sisi memang menguntungkan pelaku usaha namun disisi lain sangat merugikan konsumen karena informasi mengenai suatu barang dan/atau jasa yang akan mereka konsumsi tidak sesuai dengan kondisi barang yang sebenarnya. Menjual barang yang tidak sesuai dengan kondisi barang yang sebenarnya berkaitan dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen merupakan pelanggaran terhadap asas itikad baik dalam melakukan perjanjian. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik pada perjanjian jual beli berkaitan dengan hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yaitu para pihak dalam perjanjian jual beli harus melaksanakan isi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan dan kemauan baik dari para pihak. 110 3. Menawarkan sesuatu janji yang belum pasti Pelaku usaha dalam tahapan pratransaksi pada saat melakukan penawaran kepada konsumen sudah tentu akan menyampaikan informasi mengenai barang/dan atau jasa yang mereka produksi. Pada tahapan ini informasi yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui media-media pemasaran terutama mengenai kelebihan suatu produk tersebut dapat dikatakan sebagai janji dari pelaku usaha kepada konsumen. “hakekat iklan dalam kerangka perlindungan konsumen merupakan janji dari pihak yang mengumumkan, dengan demikian iklan dalam berbagai bentuknya mengikat pihak yang mengumumkan dengan segala akibatnya.”57 Berdasarkan janji-janji tersebut, konsumen akan dapat menilai kejujuran pelaku usaha dalam menyampaikan informasi produk melalui iklan. Janji merupakan daya tarik yang kuat untuk mendorong orang membaca iklan tersebut dan produk yang diiklankan akan cepat berpindah ke tangan pembeli, sehingga janji yang disampaikan melalui media iklan harus didukung oleh kegunaan atau manfaat yang dapat diperoleh konsumen dengan membeli produk yang diingikan. Berdasarkan data hasil penelitian nomor 4.1.1., 4.2., 4.2.4., dan 7.3. dapat dideskripsikan bahwa apa yang dilakukan oleh PT. Nissan Motor Indonesia sudah memenuhi unsur-unsur pada Pasal 9 ayat (1) huruf Undang-Undang 57 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Op.cit., hal. 19. 111 No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam hal ini berkaitan dengan kegiatan pelaku usaha yang dilarang menawarkan, mempromosikam, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolaholah menawarkan suatu janji yang belum pasti. PT. Nissan Motor Indonesia dalam kegiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan mobil Nissan March di surat kabar maupun internet menyatakan bahwa konsumsi BBM Nissan March adalah 18,5 km/liter yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami Termohon setelah pemakaian produk kurang lebih 1-2 bulan. Pernyataan yang disampaikan oleh PT. Nissan Motor Indonesia mengenai penggunaan BBM yang irit merupakan suatu bentuk janji dari pelaku usaha kepada konsumen dan dijadikan sebagai alasan konsumen untuk membeli mobil tersebut. Apabila janji tersebut tidak sesuai dengan kenyataan maka dapat dijadikan alasan bagi konsumen untuk meminta agar jual beli dibatalkan atau bahkan mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi ke pengadilan. Pelaku usaha dalam menyampaikan informasi kepada konsumen tidak hanya mempertimbangkan keuntungan pribadi dan mengorbankan konsumen dengan menawarkan janji-janji yang belum pasti mengenai produk mereka dengan tujuan agar konsumen membeli produk yang mereka tawarkan. Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, 112 mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : (c) kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa.” Unsur-unsur dari Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di atas yaitu : 1. Pelaku usaha Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. 2. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan Setiap barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan akan melalui rangkaian kegiatan pemasaran yang salah satunya yaitu proses penawaran kepada konsumen. Proses ini dapat dijadikan sarana bagi pelaku usaha untuk menarik minat konsumen terhadap barang yang mereka produksi dengan cara menginformasikan secara detail mengenai barang tersebut. 3. Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan 113 Menurut Yusuf Shofie, iklan termasuk salah satu dari 6 (enam) sebab potensial yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen, yaitu :58 1. 2. 3. 4. 5. 6. Ketidaksesuaian iklan/informasi produk dengan kenyataan; Produk tidak sesuai dengan standar ketentuan/peraturan perundang-undangan; Produk cacat meskipun masih dalam garansi atau belum kedaluarsa; Tingkat keamanan produk diinformasikan tidak secara proporsional; Sikap konsumtif konsumen; Ketidaktahuan konsumen tentang penggunaan produk. Penjelasan lebih rinci diberikan salah satunya oleh Sri Handayani yang menjelaskan bahwa iklan menyesatkan tersebut meliputi :59 a. Iklan yang mengelabui konsumen tentang barang dari kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga, serta tarif, ketepatan waktu dan jaminan; b. Iklan yang memuat informasi tentang resiko pemakaian barang; c. Iklan yang tidak memuat informasi tentang resiko pemakaian barang; d. Iklan yang ngekploitasi tanpa izin tentang suatu kejadian atau kegiatan seseorang; e. Iklan yang melanggar etika periklanan; f. Iklan yang melanggar peraturan tentang periklanan; g. Iklan yang melanggar etika dan peraturan (tehnis) periklanan. Sebagai sumber informasi, pelaku usaha melalui media-media pemasaran seperti iklan seharusnya tidak menyampaikan informasi yang menyesatkan karena lebih lanjut penyesatan ini dapat dikualifikasikan sebagai suatu pentuk penipuan. 4. Mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa 58 59 Dedi Harianto, Op.cit., hal. 6. Ibid. hal. 109. 114 Setiap barang dan/atau jasa yang telah diproduksi dan kemudian dipasarkan oleh pelaku usaha harus dilengkapi dengan informasi yang jelas dan jujur mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa. Konsumen berhak untuk mengetahui mengenai kondisi dan keadaan dari barang dan/atau jasa yang akan mereka konsumsi agar lebih memberikan kepastian dan jaminan atas penggunaan barang dan atau jasa tersebut sehingga tidak menimbulkan kerugian dikemudian hari. Berdasarkan data hasil penelitian nomor 2.1., 4.1.1., 4.2., 4.2.4., dan 7.3. apabila dikaitkan dengan unsur-unsur Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dideskripsikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh PT. Nissan Motor Indonesia memenuhi unsurunsur yang terdapat pada 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Unsur larangan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa dapat dilihat dari berbagai iklan-iklan pada media yang digunakan oleh PT. Nissan March Indonesia dalam menawarkan produk mereka. Ketidaksesuaian antara informasi pada iklan dengan kondisi produk yang sebenarnya terkait dengan pengunaan BBM produk PT. Nissan Motor Indonesia dapat dijadikan sebagai bukti bahwa PT. Nissan Motor Indonesia telah menyampaikan iklan yang menyesatkan. Suatu iklan menyesatkan dapat 115 diketahui telah menyesatkan setelah suatu barang atau jasa tersebut digunakan. Konsumen dituntut untuk lebih berhati-hati dalam mencermati informasi yang disampaikan melalui iklan, karena hingga saat tidak ada patokan yang dapat digunakan oleh konsumen untuk menilai apakah iklan tersebut menyesatkan atau tidak. Disisi lain pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar mengenai kondisi suatu barang dan atau jasa. Hal ini perlu karena sebagian besar kerugian yang diderita oleh konsumen karena adanya ketidaksesuaian informasi mengenai barang dan/atau jasa. Media pemasaran yang digunakan oleh pelaku usaha pada tahap pratransaksi pun perlu diberikan perhatian khusus karena media merupakan alat komunikasi antara pelaku usaha dengan konsumen untuk memperkenalkan suatu barang dan/atau jasa. Salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan informasi kepada konsumen yaitu melalui iklan. Pelanggaran terhadap Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dihubungkan dengan adanya hak konsumen berkaitan dengan informasi mengenai barang dan/atau jasa yang akan mereka konsumsi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : “Hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.” 116 Hak konsumen yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatas disebutkan pula didalam Pasal 7 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pelaku usaha. Pasal 7 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : “Kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.” Menurut Jogiyanto HM., informasi yaitu : “Hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya yang menggambarkan suatu kejadiankejadian (event) yang nyata (fact) yang digunakan untuk pengambilan keputusan.” Berdasarkan data hasil penelitian nomor 4.1. apabila dihubunngkan dengan Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan pendapat Jogiyanto HM., bahwa Ludmilla Arif membeli Mobil Nissan March karena tertarik dengan iklan Nissan March baik di surat kabar maupun media online internet bahwa konsumsi BBM Nissan March adalah 18,5 km/liter. Data tersebut mendeskripsikan bahwa informasi tentang barang atau jasa memegang peranan penting dalam pertimbangan konsumen sebelum memutuskan untuk mengkonsumsi suatu barang atau jasa 117 tertentu. Informasi yang benar dan bertanggung jawab merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum konsumen itu dapat mengambil keputusan untuk mengadakan atau menunda atau tidak mengadakan transaksi bagi kebutuhan hidupnya. Informasi barang atau jasa dapat diperoleh dari berbagai sumber dan dalam berbagai bentuk. Hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa merupakan salah satu hak konsumen yang sangat penting karena pada era perdagangan bebas saat ini persaingan yang semakin ketat menyebabkan pelaku usaha terkadang mengesampingkan kebenaran informasi untuk menarik minat konsumen atas produk mereka, sehingga informasi oleh pelaku usaha seringkali bersifat mengelabui konsumen dengan memberikan informasi yang tidak benar. Hak untuk memperoleh informasi ini dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran tentang suatu produk yang akan mereka konsumsi apakah sudah sesuai dengan kebutuhannya serta menghindari terjadinya kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Konsumen sebelum menentukan pilihan untuk mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa tentu akan mencari informasi mengenai barang dan atau jasa tersebut. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Kesalahan dalam pemberian informasi dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, sehingga hak atas informasi ini sangat penting. Pemenuhan hak ini akan menguntungkan konsumen dan pelaku usaha, bagi konsumen akan meningkatkan efisiensi dalam memilih 118 produk serta meningkatkan kesetiaanya terhadap produk tertentu sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Berdasarkan Pasal 7 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan pendapat Jogiyanto HM., maka dapat dideskripsikan bahwa informasi adalah sesuatu yang sangat penting bagi konsumen agar konsumen mendapatkan penjelasan yang maksimal atas sebuah produk. Oleh karena itu kaitannya dengan penelitian ini maka PT. Nissan Motor Indonesia harus dinyatakan melanggar Pasal 4 huruf c UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disamping telah melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana telah dibuktikan dalam pengadilan. 119 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka dapat diambil suatu simpulan yaitu hakim dalam menerapkan hukumnya sudah tepat karena PT. Nissan Motor Indonesia memenuhi unsur-unsur yang dimuat dalam Pasal 9 ayat (1) huruf k berkaitan dengan kegiatan pelaku usaha yang dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan suatu janji yang belum pasti. Pernyataan yang disampaikan oleh PT. Nissan Motor Indonesia mengenai penggunaan BBM yang irit merupakan suatu bentuk janji dari pelaku usaha kepada konsumen dan dijadikan sebagai alasan bagi konsumen untuk membeli mobil tersebut. Apabila janji tersebut tidak sesuai dengan kenyataan maka dapat dijadikan alasan bagi konsumen untuk meminta agar jual beli dibatalkan atau bahkan mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi ke pengadilan. Penerapan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012 juga sudah tepat karena PT. Nissan Motor Indonesia memenuhi unsur-unsur yang dimuat dalam pasal tersebut yaitu unsur larangan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan hak 120 atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa yang dapat dilihat dari media iklan yang digunakan PT. Nissan Motor Indonesia dalam menawarkan produk mereka. Ketidaksesuaian antara informasi pada iklan dengan kondisi produk yang sebenarnya terkait penggunaan BBM produk PT. Nissan Motor Indonesia dapat dijadikan sebagai bukti bahwa PT. Nissan Motor Indonesia telah menyampaikan iklan yang menyesatkan. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka penulis memberikan saran bahwa hakim seyogyanya membuat pertimbangan hukum yang lengkap dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012 dengan menyatakan bahwa PT. Nissan Motor Indonesia juga melanggar ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata dan Pasal 1474 KUHPerdata mengenai jual beli yang memuat tentang tanggung jawab penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual, dalam hal ini PT. Nissan Motor Indonesia harus bertanggung jawab terhadap kebendaan yang dijualnya karena adanya informasi yang tidak sesuai mengenai produk yang mereka jual sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen serta melanggar Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memuat mengenai hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sebagai landasan dalam menerapkan Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 121 DAFTAR PUSTAKA Literatur Barkatullah, Abdul Halim. 2010. Hak-Hak Konsumen. Bandung: Nusa Media. Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. Harianto, Dedi. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan. Bogor: Ghalia Indonesia. Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju. Kansil, CST. 1997. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika. Liliweri, Alo. 1996. Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan. Bandung: Citra Aditya Bakti. Miru, Ahmadi. 2013. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nasution, Az. 1995. Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlidungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ____________. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Diadit Media. Salim, H.S. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika. Satrio, J. 1992. Hukum Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti. Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Grasindo. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen yang Dirugikan. Jakarta: Visimedia. 122 Sutedi, Adrian. 2008. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia. Suyadi. 2007. Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Wakhid, Nur. 2012. Hukum Perjanjian. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sumber Lain http://putriagustia.blogspot.com/2012/05/perlindungankonsumen.html.diakses tanggal 8 Desember 2014. http://internetsebagaisumberbelajar.blogspot.com/2010/07/pengertianpenerapan .html. diakses tanggal 10 November 2014. Muhammad Joni, 2003, Efektivitas Penerapan Hukum, http://www. Advokat muhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas-penerapanhukum.html diakses tanggal 10 November 2014.