Pengaruh Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil

advertisement
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelapa
Indonesia merupakan negara terbesar penghasil kelapa dan terluas
areal kelapanya di dunia (APCC, 2006). Produksi kelapa Indonesia pada
tahun 2005 sebesar 3.290.477 MT ekuivalen kopra dengan luas areal
3.898.418 Ha.
Dari produksi tersebut, kebutuhan konsumsi dalam negeri
Indonesia 2.350.604 MT ekuivalen kopra atau 71,44 % dari total produksi dan
sisanya 28,56 % diekspor. Potensi kelapa negara-negara di dunia disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas areal kelapa negara-negara potensi terbesar ( x 1000 Ha )
No
Negara
2002
3.885
Tahun
2003
3.911
1
Indonesia
2001
3.897
2004
3.870
2005
3.898
2
Filipina
3.149
3.182
3.217
3.259
3.243
3
India
1.840
1.892
1.919
1.899
1.935
4
Sri Lanka
442
442
442
395
395
5
Thailand
326
327
328
343
344
6
Tanzania
310
310
310
310
310
7
Papua New Guinea
260
260
260
260
260
8
Brazil
263
263
271
275
281
9
Mexico
171
171
148
148
150
10
Vietnam
165
165
136
133
132
11
Malaysia
159
159
131
131
130
12
Mozambique
90
70
70
70
70
Sumber : APCC, 2006
Indonesia tergabung dalam organisasi negara-negara penghasil kelapa
di dunia yaitu Asian and Pacific Coconut Community (APCC). Tabel 1
menunjukkan, untuk beberapa tahun ke depan, Indonesia diperkirakan akan
6
terus menjadi negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Hal ini antara lain
disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah Indonesia yang memasukkan
kelapa ke dalam komoditas klaster industri prioritas terpilih untuk
dikembangkan (Departemen Perindustrian, 2005). Potensi ini juga ditunjang
dengan tanah yang subur dan iklim yang cocok untuk pertumbuhan kelapa
dibanding dengan negara pesaing lainnya seperti Filipina. Filipina sebagai
pesaing Indonesia mempunyai iklim subtropis, sehingga yang cocok dan baik
untuk ditanami kelapa hanyalah daerah bagian selatan Filipina. Di daerahdaerah beriklim subtropis tersebut juga sering terjadi badai topan yang
merusak tanaman kelapa.
Seperti terlihat pada Tabel 1, Filipina merupakan negara dengan luas
areal kelapa kedua terbesar setelah Indonesia yaitu 3.243.000 Ha pada tahun
2005. Dengan luas areal kelapa tersebut Filipina dapat memproduksi kelapa
2.811.200 MT ekuivalen kopra. Dari produksi sejumlah itu, konsumsi dalam
negeri Filipina hanya 468.000 MT equivalen kopra,
sehingga nilai total
ekspor kelapa serta produk olahannya sebesar $ US 964.606.787. Sementara
itu Indonesia dari sektor ekspor kelapa dan produk olahannya hanya
mempunyai nilai total ekspor $ US 526.288.000 (APCC, 2006).
Ekspor Filipina terbesar adalah dari minyak kelapa dan kemudian
kelapa segar, sementara itu Indonesia ekspor terbesarnya dari minyak kelapa
dan kemudian bungkil kopra. Filipina tidak mengekspor kopra namun sudah
mampu ekspor 11 macam produk termasuk kelapa segar, dan produk olahan
serta turunannya seperti fatty alcohol, fatty acid, methyl ester, alkanolamide.
Indonesia hanya mengekspor 7 macam produk kelapa yaitu minyak kelapa,
bungkil kopra, desiccated coconut, arang tempurung, kopra, arang aktif dan
tempurung kelapa.
Berdasarkan data di atas dan kenyataanya walaupun Indonesia sebagai
negara dengan potensi kelapa terbesar di dunia, namun dalam industri
pengolahan kelapanya ketinggalan oleh Filipina. Pengolahan kelapa di
Indonesia umumnya dalam bentuk minyak kelapa. Namun demikian, industri
pengolahan minyak kelapa relatif kurang berkembang apabila hanya
diperuntukkan bagi kebutuhan rumah tangga, karena relatif tidak dapat
7
bersaing dengan minyak sawit. Dilaporkan juga bahwa beberapa produsen dan
pengrajin minyak kelapa sudah tidak beroperasi lagi karena relatif kurang
menguntungkan.
Namun demikian, di Indonesia terdapat pengolahan kelapa terpadu
terbesar di dunia yaitu di PT. Pulau Sambu Group yang terletak di Kabupaten
Indragiri Hilir Propinsi Riau. Berdasarkan hasil survey tim proyek DIPA
BBIA (Hanafiah et al, 2006), dilaporkan bahwa Sambu Group terdiri dari PT.
Pulau Sambu Guntung, PT. Pulau Sambu Kuala Enok dan PT. Riau Sakti
Plantation.
Dari Sambu Group, PT. Pulau Sambu Guntung merupakan perusahaan
yang terbanyak memproduksi berbagai produk olahan buah kelapa, seperti
desiccated coconut, coconut cream, coconut milk powder, coconut cream
paste, coconut cream square, minyak kelapa mentah, bungkil kelapa, minyak
murni kelapa (virgin coconut oil), pina colada, mango colada, passion colada,
activade sport drink, Sweetened Coconut Milk dan activated carbon. Produkproduk tersebut sebagian besar diekspor ke negara-negara di Asia dan Eropa.
Produk yang dipasarkan di dalam negeri misalnya coconut cream atau santan
awet dalam kemasan aseptis.
Klaster industri pengolahan kelapa di Indonesia masih mempunyai
berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut misalnya produktivitas kelapa
masih relatif rendah seperti terlihat pada Tabel 2, kepemilikan lahan usaha tani
sangat sempit rata-rata 0,5 ha per keluarga dengan pola usaha monokultur dan
tersebar, pengetahuan petani mengenai budidaya masih terbatas, sebagian
besar pohon kelapa sudah tua, serta sebagian besar merupakan perkebunan
rakyat.
Permasalahan lain yang masih perlu dibenahi adalah penguasaan
teknologi pengolahan kelapa masih belum optimal, dan kemampuan sumber
daya manusia dalam penguasaan teknologi proses masih kurang, diversifikasi
produk dengan nilai tambah tinggi kurang
berkembang, serta kurangnya
tenaga profesional yang menguasai teknologi dan bisnis produk-produk
industri hilir berbasis kelapa.
8
Tabel 2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain
No Negara
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Indonesia
Philipina
India
Sri Lanka
Thailand
Tanzania
Brazil
Papua New Guinea
Mexico
Vietnam
Malayasia
Vanuatu
Myanmar
China
Produktivitas kelapa
(butir/hektar/tahun)
4.235
4.334
6.632
5.608
3.500
1.492
13.496
3.125
7.917
5.132
3.008
3.125
10.671
12.500
Sumber : Diolah dari APCC, 2006
Berdasarkan Tabel 2, produktivitas kelapa Indonesia 4.235 butir kelapa
per hektar per tahun masih rendah dibanding negara-negara penghasil kelapa
lainnya misalnya Philipina, India, Sri Lanka, Brazil, Mexico, Vietnam,
Myanmar dan Cina. Brazil, Cina, Myanmar dan Mexico merupakan negaranegara penghasil kelapa dengan produktivitas tertinggi yaitu masing-masing
13.496, 12.500, 10.671 dan 7.917 butir kelapa per hektar per tahun.
Tabel 3 memperlihatkan daerah-daerah sentra kelapa di Indonesia.
Daerah sentra kelapa yang berpotensi mulai dari yang terbesar adalah Propinsi
Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa
Tenggara Timur, Maluku Utara, Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan Barat
dan lain-lain. Berdasarkan data dari Pemda Propinsi Riau (Rusli, 2006),
pembangunan perkebunan kelapa di Propinsi Riau tahun 2005 merupakan
prioritas kedua setelah kelapa sawit, dan prioritas ketiga adalah karet. Potensi
kelapa di Propinsi Riau sebagian besar atau seluas 81 % berada di kabupaten
Indragiri Hilir, kemudian kabupaten Bengkalis seluas 11,39 % dan kabupaten
Pelalauan 4,83 %. Perkebunan kelapa di propinsi Riau 90,88 % merupakan
perkebunan rakyat dengan jumlah petani sebanyak 279.942 KK, sedangkan
9,12 % merupakan perkebunan besar swasta Nasional.
9
Tabel 3 Potensi sentra kelapa Indonesia berdasarkan propinsi, 2005
Propinsi
A. Sumatera
1. Aceh
2. Sumatera Utara
3. Sumatera Barat
4. Riau
5. Riau Kepulauan
6. Jambi
7. Sumatera Selatan
8. Bangka Belitung
9. Lampung
10. Bengkulu
Area
Produksi
Ha
%
MT
%
1.348.604 34,59 1.111.570
33,78
114.346
2,93
79.222
2,41
138.575
3,55
115.489
3,51
91.068
2,34
75.934
2,31
598.776 15,36 510.021
15,50
43.446
1,11
16.630
0,51
128.951
3,31
134.918
4,10
56.858
1,46
42.752
1,30
14.119
0,36
7.253
0,22
148.786
3,82
122.522
3,72
13.679
0,35
6.829
0,21
B. Jawa
11. Jawa Barat
12. Banten
13. Jawa Tengah
14. Jawa Timur
15. D.I. Jogyakarta
891.896
180.558
103.665
271.444
292.099
44.130
22,88
4,63
2,66
6,96
7,49
1,13
736.179
162.647
52.305
209.352
265.292
46.583
22,37
4,94
1,59
6,36
8,06
1,42
C. Bali
73.030
1,87
75.808
2,30
D. Kalimantan
16. Kalimantan Barat
17. Kalimantan Selatan
18. Kalimantan Tengah
19. Kalimantan Timur
294.355
112.185
51.784
83.846
46.540
7,55
2,88
1,33
2,15
1,19
222.888
50.846
32.986
94.007
45.049
6,77
1,55
1,00
2,86
1,37
E. Sulawesi
20. Sulawesi Utara
21. Gorontalo
22. Sulawesi Tengah
23. Sulawesi Selatan
24. Sulawesi Tenggara
730.176
259.535
55.949
173.840
190.668
50.184
18,73
6,66
1,44
4,46
4,89
1,29
728.780
247.186
61.412
196.638
187.322
36.222
22,15
7,51
1,87
5,98
5,69
1,10
F. Nusa Tenggara
25. Nusa Tenggara Barat
26. Nusa Tenggara Timur
223.090
68.088
155.002
5,72
1,75
3,98
119.974
66.170
53.804
3,65
2,01
1,64
G. Maluku + Papua
27. Maluku
28. Maluku Utara
29. Papua
30. Irian Jaya Barat
337.267
93.443
200.922
30.951
11.951
8,65
2,40
5,15
0,79
0,31
295.278
71.805
208.595
7.546
7.332
8,97
2,18
6,34
0,23
0,22
3.898.418
100
3.290.477
100
TOTAL
Sumber : APCC, 2006
10
Industri pengolahan kelapa di Indonesia tersebar hampir ke setiap
propinsi, mulai dari yang skala kecil, menengah sampai dengan besar, bahkan
modern. Pohon kelapa biasa dikatakan sebagai pohon kehidupan atau tree of
life sebab hampir semua bagian pohon kelapa mulai dari akar, batang, buah,
dan daunnya dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia, seperti terlihat
pada Gambar 1.
Masing-masing bagian dari pohon kelapa tersebut
mempunyai industri pengolahannya.
Bingkai Lemari
Tempat Buah
Janur
Keranjang Sampah Tatakan
Sapu Lidi
Sarang Ketupat
Keranjang Sampah
Asinan
Bonggol/Kelapa
Muda/Ubod
In Brine
Lumpia
Jenewer/Gin/
Lambanog
Tuba
Gula
Kipas
Sandal
Kipas
Topi
Daun
Tas
Tangan
Air Kelapa
Buko Segar
Daging Buah
Kelapa
Kue Kelapa
Manisan
Manisan
Serutan Kelapa
Serutan Kelapa
Kelapa
Muda
Salad Kelapa
Daging
Buah
Segar
Pucuk Daun
Ragi
Tuba
Air
Kelapa
Buah
Kelapa
VCO
Kelapa
Tua
Pelepah
Kering
Batang
Kelapa
Daging
Kelapa
Parut
Kulit Ari
Daging
Kelapa
Perabot
Tempurung
Kelapa
Kayu Balok
Kayu
Gelondongan
Bahan
Bangunan
Papan Kayu
Bahan
Obat-obatan
Bahan Pewarna/
Akar
Bahan Celup
Bahan
Obat-obatan
Root Beer
Sabut
Kelapa
© BBIA
Depperind
Es Krim
Minyak Goreng
Bahan Kimia
Cat
Gliserin
Krim Rambut
Minyak Mentah
Minyak Rambut
Sabun Cuci
Sabun Mandi
Shampo
Minyak Goreng
Cat Gliserin
Minyak
Rambut
Krim
Minyak Goreng
Rambut Shampo
Krim Santan
Lemak
Permen
Ampas Kelapa
Rendah Lemak
Susu Iris
Margarin
Biskuit
Susu Kelapa
Margarin
Biskuit
Tepung Santan
Tepung Santan
Makaron Kering
Kelapa Parut Kering
Bubuk Susu
Susu Kocok
Santan Kelapa
Kue Kelapa Kering
Kue Kelapa
Arang
Celengan
Minyak Semi Murni
Hiasan Dinding
Arang
Vas Bunga
Tepung Batok Kelapa
Arang Aktif
Papan
Genteng
Minyak yang
dapat dimakan
Makanan Ternak
Bungkil Kelapa
Pelet Kopra
Minyak yang
tidak dapat dimakan
VCO
Manggar
Kelapa
Topi
Asbak
Asesoris Meja
Bangku Duduk Santai
Binkai Lukisant
Cawan
Meja Komputer
Pemberat Kertas
Tempat Buah
Tempat Klip
Tropi
Dan Kreasi Lainnya
Kopra
Cuka
Kelapa
Cuka Kelapa
Kecap Kelapa
Pengganti Dekstrosa
Sari Kelapa
Bahan Pembersih
Bahan Pemurni
Bahan Penyerap
Karbon Aktif
Ikat Pinggang
Tali
Sikat
Keset
Karpet
Insulator
Pewarna
Batako
Isi Jok Kursi
Batik
Gantungan Bunga Pres
Patung Kecil
Penyaring/Filter Air
Pewarna Batik
Insulator
Gumpalan Benang ikat
Karpet
Batako Pres
Katalisator
Obat Nyamuk
Gambar 1 Pohon industri pengolahan kelapa.
Seperti terlihat pada Gambar 1, misalnya untuk buah kelapa, mulai dari
sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa dapat dimanfaatkan untuk
industri hilir, baik untuk keperluan rumah tangga, pangan, kosmetik, farmasi
dan lain-lain. Daging buah kelapa dapat diolah selanjutnya menjadi virgin
coconut oil (VCO), kopra, minyak kelapa, desiccated coconut, minyak goreng
dan lain-lain. Produk turunan dari minyak kelapa dapat diolah kemudian
menjadi sabun, sampho, minyak rambut, gliserin, cat, dan lain-lain.
11
Produk utama dari olahan kelapa adalah minyak kelapa. Komposisi
kimia minyak kelapa berbeda dengan komposisi kimia sumber minyak lainnya
baik yang berasal dari nabati maupun hewani. Keunikan minyak kelapa, yaitu
kaya akan kandungan asam-asam lemak jenuh berantai pendek dan berantai
menengah. Satu-satunya minyak yang komposisi kimiawinya mirip dengan
minyak kelapa adalah minyak biji sawit atau palm kernel oil (PKO). Sebagai
perbandingan komposisi asam-asam lemak berbagai sumber minyak nabati
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati
lain (%)
Jenuh :
C6:0 kaproat
C8:0 kaprilat
C10:0 kaprat
C12:0 laurat
C14:0 miristat
C16:0 palmitat
C18:0 stearat
C20:0 arahidat
Tidak jenuh :
C16:1 palmitoleat
C18:1 oleat
C18:2 linoleat
C18:3 linolenat
C20:4 arahidonat
Total
Persen tidak jenuh
Sumber minyak
Jagung Kedelai
Kelapa
Biji sawit
Sawit
0,50
8,00
7,00
48,00
17,00
9,00
2,00
0,10
0,30
3,90
4,00
49,60
16,00
8,00
2,40
0,10
0,30
1,10
45,20
4,70
0,20
11,50
2,20
0,20
0,10
6,00
2,30
100,00
8,40
13,70
2,00
100,00
15,70
38,80
9,40
0,30
100,00
48,50
26,60
58,70
0,80
100,00
86,10
safflower
sunflower
0,10
10,50
3,20
0,20
0,10
6,50
2,40
0,20
0,50
0,20
6,80
4,70
0,40
22,30
54,50
8,30
0,90
100,00
86,00
13,10
77,70
100,00
90,80
0,10
18,60
68,20
0,50
100,00
87,40
Sumber : Thampan (1998)
Seperti terlihat pada Tabel 4, minyak kelapa mengandung 92 % asam
lemak jenuh, yang tediri dari 48 % asam laurat (C12 : 0), 17 % asam miristat
(C14 : 0) dan lain-lain. Berbeda dengan minyak lainnya seperti misalnya
minyak jagung, minyak kedelai, minyak safflower dan minyak sunflower yang
dominan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh. Sehingga dari kondisi
ini, minyak kelapa biasa juga dikenal dengan minyak sumber asam laurat.
Minyak kelapa kandungan asam-asam lemak jenuhnya tinggi, sehingga
minyak kelapa relatif lebih stabil terhadap oksidasi dibanding minyak-minyak
tak jenuh.
12
B. Virgin Coconut Oil (VCO)
Mulai era tahun 2000-an, baik di negara potensi kelapa seperti halnya
di Indonesia, Philippina dan India, bahkan juga di negara-negara yang tidak
tumbuh kelapa pun
seperti halnya di negara-negara Amerika dan Eropa,
produk olahan kelapa ramai dicari orang. Primadona produk olahan kelapa di
dunia yang kemungkinan akan terus berjaya sepanjang masa adalah minyak
murni kelapa atau dikenal dunia dengan istilah virgin coconut oil atau VCO.
Selain itu kelapa juga memegang peranan dalam sumber energi masa depan
yang tidak akan habis-habisnya yaitu apabila dibuat produk cocodiesel.
VCO banyak dibuat orang dengan berbagai macam metode
pembuatannya.
Masing-masing produsen VCO saling mengunggulkan
kualitas produknya dengan diantaranya ada yang mengklaim tidak boleh
menggunakan panas dan sebagainya. Lebih jelasnya berikut ini disajikan
definisi aslinya (dalam bahasa Inggris) dari istilah virgin tersebut.
Deskripsi Virgin Fats/Oils (Codex, 2001 ): Virgin Fats and Oils means
edible vegetable fats and oils obtained by mechanical procedures and the
application of heat only. They may have been purified by washing with water,
settling, filtering and centrifuging only. Definisi menurut Asian and Pacific
Coconut Community, Coconut oil is derived from the kernel / meal / copra of
the coconut (Cocos nucifera L.). Virgin coconut oil is obtained from the fresh
and mature kernel of coconut by mechanical or natural means with or without
the application of heat, which does not lead to alteration of the oil. Virgin
coconut oil is suitable for human consumption in its natural state (APCC,
2004b). Definisi menurut Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 hasil rapat
21 Nopember 2006 di Departemen Perindustrian (BSN, 2006), VCO yaitu
minyak yang diperoleh dari daging buah kelapa (Cocos nucifera L) tua yang
segar dan diproses dengan diperas dengan atau tanpa penambahan air, tanpa
pemanasan atau pemanasan tidak lebih dari 60 oC dan aman dikonsusmsi
manusia. Apabila diamati dari definisi-definisi tersebut, maka suatu produk
disebut virgin apabila dalam proses pembuatannya tidak menggunakan proses
pemurnian secara kimiawi dan tidak secara tersirat menyebutkan tidak boleh
menggunakan panas.
13
Sementara itu definisi minyak goreng menurut SNI 01 – 3741 – 2002
adalah minyak yang diperoleh dengan cara memurnikan minyak makan nabati.
Sementara itu menurut Codex Stan 210 Edible vegetable oils adalah bahan
pangan yang utamanya terdiri dari beberapa gliserida asam-asam lemak yang
hanya diperoleh dari sumber nabati. Bahan pangan ini bisa juga secara alami
mengandung sejumlah kecil lemak-lemak lainnya seperti fosfatida, bahan
tidak tersabunkan, dan beberapa asam-asam lemak bebas. Dijelaskan lebih
lanjut bahwa minyak kelapa adalah minyak yang diperoleh dari daging buah
kelapa (Cocos nucifera L)
Berdasarkan hasil penelitian para ahli di berbagai negara seperti
Amerika Serikat, Filipina, India dan lain-lain, VCO mempunyai banyak
manfaat dan khasiat untuk kesehatan. Menurut Fife (2001) VCO berkhasiat
untuk membantu mengurangi resiko penyakit aterosklerosis, mendukung
sistem fungsi kekebalan, membantu mencegah osteoporosis, membantu
mengendalikan penyakit diabetes, penyedia sumber energi spontan, membantu
menjaga kehalusan kulit, mengurangi resiko kanker, menghancurkan virusvirus membahayakan seperti halnya herpes, hepatitis C dan HIV, mengurangi
berat badan, memperbaiki sistem pencernaan dan penyerapan nutrisi,
membantu mencegah penuaan dan pengkerutan kulit dan lain-lain.
Berikut ini pengalaman orang-orang yang menggunakan VCO
(Sukartin dan Maloedyn, 2005), VCO dapat menurunkan gula darah dan
meningkatkan stamina, menyembuhkan penyakit radang tenggorokan,
menyembuhkan jari-jari yang sakit dan kaku, tidak meningkatkan kolesterol
dan berat badan, menyembuhkan penyakit stroke, menyembuhkan penyakit
jantung,
menghentikan
pembengkakan
prostat,
perdarahan
akibat
menyembuhkan
ambeien,
penyakit
menyembuhkan
kanker
payudara,
menyembuhkan bintik merah dan gatal, menyembuhkan penyakit asam urat
dan vertigo, menguatkan sistem saraf dan memperbaiki darah, serta
meredakan penyakit hepatitis
Sudah dikenal berbagai macam metode pembuatan VCO, misalnya
metode fermentasi, enzimatis, pemancingan, pemanasan bertingkat, metode
sentrifusi, metode pengepresan semi basah dan lain-lain. Metode fermentasi
14
di Indonesia banyak dikembangkan oleh LIPI, IPB dan perguruan tinggi
lainnya serta lembaga riset lainnya. Metode pemancingan dikembangkan oleh
UGM. Metode pemanasan bertingkat dikembangkan oleh Balai Penelitian
Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Departemen Pertanian, Manado. Metode
pengepresan semi basah dikembangkan oleh Balai Besar Industri Agro,
Departemen Perindustrian Bogor. Sementara itu metode pembuatan VCO di
Filipina banyak yang mengembangkan teknologi mekanis (Hanafiah et al.
2006),
Proses pembuatan minyak murni dengan cara fermentasi dapat
dijelaskan sebagai berikut (Sukartin dan Maloedyn, 2005). Daging buah
kelapa segar dibuat santan, santan didiamkan selama 2 – 3 jam, pemisahan
santan pekat, santan pekat atau krim dicampur dengan cuka nira perbandingan
2 sendok makan cuka nira untuk 1 liter krim santan yang diaduk sampai
merata, didiamkan atau difermentasi selama 10 – 24 jam, pemisahan minyak
dari blondo dan air, penyaringan minyak dengan kertas saring dan zeolit, dan
pembotolan. Untuk proses fermentasi dapat juga menggunakan ragi roti, atau
ragi tape. Disampaikan lebih lanjut bahwa untuk proses pembuatan VCO
metode enzimatis, bedanya pada tahap pemeraman krim, krim dicampur
dengan enzim pemecah lemak misalnya enzim poligalakturonase, amilase,
atau pektinase.
Sementara itu menurut Sukartin dan Maloedyn (2005), tahap-tahap
pembuatan minyak murni metode pemancingan hampir sama dengan
teknologi fermentasi dan enzimatis. Bedanya setelah didapat krim, krim
kemudian ditambah dengan minyak murni yang sudah jadi dengan
perbandingan 1 bagian minyak murni dicampur rata dengan 3 bagian krim,
campuran tersebut kemudian didiamkan selama 8 jam atau lebih sampai
terbentuk 3 lapisan. Lapisan tersebut yaitu minyak, blondo dan air. Tahap
selanjutnya sama dengan tahap-tahap pada proses fermentasi atau enzimatis.
Pembuatan VCO metode pemanasan bertingkat dapat diuraikan seperti
berikut ini (Rindengan dan Hengky, 2005). Daging kelapa segar dibuat santan,
pemisahan santan kental atau bagian krim dari bagian air, pemanasan krim,
15
pemisahan minyak dari blondo mentah, pemanasan minyak yang dihasilkan
dari pemanasan krim, dan penyaringan minyak serta pembotolan.
Metode pengepresan semi basah atau teknologi intermediate moisture
content atau IMC yang dikembangkan di Balai Besar Industri Agro (BBIA)
didasarkan atas hasil penelitian pertama kali yang dilakukan oleh Natural
Resources Institute (NRI) Inggris yang mengekstrak minyak menggunakan
tekanan rendah (525 psig) pada kondisi kadar air bahan baku daging kelapa
sekitar 11 sampai dengan 15 % (NRI, 1998). Pada kondisi kadar air tersebut
kemudian daging kelapa dipres menggunakan tekanan rendah (525 psig) untuk
mendapatkan minyaknya.
Dilaporkan bahwa teknik pelaksanaan yang
dilakukan untuk mencapai kondisi kadar air tersebut (yang disebut kemudian
dengan nama kondisi semi basah atau intermediate moisture content) dengan
dua cara yaitu mencampur daging kelapa segar parut dengan daging kelapa
parut kering pada perbandingan tertentu atau dengan cara mengeringkan
langsung daging kelapa parut segar kemudian dites tingkat kekeringannya
dengan metode squeeze test.
Tes tingkat kekeringan metode squeeze test dilakukan dengan cara
peremasan daging buah kelapa parut menggunakan tangan pada waktu tertentu
pada saat proses pengeringan. Pada tes tingkat kekeringan tersebut terjadi tiga
kemungkinan. Pertama apabila keluar cairan putih di antara sela-sela jari,
berarti tingkat kekeringan belum cukup atau masih basah dan proses
pengeringan harus dilanjutkan lagi, kedua apabila tidak keluar sama sekali
cairan berarti bahan terlalu kering untuk dipres dan ketiga apabila keluar
cairan bening berarti proses pengeringan tersebut sudah cukup untuk
selanjutnya dilakukan proses pengepresan.
Alat pengepres yang digunakan NRI untuk mengekstrak minyak
metode pengepresan semi basah adalah alat pres tipe bridge press atau spindle
press.
Tipe alat pres tersebut dirancang menggunakan tekanan rendah yaitu
sekitar 525 psig (Tillekeratne et al, 1998). Lebih lanjut dilaporkan bahwa
pada tekanan tersebut dengan kondisi kadar air bahan sekitar 12 % dapat
mengekstrak minyak sebesar 61 %. Dalam penelitian yang dilakukan di BBIA
(Supriatna et al., 2000) digunakan alat pres tipe yang sama dengan sedikit
16
menggunakan pengembangan atau perbaikan dalam bentuk wadah produk
yang akan dipres dan dilengkapi dengan dongkrak dari bagian bawah alat pres
tersebut.
Metode pengepresan semi basah dibanding teknologi lain mempunyai
beberapa kelebihan yaitu :
•
Peralatan dapat dibuat di dalam negeri secara lokal dengan harga relatif
murah.
•
Keseluruhan proses dapat selesai dalam waktu sehari, dan minyak yang
dihasilkan berkualitas baik tanpa perlu melalui proses pemurnian kimiawi.
•
Minyak yang dihasilkan jernih tidak berwarna, sehingga akan lebih bagus
kalau digunakan sebagai bahan baku kosmetik, farmasi serta untuk lulur
dan pijat di “Spa” atau salon-salon kecantikan.
•
Ampas sisa pengepresan merupakan kelapa parut kering berlemak rendah
sebagai bahan baku pembuatan kue serta dapat digunakan juga untuk
bahan makanan ternak
Untuk lebih meningkatkan kualitas produk, minyak hasil proses
pengepresan dalam penelitian kemudian dilakukan proses penjernihan
menggunakan arang aktif, pengurangan aroma kelapa dengan pencucian
menggunakan air hangat, dekantasi, penyaringan dan pemanasan vacuum
untuk mengurangi kadar airnya, serta ditambahkan antioksidan alami yaitu
tocoferol untuk memperpanjang daya tahan simpannya. Antioksidan alami
yang ditambahkan yaitu tocoferol atau vitamin E juga akan berguna untuk
menambah fungsi VCO untuk peremajaan kulit dan pemeliharaan rambut.
Metode-metode pembuatan VCO tersebut mempunyai kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Pada Tabel 5 disajikan kekurangan dan
kelebihan berbagai macam metode pengolahan VCO (Supriatna et al., 2006).
Idealnya waktu proses pembuatan VCO lebih cepat, VCO yang dihasilkan
akan lebih bagus kualitasnya. Seperti terlihat pada Tabel 5, waktu proses
masing-masing metode bervariasi sehingga akan menghasilkan VCO dengan
kualitas berbeda. Waktu proses lebih lama akan menghasilkan VCO yang
beraroma asam dan cenderung tengik.
17
Tabel 5 Kekurangan dan kelebihan berbagai metode pembuatan VCO
No
Penggunaan
Panas
Total Waktu
Proses (Jam)*
Metode Proses
Investasi
1
Pemanasan bertingkat
Relatif murah Panas
10 – 12
2
Pemancingan
Relatif murah Tanpa panas
10 – 24
3
Fermentasi
Relatif murah Tanpa panas
12 – 36
4
Enzimatis
Relatif mahal Tanpa panas
14 - 18
5
Sentrifusi
Relatif mahal Tanpa panas
7–8
6
Pengepresan Semi
Basah
Relatif mahal
Panas
minimal
8 – 10
* Keterangan : Lama proses dari jumlah kapasitas batch yang sama
Sementara itu menurut APCC (2004a), metode proses pembuatan
VCO diantaranya yaitu metode Fresh-Dry and Wet Miling Route, metode
Fresh-Dry and Desiccated Coconut Route, Fresh-Dry and Grated Nut Route,
metode Low Pressure Extraction, metode Modified Natural Fermentation,
metode Single-Double Stage Centrifuge, dan metode Bawalan-Masa.
Dari berbagai macam metode proses tersebut dalam penggunaannya
harus diperhitungkan kelayakan investasinya. Nilai investasi peralatan dan
mesin yang tinggi harus diimbangi dengan adanya jaminan kualitas yang lebih
bagus.
Standar Nasional Indonesia untuk VCO masih dalam tahap proses
untuk ditetapkan.
Tabel 6, merupakan rancangan SNI untuk VCO hasil
pertemuan 21 Nopember 2006 di Departemen Perindustrian.
18
Tabel 6 Draft Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 Mutu VCO
No
1.
2.
3.
Kriteria Uji
Keadaan :
1.1. Bau
Satuan
-
1.2. Rasa
-
1.3. Warna
-
Air dan senyawa yang menguap
Bilangan Iod
4.
5.
6.
Asam Lemak Bebas
Bilangan Peroksida
Asam Lemak :
6.1. Asam Kaproat (C 6 : 0)
6.2. Asam Kaprilat (C 8 : 0
6.3. Asam Kaprat (C 10 : 0)
6.4. Asam Laurat (C 12 : 0)
6.5. Asam Miristat (C 14 : 0)
6.6. Asam Palmitat (C 16 : 0)
6.7. Asam Stearat (C 18 : 0)
6.8. Asam Oleat (C 18 : 1)
6.9. Asam Linoleat (C 18 : 2)
6.10. Asam Linolenat (C 18 : 3)
7. Cemaran Mikroba :
7.1. Angka Lempeng Total
8. Cemaran Logam :
8.1. Timbal (Pb)
8.2. Tembaga (Cu)
8.3. Besi (Fe)
8.4. Cadmium (Cd)
9. Cemaran Arsen (As)
Sumber : BSN (2006)
%
g Iod/100 g
contoh
%
mg ek/kg
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
Persyaratan
Khas kelapa segar,
tidak tengik
Normal, khas
minyak kelapa
Tidak berwarna
hingga kuning pucat
Maks 0,2
4,1 – 11,0
Maks 0,2
Maks 2,0
Tidak terdeteksi – 0,7
4,6 – 10,0
5,0 – 8,0
45,1 – 53,2
16,8 – 21,0
7,5 – 10,2
2,0 – 4,0
5,0 – 10,0
1,0 – 2,5
Tidak terdeteksi – 0,2
koloni/ml
Maks. 10
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maks. 0,1
Maks. 0,4
Maks. 5,0
Maks. 0,1
Maks. 0,1
Sementara itu standar mutu VCO yang dikeluarkan APCC sudah
ditetapkan pada waktu kegiatan APCC session di Kiribati pada tahun 2004.
Standar mutu VCO yang ditetapkan APCC dapat dilihat pada Tabel 7. Seperti
terlihat pada Tabel 6 dan Tabel 7, standar mutu VCO relatif tidak begitu
berbeda antara RSNI dan APCC. Prakteknya standar yang dipergunakan di
lapangan umumnya mengacu juga pada standar yang dikeluarkan oleh calon
konsumen atau negara tujuan ekspor.
19
Tabel 7 Standar Mutu VCO Menurut APCC
No
A Identity Characteristic
1.
• Relative Density
2.
• Refractive Index at 40oC
3.
• Moisture % wt. max
4.
• Insoluble impurities per cent by mass max.
5.
• Saponification Value
6.
• Iodine Value
7.
• Unsaponifiable matter % by mass max.
8.
• Specific gravity at 30 deg./30 deg.C
9.
• Acid Value max.
10. • Poleske Value min.
B
GLC Ranges of Fatty Acid Composition (%)
1.
• C6:0
2.
• C8:0
3.
• C 10 : 0 (Capric acid)
4.
• C 12 : 0 (Lauric acid)
5.
• C 14 : 0 (Miristic acid)
6.
• C 16 : 0 (Palmitic acid)
7.
• C 18 : 0 (Stearic acid)
8.
• C 18 : 1 (Oleic acid)
9.
• C 18 : 2 (Linoleic acid)
10. • C 18 : 3 – C 24 : 1 (Linolenic acid)
C
1.
2.
3.
4.
Quality Characteristics
• Colour
• Free Fatty Acid
• Peroxide Value
• Total Plate Count
D
Odour and Taste
E
1.
2.
3.
4.
5.
Contaminats
• Matter volatile at 105 oC
• Iron (Fe)
• Copper
• Lead
• Arsenic
Standar APCC
0.915 – 0.920
1.4480 – 1.4492
0.1 – 0.5
0.05
250 – 260
4.1 – 11.0
0.2 – 0.5
0.915 – 0.920
0.5
13
0.4 – 0.6
5.0 – 10.0
4.5 – 8.0
43.0 – 53.0
16.0 – 21.0
7.5 – 10.0
2.0 – 4.0
5.0 – 10.0
1.0 – 2.5
< 0.5
Water clean
≤ 0.5 %
≤ 3 meq/kg oil
< 10 cfu
Free from foreign and
rancid odour and taste
0.2 %
5 mg/kg
0.4 mg/kg
0.1 mg/kg
0.1 mg/kg
Sumber : APCC, (2004b)
Tersedianya standar mutu, baik internasional yaitu dari APCC maupun
nasional, akan menjadi patokan para produsen VCO. VCO yang memenuhi
standar akan terus berkembang di pasaran, sementara itu VCO yang tidak
memenuhi standar tidak akan berkembang.
20
C. Asam Lemak Jenuh Rantai Medium
Berdasarkan struktur kimianya, lemak terdiri dari lemak jenuh dan
lemak tidak jenuh. Lemak jenuh adalah suatu jenis lemak dimana antara atom
karbon penyusunnya tidak ada ikatan rangkap, sedangkan lemak tidak jenuh
adalah apabila diantara atom karbon penyusunnya terdapat satu atau lebih
ikatan rangkap. Lemak jenuh biasanya bersumber atau berasal dari hewani
misalnya daging, susu, telur dan lain-lain.
Sedangkan lemak tidak jenuh
biasanya sumbernya adalah nabati misalnya minyak jagung, kedelai, kanola,
bunga matahari dan lain-lain. Namun demikian sumber lemak jenuh pun biasa
juga didapat dari minyak kelapa dan minyak biji sawit. Dinyatakan oleh
Thampan (1998), bahwa lemak jenuh kelapa 91,6 %, biji sawit 84,3%, sawit
41,5%, jagung 13,9 %, kedelai 14 %, safflower 9,2 % dan sunflower 12,6 %.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa lemak jenuh minyak kelapa didominasi oleh
lemak jenuh berantai medium sekitar 63 – 67 % dari total asam-asam lemak
atau sekitar 69 – 72 % dari total asam lemak jenuh. Dilaporkan juga bahwa
minyak kelapa kadang-kadang disebut sebagai asam laurat, sebab sekitar 4952 % dari asam-asam lemak adalah asam laurat.
Peranan minyak jenuh di perdagangan tingkat dunia pernah mengalami
kemerosotan bahkan menjadikan suatu momok yang menakutkan untuk
kesehatan konsumen. Hal tersebut sengaja dikondisikan oleh negara-negara
penghasil minyak jagung ataupun minyak kedelai sebagai kampanye negatif
karena di negaranya tidak tumbuh kelapa. Minyak kelapa dan minyak sawit
yang disebut tropical oil oleh American Soybean Association didiskreditkan
bahwa mengandung banyak lemak jenuh yang dapat menimbulkan penyakit
penyempitan pembuluh darah ataupun penyakit jantung. Sehingga penduduk
khususnya di Amerika Serikat dan umumnya dunia diarahkan untuk
menggunakan minyak kacang kedelai ataupun minyak jagung dan tidak boleh
menggunakan minyak kelapa ataupun sawit.
Minyak jagung ataupun minyak kedelai termasuk sumber atau
didominasi lemak tidak jenuh yang tidak stabil terhadap oksidasi dan
ketengikan. Supaya stabil minyak tersebut dihidrogenasi parsial sehingga
membentuk transfat. Pihak yang diuntungkan dalam perang dagang tersebut
21
adalah industri minyak kedelai dan minyak jagung, sementara itu penduduk
Amerika sendiri menjadi korban munculnya berbagai macam penyakit
degeneratif akibat transfat misalnya penyakit jantung, penyempitan pembuluh
darah, diabetes, obesitas dan lain-lain.
Penelitian yang dilakukan terhadap penduduk Pulau Pukapuka dan
Pulau Tokealu di daerah Pasifik yang sudah bertahun-tahun kebiasaan dalam
menu dietnya banyak mengkonsumsi kelapa, penduduknya tidak pernah
mengalami berbagai penyakit degeneratif. Namun setelah penduduknya
berpindah ke Selandia Baru, mereka mengubah pola makannya dengan
menerapkan pola makan ala Barat, sehingga kemudian penyakit-penyakit
degeneratif ditemukan pada penduduk tersebut (Fife, 2001).
Faktanya kelebihan lemak jenuh dari pada minyak tidak jenuh adalah
minyak jenuh tidak mempunyai satu atom hidrogen yang hilang ataupun tidak
mempunyai ikatan rangkap. Hal tersebut berarti minyak atau lemak tidak
jenuh lebih mudah terserang oksidasi ataupun mudah terbentuk radikal bebas,
sementara itu lemak jenuh lebih stabil dan tidak terbentuk radikal bebas.
Namun demikian, lemak jenuh yang berasal dari hewani umumnya juga dapat
menimbulkan berbagai penyakit, misalnya kolesterol, penyempitan pembuluh
darah, jantung dan lai-lain.
Namun juga tidak semua lemak jenuh dapat
menimbulkan penyakit yang tidak diinginkan tersebut.
Baik lemak jenuh maupun tidak jenuh tersusun atas beberapa asam
lemaknya. Tergantung dari panjang dan pendeknya rantai atom karbon, asamasam lemak tersebut ada yang berantai pendek, medium dan panjang.
Menurut Kabara (2000) bahwa lemak jenuh terdiri dari lemak jenuh berantai
pendek atau short chain fatty acid - SCFA atau short chain trigliseride-SCT
yaitu yang mempunyai atom karbon 2 sampai dengan 6 (C2 – C6), lemak
jenuh berantai medium atau medium chain fatty acid - MCFA atau medium
chain trigliseride-MCT (C8 – C12), dan lemak jenuh berantai panjang atau
long chain fatty acid - LCFA atau long chain trigliseride-LCT (14-24).
Sementara itu Enig (2000), menggolongkan asam-asam lemak jenuh menjadi
SCFA yaitu asam propanoat (C3), asam butirat (C4) dan asam kaproat (C6);
MCFA yaitu asam kaprilat (C8), asam kaprat (C10) dan asam laurat (C12):
22
serta LCFA yaitu asam miristat (C14), asam palmitat (C16), asam stearat
(C18), asam arahidat (C20), asam behenat (C22) dan asam lignoserat (C24).
Beberapa hasil penelitian tentang MCT sudah dipublikasikan di
berbagai jurnal di seluruh dunia. Beberapa contoh hasil penelitian tentang
MCT dapat diuraikan seperti berikut ini. Hasil penelitian Johnson et al (1990)
menyebutkan bahwa MCT dipergunakan atau dicerna dan didistribusikan
lebih cepat dan lebih lengkap dibanding LCT sehingga MCT tidak disimpan
dalam bentuk lemak di tubuh. Dinyatakan oleh Fife (2001) bahwa karena
MCT mempunyai berat molekul lebih kecil dibanding dengan LCT sehingga
MCT hanya memerlukan sedikit energi dan sedikit enzim untuk memecahkan
MCT tersebut untuk dapat dicerna. Thampan (1998) menyatakan bahwa oleh
karena MCT mudah dipecahkan selama pencernaan, maka enzim-enzim
pankreatik untuk mencerna lemak tidak diperlukan sebagai yang utama,
sehingga sedikit mengurangi ketegangan pankreas dan sistem pencernaan
Lebih jauh Johnson et al (1990) menyatakan bahwa dengan dosis yang
sama pasien akan menerima energi lebih cepat dan lebih banyak dari MCT
daripada dari LCT. Disebutkan juga bahwa kecepatan metabolisme MCT
dapat berubah dengan mencampur dosis dengan LCT, sehingga disarankan
menjadi pengatur metabolisme MCT yang potensial dengan mengatur
perbandingan MCT dan LCT dalam dosis. Dengan demikian terapi dapat
dibuat atau dipesan untuk memenuhi keperluan khusus pasien untuk energi
yang segera akan digunakan, kebutuhan asam-asam lemak esensial dan
memelihara berat badan.
Hasil penelitian Bach dan Babayan (1982) juga menyatakan bahwa
produk MCT dihidrolisis dan diserap ke dalam sel-sel usus secepat glukosa
dan dibawa secara langsung ke hati untuk kemudian secepatnya dioksidasi
menjadi energi.
Sebaliknya LCT dicerna secara lambat dan hasil proses
pencernaan ditransportasi ke hati melalui limphatik dan sirkulasi sistemik.
Konsekuensinya LCT didistribusikan secara sistematik ke semua bagian
perangkat pencernaan sebelum mencapai hati. Sehingga LCT lebih mudah
disimpan menjadi lemak dalam jaringan peripheral dibanding dengan SCT
atau MCT.
23
Pengenalan aktivitas anti mikrobial dari monogliserida asam laurat
(monolaurin) telah dilaporkan sejak tahun 1966 (Rethinam et al, 2005).
Selanjutnya dinyatakan bahwa monolaurin dapat menghancurkan protozoa
(Giardia lamblia), jamur (Aspergillus niger dan Candida utilis), ragi
(Saccharomyces cerevisiae) dan berbagai bakteri patogen termasuk Listeria
monocytogenes, Staphylococcus aureus, Streptococcus agacitiae, Vibrio
paranchaemolyticus dan Heliobacter pylori. Dilaporkan Issac dan Thormar
(1992) dan Issac et al (1992) bahwa asam lemak rantai medium (MCT/MCFA)
dan turunannya beraktivitas dengan cara mengganggu membran lemak dari
organisme.
Rethinam et al (2005) menyampaikan bahwa asam laurat yang
merupakan bagian terbesar dari MCT minyak kelapa digunakan dalam tubuh
untuk melawan penyakit yang sama seperti yang dilakukan oleh turunan asam
lemak monolaurin yang tubuh bayi dapatkan dari asam laurat yang diperoleh
dari ASI. Dilaporkan juga selanjutnya oleh Kabara (1978, 1985) dan Enig
(1996, 2001) bahwa monogliserida monolaurin adalah senyawa yang dapat
menjaga bayi dari infeksi virus, bakteri, atau protozoa.
Thampan (1998) menyatakan bahwa penyerapan kalsium dan
magnesium juga asam-asam amino meningkat ketika bayi diberikan makanan
asupan yang mengandung minyak kelapa. Minyak kelapa telah digunakan
untuk meningkatkan penyerapan dan penyimpanan kalsium dan magnesium
pada penderita defisiensi mineral tersebut. Hal ini khususnya terjadi pada
penderita penyakit ricket yang melibatkan defisiensi vitamin D dan
demineralisasi tulang. Sehingga lebih lanjut dinyatakan oleh Thampan (1998)
bahwa minyak kelapa yang mempunyai MCFA tinggi tersebut dapat sangat
berguna untuk penderita osteoporosis dalam membantu mempertinggi
penyerapan mineral.
D. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
terjadinya defisiensi insulin absolut atau relatif, dan gangguan fungsi insulin
(WHO, 1980).
Diabetes mellitus adalah salah satu jenis penyakit dari
24
kelompok penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh peningkatan kadar
glukosa darah (hyperglycemia) (ADA, 2004). Penyakit ini disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin sehingga kadar insulin rendah, aktivitas metabolik
insulin yang rendah, atau keduanya.
Pada klasifikasi terbaru, ADA (2004) mengelompokan diabetes
mellitus ke dalam empat tipe, yaitu diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus
tipe-2, diabetes melitus jenis lain, dan diabetes melitus saat hamil. Diabetes
melitus tipe-1 atau yang telah dikenal sebagai IDDM (Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus) disebabkan oleh kerusakan sel β pancreas akibat adanya
mekanisme autoimun pada tubuh penderita. Penderita diabetes tipe-1
membutuhkan insulin
eksogen untuk mempertahankan hidupnya dan
memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya ketoasidosis. Diabetes tipe-2 atau
yang telah umum dikenal NIDDM (Non Insulin-Dependent Diabetes Mellitus)
disebabkan oleh penurunan sensitivitas insulin atau sekresi insulin. Tipe-2 ini
umumnya terjadi pada manusia usia dewasa yang mengalami obesitas
sehingga meningkatkan gejala resistensi insulin. Melalui pengurangan berat
badan atau pengobatan hiperglekimia secara farmakologis, gejala resistensi
insulin dapat diperbaiki. Penderita diabetes tipe-2 dapat memerlukan insulin
eksogen namun tidak tergantung pada insulin eksogen seumur hidup.
Diabetes Melitus disingkat DM merupakan gangguan metabolisme
yang kronis dan dapat terjadi secara bawaan yang berhubungan dengan
ketidakmampuan sel tubuh untuk mengambil glukosa dari aliran darah ke
dalam sel (Votey, 2001). Schersten dan Per (1983) mendefinisikan DM
sebagai suatu tingkat kronis peningkatan kadar glukosa darah karena adanya
gangguan penggunaan glukosa. Kedua hal tersebut terjadi karena kekurangan
insulin, gangguan fungsi insulin, atau peningkatan faktor yang memiliki
fungsi
berlawanan
dengan
insulin,
sehingga
pada
akhirnya
akan
menimbulkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
(Schersten dan Per, 1983).
Penggolongan DM menurut World Health Organization (1980)
dibedakan berdasarkan pada tingkat gangguan penggunaan glukosa yang
25
kemudian dibedakan pada kategori klinis dan statistik. Klasifikasi DM
menurut WHO (1980) adalah sebagai berikut ini :
Penggolongan Klinis
1. Diabetes Mellitus
a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
c. Diabetes mellitus yang berkaitan dengan nutrisi
d. Tipe lain yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau sindrom
tertentu : (1) Penyakit pankreas, (2) Penyakit hormonal, (3) Keadaan
yang disebabkan oleh obat atau zat kimiawi, (4) Gangguan reseptor
insulin, (5) Sindrom genetik tertentu, dan lain-lain
2. Gangguan Toleransi Glukosa
a. Tidak gemuk
b. Gemuk
c. Gangguan toleransi glukosa yang berhubungan dengan keadaan atau
sindrom tertentu
3. Diabetes Gestational (pada kehamilan)
Penggolongan dengan Resiko Statistik Tinggi
Penggolongan ini berdasarkan kepada penderita dengan toleransi glukosa
normal tetapi memiliki resiko untuk menjadi diabetes. Penggolongan tersebut
terdiri dari :
a. Gangguan toleransi glukosa abnormal sebelumnya
b. Potensial bertoleransi glukosa abnormal
Menurut WHO (1980), DM tipe 1 (IDDM) merupakan gangguan yang
terjadi karena adanya defisiensi absolut insulin atau akibat virus Mumps,
Coxsakie B, virus Sitomegali, dan infeksius mononukleus yang diikuti proses
autoimmune. Pada tipe ini ditemukan dua macam bentuk, yaitu immunemediated diabetes melitus yang merupakan hasil dari proses autoimmune
dimana antibodi tubuh menyerang dan menghancurkan sel beta pankreas, dan
bentuk idiopatik dimana penyebab pastinya belum diketahui.
26
Dinyatakan lebih lanjut oleh WHO (1980) bahwa DM tipe 2 (NIDDM)
dapat terjadi karena resistensi insulin, yaitu kondisi dimana tubuh gagal untuk
membuat insulin yang cukup atau gagal untuk mempergunakan insulin
walaupun jumlah insulin dalam tubuh normal atau bahkan melebihi normal,
yang dikombinasikan dengan defisiensi relatif insulin. DM tipe 2 seringkali
dapat dikontrol dengan mengurangi berat badan, meningkatkan kualitas nutrisi
tertentu, dan latihan yang benar (Milwicki, 2002).
Secara sederhana menurut WHO (1980) dapat dikatakan bahwa DM
disebabkan oleh defisiensi insulin, baik absolut maupun relatif di dalam tubuh.
Insulin merupakan suatu hormon protein yang berinteraksi dengan reseptor sel
organ targetnya untuk meningkatkan permeabilitas sel terhadap glukosa,
sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel-sel otot dan disimpan sebagai
glikogen serta masuk ke dalam sel jaringan lemak disimpan sebagai
trigliserida.
Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat
masuk ke dalam sel, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam
pembuluh darah (hiperglikemia). Milwicki (2002) menyebutkan bahwa
umumnnya peningkatan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 1 lebih
tinggi (400 mg/dl) dari pada penderita DM tipe 2 (150-300 mg/dl). Bila kadar
glukosa darah telah melebihi ambang batas ginjal (180 mg/dl), maka glukosa
tidak dapat lagi diserap oleh ginjal dan akan dikeluarkan melalui urine
(glukosuria). Glukosa merupakan zat yang bersifat hidrofilik (larut dalam air)
sehingga peningkatan glukosa darah dapat meningkatkan osmotic diuresis dari
sel sekitarnya dan akhirnya terjadi dehidrasi intraseluler diikuti dengan
polyuria.
Glukosa di dalam tubuh dapat digunakan bila glukosa dapat masuk ke
dalam sel dan dioksidasi. Glukosa yang tidak dapat masuk ke dalam sel
mengakibatkan penggunaan glukosa sebagai energi terhambat dan sel menjadi
kekurangan energi. Apabila hal ini terjadi, tubuh akan berusaha mencari
energi dari sumber lain yaitu, oksidasi lemak pada jaringan lemak, dan
katabolisme protein (Milne, 1989).
27
Dinyatakan lebih lanjut oleh Milne (1989), bahwa oksidasi lemak
menghasilkan energi disertai badan keton. Peningkatan badan keton (asam
asetoasetat, aseton, dan asam hidrolisis butirat) dalam tubuh dapat
menyebabkan adanya ketosis, ketonemia. Badan keton yang terbentuk akan
mengikat ion natrium sehingga kadar ion hidrogen meningkat dan terjadi
gangguan keseimbangan elektrolit, asidosis dan diikuti koma serta kematian.
E. Peran VCO dalam Membantu Pencegahan Komplikasi Penyakit
Efek pertama VCO dalam membantu pencegahan komplikasi diabetes
melitus adalah membantu mensuplai energi kepada sel (sebab minyak kelapa
dapat dengan mudah diserap tanpa bantuan enzim lipase) sehingga akan
meningkatkan sekresi insulin dan penggunaan glukosa darah. Setelah masuk
tubuh, VCO yang mengandung
lauric acid dan capric acid ternyata
mempunyai efek yang sangat potensial dalam menstimulir terjadinya sekresi
insulin oleh sel-sel Langerhans pankreas (Garfinkel et al., 1992).
Lemak polyunsaturated berdasarkan hasil penelitian Ginsberg et al
(1982) akan bergabung dengan dinding sel (lipid bilayer membrane) dan
menggabung dalam struktur sel. Sel ini kemudian tenyata berkurang
kemampuannya untuk mengikat insulin, sehingga kemampuan sel untuk
mengambil glukosa juga menurun. Akibatnya glukosa dalam darah tetap
tinggi. Biasanya pengobatan pada penderita diabetes memang telah diberikan
nasehat untuk mengurangi konsumsi minyak, terutama minyak atau lemak lain
yang bersifat polyunsaturated, monounsaturated yang berasal dari minyak
kedelai, jagung dan lain-lain, serta minyak atau lemak hewani yang bersifat
saturated fat dengan rantai panjang (long chain saturated fatty acid =
LCSFA). Dengan mengurangi lemak tersebut, pada hewan percobaan memang
langsung terjadi perbaikan dari penyakit diabetes tipe II yang dibuat di
laboratorium. Bahkan berbagai studi pada manusia, konsumsi rendah lemak
juga akan membantu memperbaiki kadar kimiawi darah dan sekaligus
membantu mengkontrol penyakit diabetes itu sendiri (Parekh et al, 1998 dan
Barnard et al, 1983)
Nanji (1995) menyatakan bahwa, tubuh yang mendapat makanan
sehari-hari yang diperkaya dengan lemak jenuh atau saturated fatty acid akan
28
mampu mempertahankan keutuhan sel hati (liver) dari kerusakan
yang
diakibatkan oleh pemakaian alkohol dan stres oksidatif lain. Efek ini
tampaknya terjadi oleh campur tangan asam linoleat (linoleic acid) yang ada
pada VCO. Asam linoleat ini bekerja dengan cara menurunkan peroksidasi
lemak (down-regulation of lipid peroxidation) sehingga tidak terjadi Reactive
Oxigen Substances (ROS) yang terlalu tinggi yang merusak dan menyebabkan
disfungsi endotel. Dengan demikian menurut Nanji (1995) bahwa ROS yang
terlalu tinggi pada penderita diabetes dapat diturunkan, seiring dengan
turunnya peroksidasi lemak yang terjadi. Kerusakan hati (komplikasi pada
kerusakan hati) dapat dibantu diperingan sampai total dicegah. Di samping itu,
ternyata VCO juga mengandung vitamin alami yaitu Vitamin E yang bersifat
sebagai anti-oksidan. Anti-oksidan ini pulalah yang membantu mencegah
minyak VCO menjadi tidak tengik dan membantu memblok oksidan yang
terlalu tinggi pada penderita diabetes.
Penelitian Monserrat et al (1995) melaporkan bahwa kemungkinan
juga VCO mendukung dalam membantu pencegahan kerusakan ginjal. Mereka
mendapatkan bahwa pemberian VCO pada hewan percobaan dengan diberi
diet yang tidak mengandung cholin dan metil (methyl-deficient diet) ternyata
mampu memproteksi terjadinya kerusakan, perlukaan (renal lession), dan
kehancuran
(necrosis)
dari
ginjal.
Dengan
demikian
penelitian
ini
membuktikan bahwa VCO secara umum mampu meringankan derajat
kerusakan ginjal. Kemampuan ini terjadi jika pada diet atau makanannya
diberi VCO 20 %. Kemampuan meringankan kerusakan ginjal ini tidak
tampak pada minyak jagung dan tumbuhan lain yang terhidrogenasi
(Monserrat et al, 1995). Kemampuan ini tampaknya akan mendukung
pencegahan
kerusakan
ginjal
yang
ditunjukkan
dengan
adanya
microalbuminuria pada penderita diabetes yang diberikan pengobatan.
Bukti kehandalan lain dari VCO pada pencegahan komplikasi diabetes
datang dari penelitian Muller et al (2003). Mereka mampu membuktikan
bahwa pemberian VCO akan menurunkan tissue-Plasminogen Activator
antigen (t-PA antigen) segera setelah makan. Perlu diketahui bahwa t-PA
antigen ini berhubungan dengan aktivitas plasminogen activator inhibitor type
29
1=PAI-1 activity) yang biasanya meningkat pada penderita diabetes karena
adanya Hypertriglyceridemia (peningkatan triglyseride). Dengan menurunnya
t-PA antigen dan PAI-1 maka
akan terjadi perbaikan sistem fibrinolisis
(penghancuran jendalan darah). Kemampuan ini ditambah dengan efek
penurunan Lp[a] yang berhubungan dengan serangan stroke dan jantung
(Muller et al, 2003).
Kemampuan lain dari VCO yang sangat menguntungkan penderita
diabetes, dapat membantu mengurangi timbulnya penyakit sampingan atau
komplikasi, antara lain: anti bakteri, anti virus, anti fungal, anti yeast, anti
parasit, menurunkan kolesterol tubuh, dan lain-lain (Enig, 1996). Dengan
demikian nampak jelas bahwa VCO mampu mencegah atau mengurangi
insiden terjadinya stroke, infark jantung, dan sumbatan darah lain yang dapat
mengakibatkan berbagai komplikasi termasuk komplikasi disfungsi ereksi.
F. Dislipidemia pada Diabetes
Lipid dalam tubuh diperlukan untuk energi cadangan, pelindung organ
penting, sintesis berbagai hormon dan lain-lain. Karena lipid bersifat tidak
larut air, lipid akan diikatkan kepada protein agar dapat larut dan dapat
diangkut dari tempat yang satu ke tempat lainnya di dalam tubuh. Ikatan lipid
dengan protein tersebut disebut lipoprotein (Suitor dan Crowley, 1984).
Sumber energi lain apabila tidak bisa menggunakan glukosa misalnya
pada penderita diabetes adalah oksidasi lemak pada jaringan lemak, dan
katabolisme protein (Milne, 1989). Pelepasan asam lemak dari jaringan lemak
meningkat pada penderita diabetes karena kekurangan insulin. Akibatnya
aliran asam lemak ini menjadi sumber energi utama yang dipergunakan oleh
jaringan tubuh. Akibatnya penderita diabetes biasanya banyak makan namun
tidak gemuk karena lemak-lemak yang ada di tubuh diubah jadi tenaga.
Banyaknya asam lemak yang tersedia di hati akan
meningkatkan
produksi fosfolopid dan kolestrol. Bersama dengan trigliserida yang dibentuk
hati, ketiganya akan dilepas ke dalam darah sebagai lipoprotein. Kadangkala,
jumlah lipoprotein plasma dapat meningkat sebanyak tiga kali lipat dari
jumlah normal 0,6 % menjadi 2,0 % (Guyton, 1987). Dinyatakan lebih jauh
30
bahwa akibat dislipidemia dapat mengakibatkan kecenderungan komplikasi
penyakit lainnya misalnya peningkatan kadar kolesterol darah, penyempitan
pembuluh darah dan lain-lain.
G. Insulin
Insulin pertama kali ditemukan oleh Banting dan Best pada tahun 1922
dengan mengikat saluran pankreas sehingga kelenjar eksokrin dan bagian
asinar mengalami atropi. McDonald (1980) menemukan bahwa insulin
merupakan dua rantai asam amino lurus dengan tiga ikatan disulfida (berat
molekul 5733).
Insulin disintesis dan disekresikan oleh sel beta pada pulau Langerhans
pankreas. Pembentukan insulin diawali dengan adanya rangsangan glukosa
pada ribosom retikulum endoplasmik yang menyebabkan adanya translasi dan
transkripsi mRNA menjadi proinsulin. Proinsulin kemudian bergerak menuju
aparatus golgi dan akan diubah menjadi insulin dan C (Conecting)-peptide
yang dibungkus dalam glanula sitoplasma. Granula-granula insulin tetap
disimpan pada sel beta pankreas sampai saatnya dibutuhkan.
Jumlah glukosa di dalam darah merangsang pengeluaran insulin.
Glukosa berikatan dengan reseptor glukosa pada membran sel beta disertai
perubahan Adenosin Tri Phosphate (ATP) menjadi cyclic-Adenosin Mono
Phosphate (cAMP). Kemudian cAMP dapat meningkatkan permeabilitas
membran terhadap ion kalsium dan meningkatkan pelepasan kalsium dari
mitokondria. Selanjutnya cAMP dan kadar kalsium dalam sel akan
menyebabkan dibentuknya mikrotubular-mikrofilamen (MT/MF) sistem yang
mengarahkan granula insulin ke permukaan membran insulin. Insulin
kemudian disekresikan ke pembuluh darah. Pada pembuluh darah terdapat
tempat khusus untuk insulin agar dapat masuk ke aliran darah hati.
Butt (1975) menunjukan bahwa tempat kerja insulin pada permukaan
luar membran sel. Beberapa jaringan memperlihatkan sifat yang berbeda pada
insulin. Insulin dibutuhkan dalam jaringan otot, lemak, leukosit, lensa mata,
hipofise, dan aqueous humor. Sedangkan pada jaringan otak (kecuali
hipotalamus), tubuli ginjal, mukosa usus, eritrosit, dan hati tidak dipengaruhi
31
oleh insulin. Insulin akan berikatan dengan reseptor insulin dan meningkatkan
permeabilitas sel terhadap glukosa, asam amino, ion kalsium, nukleosida, dan
fosfat anorganik pada jaringan otot dan lemak, sehingga glukosa dapat masuk
ke dalam sel dan disimpan oleh tubuh. Di dalam otot, glukosa akan diubah
menjadi glikogen, sedangkan pada jaringan lemak glukosa akan diubah
menjadi trigliserida dan asam lemak. Penggunaan dan penyimpanan glukosa
dalam otot dan jaringan lemak menyebabkan penurunan kadar glukosa dalam
darah.
Kadar glukosa darah yang rendah akan merangsang pembentukan
glukagon, adrenalin dari kelenjar adrenal, dan hormon pertumbuhan dari
hipofise anterior yang akan merangsang proses glikogenolisis di hati. Kadar
glukosa yang rendah juga merangsang terbentuknya glukokortikoid dari
kelenjar adrenal yang merangsang proses glukoneogenesis di hati. Prosesproses tersebut akan menghasilkan glukosa dan meningkatkan kadar glukosa
darah kembali normal.
H. Glukosa Darah
Kadar glukosa darah adalah besarnya jumlah glukosa yang terdapat
dalam darah. Pada keadaan normal, kadar glukosa darah meningkat setelah
makan dan tetap bertahan dalam waktu yang singkat (Henriksen dan BechNielsen, 2000). Kadar glukosa darah normal yaitu dibawah 200 mg/dl
(Subekti, 1995). Pada penderita diabetes, glukosa yang terdapat dalam darah
terlalu banyak. Menurut ADA (2004), dalam keadaan puasa kadar glukosa
darah normal yaitu < 100 mg/dl, dan yang menderita diabetes > 126 mg/dl.
Sementara itu 2 jam setelah makan, maka kadar glukosa darah normal adalah
< 140 mg/dl dan yang menderita diabetes 180 mg/dl.
Hati berfungsi sebagai suatu sistem penyangga glukosa darah yang
sangat penting. Setelah makan, maka kadar glukosa darah meningkat sampai
konsentrasi yang tinggi sekali dengan disertai peningkatan sekresi insulin.
Sebanyak dua pertiga dari glukosa yang diserap oleh usus akan disimpan ke
dalam hati dalam bentuk glikogen. Selama beberapa jam berikutnya, bila
konsentrasi glukosa darah dan kecepatan sekresi insulin berkurang, maka hati
32
akan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Dengan cara ini, hati
mengurangi perubahan konsentrasi glukosa darah sampai kira-kira tiga kali
lipat (Guyton, 1993). Mekanisme peningkatan glukosa darah diatur oleh
hormon glukagon dari sel alpha, hormon dari hipofise anterior, epineprin dari
medulla adrenal, serta glukokortikoid dari korteks adrenal (McDonald, 1980).
Konsentrasi glukosa dalam darah harus dijaga agar konstan, oleh
karena itu, harus diusahakan agar konsentrasi glukosa dalam tubuh tidak
terlalu rendah (hipoglikemia). Bila keadaan ini terjadi, kita akan merasa
gugup, pusing, lemas, dan lapar. Akan tetapi, konsentrasi glukosa darah juga
harus dijaga agar tidak meningkat terlalu tinggi, hal ini dikarenakan : (1)
glukosa sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik dalam cairan
ekstraseluler, dan bila meningkatnya konsentrasi glukosa hingga berlebihan,
maka dapat mengakibatkan terjadinya dehidrasi seluler. (2) Sangat tingginya
konsentrasi glukosa darah menyebabkan ditemukannya glukosa dalam urin,
dan (3) keadaan-keadaan di atas dapat menimbulkan diuresis ginjal, yang akan
mengurangi jumlah cairan tubuh dan alektrolit (Guyton, 1993).
I. Aloksan
Rane dan Reddy (2000) menyatakan bahwa diabetes eksperimental
pada hewan model dapat terjadi melalui beberapa cara diantaranya dengan
pankreatektomi ataupun dengan menggunakan bahan kimia diabetigenik,
seperti aloksan dan streptozotosin dengan dosis yang dapat menyebabkan
kerusakan selektif terhadap sel-sel β pancreas, sehingga menghasilkan
keadaan hiperglikemia permanent yang merupakan salah satu etiologi dari
IDDM.
Induksi DM aksperimental menggunakan bahan kimia yang secara
selektif merusak sel B pankreas merupakan cara yang paling mudah dan sering
dilakukan. Bahan kimia yang umum digunakan untuk hal tersebut adalah
alloxan dan streptozotosin.
Alloxan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine ; 5,6-dioxyuracil) merupakan zat
kimia yang tidak stabil, hidrofilik, dan dapat bereaksi dengan thiol tertentu
yang ditemukan oleh Brugnatelli pada tahun 1818. Zat ini memiliki
33
keselektifan yang sangat tinggi, sehingga penting dalam penelitian DM. Sifat
diabetogenik alloxan telah diketahui dan dilaporkan oleh Dunn et al (1943),
yang mempelajari pemberian alloxan pada kelinci dan melaporkan adanya
nekrosis spesifik pada pulau Langerhans.
Reduksi dari aloksan menghasilkan asam dialurat disertai adanya
oksigen radikal (O2) yang akan berubah menjadi hidrogen peroksida (H2O2)
dan akhirnya timbul hidroksil radikal jika terdapat ion logam seperti Fe, Cu,
dan Zn. Radikal bebas yang terjadi merusak sel B pankreas sehingga insulin
tidak dapat dihasilkan.
Akumulasi alloxan dalam tubuh meningkatkan kerentanan tubuh
terhadap penyakit jantung, multiple sclerosis, arthritis, kanker payudara dan
kolon, serta diabetes. Dosis pemberian alloxan bervariasi tergantung pada
spesies, nutrisi, dan rute pemberiannya (Szkudelski, 2001).
Injeksi alloxan akan menghasilkan tiga fase kurva kadar glukosa darah.
Pertama, terjadi hiperglikemia yang berlangsung selama 1-4 jam setelah
induksi, yang diikuti dengan hipoglikemia antara 6-12 jam dan akhirnya
hiperglikemia permanen pada 12-24 jam setelah induksi (Cooperstein dan
Watkins, 1981). Pengaruh alloxan didalam tubuh sangat dipengaruhi oleh
kadar thiol dalam darah (semakin tinggi kadar thiol, maka pengaruh alloxan
akan semakin rendah), genetik, tempat dan cara pemberian, lama pemberian,
serta umur hewan percobaan.
J. Tikus Sprague Dawley
Hewan seperti tikus, kelinci maupun monyet telah digunakan secara
luas sebagai hewan model dalam penelitian diabetes melitus. Telah banyak
bukti
yang
menunjukkan
bahwa
penggunaan
hewan
model
dapat
menggambarkan dengan baik berbagai keadaan diabetes pada manusia, baik
dari aspek fisiologi maupun morfologi. Selain itu, hewan model juga
merupakan sarana yang baik untuk memanipulasi beberapa keadaan yang
tidak memungkinkan dilakukan pada manusia (Andayani, 2003)
Terdapat lima macam stok dasar tikus putih yang biasa digunakan,
yaitu Long Evans, Osborne mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan Wistar
34
(Muchtadi, 1989). Tikus Sprague Dawley telah diketahui sifatnya dengan
sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan peka
terhadap pengaruh perlakuan dalam komponen dietnya (Anonim, 1984).
Seperti halnya tikus percobaan lainnya, beberapa sifat karakteristik
tikus Sprague Dawley adalah : (1) nocturnal, berarti aktif pada malam hari,
dan tidur di siang hari, (2) Tidak mempunyai kantung empedu (gall blader),
(3) Tidak dapat mengeluarkan isi perutnya (muntah), dan (4) Tidak pernah
berhenti tumbuh, walaupun kecepatannya menurun setelah berumur 100 hari.
Zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tikus hampir sama dengan
manusia, yaitu : (1) Karbohidrat, (2) Minyak atau lemak, (3) Protein, (4)
Mineral atau elemen anorganik, dan (5) Vitamin (Muchtadi, 1989).
Tikus yang digunakan dalam percobaan ini adalah tikus putih jenis
Sprague Dawley berjenis kelamin jantan dengan berat badan sekitar 150-250
g. Tikus Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena
kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa,
sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat
mempengaruhi hasil penelitian.
Download