UNIVERSITAS INDONESIA KONSTRUKSI REALITAS OTONOMI DAERAH DALAM MEDIA MASSA Analisis Frame Isu Otonomi Daerah di Harian Kompas, Harian Jurnal Nasional, dan Harian Kedaulatan Rakyat Tahun 2012 - 2013 DISERTASI OLEH MEGANDARU WIDHI KAWURYAN NPM : 0806402603 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JUNI 2015 Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. UNIVERSITAS INDONESIA KONSTRUKSI REALITAS OTONOMI DAERAH DALAM MEDIA MASSA Analisis Frame Isu Otonomi Daerah di Harian Kompas, Harian Jurnal Nasional, dan Harian Kedaulatan Rakyat Tahun 2012 - 2013 DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Komunikasi OLEH MEGANDARU WIDHI KAWURYAN NPM : 0806402603 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JUNI 2015 Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Untuk mama dan papa yang telah memberi cinta kasih tak pernah habis, Untuk anak dan istriku yang telah menjadi inspirasi dan tonggak hidupku Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. KATA PENGANTAR Disertasi ini berangkat dari kegelisahan penulis mencermati berita-berita otonomi daerah di media massa, setelah pemerintahan Orde Baru jatuh berita mengenai otonomi daerah banyak mewarnai media massa. Berbagai berita bermunculan ada yang positif namun banyak yang negatif, pada sisi yang lain dari penelusuran penulis tidak banyak bahkan jarang ditemui penelitian dalam bidang ilmu komunikasi yang setingkat disertasi meneliti tentang media massa dan otonomi daerah. Kebanyakan penelitian yang berkembang adalah mengenai penerapan kebijakan otonomi daerah pada suatu provinsi, kabupaten dan kota, padahal sebaik apapun suatu kebijakan namun apabila kemudian disiarkan dan dikonstruksikan secara negatif oleh media massa akan membuat kebijakan tersebut terlihat salah. Kegelisahan ini kemudian penulis tuangkan dalam riset mengenai media massa dan otonomi daerah, dalam riset ini penulis berusaha membedah konstruksi realitas otonomi daerah dalam media massa, dalam penulisan disertasi diggunakan teori Konstruksi Realitas, teori Pemerintahan Lokal, dan teori Strukturasi, sedangkan untuk membedah teks media digunakan model framing Robert N Entman. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa media massa pada skala tertentu dapat menjadi faktor determinan dalam menggalang suatu isu dan merubah suatu kebijakan, sehingga peran media massa seharusnya mulai dilirik oleh para peneliti yang berkecimpung dalam kajian otonomi daerah dan pemerintahan daerah. Disertasi ini tidak akan mungkin terwujud tanpa bantuan berbagai pihak, penulis sungguh sadar akan keterbatasan penulis sehingga tanpa bantuan dari berbagai pihak mustahil rasanya disertasi ini akan selesai, untuk itu penulis menyampaikan pengormatan setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Ibu dan Bapak yang telah membantu kelancaran penelitian dan penulisan disertasi ini. Ucapan terimakasih awal dari penulis dan rasa hormat yang setinggi-tingginya disampaikan kepada Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, PhD yang telah berkenan menjadi promotor dan menjadi pembimbing dalam disertasi ini, wejangan dan nasihat-nasihat Prof Sasa mulai dari awal penulisan sampai akhir penulisan demi perbaikan disertasi tidak akan pernah penulis lupakan, kedua kepada Prof. Ikar Nusa Bhakti, PhD yang telah memberikan masukan-masukan kepada penulis tentang ilmu politik terutama politik lokal dan pemeritahan daerah, ketiga kepada Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Dr Pinckey Triputra MSc yang selalu memacu penulis untuk membaca dan lebih paham mengenai berbagai teori-teori yang penulis gunakan dalam disertasi ini, diskusi dengan Pak Pinckey terasa sangat menyenangkan dan mencerahkan. Kemudian penulis juga haturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggitingginya serta rasa hormat kepada tim penguji disertasi yaitu: Prof. M. Alwi Dahlan., PhD, berdiskusi dengan Prof Alwi sebagai begawan ilmu komunikasi seperti oase ilmu yang tidak pernah kering, Prof Dr. Ilya R Sunarwinandi., MSi yang telah memberikan masukan-masukan yang bernas kepada penulis, Prof Alois Agus Nugroho., PhD yang telah memberikan perspektif filsafat komunikasi dan perspektif kritis sehingga penulis semakin sadar bahwa masih banyak buku yang harus penulis baca dan pelajari, Prof Andi Faisal Bakti., PhD yang telah mengajarkan kepada penulisan tentang tata cara penulisan baku ilmiah yang benar, sehingga penulis sadar bahwa selama ini banyak kesalahan penulisan yang telah dilakukan, dan Prof Andi mengenalkan kepada penulis untuk melihat disertasi ini dalam banyak perspektif, Prof Dr. Billy K Sarwono yang biasa penulis sapa dengan Ibu Oni maturnuwun sanget masukan-masukan Ibu, dan Ibu berkenan selalu menjadi alarm bagi penulis untuk segera menyelesaikan disertasi ini, kepada Bapak Drs Eduard Lukman MA yang telah menjadi sosok bapak di Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UI yang selalu siap menerima curhat penulis dalam penyelesaian disertasi ini penulis ucapakan banyak terimakasih. Kepada Almarhum Prof Dedy Nur Hidayat, PhD penulis ucapkan beribu terimakasih atas bantuan Prof Dedy pada awal-awal penyusunan disertasi ini. Selanjutnya ucapan terimakasih penulis haturkan kepada Bapak Rektor IPDN yang telah memberikan ijin belajar bagi penulis untuk melanjutkan studi di Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UI, ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada Bapak Kepala Badan Diklat Kemendagri yang telah memberikan bantuan pendanaan kepada penulis selama studi di Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UI. Untuk Ibunda Prof. Dr. Ngadisah, MA, tidak ada kata yang mampu penulis ungkapkan selain beribu terimakasih atas bantuan Ibunda akhirnya disertasi ini selesai dan penulis dapat mencapai gelar doktor dalam bidang ilmu komunikasi. Ucapan terimakasih yang setinggitingginya juga penulis sampaikan kepada Prof Ryaas Rasyid, Prof. Muchlis Hamdi, Prof. Ermaya Suradinata, Prof. Sadu Wasistiono, Prof. Tjahya Supriatna, Prof Erliana Hasan, Prof. Khasan Efendi, Prof. Zudan Arif Fakrulloh, Prof Aries Jaenuri, Dr. Siti Ismaryati, Dr. Faria Ruhana, Dr. Muhadam Labolo, Dr. Nurliah Nurdin, Dr. Baharuddin Thahir, Dr. James Pualillin, Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Dr. Ika Sartika, Dr. Hyronimus Rowa, Dr. Sampara Lukman, Dr. Andi Pitono, Dr. Andi Azikin, Dr. Averus, Bapak Ir Dedy Riandono, MM, Mas Heru Rochmansjah, MH, Drs. Rukman, MSi, Drs Syamsurizal, MA, Drs Sjahril Tanjung, MA, Drs Agung Manghayu, MSi, Ibu Primastuti, ME, Drs. Tri Murti Santosa, ME, Drs Andy Ramses, Drs. Nasrudin, MSi, Drs Asri Hadi, MA, Ibu Guguk Trirahayu, MAP, yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan disertasi ini. Apresisasi yang sebesar-besarnya dan rasa terimakasih yang tulus penulis haturkan kepada narasumber informan dalam penelitian ini, Bapak Bambang Sigap Sumantri dari harian Kompas, Bapak Octo Lampito dari harian Kedaulatan Rakyat, dan Bapak Budi Winarno dari harian Jurnal Nasional yang telah berkenan menerima penulis dan melakukan wawancara mendalam tentang topik penulisan disertasi ini. Kepada Prof Dr. Djohermansyah Djohan, MA (Dirjen Otda Kemendagri), Drs Made Suwandi, PhD (Ketua Revisi UU Otda), dan Prof Purwo Santoso, PhD (Ketua Jurusan Ilmu politik dan Pemerintahan UGM) penghargaan dan rasa hormat setinggitingginya penulis haturkan, ditengah kesibukan Prof Djo, Pak Made dan Mas Purwo berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggali dan berguru lebih banyak informasi mengenai otonomi daerah dengan berbagai macam perspektif. Kepada kawan-kawan seperjuangan di Program Doktor Ilmu Komunikasi UI, terutama kawan-kawan angkatan 2008, tiada kata yang mampu penulis ungkapan selain beribu terimakasih atas persahabatan ini, susah, senang, tawa, sedih, insomnia, migren, gembira selalu menjadi hari-hari selama masa pendidikan yang tidak pernah akan terlupakan, Ibu Naniek, Ibu Nina, Ibu Inge, Mbak Westi, Mbak Irwa, Pak Indiwan, Mas Rudi, Mas Fahmi, Mas Anthoni, Mas Eka “filsuf” Wenatz, Bung Ahmad “FBR” Jamil, dan Mas Eriyanto merupakan sahabatsahabat terhebat yang penulis miliki, terutama untuk Mas Eriyanto terimakasih yang tak terhingga atas diskusi, buku, jurnal dan berbagai bantuan yang telah Mas Eri berikan, tanpa Mas Eri susah rasanya penulis lulus dari Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UI. Tak lupa penulis juga sampaikan ucapan terimakasih kepada Ibu dan Bapak yang bertugas di Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UI (Mas Mugi, Mas Ajat, Mas Giri, Mas Pepep, Mas Agus, Pak Taram, Pak Barnas dan masih banyak lagi) terutama kepada Mas Mugi maturnuwun sanget dan nyuwun sewu sering membuat Mas Mugi pusing dan mumet. Tak lupa pula penulis haturkan banyak terimakasih kepada kolega penulis yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian ini Syekh Afif, Arif, Kavin, Martha, Tyara, Anto, Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Putu, Septi, Fikri, Afni, Fajar, Wahyu, Desi, dan Ibu Nana. Kepada Dik Novik dan kawankawan di Perpunas Jakarta penulis juga haturkan banyak terimakasih, tanpa keterlibatan dik Novik sulit rasanya penulis dapat mengumpulkan materi berita secara lengkap. Untuk sahabat-sahabat penulis yang selalu memberi motivasi dengan cara meneror penulis untuk cepat selesai, penulis juga haturkan terimakasih banyak pada Mas Anies Baswedan, PhD, Prof. Eko Purnomo, PhD, Prof. Mada Sukmajati, PhD, Mas Dr. Purwadi, Mas Dr. Nurhadi, Bung Ridaya “Dayat” Ngkowe MA, Bung Yusdinur “Adi” Musa, Bung Yana Aditya, Bung Chozin MA, KH Musyafa, KH Mustofa, Inung, Hikmat, Dodiek, Mbak Yundri, Teh Nenden, Wisnu, Ibu Niken, Ibu Sofia, Agam, Mas Ova, Cak Iqbal, Mas Windi, Lalu, Bung Hanafi Rais, Mas Hasanudin M Kholil, Imbang, Mas Iwan Roberto, Mas Pri, , Rinto, Mas Puthut, Aji dan masih banyak nama yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terakhir dan yang paling penting penulis haturkan secara sungguh-sungguh rasa terimakasih kepada keluarga penulis, untuk Mama (Dr. Sukatmi Susantina) dan Papa (Prof. Dr. drg. Munakhir, MS, SU, Sp.RKG) yang telah memberikan cinta kasih tak pernah habis, teruntuk isteriku tercinta (drg Novita Sari Ratna Astuti, MPH) dan anak ku tersayang (Dandarareta Raras Kawuryan) insprasi dan pilar hidupku terimakasih tak terhingga atas pengorbanannya, maafkan selama ini papa belum bisa banyak meluangkan waktu. Untuk adik penulis Meganindya Bima Nuraditya S.Sn dan drg, Nadiya Ayunita serta keponakan penulis Melodi Alifasani, Alvis Kusuma, Viktor Ramadhan, Ota dan seluruh keluarga besar penulis terimakasih atas doa dan dukungannya. Kepada seluruh keluarga besar mertua Ibu (Dra Sri Hariadiningsih) dan Bapak (Prof Dr. Ir. Sutardi, MApp.Sc), dik Dhanik, dik Dharu, dik Imam, dan Dena, penulis haturkan terimakasih tak terhingga atas segala dukungan untuk segera menyelesaikan disertasi ini. Penulis sangat menyadari bahwa disertasi ini jauh dari sempurna, penulis berharap berbagai masukan dan kritikan untuk dapat membuat disertasi ini menjadi lebih baik, semogga disertasi ini dapat menjadi secuil batu pijakan dalam rumah besar Ilmu Komunikasi. Jakarta, 15 Juni 2015 Megandaru Widhi Kawuryan Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI PROGRAM PASCA SARJANA ILMU KOMUNIKASI Megandaru Widhi Kawuryan 0806402603 Konstruksi Realitas Otonomi Daerah Dalam Media Massa Analisis Frame Isu Otonomi Daerah di Harian Kompas, Harian Jurnal Nasional, dan Harian Kedaulatan Rakyat Tahun 2012 - 2013 [Disertasi, xvi, 7 bab, 200 halaman, 26 tabel, 4 skema, 17 gambar, 5 lampiran, Bibliografi: 65 buku (1974 - 2014), 18 Jurnal (1977-2013), 8 tesis dan disertasi (1993-2011), 4 Peraturan Perundang-Undangan (1945-2004), dan 4 lain-lain] ABSTRAK Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang pemberitaan mengenai otonomi daerah mekar bermunculan, media massa yang pada zaman Orde Baru jarang memberitakan mengenai isu otonomi daerah berubah haluan menjadi gadrung memberitakan isu otonomi daerah, berbagai berita bermunculan ada yang positif dan ada yang negatif, bermacam pertarungan wacana mewarnai isu otonomi daerah di media massa. Penelitian ini bermula dari rasa ingin tahu yang mendalam mengenai berbagai berita tentang isu otonomi daerah yang muncul di media massa dan bagaimana media massa melakukan konstruksi realitas terhadap isu otonomi daerah , selama ini penelitian mengenai isu otonomi daerah banyak dilakukan oleh para ilmuwan yang berlatar belakang ilmu politik, ilmu pemerintahan, ilmu administrasi negara, dan ilmu hukum, penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan di atas lebih banyak bicara mengenai penerapan kebijakan otonomi daerah. Penelitian mengenai isu otonomi daerah menggunakan perspektif ilmu komunikasi masih jarang bahkan bisa dibilang langka, padahal peran media massa menurut Severin-Tankard (2007:15), adalah membentuk opini publik. Para penganut mazhab konstruksionisme seperti Tuchman (1978), Fisman (1980), dan Shoemaker (1996), melihat bahwa berita yang disiarkan oleh media massa dapat membuat masyarakat mempunyai suatu sudut pandang dan mengkonstruksikan suatu realitas suatu isu dalam masyarakat tak terkecuali isu otonomi daerah. Penelitian dalam disertasi ini menggunakan perspektif interpretif. Perspektif ini dipilih karena menurut Neuman (2006) teori konstruksi sosial merupakan ranah dalam perspektif interpretif, untuk membedah teks dalam penelitian ini menggunakan analisa teks framing, model yang digunakan adalah framing Robert N Entman. Framing model Entman dipilih karena dalam konsep Entman framing dapat dipakai untuk menggambarkan proses seleksi suatu isu, serta menonjolkan beberapa aspek tertentu dari suatu realitas oleh media. Empat elemen framing model Entman adalah pertama Define Problem merupakan bingkai utama atau master frame, kedua Diagnose Causes dalam elemen kedua ini yang menjadi titik berat adalah siapa aktor utama dalam suatu kejadian atau peristiwa, ketiga Make Moral Judgement adalah elemen yang digunakan untuk melakukan pembenaran dengan memberikan berbagai argumentasi pada pedefinisian masalah yang sudah dibuat, empat Treatment Recommendation adalah elemen yang Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. digunakan untuk melihat apa yang sebenarnya dikehendaki oleh wartawan, bagaimana cara yang akan dipilih untuk menyelesaikan suatu masalah. Dalam disertasi ini ada 3 media yang diteliti yaitu harian Kompas, harian Jurnal Nasional, harian Kedaulatan Rakyat. Dipilihlah tiga surat kabar dengan orientasi yang berbeda, yaitu pertama surat kabar Kompas sebagai surat kabar harian terkemuka nasional dengan tiras yang besar, kedua surat kabar Jurnal Nasional sebagai surat kabar yang mempunyai kedekatan sejarah dengan Partai Demokrat, ketiga surat kabar Kedaulatan Rakyat sebagai surat kabar daerah yang masih survive dan masih leading sampai saat ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan dalam level mikro yaitu ada perbedaan frame pemberitaan harian Kompas, harian Jurnal Nasional dan harian Kedaulatan Rakyat mengenai Isu Otonomi Daerah. Pada analisis pada level meso media terlihat faktor kepemilikan dan modal masih cukup kuat dalam mempengaruhi frame media yang diteliti. Analisis level makro dapat dibagi menjadi dua. Pada harian Jurnal Nasional analisa yang lebih tepat adalah menggunakan pendekatan analisis instrumentalis atau strukturalis daripada strukturasi karena pada harian Jurnal Nasional struktur organisasi media terlihat mengikat erat human agent. Tidak terlalu cukup ruang bagi agen melakukan interplay terhadap struktur. Lain halnya dengan harian Kompas dan harian Kedaulatan Rakyat, yang dapat dibedah dengan analisis strukturasi. Dalam proses strukturasi dari tiga media yang diteliti, terlihat dua media yaitu harian Kompas dan harian Kedaulatan Rakyat mampu merubah struktur dari sentralistik ke desentralistik untuk isu Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan Keistimewaan Yogyakarta, meskipun harus diakui bahwa media bukan satu-satunya faktor yang diterminan dalam perubahan struktur tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa isi dari teks media dalam dua isu tersebut memberikan kontribusi kepada eskalasi tekanan atau adanya akumulasi-akumulasi tekanan terhadap penguasa. Kata Kunci: Media Massa, Framing, Konstruksi Realitas, Otonomi Daerah, Strukturasi. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. INDONESIA UNIVERESITY FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCES COMMUNICATION SCIENCE DEPARTMENT GRADUATE PROGRAM OF COMMUNICATION SCIENCE Megandaru Widhi Kawuryan 0806402603 The Construction of the Reality of Regional Autonomy in Mass Media Frame Analysis of Regional Autonomy Issues in Kompas Newspaper, Jurnal Nasional Newspaper, and Kedaulatan Rakyat Newspaper in 2012 - 2013 [Dissertation, xvi, 7 chapters, 200 pages, 26 tables, 4 schemes, 17 figures, 5 appendices, Bibliography: 65 books (1974 - 2014), 18 Journals (1977-2013), 8 theses and dissertations (1993-2011), 4 Regulations (1945-2004), and 4 others] ABSTRACT After the New Order government fell, news on regional autonomy appeared everywhere. Mass media which rarely reported regional autonomy issues during the New Order now reported the issues all the time. Various news emerged, some positive and others negative. A battle of discourse of regional autonomy issues appeared in the mass media . This research was started by curiosity on various news on regional autonomy in mass media and how mass media constructs the reality of regional autonomy issues. Until now, researches on regional autonomy issues are mostly performed by researchers from political science, government science, public administration, and legal science. Studies by researchers from the fields above mostly discuss the implementation of regional autonomy policy. Studies on regional autonomy issue using communication science perspective are still rare, while the role of mass media according to Severin-Tankard (2007:15) is actually to form public opinions. Observers of constructionism such as Tuchman (1978), Fisman (1980), and Shoemaker (1996) think that news broadcasted by mass media can make people have a certain point of view and construct a reality of an issue in the society, including regional autonomy issues. The research in this dissertation used interpretive perspective. This perspective was selected because according to Neuman (2006) social construction theory is a field in interpretive perspective. To dissect texts, this study used framing text analysis. The model used was Robert N Entman's framing. Entman's model of framing was selected because in Entman's concept framing can be used to describe the selection process of an issue and emphasize certain aspects of a reality by the media. Four elements of Entman's model of framing are first, Define Problem which is the master frame, second, Diagnose Causes in the second element the emphasize is who is the main actors in an event, third, Make Moral Judgment is an element used to make justification by giving various argumentation in the definitions of the problems which have been made, fourth, Treatment Recommendation is an element used to see what reporters want, what method will be chosen to solve a problem. In this dissertation, there are 3 media which were studied, i.e. Kompas newspaper, Jurnal Nasional newspaper, Kedaulatan Rakyat newspaper. The three newspapers selected have different orientations, i.e. first, Kompas as a famous national newspaper with huge readership, Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. second Jurnal Nasional as a newspaper with a history with the Democratic Party, third Kedaulatan Rakyat as a local news paper which still survive and leads to this day. The result of this study showed that at micro level there was frame difference in the reporting of Kompas, Jurnal Nasional and Kedaulatan Rakyat on Regional Autonomy Issues. Analysis at meso level showed that ownership and capital factors were still rather strong in influencing the frames of the studied media. Analysis at macro level could be divided into two. In Jurnal Nasional, more accurate analysis used instrumentalist or structuralist analysis approach rather that structuration because in Jurnal Nasional the structure of media organization seemed to tightly bind human agents. Theer wasn't enough space for agents to perform interplay on the structure. Meanwhile, Kompas and Kedaulatan Rakyat could be dissected by structuration analysis. In the structuration process of the three media, two media, Kompas and Kedaulatan Rakyat, were able to change the structure from centralistic to decentralistic for Direct Regional Head Election and the Special Region Status of Yogyakarta, although the author admits that the media isn't the only determinant factor in changing the structure. However, it's undeniable that the content of media texts in those two issues contributed to the escalation of pressure or accumulation of pressure on the authority. Keywords: Mass Media, Framing, Reality Construction, Regional Autonomy, Structuration. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………...…...ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………………..ii ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………………...iii iii LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ...………………….…………………………… iv KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………...v v ABSTRAK………………………………………………………………………................ix ix DAFTAR ISI ………………………………………………………………………...........xiii xiii DAFTAR TABEL………………………………………………………………………….xiv xiv DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………xviii xviii DAFTAR SKEMA…………………………………………………………………………xix xix BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….......11 1.1. Latar Belakang Masalah.....……………………………………………......11 1.2. Isu Otonomi Daerah dalam Media Framing…………….…………..........8 8 1.3. Selayang Pandang Otonomi Daerah……………………………………...11 11 1.4. Studi-Studi Terdahulu Mengenai Otonomi Daerah……….………..........1414 1.5. Konstruksi Realitas dan Otonomi Daerah……………………...………..1717 Permasalahan dan Tujuan Penelitian ………………………………..........20 20 1.6.1. Rumusan Masalah…………………………………………………………20 20 1.6. 1.6.2. Tujuan Penelitian…………………………………………………………..22 22 1.7. Signifikasi Penelitian………………………………………………………22 22 1.7.1. Signifikasi Akademis………………………………………………………22 22 1.7.2. Signifikansi Praktis dan Sosial…………………………………...............2323 1.8. Keterbatasan Penelitian…………………………………………………...23 23 BAB II KERANGKA TEORI…………………………………………………..............25 25 2.1. Teori Konstruksi Realitas Sosial Peter Berger………………..................2525 2.2. Media dan Teori Konstruksi Realitas …………………………………….32 32 Local GovernmentTheory /Teori Pemerintahan Lokal……………………35 35 2.3. xiii Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 2.4. Teori Strukturasi Gidens………………………………………….............42 42 2.5. Teori Strukturasi dan Teori Konstruksi Realitas Sosial…………………...51 51 2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian……………………………………………58 58 2.7. Sistematika Penulisan …………………………………………….……….60 60 BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………………….......61 61 3.1. Paradigma dan Perspektif Penelitian…………………………………..........6161 3.2. Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat………………………….6565 3.3. Analisis Teks…………..……………………………………………………………………………..............7272 3.3.1 Frame Building………….……………………………………………………………………………..........76 76 3.3.2 Frame Setting…………………………………………………………………………………………………..78 78 3.4. Keabsahan Penelitian……………………………………………………………….........................81 81 BAB IV FRAME BUILDING BERITA OTONOMI DAERAH…………………………..…..8383 4.1. Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah Kompas…………………….8484 4.2. 86 Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah Jurnal Nasional………….86 4.3. Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah di Kedaulatan 89 Rakyat………………………………………………………………………………………………………..89 4.4. Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah Aspek Eksternal……...9191 94 BAB V FRAME BERITA OTONOMI DAERAH…………………………………………………….....94 5.1. 96 Isu Pemekaran Daerah……………………………………………………..96 5.2. 105 Isu Pilkada/Pemilihan Gubernur………………………………………….105 5.3. 113 Isu Dinasti Politik…………………………………………………………113 5.4. 120 Isu Korupsi Elit Lokal…………………………………………………….120 5.5. 129 Isu Desentralisasi Asimetris : Keistimewaan Yogyakarta……….............129 139 BAB VI MEDIA DAN STRUKTURASI ISU OTONOMI DAERAH………............139 6.1. 139 Media dalam Kontradiksi Perubahan Pasca Orde Baru………................139 6.2. Dinamika Media Pasca Orde Baru Dalam Isu Otonomi Daerah 161 Berbasis Analisis Teori Strukturasi…..…………………………….. ……161 xiv Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 6.2.1. Agen/Agensi dan Struktur……………………………………………….162 162 6.2.2. Rules dan Resource……………………………………………………….178 178 6.2.3. Dualisme dan Dualitas Struktur………………………………………….184 184 6.2.4. Signifikansi, Dominasi, Legitimasi……………………………………….191 191 BAB VII PENUTUP……………………………………………………………………..197 197 7.1. Kesimpulan………………………………………………………….……197 197 7.2. Implikasi Teoretis dan Metodologis...…………………………………...199 199 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………......................................201 201 xv Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Daftar Tabel Tabel I. Disertasi, Tesis, Jurnal……………………………………………………1414 Tabel II. Undang-Undang Pemerintahan Daerah……………………………….….3939 Tabel III. Beberapa Konsep Framing…………………………………………….….……7474 Tabel IV. 76 Framing Model Entman………………………………..…………………76 Tabel V. 84 Isu Otonomi Daerah Kompas 2012 dan 2013 ……...………………..……84 Tabel VI. Isu Otonomi Daerah Jurnal Nasional 2012 dan 2013………..................8787 Tabel VII. Isu Otonomi Daerah Kedaulatan Rakyat 2012 dan 201………...............89 89 Tabel VIII. Topik Utama Pemberitaan Tiga Media (Kompas, KR, Jurnas)………... 9595 Tabel IX. Tabel: Frame Dominan di Tiga Surat kabar 104 Isu Pemekaran Daerah …………………………..………………………..104 Tabel X. Tabel: Frame Dominan di Tiga Surat kabar 111 Isu Pilkada Gubernur…………………………..………………..............111 Tabel XI. 119 Tabel: Frame Dominan di Tiga Surat kabar Isu Dinasti Politik…….....119 Tabel XII. 127 Tabel: Frame Dominan di Tiga Surat kabar Isu Korupsi Politik.….......127 Tabel XIII. Tabel: Frame Dominan di Tiga Surat kabar Isu Keistimewaan 136 Yogyakarta……………………….…………………………………......136 Tabel XIV. 147 Televisi di Indonesia...……………………………………………….......147 Tabel XV. Peta Kepemilikan Televisi………………………………………….……148 148 Tabel XVI. Jumlah Suratkabar 2006 – 2010………………………………………...149 149 Tabel XVII. Kepemilikan Suratkabar...........................................................................149 149 Tabel XVIII. Jumlah Media Cetak Daerah...…………………………………………..151 151 Tabel XIX. Peta Kepemilikan Radio......................................................................... .152 152 Tabel XX. Belanja Iklan di Media Cetak Kategori 6 Produk Teratas Tahun 2007 – 2011……………………………………………………...157 157 Tabel XXI. Pendapatan Iklan di Media Cetak Kategori 6 Media Teratas Tahun 2007-2011…………………………………………………….....158 158 xvi Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Tabel XXII. Penetrasi Media Cetak Kategori 6 Media Teratas di 9 Kota Besar (Jakarta, Bandung, Semarang Surabaya, Makassar, Yogyakarta, Denpasar, Palembang) Tahun 2007-2011………………………….. ……159 159 Tabel XXIII. Penetrasi Media Cetak Kategori 6 Media Teratas di Yogyakarta Tahun 2007-2011………………………………………….……………..160 160 Tabel XXIV. Struktur, Sistem dan Strukturasi………………………………….. ……179 179 Tabel XXV. Analisis Berbasis Strukturasi.……………………………………………190 190 Tabel XXVI. Signifikasi, Dominasi, Legitimasi………………………………………..195 195 xvii Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Daftar Gambar Gambar I. 58 Kerangka Pemikiran Penelitan……………………………………………58 Gambar II. 59 Keterkaitan Dalam Kerangka Konseptual ..………………………………59 Gambar III. 101 Frame Isu Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar………………………101 Gambar IV. 102 Pendefinisian Masalah Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar…………102 Gambar V. 103 Sumber Masalah Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar………………..103 Gambar VI. 108 Frame Isu Pilkada di Tiga Surat kabar……………………………………108 109 Gambar VII. Pendefinisian Masalah Pilkada di Tiga Surat kabar………………………109 111 Gambar VIII. Sumber Masalah Pilkada di Tiga Surat kabar……………………………111 Gambar IX. 116 Frame Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar…………………................116 Gambar X. 118 Pendefinisian Masalah Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar…………..118 Gambar XI. 119 Sumber Masalah Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar…….…………..119 124 Gambar XII. Frame Isu Korupsi Elit Lokal di Tiga Surat kabar………….……………124 126 Gambar XIII. Pendefinisian Masalah Isu Korupsi Elit Lokal di Tiga Surat kabar……...126 127 Gambar XIV. Sumber Masalah Isu Korupsi Elit Lokal di Tiga Surat kabar……...…….127 Gambar XV. 133 Frame Isu Keistimewaan Yogyakarta di Tiga Surat kabar………….......133 Gambar XVI. Pendefinisian Masalah Isu Keistimewaan Yogyakarta 134 di Tiga Surat kabar……………………………………………………….134 Gambar XVII. Sumber Masalah Isu Keistimewaan Yogyakarta 136 di Tiga Surat kabar………………………………………………….........136 xviii Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Daftar Skema Skema I Konsep SDL…...…………………………………………………………………49 49 Skema II Konsep Dualitas Aktor-Struktur………………………………………………4949 Skema III Struktur-Interaksi………………………………………………………………52 52 Skema IV Frame Building dan Frame Setting…….……………………………………….76 76 xix Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semarak berita mengenai kebijakan otonomi daerah banyak dijumpai sesudah pemerintahan Orde Baru tumbang. Media massa terlihat memberi perhatian yang khusus pada berita otonomi daerah. Beberapa media seperti harian Kompas, harian Jawa Post, dan majalah Tempo, memberikan rubrik khusus yang diberi label otonomi daerah. Liputan media mengenai topik otonomi di atas secara garis besar mengusung isu kontradiksi penerapan kebijakan otonomi daerah. Ada liputan yang positif dan ada pula liputan yang negatif. Berita yang positif dapat dilihat ketika daerah diberi otonomi yang luas. Media meliput mengenai keberhasilan daerah dalam melayani warganya, kemunculan pemimpin lokal yang baik, dan munculnya inisiatif program-program baru dalam berbagai bidang di daerah. Kebalikannya, liputan negatif dapat ditemukan ketika media menyoroti berbagai masalah di daerah yang timbul semenjak kebijakan otonomi yang luas diterapkan, seperti koordinasi antara pusat dan daerah yang tidak berjalan baik, munculnya korupsi yang terdesentralisasi, serta iklim usaha yang buruk karena tumpang-tindih kewenangan pusat dan daerah, sehingga kemudian ada wacana otonomi kebablasan dan diganti dengan sentralisasi yaitu ketika peran pemerintah pusat lebih utama daripada pemerintah daerah. Semenjak pemerintahan Orde Baru tumbang, diskusi mengenai otonomi daerah tampil mengemuka. Berbagai pakar, cendekiawan, mahasiswa, aktivis LSM, para menteri, sampai presiden berdiskusi mengenai otonomi daerah, forum-forum diskusi ilmiah yang bertema pemerintahan daerah banyak digelar, mulai dari kampus sampai hotel. Ada yang setuju otonomi daerah, tetapi ada pula yang tidak setuju dan memilih sentralisasi. Isu otonomi daerah mempunyai sejarah panjang di Indonesia. Pada masa awal-awal Republik ini berdiri, isu otonomi daerah bahkan pernah mengoyak persatuan Negara ini. Ekspresi daerah yang melihat pusat (Jakarta) sangat kuat1 dan sewenang-wenang 1 Tulisan Daniel Dhakidae pada majalah Prisma (2010:70) yang berjudul “Hubungan Pusat-Daerah dan Kadigwijayan Sepanjang Masa”menggambarkan dengan sangat bagus betapa digdayanya pusat dan tuna 1 Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 2 sehingga aspirasi daerah tidak didengar membuat daerah angkat senjata dan menyatakan perang terhadap pusat. Salah satu yang terkenal adalah berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)2 pada tanggal 15 Februari 1958 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat kemudian gerakan ini mendapatkan dukungan dari sejumlah tokoh di Sulawesi yang membentuk Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta) dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual. Konflik yang muncul antara pusat dan daerah ini sebenarnya bukan suatu tuntutan pemberontakan untuk mendirikan suatu negara baru, melainkan keinginan daerah akan adanya otonomi daerah yang nyata dan konstitusi dijalankan dengan baik (Kahin 2005, Hakiem 2008). Tuntutan akan otonomi daerah yang nyata diperjuangkan karena para pemimpin PRRI-Permesta ini melihat adanya ketimpangan pembangunan antara daerah-daerah di Pulau Jawa dengan daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Adapun tuntutan menjalankan konstitusi dengan baik diperjuangkan karena menurut para pemimpin PRRI-Permesta Kabinet Djuanda pada saat itu tidak menjalankan pemerintahan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari ultimatum yang dibuat oleh Kolonel Simbolon dan Letkol Ahmad Hussein di Padang, Sumatera Barat pada 10 Februari 1958, dan diberi nama “Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara”. Ultimatum itu menuntut Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan Sukarno kembali ke kedudukan sebagai Presiden konstitusional, Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian membentuk zaken kabinet, yang terdiri dari orang jujur dan terhormat serta tidak memasukan golongan komunis. Para penggagas PRRI-Pemesta sebenarnya adalah tokoh-tokoh nasional yang pada awalnya ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, antara lain Sjafruddin kuasanya daerah. Semenjak Kerajaan Majapahit berdiri pusat selalu memandang daerah bukan saja sebagai wilayah taklukan, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai budak yang tidak hanya selalu harus dijaga, namun juga harus selalu mengabdi melayani pusat. Pengabdian daerah pada pusat dapat dilihat dari uraian yang ditulis Ryass Rasyid dkk (2007:153-161) biasanya pada akhir masa jabatan seorang Kepala Daerah, terutama dari Inspektorat Jenderal (Itjen) akan “turun” ke daerah untuk menilai apakah Kepala Daerah tersebut menjalankan tugas dengan baik, kalau hasil penilaian dari tim Itjen baik, akan memberi peluang seorang Kepala Daerah menduduki jabatan kedua kalinya, maka dalam rangka untuk memperoleh penilaian ini seorang Kepala Daerah akan memberikan “pelayanan” yang terbaik kepada seluruh anggota tim Itjen termasuk hotel, kendaraan, berbagai fasilitas dan “uang saku” yang sangat pantas bagi anggota tim peniliai dari Inspektorat Jenderal Depdagri. 2 Audrey Kahin (2005), Ryaas Rasyid dkk (2007:85), dan Daniel Dhakidae (2010:72) Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 3 Prawiranegara sebagai Perdana Menteri, Soemitro Djojohadikoesoemo, Assaat Dt. Mudo dan J.F. Warouw. Pemerintah Pusat menanggapi tuntutan dari PRRI-Permesta ini dengan menurunkan pasukan lengkap. Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menugaskan Kolonel Achmad Yani sebagai komandan dalam operasi yang diberi nama “Operasi Tujuh Belas Agustus”. Operasi ini tercatat salah satu operasi gabungan TNI yang terbesar saat itu. Dikerahkan 6 kapal perang dan 19 kapal pengangkut personel untuk memindahkan 6500 tentara dari Jawa untuk menumpas pemberontakan PRRIPermesta, walaupun PRRI-Permesta mendapatkan bantuan peralatan perang dan personel dari Amerika Serikat, pemberontakan ini dapat dipadamkan dalam waktu relatif singkat (Syamdani, 2009). Pada tahun 1958, perlawanan PRRI-Permesta dapat ditaklukkan oleh TNI, tetapi pemberontakan ini bagi masyarakat Minangkabau menimbulkan efek psikologis yang berat yaitu adanya stigma pemberontak bagi masyarakat Minangkabau dan membuat munculnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain, selain itu beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang kalah bagi suku Minangkabau (Audrey Kahin, 2005). Ide pemberontakan daerah terhadap pusat (Jakarta) akibat penindasan, ketidakadilan dan tidak meratanya pembangunan tidak hanya muncul pada awal kemerdekaan seperti kasus PRRI-Permesta. Pada zaman Orde Baru muncul pula benihbenih pemberontakan daerah antara lain disuarakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kedua daerah ini adalah daerah yang kaya akan hasil tambang terutama minyak, emas, gas, batu bara, dan batu mulia, tetapi pembangunan di dua daerah ini sangat tertinggal sehingga kemudian muncul gerakan atau tututan untuk merdeka lepas dari Indonesia. Sayangnya seperti juga pada kasus PRRI-Permesta, pada zaman Orde Baru segala macam ancaman bagi pusat (Jakarta) dihadapi dengan tentara dan senjata. Pada masa rezim Orde Baru tentara (ABRI) Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 4 mempunyai peran yang sangat penting dalam jalannya pemerintahan di daerah 3 (Ryaas Rasyid dkk, 2007:153). Seharusnya Pemerintah Pusat menghadapi tuntutan daerah ini dengan cara membuat suatu kebijakan yang dapat mengambil hati rakyat daerah yaitu dengan cara membangun daerah, memakmurkan rakyat daerah dan memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk mengatur urusan mereka sendiri. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain kecuali menjalankan kebijaksanaan otonomi daerah yang akan mengembalikan harkat, martabat dan harga diri masyarakat daerah yang dimarginalkan selama puluhan tahun. (Ryaas Rasyid dkk, 2007). Otonomi daerah sebenarnya bukan barang baru menurut Made Suwandi (2004), Syarif Hidayat (2007:9-12), Ryaas Rasyid dkk (2007:56-123), Soetandyo Wigyosoebroto (2007:58-69),4 selama 69 tahun Republik ini berdiri telah terjadi delapan (8) kali perubahan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Dalam setiap perubahan undang-undang mengenai pemerintahan daerah terlihat selalu ada pertarungan gagasan untuk menyeret undang-undang ini ke arah sentralisasi atau desentralisasi. Selain itu peran berbagai aktor dan gagasan dalam kebijakan ini terlihat cukup dominan, Soetandyo Wigyosoebroto (2007:62) mencatat bahwa selama era kolonial Belanda kebijakan desentralisasi (decentralisatie wet) diupayakan oleh dua orang 3 Menurut Rasyid (2007:153) dalam hal rekrutmen politik lokal, masyarakat di daerah sama sekali tidak mempunyai peran yang menentukan kecuali sekedar ramai-ramai menominasi calon kepala daerah, yang lebih menentukan adalah peran yang dimainkan oleh militer seperti KOREM, KODIM, KODAM, dan Panglima ABRI. Kalau ABRI punya kepentingan untuk menempatkan personilnya maka otomatis calon kalangan sipil sama sekali tidak mempunyai peluang, maka sering dikenal istilah calon jadi dan calon pendamping, calon jadi akan didukung sepenuhnya oleh ABRI dan Menteri Dalam Negeri melalui Dirjen Otonomi Daerah dan Pemerintahan Umum (PUOD). 4 Kedelapan Undang-Undang Pemerintahan Daerah itu sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 4. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Dalam catatan Soetandyo Wignjosoebroto kebijakan desentralisasi di Indonesia telah berusia satu abad lebih jika dihitung semenjak pemerintah Belanda menetapkan Decentralisatie Wet pada 23 Juli 1903 Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 5 anggota parlemen Belanda yaitu LWC Keuchenis dan Baron van Dendem, sedangkan Rasyid dkk (2007:49) dalam tulisannya mengenai perjalanan desentralisasi di Indonesia memperlihatkan bahwa dalam setiap terbitnya undang-undang mengenai pemerintahan daerah, semenjak Indonesia berdiri selalu muncul aktor-aktor dalam isu ini5. Selain para aktor yang terlibat isu mengenai otonomi daerah, media massa juga tertarik untuk menyiarkan isu otonomi daerah, apalagi dalam era reformasi media mempunyai kebebasan lebih besar6 dalam menyiarkan suatu berita yang berhubungan dengan politik dan pemerintahan dibandingkan dengan era sebelumnya Aktor dan media seperti dua sisi dalam satu keping mata uang. Di satu sisi aktor membutuhkan media untuk menyiarkan pendapat aktor, sedangkan disisi yang lain, media juga membutuhkan aktor sebagai narasumber dalam menjelaskan suatu isu, seperti yang diungkapkan oleh Shoemaker dan Reese (1996) bahwa sumber berita harus memenuhi paling tidak dua dimensi yaitu effectiveness dan multi-access. Dimensi effectiveness adalah dimensi terkait sumber yang memiliki efek yang besar terhadap isi media, sehingga reporter harus mencantumkan sumber dari fakta yang diperolehnya, sedangkan dimensi multi-access adalah dimensi untuk memenuhi tingkat objektivitas berita. Sebaiknya seorang reporter mencari berita dari mereka-mereka yang terlibat langsung dalam suatu peristiwa dan berbagai pihak yang mempunyai pengetahuan atas peristiwa yang diliput reporter tersebut. Lebih lanjut menurut Van Dijk (1998) sebagai sumber aktor mempunyai peran penting bagi reporter. Melalui aktor ini seorang reporter akan memperoleh informasi mengenai suatu peristiwa yang diketahui oleh aktor tersebut. Menurut Triputra (2000:410), aktor berita ini dapat disebut sebagai agensi dalam konsepsi yang dibuat oleh Antony Giddens. Lebih lanjut menurut Triputra (2000:410), ketika reporter mewawancarai 5 6 narasumber untuk mengumpulkan informasi dalam rangka Ryaas Rasyid dkk (2007:76) misalnya untuk Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 ada nama-nama seperti Prof Soepomo dan Mr Abdul Halim dan anggota-anggota Senat dan DPR RIS, juga terbitnya UU Nomor 22 Tahun 1999 aktor-aktor seperti Prof Afan Gafar, Prof Djohermansyah Djohan, Dr Andi Alfianto Malarangeng, dkk terlibat aktif dalam pembuatan Undang-Undang tersebut di atas. Menurut Sendjadja (2007:6) kejatuhan rezim Orde Baru ditandai dengan erosi kontrol pemerintah terhadap media. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 6 mendefinisikan suatu proses berita, secara sadar atau tidak, sebenarnya reporter tersebut sudah terlibat dalam proses strukturasi. Strukturasi adalah teori yang digagas oleh Anthony Giddens (1984). Teori ini muncul dari kegelisahan Giddens dalam memandang dualisme dalam teori-teori ilmu sosial. Dualisme ini tumbuh akibat adanya kerancuan dalam melihat suatu objek kajian sosial. Bagi Giddens, objek utama ilmu sosial bukanlah strukturalisme versi Levi-Strauss ataupun interaksionisme simbolis versi Goffman ataupun peran sosial seperti yang digagas oleh Parsons. Menurut Giddens hubungan antara pelaku (tindakan) dan struktur adalah relasi dualitas, bukan dualisme. Dualitas itu terjadi dalam praktik sosial yang berulang serta terpola dalam lintas ruang dan waktu7. Dengan demikian Giddens (1984) melihat struktur secara berbeda dibandingkan dengan ilmuwan sosial lainnya, misalnya Durkheim. Menurut Durkheim, struktur bersifat mengekang (constraining) sehingga struktur tidak luwes, sedangkan dalam pemikiran Giddens (1984) struktur selain mengekang juga memberdayakan (enabling) sehingga dengan struktur seperti itu, dimungkinkan terjadinya praktik sosial. Gagasan Giddens di atas dituliskan dengan baik oleh Dedy Nur Hidayat (2000) 8, ketika membedah tulisan Pers dalam Revolusi Mei. Menurut Hidayat (2000:431), untuk membedah media atau pers justru harus dilakukan dengan terlebih dahulu menyampingkan pers dari fokus kajian. Pers harus diletakkan dalam totalitas sosial yang lebih luas sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial, dan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Pada masa Orde Baru dengan struktur politik yang sentralistis dan otoritarian maka produk pers juga mengikuti mengikuti langgam ciri struktur politik yang sentralistis dan otoritarian. Misalnya berita-berita yang berhubungan dengan politik, politik lokal, dan keluarga presiden, sebelum diberitakan akan melewati berbagai tahapan sensor 9. 7 Lihat B. Herry Priyono (2002:7) Lihat Dedy Nur Hidayat (2000:431) 9 Lihat Ishadi SK (2000:227) dalam Persepsi Elite Penguasa Terhadap Media, secara jelas Ishadi SK menuliskan Setiap Media cetak harus memiliki Surat Izin Terbit (SIT) atau SIUPP, ketentuan mengenai pemberangusan diberlakukan, buadaya sensor dan budaya telepon dikembangkan, pemerintah mempunyai wewenang untuk mengganti susunan anggota redaksi media. 8 Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 7 Menurut Hidayat (2000:431) walaupun secara struktur politik Orde Baru berciri otoritarian namun dalam struktur ekonomi terutama ekonomi media yang berkembang selama Orde Baru adalah struktur ekonomi kapitalis10. Dua struktur inilah yang melingkupi media pada zaman Orde Baru. Jika dilihat, media ketika zaman Orde Baru pada satu sisi secara struktur politik penuh kekangan dan sensor, tetapi pada sisi struktur ekonomi mereka juga harus hidup, dan media hidup dari bisnis industri media11. Untuk itu media harus bisa menyajikan informasi yang diminati oleh masyarakat agar tiras mereka besar12. Fenomena media seperti ini akan sulit jika hanya dilihat dari satu sisi struktur politik atau struktur ekonomi saja karena sebenarnya ada interaksi antara struktur dan agen. Di sinilah teori strukturasi Giddens lebih tepat digunakan untuk melakukan analisis terhadap media daripada teori yang berbasis strukturalis ataupun intrumentalis13. Perubahan media dan isi media pasca-Rezim Orde baru menarik untuk diteliti sudah banyak ilmuwan, praktisi media, birokrat, dan wartawan meneliti dan menulis tentang hal tersebut14. Namun masih jarang yang meneliti dan menulis tentang isu otonomi daerah. Disertasi ini bermula dari rasa ingin tahu yang amat dalam (curiosity) terhadap konstruksi realitas otonomi daerah pasca-Orde Baru di media massa dan peran media sebagai agen dalam mengubah struktur dari sentralistis ke desentralisasi, serta frame pemberitaan isu otonomi daerah dari media yang diteliti. Hasil interaksi tersebut bisa dilihat dari isi pemberitaan media. Isi berita media dalam penelitian ini dilihat sebagai hasil atau produk dari proses strukturasi yang melibatkan media dan struktur, yang kemudian menjadi konstruksi realitas otonomi daerah. 10 Walaupun menurut Hidayat (2000:133) kapitalisme yang berkembang semasa Orde Baru adalah kapitalisme semu atau crony capitalism 11 Triputra (2000:408), Sudibyo (2004) 12 Menarik apa yang ditulis olah Hidayat (2000:158) dalam kasus revolusi mei, rezim penguasa bekerja keras untuk menekan media agar tidak terlalu membesar-besarkan krisis yang terjadi, namun jurnalis selalu mampu menemukan celah di mana berita serta analisis seputar krisis bisa disajikan. Selain itu Effendi Gazali (2000:310) menuliskan bagaimana harian lokal Kedaulatan Rakyat mensiasati berita pembakaran patung Suharto oleh mahasiswa yang demonstrasi di bundaran UGM, oleh otoritas lokal semua media di Yogyakarta dilarang untuk memberitakan pembakaran patung Suharto tersebut, namun harian Kedaulatan Rakyat memuat berita tersebut namun tidak ada pembakaran patung Suharto hanya diberitakan mahasiswa berdemonstrasi di bundaran UGM. 13 Lihat Hidayat “Jurnalis, Kepentingan Modal, Dan Perubahan Sosial” (2000:436-437) 14 Lihat buku Pers dalam Revolusi Mei, Runtuhnya Sebuah Hegemoni (2000) Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 8 Selain terlibat dalam proses strukturasi di atas, media juga melakukan proses gatekeeping seperti yang dikemukakan oleh Shoemaker dan Reese (1996)15. Dalam proses gatekeeping ketika melakukan pencarian berita seorang wartawan, akan memilah dan memilih berita dan narasumber yang akan diwawancarainya. Selain itu ketika telah mendapatkan berita dan menuliskan berita, wartawan itu sebetulnya sedang melakukan framing seperti yang dikemukakan oleh Gamson dan Modigliani (1989:3)16. Berdasarkan pendapat Gamson dan Modigliani, framing wartawan yang berbeda pada suatu berita akan menghasilkan berita yang berbeda pula. Menurut Hidayat (1999) framing dapat digunakan untuk melihat bagaimana upaya media dalam menyajikan sebuah peristiwa yang mengesankan objektivitas, keseimbangan, dan nonpartisan, serta mengemasnya menjadi sedemikian rupa sehingga khalayak mudah tergiring ke dalam framing pendefinisian realitas tertentu yang dilakukan oleh media melalui pemilihan kata, bahasa, penggunaan simbol, dan sistem logika tertentu. 1.2 Isu Otonomi Daerah dalam Media Framing Analisis framing merupakan salah satu metode penelitian dalam ilmu komunikasi. Pada awalnya metode tersebut dikembangkan oleh Gregory Bateson (1972). Pada tahun 1972 Bateson membuat buku yang berjudul Steps to An Ecology of Mind. Hal itu kemudian dikembangkan oleh para ahli sosiologi dan psikologi. Dalam ranah sosiologi, framing difokuskan pada kata-kata, gambar atau visual, serta frasa dan gaya bertutur ketika komunikator menyampaikan informasi kepada komunikan (Druckman, 2001). Penelitian pada ranah sosiologi pada umumnya digerakkan untuk meneliti pengaruh media pada norma sosial, nilai, serta orientasi ideologis dan politis seorang jurnalis. Pada ranah psikologi, penelitian difokuskan pada riset-riset efek dari framing media kepada audience (Iyengar, S. 1991). 15 Shoemaker dan Reese (1996) ada lima level gatekeeping yaitu level individual, rutinitas media, organisasional, ekstra media dan sistem sosial (ideologi) 16 Menurut Gamson dan Modigliani (1983:3) ketika menuangkan gagasannya pekerja media menggunakan bahasa sendiri serta memparafrase dan mengutip narasumber berita tertentu, pada saat yang sama sebenarnya mereka membuat retorika-retorika yang menyiratkan keberpihakan dan kecenderungan tertentu. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 9 Dalam perspektif komunikasi, framing menurut Robert M Entman (1993:52) adalah select some aspects of a perceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the item describe. Dari pendapat Entman di atas framing dapat diterjemahkan sebagai suatu strategi pemilihan (seleksi) dan atau penonjolan fakta ke dalam suatu berita agar lebih bermakna, lebih menarik, untuk dapat menggiring interpretasi audience sesuai yang dikehendaki pembuat frame. Oleh karena itu, dengan analsis framing dapat dibedah cara pandang jurnalis terhadap suatu isu, seperti fakta apa yang ditampilkan, bagian mana yang lebih ditonjolkan atau malah dihilangkan, serta cara suatu berita dikonstruksikan. Menurut Erving Goffman (1974:60), manusia secara aktif melakukan klasifikasi, mengorganisasi, dan menafsirkan pengalaman hidup supaya lebih bermakna. Goffman berusaha menghubungkan antara konsep dengan produk wacana berita secara langsung dengan menyatakan bahwa melalui frame, para jurnalis akan dapat memproses informasi untuk disiarkan kepada masyarakat. Frame adalah suatu gagasan sentral yang terorganisir atau suatu rangkaian cerita yang memberikan makna terhadap peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan suatu isu atau problema. Isu otonomi daerah merupakan isu nasional yang sering muncul dan selalu mendapatkan tempat di media massa, yaitu berbagai ekspresi dari daerah yang merasa terpinggirkan atau pusat (Jakarta) yang terlihat enggan sepenuh hati memberikan otonomi yang luas17. Pada zaman Orde Baru dengan pemerintahan yang berciri sentralistis media membingkai otonomi daerah sesuai dengan ideologi pembangunan Orde Baru, apalagi dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 5 Tahun 1974 ditekankan bahwa otonomi daerah bukan “otonomi yang nyata dan seluas-luasnya” melainkan diganti dengan “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab18”. Dengan digantinya kata “seluas-luasnya” menjadi “bertanggung jawab” terlihat bahwa pemerintahan Orde Baru 17 18 Ryaas Rasyid (2007), Purwo Santoso (2013), Ramlan Surbakti (2013) Dalam penjelasan dalam undang-undang tersebut dinyatakan sebagai berikut istilah seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip prinsip yang digariskan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara. (Ryaas Rasyid dkk, 2007) Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 10 memandang bahwa daerah adalah instrumen yang harus turut bertanggung jawab sepenuhnya dalam melaksanakan ideologi pembangunan nasional. Dengan cara pandang seperti itu maka pada zaman Orde Baru, berita-berita tentang daerah lebih banyak diisi oleh kesuksesan berita-berita tentang pembangunan di daerah seperti dialog Presiden Suharto dengan Kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa), panen padi bersama, peresmian puskesmas, peresmian SD Inpres, dan pemberian Sapi Banpres. Kalaupun ada berita yang kontroversial di daerah antara lain penggusuran pedagang kaki lima, dipindahnya rakyat satu kecamatan untuk pembangunan waduk, demonstrasi buruh, dan biasanya rakyat yang “membangkang” terhadap proyek pembangunan, hal tersebut akan dicap sebagai antipembangunan, bahkan antek komunis (PKI). Media, baik yang terbit di Jakarta ataupun di daerah tidak akan berani secara terang-terangan memberitakan kasus tersebut sehingga yang memberitakan kasus-kasus di atas adalah media-media bawah tanah bukan media mainstream19. Ketika kekuasaan Orde Baru runtuh, mulailah geliat informasi dari daerah muncul, terlebih dengan diterbitkannya Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 tahun 1999 yang memberikan otonomi yang nyata dan seluas-luasnya, corong media yang selama pemerintahan Orde Baru kurang memandang daerah menjadi berbalik 180 derajat. Mereka menjadikan berita-berita daerah sebagai komoditas yang utama sehingga terbitlah berita-berita mengenai pemilihan kepala daerah, dinasti politik, pemekaran daerah, korupsi pejabat daerah berjamaah, pertarungan antara eksekutif dan legislatif di daerah, dan sebagainya. Fenomena di atas yaitu beragamnya isu otonomi daerah yang ditulis oleh media massa khususnya surat kabar, sangat menarik untuk diteliti. Satu isu bisa dibingkai dengan berbagai sudut pandang media yang berbeda, apalagi dalam isu otonomi daerah terlihat bahwa berbagai kalangan turut mengekspresikan pendapat. Banyaknya wacana yang muncul dapat dilihat dari beragam pemberitaan mengenai otonomi daerah. Ada yang sangat mendukung otonomi daerah dan berpendapat bahwa sentralisasi bukan merupakan jawaban terhadap masa depan Indonesia yang wilayahnya 19 Budiman Sudjatmiko (2000), Ariel Heryanto (2000) Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 11 begitu luas dan mempunyai beribu pulau serta suku bangsa, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa otonomi sekarang sudah kebablasan sehingga pada sisi ekstrimnya Indonesia akan terpecah belah dan bubar. Sebenarnya pada awal Republik ini berdiri para founding father telah menggagas tentang otonomi daerah. Hal ini dapat dilihat pada UUD 1945 Pasal 18 20. Apabila dilihat, penjelasannya menunjukkan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dari penjelasan di atas terlihat secara eksplisit bahwa otonomi daerah sejak awal sudah dipikirkan oleh para pendiri bangsa ini. Namun dengan seiring berjalannya waktu ternyata otonomi daerah dimaknai berbeda-beda dalam setiap zamannya pemaknaan ini sedikit banyak juga merupakan andil dari media massa. Menurut Severin-Tankard (2007:15), salah satu dampak media massa adalah membentuk opini publik. Para penganut mazhab konstruksionisme seperti Tuchman (1978), Fisman (1980), dan Shoemaker (1996), melihat bahwa berita yang disiarkan oleh media massa bukanlan suatu cermin yang merupakan refleksi dari realitas, tetapi lebih dari itu, media dapat membuat masyarakat mempunyai suatu sudut pandang dan mengkonstruksikan suatu realitas suatu isu dalam masyarakat tak terkecuali isu otonomi daerah. 1.3 Selayang Pandang Otonomi Daerah Beberapa ahli21 terlihat memakai kata desentralisasi daerah dan otonomi daerah sebagai kata yang dapat dipertukarkan, seperti satu koin dengan dengan dua sisi yang sama. Jika ditelaah dari sisi etimologi desentralisasi dapat diartikan menjauh dari pusat (de-central). 20 Pasal 18 UUD 1945 “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan, pemerintahannya, ditetapkan, dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” 21 Brian C Smith (1985), Ryaas Rasyid dkk (2007), Hanif Nurcholis (2007), Syarif Hidayat (2010), Purwo Santoso (2013), Ramlan Surbakti (2013) Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 12 Desentralisasi merupakan salah satu kata yang cukup populer dalam khasanah ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu kata desentralisasi mempunyai beberapa perspektif sesuai dengan konteks ilmu sosial masing-masing. Menurut catatan dari Dennis A Rondenelli (2007) dan Ramlan Surbakti (2013) paling tidak ada 4 perspektif desentralisasi22, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi pasar. Dari uraian di atas terlihat perbedaan antara desentralisasi dalam pandangan administratif dan desentralisasi dalam pandangan politik. Dalam pandangan administratif, desentralisasi dilihat sebagai pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan pengaturan fungsi publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah di bawahnya (daerah), sedangkan dalam pandangan politik, desentralisasi dilihat sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Lebih jelas lagi, Brian C Smith (1985) menjelaskan pandangan desentralisasi dalam perspektif politik yaitu “pengalihan kekuasaan dari jenjang atas ke jenjang bawah dalam hierarki teritorial”. Menurut Syarif Hidayat (2010:7), perbedaan cara pandang desentralisasi berdasarkan dua perspektif di atas bukan dimaksudkan untuk membangun dikotomi yang kaku antar dua perspektif. Seperti halnya model teoretis, suatu perspektif diadopsi bukan karena perspektif itu benar, melainkan karena perspektif tersebut berguna. Hal yang paling penting dari dua perspektif diatas, memperlihatkan bahwa dengan adanya desentralisasi, masyarakat daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar karena mereka mempunyai kebebasan dan kewenangan mengatur, mengurus, dan memutuskan kepentingannya sendiri yang bersifat lokal. Sehingga dengan adanya desentralisasi muncullah otonomi daerah. Dengan kata lain tanpa adanya desentralisasi daerah tidak akan muncul otonomi daerah. 22 Desentralisasi Administratif: merupakan penyerahan tanggung jawab dalam perencanaan , keuangan dan pengelolaan fungsi publik dari pemerintah pusat kepada unit pemerintah yang lebih rendah, Desentralisasi Politik: merujuk pada peningkatan kekuasaan warga derah dan yang mewakili mereka dalam proses pembuatan keputusan publik, Desentralisasi Fiskal: merupakan penyerahan kewenangan membuat keputusan tentang pengeluaran daerah baik berdasarkan sumber penerimaan yang digali dan dikumpulkan sendiri secara lokal maupaun dana yang diterima dari pemerintah pusat, Desentraliasasi Pasar: yaitu desentralisasi terkuat karena kekuasaan membuat keputusan dialihkan dari publik ke ranah privat. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 13 Brian C Smith (1985), berpendapat ada dua tujuan utama desentralisasi, yaitu pertama dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat dan kedua dilihat dari sisi pemerintah daerah. Dari sisi kepentingan pusat ada tiga tujuan utama, yaitu: pendidikan politik, ajang pelatihan kepemimpinan politik, dan stabilitas politik. Sedangkan menurut kepentingan daerah ada tiga tujuan yaitu: kesetaraan politik, akuntabilitas lokal, dan tanggapan lokal (local responsiveness). Sedangkan menurut Syarif Hidayat (2010:21), ada enam tujuan yang hendak dicapai dalam kebijakan desentralisasi yaitu, pertama mempertahankan integrasi bangsa, kedua training kepemimpinan nasional, ketiga kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, keempat demokrasi di tingkat lokal, kelima efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah, dan keenam peningkatan pelayanan publik. Pada sisi yang lain untuk kasus Indonesia menurut Ryaas Rasyid dkk, (2007:36 38) ada lima alasan utama Indonesia perlu mengadopsi kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah yang luas, yaitu, pertama untuk mewujudkan negara federasi di Indonesia sangat sulit dan membutuhkan persiapan yang panjang dan dukungan undangundang dasar, kedua pilihan otonomi luas merupakan pilihan yang sangat strategis dalam rangka mempertahankan dan memelihara nation state (negara bangsa), dengan otonomi dapat mengembalikan harga diri martabat masyarakat di daerah, oleh karena itu Pemerintah Pusat harus mengembalikan hak-hak dasar masyarakat daerah dengan memberikan kewenangan dalam rekrutmen politik lokal, ketiga sentralisasi/dekonsentrasi telah terbukti gagal mengatasi krisis nasional dengan adanya desentralisasi akan muncul pusat-pusat kegiatan ekonomi yang tidak hanya tersentralisasi di Jakarta, keempat pemantapan demokrasi politik, demokrasi tanpa adanya penguatan politik lokal akan menjadi sangat rapuh karena hanya memperkuat elite politik nasional dan hanya menjadi dominasi elite politik Jakarta, dan kelima keadilan, desentralisasi/otonomi daerah akan mencegah terjadinya kepincangan di dalam penguasaan sumber daya yang dimiliki oleh sebuah negara. Jika diliput oleh media fenomena beragamnya pendapat para ahli pemerintahan daerah dalam memaknai tujuan dari otonomi daerah di atas, akan menghasilkan liputan berbeda. Dalam membangun frame, media akan melakukan interaksi dengan narasumber Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 14 atau aktor atau agen yang biasanya adalah elite atau tokoh dalam politik, pemerintahan dan akademisi. Interaksi ini menyebabkan penyajian suatu berita media akan cenderung berbeda-beda. Ada kontradiksi dalam pembingkaian berita-berita mengenai otonomi daerah, bahkan bukan tidak mungkin akan saling berseberangan sehingga hal tersebut menjadi menarik untuk dikaji, apalagi masih cukup langka kajian mengenai media dan otonomi daerah. 1.4 Studi-Studi Terdahulu Mengenai Otonomi Daerah Dari penelusuran terhadap tulisan mengenai pemerintahan daerah, terlihat banyak didapatkan fakta bahwa banyak studi yang membedah dan mengupas isu pemerintahan daerah, tetapi baru ditemukan satu tulisan yang membedah mengenai otonomi daerah dalam perspektif ilmu komunikasi yaitu tesis atas nama Suryanto yang menulis tentang analisis wacana “Penggambaran Permasalahan Desentralisasi daerah Dalam Media Cetak (Studi Analisa Wacana Terhadap Berita-Berita Otonomi Daerah)”, penelitian ini dilakukan pada harian Kompas, harian Riau Post, dan harian Riau Mandiri. Penelitian ini fokus kepada cara ketiga media massa di atas mengonstruksi isu-isu penyelenggaraan desentralisasi daerah melalui pembingkaian teks pemberitaan. Berikut ini disajikan berbagai tulisan dalam bentuk jurnal, tesis, dan disertasi yang membedah pemerintahan di Indonesia. Tabel I Disertasi, Tesis, Jurnal No Nama Judul Keterangan 1 Bhenyamin Hoessein “Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Dati II: Suatu Kajian Desentralisasi dan Desentralisasi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara” Disertasi UI 2 Sodjuangan Situmorang “Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota” Disertasi UI 3 M. Tahrir. R “Evaluasi Penataan Kelembagaan Perangkat Daerah di Kota Palembang (Suatu Tinjauan terhadap Implementasi Desentralisasi Daerah di Kota Palembang)” Tesis UI Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 15 4 Fujiartanto “Implementasi Desentralisasi Daerah di Kota Depok: Studi tentang Penataan Kewenangan, Kelembagaan dan Kepegawaian pada Pemerintah Daerah Kota Depok, Provinsi Jawa Barat” Tesis UI 5 Suryanto “Penggambaran Permasalahan Desentralisasi Daerah Dalam Media Cetak (Studi Analisa Wacana Terhadap BeritaBerita Otonomi Daerah)” Tesis UI 6 Teddy Nurhadie Saadie “Implementasi Kebijakan Pemerintahan dan Budaya Pemerintahan Dalam Otonomi Daerah” 7 Syarif Hidayat “Refleksi Satu Dasarwarsa Reformasi Desentralisasi dan Desentralisasi Daerah” Jurnal Prisma, Juli 2010 8 Soetandyo Wigyjosoebroto “Satu Abad Desentralisasi di Indonesia” Jurnal Prisma, Juli 2010 Jurnal Politik Pemerintahan Volume I November 2008 Sekilas akan diceritakan berbagai tulisan di atas, untuk menjelaskan posisi disertasi ini dibandingkan berbagai tulisan di atas. Bhenyamien Hossein dalam disertasinya meneliti tentang berbagai faktor yang mempengaruhi besarnya desentralisasi daerah pada daerah tingkat II dari sisi ilmu administrasi negara. Besarnya otonomi pada dati II ternyata akibat pengaruh dari berbagai macam faktor, yaitu, pertama penyerahan wewenang oleh pemerintahan pusat kepada daerah, kedua proses penyerahan wewenang yang ditempuh oleh pemerintah pusat kepada daerah, dan ketiga kemampuan administrasi daerah. Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah ternyata porsi otonomi dati II lebih sedikit daripada porsi otonomi yang dimiliki dati I sehingga hal ini memengaruhi layanan pada masyarakat dilihat dengan perspektif pembangunan dari bawah. Sodjuangan Situmorang dalam disertasinya meneliti tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota di Indonesia. Dalam penelitiannya Situmorang berkesimpulan bahwa dalam pembagian urusan pemerintahan yang ada pada masa kini terdapat potensi konflik yang serius dan masih mengandung permasalahan yang pelik antara pusat dan daerah, serta pelayanan terhadap masyarakat Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 16 pemerintahan dan kelemahan pada saat implementasi model pembagian urusan pemerintahan. M. Tahrir, Fujiartanto, dan Teddy Nurhadie Saadie, lebih fokus meneliti tentang penerapan kebijakan desentralisasi di suatu daerah. Tahir meneliti penerapan desentralisasi daerah di Kota Palembang, lebih spesifiknya yaitu faktor organisasi khususnya dalam hal penataan kelembagaan perangkat daerah Kota Palembang. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa telah terjadi restrukturisasi pada lembaga perangkat daerah di Kota Palembang dan restrukturisasi ini telah terbentuk sesuai dengan hasil analisis yang direkomendasikan. Namun, terdapat juga beberapa lembaga perangkat daerah yang belum dibentuk untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki Pemda Kota Palembang. Fujiartanto meneliti kebijakan desentralisasi di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini membedah penataan elemen utama penyelenggaraan pemerintah daerah. Ada tiga aspek yang diteliti yaitu, pertama penataan kewenangan daerah, kedua penataan perangkat daerah, dan ketiga penataan pegawai daerah. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum konsisten antara lain ditunjukan dengan: belum dilakukan penataan bidang kewenangan, masih terdapat adanya overlapping antar bidang kewenangan, dan adanya organisasi perangkat daerah Kota Depok memiliki struktur lebih ramping, tetapi belum memperhatikan kewenangan daerah, kebutuhan/karakterlstik daerah, kemampuan keuangan, dan ketersediaan sumber daya manusia Kota Depok Teddy Nurhadie Saadie meneliti tentang kebijakan pemindahaan ibu kota kabupaten yang memiliki kaitan erat dengan budaya pemerintahan dalam kebijakan desentralisasi. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Melalui penelitian ini Saadie menemukan beberapa hal, yaitu, pertama komunikasi mengenai pemindahan ibu kota Kabupaten Sukabumi ke Pelabuhan Ratu terkendala oleh sistem jaringan yang kurang lancar antara pusat dan daerah, kedua kengunaan sumberdaya dalam implementasi kebijakan pemindahan ibukota kabupaten terkendala oleh tidak maksimalnya sumber daya yang tersedia, ketiga pemindahan ibukota Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 17 kabupaten ini terkendala oleh hambatan struktural dalam birokrasi, dan keempat adanya sikap penolakan dari beberapa masyarakat walaupun ini tidak terungkap secara eksplisit, karena adanya pengaruh budaya Sunda yang tidak suka berkonfrontasi langsung. Suryanto melakukan analisis wacana “Penggambaran Permasalahan Desentralisasi daerah dalam Media Cetak (Studi Analisa Wacana Terhadap Berita-Berita Otonomi Daerah)”. Penelitian ini masuk dalam ranah ilmu komunikasi, tetapi hanya melihat cara media menyiarkan dan membingkai pesan otonomi daerah. Syarif Hidayat bertutur tentang sepuluh tahun kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam tulisan Hidayat di Prisma terlihat bagaimana kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah mengalami pasang surut. Menurut Hidayat, dalam menyikapi kebijakan desentralisasi ini pemerintah terlihat gagap dan tidak siap. Pemerintah seperti pemadam kebakaran yang datang ketika api sudah membesar. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang muncul bukan berdasarkan suatu rangkaian peristiwa yang utuh, melainkan lebih berdasarkan penggalan suatu peristiwa sehingga kebijakan itu tidak dapat menjawab persoalan yang berkembang di daerah. Menurut Hidayat, jawaban yang tepat adalah membangun suatu pemahaman yang baik dari berbagai rangkaian peristiwa dan harus mengaitkan dengan dinamika pergeseran relasi antara negara-masyarakat dalam konteks reformasi. Soetandyo Wignjosoebroto menulis dalam Jurnal Prisma Vol 29, Juli 2010 mengenai sejarah desentralisasi di Indonesia yang telah merentang selama satu abad, dimulai dari desentralisasi masa kolonial penjajahan Belanda sampai kebijakan desentralisasi masa reformasi. Perbedaan disertasi ini dengan paparan di atas adalah, disertasi ini fokus pada kajian komunikasi. Disertasi ini meneliti bagaimana media massa membingkai (frame) berita otonomi daerah dan melihat pertarungan frame antar media yang diteliti, serta membuktikan bahwa sebagai agen media mempunyai peran dalam mengubah struktur dari sentralistis ke desentralisasi, hasil dari interaksi tersebut bisa dilihat dari isi pemberitaan media. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 18 1.5 Konstruksi Realitas dan Otonomi Daerah Kontruksi realitas sosial tidak terlepas dari pemikiran Peter L Berger dan Thomas Luckman yang ditulis dalam sebuah buku berjudul The Social Construction of Reality, A Treatise in Sociological of Knowledge (1966). Dalam buku ini Berger dan Luckman berpendapat bahwa sebenarnya realitas itu bukan dibentuk oleh Tuhan ataupun dibentuk secara ilmiah, melainkan realitas itu dibentuk dan dikonstruksi, sehingga sebenarnya realitas itu berwajah banyak/plural dan bersifat dinamis. Realitas ditafsirkan dan dibentuk oleh pengalaman, pendidikan, lingkungan, pergaulan, dan preferensi tertentu oleh setiap orang, dan mereka akan mengontruksikan realitas sosial tersebut menurut pendapat mereka masing-masing. Otonomi daerah dapat dimaknai dalam dua sisi, pertama sebagai sebuah produk politik karena hasil dari proses politik, kedua otonomi daerah juga merupakan produk dari konstruksi realitas sosial. Sebagai produk konstruksi sosial, otonomi daerah dapat dimaknai dalam dua hal yaitu ketika para aktor atau agen otonomi daerah ini mengonstruksikan pemikiran mereka tentang otonomi daerah dan cara media massa menangkap dan menyiarkan berita tersebut. Media sangat berperan dalam mengonstruksikan realitas kebijakan otonomi daerah kepada masyarakat, misalnya berita tentang adanya desentralisasi yang mengakibatkan munculnya rajaraja kecil, desentralisasi daerah yang membuat korupsi menjamur di daerah, dan juga desentralisasi daerah yang menjadikan laut dikaveling-kaveling. Pemberitaan desentralisasi daerah yang simpang siur dan cenderung buruk ini dapat ditangkap dan kemudian membentuk realita di masyarakat bahwa desentralisasi daerah merupakan kebijakan yang buruk sehingga kemudian terlontar wacana di masyarakat untuk kembali lagi ke sentralisasi seperti pada zaman Orde Baru23. Pemberitaan media massa yang tidak lengkap dan akurat serta akhirnya tidak dapat dipercaya, mendapatkan kritikan tajam dari Walter Lippman (1992). Selain itu dan menurut Lippman (1992), pemilik media tidak terlalu peduli dengan aspek berita yang objektif kepada masyarakat. Mereka lebih peduli akan kepentingan keuntungan bisnis media mereka sendiri. 23 Fenomena ini dapat dilihat dengan maraknya gambar-gambar mantan Presiden Suharto di berbagai tempat dan di dalam gambar tersebut ada foto mantan Presiden Suharto dengan tulisan “piye le luwih enak zaman ku thooo ?!!”, atau dalam versi lain “piye broo luwih enak zaman ku thoo ?!!” Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 19 Peran media massa dalam kehidupan sosial tidak diragukan lagi. Walaupun sering dipandang secara berbeda-beda, tidak ada yang menyangkal atas perannya yang signifikan dalam masyarakat modern. McQuail dalam bukunya Mass Communication Theory (1999:66) membuat rangkuman dari berbagai pendapat para ahli mengenai peran media massa. Setidaknya ada enam prespektif dalam hal melihat peran penting media, yaitu, pertama media massa sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang terjadi di luar sana, atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa, kedua media sebagai cermin dari berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia yang merefleksikan apa adanya, ketiga media sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk disiarkan kepada kepada pemirsa atau tidak, keempat media massa dipandang sebagai petunjuk yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian atau alternatif yang beragam, kelima media massa sebagai forum untuk merepresentasikan berbagai formulasi dan ide-ide kepada khalayak sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik, dan keenam media massa sebagai interculator yang tidak hanya sekedar tempat berlalulalangnya informasi, tetapi juga sebagai mitra komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif di masyarakat. Peran media dalam kehidupan sosial bukan hanya sebagai sarana hiburan atau pelepas ketegangan, melainkan mempunyai peran yang signifikan dalam proses sosial melalui namun isi dan informasi yang disajikan. Isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial (Berger, 1979:13), atau dengan mengunakan istilah dari Walter Lippmann (1922) media massa mampu menanamkan the picture in our heads. Gambaran tentang realitas yang ”dibentuk” oleh media massa inilah yang nantinya mendasari respons dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari media massa akan memunculkan gambar yang salah pula pada khalayak, dan kemudian akan memunculkan respons dan sikap yang salah juga pada objek sosial tersebut. Untuk itulah maka media masa dituntut untuk menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis, dan moral Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 20 penyajian isi media massa. Persoalan dalam kehidupan nyata yaitu adanya sikap, dan perilaku manusia atas suatu objek lebih ditentukan oleh gambaran yang ada di kepala atas objek tersebut, daripada keadaan yang sesungguhnya. Disinilah pentingnya peran media massa sebagai realitas simbolik yang dianggap merepresentasikan realitas objektif sosial, dan memiliki pengaruh pada realitas subjektif yang ada pada benak para pelaku interaksi sosial. Studi ini melihat berita otonomi daerah di media masa sebagai hasil interaksi antara struktur dan media dari perspektif ilmu komunikasi. 1.6 Permasalahan dan Tujuan Penelitian 1.6.1 Rumusan Masalah Pada tahun 1997 mulai muncul pergolakan politik di Indonesia dan bermuara pada tahun 1998 dengan turunnya Presiden Suharto. Salah satu isu yang sering diberitakan di media massa pada waktu itu adalah ekspresi ketidakpuasan masyarakat daerah kepada pemerintah pusat. Keadaan tersebut kemudian memaksa pemerintah pusat membuat sebuah kebijakan yang radikal24 yaitu mengubah kebijakan terhadap pemerintah daerah yang dulu sentralitis menjadi desentralistis dengan menerbitkan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang berisi bahwa daerah mendapatkan otonomi yang luas untuk mengatur diri mereka. Ternyata kebijakan dengan mengeluarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tidak dapat menyelesaikan semua masalah otonomi daerah. Sehingga diterbitkanlah kemudian terbitlah UU Nomor 32 Tahun 200425. Seperti halnya UU Nomor 22 Tahun 1999, terbitnya undang-undang baru ini juga tidak dapat memuaskan semua pihak. Berbagai wacana tentang sengkarut problema otonomi daerah dapat dilihat di media massa. Dalam memberitakan sengkarut otonomi daerah media tentu melakukannya sesuai dengan kebijakan redaksi dan perspektif media tersebut. Berita yang tersaji pada sebuah media tidak hadir begitu saja. Perlu proses dalam pembuatan suatu berita. Dalam proses itu media tidak bekerja dalam ruang hampa. Ada 24 25 Ryaas Rasyid dkk (2007) UU Nomor 32 Tahun 2004 sering dituduh oleh sebagian ilmuwan politik dan pemerintahan sebagai upaya pemerintah pusat melakukan resentralisasi atau menarik secara halus otonomi daerah, lihat Syarif Hidayat (2010), Ramlan Surbakti (2013), Purwo Santoso (2013) Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 21 berbagai struktur yang melingkupi media tersebut dan akan ikut andil mewarnai framing sebuah media sehingga ketika berita tersebut disiarkan akan muncul beragam pemberitaan mengenai otonomi daerah yang kemudian membentuk konstruksi realitas terhadap isu otonomi daerah di masyarakat. Penelitian ini akan mengkaji teks pada tiga surat kabar harian, yaitu dua harian nasional, dan satu harian daerah. Ketiganya yaitu. 1. Harian Kompas, 2. Harian Kedaulatan Rakyat, 3. Harian Jurnal Nasional. Alasan pemilihan surat kabar harian sebagai media yang menjadi bahan penelitian, pertama untuk meneliti konstruksi realitas media mengenai isu otonomi daerah diperlukan berita yang cukup banyak, dan penjelasan yang rinci, syarat ini dapat ditemukan pada surat kabar harian, kedua meskipun sekarang ini media online mudah diakses, namun surat kabar adalah media konvensional yang telah lama dikenal oleh masyarakat. Selain itu dari tiga media cetak yang diteliti, berita tentang isu otonomi daerah ini juga mucul dalam berita online di masing-masing surat kabar, ketiga pada saat ini ketika media menjadi industri strategis kepemilikan surat kabar akan turut memengaruhi isi atau framing dari pemberitaan media (Shoemaker dan Resse, 1996. Mc Quail:1992). Menurut Siggal (1973), pentingnya faktor ekonomi dalam industri bisnis media menjadi sangat memengaruhi keputusan pemuatan suatu berita. Berdasarkan perbedaan orientasi media tersebut, dipilihlah tiga surat kabar dengan orientasi yang berbeda, yaitu pertama surat kabar Kompas sebagai surat kabar harian terkemuka nasional dengan tiras yang besar, kedua surat kabar Jurnal Nasional sebagai surat kabar yang mempunyai kedekatan sejarah dengan Partai Demokrat partai yang didirikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan Presiden Republik Indonesia keenam indikasi kedekatan ini dapat dilihat dari komposisi pengurus koran Jurnal Nasional tahun 2006-2009 ketika Ramadhan Pohan menjadi pemimpin redaksi koran Jurnal Nasional, sedangkan di sisi yang lain dalam struktur Partai Demokrat Ramadhan Pohan menjabat sebagai Ketua Bidang Pusat Informasi Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat , ketiga surat kabar Kedaulatan Rakyat sebagai surat kabar daerah yang masih survive dan di daerahnya Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 22 masih leading sampai saat ini, padahal banyak surat kabar daerah yang seangkatan dengan surat kabar Kedaulatan Rakyat sudah tutup tidak terbit lagi, selain itu pada tahun 2012 dan tahun 2013 ada fenomena tuntutan desentralisasi asimetris di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian akan dilakukan dalam rentang waktu tahun 2012 sampai tahun 2013. Rentang waktu ini dipilih karena pada tahun ini muncul berbagai isu mengenai otonomi daerah seperti isu revisi Undang-Undang 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah dan isu disentralisasi asimetris di beberapa daerah, antara lain Papua dan Yogyakarta. Berbagai isu mengenai otonomi daerah dalam tiga surat kabar tersebut akan dibedah dalam disertasi ini, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. “Bagaimana Harian Kompas, Harian Jurnal Nasional dan Harian Kedaulatan Rakyat mengonstruksi realitas otonomi daerah, bagaimana frame pemberitaan tiga harian di atas mengenai isu otonomi daerah, dan menjelaskan bagaimana proses strukturasi dalam pembuatan berita mengenai isu otonomi daerah pada tiga media yang diteliti”. 1.6.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu : 1. Mengkaji isi pemberitaan tiga media mengenai beberapa isu otonomi daerah pada tahun 2012 dan 2013, isu-isu apa saja yang mengemuka dari pemberitaan tiga media yang diteliti., 2. Memaparkan cara ketiga media melakukan konstruksi realitas otonomi daerah., 3. Menjelaskan berita mengenai otonomi daerah sebagai bagian dari proses strukturasi yang melibatkan media dan struktur yang mewarnai proses pembuatan berita pada suatu media. 1.7 Signifikansi Penelitian 1.7.1 Signifikansi Akademis Penelitian ini tentang konstruksi realitas otonomi daerah pada tiga media massa. Penelitian ini menggambarkan keterkaitan antara pembentukan frame media dengan teori Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 23 strukturasi, lebih spesifik lagi dalam pemberitaan isu otonomi daerah pada Harian Kompas, Harian Jurnal Nasional dan Harian Kedaultan Rakyat. Signifikansi akademis dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi bagi kajian ilmu komunikasi mengenai cara media nasional dan daerah melakukan konstruksi realitas terhadap pemberitaan otonomi daerah, dan bagaimana bingkai (frame) pada tiga media dalam berita otonomi daerah, serta peran media sebagai agen dalam mengubah struktur dari sentralistis ke desentralisasi dalam isu otonomi daerah. 1.7.2 Signifikansi Praktis dan Sosial Secara praktis melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan formula relasi dan model relasi yang tepat antara media sebagai aktor dan struktur dalam isu otonomi daerah. Selain itu melalui penelitian ini diharapkan masyarakat mendapatkan pandangan baru, bahwa kebijakan otonomi daerah bukan masalah baik dan buruk, melainkan lebih kepada bagaimana media mengonstruksi kebijakan tersebut. dengan demikian diharapkan masyarakat akan semakin dewasa dalam menyikapi berbagai pemberitaan mengenai otonomi daerah. 1.8 Keterbatasan Penelitian Pemberitaan mengenai otonomi daerah banyak merebut ruang-ruang di media massa. Banyak media berlomba-lomba memberitakan kebijakan otonomi daerah. Walaupun banyak mendapatkan tempat pemberitaan, penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan penelitian yaitu, sebagai berikut: 1. Penelitian ini fokus pada dua media nasional dan satu media lokal dengan mengupas beberapa isu mengenai otonomi daerah serta penelitian ini fokus pada media massa yang terbit pada tahun 2012 dan tahun 2013 sehingga peneliti sadar tidak dapat menggambarkan semua permasalahan otonomi daerah. 2. Penelitian ini masuk ranah studi ilmu komunikasi sehingga tidak dapat mengupas lebih lanjut dalam perspektif ilmu pemerintahan dan ilmu politik. 3. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti tidak meneliti di dalam ruang redaksi. Keterbatasan ini disiasati dengan strategi wawancara mendalam, tetapi tentunya hal itu tidak bisa secara penuh mengambarkan diskusi-diskusi di dalam ruang redaksi media yang diteliti. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 24 BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Teori Konstruksi Realitas Sosial Peter L Berger Teori konstruksi realitas sosial tidak bisa dilepaskan dari dua nama pengusung sosiologi pengetahuan, yaitu Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Peter L Berger adalah Guru Besar Sosiologi pada Graduate Faculty New School for Sosial Research di New York dan Thomas Luckmann adalah dosen Sosiologi di Universitas Frankfurt. Dua orang sosiolog ini kemudian berkolaborasi membuat buku yang berjudul The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge. Buku ini diterbitkan pada tahun 1966 dengan masa penulisan buku empat tahun lamanya. Dalam pengantar bukunya Berger menyebutkan bahwa buku ini sebenarnya akan ditulis oleh 4 ilmuwan, dengan komposisi ilmuwan sosilogi dan ilmuwan filsafat. Namun seiring waktu, ilmuwan filsafat mengundurkan diri. Akhirnya, buku ini diterbitkan dengan dua penulis, yaitu ilmuwan sosiologi Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Walupun buku ini ditulis oleh ilmuan sosiologi, tetapi pengaruh filsafat fenomenologi dari Alfred Schutz terlihat cukup kuat dan ini diakui oleh Berger dalam kata pengantarnya. Setelah diluncurkan buku ini mendapat sambutan yang sangat baik dari para ilmuwan sosial khususnya ilmuwan sosiologi, dan menjadi referensi terpenting dalam kajian sosiologi pengetahuan kontemporer. Dalam mengarungi dunia intelektual, pemikiran Berger dan Luckmann dipengaruhi oleh beberapa ilmuwan filsafat dan sosiologi. Ilmuwan-ilmuwan yang berpengaruh pada pemikiran Berger, antara lain adalah Alfred Schutz, Jean Paul Sartre, George Herbert Mead, Arnold Gehlen, Marleu Ponty, dan tentunya pemikir besar ilmu sosial, yaitu Weber, Durkheim, dan Karl Marx. Peter Berger mengenal Alfred Schutz ketika Berger melanjutkan pendidikan doktoralnya di New York School for Sosial Research. Pada saat itu Schutz adalah salah satu guru Berger yang terkenal sebagai sosiolog besar dengan aliran pemikiran fenomenologi. Jika dilacak lebih jauh, tampak bahwa Alfred Schutz terpengaruh oleh Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 25 gagasan gurunya, yaitu Edmund Husserl yang merupakan pendiri aliran fenomenologi di Jerman. Edmund Husserl lahir di Prostejov Cekoslowakia, dari keluarga Yahudi. Husserl belajar fenomenologi dari gurunya yaitu Brentano. Pada saat itu fenomenologi baru fenomenologi psikologis, hanya mencatat apa yang dilihat tanpa mencari keterangan mengenai sebab gejala-gejala tersebut. Setelah tahun 1908 fenomenologi Husserl menjadi fenomenologi transendental di mana Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataaan melainkan asal kenyataan (Hamersma, 1990:116). Aliran filsafat ini terbentuk karena pada saat itu perkembangan filsafat masih terjebak dalam asumsi atau prasangka tertentu, seperti yang dikemukakan Rene Descartes cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) akhirnya berimplikasi pada munculnya subjek Cartesian, yaitu subjek ontologis yang dapat menentukan kebenaran tentang dirinya karena terus berpikir dan berefleksi bukan karena dia dibentuk oleh lingkungannya. Husserl (29:2006) mendefinisikan pemikirannya tentang fenomenologi sebagai ilmu yang menurunkan satuan analisis kepada ego, melakukan analisis pengalaman hidup sebagai proses terbentuknya suatu kerangka pemikiran yang terobjektifikasi dan mengetahui ke mana kerangka berpikir tersebut merujuk. Dari posisi ini dapat diartikan bahwa Husserl berbeda dengan Marx dan Durkheim yang menggunakan kerangka pemikiran analisis historis yang berupaya melacak aspek-aspek yang menyebabkan peristiwa sosial yang berskala luas terjadi. Pemikiran Husserl dengan fenomenologinya menurunkan dimensi analisisnya pada tataran individu. Jadi, analisis fenomenologis adalah analisis tentang mengapa seseorang atau agen dapat berpikir dengan suatu perspektif tertentu. Seiring berkembangnya waktu murid-murid Husserl mengembangkan pemikiran fenomenologi ini, antara lain Scheler mengembangkan fenomenologi sebagai suatu etika nilai, Maerleau-Ponty dan Derrida mengembangkan fenomenologi hermeneutika, sedangkan Alfred Schutz dan Berger mengembangkan fenomenologi eksistensial. Pemikiran fenomenologi eksistensial ini lebih menekankan pada eksistensi diri dalam dunia tempat dia hidup. Ini dapat dilihat dari pendapat Schutz bahwa duniaku adalah dunia yang selalu terbuka untuk aku maknai dan aku ubah, sedangkan struktur Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 26 sosial menurut Schutz hanya ada dalam kesadaran manusia dan tidak terlalu benar membatasi tindakan tiap manusia dari luar dirinya. Pendapat Schutz yang lebih menekankan pada individu ini tentu sangat kontradiktif jika dilihat menggunakan kaca mata para sosiolog awal yang lebih besifat holisitik seperti Comte, Durkheim, Marx, yang berpendapat bahwa kelompok atau masyarakat yang sebenarnya mengatur tindakan individu. Berger sebagai sosiolog sangat paham dengan masalah di atas. Untuk itu, Berger berusaha mensintesiskan berbagai pemikiran, yaitu fenomenologi Schutz, pemikiran Webber tentang “makna-makna subjektif”, pemikiran Durkheim dan Parson tentang “struktur”, pemikiran Marx tentang “dialektika”, serta pemikiran Mead tentang “interaksionisme simbolik” Margaret Poloma (1994). Dalam konteks ini Margaret Poloma (1994) menyimpulkan bahwa pembentukan realitas sosial sebagai sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme. Setelah membahas pengaruh pemikiran yang menopang teori konstruksi realitas di atas, selanjutnya akan dibedah lebih dalam teori konstruksi realitas yang ditulis oleh Berger dan Luckmann. Pada kata pengantar buku The Social Construction of Reality Berger dan Luckmann (1966:vii) menyatakan bahwa buku mereka sebagai buku yang membahas secara teoretis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. Lebih lanjut Berger (1966:5) menerangkan bahwa istilah sosiologi pengetahuan diciptakan oleh Max Scheler pada tahun 1920-an di Jerman. Lebih lanjut Berger (1966:4) mengutarakan bahwa sosiologi pengetahuan harus menekuni apa saja yang dianggap pengetahuan oleh masyarakat, terlepas apakah pengetahuan tersebut valid atau tidak valid, dan bagaimana pengetahuan tersebut dikembangkan serta dipelihara sedemikian rupa sehingga akhirnya terwujud atau terbentuk suatu kenyataan yang sewajarnya bagi bagi orang awam. Dengan kata lain, sosiologi pengetahuan menekuni analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (Sosial Construction of Reality) (Berger, 1966) Dalam perjalanan keilmuan sosiologi pengetahuan setelah lahir di Jerman kemudian berkembang ke berbagai negara yang berbahasa Inggris sayangnya, menurut Berger, kajian sosiologi pengetahuan ini tidak mendapatkan tanggapan baik terutama di Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 27 Amerika Serikat. Berger (1966:5) bahkan mengatakan bahwa kajian sosiologi pengetahuan hanya dimaknai sebagai catatan-catatan sosiologis mengenai sejarah pemikiran sehingga banyak ilmuwan sosiologi memaknai kajian ini tidak mempunyai akar teoretis yang kuat. Berger menunjukkan bahwa akar teoretis sosiologi pengetahuan cukup kuat. Menurut Berger (1966:7), akar sosiologi pengetahuan dimulai dari Marx, bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialnya Sosiologi pengetahuan terpesona oleh konsep Marx mengenai substruktur dan superstruktur. Menurut Berger (1966:8) yang menjadi pokok perhatian Marx adalah pemikiran manusia didasarkan atas kegiatan manusia dan atas hubungan-hubungan sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Skema Marx tentang substruktur dan superstruktur kemudian diambil oleh Scheler dalam sosiologi pengetahuan yang selalu ditandai oleh adanya pengertian semacam hubungan antara pemikiran dan suatu kenyataan yang mendasari pemikiran itu sendiri (Berger, 1966:9). Menurut Scheler (dalam Berger, 1966:11) pengetahuan manusia dibentuk oleh masyarakat. Scheler menekankan bahwa pengetahuan manusia diberikan dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman individu dengan memberikan kepadanya suatu tatanan makna. Dengan tatanan ini individu memandang dunianya dengan sewajarnya. Setelah Scheler memproklamasikan gagasannya tentang sosiologi pengetahuan, kajian baru ini diekspor dari Jerman ke negara-negara berbahasa Inggris. Karl Mannheim membawa kajian ini ke luar Jerman, karena pada waktu itu ada perang dunia ke dua dan Hittler dengan Nazinya menguasai Jerman, Mannheim pada waktu itu mengajar di Inggris. Menurut Berger (1966:13), pemahaman Mannheim mengenai sosiologi pengetahuan jauh lebih besar jangkauannya dibandingkan pemahaman Scheler. Bagi Mannheim masyarakat dilihat sebagai menentukan, tidak hanya penampakannya, namun juga isi dan ideasi manusia. Dengan pemahaman yang demikian, bagi Mannheim sosiologi pengetahuan menjadi suatu metode yang positif untuk menelaah setiap fase pemikiran manusia. Mannheim melalui bukunya yang berjudul Ideology and Utopia memberi arahan awal bagi perkembangan kajian ini di negera-negara berbahasa Inggris. Dalam bukunya Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 28 itu Mannheim mengkaji dua dimensi pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat, yaitu ideologi yang menurut Mannheim merupakan pengetahuan kelas yang berkuasa dan utopia yang merupakan pengetahuan kaum proletar alias kelas tertindas. Dari bukunya ini Mannheim memberi arahan bagi pengembangan sosiologi pengetahuan yaitu mempelajari bagaimana posisi sosial sekelompok orang yang menentukan pengetahuan yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Sampai dengan tahun 1960-an, kajian sosiologi pengetahuan menggunakan arah dari Mannheim ini sampai kemudian Peter L Berger dan Luckmann menerbitkan buku The Social Construction of Reality. Dalam buku tersebut terlihat bahwa Berger bersama Luckmann ingin mengubah perspektif sosiologi pengetahuan dari sebuah disiplin yang hanya mengkaji sejarah perkembangan sebuah gagasan atau ideologi menjadi kajian yang tidak hanya mengkaji munculnya sejarah gagasan atau pengetahuan, tetapi lebih dari itu berusaha mempelajari semua dimensi pengetahuan masyarakat termasuk pengetahuan sehari-hari dalam masyarakat awam. Menurut Berger, kajian sosiologi pengetahuan harusnya menjadi ilmu yang mempelajari hubungan antara konteks sosial dan pengetahuan manusia harus dapat menjawab pertanyaan bagaimana proses terkonstruksinya realitas dalam benak individu, atau bagaimana pengetahuan dapat terbentuk di masyarakat. Berger berpendapat bahwa sebagai makhluk hidup manusia harus mencukupi persoalan yang paling mendasar, seperti bagaimana manusia dapat hidup dan melanjutkan hidupnya, bagaimana manusia dapat menciptakan rasa aman bagi dirinya, menciptakan keteraturan di mana dia hidup dalam dunia yang sangat tidak pasti ini yang manusia di dalamnya berorientasi pragmatis dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kebutuhan akan makanan dan rasa aman. Pada saat manusia melakukan tindakan dan tindakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan mendasar akan makanan, manusia cenderung akan mengulang secara terus-menerus tindakan tersebut. Untuk memenuhi tuntutan rasa laparnya, misalnya, manusia akan memetik buah pepaya dan memakannya agar kenyang, dan manusia akan kembali mengulangi tindakan tersebut ketika dia lapar, hingga hal tersebut akan menjadi kebiasaan bagi manusia. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 29 Dalam kehidupan sosial, perilaku manusia yang berulang-ulang inilah yang kemudian membentuk suatu institusi awal. Pada tingkat lanjut institusi awal ini akan berkembang dan menjadi aturan baku dalam mengatur sekelompok manusia pada suatu tempat. Apabila 4 orang manusia bisa disebut A, B, C, D berkumpul, keempat orang ini kemudian mengerjakan apa yang paling dapat mereka lakukan, sebagai misal A paling pandai mencari makanan dengan berburu, B paling bisa memasak, C paling pintar untuk mencari kayu bakar dan D menjaga rumah. Dengan pembagian tersebut, mereka dapat hidup dalam keteraturan dan merasa nyaman serta dapat memenuhi kebutuhan hidup. Munculah pembedaan pembagian kerja, yang kemudian secara lama-kelamaan akan muncul institusionalisasi dan kontrol sosial. Karena ada semacam ketakutan jika tidak berjalan sesuai dengan pembagian di atas, mereka akan mengalami keguncangan dalam hidup keseharian mereka sehingga lambat laun muncullah aturan yang mengatur anggota masyarakat di situ, munculah institusi objektif yang mengatur segala peranan anggota masyarakat di suatu wilayah. Pada tahapan inilah suatu institusi kemudian berdiri sebagai suatu realitas yang objektif dalam kesadaran manusia. Fenomena pembentukan institusi di atas menurut Berger merupakan proses eksternalisasi dan objektivasi, proses eksternalisasi menurut Berger adalah jika sekelompok manusia melakukan suatu perbuatan dan perbuatan tersebut dapat menjawab persoalan mereka. Perbuatan tersebut akan diulang-ulang (repetition), dan jika setelah mengalami pengulangan berkali-kali, manusia akan membuat kesimpulan bahwa fakta ini akan menjadi realitas yang objektif. Selain eksternalisasi dan objektivasi ada satu konsep penting lagi milik Berger dalam buku The Sosial Construction of Reality, yaitu konsep internalisasi. Menurut Berger, terjadi dialektika antara manusia dan masyarakat terjadi melalui proses eksternalisasi, objektifasi, dan internalisasi. Ketiga proses ini akan menjadi suatu siklus dialektis dalam hubungan manusia dan masyarakat. Manusia membentuk masyarakat dan masyarakat membentuk manusia. Internalisasi menurut Berger mempunyai fungsi untuk mentransmisikan suatu institusi sebagai suatu realitas kepada anggota masyarakat yang baru. Meminjam konsep dari Herbert Mead, dalam teori Interaksionalisme Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 30 Simbolik, internalisasi berlangsung melalui suatu mekanisme sosialisasi, yang menurut Berger, ada dua sosialisasi yaitu sosialisasi, primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer biasanya dijalankan pada lingkup keluarga inti. Anak mulai dikenalkan pada makna-makna yang paling inti mengenai dunianya dan dirinya, misalnya dia anak siapa, siapa saja saudaranya, dan sebagainya. Sedangkan sosialisasi sekunder biasanya terjadi pada saat anak tersebut beranjak dewasa dan mempunyai pergaulan di masyarakat. Ketika masuk kuliah dalam suatu universitas, misalnya, anak akan dikenalkan pada peran dan aturan baru di universitas tersebut. Melalui proses internalisasi ini realitas sosial diterima apa adanya dalam diri manusia yang dalam istilah Breger disebut taken for granted. Namun, walaupun diterima, sosialisasi tersebut menurut Berger tidak berlangsung sempurna, selalu ada pertanyaan yang muncul terhadap institusi yang diwariskan tersebut. Ada anggota baru yang sadar bahwa apa yang mereka jalani berbeda dengan kehidupan yang lama. Selain itu, ada anggota masyarakat yang mempunyai pengalaman lebih luas daripada anggota yang lama. Karena anggota yang baru ini bersentuhan dengan dunia yang lain dari dunianya, realitas yang ada dipermasalahkan oleh anggota baru ini. Untuk itu, menurut Berger perlu adanya legitimasi untuk mempertahankan institusi tersebut. Legitimasi harus melalui pembuktian yang logis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggugat institusi. Berger (1966:128-130) membagi legitimasi menjadi empat tingkatan, yaitu pertama legitimasi bahasa atau linguistik, kedua legitimasi proposisi teoritis yang masih belum sempurna, ketiga legitimasi teori yang eksplisit atau sudah dirumuskan, dan keempat universum-universum simbolik. 1. Pada tingkat legitimasi bahasa, bahasa merupakan representasi dasar suatu realitas. Pada saat suatu teks dikomunikasikan, maka akan menimbulkan objek yang dirujuk, bahasa memberikan sugesti langsung untuk mempertahankan institusi, 2. Legitimasi proposisi teoritis yang masih belum sempurna biasanya menyangkut tindakan-tindakan konkret, seperti kaidah-kaidah moral, kata-kata mutiara yang masuk dalam legenda-legenda atau cerita rakyat, Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 31 3. Legitimasi teori yang eksplisit, memberikan referensi kerangka yang cukup komprehensif bagi masing-masing sektor perilaku yang sudah melembaga. Karena kompleks dan beraneka ragam, legitimasi ini dipercayakan kepada seseorang yang khusus melalui prosedur-prosedur inisiasi yang sudah diformalkan, 4. Universum-universum simbolik, merupakan perangkat-perangkat tradisi teoretis yang mengintegrasikan berbagai bidang makna dan mencakup tatatan kelembagaan dalam totalitas simbolis, misalnya agama dan perspektif dalam ilmu pengetahuan, yang mampu memberikan penjelasan yang menyeluruh dan mendasar tentang kehidupan manusia. Pemikiran Peter Berger dalam peta ilmu sosiologi mempunyai posisi yang khusus, Berger memberikan penekanan yang kuat pada keteraturan (order). Menurut Berger, tanpa adanya keteraturan akan sulit tercipta sebuah masyarakat karena keteraturan adalah prasyarat utama dalam kehidupan sosial. Kehidupan manusia minimal akan terasa teratur jika kebutuhan biologisnya terpenuhi. Pada sisi, ini Berger menekankan perlunya keteraturan dalam elemen analisis sosiologis. Namun pada sisi lain Berger juga melihat manusia memaknai keteraturan tersebut secara subjektif sehingga dalam konteks yang berbeda kebutuhan akan keteraturan itu akan dipenuhi dengan cara yang berbeda. Di sinilah Berger meletakan kebebasan manusia. Ketika suatu kelompok manusia berhadapan dengan persoalan yang tidak bisa mereka jelaskan dengan struktur sosial mereka, di sinilah struktur dapat diubah atau dibangun lagi oleh masyarakat tersebut. 2.2 Media dan Teori Konstruksi Realitas Media dan konstruksi realitas merupakan dua sisi dalam satu koin yang sama. Menurut Berger (1966), bahasa merupakan faktor utama dalam pembentukan realitas dan bahasa merupakan elemen utama dalam media massa. Tanpa bahasa media tidak akan dapat menghadirkan liputannya kepada khalayak pembaca. Penggunaan bahasa termasuk penyajian dan pilihan kata akan mempunyai implikasi pada makna tertentu. Hal ini disebabkan bahasa tidak hanya mencerminkan Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 32 suatu realitas, tetapi juga menciptakan suatu realitas. Penggunaan bahasa untuk membuat label dan menciptakan realitas dalam kasus pemerintahan Orde Baru secara bagus dituliskan dalam sebuah buku berjudul Bahasa dan Kekuasaan1. Kehebatan bahasa ini dalam membentuk realitas jika ditelusuri lebih jauh dapat ditemukan dalam pemikiran filsuf Ludwig Josef Wittgenstein. Menurut Hamersma (1990), pokok-pokok pikiran Wittgenstein dapat dibagi menjadi Wittgenstein I dan Wittgenstein II, Wittgenstein I adalah pemikiran Wittgenstein periode sebelum tahun 1930 yang ditulis dalam buku berjudul Tractatus Logico-philosophicus dan Wittgenstein II adalah pemikiran Wittgenstein setelah tahun 1930 yang dijabarkan pada tulisan Philosophical Investigation yang menjadi titik pangkal analisis bahasa, lebih lanjut menurut Hamersma (1990), Wittgenstein I berpendapat bahwa hanya pernyataanpernyataan yang berupa suatu diskripsi mempunyai arti (meaning is picture), sedangkan Wittgenstein II berpendapat bahwa arti suatu pernyataan tergantung dari jenis bahasa yang dipakai (meaning is use) Wittgenstein I2 yang tertuang dalam buku berjudul Tractatus Logico-philosophicus hanya ditulis 75 halaman saja, namun tulisan yang sangat padat dan bernas. Pertanyaan utama dalam Wittgenstein I adalah bagaimana mungkin manusia mengatakan sesuatu yang dapat dimengerti oleh orang lain ?. Kesimpulan Wittgenstein I adalah bahwa hal tersebut sangat mungkin karena bahasa merupakan gambaran dari kenyataan. Bahasa memperlihatkan artinya (meaning is picture). Wittgenstein II berpendapat bahwa ada banyak jenis pemakaian bahasa yang semuanya mempunyai kebenaran dan logika sendiri. Suatu jenis bahasa tertentu, yang terdiri atas kata-kata dan aturan-aturan pemakaiannya (yaitu tata bahasa) disebut language game. Arti kata-kata hanya bisa dipahami dalam kerangka acuan language game yang dipakai (meaning is use). Dari pemaparan di atas terlihat bahwa bahasa dapat dipakai untuk berbagai kepentingan, baik itu kepentingan politis, ekonomis, sosial maupun budaya. Untuk 1 Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Pangung Orde Baru (1996), buku ini berisi tulisan 14 penulis ternama yang membedah bahasa dan kekuasaan pada zaman Rezim Orde Baru. 2 Hamersma (1990:138-139) Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 33 kepentingan politis bahasa bisa menjadi alat propaganda, dan untuk hasil yang efektif diperlukan media massa. Media dalam suatu negara dalam membuat konstruksi realitas sangat tergantung dari ciri negara tersebut. Dalam negara otoriter tentu media hanya akan menjadi corong bagi penguasa. Konstruksi realitas yang dibangun biasanya sewarna untuk mendukung kebijakan dari negara. Sebaliknya, pada negara yang demokratis, media mendapatkan tempat yang cukup nyaman untuk bersuara, media massa mendapatkan lebih banyak ruang untuk melakukan konstruksi realitas terhadap suatu isu. Namun, dalam kehidupan negara yang berciri demokrasi media ternyata juga tidak cukup bebas dalam melakukan konstruksi realitas dalam suatu isu. Politik redaksional media selalu akan dipengaruhi berbagai hal antara lain kepentingan bisnis, politis, ideologis, dan sebagainya sehingga hal tersebut menjadi pertimbangan dalam meliput suatu isu termasuk isu otonomi daerah, apakah isu ini akan dimuat dengan ditonjolkan, dimuat dengan tidak menonjol, atau bahkan tidak dimuat sama sekali. Lebih lanjut menurut Ibnu Hamad (2002:15) ada tiga strategi media masa dalam melakukan konstruksi realitas. Pertama pemilihan simbol (fungsi bahasa). Meskipun media massa hanya bersifat melaporkan, tetapi sudah menjadi sifat dalam pembicaraan politik untuk selalu memperhitungkan simbol politik. Apapun simbol yang terpilih mempengaruhi makna yang muncul. Kedua, pemilihan fakta yang disajikan (strategi framing) paling tidak ada tuntutan teknis seperti keterbatasan kolom dan halaman. Pada media cetak atas nama kaidah jurnalistik peritiwa panjang lebar dan rumit dicoba disederhanakan melalui mekanisme pembingkaian sehingga layak tayang. Ketiga, kesediaan memberi tempat (agenda setting). Jika media memberikan tempat bagi sebuah isu untuk ditayangkan, isu tersebut akan mendapatkan perhatian dari masyarakat. Semakin besar tempat yang diberikan, akan semakin besar pula perhatian yang akan diberikan oleh masyarakat. Dalam teori agenda setting3, tesis utamanya adalah besarnya perhatian masyarakat terhadap sebuah isu tergantung seberapa besar media memberikan perhatian pada isu tersebut. Apabila suatu media memberitakan suatu kasus pada posisi head line, diasumsikan isu tersebut akan memperoleh perhatian yang besar 3 Malvin DeFelur dalam Ibnu Hamad (2002:24) Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 34 dari khalayak pembaca dibandingkan jika hanya dipasang di halaman dalam suatu surat kabar. Lebih lanjut, menurut Kraus dan Davis (1978: 209-227), ada lima cara media mengkonstruksikan suatu realita, yaitu, pertama pencitraan, kedua pembuatan realitas komunikasi, ketiga penganugrahan status, keempat pembuatan peristiwa buatan, dan kelima agenda setting. Di samping berbagai faktor yang berpengaruh di atas, menurut Shoemaker dan Resse (1996), ada beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap konstruksi realitas media massa, yaitu kepentingan-kepentingan yang bersifat tumpang tindih pada tingkat perorangan atau kelompok pada sebuah organisasi media, seperti kepentingan agama, kelompok, kedaerahan, struktur organisasi media, dan sebagainya. Dari faktor internal ini posisi wartawan yang paling mendapatkan perhatian, tentu sebagai makhluk sosial wartawan tidak bebas nilai. Wartawan mempunyai sikap, nilai, kepercayaan, agama, ideologi, orientasi terhadap pilihan politik, latar belang pendidikan, gender, etnisitas, dan sebagainya. Semua hal tersebut akan berpengaruh terhadap hasil kerja wartawan dan turut mempunyai andil ketika wartawan tersebut melakukan konstruksi realitas terhadap suatu isu, termasuk isu otonomi daerah. 2.3. Teori Pemerintahan Lokal (Local Government Theory) Pemerintahan lokal (daerah) menurut Muthalib dan Ali Khan (2013:1) dalam buku Theory of Local Government adalah institusi kuno dengan konsep baru. Pemerintah daerah merupakan perwujudan aktivitas manusia dalam kelompok dengan merefleksikan semangat kebebasan. Pemerintah daerah merupakan suatu bagian integral dari badan politik suatu negara yang diakui dan dibentuk berdasarkan hukum untuk mengelola urusan-urusan lokal dari masyarakat dalam suatu wilayah dengan batas-batas geografis tertentu. Dalam kasus Indonesia, terbentuknya pemerintahan lokal dapat diamati ketika mulai muncul satuan-satuan wilayah di tingkat dasar yang membentuk suatu lembaga pemerintahan. Biasanya satuan komunitas tersebut merupakan suatu entitas kolektif yang berdasarkan pada ikatan genealogis maupun territorial. Fenomena pemerintahan lokal ini Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 35 dapat dilihat pada desa (Jawa), nagari (Sumatera Barat), gampong (Aceh), dan sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya menurut Nurcholis (2007), berbagai satuan komunitas tersebut kemudian dimasukan dalam suatu sistem administrasi negara yang berdaulat. Ketika dimasukan dalam negara yang berdaulat maka satuan-satuan komunitas itu secara administratif ditentukan batas-batas wilayahnya secara geografis. Selanjutnya, dengan keputusan politik satuan-satuan tersebut diresmikan menjadi satu unit organisasi formal dalam sistem administrasi negara pada tingkat lokal (daerah). Secara konseptual Muthalib dan Ali Khan (2013) berpendapat ada enam dimensi dalam konsep pemerintah lokal (daerah) yaitu dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi geografis, dimensi hukum, dimensi politik, dan dimensi administratif. Pertama dimensi sosial yang dimaksud oleh Muthalib dan Ali Khan (2013) adalah sebuah kelompok masyarakat terorganisir yang berada dalam batas geografis tertentu mengembangkan suatu rasa kesatuan bersama dengan ciri sosial yang berbeda, bercirikan pedesaan, semi perkotaan, urban, metropolitan, komersial, industri, dan lain-lain, kedua dimensi ekonomi suatu daerah mencerminkan otoritas lokalnya, otoritas lokal dapat memberikan suatu catatan yang baik tentang kinerjanya tanpa banyak usaha jika secara ekonomi daerah tersebut mampu atau kaya, namun apabila sebaliknya dengan sedikit potensi untuk pertumbuhan maka akan menjadikan pembangunan daerah sebagai suatu tugas yang berat bagi otoritas lokal, ketiga dimensi geografis dengan yuridiksi teritorial atas suatu tempat tinggal manusia tertentu, pemerintah daerah dapat dikonseptualisasikan dari segi gerografis, geografi dari suatu pemerintahan daerah yang meliputi ciri-ciri fisik, demografis, dan ekonomi, memiliki dampak pada kebijakan, administrasi, dan hukum, keempat dimensi hukum, pemerintah daerah merupakan suatu miniatur dari badan politik dan korporasi, dalam kapasitas tersebut pemerintah lokal menjalankan suatu bagian dari kedaulatan negara yang didelegasikan padanya dalam batas-batas geografisnya, status pemerintah daerah sebagai local self-government (berpemerintahan sendiri) dilengkapi dengan landasan hukum yang kuat sebagai hak yang melekat pada pemerintah daerah, kelima dimensi politik dimana dimensi ini yang paling penting dari konsep pemerintah daerah yang berkaitan dengan karakter politiknya, karena politik memiliki suatu Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 36 pengaruh yang langsung terhadap sifat pemerintah daerah, keenam dimensi administratif secara operasional pemerintah daerah merupakan organisasi administratif yang di dalamnya terjadi perpaduan antara politik, administrasi, dan teknologi. Lebih lanjut, Bhenyamin Hoessein dalam Nurcholis (2007:24-25) konsep pemerintahan lokal (local government) ada tiga, yaitu, pertama pemerintahan lokal, kedua pemerintahan lokal yang dilakukan pemerintah lokal, dan ketiga berarti daerah otonom. Konsep pertama menunjuk pada lembaga/organnya. Artinya, pemerintahan lokal adalah organ/badan/organisasi pemerintah di tingkat daerah. Di Indonesia, konsep pemerintahan lokal ini dapat merujuk pada Kepala Daerah dan DPRD. Konsep kedua merujuk pada fungsi atau kegiatan. Dalam arti ini pemerintahan lokal sama dengan pemerintahan daerah, untuk kasus Indonesia pemerintahan daerah adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Konsep ketiga sebagai daerah otonom, pemerintah lokal merupakan subdivisi dari politik nasional yang diatur oleh undang-undang dan secara substansial mempunyai kontrol atas urusan-urusan lokal. Untuk kasus di Indonesia mengatur pemerintahan daerah dari sisi normatif undangundang apabila dibedah menggunakan perspektif sejarah, sebenarnya bukan barang baru, bagaimana mengatur daerah telah menjadi agenda utama yang penting semenjak Republik ini lahir. Dari pelacakan Ryaas Rasyid dkk (2007:56-123), Syarif Hidayat (2007:9-12), Soetandyo Wignyosoebroto (2007:58-69) dalam 69 tahun republik ini berdiri, telah terjadi delapan (8) kali perubahan perundang-undangan dalam pengaturan pemerintahan daerah. Kedelapan Undang-Undang Pemerintahan Daerah itu adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 4. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 37 Dari kedelapan Undang-Undang Pemerintah Daerah di atas, apabila dilihat dari rentang waktu sejarah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 merupakan UndangUndang Pemerintah Daerah yang paling lama diterapkan, yaitu 25 tahun. Hal ini tentunya tidak lepas dari pemerintahan Orde Baru yang berciri otoriter, berkepentingan untuk membuat sistem pemerintahan yang sentralistik, pusat mempunyai kuasa yang sangat besar terhadap daerah, sedangkan daerah cukup sebagai pelaksana semua kebijakan pemerintah pusat. Semenjak republik ini lahir, para pendiri republik telah menyadari bahwa Indonesia sangat luas, memilki luas sekitar 1.904.569 km membentang antara Sabang sampai Merauke, ada 17.504 pulau, dengan berbagai suku bangsa dan bahasa. Para pendiri republik ini sadar bahwa dengan luasnya Indonesia tidak mungkin semuanya diselesaikan oleh pemerintah pusat (Jakarta). Perdebatan para pendiri republik ini kemudian mengerucut dan dituangkan dalam UUD 1945 pasal 18 yang berbunyi4 Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan, pemerintahannya, ditetapkan, dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Bila dilihat dalam penjelasannya ditunjukkan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi; daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil; di daerahdaerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah; di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dari uraian di atas terlihat bagaimana para pendiri bangsa ini menempatkan pemerintahan daerah sebagai suatu hal yang sangat penting sehingga dimasukkan dalam UUD 1945. Walau sudah ada payung hukum yang jelas mengenai pengaturan pemerintahan daerah, yaitu Pasal 18 UUD 1945, tetapi dalam implementasi pelaksanaanya tidak ada kepastian yang jelas, tergantung pada situasi dan kondisi politik nasional. Dalam penelusurannya, Made Suwandi (2004), Marbun (2010), Wignyosoebroto (2010), memperlihatkan rumusan prinsip atau isi pengaturan pemerintahan daerah pada 4 UUD 1945 Pasal 18. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 38 setiap undang-undang selalu berbeda satu sama lain, dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tabel II Undang-Undang Pemerintahan Daerah No Undang-Undang Rumusan Prinsip/Asas Otonomi Kemerdekaan pengaturan rumah tangga daerah “asal tidak bertentangan dengan pengaturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih luas daripadanya”. 1 UU No. 1 Tahun 1945 2 UU No. 22 Tahuna. Hak pengaturan dan pengurusan rumah tangga sendiri 1948 berdasarkan hal otonomi dan hak medebewind b. Titik berat otonomi ada pada desa atau kota kecil 3 UU No 1 Tahun 1957 Otonomi formil: Wewenang daerah mengurus rumah tangganya tidak dibatasi/tidak diperinci, sejauh tidak bertentangan dengan urusan yang diatur oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. 4 Perpres No. 6/59 dan Perpres No. 5 1960 Melanjutkan politik desentralisasi(territorial) dan dekonsentrasi dimana daerah diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan memperhatikan kemampuan masing-masing daerah 5 UU No. 18 Tahuna. Otonomi territorial yang riil dan seluas-luasnya, serta 1965 menjalankan politik dekonsentrasi sebagai komplemen yang vital b. Otonomi selain sebagai hak/kewenang dan sekaligus kewajiban 6 UU No. 5 Tahun a. Otonomi nyata dan bertanggung jawab 1974 b. Otonomi adalah hak, wewenang dan sekaligus kewajiban. c. UU No. 22 Tahuna. Otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab 1999 b. Penyelengaraan otonomi memperhatikan aspek demokrasi, partisipatif, adil dan merata dengan memperhatikan potensi dan keragaman daerah. c. Otonomi Propinsi bersifat terbatas, sekaligus menjalankan fungsi dekonsentrasi 7 Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 39 8 UU No. 32 Tahuna. Otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. 2004 Penyelenggaraan otonomi berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan rakyat, menjamin hubungan serasi antar daerah dan menjamin hubungan serasi daerah dengan pemerintah. b. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pada UU No. 1 Tahun 1945 kewenangan pusat lebih dominan, kemudian UU No. 22 Tahun 1948 kewenangan daerah kembali dominan. Untuk UU No 1. Tahun 1957 terlihat kewenangan daerah tetap dominan, sedangkan Penpres No. 6 Tahun 1959 kembali menarik kewenangan daerah sehingga pusat dominan. Untuk UU No. 18 Tahun 1965 kembali daerah mempunyai kewenangan yang dominan, UU No. 5 Tahun 1974 terlihat kewenangan pusat sangat dominan, UU No. 22 Tahun 1999 kewenangan daerah kembali dominan, dan UU 32 Tahun 2004 mencari keseimbangan pusat-daerah. Tarik-menarik ini memperlihatkan bahwa pertarungan ide tentang bagaimana mengatur pemerintahan daerah di Indonesia tidak pernah berhenti dan selalu berproses. Dalam proses tersebut ada suatu masa condong ke sentralisasi, masa yang lain desentralisasi, bahkan juga federalisme. Sebenarnya sentralisasi, desentralisasi, ataupun federalisme adalah suatu konsep yang berhubungan dengan organisasi, terutama dalam hal pengambilan keputusan. berikut akan diuraikan perbedaan antara sentralisasi, desentralisasi, dan federalisme. Sentralisasi kata ini menjadi kata yang tidak populer semenjak rezim Orde Baru berakhir. Sebenarnya apakah maksud kata sentralisasi dalam kajian pemerintahan daerah ? sentralisasi menurut Bhenyamin Hoessein (1995), Made Suwandi (2004) dan Hanif Nurcholis (2007), adalah pemusatan semua kewenangan pemerintahan, yaitu kewenangan politik (membuat kebijakan) dan adminitrasi (menjalankan kebijakan) pada pemerintah pusat. Artinya, jika suatu negara memusatkan semua kewenangan pemerintahan pada pemerintah pusat dan tidak melakukan pembagian kewenangan pada daerah di bawahnya atau daerah tidak diberi otonomi dapat disebut sentralisasi pemerintahan. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 40 Beberapa ahli5 terlihat memakai kata desentralisasi daerah dan otonomi daerah sebagai kata yang dapat dipertukarkan seperti satu koin dengan dengan dua sisi yang sama. Desentralisasi jika ditelaah dari sisi etimologi dapat diartikan menjauh dari pusat (de-central). Para ahli administrasi negara dan pemerintahan seperti Rondinelli (1983), Bhenyamin Hoessein (1995), Made Suwandi (2004), dan Hanif Nurcholis (2007), berpendapat bahwa desentralisasi adalah penyerahan sebagian kewenangan politik dan administrasi, dari puncak hierarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang organisasi yang lebih rendah atau dibawahnya (pemerintah daerah). Dengan adanya desentralisasi tersebut masyarakat daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar karena mempunyai kebebasan dan kewenangan mengatur, mengurus, dan memutuskan kepentingannya sendiri yang bersifat lokal. Dengan adanya desentralisasi munculah otonomi daerah. Dengan kata lain tanpa adanya desentralisasi daerah tidak akan muncul otonomi daerah. Federalisme adalah sebuah kata yang seperti mantra sakti yang dibenci tetapi juga dirindukan. Kata federalisme menjadi tidak terlalu populer di Indonesia karena mempunyai arti yang tidak baik. Menurut Syarif Hidayat (2010), Afan Gafar, dan Ryaas Rasyid (2007), ada semacam rasa tidak nyaman bahkan fobia terhadap ide federalime. Hal ini dikarenakan dalam perjalanan sejarah negara Indonesia pernah terjadi fase menjadi negara federal, yaitu pada tahun 1949 sampai 1950. Setelah perjanjian meja bundar pada tahun 1949 disetujui, dibentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam RIS tersebut dibentuk 16 negara federasi yang berdaulat yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda. Dengan adanya RIS tersebut negara Republik Indonesia mengalami degradasi hanya menjadi satuan negara bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat. Sebenarnya apakah arti dari federalime ini ?. Menurut Seymour Martin Lipset (dalam Rasyid dkk, 2007:3-4), “ federalisme merupakan satu bentuk asosiasi politik dan organisasi yang menyatukan unit-unit politik yang terpisah ke dalam suatu sistem politik yang comprehensive, dan mengijinkan masing-masing unit politik tersebut untuk tetap memiliki atau menjaga integritas politiknya secara fundamental”. 5 Ryaas Rasyid dan Afan Gafar (2007) Ryant Nugroho (1999), Hanif Nurcholis (2007), Brian C Smith (1985) Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 41 Lebih lanjut Syarif Hidayat (2010:19-20) menuturkan bahwa perbedaan mendasar antara negara kesatuan dan negara federal dalam melakukan praktik desentralisasi terletak pada prinsip pengaturan relasi kewenangan pusat-daerah. Dalam negara federal mendasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan (speration of power), sedangkan di negara kesatuan berprinsip pada berbagi kewenangan (sharing of power). Dengan demikian dalam federalisme pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan pokok dan daerah memiliki seluruh kewenangan di luar kewenangan pokok. Selain itu menurut Bhenyamin Hoessein (2002), negara federal adalah negara majemuk yang mempunyai kekuasaan membentuk Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang sendiri sehingga hubungan antara negara bagian dengan negara federal adalah independen dan koordinatif. 2.4.Teori Strukturasi Giddens Giddens memulai petualangan sebagai ilmuwan sosial dengan mempelajari para ilmuwan dan pemikir besar ilmu-ilmu sosial baik yang klasik maupun kontemporer. Penguasan bahasa Jerman dan Perancis sangat membantu Giddens dalam memahami isi dari buku-buku Karl Marx, Emilie Durkeim, Max Webber, Heidegger, Gaddamer, Popper, Wittgenstein, dan lain sebagainya. Pada tahun 1971 Giddens membuat buku yang mendapat tanggapan bagus yang berjudul Capitalism and Modern Sosial Theory. An Analysis of The Writings of Marx, Durkheim, and Max Webber, yang kemudian diikuti dengan buku New Rulers Of Sociological Method pada tahun 1976. Pada tahun 1984 Giddens menerbitkan suatu karya monumental, yang membuat dia diakui sebagai seorang ilmuwan besar, buku tersebut berjudul The Constitution of Society : Out Line of The Theory of Structuration. Latar belakang muculnya teori ini adalah hasil dari kajian mendalam Giddens terhadap berbagai teori besar yang sudah mapan dalam kajian ilmu sosiologi, seperti teori fungsionalisme Talcot Parsons, interaksionisme simbolis Erving Gofman, strukturalisme dari Ferdinand de Sausure, dan sebagainya. Giddens melihat teori yang sudah mapan di atas mempunyai kelemahan. Teori-teori tersebut hanya menjelaskan satu sisi saja dalam melihat objek kajian ilmu sosial. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 42 Ada pertentangan antara makro dan mikro, ada pertentangan antara kubu subjektivisme dan objektivisme, kubu subjektivisme melihat bahwa individu sangat berperan dalam objek kajian sosial, sedangkan objektivisme melihat bahwa keseluruhan adalah hal yang utama dibandingkan individu dalam objek kajian sosial. Teori fungsionalisme Talcot Parsons merupakan teori yang mendominasi khasanah ilmu sosiologi sampai tahun 80-an. Dalam teori ini Parsons terkenal dengan skema AGIL-nya yang merupakan singkatan dari Adaptasi, Pencapaian Tujuan (goal), Integrasi, dan Latensi. Dalam skema ini Parsons menempatkan struktur keteraturan masyarakat pada prioritas yang utama sehingga peran agen dalam objek kajian sosial model Parsons bukan hal yang utama. Berbeda dengan teori Fungsionalisme diatas, dalam teori Interaksionisme Simbolis ini peran agen sangat dominan. Menurut Blumer; Manis dan Meltzer; Rose; Snow (dalam Ritzer 2007:289), agen sebenarnya mempunyai sejumlah prinsip dasar antara lain yaitu: manusia dibekali kemampuan berpikir, kemampuan berpikir manusia dibentuk oleh interkasi sosial, pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat. Giddens berusaha memecahkan kebuntuan ini, Giddens menawarkan teori yang disebut Teori Strukturasi, dalam bukunya Giddens mengatakan bahwa tidak mempunyai padanan kata yang paling tepat daripada kata strukturasi. Dalam Teori Strukturasi ini ada dua ide pokok Giddens, pertama membedah hubungan antara struktur dan agen dan kedua sentralitas ruang dan waktu. Dalam ide pertamanya Giddens mempermasalahkan pertentangan antara struktur dan agen yang telah lama terjadi dalam khasanah ilmu-ilmu sosial. Berbagai teori dalam ilmu sosial hanya membedah satu sisi saja yaitu sisi struktur atau agen Bagi Giddens antara agen dan struktur hubungannya bukan saling meniadakan atau dualisme, tetapi lebih pada relasi (dualitas). Lebih lanjut Giddens (1984: 25-26) mengatakan bahwa, “konstitusi agen dan struktur bukan merupakan dua kumpulan fenomena yang bisa berdiri sendiri (dualisme) tetapi mencerminkan dualitas, ciri-ciri struktural sistem sosial adalah sekaligus medium dan hasil praktik sosial yang diorganisir berulang-ulang”. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 43 Pada ide kedua tentang sentralitas waktu dan ruang, Giddens sangat menekankan pentingnya waktu dan ruang dalam Teori Strukturasi. Pada waktu yang lampau waktu dan ruang hadir pada saat yang sama, misalnya pada zaman lalu orang jika ingin bertemu untuk berkomunikasi kebanyakan melalui interaksi tatap muka, yang artinya waktu dan ruang hadir secara bersamaan. Namun, pada saat ini, komunikasi tidak perlu dengan cara demikian. Waktu dan ruang sudah terlampaui dengan kemajuan teknologi. Komunikasi dapat dijalankan tanpa perlu lagi hadir pada waktu dan ruang yang sama. Fenomena kemajuan teknologi ini disebut Giddens sebagai times space distancciation (perentangan ruang dan waktu). Pada uraian di atas telah dibahas mengenai latar belakang munculnya Teori Strukturasi. Selanjutnya akan dibedah unsur-unsur Teori Strukturasi Giddens, yaitu, pertama agen, agensi, kedua struktur, strukturasi, ketiga waktu dan ruang. 1. Agen, Agensi Terlebih dulu akan dibicarakan agen. Dalam teori Giddens agen mempunyai peran yang cukup dominan, bahkan para pengkritik Giddens mengatakan bahwa Giddens dalam Teori Strukturasi memberikan porsi yang kelewat besar pada agen (Ritzer, 2007:513). Dalam penelitiannya, Giddens memfokuskan perhatianya pada praktik sosial yang berulang antara agen dan struktur. Agen dan struktur, menurut Giddens adalah dua hal yang tidak terpisah karena seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial. Bagi Giddens tindakan yang dilakukan oleh agen tersebut tidak langsung jadi, tetapi memerlukan pengulangan. Melalui pengulangan dalam praktik sosial tadi kemudian kesadaran sosial maupun struktur tercipta. Dalam lingkungan sosialnya agen akan mencari rasa aman dan agen akan berusaha untuk mengembangkan diri agar dapat menghadapi lingkungan sosial mereka. Menurut Giddens (dalam Ritzer 2007:509), agen mempunyai dua tipe kesadaran, yaitu kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Kesadaran diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 44 dalam kata-kata. Kesadaran praktis melibatkan tindakan yang dianggap aktor, namun tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang dilakukan. Kesadaran praktis inilah yang sangat penting untuk Teori Strukturasi. Artinya, tipe kesadaran ini lebih memfokuskan pada sesuatu yang dilakukan oleh agen daripada apa yang dikatakan oleh agen. Setelah kesadaran praktis ini pembahasan tentang agen kemudian berubah menjadi agency atau keagenan, yang dapat diartikan kejadian yang dilakukan oleh agen. Lebih lanjut Giddens (1984:9) mengatakan bahwa “keagenan (agency) menyangkut kejadian yang dilakukan seorang individu, keagenan berarti peran individu apapun yang telah terjadi, tidak akan menjadi struktur seandainya agen tidak mencampuri”. Dari uraian di atas terlihat Giddens memberi kekuatan besar pada agen. Menurut Giddens agen mampu melahirkan pertentangan dalam kehidupan sosial. Tanpa kekuasaan untuk melahirkan pertentangan sosial tersebut, aktor akan berhenti menjadi agen, contohnya, otonomi daerah ada karena merupakan hasil dari pertentangan antar agen yang mempunyai kekuasaan (politik, ekonomi, media). Jika agen berhenti mempertentangankan isu otonomi daerah, isu otonomi daerah ini tidak akan muncul dan pemerintahan yang sentralistik akan tetap langgeng berkuasa. 2. Struktur, Strukturasi Giddens (1984:17) mendefinisikan struktur adalah “properti-properti yang berstruktur (aturan dan sumberdaya), properti yang memungkinkan praktik sosial serupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu dan membuatnya menjadi bentuk sistemik”. Penjelasan Giddens ini jelas tidak mengikuti pendapat Emile Durkheim yang berpendapat bahwa struktur itu di luar aktor dan memaksa atau mengendalikan aktor. Bagi Giddens struktur tidak dapat disamakan dengan kekangan (constraint). Lebih lanjut menurut Giddens (1984:25) “Struktur selalu mengekang (constraining) maupun membebaskan (enabling) tindakan”. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 45 Dengan demikian, agen dapat melakukan berbagai hal yang dapat agen lakukan, karena bagi Giddens memang sruktur dapat memaksa agen, tetapi struktur bukan kekangan atau kurungan bagi agen. Dalam realitas hubungan antara agen dan struktur bersifat saling melengkapi, seperti dua sisi koin, satu sisi adalah struktur sedangkan sisi yang lain adalah aktor. Pada sisi aktor secara konkret terbingkai dalam suatu arus berkesinambungan tindakan dan peristiwa, sedangkan pada sisi struktur lebih menunjukkan kepada aturan atau sumber daya yang terbentuk akibat keterulangan dari praktik sosial. Menurut Giddenss (1984:17), “struktur serta merta muncul dalam sistem sosial, struktur menjelma dalam ingatan agen yang berpengetahuan banyak. Sistem sosial menurut Giddens (1984:17) adalah “sebagai praktik sosial yang direproduksi antara aktor dan kolektivitas yang diorganisir sebagai praktik sosial tetap”. Dari uraian ini dapat dilhat bahwa menurut Giddens ada tindakan yang seringkali tidak diharapkan oleh agen, tetapi harus dilakukan agen, dan akibat dari kondisi ini ada umpan balik dari tindakan. Artinya kondisi ini dapat mengendalikan agen, tetapi agen juga dapat terus berupaya untuk mengendalikan suatu keadaan. Dari hal diatas maka dapat dilihat bahwa sebenarnya agen dan struktur bukan merupakan dua hal yang berdiri sendiri (dualisme) tetapi lebih condong pada dualitas. Hal itu karena menurut Giddens (1984:25) “strukturasi adalah meliputi hubungan dialektika antara agen dan struktur, sruktur dan agen adalah dualitas, struktur tidak akan ada tanpa agen dan begitu pula sebaliknya”. 3. Waktu dan Ruang. Selain konsep agen, agency, struktur, dan strukturasi, gagasan terpenting dari Teori Strukturasi Giddens adalah waktu dan ruang. Dalam gagasan Giddens perbedaan antara masyarakat modern dan masyarakat tradisional ada Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 46 pada konsep waktu dan ruang. Pada masyarakat tradisional waktu dan ruang melekat pada manusia. Kehadiran atau interaksi tatap muka menjadi hal yang sangat penting, semua kegiatan pada masyarakat tradisonal tersebut hanya akan berlangsung dalam waktu dan ruang yang sama, misalnya pada tahun 1700 kalau seseorang dari Yogyakarta akan memberitahu atau mengundang pernikahan kepada saudaranya yang ada di Semarang, dia harus datang langsung ke Semarang, atau paling tidak mengirimkan utusan untuk mengantarkan undangan pernikahan ke Semarang, sehingga waktu tidak dapat dipisahkan dari tempat yang sama dan itu bisa membutuhkan waktu berhari-hari. Pada 2012, untuk melakukan hal yang sama diatas tidak dibutuhkan kehadiran individu pada waktu dan tempat yang sama, selain itu juga tidak membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyampaikan suatu informasi. Hal itu bisa bisa melalui telepon, email, atau cukup dengan sms sehingga informasi tersebut bisa tersampaikan pada saudaranya yang ada di Semarang. Semua tindakan di sini berlangsung melalui waktu dan ruang, artinya ada suatu pencabutan waktu dan ruang dalam skala global. Hal ini mempunyai implikasi yang sangat besar dalam masyakarat modern, sebagai misal, orang dapat memindahkan saham atau uangnya atau modalnya dalam waktu yang singkat tanpa membawa kopor atau mobil, lintas negara, lintas benua. Hal ini yang terjadi pada tahun 1997 pada saat Indonesia terkena krisis moneter yang dalam. Pada awalnya yang terkena adalah Thailand, dengan cepat krisis moneter tersebut menular ke hampir seluruh kawasan Asia Tenggara bahkan sampai ke Korea Selatan. Selain berbagai ide pemikiran di atas, ide lain yang penting dalam Teori Strukturasi Giddens adalah tiga gugus besar struktur dalam kehidupan sosial yaitu, pertama Struktur Penandaan atau Signifikansi (Signification), kedua Struktur Penguasaan atau dominasi (domination), dan ketiga Struktur Pembenaran atau Legitimasi (legitimation). Ketiga struktur ini dalam prinsip struktural menurut Giddens saling terkait. Struktur signifikansi akan berkait Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 47 dengan struktur dominasi dan juga struktur legitimasi, contohnya dalam struktur signifikasi seorang yang memberi kuliah pada perguruan tinggi disebut dosen. Dalam struktur dominasi dosen mempunyai kewenangan atas mahasiswa. Struktur legitimasi tampak pada otoritas dosen melaksanakan test pada mahasiswa untuk menilai kemampuan mahasiswanya. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut ketiga struktur di atas: 1. Struktur Penandaan atau Signifikansi (Signification) Struktur Penandaan ini merujuk pada skema aturan simbolik penyebutan, pemaknaan, dan wacana. Dalam kehidupan sosial dapat dicontohkan sebagai berikut penyebutan dosen adalah bagi pengajar di suatu universitas atau perguruan tinggi atau penyebutan guru adalah bagi pengajar di sekolah, dan penyebutan-penyebutan ini selalu berulang dalam kehidupan sosial 2. Struktur Penguasaan atau Dominasi (Domination) Struktur Penguasaan ini merujuk pada struktur aturan penguasaan atas orang (politik) dan barang/jasa (ekonomi). Contoh penguasaan atas orang adalah pada otoritas dosen kepada mahasiswa. Dalam struktur politik, contohnya adalah pemungutan suara pada pemilu, pada penguasaan barang/jasa (ekonomi) contohnya menyimpan uang di bank atau berbelanja di mall atau hypermarket. 3. Struktur Pembenaran atau Legitimasi (Legitimation) Struktur legitimasi merujuk pada struktur aturan normatif yang terungkap dalam tata hukum. Contohnya legitimasi seorang dosen memberikan ujian pada mahasiswa, atau dalam praktik sosial adalah sebelum menikah harus mendaftarakan diri pada KUA atau catatan sipil setempat. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 48 Untuk memudahkan mengenal konsep Giddens diatas, secara sederhana Giddens meringkas konsepnya sebagai berikut: Skema 1 Konsep S-D-L S-D-L D (otorisasi)-S-L D (alokasi)-S-L L-D-S : Tata Simbolis/Cara Wacana - (Lembaga Bahasa/Wacana) : Tata Politik - (Lembaga Politik) : Tata Ekonomi - (Lembaga Ekonomi) : Tata Hukum - (Lembaga Hukum) Keterangan: S adalah Siginifikasi, D adalah Dominasi, L adalah Legitimasi. Skema 2 Dualitas Aktor-Struktur Dari dua skema di atas dapat terlihat jelas konsep Giddens tetang dualitas dalam Teori Strukturasi, terlihat reproduksi sosial berlangsung melalui dualitas struktur dan praktik sosial yang dijalankan aktor. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah aktor atau pelaku sadar bahwa praktik keseharian aktor mampu tereproduksi menjadi struktur sosial ? atau seperti dalam teori fungsionalisme Talcott Pasons, di mana agen hanya seperti anak wayang yang mengikuti alur skenario yang ada ?. Jika tidak hati-hati dalam menjawab pertanyaan ini, maka akan masuk dalam dualism bukan dualitas, jawaban Giddens adalah “agen sebenarnya tahu namun tidak sadar”, Giddens menjelaskan hal ini dengan tiga dimensi internal pelaku, yaitu: Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 49 1. Motivasi tidak sadar (unconscious motives) Giddens menerangkan hal ini sebagai motivasi yang menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukan memaknai tindakan itu sendiri sebagai missal, walaupun sebenarnya motivasi orang bekerja adalah mencari uang, tetapi hampir tidak pernah ada orang yang berangkat ke kantor dengan motif untuk mencari uang. Menurut Giddens hal di atas adalah motivasi yang tidak sadar. 2. Kesadaran diskursif (diskursif consciousness) Menurut Giddens, kesadaran diskursif mengacu kepada kapasitas agen dalam merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit pada tindakan agen, contohnya, mengapa pada hari Senin pegawai negeri di Pemda menggunakan seragam hansip berwarna hijau ?. Hal itu karena jika tidak menggunakan seragam hansip berwarna hijau akan ditegur oleh atasan. Jadi seragam hansip berwarna hijau digunakan pada hari Senin berada pada konteks kesadaran diskursif. Agen melakukan pengandaian atas tindakannya. Dengan pengandaian ini, agen menjadi tahu dalam melangsungkan kehidupan kesehariannya tanpa ditanyakan kembali. 3. Kesadaran praktis (practical consciousness) Giddens berpendapat bahwa kesadaran praktis ini merujuk kepada pengetahuan praktis yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Dalam Teori Strukturasi, kesadaran praktis ini menurut Giddens merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dapat memahami bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial secara berulang-ulang akhirnya menjadi struktur, dan kemudian struktur itu mengekang praktik sosial dari agen. Agen tidak perlu mempertanyakan lagi aktivitas rutin keseharian mereka. Melalui praktik sosial agen membuat struktur mereka sendiri. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 50 Dari berbagai uraian di atas telah dijelaskan Teori Strukturasi Anthony Giddens yang akan dipakai sebagai pisau analisis dalam disertasi ini. Seperti teori-teori yang lain Teori Strukturasi Giddens tidak luput dari berbagai kritikan. Salah satu yang mengkritik Teori Strukturasi Giddens adalah Ian Craib. Menurut Ian Craib (dalam Ritzer 2007:513514) ada 5 kritik yang dilontarkan untuk Teori Strukturasi Giddens, pertama menurut Craib Teori Giddens lebih berfokus pada tindakan sosial Giddens gagal menerangkan struktur sosial yang melandasi kehidupan sosial, kedua Teori Giddens menurut Craib tidak memadai untuk menjelaskan kehidupan sosial yang terlalu kompleks. Lebih lanjut Ian Craib (dalam Ritzer 2007:513) menuturkan bahwa “kita memerlukan sederatan teori yang mungkin saling bertentangan ketimbang struktur sebuah teori sintesis”, ketiga kritikan terhadap Giddens dilontarkan Craib karena Giddens tidak bertolak dari landasan teorits tertentu sehingga ketika membuat analisis kritis tentang masyarakat modern teori ini kurang memadai, keempat Teori Giddens tidak berkaitan secara utuh dan terlihat fragmentatis, kelima Craib cukup sulit untuk mengerti apa yang sebenarnya dijelaskan oleh Giddens dengan Teori Strukturasinya. Walupun kritik Ian Craib sangat pedas, tetapi menurut Craib ada dua alasan mengapa Teori Strukturasi ini perlu dibicarakan, pertama pemikiran Giddens telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam khasanah Ilmu Sosiologi masa kini, kedua siapa saja yang menekuni ilmu sosial perlu mempelajari dan menanggapi Teori Giddens ini. Teori strukturasi dipilih karena teori ini menyediakan pisau analisis yang lebih tajam daripada teori-teori yang lebih cenderung ke arah struktur atau agen. Jika menggunakan teori-teori yang lebih berat ke struktur, konsekunsinya peran agen tidak akan terlihat nyata. Agen hanya akan mengikuti apa yang dikehendaki oleh struktur. Padahal, dalam disertasi ini peran antar agen dalam berinteraksi tampak nyata, proses pembingkaian pesan otonomi daerah dapat dimaknai sebagai proses strukturasi antara media sebagai agen dan struktur yang dalam disertasi ini dimakanai sebagai struktur politik media, struktur politik lokal, dan struktur ekonomi media. Dengan menggunakan teori struktrasi analisis yang akan muncul akan lebih kaya, tidak terjebak dalam dualisme tetapi merupakan suatu interplay antara struktur dan agen. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 51 2.5.Teori Strukturasi dan Teori Konstruksi Realitas Sosial Teori Strukturasi Giddens secara garis besar terdiri atas tiga gugus besar, yaitu Siginifikasi, Dominasi, dan Legitimasi. Secara garis besar teori itu dapat diterangkan sebagai berikut. a. Signifikasi. Dalam gugus siginifikasi ini Giddens merujuk pada suatu skema simbolik, penyebutan, pemaknaan, dan wacana. Contoh mudahnya adalah Direktur adalah sebutan bagi orang yang mempunyai jabatan tinggi dalam suatu perusahaan, atau buruh adalah sebutan bagi mereka yang bekerja sebagai pegawai rendah dalam suatu perusahaan. Penyebutan itu selalu berulang terus menerus dalam kehidupan sosial. b. Dominasi. Dalam gugus dominasi ini Giddens merujuk kepada skema penguasaan atau dominasi atas orang (politik) ataupun barang (ekonomi). Contoh konkretnya adalah adanya suatu otoritas direktur perusahaan pada karyawanya yang disebut buruh. c. Legitimasi. Dalam gugus skema legitimasi ini Giddens merujuk pada peraturan-peraturan normatif yang ada dalam tata aturan hukum. Contoh sederhananya adalah seorang direktur mempunyai hak melakukan penilaian dan menghukum seorang buruh jika mereka melakukan kesalahan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana tiga skema ini berjalan dalam suatu praktik sosial ?. Giddens menerangkan dalam skema dibawah ini. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 52 Skema 3 Dari bingkai di atas terlihat bagaimana dualitas antara struktur dan agen terbentuk. Pada skema signifikansi tindakan dalam praktek sosial adalah interaksi melalui komunikasi seperti menulis, berbicara, berdiskusi, ataupun bertukar ide antara agen. Interaksi itu secara terus-menerus berlangsung berulang dalam praktek sosial. Akhirnya, interaksi itu menjadi suatu struktur sosial, sebagai misal orang yang menjadi kepala suatu perusahaan disebut direktur. Hal itu kemudian dilanjutkan dengan skema dominasi yang menurut Giddens di sana ada penguasaan aset secara ekonomis dan atau politik, maka ada suatu kontrol direktur pada buruh. Akhirnya, interaksi itu bergerak kepada skema legitimasi. Pada skema ini muncul norma dan sanksi, yaitu hak direktur atas buruh untuk memberikan penghargaan atau hukuman. Dualitas atau interplay antara agen dan struktur inilah yang kemudian membentuk struktur. Jadi, struktur adalah merupakan hasil dari sedimentasi keterulangan praktik sosial. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan konteks Teori Strukturasi dan Konstruksi Realitas dalam disertasi ini ?. Berdasarkan pelacakan sejarah tentang otonomi daerah di Indonesia ternyata telah dilakukan, jauh sebelum diterbitkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pertarungan pemikiran mengenai otonomi Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 53 daerah merentang sepanjang sejarah keberadaan Republik, bahkan jauh sebelum Republik ini lahir6. Pelacakan dari Ryaas Rasyid dkk. (2007), Syarif Hidayat (2010), Hanif Nurcholis (2010) memperlihatkan bahwa semenjak tahun 1945 telah diterbitkan UU No. 1 tahun 1945 tentang pengaturan kewenangan antara pusat dan daerah. UU itu kemudian direvisi pada tahun 1948 melalui UU No. 22 Tahun 1948 dengan bandul kewenangan daerah yang dominan. Bandul kewenangan antara pusat (Jakarta) dengan daerah ini selalu berubah-ubah. Sampai tahun 2014 telah 8 kali bandul bergeser, terkadang lebih kuat ke pusat tetapi adakalanya kembali ke daerah. Perubahan bandul kewenangan ini adakalanya berlangsung damai tanpa pergolakan, namun ada pula yang harus direbut dengan senjata dan ancaman merdeka. Menurut Ryaas Rasyid dkk (2007), Syarif Hidayat (2010) beberapa ekspresi daerah memperlihatkan bahwa ancaman merdeka terhadap pusat (Jakarta) sebenarnya tidak merupakan benar-benar ancaman meminta merdeka, tetapi lebih banyak terjadi karena daerah merasa pusat tidak memberikan kepada daerah kewenangan untuk mengatur diri mereka sendiri. Pergolakan otonomi daerah tentu akan sangat menarik untuk diberitakan karena sebenarnya struktur dan berita media ditentukan oleh banyak faktor. Dedy Nur Hidayat (2000:431) berpendapat bahwa “kajian terhadap pers, serta perubahan yang terjadi padanya, justru harus dilakukan dengan terlebih dahulu mengesampingkan pers dari fokus kajian”, pendapat Hidayat di atas menunjukkan bahwa pers dalam suatu negara tidak hidup dalam ruang hampa. Ada berbagai kepentingan (ekonomi, politik, sosial, budaya) yang akan terus mewarnai kehidupan pers dalam suatu negara. Media massa sejak lama telah menjadi primadona untuk dikuasai atau paling tidak dipengaruhi oleh berbagai institusi di luar media. Begitu menakutkan pengaruh media sehingga tidak mengherankan jika di negara berciri otoriter, media selalu dalam pengawasan negara yang mempunyai kuasa mematikan media. Tarik-menarik berbagai kepentingan (ekonomi, politik, sosial, budaya) terhadap pers tentunya akan berimbas pula terhadap isi teks dan pandangan wartawan yang 6 Soetandyo Wignjosoebroto (2010), Jika dihitung semenjak pemerintah Belanda menetapkan Decentralisatie Wet pada 23 Juli 1903, kebijakan desentralisasi di Indonesia telah berusia satu abad Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 54 menuliskan teks tersebut. Dedy N Hidayat (2000:432), Triputra (2000:407), Soemaker (1996) menuliskan bahwa media sebagai suatu organisasi mempunyai karateristik serupa dengan organisasi lainnya. Sebagai organisasi, salah satu tujuan utama mendirikan suatu media adalah tujuan ekonomi. Sebagai institusi bisnis media tentu mempunyai motif ekonomi untuk mendapatkan laba. Dengan adanya laba inilah media dapat dijalankan, dengan adanya keuntungan inilah media dapat hidup. Pada sisi lainnya, media sebagai suatu organisasi mempunyai birokrasi. Birokrasi media yang bergerak sebagai institusi bisnis, membutuhkan modal yang tidak sedikit. Menurut Agus Sudibyo (2004:55), untuk mendirikan Global TV dibutuhkan modal Rp 500 milyar, Lativi yang berganti nama menjadi TV One didirikan dengan modal awal Rp 300 milyar, sedangkan TV7 dan Metro TV membutuhkan modal awal Rp 200 milyar untuk memulai usahanya. Dengan biaya yang demikian besar tersebut, muncul pertanyaan, “media massa ini untuk siapa ?”. Karena investor tidak akan mau rugi, investor harus mendapatkan keuntungan dari modal yang ditanamkan Sehubungan dengan hal di atas, menarik apa yang diungkapkan oleh Dedy N Hidayat (2000:441) mengenai peran media dalam struktur ekonomi dan struktur politik yang berlaku dalam suatu negara. Satu prinsip yang harus diperhatikan di sini adalah dalam sistem struktur kapitalis, media massa harus diberi fokus perhatian yang memadai sebagaimana institusi-institusi produksi dan distribusi lainnya. Kondisi-kondisi yang ditemukan pada level kepemilikan media, praktik-praktik pemberitaan, dinamika struktur radio, televisi, perfileman, dan periklanan, mempunyai hubungan yang saling menentukan dengan kondisi-kondisi ekonomi politik spesifik yang berkembang di suatu negara, serta pada gilirannya juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi ekonomi politik global. Dari uraian Dedy N Hidayat di atas terungkap bahwa di dalam institusi media terdapat hubungan yang erat dengan kekuatan ekonomi politik pada sebuah negara. Lebih lanjut Dedy N Hidayat (2000:432) berpendapat, “kajian ekonomi politik pers, yang kini masih dijadikan banyak referensi cenderung terpola pada dua tendensi pemikiran yaitu economism dan reductionism”. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 55 Pendekatan ekonomi atau (economism) seperti dalam Smythe (1977:1) melihat bahwa praktik-praktik sosiokultural yang memengaruhi produksi dan konsumsi teks akan berbeda-beda karena perbedaan dari persoalan-persoalan pokok di bidang ekonomi, sedangkan reductionism (Connel dalam Hibbin, 1978:75) dikaitkan dengan teori-teori struktur marxis yang lebih memfokuskan diri pada fungsi-fungsi ideologis yang dijalankan oleh media. Analisis reductionism umumnya direduksi hanya pada level teks secara berlebihan untuk menemukan kandungan-kandungan ideologis sehingga mengakibatkan kemungkinan hilangnya hubungan antara teks tersebut dengan kenyataan bahwa pers adalah sebuah institusi ekonomi dalam sebuah sistem kapitalis. Untuk itu dalam melakukan analisis perubahan yang terjadi pada sebuah media dalam lingkungannya adalah dengan mengkaitkan analisis-analisis pada level makro, meso dan mikro. Secara lebih khusus dalam interkontekstualitas tersebut akan disorot peranan faktor-faktor apa saja yang penting dalam kondisi tertentu. Di sinilah Teori Strukturasi dapat berperan. Teori ini lebih luwes tidak melulu berbicara makro, yaitu struktur tetapi juga tidak hanya bicara mikro yaitu human agen. Salah satu penyangga utama dalam Teori Struktrasi adalah agency yang dimaksud dengan agency adalah aksi-aksi sosial yang dilakukan oleh aktor-aktor sosial baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Istilah ini dapat juga mengacu pada aksi-aksi sosial dari manusia dalam arti luas, tidak hanya individual tetapi juga kelompok-kelompok terorganisir bahkan negara (Himmerstrand, 1986:9). Faktor utama lain adalah struktur. Salah satu definisi struktur diberikan oleh Giddens (1984) yang melihatnya sebagai the structuring properties (rules & resource). Pada kenyataannya, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada peraturan dan sumbersumber tersebut saja. Giddens sampai pada suatu definisi tersebut karena ia terlalu memfokuskan pengamatannya pada praktik-praktik atau tindakan sosial. Walau ia mengakui terdapatnya dualitas, yakni struktur dan agensi seakan tidak dapat dipisahkan, bahkan hampir mendekati sebuah siklus yang tidak berubah dan tidak dapat dipisahkan. Para peneliti lain, sebaliknya, menyatakan bahwa struktur dan agency secara analisis harus dibedakan, walau keduanya dalam kehidupan sosial saling terkait (Archer, 1988). Layder, Ashton, dan Sung (1991) juga menyatakan bahwa empirically structure Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 56 and action are partly autonomous and separately domains. Kedua pendapat ini menjelaskan terdapatnya pengkondisian struktural yang memengaruhi interaksi sosial dan selanjutnya interaksi sosial itu sendiri mengarah pada terjadinya sebuah elaborasi struktural. Implikasi teoretis dari kedua pendekatan ini adalah bahwa, dualitas akan terlihat pada upaya meletakkan korelasi hubungan antara struktur dan agensi. Sikap yang cenderung memfokuskan diri pada dominasi struktur (atau juga agensi) akan melahirkan ortodoksi tersendiri dalam proses-proses sosiokultural yang memengaruhi proses produksi dan konsumsi teks, serta proses produksi dan konsumsi teks itu sendiri. Ortodoksi strukturalis misalnya, akan melihat struktur sebagai sesuatu yang monolitik atau sebagai entitas yang statis, kemudian tergoda untuk mengabaikan kemampuan dari agensi sosial untuk melakukan respon terhadap kondisi-kondisi struktural. Bahkan Schudson (1989) menyatakan bahwa proses-proses produksi berita langsung berhubungan dengan struktur ekonomi dari organisasi media atau industry media, dan segala sesuatu di antaranya adalah sebuah kotak hitam yang tidak perlu diperiksa lagi. Pada sisi yang lain, pendekatan yang terlalu menekankan kemampuan agency akan melahirkan ortodoksi instrumentalism. Agency diasumsikan selalu mampu melakukan berbagai hal untuk menjadikan media sebagai instrumen dari apa yang ingin dicapai. Bagi kelompok pemodal, mereka ingin menjadikan media sebagai instrumen untuk menentukan diskursus publik, menentukan informasi apa saja yang boleh dikonsumsi oleh publik, serta propaganda yang menghasilkan opini publik sesuai dengan yang diinginkan kaum kapitalis (Herman dan Chomsky, 1998). Kemampuan-kemampuan itu diperoleh antara lain karena pemilik modal memiliki surplus akses ke media, legalitas mengontrol media, memonopoli perizinan, dan posisi yang superior terhadap karyawan mereka. Pada kenyataanya, seperti yang diutarakan oleh Golding dan Murdock (1997), para human agency ini bekerja dalam suatu struktur yang dapat menghambat maupun memfasilitasi, menetapkan batasan-batasan sekaligus menawarkan kesempatan-kesempatan. Jalan alternatif yang lebih komprehensif adalah menghindari dua ortodoksi ini dengan mengakui terdapatnya interplay antara structure dan agency. Pendekatan ini Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 57 bertujuan untuk antara lain to explain how structure are constituted through action, and reciprocally how action is constituted structurally (Giddens, 1976). Lebih lanjut Vincent Mosco (1996) menyatakan bahwa studi ekonomi politik media mestinya dapat menjelaskan how structure are produced and reproduced by human agents who act trough the medium of these structures. Pendekatan alternatif ini memberikan ruang untuk hubungan-hubungan sosial dan interaksi baik yang berbentuk aliansi maupun konflik pada saat-saat tertentu, baik di level makro maupun meso, yang kemudian dituangkan dalam level mikro. Seterusnya hasil pada level mikro tersebut akan berinteraksi pula pada level meso maupun makro. Dengan demikian interkontekstualitas tersebut tidak hanya terjadi pada sebuah media. Industri media sebagai sebuah sistem, tetapi juga dalam konteks masyarakat secara luas. Pada waktu tertentu sebuah konteks sejarah akan menentukan bobot relatif dari hubungan kassualitas di antara struktur dan agensi. Bagaimana dengan disertasi ini ?. Disertasi ini bermula dari rasa ingin tahu yang amat dalam (curiosity) terhadap konstruksi realitas otonomi daerah. Pertanyaan besar yang hendak diteliti adalah, bagaimana media melakukan konstruksi realitas otonomi daerah dan bagaimana frame pemberitaan isu otonomi daerah dari media yang di teliti, serta melihat hubungan media sebagai agen dengan struktur. Hasil dari interaksi tersebut bisa dilihat dari isi pemberitaan media. Isi berita media dalam penelitian ini dilihat sebagai hasil atau produk dari proses strukturasi yang melibatkan media dan struktur, yang kemudian menjadi kontruksi realitas otonomi daerah. Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat saja dijawab dengan pisau analisis, konstruksi realitas dan strukturasi. Dari sisi teori strukturasi, dalam menerangkan pemberitaan yang terjadi pada tahun 2012 dan tahun 2013 mengenai otonomi daerah akan dapat dipotret interaksi antara media sebagai agen dengan struktur yang melingkupi media tersebut, yang kemudian mengkonstruksikan berita-berita mengenai otonomi daerah. 2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian Setelah membicarakan teori, mengenai konstruksi realitas, teori pemerintahan lokal, dan teori strukturasi, dapat ditarik suatu benang merah keterkaitan antara berbagai teori tersebut untuk menjadi kerangka penelitian seperti di bawah ini. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 58 Gambar I Kerangka Pemikiran Penelitian Structuration Theory (agency/media) Konsruksi Realitas Otonomi Daerah Framing (Frame Building, Frame Contestation) Local Government Theory Gambar II Gambar II Keterkaitan Dalam Kerangka Konseptual Structuration Theory (agency/media) Local Government Theory Media Framing Konstruksi Realitas Otonomi Daerah Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 59 Penelitian ini berangkat dari argumentasi bahwa media ketika menyiarkan berita terjadi proses interaksi antara media sebagai agen dengan struktur. Media sebagai agen mempunyai peran dalam mengubah struktur dari sentralisasi ke desentralisasi. Dalam menyiarkan berita media melakukan pembingkaian berita (framing). Dalam proses melakukan pembingkaian ini media dan struktur saling berinteraksi, saling memengaruhi secara timbal balik. Relasi antara media dan struktur dilihat saling memengaruhi, berinteraksi satu sama lain. Hasil dari interaksi tersebut bisa dilihat dari isi pemberitaan media. Isi berita media dalam penelitian ini dilihat sebagai hasil atau produk dari proses strukturasi yang melibatkan media dan struktur, yang kemudian menjadi kontruksi realitas otonomi daerah. Peran dari teori pemerintahan lokal (local goverment theory) adalah untuk memahami perubahan dari struktur sentralisasi ke desentralisasi. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini pada tahap pertama adalah melakukan penelusuran dan identifikasi berbagai isu-isu yang menonjol (salience issue) yang terkait dengan isu otonomi daerah pada tiga media yang diteliti tahap pertama ini pada level mikro. Pada tahap kedua peneliti akan menelusuri proses produksi pemberitaan yang berlangsung dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan pemimpin redaksi tiga harian yang diteliti. Untuk mendapatkan gambaran tentang framing in the newsroom, tahap kedua ini berada dalam level meso. Pada tahap ketiga dilakukan analisis berdasarkan teori strukturasi untuk melihat saling keterkaitan (interplay) antar aktor dan struktur, dimana media sebagai agen mempunyai peran dalam mengubah struktur dari sentralisasi ke desentralisasi, disinilah peran dari teori pemerintahan lokal (local goverment theory) untuk membantu memahami perubahan dari struktur sentralisasi ke desentralisasi. 2.7. Sistematika Penulisan Studi ini berusaha menjelaskan frame pemberitaan media (dalam hal ini Kompas, Jurnal Nasional, dan Kedaulatan Rakyat) ketika meliput isu otonomi daerah. Dari kerangka studi framing yang dibuat oleh Priest (2010), studi ini lebih memusatkan perhatian pada frame building (frame yang muncul dan proses terbentuknya frame). Studi tidak akan melihat bagaimana efek frame media terhadap khalayak (frame setting). Seperti telah disinggung di atas, studi dalam kategori frame building bisa dibagi ke dalam Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 60 dua kategori yakni bingkai kontestasi (frame contestation) dan proses atau faktor yang mempengaruhi terbentuknya frame. Bab I naskah disertasi ini akan di mulai dengan pendahuluan, kemudian di lanjutkan dengan Bab II yang berisi kerangka teori, Bab III tentang Metodologi Penelitian, dan Bab IV naskah disertasi akan menjelaskan mengenai frame building isu otonomi daerah dalam pemberitaan media, sementara Bab V akan menguraikan frame isu otonomi daerah pada tiga media yang diteliti, Bab VI akan membicarakan proses strukturasi isu otonomi daerah, dan di akhiri Bab VII Penutup Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 61 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma dan Perspektif Penelitian Ilmuwan sosial seperti Neuman (2006:81) dalam bukunya Social Research Methods terkadang memberi pengertian paradigma disamakan dengan perspektif atau pendekatan. Secara garis besar menurut Neuman (2006:79), dalam tradisi penelitian sosial terdapat tiga paradigma atau perspektif , yaitu, pertama perspektif positivistik, kedua perspektif interpretif, dan ketiga perspektif kritis, akar perspektif positivistik adalah pemikiran dari seorang sosiolog Perancis Agust Comte (1798-1857), yang kemudian menyebar dan dikembangkan oleh beberapa ilmuan sosiologi seperti Emilie Durkheim, John Stuart Mill, Ferdinand Tonnies. Perspektif positivistik mempunyai hubungan yang kuat dengan teori sosial seperti struktural-fungsional dan pilihan rasional. Para peneliti dengan perspektif positivistik biasanya akan menggunakan data kuantitatif. Para pengusung perspektif ini dalam penelitian memakai metode eksperimen, survey, dan statistik. Para peneliti dengan perspektif positivistik berusaha mencari suatu kepastian yang objektif dengan cara melakukan tes terhadap hipotesis dan menganalisis angka-angka dari penelitian mereka. Karena penelitian perspektif positivistik ini dalam mencari objektivitas dengan mengandalkan pengukuran dengan angka-angka, para kritisi mengatakan perspektif positivistik ini menghilangkan esensi dari manusia dan tidak dapat mengambarkan secara aktual kehidupan sebenarnya. Akar pemikiran perspektif interpretif menurut Neuman (2006) dapat dilacak dari sosiolog Jerman Max Weber dan Wilhem Dilthey, yang pemikirannya di bukukan pada tahun 1883 yang berjudul Introduction to the Human Sciences. Ada beberapa jenis penelitian dengan perspektif interpretif ini, antara lain hermeneutic, constructionism, ethnomethodology, cognitive, phenomenological, idealist. Dalam perspektif interpretif biasanya peneliti (researcher) melakukan observasi partisipatif disertai riset lapangan. Teknik riset perspektif ini mengharuskan researcher meluangkan banyak waktu dan melakukan kontak langsung dengan informan yang akan diteliti. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 62 Perbedaan peneliti perspektif interpretif dengan peneliti perspektif positivistik adalah sebagai berikut: seorang peneliti perspektif positivistik akan berusaha secara tepat melakukan pengukuran dengan metode kuantitatif dan mengunakan statistik sedangkan peneliti dengan perspektif interpretif akan hidup beberapa tahun dengan obyek peneltiannya, dan berusaha memahami secara mendalam bagaimana objek penelitian tersebut menciptakan makna kehidupan mereka sehari-hari. Karena penelitian dengan perspektif interpretif lebih fokus kepada bagaimana masyarakat berinteraksi dan dapat hidup bersama dalam suatu wilayah, metode yang mereka gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Perspektif critical sosial science atau perspektif kritis menurut Neuman (2006) mempunyai akar pemikiran dari Karl Marx sampai Herbert Marcuse, dari Sigmund Freud sampai Eric Formm. Perspektif kritis dikembangkan oleh Mazhab Frankfrut pada tahun 1930-an. Menurut Neuman (2006), perspektif kritis menggugat perspektif positivistik sebagai perspektif yang terlalu sempit, anti demokrasi, dan tidak berperikemanusiaan. Selain itu, perspektif kritis juga berpendapat perspektif positivistik gagal untuk mengerti dan menangkap esensi makna manusia secara nyata. Lebih lanjut Neuman (2006) berpendapat bahwa perspektif kritis juga melancarkan kritik kepada perspektif interpretif. Menurut pengusung perspektif kritis, pengusung perspektif interpretif terlalu subjektif dan relativis. Selain itu, perspektif kritis memandang perspektif interpretif lebih fokus pada tingkat lokal, mikro, dan melihat masyarakat lebih penting daripada kondisi aktual yang sesungguhnya sehingga mengabaikan konteks yang lebih luas. Perspektif kritis mendefinisikan ilmu sosial sebagai proses kritis penyelidikan yang mampu menyingkap ilusi di permukaan untuk mengungkap struktur nyata dunia, untuk membantu perubahan kondisi masyarakat, dan membangun dunia yang lebih baik bagi masyarakat. Penelitian ranah komunikasi juga berkiblat pada tiga perspektif di atas. Para pengusung perspektif positivistik berpendapat bahwa kaidah-kaidah tata bahasa sintaksis dan semantik merupakan hal yang utama. Manusia atau individu tidak perlu menyingkap makna lain yang subjektif dalam suatu teks, pengalaman empiris lebih diutamakan, sehingga dalam perspektif ini suatu analisis wacana lebih difokuskan untuk memotret Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 63 atau menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa dan pengertian bersama. Hal ini kemudian menjadikan pengukuran wacana dilakukan dengan parameter kebenaran atau ketidakbenaran dalam kaidah sintaksis dan semantik. Perspektif interpretif berusaha mengoreksi pandangan perspektif positivistik. Menurut perspektif ini subjek dan objek bahasa tidak dapat dipisahkan seperti pandangan kaum positivistik. Bahasa tidak hanya dilihat untuk memahami realitas objektif saja, tetapi lebih dari itu dalam perspektif interpretif subjek merupakan faktor utama karena subjek melakukan kontrol dalam setiap wacana sehingga yang dikerjakan dalam analisis wacana perspektif interpretif adalah suatu analisis yang mengungkap atau membongkar maksud dari makna yang tersembunyi dari subjek yang melontarkan suatu wacana atau pernyataan. Perspektif kritis melakukan koreksi terhadap perspektif interpretif, para pengusung perspektif ini melihat bahwa ada masalah yang jauh lebih mendasar daripada yang diangkat oleh perspektif positivistik maupun perspektif interpretif. Jika dalam perspektif positivistik para pengusungnya sibuk dengan kaidah-kaidah empirik dan melupakan makna subjektif, perspektif interpretif lebih mengutamakan subjek sebagai faktor utama sehingga perlu membongkar maksud tersembunyi dari subjek, para pengusung perspektif kritis melihat yang lebih penting adalah membongkar proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi, baik secara historis maupun institusional. Penelitian ini akan menggunakan perspektif interpretif. Perspektif ini dipilih karena menurut Neuman (2006:88) teori konstruksi sosial merupakan ranah dalam perspektif interpretif. Dalam kajian ilmu sosial, perspektif interpretif berhubungan dengan hermeneutics suatu teori tentang meaning (arti) yang muncul pada abad sembilan belas. Terminologi ini muncul dari dewa dalam mitologi Yunani yang bernama Hermes. Hermeneutika biasanya digunakan dalam kajian ilmu-ilmu sosial antara lain filsafat, ilmu agama, bahasa, sejarah dan sebagainya. Dalam kajian hermenetika ini teks akan diteliti secara rinci dan detail untuk menemukan makna yang tersirat di dalam suatu teks. Setiap pembaca teks tersebut akan membawa makna yang bebeda-beda ketika mempelajari teks seorang peneliti akan mencoba memahami dan mendapatkan Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 64 pemahaman yang mendalam tentang bagaimana setiap bagian dari teks itu saling berhubungan. Lebih lanjut menurut Neuman (2006:88) ada beberapa ragam mazhab dalam perspektif interpretif, yaitu hermeneutika, konstruksi sosial, ethnometodologi, cognitive, idealist, fenomenologi, subjectivist, dan sosiologi kualitatif. Sejarah perspektif interpretif ini bermula pada tahun 1920-an di Departemen Sosiologi Universitas Chicago. Dalam riset interpretif biasanya dilakukan dengan cara penelitian lapangan dan pengamatan partisipatif. Teknik ini mengharuskan peneliti untuk langsung bertemu dengan informannya dan ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain cara di atas dalam perspektif interpretif ini peneliti melakukan analisa terhadap transkrip percakapan atau studi dari rekaman video mengenai perilaku individu dengan sangat detail. Apa yang dilakukan oleh peneliti dengan perspektif interpretif tentunya sangat berbeda dengan peneliti dengan perspektif positivistik. Peneliti dengan perspektif positivistik akan secara serius dan ketat mengukur secara kuantitatif dengan menggunakan statistik, sedangkan peneliti interpretif, dalam memahami masyarakat menggunakan cara hidup beberapa tahun dengan masyarakat yang ditelitinya sehingga para peneliti interpretif akan sangat mengetahui, memahami keseharian masyarakat yang mereka teliti, dan makna-makna yang ada dalam kehidupan masyarakat yang diteliti. Perspektif interpretif menurut Neuman adalah (2006:88) suatu analisis sosial yang sistematis melalui pengamatan langsung secara rinci kepada masyarakat dalam rangka memahami bagaimana masyarakat menciptakan dan memelihara kehidupan sosial mereka. Perspektif interpretif telah lama ada dan selalu berseberangan dengan perspektif positivistik. Beberapa pengusung perspektif posivistik berpendapat bahwa perspektif interpretif ini tidak terlalu ilmiah. Secara garis besar Neuman (2006:94) memberikan kesimpulan mengenai perspektif interpretif ini. 1. The Purpose of social science is to understand social meaning in context. 2. A construsionist view that reality is socially created. 3. Humans are interacting social beings who create and reinforce shared meaning. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 65 4. A voluntaristic stance is taken regarding human agency. 5. Scientific knowledge is different from but no better than others from. 6. Explanations are idigraphic and advance via inductive reasoning. 7. Explanations are verified using the postulate of adequacy with people being studied. 8. Social scientific evidence is contingent, context specific and often requires bracketing. 9. A practical orientation is taken toward knowledge that is used from a transcendent perspective. 10. Social science should be realistic regarding value positions. Sesuai dengan perspektif interpretif di atas maka dalam disertasi ini ketika melakukan analisis teks media akan digunakan pendekatan framing. Dengan analisa framing diharapkan dapat diungkap dan dibongkar makna yang tersembunyi pada teks yang diteliti, yaitu teks mengenai otonomi daerah di harian Kompas, harian Jurnal Nasional, dan harian Kedaulatan Rakyat. 3.2. Harian Kompas, Harian Jurnal Nasional dan Harian Kedaulatan Rakyat Harian Kompas terbit secara nasional dan merupakan harian yang mempunyai tiras besar, sedangkan harian Jurnal Nasional adalah harian yang diterbitkan oleh PT Media Nusa Prada pada tahun 1 Juni 2006 yang terbit secara nasional pada awal berdiri tirasnya mencapai sekitar 50.000 eksemplar. Kedaulatan Rakyat adalah harian lokal yang terbit di Daerah Istimewa Yogyakarta yang mempunyai sejarah panjang bahkan diklaim sebagai koran paling awal yang diterbitkan setelah kemerdekaan Indonesia. Harian Kedaulatan Rakyat terbit pertama kali tanggal 27 September 1945. Sejak awal mula berdiri harian Kompas berafiliasi pada suatu kelompok kepentingan. Di kemudian hari manajemen Kompas berusaha untuk menjadi harian mandiri dan profesional lepas dari politik aliran. Hasilnya Kompas menjadi salah satu pemain besar dala industri media cetak di Indonesia, sedangkan harian Jurnal Nasional ada indikasi mempunyai kedekatan dengan Partai Demokrat. Indikasi tersebut terlihat antara lain dengan penggagas harian Jurnal Nasional ini adalah Susilo Bambang Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 66 Yudhoyono, pendiri Partai Demokrat sekaligus Presiden Republik Indonesia ke enam (6). Selain indikasi di atas kedekatan ini dapat dilihat pada komposisi pengurus harian Jurnal Nasional tahun 2006-2009 dimana Ramadhan Pohan menjadi Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional, pada sisi yang lain dalam struktur Partai Demokrat Ramadhan Pohan menjabat sebagai Ketua Bidang Pusat Informasi Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Kedaulatan Rakyat adalah harian lokal di Yogyakarta yang pada awal pendiriannya tidak terlepas dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Menurut Ibnu Hamad (2002:184) harian Kedaulatan Rakyat (KR) karena letaknya di Yogyakarta, mempunyai kedekatan dengan Kraton dan Sri Sultan sehingga Kedaulatan Rakyat banyak memberikan liputan yang positif kepada Partai Golkar karena Sri Sultan merupakan salah satu pengurus senior di Golkar. Walaupun begitu, lanjut Ibnu Hamad (2002:185), Kedaulatan Rakyat tetap bersikap baik kepada semua parpol di Yogyakarta. Sebuah media dalam menyiarkan berita idealnya memang tidak boleh berpihak. Media harus mampu berdiri dalam wilayah netral. Namun hingga kini hal tersebut sangatlah sulit dilakukan karena selalu ada saja kekuatan baik dari di luar maupun dalam media yang dapat berpengaruh terhadap pemberitaan. Proses ini dinamakan gate keeping atau proses seleksi informasi. Proses ini dipandu oleh beberapa perangkat, yaitu pertama politik media yang dirumuskan dalam kebijakan redaksional. Kedua adalah respon atau tuntutan pasar. Kebijakan redaksional merupakan faktor internal media, sedang tuntutan pasar merupakan faktor eksternal media. Kedua faktor tersebut tentu akan berimbas kepada tiga media yang hendak dibahas dalam disertasi ini. Pemilihan ketiga media ini didasari oleh uraian di atas. Media massa dalam hal ini Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaultan Rakyat tentu mempunyai kebijakan redaksional tersendiri mengenai isu-isu otonomi daerah sepanjang tahun 2012 dan tahun 2013. Ketiga media tersebut jika dilihat dari latar belakang kepemilikan media dan pasar media mempunyai ciri khas masing-masing. Kompas merupakan media nasional yang berpusat di Jakarta, Kompas didirikan oleh para tokoh-tokoh agama Katolik dan karena itu nama harian Kompas yang sering diplesetkan namanya jadi Komando Pastur, mempunyai pasar yang luas dan jumlah tiras yang besar. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 67 Harian Jurnal Nasional mempunyai latar belakang kedekatan dengan Partai Demokrat yang merupakan partai pengusung Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan Presiden Republik Indonesia ke 6 (enam). Koran Jurnal Nasional ini diedarkan ke seluruh Indonesia dengan tiras sekitar 50.000 eksemplar Harian Kedaulatan Rakyat yang tumbuh dan besar di Yogyakarta merupakan salah satu koran daerah yang tertua dan mapan. Dalam kepemilikan harian Kedaulatan Rakyat sejak awal tidak terlihat diwarnai salah satu agama. Namun Kedaulatan Rakyat karena berada di Yogyakarta tentunya sangat diwarnai budaya Yogyakarta yang sangat menjunjung tinggi Kraton dan Sultan. Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya dan pelajar banyak universitas berada di Yogyakarta, para intelektual dari Yogyakarta biasa mewarnai pertarungan ide-ide tentang otonomi daerah antara lain: Amien Rais, Mochtar Masoed, Purwo Santoso, Pratikno, Cornelis Lay, dan sebagainya. Berikut ini akan dikupas profil ketiga media yang akan diteliti. a. Kompas Harian Kompas pertama kali terbit tanggal 28 Juni 1965 di Jakarta pada saat beberapa media massa yang anti Sukarno dan anti PKI di breidel oleh pemerintah. Kompas didirikan oleh orang-orang yang berasal dari Partai Katolik dan organisasi pendukungnya. Tawaran untuk menerbitkan koran harian datang dari Frans Seda dan I.J. Kasimo, yang merupakan tokoh partai Katolik kepada Jakob Oetama dan P.K. Ojong (Auwjong Peng Koen). Kompas didirikan dengan suatu misi berbau politik menandingi pemberitaan koran-koran PKI yang begitu dominan karena pada saat itu tiap partai politik memiliki surat kabar sendiri yang berfungsi sebagai corong partai. Selain mempunyai kedekatan sejarah dengan Partai Katolik seperti penelusuran diatas, menurut Parera (2007) berdirinya harian Kompas dianalogikan dengan ”fabian society made in Indonesia”. Penggambaran jiwa dari harian Kompas dapat disamakan dengan para cedekiawan dan aktivis sosial di Inggris yang anti komunis, tetapi pro sosialisme-demokrat (fabian society). Jadi jiwa harian Kompas adalah perwujudan dari gerakan sosialisme kalangan profesional. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 68 Perintis harian Kompas P.K. Ojong, Ojong sudah dikenal sebagai jurnalis profesional melalui tulisan-tulisan di mingguan Star Weekly yang sudah kena breidel pada awal tahun 1961, sedangkan Jakob Oetama mengawali karier jurnalistiknya melalui penerbit Katolik Penabur 1955. Keduanya bersama-sama menerbitkan majalah bulanan Intisari sebagai cikal bakal kelompok Kompas Gramedia. Sebenarnya Jakob Oetama dan P.K. Ojong merasa enggan ketika mereka ditawari untuk medirikan Kompas oleh Frans Seda dan I.J. Kasimo, Menurut Oetama, lingkungan politik, ekonomi, dan infrastruktur pada saat itu tidak menunjang, namun Frans Seda melihat ada sebuah urgensi yang jauh lebih luas ketimbang halangan di atas karena pada saat itu sejumlah koran yang dikelompokkan dalam BPS dan anti komunis dibreidel serentak (Jakoeb Oetama, 1992:18) Harian ini semula akan diberi nama Gagasan Baru, namun nama tersebut ditolak karena kelewat bombastis, kemudian nama itu diganti harian Bentara Rakyat, ini sesuai dengan nama penerbitan Katolik yang telah ada. Sehari sebelum terbit Frans Seda pada tanggal 23 Juni 1965 menghadap Bung Karno melaporkan rencana penerbitan tersebut, Bung Karno memberi usul supaya harian tersebut diberi nama Kompas agar memberi petunjuk pendapat baru di Indonesia. Namun nama penerbitnya tetap yayasan Bentara Rakyat (Ari Zulkifli, 1996:104). Semboyan koran ini, yaitu “Amanat Hati Nurani Rakyat”, ada dua maksud didalam semboyan ini yaitu : pertama bahwa tidak semua yang menggunakan kata rakyat adalah komunis, kedua untuk menandingi PKI yang selalu menggunakan kata “rakyat” pada saat itu. Duet Ojong dan Jakob ini merupakan kombinasi yang menarik karena Ojong adalah seorang peranakan China miskin dari Bukittinggi, dan merupakan jurnalis profesional yang melihat sebuah realita dan menyampaikannya apa adanya, maka ditangan Ojong Kompas tumbuh dan berkembang menjadi koran yang sering bersebrangan pendapat dengan pemerintah. Kritikan Ojong dalam rubrik Kompasiana yang diasuhnya terlihat tajam, kuat, pendek, dan terus terang. Keberanian Kompas rupanya harus ditebus dengan dibreidelnya koran ini dua kali, yaitu pada tahun 1974 dan 1978. Pembreidelan tersebut tidak berlangsung lama dan Kompas tetap boleh terbit setelah menandatangani dua surat Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 69 yang pada pokoknya berisi pengakuan kesalahan dan permintaan maaf yang ditujukan pada Kopkamtib dan Presiden Suharto (Arie Zulkifli, 1996). Jakob Oetama dilahirkan di Borobudur Magelang, Jawa Tengah, dan dibesarkan di Yogyakarta. Menurut Arie Zulkifli (1996:107), budaya Jawa yang tidak suka akan adanya konfrontasi secara langsung rupanya sangat memengaruhi filosofi hidup Jakob Oetama. Hal ini tampak pada pendapatnya “bahwa sebagai orang Jawa, kita tidak boleh menyakiti orang lain dan berkonfrontasi, melainkan harus mencapai kompromi. Untuk bertindak lebih lanjut kadang-kadang harus menahan kritik-mundur selangkah untuk kemudian maju lagi, seorang Jawa tidak boleh mengatakan tidak, yang boleh dikatakan adalah ya begitu juga bisa, tapi mungkin bisa dengan cara lain”. Sehingga selepas kepergian Ojong tahun1980, Kompas yang dinahkodai Jakob Oetama menjadi lebih konservatif dan berhati-hati dalam menurunkan berita-beritanya. Pada awal tahun 70-an Kompas mulai melepaskan diri dari Partai Katolik dan mulai menjadi surat kabar umum, dengan tegas Kompas membantah tuduhan harian Pedoman bahwa Kompas adalah “kelompok istimewa dari barisan Katolik1” (Tjipta Lesmana, 1985). Setelah lepas dari Partai Katolik, harian Kompas menjadi koran nasional yang beroplah besar pada awal 70-an tiras yang dicapai 75.000 eksemplar. Mulai tahun 80-an, ketika industrialisasi pers mulai masuk, Kompas menyambutnya dengan bergairah, karena menurut Jakob Oetama “Surat kabar yang merugi tak dapat memancarkan sinar ke sudut-sudut yang gelap, surat kabar yang gulung tikar tidak dapat membela rakyat”. Semenjak itu Kelompok Kompas Gramedia di bawah nakoda Jakob Oetama melakukan berbagai macam diversifikasi dan investasi usaha. Tercatat lebih dari 38 perusahaan mulai dari usaha yang bersentuhan dengan bidang media seperti percetakan, penerbitan sampai yang tidak ada hubungan sama sekali dengan media, yaitu perhotelan, supermarket, berada di bawah bendera kelompok Kompas-Gramedia. 1 Mengenai tuduhan banyak pihak bahwa harian Kompas adalah bagian istimewa dari barisan Katolik juga disanggah oleh Bambang Sigap Sumantri wakil editor Kompas. Dalam wawancara dengan Bambang Sigap Sumantri dijelaskan bahwa penggagas awal berdirnya koran Kompas adalah Jenderal Achmad Yani untuk mengimbangi sayap media Partai Komunis Indonesia pada tahun 1964-65, kemudian Jenderal Achmad Yani mengajak Frans Seda, Kasimo, Ojong, Jacob Oetama untuk mendirikan harian Kompas. Menurut Bambang Sigap Sumantri, sebenarnya jika mau ditulis di box halaman 15 dalam redaksi harian Kompas banyak anggota redaksi yang bergelar haji daripada yang non haji. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 70 Harian Kompas sendiri sebagai media massa semenjak diberlakukanya SIUPP pada tahun 1985 berdiri berdasarkan SK Menpen No 013/SK/menpen/SIUUP/A.7/1985 telah menjadi raksasa media dengan tiras di atas 500.000 eksemplar ditambah ekstra 100.000 eksemplar untuk edisi minggu. b. Jurnal Nasional Harian Jurnal Nasional dalam pendirianya mempunyai kedekatan dengan Partai Demokrat, partai yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Indonesia. Kedekatan dengan Partai Demokrat dapat dilihat dari beberapa hal antara lain pada komposisi pengurus koran Jurnal Nasional tahun 2006-2009. Ramadhan Pohan, Pemimpin Redaksi koran Jurnal Nasional, dalam struktur Partai Demokrat Ramadhan Pohan menjabat sebagai Ketua Bidang Pusat Informasi Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat. Selain itu, pada ulang tahun ke empat harian koran Jurnal Nasional Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang dan memberi sambutan. Tentu menjadi sangat spesial sebuah koran yang baru berumur empat tahun mendapatkan tamu istimewa, yaitu Kepala Negara pada hari ulang tahun koran tersebut. Harian Jurnal Nasional terbit sejak 1 Juni 2006, mempunyai tiras sekitar 50.000 eksemplar dan 65% diedarkan di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, sisanya diedarkan ke berbagai Propinsi dan Kota di seluruh Indonesia. Koran Jurnal Nasional terbit dalam dua versi, yaitu versi cetak dan versi elektronik (online). Dalam pengembangannya koran Jurnal Nasional juga menerbitkan koran lokal yaitu Jurnal Bogor untuk melayani informasi warga Kota Bogor dan Jurnal Depok untuk melayani warga Kota Depok. Selain itu diterbitkan pula sisipan khusus tematik seperti Top Soccer untuk pengemar bola, Telematika untuk penggemar telematika, Muamalah untuk memberi informasi tentang perbankan dan syariah, Frofit suplemen bisnis dan korporasi. c. Kedaulatan Rakyat Harian Kedaulatan Rakyat didirikan oleh Haji Muhammad Samawi dan Haji Soemadi Martono Wonohito di Yogyakarta. Sejarah kelahiran Kedaulatan Rakyat tidak terlepas dari 2 koran lokal berbahasa jawa, tetapi sudah ditulis dengan huruf latin yaitu Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 71 Sedya Tama dan Sinar Matahari, koran Sedya Tama lahir pada tahun 1930 diterbitkan oleh Mardi Moelja dengan pimpinan koran bernama Bramono (Hamad: 2002). Pada saat Jepang menduduki Yogyakarta koran Sedya Tama diganti namanya oleh Jepang menjadi Sinar Matahari, setelah Jepang pergi dari Yogyakarta koran Sinar Matahari diganti nama menjadi Kedaulatan Rakyat oleh Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta yaitu, Mr Soedarisman Poerwokoesoemo. Menurut Hamad (2002), Kedaulatan Rakyat sebelum mapan dan mengusai pasar media di Yogyakarta seperti pada saat ini, dalam sejarahnya Kedaulatan Rakyat pernah juga mengalami masa-masa suram. Ketika Belanda menjalankan agresinya ke Yogyakarta koran Kedaulatan Rakyat sempat berhenti terbit karena kantor Kedaulatan Rakyat dirusak oleh Belanda, pada 29 Juni 1949 Kedaulatan Rakyat terbit kembali. Pada tanggal 2 Oktober 1950 Kedaulatan Rakyat mulai merambah bisnis media profesional ditandai dengan diresmikannya badan usaha NVBP Kedaulatan Rakyat, tahun 1950-1965 adalah tahun-tahun politik. Di mana di dalam Kedaulatan Rakyat mulai dari wartawan sampai pimpinan memiliki beragam ideologi, yang hampir saja membawa Kedaulatan Rakyat kedalam haluan salah satu aliran politik tertentu, namun itu tidak terjadi. Setelah peristiwa PKI selesai, Pemerintah Orde Baru membuat suatu aturan bahwa setiap koran harus bernaung dalam Parpol, Golkar, atau Pemerintah. Dalam keadaan seperti ini Kedaulatan Rakyat mengubah nama koran menjadi koran Dwikora edisi DIY dan bernaung di bawah pemerintah dalam hal ini Departemen Penerangan. Pergantian nama ini tidak lama, hanya 59 hari kemudian kembali menjadi Kedaulatan Rakyat lagi. Harian Kedaulatan Rakyat pernah juga mengalami gonjang-ganjing pada sisi manajerial pada tanggal 4 Oktober 1989. Terjadi eksodus sejumlah wartawan Kedaulatan Rakyat ke media lain yang menjadi kompetitor Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Untuk menanggulangi masalah ini Kedaulatan Rakyat kemudian melakukan kerjasama dengan harian Jawa Post. Kerjasama tersebut berupa bantuan dua orang wartawan Jawa Post ditugaskan di harian Kedaulatan Rakyat, sedangkan dalam sisi keuangan Kedaulatan Rakyat meminta bantuan Probosutedjo, salah satu konglomerat adik tiri Presiden Suharto untuk masuk menjadi pembina di PT BP Kedaulatan Rakyat. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 72 Pada saat ini nama harian Kedaulatan Rakyat sudah identik dengan nama Yogyakarta, bahkan masyarakat Yogyakarta jika bertanya sudah baca koran ? itu artinya apakah sudah baca koran Kedaulatan Rakyat, saat ini Kedaulatan Rakyat mempunyai tiras lebih dari 100.000 eksemplar, dan terbit dengan 24 halaman. Di bawah bendara PT BP Kedaulatan Rakyat Group, media ini kemudian berkembang dan memiliki beberapa media selain harian Kedaulatan Rakyat, media itu antara lain Koran Merapi, Koran Minggu Pagi, Majalah Ultra, KR Radio FM, dan Kaerindo Wisata Tour dan Travel. Ketiga teks media di atas akan dibedah dengan menggunakan pisau analisis framing¸ dengan harapan dapat mengungkap atau membongkar maksud dari makna yang tersembunyi dari teks otonomi daerah dari ketiga koran di atas dan bagaimana ketiga koran tersebut melakukan konstruksi realitas terhadap otonomi daerah pada tahun 2012 dan 2013. 1.3.Analisis Teks Ide framing pertama kali dilontarkan oleh Beteson pada tahun 1955 yang kemudian diperkenalkan oleh Goffman (1972) dalam studi sosiologi budaya. Ide framing ini kemudian menjadi ide pokok dalam studi observasi partisipan tentang berita (Tuchman 1978, Fisman 1980, Gamson 1984, Gamson dan Modigliani 1989). Meskipun para ahli tersebut mempunyai pendangan yang berbeda, namun penekanan bagian framing secara sosial memberikan pengertian atas apa yang oleh Goffman disebut sebagai “landasan perilaku” (Gaye Tuchman, dalam Jensen dan Kowski, 1991:92). Pada saat itu frame dilihat sebagai struktur konseptual kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik kebijakan dan wacana serta menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada tahun 1974 yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas. Dalam analisis framing wacana berita dipandang sebagai suatu arena pertarungan simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan. Hal itu karena masing-masing pihak menyajikan perspektif untuk memberikan pemaknaan terhadap suatu persoalan agar dapat diterima khalayak. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 73 Dalam kajian komunikasi pada saat ini framing dipakai untuk membedah ideologi media pada saat mengkonstruksi fakta. Dengan menggunakan analisis ini, akan terlihat strategi, seleksi, penonjolan, dan bertautnya fakta dalam suatu berita, sehingga berita tersebut akan lebih bermakna, menarik, lebih diingat, sehingga dapat menggiring interpretasi khalayak pembaca berita tersebut. Media menjadi arena kritis dari pertarungan dan gerakan sosial untuk menempatkan media pada suatu peran yang sangat menentukan terhadap arti penting suatu isu yang sedang dibicarakan khalayak. Namun, adanya peningkatan perhatian ini bukanlah suatu gerakan sosial, tetapi lebih pada suatu penafsiran yang menampilkan pandangan atas realitas agar mendapat dukungan dari banyak orang (Charlotte Yan, 1999:23) Esensinya framing adalah upaya media untuk menonjolkan pemaknaan atau penafsiran mereka terhadap suatu peristiwa. Karena peristiwa atau realitas yang disajikan secara menonjol memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk diperhatikan khalayak, untuk melakukan penonjolan pemaknaan tersebut, wartawan biasanya menggunakan sejumlah strategi misalnya dengan mengabaikan aspek tertentu dari isu yang diangkat, menempatkan secara mencolok suatu isu, menggunakan tabel tertentu untuk menggambarkan suatu peristiwa, atau melengkapi penyajian dengan foto-foto. Gitlin (1980) mendefinisikan frame sebagai seleksi, penegasan, dan ekslusi yang ketat. Gitlin menghubungkan konsep tersebut dengan proses memproduksi wacana berita dengan mengatakan frame memungkinkan jurnalis memproses sejumlah besar informasi secara tepat dan rutin sekaligus mengemas informasi demi penyiaran yang efisien kepada khalayak, sedangkan menurut Entman (1993) Framing essentially involves selection and salience. To frame is to select some aspects of a perceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the item described. Dari pendapat Entman di atas dapat dilihat bahwa fungsi frames adalah mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral, dan Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 74 menawarkan penyelesaian masalah dengan tujuan memberikan penekanan tertentu terhadap apa yang diwacanakan. Entman dan Gitlin bukan satu atau dua ahli yang memberikan definisi tentang framing. Ada beberapa ahli lain yang membuat definisi tentang framing. Berikut akan dipaparkan beberapa konsep framing. Tabel III Beberapa Konsep Framing No Sumber Konsep 1 Goffman Frame, Primary Frameworks, Frame Analysis, Front Stage, Back Stage. 2 Snow, et all Four Frame alignment process: frame bridging, frame amplification, frame extension, frame transformation. 3 Iyengar Episodic Frame : individual responsibility Thematic Frame: social/collective responsibility. 4 Edelman Constestable categories. 5 Frame Work Institute The six element of frame: context, numbers, messengers, visuals, metaphors or models, tone. 6 Hallahan The Seven Models of Framing Process/Strategy: situasion, attributes, choice, actions, issues, responsibility and news framing. 7 8 Robert N. Entman Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan dari aspek lain. Entman juga menyertakan penempatan informasiinformasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain. William A. Gamson dan Modigliani Framing adalah cara bercerita atau gagasan ide-ide yang teroganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Dari dua pendapat ini dapat dilihat bahwa framing adalah proses melakukan pengemasan (package) suatu berita. Kemasan ini semacam suatu struktur pemahaman yang digunakan oleh individu untuk melakukan konstruksi makna suatu pesan yang akan disampaikan dan juga untuk melakukan penafsiran terhadap makna-makna pesan yang diterima. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 75 9 Tod Gitlin Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Hal itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas. 10 David Esnow dan Robert Benford Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi relevan, frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu. 11 Amy Binder Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatakan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir peristiwa kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa. 12 Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki Strategi konstruksi dan memproses berita, perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita. 13 Tankard et all Eleven Frame Mechanism : headlines, subheas, photos, photo captions, leads, source selection, quotes selection, pull quotes, logos, statistic/chart, concluding statetment and paragraphs. Diolah dari berbagai sumber antara lain: Reese, Gandy, Grant, Eriyanto, Fahmi Dari berbagai definisi tentang framing di atas, dapat dilihat alurnya bahwa framing merupakan cara pandang media ketika membingkai suatu realitas sebagai bentuk dari proses mengkonstruksikan realitas yang ada dan disesuaikan dengan ideologi dan tujuan dari media tersebut. Dalam framing pendekatan yang digunakan mengedepankan perspektif multidisipliner dalam menganalisis fenomena dan aktivitas komunikasi. Lebih lanjut Scheufele (dalam Bryant, 2009: 22) membagi studi framing dalam dua kelompok. Pertama, studi dalam kategori pembentukan frame (frame building). Pertanyaan dalam kategori ini berkaitan dengan bagaimana suatu bingkai tertentu bisa diadopsi dan menjadi wacana yang muncul di benak jurnalis dan masyarakat. Kedua, Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 76 studi dalam ketegori frame setting, yakni bagaimana frame media memberi dampak kepada khalayak (Priest, 2010: 310). Skema IV Frame Building dan Frame Setting Frame Building Framing in the newsroom: (a) Internal factor (editorial policies, news, values) (b) External factors Frame Setting Frames in the news (a) Issue specific frames (b) Generic frames Framing effects (a) Information processing effects (b) Attitudional effects (c) Behavioral effects Sumber: Priest (2010) 3.3.1 Frame Building Studi frame building berhubungan dengan bingkai (frame) media seperti apa yang muncul dan bagaimana proses terbentuknya frame di media. Frame building sendiri bisa dibagi kedalam dua aspek. Pertama, bingkai (frame) apa yang menonjol dalam pemberitaan media (frame contestation). Sejumlah ahli seperti Scheufele (2004); Scheufele (1999); D’Angelo (2000) membagi frame yang muncul dalam pemberitaan media ini ke dalam dua bentuk, yakni frame khusus yang berkenaan dengan isu tertentu (issue specific frames) dan framing umum (generic frame). Frame khusus (issue specific frame) dipergunakan oleh media ketika meliput isu tertentu, sementara frame umum (generic frames) adalah bingkai utama yang dipergunakan oleh media dalam meliput semua isu. Frame khusus dan frame spesifik mempunyai keterkaitan satu sama lain. Media umumnya mempunyai frame utama (core frame). Frame utama tersebut dipergunakan ketika melihat dan meliput isu-isu spesifik sehari-hari. Antara frame utama dan frame spesifik karenanya selalu konsisten (lihat Scheufele dalam Bryant, 2002:22). Sebagai misal, media tertentu mempunyai frame otonomi daerah sebagai suatu kebijakan yang salah. Ketika media tersebut meliput isu-isu spesifik (seperti kasus Pilkada, dinasti Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 77 politik, pemekaran daerah dan sebagainya), media akan mempergunakan frame umumnya tersebut. Sebagai akibatnya, frame media ketika meliput isu spesifik itu akan cenderung negatif. Karena media berpandangan bahwa otonomi daerah sebagai sesuatu yang tidak baik dan kebijakan yang buruk, berbagai isu spesifik akan dinilai dengan menggunakan frame tersebut. Kedua, proses pembentukan frame. Aspek kedua dari studi frame building berkaitan dengan bagaimana proses pembentukan frame, mengapa media tertentu mempunyai frame berbeda dengan media lain. Scheufele (1999) membagi proses pembentukan frame ke dalam dua aspek. (a) Internal. Aspek ini mengacu kepada praktek produksi berita yang mempengaruhi bagaimana jurnalis membingkai berita. Van Dijk (1985) melihat aspek internal ini berkaitan dengan rutinitas media dan standar profesionalitas jurnalis. (b) Eksternal. Aspek ini mengacu kepada kekuatan-kekuatan di luar jurnalis dan media yang ikut memengaruhi proses terbentuknya frame. Menurut Scheufele (1999), aspek eksternal ini bisa berasal dari elit, termasuk kelompok kepentingan, birokrasi pemerintahan, politik atau perusahaan tertentu. Semua kelompok ini secara rutin terlibat dan memiliki potensi mempengaruhi bagaimana sebuah frame itu dibangun oleh jurnalis. Di luar aspek internal dan eksternal tersebut, Scheufele (dalam Bryant, 2009) mengingatkan pentingnya akar budaya bagi proses terbentuknya frame. Bingkai (frame) media adalah representasi dari budaya yang ada dalam masyarakat. Bingkai tidak hanya dikomunikasikan dalam pesan, tetapi juga menyiratkan sebuah peristiwa dalam konteks tertentu. Bingkai berita menjadi semacam referensial bagi masyarakat tentang suatu budaya yang terjadi saat itu. Keberadaan bingkai pada dasarnya mengajak khalayak untuk menerapkan informasi dan makna dimana nilai-nilai suatu budaya berada dalam bingkai berita (Scheufele dalam Bryant, 2000: 23). Menurut Van Gorp (2007), jurnalis bekerja dalam budaya masyarakat, dan karena itu jurnalis secara sadar membangun frame yang disepakati bersama. Wick (dalam Kalbfleisch, 2005:342-344) meringkas aspek internal dan eksternal dalam terbentuknya frame tersebut ke dalam 4 hal. Keempatnya menurut Wick memengaruhi bagaimana frame terbentuk dalam pemberitaan media. (a) Orientasi politik Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 78 dan ekonomi media. Jurnalis dengan orientasi konservatif dan liberal akan mempunyai cara yang berbeda dalam melihat suatu peristiwa dan pada akhirnya frame yang dihasilkan. (b) Praktek dan kendala organisasi. Jurnalis bekerja dalam batasan aturan sebuah organisasi tertentu. Informasi yang rumit dibuat sederhana guna mengakomodasi kepentingan organisasi media. Berita yang muncul dan di sajikan kepada khalayak merupakan serangkaian set nilai-nilai yang sudah disepakati oleh organisasi media. (c) Sistem kepercayaan media. Jurnalis membuat berita dan menjelaskan informasi yang didapatnya berdasarkan sistem kepercayaan yang dimiliki. (d) Teknik menarik khalayak. Tujuan utama dari organisasi media adalah menarik khalayaknya. Organisasi media lebih memilih mencari efek emosional dari sebuah berita di mana menempatkan berita penuh emosi guna memancing emosional khalayak. 3.3.2 Frame Setting Frame setting berkaitan dengan bagaimana frame media memengaruhi khalayak. Pada tingkat yang paling dasar, bingkai (frame) membantu orang mencari tahu suatu isu dan memberi pemahaman tentang isu tersebut. Frame juga berguna bagi seseorang dalam membuat informasi menjadi masuk akal (coomon sense) ketika memproses dan mengolah informasi. Seseorang akan menggunakan skema pemahaman ketika menilai isu tertentu dengan menghubungkan keyakinan yang ada seperti nilai, sikap, dan keyakinannya. Menurut Priest (2010:310), meskipun bingkai (frame) dapat memengaruhi khalayak, dampak atau efek tersebut akan ditentukan oleh pemahaman, skema kognitif, dan pandangan awal (predisposisi) atas suatu isu, yang pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana orang memproses pesan-pesan. Efek framing bagi seseorang sangat tergantung kepada nilai dan predisposisi khalayak seperti skema moral, pola kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya. Orang dengan nilai dan predisposisi yang berbeda akan menilia frame dengan cara yang berbeda pula. Efek framing karena itu tidak berlaku sama bagi semua orang. Bingkai berita tidak selalu membentuk pemahaman tunggal seseorang ketika memahami suatu masalah. Efek frame media hanya muncul jikalau frame media tersebut beresonansi dengan skema yang Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 79 sudah ada pada diri individu. Setiap individu memiliki proses yang unik dalam mengkonstruksi pengetahuan yang ada dalam memorinya (Priest, 2010: 310). Ketika seseorang membaca sebuah berita yang menekankan aspek tertentu dari suatu isu, orang akan mengaktifkan skema pemikirannya, dan menyesuaikan apakah bingkai tersebut sesuai ataukah tidak dengan pemahaman dan predisposisi yang dimiliki sebelumnya. Semakin beresonansi bingkai dengan nilai-nilai seseorang, semakin besar kemungkinan bingkai tersebut diterima oleh khalayak. Pada titik ini, frame media akan lebih mempengaruhi khalayak (Priest, 2010:310). Disertasi ini akan menggunakan model framing Robert N Entman. Framing model Entman dipilih karena dalam konsep Entman framing dapat dipakai untuk menggambarkan proses seleksi suatu isu, serta menonjolkan beberapa aspek tertentu dari suatu realitas oleh media2. Dengan cara media lebih menonjolkan suatu teks tertentu yang dianggap lebih penting, lebih bermakna pada pemberitaan media, diasumsikan akan membuat para pembaca media tersebut lebih mudah menerima dan mengingat sebuah berita. Media dalam praktiknya akan memilah dan memilih suatu isu. Pada satu sisi, media akan mengambil dan mewartakan suatu isu, pada sisi yang lain media akan mengabaikan bahkan membuang isu yang lain. Isu yang dipilih dan diwartakan oleh suatu media, akan diolah sedemikian rupa dengan menggunakan strategi wacana, antara lain menempatkan suatu isu di halaman depan (head line). Dengan seperti itu isu tersebut akan sangat mencolok dan mudah dilihat atau dibaca. Selain itu penggunakan grafis, pengulangan, labeling, simplifikasi, generalisasi dan sebagainya. Dengan strategi di atas maka akan 2 Menurut Entman dalam tulisannya di Journal of Communication (1993:52) Framing essentially involves selection and salience. To frame is to select some aspects of a perceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation and/or treatment recommendation for the item desciribe, dari pendapat diatas, terlihat Entman memberikan penekanan pada dua aspek penting yaitu, pertama Seleksi isu, dan kedua Penonjolan berbagai aspek tertentu dari sebuah realitas. Dalam seleksi isu menurut Entman aspek yang paling menonjol adalah pemilihan fakta, dalam pemilihan fakta ini ada dua hal yang penting yaitu fakta yang dimasukan (included) dan fakta yang di keluarkan (exluded). Sedangkan dalam penonjolan aspek tertentu menurut Entman berhubungan dengan penulisan fakta, yaitu bagaimana mana fakta yang dipilih tersebut di tulis dan kemudian ini akan menghasilkan citra pada pembaca media. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 80 dikonstruksi suatu berita yang lebih menonjol sehingga akan mudah diingat serta bermakna bagi khalayak pembaca media. Lebih lanjut Entman3 memperkenalkan 4 (empat) elemen penting dalam framing. Empat elemen itu adalah sebagai berikut. Tabel IV Framing Model Entman 1. Define Problems (Pendefinisian Masalah) Bagaimana suatu isu dilihat ?, dan sebagai apa atau sebagai masalah apa suatu isu itu dilihat ? 2. Diagnose Causes Suatu isu atau peristiwa terjadi disebabkan oleh (Perkiraan Sumber Masalah) apa ?, dan siapa aktor yang dianggap sebagai penyebab masalah ? 3. Make Moral Judgement (Membuat Keputusan Moral) Nilai-nilai moral apakah yang dipakai untuk melakukan legitimasi atau malah mendeligitmasi suatu tindakan ? 4. Treatment Recommendation (Menekankan Penyelesaian) Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi suatu masalah ?, cara apa yang harus dipakai dalam mengatasi suatu masalah/isu. Secara garis besar dapat diterangkan empat elemen framing model Entman sebagai berikut, pertama Define Problem adalah elemen yang pokok. Elemen ini adalah bingkai utama atau master frame. Elemen ini memperlihatkan bagaimana suatu isu atau peristiwa di mengerti oleh wartawan, bisa saja suatu isu yang sama dipahami secara berbeda oleh wartawan sehingga realita yang disiarkan lewat media akan berbeda pula, kedua Diagnose Causes dalam elemen kedua ini yang menjadi titik berat adalah siapa aktor utama dalam suatu kejadian atau peristiwa. Penyebab dalam elemen kedua ini dapat dimaknai “siapa” yang membuat peristiwa itu terjadi (who) dan apa yang menjadi sumber 3 Empat elemen penting dalam framing menurut Entman dalam Journal of Communication (1993:52) yaitu, pertama Define Problems—determine what a casual agents is doing with what benefit, kedua Diagnose cause—identify the force creating the problem, ketiga Make moral judgment—evaluate causal agents and their effects, keempat Treatment Recommendation (suggest remedies)—offer and justify treatments for the problems and predict their likely effects. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 81 masalah (what), ketiga Make Moral Judgement adalah elemen yang digunakan untuk melakukan pembenaran dengan memberikan berbagai argumentasi pada pedefinisian masalah yang sudah dibuat, empat Treatment Recommendation adalah elemen yang digunakan untuk melihat apa yang sebenarnya dikehendaki oleh wartawan, bagaimana cara yang akan dipilih untuk menyelesaikan suatu masalah. Disertasi ini akan melihat bagaimana bingkai pemberitaan otonomi daerah pada tiga media massa (Kompas, Kedaulatan Rakyat, dan Jurnal Nasional). Dengan menggunakan framing model Entman ini akan lebih jelas dipetakan bagaimana media dalam membingkai suatu berita otonomi daerah, berita-berita yang diteliti nanti akan dilihat satu persatu dan di bedah dengan 4 elemen framing Entman. 3.4 Keabsahan Penelitian Dalam keabsahan penelitian akan dibahas dua topik utama, yaitu reliabilitas dan validitas. Reliabilitas dan validitas merupakan suatu hal yang sangat penting dalam setiap penelitian. Menurut Neuman (2006:188), reliabilitas adalah konsistensi. Artinya, apabila dilakukan suatu pengukuran kembali terhadap sebuah gejala atau fenomena yang sama dengan alat tersebut maka akan diperoleh sebuah hasil yang relatif sama. Dengan demikian reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur dalam mengukur suatu gejala yang sama. Adapun validitas menurut Neuman (2006:188) merujuk kepada kebenaran atau menurut kenyataan. Sederhananya validitas adalah membahas pertanyaan seberapa baik realitas sosial diukur melalui suatu penelitian atau menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mampu mengukur apa yang ingin diukur dalam realitas sosial. Dalam penelitian kualitatif, menurut Neuman (2006:196), reliabilitas diterjemahkan dengan menggunakan teknik penelitian sebagai berikut: interview, partisipasi, fotografi, studi dokumen, dan sebagainya. Para peneliti dengan menggunakan metode kualitatif selalu berusaha untuk konsisten, tetapi salah satu masalahnya adalah dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dengan menggunakan metode kualitatif ini sering dipelajari atau diteliti proses-proses yang tidak stabil dari waktu ke waktu. Untuk itu para peneliti dengan menggunakan metode kualitatif menggunakan berbagai sumber data dalam melakukan Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 82 suatu pengukuran. Dalam metode kualitatif pengumpulan data adalah suatu proses interaktif yang unik antara peneliti dan objek yang diteliti. Sedangkan validitas menurut Neuman (2006) dalam metode kualitatif diartikan sebagai kebenaran atau menurut kenyataan. Pengukuran validitas dalam penelitian kualitatif tidak perlu menunjukkan korespondensi tetap antara konsep abstrak yang telah didefinisikan dan ukuran yang telah dikalibrasi secara cermat untuk penampilan empirisnya. Ada tiga hal yang ditekankan oleh Neuman (2006) dalam membangun validitas penelitian untuk riset kualitatif yaitu, pertama klaim kebenaran peneliti harus masuk akal, kedua peneliti kualitatif harus bersikap jujur, dan mencoba untuk membuat pemahaman, ide, dan pernyataan tentang dunia sosial serta hal-hal yang terjadi di dalamnya, ketiga validitas akan meningkat ketika peneliti terus-menerus mencari secara mendalam data yang beragam dan mempertimbangkan hubungan antara mereka. Para peneliti kualitatif lebih tertarik melihat, mendalami, membedah aspek keaslian objek penelitian. Keaslian di sini dapat dipahami untuk berusaha memberikan penilaian yang seimbang dan jujur pada suatu kehidupan sosial yang diteliti. Para peneliti kualitatif lebih menekankan pada aspek memberikan gambaran pada kehidupan sosial yang mereka teliti secara benar. Mereka berkonsentrasi melakukan penelitian secara mendalam dan berusaha memahami realitas sosial objek yang mereka teliti. Para peneliti dengan metode kualitatif harus mematuhi prinsip inti dari validitas yaitu kebenaran atau menurut kenyataan dengan cara menghindari distorsi dalam penelitian, distorsi dapat diminimalkan dengan mencoba memahami objek penelitian dan mencocokkan dengan apa yang sebenarnya terjadi di dalam kehidupan sosial mereka. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 83 BAB IV FRAME BUILDING BERITA OTONOMI DAERAH Bab IV ini membedah dinamika frame building di tiga koran yang diteliti. Pada proses pembentukan frame (frame building), ada pertanyaan besar, yaitu mengapa media tertentu mempunyai frame berbeda dengan media lain. Scheufele (1999) berpendapat bahwa proses pembentukan frame terdiri dari dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Aspek internal mengacu kepada praktek produksi berita yang mempengaruhi bagaimana wartawan ketika membingkai berita, sedangkan menurut Van Dijk (1985) aspek internal ini berkaitan dengan rutinitas media dan standar profesionalitas jurnalis. Aspek Eksternal, mengacu pada berbagai kekuatan di luar wartawan dan media yang ikut mempengaruhi proses terbentuknya frame. Lebih lanjut, Scheufele (1999) berpendapat, aspek eksternal ini bisa berasal dari kelompok elit, termasuk kelompok kepentingan, birokrasi pemerintahan, politik atau perusahaan. Semua kelompok ini secara rutin terlibat dan berpengaruh pada bagaimana sebuah frame itu dibangun oleh jurnalis Seperti pendapat Scheufele (1999) di atas, dalam disertasi ini strategi yang digunakan untuk membedah aspek internal pembentukan bingkai adalah, pertama mengidentifikasi isu-isu berkaitan dengan otonomi daerah yang terjadi pada 2012 dan 2013. Semua berita yang berkaitan dengan relasi pusat dengan daerah akan dikumpulkan, kedua dilakukan wawancara mendalam terhadap narasumber yang kompeten pada tiga media yang diteliti, ketiga narasumber tersebut adalah, harian Kompas di wakili oleh Bambang Sigap Sumantri (Wakil Redaktur Pelaksana), harian Jurnal Nasional oleh Budi Winarno (Pemimpin Redaksi), dan harian Kedaulatan Rakyat oleh Octo Lampito (Pemimpin Redaksi). Dari wawancara ini akan di ketahui praktek produksi berita dari tiga media yang diteliti. Kemudian, untuk membedah aspek eksternal, di gunakan strategi wawancara mendalam dengan nara sumber yang relevan dengan isu otonomi daerah. Narasumber yang diwawancarai adalah mereka yang memiliki kompetensi mengenai isu otonomi daerah dan sering menjadi rujukan media ketika menulis tentang otonomi daerah, yaitu, Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 84 Prof. Dr. Djohermansyah Djohan., M.A. (Direktur Jendral Otonomi Daerah Kemendagri), Drs. I Made Suwandi., Ph.D (Ketua Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), dan Prof Purwo Santoso, Ph.D (Guru Besar Ilmu Pemerintahan UGM Yogyakarta). Dua narasumber pertama dipilih (Prof. Dr. Djohermansyah Djohan., MA, dan Drs. I Made Suwandi., PhD) karena ahli otonomi daerah dan memiliki akses kekuasaan (power) yang berhubungan dengan isu otonomi daerah serta merupakan representasi dari pemerintah pusat. Narasumber ketiga (Prof Purwo Santoso, Ph.D) adalah ilmuwan pemerintahan yang mempunyai kompetensi terhadap isu otonomi daerah dan merupakan representasi dari ilmuwan yang sering menyuarakan kehendak lokal (daerah). 4.1. Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah di Harian Kompas Pada tahun 2012 dan 2013 di harian Kompas terkumpul berita tentang isu otonomi daerah sejumlah 187 berita. Dari 187 berita tersebut kemudian dipilih lima isu utama yang muncul dalam pemberitaan di harian Kompas, yaitu Tabel V Isu Otonomi Daerah Harian Kompas 2012 dan 2013 No ISU / TOPIK Kompas Frekuensi Persen 74 39,6 % 1. Pemekaran daerah 2. Keistimewaan Yogyakarta 54 28,9 % 3. Dinasti politik 17 9,1 % 4. Korupsi elite lokal 18 9,6 % 5. Pilkada gubernur 24 12,8 % Total 187 100 % Setelah di dapatkan isu atau topik mengenai otonomi daerah di atas, maka langkah selanjutnya untuk menyelidiki proses pemberitaan harian Kompas, diadakan wawancara mendalam dengan Bambang Sigap Sumantri (Wakil Redaktur Pelaksana). Menurut Sumantri proses produksi berita di Kompas di mulai pada pukul 09.00. Pada saat itu Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 85 diadakan rapat redaksi yang diikuti 12 desk, dan juga desk daerah. Dalam rapat tersebut diusulkan berbagai topik yang hendak diliput. Setelah disetujui maka topik yang akan di liput akan dikawal oleh redaktur pelaksana. Pada pukul 16.00 diadakan rapat kedua untuk membuat daftar berita yang sudah diperoleh. Pada rapat kedua ini tiap-tiap desk akan berdiskusi untuk menentukan beritaberita mana saja yang layak naik dan layak untuk menjadi head line. Biasanya yang bisa naik tayang adalah berita-berita yang menarik mengenai berbagai peristiwa, baik di pusat maupun di daerah, sementara berita yang bersifat wacana seperti seminar atau seremonial tidak menjadi fokus utama. Kalau pun naik tayang untuk diberitakan, berita itu hanya diambil tokoh-tokoh dalam seminar atau seremonial saja. Sikap harian Kompas terhadap otonomi daerah menurut Bambang Sigap Sumantri sejalan dengan kemajuan demokrasi di Indonesia dan Kompas memberi perhatian khusus terhadap kebijakan otonomi daerah ini semenjak reformasi bergulir. Pada tahun 2000 Kompas telah memasang beberapa kali berita mengenai otonomi daerah menjadi head line, termasuk yang terakhir pada tahun 2014 tentang pemilihan kepala daerah juga sebagai head line Kompas. Hal ini menurut Bambang Sigap Sumantri menunjukkan Kompas menaruh perhatian besar pada isu otonomi daerah. Lebih lanjut Bambang Sigap Sumantri menjelaskan pada awal-awal kebijakan tentang otonomi daerah Kompas mempunyai halaman khusus mengenai otonomi daerah. Dari halaman khusus otonomi daerah tersebut Kompas dapat membuat 5 buku tebal mengenai potret otonomi daerah di Indonesia. Dalam buku tersebut menurut Bambang Sigap Sumantri tidak hanya aspek pemerintahan saja yang dipotret namun juga aspek sosial, politik, budaya, dan ekonomi suatu daerah. Sekarang halaman khusus mengenai otonomi daerah dimasukan ke dalam halaman nusantara, bukan berarti tidak lagi perhatian terhadap isu otonomi daerah karena dalam halaman nusantara tersebut ada satu halaman penuh yaitu halaman 23 atau 24 berisi perkembangan daerah. Untuk mendapatkan berita-berita tentang daerah Kompas mengandalkan desk daerah yang sudah ada sejak tahun 1980-an. Selain itu Kompas mempunyai sebaran wartawan yang luas mulai dari Aceh sampai Papua. Desk daerah ini diwadahi dalam desk nusantara dengan jumlah wartawan terbesar yaitu 72 wartawan. selain dari desk daerah Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 86 Kompas juga menjalin kerjasama dengan kantor berita seperti Antara, Indopersda, dan harian Tribun daerah. Posisi harian Tribun daerah sendiri menurut Bambang Sigap Sumantri adalah media harian binaan dari Kompas, ada sinergi antara Kompas dan harian Tribun di daerah. Pada saat ini Kompas merupakan salah satu koran terbesar di Indonesia. Menurut Sumatri tiras harian Kompas pada saat ini mencapai 500.000 eksemplar pada terbitan Senin sampai Sabtu, sedangkan edisi hari Minggu mencapai 600.000 eksemplar. Harian Kompas di distribusikan di seluruh Indonesia. Dengan tiras terbesar di DKI Jakarta yaitu 45% dari 500.000 eksemplar diatas, sisanya 55 % di luar DKI Jakarta. Pada sisi lain Kompas juga mendapatkan pemasukan dari iklan yang besar, walaupun tidak menyebutkan secara eksplisit berapa jumlah pendapatan dari iklan, namun Bambang Sigap Sumantri mengakui bahwa ber iklan di Kompas cukup mahal. Menurut Bambang Sigap Sumantri pada saat ini harian Kompas telah melebarkan sayap ke bidang online, dengan membuat situs Kompas.com. Hal ini merupakan strategi untuk menghadapi dinamika bisnis media masa depan, yang berbasis pada tekologi informasi. Penuturan Bambang Sigap Sumantri ini sebangun dengan tulisan pendiri Kompas Jacob Oetama pada ulang tahun harian Kompas 28 Juni 2010 yang berjudul “Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia”, dalam tulisan itu Jacob Oetama bercerita tentang strategi harian Kompas menerapkan kebijakan 3 M yaitu “Multi Channel, Multi Platform, dan Multi Media”. 4.2. Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah di Harian Jurnal Nasional Harian Jurnal Nasional pada tahun 2012 dan 2013 menyiarkan 123 berita mengenai otonomi daerah, dari 123 berita tersebut dipetakan kedalam lima isu utama yang sering muncul di harian Jurnal Nasional, yaitu Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 87 Tabel VI Isu Otonomi Daerah Harian Jurnal Nasional 2012 dan 2013 No. ISU / TOPIK Jurnal Nasional Frekuensi Persen 20 16,3 % 1 Pemekaran daerah 2 Keistimewaan Yogyakarta 39 31,7 % 3 Dinasti politik 16 13 % 4 Korupsi elite lokal 16 13 % 5 Pilkada gubernur 32 26 % Total 123 100 % Menurut Budi Winarno Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional. Proses produksi berita pada harian Jurnal Nasional dimulai pagi hari dengan rapat redaksi, yang dihadiri pimpinan redaksi, dan semua redaktur, dalam rapat ini direncanakan topik atau isu yang hendak diliput pada hari itu. Isu atau topik-topik yang hendak diliput kemudian dibuat matrik liputan. Berdasarkan matrik liputan itu kemudian redaktur memberi tugas kepada reporter untuk mencari berita tersebut. Pada sore hari setelah reporter pulang dari lapangan, mereka akan melaporkan tugas mereka ke redaktur yang menugaskan tadi. Pada sore hari redaktur memilih berita yang paling kuat untuk naik ke percetakan. Jika berita tersebut dirasa kurang oleh redaktur, maka ia akan menugaskan kembali reporter untuk memperdalam berita tersebut karena untuk halaman nasional dead line ditetapkan pukul 21.00, sedangkan untuk berita daerah dead line pukul 19.00. Lebih lanjut menurut Budi Winarno, parameter berita kuat yang akan disiarkan oleh harian Jurnal Nasional harus memiliki rumus dasar 5 W + 1 H dengan penekanan menjawab pertanyaan masyarakat karena harian Jurnal Nasional ini diposisikan berada di tengah-tengah, artinya tidak hanya berpatokan bad news is a good news. Lebih lanjut menurut Budi Winarno jika suatu kebijakan pemerintah itu bagus maka kebijakan tersebut juga wajib untuk diberitakan, sehingga harian Jurnal Nasional dalam hal pemberitaan lebih condong memberikan informasi yang benar kepada masyarakat. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 88 Kebijakan redaksional di atas diakui oleh Budi Winarno tidak terlepas dengan kedekatan harian Jurnal Nasional ini dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Salah satu hal yang menarik adalah pernyataan dari Budi Winarno yang menggambarkan bagaimana kedekatan Jurnal Nasional dengan Istana. Jika ada suatu isu otonomi daerah yang kurang dipahami oleh awak media Jurnal Nasional, maka tidak segan-segan awak media Jurnal Nasional berkonsultasi dengan Velix Wanggai (staf khusus Presiden SBY bidang pemerintah daerah) untuk meminta Velix Wanggai memberi arahan/penjelasan dari suatu kebijakan mengenai otonomi daerah. Pada harian Jurnal Nasional tidak ada rubrik khusus mengenai otonomi daerah, tetapi dalam penjelasan Budi Winarno berita yang berada dalam halaman nusantara, telah mencerminkan berita-berita mengenai otonomi daerah. Lebih lanjut dijelaskan untuk mendapatkan berita harian Jurnal Nasional selain mengandalkan wartawan di kantor pusat Jakarta juga mengandalkan desk daerah yang tersebar di berbagai propinsi dan ada kerjasama dengan Antara. Untuk berita mengenai otonomi daerah, penjelasan dari Budi Winarno merupakan berita yang penting, jarang sekali harian Jurnal Nasional menolak berita mengenai otonomi daerah. Harian Jurnal Nasional memaknai otonomi daerah tidak lahir pada zaman reformasi, namun jauh sebelum itu, sudah ada otonomi daerah. Kemudian pada tahun 1999 ketika pemerintahan berciri sentralistik tumbang, Presiden Habibie membuat undang-undang mengenai otonomi daerah. Budi Winarno menjelaskan mengapa harian Jurnal Nasional sangat perhatian (concern) terhadap otonomi daerah karena pertama ada Undang-Undang Otonomi Daerah dan kedua pendiri harian Jurnal Nasional yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat pro otonomi daerah. Harian Jurnal Nasional menurut Budi Winarno mempunyai tiras harian sekitar 30.000 eksemplar, disadari oleh Budi Winarno tiras ini kurang mengembirakan, padahal pada awal beridiri harian Jurnal Nasional mampu menembus tiras 50.000 eksemplar per hari. Penurunan tiras ini menurut Budi Winarno diakibatkan persaingan dalam bisnis media massa cukup pelik dan untuk mengantisipasi hal diatas maka harian Jurnal Nasional mulai melirik bisnis media internet (dotcom), pada sisi yang lain di sadari juga bahwa iklan yang masuk di harian Jurnal Nasional kurang menggembirakan, tetapi menurut Budi Winarno karena harian Jurnal Nasional ini dekat dengan Presiden Susilo Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 89 Bambang Yudhoyono maka untuk pendanaan selalu ada dari investor, walaupun Budi Winarno enggan menyebutkan nama investor di harian Jurnal Nasional, secara tidak secara eksplisit Budi Winarno menyebutkan investor di harian Jurnal Nasional adalah investor itu berasal dari dalam negeri, bukan investor luar negeri. Pada saat ini sebaran harian Jurnal Nasional ada di 18 Provinsi di Indonesia, dengan terbanyak ada di Pulau Jawa, khususnya di DKI Jakarta. 4.3. Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah di Harian Kedaulatan Rakyat Harian Kedaulatan Rakyat pada tahun 2012 dan 2013 memiliki isu otonomi daerah sejumlah 102 berita. Dari 102 berita tersebut kemudian dipilih lima isu utama yang sering muncul di harian Kedaulatan Rakyat, kelima isu utama sebagai berikut. Tabel VII Isu Otonomi Daerah Harian Kedaulatan Rakyat 2012 dan 2013 No. ISU / TOPIK Kedaulatan Rakyat Frekuensi Persen 4 3,9 % 1. Pemekaran daerah 2. Keistimewaan Yogyakarta 83 81,4 % 3. Dinasti politik 3 3% 4. Korupsi elite lokal 4 3,9 % 5. Pilkada gubernur 8 7,8 % Total 102 100 % Alur proses produksi berita pada harian Kedaulatan Rakyat tidak berbeda dengan dua media di atas. Pada pagi hari ada rapat redaksi yang akan menentukan isu atau topiktopik apa saja yang diliput, kemudian wartawan lapangan meliput peritiwa yang di Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 90 tugaskan dan sorenya kembali untuk melaporkan kepada redaktur yang menugaskan wartawan lapangan tersebut. Menurut Octo Lampito (Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat) yang membedakan harian Kedaulatan Rakyat dengan media lain adalah karakter pemberitaan harian Kedaulatan Rakyat, yang sangat kental kultur Yogyakarta yaitu isi berita yang tidak meledak-ledak atau bombastis. Jika ada kritik, kritik tersebut tidak harus diberitakan secara keras, tetapi yang penting substansi dari kritikan tersebut mengena. Dengan gaya berita seperti ini menurut Octo Lampito lebih dapat diterima masyarakat Yogyakarta serta Jawa Tengah, dan membuat Kedaulatan Rakyat dapat bertahan sampai sekarang sebagai koran paling senior di Indonesia. Lebih lanjut Octo Lampito menjelaskan bahwa dalam memilih berita yang akan di tayangkan oleh Kedaulatan Rakyat yang terpenting adalah berita tersebut harus berdasarkan fakta, dan sudah di konfirmasi atau diverifikasi para narasumber, selain itu ada penekanan lain adalah Kedaulatan Rakyat berusaha menayangkan berita yang tidak meresahkan warga. Pada harian Kedaulatan Rakyat menurut Octo Lampito tidak ada halaman khusus menganai otonomi daerah, karena Kedaulatan Rakyat adalah koran daerah, namun jika di lihat pada Koran Kedaulatan ada halam-halaman yang khusus memberitakan tentang daerah baik dalam wilayah Provinsi Yogyakarta maupun Provinsi Jawa Tengah, karena ada halaman daerah menurut Octo Lampito maka harian Kedaualatan Rakyat mempunyai wartawan yang di tugaskan pada darrah-daerah tersebut, dan diwadahi pada desk daerah. Untuk mendapatkan berita, selain mengandalkan wartawan yang ada di kantor pusat Kedaulatan Rakyat, berita juga di suplai dari desk daerah dan jika tidak cukup maka akan diambil dari Antara atau kalau berita internasional dari Reuters. Harian Kedaulatan Rakyat melihat otonomi daerah memang sudah saatnya diberlakukan sebagai keseimbangan dalam bernegara isu otonomi daerah merupakan isu penting bagi harian Kedaulatan Rakyat, terutama tentang ke istimewaan Yogyakarta. Tidak bisa dipungkiri menurut Octo Lampito ada kedekatan budaya dan sejarah antara Kasultanan Yogyakarta dengan harian Kedaulatan Rakyat. Secara eksplisit Octo Lampito mengatakan bahwa harian Kedulatan Rakyat memang turut memperjuangkan Ke istimewaan Yogyakarta pada 2012-2013. Menurut Octo Lampito, “kalau dahulu Sultan Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 91 Hamengku Buwono IX tidak membuka diri dan menyatu dengan Republik Indonesia, serta mau menerima para pemimpin negara pada saat itu, bahkan memberi gaji para pemimpin republik yang masih muda, maka mungkin Indonesia ini tidak ada, karena daerah yang tersisa di Indonesia ini setelah perjanjian Renvile tinggal Yogyarakarta”. Berpijak dari sejarah itu harian Kedaulatan Rakyat berpendapat bahwa memang sebaiknya Pemerintah Pusat (Jakarta) tidak menutup mata pada fakta sejarah di atas. Tiras harian Kedaulatan Rakyat setiap hari menurut Octo Lampito pada saat ini sekitar 100.000 eksemplar dengan distribusi 80% ada di Provinsi Yogyakarta, dan sisanya Jawa Tengah serta beberapa provinsi lain. Untuk pemasukan dari iklan walaupun tidak secara eksplisit menyatakan jumlahnya dalam rupiah, namun Octo Lampito mengakui bahwa semenjak kebijakan otonomi daerah digulirkan terutama ketika pemilu kepala daerah dilaksanakan secara langsung, ada kenaikan iklan di harian Kedaulatan Rakyat. 4.4. Dinamika Frame Building Isu Otonomi Daerah Aspek Eksternal Setelah membedah aspek internal pada ketiga media yang diteliti di atas, maka pada subbab ini akan di uraikan bagaimana perspektif para narasumber yang kompeten dalam bidang pemerintahan daerah dan otonomi daerah, serta bagaimana interaksi mereka dengan para waratawan yang meliput berita-berita mengenai otonomi daerah. Lebih lanjut menurut Scheufele (1999) aspek ekternal ini mengacu kepada berbagai kekuatan di luar wartawan dan media yang ikut mempengaruhi proses terbentuknya frame suatu isu dalam pemberitaan media massa. Sebelum lebih jauh membedah bagaimana interaksi para narasumber dan wartawan, menarik untuk diketahui bagaimana perspektif para narasumber tentang otonomi daerah. Djohermasyah Djohan memaknai otonomi daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana dalam model negara kesatuan, kewenangan dan tugas-tugas tersebut ada di tangan pemerintah pusat. Kemudian sebagian tugas kewenangan tersebut didesentralisasikan, dilimpahkan ke daerah. Daerah melaksanakan otonomi daerah dan harus tunduk taat kepada pemerintah pusat, yang diatur dalam undang-undang pemerintah daerah. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 92 I Made Suwandi sebagai Ketua Team Revisi UU Otonomi Daerah mempunyai pendapat senada dengan Dirjen Otonomi Daerah. Menurut I Made Suwandi yang harus disamakan dulu adalah persepsi mengenai otonomi daerah, bahwa di Indonesia otonomi dalam negara kesatuan bukan dalam negara federal, dalam negara kesatuan tanggung jawab akhir otonomi daerah ada di pemerintah pusat, yaitu presiden. Jadi yang diotonomikan itu kekuasaan presiden (eksekutif), bukan kekuasaan legislative, dan yudikatif. Menurut Made Suwandi konsep ini berbeda sekali dengan negara federal, maka dengan konsep otonomi dalam negara kesatuan Presiden bisa mengatur daerah dengan berbagai instrumen antara lain melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam Negeri, dan lain sebagainya. Menurut Purwo Santoso otonomi daerah adalah corak gaya berpemerintahan, di mana dalam berpemerintahan itu ada daerah yang menjadi ujung tombak berpemerintahan. Daerah itu bukan taklukan dari pusat namun harusnya daerah itu mahkota pusat, sehingga harusnya daerah diberikan keleluasaan untuk mengatur dirinya dengan basis kekuataan kecerdasan daerah. Selain itu otonomi daerah itu harus di bingkai dalam wadah nasionalisme, bukan “Jakarta-isme”, sehingga yang di kedepankan itu bukan cara kerja yang patuh seperti robot, namun cara kerja yang cerdas dari daerah. Disinilah perlu dimaknai kembali otonomi daerah itu, bahwa yang penting bukan hanya delegasi kewenangan, namun juga kesempatan daerah menggunakan kecerdasan mereka dalam menggunakan kewenangan otonomi daerah. Dari uraian tiga narasumber di atas terlihat pemaknaan berbeda tentang otonomi daerah, narasumber yang pertama yang merupakan Dirjen Pemerintahan Daerah di Kementrian Dalam Negeri, lebih menekankan bagaimana pemerintah pusat dengan segala instrumennya dapat mempunyai kewenangan mengatur daerah, walupun daerah diberikan otonomi daerah yang luas, dimana mereka mempunyai kewenangan untuk mengatur diri mereka sendiri namun daerah harus menyadari bahwa mereka ada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan harus patuh kepada Pemerintah Pusat. Pendapat narasumber kedua, terlihat tidak terlalu beda pendapat dengan narasumber pertama, dimana ditekankan bahwa otonomi daerah yang ada di Indonesia, adalah otonomi dalam bingkai negara kesatuan bukan negara federalisme, sehingga Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk mengatur daerah dengan segala peraturan yang ada. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 93 Narasumber ketiga mempunyai pandangan yang berbeda. Narasumber ketiga ini memaknai otonomi daerah dimulai dari lokal (daerah) itu sendiri, bukan hanya dilihat dari bagaimana Pemerintah Pusat dapat mengatur daerah, namun lebih memberi keleluasaan daerah untuk mengatur diri mereka sendiri dengan berbagai kecerdasan dan budaya lokal mereka, sehingga otonomi daerah dimaknai tidak hanya bagaimana Pemerintah Pusat mengatur, namun lebih pada apakah pengaturan Pemerintah Pusat tersebut memberikan ruang daerah untuk berekspresi dengan kecerdasan dan budaya lokal mereka. Perbedaan pendapat antarnarasumber ini memperlihatkan bagaimana sebuah isu yang sama bisa dimaknai sangat kontras. Pada satu sisi ada ilmuwan yang menghendaki Pemerintah Pusat mempunyai kuasa kewenangan untuk mengatur daerah, pada sisi lain ada ilmuwan yang berpandangan bahwa harusnya daerahlah yang diberi kuasa lebih daripada Pemerintah Pusat. Lebih lanjut, menurut ketiga narasumber di atas, media mempunyai pengaruh dalam membentuk citra tentang otonomi daerah, tetapi sayangnya awak media tidak terlalu tertarik dengan isu-isu yang cukup reflektif tentang otonomi daerah. Menurut ketiga narasumber di atas yang menarik bagi wartawan adalah isu-isu yang bombastis. Hal ini mungkin terjadi karena awak media dibatasi oleh ruang (kolom, durasi, dan halaman), bisnis media, dan waktu (dead line) sehingga isu-isu reflektif seperti revisi undang-undang pemerintahan daerah tidak cukup diulas oleh awak media, yang banyak mendapatkan ulasan ialah masalah revisi undang-undang pemilihan kepala daerah langsung. Padahal instrumen untuk menyejahterakan masyarakat ada di undang-undang pemerintahan daerah. Sayangnya ini luput dari ulasan mendalam insan media. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 94 BAB V FRAME BERITA OTONOMI DAERAH Bab ini akan lebih spesifik membahas bingkai (frame) ketiga media yang diteliti, dalam bab ini akan di bedah mengenai bagaimana Kompas, Jurnal Nasional (Jurnas) dan Kedaulatan Rakyat (KR) membingkai isu otonomi daerah dalam pemberitaannya. Dalam menggambarkan frame berita media tersebut, dalam pembahasan ini dibedah bingkai umum (generic frame) dan bingkai isu spesifik (issue specific frames), yang dimaksud dengan bingkai umum adalah bingkai utama (core frame) media ketika melihat isu otonomi daerah. Sementara itu bingkai spesifik isu (issue specific frames) mengacu kepada bingkai media ketika meliput isu spesifik otonomi daerah seperti kasus pilkada, hubungan pusat daerah, dinasti politik, dan sebagainya. Seperti telah disinggung di depan, antara bingkai isu spesifik dan bingkai utama (umum) mempunyai keterkaitan. Bingkai isu spesifik akan selalu konsisten dengan bingkai utama. Mengapa demikian ?, Hal ini karena pandangan jurnalis media akan dipakai untuk melihat dan meliput isu-isu spesifik berkaitan dengan otonomi daerah. Seorang jurnalis yang cenderung setuju dengan otonomi daerah akan meliput semua isu spesifik berkaitan dengan otonomi daerah dengan nada positif. Adanya kasus dinasti politik misalnya, tidak akan dilihat sebagai akibat penerapan otonomi daerah. Hal ini berbeda untuk jurnalis atau media yang kritis atau skeptis terhadap otonomi daerah. Adanya dinasti politik akan cenderung dilihat sebagai akibat otonomi daerah. Otonomi menyebabkan munculnya raja-raja kecil di daerah serta pemusatan ekonomi dan politik pada beberapa kekuatan politik lokal. Ilustrasi ini menggambarkan bagaimana frame umum (generic frame) akan menentukan bagaimana isu-isu spesifik tersebut dilihat oleh media. Jurnalis dan media akan menggunakan padangan umum (core frame) untuk melihat isu-isu yang terjadi tiap hari. Masalahnya, publik tidak mengetahui bagaimana frame umum (generic frame) dari setiap media. Jarang ada media yang mengungkapkan secara terbuka pandangan umum mereka mengenai otonomi daerah. Jadi bagaimana publik bisa tahu frame umum (generic frame) jika media tidak mengungkapkan atau mengatakannya secara terbuka ? Caranya adalah dengan menyelidiki frame isu-isu spesifik. Untuk ini dapat dilakukan penelitian terkait bagaimana pandangan media ketika meliput isu-isu spesifik mengenai otonomi daerah, dan dari pandangan atas isu-isu spesifik tersebut, dapat ditarik kesimpulan frame umum (generic frame) dari media Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 95 dalam hal otonomi daerah. Strategi inilah yang akan dipakai dalam mengidentifikasi frame umum dari media. Proses menemukan frame utama (generic frame) adalah sebagai berikut. Peneliti pertama kali akan mengidentifikasi isu-isu spesifik berkaitan dengan otonomi daerah yang terjadi tahun 2012 dan tahun 2013. Semua berita yang berkaitan dengan relasi pusat dengan daerah akan dikumpulkan. Berita-berita mengenai otonomi tersebut, kemudian dikategorikan ke dalam isu-isu spesifik. Setelah isu spesifik ditemukan, akan didentifikasi frame (bingkai) dari masing-masing isu spesifik. Berdasarkan identifiksi bingkai isu spesifik itu, dapat digambarkan bingkai umum (generic frame) pemberitaan media terkait isu otonomi daerah. Peneliti mengumpulkan berita di Kompas, Kedaulatan Rakyat dan Jurnal Nasional tahun 2012 dan 2013. Semua berita yang berkaitan dengan otonomi daerah dikumpulkan. Total ada 412 berita mengenai otonomi daerah yang ada di ketiga surat kabar. Dari berita mengenai otonomi daerah tersebut, diidentifikasi topik atau isu utama dari pemberitaan media. Hasilnya adalah sebagai berikut. Tabel VIII Topik Utama Pemberitaan Tiga Media (Kompas, KR, Jurnas) ISU / TOPIK Pemekaran Daerah Kompas Frekuensi Persen 74 39,6% Jurnal Nasional Frekuensi Persen 20 16,3% Kedaulatan Rakyat Frekuensi Persen 4 3,9% Pilkada gubernur 24 12,8% 32 26% 8 7,8% Dinasti politik 17 9,1% 16 13% 3 3% Korupsi elite lokal 18 9,6% 16 13% 4 3,9% Keistimewaan Yogyakarta 54 28,9% 39 31,7% 83 81,4% Total 187 100% 123 100% 102 100% Dari tabel tersebut terlihat bahwa, terdapat perbedaan di antara surat kabar yang ada di Jakarta (Kompas dan Jurnal Nasional) dan lokal (Kedaulatan Rakyat) dalam mengangkat isu otonomi daerah. Untuk surat kabar yang terbit di Jakarta (Kompas dan Jurnal Nasional), berita Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 96 otonomi daerah didominiasi oleh berita mengenai pemekaran daerah dan pilkada gubernur. Lebih spesifik lagi, untuk Kompas, mayoritas berita (39,6%) berita mengenai otonomi daerah adalah seputar isu pemekaran daerah, disusul oleh isu Keistimewaan Yogyakarta (28,9%). Isu lain yang menonjol dalam pemberitaan Kompas adalah mengenai pilkada (dipilih langsung atau oleh DPRD) sebesar 12,8%, korupsi elite lokal sebesar 9,6% dan dinasti politik sebesar 9,1%. Sementara di Jurnal Nasional, dari total 123 berita yang dianalisis, mayoritas berita berisi Keistimewaan Yogyakarta (31,7%) dan pilkada (26%). Isu lain yang menonjol dalam pemberitaan Jurnal Nasional adalah seputar pemekaran daerah (16,3%), dinasti politik (13%) dan korupsi elite lokal (13%). Jika isu pemekaran daerah, korupsi elite lokal, dinasti politik dan perdebatan mengenai pilkada banyak mendapat perhatian surat kabar Kompas dan Jurnal Nasional, tidak demikian halnya dengan Kedaulatan Rakyat. Mayoritas pemberitaan mengenai otonomi daerah di Kedaulatan Rakyat adalah Keistimewaan Yogyakarta (81,4%). Isu yang menonjol dalam pemberitaan Kompas dan Jurnal Nasional (seperti seputar pemekaran daerah, pilkada, korupsi elite lokal, dan dinasti politik) tidak mendapat banyak alokasi liputan dalam pemberitaan di Kedaulatan Rakyat. Data ini memperlihatkan ada titik perhatian yang berbeda antara surat kabar yang terbit di Jakarta (Kompas dan Jurnal Nasional) dengan surat kabar lokal (Kedaulatan Rakyat). Berdasarkan identifikasi isu-isu tersebut, akan dianalisis lebih mendalam bingkai (frame) dari ketiga surat kabar untuk isu spesifik. 1.1. Isu Pemekaran Daerah Salah satu isu yang banyak diberitakan mengenai otonomi daerah adalah pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonomi baru. Pembentukan daerah otonom atau lebih sering disebut sebagai pemekaran daerah sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang biasa di banyak negara. Penyebaran kekuasaan atau otoritas kepada komunitas lokal untuk mengambil keputusan tertentu dan melaksanakan fungsi pemerintahan menjadi suatu kebutuhan di negara-negara modern, dalam negara yang lebih besar akan menjadi lebih tepat, efektif, dan efisien jika melimpahkan kewenangan yang ada pada pemerintah pusat kepada suatu entitas lokal yang membentuk pemerintah daerah. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 97 Interpretasi politik1 terhadap konsep desentralisasi adalah pengalihan kewenangan (transfer of authority) kepada masyarakat dan pemerintahan daerah. Hal ini merupakan fondasi dasar bagi penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis sekaligus menjaga keutuhan suatu negara. Lebih lanjut menurut Brian C Smith (1985:14) mengemukakan bahwa berdasarkan pengalaman beberapa negara, secara politis desentralisasi dimaknai pula sebagai jalan tengah dari penolakan atas konsep federalisme dan juga konsep sentralisasi. Untuk kasus Indonesia, menurut Riswanda Imawan (2006:13-15) paling tidak ada lima faktor alasan pembentukan daerah-daerah otonom baru pasca reformasi 1998, yaitu2, pertama ketimpangan (inequality), kedua etnik politik, ketiga resolusi konflik, keempat klaim historis, dan kelima pertimbangan pemerintah pusat. Studi pemekaran daerah di Kabupaten Sumba Barat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang dilakukan oleh Jacqueline Vel (2007: 116) dan pemekaran daerah di Luwu-Tana Toraja di Provinsi Sulawesi Selatan oleh Dik Roth (2007:154), dalam buku Politik Lokal di Indonesia yang diterbitkan oleh KITLV dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, serta dieditori oleh Henk Sculte Nordholt dan Gerry van Klinken, menunjukkan bahwa dalam proses pemekaran daerah tersebut terjadi suatu pertarungan yang cukup sengit antarpara elite daerah yang kemudian melibatkan elite-elite pusat (Jakarta), serta ditemukan kecenderungan politik uang dalam jumlah besar setiap ada pemekaran daerah. Jacqueline Vel (2007: 117) dalam tulisannya mengenai proses pemekaran wilayah di Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), memotret kebijakan otonomi daerah oleh pemerintah pusat. Salah satunya dimaknai oleh masyarakat daerah untuk melakukan 1 2 Shabbir Cheeman dan Dennis Rondinelli (1983:14-16) Riswanda Imawan (2008:13-15), dalam tulisan ini Imawan secara panjang lebar menguraikan lima faktor pembentukan daerah baru secara singkat dapat diringkas sebagai berikut, pertama ketimpangan : Dalam program pembangunan, hasil-hasil pembangunan selama masa Orde Baru yang menggunakan model trickle down membuat banyak daerah tidak terlalu merasakan dan atau tidak terjangkau dengan program pembangunan yang dikerjakan oleh pemeritah pusat; kedua etnik politik : Perlakukan yang tidak adil dari negara yang selama ini dirasakan rakyat di daerah, dimaknai sebagai keberpihakan pusat terhadap suatu kelompok etnis tertentu, contoh kasus pemekaran Provinsi Gorontala, Provoinsi Banten, Provinsi Maluku Utara; ketiga resolusi konflik: Pembentukan daerah ini terkait dengan upaya menemukan resolusi konflik yang potensial untuk meledak sewaktu-waktu, contoh kasus pembentukan Kabupaten Luwu Utara; keempat klaim historis : banyak dijumpai klaim kewilayahan yang berdasarkan etnisitas dikaitkan dengan faktor kesejarahan suatu wilayah, contoh pembentukan Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Buton, Kabupaten Seram Bagian Timur; kelima pertimbangan pemerintah pusat: contohnya adalah pembentukan Kabupaten Natuna sebenarnya kabupaten ini tidak memenuhi persyaratan untuk di bentuk, namun karena letaknya geografisnya yang jauh di lautan, dan berbatasan dengan negara asing dibentuklah Kabupaten Natuna untuk menjaga kedaulatan wilayah negara. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 98 pemekaran wilayah, dan pemekaran wilayah ini disambut gegap gempita oleh masyarakat Sumba Barat, antara lain dengan adanya mobilisasi massa, rapat-rapat akbar, lobi-lobi politik dan lainlain. Sementara itu, oleh elite-elite lokal dan elite-elite Jakarta yang merupakan putra Sumba Barat, dimaknai pemekaran wilayah ini untuk memperkuat posisi dan kepentingan mereka. Secara gamblang diceritakan bagaimana proses tarik-menarik, persaingan dan konflik dalam menyukseskan pemekaran wilayah di Kabupaten Sumba Barat. Skenario yang handak dijalankan adalah membuat kabupaten baru, yaitu Kabupaten Sumba Tengah yang terlepas dari kabupaten induk, yaitu Kabupaten Sumba Barat. Berbagai langkah disiapkan mulai dari penggalangan massa, sosialisasi dan lokakarya dengan jaringan LSM dan komunitas-komunitas desa mengenai pentingnya pembentukan Kabupaten Sumba Tengah, dilanjutkan dengan seminar-seminar dengan para pejabat di Provinsi NTT dan mengirimkan tim lobi ke Jakarta. Untuk melobi Pemerintah Pusat dan DPR di Jakarta, sepertinya semua skenario sudah disusun dan berjalan dengan baik. Namun ditengah jalan, para elite (Bupati dan DPRD) kabupaten induk yaitu Kabupaten Sumba Barat, sepertinya tidak merestui pembentukan kabupaten baru (Sumba Tengah) yang hendak melepaskan diri dari kabupaten induk (Sumba Barat), sementara itu menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, pemekaran wilayah dapat dilaksakan jika ada persetujuan (restu) dari kabupaten induk. Menurut pengamatan Vel (2007), ada ketersinggungan dari elite kabupaten induk dalam proses pemekaran ini. Elite kabupaten induk merasa dilangkahi kewenangannya oleh karena itu, para elite ini mengecam panitia pemekaran yang langsung berangkat melakukan lobi ke Jakarta tanpa ada koordinasi dengan kabupaten induk. Ekspresi ketidaksukaan ini terlihat pada saat ketika tim dari Pusat (Jakarta) datang untuk melakukan verifikasi pembentukan kabupaten baru, oleh DPRD Sumba Barat, mereka tidak disambut dengan layak, sementara itu Bupati tidak berada di tempat dengan alasan dipanggil oleh Gubernur NTT ke Kupang. Analisis lain menurut Vel (2007:153) mengapa pembentukan Kabupaten Sumba Tengah sangat lamban, adalah karena biaya kampanye untuk pembentukan suatu kabupaten baru sangatlah mahal. Misalnya untuk kasus Toya Una-Una dibutuhkan dana sekitar Rp1.5 miliar, sedangkan dana kampanye untuk pembentukan Kabupaten Sumba Tengah kurang dari Rp 900 juta rupiah. Menurut Vel (2007:153) bahwa semua keputusan pemerintah Indonesia “bisa dibeli”, sebuah kabupaten yang Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 99 baru mempunyai harga minimum, dan harga tersebut terlalu tinggi sehingga mustahil terbayar oleh daerah-daerah kecil dan miskin seperti Sumba Tengah. Kasus pemekaran daerah lainnya ditulis oleh Dik Roth (2007), yaitu tentang rencana pembentukan Provinsi Luwu Raya yang lepas dari Provinsi induk Sulawesi Selatan. Kasus ini menghasilkan peta konflik yang sangat kompleks. Berbagai motif dan kepentingan bermain dalam rencana pemekaran ini, antara lain perebutan posisi-posisi politis dan sumber-sumber ekonomis, adanya politik etno-religius, nostalgia historis pada kerajaan-kerajaan masa lampau, perasaan tidak suka pada Provinsi induk Sulawesi Selatan, sampai keinginan akan terbentuknya masyarakat yang lebih baik, adil, dan demokratis. Sampai saat ini Provinsi Luwu Raya belum juga terbentuk. Menurut Roth (2007:186), hal ini terjadi karena adanya perpecahan dalam gerakan pembentukan Provinsi Luwu Raya, sementara itu UU Nomor 32 Tahun 2004 telah ditetapkan, dan dalam Undang-Undang baru ini pemekaran daerah semakin sulit, oleh karena itu, dalam kasus ini pemenang sebenarnya adalah Provinsi Sulawesi Selatan dan para elite Provinsi induk di Makassar. Roth (2007:187) lebih lanjut menilai kegagalan penetapkan provinsi baru ini dengan jelas mengilustrasikan tiga hal yaitu, pertama pemekaran bukannya merupakan peralihan ke demokrasi, transparansi, dan good governance namun pemekaran merupakan pertarungan memperebutkan kuasa, pengaruh, dan sumber-sumber antarkelompok elite, kedua untuk dapat memahami pemekaran ini penting penting dipertimbangkan konteks historis, terutama adanya sejarah panjang tentang hubungan-hubungan administratif antara Luwu, Tana Toraja, dan Makassar, serta tentang batas-batas identifikasi yang senantiasa bergeser, ketiga peranan identifikasi-identifikasi etno-religius menjadi sangat penting dalam pemekaran daerah ini. Politik identitas menjadi salah satu masalah utama yang telah membuat gerakan pemekaran daerah ini terpecah belah. Hiruk pikuk pemekaran daerah seperti dua contoh kasus di atas sangat menarik untuk diangkat oleh media massa, baik itu media nasional, terlebih lagi media lokal. Apalagi pemekaran daerah ini banyak terjadi terutama sejak disahkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004. Hingga Desember 2008 telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri atas tujuh provinsi, 173 kabupaten, dan 35 kota. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 100 Pemekaran daerah diwarnai dengan pro dan kontra. Mereka yang setuju berargumentasi, bahwa pemekaran akan membuat kinerja pemerintah daerah menjadi lebih fokus. Dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit, dan daerah yang lebih sempit, pemerintah daerah bisa lebih optimal dalam melakukan pembangunan. Daerah-daerah terpencil yang sebelumnya tidak diperhatikan, akan bisa lebih diperhatikan setelah pemekaran daerah. Sementara itu, pihak yang tidak setuju berargumentasi, bahwa pemekaran daerah merupakan taktik dari elite lokal untuk berkuasa. Pemekaran daerah umumnya tidak lahir akibat desakan masyarakat, tetapi persaingan elite politik lokal dalam menguasai sumber daya ekonomi dan politik dari daerah. Lewat pemekaran daerah, elite bisa berkuasa dan mendapat sumber daya ekonomi, misalnya dalam bentuk anggaran dari pemerintah pusat. Mereka yang tidak setuju dengan pemekaran daerah menunjuk kepada fakta yang terjadi di daerah-daerah yang mengalami pemekaran menunujukkan bahwa tingkat kehidupan daerah tersebut tidak lebih baik dibandingkan dengan sebelum terjadi pemekaran. Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat memberikan titik perhatian yang berbeda ketika memberitakan isu pemekaran daerah. Kompas adalah salah satu surat kabar yang paling sering mengangkat isu pemekaran wilayah. Dari 187 berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis dalam penelitian ini, sebanyak 74 berita (39,6%) adalah berita seputar pemekaran daerah. Surat kabar Jurnal Nasional lebih sedikit mengangkat isu pemekaran daerah. Dari 123 berita yang dianalisis, sebanyak 20 berita (16,3%) berisi seputar pemekaran daerah. Sementara Kedaulatan Rakyat adalah surat kabar yang jarang sekali mengangkat isu pemekaran daerah. Hanya 4 berita (3,9%) saja berita mengenai pemekaran daerah yang diangkat oleh Kedaulatan Rakyat dari total 102 berita yang dianalis. Gambar III Frame Isu Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 101 187 123 102 74 20 Kompas Jurnal Nasional 4 Kedaulatan Rakyat Berita mengenai pemekaran daerah Total berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis Gambar di atas memperlihatkan bingkai dari ketiga media. Kompas mendefinisikan pemekaran sebagai akibat kepentingan dari elite lokal. Mayoritas berita mengenai pemekaran daerah di harian Kompas dibingkai sebagai akibat kepentingan elit lokal. Kompas cenderung kritis dalam menilai isu pemekaran daerah. Dalam frame Kompas, pemekaran daerah terjadi akibat kepentingan elite, bukan kebutuhan masyarakat di daerah. Untuk surat kabar Jurnal Nasional, bingkai (frame) yang banyak muncul adalah regulasi. Pemekaran daerah terjadi akibat adanya tuntutan masyarakat lokal yang diakomodasi oleh Undang-Undang. Sementara Kedaulatan Rakyat melihat pemekaran daerah dalam bingkai yang positif, yaitu jikalau pemekaran daerah dilakukan dengan tepat hal ini bisa mempercepat pembangunan di daerah. Dari gambar tersebut terlihat bahwa ketiga surat kabar mempunyai frame yang berbeda dalam mendefinisikan pemekaran daerah. Kompas cenderung bersikap kritis terhadap isu pemekaran daerah, sebaliknya, Kedaulatan Rakyat cenderung bersikap positif terhadap isu pemekaran daerah, sementara itu Jurnal Nasional berada di tengah, dimana pemekaran daerah lebih dilihat sebagai pemenuhan terhadap Undang-Undang Otonomi Daerah. Dengan kata lain pemekaran wilayah terjadi karena Undang-Undang memang memperbolehkan terjadinya pemekaran daerah. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 102 Gambar IV Pendefinisian Masalah Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar 25.0% 22.0% 20.0% Tidak ada / tidak jelas Lainnya Pemekaran wilayah bisa membuat daerah lebih diperhatikan Pemekaran wilayah adalah kebutuhan bagi wilayah di Indonesia 0.0% 0.0% 4.0% 4.0% 0.0% 4.0% 8.0% Pemekaran wilayah jika dilakukan dengan tepat bisa mempercepat pembangunan di daerah. Kedaulatan Rakyat (N=4) 50.0% 10.0% 6.0% Pemekaran wilayah dilakukan untuk guna mengadopsi tuntutan masyarakat lokal dan Undang-Undang. Pemekaran wilayah terjadi lebih karena kepetingan elit lokal dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat lokal 6.0% 5.0% 25.0% 42.0% 11.0% 0.0% 12.0% Jurnal Nasional (N=20) 46.0% Kompas (N=74) Ketiga suratkabar juga mempunyai perbedaan dalam hal menentukan sumber masalah (diagnose cause), yaitu apa atau siapa pihak yang dipandang sebagai penyebab munculnya pemekaran daerah. Kompas berposisi kritis, karena melihat pihak yang menjadi sumber masalah adalah elite politik lokal. Dalam berita Kompas, pemekaran daerah umumnya dipicu oleh keinginan elite politik lokal. Mereka adalah pihak yang paling aktif mengusung pemekaran daerah. Elite lokal juga merupakan pihak yang paling diuntungkan dengan adanya pemekaran daerah. Sementara itu, frame berbeda dijumpai dalam pemberitaan Kedaulatan Rakyat (KR). Berita Kedaulatan Rakyat tidak menempatkan elite politik lokal sebagai penyebab munculnya pemekaran daerah. Dalam berita Kedaulatan Rakyat, pemekaran daerah muncul karena UndangUndang memberi kesempatan lahirnya pemekaran daerah3. Jika pemekaran daerah mempunyai 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat berikutnya ayat (3) yang menyatakan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan (secara rinci dapat dilihat pada PP 129 tahun 2000). Bagi provinsi, syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 103 kelemahan di lapangan, yang harus dikritisi dan dipersalahkan adalah Undang-Undang dan perangkat peraturan yang mengatur mengenai pembentukan pemekaran daerah. Surat kabar Jurnal Nasional melihat pemekaran daerah sebagai dampak negatif dari otonomi daerah. Otonomi daerah melahirkan penguasa-penguasa baru di daerah. Jurnal Nasional tidak secara kritis menyoroti mengenai elite-elite lokal, hanya melihat aspek positif dan negatif dari otonomi daerah. Gambar V Sumber Masalah Pemekaran Daerah di Tiga Surat kabar Tidak ada / tidak jelas Lainnya Masyarakat lokal tidak siap dengan pemekaran daerah Peraturan perundang-undangan Undang-Undang yang mengakomodasi pemekaran… Imbas negatif dari otonomi daerah 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 2.0% 14.0% 25.0% 2.0% 4.0% 4.0% 50.0% 12.0% 0.0% Elit politik lokal. Elit politik diuntungkan dengan… Kedaulatan Rakyat (N=4) 28.0% 12.0% Jurnal Nasional (N=20) 30.0% 28.0% 25.0% 22.0% 42.0% Kompas (N=74) Surat kabar Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat mempunyai frame (bingkai) yang berbeda dalam melihat isu pemekaran daerah. Tabel berikut memperlihatkan frame dominan dari ketiga suratkabar. Tabel IX Frame Dominan di Tiga Surat kabar Isu Pemekaran Daerah PERANGKAT FRAMING Kompas Jurnal Nasional Kedaulatan Rakyat persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Adapun syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor seperti: (a) Kemampuan ekonomi; (b) Potensi daerah; (c) Sosial budaya; (d) Sosial politik; (e) Kependudukan; (f) Luas daerah; (g) Pertahanan; (h) Keamanan; dan (i) Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Sedangan Syarat fisik yang dimaksud syarat ini harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 104 Pendefinisian Masalah (Define Problems) Pemekaran daerah terjadi lebih karena kepentingan elite lokal dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat lokal. Pemekaran daerah dilakukan guna mengadopsi tuntutan masyarakat lokal dan Undang-Undang. Pemekaran daerah jika dilakukan dengan tepat bisa mempercepat pembangunan di daerah. Sumber Masalah (Diagnose Cause) Elite politik lokal. Elite politik diuntungkan dengan adanya pemekaran daerah. Otonomi daerah dan elite politik lokal. Otonomi dalam praktiknya melahirkan penguasa-penguasa baru di daerah. Undang-Undang. Terjadinya pemekaran daerah akibat diakomodasi oleh UndangUndang, sehingga ada celah yang mempermudah melakukan pemekaran. Keputusan Moral (Make Moral Judgement) Pemekaran daerah harusnya dilakukan atas dasar kebutuhan dari masyarakat dan efektivitas program pembangunan. Pemerintah pusat tunduk kepada Undang-Undang dan menyetujui apa yang menjadi keinginan masyarakat di daerah. Kesejahteraan rakyat harus menjadi tujuan utama pemekaran daerah. Masyarakat harus lebih sejahtera setelah adanya pemekaran. Penekanan Penyelesaian (Treatment Recommendation) Mengembalikan semangat pemekaran daerah pada relnya yang benar. Warga masyarakat di daerah berunding bersama mengenai perlu tidaknya pemekaran daerah. Perlu tidaknya pemekaran daerah dikembalikan kepada masyarakat di daerah tersebut. 5.2 Isu Pilkada/Pemilihan Gubernur Menurut Mandica (2008) serta Ricard C. Crook dan James Manor (1998), salah satu bentuk metode yang diadopsi oleh negara-negara berkembang untuk meningkatkan otonomi politik, partisipasi politik, transparansi politik, dan mendemokratisasikan pemerintahan lokal adalah pemilihan eksekutif (gubernur, bupati dan walikota). Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 105 Untuk kasus Indonesia, hal ini telah dimulai sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut, kewenangan pemilihan kepala daerah (eksekutif) diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kewenangan untuk memilih kepala daerah oleh DPRD ini dikenal sebagai pemilihan kepala daerah tidak langsung. Menurut penelitian dari Mandica (2006) pilkada tidak langsung 4 menimbulkan beberapa kondisi baru di daerah . Dengan menguatnya peran DPRD dalam pemilihan kepala daerah disertai kewenangan DPRD untuk dapat memberhentikan Kepala Daerah (ayat 3 pasal 46, UU No 22 Tahun 1999) banyak menciptakan hubungan yang tidak harmonis antara DPRD dan Kepala Daerah. Ketegangan sering terjadi antara DPRD dan Kepala Daerah yang berujung pada pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD5. Pada tahun 2004 diterbitkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004, dalam UU tersebut, pemilihan kepala daerah tidak lagi menjadi domain DPRD, namun dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat daerah tersebut. Menurut penelitian Siti Zuhro (2008) dampak dari pilkada langsung ini menurunkan fungsi dan peran DPRD6 Isu ini mengemuka sepanjang tahun 2012 dan 2013, bersamaan dengan usulan perubahan RUU Pilkada. Usulan terhadap perubahan mekanisme pemilihan Gubernur tersebut mencuat ketika Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pemillihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). RUU Pilkada merupakan bagian dari revisi Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang di dalamnya mengatur pemilihan gubernur secara langsung.7 Isu ini berkaitan dengan apakah sebaiknya 4 Dalam penelitian Mandica (2008) yaitu, pertama fenomena pengelompokan politik yang terpusat pada elite-elite lokal, kedua eksekutif yang terpilih tidak dikenal rekor kerjanya, ketiga maraknya demonstrasi oleh masingmasing kandidat yang biasanya berakhir dengan kekerasan, dan keempat kuatnya arus dari masyarakat untuk mewujudkan pemilihan langsung. 5 Seperti dalam Kasus Kabupaten Sampang, Kota Surabaya, Kabupaten Temanggung 6 Dalam penelitiannya Siti Zuhro (2008:63-65) ditemukan dampak dari pilkada langsung terhadap eksistensi DPRD yaitu menurunnya peran dan fungsi DPRD, lebih khusus lagi melemahnya chek and balances DPRD, reposisi peran DPRD menurut UU No 32/2004 telah menimbulkan fenomena mobocracy, di mana keterlibatan warga dalam proses pembuatan kebijakan politik dijalankan dengan cara tidak terlembaga sehingga konstestasi politik ditentukan oleh kemampuan untuk memobilisasi massa dan dukungan politik. 7 Dalam RUU Pilkada tersebut, Pemerintah mengajukan usulan perubahan sistem pemilihan gubernur yaitu mengubah sistem pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi sistem pemilihan gubernur secara perwakilan oleh DPRD Provinsi. Sementara untuk mekanisme pemilihan bupati/wali kota tetap secara langsung oleh rakyat. Di samping itu, untuk mekanisme pemilihan wakil kepala daerah tidak lagi dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah, tetapi wakil kepala daerah diusulkan oleh kepala daerah terpilih dari pegawai negeri sipil. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 106 gubernur dipilih oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) seperti sebelum tahun 2005, ataukah gubernur tetap dipilih lewat pemilihan (Pilkada). Di kalangan ahli dan politisi memang terdapat perbedaan pandangan mengenai apakah sebaiknya gubernur dipilih lewat Pilkada ataukah cukup dipilih oleh DPRD. Pihak yang setuju dengan pemilihan gubernur secara langsung (lewat Pilkada) berargumentasi bahwa pilkada langsung untuk kepala daerah adalah amanat konstitusi. Bentuk negara Indonesia adalah republik sehingga kepala negaranya disebut presiden. Selain bentuk negara yang republik, Republik Indonesia juga mengadopsi bentuk pemerintahan presidensial sehingga presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Menurut UUD 1945, tidak hanya presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, tetapi juga anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Susunan negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, tetapi menjamin otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom provinsi dan daerah otonom kabupaten/kota. Karena presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan dipilih melalui pemilu dan karena anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota juga dipilih melalui pemilu, kepala daerah otonom provinsi dan kepala daerah otonom kabupaten/kota juga harus dipilih melalui pemilu (lihat Surbakti, 2013). Pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih tepat diterapkan dalam bentuk pemerintahan parlementer, karena kepala pemerintahan nasional dalam negara seperti ini juga tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh parlemen. Jika UUD telah menggariskan keanggotaan DPRD dipilih oleh rakyat melalui pemilu, kepala daerah sebagai mitra DPRD dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom haruslah juga dipilih rakyat secara langsung melalui pemilu. Pemilihan gubernur secara langsung juga merupakan Hal itu untuk menghindari fenomena “pecah kongsi” yang mengakibatkan tidak efektifnya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Beberapa usulan perubahan mendasar lainnya yang tercantum dalam RUU Pilkada adalah mencegah politik dinasti dan politik transaksi, mendukung netralitas birokrasi, efisiensi kampanye, pengaturan terhadap calon inkumben, dan penyelesaian sengketa pilkada. Secara konstitusional Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menegaskan, bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Konstitusi secara tegas tidak mengharuskan Gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan hanya dipilih secara demokratis. Rumusan “dipilih secara demokratis” lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR tahun 2000, antara pendapat yang menghendaki kepala daerah dipilih oleh DPRD dan pendapat lain yang menghendaki dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun memang makna “demokratis” bisa berkonotasi dua, yaitu pertama, bisa dipilih secara langsung oleh rakyat dan kedua, bisa dipilih oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat (lihat Chakim, 2013). Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 107 pengakuan akan kedaulatan rakyat, yang mempunyai kedaulatan dalam memilih calon yang diinginkan. Jikalau ada masalah (seperti gubernur terpilih tidak sesuai harapan), yang salah bukan pemilihan gubernurnya. Pihak yang tidak setuju dengan pemilihan gubernur secara langsung juga mempunyai argumentasi yang kuat. Setidaknya ada dua alasan yang dikemukakan oleh pihak yang setuju dengan pemilihan gubernur lewat DPRD (lihat Made Suwandi, 2013). Pertama, yaitu untuk meningkatkan efisiensi anggaran pemilu yang memiliki biaya sangat tinggi untuk prosedur pemilihan gubernur. Anggaran yang dibutuhkan untuk setiap pemilihan gubernur langsung oleh rakyat adalah sekitar Rp 70 miliar menjadi Rp 90 miliar atau sekitar US $ 7,5 juta menjadi US $ 10 juta. Bahkan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi juga menyatakan, bahwa setiap calon yang ingin menjalankan dalam pemilihan gubernur langsung membutuhkan setidaknya lebih dari Rp 20 miliar atau sekitar US $ 2 juta. Sementara itu, gaji pokok gubernur sebesar Rp 8,7 juta per bulan. Kalau mau menjadi seorang gubernur membutuhkan uang Rp 20 miliar, sementara gaji gubernur sebesar Rp 8,7 juta per bulan, maka butuh waktu berapa lama untuk mengembalikan uang Rp 20 miliar itu ? (Kompas, 23 Juli 2010). Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa calon terpilih akan memanfaatkan kesempatan apa pun untuk mendapatkan kembali uang mereka yang di keluarkan selama proses kampanye mereka. Kedua, bahwa gubernur hanya memiliki tingkat otoritas yang rendah. Rendahnya intensitas hubungan antara gubernur dan masyarakat tidaklah menuntut akuntabilitas yang tinggi dari gubernur kepada masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah mencatat, bahwa proses pemilihan langsung akan terlalu mahal untuk pemilihan gubernur karena otoritas mereka hanya sebagai wakil pemerintah pusat di tingkat daerah. Bagaimanakah isu pemilihan gubernur secara langsung ini diberitakan oleh Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat. Grafik menampilkan berita mengenai isu ini di ketiga surat kabar. Isu ini mendapat alokasi pemberitaan yang cukup banyak di Kompas dan Jurnal Nasional. Total terdapat 24 berita di Kompas dan 32 berita di Jurnal Nasional. Sebaliknya, di Kedaulatan Rakyat isu ini tidak banyak diangkat. Total hanya 8 berita mengenai isu pemilihan gubernur langsung ini yang diberitakan oleh Kedaulatan Rakyat. Gambar VI Frame Isu Pilkada di Tiga Surat kabar Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 108 187 123 102 32 24 8 Kompas Jurnal Nasional Kedaulatan Rakyat Berita mengenai pemilihan gubernur Total berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis Bagaimana dengan bingkai (frame) berita ketiga suratkabar atas isu pemilihan gubernur secara langsung ?. Grafik berikut ini memperlihatkan bagaimana isu pemilihan gubernur secara langsung ini di definisikan oleh ketiga surat kabar (define problems). Dari grafik ini terlihat ada perbedaan ketiga suratkabar dalam mendefinisikan isu tersebut. Kompas dan Kedaulatan Rakyat melihat isu pemilihan gubernur ini dalam konteks hak-hak warga negara. Meskipun biaya pemilihan langsung mahal, pemilihan langsung harus tetap diselenggarakan untuk menjamin hak-hak dan kedaulatan rakyat. Dengan pemilihan secara langsung, rakyat bisa menentukan secara langsung siapa orang yang dipandang tepat dalam memimpin provinsi. Frame berbeda ditunjukkan oleh suratkabar Jurnal Nasional. Jurnal Nasional melihat pemilihan gubernnur secara langsung tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensiil. Karena gubernur adalah wakil dari pemerintah pusat di daerah. Sebaiknya gubernur dipilih oleh DPRD atau dipilih oleh presiden. Gambar VII Pendefinisian Masalah Pilkada di Tiga Surat kabar Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 109 Tidak jelas / tidak ada Lainnya Pemilihan langsung sebagai akibat dominasi partai dalam politik Pemilihan langsung menghambur-hamburkan uang Pemilihan langsung amanat konstitusi 0.0% 0.0% 2.0% 0.0% 25.0% 6.0% 8.0% 25.0% 22.0% 0.0% 6.0% Pemilihan langsung tidak sesuai dengan fungsi gubernur sebagau wakil pemerintah pusat 0.0% Pemilihan langsung sebagai penghormatan hak-hak rakyat 0.0% Kedaulatan Rakyat (N=8) 8.0% 8.0% 50.0% 14.0% 8.0% 44.0% 12.0% Jurnal Nasional (N=32) 62.0% Kompas (N=24) Pasca pilkada langsung, kerap kali diwarnai masalah hubungan antara bupati/walikota dengan gubernur dan gubernur dengan presiden. Koordinasi antara presiden-gubernurwalikota/bupati menjadi tidak baik. Gubernur sering kali tidak bisa mengkoordinasi bupati/wakilota di bawahnya karena kepala daerah tersebut merasa punya wewenang besar dalam mengurus daerahnya sendiri. Hal yang sama juga terjadi dengan hubungan antara gubernur dengan presiden. Gubernur kerap menelurkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat. Gubernur juga merasa dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga tanggung jawabnya adalah secara langsung ke rakyat bukan ke pemerintah pusat. Bagaimana ketiga suratkabar melihat sumber masalah (diagnose causes) dari persoalan ini ? Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat mempunyai frame yang berbeda. Jurnal Nasional melihat berbagai masalah tersebut bersumber dari pemilihan langsung gubernur. Masalah ini bisa diatasi jikalau gubernur tidak dipilih secara langsung, dan ada ketegasan bahwa gubernur merupakan wakil dari pemerintah pusat di daerah. Frame yang berbeda ditunjukkan oleh Kompas. Bingkai Kompas, berbagai masalah mengenai hubungan pusat dan daerah tidak bisa ditimpakan kesalahan kepada pemilihan langsung. Jika ada kesalahan dan kelemahan, yang Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 110 harus dibenahi adalah sistemnya bukan menghilangkah pemilihan langsung itu sendiri. Relasi yang tidak baik bisa diatasi dengan membangun sistem dan mekanisme hubungan presiden dan gubernur. Hal yang sama juga ditunjukkan dalam berita Kedaulatan Rakyat. Gambar VIII Sumber Masalah Pilkada di Tiga Surat kabar Tidak jelas / tidak ada Lainnya 0.0% 2.0% Regulasi yang tidak tegas Sistem pemilihan secara langsung Elit politik Kedaulatan Rakyat (N=3) Suratkabar Kompas, 25.0% 10.0% 50.0% 8.0% 8.0% Partai politik merasa sebagai atasan gubernur Gubernur tidak merasa bawahan dari presiden 10.0% 8.0% 12.0% 12.0% 0.0% 25.0% 12.0% 12.0% 0.0% 44.0% 8.0% 0.0% 12.0% Jurnal Nasional (N=16) 42.0% Kompas (N=17) Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat mempunyai frame (bingkai) yang berbeda dalam melihat isu gubernur dilipilih secara langsung. Tabel berikut memperlihatkan frame dominan dari ketiga suratkabar, tersebut. Tabel X Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 111 Frame Dominan di Tiga Surat kabar Isu Pilkada Gubernur PERANGKAT FRAMING Kompas Jurnal Nasional Kedaulatan Rakyat Pendefinisian Masalah (Define Problems) Pemilihan gubernur secara langsung adalah wujud penghormatan terhadap Kedaulatan Rakyat dalam memilih pejabat publik. Pemilihan gubernur secara langsung tidak sesuai dengan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (presiden) di daerah. Pemilihan gubernur secara langsung sesuai dengan sistem demokrasi. Sumber Masalah (Diagnose Cause) Elite politik. Masalah yang terjadi seputar gubernur (seperti gubernur tidak tunduk pada presiden, gubernur terlibat korupsi, gubernur tidak mempunyai kontrol atas bupati / walikota dsb) muncul dari elite. Pilkada tidak bisa dipersalahkan sebagai sumber masalah tersebut. Pemilihan langsung. Pemilihan secara langsung kerap membuat gubernur tidak tunduk kepada presiden karena tidak menganggap presiden sebagai “atasan”. Gubernur lebih tunduk kepada partai yang mengusungnya. Regulasi dan aturan yang tidak ketat. Setelah terpilih sebagai gubernur, bukan lagi wakil partai tetapi wakil pemerintah pusat. Keputusan Moral (Make Moral Judgement) Kedaulatan rakyat adalah hal yang penting. Demokrasi memang mahal, tetapi itu harus ditempuh untuk menjamin kedaulatan rakyat. Perlu diciptakan model pemilihan khas Indonesia yang efesien dan murah tanpa mengurangi hakhak rakyat. Dukungan rakyat harus dibarengi dengan kesadaran elite. Elite harus bertanggung jawab. Penekanan Penyelesaian (Treatment Pembenahan sistem. Kelemahan pemilihan langsung bukan Gubernur dipilih lewat DPRD. Selain bisa Kesadaran elite. Masalah seputar pemilihan Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 112 Recommendation) 5.3 berarti harus menghapus sistem pemilihan langsung. Pembenahan bisa dilakukan dengan perbaikan sistem Pemilu (seperti rekruitmen calon), dan sistem pemiliihan yang lebih efesien (seperti Pemilu serentak) tanpa menghilangkan esensi pemilihan langsung. menghemat anggaran, pemilihan ini akan mempertegas fungsi gubernur sebagai koordinator bupati/walikota sekaligus wakil dari pemerintah pusat di daerah. gubernur bisa diatasi dengan pembenahan kesadaran dari elit politik. Isu Dinasti Politik Isu lain yang banyak mendapat perhatian dari liputan media adalah dinasti politik. Banyak ditemukan di negara-negara yang baru merdeka, para pendiri negara (founding father) memilih sistem demokrasi untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Meskipun negara tersebut telah memilih demokrasi dan membuang sistem politik tradisional kerajaan, faktanya, faktor kedekatan kekeluargaan dan kekerabatan masih sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan politik negara tersebut8. Praktik politik dinasti semacam ini dapat berpengaruh tidak baik pada berbagai aspek pembangunan (sosial, ekonomi, politik) suatu negara, karena ketika sumber-sumber strategis (sosial, ekonomi, politik) dimonopoli atau dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kedekatan kekerabatan dengan pemegang kekuasaan, bisa dipastikan bahwa akses setiap warga negara pada sumber-sumber strategis (sosial, ekonomi, politik) tidaklah sama, mereka yang dekat dengan kekuasaan akan mudah mendapatkan akses kedudukan, kekuasaan, jabatan, dan kemudahan finansial. Sebaliknya, yang jauh dengan kekuasaan akan mengalami kebalikannya. 8 Beberapa contoh kasus seperti di Srilanka (Dinasti Bandaranaike), Pakistan (Dinasti Bhuto), India (Dinasti Gandhi), Malaysia (Dinasti Abdul Razak), Singapura (Dinasti Lee) dan tentu juga di Indonesia. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 113 Beberapa studi mengenai dinasti politik seperti yang dilakukan oleh Robert Springborg (1975) di Mesir, dan Linda Lewin (1979) di Brazil menarik untuk menjadi bahan diskusi. Penelitian Springborg (1975) menunjukkan bahwa elite ekonomi dan elite politik di Mesir dipilih secara eksklusif berdasarkan hubungan kekeluargaan dan perkawinan. Para tuan tanah yang kaya akan memperluas jaringan patronase dan membangun dinasti politik berdasarkan kekayaan material dan monopoli jabatan politik penting melalui kekeluargaan. Mereka tidak jarang memakai perkawinan sebagai cara memperluas jaringan patronase. Dari sanalah kemudian basis kelompok, basis faksi, basis ekonomi, dan basis politik dijadikan alat untuk bisa mewujudkan kepentingan keluarga. Penelitian Lewin (1979) di Brazil menemukan bahwa keluarga atau kerabat dekat memainkan peran penting di lebih dari 300 wilayah. Sejak tahun 1889 pemimpin politik ditingkat nasional selalu berasal atau merupakan jaringan dinasti politik dari wilayah Pariba. Oligarki Pariba dibangun dari koalisi 36 keluarga besar yang mempunyai kekuasaan monopoli atas sumber daya strategis, dan akhirnya sistem politik yang dibangun dari jaringan kekerabatan dan kekeluargaan ini mendominasi posisi-posisi penting dalam birokrasi pemerintahan di Brazil. Untuk kasus di Indonesia tulisan Andi Faisal Bakti (2007:491) yang berjudul “Kekuasaan Keluarga di Wajo Sulawesi Selatan” sangat bagus untuk dapat melihat bagaimana kekuasaan keluarga dimulai yang kemudian di kembangkan dan diatur sedemikian rupa, sehingga kekuasaan keluarga tersebut dapat bertahan dalam segala rezim pemerintahan. Bakti (2007:492) memotret seorang tokoh penting di Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan, yang disamarkan dengan panggilan Puang. Puang ini adalah tokoh sentral yang digambarkan oleh Bakti sebagai patron yang sangat berpengaruh dalam konstelasi politik di Kabupaten Wajo. Puang berdarah bangsawan dan memulai kariernya sebagai perwira di TNI Angkatan Darat. Kemudian Puang menikah dengan putri bangsawan tuan tanah di Wajo. Pada tahun 1987, Puang masuk menjadi anggota Golkar, pada tahun 1993 Puang diangkat menjadi Ketua DPRD Kabupaten Wajo. Akhirnya tahun 2004 sang Puang terpilih menjadi Bupati Kabupaten Wajo. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 114 Lebih lanjut, Bakti (2007) memaparkan sukses karier Puang ini menjadi sangat menarik karena dalam memuluskan dan mengamankan kariernya, Puang juga bertidak sebagai patron bagi kerabat-kerabatnya. Puang mengangkat dan menunjuk kerabat-kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan birokratis strategis, yang biasa disebut “lahan basah” dan menguntungkan. Posisi yang dijabat oleh kerabat Puang antara lain adalah Asisten II Kepala Daerah Bidang Ekonomi dan Pembangunan, saudara yang lain menjadi Kepala Bagian Perlengkapan, dan juga pejabatpejabat di kantor dinas yang dianggap “basah”, seperti kantor dinas pertanian, pajak, transportasi, pertanahan, kehutanan, serta kepala bagian ekonomi, yang lebih mencengangkan, 10 dari 14 Camat dijabat oleh saudara sepupu Puang, sehingga munculah kekuasaan patrimonial Puang, yang membentuk rejim yang hegemonis di Kabupaten Wajo. Untuk meminimalisasi suara-suara kritis, Puang menggunakan politik uang. Berbagai institusi masyarakat sipil seperti pesantren, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah diberi bantuan dana yang cukup besar, yakni sekitar Rp 100 juta. Cara yang sama juga digunakan untuk meredam berita-berita yang miring di surat kabar, para waratawan ini disogok dengan uang oleh kerabat Puang yang berada di birokrasi. Dari penelitian Bakti di atas dapat dilihat bahwa ide awal otonomi daerah yang berusaha mendirikan pemerintahan daerah yang baik, yang berbasis pada demokrasi dan good governance serta memotong praktik pemerintahan yang buruk seperti pemerintahan patron client ala Orde Baru, ternyata di Kabupaten Wajo tidak terjadi. Dinasti politik yang berlandaskan kekerabatan dan patron client ala Orde Baru malahan dengan sukses dipraktikan Puang di Kabupaten Wajo. Istilah “dinasti politik” mengacu kepada penguasaan jabatan-jabatan publik (kepala daerah, dan anggota legislatif) oleh sekelompok keluarga. Istilah ini mencuat di Indonesia terutama sejak tahun 2009. Ini ditandai oleh munculnya kepala daerah dan anggota legislatif yang masih mempunyai hubungan keluarga. Istri atau anak-anak kepala daerah menjadi anggota legislatif atau kepala daerah di tempat lain. Akibat dari dinasti politik ini adalah jabatan-jabatan publik dikuasai oleh beberapa anggota keluarga. Berdasarkan penelusuran Kompas (19 Oktober 2013), setidaknya ada 37 kepala daerah terpilih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat negara lain. Mereka tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 115 Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Maluku 9. Isu dinasti politik banyak dipersoalkan karena dua hal. Pertama, dinasti politik dipandang bisa menutup kesempatan aktor politik lain di daerah yang potensial. Aktor yang berasal dari dinasti politik mempunyai keuntungan karena bisa memanfaatkan jaringan, sumber daya dan popularitas dari anggota kerabat yang tengah memerintah (menjabat). Kedua, dinasti politik bisa menghilangkan kritik dan kontrol sosial. Ketika jabatan-jabatan publik di daerah dikuasai oleh kerabat atau dinasti politik tertentu, dikhawatirkan tidak lagi terjadi kritik sosial. Kekuasaan memusat di tangan kerabat atau jaringan keluarga. Harian Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat menempatkan berita mengenai dinasti politik ini secara berbeda. Kompas dan Jurnal Nasional cukup banyak mengangkat isu dinasti politik. Total berita mengenai dinasti politik adalah sebanyak 17 buah di Kompas dan 16 berita di Jurnal Nasional. Sementara di Kedaulatan Rakyat, isu mengenai dinasti politk ini hanya diangkat sebanyak 3 berita saja. Isu ini kurang menarik minat surat kabar Kedaulatan Rakyat. Gambar IX Frame Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar 9 Sebagian kerabat meneruskan jabatan yang sama. Bupati Indramayu Anna Sophanah meneruskan jabatan dari suaminya, Irianto MS Syafiuddin. Demikian pula dengan Bupati Kendal Widya Kandi Susanti, Bupati Bantul Sri Suryawidati, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, yang melanjutkan posisi suami masing-masing. Adapun Mohammad Makmun Ibnu Fuad menggantikan ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan. Pola lainnya adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda sehingga dinasti politik bisa terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, sedangkan anaknya menjadi Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza. Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan anaknya, Ivan SJ Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa. Contoh lebih luas adalah dinasti politik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Keluarganya menjabat Wakil Bupati Pandeglang, Wali Kota Tangerang Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali Kota Serang. Selain kepala daerah, dinasti politik juga dibangun lewat penguasaan atas posisi di lembaga legislatif. Keluarga kepala adaerah mencalonkan diri dan kemudian terpilih dalam berbagai posisi di lembaga legislatif---baik pusat ataupun daerah. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 116 187 123 17 16 Kompas Jurnal Nasional 102 3 Kedaulatan Rakyat Berita mengenai diansti politik Total berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis Selain jumlah berita yang berbeda, ketiga surat kabar juga membingkai (framing) isu dinasti politik ini secara berbeda. Grafik di atas menampilkan bagaimana isu dinasti politik didefinisikan oleh ketiga surat kabar (define problems). Kompas lebih banyak melihat isu dinasti politik sebagai buah dari otonomi daerah. Dalam pandangan Kompas, otonomi daerah di satu sisi mempunyai dampak positif dan di sisi lain berdampak negatif. Dinasti politik adalah sisi negatif dari otonomi daerah. Penguasa dan elit poliitik lokal menjadi “penumpang gelap” dari otonomi daerah. Sebagai kebijakan negara, otonomi daerah memberi kesempatan kepada elite lokal untuk masuk dalam jabatan publik (misalnya lewat pemilihan kepala daerah atau legislatif). Otonomi daerah juga memberi kesempatan luas kepada pejabat daerah untuk membuat kebijakan. Ini kerap dimanfaatkan oleh elit politik lokal untuk mencuri kesempatan dalam memupuk kekuasaaan ekonomi dan politik. Dengan popularitasnya, pejabat di daerah bisa mendorong anggota keluarga lain untuk masuk dalam jabatan-jabatan publik lewat pemilihan. Di lain pihak, harian Jurnal Nasional melihat isu dinasti politik secara berbeda, Menurut Jurnal Nasional, dinasti politik adalah produk dari partai politik yang feodal dan tidak transparan. Jabatan-jabatan publik yang didapat lewat pemilihan (seperti anggota legislatif atau kepala daerah) saat ini harus lewat partai politik. Partai seharusnya bisa menjadi alat penyaring, dengan membatasi dinasti politik namun, yang terjadi justru sebaliknya, partai kerap kali justru Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 117 lebih suka mendorong kerabat untuk mencalonkan diri. Sementara Kedaulatan Rakyat membingkai isu dinasti politik ini sebagai buah dari lemahnya regulasi dan penegakan hukum. Undang-Undang yang ada tidak membatasi dinasti politk, sehingga membuat elit politik lokal memanfaatkan celah ini. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 118 Gambar X Pendefinisian Masalah Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar Tidak jelas / tidak ada Lainnya Dinasti politik warisan dari masa lalu Dinasti politik pencerminnan partai politik Dinasti politik sebagai akibat dari regulasi dan penegakan hukum yang lemah 18.0% 14.0% 0.0% 0.0% 8.0% 14.0% 12.0% 14.0% 0.0% 0.0% 18.0% 66.0% 4.0% 8.0% Dinasti politik pencerminan dari sistem politik feodal 0.0% Dinasti politik adalah penumpang gelap otonomi daerah 0.0% Kedaulatan Rakyat (N=3) 33.0% 12.0% 12.0% Jurnal Nasional (N=16) 28.0% 38.0% Kompas (N=17) Ketiga surat kabar (Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat) juga berbeda dalam melihat siapa atau apa yang menjadi penyebab dari dinasti politik (diagnose causes). Kompas meletakkan lahirnya dinasti politik sebagi buah dari otonomi daerah. Otonomi daerah tidak dipersiapkan dengan baik sehingga muncul dinasti politik, kondisi yang tidak dipikirkan saat otonomi daerah lahir. Jurnal Nasional berbeda dengan Kompas. Dalam pandangan Jurnal Nasional, dinasti politik lahir akibat sistem rekruitmen di partai politik. Partai politik adalah pihak yang bisa dipersalahkan dari lahirnya dinasti politik. Partai kerap kali tidak membatasi, bahkan mendorong jaringan kekerabatan di daerah untuk maju dalam pemilihan. Calon yang berasal dari dinasti politik tertentu, oleh partai bahkan kerap dianggap sebagai sisi positif dari calon, seperti mempunyai popularitas, jaringan, dan sumber daya yang lebih baik dibandingkan dengan calon lain. Tidak mengherankan jikalau peluang calon yang berasal dari dinasti politik lebih tinggi dibandingkan dengan calon lain. Sementara itu harian Kedaultan Rakyat melihat, masalah dinasti politik lahir akibat regulasi yang lemah. Regulasi dan penegakan hukum adalah aspek yang bisa dipersalahkan sebagai akibat dari lahirnya dinasti politik. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 119 Gambar XI Sumber Masalah Isu Dinasti Politik di Tiga Surat kabar Tidak jelas / tidak ada Lainnya Masyarakat yang permisif Peraturan perundang-undangan yang tidak jelas Undang_undang yang tidak membatasi dinasti politik Partai politik dan elit politik nasional Otonomi daerah Kedaulatan Rakyat (N=3) 0.0% 0.0% 14.0% 10.0% 12.0% 12.0% 0.0% 6.0% 12.0% 33.0% 0.0% 0.0% 66.0% 6.0% 12.0% 0.0% 52.0% 22.0% 0.0% 10.0% Jurnal Nasional (N=16) 32.0% Kompas (N=17) Surat kabar Kompas, Jurnal Nasional dan Kedaulatan Rakyat mempunyai frame (bingkai) yang berbeda dalam melihat isu dinasti politik. Tabel berikut memperlihatkan frame dominan dari ketiga surat kabar tersebut. Tabel XI Frame Dominan di Tiga Surat kabar Isu Dinasti Politik PERANGKAT FRAMING Kompas Jurnal Nasional Kedaulatan Rakyat Pendefinisian Masalah (Define Problems) Dinasti politik adalah hasil sampingan buruk dari otonomi. Dinasti adalah “penumpang gelap” otonomi daerah. Dinasti politik merupakan pencerminan dari sistem politik yang feodalistik dan partai yang belum menjalankan fungsinya dengan baik. Dinasti politik lahir akibat regulasi yang lemah Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 120 Sumber Masalah (Diagnose Cause) Otonomi daerah. Otonomi melahirkan penguasa-penguasa baru yang mempunyai sumber daya lebih. Partai politik dan elite nasional. Rekruitmen partai yang tidak menyaring dinasti politik. Undang-Undang dan peraturan tidak membatasi dinasti politik. Keputusan Moral (Make Moral Judgement) Setiap kebijakan ada sisi baik dan buruk. Selalu saja ada orang atau pihak yang memanfaatkan kesempatan untuk keutungan diri dan kelompoknya. Dinasti politik lahir dari sistem yang tradisional. Partai harus mengarah ke sistem yang modern, transparan dan terbuka. Hasrat manusia untuk terus memperbesar kekuasaan. Karena itu, harus ada regulasi untuk pembatasan kekuasaan. Penekanan Penyelesaian (Treatment Recommendation) Pengusutan kasuskasus korupsi dan penyimpangan hingga ke tingkat lokal untuk memberikan efek jera. Rekruitmen partai yang terbuka. Partai mengusung calon kepala daerah atau legislatif bukan dari anggota dinasti politik. Revisi UndangUndang partai politik atau UndangUndang Pemerintah Daerah yang membatasi jabatan publik dikuasai oleh anggota dinasti politik. 5.4. Isu Korupsi Elite Lokal Salah satu isu yang paling mendapat perhatian media adalah isu kasus korupsi elite lokal. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (Lord Acton:1887). Lord Acton, anggota parlemen Inggris, membuat suatu peringatan akan dekatnya kekuasan dengan korupsi. Bahkan, secara eksplisit Acton mengatakan bahwa kekuasaan yang mutlak akan korup mutlak juga dan mengapa kekuasaan selalu dekat dengan korupsi. Untuk kasus di Indonesia tulisan Syarif Hidayat (2007:267) yang berjudul “Shadow State…? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten” sangat menarik. Provinsi Banten yang Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 121 merupakan Provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat mempunyai kisah yang sangat dekat dengan jawara. Jawara pada masa lampau adalah mereka yang mempunyai kemampuan pencak silat dan ilmu kanuragan. Namun, untuk kasus Provinsi Banten, jawara dapat juga diartikan selain sebagai jago pencak silat, juga sebagai pengusaha. Hal ini oleh Syarif Hidayat (2007:268) disebut “jawara berstatus ganda”. Dengan sangat baik Syarif Hidayat (2007) mengambarkan bahwa sebagai pengusaha, jawara akan memaksimalkan sumber daya keuangan yang dimiliki, sedangkan sebagai jawara, mereka juga akan dapat menggunakan sumber daya kekerasan. Di Povinsi Banten, ketua jawara adalah TB Chasan Sochib yang merupakan pengusaha sekaligus bapak dari Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiah. Di Provinsi Banten inilah salah satu contoh isu dinasti politik dan isu korupsi elit lokal bersatu sedemikian rupa menjalin temali yang rapi. Dinasti TB Chasan Sochib menguasai hampir semua jaringan Kepala Daerah di Provinsi Banten. Lebih lanjut, Syarif Hidayat (2007:292) membedah peran Tuan Besar (TB) dalam praktik pemerintahan informal, terutama dalam kasus premanisme proyek di Provinsi Banten. Kasus premanisme proyek ini berakar dari praktek monopoli pelaksanaan fisik proyek-proyek pembangunan di Pemerintah Daerah Provinsi Banten. Berbagai proyek di Provinsi Banten ini jika tidak dikerjakan oleh kelompok TB, maka akan di kenakan fee proyek antara 10-11 %. Menurut Syarif Hidayat (2007:303) praktek shadow state ini dapat berjalan karena lemahnya peran institusi formal pemerintah daerah di Provinsi Banten. Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten menghadapi kesulitan untuk memfungsikan secara maksimal institusi formal pemerintah daerah. Hal ini karena adanya Tuan Besar yang selain mempunyai hubungan kekerabatan, juga menjadi sponsor dana dan sponsor politik bagi terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten. Secara tepat, Syarif Hidayat (2007) membuat kesimpulan bahwa yang terjadi di Provinsi Banten adalah dominasi Tuan Besar dalam mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan bagian dari investasi politik dan ekonomi yang ditanam oleh Tuan Besar pada saat pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Banten. Beberapa ahli yang melakukan studi tentang korupsi, seperti Jeremy Pope (2002), mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan, dan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Sedangkan Robert Klitgaard (1998) mengatakan bahwa korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 122 uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. Dari uraian diatas terlihat bahwa korupsi merupakan suatu tindakan yang menyelewengkan kekuasaan dan mengambil atau menggelapkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Seperti tercermin dalam kasus Tuan Besar (TB) pada tulisan Syarif Hidayat diatas. Dekatnya kekuasaan dengan korupsi secara sederhana diuraikan oleh Klitgaard (1998) dengan suatu rumus (C = M + D – A), di mana C adalah Corruption, M adalah Monopoly Power, D adalah Discretion by Officials, dan - A adalah Minus Accountability. Dari rumus Klitggard di atas terlihat bahwa kecenderungan adanya korupsi atau penyelahgunaan kekuasaan akan timbul jika tidak ada pengawasan. Oleh karena itu, pengawasan yang baik mutlak diperlukan untuk meminimalisasi korupsi. Salah satu isu utama dalam reformasi tahun 1998 adalah “melawan korupsi” dengan cara mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme Namun ironisnya korupsi justru meningkat dan meluas pascareformasi. Salah satu yang menghambat konsolidasi demokrasi di Indonesia adalah korupsi politik yang melanda seluruh institusi negara dan pada semua jenjang pemerintahan, yang mengubur tujuan kemerdekaan untuk kemakmuran rakyat. Partai politik yang seharusnya dapat menjadi pilar demokrasi, untuk menggodok caloncalon pemimpin negeri, pada realitanya menyalahgunakan kekuasaan secara vulgar, baik dalam bentuk transaksional maupun penyalahgunaan kebijakan publik. Korupsi di parlemen pusat dan lokal dapat dilihat pada praktiknya secara nyata dalam berbagai bentuk, antara lain transaksi pasal dalam penyusunan perundang-undangan, percaloan anggaran, jual beli suara dalam pemilihan pejabat publik, dan gratifikasi. Korupsi di eksekutif sama dan sebangun dengan korupsi di parlemen. Mereka menyalahgunakan kekuasaan melalui transaksi kekuasaan dan keuntungan finansial atau menjadi calo bagi berbagai kepentingan. Korupsi di lingkungan eksekutif pusat dan daerah berlangsung dalam skala yang lebih luas karena menjangkau seluruh instansi sampai ke daerah. Bersamaan dengan itu, korupsi yang sistemik juga berlangsung pada lembaga yudisial dan penegak hukum dan menjadi isu yang menghiasi berbagai media massa. Surat kabar banyak memberitakan elite lokal (terutama kepala daerah) yang terlibat dalam berbagai kasus lokal. Jumlah kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi sangat besar. Pada Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 123 bulan Juli 2013, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, membuat pernyataan yang mengejutkan. Menurut Gamawan, sebanyak 86,22 persen kepala daerah di Indonesia tersangkut kasus korupsi (330 orang dari 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah), yang tersangkut di sini, bisa berupa saksi, tersangka, terdakwa atau sudah dihukum. Sementara itu data lain, disampaikan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah Djohan, sejak tahun 2004 sampai Februari 2013, sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi. Rinciannya , Gubernur 21 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41 orang dan Wakil Walikota 20 orang. Selain kepala daerah, korupsi di daerah juga menjerat anggota parlemen. Anggota legislatif yang terjerat korupsi di DPRD kabupaten/kota tercatat sebanyak 431 orang dan DPRD Provinsi 2.545. Jumlah tersebut adalah 6,1 persen dari total 18.275 anggota DPRD se-Indonesia. Adapun jumlah aparatur pemerintah di bawah kepala daerah yang terlibat korupsi juga tinggi, mencapai lebih dari 1.200 orang. Biasanya, aparatur di bawah kepala daerah ikut terlibat praktik korupsi karena terseret perbuatan kepala daerah. Hingga tahun 2013, aparatur birokrasi yang terseret jumlahnya mencapai 1.221 orang, yang telah berstatus tersangka 185 orang, terdakwa 112 orang dan terpidana 877 orang, sedangkan yang masih saksi mencapai 46 orang (Rakyat Merdeka, 14 Februari 2013). Berita mengenai kasus-kasus korupsi di daerah tersebut (baik yang melibatkan kepala daerah, anggota DPRD, atau pejabat birokrasi di daerah) banyak diberitakan oleh surat kabar. Setelah selesai satu kasus korupsi, disusul oleh kasus korupsi yang lain dan seterusnya. Saat penelitian ini dilakukan, surat kabar banyak mengangkat kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin dan Gubernur Maluku Utara Thaib Armayn. Kasus-kasus korupsi elite lokal tersebut tidak semuanya dianalisis dalam studi ini. Studi ini hanya menyertakan pemberitaan surat kabar mengenai kasus korupsi elit lokal yang terkait dengan otonomi daerah. Perincian berita mengenai kasus korupsi terkait dengan otonomi daerah adalah sebagai berikut. Kompas memberitakan isu ini sebanyak 18 berita, Jurnal Nasional 16 berita dan Kedaulatan Rakyat 4 berita. Perlu dicatat, berita yang dianalisis hanya yang terkait Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 124 dengan perdebatan mengenai otonomi daerah. Jadi tidak semua berita mengenai kasus korupsi lokal yang diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini. Gambar XII Frame Korupsi Elite Lokal di Tiga Surat kabar 187 123 18 16 Kompas Jurnal Nasional 102 4 Kedaulatan Rakyat Berita mengenai korupsi elit lokal Total berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis Sangat menarik dari data ini adalah, harian Kedaulatan Rakyat merupakan surat kabar yang paling sedikit dalam memberitakan isu korupsi elit lokal. Sementara untuk Kompas dan Jurnal Nasional, relatif seimbang dalam hal jumlah pemberitaan mengenai isu korupsi elite lokal. Selain jumlah (frekuensi) pemberitaan, hal lain yang menarik adalah bingkai (frame) berita dari ketiga surat kabar. Kompas, Jurnal Nasional ataupun Kedaulatan Rakyat mempunyai bingkai yang berbeda dalam hal mendefinisikan masalah korupsi (define problems). Kompas melihat korupsi yang melibatkan elite-elite politik lokal (kepala daerah, pejabat birokrasi, dan anggota DPRD) adalah hasil sampingan dari sistem pemilihan yang berbiaya mahal. Kompas lebih memaknai korupsi sebagai akibat dari masalah struktural dibandingkan dengan masalah pribadi atau kultural. Dalam berita Kompas, korupsi yang banyak melibatkan elite lokal tersebut terjadi ketika mereka menduduki posisi politik lewat biaya yang mahal. Untuk maju sebagai calon diperlukan miliaran rupiah sehingga ketika terpilih, elite lokal tersebut tergoda untuk melakukan korupsi. Ketika menjabat, mereka juga tergoda korupsi guna mempersiapkan uang yang dipakai untuk pemilihan selanjutnya. Adapun frame berbeda diangkat oleh Kedaulatan Rakyat. Surat kabar ini Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 125 lebih melihat korupsi sebagai masalah hukum, terutama tidak ada sanksi yang tegas dan aparat hukum yang tidak bersih. Korupsi di Indonesia bukan makin turun tetapi makin tinggi jumlahnya, sebagai akibat dari tidak adanya sanksi hukum yang membuat efek jera. Pejabat di daerah tidak merasa takut melakukan korupsi. Selain itu aparat hukum juga tidak berlaku tegas, tebang pilih, dan tidak memberikan hukuman maksimal bagi pelaku korupsi. Harian Jurnal Nasional mengangkat frame yang berbeda 180 derajat dengan Kedaulatan Rakyat. Jurnal Nasional sama sekali tidak menyinggung masalah korupsi sebagai masalah penegakan hukum atau akibat tidak tegasnya pemerintah. Jurnal Nasional justru banyak mengangkat berita mengenai ketegasan pemerintah, seperti banyaknya izin pemeriksaan yang dikeluarkan oleh presiden, prestasi KPK dan seterusnya. Jurnal Nasional melihat masalah korupsi ini sebagai kurangnya sanksi sosial dan politik. Mereka yang terbukti korupsi tidak diberikan sanksi moral dan sosial, tetap diterima. Banyak pejabat yang pernah dihukum, bahkan bisa mencalonkan diri kembali dalam jabatan politik periode berikutnya. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 126 Gambar XIII Pendefinisian Masalah Isu Korupsi Elite Lokal di Tiga Surat kabar 0.0% Lainnya Korupsi sebagai akibat sumber daya yang beralih ke daerah 6.3% 5.6% 0.0% 6.3% 11.1% 50.0% Korupsi masalah bukan hanya daerah tetapi juga pusat 18.8% 11.1% 25.0% Korupsi di daerah bukan hanya persoalan hukum tetapi juga sosial dan budaya 56.3% 16.7% 25.0% Korupsi adalah hasil hasil sampingan buruk dari Pilkada 12.5% 55.6% 0.0% Kedaulatan Rakyat (N=4) 10.0% 20.0% Jurnal Nasional (N=16) 30.0% 40.0% 50.0% 60.0% Kompas ( N=18) Ketiga surat kabar juga berbeda dalam melihat sumber masalah (Diagnose Cause) dari banyaknya kasus korupsi di daerah. Kompas melihat banyaknya kasus korupsi di daerah disebabkan oleh sistem pemilihan dan biaya politik yang mahal. Seharusnya pemilihan dibuat murah, sehingga orang-orang terbaik dan bersihlah yang bisa masuk dalam jabatan-jabatan publik di daerah. Ketika biaya politik mahal, elite politik lokal ini akan masuk dalam lingkaran korupsi, yakni uang yang telah dikeluarkan selama pencalonan akan coba dicari gantinya ketika sudah menjabat. Biaya politik yang mahal juga hanya memberi kesempatan kepada elite-elite lama (orang itu-itu saja) untuk maju dan terpilih, dan menutup kesempatan bagi orang-orang baru yang relatif bersih. Sementara itu Kedaulatan Rakyat lebih melihat sumber masalah korupsi sebagai tidak adanya penegakan hukum yang tegas. Jika hukum ditegakkan dengan baik, pelaku dihukum maksimal (jika perlu dihukum mati), serta aparat tidak tebang pilih, hal ini akan menimbulkan Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 127 efek jera dan membuat takut orang yang akan melakukan korupsi. Perilaku korupsi makin marak karena hukuman yang ringan membuat orang tidak takut melakukan korupsi. Sebaliknya, Jurnal Nasional lebih melihat sumber masalah korupsi adalah tidak adanya sanksi sosial dan politik bagi pelaku. Penegakan hukum yang ditandai oleh banyaknya pejabat di daerah yang ditangkap dan diproses hukum, tidak mengurangi angka korupsi jika tidak ada sanksi sosial. Gambar XIV Sumber Masalah Isu Korupsi Elite Lokal di Tiga Surat kabar Masalah budaya, warisan Tidak ada sanksi moral dan sosial Aparat hukum yang tidak bekerja dengan baik Hukuman yang tidak maksimal Ongkos (biaya) politik yang mahal Sistem pemilihan yang berbiaya mahal Kedaulatan Rakyat (N=4) 0.0% 6.3% 62.5% 11.1% 50.0% 6.3% 5.6% 6.3% 11.1% 6.3% 27.8% 12.5% Jurnal Nasional (N=16) 44.4% Kompas ( N=18) Selain pendefinisian masalah dan sumber masalah yang berbeda, ketiga surat kabar juga memiliki posisi berbeda dalam hal mengangkat keputusan moral dan penekanan penyelesaian masalah. Tabel berikut menggambarkan secara singkat frame dominan dari ketiga surat kabar dalam melihat isu korupsi elite lokal. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 128 Tabel XII Frame Dominan di Tiga Surat kabar Isu Korupsi Politik PERANGKAT FRAMING Pendefinisian Masalah (Define Problems) Sumber Masalah (Diagnose Cause) Keputusan Moral (Make Moral Judgement) Penekanan Penyelesaian (Treatment Recommendation) Kompas Jurnal Nasional Korupsi politik adalah hasil sampingan buruk dari pemilihan kepala daerah secara langsung. Kekuasaan yang besar di daerah dibarengi juga dengan tumbuhnya korupsi di daerah. Sistem dan praktik pemilihan kepala daerah yang berbiaya mahal. Ongkos politik yang mahal itu menjadi pangkal dari perilaku elite lokal yang korup. Korupsi tidak hanya memerlukan pendekatan hukum tetapi juga sosial dan budaya. Tidak ada hukuman moral dan sosial. Aparat hukum telah memenjarakan banyak pelaku, tetapi perilaku koruptif tidak turun karena kurang sanksi moral. Korupsi bukan hanya Korupsi adalah persoalan budaya, perbuatan buruk tetapi juga sistem. dan nista. Sistem yang korup Sekarang ini mendorong orang banyak orang untuk berbuat korup. yang melakukan korupsi, tetapi tidak malu, dan berperilaku biasa saja setelah keluar dari penjara. Pembenahan Sanksi sosial mekanisme pemilihan, (dikucilkan, terutama biaya politik. dimiskikan) dan Pembiayaan politik sanksi politik harus dibuat murah, (mis. tidak boleh terbuka dan transparan terlibat dalam sehingga kandidat tidak jabatan politik di tergoda untuk korupsi masa mendatang Kedaulatan Rakyat Korupsi adalah masalah Indonesia, tidak peduli di pusat atau daerah. Hukuman dan efek jera yang kurang maksimal bagi pelaku korupsi. Banyak pelaku korupsi yang dihukum ringan. Godaan kekuasaan sangat tinggi. Orang yang baik bisa menjadi korup ketika berkuasa. Harus ada aturan dan hukuman maksimal untuk memberi efek jera. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 129 ketika nanti menjabat. dsb) bagi pelaku korupsi untuk memberikan efek jera. 5.5. Isu Desentralisasi Asimetris: Keistimewaan Yogyakarta Salah satu isu berkaitan dengan otonomi daerah adalah mengenai desentralisasi asimetris. Charles Tarlton (1965:861-874) adalah seorang ahli politik yang pertama kali memulai perdebatan tentang disentralisasi asimetris. Perbedaan utama antara desentralisasi simetris, dan asimetris terletak pada tingkat kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan suatu level pemerintahan dengan sistem pemerintahan secara umum. Pola simetris ditandai oleh adanya hubungan simetris antar setiap daerah dengan pemerintah pusat yang didasari oleh jumlah dan bobot kewenangan yang sama. Sementara itu pola asimetris adalah satu atau lebih unit pemerintahan lokal yang berbeda derajat otonomi dan kekuasaan yang ditandai dengan tidak seragamnya pengaturan muatan kewenangan, baik secara horizontal maupun vertikal. Desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization) merupakan bentuk penerapan desentralisasi dengan memperhatikan kondisi khas suatu daerah. Di kalangan ahli sendiri terjadi perdebatan, yaitu apakah desentralisasi diberlakukan dengan pola dan bentuk yang sama untuk semua wilayah (simetris) ataukah desentralisasi memperhitungkan kekhasan suatu wilayah sehingga dimungkinkan penerapan secara khusus bentuk desentralisasi tertentu (asimetris). Pihak yang tidak setuju dengan penerapan desentralisasi asimetris berpandangan bahwa bentuk desentraliasi dan otonomi daerah harus diberlakukan secara seragam agar terjadi asas keadilan bagi semua daerah. Jika satu wilayah diperlakukan secara khusus akan menimbulkan kecemburuan daerah lain. Sementara itu pihak yang setuju dengan penerapan desentralisasi asimetris berpendapat bahwa praktik desentralisasi harus memperhatikan kondisi khas daerah, latar belakang sejarah dan riwayat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Konstitusi UUD 1945 (amandemen) sendiri secara jelas mengakui adanya desentralisasi asimetris. Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan dalam Pasal 18A ayat (1), Pasal Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 130 18B ayat (1) dan (2).10 Pengaturan mengenai desentralisasi asimetris tersebut dituangkan lebih lanjut dalam Undang-Undang (UU). Hingga saat ini terdapat 4 Undang-Undang khusus, yakni, Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Meskipun keberadaan desentralisasi asimetris ini diakui oleh konstitusi, di masyarakat (dan media) topik ini masih diperdebatkan, terutama berkaitan dengan kondisi dan persyaratan suatu daerah memperoleh status sebagai daerah istimewa atau otonomi khusus. Salah satu perdebatan yang banyak mengemuka adalah isu mengenai keistimewaan Yogyakarta. Media banyak memberitakan isu ini bersamaan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (RUUK DIY). RUU ini sudah dibahas sejak periode 2004-2009. Namun, hal ini tidak bisa diselesaikan karena tidak terdapat kesepakatan soal mekanisme jabatan gubernur dan wakil gubernur. Pemerintah dan partai Demokrat menginginkan gubernur DIY dipilih lewat pemilihan seperti halnya daerah lain di Indonesia, sedangkan DPR dan masyarakat lebih memilih penetapan. Karena tidak mencapai titik temu, RUU itu dilanjutkan DPR periode 2009-2014. Dewan membentuk Panja dengan menggelar rapat 20 kali. Pembahasan RUUK DIY antara Pemerintah dan DPR pada masa persidangan III dan IV DPR tahun 2011-2012 masih berkutat pada mekanisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Pembahasan RUU tersebut mendesak karena masa jabatan Sultan dan Paku Alam berakhir 9 Oktober 2012. Ini artinya, UU soal Keistimewaan Yogyakarta tersebut harus sudah disahkan sebelum masa jabatan berakhir agar tidak terjadi kekosongan jabatan. Setelah melalui perdebatan panjang, pada 30 Agustus 2012, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta 10 Dalam Pasal 18A ayat (1) diamanatkan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Lebih lanjut dalam Pasal 18B ayat (1) dan (2) diatur bahwa (1) Negara mengakui dan menghormati Satuan–satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 131 menjadi Undang-Undang, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam UU tersebut, Gubernur DIY tidak dipilih lewat Pilkada, tetapi ditetapkan oleh DPRD DIY. Kemudian hasil penetapan diusulkan pada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan penetapan.11 Eksistensi Keraton Yogyakarta sudah ada sejak sebelum Republik Indonesia lahir dan diakui oleh Belanda sebagai wilayah yang berpemerintahan mandiri (zelfbestuurende landschappen). Secara historis Keraton Yogyakarta sudah ada pada tahun 1613 M, yaitu semenjak zaman Kerajaan Mataram Islam. Hubungan antara Keraton Yogyakarta dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia ditandai dengan dukungan terhadap NKRI yang baru lahir dari Sultan Hamengkubuwono IX. Dukungan tersebut dalam bentuk Maklumat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Pakualam VIII yang menyatakan penggabungan Negara Yogyakarta yang bersifat Kerajaan kepada Negara Republik Indonesia. Kemudian maklumat dari Sultan Hamengkubuwono IX tersebut ditanggapi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan diutusnya Mr. Sartono dan Mr. Maramis oleh Presiden Sukarno untuk menyampaikan Piagam Kedudukan Yogyakarta dalam wilayah Republik Indonesia (Robert Endi Jaweng, 2013:110111). Lebih lanjut, menurut Anthony Reid (1996:111-112) hubungan antara Keraton Yogyakarta dan Pemerintah Republik Indonesia adalah hubungan simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan. Pada satu sisi Republik Indonesia yang masih berusia muda dan belum mempunyai wilayah jelas karena berbagai kekalahan dalam diplomasi dengan Belanda, akhirnya mendapatkan kepastian wilayah dari Keraton Yogyakarta. Di sisi lain, kelangsungan Keraton Yogyakarta mendapatkan pelindungan dari Pemerintah Republik Indonesia, termasuk dari ancaman revolusi sosial anti feodalisme yang marak terjadi pada masa revolusi fisik. 11 Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18-29 UU No. 13 Tahun 2012. Dalam pasal tersebut, ditegaskan Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur. Kemudian untuk pemilihannya tidak melalui pemilihan langsung oleh rakyat (pilkada) melainkan penetapan oleh DPRD DIY kemudian hasil penetapan diusulkan pada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan penetapan. Kemudian Presiden Republik Indonesia mengesahkan penetapan dan melantik Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur DIY dan Adipati Paku Alam sebagai Wakil Gubernur DIY selama 5 (lima) tahun, namun tidak terikat dengan 2 (dua ) kali periodisasi masa jabatan. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 132 Penelitian ini hanya menyertakan perdebatan mengenai keistimewaan Yogyakarta, antara tahun 2010 hingga 2012.12 Ada banyak aspek yang dibahas dalam keistimewaan Yogyakarta tersebut, mulai dari status sultan, pemilihan atau penetapan kepala daerah, cagar budaya, keuangan daerah, tanah dan aset kesultanan dan sebagainya. Penelitian ini hanya berfokus pada perdebatan mengenai pemilihan atau penetapan gubernur DIY. Ada pihak yang menilai bahwa Kepala Daerah (Gubernur) DIY dipilih secara langsung lewat Pilkada seperti halnya daerah lain. Sejumlah argumentasi yang setuju Gubernur DIY dipilih lewat Pilkada adalah sebagai berikut. Pertama, prinsip demokrasi dengan memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih secara langsung kandidat yang diinginkan. Pemilihan akan menjamin terjadinya “reward and punishment” karena orang yang baik akan mendapat ganjaran sebaliknya calon yang buruk tidak akan terpilih. Selain itu lewat pemilihan secara langsung juga akan memberikan kesempatan kepada orang terbaik di Yogyakarta untuk menduduki jabatan publik. Kedua, pemilihan secara langsung akan menjamin masyarakat Yogyakarta mendapat calon terbaik. Ketiga, prinsip keadilan. Di daearah lain, kepala daerah dipilih secara langsung, sementara hal ini tidak berlaku di Yogyakarta. Ini akan menimbulkan kecemburuan daerah lain. Sementara itu pihak yang lebih setuju jika Sultan secara otomatis ditetapkan sebagai gubernur, tidak lewat pemilihan langsung ataupun DPRD. Jabatan gubernur melekat pada Sultan. Gagasan ini disertai dengan sejumlah argumentasi. Pertama, keunikan Yogyakarta yang tidak dipunyai oleh daerah lain. Posisi Sultan bagi masyarakat Yogyakarta sangat tinggi, tidak hanya simbol budaya tetapi juga politik, karena Sultan adalah pemimpin masyarakat Yogyakarta, dan praktek ini sudah berjalan puluhan tahun. Kedua, menempatkan kesultanan pada posisi yang tinggi, sehingga tidak terjebak pada politik praktis. Jika kepala daerah dipilih secara langsung (atau lewat DPRD), dan Sultan harus maju lewat partai tertentu, hal ini akan membuat Sultan terjebak pada politik praktis. Kesultanan akan mendukung salah satu partai, padahal Sultan 12 Tidak semua berita mengenai keistimewaan Yogyakarta diteliti. Berita yang dianalisis secara khusus hanya yang berkaitan dengan perdebatan mengenai status kepala daerah di Yogyakarta, apakah dipilih langsung lewat Pilkada seperti daerah lain, ataukah ditetapkan. Selain isu soal pemilihan dan penetapan gubernur, banyak aspek lain mengenai mengenai keistimewaan Yogyakarta yang diberitakan oleh media, diantaranya soal tanah, budaya, anggaran dan sebagainya. Isu-isu selain pemilihan atau penetapan gubrenur tidak disertakan dalam penelitian. Isu mengenai pemilihan dan penetapan gubernur secara purposif dipilih karena isu ini merupakan titik perdebatan mengenai keistimewaan Yogyakarta. Dengan demikian, penelitian ini tidak menyertakan semua berita mengenai keistimewaan Yogyakarta. Jumlah berita mengenai keistimewaan Yogyakarta lebih besar yang dianalisis dalam penelitian. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 133 adalah milik semua warga Yogyakarta. Ketiga, sistem pemilihan dengan penetapan ini sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat Yogyakarta. Perdebatan mengenai pemilihan atau penetapan gubernur ini banyak diberitakan oleh media. Isu ini mendapat cakupan pemberitaan yang cukup luas di ketiga suratkabar. Harian Kompas total mengangkat isu perdebatan mengenai keistimewaan DIY ini sebanyak 54 berita, Jurnal Nasional sebanyak 39 berita sementara Kedaulatan Rakyat sebanyak 83 berita. Proporsi berita mengenai isu perdebatan mengenai keistimewaan DIY yang cukup besar di Kedaulatan Rakyat, ini tidak mengherankan mengingat Kedaulatan Rakyat merupakan yang terbit di Yogyakarta. Gambar XV Frame Isu Ke Istimewaan Yogyakarta di Tiga Surat kabar 187 123 102 83 54 39 Kompas Jurnal Nasional Kedaulatan Rakyat Berita mengenai desentralisasi asimetris keistimewaan DIY Total berita mengenai otonomi daerah yang dianalisis Bagaimana bingkai (frame) ketiga surat kabar dalam melihat keistimewaan Yogyakarta, terutama terkait dengan gagasan pemilihan kepala daerah secara langsung. Harian Kompas dan Kedaulatan Rakyat cenderung setuju jika Sultan langsung ditetapkan sebagai gubernur, tanpa harus melewati pemilihan kepala daerah. Tetapi kedua surat kabar ini mempunyai argumentasi yang berbeda. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 134 Harian Kompas lebih banyak menekankan mengenai aspirasi masyarakat Yogyakarta. Berbagai aksi protes, pawai kebudayaan hingga tuntutan referendum menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta mayoritas menghendaki agar Sultan otomatis ditetapkan sebagai gubernur. Sementara Kedaulatan Rakyat banyak menekankan posisi unik Sultan bagi masyarakat Yogyakarta. Sultan, bagi masyarakat Yogyakarta adalah pemimpin, bukan hanya simbol budaya. Karena itu, sudah selayaknya jika Sultan diangkat sebagai gubernur atau kepala daerah. Praktik ini sudah berlangsung lama, dan selama ini tidak menimbulkan masalah atau protes. Posisi berbeda diambil oleh surat kabar Jurnal Nasional. Suratkabar ini lebih setuju jika Kepala Daerah Yogyakarta dipilih lewat proses pemilihan, bisa pemilhan langsung maupun pemilihan lewat DPRD. Dalam frame Jurnal Nasional, proses pemilihan ini akan menjamin akuntabilitas pemerintahan. Ini juga sekaligus mencegah adanya kecemburuan daerah lain karena di daerah lain kepala daerah dipilih secara langsung. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 135 Gambar XVI Pendefinisian Masalah Isu Keistimewaan Yogyakarta di Tiga Surat kabar Lainnya Penetapan gubernur sudah sesuai dengan kekhasan budaya yang menempatkan Sultan pada posisi penting Penetapan gubernur sesuai dengan aspirasi dan keinginan masyarakat Yogya Penetapan gubernur akan membuat banyak masalah ( di antaranya penggantian, kompetensi, masa jabatan dsb) Pemilihan gubernur secara langsung ingin menempatkan kesultanan pada posisi penting, tidak terjebak pada politik… 2.6% 11.1% 8.4% 3.7% 1.2% 44.4% 26.5% 15.4% 7.4% 2.4% 5.6% 7.7% 1.2% Pemilihan gubernur secara langsung sesuai dengan perkembangan demokrasi 5.6% 2.4% Kedaulatan Rakyat (N=83) 57.8% 5.1% Pemilihan gubernur secara langsung menyesuaikan tuntutan masyarakat 0.0% 22.2% 7.7% 10.0% 35.9% 25.6% 20.0% Jurnal Nasional (N=39) 30.0% 40.0% 50.0% 60.0% 70.0% Kompas (N= 54) Hal yang sama juga terlihat dari siapa yang dianggap sebagai sumber masalah (diagnose cause). Kompas dan Kedaulatan Rakyat sama-sama menempatkan pemerintah pusat dan elite poltik di pusat (terutama Partai Demokrat) sebagai pihak yang paling bersalah terkait perdebatan pemilihan kepala daerah secara langsung. Dalam frame Kompas, pemerintah pusat tidak memperhatikan aspirasi masyarakat Yogyakarta yang menghendaki penetapan Sultan sebagai gubernur. Karena Pemerintah Pusat hanya peduli dengan penyeragaman, tetapi tidak memperhitungkan gejolak dan aspirasi yang ada dalam masyarakat. Sementara itu bingkai Kedaulatan Rakyat banyak menyoroti mengenai kealpaan Pemerintah Pusat dan elite terhadap sejarah. Posisi Yogyakarta dan Kasultanan unik. Hal ini dibentuk lewat proses sejarah yang panjang. Kesultanan Yogyakarta pernah berjasa besar pada berdirinya Republik Indonesia. Sehingga sudah selayaknya jika Sultan Yogyakarta secara otomatis memegang jabatan sebagai kepala daerah. Frame berbeda diangkat oleh surat kabar Jural Nasional. Dalam frame Jurnal Nasional, pangkal soal perdebatan mengenai pemilihan atau penetapan gubernur DIY adalah kesalahpahaman. Pemerintah pusat dan elite (Partai Demokrat) tidak pernah bermaksud untuk tidak menghormati Kesultanan Yogyakarta. Gagasan mengenai pemilihan langsung justru ingin mengembalikan posisi Sultan secara benar. Isu pemilihan kepala daerah adalah pintu masuk untuk mendiskusikan isu-isu lain seputar posisi kesultanan DIY dalam pemerintahan daerah. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 136 Gambar XVII Sumber Masalah Isu Ke Istimewaan Yogyakarta di Tiga Surat kabar Lainnya 9.6% Emosional dan tidak kepala dingin dalam mendiskusikan masalah keistimewaan Yogya 0.0% 1.9% Kesalahpahaman atas gagasan pemerintah pusat 0.0% 1.9% Pemerintah pusat cenderung melakukan penyeragaman 18.4% 3.7% 26.3% 47.4% 14.5% 18.5% 2.6% Tidak mendengar aspirasi masyarakat Yogya yang menghendaki sultan sebagai gubernur 5.3% Tidak memperhitungkan keunikan Yogya 0.0% Tidak ingat sumbangan kesultanan pada RI 0.0% Tidak mengingat sumbangan Yogya pada saat kelahiran RI 0.0% Lupa akan sejarah 0.0% 12.0% 40.7% 19.3% 7.4% 14.5% 7.4% 15.7% 7.4% 14.5% 11.1% 0.0% 5.0%10.0%15.0%20.0%25.0%30.0%35.0%40.0%45.0%50.0% Kedaulatan Rakyat (N=83) Jurnal Nasional (N=39) Kompas (N= 54) Selain pendefinisian masalah dan sumber masalah yang berbeda, ketiga surat kabar juga berbeda posisinya dalam hal mengangkat keputusan moral dan penekanan penyelesaian masalah. Tabel berikut menggambarkan secara singkat frame dominan dari ketiga suratkabar dalam melihat isu korupsi elite lokal. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 137 Tabel XIII Frame Dominan di Tiga Surat kabar Isu Keistimewaan Yogyakarta PERANGKAT FRAMING Kompas Jurnal Nasional Kedaulatan Rakyat Pendefinisian Masalah (Define Problems) Perdebatan mengenai pemilihan / penetapan Gubernur Yogyakarta terjadi karena kurang menyerap aspirasi masyarakat Yogyakarta yang memang menghendaki agar Sultan secara otomatis ditetapkan sebagai Gubernur. Perdebatan mengenai keistimewaan Yogyakarta adalah momentum untuk memikirkan posisi Kasultanan Yogyakarta dalam tata pemerintah daerah. Tidak sekedar soal isu gubernur dipilih / ditetapkan. Perdebatan mengenai pemilihan / penetapan Gubernur Yogyakarta terjadi karena tidak menghargai budaya dan keunikan Yogyakarta. Sistem di mana Sultan otomatis menjadi gubernur sudah berlangsung lama, dan selama itu tidak pernah ada protes. Sumber Masalah (Diagnose Cause) Pemerintah pusat memaksakan penyeragaman sistem otonomi yang belum tentu cocok dengan kondisi masyarakat Yogyakarta. Mayoritas masyarakat Yogyakarta setuju dengan penetapan, sehingga tidak perlu dipaksanakan pemilihan gubernur lewat Pilkada. Sistem dan praktek pemilihan kepala daerah yang berbiaya mahal. Elite politik cenderung mengaburkan usulan pemerintah. Pemerintah pusat bukan bermaksud tidak menghormati warisan dan sejarah Yogyakarta. Justru ingin menempatkan Kesultanan Yogyakarta pada posisi yang penting, tidak terjebak pada politik praktis. Pemerintah pusat dan elite lupa akan sejarah dan sumbangan Yogyakarta kepada Republik Indonesia serta keunikan budaya Yogyakarta. Posisi Sultan bagi masyarakat Yogyakarta sangat unik dan sentral yang berbeda dengan daerah lain. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 138 Keputusan Moral (Make Moral Judgement) Otonomi daerah harus memperhatikan keunikan, kekhasan dan masalah dari masing-masing wilayah. Tidak perlu ada penyeragaman, karena apa yang di satu wilayah cocok belum tentu di wilayah lain cocok. Prinsip demokrasi yang penting adalah memberi kesempatan kepada rakyat untuk bisa dipilih dalam jabatan publik. Rakyat juga bisa memilih calon yang dianggap paling bagus. Jangan melupakan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah, termasuk jasa yang diberikan oleh daerah (Yogyakarta) kepada Republik. Penekanan Penyelesaian (Treatment Recommendation) Gubernur tidak dipilih, tetapi ditetapkan seperti sebelumnya. Sistem ini sudah sesuai dengan keinginan mayoritas masyarakat Yogyakarta, serta tidak melanggar konstitusi (UUD 1945). Pemilihan kepala daerah melibatkan partisipasi masyarakat. Kepala daerah tidak ditetapkan, tetapi lewat proses pemilihan, bisa melalui pemilihan langsung atau lewat DPRD. Yogyakarta harus diberikan status khusus dengan sultan ditetapkan secara langsung sebagai gubernur. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 139 BAB VI MEDIA DAN STRUKTURASI ISU OTONOMI DAERAH Bab VI ini akan membahas media dan strukturasi dalam isu otonomi daerah. Menurut Giddens (1984:25), struktur selalu mengekang dan membebaskan (constraining dan enabling). Berbeda sekali dengan struktur yang dikemukakan oleh ahli sosiologi sebelum Giddens, misalnya Durkheim, yang mengatakan bahwa struktur itu di luar aktor dan memaksa mengendalikan aktor. Pendekatan dari Giddens, dipakai untuk membedah isu otonomi daerah karena lebih luwes, antara struktur dan agen akan bersifat saling melengkapi. Struktur dan agen dipandang bukan sebagai dualisme, namun dipandang sebagai dualitas karena ada interplay antara agen dan struktur. Pada sisi agen dapat dilihat dari tindakan yang berkesinambungan, sedangkan pada sisi struktur dapat dimaknai sebagai aturan-aturan atau sumber daya yang terbentuk karena keterulangan praktik sosial. Menurut Dedy N Hidayat dalam buku Pers dalam Revolusi Mei (2000:431), kajian terhadap pers. Justru harus dilakukan dengan terlebih dahulu mengesampingkan pers dari fokus kajian. Lebih lanjut Hidayat (2000:431) berpendapat pers pertama-tama harus diletakkan dalam totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial, dan politik yang berlangsung di masyarakat. Media tidak hidup dalam ruang vakum yang bebas nilai, tetapi ada proses interplay antara media sebagai agen dan struktur. 6.1. Media dalam Kontradiksi Perubahan Pasca Orde Baru Pada subbab ini akan ditampilkan kehidupan media dalam konteks makro pada zaman Orde Baru dan pada zaman reformasi sehingga peta kehidupan media pada zaman orde baru dan pasca-Orde Baru, akan dapat lebih jelas terpetakan. Seperti penuturan Hidayat (2000:431) di atas, media dan teks isi media serta jurnalis merupakan bagian intergral dari proses-proses sosial, politik, dan ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 140 Pada masa awal pemerintahan orde baru terjadi “bulan madu” antara pers dan pemerintah, setelah melewati masa-masa tegang dan penuh represi oleh pemerintahan Sukarno, ketika tahun 1957 diberlakukan darurat perang (SOB). Pada zaman Sukarno selama 23 jam telah dibredel 10 surat kabar dan 3 kantor berita, sedangkan wartawan dimasukkan penjara, seperti Mochtar Lubis yang sempat di penjara selama sembilan tahun (1957–1966). “Bulan madu” tersebut berlangsung dalam kurun waktu 1966–1973, ketika pers dibebaskan oleh pemerintah untuk melakukan pengawasan dan menjalankan fungsi pers sebagai public watch dog. Akan tetapi, kebebasan tersebut tidak berlangsung lama, karena setelah peristiwa 15 Januari 1974 atau lebih sering disebut peristiwa Malari, 12 media dibreidel, empat tahun kemudian pada tahun 1978 tujuh koran mengalami nasib buruk dibreidel oleh pemerintah. Tidak lama kemudian tiga harian nasional dihentikan penerbitannya, yaitu Sinar Harapan, Prioritas dan Monitor. Tahun 1991–1994 angin kebebasan kembali di hembuskan oleh pemerintah. Pers menyambut dengan bersemangat, banyak pemberitaan yang menyerempet-nyerempet pemerintah seperti kasus Santa Cruzh Dili , kisruh konggres PDI, Marsinah, dan paling akhir tentang pembelian kapal bekas Jerman Timur oleh Tempo, Detik dan Editor. Rupanya kegerahan pemerintah sudah pada puncaknya sehingga ketiga media tersebut dipaksa berhenti terbit alias di breidel. Alasan pembreidelan tersebut adalah “melanggar dan membahayakan stabilitas nasional”1 Pada saat Orde Baru berkuasa, berita-berita yang berhubungan dengan politik disiarkan oleh media dengan hati-hati2, pers tidak bisa dengan bebasnya meliput dan menyiarkan berbagai hal yang berhubungan dengan politik dan pemerintahan. Semua harus disensor, baik itu sensor internal media ataupun sensor yang dilakukan oleh penguasa melalui Departemen Penerangan. Kuasanya Depertemen Penerangan dan aparatur negara pada era Orde Baru ditunjukkan secara vulgar dengan melakukan 1 Daniel Dhakidae (1997:25) menyebukan bahwa jelas dalam konsiderans hukum dikatakan Tempo dianggap melanggar dan membahayakan stabilitas nasional. 2 M Chatib Basri dan Dana Iswara (2000:42-43) Pembredelan beberapa media seperti media Tempo, Detik, dan Editor pada tahun 1994 menunjukkan bahwa Rezim Orde Baru cukup alergi dengan berita-berita politik dan pemerintahan yang dianggap tidak senada dengan politik pemerintahan rezim orde baru, terakhir pada saat krisis ekonomi tahun 1998 Dirjen RTF membuat keputusan TV Pool dimana setiap televisi harus mengakses TV Pool untuk menyiarkan suatu berita. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 141 intervensi langsung pada media yang dianggap melakukan kesalahan, mulai dari yang paling kasar yaitu memberidel atau menutup media tersebut dan menghilangkan nyawa wartawan (kasus Udin), kemudian yang agak kasar dengan meminta media tersebut memecat wartawan yang diangap bermasalah3, sampai yang paling halus berupa telepon peringatan terhadap media yang dianggap salah.4 Sesuai dengan ciri pemerintah yang otoriter dan sentralistis, negara menyediakan wadah tunggal yang tersentral untuk wadah berserikat dan berorganisasi. Berbagai macam kebijakan yang mengatur lembaga profesi yang berkaitan dengan pers dibuatkan wadah tunggal, untuk wartawan ada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) dan SGP (Serikat Grafika Pers). Tentu saja wadah tunggal tersebut juga dilengkapi dengan regulasi yang dikeluarkan oleh negara melalui Menteri Penerangan sehingga peran negara sangat kuat. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa peraturan (rulers) yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru di bawah ini : Permenpen No. 2/Per/Menpen/1969 tentang ketentuan-ketentuan Wartawan. SK Menpen No. 47/Kep/Menpen/1975 tentang Pengukuhan PWI dan SPS sebagai satu-satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia. SK Menpen No.24/Kep/Menpen/1978 dan SK Menpen No. 226/Kep/Menpen/1984 tentang Wajib Relai Siaran RRI dan Penyelanggaraan Siaran Berita oleh radio Siaran non-RRI SK Menpen No.184/Kep/Menpen/1978 tentang pengukuhan SGP sebagai satusatunya Organisai Percetakan Pers di Indonesia. SK Menpen No. 214A/Kep/Menpen/1984 tentang Prosedur dan Persyaratan Untuk mendapatkan SIUPP. Permenpen No. 2/Per/Menpen/1984 tentang Ketentuan-Ketentuan SIUPP. 3 Satrio Arismunandar (2000:212) menceritakan bahwa Kompas terpaksa memecat dirinya karena terlibat aktif pada Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), ketika Satrio menanyakan alasan pemecatan pada Jacob Oetama pemimpin redaksi Kompas, oleh Jacob Oetama dijawab bahwa pemecatan tersebut akibat permintaan dari kekuasaan ekternal yaitu Departemen Penerangan dan PWI, padahal menurut Jacob Oetama sebagai wartawan Satrio adalah wartawan baik dan berprestasi. 4 Effendi Gazali (2000:298-307) intervensi dari negara tidak hanya dirasakan oleh media yang berada di Jakarta, media daerah seperti Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Fajar di Makassar, intervensi tersebut kebanyakan adalah telepon dari pejabat pemerintah di daerah. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 142 Dapat dilihat banyak sekali regulasi yang dikeluarkan rezim Orde Baru untuk membatasi dan mengontrol ruang gerak pers, mulai dari organisasi wartawan sampai organisasi percetakaan yang notebene adalah unit menejerial ekonomis perusahaan. Selain aturan di atas masih ada beberapa hal yang membatasi ruang gerak wartawan dalam meliput sebuah peristiwa, seperti memberitakan keluarga Suharto dan kroninya, memberitakan kehidupan pejabat dan keluarganya, baik pusat maupun daerah, dan juga permasalahan suku, agama, dan ras (SARA). Pada tahun 1997 terjadi krisis di Indonesia. Awal mulanya adalah krisis ekonomi, namun, krisis tersebut merembet ke mana-mana dan pada akhirnya membuat Presiden Suharto mundur dari tampuk kekuasaan. Dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik Chatib Basri dan Dana Iswara (2000:27) mencoba menjelaskan keterkaitan antara ekonomi dan media dalam perubahan atau revolusi mei 1998, menggunakan model Albert O Hirschman (1970) yaitu Exit, Voice, Loyalty. Secara garis besar dalam tulisan ini Chatib Basri dan Dana Iswara (2000:29) memperlihatkan bahwa krisis ekonomi pada tahun 1997 sangat beda dengan krisis ekonomi yang pernah menimpa Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya (1983-1986). Salah satu perbedaan yang disoroti adalah peran media. Pada tahun 1997-1998 media menjadi lebih terbuka dan berani dalam menyampaikan persoalan yang terjadi, karena dampak dari krisis ekonomi tahun 1997-1998 ternyata juga memukul industri media yang semakin kapitalis, dimana berita adalah suatu komoditas yang dijual oleh media, dan pada tahun 1997-1998 ada fenomena porsi iklan media semakin mengecil, harga kertas yang naik tinggi, dan daya beli masyarakat menurun, sehingga hanya beritaberita yang berhubungan dengan politik yang layak dijual untuk mendapatkan pemasukan. Meskipun pemerintah masih mengontrol media, namun kontrol tersebut sepertinya diabaikan. Hal ini terlihat walaupun media massa seperti televisi menyiarkan TV Poll versi Pemerintah, mereka tetap menayangkan demonstrasi mahasiswa di DPR yang menuntut Presiden Suharto turun, dalam konteks ini media kemudian menjadi agen untuk mengartikulasikan problema sosial dan ide reformasi pada masyarakat. Pada sisi yang lain derajat pergerakan modal yang sangat tinggi pada tahun 19971998, salah satunya juga dipengaruhi oleh pemberitaan di media massa. Menurut Chatib Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 143 Basri dan Dana Iswara (2000:29) salah satu karateristik dari investasi portofolio adalah sifatnya yang sangat sensitif terhadap gejolak politik. Derajat pergerakan modal yang tinggi memungkinkan modal beraksi dengan cepat terhadap lemahnya institusi keuangan, masalah korupsi, kolusi, nepotisme, kepastian usaha, rendahnya country risk, tingkat keterbukaan terhadap perdangan internasional, modal manusia, dan pola investasi. Ketika rezim Orde Baru runtuh, terjadi ledakan informasi dan energi yang selama ini tertindas di bawah kekuasaan sensor.5 Ledakan informasi yang lama tertindas itu merembet ke mana-mana sehingga, sesuatu yang dulu dianggap tabu dan dihindari untuk dibicarakan menjadi isu yang sangat menarik untuk diperdebatkan dalam ruang publik. Departemen Penerangan yang sering dianggap sebagai malaikat pencabut nyawa pers juga mereposisi dirinya. Menurut Ishadi SK (2000:228), Menteri Penerangan pada saat itu Yunus Yosfiah, seorang Lentan Jenderal TNI, melakukan banyak perubahan yang signifikan6, yang mengakibatkan iklim dan suasana pers dan media di Indonesia berubah menjadi lebih baik. Bebasnya media dalam menyiarkan berbagai informasi, juga diakui oleh pimpinan tiga media massa yang menjadi informan dalam penelitian ini7. Meskipun secara struktur politik tidak ada lagi ancaman atau intervensi dari negara melalui aparaturnya, menurut Bambang Sigap Sumantri (Kompas), bahwa ancaman pada media dan awak media pada zaman reformasi ini adalah masyarakat sipil yang berafiliasi pada kelompok tertentu. Menurut Bambang Sigap Sumantri, kelompok-kelompok masyarakat sipil ini beberapa kali datang ke Kompas untuk menyatakan keberatan atau penolakan terhadap berita-berita 5 Ariel Heryanto (2000:423) dalam tulisannya berjudul Media, Nasion dan Sejarah, kawan Ariel Heryanto dengan sangat tepat mengungkapkan apa yang etrjadi ketika Orde Baru tumbang, yaitu ledakan informasi dan energi yang selama ini tertindas di bawah kekuasaan sensor. 6 Pada waktu Yunus Yosfiah menjabat Menteri Penerangan, perubahan yang dilakukan antara lain adalah izin penerbitan surat kabar dan majalah yang pada zaman Orde Baru terdiri dari 14 syarat diringkas menjadi tiga syarat, izin penerbitan diberikan dalam waktu tiga sampai tujuh hari, maka dalam satu tahun menjabat Depen dibawah Yunus Yosfiah mengeluarkan sekitar 1.500 SIUPP baru. Untuk Radio dikeluarkan 200 izin stasiun radio baru, dan Televisi dikeluarjan 5 ijin bagi stasiun baru televisi. (Ishadi SK, 2000:228) 7 Bambang Sigap Sumantri dari Kompas menyatakan sejak runtuhnya rezim orde baru tidak ada lagi intervensi dari penguasa atau pemerintah, misalnya tidak ada lagi telpon atau teguran terhadap beritaberita yang disiarkan oleh Kompas, Budi Winarno Pemred Jurnal Nasional juga mengatakan hal yang sama, ditambah lagi Jurnal Nasional adalah koran yang dekat dengan SBY, untuk koran daerah seperti Kedaulatan Rakyat Octo Lampito mengatakan bahwa intervensi dari pemerintah atau penguasa sudah tidak ditemukan lagi sejak Orde Baru tumbang. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 144 yang di terbitkan Kompas. Ancaman anarkisme dari kelompok-kelompok ini juga mengancam jurnalis-jurnalis lapangan Kompas, tetapi ancaman itu semua sampai saat ini masih bisa diatasi oleh pihak manajemen Kompas. Bebasnya media dari struktur politik yang otoritarian pada zaman Orde Baru, juga dialami oleh pemerintahan lokal dan masyarakat lokal, karena sebenarnya pemerintahan lokal dan masyarakat lokal juga merupakan korban dari struktur politik Orde Baru yang berciri otoritarian. Praktik pemerintahan lokal yang berjalan pada zaman pemerintahan Orde Baru cenderung otoritarian8. Hal ini dapat dilihat pada produk hukum (rulers) yang mengatur pemerintahan daerah, yaitu UU No 5 Tahun 1974 yang terlihat lebih berat pada sisi sentralistisnya daripada desentralisasi. Sebuah produk hukum umumnya merupakan suatu cerminan dari kepentingan pemerintah yang berkuasa, produk hukum tersebut dibuat untuk landasan kepentingan berkuasa. Menurut Ryaas Rasyid dkk (2007:151) UU No 5 Tahun 1974 bukan ditujukan untuk meningkatkan kapasitas daerah dan kapasitas masyarakat daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, tetapi lebih kepada instrumen kebijaksanaan untuk memelihara kepentingan orang-orang Jakarta (Pusat)9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 meniadakan prinsip utama otonomi daerah, yaitu otonomi yang riil dan seluas-luasnya, diganti dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan mengganti kata seluas-luasnya menjadi nyata dan bertanggung jawab maka otonomi daerah versi UU No 5 Tahun 1974 menunjukkan bahwa otonomi daerah bukan merupakan hak dari masyarakat dan pemerintah daerah, tetapi merupakan kewajiban daerah dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional. Wacana yang di reproduksi oleh pemerintah Orde Baru adalah jika otonomi daerah merupakan hak dari setiap daerah, dikhawatirkan akan memunculkan semangat 8 Ryaas Rasyid dkk (2007: 142-143) Konfigurasi politik Orde Baru yang otoritarian melahirkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, menurut Ryaas Rasyid undang-undang tersebut lebih condong ke arah sentralisasi kekuasaan yang dibungkus dengan dekonsentrasi, karena UU Nomor 5 Tahun 1974 meninggalkan prinsip otonomi yang riil dan seluasluasnya dan diganti dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. 9 Dicontohkan oleh Ryaas Rasyid (2007: 154-155), Pernah DPRD Daerah Tingkat I Riau memilih Ismail Suko, seorang tokoh masyarakat Riau, namun pada kemudian hari oleh Depdagri hasil pemilihan tersebut dinafikan, dan yang diangkat menjadi Gubernur Riau adalah Imam Munandar seorang Mayor Jenderal ABRI. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 145 kedaerahan dan berakibat kepada disintegrasi nasional. Padahal harusnya otonomi itu adalah hak dari masyarakat daerah karena ketika daerah diberikan otonomi luas, maka idealnya kreatifitas Pemerintah Daerah muncul untuk menjawab berbagai problema masyarakat di daerah. Dengan tidak diberikan kewenangan yang nyata dan seluas-luasnya kepada daerah, maka daerah hanya menjalankan perintah dari pusat (Jakarta) sehingga dinamika pemerintahan daerah tidak terlalu menonjol untuk diberitakan oleh media. Berita-berita yang menonjol tentang pemerintahan daerah pada saat itu lebih kepada seremonial yang diadakan dalam rangka penyambutan atau peresmian suatu proyek dari pusat, misalnya acara kelompecapir (kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa), penyerahan sapi banpres, penyerahan dana inpres, dan sebagainya. Kalaupun ada berita-berita lain yang menonjol selain berita-berita di atas, biasanya berhubungan dengan kekerasan yang dilakukan oleh negara misalnya penggusuran pedagang kaki lima oleh Satpol PP, bedol desa untuk proyek waduk, dan bentrok aparat dengan demonstran mahasiswa. Media baik pusat maupun daerah, dalam membingkai berita-berita diatas terasa berat sebelah, lebih berpihak kepada negara dan aparaturnya. Ketika terjadi perubahan kebijakan terhadap pemerintah daerah dengan memberikan otonomi yang luas pada tahun 1999, maka diterbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, di mana daerah diberi otonomi yang nyata dan luas. Mulai terlihat corong media yang selama ini tidak terlalu tertarik memberitakan daerah10, berubah menjadi sangat bergairah memberitakan dinamika di daerah, kemudian munculah berbagai berita tentang pemekaran daerah, pilkada, pertarungan eksekutif dan legeslatif di daerah, dan sebagainya. Isu otonomi daerah ditangkap beragam oleh media massa. Berdasarkan wawancara dengan para pimpinan media yang diteliti yaitu, Kompas, Jurnal Nasional, dan Kedaulatan Rakyat, otonomi daerah dimaknai beragam, Kompas memaknai otonomi daerah sejalan dengan kemajuan demokrasi di Indonesia. Hal ini menjadi pusat perhatian Kompas semenjak reformasi bergulir. Sementara itu Jurnal Nasional menyiarkan isu 10 Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Prof Djohermansyah Djohan dalam wawancara menginformasikan bahwa pasca reformasi semakin banyak wartawan yang meliput berita-berita mengenai dinamika otonomi daerah. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 146 otonomi daerah karena dua alasan, pertama ada Undang-Undang Otonomi Daerah dan kedua pendiri koran Jurnal Nasional yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat mendukung otonomi daerah. Secara historis dan finansial memang Jurnas mempunyai kedekatan dengan Susilo Bambang Yudhoyono Presiden ke 6 Republik Indonesia. Poisisi Kedaulatan Rakyat sebagai koran daerah terhadap isu otonomi daerah adalah memang sudah saatnya diberlakukan untuk suatu keseimbangan dalam bernegara. Pada sisi lain pemimpin redaksi Kedulatan Rakyat melihat bahwa dengan adanya otonomi daerah maka kehendak lokal terutama Yogyakarta akan lebih dapat dimunculkan, kehendak lokal itu adalah tentang perjuangan Keistimewaan Yogyakarta. Dari ketiga media yang diteliti terlihat bahwa sebenarnya ke tiga media tersebut mempunyai satu kesamaan pendapat, yaitu isu otonomi daerah merupakan isu yang penting. Namun, dengan struktur politik sekarang yang tidak sekuat Orde Baru, ketiga koran yang diteliti mempunyai perbedaan dalam menyikapi, dan menyiarkan isu otonomi daerah terutama isu-isu spesifik tentang otonomi daerah. Kompas sebagai koran nasional yang besar lebih melihat isu otonomi daerah secara lebih kritis, tidak masalah bagi Kompas jika harus berseberangan dengan pemerintah dalam isu otonomi daerah, lain halnya koran Jurnal Nasional yang mempunyai kedekatan dengan partai penguasa (ruling party), tentunya sulit bagi Jurnal Nasional untuk menjadi independen seperti Kompas dalam hal isu otonomi daerah, sehingga posisi Jurnal Nasional adalah sebagai jembatan informasi kebijakan pemerintah tentang isu otonomi daerah. Sedangkan posisi koran Kedaulatan Rakyat sebagai koran daerah maka posisi koran ini dalam isu otonomi daerah adalah menjadi media yang menyalurkan ekspresi kehendak masyarakat lokal atau daerah. Oleh Ryaas Rasyid dkk (2007) kegaduhan dalam menanggapi isu otonomi daerah digambarkan sebagai gejala yang sangat menganggu dalam mengamati implementasi kebijakan otonomi daerah11. Kegaduhan di 11 Dalam tulisannya Ryass Rasyid dkk (2007) mengungkapkan kegelisahannya dimana adanya kecenderungan untuk menjadikan otonomi daerah sebagai kambing hitam, sehingga kemudian ada usaha-usaha untuk melakukan stigmatisasi terhadap otonomi daerah, mislanya ketika kenaikan rapel kenaikan gaji guru di daerah yang tertunda maka otonomi daerah yang disalahkan, ketika terjadi konflik nelayan di Jawa tengah dan Sumatera Utara maka otonomi daerah yang di salahkan bahakan sampai Presiden Megawati dengan nada sinis mengungkapkan kenapa ikan-ikan tidak sekalian saja dikasih KTP, dan yang paling ironis adalah stigmatisasi bahwa otonomi daerah dapat merupakan ancaman terhadap integrasi bangsa atau integrasi nasional. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 147 ini kemudian yang sedikit banyak akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap isu otonomi daerah. Jika pada uraian di atas banyak dikupas media dengan pendekatan politik dan politik lokal, maka selanjutnya akan dikupas dari sisi media dengan pendekatan ekonomi. Ketika rezim Orde Baru jatuh, peta kekuatan politik dan ekonomi di Indonesia berubah. Dahulu peta kekuatan politik dan ekonomi terkosentrasi di sekitar keluarga Suharto, maka pada masa reformasi ini terlihat peta kekuatan politik dan ekonomi tersebar, termasuk peta ekonomi kepemilikan media massa. Harry Tanoesodibyo terlihat secara cepat menguasai saham-saham industri media massa yang dahulu adalah milik keluarga Suharto, seperti: RCTI, TPI, dan Global TV, bahkan Bhakti Investama juga merambah ke media cetak dengan menerbitkan harian Seputar Indonesia (Agus Sudibyo. 2004: 21-23). Muncul juga kelompok PARA Grup milik Chairul Tanjung yang memiliki saham mayoritas di Trans TV dan TV Trans 7 (Laporan AJI, 2004:21). Di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, dibagi menjadi empat kategori yaitu pertama televisi publik dimana televisi ini lebih ditujukan untuk siaran pendidikan kepada publik, kedua televisi swasta merupakan televisi yang didirikan oleh perusahaan komersial (swasta) dalam televisi komersial ini diperbolehkan isi tayangan bersifat komersial, ketiga televisi komunitas merupakan televisi yang melayani suatu wilayah tertentu atau komunitas tertentu, dan keempat televisi berlangganan, dimana dalam televisi berlangganan ini pemirsa televisi diwajibkan membayar langanan kepada perusahaan televisi. Tabel XIV Televisi di Indonesia Siaran gratis terestrial Nasional ANTV, Global TV, Indosiar, Metro TV, MNC TV, RCTI, SCTV, Trans TV, Trans 7, TVOne dan TVRI Lokal Bali TV, JTV, JakTV, Riau TV dan sebagainya Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 148 Berlangganan Content provider (jaringan) Kompas TV, Tempo TV, SINDOTV, Spacetown, JPMC, City TV Network, B-Channel, Top TV Network Kabel First Media, IM2Pay TV, TelkomVision Satelit Aora TV, Centrin TV, Indovision, Okevision, Skynindo, Telkomvision, Top TV, Yes TV Terestrial M2V Mobile TV, Nexmedia Protokol internet Groovia TV (Sumber: Eriyanto :2011) Dari empat kategori menurut Undang-Undang Penyiaran diatas, pada saat ini di Indonesia menurut Eriyanto (2011) pangsa pasar untuk televisi dikuasai oleh 10 stasiun televisi komersial yaitu: Global TV, IVM, ANTV, MNC TV, Metro TV, RCTI, SCTV, Trans TV, TVOne, dan Trans 7. Dari 10 televisi yang ada, dikuasai oleh 4 kelompok media besar, hanya Metro TV saja yang tidak bergabung, ke empat jaringan kepemilikan televisi ini. Tabel XV Peta Kepemilikan Televisi Kelompok Televisi Anggota Jaringan Televisi Media Nusantara Cipta (MNC) 3 (RCTI, TPI, Global TV) Kelompok Bakrie (Visi Media Asia) 2 (ANTV, TV One) Kelompok PARA 2 (Trans TV, TV7) Emtek 2 (SCTV, Indosiar Visual Mandiri) (Sumber: Eriyanto :2011) Di Indonesia pasca jatuhnya rezim Suharto, banyak bermunculan media cetak, data di Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) sampai tahun 2010, media cetak di Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 149 mencapai 1.076 buah, terdiri dari: 1. Surat kabar harian 349 buah, 2. Surat kabar mingguan sebanyak 240 buah, 3. tabolid 188 buah, 4. Majalah 294 buah dan 5. buletin 5 buah. Jumlah eksemplar yang dicetak menurut data SPS (2010) adalah 21,5 juta eksemplar, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut, Tabel XVI Jumlah Suratkabar 2006-2010 Tahun Suratkabar Suratkabar Harian Mingguan Tabloid Majalah Buletin Jumlah 2006 251 235 142 258 3 889 Pertum buhan (%) - 2007 269 247 167 297 3 983 10,6 2008 290 224 173 318 3 1008 2,5 2009 302 232 177 322 3 1036 2,8 2010 349 240 188 294 5 1076 3,9 (Sumber: Eriyanto :2011) Memang terlihat bahwa media cetak di Indonesia cukup besar, namun fakta yang ada tidak semua media cetak di Indonesia sehat secara finansial, sehingga tidak dapat mencetak secara teratur. Sejak jaman Suharto sudah muncul konglomerasi di media cetak, antara lain Kelompok Kompas Gramedia, Kelompok Jawa Post Group, Bisnis Indonesia, dan sebagainya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut, Tabel XVII Kepemilikan Suratkabar Kelompok Penerbitan Suratkabar Jumlah Suratkabar Kompas Gramedia (KKG) 81 Jawa Pos 122 Femina 11 Bali Post 7 Mugi Rekso Abadi (MRA) 8 Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 150 PinPoint 14 Pikiran Rakyat 8 Sari 4 Bisnis Indonesia 7 Suara Merdeka 5 Pos Kota 3 Media Indoenesia 2 Subentra Cipta Media 4 Info Kelapa Gading 3 Gatra 3 Tempo Inti Media 3 Kedaulatan Rakyat 4 Mahaka Media 4 Media Nusantara Cipta (MNC) 3 Total 296 buah (Sumber: Eriyanto:2011) Pada sisi lain surat kabar lokal di Indonesia mempunyai jumlah sangat banyak, jika dilihat dari Data Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) total surat kabar lokal berjumlah 1.076 media cetak di seluruh Indonesia, menurut data di Dewan Pers pada tahun 2010, terdapat 952 media cetak di Indonesia, sepertiganya yaitu 306 adalah suratkabar harian. Walaupun suratkabar lokal banyak jumlahnya, namun menurut Leo Batubara dalam Eriyanto (2011) banyak suratkabar yang tidak dapat terbit teratur, dan hanya 30% saja yang sehat secara bisnis. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 151 Tabel XVIII Jumlah Media Cetak Daerah No Provinsi Harian Mingguan Bulan Total 1 Nanggroe Aceh Darussalam 6 2 - 8 2 Sumatera Utara 33 45 4 82 3 Sumatera Barat 4 21 1 26 4 Riau 12 10 1 23 5 Kepulauan Riau 5 4 - 9 6 Jambi 13 4 - 17 7 Bengkulu 5 - - 5 8 Sumatera Selatan 23 5 1 29 9 Bangka Belitung 5 1 - 6 10 Lampung 13 17 - 30 11 Banten 8 2 8 18 12 DKI Jakarta 35 141 147 323 13 Jawa Barat 11 15 15 41 14 Jawa Tengah 11 4 5 20 15 DI Yogyakarta 5 3 8 16 16 Jawa Timur 14 35 23 72 17 Bali 8 6 4 18 18 Nusa Tenggara Barat 8 2 1 11 19 Nusa Tenggara Timur 5 3 2 10 20 Kalimantan Barat 9 1 1 11 21 Kalimantan Selatan 6 18 - 24 22 Kalimantan Tengah 6 10 3 19 23 Kalimantan Timur 9 2 1 12 24 Sulawesi Selatan 8 33 32 73 25 Sulawesi Tenggara 6 1 - 7 26 Sulawesi Tengah 4 2 - 6 Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 152 27 Gorontalo 3 - - 3 28 Sulawesi Utara 12 - - 12 29 Sulawesi Barat 1 - - 1 30 Maluku 6 - - 6 31 Maluku Utara 4 - - 4 32 Papua 6 2 - 8 33 Papua Barat 2 - - 2 306 389 257 952 Sumber: Dewan Pers (2011) dan Eriyanto (2011) Di Indonesia menurut sumber dari Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) sampai tahun 2010, terdapat 1.368 stasiun radio di Indonesia, sebanyak 1.305 stasiun radio adalah radio swasta, seperti halnya surat kabar dan televisi, radio juga mempunyai kecenderungan tumbuhnya konglomerasi sebagai berikut, Tabel XIX Peta Kepemilikan Radio Kelompok Jaringan Radio Kepemilikan Radio Jaringan Mugi Rekso Abadi (MRA) 10 Rajawali Media Group-Surabaya 3 Gajahmada Group 3 Rajawali Group-Lampung 4 Pentas Group 4 Mersi Group 4 Kartika Group 3 Masima Media Investama 14 Cipta Pariwara Prima (CPP) Radionet 40 Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 153 Suzana Radionet 12 Arbes Network 9 Smart FM Network 6 Mayangkara Radionet 5 Ramako Group 5 Rajawali Citra Mandiri (RCM) Radio Network 9 Volare Group ( Kalimantan Barat) 14 Bens Group 9 Nirwana Group 9 El Victor Group 2 Group Trijaya / Media Nusantara Citra (MNC) 6 Lita Sari Group 3 Bonsita Group 24 Kidung Indah Selaras Suara (KISS) Group 6 Kardopa Group 8 Alnaro Group 4 Smart FM Group 6 Total 222 buah (Sumber: Eriyanto :2011) Dari peta kepemilikan media massa terlihat bagaimana para konglomerat media mempunyai kepemilikan media secara nasional, dengan luas area penyiaran media di seluruh Indonesia. Fakta ini menunjukkan kondisi kekinian media massa di Indonesia secara kepemilikan banyak berubah. Namun, apakah industri media tersebut berpihak Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 154 pada masyarakat atau berpihak kepada konglomerat, perlu penelitian lebih lanjut, karena pasca orde baru muncul fenomena konsentrasi kepemilikan industri media, memang industri media merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan dalam bisnis media. Saat ini bisnis media di Indonesia terlihat semakin terarah pada konsolidasi dan konvergensi media. Fenomena industri media yang terkonsentrasi adalah merupakan suatu tahap akhir dari sebuah siklus evolusi pada lembaga industri modern. Hal ini tidak hanya terjadi pada bisnis media massa, semua bisnis saat ini menghadapi hal yang sama, yaitu ketatnya kompetisi dan semakin menyempitnya pasar sehingga perusahaan dituntut untuk mempunyai keunggulan kompetitif. Selain itu, perusahaan juga menyikapi hal ini dengan cara menyatukan diri (sinergi), dalam kasus media di Indonesia dapat dilihat dari bersatunya Trans TV dengan TV7 menjadi TV Trans7. Proses konsolidasi ini pada akhirnya berujung pada konsentrasi usaha, yaitu suatu pengendalian unit-unit produksi oleh sebuah perusahaan besar. Konsentrasi merupakan hasil dari tiga proses yang terpisah namun saling mendukung: integrasi, diversifikasi, dan internasionalisasi (Golding and Murdock, 1997:4). Lebih lanjut Golding and Murdock (1997:4) menjelaskan pertama proses intergrasi bisa berjalan secara vertikal dan horisontal, integrasi horisontal terjadi ketika suatu kelompok bisnis memperoleh unit tambahan dalam tingkat produksi yang sama, sedangkan integrasi vertikal terjadi ketika kelompok bisnis melakukan ekspansi terhadap tahapan produksi yang berbeda, yang ini lazim melalui mekanisme merger dan take-over. Kedua diversifikasi terjadi ketika suatu perusahaan melakukan ekspansi kebidang usaha lain, seperti perusahaan media merambah ke bidang bisnis lainnya. Di Jakarta kelompok Kompas Garmedia (KKG) merupakan perusahaan media yang paling ekspansif dalam melakukan diversifikasi usaha, selain bergerak dalam bidang media ekspansi juga dilakukan dalam bidang perhotelan dengan hadirnya Hotel Santika. Di Jawa Timur Kelompok Jawa Post merupakan perusahaan media yang paling banyak melakukan diversivikasi usaha di luar bisnis media, antara lain mempunyai PT Prima Elektrik Power yang membangun PLTU untuk memasok listrik di Jawa Timur (Laporan AJI, 2004:24). Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 155 Ketiga internasionalisasi, yang terjadi ketika perusahaan-perusahaan domestik membuka diri terhadap arus investasi asing. Dalam ekonomi yang meng-global seperti pada saat ini, ketika arus modal dapat masuk dan keluar dengan mudah, banyak perusahaan memanfaatkan arus aliran dana ini untuk menambah modalnya. Hal ini terjadi karena sangat terbatasnya modal domestik untuk melakukan ekspansi bagi suatu industri media. Menurut Sudibyo (2004:55), untuk mendirikan Global TV membutuhkan modal Rp 500 milyar, Lativi yang berganti nama menjadi TV One didirikan dengn modal awal Rp 300 milyar, sedangkan TV7 dan Metro TV membutuhkan modal awal Rp 200 milyar untuk memulai usahanya. Dengan biaya yang demikian besar seperti di atas, maka kemudian muncul pertanyaan media massa berpihak kepada siapa ?. Murdock dan Golding (1997) mengatakan bahwa media massa diyakini tidak akan menjadi lembaga yang netral, ia akan senantiasa berada dalam tarik menarik antarberbagai kepentingan yang semuanya bersumber pada keinginan politik dan ekonomi. Dalam masyarakat kapitalis, media massa memperoleh kedudukan yang sangat tinggi dan strategis, serta berusaha untuk menciptakan hegemoni karena memperoleh kebebasan penuh. Karenanya media massa akan selalu menjadi ajang pertarungan kepentingan ekonomi dan politik melalui mekanisme industri dan bisnis media. Pengelola media selalu mengedepankan argumen bahwa mereka menyajikan isi media seperti yang diinginkan pasar (audience). Padahal itu hanya sebuah klaim semata, karena isi media tidak selalu dibutuhkan masyarakat. Isi media sebenarnya sangat ditentukan oleh pengelola dan pekerja media. Kenyataan inilah yang menunjukkan bagaimana hegemoni ideologi pasar menjadi tidak terelakan dan akhirnya mengendalikan berbagai aspek sendi kehidupan di masyarakat lewat media massa. Dalam kasus penelitian ini, hasil wawancara dengan tiga pimpinan media yang diteliti memperlihatkan isu finasial merupakan isu yang penting bagi kelangsungan hidup media, apalagi struktur ekonomi yang melingkupi industri media pasca Orde Baru adalah struktur ekonomi kapitalis (Hidayat, 2000: 127-128)12. Jadi untuk membiayai hidup 12 Dedy Nur Hidayat (2000) industri media di Indonesia mengarah pada konsentrasi kepemilikan media melalui proses-proses komersialisasi, liberalisasi dan internasionalisasi. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 156 media perlu adanya investor selain juga pemasukan tradisional dari iklan, pelanggan, dan pembeli eceran. Menarik apa yang ditemukan pada tiga media yang diteliti. Bagi Kompas sebagai koran nasional dengan tiras besar sekitar 500-600 ribu eksemplar ditambah pemasukan dari iklan dan ditopang perusahan yang sehat 13, maka sisi finansial tidak terlalu menjadi masalah bagi Kompas. Untuk Jurnal Nasional sisi finansial sampai saat ini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, dan ini diakui oleh Budi Winarno sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Nasional. Dari sisi jumlah tiras terjadi penurunan yang cukup signifikan dibandingkan pada awal-awal media ini berdiri. Pada awal media ini berdiri sempat menyentuh angka 50.000, tetapi dengan persaingan bisnis media cetak yang sangat pelik dan rumit, maka tiras koran Jurnal Nasional terus menurun sehingga pada tahun 2014 tiras koran Jurnal Nasional sekitar 30,000 eksemplar atau anjlok sekitar 20.000 eksemplar. Pada sisi iklan Jurnas Budi Winarno mengatakan kurang menggembirakan untuk menopang kehidupan media Jurnal Nasional , salah satu yang diandalkan oleh Jurnal Nasional untuk menopang hidupnya media Jurnal Nasional adalah masuknya investor ke koran Jurnal Nasional 14. Harian Kedaulatan Rakyat menyadari dirinya sebagai koran daerah. Menurut Octo Lampito salah satu resep sukses koran Kedaulatan Rakyat dalam bisnis media, dan menjadi koran tertua serta satu dari sedikit koran daerah yang masih hidup adalah mengenali karakter wilayah dan penduduk di mana koran tersebut berada. Koran Kedaulatan Rakyat menurut Octo Lampito sangat mengenal karateristik wilayah, budaya dan masyarakat Yogyakarta. Salah satu cirinya adalah masyarakat Yogyakarta tidak terlalu suka dengan berita yang bombastis sehingga cara penyajian koran Kedaulatan Rakyat tidak pernah kontroversial, kalaupun ada kritik maka kritik tersebut dibungkus 13 Tiras 500ribu-600ribu eksemplar per hari didapat dari wawancara dengan Bambang Sigap Sumantri Wakil Redaktur Pelaksana Kompas, selain itu Bambang Sigap Sumantri walaupun tidak memberi angka pasti gaji wartawan Kompas, namun memberikan informasi bahwa wartawan Kompas di gaji dengan layak dan tidak dibenarkan mendapatakan uang seperti “uang amplop”, jika wartawan tersebut terbukti menerima “uang amplop” maka sanksi terberat adalah di pecat dari Kompas, menurut Media Scene (2012:111) pendapatan iklan Kompas pada tahun 2011 sekitar Rp 2.177.940.000 atau menguasai sekitar 9% pangsa iklan media cetak nasional 14 Budi Winarno cukup optimis akan kelangsungan hidup koran Jurnas karena harian Jurnal Nasional ini mempunyai kedekatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maka selalu akan ada investor yang mengucurkan dana untuk koran Jurnas. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 157 dengan kesantunan adat Jawa, falsafah ngono yo ngono ning ojo ngono sangat dimengerti oleh redaksi koran Kedaulatan Rakyat, dengan strategi seperti itu maka sampai saat ini koran Kedaulatan Rakyat tetap bisa survive dan menjadi pemenang dalam pertarungan tiras di wilayah Provinsi Yogyakarta dan sekitarnya, Octo Lampito menjelaskan pada saat ini tiras koran Kedaulatan Rakyat sekitar 100.000 sampai 110.000 eksemplar perhari, dengan sebaran 80 % di wilayah Provinsi Yogyakarta. Untuk iklan Octo Lampito tidak menyatakan secara eksplisit namun cukup lumayan membantu menopang koran Kedaulatan Rakyat. Peta struktur ekonomi media cetak di Indonesia secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Sumber data tabel ini dari Majalah Media Scene Volume 23, tahun 2012, data disajikan dari tahun 2007 sampai 2011 (YoY). Tabel XX Belanja Iklan di Media Cetak Kategori 6 Produk Teratas Tahun 2007-2011 No 1 2 3 4 5 6 Produk Kategori 2007 Mill-Rp 2008 Mill-Rp 2009 Mill-Rp 2010 Mill-Rp 2011 Mill-Rp Government, Politic Organization Corporate Ads, Social Service Communication Equipment, Service Motorcycles, Scooters, Bikes Private Vehicles 757.804 1307.985 2.246.389 2.182.410 2.223.697 667.168 954.158 1.188.710 1.409.642 1.953.491 975.639 1.385.918 1.370.455 1.770.625 1.902.466 751.249 979.854 1.056.115 1.162.740 1.607.500 374.952 454.068 508.440 777.442 1.224.514 Real Estate, Housing, Apartement Total 530.997 714.200 853.192 1.055.665 1.184.940 11.759.422 15.032.485 17.747.364 21.203.392 24.382.657 Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 158 Dari tabel diatas terlihat bahwa ada kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun (YoY), dengan kategori paling besar adalah belanja iklan dari pemerintah dan organisasi politik. Ada trend kenaikan yang cukup besar dan mencapai puncak pada tahun 2009 yaitu Rp 2.246.389.000. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada tahun tersebut ada pemilu, baik itu pemilu legeslatif dan pemilu presiden, sehingga mampu mengerek belanja iklan dari organisasi politik dan pemerintah. Selain itu belanja iklan berturut-turut ditopang oleh Corporate Ads, Social Service Communication Equipment, Service Motorcycles, Scooters, Bikes, Private Vehicles, Real Estate, Housing, dan Apartement. Ceruk iklan inilah yang diperebutkan oleh sekitar 349 buah surat kabar di seluruh Indonesia (Serikat Penerbit Suratkabar : 2010). Semakin banyaknya iklan yang masuk akan berbanding lurus dengan kesehatan industri media surat kabar tersebut. Tabel XXI Pendapatan Iklan di Media Cetak Kategori 6 Media Teratas Tahun 2007-2011 No Produk Kategori 2007 Mill-Rp 2008 Mill-Rp 2009 Mill-Rp 2010 Mill-Rp 2011 Mill-Rp 1 Kompas 1.740.682 1.907.540 1.852.874 2.262.124 2.177.940 2 Seputar Indonesia 265.245 369.343 510.417 950.305 1.363.279 3 Jawa Post 728.190 861.487 855.725 994.004 1.028.297 4 Manado Post 296.213 378.313 424.997 614.464 948.493 5 Batam Post 200.144 205.257 256.398 271.205 717.206 6 Riau Post 198.115 261.502 343.825 425.676 657.648 Total 11.759.422 15.032.485 17.747.364 21.203.392 24.382.657 Berdasarkan data pembagian kue iklan di media cetak dalam rentang waktu 20072011 (YoY), ternyata kue iklan yang mengalami kenaikan yang signifikan pertahunnya dan mencapai angka Rp 24.382.657 pada tahun 2011 hanya dinikmati oleh sedikit dari Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 159 jumlah populasi media cetak surat kabar di Indonesia yang berjumlah sekitar 349 buah (Serikat Penerbit Suratkabar : 2010). Dalam list yang dikeluarkan oleh Majalah Media Scene (2012) hanya 42 suratkabar harian tercatat yang menikmati kue iklan yang cukup besar, tercatat harian Kompas mendapatkan kue iklan yang paling besar walaupun tidak cukup stabil. Terlihat ada trend kenaikan pada tahun 2007-2008 kemudian menurun pada tahun 2009, naik kembali di tahun 2010 dan turun pada tahun 2011, namun apabila dicermati lebih dalam data diatas, sebenarnya harian yang tergabung dalam Jawa Post group (Jawa Post, Manado Post, Batam Post, Riau Post) jika di total maka mendapatkan kue iklan lebih besar daripada harian Kompas. Namun sayang, untuk penelitian ini, data penikmat kue iklan yang disajikan oleh Majalah Media Scene (2012) tidak ada nama Kedaulatan Rakyat dan Jurnal Nasional, kemungkinan besar kedua media tersebut mendapatkan porsi iklan yang jumlahnya cukup sedikit, sehingga tidak masuk dalam 4215 media penikmat kue iklan versi Majalah Media Scene (2012) Tabel XXII Penetrasi Media Cetak Kategori 6 Media Teratas di 9 Kota Besar (Jakarta, Bandung, Semarang Surabaya, Makassar, Yogyakarta, Denpasar, Palembang) Tahun 2007-2011 No 1 2 3 4 5 6 15 Produk Kategori Kompas Jawa Post Post Kota Top Skor Kedaulatan Rakyat Warta Kota Total 2007 .000% 1.611 1.481 1.205 745 561 567 36.335 2008 .000% 1.341 1.433 1.002 697 453 824 37.545 2009 .000% 1.095 1.134 884 679 478 630 38.844 2010 .000% 969 1.166 638 730 405 540 43.517 2011 .000% 1.319 946 547 523 454 424 44.941 Menurut majalah Media Scene (2012) surat kabar penikmat kue iklan paling bawah atau nomor 42 adalah surat kabar Serambi Indonesia dengan pendapatan pada tahun 2010 adalah Rp 179.808.000 dan tahun 2011 Rp. 174.090.000,- Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 160 Jika melihat data penetrasi media cetak diatas, terlihat dari tahun ke tahun (YoY) Kompas dan Jawa Post saling berebut menjadi nomor satu. Pada tahun 2007 terlihat Kompas menguasai penetrasi media cetak di 9 kota besar, tetapi berturut-turut pada tahun 2008 sampai 2010 Jawa Post mengambil alih posisi Kompas, bahkan pada tahun 2010 posisi Kompas di bawah 1 juta, namun pada tahun 2011 Kompas berhasil membalik keadaan dimana pada tahun 2011 Jawa Post di posisi kedua dengan angka di bawah 1 juta, pada data diatas terlihat Kedaulatan Rakyat mendapatkan posisi yang lumayan bagus yaitu ada di nomor 5 walaupun juga tidak stabil, dan pada beberapa tahun belakangan posisi Kedaulatan Rakyat disalip oleh Warta Kota. Namun yang menarik pada tabel ini, memperlihatkan Kedaulatan Rakyat sebagai salah satu koran yang terbit di daerah mampu menembus angka antara 400.000 - 500.000 pembaca. Artinya, jika dilihat dari data ini Kedaulatan Rakyat penetrasi yang cukup baik di kalangan pembaca suratkabar di Indonesia. Namun sayang, dalam data versi Media Scene (2012) ini harian Jurnal Nasional tidak termasuk dalam 3016 media cetak yang menguasai 9 kota besar, kemungkin harian Jurnal Nasional dibawah data yang disajikan Media Scene (2012) 16 Menurut majalah Media Scene (2012) surat kabar yang leading dalam penetrasi media paling bawah atau nomor 30 adalah surat kabar Non Stop dengan data pada tahun 2010 adalah 72.000 dan tahun 2011 adalah 66.000 Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 161 Tabel XXIII Penetrasi Media Cetak Kategori 6 Media Teratas di Yogyakarta Tahun 2007-2011 No Produk Kategori 2007 .000% 2008 .000% 2009 .000% 2010 .000% 2011 .000% 1 Kedaulatan Rakyat 556 452 447 405 454 2 Minggu Pagi 199 122 145 86 106 3 Merapi 193 132 118 20 105 4 Kompas 88 73 82 74 44 5 Meteor 39 22 7 23 25 6 Harian Jogja N/A N/A 33 53 25 Total 2.009 2.086 2.175 2.264 2.358 Untuk kasus di Provinsi Yogyakarta, terlihat bahwa Kedaulatan Rakyat group sangat mendominasi pasar. Data dari Media Scene (2012) di atas memperlihatkan bahwa peringkat 3 besar media cetak di Provinsi Yogyakarta di kuasai oleh tiga koran yaitu, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, dan Merapi, dan ketiga koran ini sebenarnya satu Ibu kandung yaitu Kedaulatan Rakyat group. 6.2. Dinamika Media Pasca Orde Baru dalam Isu Otonomi Daerah Berbasisis Analisis Teori Strukturasi Pada subbab ini akan dibedah konteks mikro dan meso mengenai isi teks media dan proses-proses memproduksi teks media, kemudian akan dibahas pula kontribusi media terhadap perubahan dinamika makro struktural terhadap isu otonomi daerah dari sentralisasi ke desentralisasi. Dalam disertasi ini akan dikaitkan analisis mikro-mesomakro serta dikaji hubungan atau interaksi antara struktur dan agen/agensi sehingga analisis mengenai media dan otonomi daerah tidak terjebak dalam ortodoksi strukturalisme ataupun instrumentalisme. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 162 Disertasi ini berangkat dari argumentasi bahwa media ketika menyiarkan berita terjadi proses interaksi antara media dengan struktur. Dalam menyiarkan berita, media melakukan pembingkaian berita (framing) dan dalam proses melakukan pembingkaian ini media dan struktur saling berinteraksi, saling mempengaruhi secara timbal balik. Relasi antara media dan struktur dilihat saling mempengaruhi dan berinteraksi satu sama lain. Hasil dari interaksi tersebut bisa dilihat dari isi pemberitaan media. Isi berita media dalam penelitian ini dilihat sebagai hasil atau produk dari proses strukturasi yang melibatkan media dan struktur, yang kemudian menjadi kontruksi realitas otonomi daerah. Ada lima isu yang telah diteliti dan dipetakan dalam disertasi ini, yaitu Pemekaran Daerah, Keistimewaan Yogyakarta, Dinasti Politik, Korupsi Elit Politik dan Pilkada, ketiga media yang diteliti menjadi pentas bagi kelima isu di atas. Meskipun ditemukan perbedaan frekuensi dalam menyiarkan ke lima isu otonomi daerah tersebut. Kelima isu di atas berada dalam analisis mikro, sedangkan analisis meso atau level media dapat dilihat pada perbandingan sudut pandang media tentang isu otonomi daerah, selain dilihat dengan perbedaan penyiaran frekuensi di atas, dapat juga dilihat pada hubungan atau interaksi antaragen, dalam tulisan berikut ini akan dibedah bagaimana agen di dalam media dan agen di luar media yaitu para ahli yang kompeten pada isu otonomi daerah melakukan interaksi dan memaknai kelima isu yang ditayangkan oleh media. 6.2.1. Agen/Agensi dan Struktur Dalam teori Strukturasi Giddens (1984), agen mempunyai peran yang cukup dominan. Giddens memfokuskan perhatianya pada praktik sosial yang berulang antara agen dan struktur, sedangkan agensi adalah kejadian yang dilakukan oleh agen. Menurut Giddens (1984:9) “Agensi menyangkut kejadian yang dilakukan seorang individu, keagenan berarti peran individu, apapun yang telah terjadi, tidak akan menjadi struktur seandainya agen tidak mencampuri”. Dalam konteks disertasi ini perubahan struktur sentralisasi ke desentralisasi tidak akan terjadi jika agen tidak bertindak turut serta atau ikut campur dalam isu otonomi daerah ini. Turut campurnya agen dalam kelima isu otonomi daerah ini dapat dilihat dari perspektif ketiga harian yang diteliti, serta Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 163 bagaimana perspektif para intelektual yang paham tentang isu ini memaknai kelima isu yang diteliti. Pada isu pilkada, Kemendagri melalui Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan berpendapat “akan menata ulang Pilkada baik gubernur ataupun bupati dan walikota, supaya Pilkada tidak mahal ongkosnya sehingga ada fenomena mengembalikan modal yang akhirnya membuat Kepala Daerah tersebut masuk penjara, ada sekitar dari 60%”. Pendapat senada juga diutarakan oleh Ketua Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 versi Pemerintah, “Pilkada ini isunya harus bagaimana Pemda itu memakmurkan rakyat, jangan dibawa ke isu politik, untuk memakmurkan rakyat itu Pemda harus melakukan pelayanan publik yang baik, intensitas pelayanan publik yang paling sering adalah di tingkat kabupaten dan kota, karena itu maka untuk Kabupaten dan Kota harus di adakan pemilihan langsung, sedangkan di Propinsi tingkat intensitas pelayanan publik tidak tinggi, kalau intensitas tidak tinggi kenapa harus di pilih langsung dengan biaya mahal ?, maka sebaiknya dipilih lewat DPRD saja”. Dari dua pendapat di atas terlihat bahwa isu yang direproduksi oleh pemerintah adalah pilkada itu mahal dan akan berimbas pada korupsi untuk mengembalikan modal pilkada sehingga Kemendagri mengajukan revisi RUU Pilkada, Pemerintah mengajukan usulan perubahan sistem pemilihan gubernur yaitu mengubah sistem pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi sistem pemilihan Gubernur secara perwakilan oleh DPRD Provinsi. Pada sisi lain permasalahan Pilkada menurut Purwo Santoso, “Bukan di Pilkada langsung atau Pilkada tidak langsung namun lebih pada tidak berdaulatnya rakyat, masalahnya tidak ada sense public sebagai pemilih, sehingga ketika ada orang memilih itu untuk dirinya sendiri, masalahnya sekarang ada kekuatan kapital yang besar dalam setiap Pemilihan Kepala Daerah, dan ini tidak dianggap masalah yang besar, orang tidak merasa berkhianat pada negara, sehingga kalau seperti itu tidak ada korelasinya antara terpilihnya orang jadi Kepala Daerah dengan kebijakan yang akan dia lakukan ketika mejadi Kepala Daerah”. Pendapat Purwo Santoso terlihat berseberangan dengan dua pendapat di atas. Jika dua pendapat diatas lebih menekankan pada bagaimana mengatur pilkada dengan instrument undang-undang, maka Purwo Santoso menawarkan alternatif Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 164 lain yaitu harusnya bagaimana rakyat disadarkan dalam memilih pemimpin, bagaimana ada upaya agar muncul sense public dari rakyat ketika memilih pemimpin. Dalam isu pilkada gubernur ini Kompas terlihat berseberangan diametral dengan isu yang reproduksi oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemendagri. Posisi Kompas dalam isu ini adalah pro terhadap pemilihan gubernur secara langsung karena meruakan wujud penghormatan terhadap kedaulatan rakjat dalam memilih pejabat publik. Bagi Kompas seharusnya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bukan menghapuskan Pilkada Langsung, tetapi pembenahan sistem pilkada langsung. Kelemahan pemilihan langsung bukan berati harus menghapus sistem pemilihan langsung. Pembenahan bisa dilakukan dengan perbaikan sistem Pemilu. Posisi Kompas dalam isu Pilkada Langsung ini ditegaskan lagi oleh Bambang Sigap Sumantri, wakil editor harian Kompas “Kompas sangat jelas yaitu mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung dan ini menjadi head line Kompas, bagi Kompas yang harus di perbaiki adalah sistem dari Pilkada langsung tersebut, bukan kembali lagi pemilihan lewat DPRD, karena pemilihan lewat DPRD juga rawan dengan penyelewengan penyuapan, dan Pilkada langsung merupakan cerminan dari demokrasi di masyarakat”. Harian Jurnal Nasional, untuk isu pilkada gubernur ini berbeda dengan Kompas dan Kedaulatan Rakyat. Kedekatan harian Jurnal Nasional dengan pusat kekuasaan menjadikan posisi harian Jurnal Nasional sama dengan Pemerintah Pusat. Menurut Jurnal Nasional pemilihan gubernur secara langsung tidak sesuai dengan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (presiden) di daerah, dan membuat gubernur tidak tunduk kepada presiden, sehingga solusi pilkada gubernur ini bagi harian Jurnal Nasional adalah Gubernur dipilih lewat DPRD. Selain bisa menghemat anggaran, pemilihan ini akan mempertegas fungsi gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah. Jika dilihat antara frame dan isu yang direproduksi oleh Pemerintah Pusat dan harian Jurnal Nasional terlihat sama, yaitu menekankan perlunya anggaran dihemat atau dengan kata lain pilkada langsung itu ongkosnya mahal. Posisi harian Jurnas ini di perkuat oleh Budi Winarno pemimpin redaksi harian Jurnal Nasional, “dalam isu Pilkada langsung ini lebih menitik beratkan pada evektivitas birokrasi, mungkin memang secara demokrasi lebih baik dipilih Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 165 langsung, namun apakah evektif bagi birokrasi ?, Jurnal Nasional cenderung berpihak kepada Pilkada tidak langsung, karena Jurnal Nasional melihat demokrasi dalam pilkada langsung pada saat ini lebih pada demokrasi yang tidak sehat”. Kasus harian Kedaulatan Rakyat dalam isu pemilihan gubernur ini cukup unik, karena di Yogyakarta tidak ada pemilihan Gubernur baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Yogyakarta Gubernur adalah Sri Sutan dan Wakil Gubernur adalah Sri Pakualam. Namun untuk isu pilkada gubernur ini posisi dari harian Kedaulatan Rakyat adalah mendukung pemilihan Gubernur secara langsung. Hasil penelusuran dari penulis menemukan hal yang menarik, yaitu penuturan dari Pemred harian Kedaulatan Rakyat Octo Lampito “Bagi KR pilkada langsung dapat menambah pemasukan dari iklan, dengan adanya pilkada langsung banyak iklan-iklan masuk dari berbagai daerah di Jawa Tengah, seperti kemarin dari Kendal, Magelang, Purworejo, Klaten, dan juga pemilihan Gubernur Jawa Tengah, dan kalau ada pilkada itu iklan dari government naik”. Kasus Keistimewaan Yogyakarta menjadi salah satu isu yang cukup mewarnai media massa. Isu yang direproduksi Pemerintah Pusat pada saat mengajukan UndangUndang Ke Istimewaan Yogyakarta adalah Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta akan dipilih baik secara langsung maupun tidak langsung, bukan lagi berdasarkan keturunan dari Sri Sultan dan Sri Pakualam. Bentuk Monarkhi yang diusulkan adalah bentuk monarkhi konstitusional seperti di Inggris, di mana posisi Sultan dan Pakualam adalah sebagai pemangku adat dan bukan sebagai kepala pemerintahan (gubernur). Pemerintah Pusat berargumen dalam negara yang demokratis rakyat akan diberi kesempatan untuk bisa memilih dan dipilih dalam jabatan publik serta ingin menempatkan posisi Kasultanan pada posisi yang netral, tidak terjebak politik praktis. Menurut Dirjen Otda Kemendagri, “Keistimewaan Yogyakarta sudah di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 18b, daerah-daerah istimewa itu diakui dan dihormati oleh negara, sehingga Pemerintah Pusat harus mentaati konstitusi dan memberikan kewenangan-kewenangan yang ektra lebih besar pada daerah istimewa termasuk Yogyakarta, posisi Pemerintah Pusat hanya sebagai monitoring dan evaluasi atau bimbingan dan pengawasan saja”, sedangkan Ketua Revisi UU No 32 Tahun 2004 mengenai Keistimewaan Yogyakarta “Yang banyak dibicarakan adalah Sultan yang Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 166 merangkap Gubernur dan itu ada sejarahnya, Yogyakarta sebenarnya kalau dulu mau merdeka bisa saja, namun kemudian Sultan ikut dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kemudian ada perjanjian dengan Pemerintah Republik Indonesia bahwa setiap Sultan Yogya otomatis menjadi Gubernur, namun ketika ini negara demokrasi apakah ini akan dipertahankan ?, dan kedepan permasalahan adalah bagaimana kalau anaknya Sultan perempuan bagaimana ?, kan nanti akan ada potensi konflik internal di Kesultanan dan ini cukup sensitif, selain itu juga bagaimana dengan tanah-tanah Raja atau Sultan Ground ? ini perlu juga diatur, dan juga dana ke istimewaan”. Tentang isu ini, pendapat Purwo Santoso terlihat berbeda dengan dua pendapat di atas yang lebih mengedepankan aspek legal formal yaitu undang-undang, menurut Purwo Santoso masalah desentralisasi asimetris terutama Keistimewaan Yogyakarta ini harusnya dilihat dari sisi masyarakat. Menurutnya “Harus di runut psikologi sosial politik masyarakat Yogyakarta, karena apabila dilihat dari perspektif Pemerintah Pusat (Jakarta), Yogyakarta itu merupakan wilayah Indonesia yang diberikan otonomi, yang mempunyai Keistimewaan kemudian diberikan kewenangan, masalahnya logika Pemerintah Pusat (Jakarta) tidak sama dengan apa yang dirasakan rakyat Yogyakarta, karena sebelum Indonesia ada, Yogyakarta ada lebih dulu, dan adanya Indonesia karena Yogyakarta mau menyediakan daerahnya untuk menjadi Ibu Kota Republik Indonesia pada awal-awal kemerdekaan, pada saat Republik Indonesia Serikat (RIS) wilayah Indonesia tinggal Yogyakarta, apabila pada saat itu Sultan Hamengku Buwono tidak bergabung dengan Republik Indonesia, maka Republik Indonesia sudah tidak ada dalam peta dunia. Sehingga bagi rakyat Yogyakarta mereka tidak merasa dalam posisi menerima kewenangan dari Pemerintah Pusat (Jakarta), karena apabila di lihat sejarahnya Indonesia ini ada karena kebesaran hati Keraton (Sultan Hamengku Buwono IX) dengan Rakyat Yogyakarta yang mau menjadi bagian dari Indonesia”. Lebih lanjut, harian Kompas pada isu ini menekankan pada aspirasi masyarakat Yogyakarta yang tetap menghendaki Sultan yang secara otomatis diangkat sebagai Gubernur Yogyakarta. Dari wawancara dengan Wakil Editor Kompas, Bambang Sigap Sumantri, memang Kompas terlihat lebih menekanan terhadap aspirasi masyarakat Yogyakarta “Sebenarnya Yogyakarta itu tidak hanya Kraton, yang istimewa dari Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 167 Yogyakarta adalah rakyat Yogyakarta itu sendiri, sebenarnya mengapa Sultan HB IX menyatakan mau bergabung dengan Indonesia, karena Sultan HB IX melihat bagaimana kehendak rakyat Yogyakarta pada saat itu, jadi ada bersatunya (jumbuh) Sultan HB IX dengan kehendak rakyat Yogyakarta pada waktu itu, sehingga Kompas berpihak kepada keharmonisan dari Keistimewaan Yogyakarta”. Kedaulatan Rakyat sebagai koran yang terbit di Yogyakarta sedari awal memilih posisi untuk mendukung Keistimewaan Yogyakarta dan menghendaki secara otomatis Sultan diangkat menjadi Gubernur Yogyakarta. Meskipun sama-sama mendukung, tetapi antara Kedaulatan Rakyat dengan Kompas terlihat ada perbedaan dalam melihat Keistimewaan Yogyakarta. Bagi harian Kedaulatan Rakyat mengapa Yogyakarta harus Istimewa, bisa dilihat dari faktor sejarah dan budaya Yogyakarta. Penekanan tentang sejarah dan budaya Yogyakarta sebagai latar belakang frame Kedaulatan Rakyat ditegaskan oleh Octo Lampito, “Bagi Kedaulatan Rakyat isu Keistimewaan Yogyakarta menjadi isu yang konsisten di perjuangkan, Kedaulatan Rakyat melihat bahwa harusnya Pemerintah Pusat (Jakarta) konsisten terhadap Maklumat (ijab qobul) Sultan HB IX yang menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia, selain itu pada awal kemerdekaan Sultan HB IX turut membiayai kelahiran Republik Indonesia, bahkan gaji pegawai negeri termasuk gaji Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia itu berasal dari Keraton dalam hal ini Sultan HB IX”. Harian Jurnal Nasional dalam isu Keistimewaan Yogyakarta terlihat berbeda dengan dua media di atas, Jurnal Nasional terlihat lebih condong dengan kebijakan yang diusulkan oleh Pemerintah Pusat, yaitu Sultan tidak secara otomatis menjadi Gubernur Yogyakarta. Menurut harian Jurnal Nasional sumber masalah tentang Keistimewaan Yogyakarta adalah karena elite politik cenderung mengaburkan usulan pemerintah. Pemerintah pusat bukan bermaksud tidak menghormati warisan dan sejarah Yogyakarta, tetapi ingin menempatkan Kesultanan Yogyakarta terjebak pada politik praktis, oleh karena itu pada posisi yang penting, tidak solusi untuk masalah Keistimewaan Yogyakarta adalah pemilihan kepala daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Kepala daerah tidak ditetapkan, tetapi lewat proses pemilihan, bisa melalui pemilihan langsung atau lewat DPRD. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 168 Dalam wawancara dengan Budi Winarno, Pemred Jurnal Nasional “isu Keistimewaan Yogyakarta ini sepertinya Kemendagri ingin test in the water, bagaimana reaksi masyarakat terutama masyarakat Yogyakarta jika Gubernur bukan Sultan artinya dipilih langsung seperti daerah-daerah lain, namun ketika isu ini ditentang banyak pihak, terutama yang mengerti sejarah Yogyakarta akhirnya Kemendagri tidak lagi meneruskan hal itu, dan kembali pada penetapan, Jurnas sendiri dalam melihat isu Keistimewaan Yogyakarta, Jurnas berdiri pada kehendak rakyat Yogyakarta”. Dengan demikian pada awalnya ada upaya membangun isu agar Sultan tidak secara langsung menjadi Gubernur, tetapi karena banyak tentangan dari berbagai pihak, maka akhirnya kembali pada kebijakan Sultan otomatis menjadi Gubernur Yogyakarta. Isu pemekaran daerah merupakan salah satu isu yang hangat di media massa pada tahun 2012 dan 2013. Isu yang direproduksi oleh agen Pemerintah Pusat melalui Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri adalah “Pemekaran daerah sudah tidak rasional dan proposional lagi, lebih banyak unsur politisnya daripada teknokratisnya, data dari Kementrian Dalam Negeri mempelihatkan bahwa dari tahun 1999 sampai 2009 atau sepuluh tahun telah lahir 205 daerah otonom baru (DOB), ini adalah daerah territorial development terbesar di dunia, dan harusnya daerah yang tidak sehat digabungkan lagi dengan daerah induk atau amalgamasi, untuk itu sedang menyiapkan regulasi baru untuk membendung pemekaran daerah, tidak bisa lagi mekar begitu saja, harus lebih pada aspek teknokrasi pemerintahan, tidak lagi pada aspek politis”. Pendapat senada juga di ungkapkan oleh Ketua Revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menurut Made Suwandi. “Pemekaran lebih pada kepentingan politik daripada teknis, jadi pemekaran gagal karena sebenarnya tidak mampu namun dipaksakan menjadi Daerah Otonom Baru, kalau kita lihat sebenarnya semua senang, rakyat senang karena ada infrasturktur baru, jalan, listrik, PNS juga senang karena dapat jabatan baru, parpol juga senang karena bisa jadi anggota DPRD atau malah jadi pemimpin daerah, masalahnya pemekaran ini biaya dari mana ?, ini kan dari formula Dana Alokasi Umum (DAU), maka ini menjadi bahaya karena akan membangun dengan biaya pemekaran itu, dan faktanya hasil evaluasi Kemendagri 70% daerah otonomi baru gagal, artinya sebenarnya mereka tidak layak mekar namun karena tekanan politik jadi Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 169 mekar, sehingga di Undang-Undang Otonomi Daerah baru diatur pemekaran secara ketat, yaitu persyaratan harus lengkap dan ini akan di nilai oleh team ahli independen yang berisi para ahli”. Dari dua pendapat diatas terlihat isu yang direproduksi oleh Pemerintah Pusat dalam pemekaran daerah adalah bahwa pemekaran daerah pada saat ini lebih banyak diwarnai oleh nuansa politis17, bukan unsur teknis teknokratis pemerintahan. Selain itu, akan ada kebijakan mengetatkan pemekaran daerah, karena ternyata banyak daerah pemekaran yang gagal tidak bisa melayanai warganya. Dalam isu pemekaran daerah Purwo Santoso berpendapat, bahwa. “Mengenai pemekaran daerah memang tidak pernah terlepas dari sejarah, bahwa Indonesia itu di bentuk oleh kerajaan-kerajaan kecil, jadi bahan dasar pembentukan Indonesia itu RajaRaja di daerah dan sampai sekarang Indonesia adalah Nation State in The Making, proses belum selesai ini yang harus di maknai, pada sisi yang lain masyarakat tahu untuk mendapatkan kesejahteraan adalah membikin unit Pemda sendiri, jadi sebenarnya pemekaran adalah hasil dari kegagalan pemerintah melakukan proses redistribusi kesejahteraan, bagi masyarakat pemekaran itu adalah ijin mendirikan pemda, sekali mendapatkan ijin mendirikan pemda baru maka daerah mendapatkan kebutuhan operasional minimal, maka pegawai negeri sipil yang tadinya tidak punya jabatan menjadi punya jabatan, orang-orang yang pengangguran jadi punya pekerjaan, sehingga tingkat konsumsinya meningkat, jadi daerah-daerah baru itu menikmati transfer fiskal dari pusat, dengan pintu itulah daerah-daerah tersebut menemukan pintu-pintu kemajuan dan merasa menjadi Indonesia”. Pendapat Purwo Santoso ini terlihat berseberangan dengan dua pendapat ahli dari Kemendagri. Menurut Purwo Santoso, aspek lokalitas dan sejarah serta kenyataan bahwa negara ini adalah proyek yang belum selesai (nation in the making) harusnya menjadi isu yang lebih diperhatikan ketika mendiskusikan pemekaran daerah di Indonesia. 17 Nuansa politis ini bisa dilihat dari usulan mengenai undang-undang pembentukan daerah otonom baru lebih banyak lewat DPR RI daripada Kemendagri, data di Kemendagri dari tahun 1945 sampai 1999 (54 tahun) ada 319 daerah otonom di Indonesia, setelah disentralisasi dari 1999 sampai 2009 (10 tahun) ada tambahan 205 daerah otonom baru, dari 205 daerah otonom baru tersebut sebagaian besar merupakan usulan dari DPR RI, sampai bulan Juli 2013 di daerah otonom di Indonesia berjumlah 539, terdiri dari 34 Propinsi, 412 Kabupaten dan 93 Kota. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 170 Dalam memandang isu pemekaran, harian Kompas terlihat memberikan perhatian yang kritis terhadap isu pemekaran daerah karena pemekaran daerah hanya untuk kepentingan elite masyarakat lokal, daripada kepentingan masyarakat daerah tersebut. Menurut Kompas pemekaran daerah harusnya dilakukan atas dasar kebutuhan masyarakat setempat. Posisi Kompas dalam isu pemekaran daerah ini ditegaskan oleh Bambang Sigap Sumantri “Kompas memandang isu pemekaran daerah harusnya bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, menurut Kompas selama kebijakan otonomi daerah yang luas ini berjalan ada beberapa daerah otonomi baru yang berhasil namun banyak juga yang tidak berhasil dalam mensejahterakan rakyat. Pemekaran daerah menjadi salah satu permainan dari elite-elite politik untuk mendapatkan jabatan atau kekuasaan di daerah, Kompas melihat Kementrian Dalam Negeri sudah benar melakukan kebijakan moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB), namun pada sisi lain DPR sering menjadi jendela untuk pemekaran daerah, sehingga Kompas sering melakukan kritik terhadap DPR supaya menghentikan pemekaran daerah, kalau memang daerahnya tidak siap untuk dimekarkan”. Pada isu ini terlihat Kompas sejalan dengan Kemendagri, yaitu adanya moratorium daerah otonom baru dan perlu adanya pengaturan yang lebih ketat terhadap pembentukan daerah otonom baru. Namun jika dibedah lebih jauh ada perbedaan perspektif dalam melihat isu ini, Kementrian Dalam Negeri lebih mengedepankan aspek teknis18 teknokratis pemerintahan dan sumber keuangan yang minim, sedangkan Kompas lebih melihat pada sisi kepentingan masyarakat daerah yang terabaikan dan hanya menjadi permainan dari elite-elite lokal. Harian Jurnal Nasional dalam melihat isu pemekaran daerah berbeda dengan harian Kompas. Sebagai harian yang dekat dengan Pemerintah Pusat terlihat posisi harian Jurnal Nasional mengenai isu pemekaran daerah cenderung mengedepankan aspek legal formal, sehingga Pemerintah Pusat harus tunduk untuk melaksanakan 18 UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat (secara rinci dapat dilihat pada PP 129 tahun 2000). Salah satunya yaitu syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktorfaktor seperti: (a) Kemampuan ekonomi; (b) Potensi daerah; (c) Sosial budaya; (d) Sosial politik; (e) Kependudukan; (f) Luas daerah; (g) Pertahanan; (h) Keamanan; dan (i) Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 171 Undang-Undang tentang daerah otonom baru yang sudah diputuskan di Parlemen. Selain aspek legal formal harian Jurnal Nasional juga mengedepankan masalah keuangan daerah. Dalam isu ini harian Jurnal Nasional tidak secara kritis menyinggung peran dari elite lokal yang bermain dalam isu pemekaran daerah, seperti yang diungkapkan oleh Budi Winarno dari Jurnal Nasional “Pemekaran daerah harus di kontrol, karena banyak daerah pemekaran baru yang belum bisa mandiri, masih menyusu pada daerah induk walaupun sudah cukup lama di mekarkan, di Aceh misalnya ada satu Kabupaten APBDnya minus, jadi kalau begitu untuk apa pemekaran bahkan kita dorong untuk di kembalikan ke Kabupaten Induk, pemekaran daerah sudah tidak rasional lagi, sehingga Jurnal Nasional berpendapat daerah-daerah yang gagal dalam pemekaran harusnya dikembalikan pada daerah induk”. Berbeda dengan dua koran di atas, menurut harian Kedaulatan Rakyat sumber masalah isu pemekaran daerah ada pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang memberikan celah mempermudah melakukan pemekaran daerah, celah ini yang harus dikritisi, karena tujuan pemekaran daerah menurut harian Kedaulatan Rakyat adalah kesejahteraan rakyat daerah itu sendiri. Meskipun terlihat sama dengan harian Jurnal Nasional dalam melihat sumber masalah isu pemekaran daerah yaitu Undang-Undang Pemerintahan Daerah, tetapi titik tekan terhadap isu ini berbeda, harian Jurnal Nasional lebih menekankan “Pemerintah Pusat harus tunduk untuk melaksanakan Undang-Undang tentang daerah otonom baru”, sedangkan harian Kedaulatan Rakyat menitikberatkan pada “aturan atau Undang-Undang yang memiliki celah mempermudah pemekaran daerah”. Lebih lanjut, Octo Lampito Pemred harian Kedaulatan Rakyat “Pemekaran daerah harusnya berlandaskan pada kepentingan publik, kalau pemekaran untuk kepentingan publik misalnya mempermudah dan mendekatkan pelayanan pada rakyat bagi Kedaulatan Rakyat itu baik, namun sebaliknya jika hanya untuk kepentingan meraih jabatan di eksekutif dan legeslatif itu tidak pada tempatnya karena akan menghabiskan anggaran publik saja, pemekaran daerah memang tidak banyak kita angkat karena di DIY dan Jawa Tengah inikan sampai sekarang tidak ada pemekaran daerah dan kita inikan koran lokal”. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 172 Mengenai isu korupsi elite lokal, menurut Dirjen Otonomi Daerah, “Kasus korupsi elit lokal posisi Kemendagri jelas akan mengatur itu supaya tidak ada lagi korupsi oleh elit-elit lokal, salah satunya mengatur kembali pemilihan kepala daerah langsung supaya tidak terlalu mahal ongkosnya, karena ini menjadi salah satu indikasi korupsi di tingkat lokal, biaya pemilihan kepala daerah yang mahal ini membuat banyak elit lokal masuk penjara karena harus mengembalikan modal pemilihan kepala daerah langsung”. Lebih lanjut menurut I Made Suwandi (Ketua Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) mengatakan “Untuk menghapuskan korupsi pada elit lokal kedepan ini, sistem akan di kunci semua, dengan cara ada pemetaan urusan daerah, jadi jelas pusat mengurus apa dan daerah mengurus apa, kemudian pegawai nanti ada rasio aturan pegawai, sehingga tidak ada yang menjual formasi pns lagi, kemudian terkait keuangan daerah kedepan tidak ada boleh bantuan sosial, kemudian tentang pelayanan publik, kedepan harus jelas biayanya berapa, jika tidak maka akan ada hukuman atau sanksi, sedangkan untuk jabatan akan ada fit and proper test sehingga tidak ada jual-jual jabatan lagi seperti sekarang ini, artinya di semua lini sudah di kunci, dan pengawasan akan di perketat,”. Berdasarkan dua pendapat di atas terlihat posisi Kementrian Dalam Negeri adalah berusaha untuk meminimalisasi bahkan menghilangkan korupsi elite lokal. Jika Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri hanya melihat dari satu sisi saja yaitu ongkos pilkada yang mahal sebagai pencetus korupsi elite lokal, maka Ketua Revisi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 terlihat cukup komperhensif dalam memetakan permasalahan korupsi elite lokal, yaitu akibat tata kelola pemerintahan daerah yang tidak baik selama ini. Mengenai isu korupsi elite lokal Purwo Santoso berpendapat, bahwa “Korupsi elite daerah itu karena Pemerintah Pusat (Jakarta) tidak mempunyai kendali jelas terhadap daerah, sistem evaluasi pusat kepada daerah tidak berjalan dengan jelas, sehingga misalnya menurut Purwo Santoso dalam praktiknya pada keuangan daerah antara praktek dan aturannya tidak cocok, pada tingkat aturan ediharuskan tertib adminstrasi namun pada dataran praktisnya memalsukan data itu sebuah kebiasaan, karena itu untuk menghindari korupsi ditingkat praktis harus konsisten bohongnya, pada sisi yang lain fakta sosiologis di masyarakat patronase itu ada, dimana untuk menumbuhkan kesetiaan Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 173 dan kepatuhan anak buahnya maka sang patron memberikan proteksi, jadi kalau patronpatron tersebut diberi kewenangan dan diberi anggaran maka yang bekerja sebenarnya bukan mesin birokrasi namun mesin patronase, ini yang harusnya di benahi oleh Pemerintah Pusat”. Pendapat Purwo Santoso terlihat berbeda dengan pendapat dua ahli diatas. Pada isu ini Purwo Santoso mengingatkan bahwa korupsi elite politik lokal itu tidak terlepas dari fakta sosiologis di masyarakat kita yaitu hubungan patron-client. Jadi, untuk memberantas korupsi elite lokal, tidak cukup hanya melihat dari satu sisi saja, yaitu tata kelola pemerintahan yang tidak baik. Harian Kompas melihat korupsi elite lokal disebabkan pilkada yang mahal. Selain itu, menurut harian Kompas, sistem yang korup akan mendorong orang berbuat korup, sehingga solusinya perlu pembenahan mekanisme pemilihan, terutama biaya politik. Biaya politik harus dibuat murah dan transparan, sebagaimana pendapat Bambang Sigap Sumantri, yang menuturkan “Kita melihat ada kecenderungan pelimpahan kekuasaan ke daerah dalam era otonomi ini dibarengi dengan kasus-kasus korupsi di daerah, data di Kompas hampir sekitar 200 sampai 300 kepala daerah yang tersangkut korupsi dalam era otonomi daerah ini, sehingga kebijakan Kompas adalah pada satu sisi mendukung otonomi daerah yang luas karena ada proses demokrasi dan kebebasan bagi masyarakat aderah di sana, namun pada satu sisi otonomi menghasilkan penyebaran korupsi di daerah, keprihatinan Kompas terhadap isu korupsi di daerah diungkapkan dengan cara meliput dan mengungkapkan isu korupsi elite daerah” Harian Jurnal Nasional mempunyai posisi yang berbeda dengan Kemendagri dan harian Kompas. Harian Jurnal Nasional sama sekali tidak menyinggung masalah korupsi elite lokal akibat pilkada langsung ataupun akibat tata kelola pemerintahan daerah yang buruk. Pada isu ini harian Jurnal Nasional lebih banyak mengangkat ketegasan pemerintah dalam memberantas korupsi elite lokal dengan menurunkan beritaberita yang berhubungan dengan banyaknya izin pemeriksaan yang dikeluarkan Presiden SBY kepada KPK untuk memeriksa elite lokal yang diindikasikan korupsi, termasuk juga kinerja KPK dalam melawan korupsi. Menurut harian Jurnal Nasional, sumber masalah dari korupsi elite lokal adalah tidak adanya hukuman moral dan sosial pada pelaku korupsi, sehingga solusinya harus ada sanksi sosial dan sanksi politik seperti dikucilkan, Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 174 dimiskinkan, tidak boleh menjadi pejabat publik bagi pelaku korupsi. Lebih lanjut, menurut Pemred Jurnal Nasional Budi Winarno “Korupsi elit lokal di daerah harus diberantas, dan Kami mendorong agar Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) mempunyai kantor cabang di setiap daerah, ini juga segaris dengan arahan pendiri Jurnal Nasional Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu siapapun di muka hukum adalah sama, komitment Jurnal Nasional dalam pemberantasan korupsi bisa dilihat dengan diliputnya kasus Akil Mochtar, memang Akil Mochtar itu tokoh nasional namun kasus-kasusnya kan korupsi elit lokal seperti pilkada Kabupaten Lebak, Kabupaten Gunung Mas, selain itu juga kasus korupsi di Bupati Biak yang ditangkap kemarin, juga kasus mantan Gubernur Papua Pak Barnabas Suebu kita beritakan, kalaupun ada kader dari Partai Demokrat yang korupsi pun akan Kita beritakan juga misalnya kasus Hambalang”. Harian Kedaulatan Rakyat melihat isu korupsi elite lokal disebabkan tidak adanya hukuman yang mengakibatkan efek jera maksimal bagi pelaku korupsi. Banyak pelaku korupsi yang dihukum ringan sehingga solusinya memberantas korupsi elite lokal adalah harus ada aturan, dan hukuman maksimal kepada koruptor untuk memberikan efek jera, harian Kedaulatan Rakyat sepertinya cukup hati-hati mengangkat kasus-kasus korupsi elite daerah, ini terlihat dari pendapat Octo Lampito Pemred harian Kedaulatan Rakyat, yaitu “Kami akan tetap memuat kasus-kasus korupsi elit lokal asal sudah ada kepastian, misalnya pasti tersangka, atau pasti terpidana, karena menurut Kedaulatan Rakyat sebuah media itu harusnya berlandaskan fakta hasil investigasi bukan mencari-cari atau dihubung-hubungkan karena bagi Kedaulatan Rakyat itu tidak baik dan lebih pada menuduh orang tanpa bukti yang kuat” Isu dinasti politik ini menjadi salah satu berita yang banyak menyita perhatian publik, terutama ketika dinasti politik Banten, yaitu Ratu Atut menjadi terpidana di KPK. Kementrian Dalam Negeri yang mempunyai otoritas dalam pemerintahan daerah melalui Dirjen Otonomi Daerah berpendapat, bahwa “Pandangan Kemendagri sangat jelas terhadap dinasti politik, bahwa akan ada pengaturan tentang dinasti politik, pengaturan tersebut setingkat Undang-Undang, karena dalam data Kemendagri dari 524 daerah otonom sampai bulan agustus 2014 sudah 332 Bupati dan Walikota yang masuk menjadi pasien KPK, Polisi dan Kejaksaan. Jadi akan ada kebijakan bahwa calon yang Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 175 mempunyai hubungan darah dan atau perkawinan ke atas dan ke samping dengan incumbent tidak boleh mencalonkan diri kecuali setelah 5 tahun”. Sementara itu menurut Ketua Revisi Undang-Undang Pemerintah Daerah, “Sebenarnya saya melihat dinasti politik ini tidak masalah, namun ketika dinasti ini memanfaatkan fasilitas dan sumbersumber daya lokal untuk kepentingan diri dan keluarganya itu baru bermasalah dan tidak fair, sehingga dalam Undang-Undang nanti ada pengaturannya bahwa ada tenggang waktu 5 tahun bagi istri, anak, famili incumbent untuk ikut pemilihan kepala daerah, sebenarnya kalau di negara maju dinasti politik ini tidak masalah karena civil society di sana sudah mapan dan dapat melakukan kontrol terhadap pemerintah”. Dua pendapat dari penjaga gawang pemerintah daerah diatas secara eksplisit menolak praktek politik dinasti, karena dikuatirkan aktor yang mempunyai kedekatan dengan dinasti politik akan menggunakan sumber daya lokal untuk kepentingan dinasti politik tersebut. Lebih lanjut, menurut Purwo Santoso, “Sebenarnya dinasti politik ini adalah fakta sosiologis di Indonesia, fakta itu ada dan hidup di masyarakat, faktanya ada patron-patron yang beroperasi di lapangan, para patron tadi bekerja untuk menjamin kepatuhan, dan tidak selalu patron itu jahat atau buruk, untuk kasus Ratu Atut memang sudah lama di diagnosa buruk, karena ini sebenarnya perpindahan dari kator tidak resmi menjadi aktor resmi, sehingga sebenarnya bahan korupsi itu sudah ada sejak dulu, dan dinasti seperti itu yang seharusnya diputus, namun jangan mengingkari bawa fakta sosiologis di Indonesia dinasti atau patron itu ada”. Harian Kompas melihat isu dinasti politik ini merupakan hasil sampingan yang buruk dari otonomi daerah, pada satu sisi kebijakan otonomi daerah dapat memberdayakan rakyat daerah dan memunculkan pemimpin lokal yang baik, tetapi pada sisi lain otonomi daerah dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk kepentingan dirinya dan keluarganya, sehingga solusinya menurut harian Kompas harus ada pengusutan kasuskasus korupsi akibat politik dinasti hingga tingkat lokal untuk memberikan efek jera. Lebih lanjut, menurut Bambang Sigap Sumantri , “Kami melihat dinasti politik tidak baik untuk Indonesia, tidak hanya di pemerintahan namun juga partai politik, karena ini akan mematikan regenerasi, sehingga Kompas sangat keras dalam isu dinasti politik ini, misalnya untuk kasus Ratu Atut bisa dilihat bagaimana Kompas memberitakan perilaku Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 176 Ratu Atut dengan keluarganya, pada satu sisi Kompas menyoroti perilaku Ratu Atut dan keluarganya yang gemar pamer kemewahan dan hedonisme, pada sisi lain Kami meyoroti bagaimana potret infrastuktur jalan yang rusak, kesehatan dan kemiskinan yang masih tinggi di Provinsi Banten, dan untuk pemberitaan Atut ini Kami memberikan perhatian khusus dengan beberapa kali menurunkan berita tentang dinasti politik Ratu Atut dan korupsinya”. Harian Jurnal Nasional melihat dinasti politik ini adalah pencerminan dari sistem politik yang feudal. Dinasti politik menurut harian Jurnal Nasional lahir dari sistem partai politik yang tradisional, sehingga solusinya rekruitmen partai politik harus terbuka, partai politik dalam mengusung calon kepala daerah atau legeslatif bukan dari anggota dinasti politik, lebih lanjut menurut Budi Winarno “Kami mengharamkan dinasti politik, contohnya pada kasus Ratu Atut, Jurnal Nasional menurunkan berita tersebut menjadi cover head line, dan kebetulan Pak SBY waktu itu berkomentar bahwa politik dinasti tidak sehat, dan janji dari DPR waktu itu akan di akomodasi dalam undang-undang, saya kira itu bagus”. Menurut harian Kedaulatan Rakyat, dinasti politik lahir akibat regulasi yang lemah, ketika undang-undang tidak membatasi dinasti politik. Solusi dalam memberantas dinasti politik, menurut harian Kedaulatan Rakyat, adalah perlu revisi undang-undang partai politik atau undang-undang tentang pemerintah daerah, sehingga jabatan publik tidak dikuasi oleh dinasti politik. Dalam isu ini sepertinya harian Kedaulatan Rakyat cukup hati-hati menyiarkan berita dinasti politik. Menurut Octo Lampito “Kami tidak menolak dinasti politik, bagi Kedaulatan Rakyat yang penting pemimpin masyarakat tersebut mempunyai kemampuan atau kapasitas yang baik menjadi pemimpin dan dipilih oleh rakyat, jangan hanya dilihat dari keturunan siapa ?, yang menjadi masalah adalah dinasti politik yang menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri seperti kasus Ratu Atut”. Dari berbagai uraian mengenai dinamika agen dalam menyikapi isu otonomi diatas lebih spesifik kelima isu yang diteliti terlihat bagaimana agen sangat dinamis dalam menyikapi suatu isu. Ada yang mendukung ada pula yang menentang, ada yang sepaham ada pula yang kurang sepaham. Dinamika agen ini akan sulit dijelaskan jika hanya Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 177 dengan analisis intrumentalis ataupun strukturalis yang cenderung melihat dari satu sisi, yaitu sisi media sebagai instrumen penguasa dan pemilik modal; atau strukturalisme dimana struktur sebagai kesatuan monolitik dan statis serta mengabaikan kapasitas agen sosial atau instrumentalisme yang hanya melihat media sebagai intrumen dominasi penguasa atau pemilik modal dalam isu otonomi daerah ini. Di atas telah digambarkan bagaimana agen dan dinamika interaksi antaragen dalam membedah isu otonomi daerah. Selanjutnya, penelitian ini akan mengelaborasi mengeni struktur dan strukturasi. Giddens (1984:17) mendifiniskan Struktur adalah “propertiproperti yang berstruktur (aturan dan sumberdaya) properti yang memungkinkan praktik sosial serupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu dan yang membuatnya menjadi bentuk sistemik”. Lebih lanjut menurut Giddens (1984:25) “Struktur selalu mengekang (constraining) maupun membebaskan (enabling) tindakan”. Dengan demikian, agen dapat melakukan berbagai hal yang dapat agen lakukan, karena bagi Giddens memang sruktur dapat memaksa agen, tetapi struktur bukan kekangan atau kurungan bagi agen. Menurut Giddenss (1984:17), “Struktur serta merta muncul dalam sistem sosial, struktur menjelma dalam ingatan agen yang berpengetahuan banyak”, sedangkan sistem sosial, adalah “sebagai praktik sosial yang direproduksi antara aktor dan kolektivitas yang diorganisir sebagai praktik sosial tetap”. Dari uraian ini dapat dilhat bahwa menurut Giddens ada tindakan yang seringkali tidak diharapkan oleh agen, tetapi harus dilakukan agen. Akibat dari kondisi ini ada umpan balik dari tindakan, artinya kondisi ini dapat mengendalikan agen, tetapi agen juga dapat terus berupaya untuk mengendalikan suatu keadaan. Sebenarnya agen dan struktur bukan merupakan dua hal yang berdiri sendiri (dualism) tetapi lebih condong pada dualitas, karena menurut Giddens (1984:25) “Strukturasi adalah meliputi hubungan dialektika antara agen dan struktur, sruktur dan agen adalah dualitas, struktur tidak akan ada tanpa agen dan begitu pula sebaliknya”. Jika dibedah lebih mendalam, kelima isu di atas terlihat bagaimana kontradiksikontradiksi media dalam menyikapi isu otonomi daerah, serta dapat dilihat bagaimana interaksi sosial antar para agen di atas baik dalam bentuk aliansi maupun konflik dalam menyikapi isu otonomi daerah. Misalnya isu mengenai Pemilihan Kepala Daerah dan Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 178 Keistimewaan Yogyakarta disikapi secara kritis oleh harian Kompas dan Kedaulatan Rakyat, namun oleh harian Jurnal Nasional ditanggapi secara postif. Pada isu-isu yang lain telihat bagaimana harian Kompas dan harian Jurnal Nasional mempunyai perspektif yang sama, misalnya isu dinasti politik, pemekaran daerah dan korupsi elit lokal, tetapi pada sisi yang lain harian Kedaulatan Rakyat sebagai harian daerah tidak terlalu tampak kritis menanggapi isu dinasti politik dan korupsi elit lokal. Kelima isu otonomi daerah yang dimuat oleh ketiga media di atas dapat dilihat sebagai suatu kesatuan bahwa dinamika pers pasca Orde Baru tidak bisa diamati sebagai instrumen dari struktur yang monolitik ataupun instrumen dari satu kelompok tertentu saja. Ketiga media yang menyiarkan lima isu otonomi daerah tersebut secara lebih dalam mencerminkan suatu pergulatan ideologis, di mana dalam isu otonomi daerah ada prosesproses legitimasi dan delegitimasi, hegemoni, dan kontra hegemoni yang berlangsung secara bersamaan. Memang struktur politik dan ekonomi pasca-Orde Baru bukan suatu struktur yang monolitik seperti pada zaman Orde Baru. Namun apabila dilihat dari fakta ketiga media, ada persamaan dan perbedaan dalam menyiarkan lima isu otonomi daerah yang diteliti, dapat dilihat sebagai suatu struktur alternatif, yang memberikan tempat bagi suatu wacana alternatif. Contohnya harian Kedaulatan Rakyat dalam menyiarkan berita mengenai Keistimewaan Yogyakarta, atau harian Kompas dalam menyiarkan berita mengenai Pemilihan Kepala Daerah, struktur wacana alternatif ini mempunyai potensi untuk menjadi oposisi dari struktur wacana yang direproduksi atau dikembangkan oleh agen Pemerintah Pusat. Disertasi ini nampak kontribusi media yang diteliti untuk memberikan wacana alternatif dalam isu otonomi daerah yang diteliti. 6.2.2. Rules dan Resource Dalam konsepsi teori Strukturasi Giddens (1984), agen adalah pelaku-pelaku yang nyata dalam arus kontinyu antara tindakan dan peristiwa, sedangkan struktur adalah “aturan (rulers) dan sumberdaya (resource)” yang terbentuk dan membentuk dari perulangan praktik sosial. Bagi Giddens (1984), struktur tidak bersifat eksternal seperti teori strukturalisme yang memandang struktur berada di luar dan mengekang pelaku, Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 179 keluwesan teori Strukturasi Giddens dapat dilihat dari bagaimana Giddens mendefiniskan struktur, sistem, dan strukturasi. Tabel XXIV Struktur, Sistem dan Strukturasi Struktur Aturan dan Sumber Daya, atau seperangkat relasi transformasi, terorganisasi sebagai, kelengkapankelengkapan dari sistemsistem sosial Sistem Strukturasi Relasi-relasi yang direproduksi di antara para aktor atau kolektivitas, terorganisasi sebagai praktik-pratik sosial regular Kondisi-kondisi yang mengatur keterulangan atau transformasi strukturstruktur dan karenanya reproduksi sistem-sistem sosial itu sendiri. Dari bagan di atas terlihat bagaimana Giddens berusaha untuk melepaskan diri dari sosiologi ortodoks yang melihat penggunaan struktur sebagai karakter tetap, serta mekanis sehingga struktur dimaknai sebagai sesuatu yang mengekang, dan diluar tindakan manusia sehingga mengekang inisiatif manusia yang mandiri. Dalam konsepsi struktur, Giddens mengenalkan konsep rulers (aturan) dan resource (sumber daya) yang terbentuk dan membentuk pengulangan praktik sosial. Rulers (aturan) dan resource (sumber daya) dari konsep struktur Giddens dalam disertasi dimaknai secara meso dan makro. Secara meso dapat dilihat pada diri media tersebut ketika menyiarkan lima isu otonomi daerah, bagaimana media menyikapi struktur (rulers dan resource) dalam diri media tersebut, termasuk di dalamnya tentang kepemilikan dan kedekatan dengan penguasa. Pada tataran makro dapat dilihat ketika media tersebut berhadapan dengan rulers (aturan) dan resource (sumber daya) yang ada, misalnya struktur politik dan ekonomi dari suatu rezim pemerintahan. Dalam tataran makro, pada tahun 2012-2013 pemerintah dan parlemen tengah melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, beberapa pasal hendak direvisi dan diperbaiki. Selain merubah undang-undang diatas, pemerintah dan parlemen tengah membuat Undang-Undang Tentang Keistimewaan Yogyakarta, dalam kajian pemerintahan daerah undang-undang Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 180 mengenai Yogyakarta ini masuk dalam domain desentralisasi asimetris. Dengan otorisasi dan sumberdaya (resource) yang dimiliki pemerintah, dan parlemen berbagai isu mengenai pemerintahan daerah dibahas. Pembahasan mengenai dua undang-undang di atas kemudian menjadi isu yang diangkat oleh media, dari tiga media yang diteliti ada lima isu yang menonjol yaitu, pemekaran daerah, pillkada langsung, korupsi elit lokal, dinasti politik, dan keistimewaan Yogyakarta. Salah satu hasil hasil pembahasan tentang revisi undang-undang pemerintah daerah di parlemen adalah mengenai pemilihan kepala daerah yang semula dipilih langsung oleh masyarakat, diubah menjadi pemilihan tidak langsung, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Untuk pembahasan mengenai undang-undang Yogyakarta, pemerintah mengajukan usul bahwa Sultan tidak secara otomatis menjadi Gubernur Yogyakarta. Dua isu ini kemudian menjadi isu hangat di publik, dan media massa memberikan panggung untuk perdebatan isu-isu ini. Dalam tataran meso (media), dari tiga media yang diteliti, dapat dilihat bagaimana rulers dan resource ini cukup berpengaruh, dan terlihat derajat pengaruhnya berbeda. Ada yang mengekang secara ketat, ada yang cukup mengekang sehingga agen mampu atau dapat menyiasati kekangan tersebut, dan ada yang cukup bebas dari kekangan. Dari fenomena ini dapat dilihat bahwa ortodoksi sosiologi yang mengatakan struktur itu mengikat agen pada disertasi ini dapat dikatakan tidak seluruhnya benar. Media yang mempunyai derajat kekangan yang terlihat cukup kuat dan agen pada posisi yang cukup lemah adalah harian Jurnal Nasional. Apabila dianalisis dengan analisis instrumentalis, ketika pers sebagai instrumen dominasi penguasa dan pemilik modal, maka harian Jurnal Nasional adalah contoh media yang tepat. Jurnal Nasional sebagai media yang dekat kekuasaan dan pemerintah, terutama dengan Presiden SBY, terlihat dominasi penguasa dan pemilik modal dalam media ini cukup mencolok. Jika ditelusuri dari lima isu yang diteliti, terlihat harian Jurnal Nasional memiliki frame yang mendukung berbagai kebijakan pemerintah. Hasil wawancara mendalam dengan Pemimpin Redaksi Jurnal Nasional juga semakin mengukuhkan adanya kedekatan tersebut. Salah satu bukti dari kedekatan itu adalah terlihat dari agen di harian Jurnal Nasional yang tidak cukup mempunyai Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 181 otonomi dalam menyikapi isu-isu otonomi daerah. Misalnya menurut Budi Winarno, “Redaksi Jurnal Nasional sering menjadikan Staf Khusus Presiden Bidang Pemerintahan Daerah Velix Wanggai sebagai narasumber, bahkan jika ada permasalahan khusus tentang pemerintahan daerah atau otonomi, media Jurnal Nasional meminta waktu khusus dari Velix Wanggai untuk sowan berdiskusi tentang suatu isu otonomi daerah”. Pada kasus yang lain, misalnya pemberitaan mengenai isu korupsi elit lokal, terlihat harian Jurnal Nasional lebih banyak menyoroti Presiden SBY memberikan izin pemeriksaan terhadap pejabat publik, sepertinya harian Jurnal Nasional menempatkan posisi sebagai “public relation” (PR) bagi pemerintahan Presiden SBY. Dalam wawancara dengan Pemred Jurnal Nasional memang diakui bahwa “……ini juga segaris dengan arahan pendiri Jurnal Nasional, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu siapapun di muka hukum adalah sama”. Pada isu yang lain Pemilihan Kepala Daerah dan Ke Istimewaan Yogyakarta, frame harian Jurnal Nasional sama dan sebangun dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Dalam Negeri. Dalam penelitian ini, harian yang mempunyai kekangan cukup kuat tetapi agen di dalamnya mampu menyiasati kekangan tersebut adalah harian Kedaulatan Rakyat. Sebagai koran daerah senior dan tetap dapat hidup sampai sekarang, sedangkan korankoran seangkatan Kedaulatan Rakyat sudah banyak yang almarhum, memperlihatkan bagaimana agen mampu menyiasati tekanan yang berada dari dalam media maupun luar media. Dari dalam media misalnya dapat dilihat pada isu korupsi elit lokal dan dinasti politik. Kedua isu tersebut mengenai langsung kepada salah satu pemilik harian Kedaulatan Rakyat, yaitu isu korupsi elite lokal yang menyentuh pada Idham Samawi, salah satu pemilik harian Kedaulatan Rakyat. Pada saat penelitian ini dilakukan, Idham Samawi dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Kabupaten Bantul atas dakwaan mengenai dana hibah KONI sebesar Rp 12.5 Milyar. Ketika Beliau menjadi Bupati Bantul. Untuk menyiasati berita tersebut supaya tetap disiarkan, maka yang dilakukan oleh harian Kedaulatan Rakyat menurut Octo Lampito Pemred Kedaulatan Rakyat adalah “Untuk kasus mantan Bupati Bantul Pak Idham Samawi yang menjadi tersangka kasus korupsi di Kejaksaan Bantul, Kedaulatan Rakyat tetap memberitakan kasus tersebut dengan melakukan verivikasi atau chek dan Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 182 richek termasuk ke Pak Idham Samawi dan hasil dari itu kemudian baru dimuat semua”. Metode yang sama juga dilakukan untuk mengangkat isu dinasti politik yang juga menyerempet keluarga Idham Samawi, karena setelah selesai menjabat selama 10 tahun di Kabupaten Bantul, penggantinya adalah Sri Widati, yang merupakan isteri Idham Samawi. Tekanan dari luar media dapat dilihat bagaimana cara survive atau penyiasatan harian Kedaulatan Rakyat pada penelitian Efendi Ghazali dkk (2000:309) yang berjudul “Antara Benci dan Banci Terhadap Rezim”. Dari penelitian tersebut dituliskan bagaimana pengelola harian Kedaulatan Rakyat menyiasati pemberitaan demonstrasi mahasiswa di Yogyakarta. Pada bulan Mei 1998 mahasiswa Yogyakarta melakukan demonstrasi di bundaran UGM dan membakar replika patung Presiden Suharto. Seluruh media dipanggil oleh aparat keamanan lokal untuk tidak memuat berita tersebut, namun harian Kedaulatan Rakyat tetap memberitakan demonstrasi tersebut, tetapi tidak menyiarkan pembakaran patung Presiden Suharto. Media yang relatif terbebas dari kekangan dalam penelitian ini adalah harian Kompas, sebagai harian nasional yang besar dengan jumlah tiras serta iklan yang besar, maka agen pada harian Kompas lebih dapat membuat berbagai wacana mengenai isu otonomi daerah, beberapa wacana yang di sodorkan terlihat cukup kritis dan menjadi anti tesa dari wacana yang digulirkan oleh agen dari Pemerintah Pusat. Hal ini dapat dilihat pada isu Pemilihan Kepala Daerah, dan Isu Keistimewaan Yogyakarta. Jika di atas telah dibahas secara meso (media) bagaimana rulers dan resource berperan, berikut ini akan dibahas dalam tataran makro bagaimana peran dari rulers dan resource tersebut. Setelah Orde Baru tumbang, berbagai peraturan diganti yang baru. Berbagai Undang-Undang yang mengekang dan bercorak sentralistis diganti menjadi lebih demokratis, termasuk peraturan mengenai Pers dan Media19 serta Pemerintahan Daerah20. Ketika peraturan dari negara tidak terlalu menjadi tantangan lagi, maka tantangan 19 Ishadi SK (2000:228) izin penerbitan surat kabar dan majalah yang pada zaman Orde Baru terdiri dari 14 syarat diringkas menjadi tiga syarat, izin penerbitan diberikan dalam waktu tiga sampai tujuh hari. 20 Ryaas Rasyid dkk (2007:142-143). Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 183 terbesar dari media adalah kekuatan kapital karena bagaimanapun juga media harus hidup dan untuk hidup itu media memerlukan aliran kapital (modal)21. Runtuhnya Rezim Orde Lama dan munculnya Rezim Orde Baru membawa pers ke ideologi komersial (Dhakidae, 1991). Untuk itu media harus mampu menjual produknya kepada pembaca (pasar) sehingga media mendapatkan pemasukan dari pelanggan dan ketika pelanggan dan pembaca sudah banyak maka akan semakin mudah dilirik oleh pengiklan (iklan). Ketika pelanggan banyak dan aliran iklan deras maka media tersebut secara financial dapat dikatakan sehat. Namun masalahnya pada saat ini persaingan dan pertarungan dalam memperebutkan pembaca dan pengiklan bagi media bukan barang yang mudah, informasi dari Media Scene (2012) terlihat penikmat kue iklan nasional hanya dinikmati oleh media-media besar saja, sedangkan media daerah tidak ikut menikmati kue iklan besar tersebut, misalnya media daerah terutama di Yogyakarta hidup dari pelanggan, bukan dari iklan. Fenomena perebutan pelanggan dan iklan jika dilihat dalam disertasi ini dapat di contohkan pada kasus harian Kompas. Salah satu alasan mengapa misalnya harian Kompas terlihat serius mengarap isu otonomi daerah karena Kompas berusaha untuk memelihara pasar di daerah. Semenjak reformasi bergulir serta kebijakan otonomi daerah di keluarkan, Kompas memang terlihat secara serius fokus untuk memelihara pangsa pasar daerah, sesuai dengan pendapat Bambang Sigap Sumantri berikut: “sejak tahun 2000 dulu ada satu halaman khusus untuk memotret otonomi daerah kemudian kita bukukan menjadi 5 buku tetang potret otonomi daerah, kemudian untuk selanjutnya Kompas konsisten mengangkat banyak hal tentang otonomi daerah, otonomi itu kan tidak hanya dari segi pemerintahan, namun juga masyarakat yang berdaya upaya setelah ada otonomi daerah, contohnya dalam 5 tahun ini setiap sabtu di Kompas itu ada halaman Tanah Air, dalam halaman itu Kompas memotret kekinian dari daerah-daerah seluruh Indonesia yang berprestasi dan unik, Kita juga punya halaman nusantara, biasanya halaman 23 atau 24 itu satu halaman sendiri memotret tentang perkembangan daerah, soalnya ini ada hubungan dengan sirkulasi, misalnya kalau ada berita tentang 21 Lihat tulisan Mosco (1996), Dhakidae (1991), Dedy Nur Hidayat (2000), Triputra (2000), Basri dan Iswara (2000). Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 184 Banyuwangi seperti kemarin, itu biasanya bagian sirkulasi minta tambahan tiras ke Banyuwangi”. Harian Kedaulatan Rakyat pada isu Keistimewaan Yogyakarta, mempunyai kedekatan kultural antara Keraton dan harian Kedaulatan Rakyat seperti yang diungkapkan oleh Octo Lampito “Kedekatan Kedaulatan Rakyat dengan Kasultanan itu kedekatan historis dan kultural, dan ini komitment kami dalam menjaga budaya ini”. Namun, harus dipahami bahwa 80% pasar (market) Kedaulatan Rakyat ada di Provinsi Yogyakarta. Begitu juga penyikapan harian Kedaulatan Rakyat pada isu Pemilihan Kepala Daerah, karena agak aneh mengapa harian Kedaulatan Rakyat lebih mendukung Pemilihan Kepala Daerah Langsung pada level gubernur, sedangkan di Yogyakarta sendiri gubernur otomatis Sri Sultan Hemengkubuwono. Menurut Octo Lampito mengapa harian Kedaulatan Rakyat lebih memilih Pemilihan Kepala Daerah Langsung yaitu “Bagi Kedaulatan Rakyat pilkada langsung dapat menambah pemasukan dari iklan, dengan adanya pilkada langsung banyak iklan-iklan masuk dari berbagai daerah di Jawa Tengah, seperti kemarin dari Kendal, Magelang, Purworejo, Klaten, dan juga pemilihan Gubernur Jawa Tengah, dan kalau ada pilkada itu iklan dari government naik”. Dari berbagai ilustrasi di atas dapat terlihat bagaimana agen media harus bersiasat agar tetap dapat hidup (survive), di tengah persaingan yang semakin ketat dalam bisnis media. Jika selama Orde Baru rulers dan resource dapat dimaknai sebagai peraturan ataupun undang-udang yang mengekang media, maka pada era reformasi kekuatan kapital lebih dominan dalam mengekang media sehingga media harus bersiasat agar mereka tetap bisa hidup dalam persaingan industri bisnis media yang semakin ketat. 6.2.3. Dualisme dan Dualitas Struktur Dari penelusuran-penelusuran di atas akhirnya membawa penelitian ini untuk mengaitkan analisis mikro, meso, dengan makro. Dengan mengaitkan tiga analisis tersebut maka pendekatan yang paling realitis digunakan adalah dengan menggunakan teori Strukturasi yang memungkinkan adanya interaksi antara struktur dan agensi. Jika mengunakan pendekatan lain maka dikhawatirkan akan terjebak dalam salah satu ortodoksi dan tidak dapat menjawab pertanyaan besar dari disertasi ini. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 185 Secara garis besar ada dua ortodoksi22 yaitu ortodoksi instrumentalis dan ortodoksi strukturalisme. Dalam pendekatan instrumentalis pers dilihat sebagai instrumen dari pemilik rezim dan atau pemilik modal, sedangkan analisis strukturalis yang berpendapat bahwa struktur itu kesatuan yang monolitik dan menafikan human agen untuk melakukan respon terhadap keadaan sosial. Pada sisi lain jika dalam disertasi ini mengabaikan faktor-faktor struktural, dan kemudian lebih berat menonjolkan human agen, yaitu peran jurnalis sebagai agen pelaku yang mampu membuat media sebagai tempat aktualisasi dalam suatu perubahan sosial, tentunya juga kurang tepat. Dalam industri media, sehebat apapun jurnalis tersebut, pasti akan menghadapi tembok pemilik modal dan pemilik kuasa birokrasi media. Jika dilihat dari fakta-fakta yang ditemukan dalam penelitian disertasi ini, dapat dijelaskan bahwa ada media yang dapat dibedah dengan analisis instrumentalis dan strukturalis, pada sisi yang lain ada media yang lebih tepat dijelaskan dengan pendekatan strukturasi. Harian Jurnal Nasional akan lebih tepat jika dijelaskan dengan analisis instrumentalis atau strukturalisme, pada harian Jurnal Nasional apabila dilihat dari struktur organisasi media dan struktur industri media terlihat harian Jurnal Nasional tuna kuasa. Dari struktur organisasi media, kedekatan dengan penguasa yaitu Presiden SBY menjadikan harian Jurnal Nasional sepertinya tidak mempunyai pilihan lain selain untuk menjadi harian corong atau public relations dari penguasa. Dari kelima isu yang diteliti terlihat framing dari isu-isu otonomi daerah yang disiarkan harian Jurnal Nasional mendukung kebijakan dari Pemerintah Pusat, dan ini dikuatkan dari wawancara dengan Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional. Posisi harian Jurnal Nasional ini dikemudian hari ternyata tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup harian Jurnal Nasional. Dalam peta persaingan industri media terlihat indikasi tidak sehatnya perusahaan media Jurnal Nasional, indikasi ini dapat dilihat semakin melorotnya tiras harian Jurnal Nasional dari 50.000 eksemplar menjadi 30.000 eksemplar, selain itu juga pendapatan iklan tidak terlalu mengembirakan. Kasus harian Jurnal Nasional ini lebih tepat dilihat dengan pendekatan dualisme bukan dualitas antara strukur dan agen. 22 Lihat Hidayat (2000:436) Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 186 Dua media lain yang diteliti yaitu harian Kedaulatan Rakyat dan harian Kompas, terlihat mempunyai derajat perbedaan jika dibedah dengan pendekatan strukturasi. Harian Kedaulatan Rakyat sebagai harian lokal yang lahir dan besar di daerah mempunyai tantangan yang jauh lebih rumit daripada harian Kompas yang lahir dan besar di Jakarta serta mempunyai pangsa pasar yang luas. Harian Kedaulatan Rakyat dalam penelitian ini mempunyai dua tantangan yaitu pertama dari struktur organisasi media dan kedua industri media, pada tantangan pertama dari struktur organisasi media ditemukan fakta bahwa pemilik harian Kedaulatan Rakyat pada saat ini menjadi tersangka kasus korupsi ketika Idham Samawi menjadi Bupati di Kabupaten Bantul. Fakta selanjutnya yang menggantikan Beliau menjadi Bupati Bantul pada saat ini adalah istri Beliau sendiri, dua fakta ini membuat harian Kedaulatan Rakyat terlihat berhati-hati dalam menyiarkan isu mengenai korupsi elite lokal dan dinasti politik. Hal ini dapat dilihat dari frame harian Kedaulatan Rakyat ketika menyiarkan dua isu diatas, dan fakta ini dikuatkan dari wawancara dengan Pemred harian Kedaulatan Rakyat. Namun pada sisi yang lain harian Kedaulatan Rakyat tidak menahan berita yang menyangkut pemilik harian ini. Isu-isu tentang korupsi elite lokal dan dinasti politik yang menyangkut pemilik harian Kedaulatan Rakyat tetap ditayangkan, dengan cara memberikan kesempatan pada semua narasumber untuk mengungkapkan informasi sesuai versi masing-masing. Tantangan kedua yaitu struktur industri media, posisi harian Kedaulatan Rakyat yang berada di daerah membuat harian ini harus mempunyai strategi untuk tetap hidup (survive). Pada saat ini terjadi persaingan ketat pada industri media, media harus dapat hidup dengan menjaga dan meningkatkan pendapatan dari berbagai sektor, antara lain pembaca, pengiklan, dan investor. Pada saat ini harian Kedaulatan Rakyat merupakan harian yang praktis menguasai pasar di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya 23. Fakta ini dikuatkan dalam wawancara dengan Pemred harian Kedaulatan Rakyat bahwa tiras harian ini mencapai 100.000 eksemplar dengan 80% berada di wilayah Yogyakarta. Selain pembaca pendapatan harian Kedaulatan Rakyat ditopang dari iklan. Namun jika dilihat dari data di Media Scene (2012), iklan yang masuk untuk Kedaulatan Rakyat 23 Lihat data Media Scene 2012 Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 187 secara nasional kurang menggembirakan, tapi untuk media di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya pendapatan iklan harian Kedaulatan Rakyat tetap nomor satu. Untuk menjaga dua pilar pemasukan tersebut maka harian Kedaulatan Rakyat harus dapat menyajikan berita-berita yang menarik untuk di konsumsi oleh pembaca. Dengan pembaca semakin meningkat iklan juga akan meningkat. Pada sisi ini membuat jurnalis di harian Kedaulatan Rakyat harus kreatif untuk dapat tetap bertahan dan tidak hilang seperti harian daerah lainnya. Penuturan dari Pemred harian Kedaulatan Rakyat menarik untuk di diskusikan, tekanan pada struktur industri media sangat dirasakan oleh harian lokal seperti Kedaulatan Rakyat, apalagi sekarang di Yogyakarta muncul kompetitor koran lokal yang hanya dijual Rp 1.000 rupiah. Koran lokal tersebut dapat menjual dengan harga murah karena mendapat support dari harian besar nasional, harian tersebut bernama “Tribun Yogya”. Pada awal mula harian Tribun Yogya beredar menurut penuturan Octo Lampito, tiras dari harian Kedaulatan Rakyat sempat jatuh (drop), bahkan harian Kedaulatan Rakyat mengadukan hal ini kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), tetapi tidak ada hasil sama sekali, untuk mensiasati hal tersebut maka harian Kedaulatan Rakyat mengambil sikap untuk lebih dalam menggali kemauan dari masyarakat Yogyakarta, karena menurut Octo Lampito “Kita harus tahu nafasnya Yogya itu bagaimana, sehingga kemudian menemukan resep bahwa koran Yogya harus digarap dengan kacamata orang Yogya”. Resep ini ternyata cukup bagus sehingga kemudian tiras harian Kedaulatan Rakyat kembali seperti semula. Siasat yang lain adalah menaikan iklan. Salah satunya, menurut Octo Lampito, dengan mendukung isu Pilkada Langsung. Lebih lanjut diterangkan oleh Octo Lampito, bahwa Pilkada Langsung itu merupakan hak rakyat untuk menentukan pemimpin daerah mereka, dan jika Pilkada tidak langsung maka dikawatirkan pimpinan daerah tersebut akan tersandera oleh DPRD, dan akan membuat korupsi makin parah. Namun pada sisi yang lain Octo Lampito juga mengatakan dengan adanya Pilkada Langsung membuat pendapatan iklan di harian Kedaulatan Rakyat naik cukup lumayan, karena yang beriklan tidak hanya di seputar wilayah Yogyakarta tetapi juga Jawa Tengah, Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 188 baik itu menjadi bupati, walikota maupun gubernur, dan tentunya bukan Gubernur Yogyakarta. Harian Kompas sebagai harian nasional yang mempunyai tiras sampai 500.000 eksemplar dan pemasukan iklan yang besar24, serta mempunyai jaringan tersebar di seluruh Indonesia, dalam penelitian ini tidak terlihat mempunyai masalah seperti harian Jurnal Nasional dan harian Kedaulatan Rakyat. Jika dilihat dari lima frame harian Kompas terlihat posisi harian Kompas cukup kritis terhadap isu-isu otonomi daerah yang diteliti. Permasalahan dalam struktur organisasi dan struktur industri media terlihat tidak terlalu pelik seperti kasus harian Jurnal Nasional dan harian Kedaulatan Rakyat. Interaksi antar agen juga berjalan baik. Tantangan ke depan bagi harian Kompas adalah mempertahankan bahkan jika bisa meningkatkan tiras dan pendapatan harian Kompas dari pembaca dan iklan. Strategi awak media di harian Kompas adalah dengan cara menggarap dan menyiarkan isu-isu yang berhubungan dengan lokal (daerah). Salah satu indikasinya adalah pada awal kebijakan otonomi daerah diluncurkan harian Kompas membuat halaman khusus yang membedah otonomi daerah, pada saat ini halaman khusus tersebut memang tidak ada, tetapi bukan berarti isu otonomi daerah menjadi isu yang tidak penting di harian Kompas. Halaman otonomi daerah digantikan dengan halaman berjudul Nusantara, dimana dalam halaman tersebut berisi tentang perkembangan daerah. Keseriusan harian Kompas dalam menggarap isu daerah juga dapat dibuktikan dengan diterbitkannya lima buku cukup tebal tentang potret otonomi daerah. Dalam buku tersebut dikupas berbagai isu otonomi daerah ditingkat kabupaten dan kota serta provinsi di Indonesia. Pada sisi yang lain, harian Kompas lebih banyak menempatkan wartawannya di desk Nusantara, dimana dalam desk ini ada sekitar 72 sampai 90 wartawan yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Dengan menggarap isu-isu lokal tersebut menurut Bambang Sigap Sumantri, ada kenaikan tiras jika ada peristiwa-peristiwa di tingkat lokal. Dua koran yang diteliti di atas yaitu harian Kedaulatan Rakyat dan harian Kompas cukup sulit jika hanya dibedah dengan pisau analisis instrumentalis dan analisis strukturalis, ataupun analisis yang mengabaikan eksitensi faktor-faktor struktural dan 24 Lihat Media Scene (2012) Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 189 hanya menonjolkan human agen. Pisau bedah yang lebih tepat adalah analisis strukturasi, karena pada dua harian tersebut terlihat interplay antara agen dan struktur, misalnya pada kasus harian Kedaulatan Rakyat. Apabila dilihat dari struktur organisasi media, ada hambatan dengan pemilik harian Kedaulatan Rakyat ketika menyiarkan berita mengenai isu dinasti politik dan korupsi elit lokal, tetapi struktur tersebut tidak mengekang kuat. Para human agen di harian Kedaulatan Rakyat masih bisa menyiasati hal ini. Begitu juga dengan masalah struktur industri media yang cukup pelik di harian Kedaulatan Rakyat dapat diatasi oleh manajemen harian Kedaulatan Rakyat. Pada kasus harian Kompas terlihat struktur yang dihadapai lebih pada struktur industri media. Tidak dapat dipungkiri persaingan ketat industri media juga dirasakan oleh harian Kompas, human agent yaitu para jurnalis di Kompas dituntut untuk dapat berinovasi mensiasati hal ini, dan itu dilakukan dengan cara semakin intensif menggarap isu-isu daerah terutama isu mengenai otonomi daerah. Menurut Hidayat (2000:440-442), cukup sulit jika harus mengamati pers secara menyeluruh karena mengharuskan mengamati dan membedah struktur suatu multilayered structure, dimaana akan ditemui antara lain sruktur organisasi, struktur indsutri media, struktur ekonomi politik, dan struktur kapitalisme global. Pada lapis struktur organisasi dan struktur industri memang lebih mudah diamati, tetapi untuk struktur ekonomi politik dan struktur kapitalisme cukup sukar untuk diamati melalui tindakan para agen di sektor industri media. Pertanyaan besar dalam disertasi ini salah satunya adalah apakah media sebagai agen mempunyai atau dapat mengubah struktur dari sentralisasi ke desentralisasi. Merujuk dari pendapat Hidayat di atas, memang cukup pelik untuk membuktikan apakah media menjadi faktor determinan dalam merubah struktur dari sentralistik ke desentralistik. Pengamatan dari teks dan human agent media lebih mudah untuk membuktikan perubahan pada struktur organisasi dan struktur industri. Namun, apabila dikaitkan dengan adanya fakta bahwa ada dua undang-undang yang disahkan yaitu mengenai Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan Keistimewaan Yogyakarta, bisa menjadi suatu bukti bahwa media menjadi salah satu faktor perubahan dua isu diatas. Hal tersebut dapat dilihat dari dua media yang diteliti yaitu harian Kompas yang merupakan Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 190 harian besar dengan cakupan Nasional, dan harian Kedaulatan Rakyat sebagai koran lokal yang cukup besar. Apabila dilihat dari isi teks media, lebih condong untuk mendukung Pemilihan Kepala Daerah Langsung, karena suara rakyat lebih dihargai, dan menghormati eksistensi kehendak warga daerah dengan terbitnya Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, bagaimanapun juga memberikan kontribusi kepada eskalasi tekanan atau adanya akumulasi-akumulasi tekanan terhadap penguasa. Namun tentunya perubahan tersebut tidak hanya dilihat dari faktor media saja, interaksi antar human agen dalam dua isu tersebut juga menjadi salah satu faktor penting. Misalnya gerakan yang dilakukan berbagai komponen masyarakat untuk mendesak pemilihan kepala daerah langsung dan Keistimewaan Yogyakarta juga menjadi salah satu faktor yang menjadi pemantik perubahan struktur dari sentralistik menjadi desentralistik. Pada sisi lain, peran media dalam mengusung isu mengenai otonomi daerah juga dibenarkan oleh Dirjen Otonomi Daerah dan Ketua Team Revisi Undang-Undang Pemerintah daerah. Meskipun menurut keduanya media tidak terlalu tertarik dengan isuisu yang cukup reflektif misalnya mengenai keberhasilan daerah dalam menjalankan berbagai kebijakan pada era otonomi daerah. Media lebih tertarik untuk meliput isu-isu yang bombastis, seperti berbagai persoalan yang membelit daerah, dan ini yang kemudian dikuatirkan oleh Ryaas Rasyid (2007), muncul gejala-gejala yang sangat menganggu dalam mengamati implementasi kebijakan otonomi daerah, yaitu adanya kecenderungan untuk melakukan stigmatisasi pada otonomi daerah. Misalnya, pada saat ini setiap ada persoalan yang muncul, baik di daerah maupun pusat pemerintahan, selalu otonomi yang dijadikan persoalan. Untuk lebih jelasnya, berikut akan disajikan rangkuman analisis berbasis teori strukturasi Giddens yang berhubungan dengan disertasi ini. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 191 Tabel XXV Analisis Berbasis Strukturasi Rules-Resource Aktor/Agen dan Struktur Pemerintah berusaha melakukan perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Beberapa isu mengenai perubahan tersebut muncul di media massa. Ada lima isu yang muncul yaitu, pemekaran daerah, pilkada langsung, korupsi elite lokal, dinasti politik, dan Keistimewaan Yogyakarta. Harian Kompas memberikan panggung yang luas terhadap isu-isu otonomi daerah, aktoraktor yang mengisi panggung otonomi daerah di Kompas beragam dan kritis terhadap kebijakan otonomi daerah, terutama untuk isu pilkada langsung dan Keistimewaan Yogyakarta. Walaupun sebenarnya Keistimewaan Yogyakarta tidak masuk rezim UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Namun dalam berbagai kajian pemerintahan daerah dapat dimasukan domain desentralisasi asimetris. Dua isu yang mencuat menjadi isu publik yaitu pilkada langsung dan Keistimewaan Yogyakarta. Dengan otorisasi dan sumberdaya (resource) yang dimiliki pemerintah mendorong pilkada tidak lagi secara langsung, dan keistimewaan Yogyakarta tidak lagi menjadikan Sultan secara otomatis menjadi Gubernur DIY Harian Jurnal Nasional karena dekat dengan pemerintahan SBY membuat tidak mudah menyuarakan isu-isu otonomi daerah yang berseberangan dengan penguasa, aktor-aktor yang muncul adalah para individuindividu yang mempunyai kedekatan dengan penyeleggara negara Harian Kedaulatan Rakyat sebagai koran daerah cukup memberikan ruang bagi aktor-aktor dalam menyuarakan isu yang berhubungan dengan lokalitas yaitu Keistimewaan Yogyakarta Pertarungan isu di media, akhirnya dapat mengubah keputusan pemerintah untuk mempertahankan pilkada langsung dan menetapkan Sultan sebagai Gubernur DIY Dualitas Struktur Harian Kompas menjadi tempat persemaian gagasan otonomi daerah, secara konsisten Kompas memberitakan isu-isu otonomi daerah dengan kritis, terutama isu pilkada langsung dan Keistimewaan Yogyakarta. Harian Kedaulatan Rakyat sebagai harian lokal menyuarakan secara konsisten Keistimewaan Yogyakarta . Dimana Sultan secara otomatis menjadi Gubernur DIY Kuatnya desakan dari masyarakat melalui media akhirnya mendorong pemerintah melakukan evaluasi kebijakan otonomi daerah. Kebijakan mengenai pilkada tidak langsung kemudian dilakukan revisi menjadi pilkada langsung, dan rencana kebijakan bahwa Sultan tidak otomatis menjadi Gubernur DIY direvisi menjadi Sultan secara otomatis adalah Gubernur DIY. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 192 6.2.4. Signifikansi, Dominasi, Legitimasi Selanjutnya akan dibedah 3 gugus besar struktur yaitu, pertama struktur penandaan (signifikansi), kedua struktur penguasaan (dominasi), dan ketiga struktur pembenaran (legitimasi). Jika dilihat praktek komunikasi dalam isu otonomi daerah di atas pada dasarnya adalah sebuah proses strukturasi, seperti yang diungkapkan oleh Giddens (1984) ini adalah proses yang berkelanjutan (interplay) antara struktur yang memiliki rules dengan agen yang melakukan transformasi sumberdaya. Struktur pada isu otonomi daerah ini hadir dalam suatu aturan yang dapat dilihat dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan peraturan-peraturan di bawahnya (Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, dan Peraturan Bupati/Walikota). Berbagai peraturan di atas sebenarnya menjadi kerangka agen dalam mencermati isu otonomi daerah, dan dalam prakteknya terlihat interaksi antar agen dalam hal ini, baik agen di media massa, maupun di pemerintahan, dan kaum intelektual, akhirnya membentuk suatu struktur yang baru. Struktur baru ini dapat dilihat dari selalu bergeraknya bandul Undang-Undang Pemerintahan Daerah, antara sentralisasi dan desentralisasi dalam 69 tahun Republik ini bediri, dalam delapan kali bergeraknya bandul isu otonomi daerah antara sentralisasi ke desentralisasi dan sebaliknya. Terlihat di sinilah peran antar agen dalam komunikasi sebagai upaya signifikansi, sedangkan dominasi dapat dilihat dengan fenomena hubungan atau relasi antara pusat dan daerah, dan legitimasi akan terlihat dari berbagai norma yang diaplikasikan dengan sejumlah sanksi bagi pelangarnya. Dalam praktik sosial ini, struktur dapat dilihat pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 tahun 2004 yang tampaknya mempunyai kelemahan. Kelemahan UU No 32 tahun 200425 antara lain dapat dilihat dari teks yang di konstruksikan oleh tiga 25 Beberapa Ilmuan Pemerintahan seperti, Syarif Hidayat (2010), Purwo Santoso (2013), Ramlan Surbakti (2013) bependapat bahwa UU No 32 Tahun 2004 adalah upaya resenstralisasi Pemerintah Pusat secara halus, misalnya Syarif Hidayat (2010:13) berpendapat “Pertanyaanya, terkait dengan pengaturan relasi kewenangan pusat daerah, apakah UU No 32 Tahun 2004 berupaya menggeser pendulum sentralisasi ke arah desentralisasiataukah sebaliknya ?, Bila menilik pasal 10 sampai Pasal 14 UU No 32 Tahun 2004 secara kasat mata diketahui bahwa ketentuan itu sangat kental dengan semangat “resentralisasi”, sedangkan Purwo Santoso (2013:51) berpendapat “Kita pernah memiliki undang-undang yang semangatnya pro otonomi yaitu UU No 22 Tahun 1999, ketika pendulum berbalik ayunan, kita sekarang Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 193 surat kabar yang telah diteliti. Ada lima aspek yang mencuat menjadi diskusi publik di media yaitu, pertama pilkada langsung, kedua korupsi eliet lokal, ketiga dinasti politik keempat pemekaran daerah, dan kelima keistimewaan Yogyakarta walaupun untuk Keistimewaan Yogyakarta ini bukan termasuk dalam rezim UU No 32 Tahun 2004, tetapi masuk dalam Undang-Undang tersendiri. Kelemahan dari UU No 32 Tahun 2004 tersebut tampaknya banyak disorot oleh berbagai pihak dan menjadi suatu arena pertempuran para agen untuk menyodorkan gagasan untuk memperbaiki UU No 32 Tahun 2004. Berbagai gagasan yang disodorkan oleh para agen lewat komunikasi, baik itu komunikasi lewat media massa maupun komunikasi antar agen dapat dilihat sebagai schemata signifikasi. Dalam schemata siginifikasi ini terlihat para agen merasa tidak puas pada lima isu di atas, ketidakpuasan ini kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan perubahan atau revisi terhadap UndangUndang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004. Dari lima isu di atas ada 4 isu yang masuk dalam perdebatan perubahan atau revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yaitu, pertama pemilihan kepala daerah langsung, kedua pemekaran daerah, ketiga korupsi elit lokal, dan keempat dinasti politik. Untuk isu Keistimewaan Yogyakarta merupakan rezim di luar Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004, meskipun sebenarnya masuk dalam domain isu otonomi daerah yaitu desentralisasi asimetris. Dalam schemata signifikasi yang ditunjukan melalui komunikasi ini terlihat tarik menarik antar agen. Namun pada dasarnya dari 5 isu di atas ada 2 isu yang terlihat tarik menariknya keras dan 3 isu yang dari awal terhadap kesepahaman. Dua isu yang tarik menarik keras adalah isu Pemilihan Kepala Daerah dan Keistimewaan Yogyakarta, pada dua isu ini agen dari Pemerintah Pusat dan Harian Jurnal Nasional melihat bahwa untuk isu Pemilihan Kepala Daerah harusnya dilakukan tidak secara langsung atau lewat legislatif daerah (DPRD) dan isu Keistimewaan Yogyakarta harusnya yang menjadi Kepala Daerah bukan Sultan namun dipilih seperti daerah lainnya. memiliki UU No 32 Tahun 2004 yang berlaku sampai saat ini dan oleh sebagian kalangan dipandang bersemangat resentralisasi, artinya regulasi di sini dibuat tidak hanya berdasarkan kalkulasi berorientasi efisiensi semata, namun ada dimensi pertarungan kepentingan untuk memaknai desentralisasi” Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 194 Sebaliknya 2 agen media menjadi konter wacana yang direproduksi oleh agen dari Pemerintah Pusat, dua media tersebut adalah Kompas dan Kedaulatan Rakyat yang berpendapat bahwa sebaiknya Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan langsung oleh rakyat dan Kepala Daerah di Yogyakarta seharusnya secara otomatis adalah Sultan Yogyakarta. Sementara 3 isu yang lain yaitu, pertama pemekaran daerah, kedua korupsi elite lokal, dan ketiga dinasti politik, terlihat semua agen sepakat untuk dibenahi, dan akan dibuat aturan baru. Dari schemata signifikasi ini kemudian ada keterulangan praktik sosial yang kemudian menjadi sedimentasi mengenai perlunya segera diadakan revisi Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang mengenai Keistimewaan Yogyakarta. Dari praktek keterulangan di atas kemudian menjadi schemata dominasi, di mana dalam disertasi ini schemata dominasi dilihat dari relasi atau hubungan yang tercipta antara pusat dan daerah, yang pada awalnya jika di bedah kelima isu yang diteliti terlihat pusat hendak menguasai/dominasi daerah, ini dapat diketahui dari narasi tentang revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, salah satunya mengenai pilkada langsung, sepertinya pemerintah hendak menarik lagi kuasa masyarakat untuk menentukan pemimpin di tingkat lokal, dan memberikan kuasa memilih pemimpin kepada parlemen lokal (DPRD). Namun, praktik penguasaan pusat tidak dapat 100% dilakukan karena dalam struktur politik dan struktur ekonomi yang lebih demokratis, pusat terlihat tidak dapat menguasai (dominasi) ke dua struktur tersebut. Sehingga untuk isu pilkada langsung, dan Keistimewaan Yogyakarta terlihat Pemerintah Pusat harus melakukan kompromi, tidak dapat memaksakan dominasinya. Dari schemata dominasi diatas, kemudian muncullah schemata legitimasi dalam disertasi ini, yaitu norma atau tata hukum yang diaplikasikan dalam hubungan pusat, dan daerah dengan sejumlah sanksi bagi pelangarnya, baik itu agen pusat, maupun daerah. Norma atau tata hukum itu dapat dilihat dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Perpu tentang Pilkada Langsung serta Undang-Undang mengenai Keistimewaan Yogyakarta. Proses siginifikasi, dominasi, dan legitimasi terkait dengan isu otonomi daerah ini menunjukkan proses saling keterkaitan (interplay) antara agen dan struktur, serta proses Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 195 produksi dan reproduksi realitas mengenai otonomi daerah akan terus berlangsung. Hal ini seperti kritik Ritzer (2007) terhadap teori strukturasi Giddens bahwa proses ini seakan tidak ada ujung, sampai sekarang polemik mengenai kebijakan otonomi daerah tidak ada yang mengetahui kapan akan berakhir. Dari uraian di atas terlihat reproduksi sosial berlangsung melalui dualitas struktur dan praktik sosial seperti di atas. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah para pelaku sadar atau tahu akan hal tersebut ?, Gidden (1994) menjawab dengan tiga dimensi internal pelaku yaitu, pertama motovasi tidak sadar, kedua kesadaran praktis, ketiga kesadaran diskursif. Dalam mazhab fenomenologi kesadaran praktis ini merupakan wilayah gugus pengetahuan yang dapat diandaikan yang merupakan sumber rasa aman ontologis (ontological security). Dari kesadaran praktis ini, berbagai tindakan dan praktik sosial lambat laun menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang atau mampu membuat tindakan praktik sosial. Dalam penelitian ini terlihat sumber rasa aman ontologis antar agen adalah otonomi daerah harus dilaksanakan karena dengan melaksanakan otonomi daerah maka akan tercipta kestabilan politik, sosial, ekonomi di Indonesia. Terlihat dari semua pendapat agen yang diteliti tidak ada satupun yang menawarkan ide atau gagasan selain otonomi daerah, Bagi para agen, pilihan otonomi daerah adalah pilihan terbaik daripada kembali ke sistem sentralistis ataupun sistem federalisme. Untuk lebih jelasnya, berikut akan disajikan rangkuman analisis signifikansi, dominasi, dan legitimasi berbasis teori strukturasi Giddens. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 196 Tabel XXVI Signifikasi, Dominasi, Legitimasi Signifikasi Struktur penandaan, schemata simbolik: simbol penanda otonomi daerah, Kementrian Dalam Negeri, Parlemen, Pemerintah Daerah. Pemaknaan, penyebutan, dan wacana: labeling, stereotipe, terminologi sentralistik-desentralistik Dominasi Struktur penguasaan, schemata ekonomi-politik: Menempatkan para pemikir yang lebih condong pada mazab desentralisasi administratif daripada mazab desentralisasi politis dalam birokrasi Penguasaan atas orang (politik), barang (ekonomi) : Pemanfaatan mesin birokrasi, anggaran, sarana dan prasarana Legitimasi Struktur legitimasi/pembenaran, schemata normatif: Undang-Undang Nomor 32 Tentang Pemerintah Daerah, UndangUndang Keistimewaan Yogyakarta, Peraturan Pemerintah Tentang Pilkada Langsung. Peraturan normatif dalam tata hukum: Peraturan-peraturan menteri yang berhubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, dan lain-lain Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 180 BAB VII PENUTUP 7.1. Kesimpulan Dari hasil analisis terhadap dinamika tiga media dalam mengkonstruksi realitas otonomi daerah dan bagaimana frame pemberitaan harian Kompas, harian Jurnal Nasional dan harian Kedaulatan Rakyat mengenai Isu Otonomi Daerah dapat disimpulkan, sebagai berikut. Analisis teks pemberitaan pada level mikro menemukan lima isu otonomi daerah yang menonjol sepanjang tahun 2012 dan 2013 . Kelima isu tersebut adalah pertama pemekaran daerah, kedua keistimewaan Yogyakarta, ketiga dinasti politik, keempat korupsi elite lokal, dan kelima pemilihan kepala daerah langsung (gubernur), sementara itu analisis pada tataran meso (level media) dari perbandingan sudut pandang media tentang isu otonomi daerah, ditemukan sudut pandang yang berbeda. Secara garis besar frame harian Kompas terlihat kritis terhadap isu otonomi daerah, sedangkan frame harian Jurnal Nasional terlihat sejalan dengan kebijakan pemerintahan Presiden SBY dalam isu otonomi daerah, sementara frame harian Kedaulatan Rakyat sebagai koran daerah melihat isu otonomi daerah lebih banyak dalam perspektif lokal (kedaerahan). Analisis pada level media juga menemukan faktor kepemilikan dan modal masih cukup kuat dalam mempengaruhi frame media yang diteliti. Harian Jurnal Nasional, karena mempunyai kedekatan dengan Presiden SBY, frame tentang isu-isu otonomi daerah terlihat mendukung kebijakan dari Pemerintahan SBY. Begitu juga dengan frame harian Kedaulatan Rakyat ketika menyangkut peristiwa yang berhubungan dengan pemilik media misalnya isu dinasti politik dan isu korupsi elite politik, sehingga frame Kedaulatan Rakyat tidak tajam, dan isu Keistimewaan Yogyakarta menjadi topik yang paling banyak diberitakan oleh harian Kedaulatan Rakyat. Frame Kompas terlihat kritis dalam menyiarkan berbagai berita mengenai otonomi daerah, faktor kepemilikan modal terlihat tidak tampak melakukan intervensi terhadap pemberitaan Kompas tentang isu otonomi daerah. Namun pada sisi lain Kompas terlihat berusaha mempertahankan, bahkan menambah jumlah pembaca Kompas di daerah dengan menjadikan isu otonomi daerah beberapa kali menjadi berita utama. Analisis level makro dapat dibagi menjadi dua. Pada harian Jurnal Nasional analisa yang lebih tepat adalah menggunakan pendekatan analisis instrumentalis atau strukturalis daripada Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 181 strukturasi karena pada harian Jurnal Nasional struktur organisasi media terlihat mengikat erat human agent. Tidak terlalu cukup ruang bagi agen melakukan interplay terhadap struktur. Lain halnya dengan harian Kompas dan harian Kedaulatan Rakyat, yang dapat dibedah dengan analisis strukturasi. Terlihat interplay antara agen dan struktur, meskipun derajat tingkat hubungan antara agen dan struktur antara harian Kompas dan harian Kedaulatan Rakyat berbeda. Dimana derajat tingkat hubungan harian Kompas lebih tinggi daripada derajat tingkat hubungan harian Kedaulatan Rakyat. Pada harian Kedaulatan Rakyat ada dua isu yang cukup membelenggu yaitu isu dinasti politik dan korupsi elite lokal, yang menyerempet pemilik harian tersebut. Dalam proses strukturasi dari tiga media yang diteliti, terlihat dua media yaitu harian Kompas dan harian Kedaulatan Rakyat mampu merubah struktur dari sentralistik ke desentralistik untuk isu Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan Keistimewaan Yogyakarta, meskipun harus diakui bahwa media bukan satu-satunya faktor yang diterminan dalam perubahan struktur tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa isi dari teks media dalam dua isu tersebut memberikan kontribusi kepada eskalasi tekanan atau adanya akumulasi-akumulasi tekanan terhadap penguasa. Dalam disertasi ini schemata signifikasi dapat dilihat dari pengulangan berbagai praktek wacana mengenai isu otonomi daerah yang dilakukan antar agen, baik itu agen media, agen pemerintah pusat maupun agen intelektual. Praktek pengulangan itu menjadi sedimentasi mengenai perlunya segera diadakan revisi Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004, dan UU mengenai Keistimewaan Yogyakarta. Schemata dominasi, dilihat dari relasi atau hubungan antara pusat dan daerah, di awal terlihat pusat hendak mendominasi, tetapi ada konter wacana sehingga pusat harus melakukan kompromi terhadap daerah. Schemata legitimasi dalam disertasi ini adalah norma atau tata hukum hubungan pusat, dan daerah dengan sejumlah sanksi bagi pelanggarnya baik itu agen pusat maupun daerah. Sumber rasa aman ontologis (ontological security) dapat dilihat bagaimana antar agen merasa bahwa otonomi daerah harus karena pilihan otonomi bagi agen lebih realistis daripada sentralisasi ataupun federalisme 7.2. Implikasi Teoritis dan Metodologis Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 182 Untuk level mikro, penelitian ini menemukan lima isu yang menonjol (sailent issue), pada tiga suratkabar yang diteliti. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan framing effects, agar dapat diketahui mengenai dampak dari pemberitaan isu otonomi daerah terhadap opini pembaca surat kabar. Proses konstruksi realitas mengenai isu otonomi daerah, perlu diteliti pada surat kabar selain Kompas, Jurnal Nasional, dan Kedaulatan Rakyat, terutama pada surat kabar lokal yang berbasis di daerah, seperti Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Selatan, dan Papua Perbedaan frame antar surat kabar yang diteliti, serta narasumber yang menjadi informan dalam penelitian ini perlu ditelusuri lebih dalam, untuk melihat pengaruh faktor individu, sosial, ekonomi, ideologi di balik jurnalis dan informan, sehingga dapat ditemukan model otonomi daerah yang ideal untuk Indonesia. Pada level meso, proses pembentukan frame building isu otonomi daerah perlu diperluas dengan melibatkan proses gate keeping pada news room di tiga media cetak yang diteliti. Pada level media perbedaan sudut pandang yang cukup kontras antara harian Kompas dengan harian Jurnal Nasional dan harian Kedaulatan Rakyat perlu penyelidikan lebih lanjut, terutama mengenai kedekatan media dengan pemilik media, dan pemodal (investor) media, serta pangsa pasar dari media, karena kekuatan kapital menjadi faktor utama keberlangsungan hidup media. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 183 Pada level makro pemberitaan tentang isu otonomi daerah ini adalah hasil konstruksi realitas media, dan ada saling keterkaitan (interplay) antara agen dan struktur, hal ini perlu penyelidikan lebih mendalam dan dikembangkan lebih jauh dalam perspektif reflektif atau interpretif. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 201 Daftar Pustaka Basri, M Chatib dan Dana Iswara. 2000. Exit, Voice and Loyalty: Ekonomi Politik Modal dan Peran Media di Masa Krisis, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia. Berger, Peter L and Thomas Luckmann. 1966. The Sosial Construction of Reality. England: Penguin Books Bakti, Andi Faisal. 2014. Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi Selatan, dalam Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken.(ed). (terj). 2014. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Pustaka Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Bhakti, Ikrar Nusa. 2000. Berbagai Faktor Penyebab Jatuhnnya Presiden Soeharto, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia. Denzin, Norman K and Yvona S. Lincoln (ed). 2011. Handbook of Qualitative Research. SAGE Publications. Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Kompas Gramedia Entman. Robert M. 1989. Democracy Without Citizens: Media and The Decay of American Politics. New York: Oxford Univerity Press. Eriyanto, 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS _______, 2002. Analisis Framing, Konstruksi Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS. Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse Analysis. London: Edward Arnold ________________. 1998. Critical Discourse Analysis. London: Longman Hall, Stuart. 1982. The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in Media Studies” Dalam Michael Gurevitch, Bennet, James Curran & James Wollacat (ed), Culture, Society and The Media. London: Methuen. Hall, Stuart. 1986. Ideology and Communication Theory” Dalam Brenda Dervis et al (ed), Rethinking Communication: Perspective Issues. Newbury Park: Sage Publication. Gamson, William A. 1992. Talking Politics. Cambridge: Cambridge University Press _________________ 1996. Media Discourse as a Framing Resource, dalam Ann Crigler (ed). The Psychology of Political Communication. Ann Arbor: The University of Michingan Press. Gazali, Effendi. 2000. Antara Benci dan Banci terhadap Rezim: Analisis Peran Koran dan Radio Lokal, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia. Goffman, Erving. 1974 . Frame Analysis: an Essay on The Organization of Experience, With Foreword by Bennett Berger. Northeastern University Press, Boston. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 202 Golding, Peter and Graham Murdock, (eds). 1997. The Political Economy of The Media. Volume 1. Cheltenham: Edward Edgar Publishing Limited. Giddens. Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of The Structuration. Berkeley: University of California Press. ______________. 1979. Central Problem in Sosial Theory, London: Mc Millian. ______________. 1993. New Rulers of Sociological Method. Chambridge Polity Press Habermas, Jurgen. 1993. The Structural Transformation of The Publik Sphere. Cambrige MA: MIT Press Hakiem. Lukman. 2008. M. Natsir di panggung sejarah republik, Jakarta: Republika Hamersma. Harry. 1990. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia Herman, Edward S, and Noam Chomsky. 1998. Manufacturing Consent: The Political Economy of Mass Media. New York: Pantheon Books. Hibbin, Stuart. (ed). 1978. Politics, Ideology, and The State. London: Lawrence and Wishart. Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia. Hidayat, Syarif. 2002. Too Much Too Soon. Jakarta: Rajawali Press Himmerstrand, U. (ed). 1986. Sociology: The Aftermath of Crisis. London: Sage Publications. Hoessein, Bhenyamin. 1995. Sentralisasi dan Desentralisasi : Masalah dan Prospek, Dalam Menelaah Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPi-Gramedia Ishadi SK. 2000. Persepsi Elit Penguasa Terhadap Media, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia. Iyengar, Shanto. 1991. Is Anyone Responsible : How Television Frame Political Issues. Chicago and London: The University of Chicago Press. Kalbfieisch, Pamela J. (ed). 2005. Communication Yearbook 29. Taylor and Francis. Inc. Kahin, Audrey R. (2005). Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Lippman, Walter. 1992. Public Opinion. New Jersey: Transaction Publiser Muttalib, M.A. dan Mohd. Akbar Ali Khan. (terj). 2013. Theory of Local Government (Teori Pemerintahan Lokal). Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. Marbun, B.N. 2010. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita. Jakarta: Sinar Harapan. Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. London, Thousand Oaks: Sage Publications. McQuail, Denis. 1999. McQuails Mass Communication Theory. London: Publications. Neuman, W Lawrence. 2006. Sosial Research Methods, Qualitative And Quantitative Approach. Pearson International Edition. Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken.(ed). (terj). 2014. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Pustaka Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 203 Nurcholis, Hanif. 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo Oetama, Jacob. 1987. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta : PT Pantja Simpati. Pinckey Triputra. 2000. Isi Media sebagai Produk Interaksi Antaragensi: Kasus Media Cetak Pada Mei 1998, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia. Priest, Susanna Hornig (ed). 2010. Encylopedia of Science and Technology Communication. SAGE Publications. Priyono, B Herry. 2002. Anthony Giddens Suatu Pengantar, Kepustakaan Populer. Jakarta: Gramedia Poloma, Margaret. 1984. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV Rajawali. Rasyid, Ryaas, dkk. 2007. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar ____________. 1997. Makna Pemerintahan. Tinjauandari Segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta: Yarsif Watampone. Riyanto. Geger. 2009. Peter L Berger, Prespektif Metateori Pemikiran. Jakarta: LP3ES. Rondinelli, A. Dennis and Shabbir Cheema. 2007. Decentralizing Governance Emerging Concepts and Practices. Brookings Institution Press _________________. 2005. Decentralization and Development, New York: Marcel Dekker. Ritzer, George. 2006. (terjemahan). Sosiologi Ilmu Berperspektif Ganda. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Satrio, Munandar. 2000. Dinamika Pers Indonesia di Era Reformasi, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia. Syamdani, (2009), PRRI, Pemberontakan atau Bukan. Jakarta: Media Pressindo. Sendjaja, Sasa Djuarsa dan Hendra Harahap. 2000. Proses dan Dinamika Pemberitaan Televisi pada Mei 1998: Antara Nilai Berita dan Perubahan, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia. Severin, W.J. and Tankard. 1997. Communication Theories: Origin, Methods and Uses in The Mass Media. New York: Longman Publishing. Shoemaker, Pamela J. & Stephen Reese. 1996. Mediating the Message: Theories of Influence of Mass Media Content. New York: Longman Publishers Shoemaker, Pamela J. & Tim P Vos. 2009. Gate Keeping Theory. New York: Routledge Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta. ISAI-LKiS. Sujatmiko, Budiman. 2000. Represi Melalui Media Massa pada Masa Soeharto, dalam Hidayat, Dedy, dkk. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia. Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 204 Smith, BC. 1985. The Territorial Dimension of The State. London: Gorge Allen and Unwin. Van Dijk, Teun A, 1997. Political Discourse and Political Cognition. Aston University Press ______________, 1998. Ideology A Multidisciplinary Study. London: Sage Publication. Zulkifli, Ahmad. 1996. PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunikasi Politik. Jakarta : Grafiti Press. Jurnal, Majalah dan Makalah: Entman, Robert M. 1993. Framing Toward Clarification of a Fractured Paradigm. Political Communication. Vol. 43. No. 4 ________________. 1991. Framing US Coverage of International News: Contrast in Narative of The KAL and Iran Air Incident. Journal of Communication. Vol. 41. No.4 ________________and Andrew Rojecki. 1993. Freezing Out The Public: Elit and Media Framing of The US. Anti Nuclear Movement. Political Communication. Vol1. No1. Gamson , William. A and Andre Modigliani. 1989. Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power: A Constructionist Approach. American Journal of Sociology. Vol 95. No.1. _______________. David Croteau, William Hoyness and Thordore Sasson. 1992. Media Images and The Social Construction of Reality. Annual Review of Sociology, Vol. 18. Hamad, Ibnu. 2004. Perkembangan Analisis Wacana Dalam Ilmu Komunikasi. Makalah UI Hidayat, Syarif. 2010. Refleksi Satu Dasarwarsa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jurnal Prisma, Juli 2010. Hoessein, Bhenyamin. 2000. Hubungan Penyelenggaraan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Jurnal Bisnis dan Birokrasi. No. 1/I/Juli 2000 Media Scene. 2012. The Official Guide to Advertising Media in Indonesia. Priyono, B Herry. 1995. Sebuah Terobosan Teoritis. Jurnal Basis, Gramedia Santoso, Purwo. 2013. Difisiensi Teori Pemerintahan: Refleksi Atas Desentralisasi Di Indonesia. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. Edisi 43, Tahun 2013 Scheufele, Dietram A. 1999. Framing as Theory of Media Affects. Journal of Communication, 49 (1). ________ and David Tewksbury. 2007. Framing, Agenda Setting, and Priming: The Evolution of Three Media Effect Models. Journal of Communication, 57 (1). Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 205 Saadie, Teddy Nurhadie. 2008. Implementasi Kebijakan Pemerintahan dan Budaya Pemerintahan Dalam Otonomi Daerah. Jurnal Politik Pemerintahan Volume I November 2008 Smythe, Dalas. 1977. Communication: Blindspot of Western Marxism. Canadian Journal of Political and Social Theory, Volume 1 Number 3 Surbakti, Ramlan. 2013. Defisiensi Berbagai Aspek Kebijakan Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. Edisi 43, Tahun 2013 Suwandi, Made. 2004. Pokok-Pokok Pikiran Konsepsi Otonomi Daerah Indonesia Dalam Mewujudkan Pemerintah Daerah yang Demokratis dan Efisien. Jakarta: tidak diterbitkan Wigyosoebroto, Soetandyo. 2010. Satu Abad Desentralisasi di Indonesia. Jurnal Prisma, Juli 2010. Thesis dan Disertasi Alifahmi, Hifni. 2011. Dinamika Media Frame Building Analisis Strukturasi terhadap Frame Sponsors dan Frame Constation Isu Privatisasi BUMN di Harian Kompas dan Bisnis Indonesia. Disertasi UI Fujiartanto. Implementasi desentralisasi daerah di Kota Depok : Studi Tentang Penataan Kewenangan, Kelembagaan dan Kepegawaian Pada Pemerintah Daerah Kota Depok, Propinsi Jawa Barat. Tesis UI Hoessein, Bhenyamin. 1993. Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Dati II: Suatu Kajian Desentralisasi dan Desentralisasi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara. Disertasi UI. Hamad, Ibnu. 2002. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa (Studi Pesan Komunikasi Politik dalam Media Cetak pada Masa Pemilu 1999). Disertasi UI Situmorang, Sodjuangan. Model Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Disertasi UI Suryanto. Penggambaran Permasalahan Desentralisasi daerah Dalam Media Cetak (Studi Analisa Wacana Terhadap Berita-Berita Otonomi Daerah) Tesis UI Sukardi. 2009. Kekuatan Struktur dan Agen Dalam Komunikasi Politik Pemenangan Ratu Atut Choisiyah Dalam Pilkada Banten. Disertasi UI Tahrir M. Evaluasi Penataan Kelembagaan Perangkat Daerah di Kota Palembang (Suatu Tinjauan terhadap Implementasi Otonomi Daerah di Kota Palembang). Tesis UI Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. 206 Undang-Undang dan Peraturan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Laman Internet www.mdlf.org www.kompas.com www.m.jurnas.com www.krjogja.com Universitas Indonesia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Panduan Daftar Pertanyaan Ke Harian Kompas dan Harian Jurnas Bagaimanakah media bapak/ibu dalam melihat isu otonomi daerah Apakah isu otonomi daerah merupakan isu yang penting dalam media ibu/bapak Apakah media ibu/bapak mempunyai halaman khusus tentang isu otonomi daerah Berapakah jumlah wartawan di media ibu/bapak yang ditempatkan di daerah ataukah ada desk daerah 5. Dalam mendapatkan berita daerah apakah media bapak/ibu mendapatkan juga dari kantor berita lain semisal antara atau yang yang lain misalnya ada aliansi media ? 6. Seberapa penting berita-berita mengenai isu otonomi daerah di media ibu/bapak ? 7. Bagaimana dengan iklan ?, apakah ada hubungan antara iklan dengan berita-berita tentang otonomi daerah ? 8. Bagaimana persebaran atau distribusi dari media ibu/bapak di daerah ?, berapa oplag media ibu/bapak di daerah dan daerah mana saja yang paling banyak oplag-nya 9. Bagaimana proses produksi berita di media Ibu/Bapak ? 10. Bagaimana kriteria berita otonomi daerah yang dianggap penting dalam media bapak/ibu 11. Bagaimana proses sidang redaksi dalam menentukan sebuah berita mengenai otonomi daerah itu ditentukan dan dimunculkan sebagai berita ? 12. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pemekaran wilayah ?, mengapa media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pemekaran wilayah ? 13. Mengapa berita pemekaran wilayah dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 20122013 cukup banyak keluar (Kompas-Jurnas) 14. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pengaturan pusat dan daerah ?, mengapa media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pengaturan pusat dan daerah ? 15. Mengapa berita pengaturan pusat dan daerah dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013 banyak keluar 16. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang dinasti politik ?, mengapa media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan dinasti politik ? 17. Mengapa berita dinasti politik dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013 banyak keluar (Kompas-Jurnas) 18. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang korupsi elit lokal ?, mengapa media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan korupsi elit lokal ? 19. Mengapa berita korupsi elit lokal dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013 banyak keluar (Kompas-Jurnas) 20. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pilkada gubernur ?, mengapa media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pilkada gubernur ? 21. Mengapa berita pilkada gubernur dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013 banyak keluar (Kompas-Jurnas-KR) 22. Bagaimana menjelaskan hubungan Kompas dengan isu Komando Pastur ?, apakah ada kedekatan ideologis atau afiliasi dengan agama tertentu ? 23. Bagaimana Kompas membina relasi dengan narasumber yang berhubungan dengan otonomi daerah ? 1. 2. 3. 4. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Panduan Daftar Pertanyaan Ke Harian Kedaulatan Rakyat Bagaimanakah media KR dalam melihat isu otonomi daerah Apakah isu otonomi daerah merupakan isu yang penting dalam media ibu/bapak Apakah media ibu/bapak mempunyai halaman khusus tentang isu otonomi daerah Berapakah jumlah wartawan di media ibu/bapak yang ditempatkan di daerah ataukah ada desk daerah 5. Dalam mendapatkan berita daerah apakah media bapak/ibu mendapatkan juga dari kantor berita lain semisal antara atau yang yang lain misalnya ada aliansi media ? 6. Seberapa penting berita-berita mengenai isu otonomi daerah di media ibu/bapak ? 7. Bagaimana dengan iklan ?, apakah ada hubungan antara iklan dengan berita-berita tentang otonomi daerah ? 8. Bagaimana persebaran atau distribusi dari media ibu/bapak di daerah ?, berapa oplag media ibu/bapak di daerah dan daerah mana saja yang paling banyak oplag-nya 9. Bagaimana proses produksi berita di media Ibu/Bapak ? 10. Bagaimana kriteria berita otonomi daerah yang dianggap penting dalam media bapak/ibu 11. Bagaimana proses sidang redaksi dalam menentukan sebuah berita mengenai otonomi daerah itu ditentukan dan dimunculkan sebagai berita ? 12. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pemekaran wilayah ?, mengapa media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pemekaran wilayah ? 13. Mengapa berita pemekaran wilayah dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 20122013 tidak banyak keluar (KR) 14. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pengaturan pusat dan daerah ?, mengapa media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pengaturan pusat dan daerah ? 15. Mengapa berita pengaturan pusat dan daerah dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013 banyak keluar (Kompas-Jurnas-KR) 16. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang dinasti politik ?, mengapa media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan dinasti politik ? 17. Mengapa berita dinasti politik dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013 tidak banyak keluar (KR) 18. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang korupsi elit lokal ?, mengapa media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan korupsi elit lokal ? 19. Mengapa berita korupsi elit lokal dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013 tidak banyak keluar (KR) 20. Bagaimana media bapak/ibu dalam memandang pilkada gubernur ?, mengapa media bapak/ibu dalam tahun 2012-2013 menyiarkan pilkada gubernur ? 21. Mengapa berita pilkada gubernur dalam media bapak/ibu dalam kurun waktu 2012-2013 tidak banyak keluar (KR) 22. Bagaimana hubungan KR dengan Kasultanan Yogya terutama dengan Sri Sultan HB X ? 23. Bagaimana KR membina relasi dengan narasumber yang berhubungan dengan otonomi daerah ? 1. 2. 3. 4. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Panduan Daftar Pertanyaan Untuk Para Ahli dan Pemangku Kebijakan Sebenarnya apakah otonomi daerah itu menurut perspektif ibu/bapak ? Mengapa isu isu otonomi daerah merupakan isu yang penting ? Secara garis besar bagaimana kebijakan pemerintah dalam otonomi daerah ? Menurut ibu/bapak apakah media ibu/bapak mempunyai peran penting dalam mengusung isu otonomi daerah 5. Apakah wartawan media massa sering meminta bapak/ibu untuk menjadi narasumber tentang isu otonomi daerah ? 6. Apakah ada perbedaan pertanyaan antara wartawan media nasional dan media lokal dalam isu otonomi daerah 7. Isu-isu apa sajakah yang paling sering ditanyakan wartawan mengenai otonomi daerah ? 8. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu pemekaran daerah ?, apakah wartawan sering menanyakan mengenai isu pemekaran daerah ? 9. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu pengaturan pusat dan daerah ?, apakah wartawan sering menanyakan mengenai isu pengaturan pusat dan daerah ? 10. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu dinasti politik ?, apakah wartawan sering menanyakan mengenai isu dinasti poitik ? 11. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu korupsi elit lokal ?, apakah wartawan sering menanyakan mengenai isu korupsi elit lokal ? 12. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu pilkada gubernur ?, apakah wartawan sering menanyakan mengenai isu pilkada gubernur ? 13. Bagaimana pendapat Ibu/Bapak dalam isu pemekaran wilayah ?, apakah wartawan sering menanyakan mengenai isu pemekaran wilayah ? 14. Data dari kami menunjukkan bahwa koran nasional Kompas dan Jurnas menempatkan berita pemekaran daerah, pengaturan pusat-daerah dan pilkada gubernur menjadi isu yang menonjol, sebaliknya koran daerah KR menempatkan isu pengaturan-pusat daerah dan keuangan daerah menjadi isu yang menonjol, bagaimana tanggapan ibu/bapak ? 15. Bagaimana pendapat ibu/bapak terhadap koran Kompas, koran Jurnas, dan koran KR dalam meliput berita otonomi daerah ? 1. 2. 3. 4. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Lampiran TRANSKRIP WAWANCARA Informan Budi Winarno (Jurnal Nasional) M Dari berita yang saya teliti, ada 6 berita yang cukup menarik yang sering keluar dari 3 media yang saya teliti pak. Ada pemekaran daerah, pengaturan pusat dan daerah (termasuk mengatur bagaimana undang-undangnya tentang mungkin apakah istimewa apa tidak, bagaimana desentralisasinya simetris atau asimetris), dinasti politik (ada isu dinasti politik yang cukup kuat), korupsi elit lokal, keuangan daerah, pilkada gubernur (apakah gubernur dipilih oleh masyarakat/dipilih secara langsung atau dipilih oleh DPRD/diangkat). Ada beberapa hal yang menarik yang bisa kita diskusikan. Sebetulnya bagaimana media Jurnas melihat isu otonomi daerah ini pak? JN Otonomi daerah itu lahir bukan tahun 1999 (katakan seperti itu), karena desakan dari pemerintah yang sentralistik waktu itu, saat sentralistik tumbang muncul desakan sangat kuat untuk mengembangkan kebijakan otonomi daerah, saya ingat itu tahun 1999 itu jaman presiden Habibie ada sejumlah undang-undang, yaitu undang-undang pemerintahan daerah, undang-undang pembagian keuangan pusat dan daerah, dan undang-undang lainnya yang jelas-jelas sangat pro otonomi daerah. Sejumlah undang-undang direvisi memang. Pak Habibie kan luar biasa, meski presiden Cuma setahun lebih tapi sangat produktif, tentu bergandengan dengan DPR, sangat produktif membuat undang-undang sehingga mungkin kelengkapannya perlu banyak yang direvisi, tapi apapun dasar-dasar otonomi daerah itu lahir tahun 1999. Undang-undang pemerintahan daerah abadi sampai hari ini meskipun direvisi, pembagian keuangan daerah dan segala macamnya. Nah, kita konsen dengan itu semua karena pertama, itu undang-undang, pada pemerintahan terakhir kita tahu pendiri koran ini adalah kebetulan menjadi presiden, dan Beliau sangat pro otonomi daerah sehingga kita dukung penuh. Selain itu, semuanya sudah terwadahi jadi kita dukung penuh otonomi daerah. Otonomi daerah diukir dengan segala keunikannya, Aceh dengan keistimewaan kesyari‟atannya, Jogja dengan keistimewaan karena faktor sejarah (heroik), Papua dengan segala kekhususan otonominya(Otsus). Saya kira 3 provinsi itu, selebihnya provinsi lain relatif sama kecuali DKI karena pusat ibukota negara. Kita penuh mendukung otonomi karena faktor undang-undang, faktor syarat ideal itu baik. Pemerintahan otonomi kita itu Jawa Tengah, federal mungkin tidak cocok untuk kita, otonomi daerah bahasa yang pas untuk kita karena kebijakan lokal banyak yang tidak bisa diabaikan. Di Sumatera Barat ada “nagari”, „gempong‟, dan segala macam semoga bisa dilestarikan dengan undangundang otonomi daerah. Jadi pahamnya itu yang mendasari, mengapa kita mendukung kebijakan pemerintah dari dulu sampai sekarang tentang otonomi daerah. M Kemudian apakah isu otonomi inimenjadi salah satu isu yang penting di Jurnas ? Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. JN Kalau isu utama ya, saya kira penamaan rubrik khusus otonomi itu tidak ada, namun halaman nusantara yang mencerminkan otonomi sangat kuat. Halaman politik hukum juga mengakomodasi produk-produk perundangan terutama tentang otonomi daerah yang lahir dari Senayan, itu di rubrik nasional. Dari daerah, dinamika di daerah kita wadahi di rubrik nusantara. Itu sampai sekarang dari awal sampai hari ini jurnal nasional masih konsisten dengan itu. M Kalau begitu, apakah ada desk daerah khusus pak ? JN Kita ada desk daerah, yang memang 24 jam mengawal dinamika daerah. M Apakah misalnya tulisan pak Velix itu termasuk desk daerah, misalnya tentang papua ? JN Kalau Beliau yang menjadi narasumber tergantung, kalau lebih condong ke entry untuk peraturan ditingkat pusat biasanya ke halaman nasional, tapi kalau Beliau bercerita tentang dinamika daerah ya masuk di halaman daerah. Lebih dari itu belum, meskipun terhenti baru sebulan kalau tidak salah, sebelum itu Baliau sangat rutin menulis tentang otonomi daerah terutama di Papua dengan segala keunikan dan segala macamnya. M Apakah ada juga wartawan yang ditempatkan di daerah pak? JN Kita punya koresponden di sejumlah daerah, koresponden tetap di sejumlah provinsi tapi provinsi-provinsi utama dalam pengertian media tentu berada diantara idealisme dan pasar, provinsi yang punya nilai jual pasti ada koresponden. Aceh, kita punya koresponden. Papua, kita punya koresponden. Yogya, apalagi 2 malah. Kita punya koresponden di daerah-daerah yang kita anggap dinamis. M Dalam berita-berita daerah apakah Bapak juga mengambil misalnya dari Antara, atau Reuter atau aliansi media lain mungkin ? JN Kalau resource berita itu prinsipnya apapun asal kuat kita ambil. Bahkan untuk kasus misalnya seperti ini, sebuah peristiwa di Bone misalnya, koresponden kita mengirim dari Makasar, wartawan Antara sampai ke lokasi di Bone, kita akan padukan itu antara laporan Antara dengan wartawan kita. Sehingga menjadi berita yang sosoknya lebih lengkap, kalau dari Makasar mungkin pakai teropong sehingga tidak bagus. Tapi kalau ada wartawan yang sampai ke lokasi maka akan lebih hidup beritanya. Kalau mau kuat sekali laporan wartawan, kita ambil saja laporan Antara. Prinsipnya berita yang paling kuat. M Kalau berita paling kuat itu apa parameternya pak ? Apakah prinsip 5W+1H ? JN Iya, 5W+1H dengan penekanan tentunya. Yang bisa menjawab soal pertanyaan dari masyarakat, tentu why-nya yang harus dijawab. Kalau umpamanya peristiwa/kebijakan baru dari pemerintah provinsi, Gubernur membuat pergub baru yang harus disebarkan ke masyarakat penting. Berarti penjelasan urgensinya harus kuat. Prinsipnya berita yang Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. menjual dan penting (prinsip kita). Mungkin uniknya Jurnas, tidak melulu hanya ingin menjual karena kami tidak menginginkan itu saja, harus ada unsurnya penting. Sehingga di prolognya saya garis bawahi, bahwa Jurnas ini koran tengah-tengah, kita menggunakan semangat jurnalisme positif. Good news is good news.Tidak harus good news tapi bad news. Media lain mungkin, hasil yang baik kalau itu goal, kalau yang bagus itu memberikan informasi lebih untuk masyarakat, kenapa tidak. M Kali ini seberapa penting isu otonomi daerah dalam media Jurnas ini pak? JN Saya kira otonomi daerah menjadi bagian yang kita anggap penting, jadi kalau di skor saya kira sudah 7 ke atas. Jadi berita dari daerah itu jarang sekali kita tolak, artinya kita menganggap berita daerah penting. Selain itu, para koresponden juga sudah tahu apa yang diinginkan Jurnas, sehingga mereka mengirim pun sesuai dengan kemauan kita. M Ada korelasi atau tidak antara berita daerah dengan iklan, pendapatan yang masuk, dan lain-lain ? JN Prinsipnya semua berita harusnya ada korelasi dengan iklan, tapi kenyataannya di daerah kita kurang iklan. Itu dia yang ingin saya sampaikan, bahwa tidak melulu kita hanya bertumpang bisnis untuk berita otonomi daerah, kalau kita lihat itu penting beritakan meskipun itu “kering” jika dilihat dari segi bisnis. M Bagaimana persebaran atau distribusi Jurnas di daerah Pak ? JN Kalau kita menyebut distribusi, kita belum rata di seluruh Indonesia. Tetapi kalau sampai berita provinsi apalagi kita punya koresponden, tersebar ke mereka. Kita yang utama itu 18 provinsi kalau tidak salah, itu tersebar ukuran kita. Prinsip kita, ada berita daerah yang kita pasok dari daerah yang bersangkutan sehingga mudah-mudahan terbaca oleh mereka. M Paling banyak itu dimana oplah terbesar pak? JN Di Jawa, karena faktornya banyak. Di Jawa itu kemudahan distribusi, kemurahan distribusi apalagi di Jawa Barat dapat dijangkau dengan mobil misalnya tanpa harus menggunakan pesawat. M Jurnas ini ada percetakan sendiri atau bagaimana Pak? JN Kita masih di luar mencetaknya. M Bagaimana proses produksi berita di Jurnas Pak ? JN Proses produksi, kita setiap hari rapat perencanaan apa yang akan kita liput hari ini, peserta rapat itu dari pimpinan sampai redaktur, redaktur memberi penugasan kepada reporter untuk melaksanakan tugas yang dirapatkan tadi, berarti pagi itu atau hari itu juga ketika sore reporter pulang dari lapangan mereka lapor tentang berita apa, semua ter-listing. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Listingnya ke sekretariat bisa juga me-listing dalam bentuk berita karena kita ada dot com. Sehingga berita pendek pun akan segera dilaporkan karena itu kita anggap listing berita sehingga termonitor semuanya. Kemudian ketika sore, redaktur memilih berita yang paling kuat untuk cetak sama yang dot com termasuk yang pendek-pendek karena updatenya kencang. Kalau yang ini lebih mendalam, redaktur lah yang menyeleksi itu apakah masih perlu pendalaman atau cukup dan sebagainya. Kalau kurang, memberi penugasan pada reporter untuk memperdalam beritanya, atau nanti malam akan ada berita yang terkait dengan beritanya maka ditunggu. Kita deadline, kalau halaman daerah deadline agak sore sampai jam 6-7, kalau halaman nasional terakhir sampai jam 10 malampun masih kita tunggu, kalau kita anggap luar biasa. Kalau kita anggap biasa sekitarjam 9 sudah selesai, sudah tutup beritanya. M Termasuk kalau ke daerah, apakah pemberitaan juga seperti tadi Pak, bahwa malamnya berita-berita apa yang akan dicari teman-teman daerah mengirimkan ke Bapak atau? JN Temen-temen daerah itu sore sudah mengirim berita bahkan siang ini sudah mulai karena mereka sudah paham berita tertentu yang layak untuk dot com ya akan ke-dot com-kan, kalau layak cetak ya akan dicetak. Biasanya siang sudah mulai ngirim, prinsipnya kita tutup berita pada jam 6 sore kecuali ada berita yang luar biasa di daerah yang kita asumsikan seperti level nasional tadi sampai jam 10 pun masih kita tunggu. M Misalnya itu apa pak, kalau boleh tahu beritanya ? JN Contohnya seperti bencana atau kunjungan presiden kedaerah selain ada wartawan kita yang ikut soalnya ada reporter juga di daerah yang on the spot, laporannya lebih hidup dari mereka. Kalau laporan wartawan yang mengikuti presiden berarti dari kaca mata presiden sajatapi kalau dari daerah lebih berwarna, itu kita combine. M Indonesia itu kan luas Pak, maksudnya kalau yang di Papua beda waktunya kan 2 jam Pak bagaimana itu Pak ? JN Tetap patokan jamnya adalah jam kita (WIB), jam 10 terakhir adalah jam WIB. M Kalau kriteria yang paling penting berita otonomi daerah itu bagaimana pak ? JN Penting itu menjadi kebutuhan publik atau itu adalah informasi yang baru, seperti produk peraturan, kebijakan, public service sebagai garis besar kita. Pemda dan DPRD Jawa Tengah membuat Perda tentang apa pelayanan publik, kita muat. M Berarti tidak mesti good news or bad news ya Pak ? JN Iya, karena daerah itu tidak ada iklannya jadi tidak perlu memikirkan bisnis dengan menafikan informasi yang penting. Daerah menurut saya menjadi sangat penting di koran kita karena “tak perlu mempertimbangkan bisnis”. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Bagaimana proses sidang redaksi dalam menentukan berita tentang otonomi daerah ? JN Otonomi daerah biasanya redakturnya di kita program nasional, leading personnya yang paling tahu soal otonomi daerah itu redaktur nasional. Kalau khusus untuk membahas otonomi daerah saya kira leadingnya yaitu redaktur, yang punya isu/hal-hal yang bisa dikembangkan segala macam. M Bagaimana memilah mana yang harus dimunculkan, angel-nya dari sini, atau perspektifnya dari sini itu apakah perlu adanya rapat khusus atau memang otonomi? JN Kalau angel itu dari wartawan sendiri, rata-rata korensponden sudah ikut kita dari awal, 67 tahun. Bahkan kita dapat informasi dari mereka, kalau mereka memperoleh info tertentu kami minta tolong untuk follow ke Jakarta. M Iya Pak, karena banyak teman-teman saya yang dari persma UGM banyak yang jadi koresponden di Jurnas, di Jogja itu. Kemudian bagaimana me-maintance dengan narasumber itu Pak ? Apakah mungkin ada narasumber yang sudah di booking Jurnas untuk otonomi daerah itu Pak ? JN Karena ini pendirinya adalah SBY, yang kebetulan sedang menjadi presiden sehingga Jurnas merasa beruntung. Untuk me-maintanance isu otonomi daerah dalam situasi/tahap tertentu kita sendiri blank (jika otonomi seperti ini maka arahnya akan ke mana ?). Jika kita blank maka kita sowan ke mas Velix Wanggai atau via telepon untuk minta background atau kalau perlu mas Velix datang ke kantor Jurnas memberi background, ini penting kalau perlu dengan semangat karena Jurnas itu yang paling benar secara fakta atau kebijakan memberitakannya itu tidak salah. M Misalnya Pak, kalau ada narasumber yang mungkin berseberangan dengan pemerintah tentang otonomi daerah itu bagaimana Pak, apakah cover both sidePak ? JN Kalau prinsip cover both side itu pasti karena prinsip jurnalistik yang tidak boleh diabaikan, tapi kita punya misi jadi cover both side itu umpamanya begini otonomi Yogya itu otsus karena faktor sejarah. Ketika ada narasumber yang „nyleneh‟ (katakan orang yang tidak tahu sejarah), kita pakar yang harus menunjukkan diri karena tidak mungkin kita muat serta merta, tetap kita seleksi (ada saringan) terhadap berita. Meskipun gelarnya sudah doktor tapi kalau belum tahu sejara Jogja, lalu ahli politik yang mengklain dirinya hebat, „ini era demokratisasi tidak boleh ada kerajaan di Indonesia, tidak ada pembedaan di Indonesia semua sama Gubernur harus dipilih‟. Secara verbal undang-undang mungkin itu benar, kalau undang-undangnya pemerintahan daerah. Jalan tengah yang diambil Jurnas itu lebih riil, lebih moderat, eksekutif ok, tapi press tetap mengerti karena kita pakar semua, tidak semua omongannya mentah-mentah kita masukkan. Misalnya pelantikannya Jokowi akan kami ganjal, meskipun saya tidak memilih Jokowi namun itu yang sah maka Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. ayolah kita dukung. Kalau media mendukungnya secara kritis dengan media, bukan malah digagalkan. M Seperti Pak Bintang Pamungkas mau mengerahkan berapa ratus ribu orang untuk menggagalkan Jokowi itu ?. JN Itu orang kayak baru bangun tidur kemudian menggeliat lalu omongannya tidak konstruktif. M Bagaimana menempatkan sebuah berita di Jurnas supaya bisa balance, bukan bad news is a good news tapi good news is a news ? JN Terus terang di sini perlu waktu lama, jadi perlu kita switching ketika masuk ke Jurnas, dulu mereka kan dari banyak lembaga tidak mudah untuk men-switch pikiran mereka mensatuderapkan dengan kebijakan Jurnas, tidak mungkin karena itu tidak mudah. Kebetulan waktu saya masuk, tapi itu tergantung pelaksana di level menengah sehingga itu pun perlu menyesuaikan apalagi redaktur. Kita tahu tradisi siapapun di level menengah pekerjaannya tetap wartawan, itu kan paling susah diubah apalagi karakternyaitu tidak mungkin, switching mungkin. Kita punya visi misi seperti ini, paham atau tidak, kalau paham lalu mau bergabung “monggo” kalau tidak ya “monggo” juga, itu kan mudah. Dan sekarang sudah relatif paham bahkan sudah banyak yang ikut dari awal. M Kalau kita bicara masalah mengenai content yang saya teiti Pak, bagaimana Jurnas memandang daerah pemekaran wilayah? JN Pemekaran baru harus dikontrol, itu judul besarnya seperti itu. Makanya 2 tahun yang lalu kalau tidak salah ketika ada usulan moratorium pemekaran daerah kita “getol” sekali yang akhirnya pada saat itu dimoratorium betul, karena kita anggap pemekaran salah kaprah. Pemekaran sudah tahun sekiantidak tahu persis ukurannya seperti apa masih ”netek” pada induknya, APBD-nya minus. Di Aceh, ada satu Kabupaten yang minus kalau begitu untuk apa ada pemekaran bahkan kita dorong untuk dikembalikan ke Kabupaten induk. Jadi ketika pemekaran sudah tidak rasional ditambahi lagi berita darikawan-kawan kita, yang jelas menceritakan bahwa pemekaran daerah menjadi isu segelintir tokoh daerah yang ternyata ada maunya dengan pemekaranitu menjadi tersirat, ditambah korupsi juga daerah kurang jelas dan segala macam, jadi hati-hati dengan pemekaran daerah. Tertentu kita setuju dengan moratorium, tapi untuk daerah tertentu kita dorong menjadi pemekaran contoh waktu itu koran kita muat, dan dot com kita juga muat yaitu kabupaten Bogor yang sangat-sangat luas, lalu DPRD sudah bersepakat untuk memecah Kabupaten Bogor menjadi Bogor Barat, ada potensi ekonominya sekian, penduduknya sekian, dan segala macam sangat pantas dipecah maka kita dorong. Tapi untuk kasus yang Aceh, saya lupa Kabupaten apa, justru kita dorong untuk digabung kembali dengan kabupaten induk. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Kalau melihat dalam pengaturan pusat dan daerah tentang revisi undang-undang tentang otonomi yang asimetris misalnya seperti kasus Jogja, Kasus Aceh, Kasus Papua, kasus Jakarta itu bagaimana Pak dari Jurnas perspektifnya ? JN Pertama untuk daerah-daerah khusus, ketika kita ngomong daerah khusus Papua kita harus berdiri di Papua, ketika kita ngomong DIY kita harus berdiri di DIY kemudian menggunakan kacamata Jogja bukan menggunakan kacamata yang lain, Aceh ya Aceh. M Karena saya melihat Jurnas sangat konsentrasi sekali dengan Papua, terutama tulisantulisannya mas Velix itu. JN Papua karena otsus dananya sangat besar kalau tidak salah 16 Trilyun, itu yang pertama karena dananya tidak sedikit meskipun Papua memang butuh dana yang tidak sedikit, intinya 16 Trilyun kalau dibandingkan dengan daerah lain pada mengincar semua maka kita kawal. Sementara tingkat kesulitan pengembangan wilayah Papua kita tahu, mau dipecah menjadi beberapa provinsi pun tetap sulit, apalagi dipecah menjadi provinsi dengan penduduknya hanya 500.000 jiwa itu kan tidak mungkin, Papua itu sulit sekali dan kita harus pahami itu. Sehingga memang harus khusus tapi harus dikawal, dan kita kawal habis Papua itu kalau ada sedikit orang Papua korup (adanya tendensi korup) kita geber, termasuk kasus Pak Barnabas Suebu dan Bupati Biak yang baru ketangkap kemarinkita beri porsi yang besar. M Itu apa tidak ada misalnya telepon dari Istana atau apa karena Papua harus diperlakukan khusus ? JN Karena presiden kita terbuka, kalau korupsi ya ditangkap sesuai proses hukum tidak ada hambatan bagi kita untuk memberitakan seperti itu. M Kalau untuk kasus Jogja sendiri bagaimana Pak mengenai otonomi secara khusus karena kemarin kan ada fiksi antara pusat dan Jogja ? JN Kelihatannya itu di pusat, tapi masih analisis saya pribadi karena diterjemahkan oleh Kementerian Dalam Negeri, Mendagri yang tidak paham Jogja atau semata-mata undangundang bahwa gubernur harus dipilih demi demokrasi dan segala macam sehingga mengetes dalam air coba digulirkan isu gubernur harus dipilih, ketika ditentang habis oleh masyarakat Jogja terutama atau orang yang paham Jogja dan sebagainya paham undangundang juga kalau dipikir undang-undang keistimewaan Jogja, akhirnya kemendagri tidak ”kenceng” lagi dan menjadi tidak ada apa-apa sekarang, kembali kepada penetapan. M Bagaimana mengenai dinasti politik karena saya melihat Jurnas terutama mengenai kasus Atut sampai menjadi headline di halaman pertama? JN Hari ini Atut vonis 10 tahun cover headline, sekarang hampir pasti headline kembali. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Jadi memang concern terhadap kasus ini Pak? JN Kita memang mengharamkan Politik Dinasti, mau berdalih semua kami lakukan sesuai tahapan demokrasi, sesuai undang-undang dan segala macam tapi ujung-ujungnya bupati yang sekarang penggantinya adalah istrinya kemudian periode yang berikutnya akan anaknya maka itu akan bahaya, tidak sehat sehingga kita menentang soal politik dinasti. Kebetulan SBY waktu itu juga komentar bahwa politik dinasti tidak sehat. Dan janji DPR waktu itu akan diakomodasi dalam undang-undang sehingga politik dinasti akan ter-rem dengan undang-undang itu, hanya sampai sekarang belum terwujud. Saya kira itu bagus kalau sampai terwujud. M Bagaimana Jurnas memandang korupsi elit lokal Pak, karena di daerah ini kita lihat selain dinasti politik ada juga isu-isu tentang korupsi elit lokal Pak ? JN Kalau kita cermati hal-hal yang dilakukan KPK selama ini dalam beberapa masa terakhir ini, mayoritas korupsi lokal. Kasus Akil Mochtar, oke Akilnya namun jangkarnya itu tokoh nasional ketua MK tapi yang menyuap dia itu di Lebak lalu Gunungmas, terakhir Palembang, sebelumnya Raja Bonaran Situmeang, Tapanuli Tengah, daerah semua itu. M Jadi Jurnas lebih concern untuk mendorong KPK ke daerah? JN Kita setuju meskipun isu itu mereda, KPK akan buka perwakilan atau apapun itu namanya. Kita setuju KPK punya perwakilan di daerah, dan kita mendorong itu karena lembagalembaga audit juga punya perwakilan-perwakilan di daerahmisalnya BPK di daerah, BPKP. Kenapa KPK tidak punya ketika fakta korupsinya seperti ini? Rasanya sangat layak KPK punya perwakilan di daerah, kebetulan peradilan tindak pidana korupsi juga sudah ada di sejumlah daerah; Bandung, Surabaya, Semarang. M Berkaitan dengan Jurnas yang dekat dengan Pak SBY, misalnya di daerah ada kader Demokrat atau DPRD atau Bupati apa tidak ada intervensi untuk pemberitaan misalnya itu tertangkap KPK ? JN Tidak ada sama sekali, sampai detik ini saya belum pernah mendapat teguran apalagi pengarahan. Siapapun yang korupsi proses sesuai dengan hukum, sudah berulangkali presiden “ngendika” seperti itu. Jadi siapapun di depan hukum sama, terutama saat puncaknya Beliau mengatakan seperti itu ketika Aulia Pohan. Meskipun dalam hatinya Beliau menangis namun tetap siapapun di depan hukum itu sama. M Itu memang dilema Pak. JN Dan kenyataan, Hambalang dan segala macam, Anas, Hasanudin, Angelina Sondakh, selalu kita cover-kan malah justru cover yang paling penting kita tidak beropini atau menggiring opini itu yang penting. Beda lagi mungkin menggiring opini „Tetapkan Ibas Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. sebagai tersangka apa‟, kalau kita tidak. Berita koran hari ini atau kemarin ya, „Ibas 100 persen fitnah‟ kita tidak menghilangkan/menyembunyikan berita semacam itu. M Jadi tidak ada intervensi apapun seperti itu ya Pak? JN iya, tidak ada intervensi apapun. M Tentang pilkada gubernur Pak, selama ini kan ada tarik-menarik antara satu sisi Pilkada langsung, satu sisi dipilih oleh DPRD, satu sisi ditunjuk oleh pemerintah pusat, itu bagaimana perspektif dari Jurnas sendiri. JN Kalau melihat dari kacamata penuh demokrasi, setiap kepala daerah misalnya dari lurah, bupati,dipilih itu mungkin baik dari kacamata demokrasi tapi dari kacamata efektivitas birokrasi apakah efektif. Pemerintah waktu itu mengambil jalan tengah untuk gubernur dipilih oleh DPRD, bupati dan seterusnya ke bawah tetap dipilih oleh rakyat karena jabatan yang langsung memiliki wilayah, kalau gubernur mengepalai daerah-daerah yang sudah ada kepalanya atau semacam koordinator wilayah (korwil) itu dipilih oleh DPRD. Saya kira itu hal yang baik, kita cenderung setuju gubernur dipilih oleh DPRD karena dapat mengurangi ongkos dan segala macam meskipun itu mengurangi demokrasi sebenarnya tapi ok lah. Demokrasi tidak mesti dipilih langsung, memang jelek ? Kalau dipilih dari DPRD dari sekian kepala daerah kenapa tidak ? Mungkin jadi semacam pilot project juga, kalau gubernur dipilih DPRD akan seperti apa. Karena kita sudah sedemikian sering dalam satu periode kita berapakali memilih langsung, sebanyak 6 kali. Apakah demokrasi yang se-masif itu masih ada rasa demokrasinya ? Kalau begitu orang menjadi mekanis saja karena tidak ada rasa demokrasinya lagi. Apalagi demokrasi “wani piro” konkret sekali di masalah Akil Mochtar dan jaringannya. Sehingga perlu diskusi terus, masih efektif tidak pemilu kepala daerah langsung (pilkadal) itu ? Kalau gubernur dulu yang kita pilih melalui DPRD saya kira jadi jalan tengah mungkin sekaligus test-case. Sebenarnya DPRD provinsi juga dikawal oleh rakyat juga bedanya rakyat tidak datang ke TPS untuk memilih. M Oplah Jurnas selama ini berapa ya Pak? JN : Kita ± 30 M : 30.000 eksemplar Pak JN Iya, makanya itu belum menggembirakan sebatas ibukota provinsi itu pun tidak semuanya, jadi sebagai oplah kita belum menggembirakan. 40 sampai 50 itu awal-awal tapi sekarang turun karena sulit karena ada persaingan yang cukup pelik. M Terus kalau seperti itu apa ada misalnya nanti akan migrasi ke dot com? JN Sekarang dibenahi, nanti saatnya pasti migrasi karena tren ke depan orang akan ke dot com. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Apa akan mengurangi desk kalau nanti ke dot com? JN Desk itu kalau di dot com kan kanal, jadi sama. Kanal ekonomi, nasional, nusantara, gaya hidup, olah raga masih sama. M Jadi nanti misalnya ada migrasi, daerah akan tetap tercover Pak? JN Tetap mengakomodasi halaman daerah tapi sampai hari ini pun dot com kita ada halaman nusantara. M Bagaimana mendiskripsikan kedekatan Jurnas dengan Pak SBY, apakah Pak SBY secara personal atau Pak SBY dalam partai Demokrat karena awal-awalnya kan ada Pak Ramadhan Pohan di Jurnas juga? JN SBY itu punya beberapa anak, yang pertama Jurnas, ini Demokrat, dulu ada Blora Center, Brighten Institute punya Pak Habibie, Hermanto Siregar dan segala macam, Joyo Winoto. Ada Brighten, Blora, Demokrat, dan ada Jurnas, dalam sekian kali pertemuan yang saya ikuti dengan SBY, pertemuan sangat terbatas sekalipun Beliau menyebut Jurnas anak kandung saya. Melihat posisi seperti ini tidak ada hubungan (struktural) apa-apa sebenarnya, hanya ini semua membeck-up dengan kepentingan yang sama, bagaimana Beliau ini yang kebetulan menjadi Presiden (SBY sebagai personal) jadi kalau Beliau selesai menjadi presiden pada tanggal 20 Oktober, ya Jurnas mungkin Beliau akan menjadi direktur utama atau apa saya juga kurang tahu. M Jurnas tetap sustainable ? JN Iya Jurnas tetap sustain sebagai paguyuban jadi SBY sebagai personal yang kebetulan hari ini menjadi presiden dan kebetulan 2 kali. Jadi dengan posisi seperti ini jangan kaget kalau dulu anggota DPR RI yang bernama Asadin kasus dana haji dan katering, Jurnas paling jadi headline, banyak orang kaget „orang anggota DPR dari demokrat korup kok yang memberitakan besar-besaran Demokrat‟ karena apa SBY berkeinginan dengan rezim Demokrat yang bersih, kalau jadi presiden dengan pemerintahan yang bersih, kalau ada kotoran bersihkan. Sepanjang kita memberitakan dalam rangka itu membersihkan kotoran silakan, kita nyaman. Namun jangan sampai menggiring , orang yang tidak korupsi tapi “disikut-sikut” bagaimana caranya biar dia ditangkap. Percuma saja itu karena KPK tidak bisa digiring seperti itu, menghabiskan energi juga untuk jualan boleh mungkin. Media lain melakukan itu untuk jualan tidak mungkin saya begitu. Hanya kalau sudah ditangkap KPK “jebret” ya sudah, sudah ditangkap. Tapi „hei KPK tangkap itu!‟ kami tidak mau seperti itu, itu namanya opini penggiringan. M Jadi kedekatannya secara personal dengan Pak SBY, namun Pak SBY tidak pernah melakukan intervensi atau titip-titip apa. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. JN Kita bertemu Pak SBY bukan di istana tapi di Cikeas karena ini personal, SBY kan rapi, kalau salah ya salah. M Termasuk pendanaan juga waktu awal-awal Pak ? JN Kalau pendanaan asumsinya tidak punya uang, tapi Beliau punya investor di sini, selalu dari investor. M Investornya dari dalam atau dari luar negeri biasanya Pak ? JN Tidak boleh luar negeri, dalam negeri investornya. Dulu Rupert Murdock mau beli ANTV kendalanya peraturan. Bisa saja pakai PT dalam negeri, kemudian Rupert Murdock mentransfer, mentransfer saja sekarang sudah jadi masalah, ngeri PPATK. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Lampiran TRANSKRIP WAWANCARA Informan : Bambang Sigap Sumantri (Kompas) M Isu yang saya teliti tentang otonomi daerah, menurut pandangan/perspektif Kompas otonomi daerah itu bagaimana Pak ?. K Otonomi daerahkan itu sejalan dengan kemajuan/demoratisasi disini, di Indonesia ini. Sehingga itu menjadi pusat perhatian di Kompas sejak awal.Artinya tentu sejak berbarengan dengan reformasi itu. Salah satu buah dari reformasi itu sejak tahun 1999 ada UU itu. Kemudian catatan 2000 itu ada head line nya juga yang berlaku mulai otonomi, Januari atau apa yang itu menjadi salah satu untuk mencerminkan perhatian Kompas terhadap otonomi kalau mau dilihat segi Kompas perhatian terhadap otonomi, sebenarnya head line Kompas yang tahun 2000 itu saya kira mulai dari itu pencermatannnya sampai kemudian revisi yang sekarang, head line Kompas sekarang kan tentang pilkada. Jadi otonomi daerah menjadi salah satu isu utama, yang di sorot oleh Kompas karena berhubungan dengan demokratisasi dan perkembangan demokrasi. Saya kira “Mendemokrasikan”. Jadi itu menjadi isu yang sangat penting. M Di Kompas ada halaman khusus tentang otonomi daerah Pak ? K Tidak ada, dulu kita awal-awal itu punya. Kalau disebut halaman khusus juga bisa, tapi tidak ada harian, tidak ada rubrik. Ada satu halaman khusus untuk memotret otonomi daerah lalu jadi buku. Bukunya itu sampai 5, tebal-tebal itu tentang potret otonomi daerah sampai sekarang sudah 550 data, 10%-nya kota dari 900-an. Kompas sejak itu, saya waktu itu ditugaskan menulis tiga, saya pernah menulis tentang kabupaten di Jawa Tengah, Rembang saya pernah tulis. Kemudian 2000-2001 saya ke Bali, tugas disana, sebagai wartawan Kompas di Bali, saya menulis juga 2 kabupaten atau satu, tentang kabupaten di Karang Asem dan saya wawancara dengan bupatinya waktu itu juga dan hasilnya dimuat di rubrik khusus tentang otonomi lalu setelah itu dibukukan. Itu kan contoh-contoh dan saya kira kemudian juga untuk selanjutnya konsisten Kompas mengangkat berbagai banyak hal. Otonomi itu tidak hanya dari segi pemerintahan, tidak hanya dari segi politik, bagaimana juga masyarakat itu berdaya upaya setelah ada ini, kemudian Kompas itu kalau kita cermati ada halaman-halaman khusus. Contohnya mungkin beberapa tahun, 5 tahun atau lebih, setiap sabtu misalnya ada tanah air. Tanah air itu upaya Kompas untuk memotret kehadiran, sekarang, kekinian dari daerah-daerah di seluruh indonensia yang berprestasi, unik, menarik, kemudian juga setiap di halaman 1 kemudian biasanya plus ditambahkan lagi, didalami lagi di halaman nusantara, kita punya halaman namanya halaman nusantara, biasanya halaman 1 satu plus halaman 23 atau 24, itu satu halaman. Kita konsisten terus melihat, mengawal, memotret mengambilkan perkembangan daearah. M Apa ada wartawan yang ditempatkan di daerah ? Atau desk daerah ? K Kalau harian Kompas sejak dulu sejak sebelum otonomi kita sudah kita punya. Saya kira sejak tahun 80-an itu Kompas sudah punya desk daerah, namanya sekarang menjadi Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. nusantara. Karena Kompas itu koran nasional. Koran nasional itu adalah koran yang meliput,menjangkau sampai seluruh indonesia, bukan hanya Jakarta. Konsekuensinya sebagai koran nasioanal, wartawannya tersebar di seluruh Indonesia, memang sejak lama kita sudah punya. Mulai dari Aceh sampai Papua, itu ada semua, menjadi desk menjadi bagian tersendiri Kompas , itu kan desk, ini desk yang paling besar, karena pernah sampai 90 wartawan, sekarang masih terbesar, sampai sekarang masih sekitar 72 wartawannya jadi desk nusantara sekarang namanya. M Selain ada desk nusantara/wartawan di daerah itu, apakan Kompas juga mengambil dari alinasi media atau Antara ? K Kalau Antara iya, Antara itu iya dalam konteks, secara umum saja, Antara itu fungsinya lebih ke titik awal dari sebuah berita jadi tidak secara spesifik menyumbang di otonomi. Tapi kalau misalnya ada kejadian di Maluku kita tidak ada, jadi kita ambil dari Antara. Saya kira itu keharusan Kompas monitor Antara, untuk melihat jangan sampai kita lolos, kalau ada kejadian di pelosok di nusantara. M Desk daerah apa ada di tiap provinsi ada, di 34 provinsi ? K Ada yang tidak, ada yang digabung, jadi misalnya Bengkulu itu menjangkau misalnya Sumatra tidak setiap provinsi, Babel misalnya tidak ada, bisa dijangkau dari Riau atau dimana. Jadi memang tidak 34 provinsi ada, itu memang fungsinya Antara kemudian yang jeli sekaligus kita kebetulan juga ada jaringan dengan Indopersda, dengan Tribun Tribun itu, kadang-kadang kalau memang kurang lengkap kita bisa minta. M Tribun sendiri posisinya bagaimana, ada yang bilang dibina Kompas, anaknya Kompas Pak ? K Memang anak nya Kompas tetapi sebagai perusahaan sendiri yang bersinergi. Katakanlah dulu ada, waku itu awal-awal di padang, wartawannya kesini, kan tidak ada, jadi kita minta tolong Tribun , awalnya-awalnya,tapi kemudian esoknya sudah terbang kesana. M Tribun posisinya apa seperti Bernas ? K Iya, posisinya seperti Bernas. M Karena itu menjadi unik karena koran baru dan bisa menjual dengan Rp.1000 dulu, kalau sekarang Rp. 2000. K Tribun itu bukan bernas. Tribun itu bisa seperti itu karena jaringan tadi, ANTARA. M Apakah tidak ada komplain terhadap Tribun , teman-teman di daerah merasa harganya menjadi bermasalah, ketika Tribun berani ambil harga Rp.1000, dan mereka taunya Tribun itu bagian dari Kompas . K Mungkin dari KR, atau yang lain, kita tidak sampai disitu, itu kerja sama dengan Tribun lebih banyak di pemberitaan, di konten, permasalahan. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Jadi bukan sisi manajemen ?, maksudnya manajemen pemasaran, pada training wartawan. K Tidak seperti itu, lain, dulukan cuma pelopornya juga, pemimpinnya dari sini 1, 2 orang, 3 atau 4 oranglah. Tapi setelah tumbuh, berkembang sendiri, dimonitor aja. Sekarang hampir semua dari Tribun . Dari Kompas cuma 1, Pak Herman Darmo itu yang direktur, dari Kompas, tapi selain itu sudah tidak. M Iklan apakah ada korelasi dengan berita-berita Otonomi Daerah ?, misalnyaPilkada langsung kemudian mereka beriklan di Kompas atau berita lain ? K Iklan jarang karena mahal, iklan Kompas mahal, jadi agak susah, kalau pemerintahan daerah kalau mengeluarkan iklan itu juga prosesnya panjang, harus berhubungan dengan DPR segala macam dan mahal lagi. Kalau iklan kelihatannya tidak.Tapi kalau sirkualsi, memang, kalau ada berita misalnya tentang Banyuwangi, itu biasanya ada dari Banyuwangi sana meminta tambahan oplagh. M Kalau dulu ada berita seperti Kompas edisi Yogya itu sekarang kenapa gak ada, yang khusus Pak ? K Lembaran mungkin, sekarang lembaran daerah gak ada memang, kalau Kompas Yogya dulu ada, karena disitu kan, karyawannya banyak, ongkos produksi kerja besar, untuk cetak, macam-macamlah M Kalau tentang persebaran media sendiri, berapa oplahgnya Kompas sekarang ? K Kalau harian 500 ribu, kalau Kompas miggguan 600ribuan, Kalau untuk daerah, oplagh yang paling besar selain DKI, DKI itu hampir 45%, jadi sekitar 55% diluar DKI, memang Jawa, yang nomor 2 itu Jawa Barat, Jawa Tengah , Jawa Timur, setelah itu Sumatera mungkin. M Proses produksi berita bagaimana di Kompas ? kemudian supaya bisa memilih ini yang ditampilkan, ini yang tidak, ini yang disortir, parameternya apa ? Apa 5W+1 H ? K Kita tiap pagi mulai jam 9, itu sudah ada rapat pagi. Rapat itu merencanakan, setiap desk itu ada 12 des, Kompas itu rapat jam 9 untuk menuntikan termasuk dari desk daerah tadi, mengusulkan apa di pagi itu, kemudian di monitor, dikawallah oleh wakil redactor pelaksananya, selama pagi itu sampai sore bagaimana, proses beritanya, apakah targettarget yang ditetapkan rapat pagi itu, bisa tidak ? dapat tidak ?, dikawal supaya dapat. Kemudian jam 4 sore rapat lagi, rapat itu rapat budgeting atau rapat listing beritayang sudah diperoleh. Dari rapat itulah kemudian masing-masing desk itu berdebat, menjual beritanya untuk di halaman 1. Kemudian memang, disitu kita menjual, yang paling penting itu biasanya peristiwa, kalau daerah itu, kalau wacana tidak kita terima. Peristiwa di daerah seperti kemarin itu TNI sama Brimob, itu yang laku, tapi kalau diskusi biasanya itu kita lewatkan, diskusi itu,tingkat wacana itu biasanya kita ambil yang dari Jakarta, karena wacana itu yang menentukan yang di tingkat nasional, tokoh-tokoh nasional, kalau yang menarik, kalau dari daerah itu seperti misalnya korupsi lah, hal yang sebanyak itu, kejadian-kejadin korupsi di daerah itu biasanya sebagai peristiwa yang tadi yang Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. hubungannya dengan mengawal demokratisasi, apa-apa itu kita ambil ditempat, kejadian yang menempati halaman 1 atau halaman 15. M Kalau tentang otonomi sendiri apa yang bisa menarik dan ditampilkan oleh Kompas, apa hanya korusi saja atau ada yang lain ? K Tidak, seperti beberapakali prestasinya daerah terutama sekarang. Kalau dulu kita telah menampilkan,sejak tahun 2000 sudah ada profil-profil daerah. Lalu yang saya kira yang terakhir itu misalnya, prestasikan sekarang banyak sekali, ada bupati Aswar Banyuwangi itu, ada bupati Bantaeng Nurdin, ada Ridwan Kamil, ada Risma, saya kira banyak sekali. Jadi hal-hal yang menarik, yang saya kira mungkin kemarin kita mulai di Jakarta sendiri, jadi tidak hanya yang negatif, misalnya seperti koruspiiya tapi juga prestasi, yang di Yogya, misalnya dulu walikota Bupati Herry Zuhdianto, itu kan sering, sudah sangat sering kita tampilkan, jadi gagasan-gagasan, ide-ide kreatif dari daerah sekarangmendapat tempat di Kompas, katena itu kan bisa arah kita menjadi inspirasi juga bagi daerah lain. M Saya sudah me-listing beberapa isu yang muncul di Kompas dan sudah saya analiasa dengan framing, ada beberapa isu yang muncul di Kompas. Ada pemekaran daerah, ada otonomi khusus terutama di Yogya, Otonomi asimetris kalau kami di Kemendagri menyebutnya, dinasti politik, korupsi elit lokal dan Pilkada Gubernur 2012-2013, ada 5 isu yang muncul di Kompas , menurut Kompas sendiri, dalam perspektif Kompas, bagaimana Kompas memadang pemekaran wilayah ? K Pemekaran Wilayahitu, arah goal-nya itu kesejahteraan rakyat, jadi kita memandangnya selalu kembali kesitu apakah daerah otonomi baru itu berhasil mensejehterakan rakyatnya atau enggak, selama ini ada yang tidak, banyak yang tidak saya kira. Kita melihatnya pemekaran daerah itu harus berujung pada kesejahteraan rakyat bukan pada permainan dari elitnya. Jadi kalau selama ini Kompas selalu mencermati, kalau pemekaran daerah itu menjadi salah satu permainannya para elit politik untuk berinteraksi diantara mereka, take and give, itu yang saya kira harus dkawal terus, supaya hal itu tidak terjadi, kita kembalikan bagaimana dari berbagai segi artinya kita juga meminta ke Mendagri, saya kira Mendagri yang Pak Gamawan ini oke, ada konseplah, kita selalu orietasinya kembali ke situ, yang masih harus kita tekan dari DPR, dari DPR nya kita selama ini mengkritisi, saya kira dengan keras supaya menghentikan pemekaran itu, kalau itu memang daerahnya tidak siap atau hanya jadi permainan tadi. M Kalau tentang pengaturan daerah, terutama tentang padangan Kompas bagaimana ? K Kalau Kompas melihat Keistimewaan Yogya itu harusnya tidak terlalu jauh dari sejarah itu sendiri artinya sesuai UUD. UUD juga menjamin relasi hubungan pusat dan daerah itu juga terbentuk dari sejarah itu. Waktu itu kan kitaselalu mencoba meletakkan posisi Yogya itu. Bagaimana sumbangan Yogya terhadap tegaknya republik ini. Bagaimana waktu awalawal Yogya, sebenarnyakan Yogya ini kan tidak hanya keraton. Sebenarnya yang istimewa itu rakyatnya, rakyatnya istimewa, kalau kita baca, dari awalnya, itu kan mengapa HB IX, kemudian menyatakan sebagai ikut bergabung dengan NKRI, itu karena dia memonitor rakyatnya, HB IX itu menggandeng masyarakat Yogya. Masyarakat Yogya itu sejak 1900an itu kandi situ sudah mekar sudah melek pendidikan, melek ilmu, kosmopolitan mirip Keistimewaan Yogya, menurtut Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. itu, dagang, itu terbentuk karena apa ?, kereta api itu sejak 1870 mulai dibangun jaringan kereta api Yogya itu kan di tengah, jadi itu kemudian orang-orang itu belajar, dagang, ekonominya juga mekar, belajar memasarkan batik ke Jakarta, ke Surabaya, ke Semarang, tempat-tempat pertemuan secara sosial. Ini dijadikan tempat peluang jadi kalau ada pertemuan, misalnyaYogya dipakai oleh Soekarno dan kawan-kawanya bertemu, ekonominya berkembang, sekolahnya, sekolah misi Zending itu kan di situ, studi awal 1900-an sudah ada sekolah yang didirikan karena politik balas budi, itu perkembangnnya disitu. Muhammadiyah dan Cipto Adisuryo berkembangnya disitu, bahkan sebelum Taman Siswa. Itu benih-benihnya masyarakat. Masyarakatnya sudah melek, ini kemudian mengapa HB IX bisa sangat terbantu menjadi bersikap nasionalis, itu karena masyarakatnya itu, Ki Hajar setelah tanggal 17 berkeliling dengan sepeda berkeliling Yogya, berteriak Merdeka ! Merdeka !, Ini kemudian masuk radio, RRI kan di Yogya ada, radio umum mengumandangkan. Kalau waktu itu HB IX tidak menyatakan dukungan itu, sejarah keistimewaan Yogya akan menjadi lain, seperti Solo, mirip-mirip seperti itu lah ini karena tekanan juga dari masyarakat Yogya, inikan unik juga, ada potensi besar dari HB IX yang manunggal dengan rakyatnya. Tidak seperti Solo karena dari pribadi si HB IX itu sudah unik. Beliau yang satu-satunya pangeran yang mendapat keris Joko Piturun dari HB VIII, HB IX itu didik dengan sangat egaliter, sangat kerakyatan, Beliau di didik bukan di Kraton, tapi dipondokkan, Beliau pertama mondok di Bandung, Semarang, Yogya, sebelum kemudian dia belajar di Belanda, lain dengan Solo, orang ini unik, sifat kerakyatan memang tumbuh dan ditumbuhkan oleh Bapaknya, jadi antara HB IX dengan masyarakat sudah menyatu. Nah ini titik awal dari sejarah keistimewaan Yogya saya kira dari situ, yang kemudian saya pernah tulis. Kalau kasus Florence sms HB X ketika ada, itu bagi saya tidak benar, ketika kemudian dia sampai di tahan, di bully, okelah, tapi kemudian ditahan itu tidak benar, apalagi dia sudah minta maaf, untunglah kemudian berubah sikap, apalagi di UGM salah sangat besar, untung dirubah. UGM itu juga besarnya juga dari keraton, UGM itu nebeng Keraton, besarnya dari rakyat, dari rakyat dari pendatang, UGM besar karena pendatang. Yogya pertamanya 1946 menjadi ibukota republik, nasional, waktu itu Yogya ketika pindah ke sini isinya pejuang, Siliwangi, jadi agak-agak tentram,karena pejuang tidak bisa perang terus, dia harus pendidikan, harus kembli ke ilmunya, ke sekolah, di UGM, itu sudah wujud ke Indonesiaan dari situ, makanya tidak bisa dilupakan, itu makanya jadi istimewa, sejarah yang besar dari situ. Sampai seperti sekarang ini, makanya kita harus selalu mengawal, supaya meletakkan posisinya, perkara tidak menyimpang kemana-mana. M Bisa disebut Kompas memihak keistimewaan itu? K Berpihak pada keharmonisan iya, betul. M Pada sisi lain ada juga yang misalnya meminta bahkan UGM, juga teman-teman di pemerintahan itukan mengajukan pada satu sisi Sultan tetap di Keraton , namun pada sisi lain ada gubernur, menurut Kompas sendiri bagaimana ? K Itu dinamika saja yang dari UGM, begitu yang saya kira, kita kan selalu mengembalikan keistimewaan itu bukan hanya di keratonnya, jadi perspektifnya, jadi bagaimana supaya kita juga mengawal adanya Perdais. Perdais ini kan harus, Kompas ada kewajibannya, tapi juga pers bagaimana melihat supaya dana Perdais yang hampir 1 triliun. Itu tidak hanya untuk keraton, awalnya memang okelah, tapi nanti bagaimana supaya menjadi untuk Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. rakyat sendiri, supaya selalu terjaga nilai-nilainya, nilai-nilai solidaritas, nilai-nilai guyubnya, kemudian nilai-nilai inklusifisme, dana Perdais itu harusnya untuk itu, karena yang membuat Yogya itu berbeda dengan yang lain, bukan hanya ada keraton. M Isunya di Yogyasendiri, Yogya menjadi sumpek, dulu itu namanya Herry Zuhdianto itu namanya Wagiman, walikota gila taman, sekarang Wagihot, Walikota Gila Hotel. Seperti juga sekarang di Sleman, itu yang membawa ketakutan saya itu, ada reklamasi besarbesaran sawah-sawah itu menjadi perumahan-perumahan elit, dulunya kan perumahan elit dulu itu hanya Merapi View, sekarang sepanjang jalanKaliurang, banyak perumahanperumahan elit berpagar-pagar tinggi, menjauhkan jarak dengan rakyat sekitarnya, tapi yang menarik adalah isu-isu, misalnya hotel-hotel di Yogya juga berhubungan dengan pihak keraton atau juga tanah-tanah yang bermasalah, yang ada kemudian kemarin ada Festival “Yogya Ora Didol”, terus ada juga beberapa coretan grafiti tentang tentang tanah, bagaimana Kompas memaknai keistimewaan menjadi simalakama ?, K Kompas itu melihatnya kalau itu juga masalah, tapi tidak terlalu besar, sebenarnya harus segera diklarifikasikan, itu adalah proyek Kulonprogo, tambang, Kalau itu jelas tanahnya Sultan dan tanahnya Paku Alam tetapi selama ini sudah dikelola oleh rakyat, jadi rakyat sudah oke, sudah selama ini itu kan terbengkalai itu kan sudah sekarang menjadi tanah produktif, kalau sudah tanah produktif itu kan kembili ke nilai yang diajarkan HB IX, tahta untuk rakyat, harusnya jangan dijadikan tambang, jadi tidak usah masuk kesini Paku Alam sama keraton. Itu yang seharusnya mewujud, tahta untuk rakyat, itu disini, itu titik awal, lalu sangat jelas, ini rakyatnya sudah oke, tinggal kemudian katakanlah lebih jauh lagi harapannya kita mendorong supaya petani disitu makin jadi dapat perhatian dari keraton supaya makin sejahtera, kan seperti tanah Tanah Ngidung, Ngidung Magersari ada budget nya tapi kecil, 10.000 setahun. Seperti itu aja polanya, lebih elegan, kalau yang tadi itu dinamikayang lain lagi, dinamika yang kompleks, bisa jadi saya kira akhirnya keraton kemarin bersuara, tapi sudah terlambat, keraton kemarin mundurlah, HB X kemarin sudah ngomong, tapi sudah seperti ini. Sudah terlambat, tapi kan itu kan kompleksitas saya kira, karena bukan hanya tanah keraton. Itu lebih baik orang tanahnya keraton, tidak ada kontrol dia, kontrol dia ini sebenarnya, menjadi tambang pasir besi. M Kalau untuk daerah lain tentang pengaturanpusat-daerah karena UU No. 32 Tahun 2004 itu kan ada tarik menarik tentang dimana letak otonomi, karena ada yang letaknya di provinsi, letaknya ada di kabupaten/kota. Kalau Kompas sendiri perspektifnya ? K Yang kurang itu sebenarnya koordinasi, sekarangkan seperti ada raja-raja kecil gitu, raja kecil ini, raja ini tidak hanya bupati ya, raja itu itukan kayaknya absolut, sudah menjadi tidak bisa dikritik, tidak bisa diberikan masukan, itu yang terjadi kan kayak itu seperti itu. Misalnya Atut, kasusnya Ratu Atut itu sejarah panjang sejak dari bapaknya. Saya kira itu yang perlu, karena dari segi relasi antara pusat dengan daerah itu lemah, tidak bisa apa-apa. Saya kira harus ada penguatan mekanisme ini, tujuannya justru untuk melindungi kesewenangan kasus itu, memang setiap kebijakan, keputusan adanya resiko, yang kita akan kawal lagi fungsinya. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Kalau tentang Dinasti Politik bagaimana Media Kompas melihat ? K Selalu tidak baik, kalau kita inginnya bahkan di parpol tidak ada dinasti politik. Jadi kita pokoknya inginnya itu selalu ada batasan-batasan, tentu juga karena ini menyangkut regenerasi, menyangkut masa depannya generasi muda, makanya kita selalu beberapa kali menyoroti ini, saya mau kayaknya menyadarkan dalam tanda kutipnya bahwa ini tidak baik untuk partai itu sendiri, tidak baik bagi daerah itu sendiri,tidak baik untuk bangsa ini, mengapa kita harus membatasi dua kali periode, karena kasus Suharto yang 32 tahun itu, supaya tidak terjadi kasus lagi. M Untuk beberapa kasus yang spesifik, misalnya seperti kasus Atut tadi, yang kalau di Banten ada joke, ada gubernur, ada gubernur jenderal, yang kemudian itu menjadi Dinasti, ada beberapa tulisan yang ada misalnya, itu bagmana Kompas memandang dan bagamana Kompas misalnya menyandingkan, misalnya isu mengapa keraton tidak dianggap sebagai dinasti ? K Kalau ini kan pembangunan, kalau keraton kan lain. Kita memandang keraton itu, tidak setiap keraton itu mempunyai punya elitas politik, kecuali kalau kita kemudian masuk ke Yogya lagi, tapi kalaukeraton lalu kan tidak berpengaruh, tapi kalau ini memang menguasai asset-aset sosial politik ekonomi, Atut tadi, kita lihat saja disitu, penguasaan itu yang kemudian tidak menjadi tidak demokratris, hak-hak rakyat benar-benar tidak dipenuhi. Walapun dia dipilih rakyat bagaimana prosesnya ?, Soeharto juga dipilih, kemudian yang jelas itu kan “keadilan”, Kompas sering menyoroti waktu ada suatu berita Atut, ketika Atut pamer kemewaha ,adiknya macam-macam itu pamer, glamor, seperti Wawan itu, kemudian dimana-mana Atut tersenyum di balihonya, tapi potretnya di bawahnya, di sekitanya itu, kita lihat jalannnya rusak, kesehatan buruk, kemiskinan meningkat itu sangat diperhatikan. Kita lihat kesitu dan itu yang kita kaitkan, waktu itu beberapa kal iKompas memuat semacam itu kasus nya begitu, Kasus Atut itu, frekuensi nya cukup besar pada dinasti politik ini M Tentang Korupsi elit lokal bagaimana pandangan Kompas tentang korupsi elit lokal, tadi kan ada istilah bapak raja-raja kecil, ada juga ada beberapa statemen para ahli misalnya Mas Revrisond Soni Baswir bahwa otonomi ini kemudian membuat adanya korupsi terdesentralisasi, dan sebagainya itu bagaimana? K Ya betul, Kita juga setuju dalam arti kita mengamati juga kalau adanya otonomi, adanya pelimpahan kekuasaan di daerah itu juga ternyata dibarengi juga oleh otonomi yang justru lebih banyak bahkan, kita sering memuat datanya hampir 200/300 yang tersangkut kasus korupsi oleh elit lokal, mulai dari Bupati, Gubernur, Wakil, sama DPRD-nya, hampir semuanya yang menjadi keprihatinan Kompas saya kira bahwa ternyata reformasi menghasilkan otonomi, menghasilkan demokrtisasiasi politik tetapi ternyata juga menghasilkan penyebaran korupsi yang itu tadi, kami ini di Kompas ingin selalu mengungkap kasus memprihatikan ini, misalnya di sumatera yang suami istri walikota yang kota Palembang, walikota Palembang dengan istri keduanya, kemaren juga Kerawang, saya kira kita tetap dalam kondisi pirhatin, keprihatinan Kompas diungkapkan dengan cara-cara itu. Jadi pada satu sisi Kompas mendukung otonomi daerah karena demokrasi, ada kebebasan, tapi juga ada keprihatinan, menghasilkan akses-aksesyang tidak baik, suatu kebijakan tidak semuanya membuat menjadi baik. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Bagaimana dengan Isu pilkada pada tahun 2012-2013 isunya apakah Pilkada ada di DPRD atau langsung, kalau Kompas sendiri dalam isu ini bagaimana posisinya, apa lebih setuju langsung atau DPRD? K Kalau yang langsung ya oke, saya kira pencerminan demoratisasi masyarakat itu, yang harus dijaga sebenarnya, itu kalau ada teman-teman bilang pemborosan, sogok menyogok itu juga ada di DPRD, iya pemborosan tapi kita melihatnya kalau lewat pemilihan DPRD tentu lebih bisa dimainkan, artinya uang bisa sangat berperan disitu, karena dengan jumlah anggota katakanlah di DKI 106 ada dana tak tebatas 1 triliyun, saya kira bisa menang, apalagi kalau daerah Yogya cuma 50. Saya kira siap dana berapa, ketika Herri Zuhdianto bertarung melawan Endang, yang Sultan sampai marah-marah karena Endang merasa paling sugih di Yogya, untung Herry yang menang, itu kalau pilkada di DPRD, bisa menang Endang itu karena waktu itu PDI mayoritas untungnya Endang kalah, kalau pilkada langsung ke masyarakat uang tetap ada, tapi agak lebih lebih susah karena rakyatnya banyak, namun yang kita dorong adalah harus banyak menemukan cara lebih efisien. Bagaimana kalau kita ikut e-voting mislanya, head line kita beberapa waktu yang lalu, e-voting lebih transparan, di Bali, di Bantaeng sudah ada, apalagi kalau berpolitik, politik harus ada trust, saling percaya, kalau tidak percaya ya sudah, ya susah. M Kompas melihat pilkada langsung lebih baik ? K Dari konten analisis jelas, kita keras kalau itu, dan ke depan ada perbaikan, misalnya seperti e-voting, kita menyarankan agar itu diperbaiki kalau memang ada kekurangannya. M Bagaimana menjelaskan isu misalnya Kompas itu dekat dengan teman-teman Katolik ada plesetan Kompas adalah Komando Pastur bagaimana menjelaskannya ? K Menjelaskan itu ya lewat sejarahnya, itu tidak lepas dari masalah kompetitor, kompetisi, Kompas itu kan ide dari siapa ? Dari Jenderal Ahmad Yani, bukan dari Pak Frans Seda dan Pak Kasimo, juga ada videonya, Ahmad Yani itu penggagasnya, Ahmad Yani waktu itu konteksnya adalah PKI, yang tidak PKI waktu itu dicari orang-orangnya siapa. kemudian Ahmad Yani ini mengajak Pak Fans Seda, memerangi PKI kan tahun 65 konteksnya, kemudian memang yang mendirikan Kasimo, Frans Seda, kemudian kebetulan juga jadi besar yang kemudian diplesetkan kemana-mana itu menjadi Komado Pastur, bahkan kalau kita mau, bisa lihat, yang haji itu berapa ?, Kita tidak pernah menulis di box, kalau mau tahu, yang ada di box halaman 15, itu yang Islam pasti haji semua. M Itu haji sendiri atau perusahaan ikut membantu. K Kita ikut bantu, sampai dia terbantu , membantu biasanya mereka ikut meliput sekaligus juga haji, kalau kita mau begituan, dibiarkan saja, sampai kemudian saya kira beberapa pemimipin Kompas seperti Mas Surya Pratomo itu juga Islam dan Haji, kemudian Bambang juga haji. Menurut saya Komando Pastur itu mungkindi titik awal nya juga sebagian dari PKI sendiri, karena PKI sendiri sangat benci, karena kemudian waktu dulu pemerintahan Soekarno seperti mempunyai alat untuk lawan PKI melalui Kompas sendiri, dinamika ini juga kalau bisa masuk bisa lihat itu di awal-awal terbit Kompas 28 Juni itu ada sejarahnya. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Jaman sekarang apa masih ada tidak intervensi-intervensi dari luar, sepertia ada telepon dan lain-lain ? K Sekarang tidak ada, kalau kekerasan terhadap media sendiri, malah dilakukan dari masyarakat, kalau menggeruduk untuk demo sih pernah beberapa kelompok, mungkin karena Kompas disamakan dengan Komando Pastur, banyak juga itu unjuk rasa, dulu waktu saya di Yogya di demo kantor Kompas yang di Yogya, di demo macam-macam dari ormaslah dan sebagainya, namun sekarang kalau pemerintah tidak ada, saya dulu pernah di Bernas, memimpin disana, di Bernas sering dulu zaman tahun 90-an interfensi dari pemerintah sekarang tidak ada, sekarang lebih ke masyarakat kepada wartawan, ya itu seperti preman-preman berjubah. M Tapi tidak ada yang seperti yang di Tempo ? Kompas belum pernah ya Pak ? Tempo kasus Tommy Winata, seperti permasalahan Tommy di Tanah Abang. K Mungkin karena Kompas agak ruwet untuk masuk, banyak dijaga, sekarangkan kalau ada apa-apa pintunya cuma satu jadi agak susah, jadi paling lempar bom Molotov. Kalau itu kami sudah siap, kalau bom Molotov paling sampai di rumput saja. Kalau itu wartawan sudah tahu. Kalau demo ya biar aja demo disitu saja. M Bagaimana tentang kekerasan terhadap wartawan sendiri selama ini,misalnya dalam meliput kalau itu kan sering ada Pak ? K Tapi sekarang bukan atas nama negara, misalnya dari kelompok masyarakat. Biasanya dari masyarakat sendiri yang mungkin ketidakketahuan saja atau emosi atau tidak suka di beritakan atau apa ?, dulu kasus di Papua itu, kami di Yogya itu demo, di Papua itukan ada teman saya wartawan, kameranya dibanting, waktu itu saya telepon ke orang Papua itu, “Anda kalau mau berjuang tentang Papua mengapa menyakiti wartawan, itu bagaimana ?” Akhirnya diganti. Kompas nya sendiri sebagai perusahaan selalu siap advokasi terhadap wartawannya, misalnya ada asuransi untuk peralatan sampai orang atau wartawan Kompas, peralatan aja diasuransikan, orang apalagi. M Bagaimana Kompas memilih narasumber, apakah ada misalnya narasumber yang sudah di blok Kompas, misalnya narasumber ini cocok untuk otonomi daerah, maka kemudian Kompas misalnya cocoknya dengan Ryaas Rasyid , jadi Pak Ryaas Rasyid terus jadi narasumber, atau bagaimana Pak ? K Kita punya Ombudsman, yang membawahi Ombusdman Kompas itu dosen anda Pak Ashadi Siregar, itu tiap bulan, Bang Hadi ke Kompas ada juga Faisal Basri, ada Bu Nuraini, Bu Suwanta, Bu Nurani, kemudian ada Pak Daniel Dhakidae. Itu orang-orang top yang jadi polisi Kompas, jadi mereka yang memagari Kompas tidak boleh ini tidak boleh itu, mereka itu tiap bulan datang kesini untuk memberi masukan kepada Kompas supaya bagaimana menyikapai hal-hal seperti itu tadi, misalnya kok orang ini muncul terus, kok tidak ada narasumber lain ya, selalu diingatkan, dalam hal pemberitaan, selain ombudsman, kita sendiri ada penelitian khusus, kontennya seperti apa ?, jangan sampai condong kesana-kesini, “tone” ini terlalu banyak, jadi tidak pernah kita nge-blog. Kita sadar kalau nge-blok berarti hidupnya nge-blog terus. Pers ini hidupnya dari masyarakat, nanti hidupnya nge-blog terus. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Apakah bisa narusumber itu mempengaruhi redaksi ? misalnya dia wawancara kemudian dia telepon redaksi ? K Tidak, kita kalau begitu, maaf malah tidak kita tampilkan, biasanya kalau sekali seperti itu , tidak kita wawancara seterusnya, semua orang tahu tidak mungkin Kompas begitu, mereka tahu tidak akan bisa. Tidak ada intervenrsi, karena kita punya image sendiri, harga diri juga, posisinya samalah, wartawan Kompas juga tau. M Tentang menulis opini sendiri parameter supaya orang bisa masuk dan menyuarakannya ? K Menulis opini itu benar-benar kita cari yang mempunyai keahlian di bidang itu, ada beberapa teman penulis opini itu, yang sekarang aku kok tidak bisa lagi, kadang orang itu diangap kemana-mana ditanggapi, kitatidak begitu lagi. Sekarang karena masyarakat yang ahli dalam bidang itu semakin banyak, sehingga jangan masuk, kalau pendidikan jangan masuk transpotrasi, ke kriminal, dari segi sumbangan pemikirannya juga terbatas, jadinya umum, yang spesifik dan punya keahlian khusus, kita kearah situ. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Lampiran TRANSKRIP WAWANCARA Informan : Octo Lampito (Kedaultan Rakyat) M Menurut perspektif KR otonomi daerah itu bagaimana Pak dan bagaimana KR memaknai otonomi daerah itu ? KR Saya kira ada berapa hal ya, kalau otonomi daerah menurut saya memang sudah saatnya memang harus dilakukan begitu karena untuk keseimbangan, bagaimana potensi Yogya terhadap keseimbangan itu sehingga perlu diberikan menurut saya kewenangan, apalagi Yogya menjadi daerah keistimewaan. M Kalau menurut Bapak apakah isu otonomi daerah menjadi isu yang penting di media KR ?, menjadi salah satu isu yang cukup penting tentang otonomi daerah Pak ? KR Tentu, tapi menurut saya justru yang paling penting di media KR adalah justru DIY itu menjadi daerah istimewa itu yang paling penting, itu menjadi warna-warna kami ketika perjuangan menuju keistimewaan itu. M Terutama untuk Keistimewaan Yogyakarta itu Pak ? KR Karena kita memuat banyak, kita punya koran-koran yang tahun sekian bagaimana memang konsisten perjuangan DIY itu untuk NKRI, kita punya itu bukti-bukti di sana misalnya bagaimana pengakuan DIY, bagaimana DIY pertama kali menunjukkan bahwa kami siap menjadi tuan rumah menjadi ibu kota ketika situasi di Jakarta sana tidak pasti, dan itu harus dicatat oleh pemerintah pusat. kalau DIY tidak welcome waktu itu, Indonesia bubar saat itu. Tinggal Yogya waktu itu, okelah kami menjadi tuan rumah dan jangan lupa waktu itu,kami punya itu dokumendokumennya bagaimana Ngarso Dalem IX itu, ketika kemudian dia membiayai itu, diwawancarai wartawan berapa habisnya nggak pernah Beliau mengaku, dia selalu mengatakan “untuk negoroku wis ora sah dipikir itu berapapun habisnya” jarang ditemui kan orang-orang pejabat seperti itu sekarang ini, bahkan Bung Hatta pernah mengakui pernah digaji oleh Ngarso Dalem waktu selama pemerintahan di Yogya, dan Sultan itu dengan uang golden Beliau, simpanan pribadi untuk membiayai negara sebuah negara yang bernama Indonesia, yang masa depannya belum jelas, tapi Beliau sudah berani untuk itu. M Kalau di KR sendiri ada halaman khusus tentang otonomi daerah ? KR Tidak ada, tapi kami komitmen ada berapa halaman yang terkait dengan otonomi daerah itu semuanya jadi satu M Kalau saya lihat di KR itu tidak hanya meliput Yogya kan Pak ?, juga ada Jawa Tengah, berarti apakah ada wartawan desk daerah Pak ? KR Ada desk daerah, ada desk beberapa kota (kita punya desk daerah). Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Selain desk daerah, adakah kerjasama dengan Antara atau Reuters atau apa untuk mendapatkan berita ? KR Kita langganan, kita bayar. Cuma Antara ini jarang kita gunakan karena jarang tapi tetap kita melanggan, Reuter juga iya. M Kalau mengenai isu-isu otonomi daerah di seputaran Jawa Tengah dan DIY ini, apakah menjadi berita yang menarik Pak, tidak hanya di Yogya misalnya ? KR Menurut saya juga pada situasinya juga, ada beberapa hal misalnya isu-isu otonomi daerah (pilkada) mungkin menarik, tapi untuk hal-hal yang begitu sesuatu yang sudah berjalan seperti biasanya, M Jadi tidak ada prioritas khusus, misalnya kalau ada pilkada di Semarang misalnya atau pilkada di Kebumen atau apa seperti itu pak ? KR Itu liputan khusus ada, tetap ada bahkan kami misalnya ada liputan khusus seperti Gubernur Jateng kemarin, Semarang, kita punya khusus untuk tulisan-tulisan itu di Banyumas, Magelang, apalagi dekat Klaten, dsb, kita punya halaman-halaman yang banyak memuat itu. M Termasuk saya juga lihat itu, ada iklan “nyasar” ke Yogya juga iklan pilkada Gubernur Jawa Tengah Pak KR Bukan hanya itu, Kendal iklannya juga di KR, kemudian Magelang, Purworejo, Klaten itu juga iklan-iklannya masuk di sini juga pemberitaannya juga ke sana karena kita juga melihat bahwa hal-hal begitu pentinglah. M Apa itu ada hubungan berita-berita otonomi daerah dengan oplagh iklan atau pemasukan iklan begitu Pak ? KR Bagi media, iya ada. Kami punya beberapa di masing-masing daerah itu dan kalau ada pilkada memang iklan kami naik itu untuk government itu naik. M Berarti pilkada langsung lebih bagus daripada DPRD pak ? KR Tentu mas, kalau DPRD tidak usah beriklan. Menurut saya, bukan hanya itu mas, kami melihat sebuah pemaknaan demokrasi masyarakat sehingga kami sepakat untuk memperjuangkan pilkada langsung. Itu kan kepentingan politik dari rakyat. M Untuk persebaran atau distribusi media KR itu sampai sekarang berapa oplaghnya ya Pak ? KR Riil itu 102 pokoknya antarane 100 ribu eksemplar, kalau untuk DIY mayoritas ya iya, 80 persen kayaknya ada. M Kalau dengan kompetitor daerah misalnya dengan Suara Merdeka begitu Pak ? KR Di beberapa daerah kami memang boleh dibilang mau bersaing atau tidak silakan tapi memang pantura utara silakan miliknya dia, istilahnya kita punya pelanggan di Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. situ banyak, juga ada di Rembang, kemudian Kendal, Pati tapi kami tidak berambisi untuk masuk situ. M Tapi tadi untuk keseluruhannya berapa ya Pak ? KR ya kira-kira 102 eksemplar, kadang-kadang itu naik pada saat tertentu menjadi 110lah mas. M Itu yang paling banyak di Yogya ya Pak ? KR Iya DIY, 80 persennya sendiri, makanya kalau di Jogja itu “mbaca” koran itu “mbaca KR” M Ada koran baru Tribun yang menawarkan Rp 1000 atau Rp 2000 gimana pak ? KR Kami sempat turun itu, mungkin tahu ya “wong Yogya nek ono sing anyar ketokke” sebentar begitu tapi lama-lama kan tidak, “oh, gur koyo ngono”. Kami tetap bawa koran orang Yogya “digarap” orang Jakarta kan beda dengan Koran orang Yogya “digarap” orang Yogya, kami tahu nafasnya Yogya bagaimana, kami tahu apa kemauan mereka. Ya sempat terganggu karena mainnya begitu, misalnya di klaim tiba-tiba saja mas Megan langganan KR tiba-tiba terus diganti Tribun kemudian dia “ngomong”, ini grupnya KR lebih murah, banyak laporan tapi “piye” itu persaingan di media sudah tidak beres. KPPU itu kita lapori juga tidak beres, KPPU tidak pernah berani untuk itu. jangankan “sempritan dari KPPU” ngomong aja belum pernah, jadi seperti itu, namun dalam waktu hitungan hari oplagh kami langsung kembali lagi, harga itu ternyata sangat signifikan. M Kalau proses produksi berita bagaimana Pak tentang otonomi daerah, apakah bisa sekilas Bapak ceritakan Pak misalnya ada wartawan mengambil berita-berita itu apakah punya langganan narasumber misalnya Pak ini atau Pak itu ? KR Oh iya, kalau itu bisa. Kalau media itu pasti punya pelanggan-pelangganan narasumber misalnya ini yang ahli otonomi daerah bisa menjadikan dia narasumber, ini yang ahli pertanian, di otonomi daerah kita juga selalu melihat begitu selain tentu orang-orang pertama di Kabupaten/kota. M Jadi setiap Kabupaten/Kota atau Provinsi mesti ada wartawan KR, yang ngepos dan punya jaringan dengan birokrasi di sana. KR Iya ada, jaringan di sana tapi kita punya target misalnya setengah tahun kita ganti/pindah, kalau dia terlalu dekat nanti warna beritanya tidak menjadi tidak baik, karena sesuatu yang dilihat setiap hari kan tidak menjadi berita lagi. Makanya kita rolling supaya dia tetap menjadi seseorang yang tahu, yang tahu tetapi tidak kemudian larut bersama. M Lalu itu bagaimana untuk proses geetkeeping nya Pak ? Kalau saya melihat kan warna berita KR itu kan beda dengan berita lain lebih soft dan tidak meledak-ledak. KR itu sesuai dengan warna di kita, kalau di Jogja berita yang meledak-ledak orangorang mengatakan bombastis itu tidak akan laku, jadi kita cenderung lebih soft tetapi Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. kritik harus tetap. Makna kritikan tidak harus keras yang penting substansinya masuk, kita selalu berpandangan begitu bahasanya ngono yo ngono ning ojo terlalu ngono. M Apakah wartawan yang begitu ditraining khusus atau geetkeeper-nya yang bekerja pak ? KR Geetkeeper-nya juga tentu, kita juga bisa memilih orang yang mengikuti itu betul ada kemudian yang lainnya training, kita kan juga sering mendatangkan training begitu, supaya mungkin satu visi dan wawasannya luas, juga satu sama lain akrab M Biasanya kan wartawan dari berbagai macam pendidikan background, KR Tentu, ketika kita masuk kemudian selama mengikuti perkembangan-perkembangan beberapa kali kita pasti training atau mengundang orang (trainer) atau mungkin dari luar. M Kalau dengan narasumber yang sudah sering dimintai pendapat dan sebagainya apakah itu tetap melalui geetkeeping atau lost saja Pak ? KR Ya harus tetap ada, semuanya ada di tingkat terakhir kan adalah redaktur, tetapi kalau redaktur itu “mumet” juga pada suatu saat maka terpaksa harus dengan pemred M Karena dulu saya punya dosen namanya Mas Riswanda, kalau nulis itu keras, dan to the point KR Iya tapi kita seneng itu, mas Riswanda itu sayang itu meninggal muda. Komentarnya tentang Istana, Istana negara saja pegang KR 40 eksemplar. Saya tidak tahu mungkin dibagi-bagi di setiap meja atau bagaimana, makanya orang banyak dosen Gadjah Mada seperti Menkumham Denny dulu kan penulis KR juga. Bahaya itu penulis KR jadi Dirjen, Pak Yanto dulu Dirjen Dikdasmen itu juga dulu penulis. Jadi banyak penulis KR kemudian dilihat dari Jakarta. Riswanda itu juga kan, kalau mau bisa jadi menteri dia hehehehe..... M Kalau berita kriteria tentang otonomi yang dianggap penting oleh KR bagaimana Pak ? KR Menurut saya, berita-berita yang berguna sesuai prinsip kami bagi publik, kira-kira bermanfaat tidak bagi publik ? Jadi bisa diartikan semua berguna bagi publik kita ambil. M Apakah itu juga akhirnya mempengaruhi sidang redaksi juga misalnya berita-berita itu bersinggungan dengan pemilik kekuasaan di daerah seperti Bupati, Gubernur ? KR Oh itu, kami tidak ada masalah. Sepertinya kesadaran mereka tentang pers bebas sudah mulai artinya di Jogja itu 4 kabupaten dan 1 kota sudah mulai meskipun ada yang kadang-kadang tidak mau kritik tapi kami selalu “silakan Pak kalau Bapak tidak mau kritik, Bapak bisa memberi jawaban”. M Misalnya dulu ada model-model telepon apa masih pak ? Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. KR Sekarang tidak, lebih sering “nyindir” tetapi juga menjawab “tidak apa-apa memberi hak jawab misalnya salah”. Kalau kritikan saya sering mengatakan, malah justru tambah kritik tambah enak masalahnya tidak akan merasa kalau sudah merasa nyaman tidak akan pernah maju. Kritik misalnya Sleman soal bagaimana Merapi, kemudian kota bagaimana hotel, kebijakan-kebijakan seperti itu kita kritisi, benar tidaknya. M Saya melihat perbedaan 360 derajat antara Pak Hery dengan Pak Haryadi, waduh payah banget ini. KR Wah benar, dulu saya berharap pada Pak Haryadi. Zaman Pak Herry Zuhdianto setiap Jum‟at wartawan-wartawan suruh kumpul Pak Hery Zudianto cerita “ini begini-begini” silakan dikritik. Sekarang tidak pernah, takut, Beliau “malah” pergipergi terus. Ini tidak bagus, saya lebih suka Zuhdianto. M Saya melihat kalau Pak Hery beli tanah untuk ruang publik lalu sekarang terlalu banyak sekali hotel itu. Kaget saya, tadinya cuma Hotel Arjuna saja itu. KR Kalau dulu Pak Herry itu “wagiman” ini “wagihot” walikota gila taman jadi walikota gila hotel M Saya juga melihat koran KR waktu itu menceritakan bagaimana beberapa aktivis di LSM yang mendemo Pak Haryadi di kantornya sambil nyanyi-nyanyi, itu Pak Haryadi tidak komplain ke KR Pak ? KR Tidak, cuma dia pernah ngomong-ngomong, dia mbongkar masalahnya itu, aku manggil dia mas, bagaimana saatnya mas Haryadi ini bergerak. Kalau bergeraknya tahun depan orang akan bilang ini mau pencitraan tapi kalau sekarang belum terlambat begitu. Tapi kok ya belum bergerak-bergerak begitu, malah hobinya itu pergi ke luar negeri sekarang undangan-undangan itu banyak sehingga situasi kota tidak pernah diurus. M Termasuk kemarin ada Fave Hotel yang diceritakan KR itu, sampai membuat sumursumur warga kering, itu berita juga tidak ada respon atau intervensi dari pemerintah pak ? KR Tidak, soal-soal seperti itu mereka tidak berani campur. Asal selalu mengatakan jurnalisme itu fakta, jurnalisme itu selalu mengedepankan selain fakta juga konfirmasi. Asal itu sudah, itu pegangannya fakta dan konfirmasi sudah selesai. Kamu punya pertimbangan kalau terakhir itu kira-kira membuat warga resah tidak, kita selalu begitu dan mungkin itu bedanya dengan kita. Kalau kira-kira berita itu tidak benar dan membuat warga resah, kalaupun iya membuat warga resah tetapi bagaimana kamu harus ada solusinya misalnya BBM, dia risau kita dikritik kalau kemudian betul-betul yang di drop sudah habis jangan membuat situasi menjadi tambah parah tapi cobalah kamu pantau lagi kalau memang antrian menurun katakan menurun dan itu memang betul ketika KR mengatakan menurun besoknya selang sehari itu sudah tidak ada antrian lagi. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Ada beberapa berita sekitar 5 berita yang saya coding, yang kemarin banyak keluar dari 3 media yang saya teliti Pak. Tapi ngomong-ngomong dinas dari pemkot juga tidak memberi bantahan atau apa begitu tentang Fave Hotel itu Pak ? KR Tidak itu mas M Humas Pemda repot juga itu Pak. Ada isu pemekaran, otonomi khusus itu tadi Pak (asimetri desentralisasi), dinasti politik, korupsi elit lokal, dan Pilkada Pak (apakah dipilih oleh DPRD atau langsung) ada 5 topik ini Pak. Kalau menurut pandangan KR Pak, bagaimana perspektif atau pandangan KR tentang pemekaran wilayah Pak apakah setuju atau harus dibatasi ? KR Kalau menurut saya, apakah kalau pemekaran itu layak karena pemekaran ini belum tentu untuk kepentingan publik misalnya harus jauh kemudian harus naik perahu segala kan repot, kalau itu mengarah ke publik ya silakan tapi kemudian itu disusul apakah kemudian sudah cukup, apakah itu bukan hanya kepentingan orang-orang yang menginginkan jabatan menjadi walikota/bupati kemudian untuk ke jabatanjabatan itu sehingga DPR ya ada, dipikir lagilah. Menurut saya kalau begitu ya tidak usah tetapi kalau itu memang untuk kepentingan publik, kita berapa kali juga melakukan analisis-analisis seperti itu, memang dibutuhkan misalnya jauh seperti itu publik supaya tidak repot untuk masalah ngecap ke kecamatan harus nyebrang sungai, kalau disini mau datang ke kecamatan dekat dan cepat sudah selesai. Apakah itu begitu, apakah kalau misalnya pelayanan publik itu mengganggu ya menurut saya mana yang terbaik M Jadi dilihat dari perspektif publiknya, apakah terlayani atau tidak gitu Pak ? KR Iya dan asal tidak hanya menghabiskan anggaran saja. M Mungkin kalau di Jawa Tengah dan DIY itu kan mungkin karena infrastrukturnya bagus sampai sekarang belum ada pemekaran ya Pak ? KR Iya bisa dikatakan demikian, infrastrukturnya jelek masyarakat repot. M Kalau tentang desentralisasi asimetris tadi pak, bagaimana pandangan KR Pak, terutama masalah Keistimewaan Yogya ? Ini cukup banyak Pak, ada sekitar 83 item di KR Pak KR Keistimewaan Yogya, iya kami memang konsisten untuk itu. Jelas yang pertama kami berpihak pada keistimewaan, tetapi kami tentu berpijaknya pada keistimewaan yang apa, tentu kami berharap keistimewaan itu membuat kesejahteraan yang kita perjuangkan waktu dulu. Kalau jabatan, kemudian isunya muncul ketika jabatan penetapan atau pemilihan. Waktu itu kami, “silakan rakyat mau dipilih yang mana”, kami hidup di publik karena kalau rakyat itu tidak merestui kami juga kan repot. Sehingga kami menilai, “silakan Yogya mau milih yang mana”, kami selalu begitu, tetapi jelas kalau keistimewaan Yogya KR pada jalur itu, karena kita tahu bahwa di undang-undangnya dulu sudah ada. Sejarahnya (KR punya dokumentasi dulu-dulu) kita tahu, kita baca Yogya memang sangat istimewa, bukan hanya itu bagaimana ketika selain pertama kali “ijab-qobul” jelas kita tahu juga bagaimana Yogya ini Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. pertama kali kamilah yang berpihak pada NKRI dan bahkan membiayai kehidupan NKRI. Mungkin belum tahu ya kalau Bu Mutia Hatta itu ketika kemudian Beliau mau jadi menteri Beliau tidak punya akte, itu dokumen ada KR karena Bung Hatta pernah beriklan mengenai kelahiran Ibu Meutia Hatta, jadi KR itu punya peranan, kalau kita lihat berita-berita dulu karena KR itu tetap NKRI dan sampai sekarang dan siapapun pemimpinnya tapi Negara harus NKRI jadi ketika kemudian ada beritaberita yang menggoyang untuk apa dibesar-besarkan. Menggoyangkan NKRI kemarin, orang-orang Papua yang begitu, coba lihat dibanding koran-koran lain di Yogya, KR mungkin sangat pasif (untuk apa membesar-besarkan perpecahan karena komitmen kita NKRI). M Seberapa dekat KR dengan Kasultanan dan dengan Ngarso Dalem Sinuwun ? KR Tidak dekat juga, kenal-kenal biasa saja. Kami kenal dekat dalam arti secara kultural, sejarah kami koran yang paling tua, itu saja sebenarnya, dan kami komitmen untuk menjaga budaya ini. M Apakah ada berita-berita titipan dari Ngrso Dalem Sinuwun ?, mungkin masalah Keistimewaan kemarin ? KR Tidak, banyak juga kasus ketika kami meluncurkan wacana apa Sultan harus perempuan (kita buat polemik yang menarik), Sultan itu penuh dengan keluarga, keluarga Sultan saja sudah pro kontra, kita lempar saja mana yang benar tapi kirakira sudah cukup kita tarik tidak usah, kita hanya melempar saja ternyata banyak masalah Sultan itu perempuan atau tidak. M Apa karena harus ada “Kanjeng Ratu Kidulnya” kalau di Inggris sana tidak ada “Kanjeng Ratu Kidul” ? KR Di sini ada kan kanjeng ratu kidulnya, malah ada salah satu kerabat kraton yang bilang kalau nanti sultannya perempuan bisa lesbian itu hehehehe.... M Jadi tidak ada intervensi Sultan untuk menggiring berita-berita ? KR Tidak ada, tapi kami dekat dengan orang semuanya dalam arti misalnya rakyat yang pro pendukung semua, sering mereka diskusi di sini/diruangan ini kami diskusi. M Kalau tentang dinasti politik bagaimana media KR memandangnya ? KR Dinasti politik kalau menurut saya, silakan saja kalau itu mampu, yang penting itu kemampuan dan itu harus akuntabel, visibel, orang itu juga punya kemampuan kalau punya kemampuan kenapa tidak ? M Jadi itu lebih ke kapasitas dan kapabilitas orang itu Pak ? KR Jangan hanya karena keturunan siapa tapi harus punya kapasitas karena dia memimpin rakyat. M Bagaimana dengan kasus-kasus misalnya Atut, dinasti yang kemudian ada hubungannya dengan korupsi ? Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. KR Nah, itu yang kemudian saya tidak setuju. Tapi menurut saya tetap saja tidak apa-apa asal tidak korupsi kalau memang korupsi ya jangan artinya harus ada yang mengawal. M Kalau tentang korupsi di elit lokal Pak tidak mesti dinasti kan Pak misalnya Bupati korupsi ? KR Kita tetap memuatkan, ada beberapa di Yogya itu, asal sudah pasti kita muat, misalnya dulu ada korupsi DPRD Kota, kita muatkan juga. M Kalau kasus Pak Idham itu agak spesifik karena punya kedekatan dengan KR, gimana Pak ? KR Jadi kita memberitakan untuk hal-hal yang sudah pasti, kalau pasti tersangka iya kita beritakan tapi kemudian sebuah media itu beda antara investigasi dengan mencaricari itu. Kalau mencari-cari itu selalu “digathokke” contoh ada seseorang yang tidak datang saat kampanye atau ada suatu acara dan dia tidak hadir atau terlambat sebuah media ini ya sudah selesai mungkin alasannya apa (sudah cukup) tapi kalau media yang mencari-cari bisa juga mencari orang “kenapa kamu telat” framing dia adalah membingkai bahwa itu jelek dan itu narasumber yang menjelekkan misalnya sehingga dampaknya menurut saya juga akan membuat wajah orang itu menjadi jelek. M Jadi kalau seperti itu bagaimana Pak KR mensiasatinya ? KR Kami tetap saja memberitakan, iya kita tetap memberitakan dikatakan jurnalisme intinya verifikasi juga. Harus ada verifikasi Pak Idham juga, menurut ini bagaimana ya harus kita muat semua. M Menurut saya kasusnya ini jalan di tempat ya Pak ? KR Itulah, menurut saya, menurut mereka juga begitu, yang penting kita melihat yang sebenarnya pada kasus itu, misalnya kasus penyerangan cebongan misalnya koran mana yang berpihak pada publik ? Hanya KR pada kasus cebongan, bisa dilihat. Menurut saya, haknya rakyat itu apa, kita investigasi rakyat yang diganggu oleh preman-preman itu. Jadi kita melihat itu ada verifikasi juga. Jurnalisme harus seperti itu, ketika berita itu sepihak maka ia menjadi tidak imbang. M Kalau tentang pilkada, menurut pendapat atau perspektif KR tentang pilkada yang baru ramai ini Pak lebih baik langsung atau lewat DPRD ? KR Kalau menurut saya langsung karena satu, berilah hak rakyat ini kalau terpaksa mau ada yang tidak langsungmungkin apa ya, saya dengar juga paketnya beda ya, wakilnya akan lain akhirnya daripaket beda kalau saya berharapnya diberi saja dulu. Kalau alasannya biaya tinggi, bukan berarti biaya rendah lewat DPRD justru bisa lebih tinggi. Dan tersandera misalnya dulu mengancam “kalau tidak kasih saya proyek, awas nanti aku dan beberapa orang menggerakkan untuk jangan memilih kamu” misalnya seperti itu.Itu akan berbahaya dia menjadi tersandera, dan dia Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. menjadi ATM-nya DPRD, bupati itu menjadi ATM-nya DPRD. Ketika bupati tidak ada uang maka dia bisa korupsi, itu kan parah. M Jadi walaupun sama-sama memiliki sisi mudharat-nya, mungkin ini pilkada tidak langsung yang lebih banyak sisi mudharat-nya. KR Iya, sama-sama mudharat-nya, kalau itu kelahi tapi tidak ada kelahi begitu. Ketika dia mengerahkan DPRD, lalu masing-masing membuat massa nanti ketika ada pemilihan umum mengerahkan itu terus turunnya kampanye mungkin tidak ada perkelahian bukan berarti biaya murah itu, tetap mahal. M Mungkin hanya Yogya saja yang tidak ada Pilkada Gubernur Pak KR Iya kalau Gubernur, karena di sini sudah begitu. Kalau di sini Sultan, “ya wis karepmu”. DPR juga menekan, Sultan juga harus punya mekanisme untuk menggantikan Sultan itu, Sultan itu kan manusia tidak sehat selamanya dan tidak seperti ini selamanya. M Misalnya tentang kedekatan KR dengan Bantul Pak, kalau pilkada Bantul dekatdekat ini kan mau pilkada Pak ? KR Silakan saja, siapapun itu kita juga begitu perlu kita dukung. Apalagi “monggo” kalau misalkan kesempatan pasang iklan banyak, kita juga dukung. M Misalnya Ibu Idham (Sri Surya Widati) jadi naik gimana Pak ? KR Silakan saja kalau dia maju ya “monggo”, katanya mau naik lagi ya “monggo”, kita punya komitmen mana yang baik bagi publik, yang bermanfaat bagi publik, seperti itu. M Apakah pemekaran daerah frekuensinya sedikit di KR itu karena di Jawa Tengah dan DIY itu tidak pernah ada pemekaran Pak ? KR Tidak ada, tapi kita beberapa memberikan masukan juga kepada pusat tetapi beberapa hal misalnya dalam analisis, opini juga silakan dipakai masyarakat, pemerintahan karena kita menganggap di DIY ini tidak banyak keterlibatan karena kita kan koran lokal. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Lampiran TRANSKRIP WAWANCARA Informan Prof Dr. Djohmansyah Djohan., MA (Dirjen Otda Kemendagri) M Menurut Kemendagri sendiri sebenarnya Perspektif Otonomi Daerah versi Kemendagri itu bagaimana ? DD Versi Kemendagri, Otda itu sebetulnya harus dipahami dalam Bingkai negara kesatuan RI, dimana model negara kesatuan, kewenangan, tugas-tugas dan kewenangan negara itu ada di tangan pemerintah pusat. Kemudian sebagian tugas kewengangan itu didesentalisasikan, dilimpahkan ke daerah lalu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah sebagian urusan pemerintahan atau kewenangan yang diberikan harus tunduk dan taat ke pada pemerintah pusat. Itu yang menjadi pijakan-nya Kemendagri. Lalu diaturlah dengan undang-undang pemerintah daerah, sekarang yang berlaku UU 32 Tahun 2004, dulu UU 22 Tahun 1999, UU 5 Tahun 1974. Sekarang UU 32 pun sedang kita perbaiki, untuk menata lagi Otda kita yang “keblablasan” itu , ada raja-raja kecil yang tidak taat dan tunduk kepada Pemerintah Pusat. M Selama ini Bapak sebagai Dirjen Otonomi Daerah, apakah ada perbedaan pertanyaan antara wartawan pusat dengan daerah ? DD Ada, jadi bedanya kalau wartawan pusat lebih melihat isu Otonomi Daerah itu secara nasional, kalau wartawan daerah, isu Otonomi Daerah itu lebih tertarik dengan isu-isu lokal, jadi isu lokal tentang kepala daerah, DPRD-nya, Dinas2 Daerah, pemekaran daerahnya, kalau wartawan nasional lebih menyoal isu-isu nasional secara menyeluruh, tidak locally. Itu bedanya kalau isu-isu seperti itu. Umumnya begitu kalau saya ditelpon dari Jogja, Makassar, dimana-mana, dia ngecek bertanya kota rame, orang demo bakar-bakaran di dewan. M Bagaimana pendapat Prof sendiri tentang isu pemekaran daerah ? DD Isu pemekaran daerah kita ini sudah tidak proporsional, tidak rasional bahkan itu sudah lebih banyak politisasinya daripada tekhnokrasi kepemerintahannya, maksud saya kalau orang mau membentuk daerah otonom, itu jangan keluar dari makna, bahwa daerah yang otonom itu adalah daerah yang mampu mengurus urusan Rumah Tangganya sendiri, itu yang harus dipegang, kemampuan. Ini kecendurungan yg kuat itu adalah kepentingan-kepentingan politik. Jadi teknisnya apakah daerah itu sudah punya kemampuan keuangan, potensi ekonomi bagus, SDM nya tersedia, memadai untuk menjadi suatu daerah otonom, aparaturnya juga sarana prasarana pemerintahan, pokoknya ada aturan main di PP 78 tahun 2007. Tapi ini tidak, ini karena aspirasi masyarakat kemudian dipaksa pemerintah pusat lewat DPRD, Padahal Otonomi Daerah itu mestinya konstruksi yang benar itu yang menentukan adanya daerah Otonomi itu adalah pusat, karena pusat ini dalam Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. model negara kesatuan yang ada negara kemudian punya kewenangan kemudian membentuk daerah otonomi untuk memudakankan pelayanan publik, meningkat kesejahteraan masyarakat. Kalau sekarang terbalik, daerah-daerah itu memaksa negara untuk menjadi suatu daerah otonom. Padahal negara dalam ukuran tekhnokrasi pemerintahan belum layak jd daerah otonom ,syarat administrasi, fisik kewilayahan dan teknis tidak terpenuhi, tapi karena dipolitisasi dipaksa lewat dewan, pemerintah kadang-kadang dilematis, oleh karena itu pemerintah sekarang posisi moratorium, kami tidak akan mengusulkan pemekaran daerah otonom. Dari kemerdekaan 1945 sampai republik ini tahun 1999 hanya 319 daerah otonom, 54 tahun. Lalu tahun1999 sampai tahun 2009, dalam tempo 10 tahun tambahan 205, satu dasawarsa, sekitar 75%. Itu daerah Teritorial Development yang terbesar di dunia. Sudah kita kaji dimana-mana, fenomena di dunia, sebetulnya adalah united, almagamasi, malah digabungkan, disatukan ; Eropa, Amerika, Australia, Jepang, Asia, kita di belah-belah. Ini pandangan saya tentang DOB , harus ada regulasi baru, sedang kami siapkan. Regulasi baru itu tidak boleh mekar-mekar begitu saja, harus lewat daerah persiapan, kotib-kotib dulu, cukup dengan PP, tidak perlu UU. Kita mau menekankan tidak politisasi tapi teknis pemerintahan terlebih dahulu, tekhnokrasi. M Tentang pengaturan pusat-daerah, status special case , seperti Asimetris desentralisasi bagaiman untuk pengaturannya ? DD itu memang fenomenanya baru setelah Amandemen UUD, ada pasal 18b ayat (1). Satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan atau istimewa diakui dan dihormati oleh negara, itu fenomenanya. Maka sejak itu desentralisasi kita tidak simetris saja tapi juga asimetris dan itu di implementasikan lewat adanya UU Otsus, yang di Aceh, Papua, lalu DKI Jakarta sebetulnya juga masuk ranah itu plus DIY. Dengan UU 13 Tahun 2012 yaitu pusat mentaati konstitusi dan diberikan kewengangan-kewenangan ekstra yang lebih besar (daerah-daerah yang dengan otonomi khusus) dibanding daerah otonom- otonom biasa. Saya selalu sering bilang kalau yang lain, cuma dapat nasi goreng biasa, tidak pake telur, paha ayam, kalau desentralisasi asimetris itu nasi goreng istemewa, ada telur mata sapi, paha ayam, dengan kerupuk udang. masalahnya sudah diberikan keistmewaan, bisa tidak menjalankan keistemewan itu, kemudian ternyata juga ada masalah dalam implemetasi ini, terutama pada level lokalnya, keistemawaan Otsus itu apa ?, Diberikan kewenangan besar, kemudian uang lebih daripada daerah otonomi lain, diberi pemimpin sendiri yang menjalanakan kewenangan itu. Harusnya dia lebih baik tapi dibilang tidak berhasil, gagal, lemah, penyerapannya rendah. Dimana letak soalnya ? Apakah di level pusat lagi ? Kita cuma Bimwas, jadi sesudah itu kita Bimwas; mengawasi, evaluasi, membina, mengawas, monitoring, tapi yang menjalankan dia (daerah otonomi khusus), jadi kalau tanggung jawab itu dia kalau kurang berhasil misalnya . M Dari penelitian penulis, ada lima isu yang pada tahun itu muncul di 3 koran; Pemekaran Daerah, Pengaturan Pusat Daerah, Dinasti Politik, Korupsi Elit Lokal, dan Pilkada Gubernur. DD Itu yang saya bilang sebenarnya Otonomi itu apa ? Cuma ramainya ribut tentang Korupsi Kepala Daerah, Dinasti Politik, DOB, Relasi yang kurang bagus, Pilkada Gubernur, itu keluar dari makna Otda sebetulnya. Itu tercerminan dalam realitas media, konstruksi media. Otda ini harusnya yang rame adalah bagaimana pelayanan publik yang inovatif, koordinatif baik dalam pelayanan dasar; Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. pelayanan pendidikan seperti ini , pelayanan kesehatan seperti itu, pelayanan dalam bidang kebersihan kota, penanganan kemiskinan, prasarana, jalan jembatan yg dibangun dengan baik, tata kelola pemerintahan yang good governance. Namun itu tidak muncul, yang rame di media itu adalah sampah dari Otda, saya menyebutnya itu. Otda yang benar adalah daerah- daerah yang saling berkompetisi dan bersaing memajukan daerahnya dan mensejahterakan rakyat, saling terlihat berlomba-lomba untuk meningkatkan pelayanan publik, bagaimana partispasi masyarakat lebih tinggi di suatu tempat daripada tempat lain, bagaimana pertumbuhan ekonomi daerah tinggi, kemiskinan diturunkan. Itu seharusnya cerita otda yang baik. Bagaimana pengurusannya yang panjang dan berbelit-belit sekarang singkat, cepat, tidak bayar. Itu namanya Desentralisasi, itu baru dapat dikatakan berhasil. Tapi isu yang keluar bukan itu. Jadi bukanlah yang dimaknai otda sesungguhnya. Otda yang sejati adalah daerah yang diberikan pusat kewenangan- kewenangan, lancarlah urusan rakyat, pelayan publik, lancar urusan peningkatkan kesejahteraan rakyat, kemiskinan turun, urusan gampang, pendidikan makin meningkat dengan otda, dia kreatif, dia beri guru-guru tunjangan, pendidikan tambahan, pergi sekolah kemana-mana, hasilnya anak- anak naik sekali nem nya, tinggi-tinggi, ruang kelas bagus, semua dirapikan, jalan jembatan mulus licin, tidak ada jembatan rusak, sekolah yang ambruk. Itu mimpi kita dan tidak mucul di media M Apakah diatur, karena adanya isu-isu yang keluar di media, apakah ada regulasi tentang Dinasti Politik, Korupsi Elit Lokal, Pilkada ? DD Karena fakta itu otda ingin menata, perbaiki supaya jangan berkembang dinasti politik, yang sudah 61 tahun kepala daerah menerapkannya, pilkada langsung lewat gubernur. Kita akan tata kembali supaya jangan mahal ongkos pilkada nya, supaya jangan kemudian nanti kembalikan modal dan masuk penjara. Sudah 332 per hari ini bupati/waliokta dari 524 daerah otonomi, sekitar 60%, baik KPK, Polisi dan Jaksa, sejak 2005. Dinasti juga akan diatur. Pengaturan untuk dinasti politik, kita buat calon yang punya hubungan perkawinan dan darah ke bawah, ke atas dan ke samping tidak dapat mencalonkan diri kecuali setelah 5 tahun, cutting off seperti istri anak, contohnya di Bantul, Kediri, Sukabumi. Konstruksi realitas Otda yang muncul di media dan itulah yang dicerna oleh masyarakat dan menjadikan image bahwa Otda tidak pernah berakhir permasalahannya, pemekaran tidak berakhir, masalah pilkada dan itulah sampah otda bukan chorer otda, itu bukan otda sejati. Itukan tentang rekruitmen kepemimpinan dari pilkada. Kedua, terkait pembentukan daerah otonom. Intinya Otda, desentralisasi sebagian urusan pemerintahan diserahkan dibidang tertentu dan dia jalankan dengan inovasi dan kreativitas, rakyat jadi maju dan sejahtera. Itu belum terjadi, belum muncul, minor, sedikit sekali. Pendidikan dan kesehatan yang berhasil di suatu daerah, di majalah Tempo, tokoh terbaik, Bupati luar biasa, succes story, itulah Otda. Kompas, framenya pemekaran wilayah karena kepentingan elit lokal, diuntungkan dengan adanya pemekaran. Jurnas, satu dari koran yang partisipan, pemekaran wilayah dilakukan untuk mengadopsi tuntutan masyarakat lokal. Kompas lebih kritis, pemekaran karena elit lokal bermain, tidak aspirasi, aspirasi rakyat yang direkayasa oleh elit. Kalau KR Jogja, karena di Jogja tidak ada pemekaran, isunya yang keluar adalah mempercepat pembangunan di daerah, karena UU memperbolehkan, maka lebih pada aspek untuk bidang-bidang normatif, DOB yang benar adalah untuk kesejaheraan masyarakat. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Lampiran TRANSKRIP WAWANCARA Informan Drs. I Made Suwandi., PhD (Ketua Revisi UU Otda) M Menurut perspektif Bapak otonomi daerah itu bagaimana pak ? dan Apa itu otonomi daerah ? MS Begini ya, kalau saya lihat hal yang penting untuk Indonesia harus ada persamaan persepsi bahwa kita ini adalah negara kesatuan. Itu penting sekali karena saya lihat sekarang seolaholah kita masuk ke dalam suatu era otonomi yang sebenarnya kita persepsinya tidak sama dan ini bahaya sekali. Ada perbedaan yang prinsipil antara negara kesatuan dengan negara federal. Negara kesatuan kan pusatnya muncul dulu, pusat membentuk daerah. Kalau negara federal kan daerah muncul dulu, daerah membentuk pusat. Makanya konsep kekuasaan mengurus negara dulu kalau negara kesatuan kan kekuasaan mengurus negara ada di pemerintah pusat, kita bentuk daerah kita kasih kekuasaan kepada daerah tergantung elit yang berkuasa. Kalau elitnya sentralistis, sedikit kekuasaan yang dikasih ke daerah. Kalau elitnya demokratis dan reformis kayak sekarang, banyak sekali kekuasaan yang dikasih ke daerah. Tapi harus ingat, tanggung jawab akhir itu dimana. Itu yang paling penting. Kalau konsep kita ya, menafsirkannya konstitusinya gak ada penjelasannya. Tafsir pembuat UU. Ya, seluruh pasal gak ada penjelasannya. Kalau jaman dulu ada penjelasan, kalau sekarang kan sudah reformasi. Amandemen 1, 2, 3, 4 gak ada penjelasan. Jadi tergantung tafsir kita. Maka tanggung jawab akhir pemerintahan tetap saja ada di pemerintahan pusat melalui kekuasaan eksekutif melalui presiden. Jadi disinilah debat yang begitu panjang sekali, ketika era otonomi daerah di negara kesatuan, source of powernya itu dimana. Di pemerintah pusat ? Pemerintah pusat itu siapa sih ? Kalau kita bagi yang mengurus negara ini eksekutif, legislative dan yudikatif, maka kekuasaan eksekutif inilah cabang konstitusi, inilah yang diotonomikan. Tanggung jawab akhirnya siapa sih ? Pemerintah pusat. Melalui siapa ? Cabang konstitusi tadi, kasarnya ialah kekuasaan presiden. Tanggung jawab akhir ada di presiden. Samakan persepsi ini. Kalau persepsi ini berubah, akan lain lagi karena ada beberapa pakar mengatakan bahwa otonomi daerah itu dari konstitusi. Memang betul konstitusi harus otonomi. Karena kalau orang mengatakan bahwa source of power dari konstitusi, betul source of power dari konstitusi, bahwa kita mengadopsi desentralisasi betul. Tapi konstitusi menyerahkan kepada pembuat UU untuk menafsirkan lebih lanjut. Maka pembuat UU mengatakan bahwa kekuasaan presidenlah yang diotonomikan, tanggung jawab akhir ada di presiden. Jika tanggung jawab akhir ada di presiden, pertanyaannnya adalah bisakah presiden mengatur daerah? Kalau gak bisa, ya tanggung jawab akhir kan di presiden. Nah sekarang kan gini, kita otonomi negara kesatuan, kayaknya seolah-olah daerah itu ya inilah kewenangan kami, ga ada urusan dengan pusat. Nah ini kan jadi berotonomi negara kesatuan dengan nuansa federal. Kan begitu. Itu tafsir saya. Maka ini debat yang tidak ada habis-habisnya. Makanya saya sangat senang jika hal ini dibawa ke MK biar MK yang menafsirkan. Otonomi daerah negara kesatuan itu kayak apa sih ? Tafsir kami bahwa sumber kekuasaan itu adalah konstitusi tapi detail kekuasaan itu diserahkan kepada pembuat UU yang diatur dengan UU. UU yang kita buat mengatakan bahwa kekuasaan eksekutif inilah yang diotonomikan, tanggung jawab akhir ada di eksekutif. Karena tanggung jawab akhir ada di Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. eksekutif, maka eksekutif yang dalam hal ini adalah presiden dengan menteri-menterinya bisa ngatur daerah. Mungkinkah ? maka ada PP ngatur daerah, dikeluarkannya Permen ngatur daerah. Kalau dia tidak ada konsensus, apa haknya eksekutif ngatur-ngatur daerah. Coba kita lihat, tidak pernah presiden mengatur PP tentang DPR, MPR, DPD, MK. Apalagi Permennya atau PP. Karena PP pada akhirnya untuk lingkungan eksekutif saja. Maka mau gak mau dia akan masuk ke rezim eksekutif. Kalau gak, apa haknya mengatur sama dengan PP. Disinilah saya lihat ambivalensi berpikir. Di satu sisi katakan dari socionya di konstitusi tapi dibiarkan daerah ngatur-ngatur. Presiden ngatur-ngatur selama ini dengan PP, Permen, Kepres dan segala macam. Konsistensi, kalau mau tegas, kita datang umpamanya ke negara maju, gak ada itu PP ngatur-ngatur, gak ada UU local government, itu seperti di Inggris dan Jepang. Ada UU Pilkada, ya udah itu saja patokannya. Gak ada lagi diatur dengan PP, Permen, Kepres, gak ada lagi urusan. Nah pertanyaannya kenapa di negara orang kok gak ada yang diatur. Kenapa di kita negara kesatuan kok banyak yang diatur, negara orang kok gak banyak yang diatur. Tafsir kita adalah kalau di negara maju, ketika civil servant terbentuk, maka rakyat dengan kearifan lokalnya bisa mengawasi pemdanya. Kalau di Inggris mekanisme check and balance tingkat lokalnya harus terjadi. Di Jepang mekanisme check and balancenya terjadi. Kalau di Indonesia belum terjadi. Ketika check and balance di tingkat lokal tidak terjadi, tanggung jawab akhir di presiden, pertanyaannya presiden akan mengatur atau dibiarkan saja. Saya pernah ke jepang, saya tanya korupsi disini banyak gak ? Gak. Yang ngontrol siapa ? Rakyat kami. Republik bagus gak ? Bagus. Yang ngontrol siapa ? Rakyat kami. Nah ketika kata rakyat kami bisa mengontrol pemerintahnya, buat apa juga orang pusat jauh-jauh ngontrol. Tapi ketika mekanisme itu tidak terjadi di Indonesia, pertanyaannya apa dibiarkan saja. Disinilah beda cara kita melihat otonomi di negara Indonesia dan negara-negara lain bahkan di negara kesatuan sekalipun, terlebih-lebih di negara maju. Dari segi substansi otonomi, substansi otonomi Indonesia sangat berbeda dengan substansi otonomi negara lain. Di negara lain, substansi otonomi negara lain lebih banyak pada pelayanan dasar saja, mulai dari kesehatan, sampah, got, yang kecil-kecil lah pelayanan dasar. Disana local government is government in the local level during local affairs. Di Indonesia local government coba lihat semua dikerjakan. Anda bisa bayangkan kalau dari konstitusi dia dapat power, maka kalau daerah dapat urusan ngurus hutan gak ada hak presiden melalui menteri kehutanan mengatur-ngatur daerah. Source of power saya dari konstitusi, apa haknya presiden mengatur-ngatur saya. Sama dengan tidak adanya hak presiden untuk ngatur-ngatur DPR, MPR dan DPD. Source of power datang dari konstitusi. Nah itulah tafsir kami, konstitusi Indonesia lain sekali, mekanisme check and balances di tingkat lokal belum terjadi. Kedua, nature substansi otonominya beda sekali dengan negara lain. Itu yang membedakan otonomi Indonesia dengan negara lain. Ada orang gak setuju silahkan saja. Debat saja di MK. Ini masalah mazhab berpikir. Makanya kenapa kemudian sekarang DPRD dipindahin dari MD3 ke UU pemerintahan daerah. Karena rezimnya rezim pemerintahan daerah, bukan di MD3 yang mengatur MPR, DPR, DPD dan DPRD. Ketika disana ditaruh koordinat negara, si DPRD ini pejabat apa. Makanya kemudian disepakati di MD3 keluarlah DPRD, masuk ke UU pemda karena rezimnya rezim pemerintahan daerah. Jadi otonomi Indonesia memang berbeda sekali dengan otonomi negara lain baik dari segi substansi maupun hubungan pusat dan daerahnya. M Apa bedanya pak dengan revisi ini, yang lama dengan yang direvisi ? Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. MS Nah revisi ini dulu-dulu kan masalah-masalah gini gak pernah dibicarakan. Taken for granted, orang tidak mengerti walaupun ngertinya samar-samar. Tidak ada kesamaan berpikir. Nah sekarang di UU ini dijelaskanlah, pertama : kekuasaan pemerintah pusat yang diotonomikan yang dibawa oleh presiden, presiden mengangkat menteri sebagai koordinator, maka otonomi yang dilaksanakan menjadi tanggung jawab akhir presiden. Dengan demikian presiden bisa mengatur, melakukan pembinaan dan pengawasan di daerah. Itu dari pasal awal disebutkan, posisi ini disebutkan dari pasal awal. Kalau di UU 32/2004 gak ada karena udah daerah otonom ngertilah, walaupun ngertinya lain-lain. Sekarang ini kita cerdas sekali ngatur, sehingga jelas sekali bahwa pusat dengan daerah itu hirarki. Dalam konteks negara kesatuan tidak ada daerah yang mungkin setara. Bagaimana dia setara kalau dia dibentuk dan bisa dihapus. Itulah mengapa penting sekali hubungan pusat dan daerah yang selama ini teken for guaranted seolah-olah dianggap mengerti padahal tidak mengerti. Menyamakan persepsi ini penting sekali. Bagaimana mengekstrak pasal-pasal dalam konstitusi itu dalam konteks negara kesatuan. Kalau dulu gak pernah ada orang mikirin yang gini-gini. Sekarang jelas sekali siapa daerah siapa pusat, apa hak pusat dan apa hak daerah, apa kewajiban pusat dan apa kewajiban daerah. Maka tidak ada lagi daerah yang suka-suka. M Mengenai UU yang saling tumpang tindih itu bagaimana pak akhirnya ? MS Kenapa tumpang tindih ?, Karena selama ini pembagian kewenangan itu diatur oleh PP menurut versi UU Otda. Padahal versi UU sektor, lain lagi nantinya. Nah itu yang dikatakan tumpang tindih. Maka sekarang yang perlu kita buat adalah PP 38 dinaikkan pangkatnya dalam lampiran UU. Pembagian urusan di UU. Di UU itu substansinya datang dari kementerian itu sendiri. Ketika mereka mau membuat UU baru, ada UU otonomi yang sudah mengatur. Nah itu mencegah tumpang tindih. M Ada beberapa isu yang menarik di media yang saya teliti yang perlu saya tanyakan, pertama pemekaran daerah, kemudian otonomi khusus DIY karena penelitian saya salah satunya adalah DIY kemudian dinasti politik, korupsi elit lokal, keuangan daerah tentang DAU, DAK dan dana istimewa, dan pilkada karena penelitian saya dari tahun 2012 sampai tahun 2013. Pilkadanya waktu itu yang masih ramai adalah tentang pilkada gubernur pak. Kalau menurut bapak bagaimana mengenai isu pemekaran? MS Disini kita melihat bahwa nuansa kepentingan politiknya lebih kuat daripada kepentingan teknisnya sehingga banyaknya pemekaran yang gagal karena kepentingan politik yang lebih dikedepankan daripada kapasitas atau kemampuan daerah untuk berkembang. Jadi sebenarnya dia tidak mampu untuk jadi daerah otonom baru tapi dipaksakan. Sekarang kalau kita lihat, kalau ada daerah otonom yang baru, yang rugi siapa ?, Mereka yang rugi. Pertanyaan berikutnya ini, kalau secara teknis objektif dia mampu untuk mekar, kenapa tidak. Kenyataannya membuktikan hasil evaluasi hampir 70% keok. Artinya bahwa selain dia tidak layak mekar, tapi karena tekanan politik dia dimekarkan. Dengan adanya UU baru sekarang dibuat secara bergiliran, maka diatur di UU secara digit, tidak di PP karena PP itu kan ranahnya eksekutif berdasarkan UU. Sebelum membentuk daerah pemekaran, nanti tim independen yang presentasi mengenai layak atau tidaknya daerah yang bersangkutan untuk dimekarkan. Kalau layak, baru masuk menuju daerah persiapan 3 tahun, dibinalah selama 3 tahun oleh pemerintah pusat, dibantu oleh daerah induk dan diawasi oleh pusat dan DPR. Setelah 3 tahun, kemudian dievaluasi oleh tim independen tadi, apakah Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. memenuhi syarat atau tidak, apakah bisa berkembang atau tidak. Kalau yang sudah terlanjur, yang sekarang gak jadi, berarti yang baru UU nya. Dengan demikian pasti yang akan lolos itu benar-benar daerah mampu, bukan kayak sekarang asal ok saja. Kemudian terkait dengan persoalan kedua mengenai otonomi khusus DIY, sebenarnya saya kurang memahami tapi minimal begini, isu krusialnya kan bahwa sultan disana merangkap sebagai gubernur juga dan itu kan ada sejarahnya. Dulu kan DIY ibaratnya mau menjadi negara merdeka, tapi Sri Sultan ke-9 waktu itu berikrar akan ikut NKRI. Karena dia ikut NKRI, maka diberilah reward yaitu siapapun yang menjadi Sri Sultan nanti akan menjadi gubernur juga. Tapi kemudian sekarang kan digugat pasalnya, ketika ini negara demokrasi apa tetap dipertahankan seperti itu. Nah itu menjadi hal yang kemudian diributkan. Akhirnya ya tetap saja gubernur adalah Sri Sultan juga. Ke depan persoalan yang mungkin diributkan adalah sultan kalau anaknya perempuan, gimana itu. Tentu saja itu akan menjadi konflik internal kesultanan juga. Persoalan berikutnya lagi adalah dana keistimewaan, kalau semua dikasih dana otsus, tentu saja Yogya dapat untuk menjaga keistimewaannya itu. Nah, dana keistimewaan itu sudah diatur dalam UU. M Kalau untuk pengaturan asimetris lainnya bagaimana pak ? MS Di dalam UU 32/2004 hampir sama saja, dengan konsep yang sekarang semuanya asimetris. Kalau ke depan nanti dengan UU yang baru direvisi ini sebenarnya hakikatnya asimetris. Kenapa ? Coba kita lihat, sebenarnya pemda tujuannya apa sih ? Ya tentunya pengelolaan program rakyat. Rakyat makmur di perkotaan kan beda dengan rakyat makmur di pedesaan. Berarti urusan yang dikerjakan kan berbeda, walaupun urusannya generik sama terhadap satu urusan tapi yang dititikberatkan atau diprioritaskan kan berbeda-beda. Apa itu bukan asimetris ? Dari segi urusannya saja asimetris. Dari sisi kelembagaannya, kalau Jakarta besok gak ada dinas kehutanan maupun dinas pertanian. Tapi di Jawa Barat ada kehutanan dan pertanian. Berarti Jawa Barat dengan DKI Jakarta kan asimetris. Dari segi personalia, kalau disana butuh ahli kehutanan, disini gak butuh, asimetris juga persoalannya. Maka anggarannya pun harus asimetris karena alokasi anggarannya pun berbeda-beda. Binwasnya asimetris juga. Supaya efisien, orang mengerjakan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Kebutuhan rakyat kan beda-beda. Sama dengan menu warung padang, disajikan 31 jenis makanan, berwenangkah daerah makan ? Berwenang. Tapi harus dimakan semua gak ? Ya tentu tidak, sesuai dengan selera masing-masing. Kesana sebenarnya arahnya, yang saya katakan asimetris dari segi substansi. Sekarang kan orang memahami asimetris dari segi casing, sehingga tidak menghiraukan lagi sisi kemakmuran rakyat. Padahal hakekat pemda mau asimetris atau tidak, mau otsus atau tidak, tujuannya tetap yaitu untuk memakmurkan rakyat. Itu yang tidak terjadi selama ini. Sibuk orang memperebutkan casingnya itu, formatnya saja tanpa ke substansi. Karena di UU yang sekarang ini ke substansi arahnya. Artinya begini, misalkan ada salah satu urusan asimetris, maka pusat mempunyai kewenangan memetakan urusan dari pemerintah daerah. Contoh, kementerian pariwisata akan memetakan dari 34 provinsi siapa yang akan memegang bidang pariwisata? Sepuluh. Berarti hanya 10 itu yang boleh membuat dinas pariwisata. Di luar itu tidak boleh. Misalkan lagi, kementerian pariwisata tadi dimana hanya 10 provinsi saja yang boleh membuat dinas pariwisata, maka dari 509 kab/kota hanya 100 resource saja yang boleh membuat dinas pariwisata. Maka nanti kementerian pariwisata punya stakeholder utama, 10 yang ada di provinsi dan 100 yang ada di kabupaten/kota. Mereka yang musrenbang untuk mencapai target nasional. 15 juta turis, harus jelas pusat Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. mengerjakan apa untuk mencapai angka tersebut, provinsi mencapai apa, kab/kota mencapai apa. Dengan demikian target nasional dapat tercapai. Kalau hari ini tidak akan pernah target nasional akan tercapai karena dari visi misi saja beda, gubernur ke timur, walikota ke utara. Itu yang menyebabkan tidak bisa. Kalau dulu jaman pak Harto bisa karena ada enginenya atau mesinnya. Mesinnya itu adalah inpresnya. Sekarang inpres hilang, jadi ya suka-suka orang. M Tapi misalnya begini pak, ada daerah misalnya seperti Raja Ampat, tahu-tahu karena dia punya potensi daerah yang bagus, kemudian pariwisatanya muncul. Itu bagaimana pak ? MS Ya makanya kementerian pariwisata harus melakukan mapping yang benar, siapa yang unggulan benar-benar pariwisatanya dari kab/kota. Raja Ampat oke. Kemudian berkumpulah mereka untuk melakukan musrenbang. Raja Ampat mengatakan saya tidak ada lapangan udara. Nanti DAK datang dari pusat untuk mensinergikan hubungan pusat dan daerah secara fokus sesuai dengan karakter daerah. M Kalau isu tentang dinasti politik bagaimana menurut bapak ? MS Dinasti politik gak salah, tetapi ketika dinasti politik itu memanfaatkan fasilitas, mengarahkan resources lokal untuk mendukungnya, maka itu yang salah. Makanya di UU pilkada yang baru diberikan tenggang waktu 5 tahun baru boleh memilih lagi. Kalau di negara maju dinasti politik itu tidak masalah. George Bush misalnya. Tapi persoalannya kan di Indonesia, dinasti itu digunakan untuk mengarahkan resources lokal untuk memenangkan dan mendukungnya. Itu yang salah sebenarnya. M Kalau tentang permasalahan korupsi elit lokal, itu bagaimana pak ? MS Jadi kalau berbicara mengenai korupsi elit lokal, nanti ke depannya semua sistemnya akan kita kunci. Sekarang banyak yang kayak gini, urusan dikerjakan secara suka-suka. Kalau daerah di Kota Bogor misalnya yang merupakan daerah perkotaan membuat daerah pertanian, apa yang terjadi? Dia akan buat dinas pertanian sementara gak ada petani dan gak ada sawah. Maka ada alasan untuk meminta formasi pegawai, ada alasan untuk menjual formasi ini kepada customer. Ketika itu kan dia bisa korupsi pegawai, jatah pegawai dijual misalnya. Tapi nanti ke depan kan tidak bisa seperti itu lagi. Sekarang masih bisa, kenapa? Karena tidak ada rasio pegawai, semua bilang kurang. Setelah kurang, dibayarlah dengan DAU. Itulah yang membuat ada orang korup. Terkait keuangan, sekarang boleh ada bansos. Tapi ke depan tidak boleh lagi ada bansos, kecuali dana dasar sudah selesai baru boleh ada bansos. Kemudian terkait pelayanan publik, ke depan pelayanan publik akan dibatasi, harus jelas biayanya berapa. Kalau gak, maka kena hukum atau sanksi. Kalau terkait dengan jabatan, ke depan akan diberlakukan fit and proper test. Dengan demikian nantinya diharapkan akan memperkecil peluang munculnya korupsi di kalangan elit lokal. M Kalau terkait isu lain mengenai pilkada, kalau saat itu kan wacananya adalah pilkada gubernur karena kab/kota kan akan secara langsung, apakah dipilih ataukah ditetapkan. Kalau menurut bapak sebaiknya bagaimana? MS Jadi begini, kalau kita kembali pada esensi dari pemerintahan daerah yaitu untuk memakmurkan rakyat maka kata kuncinya disini adalah pelayanan publik. Otak pintar Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. melalui pelayanan pendidikan. Orang yang sehat, melalui pelayanan kesehatan. Itulah pelayanan publik yang diharapkan. Sekarang kalau kita bagi pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Pelayanan publik yang paling banyak ditangani berada di kab/kota. Berarti intensitas hubungan rakyat dengan pemdanya tinggi sekali. Kalau intensitasnya tinggi berarti akuntabilitasnya juga tinggi. Kalau akuntabilitasnya tinggi berarti dipilih langsung. Itulah esensinya. Provinsi sedikit sekali pelayanan publik yang diberikan. Saya mengajar di UI, saya tanya mahasiswa yang tinggal di Depok untuk menyebutkan 5 jenis pelayanan publik yang diberikan oleh Pemda Jawa Barat. Kemudian dijawablah, pertama jalan BogorDepok, kedua sungai tempat buang sampah, ketiga dan seterusnya tidak tahu. Artinya, Gubernur Jawa Barat jarang sekali ke Depok dan rakyat Depok pun jarang sekali berhubungan dengan Gubernur Jawa Barat. Berarti intensitasnya gak tinggi. Itu berarti juga akuntabilitasnya gak tinggi. Kalau akuntabilitasnya tidak tinggi, untuk apa dipilih langsung. M Menurut bapak apakah ada perbedaan pertanyaan antara wartawan lokal dengan wartawan nasional terkait isu otda ? MS Kalau menurut saya, isu itu menjadi isu yang seksi saja untuk wartawan. Karena tujuannya kan bisnis, mereka kepentingannya adalah bisnis. Coba kita lihat sekarang antara UU Pemda dengan UU Pilkada. Yang memabukkan rakyat kan UU Pemda, bukan UU Pilkada. Tapi tiap hari dari ujung ke ujung beritanya tentang pilkada semua. Di UU Pemda menurut saya yang menarik cuma satu yaitu kepala daerah dilarang merangkap sebagai ketua umum partai. Di media itu cuma 2 aja sebenarnya yang diributkan yaitu pilkada dan DOOB. Berita tentang pelayanan publik tidak menarik bagi media. Jadi media itu hanya memikirkan bisnis, ramainya itu yang dicari. Menurut saya mungkin itu politisasi politik, tapi kemudian sangat berat kesana semua. Makanya isu otda dikorupsi oleh 2 hal lagi yaitu pilkada dan DOOB. Jadi kalau ada isu pilkada ribut, beritanya cepat sekali muncul. Tapi kalau berita tentang pendidikan bagus, kesehatan bagus dan baik untuk dijadikan best practice, itu tidak ada dimunculkan. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Lampiran TRANSKRIP WAWANCARA Informan: Prof Purwo Santoso PhD (Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM) M Menurut Pak Purwo sebenarnya apakah isu otonomi daerah itu, kalau dalam perspektifnya Pak Purwo, dimaknai sebagai apa ? PS Otonomi daerah itu adalah corak atau gaya berpemerintahan. Gaya berpemerintahan dimana andalan pemerintahan itu adalah ujung-ujung tombakanya, andalannya itu adalah orang-orang yang ada di lapangan. Jadi yang penting itu adalah ada baris depan ada baris belakang, nah berbeda dengan pemerintahan yang sentralistis yang semuanya serba diatur dari pusat, dari porosnya, itu justru harus mengandalkan kaki tangan yang cerdas, ujung-ujung yang cerdas, sehingga berotonomi itu sama dengan menjamin kecerdasan itu ada gunanya untuk berpemerintahan. Sehingga bagi Saya yang penting itu bukan besar, dan besarnya kewenangan tetapi kecerdasan dan pengguna kecerdasannya, yang kedua otonomi itu harus dibingkai dengan nasionalisme bukan Jakartaisme, di sini ada dalam wacana yang sudah ada itu ada kekaburan. Maksud Saya kalau pemerintahan berbasis kekuatan kecerdasan daerah, maka jaminan kekuasaan itu memang ada, tetapi yang bekerja di daerah adalah agen-agen nasional. Pembawa misi nasional sehigga daerah bukan taklukannya pusat, daerah itu justru mahkotanya pusat. Nah, untuk bisa menyelenggarakan atau mengoptimalkan khasiat otonomi daerah itu, memang teori yang sudah ada yang diatur oleh Kementerian Dalam Negeri itu teori yang ketinggalan zaman, dan kalau itu diteruskan itu sama dengan bunuh diri sistemik. Kendali birokrasi top poros pemerintahan itu memang tidak bisa meninggalkan birokrasi tapi cara birokrasi bekerja adalah cara kerja yang cerdas bukan cara patuh. Disitu lah ada kealfaan untuk melakukan rethinking dan dalam kealfaan itu Kementerian Dalam Negeri menurut Saya sudah marginalize dan dalam marginalize, posisi marginalize dia hanya ngomel saja. Dia tidak sanggup menjalankan peran baru dengan konteks baru itu. Ibaratnya orang yang punya lapangan itu, nah lapangan itu bagi orang lain, kemudian dia ngomel-ngomel, kalau cuma itu sampah itu sebenarnya adalah cermin dari kegagalan untuk melakukan refleksi dan reposisi ketika amanat UUD itu adalah otonomi luas. M Tapi amanat UUD yang pasal 18 itu kan, bahwa pemerintah itu kemudian membuat daerah-daerah itu PS Di sana dicari pada kata seluas-luasnya atau ada kata luas disana, tetapi memang negara kesatuan, nah luas dengan negara kesatuan ini belum pernah didamaikan dalam pemikirannya. Karena negara kesatuan juga tumbuh dengan pemerintah pusat yang menguasai segalanya, ini ada rantai pemikiran yang loncat dan tulisan-tulisan Saya tentang otonomi daerah kebanyakan disitu atau dalam rangka untuk men-judge kedudukan, kalau ditulisan Saya tentang dis-efisiensi, tentang apa itu, Saya sebenarnya hanya ingin mengkritik itu. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M PS Cuma kalau, selama ini kan, sepertinya, ada mungkin teman-teman yang di daerah itu merasa bahwa otonominya ini kurang, sedangkan yang di pusat merasa bahwa ini kebablasan Nah disanalah tadi, makanya tadi saya katakan ada kata Kementerian Dalam Negeri, itu tidak bisa melakukan reposisi, urutan berfikirnya kayak begini, orde baru itu bisa sukses kan karena kecerdasannya. Orang kampus yang kemudian menjadi pemikir di LEMHANAS, di BAPPENAS, inikan simpul sentralisasi-kan kecerdasan, nah dimensi itu yang tidak pernah ditangkap oleh orang Jakarta, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, dan dia itu sebenarnya gini, ini tak tulis di desertasi Saya di LSE London, yang dijadikan andalan kemarin itu tiga. Militer, yang kedua teknokrat, kemudian birokrat, orang kampus yang jadi sekrup itu, yang ketiga di birokrasi, birokrasi memang diperlakukan sebagai robot. Nah ketika tadi, di disiplinkan untuk patuh tadi kan, nah ketika era desentralisasi berlangsung, itu harusnya mesin pemikir itu ditransfer, dikembangkan, yang ada adalah delegasi kewenangan, tetapi bukan kecerdasan menggunakan kewenangan. Nah disitu lah missing link, sehingga kemudian otonomin daerah itu menjadi ancaman, karena mesin kecerdasan untuk bisa memperalat daerah supaya dia jadi agen nasional itu gak ada. Bentuk konkritnya itu gini, ini definisi operasional tentang otonomi daerah itu kan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, itu benar menurut teori birokrasi, karena strategi dasar birokrasi untuk mengatasi masalah yang rumit itu memotong-motong persoalan. Dipotong secara sepasial, dalam hal ini dan oleh karena itu, delegasinya itu ya masing-masing itu kamu hanya mengatur mengurus rumah tanggamu sendiri, nah kalau dibaca dari Jakarta, sebenarnya mengatur dan mengurus rumah tanggganya sendiri-sendiri. itu bahasa sopan dari devide et empera yang menjadi nalar dasar birokrasi ketika melakukan penguasaan. Jadi cara menguasai Indonesia dalah devide et empera dan bahasanya sangat sopan dan banyak orang yang tidak sensitif, maka mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri Anda harus egois, Anda tidak mau tahu urusan tetangga Anda, maka kerja sama antar daerah menjadi sangat sulit. Karena sudah di disiplinkan untuk berkacamata kuda, otak dalam tempurung. M Itu kemudian apakah tercermin misalnya ketika Gubernur Jokowi mau ngurusin sesuatu, kemudian ada yang bilang itu urusan Gubernur Jawa Barat atau Walikota Depok. PS Itu karena kita masih mewarisi mindset lama bahwa pusat itu sama dengan nasional. M Tapi itu menjadi chaos kalau saling tumpang tindih ? PS Kamu masih di disiplinkan berkaca yang lama. Ini bayangkan ada sekian banyak pegang internet, apakah kemudian semua orang perang dimana-mana, self governance itu dalam logika birokrasi itu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, nah kalau kamu belajar teori jejaring dalam teori komunikasi, sekarang gini, pasar Bringharjo itu apa bukan egois, para pelakunya, ada kelompok orang yang mau harga semahal-mahalnya, ada kelompok orang, kategori orang mau harga semurah-murahnya, ada kegaduhan, tapi kegaduhan itulah yang menyelesaikan masalah, nah menyelesaikan masalah dengan membiarkan kegaduhan itulah tidak pernah bisa diterima oleh pusat, ketika kita mau melihat proses desentralisasi itu ada cacat besar, cacat fatal, cacat fatal Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. ini kecerdasan yang ada di pusat ini tidak ditransfrom ke daerah, karena apa transformasi kewenangan ke daerah itu menjadi ancaman, itulah makanya otonomi daerah menjadi ancaman, kalau kamu cermati dari wacana di koran, otonomi daerah itu adalah lawan NKRI. Tapi, sekali lagi jembatan logikanya adalah ada campur aduk antara eksponen pusat dengan klaim nasional, disitulah kemanjaan birokrasi ingin dipertahankan, Saya faham kalau mereka mau bertahan, tetapi, karena tadi, justru mesin lama, mesin baru dikeluarkan digelar dengan cara lama, jadi khasiat otonom jadi sia-sia dan yang menjadikan ini chaos adalah karena pengendalinya tidak bekerja dengan hebat. M Pada sisi lain misalnya kegaduhan Papua minta merdeka, bagaimana Pak ? PS Lha kalau orang tidak berfikir, maka seluruh ngurusi masalah itu pelik, Apa yang dilakukan untuk Papua, seberapa serius orang Jakarta itu, selain membagi duit untuk Papua, kalau dia menyederhanakan masalah Papua dengan ngasih duit, itulah membuat Papua minta merdeka, karena dia menyederhanakan masalah Papua adalah masalah orang minta duit, makanya orang Papua tetap protes, minta dikasih hati, memerintah dengan hati bukan memerintah dengan senapan apalagi dengan duit, itu point Saya. Visi desentaralisasi itu menurut Saya hanya diambil sisi enaknya, sisi tidak enaknya adalah harus berfikir agak keras dan kalau kita kembalikan itu setara dengan ajaran kepemimpinnnya Ki Hajar Dewantoro, desentralisasi itu adalah tutwuri handayani, sehingga oke kalau derah ada maunya ke sana, bingkainya adalah ini. Karena musuh kita ke sana dan kemudian melakukan ini kekurangnya ini bingkainya, nah ini tatanannya sudah desentalisasikan tapi yang terjadikan ingarso sung tulodo, akulah pusat yang paling tahu, akulah Indonesia, awas kalau gak ikut saya, lha kan kemudian sama dengan otonomi itu gak menjadi kaidah gak menjadi spirit M Tapi kok kayaknya di daerah tetap ada itu, orang-orang hebat yang kemudian muncul, kemudian bisa menata daerahnya dengan baik. PS Itukan kecelakaan karena di luar skenario, itu adalah karena kehendak alam karena daya dahsyatnya, yang melekat pada logika detralisasi itu. Ketika daerah dikasih kesempatan untuk unjuk gigi untuk berperan maka orang-orang hebatkan bermunculan dari bawah, justru itulah yang harus ditanamkan dari awal bahwa desentralisasi itu adalah Jakarta menjadi milik Indonesia milik daerah-daerah, itulah yang kemudian yang menjadikan Jakarta itu sangat serius dengan anti federalisme. M Tapi kebanyakan federalisme itu kan karena kita punya trauma dulu dan tentara selalu akan anti federalisme PS Menurut Saya itu hanya dalih saja, inti dari federalisme itu adalah negara-negara bagian membikin influence bersama untuk menghadapi kekuatan luar. Tetapi karena kita tadi ingin berkuasa ke dalam jadi kita tidak punya visi ke luar, visi ke luar itu yang hilang pada saat ada globalisasi. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Menurut Pak Purwo seberapa besar sih media itu mempunyai peran penting dalam mengusung isu otomoni daerah ? PS Saya gak punya ekspert di bidang itu, orang-orang media apalagi adalah media harian, tidak ada kesempatan refleksi. Yang kedua ketika ada proses mendesentralisasikan pemerintahan itu kan harusnya ada proses mengingrim pesan-pesan desentrasi apa, dan apa implikasinya itu. Itukan berarti perlu wartawan dengan skill khusus, dengan pembekalan khusus, supaya tidak melakukan bingkai asal-asallan. Saya tidak pernah mendengar ada strategi media untuk menopang desentralisasi. M Selama ini kan sering menjadi nara sumber atau ada beberapa pertanyaan-pertanyaan, ada perbedaan nggak antara wartawan pusat dengan wartawan daerah ? PS Wartawan daerah itu nggak ada yang, nggak ada yang ngomong hubungan pusat daerah, kecuali untuk event-event tertentu misalnya kerena keistimewaan, atau apa. Kebanyakan wartawan daerah sudah berhasil didisiplinkan dengan cara orde baru, bahwa orang daerah mikir daerah sendiri. M Karena tadi kan salah satu permasalahan adalah bagaimana membuat isu itu menjadikan orang aware dengan isue itu tersebut PS Begini, wartawan itu kan hanya mencatat apa yang dikatakan nara sumber, dan nara sumber-sumber yang ada itu menurut Saya masih terdisiplinkan dengan cara berfikir orde baru, sehingga pencerahan-pencerahan itu sangat minim. Kesan Saya begitu, jadi cara berfikirnya dengan banyak kasus yang saya lihat media itu ya mengamini diskursus lama. Karena reproduksi melalui framing itu saya tidak lihat sebagai suatu yang disengaja atau dikondisikan sejak awal. M Kalau selama ini, isu-isu yang sering ditanyak kepada Pak Purwo apakah memang tematik atau bagaimana ? PS Sangat jarang M Mendalami suatu isu misalnya ? PS Sekali-sekali Saya diundang oleh Tempo untuk diskusi, dan diskusi itu juga sering kali juga hanya untuk pengkayaan mereka, tidak, kadang-kadang, pernah bikin diskusi di UGM terus makalah Saya muncul dalam artikel, atau mislanya kesediaan Kompas untuk mengambil ide dari kampus dan karena memang skemanya kerjasama ya sudah. Bagi Saya, ide Saya sudah dikomunikasikan its ok. Karena memang dia menyaring sekian banyak makalah jadi satu dan Saya merasa sebagian besar itu dari saya, tapi kesan Saya memang pemikiran desentralisasi di Indonesia juga nggak dikritsi-kritisi amat oleh media, media nggak terlalu reflektif, tapi sebagian para akademisi itu juga banyak yang tidak reflektif. Karena masih terjebak di dalam nomenklatur yuridis, yang nomenklatur yuridis tadi masih menyisakan distorsi wacana, frame-nya itu masih frame lama Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. M Kalau mengacu pada kebanyakan. Juga mengacu juga kepada UU otda ?. PS Nah UU nya masih menyimpan, persepsi lama dan prespsi lama itu incompetable kalau kita renungkan dengan filosofi otonomi itu, nah lagi-lagi teorisasi tentang negara kesatuan dengan otonomi luas itu yang belum terdamaikan dan Saya masih ingin menulis terus menerus mengulas itu, hanya untuk mengatakan bahwa kalau refleksikan disitu masalah sentral. M Menurut Pak Pur sendiri isu pemekaran daerah itu bagaimana ? PS Kita harus ingat bahwa Indonesian itu dibentuk dari raja-raja kecil itu, bahan dasar pembentukan Indonesia adalah raja-raja kecil. M Itu bukannya sudah selesai waktu sumpah pemuda ? PS Selesai di atas kertas dalam pidato pejabat dalam event yang namanya sumpah pemuda, dalam naskah yang namanya UUD, tetapi memori kolektif bangsa Indonesia itu belum terhapus, memori kolektif kita berbangsa, itu masih begitu. Memori kolekfif karena komunikasi biasa menggunakan bahasa komunikasi memori kolektif nah ketika memori kolektif dianggap tidak ada yang ada adalah upacara sumpah pemuda, upacara yang tadi simbol-simbol itu, simbol-simbol itu sebenarnya kan belum lebur betul dengan mindset pola berfikir itu. Nah point Saya justru karena kita mewarisi raja-raja kecil itulah maka justru raja kecil itulah yang harus dikasih mimpi besar dan kemudian pengikat dari Indonesia yang bersatu, itulah mimpi yang besar itu, bukan kantornya Mendagri, bukan tanda tangan Mendagri. M Tapi kan itu kalau gak salah ada blue print bahwa ada beberapa ya? 50 provinsi yang akan dibentuk PS Apa blue print mampu menjangkau memori kolektif bangsa Indonesia? blue print itukan produksi elit, termasuk Saya pun ikut didalmnya. Blue print hanya berguna untuk menaruh garis terluar, tetapi dia tidak merasuk menjadi zat yang menjadi. Blue print itu seperti gelas ini, yang mewadahi air, tapi blue print itu tidak sama dengan air di dalam gelas ini yang diminum bukan gelasnya tapi air yang ada di dalamnya. M Jadi kalau begitu pemekaran daerah itu sebaiknya gimana, karena sekarang ini misalnya, Depadagri melakukan moratorium ? PS Saya baru ngomong tadi, bahwa Indonesia sebagai nation in the making yang belum selesai. Premis ini dianggap selesai oleh semua orang, hampir semua orang, tulisan saya terlalu jelas mengatakan bahwa Indonesia ini nation in the making, nah premisnya itu M Bukannya Negara, Amerika juga belum selesai juga kan ? PS Iya, tetapi justru proses in the making itulah yang harus menjadi ingatan kita ketika kita melakukan apapun, sehingga jangan bikin yang normatif itu adalah realitanya, yang Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. kedua, daerah itu tadi, dibiasakan untuk egois, yang mendisiplinkan egoisme daerah itu adalah pusat sendiri mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Yang ketiga, sambil didisiplinkan itu, proses pembangunan ekonomi, itu selalu dari pusat, logikanya adalah logika efisensi, logikanya adalah ketersediaan infrastruktur itu lah yang menjadi penentu kemajuan. Padahal invenstor selalu mau investasi kalau sudah ada infrastukturnya. Pemajuan ekonomi Indonesia itu masih mengikuti teori kutub-kutub pertumbuhan. Tata wilayah, perencanaan wilayah itu masih mengikuti itu, itu artinya ada daerah yang terstruktur untuk termarjinalkan terus menerus apapun sistem pemerintahannya. M Maka kemudian itulah efek pemekaran ? PS Iya, tapi pemekaran itukan konsekuensi dari kegagalan pemerintah melakukan redistribusi. Jadi ada struktur peluang yang melekat di dalam logika pemekaran bahwa pemekaran itu adalah ijin mendirikan pemda. Urutan esensinya kan begitu, nah kalau surat ijin, bedanya dengan IMB itukan kalau kita bangun rumah bangun dengan uang sendiri bedanya adalah kalau mendirikan pemda, sekali ada UU tentang pemda baru, dia mendapatkan kebutuhan operasional minimal. Orang-orang yang tadinya kleleran itu tadi bisa menjadi kepala dinas sekian banyak pengaguran itu jadi PNS, nah banyak daerah yang tidak terjangkau oleh kemajuan ekonomi itu kemudian menggunakan instrumen fiskal negara untuk mendapatkan share terhadap negara ini. Di PNS, nah dari segi teori desentralisasi-kan juga ada asumsi yang ceroboh kalau fiskal ada transfer fiskal dari pusat ke daerah, daerah akan maju. Nggak, daerah kemudian tingkat konsumsinya meningkat dan ada daerah-daerah yang infrastrukturnya belum maju, itu ya memang mengandalakan transfer fiskal itu, dengan cara itulah kemudian mereka merasa menjadi bagian dari Indonesia, maka kemudian cara untuk menjadikan mereka Indonesia adalah ya sudah ngikuti adminstrasi Indonesia, bikin pemda-pemda baru bahwa itu tidak efisien menurut Jakarta, ya urusan kamu, nah point Saya adalah ada proses redistribusi melalui pembentukan pemerintahan daerah baru dan redistribusi itu memang di luar jargon resmi, diluar skenario resmi pemerintah, tapi itu dirayakan di daerah-daerah, contoh kongkrit Saya baru pulang dari Talaut, ada beberapa pulau, yang kemudian menjadi kabupaten, Saya ada fotonya. Jadi menurut Saya, ini contoh kongkrit dari dampak kemajuan yang Saya lihat. Jadi Saya identifikasi masalah, salah satu masalahnya adalah abrasi, kemudian Saya melacak, secara, abrasi itu mulai terasa setelah otonomi daerah, maksudanya apa, yang ngomong ini orang Bappeda ya dia orang lokal tahu perubahan, nah dengan otonomi daerah ini kemudian ada banyak uang masuk dan uang masuk itu kemudian menjadikan orang membikin rumah lebih baik dan seterusnya dan karena disitu tidak ada bahan bangunan pasir maka ngambil pasir dari laut dari pantai, ya sudah maka banyaknya bangunan yang dibuat itu terukur dari seberapa besar kerusakan di sepanjang pantai. Saya ingin memberikan ukuran kualitatif, bahwa bagi orang daerah itu adalah proses pensejahteraan, tapi kesejahtraan di luar skenario APBN yang normatif itu. Dan kalau bagi mereka itu mensejahterakan what’s wrong ? Orang Jakarta mau ngomong opo, persetan M Bagaimana dengan konflik pemekaran, misalnya memperebutkan ibu kota daerah ? Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. PS Diperebutkan itu karena ada konflik-konflik karena ada sejarahnya, Itu terjadi misalnya di Ternate, itukan ada sejarahnya antara antara Ternate Tidore, sehingga solusinya adalah tidak di dua-duanya, tidak di dua-duanya, tapi itu karena tadi, raja-raja kecil itu. Meskipun memang tidak sekuat Raja Yogya. Tapi moment-moment tertentu itu bisa menjadi pengikat memori lama, jadi inti semua persoalan itu adalah kegagalan mengelola paradoks. M Termasuk misalnya korupsi daerah dan dinasti politik, Pilkada ? PS Menurut Saya adalah kalau memang watak asalnya begitu tiba-tiba di kasih dan perubahan itu tidak dengan kesadaran apa yang mau dirubah, kalau reaksinya tidak terduga itu logis, kalau negeri ini adalah, isinya raja-raja kecil, dikasih otonomi dan kemudian mereka salah tingkah, salah tingkah itu harusnya salah tingkah itu diantisipasi M Tapi bukannya itu ada pengaturan, pengaturan UU 32 misalnya yang merupakan revisi UU 22 ? PS Tapi pengaturan UU itu mengandaikan pusat itu masih segalanya. Ada beberapa elemen penting yang tadi Saya belum sempat katakan. Otonomi itu bisa menjadi andalan ketika ditopang dengan evaluasi. Sentralisasi itu bisa menjadi andalan ketika digandengkan dengan kapasitas rencana dan mengendalikan rencana. Ada satu set konfigurasi, jadi Orde Baru itu efektif karena sentralisme itu kemudian digandeng dengan kendali rencana maka kemudian kendali direncanakan, Bappenas mikirin Indonesia sehingga Bappeda, Provinsi, Bapeda Kabupaten tidak jalan, yang dipegang adalah rencana, ketika otonomi daerah itu harus dibalik, silahkan gunakan akal sehatmu daerah, jalankan janjimu pada masyarakat daerah, nah mekanisme untuk mengukur dan menangih janjijanji yang dibuat secara otonomi itu gak ada. Sehingga kecerdasan tadi yang Saya tuntut adalah kecerdasan untuk melakukan refleksi, menghitung mengapa gagal, itu tidak pernah diajarkan, silahkan di cek urutan pembuatan UU pelaksanaan, PP pelaksanaan, silahkan di cari tahun berapa PP tentang evaluasi itu ada. jaraknyanya berapa tahun dengan PP kewenangan, harusnya itu satu paket. Kewenangan mu ini mekanisme menagihnya gini kelak, nah kendali pusat terhadap daerah itu harusnya melalui sistem evaluasi, sistem evaluasi sampai sekarang masih belum jelas. Nah kaitannya dengan daerah otonom baru, membuat daerah otonom baru bisa berkinerja, itu tidak sama dengan apa, meletakkan piring dicuci, kemudian besokanya kering dan sudah bisa dipake. Itu proses pendewasaan institusi dan menurut Saya itu kalau lah bertanam itu sepeti tanaman keras, bukan tanaman sayur mayur, nah ketika belum saatnya berbuah, ketika isinya adalah orang-orang yang salah tingkah tadi nggak pernah dievaluasi gak pernah dibina hanya dijalan-jalankan terus, ya nggak fair kemudian dituntut apa namanya berkinerja, proses pembinaan atau fasilitasi daerah itu gak ada, karena juga gak tahu salahnya dimana. Dan pusat masih menyuruh-nyuruh dari Jakarta, nah titik fatalnya itu adalah, dalam penggunaan kewenangan dekonsentrasi. Karena begitu ini siapa yang salah, para konseptor yang pada waktu itu ikut salah, karena begitu marahnya dengan sentralisme Orde Baru, maka UU 22/99 untuk memutus kewenangan dekonstrasi sampai pada level Provinsi sudah begitu juga tidak dikasih kaki tangan, Gubernur itu penyelenggara otoritas dekonsentrasi tidak punya lembaga semacam dinas Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. atau apa untuk menjalankan fungsi itu. Yang itulah kemudian impilkasinya otonomi tadi menjadi liar tidak terkendali. Karena tidak ada monef-nya tidak ada tindak lanjut memfasilitasi yang kurang yang salahnya di mana, sehingga Jakarta itu gak punya kendali dan gak dapat respect dari daerah. Tapi kalau misalnya tadi kesulitan daerah terbaca oleh pusat dan, memang kamu boleh gitu, tapi ginikan lebih baik, bagaimana kalau melakukan ini, kalau melakukan ini, ini lo ada insentifnya, yang menjadi gitu. Itu gak ada, sehingga daerah itu ya sudah kemudian pikir sendiri, cari sendiri, lalu kemudian berlomba-lomba untuk menjebol Jakarta. M Kalau misalnya kasus Yogya ini gimana Pak, apa namanya misalnya, apakah ini salah satu ekspresi untuk menjebol Jakarta ? PS Tidak. Saya bisa runut dari psikologi sosial Yogya, kalau kita kaitkan dengan jalan fikiran resmi pemerintah pusat kan Yogya itu wilayah Indonesia dan kemudian punya otonomi katakanlah punya istimewa, tapi logika itu dapat dari otomoni itu pemberian kewenangan, Yogya tidak pernah merasakan kewenangan itu, karena Yogya memiliki Indonesia, yang menjadikan NKRI itu ada kan Yogya, pada saat RIS itukan NKRI tinggal wilayahnya tinggal DIY, sehingga kalau Yogya tidak ada, NKRI itu wasallam alias bubar dalam hukum tata negara, dan ditopang keraton nah kalau barang yang mengaku hebat yaitu Jakarta tapi kemudian pernah dalam posisi gitu kok tiba-tiba ngaku menjadi pemberi kewenangan padahal adanya juga belakangan bagaimana ini ?, ini teori desentralisasi sudah tidak masuk akal, tapi tidak masuk akal ini tidak pernah disadari oleh yang melafalkannya, termasuk tanda tangan SK dst itu. Jadi kalau toh itu memberontak itu boleh lah dikatakan namun kalau diurutkan secara hening, itukan Yogya tidak dalam posisi untuk menerima kewenangan, dan orang Yogya mengatakan lhaa ini karena kebesaran hati Saya untuk menjadi bagian dari Indonesia kan gitu, nah sehingga kemudian kebesaran hatilah yang kemudian ketika tidak diapresiasi oleh bahasa hukum. Tapi-kan kalau misalnya sama-sama aturan khusus, kan paling akhir diatur dan pemicunya itu memang adalah ketika pengisian jabatan Gubernur, tiap kali ada jabatan Gubernur itu kan perpanjangan masa jabatan menjadi kegundahan dasar hukum ini apa ya, nah memang ada kontrofersi dalam komunitas kami di JPP ketika saat itu yang mencoba untuk merujukkan amanat konstitusi dengan keistimewaan DKY itu, amanat konstitusinya kan Gubernur dipilih secara demokratis, dan kemudian yang kita tau jabatan di level provinsi itu Gubernur, nah pada saat yang bersamaan Sri Sultan juga sudah pernah bikin pidato dalam even yang dirumuskan sungguh-sunggu dan Beliau katanya juga sampai puasa, berminggu-minggu, sampai semiggu penuh dst sebelum bikin pidato kebudayaan itu yang isinya adalah aku serahkan rakyat Yogya kepada Gubernur terpilih. tapi memang waktu itu konteksnya akan nyalon presiden. Sehingga apa kalkulasinya tetapi dari segi ide sudah kondusif pada awal-awalnya bhwa DIY sudah prepare untuk memiliki Gubernur yang bukan sultan, tetapi sultan tetap sultan, dan ketika kami mempelajari tatanan asli struktur keraton di masa lalu itu ada patih. Patih Danurejo itulah yang sudah mensejarah, dan Patih Danunrejo ini diputus jabatannya setelah kemerdekaan karena apa? sebelumnya pengaruh asing, pengaruh Belanda, nempelnyakan disitu, nah pertanyaanya adalah ketika menjadi bagian dari NKRI, Jakarta ini barang asing atau tidak, dan sambungan antara Jakarta dengan Danurejo ini inviltarsi asing ataukah kebesaran hati, atau strategi Sultan untuk survive di Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. era modern, nah disitulah gak ada telaahan yang jelas tapi intinya kemudian kami berksperimen secara sengaja mengetuk pintu, menjajaki. Dengan bikin konsep sultan tetap punya kedudukan tinggi tapi memerintah secara tidak langusung dan terbebas dari politik termasuk rebutan jabatan dst diserahkan ķepada sesuatu yang setara dan Patih Danurejan Itu yang secara inisiatif kita kasih nama Gubernur. Tapi gagasan itu mental, sehingga sultan juga tidak lagi nyalon presiden, menjadi pelaku di kancah nasional sudah terkunci, maka satu-satunya kan dia harus menata lagi kekuasaan, tapi sekali lagi kalau saya detailkan tentang kekecewaan Yogya karena kekecewaan tentang proporsi yang semestinya dan lagi-lagi kemampuan Yogya untuk selfgavening itulah meringankan Indonesia, nah, tipe ideal otonomi daerah menurut Saya adalah Yogya. M Walaupun Sultan. PS Iya dalam konsep dasar M Otonomi Asimetris PS Sultan HB IX mempunyai langkah cerdas, saya dengan suka slogan dari Yogya untuk Indonesia, UGM itu dilahirkan dari keraton, tapi itu adalah sebuah strategi kultular yang luar biasa karena dengan adanya lembaga modern namanya universitas, itu tradisionalitas di Yogya itu bisa disandingkan, diharmonikan dengan modernitas. sehingga wajah wadah dualististik atau kemampuan untuk arif secara kultular dan cerdas itu ada di Yogya. Yogya meskipun daerah kecil tetap dikunjungi banyak orang dan dengan UGM itu kemudian elit seluruh Indonesia bisa disatukan dari sini dan dia tidak kehilangan muka. pada saat yang bersamaan ketika kekuasaan tadi dikuasai oleh dua raja disitu juga ada permainan yang sangat cerdas, ada Pakualam waktu itu, Pakualam ini kan ruang gerakanya kan lebih terbatas, dan juga dari segi silsilah lebih sepuh itu kan pamannya, nah ok, paman silahkan urus Yogya, kira-kira gitu, Saya HB IX tak bermain di level nasional, ketika ada dualisme kepimpinan salah satu ke atas dan kemudian yang kecil itu menguasai, nah ini strategi berkuasa sudah sangat cerdas, dangan cara itukan kemudian Jakarta disini sabgai orang cerdas macam itu ini makanya, itu tadi Yogya itu ada prototipe ideal otonomi daerah, itu justu karna kehebatan Yogya itu gak terbantahkan dan nasional itu kemudian mendapat keuntungan besar dari Yogya dan Jakarta tidak terancam oleh Yogya, kalau terancam tadi kan gara-gara salah tingkah. nah itu hubungan pusat daerah yang ideal dengan keistimewaan itu, jadi otonomi dan keistimewaan bagi saya di sini gak beda. Ketika kami nge-daft karena kami kan ikut mengonsep itu, pertanyaan Pak Dodi di Kemendagri waktu bikin draft itu kan, kita sharing. Kemudian kita laporkan ke Kemendagri lewat Pak Dodi, ketika kita tanya apa rambu-rambunya kemudian Beliau jawab, terserah itu teman-teman merumuskan keistimewaan itu kaya apa, tapi tolong bantu kami Kemendagri memilah mana yang harus kami pukul rata seluruh Indonesia mana yang hanya khusus untuk Yogya. Harusnya logika Jakarta ketika mengurusi daerah-daerah yang unik itu seperti pernyataan Pak Dodi itu. Kemudian kami menjawab dengan formula nasi goreng, kalau ngomong daerah istimewa mau urutnya dari itu. formula nasi goreng itu kan, nasi goreng itukan yang di masak sama, cara masakanya sama, yang membedakan apa yang ada dipuncaknya saja, toppingnya saja. Kemudian ya sudah apa yang topping itu. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Topping itulah kemudian yang kita kasih nama kewenangan istimewa, kewenangan istimewa kita cari-cari kemudian ketemu pada waktu itu, karena ini kewenangan, misalnya kewenangan amanat UU amanat pemerintahan nasional untuk menyelenggarakannya pemerintahan harus ada uang, uang itulah yang kita kasih nama dana istimewa. M Kalau tentang dinasti politik dan korupsi elite local, Gimana mas, ini banyak sekali disoroti oleh wartawan PS Tapi wartawan ini kan mendapat informasi sebagian dari para ilmuwan yang ilmuwan itu merasa Indonesia itu sama dengan UUD atau kata teks book. Namanya patronase, itu normal atau tidak normal menurut Anda, M PS Ada beberapa hal normal Kalau normalnya itu, kalau patron-patron dikasih kewenangan, patron itu jalan logis atau tidak logis ? M Asal dia tidak korupsi PS Sebentar, kalau mesinnya adalah patron-patron dan kemudian mesin dikasih kewenangan, dikasih duit patron itu bekerja patronase adalah patron yang bisa punya anak buah yang patuh, anak buah yang setia dan kepada anak buahnya itu dia memberikan proteksi, anak buahnya memberikan kesetiaan, itu reason dasarnya M Iya, kalau gitu itu kan, kita kembali ke zaman raja-raja dulu Pak PS Fakta sosiologisnya Anda sudah terima mengapa implikasi sosiologisnya Anda tolak, sosiologinya dimana, ketika belajar sosiologi mengapa kemudian pindah ke pengantar ilmu hokum ?, kalau fakta sosiaologisnya itu ada patron-patron maka mesin yang niscaya menjadi andalan untuk beroperasi di lapangan adalah patronase itu sendiri nah kalau patronase bekerja sementara kita tahu ada, salahnya sendiri yang tidak mengapaapakan patronase dan kemudian hanya mengutuk setelah dikasih uang. Maka kemudian kalau ada kausalitas ada cause and effect harus berangkat dari situ kalau mesin yang ada di patronase dia apa-apakan ya nalar patronase itu jalan. Patron tadi berusaha apa berkerja untuk menjamin kepatuhan, dan kalau yang mau dikasih itu gak ada dalam birokrasinya ya di reka-reka supaya pantas dalam bahasa administrasi keuangan. Maka memperkosa administrasi negara itu lah yang terjadi selama ini, jadi kalau Saya ngajar mata kuliah keuangan negara, pelajaran hari pertama itu adalah Anda harus konsisten berbohong, kalau Anda menjadi bendahara, kalau Anda memalsukan data di hari pertama seluruh laporan Anda harus bohong, cara orang menghindar dari korupsi adalah konsisten bohongnya. Itulah yang tidak selalu jahat, tidak selalu jahat, ini Saya temukan dari studi tentang Yogya belum lama itu bahasa Yogyanya nggiwat saya dapat istilah itu dari, Pak Laksono sastra, jadi kita itu selalu berbenturan dengan aturan-aturan pusat yang tidak logis, dan oleh karena itu ya harus sing pinter-pinter, pinter-pinterlah gitu lo, bukan hanya pintar, tapi pintar-pinterlah, ngono yang ngono neng ojo ngono nah ini semua adalah kategori nggiwat, nah itulah strategi kultural yang ada dalam budaya kita. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Oleh karena itu kemudian governance dalam prakteknya yang bekerja adalah informal yang harus selalu memberikan kesan tertib secara administratif tapi kemudian memberikan solusi lokal, nah inilah ambivalensi yang selama ini menjaga ketertiban negeri ini, negeri ini bisa tetib, tertib dalam angka ambivalensi, nah kalau Anda minta ideal yang ideal itulah yang ambivalen. M Cuman kalau dalam dinasti politik itu gimana patron itu ?, karena kan beberapa kasus kan itu menjadi tidak sehat. PS tidak selalu M misalnya itu Atut ? PS Sebentar, Atut dengan kerabatnya itu telah lama dikaji orang, kalau di masa sebelum ini sebenarnya lebih pada liberalisasi pemerintahan ya, dimana ada peluang untuk menjadikan kandidat pemimpin di era demokrasi, di era desentralisasi. Bapakanya Atut, Pak Khasan itu kan sudah dikenal sebagi jawara, jawara ini kan sanggup menegosiasikan semuanya baik secara resmi ataupun tidak resmi, tentara saja patuh. Faktanya itu sudah sejak zaman orde baru. Dan ketika ada zaman keterbukaan dia mecalonkan diri sebagai pejabat, berhasillah Atut jadi Gubernur, nah, tetapi kan dia tidak dengan mudah bisa keluar dari cara berfikir ritme-nya itu, nah ini yang terjadi sebenarnya kan perpindahan dari aktor tidak resmi ke dunia resmi, aktor tidak resmi menjadi aktor resmi. Nah tapi secara sosiologis yang tidak resmi ini, ketika kemudian dia dihakimi oleh korupsi daseterusnya itulah korupsi. Tetapi bahan dasar korupsi sudah ada sejak dulu. Sama persis tadi, konsisten dalam berbohong dalam APBD dan APBN dan itu sudah sejak dulu. Cuma itu itu dilebeli korupsi atau tidak itu saja. M Kalau di luar itu, di luar dinasti pak Khasan, misalnya ada banya, yang kemudian yang diwariskan ke anaknya, istrinya karena kemudian PS Menurut Saya ya diputus, itulah reaksi yang saya mau, tapi tidak udah ngomel, tidak usah ngeluh gitu loo, bahwa itu harus di tata, dipotong korupsinya ya. Nah harus rancangan sejak awal nah Menurut Saya itu terlambat gitu lo. Ketika bahan dasarnya adalah Pak Kasan sebagai apa orang kuat di Banten, dikasih provinsi sendiri ya to, sedang wilayah kekuasan yang pas dengan daya jangkau dia, kalau dia yang paling menang, kan sudah ditebak. Sebetulnya kalau mau menangkap korupsi itukan sudah ada sejak awal, dan sebenarnya gak perlu teriak-teriak, korupsi. Tinggak pilih mana aja gitu. Tapi yang Saya sedih masa harus meratap gitu lho. Itu analisis gak ada karena yang ada hanya adalah norma-norma tadi. Kita semua bersembunyi di balik norma-norma itu. Para pengecut itu. Jadi point Saya semuanyakan sudah jelas di depan mata, itulah fakta sosiologis Indonesia. Dan kalau kita memerintah dengan melupakan itu tadi saya ejek, wong mengikuti mata kuliah sosiologi kok minta lulus pengantar hukum gitu loo. Kalau itu fakta sosiologis ya sudah ikut saja. Itulah problem kita ketika pemerintahan informal itu dianggap tidak ada. Tetap kalau di jurusan kami kan tidak didefinisikan pemerintahan adalah relasi negara dan masyarakat, relasinya kan bisa formal dan informal, bisa langsung tidak lngsung, banyak hal itu memang berlaku dalam domain Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. informal. Dan tadi berangkat dari kajian-kajian lokal itu, yang informalitas yang menyelesaikan persoalan. Ya pinter-pinterlah kiya-kiyu ada sekian banyak ungkapan yang merupkan strategi survival ketika berhadapan norma-norma yang tidak masuk akal dari pusat. Dan kita ini dibesarkan dan dihidupi oleh itu dan kita itu berpura-pura tidak tahu itu kemudian dengan tragisnya kita mengeluh, mengumbar, menurut saya itu omelan boros itu, dan untuk memotong pertama itu pasti ada yang sakit ada yang marah, ya kalau misalnya kita membersihkan kerak di toples, kalau kemudian sebagian dari logamnya terkelupas itu normal. M Jadi misalnya kan ada UU anti dinasti jadi tidak bisa langsung eksekusi itu Pak ?, karena resource mereka punya patron . PS UU itu rentan di patahkan di Mahkamah Konstitusi. Saya setuju dengan misinya melawan dinasti, cuma harus cerdas. Dan kalau hanya mengandalkan legalitas kita kan dimentahkan dimana-mana, misalnya dalam kasus Yogya saya kadang-kadang bercanda ke Mbak Linda, suatu saat ketika masih di Belanda, anak mu Randu boleh bermimpi apa saja bisa menjadi Sekjen PBB mengantikan Kofi Annan, bisa menjadi Presiden Indonesia, hanya maaf kamu gak boleh bermimpi jadi Gubernur DIY. Tapi kalau ada orang iseng dan agak gila punya ide baru yang agak konyol, itu bisa menang. Misalnya dia melawan di MK apa hak ku menjadi Gubernur DIY dibatalkan oleh UU keistimewaan. Atas dasar apa kan itu menabrak UUD 45. M Jadi dinasti politik ini gimana Pak ? PS Dinasti itu kalau menurut Saya faktanya realitanya rezim dinasti itu adalah rezim yang formal yang ada di Indonesia, suka atau tidak suka. Dan dengan kebebasan potitik yang dibuka, mana yang informal ini bisa berubah menjadi formal dan praktek-praktek yang tadinya itu disebut sebagai kearifan kebijkan dan seterusnya, dengan mudah menjadi korupsi pelanggaran prosedur. M ini pertanyaan teakhir Prof, kalau tentang pilkada bagaimana menurut Prof, karena ini ada isu mau di DPRD atau pemilihan langsung ? PS Saya pernah nulis di Koran Sindo, intinya adalah kita itu seperti burung onta. Cara mengatasi masalah dengan menyembunyikan kepala itu dari badan. Mengganti sistem pemilihan itu solusi, untuk menyembunyikan persoalan. Mau kita kabupaten, pemilihan langsung tidak langsung bukan itu pointnya, pointnya rakyat tidak berdaulat yang ada hanyalah KTP. Yang ada itu penduduk, yang menjadi soal hanya soal alamat, yang di sukai pemerintahan itukan masyarakat dan penduduk. Penduduk itu bahasa demografi. berapa orang Islam, alamatnya dari mana, gak ada ikatan politik dengan negara. Nah ketika penduduk sebagai kolektifitas politik itu punya namanya rakyat. Tapi ketika masing-masing orang itu kita kasih signifikansi politik namanya warga negara. Nah dua yang terakhir itu nggak ada di kita Saya memberikan contoh, ketika orang ke bilik suara dan orang ini di bilik suara itu sadar bahwa vote yang bagi dia itu tidak ada harganya, kalau ada ada haraganya itu setara dengan upah hari itu 50 ribu misalnya ya sudah, itulah apa namanya harga wargar Negara itu, sehingga kemudian ketika dia sudah Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. mejual vote nya (ngijon) dia secara moral sudah tidak punya basis untuk mempersoalkan atau menggugat. Sehingga kemudian dia sudah pasrah. Nah kalau demokrasi dibangun dengan cara itu nggak ada kaitan antara terpilihnya orangnya dengan kebijakan. M Walaupun itu pilkada mau DPRD atau langsung, kalau sudah ada sitem ngijon itu ya wasalam Pak ? PS Masalahnya ngijon itu tidak ditangkap sebagai masalah, menurut saya itu justru masalah. Tapi kan orang tidak merasa berkhianat kepada negara, ketika menggunakan ngijon itu, kita belum jadi subyek kita masih menjadi obyek. Jadi warga Negara ini kan ada subyek dan ada obyek, cuman subyek itu gak ada, yang ada adalah obyek, nah kalau dikasih hati terus tapi dia obyek, maka dia obyek rekayasa. Tim sukses, dia obyek rekayasa, partai dan seterusnya, maka sebenarnya tidak ada kedaulatan rakyat, yang ada adalah pura-pura berdaulat, nah kalau mau dipilih melalui langsung tidak langsung tapi yang ada adalah kepura-puraan berdaulat, ya sudah negeri kita di atas kepura-puraan. M Jadi masalahnya bukan pada masalah pemilihan langsung ?, atau tidak langsung ?. PS Menurut Saya itu hanya bisa berlaku ketika yang Saya tuntut diatas itu selesai. Teori itu gak akan jalan, kalau prasyarat bekerjanya teori yaitu kewarganegaraan itu tidak jalan, ya Saya memang tidak fair kalau mengatakan hitam putihnya, tapi itu hanya sekedarkan menuntaskan jalan fikiran. Bahwa demokrasi itu kedaulatan rakyat, kedaulan rakyat adalah bukan individu, citizen punya sense of public, dan sense of public itu hilang, dihilangkan oleh sekian proses apa namanya ya penguasaan melalui berbagai cara, bisa dikuasai kiyai-nya bisa dikuasainya oleh dosennya, bisa dikuasai oleh apa saja, dan sang subyek itu hilang, sehingga dikasih vote tidak dikasih vote nggak nyambung. Sehingga cirinya tadi, orang merasa punya hak pilih tapi kemudian yang bergerak adalah nalar ekonomi harganya berapa bukan nalar public, oleh karena sense of public tidak ada. Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Wawancara dengan Pemred Harian Jurnas Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Wawancara dengan Pemred Harian Kedaulatan Rakyat Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Wawancara dengan Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015. Wawancara dengan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Konstruksi realitas..., Megandaru Widhi Kawuryan, FISIP UI, 2015.