Aktivitas Antimikroba Ekstrak Jahe

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAHE (Zingiber officinale var Roscoe)
Jahe berasal dari Asia tropis. Bentuk liar dari tanaman jahe tidak diketahui asalnya dengan
pasti, namun diperkirakan berasal dari India. Jahe disebarkan ke Eropa dan Afrika Timur oleh
pedagang arab dari India. Saat ini jahe dibudidayakan di seluruh daerah tropis (Sutarno et al.,
1999) termasuk Indonesia.
Berdasarkan taksonomi, jahe termasuk dalam:
Kerajaan: Plantae (tumbuhan),
Divisi: Spermatophyta,
Kelas: Angiospermae,
Bangsa: Musales,
Suku: Zingiberaceae,
Marga: Zingiber,
Jenis: Zingiber officinale
(Situs Dunia Tumbuhan, 2008).
Gambar 1. Jahe varietas gajah
Di Indonesia, jahe memiliki nama yang berbeda-beda diantaranya yaitu halia (Aceh), beuing
(Gayo), bahing (Karo), pege (Toba), goraka (Ternate), gora (Tidore), sipodè (Mandailing), lahia
(Nias), goraka (Manado), halia, ĕdas
p
(Besemah), pĕmĕdas (Kutai), sipadas (Pantai Sumatra
Barat), sipadeh, sipodèh (Minangkabau), jahi (Lampung), jahè (Sunda), jaé (Jawa), jhai
(Madura) dan jae (Bali) (Heyne, 1987).
Rimpang jahe memiliki ciri-ciri diantaranya bentuk rimpang bercabang tidak beraturan,
berkulit agak keras, dagingnya berwarna kuning, berserat dan berbau harum (Paimin dan
Murhananto, 2002). Jahe dapat dibudidayakan di semua negara tropis dan subtropis dan
menyukai iklim lembab (Heyne, 1987).
Berdasarkan ukuran bentuk dan warna kulit rimpang jahe diklasifikasikan menjadi tiga
varietas yaitu: (1) Zingiber officinale var Roscoe yang dikenal dengan jahe gajah atau jahe badak
atau jahe putih besar, mempunyai rimpang yang besar dan ruas yang menggelembung, (2)
Zingiber officinale var Rubrum, yang dikenal dengan jahe merah atau jahe sunti, dengan kulit
rimpang yang berwarna merah, (3) Zingiber officinale var Amarum, yang dikenal dengan jahe
putih kecil atau jahe emprit, mempunyai rimpang dengan ruas yang kecil dan agak
menggelembung (Paimin dan Murhananto, 2002). Jenis yang digunakan dalam penelitian yaitu
varietas jahe gajah (Gambar 1).
Rimpang jahe dipanen pada umur 8 – 10 bulan. Waktu pemanenan tergantung pada tujuan
penggunaan. Jahe yang ditujukan untuk pembuatan kembang gula, sirup gula atau untuk
pembuatan kristal jahe digunakan jahe berumur 5 – 7 bulan. Sedangkan jahe berumur 8 – 10
bulan digunakan dalam pembuatan jahe kering untuk bahan baku pembuatan biskuit, puding,
kue, roti jahe, sup, pikel, bumbu, ginger ale dan ginger wine (Vaughan dan Geissler, 2009) serta
untuk ekstraksi minyak atsiri dan oleoresin (Purseglove et al., 1981).
Jahe diketahui memiliki aktivitas analgesik, antiaggregan, antialkohol, antiallergik,
antimikroba, antikanker, antidepresan, antiedemik, antiemetik, antiinflamasi, antimutagenik,
antinarkotik, antioksidan, antiserotonigenik, antipiretik, antitrombik, antitusif, immunostimulan
3
(Duke et al., 2002). Dalam perdagangan, jahe digunakan secara luas sebagai rempah-rempah
dengan tiga produk utama yaitu jahe segar, jahe kering dan jahe olahan (Sutarno et al., 1999).
B. KOMPOSISI KIMIA JAHE
Rimpang jahe segar mengandung komposisi kimia per100g yang dapat disajikan pada Tabel
1 sebagai berikut.
Tabel 1. Komposisi kimia rimpang jahe segar per 100g
Kandungan
Jumlah
Energi
51 kJ
Protein
1,50 g
Lemak
1,00 g
Karbohidrat
10,10 g
Kalsium
21,00 mg
Besi
2,00 mg
Fosfor
39,00 mg
Vitamin A
30 IU
Vitamin B1
0,02 mg
Vitamin C
4,00 mg
Sumber : Departemen Kesehatan RI (1992)
Jahe terdiri atas minyak esensial atau minyak jahe dan oleoresin atau ekstrak jahe yang
menjadi sifat khas dari jahe. Minyak jahe berperan dalam aroma jahe. Kandungan minyak jahe
beragam antara 1,0 – 3,0 %, sedangkan oleoresin pada jahe berperan dalam menimbulkan rasa
pedas dengan kandungan berkisar antara 4,0 – 7,5 %. Minyak jahe umumnya digunakan sebagai
flavor minuman, kosmetika, manisan, parfum dan farmasetikal. Oleoresin jahe memiliki aroma,
flavor dan rasa pedas (Sutarno et al., 1999). Kandungan senyawa yang terdapat di dalam jahe
dapat dilihat pada Tabel 2.
Rasa pedas pada jahe segar disebabkan golongan fenilalkil keton atau yang biasa disebut
gingerol dan [6]-gingerol merupakan komponen teraktif pada jahe. Gingerol memiliki rantai
karbon beragam antara (C5 – C9). Selama pengeringan dan penyimpanan gingerol berubah
menjadi shogaol yang lebih berpotensi dibanding gingerol. Senyawa [6]-gingerol yang terpapar
peningkatan suhu menyebabkan perubahan bentuk menjadi zingeron, yang menghasilkan rasa
pedas yang sedang (Fennema, 1996), diantara bentuk komponen bioaktif jahe yaitu zingiberen,
[6]-gingerol, geraniol dan farnesen yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur zingiberen, [6]-gingerol, geraniol dan farnesen
4
Tabel 2. Kandungan senyawa yang terdapat dalam jahe
Kandungan senyawa dalam jahe
Senyawa
Minyak atsiri
- geranial (25,9%),
- a-zingiberen (9,5%),
- (E,E)-a-farnesen (7,6%),
- neral (7,6%),
- ar-curcumen (6,6%),
- β-sesquiphellandren (27,16%), *
- caryophyllen (15,29%), *
- β-bisabolen (11,4%) **
Etanol oleoresin jahe
- eugenol (49,8%),
- zingeron (14,5%),
- trans-6-shogaol (5,9%),
- geraniol (3,7%),
- borneol (1,9%);
Metanol oleoresin jahe
- zingeron (33,6%),
- trans-6-shogaol (14,9%),
- diacetoxy-[6]-gingerdiol (4,9%),
- decanal (3,8%),
- a-zingiberen (2,7%);
CCl 4 oleoresin jahe
- zingeron (33,3%),
- trans-6- shogaol (10,4%),
- geranial (7,5%),
- neral (4,9%),
- methyldiacetoxy- [6]-gingerdione (3,5%)
Isooktan oleoresin jahe
- zingeron (30,5%),
- palmitoleic acid (10,9%),
- trans-6-shogaol (9,3%),
- palmitic acid (8,9%),
- diacetoxy-[6]-gingerdiol (3,3%)
Sumber: Singh et al. (2008); * El-Baroty et al. (2010); ** Sacchetti et al. (2005)
C. SENYAWA ANTIMIKROBA DAN KOMPONEN BIOAKTIF JAHE
Kontaminasi bahan pangan dapat terjadi akibat adanya pertumbuhan mikroba baik bakteri,
kapang dan khamir pada bahan pangan yang tidak dikehendaki, sehingga dapat menyebabkan
kerusakan pada bahan pangan. Keberadaan antimikroba alami diharapkan dapat menjadi solusi
untuk mencegah kontaminasi bakteri dalam bahan pangan (Branen, 1993).
Senyawa antimikroba merupakan senyawa yang dapat membunuh atau menghambat
pertumbuhan bakteri. Penghambatan terhadap bakteri uji dapat bersifat bakterisidal maupun
bakteriostatik. Bahan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik
sedangkan bakterisidal merupakan bahan yang dapat membunuh bakteri (Madigan et al., 2003).
Bakteri dalam kondisi bakteriostatik dicirikan dengan jumlah pertumbuhan sel yang dapat
terlihat berada lebih rendah dibanding jumlah total sel normal, sedangkan bakteri dalam kondisi
bakterisidal dicirikan dengan jumlah pertumbuhan sel yang dapat terlihat pada fase stasioner
menurun drastis dibanding jumlah total sel normal (Gambar 3).
5
Gambar 3. Kurva pertumbuhan bakteri pada kondisi bakteriostatik dan bakterisidal (Sumber:
Madigan et al., 2003)
Senyawa antimikroba diharapkan memiliki kriteria yaitu aman, ekonomis, tidak
menyebabkan perubahan cita rasa dan aroma, tidak mengalami penurunan aktivitas disebabkan
adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya strain resisten dan memiliki
spektrum yang luas dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Senyawa yang dapat bersifat
antimikroba yaitu sodium benzoat, asam benzoat, asam sorbat, sorbat, asam organik, sulfit,
sulfur dioksida, nitrit, paraben, komponen fenolik, asam lemak rantai sedang, halogen, surfaktan
dan peroksida. Selain itu senyawa fitokimia yang terdapat dalam tumbuhan seperti golongan
fenolik, alkaloid dan terpenoid juga bersifat antimikroba (Branen, 1993). Penghambatan bakteri
yang dapat dihasilkan oleh jahe dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penghambatan mikroba yang dapat dihasilkan oleh jahe
Bentuk jahe
Mikroba
Nilai
penghambatan
Minyak atsiri jahe
Khamir patogen:
- C. albicans
0,15 mg/ml
- R. glutinis
0,15 mg/ml
- S. cerevisiae
0,09 mg/ml
- S. pombe
0,06 mg/ml
- Y. lypolitica
0,18 mg/ml
Minyak atsiri jahe
Kapang:
dosis 2 µl
- Aspergillus flavus
7,0 ± 0,4 mm
- Aspergillus solani
44,4 ± 1,0 mm
- Aspergillus oryzae
25,2 ± 1,6 mm
- Aspergillus niger
27,9 ± 1,8 mm
- Fusarium moniliforme
49,4 ± 0,9 mm
Bubuk jahe
Bakteri Gram-positif:
2 % (v/v)
- Micrococcus varians
bakteriosidal
- Leuconostoc sp.
- Bacillus subtilis
Bubuk jahe
Kapang:
0,25 % (v/v)
- Aspergillus niger
Fungisidal
Ekstrak
Bakteri enteropatogen:
diklorometan jahe
- E. coli O157: H7
10 mg/ml
- S. Typhi
10 mg/ml
- V. cholerae O1
5 mg/ml
Ekstrak etanol jahe
Khamir:
- Candida albicans
2 mg/ml
Pustaka
Sacchetti et al. (2005)
Singh et al. (2008)
Undriyani (1987)
Undriyani (1987)
Radiati (2002)
Atai et al. (2001)
6
Senyawa antimikroba memiliki mekanisme penghambatan yang berbeda-beda. Mekanisme
kerja senyawa antimikroba yaitu dapat berupa merusak dinding sel hingga terjadi lisis,
mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga sel bocor, menyebabkan denaturasi
protein sel, menghambat kerja enzim dalam sel, merusak molekul protein dan asam nukleat dan
menghambat sintesis asam nukleat (Prescott et al., 2005).
Senyawa antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan dari metabolit bakteri dan
memiliki kemampuan membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Selanjutnya antibiotik
dibuat lebih efektif dengan modifikasi kimia dalam laboratorium yang dikenal sebagai antibiotik
semisintetis (Madigan et al., 2003). Umumnya bakteri Gram-positif lebih rentan dibanding
bakteri Gram-negatif. Antibiotik yang dapat bekerja baik pada bakteri Gram-negatif maupun
Gram-positif disebut antibiotik dengan spektrum yang luas.
Antibiotik dapat digolongkan berdasarkan struktur kimianya atau berdasarkan cara kerjanya
dalam menghambat mikroba. Pada bakteri, sasaran utama dari kerja antibiotik yaitu menyerang
pada dinding sel (seperti vankomisin), menyerang membran sitoplasma (seperti polimixin) dan
menyerang sintesis protein (seperti makrolid, kloramfenikol dan tetrasiklin) dan menyerang
sintesis asam nukleat (seperti rifamin) (Madigan et al., 2003).
Mekanisme antibiotik dalam menghambat sintesis protein melalui interaksi dengan ribosom.
Interaksi ini sangat spesifik dan melibatkan banyak rRNA seperti streptomisin menghambat
sintesis protein pada tahap inisiasi sedangkan puromisin, kloramfenikol, sikloheksimid dan
tetrasiklin menghambat pada tahap elongasi. Antibiotik yang dapat menghambat dalam tahap
sama pun dapat memiliki mekanisme kerja sangat berbeda seperti puromisin berikatan dengan
sisi A pada ribosom dan perpanjangan rantai polipeptida dipindahkan ke puromisin, kemudian
kompleks puromisin-polipeptida keluar dari ribosom dan berhenti pada tahap elongasi secara
prematur. Kloramfenikol menghambat pada tahap elongasi dengan cara mencegah pembentukan
ikatan peptida. Antibiotik secara spesifik menghambat ribosom pada organisme tertentu seperti
kloramfenikol dan streptomisin spesifik hanya pada ribosom bakteri saja sedangkan
sikloheksimid hanya mempengaruhi ribosom dari golongan eukaria saja (Madigan et al., 2003).
D.
EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF
Ekstraksi merupakan tahap untuk pemisahan senyawa dengan matriksnya menjadi senyawa
terlarut untuk tujuan identifikasi komponen maupun komersial (Houghton dan Raman, 1998).
Senyawa terlarut berupa ekstrak penting didapatkan disebabkan: (1) keragaman komponen yang
terkandung dalam bahan segar dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan tempat tumbuh
tanaman, (2) adanya perubahan komponen selama penyimpanan dalam bentuk segar dan (3)
memenuhi konsentrasi tertentu terhadap senyawa yang diinginkan. Hal yang harus diperhatikan
diantaranya yaitu tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen yang akan diekstrak, sifat
pelarut yang akan digunakan, penggunaan ekstrak serta penggunaan ulang pelarut (Houghton
dan Raman, 1998).
Komponen bioaktif pada tanaman dapat diekstrak dengan beragam cara diantaranya
menggunakan metode Soxhlet (Mishra dan Behal, 2010), hidrodistilasi (Singh et al., 2008),
maserasi (Ahmad dan Beg, 2001), supercritical CO 2 (Puengphian dan Sirichote, 2008).
Penelitian ini menggunakan maserasi bertingkat dengan pertimbangan penggunaannya yang
sederhana, relatif murah dan mudah.
Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk jahe dalam pelarut. Prinsip metode maserasi
yaitu terjadinya peristiwa leaching pada komponen aktif dalam bahan yang memiliki sifat
7
kelarutan yang sama dengan pelarut yang digunakan (Singh, 2008). Maserasi yang berulang
untuk memperoleh ekstrak yang semakin banyak. Metode ini tergolong metode konvensional
namun masih populer digunakan disebabkan kemudahan pengerjaan dan biaya pengerjaan yang
cukup murah dibandingkan metode lainnya (Yang et al., 2010).
Maserasi bertingkat merupakan metode ekstraksi bertahap dengan menggunakan pelarut
yang berbeda. Metode maserasi bertingkat lebih banyak digunakan dalam mengekstraksi
senyawa antimikroba disebabkan lebih efisien karena dalam prosesnya akan didapatkan lebih
dari satu jenis senyawa antimikroba tergantung jenis pelarut yang digunakan (Mawaddah, 2008).
Ekstraksi dapat dilakukan menggunakan pelarut dengan polaritas yang berbeda untuk
memperoleh komponen terlarut pada kisaran yang luas (Cowan, 1999). Sifat komponen yang
akan diekstrak bergantung pada polaritas, termostabilitas dan pH. Sifat pelarut yang akan
digunakan bergantung pada polaritas, toksisitas, kemudahan terbakar, reaktivitas, ketersediaan
dan harga. Berdasarkan perbandingan polaritasnya, heksan tergolong sebagai pelarut non polar,
etil asetat tergolong sebagai pelarut semi polar dan etanol tergolong sebagai pelarut polar (Carey
dan Sundberg, 2007). Derajat polaritas bergantung pada ketetapan dielektrik (ε), semakin besar
tetapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut. Berikut ini karakteristik dan struktur pelarut
yang digunakan dalam penelitian (Tabel 4 dan Gambar 4).
Tabel 4. Karakteristik pelarut heksan, etil asetat, etanol
Pelarut
T d (oC) Kelarutan dalam air
Ketetapan dielektrik (ε)*
(%)
Heksan
69
<0,01
1,9
Etil asetat
77
80
6,0
Etanol
78
Sangat larut
24,5
Sumber: Handa (2008);* Carey dan Sundberg (2007)
(a) Heksan
(b) Etil asetat
(c) Etanol
Gambar 4. Struktur pelarut yang digunakan
(Sumber: (a) http://www.hull.ac.uk/chemistry/masspec3/images/pic%20hexane.gif;
(b) http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/ea/Ethyl_acetate2.png;
(c) http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/ae/Ethanol-structural.png)
Menurut Houghton dan Raman (1998) menyatakan bahwa pelarut yang digunakan
hendaknya mempunyai titik didih yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Dalam
pertimbangan ekonomi, diupayakan pemilihan pelarut yang murah harganya dan mudah
didapatkan.
E. BAKTERI PATOGEN PANGAN
Bakteri patogen merupakan bakteri penyebab penyakit (Madigan et al., 2003). Bakteri
patogen merupakan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia baik secara infeksi
maupun intoksikasi. Penyakit yang terjadi secara infeksi merupakan istilah yang digunakan jika
bakteri tertelan dalam bentuk vegetatifnya sedangkan penyakit yang terjadi secara intoksikasi
8
merupakan istilah yang digunakan jika toksin yang dihasilkan oleh bakteri masuk dalam tubuh
(Madigan et al., 2003). Bakteri yang akan diuji dalam penelitian ini termasuk dalam bakteri
patogen yaitu meliputi B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium.
Berdasarkan susunan dinding sel bakteri dapat digolongkan menjadi bakteri Gram-positif dan
bakteri Gram-negatif. Gram-positif merupakan sel prokariotik yang memiliki dinding sel terdiri
atas peptidoglikan dan sedikit membran luar, sedangkan Gram-negatif merupakan sel prokariotik
yang memiliki dinding sel terdiri atas peptidoglikan yang relatif lebih sedikit namun memiliki
membran luar yang terdiri atas lipopolisakarida (LPS), lipoprotein dan kompleks makromolekul
lainnya (Madigan et al., 2003). Dinding sel bakteri Gram-positif terdiri atas 90 % lapisan
peptidoglikan dan lapisan tipis asam teikoat, sedangkan pada bakteri Gram-negatif terdiri atas 5
– 20 % lapisan peptidoglikan dan lapisan lain meliputi protein, lipopolisakarida dan lipoprotein
(Fardiaz, 1992). Perbedaan ini menyebabkan perbedaan sensitivitas bakteri terhadap senyawa
antimikroba. Perbedaan sifat kedua jenis bakteri tersebut disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbedaan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif
Perbedaan
Ciri-ciri
Gram-positif
Gram-negatif
Dinding sel
Tebal dinding 20 – 80 nm berupa
Lapisan peptidoglikan inner 2 – 7 nm
peptidoglikan dan terdapat pula
dan membran outer 7 – 8 nm berupa
polisakarida dan asam teikoat
lipid, protein dan lipopolisakarida
Reproduksi
Membelah diri
Membelah diri, terkadang dengan
tunas
Bentuk sel
Bulat, batang atau filamen, dapat
Oval, bulat, batang kaku atau seperti
menunjukkan cabang
kurva, terkadang seperti kapsul
Metabolisme
Umumnya kemoorganotropik
Fototropik, kemolitoautotropik,
kemoorganoheterotropik
Motilitas
Kebanyakan non-motil, memiliki
Motil atau non-motil, flagel dapat
flagel peritrik ketika motil
beragam-polar, lopotrik, peritrik
Endospora
Dapat membentuk endospora
Tidak dapat membentuk endospora
Sumber : Prescott et al. (2005)
Bacillus cereus
Bacillus cereus termasuk ke dalam: Divisi Protophyta, Kelas Schizophyta, Ordo
Eubacteriales, Famili Bacillaceae dan Genus Bacillus (Salle, 1961). B. cereus merupakan bakteri
patogen pangan yang bersifat Gram-positif. Ciri-ciri morfologi B. cereus yaitu batang (basilus)
besar, aerobik dan membentuk rantai, bergerak, membentuk spora yang terletak ditengah basil
yang tidak bergerak dan tahan panas. Diameter sel 0,7 – 0,8 µm dengan panjang 2 – 3 µm,
sedangkan sporanya berdiameter 0,6 – 0,9 µm dengan panjang 1,0 – 1,5 µm dapat pula bersifat
anaerobik. B. cereus memiliki suhu optimum pertumbuhan berkisar antara 35 – 40 oC (Granum
dan Baird-Parker, 2000), peritrik, katalase positif dan kemoorganotropik (Prescott et al., 2005).
Bentuk morfologi bakteri B. cereus dapat dilihat pada Gambar 5.
9
Gambar
5.
Bentuk
morfologi
sel
bakteri
B.
cereus
(Sumber: http://archive.microbelibrary.org/microbelibrary/files/ccIma
ges/Articleimages/Atlas_Endospore/Bacillus%20species_Endospore%
20stainlabeled_fig14.jpg
B. cereus dapat menyebabkan penyakit jika berjumlah lebih dari 106 CFU/g dalam bahan
pangan yang tercemar (Ombui et al., 2008). Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh bakteri B.
cereus yaitu muntah-muntah, diare dan sakit perut. Gejala yang muncul diantaranya diare atau
muntah dalam jangka waktu 2 – 16 jam setelah makanan dikonsumsi (Prescott et al., 2005).
Sindrom diare dapat disebabkan akibat produksi enterotoksin yang dihasilkan B. cereus selama
pertumbuhan vegetatifnya di dalam usus kecil. B. cereus ditemukan pada susu pasteurisasi,
daging beku dan sayur-sayuran (FDA, 2010). Dampak buruk dari B. cereus dapat dicegah
makanan harus dimasak dengan pemasakan yang dapat membunuh sel vegetatif dan yang dapat
mencegah germinasi spora kemudian pendinginan yang cepat sehingga memberikan kejutan dan
penyimpanan pada suhu refrigerator. B. cereus terdapat secara alami di tanah dan pada produk
segar (ICMSF, 2005).
Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus termasuk ke dalam: Divisi Protophyta, Kelas Schizomycetes, Ordo
Eubacteriales, Famili Micrococcaceae dan Genus Staphylococcus (Salle, 1961). S. aureus
merupakan bakteri patogen pangan yang bersifat Gram-positif. Ciri-ciri morfologi S. aureus
yaitu tidak dapat membentuk spora, non-motil, berbentuk bulat (kokus) dengan diameter 0,5 –
1,5 µm tersusun dalam kelompok–kelompok yang tidak teratur. S. aureus dapat bersifat aerobik
dan fakultatif anaerobik. S. aureus dapat tumbuh dengan suhu optimum antara 30 – 37 °C
(Baird-Parker, 2000), katalase positif, kemoorganotropik (Prescott et al., 2005). Bentuk
morfologi bakteri S. aureus dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Bentuk morfologi sel bakteri S.aureus (Sumber:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d3/Staphylococcus
_aureus_VISA_2.jpg)
S. aureus ditemui di peralatan produksi dan tangan pekerja (Todd et al., 2009), produk susu
dan produk roti (Prescott et al., 2005). Sebagian besar kasus keracunan makanan disebabkan
10
oleh enterotoksin tipe A. Bakteri S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin jika jumlahnya
melebihi 106 CFU/g sehingga menyebabkan penyakit. Gejala keracunan yang ditimbulkan
meliputi mual, muntah-muntah, keram perut dan diare dalam jangka waktu 1 – 8 jam setelah
enterotoksin masuk dalam tubuh (Prescott et al., 2005). Pertumbuhan S. aureus dapat dicegah
dengan penyimpanan beku dibawah suhu 7 oC. S. aureus merupakan bakteri yang kurang dapat
berkompetisi dengan bakteri lainnya (ICMSF, 2005).
Salmonella enterica serovar Typhimurium
Salmonella enterica serovar Typhimurium termasuk ke dalam: Divisi Protophyta, Kelas
Schizomycetes, Ordo Eubacteriales, Famili Enterobacteriaceae, Genus Salmonellae (Salle,
1961). S.Typhimurium merupakan bakteri patogen pangan yang bersifat Gram-negatif. S.
Typhimurium memiliki ciri-ciri tidak dapat membentuk spora, kebanyakan motil berbentuk
batang. Salmonella bersifat aerobik dan fakultatif anaerobik (Fardiaz, 1992). S. Typhimurium
dapat tumbuh pada suhu optimum antara 35 – 43 oC (Park, 2005). Bentuk morfologi bakteri S.
Typhimurium dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Bentuk morfologi sel bakteri S. Typhimurium (Sumber: http://media2.web.britannica.com/eb-media/01/85001-004-42814A38.jpg)
Bakteri dari jenis Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika tertelan dan masuk
dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Gejala salmonellosis yang
paling sering yaitu gastroenteritis, selain itu demam enterik seperti demam tifoid dan demam
paratifoid (Fardiaz, 1992). Gejala keracunan yang ditimbulkan meliputi mual, muntah-muntah,
keram perut dan diare dalam jangka waktu 8 – 48 jam setelah enterotoksin masuk dalam tubuh
(Prescott et al., 2005). Umumnya Salmonella ditemui pada daging mentah (Todd et al., 2009),
daging ternak, ikan, telur dan produk susu (Prescott et al., 2005). S. Typhimurium dapat
menyebabkan penyakit diare pada manusia (Grimmont et al., 2000). Penghambatan bakteri uji
yang dapat dihasilkan oleh bahan selain jahe dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Penghambatan bakteri uji yang dapat dihasilkan oleh bahan selain jahe
Bahan
Bacillus cereus
Staphylococcus aureus Salmonella
Ekstrak metanol
0,165 mg/ml
1,320 mg/ml
>2,640 mg/ml
Azadirachta indica
(Mimba)
Ekstrak metanol
>2,640 mg/ml
>2,640 mg/ml
>2,640 mg/ml
Raphanus sativus
(Lobak)
Ekstrak metanol
1,320 mg/ml
>2,640 mg/ml
>2,640 mg/ml
Camellia sinensis
(Teh)
Sumber: Al-Zoreky dan Nakahara (2003)
11
F. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA
Prinsip pengujian aktivitas antimikroba adalah untuk mengkaji derajat efisiensi
penghambatan atau penginaktivasian organisme tertentu pada kondisi tertentu (Lopez-Malo et
al., 2003). Metode untuk menguji aktivitas antimikroba dapat dibedakan menjadi dua yaitu in
vitro dan aplikasi dalam sistem pangan. Metode in vitro merupakan metode pengujian aktivitas
antimikroba yang tidak diaplikasikan dalam sistem pangan. Metode in vitro hanya dapat
memberikan informasi awal mengenai potensi sebagai antimikroba dari komponen suatu bahan
(Parish dan Davidson, 1993).
Beberapa faktor yang berpengaruh dalam pengujian aktivitas antimikroba diantaranya yaitu:
mikroorganisme uji (jenis, jumlah inokulum yang digunakan, fisiologi sel, kultur media
pertumbuhan, bahan antimikroba yang digunakan, interaksi komponen uji dengan komponen
media, koefisien partisi), media uji (pH, kadar air, potensial redoks) dan prosedur uji (kondisi
inkubasi, tekanan udara, konsentrasi atmosfer, suhu inkubasi, keragaman alat) (Lopez-Malo et
al., 2003).
Metode in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan beragam pendekatan diantaranya
metode pengenceran atau dillution broth (Mishra dan Behal, 2010), metode difusi agar berupa
difusi sumur (Ahmad dan Beg, 2001) atau difusi cakram (Tayel dan Eltras, 2009). Kelebihan dan
kelemahan dari metode tersebut disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Kelebihan dan dan kelemahan metode pengujian
Metode
Kelebihan
Kelemahan
Difusi agar
sederhana dalam pengerjaan
senyawa yang diujikan harus dapat
berdifusi dengan baik dalam agar
serta data yang dihasilkan bersifat
kualitatif
Pengenceran
dapat
mengetahui
adanya pengerjaan membutuhkan waktu
kontaminasi dan dapat dilakukan yang lama
untuk bahan berwarna keruh
Sumber: Parish dan Davidson (1993)
Kultur media yang digunakan dalam penelitian yaitu media Nutrient Agar (NA) dan Nutrient
Broth (NB) dengan komposisi yang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi media NA dan NB
Kandungan
NA
Beef extract
3g
Pepton
5g
Agar
15 g
Air distilasi
1l
pH akhir
6,8 ± 0,2
Sumber : BAM (2001)
NB
3g
5g
1l
6,8 ± 0,2
Prinsip metode difusi sumur dan difusi cakram serupa yaitu ekstrak yang diujikan
ditempatkan dalam sumur atau kertas cakram yang telah diinokulasi oleh bakteri uji dan diamati
daya hambatnya setelah diinkubasi berupa terbentuknya zona bening. Zona bening yang
terbentuk disebut diameter penghambatan. Diameter penghambatan yang terbentuk dipengaruhi
12
oleh konsentrasi ekstrak, tingkat kelarutan ekstrak dan kemampuan ekstrak berdifusi dalam agar
(Prescott et al., 2005).
Pada uji difusi sumur digunakan kontrol sebagai pembanding. Pada penelitian ini
menggunakan dimetilsulfoksida (DMSO) sebagai kontrol negatif. Kontrol negatif untuk melihat
pengaruh DMSO terhadap aktivitas antimikroba dari ekstrak. Struktur DMSO dapat dilihat pada
Gambar 8.
Gambar 8. Struktur DMSO (Sumber: http://www.bioworld.com/site/accounts/masterfiles/IMAGES/PI-40470006.jpg)
Kontrol positif digunakan senyawa antibiotik kloramfenikol (D(-)-threo-2-dichloracetamido1-p-nitro-phenyl-1,3-propanediol) (Jardetzky, 1963). Pada awalnya diproduksi oleh kultur
Streptomyces venezuelae namun saat ini telah diproduksi secara sintetis (Prescott et al., 2005).
Kontrol positif digunakan sebagai pembanding terhadap aktivitas antimikroba. Hal ini
disebabkan antibiotik merupakan senyawa antimikroba yang telah dibuat secara standar.
Mekanisme kerja kloramfenikol yaitu dengan cara berikatan dengan subunit ribosom 50S untuk
mencegah sintesis protein dan menyebabkan kesalahan pembacaan kode oleh mRNA (Prescott et
al., 2005). Bentuk struktur antibiotik kloramfenikol dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Struktur kloramfenikol (Sumber:
http://www.bifcpresidency.tn.gov.in/Chloramphenicol.png; http://www.bioworld.com/site/accounts/masterfiles/IMAGES/PI-40470006.jpg)
Aktivitas antimikroba diukur dengan menentukan jumlah terkecil dari senyawa yang
dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri uji yang disebut dengan konsentrasi hambat
minimal atau MIC (Madigan et al., 2003; CDRH, 2009). Nilai MIC didefinisikan sebagai
konsentrasi terendah dari antimikroba yang dapat menurunkan pertumbuhan bakteri lebih besar
dari 90 % (Cosentino, 1999).
Nilai MIC dipengaruhi oleh bakteri uji yang digunakan, jumlah inokulum yang digunakan,
komposisi dari kultur media, waktu inkubasi, kondisi inkubasi seperti suhu, pH dan aerasi
(Madigan et al., 2003). Ketika seluruh kondisi sudah terstandarkan maka dimungkinkan untuk
dapat dibandingkan dengan bahan antimikroba yang berbeda dan dapat ditentukan yang lebih
efektif dalam menghambat organisme. Metode MIC tidak membedakan antara sidal dan statis
karena metode ini dilakukan di dalam kultur media selama periode inkubasi.
13
Download