KONSTRUKSI REALITAS OTONOMI DAERAH DALAM MEDIA

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
KONSTRUKSI REALITAS OTONOMI DAERAH
DALAM MEDIA MASSA
Analisis Frame Isu Otonomi Daerah di Harian Kompas, Harian Jurnal
Nasional, dan Harian Kedaulatan Rakyat Tahun 2012 - 2013
DISERTASI
OLEH
MEGANDARU WIDHI KAWURYAN
NPM : 0806402603
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JUNI 2015
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
KONSTRUKSI REALITAS OTONOMI DAERAH
DALAM MEDIA MASSA
Analisis Frame Isu Otonomi Daerah di Harian Kompas, Harian Jurnal
Nasional, dan Harian Kedaulatan Rakyat Tahun 2012 - 2013
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor Ilmu Komunikasi
OLEH
MEGANDARU WIDHI KAWURYAN
NPM : 0806402603
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JUNI 2015
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Untuk mama dan papa
yang telah memberi cinta kasih
tak pernah habis,
Untuk anak dan istriku
yang telah menjadi
inspirasi dan tonggak hidupku
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
KATA PENGANTAR
Disertasi ini berangkat dari kegelisahan penulis mencermati berita-berita otonomi daerah di
media massa, setelah pemerintahan Orde Baru jatuh berita mengenai otonomi daerah banyak
mewarnai media massa. Berbagai berita bermunculan ada yang positif namun banyak yang
negatif, pada sisi yang lain dari penelusuran penulis tidak banyak bahkan jarang ditemui
penelitian dalam bidang ilmu komunikasi yang setingkat disertasi meneliti tentang media massa
dan otonomi daerah. Kebanyakan penelitian yang berkembang adalah mengenai penerapan
kebijakan otonomi daerah pada suatu provinsi, kabupaten dan kota, padahal sebaik apapun suatu
kebijakan namun apabila kemudian disiarkan dan dikonstruksikan secara negatif oleh media
massa akan membuat kebijakan tersebut terlihat salah.
Kegelisahan ini kemudian penulis tuangkan dalam riset mengenai media massa dan
otonomi daerah, dalam riset ini penulis berusaha membedah konstruksi realitas otonomi daerah
dalam media massa, dalam penulisan disertasi diggunakan teori Konstruksi Realitas, teori
Pemerintahan Lokal, dan teori Strukturasi, sedangkan untuk membedah teks media digunakan
model framing Robert N Entman.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa media massa pada skala tertentu dapat
menjadi faktor determinan dalam menggalang suatu isu dan merubah suatu kebijakan, sehingga
peran media massa seharusnya mulai dilirik oleh para peneliti yang berkecimpung dalam kajian
otonomi daerah dan pemerintahan daerah.
Disertasi ini tidak akan mungkin terwujud tanpa bantuan berbagai pihak, penulis sungguh
sadar akan keterbatasan penulis sehingga tanpa bantuan dari berbagai pihak mustahil rasanya
disertasi ini akan selesai, untuk itu penulis menyampaikan pengormatan setinggi-tingginya dan
ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Ibu dan Bapak yang telah membantu kelancaran
penelitian dan penulisan disertasi ini.
Ucapan terimakasih awal dari penulis dan rasa hormat yang setinggi-tingginya
disampaikan kepada Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, PhD yang telah berkenan menjadi promotor
dan menjadi pembimbing dalam disertasi ini, wejangan dan nasihat-nasihat Prof Sasa mulai dari
awal penulisan sampai akhir penulisan demi perbaikan disertasi tidak akan pernah penulis
lupakan, kedua kepada Prof. Ikar Nusa Bhakti, PhD yang telah memberikan masukan-masukan
kepada penulis tentang ilmu politik terutama politik lokal dan pemeritahan daerah, ketiga kepada
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Dr Pinckey Triputra MSc yang selalu memacu penulis untuk membaca dan lebih paham
mengenai berbagai teori-teori yang penulis gunakan dalam disertasi ini, diskusi dengan Pak
Pinckey terasa sangat menyenangkan dan mencerahkan.
Kemudian penulis juga haturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggitingginya serta rasa hormat kepada tim penguji disertasi yaitu: Prof. M. Alwi Dahlan., PhD,
berdiskusi dengan Prof Alwi sebagai begawan ilmu komunikasi seperti oase ilmu yang tidak
pernah kering, Prof Dr. Ilya R Sunarwinandi., MSi yang telah memberikan masukan-masukan
yang bernas kepada penulis, Prof Alois Agus Nugroho., PhD yang telah memberikan perspektif
filsafat komunikasi dan perspektif kritis sehingga penulis semakin sadar bahwa masih banyak
buku yang harus penulis baca dan pelajari, Prof Andi Faisal Bakti., PhD yang telah mengajarkan
kepada penulisan tentang tata cara penulisan baku ilmiah yang benar, sehingga penulis sadar
bahwa selama ini banyak kesalahan penulisan yang telah dilakukan, dan Prof Andi mengenalkan
kepada penulis untuk melihat disertasi ini dalam banyak perspektif, Prof Dr. Billy K Sarwono
yang biasa penulis sapa dengan Ibu Oni maturnuwun sanget masukan-masukan Ibu, dan Ibu
berkenan selalu menjadi alarm bagi penulis untuk segera menyelesaikan disertasi ini, kepada
Bapak Drs Eduard Lukman MA yang telah menjadi sosok bapak di Program Pasca Sarjana Ilmu
Komunikasi UI yang selalu siap menerima curhat penulis dalam penyelesaian disertasi ini
penulis ucapakan banyak terimakasih. Kepada Almarhum Prof Dedy Nur Hidayat, PhD penulis
ucapkan beribu terimakasih atas bantuan Prof Dedy pada awal-awal penyusunan disertasi ini.
Selanjutnya ucapan terimakasih penulis haturkan kepada Bapak Rektor IPDN yang telah
memberikan ijin belajar bagi penulis untuk melanjutkan studi di Program Pasca Sarjana Ilmu
Komunikasi UI, ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada Bapak Kepala Badan Diklat
Kemendagri yang telah memberikan bantuan pendanaan kepada penulis selama studi di Program
Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UI.
Untuk Ibunda Prof. Dr. Ngadisah, MA, tidak ada kata yang mampu penulis ungkapkan
selain beribu terimakasih atas bantuan Ibunda akhirnya disertasi ini selesai dan penulis dapat
mencapai gelar doktor dalam bidang ilmu komunikasi. Ucapan terimakasih yang setinggitingginya juga penulis sampaikan kepada Prof
Ryaas Rasyid, Prof. Muchlis Hamdi, Prof.
Ermaya Suradinata, Prof. Sadu Wasistiono, Prof. Tjahya Supriatna, Prof Erliana Hasan, Prof.
Khasan Efendi, Prof. Zudan Arif Fakrulloh, Prof Aries Jaenuri, Dr. Siti Ismaryati, Dr. Faria
Ruhana, Dr. Muhadam Labolo, Dr. Nurliah Nurdin, Dr. Baharuddin Thahir, Dr. James Pualillin,
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Dr. Ika Sartika, Dr. Hyronimus Rowa, Dr. Sampara Lukman, Dr. Andi Pitono, Dr. Andi Azikin,
Dr. Averus, Bapak Ir Dedy Riandono, MM, Mas Heru Rochmansjah, MH, Drs. Rukman, MSi,
Drs Syamsurizal, MA, Drs Sjahril Tanjung, MA, Drs Agung Manghayu, MSi, Ibu Primastuti,
ME, Drs. Tri Murti Santosa, ME, Drs Andy Ramses, Drs. Nasrudin, MSi, Drs Asri Hadi, MA,
Ibu Guguk Trirahayu, MAP, yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk segera
menyelesaikan disertasi ini.
Apresisasi yang sebesar-besarnya dan rasa terimakasih yang tulus penulis haturkan kepada
narasumber informan dalam penelitian ini, Bapak Bambang Sigap Sumantri dari harian Kompas,
Bapak Octo Lampito dari harian Kedaulatan Rakyat, dan Bapak Budi Winarno dari harian
Jurnal Nasional yang telah berkenan menerima penulis dan melakukan wawancara mendalam
tentang topik penulisan disertasi ini. Kepada Prof Dr. Djohermansyah Djohan, MA (Dirjen Otda
Kemendagri), Drs Made Suwandi, PhD (Ketua Revisi UU Otda), dan Prof Purwo Santoso, PhD
(Ketua Jurusan Ilmu politik dan Pemerintahan UGM) penghargaan dan rasa hormat setinggitingginya penulis haturkan, ditengah kesibukan Prof Djo, Pak Made dan Mas Purwo berkenan
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggali dan berguru lebih banyak informasi
mengenai otonomi daerah dengan berbagai macam perspektif.
Kepada kawan-kawan seperjuangan di Program Doktor Ilmu Komunikasi UI, terutama
kawan-kawan angkatan 2008, tiada kata yang mampu penulis ungkapan selain beribu
terimakasih atas persahabatan ini, susah, senang, tawa, sedih, insomnia, migren, gembira selalu
menjadi hari-hari selama masa pendidikan yang tidak pernah akan terlupakan, Ibu Naniek, Ibu
Nina, Ibu Inge, Mbak Westi, Mbak Irwa, Pak Indiwan, Mas Rudi, Mas Fahmi, Mas Anthoni,
Mas Eka “filsuf” Wenatz, Bung Ahmad “FBR” Jamil, dan Mas Eriyanto merupakan sahabatsahabat terhebat yang penulis miliki, terutama untuk Mas Eriyanto terimakasih yang tak
terhingga atas diskusi, buku, jurnal dan berbagai bantuan yang telah Mas Eri berikan, tanpa Mas
Eri susah rasanya penulis lulus dari Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UI. Tak lupa
penulis juga sampaikan ucapan terimakasih kepada Ibu dan Bapak yang bertugas di Program
Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UI (Mas Mugi, Mas Ajat, Mas Giri, Mas Pepep, Mas Agus, Pak
Taram, Pak Barnas dan masih banyak lagi) terutama kepada Mas Mugi maturnuwun sanget dan
nyuwun sewu sering membuat Mas Mugi pusing dan mumet.
Tak lupa pula penulis haturkan banyak terimakasih kepada kolega penulis yang telah
banyak membantu penulis dalam penelitian ini Syekh Afif, Arif, Kavin, Martha, Tyara, Anto,
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Putu, Septi, Fikri, Afni, Fajar, Wahyu, Desi, dan Ibu Nana. Kepada Dik Novik dan kawankawan di Perpunas Jakarta penulis juga haturkan banyak terimakasih, tanpa keterlibatan dik
Novik sulit rasanya penulis dapat mengumpulkan materi berita secara lengkap.
Untuk sahabat-sahabat penulis yang selalu memberi motivasi dengan cara meneror penulis
untuk cepat selesai, penulis juga haturkan terimakasih banyak pada Mas Anies Baswedan, PhD,
Prof. Eko Purnomo, PhD, Prof. Mada Sukmajati, PhD, Mas Dr. Purwadi, Mas Dr. Nurhadi,
Bung Ridaya “Dayat” Ngkowe MA, Bung Yusdinur “Adi” Musa, Bung Yana Aditya, Bung
Chozin MA, KH Musyafa, KH Mustofa, Inung, Hikmat, Dodiek, Mbak Yundri, Teh Nenden,
Wisnu, Ibu Niken, Ibu Sofia, Agam, Mas Ova, Cak Iqbal, Mas Windi, Lalu, Bung Hanafi Rais,
Mas Hasanudin M Kholil, Imbang, Mas Iwan Roberto, Mas Pri, , Rinto, Mas Puthut, Aji dan
masih banyak nama yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Terakhir dan yang paling penting penulis haturkan secara sungguh-sungguh rasa
terimakasih kepada keluarga penulis, untuk Mama (Dr. Sukatmi Susantina) dan Papa (Prof. Dr.
drg. Munakhir, MS, SU, Sp.RKG) yang telah memberikan cinta kasih tak pernah habis, teruntuk
isteriku tercinta (drg Novita Sari Ratna Astuti, MPH) dan anak ku tersayang (Dandarareta Raras
Kawuryan) insprasi dan pilar hidupku terimakasih tak terhingga atas pengorbanannya, maafkan
selama ini papa belum bisa banyak meluangkan waktu. Untuk adik penulis Meganindya Bima
Nuraditya S.Sn dan drg, Nadiya Ayunita serta keponakan penulis Melodi Alifasani, Alvis
Kusuma, Viktor Ramadhan, Ota dan seluruh keluarga besar penulis terimakasih atas doa dan
dukungannya. Kepada seluruh keluarga besar mertua Ibu (Dra Sri Hariadiningsih) dan Bapak
(Prof Dr. Ir. Sutardi, MApp.Sc), dik Dhanik, dik Dharu, dik Imam, dan Dena, penulis haturkan
terimakasih tak terhingga atas segala dukungan untuk segera menyelesaikan disertasi ini.
Penulis sangat menyadari bahwa disertasi ini jauh dari sempurna, penulis berharap
berbagai masukan dan kritikan untuk dapat membuat disertasi ini menjadi lebih baik, semogga
disertasi ini dapat menjadi secuil batu pijakan dalam rumah besar Ilmu Komunikasi.
Jakarta, 15 Juni 2015
Megandaru Widhi Kawuryan
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU KOMUNIKASI
Megandaru Widhi Kawuryan
0806402603
Konstruksi Realitas Otonomi Daerah Dalam Media Massa
Analisis Frame Isu Otonomi Daerah di Harian Kompas, Harian Jurnal Nasional,
dan Harian Kedaulatan Rakyat Tahun 2012 - 2013
[Disertasi, xvi, 7 bab, 200 halaman, 26 tabel, 4 skema, 17 gambar, 5 lampiran, Bibliografi: 65
buku (1974 - 2014), 18 Jurnal (1977-2013), 8 tesis dan disertasi (1993-2011), 4 Peraturan
Perundang-Undangan (1945-2004), dan 4 lain-lain]
ABSTRAK
Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang pemberitaan mengenai otonomi daerah mekar
bermunculan, media massa yang pada zaman Orde Baru jarang memberitakan mengenai isu
otonomi daerah berubah haluan menjadi gadrung memberitakan isu otonomi daerah, berbagai
berita bermunculan ada yang positif dan ada yang negatif, bermacam pertarungan wacana
mewarnai isu otonomi daerah di media massa.
Penelitian ini bermula dari rasa ingin tahu yang mendalam mengenai berbagai berita
tentang isu otonomi daerah yang muncul di media massa dan bagaimana media massa
melakukan konstruksi realitas terhadap isu otonomi daerah , selama ini penelitian mengenai isu
otonomi daerah banyak dilakukan oleh para ilmuwan yang berlatar belakang ilmu politik, ilmu
pemerintahan, ilmu administrasi negara, dan ilmu hukum, penelitian yang dilakukan oleh para
ilmuwan di atas lebih banyak bicara mengenai penerapan kebijakan otonomi daerah. Penelitian
mengenai isu otonomi daerah menggunakan perspektif ilmu komunikasi masih jarang bahkan
bisa dibilang langka, padahal peran media massa menurut Severin-Tankard (2007:15), adalah
membentuk opini publik. Para penganut mazhab konstruksionisme seperti Tuchman (1978),
Fisman (1980), dan Shoemaker (1996), melihat bahwa berita yang disiarkan oleh media massa
dapat membuat masyarakat mempunyai suatu sudut pandang dan mengkonstruksikan suatu
realitas suatu isu dalam masyarakat tak terkecuali isu otonomi daerah.
Penelitian dalam disertasi ini menggunakan perspektif interpretif. Perspektif ini dipilih
karena menurut Neuman (2006) teori konstruksi sosial merupakan ranah dalam perspektif
interpretif, untuk membedah teks dalam penelitian ini menggunakan analisa teks framing,
model yang digunakan adalah framing Robert N Entman. Framing model Entman dipilih karena
dalam konsep Entman framing dapat dipakai untuk menggambarkan proses seleksi suatu isu,
serta menonjolkan beberapa aspek tertentu dari suatu realitas oleh media. Empat elemen
framing model Entman adalah pertama Define Problem merupakan bingkai utama atau master
frame, kedua Diagnose Causes dalam elemen kedua ini yang menjadi titik berat adalah siapa
aktor utama dalam suatu kejadian atau peristiwa, ketiga Make Moral Judgement adalah elemen
yang digunakan untuk melakukan pembenaran dengan memberikan berbagai argumentasi pada
pedefinisian masalah yang sudah dibuat, empat Treatment Recommendation adalah elemen yang
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
digunakan untuk melihat apa yang sebenarnya dikehendaki oleh wartawan, bagaimana cara yang
akan dipilih untuk menyelesaikan suatu masalah.
Dalam disertasi ini ada 3 media yang diteliti yaitu harian Kompas, harian Jurnal Nasional,
harian Kedaulatan Rakyat. Dipilihlah tiga surat kabar dengan orientasi yang berbeda, yaitu
pertama surat kabar Kompas sebagai surat kabar harian terkemuka nasional dengan tiras yang
besar, kedua surat kabar Jurnal Nasional sebagai surat kabar yang mempunyai kedekatan sejarah
dengan Partai Demokrat, ketiga surat kabar Kedaulatan Rakyat sebagai surat kabar daerah yang
masih survive dan masih leading sampai saat ini.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan dalam level mikro yaitu ada perbedaan frame
pemberitaan harian Kompas, harian Jurnal Nasional dan harian Kedaulatan Rakyat mengenai
Isu Otonomi Daerah. Pada analisis pada level meso media terlihat faktor kepemilikan dan modal
masih cukup kuat dalam mempengaruhi frame media yang diteliti.
Analisis level makro dapat dibagi menjadi dua. Pada harian Jurnal Nasional analisa yang
lebih tepat adalah menggunakan pendekatan analisis instrumentalis atau strukturalis daripada
strukturasi karena pada harian Jurnal Nasional struktur organisasi media terlihat mengikat erat
human agent. Tidak terlalu cukup ruang bagi agen melakukan interplay terhadap struktur. Lain
halnya dengan harian Kompas dan harian Kedaulatan Rakyat, yang dapat dibedah dengan
analisis strukturasi.
Dalam proses strukturasi dari tiga media yang diteliti, terlihat dua media yaitu harian
Kompas dan harian Kedaulatan Rakyat mampu merubah struktur dari sentralistik ke
desentralistik untuk isu Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan Keistimewaan Yogyakarta,
meskipun harus diakui bahwa media bukan satu-satunya faktor yang diterminan dalam
perubahan struktur tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa isi dari teks media dalam dua
isu tersebut memberikan kontribusi kepada eskalasi tekanan atau adanya akumulasi-akumulasi
tekanan terhadap penguasa.
Kata Kunci: Media Massa, Framing, Konstruksi Realitas, Otonomi Daerah, Strukturasi.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
INDONESIA UNIVERESITY
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCES
COMMUNICATION SCIENCE DEPARTMENT
GRADUATE PROGRAM OF COMMUNICATION SCIENCE
Megandaru Widhi Kawuryan
0806402603
The Construction of the Reality of Regional Autonomy in Mass Media
Frame Analysis of Regional Autonomy Issues in Kompas Newspaper, Jurnal Nasional
Newspaper, and Kedaulatan Rakyat Newspaper in 2012 - 2013
[Dissertation, xvi, 7 chapters, 200 pages, 26 tables, 4 schemes, 17 figures, 5 appendices,
Bibliography: 65 books (1974 - 2014), 18 Journals (1977-2013), 8 theses and dissertations
(1993-2011), 4 Regulations (1945-2004), and 4 others]
ABSTRACT
After the New Order government fell, news on regional autonomy appeared everywhere.
Mass media which rarely reported regional autonomy issues during the New Order now reported
the issues all the time. Various news emerged, some positive and others negative. A battle of
discourse of regional autonomy issues appeared in the mass media .
This research was started by curiosity on various news on regional autonomy in mass
media and how mass media constructs the reality of regional autonomy issues. Until now,
researches on regional autonomy issues are mostly performed by researchers from political
science, government science, public administration, and legal science. Studies by researchers
from the fields above mostly discuss the implementation of regional autonomy policy. Studies on
regional autonomy issue using communication science perspective are still rare, while the role of
mass media according to Severin-Tankard (2007:15) is actually to form public opinions.
Observers of constructionism such as Tuchman (1978), Fisman (1980), and Shoemaker (1996)
think that news broadcasted by mass media can make people have a certain point of view and
construct a reality of an issue in the society, including regional autonomy issues.
The research in this dissertation used interpretive perspective. This perspective was
selected because according to Neuman (2006) social construction theory is a field in interpretive
perspective. To dissect texts, this study used framing text analysis. The model used was Robert N
Entman's framing. Entman's model of framing was selected because in Entman's concept framing
can be used to describe the selection process of an issue and emphasize certain aspects of a
reality by the media. Four elements of Entman's model of framing are first, Define Problem
which is the master frame, second, Diagnose Causes in the second element the emphasize is who
is the main actors in an event, third, Make Moral Judgment is an element used to make
justification by giving various argumentation in the definitions of the problems which have been
made, fourth, Treatment Recommendation is an element used to see what reporters want, what
method will be chosen to solve a problem.
In this dissertation, there are 3 media which were studied, i.e. Kompas newspaper, Jurnal
Nasional newspaper, Kedaulatan Rakyat newspaper. The three newspapers selected have
different orientations, i.e. first, Kompas as a famous national newspaper with huge readership,
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
second Jurnal Nasional as a newspaper with a history with the Democratic Party, third
Kedaulatan Rakyat as a local news paper which still survive and leads to this day.
The result of this study showed that at micro level there was frame difference in the
reporting of Kompas, Jurnal Nasional and Kedaulatan Rakyat on Regional Autonomy Issues.
Analysis at meso level showed that ownership and capital factors were still rather strong in
influencing the frames of the studied media.
Analysis at macro level could be divided into two. In Jurnal Nasional, more accurate
analysis used instrumentalist or structuralist analysis approach rather that structuration because
in Jurnal Nasional the structure of media organization seemed to tightly bind human agents.
Theer wasn't enough space for agents to perform interplay on the structure. Meanwhile, Kompas
and Kedaulatan Rakyat could be dissected by structuration analysis.
In the structuration process of the three media, two media, Kompas and Kedaulatan
Rakyat, were able to change the structure from centralistic to decentralistic for Direct Regional
Head Election and the Special Region Status of Yogyakarta, although the author admits that the
media isn't the only determinant factor in changing the structure. However, it's undeniable that
the content of media texts in those two issues contributed to the escalation of pressure or
accumulation of pressure on the authority.
Keywords: Mass Media, Framing, Reality Construction, Regional Autonomy,
Structuration.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………...…...ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………………..ii
ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………………...iii
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI
...………………….……………………………
iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………...v
v
ABSTRAK………………………………………………………………………................ix
ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………...........xiii
xiii
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………….xiv
xiv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………xviii
xviii
DAFTAR SKEMA…………………………………………………………………………xix
xix
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….......11
1.1. Latar Belakang Masalah.....……………………………………………......11
1.2.
Isu Otonomi Daerah dalam Media Framing…………….…………..........8 8
1.3.
Selayang Pandang Otonomi Daerah……………………………………...11
11
1.4.
Studi-Studi Terdahulu Mengenai Otonomi Daerah……….………..........1414
1.5.
Konstruksi Realitas dan Otonomi Daerah……………………...………..1717
Permasalahan dan Tujuan Penelitian ………………………………..........20
20
1.6.1. Rumusan Masalah…………………………………………………………20
20
1.6.
1.6.2. Tujuan Penelitian…………………………………………………………..22
22
1.7.
Signifikasi Penelitian………………………………………………………22
22
1.7.1. Signifikasi Akademis………………………………………………………22
22
1.7.2. Signifikansi Praktis dan Sosial…………………………………...............2323
1.8.
Keterbatasan Penelitian…………………………………………………...23
23
BAB II KERANGKA TEORI…………………………………………………..............25
25
2.1.
Teori Konstruksi Realitas Sosial Peter Berger………………..................2525
2.2.
Media dan Teori Konstruksi Realitas …………………………………….32
32
Local GovernmentTheory /Teori Pemerintahan Lokal……………………35
35
2.3.
xiii
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
2.4.
Teori Strukturasi Gidens………………………………………….............42
42
2.5.
Teori Strukturasi dan Teori Konstruksi Realitas Sosial…………………...51
51
2.6.
Kerangka Pemikiran Penelitian……………………………………………58
58
2.7.
Sistematika Penulisan …………………………………………….……….60
60
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………………….......61
61
3.1. Paradigma dan Perspektif Penelitian…………………………………..........6161
3.2. Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat………………………….6565
3.3. Analisis Teks…………..……………………………………………………………………………..............7272
3.3.1 Frame Building………….……………………………………………………………………………..........76
76
3.3.2 Frame Setting…………………………………………………………………………………………………..78
78
3.4. Keabsahan Penelitian……………………………………………………………….........................81 81
BAB IV FRAME BUILDING BERITA OTONOMI DAERAH…………………………..…..8383
4.1.
Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah Kompas…………………….8484
4.2.
86
Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah Jurnal Nasional………….86
4.3.
Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah di Kedaulatan
89
Rakyat………………………………………………………………………………………………………..89
4.4.
Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah Aspek Eksternal……...9191
94
BAB V FRAME BERITA OTONOMI DAERAH…………………………………………………….....94
5.1.
96
Isu Pemekaran Daerah……………………………………………………..96
5.2.
105
Isu Pilkada/Pemilihan Gubernur………………………………………….105
5.3.
113
Isu Dinasti Politik…………………………………………………………113
5.4.
120
Isu Korupsi Elit Lokal…………………………………………………….120
5.5.
129
Isu Desentralisasi Asimetris : Keistimewaan Yogyakarta……….............129
139
BAB VI MEDIA DAN STRUKTURASI ISU OTONOMI DAERAH………............139
6.1.
139
Media dalam Kontradiksi Perubahan Pasca Orde Baru………................139
6.2.
Dinamika Media Pasca Orde Baru Dalam Isu Otonomi Daerah
161
Berbasis Analisis Teori Strukturasi…..…………………………….. ……161
xiv
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
6.2.1. Agen/Agensi dan Struktur……………………………………………….162
162
6.2.2.
Rules dan Resource……………………………………………………….178
178
6.2.3. Dualisme dan Dualitas Struktur………………………………………….184
184
6.2.4. Signifikansi, Dominasi, Legitimasi……………………………………….191
191
BAB VII PENUTUP……………………………………………………………………..197
197
7.1.
Kesimpulan………………………………………………………….……197
197
7.2.
Implikasi Teoretis dan Metodologis...…………………………………...199
199
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………......................................201
201
xv
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Daftar Tabel
Tabel I.
Disertasi, Tesis, Jurnal……………………………………………………1414
Tabel II.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah……………………………….….3939
Tabel III.
Beberapa Konsep Framing…………………………………………….….……7474
Tabel IV.
76
Framing Model Entman………………………………..…………………76
Tabel V.
84
Isu Otonomi Daerah Kompas 2012 dan 2013 ……...………………..……84
Tabel VI.
Isu Otonomi Daerah Jurnal Nasional 2012 dan 2013………..................8787
Tabel VII.
Isu Otonomi Daerah Kedaulatan Rakyat 2012 dan 201………...............89 89
Tabel VIII.
Topik Utama Pemberitaan Tiga Media (Kompas, KR, Jurnas)………... 9595
Tabel IX.
Tabel: Frame Dominan di Tiga Surat kabar
104
Isu Pemekaran Daerah …………………………..………………………..104
Tabel X.
Tabel: Frame Dominan di Tiga Surat kabar
111
Isu Pilkada Gubernur…………………………..………………..............111
Tabel XI.
119
Tabel: Frame Dominan di Tiga Surat kabar Isu Dinasti Politik…….....119
Tabel XII.
127
Tabel: Frame Dominan di Tiga Surat kabar Isu Korupsi Politik.….......127
Tabel XIII.
Tabel: Frame Dominan di Tiga Surat kabar Isu Keistimewaan
136
Yogyakarta……………………….…………………………………......136
Tabel XIV.
147
Televisi di Indonesia...……………………………………………….......147
Tabel XV.
Peta Kepemilikan Televisi………………………………………….……148
148
Tabel XVI.
Jumlah Suratkabar 2006 – 2010………………………………………...149
149
Tabel XVII.
Kepemilikan Suratkabar...........................................................................149
149
Tabel XVIII. Jumlah Media Cetak Daerah...…………………………………………..151
151
Tabel XIX.
Peta Kepemilikan Radio......................................................................... .152
152
Tabel XX.
Belanja Iklan di Media Cetak Kategori 6 Produk Teratas
Tahun 2007 – 2011……………………………………………………...157
157
Tabel XXI.
Pendapatan Iklan di Media Cetak Kategori 6 Media Teratas
Tahun 2007-2011…………………………………………………….....158
158
xvi
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Tabel XXII.
Penetrasi Media Cetak Kategori 6 Media Teratas di 9 Kota Besar
(Jakarta, Bandung, Semarang Surabaya, Makassar, Yogyakarta,
Denpasar, Palembang) Tahun 2007-2011………………………….. ……159
159
Tabel XXIII. Penetrasi Media Cetak Kategori 6 Media Teratas di Yogyakarta
Tahun 2007-2011………………………………………….……………..160
160
Tabel XXIV. Struktur, Sistem dan Strukturasi………………………………….. ……179
179
Tabel XXV.
Analisis Berbasis Strukturasi.……………………………………………190
190
Tabel XXVI. Signifikasi, Dominasi, Legitimasi………………………………………..195
195
xvii
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Daftar Gambar
Gambar I.
58
Kerangka Pemikiran Penelitan……………………………………………58
Gambar II.
59
Keterkaitan Dalam Kerangka Konseptual ..………………………………59
Gambar III.
101
Frame Isu Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar………………………101
Gambar IV.
102
Pendefinisian Masalah Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar…………102
Gambar V.
103
Sumber Masalah Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar………………..103
Gambar VI.
108
Frame Isu Pilkada di Tiga Surat kabar……………………………………108
109
Gambar VII. Pendefinisian Masalah Pilkada di Tiga Surat kabar………………………109
111
Gambar VIII. Sumber Masalah Pilkada di Tiga Surat kabar……………………………111
Gambar IX.
116
Frame Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar…………………................116
Gambar X.
118
Pendefinisian Masalah Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar…………..118
Gambar XI.
119
Sumber Masalah Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar…….…………..119
124
Gambar XII. Frame Isu Korupsi Elit Lokal di Tiga Surat kabar………….……………124
126
Gambar XIII. Pendefinisian Masalah Isu Korupsi Elit Lokal di Tiga Surat kabar……...126
127
Gambar XIV. Sumber Masalah Isu Korupsi Elit Lokal di Tiga Surat kabar……...…….127
Gambar XV.
133
Frame Isu Keistimewaan Yogyakarta di Tiga Surat kabar………….......133
Gambar XVI. Pendefinisian Masalah Isu Keistimewaan Yogyakarta
134
di Tiga Surat kabar……………………………………………………….134
Gambar XVII. Sumber Masalah Isu Keistimewaan Yogyakarta
136
di Tiga Surat kabar………………………………………………….........136
xviii
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Daftar Skema
Skema I Konsep SDL…...…………………………………………………………………49
49
Skema II Konsep Dualitas Aktor-Struktur………………………………………………4949
Skema III Struktur-Interaksi………………………………………………………………52
52
Skema IV Frame Building dan Frame Setting…….……………………………………….76
76
xix
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Semarak berita mengenai kebijakan otonomi daerah banyak dijumpai sesudah
pemerintahan Orde Baru tumbang. Media massa terlihat memberi perhatian yang khusus
pada berita otonomi daerah. Beberapa media seperti harian Kompas, harian Jawa Post,
dan majalah Tempo, memberikan rubrik khusus yang diberi label otonomi daerah.
Liputan media mengenai topik otonomi di atas secara garis besar mengusung isu
kontradiksi penerapan kebijakan otonomi daerah. Ada liputan yang positif dan ada pula
liputan yang negatif. Berita yang positif dapat dilihat ketika daerah diberi otonomi yang
luas. Media meliput mengenai keberhasilan daerah dalam melayani warganya,
kemunculan pemimpin lokal yang baik, dan munculnya inisiatif program-program baru
dalam berbagai bidang di daerah.
Kebalikannya, liputan negatif dapat ditemukan ketika media menyoroti berbagai
masalah di daerah yang timbul semenjak kebijakan otonomi yang luas diterapkan, seperti
koordinasi antara pusat dan daerah yang tidak berjalan baik, munculnya korupsi yang
terdesentralisasi, serta iklim usaha yang buruk karena tumpang-tindih kewenangan pusat
dan daerah, sehingga kemudian ada wacana otonomi kebablasan dan diganti dengan
sentralisasi yaitu ketika peran pemerintah pusat lebih utama daripada pemerintah daerah.
Semenjak pemerintahan Orde Baru tumbang, diskusi mengenai otonomi daerah
tampil mengemuka. Berbagai pakar, cendekiawan, mahasiswa, aktivis LSM, para
menteri, sampai presiden berdiskusi mengenai otonomi daerah, forum-forum diskusi
ilmiah yang bertema pemerintahan daerah banyak digelar, mulai dari kampus sampai
hotel. Ada yang setuju otonomi daerah, tetapi ada pula yang tidak setuju dan memilih
sentralisasi.
Isu otonomi daerah mempunyai sejarah panjang di Indonesia. Pada masa awal-awal
Republik ini berdiri, isu otonomi daerah bahkan pernah mengoyak persatuan Negara ini.
Ekspresi daerah yang melihat pusat (Jakarta) sangat kuat1 dan sewenang-wenang
1
Tulisan Daniel Dhakidae pada majalah Prisma (2010:70) yang berjudul “Hubungan Pusat-Daerah dan
Kadigwijayan Sepanjang Masa”menggambarkan dengan sangat bagus betapa digdayanya pusat dan tuna
1
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
2
sehingga aspirasi daerah tidak didengar membuat daerah angkat senjata dan menyatakan
perang terhadap pusat. Salah satu yang terkenal adalah berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)2 pada tanggal 15 Februari 1958 yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat kemudian gerakan ini
mendapatkan dukungan dari sejumlah tokoh di Sulawesi yang membentuk Perdjuangan
Rakjat Semesta (Permesta) dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual. Konflik yang muncul
antara pusat dan daerah ini sebenarnya bukan suatu tuntutan pemberontakan untuk
mendirikan suatu negara baru, melainkan keinginan daerah akan adanya otonomi daerah
yang nyata dan konstitusi dijalankan dengan baik (Kahin 2005, Hakiem 2008).
Tuntutan akan otonomi daerah yang nyata diperjuangkan karena para pemimpin
PRRI-Permesta ini melihat adanya ketimpangan pembangunan antara daerah-daerah di
Pulau Jawa dengan daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Adapun tuntutan menjalankan
konstitusi dengan baik diperjuangkan karena menurut para pemimpin PRRI-Permesta
Kabinet Djuanda pada saat itu tidak menjalankan pemerintahan dengan baik. Hal ini
dapat dilihat dari ultimatum yang dibuat oleh Kolonel Simbolon dan Letkol Ahmad
Hussein di Padang, Sumatera Barat pada 10 Februari 1958, dan diberi nama “Piagam
Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara”. Ultimatum itu menuntut Kabinet Djuanda
mengundurkan diri dan Sukarno kembali ke kedudukan sebagai Presiden konstitusional,
Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian membentuk zaken kabinet, yang
terdiri dari orang jujur dan terhormat serta tidak memasukan golongan komunis. Para
penggagas PRRI-Pemesta sebenarnya adalah tokoh-tokoh nasional yang pada awalnya
ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,
antara lain
Sjafruddin
kuasanya daerah. Semenjak Kerajaan Majapahit berdiri pusat selalu memandang daerah bukan saja
sebagai wilayah taklukan, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai budak yang tidak hanya selalu harus dijaga,
namun juga harus selalu mengabdi melayani pusat. Pengabdian daerah pada pusat dapat dilihat dari
uraian yang ditulis Ryass Rasyid dkk (2007:153-161) biasanya pada akhir masa jabatan seorang Kepala
Daerah, terutama dari Inspektorat Jenderal (Itjen) akan “turun” ke daerah untuk menilai apakah Kepala
Daerah tersebut menjalankan tugas dengan baik, kalau hasil penilaian dari tim Itjen baik, akan memberi
peluang seorang Kepala Daerah menduduki jabatan kedua kalinya, maka dalam rangka untuk
memperoleh penilaian ini seorang Kepala Daerah akan memberikan “pelayanan” yang terbaik kepada
seluruh anggota tim Itjen termasuk hotel, kendaraan, berbagai fasilitas dan “uang saku” yang sangat
pantas bagi anggota tim peniliai dari Inspektorat Jenderal Depdagri.
2
Audrey Kahin (2005), Ryaas Rasyid dkk (2007:85), dan Daniel Dhakidae (2010:72)
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
3
Prawiranegara sebagai Perdana Menteri, Soemitro Djojohadikoesoemo, Assaat Dt. Mudo
dan J.F. Warouw.
Pemerintah Pusat menanggapi tuntutan dari PRRI-Permesta ini dengan menurunkan
pasukan lengkap. Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)
menugaskan Kolonel Achmad Yani sebagai komandan dalam operasi yang diberi nama
“Operasi Tujuh Belas Agustus”. Operasi ini tercatat salah satu operasi gabungan TNI
yang terbesar saat itu. Dikerahkan 6 kapal perang dan 19 kapal pengangkut personel
untuk memindahkan 6500 tentara dari Jawa untuk menumpas pemberontakan PRRIPermesta, walaupun PRRI-Permesta mendapatkan bantuan peralatan perang dan personel
dari Amerika Serikat, pemberontakan ini dapat dipadamkan dalam waktu relatif singkat
(Syamdani, 2009). Pada tahun 1958, perlawanan PRRI-Permesta dapat ditaklukkan oleh
TNI, tetapi pemberontakan ini bagi masyarakat Minangkabau menimbulkan efek
psikologis yang berat yaitu adanya stigma pemberontak bagi masyarakat Minangkabau
dan membuat munculnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain, selain
itu beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga
diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang kalah bagi
suku Minangkabau (Audrey Kahin, 2005).
Ide
pemberontakan
daerah
terhadap
pusat
(Jakarta)
akibat
penindasan,
ketidakadilan dan tidak meratanya pembangunan tidak hanya muncul pada awal
kemerdekaan seperti kasus PRRI-Permesta. Pada zaman Orde Baru muncul pula benihbenih pemberontakan daerah antara lain disuarakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kedua daerah ini adalah daerah yang kaya akan
hasil tambang terutama minyak, emas, gas, batu bara, dan batu mulia, tetapi
pembangunan di dua daerah ini sangat tertinggal sehingga kemudian muncul gerakan
atau tututan untuk merdeka lepas dari Indonesia. Sayangnya seperti juga pada kasus
PRRI-Permesta, pada zaman Orde Baru segala macam ancaman bagi pusat (Jakarta)
dihadapi dengan tentara dan senjata. Pada masa rezim Orde Baru tentara (ABRI)
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
4
mempunyai peran yang sangat penting dalam jalannya pemerintahan di daerah 3 (Ryaas
Rasyid dkk, 2007:153).
Seharusnya Pemerintah Pusat menghadapi tuntutan daerah ini dengan cara
membuat suatu kebijakan yang dapat mengambil hati rakyat daerah yaitu dengan cara
membangun daerah, memakmurkan rakyat daerah dan memberikan kesempatan yang luas
bagi daerah untuk mengatur urusan mereka sendiri. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain
kecuali menjalankan kebijaksanaan otonomi daerah yang akan mengembalikan harkat,
martabat dan harga diri masyarakat daerah yang dimarginalkan selama puluhan tahun.
(Ryaas Rasyid dkk, 2007).
Otonomi daerah sebenarnya bukan barang baru menurut Made Suwandi (2004),
Syarif Hidayat (2007:9-12), Ryaas Rasyid dkk (2007:56-123), Soetandyo Wigyosoebroto
(2007:58-69),4 selama 69 tahun Republik ini berdiri telah terjadi delapan (8) kali
perubahan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Dalam
setiap perubahan undang-undang mengenai pemerintahan daerah terlihat selalu ada
pertarungan gagasan untuk menyeret undang-undang ini ke arah sentralisasi atau
desentralisasi.
Selain itu peran berbagai aktor dan gagasan dalam kebijakan ini terlihat cukup
dominan, Soetandyo Wigyosoebroto (2007:62) mencatat bahwa selama era kolonial
Belanda kebijakan desentralisasi (decentralisatie wet) diupayakan oleh dua orang
3
Menurut Rasyid (2007:153) dalam hal rekrutmen politik lokal, masyarakat di daerah sama sekali tidak
mempunyai peran yang menentukan kecuali sekedar ramai-ramai menominasi calon kepala daerah, yang
lebih menentukan adalah peran yang dimainkan oleh militer seperti KOREM, KODIM, KODAM, dan
Panglima ABRI. Kalau ABRI punya kepentingan untuk menempatkan personilnya maka otomatis calon
kalangan sipil sama sekali tidak mempunyai peluang, maka sering dikenal istilah calon jadi dan calon
pendamping, calon jadi akan didukung sepenuhnya oleh ABRI dan Menteri Dalam Negeri melalui Dirjen
Otonomi Daerah dan Pemerintahan Umum (PUOD).
4
Kedelapan Undang-Undang Pemerintahan Daerah itu sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
4. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Dalam catatan Soetandyo Wignjosoebroto kebijakan desentralisasi di Indonesia telah berusia satu abad
lebih jika dihitung semenjak pemerintah Belanda menetapkan Decentralisatie Wet pada 23 Juli 1903
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
5
anggota parlemen Belanda yaitu LWC Keuchenis dan Baron van Dendem, sedangkan
Rasyid dkk (2007:49) dalam tulisannya mengenai perjalanan desentralisasi di Indonesia
memperlihatkan bahwa dalam setiap terbitnya undang-undang mengenai pemerintahan
daerah, semenjak Indonesia berdiri selalu muncul aktor-aktor dalam isu ini5.
Selain para aktor yang terlibat isu mengenai otonomi daerah, media massa juga
tertarik untuk menyiarkan isu otonomi daerah, apalagi dalam era reformasi media
mempunyai kebebasan lebih besar6 dalam menyiarkan suatu berita yang berhubungan
dengan politik dan pemerintahan dibandingkan dengan era sebelumnya
Aktor dan media seperti dua sisi dalam satu keping mata uang. Di satu sisi aktor
membutuhkan media untuk menyiarkan pendapat aktor, sedangkan disisi yang lain,
media juga membutuhkan aktor sebagai narasumber dalam menjelaskan suatu isu, seperti
yang diungkapkan oleh Shoemaker dan Reese (1996) bahwa sumber berita harus
memenuhi paling tidak dua dimensi yaitu effectiveness dan multi-access.
Dimensi effectiveness adalah dimensi terkait sumber yang memiliki efek yang besar
terhadap isi media, sehingga reporter harus mencantumkan sumber dari fakta yang
diperolehnya, sedangkan dimensi multi-access adalah dimensi untuk memenuhi tingkat
objektivitas berita. Sebaiknya seorang reporter mencari berita dari mereka-mereka yang
terlibat langsung dalam suatu peristiwa dan berbagai pihak yang mempunyai pengetahuan
atas peristiwa yang diliput reporter tersebut.
Lebih lanjut menurut Van Dijk (1998) sebagai sumber aktor mempunyai peran
penting bagi reporter. Melalui aktor ini seorang reporter akan memperoleh informasi
mengenai suatu peristiwa yang diketahui oleh aktor tersebut. Menurut Triputra
(2000:410), aktor berita ini dapat disebut sebagai agensi dalam konsepsi yang dibuat oleh
Antony Giddens. Lebih lanjut menurut Triputra (2000:410), ketika reporter
mewawancarai
5
6
narasumber
untuk
mengumpulkan
informasi
dalam
rangka
Ryaas Rasyid dkk (2007:76) misalnya untuk Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 ada nama-nama
seperti Prof Soepomo dan Mr Abdul Halim dan anggota-anggota Senat dan DPR RIS, juga terbitnya UU
Nomor 22 Tahun 1999 aktor-aktor seperti Prof Afan Gafar, Prof Djohermansyah Djohan, Dr Andi
Alfianto Malarangeng, dkk terlibat aktif dalam pembuatan Undang-Undang tersebut di atas.
Menurut Sendjadja (2007:6) kejatuhan rezim Orde Baru ditandai dengan erosi kontrol pemerintah
terhadap media.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
6
mendefinisikan suatu proses berita, secara sadar atau tidak, sebenarnya reporter tersebut
sudah terlibat dalam proses strukturasi.
Strukturasi adalah teori yang digagas oleh Anthony Giddens (1984). Teori ini
muncul dari kegelisahan Giddens dalam memandang dualisme dalam teori-teori ilmu
sosial. Dualisme ini tumbuh akibat adanya kerancuan dalam melihat suatu objek kajian
sosial. Bagi Giddens, objek utama ilmu sosial bukanlah strukturalisme versi Levi-Strauss
ataupun interaksionisme simbolis versi Goffman ataupun peran sosial seperti yang
digagas oleh Parsons.
Menurut Giddens hubungan antara pelaku (tindakan) dan struktur adalah relasi
dualitas, bukan dualisme. Dualitas itu terjadi dalam praktik sosial yang berulang serta
terpola dalam lintas ruang dan waktu7. Dengan demikian Giddens (1984) melihat struktur
secara berbeda dibandingkan dengan ilmuwan sosial lainnya, misalnya Durkheim.
Menurut Durkheim, struktur bersifat mengekang (constraining) sehingga struktur tidak
luwes, sedangkan dalam pemikiran Giddens (1984) struktur selain mengekang juga
memberdayakan (enabling) sehingga dengan struktur seperti itu, dimungkinkan
terjadinya praktik sosial.
Gagasan Giddens di atas dituliskan dengan baik oleh Dedy Nur Hidayat (2000) 8,
ketika membedah tulisan Pers dalam Revolusi Mei. Menurut Hidayat (2000:431), untuk
membedah media atau pers justru harus dilakukan dengan terlebih dahulu
menyampingkan pers dari fokus kajian. Pers harus diletakkan dalam totalitas sosial yang
lebih luas sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial, dan politik yang
berlangsung dalam masyarakat.
Pada masa Orde Baru dengan struktur politik yang sentralistis dan otoritarian maka
produk pers juga mengikuti mengikuti langgam ciri struktur politik yang sentralistis dan
otoritarian. Misalnya berita-berita yang berhubungan dengan politik, politik lokal, dan
keluarga presiden, sebelum diberitakan akan melewati berbagai tahapan sensor 9.
7
Lihat B. Herry Priyono (2002:7)
Lihat Dedy Nur Hidayat (2000:431)
9
Lihat Ishadi SK (2000:227) dalam Persepsi Elite Penguasa Terhadap Media, secara jelas Ishadi SK
menuliskan Setiap Media cetak harus memiliki Surat Izin Terbit (SIT) atau SIUPP, ketentuan mengenai
pemberangusan diberlakukan, buadaya sensor dan budaya telepon dikembangkan, pemerintah
mempunyai wewenang untuk mengganti susunan anggota redaksi media.
8
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
7
Menurut Hidayat (2000:431) walaupun secara struktur politik Orde Baru berciri
otoritarian namun dalam struktur ekonomi terutama ekonomi media yang berkembang
selama Orde Baru adalah struktur ekonomi kapitalis10. Dua struktur inilah yang
melingkupi media pada zaman Orde Baru.
Jika dilihat, media ketika zaman Orde Baru pada satu sisi secara struktur politik
penuh kekangan dan sensor, tetapi pada sisi struktur ekonomi mereka juga harus hidup,
dan media hidup dari bisnis industri media11. Untuk itu media harus bisa menyajikan
informasi yang diminati oleh masyarakat agar tiras mereka besar12. Fenomena media
seperti ini akan sulit jika hanya dilihat dari satu sisi struktur politik atau struktur ekonomi
saja karena sebenarnya ada interaksi antara struktur dan agen. Di sinilah teori strukturasi
Giddens lebih tepat digunakan untuk melakukan analisis terhadap media daripada teori
yang berbasis strukturalis ataupun intrumentalis13.
Perubahan media dan isi media pasca-Rezim Orde baru menarik untuk diteliti
sudah banyak ilmuwan, praktisi media, birokrat, dan wartawan meneliti dan menulis
tentang hal tersebut14. Namun masih jarang yang meneliti dan menulis tentang isu
otonomi daerah. Disertasi ini bermula dari rasa ingin tahu yang amat dalam (curiosity)
terhadap konstruksi realitas otonomi daerah pasca-Orde Baru di media massa dan peran
media sebagai agen dalam mengubah struktur dari sentralistis ke desentralisasi, serta
frame pemberitaan isu otonomi daerah dari media yang diteliti. Hasil interaksi tersebut
bisa dilihat dari isi pemberitaan media. Isi berita media dalam penelitian ini dilihat
sebagai hasil atau produk dari proses strukturasi yang melibatkan media dan struktur,
yang kemudian menjadi konstruksi realitas otonomi daerah.
10
Walaupun menurut Hidayat (2000:133) kapitalisme yang berkembang semasa Orde Baru adalah
kapitalisme semu atau crony capitalism
11
Triputra (2000:408), Sudibyo (2004)
12
Menarik apa yang ditulis olah Hidayat (2000:158) dalam kasus revolusi mei, rezim penguasa bekerja
keras untuk menekan media agar tidak terlalu membesar-besarkan krisis yang terjadi, namun jurnalis
selalu mampu menemukan celah di mana berita serta analisis seputar krisis bisa disajikan. Selain itu
Effendi Gazali (2000:310) menuliskan bagaimana harian lokal Kedaulatan Rakyat mensiasati berita
pembakaran patung Suharto oleh mahasiswa yang demonstrasi di bundaran UGM, oleh otoritas lokal
semua media di Yogyakarta dilarang untuk memberitakan pembakaran patung Suharto tersebut, namun
harian Kedaulatan Rakyat memuat berita tersebut namun tidak ada pembakaran patung Suharto hanya
diberitakan mahasiswa berdemonstrasi di bundaran UGM.
13
Lihat Hidayat “Jurnalis, Kepentingan Modal, Dan Perubahan Sosial” (2000:436-437)
14
Lihat buku Pers dalam Revolusi Mei, Runtuhnya Sebuah Hegemoni (2000)
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
8
Selain terlibat dalam proses strukturasi di atas, media juga melakukan proses
gatekeeping seperti yang dikemukakan oleh Shoemaker dan Reese (1996)15. Dalam
proses gatekeeping ketika melakukan pencarian berita seorang wartawan, akan memilah
dan memilih berita dan narasumber yang akan diwawancarainya. Selain itu ketika telah
mendapatkan berita dan menuliskan berita, wartawan itu sebetulnya sedang melakukan
framing seperti yang dikemukakan oleh Gamson dan Modigliani (1989:3)16. Berdasarkan
pendapat Gamson dan Modigliani, framing wartawan yang berbeda pada suatu berita
akan menghasilkan berita yang berbeda pula.
Menurut Hidayat (1999) framing dapat digunakan untuk melihat bagaimana upaya
media
dalam
menyajikan
sebuah
peristiwa
yang
mengesankan
objektivitas,
keseimbangan, dan nonpartisan, serta mengemasnya menjadi sedemikian rupa sehingga
khalayak mudah tergiring ke dalam framing pendefinisian realitas tertentu yang
dilakukan oleh media melalui pemilihan kata, bahasa, penggunaan simbol, dan sistem
logika tertentu.
1.2 Isu Otonomi Daerah dalam Media Framing
Analisis framing merupakan salah satu metode penelitian dalam ilmu komunikasi.
Pada awalnya metode tersebut dikembangkan oleh Gregory Bateson (1972). Pada tahun
1972 Bateson membuat buku yang berjudul Steps to An Ecology of Mind. Hal itu
kemudian dikembangkan oleh para ahli sosiologi dan psikologi. Dalam ranah sosiologi,
framing difokuskan pada kata-kata, gambar atau visual, serta frasa dan gaya bertutur
ketika komunikator menyampaikan informasi kepada komunikan (Druckman, 2001).
Penelitian pada ranah sosiologi pada umumnya digerakkan untuk meneliti pengaruh
media pada norma sosial, nilai, serta orientasi ideologis dan politis seorang jurnalis. Pada
ranah psikologi, penelitian difokuskan pada riset-riset efek dari framing media kepada
audience (Iyengar, S. 1991).
15
Shoemaker dan Reese (1996) ada lima level gatekeeping yaitu level individual, rutinitas media,
organisasional, ekstra media dan sistem sosial (ideologi)
16
Menurut Gamson dan Modigliani (1983:3) ketika menuangkan gagasannya pekerja media menggunakan
bahasa sendiri serta memparafrase dan mengutip narasumber berita tertentu, pada saat yang sama
sebenarnya mereka membuat retorika-retorika yang menyiratkan keberpihakan dan kecenderungan
tertentu.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
9
Dalam perspektif komunikasi,
framing menurut Robert M Entman (1993:52)
adalah select some aspects of a perceived reality and make them more salient in a
communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal
interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the item describe.
Dari pendapat Entman di atas framing dapat diterjemahkan sebagai suatu strategi
pemilihan (seleksi) dan atau penonjolan fakta ke dalam suatu berita agar lebih bermakna,
lebih menarik, untuk dapat menggiring interpretasi audience sesuai yang dikehendaki
pembuat frame. Oleh karena itu, dengan analsis framing dapat dibedah cara pandang
jurnalis terhadap suatu isu, seperti fakta apa yang ditampilkan, bagian mana yang lebih
ditonjolkan atau malah dihilangkan, serta cara suatu berita dikonstruksikan.
Menurut Erving Goffman (1974:60), manusia secara aktif melakukan klasifikasi,
mengorganisasi, dan menafsirkan pengalaman hidup supaya lebih bermakna. Goffman
berusaha menghubungkan antara konsep dengan produk wacana berita secara langsung
dengan menyatakan bahwa melalui frame, para jurnalis akan dapat memproses informasi
untuk disiarkan kepada masyarakat. Frame adalah suatu gagasan sentral yang terorganisir
atau suatu rangkaian cerita yang memberikan makna terhadap peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan suatu isu atau problema.
Isu otonomi daerah merupakan isu nasional yang sering muncul dan selalu
mendapatkan tempat di media massa, yaitu berbagai ekspresi dari daerah yang merasa
terpinggirkan atau pusat (Jakarta) yang terlihat enggan sepenuh hati memberikan otonomi
yang luas17. Pada zaman Orde Baru dengan pemerintahan yang berciri sentralistis media
membingkai otonomi daerah sesuai dengan ideologi pembangunan Orde Baru, apalagi
dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 5 Tahun 1974 ditekankan bahwa
otonomi daerah bukan “otonomi yang nyata dan seluas-luasnya” melainkan diganti
dengan
“otonomi yang nyata dan bertanggung jawab18”.
Dengan digantinya kata
“seluas-luasnya” menjadi “bertanggung jawab” terlihat bahwa pemerintahan Orde Baru
17
18
Ryaas Rasyid (2007), Purwo Santoso (2013), Ramlan Surbakti (2013)
Dalam penjelasan dalam undang-undang tersebut dinyatakan sebagai berikut istilah seluas-luasnya
tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat
menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan
tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip prinsip
yang digariskan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara. (Ryaas Rasyid dkk, 2007)
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
10
memandang bahwa daerah adalah instrumen yang harus turut bertanggung jawab
sepenuhnya dalam melaksanakan ideologi pembangunan nasional.
Dengan cara pandang seperti itu maka pada zaman Orde Baru, berita-berita tentang
daerah lebih banyak diisi oleh kesuksesan berita-berita tentang pembangunan di daerah
seperti dialog Presiden Suharto dengan Kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca,
dan pemirsa), panen padi bersama, peresmian puskesmas, peresmian SD Inpres, dan
pemberian Sapi Banpres. Kalaupun ada berita yang kontroversial di daerah antara lain
penggusuran pedagang kaki lima, dipindahnya rakyat satu kecamatan untuk
pembangunan waduk, demonstrasi buruh, dan biasanya rakyat yang “membangkang”
terhadap proyek pembangunan, hal tersebut akan dicap sebagai antipembangunan,
bahkan antek komunis (PKI). Media, baik yang terbit di Jakarta ataupun di daerah tidak
akan berani secara terang-terangan memberitakan kasus tersebut sehingga yang
memberitakan kasus-kasus di atas adalah media-media bawah tanah bukan media
mainstream19.
Ketika kekuasaan Orde Baru runtuh, mulailah geliat informasi dari daerah muncul,
terlebih dengan diterbitkannya Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 tahun
1999 yang memberikan otonomi yang nyata dan seluas-luasnya, corong media yang
selama pemerintahan Orde Baru kurang memandang daerah menjadi berbalik 180 derajat.
Mereka menjadikan berita-berita daerah sebagai komoditas yang utama sehingga terbitlah
berita-berita mengenai pemilihan kepala daerah, dinasti politik, pemekaran daerah,
korupsi pejabat daerah berjamaah, pertarungan antara eksekutif dan legislatif di daerah,
dan sebagainya.
Fenomena di atas yaitu beragamnya isu otonomi daerah yang ditulis oleh media
massa khususnya surat kabar, sangat menarik untuk diteliti. Satu isu bisa dibingkai
dengan berbagai sudut pandang media yang berbeda, apalagi dalam isu otonomi daerah
terlihat bahwa berbagai kalangan turut mengekspresikan pendapat.
Banyaknya wacana yang muncul dapat dilihat dari beragam pemberitaan mengenai
otonomi daerah. Ada yang sangat mendukung otonomi daerah dan berpendapat bahwa
sentralisasi bukan merupakan jawaban terhadap masa depan Indonesia yang wilayahnya
19
Budiman Sudjatmiko (2000), Ariel Heryanto (2000)
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
11
begitu luas dan mempunyai beribu pulau serta suku bangsa, tetapi ada juga yang
berpendapat bahwa otonomi sekarang sudah kebablasan sehingga pada sisi ekstrimnya
Indonesia akan terpecah belah dan bubar.
Sebenarnya pada awal Republik ini berdiri para founding father telah menggagas
tentang otonomi daerah. Hal ini dapat dilihat pada UUD 1945 Pasal 18 20. Apabila dilihat,
penjelasannya menunjukkan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi,
dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah
yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena di daerah pun
pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Dari penjelasan di atas terlihat secara eksplisit bahwa otonomi daerah sejak awal
sudah dipikirkan oleh para pendiri bangsa ini. Namun dengan seiring berjalannya waktu
ternyata otonomi daerah dimaknai berbeda-beda dalam setiap zamannya pemaknaan ini
sedikit banyak juga merupakan andil dari media massa. Menurut Severin-Tankard
(2007:15), salah satu dampak media massa adalah membentuk opini publik.
Para
penganut mazhab konstruksionisme seperti Tuchman (1978), Fisman (1980),
dan
Shoemaker (1996), melihat bahwa berita yang disiarkan oleh media massa bukanlan
suatu cermin yang merupakan refleksi dari realitas, tetapi lebih dari itu, media dapat
membuat masyarakat mempunyai suatu sudut pandang dan mengkonstruksikan suatu
realitas suatu isu dalam masyarakat tak terkecuali isu otonomi daerah.
1.3 Selayang Pandang Otonomi Daerah
Beberapa ahli21 terlihat memakai kata desentralisasi daerah dan otonomi daerah
sebagai kata yang dapat dipertukarkan, seperti satu koin dengan dengan dua sisi yang
sama. Jika ditelaah dari sisi etimologi desentralisasi dapat diartikan menjauh dari pusat
(de-central).
20
Pasal 18 UUD 1945 “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan,
pemerintahannya, ditetapkan, dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa”
21
Brian C Smith (1985), Ryaas Rasyid dkk (2007), Hanif Nurcholis (2007), Syarif Hidayat (2010), Purwo
Santoso (2013), Ramlan Surbakti (2013)
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
12
Desentralisasi merupakan salah satu kata yang cukup populer dalam khasanah
ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu kata desentralisasi mempunyai beberapa perspektif
sesuai dengan konteks ilmu sosial masing-masing. Menurut catatan dari Dennis A
Rondenelli (2007) dan Ramlan Surbakti (2013) paling tidak ada 4 perspektif
desentralisasi22, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, desentralisasi
fiskal, dan desentralisasi pasar.
Dari uraian di atas terlihat perbedaan antara desentralisasi dalam pandangan
administratif dan desentralisasi dalam pandangan politik. Dalam pandangan administratif,
desentralisasi dilihat sebagai pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan,
perencanaan, dan pengaturan fungsi publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah di
bawahnya (daerah), sedangkan dalam pandangan politik, desentralisasi dilihat sebagai
devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Lebih jelas lagi,
Brian C Smith (1985) menjelaskan pandangan desentralisasi dalam perspektif politik
yaitu “pengalihan kekuasaan dari jenjang atas ke jenjang bawah dalam hierarki teritorial”.
Menurut Syarif Hidayat (2010:7), perbedaan cara pandang desentralisasi
berdasarkan dua perspektif di atas bukan dimaksudkan untuk membangun dikotomi yang
kaku antar dua perspektif. Seperti halnya model teoretis, suatu perspektif diadopsi bukan
karena perspektif itu benar, melainkan karena perspektif tersebut berguna.
Hal yang paling penting dari dua perspektif diatas, memperlihatkan bahwa dengan
adanya desentralisasi, masyarakat daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar
karena mereka mempunyai kebebasan dan kewenangan mengatur, mengurus, dan
memutuskan kepentingannya sendiri yang bersifat lokal. Sehingga dengan adanya
desentralisasi muncullah otonomi daerah. Dengan kata lain tanpa adanya desentralisasi
daerah tidak akan muncul otonomi daerah.
22
Desentralisasi Administratif: merupakan penyerahan tanggung jawab dalam perencanaan , keuangan
dan pengelolaan fungsi publik dari pemerintah pusat kepada unit pemerintah yang lebih rendah,
Desentralisasi Politik: merujuk pada peningkatan kekuasaan warga derah dan yang mewakili mereka
dalam proses pembuatan keputusan publik, Desentralisasi Fiskal: merupakan penyerahan kewenangan
membuat keputusan tentang pengeluaran daerah baik berdasarkan sumber penerimaan yang digali dan
dikumpulkan sendiri secara lokal maupaun dana yang diterima dari pemerintah pusat, Desentraliasasi
Pasar: yaitu desentralisasi terkuat karena kekuasaan membuat keputusan dialihkan dari publik ke
ranah privat.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
13
Brian C Smith (1985), berpendapat ada dua tujuan utama desentralisasi, yaitu
pertama dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat dan kedua dilihat dari sisi
pemerintah daerah. Dari sisi kepentingan pusat ada tiga tujuan utama, yaitu: pendidikan
politik, ajang pelatihan kepemimpinan politik, dan stabilitas politik. Sedangkan menurut
kepentingan daerah ada tiga tujuan yaitu: kesetaraan politik, akuntabilitas lokal, dan
tanggapan lokal (local responsiveness).
Sedangkan menurut Syarif Hidayat (2010:21), ada enam tujuan yang hendak
dicapai dalam kebijakan desentralisasi yaitu, pertama mempertahankan integrasi bangsa,
kedua training kepemimpinan nasional, ketiga kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,
keempat demokrasi di tingkat lokal, kelima efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintah daerah, dan keenam peningkatan pelayanan publik.
Pada sisi yang lain untuk kasus Indonesia menurut Ryaas Rasyid dkk, (2007:36 38) ada lima alasan utama Indonesia perlu mengadopsi kebijakan desentralisasi atau
otonomi daerah yang luas, yaitu, pertama untuk mewujudkan negara federasi di
Indonesia sangat sulit dan membutuhkan persiapan yang panjang dan dukungan undangundang dasar, kedua pilihan otonomi luas merupakan pilihan yang sangat strategis dalam
rangka mempertahankan dan memelihara nation state (negara bangsa), dengan otonomi
dapat mengembalikan harga diri martabat masyarakat di daerah, oleh karena itu
Pemerintah Pusat harus mengembalikan hak-hak dasar masyarakat daerah dengan
memberikan kewenangan dalam rekrutmen politik lokal, ketiga sentralisasi/dekonsentrasi
telah terbukti gagal mengatasi krisis nasional dengan adanya desentralisasi akan muncul
pusat-pusat kegiatan ekonomi yang tidak hanya tersentralisasi di Jakarta,
keempat
pemantapan demokrasi politik, demokrasi tanpa adanya penguatan politik lokal akan
menjadi sangat rapuh karena hanya memperkuat elite politik nasional dan hanya menjadi
dominasi elite politik Jakarta, dan kelima keadilan, desentralisasi/otonomi daerah akan
mencegah terjadinya kepincangan di dalam penguasaan sumber daya yang dimiliki oleh
sebuah negara.
Jika diliput oleh media fenomena beragamnya pendapat para ahli pemerintahan
daerah dalam memaknai tujuan dari otonomi daerah di atas, akan menghasilkan liputan
berbeda. Dalam membangun frame, media akan melakukan interaksi dengan narasumber
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
14
atau aktor atau agen yang biasanya adalah elite atau tokoh dalam politik, pemerintahan
dan akademisi. Interaksi ini menyebabkan penyajian suatu berita media akan cenderung
berbeda-beda. Ada kontradiksi dalam pembingkaian berita-berita mengenai otonomi
daerah, bahkan bukan tidak mungkin akan saling berseberangan sehingga hal tersebut
menjadi menarik untuk dikaji, apalagi masih cukup langka kajian mengenai media dan
otonomi daerah.
1.4
Studi-Studi Terdahulu Mengenai Otonomi Daerah
Dari penelusuran terhadap tulisan mengenai pemerintahan daerah, terlihat banyak
didapatkan fakta bahwa banyak studi yang membedah dan mengupas isu pemerintahan
daerah, tetapi baru ditemukan satu tulisan yang membedah mengenai otonomi daerah
dalam perspektif ilmu komunikasi yaitu tesis atas nama Suryanto yang menulis tentang
analisis wacana “Penggambaran Permasalahan Desentralisasi daerah Dalam Media Cetak
(Studi Analisa Wacana Terhadap Berita-Berita Otonomi Daerah)”, penelitian ini
dilakukan pada harian Kompas, harian Riau Post, dan harian Riau Mandiri. Penelitian ini
fokus kepada cara ketiga media massa di atas mengonstruksi isu-isu penyelenggaraan
desentralisasi daerah melalui pembingkaian teks pemberitaan. Berikut ini disajikan
berbagai tulisan dalam bentuk jurnal, tesis, dan disertasi yang membedah pemerintahan di
Indonesia.
Tabel I
Disertasi, Tesis, Jurnal
No
Nama
Judul
Keterangan
1
Bhenyamin
Hoessein
“Berbagai Faktor yang Mempengaruhi
Besarnya Otonomi Dati II: Suatu Kajian
Desentralisasi dan Desentralisasi Daerah
dari Segi Ilmu Administrasi Negara”
Disertasi UI
2
Sodjuangan
Situmorang
“Model Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota”
Disertasi UI
3
M. Tahrir. R
“Evaluasi Penataan Kelembagaan Perangkat
Daerah di Kota Palembang
(Suatu Tinjauan terhadap Implementasi
Desentralisasi Daerah di Kota Palembang)”
Tesis UI
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
15
4
Fujiartanto
“Implementasi Desentralisasi Daerah di
Kota Depok: Studi tentang Penataan
Kewenangan, Kelembagaan dan
Kepegawaian pada Pemerintah Daerah
Kota Depok, Provinsi Jawa Barat”
Tesis UI
5
Suryanto
“Penggambaran Permasalahan
Desentralisasi Daerah Dalam Media Cetak
(Studi Analisa Wacana Terhadap BeritaBerita Otonomi Daerah)”
Tesis UI
6
Teddy Nurhadie
Saadie
“Implementasi Kebijakan Pemerintahan dan
Budaya Pemerintahan Dalam Otonomi
Daerah”
7
Syarif Hidayat
“Refleksi Satu Dasarwarsa Reformasi
Desentralisasi dan Desentralisasi Daerah”
Jurnal Prisma,
Juli 2010
8
Soetandyo
Wigyjosoebroto
“Satu Abad Desentralisasi di Indonesia”
Jurnal Prisma,
Juli 2010
Jurnal Politik
Pemerintahan
Volume I
November 2008
Sekilas akan diceritakan berbagai tulisan di atas, untuk menjelaskan posisi disertasi
ini dibandingkan berbagai tulisan di atas. Bhenyamien Hossein dalam disertasinya
meneliti tentang berbagai faktor yang mempengaruhi besarnya desentralisasi daerah pada
daerah tingkat II dari sisi ilmu administrasi negara. Besarnya otonomi pada dati II
ternyata akibat pengaruh dari berbagai macam faktor, yaitu, pertama penyerahan
wewenang oleh pemerintahan pusat kepada daerah, kedua proses penyerahan wewenang
yang ditempuh oleh pemerintah pusat kepada daerah, dan ketiga kemampuan administrasi
daerah. Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah ternyata porsi otonomi dati II
lebih sedikit daripada porsi otonomi yang dimiliki dati I sehingga hal ini memengaruhi
layanan pada masyarakat dilihat dengan perspektif pembangunan dari bawah.
Sodjuangan Situmorang dalam disertasinya meneliti tentang pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota di Indonesia. Dalam
penelitiannya Situmorang berkesimpulan bahwa dalam pembagian urusan pemerintahan
yang ada pada masa kini terdapat potensi konflik yang serius dan masih mengandung
permasalahan yang pelik antara pusat dan daerah, serta pelayanan terhadap masyarakat
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
16
pemerintahan dan kelemahan pada saat implementasi model pembagian urusan
pemerintahan.
M. Tahrir, Fujiartanto, dan Teddy Nurhadie Saadie, lebih fokus meneliti tentang
penerapan kebijakan desentralisasi di suatu daerah. Tahir meneliti penerapan
desentralisasi daerah di Kota Palembang, lebih spesifiknya yaitu faktor organisasi
khususnya dalam hal penataan kelembagaan perangkat daerah Kota Palembang. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa telah terjadi restrukturisasi pada lembaga perangkat
daerah di Kota Palembang dan restrukturisasi ini telah terbentuk sesuai dengan hasil
analisis yang direkomendasikan. Namun, terdapat juga beberapa lembaga perangkat
daerah yang belum dibentuk untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki Pemda Kota
Palembang.
Fujiartanto meneliti kebijakan desentralisasi di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat.
Penelitian ini membedah penataan elemen utama penyelenggaraan pemerintah daerah.
Ada tiga aspek yang diteliti yaitu, pertama penataan kewenangan daerah, kedua penataan
perangkat daerah, dan ketiga penataan pegawai daerah. Hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum
konsisten antara lain ditunjukan dengan: belum dilakukan penataan bidang kewenangan,
masih terdapat adanya overlapping antar bidang kewenangan, dan adanya organisasi
perangkat daerah Kota Depok memiliki struktur lebih ramping, tetapi
belum
memperhatikan kewenangan daerah, kebutuhan/karakterlstik daerah, kemampuan
keuangan, dan ketersediaan sumber daya manusia Kota Depok
Teddy Nurhadie Saadie meneliti tentang kebijakan pemindahaan ibu kota
kabupaten yang memiliki kaitan erat dengan budaya pemerintahan dalam kebijakan
desentralisasi. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Melalui penelitian ini Saadie menemukan beberapa hal, yaitu, pertama komunikasi
mengenai pemindahan ibu kota Kabupaten Sukabumi ke Pelabuhan Ratu terkendala oleh
sistem jaringan yang kurang lancar antara pusat dan daerah, kedua kengunaan
sumberdaya dalam implementasi kebijakan pemindahan ibukota kabupaten terkendala
oleh tidak maksimalnya sumber daya yang tersedia, ketiga pemindahan ibukota
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
17
kabupaten ini terkendala oleh hambatan struktural dalam birokrasi, dan keempat adanya
sikap penolakan dari beberapa masyarakat walaupun ini tidak terungkap secara eksplisit,
karena adanya pengaruh budaya Sunda yang tidak suka berkonfrontasi langsung.
Suryanto melakukan analisis wacana “Penggambaran Permasalahan Desentralisasi
daerah dalam Media Cetak (Studi Analisa Wacana Terhadap Berita-Berita Otonomi
Daerah)”. Penelitian ini masuk dalam ranah ilmu komunikasi, tetapi hanya melihat cara
media menyiarkan dan membingkai pesan otonomi daerah.
Syarif Hidayat bertutur tentang sepuluh tahun kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah. Dalam tulisan Hidayat di Prisma terlihat bagaimana kebijakan desentralisasi atau
otonomi daerah mengalami pasang surut. Menurut Hidayat, dalam menyikapi kebijakan
desentralisasi ini pemerintah terlihat gagap dan tidak siap. Pemerintah seperti pemadam
kebakaran yang datang ketika api sudah membesar. Hal ini bisa dilihat dari berbagai
kebijakan yang muncul bukan berdasarkan suatu rangkaian peristiwa yang utuh,
melainkan lebih berdasarkan penggalan suatu peristiwa sehingga kebijakan itu tidak
dapat menjawab persoalan yang berkembang di daerah. Menurut Hidayat, jawaban yang
tepat adalah membangun suatu pemahaman yang baik dari berbagai rangkaian peristiwa
dan harus mengaitkan dengan dinamika pergeseran relasi antara negara-masyarakat
dalam konteks reformasi.
Soetandyo Wignjosoebroto menulis dalam Jurnal Prisma Vol 29, Juli 2010
mengenai sejarah desentralisasi di Indonesia yang telah merentang selama satu abad,
dimulai dari desentralisasi masa kolonial penjajahan Belanda sampai kebijakan
desentralisasi masa reformasi.
Perbedaan disertasi ini dengan paparan di atas adalah, disertasi ini fokus pada
kajian komunikasi. Disertasi ini meneliti bagaimana media massa membingkai (frame)
berita otonomi daerah dan melihat pertarungan frame antar media yang diteliti, serta
membuktikan bahwa sebagai agen media mempunyai peran dalam mengubah struktur
dari sentralistis ke desentralisasi, hasil dari interaksi tersebut bisa dilihat dari isi
pemberitaan media.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
18
1.5 Konstruksi Realitas dan Otonomi Daerah
Kontruksi realitas sosial tidak terlepas dari pemikiran Peter L Berger dan Thomas
Luckman yang ditulis dalam sebuah buku berjudul The Social Construction of Reality, A
Treatise in Sociological of Knowledge (1966). Dalam buku ini Berger dan Luckman
berpendapat bahwa sebenarnya realitas itu bukan dibentuk oleh Tuhan ataupun dibentuk
secara ilmiah, melainkan realitas itu dibentuk dan dikonstruksi, sehingga sebenarnya
realitas itu berwajah banyak/plural dan bersifat dinamis. Realitas ditafsirkan dan dibentuk
oleh pengalaman, pendidikan, lingkungan, pergaulan, dan preferensi tertentu oleh setiap
orang, dan mereka akan mengontruksikan realitas sosial tersebut menurut pendapat
mereka masing-masing.
Otonomi daerah dapat dimaknai dalam dua sisi, pertama sebagai sebuah produk
politik karena hasil dari proses politik, kedua otonomi daerah juga merupakan produk
dari konstruksi realitas sosial. Sebagai produk konstruksi sosial, otonomi daerah dapat
dimaknai dalam dua hal yaitu ketika para aktor atau agen otonomi daerah ini
mengonstruksikan pemikiran mereka tentang otonomi daerah dan cara media massa
menangkap dan menyiarkan berita tersebut.
Media sangat berperan dalam mengonstruksikan realitas kebijakan otonomi daerah kepada
masyarakat, misalnya berita tentang adanya desentralisasi yang mengakibatkan munculnya rajaraja kecil, desentralisasi daerah yang membuat korupsi menjamur di daerah, dan juga
desentralisasi daerah yang menjadikan laut dikaveling-kaveling. Pemberitaan desentralisasi
daerah yang simpang siur dan cenderung buruk ini dapat ditangkap dan kemudian membentuk
realita di masyarakat bahwa desentralisasi daerah merupakan kebijakan yang buruk sehingga
kemudian terlontar wacana di masyarakat untuk kembali lagi ke sentralisasi seperti pada zaman
Orde Baru23.
Pemberitaan media massa yang tidak lengkap dan akurat serta akhirnya tidak dapat
dipercaya, mendapatkan kritikan tajam dari Walter Lippman (1992). Selain itu dan
menurut Lippman (1992), pemilik media tidak terlalu peduli dengan aspek berita yang
objektif kepada masyarakat. Mereka lebih peduli akan kepentingan keuntungan bisnis
media mereka sendiri.
23
Fenomena ini dapat dilihat dengan maraknya gambar-gambar mantan Presiden Suharto di berbagai
tempat dan di dalam gambar tersebut ada foto mantan Presiden Suharto dengan tulisan “piye le luwih
enak zaman ku thooo ?!!”, atau dalam versi lain “piye broo luwih enak zaman ku thoo ?!!”
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
19
Peran media massa dalam kehidupan sosial tidak diragukan lagi. Walaupun sering
dipandang secara berbeda-beda, tidak ada yang menyangkal atas perannya yang
signifikan dalam masyarakat modern. McQuail dalam bukunya Mass Communication
Theory (1999:66) membuat rangkuman dari berbagai pendapat para ahli mengenai peran
media massa. Setidaknya ada enam prespektif dalam hal melihat peran penting media,
yaitu, pertama media massa sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa
yang sedang terjadi di luar sana, atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui
berbagai peristiwa, kedua media sebagai cermin dari berbagai peristiwa yang ada di
masyarakat dan dunia yang merefleksikan apa adanya, ketiga media sebagai filter atau
gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk disiarkan kepada kepada pemirsa atau
tidak,
keempat media massa dipandang sebagai petunjuk yang menerjemahkan dan
menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian atau alternatif yang beragam, kelima
media massa sebagai forum untuk merepresentasikan berbagai formulasi dan ide-ide
kepada khalayak sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik, dan
keenam media massa sebagai interculator yang tidak hanya sekedar tempat berlalulalangnya informasi, tetapi juga sebagai mitra komunikasi yang memungkinkan
terjadinya komunikasi yang interaktif di masyarakat.
Peran media dalam kehidupan sosial bukan hanya sebagai sarana hiburan atau
pelepas ketegangan, melainkan mempunyai peran yang signifikan dalam proses sosial
melalui namun isi dan informasi yang disajikan. Isi media massa merupakan konsumsi
otak bagi khalayaknya sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi
realitas subjektif pelaku interaksi sosial (Berger, 1979:13), atau dengan mengunakan
istilah dari Walter Lippmann (1922) media massa mampu menanamkan the picture in our
heads. Gambaran tentang realitas yang ”dibentuk” oleh media massa inilah yang nantinya
mendasari respons dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang
salah dari media massa akan memunculkan gambar yang salah pula pada khalayak, dan
kemudian akan memunculkan respons dan sikap yang salah juga pada objek sosial
tersebut.
Untuk itulah maka media masa dituntut untuk menyampaikan informasi secara
akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis, dan moral
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
20
penyajian isi media massa. Persoalan dalam kehidupan nyata yaitu adanya sikap, dan
perilaku manusia atas suatu objek lebih ditentukan oleh gambaran yang ada di kepala atas
objek tersebut, daripada keadaan yang sesungguhnya. Disinilah pentingnya peran media
massa sebagai realitas simbolik yang dianggap merepresentasikan realitas objektif sosial,
dan memiliki pengaruh pada realitas subjektif yang ada pada benak para pelaku interaksi
sosial. Studi ini melihat berita otonomi daerah di media masa sebagai hasil interaksi
antara struktur dan media dari perspektif ilmu komunikasi.
1.6
Permasalahan dan Tujuan Penelitian
1.6.1 Rumusan Masalah
Pada tahun 1997 mulai muncul pergolakan politik di Indonesia dan bermuara pada
tahun 1998 dengan turunnya Presiden Suharto. Salah satu isu yang sering diberitakan di
media massa pada waktu itu adalah ekspresi ketidakpuasan masyarakat daerah kepada
pemerintah pusat. Keadaan tersebut kemudian memaksa pemerintah pusat membuat
sebuah kebijakan yang radikal24 yaitu mengubah kebijakan terhadap pemerintah daerah
yang dulu sentralitis menjadi desentralistis dengan menerbitkan UU Nomor 22 Tahun
1999 yang berisi bahwa daerah mendapatkan otonomi yang luas untuk mengatur diri
mereka.
Ternyata kebijakan dengan mengeluarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tidak dapat
menyelesaikan semua masalah otonomi daerah. Sehingga diterbitkanlah kemudian
terbitlah UU Nomor 32 Tahun 200425. Seperti halnya UU Nomor 22 Tahun 1999,
terbitnya undang-undang baru ini juga tidak dapat memuaskan semua pihak. Berbagai
wacana tentang sengkarut problema otonomi daerah dapat dilihat di media massa. Dalam
memberitakan sengkarut otonomi daerah media tentu melakukannya sesuai dengan
kebijakan redaksi dan perspektif media tersebut.
Berita yang tersaji pada sebuah media tidak hadir begitu saja. Perlu proses dalam
pembuatan suatu berita. Dalam proses itu media tidak bekerja dalam ruang hampa. Ada
24
25
Ryaas Rasyid dkk (2007)
UU Nomor 32 Tahun 2004 sering dituduh oleh sebagian ilmuwan politik dan pemerintahan sebagai
upaya pemerintah pusat melakukan resentralisasi atau menarik secara halus otonomi daerah, lihat
Syarif Hidayat (2010), Ramlan Surbakti (2013), Purwo Santoso (2013)
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
21
berbagai struktur yang melingkupi media tersebut dan akan ikut andil mewarnai framing
sebuah media sehingga ketika berita tersebut disiarkan akan muncul beragam
pemberitaan mengenai otonomi daerah yang kemudian membentuk konstruksi realitas
terhadap isu otonomi daerah di masyarakat. Penelitian ini akan mengkaji teks pada tiga
surat kabar harian, yaitu dua harian nasional, dan satu harian daerah. Ketiganya yaitu.
1. Harian Kompas,
2. Harian Kedaulatan Rakyat,
3. Harian Jurnal Nasional.
Alasan pemilihan surat kabar harian sebagai media yang menjadi bahan penelitian,
pertama untuk meneliti konstruksi realitas media mengenai isu otonomi daerah
diperlukan berita yang cukup banyak, dan penjelasan yang rinci, syarat ini dapat
ditemukan pada surat kabar harian, kedua meskipun sekarang ini media online mudah
diakses, namun surat kabar adalah media konvensional yang telah lama dikenal oleh
masyarakat. Selain itu dari tiga media cetak yang diteliti, berita tentang isu otonomi
daerah ini juga mucul dalam berita online di masing-masing surat kabar, ketiga pada saat
ini ketika media menjadi industri strategis kepemilikan surat kabar akan turut
memengaruhi isi atau framing dari pemberitaan media (Shoemaker dan Resse, 1996.
Mc Quail:1992).
Menurut Siggal (1973), pentingnya faktor ekonomi dalam industri bisnis media
menjadi sangat memengaruhi keputusan pemuatan suatu berita. Berdasarkan perbedaan
orientasi media tersebut, dipilihlah tiga surat kabar dengan orientasi yang berbeda, yaitu
pertama surat kabar Kompas sebagai surat kabar harian terkemuka nasional dengan tiras
yang besar, kedua surat kabar Jurnal Nasional sebagai surat kabar yang mempunyai
kedekatan sejarah dengan Partai Demokrat partai yang didirikan oleh Susilo Bambang
Yudhoyono yang merupakan Presiden Republik Indonesia keenam indikasi kedekatan ini
dapat dilihat dari komposisi pengurus koran Jurnal Nasional tahun 2006-2009 ketika
Ramadhan Pohan menjadi pemimpin redaksi koran Jurnal Nasional, sedangkan di sisi
yang lain dalam struktur Partai Demokrat Ramadhan Pohan menjabat sebagai Ketua
Bidang Pusat Informasi Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat , ketiga surat kabar
Kedaulatan Rakyat sebagai surat kabar daerah yang masih survive dan di daerahnya
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
22
masih leading sampai saat ini, padahal banyak surat kabar daerah yang seangkatan
dengan surat kabar Kedaulatan Rakyat sudah tutup tidak terbit lagi, selain itu pada tahun
2012 dan tahun 2013 ada fenomena tuntutan desentralisasi asimetris di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Penelitian akan dilakukan dalam rentang waktu tahun 2012 sampai tahun 2013.
Rentang waktu ini dipilih karena pada tahun ini muncul berbagai isu mengenai otonomi
daerah seperti isu revisi Undang-Undang 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah
dan isu disentralisasi asimetris di beberapa daerah, antara lain Papua dan Yogyakarta.
Berbagai isu mengenai otonomi daerah dalam tiga surat kabar tersebut akan dibedah
dalam disertasi ini, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
“Bagaimana Harian Kompas, Harian Jurnal Nasional dan Harian Kedaulatan
Rakyat mengonstruksi realitas otonomi daerah, bagaimana frame pemberitaan tiga
harian di atas mengenai isu otonomi daerah, dan menjelaskan bagaimana proses
strukturasi dalam pembuatan berita mengenai isu otonomi daerah pada tiga media yang
diteliti”.
1.6.2
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu :
1. Mengkaji isi pemberitaan tiga media mengenai beberapa isu otonomi daerah
pada tahun 2012 dan 2013, isu-isu apa saja yang mengemuka dari pemberitaan
tiga media yang diteliti.,
2. Memaparkan cara ketiga media melakukan konstruksi realitas otonomi daerah.,
3. Menjelaskan berita mengenai otonomi daerah sebagai bagian dari proses
strukturasi yang melibatkan media dan struktur yang mewarnai proses
pembuatan berita pada suatu media.
1.7
Signifikansi Penelitian
1.7.1 Signifikansi Akademis
Penelitian ini tentang konstruksi realitas otonomi daerah pada tiga media massa.
Penelitian ini menggambarkan keterkaitan antara pembentukan frame media dengan teori
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
23
strukturasi, lebih spesifik lagi dalam pemberitaan isu otonomi daerah pada Harian
Kompas, Harian Jurnal Nasional dan Harian Kedaultan Rakyat.
Signifikansi akademis dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi bagi kajian
ilmu komunikasi mengenai cara media nasional dan daerah melakukan konstruksi realitas
terhadap pemberitaan otonomi daerah, dan bagaimana bingkai (frame) pada tiga media
dalam berita otonomi daerah, serta peran media sebagai agen dalam mengubah struktur
dari sentralistis ke desentralisasi dalam isu otonomi daerah.
1.7.2 Signifikansi Praktis dan Sosial
Secara praktis melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan formula relasi dan
model relasi yang tepat antara media sebagai aktor dan struktur dalam isu otonomi
daerah. Selain itu melalui penelitian ini diharapkan masyarakat mendapatkan pandangan
baru, bahwa kebijakan otonomi daerah bukan masalah baik dan buruk, melainkan lebih
kepada bagaimana media mengonstruksi kebijakan tersebut. dengan demikian diharapkan
masyarakat akan semakin dewasa dalam menyikapi berbagai pemberitaan mengenai
otonomi daerah.
1.8
Keterbatasan Penelitian
Pemberitaan mengenai otonomi daerah banyak merebut ruang-ruang di media
massa. Banyak media berlomba-lomba memberitakan kebijakan otonomi daerah.
Walaupun banyak mendapatkan tempat pemberitaan, penelitian ini terdapat beberapa
keterbatasan penelitian yaitu, sebagai berikut:
1. Penelitian ini fokus pada dua media nasional dan satu media lokal dengan
mengupas beberapa isu mengenai otonomi daerah serta penelitian ini fokus pada
media massa yang terbit pada tahun 2012 dan tahun 2013 sehingga peneliti sadar
tidak dapat menggambarkan semua permasalahan otonomi daerah.
2. Penelitian ini masuk ranah studi ilmu komunikasi sehingga tidak dapat
mengupas lebih lanjut dalam perspektif ilmu pemerintahan dan ilmu politik.
3. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti tidak meneliti di dalam ruang redaksi.
Keterbatasan ini disiasati dengan strategi wawancara mendalam, tetapi tentunya
hal itu tidak bisa secara penuh mengambarkan diskusi-diskusi di dalam ruang
redaksi media yang diteliti.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
24
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1
Teori Konstruksi Realitas Sosial Peter L Berger
Teori konstruksi realitas sosial tidak bisa dilepaskan dari dua nama pengusung
sosiologi pengetahuan, yaitu Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Peter L Berger
adalah Guru Besar Sosiologi pada Graduate Faculty New School for Sosial Research di
New York dan Thomas Luckmann adalah dosen Sosiologi di Universitas Frankfurt. Dua
orang sosiolog ini kemudian berkolaborasi membuat buku yang berjudul The Social
Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge. Buku ini diterbitkan
pada tahun 1966 dengan masa penulisan buku empat tahun lamanya.
Dalam pengantar bukunya Berger menyebutkan bahwa buku ini sebenarnya akan
ditulis oleh 4 ilmuwan, dengan komposisi ilmuwan sosilogi dan ilmuwan filsafat. Namun
seiring waktu, ilmuwan filsafat mengundurkan diri. Akhirnya, buku ini diterbitkan
dengan dua penulis, yaitu ilmuwan sosiologi Peter L Berger dan Thomas Luckmann.
Walupun buku ini ditulis oleh ilmuan sosiologi, tetapi pengaruh filsafat fenomenologi
dari Alfred Schutz terlihat cukup kuat dan ini diakui oleh Berger dalam kata
pengantarnya. Setelah diluncurkan buku ini mendapat sambutan yang sangat baik dari
para ilmuwan sosial khususnya ilmuwan sosiologi, dan menjadi referensi terpenting
dalam kajian sosiologi pengetahuan kontemporer.
Dalam mengarungi dunia intelektual, pemikiran Berger dan Luckmann dipengaruhi
oleh beberapa ilmuwan filsafat dan sosiologi. Ilmuwan-ilmuwan yang berpengaruh pada
pemikiran Berger, antara lain adalah Alfred Schutz, Jean Paul Sartre, George Herbert
Mead, Arnold Gehlen, Marleu Ponty, dan tentunya pemikir besar ilmu sosial, yaitu
Weber, Durkheim, dan Karl Marx.
Peter Berger mengenal Alfred Schutz ketika Berger melanjutkan pendidikan
doktoralnya di New York School for Sosial Research. Pada saat itu Schutz adalah salah
satu guru Berger yang terkenal sebagai sosiolog besar dengan aliran pemikiran
fenomenologi. Jika dilacak lebih jauh, tampak bahwa Alfred Schutz terpengaruh oleh
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
25
gagasan gurunya, yaitu Edmund Husserl yang merupakan pendiri aliran fenomenologi
di Jerman.
Edmund Husserl lahir di Prostejov Cekoslowakia, dari keluarga Yahudi. Husserl
belajar fenomenologi dari gurunya yaitu Brentano. Pada saat itu fenomenologi baru
fenomenologi psikologis, hanya mencatat apa yang dilihat tanpa mencari keterangan
mengenai sebab gejala-gejala tersebut. Setelah tahun 1908 fenomenologi Husserl menjadi
fenomenologi transendental di mana Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian
dari kenyataaan melainkan asal kenyataan (Hamersma, 1990:116). Aliran filsafat ini
terbentuk karena pada saat itu perkembangan filsafat masih terjebak dalam asumsi atau
prasangka tertentu, seperti yang dikemukakan Rene Descartes cogito ergo sum (aku
berpikir maka aku ada) akhirnya berimplikasi pada munculnya subjek Cartesian, yaitu
subjek ontologis yang dapat menentukan kebenaran tentang dirinya karena terus berpikir
dan berefleksi bukan karena dia dibentuk oleh lingkungannya.
Husserl (29:2006) mendefinisikan pemikirannya tentang fenomenologi sebagai
ilmu yang menurunkan satuan analisis kepada ego, melakukan analisis pengalaman hidup
sebagai proses terbentuknya suatu kerangka pemikiran yang terobjektifikasi dan
mengetahui ke mana kerangka berpikir tersebut merujuk. Dari posisi ini dapat diartikan
bahwa Husserl berbeda dengan Marx dan Durkheim yang menggunakan kerangka
pemikiran analisis historis yang berupaya melacak aspek-aspek yang menyebabkan
peristiwa sosial yang berskala luas terjadi. Pemikiran Husserl dengan fenomenologinya
menurunkan dimensi analisisnya pada tataran individu. Jadi, analisis fenomenologis
adalah analisis tentang mengapa seseorang atau agen dapat berpikir dengan suatu
perspektif tertentu.
Seiring berkembangnya waktu murid-murid Husserl mengembangkan pemikiran
fenomenologi ini, antara lain Scheler mengembangkan fenomenologi sebagai suatu etika
nilai, Maerleau-Ponty dan Derrida mengembangkan fenomenologi hermeneutika,
sedangkan Alfred Schutz dan Berger mengembangkan fenomenologi eksistensial.
Pemikiran fenomenologi eksistensial ini lebih menekankan pada eksistensi diri
dalam dunia tempat dia hidup. Ini dapat dilihat dari pendapat Schutz bahwa duniaku
adalah dunia yang selalu terbuka untuk aku maknai dan aku ubah, sedangkan struktur
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
26
sosial menurut Schutz hanya ada dalam kesadaran manusia dan tidak terlalu benar
membatasi tindakan tiap manusia dari luar dirinya. Pendapat Schutz yang lebih
menekankan pada individu ini tentu sangat kontradiktif jika dilihat menggunakan kaca
mata para sosiolog awal yang lebih besifat holisitik seperti Comte, Durkheim, Marx,
yang berpendapat bahwa kelompok atau masyarakat yang sebenarnya mengatur tindakan
individu.
Berger sebagai sosiolog sangat paham dengan masalah di atas. Untuk itu, Berger
berusaha mensintesiskan berbagai pemikiran, yaitu fenomenologi Schutz, pemikiran
Webber tentang “makna-makna subjektif”, pemikiran Durkheim dan Parson tentang
“struktur”, pemikiran Marx tentang “dialektika”, serta pemikiran Mead tentang
“interaksionisme simbolik” Margaret Poloma (1994). Dalam konteks ini Margaret
Poloma (1994) menyimpulkan bahwa pembentukan realitas sosial sebagai sintesis antara
strukturalisme dan interaksionisme.
Setelah membahas pengaruh pemikiran yang
menopang teori konstruksi realitas di atas, selanjutnya akan dibedah lebih dalam teori
konstruksi realitas yang ditulis oleh Berger dan Luckmann.
Pada kata pengantar buku The Social Construction of Reality Berger dan Luckmann
(1966:vii) menyatakan bahwa buku mereka sebagai buku yang membahas secara teoretis
dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. Lebih lanjut Berger (1966:5)
menerangkan bahwa istilah sosiologi pengetahuan diciptakan oleh Max Scheler pada
tahun 1920-an di Jerman.
Lebih lanjut Berger (1966:4) mengutarakan bahwa sosiologi pengetahuan harus
menekuni apa saja yang dianggap pengetahuan oleh masyarakat, terlepas apakah
pengetahuan tersebut valid atau tidak valid, dan bagaimana pengetahuan tersebut
dikembangkan serta dipelihara sedemikian rupa sehingga akhirnya terwujud atau
terbentuk suatu kenyataan yang sewajarnya bagi bagi orang awam. Dengan kata lain,
sosiologi pengetahuan menekuni analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (Sosial
Construction of Reality) (Berger, 1966)
Dalam perjalanan keilmuan sosiologi pengetahuan setelah lahir di Jerman
kemudian berkembang ke berbagai negara yang berbahasa Inggris sayangnya, menurut
Berger, kajian sosiologi pengetahuan ini tidak mendapatkan tanggapan baik terutama di
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
27
Amerika Serikat. Berger (1966:5) bahkan mengatakan bahwa kajian sosiologi
pengetahuan
hanya dimaknai sebagai catatan-catatan sosiologis mengenai sejarah
pemikiran sehingga banyak ilmuwan sosiologi memaknai kajian ini tidak mempunyai
akar teoretis yang kuat.
Berger menunjukkan bahwa akar teoretis sosiologi pengetahuan cukup kuat.
Menurut Berger (1966:7), akar sosiologi pengetahuan dimulai dari Marx, bahwa
kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialnya Sosiologi pengetahuan
terpesona oleh konsep Marx mengenai substruktur dan superstruktur. Menurut Berger
(1966:8) yang menjadi pokok perhatian Marx adalah pemikiran manusia didasarkan atas
kegiatan manusia dan atas hubungan-hubungan sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan
tersebut. Skema Marx tentang substruktur dan superstruktur kemudian diambil oleh
Scheler dalam sosiologi pengetahuan yang selalu ditandai oleh adanya pengertian
semacam hubungan antara pemikiran dan suatu kenyataan yang mendasari pemikiran itu
sendiri (Berger, 1966:9).
Menurut Scheler (dalam Berger, 1966:11) pengetahuan manusia dibentuk oleh
masyarakat. Scheler menekankan bahwa pengetahuan manusia diberikan dalam
masyarakat sebagai suatu pengalaman individu dengan memberikan kepadanya suatu
tatanan makna. Dengan tatanan ini individu memandang dunianya dengan sewajarnya.
Setelah Scheler memproklamasikan gagasannya tentang sosiologi pengetahuan,
kajian baru ini diekspor dari Jerman ke negara-negara berbahasa Inggris. Karl Mannheim
membawa kajian ini ke luar Jerman, karena pada waktu itu ada perang dunia ke dua dan
Hittler dengan Nazinya menguasai Jerman, Mannheim
pada waktu itu mengajar di
Inggris. Menurut Berger (1966:13), pemahaman Mannheim mengenai sosiologi
pengetahuan jauh lebih besar jangkauannya dibandingkan pemahaman Scheler. Bagi
Mannheim masyarakat dilihat sebagai menentukan, tidak hanya penampakannya, namun
juga isi dan ideasi manusia. Dengan pemahaman yang demikian, bagi Mannheim
sosiologi pengetahuan menjadi suatu metode yang positif untuk menelaah setiap fase
pemikiran manusia.
Mannheim melalui bukunya yang berjudul Ideology and Utopia memberi arahan
awal bagi perkembangan kajian ini di negera-negara berbahasa Inggris. Dalam bukunya
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
28
itu Mannheim mengkaji dua dimensi pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat,
yaitu ideologi yang menurut Mannheim merupakan pengetahuan kelas yang berkuasa
dan utopia yang merupakan pengetahuan kaum proletar alias kelas tertindas. Dari
bukunya ini Mannheim memberi arahan bagi pengembangan sosiologi pengetahuan yaitu
mempelajari bagaimana posisi sosial sekelompok orang yang menentukan pengetahuan
yang dimiliki oleh kelompok tersebut.
Sampai dengan tahun 1960-an, kajian sosiologi pengetahuan menggunakan arah
dari Mannheim ini sampai kemudian Peter L Berger dan Luckmann menerbitkan buku
The Social Construction of Reality. Dalam buku tersebut terlihat bahwa Berger bersama
Luckmann ingin mengubah perspektif sosiologi pengetahuan dari sebuah disiplin yang
hanya mengkaji sejarah perkembangan sebuah gagasan atau ideologi menjadi kajian yang
tidak hanya mengkaji munculnya sejarah gagasan atau pengetahuan, tetapi lebih dari itu
berusaha mempelajari semua dimensi pengetahuan masyarakat termasuk pengetahuan
sehari-hari dalam masyarakat awam. Menurut Berger, kajian sosiologi pengetahuan
harusnya menjadi ilmu yang mempelajari hubungan antara konteks sosial dan
pengetahuan
manusia
harus
dapat
menjawab
pertanyaan
bagaimana
proses
terkonstruksinya realitas dalam benak individu, atau bagaimana pengetahuan dapat
terbentuk di masyarakat.
Berger berpendapat bahwa sebagai makhluk hidup manusia harus mencukupi
persoalan yang paling mendasar, seperti bagaimana manusia dapat hidup dan
melanjutkan hidupnya, bagaimana manusia dapat menciptakan rasa aman bagi dirinya,
menciptakan keteraturan di mana dia hidup dalam dunia yang sangat tidak pasti ini yang
manusia di dalamnya berorientasi pragmatis dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
seperti kebutuhan akan makanan dan rasa aman. Pada saat manusia melakukan tindakan
dan tindakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan mendasar akan makanan, manusia
cenderung akan mengulang secara terus-menerus tindakan tersebut.
Untuk memenuhi tuntutan rasa laparnya, misalnya, manusia akan memetik buah
pepaya dan memakannya agar kenyang, dan manusia akan kembali mengulangi tindakan
tersebut ketika dia lapar, hingga hal tersebut akan menjadi kebiasaan bagi manusia.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
29
Dalam kehidupan sosial, perilaku manusia yang berulang-ulang inilah yang kemudian
membentuk suatu institusi awal.
Pada tingkat lanjut institusi awal ini akan berkembang dan menjadi aturan baku
dalam mengatur sekelompok manusia pada suatu tempat. Apabila 4 orang manusia bisa
disebut A, B, C, D berkumpul, keempat orang ini kemudian mengerjakan apa yang
paling dapat mereka lakukan, sebagai misal A paling pandai mencari makanan dengan
berburu, B paling bisa memasak, C paling pintar untuk mencari kayu bakar dan D
menjaga rumah. Dengan pembagian tersebut, mereka dapat hidup dalam keteraturan dan
merasa nyaman serta dapat memenuhi kebutuhan hidup. Munculah pembedaan
pembagian kerja, yang kemudian secara lama-kelamaan akan muncul institusionalisasi
dan kontrol sosial. Karena ada semacam ketakutan jika tidak berjalan sesuai dengan
pembagian di atas, mereka akan mengalami keguncangan dalam hidup keseharian mereka
sehingga lambat laun muncullah aturan yang mengatur anggota masyarakat di situ,
munculah institusi objektif yang mengatur segala peranan anggota masyarakat di suatu
wilayah. Pada tahapan inilah suatu institusi kemudian berdiri sebagai suatu realitas yang
objektif dalam kesadaran manusia.
Fenomena pembentukan institusi di atas menurut Berger merupakan proses
eksternalisasi dan objektivasi, proses eksternalisasi menurut Berger adalah jika
sekelompok manusia melakukan suatu perbuatan dan perbuatan tersebut dapat menjawab
persoalan mereka. Perbuatan tersebut akan diulang-ulang (repetition), dan jika setelah
mengalami pengulangan berkali-kali, manusia akan membuat kesimpulan bahwa fakta ini
akan menjadi realitas yang objektif.
Selain eksternalisasi dan objektivasi ada satu konsep penting lagi milik Berger
dalam buku The Sosial Construction of Reality, yaitu konsep internalisasi. Menurut
Berger, terjadi dialektika antara manusia dan masyarakat terjadi melalui proses
eksternalisasi, objektifasi, dan internalisasi. Ketiga proses ini akan menjadi suatu siklus
dialektis dalam hubungan manusia dan masyarakat. Manusia membentuk masyarakat
dan masyarakat membentuk manusia. Internalisasi menurut Berger mempunyai fungsi
untuk mentransmisikan suatu institusi sebagai suatu realitas kepada anggota masyarakat
yang baru. Meminjam konsep dari Herbert Mead, dalam teori Interaksionalisme
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
30
Simbolik, internalisasi berlangsung melalui suatu mekanisme sosialisasi, yang menurut
Berger, ada dua sosialisasi yaitu sosialisasi, primer dan sosialisasi sekunder.
Sosialisasi primer biasanya dijalankan pada lingkup keluarga inti. Anak mulai
dikenalkan pada makna-makna yang paling inti mengenai dunianya dan dirinya, misalnya
dia anak siapa, siapa saja saudaranya, dan sebagainya. Sedangkan sosialisasi sekunder
biasanya terjadi pada saat anak tersebut beranjak dewasa dan mempunyai pergaulan di
masyarakat. Ketika masuk kuliah dalam suatu universitas, misalnya, anak akan
dikenalkan pada peran dan aturan baru di universitas tersebut. Melalui proses internalisasi
ini realitas sosial diterima apa adanya dalam diri manusia yang dalam istilah Breger
disebut taken for granted.
Namun, walaupun diterima, sosialisasi tersebut menurut
Berger tidak berlangsung sempurna, selalu ada pertanyaan yang muncul terhadap institusi
yang diwariskan tersebut. Ada anggota baru yang sadar bahwa apa yang mereka jalani
berbeda dengan kehidupan yang lama. Selain itu, ada anggota masyarakat yang
mempunyai pengalaman lebih luas daripada anggota yang lama. Karena anggota yang
baru ini bersentuhan dengan dunia yang lain dari dunianya, realitas yang ada
dipermasalahkan oleh anggota baru ini. Untuk itu, menurut Berger perlu adanya
legitimasi untuk mempertahankan institusi tersebut. Legitimasi
harus melalui
pembuktian yang logis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggugat institusi.
Berger (1966:128-130) membagi legitimasi menjadi empat tingkatan, yaitu
pertama legitimasi bahasa atau linguistik, kedua legitimasi proposisi teoritis yang masih
belum sempurna, ketiga legitimasi teori yang eksplisit atau sudah dirumuskan, dan
keempat universum-universum simbolik.
1.
Pada tingkat legitimasi bahasa, bahasa merupakan representasi dasar suatu
realitas. Pada saat suatu teks dikomunikasikan, maka akan menimbulkan objek
yang dirujuk, bahasa memberikan sugesti langsung untuk mempertahankan
institusi,
2.
Legitimasi proposisi teoritis
yang masih
belum sempurna biasanya
menyangkut tindakan-tindakan konkret, seperti kaidah-kaidah moral, kata-kata
mutiara yang masuk dalam legenda-legenda atau cerita rakyat,
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
31
3.
Legitimasi teori yang eksplisit, memberikan referensi kerangka yang cukup
komprehensif bagi masing-masing sektor perilaku yang sudah melembaga.
Karena kompleks dan beraneka ragam, legitimasi ini dipercayakan kepada
seseorang yang khusus melalui prosedur-prosedur inisiasi yang sudah
diformalkan,
4.
Universum-universum
simbolik, merupakan perangkat-perangkat tradisi
teoretis yang mengintegrasikan berbagai bidang makna dan mencakup tatatan
kelembagaan dalam totalitas simbolis, misalnya agama dan perspektif dalam
ilmu pengetahuan, yang mampu memberikan penjelasan yang menyeluruh dan
mendasar tentang kehidupan manusia.
Pemikiran Peter Berger dalam peta ilmu sosiologi mempunyai posisi yang khusus,
Berger memberikan penekanan yang kuat pada keteraturan (order). Menurut Berger,
tanpa adanya keteraturan akan sulit tercipta sebuah masyarakat karena keteraturan adalah
prasyarat utama dalam kehidupan sosial. Kehidupan manusia minimal akan terasa teratur
jika kebutuhan biologisnya terpenuhi.
Pada sisi, ini Berger menekankan perlunya keteraturan dalam elemen analisis
sosiologis. Namun pada sisi lain Berger juga melihat manusia memaknai keteraturan
tersebut secara subjektif sehingga dalam konteks yang berbeda kebutuhan akan
keteraturan itu akan dipenuhi dengan cara yang berbeda. Di sinilah Berger meletakan
kebebasan manusia. Ketika suatu kelompok manusia berhadapan dengan persoalan yang
tidak bisa mereka jelaskan dengan struktur sosial mereka, di sinilah struktur dapat diubah
atau dibangun lagi oleh masyarakat tersebut.
2.2
Media dan Teori Konstruksi Realitas
Media dan konstruksi realitas merupakan dua sisi dalam satu koin yang sama.
Menurut Berger (1966), bahasa merupakan faktor utama dalam pembentukan realitas dan
bahasa merupakan elemen utama dalam media massa. Tanpa bahasa media tidak akan
dapat menghadirkan liputannya kepada khalayak pembaca.
Penggunaan bahasa termasuk penyajian dan pilihan kata
akan mempunyai
implikasi pada makna tertentu. Hal ini disebabkan bahasa tidak hanya mencerminkan
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
32
suatu realitas, tetapi juga menciptakan suatu realitas. Penggunaan bahasa untuk membuat
label dan menciptakan realitas dalam kasus pemerintahan Orde Baru secara bagus
dituliskan dalam sebuah buku berjudul Bahasa dan Kekuasaan1.
Kehebatan bahasa ini dalam membentuk realitas jika ditelusuri lebih jauh dapat
ditemukan dalam pemikiran filsuf Ludwig Josef Wittgenstein. Menurut Hamersma
(1990), pokok-pokok pikiran Wittgenstein dapat dibagi menjadi Wittgenstein I dan
Wittgenstein II, Wittgenstein I adalah pemikiran Wittgenstein periode sebelum tahun
1930 yang ditulis dalam buku berjudul Tractatus Logico-philosophicus dan Wittgenstein
II adalah pemikiran Wittgenstein setelah tahun 1930 yang dijabarkan pada tulisan
Philosophical Investigation yang menjadi titik pangkal analisis bahasa, lebih lanjut
menurut Hamersma (1990), Wittgenstein I berpendapat bahwa hanya pernyataanpernyataan yang berupa suatu diskripsi mempunyai arti (meaning is picture), sedangkan
Wittgenstein II berpendapat bahwa arti suatu pernyataan tergantung dari jenis bahasa
yang dipakai (meaning is use)
Wittgenstein I2 yang tertuang dalam buku berjudul Tractatus Logico-philosophicus
hanya ditulis 75 halaman saja, namun tulisan yang sangat padat dan bernas. Pertanyaan
utama dalam Wittgenstein I adalah bagaimana mungkin manusia mengatakan sesuatu
yang dapat dimengerti oleh orang lain ?. Kesimpulan Wittgenstein I adalah bahwa hal
tersebut sangat mungkin karena bahasa merupakan gambaran dari kenyataan. Bahasa
memperlihatkan artinya (meaning is picture).
Wittgenstein II berpendapat bahwa ada banyak jenis pemakaian bahasa yang
semuanya mempunyai kebenaran dan logika sendiri. Suatu jenis bahasa tertentu, yang
terdiri atas kata-kata dan aturan-aturan pemakaiannya (yaitu tata bahasa) disebut
language game. Arti kata-kata hanya bisa dipahami dalam kerangka acuan language
game yang dipakai (meaning is use).
Dari pemaparan di atas terlihat bahwa bahasa dapat dipakai untuk berbagai
kepentingan, baik itu kepentingan politis, ekonomis, sosial maupun budaya. Untuk
1
Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Pangung Orde Baru (1996), buku ini berisi tulisan 14 penulis
ternama yang membedah bahasa dan kekuasaan pada zaman Rezim Orde Baru.
2
Hamersma (1990:138-139)
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
33
kepentingan politis bahasa bisa menjadi alat propaganda, dan untuk hasil yang efektif
diperlukan media massa.
Media dalam suatu negara dalam membuat konstruksi realitas sangat tergantung
dari ciri negara tersebut. Dalam negara otoriter tentu media hanya akan menjadi corong
bagi penguasa. Konstruksi realitas yang dibangun biasanya sewarna untuk mendukung
kebijakan dari negara. Sebaliknya, pada negara yang demokratis, media mendapatkan
tempat yang cukup nyaman untuk bersuara, media massa mendapatkan lebih banyak
ruang untuk melakukan konstruksi realitas terhadap suatu isu. Namun, dalam kehidupan
negara yang berciri demokrasi media ternyata juga tidak cukup bebas dalam melakukan
konstruksi realitas dalam suatu isu. Politik redaksional media selalu akan dipengaruhi
berbagai hal antara lain kepentingan bisnis, politis, ideologis, dan sebagainya sehingga
hal tersebut menjadi pertimbangan dalam meliput suatu isu termasuk isu otonomi daerah,
apakah isu ini akan dimuat dengan ditonjolkan, dimuat dengan tidak menonjol, atau
bahkan tidak dimuat sama sekali.
Lebih lanjut menurut Ibnu Hamad (2002:15) ada tiga strategi media masa dalam
melakukan konstruksi realitas. Pertama pemilihan simbol (fungsi bahasa). Meskipun
media massa hanya bersifat melaporkan, tetapi sudah menjadi sifat dalam pembicaraan
politik untuk selalu memperhitungkan simbol politik. Apapun
simbol yang terpilih
mempengaruhi makna yang muncul. Kedua, pemilihan fakta yang disajikan (strategi
framing) paling tidak ada tuntutan teknis seperti keterbatasan kolom dan halaman. Pada
media cetak atas nama kaidah jurnalistik peritiwa panjang lebar dan rumit dicoba
disederhanakan melalui mekanisme pembingkaian sehingga layak tayang. Ketiga,
kesediaan memberi tempat (agenda setting). Jika media memberikan tempat bagi sebuah
isu untuk ditayangkan, isu tersebut akan mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Semakin besar tempat yang diberikan, akan semakin besar pula perhatian yang
akan diberikan oleh masyarakat. Dalam teori agenda setting3, tesis utamanya adalah
besarnya perhatian masyarakat terhadap sebuah isu tergantung seberapa besar media
memberikan perhatian pada isu tersebut. Apabila suatu media memberitakan suatu kasus
pada posisi head line, diasumsikan isu tersebut akan memperoleh perhatian yang besar
3
Malvin DeFelur dalam Ibnu Hamad (2002:24)
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
34
dari khalayak pembaca dibandingkan jika hanya dipasang di halaman dalam suatu surat
kabar. Lebih lanjut, menurut Kraus dan Davis (1978: 209-227), ada lima cara media
mengkonstruksikan suatu realita, yaitu, pertama pencitraan, kedua pembuatan realitas
komunikasi, ketiga penganugrahan status, keempat pembuatan peristiwa buatan, dan
kelima agenda setting.
Di samping berbagai faktor yang berpengaruh di atas, menurut Shoemaker dan
Resse (1996), ada beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap konstruksi realitas
media massa, yaitu kepentingan-kepentingan yang bersifat tumpang tindih pada tingkat
perorangan atau kelompok pada sebuah organisasi media, seperti kepentingan agama,
kelompok, kedaerahan, struktur organisasi media, dan sebagainya. Dari faktor internal ini
posisi wartawan yang paling mendapatkan perhatian, tentu sebagai makhluk sosial
wartawan tidak bebas nilai. Wartawan mempunyai sikap, nilai, kepercayaan, agama,
ideologi, orientasi terhadap pilihan politik, latar belang pendidikan, gender, etnisitas, dan
sebagainya. Semua hal tersebut akan berpengaruh terhadap hasil kerja wartawan dan turut
mempunyai andil ketika wartawan tersebut melakukan konstruksi realitas terhadap suatu
isu, termasuk isu otonomi daerah.
2.3. Teori Pemerintahan Lokal (Local Government Theory)
Pemerintahan lokal (daerah) menurut Muthalib dan Ali Khan (2013:1) dalam buku
Theory of Local Government adalah institusi kuno dengan konsep baru. Pemerintah
daerah merupakan perwujudan aktivitas manusia dalam kelompok dengan merefleksikan
semangat kebebasan. Pemerintah daerah merupakan suatu bagian integral dari badan
politik suatu negara yang diakui dan dibentuk berdasarkan hukum untuk mengelola
urusan-urusan lokal dari masyarakat dalam suatu wilayah dengan batas-batas geografis
tertentu.
Dalam kasus Indonesia, terbentuknya pemerintahan lokal dapat diamati
ketika
mulai muncul satuan-satuan wilayah di tingkat dasar yang membentuk suatu lembaga
pemerintahan. Biasanya satuan komunitas tersebut merupakan suatu entitas kolektif yang
berdasarkan pada ikatan genealogis maupun territorial. Fenomena pemerintahan lokal ini
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
35
dapat dilihat pada desa (Jawa), nagari (Sumatera Barat), gampong (Aceh), dan
sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya menurut Nurcholis (2007), berbagai satuan
komunitas tersebut kemudian dimasukan dalam suatu sistem administrasi negara yang
berdaulat. Ketika dimasukan dalam negara yang berdaulat maka satuan-satuan komunitas
itu secara administratif ditentukan batas-batas wilayahnya secara geografis. Selanjutnya,
dengan keputusan politik satuan-satuan tersebut diresmikan menjadi satu unit organisasi
formal dalam sistem administrasi negara pada tingkat lokal (daerah).
Secara konseptual Muthalib dan Ali Khan (2013) berpendapat ada enam dimensi
dalam konsep pemerintah lokal (daerah) yaitu dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi
geografis, dimensi hukum, dimensi politik, dan dimensi administratif. Pertama dimensi
sosial yang dimaksud oleh Muthalib dan Ali Khan (2013) adalah sebuah kelompok
masyarakat terorganisir yang berada dalam batas geografis tertentu mengembangkan
suatu rasa kesatuan bersama dengan ciri sosial yang berbeda, bercirikan pedesaan, semi
perkotaan, urban, metropolitan, komersial, industri, dan lain-lain, kedua dimensi ekonomi
suatu daerah mencerminkan otoritas lokalnya, otoritas lokal dapat memberikan suatu
catatan yang baik tentang kinerjanya tanpa banyak usaha jika secara ekonomi daerah
tersebut mampu atau kaya, namun apabila sebaliknya dengan sedikit potensi untuk
pertumbuhan maka akan menjadikan pembangunan daerah sebagai suatu tugas yang berat
bagi otoritas lokal, ketiga dimensi geografis dengan yuridiksi teritorial atas suatu tempat
tinggal manusia tertentu, pemerintah daerah dapat dikonseptualisasikan dari segi
gerografis, geografi dari suatu pemerintahan daerah yang meliputi ciri-ciri fisik,
demografis, dan ekonomi, memiliki dampak pada kebijakan, administrasi, dan hukum,
keempat dimensi hukum, pemerintah daerah merupakan suatu miniatur dari badan politik
dan korporasi, dalam kapasitas tersebut pemerintah lokal menjalankan suatu bagian dari
kedaulatan negara yang didelegasikan padanya dalam batas-batas geografisnya, status
pemerintah daerah sebagai local self-government (berpemerintahan sendiri) dilengkapi
dengan landasan hukum yang kuat sebagai hak yang melekat pada pemerintah daerah,
kelima dimensi politik dimana dimensi ini yang paling penting dari konsep pemerintah
daerah yang berkaitan dengan karakter politiknya, karena politik memiliki suatu
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
36
pengaruh yang langsung terhadap sifat pemerintah daerah, keenam dimensi administratif
secara operasional pemerintah daerah merupakan organisasi administratif yang di
dalamnya terjadi perpaduan antara politik, administrasi, dan teknologi.
Lebih lanjut, Bhenyamin Hoessein dalam Nurcholis (2007:24-25) konsep
pemerintahan lokal (local government) ada tiga, yaitu, pertama pemerintahan lokal,
kedua pemerintahan lokal yang dilakukan pemerintah lokal, dan ketiga berarti daerah
otonom. Konsep pertama menunjuk pada lembaga/organnya. Artinya, pemerintahan lokal
adalah organ/badan/organisasi pemerintah di tingkat daerah. Di Indonesia, konsep
pemerintahan lokal ini dapat merujuk pada Kepala Daerah dan DPRD. Konsep kedua
merujuk pada fungsi atau kegiatan. Dalam arti ini pemerintahan lokal sama dengan
pemerintahan daerah, untuk kasus Indonesia pemerintahan daerah adalah kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah. Konsep ketiga sebagai daerah otonom, pemerintah
lokal merupakan subdivisi dari politik nasional yang diatur oleh undang-undang dan
secara substansial mempunyai kontrol atas urusan-urusan lokal.
Untuk kasus di Indonesia mengatur pemerintahan daerah dari sisi normatif undangundang apabila dibedah menggunakan perspektif sejarah, sebenarnya bukan barang baru,
bagaimana mengatur daerah telah menjadi agenda utama yang penting semenjak
Republik ini lahir. Dari pelacakan Ryaas Rasyid dkk (2007:56-123), Syarif Hidayat
(2007:9-12),
Soetandyo Wignyosoebroto (2007:58-69) dalam 69 tahun republik ini
berdiri, telah terjadi delapan (8) kali perubahan perundang-undangan dalam pengaturan
pemerintahan daerah. Kedelapan Undang-Undang Pemerintahan Daerah itu adalah
sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
4. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
37
Dari kedelapan Undang-Undang Pemerintah Daerah di atas, apabila dilihat dari
rentang waktu sejarah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 merupakan UndangUndang Pemerintah Daerah yang paling lama diterapkan,
yaitu 25 tahun. Hal ini
tentunya tidak lepas dari pemerintahan Orde Baru yang berciri otoriter, berkepentingan
untuk membuat sistem pemerintahan yang sentralistik, pusat mempunyai kuasa yang
sangat besar terhadap daerah, sedangkan daerah cukup sebagai pelaksana semua
kebijakan pemerintah pusat.
Semenjak republik ini lahir, para pendiri republik telah menyadari bahwa Indonesia
sangat luas, memilki luas sekitar 1.904.569 km membentang antara Sabang sampai
Merauke, ada 17.504 pulau, dengan berbagai suku bangsa dan bahasa. Para pendiri
republik ini sadar bahwa dengan luasnya Indonesia tidak mungkin semuanya diselesaikan
oleh pemerintah pusat (Jakarta).
Perdebatan para pendiri republik ini kemudian mengerucut dan dituangkan dalam
UUD 1945 pasal 18 yang berbunyi4 Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil, dengan bentuk susunan, pemerintahannya, ditetapkan, dengan undang-undang,
dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Bila dilihat
dalam penjelasannya ditunjukkan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah
propinsi; daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil; di daerahdaerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah; di daerah pun
pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Dari uraian di atas terlihat bagaimana para pendiri bangsa ini menempatkan
pemerintahan daerah sebagai suatu hal yang sangat penting sehingga dimasukkan dalam
UUD 1945.
Walau sudah ada payung hukum yang jelas mengenai pengaturan
pemerintahan daerah, yaitu Pasal 18 UUD 1945, tetapi dalam implementasi
pelaksanaanya tidak ada kepastian yang jelas, tergantung pada situasi dan kondisi politik
nasional.
Dalam penelusurannya, Made Suwandi (2004), Marbun (2010), Wignyosoebroto
(2010), memperlihatkan rumusan prinsip atau isi pengaturan pemerintahan daerah pada
4
UUD 1945 Pasal 18.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
38
setiap undang-undang selalu berbeda satu sama lain, dapat dilihat dalam tabel dibawah
ini.
Tabel II
Undang-Undang Pemerintahan Daerah
No
Undang-Undang
Rumusan Prinsip/Asas Otonomi
Kemerdekaan pengaturan rumah tangga daerah “asal
tidak bertentangan dengan pengaturan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah yang lebih luas daripadanya”.
1
UU No. 1 Tahun
1945
2
UU No. 22 Tahuna. Hak pengaturan dan pengurusan rumah tangga sendiri
1948
berdasarkan hal otonomi dan hak medebewind
b. Titik berat otonomi ada pada desa atau kota kecil
3
UU No 1 Tahun
1957
Otonomi formil: Wewenang daerah mengurus rumah
tangganya tidak dibatasi/tidak diperinci, sejauh tidak
bertentangan dengan urusan yang diatur oleh
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih
tinggi tingkatannya.
4
Perpres No. 6/59
dan Perpres No. 5
1960
Melanjutkan politik desentralisasi(territorial) dan
dekonsentrasi dimana daerah diberi hak untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan
memperhatikan kemampuan masing-masing daerah
5
UU No. 18 Tahuna. Otonomi territorial yang riil dan seluas-luasnya, serta
1965
menjalankan politik dekonsentrasi sebagai komplemen
yang vital
b. Otonomi selain sebagai hak/kewenang dan sekaligus
kewajiban
6
UU No. 5 Tahun a. Otonomi nyata dan bertanggung jawab
1974
b. Otonomi adalah hak, wewenang dan sekaligus
kewajiban.
c.
UU No. 22 Tahuna. Otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
1999
b. Penyelengaraan otonomi memperhatikan aspek
demokrasi, partisipatif, adil dan merata dengan
memperhatikan potensi dan keragaman daerah.
c. Otonomi Propinsi bersifat terbatas, sekaligus
menjalankan fungsi dekonsentrasi
7
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
39
8
UU No. 32 Tahuna. Otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.
2004
Penyelenggaraan otonomi berorientasi kepada
peningkatan kesejahteraan rakyat, menjamin hubungan
serasi antar daerah dan menjamin hubungan serasi
daerah dengan pemerintah.
b.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada tarik menarik kewenangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pada UU No. 1 Tahun 1945 kewenangan
pusat lebih dominan, kemudian UU No. 22 Tahun 1948 kewenangan daerah kembali
dominan. Untuk UU No 1. Tahun 1957 terlihat kewenangan daerah tetap dominan,
sedangkan Penpres No. 6 Tahun 1959 kembali menarik kewenangan daerah sehingga
pusat dominan. Untuk UU No. 18 Tahun 1965 kembali daerah mempunyai kewenangan
yang dominan, UU No. 5 Tahun 1974 terlihat kewenangan pusat sangat dominan, UU
No. 22 Tahun 1999 kewenangan daerah kembali dominan, dan UU 32 Tahun 2004
mencari keseimbangan pusat-daerah. Tarik-menarik ini memperlihatkan bahwa
pertarungan ide tentang bagaimana mengatur pemerintahan daerah di Indonesia tidak
pernah berhenti dan selalu berproses. Dalam proses tersebut ada suatu masa condong ke
sentralisasi, masa yang lain desentralisasi, bahkan juga federalisme.
Sebenarnya sentralisasi, desentralisasi, ataupun federalisme adalah suatu konsep
yang berhubungan dengan organisasi, terutama dalam hal pengambilan keputusan.
berikut akan diuraikan perbedaan antara sentralisasi, desentralisasi, dan federalisme.
Sentralisasi kata ini menjadi kata yang tidak populer semenjak rezim Orde Baru
berakhir. Sebenarnya apakah maksud kata sentralisasi dalam kajian pemerintahan
daerah ? sentralisasi menurut Bhenyamin Hoessein (1995), Made Suwandi (2004) dan
Hanif Nurcholis (2007), adalah pemusatan semua kewenangan pemerintahan, yaitu
kewenangan politik (membuat kebijakan) dan adminitrasi (menjalankan kebijakan) pada
pemerintah pusat. Artinya, jika suatu negara memusatkan semua kewenangan
pemerintahan pada pemerintah pusat dan tidak melakukan pembagian kewenangan pada
daerah di bawahnya atau daerah tidak diberi otonomi dapat disebut sentralisasi
pemerintahan.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
40
Beberapa ahli5 terlihat memakai kata desentralisasi daerah dan otonomi daerah
sebagai kata yang dapat dipertukarkan seperti satu koin dengan dengan dua sisi yang
sama. Desentralisasi jika ditelaah dari sisi etimologi dapat diartikan menjauh dari pusat
(de-central). Para ahli administrasi negara dan pemerintahan seperti Rondinelli (1983),
Bhenyamin Hoessein (1995), Made Suwandi (2004), dan Hanif Nurcholis (2007),
berpendapat bahwa desentralisasi adalah penyerahan sebagian kewenangan politik dan
administrasi, dari puncak hierarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang
organisasi yang lebih rendah atau dibawahnya (pemerintah daerah). Dengan adanya
desentralisasi tersebut masyarakat daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar
karena mempunyai kebebasan dan kewenangan mengatur, mengurus, dan memutuskan
kepentingannya sendiri yang bersifat lokal. Dengan adanya desentralisasi munculah
otonomi daerah. Dengan kata lain tanpa adanya desentralisasi daerah tidak akan muncul
otonomi daerah.
Federalisme adalah sebuah kata yang seperti mantra sakti yang dibenci tetapi juga
dirindukan. Kata federalisme menjadi tidak terlalu populer di Indonesia karena
mempunyai arti yang tidak baik. Menurut Syarif Hidayat (2010), Afan Gafar, dan Ryaas
Rasyid (2007), ada semacam rasa tidak nyaman bahkan fobia terhadap ide federalime.
Hal ini dikarenakan dalam perjalanan sejarah negara Indonesia pernah terjadi fase
menjadi negara federal, yaitu pada tahun 1949 sampai 1950. Setelah perjanjian meja
bundar pada tahun 1949 disetujui, dibentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam
RIS tersebut dibentuk 16 negara federasi yang berdaulat yang memiliki persamaan
persekutuan dengan Kerajaan Belanda. Dengan adanya RIS tersebut negara Republik
Indonesia mengalami degradasi hanya menjadi satuan negara bagian dari Negara
Republik Indonesia Serikat.
Sebenarnya apakah arti dari federalime ini ?. Menurut Seymour Martin Lipset
(dalam Rasyid dkk, 2007:3-4), “ federalisme merupakan satu bentuk asosiasi politik dan
organisasi yang menyatukan unit-unit politik yang terpisah ke dalam suatu sistem politik
yang comprehensive, dan mengijinkan masing-masing unit politik tersebut untuk tetap
memiliki atau menjaga integritas politiknya secara fundamental”.
5
Ryaas Rasyid dan Afan Gafar (2007) Ryant Nugroho (1999), Hanif Nurcholis (2007), Brian C Smith (1985)
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
41
Lebih lanjut Syarif Hidayat (2010:19-20) menuturkan bahwa perbedaan mendasar
antara negara kesatuan dan negara federal dalam melakukan praktik desentralisasi
terletak pada prinsip pengaturan relasi kewenangan pusat-daerah. Dalam negara federal
mendasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan (speration of power), sedangkan di
negara kesatuan berprinsip pada berbagi kewenangan (sharing of power).
Dengan demikian dalam federalisme pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan
pokok dan daerah memiliki seluruh kewenangan di luar kewenangan pokok. Selain itu
menurut Bhenyamin Hoessein (2002), negara federal adalah negara majemuk yang
mempunyai kekuasaan membentuk Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang sendiri
sehingga hubungan antara negara bagian dengan negara federal adalah independen dan
koordinatif.
2.4.Teori Strukturasi Giddens
Giddens memulai petualangan sebagai ilmuwan sosial dengan mempelajari para
ilmuwan dan pemikir besar ilmu-ilmu sosial baik yang klasik maupun kontemporer.
Penguasan bahasa Jerman dan Perancis sangat membantu Giddens dalam memahami isi
dari buku-buku Karl Marx, Emilie Durkeim, Max Webber, Heidegger, Gaddamer,
Popper, Wittgenstein, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1971 Giddens membuat buku yang mendapat tanggapan bagus yang
berjudul Capitalism and Modern Sosial Theory. An Analysis of The Writings of Marx,
Durkheim, and Max Webber, yang kemudian diikuti dengan buku New Rulers Of
Sociological Method pada tahun 1976. Pada tahun 1984 Giddens menerbitkan suatu karya
monumental, yang membuat dia diakui sebagai seorang ilmuwan besar, buku tersebut
berjudul The Constitution of Society : Out Line of The Theory of Structuration.
Latar belakang muculnya teori ini adalah hasil dari kajian mendalam Giddens
terhadap berbagai teori besar yang sudah mapan dalam kajian ilmu sosiologi, seperti
teori fungsionalisme Talcot Parsons, interaksionisme simbolis Erving Gofman,
strukturalisme dari Ferdinand de Sausure, dan sebagainya. Giddens melihat teori yang
sudah mapan di atas mempunyai kelemahan. Teori-teori tersebut hanya menjelaskan satu
sisi saja dalam melihat objek kajian ilmu sosial.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
42
Ada pertentangan antara makro dan mikro, ada pertentangan antara kubu
subjektivisme dan objektivisme, kubu subjektivisme melihat bahwa individu sangat
berperan dalam objek kajian sosial, sedangkan objektivisme melihat bahwa keseluruhan
adalah hal yang utama dibandingkan individu dalam objek kajian sosial.
Teori fungsionalisme Talcot Parsons merupakan teori yang mendominasi khasanah
ilmu sosiologi sampai tahun 80-an. Dalam teori ini Parsons terkenal dengan skema
AGIL-nya yang merupakan singkatan dari Adaptasi, Pencapaian Tujuan (goal), Integrasi,
dan Latensi. Dalam skema ini Parsons menempatkan struktur keteraturan masyarakat
pada prioritas yang utama sehingga peran agen dalam objek kajian sosial model Parsons
bukan hal yang utama.
Berbeda dengan teori Fungsionalisme diatas, dalam teori Interaksionisme Simbolis
ini peran agen sangat dominan. Menurut Blumer; Manis dan Meltzer; Rose; Snow (dalam
Ritzer 2007:289), agen sebenarnya mempunyai sejumlah prinsip dasar antara lain yaitu:
manusia dibekali kemampuan berpikir, kemampuan berpikir manusia dibentuk oleh
interkasi sosial, pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk
kelompok dan masyarakat.
Giddens berusaha memecahkan kebuntuan ini, Giddens menawarkan teori yang
disebut Teori Strukturasi, dalam bukunya Giddens mengatakan bahwa tidak mempunyai
padanan kata yang paling tepat daripada kata strukturasi. Dalam Teori Strukturasi ini ada
dua ide pokok Giddens, pertama membedah hubungan antara struktur dan agen dan
kedua sentralitas ruang dan waktu.
Dalam ide pertamanya Giddens mempermasalahkan pertentangan antara struktur
dan agen yang telah lama terjadi dalam khasanah ilmu-ilmu sosial. Berbagai teori dalam
ilmu sosial hanya membedah satu sisi saja yaitu sisi struktur atau agen Bagi Giddens
antara agen dan struktur hubungannya bukan saling meniadakan atau dualisme, tetapi
lebih pada relasi (dualitas). Lebih lanjut Giddens (1984: 25-26) mengatakan bahwa,
“konstitusi agen dan struktur bukan merupakan dua kumpulan fenomena yang bisa
berdiri sendiri (dualisme) tetapi mencerminkan dualitas, ciri-ciri struktural sistem sosial
adalah sekaligus medium dan hasil praktik sosial yang diorganisir berulang-ulang”.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
43
Pada ide kedua tentang sentralitas waktu dan ruang, Giddens sangat menekankan
pentingnya waktu dan ruang dalam Teori Strukturasi. Pada waktu yang lampau waktu
dan ruang hadir pada saat yang sama, misalnya pada zaman lalu orang jika ingin bertemu
untuk berkomunikasi kebanyakan melalui interaksi tatap muka, yang artinya waktu dan
ruang hadir secara bersamaan. Namun, pada saat ini, komunikasi tidak perlu dengan cara
demikian.
Waktu dan ruang sudah terlampaui dengan kemajuan teknologi. Komunikasi dapat
dijalankan tanpa perlu lagi hadir pada waktu dan ruang yang sama. Fenomena kemajuan
teknologi ini disebut Giddens sebagai times space distancciation (perentangan ruang dan
waktu). Pada uraian di atas telah dibahas mengenai latar belakang munculnya Teori
Strukturasi. Selanjutnya akan dibedah unsur-unsur Teori Strukturasi Giddens, yaitu,
pertama agen, agensi, kedua struktur, strukturasi, ketiga waktu dan ruang.
1. Agen, Agensi
Terlebih dulu akan dibicarakan agen. Dalam teori Giddens agen
mempunyai peran yang cukup dominan, bahkan para pengkritik Giddens
mengatakan bahwa Giddens dalam Teori Strukturasi memberikan porsi yang
kelewat besar pada agen (Ritzer, 2007:513). Dalam penelitiannya, Giddens
memfokuskan perhatianya pada praktik sosial yang berulang antara agen dan
struktur. Agen dan struktur, menurut Giddens adalah dua hal yang tidak
terpisah karena seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh
struktur memerlukan tindakan sosial. Bagi Giddens tindakan yang dilakukan
oleh agen tersebut tidak langsung jadi, tetapi memerlukan pengulangan.
Melalui pengulangan dalam praktik sosial tadi kemudian kesadaran sosial
maupun struktur tercipta.
Dalam lingkungan sosialnya agen akan mencari rasa aman dan agen akan
berusaha untuk mengembangkan diri agar dapat menghadapi lingkungan
sosial mereka. Menurut Giddens (dalam Ritzer 2007:509), agen mempunyai
dua tipe kesadaran, yaitu kesadaran diskursif dan kesadaran praktis.
Kesadaran diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
44
dalam kata-kata. Kesadaran praktis melibatkan tindakan yang dianggap aktor,
namun tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang
dilakukan. Kesadaran praktis inilah yang sangat penting untuk Teori
Strukturasi. Artinya, tipe kesadaran ini lebih memfokuskan pada sesuatu yang
dilakukan oleh agen daripada apa yang dikatakan oleh agen.
Setelah kesadaran praktis ini pembahasan tentang agen kemudian berubah
menjadi agency atau keagenan, yang dapat diartikan kejadian yang dilakukan
oleh agen. Lebih lanjut Giddens (1984:9) mengatakan bahwa “keagenan
(agency) menyangkut kejadian yang dilakukan seorang individu, keagenan
berarti peran individu apapun yang telah terjadi, tidak akan menjadi struktur
seandainya agen tidak mencampuri”. Dari uraian di atas terlihat Giddens
memberi kekuatan besar pada agen. Menurut Giddens agen mampu
melahirkan pertentangan dalam kehidupan sosial. Tanpa kekuasaan untuk
melahirkan pertentangan sosial tersebut, aktor akan berhenti menjadi agen,
contohnya, otonomi daerah ada karena merupakan hasil dari pertentangan
antar agen yang mempunyai kekuasaan (politik, ekonomi, media). Jika agen
berhenti mempertentangankan isu otonomi daerah, isu otonomi daerah ini
tidak akan muncul dan pemerintahan yang sentralistik akan tetap langgeng
berkuasa.
2. Struktur, Strukturasi
Giddens (1984:17) mendefinisikan struktur adalah “properti-properti yang
berstruktur (aturan dan sumberdaya), properti yang memungkinkan praktik
sosial serupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu
dan membuatnya menjadi bentuk sistemik”. Penjelasan Giddens ini jelas tidak
mengikuti pendapat Emile Durkheim yang berpendapat bahwa struktur itu di
luar aktor dan memaksa atau mengendalikan aktor.
Bagi Giddens struktur tidak dapat disamakan dengan kekangan
(constraint). Lebih lanjut menurut Giddens (1984:25) “Struktur selalu
mengekang (constraining) maupun membebaskan (enabling) tindakan”.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
45
Dengan demikian, agen dapat melakukan berbagai hal yang dapat agen
lakukan, karena bagi Giddens memang sruktur dapat memaksa agen, tetapi
struktur bukan kekangan atau kurungan bagi agen.
Dalam realitas hubungan antara agen dan struktur bersifat saling
melengkapi, seperti dua sisi koin, satu sisi adalah struktur sedangkan sisi yang
lain adalah aktor. Pada sisi aktor secara konkret terbingkai dalam suatu arus
berkesinambungan tindakan dan peristiwa, sedangkan pada sisi struktur lebih
menunjukkan kepada aturan atau sumber daya yang terbentuk akibat
keterulangan dari praktik sosial.
Menurut Giddenss (1984:17), “struktur serta merta muncul dalam sistem
sosial, struktur menjelma dalam ingatan agen yang berpengetahuan banyak.
Sistem sosial menurut Giddens (1984:17) adalah “sebagai praktik sosial yang
direproduksi antara aktor dan kolektivitas yang diorganisir sebagai praktik
sosial tetap”. Dari uraian ini dapat dilhat bahwa menurut Giddens ada
tindakan yang seringkali tidak diharapkan oleh agen, tetapi harus dilakukan
agen, dan akibat dari kondisi ini ada umpan balik dari tindakan. Artinya
kondisi ini dapat mengendalikan agen, tetapi agen juga dapat terus berupaya
untuk mengendalikan suatu keadaan.
Dari hal diatas maka dapat dilihat bahwa sebenarnya agen dan struktur
bukan merupakan dua hal yang berdiri sendiri (dualisme) tetapi lebih condong
pada dualitas. Hal itu karena menurut Giddens (1984:25) “strukturasi adalah
meliputi hubungan dialektika antara agen dan struktur, sruktur dan agen
adalah dualitas, struktur tidak akan ada tanpa agen dan begitu pula
sebaliknya”.
3. Waktu dan Ruang.
Selain konsep agen, agency, struktur, dan strukturasi, gagasan terpenting
dari Teori Strukturasi Giddens adalah waktu dan ruang. Dalam gagasan
Giddens perbedaan antara masyarakat modern dan masyarakat tradisional ada
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
46
pada konsep waktu dan ruang. Pada masyarakat tradisional waktu dan ruang
melekat pada manusia.
Kehadiran atau interaksi tatap muka menjadi hal yang sangat penting,
semua kegiatan pada masyarakat tradisonal tersebut hanya akan berlangsung
dalam waktu dan ruang yang sama, misalnya pada tahun 1700 kalau seseorang
dari Yogyakarta akan memberitahu atau mengundang pernikahan kepada
saudaranya yang ada di Semarang, dia harus datang langsung ke Semarang,
atau paling tidak mengirimkan utusan untuk mengantarkan undangan
pernikahan ke Semarang, sehingga waktu tidak dapat dipisahkan dari tempat
yang sama dan itu bisa membutuhkan waktu berhari-hari.
Pada 2012, untuk melakukan hal yang sama diatas tidak dibutuhkan
kehadiran individu pada waktu dan tempat yang sama, selain itu juga tidak
membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyampaikan suatu informasi. Hal
itu bisa bisa melalui telepon, email, atau cukup dengan sms sehingga
informasi tersebut bisa tersampaikan pada saudaranya yang ada di Semarang.
Semua tindakan di sini berlangsung melalui waktu dan ruang, artinya ada
suatu pencabutan waktu dan ruang dalam skala global. Hal ini mempunyai
implikasi yang sangat besar dalam masyakarat modern, sebagai misal, orang
dapat memindahkan saham atau uangnya atau modalnya dalam waktu yang
singkat tanpa membawa kopor atau mobil, lintas negara, lintas benua. Hal ini
yang terjadi pada tahun 1997 pada saat Indonesia terkena krisis moneter yang
dalam. Pada awalnya yang terkena adalah Thailand, dengan cepat krisis
moneter tersebut menular ke hampir seluruh kawasan Asia Tenggara bahkan
sampai ke Korea Selatan.
Selain berbagai ide pemikiran di atas, ide lain yang penting dalam
Teori Strukturasi Giddens adalah tiga gugus besar struktur dalam kehidupan
sosial yaitu, pertama Struktur Penandaan atau Signifikansi (Signification),
kedua Struktur Penguasaan atau dominasi (domination), dan ketiga Struktur
Pembenaran atau Legitimasi (legitimation). Ketiga struktur ini dalam prinsip
struktural menurut Giddens saling terkait. Struktur signifikansi akan berkait
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
47
dengan struktur dominasi dan juga struktur legitimasi, contohnya dalam
struktur signifikasi seorang yang memberi kuliah pada perguruan tinggi
disebut dosen. Dalam struktur dominasi dosen mempunyai kewenangan atas
mahasiswa. Struktur legitimasi tampak pada otoritas dosen melaksanakan test
pada mahasiswa untuk menilai kemampuan mahasiswanya. Berikut akan
dijelaskan lebih lanjut ketiga struktur di atas:
1. Struktur Penandaan atau Signifikansi (Signification)
Struktur Penandaan ini merujuk pada skema aturan simbolik penyebutan,
pemaknaan, dan wacana. Dalam kehidupan sosial dapat dicontohkan sebagai
berikut penyebutan dosen adalah bagi pengajar di suatu universitas atau
perguruan tinggi atau penyebutan guru adalah bagi pengajar di sekolah, dan
penyebutan-penyebutan ini selalu berulang dalam kehidupan sosial
2. Struktur Penguasaan atau Dominasi (Domination)
Struktur Penguasaan ini merujuk pada struktur aturan penguasaan atas orang
(politik) dan barang/jasa (ekonomi). Contoh penguasaan atas orang adalah
pada otoritas dosen kepada mahasiswa. Dalam struktur politik, contohnya
adalah pemungutan suara pada pemilu, pada penguasaan barang/jasa
(ekonomi) contohnya menyimpan uang di bank atau berbelanja di mall atau
hypermarket.
3. Struktur Pembenaran atau Legitimasi (Legitimation)
Struktur legitimasi merujuk pada struktur aturan normatif yang terungkap
dalam tata hukum. Contohnya legitimasi seorang dosen memberikan ujian
pada mahasiswa, atau dalam praktik sosial adalah sebelum menikah harus
mendaftarakan diri pada KUA atau catatan sipil setempat.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
48
Untuk memudahkan mengenal konsep Giddens diatas, secara sederhana Giddens
meringkas konsepnya sebagai berikut:
Skema 1
Konsep S-D-L
S-D-L
D (otorisasi)-S-L
D (alokasi)-S-L
L-D-S
: Tata Simbolis/Cara Wacana - (Lembaga Bahasa/Wacana)
: Tata Politik
- (Lembaga Politik)
: Tata Ekonomi
- (Lembaga Ekonomi)
: Tata Hukum
- (Lembaga Hukum)
Keterangan: S adalah Siginifikasi, D adalah Dominasi, L adalah Legitimasi.
Skema 2
Dualitas Aktor-Struktur
Dari dua skema di atas dapat terlihat jelas konsep Giddens tetang dualitas dalam
Teori Strukturasi, terlihat reproduksi sosial berlangsung melalui dualitas struktur dan
praktik sosial yang dijalankan aktor. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah
aktor atau pelaku sadar bahwa praktik keseharian aktor mampu tereproduksi menjadi
struktur sosial ? atau seperti dalam teori fungsionalisme Talcott Pasons, di mana agen
hanya seperti anak wayang yang mengikuti alur skenario yang ada ?. Jika tidak hati-hati
dalam menjawab pertanyaan ini, maka akan masuk dalam dualism bukan dualitas,
jawaban Giddens adalah “agen sebenarnya tahu namun tidak sadar”, Giddens
menjelaskan hal ini dengan tiga dimensi internal pelaku, yaitu:
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
49
1. Motivasi tidak sadar (unconscious motives)
Giddens menerangkan hal ini sebagai motivasi yang menyangkut keinginan
atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukan
memaknai tindakan itu sendiri sebagai missal, walaupun sebenarnya motivasi
orang bekerja adalah mencari uang, tetapi hampir tidak pernah ada orang yang
berangkat ke kantor dengan motif untuk mencari uang. Menurut Giddens hal
di atas adalah motivasi yang tidak sadar.
2. Kesadaran diskursif (diskursif consciousness)
Menurut Giddens, kesadaran diskursif mengacu kepada kapasitas agen dalam
merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit pada tindakan
agen, contohnya, mengapa pada hari Senin pegawai negeri di Pemda
menggunakan seragam hansip berwarna hijau ?. Hal itu karena jika tidak
menggunakan seragam hansip berwarna hijau akan ditegur oleh atasan. Jadi
seragam hansip berwarna hijau digunakan pada hari Senin berada pada
konteks kesadaran diskursif. Agen melakukan pengandaian atas tindakannya.
Dengan pengandaian ini, agen menjadi tahu dalam melangsungkan kehidupan
kesehariannya tanpa ditanyakan kembali.
3. Kesadaran praktis (practical consciousness)
Giddens berpendapat bahwa kesadaran praktis ini merujuk kepada
pengetahuan praktis yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Dalam Teori
Strukturasi, kesadaran praktis ini menurut Giddens merupakan suatu hal yang
sangat penting untuk dapat memahami bagaimana berbagai tindakan dan
praktik sosial secara berulang-ulang akhirnya menjadi struktur, dan kemudian
struktur itu mengekang praktik sosial dari agen. Agen tidak perlu
mempertanyakan lagi aktivitas rutin keseharian mereka. Melalui praktik sosial
agen membuat struktur mereka sendiri.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
50
Dari berbagai uraian di atas telah dijelaskan Teori Strukturasi Anthony Giddens
yang akan dipakai sebagai pisau analisis dalam disertasi ini. Seperti teori-teori yang lain
Teori Strukturasi Giddens tidak luput dari berbagai kritikan. Salah satu yang mengkritik
Teori Strukturasi Giddens adalah Ian Craib. Menurut Ian Craib (dalam Ritzer 2007:513514) ada 5 kritik yang dilontarkan untuk Teori Strukturasi Giddens, pertama menurut
Craib Teori Giddens lebih berfokus pada tindakan sosial Giddens gagal menerangkan
struktur sosial yang melandasi kehidupan sosial, kedua Teori Giddens menurut Craib
tidak memadai untuk menjelaskan kehidupan sosial yang terlalu kompleks. Lebih lanjut
Ian Craib (dalam Ritzer 2007:513) menuturkan bahwa “kita memerlukan sederatan teori
yang mungkin saling bertentangan ketimbang struktur sebuah teori sintesis”, ketiga
kritikan terhadap Giddens dilontarkan Craib karena Giddens tidak bertolak dari landasan
teorits tertentu sehingga ketika membuat analisis kritis tentang masyarakat modern teori
ini kurang memadai, keempat Teori Giddens tidak berkaitan secara utuh dan terlihat
fragmentatis, kelima Craib cukup sulit untuk mengerti apa yang sebenarnya dijelaskan
oleh Giddens dengan Teori Strukturasinya.
Walupun kritik Ian Craib sangat pedas, tetapi menurut Craib ada dua alasan
mengapa Teori Strukturasi ini perlu dibicarakan, pertama pemikiran Giddens telah
menjadi bagian tak terpisahkan dalam khasanah Ilmu Sosiologi masa kini, kedua siapa
saja yang menekuni ilmu sosial perlu mempelajari dan menanggapi Teori Giddens ini.
Teori strukturasi dipilih karena teori ini menyediakan pisau analisis yang lebih
tajam daripada teori-teori yang lebih cenderung ke arah struktur atau agen. Jika
menggunakan teori-teori yang lebih berat ke struktur, konsekunsinya peran agen tidak
akan terlihat nyata. Agen hanya akan mengikuti apa yang dikehendaki oleh struktur.
Padahal, dalam disertasi ini peran antar agen dalam berinteraksi tampak nyata, proses
pembingkaian pesan otonomi daerah dapat dimaknai sebagai proses strukturasi antara
media sebagai agen dan struktur yang dalam disertasi ini dimakanai sebagai struktur
politik media, struktur politik lokal, dan struktur ekonomi media. Dengan menggunakan
teori struktrasi analisis yang akan muncul akan lebih kaya, tidak terjebak dalam dualisme
tetapi merupakan suatu interplay antara struktur dan agen.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
51
2.5.Teori Strukturasi dan Teori Konstruksi Realitas Sosial
Teori Strukturasi Giddens secara garis besar terdiri atas tiga gugus besar, yaitu
Siginifikasi, Dominasi, dan Legitimasi. Secara garis besar teori itu dapat diterangkan
sebagai berikut.
a. Signifikasi. Dalam gugus siginifikasi ini Giddens merujuk pada suatu skema
simbolik, penyebutan, pemaknaan, dan wacana. Contoh mudahnya adalah
Direktur adalah sebutan bagi orang yang mempunyai jabatan tinggi dalam
suatu perusahaan, atau buruh adalah sebutan bagi mereka yang bekerja
sebagai pegawai rendah dalam suatu perusahaan. Penyebutan itu selalu
berulang terus menerus dalam kehidupan sosial.
b. Dominasi. Dalam gugus dominasi ini Giddens merujuk kepada skema
penguasaan atau dominasi atas orang (politik) ataupun barang (ekonomi).
Contoh konkretnya adalah adanya suatu otoritas direktur perusahaan pada
karyawanya yang disebut buruh.
c. Legitimasi. Dalam gugus skema legitimasi ini Giddens merujuk pada
peraturan-peraturan normatif yang ada dalam tata aturan hukum. Contoh
sederhananya adalah seorang direktur mempunyai hak melakukan penilaian
dan menghukum seorang buruh jika mereka melakukan kesalahan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana tiga skema ini berjalan dalam
suatu praktik sosial ?. Giddens menerangkan dalam skema dibawah ini.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
52
Skema 3
Dari bingkai di atas terlihat bagaimana dualitas antara struktur dan agen terbentuk.
Pada skema signifikansi tindakan dalam praktek sosial adalah interaksi melalui
komunikasi seperti menulis, berbicara, berdiskusi, ataupun bertukar ide antara agen.
Interaksi itu secara terus-menerus berlangsung berulang dalam praktek sosial. Akhirnya,
interaksi itu menjadi suatu struktur sosial, sebagai misal orang yang menjadi kepala suatu
perusahaan disebut direktur.
Hal itu kemudian dilanjutkan dengan skema dominasi yang menurut Giddens di
sana ada penguasaan aset secara ekonomis dan atau politik, maka ada suatu kontrol
direktur pada buruh. Akhirnya, interaksi itu bergerak kepada skema legitimasi. Pada
skema ini muncul norma dan sanksi, yaitu hak direktur atas buruh untuk memberikan
penghargaan atau hukuman. Dualitas atau interplay antara agen dan struktur inilah yang
kemudian membentuk struktur. Jadi, struktur adalah merupakan hasil dari sedimentasi
keterulangan praktik sosial.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan konteks Teori Strukturasi dan
Konstruksi Realitas dalam disertasi ini ?. Berdasarkan pelacakan sejarah tentang otonomi
daerah di Indonesia ternyata telah dilakukan, jauh sebelum diterbitkannya UU Nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pertarungan pemikiran mengenai otonomi
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
53
daerah merentang sepanjang sejarah keberadaan Republik, bahkan jauh sebelum
Republik ini lahir6.
Pelacakan dari Ryaas Rasyid dkk. (2007), Syarif Hidayat (2010), Hanif Nurcholis
(2010) memperlihatkan bahwa semenjak tahun 1945 telah diterbitkan UU No. 1 tahun
1945 tentang pengaturan kewenangan antara pusat dan daerah. UU itu kemudian direvisi
pada tahun 1948 melalui UU No. 22 Tahun 1948 dengan bandul kewenangan daerah
yang dominan. Bandul kewenangan antara pusat (Jakarta) dengan daerah ini selalu
berubah-ubah. Sampai tahun 2014 telah 8 kali bandul bergeser, terkadang lebih kuat ke
pusat tetapi adakalanya kembali ke daerah.
Perubahan bandul kewenangan ini adakalanya berlangsung damai tanpa
pergolakan, namun ada pula yang harus direbut dengan senjata dan ancaman merdeka.
Menurut Ryaas Rasyid dkk (2007), Syarif Hidayat (2010) beberapa ekspresi daerah
memperlihatkan bahwa ancaman merdeka terhadap pusat (Jakarta) sebenarnya tidak
merupakan benar-benar ancaman meminta merdeka, tetapi lebih banyak terjadi karena
daerah merasa pusat tidak memberikan kepada daerah kewenangan untuk mengatur diri
mereka sendiri.
Pergolakan otonomi daerah tentu akan sangat menarik untuk diberitakan karena
sebenarnya struktur dan berita media ditentukan oleh banyak faktor. Dedy Nur Hidayat
(2000:431) berpendapat bahwa “kajian terhadap pers, serta perubahan yang
terjadi
padanya, justru harus dilakukan dengan terlebih dahulu mengesampingkan pers dari
fokus kajian”, pendapat Hidayat di atas menunjukkan bahwa pers dalam suatu negara
tidak hidup dalam ruang hampa. Ada berbagai kepentingan (ekonomi, politik, sosial,
budaya) yang akan terus mewarnai kehidupan pers dalam suatu negara. Media massa
sejak lama telah menjadi primadona untuk dikuasai atau paling tidak dipengaruhi oleh
berbagai institusi di luar media. Begitu menakutkan pengaruh media sehingga tidak
mengherankan jika di negara berciri otoriter, media selalu dalam pengawasan negara
yang mempunyai kuasa mematikan media.
Tarik-menarik berbagai kepentingan (ekonomi, politik, sosial, budaya) terhadap
pers tentunya akan berimbas pula terhadap isi teks dan pandangan wartawan yang
6
Soetandyo Wignjosoebroto (2010), Jika dihitung semenjak pemerintah Belanda menetapkan
Decentralisatie Wet pada 23 Juli 1903, kebijakan desentralisasi di Indonesia telah berusia satu abad
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
54
menuliskan teks tersebut. Dedy N Hidayat (2000:432), Triputra (2000:407), Soemaker
(1996) menuliskan bahwa media sebagai suatu organisasi mempunyai karateristik serupa
dengan organisasi lainnya. Sebagai organisasi, salah satu tujuan utama mendirikan suatu
media adalah tujuan ekonomi. Sebagai institusi bisnis media tentu mempunyai motif
ekonomi untuk mendapatkan laba. Dengan adanya laba inilah media dapat dijalankan,
dengan adanya keuntungan inilah media dapat hidup.
Pada sisi lainnya, media sebagai suatu organisasi mempunyai birokrasi. Birokrasi
media yang bergerak sebagai institusi bisnis, membutuhkan modal yang tidak sedikit.
Menurut Agus Sudibyo (2004:55), untuk mendirikan Global TV dibutuhkan modal Rp
500 milyar, Lativi yang berganti nama menjadi TV One didirikan dengan modal awal Rp
300 milyar, sedangkan TV7 dan Metro TV membutuhkan modal awal Rp 200 milyar
untuk memulai usahanya. Dengan biaya yang demikian besar tersebut, muncul
pertanyaan, “media massa ini untuk siapa ?”. Karena investor tidak akan mau rugi,
investor harus mendapatkan keuntungan dari modal yang ditanamkan
Sehubungan dengan hal di atas, menarik apa yang diungkapkan oleh Dedy N
Hidayat (2000:441) mengenai peran media dalam struktur ekonomi dan struktur politik
yang berlaku dalam suatu negara. Satu prinsip yang harus diperhatikan di sini adalah
dalam sistem struktur kapitalis, media massa harus diberi fokus perhatian yang memadai
sebagaimana institusi-institusi produksi dan distribusi lainnya. Kondisi-kondisi yang
ditemukan pada level kepemilikan media, praktik-praktik pemberitaan, dinamika struktur
radio, televisi, perfileman, dan periklanan, mempunyai hubungan yang saling
menentukan dengan kondisi-kondisi ekonomi politik spesifik yang berkembang di suatu
negara, serta pada gilirannya juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi ekonomi politik
global.
Dari uraian Dedy N Hidayat di atas terungkap bahwa di dalam institusi media
terdapat hubungan yang erat dengan kekuatan ekonomi politik pada sebuah negara. Lebih
lanjut Dedy N Hidayat (2000:432) berpendapat, “kajian ekonomi politik pers, yang kini
masih dijadikan banyak referensi cenderung terpola pada dua tendensi pemikiran yaitu
economism dan reductionism”.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
55
Pendekatan ekonomi atau (economism) seperti dalam Smythe (1977:1) melihat
bahwa praktik-praktik sosiokultural yang memengaruhi produksi dan konsumsi teks akan
berbeda-beda karena perbedaan dari persoalan-persoalan pokok di bidang ekonomi,
sedangkan reductionism (Connel dalam Hibbin, 1978:75) dikaitkan dengan teori-teori
struktur marxis yang lebih memfokuskan diri pada fungsi-fungsi ideologis yang
dijalankan oleh media. Analisis reductionism umumnya direduksi hanya pada level teks
secara berlebihan untuk menemukan kandungan-kandungan ideologis sehingga
mengakibatkan kemungkinan hilangnya hubungan antara teks tersebut dengan kenyataan
bahwa pers adalah sebuah institusi ekonomi dalam sebuah sistem kapitalis.
Untuk itu dalam melakukan analisis perubahan yang terjadi pada sebuah media
dalam lingkungannya adalah dengan mengkaitkan analisis-analisis pada level makro,
meso dan mikro. Secara lebih khusus dalam interkontekstualitas tersebut akan disorot
peranan faktor-faktor apa saja yang penting dalam kondisi tertentu.
Di sinilah Teori Strukturasi dapat berperan. Teori ini lebih luwes tidak melulu
berbicara makro, yaitu struktur tetapi juga tidak hanya bicara mikro yaitu human agen.
Salah satu penyangga utama dalam Teori Struktrasi adalah agency yang dimaksud
dengan agency adalah aksi-aksi sosial yang dilakukan oleh aktor-aktor sosial baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok. Istilah ini dapat juga mengacu pada aksi-aksi sosial
dari manusia dalam arti luas, tidak hanya individual tetapi juga kelompok-kelompok
terorganisir bahkan negara (Himmerstrand, 1986:9).
Faktor utama lain adalah struktur. Salah satu definisi struktur diberikan oleh
Giddens (1984) yang melihatnya sebagai the structuring properties (rules & resource).
Pada kenyataannya, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada peraturan dan sumbersumber tersebut saja. Giddens sampai pada suatu definisi tersebut karena ia terlalu
memfokuskan pengamatannya pada praktik-praktik atau tindakan sosial. Walau ia
mengakui terdapatnya dualitas, yakni struktur dan agensi seakan tidak dapat dipisahkan,
bahkan hampir mendekati sebuah siklus yang tidak berubah dan tidak dapat dipisahkan.
Para peneliti lain, sebaliknya, menyatakan bahwa struktur dan agency secara
analisis harus dibedakan, walau keduanya dalam kehidupan sosial saling terkait (Archer,
1988). Layder, Ashton, dan Sung (1991) juga menyatakan bahwa empirically structure
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
56
and action are partly autonomous and separately domains. Kedua pendapat ini
menjelaskan terdapatnya pengkondisian struktural yang memengaruhi interaksi sosial dan
selanjutnya interaksi sosial itu sendiri mengarah pada terjadinya sebuah elaborasi
struktural.
Implikasi teoretis dari kedua pendekatan ini adalah bahwa, dualitas akan terlihat
pada upaya meletakkan korelasi hubungan antara struktur dan agensi. Sikap yang
cenderung memfokuskan diri pada dominasi struktur (atau juga agensi) akan melahirkan
ortodoksi tersendiri dalam proses-proses sosiokultural yang memengaruhi proses
produksi dan konsumsi teks, serta proses produksi dan konsumsi teks itu sendiri.
Ortodoksi strukturalis misalnya, akan melihat struktur sebagai sesuatu yang monolitik
atau sebagai entitas yang statis, kemudian tergoda untuk mengabaikan kemampuan dari
agensi sosial untuk melakukan respon terhadap kondisi-kondisi struktural. Bahkan
Schudson
(1989)
menyatakan
bahwa
proses-proses
produksi
berita
langsung
berhubungan dengan struktur ekonomi dari organisasi media atau industry media, dan
segala sesuatu di antaranya adalah sebuah kotak hitam yang tidak perlu diperiksa lagi.
Pada sisi yang lain, pendekatan yang terlalu menekankan kemampuan agency akan
melahirkan ortodoksi instrumentalism. Agency diasumsikan selalu mampu melakukan
berbagai hal untuk menjadikan media sebagai instrumen dari apa yang ingin dicapai.
Bagi kelompok pemodal, mereka ingin menjadikan media sebagai instrumen untuk
menentukan diskursus publik, menentukan informasi apa saja yang boleh dikonsumsi
oleh publik, serta propaganda yang menghasilkan opini publik sesuai dengan yang
diinginkan kaum kapitalis (Herman dan Chomsky, 1998).
Kemampuan-kemampuan itu diperoleh antara lain karena pemilik modal memiliki
surplus akses ke media, legalitas mengontrol media, memonopoli perizinan, dan posisi
yang superior terhadap karyawan mereka. Pada kenyataanya, seperti yang diutarakan oleh
Golding dan Murdock (1997), para human agency ini bekerja dalam suatu struktur yang
dapat menghambat maupun memfasilitasi, menetapkan batasan-batasan sekaligus
menawarkan kesempatan-kesempatan.
Jalan alternatif yang lebih komprehensif adalah menghindari dua ortodoksi ini
dengan mengakui terdapatnya interplay antara structure dan agency. Pendekatan ini
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
57
bertujuan untuk antara lain to explain how structure are constituted through action, and
reciprocally how action is constituted structurally (Giddens, 1976). Lebih lanjut Vincent
Mosco (1996) menyatakan bahwa studi ekonomi politik media mestinya dapat
menjelaskan how structure are produced and reproduced by human agents who act
trough the medium of these structures.
Pendekatan alternatif ini memberikan ruang untuk hubungan-hubungan sosial dan
interaksi baik yang berbentuk aliansi maupun konflik pada saat-saat tertentu, baik di level
makro maupun meso, yang kemudian dituangkan dalam level mikro. Seterusnya hasil
pada level mikro tersebut akan berinteraksi pula pada level meso maupun makro. Dengan
demikian interkontekstualitas tersebut tidak hanya terjadi pada sebuah media. Industri
media sebagai sebuah sistem, tetapi juga dalam konteks masyarakat secara luas. Pada
waktu tertentu sebuah konteks sejarah akan menentukan bobot relatif dari hubungan
kassualitas di antara struktur dan agensi.
Bagaimana dengan disertasi ini ?. Disertasi ini bermula dari rasa ingin tahu yang
amat dalam (curiosity) terhadap konstruksi realitas otonomi daerah. Pertanyaan besar
yang hendak diteliti adalah, bagaimana media melakukan konstruksi realitas otonomi
daerah dan bagaimana frame pemberitaan isu otonomi daerah dari media yang di teliti,
serta melihat hubungan media sebagai agen dengan struktur. Hasil dari interaksi tersebut
bisa dilihat dari isi pemberitaan media. Isi berita media dalam penelitian ini dilihat
sebagai hasil atau produk dari proses strukturasi yang melibatkan media dan struktur,
yang kemudian menjadi kontruksi realitas otonomi daerah.
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat saja dijawab dengan pisau analisis, konstruksi
realitas dan strukturasi. Dari sisi teori strukturasi, dalam menerangkan pemberitaan yang
terjadi pada tahun 2012 dan tahun 2013 mengenai otonomi daerah akan dapat dipotret
interaksi antara media sebagai agen dengan struktur yang melingkupi media tersebut,
yang kemudian mengkonstruksikan berita-berita mengenai otonomi daerah.
2.6.
Kerangka Pemikiran Penelitian
Setelah membicarakan teori, mengenai konstruksi realitas, teori pemerintahan
lokal, dan teori strukturasi, dapat ditarik suatu benang merah keterkaitan antara berbagai
teori tersebut untuk menjadi kerangka penelitian seperti di bawah ini.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
58
Gambar I
Kerangka Pemikiran Penelitian
Structuration Theory
(agency/media)
Konsruksi
Realitas
Otonomi
Daerah
Framing
(Frame Building,
Frame Contestation)
Local Government Theory
Gambar II
Gambar II
Keterkaitan Dalam Kerangka Konseptual
Structuration
Theory
(agency/media)
Local
Government
Theory
Media
Framing
Konstruksi
Realitas
Otonomi
Daerah
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
59
Penelitian ini berangkat dari argumentasi bahwa media ketika menyiarkan berita
terjadi proses interaksi antara media sebagai agen dengan struktur. Media sebagai agen
mempunyai peran dalam mengubah struktur dari sentralisasi ke desentralisasi.
Dalam menyiarkan berita media melakukan pembingkaian berita (framing). Dalam
proses melakukan pembingkaian ini media dan struktur saling berinteraksi, saling
memengaruhi secara timbal balik. Relasi antara media dan struktur dilihat saling
memengaruhi, berinteraksi satu sama lain. Hasil dari interaksi tersebut bisa dilihat dari isi
pemberitaan media. Isi berita media dalam penelitian ini dilihat sebagai hasil atau produk
dari proses strukturasi yang melibatkan media dan struktur, yang kemudian menjadi
kontruksi realitas otonomi daerah. Peran dari teori pemerintahan lokal (local goverment
theory) adalah untuk memahami perubahan dari struktur sentralisasi ke desentralisasi.
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini pada tahap pertama adalah
melakukan penelusuran dan identifikasi berbagai isu-isu yang menonjol (salience issue)
yang terkait dengan isu otonomi daerah pada tiga media yang diteliti tahap pertama ini
pada level mikro. Pada tahap kedua peneliti akan menelusuri proses produksi
pemberitaan yang berlangsung dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan
pemimpin redaksi tiga harian yang diteliti. Untuk mendapatkan gambaran tentang
framing in the newsroom, tahap kedua ini berada dalam level meso. Pada tahap ketiga
dilakukan analisis berdasarkan teori strukturasi untuk melihat saling keterkaitan
(interplay) antar aktor dan struktur, dimana media sebagai agen mempunyai peran dalam
mengubah struktur dari sentralisasi ke desentralisasi, disinilah peran dari teori
pemerintahan lokal (local goverment theory) untuk membantu memahami perubahan dari
struktur sentralisasi ke desentralisasi.
2.7. Sistematika Penulisan
Studi ini berusaha menjelaskan frame pemberitaan media (dalam hal ini Kompas,
Jurnal Nasional, dan Kedaulatan Rakyat) ketika meliput isu otonomi daerah. Dari
kerangka studi framing yang dibuat oleh Priest (2010), studi ini lebih memusatkan
perhatian pada frame building (frame yang muncul dan proses terbentuknya frame).
Studi tidak akan melihat bagaimana efek frame media terhadap khalayak (frame setting).
Seperti telah disinggung di atas, studi dalam kategori frame building bisa dibagi ke dalam
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
60
dua kategori yakni bingkai kontestasi (frame contestation) dan proses atau faktor yang
mempengaruhi terbentuknya frame.
Bab I naskah disertasi ini akan di mulai dengan pendahuluan, kemudian di
lanjutkan dengan Bab II yang berisi kerangka teori, Bab III tentang Metodologi
Penelitian, dan Bab IV naskah disertasi akan menjelaskan mengenai frame building isu
otonomi daerah dalam pemberitaan media, sementara Bab V akan menguraikan frame isu
otonomi daerah pada tiga media yang diteliti, Bab VI akan membicarakan proses
strukturasi isu otonomi daerah, dan di akhiri Bab VII Penutup
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
61
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Paradigma dan Perspektif Penelitian
Ilmuwan sosial seperti Neuman (2006:81) dalam bukunya Social Research Methods
terkadang memberi pengertian paradigma disamakan dengan perspektif atau pendekatan.
Secara garis besar menurut Neuman (2006:79), dalam tradisi penelitian sosial terdapat
tiga paradigma atau perspektif , yaitu, pertama perspektif positivistik, kedua perspektif
interpretif, dan ketiga perspektif kritis, akar perspektif positivistik adalah pemikiran
dari seorang sosiolog Perancis Agust Comte (1798-1857), yang kemudian menyebar dan
dikembangkan oleh beberapa ilmuan sosiologi seperti Emilie Durkheim, John Stuart Mill,
Ferdinand Tonnies.
Perspektif positivistik mempunyai hubungan yang kuat dengan teori sosial seperti
struktural-fungsional dan pilihan rasional. Para peneliti dengan perspektif positivistik
biasanya akan menggunakan data kuantitatif. Para pengusung perspektif ini dalam
penelitian memakai metode eksperimen, survey, dan statistik.
Para peneliti dengan perspektif positivistik berusaha mencari suatu kepastian yang
objektif dengan cara melakukan tes terhadap hipotesis dan menganalisis angka-angka
dari penelitian mereka. Karena penelitian perspektif positivistik ini dalam mencari
objektivitas dengan mengandalkan pengukuran dengan angka-angka, para kritisi
mengatakan perspektif positivistik ini menghilangkan esensi dari manusia dan tidak
dapat mengambarkan secara aktual kehidupan sebenarnya.
Akar pemikiran perspektif interpretif menurut Neuman (2006) dapat dilacak dari
sosiolog Jerman Max Weber dan Wilhem Dilthey, yang pemikirannya di bukukan pada
tahun 1883 yang berjudul Introduction to the Human Sciences. Ada beberapa jenis
penelitian dengan perspektif interpretif ini, antara lain hermeneutic, constructionism,
ethnomethodology, cognitive, phenomenological, idealist. Dalam perspektif interpretif
biasanya peneliti (researcher) melakukan observasi partisipatif disertai riset lapangan.
Teknik riset perspektif ini mengharuskan researcher meluangkan banyak waktu dan
melakukan kontak langsung dengan informan yang akan diteliti.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
62
Perbedaan peneliti perspektif interpretif dengan peneliti perspektif positivistik
adalah sebagai berikut: seorang peneliti perspektif positivistik akan berusaha secara tepat
melakukan pengukuran dengan metode kuantitatif dan mengunakan statistik sedangkan
peneliti dengan perspektif
interpretif akan hidup beberapa tahun dengan obyek
peneltiannya, dan berusaha memahami secara mendalam bagaimana objek penelitian
tersebut menciptakan makna kehidupan mereka sehari-hari. Karena penelitian dengan
perspektif interpretif lebih fokus kepada bagaimana masyarakat berinteraksi dan dapat
hidup bersama dalam suatu wilayah, metode yang mereka gunakan adalah metode
penelitian kualitatif.
Perspektif critical sosial science atau perspektif kritis menurut Neuman (2006)
mempunyai akar pemikiran dari Karl Marx sampai Herbert Marcuse, dari Sigmund Freud
sampai Eric Formm. Perspektif kritis dikembangkan oleh Mazhab Frankfrut pada tahun
1930-an. Menurut Neuman (2006), perspektif kritis menggugat perspektif positivistik
sebagai perspektif yang terlalu sempit, anti demokrasi, dan tidak berperikemanusiaan.
Selain itu, perspektif kritis juga berpendapat perspektif positivistik gagal untuk mengerti
dan menangkap esensi makna manusia secara nyata.
Lebih lanjut Neuman (2006) berpendapat bahwa perspektif kritis juga melancarkan
kritik kepada perspektif interpretif. Menurut pengusung perspektif kritis, pengusung
perspektif interpretif terlalu subjektif dan relativis. Selain itu, perspektif kritis
memandang perspektif interpretif lebih fokus pada tingkat lokal, mikro, dan melihat
masyarakat lebih penting daripada kondisi aktual yang sesungguhnya sehingga
mengabaikan konteks yang lebih luas. Perspektif kritis mendefinisikan ilmu sosial
sebagai proses kritis penyelidikan yang mampu menyingkap ilusi di permukaan untuk
mengungkap struktur nyata dunia, untuk membantu perubahan kondisi masyarakat, dan
membangun dunia yang lebih baik bagi masyarakat.
Penelitian ranah komunikasi juga berkiblat pada tiga perspektif di atas. Para
pengusung perspektif positivistik berpendapat bahwa kaidah-kaidah tata bahasa sintaksis
dan semantik merupakan hal yang utama. Manusia atau individu tidak perlu menyingkap
makna lain yang subjektif dalam suatu teks, pengalaman empiris lebih diutamakan,
sehingga dalam perspektif ini suatu analisis wacana lebih difokuskan untuk memotret
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
63
atau menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa dan pengertian bersama. Hal ini
kemudian menjadikan pengukuran wacana dilakukan dengan parameter kebenaran atau
ketidakbenaran dalam kaidah sintaksis dan semantik.
Perspektif interpretif berusaha mengoreksi pandangan perspektif positivistik.
Menurut perspektif ini subjek dan objek bahasa tidak dapat dipisahkan seperti pandangan
kaum positivistik. Bahasa tidak hanya dilihat untuk memahami realitas objektif saja,
tetapi lebih dari itu dalam perspektif interpretif subjek merupakan faktor utama karena
subjek melakukan kontrol dalam setiap wacana sehingga yang dikerjakan dalam analisis
wacana perspektif interpretif adalah suatu analisis yang mengungkap atau membongkar
maksud dari makna yang tersembunyi dari subjek yang melontarkan suatu wacana atau
pernyataan.
Perspektif kritis melakukan koreksi terhadap perspektif interpretif, para pengusung
perspektif ini melihat bahwa ada masalah yang jauh lebih mendasar daripada yang
diangkat oleh perspektif positivistik maupun perspektif interpretif. Jika dalam perspektif
positivistik para pengusungnya sibuk dengan kaidah-kaidah empirik dan melupakan
makna subjektif, perspektif interpretif lebih mengutamakan subjek sebagai faktor utama
sehingga perlu membongkar maksud tersembunyi dari subjek, para pengusung perspektif
kritis melihat yang lebih penting adalah membongkar proses produksi dan reproduksi
makna yang terjadi, baik secara historis maupun institusional.
Penelitian ini akan menggunakan perspektif interpretif. Perspektif ini dipilih karena
menurut Neuman (2006:88) teori konstruksi sosial merupakan ranah dalam perspektif
interpretif. Dalam kajian ilmu sosial, perspektif interpretif berhubungan dengan
hermeneutics suatu teori tentang meaning (arti) yang muncul pada abad sembilan belas.
Terminologi ini muncul dari dewa dalam mitologi Yunani yang bernama Hermes.
Hermeneutika biasanya digunakan dalam kajian ilmu-ilmu sosial antara lain
filsafat, ilmu agama, bahasa, sejarah dan sebagainya. Dalam kajian hermenetika ini teks
akan diteliti secara rinci dan detail untuk menemukan makna yang tersirat di dalam suatu
teks. Setiap pembaca teks tersebut akan membawa makna yang bebeda-beda ketika
mempelajari teks seorang peneliti akan mencoba memahami dan mendapatkan
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
64
pemahaman yang mendalam tentang bagaimana setiap bagian dari teks itu saling
berhubungan.
Lebih lanjut menurut Neuman (2006:88) ada beberapa ragam mazhab dalam
perspektif interpretif, yaitu hermeneutika, konstruksi sosial, ethnometodologi, cognitive,
idealist, fenomenologi, subjectivist, dan sosiologi kualitatif. Sejarah perspektif interpretif
ini bermula pada tahun 1920-an di Departemen Sosiologi Universitas Chicago. Dalam
riset interpretif biasanya dilakukan dengan cara penelitian lapangan dan pengamatan
partisipatif. Teknik ini mengharuskan peneliti untuk langsung bertemu dengan
informannya dan ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain cara di atas dalam
perspektif interpretif ini peneliti melakukan analisa terhadap transkrip percakapan atau
studi dari rekaman video mengenai perilaku individu dengan sangat detail.
Apa yang dilakukan oleh peneliti dengan perspektif interpretif tentunya sangat
berbeda dengan peneliti dengan perspektif positivistik. Peneliti dengan perspektif
positivistik akan secara serius dan ketat mengukur secara kuantitatif dengan
menggunakan statistik, sedangkan peneliti interpretif, dalam memahami masyarakat
menggunakan cara hidup beberapa tahun dengan masyarakat yang ditelitinya sehingga
para peneliti interpretif akan sangat mengetahui, memahami keseharian masyarakat yang
mereka teliti, dan makna-makna yang ada dalam kehidupan masyarakat yang diteliti.
Perspektif interpretif menurut Neuman adalah (2006:88) suatu analisis sosial yang
sistematis melalui pengamatan langsung secara rinci kepada masyarakat dalam rangka
memahami bagaimana masyarakat menciptakan dan memelihara kehidupan sosial
mereka.
Perspektif interpretif telah lama ada dan selalu berseberangan dengan perspektif
positivistik. Beberapa pengusung perspektif posivistik berpendapat bahwa perspektif
interpretif ini tidak terlalu ilmiah. Secara garis besar Neuman (2006:94) memberikan
kesimpulan mengenai perspektif interpretif ini.
1. The Purpose of social science is to understand social meaning in context.
2. A construsionist view that reality is socially created.
3. Humans are interacting social beings who create and reinforce shared
meaning.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
65
4. A voluntaristic stance is taken regarding human agency.
5. Scientific knowledge is different from but no better than others from.
6. Explanations are idigraphic and advance via inductive reasoning.
7. Explanations are verified using the postulate of adequacy with people being
studied.
8. Social scientific evidence is contingent, context specific and often requires
bracketing.
9. A practical orientation is taken toward knowledge that is used from a
transcendent perspective.
10. Social science should be realistic regarding value positions.
Sesuai dengan perspektif interpretif di atas maka dalam disertasi ini ketika
melakukan analisis teks media akan digunakan pendekatan framing. Dengan analisa
framing diharapkan dapat diungkap dan dibongkar makna yang tersembunyi pada teks
yang diteliti, yaitu teks mengenai otonomi daerah di harian Kompas, harian Jurnal
Nasional, dan harian Kedaulatan Rakyat.
3.2. Harian Kompas, Harian Jurnal Nasional dan Harian Kedaulatan Rakyat
Harian Kompas terbit secara nasional dan merupakan harian yang mempunyai tiras
besar, sedangkan harian Jurnal Nasional adalah harian yang diterbitkan oleh PT Media
Nusa Prada pada tahun 1 Juni 2006 yang terbit secara nasional pada awal berdiri tirasnya
mencapai sekitar 50.000 eksemplar. Kedaulatan Rakyat adalah harian lokal yang terbit di
Daerah Istimewa Yogyakarta yang mempunyai sejarah panjang bahkan diklaim sebagai
koran paling awal yang diterbitkan setelah kemerdekaan Indonesia. Harian Kedaulatan
Rakyat terbit pertama kali tanggal 27 September 1945.
Sejak awal mula berdiri harian Kompas berafiliasi pada suatu kelompok
kepentingan. Di kemudian hari manajemen Kompas berusaha untuk menjadi harian
mandiri dan profesional lepas dari politik aliran. Hasilnya Kompas menjadi salah satu
pemain besar dala industri media cetak di Indonesia, sedangkan harian Jurnal Nasional
ada indikasi mempunyai kedekatan dengan Partai Demokrat. Indikasi tersebut terlihat
antara lain dengan penggagas harian Jurnal Nasional ini adalah Susilo Bambang
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
66
Yudhoyono, pendiri Partai Demokrat sekaligus Presiden Republik Indonesia ke enam (6).
Selain indikasi di atas kedekatan ini dapat dilihat pada komposisi pengurus harian
Jurnal Nasional tahun 2006-2009 dimana Ramadhan Pohan menjadi Pemimpin Redaksi
harian Jurnal Nasional, pada sisi yang lain dalam struktur Partai Demokrat Ramadhan
Pohan menjabat sebagai Ketua Bidang Pusat Informasi Badan Pemenangan Pemilu Partai
Demokrat
Kedaulatan Rakyat adalah harian lokal di Yogyakarta yang pada awal pendiriannya
tidak terlepas dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Menurut Ibnu Hamad (2002:184)
harian Kedaulatan Rakyat (KR) karena letaknya di Yogyakarta, mempunyai kedekatan
dengan Kraton dan Sri Sultan sehingga Kedaulatan Rakyat banyak memberikan liputan
yang positif kepada Partai Golkar karena Sri Sultan merupakan salah satu pengurus
senior di Golkar. Walaupun begitu, lanjut Ibnu Hamad (2002:185), Kedaulatan Rakyat
tetap bersikap baik kepada semua parpol di Yogyakarta.
Sebuah media dalam menyiarkan berita idealnya memang tidak boleh berpihak.
Media harus mampu berdiri dalam wilayah netral. Namun hingga kini hal tersebut
sangatlah sulit dilakukan karena selalu ada saja kekuatan baik dari di luar maupun dalam
media yang dapat berpengaruh terhadap pemberitaan. Proses ini dinamakan gate keeping
atau proses seleksi informasi. Proses ini dipandu oleh beberapa perangkat, yaitu pertama
politik media yang dirumuskan dalam kebijakan redaksional. Kedua adalah respon atau
tuntutan pasar. Kebijakan redaksional merupakan faktor internal media, sedang tuntutan
pasar merupakan faktor eksternal media. Kedua faktor tersebut tentu akan berimbas
kepada tiga media yang hendak dibahas dalam disertasi ini.
Pemilihan ketiga media ini didasari oleh uraian di atas. Media massa dalam hal ini
Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaultan Rakyat tentu mempunyai kebijakan redaksional
tersendiri mengenai isu-isu otonomi daerah sepanjang tahun 2012 dan tahun 2013. Ketiga
media tersebut jika dilihat dari latar belakang kepemilikan media dan pasar media
mempunyai ciri khas masing-masing. Kompas merupakan media nasional yang berpusat
di Jakarta, Kompas didirikan oleh para tokoh-tokoh agama Katolik dan karena itu nama
harian Kompas yang sering diplesetkan namanya jadi Komando Pastur, mempunyai
pasar yang luas dan jumlah tiras yang besar.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
67
Harian Jurnal Nasional mempunyai latar belakang kedekatan dengan Partai
Demokrat yang merupakan partai pengusung Susilo Bambang Yudhoyono yang
merupakan Presiden Republik Indonesia ke 6 (enam). Koran Jurnal Nasional ini
diedarkan ke seluruh Indonesia dengan tiras sekitar 50.000 eksemplar
Harian Kedaulatan Rakyat yang tumbuh dan besar di Yogyakarta merupakan
salah satu koran daerah yang tertua dan mapan. Dalam kepemilikan harian Kedaulatan
Rakyat sejak awal tidak terlihat diwarnai salah satu agama. Namun Kedaulatan Rakyat
karena berada di Yogyakarta tentunya sangat diwarnai budaya Yogyakarta yang sangat
menjunjung tinggi Kraton dan Sultan. Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya dan
pelajar banyak universitas berada di Yogyakarta, para intelektual dari Yogyakarta biasa
mewarnai pertarungan ide-ide tentang otonomi daerah antara lain: Amien Rais, Mochtar
Masoed, Purwo Santoso, Pratikno, Cornelis Lay, dan sebagainya. Berikut ini akan
dikupas profil ketiga media yang akan diteliti.
a. Kompas
Harian Kompas pertama kali terbit tanggal 28 Juni 1965 di Jakarta pada saat
beberapa media massa yang anti Sukarno dan anti PKI di breidel oleh pemerintah.
Kompas didirikan oleh orang-orang yang berasal dari Partai Katolik dan organisasi
pendukungnya. Tawaran untuk menerbitkan koran harian datang dari Frans Seda dan I.J.
Kasimo, yang merupakan tokoh partai Katolik kepada Jakob Oetama dan P.K. Ojong
(Auwjong Peng Koen). Kompas didirikan dengan suatu misi berbau politik menandingi
pemberitaan koran-koran PKI yang begitu dominan karena pada saat itu tiap partai politik
memiliki surat kabar sendiri yang berfungsi sebagai corong partai.
Selain mempunyai kedekatan sejarah dengan Partai Katolik seperti penelusuran
diatas, menurut Parera (2007) berdirinya harian Kompas dianalogikan dengan ”fabian
society made in Indonesia”. Penggambaran jiwa dari harian Kompas dapat disamakan
dengan para cedekiawan dan aktivis sosial di Inggris yang anti komunis, tetapi pro
sosialisme-demokrat (fabian society). Jadi jiwa harian Kompas adalah perwujudan dari
gerakan sosialisme kalangan profesional.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
68
Perintis harian Kompas P.K. Ojong, Ojong sudah dikenal sebagai jurnalis
profesional melalui tulisan-tulisan di mingguan Star Weekly yang sudah kena breidel
pada awal tahun 1961, sedangkan Jakob Oetama mengawali karier jurnalistiknya melalui
penerbit Katolik Penabur 1955. Keduanya bersama-sama menerbitkan majalah bulanan
Intisari sebagai cikal bakal kelompok Kompas Gramedia.
Sebenarnya Jakob Oetama dan P.K. Ojong merasa enggan ketika mereka ditawari
untuk medirikan Kompas oleh Frans Seda dan I.J. Kasimo, Menurut Oetama, lingkungan
politik, ekonomi, dan infrastruktur pada saat itu tidak menunjang, namun Frans Seda
melihat ada sebuah urgensi yang jauh lebih luas ketimbang halangan di atas karena pada
saat itu sejumlah koran yang dikelompokkan dalam BPS dan anti komunis dibreidel
serentak (Jakoeb Oetama, 1992:18)
Harian ini semula akan diberi nama Gagasan Baru, namun nama tersebut ditolak
karena kelewat bombastis, kemudian nama itu diganti harian Bentara Rakyat, ini sesuai
dengan nama penerbitan Katolik yang telah ada. Sehari sebelum terbit Frans Seda pada
tanggal 23 Juni 1965 menghadap Bung Karno melaporkan rencana penerbitan tersebut,
Bung Karno memberi usul supaya harian tersebut diberi nama Kompas agar memberi
petunjuk pendapat baru di Indonesia. Namun nama penerbitnya tetap yayasan Bentara
Rakyat (Ari Zulkifli, 1996:104). Semboyan koran ini, yaitu
“Amanat Hati Nurani
Rakyat”, ada dua maksud didalam semboyan ini yaitu : pertama bahwa tidak semua yang
menggunakan kata rakyat adalah komunis, kedua untuk menandingi PKI yang selalu
menggunakan kata “rakyat” pada saat itu.
Duet Ojong dan Jakob ini merupakan kombinasi yang menarik karena Ojong adalah
seorang peranakan China miskin dari Bukittinggi, dan merupakan jurnalis profesional
yang melihat sebuah realita dan menyampaikannya apa adanya, maka ditangan Ojong
Kompas tumbuh dan berkembang menjadi koran yang sering bersebrangan pendapat
dengan pemerintah. Kritikan Ojong dalam rubrik Kompasiana yang diasuhnya terlihat
tajam, kuat, pendek, dan terus terang. Keberanian Kompas rupanya harus ditebus dengan
dibreidelnya koran ini dua kali, yaitu pada tahun 1974 dan 1978. Pembreidelan tersebut
tidak berlangsung lama dan Kompas tetap boleh terbit setelah menandatangani dua surat
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
69
yang pada pokoknya berisi pengakuan kesalahan dan permintaan maaf yang ditujukan
pada Kopkamtib dan Presiden Suharto (Arie Zulkifli, 1996).
Jakob Oetama dilahirkan di Borobudur Magelang, Jawa Tengah, dan dibesarkan di
Yogyakarta.
Menurut Arie Zulkifli (1996:107), budaya Jawa yang tidak suka akan
adanya konfrontasi secara langsung rupanya sangat memengaruhi filosofi hidup Jakob
Oetama. Hal ini tampak pada pendapatnya “bahwa sebagai orang Jawa, kita tidak boleh
menyakiti orang lain dan berkonfrontasi, melainkan harus mencapai kompromi. Untuk
bertindak lebih lanjut kadang-kadang harus menahan kritik-mundur selangkah untuk
kemudian maju lagi, seorang Jawa tidak boleh mengatakan tidak, yang boleh dikatakan
adalah ya begitu juga bisa, tapi mungkin bisa dengan cara lain”.
Sehingga selepas kepergian Ojong tahun1980, Kompas yang dinahkodai Jakob
Oetama menjadi lebih konservatif dan berhati-hati dalam menurunkan berita-beritanya.
Pada awal tahun 70-an Kompas mulai melepaskan diri dari Partai Katolik dan mulai
menjadi surat kabar umum, dengan tegas Kompas membantah tuduhan harian Pedoman
bahwa Kompas adalah “kelompok istimewa dari barisan Katolik1” (Tjipta Lesmana,
1985).
Setelah lepas dari Partai Katolik, harian Kompas menjadi koran nasional yang
beroplah besar pada awal 70-an tiras yang dicapai 75.000 eksemplar. Mulai tahun 80-an,
ketika industrialisasi pers mulai masuk, Kompas menyambutnya dengan bergairah,
karena menurut Jakob Oetama “Surat kabar yang merugi tak dapat memancarkan sinar
ke sudut-sudut yang gelap, surat kabar yang gulung tikar tidak dapat membela rakyat”.
Semenjak itu Kelompok Kompas Gramedia di bawah nakoda Jakob Oetama melakukan
berbagai macam diversifikasi dan investasi usaha. Tercatat lebih dari 38 perusahaan
mulai dari usaha yang bersentuhan dengan bidang media seperti percetakan, penerbitan
sampai yang tidak ada hubungan sama sekali dengan media, yaitu perhotelan,
supermarket, berada di bawah bendera kelompok Kompas-Gramedia.
1
Mengenai tuduhan banyak pihak bahwa harian Kompas adalah bagian istimewa dari barisan Katolik juga
disanggah oleh Bambang Sigap Sumantri wakil editor Kompas. Dalam wawancara dengan Bambang
Sigap Sumantri dijelaskan bahwa penggagas awal berdirnya koran Kompas adalah Jenderal Achmad Yani
untuk mengimbangi sayap media Partai Komunis Indonesia pada tahun 1964-65, kemudian Jenderal
Achmad Yani mengajak Frans Seda, Kasimo, Ojong, Jacob Oetama untuk mendirikan harian Kompas.
Menurut Bambang Sigap Sumantri, sebenarnya jika mau ditulis di box halaman 15 dalam redaksi harian
Kompas banyak anggota redaksi yang bergelar haji daripada yang non haji.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
70
Harian Kompas sendiri sebagai media massa semenjak diberlakukanya SIUPP pada
tahun 1985 berdiri berdasarkan SK Menpen No 013/SK/menpen/SIUUP/A.7/1985 telah
menjadi raksasa media dengan tiras di atas 500.000 eksemplar ditambah ekstra 100.000
eksemplar untuk edisi minggu.
b. Jurnal Nasional
Harian Jurnal Nasional dalam pendirianya mempunyai kedekatan dengan Partai
Demokrat, partai yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden
Indonesia. Kedekatan dengan Partai Demokrat dapat dilihat dari beberapa hal antara lain
pada komposisi pengurus koran Jurnal Nasional tahun 2006-2009. Ramadhan Pohan,
Pemimpin Redaksi koran Jurnal Nasional, dalam struktur Partai Demokrat Ramadhan
Pohan menjabat sebagai Ketua Bidang Pusat Informasi Badan Pemenangan Pemilu Partai
Demokrat. Selain itu, pada ulang tahun ke empat harian koran Jurnal Nasional Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono datang dan memberi sambutan. Tentu menjadi sangat
spesial sebuah koran yang baru berumur empat tahun mendapatkan tamu istimewa, yaitu
Kepala Negara pada hari ulang tahun koran tersebut.
Harian Jurnal Nasional terbit sejak 1 Juni 2006, mempunyai tiras sekitar 50.000
eksemplar dan 65% diedarkan di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi,
sisanya diedarkan ke berbagai Propinsi dan Kota di seluruh Indonesia. Koran Jurnal
Nasional terbit dalam dua versi, yaitu versi cetak dan versi elektronik (online). Dalam
pengembangannya koran Jurnal Nasional juga menerbitkan koran lokal yaitu Jurnal
Bogor untuk melayani informasi warga Kota Bogor dan Jurnal Depok untuk melayani
warga Kota Depok. Selain itu diterbitkan pula sisipan khusus tematik seperti Top Soccer
untuk pengemar bola, Telematika untuk penggemar telematika, Muamalah untuk
memberi informasi tentang perbankan dan syariah, Frofit suplemen bisnis dan korporasi.
c. Kedaulatan Rakyat
Harian Kedaulatan Rakyat didirikan oleh Haji Muhammad Samawi dan Haji
Soemadi Martono Wonohito di Yogyakarta. Sejarah kelahiran Kedaulatan Rakyat tidak
terlepas dari 2 koran lokal berbahasa jawa, tetapi sudah ditulis dengan huruf latin yaitu
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
71
Sedya Tama dan Sinar Matahari, koran Sedya Tama lahir pada tahun 1930 diterbitkan
oleh Mardi Moelja dengan pimpinan koran bernama Bramono (Hamad: 2002). Pada saat
Jepang menduduki Yogyakarta koran Sedya Tama diganti namanya oleh Jepang menjadi
Sinar Matahari, setelah Jepang pergi dari Yogyakarta koran Sinar Matahari diganti nama
menjadi Kedaulatan Rakyat oleh Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta
yaitu, Mr Soedarisman Poerwokoesoemo.
Menurut Hamad (2002), Kedaulatan Rakyat sebelum mapan dan mengusai pasar
media di Yogyakarta seperti pada saat ini, dalam sejarahnya Kedaulatan Rakyat pernah
juga mengalami masa-masa suram. Ketika Belanda menjalankan agresinya ke
Yogyakarta koran Kedaulatan Rakyat sempat berhenti terbit karena kantor Kedaulatan
Rakyat dirusak oleh Belanda, pada 29 Juni 1949 Kedaulatan Rakyat terbit kembali. Pada
tanggal 2 Oktober 1950 Kedaulatan Rakyat mulai merambah bisnis media profesional
ditandai dengan diresmikannya badan usaha NVBP Kedaulatan Rakyat, tahun 1950-1965
adalah tahun-tahun politik.
Di mana di dalam Kedaulatan Rakyat
mulai dari wartawan sampai pimpinan
memiliki beragam ideologi, yang hampir saja membawa Kedaulatan Rakyat kedalam
haluan salah satu aliran politik tertentu, namun itu tidak terjadi. Setelah peristiwa PKI
selesai, Pemerintah Orde Baru membuat suatu aturan bahwa setiap koran harus bernaung
dalam Parpol, Golkar, atau Pemerintah. Dalam keadaan seperti ini Kedaulatan Rakyat
mengubah nama koran menjadi koran Dwikora edisi DIY dan bernaung di bawah
pemerintah dalam hal ini Departemen Penerangan. Pergantian nama ini tidak lama, hanya
59 hari kemudian kembali menjadi Kedaulatan Rakyat lagi.
Harian Kedaulatan Rakyat
pernah juga mengalami gonjang-ganjing pada sisi
manajerial pada tanggal 4 Oktober 1989. Terjadi eksodus sejumlah wartawan
Kedaulatan Rakyat ke media lain yang menjadi kompetitor Kedaulatan Rakyat di
Yogyakarta. Untuk menanggulangi masalah ini Kedaulatan Rakyat kemudian melakukan
kerjasama dengan harian Jawa Post. Kerjasama tersebut berupa bantuan dua orang
wartawan Jawa Post ditugaskan di harian Kedaulatan Rakyat, sedangkan dalam sisi
keuangan Kedaulatan Rakyat meminta bantuan Probosutedjo, salah satu konglomerat
adik tiri Presiden Suharto untuk masuk menjadi pembina di PT BP Kedaulatan Rakyat.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
72
Pada saat ini nama harian Kedaulatan Rakyat sudah identik dengan nama
Yogyakarta, bahkan masyarakat Yogyakarta jika bertanya sudah baca koran ? itu artinya
apakah sudah baca koran Kedaulatan Rakyat, saat ini Kedaulatan Rakyat mempunyai
tiras lebih dari 100.000 eksemplar, dan terbit dengan 24 halaman. Di bawah bendara PT
BP Kedaulatan Rakyat Group, media ini kemudian berkembang dan memiliki beberapa
media selain harian Kedaulatan Rakyat, media itu antara lain Koran Merapi, Koran
Minggu Pagi, Majalah Ultra, KR Radio FM, dan Kaerindo Wisata Tour dan Travel.
Ketiga teks media di atas akan dibedah dengan menggunakan pisau analisis
framing¸ dengan harapan dapat mengungkap atau membongkar maksud dari makna yang
tersembunyi dari teks otonomi daerah dari ketiga koran di atas dan bagaimana ketiga
koran tersebut melakukan konstruksi realitas terhadap otonomi daerah pada tahun 2012
dan 2013.
1.3.Analisis Teks
Ide framing pertama kali dilontarkan oleh Beteson pada tahun 1955 yang kemudian
diperkenalkan oleh Goffman (1972) dalam studi sosiologi budaya. Ide framing ini
kemudian menjadi ide pokok dalam studi observasi partisipan tentang berita (Tuchman
1978, Fisman 1980, Gamson 1984, Gamson dan Modigliani 1989). Meskipun para ahli
tersebut mempunyai pendangan yang berbeda, namun penekanan bagian framing secara
sosial memberikan pengertian atas apa yang oleh Goffman disebut sebagai “landasan
perilaku” (Gaye Tuchman, dalam Jensen dan Kowski, 1991:92). Pada saat itu frame
dilihat sebagai struktur konseptual kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik
kebijakan dan wacana serta menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi
realitas.
Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada tahun 1974
yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang
membimbing individu dalam membaca realitas. Dalam analisis framing wacana berita
dipandang sebagai suatu arena pertarungan simbolik antara pihak-pihak yang
berkepentingan. Hal itu karena masing-masing pihak menyajikan perspektif untuk
memberikan pemaknaan terhadap suatu persoalan agar dapat diterima khalayak.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
73
Dalam kajian komunikasi pada saat ini framing dipakai untuk membedah ideologi
media pada saat mengkonstruksi fakta. Dengan menggunakan analisis ini, akan terlihat
strategi, seleksi, penonjolan, dan bertautnya fakta dalam suatu berita, sehingga berita
tersebut akan lebih bermakna, menarik, lebih diingat, sehingga dapat menggiring
interpretasi khalayak pembaca berita tersebut.
Media menjadi arena kritis dari pertarungan dan gerakan sosial untuk
menempatkan media pada suatu peran yang sangat menentukan terhadap arti penting
suatu isu yang sedang dibicarakan khalayak. Namun, adanya peningkatan perhatian ini
bukanlah suatu gerakan sosial, tetapi lebih pada suatu penafsiran yang menampilkan
pandangan atas realitas agar mendapat dukungan dari banyak orang (Charlotte Yan,
1999:23)
Esensinya framing adalah upaya media untuk menonjolkan pemaknaan atau
penafsiran mereka terhadap suatu peristiwa. Karena peristiwa atau realitas yang disajikan
secara menonjol memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk diperhatikan khalayak,
untuk melakukan penonjolan pemaknaan tersebut, wartawan biasanya menggunakan
sejumlah strategi misalnya dengan mengabaikan aspek tertentu dari isu yang diangkat,
menempatkan secara mencolok suatu isu, menggunakan tabel tertentu untuk
menggambarkan suatu peristiwa, atau melengkapi penyajian dengan foto-foto.
Gitlin (1980) mendefinisikan frame sebagai seleksi, penegasan, dan ekslusi yang
ketat. Gitlin menghubungkan konsep tersebut dengan proses memproduksi wacana berita
dengan mengatakan frame memungkinkan jurnalis memproses sejumlah besar informasi
secara tepat dan rutin sekaligus mengemas informasi demi penyiaran yang efisien kepada
khalayak, sedangkan menurut Entman (1993) Framing essentially involves selection and
salience. To frame is to select some aspects of a perceived reality and make them more
salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem
definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for
the item described.
Dari pendapat Entman di atas dapat dilihat bahwa fungsi frames adalah
mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral, dan
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
74
menawarkan penyelesaian masalah dengan tujuan memberikan penekanan tertentu
terhadap apa yang diwacanakan.
Entman dan Gitlin bukan satu atau dua ahli yang memberikan definisi tentang
framing. Ada beberapa ahli lain yang membuat definisi tentang framing. Berikut akan
dipaparkan beberapa konsep framing.
Tabel III
Beberapa Konsep Framing
No
Sumber
Konsep
1
Goffman
Frame, Primary Frameworks, Frame Analysis,
Front Stage, Back Stage.
2
Snow, et all
Four Frame alignment process: frame bridging, frame
amplification, frame extension, frame transformation.
3
Iyengar
Episodic Frame : individual responsibility
Thematic Frame: social/collective responsibility.
4
Edelman
Constestable categories.
5
Frame Work
Institute
The six element of frame: context, numbers, messengers,
visuals, metaphors or models, tone.
6
Hallahan
The Seven Models of Framing Process/Strategy: situasion,
attributes, choice, actions, issues,
responsibility and news framing.
7
8
Robert N. Entman Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian
tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan dari
aspek lain. Entman juga menyertakan penempatan informasiinformasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu
mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.
William A.
Gamson
dan Modigliani
Framing adalah cara bercerita atau gagasan ide-ide yang
teroganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi
makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu
wacana. Dari dua pendapat ini dapat dilihat bahwa framing
adalah proses melakukan pengemasan (package) suatu berita.
Kemasan ini semacam suatu struktur pemahaman yang
digunakan oleh individu untuk melakukan konstruksi makna
suatu pesan yang akan disampaikan dan juga untuk melakukan
penafsiran terhadap makna-makna pesan yang diterima.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
75
9
Tod Gitlin
Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan
sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca.
Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar
tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca.
Hal itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan
presentasi aspek tertentu dari realitas.
10
David Esnow dan
Robert Benford
Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi
relevan, frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan
diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra
tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu.
11
Amy Binder
Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk
menempatakan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli
peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame
mengorganisir peristiwa kompleks ke dalam bentuk dan pola
yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti
makna peristiwa.
12
Zhongdang Pan
dan Gerald M
Kosicki
Strategi konstruksi dan memproses berita, perangkat kognisi
yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan
peristiwa dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi
pembentukan berita.
13
Tankard et all
Eleven Frame Mechanism : headlines, subheas, photos, photo
captions, leads, source selection, quotes selection, pull quotes,
logos, statistic/chart, concluding statetment and paragraphs.
Diolah dari berbagai sumber antara lain: Reese, Gandy, Grant, Eriyanto, Fahmi
Dari berbagai definisi tentang
framing di atas, dapat dilihat alurnya bahwa
framing merupakan cara pandang media ketika membingkai suatu realitas sebagai bentuk
dari proses mengkonstruksikan realitas yang ada dan disesuaikan dengan ideologi dan
tujuan dari media tersebut. Dalam framing pendekatan yang digunakan mengedepankan
perspektif multidisipliner dalam menganalisis fenomena dan aktivitas komunikasi.
Lebih lanjut Scheufele (dalam Bryant, 2009: 22) membagi studi framing dalam dua
kelompok. Pertama, studi dalam kategori pembentukan frame (frame building).
Pertanyaan dalam kategori ini berkaitan dengan bagaimana suatu bingkai tertentu bisa
diadopsi dan menjadi wacana yang muncul di benak jurnalis dan masyarakat. Kedua,
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
76
studi dalam ketegori frame setting, yakni bagaimana frame media memberi dampak
kepada khalayak (Priest, 2010: 310).
Skema IV
Frame Building dan Frame Setting
Frame Building
Framing in the
newsroom:
(a) Internal factor
(editorial policies, news,
values)
(b) External factors
Frame Setting
Frames in the news
(a) Issue specific frames
(b) Generic frames
Framing effects
(a) Information
processing effects
(b) Attitudional
effects
(c) Behavioral
effects
Sumber: Priest (2010)
3.3.1 Frame Building
Studi frame building berhubungan dengan bingkai (frame) media seperti apa yang
muncul dan bagaimana proses terbentuknya frame di media. Frame building sendiri bisa
dibagi kedalam dua aspek. Pertama, bingkai (frame) apa yang menonjol dalam
pemberitaan media (frame contestation). Sejumlah ahli seperti Scheufele (2004);
Scheufele (1999); D’Angelo (2000) membagi frame yang muncul dalam pemberitaan
media ini ke dalam dua bentuk, yakni frame khusus yang berkenaan dengan isu tertentu
(issue specific frames) dan framing umum (generic frame). Frame khusus (issue specific
frame) dipergunakan oleh media ketika meliput isu tertentu, sementara frame umum
(generic frames) adalah bingkai utama yang dipergunakan oleh media dalam meliput
semua isu.
Frame khusus dan frame spesifik mempunyai keterkaitan satu sama lain. Media
umumnya mempunyai frame utama (core frame). Frame utama tersebut dipergunakan
ketika melihat dan meliput isu-isu spesifik sehari-hari. Antara frame utama dan frame
spesifik karenanya selalu konsisten (lihat Scheufele dalam Bryant, 2002:22). Sebagai
misal, media tertentu mempunyai frame otonomi daerah sebagai suatu kebijakan yang
salah. Ketika media tersebut meliput isu-isu spesifik (seperti kasus Pilkada, dinasti
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
77
politik, pemekaran daerah dan sebagainya), media akan mempergunakan frame umumnya
tersebut. Sebagai akibatnya, frame media ketika meliput isu spesifik itu akan cenderung
negatif. Karena media berpandangan bahwa otonomi daerah sebagai sesuatu yang tidak
baik dan kebijakan yang buruk, berbagai isu spesifik akan dinilai dengan menggunakan
frame tersebut.
Kedua, proses pembentukan frame. Aspek kedua dari studi frame building
berkaitan dengan bagaimana proses pembentukan frame, mengapa media tertentu
mempunyai frame berbeda dengan media lain.
Scheufele (1999) membagi proses
pembentukan frame ke dalam dua aspek. (a) Internal. Aspek ini mengacu kepada praktek
produksi berita yang mempengaruhi bagaimana jurnalis membingkai berita. Van Dijk
(1985) melihat aspek internal ini berkaitan dengan rutinitas media dan standar
profesionalitas jurnalis. (b) Eksternal. Aspek ini mengacu kepada kekuatan-kekuatan di
luar jurnalis dan media yang ikut memengaruhi proses terbentuknya frame. Menurut
Scheufele (1999), aspek eksternal ini bisa berasal dari elit, termasuk kelompok
kepentingan, birokrasi pemerintahan, politik atau perusahaan tertentu. Semua kelompok
ini secara rutin terlibat dan memiliki potensi mempengaruhi bagaimana sebuah frame itu
dibangun oleh jurnalis.
Di luar aspek internal dan eksternal tersebut, Scheufele (dalam Bryant, 2009)
mengingatkan pentingnya akar budaya bagi proses terbentuknya frame. Bingkai (frame)
media adalah representasi dari budaya yang ada dalam masyarakat. Bingkai tidak hanya
dikomunikasikan dalam pesan, tetapi juga menyiratkan sebuah peristiwa dalam konteks
tertentu. Bingkai berita menjadi semacam referensial bagi masyarakat tentang suatu
budaya yang terjadi saat itu. Keberadaan bingkai pada dasarnya mengajak khalayak untuk
menerapkan informasi dan makna dimana nilai-nilai suatu budaya berada dalam bingkai
berita (Scheufele dalam Bryant, 2000: 23). Menurut Van Gorp (2007), jurnalis bekerja
dalam budaya masyarakat, dan karena itu jurnalis secara sadar membangun frame yang
disepakati bersama.
Wick (dalam Kalbfleisch, 2005:342-344) meringkas aspek internal dan eksternal
dalam terbentuknya frame tersebut ke dalam 4 hal. Keempatnya menurut Wick
memengaruhi bagaimana frame terbentuk dalam pemberitaan media. (a) Orientasi politik
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
78
dan ekonomi media. Jurnalis dengan orientasi konservatif dan liberal akan mempunyai
cara yang berbeda dalam melihat suatu peristiwa dan pada akhirnya frame yang
dihasilkan. (b) Praktek dan kendala organisasi. Jurnalis bekerja dalam batasan aturan
sebuah organisasi tertentu. Informasi yang rumit dibuat sederhana guna mengakomodasi
kepentingan organisasi media. Berita yang muncul dan di sajikan kepada khalayak
merupakan serangkaian set nilai-nilai yang sudah disepakati oleh organisasi media. (c)
Sistem kepercayaan media. Jurnalis membuat berita dan menjelaskan informasi yang
didapatnya berdasarkan sistem kepercayaan yang dimiliki. (d) Teknik menarik khalayak.
Tujuan utama dari organisasi media adalah menarik khalayaknya. Organisasi media lebih
memilih mencari efek emosional dari sebuah berita di mana menempatkan berita penuh
emosi guna memancing emosional khalayak.
3.3.2
Frame Setting
Frame setting berkaitan dengan bagaimana frame media memengaruhi khalayak.
Pada tingkat yang paling dasar, bingkai (frame) membantu orang mencari tahu suatu isu
dan memberi pemahaman tentang isu tersebut. Frame juga berguna bagi seseorang dalam
membuat informasi menjadi masuk akal (coomon sense) ketika memproses dan mengolah
informasi. Seseorang akan menggunakan skema pemahaman ketika menilai isu tertentu
dengan menghubungkan keyakinan yang ada seperti nilai, sikap, dan keyakinannya.
Menurut Priest (2010:310), meskipun bingkai (frame) dapat memengaruhi
khalayak, dampak atau efek tersebut akan ditentukan oleh pemahaman, skema kognitif,
dan pandangan awal (predisposisi) atas suatu isu, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi bagaimana orang memproses pesan-pesan. Efek framing bagi seseorang
sangat tergantung kepada nilai dan predisposisi khalayak seperti skema moral, pola
kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya. Orang dengan nilai dan predisposisi yang
berbeda akan menilia frame dengan cara yang berbeda pula.
Efek framing karena itu tidak berlaku sama bagi semua orang. Bingkai berita tidak
selalu membentuk pemahaman tunggal seseorang ketika memahami suatu masalah. Efek
frame media hanya muncul jikalau frame media tersebut beresonansi dengan skema yang
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
79
sudah ada pada diri individu. Setiap individu memiliki proses yang unik dalam
mengkonstruksi pengetahuan yang ada dalam memorinya (Priest, 2010: 310).
Ketika seseorang membaca sebuah berita yang menekankan aspek tertentu dari
suatu isu, orang akan mengaktifkan skema pemikirannya, dan menyesuaikan apakah
bingkai tersebut sesuai ataukah tidak dengan pemahaman dan predisposisi yang dimiliki
sebelumnya. Semakin beresonansi bingkai dengan nilai-nilai seseorang, semakin besar
kemungkinan bingkai tersebut diterima oleh khalayak. Pada titik ini, frame media akan
lebih mempengaruhi khalayak (Priest, 2010:310).
Disertasi ini akan menggunakan model framing Robert N Entman. Framing model
Entman dipilih karena dalam konsep Entman framing dapat dipakai untuk
menggambarkan proses seleksi suatu isu, serta menonjolkan beberapa aspek tertentu dari
suatu realitas oleh media2. Dengan cara media lebih menonjolkan suatu teks tertentu yang
dianggap lebih penting, lebih bermakna pada pemberitaan media, diasumsikan akan
membuat para pembaca media tersebut lebih mudah menerima dan mengingat sebuah
berita.
Media dalam praktiknya akan memilah dan memilih suatu isu. Pada satu sisi, media
akan mengambil dan mewartakan suatu isu, pada sisi yang lain media akan mengabaikan
bahkan membuang isu yang lain. Isu yang dipilih dan diwartakan oleh suatu media, akan
diolah sedemikian rupa dengan menggunakan strategi wacana, antara lain menempatkan
suatu isu di halaman depan (head line). Dengan seperti itu isu tersebut akan sangat
mencolok dan mudah dilihat atau dibaca. Selain itu penggunakan grafis, pengulangan,
labeling, simplifikasi, generalisasi dan sebagainya. Dengan strategi di atas maka akan
2
Menurut Entman dalam tulisannya di Journal of Communication (1993:52) Framing essentially involves
selection and salience. To frame is to select some aspects of a perceived reality and make them more
salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal
interpretation, moral evaluation and/or treatment recommendation for the item desciribe, dari
pendapat diatas, terlihat Entman memberikan penekanan pada dua aspek penting yaitu, pertama
Seleksi isu, dan kedua Penonjolan berbagai aspek tertentu dari sebuah realitas. Dalam seleksi isu
menurut Entman aspek yang paling menonjol adalah pemilihan fakta, dalam pemilihan fakta ini ada dua
hal yang penting yaitu fakta yang dimasukan (included) dan fakta yang di keluarkan (exluded).
Sedangkan dalam penonjolan aspek tertentu menurut Entman berhubungan dengan penulisan fakta,
yaitu bagaimana mana fakta yang dipilih tersebut di tulis dan kemudian ini akan menghasilkan citra pada
pembaca media.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
80
dikonstruksi suatu berita yang lebih menonjol sehingga akan mudah diingat serta
bermakna bagi khalayak pembaca media.
Lebih lanjut Entman3 memperkenalkan 4 (empat) elemen penting dalam framing.
Empat elemen itu adalah sebagai berikut.
Tabel IV
Framing Model Entman
1.
Define Problems
(Pendefinisian Masalah)
Bagaimana suatu isu dilihat ?, dan sebagai apa atau
sebagai masalah apa suatu isu itu dilihat ?
2.
Diagnose Causes
Suatu isu atau peristiwa terjadi disebabkan oleh
(Perkiraan Sumber Masalah) apa ?, dan siapa aktor yang dianggap sebagai
penyebab masalah ?
3.
Make Moral Judgement
(Membuat Keputusan
Moral)
Nilai-nilai moral apakah yang dipakai untuk
melakukan legitimasi atau malah mendeligitmasi
suatu tindakan ?
4.
Treatment Recommendation
(Menekankan Penyelesaian)
Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi
suatu masalah ?, cara apa yang harus dipakai dalam
mengatasi suatu masalah/isu.
Secara garis besar dapat diterangkan empat elemen framing model Entman sebagai
berikut, pertama Define Problem adalah elemen yang pokok. Elemen ini adalah bingkai
utama atau master frame. Elemen ini memperlihatkan bagaimana suatu isu atau peristiwa
di mengerti oleh wartawan, bisa saja suatu isu yang sama dipahami secara berbeda oleh
wartawan sehingga realita yang disiarkan lewat media akan berbeda pula, kedua
Diagnose Causes dalam elemen kedua ini yang menjadi titik berat adalah siapa aktor
utama dalam suatu kejadian atau peristiwa. Penyebab dalam elemen kedua ini dapat
dimaknai “siapa” yang membuat peristiwa itu terjadi (who) dan apa yang menjadi sumber
3
Empat elemen penting dalam framing menurut Entman dalam Journal of Communication (1993:52)
yaitu, pertama Define Problems—determine what a casual agents is doing with what benefit, kedua
Diagnose cause—identify the force creating the problem, ketiga Make moral judgment—evaluate causal
agents and their effects, keempat Treatment Recommendation (suggest remedies)—offer and justify
treatments for the problems and predict their likely effects.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
81
masalah (what), ketiga Make Moral Judgement adalah elemen yang digunakan untuk
melakukan pembenaran dengan memberikan berbagai argumentasi pada pedefinisian
masalah yang sudah dibuat, empat Treatment Recommendation adalah elemen yang
digunakan untuk melihat apa yang sebenarnya dikehendaki oleh wartawan, bagaimana
cara yang akan dipilih untuk menyelesaikan suatu masalah.
Disertasi ini akan melihat bagaimana bingkai pemberitaan otonomi daerah pada
tiga media massa (Kompas, Kedaulatan Rakyat, dan Jurnal Nasional). Dengan
menggunakan framing model Entman ini akan lebih jelas dipetakan bagaimana media
dalam membingkai suatu berita otonomi daerah, berita-berita yang diteliti nanti akan
dilihat satu persatu dan di bedah dengan 4 elemen framing Entman.
3.4
Keabsahan Penelitian
Dalam keabsahan penelitian akan dibahas dua topik utama, yaitu reliabilitas dan
validitas. Reliabilitas dan validitas merupakan suatu hal yang sangat penting dalam setiap
penelitian. Menurut Neuman (2006:188), reliabilitas adalah konsistensi. Artinya, apabila
dilakukan suatu pengukuran kembali terhadap sebuah gejala atau fenomena yang sama
dengan alat tersebut maka akan diperoleh sebuah hasil yang relatif sama. Dengan
demikian reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur dalam mengukur
suatu gejala yang sama. Adapun validitas menurut Neuman (2006:188) merujuk kepada
kebenaran atau menurut kenyataan. Sederhananya validitas adalah membahas pertanyaan
seberapa baik realitas sosial diukur melalui suatu penelitian atau menunjukkan sejauh
mana suatu alat pengukur itu mampu mengukur apa yang ingin diukur dalam realitas
sosial.
Dalam penelitian kualitatif, menurut Neuman (2006:196), reliabilitas diterjemahkan
dengan menggunakan teknik penelitian sebagai berikut: interview, partisipasi, fotografi,
studi dokumen, dan sebagainya. Para peneliti dengan menggunakan metode kualitatif
selalu berusaha untuk konsisten, tetapi salah satu masalahnya adalah dalam penelitian
ilmu-ilmu sosial dengan menggunakan metode kualitatif ini sering dipelajari atau diteliti
proses-proses yang tidak stabil dari waktu ke waktu. Untuk itu para peneliti dengan
menggunakan metode kualitatif menggunakan berbagai sumber data dalam melakukan
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
82
suatu pengukuran. Dalam metode kualitatif pengumpulan data adalah suatu proses
interaktif yang unik antara peneliti dan objek yang diteliti.
Sedangkan validitas menurut Neuman (2006) dalam metode kualitatif diartikan
sebagai kebenaran atau menurut kenyataan. Pengukuran validitas dalam penelitian
kualitatif tidak perlu menunjukkan korespondensi tetap antara konsep abstrak yang telah
didefinisikan dan ukuran yang telah dikalibrasi secara cermat untuk penampilan
empirisnya. Ada tiga hal yang ditekankan oleh Neuman (2006) dalam membangun
validitas penelitian untuk riset kualitatif yaitu, pertama klaim kebenaran peneliti harus
masuk akal, kedua peneliti kualitatif harus bersikap jujur, dan mencoba untuk membuat
pemahaman, ide, dan pernyataan tentang dunia sosial serta hal-hal yang terjadi di
dalamnya, ketiga validitas akan meningkat ketika peneliti terus-menerus mencari secara
mendalam data yang beragam dan mempertimbangkan hubungan antara mereka.
Para peneliti kualitatif lebih tertarik melihat, mendalami, membedah aspek
keaslian objek penelitian. Keaslian di sini dapat dipahami untuk berusaha memberikan
penilaian yang seimbang dan jujur pada suatu kehidupan sosial yang diteliti. Para peneliti
kualitatif lebih menekankan pada aspek memberikan gambaran pada kehidupan sosial
yang mereka teliti secara benar.
Mereka berkonsentrasi melakukan penelitian secara mendalam dan berusaha
memahami realitas sosial objek yang mereka teliti. Para peneliti dengan metode kualitatif
harus mematuhi prinsip inti dari validitas yaitu kebenaran atau menurut kenyataan
dengan cara menghindari distorsi dalam penelitian, distorsi dapat diminimalkan dengan
mencoba memahami objek penelitian dan mencocokkan dengan apa yang sebenarnya
terjadi di dalam kehidupan sosial mereka.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
83
BAB IV
FRAME BUILDING
BERITA OTONOMI DAERAH
Bab IV ini membedah dinamika frame building di tiga koran yang diteliti. Pada
proses pembentukan frame (frame building), ada pertanyaan besar, yaitu mengapa
media tertentu mempunyai frame berbeda dengan media lain. Scheufele (1999)
berpendapat bahwa proses pembentukan frame terdiri dari dua aspek, yaitu aspek internal
dan aspek eksternal.
Aspek internal mengacu kepada praktek produksi berita yang mempengaruhi
bagaimana wartawan ketika membingkai berita, sedangkan menurut Van Dijk (1985)
aspek internal ini berkaitan dengan rutinitas media dan standar profesionalitas jurnalis.
Aspek Eksternal, mengacu pada berbagai kekuatan di luar wartawan dan media yang ikut
mempengaruhi proses terbentuknya frame. Lebih lanjut, Scheufele (1999) berpendapat,
aspek eksternal ini bisa berasal dari kelompok elit, termasuk kelompok kepentingan,
birokrasi pemerintahan, politik atau perusahaan. Semua kelompok ini secara rutin terlibat
dan berpengaruh pada bagaimana sebuah frame itu dibangun oleh jurnalis
Seperti pendapat Scheufele (1999) di atas, dalam disertasi ini strategi yang
digunakan untuk membedah aspek internal pembentukan bingkai adalah, pertama
mengidentifikasi isu-isu berkaitan dengan otonomi daerah yang terjadi pada 2012 dan
2013. Semua berita yang berkaitan dengan relasi pusat dengan daerah akan dikumpulkan,
kedua dilakukan wawancara mendalam terhadap narasumber yang kompeten pada tiga
media yang diteliti, ketiga narasumber tersebut adalah, harian Kompas di wakili oleh
Bambang Sigap Sumantri (Wakil Redaktur Pelaksana), harian Jurnal Nasional oleh Budi
Winarno (Pemimpin Redaksi), dan harian Kedaulatan Rakyat oleh Octo Lampito
(Pemimpin Redaksi). Dari wawancara ini akan di ketahui praktek produksi berita dari
tiga media yang diteliti.
Kemudian, untuk membedah aspek eksternal, di gunakan strategi wawancara
mendalam dengan nara sumber yang relevan dengan isu otonomi daerah. Narasumber
yang diwawancarai adalah mereka yang memiliki kompetensi mengenai isu otonomi
daerah dan sering menjadi rujukan media ketika menulis tentang otonomi daerah, yaitu,
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
84
Prof. Dr. Djohermansyah Djohan., M.A. (Direktur Jendral Otonomi Daerah Kemendagri),
Drs. I Made Suwandi., Ph.D (Ketua Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah), dan Prof
Purwo Santoso, Ph.D (Guru Besar Ilmu
Pemerintahan UGM Yogyakarta).
Dua narasumber pertama dipilih (Prof. Dr. Djohermansyah Djohan., MA, dan
Drs. I Made Suwandi., PhD) karena ahli otonomi daerah dan memiliki akses kekuasaan
(power) yang berhubungan dengan isu otonomi daerah serta merupakan representasi dari
pemerintah pusat. Narasumber ketiga (Prof Purwo Santoso, Ph.D) adalah ilmuwan
pemerintahan yang mempunyai kompetensi terhadap isu otonomi daerah dan merupakan
representasi dari ilmuwan yang sering menyuarakan kehendak lokal (daerah).
4.1. Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah di Harian Kompas
Pada tahun 2012 dan 2013 di harian Kompas terkumpul berita tentang isu otonomi
daerah sejumlah 187 berita. Dari 187 berita tersebut kemudian dipilih lima isu utama
yang muncul dalam pemberitaan di harian Kompas, yaitu
Tabel V
Isu Otonomi Daerah Harian Kompas 2012 dan 2013
No
ISU / TOPIK
Kompas
Frekuensi Persen
74
39,6 %
1.
Pemekaran daerah
2.
Keistimewaan Yogyakarta
54
28,9 %
3.
Dinasti politik
17
9,1 %
4.
Korupsi elite lokal
18
9,6 %
5.
Pilkada gubernur
24
12,8 %
Total
187
100 %
Setelah di dapatkan isu atau topik mengenai otonomi daerah di atas, maka langkah
selanjutnya untuk menyelidiki proses pemberitaan harian Kompas, diadakan wawancara
mendalam dengan Bambang Sigap Sumantri (Wakil Redaktur Pelaksana). Menurut
Sumantri proses produksi berita di Kompas di mulai pada pukul 09.00. Pada saat itu
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
85
diadakan rapat redaksi yang diikuti 12 desk, dan juga desk daerah. Dalam rapat tersebut
diusulkan berbagai topik yang hendak diliput. Setelah disetujui maka topik yang akan di
liput akan dikawal oleh redaktur pelaksana.
Pada pukul 16.00 diadakan rapat kedua untuk membuat daftar berita yang sudah
diperoleh. Pada rapat kedua ini tiap-tiap desk akan berdiskusi untuk menentukan beritaberita mana saja yang layak naik dan layak untuk menjadi head line. Biasanya yang bisa
naik tayang adalah berita-berita yang menarik mengenai berbagai peristiwa, baik di pusat
maupun di daerah, sementara
berita yang bersifat wacana seperti seminar atau
seremonial tidak menjadi fokus utama. Kalau pun naik tayang untuk diberitakan, berita
itu hanya diambil tokoh-tokoh dalam seminar atau seremonial saja.
Sikap harian Kompas terhadap otonomi daerah menurut Bambang Sigap Sumantri
sejalan dengan kemajuan demokrasi di Indonesia dan Kompas memberi perhatian khusus
terhadap kebijakan otonomi daerah ini semenjak reformasi bergulir. Pada tahun 2000
Kompas telah memasang beberapa kali berita mengenai otonomi daerah menjadi head
line, termasuk yang terakhir pada tahun 2014 tentang pemilihan kepala daerah juga
sebagai head line Kompas.
Hal ini menurut Bambang Sigap Sumantri menunjukkan Kompas menaruh
perhatian besar pada isu otonomi daerah. Lebih lanjut Bambang Sigap Sumantri
menjelaskan pada awal-awal kebijakan tentang otonomi daerah Kompas mempunyai
halaman khusus mengenai otonomi daerah. Dari halaman khusus otonomi daerah tersebut
Kompas dapat membuat 5 buku tebal mengenai potret otonomi daerah di Indonesia.
Dalam buku tersebut menurut Bambang Sigap Sumantri tidak hanya aspek pemerintahan
saja yang dipotret namun juga aspek sosial, politik, budaya, dan ekonomi suatu daerah.
Sekarang halaman khusus mengenai otonomi daerah dimasukan ke dalam halaman
nusantara, bukan berarti tidak lagi perhatian terhadap isu otonomi daerah karena dalam
halaman nusantara tersebut ada satu halaman penuh yaitu halaman 23 atau 24 berisi
perkembangan daerah.
Untuk mendapatkan berita-berita tentang daerah Kompas mengandalkan desk
daerah yang sudah ada sejak tahun 1980-an. Selain itu Kompas mempunyai sebaran
wartawan yang luas mulai dari Aceh sampai Papua. Desk daerah ini diwadahi dalam desk
nusantara dengan jumlah wartawan terbesar yaitu 72 wartawan. selain dari desk daerah
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
86
Kompas juga menjalin kerjasama dengan kantor berita seperti Antara, Indopersda, dan
harian Tribun daerah. Posisi harian Tribun daerah sendiri menurut Bambang Sigap
Sumantri adalah media harian binaan dari Kompas, ada sinergi antara Kompas dan harian
Tribun di daerah.
Pada saat ini Kompas merupakan salah satu koran terbesar di Indonesia. Menurut
Sumatri tiras harian Kompas pada saat ini mencapai 500.000 eksemplar pada terbitan
Senin sampai Sabtu, sedangkan edisi hari Minggu mencapai 600.000 eksemplar. Harian
Kompas di distribusikan di seluruh Indonesia. Dengan tiras terbesar di DKI Jakarta yaitu
45% dari 500.000 eksemplar diatas, sisanya 55 % di luar DKI Jakarta. Pada sisi lain
Kompas juga mendapatkan pemasukan dari iklan yang besar, walaupun tidak
menyebutkan secara eksplisit berapa jumlah pendapatan dari iklan, namun Bambang
Sigap Sumantri mengakui bahwa ber iklan di Kompas cukup mahal.
Menurut Bambang Sigap Sumantri pada saat ini harian Kompas telah melebarkan
sayap ke bidang online, dengan membuat situs Kompas.com. Hal ini merupakan strategi
untuk menghadapi dinamika bisnis media masa depan, yang berbasis pada tekologi
informasi. Penuturan Bambang Sigap Sumantri ini sebangun dengan tulisan pendiri
Kompas Jacob Oetama pada ulang tahun harian Kompas 28 Juni 2010 yang berjudul
“Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia”, dalam tulisan itu Jacob Oetama bercerita
tentang strategi harian Kompas menerapkan kebijakan 3 M yaitu “Multi Channel, Multi
Platform, dan Multi Media”.
4.2. Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah di Harian Jurnal Nasional
Harian Jurnal Nasional pada tahun 2012 dan 2013 menyiarkan 123 berita
mengenai otonomi daerah, dari 123 berita tersebut dipetakan kedalam lima isu utama
yang sering muncul di harian Jurnal Nasional, yaitu
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
87
Tabel VI
Isu Otonomi Daerah Harian Jurnal Nasional 2012 dan 2013
No.
ISU / TOPIK
Jurnal Nasional
Frekuensi
Persen
20
16,3 %
1
Pemekaran daerah
2
Keistimewaan Yogyakarta
39
31,7 %
3
Dinasti politik
16
13 %
4
Korupsi elite lokal
16
13 %
5
Pilkada gubernur
32
26 %
Total
123
100 %
Menurut Budi Winarno Pemimpin Redaksi harian
Jurnal Nasional. Proses
produksi berita pada harian Jurnal Nasional dimulai pagi hari dengan rapat redaksi,
yang dihadiri pimpinan redaksi, dan semua redaktur, dalam rapat ini direncanakan topik
atau isu yang hendak diliput pada hari itu. Isu atau topik-topik yang hendak diliput
kemudian dibuat matrik liputan. Berdasarkan matrik liputan itu kemudian redaktur
memberi tugas kepada reporter untuk mencari berita tersebut. Pada sore hari setelah
reporter pulang dari lapangan, mereka akan melaporkan tugas mereka ke redaktur yang
menugaskan tadi.
Pada sore hari redaktur memilih berita yang paling kuat untuk naik ke percetakan.
Jika berita tersebut dirasa kurang oleh redaktur, maka ia akan menugaskan kembali
reporter untuk memperdalam berita tersebut karena untuk halaman nasional dead line
ditetapkan pukul 21.00, sedangkan untuk berita daerah dead line pukul 19.00.
Lebih lanjut menurut Budi Winarno, parameter berita kuat yang akan disiarkan oleh
harian Jurnal Nasional harus memiliki rumus dasar 5 W + 1 H dengan penekanan
menjawab pertanyaan masyarakat karena harian Jurnal Nasional ini diposisikan berada di
tengah-tengah, artinya tidak hanya berpatokan bad news is a good news. Lebih lanjut
menurut Budi Winarno jika suatu kebijakan pemerintah itu bagus maka kebijakan
tersebut juga wajib untuk diberitakan, sehingga harian Jurnal Nasional dalam hal
pemberitaan lebih condong memberikan informasi yang benar kepada masyarakat.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
88
Kebijakan redaksional di atas diakui oleh Budi Winarno tidak terlepas dengan
kedekatan harian Jurnal Nasional ini dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Salah satu hal yang menarik adalah pernyataan dari Budi Winarno yang
menggambarkan bagaimana kedekatan Jurnal Nasional dengan Istana. Jika ada suatu isu
otonomi daerah yang kurang dipahami oleh awak media Jurnal Nasional, maka tidak
segan-segan awak media Jurnal Nasional berkonsultasi dengan Velix Wanggai (staf
khusus Presiden SBY bidang pemerintah daerah) untuk meminta Velix Wanggai
memberi arahan/penjelasan dari suatu kebijakan mengenai otonomi daerah.
Pada harian Jurnal Nasional tidak ada rubrik khusus mengenai otonomi daerah,
tetapi dalam penjelasan Budi Winarno berita yang berada dalam halaman nusantara, telah
mencerminkan berita-berita mengenai otonomi daerah. Lebih lanjut dijelaskan untuk
mendapatkan berita harian Jurnal Nasional selain mengandalkan wartawan di kantor
pusat Jakarta juga mengandalkan desk daerah yang tersebar di berbagai propinsi dan ada
kerjasama dengan Antara.
Untuk berita mengenai otonomi daerah, penjelasan dari Budi Winarno merupakan
berita yang penting, jarang sekali harian Jurnal Nasional menolak berita mengenai
otonomi daerah. Harian Jurnal Nasional memaknai otonomi daerah tidak lahir pada
zaman reformasi, namun jauh sebelum itu, sudah ada otonomi daerah. Kemudian pada
tahun 1999 ketika pemerintahan berciri sentralistik tumbang, Presiden Habibie membuat
undang-undang mengenai otonomi daerah. Budi Winarno menjelaskan mengapa harian
Jurnal Nasional sangat perhatian (concern) terhadap otonomi daerah karena pertama ada
Undang-Undang Otonomi Daerah dan kedua pendiri harian Jurnal Nasional yaitu Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) sangat pro otonomi daerah.
Harian Jurnal Nasional menurut Budi Winarno mempunyai tiras harian sekitar
30.000 eksemplar, disadari oleh Budi Winarno tiras ini kurang mengembirakan, padahal
pada awal beridiri harian Jurnal Nasional mampu menembus tiras 50.000 eksemplar per
hari. Penurunan tiras ini menurut Budi Winarno diakibatkan persaingan dalam bisnis
media massa cukup pelik dan untuk mengantisipasi hal diatas maka harian Jurnal
Nasional mulai melirik bisnis media internet (dotcom), pada sisi yang lain di sadari juga
bahwa iklan yang masuk di harian Jurnal Nasional kurang menggembirakan, tetapi
menurut Budi Winarno karena harian Jurnal Nasional ini dekat dengan Presiden Susilo
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
89
Bambang Yudhoyono maka untuk pendanaan selalu ada dari investor, walaupun Budi
Winarno enggan menyebutkan nama investor di harian Jurnal Nasional, secara tidak
secara eksplisit Budi Winarno menyebutkan investor di harian Jurnal Nasional adalah
investor itu berasal dari dalam negeri, bukan investor luar negeri. Pada saat ini sebaran
harian Jurnal Nasional ada di 18 Provinsi di Indonesia, dengan terbanyak ada di Pulau
Jawa, khususnya di DKI Jakarta.
4.3. Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah di Harian Kedaulatan
Rakyat
Harian Kedaulatan Rakyat pada tahun 2012 dan 2013 memiliki isu otonomi
daerah sejumlah 102 berita. Dari 102 berita tersebut kemudian dipilih lima isu utama
yang sering muncul di harian Kedaulatan Rakyat, kelima isu utama sebagai berikut.
Tabel VII
Isu Otonomi Daerah Harian Kedaulatan Rakyat 2012 dan 2013
No.
ISU / TOPIK
Kedaulatan Rakyat
Frekuensi
Persen
4
3,9 %
1.
Pemekaran
daerah
2.
Keistimewaan
Yogyakarta
83
81,4 %
3.
Dinasti politik
3
3%
4.
Korupsi elite
lokal
4
3,9 %
5.
Pilkada gubernur
8
7,8 %
Total
102
100 %
Alur proses produksi berita pada harian Kedaulatan Rakyat tidak berbeda dengan
dua media di atas. Pada pagi hari ada rapat redaksi yang akan menentukan isu atau topiktopik apa saja yang diliput, kemudian wartawan lapangan meliput peritiwa yang di
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
90
tugaskan dan sorenya kembali untuk melaporkan kepada redaktur yang menugaskan
wartawan lapangan tersebut.
Menurut Octo Lampito (Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat) yang membedakan
harian Kedaulatan Rakyat dengan media lain adalah karakter pemberitaan harian
Kedaulatan Rakyat, yang sangat kental kultur Yogyakarta yaitu isi berita yang tidak
meledak-ledak atau bombastis. Jika ada kritik, kritik tersebut tidak harus diberitakan
secara keras, tetapi yang penting substansi dari kritikan tersebut mengena. Dengan gaya
berita seperti ini menurut Octo Lampito lebih dapat diterima masyarakat Yogyakarta
serta Jawa Tengah, dan membuat Kedaulatan Rakyat dapat bertahan sampai sekarang
sebagai koran paling senior di Indonesia.
Lebih lanjut Octo Lampito menjelaskan bahwa dalam memilih berita yang akan di
tayangkan oleh Kedaulatan Rakyat yang terpenting adalah berita tersebut harus
berdasarkan fakta, dan sudah di konfirmasi atau diverifikasi para narasumber, selain itu
ada penekanan lain adalah Kedaulatan Rakyat berusaha menayangkan berita yang tidak
meresahkan warga.
Pada harian Kedaulatan Rakyat menurut Octo Lampito tidak ada halaman khusus
menganai otonomi daerah, karena Kedaulatan Rakyat adalah koran daerah, namun jika di
lihat pada Koran Kedaulatan ada halam-halaman yang khusus memberitakan tentang
daerah baik dalam wilayah Provinsi Yogyakarta maupun Provinsi Jawa Tengah, karena
ada halaman daerah menurut Octo Lampito maka harian Kedaualatan Rakyat mempunyai
wartawan yang di tugaskan pada darrah-daerah tersebut, dan diwadahi pada desk daerah.
Untuk mendapatkan berita, selain mengandalkan wartawan yang ada di kantor pusat
Kedaulatan Rakyat, berita juga di suplai dari desk daerah dan jika tidak cukup maka akan
diambil dari Antara atau kalau berita internasional dari Reuters.
Harian Kedaulatan Rakyat melihat otonomi daerah memang sudah saatnya
diberlakukan sebagai keseimbangan dalam bernegara isu otonomi daerah merupakan isu
penting bagi harian Kedaulatan Rakyat, terutama tentang ke istimewaan Yogyakarta.
Tidak bisa dipungkiri menurut Octo Lampito ada kedekatan budaya dan sejarah antara
Kasultanan Yogyakarta dengan harian Kedaulatan Rakyat. Secara eksplisit Octo Lampito
mengatakan bahwa harian Kedulatan Rakyat memang turut memperjuangkan Ke
istimewaan Yogyakarta pada 2012-2013. Menurut Octo Lampito, “kalau dahulu Sultan
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
91
Hamengku Buwono IX tidak membuka diri dan menyatu dengan Republik Indonesia,
serta mau menerima para pemimpin negara pada saat itu, bahkan memberi gaji para
pemimpin republik yang masih muda, maka mungkin Indonesia ini tidak ada, karena
daerah yang tersisa di Indonesia ini setelah perjanjian Renvile tinggal Yogyarakarta”.
Berpijak dari sejarah itu harian Kedaulatan Rakyat berpendapat bahwa memang
sebaiknya Pemerintah Pusat (Jakarta) tidak menutup mata pada fakta sejarah di atas.
Tiras harian Kedaulatan Rakyat setiap hari menurut Octo Lampito pada saat ini
sekitar 100.000 eksemplar dengan distribusi 80% ada di Provinsi Yogyakarta, dan
sisanya Jawa Tengah serta beberapa provinsi lain. Untuk pemasukan dari iklan walaupun
tidak secara eksplisit menyatakan jumlahnya dalam rupiah, namun Octo Lampito
mengakui bahwa semenjak kebijakan otonomi daerah digulirkan terutama ketika pemilu
kepala daerah dilaksanakan secara langsung, ada kenaikan iklan di harian Kedaulatan
Rakyat.
4.4. Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah Aspek Eksternal
Setelah membedah aspek internal pada ketiga media yang diteliti di atas, maka pada
subbab ini akan di uraikan bagaimana perspektif para narasumber yang kompeten dalam
bidang pemerintahan daerah dan otonomi daerah, serta bagaimana interaksi mereka
dengan para waratawan yang meliput berita-berita mengenai otonomi daerah. Lebih
lanjut menurut Scheufele (1999) aspek ekternal ini mengacu kepada berbagai kekuatan
di luar wartawan dan media yang ikut mempengaruhi proses terbentuknya frame suatu
isu dalam pemberitaan media massa.
Sebelum lebih jauh membedah bagaimana interaksi para narasumber dan wartawan,
menarik untuk diketahui bagaimana perspektif para narasumber tentang otonomi daerah.
Djohermasyah Djohan memaknai otonomi daerah dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia, di mana dalam model negara kesatuan, kewenangan dan tugas-tugas
tersebut ada di tangan pemerintah pusat. Kemudian sebagian tugas kewenangan tersebut
didesentralisasikan, dilimpahkan ke daerah. Daerah melaksanakan otonomi daerah dan
harus tunduk taat kepada pemerintah pusat, yang diatur dalam undang-undang
pemerintah daerah.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
92
I Made Suwandi sebagai Ketua Team Revisi UU Otonomi Daerah mempunyai
pendapat senada dengan Dirjen Otonomi Daerah. Menurut I Made Suwandi yang harus
disamakan dulu adalah persepsi mengenai otonomi daerah, bahwa di Indonesia otonomi
dalam negara kesatuan bukan dalam negara federal, dalam negara kesatuan tanggung
jawab akhir otonomi
daerah ada di pemerintah pusat, yaitu presiden. Jadi yang
diotonomikan itu kekuasaan presiden (eksekutif), bukan kekuasaan legislative, dan
yudikatif. Menurut Made Suwandi konsep ini berbeda sekali dengan negara federal, maka
dengan konsep otonomi dalam negara kesatuan Presiden bisa mengatur daerah dengan
berbagai instrumen antara lain melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam
Negeri, dan lain sebagainya.
Menurut Purwo Santoso otonomi daerah adalah corak gaya berpemerintahan, di
mana
dalam
berpemerintahan
itu
ada
daerah
yang
menjadi
ujung
tombak
berpemerintahan. Daerah itu bukan taklukan dari pusat namun harusnya daerah itu
mahkota pusat, sehingga harusnya daerah diberikan keleluasaan untuk mengatur dirinya
dengan basis kekuataan kecerdasan daerah. Selain itu otonomi daerah itu harus di bingkai
dalam wadah nasionalisme, bukan “Jakarta-isme”, sehingga yang di kedepankan itu
bukan cara kerja yang patuh seperti robot, namun cara kerja yang cerdas dari daerah.
Disinilah perlu dimaknai kembali otonomi daerah itu, bahwa yang penting bukan hanya
delegasi kewenangan, namun juga kesempatan daerah menggunakan kecerdasan mereka
dalam menggunakan kewenangan otonomi daerah.
Dari uraian tiga narasumber di atas terlihat pemaknaan berbeda tentang otonomi
daerah, narasumber yang pertama yang merupakan Dirjen Pemerintahan Daerah di
Kementrian Dalam Negeri, lebih menekankan bagaimana pemerintah pusat dengan segala
instrumennya dapat mempunyai kewenangan mengatur daerah, walupun daerah diberikan
otonomi daerah yang luas, dimana mereka mempunyai kewenangan untuk mengatur diri
mereka sendiri namun daerah harus menyadari bahwa mereka ada dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan harus patuh kepada Pemerintah Pusat. Pendapat
narasumber kedua, terlihat tidak terlalu beda pendapat dengan narasumber pertama,
dimana ditekankan bahwa otonomi daerah yang ada di Indonesia, adalah otonomi dalam
bingkai negara kesatuan bukan negara federalisme, sehingga Pemerintah Pusat
mempunyai kewenangan untuk mengatur daerah dengan segala peraturan yang ada.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
93
Narasumber ketiga mempunyai pandangan yang berbeda. Narasumber ketiga ini
memaknai otonomi daerah dimulai dari lokal (daerah) itu sendiri, bukan hanya dilihat
dari bagaimana Pemerintah Pusat dapat mengatur daerah, namun lebih memberi
keleluasaan daerah untuk mengatur diri mereka sendiri dengan berbagai kecerdasan dan
budaya lokal mereka, sehingga otonomi daerah dimaknai tidak hanya bagaimana
Pemerintah Pusat mengatur, namun lebih pada apakah pengaturan Pemerintah Pusat
tersebut memberikan ruang daerah untuk berekspresi dengan kecerdasan dan budaya
lokal mereka.
Perbedaan pendapat antarnarasumber ini memperlihatkan bagaimana
sebuah isu yang sama bisa dimaknai sangat kontras. Pada satu sisi ada ilmuwan yang
menghendaki Pemerintah Pusat mempunyai kuasa kewenangan untuk mengatur daerah,
pada sisi lain ada ilmuwan yang berpandangan bahwa harusnya daerahlah yang diberi
kuasa lebih daripada Pemerintah Pusat.
Lebih lanjut, menurut ketiga narasumber di atas, media mempunyai pengaruh
dalam membentuk citra tentang otonomi daerah, tetapi sayangnya awak media tidak
terlalu tertarik dengan isu-isu yang cukup reflektif tentang otonomi daerah. Menurut
ketiga narasumber di atas yang menarik bagi wartawan adalah isu-isu yang bombastis.
Hal ini mungkin terjadi karena awak media dibatasi oleh ruang (kolom, durasi, dan
halaman), bisnis media, dan waktu (dead line) sehingga isu-isu reflektif seperti revisi
undang-undang pemerintahan daerah tidak cukup diulas oleh awak media, yang banyak
mendapatkan ulasan ialah masalah revisi undang-undang pemilihan kepala daerah
langsung. Padahal instrumen untuk menyejahterakan masyarakat ada di undang-undang
pemerintahan daerah. Sayangnya ini luput dari ulasan mendalam insan media.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
94
BAB V
FRAME BERITA OTONOMI DAERAH
Bab ini akan lebih spesifik membahas bingkai (frame) ketiga media yang diteliti, dalam
bab ini akan di bedah mengenai bagaimana Kompas, Jurnal Nasional (Jurnas) dan Kedaulatan
Rakyat (KR) membingkai isu otonomi daerah dalam pemberitaannya. Dalam menggambarkan
frame berita media tersebut, dalam pembahasan ini dibedah bingkai umum (generic frame) dan
bingkai isu spesifik (issue specific frames), yang dimaksud dengan bingkai umum adalah bingkai
utama (core frame) media ketika melihat isu otonomi daerah. Sementara itu bingkai spesifik isu
(issue specific frames) mengacu kepada bingkai media ketika meliput isu spesifik otonomi
daerah seperti kasus pilkada, hubungan pusat daerah, dinasti politik, dan sebagainya.
Seperti telah disinggung di depan, antara bingkai isu spesifik dan bingkai utama (umum)
mempunyai keterkaitan. Bingkai isu spesifik akan selalu konsisten dengan bingkai utama.
Mengapa demikian ?, Hal ini karena pandangan jurnalis media akan dipakai untuk melihat dan
meliput isu-isu spesifik berkaitan dengan otonomi daerah. Seorang jurnalis yang cenderung
setuju dengan otonomi daerah akan meliput semua isu spesifik berkaitan dengan otonomi daerah
dengan nada positif. Adanya kasus dinasti politik misalnya, tidak akan dilihat sebagai akibat
penerapan otonomi daerah. Hal ini berbeda untuk jurnalis atau media yang kritis atau skeptis
terhadap otonomi daerah. Adanya dinasti politik akan cenderung dilihat sebagai akibat otonomi
daerah. Otonomi menyebabkan munculnya raja-raja kecil di daerah serta pemusatan ekonomi
dan politik pada beberapa kekuatan politik lokal. Ilustrasi ini menggambarkan bagaimana frame
umum (generic frame) akan menentukan bagaimana isu-isu spesifik tersebut dilihat oleh media.
Jurnalis dan media akan menggunakan padangan umum (core frame) untuk melihat isu-isu yang
terjadi tiap hari.
Masalahnya, publik tidak mengetahui bagaimana frame umum (generic frame) dari setiap
media. Jarang ada media yang mengungkapkan secara terbuka pandangan umum mereka
mengenai otonomi daerah. Jadi bagaimana publik bisa tahu frame umum (generic frame) jika
media tidak mengungkapkan atau mengatakannya secara terbuka ? Caranya adalah dengan
menyelidiki frame isu-isu spesifik. Untuk ini dapat dilakukan penelitian terkait bagaimana
pandangan media ketika meliput isu-isu spesifik mengenai otonomi daerah, dan dari pandangan
atas isu-isu spesifik tersebut, dapat ditarik kesimpulan frame umum (generic frame) dari media
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
95
dalam hal otonomi daerah. Strategi inilah yang akan dipakai dalam mengidentifikasi frame
umum dari media.
Proses menemukan frame utama (generic frame) adalah sebagai berikut. Peneliti pertama
kali akan mengidentifikasi isu-isu spesifik berkaitan dengan otonomi daerah yang terjadi tahun
2012 dan tahun 2013. Semua berita yang berkaitan dengan relasi pusat dengan daerah akan
dikumpulkan. Berita-berita mengenai otonomi tersebut, kemudian dikategorikan ke dalam isu-isu
spesifik. Setelah isu spesifik ditemukan, akan didentifikasi frame (bingkai) dari masing-masing
isu spesifik. Berdasarkan identifiksi bingkai isu spesifik itu, dapat digambarkan bingkai umum
(generic frame) pemberitaan media terkait isu otonomi daerah.
Peneliti mengumpulkan berita di Kompas, Kedaulatan Rakyat dan Jurnal Nasional tahun
2012 dan 2013. Semua berita yang berkaitan dengan otonomi daerah dikumpulkan. Total ada
412 berita mengenai otonomi daerah yang ada di ketiga surat kabar. Dari berita mengenai
otonomi daerah tersebut, diidentifikasi topik atau isu utama dari pemberitaan media. Hasilnya
adalah sebagai berikut.
Tabel VIII
Topik Utama Pemberitaan
Tiga Media (Kompas, KR, Jurnas)
ISU / TOPIK
Pemekaran Daerah
Kompas
Frekuensi Persen
74
39,6%
Jurnal Nasional
Frekuensi Persen
20
16,3%
Kedaulatan Rakyat
Frekuensi
Persen
4
3,9%
Pilkada gubernur
24
12,8%
32
26%
8
7,8%
Dinasti politik
17
9,1%
16
13%
3
3%
Korupsi elite lokal
18
9,6%
16
13%
4
3,9%
Keistimewaan
Yogyakarta
54
28,9%
39
31,7%
83
81,4%
Total
187
100%
123
100%
102
100%
Dari tabel tersebut terlihat bahwa, terdapat perbedaan di antara surat kabar yang ada di
Jakarta (Kompas dan Jurnal Nasional) dan lokal (Kedaulatan Rakyat) dalam mengangkat isu
otonomi daerah. Untuk surat kabar yang terbit di Jakarta (Kompas dan Jurnal Nasional), berita
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
96
otonomi daerah didominiasi oleh berita mengenai pemekaran daerah dan pilkada gubernur. Lebih
spesifik lagi, untuk Kompas, mayoritas berita (39,6%) berita mengenai otonomi daerah adalah
seputar isu pemekaran daerah, disusul oleh isu Keistimewaan Yogyakarta (28,9%). Isu lain yang
menonjol dalam pemberitaan Kompas adalah mengenai pilkada (dipilih langsung atau oleh
DPRD) sebesar 12,8%, korupsi elite lokal sebesar 9,6% dan dinasti politik sebesar 9,1%.
Sementara di Jurnal Nasional, dari total 123 berita yang dianalisis, mayoritas berita berisi
Keistimewaan Yogyakarta (31,7%) dan pilkada
(26%). Isu lain yang menonjol dalam
pemberitaan Jurnal Nasional adalah seputar pemekaran daerah (16,3%), dinasti politik (13%)
dan korupsi elite lokal (13%).
Jika isu pemekaran daerah, korupsi elite lokal, dinasti politik dan perdebatan mengenai
pilkada banyak mendapat perhatian surat kabar Kompas dan Jurnal Nasional, tidak demikian
halnya dengan Kedaulatan Rakyat. Mayoritas pemberitaan mengenai otonomi daerah di
Kedaulatan Rakyat adalah Keistimewaan Yogyakarta (81,4%). Isu yang menonjol dalam
pemberitaan Kompas dan Jurnal Nasional (seperti seputar pemekaran daerah, pilkada, korupsi
elite lokal, dan dinasti politik) tidak mendapat banyak alokasi liputan dalam pemberitaan di
Kedaulatan Rakyat. Data ini memperlihatkan ada titik perhatian yang berbeda antara surat kabar
yang terbit di Jakarta (Kompas dan Jurnal Nasional) dengan surat kabar lokal (Kedaulatan
Rakyat). Berdasarkan identifikasi isu-isu tersebut, akan dianalisis lebih mendalam bingkai
(frame) dari ketiga surat kabar untuk isu spesifik.
1.1. Isu Pemekaran Daerah
Salah satu isu yang banyak diberitakan mengenai otonomi daerah adalah pemekaran daerah
atau pembentukan daerah otonomi baru. Pembentukan daerah otonom atau lebih sering disebut
sebagai pemekaran daerah sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang biasa di banyak
negara. Penyebaran kekuasaan atau otoritas kepada komunitas lokal untuk mengambil keputusan
tertentu dan melaksanakan fungsi pemerintahan menjadi suatu kebutuhan di negara-negara
modern, dalam negara yang lebih besar akan menjadi lebih tepat, efektif, dan efisien jika
melimpahkan kewenangan yang ada pada pemerintah pusat kepada suatu entitas lokal yang
membentuk pemerintah daerah.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
97
Interpretasi politik1 terhadap konsep desentralisasi adalah pengalihan kewenangan
(transfer of authority) kepada masyarakat dan pemerintahan daerah. Hal ini merupakan fondasi
dasar bagi penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis sekaligus menjaga keutuhan suatu
negara. Lebih lanjut menurut Brian C Smith (1985:14) mengemukakan bahwa berdasarkan
pengalaman beberapa negara, secara politis desentralisasi dimaknai pula sebagai jalan tengah
dari penolakan atas konsep federalisme dan juga konsep sentralisasi. Untuk kasus Indonesia,
menurut Riswanda Imawan (2006:13-15) paling tidak ada lima faktor alasan pembentukan
daerah-daerah otonom baru pasca reformasi 1998, yaitu2, pertama ketimpangan (inequality),
kedua etnik politik, ketiga resolusi konflik, keempat klaim historis, dan kelima pertimbangan
pemerintah pusat.
Studi pemekaran daerah di Kabupaten Sumba Barat di Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT), yang dilakukan oleh Jacqueline Vel (2007: 116) dan pemekaran daerah di Luwu-Tana
Toraja di Provinsi Sulawesi Selatan oleh Dik Roth (2007:154), dalam buku Politik Lokal di
Indonesia yang diterbitkan oleh KITLV dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, serta dieditori
oleh Henk Sculte Nordholt dan Gerry van Klinken, menunjukkan bahwa dalam proses
pemekaran daerah tersebut terjadi suatu pertarungan yang cukup sengit antarpara elite daerah
yang kemudian melibatkan elite-elite pusat (Jakarta), serta ditemukan kecenderungan politik
uang dalam jumlah besar setiap ada pemekaran daerah.
Jacqueline Vel (2007: 117) dalam tulisannya mengenai proses pemekaran wilayah di
Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), memotret kebijakan otonomi
daerah oleh pemerintah pusat. Salah satunya dimaknai oleh masyarakat daerah untuk melakukan
1
2
Shabbir Cheeman dan Dennis Rondinelli (1983:14-16)
Riswanda Imawan (2008:13-15), dalam tulisan ini Imawan secara panjang lebar menguraikan lima faktor
pembentukan daerah baru secara singkat dapat diringkas sebagai berikut, pertama ketimpangan : Dalam
program pembangunan, hasil-hasil pembangunan selama masa Orde Baru yang menggunakan model trickle
down membuat banyak daerah tidak terlalu merasakan dan atau tidak terjangkau dengan program
pembangunan yang dikerjakan oleh pemeritah pusat; kedua etnik politik : Perlakukan yang tidak adil dari negara
yang selama ini dirasakan rakyat di daerah, dimaknai sebagai keberpihakan pusat terhadap suatu kelompok etnis
tertentu, contoh kasus pemekaran Provinsi Gorontala, Provoinsi Banten, Provinsi Maluku Utara; ketiga resolusi
konflik: Pembentukan daerah ini terkait dengan upaya menemukan resolusi konflik yang potensial untuk
meledak sewaktu-waktu, contoh kasus pembentukan Kabupaten Luwu Utara; keempat klaim historis : banyak
dijumpai klaim kewilayahan yang berdasarkan etnisitas dikaitkan dengan faktor kesejarahan suatu wilayah,
contoh pembentukan Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Buton, Kabupaten Seram Bagian Timur; kelima
pertimbangan pemerintah pusat: contohnya adalah pembentukan Kabupaten Natuna sebenarnya kabupaten ini
tidak memenuhi persyaratan untuk di bentuk, namun karena letaknya geografisnya yang jauh di lautan, dan
berbatasan dengan negara asing dibentuklah Kabupaten Natuna untuk menjaga kedaulatan wilayah negara.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
98
pemekaran wilayah, dan pemekaran wilayah ini disambut gegap gempita oleh masyarakat Sumba
Barat, antara lain dengan adanya mobilisasi massa, rapat-rapat akbar, lobi-lobi politik dan lainlain.
Sementara itu, oleh elite-elite lokal dan elite-elite Jakarta yang merupakan putra Sumba
Barat, dimaknai pemekaran wilayah ini untuk memperkuat posisi dan kepentingan mereka.
Secara gamblang diceritakan bagaimana proses tarik-menarik, persaingan dan konflik dalam
menyukseskan pemekaran wilayah di Kabupaten Sumba Barat. Skenario yang handak dijalankan
adalah membuat kabupaten baru, yaitu Kabupaten Sumba Tengah yang terlepas dari kabupaten
induk, yaitu Kabupaten Sumba Barat.
Berbagai langkah disiapkan mulai dari penggalangan massa, sosialisasi dan lokakarya
dengan jaringan LSM dan komunitas-komunitas desa mengenai pentingnya pembentukan
Kabupaten Sumba Tengah, dilanjutkan dengan seminar-seminar dengan para pejabat di Provinsi
NTT dan mengirimkan tim lobi ke Jakarta. Untuk melobi Pemerintah Pusat dan DPR di Jakarta,
sepertinya semua skenario sudah disusun dan berjalan dengan baik. Namun ditengah jalan, para
elite (Bupati dan DPRD) kabupaten induk yaitu Kabupaten Sumba Barat, sepertinya tidak
merestui pembentukan kabupaten baru (Sumba Tengah) yang hendak melepaskan diri dari
kabupaten induk (Sumba Barat), sementara itu menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, pemekaran
wilayah dapat dilaksakan jika ada persetujuan (restu) dari kabupaten induk.
Menurut pengamatan Vel (2007), ada ketersinggungan dari elite kabupaten induk dalam
proses pemekaran ini. Elite kabupaten induk merasa dilangkahi kewenangannya oleh karena itu,
para elite ini mengecam panitia pemekaran yang langsung berangkat melakukan lobi ke Jakarta
tanpa ada koordinasi dengan kabupaten induk. Ekspresi ketidaksukaan ini terlihat pada saat
ketika tim dari Pusat (Jakarta) datang untuk melakukan verifikasi pembentukan kabupaten baru,
oleh DPRD Sumba Barat, mereka tidak disambut dengan layak, sementara itu Bupati tidak
berada di tempat dengan alasan dipanggil oleh Gubernur NTT ke Kupang. Analisis lain menurut
Vel (2007:153) mengapa pembentukan Kabupaten Sumba Tengah sangat lamban, adalah karena
biaya kampanye untuk pembentukan suatu kabupaten baru sangatlah mahal. Misalnya untuk
kasus Toya Una-Una dibutuhkan dana sekitar Rp1.5 miliar, sedangkan dana kampanye untuk
pembentukan Kabupaten Sumba Tengah kurang dari Rp 900 juta rupiah. Menurut
Vel
(2007:153) bahwa semua keputusan pemerintah Indonesia “bisa dibeli”, sebuah kabupaten yang
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
99
baru mempunyai harga minimum, dan harga tersebut terlalu tinggi sehingga mustahil terbayar
oleh daerah-daerah kecil dan miskin seperti Sumba Tengah.
Kasus pemekaran daerah lainnya ditulis oleh Dik Roth (2007), yaitu tentang rencana
pembentukan Provinsi Luwu Raya yang lepas dari Provinsi induk Sulawesi Selatan. Kasus ini
menghasilkan peta konflik yang sangat kompleks. Berbagai motif dan kepentingan bermain
dalam rencana pemekaran ini, antara lain perebutan posisi-posisi politis dan sumber-sumber
ekonomis, adanya politik etno-religius, nostalgia historis pada kerajaan-kerajaan masa lampau,
perasaan tidak suka pada Provinsi induk Sulawesi Selatan, sampai keinginan akan terbentuknya
masyarakat yang lebih baik, adil, dan demokratis.
Sampai saat ini Provinsi Luwu Raya belum juga terbentuk. Menurut Roth (2007:186), hal
ini terjadi karena adanya perpecahan dalam gerakan pembentukan Provinsi Luwu Raya,
sementara itu UU Nomor 32 Tahun 2004 telah ditetapkan, dan dalam Undang-Undang baru ini
pemekaran daerah semakin sulit, oleh karena itu, dalam kasus ini pemenang sebenarnya adalah
Provinsi Sulawesi Selatan dan para elite Provinsi induk di Makassar.
Roth (2007:187) lebih lanjut menilai kegagalan penetapkan provinsi baru ini dengan jelas
mengilustrasikan tiga hal yaitu,
pertama pemekaran bukannya merupakan peralihan ke
demokrasi, transparansi, dan good governance namun pemekaran merupakan pertarungan
memperebutkan kuasa, pengaruh, dan sumber-sumber antarkelompok elite, kedua untuk dapat
memahami pemekaran ini penting penting dipertimbangkan konteks historis, terutama adanya
sejarah panjang tentang hubungan-hubungan administratif antara Luwu, Tana Toraja, dan
Makassar, serta tentang batas-batas identifikasi yang senantiasa bergeser,
ketiga
peranan
identifikasi-identifikasi etno-religius menjadi sangat penting dalam pemekaran daerah ini. Politik
identitas menjadi salah satu masalah utama yang telah membuat gerakan pemekaran daerah ini
terpecah belah.
Hiruk pikuk pemekaran daerah seperti dua contoh kasus di atas sangat menarik untuk
diangkat oleh media massa, baik itu media nasional, terlebih lagi media lokal. Apalagi
pemekaran daerah ini banyak terjadi terutama sejak disahkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004. Hingga Desember
2008 telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri atas tujuh provinsi, 173 kabupaten,
dan 35 kota.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
100
Pemekaran daerah diwarnai dengan pro dan kontra. Mereka yang setuju berargumentasi,
bahwa pemekaran akan membuat kinerja pemerintah daerah menjadi lebih fokus. Dengan jumlah
penduduk yang lebih sedikit, dan daerah yang lebih sempit, pemerintah daerah bisa lebih optimal
dalam melakukan pembangunan. Daerah-daerah terpencil yang sebelumnya tidak diperhatikan,
akan bisa lebih diperhatikan setelah pemekaran daerah. Sementara itu, pihak yang tidak setuju
berargumentasi, bahwa pemekaran daerah merupakan taktik dari elite lokal untuk berkuasa.
Pemekaran daerah umumnya tidak lahir akibat desakan masyarakat, tetapi persaingan elite
politik lokal dalam menguasai sumber daya ekonomi dan politik dari daerah. Lewat pemekaran
daerah, elite bisa berkuasa dan mendapat sumber daya ekonomi, misalnya dalam bentuk
anggaran dari pemerintah pusat. Mereka yang tidak setuju dengan pemekaran daerah menunjuk
kepada fakta yang terjadi di daerah-daerah yang mengalami pemekaran menunujukkan bahwa
tingkat kehidupan daerah tersebut tidak lebih baik dibandingkan dengan sebelum terjadi
pemekaran.
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat memberikan titik perhatian yang
berbeda ketika memberitakan isu pemekaran daerah. Kompas adalah salah satu surat kabar yang
paling sering mengangkat isu pemekaran wilayah. Dari 187 berita mengenai otonomi daerah
yang dianalisis dalam penelitian ini, sebanyak 74 berita (39,6%) adalah berita seputar pemekaran
daerah. Surat kabar Jurnal Nasional lebih sedikit mengangkat isu pemekaran daerah. Dari 123
berita yang dianalisis, sebanyak 20 berita (16,3%) berisi seputar pemekaran daerah. Sementara
Kedaulatan Rakyat adalah surat kabar yang jarang sekali mengangkat isu pemekaran daerah.
Hanya 4 berita (3,9%) saja berita mengenai pemekaran daerah yang diangkat oleh Kedaulatan
Rakyat dari total 102 berita yang dianalis.
Gambar III
Frame Isu Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
101
187
123
102
74
20
Kompas
Jurnal
Nasional
4
Kedaulatan
Rakyat
Berita mengenai pemekaran daerah
Total berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis
Gambar di atas memperlihatkan bingkai dari ketiga media. Kompas mendefinisikan
pemekaran sebagai akibat kepentingan dari elite lokal. Mayoritas berita mengenai pemekaran
daerah di harian Kompas dibingkai sebagai akibat kepentingan elit lokal. Kompas cenderung
kritis dalam menilai isu pemekaran daerah. Dalam frame Kompas, pemekaran daerah terjadi
akibat kepentingan elite, bukan kebutuhan masyarakat di daerah. Untuk surat kabar Jurnal
Nasional, bingkai (frame) yang banyak muncul adalah regulasi. Pemekaran daerah terjadi akibat
adanya tuntutan masyarakat lokal yang diakomodasi oleh Undang-Undang. Sementara
Kedaulatan Rakyat melihat pemekaran daerah dalam bingkai yang positif, yaitu jikalau
pemekaran daerah dilakukan dengan tepat hal ini bisa mempercepat pembangunan di daerah.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa ketiga surat kabar mempunyai frame yang berbeda
dalam mendefinisikan pemekaran daerah. Kompas cenderung bersikap kritis terhadap isu
pemekaran daerah, sebaliknya, Kedaulatan Rakyat cenderung bersikap positif terhadap isu
pemekaran daerah, sementara itu Jurnal Nasional berada di tengah, dimana pemekaran daerah
lebih dilihat sebagai pemenuhan terhadap Undang-Undang Otonomi Daerah. Dengan kata lain
pemekaran wilayah terjadi karena Undang-Undang memang memperbolehkan terjadinya
pemekaran daerah.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
102
Gambar IV
Pendefinisian Masalah Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar
25.0%
22.0%
20.0%
Tidak ada / tidak jelas
Lainnya
Pemekaran wilayah bisa membuat daerah lebih
diperhatikan
Pemekaran wilayah adalah kebutuhan bagi wilayah di
Indonesia
0.0%
0.0%
4.0%
4.0%
0.0%
4.0%
8.0%
Pemekaran wilayah jika dilakukan dengan tepat bisa
mempercepat pembangunan di daerah.
Kedaulatan Rakyat (N=4)
50.0%
10.0%
6.0%
Pemekaran wilayah dilakukan untuk guna mengadopsi
tuntutan masyarakat lokal dan Undang-Undang.
Pemekaran wilayah terjadi lebih karena kepetingan elit
lokal dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat lokal
6.0%
5.0%
25.0%
42.0%
11.0%
0.0%
12.0%
Jurnal Nasional (N=20)
46.0%
Kompas (N=74)
Ketiga suratkabar juga mempunyai perbedaan dalam hal menentukan sumber masalah
(diagnose cause), yaitu apa atau siapa pihak yang dipandang sebagai penyebab munculnya
pemekaran daerah. Kompas berposisi kritis, karena melihat pihak yang menjadi sumber masalah
adalah elite politik lokal. Dalam berita Kompas, pemekaran daerah umumnya dipicu oleh
keinginan elite politik lokal. Mereka adalah pihak yang paling aktif mengusung pemekaran
daerah. Elite lokal juga merupakan pihak yang paling diuntungkan dengan adanya pemekaran
daerah. Sementara itu, frame berbeda dijumpai dalam pemberitaan Kedaulatan Rakyat (KR).
Berita Kedaulatan Rakyat tidak menempatkan elite politik lokal sebagai penyebab munculnya
pemekaran daerah. Dalam berita Kedaulatan Rakyat, pemekaran daerah muncul karena UndangUndang memberi kesempatan lahirnya pemekaran daerah3. Jika pemekaran daerah mempunyai
3
UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang
tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam
pasal yang sama pada ayat berikutnya ayat (3) yang menyatakan bahwa pembentukan daerah dapat berupa
penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi
dua daerah atau lebih. Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi
syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan (secara rinci dapat dilihat pada PP 129 tahun 2000). Bagi
provinsi, syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan
bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan
gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif
yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan,
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
103
kelemahan di lapangan, yang harus dikritisi dan dipersalahkan adalah Undang-Undang dan
perangkat peraturan yang mengatur mengenai pembentukan pemekaran daerah. Surat kabar
Jurnal Nasional melihat pemekaran daerah sebagai dampak negatif dari otonomi daerah.
Otonomi daerah melahirkan penguasa-penguasa baru di daerah. Jurnal Nasional tidak secara
kritis menyoroti mengenai elite-elite lokal, hanya melihat aspek positif dan negatif dari otonomi
daerah.
Gambar V
Sumber Masalah Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar
Tidak ada / tidak jelas
Lainnya
Masyarakat lokal tidak siap dengan pemekaran daerah
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang yang mengakomodasi pemekaran…
Imbas negatif dari otonomi daerah
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
2.0%
14.0%
25.0%
2.0%
4.0%
4.0%
50.0%
12.0%
0.0%
Elit politik lokal. Elit politik diuntungkan dengan…
Kedaulatan Rakyat (N=4)
28.0%
12.0%
Jurnal Nasional (N=20)
30.0%
28.0%
25.0%
22.0%
42.0%
Kompas (N=74)
Surat kabar Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat mempunyai frame (bingkai) yang
berbeda dalam melihat isu pemekaran daerah. Tabel berikut memperlihatkan frame dominan dari
ketiga suratkabar.
Tabel IX
Frame Dominan di Tiga Surat kabar
Isu Pemekaran Daerah
PERANGKAT
FRAMING
Kompas
Jurnal Nasional
Kedaulatan Rakyat
persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Adapun syarat teknis
dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup
faktor-faktor seperti: (a) Kemampuan ekonomi; (b) Potensi daerah; (c) Sosial budaya; (d) Sosial politik; (e)
Kependudukan; (f) Luas daerah; (g) Pertahanan; (h) Keamanan; dan (i) Faktor lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah. Sedangan Syarat fisik yang dimaksud syarat ini harus meliputi paling sedikit
lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan
kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana
pemerintahan.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
104
Pendefinisian
Masalah
(Define Problems)
Pemekaran daerah
terjadi lebih karena
kepentingan elite lokal
dibandingkan dengan
kebutuhan masyarakat
lokal.
Pemekaran daerah
dilakukan guna
mengadopsi tuntutan
masyarakat lokal dan
Undang-Undang.
Pemekaran daerah
jika dilakukan
dengan tepat bisa
mempercepat
pembangunan di
daerah.
Sumber Masalah
(Diagnose Cause)
Elite politik lokal. Elite
politik diuntungkan
dengan adanya
pemekaran daerah.
Otonomi daerah dan
elite politik lokal.
Otonomi dalam
praktiknya
melahirkan
penguasa-penguasa
baru di daerah.
Undang-Undang.
Terjadinya
pemekaran daerah
akibat diakomodasi
oleh UndangUndang, sehingga
ada celah yang
mempermudah
melakukan
pemekaran.
Keputusan Moral
(Make Moral
Judgement)
Pemekaran daerah
harusnya dilakukan
atas dasar kebutuhan
dari masyarakat dan
efektivitas program
pembangunan.
Pemerintah pusat
tunduk kepada
Undang-Undang dan
menyetujui apa yang
menjadi keinginan
masyarakat di
daerah.
Kesejahteraan
rakyat harus
menjadi tujuan
utama pemekaran
daerah. Masyarakat
harus lebih
sejahtera setelah
adanya pemekaran.
Penekanan
Penyelesaian
(Treatment
Recommendation)
Mengembalikan
semangat pemekaran
daerah pada relnya
yang benar.
Warga masyarakat di
daerah berunding
bersama mengenai
perlu tidaknya
pemekaran daerah.
Perlu tidaknya
pemekaran daerah
dikembalikan
kepada masyarakat
di daerah tersebut.
5.2
Isu Pilkada/Pemilihan Gubernur
Menurut Mandica (2008) serta Ricard C. Crook dan James Manor (1998), salah satu
bentuk metode yang diadopsi oleh negara-negara berkembang untuk meningkatkan otonomi
politik, partisipasi politik, transparansi politik, dan mendemokratisasikan pemerintahan lokal
adalah pemilihan eksekutif (gubernur, bupati dan walikota).
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
105
Untuk kasus Indonesia, hal ini telah dimulai sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut, kewenangan pemilihan
kepala daerah (eksekutif) diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kewenangan untuk memilih kepala daerah oleh DPRD ini dikenal sebagai pemilihan kepala
daerah tidak langsung.
Menurut penelitian dari
Mandica (2006) pilkada tidak langsung
4
menimbulkan beberapa kondisi baru di daerah . Dengan menguatnya peran DPRD dalam
pemilihan kepala daerah disertai kewenangan DPRD untuk dapat memberhentikan Kepala
Daerah (ayat 3 pasal 46, UU No 22 Tahun 1999) banyak menciptakan hubungan yang tidak
harmonis antara DPRD dan Kepala Daerah. Ketegangan sering terjadi antara DPRD dan Kepala
Daerah yang berujung pada pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD5.
Pada tahun 2004 diterbitkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu UU
Nomor 32 Tahun 2004, dalam UU tersebut, pemilihan kepala daerah tidak lagi menjadi domain
DPRD, namun dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat daerah tersebut. Menurut
penelitian Siti Zuhro (2008) dampak dari pilkada langsung ini menurunkan fungsi dan peran
DPRD6
Isu ini mengemuka sepanjang tahun 2012 dan 2013, bersamaan dengan usulan perubahan
RUU Pilkada. Usulan terhadap perubahan mekanisme pemilihan Gubernur tersebut mencuat
ketika Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mengusulkan Rancangan Undang-Undang
Pemillihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). RUU Pilkada merupakan bagian dari revisi Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang di dalamnya
mengatur pemilihan gubernur secara langsung.7 Isu ini berkaitan dengan apakah sebaiknya
4
Dalam penelitian Mandica (2008) yaitu, pertama fenomena pengelompokan politik yang terpusat pada elite-elite
lokal, kedua eksekutif yang terpilih tidak dikenal rekor kerjanya, ketiga maraknya demonstrasi oleh masingmasing kandidat yang biasanya berakhir dengan kekerasan, dan keempat kuatnya arus dari masyarakat untuk
mewujudkan pemilihan langsung.
5
Seperti dalam Kasus Kabupaten Sampang, Kota Surabaya, Kabupaten Temanggung
6
Dalam penelitiannya Siti Zuhro (2008:63-65) ditemukan dampak dari pilkada langsung terhadap eksistensi DPRD
yaitu menurunnya peran dan fungsi DPRD, lebih khusus lagi melemahnya chek and balances DPRD, reposisi peran
DPRD menurut UU No 32/2004 telah menimbulkan fenomena mobocracy, di mana keterlibatan warga dalam
proses pembuatan kebijakan politik dijalankan dengan cara tidak terlembaga sehingga konstestasi politik
ditentukan oleh kemampuan untuk memobilisasi massa dan dukungan politik.
7
Dalam RUU Pilkada tersebut, Pemerintah mengajukan usulan perubahan sistem pemilihan gubernur yaitu
mengubah sistem pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi sistem pemilihan gubernur secara
perwakilan oleh DPRD Provinsi. Sementara untuk mekanisme pemilihan bupati/wali kota tetap secara langsung
oleh rakyat. Di samping itu, untuk mekanisme pemilihan wakil kepala daerah tidak lagi dipilih secara berpasangan
dengan kepala daerah, tetapi wakil kepala daerah diusulkan oleh kepala daerah terpilih dari pegawai negeri sipil.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
106
gubernur dipilih oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) seperti sebelum tahun 2005,
ataukah gubernur tetap dipilih lewat pemilihan (Pilkada). Di kalangan ahli dan politisi memang
terdapat perbedaan pandangan mengenai apakah sebaiknya gubernur dipilih lewat Pilkada
ataukah cukup dipilih oleh DPRD.
Pihak yang setuju dengan pemilihan gubernur secara langsung (lewat Pilkada)
berargumentasi bahwa pilkada langsung untuk kepala daerah adalah amanat konstitusi. Bentuk
negara Indonesia adalah republik sehingga kepala negaranya disebut presiden.
Selain bentuk negara yang republik, Republik Indonesia juga mengadopsi bentuk
pemerintahan presidensial sehingga presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan
dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Menurut UUD 1945, tidak hanya presiden dan wakil presiden
yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, tetapi
juga anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Susunan negara Republik
Indonesia adalah negara kesatuan, tetapi menjamin otonomi seluas-luasnya kepada daerah
otonom provinsi dan daerah otonom kabupaten/kota. Karena presiden selaku kepala negara dan
kepala pemerintahan dipilih melalui pemilu dan karena anggota DPRD provinsi dan anggota
DPRD kabupaten/kota juga dipilih melalui pemilu, kepala daerah otonom provinsi dan kepala
daerah otonom kabupaten/kota juga harus dipilih melalui pemilu (lihat Surbakti, 2013).
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih tepat diterapkan dalam bentuk pemerintahan
parlementer, karena kepala pemerintahan nasional dalam negara seperti ini juga tidak dipilih
langsung oleh rakyat, tetapi oleh parlemen. Jika UUD telah menggariskan keanggotaan DPRD
dipilih oleh rakyat melalui pemilu, kepala daerah sebagai mitra DPRD dalam mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom haruslah juga dipilih
rakyat secara langsung melalui pemilu. Pemilihan gubernur secara langsung juga merupakan
Hal itu untuk menghindari fenomena “pecah kongsi” yang mengakibatkan tidak efektifnya penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Beberapa usulan perubahan mendasar lainnya yang tercantum dalam RUU Pilkada adalah
mencegah politik dinasti dan politik transaksi, mendukung netralitas birokrasi, efisiensi kampanye, pengaturan
terhadap calon inkumben, dan penyelesaian sengketa pilkada. Secara konstitusional Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
menegaskan, bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Konstitusi secara tegas tidak mengharuskan
Gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan hanya dipilih secara demokratis. Rumusan “dipilih
secara demokratis” lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR tahun 2000, antara
pendapat yang menghendaki kepala daerah dipilih oleh DPRD dan pendapat lain yang menghendaki dipilih secara
langsung oleh rakyat. Namun memang makna “demokratis” bisa berkonotasi dua, yaitu pertama, bisa dipilih
secara langsung oleh rakyat dan kedua, bisa dipilih oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat (lihat Chakim,
2013).
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
107
pengakuan akan kedaulatan rakyat, yang mempunyai kedaulatan dalam memilih calon yang
diinginkan. Jikalau ada masalah (seperti gubernur terpilih tidak sesuai harapan), yang salah
bukan pemilihan gubernurnya.
Pihak yang tidak setuju dengan pemilihan gubernur secara langsung juga mempunyai
argumentasi yang kuat. Setidaknya ada dua alasan yang dikemukakan oleh pihak yang setuju
dengan pemilihan gubernur lewat DPRD (lihat Made Suwandi, 2013). Pertama, yaitu untuk
meningkatkan efisiensi anggaran pemilu yang memiliki biaya sangat tinggi untuk prosedur
pemilihan gubernur. Anggaran yang dibutuhkan untuk setiap pemilihan gubernur langsung oleh
rakyat adalah sekitar Rp 70 miliar menjadi Rp 90 miliar atau sekitar US $ 7,5 juta menjadi US $
10 juta. Bahkan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi juga menyatakan, bahwa setiap calon
yang ingin menjalankan dalam pemilihan gubernur langsung membutuhkan setidaknya lebih dari
Rp 20 miliar atau sekitar US $ 2 juta. Sementara itu, gaji pokok gubernur sebesar Rp 8,7 juta per
bulan. Kalau mau menjadi seorang gubernur membutuhkan uang Rp 20 miliar, sementara gaji
gubernur sebesar Rp 8,7 juta per bulan, maka butuh waktu berapa lama untuk mengembalikan
uang Rp 20 miliar itu ? (Kompas, 23 Juli 2010). Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa calon
terpilih akan memanfaatkan kesempatan apa pun untuk mendapatkan kembali uang mereka yang
di keluarkan selama proses kampanye mereka. Kedua, bahwa gubernur hanya memiliki tingkat
otoritas yang rendah. Rendahnya intensitas hubungan antara gubernur dan masyarakat tidaklah
menuntut akuntabilitas yang tinggi dari gubernur kepada masyarakat. Oleh karena itu,
Pemerintah mencatat, bahwa proses pemilihan langsung akan terlalu mahal untuk pemilihan
gubernur karena otoritas mereka hanya sebagai wakil pemerintah pusat di tingkat daerah.
Bagaimanakah
isu pemilihan gubernur secara langsung ini diberitakan oleh Kompas,
Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat. Grafik menampilkan berita mengenai isu ini di ketiga
surat kabar. Isu ini mendapat alokasi pemberitaan yang cukup banyak di Kompas dan Jurnal
Nasional. Total terdapat 24 berita di Kompas dan 32 berita di Jurnal Nasional. Sebaliknya, di
Kedaulatan Rakyat isu ini tidak banyak diangkat. Total hanya 8 berita mengenai isu pemilihan
gubernur langsung ini yang diberitakan oleh Kedaulatan Rakyat.
Gambar VI
Frame Isu Pilkada di Tiga Surat kabar
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
108
187
123
102
32
24
8
Kompas
Jurnal Nasional
Kedaulatan Rakyat
Berita mengenai pemilihan gubernur
Total berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis
Bagaimana dengan bingkai (frame) berita ketiga suratkabar atas isu pemilihan gubernur
secara langsung ?. Grafik berikut ini memperlihatkan bagaimana isu pemilihan gubernur secara
langsung ini di definisikan oleh ketiga surat kabar (define problems). Dari grafik ini terlihat ada
perbedaan ketiga suratkabar dalam mendefinisikan isu tersebut. Kompas dan Kedaulatan Rakyat
melihat isu pemilihan gubernur ini dalam konteks hak-hak warga negara. Meskipun biaya
pemilihan langsung mahal, pemilihan langsung harus tetap diselenggarakan untuk menjamin
hak-hak dan kedaulatan rakyat. Dengan pemilihan secara langsung, rakyat bisa menentukan
secara langsung siapa orang yang dipandang tepat dalam memimpin provinsi. Frame berbeda
ditunjukkan oleh suratkabar Jurnal Nasional. Jurnal Nasional melihat pemilihan gubernnur
secara langsung tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensiil. Karena gubernur adalah
wakil dari pemerintah pusat di daerah. Sebaiknya gubernur dipilih oleh DPRD atau dipilih oleh
presiden.
Gambar VII
Pendefinisian Masalah Pilkada di Tiga Surat kabar
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
109
Tidak jelas / tidak ada
Lainnya
Pemilihan langsung sebagai akibat dominasi partai
dalam politik
Pemilihan langsung menghambur-hamburkan uang
Pemilihan langsung amanat konstitusi
0.0%
0.0%
2.0%
0.0%
25.0%
6.0%
8.0%
25.0%
22.0%
0.0%
6.0%
Pemilihan langsung tidak sesuai dengan fungsi
gubernur sebagau wakil pemerintah pusat
0.0%
Pemilihan langsung sebagai penghormatan hak-hak
rakyat
0.0%
Kedaulatan Rakyat (N=8)
8.0%
8.0%
50.0%
14.0%
8.0%
44.0%
12.0%
Jurnal Nasional (N=32)
62.0%
Kompas (N=24)
Pasca pilkada langsung, kerap kali diwarnai masalah hubungan antara bupati/walikota
dengan gubernur dan gubernur dengan presiden. Koordinasi antara presiden-gubernurwalikota/bupati menjadi tidak baik. Gubernur sering kali tidak bisa mengkoordinasi
bupati/wakilota di bawahnya karena kepala daerah tersebut merasa punya wewenang besar
dalam mengurus daerahnya sendiri. Hal yang sama juga terjadi dengan hubungan antara
gubernur dengan presiden. Gubernur kerap menelurkan kebijakan yang tidak sesuai dengan
kebijakan pemerintah pusat. Gubernur juga merasa dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga
tanggung jawabnya adalah secara langsung ke rakyat bukan ke pemerintah pusat.
Bagaimana ketiga suratkabar melihat sumber masalah (diagnose causes) dari persoalan ini
? Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat mempunyai frame yang berbeda. Jurnal
Nasional melihat berbagai masalah tersebut bersumber dari pemilihan langsung gubernur.
Masalah ini bisa diatasi jikalau gubernur tidak dipilih secara langsung, dan ada ketegasan bahwa
gubernur merupakan wakil dari pemerintah pusat di daerah. Frame yang berbeda ditunjukkan
oleh Kompas. Bingkai Kompas, berbagai masalah mengenai hubungan pusat dan daerah tidak
bisa ditimpakan kesalahan kepada pemilihan langsung. Jika ada kesalahan dan kelemahan, yang
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
110
harus dibenahi adalah sistemnya bukan menghilangkah pemilihan langsung itu sendiri. Relasi
yang tidak baik bisa diatasi dengan membangun sistem dan mekanisme hubungan presiden dan
gubernur. Hal yang sama juga ditunjukkan dalam berita Kedaulatan Rakyat.
Gambar VIII
Sumber Masalah Pilkada di Tiga Surat kabar
Tidak jelas / tidak ada
Lainnya
0.0%
2.0%
Regulasi yang tidak tegas
Sistem pemilihan secara langsung
Elit politik
Kedaulatan Rakyat (N=3)
Suratkabar Kompas,
25.0%
10.0%
50.0%
8.0%
8.0%
Partai politik merasa sebagai atasan gubernur
Gubernur tidak merasa bawahan dari presiden
10.0%
8.0%
12.0%
12.0%
0.0%
25.0%
12.0%
12.0%
0.0%
44.0%
8.0%
0.0%
12.0%
Jurnal Nasional (N=16)
42.0%
Kompas (N=17)
Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat mempunyai frame
(bingkai) yang berbeda dalam melihat isu gubernur dilipilih secara langsung. Tabel berikut
memperlihatkan frame dominan dari ketiga suratkabar, tersebut.
Tabel X
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
111
Frame Dominan di Tiga Surat kabar
Isu Pilkada Gubernur
PERANGKAT
FRAMING
Kompas
Jurnal Nasional
Kedaulatan
Rakyat
Pendefinisian
Masalah
(Define Problems)
Pemilihan gubernur
secara langsung
adalah wujud
penghormatan
terhadap Kedaulatan
Rakyat dalam memilih
pejabat publik.
Pemilihan gubernur
secara langsung
tidak sesuai dengan
fungsi gubernur
sebagai wakil
pemerintah pusat
(presiden) di
daerah.
Pemilihan
gubernur secara
langsung sesuai
dengan sistem
demokrasi.
Sumber Masalah
(Diagnose Cause)
Elite politik.
Masalah yang terjadi
seputar gubernur
(seperti gubernur
tidak tunduk pada
presiden, gubernur
terlibat korupsi,
gubernur tidak
mempunyai kontrol
atas bupati / walikota
dsb) muncul dari elite.
Pilkada tidak bisa
dipersalahkan sebagai
sumber masalah
tersebut.
Pemilihan
langsung.
Pemilihan secara
langsung kerap
membuat gubernur
tidak tunduk
kepada presiden
karena tidak
menganggap
presiden sebagai
“atasan”. Gubernur
lebih tunduk
kepada partai yang
mengusungnya.
Regulasi dan
aturan yang tidak
ketat.
Setelah terpilih
sebagai gubernur,
bukan lagi wakil
partai tetapi wakil
pemerintah pusat.
Keputusan Moral
(Make Moral
Judgement)
Kedaulatan rakyat
adalah hal yang
penting. Demokrasi
memang mahal, tetapi
itu harus ditempuh
untuk menjamin
kedaulatan rakyat.
Perlu diciptakan
model pemilihan
khas Indonesia
yang efesien dan
murah tanpa
mengurangi hakhak rakyat.
Dukungan rakyat
harus dibarengi
dengan kesadaran
elite.
Elite harus
bertanggung
jawab.
Penekanan
Penyelesaian
(Treatment
Pembenahan sistem.
Kelemahan pemilihan
langsung bukan
Gubernur dipilih
lewat DPRD.
Selain bisa
Kesadaran elite.
Masalah seputar
pemilihan
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
112
Recommendation)
5.3
berarti harus
menghapus sistem
pemilihan langsung.
Pembenahan bisa
dilakukan dengan
perbaikan sistem
Pemilu (seperti
rekruitmen calon), dan
sistem pemiliihan
yang lebih efesien
(seperti Pemilu
serentak) tanpa
menghilangkan esensi
pemilihan langsung.
menghemat
anggaran,
pemilihan ini akan
mempertegas
fungsi gubernur
sebagai koordinator
bupati/walikota
sekaligus wakil dari
pemerintah pusat di
daerah.
gubernur bisa
diatasi dengan
pembenahan
kesadaran dari elit
politik.
Isu Dinasti Politik
Isu lain yang banyak mendapat perhatian dari liputan media adalah dinasti politik. Banyak
ditemukan di negara-negara yang baru merdeka, para pendiri negara (founding father) memilih
sistem demokrasi untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Meskipun negara tersebut telah
memilih demokrasi dan membuang sistem politik tradisional kerajaan, faktanya, faktor
kedekatan kekeluargaan dan kekerabatan masih sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan
politik negara tersebut8.
Praktik politik dinasti semacam ini dapat berpengaruh tidak baik pada berbagai aspek
pembangunan (sosial, ekonomi, politik) suatu negara, karena ketika sumber-sumber strategis
(sosial, ekonomi, politik) dimonopoli atau dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang
memiliki kedekatan kekerabatan dengan pemegang kekuasaan, bisa dipastikan bahwa akses
setiap warga negara pada sumber-sumber strategis (sosial, ekonomi, politik) tidaklah sama,
mereka yang dekat dengan kekuasaan akan mudah mendapatkan akses kedudukan, kekuasaan,
jabatan, dan kemudahan finansial. Sebaliknya, yang jauh dengan kekuasaan akan mengalami
kebalikannya.
8
Beberapa contoh kasus seperti di Srilanka (Dinasti Bandaranaike), Pakistan (Dinasti Bhuto), India (Dinasti Gandhi),
Malaysia (Dinasti Abdul Razak), Singapura (Dinasti Lee) dan tentu juga di Indonesia.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
113
Beberapa studi mengenai dinasti politik seperti yang dilakukan oleh Robert Springborg
(1975) di Mesir, dan Linda Lewin (1979) di Brazil menarik untuk menjadi bahan diskusi.
Penelitian Springborg (1975) menunjukkan bahwa elite ekonomi dan elite politik di Mesir dipilih
secara eksklusif berdasarkan hubungan kekeluargaan dan perkawinan. Para tuan tanah yang kaya
akan memperluas jaringan patronase dan membangun dinasti politik berdasarkan kekayaan
material dan monopoli jabatan politik penting melalui kekeluargaan. Mereka tidak jarang
memakai perkawinan sebagai cara memperluas jaringan patronase. Dari sanalah kemudian basis
kelompok, basis faksi, basis ekonomi, dan basis politik dijadikan alat untuk bisa mewujudkan
kepentingan keluarga.
Penelitian Lewin (1979) di Brazil menemukan bahwa keluarga atau kerabat dekat memainkan
peran penting di lebih dari 300 wilayah. Sejak tahun 1889 pemimpin politik ditingkat nasional
selalu berasal atau merupakan jaringan dinasti politik dari wilayah Pariba. Oligarki Pariba
dibangun dari koalisi 36 keluarga besar yang mempunyai kekuasaan monopoli atas sumber daya
strategis, dan akhirnya sistem politik yang dibangun dari jaringan kekerabatan dan kekeluargaan
ini mendominasi posisi-posisi penting dalam birokrasi pemerintahan di Brazil.
Untuk kasus di Indonesia tulisan Andi Faisal Bakti (2007:491) yang berjudul “Kekuasaan
Keluarga di Wajo Sulawesi Selatan” sangat bagus untuk dapat melihat bagaimana kekuasaan
keluarga dimulai yang kemudian di kembangkan dan diatur sedemikian rupa, sehingga
kekuasaan keluarga tersebut dapat bertahan dalam segala rezim pemerintahan.
Bakti (2007:492) memotret seorang tokoh penting di Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi
Selatan, yang disamarkan dengan panggilan Puang. Puang ini adalah tokoh sentral yang
digambarkan oleh Bakti sebagai patron yang sangat berpengaruh dalam konstelasi politik di
Kabupaten Wajo. Puang berdarah bangsawan dan memulai kariernya sebagai perwira di TNI
Angkatan Darat. Kemudian Puang menikah dengan putri bangsawan tuan tanah di Wajo. Pada
tahun 1987, Puang masuk menjadi anggota Golkar, pada tahun 1993 Puang diangkat menjadi
Ketua DPRD Kabupaten Wajo. Akhirnya tahun 2004 sang Puang terpilih menjadi Bupati
Kabupaten Wajo.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
114
Lebih lanjut, Bakti (2007) memaparkan sukses karier Puang ini menjadi sangat menarik
karena dalam memuluskan dan mengamankan kariernya, Puang juga bertidak sebagai patron
bagi kerabat-kerabatnya. Puang mengangkat dan menunjuk kerabat-kerabatnya untuk menduduki
jabatan-jabatan birokratis strategis, yang biasa disebut “lahan basah” dan menguntungkan. Posisi
yang dijabat oleh kerabat Puang antara lain adalah Asisten II Kepala Daerah Bidang Ekonomi
dan Pembangunan, saudara yang lain menjadi Kepala Bagian Perlengkapan, dan juga pejabatpejabat di kantor dinas yang dianggap “basah”, seperti kantor dinas pertanian, pajak, transportasi,
pertanahan, kehutanan, serta kepala bagian ekonomi, yang lebih mencengangkan, 10 dari 14
Camat dijabat oleh saudara sepupu Puang, sehingga munculah kekuasaan patrimonial Puang,
yang membentuk rejim yang hegemonis di Kabupaten Wajo.
Untuk meminimalisasi suara-suara kritis, Puang menggunakan politik uang. Berbagai
institusi masyarakat sipil seperti pesantren, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah diberi bantuan
dana yang cukup besar, yakni sekitar Rp 100 juta. Cara yang sama juga digunakan untuk
meredam berita-berita yang miring di surat kabar, para waratawan ini disogok dengan uang oleh
kerabat Puang yang berada di birokrasi.
Dari penelitian Bakti di atas dapat dilihat bahwa ide awal otonomi daerah yang berusaha
mendirikan pemerintahan daerah yang baik, yang berbasis pada demokrasi dan good governance
serta memotong praktik pemerintahan yang buruk seperti pemerintahan patron client ala Orde
Baru, ternyata di Kabupaten Wajo tidak terjadi. Dinasti politik yang berlandaskan kekerabatan
dan patron client ala Orde Baru malahan dengan sukses dipraktikan Puang di Kabupaten Wajo.
Istilah “dinasti politik” mengacu kepada penguasaan jabatan-jabatan publik (kepala daerah,
dan anggota legislatif) oleh sekelompok keluarga. Istilah ini mencuat di Indonesia terutama sejak
tahun 2009. Ini ditandai oleh munculnya kepala daerah dan anggota legislatif yang masih
mempunyai hubungan keluarga. Istri atau anak-anak kepala daerah menjadi anggota legislatif
atau kepala daerah di tempat lain. Akibat dari dinasti politik ini adalah jabatan-jabatan publik
dikuasai oleh beberapa anggota keluarga. Berdasarkan penelusuran Kompas (19 Oktober 2013),
setidaknya ada 37 kepala daerah terpilih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat
negara lain. Mereka tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
115
Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan
Maluku 9.
Isu dinasti politik banyak dipersoalkan karena dua hal. Pertama, dinasti politik dipandang
bisa menutup kesempatan aktor politik lain di daerah yang potensial. Aktor yang berasal dari
dinasti politik mempunyai keuntungan karena bisa memanfaatkan jaringan, sumber daya dan
popularitas dari anggota kerabat yang tengah memerintah (menjabat). Kedua, dinasti politik bisa
menghilangkan kritik dan kontrol sosial. Ketika jabatan-jabatan publik di daerah dikuasai oleh
kerabat atau dinasti politik tertentu, dikhawatirkan tidak lagi terjadi kritik sosial. Kekuasaan
memusat di tangan kerabat atau jaringan keluarga.
Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat menempatkan berita mengenai
dinasti politik ini secara berbeda. Kompas dan Jurnal Nasional cukup banyak mengangkat isu
dinasti politik. Total berita mengenai dinasti politik adalah sebanyak 17 buah di Kompas dan 16
berita di Jurnal Nasional. Sementara di Kedaulatan Rakyat, isu mengenai dinasti politk ini hanya
diangkat sebanyak 3 berita saja. Isu ini kurang menarik minat surat kabar Kedaulatan Rakyat.
Gambar IX
Frame Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar
9
Sebagian kerabat meneruskan jabatan yang sama. Bupati Indramayu Anna Sophanah meneruskan jabatan dari
suaminya, Irianto MS Syafiuddin. Demikian pula dengan Bupati Kendal Widya Kandi Susanti, Bupati Bantul Sri
Suryawidati, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, yang melanjutkan
posisi suami masing-masing. Adapun Mohammad Makmun Ibnu Fuad menggantikan ayahnya, Fuad Amin,
sebagai Bupati Bangkalan. Pola lainnya adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda sehingga dinasti politik
bisa terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, sedangkan anaknya menjadi Bupati
Lampung Selatan Rycko Menoza. Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan anaknya, Ivan SJ Sarundajang,
Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa.
Contoh lebih luas adalah dinasti politik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Keluarganya menjabat Wakil
Bupati Pandeglang, Wali Kota Tangerang Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali Kota Serang. Selain kepala
daerah, dinasti politik juga dibangun lewat penguasaan atas posisi di lembaga legislatif. Keluarga kepala adaerah
mencalonkan diri dan kemudian terpilih dalam berbagai posisi di lembaga legislatif---baik pusat ataupun daerah.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
116
187
123
17
16
Kompas
Jurnal Nasional
102
3
Kedaulatan Rakyat
Berita mengenai diansti politik
Total berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis
Selain jumlah berita yang berbeda, ketiga surat kabar juga membingkai (framing) isu
dinasti politik ini secara berbeda. Grafik di atas menampilkan bagaimana isu dinasti politik
didefinisikan oleh ketiga surat kabar (define problems). Kompas lebih banyak melihat isu dinasti
politik sebagai buah dari otonomi daerah. Dalam pandangan Kompas, otonomi daerah di satu sisi
mempunyai dampak positif dan di sisi lain berdampak negatif.
Dinasti politik adalah sisi negatif dari otonomi daerah. Penguasa dan elit poliitik lokal
menjadi “penumpang gelap” dari otonomi daerah. Sebagai kebijakan negara, otonomi daerah
memberi kesempatan kepada elite lokal untuk masuk dalam jabatan publik (misalnya lewat
pemilihan kepala daerah atau legislatif). Otonomi daerah juga memberi kesempatan luas kepada
pejabat daerah untuk membuat kebijakan. Ini kerap dimanfaatkan oleh elit politik lokal untuk
mencuri kesempatan dalam memupuk kekuasaaan ekonomi dan politik. Dengan popularitasnya,
pejabat di daerah bisa mendorong anggota keluarga lain untuk masuk dalam jabatan-jabatan
publik lewat pemilihan.
Di lain pihak, harian Jurnal Nasional melihat isu dinasti politik secara berbeda, Menurut
Jurnal Nasional, dinasti politik adalah produk dari partai politik yang feodal dan tidak
transparan. Jabatan-jabatan publik yang didapat lewat pemilihan (seperti anggota legislatif atau
kepala daerah) saat ini harus lewat partai politik. Partai seharusnya bisa menjadi alat penyaring,
dengan membatasi dinasti politik namun, yang terjadi justru sebaliknya, partai kerap kali justru
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
117
lebih suka mendorong kerabat untuk mencalonkan diri. Sementara Kedaulatan Rakyat
membingkai isu dinasti politik ini sebagai buah dari lemahnya regulasi dan penegakan hukum.
Undang-Undang yang ada tidak membatasi dinasti politk, sehingga membuat elit politik lokal
memanfaatkan celah ini.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
118
Gambar X
Pendefinisian Masalah Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar
Tidak jelas / tidak ada
Lainnya
Dinasti politik warisan dari masa lalu
Dinasti politik pencerminnan partai politik
Dinasti politik sebagai akibat dari regulasi dan
penegakan hukum yang lemah
18.0%
14.0%
0.0%
0.0%
8.0%
14.0%
12.0%
14.0%
0.0%
0.0%
18.0%
66.0%
4.0%
8.0%
Dinasti politik pencerminan dari sistem politik
feodal
0.0%
Dinasti politik adalah penumpang gelap otonomi
daerah
0.0%
Kedaulatan Rakyat (N=3)
33.0%
12.0%
12.0%
Jurnal Nasional (N=16)
28.0%
38.0%
Kompas (N=17)
Ketiga surat kabar (Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat) juga berbeda dalam
melihat siapa atau apa yang menjadi penyebab dari dinasti politik (diagnose causes). Kompas
meletakkan lahirnya dinasti politik sebagi buah dari otonomi daerah. Otonomi daerah tidak
dipersiapkan dengan baik sehingga muncul dinasti politik, kondisi yang tidak dipikirkan saat
otonomi daerah lahir. Jurnal Nasional berbeda dengan Kompas. Dalam pandangan
Jurnal
Nasional, dinasti politik lahir akibat sistem rekruitmen di partai politik.
Partai politik adalah pihak yang bisa dipersalahkan dari lahirnya dinasti politik. Partai
kerap kali tidak membatasi, bahkan mendorong jaringan kekerabatan di daerah untuk maju
dalam pemilihan. Calon yang berasal dari dinasti politik tertentu, oleh partai bahkan kerap
dianggap sebagai sisi positif dari calon, seperti mempunyai popularitas, jaringan, dan sumber
daya yang lebih baik dibandingkan dengan calon lain. Tidak mengherankan jikalau peluang
calon yang berasal dari dinasti politik lebih tinggi dibandingkan dengan calon lain. Sementara itu
harian Kedaultan Rakyat melihat, masalah dinasti politik lahir akibat regulasi yang lemah.
Regulasi dan penegakan hukum adalah aspek yang bisa dipersalahkan sebagai akibat dari
lahirnya dinasti politik.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
119
Gambar XI
Sumber Masalah Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar
Tidak jelas / tidak ada
Lainnya
Masyarakat yang permisif
Peraturan perundang-undangan yang tidak jelas
Undang_undang yang tidak membatasi dinasti
politik
Partai politik dan elit politik nasional
Otonomi daerah
Kedaulatan Rakyat (N=3)
0.0%
0.0%
14.0%
10.0%
12.0%
12.0%
0.0%
6.0%
12.0%
33.0%
0.0%
0.0%
66.0%
6.0%
12.0%
0.0%
52.0%
22.0%
0.0%
10.0%
Jurnal Nasional (N=16)
32.0%
Kompas (N=17)
Surat kabar Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat mempunyai frame (bingkai)
yang berbeda dalam melihat isu dinasti politik. Tabel berikut memperlihatkan frame dominan
dari ketiga surat kabar tersebut.
Tabel XI
Frame Dominan di Tiga Surat kabar
Isu Dinasti Politik
PERANGKAT
FRAMING
Kompas
Jurnal Nasional
Kedaulatan
Rakyat
Pendefinisian
Masalah
(Define Problems)
Dinasti politik
adalah hasil
sampingan buruk
dari otonomi. Dinasti
adalah “penumpang
gelap” otonomi
daerah.
Dinasti politik
merupakan
pencerminan dari
sistem politik yang
feodalistik dan
partai yang belum
menjalankan
fungsinya dengan
baik.
Dinasti politik lahir
akibat regulasi yang
lemah
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
120
Sumber Masalah
(Diagnose Cause)
Otonomi daerah.
Otonomi melahirkan
penguasa-penguasa
baru yang
mempunyai sumber
daya lebih.
Partai politik dan
elite nasional.
Rekruitmen partai
yang tidak
menyaring dinasti
politik.
Undang-Undang dan
peraturan tidak
membatasi dinasti
politik.
Keputusan Moral
(Make Moral
Judgement)
Setiap kebijakan ada
sisi baik dan buruk.
Selalu saja ada orang
atau pihak yang
memanfaatkan
kesempatan untuk
keutungan diri dan
kelompoknya.
Dinasti politik lahir
dari sistem yang
tradisional. Partai
harus mengarah ke
sistem yang
modern, transparan
dan terbuka.
Hasrat manusia
untuk terus
memperbesar
kekuasaan. Karena
itu, harus ada
regulasi untuk
pembatasan
kekuasaan.
Penekanan
Penyelesaian
(Treatment
Recommendation)
Pengusutan kasuskasus korupsi dan
penyimpangan
hingga ke tingkat
lokal untuk
memberikan efek
jera.
Rekruitmen partai
yang terbuka.
Partai mengusung
calon kepala daerah
atau legislatif
bukan dari anggota
dinasti politik.
Revisi UndangUndang partai
politik atau UndangUndang Pemerintah
Daerah yang
membatasi jabatan
publik dikuasai oleh
anggota dinasti
politik.
5.4. Isu Korupsi Elite Lokal
Salah satu isu yang paling mendapat perhatian media adalah isu kasus korupsi elite lokal.
Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (Lord Acton:1887). Lord Acton,
anggota parlemen Inggris, membuat suatu peringatan akan dekatnya kekuasan dengan korupsi.
Bahkan, secara eksplisit Acton mengatakan bahwa kekuasaan yang mutlak akan korup mutlak
juga dan mengapa kekuasaan selalu dekat dengan korupsi.
Untuk kasus di Indonesia tulisan Syarif Hidayat (2007:267) yang berjudul “Shadow
State…? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten” sangat menarik. Provinsi Banten yang
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
121
merupakan Provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat mempunyai kisah yang
sangat dekat dengan jawara. Jawara pada masa lampau adalah mereka yang mempunyai
kemampuan pencak silat dan ilmu kanuragan. Namun, untuk kasus Provinsi Banten, jawara
dapat juga diartikan selain sebagai jago pencak silat, juga sebagai pengusaha. Hal ini oleh Syarif
Hidayat (2007:268) disebut “jawara berstatus ganda”. Dengan sangat baik Syarif Hidayat (2007)
mengambarkan bahwa sebagai pengusaha, jawara akan memaksimalkan sumber daya keuangan
yang dimiliki, sedangkan sebagai jawara, mereka juga akan dapat menggunakan sumber daya
kekerasan. Di Povinsi Banten, ketua jawara adalah TB Chasan Sochib yang merupakan
pengusaha sekaligus bapak dari Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiah.
Di Provinsi Banten inilah salah satu contoh isu dinasti politik dan isu korupsi elit lokal
bersatu sedemikian rupa menjalin temali yang rapi. Dinasti TB Chasan Sochib menguasai hampir
semua jaringan Kepala Daerah di Provinsi Banten. Lebih lanjut, Syarif Hidayat (2007:292)
membedah peran Tuan Besar (TB) dalam praktik pemerintahan informal, terutama dalam kasus
premanisme proyek di Provinsi Banten. Kasus premanisme proyek ini berakar dari praktek
monopoli pelaksanaan fisik proyek-proyek pembangunan di Pemerintah Daerah Provinsi Banten.
Berbagai proyek di Provinsi Banten ini jika tidak dikerjakan oleh kelompok TB, maka akan di
kenakan fee proyek antara 10-11 %. Menurut Syarif Hidayat (2007:303) praktek shadow state ini
dapat berjalan karena lemahnya peran institusi formal pemerintah daerah di Provinsi Banten.
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten menghadapi kesulitan untuk memfungsikan
secara maksimal institusi formal pemerintah daerah. Hal ini karena adanya Tuan Besar yang
selain mempunyai hubungan kekerabatan, juga menjadi sponsor dana dan sponsor politik bagi
terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten. Secara tepat, Syarif Hidayat (2007)
membuat kesimpulan bahwa yang terjadi di Provinsi Banten adalah dominasi Tuan Besar dalam
mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan bagian dari investasi
politik dan ekonomi yang ditanam oleh Tuan Besar pada saat pemilihan gubernur dan wakil
gubernur di Provinsi Banten.
Beberapa ahli yang melakukan studi tentang korupsi, seperti Jeremy Pope (2002),
mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan, dan kepercayaan untuk kepentingan
pribadi. Sedangkan Robert Klitgaard (1998) mengatakan bahwa korupsi adalah tingkah laku
yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
122
uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar
aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. Dari uraian diatas terlihat bahwa
korupsi merupakan suatu tindakan yang menyelewengkan kekuasaan dan mengambil atau
menggelapkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Seperti tercermin
dalam kasus Tuan Besar (TB) pada tulisan Syarif Hidayat diatas.
Dekatnya kekuasaan dengan korupsi secara sederhana diuraikan oleh Klitgaard (1998)
dengan suatu rumus (C = M + D – A), di mana C adalah Corruption, M adalah Monopoly
Power, D adalah Discretion by Officials, dan - A adalah Minus Accountability. Dari rumus
Klitggard di atas terlihat bahwa kecenderungan adanya korupsi atau penyelahgunaan kekuasaan
akan timbul jika tidak ada pengawasan. Oleh karena itu,
pengawasan yang baik mutlak
diperlukan untuk meminimalisasi korupsi.
Salah satu isu utama dalam reformasi tahun 1998 adalah “melawan korupsi” dengan cara
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme Namun
ironisnya korupsi justru meningkat dan meluas pascareformasi. Salah satu yang menghambat
konsolidasi demokrasi di Indonesia adalah korupsi politik yang melanda seluruh institusi negara
dan pada semua jenjang pemerintahan, yang mengubur tujuan kemerdekaan untuk kemakmuran
rakyat.
Partai politik yang seharusnya dapat menjadi pilar demokrasi, untuk menggodok caloncalon pemimpin negeri, pada realitanya menyalahgunakan kekuasaan secara vulgar, baik dalam
bentuk transaksional maupun penyalahgunaan kebijakan publik. Korupsi di parlemen pusat dan
lokal dapat dilihat pada praktiknya secara nyata dalam berbagai bentuk, antara lain transaksi
pasal dalam penyusunan perundang-undangan, percaloan anggaran, jual beli suara dalam
pemilihan pejabat publik, dan gratifikasi. Korupsi di eksekutif sama dan sebangun dengan
korupsi di parlemen. Mereka menyalahgunakan kekuasaan melalui transaksi kekuasaan dan
keuntungan finansial atau menjadi calo bagi berbagai kepentingan. Korupsi di lingkungan
eksekutif pusat dan daerah berlangsung dalam skala yang lebih luas karena menjangkau seluruh
instansi sampai ke daerah. Bersamaan dengan itu, korupsi yang sistemik juga berlangsung pada
lembaga yudisial dan penegak hukum dan menjadi isu yang menghiasi berbagai media massa.
Surat kabar banyak memberitakan elite lokal (terutama kepala daerah) yang terlibat dalam
berbagai kasus lokal. Jumlah kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi sangat besar. Pada
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
123
bulan Juli 2013, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi,
membuat pernyataan yang
mengejutkan. Menurut Gamawan, sebanyak 86,22 persen kepala daerah di Indonesia tersangkut
kasus korupsi (330 orang dari 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah), yang tersangkut di
sini, bisa berupa saksi, tersangka, terdakwa atau sudah dihukum.
Sementara itu data lain, disampaikan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah Djohan, sejak tahun 2004 sampai Februari 2013,
sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi.
Rinciannya , Gubernur 21 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46
orang, Walikota 41 orang dan Wakil Walikota 20 orang. Selain kepala daerah, korupsi di daerah
juga menjerat anggota parlemen. Anggota legislatif yang terjerat korupsi di DPRD
kabupaten/kota tercatat sebanyak 431 orang dan DPRD Provinsi 2.545. Jumlah tersebut adalah
6,1 persen dari total 18.275 anggota DPRD se-Indonesia.
Adapun jumlah aparatur pemerintah di bawah kepala daerah yang terlibat korupsi juga
tinggi, mencapai lebih dari 1.200 orang. Biasanya, aparatur di bawah kepala daerah ikut terlibat
praktik korupsi karena terseret perbuatan kepala daerah. Hingga tahun 2013, aparatur birokrasi
yang terseret jumlahnya mencapai
1.221 orang, yang telah berstatus tersangka 185 orang,
terdakwa 112 orang dan terpidana 877 orang, sedangkan yang masih saksi mencapai 46 orang
(Rakyat Merdeka, 14 Februari 2013).
Berita mengenai kasus-kasus korupsi di daerah tersebut (baik yang melibatkan kepala
daerah, anggota DPRD, atau pejabat birokrasi di daerah) banyak diberitakan oleh surat kabar.
Setelah selesai satu kasus korupsi, disusul oleh kasus korupsi yang lain dan seterusnya. Saat
penelitian ini dilakukan, surat kabar banyak mengangkat kasus korupsi yang melibatkan
Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak,
Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin dan Gubernur Maluku Utara Thaib Armayn.
Kasus-kasus korupsi elite lokal tersebut tidak semuanya dianalisis dalam studi ini. Studi ini
hanya menyertakan pemberitaan surat kabar mengenai kasus korupsi elit lokal yang terkait
dengan otonomi daerah. Perincian berita mengenai kasus korupsi terkait dengan otonomi daerah
adalah sebagai berikut. Kompas memberitakan isu ini sebanyak 18 berita, Jurnal Nasional 16
berita dan Kedaulatan Rakyat 4 berita. Perlu dicatat, berita yang dianalisis hanya yang terkait
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
124
dengan perdebatan mengenai otonomi daerah. Jadi tidak semua berita mengenai kasus korupsi
lokal yang diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini.
Gambar XII
Frame Korupsi Elite Lokal di Tiga Surat kabar
187
123
18
16
Kompas
Jurnal Nasional
102
4
Kedaulatan Rakyat
Berita mengenai korupsi elit lokal
Total berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis
Sangat menarik dari data ini adalah, harian Kedaulatan Rakyat merupakan surat kabar yang
paling sedikit dalam memberitakan isu korupsi elit lokal. Sementara untuk Kompas dan Jurnal
Nasional, relatif seimbang dalam hal jumlah pemberitaan mengenai isu korupsi elite lokal. Selain
jumlah (frekuensi) pemberitaan, hal lain yang menarik adalah bingkai (frame) berita dari ketiga
surat kabar. Kompas, Jurnal Nasional ataupun Kedaulatan Rakyat mempunyai bingkai yang
berbeda dalam hal mendefinisikan masalah korupsi (define problems). Kompas melihat korupsi
yang melibatkan elite-elite politik lokal (kepala daerah, pejabat birokrasi, dan anggota DPRD)
adalah hasil sampingan dari sistem pemilihan yang berbiaya mahal. Kompas lebih memaknai
korupsi sebagai akibat dari masalah struktural dibandingkan dengan masalah pribadi
atau
kultural.
Dalam berita Kompas, korupsi yang banyak melibatkan elite lokal tersebut terjadi ketika
mereka menduduki posisi politik lewat biaya yang mahal. Untuk maju sebagai calon diperlukan
miliaran rupiah sehingga ketika terpilih, elite lokal tersebut tergoda untuk melakukan korupsi.
Ketika menjabat, mereka juga tergoda korupsi guna mempersiapkan uang yang dipakai untuk
pemilihan selanjutnya. Adapun frame berbeda diangkat oleh Kedaulatan Rakyat. Surat kabar ini
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
125
lebih melihat korupsi sebagai masalah hukum, terutama tidak ada sanksi yang tegas dan aparat
hukum yang tidak bersih. Korupsi di Indonesia bukan makin turun tetapi makin tinggi
jumlahnya, sebagai akibat dari tidak adanya sanksi hukum yang membuat efek jera. Pejabat di
daerah tidak merasa takut melakukan korupsi. Selain itu aparat hukum juga tidak berlaku tegas,
tebang pilih, dan tidak memberikan hukuman maksimal bagi pelaku korupsi.
Harian Jurnal Nasional mengangkat frame yang berbeda 180 derajat dengan Kedaulatan
Rakyat. Jurnal Nasional sama sekali tidak menyinggung masalah korupsi sebagai masalah
penegakan hukum atau akibat tidak tegasnya pemerintah. Jurnal Nasional justru banyak
mengangkat berita mengenai ketegasan pemerintah, seperti banyaknya izin pemeriksaan yang
dikeluarkan oleh presiden, prestasi KPK dan seterusnya. Jurnal Nasional melihat masalah
korupsi ini sebagai kurangnya sanksi sosial dan politik. Mereka yang terbukti korupsi tidak
diberikan sanksi moral dan sosial, tetap diterima. Banyak pejabat yang pernah dihukum, bahkan
bisa mencalonkan diri kembali dalam jabatan politik periode berikutnya.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
126
Gambar XIII
Pendefinisian Masalah Isu Korupsi Elite Lokal di Tiga Surat kabar
0.0%
Lainnya
Korupsi sebagai akibat sumber daya yang beralih
ke daerah
6.3%
5.6%
0.0%
6.3%
11.1%
50.0%
Korupsi masalah bukan hanya daerah tetapi juga
pusat
18.8%
11.1%
25.0%
Korupsi di daerah bukan hanya persoalan hukum
tetapi juga sosial dan budaya
56.3%
16.7%
25.0%
Korupsi adalah hasil hasil sampingan buruk dari
Pilkada
12.5%
55.6%
0.0%
Kedaulatan Rakyat (N=4)
10.0%
20.0%
Jurnal Nasional (N=16)
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
Kompas ( N=18)
Ketiga surat kabar juga berbeda dalam melihat sumber masalah (Diagnose Cause) dari
banyaknya kasus korupsi di daerah. Kompas melihat banyaknya kasus korupsi di daerah
disebabkan oleh sistem pemilihan dan biaya politik yang mahal. Seharusnya pemilihan dibuat
murah, sehingga orang-orang terbaik dan bersihlah yang bisa masuk dalam jabatan-jabatan
publik di daerah. Ketika biaya politik mahal, elite politik lokal ini akan masuk dalam lingkaran
korupsi, yakni uang yang telah dikeluarkan selama pencalonan akan coba dicari gantinya ketika
sudah menjabat.
Biaya politik yang mahal juga hanya memberi kesempatan kepada elite-elite lama (orang
itu-itu saja) untuk maju dan terpilih, dan menutup kesempatan bagi orang-orang baru yang relatif
bersih. Sementara itu Kedaulatan Rakyat lebih melihat sumber masalah korupsi sebagai tidak
adanya penegakan hukum yang tegas. Jika hukum ditegakkan dengan baik, pelaku dihukum
maksimal (jika perlu dihukum mati), serta aparat tidak tebang pilih, hal ini akan menimbulkan
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
127
efek jera dan membuat takut orang yang akan melakukan korupsi. Perilaku korupsi makin marak
karena hukuman yang ringan membuat orang tidak takut melakukan korupsi. Sebaliknya, Jurnal
Nasional lebih melihat sumber masalah korupsi adalah tidak adanya sanksi sosial dan politik
bagi pelaku. Penegakan hukum yang ditandai oleh banyaknya pejabat di daerah yang ditangkap
dan diproses hukum, tidak mengurangi angka korupsi jika tidak ada sanksi sosial.
Gambar XIV
Sumber Masalah Isu Korupsi Elite Lokal di Tiga Surat kabar
Masalah budaya, warisan
Tidak ada sanksi moral dan sosial
Aparat hukum yang tidak bekerja dengan baik
Hukuman yang tidak maksimal
Ongkos (biaya) politik yang mahal
Sistem pemilihan yang berbiaya mahal
Kedaulatan Rakyat (N=4)
0.0%
6.3%
62.5%
11.1%
50.0%
6.3%
5.6%
6.3%
11.1%
6.3%
27.8%
12.5%
Jurnal Nasional (N=16)
44.4%
Kompas ( N=18)
Selain pendefinisian masalah dan sumber masalah yang berbeda, ketiga surat kabar juga
memiliki posisi berbeda dalam hal mengangkat keputusan moral dan penekanan penyelesaian
masalah. Tabel berikut menggambarkan secara singkat frame dominan dari ketiga surat kabar
dalam melihat isu korupsi elite lokal.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
128
Tabel XII
Frame Dominan di Tiga Surat kabar
Isu Korupsi Politik
PERANGKAT
FRAMING
Pendefinisian
Masalah
(Define Problems)
Sumber Masalah
(Diagnose Cause)
Keputusan Moral
(Make Moral
Judgement)
Penekanan
Penyelesaian
(Treatment
Recommendation)
Kompas
Jurnal Nasional
Korupsi politik adalah
hasil sampingan buruk
dari pemilihan kepala
daerah secara langsung.
Kekuasaan yang besar
di daerah dibarengi
juga dengan
tumbuhnya korupsi di
daerah.
Sistem dan praktik
pemilihan kepala
daerah yang berbiaya
mahal. Ongkos politik
yang mahal itu menjadi
pangkal dari perilaku
elite lokal yang korup.
Korupsi tidak
hanya
memerlukan
pendekatan
hukum tetapi juga
sosial dan budaya.
Tidak ada
hukuman moral
dan sosial. Aparat
hukum telah
memenjarakan
banyak pelaku,
tetapi perilaku
koruptif tidak
turun karena
kurang sanksi
moral.
Korupsi bukan hanya
Korupsi adalah
persoalan budaya,
perbuatan buruk
tetapi juga sistem.
dan nista.
Sistem yang korup
Sekarang ini
mendorong orang
banyak orang
untuk berbuat korup.
yang melakukan
korupsi, tetapi
tidak malu, dan
berperilaku biasa
saja setelah keluar
dari penjara.
Pembenahan
Sanksi sosial
mekanisme pemilihan, (dikucilkan,
terutama biaya politik. dimiskikan) dan
Pembiayaan politik
sanksi politik
harus dibuat murah,
(mis. tidak boleh
terbuka dan transparan terlibat dalam
sehingga kandidat tidak jabatan politik di
tergoda untuk korupsi
masa mendatang
Kedaulatan
Rakyat
Korupsi adalah
masalah Indonesia,
tidak peduli di
pusat atau daerah.
Hukuman dan efek
jera yang kurang
maksimal bagi
pelaku korupsi.
Banyak pelaku
korupsi yang
dihukum ringan.
Godaan kekuasaan
sangat tinggi.
Orang yang baik
bisa menjadi korup
ketika berkuasa.
Harus ada aturan
dan hukuman
maksimal untuk
memberi efek jera.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
129
ketika nanti menjabat.
dsb) bagi pelaku
korupsi untuk
memberikan efek
jera.
5.5. Isu Desentralisasi Asimetris: Keistimewaan Yogyakarta
Salah satu isu berkaitan dengan otonomi daerah adalah mengenai desentralisasi asimetris.
Charles Tarlton (1965:861-874) adalah seorang ahli politik yang pertama kali memulai
perdebatan tentang disentralisasi asimetris. Perbedaan utama antara desentralisasi simetris, dan
asimetris terletak pada tingkat kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality) dalam
hubungan suatu level pemerintahan dengan sistem pemerintahan secara umum. Pola simetris
ditandai oleh adanya hubungan simetris antar setiap daerah dengan pemerintah pusat yang
didasari oleh jumlah dan bobot kewenangan yang sama. Sementara itu pola asimetris adalah satu
atau lebih unit pemerintahan lokal yang berbeda derajat otonomi dan kekuasaan yang ditandai
dengan tidak seragamnya pengaturan muatan kewenangan, baik secara horizontal maupun
vertikal.
Desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization) merupakan bentuk penerapan
desentralisasi dengan memperhatikan kondisi khas suatu daerah. Di kalangan ahli sendiri terjadi
perdebatan, yaitu apakah desentralisasi diberlakukan dengan pola dan bentuk yang sama untuk
semua wilayah (simetris) ataukah desentralisasi memperhitungkan kekhasan suatu wilayah
sehingga dimungkinkan penerapan secara khusus bentuk desentralisasi tertentu (asimetris). Pihak
yang tidak setuju dengan penerapan desentralisasi asimetris berpandangan bahwa bentuk
desentraliasi dan otonomi daerah harus diberlakukan secara seragam agar terjadi asas keadilan
bagi semua daerah. Jika satu wilayah diperlakukan secara khusus akan menimbulkan
kecemburuan daerah lain. Sementara itu pihak yang setuju dengan penerapan desentralisasi
asimetris berpendapat bahwa praktik desentralisasi harus memperhatikan kondisi khas daerah,
latar belakang sejarah dan riwayat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Konstitusi UUD 1945 (amandemen) sendiri secara jelas mengakui adanya desentralisasi
asimetris. Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan dalam Pasal 18A ayat (1), Pasal
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
130
18B ayat (1) dan (2).10 Pengaturan mengenai desentralisasi asimetris tersebut dituangkan lebih
lanjut dalam Undang-Undang (UU). Hingga saat ini terdapat 4 Undang-Undang khusus, yakni,
Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, UU Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Papua.
Meskipun keberadaan desentralisasi asimetris ini diakui oleh konstitusi, di masyarakat (dan
media) topik ini masih diperdebatkan, terutama berkaitan dengan kondisi dan persyaratan suatu
daerah memperoleh status sebagai daerah istimewa atau otonomi khusus. Salah satu perdebatan
yang banyak mengemuka adalah isu mengenai keistimewaan Yogyakarta. Media banyak
memberitakan isu ini bersamaan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan
Yogyakarta (RUUK DIY). RUU ini sudah dibahas sejak periode 2004-2009. Namun, hal ini
tidak bisa diselesaikan karena tidak terdapat kesepakatan soal mekanisme jabatan gubernur dan
wakil gubernur.
Pemerintah dan partai Demokrat menginginkan gubernur DIY dipilih lewat pemilihan
seperti halnya daerah lain di Indonesia, sedangkan DPR dan masyarakat lebih memilih
penetapan. Karena tidak mencapai titik temu, RUU itu dilanjutkan DPR periode 2009-2014.
Dewan membentuk Panja dengan menggelar rapat 20 kali. Pembahasan RUUK DIY antara
Pemerintah dan DPR pada masa persidangan III dan IV DPR tahun 2011-2012 masih berkutat
pada mekanisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Pembahasan RUU
tersebut mendesak karena masa jabatan Sultan dan Paku Alam berakhir 9 Oktober 2012. Ini
artinya, UU soal Keistimewaan Yogyakarta tersebut harus sudah disahkan sebelum masa jabatan
berakhir agar tidak terjadi kekosongan jabatan. Setelah melalui perdebatan panjang, pada 30
Agustus 2012, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta
10
Dalam Pasal 18A ayat (1) diamanatkan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah”. Lebih lanjut dalam Pasal 18B ayat (1) dan (2) diatur bahwa (1) Negara mengakui dan
menghormati Satuan–satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam
undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
131
menjadi Undang-Undang, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam UU tersebut, Gubernur DIY tidak
dipilih lewat Pilkada, tetapi ditetapkan oleh DPRD DIY. Kemudian hasil penetapan diusulkan
pada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan penetapan.11
Eksistensi Keraton Yogyakarta sudah ada sejak sebelum Republik Indonesia lahir dan
diakui oleh Belanda sebagai wilayah yang berpemerintahan mandiri (zelfbestuurende
landschappen). Secara historis Keraton Yogyakarta sudah ada pada tahun 1613 M, yaitu
semenjak zaman Kerajaan Mataram Islam. Hubungan antara Keraton Yogyakarta dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia ditandai dengan dukungan terhadap NKRI yang baru lahir dari
Sultan Hamengkubuwono IX. Dukungan tersebut dalam bentuk Maklumat dari Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Pakualam VIII yang menyatakan penggabungan Negara
Yogyakarta yang bersifat Kerajaan kepada Negara Republik Indonesia. Kemudian maklumat dari
Sultan Hamengkubuwono IX tersebut ditanggapi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan
diutusnya Mr. Sartono dan Mr. Maramis oleh Presiden Sukarno untuk menyampaikan Piagam
Kedudukan Yogyakarta dalam wilayah Republik Indonesia (Robert Endi Jaweng, 2013:110111).
Lebih lanjut, menurut Anthony Reid (1996:111-112) hubungan antara Keraton Yogyakarta
dan Pemerintah Republik Indonesia adalah hubungan simbiosis mutualisme atau saling
menguntungkan. Pada satu sisi Republik Indonesia yang masih berusia muda dan belum
mempunyai wilayah jelas karena berbagai kekalahan dalam diplomasi dengan Belanda, akhirnya
mendapatkan kepastian wilayah dari Keraton Yogyakarta. Di sisi lain, kelangsungan Keraton
Yogyakarta mendapatkan pelindungan dari Pemerintah Republik Indonesia, termasuk dari
ancaman revolusi sosial anti feodalisme yang marak terjadi pada masa revolusi fisik.
11
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18-29 UU No. 13 Tahun 2012. Dalam pasal tersebut, ditegaskan Sultan
Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur.
Kemudian untuk pemilihannya tidak melalui pemilihan langsung oleh rakyat (pilkada) melainkan penetapan oleh
DPRD DIY kemudian hasil penetapan diusulkan pada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan
penetapan. Kemudian Presiden Republik Indonesia mengesahkan penetapan dan melantik Sultan Hamengku
Buwono sebagai Gubernur DIY dan Adipati Paku Alam sebagai Wakil Gubernur DIY selama 5 (lima) tahun,
namun tidak terikat dengan 2 (dua ) kali periodisasi masa jabatan.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
132
Penelitian ini hanya menyertakan perdebatan mengenai keistimewaan Yogyakarta, antara
tahun 2010 hingga 2012.12 Ada banyak aspek yang dibahas dalam keistimewaan Yogyakarta
tersebut, mulai dari status sultan, pemilihan atau penetapan kepala daerah, cagar budaya,
keuangan daerah, tanah dan aset kesultanan dan sebagainya. Penelitian ini hanya berfokus pada
perdebatan mengenai pemilihan atau penetapan gubernur DIY. Ada pihak yang menilai bahwa
Kepala Daerah (Gubernur) DIY dipilih secara langsung lewat Pilkada seperti halnya daerah lain.
Sejumlah argumentasi yang setuju Gubernur DIY dipilih lewat Pilkada adalah sebagai berikut.
Pertama, prinsip demokrasi dengan memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih secara
langsung kandidat yang diinginkan. Pemilihan akan menjamin terjadinya “reward and
punishment” karena orang yang baik akan mendapat ganjaran sebaliknya calon yang buruk tidak
akan terpilih. Selain itu lewat pemilihan secara langsung juga akan memberikan kesempatan
kepada orang terbaik di Yogyakarta untuk menduduki jabatan publik. Kedua, pemilihan secara
langsung akan menjamin masyarakat Yogyakarta mendapat calon terbaik. Ketiga, prinsip
keadilan. Di daearah lain, kepala daerah dipilih secara langsung, sementara hal ini tidak berlaku
di Yogyakarta. Ini akan menimbulkan kecemburuan daerah lain.
Sementara itu pihak yang lebih setuju jika Sultan secara otomatis ditetapkan sebagai
gubernur, tidak lewat pemilihan langsung ataupun DPRD. Jabatan gubernur melekat pada Sultan.
Gagasan ini disertai dengan sejumlah argumentasi. Pertama, keunikan Yogyakarta yang tidak
dipunyai oleh daerah lain. Posisi Sultan bagi masyarakat Yogyakarta sangat tinggi, tidak hanya
simbol budaya tetapi juga politik, karena Sultan adalah pemimpin masyarakat Yogyakarta, dan
praktek ini sudah berjalan puluhan tahun. Kedua, menempatkan kesultanan pada posisi yang
tinggi, sehingga tidak terjebak pada politik praktis. Jika kepala daerah dipilih secara langsung
(atau lewat DPRD), dan Sultan harus maju lewat partai tertentu, hal ini akan membuat Sultan
terjebak pada politik praktis. Kesultanan akan mendukung salah satu partai, padahal Sultan
12
Tidak semua berita mengenai keistimewaan Yogyakarta diteliti. Berita yang dianalisis secara khusus hanya yang
berkaitan dengan perdebatan mengenai status kepala daerah di Yogyakarta, apakah dipilih langsung lewat Pilkada
seperti daerah lain, ataukah ditetapkan. Selain isu soal pemilihan dan penetapan gubernur, banyak aspek lain
mengenai mengenai keistimewaan Yogyakarta yang diberitakan oleh media, diantaranya soal tanah, budaya,
anggaran dan sebagainya. Isu-isu selain pemilihan atau penetapan gubrenur tidak disertakan dalam penelitian. Isu
mengenai pemilihan dan penetapan gubernur secara purposif dipilih karena isu ini merupakan titik perdebatan
mengenai keistimewaan Yogyakarta. Dengan demikian, penelitian ini tidak menyertakan semua berita mengenai
keistimewaan Yogyakarta. Jumlah berita mengenai keistimewaan Yogyakarta lebih besar yang dianalisis dalam
penelitian.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
133
adalah milik semua warga Yogyakarta. Ketiga, sistem pemilihan dengan penetapan ini sudah
sesuai dengan aspirasi masyarakat Yogyakarta.
Perdebatan mengenai pemilihan atau penetapan gubernur ini banyak diberitakan oleh
media. Isu ini mendapat cakupan pemberitaan yang cukup luas di ketiga suratkabar. Harian
Kompas total mengangkat isu perdebatan mengenai keistimewaan DIY ini sebanyak 54 berita,
Jurnal Nasional sebanyak 39 berita sementara Kedaulatan Rakyat sebanyak 83 berita. Proporsi
berita mengenai isu perdebatan mengenai keistimewaan DIY yang cukup besar di Kedaulatan
Rakyat, ini tidak mengherankan mengingat Kedaulatan Rakyat merupakan yang terbit di
Yogyakarta.
Gambar XV
Frame Isu Ke Istimewaan Yogyakarta di Tiga Surat kabar
187
123
102
83
54
39
Kompas
Jurnal Nasional
Kedaulatan Rakyat
Berita mengenai desentralisasi asimetris keistimewaan DIY
Total berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis
Bagaimana bingkai (frame) ketiga surat kabar dalam melihat keistimewaan Yogyakarta,
terutama terkait dengan gagasan pemilihan kepala daerah secara langsung. Harian Kompas dan
Kedaulatan Rakyat cenderung setuju jika Sultan langsung ditetapkan sebagai gubernur, tanpa
harus melewati pemilihan kepala daerah. Tetapi kedua surat kabar ini mempunyai argumentasi
yang berbeda.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
134
Harian Kompas lebih banyak menekankan mengenai aspirasi masyarakat Yogyakarta.
Berbagai aksi protes, pawai kebudayaan hingga tuntutan referendum menunjukkan bahwa
masyarakat Yogyakarta mayoritas menghendaki agar Sultan otomatis ditetapkan sebagai
gubernur. Sementara Kedaulatan Rakyat banyak menekankan posisi unik Sultan bagi masyarakat
Yogyakarta. Sultan, bagi masyarakat Yogyakarta adalah pemimpin, bukan hanya simbol budaya.
Karena itu, sudah selayaknya jika Sultan diangkat sebagai gubernur atau kepala daerah. Praktik
ini sudah berlangsung lama, dan selama ini tidak menimbulkan masalah atau protes.
Posisi berbeda diambil oleh surat kabar Jurnal Nasional. Suratkabar ini lebih setuju jika
Kepala Daerah Yogyakarta dipilih lewat proses pemilihan, bisa pemilhan langsung maupun
pemilihan lewat DPRD. Dalam frame Jurnal Nasional, proses pemilihan ini akan menjamin
akuntabilitas pemerintahan. Ini juga sekaligus mencegah adanya kecemburuan daerah lain karena
di daerah lain kepala daerah dipilih secara langsung.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
135
Gambar XVI
Pendefinisian Masalah Isu Keistimewaan Yogyakarta di Tiga Surat kabar
Lainnya
Penetapan gubernur sudah sesuai dengan kekhasan budaya
yang menempatkan Sultan pada posisi penting
Penetapan gubernur sesuai dengan aspirasi dan keinginan
masyarakat Yogya
Penetapan gubernur akan membuat banyak masalah ( di
antaranya penggantian, kompetensi, masa jabatan dsb)
Pemilihan gubernur secara langsung ingin menempatkan
kesultanan pada posisi penting, tidak terjebak pada politik…
2.6%
11.1%
8.4%
3.7%
1.2%
44.4%
26.5%
15.4%
7.4%
2.4%
5.6%
7.7%
1.2%
Pemilihan gubernur secara langsung sesuai dengan
perkembangan demokrasi
5.6%
2.4%
Kedaulatan Rakyat (N=83)
57.8%
5.1%
Pemilihan gubernur secara langsung menyesuaikan
tuntutan masyarakat
0.0%
22.2%
7.7%
10.0%
35.9%
25.6%
20.0%
Jurnal Nasional (N=39)
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
Kompas (N= 54)
Hal yang sama juga terlihat dari siapa yang dianggap sebagai sumber masalah (diagnose cause).
Kompas dan Kedaulatan Rakyat sama-sama menempatkan pemerintah pusat dan elite poltik di pusat
(terutama Partai Demokrat) sebagai pihak yang paling bersalah terkait perdebatan pemilihan kepala
daerah secara langsung. Dalam frame Kompas, pemerintah pusat tidak memperhatikan aspirasi
masyarakat Yogyakarta yang menghendaki penetapan Sultan sebagai gubernur. Karena Pemerintah Pusat
hanya peduli dengan penyeragaman, tetapi tidak memperhitungkan gejolak dan aspirasi yang ada dalam
masyarakat. Sementara itu bingkai Kedaulatan Rakyat banyak menyoroti mengenai kealpaan Pemerintah
Pusat dan elite terhadap sejarah. Posisi Yogyakarta dan Kasultanan unik. Hal ini dibentuk lewat proses
sejarah yang panjang. Kesultanan Yogyakarta pernah berjasa besar pada berdirinya Republik Indonesia.
Sehingga sudah selayaknya jika Sultan Yogyakarta secara otomatis memegang jabatan sebagai kepala
daerah. Frame berbeda diangkat oleh surat kabar Jural Nasional. Dalam frame Jurnal Nasional, pangkal
soal perdebatan mengenai pemilihan atau penetapan gubernur DIY adalah kesalahpahaman. Pemerintah
pusat dan elite (Partai Demokrat) tidak pernah bermaksud untuk
tidak menghormati Kesultanan
Yogyakarta. Gagasan mengenai pemilihan langsung justru ingin mengembalikan posisi Sultan secara
benar. Isu pemilihan kepala daerah adalah pintu masuk untuk mendiskusikan isu-isu lain seputar posisi
kesultanan DIY dalam pemerintahan daerah.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
136
Gambar XVII
Sumber Masalah Isu Ke Istimewaan Yogyakarta di Tiga Surat kabar
Lainnya
9.6%
Emosional dan tidak kepala dingin dalam
mendiskusikan masalah keistimewaan Yogya
0.0%
1.9%
Kesalahpahaman atas gagasan pemerintah
pusat
0.0%
1.9%
Pemerintah pusat cenderung melakukan
penyeragaman
18.4%
3.7%
26.3%
47.4%
14.5%
18.5%
2.6%
Tidak mendengar aspirasi masyarakat Yogya
yang menghendaki sultan sebagai gubernur
5.3%
Tidak memperhitungkan keunikan Yogya
0.0%
Tidak ingat sumbangan kesultanan pada RI
0.0%
Tidak mengingat sumbangan Yogya pada saat
kelahiran RI
0.0%
Lupa akan sejarah
0.0%
12.0%
40.7%
19.3%
7.4%
14.5%
7.4%
15.7%
7.4%
14.5%
11.1%
0.0% 5.0%10.0%15.0%20.0%25.0%30.0%35.0%40.0%45.0%50.0%
Kedaulatan Rakyat (N=83)
Jurnal Nasional (N=39)
Kompas (N= 54)
Selain pendefinisian masalah dan sumber masalah yang berbeda, ketiga surat kabar juga
berbeda posisinya dalam hal mengangkat keputusan moral dan penekanan penyelesaian masalah.
Tabel berikut menggambarkan secara singkat frame dominan dari ketiga suratkabar dalam
melihat isu korupsi elite lokal.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
137
Tabel XIII
Frame Dominan di Tiga Surat kabar
Isu Keistimewaan Yogyakarta
PERANGKAT
FRAMING
Kompas
Jurnal Nasional
Kedaulatan
Rakyat
Pendefinisian
Masalah
(Define
Problems)
Perdebatan
mengenai pemilihan
/ penetapan
Gubernur
Yogyakarta terjadi
karena kurang
menyerap aspirasi
masyarakat
Yogyakarta yang
memang
menghendaki agar
Sultan secara
otomatis ditetapkan
sebagai Gubernur.
Perdebatan
mengenai
keistimewaan
Yogyakarta adalah
momentum untuk
memikirkan posisi
Kasultanan
Yogyakarta dalam
tata pemerintah
daerah.
Tidak sekedar soal
isu gubernur dipilih /
ditetapkan.
Perdebatan
mengenai pemilihan
/ penetapan
Gubernur
Yogyakarta terjadi
karena tidak
menghargai budaya
dan keunikan
Yogyakarta.
Sistem di mana
Sultan otomatis
menjadi gubernur
sudah berlangsung
lama, dan selama itu
tidak pernah ada
protes.
Sumber Masalah
(Diagnose Cause)
Pemerintah pusat
memaksakan
penyeragaman
sistem otonomi yang
belum tentu cocok
dengan kondisi
masyarakat
Yogyakarta.
Mayoritas
masyarakat
Yogyakarta setuju
dengan penetapan,
sehingga tidak perlu
dipaksanakan
pemilihan gubernur
lewat Pilkada.
Sistem dan praktek
pemilihan kepala
daerah yang
berbiaya mahal.
Elite politik
cenderung
mengaburkan usulan
pemerintah.
Pemerintah pusat
bukan bermaksud
tidak menghormati
warisan dan sejarah
Yogyakarta. Justru
ingin menempatkan
Kesultanan
Yogyakarta pada
posisi yang penting,
tidak terjebak pada
politik praktis.
Pemerintah pusat
dan elite lupa akan
sejarah dan
sumbangan
Yogyakarta
kepada Republik
Indonesia serta
keunikan budaya
Yogyakarta.
Posisi Sultan bagi
masyarakat
Yogyakarta sangat
unik dan sentral
yang berbeda
dengan daerah lain.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
138
Keputusan Moral
(Make Moral
Judgement)
Otonomi daerah
harus
memperhatikan
keunikan, kekhasan
dan masalah dari
masing-masing
wilayah. Tidak perlu
ada penyeragaman,
karena apa yang di
satu wilayah cocok
belum tentu di
wilayah lain cocok.
Prinsip demokrasi
yang penting adalah
memberi kesempatan
kepada rakyat untuk
bisa dipilih dalam
jabatan publik.
Rakyat juga bisa
memilih calon yang
dianggap paling
bagus.
Jangan melupakan
sejarah. Bangsa
yang besar adalah
bangsa yang
menghargai sejarah,
termasuk jasa yang
diberikan oleh
daerah (Yogyakarta)
kepada Republik.
Penekanan
Penyelesaian
(Treatment
Recommendation)
Gubernur tidak
dipilih, tetapi
ditetapkan seperti
sebelumnya. Sistem
ini sudah sesuai
dengan keinginan
mayoritas
masyarakat
Yogyakarta, serta
tidak melanggar
konstitusi (UUD
1945).
Pemilihan kepala
daerah melibatkan
partisipasi
masyarakat. Kepala
daerah tidak
ditetapkan, tetapi
lewat proses
pemilihan, bisa
melalui pemilihan
langsung atau lewat
DPRD.
Yogyakarta harus
diberikan status
khusus dengan
sultan ditetapkan
secara langsung
sebagai gubernur.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
139
BAB VI
MEDIA DAN STRUKTURASI
ISU OTONOMI DAERAH
Bab VI ini akan membahas media dan strukturasi dalam isu otonomi daerah.
Menurut Giddens (1984:25), struktur selalu mengekang dan membebaskan (constraining
dan enabling). Berbeda sekali dengan struktur yang dikemukakan oleh ahli sosiologi
sebelum Giddens, misalnya Durkheim, yang mengatakan bahwa struktur itu di luar aktor
dan memaksa mengendalikan aktor. Pendekatan dari Giddens, dipakai untuk membedah
isu otonomi daerah karena lebih luwes, antara struktur dan agen akan bersifat saling
melengkapi. Struktur dan agen dipandang bukan sebagai dualisme, namun dipandang
sebagai dualitas karena ada interplay antara agen dan struktur. Pada sisi agen dapat
dilihat dari tindakan yang berkesinambungan, sedangkan pada sisi struktur dapat
dimaknai sebagai aturan-aturan atau sumber daya yang terbentuk karena keterulangan
praktik sosial.
Menurut Dedy N Hidayat dalam buku Pers dalam Revolusi Mei (2000:431),
kajian terhadap pers. Justru harus dilakukan dengan terlebih dahulu mengesampingkan
pers dari fokus kajian. Lebih lanjut Hidayat (2000:431) berpendapat pers pertama-tama
harus diletakkan dalam totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian integral dari
proses-proses ekonomi, sosial, dan politik yang berlangsung di masyarakat. Media tidak
hidup dalam ruang vakum yang bebas nilai, tetapi ada proses interplay antara media
sebagai agen dan struktur.
6.1. Media dalam Kontradiksi Perubahan Pasca Orde Baru
Pada subbab ini akan ditampilkan kehidupan media dalam konteks makro pada
zaman Orde Baru dan pada zaman reformasi sehingga peta kehidupan media pada zaman
orde baru dan pasca-Orde Baru, akan dapat lebih jelas terpetakan. Seperti penuturan
Hidayat (2000:431) di atas, media dan teks isi media serta jurnalis merupakan bagian
intergral dari proses-proses sosial, politik, dan ekonomi yang berlangsung dalam
masyarakat.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
140
Pada masa awal pemerintahan orde baru terjadi “bulan madu” antara pers dan
pemerintah, setelah melewati masa-masa tegang dan penuh represi oleh pemerintahan
Sukarno, ketika tahun 1957 diberlakukan darurat perang (SOB). Pada zaman Sukarno
selama 23 jam telah dibredel 10 surat kabar dan 3 kantor berita, sedangkan wartawan
dimasukkan penjara, seperti Mochtar Lubis yang sempat di penjara selama sembilan
tahun (1957–1966).
“Bulan madu” tersebut berlangsung dalam kurun waktu 1966–1973, ketika pers
dibebaskan oleh pemerintah untuk melakukan pengawasan dan menjalankan fungsi pers
sebagai public watch dog. Akan tetapi, kebebasan tersebut tidak berlangsung lama,
karena setelah peristiwa 15 Januari 1974 atau lebih sering disebut peristiwa Malari, 12
media dibreidel, empat tahun kemudian pada tahun 1978 tujuh koran mengalami nasib
buruk dibreidel oleh pemerintah. Tidak lama kemudian tiga harian nasional dihentikan
penerbitannya, yaitu Sinar Harapan, Prioritas dan Monitor.
Tahun 1991–1994 angin kebebasan kembali di hembuskan oleh pemerintah. Pers
menyambut dengan bersemangat, banyak pemberitaan yang menyerempet-nyerempet
pemerintah seperti kasus Santa Cruzh Dili , kisruh konggres PDI, Marsinah, dan paling
akhir tentang pembelian kapal bekas Jerman Timur oleh Tempo, Detik dan Editor.
Rupanya kegerahan pemerintah sudah pada puncaknya sehingga ketiga media tersebut
dipaksa berhenti terbit alias di breidel. Alasan pembreidelan tersebut adalah “melanggar
dan membahayakan stabilitas nasional”1
Pada saat Orde Baru berkuasa, berita-berita yang berhubungan dengan politik
disiarkan oleh media dengan hati-hati2, pers tidak bisa dengan bebasnya meliput dan
menyiarkan berbagai hal yang berhubungan dengan politik dan pemerintahan. Semua
harus disensor, baik itu sensor internal media ataupun sensor yang dilakukan oleh
penguasa melalui Departemen Penerangan. Kuasanya Depertemen Penerangan dan
aparatur negara pada era Orde Baru ditunjukkan secara vulgar dengan melakukan
1
Daniel Dhakidae (1997:25) menyebukan bahwa jelas dalam konsiderans hukum dikatakan Tempo
dianggap melanggar dan membahayakan stabilitas nasional.
2
M Chatib Basri dan Dana Iswara (2000:42-43) Pembredelan beberapa media seperti media Tempo, Detik,
dan Editor pada tahun 1994 menunjukkan bahwa Rezim Orde Baru cukup alergi dengan berita-berita
politik dan pemerintahan yang dianggap tidak senada dengan politik pemerintahan rezim orde baru,
terakhir pada saat krisis ekonomi tahun 1998 Dirjen RTF membuat keputusan TV Pool dimana setiap
televisi harus mengakses TV Pool untuk menyiarkan suatu berita.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
141
intervensi langsung pada media yang dianggap melakukan kesalahan, mulai dari yang
paling kasar yaitu memberidel atau menutup media tersebut dan menghilangkan nyawa
wartawan (kasus Udin), kemudian yang agak kasar dengan meminta media tersebut
memecat wartawan yang diangap bermasalah3, sampai yang paling halus berupa telepon
peringatan terhadap media yang dianggap salah.4
Sesuai dengan ciri pemerintah yang otoriter dan sentralistis, negara menyediakan
wadah tunggal yang tersentral untuk wadah berserikat dan berorganisasi. Berbagai
macam kebijakan yang mengatur lembaga profesi yang berkaitan dengan pers dibuatkan
wadah tunggal, untuk wartawan ada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), SPS (Serikat
Penerbit Surat Kabar) dan SGP (Serikat Grafika Pers). Tentu saja wadah tunggal tersebut
juga dilengkapi dengan regulasi yang dikeluarkan oleh negara melalui Menteri
Penerangan sehingga peran negara sangat kuat. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa
peraturan (rulers) yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru di bawah ini :
 Permenpen No. 2/Per/Menpen/1969 tentang ketentuan-ketentuan Wartawan.
 SK Menpen No. 47/Kep/Menpen/1975 tentang Pengukuhan PWI dan SPS
sebagai satu-satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers
Indonesia.
 SK
Menpen
No.24/Kep/Menpen/1978
dan
SK
Menpen
No.
226/Kep/Menpen/1984 tentang Wajib Relai Siaran RRI dan Penyelanggaraan
Siaran Berita oleh radio Siaran non-RRI
 SK Menpen No.184/Kep/Menpen/1978 tentang pengukuhan SGP sebagai satusatunya Organisai Percetakan Pers di Indonesia.
 SK Menpen No. 214A/Kep/Menpen/1984 tentang Prosedur dan Persyaratan
Untuk mendapatkan SIUPP.
 Permenpen No. 2/Per/Menpen/1984 tentang Ketentuan-Ketentuan SIUPP.
3
Satrio Arismunandar (2000:212) menceritakan bahwa Kompas terpaksa memecat dirinya karena terlibat
aktif pada Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), ketika Satrio menanyakan alasan pemecatan pada Jacob
Oetama pemimpin redaksi Kompas, oleh Jacob Oetama dijawab bahwa pemecatan tersebut akibat
permintaan dari kekuasaan ekternal yaitu Departemen Penerangan dan PWI, padahal menurut Jacob
Oetama sebagai wartawan Satrio adalah wartawan baik dan berprestasi.
4
Effendi Gazali (2000:298-307) intervensi dari negara tidak hanya dirasakan oleh media yang berada di
Jakarta, media daerah seperti Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Fajar di Makassar, intervensi tersebut
kebanyakan adalah telepon dari pejabat pemerintah di daerah.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
142
Dapat dilihat banyak sekali regulasi yang dikeluarkan rezim Orde Baru untuk
membatasi dan mengontrol ruang gerak pers, mulai dari organisasi wartawan sampai
organisasi percetakaan yang notebene adalah unit menejerial ekonomis perusahaan.
Selain aturan di atas masih ada beberapa hal yang membatasi ruang gerak wartawan
dalam meliput sebuah peristiwa, seperti memberitakan keluarga Suharto dan kroninya,
memberitakan kehidupan pejabat dan keluarganya, baik pusat maupun daerah, dan juga
permasalahan suku, agama, dan ras (SARA).
Pada tahun 1997 terjadi krisis di Indonesia. Awal mulanya adalah krisis ekonomi,
namun, krisis tersebut merembet ke mana-mana dan pada akhirnya membuat Presiden
Suharto mundur dari tampuk kekuasaan. Dengan menggunakan pendekatan ekonomi
politik Chatib Basri dan Dana Iswara (2000:27) mencoba menjelaskan keterkaitan antara
ekonomi dan media dalam perubahan atau revolusi mei 1998, menggunakan model
Albert O Hirschman (1970) yaitu Exit, Voice, Loyalty. Secara garis besar dalam tulisan
ini Chatib Basri dan Dana Iswara (2000:29) memperlihatkan bahwa krisis ekonomi pada
tahun 1997 sangat beda dengan krisis ekonomi yang pernah menimpa Indonesia pada
tahun-tahun sebelumnya (1983-1986).
Salah satu perbedaan yang disoroti adalah peran media. Pada tahun 1997-1998
media menjadi lebih terbuka dan berani dalam menyampaikan persoalan yang terjadi,
karena dampak dari krisis ekonomi tahun 1997-1998 ternyata juga memukul industri
media yang semakin kapitalis, dimana berita adalah suatu komoditas yang dijual oleh
media, dan pada tahun 1997-1998 ada fenomena porsi iklan media semakin mengecil,
harga kertas yang naik tinggi, dan daya beli masyarakat menurun, sehingga hanya beritaberita yang berhubungan dengan politik yang layak dijual untuk mendapatkan
pemasukan. Meskipun pemerintah masih mengontrol media, namun kontrol tersebut
sepertinya diabaikan. Hal ini terlihat walaupun media massa seperti televisi menyiarkan
TV Poll versi Pemerintah, mereka tetap menayangkan demonstrasi mahasiswa di DPR
yang menuntut Presiden Suharto turun, dalam konteks ini media kemudian menjadi agen
untuk mengartikulasikan problema sosial dan ide reformasi pada masyarakat.
Pada sisi yang lain derajat pergerakan modal yang sangat tinggi pada tahun 19971998, salah satunya juga dipengaruhi oleh pemberitaan di media massa. Menurut Chatib
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
143
Basri dan Dana Iswara (2000:29) salah satu karateristik dari investasi portofolio adalah
sifatnya yang sangat sensitif terhadap gejolak politik. Derajat pergerakan modal yang
tinggi memungkinkan modal beraksi dengan cepat terhadap lemahnya institusi keuangan,
masalah korupsi, kolusi, nepotisme, kepastian usaha, rendahnya country risk, tingkat
keterbukaan terhadap perdangan internasional, modal manusia, dan pola investasi.
Ketika rezim Orde Baru runtuh, terjadi ledakan informasi dan energi yang selama
ini tertindas di bawah kekuasaan sensor.5 Ledakan informasi yang lama tertindas itu
merembet ke mana-mana sehingga, sesuatu yang dulu dianggap tabu dan dihindari untuk
dibicarakan menjadi isu yang sangat menarik untuk diperdebatkan dalam ruang publik.
Departemen Penerangan yang sering dianggap sebagai malaikat pencabut nyawa pers
juga mereposisi dirinya. Menurut Ishadi SK (2000:228), Menteri Penerangan pada saat
itu Yunus Yosfiah, seorang Lentan Jenderal TNI, melakukan banyak perubahan yang
signifikan6, yang mengakibatkan iklim dan suasana pers dan media di Indonesia berubah
menjadi lebih baik.
Bebasnya media dalam menyiarkan berbagai informasi, juga diakui oleh pimpinan
tiga media massa yang menjadi informan dalam penelitian ini7. Meskipun secara struktur
politik tidak ada lagi ancaman atau intervensi dari negara melalui aparaturnya, menurut
Bambang Sigap Sumantri (Kompas), bahwa ancaman pada media dan awak media pada
zaman reformasi ini adalah masyarakat sipil yang berafiliasi pada kelompok tertentu.
Menurut Bambang Sigap Sumantri, kelompok-kelompok masyarakat sipil ini beberapa
kali datang ke Kompas untuk menyatakan keberatan atau penolakan terhadap berita-berita
5
Ariel Heryanto (2000:423) dalam tulisannya berjudul Media, Nasion dan Sejarah, kawan Ariel Heryanto
dengan sangat tepat mengungkapkan apa yang etrjadi ketika Orde Baru tumbang, yaitu ledakan
informasi dan energi yang selama ini tertindas di bawah kekuasaan sensor.
6
Pada waktu Yunus Yosfiah menjabat Menteri Penerangan, perubahan yang dilakukan antara lain adalah
izin penerbitan surat kabar dan majalah yang pada zaman Orde Baru terdiri dari 14 syarat diringkas
menjadi tiga syarat, izin penerbitan diberikan dalam waktu tiga sampai tujuh hari, maka dalam satu
tahun menjabat Depen dibawah Yunus Yosfiah mengeluarkan sekitar 1.500 SIUPP baru. Untuk Radio
dikeluarkan 200 izin stasiun radio baru, dan Televisi dikeluarjan 5 ijin bagi stasiun baru televisi. (Ishadi
SK, 2000:228)
7
Bambang Sigap Sumantri dari Kompas menyatakan sejak runtuhnya rezim orde baru tidak ada lagi
intervensi dari penguasa atau pemerintah, misalnya tidak ada lagi telpon atau teguran terhadap beritaberita yang disiarkan oleh Kompas, Budi Winarno Pemred Jurnal Nasional juga mengatakan hal yang
sama, ditambah lagi Jurnal Nasional adalah koran yang dekat dengan SBY, untuk koran daerah seperti
Kedaulatan Rakyat Octo Lampito mengatakan bahwa intervensi dari pemerintah atau penguasa sudah
tidak ditemukan lagi sejak Orde Baru tumbang.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
144
yang di terbitkan Kompas. Ancaman anarkisme dari kelompok-kelompok ini juga
mengancam jurnalis-jurnalis lapangan Kompas, tetapi ancaman itu semua sampai saat ini
masih bisa diatasi oleh pihak manajemen Kompas.
Bebasnya media dari struktur politik yang otoritarian pada zaman Orde Baru, juga
dialami oleh pemerintahan lokal dan masyarakat lokal, karena sebenarnya pemerintahan
lokal dan masyarakat lokal juga merupakan korban dari struktur politik Orde Baru yang
berciri otoritarian.
Praktik pemerintahan lokal yang berjalan pada zaman pemerintahan Orde Baru
cenderung otoritarian8. Hal ini dapat dilihat pada produk hukum (rulers) yang mengatur
pemerintahan daerah, yaitu UU No 5 Tahun 1974 yang terlihat lebih berat pada sisi
sentralistisnya daripada desentralisasi.
Sebuah produk hukum umumnya merupakan
suatu cerminan dari kepentingan pemerintah yang berkuasa, produk hukum tersebut
dibuat untuk landasan kepentingan berkuasa. Menurut Ryaas Rasyid dkk (2007:151) UU
No 5 Tahun 1974 bukan ditujukan untuk meningkatkan kapasitas daerah dan kapasitas
masyarakat daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, tetapi lebih kepada
instrumen kebijaksanaan untuk memelihara kepentingan orang-orang Jakarta (Pusat)9.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 meniadakan prinsip utama otonomi daerah,
yaitu otonomi yang riil dan seluas-luasnya, diganti dengan prinsip otonomi yang nyata
dan bertanggung jawab dengan mengganti kata seluas-luasnya menjadi nyata dan
bertanggung jawab maka otonomi daerah versi UU No 5 Tahun 1974 menunjukkan
bahwa otonomi daerah bukan merupakan hak dari masyarakat dan pemerintah daerah,
tetapi merupakan kewajiban daerah dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional.
Wacana yang di reproduksi oleh pemerintah Orde Baru adalah jika otonomi daerah
merupakan hak dari setiap daerah, dikhawatirkan akan memunculkan semangat
8
Ryaas Rasyid dkk (2007: 142-143) Konfigurasi politik Orde Baru yang otoritarian melahirkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, menurut Ryaas Rasyid
undang-undang tersebut lebih condong ke arah sentralisasi kekuasaan yang dibungkus dengan
dekonsentrasi, karena UU Nomor 5 Tahun 1974 meninggalkan prinsip otonomi yang riil dan seluasluasnya dan diganti dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
9
Dicontohkan oleh Ryaas Rasyid (2007: 154-155), Pernah DPRD Daerah Tingkat I Riau memilih Ismail Suko,
seorang tokoh masyarakat Riau, namun pada kemudian hari oleh Depdagri hasil pemilihan tersebut
dinafikan, dan yang diangkat menjadi Gubernur Riau adalah Imam Munandar seorang Mayor Jenderal
ABRI.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
145
kedaerahan dan berakibat kepada disintegrasi nasional. Padahal harusnya otonomi itu
adalah hak dari masyarakat daerah karena ketika daerah diberikan otonomi luas, maka
idealnya kreatifitas Pemerintah Daerah muncul untuk menjawab berbagai problema
masyarakat di daerah.
Dengan tidak diberikan kewenangan yang nyata dan seluas-luasnya kepada daerah,
maka daerah hanya menjalankan perintah dari pusat (Jakarta) sehingga dinamika
pemerintahan daerah tidak terlalu menonjol untuk diberitakan oleh media. Berita-berita
yang menonjol tentang pemerintahan daerah pada saat itu lebih kepada seremonial yang
diadakan dalam rangka penyambutan atau peresmian suatu proyek dari pusat, misalnya
acara kelompecapir (kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa), penyerahan sapi
banpres, penyerahan dana inpres, dan sebagainya. Kalaupun ada berita-berita lain yang
menonjol selain berita-berita di atas, biasanya berhubungan dengan kekerasan yang
dilakukan oleh negara misalnya penggusuran pedagang kaki lima oleh Satpol PP, bedol
desa untuk proyek waduk, dan bentrok aparat dengan demonstran mahasiswa. Media baik
pusat maupun daerah, dalam membingkai berita-berita diatas terasa berat sebelah, lebih
berpihak kepada negara dan aparaturnya.
Ketika terjadi perubahan kebijakan terhadap pemerintah daerah dengan
memberikan otonomi yang luas pada tahun 1999, maka diterbitkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, di mana daerah diberi otonomi
yang nyata dan luas. Mulai terlihat corong media yang selama ini tidak terlalu tertarik
memberitakan daerah10, berubah menjadi sangat bergairah memberitakan dinamika di
daerah, kemudian munculah berbagai berita tentang pemekaran daerah, pilkada,
pertarungan eksekutif dan legeslatif di daerah, dan sebagainya.
Isu otonomi daerah ditangkap beragam oleh media massa. Berdasarkan wawancara
dengan para pimpinan media yang diteliti yaitu, Kompas, Jurnal Nasional, dan
Kedaulatan Rakyat, otonomi daerah dimaknai beragam, Kompas memaknai otonomi
daerah sejalan dengan kemajuan demokrasi di Indonesia. Hal ini menjadi pusat perhatian
Kompas semenjak reformasi bergulir. Sementara itu Jurnal Nasional menyiarkan isu
10
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Prof Djohermansyah Djohan dalam wawancara menginformasikan
bahwa pasca reformasi semakin banyak wartawan yang meliput berita-berita mengenai dinamika
otonomi daerah.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
146
otonomi daerah karena dua alasan, pertama ada Undang-Undang Otonomi Daerah dan
kedua pendiri koran Jurnal Nasional yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat
mendukung otonomi daerah. Secara historis dan finansial memang Jurnas mempunyai
kedekatan dengan Susilo Bambang Yudhoyono Presiden ke 6 Republik Indonesia. Poisisi
Kedaulatan Rakyat sebagai koran daerah terhadap isu otonomi daerah adalah memang
sudah saatnya diberlakukan untuk suatu keseimbangan dalam bernegara. Pada sisi lain
pemimpin redaksi Kedulatan Rakyat melihat bahwa dengan adanya otonomi daerah maka
kehendak lokal terutama Yogyakarta akan lebih dapat dimunculkan, kehendak lokal itu
adalah tentang perjuangan Keistimewaan Yogyakarta.
Dari ketiga media yang diteliti terlihat bahwa sebenarnya ke tiga media tersebut
mempunyai satu kesamaan pendapat, yaitu isu otonomi daerah merupakan isu yang
penting. Namun, dengan struktur politik sekarang yang tidak sekuat Orde Baru, ketiga
koran yang diteliti mempunyai perbedaan dalam menyikapi, dan menyiarkan isu otonomi
daerah terutama isu-isu spesifik tentang otonomi daerah. Kompas sebagai koran nasional
yang besar lebih melihat isu otonomi daerah secara lebih kritis, tidak masalah bagi
Kompas jika harus berseberangan dengan pemerintah dalam isu otonomi daerah, lain
halnya koran Jurnal Nasional yang mempunyai kedekatan dengan partai penguasa
(ruling party), tentunya sulit bagi Jurnal Nasional untuk menjadi independen seperti
Kompas dalam hal isu otonomi daerah, sehingga posisi Jurnal Nasional adalah sebagai
jembatan informasi kebijakan pemerintah tentang isu otonomi daerah.
Sedangkan posisi koran Kedaulatan Rakyat sebagai koran daerah maka posisi
koran ini dalam isu otonomi daerah adalah menjadi media yang menyalurkan ekspresi
kehendak masyarakat lokal atau daerah. Oleh Ryaas Rasyid dkk (2007) kegaduhan
dalam menanggapi isu otonomi daerah digambarkan sebagai gejala yang sangat
menganggu dalam mengamati implementasi kebijakan otonomi daerah11. Kegaduhan di
11
Dalam tulisannya Ryass Rasyid dkk (2007) mengungkapkan kegelisahannya dimana adanya
kecenderungan untuk menjadikan otonomi daerah sebagai kambing hitam, sehingga kemudian ada
usaha-usaha untuk melakukan stigmatisasi terhadap otonomi daerah, mislanya ketika kenaikan rapel
kenaikan gaji guru di daerah yang tertunda maka otonomi daerah yang disalahkan, ketika terjadi konflik
nelayan di Jawa tengah dan Sumatera Utara maka otonomi daerah yang di salahkan bahakan sampai
Presiden Megawati dengan nada sinis mengungkapkan kenapa ikan-ikan tidak sekalian saja dikasih KTP,
dan yang paling ironis adalah stigmatisasi bahwa otonomi daerah dapat merupakan ancaman terhadap
integrasi bangsa atau integrasi nasional.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
147
ini kemudian yang sedikit banyak akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap isu
otonomi daerah.
Jika pada uraian di atas banyak dikupas media dengan pendekatan politik dan
politik lokal, maka selanjutnya
akan dikupas dari sisi media dengan pendekatan
ekonomi.
Ketika rezim Orde Baru jatuh, peta kekuatan politik dan ekonomi di Indonesia
berubah. Dahulu peta kekuatan politik dan ekonomi terkosentrasi di sekitar keluarga
Suharto, maka pada masa reformasi ini terlihat peta kekuatan politik dan ekonomi
tersebar, termasuk peta ekonomi kepemilikan media massa.
Harry Tanoesodibyo terlihat secara cepat menguasai saham-saham industri media
massa yang dahulu adalah milik keluarga Suharto, seperti: RCTI, TPI, dan Global TV,
bahkan Bhakti Investama juga merambah ke media cetak dengan menerbitkan harian
Seputar Indonesia (Agus Sudibyo. 2004: 21-23). Muncul juga kelompok PARA Grup
milik Chairul Tanjung yang memiliki saham mayoritas di Trans TV dan TV Trans 7
(Laporan AJI, 2004:21).
Di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran,
dibagi menjadi empat kategori yaitu pertama televisi publik dimana televisi ini lebih
ditujukan untuk siaran pendidikan kepada publik, kedua televisi swasta
merupakan
televisi yang didirikan oleh perusahaan komersial (swasta) dalam televisi komersial ini
diperbolehkan isi tayangan bersifat komersial, ketiga televisi komunitas merupakan
televisi yang melayani suatu wilayah tertentu atau komunitas tertentu, dan keempat
televisi berlangganan, dimana dalam televisi berlangganan ini pemirsa televisi diwajibkan
membayar langanan kepada perusahaan televisi.
Tabel XIV
Televisi di Indonesia
Siaran gratis
terestrial
Nasional
ANTV, Global TV, Indosiar, Metro TV, MNC TV,
RCTI, SCTV, Trans TV, Trans 7, TVOne dan TVRI
Lokal
Bali TV, JTV, JakTV, Riau TV dan sebagainya
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
148
Berlangganan
Content
provider
(jaringan)
Kompas TV, Tempo TV, SINDOTV, Spacetown,
JPMC, City TV Network, B-Channel, Top TV
Network
Kabel
First Media, IM2Pay TV, TelkomVision
Satelit
Aora TV, Centrin TV, Indovision, Okevision,
Skynindo, Telkomvision, Top TV, Yes TV
Terestrial
M2V Mobile TV, Nexmedia
Protokol
internet
Groovia TV
(Sumber: Eriyanto :2011)
Dari empat kategori menurut Undang-Undang Penyiaran diatas, pada saat ini di
Indonesia menurut Eriyanto (2011) pangsa pasar untuk televisi dikuasai oleh 10 stasiun
televisi komersial yaitu: Global TV, IVM, ANTV, MNC TV, Metro TV, RCTI, SCTV,
Trans TV, TVOne, dan Trans 7. Dari 10 televisi yang ada, dikuasai oleh 4 kelompok
media besar, hanya Metro TV saja yang tidak bergabung, ke empat jaringan kepemilikan
televisi ini.
Tabel XV
Peta Kepemilikan Televisi
Kelompok Televisi
Anggota Jaringan Televisi
Media Nusantara Cipta (MNC)
3 (RCTI, TPI, Global TV)
Kelompok Bakrie (Visi Media Asia)
2 (ANTV, TV One)
Kelompok PARA
2 (Trans TV, TV7)
Emtek
2 (SCTV, Indosiar Visual Mandiri)
(Sumber: Eriyanto :2011)
Di Indonesia pasca jatuhnya rezim Suharto, banyak bermunculan media cetak, data
di Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) sampai tahun 2010, media cetak di Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
149
mencapai 1.076 buah, terdiri dari: 1. Surat kabar harian 349 buah, 2. Surat kabar
mingguan sebanyak 240 buah, 3. tabolid 188 buah, 4. Majalah 294 buah dan 5. buletin 5
buah. Jumlah eksemplar yang dicetak menurut data SPS (2010) adalah 21,5 juta
eksemplar, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut,
Tabel XVI
Jumlah Suratkabar 2006-2010
Tahun Suratkabar Suratkabar
Harian
Mingguan
Tabloid
Majalah
Buletin Jumlah
2006
251
235
142
258
3
889
Pertum
buhan
(%)
-
2007
269
247
167
297
3
983
10,6
2008
290
224
173
318
3
1008
2,5
2009
302
232
177
322
3
1036
2,8
2010
349
240
188
294
5
1076
3,9
(Sumber: Eriyanto :2011)
Memang terlihat bahwa media cetak di Indonesia cukup besar, namun fakta yang
ada tidak semua media cetak di Indonesia sehat secara finansial, sehingga tidak dapat
mencetak secara teratur. Sejak jaman Suharto sudah muncul konglomerasi di media
cetak, antara lain Kelompok Kompas Gramedia, Kelompok Jawa Post Group, Bisnis
Indonesia, dan sebagainya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut,
Tabel XVII
Kepemilikan Suratkabar
Kelompok Penerbitan Suratkabar
Jumlah Suratkabar
Kompas Gramedia (KKG)
81
Jawa Pos
122
Femina
11
Bali Post
7
Mugi Rekso Abadi (MRA)
8
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
150
PinPoint
14
Pikiran Rakyat
8
Sari
4
Bisnis Indonesia
7
Suara Merdeka
5
Pos Kota
3
Media Indoenesia
2
Subentra Cipta Media
4
Info Kelapa Gading
3
Gatra
3
Tempo Inti Media
3
Kedaulatan Rakyat
4
Mahaka Media
4
Media Nusantara Cipta (MNC)
3
Total
296 buah
(Sumber: Eriyanto:2011)
Pada sisi lain surat kabar lokal di Indonesia mempunyai jumlah sangat banyak, jika
dilihat dari Data Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) total surat kabar lokal berjumlah
1.076 media cetak di seluruh Indonesia, menurut data di Dewan Pers pada tahun 2010,
terdapat 952 media cetak di Indonesia, sepertiganya yaitu 306 adalah suratkabar harian.
Walaupun suratkabar lokal banyak jumlahnya, namun menurut Leo Batubara dalam
Eriyanto (2011) banyak suratkabar yang tidak dapat terbit teratur, dan hanya 30% saja
yang sehat secara bisnis.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
151
Tabel XVIII
Jumlah Media Cetak Daerah
No
Provinsi
Harian
Mingguan
Bulan
Total
1
Nanggroe Aceh Darussalam
6
2
-
8
2
Sumatera Utara
33
45
4
82
3
Sumatera Barat
4
21
1
26
4
Riau
12
10
1
23
5
Kepulauan Riau
5
4
-
9
6
Jambi
13
4
-
17
7
Bengkulu
5
-
-
5
8
Sumatera Selatan
23
5
1
29
9
Bangka Belitung
5
1
-
6
10
Lampung
13
17
-
30
11
Banten
8
2
8
18
12
DKI Jakarta
35
141
147
323
13
Jawa Barat
11
15
15
41
14
Jawa Tengah
11
4
5
20
15
DI Yogyakarta
5
3
8
16
16
Jawa Timur
14
35
23
72
17
Bali
8
6
4
18
18
Nusa Tenggara Barat
8
2
1
11
19
Nusa Tenggara Timur
5
3
2
10
20
Kalimantan Barat
9
1
1
11
21
Kalimantan Selatan
6
18
-
24
22
Kalimantan Tengah
6
10
3
19
23
Kalimantan Timur
9
2
1
12
24
Sulawesi Selatan
8
33
32
73
25
Sulawesi Tenggara
6
1
-
7
26
Sulawesi Tengah
4
2
-
6
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
152
27
Gorontalo
3
-
-
3
28
Sulawesi Utara
12
-
-
12
29
Sulawesi Barat
1
-
-
1
30
Maluku
6
-
-
6
31
Maluku Utara
4
-
-
4
32
Papua
6
2
-
8
33
Papua Barat
2
-
-
2
306
389
257
952
Sumber: Dewan Pers (2011) dan Eriyanto (2011)
Di Indonesia menurut sumber dari Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional
Indonesia (PRSSNI) sampai tahun 2010, terdapat 1.368 stasiun radio di Indonesia,
sebanyak 1.305 stasiun radio adalah radio swasta, seperti halnya surat kabar dan televisi,
radio juga mempunyai kecenderungan tumbuhnya konglomerasi sebagai berikut,
Tabel XIX
Peta Kepemilikan Radio
Kelompok Jaringan Radio
Kepemilikan Radio Jaringan
Mugi Rekso Abadi (MRA)
10
Rajawali Media Group-Surabaya
3
Gajahmada Group
3
Rajawali Group-Lampung
4
Pentas Group
4
Mersi Group
4
Kartika Group
3
Masima Media Investama
14
Cipta Pariwara Prima (CPP) Radionet
40
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
153
Suzana Radionet
12
Arbes Network
9
Smart FM Network
6
Mayangkara Radionet
5
Ramako Group
5
Rajawali Citra Mandiri (RCM) Radio Network
9
Volare Group ( Kalimantan Barat)
14
Bens Group
9
Nirwana Group
9
El Victor Group
2
Group Trijaya / Media Nusantara Citra (MNC)
6
Lita Sari Group
3
Bonsita Group
24
Kidung Indah Selaras Suara (KISS) Group
6
Kardopa Group
8
Alnaro Group
4
Smart FM Group
6
Total
222 buah
(Sumber: Eriyanto :2011)
Dari peta kepemilikan media massa terlihat bagaimana para konglomerat media
mempunyai kepemilikan media secara nasional, dengan luas area penyiaran media di
seluruh Indonesia. Fakta ini menunjukkan kondisi kekinian media massa di Indonesia
secara kepemilikan banyak berubah. Namun, apakah industri media tersebut berpihak
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
154
pada masyarakat atau berpihak kepada konglomerat, perlu penelitian lebih lanjut, karena
pasca orde baru muncul fenomena konsentrasi kepemilikan industri media, memang
industri media merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan dalam bisnis media. Saat ini
bisnis media di Indonesia terlihat semakin terarah pada konsolidasi dan konvergensi
media.
Fenomena industri media yang terkonsentrasi adalah merupakan suatu tahap akhir
dari sebuah siklus evolusi pada lembaga industri modern. Hal ini tidak hanya terjadi pada
bisnis media massa, semua bisnis saat ini menghadapi hal yang sama, yaitu ketatnya
kompetisi dan semakin menyempitnya pasar sehingga perusahaan dituntut untuk
mempunyai keunggulan kompetitif. Selain itu, perusahaan juga menyikapi hal ini dengan
cara menyatukan diri (sinergi), dalam kasus media di Indonesia
dapat dilihat dari
bersatunya Trans TV dengan TV7 menjadi TV Trans7.
Proses konsolidasi ini pada akhirnya berujung pada konsentrasi usaha, yaitu suatu
pengendalian unit-unit produksi oleh sebuah perusahaan besar. Konsentrasi merupakan
hasil dari tiga proses yang terpisah namun saling mendukung: integrasi, diversifikasi, dan
internasionalisasi (Golding and Murdock, 1997:4). Lebih lanjut Golding and Murdock
(1997:4)
menjelaskan pertama proses intergrasi bisa berjalan secara vertikal dan
horisontal, integrasi horisontal terjadi ketika suatu kelompok bisnis memperoleh unit
tambahan dalam tingkat produksi yang sama, sedangkan integrasi vertikal terjadi ketika
kelompok bisnis melakukan ekspansi terhadap tahapan produksi yang berbeda, yang ini
lazim melalui mekanisme merger dan take-over.
Kedua diversifikasi terjadi ketika suatu perusahaan melakukan ekspansi kebidang
usaha lain, seperti perusahaan media merambah ke bidang bisnis lainnya. Di Jakarta
kelompok Kompas Garmedia (KKG) merupakan perusahaan media yang paling ekspansif
dalam melakukan diversifikasi usaha, selain bergerak dalam bidang media ekspansi juga
dilakukan dalam bidang perhotelan dengan hadirnya Hotel Santika. Di Jawa Timur
Kelompok Jawa Post merupakan perusahaan media yang paling banyak melakukan
diversivikasi usaha di luar bisnis media, antara lain mempunyai PT Prima Elektrik Power
yang membangun PLTU untuk memasok listrik di Jawa Timur (Laporan AJI, 2004:24).
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
155
Ketiga internasionalisasi, yang terjadi ketika perusahaan-perusahaan domestik membuka
diri terhadap arus investasi asing.
Dalam ekonomi yang meng-global seperti pada saat ini, ketika arus modal dapat
masuk dan keluar dengan mudah, banyak perusahaan memanfaatkan arus aliran dana ini
untuk menambah modalnya. Hal ini terjadi karena sangat terbatasnya modal domestik
untuk melakukan ekspansi bagi suatu industri media. Menurut Sudibyo (2004:55), untuk
mendirikan Global TV membutuhkan modal Rp 500 milyar, Lativi yang berganti nama
menjadi TV One didirikan dengn modal awal Rp 300 milyar, sedangkan TV7 dan Metro
TV membutuhkan modal awal Rp 200 milyar untuk memulai usahanya. Dengan biaya
yang demikian besar seperti di atas, maka kemudian muncul pertanyaan media massa
berpihak kepada siapa ?.
Murdock dan Golding (1997) mengatakan bahwa media massa diyakini tidak akan
menjadi lembaga yang netral, ia akan senantiasa berada dalam tarik menarik
antarberbagai kepentingan yang semuanya bersumber pada keinginan politik dan
ekonomi. Dalam masyarakat kapitalis, media massa memperoleh kedudukan yang sangat
tinggi dan strategis, serta berusaha untuk menciptakan hegemoni karena memperoleh
kebebasan penuh. Karenanya media massa akan selalu menjadi ajang pertarungan
kepentingan ekonomi dan politik melalui mekanisme industri dan bisnis media.
Pengelola media selalu mengedepankan argumen bahwa mereka menyajikan isi
media seperti yang diinginkan pasar (audience). Padahal itu hanya sebuah klaim semata,
karena isi media tidak selalu dibutuhkan masyarakat. Isi media sebenarnya sangat
ditentukan oleh pengelola dan pekerja media. Kenyataan inilah yang menunjukkan
bagaimana hegemoni ideologi pasar menjadi tidak terelakan dan akhirnya mengendalikan
berbagai aspek sendi kehidupan di masyarakat lewat media massa.
Dalam kasus penelitian ini, hasil wawancara dengan tiga pimpinan media yang
diteliti memperlihatkan isu finasial merupakan isu yang penting bagi kelangsungan hidup
media, apalagi struktur ekonomi yang melingkupi industri media pasca Orde Baru adalah
struktur ekonomi kapitalis (Hidayat, 2000: 127-128)12. Jadi untuk membiayai hidup
12
Dedy Nur Hidayat (2000) industri media di Indonesia mengarah pada konsentrasi kepemilikan media
melalui proses-proses komersialisasi, liberalisasi dan internasionalisasi.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
156
media perlu adanya investor selain juga pemasukan tradisional dari iklan, pelanggan, dan
pembeli eceran. Menarik apa yang ditemukan pada tiga media yang diteliti. Bagi Kompas
sebagai koran nasional dengan tiras besar sekitar 500-600 ribu eksemplar ditambah
pemasukan dari iklan dan ditopang perusahan yang sehat 13, maka sisi finansial tidak
terlalu menjadi masalah bagi Kompas. Untuk Jurnal Nasional sisi finansial sampai saat
ini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, dan ini diakui oleh Budi Winarno sebagai
Pemimpin Redaksi Jurnal Nasional. Dari sisi jumlah tiras terjadi penurunan yang cukup
signifikan dibandingkan pada awal-awal media ini berdiri. Pada awal media ini berdiri
sempat menyentuh angka 50.000, tetapi dengan persaingan bisnis media cetak yang
sangat pelik dan rumit, maka tiras koran Jurnal Nasional terus menurun sehingga pada
tahun 2014 tiras koran Jurnal Nasional sekitar 30,000 eksemplar atau anjlok sekitar
20.000 eksemplar. Pada sisi iklan Jurnas Budi Winarno mengatakan kurang
menggembirakan untuk menopang kehidupan media Jurnal Nasional , salah satu yang
diandalkan oleh Jurnal Nasional untuk menopang hidupnya media Jurnal Nasional
adalah masuknya investor ke koran Jurnal Nasional 14.
Harian Kedaulatan Rakyat menyadari dirinya sebagai koran daerah. Menurut Octo
Lampito salah satu resep sukses koran Kedaulatan Rakyat dalam bisnis media, dan
menjadi koran tertua serta satu dari sedikit koran daerah yang masih hidup adalah
mengenali karakter wilayah dan penduduk di mana koran tersebut berada. Koran
Kedaulatan Rakyat menurut Octo Lampito sangat mengenal karateristik wilayah, budaya
dan masyarakat Yogyakarta. Salah satu cirinya adalah masyarakat Yogyakarta tidak
terlalu suka dengan berita yang bombastis sehingga cara penyajian koran Kedaulatan
Rakyat tidak pernah kontroversial, kalaupun ada kritik maka kritik tersebut dibungkus
13
Tiras 500ribu-600ribu eksemplar per hari didapat dari wawancara dengan Bambang Sigap Sumantri
Wakil Redaktur Pelaksana Kompas, selain itu Bambang Sigap Sumantri walaupun tidak memberi angka
pasti gaji wartawan Kompas, namun memberikan informasi bahwa wartawan Kompas di gaji dengan
layak dan tidak dibenarkan mendapatakan uang seperti “uang amplop”, jika wartawan tersebut terbukti
menerima “uang amplop” maka sanksi terberat adalah di pecat dari Kompas, menurut Media Scene
(2012:111) pendapatan iklan Kompas pada tahun 2011 sekitar Rp 2.177.940.000 atau menguasai sekitar
9% pangsa iklan media cetak nasional
14
Budi Winarno cukup optimis akan kelangsungan hidup koran Jurnas karena harian Jurnal Nasional ini
mempunyai kedekatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maka selalu akan ada investor yang
mengucurkan dana untuk koran Jurnas.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
157
dengan kesantunan adat Jawa, falsafah ngono yo ngono ning ojo ngono
sangat
dimengerti oleh redaksi koran Kedaulatan Rakyat, dengan strategi seperti itu maka
sampai saat ini koran Kedaulatan Rakyat tetap bisa survive dan menjadi pemenang dalam
pertarungan tiras di wilayah Provinsi Yogyakarta dan sekitarnya, Octo Lampito
menjelaskan pada saat ini tiras koran Kedaulatan Rakyat sekitar 100.000 sampai 110.000
eksemplar perhari, dengan sebaran 80 % di wilayah Provinsi Yogyakarta. Untuk iklan
Octo Lampito tidak menyatakan secara eksplisit namun cukup lumayan membantu
menopang koran Kedaulatan Rakyat.
Peta struktur ekonomi media cetak di Indonesia secara lebih jelas dapat dilihat pada
tabel di bawah ini. Sumber data tabel ini dari Majalah Media Scene Volume 23, tahun
2012, data disajikan dari tahun 2007 sampai 2011 (YoY).
Tabel XX
Belanja Iklan di Media Cetak
Kategori 6 Produk Teratas
Tahun 2007-2011
No
1
2
3
4
5
6
Produk
Kategori
2007
Mill-Rp
2008
Mill-Rp
2009
Mill-Rp
2010
Mill-Rp
2011
Mill-Rp
Government,
Politic
Organization
Corporate Ads,
Social Service
Communication
Equipment,
Service
Motorcycles,
Scooters, Bikes
Private Vehicles
757.804
1307.985
2.246.389
2.182.410
2.223.697
667.168
954.158
1.188.710
1.409.642
1.953.491
975.639
1.385.918
1.370.455
1.770.625
1.902.466
751.249
979.854
1.056.115
1.162.740
1.607.500
374.952
454.068
508.440
777.442
1.224.514
Real Estate,
Housing,
Apartement
Total
530.997
714.200
853.192
1.055.665
1.184.940
11.759.422 15.032.485 17.747.364 21.203.392 24.382.657
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
158
Dari tabel diatas terlihat bahwa ada kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke
tahun (YoY), dengan kategori paling besar adalah belanja iklan dari pemerintah dan
organisasi politik. Ada trend kenaikan yang cukup besar dan mencapai puncak pada
tahun 2009 yaitu Rp 2.246.389.000. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada tahun tersebut ada
pemilu, baik itu pemilu legeslatif dan pemilu presiden, sehingga mampu mengerek
belanja iklan dari organisasi politik dan pemerintah. Selain itu belanja iklan berturut-turut
ditopang oleh Corporate Ads, Social Service Communication Equipment, Service
Motorcycles, Scooters, Bikes, Private Vehicles, Real Estate, Housing, dan Apartement.
Ceruk iklan inilah yang diperebutkan oleh sekitar 349 buah surat kabar di seluruh
Indonesia (Serikat Penerbit Suratkabar : 2010). Semakin banyaknya iklan yang masuk
akan berbanding lurus dengan kesehatan industri media surat kabar tersebut.
Tabel XXI
Pendapatan Iklan di Media Cetak
Kategori 6 Media Teratas
Tahun 2007-2011
No
Produk Kategori
2007
Mill-Rp
2008
Mill-Rp
2009
Mill-Rp
2010
Mill-Rp
2011
Mill-Rp
1
Kompas
1.740.682
1.907.540
1.852.874
2.262.124
2.177.940
2
Seputar
Indonesia
265.245
369.343
510.417
950.305
1.363.279
3
Jawa Post
728.190
861.487
855.725
994.004
1.028.297
4
Manado Post
296.213
378.313
424.997
614.464
948.493
5
Batam Post
200.144
205.257
256.398
271.205
717.206
6
Riau Post
198.115
261.502
343.825
425.676
657.648
Total
11.759.422 15.032.485 17.747.364 21.203.392 24.382.657
Berdasarkan data pembagian kue iklan di media cetak dalam rentang waktu 20072011 (YoY), ternyata kue iklan yang mengalami kenaikan yang signifikan pertahunnya
dan mencapai angka Rp 24.382.657 pada tahun 2011 hanya dinikmati oleh sedikit dari
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
159
jumlah populasi media cetak surat kabar di Indonesia yang berjumlah sekitar 349 buah
(Serikat Penerbit Suratkabar : 2010). Dalam list yang dikeluarkan oleh Majalah Media
Scene (2012) hanya 42 suratkabar harian tercatat yang menikmati kue iklan yang cukup
besar, tercatat harian Kompas mendapatkan kue iklan yang paling besar walaupun tidak
cukup stabil. Terlihat ada trend kenaikan pada tahun 2007-2008 kemudian menurun pada
tahun 2009, naik kembali di tahun 2010 dan turun pada tahun 2011, namun apabila
dicermati lebih dalam data diatas, sebenarnya harian yang tergabung dalam Jawa Post
group (Jawa Post, Manado Post, Batam Post, Riau Post) jika di total maka mendapatkan
kue iklan lebih besar daripada harian Kompas. Namun sayang, untuk penelitian ini, data
penikmat kue iklan yang disajikan oleh Majalah Media Scene (2012) tidak ada nama
Kedaulatan Rakyat dan Jurnal Nasional, kemungkinan besar kedua media tersebut
mendapatkan porsi iklan yang jumlahnya cukup sedikit, sehingga tidak masuk dalam 4215
media penikmat kue iklan versi Majalah Media Scene (2012)
Tabel XXII
Penetrasi Media Cetak
Kategori 6 Media Teratas di 9 Kota Besar
(Jakarta, Bandung, Semarang Surabaya,
Makassar, Yogyakarta, Denpasar, Palembang)
Tahun 2007-2011
No
1
2
3
4
5
6
15
Produk Kategori
Kompas
Jawa Post
Post Kota
Top Skor
Kedaulatan Rakyat
Warta Kota
Total
2007
.000%
1.611
1.481
1.205
745
561
567
36.335
2008
.000%
1.341
1.433
1.002
697
453
824
37.545
2009
.000%
1.095
1.134
884
679
478
630
38.844
2010
.000%
969
1.166
638
730
405
540
43.517
2011
.000%
1.319
946
547
523
454
424
44.941
Menurut majalah Media Scene (2012) surat kabar penikmat kue iklan paling bawah atau nomor 42
adalah surat kabar Serambi Indonesia dengan pendapatan pada tahun 2010 adalah Rp 179.808.000 dan
tahun 2011 Rp. 174.090.000,-
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
160
Jika melihat data penetrasi media cetak diatas, terlihat dari tahun ke tahun (YoY)
Kompas dan Jawa Post saling berebut menjadi nomor satu. Pada tahun 2007 terlihat
Kompas menguasai penetrasi media cetak di 9 kota besar, tetapi berturut-turut pada
tahun 2008 sampai 2010 Jawa Post mengambil alih posisi Kompas, bahkan pada tahun
2010 posisi Kompas di bawah 1 juta, namun pada tahun 2011 Kompas berhasil membalik
keadaan dimana pada tahun 2011 Jawa Post di posisi kedua dengan angka di bawah 1
juta, pada data diatas terlihat Kedaulatan Rakyat mendapatkan posisi yang lumayan
bagus yaitu ada di nomor 5 walaupun juga tidak stabil, dan pada beberapa tahun
belakangan posisi Kedaulatan Rakyat disalip oleh Warta Kota. Namun yang menarik
pada tabel ini, memperlihatkan Kedaulatan Rakyat sebagai salah satu koran yang terbit di
daerah mampu menembus angka antara 400.000 - 500.000 pembaca. Artinya, jika dilihat
dari data ini Kedaulatan Rakyat penetrasi yang cukup baik di kalangan pembaca
suratkabar di Indonesia. Namun sayang, dalam data versi Media Scene (2012) ini harian
Jurnal Nasional tidak termasuk dalam 3016 media cetak yang menguasai 9 kota besar,
kemungkin harian Jurnal Nasional dibawah data yang disajikan Media Scene (2012)
16
Menurut majalah Media Scene (2012) surat kabar yang leading dalam penetrasi media paling bawah
atau nomor 30 adalah surat kabar Non Stop dengan data pada tahun 2010 adalah 72.000 dan tahun
2011 adalah 66.000
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
161
Tabel XXIII
Penetrasi Media Cetak
Kategori 6 Media Teratas di Yogyakarta
Tahun 2007-2011
No
Produk Kategori
2007
.000%
2008
.000%
2009
.000%
2010
.000%
2011
.000%
1
Kedaulatan Rakyat 556
452
447
405
454
2
Minggu Pagi
199
122
145
86
106
3
Merapi
193
132
118
20
105
4
Kompas
88
73
82
74
44
5
Meteor
39
22
7
23
25
6
Harian Jogja
N/A
N/A
33
53
25
Total
2.009
2.086
2.175
2.264
2.358
Untuk kasus di Provinsi Yogyakarta, terlihat bahwa Kedaulatan Rakyat group
sangat mendominasi pasar. Data dari Media Scene (2012) di atas memperlihatkan bahwa
peringkat 3 besar media cetak di Provinsi Yogyakarta di kuasai oleh tiga koran yaitu,
Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, dan Merapi, dan ketiga koran ini sebenarnya satu Ibu
kandung yaitu Kedaulatan Rakyat group.
6.2. Dinamika Media Pasca Orde Baru dalam Isu Otonomi Daerah Berbasisis
Analisis Teori Strukturasi
Pada subbab ini akan dibedah konteks mikro dan meso mengenai isi teks media dan
proses-proses memproduksi teks media, kemudian akan dibahas pula kontribusi media
terhadap perubahan dinamika makro struktural terhadap
isu otonomi daerah dari
sentralisasi ke desentralisasi. Dalam disertasi ini akan dikaitkan analisis mikro-mesomakro serta dikaji hubungan atau interaksi antara struktur dan agen/agensi sehingga
analisis mengenai media dan otonomi daerah tidak terjebak dalam ortodoksi
strukturalisme ataupun instrumentalisme.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
162
Disertasi ini berangkat dari argumentasi bahwa media ketika menyiarkan berita
terjadi proses interaksi antara media dengan struktur. Dalam menyiarkan berita, media
melakukan pembingkaian berita (framing) dan dalam proses melakukan pembingkaian ini
media dan struktur saling berinteraksi, saling mempengaruhi secara timbal balik. Relasi
antara media dan struktur dilihat saling mempengaruhi dan berinteraksi satu sama lain.
Hasil dari interaksi tersebut bisa dilihat dari isi pemberitaan media. Isi berita media dalam
penelitian ini dilihat sebagai hasil atau produk dari proses strukturasi yang melibatkan
media dan struktur, yang kemudian menjadi kontruksi realitas otonomi daerah.
Ada lima isu yang telah diteliti dan dipetakan dalam disertasi ini, yaitu Pemekaran
Daerah, Keistimewaan Yogyakarta, Dinasti Politik, Korupsi Elit Politik dan Pilkada,
ketiga media yang diteliti menjadi pentas bagi kelima isu di atas. Meskipun ditemukan
perbedaan frekuensi dalam menyiarkan ke lima isu otonomi daerah tersebut. Kelima isu
di atas berada dalam analisis mikro, sedangkan analisis meso atau level media dapat
dilihat pada perbandingan sudut pandang media tentang isu otonomi daerah, selain dilihat
dengan perbedaan penyiaran frekuensi di atas, dapat juga dilihat pada hubungan atau
interaksi antaragen, dalam tulisan berikut ini akan dibedah bagaimana agen di dalam
media dan agen di luar media yaitu para ahli yang kompeten pada isu otonomi daerah
melakukan interaksi dan memaknai kelima isu yang ditayangkan oleh media.
6.2.1. Agen/Agensi dan Struktur
Dalam teori Strukturasi Giddens (1984), agen mempunyai peran yang cukup
dominan. Giddens memfokuskan perhatianya pada praktik sosial yang berulang antara
agen dan struktur, sedangkan agensi adalah kejadian yang dilakukan oleh agen. Menurut
Giddens (1984:9) “Agensi menyangkut kejadian yang dilakukan seorang individu,
keagenan berarti peran individu, apapun yang telah terjadi, tidak akan menjadi struktur
seandainya agen tidak mencampuri”. Dalam konteks disertasi ini perubahan struktur
sentralisasi ke desentralisasi tidak akan terjadi jika agen tidak bertindak turut serta atau
ikut campur dalam isu otonomi daerah ini. Turut campurnya agen dalam kelima isu
otonomi daerah ini dapat dilihat dari perspektif ketiga harian yang diteliti, serta
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
163
bagaimana perspektif para intelektual yang paham tentang isu ini memaknai kelima isu
yang diteliti.
Pada isu pilkada, Kemendagri melalui Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah
Djohan berpendapat “akan menata ulang Pilkada baik gubernur ataupun bupati dan
walikota, supaya Pilkada tidak mahal ongkosnya sehingga ada fenomena mengembalikan
modal yang akhirnya membuat Kepala Daerah tersebut masuk penjara, ada sekitar dari
60%”. Pendapat senada juga diutarakan oleh Ketua Revisi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 versi Pemerintah, “Pilkada ini isunya harus bagaimana Pemda itu
memakmurkan rakyat, jangan dibawa ke isu politik, untuk memakmurkan rakyat itu
Pemda harus melakukan pelayanan publik yang baik, intensitas pelayanan publik yang
paling sering adalah di tingkat kabupaten dan kota, karena itu maka untuk Kabupaten dan
Kota harus di adakan pemilihan langsung, sedangkan di Propinsi tingkat intensitas
pelayanan publik tidak tinggi, kalau intensitas tidak tinggi kenapa harus di pilih langsung
dengan biaya mahal ?, maka sebaiknya dipilih lewat DPRD saja”. Dari dua pendapat di
atas terlihat bahwa isu yang direproduksi oleh pemerintah adalah pilkada itu mahal dan
akan berimbas pada korupsi untuk mengembalikan modal pilkada sehingga Kemendagri
mengajukan revisi RUU Pilkada, Pemerintah mengajukan usulan perubahan sistem
pemilihan gubernur yaitu mengubah sistem pemilihan gubernur secara langsung oleh
rakyat menjadi sistem pemilihan Gubernur secara perwakilan oleh DPRD Provinsi.
Pada sisi lain permasalahan Pilkada menurut Purwo Santoso, “Bukan di Pilkada
langsung atau Pilkada tidak langsung namun lebih pada tidak berdaulatnya rakyat,
masalahnya tidak ada sense public sebagai pemilih, sehingga ketika ada orang memilih
itu untuk dirinya sendiri, masalahnya sekarang ada kekuatan kapital yang besar dalam
setiap Pemilihan Kepala Daerah, dan ini tidak dianggap masalah yang besar, orang tidak
merasa berkhianat pada negara, sehingga kalau seperti itu tidak ada korelasinya antara
terpilihnya orang jadi Kepala Daerah dengan kebijakan yang akan dia lakukan ketika
mejadi Kepala Daerah”. Pendapat Purwo Santoso terlihat berseberangan dengan dua
pendapat di atas. Jika dua pendapat diatas lebih menekankan pada bagaimana mengatur
pilkada dengan instrument undang-undang, maka Purwo Santoso menawarkan alternatif
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
164
lain yaitu harusnya bagaimana rakyat disadarkan dalam memilih pemimpin, bagaimana
ada upaya agar muncul sense public dari rakyat ketika memilih pemimpin.
Dalam isu pilkada gubernur ini Kompas terlihat berseberangan diametral dengan
isu yang reproduksi oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemendagri. Posisi Kompas
dalam isu ini adalah pro terhadap pemilihan gubernur secara langsung karena meruakan
wujud penghormatan terhadap kedaulatan rakjat dalam memilih pejabat publik. Bagi
Kompas seharusnya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bukan menghapuskan Pilkada
Langsung, tetapi pembenahan sistem pilkada langsung. Kelemahan pemilihan langsung
bukan berati harus menghapus sistem pemilihan langsung. Pembenahan bisa dilakukan
dengan perbaikan sistem Pemilu. Posisi Kompas dalam isu Pilkada Langsung ini
ditegaskan lagi oleh Bambang Sigap Sumantri, wakil editor harian Kompas “Kompas
sangat jelas yaitu mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung dan ini menjadi
head line Kompas, bagi Kompas yang harus di perbaiki adalah sistem dari Pilkada
langsung tersebut, bukan kembali lagi pemilihan lewat DPRD, karena pemilihan lewat
DPRD juga rawan dengan penyelewengan penyuapan, dan Pilkada langsung merupakan
cerminan dari demokrasi di masyarakat”.
Harian Jurnal Nasional, untuk isu pilkada gubernur ini berbeda dengan Kompas
dan Kedaulatan Rakyat. Kedekatan harian Jurnal Nasional dengan pusat kekuasaan
menjadikan posisi harian Jurnal Nasional sama dengan Pemerintah Pusat. Menurut
Jurnal Nasional
pemilihan gubernur secara langsung tidak sesuai dengan fungsi
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (presiden) di daerah, dan membuat gubernur
tidak tunduk kepada presiden, sehingga solusi pilkada gubernur ini bagi harian Jurnal
Nasional adalah Gubernur dipilih lewat DPRD.
Selain bisa menghemat anggaran, pemilihan ini akan mempertegas fungsi gubernur
sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah. Jika dilihat antara frame dan isu yang
direproduksi oleh Pemerintah Pusat dan harian Jurnal Nasional terlihat sama, yaitu
menekankan perlunya anggaran dihemat atau dengan kata lain pilkada langsung itu
ongkosnya mahal. Posisi harian Jurnas ini di perkuat oleh Budi Winarno pemimpin
redaksi harian Jurnal Nasional, “dalam isu Pilkada langsung ini lebih menitik beratkan
pada evektivitas birokrasi, mungkin memang secara demokrasi lebih baik dipilih
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
165
langsung, namun apakah evektif bagi birokrasi ?, Jurnal Nasional cenderung berpihak
kepada Pilkada tidak langsung, karena Jurnal Nasional melihat demokrasi dalam pilkada
langsung pada saat ini lebih pada demokrasi yang tidak sehat”.
Kasus harian Kedaulatan Rakyat dalam isu pemilihan gubernur ini cukup unik,
karena di Yogyakarta tidak ada pemilihan Gubernur baik secara langsung maupun tidak
langsung. Di Yogyakarta Gubernur adalah Sri Sutan dan Wakil Gubernur adalah Sri
Pakualam. Namun untuk isu pilkada gubernur ini posisi dari harian Kedaulatan Rakyat
adalah mendukung pemilihan Gubernur secara langsung. Hasil penelusuran dari penulis
menemukan hal yang menarik, yaitu penuturan dari Pemred harian Kedaulatan Rakyat
Octo Lampito “Bagi KR pilkada langsung dapat menambah pemasukan dari iklan,
dengan adanya pilkada langsung banyak iklan-iklan masuk dari berbagai daerah di Jawa
Tengah, seperti kemarin dari Kendal, Magelang, Purworejo, Klaten, dan juga pemilihan
Gubernur Jawa Tengah, dan kalau ada pilkada itu iklan dari government naik”.
Kasus Keistimewaan Yogyakarta menjadi salah satu isu yang cukup mewarnai
media massa. Isu yang direproduksi Pemerintah Pusat pada saat mengajukan UndangUndang Ke Istimewaan Yogyakarta adalah Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta
akan dipilih baik secara langsung maupun tidak langsung, bukan lagi berdasarkan
keturunan dari Sri Sultan dan Sri Pakualam. Bentuk Monarkhi yang diusulkan adalah
bentuk monarkhi konstitusional seperti di Inggris, di mana posisi Sultan dan Pakualam
adalah sebagai pemangku adat dan bukan sebagai kepala pemerintahan (gubernur).
Pemerintah Pusat berargumen dalam negara yang demokratis rakyat akan diberi
kesempatan untuk bisa memilih dan dipilih dalam jabatan publik serta ingin
menempatkan posisi Kasultanan pada posisi yang netral, tidak terjebak politik praktis.
Menurut Dirjen Otda Kemendagri, “Keistimewaan Yogyakarta sudah di atur dalam
Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 18b, daerah-daerah istimewa itu diakui dan
dihormati oleh negara, sehingga Pemerintah Pusat harus mentaati konstitusi dan
memberikan kewenangan-kewenangan yang ektra lebih besar pada daerah istimewa
termasuk Yogyakarta, posisi Pemerintah Pusat hanya sebagai monitoring dan evaluasi
atau bimbingan dan pengawasan saja”, sedangkan Ketua Revisi UU No 32 Tahun 2004
mengenai Keistimewaan Yogyakarta “Yang banyak dibicarakan adalah Sultan yang
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
166
merangkap Gubernur dan itu ada sejarahnya, Yogyakarta sebenarnya kalau dulu mau
merdeka bisa saja, namun kemudian Sultan ikut dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan kemudian ada perjanjian dengan Pemerintah Republik Indonesia bahwa
setiap Sultan Yogya otomatis menjadi Gubernur, namun ketika ini negara demokrasi
apakah ini akan dipertahankan ?, dan kedepan permasalahan adalah bagaimana kalau
anaknya Sultan perempuan bagaimana ?, kan nanti akan ada potensi konflik internal di
Kesultanan dan ini cukup sensitif, selain itu juga bagaimana dengan tanah-tanah Raja
atau Sultan Ground ? ini perlu juga diatur, dan juga dana ke istimewaan”.
Tentang isu ini, pendapat Purwo Santoso terlihat berbeda dengan dua pendapat di
atas yang lebih mengedepankan aspek legal formal yaitu undang-undang,
menurut
Purwo Santoso masalah desentralisasi asimetris terutama Keistimewaan Yogyakarta ini
harusnya dilihat dari sisi masyarakat. Menurutnya “Harus di runut psikologi sosial politik
masyarakat Yogyakarta, karena apabila dilihat dari perspektif
Pemerintah Pusat
(Jakarta), Yogyakarta itu merupakan wilayah Indonesia yang diberikan otonomi, yang
mempunyai Keistimewaan kemudian diberikan kewenangan, masalahnya logika
Pemerintah Pusat (Jakarta) tidak sama dengan apa yang dirasakan rakyat Yogyakarta,
karena sebelum Indonesia ada, Yogyakarta ada lebih dulu, dan adanya Indonesia karena
Yogyakarta mau menyediakan daerahnya untuk menjadi Ibu Kota Republik Indonesia
pada awal-awal kemerdekaan, pada saat Republik Indonesia Serikat (RIS) wilayah
Indonesia tinggal Yogyakarta, apabila pada saat itu Sultan Hamengku Buwono tidak
bergabung dengan Republik Indonesia, maka Republik Indonesia sudah tidak ada dalam
peta dunia. Sehingga bagi rakyat Yogyakarta mereka tidak merasa dalam posisi
menerima kewenangan dari Pemerintah Pusat (Jakarta), karena apabila di lihat sejarahnya
Indonesia ini ada karena kebesaran hati Keraton (Sultan Hamengku Buwono IX) dengan
Rakyat Yogyakarta yang mau menjadi bagian dari Indonesia”.
Lebih lanjut, harian Kompas pada isu ini menekankan pada aspirasi masyarakat
Yogyakarta yang tetap menghendaki Sultan yang secara otomatis diangkat sebagai
Gubernur Yogyakarta. Dari wawancara dengan Wakil Editor Kompas, Bambang Sigap
Sumantri, memang Kompas terlihat lebih menekanan terhadap aspirasi masyarakat
Yogyakarta “Sebenarnya Yogyakarta
itu tidak hanya Kraton, yang istimewa dari
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
167
Yogyakarta adalah rakyat Yogyakarta itu sendiri, sebenarnya mengapa Sultan HB IX
menyatakan mau bergabung dengan Indonesia, karena Sultan HB IX melihat bagaimana
kehendak rakyat Yogyakarta pada saat itu, jadi ada bersatunya (jumbuh) Sultan HB IX
dengan kehendak rakyat Yogyakarta pada waktu itu, sehingga Kompas berpihak kepada
keharmonisan dari Keistimewaan Yogyakarta”.
Kedaulatan Rakyat sebagai koran yang terbit di Yogyakarta sedari awal memilih
posisi untuk mendukung Keistimewaan Yogyakarta dan menghendaki secara otomatis
Sultan diangkat menjadi Gubernur Yogyakarta.
Meskipun sama-sama mendukung,
tetapi antara Kedaulatan Rakyat dengan Kompas terlihat ada perbedaan dalam melihat
Keistimewaan Yogyakarta. Bagi harian Kedaulatan Rakyat mengapa Yogyakarta harus
Istimewa, bisa dilihat dari faktor sejarah dan budaya Yogyakarta. Penekanan tentang
sejarah dan budaya Yogyakarta sebagai latar belakang frame Kedaulatan Rakyat
ditegaskan oleh Octo Lampito, “Bagi Kedaulatan Rakyat isu Keistimewaan Yogyakarta
menjadi isu yang konsisten di perjuangkan, Kedaulatan Rakyat melihat bahwa harusnya
Pemerintah Pusat (Jakarta) konsisten terhadap Maklumat (ijab qobul) Sultan HB IX yang
menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia, selain itu pada awal kemerdekaan
Sultan HB IX turut membiayai kelahiran Republik Indonesia, bahkan gaji pegawai negeri
termasuk gaji Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia itu berasal dari Keraton
dalam hal ini Sultan HB IX”.
Harian Jurnal Nasional dalam isu Keistimewaan Yogyakarta terlihat berbeda
dengan dua media di atas, Jurnal Nasional terlihat lebih condong dengan kebijakan yang
diusulkan oleh Pemerintah Pusat, yaitu Sultan tidak secara otomatis menjadi Gubernur
Yogyakarta. Menurut harian Jurnal Nasional sumber masalah tentang Keistimewaan
Yogyakarta adalah karena elite politik cenderung mengaburkan usulan pemerintah.
Pemerintah pusat bukan bermaksud tidak menghormati warisan dan sejarah Yogyakarta,
tetapi ingin menempatkan Kesultanan Yogyakarta
terjebak pada politik praktis, oleh karena itu
pada posisi yang penting, tidak
solusi untuk masalah Keistimewaan
Yogyakarta adalah pemilihan kepala daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Kepala daerah tidak ditetapkan, tetapi lewat proses pemilihan, bisa melalui pemilihan
langsung atau lewat DPRD.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
168
Dalam wawancara dengan Budi Winarno, Pemred Jurnal Nasional “isu
Keistimewaan Yogyakarta ini sepertinya Kemendagri ingin test in the water, bagaimana
reaksi masyarakat terutama masyarakat Yogyakarta jika Gubernur bukan Sultan artinya
dipilih langsung seperti daerah-daerah lain, namun ketika isu ini ditentang banyak pihak,
terutama yang mengerti sejarah Yogyakarta akhirnya Kemendagri tidak lagi meneruskan
hal itu, dan kembali pada penetapan, Jurnas sendiri dalam melihat isu Keistimewaan
Yogyakarta, Jurnas berdiri pada kehendak rakyat Yogyakarta”. Dengan demikian pada
awalnya ada upaya membangun isu agar Sultan tidak secara langsung menjadi Gubernur,
tetapi karena banyak tentangan dari berbagai pihak, maka akhirnya kembali pada
kebijakan Sultan otomatis menjadi Gubernur Yogyakarta.
Isu pemekaran daerah merupakan salah satu isu yang hangat di media massa pada
tahun 2012 dan 2013. Isu yang direproduksi oleh agen Pemerintah Pusat melalui Dirjen
Otonomi Daerah Kemendagri adalah “Pemekaran daerah sudah tidak rasional dan
proposional lagi, lebih banyak unsur politisnya daripada teknokratisnya, data dari
Kementrian Dalam Negeri mempelihatkan bahwa dari tahun 1999 sampai 2009 atau
sepuluh tahun telah lahir 205 daerah otonom baru (DOB), ini adalah daerah territorial
development terbesar di dunia, dan harusnya daerah yang tidak sehat digabungkan lagi
dengan daerah induk atau amalgamasi, untuk itu sedang menyiapkan regulasi baru untuk
membendung pemekaran daerah, tidak bisa lagi mekar begitu saja, harus lebih pada aspek
teknokrasi pemerintahan, tidak lagi pada aspek politis”.
Pendapat senada juga di ungkapkan oleh Ketua Revisi Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, menurut Made Suwandi. “Pemekaran lebih pada kepentingan
politik daripada teknis, jadi pemekaran gagal karena sebenarnya tidak mampu namun
dipaksakan menjadi Daerah Otonom Baru, kalau kita lihat sebenarnya semua senang,
rakyat senang karena ada infrasturktur baru, jalan, listrik, PNS juga senang karena dapat
jabatan baru, parpol juga senang karena bisa jadi anggota DPRD atau malah jadi
pemimpin daerah, masalahnya pemekaran ini biaya dari mana ?, ini kan dari formula
Dana Alokasi Umum (DAU), maka ini menjadi bahaya karena akan membangun dengan
biaya pemekaran itu, dan faktanya hasil evaluasi Kemendagri 70% daerah otonomi baru
gagal, artinya sebenarnya mereka tidak layak mekar namun karena tekanan politik jadi
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
169
mekar, sehingga di Undang-Undang Otonomi Daerah baru diatur pemekaran secara ketat,
yaitu persyaratan harus lengkap dan ini akan di nilai oleh team ahli independen yang
berisi para ahli”.
Dari dua pendapat diatas terlihat isu yang direproduksi oleh Pemerintah Pusat
dalam pemekaran daerah adalah bahwa pemekaran daerah pada saat ini lebih banyak
diwarnai oleh nuansa politis17, bukan unsur teknis teknokratis pemerintahan. Selain itu,
akan ada kebijakan mengetatkan pemekaran daerah, karena ternyata banyak daerah
pemekaran yang gagal tidak bisa melayanai warganya.
Dalam isu pemekaran daerah Purwo Santoso berpendapat, bahwa. “Mengenai
pemekaran daerah memang tidak pernah terlepas dari sejarah, bahwa Indonesia itu di
bentuk oleh kerajaan-kerajaan kecil, jadi bahan dasar pembentukan Indonesia itu RajaRaja di daerah dan sampai sekarang Indonesia adalah Nation State in The Making, proses
belum selesai ini yang harus di maknai, pada sisi yang lain masyarakat tahu untuk
mendapatkan kesejahteraan adalah membikin unit Pemda sendiri, jadi sebenarnya
pemekaran adalah hasil dari kegagalan pemerintah melakukan proses redistribusi
kesejahteraan, bagi masyarakat pemekaran itu adalah ijin mendirikan pemda, sekali
mendapatkan ijin mendirikan pemda baru maka daerah mendapatkan kebutuhan
operasional
minimal, maka pegawai negeri sipil yang tadinya tidak punya jabatan
menjadi punya jabatan, orang-orang yang pengangguran jadi punya pekerjaan, sehingga
tingkat konsumsinya meningkat, jadi daerah-daerah baru itu menikmati transfer fiskal
dari pusat, dengan pintu itulah daerah-daerah tersebut menemukan pintu-pintu kemajuan
dan merasa menjadi Indonesia”. Pendapat Purwo Santoso ini terlihat berseberangan
dengan dua pendapat ahli dari Kemendagri. Menurut Purwo Santoso, aspek lokalitas dan
sejarah serta kenyataan bahwa negara ini adalah proyek yang belum selesai (nation in the
making) harusnya menjadi isu yang lebih diperhatikan ketika mendiskusikan pemekaran
daerah di Indonesia.
17
Nuansa politis ini bisa dilihat dari usulan mengenai undang-undang pembentukan daerah otonom baru
lebih banyak lewat DPR RI daripada Kemendagri, data di Kemendagri dari tahun 1945 sampai 1999 (54
tahun) ada 319 daerah otonom di Indonesia, setelah disentralisasi dari 1999 sampai 2009 (10 tahun) ada
tambahan 205 daerah otonom baru, dari 205 daerah otonom baru tersebut sebagaian besar merupakan
usulan dari DPR RI, sampai bulan Juli 2013 di daerah otonom di Indonesia berjumlah 539, terdiri dari 34
Propinsi, 412 Kabupaten dan 93 Kota.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
170
Dalam memandang isu pemekaran, harian Kompas terlihat memberikan perhatian
yang kritis terhadap isu pemekaran daerah karena
pemekaran daerah hanya untuk
kepentingan elite masyarakat lokal, daripada kepentingan masyarakat daerah tersebut.
Menurut Kompas pemekaran daerah harusnya dilakukan atas dasar kebutuhan masyarakat
setempat. Posisi Kompas dalam isu pemekaran daerah ini ditegaskan oleh Bambang
Sigap Sumantri “Kompas memandang isu pemekaran daerah harusnya bertujuan untuk
kesejahteraan rakyat, menurut Kompas selama kebijakan otonomi daerah yang luas ini
berjalan ada beberapa daerah otonomi baru yang berhasil namun banyak juga yang tidak
berhasil dalam mensejahterakan rakyat. Pemekaran daerah menjadi salah satu permainan
dari elite-elite politik untuk mendapatkan jabatan atau kekuasaan di daerah, Kompas
melihat Kementrian Dalam Negeri sudah benar melakukan kebijakan moratorium Daerah
Otonomi Baru (DOB), namun pada sisi lain DPR sering menjadi jendela untuk
pemekaran daerah, sehingga Kompas sering melakukan kritik terhadap DPR supaya
menghentikan pemekaran daerah, kalau memang daerahnya tidak siap untuk
dimekarkan”.
Pada isu ini terlihat Kompas sejalan dengan Kemendagri, yaitu adanya moratorium
daerah otonom baru dan perlu adanya pengaturan yang lebih ketat terhadap pembentukan
daerah otonom baru. Namun jika dibedah lebih jauh ada perbedaan perspektif dalam
melihat isu ini, Kementrian Dalam Negeri lebih mengedepankan aspek teknis18
teknokratis pemerintahan dan sumber keuangan yang minim, sedangkan Kompas lebih
melihat pada sisi kepentingan masyarakat daerah yang terabaikan dan hanya menjadi
permainan dari elite-elite lokal.
Harian Jurnal Nasional dalam melihat isu pemekaran daerah berbeda dengan
harian Kompas. Sebagai harian yang dekat dengan Pemerintah Pusat terlihat posisi
harian Jurnal Nasional mengenai isu pemekaran daerah cenderung mengedepankan
aspek legal formal, sehingga Pemerintah Pusat harus tunduk untuk melaksanakan
18
UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan
undang-undang tersendiri, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat
(secara rinci dapat dilihat pada PP 129 tahun 2000). Salah satunya yaitu syarat teknis dari pembentukan
daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktorfaktor seperti: (a) Kemampuan ekonomi; (b) Potensi daerah; (c) Sosial budaya; (d) Sosial politik; (e)
Kependudukan; (f) Luas daerah; (g) Pertahanan; (h) Keamanan; dan (i) Faktor lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
171
Undang-Undang tentang daerah otonom baru yang sudah diputuskan di Parlemen. Selain
aspek legal formal harian Jurnal Nasional juga mengedepankan masalah keuangan
daerah. Dalam isu ini harian Jurnal Nasional tidak secara kritis menyinggung peran dari
elite lokal yang bermain dalam isu pemekaran daerah, seperti yang diungkapkan oleh
Budi Winarno dari Jurnal Nasional “Pemekaran daerah harus di kontrol, karena banyak
daerah pemekaran baru yang belum bisa mandiri, masih menyusu pada daerah induk
walaupun sudah cukup lama di mekarkan, di Aceh misalnya ada satu Kabupaten APBDnya minus, jadi kalau begitu untuk apa pemekaran bahkan kita dorong untuk di
kembalikan ke Kabupaten Induk, pemekaran daerah sudah tidak rasional lagi, sehingga
Jurnal Nasional
berpendapat daerah-daerah yang gagal dalam pemekaran harusnya
dikembalikan pada daerah induk”.
Berbeda dengan dua koran di atas, menurut harian Kedaulatan Rakyat sumber
masalah isu pemekaran daerah ada pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang
memberikan celah mempermudah melakukan pemekaran daerah, celah ini yang harus
dikritisi, karena tujuan pemekaran daerah menurut harian Kedaulatan Rakyat adalah
kesejahteraan rakyat daerah itu sendiri. Meskipun terlihat sama dengan harian Jurnal
Nasional dalam melihat sumber masalah isu pemekaran daerah yaitu Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, tetapi titik tekan terhadap isu ini berbeda, harian Jurnal Nasional
lebih menekankan “Pemerintah Pusat harus tunduk untuk melaksanakan Undang-Undang
tentang daerah otonom baru”, sedangkan harian Kedaulatan Rakyat menitikberatkan pada
“aturan atau Undang-Undang yang memiliki celah mempermudah pemekaran daerah”.
Lebih lanjut, Octo Lampito Pemred harian Kedaulatan Rakyat “Pemekaran daerah
harusnya berlandaskan pada kepentingan publik, kalau pemekaran untuk kepentingan
publik misalnya mempermudah dan mendekatkan pelayanan pada rakyat bagi
Kedaulatan Rakyat itu baik, namun sebaliknya jika hanya untuk kepentingan meraih
jabatan di eksekutif dan legeslatif itu tidak pada tempatnya karena akan menghabiskan
anggaran publik saja, pemekaran daerah memang tidak banyak kita angkat karena di DIY
dan Jawa Tengah inikan sampai sekarang tidak ada pemekaran daerah dan kita inikan
koran lokal”.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
172
Mengenai isu korupsi elite lokal, menurut Dirjen Otonomi Daerah, “Kasus korupsi
elit lokal posisi Kemendagri jelas akan mengatur itu supaya tidak ada lagi korupsi oleh
elit-elit lokal, salah satunya mengatur kembali pemilihan kepala daerah langsung supaya
tidak terlalu mahal ongkosnya, karena ini menjadi salah satu indikasi korupsi di tingkat
lokal, biaya pemilihan kepala daerah yang mahal ini membuat banyak elit lokal masuk
penjara karena harus mengembalikan modal pemilihan kepala daerah langsung”.
Lebih lanjut menurut I Made Suwandi (Ketua Revisi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004) mengatakan “Untuk menghapuskan korupsi pada elit lokal kedepan ini,
sistem akan di kunci semua, dengan cara ada pemetaan urusan daerah, jadi jelas pusat
mengurus apa dan daerah mengurus apa, kemudian pegawai nanti ada rasio aturan
pegawai, sehingga tidak ada yang menjual formasi pns lagi, kemudian terkait keuangan
daerah kedepan tidak ada boleh bantuan sosial, kemudian tentang pelayanan publik,
kedepan harus jelas biayanya berapa, jika tidak maka akan ada hukuman atau sanksi,
sedangkan untuk jabatan akan ada fit and proper test sehingga tidak ada jual-jual jabatan
lagi seperti sekarang ini, artinya di semua lini sudah di kunci, dan pengawasan akan di
perketat,”. Berdasarkan dua pendapat di atas terlihat posisi Kementrian Dalam Negeri
adalah berusaha untuk meminimalisasi bahkan menghilangkan korupsi elite lokal. Jika
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri hanya melihat dari satu sisi saja yaitu ongkos
pilkada yang mahal sebagai pencetus korupsi elite lokal, maka Ketua Revisi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 terlihat cukup komperhensif dalam memetakan
permasalahan korupsi elite lokal, yaitu akibat tata kelola pemerintahan daerah yang tidak
baik selama ini.
Mengenai isu korupsi elite lokal Purwo Santoso berpendapat, bahwa “Korupsi elite
daerah itu karena Pemerintah Pusat (Jakarta) tidak mempunyai kendali jelas terhadap
daerah, sistem evaluasi pusat kepada daerah tidak berjalan dengan jelas, sehingga
misalnya menurut Purwo Santoso dalam praktiknya pada keuangan daerah antara praktek
dan aturannya tidak cocok, pada tingkat aturan ediharuskan tertib adminstrasi namun
pada dataran praktisnya memalsukan data itu sebuah kebiasaan, karena itu untuk
menghindari korupsi ditingkat praktis harus konsisten bohongnya, pada sisi yang lain
fakta sosiologis di masyarakat patronase itu ada, dimana untuk menumbuhkan kesetiaan
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
173
dan kepatuhan anak buahnya maka sang patron memberikan proteksi, jadi kalau patronpatron tersebut diberi kewenangan dan diberi anggaran maka yang bekerja sebenarnya
bukan mesin birokrasi namun mesin patronase, ini yang harusnya di benahi oleh
Pemerintah Pusat”. Pendapat Purwo Santoso terlihat berbeda dengan pendapat dua ahli
diatas. Pada isu ini Purwo Santoso mengingatkan bahwa korupsi elite politik lokal itu
tidak terlepas dari fakta sosiologis di masyarakat kita yaitu hubungan patron-client. Jadi,
untuk memberantas korupsi elite lokal, tidak cukup hanya melihat dari satu sisi saja, yaitu
tata kelola pemerintahan yang tidak baik.
Harian Kompas melihat korupsi elite lokal disebabkan pilkada yang mahal. Selain
itu, menurut harian Kompas, sistem yang korup akan mendorong orang berbuat korup,
sehingga solusinya perlu pembenahan mekanisme pemilihan, terutama biaya politik.
Biaya politik harus dibuat murah dan transparan, sebagaimana pendapat Bambang Sigap
Sumantri, yang menuturkan “Kita melihat ada kecenderungan pelimpahan kekuasaan ke
daerah dalam era otonomi ini dibarengi dengan kasus-kasus korupsi di daerah, data di
Kompas hampir sekitar 200 sampai 300 kepala daerah yang tersangkut korupsi dalam era
otonomi daerah ini, sehingga kebijakan Kompas adalah pada satu sisi mendukung
otonomi daerah yang luas karena ada proses demokrasi dan kebebasan bagi masyarakat
aderah di sana, namun pada satu sisi otonomi menghasilkan penyebaran korupsi di
daerah, keprihatinan Kompas terhadap isu korupsi di daerah diungkapkan dengan cara
meliput dan mengungkapkan isu korupsi elite daerah”
Harian Jurnal Nasional mempunyai posisi yang berbeda dengan Kemendagri dan
harian Kompas. Harian Jurnal Nasional sama sekali tidak menyinggung masalah
korupsi elite lokal akibat pilkada langsung ataupun akibat tata kelola pemerintahan
daerah yang buruk. Pada isu ini
harian Jurnal Nasional lebih banyak mengangkat
ketegasan pemerintah dalam memberantas korupsi elite lokal dengan menurunkan beritaberita yang berhubungan dengan banyaknya izin pemeriksaan yang dikeluarkan Presiden
SBY kepada KPK untuk memeriksa elite lokal yang diindikasikan korupsi, termasuk juga
kinerja KPK dalam melawan korupsi. Menurut harian Jurnal Nasional, sumber masalah
dari korupsi elite lokal adalah tidak adanya hukuman moral dan sosial pada pelaku
korupsi, sehingga solusinya harus ada sanksi sosial dan sanksi politik seperti dikucilkan,
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
174
dimiskinkan, tidak boleh menjadi pejabat publik bagi pelaku korupsi. Lebih lanjut,
menurut Pemred Jurnal Nasional Budi Winarno “Korupsi elit lokal di daerah harus
diberantas, dan Kami mendorong agar Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) mempunyai
kantor cabang di setiap daerah, ini juga segaris dengan arahan pendiri Jurnal Nasional
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu siapapun di muka hukum adalah sama,
komitment Jurnal Nasional dalam pemberantasan korupsi bisa dilihat dengan diliputnya
kasus Akil Mochtar, memang Akil Mochtar itu tokoh nasional namun kasus-kasusnya
kan korupsi elit lokal seperti pilkada Kabupaten Lebak, Kabupaten Gunung Mas, selain
itu juga kasus korupsi di Bupati Biak yang ditangkap kemarin, juga kasus mantan
Gubernur Papua Pak Barnabas Suebu kita beritakan, kalaupun ada kader dari Partai
Demokrat yang korupsi pun akan Kita beritakan juga misalnya kasus Hambalang”.
Harian Kedaulatan Rakyat melihat isu korupsi elite lokal disebabkan tidak adanya
hukuman yang mengakibatkan efek jera maksimal bagi pelaku korupsi. Banyak pelaku
korupsi yang dihukum ringan sehingga solusinya memberantas korupsi elite lokal adalah
harus ada aturan, dan hukuman maksimal kepada koruptor untuk memberikan efek jera,
harian Kedaulatan Rakyat sepertinya cukup hati-hati mengangkat kasus-kasus korupsi
elite daerah, ini terlihat dari pendapat Octo Lampito Pemred harian Kedaulatan Rakyat,
yaitu “Kami akan tetap memuat kasus-kasus korupsi elit lokal asal sudah ada kepastian,
misalnya pasti tersangka, atau pasti terpidana, karena menurut Kedaulatan Rakyat sebuah
media itu harusnya berlandaskan fakta hasil investigasi bukan mencari-cari atau
dihubung-hubungkan karena bagi Kedaulatan Rakyat itu tidak baik dan lebih pada
menuduh orang tanpa bukti yang kuat”
Isu dinasti politik ini menjadi salah satu berita yang banyak menyita perhatian
publik, terutama ketika dinasti politik Banten, yaitu Ratu Atut menjadi terpidana di KPK.
Kementrian Dalam Negeri yang mempunyai otoritas dalam pemerintahan daerah melalui
Dirjen Otonomi Daerah berpendapat, bahwa “Pandangan Kemendagri sangat jelas
terhadap dinasti politik, bahwa akan ada pengaturan tentang dinasti politik, pengaturan
tersebut setingkat Undang-Undang, karena dalam data Kemendagri dari 524 daerah
otonom sampai bulan agustus 2014 sudah 332 Bupati dan Walikota yang masuk menjadi
pasien KPK, Polisi dan Kejaksaan. Jadi akan ada kebijakan bahwa calon yang
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
175
mempunyai hubungan darah dan atau perkawinan ke atas dan ke samping dengan
incumbent tidak boleh mencalonkan diri kecuali setelah 5 tahun”. Sementara itu menurut
Ketua Revisi Undang-Undang Pemerintah Daerah, “Sebenarnya saya melihat dinasti
politik ini tidak masalah, namun ketika dinasti ini memanfaatkan fasilitas dan sumbersumber daya lokal untuk kepentingan diri dan keluarganya itu baru bermasalah dan tidak
fair, sehingga dalam Undang-Undang nanti ada pengaturannya bahwa ada tenggang
waktu 5 tahun bagi istri, anak, famili incumbent untuk ikut pemilihan kepala daerah,
sebenarnya kalau di negara maju dinasti politik ini tidak masalah karena civil society di
sana sudah mapan dan dapat melakukan kontrol terhadap pemerintah”. Dua pendapat dari
penjaga gawang pemerintah daerah diatas secara eksplisit menolak praktek politik
dinasti, karena dikuatirkan aktor yang mempunyai kedekatan dengan dinasti politik akan
menggunakan sumber daya lokal untuk kepentingan dinasti politik tersebut.
Lebih lanjut, menurut Purwo Santoso, “Sebenarnya dinasti politik ini adalah fakta
sosiologis di Indonesia, fakta itu ada dan hidup di masyarakat, faktanya ada patron-patron
yang beroperasi di lapangan, para patron tadi bekerja untuk menjamin kepatuhan, dan
tidak selalu patron itu jahat atau buruk, untuk kasus Ratu Atut memang sudah lama di
diagnosa buruk, karena ini sebenarnya perpindahan dari kator tidak resmi menjadi aktor
resmi, sehingga sebenarnya bahan korupsi itu sudah ada sejak dulu, dan dinasti seperti itu
yang seharusnya diputus, namun jangan mengingkari bawa fakta sosiologis di Indonesia
dinasti atau patron itu ada”.
Harian Kompas melihat isu dinasti politik ini merupakan hasil sampingan yang
buruk dari otonomi daerah, pada satu sisi kebijakan otonomi daerah dapat
memberdayakan rakyat daerah dan memunculkan pemimpin lokal yang baik, tetapi pada
sisi lain otonomi daerah dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk kepentingan dirinya dan
keluarganya, sehingga solusinya menurut harian Kompas harus ada pengusutan kasuskasus korupsi akibat politik dinasti hingga tingkat lokal untuk memberikan efek jera.
Lebih lanjut, menurut Bambang Sigap Sumantri , “Kami melihat dinasti politik tidak baik
untuk Indonesia, tidak hanya di pemerintahan namun juga partai politik, karena ini akan
mematikan regenerasi, sehingga Kompas sangat keras dalam isu dinasti politik ini,
misalnya untuk kasus Ratu Atut bisa dilihat bagaimana Kompas memberitakan perilaku
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
176
Ratu Atut dengan keluarganya, pada satu sisi Kompas menyoroti perilaku Ratu Atut dan
keluarganya yang gemar pamer kemewahan dan hedonisme, pada sisi lain Kami meyoroti
bagaimana potret infrastuktur jalan yang rusak, kesehatan dan kemiskinan yang masih
tinggi di Provinsi Banten, dan untuk pemberitaan Atut ini Kami memberikan perhatian
khusus dengan beberapa kali menurunkan berita tentang dinasti politik Ratu Atut dan
korupsinya”.
Harian Jurnal Nasional melihat dinasti politik ini adalah pencerminan dari sistem
politik yang feudal. Dinasti politik menurut harian Jurnal Nasional lahir dari sistem
partai politik yang tradisional, sehingga solusinya rekruitmen partai politik harus terbuka,
partai politik dalam mengusung calon kepala daerah atau legeslatif bukan dari anggota
dinasti politik, lebih lanjut menurut Budi Winarno “Kami mengharamkan dinasti politik,
contohnya pada kasus Ratu Atut, Jurnal Nasional menurunkan berita tersebut menjadi
cover head line, dan kebetulan Pak SBY waktu itu berkomentar bahwa politik dinasti
tidak sehat, dan janji dari DPR waktu itu akan di akomodasi dalam undang-undang, saya
kira itu bagus”.
Menurut harian Kedaulatan Rakyat,
dinasti politik lahir akibat regulasi yang
lemah, ketika undang-undang tidak membatasi dinasti politik. Solusi dalam memberantas
dinasti politik, menurut harian Kedaulatan Rakyat, adalah perlu revisi undang-undang
partai politik atau undang-undang tentang pemerintah daerah, sehingga jabatan publik
tidak dikuasi oleh dinasti politik. Dalam isu ini sepertinya harian Kedaulatan Rakyat
cukup hati-hati menyiarkan berita dinasti politik. Menurut Octo Lampito “Kami tidak
menolak dinasti politik, bagi Kedaulatan Rakyat yang penting pemimpin masyarakat
tersebut mempunyai kemampuan atau kapasitas yang baik menjadi pemimpin dan dipilih
oleh rakyat, jangan hanya dilihat dari keturunan siapa ?, yang menjadi masalah adalah
dinasti politik yang menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri seperti kasus
Ratu Atut”.
Dari berbagai uraian mengenai dinamika agen dalam menyikapi isu otonomi diatas
lebih spesifik kelima isu yang diteliti terlihat bagaimana agen sangat dinamis dalam
menyikapi suatu isu. Ada yang mendukung ada pula yang menentang, ada yang sepaham
ada pula yang kurang sepaham. Dinamika agen ini akan sulit dijelaskan jika hanya
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
177
dengan analisis intrumentalis ataupun strukturalis yang cenderung melihat dari satu sisi,
yaitu sisi media sebagai instrumen penguasa dan pemilik modal; atau strukturalisme
dimana struktur sebagai kesatuan monolitik dan statis serta mengabaikan kapasitas agen
sosial
atau instrumentalisme yang hanya melihat media sebagai intrumen dominasi
penguasa atau pemilik modal dalam isu otonomi daerah ini.
Di atas telah digambarkan bagaimana agen dan dinamika interaksi antaragen dalam
membedah isu otonomi daerah. Selanjutnya, penelitian ini akan mengelaborasi mengeni
struktur dan strukturasi. Giddens (1984:17) mendifiniskan Struktur adalah “propertiproperti yang berstruktur (aturan dan sumberdaya) properti yang memungkinkan praktik
sosial serupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu dan yang
membuatnya menjadi bentuk sistemik”. Lebih lanjut menurut Giddens (1984:25)
“Struktur selalu mengekang (constraining) maupun membebaskan (enabling) tindakan”.
Dengan demikian, agen dapat melakukan berbagai hal yang dapat agen lakukan, karena
bagi Giddens memang sruktur dapat memaksa agen, tetapi struktur bukan kekangan atau
kurungan bagi agen.
Menurut Giddenss (1984:17), “Struktur serta merta muncul dalam sistem sosial,
struktur menjelma dalam ingatan agen yang berpengetahuan banyak”, sedangkan sistem
sosial, adalah “sebagai praktik sosial yang direproduksi antara aktor dan kolektivitas yang
diorganisir sebagai praktik sosial tetap”. Dari uraian ini dapat dilhat bahwa menurut
Giddens ada tindakan yang seringkali tidak diharapkan oleh agen, tetapi harus dilakukan
agen. Akibat dari kondisi ini ada umpan balik dari tindakan, artinya kondisi ini dapat
mengendalikan agen, tetapi agen juga dapat terus berupaya untuk mengendalikan suatu
keadaan. Sebenarnya agen dan struktur bukan merupakan dua hal yang berdiri sendiri
(dualism) tetapi lebih condong pada dualitas, karena menurut Giddens (1984:25)
“Strukturasi adalah meliputi hubungan dialektika antara agen dan struktur, sruktur dan
agen adalah dualitas, struktur tidak akan ada tanpa agen dan begitu pula sebaliknya”.
Jika dibedah lebih mendalam, kelima isu di atas terlihat bagaimana kontradiksikontradiksi media dalam menyikapi isu otonomi daerah, serta dapat dilihat bagaimana
interaksi sosial antar para agen di atas baik dalam bentuk aliansi maupun konflik dalam
menyikapi isu otonomi daerah. Misalnya isu mengenai Pemilihan Kepala Daerah dan
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
178
Keistimewaan Yogyakarta disikapi secara kritis oleh harian Kompas dan Kedaulatan
Rakyat, namun oleh harian Jurnal Nasional ditanggapi secara postif. Pada isu-isu yang
lain telihat bagaimana harian Kompas dan harian Jurnal Nasional mempunyai perspektif
yang sama, misalnya isu dinasti politik, pemekaran daerah dan korupsi elit lokal, tetapi
pada sisi yang lain harian Kedaulatan Rakyat sebagai harian daerah tidak terlalu tampak
kritis menanggapi isu dinasti politik dan korupsi elit lokal.
Kelima isu otonomi daerah yang dimuat oleh ketiga media di atas dapat dilihat
sebagai suatu kesatuan bahwa dinamika pers pasca Orde Baru tidak bisa diamati sebagai
instrumen dari struktur yang monolitik ataupun instrumen dari satu kelompok tertentu
saja. Ketiga media yang menyiarkan lima isu otonomi daerah tersebut secara lebih dalam
mencerminkan suatu pergulatan ideologis, di mana dalam isu otonomi daerah ada prosesproses legitimasi dan delegitimasi, hegemoni, dan kontra hegemoni yang berlangsung
secara bersamaan.
Memang struktur politik dan ekonomi pasca-Orde Baru bukan suatu struktur yang
monolitik seperti pada zaman Orde Baru. Namun apabila dilihat dari fakta ketiga media,
ada persamaan dan perbedaan dalam menyiarkan lima isu otonomi daerah yang diteliti,
dapat dilihat sebagai suatu struktur alternatif, yang memberikan tempat bagi suatu
wacana alternatif. Contohnya harian Kedaulatan Rakyat dalam menyiarkan berita
mengenai Keistimewaan Yogyakarta, atau harian Kompas dalam menyiarkan berita
mengenai Pemilihan Kepala Daerah, struktur wacana alternatif ini mempunyai potensi
untuk menjadi oposisi dari struktur wacana yang direproduksi atau dikembangkan oleh
agen Pemerintah Pusat. Disertasi ini nampak kontribusi media yang diteliti untuk
memberikan wacana alternatif dalam isu otonomi daerah yang diteliti.
6.2.2. Rules dan Resource
Dalam konsepsi teori Strukturasi Giddens (1984), agen adalah pelaku-pelaku yang
nyata dalam arus kontinyu antara tindakan dan peristiwa, sedangkan struktur adalah
“aturan (rulers) dan sumberdaya (resource)” yang terbentuk dan membentuk dari
perulangan praktik sosial. Bagi Giddens (1984), struktur tidak bersifat eksternal seperti
teori strukturalisme yang memandang struktur berada di luar dan mengekang pelaku,
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
179
keluwesan teori Strukturasi Giddens dapat dilihat dari bagaimana Giddens mendefiniskan
struktur, sistem, dan strukturasi.
Tabel XXIV
Struktur, Sistem dan Strukturasi
Struktur
Aturan dan Sumber Daya,
atau seperangkat relasi
transformasi, terorganisasi
sebagai, kelengkapankelengkapan dari sistemsistem sosial
Sistem
Strukturasi
Relasi-relasi yang
direproduksi di antara para
aktor atau kolektivitas,
terorganisasi sebagai
praktik-pratik sosial regular
Kondisi-kondisi yang
mengatur keterulangan atau
transformasi strukturstruktur dan karenanya
reproduksi sistem-sistem
sosial itu sendiri.
Dari bagan di atas terlihat bagaimana Giddens berusaha untuk melepaskan diri dari
sosiologi ortodoks yang melihat penggunaan struktur sebagai karakter tetap, serta
mekanis sehingga struktur dimaknai sebagai sesuatu yang mengekang, dan diluar
tindakan manusia sehingga mengekang inisiatif manusia yang mandiri. Dalam konsepsi
struktur, Giddens mengenalkan konsep rulers (aturan) dan resource (sumber daya)
yang terbentuk dan membentuk pengulangan praktik sosial.
Rulers
(aturan) dan
resource (sumber daya) dari konsep struktur Giddens dalam disertasi dimaknai secara
meso dan makro. Secara meso dapat dilihat pada diri media tersebut ketika menyiarkan
lima isu otonomi daerah, bagaimana media menyikapi struktur (rulers dan resource)
dalam diri media tersebut, termasuk di dalamnya tentang kepemilikan dan kedekatan
dengan penguasa. Pada tataran makro dapat dilihat ketika media tersebut berhadapan
dengan rulers (aturan) dan resource (sumber daya) yang ada, misalnya struktur politik
dan ekonomi dari suatu rezim pemerintahan.
Dalam tataran makro, pada tahun 2012-2013 pemerintah dan parlemen tengah
melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah, beberapa pasal hendak direvisi dan diperbaiki. Selain merubah
undang-undang diatas, pemerintah dan parlemen tengah membuat Undang-Undang
Tentang Keistimewaan Yogyakarta, dalam kajian pemerintahan daerah undang-undang
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
180
mengenai Yogyakarta ini masuk dalam domain desentralisasi asimetris. Dengan otorisasi
dan sumberdaya (resource) yang dimiliki pemerintah, dan parlemen berbagai isu
mengenai pemerintahan daerah dibahas. Pembahasan mengenai dua undang-undang di
atas kemudian menjadi isu yang diangkat oleh media, dari tiga media yang diteliti ada
lima isu yang menonjol yaitu, pemekaran daerah, pillkada langsung, korupsi elit lokal,
dinasti politik, dan keistimewaan Yogyakarta.
Salah satu hasil hasil pembahasan tentang revisi undang-undang pemerintah daerah
di parlemen adalah mengenai pemilihan kepala daerah yang semula dipilih langsung oleh
masyarakat, diubah menjadi pemilihan tidak langsung, pemilihan kepala daerah
dilakukan oleh anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Untuk pembahasan
mengenai undang-undang Yogyakarta, pemerintah mengajukan usul bahwa Sultan tidak
secara otomatis menjadi Gubernur Yogyakarta. Dua isu ini kemudian menjadi isu hangat
di publik, dan media massa memberikan panggung untuk perdebatan isu-isu ini.
Dalam tataran meso (media), dari tiga media yang diteliti, dapat dilihat bagaimana
rulers dan resource ini cukup berpengaruh, dan terlihat derajat pengaruhnya berbeda.
Ada yang mengekang secara ketat, ada yang cukup mengekang sehingga agen mampu
atau dapat menyiasati kekangan tersebut, dan ada yang cukup bebas dari kekangan. Dari
fenomena ini dapat dilihat bahwa ortodoksi sosiologi yang mengatakan struktur itu
mengikat agen pada disertasi ini dapat dikatakan tidak seluruhnya benar.
Media yang mempunyai derajat kekangan yang terlihat cukup kuat dan agen pada
posisi yang cukup lemah adalah harian Jurnal Nasional. Apabila dianalisis dengan
analisis instrumentalis, ketika pers sebagai instrumen dominasi penguasa dan pemilik
modal, maka harian Jurnal Nasional adalah contoh media yang tepat. Jurnal Nasional
sebagai media yang dekat kekuasaan dan pemerintah, terutama dengan Presiden SBY,
terlihat dominasi penguasa dan pemilik modal dalam media ini cukup mencolok. Jika
ditelusuri dari lima isu yang diteliti, terlihat harian Jurnal Nasional memiliki frame yang
mendukung berbagai kebijakan pemerintah.
Hasil wawancara mendalam dengan Pemimpin Redaksi Jurnal Nasional juga
semakin mengukuhkan adanya kedekatan tersebut. Salah satu bukti dari kedekatan itu
adalah
terlihat dari agen di harian Jurnal Nasional yang tidak cukup mempunyai
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
181
otonomi dalam menyikapi isu-isu otonomi daerah. Misalnya menurut Budi Winarno,
“Redaksi Jurnal Nasional sering menjadikan Staf Khusus Presiden Bidang Pemerintahan
Daerah Velix Wanggai sebagai narasumber, bahkan jika ada permasalahan khusus
tentang pemerintahan daerah atau otonomi, media Jurnal Nasional meminta waktu
khusus dari Velix Wanggai untuk sowan berdiskusi tentang suatu isu otonomi daerah”.
Pada kasus yang lain, misalnya pemberitaan mengenai
isu korupsi elit lokal,
terlihat harian Jurnal Nasional lebih banyak menyoroti Presiden SBY memberikan izin
pemeriksaan terhadap pejabat publik, sepertinya harian Jurnal Nasional menempatkan
posisi sebagai “public relation” (PR) bagi pemerintahan Presiden SBY. Dalam
wawancara dengan Pemred Jurnal Nasional memang diakui bahwa “……ini juga segaris
dengan arahan pendiri Jurnal Nasional, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
yaitu siapapun di muka hukum adalah sama”. Pada isu yang lain Pemilihan Kepala
Daerah dan Ke Istimewaan Yogyakarta, frame harian Jurnal Nasional sama dan
sebangun dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Dalam Negeri.
Dalam penelitian ini, harian yang mempunyai kekangan cukup kuat tetapi agen di
dalamnya mampu menyiasati kekangan tersebut adalah harian Kedaulatan Rakyat.
Sebagai koran daerah senior dan tetap dapat hidup sampai sekarang, sedangkan korankoran seangkatan Kedaulatan Rakyat sudah banyak yang almarhum, memperlihatkan
bagaimana agen mampu menyiasati tekanan yang berada dari dalam media maupun luar
media. Dari dalam media misalnya dapat dilihat pada isu korupsi elit lokal dan dinasti
politik. Kedua isu tersebut mengenai langsung kepada salah satu pemilik harian
Kedaulatan Rakyat, yaitu isu korupsi elite lokal yang menyentuh pada Idham Samawi,
salah satu pemilik harian Kedaulatan Rakyat.
Pada saat penelitian ini dilakukan, Idham Samawi dijadikan tersangka oleh
Kejaksaan Kabupaten Bantul atas dakwaan mengenai dana hibah KONI sebesar Rp 12.5
Milyar. Ketika Beliau menjadi Bupati Bantul. Untuk menyiasati berita tersebut supaya
tetap disiarkan, maka yang dilakukan oleh harian Kedaulatan Rakyat menurut Octo
Lampito Pemred Kedaulatan Rakyat adalah “Untuk kasus mantan Bupati Bantul Pak
Idham Samawi yang menjadi tersangka kasus korupsi di Kejaksaan Bantul, Kedaulatan
Rakyat tetap memberitakan kasus tersebut dengan melakukan verivikasi atau chek dan
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
182
richek termasuk ke Pak Idham Samawi dan hasil dari itu kemudian baru dimuat semua”.
Metode yang sama juga dilakukan untuk mengangkat isu dinasti politik yang juga
menyerempet keluarga Idham Samawi, karena setelah selesai menjabat selama 10 tahun
di Kabupaten Bantul, penggantinya adalah Sri Widati, yang merupakan isteri Idham
Samawi.
Tekanan dari luar media dapat dilihat bagaimana cara survive atau penyiasatan
harian
Kedaulatan Rakyat
pada penelitian Efendi Ghazali dkk (2000:309)
yang
berjudul “Antara Benci dan Banci Terhadap Rezim”. Dari penelitian tersebut dituliskan
bagaimana pengelola harian Kedaulatan Rakyat menyiasati pemberitaan demonstrasi
mahasiswa di Yogyakarta. Pada bulan Mei 1998 mahasiswa Yogyakarta melakukan
demonstrasi di bundaran UGM dan membakar replika patung Presiden Suharto. Seluruh
media dipanggil oleh aparat keamanan lokal untuk tidak memuat berita tersebut, namun
harian Kedaulatan Rakyat tetap memberitakan demonstrasi tersebut, tetapi tidak
menyiarkan pembakaran patung Presiden Suharto.
Media yang relatif terbebas dari kekangan dalam penelitian ini adalah harian
Kompas, sebagai harian nasional yang besar dengan jumlah tiras serta iklan yang besar,
maka agen pada harian Kompas lebih dapat membuat berbagai wacana mengenai isu
otonomi daerah, beberapa wacana yang di sodorkan terlihat cukup kritis dan menjadi anti
tesa dari wacana yang digulirkan oleh agen dari Pemerintah Pusat. Hal ini dapat dilihat
pada isu Pemilihan Kepala Daerah, dan Isu Keistimewaan Yogyakarta.
Jika di atas telah dibahas secara meso (media) bagaimana rulers dan resource
berperan, berikut ini akan dibahas dalam tataran makro bagaimana peran dari rulers dan
resource tersebut.
Setelah Orde Baru tumbang, berbagai peraturan diganti yang baru. Berbagai
Undang-Undang yang mengekang dan bercorak sentralistis diganti menjadi lebih
demokratis, termasuk peraturan mengenai Pers dan Media19 serta Pemerintahan Daerah20.
Ketika peraturan dari negara tidak terlalu menjadi tantangan lagi, maka tantangan
19
Ishadi SK (2000:228) izin penerbitan surat kabar dan majalah yang pada zaman Orde Baru terdiri dari
14 syarat diringkas menjadi tiga syarat, izin penerbitan diberikan dalam waktu tiga sampai tujuh hari.
20
Ryaas Rasyid dkk (2007:142-143).
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
183
terbesar dari media adalah kekuatan kapital karena bagaimanapun juga media harus
hidup dan untuk hidup itu media memerlukan aliran kapital (modal)21. Runtuhnya Rezim
Orde Lama dan munculnya Rezim Orde Baru membawa pers ke ideologi komersial
(Dhakidae, 1991). Untuk itu media harus mampu menjual produknya kepada pembaca
(pasar) sehingga media mendapatkan pemasukan dari pelanggan dan ketika pelanggan
dan pembaca sudah banyak maka akan semakin mudah dilirik oleh pengiklan (iklan).
Ketika pelanggan banyak dan aliran iklan deras maka media tersebut secara
financial dapat dikatakan sehat. Namun masalahnya pada saat ini persaingan dan
pertarungan dalam memperebutkan pembaca dan pengiklan bagi media bukan barang
yang mudah, informasi dari Media Scene (2012) terlihat penikmat kue iklan nasional
hanya dinikmati oleh media-media besar saja, sedangkan media daerah tidak ikut
menikmati kue iklan besar tersebut, misalnya media daerah terutama di Yogyakarta hidup
dari pelanggan, bukan dari iklan.
Fenomena perebutan pelanggan dan iklan jika dilihat dalam disertasi ini dapat di
contohkan pada kasus harian Kompas. Salah satu alasan mengapa misalnya harian
Kompas terlihat serius mengarap isu otonomi daerah karena Kompas berusaha untuk
memelihara pasar di daerah. Semenjak reformasi bergulir serta kebijakan otonomi daerah
di keluarkan, Kompas memang terlihat secara serius fokus untuk memelihara pangsa
pasar daerah, sesuai dengan pendapat Bambang Sigap Sumantri berikut: “sejak tahun
2000 dulu ada satu halaman khusus untuk memotret otonomi daerah kemudian kita
bukukan menjadi 5 buku tetang potret otonomi daerah, kemudian untuk selanjutnya
Kompas konsisten mengangkat banyak hal tentang otonomi daerah, otonomi itu kan tidak
hanya dari segi pemerintahan, namun juga masyarakat yang berdaya upaya setelah ada
otonomi daerah, contohnya dalam 5 tahun ini setiap sabtu di Kompas itu ada halaman
Tanah Air, dalam halaman itu Kompas memotret kekinian dari daerah-daerah seluruh
Indonesia yang berprestasi dan unik, Kita juga punya halaman nusantara, biasanya
halaman 23 atau 24 itu satu halaman sendiri memotret tentang perkembangan daerah,
soalnya ini ada hubungan dengan sirkulasi, misalnya kalau ada berita tentang
21
Lihat tulisan Mosco (1996), Dhakidae (1991), Dedy Nur Hidayat (2000), Triputra (2000), Basri dan
Iswara (2000).
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
184
Banyuwangi seperti kemarin, itu biasanya bagian sirkulasi minta tambahan tiras ke
Banyuwangi”.
Harian Kedaulatan Rakyat pada isu Keistimewaan Yogyakarta, mempunyai
kedekatan kultural antara Keraton dan harian Kedaulatan Rakyat seperti yang
diungkapkan oleh Octo Lampito “Kedekatan Kedaulatan Rakyat dengan Kasultanan itu
kedekatan historis dan kultural, dan ini komitment kami dalam menjaga budaya ini”.
Namun, harus dipahami bahwa 80% pasar (market) Kedaulatan Rakyat ada di Provinsi
Yogyakarta. Begitu juga penyikapan harian Kedaulatan Rakyat pada isu Pemilihan
Kepala Daerah, karena agak aneh mengapa harian Kedaulatan Rakyat lebih mendukung
Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada level gubernur, sedangkan di Yogyakarta
sendiri gubernur otomatis Sri Sultan Hemengkubuwono. Menurut Octo Lampito mengapa
harian Kedaulatan Rakyat lebih memilih Pemilihan Kepala Daerah Langsung yaitu
“Bagi Kedaulatan Rakyat pilkada langsung dapat menambah pemasukan dari iklan,
dengan adanya pilkada langsung banyak iklan-iklan masuk dari berbagai daerah di Jawa
Tengah, seperti kemarin dari Kendal, Magelang, Purworejo, Klaten, dan juga pemilihan
Gubernur Jawa Tengah, dan kalau ada pilkada itu iklan dari government naik”.
Dari berbagai ilustrasi di atas dapat terlihat bagaimana agen media harus bersiasat
agar tetap dapat hidup (survive), di tengah persaingan yang semakin ketat dalam bisnis
media. Jika selama Orde Baru rulers dan resource dapat dimaknai sebagai peraturan
ataupun undang-udang yang mengekang media, maka pada era reformasi kekuatan
kapital lebih dominan dalam mengekang media sehingga media harus bersiasat agar
mereka tetap bisa hidup dalam persaingan industri bisnis media yang semakin ketat.
6.2.3. Dualisme dan Dualitas Struktur
Dari penelusuran-penelusuran di atas akhirnya membawa penelitian ini untuk
mengaitkan analisis mikro, meso, dengan makro. Dengan mengaitkan tiga analisis
tersebut maka pendekatan yang paling realitis digunakan adalah dengan menggunakan
teori Strukturasi yang memungkinkan adanya interaksi antara struktur dan agensi. Jika
mengunakan pendekatan lain maka dikhawatirkan akan terjebak dalam salah satu
ortodoksi dan tidak dapat menjawab pertanyaan besar dari disertasi ini.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
185
Secara garis besar ada dua ortodoksi22 yaitu ortodoksi instrumentalis dan ortodoksi
strukturalisme. Dalam pendekatan instrumentalis pers dilihat sebagai instrumen dari
pemilik rezim dan atau pemilik modal, sedangkan analisis strukturalis yang berpendapat
bahwa struktur itu kesatuan yang monolitik dan menafikan human agen untuk melakukan
respon terhadap keadaan sosial. Pada sisi lain jika dalam disertasi ini mengabaikan
faktor-faktor struktural, dan kemudian lebih berat menonjolkan human agen, yaitu peran
jurnalis sebagai agen pelaku yang mampu membuat media sebagai tempat aktualisasi
dalam suatu perubahan sosial, tentunya juga kurang tepat. Dalam industri media, sehebat
apapun jurnalis tersebut, pasti akan menghadapi tembok pemilik modal dan pemilik
kuasa birokrasi media.
Jika dilihat dari fakta-fakta yang ditemukan dalam penelitian disertasi ini, dapat
dijelaskan bahwa ada media yang dapat dibedah dengan analisis instrumentalis dan
strukturalis, pada sisi yang lain ada media yang lebih tepat dijelaskan dengan pendekatan
strukturasi.
Harian Jurnal Nasional akan lebih tepat jika dijelaskan dengan analisis
instrumentalis atau strukturalisme, pada harian Jurnal Nasional apabila dilihat dari
struktur organisasi media dan struktur industri media terlihat harian Jurnal Nasional tuna
kuasa. Dari struktur organisasi media, kedekatan dengan penguasa yaitu Presiden SBY
menjadikan harian Jurnal Nasional sepertinya tidak mempunyai pilihan lain selain untuk
menjadi harian corong atau public relations dari penguasa. Dari kelima isu yang diteliti
terlihat framing dari isu-isu otonomi daerah yang disiarkan harian Jurnal Nasional
mendukung kebijakan dari Pemerintah Pusat, dan ini dikuatkan dari wawancara dengan
Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional. Posisi harian Jurnal Nasional ini dikemudian
hari ternyata tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup harian Jurnal Nasional.
Dalam peta persaingan industri media terlihat indikasi tidak sehatnya perusahaan media
Jurnal Nasional, indikasi ini dapat dilihat semakin melorotnya tiras harian Jurnal
Nasional dari 50.000 eksemplar menjadi 30.000 eksemplar, selain itu juga pendapatan
iklan tidak terlalu mengembirakan. Kasus harian Jurnal Nasional ini lebih tepat dilihat
dengan pendekatan dualisme bukan dualitas antara strukur dan agen.
22
Lihat Hidayat (2000:436)
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
186
Dua media lain yang diteliti yaitu harian Kedaulatan Rakyat dan harian Kompas,
terlihat mempunyai derajat perbedaan jika dibedah dengan pendekatan strukturasi.
Harian Kedaulatan Rakyat sebagai harian lokal yang lahir dan besar di daerah
mempunyai tantangan yang jauh lebih rumit daripada harian Kompas yang lahir dan besar
di Jakarta serta mempunyai pangsa pasar yang luas. Harian Kedaulatan Rakyat dalam
penelitian ini mempunyai dua tantangan yaitu pertama dari struktur organisasi media dan
kedua industri media, pada tantangan pertama dari struktur organisasi media ditemukan
fakta bahwa pemilik harian Kedaulatan Rakyat pada saat ini menjadi tersangka kasus
korupsi ketika Idham Samawi menjadi Bupati di Kabupaten Bantul.
Fakta selanjutnya yang menggantikan Beliau menjadi Bupati Bantul pada saat ini
adalah istri Beliau sendiri, dua fakta ini membuat harian Kedaulatan Rakyat terlihat
berhati-hati dalam menyiarkan isu mengenai korupsi elite lokal dan dinasti politik. Hal
ini dapat dilihat dari frame harian Kedaulatan Rakyat ketika menyiarkan dua isu diatas,
dan fakta ini dikuatkan dari wawancara dengan Pemred harian Kedaulatan Rakyat.
Namun pada sisi yang lain harian Kedaulatan Rakyat tidak menahan berita yang
menyangkut pemilik harian ini. Isu-isu tentang korupsi elite lokal dan dinasti politik yang
menyangkut pemilik harian Kedaulatan Rakyat tetap ditayangkan, dengan cara
memberikan kesempatan pada semua narasumber untuk mengungkapkan informasi sesuai
versi masing-masing.
Tantangan kedua yaitu struktur industri media, posisi harian Kedaulatan Rakyat
yang berada di daerah membuat harian ini harus mempunyai strategi untuk tetap hidup
(survive). Pada saat ini terjadi persaingan ketat pada industri media, media harus dapat
hidup dengan menjaga dan meningkatkan pendapatan dari berbagai sektor, antara lain
pembaca, pengiklan, dan investor. Pada saat ini harian Kedaulatan Rakyat merupakan
harian yang praktis menguasai pasar di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya 23. Fakta ini
dikuatkan dalam wawancara dengan Pemred harian Kedaulatan Rakyat bahwa tiras
harian ini mencapai 100.000 eksemplar dengan 80% berada di wilayah Yogyakarta.
Selain pembaca pendapatan harian Kedaulatan Rakyat ditopang dari iklan. Namun jika
dilihat dari data di Media Scene (2012), iklan yang masuk untuk Kedaulatan Rakyat
23
Lihat data Media Scene 2012
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
187
secara nasional kurang menggembirakan, tapi untuk media di wilayah Yogyakarta dan
sekitarnya pendapatan iklan harian Kedaulatan Rakyat tetap nomor satu. Untuk menjaga
dua pilar pemasukan tersebut maka harian Kedaulatan Rakyat harus dapat menyajikan
berita-berita yang menarik untuk di konsumsi oleh pembaca. Dengan pembaca semakin
meningkat iklan juga akan meningkat. Pada sisi ini membuat jurnalis di harian
Kedaulatan Rakyat harus kreatif untuk dapat tetap bertahan dan tidak hilang seperti
harian daerah lainnya.
Penuturan dari Pemred harian Kedaulatan Rakyat menarik untuk di diskusikan,
tekanan pada struktur industri media sangat dirasakan oleh harian lokal seperti
Kedaulatan Rakyat, apalagi sekarang di Yogyakarta muncul kompetitor koran lokal yang
hanya dijual Rp 1.000 rupiah. Koran lokal tersebut dapat menjual dengan harga murah
karena mendapat support dari harian besar nasional, harian tersebut bernama “Tribun
Yogya”. Pada awal mula harian Tribun Yogya beredar menurut penuturan Octo Lampito,
tiras dari harian Kedaulatan Rakyat sempat jatuh (drop), bahkan harian Kedaulatan
Rakyat mengadukan hal ini kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), tetapi
tidak ada hasil sama sekali, untuk mensiasati hal tersebut maka harian Kedaulatan Rakyat
mengambil sikap untuk lebih dalam menggali kemauan dari masyarakat Yogyakarta,
karena menurut Octo Lampito
“Kita harus tahu nafasnya Yogya itu bagaimana,
sehingga kemudian menemukan resep bahwa koran Yogya harus digarap dengan
kacamata orang Yogya”.
Resep ini ternyata cukup bagus sehingga kemudian tiras harian Kedaulatan Rakyat
kembali seperti semula. Siasat yang lain adalah menaikan iklan. Salah satunya, menurut
Octo Lampito, dengan mendukung isu Pilkada Langsung. Lebih lanjut diterangkan oleh
Octo Lampito, bahwa Pilkada Langsung itu merupakan hak rakyat untuk menentukan
pemimpin daerah mereka, dan jika Pilkada tidak langsung maka dikawatirkan pimpinan
daerah tersebut akan tersandera oleh DPRD, dan akan membuat korupsi makin parah.
Namun pada sisi yang lain Octo Lampito juga mengatakan dengan adanya Pilkada
Langsung membuat pendapatan iklan di harian Kedaulatan Rakyat naik cukup lumayan,
karena yang beriklan tidak hanya di seputar wilayah Yogyakarta tetapi juga Jawa Tengah,
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
188
baik itu menjadi bupati, walikota maupun gubernur, dan tentunya bukan Gubernur
Yogyakarta.
Harian Kompas sebagai harian nasional yang mempunyai tiras sampai 500.000
eksemplar dan pemasukan iklan yang besar24, serta mempunyai jaringan tersebar di
seluruh Indonesia, dalam penelitian ini tidak terlihat mempunyai masalah seperti harian
Jurnal Nasional dan harian Kedaulatan Rakyat. Jika dilihat dari lima frame harian
Kompas terlihat posisi harian Kompas cukup kritis terhadap isu-isu otonomi daerah yang
diteliti. Permasalahan dalam struktur organisasi dan struktur industri media terlihat tidak
terlalu pelik seperti kasus harian Jurnal Nasional
dan harian Kedaulatan Rakyat.
Interaksi antar agen juga berjalan baik.
Tantangan ke depan bagi harian Kompas adalah mempertahankan bahkan jika bisa
meningkatkan tiras dan pendapatan harian Kompas dari pembaca dan iklan. Strategi awak
media di harian Kompas adalah dengan cara menggarap dan menyiarkan isu-isu yang
berhubungan dengan lokal (daerah). Salah satu indikasinya adalah pada awal kebijakan
otonomi daerah diluncurkan harian Kompas membuat halaman khusus yang membedah
otonomi daerah, pada saat ini halaman khusus tersebut memang tidak ada, tetapi bukan
berarti isu otonomi daerah menjadi isu yang tidak penting di harian Kompas.
Halaman otonomi daerah digantikan dengan halaman berjudul Nusantara, dimana
dalam halaman tersebut berisi tentang perkembangan daerah. Keseriusan harian Kompas
dalam menggarap isu daerah juga dapat dibuktikan dengan diterbitkannya lima buku
cukup tebal tentang potret otonomi daerah. Dalam buku tersebut dikupas berbagai isu
otonomi daerah ditingkat kabupaten dan kota serta provinsi di Indonesia. Pada sisi yang
lain, harian Kompas lebih banyak menempatkan wartawannya di desk Nusantara, dimana
dalam desk ini ada sekitar 72 sampai 90 wartawan yang tersebar dari Aceh sampai Papua.
Dengan menggarap isu-isu lokal tersebut menurut Bambang Sigap Sumantri, ada
kenaikan tiras jika ada peristiwa-peristiwa di tingkat lokal.
Dua koran yang diteliti di atas yaitu harian Kedaulatan Rakyat dan harian Kompas
cukup sulit jika hanya dibedah dengan pisau analisis instrumentalis dan analisis
strukturalis, ataupun analisis yang mengabaikan eksitensi faktor-faktor struktural dan
24
Lihat Media Scene (2012)
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
189
hanya menonjolkan human agen. Pisau bedah yang lebih tepat adalah analisis strukturasi,
karena pada dua harian tersebut terlihat interplay antara agen dan struktur, misalnya pada
kasus harian Kedaulatan Rakyat. Apabila dilihat dari struktur organisasi media, ada
hambatan dengan pemilik harian Kedaulatan Rakyat ketika menyiarkan berita mengenai
isu dinasti politik dan korupsi elit lokal, tetapi struktur tersebut tidak mengekang kuat.
Para human agen di harian Kedaulatan Rakyat masih bisa menyiasati hal ini. Begitu juga
dengan masalah struktur industri media yang cukup pelik di harian Kedaulatan Rakyat
dapat diatasi oleh manajemen harian Kedaulatan Rakyat.
Pada kasus harian Kompas terlihat struktur yang dihadapai lebih pada struktur
industri media. Tidak dapat dipungkiri persaingan ketat industri media juga dirasakan
oleh harian Kompas, human agent yaitu para jurnalis di Kompas dituntut untuk dapat
berinovasi mensiasati hal ini, dan itu dilakukan dengan cara semakin intensif menggarap
isu-isu daerah terutama isu mengenai otonomi daerah.
Menurut Hidayat (2000:440-442), cukup sulit jika harus mengamati pers secara
menyeluruh karena mengharuskan mengamati dan membedah struktur suatu multilayered structure, dimaana akan ditemui antara lain sruktur organisasi, struktur indsutri
media, struktur ekonomi politik, dan struktur kapitalisme global. Pada lapis struktur
organisasi dan struktur industri memang lebih mudah diamati, tetapi untuk struktur
ekonomi politik dan struktur kapitalisme cukup sukar untuk diamati melalui tindakan
para agen di sektor industri media.
Pertanyaan besar dalam disertasi ini salah satunya adalah apakah media sebagai
agen mempunyai atau dapat mengubah struktur dari sentralisasi ke desentralisasi.
Merujuk dari pendapat Hidayat di atas, memang cukup pelik untuk membuktikan apakah
media menjadi faktor determinan dalam merubah struktur dari sentralistik ke
desentralistik. Pengamatan dari teks dan human agent media lebih mudah untuk
membuktikan perubahan pada struktur organisasi dan struktur industri. Namun, apabila
dikaitkan dengan adanya fakta bahwa ada dua undang-undang yang disahkan yaitu
mengenai Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan Keistimewaan Yogyakarta, bisa
menjadi suatu bukti bahwa media menjadi salah satu faktor perubahan dua isu diatas. Hal
tersebut dapat dilihat dari dua media yang diteliti yaitu harian Kompas yang merupakan
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
190
harian besar dengan cakupan Nasional, dan harian Kedaulatan Rakyat sebagai koran
lokal yang cukup besar.
Apabila dilihat dari isi teks media, lebih condong untuk mendukung Pemilihan
Kepala Daerah Langsung, karena suara rakyat lebih dihargai, dan menghormati eksistensi
kehendak warga daerah dengan terbitnya Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta,
bagaimanapun juga memberikan kontribusi kepada eskalasi tekanan atau adanya
akumulasi-akumulasi tekanan terhadap penguasa. Namun tentunya perubahan tersebut
tidak hanya dilihat dari faktor media saja, interaksi antar human agen dalam dua isu
tersebut juga menjadi salah satu faktor penting. Misalnya gerakan yang dilakukan
berbagai komponen masyarakat untuk mendesak pemilihan kepala daerah langsung dan
Keistimewaan Yogyakarta juga menjadi salah satu faktor yang menjadi pemantik
perubahan struktur dari sentralistik menjadi desentralistik.
Pada sisi lain, peran media dalam mengusung isu mengenai otonomi daerah juga
dibenarkan oleh Dirjen Otonomi Daerah dan Ketua Team Revisi Undang-Undang
Pemerintah daerah. Meskipun menurut keduanya media tidak terlalu tertarik dengan isuisu yang cukup reflektif misalnya mengenai keberhasilan daerah dalam menjalankan
berbagai kebijakan pada era otonomi daerah. Media lebih tertarik untuk meliput isu-isu
yang bombastis, seperti berbagai persoalan yang membelit daerah, dan ini yang kemudian
dikuatirkan oleh Ryaas Rasyid (2007), muncul gejala-gejala yang sangat menganggu
dalam mengamati implementasi kebijakan otonomi daerah, yaitu adanya kecenderungan
untuk melakukan stigmatisasi pada otonomi daerah. Misalnya, pada saat ini setiap ada
persoalan yang muncul, baik di daerah maupun pusat pemerintahan, selalu otonomi yang
dijadikan persoalan. Untuk lebih jelasnya, berikut akan disajikan rangkuman analisis
berbasis teori strukturasi Giddens yang berhubungan dengan disertasi ini.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
191
Tabel XXV
Analisis Berbasis Strukturasi
Rules-Resource
Aktor/Agen dan Struktur
Pemerintah berusaha
melakukan perubahan UU
Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah.
Beberapa isu mengenai
perubahan tersebut muncul di
media massa.
Ada lima isu yang muncul
yaitu, pemekaran daerah,
pilkada langsung, korupsi
elite lokal, dinasti politik, dan
Keistimewaan Yogyakarta.
Harian Kompas memberikan
panggung yang luas terhadap
isu-isu otonomi daerah, aktoraktor yang mengisi panggung
otonomi daerah di Kompas
beragam dan kritis terhadap
kebijakan otonomi daerah,
terutama untuk isu pilkada
langsung dan Keistimewaan
Yogyakarta.
Walaupun sebenarnya
Keistimewaan Yogyakarta
tidak masuk rezim UndangUndang Nomor 32 Tahun
2004. Namun dalam berbagai
kajian pemerintahan daerah
dapat dimasukan domain
desentralisasi asimetris.
Dua isu yang mencuat
menjadi isu publik yaitu
pilkada langsung dan
Keistimewaan Yogyakarta.
Dengan otorisasi dan
sumberdaya (resource) yang
dimiliki pemerintah
mendorong pilkada tidak lagi
secara langsung, dan
keistimewaan Yogyakarta
tidak lagi menjadikan Sultan
secara otomatis menjadi
Gubernur DIY
Harian Jurnal Nasional
karena dekat dengan
pemerintahan SBY membuat
tidak mudah menyuarakan
isu-isu otonomi daerah yang
berseberangan dengan
penguasa, aktor-aktor yang
muncul adalah para individuindividu yang mempunyai
kedekatan dengan
penyeleggara negara
Harian Kedaulatan Rakyat
sebagai koran daerah cukup
memberikan ruang bagi
aktor-aktor dalam
menyuarakan isu yang
berhubungan dengan lokalitas
yaitu Keistimewaan
Yogyakarta
Pertarungan isu di media,
akhirnya dapat mengubah
keputusan pemerintah untuk
mempertahankan pilkada
langsung dan menetapkan
Sultan sebagai Gubernur DIY
Dualitas Struktur
Harian Kompas
menjadi tempat
persemaian gagasan
otonomi daerah, secara
konsisten Kompas
memberitakan isu-isu
otonomi daerah dengan
kritis, terutama isu
pilkada langsung dan
Keistimewaan
Yogyakarta.
Harian Kedaulatan
Rakyat sebagai harian
lokal menyuarakan
secara konsisten
Keistimewaan
Yogyakarta . Dimana
Sultan secara otomatis
menjadi Gubernur DIY
Kuatnya desakan dari
masyarakat melalui
media akhirnya
mendorong pemerintah
melakukan evaluasi
kebijakan otonomi
daerah.
Kebijakan mengenai
pilkada tidak langsung
kemudian dilakukan
revisi menjadi pilkada
langsung, dan rencana
kebijakan bahwa Sultan
tidak otomatis menjadi
Gubernur DIY direvisi
menjadi Sultan secara
otomatis adalah
Gubernur DIY.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
192
6.2.4. Signifikansi, Dominasi, Legitimasi
Selanjutnya
akan dibedah
3 gugus besar struktur yaitu, pertama struktur
penandaan (signifikansi), kedua struktur penguasaan (dominasi), dan ketiga struktur
pembenaran (legitimasi). Jika dilihat praktek komunikasi dalam isu otonomi daerah di
atas pada dasarnya adalah sebuah proses strukturasi, seperti yang diungkapkan oleh
Giddens (1984) ini adalah proses yang berkelanjutan (interplay) antara struktur yang
memiliki rules dengan agen yang melakukan transformasi sumberdaya. Struktur pada isu
otonomi daerah ini hadir dalam suatu aturan yang dapat dilihat dalam Undang-Undang
Pemerintahan Daerah dan
peraturan-peraturan di bawahnya (Peraturan Menteri,
Peraturan Gubernur, dan Peraturan Bupati/Walikota).
Berbagai peraturan di atas sebenarnya menjadi kerangka agen dalam mencermati
isu otonomi daerah, dan dalam prakteknya terlihat interaksi antar agen dalam hal ini, baik
agen di media massa, maupun di pemerintahan, dan kaum intelektual, akhirnya
membentuk suatu struktur yang baru. Struktur baru ini dapat dilihat dari selalu
bergeraknya bandul Undang-Undang Pemerintahan Daerah, antara sentralisasi dan
desentralisasi dalam 69 tahun Republik ini bediri, dalam delapan kali bergeraknya bandul
isu otonomi daerah antara sentralisasi ke desentralisasi dan sebaliknya. Terlihat di sinilah
peran antar agen dalam komunikasi sebagai upaya signifikansi, sedangkan dominasi
dapat dilihat dengan fenomena hubungan atau relasi antara
pusat dan daerah, dan
legitimasi akan terlihat dari berbagai norma yang diaplikasikan dengan sejumlah sanksi
bagi pelangarnya.
Dalam praktik sosial ini, struktur dapat dilihat pada Undang-Undang Pemerintahan
Daerah Nomor 32 tahun 2004 yang tampaknya mempunyai kelemahan. Kelemahan UU
No 32 tahun 200425 antara lain dapat dilihat dari teks yang di konstruksikan oleh tiga
25
Beberapa Ilmuan Pemerintahan seperti, Syarif Hidayat (2010), Purwo Santoso (2013), Ramlan Surbakti
(2013) bependapat bahwa UU No 32 Tahun 2004 adalah upaya resenstralisasi Pemerintah Pusat secara
halus, misalnya Syarif Hidayat (2010:13) berpendapat “Pertanyaanya, terkait dengan pengaturan relasi
kewenangan pusat daerah, apakah UU No 32 Tahun 2004 berupaya menggeser pendulum sentralisasi ke
arah desentralisasiataukah sebaliknya ?, Bila menilik pasal 10 sampai Pasal 14 UU No 32 Tahun 2004
secara kasat mata diketahui bahwa ketentuan itu sangat kental dengan semangat “resentralisasi”,
sedangkan Purwo Santoso (2013:51) berpendapat “Kita pernah memiliki undang-undang yang
semangatnya pro otonomi yaitu UU No 22 Tahun 1999, ketika pendulum berbalik ayunan, kita sekarang
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
193
surat kabar yang telah diteliti. Ada lima aspek yang mencuat menjadi diskusi publik di
media yaitu, pertama pilkada langsung, kedua korupsi eliet lokal, ketiga dinasti politik
keempat pemekaran daerah, dan kelima keistimewaan Yogyakarta walaupun untuk
Keistimewaan Yogyakarta ini bukan termasuk dalam rezim UU No 32 Tahun 2004, tetapi
masuk dalam Undang-Undang tersendiri.
Kelemahan dari UU No 32 Tahun 2004 tersebut tampaknya banyak disorot oleh
berbagai pihak dan menjadi suatu arena pertempuran para agen untuk menyodorkan
gagasan untuk memperbaiki UU No 32 Tahun 2004. Berbagai gagasan yang disodorkan
oleh para agen lewat komunikasi, baik itu komunikasi lewat media massa maupun
komunikasi antar agen dapat dilihat sebagai schemata signifikasi. Dalam schemata
siginifikasi ini terlihat para agen merasa tidak puas pada lima isu di atas, ketidakpuasan
ini kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan perubahan atau revisi terhadap UndangUndang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004.
Dari lima isu di atas ada 4 isu yang masuk dalam perdebatan perubahan atau revisi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yaitu, pertama
pemilihan kepala daerah langsung, kedua pemekaran daerah, ketiga korupsi elit lokal, dan
keempat dinasti politik. Untuk isu Keistimewaan Yogyakarta merupakan rezim di luar
Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004, meskipun sebenarnya masuk
dalam domain isu otonomi daerah yaitu desentralisasi asimetris.
Dalam schemata signifikasi yang ditunjukan melalui komunikasi ini terlihat tarik
menarik antar agen. Namun pada dasarnya dari 5 isu di atas ada 2 isu yang terlihat tarik
menariknya keras dan 3 isu yang dari awal terhadap kesepahaman. Dua isu yang tarik
menarik keras adalah isu Pemilihan Kepala Daerah dan Keistimewaan Yogyakarta, pada
dua isu ini agen dari Pemerintah Pusat dan Harian Jurnal Nasional melihat bahwa untuk
isu Pemilihan Kepala Daerah harusnya dilakukan tidak secara langsung atau lewat
legislatif daerah (DPRD) dan isu Keistimewaan Yogyakarta harusnya yang menjadi
Kepala Daerah bukan Sultan namun dipilih seperti daerah lainnya.
memiliki UU No 32 Tahun 2004 yang berlaku sampai saat ini dan oleh sebagian kalangan dipandang
bersemangat resentralisasi, artinya regulasi di sini dibuat tidak hanya berdasarkan kalkulasi
berorientasi efisiensi semata, namun ada dimensi pertarungan kepentingan untuk memaknai
desentralisasi”
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
194
Sebaliknya 2 agen media menjadi konter wacana yang direproduksi oleh agen dari
Pemerintah Pusat, dua media tersebut adalah Kompas dan Kedaulatan Rakyat yang
berpendapat bahwa sebaiknya Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan langsung oleh
rakyat dan Kepala Daerah di Yogyakarta seharusnya secara otomatis adalah Sultan
Yogyakarta. Sementara 3 isu yang lain yaitu, pertama pemekaran daerah, kedua korupsi
elite lokal, dan ketiga dinasti politik, terlihat semua agen sepakat untuk dibenahi, dan
akan dibuat aturan baru. Dari schemata signifikasi ini kemudian ada keterulangan praktik
sosial yang kemudian menjadi sedimentasi mengenai perlunya segera diadakan revisi
Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang
mengenai Keistimewaan Yogyakarta.
Dari praktek keterulangan di atas kemudian menjadi schemata dominasi, di mana
dalam disertasi ini schemata dominasi dilihat dari relasi atau hubungan yang tercipta
antara pusat dan daerah, yang pada awalnya jika di bedah kelima isu yang diteliti terlihat
pusat hendak menguasai/dominasi daerah, ini dapat diketahui dari narasi tentang revisi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, salah satunya
mengenai pilkada langsung, sepertinya pemerintah hendak menarik lagi kuasa
masyarakat untuk menentukan pemimpin di tingkat lokal, dan memberikan kuasa
memilih pemimpin kepada parlemen lokal (DPRD). Namun, praktik penguasaan pusat
tidak dapat 100% dilakukan karena dalam struktur politik dan struktur ekonomi yang
lebih demokratis, pusat terlihat tidak dapat menguasai (dominasi) ke dua struktur
tersebut. Sehingga untuk isu pilkada langsung, dan Keistimewaan Yogyakarta terlihat
Pemerintah Pusat harus melakukan kompromi, tidak dapat memaksakan dominasinya.
Dari schemata dominasi diatas, kemudian muncullah schemata legitimasi dalam
disertasi ini, yaitu norma atau tata hukum yang diaplikasikan dalam hubungan pusat, dan
daerah dengan sejumlah sanksi bagi pelangarnya, baik itu agen pusat, maupun daerah.
Norma atau tata hukum itu dapat dilihat dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 dan Perpu tentang Pilkada Langsung serta Undang-Undang mengenai
Keistimewaan Yogyakarta.
Proses siginifikasi, dominasi, dan legitimasi terkait dengan isu otonomi daerah ini
menunjukkan proses saling keterkaitan (interplay) antara agen dan struktur, serta proses
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
195
produksi dan reproduksi realitas mengenai otonomi daerah akan terus berlangsung. Hal
ini seperti kritik Ritzer (2007) terhadap teori strukturasi Giddens bahwa proses ini seakan
tidak ada ujung, sampai sekarang polemik mengenai kebijakan otonomi daerah tidak ada
yang mengetahui kapan akan berakhir.
Dari uraian di atas terlihat reproduksi sosial berlangsung melalui dualitas struktur
dan praktik sosial seperti di atas. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah para pelaku
sadar atau tahu akan hal tersebut ?, Gidden (1994) menjawab dengan tiga dimensi
internal pelaku yaitu, pertama motovasi tidak sadar, kedua kesadaran praktis, ketiga
kesadaran diskursif.
Dalam mazhab fenomenologi kesadaran praktis ini merupakan
wilayah gugus pengetahuan yang dapat diandaikan yang merupakan sumber rasa aman
ontologis (ontological security).
Dari kesadaran praktis ini, berbagai tindakan dan praktik sosial lambat laun
menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang atau mampu membuat tindakan
praktik sosial. Dalam penelitian ini terlihat sumber rasa aman ontologis antar agen adalah
otonomi daerah harus dilaksanakan karena dengan melaksanakan otonomi daerah maka
akan tercipta kestabilan politik, sosial, ekonomi di Indonesia. Terlihat dari semua
pendapat agen yang diteliti tidak ada satupun yang menawarkan ide atau gagasan selain
otonomi daerah, Bagi para agen, pilihan otonomi daerah adalah pilihan terbaik daripada
kembali ke sistem sentralistis ataupun sistem federalisme.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan disajikan rangkuman analisis signifikansi,
dominasi, dan legitimasi berbasis teori strukturasi Giddens.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
196
Tabel XXVI
Signifikasi, Dominasi, Legitimasi
Signifikasi
Struktur penandaan, schemata simbolik: simbol penanda otonomi
daerah, Kementrian Dalam Negeri, Parlemen, Pemerintah Daerah.
Pemaknaan, penyebutan, dan wacana: labeling, stereotipe, terminologi
sentralistik-desentralistik
Dominasi
Struktur penguasaan, schemata ekonomi-politik:
Menempatkan para pemikir yang lebih condong pada mazab
desentralisasi administratif daripada mazab desentralisasi politis
dalam birokrasi
Penguasaan atas orang (politik), barang (ekonomi) :
Pemanfaatan mesin birokrasi, anggaran, sarana dan prasarana
Legitimasi
Struktur legitimasi/pembenaran, schemata normatif:
Undang-Undang Nomor 32 Tentang Pemerintah Daerah, UndangUndang Keistimewaan Yogyakarta, Peraturan Pemerintah Tentang
Pilkada Langsung.
Peraturan normatif dalam tata hukum:
Peraturan-peraturan menteri yang berhubungan dengan pelaksanaan
otonomi daerah, dan lain-lain
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
180
BAB VII
PENUTUP
7.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis terhadap dinamika tiga media dalam mengkonstruksi realitas otonomi
daerah dan bagaimana frame pemberitaan harian Kompas, harian Jurnal Nasional dan harian
Kedaulatan Rakyat mengenai Isu Otonomi Daerah dapat disimpulkan, sebagai berikut.
Analisis teks pemberitaan pada level mikro menemukan lima isu otonomi daerah yang
menonjol sepanjang tahun 2012 dan 2013 . Kelima isu tersebut adalah pertama pemekaran
daerah, kedua keistimewaan Yogyakarta, ketiga dinasti politik, keempat korupsi elite lokal,
dan kelima pemilihan kepala daerah langsung (gubernur), sementara itu analisis pada tataran
meso (level media) dari perbandingan sudut pandang media tentang isu otonomi daerah,
ditemukan sudut pandang yang berbeda. Secara garis besar frame harian Kompas terlihat kritis
terhadap isu otonomi daerah, sedangkan frame harian Jurnal Nasional terlihat sejalan dengan
kebijakan pemerintahan Presiden SBY dalam isu otonomi daerah, sementara frame harian
Kedaulatan Rakyat sebagai koran daerah melihat isu otonomi daerah lebih banyak dalam
perspektif lokal (kedaerahan).
Analisis pada level media juga menemukan faktor kepemilikan dan modal masih cukup
kuat dalam mempengaruhi frame media yang diteliti. Harian Jurnal Nasional, karena
mempunyai kedekatan dengan Presiden SBY, frame tentang isu-isu otonomi daerah terlihat
mendukung kebijakan dari Pemerintahan SBY. Begitu juga dengan frame harian Kedaulatan
Rakyat ketika menyangkut peristiwa yang berhubungan dengan pemilik media misalnya isu
dinasti politik dan isu korupsi elite politik, sehingga frame Kedaulatan Rakyat tidak tajam, dan
isu Keistimewaan Yogyakarta menjadi topik yang paling banyak diberitakan oleh harian
Kedaulatan Rakyat. Frame Kompas terlihat kritis dalam menyiarkan berbagai berita mengenai
otonomi daerah, faktor kepemilikan modal terlihat tidak tampak melakukan intervensi terhadap
pemberitaan Kompas tentang isu otonomi daerah. Namun pada sisi lain Kompas terlihat berusaha
mempertahankan, bahkan menambah jumlah pembaca Kompas di daerah dengan menjadikan isu
otonomi daerah beberapa kali menjadi berita utama.
Analisis level makro dapat dibagi menjadi dua. Pada harian Jurnal Nasional analisa yang
lebih tepat adalah menggunakan pendekatan analisis instrumentalis atau strukturalis daripada
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
181
strukturasi karena pada harian Jurnal Nasional struktur organisasi media terlihat mengikat erat
human agent. Tidak terlalu cukup ruang bagi agen melakukan interplay terhadap struktur. Lain
halnya dengan harian Kompas dan harian Kedaulatan Rakyat, yang dapat dibedah dengan
analisis strukturasi.
Terlihat interplay antara agen dan struktur, meskipun derajat tingkat hubungan antara agen
dan struktur antara harian Kompas dan harian Kedaulatan Rakyat berbeda. Dimana derajat
tingkat hubungan harian Kompas lebih tinggi daripada derajat tingkat hubungan harian
Kedaulatan Rakyat. Pada harian Kedaulatan Rakyat ada dua isu yang cukup membelenggu yaitu
isu dinasti politik dan korupsi elite lokal, yang menyerempet pemilik harian tersebut.
Dalam proses strukturasi dari tiga media yang diteliti, terlihat dua media yaitu harian
Kompas dan harian Kedaulatan Rakyat mampu merubah struktur dari sentralistik ke
desentralistik untuk isu Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan Keistimewaan Yogyakarta,
meskipun harus diakui bahwa media bukan satu-satunya faktor yang diterminan dalam
perubahan struktur tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa isi dari teks media dalam dua
isu tersebut memberikan kontribusi kepada eskalasi tekanan atau adanya akumulasi-akumulasi
tekanan terhadap penguasa.
Dalam disertasi ini schemata signifikasi dapat dilihat dari pengulangan berbagai praktek
wacana mengenai isu otonomi daerah yang dilakukan antar agen, baik itu agen media, agen
pemerintah pusat maupun agen intelektual. Praktek pengulangan itu menjadi sedimentasi
mengenai perlunya segera diadakan revisi
Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 32
Tahun 2004, dan UU mengenai Keistimewaan Yogyakarta.
Schemata dominasi, dilihat dari relasi atau hubungan antara pusat dan daerah, di awal
terlihat pusat hendak mendominasi, tetapi ada konter wacana sehingga pusat harus melakukan
kompromi terhadap daerah.
Schemata legitimasi dalam disertasi ini adalah norma atau tata hukum hubungan pusat, dan
daerah dengan sejumlah sanksi bagi pelanggarnya baik itu agen pusat maupun daerah. Sumber
rasa aman ontologis (ontological security) dapat dilihat bagaimana antar agen merasa bahwa
otonomi daerah harus karena pilihan otonomi bagi agen lebih realistis daripada sentralisasi
ataupun federalisme
7.2. Implikasi Teoritis dan Metodologis
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
182
Untuk level mikro, penelitian ini menemukan lima isu yang menonjol (sailent issue), pada
tiga suratkabar yang diteliti. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut yang berhubungan
dengan framing effects, agar dapat diketahui mengenai dampak dari pemberitaan isu otonomi
daerah terhadap opini pembaca surat kabar.
Proses konstruksi realitas mengenai isu otonomi daerah, perlu diteliti pada surat kabar
selain Kompas, Jurnal Nasional, dan Kedaulatan Rakyat, terutama pada surat kabar lokal yang
berbasis di daerah, seperti Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Selatan, dan Papua
Perbedaan frame antar surat kabar yang diteliti, serta narasumber yang menjadi informan
dalam penelitian ini perlu ditelusuri lebih dalam, untuk melihat pengaruh faktor individu, sosial,
ekonomi, ideologi di balik jurnalis dan informan, sehingga dapat ditemukan model otonomi
daerah yang ideal untuk Indonesia.
Pada level meso, proses pembentukan frame building isu otonomi daerah perlu diperluas
dengan melibatkan proses gate keeping pada news room di tiga media cetak yang diteliti.
Pada level media perbedaan sudut pandang yang cukup kontras antara harian Kompas
dengan harian Jurnal Nasional dan harian Kedaulatan Rakyat perlu penyelidikan lebih lanjut,
terutama mengenai kedekatan media dengan pemilik media, dan pemodal (investor) media, serta
pangsa pasar dari media, karena kekuatan kapital menjadi faktor utama keberlangsungan hidup
media.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
183
Pada level makro pemberitaan tentang isu otonomi daerah ini adalah hasil konstruksi
realitas media, dan ada saling keterkaitan (interplay) antara agen dan struktur, hal ini perlu
penyelidikan lebih mendalam dan dikembangkan lebih jauh dalam perspektif reflektif atau
interpretif.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
201
Daftar Pustaka
Basri, M Chatib dan Dana Iswara. 2000. Exit, Voice and Loyalty: Ekonomi Politik Modal
dan Peran Media di Masa Krisis, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam
Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia.
Berger, Peter L and Thomas Luckmann. 1966. The Sosial Construction of Reality.
England: Penguin Books
Bakti, Andi Faisal. 2014. Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi Selatan, dalam
Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken.(ed). (terj). 2014. Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: Pustaka Yayasan Obor Indonesia dan KITLV
Bhakti, Ikrar Nusa. 2000. Berbagai Faktor Penyebab Jatuhnnya Presiden Soeharto,
dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah
Hegemoni. Jakarta: Gramedia.
Denzin, Norman K and Yvona S. Lincoln (ed). 2011. Handbook of Qualitative Research.
SAGE Publications.
Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru.
Jakarta: Kompas Gramedia
Entman. Robert M. 1989. Democracy Without Citizens: Media and The Decay of
American Politics. New York: Oxford Univerity Press.
Eriyanto, 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS
_______, 2002. Analisis Framing, Konstruksi Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:
LKiS.
Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse Analysis. London: Edward Arnold
________________. 1998. Critical Discourse Analysis. London: Longman
Hall, Stuart. 1982. The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in Media
Studies” Dalam Michael Gurevitch, Bennet, James Curran & James Wollacat (ed),
Culture, Society and The Media. London: Methuen.
Hall, Stuart. 1986. Ideology and Communication Theory” Dalam Brenda Dervis et al
(ed), Rethinking Communication: Perspective Issues. Newbury Park: Sage
Publication.
Gamson, William A. 1992. Talking Politics. Cambridge: Cambridge University Press
_________________ 1996. Media Discourse as a Framing Resource, dalam Ann
Crigler (ed). The Psychology of Political Communication. Ann Arbor: The
University of Michingan Press.
Gazali, Effendi. 2000. Antara Benci dan Banci terhadap Rezim: Analisis Peran Koran
dan Radio Lokal, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Runtuhnya
Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia.
Goffman, Erving. 1974 . Frame Analysis: an Essay on The Organization of Experience,
With Foreword by Bennett Berger. Northeastern University Press, Boston.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
202
Golding, Peter and Graham Murdock, (eds). 1997. The Political Economy of The Media.
Volume 1. Cheltenham: Edward Edgar Publishing Limited.
Giddens. Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of
The
Structuration. Berkeley: University of California Press.
______________. 1979. Central Problem in Sosial Theory, London: Mc Millian.
______________. 1993. New Rulers of Sociological Method. Chambridge Polity Press
Habermas, Jurgen. 1993. The Structural Transformation of The Publik Sphere. Cambrige
MA: MIT Press
Hakiem. Lukman. 2008. M. Natsir di panggung sejarah republik, Jakarta: Republika
Hamersma. Harry. 1990. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia
Herman, Edward S, and Noam Chomsky. 1998. Manufacturing Consent: The Political
Economy of Mass Media. New York: Pantheon Books.
Hibbin, Stuart. (ed). 1978. Politics, Ideology, and The State. London: Lawrence and
Wishart.
Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni.
Jakarta: Gramedia.
Hidayat, Syarif. 2002. Too Much Too Soon. Jakarta: Rajawali Press
Himmerstrand, U. (ed). 1986. Sociology: The Aftermath of Crisis. London: Sage
Publications.
Hoessein, Bhenyamin. 1995. Sentralisasi dan Desentralisasi : Masalah dan Prospek,
Dalam Menelaah Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPi-Gramedia
Ishadi SK. 2000. Persepsi Elit Penguasa Terhadap Media, dalam Hidayat, Dedy, dkk.
2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia.
Iyengar, Shanto. 1991. Is Anyone Responsible : How Television Frame Political Issues.
Chicago and London: The University of Chicago Press.
Kalbfieisch, Pamela J. (ed). 2005. Communication Yearbook 29. Taylor and Francis. Inc.
Kahin, Audrey R. (2005). Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatera Barat dan Politik
Indonesia, 1926-1998. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Lippman, Walter. 1992. Public Opinion. New Jersey: Transaction Publiser
Muttalib, M.A. dan Mohd. Akbar Ali Khan. (terj). 2013. Theory of Local Government
(Teori Pemerintahan Lokal). Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia.
Marbun, B.N. 2010. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita. Jakarta: Sinar
Harapan.
Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. London, Thousand
Oaks: Sage Publications.
McQuail, Denis. 1999. McQuails Mass Communication Theory. London: Publications.
Neuman, W Lawrence. 2006. Sosial Research Methods, Qualitative And Quantitative
Approach. Pearson International Edition.
Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken.(ed). (terj). 2014. Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: Pustaka Yayasan Obor Indonesia dan KITLV
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
203
Nurcholis, Hanif. 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta:
Grasindo
Oetama, Jacob. 1987. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta : PT Pantja Simpati.
Pinckey Triputra. 2000. Isi Media sebagai Produk Interaksi Antaragensi: Kasus Media
Cetak Pada Mei 1998, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei
Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia.
Priest, Susanna Hornig (ed). 2010. Encylopedia of Science and Technology
Communication. SAGE Publications.
Priyono, B Herry. 2002. Anthony Giddens Suatu Pengantar, Kepustakaan Populer.
Jakarta: Gramedia
Poloma, Margaret. 1984. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV Rajawali.
Rasyid, Ryaas, dkk. 2007. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
____________. 1997. Makna Pemerintahan. Tinjauandari Segi Etika dan
Kepemimpinan. Jakarta: Yarsif Watampone.
Riyanto. Geger. 2009. Peter L Berger, Prespektif Metateori Pemikiran. Jakarta: LP3ES.
Rondinelli, A. Dennis and Shabbir Cheema. 2007. Decentralizing Governance Emerging
Concepts and Practices. Brookings Institution Press
_________________. 2005. Decentralization and Development, New York: Marcel
Dekker.
Ritzer, George. 2006. (terjemahan). Sosiologi Ilmu Berperspektif Ganda. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Satrio, Munandar. 2000. Dinamika Pers Indonesia di Era Reformasi, dalam Hidayat,
Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta:
Gramedia.
Syamdani, (2009), PRRI, Pemberontakan atau Bukan. Jakarta: Media Pressindo.
Sendjaja, Sasa Djuarsa dan Hendra Harahap. 2000. Proses dan Dinamika Pemberitaan
Televisi pada Mei 1998: Antara Nilai Berita dan Perubahan, dalam Hidayat, Dedy,
dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta:
Gramedia.
Severin, W.J. and Tankard. 1997. Communication Theories: Origin, Methods and Uses
in The Mass Media. New York: Longman Publishing.
Shoemaker, Pamela J. & Stephen Reese. 1996. Mediating the Message: Theories of
Influence of Mass Media Content. New York: Longman Publishers
Shoemaker, Pamela J. & Tim P Vos. 2009. Gate Keeping Theory. New York: Routledge
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta. ISAI-LKiS.
Sujatmiko, Budiman. 2000. Represi Melalui Media Massa pada Masa Soeharto, dalam
Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni.
Jakarta: Gramedia.
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
204
Smith, BC. 1985. The Territorial Dimension of The State. London: Gorge Allen and
Unwin.
Van Dijk, Teun A, 1997. Political Discourse and Political Cognition. Aston University
Press
______________, 1998. Ideology A Multidisciplinary Study. London: Sage Publication.
Zulkifli, Ahmad. 1996. PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunikasi
Politik. Jakarta : Grafiti Press.
Jurnal, Majalah dan Makalah:
Entman, Robert M. 1993. Framing Toward Clarification of a Fractured Paradigm.
Political Communication. Vol. 43. No. 4
________________. 1991. Framing US Coverage of International News: Contrast in
Narative of The KAL and Iran Air Incident. Journal of Communication. Vol. 41.
No.4
________________and Andrew Rojecki. 1993. Freezing Out The Public: Elit and Media
Framing of The US. Anti Nuclear Movement. Political Communication. Vol1. No1.
Gamson , William. A and Andre Modigliani. 1989. Media Discourse and Public Opinion
on Nuclear Power: A Constructionist Approach. American Journal of Sociology.
Vol 95. No.1.
_______________. David Croteau, William Hoyness and Thordore Sasson. 1992.
Media Images and The Social Construction of Reality. Annual Review of
Sociology, Vol. 18.
Hamad, Ibnu. 2004. Perkembangan Analisis Wacana Dalam Ilmu Komunikasi. Makalah
UI
Hidayat, Syarif. 2010. Refleksi Satu Dasarwarsa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi
Daerah. Jurnal Prisma, Juli 2010.
Hoessein, Bhenyamin. 2000. Hubungan Penyelenggaraan Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah. Jurnal Bisnis dan Birokrasi. No. 1/I/Juli 2000
Media Scene. 2012. The Official Guide to Advertising Media in Indonesia.
Priyono, B Herry. 1995. Sebuah Terobosan Teoritis. Jurnal Basis, Gramedia
Santoso, Purwo. 2013. Difisiensi Teori Pemerintahan: Refleksi Atas Desentralisasi Di
Indonesia. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia.
Edisi 43, Tahun 2013
Scheufele, Dietram A. 1999. Framing as Theory of Media Affects. Journal of
Communication, 49 (1).
________ and David Tewksbury. 2007. Framing, Agenda Setting, and Priming: The
Evolution of Three Media Effect Models. Journal of Communication, 57 (1).
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
205
Saadie, Teddy Nurhadie. 2008. Implementasi Kebijakan Pemerintahan dan Budaya
Pemerintahan Dalam Otonomi Daerah. Jurnal Politik Pemerintahan Volume I
November 2008
Smythe, Dalas. 1977. Communication: Blindspot of Western Marxism. Canadian Journal
of Political and Social Theory, Volume 1 Number 3
Surbakti, Ramlan. 2013. Defisiensi Berbagai Aspek Kebijakan Otonomi Daerah. Jurnal
Ilmu Pemerintahan, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. Edisi 43, Tahun
2013
Suwandi, Made. 2004. Pokok-Pokok Pikiran Konsepsi Otonomi Daerah Indonesia
Dalam Mewujudkan Pemerintah Daerah yang Demokratis dan Efisien. Jakarta:
tidak diterbitkan
Wigyosoebroto, Soetandyo. 2010. Satu Abad Desentralisasi di Indonesia. Jurnal Prisma,
Juli 2010.
Thesis dan Disertasi
Alifahmi, Hifni. 2011. Dinamika Media Frame Building Analisis Strukturasi terhadap
Frame Sponsors dan Frame Constation Isu Privatisasi BUMN di Harian Kompas
dan Bisnis Indonesia. Disertasi UI
Fujiartanto. Implementasi desentralisasi daerah di Kota Depok : Studi Tentang Penataan
Kewenangan, Kelembagaan dan Kepegawaian Pada Pemerintah Daerah Kota
Depok, Propinsi Jawa Barat. Tesis UI
Hoessein, Bhenyamin. 1993. Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi
Dati II: Suatu Kajian Desentralisasi dan Desentralisasi Daerah Dari Segi Ilmu
Administrasi Negara. Disertasi UI.
Hamad, Ibnu. 2002. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa (Studi Pesan
Komunikasi Politik dalam Media Cetak pada Masa Pemilu 1999). Disertasi UI
Situmorang, Sodjuangan. Model Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Disertasi UI
Suryanto. Penggambaran Permasalahan Desentralisasi daerah Dalam Media Cetak
(Studi Analisa Wacana Terhadap Berita-Berita Otonomi Daerah) Tesis UI
Sukardi. 2009. Kekuatan Struktur dan Agen Dalam Komunikasi Politik Pemenangan
Ratu Atut Choisiyah Dalam Pilkada Banten. Disertasi UI
Tahrir M. Evaluasi Penataan Kelembagaan Perangkat Daerah di Kota Palembang
(Suatu Tinjauan terhadap Implementasi Otonomi Daerah di Kota Palembang).
Tesis UI
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
206
Undang-Undang dan Peraturan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Laman Internet
www.mdlf.org
www.kompas.com
www.m.jurnas.com
www.krjogja.com
Universitas Indonesia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Panduan Daftar Pertanyaan
Ke Harian Kompas dan Harian Jurnas
Bagaimanakah media bapak/ibu dalam melihat isu otonomi daerah
Apakah isu otonomi daerah merupakan isu yang penting dalam media ibu/bapak
Apakah media ibu/bapak mempunyai halaman khusus tentang isu otonomi daerah
Berapakah jumlah wartawan di media ibu/bapak yang ditempatkan di daerah ataukah ada
desk daerah
5. Dalam mendapatkan berita daerah apakah media bapak/ibu mendapatkan juga dari kantor
berita lain semisal antara atau yang yang lain misalnya ada aliansi media ?
6. Seberapa penting berita-berita mengenai isu otonomi daerah di media ibu/bapak ?
7. Bagaimana dengan iklan ?, apakah ada hubungan antara iklan dengan berita-berita
tentang otonomi daerah ?
8. Bagaimana persebaran atau distribusi dari media ibu/bapak di daerah ?, berapa oplag
media ibu/bapak di daerah dan daerah mana saja yang paling banyak oplag-nya
9. Bagaimana proses produksi berita di media Ibu/Bapak ?
10. Bagaimana kriteria berita otonomi daerah yang dianggap penting dalam media bapak/ibu
11. Bagaimana proses sidang redaksi dalam menentukan sebuah berita mengenai otonomi
daerah itu ditentukan dan dimunculkan sebagai berita ?
12. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pemekaran wilayah ?, mengapa media
bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pemekaran wilayah ?
13. Mengapa berita pemekaran wilayah dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 20122013 cukup banyak keluar (Kompas-Jurnas)
14. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pengaturan pusat dan daerah ?, mengapa
media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pengaturan pusat dan daerah ?
15. Mengapa berita pengaturan pusat dan daerah dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu
2012-2013 banyak keluar
16. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang dinasti politik ?, mengapa media
bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan dinasti politik ?
17. Mengapa berita dinasti politik dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013
banyak keluar (Kompas-Jurnas)
18. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang korupsi elit lokal ?, mengapa media
bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan korupsi elit lokal ?
19. Mengapa berita korupsi elit lokal dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013
banyak keluar (Kompas-Jurnas)
20. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pilkada gubernur ?, mengapa media
bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pilkada gubernur ?
21. Mengapa berita pilkada gubernur dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013
banyak keluar (Kompas-Jurnas-KR)
22. Bagaimana menjelaskan hubungan Kompas dengan isu Komando Pastur ?, apakah ada
kedekatan ideologis atau afiliasi dengan agama tertentu ?
23. Bagaimana Kompas membina relasi dengan narasumber yang berhubungan dengan
otonomi daerah ?
1.
2.
3.
4.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Panduan Daftar Pertanyaan
Ke Harian Kedaulatan Rakyat
Bagaimanakah media KR dalam melihat isu otonomi daerah
Apakah isu otonomi daerah merupakan isu yang penting dalam media ibu/bapak
Apakah media ibu/bapak mempunyai halaman khusus tentang isu otonomi daerah
Berapakah jumlah wartawan di media ibu/bapak yang ditempatkan di daerah ataukah ada
desk daerah
5. Dalam mendapatkan berita daerah apakah media bapak/ibu mendapatkan juga dari kantor
berita lain semisal antara atau yang yang lain misalnya ada aliansi media ?
6. Seberapa penting berita-berita mengenai isu otonomi daerah di media ibu/bapak ?
7. Bagaimana dengan iklan ?, apakah ada hubungan antara iklan dengan berita-berita
tentang otonomi daerah ?
8. Bagaimana persebaran atau distribusi dari media ibu/bapak di daerah ?, berapa oplag
media ibu/bapak di daerah dan daerah mana saja yang paling banyak oplag-nya
9. Bagaimana proses produksi berita di media Ibu/Bapak ?
10. Bagaimana kriteria berita otonomi daerah yang dianggap penting dalam media bapak/ibu
11. Bagaimana proses sidang redaksi dalam menentukan sebuah berita mengenai otonomi
daerah itu ditentukan dan dimunculkan sebagai berita ?
12. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pemekaran wilayah ?, mengapa media
bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pemekaran wilayah ?
13. Mengapa berita pemekaran wilayah dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 20122013 tidak banyak keluar (KR)
14. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pengaturan pusat dan daerah ?, mengapa
media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pengaturan pusat dan daerah ?
15. Mengapa berita pengaturan pusat dan daerah dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu
2012-2013 banyak keluar (Kompas-Jurnas-KR)
16. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang dinasti politik ?, mengapa media
bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan dinasti politik ?
17. Mengapa berita dinasti politik dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013
tidak banyak keluar (KR)
18. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang korupsi elit lokal ?, mengapa media
bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan korupsi elit lokal ?
19. Mengapa berita korupsi elit lokal dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013
tidak banyak keluar (KR)
20. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pilkada gubernur ?, mengapa media
bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pilkada gubernur ?
21. Mengapa berita pilkada gubernur dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013
tidak banyak keluar (KR)
22. Bagaimana hubungan KR dengan Kasultanan Yogya terutama dengan Sri Sultan HB X ?
23. Bagaimana KR membina relasi dengan narasumber yang berhubungan dengan otonomi
daerah ?
1.
2.
3.
4.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Panduan Daftar Pertanyaan
Untuk Para Ahli dan Pemangku Kebijakan
Sebenarnya apakah otonomi daerah itu menurut perspektif ibu/bapak ?
Mengapa isu isu otonomi daerah merupakan isu yang penting ?
Secara garis besar bagaimana kebijakan pemerintah dalam otonomi daerah ?
Menurut ibu/bapak apakah media ibu/bapak mempunyai peran penting dalam mengusung
isu otonomi daerah
5. Apakah wartawan media massa sering meminta bapak/ibu untuk menjadi narasumber
tentang isu otonomi daerah ?
6. Apakah ada perbedaan pertanyaan antara wartawan media nasional dan media lokal
dalam isu otonomi daerah
7. Isu-isu apa sajakah yang paling sering ditanyakan wartawan mengenai otonomi daerah ?
8. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu pemekaran daerah ?, apakah wartawan sering
menanyakan mengenai isu pemekaran daerah ?
9. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu pengaturan pusat dan daerah ?, apakah
wartawan sering menanyakan mengenai isu pengaturan pusat dan daerah ?
10. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu dinasti politik ?, apakah wartawan sering
menanyakan mengenai isu dinasti poitik ?
11. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu korupsi elit lokal ?, apakah wartawan sering
menanyakan mengenai isu korupsi elit lokal ?
12. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu pilkada gubernur ?, apakah wartawan sering
menanyakan mengenai isu pilkada gubernur ?
13. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu pemekaran wilayah ?, apakah wartawan
sering menanyakan mengenai isu pemekaran wilayah ?
14. Data dari kami menunjukkan bahwa koran nasional Kompas dan Jurnas menempatkan
berita pemekaran daerah, pengaturan pusat-daerah dan pilkada gubernur menjadi isu yang
menonjol, sebaliknya koran daerah KR menempatkan isu pengaturan-pusat daerah dan
keuangan daerah menjadi isu yang menonjol, bagaimana tanggapan ibu/bapak ?
15. Bagaimana pendapat ibu/bapak terhadap koran Kompas, koran Jurnas, dan koran KR
dalam meliput berita otonomi daerah ?
1.
2.
3.
4.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Lampiran
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan Budi Winarno (Jurnal Nasional)
M
Dari berita yang saya teliti, ada 6 berita yang cukup menarik yang sering keluar dari 3
media yang saya teliti pak. Ada pemekaran daerah, pengaturan pusat dan daerah (termasuk
mengatur bagaimana undang-undangnya tentang mungkin apakah istimewa apa tidak,
bagaimana desentralisasinya simetris atau asimetris), dinasti politik (ada isu dinasti politik
yang cukup kuat), korupsi elit lokal, keuangan daerah, pilkada gubernur (apakah gubernur
dipilih oleh masyarakat/dipilih secara langsung atau dipilih oleh DPRD/diangkat). Ada
beberapa hal yang menarik yang bisa kita diskusikan. Sebetulnya bagaimana media Jurnas
melihat isu otonomi daerah ini pak?
JN
Otonomi daerah itu lahir bukan tahun 1999 (katakan seperti itu), karena desakan dari
pemerintah yang sentralistik waktu itu, saat sentralistik tumbang muncul desakan sangat
kuat untuk mengembangkan kebijakan otonomi daerah, saya ingat itu tahun 1999 itu jaman
presiden Habibie ada sejumlah undang-undang, yaitu undang-undang pemerintahan daerah,
undang-undang pembagian keuangan pusat dan daerah, dan undang-undang lainnya yang
jelas-jelas sangat pro otonomi daerah. Sejumlah undang-undang direvisi memang. Pak
Habibie kan luar biasa, meski presiden Cuma setahun lebih tapi sangat produktif, tentu
bergandengan dengan DPR, sangat produktif membuat undang-undang sehingga mungkin
kelengkapannya perlu banyak yang direvisi, tapi apapun dasar-dasar otonomi daerah itu
lahir tahun 1999. Undang-undang pemerintahan daerah abadi sampai hari ini meskipun
direvisi, pembagian keuangan daerah dan segala macamnya. Nah, kita konsen dengan itu
semua karena pertama, itu undang-undang, pada pemerintahan terakhir kita tahu pendiri
koran ini adalah kebetulan menjadi presiden, dan Beliau sangat pro otonomi daerah
sehingga kita dukung penuh. Selain itu, semuanya sudah terwadahi jadi kita dukung penuh
otonomi daerah. Otonomi daerah diukir dengan segala keunikannya, Aceh dengan
keistimewaan kesyari‟atannya, Jogja dengan keistimewaan karena faktor sejarah (heroik),
Papua dengan segala kekhususan otonominya(Otsus). Saya kira 3 provinsi itu, selebihnya
provinsi lain relatif sama kecuali DKI karena pusat ibukota negara. Kita penuh mendukung
otonomi karena faktor undang-undang, faktor syarat ideal itu baik. Pemerintahan otonomi
kita itu Jawa Tengah, federal mungkin tidak cocok untuk kita, otonomi daerah bahasa yang
pas untuk kita karena kebijakan lokal banyak yang tidak bisa diabaikan. Di Sumatera Barat
ada “nagari”, „gempong‟, dan segala macam semoga bisa dilestarikan dengan undangundang otonomi daerah. Jadi pahamnya itu yang mendasari, mengapa kita mendukung
kebijakan pemerintah dari dulu sampai sekarang tentang otonomi daerah.
M
Kemudian apakah isu otonomi inimenjadi salah satu isu yang penting di Jurnas ?
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
JN
Kalau isu utama ya, saya kira penamaan rubrik khusus otonomi itu tidak ada, namun
halaman nusantara yang mencerminkan otonomi sangat kuat. Halaman politik hukum juga
mengakomodasi produk-produk perundangan terutama tentang otonomi daerah yang lahir
dari Senayan, itu di rubrik nasional. Dari daerah, dinamika di daerah kita wadahi di rubrik
nusantara. Itu sampai sekarang dari awal sampai hari ini jurnal nasional masih konsisten
dengan itu.
M
Kalau begitu, apakah ada desk daerah khusus pak ?
JN
Kita ada desk daerah, yang memang 24 jam mengawal dinamika daerah.
M
Apakah misalnya tulisan pak Velix itu termasuk desk daerah, misalnya tentang papua ?
JN
Kalau Beliau yang menjadi narasumber tergantung, kalau lebih condong ke entry untuk
peraturan ditingkat pusat biasanya ke halaman nasional, tapi kalau Beliau bercerita tentang
dinamika daerah ya masuk di halaman daerah. Lebih dari itu belum, meskipun terhenti
baru sebulan kalau tidak salah, sebelum itu Baliau sangat rutin menulis tentang otonomi
daerah terutama di Papua dengan segala keunikan dan segala macamnya.
M
Apakah ada juga wartawan yang ditempatkan di daerah pak?
JN
Kita punya koresponden di sejumlah daerah, koresponden tetap di sejumlah provinsi tapi
provinsi-provinsi utama dalam pengertian media tentu berada diantara idealisme dan pasar,
provinsi yang punya nilai jual pasti ada koresponden. Aceh, kita punya koresponden.
Papua, kita punya koresponden. Yogya, apalagi 2 malah. Kita punya koresponden di
daerah-daerah yang kita anggap dinamis.
M
Dalam berita-berita daerah apakah Bapak juga mengambil misalnya dari Antara, atau
Reuter atau aliansi media lain mungkin ?
JN
Kalau resource berita itu prinsipnya apapun asal kuat kita ambil. Bahkan untuk kasus
misalnya seperti ini, sebuah peristiwa di Bone misalnya, koresponden kita mengirim dari
Makasar, wartawan Antara sampai ke lokasi di Bone, kita akan padukan itu antara laporan
Antara dengan wartawan kita. Sehingga menjadi berita yang sosoknya lebih lengkap, kalau
dari Makasar mungkin pakai teropong sehingga tidak bagus. Tapi kalau ada wartawan yang
sampai ke lokasi maka akan lebih hidup beritanya. Kalau mau kuat sekali laporan
wartawan, kita ambil saja laporan Antara. Prinsipnya berita yang paling kuat.
M
Kalau berita paling kuat itu apa parameternya pak ? Apakah prinsip 5W+1H ?
JN
Iya, 5W+1H dengan penekanan tentunya. Yang bisa menjawab soal pertanyaan dari
masyarakat, tentu why-nya yang harus dijawab. Kalau umpamanya peristiwa/kebijakan
baru dari pemerintah provinsi, Gubernur membuat pergub baru yang harus disebarkan ke
masyarakat penting. Berarti penjelasan urgensinya harus kuat. Prinsipnya berita yang
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
menjual dan penting (prinsip kita). Mungkin uniknya Jurnas, tidak melulu hanya ingin
menjual karena kami tidak menginginkan itu saja, harus ada unsurnya penting. Sehingga di
prolognya saya garis bawahi, bahwa Jurnas ini koran tengah-tengah, kita menggunakan
semangat jurnalisme positif. Good news is good news.Tidak harus good news tapi bad
news. Media lain mungkin, hasil yang baik kalau itu goal, kalau yang bagus itu
memberikan informasi lebih untuk masyarakat, kenapa tidak.
M
Kali ini seberapa penting isu otonomi daerah dalam media Jurnas ini pak?
JN
Saya kira otonomi daerah menjadi bagian yang kita anggap penting, jadi kalau di skor saya
kira sudah 7 ke atas. Jadi berita dari daerah itu jarang sekali kita tolak, artinya kita
menganggap berita daerah penting. Selain itu, para koresponden juga sudah tahu apa yang
diinginkan Jurnas, sehingga mereka mengirim pun sesuai dengan kemauan kita.
M
Ada korelasi atau tidak antara berita daerah dengan iklan, pendapatan yang masuk, dan
lain-lain ?
JN
Prinsipnya semua berita harusnya ada korelasi dengan iklan, tapi kenyataannya di daerah
kita kurang iklan. Itu dia yang ingin saya sampaikan, bahwa tidak melulu kita hanya
bertumpang bisnis untuk berita otonomi daerah, kalau kita lihat itu penting beritakan
meskipun itu “kering” jika dilihat dari segi bisnis.
M
Bagaimana persebaran atau distribusi Jurnas di daerah Pak ?
JN
Kalau kita menyebut distribusi, kita belum rata di seluruh Indonesia. Tetapi kalau sampai
berita provinsi apalagi kita punya koresponden, tersebar ke mereka. Kita yang utama itu 18
provinsi kalau tidak salah, itu tersebar ukuran kita. Prinsip kita, ada berita daerah yang kita
pasok dari daerah yang bersangkutan sehingga mudah-mudahan terbaca oleh mereka.
M
Paling banyak itu dimana oplah terbesar pak?
JN
Di Jawa, karena faktornya banyak. Di Jawa itu kemudahan distribusi, kemurahan distribusi
apalagi di Jawa Barat dapat dijangkau dengan mobil misalnya tanpa harus menggunakan
pesawat.
M
Jurnas ini ada percetakan sendiri atau bagaimana Pak?
JN
Kita masih di luar mencetaknya.
M
Bagaimana proses produksi berita di Jurnas Pak ?
JN
Proses produksi, kita setiap hari rapat perencanaan apa yang akan kita liput hari ini, peserta
rapat itu dari pimpinan sampai redaktur, redaktur memberi penugasan kepada reporter
untuk melaksanakan tugas yang dirapatkan tadi, berarti pagi itu atau hari itu juga ketika
sore reporter pulang dari lapangan mereka lapor tentang berita apa, semua ter-listing.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Listingnya ke sekretariat bisa juga me-listing dalam bentuk berita karena kita ada dot com.
Sehingga berita pendek pun akan segera dilaporkan karena itu kita anggap listing berita
sehingga termonitor semuanya. Kemudian ketika sore, redaktur memilih berita yang paling
kuat untuk cetak sama yang dot com termasuk yang pendek-pendek karena updatenya
kencang. Kalau yang ini lebih mendalam, redaktur lah yang menyeleksi itu apakah masih
perlu pendalaman atau cukup dan sebagainya. Kalau kurang, memberi penugasan pada
reporter untuk memperdalam beritanya, atau nanti malam akan ada berita yang terkait
dengan beritanya maka ditunggu. Kita deadline, kalau halaman daerah deadline agak sore
sampai jam 6-7, kalau halaman nasional terakhir sampai jam 10 malampun masih kita
tunggu, kalau kita anggap luar biasa. Kalau kita anggap biasa sekitarjam 9 sudah selesai,
sudah tutup beritanya.
M
Termasuk kalau ke daerah, apakah pemberitaan juga seperti tadi Pak, bahwa malamnya
berita-berita apa yang akan dicari teman-teman daerah mengirimkan ke Bapak atau?
JN
Temen-temen daerah itu sore sudah mengirim berita bahkan siang ini sudah mulai karena
mereka sudah paham berita tertentu yang layak untuk dot com ya akan ke-dot com-kan,
kalau layak cetak ya akan dicetak. Biasanya siang sudah mulai ngirim, prinsipnya kita
tutup berita pada jam 6 sore kecuali ada berita yang luar biasa di daerah yang kita
asumsikan seperti level nasional tadi sampai jam 10 pun masih kita tunggu.
M
Misalnya itu apa pak, kalau boleh tahu beritanya ?
JN
Contohnya seperti bencana atau kunjungan presiden kedaerah selain ada wartawan kita
yang ikut soalnya ada reporter juga di daerah yang on the spot, laporannya lebih hidup dari
mereka. Kalau laporan wartawan yang mengikuti presiden berarti dari kaca mata presiden
sajatapi kalau dari daerah lebih berwarna, itu kita combine.
M
Indonesia itu kan luas Pak, maksudnya kalau yang di Papua beda waktunya kan 2 jam Pak
bagaimana itu Pak ?
JN
Tetap patokan jamnya adalah jam kita (WIB), jam 10 terakhir adalah jam WIB.
M
Kalau kriteria yang paling penting berita otonomi daerah itu bagaimana pak ?
JN
Penting itu menjadi kebutuhan publik atau itu adalah informasi yang baru, seperti produk
peraturan, kebijakan, public service sebagai garis besar kita. Pemda dan DPRD Jawa
Tengah membuat Perda tentang apa pelayanan publik, kita muat.
M
Berarti tidak mesti good news or bad news ya Pak ?
JN
Iya, karena daerah itu tidak ada iklannya jadi tidak perlu memikirkan bisnis dengan
menafikan informasi yang penting. Daerah menurut saya menjadi sangat penting di koran
kita karena “tak perlu mempertimbangkan bisnis”.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Bagaimana proses sidang redaksi dalam menentukan berita tentang otonomi daerah ?
JN
Otonomi daerah biasanya redakturnya di kita program nasional, leading personnya yang
paling tahu soal otonomi daerah itu redaktur nasional. Kalau khusus untuk membahas
otonomi daerah saya kira leadingnya yaitu redaktur, yang punya isu/hal-hal yang bisa
dikembangkan segala macam.
M
Bagaimana memilah mana yang harus dimunculkan, angel-nya dari sini, atau perspektifnya
dari sini itu apakah perlu adanya rapat khusus atau memang otonomi?
JN
Kalau angel itu dari wartawan sendiri, rata-rata korensponden sudah ikut kita dari awal, 67 tahun. Bahkan kita dapat informasi dari mereka, kalau mereka memperoleh info tertentu
kami minta tolong untuk follow ke Jakarta.
M
Iya Pak, karena banyak teman-teman saya yang dari persma UGM banyak yang jadi
koresponden di Jurnas, di Jogja itu. Kemudian bagaimana me-maintance dengan
narasumber itu Pak ? Apakah mungkin ada narasumber yang sudah di booking Jurnas
untuk otonomi daerah itu Pak ?
JN
Karena ini pendirinya adalah SBY, yang kebetulan sedang menjadi presiden sehingga
Jurnas merasa beruntung. Untuk me-maintanance isu otonomi daerah dalam situasi/tahap
tertentu kita sendiri blank (jika otonomi seperti ini maka arahnya akan ke mana ?). Jika kita
blank maka kita sowan ke mas Velix Wanggai atau via telepon untuk minta background
atau kalau perlu mas Velix datang ke kantor Jurnas memberi background, ini penting
kalau perlu dengan semangat karena Jurnas itu yang paling benar secara fakta atau
kebijakan memberitakannya itu tidak salah.
M
Misalnya Pak, kalau ada narasumber yang mungkin berseberangan dengan pemerintah
tentang otonomi daerah itu bagaimana Pak, apakah cover both sidePak ?
JN
Kalau prinsip cover both side itu pasti karena prinsip jurnalistik yang tidak boleh
diabaikan, tapi kita punya misi jadi cover both side itu umpamanya begini otonomi Yogya
itu otsus karena faktor sejarah. Ketika ada narasumber yang „nyleneh‟ (katakan orang yang
tidak tahu sejarah), kita pakar yang harus menunjukkan diri karena tidak mungkin kita
muat serta merta, tetap kita seleksi (ada saringan) terhadap berita. Meskipun gelarnya
sudah doktor tapi kalau belum tahu sejara Jogja, lalu ahli politik yang mengklain dirinya
hebat, „ini era demokratisasi tidak boleh ada kerajaan di Indonesia, tidak ada pembedaan di
Indonesia semua sama Gubernur harus dipilih‟. Secara verbal undang-undang mungkin itu
benar, kalau undang-undangnya pemerintahan daerah. Jalan tengah yang diambil Jurnas
itu lebih riil, lebih moderat, eksekutif ok, tapi press tetap mengerti karena kita pakar
semua, tidak semua omongannya mentah-mentah kita masukkan. Misalnya pelantikannya
Jokowi akan kami ganjal, meskipun saya tidak memilih Jokowi namun itu yang sah maka
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
ayolah kita dukung. Kalau media mendukungnya secara kritis dengan media, bukan malah
digagalkan.
M
Seperti Pak Bintang Pamungkas mau mengerahkan berapa ratus ribu orang untuk
menggagalkan Jokowi itu ?.
JN
Itu orang kayak baru bangun tidur kemudian menggeliat lalu omongannya tidak
konstruktif.
M
Bagaimana menempatkan sebuah berita di Jurnas supaya bisa balance, bukan bad news is
a good news tapi good news is a news ?
JN
Terus terang di sini perlu waktu lama, jadi perlu kita switching ketika masuk ke Jurnas,
dulu mereka kan dari banyak lembaga tidak mudah untuk men-switch pikiran mereka
mensatuderapkan dengan kebijakan Jurnas, tidak mungkin karena itu tidak mudah.
Kebetulan waktu saya masuk, tapi itu tergantung pelaksana di level menengah sehingga itu
pun perlu menyesuaikan apalagi redaktur. Kita tahu tradisi siapapun di level menengah
pekerjaannya tetap wartawan, itu kan paling susah diubah apalagi karakternyaitu tidak
mungkin, switching mungkin. Kita punya visi misi seperti ini, paham atau tidak, kalau
paham lalu mau bergabung “monggo” kalau tidak ya “monggo” juga, itu kan mudah. Dan
sekarang sudah relatif paham bahkan sudah banyak yang ikut dari awal.
M
Kalau kita bicara masalah mengenai content yang saya teiti Pak, bagaimana Jurnas
memandang daerah pemekaran wilayah?
JN
Pemekaran baru harus dikontrol, itu judul besarnya seperti itu. Makanya 2 tahun yang lalu
kalau tidak salah ketika ada usulan moratorium pemekaran daerah kita “getol” sekali yang
akhirnya pada saat itu dimoratorium betul, karena kita anggap pemekaran salah kaprah.
Pemekaran sudah tahun sekiantidak tahu persis ukurannya seperti apa masih ”netek” pada
induknya, APBD-nya minus. Di Aceh, ada satu Kabupaten yang minus kalau begitu untuk
apa ada pemekaran bahkan kita dorong untuk dikembalikan ke Kabupaten induk. Jadi
ketika pemekaran sudah tidak rasional ditambahi lagi berita darikawan-kawan kita, yang
jelas menceritakan bahwa pemekaran daerah menjadi isu segelintir tokoh daerah yang
ternyata ada maunya dengan pemekaranitu menjadi tersirat, ditambah korupsi juga daerah
kurang jelas dan segala macam, jadi hati-hati dengan pemekaran daerah. Tertentu kita
setuju dengan moratorium, tapi untuk daerah tertentu kita dorong menjadi pemekaran
contoh waktu itu koran kita muat, dan dot com kita juga muat yaitu kabupaten Bogor yang
sangat-sangat luas, lalu DPRD sudah bersepakat untuk memecah Kabupaten Bogor
menjadi Bogor Barat, ada potensi ekonominya sekian, penduduknya sekian, dan segala
macam sangat pantas dipecah maka kita dorong. Tapi untuk kasus yang Aceh, saya lupa
Kabupaten apa, justru kita dorong untuk digabung kembali dengan kabupaten induk.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Kalau melihat dalam pengaturan pusat dan daerah tentang revisi undang-undang tentang
otonomi yang asimetris misalnya seperti kasus Jogja, Kasus Aceh, Kasus Papua, kasus
Jakarta itu bagaimana Pak dari Jurnas perspektifnya ?
JN
Pertama untuk daerah-daerah khusus, ketika kita ngomong daerah khusus Papua kita harus
berdiri di Papua, ketika kita ngomong DIY kita harus berdiri di DIY kemudian
menggunakan kacamata Jogja bukan menggunakan kacamata yang lain, Aceh ya Aceh.
M
Karena saya melihat Jurnas sangat konsentrasi sekali dengan Papua, terutama tulisantulisannya mas Velix itu.
JN
Papua karena otsus dananya sangat besar kalau tidak salah 16 Trilyun, itu yang pertama
karena dananya tidak sedikit meskipun Papua memang butuh dana yang tidak sedikit,
intinya 16 Trilyun kalau dibandingkan dengan daerah lain pada mengincar semua maka
kita kawal. Sementara tingkat kesulitan pengembangan wilayah Papua kita tahu, mau
dipecah menjadi beberapa provinsi pun tetap sulit, apalagi dipecah menjadi provinsi
dengan penduduknya hanya 500.000 jiwa itu kan tidak mungkin, Papua itu sulit sekali dan
kita harus pahami itu. Sehingga memang harus khusus tapi harus dikawal, dan kita kawal
habis Papua itu kalau ada sedikit orang Papua korup (adanya tendensi korup) kita geber,
termasuk kasus Pak Barnabas Suebu dan Bupati Biak yang baru ketangkap kemarinkita
beri porsi yang besar.
M
Itu apa tidak ada misalnya telepon dari Istana atau apa karena Papua harus diperlakukan
khusus ?
JN
Karena presiden kita terbuka, kalau korupsi ya ditangkap sesuai proses hukum tidak ada
hambatan bagi kita untuk memberitakan seperti itu.
M
Kalau untuk kasus Jogja sendiri bagaimana Pak mengenai otonomi secara khusus karena
kemarin kan ada fiksi antara pusat dan Jogja ?
JN
Kelihatannya itu di pusat, tapi masih analisis saya pribadi karena diterjemahkan oleh
Kementerian Dalam Negeri, Mendagri yang tidak paham Jogja atau semata-mata undangundang bahwa gubernur harus dipilih demi demokrasi dan segala macam sehingga
mengetes dalam air coba digulirkan isu gubernur harus dipilih, ketika ditentang habis oleh
masyarakat Jogja terutama atau orang yang paham Jogja dan sebagainya paham undangundang juga kalau dipikir undang-undang keistimewaan Jogja, akhirnya kemendagri tidak
”kenceng” lagi dan menjadi tidak ada apa-apa sekarang, kembali kepada penetapan.
M
Bagaimana mengenai dinasti politik karena saya melihat Jurnas terutama mengenai kasus
Atut sampai menjadi headline di halaman pertama?
JN
Hari ini Atut vonis 10 tahun cover headline, sekarang hampir pasti headline kembali.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Jadi memang concern terhadap kasus ini Pak?
JN
Kita memang mengharamkan Politik Dinasti, mau berdalih semua kami lakukan sesuai
tahapan demokrasi, sesuai undang-undang dan segala macam tapi ujung-ujungnya bupati
yang sekarang penggantinya adalah istrinya kemudian periode yang berikutnya akan
anaknya maka itu akan bahaya, tidak sehat sehingga kita menentang soal politik dinasti.
Kebetulan SBY waktu itu juga komentar bahwa politik dinasti tidak sehat. Dan janji DPR
waktu itu akan diakomodasi dalam undang-undang sehingga politik dinasti akan ter-rem
dengan undang-undang itu, hanya sampai sekarang belum terwujud. Saya kira itu bagus
kalau sampai terwujud.
M
Bagaimana Jurnas memandang korupsi elit lokal Pak, karena di daerah ini kita lihat selain
dinasti politik ada juga isu-isu tentang korupsi elit lokal Pak ?
JN
Kalau kita cermati hal-hal yang dilakukan KPK selama ini dalam beberapa masa terakhir
ini, mayoritas korupsi lokal. Kasus Akil Mochtar, oke Akilnya namun jangkarnya itu tokoh
nasional ketua MK tapi yang menyuap dia itu di Lebak lalu Gunungmas, terakhir
Palembang, sebelumnya Raja Bonaran Situmeang, Tapanuli Tengah, daerah semua itu.
M
Jadi Jurnas lebih concern untuk mendorong KPK ke daerah?
JN
Kita setuju meskipun isu itu mereda, KPK akan buka perwakilan atau apapun itu namanya.
Kita setuju KPK punya perwakilan di daerah, dan kita mendorong itu karena lembagalembaga audit juga punya perwakilan-perwakilan di daerahmisalnya BPK di daerah,
BPKP. Kenapa KPK tidak punya ketika fakta korupsinya seperti ini? Rasanya sangat layak
KPK punya perwakilan di daerah, kebetulan peradilan tindak pidana korupsi juga sudah
ada di sejumlah daerah; Bandung, Surabaya, Semarang.
M
Berkaitan dengan Jurnas yang dekat dengan Pak SBY, misalnya di daerah ada kader
Demokrat atau DPRD atau Bupati apa tidak ada intervensi untuk pemberitaan misalnya itu
tertangkap KPK ?
JN
Tidak ada sama sekali, sampai detik ini saya belum pernah mendapat teguran apalagi
pengarahan. Siapapun yang korupsi proses sesuai dengan hukum, sudah berulangkali
presiden “ngendika” seperti itu. Jadi siapapun di depan hukum sama, terutama saat
puncaknya Beliau mengatakan seperti itu ketika Aulia Pohan. Meskipun dalam hatinya
Beliau menangis namun tetap siapapun di depan hukum itu sama.
M
Itu memang dilema Pak.
JN
Dan kenyataan, Hambalang dan segala macam, Anas, Hasanudin, Angelina Sondakh,
selalu kita cover-kan malah justru cover yang paling penting kita tidak beropini atau
menggiring opini itu yang penting. Beda lagi mungkin menggiring opini „Tetapkan Ibas
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
sebagai tersangka apa‟, kalau kita tidak. Berita koran hari ini atau kemarin ya, „Ibas 100
persen fitnah‟ kita tidak menghilangkan/menyembunyikan berita semacam itu.
M
Jadi tidak ada intervensi apapun seperti itu ya Pak?
JN
iya, tidak ada intervensi apapun.
M
Tentang pilkada gubernur Pak, selama ini kan ada tarik-menarik antara satu sisi Pilkada
langsung, satu sisi dipilih oleh DPRD, satu sisi ditunjuk oleh pemerintah pusat, itu
bagaimana perspektif dari Jurnas sendiri.
JN
Kalau melihat dari kacamata penuh demokrasi, setiap kepala daerah misalnya dari lurah,
bupati,dipilih itu mungkin baik dari kacamata demokrasi tapi dari kacamata efektivitas
birokrasi apakah efektif. Pemerintah waktu itu mengambil jalan tengah untuk gubernur
dipilih oleh DPRD, bupati dan seterusnya ke bawah tetap dipilih oleh rakyat karena jabatan
yang langsung memiliki wilayah, kalau gubernur mengepalai daerah-daerah yang sudah
ada kepalanya atau semacam koordinator wilayah (korwil) itu dipilih oleh DPRD. Saya
kira itu hal yang baik, kita cenderung setuju gubernur dipilih oleh DPRD karena dapat
mengurangi ongkos dan segala macam meskipun itu mengurangi demokrasi sebenarnya
tapi ok lah. Demokrasi tidak mesti dipilih langsung, memang jelek ? Kalau dipilih dari
DPRD dari sekian kepala daerah kenapa tidak ? Mungkin jadi semacam pilot project juga,
kalau gubernur dipilih DPRD akan seperti apa. Karena kita sudah sedemikian sering dalam
satu periode kita berapakali memilih langsung, sebanyak 6 kali. Apakah demokrasi yang
se-masif itu masih ada rasa demokrasinya ? Kalau begitu orang menjadi mekanis saja
karena tidak ada rasa demokrasinya lagi. Apalagi demokrasi “wani piro” konkret sekali di
masalah Akil Mochtar dan jaringannya. Sehingga perlu diskusi terus, masih efektif tidak
pemilu kepala daerah langsung (pilkadal) itu ? Kalau gubernur dulu yang kita pilih melalui
DPRD saya kira jadi jalan tengah mungkin sekaligus test-case. Sebenarnya DPRD provinsi
juga dikawal oleh rakyat juga bedanya rakyat tidak datang ke TPS untuk memilih.
M
Oplah Jurnas selama ini berapa ya Pak?
JN
: Kita ± 30
M
: 30.000 eksemplar Pak
JN
Iya, makanya itu belum menggembirakan sebatas ibukota provinsi itu pun tidak semuanya,
jadi sebagai oplah kita belum menggembirakan. 40 sampai 50 itu awal-awal tapi sekarang
turun karena sulit karena ada persaingan yang cukup pelik.
M
Terus kalau seperti itu apa ada misalnya nanti akan migrasi ke dot com?
JN
Sekarang dibenahi, nanti saatnya pasti migrasi karena tren ke depan orang akan ke dot
com.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Apa akan mengurangi desk kalau nanti ke dot com?
JN
Desk itu kalau di dot com kan kanal, jadi sama. Kanal ekonomi, nasional, nusantara, gaya
hidup, olah raga masih sama.
M
Jadi nanti misalnya ada migrasi, daerah akan tetap tercover Pak?
JN
Tetap mengakomodasi halaman daerah tapi sampai hari ini pun dot com kita ada halaman
nusantara.
M
Bagaimana mendiskripsikan kedekatan Jurnas dengan Pak SBY, apakah Pak SBY secara
personal atau Pak SBY dalam partai Demokrat karena awal-awalnya kan ada Pak
Ramadhan Pohan di Jurnas juga?
JN
SBY itu punya beberapa anak, yang pertama Jurnas, ini Demokrat, dulu ada Blora Center,
Brighten Institute punya Pak Habibie, Hermanto Siregar dan segala macam, Joyo Winoto.
Ada Brighten, Blora, Demokrat, dan ada Jurnas, dalam sekian kali pertemuan yang saya
ikuti dengan SBY, pertemuan sangat terbatas sekalipun Beliau menyebut Jurnas anak
kandung saya. Melihat posisi seperti ini tidak ada hubungan (struktural) apa-apa
sebenarnya, hanya ini semua membeck-up dengan kepentingan yang sama, bagaimana
Beliau ini yang kebetulan menjadi Presiden (SBY sebagai personal) jadi kalau Beliau
selesai menjadi presiden pada tanggal 20 Oktober, ya Jurnas mungkin Beliau akan menjadi
direktur utama atau apa saya juga kurang tahu.
M
Jurnas tetap sustainable ?
JN
Iya Jurnas tetap sustain sebagai paguyuban jadi SBY sebagai personal yang kebetulan hari
ini menjadi presiden dan kebetulan 2 kali. Jadi dengan posisi seperti ini jangan kaget kalau
dulu anggota DPR RI yang bernama Asadin kasus dana haji dan katering, Jurnas paling
jadi headline, banyak orang kaget „orang anggota DPR dari demokrat korup kok yang
memberitakan besar-besaran Demokrat‟ karena apa SBY berkeinginan dengan rezim
Demokrat yang bersih, kalau jadi presiden dengan pemerintahan yang bersih, kalau ada
kotoran bersihkan. Sepanjang kita memberitakan dalam rangka itu membersihkan kotoran
silakan, kita nyaman. Namun jangan sampai menggiring , orang yang tidak korupsi tapi
“disikut-sikut” bagaimana caranya biar dia ditangkap. Percuma saja itu karena KPK tidak
bisa digiring seperti itu, menghabiskan energi juga untuk jualan boleh mungkin. Media lain
melakukan itu untuk jualan tidak mungkin saya begitu. Hanya kalau sudah ditangkap KPK
“jebret” ya sudah, sudah ditangkap. Tapi „hei KPK tangkap itu!‟ kami tidak mau seperti
itu, itu namanya opini penggiringan.
M
Jadi kedekatannya secara personal dengan Pak SBY, namun Pak SBY tidak pernah
melakukan intervensi atau titip-titip apa.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
JN
Kita bertemu Pak SBY bukan di istana tapi di Cikeas karena ini personal, SBY kan rapi,
kalau salah ya salah.
M
Termasuk pendanaan juga waktu awal-awal Pak ?
JN
Kalau pendanaan asumsinya tidak punya uang, tapi Beliau punya investor di sini, selalu
dari investor.
M
Investornya dari dalam atau dari luar negeri biasanya Pak ?
JN
Tidak boleh luar negeri, dalam negeri investornya. Dulu Rupert Murdock mau beli ANTV
kendalanya peraturan. Bisa saja pakai PT dalam negeri, kemudian Rupert Murdock
mentransfer, mentransfer saja sekarang sudah jadi masalah, ngeri PPATK.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Lampiran
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan : Bambang Sigap Sumantri (Kompas)
M
Isu yang saya teliti tentang otonomi daerah, menurut pandangan/perspektif Kompas
otonomi daerah itu bagaimana Pak ?.
K
Otonomi daerahkan itu sejalan dengan kemajuan/demoratisasi disini, di Indonesia ini.
Sehingga itu menjadi pusat perhatian di Kompas sejak awal.Artinya tentu sejak
berbarengan dengan reformasi itu. Salah satu buah dari reformasi itu sejak tahun 1999 ada
UU itu. Kemudian catatan 2000 itu ada head line nya juga yang berlaku mulai otonomi,
Januari atau apa yang itu menjadi salah satu untuk mencerminkan perhatian Kompas
terhadap otonomi kalau mau dilihat segi Kompas perhatian terhadap otonomi, sebenarnya
head line Kompas yang tahun 2000 itu saya kira mulai dari itu pencermatannnya sampai
kemudian revisi yang sekarang, head line Kompas sekarang kan tentang pilkada. Jadi
otonomi daerah menjadi salah satu isu utama, yang di sorot oleh Kompas karena
berhubungan dengan demokratisasi dan perkembangan demokrasi. Saya kira
“Mendemokrasikan”. Jadi itu menjadi isu yang sangat penting.
M
Di Kompas ada halaman khusus tentang otonomi daerah Pak ?
K
Tidak ada, dulu kita awal-awal itu punya. Kalau disebut halaman khusus juga bisa, tapi
tidak ada harian, tidak ada rubrik. Ada satu halaman khusus untuk memotret otonomi
daerah lalu jadi buku. Bukunya itu sampai 5, tebal-tebal itu tentang potret otonomi daerah
sampai sekarang sudah 550 data, 10%-nya kota dari 900-an. Kompas sejak itu, saya
waktu itu ditugaskan menulis tiga, saya pernah menulis tentang kabupaten di Jawa
Tengah, Rembang saya pernah tulis. Kemudian 2000-2001 saya ke Bali, tugas disana,
sebagai wartawan Kompas di Bali, saya menulis juga 2 kabupaten atau satu, tentang
kabupaten di Karang Asem dan saya wawancara dengan bupatinya waktu itu juga dan
hasilnya dimuat di rubrik khusus tentang otonomi lalu setelah itu dibukukan. Itu kan
contoh-contoh dan saya kira kemudian juga untuk selanjutnya konsisten Kompas
mengangkat berbagai banyak hal. Otonomi itu tidak hanya dari segi pemerintahan, tidak
hanya dari segi politik, bagaimana juga masyarakat itu berdaya upaya setelah ada ini,
kemudian Kompas itu kalau kita cermati ada halaman-halaman khusus. Contohnya
mungkin beberapa tahun, 5 tahun atau lebih, setiap sabtu misalnya ada tanah air. Tanah air
itu upaya Kompas untuk memotret kehadiran, sekarang, kekinian dari daerah-daerah di
seluruh indonensia yang berprestasi, unik, menarik, kemudian juga setiap di halaman 1
kemudian biasanya plus ditambahkan lagi, didalami lagi di halaman nusantara, kita punya
halaman namanya halaman nusantara, biasanya halaman 1 satu plus halaman 23 atau 24,
itu satu halaman. Kita konsisten terus melihat, mengawal, memotret mengambilkan
perkembangan daearah.
M
Apa ada wartawan yang ditempatkan di daerah ? Atau desk daerah ?
K
Kalau harian Kompas sejak dulu sejak sebelum otonomi kita sudah kita punya. Saya kira
sejak tahun 80-an itu Kompas sudah punya desk daerah, namanya sekarang menjadi
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
nusantara. Karena Kompas itu koran nasional. Koran nasional itu adalah koran yang
meliput,menjangkau sampai seluruh indonesia, bukan hanya Jakarta. Konsekuensinya
sebagai koran nasioanal, wartawannya tersebar di seluruh Indonesia, memang sejak lama
kita sudah punya. Mulai dari Aceh sampai Papua, itu ada semua, menjadi desk menjadi
bagian tersendiri Kompas , itu kan desk, ini desk yang paling besar, karena pernah sampai
90 wartawan, sekarang masih terbesar, sampai sekarang masih sekitar 72 wartawannya
jadi desk nusantara sekarang namanya.
M
Selain ada desk nusantara/wartawan di daerah itu, apakan Kompas juga mengambil dari
alinasi media atau Antara ?
K
Kalau Antara iya, Antara itu iya dalam konteks, secara umum saja, Antara itu fungsinya
lebih ke titik awal dari sebuah berita jadi tidak secara spesifik menyumbang di otonomi.
Tapi kalau misalnya ada kejadian di Maluku kita tidak ada, jadi kita ambil dari Antara.
Saya kira itu keharusan Kompas monitor Antara, untuk melihat jangan sampai kita lolos,
kalau ada kejadian di pelosok di nusantara.
M
Desk daerah apa ada di tiap provinsi ada, di 34 provinsi ?
K
Ada yang tidak, ada yang digabung, jadi misalnya Bengkulu itu menjangkau misalnya
Sumatra tidak setiap provinsi, Babel misalnya tidak ada, bisa dijangkau dari Riau atau
dimana. Jadi memang tidak 34 provinsi ada, itu memang fungsinya Antara kemudian
yang jeli sekaligus kita kebetulan juga ada jaringan dengan Indopersda, dengan Tribun Tribun itu, kadang-kadang kalau memang kurang lengkap kita bisa minta.
M
Tribun sendiri posisinya bagaimana, ada yang bilang dibina Kompas, anaknya Kompas
Pak ?
K
Memang anak nya Kompas tetapi sebagai perusahaan sendiri yang bersinergi. Katakanlah
dulu ada, waku itu awal-awal di padang, wartawannya kesini, kan tidak ada, jadi kita
minta tolong Tribun , awalnya-awalnya,tapi kemudian esoknya sudah terbang kesana.
M
Tribun posisinya apa seperti Bernas ?
K
Iya, posisinya seperti Bernas.
M
Karena itu menjadi unik karena koran baru dan bisa menjual dengan Rp.1000 dulu, kalau
sekarang Rp. 2000.
K
Tribun itu bukan bernas. Tribun itu bisa seperti itu karena jaringan tadi, ANTARA.
M
Apakah tidak ada komplain terhadap Tribun , teman-teman di daerah merasa harganya
menjadi bermasalah, ketika Tribun berani ambil harga Rp.1000, dan mereka taunya Tribun
itu bagian dari Kompas .
K
Mungkin dari KR, atau yang lain, kita tidak sampai disitu, itu kerja sama dengan Tribun
lebih banyak di pemberitaan, di konten, permasalahan.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Jadi bukan sisi manajemen ?, maksudnya manajemen pemasaran, pada training wartawan.
K
Tidak seperti itu, lain, dulukan cuma pelopornya juga, pemimpinnya dari sini 1, 2 orang, 3
atau 4 oranglah. Tapi setelah tumbuh, berkembang sendiri, dimonitor aja. Sekarang hampir
semua dari Tribun . Dari Kompas cuma 1, Pak Herman Darmo itu yang direktur, dari
Kompas, tapi selain itu sudah tidak.
M
Iklan apakah ada korelasi dengan berita-berita Otonomi Daerah ?, misalnyaPilkada
langsung kemudian mereka beriklan di Kompas atau berita lain ?
K
Iklan jarang karena mahal, iklan Kompas mahal, jadi agak susah, kalau pemerintahan
daerah kalau mengeluarkan iklan itu juga prosesnya panjang, harus berhubungan dengan
DPR segala macam dan mahal lagi. Kalau iklan kelihatannya tidak.Tapi kalau sirkualsi,
memang, kalau ada berita misalnya tentang Banyuwangi, itu biasanya ada dari
Banyuwangi sana meminta tambahan oplagh.
M
Kalau dulu ada berita seperti Kompas edisi Yogya itu sekarang kenapa gak ada, yang
khusus Pak ?
K
Lembaran mungkin, sekarang lembaran daerah gak ada memang, kalau Kompas Yogya
dulu ada, karena disitu kan, karyawannya banyak, ongkos produksi kerja besar, untuk
cetak, macam-macamlah
M
Kalau tentang persebaran media sendiri, berapa oplahgnya Kompas sekarang ?
K
Kalau harian 500 ribu, kalau Kompas miggguan 600ribuan, Kalau untuk daerah, oplagh
yang paling besar selain DKI, DKI itu hampir 45%, jadi sekitar 55% diluar DKI,
memang Jawa, yang nomor 2 itu Jawa Barat, Jawa Tengah , Jawa Timur, setelah itu
Sumatera mungkin.
M
Proses produksi berita bagaimana di Kompas ? kemudian supaya bisa memilih ini yang
ditampilkan, ini yang tidak, ini yang disortir, parameternya apa ? Apa 5W+1 H ?
K
Kita tiap pagi mulai jam 9, itu sudah ada rapat pagi. Rapat itu merencanakan, setiap desk
itu ada 12 des, Kompas itu rapat jam 9 untuk menuntikan termasuk dari desk daerah tadi,
mengusulkan apa di pagi itu, kemudian di monitor, dikawallah oleh wakil redactor
pelaksananya, selama pagi itu sampai sore bagaimana, proses beritanya, apakah targettarget yang ditetapkan rapat pagi itu, bisa tidak ? dapat tidak ?, dikawal supaya dapat.
Kemudian jam 4 sore rapat lagi, rapat itu rapat budgeting atau rapat listing beritayang
sudah diperoleh. Dari rapat itulah kemudian masing-masing desk itu berdebat, menjual
beritanya untuk di halaman 1. Kemudian memang, disitu kita menjual, yang paling
penting itu biasanya peristiwa, kalau daerah itu, kalau wacana tidak kita terima. Peristiwa
di daerah seperti kemarin itu TNI sama Brimob, itu yang laku, tapi kalau diskusi biasanya
itu kita lewatkan, diskusi itu,tingkat wacana itu biasanya kita ambil yang dari Jakarta,
karena wacana itu yang menentukan yang di tingkat nasional, tokoh-tokoh nasional, kalau
yang menarik, kalau dari daerah itu seperti misalnya korupsi lah, hal yang sebanyak itu,
kejadian-kejadin korupsi di daerah itu biasanya sebagai peristiwa yang tadi yang
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
hubungannya dengan mengawal demokratisasi, apa-apa itu kita ambil ditempat, kejadian
yang menempati halaman 1 atau halaman 15.
M
Kalau tentang otonomi sendiri apa yang bisa menarik dan ditampilkan oleh Kompas, apa
hanya korusi saja atau ada yang lain ?
K
Tidak, seperti beberapakali prestasinya daerah terutama sekarang. Kalau dulu kita telah
menampilkan,sejak tahun 2000 sudah ada profil-profil daerah. Lalu yang saya kira yang
terakhir itu misalnya, prestasikan sekarang banyak sekali, ada bupati Aswar Banyuwangi
itu, ada bupati Bantaeng Nurdin, ada Ridwan Kamil, ada Risma, saya kira banyak sekali.
Jadi hal-hal yang menarik, yang saya kira mungkin kemarin kita mulai di Jakarta sendiri,
jadi tidak hanya yang negatif, misalnya seperti koruspiiya tapi juga prestasi, yang di
Yogya, misalnya dulu walikota Bupati Herry Zuhdianto, itu kan sering, sudah sangat
sering kita tampilkan, jadi gagasan-gagasan, ide-ide kreatif dari daerah sekarangmendapat
tempat di Kompas, katena itu kan bisa arah kita menjadi inspirasi juga bagi daerah lain.
M
Saya sudah me-listing beberapa isu yang muncul di Kompas dan sudah saya analiasa
dengan framing, ada beberapa isu yang muncul di Kompas. Ada pemekaran daerah, ada
otonomi khusus terutama di Yogya, Otonomi asimetris kalau kami di Kemendagri
menyebutnya, dinasti politik, korupsi elit lokal dan Pilkada Gubernur 2012-2013, ada 5 isu
yang muncul di Kompas , menurut Kompas sendiri, dalam perspektif Kompas, bagaimana
Kompas memadang pemekaran wilayah ?
K
Pemekaran Wilayahitu, arah goal-nya itu kesejahteraan rakyat, jadi kita memandangnya
selalu kembali kesitu apakah daerah otonomi baru itu berhasil mensejehterakan rakyatnya
atau enggak, selama ini ada yang tidak, banyak yang tidak saya kira. Kita melihatnya
pemekaran daerah itu harus berujung pada kesejahteraan rakyat bukan pada permainan dari
elitnya. Jadi kalau selama ini Kompas selalu mencermati, kalau pemekaran daerah itu
menjadi salah satu permainannya para elit politik untuk berinteraksi diantara mereka, take
and give, itu yang saya kira harus dkawal terus, supaya hal itu tidak terjadi, kita
kembalikan bagaimana dari berbagai segi artinya kita juga meminta ke Mendagri, saya kira
Mendagri yang Pak Gamawan ini oke, ada konseplah, kita selalu orietasinya kembali ke
situ, yang masih harus kita tekan dari DPR, dari DPR nya kita selama ini mengkritisi,
saya kira dengan keras supaya menghentikan pemekaran itu, kalau itu memang daerahnya
tidak siap atau hanya jadi permainan tadi.
M
Kalau tentang pengaturan daerah, terutama tentang
padangan Kompas bagaimana ?
K
Kalau Kompas melihat Keistimewaan Yogya itu harusnya tidak terlalu jauh dari sejarah
itu sendiri artinya sesuai UUD. UUD juga menjamin relasi hubungan pusat dan daerah itu
juga terbentuk dari sejarah itu. Waktu itu kan kitaselalu mencoba meletakkan posisi Yogya
itu. Bagaimana sumbangan Yogya terhadap tegaknya republik ini. Bagaimana waktu awalawal Yogya, sebenarnyakan Yogya ini kan tidak hanya keraton. Sebenarnya yang istimewa
itu rakyatnya, rakyatnya istimewa, kalau kita baca, dari awalnya, itu kan mengapa HB IX,
kemudian menyatakan sebagai ikut bergabung dengan NKRI, itu karena dia memonitor
rakyatnya, HB IX itu menggandeng masyarakat Yogya. Masyarakat Yogya itu sejak 1900an itu kandi situ sudah mekar sudah melek pendidikan, melek ilmu, kosmopolitan mirip
Keistimewaan Yogya, menurtut
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
itu, dagang, itu terbentuk karena apa ?, kereta api itu sejak 1870 mulai dibangun jaringan
kereta api Yogya itu kan di tengah, jadi itu kemudian orang-orang itu belajar, dagang,
ekonominya juga mekar, belajar memasarkan batik ke Jakarta, ke Surabaya, ke Semarang,
tempat-tempat pertemuan secara sosial. Ini dijadikan tempat peluang jadi kalau ada
pertemuan, misalnyaYogya dipakai oleh Soekarno dan kawan-kawanya bertemu,
ekonominya berkembang, sekolahnya, sekolah misi Zending itu kan di situ, studi awal
1900-an sudah ada sekolah yang didirikan karena politik balas budi, itu perkembangnnya
disitu. Muhammadiyah dan Cipto Adisuryo berkembangnya disitu, bahkan sebelum
Taman Siswa. Itu benih-benihnya masyarakat. Masyarakatnya sudah melek, ini kemudian
mengapa HB IX bisa sangat terbantu menjadi bersikap nasionalis, itu karena
masyarakatnya itu, Ki Hajar setelah tanggal 17 berkeliling dengan sepeda berkeliling
Yogya, berteriak Merdeka ! Merdeka !, Ini kemudian masuk radio, RRI kan di Yogya ada,
radio umum mengumandangkan. Kalau waktu itu HB IX tidak menyatakan dukungan itu,
sejarah keistimewaan Yogya akan menjadi lain, seperti Solo, mirip-mirip seperti itu lah ini
karena tekanan juga dari masyarakat Yogya, inikan unik juga, ada potensi besar dari HB
IX yang manunggal dengan rakyatnya. Tidak seperti Solo karena dari pribadi si HB IX itu
sudah unik. Beliau yang satu-satunya pangeran yang mendapat keris Joko Piturun dari HB
VIII, HB IX itu didik dengan sangat egaliter, sangat kerakyatan, Beliau di didik bukan di
Kraton, tapi dipondokkan, Beliau pertama mondok di Bandung, Semarang, Yogya,
sebelum kemudian dia belajar di Belanda, lain dengan Solo, orang ini unik, sifat
kerakyatan memang tumbuh dan ditumbuhkan oleh Bapaknya, jadi antara HB IX dengan
masyarakat sudah menyatu. Nah ini titik awal dari sejarah keistimewaan Yogya saya kira
dari situ, yang kemudian saya pernah tulis. Kalau kasus Florence sms HB X ketika ada,
itu bagi saya tidak benar, ketika kemudian dia sampai di tahan, di bully, okelah, tapi
kemudian ditahan itu tidak benar, apalagi dia sudah minta maaf, untunglah kemudian
berubah sikap, apalagi di UGM salah sangat besar, untung dirubah. UGM itu juga besarnya
juga dari keraton, UGM itu nebeng Keraton, besarnya dari rakyat, dari rakyat dari
pendatang, UGM besar karena pendatang. Yogya pertamanya 1946 menjadi ibukota
republik, nasional, waktu itu Yogya ketika pindah ke sini isinya pejuang, Siliwangi, jadi
agak-agak tentram,karena pejuang tidak bisa perang terus, dia harus pendidikan, harus
kembli ke ilmunya, ke sekolah, di UGM, itu sudah wujud ke Indonesiaan dari situ,
makanya tidak bisa dilupakan, itu makanya jadi istimewa, sejarah yang besar dari situ.
Sampai seperti sekarang ini, makanya kita harus selalu mengawal, supaya meletakkan
posisinya, perkara tidak menyimpang kemana-mana.
M
Bisa disebut Kompas memihak keistimewaan itu?
K
Berpihak pada keharmonisan iya, betul.
M
Pada sisi lain ada juga yang misalnya meminta bahkan UGM, juga teman-teman di
pemerintahan itukan mengajukan pada satu sisi Sultan tetap di Keraton , namun pada sisi
lain ada gubernur, menurut Kompas sendiri bagaimana ?
K
Itu dinamika saja yang dari UGM, begitu yang saya kira, kita kan selalu mengembalikan
keistimewaan itu bukan hanya di keratonnya, jadi perspektifnya, jadi bagaimana supaya
kita juga mengawal adanya Perdais. Perdais ini kan harus, Kompas ada kewajibannya,
tapi juga pers bagaimana melihat supaya dana Perdais yang hampir 1 triliun. Itu tidak
hanya untuk keraton, awalnya memang okelah, tapi nanti bagaimana supaya menjadi untuk
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
rakyat sendiri, supaya selalu terjaga nilai-nilainya, nilai-nilai solidaritas, nilai-nilai
guyubnya, kemudian nilai-nilai inklusifisme, dana Perdais itu harusnya untuk itu, karena
yang membuat Yogya itu berbeda dengan yang lain, bukan hanya ada keraton.
M
Isunya di Yogyasendiri, Yogya menjadi sumpek, dulu itu namanya Herry Zuhdianto itu
namanya Wagiman, walikota gila taman, sekarang Wagihot, Walikota Gila Hotel. Seperti
juga sekarang di Sleman, itu yang membawa ketakutan saya itu, ada reklamasi besarbesaran sawah-sawah itu menjadi perumahan-perumahan elit, dulunya kan perumahan elit
dulu itu hanya Merapi View, sekarang sepanjang jalanKaliurang, banyak perumahanperumahan elit berpagar-pagar tinggi, menjauhkan jarak dengan rakyat sekitarnya, tapi
yang menarik adalah isu-isu, misalnya hotel-hotel di Yogya juga berhubungan dengan
pihak keraton atau juga tanah-tanah yang bermasalah, yang ada kemudian kemarin ada
Festival “Yogya Ora Didol”, terus ada juga beberapa coretan grafiti tentang tentang tanah,
bagaimana Kompas memaknai keistimewaan menjadi simalakama ?,
K
Kompas itu melihatnya kalau itu juga masalah, tapi tidak terlalu besar, sebenarnya harus
segera diklarifikasikan, itu adalah proyek Kulonprogo, tambang, Kalau itu jelas tanahnya
Sultan dan tanahnya Paku Alam tetapi selama ini sudah dikelola oleh rakyat, jadi rakyat
sudah oke, sudah selama ini itu kan terbengkalai itu kan sudah sekarang menjadi tanah
produktif, kalau sudah tanah produktif itu kan kembili ke nilai yang diajarkan HB IX,
tahta untuk rakyat, harusnya jangan dijadikan tambang, jadi tidak usah masuk kesini Paku
Alam sama keraton. Itu yang seharusnya mewujud, tahta untuk rakyat, itu disini, itu titik
awal, lalu sangat jelas, ini rakyatnya sudah oke, tinggal kemudian katakanlah lebih jauh
lagi harapannya kita mendorong supaya petani disitu makin jadi dapat perhatian dari
keraton supaya makin sejahtera, kan seperti tanah Tanah Ngidung, Ngidung Magersari ada
budget nya tapi kecil, 10.000 setahun. Seperti itu aja polanya, lebih elegan, kalau yang tadi
itu dinamikayang lain lagi, dinamika yang kompleks, bisa jadi saya kira akhirnya keraton
kemarin bersuara, tapi sudah terlambat, keraton kemarin mundurlah, HB X kemarin sudah
ngomong, tapi sudah seperti ini. Sudah terlambat, tapi kan itu kan kompleksitas saya kira,
karena bukan hanya tanah keraton. Itu lebih baik orang tanahnya keraton, tidak ada
kontrol dia, kontrol dia ini sebenarnya, menjadi tambang pasir besi.
M
Kalau untuk daerah lain tentang pengaturanpusat-daerah karena UU No. 32 Tahun 2004 itu
kan ada tarik menarik tentang dimana letak otonomi, karena ada yang letaknya di provinsi,
letaknya ada di kabupaten/kota. Kalau Kompas sendiri perspektifnya ?
K
Yang kurang itu sebenarnya koordinasi, sekarangkan seperti ada raja-raja kecil gitu, raja
kecil ini, raja ini tidak hanya bupati ya, raja itu itukan kayaknya absolut, sudah menjadi
tidak bisa dikritik, tidak bisa diberikan masukan, itu yang terjadi kan kayak itu seperti itu.
Misalnya Atut, kasusnya Ratu Atut itu sejarah panjang sejak dari bapaknya. Saya kira itu
yang perlu, karena dari segi relasi antara pusat dengan daerah itu lemah, tidak bisa apa-apa.
Saya kira harus ada penguatan mekanisme ini, tujuannya justru untuk melindungi
kesewenangan kasus itu, memang setiap kebijakan, keputusan adanya resiko, yang kita
akan kawal lagi fungsinya.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Kalau tentang Dinasti Politik bagaimana Media Kompas melihat ?
K
Selalu tidak baik, kalau kita inginnya bahkan di parpol tidak ada dinasti politik. Jadi kita
pokoknya inginnya itu selalu ada batasan-batasan, tentu juga karena ini menyangkut
regenerasi, menyangkut masa depannya generasi muda, makanya kita selalu beberapa kali
menyoroti ini, saya mau kayaknya menyadarkan dalam tanda kutipnya bahwa ini tidak baik
untuk partai itu sendiri, tidak baik bagi daerah itu sendiri,tidak baik untuk bangsa ini,
mengapa kita harus membatasi dua kali periode, karena kasus Suharto yang 32 tahun itu,
supaya tidak terjadi kasus lagi.
M
Untuk beberapa kasus yang spesifik, misalnya seperti kasus Atut tadi, yang kalau di
Banten ada joke, ada gubernur, ada gubernur jenderal, yang kemudian itu menjadi
Dinasti, ada beberapa tulisan yang ada misalnya, itu bagmana Kompas memandang dan
bagamana Kompas misalnya menyandingkan, misalnya isu mengapa keraton tidak
dianggap sebagai dinasti ?
K
Kalau ini kan pembangunan, kalau keraton kan lain. Kita memandang keraton itu, tidak
setiap keraton itu mempunyai punya elitas politik, kecuali kalau kita kemudian masuk ke
Yogya lagi, tapi kalaukeraton lalu kan tidak berpengaruh, tapi kalau ini memang
menguasai asset-aset sosial politik ekonomi, Atut tadi, kita lihat saja disitu, penguasaan itu
yang kemudian tidak menjadi tidak demokratris, hak-hak rakyat benar-benar tidak
dipenuhi. Walapun dia dipilih rakyat bagaimana prosesnya ?, Soeharto juga dipilih,
kemudian yang jelas itu kan “keadilan”, Kompas sering menyoroti waktu ada suatu berita
Atut, ketika Atut pamer kemewaha ,adiknya macam-macam itu pamer, glamor, seperti
Wawan itu, kemudian dimana-mana Atut tersenyum di balihonya, tapi potretnya di
bawahnya, di sekitanya itu, kita lihat jalannnya rusak, kesehatan buruk, kemiskinan
meningkat itu sangat diperhatikan. Kita lihat kesitu dan itu yang kita kaitkan, waktu itu
beberapa kal iKompas memuat semacam itu kasus nya begitu, Kasus Atut itu, frekuensi
nya cukup besar pada dinasti politik ini
M
Tentang Korupsi elit lokal bagaimana pandangan Kompas tentang korupsi elit lokal, tadi
kan ada istilah bapak raja-raja kecil, ada juga ada beberapa statemen para ahli misalnya
Mas Revrisond Soni Baswir bahwa otonomi ini kemudian membuat adanya korupsi
terdesentralisasi, dan sebagainya itu bagaimana?
K
Ya betul, Kita juga setuju dalam arti kita mengamati juga kalau adanya otonomi, adanya
pelimpahan kekuasaan di daerah itu juga ternyata dibarengi juga oleh otonomi yang justru
lebih banyak bahkan, kita sering memuat datanya hampir 200/300 yang tersangkut kasus
korupsi oleh elit lokal, mulai dari Bupati, Gubernur, Wakil, sama DPRD-nya, hampir
semuanya yang menjadi keprihatinan Kompas saya kira bahwa ternyata reformasi
menghasilkan otonomi, menghasilkan demokrtisasiasi politik tetapi ternyata juga
menghasilkan penyebaran korupsi yang itu tadi, kami ini di Kompas ingin selalu
mengungkap kasus memprihatikan ini, misalnya di sumatera yang suami istri walikota
yang kota Palembang, walikota Palembang dengan istri keduanya, kemaren juga
Kerawang, saya kira kita tetap dalam kondisi pirhatin, keprihatinan Kompas diungkapkan
dengan cara-cara itu. Jadi pada satu sisi Kompas mendukung otonomi daerah karena
demokrasi, ada kebebasan, tapi juga ada keprihatinan, menghasilkan akses-aksesyang tidak
baik, suatu kebijakan tidak semuanya membuat menjadi baik.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Bagaimana dengan Isu pilkada pada tahun 2012-2013 isunya apakah Pilkada ada di DPRD
atau langsung, kalau Kompas sendiri dalam isu ini bagaimana posisinya, apa lebih setuju
langsung atau DPRD?
K
Kalau yang langsung ya oke, saya kira pencerminan demoratisasi masyarakat itu, yang
harus dijaga sebenarnya, itu kalau ada teman-teman bilang pemborosan, sogok menyogok
itu juga ada di DPRD, iya pemborosan tapi kita melihatnya kalau lewat pemilihan DPRD
tentu lebih bisa dimainkan, artinya uang bisa sangat berperan disitu, karena dengan jumlah
anggota katakanlah di DKI 106 ada dana tak tebatas 1 triliyun, saya kira bisa menang,
apalagi kalau daerah Yogya cuma 50. Saya kira siap dana berapa, ketika Herri Zuhdianto
bertarung melawan Endang, yang Sultan sampai marah-marah karena Endang merasa
paling sugih di Yogya, untung Herry yang menang, itu kalau pilkada di DPRD, bisa
menang Endang itu karena waktu itu PDI mayoritas untungnya Endang kalah, kalau
pilkada langsung ke masyarakat uang tetap ada, tapi agak lebih lebih susah karena
rakyatnya banyak, namun yang kita dorong adalah harus banyak menemukan cara lebih
efisien. Bagaimana kalau kita ikut e-voting mislanya, head line kita beberapa waktu yang
lalu, e-voting lebih transparan, di Bali, di Bantaeng sudah ada, apalagi kalau berpolitik,
politik harus ada trust, saling percaya, kalau tidak percaya ya sudah, ya susah.
M
Kompas melihat pilkada langsung lebih baik ?
K
Dari konten analisis jelas, kita keras kalau itu, dan ke depan ada perbaikan, misalnya
seperti e-voting, kita menyarankan agar itu diperbaiki kalau memang ada kekurangannya.
M
Bagaimana menjelaskan isu misalnya Kompas itu dekat dengan teman-teman Katolik ada
plesetan Kompas adalah Komando Pastur bagaimana menjelaskannya ?
K
Menjelaskan itu ya lewat sejarahnya, itu tidak lepas dari masalah kompetitor, kompetisi,
Kompas itu kan ide dari siapa ? Dari Jenderal Ahmad Yani, bukan dari Pak Frans Seda
dan Pak Kasimo, juga ada videonya, Ahmad Yani itu penggagasnya, Ahmad Yani waktu
itu konteksnya adalah PKI, yang tidak PKI waktu itu dicari orang-orangnya siapa.
kemudian Ahmad Yani ini mengajak Pak Fans Seda, memerangi PKI kan tahun 65
konteksnya, kemudian memang yang mendirikan Kasimo, Frans Seda, kemudian kebetulan
juga jadi besar yang kemudian diplesetkan kemana-mana itu menjadi Komado Pastur,
bahkan kalau kita mau, bisa lihat, yang haji itu berapa ?, Kita tidak pernah menulis di
box, kalau mau tahu, yang ada di box halaman 15, itu yang Islam pasti haji semua.
M
Itu haji sendiri atau perusahaan ikut membantu.
K
Kita ikut bantu, sampai dia terbantu , membantu biasanya mereka ikut meliput sekaligus
juga haji, kalau kita mau begituan, dibiarkan saja, sampai kemudian saya kira beberapa
pemimipin Kompas seperti Mas Surya Pratomo itu juga Islam dan Haji, kemudian
Bambang juga haji. Menurut saya Komando Pastur itu mungkindi titik awal nya juga
sebagian dari PKI sendiri, karena PKI sendiri sangat benci, karena kemudian waktu dulu
pemerintahan Soekarno seperti mempunyai alat untuk lawan PKI melalui Kompas sendiri,
dinamika ini juga kalau bisa masuk bisa lihat itu di awal-awal terbit Kompas 28 Juni itu
ada sejarahnya.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Jaman sekarang apa masih ada tidak intervensi-intervensi dari luar, sepertia ada telepon
dan lain-lain ?
K
Sekarang tidak ada, kalau kekerasan terhadap media sendiri, malah dilakukan dari
masyarakat, kalau menggeruduk untuk demo sih pernah beberapa kelompok, mungkin
karena Kompas disamakan dengan Komando Pastur, banyak juga itu unjuk rasa, dulu
waktu saya di Yogya di demo kantor Kompas yang di Yogya, di demo macam-macam dari
ormaslah dan sebagainya, namun sekarang kalau pemerintah tidak ada, saya dulu pernah
di Bernas, memimpin disana, di Bernas sering dulu zaman tahun 90-an interfensi dari
pemerintah sekarang tidak ada, sekarang lebih ke masyarakat kepada wartawan, ya itu
seperti preman-preman berjubah.
M
Tapi tidak ada yang seperti yang di Tempo ? Kompas belum pernah ya Pak ? Tempo kasus
Tommy Winata, seperti permasalahan Tommy di Tanah Abang.
K
Mungkin karena Kompas agak ruwet untuk masuk, banyak dijaga, sekarangkan kalau ada
apa-apa pintunya cuma satu jadi agak susah, jadi paling lempar bom Molotov. Kalau itu
kami sudah siap, kalau bom Molotov paling sampai di rumput saja. Kalau itu wartawan
sudah tahu. Kalau demo ya biar aja demo disitu saja.
M
Bagaimana tentang kekerasan terhadap wartawan sendiri selama ini,misalnya dalam
meliput kalau itu kan sering ada Pak ?
K
Tapi sekarang bukan atas nama negara, misalnya dari kelompok masyarakat. Biasanya dari
masyarakat sendiri yang mungkin ketidakketahuan saja atau emosi atau tidak suka di
beritakan atau apa ?, dulu kasus di Papua itu, kami di Yogya itu demo, di Papua itukan
ada teman saya wartawan, kameranya dibanting, waktu itu saya telepon ke orang Papua
itu, “Anda kalau mau berjuang tentang Papua mengapa menyakiti wartawan, itu
bagaimana ?” Akhirnya diganti. Kompas nya sendiri sebagai perusahaan selalu siap
advokasi terhadap wartawannya, misalnya ada asuransi untuk peralatan sampai orang atau
wartawan Kompas, peralatan aja diasuransikan, orang apalagi.
M
Bagaimana Kompas memilih narasumber, apakah ada misalnya narasumber yang sudah di
blok Kompas, misalnya narasumber ini cocok untuk otonomi daerah, maka kemudian
Kompas misalnya cocoknya dengan Ryaas Rasyid , jadi Pak Ryaas Rasyid terus jadi
narasumber, atau bagaimana Pak ?
K
Kita punya Ombudsman, yang membawahi Ombusdman Kompas itu dosen anda Pak
Ashadi Siregar, itu tiap bulan, Bang Hadi ke Kompas ada juga Faisal Basri, ada Bu
Nuraini, Bu Suwanta, Bu Nurani, kemudian ada Pak Daniel Dhakidae. Itu orang-orang top
yang jadi polisi Kompas, jadi mereka yang memagari Kompas tidak boleh ini tidak boleh
itu, mereka itu tiap bulan datang kesini untuk memberi masukan kepada Kompas supaya
bagaimana menyikapai hal-hal seperti itu tadi, misalnya kok orang ini muncul terus, kok
tidak ada narasumber lain ya, selalu diingatkan, dalam hal pemberitaan, selain ombudsman,
kita sendiri ada penelitian khusus, kontennya seperti apa ?, jangan sampai condong
kesana-kesini, “tone” ini terlalu banyak, jadi tidak pernah kita nge-blog. Kita sadar kalau
nge-blok berarti hidupnya nge-blog terus. Pers ini hidupnya dari masyarakat, nanti
hidupnya nge-blog terus.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Apakah bisa narusumber itu mempengaruhi redaksi ? misalnya dia wawancara kemudian
dia telepon redaksi ?
K
Tidak, kita kalau begitu, maaf malah tidak kita tampilkan, biasanya kalau sekali seperti
itu , tidak kita wawancara seterusnya, semua orang tahu tidak mungkin Kompas begitu,
mereka tahu tidak akan bisa. Tidak ada intervenrsi, karena kita punya image sendiri, harga
diri juga, posisinya samalah, wartawan Kompas juga tau.
M
Tentang menulis opini sendiri parameter supaya orang bisa masuk dan menyuarakannya ?
K
Menulis opini itu benar-benar kita cari yang mempunyai keahlian di bidang itu, ada
beberapa teman penulis opini itu, yang sekarang aku kok tidak bisa lagi, kadang orang itu
diangap kemana-mana ditanggapi, kitatidak begitu lagi. Sekarang karena masyarakat yang
ahli dalam bidang itu semakin banyak, sehingga jangan masuk, kalau pendidikan jangan
masuk transpotrasi, ke kriminal, dari segi sumbangan pemikirannya juga terbatas, jadinya
umum, yang spesifik dan punya keahlian khusus, kita kearah situ.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Lampiran
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan : Octo Lampito (Kedaultan Rakyat)
M
Menurut perspektif KR otonomi daerah itu bagaimana Pak dan bagaimana KR
memaknai otonomi daerah itu ?
KR
Saya kira ada berapa hal ya, kalau otonomi daerah menurut saya memang sudah
saatnya memang harus dilakukan begitu karena untuk keseimbangan, bagaimana
potensi Yogya terhadap keseimbangan itu sehingga perlu diberikan menurut saya
kewenangan, apalagi Yogya menjadi daerah keistimewaan.
M
Kalau menurut Bapak apakah isu otonomi daerah menjadi isu yang penting di media
KR ?, menjadi salah satu isu yang cukup penting tentang otonomi daerah Pak ?
KR
Tentu, tapi menurut saya justru yang paling penting di media KR adalah justru DIY
itu menjadi daerah istimewa itu yang paling penting, itu menjadi warna-warna kami
ketika perjuangan menuju keistimewaan itu.
M
Terutama untuk Keistimewaan Yogyakarta itu Pak ?
KR
Karena kita memuat banyak, kita punya koran-koran yang tahun sekian bagaimana
memang konsisten perjuangan DIY itu untuk NKRI, kita punya itu bukti-bukti di
sana misalnya bagaimana pengakuan DIY, bagaimana DIY pertama kali
menunjukkan bahwa kami siap menjadi tuan rumah menjadi ibu kota ketika situasi di
Jakarta sana tidak pasti, dan itu harus dicatat oleh pemerintah pusat. kalau DIY tidak
welcome waktu itu, Indonesia bubar saat itu. Tinggal Yogya waktu itu, okelah kami
menjadi tuan rumah dan jangan lupa waktu itu,kami punya itu dokumendokumennya bagaimana Ngarso Dalem IX itu, ketika kemudian dia membiayai itu,
diwawancarai wartawan berapa habisnya nggak pernah Beliau mengaku, dia selalu
mengatakan “untuk negoroku wis ora sah dipikir itu berapapun habisnya” jarang
ditemui kan orang-orang pejabat seperti itu sekarang ini, bahkan Bung Hatta pernah
mengakui pernah digaji oleh Ngarso Dalem waktu selama pemerintahan di Yogya,
dan Sultan itu dengan uang golden Beliau, simpanan pribadi untuk membiayai negara
sebuah negara yang bernama Indonesia, yang masa depannya belum jelas, tapi Beliau
sudah berani untuk itu.
M
Kalau di KR sendiri ada halaman khusus tentang otonomi daerah ?
KR
Tidak ada, tapi kami komitmen ada berapa halaman yang terkait dengan otonomi
daerah itu semuanya jadi satu
M
Kalau saya lihat di KR itu tidak hanya meliput Yogya kan Pak ?, juga ada Jawa
Tengah, berarti apakah ada wartawan desk daerah Pak ?
KR
Ada desk daerah, ada desk beberapa kota (kita punya desk daerah).
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Selain desk daerah, adakah kerjasama dengan Antara atau Reuters atau apa untuk
mendapatkan berita ?
KR
Kita langganan, kita bayar. Cuma Antara ini jarang kita gunakan karena jarang tapi
tetap kita melanggan, Reuter juga iya.
M
Kalau mengenai isu-isu otonomi daerah di seputaran Jawa Tengah dan DIY ini,
apakah menjadi berita yang menarik Pak, tidak hanya di Yogya misalnya ?
KR
Menurut saya juga pada situasinya juga, ada beberapa hal misalnya isu-isu otonomi
daerah (pilkada) mungkin menarik, tapi untuk hal-hal yang begitu sesuatu yang
sudah berjalan seperti biasanya,
M
Jadi tidak ada prioritas khusus, misalnya kalau ada pilkada di Semarang misalnya
atau pilkada di Kebumen atau apa seperti itu pak ?
KR
Itu liputan khusus ada, tetap ada bahkan kami misalnya ada liputan khusus seperti
Gubernur Jateng kemarin, Semarang, kita punya khusus untuk tulisan-tulisan itu di
Banyumas, Magelang, apalagi dekat Klaten, dsb, kita punya halaman-halaman yang
banyak memuat itu.
M
Termasuk saya juga lihat itu, ada iklan “nyasar” ke Yogya juga iklan pilkada
Gubernur Jawa Tengah Pak
KR
Bukan hanya itu, Kendal iklannya juga di KR, kemudian Magelang, Purworejo,
Klaten itu juga iklan-iklannya masuk di sini juga pemberitaannya juga ke sana karena
kita juga melihat bahwa hal-hal begitu pentinglah.
M
Apa itu ada hubungan berita-berita otonomi daerah dengan oplagh iklan atau
pemasukan iklan begitu Pak ?
KR
Bagi media, iya ada. Kami punya beberapa di masing-masing daerah itu dan kalau
ada pilkada memang iklan kami naik itu untuk government itu naik.
M
Berarti pilkada langsung lebih bagus daripada DPRD pak ?
KR
Tentu mas, kalau DPRD tidak usah beriklan. Menurut saya, bukan hanya itu mas,
kami melihat sebuah pemaknaan demokrasi masyarakat sehingga kami sepakat untuk
memperjuangkan pilkada langsung. Itu kan kepentingan politik dari rakyat.
M
Untuk persebaran atau distribusi media KR itu sampai sekarang berapa oplaghnya ya
Pak ?
KR
Riil itu 102 pokoknya antarane 100 ribu eksemplar, kalau untuk DIY mayoritas ya
iya, 80 persen kayaknya ada.
M
Kalau dengan kompetitor daerah misalnya dengan Suara Merdeka begitu Pak ?
KR
Di beberapa daerah kami memang boleh dibilang mau bersaing atau tidak silakan
tapi memang pantura utara silakan miliknya dia, istilahnya kita punya pelanggan di
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
situ banyak, juga ada di Rembang, kemudian Kendal, Pati tapi kami tidak berambisi
untuk masuk situ.
M
Tapi tadi untuk keseluruhannya berapa ya Pak ?
KR
ya kira-kira 102 eksemplar, kadang-kadang itu naik pada saat tertentu menjadi 110lah mas.
M
Itu yang paling banyak di Yogya ya Pak ?
KR
Iya DIY, 80 persennya sendiri, makanya kalau di Jogja itu “mbaca” koran itu “mbaca
KR”
M
Ada koran baru Tribun yang menawarkan Rp 1000 atau Rp 2000 gimana pak ?
KR
Kami sempat turun itu, mungkin tahu ya “wong Yogya nek ono sing anyar ketokke”
sebentar begitu tapi lama-lama kan tidak, “oh, gur koyo ngono”. Kami tetap bawa
koran orang Yogya “digarap” orang Jakarta kan beda dengan Koran orang Yogya
“digarap” orang Yogya, kami tahu nafasnya Yogya bagaimana, kami tahu apa
kemauan mereka. Ya sempat terganggu karena mainnya begitu, misalnya di klaim
tiba-tiba saja mas Megan langganan KR tiba-tiba terus diganti Tribun kemudian dia
“ngomong”, ini grupnya KR lebih murah, banyak laporan tapi “piye” itu persaingan
di media sudah tidak beres. KPPU itu kita lapori juga tidak beres, KPPU tidak
pernah berani untuk itu. jangankan “sempritan dari KPPU” ngomong aja belum
pernah, jadi seperti itu, namun dalam waktu hitungan hari oplagh kami langsung
kembali lagi, harga itu ternyata sangat signifikan.
M
Kalau proses produksi berita bagaimana Pak tentang otonomi daerah, apakah bisa
sekilas Bapak ceritakan Pak misalnya ada wartawan mengambil berita-berita itu
apakah punya langganan narasumber misalnya Pak ini atau Pak itu ?
KR
Oh iya, kalau itu bisa. Kalau media itu pasti punya pelanggan-pelangganan
narasumber misalnya ini yang ahli otonomi daerah bisa menjadikan dia narasumber,
ini yang ahli pertanian, di otonomi daerah kita juga selalu melihat begitu selain tentu
orang-orang pertama di Kabupaten/kota.
M
Jadi setiap Kabupaten/Kota atau Provinsi mesti ada wartawan KR, yang ngepos dan
punya jaringan dengan birokrasi di sana.
KR
Iya ada, jaringan di sana tapi kita punya target misalnya setengah tahun kita
ganti/pindah, kalau dia terlalu dekat nanti warna beritanya tidak menjadi tidak baik,
karena sesuatu yang dilihat setiap hari kan tidak menjadi berita lagi. Makanya kita
rolling supaya dia tetap menjadi seseorang yang tahu, yang tahu tetapi tidak
kemudian larut bersama.
M
Lalu itu bagaimana untuk proses geetkeeping nya Pak ? Kalau saya melihat kan
warna berita KR itu kan beda dengan berita lain lebih soft dan tidak meledak-ledak.
KR
itu sesuai dengan warna di kita, kalau di Jogja berita yang meledak-ledak orangorang mengatakan bombastis itu tidak akan laku, jadi kita cenderung lebih soft tetapi
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
kritik harus tetap. Makna kritikan tidak harus keras yang penting substansinya
masuk, kita selalu berpandangan begitu bahasanya ngono yo ngono ning ojo terlalu
ngono.
M
Apakah wartawan yang begitu ditraining khusus atau geetkeeper-nya yang bekerja
pak ?
KR
Geetkeeper-nya juga tentu, kita juga bisa memilih orang yang mengikuti itu betul
ada kemudian yang lainnya training, kita kan juga sering mendatangkan training
begitu, supaya mungkin satu visi dan wawasannya luas, juga satu sama lain akrab
M
Biasanya kan wartawan dari berbagai macam pendidikan background,
KR
Tentu, ketika kita masuk kemudian selama mengikuti perkembangan-perkembangan
beberapa kali kita pasti training atau mengundang orang (trainer) atau mungkin dari
luar.
M
Kalau dengan narasumber yang sudah sering dimintai pendapat dan sebagainya
apakah itu tetap melalui geetkeeping atau lost saja Pak ?
KR
Ya harus tetap ada, semuanya ada di tingkat terakhir kan adalah redaktur, tetapi kalau
redaktur itu “mumet” juga pada suatu saat maka terpaksa harus dengan pemred
M
Karena dulu saya punya dosen namanya Mas Riswanda, kalau nulis itu keras, dan to
the point
KR
Iya tapi kita seneng itu, mas Riswanda itu sayang itu meninggal muda. Komentarnya
tentang Istana, Istana negara saja pegang KR 40 eksemplar. Saya tidak tahu
mungkin dibagi-bagi di setiap meja atau bagaimana, makanya orang banyak dosen
Gadjah Mada seperti Menkumham Denny dulu kan penulis KR juga. Bahaya itu
penulis KR jadi Dirjen, Pak Yanto dulu Dirjen Dikdasmen itu juga dulu penulis. Jadi
banyak penulis KR kemudian dilihat dari Jakarta. Riswanda itu juga kan, kalau mau
bisa jadi menteri dia hehehehe.....
M
Kalau berita kriteria tentang otonomi yang dianggap penting oleh KR bagaimana Pak
?
KR
Menurut saya, berita-berita yang berguna sesuai prinsip kami bagi publik, kira-kira
bermanfaat tidak bagi publik ? Jadi bisa diartikan semua berguna bagi publik kita
ambil.
M
Apakah itu juga akhirnya mempengaruhi sidang redaksi juga misalnya berita-berita
itu bersinggungan dengan pemilik kekuasaan di daerah seperti Bupati, Gubernur ?
KR
Oh itu, kami tidak ada masalah. Sepertinya kesadaran mereka tentang pers bebas
sudah mulai artinya di Jogja itu 4 kabupaten dan 1 kota sudah mulai meskipun ada
yang kadang-kadang tidak mau kritik tapi kami selalu “silakan Pak kalau Bapak tidak
mau kritik, Bapak bisa memberi jawaban”.
M
Misalnya dulu ada model-model telepon apa masih pak ?
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
KR
Sekarang tidak, lebih sering “nyindir” tetapi juga menjawab “tidak apa-apa memberi
hak jawab misalnya salah”. Kalau kritikan saya sering mengatakan, malah justru
tambah kritik tambah enak masalahnya tidak akan merasa kalau sudah merasa
nyaman tidak akan pernah maju. Kritik misalnya Sleman soal bagaimana Merapi,
kemudian kota bagaimana hotel, kebijakan-kebijakan seperti itu kita kritisi, benar
tidaknya.
M
Saya melihat perbedaan 360 derajat antara Pak Hery dengan Pak Haryadi, waduh
payah banget ini.
KR
Wah benar, dulu saya berharap pada Pak Haryadi. Zaman Pak Herry Zuhdianto
setiap Jum‟at wartawan-wartawan suruh kumpul Pak Hery Zudianto cerita “ini
begini-begini” silakan dikritik. Sekarang tidak pernah, takut, Beliau “malah” pergipergi terus. Ini tidak bagus, saya lebih suka Zuhdianto.
M
Saya melihat kalau Pak Hery beli tanah untuk ruang publik lalu sekarang terlalu
banyak sekali hotel itu. Kaget saya, tadinya cuma Hotel Arjuna saja itu.
KR
Kalau dulu Pak Herry itu “wagiman” ini “wagihot” walikota gila taman jadi
walikota gila hotel
M
Saya juga melihat koran KR waktu itu menceritakan bagaimana beberapa aktivis di
LSM yang mendemo Pak Haryadi di kantornya sambil nyanyi-nyanyi, itu Pak
Haryadi tidak komplain ke KR Pak ?
KR
Tidak, cuma dia pernah ngomong-ngomong, dia mbongkar masalahnya itu, aku
manggil dia mas, bagaimana saatnya mas Haryadi ini bergerak. Kalau bergeraknya
tahun depan orang akan bilang ini mau pencitraan tapi kalau sekarang belum
terlambat begitu. Tapi kok ya belum bergerak-bergerak begitu, malah hobinya itu
pergi ke luar negeri sekarang undangan-undangan itu banyak sehingga situasi kota
tidak pernah diurus.
M
Termasuk kemarin ada Fave Hotel yang diceritakan KR itu, sampai membuat sumursumur warga kering, itu berita juga tidak ada respon atau intervensi dari pemerintah
pak ?
KR
Tidak, soal-soal seperti itu mereka tidak berani campur. Asal selalu mengatakan
jurnalisme itu fakta, jurnalisme itu selalu mengedepankan selain fakta juga
konfirmasi. Asal itu sudah, itu pegangannya fakta dan konfirmasi sudah selesai.
Kamu punya pertimbangan kalau terakhir itu kira-kira membuat warga resah tidak,
kita selalu begitu dan mungkin itu bedanya dengan kita. Kalau kira-kira berita itu
tidak benar dan membuat warga resah, kalaupun iya membuat warga resah tetapi
bagaimana kamu harus ada solusinya misalnya BBM, dia risau kita dikritik kalau
kemudian betul-betul yang di drop sudah habis jangan membuat situasi menjadi
tambah parah tapi cobalah kamu pantau lagi kalau memang antrian menurun katakan
menurun dan itu memang betul ketika KR mengatakan menurun besoknya selang
sehari itu sudah tidak ada antrian lagi.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Ada beberapa berita sekitar 5 berita yang saya coding, yang kemarin banyak keluar
dari 3 media yang saya teliti Pak. Tapi ngomong-ngomong dinas dari pemkot juga
tidak memberi bantahan atau apa begitu tentang Fave Hotel itu Pak ?
KR
Tidak itu mas
M
Humas Pemda repot juga itu Pak. Ada isu pemekaran, otonomi khusus itu tadi Pak
(asimetri desentralisasi), dinasti politik, korupsi elit lokal, dan Pilkada Pak (apakah
dipilih oleh DPRD atau langsung) ada 5 topik ini Pak. Kalau menurut pandangan KR
Pak, bagaimana perspektif atau pandangan KR tentang pemekaran wilayah Pak
apakah setuju atau harus dibatasi ?
KR
Kalau menurut saya, apakah kalau pemekaran itu layak karena pemekaran ini belum
tentu untuk kepentingan publik misalnya harus jauh kemudian harus naik perahu
segala kan repot, kalau itu mengarah ke publik ya silakan tapi kemudian itu disusul
apakah kemudian sudah cukup, apakah itu bukan hanya kepentingan orang-orang
yang menginginkan jabatan menjadi walikota/bupati kemudian untuk ke jabatanjabatan itu sehingga DPR ya ada, dipikir lagilah. Menurut saya kalau begitu ya tidak
usah tetapi kalau itu memang untuk kepentingan publik, kita berapa kali juga
melakukan analisis-analisis seperti itu, memang dibutuhkan misalnya jauh seperti itu
publik supaya tidak repot untuk masalah ngecap ke kecamatan harus nyebrang
sungai, kalau disini mau datang ke kecamatan dekat dan cepat sudah selesai. Apakah
itu begitu, apakah kalau misalnya pelayanan publik itu mengganggu ya menurut saya
mana yang terbaik
M
Jadi dilihat dari perspektif publiknya, apakah terlayani atau tidak gitu Pak ?
KR
Iya dan asal tidak hanya menghabiskan anggaran saja.
M
Mungkin kalau di Jawa Tengah dan DIY itu kan mungkin karena infrastrukturnya
bagus sampai sekarang belum ada pemekaran ya Pak ?
KR
Iya bisa dikatakan demikian, infrastrukturnya jelek masyarakat repot.
M
Kalau tentang desentralisasi asimetris tadi pak, bagaimana pandangan KR Pak,
terutama masalah Keistimewaan Yogya ? Ini cukup banyak Pak, ada sekitar 83 item
di KR Pak
KR
Keistimewaan Yogya, iya kami memang konsisten untuk itu. Jelas yang pertama
kami berpihak pada keistimewaan, tetapi kami tentu berpijaknya pada keistimewaan
yang apa, tentu kami berharap keistimewaan itu membuat kesejahteraan yang kita
perjuangkan waktu dulu. Kalau jabatan, kemudian isunya muncul ketika jabatan
penetapan atau pemilihan. Waktu itu kami, “silakan rakyat mau dipilih yang mana”,
kami hidup di publik karena kalau rakyat itu tidak merestui kami juga kan repot.
Sehingga kami menilai, “silakan Yogya mau milih yang mana”, kami selalu begitu,
tetapi jelas kalau keistimewaan Yogya KR pada jalur itu, karena kita tahu bahwa di
undang-undangnya dulu sudah ada. Sejarahnya (KR punya dokumentasi dulu-dulu)
kita tahu, kita baca Yogya memang sangat istimewa, bukan hanya itu bagaimana
ketika selain pertama kali “ijab-qobul” jelas kita tahu juga bagaimana Yogya ini
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
pertama kali kamilah yang berpihak pada NKRI dan bahkan membiayai kehidupan
NKRI. Mungkin belum tahu ya kalau Bu Mutia Hatta itu ketika kemudian Beliau
mau jadi menteri Beliau tidak punya akte, itu dokumen ada KR karena Bung Hatta
pernah beriklan mengenai kelahiran Ibu Meutia Hatta, jadi KR itu punya peranan,
kalau kita lihat berita-berita dulu karena KR itu tetap NKRI dan sampai sekarang dan
siapapun pemimpinnya tapi Negara harus NKRI jadi ketika kemudian ada beritaberita yang menggoyang untuk apa dibesar-besarkan. Menggoyangkan NKRI
kemarin, orang-orang Papua yang begitu, coba lihat dibanding koran-koran lain di
Yogya, KR mungkin sangat pasif (untuk apa membesar-besarkan perpecahan karena
komitmen kita NKRI).
M
Seberapa dekat KR dengan Kasultanan dan dengan Ngarso Dalem Sinuwun ?
KR
Tidak dekat juga, kenal-kenal biasa saja. Kami kenal dekat dalam arti secara kultural,
sejarah kami koran yang paling tua, itu saja sebenarnya, dan kami komitmen untuk
menjaga budaya ini.
M
Apakah ada berita-berita titipan dari Ngrso Dalem Sinuwun ?, mungkin masalah
Keistimewaan kemarin ?
KR
Tidak, banyak juga kasus ketika kami meluncurkan wacana apa Sultan harus
perempuan (kita buat polemik yang menarik), Sultan itu penuh dengan keluarga,
keluarga Sultan saja sudah pro kontra, kita lempar saja mana yang benar tapi kirakira sudah cukup kita tarik tidak usah, kita hanya melempar saja ternyata banyak
masalah Sultan itu perempuan atau tidak.
M
Apa karena harus ada “Kanjeng Ratu Kidulnya” kalau di Inggris sana tidak ada
“Kanjeng Ratu Kidul” ?
KR
Di sini ada kan kanjeng ratu kidulnya, malah ada salah satu kerabat kraton yang
bilang kalau nanti sultannya perempuan bisa lesbian itu hehehehe....
M
Jadi tidak ada intervensi Sultan untuk menggiring berita-berita ?
KR
Tidak ada, tapi kami dekat dengan orang semuanya dalam arti misalnya rakyat yang
pro pendukung semua, sering mereka diskusi di sini/diruangan ini kami diskusi.
M
Kalau tentang dinasti politik bagaimana media KR memandangnya ?
KR
Dinasti politik kalau menurut saya, silakan saja kalau itu mampu, yang penting itu
kemampuan dan itu harus akuntabel, visibel, orang itu juga punya kemampuan kalau
punya kemampuan kenapa tidak ?
M
Jadi itu lebih ke kapasitas dan kapabilitas orang itu Pak ?
KR
Jangan hanya karena keturunan siapa tapi harus punya kapasitas karena dia
memimpin rakyat.
M
Bagaimana dengan kasus-kasus misalnya Atut, dinasti yang kemudian ada
hubungannya dengan korupsi ?
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
KR
Nah, itu yang kemudian saya tidak setuju. Tapi menurut saya tetap saja tidak apa-apa
asal tidak korupsi kalau memang korupsi ya jangan artinya harus ada yang
mengawal.
M
Kalau tentang korupsi di elit lokal Pak tidak mesti dinasti kan Pak misalnya Bupati
korupsi ?
KR
Kita tetap memuatkan, ada beberapa di Yogya itu, asal sudah pasti kita muat,
misalnya dulu ada korupsi DPRD Kota, kita muatkan juga.
M
Kalau kasus Pak Idham itu agak spesifik karena punya kedekatan dengan KR,
gimana Pak ?
KR
Jadi kita memberitakan untuk hal-hal yang sudah pasti, kalau pasti tersangka iya kita
beritakan tapi kemudian sebuah media itu beda antara investigasi dengan mencaricari itu. Kalau mencari-cari itu selalu “digathokke” contoh ada seseorang yang tidak
datang saat kampanye atau ada suatu acara dan dia tidak hadir atau terlambat sebuah
media ini ya sudah selesai mungkin alasannya apa (sudah cukup) tapi kalau media
yang mencari-cari bisa juga mencari orang “kenapa kamu telat” framing dia adalah
membingkai bahwa itu jelek dan itu narasumber yang menjelekkan misalnya
sehingga dampaknya menurut saya juga akan membuat wajah orang itu menjadi
jelek.
M
Jadi kalau seperti itu bagaimana Pak KR mensiasatinya ?
KR
Kami tetap saja memberitakan, iya kita tetap memberitakan dikatakan jurnalisme
intinya verifikasi juga. Harus ada verifikasi Pak Idham juga, menurut ini bagaimana
ya harus kita muat semua.
M
Menurut saya kasusnya ini jalan di tempat ya Pak ?
KR
Itulah, menurut saya, menurut mereka juga begitu, yang penting kita melihat yang
sebenarnya pada kasus itu, misalnya kasus penyerangan cebongan misalnya koran
mana yang berpihak pada publik ? Hanya KR pada kasus cebongan, bisa dilihat.
Menurut saya, haknya rakyat itu apa, kita investigasi rakyat yang diganggu oleh
preman-preman itu. Jadi kita melihat itu ada verifikasi juga. Jurnalisme harus seperti
itu, ketika berita itu sepihak maka ia menjadi tidak imbang.
M
Kalau tentang pilkada, menurut pendapat atau perspektif KR tentang pilkada yang
baru ramai ini Pak lebih baik langsung atau lewat DPRD ?
KR
Kalau menurut saya langsung karena satu, berilah hak rakyat ini kalau terpaksa mau
ada yang tidak langsungmungkin apa ya, saya dengar juga paketnya beda ya,
wakilnya akan lain akhirnya daripaket beda kalau saya berharapnya diberi saja dulu.
Kalau alasannya biaya tinggi, bukan berarti biaya rendah lewat DPRD justru bisa
lebih tinggi. Dan tersandera misalnya dulu mengancam “kalau tidak kasih saya
proyek, awas nanti aku dan beberapa orang menggerakkan untuk jangan memilih
kamu” misalnya seperti itu.Itu akan berbahaya dia menjadi tersandera, dan dia
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
menjadi ATM-nya DPRD, bupati itu menjadi ATM-nya DPRD. Ketika bupati tidak
ada uang maka dia bisa korupsi, itu kan parah.
M
Jadi walaupun sama-sama memiliki sisi mudharat-nya, mungkin ini pilkada tidak
langsung yang lebih banyak sisi mudharat-nya.
KR
Iya, sama-sama mudharat-nya, kalau itu kelahi tapi tidak ada kelahi begitu. Ketika
dia mengerahkan DPRD, lalu masing-masing membuat massa nanti ketika ada
pemilihan umum mengerahkan itu terus turunnya kampanye mungkin tidak ada
perkelahian bukan berarti biaya murah itu, tetap mahal.
M
Mungkin hanya Yogya saja yang tidak ada Pilkada Gubernur Pak
KR
Iya kalau Gubernur, karena di sini sudah begitu. Kalau di sini Sultan, “ya wis
karepmu”. DPR juga menekan, Sultan juga harus punya mekanisme untuk
menggantikan Sultan itu, Sultan itu kan manusia tidak sehat selamanya dan tidak
seperti ini selamanya.
M
Misalnya tentang kedekatan KR dengan Bantul Pak, kalau pilkada Bantul dekatdekat ini kan mau pilkada Pak ?
KR
Silakan saja, siapapun itu kita juga begitu perlu kita dukung. Apalagi “monggo”
kalau misalkan kesempatan pasang iklan banyak, kita juga dukung.
M
Misalnya Ibu Idham (Sri Surya Widati) jadi naik gimana Pak ?
KR
Silakan saja kalau dia maju ya “monggo”, katanya mau naik lagi ya “monggo”, kita
punya komitmen mana yang baik bagi publik, yang bermanfaat bagi publik, seperti
itu.
M
Apakah pemekaran daerah frekuensinya sedikit di KR itu karena di Jawa Tengah dan
DIY itu tidak pernah ada pemekaran Pak ?
KR
Tidak ada, tapi kita beberapa memberikan masukan juga kepada pusat tetapi
beberapa hal misalnya dalam analisis, opini juga silakan dipakai masyarakat,
pemerintahan karena kita menganggap di DIY ini tidak banyak keterlibatan karena
kita kan koran lokal.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Lampiran
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan Prof Dr. Djohmansyah Djohan., MA (Dirjen Otda Kemendagri)
M
Menurut Kemendagri sendiri sebenarnya Perspektif Otonomi Daerah versi Kemendagri itu
bagaimana ?
DD
Versi Kemendagri, Otda itu sebetulnya harus dipahami dalam Bingkai negara kesatuan RI, dimana
model negara kesatuan, kewenangan, tugas-tugas dan kewenangan negara itu ada di tangan
pemerintah pusat. Kemudian sebagian tugas kewengangan itu didesentalisasikan, dilimpahkan ke
daerah lalu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah sebagian urusan pemerintahan atau
kewenangan yang diberikan harus tunduk dan taat ke pada pemerintah pusat. Itu yang menjadi
pijakan-nya Kemendagri. Lalu diaturlah dengan undang-undang pemerintah daerah, sekarang yang
berlaku UU 32 Tahun 2004, dulu UU 22 Tahun 1999, UU 5 Tahun 1974. Sekarang UU 32 pun
sedang kita perbaiki, untuk menata lagi Otda kita yang “keblablasan” itu , ada raja-raja kecil yang
tidak taat dan tunduk kepada Pemerintah Pusat.
M
Selama ini Bapak sebagai Dirjen Otonomi Daerah, apakah ada perbedaan pertanyaan antara
wartawan pusat dengan daerah ?
DD
Ada, jadi bedanya kalau wartawan pusat lebih melihat isu Otonomi Daerah itu secara nasional,
kalau wartawan daerah, isu Otonomi Daerah itu lebih tertarik dengan isu-isu lokal, jadi isu lokal
tentang kepala daerah, DPRD-nya, Dinas2 Daerah, pemekaran daerahnya, kalau wartawan nasional
lebih menyoal isu-isu nasional secara menyeluruh, tidak locally. Itu bedanya kalau isu-isu seperti
itu. Umumnya begitu kalau saya ditelpon dari Jogja, Makassar, dimana-mana, dia ngecek bertanya
kota rame, orang demo bakar-bakaran di dewan.
M
Bagaimana pendapat Prof sendiri tentang isu pemekaran daerah ?
DD
Isu pemekaran daerah kita ini sudah tidak proporsional, tidak rasional bahkan itu sudah lebih
banyak politisasinya daripada tekhnokrasi kepemerintahannya, maksud saya kalau orang mau
membentuk daerah otonom, itu jangan keluar dari makna, bahwa daerah yang otonom itu adalah
daerah yang mampu mengurus urusan Rumah Tangganya sendiri, itu yang harus dipegang,
kemampuan. Ini kecendurungan yg kuat itu adalah kepentingan-kepentingan politik. Jadi teknisnya
apakah daerah itu sudah punya kemampuan keuangan, potensi ekonomi bagus, SDM nya tersedia,
memadai untuk menjadi suatu daerah otonom, aparaturnya juga sarana prasarana pemerintahan,
pokoknya ada aturan main di PP 78 tahun 2007. Tapi ini tidak, ini karena aspirasi masyarakat
kemudian dipaksa pemerintah pusat lewat DPRD, Padahal Otonomi Daerah itu mestinya konstruksi
yang benar itu yang menentukan adanya daerah Otonomi itu adalah pusat, karena pusat ini dalam
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
model negara kesatuan yang ada negara kemudian punya kewenangan kemudian membentuk
daerah otonomi untuk memudakankan pelayanan publik, meningkat kesejahteraan masyarakat.
Kalau sekarang terbalik, daerah-daerah itu memaksa negara untuk menjadi suatu daerah otonom.
Padahal negara dalam ukuran tekhnokrasi pemerintahan belum layak jd daerah otonom ,syarat
administrasi, fisik kewilayahan dan teknis tidak terpenuhi, tapi karena dipolitisasi dipaksa lewat
dewan, pemerintah kadang-kadang dilematis, oleh karena itu pemerintah sekarang posisi
moratorium, kami tidak akan mengusulkan pemekaran daerah otonom. Dari kemerdekaan 1945
sampai republik ini tahun 1999 hanya 319 daerah otonom, 54 tahun. Lalu tahun1999 sampai tahun
2009, dalam tempo 10 tahun tambahan 205, satu dasawarsa, sekitar 75%. Itu daerah Teritorial
Development yang terbesar di dunia. Sudah kita kaji dimana-mana, fenomena di dunia, sebetulnya
adalah united, almagamasi, malah digabungkan, disatukan ; Eropa, Amerika, Australia, Jepang,
Asia, kita di belah-belah. Ini pandangan saya tentang DOB , harus ada regulasi baru, sedang kami
siapkan. Regulasi baru itu tidak boleh mekar-mekar begitu saja, harus lewat daerah persiapan,
kotib-kotib dulu, cukup dengan PP, tidak perlu UU. Kita mau menekankan tidak politisasi tapi
teknis pemerintahan terlebih dahulu, tekhnokrasi.
M
Tentang pengaturan pusat-daerah, status special case , seperti Asimetris desentralisasi bagaiman
untuk pengaturannya ?
DD
itu memang fenomenanya baru setelah Amandemen UUD, ada pasal 18b ayat (1). Satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan atau istimewa diakui dan dihormati oleh negara, itu
fenomenanya. Maka sejak itu desentralisasi kita tidak simetris saja tapi juga asimetris dan itu di
implementasikan lewat adanya UU Otsus, yang di Aceh, Papua, lalu DKI Jakarta sebetulnya juga
masuk ranah itu plus DIY. Dengan UU 13 Tahun 2012 yaitu pusat mentaati konstitusi dan
diberikan kewengangan-kewenangan ekstra yang lebih besar (daerah-daerah yang dengan otonomi
khusus) dibanding daerah otonom- otonom biasa. Saya selalu sering bilang kalau yang lain, cuma
dapat nasi goreng biasa, tidak pake telur, paha ayam, kalau desentralisasi asimetris itu nasi goreng
istemewa, ada telur mata sapi, paha ayam, dengan kerupuk udang. masalahnya sudah diberikan
keistmewaan, bisa tidak menjalankan keistemewan itu, kemudian ternyata juga ada masalah dalam
implemetasi ini, terutama pada level lokalnya, keistemawaan Otsus itu apa ?, Diberikan
kewenangan besar, kemudian uang lebih daripada daerah otonomi lain, diberi pemimpin sendiri
yang menjalanakan kewenangan itu. Harusnya dia lebih baik tapi dibilang tidak berhasil, gagal,
lemah, penyerapannya rendah. Dimana letak soalnya ? Apakah di level pusat lagi ? Kita cuma
Bimwas, jadi sesudah itu kita Bimwas; mengawasi, evaluasi, membina, mengawas, monitoring, tapi
yang menjalankan dia (daerah otonomi khusus), jadi kalau tanggung jawab itu dia kalau kurang
berhasil misalnya .
M
Dari penelitian penulis, ada lima isu yang pada tahun itu muncul di 3 koran; Pemekaran Daerah,
Pengaturan Pusat Daerah, Dinasti Politik, Korupsi Elit Lokal, dan Pilkada Gubernur.
DD
Itu yang saya bilang sebenarnya Otonomi itu apa ? Cuma ramainya ribut tentang Korupsi Kepala
Daerah, Dinasti Politik, DOB, Relasi yang kurang bagus, Pilkada Gubernur, itu keluar dari makna
Otda sebetulnya. Itu tercerminan dalam realitas media, konstruksi media. Otda ini harusnya yang
rame adalah bagaimana pelayanan publik yang inovatif, koordinatif baik dalam pelayanan dasar;
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
pelayanan pendidikan seperti ini , pelayanan kesehatan seperti itu, pelayanan dalam bidang
kebersihan kota, penanganan kemiskinan, prasarana, jalan jembatan yg dibangun dengan baik, tata
kelola pemerintahan yang good governance. Namun itu tidak muncul, yang rame di media itu
adalah sampah dari Otda, saya menyebutnya itu. Otda yang benar adalah daerah- daerah yang
saling berkompetisi dan bersaing memajukan daerahnya dan mensejahterakan rakyat, saling terlihat
berlomba-lomba untuk meningkatkan pelayanan publik, bagaimana partispasi masyarakat lebih
tinggi di suatu tempat daripada tempat lain, bagaimana pertumbuhan ekonomi daerah tinggi,
kemiskinan diturunkan. Itu seharusnya cerita otda yang baik. Bagaimana pengurusannya yang
panjang dan berbelit-belit sekarang singkat, cepat, tidak bayar. Itu namanya Desentralisasi, itu baru
dapat dikatakan berhasil. Tapi isu yang keluar bukan itu. Jadi bukanlah yang dimaknai otda
sesungguhnya. Otda yang sejati adalah daerah yang diberikan pusat kewenangan- kewenangan,
lancarlah urusan rakyat, pelayan publik, lancar urusan peningkatkan kesejahteraan rakyat,
kemiskinan turun, urusan gampang, pendidikan makin meningkat dengan otda, dia kreatif, dia beri
guru-guru tunjangan, pendidikan tambahan, pergi sekolah kemana-mana, hasilnya anak- anak naik
sekali nem nya, tinggi-tinggi, ruang kelas bagus, semua dirapikan, jalan jembatan mulus licin, tidak
ada jembatan rusak, sekolah yang ambruk. Itu mimpi kita dan tidak mucul di media
M
Apakah diatur, karena adanya isu-isu yang keluar di media, apakah ada regulasi tentang Dinasti
Politik, Korupsi Elit Lokal, Pilkada ?
DD
Karena fakta itu otda ingin menata, perbaiki supaya jangan berkembang dinasti politik, yang sudah
61 tahun kepala daerah menerapkannya, pilkada langsung lewat gubernur. Kita akan tata kembali
supaya jangan mahal ongkos pilkada nya, supaya jangan kemudian nanti kembalikan modal dan
masuk penjara. Sudah 332 per hari ini bupati/waliokta dari 524 daerah otonomi, sekitar 60%, baik
KPK, Polisi dan Jaksa, sejak 2005. Dinasti juga akan diatur. Pengaturan untuk dinasti politik, kita
buat calon yang punya hubungan perkawinan dan darah ke bawah, ke atas dan ke samping tidak
dapat mencalonkan diri kecuali setelah 5 tahun, cutting off seperti istri anak, contohnya di Bantul,
Kediri, Sukabumi. Konstruksi realitas Otda yang muncul di media dan itulah yang dicerna oleh
masyarakat dan menjadikan image bahwa Otda tidak pernah berakhir permasalahannya, pemekaran
tidak berakhir, masalah pilkada dan itulah sampah otda bukan chorer otda, itu bukan otda sejati.
Itukan tentang rekruitmen kepemimpinan dari pilkada. Kedua, terkait pembentukan daerah otonom.
Intinya Otda, desentralisasi sebagian urusan pemerintahan diserahkan dibidang tertentu dan dia
jalankan dengan inovasi dan kreativitas, rakyat jadi maju dan sejahtera. Itu belum terjadi, belum
muncul, minor, sedikit sekali. Pendidikan dan kesehatan yang berhasil di suatu daerah, di majalah
Tempo, tokoh terbaik, Bupati luar biasa, succes story, itulah Otda. Kompas, framenya pemekaran
wilayah karena kepentingan elit lokal, diuntungkan dengan adanya pemekaran. Jurnas, satu dari
koran yang partisipan, pemekaran wilayah dilakukan untuk mengadopsi tuntutan masyarakat lokal.
Kompas lebih kritis, pemekaran karena elit lokal bermain, tidak aspirasi, aspirasi rakyat yang
direkayasa oleh elit. Kalau KR Jogja, karena di Jogja tidak ada pemekaran, isunya yang keluar
adalah mempercepat pembangunan di daerah, karena UU memperbolehkan, maka lebih pada aspek
untuk bidang-bidang normatif, DOB yang benar adalah untuk kesejaheraan masyarakat.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Lampiran
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan Drs. I Made Suwandi., PhD (Ketua Revisi UU Otda)
M
Menurut perspektif Bapak otonomi daerah itu bagaimana pak ? dan Apa itu otonomi
daerah ?
MS
Begini ya, kalau saya lihat hal yang penting untuk Indonesia harus ada persamaan persepsi
bahwa kita ini adalah negara kesatuan. Itu penting sekali karena saya lihat sekarang seolaholah kita masuk ke dalam suatu era otonomi yang sebenarnya kita persepsinya tidak sama
dan ini bahaya sekali. Ada perbedaan yang prinsipil antara negara kesatuan dengan negara
federal. Negara kesatuan kan pusatnya muncul dulu, pusat membentuk daerah. Kalau
negara federal kan daerah muncul dulu, daerah membentuk pusat. Makanya konsep
kekuasaan mengurus negara dulu kalau negara kesatuan kan kekuasaan mengurus negara
ada di pemerintah pusat, kita bentuk daerah kita kasih kekuasaan kepada daerah tergantung
elit yang berkuasa. Kalau elitnya sentralistis, sedikit kekuasaan yang dikasih ke daerah.
Kalau elitnya demokratis dan reformis kayak sekarang, banyak sekali kekuasaan yang
dikasih ke daerah. Tapi harus ingat, tanggung jawab akhir itu dimana. Itu yang paling
penting. Kalau konsep kita ya, menafsirkannya konstitusinya gak ada penjelasannya.
Tafsir pembuat UU. Ya, seluruh pasal gak ada penjelasannya. Kalau jaman dulu ada
penjelasan, kalau sekarang kan sudah reformasi. Amandemen 1, 2, 3, 4 gak ada penjelasan.
Jadi tergantung tafsir kita. Maka tanggung jawab akhir pemerintahan tetap saja ada di
pemerintahan pusat melalui kekuasaan eksekutif melalui presiden. Jadi disinilah debat
yang begitu panjang sekali, ketika era otonomi daerah di negara kesatuan, source of
powernya itu dimana. Di pemerintah pusat ? Pemerintah pusat itu siapa sih ? Kalau kita
bagi yang mengurus negara ini eksekutif, legislative dan yudikatif, maka kekuasaan
eksekutif inilah cabang konstitusi, inilah yang diotonomikan. Tanggung jawab akhirnya
siapa sih ? Pemerintah pusat. Melalui siapa ? Cabang konstitusi tadi, kasarnya ialah
kekuasaan presiden. Tanggung jawab akhir ada di presiden. Samakan persepsi ini. Kalau
persepsi ini berubah, akan lain lagi karena ada beberapa pakar mengatakan bahwa otonomi
daerah itu dari konstitusi. Memang betul konstitusi harus otonomi. Karena kalau orang
mengatakan bahwa source of power dari konstitusi, betul source of power dari konstitusi,
bahwa kita mengadopsi desentralisasi betul. Tapi konstitusi menyerahkan kepada pembuat
UU untuk menafsirkan lebih lanjut. Maka pembuat UU mengatakan bahwa kekuasaan
presidenlah yang diotonomikan, tanggung jawab akhir ada di presiden. Jika tanggung
jawab akhir ada di presiden, pertanyaannnya adalah bisakah presiden mengatur daerah?
Kalau gak bisa, ya tanggung jawab akhir kan di presiden. Nah sekarang kan gini, kita
otonomi negara kesatuan, kayaknya seolah-olah daerah itu ya inilah kewenangan kami, ga
ada urusan dengan pusat. Nah ini kan jadi berotonomi negara kesatuan dengan nuansa
federal. Kan begitu. Itu tafsir saya. Maka ini debat yang tidak ada habis-habisnya.
Makanya saya sangat senang jika hal ini dibawa ke MK biar MK yang menafsirkan.
Otonomi daerah negara kesatuan itu kayak apa sih ? Tafsir kami bahwa sumber kekuasaan
itu adalah konstitusi tapi detail kekuasaan itu diserahkan kepada pembuat UU yang diatur
dengan UU. UU yang kita buat mengatakan bahwa kekuasaan eksekutif inilah yang
diotonomikan, tanggung jawab akhir ada di eksekutif. Karena tanggung jawab akhir ada di
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
eksekutif, maka eksekutif yang dalam hal ini adalah presiden dengan menteri-menterinya
bisa ngatur daerah. Mungkinkah ? maka ada PP ngatur daerah, dikeluarkannya Permen
ngatur daerah. Kalau dia tidak ada konsensus, apa haknya eksekutif ngatur-ngatur daerah.
Coba kita lihat, tidak pernah presiden mengatur PP tentang DPR, MPR, DPD, MK.
Apalagi Permennya atau PP. Karena PP pada akhirnya untuk lingkungan eksekutif saja.
Maka mau gak mau dia akan masuk ke rezim eksekutif. Kalau gak, apa haknya mengatur
sama dengan PP. Disinilah saya lihat ambivalensi berpikir. Di satu sisi katakan dari
socionya di konstitusi tapi dibiarkan daerah ngatur-ngatur. Presiden ngatur-ngatur selama
ini dengan PP, Permen, Kepres dan segala macam. Konsistensi, kalau mau tegas, kita
datang umpamanya ke negara maju, gak ada itu PP ngatur-ngatur, gak ada UU local
government, itu seperti di Inggris dan Jepang. Ada UU Pilkada, ya udah itu saja
patokannya. Gak ada lagi diatur dengan PP, Permen, Kepres, gak ada lagi urusan. Nah
pertanyaannya kenapa di negara orang kok gak ada yang diatur. Kenapa di kita negara
kesatuan kok banyak yang diatur, negara orang kok gak banyak yang diatur. Tafsir kita
adalah kalau di negara maju, ketika civil servant terbentuk, maka rakyat dengan kearifan
lokalnya bisa mengawasi pemdanya. Kalau di Inggris mekanisme check and balance
tingkat lokalnya harus terjadi. Di Jepang mekanisme check and balancenya terjadi. Kalau
di Indonesia belum terjadi. Ketika check and balance di tingkat lokal tidak terjadi,
tanggung jawab akhir di presiden, pertanyaannya presiden akan mengatur atau dibiarkan
saja. Saya pernah ke jepang, saya tanya korupsi disini banyak gak ? Gak. Yang ngontrol
siapa ? Rakyat kami. Republik bagus gak ? Bagus. Yang ngontrol siapa ? Rakyat kami.
Nah ketika kata rakyat kami bisa mengontrol pemerintahnya, buat apa juga orang pusat
jauh-jauh ngontrol. Tapi ketika mekanisme itu tidak terjadi di Indonesia, pertanyaannya
apa dibiarkan saja. Disinilah beda cara kita melihat otonomi di negara Indonesia dan
negara-negara lain bahkan di negara kesatuan sekalipun, terlebih-lebih di negara maju.
Dari segi substansi otonomi, substansi otonomi Indonesia sangat berbeda dengan substansi
otonomi negara lain. Di negara lain, substansi otonomi negara lain lebih banyak pada
pelayanan dasar saja, mulai dari kesehatan, sampah, got, yang kecil-kecil lah pelayanan
dasar. Disana local government is government in the local level during local affairs. Di
Indonesia local government coba lihat semua dikerjakan. Anda bisa bayangkan kalau dari
konstitusi dia dapat power, maka kalau daerah dapat urusan ngurus hutan gak ada hak
presiden melalui menteri kehutanan mengatur-ngatur daerah. Source of power saya dari
konstitusi, apa haknya presiden mengatur-ngatur saya. Sama dengan tidak adanya hak
presiden untuk ngatur-ngatur DPR, MPR dan DPD. Source of power datang dari konstitusi.
Nah itulah tafsir kami, konstitusi Indonesia lain sekali, mekanisme check and balances di
tingkat lokal belum terjadi. Kedua, nature substansi otonominya beda sekali dengan negara
lain. Itu yang membedakan otonomi Indonesia dengan negara lain. Ada orang gak setuju
silahkan saja. Debat saja di MK. Ini masalah mazhab berpikir. Makanya kenapa kemudian
sekarang DPRD dipindahin dari MD3 ke UU pemerintahan daerah. Karena rezimnya rezim
pemerintahan daerah, bukan di MD3 yang mengatur MPR, DPR, DPD dan DPRD. Ketika
disana ditaruh koordinat negara, si DPRD ini pejabat apa. Makanya kemudian disepakati di
MD3 keluarlah DPRD, masuk ke UU pemda karena rezimnya rezim pemerintahan daerah.
Jadi otonomi Indonesia memang berbeda sekali dengan otonomi negara lain baik dari segi
substansi maupun hubungan pusat dan daerahnya.
M
Apa bedanya pak dengan revisi ini, yang lama dengan yang direvisi ?
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
MS Nah revisi ini dulu-dulu kan masalah-masalah gini gak pernah dibicarakan. Taken for
granted, orang tidak mengerti walaupun ngertinya samar-samar. Tidak ada kesamaan
berpikir. Nah sekarang di UU ini dijelaskanlah, pertama : kekuasaan pemerintah pusat
yang diotonomikan yang dibawa oleh presiden, presiden mengangkat menteri sebagai
koordinator, maka otonomi yang dilaksanakan menjadi tanggung jawab akhir presiden.
Dengan demikian presiden bisa mengatur, melakukan pembinaan dan pengawasan di
daerah. Itu dari pasal awal disebutkan, posisi ini disebutkan dari pasal awal. Kalau di UU
32/2004 gak ada karena udah daerah otonom ngertilah, walaupun ngertinya lain-lain.
Sekarang ini kita cerdas sekali ngatur, sehingga jelas sekali bahwa pusat dengan daerah itu
hirarki. Dalam konteks negara kesatuan tidak ada daerah yang mungkin setara. Bagaimana
dia setara kalau dia dibentuk dan bisa dihapus. Itulah mengapa penting sekali hubungan
pusat dan daerah yang selama ini teken for guaranted seolah-olah dianggap mengerti
padahal tidak mengerti. Menyamakan persepsi ini penting sekali. Bagaimana mengekstrak
pasal-pasal dalam konstitusi itu dalam konteks negara kesatuan. Kalau dulu gak pernah ada
orang mikirin yang gini-gini. Sekarang jelas sekali siapa daerah siapa pusat, apa hak pusat
dan apa hak daerah, apa kewajiban pusat dan apa kewajiban daerah. Maka tidak ada lagi
daerah yang suka-suka.
M
Mengenai UU yang saling tumpang tindih itu bagaimana pak akhirnya ?
MS
Kenapa tumpang tindih ?, Karena selama ini pembagian kewenangan itu diatur oleh PP
menurut versi UU Otda. Padahal versi UU sektor, lain lagi nantinya. Nah itu yang
dikatakan tumpang tindih. Maka sekarang yang perlu kita buat adalah PP 38 dinaikkan
pangkatnya dalam lampiran UU. Pembagian urusan di UU. Di UU itu substansinya datang
dari kementerian itu sendiri. Ketika mereka mau membuat UU baru, ada UU otonomi yang
sudah mengatur. Nah itu mencegah tumpang tindih.
M
Ada beberapa isu yang menarik di media yang saya teliti yang perlu saya tanyakan,
pertama pemekaran daerah, kemudian otonomi khusus DIY karena penelitian saya salah
satunya adalah DIY kemudian dinasti politik, korupsi elit lokal, keuangan daerah tentang
DAU, DAK dan dana istimewa, dan pilkada karena penelitian saya dari tahun 2012 sampai
tahun 2013. Pilkadanya waktu itu yang masih ramai adalah tentang pilkada gubernur pak.
Kalau menurut bapak bagaimana mengenai isu pemekaran?
MS
Disini kita melihat bahwa nuansa kepentingan politiknya lebih kuat daripada kepentingan
teknisnya sehingga banyaknya pemekaran yang gagal karena kepentingan politik yang
lebih dikedepankan daripada kapasitas atau kemampuan daerah untuk berkembang. Jadi
sebenarnya dia tidak mampu untuk jadi daerah otonom baru tapi dipaksakan. Sekarang
kalau kita lihat, kalau ada daerah otonom yang baru, yang rugi siapa ?, Mereka yang rugi.
Pertanyaan berikutnya ini, kalau secara teknis objektif dia mampu untuk mekar, kenapa
tidak. Kenyataannya membuktikan hasil evaluasi hampir 70% keok. Artinya bahwa selain
dia tidak layak mekar, tapi karena tekanan politik dia dimekarkan. Dengan adanya UU baru
sekarang dibuat secara bergiliran, maka diatur di UU secara digit, tidak di PP karena PP itu
kan ranahnya eksekutif berdasarkan UU. Sebelum membentuk daerah pemekaran, nanti
tim independen yang presentasi mengenai layak atau tidaknya daerah yang bersangkutan
untuk dimekarkan. Kalau layak, baru masuk menuju daerah persiapan 3 tahun, dibinalah
selama 3 tahun oleh pemerintah pusat, dibantu oleh daerah induk dan diawasi oleh pusat
dan DPR. Setelah 3 tahun, kemudian dievaluasi oleh tim independen tadi, apakah
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
memenuhi syarat atau tidak, apakah bisa berkembang atau tidak. Kalau yang sudah
terlanjur, yang sekarang gak jadi, berarti yang baru UU nya. Dengan demikian pasti yang
akan lolos itu benar-benar daerah mampu, bukan kayak sekarang asal ok saja. Kemudian
terkait dengan persoalan kedua mengenai otonomi khusus DIY, sebenarnya saya kurang
memahami tapi minimal begini, isu krusialnya kan bahwa sultan disana merangkap sebagai
gubernur juga dan itu kan ada sejarahnya. Dulu kan DIY ibaratnya mau menjadi negara
merdeka, tapi Sri Sultan ke-9 waktu itu berikrar akan ikut NKRI. Karena dia ikut NKRI,
maka diberilah reward yaitu siapapun yang menjadi Sri Sultan nanti akan menjadi
gubernur juga. Tapi kemudian sekarang kan digugat pasalnya, ketika ini negara demokrasi
apa tetap dipertahankan seperti itu. Nah itu menjadi hal yang kemudian diributkan.
Akhirnya ya tetap saja gubernur adalah Sri Sultan juga. Ke depan persoalan yang mungkin
diributkan adalah sultan kalau anaknya perempuan, gimana itu. Tentu saja itu akan menjadi
konflik internal kesultanan juga. Persoalan berikutnya lagi adalah dana keistimewaan,
kalau semua dikasih dana otsus, tentu saja Yogya dapat untuk menjaga keistimewaannya
itu. Nah, dana keistimewaan itu sudah diatur dalam UU.
M
Kalau untuk pengaturan asimetris lainnya bagaimana pak ?
MS Di dalam UU 32/2004 hampir sama saja, dengan konsep yang sekarang semuanya asimetris.
Kalau ke depan nanti dengan UU yang baru direvisi ini sebenarnya hakikatnya asimetris.
Kenapa ? Coba kita lihat, sebenarnya pemda tujuannya apa sih ? Ya tentunya pengelolaan
program rakyat. Rakyat makmur di perkotaan kan beda dengan rakyat makmur di
pedesaan. Berarti urusan yang dikerjakan kan berbeda, walaupun urusannya generik sama
terhadap satu urusan tapi yang dititikberatkan atau diprioritaskan kan berbeda-beda. Apa
itu bukan asimetris ? Dari segi urusannya saja asimetris. Dari sisi kelembagaannya, kalau
Jakarta besok gak ada dinas kehutanan maupun dinas pertanian. Tapi di Jawa Barat ada
kehutanan dan pertanian. Berarti Jawa Barat dengan DKI Jakarta kan asimetris. Dari segi
personalia, kalau disana butuh ahli kehutanan, disini gak butuh, asimetris juga
persoalannya. Maka anggarannya pun harus asimetris karena alokasi anggarannya pun
berbeda-beda. Binwasnya asimetris juga. Supaya efisien, orang mengerjakan sesuai
dengan kebutuhan rakyat. Kebutuhan rakyat kan beda-beda. Sama dengan menu warung
padang, disajikan 31 jenis makanan, berwenangkah daerah makan ? Berwenang. Tapi
harus dimakan semua gak ? Ya tentu tidak, sesuai dengan selera masing-masing. Kesana
sebenarnya arahnya, yang saya katakan asimetris dari segi substansi. Sekarang kan orang
memahami asimetris dari segi casing, sehingga tidak menghiraukan lagi sisi kemakmuran
rakyat. Padahal hakekat pemda mau asimetris atau tidak, mau otsus atau tidak, tujuannya
tetap yaitu untuk memakmurkan rakyat. Itu yang tidak terjadi selama ini. Sibuk orang
memperebutkan casingnya itu, formatnya saja tanpa ke substansi. Karena di UU yang
sekarang ini ke substansi arahnya. Artinya begini, misalkan ada salah satu urusan asimetris,
maka pusat mempunyai kewenangan memetakan urusan dari pemerintah daerah. Contoh,
kementerian pariwisata akan memetakan dari 34 provinsi siapa yang akan memegang
bidang pariwisata? Sepuluh. Berarti hanya 10 itu yang boleh membuat dinas pariwisata. Di
luar itu tidak boleh. Misalkan lagi, kementerian pariwisata tadi dimana hanya 10 provinsi
saja yang boleh membuat dinas pariwisata, maka dari 509 kab/kota hanya 100 resource
saja yang boleh membuat dinas pariwisata. Maka nanti kementerian pariwisata punya
stakeholder utama, 10 yang ada di provinsi dan 100 yang ada di kabupaten/kota. Mereka
yang musrenbang untuk mencapai target nasional. 15 juta turis, harus jelas pusat
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
mengerjakan apa untuk mencapai angka tersebut, provinsi mencapai apa, kab/kota
mencapai apa. Dengan demikian target nasional dapat tercapai. Kalau hari ini tidak akan
pernah target nasional akan tercapai karena dari visi misi saja beda, gubernur ke timur,
walikota ke utara. Itu yang menyebabkan tidak bisa. Kalau dulu jaman pak Harto bisa
karena ada enginenya atau mesinnya. Mesinnya itu adalah inpresnya. Sekarang inpres
hilang, jadi ya suka-suka orang.
M
Tapi misalnya begini pak, ada daerah misalnya seperti Raja Ampat, tahu-tahu karena dia
punya potensi daerah yang bagus, kemudian pariwisatanya muncul. Itu bagaimana pak ?
MS Ya makanya kementerian pariwisata harus melakukan mapping yang benar, siapa yang
unggulan benar-benar pariwisatanya dari kab/kota. Raja Ampat oke. Kemudian
berkumpulah mereka untuk melakukan musrenbang. Raja Ampat mengatakan saya tidak
ada lapangan udara. Nanti DAK datang dari pusat untuk mensinergikan hubungan pusat
dan daerah secara fokus sesuai dengan karakter daerah.
M
Kalau isu tentang dinasti politik bagaimana menurut bapak ?
MS
Dinasti politik gak salah, tetapi ketika dinasti politik itu memanfaatkan fasilitas,
mengarahkan resources lokal untuk mendukungnya, maka itu yang salah. Makanya di UU
pilkada yang baru diberikan tenggang waktu 5 tahun baru boleh memilih lagi. Kalau di
negara maju dinasti politik itu tidak masalah. George Bush misalnya. Tapi persoalannya
kan di Indonesia, dinasti itu digunakan untuk mengarahkan resources lokal untuk
memenangkan dan mendukungnya. Itu yang salah sebenarnya.
M
Kalau tentang permasalahan korupsi elit lokal, itu bagaimana pak ?
MS
Jadi kalau berbicara mengenai korupsi elit lokal, nanti ke depannya semua sistemnya akan
kita kunci. Sekarang banyak yang kayak gini, urusan dikerjakan secara suka-suka. Kalau
daerah di Kota Bogor misalnya yang merupakan daerah perkotaan membuat daerah
pertanian, apa yang terjadi? Dia akan buat dinas pertanian sementara gak ada petani dan
gak ada sawah. Maka ada alasan untuk meminta formasi pegawai, ada alasan untuk
menjual formasi ini kepada customer. Ketika itu kan dia bisa korupsi pegawai, jatah
pegawai dijual misalnya. Tapi nanti ke depan kan tidak bisa seperti itu lagi. Sekarang
masih bisa, kenapa? Karena tidak ada rasio pegawai, semua bilang kurang. Setelah kurang,
dibayarlah dengan DAU. Itulah yang membuat ada orang korup. Terkait keuangan,
sekarang boleh ada bansos. Tapi ke depan tidak boleh lagi ada bansos, kecuali dana dasar
sudah selesai baru boleh ada bansos. Kemudian terkait pelayanan publik, ke depan
pelayanan publik akan dibatasi, harus jelas biayanya berapa. Kalau gak, maka kena hukum
atau sanksi. Kalau terkait dengan jabatan, ke depan akan diberlakukan fit and proper test.
Dengan demikian nantinya diharapkan akan memperkecil peluang munculnya korupsi di
kalangan elit lokal.
M
Kalau terkait isu lain mengenai pilkada, kalau saat itu kan wacananya adalah pilkada
gubernur karena kab/kota kan akan secara langsung, apakah dipilih ataukah ditetapkan.
Kalau menurut bapak sebaiknya bagaimana?
MS
Jadi begini, kalau kita kembali pada esensi dari pemerintahan daerah yaitu untuk
memakmurkan rakyat maka kata kuncinya disini adalah pelayanan publik. Otak pintar
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
melalui pelayanan pendidikan. Orang yang sehat, melalui pelayanan kesehatan. Itulah
pelayanan publik yang diharapkan. Sekarang kalau kita bagi pusat, provinsi, kabupaten dan
kota. Pelayanan publik yang paling banyak ditangani berada di kab/kota. Berarti intensitas
hubungan rakyat dengan pemdanya tinggi sekali. Kalau intensitasnya tinggi berarti
akuntabilitasnya juga tinggi. Kalau akuntabilitasnya tinggi berarti dipilih langsung. Itulah
esensinya. Provinsi sedikit sekali pelayanan publik yang diberikan. Saya mengajar di UI,
saya tanya mahasiswa yang tinggal di Depok untuk menyebutkan 5 jenis pelayanan publik
yang diberikan oleh Pemda Jawa Barat. Kemudian dijawablah, pertama jalan BogorDepok, kedua sungai tempat buang sampah, ketiga dan seterusnya tidak tahu. Artinya,
Gubernur Jawa Barat jarang sekali ke Depok dan rakyat Depok pun jarang sekali
berhubungan dengan Gubernur Jawa Barat. Berarti intensitasnya gak tinggi. Itu berarti juga
akuntabilitasnya gak tinggi. Kalau akuntabilitasnya tidak tinggi, untuk apa dipilih
langsung.
M
Menurut bapak apakah ada perbedaan pertanyaan antara wartawan lokal dengan wartawan
nasional terkait isu otda ?
MS
Kalau menurut saya, isu itu menjadi isu yang seksi saja untuk wartawan. Karena tujuannya
kan bisnis, mereka kepentingannya adalah bisnis. Coba kita lihat sekarang antara UU
Pemda dengan UU Pilkada. Yang memabukkan rakyat kan UU Pemda, bukan UU Pilkada.
Tapi tiap hari dari ujung ke ujung beritanya tentang pilkada semua. Di UU Pemda menurut
saya yang menarik cuma satu yaitu kepala daerah dilarang merangkap sebagai ketua umum
partai. Di media itu cuma 2 aja sebenarnya yang diributkan yaitu pilkada dan DOOB.
Berita tentang pelayanan publik tidak menarik bagi media. Jadi media itu hanya
memikirkan bisnis, ramainya itu yang dicari. Menurut saya mungkin itu politisasi politik,
tapi kemudian sangat berat kesana semua. Makanya isu otda dikorupsi oleh 2 hal lagi yaitu
pilkada dan DOOB. Jadi kalau ada isu pilkada ribut, beritanya cepat sekali muncul. Tapi
kalau berita tentang pendidikan bagus, kesehatan bagus dan baik untuk dijadikan best
practice, itu tidak ada dimunculkan.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Lampiran
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan: Prof Purwo Santoso PhD (Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM)
M
Menurut Pak Purwo sebenarnya apakah isu otonomi daerah itu, kalau dalam
perspektifnya Pak Purwo, dimaknai sebagai apa ?
PS
Otonomi daerah itu adalah corak atau gaya berpemerintahan. Gaya berpemerintahan
dimana andalan pemerintahan itu adalah ujung-ujung tombakanya, andalannya itu
adalah orang-orang yang ada di lapangan. Jadi yang penting itu adalah ada baris depan
ada baris belakang, nah berbeda dengan pemerintahan yang sentralistis yang semuanya
serba diatur dari pusat, dari porosnya, itu justru harus mengandalkan kaki tangan yang
cerdas, ujung-ujung yang cerdas, sehingga berotonomi itu sama dengan menjamin
kecerdasan itu ada gunanya untuk berpemerintahan. Sehingga bagi Saya yang penting
itu bukan besar, dan besarnya kewenangan tetapi kecerdasan dan pengguna
kecerdasannya, yang kedua otonomi itu harus dibingkai dengan nasionalisme bukan
Jakartaisme, di sini ada dalam wacana yang sudah ada itu ada kekaburan. Maksud Saya
kalau pemerintahan berbasis kekuatan kecerdasan daerah, maka jaminan kekuasaan itu
memang ada, tetapi yang bekerja di daerah adalah agen-agen nasional. Pembawa misi
nasional sehigga daerah bukan taklukannya pusat, daerah itu justru mahkotanya pusat.
Nah, untuk bisa menyelenggarakan atau mengoptimalkan khasiat otonomi daerah itu,
memang teori yang sudah ada yang diatur oleh Kementerian Dalam Negeri itu teori
yang ketinggalan zaman, dan kalau itu diteruskan itu sama dengan bunuh diri sistemik.
Kendali birokrasi top poros pemerintahan itu memang tidak bisa meninggalkan
birokrasi tapi cara birokrasi bekerja adalah cara kerja yang cerdas bukan cara patuh.
Disitu lah ada kealfaan untuk melakukan rethinking dan dalam kealfaan itu
Kementerian Dalam Negeri menurut Saya sudah marginalize dan dalam marginalize,
posisi marginalize dia hanya ngomel saja. Dia tidak sanggup menjalankan peran baru
dengan konteks baru itu. Ibaratnya orang yang punya lapangan itu, nah lapangan itu
bagi orang lain, kemudian dia ngomel-ngomel, kalau cuma itu sampah itu sebenarnya
adalah cermin dari kegagalan untuk melakukan refleksi dan reposisi ketika amanat
UUD itu adalah otonomi luas.
M
Tapi amanat UUD yang pasal 18 itu kan, bahwa pemerintah itu kemudian membuat
daerah-daerah itu
PS
Di sana dicari pada kata seluas-luasnya atau ada kata luas disana, tetapi memang negara
kesatuan, nah luas dengan negara kesatuan ini belum pernah didamaikan dalam
pemikirannya. Karena negara kesatuan juga tumbuh dengan pemerintah pusat yang
menguasai segalanya, ini ada rantai pemikiran yang loncat dan tulisan-tulisan Saya
tentang otonomi daerah kebanyakan disitu atau dalam rangka untuk men-judge
kedudukan, kalau ditulisan Saya tentang dis-efisiensi, tentang apa itu, Saya sebenarnya
hanya ingin mengkritik itu.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
PS
Cuma kalau, selama ini kan, sepertinya, ada mungkin teman-teman yang di daerah itu
merasa bahwa otonominya ini kurang, sedangkan yang di pusat merasa bahwa ini
kebablasan
Nah disanalah tadi, makanya tadi saya katakan ada kata Kementerian Dalam Negeri, itu
tidak bisa melakukan reposisi, urutan berfikirnya kayak begini, orde baru itu bisa sukses
kan karena kecerdasannya. Orang kampus yang kemudian menjadi pemikir di
LEMHANAS, di BAPPENAS, inikan simpul sentralisasi-kan kecerdasan, nah dimensi
itu yang tidak pernah ditangkap oleh orang Jakarta, dalam hal ini Kementerian Dalam
Negeri, dan dia itu sebenarnya gini, ini tak tulis di desertasi Saya di LSE London, yang
dijadikan andalan kemarin itu tiga. Militer, yang kedua teknokrat, kemudian birokrat,
orang kampus yang jadi sekrup itu, yang ketiga di birokrasi, birokrasi memang
diperlakukan sebagai robot. Nah ketika tadi, di disiplinkan untuk patuh tadi kan, nah
ketika era desentralisasi berlangsung, itu harusnya mesin pemikir itu ditransfer,
dikembangkan, yang ada adalah delegasi kewenangan, tetapi bukan kecerdasan
menggunakan kewenangan. Nah disitu lah missing link, sehingga kemudian otonomin
daerah itu menjadi ancaman, karena mesin kecerdasan untuk bisa memperalat daerah
supaya dia jadi agen nasional itu gak ada. Bentuk konkritnya itu gini, ini definisi
operasional tentang otonomi daerah itu kan mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri, itu benar menurut teori birokrasi, karena strategi dasar birokrasi untuk
mengatasi masalah yang rumit itu memotong-motong persoalan. Dipotong secara
sepasial, dalam hal ini dan oleh karena itu, delegasinya itu ya masing-masing itu kamu
hanya mengatur mengurus rumah tanggamu sendiri, nah kalau dibaca dari Jakarta,
sebenarnya mengatur dan mengurus rumah tanggganya sendiri-sendiri. itu bahasa sopan
dari devide et empera yang menjadi nalar dasar birokrasi ketika melakukan penguasaan.
Jadi cara menguasai Indonesia dalah devide et empera dan bahasanya sangat sopan dan
banyak orang yang tidak sensitif, maka mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri Anda harus egois, Anda tidak mau tahu urusan tetangga Anda, maka kerja sama
antar daerah menjadi sangat sulit. Karena sudah di disiplinkan untuk berkacamata kuda,
otak dalam tempurung.
M
Itu kemudian apakah tercermin misalnya ketika Gubernur Jokowi mau ngurusin sesuatu,
kemudian ada yang bilang itu urusan Gubernur Jawa Barat atau Walikota Depok.
PS
Itu karena kita masih mewarisi mindset lama bahwa pusat itu sama dengan nasional.
M
Tapi itu menjadi chaos kalau saling tumpang tindih ?
PS
Kamu masih di disiplinkan berkaca yang lama. Ini bayangkan ada sekian banyak
pegang internet, apakah kemudian semua orang perang dimana-mana, self governance
itu dalam logika birokrasi itu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, nah
kalau kamu belajar teori jejaring dalam teori komunikasi, sekarang gini, pasar
Bringharjo itu apa bukan egois, para pelakunya, ada kelompok orang yang mau harga
semahal-mahalnya, ada kelompok orang, kategori orang mau harga semurah-murahnya,
ada kegaduhan, tapi kegaduhan itulah yang menyelesaikan masalah, nah menyelesaikan
masalah dengan membiarkan kegaduhan itulah tidak pernah bisa diterima oleh pusat,
ketika kita mau melihat proses desentralisasi itu ada cacat besar, cacat fatal, cacat fatal
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
ini kecerdasan yang ada di pusat ini tidak ditransfrom ke daerah, karena apa
transformasi kewenangan ke daerah itu menjadi ancaman, itulah makanya otonomi
daerah menjadi ancaman, kalau kamu cermati dari wacana di koran, otonomi daerah itu
adalah lawan NKRI. Tapi, sekali lagi jembatan logikanya adalah ada campur aduk
antara eksponen pusat dengan klaim nasional, disitulah kemanjaan birokrasi ingin
dipertahankan, Saya faham kalau mereka mau bertahan, tetapi, karena tadi, justru mesin
lama, mesin baru dikeluarkan digelar dengan cara lama, jadi khasiat otonom jadi sia-sia
dan yang menjadikan ini chaos adalah karena pengendalinya tidak bekerja dengan
hebat.
M
Pada sisi lain misalnya kegaduhan Papua minta merdeka, bagaimana Pak ?
PS
Lha kalau orang tidak berfikir, maka seluruh ngurusi masalah itu pelik, Apa yang
dilakukan untuk Papua, seberapa serius orang Jakarta itu, selain membagi duit untuk
Papua, kalau dia menyederhanakan masalah Papua dengan ngasih duit, itulah membuat
Papua minta merdeka, karena dia menyederhanakan masalah Papua adalah masalah
orang minta duit, makanya orang Papua tetap protes, minta dikasih hati, memerintah
dengan hati bukan memerintah dengan senapan apalagi dengan duit, itu point Saya. Visi
desentaralisasi itu menurut Saya hanya diambil sisi enaknya, sisi tidak enaknya adalah
harus berfikir agak keras dan kalau kita kembalikan itu setara dengan ajaran
kepemimpinnnya Ki Hajar Dewantoro, desentralisasi itu adalah tutwuri handayani,
sehingga oke kalau derah ada maunya ke sana, bingkainya adalah ini. Karena musuh
kita ke sana dan kemudian melakukan ini kekurangnya ini bingkainya, nah ini
tatanannya sudah desentalisasikan tapi yang terjadikan ingarso sung tulodo, akulah
pusat yang paling tahu, akulah Indonesia, awas kalau gak ikut saya, lha kan kemudian
sama dengan otonomi itu gak menjadi kaidah gak menjadi spirit
M
Tapi kok kayaknya di daerah tetap ada itu, orang-orang hebat yang kemudian muncul,
kemudian bisa menata daerahnya dengan baik.
PS
Itukan kecelakaan karena di luar skenario, itu adalah karena kehendak alam karena
daya dahsyatnya, yang melekat pada logika detralisasi itu. Ketika daerah dikasih
kesempatan untuk unjuk gigi untuk berperan maka orang-orang hebatkan bermunculan
dari bawah, justru itulah yang harus ditanamkan dari awal bahwa desentralisasi itu
adalah Jakarta menjadi milik Indonesia milik daerah-daerah, itulah yang kemudian yang
menjadikan Jakarta itu sangat serius dengan anti federalisme.
M
Tapi kebanyakan federalisme itu kan karena kita punya trauma dulu dan tentara selalu
akan anti federalisme
PS
Menurut Saya itu hanya dalih saja, inti dari federalisme itu adalah negara-negara bagian
membikin influence bersama untuk menghadapi kekuatan luar. Tetapi karena kita tadi
ingin berkuasa ke dalam jadi kita tidak punya visi ke luar, visi ke luar itu yang hilang
pada saat ada globalisasi.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Menurut Pak Purwo seberapa besar sih media itu mempunyai peran penting dalam
mengusung isu otomoni daerah ?
PS
Saya gak punya ekspert di bidang itu, orang-orang media apalagi adalah media harian,
tidak ada kesempatan refleksi. Yang kedua ketika ada proses mendesentralisasikan
pemerintahan itu kan harusnya ada proses mengingrim pesan-pesan desentrasi apa, dan
apa implikasinya itu. Itukan berarti perlu wartawan dengan skill khusus, dengan
pembekalan khusus, supaya tidak melakukan bingkai asal-asallan. Saya tidak pernah
mendengar ada strategi media untuk menopang desentralisasi.
M
Selama ini kan sering menjadi nara sumber atau ada beberapa pertanyaan-pertanyaan,
ada perbedaan nggak antara wartawan pusat dengan wartawan daerah ?
PS
Wartawan daerah itu nggak ada yang, nggak ada yang ngomong hubungan pusat daerah,
kecuali untuk event-event tertentu misalnya kerena keistimewaan, atau apa. Kebanyakan
wartawan daerah sudah berhasil didisiplinkan dengan cara orde baru, bahwa orang
daerah mikir daerah sendiri.
M
Karena tadi kan salah satu permasalahan adalah bagaimana membuat isu itu menjadikan
orang aware dengan isue itu tersebut
PS
Begini, wartawan itu kan hanya mencatat apa yang dikatakan nara sumber, dan nara
sumber-sumber yang ada itu menurut Saya masih terdisiplinkan dengan cara berfikir
orde baru, sehingga pencerahan-pencerahan itu sangat minim. Kesan Saya begitu, jadi
cara berfikirnya dengan banyak kasus yang saya lihat media itu ya mengamini diskursus
lama. Karena reproduksi melalui framing itu saya tidak lihat sebagai suatu yang
disengaja atau dikondisikan sejak awal.
M
Kalau selama ini, isu-isu yang sering ditanyak kepada Pak Purwo apakah memang
tematik atau bagaimana ?
PS
Sangat jarang
M
Mendalami suatu isu misalnya ?
PS
Sekali-sekali Saya diundang oleh Tempo untuk diskusi, dan diskusi itu juga sering kali
juga hanya untuk pengkayaan mereka, tidak, kadang-kadang, pernah bikin diskusi di
UGM terus makalah Saya muncul dalam artikel, atau mislanya kesediaan Kompas untuk
mengambil ide dari kampus dan karena memang skemanya kerjasama ya sudah. Bagi
Saya, ide Saya sudah dikomunikasikan its ok. Karena memang dia menyaring sekian
banyak makalah jadi satu dan Saya merasa sebagian besar itu dari saya, tapi kesan Saya
memang pemikiran desentralisasi di Indonesia juga nggak dikritsi-kritisi amat oleh
media, media nggak terlalu reflektif, tapi sebagian para akademisi itu juga banyak yang
tidak reflektif. Karena masih terjebak di dalam nomenklatur yuridis, yang nomenklatur
yuridis tadi masih menyisakan distorsi wacana, frame-nya itu masih frame lama
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
M
Kalau mengacu pada kebanyakan. Juga mengacu juga kepada UU otda ?.
PS
Nah UU nya masih menyimpan, persepsi lama dan prespsi lama itu incompetable kalau
kita renungkan dengan filosofi otonomi itu, nah lagi-lagi teorisasi tentang negara
kesatuan dengan otonomi luas itu yang belum terdamaikan dan Saya masih ingin
menulis terus menerus mengulas itu, hanya untuk mengatakan bahwa kalau refleksikan
disitu masalah sentral.
M
Menurut Pak Pur sendiri isu pemekaran daerah itu bagaimana ?
PS
Kita harus ingat bahwa Indonesian itu dibentuk dari raja-raja kecil itu, bahan dasar
pembentukan Indonesia adalah raja-raja kecil.
M
Itu bukannya sudah selesai waktu sumpah pemuda ?
PS
Selesai di atas kertas dalam pidato pejabat dalam event yang namanya sumpah pemuda,
dalam naskah yang namanya UUD, tetapi memori kolektif bangsa Indonesia itu belum
terhapus, memori kolektif kita berbangsa, itu masih begitu. Memori kolekfif karena
komunikasi biasa menggunakan bahasa komunikasi memori kolektif nah ketika memori
kolektif dianggap tidak ada yang ada adalah upacara sumpah pemuda, upacara yang tadi
simbol-simbol itu, simbol-simbol itu sebenarnya kan belum lebur betul dengan mindset
pola berfikir itu. Nah point Saya justru karena kita mewarisi raja-raja kecil itulah maka
justru raja kecil itulah yang harus dikasih mimpi besar dan kemudian pengikat dari
Indonesia yang bersatu, itulah mimpi yang besar itu, bukan kantornya Mendagri, bukan
tanda tangan Mendagri.
M
Tapi kan itu kalau gak salah ada blue print bahwa ada beberapa ya? 50 provinsi yang
akan dibentuk
PS
Apa blue print mampu menjangkau memori kolektif bangsa Indonesia? blue print
itukan produksi elit, termasuk Saya pun ikut didalmnya. Blue print hanya berguna untuk
menaruh garis terluar, tetapi dia tidak merasuk menjadi zat yang menjadi. Blue print itu
seperti gelas ini, yang mewadahi air, tapi blue print itu tidak sama dengan air di dalam
gelas ini yang diminum bukan gelasnya tapi air yang ada di dalamnya.
M
Jadi kalau begitu pemekaran daerah itu sebaiknya gimana, karena sekarang ini
misalnya, Depadagri melakukan moratorium ?
PS
Saya baru ngomong tadi, bahwa Indonesia sebagai nation in the making yang belum
selesai. Premis ini dianggap selesai oleh semua orang, hampir semua orang, tulisan saya
terlalu jelas mengatakan bahwa Indonesia ini nation in the making, nah premisnya itu
M
Bukannya Negara, Amerika juga belum selesai juga kan ?
PS
Iya, tetapi justru proses in the making itulah yang harus menjadi ingatan kita ketika kita
melakukan apapun, sehingga jangan bikin yang normatif itu adalah realitanya, yang
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
kedua, daerah itu tadi, dibiasakan untuk egois, yang mendisiplinkan egoisme daerah itu
adalah pusat sendiri mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Yang ketiga,
sambil didisiplinkan itu, proses pembangunan ekonomi, itu selalu dari pusat, logikanya
adalah logika efisensi, logikanya adalah ketersediaan infrastruktur itu lah yang menjadi
penentu kemajuan.
Padahal invenstor selalu mau investasi kalau sudah ada
infrastukturnya. Pemajuan ekonomi Indonesia itu masih mengikuti teori kutub-kutub
pertumbuhan. Tata wilayah, perencanaan wilayah itu masih mengikuti itu, itu artinya
ada daerah yang terstruktur untuk termarjinalkan terus menerus apapun sistem
pemerintahannya.
M
Maka kemudian itulah efek pemekaran ?
PS
Iya, tapi pemekaran itukan konsekuensi dari kegagalan pemerintah melakukan
redistribusi. Jadi ada struktur peluang yang melekat di dalam logika pemekaran bahwa
pemekaran itu adalah ijin mendirikan pemda. Urutan esensinya kan begitu, nah kalau
surat ijin, bedanya dengan IMB itukan kalau kita bangun rumah bangun dengan uang
sendiri bedanya adalah kalau mendirikan pemda, sekali ada UU tentang pemda baru, dia
mendapatkan kebutuhan operasional minimal. Orang-orang yang tadinya kleleran itu
tadi bisa menjadi kepala dinas sekian banyak pengaguran itu jadi PNS, nah banyak
daerah yang tidak terjangkau oleh kemajuan ekonomi itu kemudian menggunakan
instrumen fiskal negara untuk mendapatkan share terhadap negara ini. Di PNS, nah dari
segi teori desentralisasi-kan juga ada asumsi yang ceroboh kalau fiskal ada transfer
fiskal dari pusat ke daerah, daerah akan maju. Nggak, daerah kemudian tingkat
konsumsinya meningkat dan ada daerah-daerah yang infrastrukturnya belum maju, itu
ya memang mengandalakan transfer fiskal itu, dengan cara itulah kemudian mereka
merasa menjadi bagian dari Indonesia, maka kemudian cara untuk menjadikan mereka
Indonesia adalah ya sudah ngikuti adminstrasi Indonesia, bikin pemda-pemda baru
bahwa itu tidak efisien menurut Jakarta, ya urusan kamu, nah point Saya adalah ada
proses redistribusi melalui pembentukan pemerintahan daerah baru dan redistribusi itu
memang di luar jargon resmi, diluar skenario resmi pemerintah, tapi itu dirayakan di
daerah-daerah, contoh kongkrit Saya baru pulang dari Talaut, ada beberapa pulau, yang
kemudian menjadi kabupaten, Saya ada fotonya. Jadi menurut Saya, ini contoh kongkrit
dari dampak kemajuan yang Saya lihat. Jadi Saya identifikasi masalah, salah satu
masalahnya adalah abrasi, kemudian Saya melacak, secara, abrasi itu mulai terasa
setelah otonomi daerah, maksudanya apa, yang ngomong ini orang Bappeda ya dia
orang lokal tahu perubahan, nah dengan otonomi daerah ini kemudian ada banyak uang
masuk dan uang masuk itu kemudian menjadikan orang membikin rumah lebih baik dan
seterusnya dan karena disitu tidak ada bahan bangunan pasir maka ngambil pasir dari
laut dari pantai, ya sudah maka banyaknya bangunan yang dibuat itu terukur dari
seberapa besar kerusakan di sepanjang pantai. Saya ingin memberikan ukuran kualitatif,
bahwa bagi orang daerah itu adalah proses pensejahteraan, tapi kesejahtraan di luar
skenario APBN yang normatif itu. Dan kalau bagi mereka itu mensejahterakan what’s
wrong ? Orang Jakarta mau ngomong opo, persetan
M
Bagaimana dengan konflik pemekaran, misalnya memperebutkan ibu kota daerah ?
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
PS
Diperebutkan itu karena ada konflik-konflik karena ada sejarahnya, Itu terjadi misalnya
di Ternate, itukan ada sejarahnya antara antara Ternate Tidore, sehingga solusinya
adalah tidak di dua-duanya, tidak di dua-duanya, tapi itu karena tadi, raja-raja kecil itu.
Meskipun memang tidak sekuat Raja Yogya. Tapi moment-moment tertentu itu bisa
menjadi pengikat memori lama, jadi inti semua persoalan itu adalah kegagalan
mengelola paradoks.
M
Termasuk misalnya korupsi daerah dan dinasti politik, Pilkada ?
PS
Menurut Saya adalah kalau memang watak asalnya begitu tiba-tiba di kasih dan
perubahan itu tidak dengan kesadaran apa yang mau dirubah, kalau reaksinya tidak
terduga itu logis, kalau negeri ini adalah, isinya raja-raja kecil, dikasih otonomi dan
kemudian mereka salah tingkah, salah tingkah itu harusnya salah tingkah itu diantisipasi
M
Tapi bukannya itu ada pengaturan, pengaturan UU 32 misalnya yang merupakan revisi
UU 22 ?
PS
Tapi pengaturan UU itu mengandaikan pusat itu masih segalanya. Ada beberapa elemen
penting yang tadi Saya belum sempat katakan. Otonomi itu bisa menjadi andalan ketika
ditopang dengan evaluasi. Sentralisasi itu bisa menjadi andalan ketika digandengkan
dengan kapasitas rencana dan mengendalikan rencana. Ada satu set konfigurasi, jadi
Orde Baru itu efektif karena sentralisme itu kemudian digandeng dengan kendali
rencana maka kemudian kendali direncanakan, Bappenas mikirin Indonesia sehingga
Bappeda, Provinsi, Bapeda Kabupaten tidak jalan, yang dipegang adalah rencana, ketika
otonomi daerah itu harus dibalik, silahkan gunakan akal sehatmu daerah, jalankan
janjimu pada masyarakat daerah, nah mekanisme untuk mengukur dan menangih janjijanji yang dibuat secara otonomi itu gak ada. Sehingga kecerdasan tadi yang Saya tuntut
adalah kecerdasan untuk melakukan refleksi, menghitung mengapa gagal, itu tidak
pernah diajarkan, silahkan di cek urutan pembuatan UU pelaksanaan, PP pelaksanaan,
silahkan di cari tahun berapa PP tentang evaluasi itu ada. jaraknyanya berapa tahun
dengan PP kewenangan, harusnya itu satu paket. Kewenangan mu ini mekanisme
menagihnya gini kelak, nah kendali pusat terhadap daerah itu harusnya melalui sistem
evaluasi, sistem evaluasi sampai sekarang masih belum jelas. Nah kaitannya dengan
daerah otonom baru, membuat daerah otonom baru bisa berkinerja, itu tidak sama
dengan apa, meletakkan piring dicuci, kemudian besokanya kering dan sudah bisa
dipake. Itu proses pendewasaan institusi dan menurut Saya itu kalau lah bertanam itu
sepeti tanaman keras, bukan tanaman sayur mayur, nah ketika belum saatnya berbuah,
ketika isinya adalah orang-orang yang salah tingkah tadi nggak pernah dievaluasi gak
pernah dibina hanya dijalan-jalankan terus, ya nggak fair kemudian dituntut apa
namanya berkinerja, proses pembinaan atau fasilitasi daerah itu gak ada, karena juga
gak tahu salahnya dimana. Dan pusat masih menyuruh-nyuruh dari Jakarta, nah titik
fatalnya itu adalah, dalam penggunaan kewenangan dekonsentrasi. Karena begitu ini
siapa yang salah, para konseptor yang pada waktu itu ikut salah, karena begitu
marahnya dengan sentralisme Orde Baru, maka UU 22/99 untuk memutus kewenangan
dekonstrasi sampai pada level Provinsi sudah begitu juga tidak dikasih kaki tangan,
Gubernur itu penyelenggara otoritas dekonsentrasi tidak punya lembaga semacam dinas
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
atau apa untuk menjalankan fungsi itu. Yang itulah kemudian impilkasinya otonomi tadi
menjadi liar tidak terkendali. Karena tidak ada monef-nya tidak ada tindak lanjut
memfasilitasi yang kurang yang salahnya di mana, sehingga Jakarta itu gak punya
kendali dan gak dapat respect dari daerah. Tapi kalau misalnya tadi kesulitan daerah
terbaca oleh pusat dan, memang kamu boleh gitu, tapi ginikan lebih baik, bagaimana
kalau melakukan ini, kalau melakukan ini, ini lo ada insentifnya, yang menjadi gitu. Itu
gak ada, sehingga daerah itu ya sudah kemudian pikir sendiri, cari sendiri, lalu
kemudian berlomba-lomba untuk menjebol Jakarta.
M
Kalau misalnya kasus Yogya ini gimana Pak, apa namanya misalnya, apakah ini salah
satu ekspresi untuk menjebol Jakarta ?
PS
Tidak. Saya bisa runut dari psikologi sosial Yogya, kalau kita kaitkan dengan jalan
fikiran resmi pemerintah pusat kan Yogya itu wilayah Indonesia dan kemudian punya
otonomi katakanlah punya istimewa, tapi logika itu dapat dari otomoni itu pemberian
kewenangan, Yogya tidak pernah merasakan kewenangan itu, karena Yogya memiliki
Indonesia, yang menjadikan NKRI itu ada kan Yogya, pada saat RIS itukan NKRI
tinggal wilayahnya tinggal DIY, sehingga kalau Yogya tidak ada, NKRI itu wasallam
alias bubar dalam hukum tata negara, dan ditopang keraton nah kalau barang yang
mengaku hebat yaitu Jakarta tapi kemudian pernah dalam posisi gitu kok tiba-tiba ngaku
menjadi pemberi kewenangan padahal adanya juga belakangan bagaimana ini ?, ini
teori desentralisasi sudah tidak masuk akal, tapi tidak masuk akal ini tidak pernah
disadari oleh yang melafalkannya, termasuk tanda tangan SK dst itu. Jadi kalau toh itu
memberontak itu boleh lah dikatakan namun kalau diurutkan secara hening, itukan
Yogya tidak dalam posisi untuk menerima kewenangan, dan orang Yogya mengatakan
lhaa ini karena kebesaran hati Saya untuk menjadi bagian dari Indonesia kan gitu, nah
sehingga kemudian kebesaran hatilah yang kemudian ketika tidak diapresiasi oleh
bahasa hukum. Tapi-kan kalau misalnya sama-sama aturan khusus, kan paling akhir
diatur dan pemicunya itu memang adalah ketika pengisian jabatan Gubernur, tiap kali
ada jabatan Gubernur itu kan perpanjangan masa jabatan menjadi kegundahan dasar
hukum ini apa ya, nah memang ada kontrofersi dalam komunitas kami di JPP ketika
saat itu yang mencoba untuk merujukkan amanat konstitusi dengan keistimewaan DKY
itu, amanat konstitusinya kan Gubernur dipilih secara demokratis, dan kemudian yang
kita tau jabatan di level provinsi itu Gubernur, nah pada saat yang bersamaan Sri Sultan
juga sudah pernah bikin pidato dalam even yang dirumuskan sungguh-sunggu dan
Beliau katanya juga sampai puasa, berminggu-minggu, sampai semiggu penuh dst
sebelum bikin pidato kebudayaan itu yang isinya adalah aku serahkan rakyat Yogya
kepada Gubernur terpilih. tapi memang waktu itu konteksnya akan nyalon presiden.
Sehingga apa kalkulasinya tetapi dari segi ide sudah kondusif pada awal-awalnya bhwa
DIY sudah prepare untuk memiliki Gubernur yang bukan sultan, tetapi sultan tetap
sultan, dan ketika kami mempelajari tatanan asli struktur keraton di masa lalu itu ada
patih. Patih Danurejo itulah yang sudah mensejarah, dan Patih Danunrejo ini diputus
jabatannya setelah kemerdekaan karena apa? sebelumnya pengaruh asing, pengaruh
Belanda, nempelnyakan disitu, nah pertanyaanya adalah ketika menjadi bagian dari
NKRI, Jakarta ini barang asing atau tidak, dan sambungan antara Jakarta dengan
Danurejo ini inviltarsi asing ataukah kebesaran hati, atau strategi Sultan untuk survive di
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
era modern, nah disitulah gak ada telaahan yang jelas tapi intinya kemudian kami
berksperimen secara sengaja mengetuk pintu, menjajaki. Dengan bikin konsep sultan
tetap punya kedudukan tinggi tapi memerintah secara tidak langusung dan terbebas dari
politik termasuk rebutan jabatan dst diserahkan ķepada sesuatu yang setara dan Patih
Danurejan Itu yang secara inisiatif kita kasih nama Gubernur. Tapi gagasan itu mental,
sehingga sultan juga tidak lagi nyalon presiden, menjadi pelaku di kancah nasional
sudah terkunci, maka satu-satunya kan dia harus menata lagi kekuasaan, tapi sekali lagi
kalau saya detailkan tentang kekecewaan Yogya karena kekecewaan tentang proporsi
yang semestinya dan lagi-lagi kemampuan Yogya untuk selfgavening itulah
meringankan Indonesia, nah, tipe ideal otonomi daerah menurut Saya adalah Yogya.
M
Walaupun Sultan.
PS
Iya dalam konsep dasar
M
Otonomi Asimetris
PS
Sultan HB IX mempunyai langkah cerdas, saya dengan suka slogan dari Yogya untuk
Indonesia, UGM itu dilahirkan dari keraton, tapi itu adalah sebuah strategi kultular yang
luar biasa karena dengan adanya lembaga modern namanya universitas, itu
tradisionalitas di Yogya itu bisa disandingkan, diharmonikan dengan modernitas.
sehingga wajah wadah dualististik atau kemampuan untuk arif secara kultular dan
cerdas itu ada di Yogya. Yogya meskipun daerah kecil tetap dikunjungi banyak orang
dan dengan UGM itu kemudian elit seluruh Indonesia bisa disatukan dari sini dan dia
tidak kehilangan muka. pada saat yang bersamaan ketika kekuasaan tadi dikuasai oleh
dua raja disitu juga ada permainan yang sangat cerdas, ada Pakualam waktu itu,
Pakualam ini kan ruang gerakanya kan lebih terbatas, dan juga dari segi silsilah lebih
sepuh itu kan pamannya, nah ok, paman silahkan urus Yogya, kira-kira gitu, Saya HB
IX tak bermain di level nasional, ketika ada dualisme kepimpinan salah satu ke atas dan
kemudian yang kecil itu menguasai, nah ini strategi berkuasa sudah sangat cerdas,
dangan cara itukan kemudian Jakarta disini sabgai orang cerdas macam itu ini makanya,
itu tadi Yogya itu ada prototipe ideal otonomi daerah, itu justu karna kehebatan Yogya
itu gak terbantahkan dan nasional itu kemudian mendapat keuntungan besar dari Yogya
dan Jakarta tidak terancam oleh Yogya, kalau terancam tadi kan gara-gara salah tingkah.
nah itu hubungan pusat daerah yang ideal dengan keistimewaan itu, jadi otonomi dan
keistimewaan bagi saya di sini gak beda. Ketika kami nge-daft karena kami kan ikut
mengonsep itu, pertanyaan Pak Dodi di Kemendagri waktu bikin draft itu kan, kita
sharing. Kemudian kita laporkan ke Kemendagri lewat Pak Dodi, ketika kita tanya apa
rambu-rambunya kemudian Beliau jawab, terserah itu teman-teman merumuskan
keistimewaan itu kaya apa, tapi tolong bantu kami Kemendagri memilah mana yang
harus kami pukul rata seluruh Indonesia mana yang hanya khusus untuk Yogya.
Harusnya logika Jakarta ketika mengurusi daerah-daerah yang unik itu seperti
pernyataan Pak Dodi itu. Kemudian kami menjawab dengan formula nasi goreng, kalau
ngomong daerah istimewa mau urutnya dari itu. formula nasi goreng itu kan, nasi
goreng itukan yang di masak sama, cara masakanya sama, yang membedakan apa yang
ada dipuncaknya saja, toppingnya saja. Kemudian ya sudah apa yang topping itu.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Topping itulah kemudian yang kita kasih nama kewenangan istimewa, kewenangan
istimewa kita cari-cari kemudian ketemu pada waktu itu, karena ini kewenangan,
misalnya kewenangan amanat UU amanat pemerintahan nasional untuk
menyelenggarakannya pemerintahan harus ada uang, uang itulah yang kita kasih nama
dana istimewa.
M
Kalau tentang dinasti politik dan korupsi elite local, Gimana mas, ini banyak sekali
disoroti oleh wartawan
PS
Tapi wartawan ini kan mendapat informasi sebagian dari para ilmuwan yang ilmuwan
itu merasa Indonesia itu sama dengan UUD atau kata teks book. Namanya patronase,
itu normal atau tidak normal menurut Anda,
M
PS
Ada beberapa hal normal
Kalau normalnya itu, kalau patron-patron dikasih kewenangan, patron itu jalan logis
atau tidak logis ?
M
Asal dia tidak korupsi
PS
Sebentar, kalau mesinnya adalah patron-patron dan kemudian mesin dikasih
kewenangan, dikasih duit patron itu bekerja patronase adalah patron yang bisa punya
anak buah yang patuh, anak buah yang setia dan kepada anak buahnya itu dia
memberikan proteksi, anak buahnya memberikan kesetiaan, itu reason dasarnya
M
Iya, kalau gitu itu kan, kita kembali ke zaman raja-raja dulu Pak
PS
Fakta sosiologisnya Anda sudah terima mengapa implikasi sosiologisnya Anda tolak,
sosiologinya dimana, ketika belajar sosiologi mengapa kemudian pindah ke pengantar
ilmu hokum ?, kalau fakta sosiaologisnya itu ada patron-patron maka mesin yang
niscaya menjadi andalan untuk beroperasi di lapangan adalah patronase itu sendiri nah
kalau patronase bekerja sementara kita tahu ada, salahnya sendiri yang tidak mengapaapakan patronase dan kemudian hanya mengutuk setelah dikasih uang. Maka kemudian
kalau ada kausalitas ada cause and effect harus berangkat dari situ kalau mesin yang ada
di patronase dia apa-apakan ya nalar patronase itu jalan. Patron tadi berusaha apa
berkerja untuk menjamin kepatuhan, dan kalau yang mau dikasih itu gak ada dalam
birokrasinya ya di reka-reka supaya pantas dalam bahasa administrasi keuangan. Maka
memperkosa administrasi negara itu lah yang terjadi selama ini, jadi kalau Saya ngajar
mata kuliah keuangan negara, pelajaran hari pertama itu adalah Anda harus konsisten
berbohong, kalau Anda menjadi bendahara, kalau Anda memalsukan data di hari
pertama seluruh laporan Anda harus bohong, cara orang menghindar dari korupsi adalah
konsisten bohongnya. Itulah yang tidak selalu jahat, tidak selalu jahat, ini Saya temukan
dari studi tentang Yogya belum lama itu bahasa Yogyanya nggiwat saya dapat istilah itu
dari, Pak Laksono sastra, jadi kita itu selalu berbenturan dengan aturan-aturan pusat
yang tidak logis, dan oleh karena itu ya harus sing pinter-pinter, pinter-pinterlah gitu lo,
bukan hanya pintar, tapi pintar-pinterlah, ngono yang ngono neng ojo ngono nah ini
semua adalah kategori nggiwat, nah itulah strategi kultural yang ada dalam budaya kita.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Oleh karena itu kemudian governance dalam prakteknya yang bekerja adalah informal
yang harus selalu memberikan kesan tertib secara administratif tapi kemudian
memberikan solusi lokal, nah inilah ambivalensi yang selama ini menjaga ketertiban
negeri ini, negeri ini bisa tetib, tertib dalam angka ambivalensi, nah kalau Anda minta
ideal yang ideal itulah yang ambivalen.
M
Cuman kalau dalam dinasti politik itu gimana patron itu ?, karena kan beberapa kasus
kan itu menjadi tidak sehat.
PS
tidak selalu
M
misalnya itu Atut ?
PS
Sebentar, Atut dengan kerabatnya itu telah lama dikaji orang, kalau di masa sebelum ini
sebenarnya lebih pada liberalisasi pemerintahan ya, dimana ada peluang untuk
menjadikan kandidat pemimpin di era demokrasi, di era desentralisasi. Bapakanya Atut,
Pak Khasan itu kan sudah dikenal sebagi jawara, jawara ini kan sanggup
menegosiasikan semuanya baik secara resmi ataupun tidak resmi, tentara saja patuh.
Faktanya itu sudah sejak zaman orde baru. Dan ketika ada zaman keterbukaan dia
mecalonkan diri sebagai pejabat, berhasillah Atut jadi Gubernur, nah, tetapi kan dia
tidak dengan mudah bisa keluar dari cara berfikir ritme-nya itu, nah ini yang terjadi
sebenarnya kan perpindahan dari aktor tidak resmi ke dunia resmi, aktor tidak resmi
menjadi aktor resmi. Nah tapi secara sosiologis yang tidak resmi ini, ketika kemudian
dia dihakimi oleh korupsi daseterusnya itulah korupsi. Tetapi bahan dasar korupsi sudah
ada sejak dulu. Sama persis tadi, konsisten dalam berbohong dalam APBD dan APBN
dan itu sudah sejak dulu. Cuma itu itu dilebeli korupsi atau tidak itu saja.
M
Kalau di luar itu, di luar dinasti pak Khasan, misalnya ada banya, yang kemudian yang
diwariskan ke anaknya, istrinya karena kemudian
PS
Menurut Saya ya diputus, itulah reaksi yang saya mau, tapi tidak udah ngomel, tidak
usah ngeluh gitu loo, bahwa itu harus di tata, dipotong korupsinya ya. Nah harus
rancangan sejak awal nah Menurut Saya itu terlambat gitu lo. Ketika bahan dasarnya
adalah Pak Kasan sebagai apa orang kuat di Banten, dikasih provinsi sendiri ya to,
sedang wilayah kekuasan yang pas dengan daya jangkau dia, kalau dia yang paling
menang, kan sudah ditebak. Sebetulnya kalau mau menangkap korupsi itukan sudah ada
sejak awal, dan sebenarnya gak perlu teriak-teriak, korupsi. Tinggak pilih mana aja gitu.
Tapi yang Saya sedih masa harus meratap gitu lho. Itu analisis gak ada karena yang ada
hanya adalah norma-norma tadi. Kita semua bersembunyi di balik norma-norma itu.
Para pengecut itu. Jadi point Saya semuanyakan sudah jelas di depan mata, itulah fakta
sosiologis Indonesia. Dan kalau kita memerintah dengan melupakan itu tadi saya ejek,
wong mengikuti mata kuliah sosiologi kok minta lulus pengantar hukum gitu loo. Kalau
itu fakta sosiologis ya sudah ikut saja. Itulah problem kita ketika pemerintahan informal
itu dianggap tidak ada. Tetap kalau di jurusan kami kan tidak didefinisikan
pemerintahan adalah relasi negara dan masyarakat, relasinya kan bisa formal dan
informal, bisa langsung tidak lngsung, banyak hal itu memang berlaku dalam domain
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
informal. Dan tadi berangkat dari kajian-kajian lokal itu, yang informalitas yang
menyelesaikan persoalan. Ya pinter-pinterlah kiya-kiyu ada sekian banyak ungkapan
yang merupkan strategi survival ketika berhadapan norma-norma yang tidak masuk akal
dari pusat. Dan kita ini dibesarkan dan dihidupi oleh itu dan kita itu berpura-pura tidak
tahu itu kemudian dengan tragisnya kita mengeluh, mengumbar, menurut saya itu
omelan boros itu, dan untuk memotong pertama itu pasti ada yang sakit ada yang marah,
ya kalau misalnya kita membersihkan kerak di toples, kalau kemudian sebagian dari
logamnya terkelupas itu normal.
M
Jadi misalnya kan ada UU anti dinasti jadi tidak bisa langsung eksekusi itu Pak ?,
karena resource mereka punya patron .
PS
UU itu rentan di patahkan di Mahkamah Konstitusi. Saya setuju dengan misinya
melawan dinasti, cuma harus cerdas. Dan kalau hanya mengandalkan legalitas kita kan
dimentahkan dimana-mana, misalnya dalam kasus Yogya saya kadang-kadang bercanda
ke Mbak Linda, suatu saat ketika masih di Belanda, anak mu Randu boleh bermimpi apa
saja bisa menjadi Sekjen PBB mengantikan Kofi Annan, bisa menjadi Presiden
Indonesia, hanya maaf kamu gak boleh bermimpi jadi Gubernur DIY. Tapi kalau ada
orang iseng dan agak gila punya ide baru yang agak konyol, itu bisa menang. Misalnya
dia melawan di MK apa hak ku menjadi Gubernur DIY dibatalkan oleh UU
keistimewaan. Atas dasar apa kan itu menabrak UUD 45.
M
Jadi dinasti politik ini gimana Pak ?
PS
Dinasti itu kalau menurut Saya faktanya realitanya rezim dinasti itu adalah rezim yang
formal yang ada di Indonesia, suka atau tidak suka. Dan dengan kebebasan potitik yang
dibuka, mana yang informal ini bisa berubah menjadi formal dan praktek-praktek yang
tadinya itu disebut sebagai kearifan kebijkan dan seterusnya, dengan mudah menjadi
korupsi pelanggaran prosedur.
M
ini pertanyaan teakhir Prof, kalau tentang pilkada bagaimana menurut Prof, karena ini
ada isu mau di DPRD atau pemilihan langsung ?
PS
Saya pernah nulis di Koran Sindo, intinya adalah kita itu seperti burung onta. Cara
mengatasi masalah dengan menyembunyikan kepala itu dari badan. Mengganti sistem
pemilihan itu solusi, untuk menyembunyikan persoalan. Mau kita kabupaten, pemilihan
langsung tidak langsung bukan itu pointnya, pointnya rakyat tidak berdaulat yang ada
hanyalah KTP. Yang ada itu penduduk, yang menjadi soal hanya soal alamat, yang di
sukai pemerintahan itukan masyarakat dan penduduk. Penduduk itu bahasa demografi.
berapa orang Islam, alamatnya dari mana, gak ada ikatan politik dengan negara. Nah
ketika penduduk sebagai kolektifitas politik itu punya namanya rakyat. Tapi ketika
masing-masing orang itu kita kasih signifikansi politik namanya warga negara. Nah dua
yang terakhir itu nggak ada di kita Saya memberikan contoh, ketika orang ke bilik suara
dan orang ini di bilik suara itu sadar bahwa vote yang bagi dia itu tidak ada harganya,
kalau ada ada haraganya itu setara dengan upah hari itu 50 ribu misalnya ya sudah,
itulah apa namanya harga wargar Negara itu, sehingga kemudian ketika dia sudah
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
mejual vote nya (ngijon) dia secara moral sudah tidak punya basis untuk
mempersoalkan atau menggugat. Sehingga kemudian dia sudah pasrah. Nah kalau
demokrasi dibangun dengan cara itu nggak ada kaitan antara terpilihnya orangnya
dengan kebijakan.
M
Walaupun itu pilkada mau DPRD atau langsung, kalau sudah ada sitem ngijon itu ya
wasalam Pak ?
PS
Masalahnya ngijon itu tidak ditangkap sebagai masalah, menurut saya itu justru
masalah. Tapi kan orang tidak merasa berkhianat kepada negara, ketika menggunakan
ngijon itu, kita belum jadi subyek kita masih menjadi obyek. Jadi warga Negara ini kan
ada subyek dan ada obyek, cuman subyek itu gak ada, yang ada adalah obyek, nah kalau
dikasih hati terus tapi dia obyek, maka dia obyek rekayasa. Tim sukses, dia obyek
rekayasa, partai dan seterusnya, maka sebenarnya tidak ada kedaulatan rakyat, yang ada
adalah pura-pura berdaulat, nah kalau mau dipilih melalui langsung tidak langsung tapi
yang ada adalah kepura-puraan berdaulat, ya sudah negeri kita di atas kepura-puraan.
M
Jadi masalahnya bukan pada masalah pemilihan langsung ?, atau tidak langsung ?.
PS
Menurut Saya itu hanya bisa berlaku ketika yang Saya tuntut diatas itu selesai. Teori itu
gak akan jalan, kalau prasyarat bekerjanya teori yaitu kewarganegaraan itu tidak jalan,
ya Saya memang tidak fair kalau mengatakan hitam putihnya, tapi itu hanya sekedarkan
menuntaskan jalan fikiran. Bahwa demokrasi itu kedaulatan rakyat, kedaulan rakyat
adalah bukan individu, citizen punya sense of public, dan sense of public itu hilang,
dihilangkan oleh sekian proses apa namanya ya penguasaan melalui berbagai cara, bisa
dikuasai kiyai-nya bisa dikuasainya oleh dosennya, bisa dikuasai oleh apa saja, dan sang
subyek itu hilang, sehingga dikasih vote tidak dikasih vote nggak nyambung. Sehingga
cirinya tadi, orang merasa punya hak pilih tapi kemudian yang bergerak adalah nalar
ekonomi harganya berapa bukan nalar public, oleh karena sense of public tidak ada.
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Wawancara dengan Pemred Harian Jurnas
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Wawancara dengan Pemred Harian Kedaulatan Rakyat
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Wawancara dengan Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Wawancara dengan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri
Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.
Download