BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan dua hal yang saling memiliki keterkaitan. Karena setiap manusia terlahir dengan hak-hak pribadi yang tidak dapat dicabut, mencakup hak hidup, kebebasan dalam aspek apapun untuk menunjang kehidupannya agar lebih sejahtera. Oleh karena itu, demokrasi sering kali dijadikan sebagai suatu instrumen yang digunakan setiap orang untuk memenuhi hak individual mereka. Dengan demikian, suatu negara yang demokratis sewajarnya juga menghormati dan menjalankan prinsip-prinsip HAM. Hakikatnya, seperti pendapat Huntington, demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang bebas, musyawarah, terdapat warga yang mengontrol kebijakan secara efektif dan pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab, serta kekuasaan partisipasi yang setara. 1 Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan tatanan pemerintahan yang baik dan menyejahterakan rakyatnya. Pemerintahan yang demokratis umumnya berjalan atas hasil musyawarah rakyatnya, dalam hal ini mengacu pada partisipasi dan aspirasi rakyat dalam politik suatu negara. Gambaran sederhana dapat terlihat dari proses dan prosedur pemilihan umum dalam suatu negara demokratis, dimana setiap rakyat memiliki hak yang sama dan setara dalam politik, berupa hak pilih untuk memberikan dukungannya kepada aktor politik tertentu dalam negara tersebut. Hal tersebut sejalan dengan prinsip kesetaraan dalam HAM, yang menganjurkan suatu negara dan pemerintahannya untuk memperlakukan rakyatnya dengan sama, setara, tanpa 1 Suyatno, Menjelajahi Demokrasi (Bandung: Humaniora, 2008), 33 1 perbedaan. 2 Karena pada dasarnya setiap manusia terlahir bebas dengan hak-hak yang sama, atau setara. Oleh karena itu, setiap negara demokratis, hendaknya mampu menjamin dan melindungi hak-hak asasi setiap individu dalam segala aspek. Seperti menjamin hak rakyat untuk bebas berpartisipasi dan beraspirasi dalam politik dengan menjalankan pemilu, membentuk komunitas atau partai politik, menjamin rakyat mendapat pendidikan yang layak dan terjangkau, serta memandang setara setiap individu dalam masyarakatnya yang majemuk serta memiliki keberagaman latar belakang dan budaya. Salah satu perlakuan setara terhadap masyarakat adalah dengan dengan membebaskan setiap orang memeluk agama atau keyakinan masing-masing. Dimana hal tersebut diperkuat dengan membuat konstitusi atau undang-undang yang mengatur permasalahan tersebut. Belanda merupakan salah satu negara yang demokratis dan menghormati serta memperjuangkan nilai-nilai HAM. Hal itu dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa Belanda menjadikan nilai HAM sebagai fondasi dalam menyusun konstitusi mereka, misalnya secara politik negara membebaskan masyarakat untuk membentuk suatu organisasi politik yang dapat diikutsertakan dalam pemilihan umum. Selain itu secara sosial, mereka menerapkan prinsip multikulturalisme3 dan menerima kedatangan imigran dari berbagai asal dan etnis budaya dengan baik, mengakui adanya keberagaman agama, hingga menjadi negara pertama yang melegalkan hubungan atau pernikahan sesama jenis (gay/lesbian) pada tahun 2001. 4 Terlebih lagi, Belanda termasuk dalam daftar negara yang menandatangani sekaligus meratifikasi International Convention on 2 Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), 39 3 Natasha T. Duncan dan Eren Tatari, “Immigration and Muslim Immigrants: A Comparative Analysis of European States”, European Journal of Economic and Political Studies, EJEPS-4 (2) (2011): 170-172 4 Mircea Trandafir, “The effect of same-sex marriage laws on different-sex marriage: Evidence from the Netherlands”, Paper for the 9th IZA/SOLE Transatlantic Meeting of Labor Economists (2010): 3-5, http://www.iza.org/conference_files/TAM2010/trandafir_m6039.pdf diakses pada 12 Agustus 2013 2 the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1966). 5 Hal ini memperlihatkan bahwa Belanda sangat mentolerir segala perbedaan yang ada di dalam masyarakatnya. Namun dalam implementasinya masih terdapat berbagai paradoks, dimana negara yang demokratis seperti Belanda masih berpeluang melakukan berbagai tindakan yang menyimpang dari prinsip dan nilai HAM. Salah satunya adalah adanya isu diskriminasi terhadap masyarakat pemeluk agama Islam—kelompok Muslim. Yang mana kasus tersebut bahkan terjadi pula di beberapa negara demokratis lainnya. Secara umum diskriminasi didefinisikan sebagai tindakan yang memperlakukan seseorang di berbagai lembaga penting dalam masyarakat— seperti dalam pendidikan, hukum, dan dunia pekerjaan—secara tidak adil atau berbeda (less favorable), atas dasar keberadaan atau keterikatan mereka pada suatu kelompok tertentu, yaitu ras atau etnis, ideologi, jenis kelamin, umur dan lain sebagainya. 6 Diskriminasi terbagi menjadi dua macam, yakni diskriminasi langsung (direct discrimination), yang terjadi ketika seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung diperlakukan dengan berbeda melalui ucapan verbal ataupun pernyataan tertulis. Sedangkan diskriminasi tidak langsung (indirect discrimination) terjadi sebagai suatu akibat dari berlakunya suatu hukum atau praktek hukum yang diskriminatif, meskipun hal tersebut tidak secara langsung dan nyata memiliki tujuan untuk mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu. 7 Kemudian, merujuk pada data tersebut, permasalahan terkait diskriminasi yang dialami oleh masyarakat Muslim di Belanda, dapat dikategorikan sebagai diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu yang dapat pula mengarah kepada 5 ”Treaties”, United Nations, diakses pada 16 November 2012, http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-2&chapter=4&lang=en 6 Melissa Favreault, “Discrimination and Economic Mobility”, The Urban Institute (2008): 1-5, http://www.urban.org/UploadedPDF/1001156_Discrimination.pdf, diakses pada 12 Agustus 2013 7 Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Hukum Hak Asasi Manusia, 40 3 diskriminasi rasial. Hal itu karena Agama dan Budaya merupakan dua hal yang saling berhimpitan. Agama merupakan bagian dari budaya, dimana setiap entitas budaya tertentu umumnya memiliki keyakinan atau Agama tertentu yang mereka anut. Sementara itu, mayoritas kelompok Muslim yang ada di Belanda merupakan pendatang atau imigran dari Turki, dan Maroko, sedikit dari Iran, dan Pakistan. Sehingga, secara otomatis diskriminasi tersebut cenderung menyerang sekelompok etnis tersebut. Arus imigrasi dari negara-negara Islam ke Belanda tergolong cukup pesat dan kian meningkat dari tahun ke tahun. Data menunjukkan jumlah imigran yang paling banyak datang ke Belanda pada tahun 2006 berasal dari Moroko dan Turki. 8 Selain itu, fakta bahwa budaya Islam sangat bertolak belakang dengan budaya ’bebas’ masyarakat Barat, memicu lahirnya pandangan keliru dalam benak masyarakat Barat, khususnya di Belanda. Mereka beranggapan bahwa Islam adalah suatu kepercayaan yang radikal dan terkesan mengekang kebebasan umatnya. Berangkat dari prasangka negatif tersebut, masyarakat Belanda khawatir jika fenomena imigrasi etnis Muslim itu dapat membuka jalan bagi Muslim untuk melakukan Islamisasi di Belanda. Pandangan kurang baik terhadap umat Muslim semakin memburuk pasca tragedi serangan teror yang meruntuhkan gedung World Trade Center (WTC), Amerika Serikat tahun 2001. Kejadian itu menjadikan Muslim identik dengan terorisme. Seiring dengan hal itu, masyarakat Barat, khususnya Belanda sering kali salah mengartikan atau gagal memahami nilai-nilai keagamaan dalam Islam, sehingga masyarakat Belanda berpikir bahwa semua umat Islam berpotensi untuk melakukan terorisme seperti yang dilakukan oleh beberapa pelaku terorisme di berbagai negara tersebut. Berkembangnya pemikiran anti-Islam itu mendorong lahirnya kelompok anti-Islam. Beberapa kelompok tersebut berbentuk organisasi independen bahhkan ada pula yang berdiri sebagai Partai Politik. Beberapa diantaranya menjadi partai politik yang populer bahkan berhasil masuk dalam Parlemen. Setidaknya, terdapat 8 “Country Profile: Netherlands”, Focus Migration, diakses pada 19 Desember 2012, http://focusmigration.hwwi.de/The-Netherlands.2644.0.html?&L=1 4 dua partai politik dengan ideologi anti-Islam (Islamophobia) di Belanda, yakni Lijst Pim Fortuyn (Pim Fortuyn List, LPF) yang didirikan oleh mendiang Pim Fortuyn yang memiliki pandangan yang sangat bertentangan dengan paham Islam. Partai ini merupakan partai politik yang mempelopori gerakan anti-Islam dalam politik dan pemerintahan Belanda pada tahun 2002. Sementara Partij voor de Vrijheid (Party for Freedom, PVV), yang dipimpin oleh seorang yang sangat Anti-Islam bernama Geert Wilders pada tahun 2006. 9 PVV yang juga mengangkat isu anti-Islam dan anti-imigran ini berhasil masuk dalam Parlemen Belanda di tahun yang sama dengan saat partai tersebut berdiri. 10 Promosi ideologi anti-Islam partainya secara agresif, salah satunya dengan mempublikasikan film singkat berjudul Fitna di website pribadi miliknya yang digunakan khusus untuk keperluan sosialisasi partainya melalui media elektronik. 11 Partai-partai ini menanamkan pandangan bahwa Muslim merupakan musuh terbesar bagi masyarakat Belanda, dan menentang terjadinya islamisasi di Belanda (bahkan di Eropa). Hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk diskriminasi terhadap seluruh Muslim tidak hanya di Belanda, namun juga Muslim di dunia. Fenomena dalam politik Belanda tersebut menarik untuk di teliti. Karena membuka celah terjadinya diskriminasi rasial di Belanda yang merupakan negara demokratis. Hal itu merupakan paradoks dalam pemerintahan demokrasi di Belanda karena merupakan hal yang berlawanan asas dengan demokrasi. Terlebih lagi, selama ini pandangan yang dominan di kalangan akademisi, terutama di kalangan mereka yang pro demokrasi, bahwa demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang baik dan membebaskan setiap individu untuk mencapai apapun yang menjadi hak asasi mereka. Bahwa demokrasi menjamin rakyat dapat hidup bebas dalam masyarakat dan membuat undang-undang untuk mengatur 9 “Geert Wilders”, Geert Wilders Web Blog, diakses pada 16 November 2012, http://www.geertwilders.nl/ 10 “Party Profile – PVV”, Quirksmode (online), diakses pada 1 Desember 2012, http://www.quirksmode.org/politics/blog/archives/2012/08/party_profile_p_4.html 11 ”Politisi Belanda Rilis Film Fitna”, BBC Online, diakses pada 16 November 2012, http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2008/03/080327_dutchfilm.shtml 5 kehidupan dan atau pemerintahan mereka sendiri. 12 Namun pada kenyataannya demokrasi di masa kini tidak hanya memberikan kesejahteraan bagi rakyat, tapi juga melahirkan konflik baru, akibat semakin berkembangnya prinsip liberalisme atau kebebasan dalam demokrasi. Isu diskriminasi di Belanda ini merupakan salah satu dari beberapa contoh kelemahan demokrasi. Hal tersebut menarik, karena lebih jauh lagi melihat sikap pemerintahan dan masyarakat mayoritas Belanda seakan-akan “mengamini” pelanggaran HAM, yang berupa diskirminasi rasial atau diskriminasi pada etnis tertentu dengan berwujud demokrasi. Hal inilah yang dilihat penting untuk dikritisi. Hampir tidak ada, atau sedikit sekali akademisi yang mengkontraskan pandangan semacam ini. Selain itu, penelitian tentang fenomena seperti tersebut di atas tampaknya belum banyak dilakukan, khususnya oleh para mahasiswa di lingkungan HI UGM. 1.2 Rumusan Masalah Skripsi ini ingin melihat paradoks demokrasi, dimana perkembangan demokrasi pada saat yang sama berpotensi untuk menimbulkan pelanggaran HAM. Untuk itu, terdapat beberapa pertanyaan yang mendasari pembahasan di dalam skripsi ini, yaitu: 1. Seperti apakah paradoks demokrasi di Belanda, sebagaimana terlihat dari masih terjadinya pelanggaran HAM, berupa diskriminasi terhadap masyarakat Muslim-nya? 2. Mengapa demokrasi di Belanda dapat melahirkan paradoks seperti itu? Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penulis ingin mencoba untuk meneliti lebih jauh mengenai isu Islamophobia sebagai bentuk diskriminasi rasial yang benar-benar terjadi di Belanda. Selain itu penulis ingin melihat bagaimana paradoks demokrasi tersebut kemudian seperti membuka celah bagi beberapa pihak untuk berupaya melembagakan diskriminasi tersebut dengan mempengaruhi 12 PUSHAM UII, Hukum Hak Asasi Manusia, 21-22. 6 kebijakan Pemerintahan Belanda. Hal ini dilihat melalui manuver politik komunitas anti-Muslim atau anti-Islam seperti LPF, dan PVV dalam pemerintahan Belanda. 1.3 Kerangka Konseptual Terkait dengan isu HAM dan demokrasi, maka landasan konseptual yang akan digunakan sebagian besar adalah konsep mengenai HAM dan demokrasi. Demokrasi merupakan suatu konsep yang sangat lekat dikaitkan dengan hal-hal yang disebut sebagai nilai-nilai HAM dan keadilan. Korelasi antara Demokrasi dan HAM seharusnya berbentuk seperti hubungan yang bersifat mutual reenforcing atau hubungan yang saling memperkuat satu dengan lainnya. Hal tersebut maksudnya adalah saat kinerja politik baik, maka secara otomatis hal tersebut akan menunjang perlindungan HAM. Perlindungan HAM kemudian akan menunjang berjalannya demokrasi yang baik di suatu negara tersebut. Sebaliknya, jika demorkasi tersebut mengalami kemunduran, maka akan pula menghambat pemajuan HAM yang pada akhirnya akan menumbangkan demokrasi itu sendiri.13 Oleh karenanya pengamalan demokrasi dan pengimplementasian nilai-nilai HAM di dalamnya harus saling mendukung satu sama lain. Secara umum demokrasi seringkali dipahami sebagai pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Hal tersebut dapat dipahami lebih jauh sebagai suatu tatanan dimana kekuasaan tertinggi suatu negara yang demokratis tersebut berada ditangan rakyatnya. Dengan kata lain, segala peraturan yang dibuat dan dijalankan pemerintahan tersebut harus selalu menyesuaikan, dan mengakomodasi kepentingan dan hak rakyat. Definisi demokrasi terus berkembang seiring berjalannya waktu, menurut Dahl, demokrasi adalah sistem politik yang memiliki tujuan untuk memperjuangkan hak-hak fundamental, kebebasan, dan kesempatan. Meliputi hak pilih, partisipasi, bebas berekspresi, hak intelektualitas, dan memenuhi hak-hak 13 PLaCID’s Averroes dan KID, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Malang: PLaCID’s Averroes, 2007), 33-34. 7 lain yang menunjang adanya kesetaraan dalam mewujudkan demokrasi. 14 Ini menunjukkan bahwa demokrasi dapat dianggap hanya sebagai instrumen atau alat yang digunakan untuk mempromosikan dan memenuhi HAM bagi setiap individu dalam masyarakat. Sementara, Schattschneider mengartikan demokrasi sebagai suatu sistem politik yang kompetitif, yang bersaing dalam rangka memenuhi kepentingan publik. 15 Pendapat tersebut mengatakan bahwa hal mendasar dalam demokrasi adalah kompetisi untuk memperjuangkan kepentingan seseorang, suatu kelompok, atau organisasi dalam suatu tatanan politik. Hal ini berarti setiap orang atau kelompok berada dalam posisi setara satu dengan yang lainnya untuk memenuhi haknya dalam suatu masyarakat, mereka masing-masing memiliki hak untuk menjadi suara yang dominan. Atau dengan kata lain, demokrasi dijalankan atas hasil yang didapat atau dipilih oleh suara terbanyak. Jika kepentingan seseorang ingin terpenuhi, maka ia harus mendapat dukungan suara mayoritas, kenyataan tersebut memberi gambaran bahwa demokrasi sesungguhnya sangat bertumpu pada prosedur. Berdasarkan bentuk dan isinya, demokrasi terbagi atas dua macam, yaitu ialah demokrasi substansial dan demokrasi prosedural. Demokrasi substansial merupakan tipe demokrasi yang lebih merujuk pada inti pokok atau esensi dari tujuan dan apa yang diperjuangkan dalam demokrasi yang sebenarnya, yakni kesejahteraan rakyat. Sementara demokrasi prosedural lebih menampakkan bentuk, proses, dan struktur dari demokrasi tersebut saat dijalankan. Menurut Dahl dalam menentukan demokrasi (poliarchy), terdapat dua dua elemen penting yang harus dikembangkan dan dikedepankan, yaitu kompetisi (persaingan) dan partisipasi. Dimana kedua hal tersebut mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan politik dalam pemerintahan demokratis suatu negara. 16 Demokrasi yang ideal adalah demokrasi yang mampu memenuhi beberapa syarat, yaitu pertama, negara 14 Robert A. Dahl, “Democratic Polities in Advanced Countries: Success and Challenge”, New Worldwide Hegemony - Alternatives for Change and Social Movements Journal (2004): 58-59, diakses pada 21 Desember 2012, http://biblioteca.clacso.edu.ar/ar/libros/hegeing/Dahl.pdf 15 Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, 35 16 Todd Landman, “Democracy: Concepts, Measures and Relationships”, Institute for Democracy & Conflict Resolution – Briefing Paper (IDCR-BP-01/11) (2011): 1-3, http://www.idcr.org.uk/wpcontent/uploads/2010/09/01_112.pdf, diakses pada 12 Agustus 2013 8 wajib memberikan kebebasan bagi rakyat untuk merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri. Kedua, rakyat kemudian harus menyebarkan ide kepentingannya itu dalam tindakan individual atau kolektif kepada sesama warga negara dan pemerintah. Ketiga, rakyat harus berupaya agar kepentingannya dapat menjadi konsiderasi pemerintah dalam merumuskan kebijakan politik dan pemerintahan, agar tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif atau berbeda sebagai akibat dari diberlakukannya suatu kebijakan pemerintah. 17 Penyelenggaraan pemilu langsung dalam suatu pemerintahan merupakan salah satu bentuk berjalannya demokrasi prosedural dalam suatu negara, karena karena di dalam prosesnya terdapat prosedur tertentu yang dijalankan. Selain itu, segala kebijakan yang berjalan dalam pemerintahan demokrasi prosedural bergantung kepada hasil musyawarah yang diambil melalui hasil suara terbanyak, atau suara mayoritas. Dalam menjalankan demokrasi dalam suatu pemerintahan, tak jarang terjadi persimpangan diantara prosedur dan substansi dari demokrasi itu sendiri. Dewasa ini, lebih cenderung terlihat bahwa prosedur dianggap sebagai bentuk valid dari berjalannya sebuah sistem yang demokratis. 18 Kondisi tersebut, menurut penulis dikarenakan tren pemerintahan yang berkembang di kebanyakan negara di dunia menerapkan sistem demokrasi prosedur, namun dalam pelaksanaannya sering kali demokrasi yang berjalan hanya mampu mengakomodasi kepentingan dan permintaan yang diajukan oleh komunitas mayoritas. Karena pemerintahan tersebut berjalan sebagai hasil dari suara kepentingan kelompok mayoritas. Sementara para kaum minoritas di negara-negara tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Hal ini dapat bertentangan dengan nilai-nilai HAM, dimana HAM merupakan sesuatu yang mutlak didapat dan harus diperjuangkan setiap individu sejak lahir. John Rawls, seperti yang dikutip oleh Matthew Lister, mengkategorisasikan hak-hak asasi manusia yang paling dasar (human rights) 17 Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, 40-45 “Menggugat Makna Demokrasi”, Ispei (online), diakses pada 19 Januari 2013, http://www.ispei.org/index.php/analisis/13-menggugat-makna-demokrasi 18 9 yang harus dilindungi oleh hukum internasional, yakni meliputi hak untuk hidup, mendapat perlindungan dan keamanan; hak untuk mencapai kebebasan, bebas dari segala macam bentuk perbudakan, bebas memeluk agama dan keyakinan serta berpendapat; hak atas properti pribadi; dan hak untuk diperlakukan secara sama atau setara, dalam arti tidak ada diskriminasi di dalamnya. 19 Jika demokrasi menekankan pada persaingan, dan hal itu dikaitkan dengan hak, maka setiap orang pastinya berhak melakukan apapun untuk bersaing memperjuangkan agar kepentingannya diakomodasi oleh pemerintahan. Dan jika demokrasi dan HAM secara bersamaan menjunjung tinggi prinsip kebebasan, maka setiap orang bebas mempertahankan kepentingannya, walaupun resiko terburuknya adalah harus menindas kepentingan orang atau kelompok minoritas. Inilah mengapa kemudian muncul pemikiran bahwa demokrasi dapat mengalahkan pengamalan nilai-nilai HAM, yang kemudian menuntun kita pada pertanyaan apakah demokrasi dan HAM adalah dua hal yang saling terkait atau tidak? Apakah Demokrasi secara esensial benar-benar mempromosikan HAM? Kondisi inilah yang sedang terjadi di Belanda, dimana demokrasi di negara tersebut membuka celah atas terjadinya perlakuan diskriminatif terhadap kelompok penganut agama Islam yang merupakan minoritas, dimana hal tersebut melanggar HAM. Fenomena tersebut merupakan gambaran bagaimana demokrasi tidak mampu mengakomodasi hak-hak individu dalam masyarakat yang plural, dengan latar belakang budaya, sosial, ekonomi yang berbeda-beda. Budaya, mencakup agama dan keyakinan merupakan hal mutlak yang didapat setiap individu sejak lahir dan tumbuh berkembang. Dimana budaya melekat dan menjadi identitas diri setiap orang karena lingkungan hidup seseorang selalu dikelilingi oleh nilai budaya yang mereka bawa dari keluarga, komunitas, etnis, atau bangsa. Dalam kasus ini, penulis melihat apa yang terjadi di Belanda, terkait dengan hubungan masyarakat Belanda dengan kelompok Muslim yang kebanyakan 19 Matthew Lister, “There Is No Human Rights to Democracy. But May We Promote It Anyway?”, 48.2 Stanford Journal of International Law 257 (2012): 264. 10 merupakan imigran dari Turki dan Maroko sebagai bentuk diskriminasi rasial. Demokrasi di Belanda dalam prakteknya lebih cenderung pada tipe demokrasi prosedural yang liberal, yang mengutamakan prinsip struggle for power, yang tercermin dalam dua elemen pentingnya yaitu kompetisi dan partisipasi. Ditambah dengan penerapan konsep kebebasan sipil (civil rights) yang cenderung terlampau ekstrim. Hal tersebut terlihat dari bagaimana suara atau kepentingan kelompok mayoritas (warga negara keturunan asli Belanda) dijadikan sebagai kunci utama dalam menentukan kebijakan sosial dan politik pemerintahannya. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya ketimpangan atas pemenuhan hak-hak setiap individu dalam masyarakat Belanda. Dimana masyarakat minoritas kalah dalam menyuarakan kepentingannya karena tidak memiliki perwakilan dalam pemerintahan, sehingga hak-hak mereka terabaikan. Demokrasi yang berujung pada diskriminasi terhadap kelompok agama tersebut tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM dalam Hukum Internasional, diantaranya prinsip kesetaraan dimana, prinsip HAM ini menyatakan bahwa hal yang mendasar dalam HAM adalah gagasan yang meletakkan setiap individu terlahir bebas dan memiliki hak-hak yang setara. Yang kedua adalah prinsip diskriminasi, dimana prinsip ini melarang adanya segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena prinsipnya adalah, apabila setiap individu memiliki hak-hak yang setara satu dengan yang lainnya, maka seharusnya tidak ada tindakan diskrimintatif dalam interaksi setiap individu dalam suatu masyarakat yang memiliki beraneka ragam budaya. 20 Diskriminasi terhadap komunitas Muslim di Belanda juga melanggar nilainilai yang terkandung dalam konvensi internasional PBB, yaitu International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 21 dan juga melanggar ketentuan pasal 18 dari International Convenant on Civil and Political Rights (yang mengatur bebas dalam menganut dan menjalankan suatu agama atau 20 PUSHAM UII, Hukum Hak Asasi Manusia. 39-40 ”Treaties”, United Nations, diakses pada 16 November 2012, http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-2&chapter=4&lang=en. 21 11 keyakinan). 22 Dimana Belanda menandatangani sekaligus meratifikasi konvensi tersebut. Serta Namun pada prakteknya negara-negara yang berpartisipasi dalam konvensi ini, khususnya Belanda, masih belum dapat meredam isu-isu diskriminasi atas dasar agama dan etnis tertentu, contohnya Muslim. Beberapa pihak memandang bahwa menentang arus kedatangan imigran dari timur tengah, mengekspresikan ketidaksukaan terhadap etnis Muslim di Belanda merupakan bentuk kebebasan. Yang mana hal itu dibenarkan dalam prinsip demokrasi. Berdiri dan berkembangnya partai sayap kanan ekstrim, LPF dan PVV, dengan segala maneuver politiknya yang menyerang dan mendiskriminasi imigran khususnya yang Muslim, hal tersebut merupakan wujud ekspresi mereka terhadap kepentingan partai politik tersebut. Sementara, bagi kubu Muslim, berjihad dan dakwah merupakan hal yang dianjurkan dalam syariah Agama Islam, dan hal tersebut merupakan hak yang secara bebas dapat dilakukan Umat Islam. Karena hal itu pun merupakan suatu bentuk kebebasan setiap individu dalam melaksanakan kewajiban dan hak agamanya, dan semestinya dapat dilindungi seperti dalam konsep demokrasi yang pada dasarnya menghormati dan melindungi nilai-nilai hak asasi manusia. 1.4 Argumen Utama Fenomena berkembangnya permasalahan diskriminasi rasial khususnya terhadap etnis Muslim di Belanda tersebut merupakan bentuk paradoks dalam demokrasi. Dimana demokrasi Belanda justru melahirkan konflik dalam masyarakatnya. Ini merupakan penyimpangan dari prisnip-prinsip demokrasi yang seharusnya menghormati, dan melindungi hak individu dari kelompok-kelompok yang berbeda satu sama lain. Perbedaan mencolok antara ideologi atau perspektif yang dianut beberapa partai politik di Belanda, dengan nilai-nilai yang diyakini oleh kaum Muslim yang ada di negara tersebut. Mayoritas partai politik di Belanda menganut ideologi yang liberal, dan sedikit diantaranya menanamkan ide keagamaan dalam manifesto politiknya. 22 “International Covenant on Civil and Political Rights”, United Nations Office of High Commissioner for Human Rights (website), diakses pada 18 Agustus 2013 http://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx 12 Pemerintahan Belanda sangat demokratis, membebaskan rakyatnya membentuk partai politik atau kelompok kepentingan, untuk bersaing dalam Pemilu. Meskipun kebebasan ini menyebabkan kemunculan dan berkembangnya partai dengan ideologi liberal ekstrim, yang menolak keberadaan Muslim. LPF dan PVV, walaupun tergolong sebagai partai politik baru dalam Parlemen Belanda, namun keberadaan keduanya dalam Parlemen memberikan pengaruh yang cukup berarti bagi kebijakan yang dirumuskan dan diberlakukan Pemerintahan. Sementara ideologi kelompok Muslim pada umumnya berpedoman pada ajaran kitab Al-Qur’an, secara fundamental terdapat hal yang bertentangan dengan prinsip paham liberal. Islam menetapkan syariah yang wajib dilakukan oleh umat Muslim, seperti aturan untuk berpakaian yang menutup aurat, dan ketetapan lainnya yang dinilai Bangsa Barat terlalu mengekang kebebasan penganutnya. Hal itu berbeda jauh dengan prinsip liberal, yang meyakini bahwa setiap individu berhak memiliki kebebasan tak terhingga atas hidupnya masing-masing. Permasalahan ini juga memberikan peluang bagi beberapa pihak yang memanfaatkan konflik yang ditimbulkan oleh demokrasi di Belanda tersebut, sebagai modal mereka untuk berkompetisi dalam politik dan pemerintahan Belanda. Keberadaan LPF dan PVV menjadi contoh wujud daripada political struggle yang dilakukan Pim Fortuyn dan Geert Wilders. Hal tersebut terjadi akibat menurunnya pengamalan nilai-nilai HAM, bersamaan dengan banyaknya orang yang menunjung tinggi prinsip kebebasan sebagai akibat dari berjalannya demokrasi radikal di suatu negara. Kebebasan disini adalah bagaimana etnis atau kelompok Muslim mempertahankan ideologi, manifesto, dan nilai-nilai Agama Islam. Namun secara bersamaan terdapat Muslim di belahan dunia lain yang terlalu radikal dalam mengamalkan paham agamanya, yang pada akhirnya, berdampak negatif bagi para Muslim di beberapa negara Barat. Masyarakat barat pun berhak untuk menentang radikalisme agama tersebut, karena nilai-nilai agama tidak dapat di-universalisasikan seperti yang tertanam dalam konsep universalitas dalam hak asasi manusia. 13 1.5 Teknik Pengumpulan Data Detil yang akan dijelaskan paparan dalam skripsi ini dibangun melalui data sekunder. Yaitu pemakaian studi literatur, yang mengutamakan data tertulis dalam bentuk cetak seperti buku, jurnal, majalah, Koran dan diktat kuliah. Serta melengkapinya dengan data tertulis bentuk elektronik seperti e-book dan website. 1.6 Jangkauan Penelian Penulisan skripsi ini memiliki cakupan bahasan seputar isu demokrasi dan HAM di Belanda. Dengan melihat bahwa klaim tentang demokrasi yang memperjuangkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia tidak selalu benar. Lebih jauh, skrispsi ini akan memaparkan tentang perkembangan demokrasi dan HAM di Belanda, dengan melihat bahwa demokrasi tersebut justru melahirkan paradoks berupa diskriminasi terhadap kelompok Muslim. Dibuktikan dengan berkembangnya komunitas anti-Islam di Belanda, seperti LPF dan PVV dengan manifesto politiknya yang anti-imigran dan anti-Islam. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai HAM, dalam hal ini menyangkut dengan kebebasan beragama, dapat terkalahkan oleh prinsip kebebasan dalam Demokrasi. 1.7 Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian mengenai diskriminasi rasial yang terjadi di Belanda tersebut, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif dan studi literatur. Dalam menggunakan metode kualitatif, penulis akan melakukan penelitian dalam tiga tahapan utama, yaitu: (1) Pengumpulan Data (Data Collecting); (2) Pengolahan Data (Data Analysis); dan (3) Laporan Penulisan (Report Writing). Pertama, pada tahap awal pengumpulan data yang harus dilakukan adalah menetapkan batasan parameter data yang dikoleksi. Ide dari penulisan kualitatif adalah dengan sengaja menyeleksi informasi yang diperoleh dari data sekunder. Pengumpulan data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini akan memanfaatkan berbagai buku, jurnal, catatan/diktat kuliah, serta artikel-artikel baik yang berasal dari media massa baik cetak maupun internet. 14 Selanjutnya adalah tahap pengolahan data (analisis). Pada tahap ini, informasi dikelompokkan menjadi kategori dan diformat menjadi sebuah deskripsi, kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk tulisan ilmiah atau laporan penulisan. 1.8 Sistematika Penulisan / Rencana Penelitian Skripsi ini berisi pemaparan yang dirinci dalam 4 bagian utama, antara lain : 1. Bab 1: Pendahulan terdiri dari beberapa sub-bab antara lain latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumentasi utama, metode penelitian, dan sistematika penulisan / rencana penelitian. 2. Bab 2: Posisi Muslim dalam Politik dan Pemerintahan Belanda. Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan lebih lanjut dari pada latar belakang masalah, karena dianggap perlu untuk memberi gambaran lebih terhadap permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini. Penulis kemudian membagi penjelasan tersebut kedalam tiga sub-bab, yaitu adalah: a) Sistem Politik dan Pemerintahan Belanda dibahas secara singkat dan padat, untuk memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana latar belakang Pemerintahan Belanda, untuk selanjutnya digunakan untuk menganalisis bagaimana sikap Pemerintah Belanda terkait isu ini. b) Partai Politik yang Variatif mengulas tentang gambaran pemetaan kelompok kepentingan dan partai-partai di Belanda. c) Muslim dan Partisipasi Politiknya melihat bagaimana berkembangnya komunitas Muslim di Belanda, dan bagaimana keberadaan mereka menjadi masalah, serta melihat seperti apa posisi Muslim sebagai Imigran dalam Politik dan Pemerintahan Belanda secara umum. 3. Bab 3: Tindak Diskriminasi Yang Dialami Masyarakat Muslim Belanda melihat lebih khusus bagaimana bentuk diskriminasi yang dialami kelompok Muslim di Belanda. Baik yang dilakukan 15 masyarakat, komunitas anti-Islam, dan pemerintah (dilihat dari kebijakan yang berlaku) di negara tersebut. a) Perkembangan Diskriminasi Komunitas Anti-Islam dalam Masyarakat Belanda menyajikan beberapa data riset Amnesty International terkait masalah diskriminasi rasial di Eropa, dan secara khusus membahas diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat Belanda terhadap Muslim di Belanda. b) Lijst Pim Fortuyn (LPF) secara spesifik membahas LPF sebagai salah satu organisasi struktural yang berhasil masuk dalam Parlemen Belanda melalui isu anti-Imigran dan antiIslam yang mereka angkat dalam kampanye politiknya periode 2002-2006. c) Partij voor de Vrijheid (PVV) menjelaskan bagaimana PVV sebagai partai politik yang baru terbentuk dan masih bertahan hingga saat ini dengan mengembangkan pandangan anti-Islam dan anti-Imigran dalam Parlemen Belanda periode 2006 hingga sekarang. 4. Bab 4: Paradoks Demokrasi dan Sikap Anti-Islam di Belanda. Penulis membagi penjelasan dalam analisis ke dalam dua bagian: a) Paradoks Demokrasi di Belanda b) Alasan Terjadinya Diskriminasi Terhadap Muslim di Belanda c) Beberapa Faktor Pendukung Lainnya Kedua bagian tersebut dibahas sebagai upaya penulis untuk mencari tahu motivasi dibalik terbentuk dan berkembangnya komunitas anti-Islam di Belanda, seperti LPF dan PVV. 5. Bab 5: Kesimpulan, merupakan bagian penutup yang menjabarkan konklusi atau kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah dipaparkan dalam skripsi ini. 16