II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAHE (Zingiber officinale var Roscoe) Jahe berasal dari Asia tropis. Bentuk liar dari tanaman jahe tidak diketahui asalnya dengan pasti, namun diperkirakan berasal dari India. Jahe disebarkan ke Eropa dan Afrika Timur oleh pedagang arab dari India. Saat ini jahe dibudidayakan di seluruh daerah tropis (Sutarno et al., 1999) termasuk Indonesia. Berdasarkan taksonomi, jahe termasuk dalam: Kerajaan: Plantae (tumbuhan), Divisi: Spermatophyta, Kelas: Angiospermae, Bangsa: Musales, Suku: Zingiberaceae, Marga: Zingiber, Jenis: Zingiber officinale (Situs Dunia Tumbuhan, 2008). Gambar 1. Jahe varietas gajah Di Indonesia, jahe memiliki nama yang berbeda-beda diantaranya yaitu halia (Aceh), beuing (Gayo), bahing (Karo), pege (Toba), goraka (Ternate), gora (Tidore), sipodè (Mandailing), lahia (Nias), goraka (Manado), halia, ĕdas p (Besemah), pĕmĕdas (Kutai), sipadas (Pantai Sumatra Barat), sipadeh, sipodèh (Minangkabau), jahi (Lampung), jahè (Sunda), jaé (Jawa), jhai (Madura) dan jae (Bali) (Heyne, 1987). Rimpang jahe memiliki ciri-ciri diantaranya bentuk rimpang bercabang tidak beraturan, berkulit agak keras, dagingnya berwarna kuning, berserat dan berbau harum (Paimin dan Murhananto, 2002). Jahe dapat dibudidayakan di semua negara tropis dan subtropis dan menyukai iklim lembab (Heyne, 1987). Berdasarkan ukuran bentuk dan warna kulit rimpang jahe diklasifikasikan menjadi tiga varietas yaitu: (1) Zingiber officinale var Roscoe yang dikenal dengan jahe gajah atau jahe badak atau jahe putih besar, mempunyai rimpang yang besar dan ruas yang menggelembung, (2) Zingiber officinale var Rubrum, yang dikenal dengan jahe merah atau jahe sunti, dengan kulit rimpang yang berwarna merah, (3) Zingiber officinale var Amarum, yang dikenal dengan jahe putih kecil atau jahe emprit, mempunyai rimpang dengan ruas yang kecil dan agak menggelembung (Paimin dan Murhananto, 2002). Jenis yang digunakan dalam penelitian yaitu varietas jahe gajah (Gambar 1). Rimpang jahe dipanen pada umur 8 – 10 bulan. Waktu pemanenan tergantung pada tujuan penggunaan. Jahe yang ditujukan untuk pembuatan kembang gula, sirup gula atau untuk pembuatan kristal jahe digunakan jahe berumur 5 – 7 bulan. Sedangkan jahe berumur 8 – 10 bulan digunakan dalam pembuatan jahe kering untuk bahan baku pembuatan biskuit, puding, kue, roti jahe, sup, pikel, bumbu, ginger ale dan ginger wine (Vaughan dan Geissler, 2009) serta untuk ekstraksi minyak atsiri dan oleoresin (Purseglove et al., 1981). Jahe diketahui memiliki aktivitas analgesik, antiaggregan, antialkohol, antiallergik, antimikroba, antikanker, antidepresan, antiedemik, antiemetik, antiinflamasi, antimutagenik, antinarkotik, antioksidan, antiserotonigenik, antipiretik, antitrombik, antitusif, immunostimulan 3 (Duke et al., 2002). Dalam perdagangan, jahe digunakan secara luas sebagai rempah-rempah dengan tiga produk utama yaitu jahe segar, jahe kering dan jahe olahan (Sutarno et al., 1999). B. KOMPOSISI KIMIA JAHE Rimpang jahe segar mengandung komposisi kimia per100g yang dapat disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut. Tabel 1. Komposisi kimia rimpang jahe segar per 100g Kandungan Jumlah Energi 51 kJ Protein 1,50 g Lemak 1,00 g Karbohidrat 10,10 g Kalsium 21,00 mg Besi 2,00 mg Fosfor 39,00 mg Vitamin A 30 IU Vitamin B1 0,02 mg Vitamin C 4,00 mg Sumber : Departemen Kesehatan RI (1992) Jahe terdiri atas minyak esensial atau minyak jahe dan oleoresin atau ekstrak jahe yang menjadi sifat khas dari jahe. Minyak jahe berperan dalam aroma jahe. Kandungan minyak jahe beragam antara 1,0 – 3,0 %, sedangkan oleoresin pada jahe berperan dalam menimbulkan rasa pedas dengan kandungan berkisar antara 4,0 – 7,5 %. Minyak jahe umumnya digunakan sebagai flavor minuman, kosmetika, manisan, parfum dan farmasetikal. Oleoresin jahe memiliki aroma, flavor dan rasa pedas (Sutarno et al., 1999). Kandungan senyawa yang terdapat di dalam jahe dapat dilihat pada Tabel 2. Rasa pedas pada jahe segar disebabkan golongan fenilalkil keton atau yang biasa disebut gingerol dan [6]-gingerol merupakan komponen teraktif pada jahe. Gingerol memiliki rantai karbon beragam antara (C5 – C9). Selama pengeringan dan penyimpanan gingerol berubah menjadi shogaol yang lebih berpotensi dibanding gingerol. Senyawa [6]-gingerol yang terpapar peningkatan suhu menyebabkan perubahan bentuk menjadi zingeron, yang menghasilkan rasa pedas yang sedang (Fennema, 1996), diantara bentuk komponen bioaktif jahe yaitu zingiberen, [6]-gingerol, geraniol dan farnesen yang dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Struktur zingiberen, [6]-gingerol, geraniol dan farnesen 4 Tabel 2. Kandungan senyawa yang terdapat dalam jahe Kandungan senyawa dalam jahe Senyawa Minyak atsiri - geranial (25,9%), - a-zingiberen (9,5%), - (E,E)-a-farnesen (7,6%), - neral (7,6%), - ar-curcumen (6,6%), - β-sesquiphellandren (27,16%), * - caryophyllen (15,29%), * - β-bisabolen (11,4%) ** Etanol oleoresin jahe - eugenol (49,8%), - zingeron (14,5%), - trans-6-shogaol (5,9%), - geraniol (3,7%), - borneol (1,9%); Metanol oleoresin jahe - zingeron (33,6%), - trans-6-shogaol (14,9%), - diacetoxy-[6]-gingerdiol (4,9%), - decanal (3,8%), - a-zingiberen (2,7%); CCl 4 oleoresin jahe - zingeron (33,3%), - trans-6- shogaol (10,4%), - geranial (7,5%), - neral (4,9%), - methyldiacetoxy- [6]-gingerdione (3,5%) Isooktan oleoresin jahe - zingeron (30,5%), - palmitoleic acid (10,9%), - trans-6-shogaol (9,3%), - palmitic acid (8,9%), - diacetoxy-[6]-gingerdiol (3,3%) Sumber: Singh et al. (2008); * El-Baroty et al. (2010); ** Sacchetti et al. (2005) C. SENYAWA ANTIMIKROBA DAN KOMPONEN BIOAKTIF JAHE Kontaminasi bahan pangan dapat terjadi akibat adanya pertumbuhan mikroba baik bakteri, kapang dan khamir pada bahan pangan yang tidak dikehendaki, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan. Keberadaan antimikroba alami diharapkan dapat menjadi solusi untuk mencegah kontaminasi bakteri dalam bahan pangan (Branen, 1993). Senyawa antimikroba merupakan senyawa yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Penghambatan terhadap bakteri uji dapat bersifat bakterisidal maupun bakteriostatik. Bahan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik sedangkan bakterisidal merupakan bahan yang dapat membunuh bakteri (Madigan et al., 2003). Bakteri dalam kondisi bakteriostatik dicirikan dengan jumlah pertumbuhan sel yang dapat terlihat berada lebih rendah dibanding jumlah total sel normal, sedangkan bakteri dalam kondisi bakterisidal dicirikan dengan jumlah pertumbuhan sel yang dapat terlihat pada fase stasioner menurun drastis dibanding jumlah total sel normal (Gambar 3). 5 Gambar 3. Kurva pertumbuhan bakteri pada kondisi bakteriostatik dan bakterisidal (Sumber: Madigan et al., 2003) Senyawa antimikroba diharapkan memiliki kriteria yaitu aman, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan cita rasa dan aroma, tidak mengalami penurunan aktivitas disebabkan adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya strain resisten dan memiliki spektrum yang luas dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Senyawa yang dapat bersifat antimikroba yaitu sodium benzoat, asam benzoat, asam sorbat, sorbat, asam organik, sulfit, sulfur dioksida, nitrit, paraben, komponen fenolik, asam lemak rantai sedang, halogen, surfaktan dan peroksida. Selain itu senyawa fitokimia yang terdapat dalam tumbuhan seperti golongan fenolik, alkaloid dan terpenoid juga bersifat antimikroba (Branen, 1993). Penghambatan bakteri yang dapat dihasilkan oleh jahe dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penghambatan mikroba yang dapat dihasilkan oleh jahe Bentuk jahe Mikroba Nilai penghambatan Minyak atsiri jahe Khamir patogen: - C. albicans 0,15 mg/ml - R. glutinis 0,15 mg/ml - S. cerevisiae 0,09 mg/ml - S. pombe 0,06 mg/ml - Y. lypolitica 0,18 mg/ml Minyak atsiri jahe Kapang: dosis 2 µl - Aspergillus flavus 7,0 ± 0,4 mm - Aspergillus solani 44,4 ± 1,0 mm - Aspergillus oryzae 25,2 ± 1,6 mm - Aspergillus niger 27,9 ± 1,8 mm - Fusarium moniliforme 49,4 ± 0,9 mm Bubuk jahe Bakteri Gram-positif: 2 % (v/v) - Micrococcus varians bakteriosidal - Leuconostoc sp. - Bacillus subtilis Bubuk jahe Kapang: 0,25 % (v/v) - Aspergillus niger Fungisidal Ekstrak Bakteri enteropatogen: diklorometan jahe - E. coli O157: H7 10 mg/ml - S. Typhi 10 mg/ml - V. cholerae O1 5 mg/ml Ekstrak etanol jahe Khamir: - Candida albicans 2 mg/ml Pustaka Sacchetti et al. (2005) Singh et al. (2008) Undriyani (1987) Undriyani (1987) Radiati (2002) Atai et al. (2001) 6 Senyawa antimikroba memiliki mekanisme penghambatan yang berbeda-beda. Mekanisme kerja senyawa antimikroba yaitu dapat berupa merusak dinding sel hingga terjadi lisis, mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga sel bocor, menyebabkan denaturasi protein sel, menghambat kerja enzim dalam sel, merusak molekul protein dan asam nukleat dan menghambat sintesis asam nukleat (Prescott et al., 2005). Senyawa antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan dari metabolit bakteri dan memiliki kemampuan membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Selanjutnya antibiotik dibuat lebih efektif dengan modifikasi kimia dalam laboratorium yang dikenal sebagai antibiotik semisintetis (Madigan et al., 2003). Umumnya bakteri Gram-positif lebih rentan dibanding bakteri Gram-negatif. Antibiotik yang dapat bekerja baik pada bakteri Gram-negatif maupun Gram-positif disebut antibiotik dengan spektrum yang luas. Antibiotik dapat digolongkan berdasarkan struktur kimianya atau berdasarkan cara kerjanya dalam menghambat mikroba. Pada bakteri, sasaran utama dari kerja antibiotik yaitu menyerang pada dinding sel (seperti vankomisin), menyerang membran sitoplasma (seperti polimixin) dan menyerang sintesis protein (seperti makrolid, kloramfenikol dan tetrasiklin) dan menyerang sintesis asam nukleat (seperti rifamin) (Madigan et al., 2003). Mekanisme antibiotik dalam menghambat sintesis protein melalui interaksi dengan ribosom. Interaksi ini sangat spesifik dan melibatkan banyak rRNA seperti streptomisin menghambat sintesis protein pada tahap inisiasi sedangkan puromisin, kloramfenikol, sikloheksimid dan tetrasiklin menghambat pada tahap elongasi. Antibiotik yang dapat menghambat dalam tahap sama pun dapat memiliki mekanisme kerja sangat berbeda seperti puromisin berikatan dengan sisi A pada ribosom dan perpanjangan rantai polipeptida dipindahkan ke puromisin, kemudian kompleks puromisin-polipeptida keluar dari ribosom dan berhenti pada tahap elongasi secara prematur. Kloramfenikol menghambat pada tahap elongasi dengan cara mencegah pembentukan ikatan peptida. Antibiotik secara spesifik menghambat ribosom pada organisme tertentu seperti kloramfenikol dan streptomisin spesifik hanya pada ribosom bakteri saja sedangkan sikloheksimid hanya mempengaruhi ribosom dari golongan eukaria saja (Madigan et al., 2003). D. EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF Ekstraksi merupakan tahap untuk pemisahan senyawa dengan matriksnya menjadi senyawa terlarut untuk tujuan identifikasi komponen maupun komersial (Houghton dan Raman, 1998). Senyawa terlarut berupa ekstrak penting didapatkan disebabkan: (1) keragaman komponen yang terkandung dalam bahan segar dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan tempat tumbuh tanaman, (2) adanya perubahan komponen selama penyimpanan dalam bentuk segar dan (3) memenuhi konsentrasi tertentu terhadap senyawa yang diinginkan. Hal yang harus diperhatikan diantaranya yaitu tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen yang akan diekstrak, sifat pelarut yang akan digunakan, penggunaan ekstrak serta penggunaan ulang pelarut (Houghton dan Raman, 1998). Komponen bioaktif pada tanaman dapat diekstrak dengan beragam cara diantaranya menggunakan metode Soxhlet (Mishra dan Behal, 2010), hidrodistilasi (Singh et al., 2008), maserasi (Ahmad dan Beg, 2001), supercritical CO 2 (Puengphian dan Sirichote, 2008). Penelitian ini menggunakan maserasi bertingkat dengan pertimbangan penggunaannya yang sederhana, relatif murah dan mudah. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk jahe dalam pelarut. Prinsip metode maserasi yaitu terjadinya peristiwa leaching pada komponen aktif dalam bahan yang memiliki sifat 7 kelarutan yang sama dengan pelarut yang digunakan (Singh, 2008). Maserasi yang berulang untuk memperoleh ekstrak yang semakin banyak. Metode ini tergolong metode konvensional namun masih populer digunakan disebabkan kemudahan pengerjaan dan biaya pengerjaan yang cukup murah dibandingkan metode lainnya (Yang et al., 2010). Maserasi bertingkat merupakan metode ekstraksi bertahap dengan menggunakan pelarut yang berbeda. Metode maserasi bertingkat lebih banyak digunakan dalam mengekstraksi senyawa antimikroba disebabkan lebih efisien karena dalam prosesnya akan didapatkan lebih dari satu jenis senyawa antimikroba tergantung jenis pelarut yang digunakan (Mawaddah, 2008). Ekstraksi dapat dilakukan menggunakan pelarut dengan polaritas yang berbeda untuk memperoleh komponen terlarut pada kisaran yang luas (Cowan, 1999). Sifat komponen yang akan diekstrak bergantung pada polaritas, termostabilitas dan pH. Sifat pelarut yang akan digunakan bergantung pada polaritas, toksisitas, kemudahan terbakar, reaktivitas, ketersediaan dan harga. Berdasarkan perbandingan polaritasnya, heksan tergolong sebagai pelarut non polar, etil asetat tergolong sebagai pelarut semi polar dan etanol tergolong sebagai pelarut polar (Carey dan Sundberg, 2007). Derajat polaritas bergantung pada ketetapan dielektrik (ε), semakin besar tetapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut. Berikut ini karakteristik dan struktur pelarut yang digunakan dalam penelitian (Tabel 4 dan Gambar 4). Tabel 4. Karakteristik pelarut heksan, etil asetat, etanol Pelarut T d (oC) Kelarutan dalam air Ketetapan dielektrik (ε)* (%) Heksan 69 <0,01 1,9 Etil asetat 77 80 6,0 Etanol 78 Sangat larut 24,5 Sumber: Handa (2008);* Carey dan Sundberg (2007) (a) Heksan (b) Etil asetat (c) Etanol Gambar 4. Struktur pelarut yang digunakan (Sumber: (a) http://www.hull.ac.uk/chemistry/masspec3/images/pic%20hexane.gif; (b) http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/ea/Ethyl_acetate2.png; (c) http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/ae/Ethanol-structural.png) Menurut Houghton dan Raman (1998) menyatakan bahwa pelarut yang digunakan hendaknya mempunyai titik didih yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Dalam pertimbangan ekonomi, diupayakan pemilihan pelarut yang murah harganya dan mudah didapatkan. E. BAKTERI PATOGEN PANGAN Bakteri patogen merupakan bakteri penyebab penyakit (Madigan et al., 2003). Bakteri patogen merupakan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia baik secara infeksi maupun intoksikasi. Penyakit yang terjadi secara infeksi merupakan istilah yang digunakan jika bakteri tertelan dalam bentuk vegetatifnya sedangkan penyakit yang terjadi secara intoksikasi 8 merupakan istilah yang digunakan jika toksin yang dihasilkan oleh bakteri masuk dalam tubuh (Madigan et al., 2003). Bakteri yang akan diuji dalam penelitian ini termasuk dalam bakteri patogen yaitu meliputi B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium. Berdasarkan susunan dinding sel bakteri dapat digolongkan menjadi bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif. Gram-positif merupakan sel prokariotik yang memiliki dinding sel terdiri atas peptidoglikan dan sedikit membran luar, sedangkan Gram-negatif merupakan sel prokariotik yang memiliki dinding sel terdiri atas peptidoglikan yang relatif lebih sedikit namun memiliki membran luar yang terdiri atas lipopolisakarida (LPS), lipoprotein dan kompleks makromolekul lainnya (Madigan et al., 2003). Dinding sel bakteri Gram-positif terdiri atas 90 % lapisan peptidoglikan dan lapisan tipis asam teikoat, sedangkan pada bakteri Gram-negatif terdiri atas 5 – 20 % lapisan peptidoglikan dan lapisan lain meliputi protein, lipopolisakarida dan lipoprotein (Fardiaz, 1992). Perbedaan ini menyebabkan perbedaan sensitivitas bakteri terhadap senyawa antimikroba. Perbedaan sifat kedua jenis bakteri tersebut disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Perbedaan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif Perbedaan Ciri-ciri Gram-positif Gram-negatif Dinding sel Tebal dinding 20 – 80 nm berupa Lapisan peptidoglikan inner 2 – 7 nm peptidoglikan dan terdapat pula dan membran outer 7 – 8 nm berupa polisakarida dan asam teikoat lipid, protein dan lipopolisakarida Reproduksi Membelah diri Membelah diri, terkadang dengan tunas Bentuk sel Bulat, batang atau filamen, dapat Oval, bulat, batang kaku atau seperti menunjukkan cabang kurva, terkadang seperti kapsul Metabolisme Umumnya kemoorganotropik Fototropik, kemolitoautotropik, kemoorganoheterotropik Motilitas Kebanyakan non-motil, memiliki Motil atau non-motil, flagel dapat flagel peritrik ketika motil beragam-polar, lopotrik, peritrik Endospora Dapat membentuk endospora Tidak dapat membentuk endospora Sumber : Prescott et al. (2005) Bacillus cereus Bacillus cereus termasuk ke dalam: Divisi Protophyta, Kelas Schizophyta, Ordo Eubacteriales, Famili Bacillaceae dan Genus Bacillus (Salle, 1961). B. cereus merupakan bakteri patogen pangan yang bersifat Gram-positif. Ciri-ciri morfologi B. cereus yaitu batang (basilus) besar, aerobik dan membentuk rantai, bergerak, membentuk spora yang terletak ditengah basil yang tidak bergerak dan tahan panas. Diameter sel 0,7 – 0,8 µm dengan panjang 2 – 3 µm, sedangkan sporanya berdiameter 0,6 – 0,9 µm dengan panjang 1,0 – 1,5 µm dapat pula bersifat anaerobik. B. cereus memiliki suhu optimum pertumbuhan berkisar antara 35 – 40 oC (Granum dan Baird-Parker, 2000), peritrik, katalase positif dan kemoorganotropik (Prescott et al., 2005). Bentuk morfologi bakteri B. cereus dapat dilihat pada Gambar 5. 9 Gambar 5. Bentuk morfologi sel bakteri B. cereus (Sumber: http://archive.microbelibrary.org/microbelibrary/files/ccIma ges/Articleimages/Atlas_Endospore/Bacillus%20species_Endospore% 20stainlabeled_fig14.jpg B. cereus dapat menyebabkan penyakit jika berjumlah lebih dari 106 CFU/g dalam bahan pangan yang tercemar (Ombui et al., 2008). Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh bakteri B. cereus yaitu muntah-muntah, diare dan sakit perut. Gejala yang muncul diantaranya diare atau muntah dalam jangka waktu 2 – 16 jam setelah makanan dikonsumsi (Prescott et al., 2005). Sindrom diare dapat disebabkan akibat produksi enterotoksin yang dihasilkan B. cereus selama pertumbuhan vegetatifnya di dalam usus kecil. B. cereus ditemukan pada susu pasteurisasi, daging beku dan sayur-sayuran (FDA, 2010). Dampak buruk dari B. cereus dapat dicegah makanan harus dimasak dengan pemasakan yang dapat membunuh sel vegetatif dan yang dapat mencegah germinasi spora kemudian pendinginan yang cepat sehingga memberikan kejutan dan penyimpanan pada suhu refrigerator. B. cereus terdapat secara alami di tanah dan pada produk segar (ICMSF, 2005). Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus termasuk ke dalam: Divisi Protophyta, Kelas Schizomycetes, Ordo Eubacteriales, Famili Micrococcaceae dan Genus Staphylococcus (Salle, 1961). S. aureus merupakan bakteri patogen pangan yang bersifat Gram-positif. Ciri-ciri morfologi S. aureus yaitu tidak dapat membentuk spora, non-motil, berbentuk bulat (kokus) dengan diameter 0,5 – 1,5 µm tersusun dalam kelompok–kelompok yang tidak teratur. S. aureus dapat bersifat aerobik dan fakultatif anaerobik. S. aureus dapat tumbuh dengan suhu optimum antara 30 – 37 °C (Baird-Parker, 2000), katalase positif, kemoorganotropik (Prescott et al., 2005). Bentuk morfologi bakteri S. aureus dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Bentuk morfologi sel bakteri S.aureus (Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d3/Staphylococcus _aureus_VISA_2.jpg) S. aureus ditemui di peralatan produksi dan tangan pekerja (Todd et al., 2009), produk susu dan produk roti (Prescott et al., 2005). Sebagian besar kasus keracunan makanan disebabkan 10 oleh enterotoksin tipe A. Bakteri S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin jika jumlahnya melebihi 106 CFU/g sehingga menyebabkan penyakit. Gejala keracunan yang ditimbulkan meliputi mual, muntah-muntah, keram perut dan diare dalam jangka waktu 1 – 8 jam setelah enterotoksin masuk dalam tubuh (Prescott et al., 2005). Pertumbuhan S. aureus dapat dicegah dengan penyimpanan beku dibawah suhu 7 oC. S. aureus merupakan bakteri yang kurang dapat berkompetisi dengan bakteri lainnya (ICMSF, 2005). Salmonella enterica serovar Typhimurium Salmonella enterica serovar Typhimurium termasuk ke dalam: Divisi Protophyta, Kelas Schizomycetes, Ordo Eubacteriales, Famili Enterobacteriaceae, Genus Salmonellae (Salle, 1961). S.Typhimurium merupakan bakteri patogen pangan yang bersifat Gram-negatif. S. Typhimurium memiliki ciri-ciri tidak dapat membentuk spora, kebanyakan motil berbentuk batang. Salmonella bersifat aerobik dan fakultatif anaerobik (Fardiaz, 1992). S. Typhimurium dapat tumbuh pada suhu optimum antara 35 – 43 oC (Park, 2005). Bentuk morfologi bakteri S. Typhimurium dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Bentuk morfologi sel bakteri S. Typhimurium (Sumber: http://media2.web.britannica.com/eb-media/01/85001-004-42814A38.jpg) Bakteri dari jenis Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika tertelan dan masuk dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Gejala salmonellosis yang paling sering yaitu gastroenteritis, selain itu demam enterik seperti demam tifoid dan demam paratifoid (Fardiaz, 1992). Gejala keracunan yang ditimbulkan meliputi mual, muntah-muntah, keram perut dan diare dalam jangka waktu 8 – 48 jam setelah enterotoksin masuk dalam tubuh (Prescott et al., 2005). Umumnya Salmonella ditemui pada daging mentah (Todd et al., 2009), daging ternak, ikan, telur dan produk susu (Prescott et al., 2005). S. Typhimurium dapat menyebabkan penyakit diare pada manusia (Grimmont et al., 2000). Penghambatan bakteri uji yang dapat dihasilkan oleh bahan selain jahe dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Penghambatan bakteri uji yang dapat dihasilkan oleh bahan selain jahe Bahan Bacillus cereus Staphylococcus aureus Salmonella Ekstrak metanol 0,165 mg/ml 1,320 mg/ml >2,640 mg/ml Azadirachta indica (Mimba) Ekstrak metanol >2,640 mg/ml >2,640 mg/ml >2,640 mg/ml Raphanus sativus (Lobak) Ekstrak metanol 1,320 mg/ml >2,640 mg/ml >2,640 mg/ml Camellia sinensis (Teh) Sumber: Al-Zoreky dan Nakahara (2003) 11 F. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA Prinsip pengujian aktivitas antimikroba adalah untuk mengkaji derajat efisiensi penghambatan atau penginaktivasian organisme tertentu pada kondisi tertentu (Lopez-Malo et al., 2003). Metode untuk menguji aktivitas antimikroba dapat dibedakan menjadi dua yaitu in vitro dan aplikasi dalam sistem pangan. Metode in vitro merupakan metode pengujian aktivitas antimikroba yang tidak diaplikasikan dalam sistem pangan. Metode in vitro hanya dapat memberikan informasi awal mengenai potensi sebagai antimikroba dari komponen suatu bahan (Parish dan Davidson, 1993). Beberapa faktor yang berpengaruh dalam pengujian aktivitas antimikroba diantaranya yaitu: mikroorganisme uji (jenis, jumlah inokulum yang digunakan, fisiologi sel, kultur media pertumbuhan, bahan antimikroba yang digunakan, interaksi komponen uji dengan komponen media, koefisien partisi), media uji (pH, kadar air, potensial redoks) dan prosedur uji (kondisi inkubasi, tekanan udara, konsentrasi atmosfer, suhu inkubasi, keragaman alat) (Lopez-Malo et al., 2003). Metode in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan beragam pendekatan diantaranya metode pengenceran atau dillution broth (Mishra dan Behal, 2010), metode difusi agar berupa difusi sumur (Ahmad dan Beg, 2001) atau difusi cakram (Tayel dan Eltras, 2009). Kelebihan dan kelemahan dari metode tersebut disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Kelebihan dan dan kelemahan metode pengujian Metode Kelebihan Kelemahan Difusi agar sederhana dalam pengerjaan senyawa yang diujikan harus dapat berdifusi dengan baik dalam agar serta data yang dihasilkan bersifat kualitatif Pengenceran dapat mengetahui adanya pengerjaan membutuhkan waktu kontaminasi dan dapat dilakukan yang lama untuk bahan berwarna keruh Sumber: Parish dan Davidson (1993) Kultur media yang digunakan dalam penelitian yaitu media Nutrient Agar (NA) dan Nutrient Broth (NB) dengan komposisi yang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Komposisi media NA dan NB Kandungan NA Beef extract 3g Pepton 5g Agar 15 g Air distilasi 1l pH akhir 6,8 ± 0,2 Sumber : BAM (2001) NB 3g 5g 1l 6,8 ± 0,2 Prinsip metode difusi sumur dan difusi cakram serupa yaitu ekstrak yang diujikan ditempatkan dalam sumur atau kertas cakram yang telah diinokulasi oleh bakteri uji dan diamati daya hambatnya setelah diinkubasi berupa terbentuknya zona bening. Zona bening yang terbentuk disebut diameter penghambatan. Diameter penghambatan yang terbentuk dipengaruhi 12 oleh konsentrasi ekstrak, tingkat kelarutan ekstrak dan kemampuan ekstrak berdifusi dalam agar (Prescott et al., 2005). Pada uji difusi sumur digunakan kontrol sebagai pembanding. Pada penelitian ini menggunakan dimetilsulfoksida (DMSO) sebagai kontrol negatif. Kontrol negatif untuk melihat pengaruh DMSO terhadap aktivitas antimikroba dari ekstrak. Struktur DMSO dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Struktur DMSO (Sumber: http://www.bioworld.com/site/accounts/masterfiles/IMAGES/PI-40470006.jpg) Kontrol positif digunakan senyawa antibiotik kloramfenikol (D(-)-threo-2-dichloracetamido1-p-nitro-phenyl-1,3-propanediol) (Jardetzky, 1963). Pada awalnya diproduksi oleh kultur Streptomyces venezuelae namun saat ini telah diproduksi secara sintetis (Prescott et al., 2005). Kontrol positif digunakan sebagai pembanding terhadap aktivitas antimikroba. Hal ini disebabkan antibiotik merupakan senyawa antimikroba yang telah dibuat secara standar. Mekanisme kerja kloramfenikol yaitu dengan cara berikatan dengan subunit ribosom 50S untuk mencegah sintesis protein dan menyebabkan kesalahan pembacaan kode oleh mRNA (Prescott et al., 2005). Bentuk struktur antibiotik kloramfenikol dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Struktur kloramfenikol (Sumber: http://www.bifcpresidency.tn.gov.in/Chloramphenicol.png; http://www.bioworld.com/site/accounts/masterfiles/IMAGES/PI-40470006.jpg) Aktivitas antimikroba diukur dengan menentukan jumlah terkecil dari senyawa yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri uji yang disebut dengan konsentrasi hambat minimal atau MIC (Madigan et al., 2003; CDRH, 2009). Nilai MIC didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari antimikroba yang dapat menurunkan pertumbuhan bakteri lebih besar dari 90 % (Cosentino, 1999). Nilai MIC dipengaruhi oleh bakteri uji yang digunakan, jumlah inokulum yang digunakan, komposisi dari kultur media, waktu inkubasi, kondisi inkubasi seperti suhu, pH dan aerasi (Madigan et al., 2003). Ketika seluruh kondisi sudah terstandarkan maka dimungkinkan untuk dapat dibandingkan dengan bahan antimikroba yang berbeda dan dapat ditentukan yang lebih efektif dalam menghambat organisme. Metode MIC tidak membedakan antara sidal dan statis karena metode ini dilakukan di dalam kultur media selama periode inkubasi. 13