31 Pertumbuhan ikan patin nasutus ... (Ika Nurlaela) PERTUMBUHAN IKAN PATIN NASUTUS (Pangasius nasutus) PADA PADAT TEBAR YANG BERBEDA Ika Nurlaela, Evi Tahapari, dan Sularto Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Jl. Raya Sukamandi No. 2, Subang 41256 E-mail: [email protected] ABSTRAK Ikan patin nasutus (Pangasius nasutus) merupakan patin asli Indonesia yang berdaging putih. Sifat biologi, terutama karakter pertumbuhannya belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karagaan pertumbuhan ikan patin nasutus yang dipelihara dengan padat tebar berbeda. Percobaan dilakukan di kolam 6.000 m2 dengan menggunakan jaring ukuran 3 m x 3 m x 1,25 m. Padat tebar yang digunakan adalah 5, 10, 15, dan 20 ekor/m2. Bobot awal ikan yang digunakan antara 15,70–20,54 g dan panjang antara 10,43–11,36 cm. Pakan yang digunakan selama pemeliharaan adalah pakan buatan dengan kandungan protein kasar 30%–32% sebanyak 3% dari bobot ikan per hari. Pemeliharaan dilakukan selama 3 bulan (90 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan 5 ekor/m2 mempunyai pertambahan bobot tertinggi (96 g), diikuti dengan kepadatan 10 ekor/m2 (92,45 g), 15 ekor/m2 (70,74 g), dan 20 ekor/m2 (61,47 g). Pertambahan panjang dan laju pertumbuhan spesifik tertinggi diperoleh pada pemeliharaan dengan kepadatan 10 ekor/m2 (8,75 cm dan 2,06%) yang tidak berbeda nyata dengan kepadatan 5 ekor/m2 dan terendah pada kepadatan 20 ekor/m2 (7,09 cm dan 1,76%). Nilai sintasan tertinggi pada kepadatan 5 ekor/ m2 (98,5%) dan terendah pada 20 ekor/m2 (91,3%). Nilai konversi pakan antar perlakuan tidak berbeda nyata, KONVERSI PAKAN tertinggi pada kepadatan 15 ekor/m2 (2,18) dan terendah pada 10 ekor/m2 (1,71). KATA KUNCI: padat tebar, pertumbuhan, patin nasutus PENDAHULUAN Ikan patin (Pangasius sp.) termasuk dalam famili Pangasiidae. Ikan ini merupakan salah satu jenis ikan konsumsi air tawar yang bernilai ekonomis penting. Ikan patin banyak diminati oleh masyarakat, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Gustiano et al. (2003) menyatakan bahwa terdapat 25 jenis ikan patin di dunia dan 14 jenis di antaranya terdapat di Indonesia. Ikan patin yang banyak dibudidayakan masyarakat di Indonesia adalah ikan patin siam (Pangasianodon hypopthalmus) dan patin jambal (Pangasius djambal). Ikan patin siam merupakan ikan introduksi yang telah lebih dulu memasyarakat di Indonesia dibandingkan ikan patin jambal yang merupakan ikan patin lokal (Hardjamulia et al., 1981). Ikan patin siam mempunyai keunggulan antara lain daya toleransi yang tinggi terhadap kondisi kualitas air yang jelek, produksi telur (fekunditas) tinggi serta teknik pemijahan buatannya relatif mudah dilakukan. Salah satu kekurangan patin siam adalah memiliki daging berwarna kekuningan sehingga tidak diterima di pasar internasional. Hal ini karena konsumen menghendaki daging ikan patin berwarna putih, yang selama ini sebagian besar disuplai dari Vietnam. Ikan patin daging putih dari Vietnam tersebut berasal dari Pangasius boucourti atau dikenal dengan nama lokal basa. Indonesia memiliki beberapa jenis ikan patin berdaging putih, antara lain ikan patin jambal (Pangasius djambal) dan patin nasutus (Pangasius nasutus). Patin jambal banyak diminati konsumen karena selain berdaging putih, juga mempunyai laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan ikan patin siam, produksi sperma tinggi serta dapat mencapai bobot lebih dari 20 kg. Namun demikin, kekurangan dari patin jambal adalah produksi telur yang relatif rendah, tidak tahan terhadap kadar oksigen terlarut yang rendah serta teknik pemijahannya yang juga masih relatif sulit, sehingga sering mengalami kegagalan dan berakibat pada kematian induk. Alternatif lain dalam upaya menyediakan ikan patin daging putih di pasar internasional adalah mengembangkan ikan patin jenis lain, yaitu ikan patin nasutus. Selain mempunyai daging kualitas ekspor, patin nasutus merupakan jenis ikan patin yang relatif lebih tahan pada kondisi perairan jelek serta produksi telur relatif banyak sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai salah satu komoditas andalan perikanan budidaya (Gustiano et al., 2003). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 32 Ikan patin nasutus banyak ditemukan di sungai; Kayanan, Palangkaraya; Kapuas, Sanggau; Barito, Muara Tewe; Batanghari, Jambi; Musi, Palembang; dan Indragiri, Rengat (Pouyaud, et al., 1998). Aspek biologi, terutama keragaan pertumbuhan ikan patin nasutus belum banyak diketahui. Evaluasi perkembangan dan pertumbuhan larva ikan patin nasutus yang dipelihara secara indoor sudah dilakukan (Tahapari et al., 2009). Dalam rangka melanjutkan hasil penelitian tersebut perlu dilakukan kegiatan pemeliharaan benih ikan patin nasutus secara outdoor. Salah satu aspek yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan suatu kegiatan budidaya ikan adalah kepadatan ikan yang dipelihara (Bachiel & Le Cren, 1978). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi keragaan pertumbuhan benih ikan patin nasutus yang dipelihara secara outdoor dengan padat tebar yang berbeda. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap. Faktor uji yang dicobakan adalah padat tebar dengan 5 level perlakuan, yaitu 0,5; 10; 15; dan 20 ekor/m2. Ikan uji yang digunakan yaitu benih ikan patin nasutus dengan bobot 15,70–20,54 g dan panjang antara 10,43–11,36 cm. Wadah pemeliharaan yang digunakan adalah jaring ukuran 3 m x 3 m x 1,25 m sebanyak 12 buah yang ditempatkan di kolam tanah ukuran 6.000 m2. Selama 3 bulan (90 hari) masa percobaan, ikan diberi pakan buatan berupa pelet tenggelam dengan kandungan protein kasar 30%– -32%. Pakan diberikan sebanyak 3% dari bobot total badan per hari dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari. Penyesuaian jumlah pakan yang diberikan dilakukan setiap 1 bulan (30 hari) setelah dilakukan penimbangan (sampling). Parameter yang diamati meliputi laju pertumbuhan spesifik, pertambahan bobot dan panjang, konversi pakan, dan sintasan. Parameter kualitas air seperti suhu, pH, DO, salinitas, NO2, amoniak, dan konduktivitas dari kolam juga diamati. Parameter-parameter tersebut dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut: Laju pertumbuhan spesifik (Castell & Tiews, 1980) a= ln bobot akhir (g) - ln bobot awal (g) x 100% waktu pemelihara an (hari) di mana : a = laju pertumbuhan spesifik (%) Konversi pakan (FCR) (NRC, 1977) KP (FCR) = Jumlah pakan (bobobt kering) yang diberikan (g) (Wt - D ) - Wo di mana: KP = konversi pakan (FCR) Wt= Bobot total ikan pada akhir penelitian (g) Wo = Bobot total ikan pada awal penelitian (g) D = Bobot total ikan yang mati selama penelitian (g) Tingkat sintasan (SR) SR = Jumlah benih pada akhir penelitian (ekor) x 100% Jumlah awal benih yang dipelihara (ekor) di mana: SR = tingkat sintasan (%) 33 Pertumbuhan ikan patin nasutus ... (Ika Nurlaela) Data yang diperoleh selanjutnya di analisis secara statistik menggunakan program SPSS Ver. 16. HASIL DAN BAHASAN Hasil Panjang (cm) Hasil analisis pertambahan panjang dan bobot benih ikan patin nasutus yang dipelihara selama 3 bulan (90 hari) disajikan pada Gambar 1 dan 2. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 a (5 ekor/m2) b (10 ekor/m2) c (15 ekor/m2) d (20 ekor/m2) 0 1 2 3 Waktu bulan ke- Bobot (g) Gambar 1. Pertambahan panjang ikan patin nasutus selama 3 bulan (90 hari) pemeliharaan 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 a (5 ekor/m2) b (10 ekor/m2) c (15 ekor/m2) d (20 ekor/m2) 0 1 2 3 Waktu bulan ke- Gambar 2. Pertambahan bobot ikan patin nasutus selama 3 bulan (90 hari) pemeliharaan Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa pertambahan panjang dan bobot ikan patin nasutus tertinggi didapat pada kepadatan 5 ekor/m2 yaitu masing-masing sebesar 19,48 cm dan 116,54 g, kemudian diikuti kepadatan 10 ekor/m2 (19,36 cm dan 109,68 g), kepadatan 15 ekor/m2 (18,01 cm dan 88,37 g) dan kepadatan 20 ekor/m2 (17,52 cm dan 77,17 g). Pertambahan panjang dan bobot untuk setiap bulan, tertinggi terdapat pada kepadatan 5 ekor/m2 sedangkan yang terendah terdapat pada kepadatan 20 ekor/m2. Berdasarkan hasil analisis tersebut, terlihat bahwa semakin tinggi tingkat kepadatan maka pertumbuhannya semakin rendah. Hal ini disebabkan karena adanya persaingan gerak dan makanan yang akan berpengaruh pada pertumbuhan. 34 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 Tabel 1 memperlihatkan hasil rata-rata dari pertambahan bobot dan panjang, laju pertumbuhan spesifik, sintasan dan konversi pakan ikan patin nasutus yang dipelihara selama 3 bulan (90 hari). Tabel 1. Rata-rata pertambahan bobot dan panjang, laju pertumbuhan spesifik, sintasan, dan konversi pakan ikan patin nasutus yang dipelihara selama 3 bulan (90 hari) 2 Parameter Bobot awal (g) Pertambahan bobot (g) Panjang awal (cm) Pertambahan panjang (cm) Laju pertumbuhan spesifik (%) Sintasan (%) Konversi pakan Kepadatan (ekor/m ) 5 10 20,54±0,91 b 96±2,72 11,36±0,09 8,12±0,63ab 1,93±0,06ab 98,5±2,6b 1,95±0,08a 15 17,23±1,62 b 92,45±5,04 10,60±0,24 8,75±0,39b 2,06±0,11b 93,0±2,8ab 1,71±0,11a 20 17,90±1,64 15,70±0,75 a 70,47±11,74 10,80±0,37 7,26±0,85ab 1,77±0,13a 97,5±1,5ab 2,18±0,51a 61,46±9,92a 10,43±0,14 7,09±0,50a 1,76±0,10a 91,3±3,4a 2,13±0,40a Keterangan: Nilai yang diikuti huruf superscript yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05) Pertambahan bobot dan tingkat sintasan (SR) yang tertinggi terdapat pada perlakuan dengan kepadatan 5 ekor/m2 dan semakin menurun bobotnya dengan meningkatnya kepadatan, sedangkan pertambahan panjang dan laju pertumbuhan tertinggi terdapat pada perlakuan dengan kepadatan 10 ekor/m2 yang diikuti oleh kepadatan 5, 15, dan 20 ekor/m2. konversi pakan tertinggi pada kepadatan 15 ekor/m2 yang diikuti oleh kepadatan 20 ekor/m2, 5 ekor/m2 dan yang terendah pada 10 ekor/m2. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertambahan bobot antara perlakuan kepadatan 5 ekor/ m2 dan 10 ekor/m2 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan perlakuan kepadatan 15 ekor/ m2 dan 20 ekor/m2, sedangkan untuk tingkat sintasan (SR) antara kepadatan 5 ekor/m2 tidak berbeda nyata dengan kepadatan 10 ekor/m2 dan 15 ekor/m2, namun berbeda nyata dengan kepadatan 20 ekor/m2. Pertambahan panjang juga tidak berbeda nyata kecuali antara perlakuan kepadatan 10 ekor/m2 dengan 20 ekor/m2. Hal yang sama juga terjadi pada analisis parameter laju pertumbuhan. Konversi pakan (FCR) antar perlakuan kepadatan tidak berbeda nyata. Bahasan Pertambahan bobot dan SR memperlihatkan bahwa semakin tinggi padat penebaran yang digunakan semakin rendah nilai pertambahan bobot dan SR yang dihasilkan. Peningkatan bobot rata-rata selama percobaan menunjukkan bahwa energi yang diperoleh dari pakan yang dikonsumsi melebihi kebutuhan energi basal (pemeliharaan). Menurut Lovel (1988), kelebihan energi yang diperoleh terutama akan digunakan untuk pertumbuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tinggi padat tebar yang diaplikasikan maka pertumbuhan bobot akan semakin menurun, karena akan terjadi persaingan baik ruang gerak, oksigen terlarut maupun pakan. Menurut Cholik et al. (1990), padat penebaran akan mempengaruhi kompetisi ruang gerak, kebutuhan makanan, dan kondisi lingkungan yang nantinya akan mempengaruhi pertumbuhan dan sintasan yang menciri pada produksi. Padat tebar tinggi juga akan meningkatkan resiko kematian dan menurunnya bobot individu yang dipelihara (Williams et al., 1987). Pada penelitian ini, padat tebar 10 ekor/m2 memberikan nilai terbaik untuk laju pertumbuhan spesifik, pertambahan panjang individu, dan konversi pakan. Dapat dikatakan bahwa lebih rendahnya laju pertumbuhan ikan dengan bertambahnya padat penebaran karena adanya persaingan, baik dalam memperoleh ruang gerak maupun dalam pengambilan pakan. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini lebih bagus jika dibandingkan dengan penelitian Tahapari et al. (2009) pada pemeliharaan ikan patin nasutus selama 40 hari pemeliharaan, didapatkan bobot akhir sebesar 5,59 g dari bobot awal 1,5 g; panjang akhir 4,66 cm dari panjang awal 3,23 cm; sintasan sebesar 73,35% dan konversi pakan sebesar 1,94–2,79. Peningkatan nilai keragaan ini sudah cukup baik mengingat ikan patin nasutus merupakan ikan yang masih dalam tahap domestikasi 35 Pertumbuhan ikan patin nasutus ... (Ika Nurlaela) menjadi ikan budidaya. Pengaruh domestikasi pada beberapa ikan dapat terlihat pada satu hingga dua generasi setelah pemindahan dari lingkungan alamiahnya (Dunham, 1996). Terdapat tiga tahapan domestikasi spesies liar, yaitu mempertahankan agar dapat hidup dalam lingkungan akuakultur, menjaga agar bisa tetap tumbuh, dan mengupayakan agar dapat berkembangbiak dalam lingkungan akuakultur (Effendi, 2004). Menurut Rochdianto (1994), ikan di keramba jaring apung seringkali mengalami pertumbuhan yang sangat lambat bahkan tidak tumbuh, yang disebabkan terjadinya persaingan dalam menguasai ruang gerak dan mengkonsumsi pakan. Untuk tumbuh dengan baik, ikan harus menempati luas habitat yang sesuai dengan padat penebaran suatu populasi (Goddard, 1996). Pada percobaan ini peningkatan padat penebaran yang diaplikasikan masih memperlihatkan adanya indikasi peningkatan bobot biomassa akan tetapi makin meningkat kepadatan yang digunakan, terlihat adanya penurunan pertambahan bobot dan panjang ikan. Huet (1971) mengatakan bahwa daya dukung maksimal atau produksi sesaat maksimal telah tercapai apabila padat penebaran yang dicobakan telah menghasilkan penurunan pertumbuhan bobot biomassa. Kondisi tersebut dijumpai pada percobaan ini di mana laju pertumbuhan spesifik semakin menurun dengan meningkatnya padat penebaran yang digunakan. Ikan dengan tingkat kepadatan tinggi membutuhkan energi lebih rendah untuk aktivitas dalam memperoleh ruang gerak dan pakan bila dibandingkan dengan padat penebaran yang tinggi, sehingga kelebihan energi yang digunakan untuk pertumbuhan relatif lebih banyak. Hal ini memperjelas adanya kompetisi yang lebih tinggi di antara individu. NRC (1983) menyatakan, bahwa sintasan ikan terutama dipengaruhi oleh sifat fisika–kimia air media dan kualitas pakan. Nilai peubah fisika–kimia air media selama penelitian masih berada pada kisaran yang baik bagi sintasan ikan dan pertumbuhan benih ikan. Hasil analisis parameter kualitas air selama penelitian menunjukkan bahwa suhu, pH, oksigen terlarut, dan amoniak cukup ideal dan masih dalam batas-batas toleransi untuk mendukung pertumbuhan secara optimal (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan berbagai pendapat mengenai dukungan kualitas air untuk lingkungan budidaya terhadap pertumbuhan ikan. Wardoyo (1981) menyatakan bahwa untuk dapat mengelola sumberdaya perikanan dengan baik, maka salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah kualitas airnya. Tabel 2. Kualitas air selama pemeliharaan Parameter Suhu (°C) pH Amoniak (mg/L) DO (mg/L) NO2 (mg/L) Salinitas (ppt) Konduktivitas (mS/cm) Nilai / kisaran 29,60–35,50 7,81–9,03 0,0855–0,1254 0,50–6,05 0,1039–0,1814 0 0,293–0,298 KESIMPULAN Keragaan pertumbuhan benih ikan patin nasutus dengan kepadatan 10 ekor/m2 merupakan yang terbaik. Padat penebaran ikan yang digunakan mempengaruhi terhadap keragaan pertumbuhan bobot dan panjang, laju pertumbuhan spesifik, konversi pakan, dan tingkat sintasan ikan. DAFTAR ACUAN Bachiel, T. & Le Cren, E.D. 1978. Some Density Relationship for Population Parameters. In: Gerking, S.K. (Ed.), The Biological Basis of Freshwater Fish Production. Blackwell Scientific Publication: Oxford, N.Y., p. 261–293. Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Birmingham Publishing Co., Alabama, 187 pp. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 36 Castell, J.D. & Tiews, K. 1980. Report of the EIFAC, IUNS and ICES Working Group on the standardization of methodology in fish nutrition research. Hamburg, Germany, EIFAC Tech. Paper, 24 pp. Cholik, F., Rachmansyah, & Tonnek, S. 1990. Pengaruh Padat Tebar Terhadap Produksi Nila Merah, Oreochromis niloticus dalam Keramba Jaring Apung di Laut. J. Pen. Budidaya Pantai, 6(2): 87–96. Dunham, R.A. 1996. Contrybution of Genetically improved aquatic organism toglobal food security. International Conferenceon Sustuinable Contribution of Fisheriesto Food Security. Government of Japan and FAO, Rome. 150 pp. http://www.fao.org/ Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. PT Penebar Swadaya, Jakarta, 198 hlm. Gustiano, R., Sudarto, & Pouyaud, L. 2003. Bagaimana Mengenali Patin Jambal?. Dalam: Slembrouck, J., Komarudin, O., Maskur, & Legendre, M. (Eds.). Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin Indonesia, Pangasius djambal. IRD-DKP, hlm. 3–14. Hardjamulia, A., Djajadiredja, R., Atmawinata, S., & Idris, D. 1981. Pembenihan Ikan Jambal Siam (Pangasius sutchi) Dengan Suntikan Ekstrak Kelenjar Hipofisa Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) Bul. Pen. Perik. Darat,1(2): 183–190. Huet, M. 1971. Texbook of fish culture: Breeding and cultivation of fish. Fishing News Book Ltd., London, 436 pp. Lovel, T. 1992. Nutrition and Feeding of Fish. Van Nostrand Reinhold, 259 pp. NRC. 1977. Nutrient Requirement of Warmwater Fishes. National Academic Press. Washington D.C., 78 pp. National Research Council. 1983. Nutrient Recuirement of Warmwater fishes and Shellfishes. National Academy of Sciences. Washington D.C., 102 pp. Pouyoud, L., Gustiano, R., & Legendre, M. 1998. Phylogenetic relationship among pangasiid catfish species (Siluriformes, Pangasiidae) and new insights on their zoogeography. In : Lagendre, M. & Parisele, A. (Eds.). The Biological Diversity and Aquaculture of Clariid and Pangasiid Catfishes in SouthEast Asia. Proceeding of The Mid-Term Workshop of The Catfish Asia Project. Cantho–Vietnam, 11–15 Mei 1998. Rochdianto, A. 1994. Budidaya ikan di Jaring Terapung. Penebar Swadaya, Jakarta, 184 pp. Tahapari, E., Nurlaela, I., & Sularto, 2009. Keragaan Pertumbuhan Beberapa Spesies Ikan Patin (Pangasius sp.) Yang Dipelihara Secara Indoor. Dalam proses publikasi Pusat Riset Perikanan Budidaya. Wardoyo, S.T.H. 1981. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Makalah Training Analisa Dampak Lingkungan, Kerjasama PPLH-UNDP-PSL IPB Bogor, 19–31 Januari 1981. William, K., Schwarts, D.P., Gebhart, G.E., & Maughan, O.E. 1987. Budidaya Ikan Yang Dikerambakan Skala Kecil di Kolam Oklahoma. Penerjemah. Langston University Agricultural Research, 21 pp.