5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa Indonesia merupakan negara terbesar penghasil kelapa dan terluas areal kelapanya di dunia (APCC, 2006). Produksi kelapa Indonesia pada tahun 2005 sebesar 3.290.477 MT ekuivalen kopra dengan luas areal 3.898.418 Ha. Dari produksi tersebut, kebutuhan konsumsi dalam negeri Indonesia 2.350.604 MT ekuivalen kopra atau 71,44 % dari total produksi dan sisanya 28,56 % diekspor. Potensi kelapa negara-negara di dunia disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Luas areal kelapa negara-negara potensi terbesar ( x 1000 Ha ) No Negara 2002 3.885 Tahun 2003 3.911 1 Indonesia 2001 3.897 2004 3.870 2005 3.898 2 Filipina 3.149 3.182 3.217 3.259 3.243 3 India 1.840 1.892 1.919 1.899 1.935 4 Sri Lanka 442 442 442 395 395 5 Thailand 326 327 328 343 344 6 Tanzania 310 310 310 310 310 7 Papua New Guinea 260 260 260 260 260 8 Brazil 263 263 271 275 281 9 Mexico 171 171 148 148 150 10 Vietnam 165 165 136 133 132 11 Malaysia 159 159 131 131 130 12 Mozambique 90 70 70 70 70 Sumber : APCC, 2006 Indonesia tergabung dalam organisasi negara-negara penghasil kelapa di dunia yaitu Asian and Pacific Coconut Community (APCC). Tabel 1 menunjukkan, untuk beberapa tahun ke depan, Indonesia diperkirakan akan 6 terus menjadi negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah Indonesia yang memasukkan kelapa ke dalam komoditas klaster industri prioritas terpilih untuk dikembangkan (Departemen Perindustrian, 2005). Potensi ini juga ditunjang dengan tanah yang subur dan iklim yang cocok untuk pertumbuhan kelapa dibanding dengan negara pesaing lainnya seperti Filipina. Filipina sebagai pesaing Indonesia mempunyai iklim subtropis, sehingga yang cocok dan baik untuk ditanami kelapa hanyalah daerah bagian selatan Filipina. Di daerahdaerah beriklim subtropis tersebut juga sering terjadi badai topan yang merusak tanaman kelapa. Seperti terlihat pada Tabel 1, Filipina merupakan negara dengan luas areal kelapa kedua terbesar setelah Indonesia yaitu 3.243.000 Ha pada tahun 2005. Dengan luas areal kelapa tersebut Filipina dapat memproduksi kelapa 2.811.200 MT ekuivalen kopra. Dari produksi sejumlah itu, konsumsi dalam negeri Filipina hanya 468.000 MT equivalen kopra, sehingga nilai total ekspor kelapa serta produk olahannya sebesar $ US 964.606.787. Sementara itu Indonesia dari sektor ekspor kelapa dan produk olahannya hanya mempunyai nilai total ekspor $ US 526.288.000 (APCC, 2006). Ekspor Filipina terbesar adalah dari minyak kelapa dan kemudian kelapa segar, sementara itu Indonesia ekspor terbesarnya dari minyak kelapa dan kemudian bungkil kopra. Filipina tidak mengekspor kopra namun sudah mampu ekspor 11 macam produk termasuk kelapa segar, dan produk olahan serta turunannya seperti fatty alcohol, fatty acid, methyl ester, alkanolamide. Indonesia hanya mengekspor 7 macam produk kelapa yaitu minyak kelapa, bungkil kopra, desiccated coconut, arang tempurung, kopra, arang aktif dan tempurung kelapa. Berdasarkan data di atas dan kenyataanya walaupun Indonesia sebagai negara dengan potensi kelapa terbesar di dunia, namun dalam industri pengolahan kelapanya ketinggalan oleh Filipina. Pengolahan kelapa di Indonesia umumnya dalam bentuk minyak kelapa. Namun demikian, industri pengolahan minyak kelapa relatif kurang berkembang apabila hanya diperuntukkan bagi kebutuhan rumah tangga, karena relatif tidak dapat 7 bersaing dengan minyak sawit. Dilaporkan juga bahwa beberapa produsen dan pengrajin minyak kelapa sudah tidak beroperasi lagi karena relatif kurang menguntungkan. Namun demikian, di Indonesia terdapat pengolahan kelapa terpadu terbesar di dunia yaitu di PT. Pulau Sambu Group yang terletak di Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau. Berdasarkan hasil survey tim proyek DIPA BBIA (Hanafiah et al, 2006), dilaporkan bahwa Sambu Group terdiri dari PT. Pulau Sambu Guntung, PT. Pulau Sambu Kuala Enok dan PT. Riau Sakti Plantation. Dari Sambu Group, PT. Pulau Sambu Guntung merupakan perusahaan yang terbanyak memproduksi berbagai produk olahan buah kelapa, seperti desiccated coconut, coconut cream, coconut milk powder, coconut cream paste, coconut cream square, minyak kelapa mentah, bungkil kelapa, minyak murni kelapa (virgin coconut oil), pina colada, mango colada, passion colada, activade sport drink, Sweetened Coconut Milk dan activated carbon. Produkproduk tersebut sebagian besar diekspor ke negara-negara di Asia dan Eropa. Produk yang dipasarkan di dalam negeri misalnya coconut cream atau santan awet dalam kemasan aseptis. Klaster industri pengolahan kelapa di Indonesia masih mempunyai berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut misalnya produktivitas kelapa masih relatif rendah seperti terlihat pada Tabel 2, kepemilikan lahan usaha tani sangat sempit rata-rata 0,5 ha per keluarga dengan pola usaha monokultur dan tersebar, pengetahuan petani mengenai budidaya masih terbatas, sebagian besar pohon kelapa sudah tua, serta sebagian besar merupakan perkebunan rakyat. Permasalahan lain yang masih perlu dibenahi adalah penguasaan teknologi pengolahan kelapa masih belum optimal, dan kemampuan sumber daya manusia dalam penguasaan teknologi proses masih kurang, diversifikasi produk dengan nilai tambah tinggi kurang berkembang, serta kurangnya tenaga profesional yang menguasai teknologi dan bisnis produk-produk industri hilir berbasis kelapa. 8 Tabel 2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain No Negara 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Indonesia Philipina India Sri Lanka Thailand Tanzania Brazil Papua New Guinea Mexico Vietnam Malayasia Vanuatu Myanmar China Produktivitas kelapa (butir/hektar/tahun) 4.235 4.334 6.632 5.608 3.500 1.492 13.496 3.125 7.917 5.132 3.008 3.125 10.671 12.500 Sumber : Diolah dari APCC, 2006 Berdasarkan Tabel 2, produktivitas kelapa Indonesia 4.235 butir kelapa per hektar per tahun masih rendah dibanding negara-negara penghasil kelapa lainnya misalnya Philipina, India, Sri Lanka, Brazil, Mexico, Vietnam, Myanmar dan Cina. Brazil, Cina, Myanmar dan Mexico merupakan negaranegara penghasil kelapa dengan produktivitas tertinggi yaitu masing-masing 13.496, 12.500, 10.671 dan 7.917 butir kelapa per hektar per tahun. Tabel 3 memperlihatkan daerah-daerah sentra kelapa di Indonesia. Daerah sentra kelapa yang berpotensi mulai dari yang terbesar adalah Propinsi Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan lain-lain. Berdasarkan data dari Pemda Propinsi Riau (Rusli, 2006), pembangunan perkebunan kelapa di Propinsi Riau tahun 2005 merupakan prioritas kedua setelah kelapa sawit, dan prioritas ketiga adalah karet. Potensi kelapa di Propinsi Riau sebagian besar atau seluas 81 % berada di kabupaten Indragiri Hilir, kemudian kabupaten Bengkalis seluas 11,39 % dan kabupaten Pelalauan 4,83 %. Perkebunan kelapa di propinsi Riau 90,88 % merupakan perkebunan rakyat dengan jumlah petani sebanyak 279.942 KK, sedangkan 9,12 % merupakan perkebunan besar swasta Nasional. 9 Tabel 3 Potensi sentra kelapa Indonesia berdasarkan propinsi, 2005 Propinsi A. Sumatera 1. Aceh 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Riau Kepulauan 6. Jambi 7. Sumatera Selatan 8. Bangka Belitung 9. Lampung 10. Bengkulu Area Produksi Ha % MT % 1.348.604 34,59 1.111.570 33,78 114.346 2,93 79.222 2,41 138.575 3,55 115.489 3,51 91.068 2,34 75.934 2,31 598.776 15,36 510.021 15,50 43.446 1,11 16.630 0,51 128.951 3,31 134.918 4,10 56.858 1,46 42.752 1,30 14.119 0,36 7.253 0,22 148.786 3,82 122.522 3,72 13.679 0,35 6.829 0,21 B. Jawa 11. Jawa Barat 12. Banten 13. Jawa Tengah 14. Jawa Timur 15. D.I. Jogyakarta 891.896 180.558 103.665 271.444 292.099 44.130 22,88 4,63 2,66 6,96 7,49 1,13 736.179 162.647 52.305 209.352 265.292 46.583 22,37 4,94 1,59 6,36 8,06 1,42 C. Bali 73.030 1,87 75.808 2,30 D. Kalimantan 16. Kalimantan Barat 17. Kalimantan Selatan 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Timur 294.355 112.185 51.784 83.846 46.540 7,55 2,88 1,33 2,15 1,19 222.888 50.846 32.986 94.007 45.049 6,77 1,55 1,00 2,86 1,37 E. Sulawesi 20. Sulawesi Utara 21. Gorontalo 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan 24. Sulawesi Tenggara 730.176 259.535 55.949 173.840 190.668 50.184 18,73 6,66 1,44 4,46 4,89 1,29 728.780 247.186 61.412 196.638 187.322 36.222 22,15 7,51 1,87 5,98 5,69 1,10 F. Nusa Tenggara 25. Nusa Tenggara Barat 26. Nusa Tenggara Timur 223.090 68.088 155.002 5,72 1,75 3,98 119.974 66.170 53.804 3,65 2,01 1,64 G. Maluku + Papua 27. Maluku 28. Maluku Utara 29. Papua 30. Irian Jaya Barat 337.267 93.443 200.922 30.951 11.951 8,65 2,40 5,15 0,79 0,31 295.278 71.805 208.595 7.546 7.332 8,97 2,18 6,34 0,23 0,22 3.898.418 100 3.290.477 100 TOTAL Sumber : APCC, 2006 10 Industri pengolahan kelapa di Indonesia tersebar hampir ke setiap propinsi, mulai dari yang skala kecil, menengah sampai dengan besar, bahkan modern. Pohon kelapa biasa dikatakan sebagai pohon kehidupan atau tree of life sebab hampir semua bagian pohon kelapa mulai dari akar, batang, buah, dan daunnya dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia, seperti terlihat pada Gambar 1. Masing-masing bagian dari pohon kelapa tersebut mempunyai industri pengolahannya. Bingkai Lemari Tempat Buah Janur Keranjang Sampah Tatakan Sapu Lidi Sarang Ketupat Keranjang Sampah Asinan Bonggol/Kelapa Muda/Ubod In Brine Lumpia Jenewer/Gin/ Lambanog Tuba Gula Kipas Sandal Kipas Topi Daun Tas Tangan Air Kelapa Buko Segar Daging Buah Kelapa Kue Kelapa Manisan Manisan Serutan Kelapa Serutan Kelapa Kelapa Muda Salad Kelapa Daging Buah Segar Pucuk Daun Ragi Tuba Air Kelapa Buah Kelapa VCO Kelapa Tua Pelepah Kering Batang Kelapa Daging Kelapa Parut Kulit Ari Daging Kelapa Perabot Tempurung Kelapa Kayu Balok Kayu Gelondongan Bahan Bangunan Papan Kayu Bahan Obat-obatan Bahan Pewarna/ Akar Bahan Celup Bahan Obat-obatan Root Beer Sabut Kelapa © BBIA Depperind Es Krim Minyak Goreng Bahan Kimia Cat Gliserin Krim Rambut Minyak Mentah Minyak Rambut Sabun Cuci Sabun Mandi Shampo Minyak Goreng Cat Gliserin Minyak Rambut Krim Minyak Goreng Rambut Shampo Krim Santan Lemak Permen Ampas Kelapa Rendah Lemak Susu Iris Margarin Biskuit Susu Kelapa Margarin Biskuit Tepung Santan Tepung Santan Makaron Kering Kelapa Parut Kering Bubuk Susu Susu Kocok Santan Kelapa Kue Kelapa Kering Kue Kelapa Arang Celengan Minyak Semi Murni Hiasan Dinding Arang Vas Bunga Tepung Batok Kelapa Arang Aktif Papan Genteng Minyak yang dapat dimakan Makanan Ternak Bungkil Kelapa Pelet Kopra Minyak yang tidak dapat dimakan VCO Manggar Kelapa Topi Asbak Asesoris Meja Bangku Duduk Santai Binkai Lukisant Cawan Meja Komputer Pemberat Kertas Tempat Buah Tempat Klip Tropi Dan Kreasi Lainnya Kopra Cuka Kelapa Cuka Kelapa Kecap Kelapa Pengganti Dekstrosa Sari Kelapa Bahan Pembersih Bahan Pemurni Bahan Penyerap Karbon Aktif Ikat Pinggang Tali Sikat Keset Karpet Insulator Pewarna Batako Isi Jok Kursi Batik Gantungan Bunga Pres Patung Kecil Penyaring/Filter Air Pewarna Batik Insulator Gumpalan Benang ikat Karpet Batako Pres Katalisator Obat Nyamuk Gambar 1 Pohon industri pengolahan kelapa. Seperti terlihat pada Gambar 1, misalnya untuk buah kelapa, mulai dari sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa dapat dimanfaatkan untuk industri hilir, baik untuk keperluan rumah tangga, pangan, kosmetik, farmasi dan lain-lain. Daging buah kelapa dapat diolah selanjutnya menjadi virgin coconut oil (VCO), kopra, minyak kelapa, desiccated coconut, minyak goreng dan lain-lain. Produk turunan dari minyak kelapa dapat diolah kemudian menjadi sabun, sampho, minyak rambut, gliserin, cat, dan lain-lain. 11 Produk utama dari olahan kelapa adalah minyak kelapa. Komposisi kimia minyak kelapa berbeda dengan komposisi kimia sumber minyak lainnya baik yang berasal dari nabati maupun hewani. Keunikan minyak kelapa, yaitu kaya akan kandungan asam-asam lemak jenuh berantai pendek dan berantai menengah. Satu-satunya minyak yang komposisi kimiawinya mirip dengan minyak kelapa adalah minyak biji sawit atau palm kernel oil (PKO). Sebagai perbandingan komposisi asam-asam lemak berbagai sumber minyak nabati dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati lain (%) Jenuh : C6:0 kaproat C8:0 kaprilat C10:0 kaprat C12:0 laurat C14:0 miristat C16:0 palmitat C18:0 stearat C20:0 arahidat Tidak jenuh : C16:1 palmitoleat C18:1 oleat C18:2 linoleat C18:3 linolenat C20:4 arahidonat Total Persen tidak jenuh Sumber minyak Jagung Kedelai Kelapa Biji sawit Sawit 0,50 8,00 7,00 48,00 17,00 9,00 2,00 0,10 0,30 3,90 4,00 49,60 16,00 8,00 2,40 0,10 0,30 1,10 45,20 4,70 0,20 11,50 2,20 0,20 0,10 6,00 2,30 100,00 8,40 13,70 2,00 100,00 15,70 38,80 9,40 0,30 100,00 48,50 26,60 58,70 0,80 100,00 86,10 safflower sunflower 0,10 10,50 3,20 0,20 0,10 6,50 2,40 0,20 0,50 0,20 6,80 4,70 0,40 22,30 54,50 8,30 0,90 100,00 86,00 13,10 77,70 100,00 90,80 0,10 18,60 68,20 0,50 100,00 87,40 Sumber : Thampan (1998) Seperti terlihat pada Tabel 4, minyak kelapa mengandung 92 % asam lemak jenuh, yang tediri dari 48 % asam laurat (C12 : 0), 17 % asam miristat (C14 : 0) dan lain-lain. Berbeda dengan minyak lainnya seperti misalnya minyak jagung, minyak kedelai, minyak safflower dan minyak sunflower yang dominan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh. Sehingga dari kondisi ini, minyak kelapa biasa juga dikenal dengan minyak sumber asam laurat. Minyak kelapa kandungan asam-asam lemak jenuhnya tinggi, sehingga minyak kelapa relatif lebih stabil terhadap oksidasi dibanding minyak-minyak tak jenuh. 12 B. Virgin Coconut Oil (VCO) Mulai era tahun 2000-an, baik di negara potensi kelapa seperti halnya di Indonesia, Philippina dan India, bahkan juga di negara-negara yang tidak tumbuh kelapa pun seperti halnya di negara-negara Amerika dan Eropa, produk olahan kelapa ramai dicari orang. Primadona produk olahan kelapa di dunia yang kemungkinan akan terus berjaya sepanjang masa adalah minyak murni kelapa atau dikenal dunia dengan istilah virgin coconut oil atau VCO. Selain itu kelapa juga memegang peranan dalam sumber energi masa depan yang tidak akan habis-habisnya yaitu apabila dibuat produk cocodiesel. VCO banyak dibuat orang dengan berbagai macam metode pembuatannya. Masing-masing produsen VCO saling mengunggulkan kualitas produknya dengan diantaranya ada yang mengklaim tidak boleh menggunakan panas dan sebagainya. Lebih jelasnya berikut ini disajikan definisi aslinya (dalam bahasa Inggris) dari istilah virgin tersebut. Deskripsi Virgin Fats/Oils (Codex, 2001 ): Virgin Fats and Oils means edible vegetable fats and oils obtained by mechanical procedures and the application of heat only. They may have been purified by washing with water, settling, filtering and centrifuging only. Definisi menurut Asian and Pacific Coconut Community, Coconut oil is derived from the kernel / meal / copra of the coconut (Cocos nucifera L.). Virgin coconut oil is obtained from the fresh and mature kernel of coconut by mechanical or natural means with or without the application of heat, which does not lead to alteration of the oil. Virgin coconut oil is suitable for human consumption in its natural state (APCC, 2004b). Definisi menurut Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 hasil rapat 21 Nopember 2006 di Departemen Perindustrian (BSN, 2006), VCO yaitu minyak yang diperoleh dari daging buah kelapa (Cocos nucifera L) tua yang segar dan diproses dengan diperas dengan atau tanpa penambahan air, tanpa pemanasan atau pemanasan tidak lebih dari 60 oC dan aman dikonsusmsi manusia. Apabila diamati dari definisi-definisi tersebut, maka suatu produk disebut virgin apabila dalam proses pembuatannya tidak menggunakan proses pemurnian secara kimiawi dan tidak secara tersirat menyebutkan tidak boleh menggunakan panas. 13 Sementara itu definisi minyak goreng menurut SNI 01 – 3741 – 2002 adalah minyak yang diperoleh dengan cara memurnikan minyak makan nabati. Sementara itu menurut Codex Stan 210 Edible vegetable oils adalah bahan pangan yang utamanya terdiri dari beberapa gliserida asam-asam lemak yang hanya diperoleh dari sumber nabati. Bahan pangan ini bisa juga secara alami mengandung sejumlah kecil lemak-lemak lainnya seperti fosfatida, bahan tidak tersabunkan, dan beberapa asam-asam lemak bebas. Dijelaskan lebih lanjut bahwa minyak kelapa adalah minyak yang diperoleh dari daging buah kelapa (Cocos nucifera L) Berdasarkan hasil penelitian para ahli di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Filipina, India dan lain-lain, VCO mempunyai banyak manfaat dan khasiat untuk kesehatan. Menurut Fife (2001) VCO berkhasiat untuk membantu mengurangi resiko penyakit aterosklerosis, mendukung sistem fungsi kekebalan, membantu mencegah osteoporosis, membantu mengendalikan penyakit diabetes, penyedia sumber energi spontan, membantu menjaga kehalusan kulit, mengurangi resiko kanker, menghancurkan virusvirus membahayakan seperti halnya herpes, hepatitis C dan HIV, mengurangi berat badan, memperbaiki sistem pencernaan dan penyerapan nutrisi, membantu mencegah penuaan dan pengkerutan kulit dan lain-lain. Berikut ini pengalaman orang-orang yang menggunakan VCO (Sukartin dan Maloedyn, 2005), VCO dapat menurunkan gula darah dan meningkatkan stamina, menyembuhkan penyakit radang tenggorokan, menyembuhkan jari-jari yang sakit dan kaku, tidak meningkatkan kolesterol dan berat badan, menyembuhkan penyakit stroke, menyembuhkan penyakit jantung, menghentikan pembengkakan prostat, perdarahan akibat menyembuhkan ambeien, penyakit menyembuhkan kanker payudara, menyembuhkan bintik merah dan gatal, menyembuhkan penyakit asam urat dan vertigo, menguatkan sistem saraf dan memperbaiki darah, serta meredakan penyakit hepatitis Sudah dikenal berbagai macam metode pembuatan VCO, misalnya metode fermentasi, enzimatis, pemancingan, pemanasan bertingkat, metode sentrifusi, metode pengepresan semi basah dan lain-lain. Metode fermentasi 14 di Indonesia banyak dikembangkan oleh LIPI, IPB dan perguruan tinggi lainnya serta lembaga riset lainnya. Metode pemancingan dikembangkan oleh UGM. Metode pemanasan bertingkat dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Departemen Pertanian, Manado. Metode pengepresan semi basah dikembangkan oleh Balai Besar Industri Agro, Departemen Perindustrian Bogor. Sementara itu metode pembuatan VCO di Filipina banyak yang mengembangkan teknologi mekanis (Hanafiah et al. 2006), Proses pembuatan minyak murni dengan cara fermentasi dapat dijelaskan sebagai berikut (Sukartin dan Maloedyn, 2005). Daging buah kelapa segar dibuat santan, santan didiamkan selama 2 – 3 jam, pemisahan santan pekat, santan pekat atau krim dicampur dengan cuka nira perbandingan 2 sendok makan cuka nira untuk 1 liter krim santan yang diaduk sampai merata, didiamkan atau difermentasi selama 10 – 24 jam, pemisahan minyak dari blondo dan air, penyaringan minyak dengan kertas saring dan zeolit, dan pembotolan. Untuk proses fermentasi dapat juga menggunakan ragi roti, atau ragi tape. Disampaikan lebih lanjut bahwa untuk proses pembuatan VCO metode enzimatis, bedanya pada tahap pemeraman krim, krim dicampur dengan enzim pemecah lemak misalnya enzim poligalakturonase, amilase, atau pektinase. Sementara itu menurut Sukartin dan Maloedyn (2005), tahap-tahap pembuatan minyak murni metode pemancingan hampir sama dengan teknologi fermentasi dan enzimatis. Bedanya setelah didapat krim, krim kemudian ditambah dengan minyak murni yang sudah jadi dengan perbandingan 1 bagian minyak murni dicampur rata dengan 3 bagian krim, campuran tersebut kemudian didiamkan selama 8 jam atau lebih sampai terbentuk 3 lapisan. Lapisan tersebut yaitu minyak, blondo dan air. Tahap selanjutnya sama dengan tahap-tahap pada proses fermentasi atau enzimatis. Pembuatan VCO metode pemanasan bertingkat dapat diuraikan seperti berikut ini (Rindengan dan Hengky, 2005). Daging kelapa segar dibuat santan, pemisahan santan kental atau bagian krim dari bagian air, pemanasan krim, 15 pemisahan minyak dari blondo mentah, pemanasan minyak yang dihasilkan dari pemanasan krim, dan penyaringan minyak serta pembotolan. Metode pengepresan semi basah atau teknologi intermediate moisture content atau IMC yang dikembangkan di Balai Besar Industri Agro (BBIA) didasarkan atas hasil penelitian pertama kali yang dilakukan oleh Natural Resources Institute (NRI) Inggris yang mengekstrak minyak menggunakan tekanan rendah (525 psig) pada kondisi kadar air bahan baku daging kelapa sekitar 11 sampai dengan 15 % (NRI, 1998). Pada kondisi kadar air tersebut kemudian daging kelapa dipres menggunakan tekanan rendah (525 psig) untuk mendapatkan minyaknya. Dilaporkan bahwa teknik pelaksanaan yang dilakukan untuk mencapai kondisi kadar air tersebut (yang disebut kemudian dengan nama kondisi semi basah atau intermediate moisture content) dengan dua cara yaitu mencampur daging kelapa segar parut dengan daging kelapa parut kering pada perbandingan tertentu atau dengan cara mengeringkan langsung daging kelapa parut segar kemudian dites tingkat kekeringannya dengan metode squeeze test. Tes tingkat kekeringan metode squeeze test dilakukan dengan cara peremasan daging buah kelapa parut menggunakan tangan pada waktu tertentu pada saat proses pengeringan. Pada tes tingkat kekeringan tersebut terjadi tiga kemungkinan. Pertama apabila keluar cairan putih di antara sela-sela jari, berarti tingkat kekeringan belum cukup atau masih basah dan proses pengeringan harus dilanjutkan lagi, kedua apabila tidak keluar sama sekali cairan berarti bahan terlalu kering untuk dipres dan ketiga apabila keluar cairan bening berarti proses pengeringan tersebut sudah cukup untuk selanjutnya dilakukan proses pengepresan. Alat pengepres yang digunakan NRI untuk mengekstrak minyak metode pengepresan semi basah adalah alat pres tipe bridge press atau spindle press. Tipe alat pres tersebut dirancang menggunakan tekanan rendah yaitu sekitar 525 psig (Tillekeratne et al, 1998). Lebih lanjut dilaporkan bahwa pada tekanan tersebut dengan kondisi kadar air bahan sekitar 12 % dapat mengekstrak minyak sebesar 61 %. Dalam penelitian yang dilakukan di BBIA (Supriatna et al., 2000) digunakan alat pres tipe yang sama dengan sedikit 16 menggunakan pengembangan atau perbaikan dalam bentuk wadah produk yang akan dipres dan dilengkapi dengan dongkrak dari bagian bawah alat pres tersebut. Metode pengepresan semi basah dibanding teknologi lain mempunyai beberapa kelebihan yaitu : • Peralatan dapat dibuat di dalam negeri secara lokal dengan harga relatif murah. • Keseluruhan proses dapat selesai dalam waktu sehari, dan minyak yang dihasilkan berkualitas baik tanpa perlu melalui proses pemurnian kimiawi. • Minyak yang dihasilkan jernih tidak berwarna, sehingga akan lebih bagus kalau digunakan sebagai bahan baku kosmetik, farmasi serta untuk lulur dan pijat di “Spa” atau salon-salon kecantikan. • Ampas sisa pengepresan merupakan kelapa parut kering berlemak rendah sebagai bahan baku pembuatan kue serta dapat digunakan juga untuk bahan makanan ternak Untuk lebih meningkatkan kualitas produk, minyak hasil proses pengepresan dalam penelitian kemudian dilakukan proses penjernihan menggunakan arang aktif, pengurangan aroma kelapa dengan pencucian menggunakan air hangat, dekantasi, penyaringan dan pemanasan vacuum untuk mengurangi kadar airnya, serta ditambahkan antioksidan alami yaitu tocoferol untuk memperpanjang daya tahan simpannya. Antioksidan alami yang ditambahkan yaitu tocoferol atau vitamin E juga akan berguna untuk menambah fungsi VCO untuk peremajaan kulit dan pemeliharaan rambut. Metode-metode pembuatan VCO tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pada Tabel 5 disajikan kekurangan dan kelebihan berbagai macam metode pengolahan VCO (Supriatna et al., 2006). Idealnya waktu proses pembuatan VCO lebih cepat, VCO yang dihasilkan akan lebih bagus kualitasnya. Seperti terlihat pada Tabel 5, waktu proses masing-masing metode bervariasi sehingga akan menghasilkan VCO dengan kualitas berbeda. Waktu proses lebih lama akan menghasilkan VCO yang beraroma asam dan cenderung tengik. 17 Tabel 5 Kekurangan dan kelebihan berbagai metode pembuatan VCO No Penggunaan Panas Total Waktu Proses (Jam)* Metode Proses Investasi 1 Pemanasan bertingkat Relatif murah Panas 10 – 12 2 Pemancingan Relatif murah Tanpa panas 10 – 24 3 Fermentasi Relatif murah Tanpa panas 12 – 36 4 Enzimatis Relatif mahal Tanpa panas 14 - 18 5 Sentrifusi Relatif mahal Tanpa panas 7–8 6 Pengepresan Semi Basah Relatif mahal Panas minimal 8 – 10 * Keterangan : Lama proses dari jumlah kapasitas batch yang sama Sementara itu menurut APCC (2004a), metode proses pembuatan VCO diantaranya yaitu metode Fresh-Dry and Wet Miling Route, metode Fresh-Dry and Desiccated Coconut Route, Fresh-Dry and Grated Nut Route, metode Low Pressure Extraction, metode Modified Natural Fermentation, metode Single-Double Stage Centrifuge, dan metode Bawalan-Masa. Dari berbagai macam metode proses tersebut dalam penggunaannya harus diperhitungkan kelayakan investasinya. Nilai investasi peralatan dan mesin yang tinggi harus diimbangi dengan adanya jaminan kualitas yang lebih bagus. Standar Nasional Indonesia untuk VCO masih dalam tahap proses untuk ditetapkan. Tabel 6, merupakan rancangan SNI untuk VCO hasil pertemuan 21 Nopember 2006 di Departemen Perindustrian. 18 Tabel 6 Draft Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 Mutu VCO No 1. 2. 3. Kriteria Uji Keadaan : 1.1. Bau Satuan - 1.2. Rasa - 1.3. Warna - Air dan senyawa yang menguap Bilangan Iod 4. 5. 6. Asam Lemak Bebas Bilangan Peroksida Asam Lemak : 6.1. Asam Kaproat (C 6 : 0) 6.2. Asam Kaprilat (C 8 : 0 6.3. Asam Kaprat (C 10 : 0) 6.4. Asam Laurat (C 12 : 0) 6.5. Asam Miristat (C 14 : 0) 6.6. Asam Palmitat (C 16 : 0) 6.7. Asam Stearat (C 18 : 0) 6.8. Asam Oleat (C 18 : 1) 6.9. Asam Linoleat (C 18 : 2) 6.10. Asam Linolenat (C 18 : 3) 7. Cemaran Mikroba : 7.1. Angka Lempeng Total 8. Cemaran Logam : 8.1. Timbal (Pb) 8.2. Tembaga (Cu) 8.3. Besi (Fe) 8.4. Cadmium (Cd) 9. Cemaran Arsen (As) Sumber : BSN (2006) % g Iod/100 g contoh % mg ek/kg % % % % % % % % % % Persyaratan Khas kelapa segar, tidak tengik Normal, khas minyak kelapa Tidak berwarna hingga kuning pucat Maks 0,2 4,1 – 11,0 Maks 0,2 Maks 2,0 Tidak terdeteksi – 0,7 4,6 – 10,0 5,0 – 8,0 45,1 – 53,2 16,8 – 21,0 7,5 – 10,2 2,0 – 4,0 5,0 – 10,0 1,0 – 2,5 Tidak terdeteksi – 0,2 koloni/ml Maks. 10 mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks. 0,1 Maks. 0,4 Maks. 5,0 Maks. 0,1 Maks. 0,1 Sementara itu standar mutu VCO yang dikeluarkan APCC sudah ditetapkan pada waktu kegiatan APCC session di Kiribati pada tahun 2004. Standar mutu VCO yang ditetapkan APCC dapat dilihat pada Tabel 7. Seperti terlihat pada Tabel 6 dan Tabel 7, standar mutu VCO relatif tidak begitu berbeda antara RSNI dan APCC. Prakteknya standar yang dipergunakan di lapangan umumnya mengacu juga pada standar yang dikeluarkan oleh calon konsumen atau negara tujuan ekspor. 19 Tabel 7 Standar Mutu VCO Menurut APCC No A Identity Characteristic 1. • Relative Density 2. • Refractive Index at 40oC 3. • Moisture % wt. max 4. • Insoluble impurities per cent by mass max. 5. • Saponification Value 6. • Iodine Value 7. • Unsaponifiable matter % by mass max. 8. • Specific gravity at 30 deg./30 deg.C 9. • Acid Value max. 10. • Poleske Value min. B GLC Ranges of Fatty Acid Composition (%) 1. • C6:0 2. • C8:0 3. • C 10 : 0 (Capric acid) 4. • C 12 : 0 (Lauric acid) 5. • C 14 : 0 (Miristic acid) 6. • C 16 : 0 (Palmitic acid) 7. • C 18 : 0 (Stearic acid) 8. • C 18 : 1 (Oleic acid) 9. • C 18 : 2 (Linoleic acid) 10. • C 18 : 3 – C 24 : 1 (Linolenic acid) C 1. 2. 3. 4. Quality Characteristics • Colour • Free Fatty Acid • Peroxide Value • Total Plate Count D Odour and Taste E 1. 2. 3. 4. 5. Contaminats • Matter volatile at 105 oC • Iron (Fe) • Copper • Lead • Arsenic Standar APCC 0.915 – 0.920 1.4480 – 1.4492 0.1 – 0.5 0.05 250 – 260 4.1 – 11.0 0.2 – 0.5 0.915 – 0.920 0.5 13 0.4 – 0.6 5.0 – 10.0 4.5 – 8.0 43.0 – 53.0 16.0 – 21.0 7.5 – 10.0 2.0 – 4.0 5.0 – 10.0 1.0 – 2.5 < 0.5 Water clean ≤ 0.5 % ≤ 3 meq/kg oil < 10 cfu Free from foreign and rancid odour and taste 0.2 % 5 mg/kg 0.4 mg/kg 0.1 mg/kg 0.1 mg/kg Sumber : APCC, (2004b) Tersedianya standar mutu, baik internasional yaitu dari APCC maupun nasional, akan menjadi patokan para produsen VCO. VCO yang memenuhi standar akan terus berkembang di pasaran, sementara itu VCO yang tidak memenuhi standar tidak akan berkembang. 20 C. Asam Lemak Jenuh Rantai Medium Berdasarkan struktur kimianya, lemak terdiri dari lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Lemak jenuh adalah suatu jenis lemak dimana antara atom karbon penyusunnya tidak ada ikatan rangkap, sedangkan lemak tidak jenuh adalah apabila diantara atom karbon penyusunnya terdapat satu atau lebih ikatan rangkap. Lemak jenuh biasanya bersumber atau berasal dari hewani misalnya daging, susu, telur dan lain-lain. Sedangkan lemak tidak jenuh biasanya sumbernya adalah nabati misalnya minyak jagung, kedelai, kanola, bunga matahari dan lain-lain. Namun demikian sumber lemak jenuh pun biasa juga didapat dari minyak kelapa dan minyak biji sawit. Dinyatakan oleh Thampan (1998), bahwa lemak jenuh kelapa 91,6 %, biji sawit 84,3%, sawit 41,5%, jagung 13,9 %, kedelai 14 %, safflower 9,2 % dan sunflower 12,6 %. Lebih lanjut dinyatakan bahwa lemak jenuh minyak kelapa didominasi oleh lemak jenuh berantai medium sekitar 63 – 67 % dari total asam-asam lemak atau sekitar 69 – 72 % dari total asam lemak jenuh. Dilaporkan juga bahwa minyak kelapa kadang-kadang disebut sebagai asam laurat, sebab sekitar 4952 % dari asam-asam lemak adalah asam laurat. Peranan minyak jenuh di perdagangan tingkat dunia pernah mengalami kemerosotan bahkan menjadikan suatu momok yang menakutkan untuk kesehatan konsumen. Hal tersebut sengaja dikondisikan oleh negara-negara penghasil minyak jagung ataupun minyak kedelai sebagai kampanye negatif karena di negaranya tidak tumbuh kelapa. Minyak kelapa dan minyak sawit yang disebut tropical oil oleh American Soybean Association didiskreditkan bahwa mengandung banyak lemak jenuh yang dapat menimbulkan penyakit penyempitan pembuluh darah ataupun penyakit jantung. Sehingga penduduk khususnya di Amerika Serikat dan umumnya dunia diarahkan untuk menggunakan minyak kacang kedelai ataupun minyak jagung dan tidak boleh menggunakan minyak kelapa ataupun sawit. Minyak jagung ataupun minyak kedelai termasuk sumber atau didominasi lemak tidak jenuh yang tidak stabil terhadap oksidasi dan ketengikan. Supaya stabil minyak tersebut dihidrogenasi parsial sehingga membentuk transfat. Pihak yang diuntungkan dalam perang dagang tersebut 21 adalah industri minyak kedelai dan minyak jagung, sementara itu penduduk Amerika sendiri menjadi korban munculnya berbagai macam penyakit degeneratif akibat transfat misalnya penyakit jantung, penyempitan pembuluh darah, diabetes, obesitas dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan terhadap penduduk Pulau Pukapuka dan Pulau Tokealu di daerah Pasifik yang sudah bertahun-tahun kebiasaan dalam menu dietnya banyak mengkonsumsi kelapa, penduduknya tidak pernah mengalami berbagai penyakit degeneratif. Namun setelah penduduknya berpindah ke Selandia Baru, mereka mengubah pola makannya dengan menerapkan pola makan ala Barat, sehingga kemudian penyakit-penyakit degeneratif ditemukan pada penduduk tersebut (Fife, 2001). Faktanya kelebihan lemak jenuh dari pada minyak tidak jenuh adalah minyak jenuh tidak mempunyai satu atom hidrogen yang hilang ataupun tidak mempunyai ikatan rangkap. Hal tersebut berarti minyak atau lemak tidak jenuh lebih mudah terserang oksidasi ataupun mudah terbentuk radikal bebas, sementara itu lemak jenuh lebih stabil dan tidak terbentuk radikal bebas. Namun demikian, lemak jenuh yang berasal dari hewani umumnya juga dapat menimbulkan berbagai penyakit, misalnya kolesterol, penyempitan pembuluh darah, jantung dan lai-lain. Namun juga tidak semua lemak jenuh dapat menimbulkan penyakit yang tidak diinginkan tersebut. Baik lemak jenuh maupun tidak jenuh tersusun atas beberapa asam lemaknya. Tergantung dari panjang dan pendeknya rantai atom karbon, asamasam lemak tersebut ada yang berantai pendek, medium dan panjang. Menurut Kabara (2000) bahwa lemak jenuh terdiri dari lemak jenuh berantai pendek atau short chain fatty acid - SCFA atau short chain trigliseride-SCT yaitu yang mempunyai atom karbon 2 sampai dengan 6 (C2 – C6), lemak jenuh berantai medium atau medium chain fatty acid - MCFA atau medium chain trigliseride-MCT (C8 – C12), dan lemak jenuh berantai panjang atau long chain fatty acid - LCFA atau long chain trigliseride-LCT (14-24). Sementara itu Enig (2000), menggolongkan asam-asam lemak jenuh menjadi SCFA yaitu asam propanoat (C3), asam butirat (C4) dan asam kaproat (C6); MCFA yaitu asam kaprilat (C8), asam kaprat (C10) dan asam laurat (C12): 22 serta LCFA yaitu asam miristat (C14), asam palmitat (C16), asam stearat (C18), asam arahidat (C20), asam behenat (C22) dan asam lignoserat (C24). Beberapa hasil penelitian tentang MCT sudah dipublikasikan di berbagai jurnal di seluruh dunia. Beberapa contoh hasil penelitian tentang MCT dapat diuraikan seperti berikut ini. Hasil penelitian Johnson et al (1990) menyebutkan bahwa MCT dipergunakan atau dicerna dan didistribusikan lebih cepat dan lebih lengkap dibanding LCT sehingga MCT tidak disimpan dalam bentuk lemak di tubuh. Dinyatakan oleh Fife (2001) bahwa karena MCT mempunyai berat molekul lebih kecil dibanding dengan LCT sehingga MCT hanya memerlukan sedikit energi dan sedikit enzim untuk memecahkan MCT tersebut untuk dapat dicerna. Thampan (1998) menyatakan bahwa oleh karena MCT mudah dipecahkan selama pencernaan, maka enzim-enzim pankreatik untuk mencerna lemak tidak diperlukan sebagai yang utama, sehingga sedikit mengurangi ketegangan pankreas dan sistem pencernaan Lebih jauh Johnson et al (1990) menyatakan bahwa dengan dosis yang sama pasien akan menerima energi lebih cepat dan lebih banyak dari MCT daripada dari LCT. Disebutkan juga bahwa kecepatan metabolisme MCT dapat berubah dengan mencampur dosis dengan LCT, sehingga disarankan menjadi pengatur metabolisme MCT yang potensial dengan mengatur perbandingan MCT dan LCT dalam dosis. Dengan demikian terapi dapat dibuat atau dipesan untuk memenuhi keperluan khusus pasien untuk energi yang segera akan digunakan, kebutuhan asam-asam lemak esensial dan memelihara berat badan. Hasil penelitian Bach dan Babayan (1982) juga menyatakan bahwa produk MCT dihidrolisis dan diserap ke dalam sel-sel usus secepat glukosa dan dibawa secara langsung ke hati untuk kemudian secepatnya dioksidasi menjadi energi. Sebaliknya LCT dicerna secara lambat dan hasil proses pencernaan ditransportasi ke hati melalui limphatik dan sirkulasi sistemik. Konsekuensinya LCT didistribusikan secara sistematik ke semua bagian perangkat pencernaan sebelum mencapai hati. Sehingga LCT lebih mudah disimpan menjadi lemak dalam jaringan peripheral dibanding dengan SCT atau MCT. 23 Pengenalan aktivitas anti mikrobial dari monogliserida asam laurat (monolaurin) telah dilaporkan sejak tahun 1966 (Rethinam et al, 2005). Selanjutnya dinyatakan bahwa monolaurin dapat menghancurkan protozoa (Giardia lamblia), jamur (Aspergillus niger dan Candida utilis), ragi (Saccharomyces cerevisiae) dan berbagai bakteri patogen termasuk Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, Streptococcus agacitiae, Vibrio paranchaemolyticus dan Heliobacter pylori. Dilaporkan Issac dan Thormar (1992) dan Issac et al (1992) bahwa asam lemak rantai medium (MCT/MCFA) dan turunannya beraktivitas dengan cara mengganggu membran lemak dari organisme. Rethinam et al (2005) menyampaikan bahwa asam laurat yang merupakan bagian terbesar dari MCT minyak kelapa digunakan dalam tubuh untuk melawan penyakit yang sama seperti yang dilakukan oleh turunan asam lemak monolaurin yang tubuh bayi dapatkan dari asam laurat yang diperoleh dari ASI. Dilaporkan juga selanjutnya oleh Kabara (1978, 1985) dan Enig (1996, 2001) bahwa monogliserida monolaurin adalah senyawa yang dapat menjaga bayi dari infeksi virus, bakteri, atau protozoa. Thampan (1998) menyatakan bahwa penyerapan kalsium dan magnesium juga asam-asam amino meningkat ketika bayi diberikan makanan asupan yang mengandung minyak kelapa. Minyak kelapa telah digunakan untuk meningkatkan penyerapan dan penyimpanan kalsium dan magnesium pada penderita defisiensi mineral tersebut. Hal ini khususnya terjadi pada penderita penyakit ricket yang melibatkan defisiensi vitamin D dan demineralisasi tulang. Sehingga lebih lanjut dinyatakan oleh Thampan (1998) bahwa minyak kelapa yang mempunyai MCFA tinggi tersebut dapat sangat berguna untuk penderita osteoporosis dalam membantu mempertinggi penyerapan mineral. D. Diabetes Melitus Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan terjadinya defisiensi insulin absolut atau relatif, dan gangguan fungsi insulin (WHO, 1980). Diabetes mellitus adalah salah satu jenis penyakit dari 24 kelompok penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah (hyperglycemia) (ADA, 2004). Penyakit ini disebabkan oleh gangguan sekresi insulin sehingga kadar insulin rendah, aktivitas metabolik insulin yang rendah, atau keduanya. Pada klasifikasi terbaru, ADA (2004) mengelompokan diabetes mellitus ke dalam empat tipe, yaitu diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus jenis lain, dan diabetes melitus saat hamil. Diabetes melitus tipe-1 atau yang telah dikenal sebagai IDDM (Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) disebabkan oleh kerusakan sel β pancreas akibat adanya mekanisme autoimun pada tubuh penderita. Penderita diabetes tipe-1 membutuhkan insulin eksogen untuk mempertahankan hidupnya dan memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya ketoasidosis. Diabetes tipe-2 atau yang telah umum dikenal NIDDM (Non Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) disebabkan oleh penurunan sensitivitas insulin atau sekresi insulin. Tipe-2 ini umumnya terjadi pada manusia usia dewasa yang mengalami obesitas sehingga meningkatkan gejala resistensi insulin. Melalui pengurangan berat badan atau pengobatan hiperglekimia secara farmakologis, gejala resistensi insulin dapat diperbaiki. Penderita diabetes tipe-2 dapat memerlukan insulin eksogen namun tidak tergantung pada insulin eksogen seumur hidup. Diabetes Melitus disingkat DM merupakan gangguan metabolisme yang kronis dan dapat terjadi secara bawaan yang berhubungan dengan ketidakmampuan sel tubuh untuk mengambil glukosa dari aliran darah ke dalam sel (Votey, 2001). Schersten dan Per (1983) mendefinisikan DM sebagai suatu tingkat kronis peningkatan kadar glukosa darah karena adanya gangguan penggunaan glukosa. Kedua hal tersebut terjadi karena kekurangan insulin, gangguan fungsi insulin, atau peningkatan faktor yang memiliki fungsi berlawanan dengan insulin, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (Schersten dan Per, 1983). Penggolongan DM menurut World Health Organization (1980) dibedakan berdasarkan pada tingkat gangguan penggunaan glukosa yang 25 kemudian dibedakan pada kategori klinis dan statistik. Klasifikasi DM menurut WHO (1980) adalah sebagai berikut ini : Penggolongan Klinis 1. Diabetes Mellitus a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) c. Diabetes mellitus yang berkaitan dengan nutrisi d. Tipe lain yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau sindrom tertentu : (1) Penyakit pankreas, (2) Penyakit hormonal, (3) Keadaan yang disebabkan oleh obat atau zat kimiawi, (4) Gangguan reseptor insulin, (5) Sindrom genetik tertentu, dan lain-lain 2. Gangguan Toleransi Glukosa a. Tidak gemuk b. Gemuk c. Gangguan toleransi glukosa yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu 3. Diabetes Gestational (pada kehamilan) Penggolongan dengan Resiko Statistik Tinggi Penggolongan ini berdasarkan kepada penderita dengan toleransi glukosa normal tetapi memiliki resiko untuk menjadi diabetes. Penggolongan tersebut terdiri dari : a. Gangguan toleransi glukosa abnormal sebelumnya b. Potensial bertoleransi glukosa abnormal Menurut WHO (1980), DM tipe 1 (IDDM) merupakan gangguan yang terjadi karena adanya defisiensi absolut insulin atau akibat virus Mumps, Coxsakie B, virus Sitomegali, dan infeksius mononukleus yang diikuti proses autoimmune. Pada tipe ini ditemukan dua macam bentuk, yaitu immunemediated diabetes melitus yang merupakan hasil dari proses autoimmune dimana antibodi tubuh menyerang dan menghancurkan sel beta pankreas, dan bentuk idiopatik dimana penyebab pastinya belum diketahui. 26 Dinyatakan lebih lanjut oleh WHO (1980) bahwa DM tipe 2 (NIDDM) dapat terjadi karena resistensi insulin, yaitu kondisi dimana tubuh gagal untuk membuat insulin yang cukup atau gagal untuk mempergunakan insulin walaupun jumlah insulin dalam tubuh normal atau bahkan melebihi normal, yang dikombinasikan dengan defisiensi relatif insulin. DM tipe 2 seringkali dapat dikontrol dengan mengurangi berat badan, meningkatkan kualitas nutrisi tertentu, dan latihan yang benar (Milwicki, 2002). Secara sederhana menurut WHO (1980) dapat dikatakan bahwa DM disebabkan oleh defisiensi insulin, baik absolut maupun relatif di dalam tubuh. Insulin merupakan suatu hormon protein yang berinteraksi dengan reseptor sel organ targetnya untuk meningkatkan permeabilitas sel terhadap glukosa, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel-sel otot dan disimpan sebagai glikogen serta masuk ke dalam sel jaringan lemak disimpan sebagai trigliserida. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam pembuluh darah (hiperglikemia). Milwicki (2002) menyebutkan bahwa umumnnya peningkatan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 1 lebih tinggi (400 mg/dl) dari pada penderita DM tipe 2 (150-300 mg/dl). Bila kadar glukosa darah telah melebihi ambang batas ginjal (180 mg/dl), maka glukosa tidak dapat lagi diserap oleh ginjal dan akan dikeluarkan melalui urine (glukosuria). Glukosa merupakan zat yang bersifat hidrofilik (larut dalam air) sehingga peningkatan glukosa darah dapat meningkatkan osmotic diuresis dari sel sekitarnya dan akhirnya terjadi dehidrasi intraseluler diikuti dengan polyuria. Glukosa di dalam tubuh dapat digunakan bila glukosa dapat masuk ke dalam sel dan dioksidasi. Glukosa yang tidak dapat masuk ke dalam sel mengakibatkan penggunaan glukosa sebagai energi terhambat dan sel menjadi kekurangan energi. Apabila hal ini terjadi, tubuh akan berusaha mencari energi dari sumber lain yaitu, oksidasi lemak pada jaringan lemak, dan katabolisme protein (Milne, 1989). 27 Dinyatakan lebih lanjut oleh Milne (1989), bahwa oksidasi lemak menghasilkan energi disertai badan keton. Peningkatan badan keton (asam asetoasetat, aseton, dan asam hidrolisis butirat) dalam tubuh dapat menyebabkan adanya ketosis, ketonemia. Badan keton yang terbentuk akan mengikat ion natrium sehingga kadar ion hidrogen meningkat dan terjadi gangguan keseimbangan elektrolit, asidosis dan diikuti koma serta kematian. E. Peran VCO dalam Membantu Pencegahan Komplikasi Penyakit Efek pertama VCO dalam membantu pencegahan komplikasi diabetes melitus adalah membantu mensuplai energi kepada sel (sebab minyak kelapa dapat dengan mudah diserap tanpa bantuan enzim lipase) sehingga akan meningkatkan sekresi insulin dan penggunaan glukosa darah. Setelah masuk tubuh, VCO yang mengandung lauric acid dan capric acid ternyata mempunyai efek yang sangat potensial dalam menstimulir terjadinya sekresi insulin oleh sel-sel Langerhans pankreas (Garfinkel et al., 1992). Lemak polyunsaturated berdasarkan hasil penelitian Ginsberg et al (1982) akan bergabung dengan dinding sel (lipid bilayer membrane) dan menggabung dalam struktur sel. Sel ini kemudian tenyata berkurang kemampuannya untuk mengikat insulin, sehingga kemampuan sel untuk mengambil glukosa juga menurun. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi. Biasanya pengobatan pada penderita diabetes memang telah diberikan nasehat untuk mengurangi konsumsi minyak, terutama minyak atau lemak lain yang bersifat polyunsaturated, monounsaturated yang berasal dari minyak kedelai, jagung dan lain-lain, serta minyak atau lemak hewani yang bersifat saturated fat dengan rantai panjang (long chain saturated fatty acid = LCSFA). Dengan mengurangi lemak tersebut, pada hewan percobaan memang langsung terjadi perbaikan dari penyakit diabetes tipe II yang dibuat di laboratorium. Bahkan berbagai studi pada manusia, konsumsi rendah lemak juga akan membantu memperbaiki kadar kimiawi darah dan sekaligus membantu mengkontrol penyakit diabetes itu sendiri (Parekh et al, 1998 dan Barnard et al, 1983) Nanji (1995) menyatakan bahwa, tubuh yang mendapat makanan sehari-hari yang diperkaya dengan lemak jenuh atau saturated fatty acid akan 28 mampu mempertahankan keutuhan sel hati (liver) dari kerusakan yang diakibatkan oleh pemakaian alkohol dan stres oksidatif lain. Efek ini tampaknya terjadi oleh campur tangan asam linoleat (linoleic acid) yang ada pada VCO. Asam linoleat ini bekerja dengan cara menurunkan peroksidasi lemak (down-regulation of lipid peroxidation) sehingga tidak terjadi Reactive Oxigen Substances (ROS) yang terlalu tinggi yang merusak dan menyebabkan disfungsi endotel. Dengan demikian menurut Nanji (1995) bahwa ROS yang terlalu tinggi pada penderita diabetes dapat diturunkan, seiring dengan turunnya peroksidasi lemak yang terjadi. Kerusakan hati (komplikasi pada kerusakan hati) dapat dibantu diperingan sampai total dicegah. Di samping itu, ternyata VCO juga mengandung vitamin alami yaitu Vitamin E yang bersifat sebagai anti-oksidan. Anti-oksidan ini pulalah yang membantu mencegah minyak VCO menjadi tidak tengik dan membantu memblok oksidan yang terlalu tinggi pada penderita diabetes. Penelitian Monserrat et al (1995) melaporkan bahwa kemungkinan juga VCO mendukung dalam membantu pencegahan kerusakan ginjal. Mereka mendapatkan bahwa pemberian VCO pada hewan percobaan dengan diberi diet yang tidak mengandung cholin dan metil (methyl-deficient diet) ternyata mampu memproteksi terjadinya kerusakan, perlukaan (renal lession), dan kehancuran (necrosis) dari ginjal. Dengan demikian penelitian ini membuktikan bahwa VCO secara umum mampu meringankan derajat kerusakan ginjal. Kemampuan ini terjadi jika pada diet atau makanannya diberi VCO 20 %. Kemampuan meringankan kerusakan ginjal ini tidak tampak pada minyak jagung dan tumbuhan lain yang terhidrogenasi (Monserrat et al, 1995). Kemampuan ini tampaknya akan mendukung pencegahan kerusakan ginjal yang ditunjukkan dengan adanya microalbuminuria pada penderita diabetes yang diberikan pengobatan. Bukti kehandalan lain dari VCO pada pencegahan komplikasi diabetes datang dari penelitian Muller et al (2003). Mereka mampu membuktikan bahwa pemberian VCO akan menurunkan tissue-Plasminogen Activator antigen (t-PA antigen) segera setelah makan. Perlu diketahui bahwa t-PA antigen ini berhubungan dengan aktivitas plasminogen activator inhibitor type 29 1=PAI-1 activity) yang biasanya meningkat pada penderita diabetes karena adanya Hypertriglyceridemia (peningkatan triglyseride). Dengan menurunnya t-PA antigen dan PAI-1 maka akan terjadi perbaikan sistem fibrinolisis (penghancuran jendalan darah). Kemampuan ini ditambah dengan efek penurunan Lp[a] yang berhubungan dengan serangan stroke dan jantung (Muller et al, 2003). Kemampuan lain dari VCO yang sangat menguntungkan penderita diabetes, dapat membantu mengurangi timbulnya penyakit sampingan atau komplikasi, antara lain: anti bakteri, anti virus, anti fungal, anti yeast, anti parasit, menurunkan kolesterol tubuh, dan lain-lain (Enig, 1996). Dengan demikian nampak jelas bahwa VCO mampu mencegah atau mengurangi insiden terjadinya stroke, infark jantung, dan sumbatan darah lain yang dapat mengakibatkan berbagai komplikasi termasuk komplikasi disfungsi ereksi. F. Dislipidemia pada Diabetes Lipid dalam tubuh diperlukan untuk energi cadangan, pelindung organ penting, sintesis berbagai hormon dan lain-lain. Karena lipid bersifat tidak larut air, lipid akan diikatkan kepada protein agar dapat larut dan dapat diangkut dari tempat yang satu ke tempat lainnya di dalam tubuh. Ikatan lipid dengan protein tersebut disebut lipoprotein (Suitor dan Crowley, 1984). Sumber energi lain apabila tidak bisa menggunakan glukosa misalnya pada penderita diabetes adalah oksidasi lemak pada jaringan lemak, dan katabolisme protein (Milne, 1989). Pelepasan asam lemak dari jaringan lemak meningkat pada penderita diabetes karena kekurangan insulin. Akibatnya aliran asam lemak ini menjadi sumber energi utama yang dipergunakan oleh jaringan tubuh. Akibatnya penderita diabetes biasanya banyak makan namun tidak gemuk karena lemak-lemak yang ada di tubuh diubah jadi tenaga. Banyaknya asam lemak yang tersedia di hati akan meningkatkan produksi fosfolopid dan kolestrol. Bersama dengan trigliserida yang dibentuk hati, ketiganya akan dilepas ke dalam darah sebagai lipoprotein. Kadangkala, jumlah lipoprotein plasma dapat meningkat sebanyak tiga kali lipat dari jumlah normal 0,6 % menjadi 2,0 % (Guyton, 1987). Dinyatakan lebih jauh 30 bahwa akibat dislipidemia dapat mengakibatkan kecenderungan komplikasi penyakit lainnya misalnya peningkatan kadar kolesterol darah, penyempitan pembuluh darah dan lain-lain. G. Insulin Insulin pertama kali ditemukan oleh Banting dan Best pada tahun 1922 dengan mengikat saluran pankreas sehingga kelenjar eksokrin dan bagian asinar mengalami atropi. McDonald (1980) menemukan bahwa insulin merupakan dua rantai asam amino lurus dengan tiga ikatan disulfida (berat molekul 5733). Insulin disintesis dan disekresikan oleh sel beta pada pulau Langerhans pankreas. Pembentukan insulin diawali dengan adanya rangsangan glukosa pada ribosom retikulum endoplasmik yang menyebabkan adanya translasi dan transkripsi mRNA menjadi proinsulin. Proinsulin kemudian bergerak menuju aparatus golgi dan akan diubah menjadi insulin dan C (Conecting)-peptide yang dibungkus dalam glanula sitoplasma. Granula-granula insulin tetap disimpan pada sel beta pankreas sampai saatnya dibutuhkan. Jumlah glukosa di dalam darah merangsang pengeluaran insulin. Glukosa berikatan dengan reseptor glukosa pada membran sel beta disertai perubahan Adenosin Tri Phosphate (ATP) menjadi cyclic-Adenosin Mono Phosphate (cAMP). Kemudian cAMP dapat meningkatkan permeabilitas membran terhadap ion kalsium dan meningkatkan pelepasan kalsium dari mitokondria. Selanjutnya cAMP dan kadar kalsium dalam sel akan menyebabkan dibentuknya mikrotubular-mikrofilamen (MT/MF) sistem yang mengarahkan granula insulin ke permukaan membran insulin. Insulin kemudian disekresikan ke pembuluh darah. Pada pembuluh darah terdapat tempat khusus untuk insulin agar dapat masuk ke aliran darah hati. Butt (1975) menunjukan bahwa tempat kerja insulin pada permukaan luar membran sel. Beberapa jaringan memperlihatkan sifat yang berbeda pada insulin. Insulin dibutuhkan dalam jaringan otot, lemak, leukosit, lensa mata, hipofise, dan aqueous humor. Sedangkan pada jaringan otak (kecuali hipotalamus), tubuli ginjal, mukosa usus, eritrosit, dan hati tidak dipengaruhi 31 oleh insulin. Insulin akan berikatan dengan reseptor insulin dan meningkatkan permeabilitas sel terhadap glukosa, asam amino, ion kalsium, nukleosida, dan fosfat anorganik pada jaringan otot dan lemak, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel dan disimpan oleh tubuh. Di dalam otot, glukosa akan diubah menjadi glikogen, sedangkan pada jaringan lemak glukosa akan diubah menjadi trigliserida dan asam lemak. Penggunaan dan penyimpanan glukosa dalam otot dan jaringan lemak menyebabkan penurunan kadar glukosa dalam darah. Kadar glukosa darah yang rendah akan merangsang pembentukan glukagon, adrenalin dari kelenjar adrenal, dan hormon pertumbuhan dari hipofise anterior yang akan merangsang proses glikogenolisis di hati. Kadar glukosa yang rendah juga merangsang terbentuknya glukokortikoid dari kelenjar adrenal yang merangsang proses glukoneogenesis di hati. Prosesproses tersebut akan menghasilkan glukosa dan meningkatkan kadar glukosa darah kembali normal. H. Glukosa Darah Kadar glukosa darah adalah besarnya jumlah glukosa yang terdapat dalam darah. Pada keadaan normal, kadar glukosa darah meningkat setelah makan dan tetap bertahan dalam waktu yang singkat (Henriksen dan BechNielsen, 2000). Kadar glukosa darah normal yaitu dibawah 200 mg/dl (Subekti, 1995). Pada penderita diabetes, glukosa yang terdapat dalam darah terlalu banyak. Menurut ADA (2004), dalam keadaan puasa kadar glukosa darah normal yaitu < 100 mg/dl, dan yang menderita diabetes > 126 mg/dl. Sementara itu 2 jam setelah makan, maka kadar glukosa darah normal adalah < 140 mg/dl dan yang menderita diabetes 180 mg/dl. Hati berfungsi sebagai suatu sistem penyangga glukosa darah yang sangat penting. Setelah makan, maka kadar glukosa darah meningkat sampai konsentrasi yang tinggi sekali dengan disertai peningkatan sekresi insulin. Sebanyak dua pertiga dari glukosa yang diserap oleh usus akan disimpan ke dalam hati dalam bentuk glikogen. Selama beberapa jam berikutnya, bila konsentrasi glukosa darah dan kecepatan sekresi insulin berkurang, maka hati 32 akan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Dengan cara ini, hati mengurangi perubahan konsentrasi glukosa darah sampai kira-kira tiga kali lipat (Guyton, 1993). Mekanisme peningkatan glukosa darah diatur oleh hormon glukagon dari sel alpha, hormon dari hipofise anterior, epineprin dari medulla adrenal, serta glukokortikoid dari korteks adrenal (McDonald, 1980). Konsentrasi glukosa dalam darah harus dijaga agar konstan, oleh karena itu, harus diusahakan agar konsentrasi glukosa dalam tubuh tidak terlalu rendah (hipoglikemia). Bila keadaan ini terjadi, kita akan merasa gugup, pusing, lemas, dan lapar. Akan tetapi, konsentrasi glukosa darah juga harus dijaga agar tidak meningkat terlalu tinggi, hal ini dikarenakan : (1) glukosa sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik dalam cairan ekstraseluler, dan bila meningkatnya konsentrasi glukosa hingga berlebihan, maka dapat mengakibatkan terjadinya dehidrasi seluler. (2) Sangat tingginya konsentrasi glukosa darah menyebabkan ditemukannya glukosa dalam urin, dan (3) keadaan-keadaan di atas dapat menimbulkan diuresis ginjal, yang akan mengurangi jumlah cairan tubuh dan alektrolit (Guyton, 1993). I. Aloksan Rane dan Reddy (2000) menyatakan bahwa diabetes eksperimental pada hewan model dapat terjadi melalui beberapa cara diantaranya dengan pankreatektomi ataupun dengan menggunakan bahan kimia diabetigenik, seperti aloksan dan streptozotosin dengan dosis yang dapat menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel-sel β pancreas, sehingga menghasilkan keadaan hiperglikemia permanent yang merupakan salah satu etiologi dari IDDM. Induksi DM aksperimental menggunakan bahan kimia yang secara selektif merusak sel B pankreas merupakan cara yang paling mudah dan sering dilakukan. Bahan kimia yang umum digunakan untuk hal tersebut adalah alloxan dan streptozotosin. Alloxan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine ; 5,6-dioxyuracil) merupakan zat kimia yang tidak stabil, hidrofilik, dan dapat bereaksi dengan thiol tertentu yang ditemukan oleh Brugnatelli pada tahun 1818. Zat ini memiliki 33 keselektifan yang sangat tinggi, sehingga penting dalam penelitian DM. Sifat diabetogenik alloxan telah diketahui dan dilaporkan oleh Dunn et al (1943), yang mempelajari pemberian alloxan pada kelinci dan melaporkan adanya nekrosis spesifik pada pulau Langerhans. Reduksi dari aloksan menghasilkan asam dialurat disertai adanya oksigen radikal (O2) yang akan berubah menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan akhirnya timbul hidroksil radikal jika terdapat ion logam seperti Fe, Cu, dan Zn. Radikal bebas yang terjadi merusak sel B pankreas sehingga insulin tidak dapat dihasilkan. Akumulasi alloxan dalam tubuh meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit jantung, multiple sclerosis, arthritis, kanker payudara dan kolon, serta diabetes. Dosis pemberian alloxan bervariasi tergantung pada spesies, nutrisi, dan rute pemberiannya (Szkudelski, 2001). Injeksi alloxan akan menghasilkan tiga fase kurva kadar glukosa darah. Pertama, terjadi hiperglikemia yang berlangsung selama 1-4 jam setelah induksi, yang diikuti dengan hipoglikemia antara 6-12 jam dan akhirnya hiperglikemia permanen pada 12-24 jam setelah induksi (Cooperstein dan Watkins, 1981). Pengaruh alloxan didalam tubuh sangat dipengaruhi oleh kadar thiol dalam darah (semakin tinggi kadar thiol, maka pengaruh alloxan akan semakin rendah), genetik, tempat dan cara pemberian, lama pemberian, serta umur hewan percobaan. J. Tikus Sprague Dawley Hewan seperti tikus, kelinci maupun monyet telah digunakan secara luas sebagai hewan model dalam penelitian diabetes melitus. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan hewan model dapat menggambarkan dengan baik berbagai keadaan diabetes pada manusia, baik dari aspek fisiologi maupun morfologi. Selain itu, hewan model juga merupakan sarana yang baik untuk memanipulasi beberapa keadaan yang tidak memungkinkan dilakukan pada manusia (Andayani, 2003) Terdapat lima macam stok dasar tikus putih yang biasa digunakan, yaitu Long Evans, Osborne mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan Wistar 34 (Muchtadi, 1989). Tikus Sprague Dawley telah diketahui sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan peka terhadap pengaruh perlakuan dalam komponen dietnya (Anonim, 1984). Seperti halnya tikus percobaan lainnya, beberapa sifat karakteristik tikus Sprague Dawley adalah : (1) nocturnal, berarti aktif pada malam hari, dan tidur di siang hari, (2) Tidak mempunyai kantung empedu (gall blader), (3) Tidak dapat mengeluarkan isi perutnya (muntah), dan (4) Tidak pernah berhenti tumbuh, walaupun kecepatannya menurun setelah berumur 100 hari. Zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tikus hampir sama dengan manusia, yaitu : (1) Karbohidrat, (2) Minyak atau lemak, (3) Protein, (4) Mineral atau elemen anorganik, dan (5) Vitamin (Muchtadi, 1989). Tikus yang digunakan dalam percobaan ini adalah tikus putih jenis Sprague Dawley berjenis kelamin jantan dengan berat badan sekitar 150-250 g. Tikus Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian.