BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembelajaran (Learning Theory) Pembelajaran menurut Weiss (1990 ) dalam Robbins dan Judge (2008) adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen dan terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Pembelajaran tidak hanya dilakukan dan didapat dari lingkungan pendidikan seperti sekolah saja tetapi pembelajaran terjadi setiap waktu. Tiga komponen yang dilibatkan dalam pengertian pembelajaran, yaitu: (a) pembelajaran melibatkan perubahan; (b) perubahan tersebut harus relatif permanen; serta (c) perlu pengalaman, yang bisa didapat secara langsung melalui pengamatan atau latihan, ataupun didapat secara tidak langsung. Robbins dan Judge (2008) mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) teori pembelajaran yaitu: 1) Pengondisian Klasik (Classical Conditioning), yaitu suatu jenis pengondisian di mana seorang individu menanggapi stimulus tertentu yang diperoleh sebagai respon terhadap sesuatu yang dikenali. Pengondisian ini bersifat pasif yaitu sesuatu terjadi dan kita bereaksi dengan cara tertentu, perilaku dihasilkan bukan didapat dengan demikian dilakukan secara sadar dan bukanlah suatu refleksi, pengondisian klasik salah satunya melalui pendidikan formal. 2) Pengondisian Operan (Operant Conditioning), yaitu suatu jenis pengondisian untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Teori ini menyatakan bahwa prilaku merupakan fungsi dari 9 10 konsekuensi-konsekuensinya. Perilaku operan adalah perilaku secara sukarela atau yang dipelajari dan merupakan kebalikan dari perilaku refleksi atau yang tidak dipelajari. Konsep pengondisian operan merupakan bagian dari konsep Skinner mengenai paham perilaku (behaviorism) mengatakan bahwa perilaku mengikuti rangsangan dalam cara yang relatif tidak terpikirkan. Konsepkonsep seperti perasaan dan pikiran tidak diperhitungkan dalam hal ini. Artinya, individu belajar untuk mengasosiasikan rangsangan dan respon tetapi pikiran sadar mereka terhadap asosiasi ini adalah tidak relevan. 3) Pembelajaran Sosial merupakan pandangan dimana individu dapat belajar melalui pengalaman tidak langsung ataupun pengalaman langsung yang dirasakan. Pembelajaran sosial merupakan perluasan dari pengondisian operan yang mengasumsikan bahwa perilaku adalah akibat dari konsekuensi. 2.2 Pendekatan Kontinjensi Teori kontinjensi muncul sebagai bagian yang sangat mendasar karena berbagai studi dilakukan untuk mencari sifat kontinjensi dalam akuntansi (Albernathy dan Lillis, 1995 dalam Parkinson, 2012). Pendekatan kontinjensi dapat dilakukan jika memenuhi asumsi yang menjadi ide dari pendekatan kontinjensi sebagai berikut: (a) tidak ada satupun desain organisasional yang terbaik, yang terstruktur secara pasti dan tidak terstruktur secara pasti, yang diaplikasikan dalam suatu organisasi serta (b) beragam desain organisasional tersebut memiliki peluang hasil atau kinerja yang sama. Terpenuhinya kedua asumsi tersebut merupakan syarat untuk dapat dilakukannya pengujian kontinjensi dalam bentuk seleksi natural yaitu dengan menyesuaikan perubahan jumlah populasi (Donalson, 2001 ; Gerdin dan Greve, 2008). 11 Tujuan penggunaan pendekatan kontinjensi dalam beberapa penelitian adalah untuk mengidentifikasi berbagai variabel kontinjensi yang memengaruhi perancangan dan penggunaan sistem pengendalian. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan antara satu peneliti dengan peneliti lainnya, sehingga disimpulkan bahwa terdapat variabel lain yang memengaruhinya. Perbedaan hasil temuan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan kontinjensi (Govindarajan, 1988). Pendekatan kontinjensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel yang dapat bertindak sebagai moderating dan intervening. Murray (1990) dalam Husnatarina dan Nor (2007) menjelaskan bahwa variabel moderating adalah variabel yang memengaruhi hubungan antara dua variabel. Pendekatan kontinjensi dalam penelitian ini akan digunakan untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan pelatihan dan motivasi sebagai variabel moderasi pada kinerja bendahara SKPD. Berdasarkan pendekatan diatas, ada dugaan bahwa pelatihan dan motivasi akan memoderasi pengaruh pendidikan pada kinerja bendahara SKPD. 2.3 Teori Motivasi Motivasi adalah suatu proses yang menghasilkan suatu intensitas, arah dan ketekunan individual dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan (Robbins, 2008). Sedangkan Rivai (2005) menyatakan motivasi sebagai serangkaian sikap dan nilai-nilai yang memengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Motivasi merupakan daya pendorong yang mengakibatkan seorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan 12 kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan tenaga dan waktunya untuk mengerjakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan melaksanakan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi. 2.3.1 Teori Kepuasan (Content Theory) Teori kepuasan mengungkapkan faktor-faktor dalam diri orang yang menggerakkan, mengarahkan, mendukung, dan menghentikan perilaku. Empat teori penting tentang teori kepuasan sebagai berikut: 1) Teori Hierarki Kebutuhan Teori ini dikemukakan oleh Maslow (1954) dalam Robbins (2008). Hirarki lima kebutuhan yang ada dalam diri semua manusia menurut Maslow adalah: a) Kebutuhan fisiologis mencakup rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks, dan kebutuhan jasmani lainnya. b) Kebutuhan keamanan mencakup keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional. c) Kebutuhan sosial mencakup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima dengan baik dan persahabatan. d) Penghargaan mencakup faktor rasa hormat internal (harga diri, otonomi dan prestasi) dan faktor hormat eksternal (status, pengakuan dan perhatian). e) Perwujudan diri (aktualisasi diri) mencakup dorongan untuk pertumbuhan dan pemenuhan diri. 13 Teori Maslow menganggap bahwa orang berusaha untuk memuaskan kebutuhan yang lebih mendasar sebelum mengarahkan perilakunya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (aktualisasi diri). 2) Teori ERG (Existence, relatedness, growth) Teori ERG dikemukakan oleh Alderfer (1969) dalam Robbins (2008). Ada tiga kelompok kebutuhan inti menurut Alderfer: a) Eksistensi (existence) yaitu kebutuhan yang dipuaskan oleh faktor-faktor materiil dasar seperti makanan, air, udara, gaji, dan kondisi kerja. Kebutuhan eksistensi sama dengan kebutuhan fisiologis dan keamanan pada hierarki kebutuhan Maslow. b) Hubungan (relatedness) yaitu hasrat yang dimiliki untuk memelihara hubungan antar pribadi dan hubungan sosial yang bermanfaat. Kebutuhan terhadap hubungan sama dengan kebutuhan sosial Maslow. c) Pertumbuhan (growth) yaitu hasrat intrinsik untuk perkembangan pribadi, mencakup komponen intrinsik kategori penghargaan Maslow dan karakteristik-karakteristik pada aktualisasi diri. Teori ERG berbeda dengan teori hierarki kebutuhan Maslow karena teori ini tidak menggunakan satu hierarki yang kaku seperti yang diandalkan oleh Maslow. Alderfer mengasumsikan bahwa bila suatu tingkat kebutuhan yang lebih tinggi terhambat untuk dipenuhi maka hasrat individu untuk memenuhi kebutuhan tingkat rendah meningkat kembali. 3) Teori Dua Faktor 14 Frederick Herzberg (1959) dalam Robbins (2008) berargumen bahwa hubungan seorang individu dengan pekerjaannya merupakan suatu hubungan dasar dan bahwa sikapnya terhadap kerja akan sangat menentukan kesuksesan atau kegagalan individu tersebut. Herzberg mengelompokkan faktor-faktor yang membuat orang-orang merasa puas dan tidak puas. Faktor-faktor intrinsik seperti kebijakan perusahaan, pengawasan, hubungan antar pribadi, dan kondisi kerja. Motivasi orang pada pekerjaannya dapat ditingkatkan dengan menekankan pada faktor-faktor intrinsik. 4) Teori Kebutuhan McCleland (1986) dalam Robbins (2008) berpendapat bahwa jika kebutuhan seseorang sangat kuat maka motivasi orang tersebut bertambah untuk menggunakan perilaku yang mengarah ke pemuasan kebutuhannya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan sebagai berikut: a) Kebutuhan akan prestasi (need for achievement) yaitu dorongan untuk mengungguli dan melakukan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien daripada yang telah dilakukan sebelumnya. b) Kebutuhan akan kekuasaan (need for power: nPow) yaitu hasrat untuk mempunyai dampak, berpengaruh, dan mengendalikan orang lain. Individu-individu dengan nPow yang lebih tinggi menyukai ditempatkan dalam situasi kompetitif dan berorientasi status, cenderung lebih peduli pada gengsi (prestise) dan memperoleh pengaruh terhadap orang lain daripada kinerja yang efektif. 15 c) Kebutuhan berafiliasi yaitu hasrat untuk disukai dan diterima baik oleh orang lain. Individu dengan motif afiliasi yang tinggi berjuang keras untuk persahabatan, lebih menyukai situasi kooperatif, dan sangat menginginkan hubungan yang melibatkan tingkat saling pengertian yang tinggi. 2.4 Kinerja 2.4.1 Definisi Kinerja Mardiasmo (2009) menyatakan kinerja (performance) adalah gambaran tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam rencana strategis (strategic planning) suatu organisasi. Istilah kinerja yang sering digunakan untuk menyebutkan prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok individu. Kinerja bisa diketahui hanya jika individu atau kelompok individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini merupakan tujuan atau target target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa adanya tujuan atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolok ukur. Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai dan Basri, 2005). 2.4.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja 16 Mahmudi (2007) menyatakan bahwa kinerja merupakan suatu konstruk multidimensional yang mencakup banyak faktor yang memengaruhinya. Faktorfaktor yang memengaruhi kinerja adalah: 1) Faktor personal/individual, meliputi: pendidikan, pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu; 2) Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader; 3) Faktor tim, meliputi: kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim; 4) Faktor konstektual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal. 2.4.3 Tujuan Pengukuran Kinerja Sektor Publik Sifat dan karakteristik organisasi sektor publik berbeda dengan sektor swasta, sehingga penekanan dan orientasi pengukuran kinerjanya pun terdapat perbedaan (Mahmudi, 2007). Lembaga Administrasi Negara (2000) menyatakan bahwa kinerja (performance) dalam lingkungan pemerintahan merupakan prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, hasil kerja atau unjuk kerja. Tujuan dilakukan penilaian kinerja di sektor publik adalah: 1) Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi; 2) Menyediakan sarana pembelajaran pegawai; 3) Memperbaiki kinerja periode berikutnya; 17 4) Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan pemberian reward dan punishment; 5) Memotivasi pegawai; dan 6) Menciptakan akuntabilitas publik. 18 2.5 Pendidikan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Siagian (2011) menyatakan bahwa setiap orang ingin mengembangkan kemampuannya sehingga potensi yang dimilikinya berubah menjadi kemampuan efektif. Salah satu cara untuk mengubah potensi seseorang menjadi kemampuan nyata ialah melalui pendidikan. Pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Hasbullah, 2008). Mangkunegara (2003) menyatakan bahwa tingkat pendidikan adalah suatu proses jangka panjang yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir, yang mana tenaga kerja manajerial mempelajari pemahaman konseptual dan teoritis untuk tujuan-tujuan umum. Demikian pula Hariandja (2002) menyatakan bahwa tingkat pendidikan seorang karyawan dapat meningkatkan daya saing perusahaan dan memperbaiki produktivitas perusahaan. Melalui pendidikan seseorang dipersiapkan untuk memiliki bekal agar siap tahu, mengenal dan 19 mengembangkan metode berpikir secara sistematik agar dapat memecahkan masalah yang akan dihadapi dalam kehidupan di kemudian hari Sedarmayanti (2003). Pendidikan yang berkualitas dapat mengembangkan potensi dan keterampilan yang diperlukan individu, masyarakat, bangsa dan negara. 2.6 Pelatihan Davis dan Newstorm (1985) menyatakan pelatihan untuk pegawai penting guna mengembangkan sumber daya aparatur, lebih jauh dijelaskan bahwa pendekatan sumber daya manusia bersifat lebih suportif, mampu membantu pegawai untuk berprestasi lebih baik, lebih bertanggung jawab. Diasumsikan bahwa meluasnya kemampuan dan kesempatan bagi orang-orang akan langsung mengarah pada peningkatan keefektifan pelaksanaan tugas. Pelatihan membantu karyawan dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya, guna meningkatkan keterampilan, kecakapan, dan sikap yang diperlukan organisasi dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Pelatihan menurut Dessler (2011) merupakan proses membantu para tenaga kerja untuk memperoleh efektivitas dalam pekerjaan mereka yang sekarang atau yang akan datang melalui pengembangan kebiasaan tentang pikiran, tindakan, kecakapan, pengetahuan, dan sikap yang layak. Pelatihan merupakan salah satu usaha organisasi yang sengaja dilakukan untuk meningkatkan kinerja pegawai. Moekijat (2002) menyatakan bahwa pelatihan harus bisa membantu pegawai menambah pengetahuannya dalam menjalankan tugasnya serta mampu menimbulkan perubahan kebiasaan dan sikap yang diterapkan dalam tugas. 20 Tujuan pendidikan dan pelatihan jabatan PNS menurut ketentuan pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, adalah: 1) Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi; 2) Menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa; 3) Memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat; 4) Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik. Sasaran dari pendidikan dan pelatihan dalam pasal 3 adalah terwujudnya PNS yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan persyaratan jabatan masingmasing. Dalam pasal 12 dijelaskan Diklat Teknis dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk melaksanakan tugas PNS, misalnya: diklat untuk bendahara penerimaan dan pengeluaran. Pelaksanaan pelatihan dimaksudkan untuk mendapatkan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan, keterampilan yang baik, kemampuan dan sikap yang baik untuk mengisi jabatan pekerjaan yang tersedia dengan kinerja yang tinggi, yang mampu menghasilkan hasil kerja yang baik. Kebutuhan untuk setiap pekerja sangat beragam, untuk itu pelatihan perlu dipersiapkan dan dilaksanakan sesuai dengan 21 bidang pekerjaannya, dengan demikian pekerjaan yang dihadapi akan dapat dikerjakan dengan lancar sesuai dengan prosedur yang benar. 2.7 Penelitian Sebelumnya Trisnaningsih (2004) meneliti pengaruh motivasi sebagai variabel moderasi dalam hubungan komitmen organisasi dengan kepuasan kerja. Penelitian dilakukan pada 41 responden yang berprofesi sebagai akuntan pendidik pada PTN dan PTS di Surabaya yang terdaftar pada kantor IAI, data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang dibagikan langsung kepada 37 responden. Pengujian instrumen dengan MRA hasil analisis data menunjukkan bahwa komitmen organisasi dan motivasi secara simultan dan parsial berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Trisnaningsih (2004) juga menemukan bahwa motivasi mampu memoderasi komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja sedangkan komitmen profesional terhadap kepuasan kerja tidak mampu dimoderasi oleh motivasi. Lubis (2008) menganalisis pengaruh pelatihan dan motivasi kerja terhadap kinerja karyawan PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero) Medan. Populasi penelitian sebanyak 115 orang, pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling karena yang akan diteliti kinerjanya adalah karyawan yang telah mengikuti pelatihan. Berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada 115 responden dan dianalisis dengan model analisis regresi linear berganda, menunjukkan bahwa pelatihan dan motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan baik secara parsial maupun simultan. 22 Sultana, et al (2012) menguji pengaruh gaji dan pelatihan terhadap kinerja pegawai telekomunikasi di Pakistan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang disebar kepada 360 responden. Hasil analisis regresi berganda, menunjukkan bahwa pelatihan merupakan elemen kunci untuk meningkatkan kinerja pegawai. Suryantari (2012) meneliti pengaruh kompensasi, pelatihan, kepemimpinan, lingkungan kerja, dan motivasi pada kinerja pengelolaan anggaran belanja Universitas Udayana. Responden penelitian sebanyak 120 orang, menggunakan metode survei dengan teknik kuesioner. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa variabel kompensasi, pelatihan, kepemimpinan, lingkungan kerja dan motivasi secara parsial berpengaruh positif signifikan, dan motivasi merupakan variabel bebas yang paling dominan memengaruhi kinerja pengelolaan anggaran. Penelitian Widodo (2013) menganalisis pengaruh faktor pendidikan, motivasi dan budaya kerja terhadap kinerja pegawai dalam pelaksanaan pelayanan publik. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan survei menggunakan kuesioner yang ditujukan kepada 35 responden. Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa pendidikan berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja pegawai sedangkan hubungan antara motivasi dengan kinerja pegawai positif dan signifikan. Suantara (2014) meneliti pengaruh independensi, keahlian profesional dan pengalaman kerja auditor internal terhadap efektivitas sistem pengendalian 23 internal dengan motivasi sebagai variabel moderasi. Hasil pengujian hipotesis adalah independensi, keahlian profesional dan pengalaman kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas sistem pengendalian internal, dan motivasi mampu menjadi variabel moderasi pengaruh independensi, keahlian profesional dan pengalaman kerja auditor internal terhadap efektivitas sistem pengendalian internal. Pakpahan dkk. (2014) meneliti pengaruh pendidikan dan pelatihan pada kinerja pegawai. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksplanatori dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menghasilkan bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai sedangkan pelatihan tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Lampiran 1.