BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Peran Elit Politik Dalam sebuah

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Peran Elit Politik
Dalam sebuah kelompok masyarakat, terdapat beberapa individu yang
memiliki pengaruh dan peranan yang kuat. Mereka inilah yang disebut
elit.(Keller, 1995:31) Istilah elit sebenarnya berasal dari kata latin eligere yang
berarti “memilih”. (T.B. Bottomore, 2006:1) Pada abad ke-18, penggunaan kata
itu dalam bahasa Prancis telah meluas dengan memasukkan penjelasan baru dalam
bidang-bidang lainnya. Kaum elit adalah minoritas-minoritas yang efektif dan
bertanggung jawab; efektif melihat kepada pelaksanaan kegiatan kepentingan dan
perhatian kepada orang lain tempat golongan elit ini memberikan tanggapannya.
(T.B. Bottomore, 2006:2) Kajian mengenai elit memang relatif sedikit. Meskipun,
telah banyak para tokoh yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan
kajian terhadap elit.
Elit politik sebenarnya muncul dalam dunia sosiologi untuk membedakan
satu komunitas dengan komunitas lain. Secara sederhana elit biasa diartikan
sebagai anggota masyarakat yang paling berbakat seperti elit agama, elit
organisasi, namun dalam perspektif sosiologi elit lebih diartikan sebagai elit
politik (Political Elite). Menurut David Jarry dan Julia Jerry yang dinyatakan oleh
Syarifuddin Jurdi mempunya asumsi tentang teori elit. Mereka mengatakan bahwa
munculnya kelas elit dan rakyat jelata merupakan cirri yang tidak terelakkan
dalam masyarakat modern. Asumsi mereka bahwa rakyat secara keseluruhan yang
6
7
menjalankan pemerintahan adalah sesuatu yang keliru, karena sesunggunya yang
menjalankan kebijakan adalah para elit. (Jarry/Jerry dalam Jurdi, 2004: 19-20).
Syarifuddin Jurdi, menambahkan yang disebut elit adalah sekelompok
kecil dalam masyarakat yang memegang posisi dan peranan penting. Dalam
perkataan lain Syarifuddin Jurdi menambahkan bahwa elit adalah segolongan
kecil yang memperoleh sebagian besar dari nilai apa saja, elit itu menunjuk pada
mereka yang berpengaruh. (Jurdi, 2004:21).
Kajian mengenai elit memang relatif sedikit. Meskipun, telah banyak para
tokoh yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan kajian terhadap elit.
Beberapa tokoh yang memberikan kontribusi pemikiran terhadap kajian
elit adalah:
a. Aristoteles
Dalam karyanya Politika, Aristoteles menitikberatkan kepada sifat dan
tujuan negara serta manusia yang terpilih untuk bertugas. Dalam pandangannya
negara mempunyai suatu fungsi yang melampaui fungsi untuk pencegahan
kejahatan atau mengatur tukar-menukar.
Konsepsi Aristoteles mengenai negara tersebut memang terlalu sempit.
Menurutnya, pemimpin-pemimpin dalam suatu negara bukan hanya kaum elit
politis tetapi juga semua mereka yang tindakan dan usahanya berorientasi untuk
mengamankan dan memajukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Mereka
seperti gabungan dari para pemimpin (elit) politik, ekonomi, moral dan budaya.
Tanpa melihat kepada bentuk pemerintahan yang berkembang, Aristoteles
menganggap bagwa suatu kelompok elit harus muncul untuk melanjutkan atau
8
memikul urusan-urusan negara. Karena kelompok elit tersebut lebih permanen
dari pada susunan kelembagaan tertentu golongan elit spesialis. Dia juga
menambahkan bahwa elit juga harus bertanggungjawab atas kesejahteraan moral
dan material masyarakat.
b. Vilvredo Pareto dan Gaetano Mosca
Pareto meyakini bahwa elit yang tersebar pada sektor pekerjaan yang
berbeda itu umumnya berasal dari kelas yang sama. Yakni orang-orang yang kaya
dan pandai. Ia menggolongkan masyarakat ke dalam dua kelas, lapisan atas (elite)
dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas terbagi dalam dua kelompok, yakni
elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (nongoverning elite) (T.B. Bottomore, 2006:2). Sedangkan, Mosca lebih fokus
terhadap analisisnya terhadap bagaimana elite yang berkuasa mempertahankan
kekuasaannya. Keduanya beranggapan bahwa elit yang ada terdiri dari orangorang yang terbaik, yaitu yang memiliki nilai-nilai masyarakat pada suatu waktu
tertentu. Artinya, mereka yang dapat melakuka pendekatan yang terbaik kepada
massalah sehingga mendapatkan perhatian dari massa, akan memperoleh
dukungan untuk meraih tujuannya. Seperti Saint Simon, Pareto dan Mosca
menilai elit adalah suatu wajah masyarakat yang kompleks. Kehadirannya tidak
dapat ditiadakan. Pandangan ini dengan jelas menolak anggapan Marx yang
menilai bahwa elit adalah suatu fase lintasan sejarah manusia belaka.
c. Karl Mannheim
Mannheim membedakan antara dua tipe elit yang berbeda secara
fundamental. Pertama, elit yang integratif, yang terdiri dari pemimpin politik dan
9
organisasi. Dan kedua adalah elit sublimatif, yang terdiri dari para pemimpin
moral keagamaan, seni dan intelektual.
Fungsi dari elit integratif adalah mengintegrasikan sejumlah besar
kehendak-kehendak perseorangan. Sedangkan, kelompok elit sublimatif berfungsi
untuk mengadakan sublimasi tenaga kejiwaan manusia. Jika elit integratif
bergerak dalam organisasi-organisasi formal maka elit sublimatif bergerak melalui
gerakan-gerakan kecil.
Mannheim melihat elit sebagai suatu hubungan dan keperluan kolektif.
Artinya, kehadirannya sangat dibutuhkan dalam tatanan kehidupan sosial.
Pernyataan ini juga sekaligus meneguhkan keberpihakannya pada Pareto dan
Mosca. Dia juga menilai bahwa para elit menjalankan kekuasaannya secara
fungsional dan melembaga. Artinya, elit selalu bergerak secara terorganisasi
berdasarkan latar belakang kekuasaannya.
Dari beberapa pemikiran di atas memberikan sebuah gambaran bahwa
peranan elit dalam sebuah masyarakat tidak dapat dihilangkan. Sebagai tokoh
yang berpengaruh, elit dapat mendorong massa menuju kepada arah untuk
mewujudkan kepentingannya.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan bangsa Indonesia, tentu saja
membawa dinamika yang mempengaruhi munculnya elit-elit baru yang lebih
kompleks. Bahkan, mengurangi peranan dari elit-elit lama, seperti peranan elit
keturunan kerajaan.
10
2.2 Otonomi Daerah
Secara etimologis, pengertian otonomi atau autonomy berasal dari bahasa
Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan
(Rosidin, 2010:85). Kemudian secara harfiah, menurut kamus besar bahasa
Indonesia (2007 : 805) otonomi adalah daerah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam terminologi Ilmu Pengetahuan dan Hukum Administrasi Negara,
kata otonomi sering dihubungkan dengan otonomi daerah dan daerah otonom.
Otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri (Muslimin,1978:16) dan daerah
diartikan sebagai kebebasan atas kemandirian, bukan kemerdekaan (Syafrudin,
1985:23).
Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri, sedangkan
makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Dengan demikian, otonomi
daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan
pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri, sedangkan
Desentralisasi menurut United Nation (dalam Azyumardi Azra, 2003: 50)
menyatakan bahwa desentralisasi menawarkan perubahan kewenangan yang jauh
diserahkan dari pusat kepada daerah, umumnya delegasi kepada pejabat-pejabat
daerah dengan dekonsentrasi atau devolusi kepada badan-badan dekonsentrasi
otonomi daerah. Jadi, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan Daerah Otonom,
11
selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas
wilayah
yang
berwenang
mengatur
dan
mengurus
urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sediri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI ( UU NO.32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah).
Bertolak dari pemikiran di atas, maka adapun visi otonomi daerah menurut
Syakuni ( dalam Azyumardi Azra, 2003:156) merumuskan 3 ruang lingkup, yaitu:
1. Politik, harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang
bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara
demokratis,
memungkinkan
berlangsungnya
penyelenggaraan
pemerintahan yang responsif.
2. Ekonomi, terbukanya
peluang
bagi
pemerintah
daerah
dalam
mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya.
3. Sosial, menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika
kehidupan disekitarnya.
Desentralisasi adalah istilah yang luas dan selalu menyangkut persoalan
kekuatan (power), biasanya dihubungkan dengan pendelegasian atau penyerahan
wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabatnya di daerah atau kepada
lembaga-lembaga pemerintah di daerah untuk menjalankan urusan-urasan
pemerintahan di daerah. (Riwu Kaho dalam Rosidin, 2010:86). Dalam
Encycklopedia of the social science, desentralisasi adalah penyerahan wewenang
dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahannya yang lebih
12
rendah,
baik
yang
menyangkut
bidang
legislative,
yudikatif,
maupun
administrative. Dalam ensiklopedia tersebut, dikemukakan bahwa desentralisasi
adalah kebalikan dari sentralisasi, tetapi jangan dikacaukan dengan pengertian
dekonsentrasi, sebab istilah ini secara umum lebih diartikan sebagai pendelegasian
dari tasan kepada bawahannya untuk melakukan suatu tindakan atas nama
atasannya tan melepaskan wewenang dan tanggung jawabnya, (Sarundajang
dalam Rosidin, 2010:86-87).
Dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 pasal 1 ayat (7),
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wewenang
pemerintahan tersebut adalah wewenang yang diserahkan oleh pemerintah pusat
saja, sedangkan pemerintah daerah hanya melaksanakan wewenang yang diberi
oleh pemerintah pusat sesuai dengan asp[irasi masyarakat di daerahnya, walaupun
sebenarnya daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya secara luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan daerah ini mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan yang dikecualikan dalam undang-undang no.
32 tahun 2004 ini, sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (3), yaitu kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter, dan
fiscal nasional dan agama.
Tujuan utama desentralisasi adalah; (1). tujuan politik, yang ditujukan
untuk menyalurkan partisipasi politik ditingkat daerah untuk terwujudnya
13
stabilitas politik nasional; (2). Tujuan ekonomis, yang dimaksudkan untuk
menjamin bahwa pembangunan akan dilaksanakan secara efektif dan efisien di
daerah-daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial, (Tjahya Supriatna
dalam Rosidin, 2010:87).
Otonomi mengandung konsep kebebasan untuk berprakarsa dalam
mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status
demikian tanpa kontrol langsung oleh pemerintah pusat. Pemerintah Daerah (local
government) dan otonomi daerah (local autonomy) tidak dicerna sebagai daerah
atau pemerintah daerah tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan
kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat lokalita karena basis
politiknya adalah lokalitas tersebut bukan bangsa.
2.3 Pemekaran Desa
Berbicara pembentukan dan pemekaran wilayah baru, maka undangundang yang dipakai saat ini adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dimana undang-undang ini merupakan undang-undang terbaru
sebagai revisi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah. Hal ini dijelaskan secara gamblang dalam Pasal 4 ayat 3 yang
menyatakan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa
daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari suatu daerah
menjadi dua daerah atau lebih.
Istilah desa secara etimologis berasal dari kata swadesi bahasa sansekerta
yang berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiridan otonom. (Syafrudin
dkk, 2010:2).
14
Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai susunan
asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam
mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. (wijaya, 2010:3)
Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat
politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum bangsa ini terbentuk. Dalam
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan
bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui oleh dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya
telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa
merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya
sendiri serta relatif mandiri. Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat
dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya
pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa
tersebut (Wijaya, 2010:4). Otonomi desa dianggap sebagai kewengan yang telah
ada, tumbuh mengakar dalam adat istiadat desa bukan juga berarti pemberian atau
desentralisasi. Otonomi desa berarti juga kemampuan masyarakat. Jadi istilah
”otonomi desa” lebih tepat bila diubah menjadi ”otonomi masyarakat desa” yang
berarti kemampuan masyarakat yang benar-benar tumbuh dari masyarakat
15
Perwujudan otonomi masyarakat desa adalah suatu proses peningkatan
kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi menuju kehidupan masyarakat desa
yang diatur dan digerakan oleh masyarakat dengan prinsip dari, oleh dan untuk
masyarakat. Ini berarti otonomi masyarakat desa adalah demokrasi, jadi otonomi
masyarakat desa tidak mungkin terwujud tanpa demokrasi. Otonomi masyarakat
desa dicirikan oleh adanya kemampuan masyarakat untuk memilih pemimpinnya
sendiri, kemampuan pemerintah desa dalam melaksanakan fungsi-fungsi
pemerintahan sebagai perwujudan atas pelayanan terhadap masyarakat (Tumpal P.
Saragi).
Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli
berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum
publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat
menuntun dan dituntut dimuka pengadilan. Sebagai wujud demokrasi, di desa
dibentuk Badan Perwakilan Desa yang berfungsi sebagai Lembaga Legislatif dan
Pengawas terhadap pelaksanaan peraturan desa, Anggaran pendapatan dan
Belanja serta Keputusan Kepala Desa. Untuk itu, kepala desa dengan persetujuan
Badan Perwakilan Desa mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan dengan pihak
lain, menetapkan sumber-sumber pendapatan desa, menerima sumbangan dari
pihak ketiga dan melakukan pinjaman desa. Kemudian berdasarkan hak atas asalusul desa bersangkutan, kepala desa dapat mendaikan perkara atau sengketa yang
terjadi diantara warganya (Wijaya, 2010:3)
16
Pada dasarnya berbagai hak istimewa yang dimiliki desa, dapat
dioptimalkan sebagai salah satu upaya menigkatkan kemampuan dan potensi yang
dimiliki masyarakat sehingga masyarakat dapat mewujudkan jati diri, harkat dan
martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara
mandiri baik dibidang ekonomi, sosial, agama dan budaya.
Pembentukan desa, baik pemekaran, penghapusan dan penggabungan desa
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 yang
merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 216 (1) Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam peraturan pemerintah ini disebutkan
bahwa pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian
desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau
lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.
Selanjutnya
dalam
Permendagri
No.
28
Tahun
2006
Tentang
Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa
Menjadi Kelurahan, tertera syarat-syarat pembentukan desa baru, diantaranya :
1. Jumlah penduduk, yaitu:
a. Wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 KK.
b. Wilayah Sumatera dan Sulawesi paling sedikit 1000 jiwa atau 200
KK.
c. Wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit
750 jiwa atau 75 KK.
2. Luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan
pembinaan masyarakat.
17
3. Wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar
dusun.
4. Sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama
dan kehidupanbermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat.
5. Potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia.
6. Batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan
dengan peraturan daerah.
7. Sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan
desa dan perhubungan.
Pemekaran desa pada dasarnya merupakan suatu proses pembagian
wilayah desa menjadi lebih dari satu wilayah atas dasar prakarsa masyarakat
dengan memperhatikan asal-usul dan adat istiadat maupun sosial budaya
masyarakat setempat, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat
pembangunan. Dengan adanya pemekaran diharapkan dapat menciptakan
kemandirian
suatu
daerah
yang
akan
dimekarkan.
Tujuan
pemekaran
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui :
1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi.
3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian.
4. Percepatan pengelolaan potensi suatu daerah.
5. Peningkatan keamanan dan ketertiban.
Pada tataran normatif, kebijakan pemekaran wilayah seharusnya ditujukan
untuk
meningkatkan
pelayanan
publik
guna
mempercepat
terwujudnya
18
kesejahtraan masyarakat. Namun, kepentingan politik seringkali lebih dominan
dalam berbagai proses pemekaran wilayah yang berlangsung selama ini. Proses
pemekaran wilayah pun menjadi bisnis politik dan uang. Akibatnya, peluasan
daerah pemekaran seringkali diwarnai indikasi terjadinya KKN. Kepentingan
substansif, yakni peningkatan pelayanan masyarakat, efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan, dan dukungan terhadap pembangunan ekonomi mempunyai potensi
besar untuk tidak diindahkan.
2.4 Peran Elit Politik Dalam Pemekaran Desa
Dalam proses pemekaran baik daerah maupun desa tentunya tidak lepas
dari campur tangan para elit, baik elit politik maupun non politik. Elit politik
adalah individu dalam kelompok masyarakat yang memerintah. Sedangkan elit
non politik adalah individu atau sekolompok orang dalam masyarakat yang
memiliki kelebihan dan berpengaruh besar naum tidak memerintah.
Peranan elit politk dalam mendorong terjadinya pemekaran desa sangat
signifikan, hal ini karena elit politik sebagai individu yang memiliki pengaruh dan
merupakan individu yang memerintah serta elit politik merupakan panutan dan
tauladan di tengah-tengah masyarakat. Untuk melihat peranan elit politik dalam
pemekaran desa, dijelaskan dalam beberapa indikator peran yaitu sebagai berikut :
1. Peran dalam sosialisasi
Peran dalam sosialisasi elit politik merupakan individu yang memeiliki
pengetahuan luas jika dibandingkan masyarakat umum olehnya elit politik dalam
pemekaran desa menjadi ujung tombak dalam sosialisasi suatu pemekaran desa.
19
2. Peran dalam partisipasi
Menurut Agus Dwiyanto dkk, partisipasi pada level individu merupakan
keterlibatan atau keikutsertaan individu dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan
merupakan indikasi awal untuk menentukan posisi dan peran masyarakat sipil.
Pada
level
keagenan
atau
kelompok
persoalan-persoalan
kemandirian,
keberdayaan dan aktivisme agen penyalur aspirasi merupakan isu sentral untuk
mengukur seberapa kuat dan berdaya masyarakat sipil .
Peranan elit sebagai salah satu aktor dalam masyarakat, berdasarkan level
individu termasuk kedalam partisipasi individual. Keterkaitan antara asfek
kognitif, afektif dan tindakan atau keterlibatan merupakan rangkaian dari proses
partisipasi. Elit politik berdasarkan asfek kognitif memiliki seperangkat
pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan masyarakat lainnya, sehingga akan
berakibat pada tingginya keterlibatan mereka dalam sisi afektif. Yang meliputi
kehadiran (fisik), keaktifannya, peran, dan sumbangan dalam kegiatan-kegiatan
publik.
3. Peran dalam kontrol sosial
Mengingat pentingnya suatu pemekaran desa dalam peningkatan pelayan
publik, sudah selayaknya elit politik mengambil peranan sebagai bagian dari
kontrol sosial dalam proses tersebut. Sosial kontrol merupakan segala proses baik
yang direncakan maupun tidak direncanakan, yang bersifat mendidik, mengajak
atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan
nilai sosial yang berlaku .
20
Kontrol sosial sangat diperlukan dalam mengawal pemekaran desa agar
berjalan demokratis. Elit politik sebagai simpul kekuatan informal didaerah sangat
efektif dalam usaha untuk mengawal proses tersebut.
Menurut Pareto, sirkulasi elit dapat terjadi dalam dua kategori, yakni
pergantian dari kelompok-kelompok yang memerintah sendiri atau pergantian
terjadi antara elit dan penduduknya. (Dalam Wirawan, 2010:4) Dari sini dapat kita
lihat bahwa apabila sirkulasi elit terjadi dengan pergantian elit dengan
penduduknya berarti ada perebutan kekuasaan dari elit lama kepada elit yang baru
dari penduduk. Artinya, perebutan kekuasaan tersebut dapat dilakukan secara
kompetisi fair, koersif, atau dapat pula dengan melalui berbagai tahapan konflik.
Karena hipotesisnya, tidak mungkin elit yang telah lama mendapatkan kekuasaan
dengan mudah melepaskan kekuasaannya.
Dari penjelasan di atas mengungkapkan adanya kepentingan elit dalam
pemekaran daerah. Namun, studi dari Bank Dunia menyimpulkan adanya empat
faktor utama pendorong pemekaran wilayah, yaitu: (Dalam Ratnawaty, 2009:21)
1. Motif untuk efektivitas/ efisiensi adminsitrasi pemerintahan mengingat
wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar, dan
ketertinggalan pembangunan.
2. Kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-ural,
tingkat pendapatan, dan lain-lain.
3. Adanya
kemanjaan
fiskal
yang
dijamin
oleh
undang-undang
(disediakannya Dana Alokasi Umum (DAU), bagi hasil dari sumber daya
alam, dan disediakannya sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
21
4. Serta motif pemburu rente (bereucratic and political rent-seeking)
Pernyataan berbeda diungkapakan oleh Ikrar Nusa Bhakti, yang menyebut
motif pemekaran daerah sebagai gerrymander, yaitu usaha pembelahan/
pemekaran daerah untuk kepentingan parpol tententu. Contohnya adalah
kasus pemekaran Papua oleh pemerintahan Megawati (PDIP) dengan
tujuan untuk memecah suara partai lawan.
Download