BERCERITA :Tradisi lisan yang

advertisement
BERCERITA :Tradisi lisan yang (hampir) hilang
Oleh Iman Sukwana
(Pustakawan BPAD Provinsi Banten)
Apabila kita mengenang masa-masa kecil dulu, ada saat yang paling ditunggu anak-anak
ketika menjelang tidur. Anak-anak bersiap di tikar atau di dipan. Dengan rasa kasih sayang,
seorang ibu mulai bercerita, sementara anak-anaknya akan menyimak sambil bersiap tidur.
Walau yang diceritakan hanya beberapa cerita saja, dan selalu dulang-ulang, misalnya cerita
“Si Kabayan maling nangka”, “Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet”, “Si Uncal”, dan
anak-anak tidak akan merasa bosan.
Dalam “Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet”, (Sang Kura-kura dan Sang Monyet),
diceritakan bahwa Sang Kura-kura dan Sang Monyet berlomba untuk menanam pisang. Sang
Kura-kura menanam anak pohon pisang, sementara Sang Monyet menanam jantungnya
pisang, dengan alasan bahwa dengan menanam jantungnya akan segera berbuah. Tiap hari
mereka merawat dan menyirami tanaman mereka. Dalam pada itu Sang Monyet berkata,
“tanaman pisangku akan segera berbuah, karena aku menanam jantungnya pisang”.
Sementara Sang Kura-kura hanya diam dan tidak menanggapi omongan Sang Monyet.
Karena dalam keyakinan dia bahwa pisang hanya akan berbuah lewat pohonnya saja. Dan apa
yang terjadi kemudian? Tanaman Sang Kura-kura terus tumbuh, tetapi tanaman Sang Monyet
malah layu dan membusuk. Hari-hari selanjutnya adalah Sang Monyet berusaha agar hasil
panenan buah pisang itu bisa dikuasainya.
Dari hari ke hari tanaman pisang Sang Kura-kura tumbuh dengan subur dan berbuah sangat
bagus, ketika terlihat akan matang, ia pun membungkusnya dengan “koronjo” (semacam
tas/wadah yang terbuat dari anyaman daun kelapa). Sang Kura-kura tahu akan tipu muslihat
yang akan dijalankan oleh Sang Monyet. Dia tahu bahwa Sang Monyet ingin memiliki pohon
pisang itu. Dan tibalah saat memanen. Sang Monyet menawarkan jasa untuk membantu
memanen buah tersebut, padahal dia sebenarnya ingin menikmati buah pisang itu sendirian.
Tetapi Sang Kura-kura tidak mau dibohongi oleh perilaku Sang Monyet yang sering menipu
dan berperilaku tidak baik. Sang Kura-kura membuat lubang yang besar di bagian bawah dari
“koronjo” tersebut agar ketika Sang Monyet ngambil buah pisang itu akan berjatuhan. Ketika
Sang Monyet memanen buah pisang, yang terjadi adalah buah pisang itu pada berjatuhan, dan
Sang Kura-kura dengan santai memakan buah pisang yang jatuh dan menghabiskannya.
Ketika Sang Monyet turun, sudah tidak ada lagi buah pisang matang yang bisa dinikmatinya.
Dari cerita diatas, dapat ditarik pelajaran bahwa, dalam kehidupan sosial kita tidak boleh
hidup secara individu, harus saling tolong menolong, dan tidak berbuat curang.
Itulah sepenggal cerita menjelang tidur yang dulu pernah berkembang di masyarakat dan di
tularkan secara turun temurun yang merupakan salah satu cerita rakyat atau tradisi lisan.
Dimana sebenarnya “cerita rakyat merupakan satra lisan yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat penuturnya. Bahasa lisan mengandung nilai-nilai atau ide, amanat gagasan yang
dapat diterima dan dinikmati oleh masyarakat pendukungnya. Jadi keberadaan sastra lisan
berhubungan langsung dengan masyarakat. Sastra lisan mencerminkan situasi, kondisi dan
tatakrama masyarakat pendukungnya”.(Early Wulandari Muis dalam “Folklor dan Folklife
dalam kehidupan dunia modern: Kesatuan dan keberagaman”. Yogyakarta: Ombak, 2013.
Hal.8).
Lebih jauh dikatakan bahwa cerita rakyat yang sudah berusia ratusan tahun lamanya, tentu
saja akan mengalami perubahan cerita seiring dengan berkembangnya zaman. Terlebih lagi
cerita-cerita tersebut bermula dari tuturan secara lisan bukan tertulis, sehingga dapat
dimungkinkan bahwa dari cerita daerah yang satu dengan daerah yang lainnya akan terdapat
perbedaan ceritanya. Tidak berbeda dengan mitos yang telah dituturkan bahwa terdapat
anggapan atau versi beragam dari setiap masyarakatnya.
Jika kita lihat kondisi sekarang, dimana peran cerita lisan sudah tidak lagi memegang peran
yang cukup berarti. Hal ini disebabkan adanya “rantai terputus” dari penutur ke penutur
lainnya. Faktornya adalah perkembangan dunia teknologi dan informasi yang berkembang,
dan dinikmati sepenuhnya oleh generasi selanjutnya. Anak-anak sekarang lebih menikmati
game on-line, memainkan gadget atau menonton tayangan televisi (yang belum tentu
mengandung pelajaran atau dapat diambil pelajaran dari tayangan tersebut). Sepertinya kita
lebih senang tayangan pandang dengar, karena tanpa interpretasi dan perlu memikirkan
apapun, tayangan itu bisa lebih dinikmati. Beda halnya dengan membaca. Pemahaman
terhadap bacaan perlu imajinasi, interpretasi dan pemahaman untuk lebih menikmati bahan
bacaan.
Tradisi lisan, yang dianggap orang penuh dengan nuansa-nuansa kearifan lokal (local
wisdom), memiliki nilai-nilai tersendiri secara implisit. Kearifan lokal adalah sikap,
pandangan dan kemampuan suatu komunitas dalam menelola lingkungan rohani dan
jasmaninya yang memberikan kepada komunitas itu berada. Menurut Ayu Sutarto yang
dikutip I Nyoman Suaka, “ kearifan lokal yang terkandung dalam produk budaya, terkait
dengan lima kegiatan. Pertama, terkait dengan prilaku dalam berkomunikasi dengan Sang
Pencipta. Kedua, terkait dengan diri sendiri. Ketiga, bagaiman bergaul atau berkomunikasi
dengan masyarakat luas karena kita menjadi bagian darinya (toleransi). Keempat, sikap dan
prilaku yang terkait dengan anggota keluarha dan kerabat kita, dan kerabat kita yang lain.
Kelima, terkait dengan lingkungan akan membuat hidup kita aman dan nyaman karena
lingkungan yang kita jaga dan pelihara akan memeberi manfaat positif kepada kehidupan
kita”. (I Nyoman Suaka dalam “Folklor dan Folklife dalam kehidupan dunia modern:
Kesatuan dan keberagaman”. Yogyakarta: Ombak, 2013. Hal.49).
Pelestarian nilai-nilai kearifan lokal seperti itu harus terus ditanamkan kepada generasi
selanjutnya. Individu, masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta memiliki
peran sesuai porsinya masing-masing dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya luhur yang
mampu membentengi diri dari pengaruh budaya luar yang belum tentu sesuai dengan prinsipprinsip religiusitas.Dalam rangka membangun dan melestarikan kearifan lokal daerah Banten,
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi Banten, beberapa waktu lalu dalam
rangka “Hari Kunjung Perpustakaan”, menggelar lomba bercerita tingkat Sekolah Dasar dan
tingkat SLTA dengan mengambil tema “Cerita Rakyat Banten”. Dimana tujuan dari
penyelenggaraan kegiatan tersebut adalah menumbuhkembangkan kegemaran membaca
melalui berbagai bacaan dan media untuk menanamkan cinta kebudayaan bangsa, persatuan
dan kesatuan; menarik minat baca anak tentang buku-buku budaya daerah (lokal); dan
menumbuhkembangkan kecintaan akan budaya nusantara.
Ketika peserta lomba akan menceritakan kembali tentang tema yang diangkat, tentu mereka
perlu mencari bahan atau referensi untuk presentasi tersebut. Dengan membaca, mereka akan
mengerti dan menghayati apa sebenarnya cerita yang disajikan. Yang paling penting dari
penyelenggaraan acara tersebut adalah secara tidak langsung para peserta dikondisikan pada
atmosfir pemahaman terhadap budaya lokal yang pernah terjadi. Walaupun cerita sebelum
tidur tidak dilakukan lagi oleh para orang tua sebagaimana ilustrasi diatas, tetapi
penyampaian estafeta pemahaman terhadap kearifan lokal tetap berlangsung walaupun
dengan cara yang berbeda.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, itulah pepatah lama yang cocok untuk
kasus ini. Agar nilai-nilai luhur kearifan lokal tidak lekang dimakan waktu, perlu cara dan
media lain yang diterapkan, karena jaman telah berubah, dan perubahan itu membawa
dampak pula pada cara-cara bagaimana orang memahami dan memaknai suatu proses
budaya.
Download