Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” PENGUATAN NILAI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN KREATIF DI ERA MEA ISKANDAR TSANI STAIN Kediri [email protected] Misi utama pendidikan tidak sekedar menjadikan peserta didik “pandai”, tetapi juga “berkarakter”.Artikel ini berusaha untuk menjelaskan pentingnya penguatan nilai karakter dalam pembelajaran guna menghadapi persaingan di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Sejalan dengan dibutuhkannya kecakapan hidup di abad 21, dan menyambut MEA, maka pembelajaran di sekolah harus mampu memberikan penguatan nilai karakter kepada peserta didik agar mereka bisa survive dalam kehidupan di abad 21. Pembicaraan tentang karakter memiliki dimensi mikro dan makro. Pada dimensi mikro berorientasi pengembangan karakter pada diri individu, sedangkan pada dimensi makro berbicara tentang pembangunan karakter bangsa sebagai suatu totalitas. Karakter bangsa memerlukan karakter individu yang kokoh, akan tetapi karakteri ndividu saja belum mencukupi untuk mengembangkan karakter bangsa. Oleh karena itu diperlukan rekayasa social pada level makro untuk membangun karakter bangsa dalam pendidikan anak di sekolah agar bisa eksis di era MEA. Key word: nilai karakter, Penguatan, Pembelajaran kreative. A. Pendahuluan Dewasa ini muncul kesadaran bahwa misi utama pendidikan tidak sekedar menjadikan peserta didik “pandai”, tetapi juga “berkarakter”. Zamroni (2011: 261) menyebutkan bahwa semua orang tahu karakter. Namun kalau dijabarkan lebih lanjut apa itu karakter, pendapat muncul bisa berbeda-beda. Belum lagi kalau dipertanyakan “karakter berbasis nilai-nilai apa”? konservatif, Liberal, Agama, sekuler atau yang lain? Oleh karena itu, pembahasan karakter harus memiliki dasar konsep yang sama. Apapun konsep yang dipegang, karakter yang mulia tidak otomatis tumbuh berkembang pada diri warga bangsa atau peserta didik. Perlu ada rekayasa sosial yang dirancang dan dilaksanakan secara sadar dengan arah yang jelas. Rekayasa sosial ini semakin penting, karena karakter bersifat multidimensi yang memerlukan partisipasi dari berbagai pihak. Sekolah secara mandiri tidak akan mampu mengembangkan karakter di kalangan peserta didik. Belum lagi, pembicaraan karakter memiliki dimensi mikro dan makro. Yang pertama pengembangan karakter pada diri individu, yang kedua merupakan kajian pembangunan karakter bangsa sebagai suatu totalitas. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Pembangunan karakter dalam ruang lingkup mikro lebih bersifat terfokus pada diri individu sebagai seseorang yang mandiri. Sedangkan karakter bangsa bersifat totalitas yang amat terkait dengan berbagai kondisi dan struktur yang melingkupinya. Seperti kondisi dan strukutur politik, budaya, lingkungan fisik, dan sebagainya. Dengan kata lain, karakter bangsa memerlukan karakter individu yang kokoh, tetapi karakter individu itu saja belum mencukupi untuk mengembangkan karakter bangsa. Pada awalnya, menurut Zamroni (2011: 262) karakter bangsa dilihat sebagai suatu fakta dan proses sejarah, yang kemudian terdapat pergeseran bahwa karakter bangsa merupakan kekuatan politik yang harus dimanfaatkan untuk melakukan reformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, terjadi pergeseran dalam cara memandang karakter bangsa, sebagai sesuatu yang abstrak ke arah sesuatu yang bersifat praktis implementatif. Pemikiran perkembangan karakter bangsa ini dapat dikaji dari berbagi pendapat tokoh, seperti Montesqieu dan Jean-Jacques Rousseau sampai para ahli politik dan ekonomi dewasa ini. Karakter bangsa merupakan watak dan sifat yang dimiliki oleh suatu kelompok dan digeneralisasi pada masyarakatnya. Dalam karakter ini tidak bisa dibebaskan adanya stereotip. Misalnya, karakter orang Jepang tidak sama dengan karakter orang Indonesia. Dalam suatu bangsa juga dapat terjadi stereotip, seperti orang Batak dengan orang Papua, tidak sama pula dengan orang Bugis. Apakah hal ini berarti setiap inidividu dalam suatu wilayah memilik karakter yang sama? Sudah barang tentu tidak. Di sini terdapat generalisasi dan stereotipe/ sebagai contoh makro, karakter bangsa Inggris sering dikatakan sebagai perpaduan antara kualitas kehidupan seperti intelegensia tinggi, adil, rajin, pemaaf dan terlalu bangga akan diri bangsanya dan meremehkan bangsa lain, kasar, dan ingin selalu menang. Benarkah setiap diri orang Inggris memiliki karakter tersebut? Sudah barang tentu, sekali lagi, tidak. Montesqieu, seorang filosof berkebangsaan perancis mengemukakan karakter bangsa sebagai “semangat kebangsaan”, yang terdiri dari karakteristik moral dan cara berpikir serta perilaku warga bangsa yang merupakan hasil dari kombinasi khas yang dimiliki bangsa tersebut, seperti: iklim, agama, hukum, pemerintahan, sejarah dan etika. Apa yang membedakan satu bangsa atas yang lain adalah suatu kombinasi yang khas dari berbagai faktor yang dimiliki masingmasing bangsa, pola interaksi dan saling ketergantungan diantara faktor-faktor tersebut, dan sifat-sifat karakter yang dihasilkannya. Dalam kesempatan lain, montesqieu menegaskan bahwa karakter sangat berkaitan dengan hukum, bentuk dan perilaku pemerintahan yang ada. Karakter bangsa akan tercermin bagaimana warga bangsa tunduk dan patuh pada hukum yang berlaku. Demikian pula karakter bangsa akan tercermin pada bagaimana warga bangsa memahami atas bentuk dan praktek pemerintahan yang ada. Masyarakat berkarakter akan selalu memberikan dukungan apabila pemerintahan berjalan di atas rel yang benar. Sebaliknya, warga bangsa akan bereaksi dan memberikan kritik manakala pemerintah menyeleweng dari garis-garis yang telah ditetapkan. Sejarah perkembangan bangsa-bangsa memberikan pelajaran bagaimana karakter bangsa bisa lahir dari garda proses perjuangan bangsa itu sendiri. Stephenson (2005) menunjukkan bagaimana suatu revolusi bangsa melahirkan karakter bangsa yang kuat, kebersamaan yang amat kokoh sehingga dengan Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” kemampuan yang serba terbatas mampu menghadapi tekanan yang luar biasa dahsyatnya, demi suatu cita-cita bangsa itu sendiri. Karakter bangsa senatiasa menekankan aspirasi bangsa sebagai suatu yang utama, yang lain merupakan urusan belakangan. Dengan kata lain, karakter bangsa melahirkan kebersamaan yang kokoh dan kuat dengan suatu visi dan nilai-nilai yang dipegang teguh bersama. Kebersamaan dengan didasari visi dan nilai-nilai ini yang menyebabkan suatu bangsa jauh dari berbagai penyakit kehidupan zaman modern, seperti kekerasan, korupsi, kemiskinan, dan kebodohan serta berbagai penyimpangan hukum yang lain. Bangsa Indonesia pernah mengalami ini. Perjuangan kemerdekaan telah melahirkan Negara Republik Indonesia pada tahun 1945. Zamroni (2011: 264) menyatakan bahwa negara yang masih muda memiliki berbagai tantangan yang amat berat. Tetapi bangsa Indonesia selepas revolusi kemerdekaan memiliki karakter bangsa yang kokoh dan kuat, disertai kebersamaan yang dapat menjembatani berbagi perbedaan, termasuk perbedan etnis, budaya lokal dan perbadaan agama sekalipun. Hasilnya cita-cita negara dan bangsa merdeka dan berdaulat dapat dipertahankan. Amat berbeda kondisi tersebut diatas apabila dibandingkan dengan reformasi tahun 1998. Begitu orde baru runtuh, orde reformasi lahir tetapi tidak disertai dengan lahirnya karakter bangsa yang kuat. Bahkan justru sebaliknya, karakter bangsa terkikis dan merosot amat cepat, nyaris bangsa Indosnesia tidak memiliki karakter. Akibatnya, kekerasan, korupsi, manipulasi dan berbagai penyimpangan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk hukum senantiasa erat hadir disekitar kita. B. Pembahasan 1. Tantangan Kehidupan dalam menghadapi MEA dan abad 21 Ciri-ciri tantangan abad ke 21 menurut Rhenald Kasali adalah: adanya perubahan yang begitu cepat; situasi penuh ketidakpastian dan bergejolak; terjadi hyper competion; adanya peradaban kamera (camera branding); berpusat pada diri sendiri (self-centred), adanya minat baca yang meningkat.( Rhenald Kasali: Rumah Perubahan). Tantangan yang sudah di depan mata adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menurut Armida (2013: 7) akan diberlakukan pada akhir tahun 2015, dimana kawasan ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan terbuka yang berbasis produksi; dengan pergerakan bebas arus barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja. Declaration of AEC Blue Print di Singapura 2007. Dalam blue print tersebut AEC ditunjang dengan 4 pilar. Pilar I adalah single market and production base atau pasar tunggal dan basis produksi. Melalui pilar ini, ASEAN akan dijadikan kawasan pasar bebas untuk aliran barang, jasa, investasi, modal, tenaga kerja terampil dan pengembangan 12 sektor prioritas untuk integrasi kawasan. Pilar II adalah competitive economic region atau menjadikan ASEAN menjadi kawasan yang memiliki daya saing tinggi. Dalam rangka memperkuat pilar ini, beberapa kerjasama kebijakan digalang dalam hal kebijakan persaingan, perlindungan konsumen, Hak Kekayaan Intelektual, pembangunan infrastruktur, perpajakan dan e-commerce . Pilar III adalah equitable economic development atau pembangunan ekonomi yang lebih merata. Untuk menegakkan pilar tersebut, Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” kebijakan yang ditempuh adalah pengembangan usaha kecil dan menengah serta melaksanakan Initiative for ASEAN Integration (IAI). Pilar IV adalah integaration to the global economy atau integrasi ASEAN pada perekonomian global. Pilar ini dibentuk dengan pendekatan yang koheren dalam menjalin kerjasama ekonomi dengan negara atau kawasan di luar ASEAN. Disamping itu ASEAN diharapkan lebih aktif lagi untuk berpartisipasi dalam global supply network . 2. Kecakapan yang dituntut untuk menghadapi MEA dan Abad 21 Abad 21 dalam (Education for 21st Century: The Basics) membutuhkan berbagai kecakapan hidup, diantaranya: Berfikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah; komunikasi; kreativitas dan inovasi; kolaborasi, pembelajaran kontekstual; dan penguasaan media dan informasi. Berbagai kemampuan yang mereka butuhkan banyak menuntut berbagai kecakapan hidup seperti kepemimpinan, etika, akuntabilitas, tanggung jawab, pengendalian diri dan seterusnya Pendidik di abad 21 harus punya berbagai kemampuan berikut, diantaranya: Adaptor: pendidik mampu mengadaptasi kurikulum dan berbagai peralatan digital. Visioner: yaitu dapat melihat ide-ide orang lain dan mampu menggunakan ide-ide tersebut ke dalam kelas. Colaborator, yaitu mampu memanfaatkan berbagai peralatan agar siswanya mampu meningkatkan diri dan untuk memberdayakan potensi peserta didik. Pendidik harus bisa berkolaborasi diantaranya, bertukar pendapat dengan orang lain, memberikan kontribusi pemikiran pada orang lain, mau mengambil pendapat orang lain dan menyampaikan pendapat kepada orang lain. Pengambil resiko: dengan visinya pendidik ingin mencapai apa yang dapat dicapai technologi dan dapat mengidentifikasi berbagai pengetahuan dan memfasilitasi pembelajaran, para pendidik dapat menjadikan para siswa saling mengajar. Pendidik harus bisa membuka jalan untuk pengetahuan siswa. Pembelajar: ia harus terus-menerus menyerap berbagai pengalaman dan pengetahuan di wilayah materi seperti teknologi informasi dan berbagai ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis. Komunikator: ia harus menjadi seorang komunikator yang terampil dalam menggunakan teknologi komunisai dalam berkerjasama. Bisa memfasilitasi komunikasi, merangsang, dan mengaturnya. Model: pendidik harus bisa menjadi model terhadap berbagi nilai, memberikan contoh yang baik. Bisa menerima keberadaan orang lain, punya pandangan luas. Memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Pemimpin: pendidik adalah seorang pemimpin. Ia harus memimpin dengan contoh. Pelajar di abad 21 dibentuk oleh lingkungan yang memiliki kekayaan media, besifat langsung, cepat, dinamis dan instan. Semuanya serba elektronik dan digital, para pelajar dibentuk oleh sebuah media komunikasi yang memiliki daya tarik instan. 3. Penguatan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran Pelaksanaan pendidikan karakter saat ini di Indonesia menurut Mukhlas Samani & Hariyanto ( 2012: 1) dirasakan sangat mendesak. Gambaran situasi Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” masyarakat bahkan situasi dunia pendidikan di Indonesia menjadi motivasi pokok mainstreaming implementasi pendidikan karakter di Indonesia. Pentingnya pengembangan pendidikan karakter ini bisa kita lihat bila kita mengingat makin meningkatnya tawuran antar pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja lainnya terutama di kota-kota besar, pemerasan/kekerasan (bullying), fenomena suporter bonek, penggunaan narkoba, dan lain-lain. Disiplin dan tertib lalu lintas, budaya antre, budaya baca sampai budaya hidup bersih dan sehat, keinginan menghargai lingkungan dalam pandangan Mukhlas Samani & Hariyanto (2012: 1) masih jauh di bawah standar. Di kotakota bersar lampu merah seolah-olah tidak berfungsi. Jika tidak ada petugas, menyerobot lampu merah adalah kejadian sehari-hari. Kebanggaan kita terhadap jati diri dan kekayaan budaya sendiri juga masih rendah. Sebagai bangsa, agaknya kita masih mengidap inferiority complex nasional, terbukti masih suka melahap tanpa seleksi budaya asing. Karakter bangsa, menurut Zamroni dalam Darmiyati Zuchdi (2011: 282) merupakan dasar dan pedoman bagi suatu bangsa ke mana harus menuju, bagaimana cara mencapai tujuan itu, apa saja yang harus dipegang erat-erat dan sebaliknya apa saja yang harus dihindari dan dibuang jauh. Karena karakter bangsa kita nyaris runtuh, maka bangsa kita berjalan nyaris tanpa tujuan yang jelas, tanpa dasar dan pedoman. Tidak lagi jelas ke mana menuju, tidak lagi paham apa yang harus dipegang erat-erat, dan sebaliknya juga tidak lagi paham apa yang harus dihindari dan ditinggalkan jauh-jauh. Akibatnya, bangsa kita, ibarat orang jalan, jalannya pelan-pelan, belak belok tidak jelas ke mana menuju, hasilnya, pembangunan bangsa dan Negara Indonesia berjalan lambat. Sebaliknya, bangsa lain dengan karakter bangsa yang kuat, bergerak pasti dan berjalan tegap lagi cepat. Hasilnya, pembangunan berlangsung cepat, dan warga bangsa tersebut segera menikmati hasil pembangunan. Misalnya, Malaysia, China, Korea Selatan dan India. Karakter bagi suatu bangsa menurut Zamroni (2011: 282) memiliki peran yang penting dan menentukan. Bangsa yang memiliki karakter yang keropos amat sulit untuk bisa maju. Bahkan, dapat dikatakan karakter itu merupakan segalagalanya bagi kemajuan suatu bangsa. Keberadaan karakter yang kuat, seperti kejujuran, integritas, kepemimpinan, keinginan yang kuat untuk mempelajari sesuatu, dan keberanian mengambil keputusan akan melahirkan prestasi, memiliki peran yang amat penting. Bahkan menurut Albert Einstein, ilmuwan yang besar itu karena ketangguhan karakternya, bukan karena kemampuan intelektualnya. Karena pentingnya karakter ini, sampai-sampai Rasulullah Muhammad SAW bersabda: Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq, sesungguhnya aku diutus ke dunia ini tiada lain adalah untuk menyempurnakan akhlaq. Dalam rangka mewujudkan pembangunan karakter bangsa, Darmiyati Zuchdi (2011:xv) menyebutkan bahwa Pemerintah telah membuat kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa tahun 2010 – 2025. Hal ini dimaksudkan sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia berlandaskan empat pilar kebangsaan, yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian dimungkinkan adanya kesamaan pemahaman, pandangan, dan gerak langkah dalam mencapai tujuan. Ruang lingkup sasaran pembangunan karakter bangsa meliputi: keluarga, Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” satuan pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil, masyarakat politik, dunia usaha dan industry, dan media massa. Dalam melaksanakan pembangunan karakter melalui pendidikan, dilakukan restrukturisasi pendidikan moral yang telah berlangsung lama di semua jenjang pendidikan di Indonesia, dengan nomenklatur baru pendidikan karakter. Tujuan utamanya adalah mewujudkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dalam pola pikir, pola rasa, dan pola perilaku sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Dengan demikian Pancasila dapat dinyatakan sebagai way of life atau jalan hidup bangsa Indonesia dalam pengertian yang sesungguhnya. Pencapaian tujuan mulia tersebut membutuhkan usaha nyata secara sinergis dari semua institusi pendidikan baik formal, non-formal, maupun informal dengan koordinasi yang bagus dan tatakerja yang benar. Untuk itu diperlukan acuan teoritis dan praktis yang relevan, luas dan mutakhir, supaya masyarakat terdidik Indonesia bisa beramal dengan landasan ilmu, dalam hal ini ilmu yang terkait dengan pendidikan karakter. Yang paling bertanggung jawab untuk menyediakan acuan teoritis dan praktis tersebut adalah institusi pendidikan, terutama perguruan tinggi. Dalam tataran praksis, perlu dijalin kerjasama sinergis antara institusi pendidikan formal dengan institusi pendidikan non-formal, yang sama-sama memiliki komitmen tinggi untuk membangun karakter dan budaya bangsa Indonesia. Praktisi-praktisi dari berbagai lembaga yang telah terbukti banyak berkontribusi pada pembangunan karakter dan budaya bangsa, harus dijadikan mitra. Kemitraan dengan institusi pendidikan informal, yakni keluarga dan organisasi kemasyarakatan juga penting sekali. Media massa, terutama yang menggunakan teknologi informasi komunikasi canggih, telah berperan sangat dominan dalam pembentukan karakter masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu tanpa adanya kerjasama dengan institusi tersebut, keberhasilan pendidikan karakter sulit dicapai. Dengan kata lain perlu diterapkan pendekatan komprehensif ditinjau dari segi aktor atau pelaku dan tempat berlangsunya pendidikan karakter, “pendidikan karakter oleh semua pihak, di segala setting”. Pendekatan komprehensif juga menyangkut metode yang digunakan, yaitu sintesis dari metode tradisional dan metode kontemporer. Metode tradisional ada dua macam, yakni inkulkasi atau penanaman nila (lawan indoktrinasi) dan pemodelan atau keteladanan, metode kontemporer juga ada dua macam, yaitu fasilitasi nilai dan pengembangan keterampilan hidup (soft skills). Dalam setiap metode ada berbagai strategi yang dapat dipilih, disesuaikan dengan karakteristik subjek didik dan bidang studi (Kirchenbaum dalam Zuchdi, 2010: 33-56). Evaluasi progam pendidikan nilai dan penilaian pembelejarannya juga harus bersifat komprehensif dan holistis, artinya berupa evaluasi dan penilaian proses dan hasil, menggunakan pengukuran dan pengamatan, serta mencakup pemikiran moral, afek moral, dan perilaku dan habit moral.(Darmiyati Zuchdi. 2011:xv-xvii) Karakter dalam pandangan Zamroni (2011: 158) merupakan suatu pondasi kehidupan bangsa. Karakter bagi suatu bangsa memiliki fungsi memberikan arah kemana bangsa harus menuju, bagaimana cara mencapai tujuan itu, apa yang harus dikaji dan dipegang teguh-teguh dan sebaliknya apa yang harus dihindari dan dibuang jauh-jauh. Suatu bangsa akan runtuh manakala tidak memiliki Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” karakter yang kuat untuk menjadi bangsa yang maju, modern dan berkeadaban memerlukan karakter yang “kuat”. Namun kalau dijabarkan lebih lanjut apa basis karakter itu, muncul berbagai pendapat yang berbeda-beda? Ada yang berpendapat karakter harus berbasis nilai-nilai konservatif, ada yang berpendapat harus bernilai-nilai liberal, dan ada yang harus berbasis nilai-nilai sekuler yan lain, atau harus berbasis nilai-nilai yang bersumberkan agama. Dalam Islam misalnya, karakter adalah pedoman perilaku hidup yang bersumberkan pada ajaran Islam, disebut Ahlaqul Karimah. Oleh karena itu, pembahasan tetang karakter harus memiliki konsep dasar yang sama. Karakter bangsa ini mesti terjabarkan dalam karakter individu setiap warga bangsa, dan diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya melalui proses pendidikan. Karakter perlu diwariskan antar generasi memilik makna, bahwa karakter yang kuat tidak akan secara otomatis tumbuh dan berkembang pada diri warga masyarakat, sebagaimana yang dimiliki generasi sebelumnya. Lebih-lebih dalam era globaliasi, di mana dunia semakin dekat-sempit, nyaris tanpa batas-batas fisik yang bisa membatasi interaksi antar bangsa, proses pewarisan karakter didalamnya diperlukan. Zamroni (2011: 159) Pendidikan karakter merupakan proses untuk mengembangkan pada diri setiap peserta didik kesadaran sebagai warga bangsa yang bermartabat, merdeka dan berdaulat dan berkemauan untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan tersebut. Untuk itu perlu dikembangkan pada diri setiap peserta didik kesadaran diri, niat, kemampuan dan perilaku untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa yang kita cintai. Namun, upaya melaksanakan pendidikan karakter tidaklah semudah yang dibicarakan atau didiskusikan. Hal ini dikarenakan ada suatu kekuatan yang amat dahsyat yang mengarahkan pada setiap diri siswa untuk memiliki kultur global, yang didalamnya terdapat berbagai prinsip yang bertentangan dengan karakter bangsa sendiri. Belum lagi perlu dicatat bahwa kultur global melahirkan peradaban global, yakni peradaban yang bersifat diskrimanatif, senantiasa memisahkan dan mempertentangkan antara masyarakat kaya dan miskin, dan bersifat eksploitatif. Sudah barang tentu kondisi tersebut diatas, merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia dalam mengembangkan karater baru yang bisa melawan karakter yang tumbuh dari peradaban eksploitatif tersebut diatas. Gambaran masa depan bangsa yang anti peradaban diskriminatif ini merupakan sumber pengembangan pendidikan karakter. Tujuan dan materi pendidikan karakter sekolah-sekolah perlu dirancang guna melahirkan peradaban baru yang mengedepankan keadilan, persamaan dan persaudaraan dalam kebersamaan. Di sinilah perlu disusun strategi implementasi pendidikan karakter yang “cerdas”, jelas dan tepat. Zamroni (2011: 159) Pada awalnya, karakter bangsa dilihat sebagai suatu fakta dan proses sejarah, yang kemudian terdapat pergeseran bahwa karakter bangsa merupakan kekuatan politik yang harus dimanfaatkan untuk melakukan reformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, terjadi pergeseran dalam cara memandang karakter bangsa, sebagai sesuatu yang abstrak ke arah sesuatu yang bersifat praktis implementatif. (2011: 161) Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Suatu penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti the Kennedy School of Government at Harvard, sebagaimana dicatat oleh Stephenson (2005) mendefinisikan pembangunan karakter dalam suatu bentuk yang lebih implentatif, yakni: mempersiapkan lembaga dengan fondasi yang kokoh dalam rangka meningkatkan kapasitas kemampuan penguasa agar dapat secara efektif melakukan pemerintah sendiri guna mencapai tujuan-tujuan yang akan dicapai: ekonomi, sosial dan kultural. Penelitian tersebut mengidentifikasi empat elemen pokok dalam pembangunan karakter bangsa: a) penciptaan mekanisme yang orisinil bagaimana penguasa menentukan kebijakan berkaitan dengan alokasi sumber-sumber, pendanaan proyek, dan strategi pembangunan; b) menciptakan lembaga pemerintahan yang efektif, tidak dipolitisasi sehingga mampu mengambil keputusan secara adil bijaksana dan bebas; c) senantiasa bertumpu pada budaya bangsa, sehingga warga bangsa bisa memahami apa yang tengah berlangsung; dan, d) menyusun strategi jangka panjang, sebagai penjabaran visi bangsa. Zamroni (2011: 163) Konsep pembangunan karakter bangsa di atas bermuara pada konseptualisasi bahwa pembangunan karakter bangsa identik dengan demokratisasi, modernisasi dan rekonstruksi sosial. Bahkan Pye (1996) mengaitkan pembangunan karakter bangsa sebagai modernisasi dan difusi kultur Barat yang dikenal dengan globalisasi, yakni pembangunan karakter bangsa yang berdasarkan kultur teknologi yang maju dan semangat yang rasional sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan , pendekatan hubungan sosial yang sekuler, menekankan pada kehidupan masyarakat yang adil, dalam suatu negara yang demokratis. Sudah barang tentu, pendapat terakhir ini memiliki perspektif yang terlalu sempit untuk bisa diikuti. Zamroni (2011: 164) Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa karakter bangsa bukan sekedar perkembangan sejarah melainkan merupakan realitas yang dapat diciptakan dan dikembangkan lewat suatu rekayasa sosial. Karakter bangsa tidak hanya diperlukan bagi suatu masyarakat, tetapi bentuk karakter bangsa bisa dikembangkan untuk suatu bentuk sistem pemerintahan. Karakter bangsa dibentuk oleh berbagai campuran dari sifat-sifat yang ada, seperti sosialibilitas, ketulusan, kejujuran, kebanggaan, keterbukaan, pemaaf, kerja keras, dan semangat untuk berprestasi. Karakter bangsa akan muncul sebagai keterpaduan dan keseimbangan dari berbagai karakteristik moral di atas. Oleh karena itu, suatu karakter bangsa mesti dikembangkan berdasarkan nilainilai tradisi yang dimiliki bangsa itu sendiri dipadukan dengan konteks bangsa yang ada, seperti lembaga-lembaga, kebiasaan-kebiasaan, dan kebudayaan bangsa serta agama yang dianut mayoritas warga bangsa tersebut, serta dengan perspektif masa depan bangsa yang dicita-citakan. Karakter bangsa sangat erat berkaitan dengan sistem praktik politik yang ada. Bahkan suatu konstitusi suatu bangsa merupakan cerminan karakter suatu bangsa yang bersangkutan. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa karakter bangsa merupakan suatu basis untuk melahirkan kesadaran nasionalis dan patriotisme bangsa, yang merupakan fondasi bagi terwujudnya bangsa yang mandiri, merdeka dan berdaulat serta berperadaban. Karakter bangsa juga merupakan identitas suatu bangsa untuk mempertahankan diri melawan penjajah asing dalam segala Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” bentuknya. Selama bangsa memegang teguh karakternya, bangsa tersebut akan bisa menjaga kemerdekaan dan kedaulatannya dari segala bentuk kekuatan asing. Rekayasa sosial untuk pembangunan karakter perlu direncanakan dan dilaksanakan sebaik dan secermat mungkin. Prosesnya berlangsung dalam jangka waktu yang amat panjang, bahkan akan berlangsung sepanjang masa, khususnya lewat pendidikan. Zamroni (2011: 165) 4. Pendidikan Karakter pada Peserta didik Sering dipertanyakan apa yang dimaksud dengan karakter? Apa itu pendidikan karakter? Salah seorang pendidik yang menekuni pendidikan karakter memberikan definisi ringkas, yakni, terminologi yang mendeskripsikan berbagai aspek dalam pembelajaran guna mengembangkan kepribadian. Proses pembelajaran tersebut mengaitkan antara moralitas pendidikan dengan berbagai aspek pribadi dan sosial peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Antara lain mencakup penalaran, pembelajaran, sosial dan emosional, pendidikan moral, pendidikan keterampilan hidup, memperhatikan dan menyayangi masyarakat, pendidikan kesehatan, mencegah kekerasan, mencegah dan memecahkan konflik, dan etika kehidupan. Peserta didik perlu mempelajari semua itu agar mereka dapat memecahkan permasalahan dalam mengambil keputusan dalam hidupnya dengan tepat (Gholar,2004). Artinya, pendidikan karakter berkaitan dengan pedoman hidup sehari-hari yang amat diperlukan guna mengambil keputusan dan memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi. Sebagai pedoman hidup, karakter bisa dikembangkan berdasarkan berbagai sumber, antara lain bersumberkan agama dan bersumberkan ideologi negara. Setiap agama memiliki dasar karakter bagi pemeluknya. UNESCO telah melakukan kajian dam memperoleh kesimpulan ada enam dimensi karakter yang bersifat universal. Artinya, agama dan bangsa manapun mengakui dimensi karakter tersebut. Keenam dimensi karakter ini adalah trustworthiness, respect, responsbility, fairness, caring and citizenship (Rynders, 2006). Trustworthiness bisa diterjemahkan dapat dipercaya; apabila seseorang memiliki watak dapat dipercaya berarti orang tersebut memiliki kejujuran, integritas, loyalitas dan reliabilitas. Meskipun tidak ada orang lain yang melihat, orang ini tidak akan mengambil yang bukan haknya, tidak mau berbohong, tidak akan pernah selingkuh, senantiasa satu kata dengan perbuatannya. Dimensi kedua respect merupakan watak yang apabila dimiliki oleh seseorang, maka orang ini dalam melakukan hubungan dengan orang lain senantiasa mendasarkan pada “platinum rule”, berbuatlah kepada orang lain sebagaimana orang lain mengharapkannya darimu. Watak ini mencakup senantiasa menghormati dan menghargai orang lain tanpa memandang latar belakang yang menyertainya, menjunjung tinggi martabat dan kedaulatan orang lain, sikap toleransi tinggi dan mudah menerima orang dengan tulus. Dimensi ketiga, responsbility menunjukkan watak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Seseorang yang memiliki watak bertanggung jawab senantiasa akan menunjukkan siapa dia dan apa yang telah diperbuat. Di samping itu, watak bertanggung jawab akan bekerja sebaik mungkin untuk mencapai prestasi terbaik, dengan semboyan why not the best? Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Dimensi keempat, fairness memiliki makna senantiasa mengedepankan standar adil, tanpa dipengaruhi oleh sikap dan perasaan yang dimilikinya, ketika berhadapan orang lain. Meskipun dia benci atau sakit hati pada seseorang, tetapi manakala harus mengambil keputusan, maka perasaan sakit hati itu tidak mempengaruhi keputusan yang diambil. Oleh karena itu dimensi ini erat berkaitan dengan keterbukaan dan objektivitas. Dimensi kelima, caring berkaitan dengan apa yang ada dalam hati dan pertimbangan etika moral manakala menghadapi orang lain. Seseorang yang memiliki watak ini senantiasa mempergunakan kehalusan budi dan perasaan sehingga bisa berempati terhadap kegembiraan atau kepedihan yang dialami orang lain. Dimensi ini termanifestasikan dalam wujud kepedulian dalam menghadapi penderitaan orang lain, sehingga dengan perasaan kasih sayang dan secara ikhlas mau membantu orang lain yang memerlukannya. Dimensi terakhir, citizenship berkaitan dengan watak menjadi warga negara yang baik, yang memahami dan melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang warga negara. Dimensi ini terjabarkan pada bagaimana perilaku seseorang sebagai warga negara yang baik dalam kepatuhan dan ketaatan pada peraturan dan undang undang yang berlaku. Sudah barang tentu keenam dimensi universal dari karakter sebagaimana dijelaskan di atas bisa dikembangkan lebih detail sesuai dengan kondisi bangsa kita, khususnya dikembalikan pada Pancasila, sebagai dasar dan filosofi hidup bangsa Indonesia. Zamroni (2011: 159) Pemerintah dalam hal ini Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10) telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek berikut: 1. Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3. Toleransi: sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin: tindakan yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 5. Kerja keras: perilaku yang menunjukkan sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas sebaikbaiknya. 6. Kreatif: berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari apa yang telah dimiliki. 7. Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis; cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9. Rasa ingin tahu: sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 10. Semangat kebangsaan: cara berfikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta tanah air: cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. 12. Menghargai prestasi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat atau komunikatif: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain. 14. Cinta damai: sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadirannya. 15. Gemar membaca: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan baginya. 16. Peduli lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah pada kerusakan lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang telah terjadi. 17. Peduli sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung jawab: sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya terhadap diri sendiri, masyarkat dan lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara, Tuhan Yang Maha Esa. 5. Strategi Pendidikan Karakter Pendidikan karakter menurut Zamroni (2011: 283) berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai, kebiasaan- kebiasaan yang baik, dan sikap yang positif guna mewujudkan individu yang dewasa dan bertanggung jawab. Jadi pendidikan karakter berkaitan dengan pengembangan pada diri peserta didik kemampuan untuk merumuskan ke mana hidupnya menuju, dan apa-apa yang baik dana pa-apa yang jelek dalam mewujudkan tujuan hidup itu. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan proses yang berlangsung terus-menerus tiada kenal kata henti. Karakter berkaitan dengan nilai-nilai, penalaran dan perilaku dari seseorang. Dengan demikian pendidikan karakter tidak bisa hanya diceramahkan, atau dipaksakan lewat proses indoktrinasi berselubung pendidikan. Pendidikan karakter perlu didasarkan pada strategi yang tepat. Strategi pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Kevin Ryan menggunakan enam E. yakni Example, Explanation, Exhortation, Ethical Enviroment, Experience, dan Expectation of Excelency. Menurut Ryan, pendidikan karakter memerlukan contoh atau teladan, jadi peserta didik memiliki model yang ditiru. Sesuatu yang akan ditiru oleh siswa, disertai dengan pengetahuan mengapa seseorang perlu melakukan apa yang ditiru tersebut. Untuk itu perlu ada penjelasan mengapa sesuatu harus dilakukan, sehingga tidak meniru secara membabi buta. Melakukan sesuatu itu harus secara serius sungguh-sungguh, sebagai bentuk kerja keras dan serius, tidak kenal kata lelah. Dalam melakukan sesuatu itu harus mempertimbangkan lingkungan baik social maupun fisik. Artinya seseorang harus sensitive atas kondisi dan situasi yang ada di sekitarnya. Sikap, dan khususnya perilaku yang Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” dilaksanakan harus dinikmati, dikerjakan dengan penuh makana, sehingga memberikan pengalaman bagi diri pribadi. Pengalaman inilah yang bisa menumbuhkan “makna” atau “spiritual” atas apa yang dilakukan. Dengan demikian perilaku tersebut terinternalisasi pada diri yang akan menjadi kebiasaan. Akhirnya, semuanya itu dilakukan dengan harapan yang tinggi, bahwa perilaku tersebut mewujudkan hasil yang terbaik. Selanjutnya strategi yang ditawarkan oleh Zamroni adalah: Pertama, tujuan, sasaran, dan target yang akan dicapai harus jelas dan konkrit. Kedua, Pendidikan karakter akan lebih efektif dan efisien kalua dikerjakan tidak oleh sekolah sendiri, melainkan kerjasama sekolah dengan orang tua siswa. Ketiga, menyadarkan pada semua guru akan peran yang penting dan bertanggung jawab dalam keberhasilan melaksanakan dan mencapai tujuan pendidikan karakter. Keempat, menyadarkan bahwa guru memiliki “hidden Curriculum”, dan merupakan instrument yang sangat penting dalam pengembangan kar akter peserta didik. Kurikulum tersembunyi ini ada pada perilaku guru, khususnya dalam berinteraksi dengan peserta didik, yang disadari atau tidak akan berpengaruh besar pada diri peserta didik. Kelima, dalam melaksanakan pembelajaran guru menekankan pada daya kritis peserta didik (critical thinking), kemampuan kerjasama dan ketrampilan mengambil keputusan. Metode yang paling tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah Cooperative Learning dan Problem Based Learning. Keenam, kultur sekolah harus dimanfaatkan dalam pengembangan karakter peserta didik. Nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma, semboyan-semboyan, sampai kondisi fisik sekolah yang ada perlu dipahami dan didesain sedemikian rupa sehingga fungsional untuk mengembangkan karakter siswa. Ketujuh, pada hakekatnya salah satu fase pendidikan karakter adalah merupakan proses pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari khususnya di sekolah yang dapat dimonitor dan dikontrol oleh kepala sekolah dan guru. Diharapkan orang tua siswa memonitor dan mengontrol perilaku sehari-hari peserta didik di lingkungan keluarga dan di masyarakat. C. Kesimpulan Tantangan kehidupan di abad 21 dan era MEA yang terdiri dari: adanya perubahan yang begitu cepat; situasi penuh ketidakpastian dan bergejolak; terjadi hyper competition; adanya peradaban kamera (camera branding); berpusat pada diri sendiri (self-centred), adanya minat baca yang meningkat menuntut penguatan nilai-nilai karakter pada diri siswa baik secara mikro maupun makro. Penguatan Karakter dalam dimensi mikro terfokus pada diri individu sebagai seseorang yang mandiri. Sedangkan penguatan karakter dalam dimensi makro amat terkait dengan berbagai kondisi dan struktur politik, budaya, lingkungan fisik, dan sebagainya. Pendidikan karakter berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai, kebiasaan- kebiasaan yang baik, dan sikap yang positif guna mewujudkan individu yang dewasa dan bertanggung jawab. Pendidikan karakter perlu didasarkan pada strategi yang tepat. Strategi pendidikan karakter bisa Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” menggunakan enam E. yakni Example, Explanation, Exhortation, Ethical Enviroment, Experience, dan Expectation of Excelency. Selanjutnya strategi itu juga bisa dilakukan dengan menggunakan langkahlangkah sebagai berikut: Pertama, tujuan, sasaran, dan target yang akan dicapai harus jelas dan konkrit. Kedua, Pendidikan karakter akan lebih efektif dan efisien kalau dikerjakan bersama oleh sekolah dengan orang tua siswa. Ketiga, semua guru harus sadar akan peran yang penting dan bertanggung jawab dalam keberhasilan melaksanakan dan mencapai tujuan pendidikan karakter. Keempat, guru harus menyadari bahwa ia memiliki “hidden Curriculum”, dan merupakan instrument yang sangat penting dalam pengembangan karakter peserta didik. Kelima, dalam melaksanakan pembelajaran guru harus menekankan pada daya kritis peserta didik (critical thinking), kemampuan kerjasama dan ketrampilan mengambil keputusan. Keenam, kultur sekolah harus dimanfaatkan dalam pengembangan karakter peserta didik. Ketujuh, proses pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari harus dapat dimonitor dan dikontrol oleh kepala sekolah dan guru serta orang tua siswa. DAFTAR RUJUKAN Armida Ali Syahbana. 2013 “Mempercepat penguatan daya saing ekonomi daerah menghadapi Aean Economic Community (AEC) 2015” Prosiding Seminar Nasional dan sidang pleno ISEI XVI. Jambi. September 2013, 7. Darmiyati Zuchdi. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktek. Yogyakarta: UNY Press. Rhenald Kasali. Rumah Perubahan Education for 21st Century: The Basics Mukhlas Samani & Haryanto. 2012. Konsep Dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya Zamroni. 2011. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama Zamroni. 2011. “Strategi dan Model Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah” dalam Darmiyati Zuchdi. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktek. Yogyakarta: UNY Press.