9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Anemia pada Ibu Hamil Anemia adalah suatu keadaan dimana eritrosit atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Keadaan ini secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit (Bakta, 2006). Adapun kriteria anemia menurut WHO dapat dilihat pada tabel dibawah: Tabel 2.1 Kriteria Anemia Berdasarkan Kisaran Hemoglobin Normal Hb Normal (gr/dl) 13,5-18,5 9,5-13,5 11,0-14,0 11,5-15,5 13,0-17,0 12,0-15,0 11,0-14,0 Usia dan Jenis kelamin Lahir (aterm) Anak-anak : 2-6 bulan Anak-anak : 2-6 tahun Anak-anak : 6-12 tahun Laki-laki dewasa Perempuan dewasa tidak hamil Perempuan dewasa hamil Sumber: WHO, 2005 Anemia (gr/dl) <`13,5 < 9,5 < 11,0 < 11,5 < 13, 0 < 12,0 < 11,0 Anemia pada kehamilan didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin kurang dari 11 gr/dl. Pada kehamilan volume darah akan bertambah banyak yang lazim disebut Hidremia atau Hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah sebagai berikut: plasma 30%, sel darah 18% dan hemoglobin 19%. Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai sejak 9 10 kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu. Secara fisiologis, pengenceran darah ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya kehamilan (Wikjosastro, 2002). 2.2 Metode Pemeriksaan Kadar Hemoglobin (Hb) 2.2.1 Metode Hemocue Hemocue adalah penganalisa portabel yang digunakan untuk penentuan kuantitatif Hemoglobin dalam darah. Prinsip sistem hemocue terdiri dari pembaca hemoglobin kecil portable, dan memakai microcuvettes sekali pakai. Mata optic microcuvette berisi pengujian reagen kering. Sepuluh mikroliter darah ditarik ke dalam mata optic dengan tindakan kapiler dan spontan bercampur dengan reagen. Hemoglobin diubah menjadi azidemethemoglobin. Hemocue bereaksi membaca dan menampilkan hasil hemoglobin dalam gram per desiliter. Hemocue fotometer hemoglobin classic, hemocue AB, Swedia terdiri dari bagian: 1. Fotometer itu diaktifkan dengan tombol yang terletak dibelakang layar menampilkan ‘Hb” ketika hemocue diaktifkan. 2. Pemegang mangkok yang berwarna hitam terletak disisi bawah hemocue. 3. Hemocue dikalibrasi di pabrik, range pengukuran adalah 0-25,6 g/dl. 4. Hemocue dapat dioperasikan dengan menggunakan empat jenis baterai AA atau dengan AC power adopter. 5. Hemocue microcuvettes: 11 6. Microcuvettes disimpan pada suhu ruangan dan jauhkan dari sinar matahari langsung. 7. Kontainer/wadah harus tertutup rapat 8. Microcuvettes adalah kelembaban sensitive, jangan menghapus pengering dari wadah. 9. Ketika microcuvettes menghapus, geser keluar satu persatu ke permukaan datar yang bersih. 10. Sebelum dibuka dari container microcuvettes dapat digunakan sampai tanggal kadaluarsa yang tercantum 11. Dalam keadaan container/wadah terbuka, microcuvettes akan stabil selama 3 bulan (90 hari) jika dalam terutup rapat. 12. Cara pemakaian hemocue: 13. Hidupkan fotometer dengan saklar yang terletak di belakang layar berbunyi “Hb” 14. Tarik keluar mangkok yg berwarna hitam dan periksa. Bersihkan dengan alcohol jika ada darah sebelum kering. 15. Gunakan swab yang sedikit dibasahi dengan alcohol atau air untuk membersihkan bagian dalam hemocue. 16. Masukan mangkuk hitam dan mendorong ke dalam setelah 3 detik, layar akan menampilkan “SIAP” 17. Letakkan mangkuk yang dihiasi dengan ukiran kontrol merah ditempatnya dan mendorong dg tepat, layar menampilkan “mengukur” 12 18. Hasil muncul setelah 15 detik, nilai ditampilkan harus berada dalam ±0,3 gms/dl dari nilai. 19. Ulangi prosedur diatas setiap melakukan pengukuran. 20. Kembalikan mangkok berwarna merah ke kotak penyimpanan setelah setiap kali digunakan, jangan dibuang. 21. Dokumentasikan semua hasil dari pengukuran dengan hemocue 22. Jika membaca melebihi ±0,3 gms/dl dari nilai yang diberikan, instrument tidak dapat digunakan, hapus dari tempatnya. Dengan Hemocue 201+ deteksi awal jadi lebih mudah, keunggulan: bentuk kompak dan simple, sedikit panel operesional, mudah digunakan, tidak perlu ahli khusus, proses pengukuran sederhana, mengurangi kesalahan dalam proses pemeriksaan, waktu pengukuran kurang dari 60 detik, bersifat cepat dan instan, hasil akurat, kualitas hasil setara laboratorium, bebas perawatan (Tim Hammil, MD, 2010). 2.2.2 Metode Sahli Diantara metode yang paling sering digunakan di laboratorium dan yang paling sederhana adalah metode sahli, dan yang lebih canggih adalah metode cyanmethemoglobin. (Bachyar, 2002) Pada metode Sahli, hemoglobin dihidrolisi dengan HCl menjadi globin ferroheme. Ferroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi ferriheme yang akan segera bereaksi dengan ion Cl membentuk ferrihemechlorid yang juga disebut hematin atau hemin yang berwarna cokelat. Warna yang 13 terbentuk ini dibandingkan dengan warna standar (hanya dengan mata telanjang). Untuk memudahkan perbandingan, warna standar dibuat konstan, yang diubah adalah warna hemin yang terbentuk. Perubahan warna hemin dibuat dengan cara pengenceran sedemikian rupa sehingga warnanya sama dengan warna standar. Karena yang membandingkan adalah dengan mata telanjang, maka subjektivitas sangat berpengaruh. Di samping faktor mata, faktor lain, misalnya ketajaman, penyinaran dan sebagainya dapat mempengaruhi hasil pembacaan. Meskipun demikian untuk pemeriksaan di daerah yang belum mempunyai peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode sahli ini masih memadai dan bila pemeriksaannya telat terlatih hasilnya dapat diandalkan. 1. Prosedur pemeriksaan dengan metode sahli Reagensia; HCl 0,1 N, aquadest. Alat/sarana; pipet hemoglobin, alat sahli, pipet pastur, pengaduk. 2. Prosedur kerja a. Masukkan HCl 0,1 N ke dalam tabung Sahli sampai angka 2 b. Bersihkan ujung jari yang akan diambil darahnya dengan larutan desinfektan (alcohol 70%, betadin dan sebagainya), kemudian tusuk dengan lancet atau alat lain c. Isap dengan pipet hemoglobin sampai melewati batas, bersihkan ujung pipet, kemudian teteskan darah sampai ke tanda batas dengan cara menggeserkan ujung pipet ke kertas saring/kertas tisu. d. Masukkan pipet yang berisi darah ke dalam tabung hemoglobin, sampai ujung pipet menempel pada dasar tabung, kemudian tiup pelan-pelan. 14 Usahakan agar tidak timbul gelembung udara. Bilas sisa darah yang menempel pada dinding pipet dengan cara menghisap HCl dan meniupnya lagi sebanyak 3-4 kali. e. Campur sampai rata dan diamkan selama kurang lebih 10 menit. f. Masukkan ke dalam alat pembanding, encerkan dengan aquadest tetes demi tetes sampai warna larutan (setelah diaduk sampai homogen) sama dengan warna gelas dari alat pembanding. Bila sudah sama, baca kadar hemoglobin pada skala tabung. Keuntungan dari metode ini adalah biayanya cukup murah dan prosedur pelaksanaannya tidak terlalu rumit. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan ketelitian untuk menghindari kesalahan, warna asam hematin yang terbentuk tidak stabil, warna standar (batang gelas) dapat berubah dalam beberapa bulan, hasil sangat tergantung pada kecukupan jumlah darah yang digunakan. 2.3 Anemia Defisiensi Besi Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Pengobatannya yaitu keperluan zat besi untuk wanita hamil, tidak hamil dan dalam laktasi yang dianjurkan adalah pemberian tablet besi. Untuk menegakkan diagnose Anemia Defisiensi Besi dapat dilakukan dengan anamnesa. Hasil anamnesa didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang dan keluhan mual muntah pada hamil muda. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat Sahli. 15 a. Terapi Oral adalah dengan memberikan preparat besi yaitu fero sulfat, fero glukonat atau Na-fero bisirat. Saat ini program nasional menganjurkan kombinasi 60 mg besi dan 50 µgram asam folat untuk profilaksis anemia (Saifudin, 2002). b. Terapi Parenteral baru diperlukan apabila penderita tidak tahan akan zat besi per oral, dan adanya gangguan penyerapan, penyakit saluran pencernaan atau masa kehamilannya tua (Wiknjosastro, 2002). Pemberian preparat parenteral dengan ferum dextran sebanyak 1000 mg (20 mg) intravena atau 2 x 10 ml/IM pada gluteus, dapat meningkatkan Hb lebih cepat yaitu 2 gr% (Manuaba, 2001). Anemia di Indonesia umumnya disebabkan oleh kekurangan Zat Besi, sehingga lebih dikenal dengan istilah Anemia Gizi Besi. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi selama kehamilan. Hal ini karena masyarakat Indonesia khususnya wanita hamil kurang mengkonsumsi sumber makanan hewani yang merupakan sumber zat besi yang mudah diserap (Depkes RI, 2008). Ibu hamil umumnya mengalami deplesi besi sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutukan untuk metabolisme besi yang normal. Selanjutnya mereka akan menjadi anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun sampai dibawah 11 gr/dl. 2.4 Metabolisme Zat Besi (Fe) Fe merupakan bagian penting dari hemoglobin dan zat ini tergolong esensial sehingga harus disuplai dari makanan. Sumber utama Fe adalah pangan 16 hewani dan sayuran yang tergolong dalam bentuk besi heme dan besi non heme. Bahan makanan yang mengandung besi heme adalah daging, ikan dan unggas, sedangkan bahan makanan yang mengandung besi non heme terdapat pada kacang kedelai, kacang-kacangan dan sayuran berwarna hijau. Dilihat dari segi evolusinya, maka sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah di mana sebagian besar besi berasal dari sumber nabati, terutama di Negara tropik, tetapi perangkat absorpsi besi tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga banyak menimbulkan defisiensi besi (Bakta, 2006). Secara garis besar, metabolism zar besi di dalam tubuh terdiri dari proses penyerapan, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan dan pengeluaran (Wirakusumah, 1999). 2.4.1 Absorpsi dan transportasi besi Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan dalam usus. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal. Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase, yaitu: 1. Fase Luminal, yaitu fase dimana besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian diserap di duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk sebagai berikut: a. Besi heme : terdapat dalam daging dan ikan, proporsi absorpsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga memiliki bioavailabilitas tinggi. 17 b. Besi nonheme : berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan, proporsi absorpsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga biovailibilitasnya rendah. 2. Fase Mukosal, yaitu merupakan proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses aktif. Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks. Dikenal adanya mucosal block, suatu mekanisme yang dapat mengatur penyerapan besi melalui mukosa usus. 3. Fase Korporeal, meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, serta penyimpanan besi oleh tubuh. Banyak absorpsi besi tergantung dari jumlah kandungan besi dalam makanan, jenis besi dalam makanan, dan adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi dalam makanan. 2.4.2 Pemanfaatan, Penyimpanan dan Pengeluaran Zat Besi Didalam plasma berlangsung proses turn over, yaitu sel-sel darah lama diganti dengan sel darah baru. Jumlah zat besi yang mengalami turn over setiap harinya kira-kira 35 mg, berasal dari makanan, hemoglobin dan dari sel-sel darah merah yang sudah tua dan diproses oleh tubuh agar dapat digunakan lagi. Zat besi dari plasma sebagian besar harus dikirim ke sumsum tulang untuk pembentukkan hemoglobin dan sebagian lagi diedarkan ke seluruh jaringan. Cadangan zat besi disimpan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin di dalam hati atau limpa. 18 Pengeluaran zat besi dari jaringan melalui kulit, saluran pencernaan atau urine, berjumlah 1 mg setiap harinya. Zat besi yang keluar melalui cara ini disebut kehilangan besi basal. Sedangkan pengeluaran besi melalui hilangnya hemoglobin yang disebabkan menstruasi sebanyak 28 mg/periode (Wirakusumah, 1999). 2.4.3 Kebutuhan zat besi saat hamil Kebutuhan zat besi pada wanita tiga kali lebih besar dari pada kebutuhan pria. Hal ini antara lain karena wanita mengalami haid setiap bulan yang berarti kehilangan darah secara rutin dalam jumlah sekitar 50 sampai 80 cc setiap bulan dan kehilangan zat besi sebesar 30 sampai 40 mg. Pada saat masa hamil ibu membutuhkan zat besi lebih banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan bayinya. Kebutuhan zat besi pada wanita hamil 3 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita tidak hamil. Wanita juga mengeluarkan darah dalam jumlah yang cukup banyak pada masa persalinan (Depkes RI, 2008). Dalam masa kehamilan tambahan zat besi diperlukan untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan membentuk sel darah merah janin dan plasenta. Ratarata kebutuhan zat besi pada ibu hamil adalah sebesar 900 mg Fe, dengan rincian 500 mg untuk pembentukan sel darah ibu, 300 mg terdapat dalam plasenta, dan 100 mg untuk darah janin (Manuaba, 1998). Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya. Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu mengalami hemodilusi (pengenceran) mulai pada kehamilan 10 minggu dengan volume 30% sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 minggu sampai 34 19 mingg. Dengan meningkatnya kebutuhan Fe saat hamil apabila tidak diiringi dengan peningkatan masuknya Fe maka akan mudah terjadi anemia defisiensi besi. Terlebih lagi di daerah khatulistiwa, besi lebih banyak keluar melalui kulit saat berkeringat (Wiknjosastro, 2005). Kebutuhan zat besi pada setiap trimester kehamilan berbeda-beda. Pada trimester pertama relatif sedikit, yaitu 0,8 mg sehari ditambah 30-40 mg untuk kebutuhan janin. Menjelang trimester kedua hingga ketiga, kebutuhan zat besi meningkat tajam hingga 6,3 mg/hari ditambah kebutuhan sel darah merah 150 mg dan conseptus 223 mg (Arisman, 2004). 2.5 Faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Kehamilan Ibu hamil akan menghadapi risiko khusus anemia karena terdapat peningkatan kebutuhan zat besi selama masa kehamilan, interval melahirkan anak yang singkat dan laktasi yang lama. Selain itu khususnya jika keadaan tersebut terjadi bersamaan dengan adanya infeksi cacing tambang dan malaria (WHO, 2005). Sedangkan menurut Mochtar (1989) penyebab anemia umumnya adalah karena kurang gizi, kurang zat besi, kehilangan darah yang banyak, malasorbsi dan penyakit-penyakit kronis. Adapun dalam Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu di Tingkat Pelayanan Dasar disebutkan beberapa faktor risiko pada ibu hamil yang dapat menimbulkan komplikasi medis salah satunya anemia antara lain adalah umur ibu saat hamil < 20 tahun dan > 35 tahun, Paritas < 2 atau > 3, interval kurang dari 2 tahun, LILA kurang dari 23,5 cm (Depkes RI, 2010) 20 Sedangkan faktor lingkungan yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kejadian anemia adalah faktor pendidikan dan sosio ekonomi (Manuaba, 2001). 2.5.1 Umur ibu Masa yang paling aman bagi wanita untuk melahirkan adalah antara umur 20 dan 35 tahun. Ibu hamil yang berusia kurang dari 20 tahun berisiko untuk menjadi anemia karena ibu muda tersebut membutuhkan zat besi lebih banyak untuk keperluan pertumbuhan diri sendiri dan janin yang dikandungnya. Pada kehamilan diusia < 20 tahun secara biologis belum optimal, emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35 tahun terkait dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering menimpa di usia, sehingga risiko untuk timbulnya gangguan-gangguan atau penyulit kehamilan menjadi lebih tinggi, termasuk risiko untuk terjadi anemia (Depkes RI, 2008). Dalam penelitian Amiruddin (2004), ditemukan bahwa umur ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun 2,8 kali lebih berisiko menderita anemia daripada ibu hamil usia 20-35 tahun. 2.5.2 Umur kehamilan Pada trimester I kebutuhan Fe sama dengan sebelum hamil jadi tidak dibutuhkan tambahan Fe karena masih ada simpanan sebelum hamil. Kebutuhan zat besi pada setiap trimester kehamilan berbeda-beda. Pada trimester I kebutuhan Fe hampir sama dengan sebelum hamil jadi tidak dibutuhkan banyak tambahan Fe karena masih ada simpanan sebelum hamil. Kebutuhan zat pada trimester I ±1 hari 21 mg/hari, ditambah 30-40 mg untuk kebutuhan janin dan sel darah merah. Pada trimester II dibutuhkan zat besi ± 5 mg/hari ditambah 300 mg untuk kebutuhan sel darah merah dan conceptus 115 mg. pada trimester III dibutuhkan t zat besi ± 5 mg/hari ditambah kebutuhan sel darah merah 150 mg dan conceptus 223 mg (Wirakusumah, 1999). Hal ini menunjukkan semakin tua umur kehamilan, maka semakin tinggi kebutuhan akan zat besi dalam tubuh. Dilihat dari kebutuhan akan zat besi selama kehamilan dan juga adanya hidremia kehamilan, maka semakin tua umur kehamilan akan meningkatkan risiko untuk mengalami anemia dalam kehamilan. 2.5.3 Paritas Dalam persalinan normal, seorang wanita hamil akan mengeluarkan darah rata-rata 500 ml atau setara dengan 200 mg Fe, sehingga semakin tinggi paritas maka semakin banyak darah yang hilang saat persalinan, sehingga risiko timbulnya anemia lebih besar (Fatmah, 2007). Pada paritas lebih dari 5 kali, kejadian anemia meningkat secara bermakna. Peningkatan risiko kematian ibu berkaitan dengan tingginya paritas. Indeks kehamilan risiko tinggi anemia menurut Fortney dan Whitenhorne adalah ibu dengan paritas 0 dan > 3 (Manuaba, 1998). 2.5.4 Status gizi Keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan dan aktivitas. Kurang gizi dapat terjadi dari berbagai akibat yaitu ketidakseimbangan asupan zat-zat gizi, faktor 22 penyakit pencernaan, absorpsi dan penyakit infeksi (Depkes RI, 2000 dalam Kusumawati, 2004). Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan risiko dan komplikasi pada ibu, salah satunya anemia (Lubis, 2003). Lingkar lengan atas (LILA) dewasa ini merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi. Menurut Depkes RI (2010) pengukuran LILA pada kelompok wanita usia subur (WUS) termasuk ibu hamil adalah salah satu deteksi dini yang mudah dilakukan untuk mengetahui kelompok berisiko kekurangan energi kronis. Apabila ukuran LILA <23,5 cm maka ibu tersebut digolongkan sebagai status gizi kurang (Supariasa, 2002). 2.5.5 Jarak kelahiran Kehamilan dengan jarak kurang dari 2 tahun merupakan kehamilan risiko tinggi. Pada saat melahirkan, seorang ibu akan banyak kehilangan darah. Setelah melahirkan tubuh ibu akan memproduksi darah kembali untuk mengembalikan kehilangan darah pada persalinan sebelumnya. Jika jarak kehamilan terlalu pendek, maka kesempatan untuk mengembalikan kehilangan darah pada saat melahirkan menjadi sedikit sekali, sehingga tubuh ibu belum sempat mengembalikan darah yang hilang saat persalinan sebelumnya, sudah kembali kehilangan darah lagi pada persalinan berikutnya (Manuaba, 1998). 23 2.5.6 Pendapatan Keluarga Disamping penyebab medis, faktor pendapatan keluarga memainkan peran yang sangat penting. Tingkat kemiskinan di negara berkembang menerangkan sebagian besar penyebab anemia berat dan efeknya yang demikian serius pada sebagian besar negara dari dunia ketiga. Kemiskinan menyebabkan kemampuan penderita untuk penyediaan makanan khususnya yang mengandung besi rendah. Kesulitan yang ditimbulkan oleh gizi buruk, kekurangan air, tabu terhadap makanan, produksi dan cadangan makanan yang tidak cukup dan tidak adanya sistem jaminan sosial yang efektif, secara bersama menurunkan kesehatan dan menyebabkan anemia pada para wanita yang telah menjadi pejamu. Pada masyarakat yang tidak mampu akan memiliki kendala dalam hal memenuhi kebutuhan akan konsumsi mereka termasuk dalam hal pemenuhan gizi bagi mereka dan keluarganya. Akibatnya para wanita yang mengalami kehamilan kekurangan gizi sebagai contohnya anemia gizi besi dan akan memiliki daya tahan tubuh yang tidak optimal bahkan cenderung kurang. Disamping itu kemiskinan juga berkaitan dengan pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang kebutuhan zat besi selama kehamilan (Royston, 1994). 2.5.7 Tingkat pendidikan Pendidikan berhubungan dengan pengetahuan dan kemampuan ekonomi. Makin baik pendidikan ibu maka pengetahuan ibu juga makin baik, termasuk pengetahuan tentang cara merawat kehamilan khususnya mengkonsumsi makanan yang lebih baik sehingga risiko untuk timbulnya anemia pada ibu hamil tersebut menjadi menurun. Demikian juga semakin baik pendidikan ibu biasanya 24 kemampuan ekonomi ibu menjadi lebih baik sehingga pemenuhan akan makanan yang baik saat hamil menjadi lebih terpenuhi dan akhirnya juga risiko untuk timbulnya anemia menjadi lebih rendah (Manuaba, 1998). Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi-informasi gizi. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan terciptanya pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat mengetahui kandungan gizi, sanitasi dan pengetahuan yang terkait dengan pola makan lainnya (Handayani dalam Kusumawti, 2006). Berdasarkan hasil penelitian dan “community diagnosis” diketahui bahwa persepsi WUS, keluarga dan masyarakat umum tentang anemia dan tablet tambah darah (TTD) adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2008): 1. Hampir semua wanita dan anggota keluarga di rumah mempunyai persepsi bahwa anemia bukanlah masalah gizi atau masalah kesehatan yang perlu mendapat prioritas yang perlu diatasi. 2. Pengetahuan tentang perlunya minum TTD relatif rendah 3. Efek samping TTD yang sebetulnya tidak membahayakan, merupakan penyebab rendahnya kepatuhan untuk meminum TTD 4. Hasil nyata minum TTD tidak dapat dirasakan segera seperti halnya minum obat anti pusing, sehingga manfaat TTD kurang dapat dirasakan. Ketidaktahuan ibu hamil tentang dampak anemia terhadap kesehatan diri, kehamilan dan janinnya, menyebabkan kepedulian dan kemauannya untuk mencegah atau menanggulangi kurang atau tidak ada. Demikian pula 25 ketidaktahuan tentang manfaat TTD sebagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi anemia menyebabkan mereka tidak tertarik dan enggan untuk minum TTD (Depkes RI, 2008). 2.5.8 Pemakaian kontrasepsi IUD Wanita yang menggunakan alat kontrasepsi IUD mengeluarkan darah lebih banyak ketika menstruasi dibandingkan dengan alat kontrasepsi lainnya. IUD atau spiral dapat meningkatkan pengeluaran darah 2 kali saat menstruasi dan kontrasepsi pil mengurangi kehilangan darah sebesar 1,5 ketika menstruasi berlangsung. Hal tersebut menunjukkan bahwa seorang ibu dengan alat kontrasepsi IUD sebelum ibu tersebut hamil, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita anemia dibandingkan dengan ibu yang tidak menggunakan alat kontrasepsi IUD (Fatmah, 2007). Di Indonsia terdapat dua tipe IUD. Tipe pertama yaitu IUD pelepas progestin (levonorgestrel), memiliki masa efektif selama 5 tahun. Selama periode 5 tahun tersebut, hanya sekitar 0,5 % wanita yang mengalami kehamilan. Tipe yang kedua adalah IUD yang melepaskan tembaga, yang memiliki efektivitas sekitar 10 tahun. Permasalahan yang mungkin muncul Perdarahan dan nyeri merupakan alasan utama yang menyebabkan wanita melepas IUD-nya (Saifuddin, 2003). 2.5.9 Pola Perilaku antenatal care (ANC) Pemeriksaan kehamilan atau Antenatal Care (ANC) adalah upaya menyiapkan wanita hamil sebaik-baiknya, baik fisik maupun mental, serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan, dan masa nifas, 26 sehingga keadaan mereka postpartum sehat dan normal, tidak hanya fisik tapi juga mental. Pemeriksaan antenatal memberikan manfaat dengan ditemukannya berbagai kelainan yang diperhitungkan dan menyertai hamil dipersiapkan secara dini, langkah-langkah sehingga dapat dalam pertolongan persalinannya (Suwiyoga, 2001). Menurut Program Depkes (2010), jadwal pemeriksaan antenatal care sebanyak 4 kali selama hamil yaitu sebagai berikut: 1. Kunjungan pertama (K1) K1 adalah kontak pertama ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif sesuai standar. Kontak pertama harus dilakukan sedini mungkin pada trimester pertama, sebaiknya sebelum minggu ke 8. 2. Kunjungan ke -4 (K4) K4 adalah ibu hamil dengan kontak 4 kali atau lebih dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif sesuai standar. Kontak 4 kali dilakukan sebagai berikut: sekali pada trimester I (kehamilan hingga 12 minggu) dan trimester ke-2 (>12-24 minggu), minimal 2 kali kontak pada trimester ke-3 dilakukan setelah minggu ke 24 sampai dengan minggu ke 36. Kunjungan antenatal bisa lebih dari 4 kali sesuai kebutuhan dan jika ada keluhan, penyakit atau gangguan kehamilan. Kunjungan ini termasuk dalam K4. 27 Dalam buku pedoman pelayanan antenatal terpadu, tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai standar terdiri dari: 1. Tinggi berat badan Penimbangan berat badan pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan janin. Penambahan berat badan yang kurang dari 9 kilogram selama kehamilan atau kurang dari 1 kilogram setiap bulannya menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan janin. 2. Ukur lingkar lengan atas (LILA) Pengukuran LILA hanya dilakukan pada kontak pertama untuk skrining ibu hamil berisiko kurang energi kronis (KEK). Kurang energi kronis disini maksudnya ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi dan telah berlangsung lama (beberapa bulan/tahun) dimana LILA kurang dari 23,5 cm. Ibu hamil dengan KEK akan dapat melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). 3. Ukur tekanan darah Pengukuran tekanan darah pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk mendeteksi adanya hipertensi (tekanan darah e”140/90 mmHg) pada kehamilan dan pre eklampsia (hipertensi disertai edema wajah atau tungkai bawah dan proteinuria). 4. Ukur tinggi fundus uteri Pengukuran tinggi fundus uteri pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk mendeteksi pertumbuhan janin sesuai atau tidak dengan umur kehamilan. Jika tinggi fundus tidak sesuai dengan umur kehamilan, 28 kemungkinanada gangguan pertumbuhan janin. Standar pengukuran menggunakan pita pengukur setelah kehamilan 24 minggu. 5. Hitung denyut jantung janin (DJJ) Penilaian DJJ dilakukan pada akhir trimester I dan selanjutnya setiap kali kunjungan antenatal. DJJ lambat kurang dari 120/menit atau DJJ cepat lebih dari 160/menit menunjukkan adanya gawat janin. 6. Tentukan persentasi janin Menentukan presentasi janin dilakukan pada akhir trimester II dan selanjutnya setiap kali kunjungan antenatal. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui letak janin bukan kepala atau kepala janin masuk ke panggul berarti ada kelainan letak kepala, panggul sempit atau ada masalah lain. 7. Beri imunisasi Tetanus Toksoid (TT) Untuk mencegah terjadinya tetanus neonatorum, ibu hamil harus mendapat imunisasi TT. Pada saat kontak pertama, ibu hamil diskrining status imunisasi TT-nya. Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil, sesuai dengan status imunisasi saat ini. 8. Beri tablet tambah darah (TTD) Untuk mencegah anemia gizi besi, setiap ibu hamil harus mendapat tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan diberikan sejak kontak pertama. Ketidakteraturan ibu hamil dalam mengkonsumsi TTD merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko terkena anemia. 9. Pemeriksaan laboratorium (rutin dan khusus) Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada saat antenatal meliputi: 29 a. Pemeriksaan golongan darah, b. Pemeriksaan kadar hemoglobin darah (Hb) c. Pemeriksaan protein dalam urin d. Pemeriksaan kadar gula darah e. Pemeriksaan darah malaria f. Pemeriksaan tes sifilis g. Pemeriksaan HIV h. Pemeriksaan BTA 10. Tatalaksana/penanganan kasus Berdasarkan hasil pemeriksaan antenatal diatas dan hasil laboratorium, setiap kelainan yang ditemukan pada ibu hamil harus ditangani sesuai dengan standar dan kewenangan tenaga kesehatan. Kasus-kasus yang tidak dapat ditangani dirujuk sesuai sistem rujukan. Dengan demikian maka secara operasional, pelayanan antenatal yang tidak memenuhi standar diatas belum dianggap suatu pelayanan antenatal terpadu (Depkes RI, 2010). 2.5.10 Konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) Tablet Tambah Darah (TTD) adalah suplementasi zat gizi yang mengandung 60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat, sesuai dengan rekomendasi WHO. TTD bila diminum secara teratur dan sesuai aturan dapat mencegah dan menanggulangi anemia gizi. Ibu hamil dianjurkan minum TTD dengan dosis 1 tablet setiap hari selama masa kehamilannya (Depkes RI, 2010). 30 Menyadari kondisi ekonomi saat ini kebutuhan zat besi sulit sekali untuk terpenuhi dari makanan. Oleh karena itu salah satu pilihan untuk mencegah dan menanggulangi anemia adalah dengan mengkonsumsi TTD yang merupakan suplementasi zat besi yang harganya relative murah, sehingga dimungkinkan sasaran mampu menyediakan sendiri. TTD bila diminum secara teratur dan sesuai aturan dapat mencegah dan menanggulangi anemia gizi besi. Namun tidak semua ibu hamil mau mengkonsumsi TTD, bilapun mau minum TTD kepatuhannya untuk minum TTD sesuai aturan sangat rendah atau tidak memadai. Kendala utama dalam suplementasi tablet tambah darah ini adalah akibat efek samping yang dihasilkan dan kesulitan mematuhi minum TTD karena kurangnya kesadaran akan pentingnya masalah anemia gizi besi. Ketidakteraturan ibu hamil dalam mengkonsumsi TTD merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko terkena anemia (Depkes RI, 2010). 2.6 Program Penanggulangan Anemia Ibu Hamil Penanggulangan anemia ibu hamil menurut Saifuddin (2001) terdiri dari 4 kegiatan, meliputi: 1. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Kegiatan KIE seperti penyuluhan kelompok, konseling, promosi, kampanye, diskusi kelompok sebaya (peer group), belajar mengajar tentang anemia dan TTD merupakan, sikap dan perilaku ibu hamil tentang kesehatan gizi (Depkes RI, 2008). 31 2. Suplementasi besi Merupakan pencegahan jangka pendek dengan memberikan tablet besi (TTD) kepada semua ibu hamil. Ibu hamil/nifas dianjurkan minum TTD dengan dosis 1 tablet setiap hari selama masa kehamilannya dan 40 hari setelah melahirkan (Depkes RI, 2008). 3. Program Fortifikasi Merupakan program jangka panjang yaitu dengan menambahkan zat besi pada makanan tertentu. Untuk mendukung program penanggulangan anemia, telah dilakukan fortifikasi zat besi pada tepung terigu, dimana seluruh terigu yang diimpor harus mengandung zat besi 50 ppm sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). 4. Kegiatan lain yang sejalan Penyakit infeksi dan parasit merupakan salah satu penyebab anemia gizi besi. Usaha penanggulangan cacing tambang akan mengurangi kehilangan darah sehingga dapat mengurangi risiko anemia.