BAB I Pendahuluan

advertisement
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
“Lawan Sastra Ngesti Mulya”, yang berarti “dengan pengetahuan mencitacitakan kemuliaan / kesejahteraan”1. Merupakan salah satu fatwa dari tokoh
pendidikan nasional kita, Ki Hadjar Dewantara, yang secara garis besar terkandung di
dalam ajaran-ajaran Majelis Luhur Taman Siswa. Tidak dapat dipungkiri, pendidikan
merupakan salah satu pijakan manusia untuk memperoleh derajat hidup yang lebih
tinggi. Dengan pendidikan, manusia dipermudah dalam menghadapi pelbagai
fenomena sosial, terutama globalisasi yang notabene telah menjadi isu utama di era
modernisasi sekarang ini.
Globalisasi, yang menurut para intelektual Indonesia berhaluan „kiri‟,
merupakan „pintu masuk yang lebar‟ bagi neoliberalisme maupun ideologi-ideologi
barat lainnya, dinilai sudah meruntuhkan nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme
bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan globalisasi sudah tidak mempedulikan lagi
konteks ruang. Globalisasi semakin mempermudahkan komunikasi antar bangsa,
perdagangan antar bangsa, pertukaran budaya, dan lain-lain.
Kenichi Ohmae dalam bukunya, The Borderless World (1991), menjelaskan
bahwa konsep mengenai Negara-bangsa (nasionalisme) benar-benar telah berakhir
mengarah kepada kerjasama regional di dalam dunia tanpa batas 2. Peranan
1
Macaryus, S. (2010). Serpih-serpih Pandangan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa
2
Ohmae, Kenichi dalam Budiyanto, F.X. (1991). Dunia Tanpa Batas. Jakarta: Binarupa Akasara
1
pemerintahan nasional (Indonesia) lambat laun semakin terkikis oleh Globalisasi
yang merambah Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai privatisasi di
sektor-sektor yang seharusnya mempengaruhi derajat hidup rakyat banyak. Memang
tidak sedikit yang kontradiksi terhadap pernyataan Kenichi Ohmae, namun
senyatanya konsep yang diutarakan Ohmae tersebut relevan dengan realita di
Indonesia. Globalisasi melalui kebijakan-kebijakan „barat‟nya senyatanya sudah
melunturkan nilai-nilai kebangsaan masyarakat Indonesia sekaligus mengikis peran
pemerintahan Nasional, seiring dengan runtuhnya batas-batas yang membatasi
Negara-negara. Akibatnya pada dunia pendidikan tentu beragam, dan fenomena ini
merupakan suatu tantangan besar bagi dunia pendidikan Nasional, dimana di
dalamnya terdapat institusi pendidikan yang memiliki latar belakang historis yang
kuat, yakni TamanSiswa.
Taman Siswa, yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli
tahun 1922 pada masa kolonialisme, merupakan salah satu pergerakan nasional bagi
rakyat Indonesia melalui jalur pendidikan. Hal ini dikarenakan, tujuan Taman Siswa
sendiri adalah menciptakan manusia Indonesia yang merdeka, tidak bergantung pada
penjajah, baik segi fisik, mental, ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Sehingga
benar-benar menciptakan individu yang mandiri, serta menciptakan individu yang
luhur, memiliki jiwa nasionalisme, agar mampu „mengkontrol‟ keadaan di era
kolonialisme.
Berdirinya Taman Siswa sendiri tidak lepas dari keresahan batin yang
dirasakan oleh Ki Hadjar Dewantara terhadap keadaan masyarakat Indonesia pada
masa kolonialisme. Pendidikan yang diajarkan oleh institusi-institusi pendidikan
kolonial, bagi Ki Hadjar Dewantara adalah mendoktrin manusia-manusia Indonesia
untuk berpaham dan berkiblat pada Barat. Sehingga hanya menciptakan individu
yang individualis, intelektualis, materialis, dan profit oriented, namun tidak peduli
pada bangsanya sendiri. Hal ini dapat dilihat pada saat Taman Siswa didirikan,
banyak masyarakat Indonesia sendiri yang mencemooh keberadaannya (pro kolonial).
2
Padahal, visi dan misi Taman Siswa memiliki nilai-nilai yang luhur, dan yang paling
utama, mengentaskan masyarakat Indonesia dari jerat kolonialisme, sehingga
menciptakan individu-individu yang mandiri, tidak bergantung pada penjajah.
Konsep tersebut sama seperti konsep Plato dalam mendefinisikan
pendidikan. Menurut Plato, pendidikan sebenarnya merupakan suatu tindakan
pembebasan dari belenggu ketidaktahuan maupun ketidakbenaran. Sehingga, bagi
Plato, peran utama pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui. Kemudian,
melalui pembebasan dan pembaharuan manusia inilah akan terbentuk manusia utuh,
yaitu manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa yang
mengantarkannya ke ide yang lebih tinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan 3.
Untuk itu, Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi warganya, karena
konsep Plato tersebut menandakan bahwa peranan pendidikan dalam pembangunan
suatu Negara sangatlah krusial.
Namun, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwasannya globalisasi
telah memberikan berbagai dampak di dalam pendidikan, baik positif maupun
negatifnya. Di era seperti sekarang, hakekat pendidikan mengalami pergeseran,
individu bukan lagi menimba ilmu agar dapat bermanfaat bagi khalayak banyak,
namun justru pendidikan dijadikan sarana komersialisasi dan sebagai sarana untuk
mempertinggi derajat hidupnya semata (individualistis). Yang paling menyedihkan,
tidak sedikit yang memiliki pemikiran pendidikan ditempuh hanya untuk menjadi
„syarat‟ memperoleh pekerjaan kelak. Sehingga, mereka yang „beruntung‟ dapat
menempuh pendidikan, justru hanya memikirkan dirinya sendiri untuk mempertinggi
derajat hidupnya, sedangkan mereka yang „tidak beruntung‟ yang tidak dapat
menempuh pendidikan, menjadi semakin termarginalisasi. „Beruntung‟, karena
mereka yang mampulah yang dapat menikmati pendidikan. „Tidak beruntung‟, karena
3
Jalaluddin ; Idi, Abdullah. (2012). Filsafat Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
3
mereka yang tidak mampu mendapatkan akses untuk menempuh pendidikan. Dalam
konteks ini, terjadi fenomena reproduksi sosial secara berulang-ulang di dalam proses
pendidikan.
Selain itu, masuknya neoliberalisme di Indonesia dengan „membonceng‟
globalisasi, yang mana neoliberalisme ini merambah hingga institusi pendidikan
nasional. Neoliberalisme berprinsip mengurangi peran Negara dalam mengelola
pendidikan dan menyerahkan segalanya pada pasar bebas. Dalam buku Orang Miskin
Dilarang Sekolah (2006) karya Eko Prasetyo disebutkan, bahwa terjadinya biaya
yang tinggi dalam pendidikan dikarenakan munculnya peran swastanisasi di
dalamnya4. Dengan begitu, sekolah ada di bawah kuasa modal. Sekolah menjadi
mahal, karena ada kepentingan swasta tertentu yang berorientasi profit melalui jalur
pendidikan. Sehingga, jarang ada sekolah swasta yang tergolong murah. Pengalaman
saya sekolah dulu, sekolah swasta merupakan pilihan kedua (sekunder) bagi para
orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Sekolah negeri merupakan pilihan utama
(primer), karena dianggap lebih murah daripada sekolah swasta. Sehingga sekolah
swasta merupakan pilihan kepepet bagi calon murid baru yang tidak diterima di
sekolah negeri karena kalah bersaing oleh para calon murid baru yang lain.
Persaingan memang identik dengan neoliberalisme. Selain persaingan antar
murid, persaingan antar institusi pendidikan pun terjadi, terutama institusi yang
dikelola oleh swasta. Dapat kita lihat, setiap ajaran baru semua sekolah (terutama
swasta) berlomba-lomba bersaing untuk mempromosikan sekolahnya melalui brosur
untuk menjaring korban-korbannya
(baca: murid baru).
Dengan berbagai
infrastruktur, beasiswa, tenaga pengajar, dan fasilitas lainnya yang dipersaingkan,
tidak sedikit promosi yang terdapat di brosur layaknya jargon kampanye belaka para
elit politik. Sehingga, pendidikan yang hakekatnya bertujuan mulia, di era globalisasi
sekarang pendidikan justru dapat dikonotasikan sebagai arena pasar. Hanya para
4
Prasetyo, Eko. (2006). Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book
4
kapital dan borjuislah yang diuntungkan, namun golongan rakyat menengah ke
bawah semakin nelangsa.
Di dalam pasal 5 ayat pertama Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
disebutkan, bahwa “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan yang
bermutu”. Namun, senyatanya pendidikan hanya dapat dinikmati oleh kalangan
borjuis atau kalangan mampu semata. Hal ini tentu sudah melenceng dari tujuan
Negara yang termaktum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan yang seharusnya merata dan dapat dinikmati
oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, realisasinya justru masih banyak anakanak yang belum dapat menikmati pendidikan maupun putus sekolah dikarenakan
masalah ekonomi yang menghimpit keluarganya. Tercatat pada tahun 2007, dari 100
persen anak yang bersekolah dasar, hanya 80% diantaranya yang lulus, sedangkan
20% sisanya putus sekolah. Kemudian dari 80% diantaranya yang lulus SD, hanya
sekitar 61% yang melanjutkan ke tingkat SMP atau setingkat. Kemudian, dari jumlah
tersebut yang lulus sekitar 48%. Sementara itu, dari total yang lulus SMP, yang
melanjutkan ke SMA hanya sekitar 21%, dan yang berhasil lulus hanya 10%.
Kemudian, yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya 1,4% 5.
Kasus ini tentu menjadi permasalahan serius bagi pemerintahan Indonesia di
dalam dunia pendidikan. Pendidikan menjadi melenceng dari tujuan semula yang
dicita-citakan oleh para pendahulu, terutama para pendiri Taman Siswa. Pendidikan
menjadi sarana komersialisasi semata. Lambat laun, seiring perkembangan zaman,
mereka yang tidak dapat bersekolah diasumsikan sebagai individu yang “tidak
beruntung”. Padahal, seyogyanya pendidikan itu diperuntukkan bagi seluruh lapisan
masyarakat Indonesia.
5
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/09/3/129864/Angka-Putus-Sekolah-diIndonesia-masih-Tinggi
5
Selain itu, kasus yang sangat relevan dengan fenomena globalisasi adalah
masuknya doktrinasi ideologi asing yang mengandung unsur-unsur individualisme ke
dalam kurikulum pendidikan sekolah-sekolah baik dasar hingga menengah atas. Salah
satunya, saya kutip pernyataan yang pernah diungkapkan oleh Prof. Sri-Edi Swasono,
bahwa di dalam mata pelajaran (terutama pendidikan moral atau kewarganegaraan),
selalu mengajarkan tentang „hak‟, „berhak‟, dan „milik pribadi‟ tanpa menyentuh
„kewajiban sosial‟6. Asas kebersamaan dan kekeluargaan, yang merupakan salah satu
falsafah dari ideologi pancasila justru dikesampingkan. Sehingga, yang terjadi adalah
anak didik bangsa Indonesia, terutama pemuda mengalami fenomena krisis identitas,
yang hanya menjadi pengikut ideologi asing.
Mari kita menengok ke level di bawah perguruan tinggi, yakni sekolah.
Mengutip pernyataan dari George Bernard Shaw, seorang penulis, dramawan dan
penerima nobel kesusastraan, yang mengkritisi fenomena ketimpangan pendidikan 7,
“Di muka bumi ini tidak ada satu pun yang menimpa orang-orang tak berdosa
separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal, sekolah
lebih kejam daripada penjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak dipaksa
membeli dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala penjara”.
Cukup fenomenal pernyataan dari Shaw ini, mengingat di jenjang sekolah, siswa
baru, atau tiap ajaran baru, sekolah mengharuskan siswa membeli buku-buku paket
untuk bahan pembelajaran, sekaligus sebagai syarat kelancaran metodologi
pengajaran. Padahal, biaya sekolah baik uang pembangunan maupun SPP saja sudah
membebani orang tua (baca: golongan menengah ke bawah). Sekarang, ditambah
dengan beban biaya-biaya buku dan seragam yang tentunya menguntungkan bagi
pihak-pihak tertentu dan yang utama, sekolah juga mengambil keuntungan darinya
(tender). Apabila ditarik kesimpulan, dapat dikatakan bahwa hegemoni pasar sudah
masuk hingga ranah pendidikan. Sekolah menjadi sarana komersialisasi dan profit
oriented.
6
7
Swasono, Sri-Edi. (2004). Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan. Jakarta: UNJ-Press.
Prasetyo, Eko. (2006). Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book
6
Sudah merupakan suatu konstruksi sosial di Indonesia, bahwa pendidikan
merupakan salah satu jalan untuk dapat meningkatkan kelas sosial. Sering kita
jumpai, kasus-kasus yang bersifat ironik dan dramatis, bahkan mirip seperti sinetronsinetron dan telenovela picisan8. Seperti perjuangan orang tua yang penghasilannya
sangat minim, namun bekerja ekstra keras agar anaknya dapat mencicipi sebuah
„kata‟, yaitu sekolah. Hutang kesana kemaripun seolah menjadi sebuah „kultur sosial‟
agar anaknya yang tidak diijinkan masuk sekolah karena alasan yang „tidak masuk
akal‟, seperti belum membayar SPP, tidak memiliki buku paket, dan sebagainya dapat
kembali bersekolah. Melihat kondisi ini, seakan benar ungkapan “orang miskin
dilarang sekolah” (Eko Prasetyo).
Salah satu institusi pendidikan yang memegang teguh nilai-nilai Pancasila,
yakni Taman Siswa yang juga dapat disebut „sekolah segala kalangan‟ justru
menggeh-menggeh dalam mempertahankan kondisinya. Walaupun orang miskin dan
kaya boleh bersekolah di Taman Siswa, yang terjadi adalah mayoritas muridnya
adalah kalangan menengah ke bawah (baca : miskin). Wajar memang, karena
mayoritas kalangan menengah ke atas lebih memilih sekolah-sekolah negeri yang
dipandang lebih berkualitas dan menjamin, ataupun ke sekolah swasta yang
mengadopsi kurikulum asing, sehingga memungkinkan untuk go international.
Padahal, sekolah-sekolah macam tersebut sudah terhegemoni oleh neoliberalisme
tanpa memandang nilai-nilai luhur kebudayaan nusantara. Melihat hal ini, Ketua
Harian Majelis Luhur Taman Siswa, Ki R. Suharto mengungkapkan tidak dapat
menarik biaya yang tinggi, karena menjunjung tinggi semangat yang diusung Ki
Hadjar Dewantara, yakni pemerataan pendidikan, bukan peninggian pendidikan
(berbeda sekali dengan sekolah swasta lain yang profit oriented). Akibatnya, banyak
sekolah Taman Siswa yang tutup karena kekurangan dana9. Di era dimana pasar di
dewa-dewakan seperti sekarang, filosofi yang diusung Taman Siswa memang
8
Baca Perjalanan Anak Bangsa: Asuhan dan Sosiolisasi dalam Pengungkapan Diri yang ditulis oleh
Aswam Mahasin, Ismed & Thamrin Hamdan
9
Lih. Harian Jogja, Jumat, 7 Juni 2013
7
menjadi pisau bermata dua. Perjuangan mempertahankan filosofi yang memihak
rakyat banyak inilah yang patut dihargai di dalam Majelis Luhur Taman Siswa.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka ditarik
rumusan masalah sebagai berikut :
“Bagaimanakah aplikasi konsep pedagogis Ki Hadjar Dewantara di era
globalisasi kontemporer?”
C. Tujuan
Majelis Luhur Taman Siswa memiliki latar belakang historis yang sangat
kuat. Pada masa kolonialisme, Taman Siswa memiliki peranan penting, yaitu
melawan penjajahan melalui jalur pendidikan. Mengapa pendidikan? Menurut sang
tokoh utama pendiri Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan
salah satu sarana untuk mengentaskan masyarakat dari jerat kolonial. Dengan
pendidikan, maka masyarakat akan sadar dan dapat mengatasi keadaan yang ada di
sekitarnya. Selain itu, menurut beliau, sekolah-sekolah yang ada pada masa itu tidak
memuaskan rakyat. Hal ini diikarenakan sistem pengajaran beraliran barat yang
diterapkan pemerintah kolonial pada masa itu bersifat intelektualistik dan
materialistik semata, tanpa memahami budaya-budaya luhur bangsa. Sehingga, bagi
Ki Hadjar Dewantara, penting untuk mendirikan suatu institusi pendidikan nonkolonial, yang tentunya juga mengajarkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Dengan
demikian, Taman Siswa merupakan salah satu aset historis pendidikan nasional yang
dimiliki bangsa Indonesia.
8
Namun, setelah berusia hampir seabad, keberadaan Taman Siswapun mulai
pudar. Mayoritas masyarakat yang lahir di era modern hampir tidak mengetahui apa
itu Taman Siswa, bahkan intelektual muda sekalipun. Salah satu dosen UST
(Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa) Sudartomo Macaryus mengungkapkan,
sering terjadi di forum-forum ilmiah, ada peserta yang menyebutkan asal institusi dari
Taman Siswa, namun tidak sedikit pula yang kemudian berbisik dan bertanya,
“Taman Siswa masih ada, ya?”. Di satu sisi, peserta yang berasal dari Taman Siswa
membuktikan, bahwa Taman Siswa masih tetap menunjukkan eksistensinya hingga di
era modernisasi seperti sekarang ini. Namun, di sisi lainnya, menunjukkan ada yang
berasumsi bahwa Taman Siswa hanya tinggal catatan sejarah semata10.
Untuk itu, penelitian ini bertujuan, yang pertama, untuk membangun
kesadaran di masyarakat, bahwa Taman Siswa masih dapat menunjukkan
eksistensinya walaupun banyak mengalami masa-masa sulit akibat pengaruh
globalisasi. Selain itu, keberadaan Taman Siswa juga dipersulit oleh adanya sekolahsekolah unggulan, terutama sekolah yang berorientasi global (sekolah internasional).
Dengan pemahaman terhadap Taman Siswa, maka masyarakat dapat mengetahui
seluk beluk sejarahpendidikan nasional, dari era kolonialisme hingga di era
globalisasi.
Yang kedua, membuka mata terhadap permasalahan pelik yang melilit di
dalam pendidikan nasional yang sudah terkikis oleh globalisasi. Pendidikan seakan
merupakan „biang keladi‟ terjadinya kesenjangan sosial, karena pendidikan hanya
dinikmati oleh segelintir kalangan, bukannya kalangan menyeluruh. Sehingga yang
terjadi adalah yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Lebih lanjut,
bahkan seakan kebijakan pendidikan nasional tidak melibatkan Taman Siswa selaku
fondasi utama dalam pendidikan berkebangsaan Indonesia. Seperti kita lihat,
pemerintah
lebih
mengutamakan
„peninggian‟
pendidikan
daripada
10
Macaryus, S. (2010). Serpih-serpih Pandangan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa
9
„pemerataan‟pendidikan. Hal ini tidak sesuai dengan ajaran Ki Hadjar Dewantara
yang mengedepankan konsep pemerataan. Konsep pemerataan harus diterapkan
dalam pembangunan pendidikan nasional. Terutama, mengedepankan nilai-nilai
Pancasila dalam penyelenggaraan pendidikan dan metodologi pengajaran.
D. Tinjauan Pustaka
Taman Siswa merupakan salah satu institusi pendidikan yang bertahan sejak
era kolonial hingga sekarang. Pada masa berdirinya, Taman Siswa juga tidak
langsung diterima keberadaannya oleh masyarakat lokal, bahkan mendapat
kecaman.Terutama mereka yang „tunduk‟ pada pemerintah kolonial. Namun, seiring
berjalannya waktu, banyak masyarakat yang mendukung keberadaan Taman Siswa,
mereka inilah yang ingin lepas dari belenggu pemerintahan kolonial.
Taman Siswa adalah pedoman bagi pendidikan nasional, karena latar
belakang historisnya yang melawan kolonialisme di jalur pendidikan 11. Namun,
seiring pergantian zaman dan sistem pemerintahan, inspirasi pendidikan nasional
justru menjurus ke ranah global tanpa mempedulikan khasanah kearifan lokal.
Kebijakan-kebijakan dalam pendidikan sama sekali tidak berkiblat pada ajaran Ki
Hadjar dewantara. Faktanya, banyak bermunculan sekolah-sekolah internasional,
bahkan di tahun 2005 bermunculan sekolah-sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional). Kompas pernah memberitakan, adanya RSBI ini pemerintah dianggap
mengkhianati sejarah bangsa. Berbagai payung hukum yang melandasi RSBI pun
dinilai sebagai faktor penyebabnya. Hal ini dikarenakan RSBI mengadopsi kurikulum
barat yang kapitalistis dan individualistis12, yang bertentangan dengan falsafah
11
Macaryus, S. (2010). Serpih-serpih Pandangan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa
12
Lih. Kompas, 2 Mei 2012
10
pendidikan Indonesia yang telah diajarkan oleh para pendiri Taman Siswa, terutama
Ki Hadjar Dewantara.
Suryono SW (2011) pernah melakukan penelitian terkait dengan cabang
sekolah Taman Siswa tingkat Taman Madya (setingkat SMA) di Teluk Betung,
Lampung. Hasil dari penelitian yang merupakan thesis tersebut menyebutkan, bahwa
Taman Madya di Teluk Betung tersebut memang benar-benar berpedoman pada
ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara di dalam proses pelaksanaan manajemen
pendidikannya, salah satunya adalah tri pusat pendidikan. Selain itu, para pelaksana
(termasuk pamong / guru) memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Taman Siswa,
sehingga membuat mereka dapat melakukan pengabdian secara ikhlas. Hal ini
membuat cabang Taman Siswa di Teluk Betung tersebut dapat menjadi „hidup‟.
Penelitian terkait Taman Siswa yang lain pernah dilakukan oleh Khoirotun
Nisa (Skripsi, 2009) dengan judul “Pengaruh Administrasi Kesiswaan dalam
Meningkatkan Jumlah Animum Pendaftar di SMA Taman Siswa Mojokerto”. Dari
hasil penelitiannya disebutkan, bahwa keadaan SMA Taman Siswa di Mojokerto
tersebut cenderung stabil, dikarenakan memiliki tenaga pengajar yang memadai (65
pengajar dan 4 staf) dan jumlah murid yang cukup (850 siswa) di tahun ajaran
2008/2009. Hal ini dikarenakan manajemen yang baik dengan didukung administrasi
kesiswaan dan animo pendaftar di SMA Taman Siswa Mojokerto yang juga baik.
Namun, nasib berbeda justru dialami oleh berbagai sekolah Taman Siswa
yang nyaris „mati‟ alias mati suri, bahkan banyak pula yang sudah „mati‟. Data dari
Majelis Luhur Taman Siswa mengungkapkan, bahwa 300 sekolah Taman Siswa
mengalami mati suri, dan hanya sekitar 30% sekolah Taman Siswa yang layak
beroperasi. Hal ini, menurut alumni UST (Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa)
Tri Suparyanto mengatakan, persoalan yang membelit Taman Siswa lebih pada
masalah internal, terutama dalam hal manajerial. Namun, tentu saja masalah eksternal
lebih mudah dilihat, karena banyaknya sekolah-sekolah baru yang dipandang lebih
11
„berkelas‟ (Negeri maupun swasta) membuat posisi Taman Siswa semakin
termarginalkan. Ki Sri Edi Swasono selaku ketua umum Majelis Luhur Taman Siswa
mengatakan,
yakni
dibangunnya
sekolah-sekolah
Negeri
yang
berlebihan
menyebabkan tidak sedikit sekolah swasta yang gulung tikar. Beliau juga mengatakan
pengalamannya saat ke Payakumbuh, dimana ada sekolah swasta yang tutup karena
di depannya didirikan sekolah Negeri13.
E. Kerangka Pemikiran
E.1. Ki Hadjar Dewantara: Pendidikan adalah Memanusiakan Manusia
Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan hal yang berkaitan dengan pedagogis,
bahwa “pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya
lahir, sedangkan merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan”. Sehingga,
pendidikan dalam realisasinya harus dapat memanusiakan manusia atau anak
didiknya. Selain itu, beliau juga mengungkapkan, bahwa “pendidikan nasional
(menurut paham Taman Siswa) ialah pendidikan yang beralaskan garis-hidup dari
bangsanya, dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat
derajat Negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain
bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia”14. Melihat pernyataan
dari beliau ini, tujuan dari pendidikan yang beralaskan garis-hidup dari bangsanya
tidak lain adalah agar bangsa Indonesia memiliki identitasnya sendiri sesuai identitas
bangsanya. Adanya sekolah-sekolah asing yang tidak melibatkan unsur lokal
membuat para pengenyam pendidikan mayoritas mengalami krisis identitas.
13
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/05/18/225097/Sekolah-SwastaMati-karena-Kepala-Daerah
14
Macaryus, S. (2010). Serpih-serpih Pandangan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa
12
Adanya pengaruh dari globalisasi yang notabene menelurkan liberalisme,
menyebabkan berbagai paradigma dalam masyarakat yang mengkonstruksi bahwa
seluruh aspek kehidupan selalu dilandasi oleh kepentingan ekonomi (termasuk
pendidikan), seperti halnya yang diungkapkan Marx dalam Determinisme
Ekonominya. Pendidikan justru menjadi biang kerok terjadinya kesenjangan sosial,
karena hanya segelintir masyarakat saja yang bisa menikmatinya. Terjadi semacam
fenomena reproduksi kelas sosial yang terus menerus terjadi, bahwa pendidikan
hanya bisa dicicipi oleh kalangan tertentu saja. Sehingga yang di atas semakin
memuncak, yang di bawah semakin membuncit.
E.2.Dehumanisasi Paulo Freire
Prinsip Taman Siswa “pendidikan adalah memanusiakan manusia”, berarti
memegang teguh terhadap kemerdekaan dan kebebasanpeserta didiknya. Perampasan
kebebasan siswa dalam dunia pendidikan, akan bertendensi pada dehumanisasi.
Mengenai dehumanisasi dijelaskan pula oleh Paulo Freire
“Dehumanisasi – keadaan kurang dari manusia atau tidak lagi manusia –
bukan hanya menandai mereka yang kemanusiaannya telah dirampas,
melainkan (dalam cara yang berlainan) menandai pihak yang telah
merampas kemanusiaan itu, dan merupakan pembengkokan cita-cita untuk
menjadi manusia yang lebih utuh.”15
Apabila didasari oleh konsep Freire ini, di dalam sistem pendidikan kita tentu sudah
menjurus pada ranah dehumanisasi, seperti para guru yang mengajar hanya
berpedoman pada kurikulum, mengajar hanya sebagai ajang untuk memenuhi
kewajiban pencarian nafkah semata, tanpa mempelajari konsep among yang diajarkan
oleh Ki Hadjar Dewantara. Contoh fenomena yang terjadi adalah berbagai kasus
sepele yang dialami oleh para siswa, seperti tidak membawa buku tidak
15
Freire, Paulo. (2003). “Pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang memanusiakan” dalam
Omi Intan Naomi (Ed) Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (hal. 435)
13
diperbolehkan masuk kelas, tidak memiliki buku paket atau seragam tidak boleh
masuk sekolah, dan sebagainya.
Paulo Freire kemudian menyebutkan dua variabel di dalam fenomena
dehumanisasi ini, yakni yang ditindas dan yang menindas. Pendidikan seharusnya
dapat membebaskan mereka yang ditindas dari para penindas. Namun, yang terjadi
saat ini justru yang ditindas kemudian menjadi penindas, baik itu merupakan
„pelampiasan‟ atas apa yang terjadi pada mereka di masa lalu, atau merupakan
„balasan‟ terhadap para penindas mereka sebelumnya. Seharusnya, pendidikan harus
dapat mengatasi krisis moral semacam ini, agar pendidikan bukan menjadi sarana
reproduksi sosial semata.
E.3. Perenialisme
Perenialisme merupakan salah satu paham filsafat yang berusia sangat tua,
yang mana penamaannya berasal dari tulisan Augostino Steuco (1497-1548) berjudul
De perenni philosophia libri X (1540). Istilah Perenialisme sendiri berasal dari bahasa
latin, yakni dari kata perenis atau perennial, yang berarti tumbuh terus atau hidup
terus dari waktu ke waktu. Perenialisme adalah sebuah ideologi yang mengkritisi
modernisasi, karena modernisasi dinilai telah menunjukkan berbagai dampak
negatifnya dalam berbagai aspek16. Dalam hal pendidikan, terutama modernisasi,
yang tentu terbawa dengan masuknya globalisasi, menyebabkan pendidikan dijadikan
sebagai aset ekonomi oleh pihak-pihak tertentu, yang mana seharusnya pendidikan
pada hakekatnya tidak boleh ada kepentingan-kepentingan ekonomi di dalamnya.
Pada dasarnya, penganut Perenialisme bukanlah mereka yang menemukan
hal baru untuk suatu perubahan, namun mereka hanya mempopulerkan kembali
16
Wora, Emanuel. 2006. Perenialisme, Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
14
ajaran atau tradisi-tradisi yang sudah ada di masa lalu dengan harapan dapat
membawa perubahan di masa sekarang. Sehingga Perenialisme sering pula disebut
dengan Mazhab Tradisionalisme. Perenialisme sangat erat korelasinya dengan
keadaan Taman Siswa saat ini. Karena mereka berusaha tetap mempopulerkan ajaranajaran luhur dari para pendiri konsep pendidikan nasional, terutama Ki Hadjar
Dewantara, demi merubah konsep pendidikan nasional yang condong ke arah
kapitalisme dan individualistik tanpa memegang teguh nilai-nilai dan moral yang
dijunjung tinggi oleh para leluhur.
Taman Siswa memegang teguh prinsip pendidikan, bahwa pendidikan pada
hakekatnya adalah memanusiakan manusia.Hal ini dapat dikatakan berbeda dengan
pendidikan konservatif maupun progresif. Karena pada dasarnya ideologi pendidikan
yang mereka tanamkan merupakan ideologi yang sudah pernah muncul sebelumnya,
bahkan erat kaitannya dengan aspek historis. Sebagaimana makna fundamental dari
perenialisme, bahwasannya penganut konsep ini bukanlah mereka yang menemukan
hal baru, namun hanya menghidupkan kembali tradisi-tradisi masa lampau untuk
mengkritisi sistem-sistem konservatif maupun progresif yang pada realitasnya justru
menimbulkan gejolak sosial.
Dalam buku karya Emanuel Wora yang berjudul Perenialisme : Kritik atas
Modernisme dan Postmodernisme disebutkan pula bahwa Perenialisme memiliki
unsur teologis yang kuat. Filsafat Perenial melihat bahwa wujud-wujud di dunia ini
berkarakter hierarkis. Tiap-tiap struktur hierarkis yang ada dalam realitas dunia selalu
saling terkait satu sama lain, yang mana kemudian memuncak pada realitas Ilahi.
Berbeda dengan Filsafat Materialis17 yang memiliki pandangan bahwa realitas adalah
sesuatu yang paling sejati, sehingga hal-hal yang tak dapat dirumuskan seperti
teologi, etika, dan estetika dianggap tidak sejati atau tidak ada. Secara garis besar,
17
Emanuel Wora dalam bukunya menjelaskan bahwasannya Filsafat Materialis dapat disebut sebagai
antitesis daripada Filsafat Perenial.
15
Filsafat Materialis memandang alam semesta sebagai suatu pola mekanistik, sehingga
tidak memberi tempat bagi realitas yang transenden18.
Konsep Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire dalam pendidikan tentu lebih
bersifat Perenial. Ciri khasnya tidak lain adalah untuk mengentaskan manusia
menjadi manusia sejati. Manusia yang dalam rasionalitasnya Habermas tidak hanya
memiliki rasionalitas kognitif-instrumental, namun juga
rasionalitas moral.
Rasionalitas moral hanya muncul atas dasar kesadaran masyarakat akan humanisasi,
dan kepercayaan atas realitas Ilahi. Ki Hadjar Dewantara memahami bahwasannya
karakteristik bangsa Indonesia adalah percaya atas keberadaan Sang Pencipta dan
kentalnya gotong royong, karena memiliki kesamaan nasib atas apa yang menimpa
mereka pada masa kolonialisme. Dan yang paling utama, konsep pedagogis Ki Hadjar
Dewantara maupun Paulo Freire tidak akan tertiup hilang seiring bertiupnya zaman,
abadi. Seperti Filsafat Perenial sebagai suatu filsafat yang abadi, sebagaimana yang
disepakati oleh para Perenialis.
E.4. Korelasi antara Ketiga Konsep Pemikiran dengan Globalisasi
Dalam konteks historis, konsep pendidikan Ki Hadjar telah menumbuhkan
jiwa kritisterhadap pemuda-pemuda untuk „memberontak‟ terhadap pemerintahan
kolonial. Pendidikan Ki Hadjar Dewantara pada masanya dinilai berhasil dalam
perlawanan terhadap kolonialisme. Dengan metoda mendirikan institusi pendidikan
yang diperuntukkan bagi golongan pribumi yang tidak dapat mencicipi jenjang
pendidikan pada kala itu, yang memang pendidikan hanya diperuntukkan bagi
golongan tertentu saja (ningrat, kaya, bangsa Belanda). Dengan kata lain, konsep ini
memiliki kesamaan yang signifikan terhadap “Pendidikan Kaum Tertindas”nya
Freire.
18
Wora, Emanuel. 2006. Perenialisme, Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
16
Dengan kesamaan tujuan, yaitu prinsip pendidikan yang merata hingga pada
titik pendidikan untuk kaum tertindas, dapat dilihat bahwa nilai yang diusung kedua
tokoh ini bersifat etis-humanistik, sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam
filsafat perenial. Berbeda dengan konsep filsafat materialis yang lebih pada nilai
mekanis-pragmatis, sehingga menciptakan gap antara tubuh dan pikiran. Pada
umumnya memang filsafat perenial mulai dilupakan disebabkan dominasi filsafat
materialisme. Karena di era modern, manusia telah mulai melupakan hakekatnya
sebagai manusia. Terutama di belahan dunia barat yang memang nilai-nilai perenial
sudah terlupakan, berbeda dengan di belahan dunia timur yang nilai-nilai perenial ini
masih terjaga melalui agama maupun budaya, walaupun realitasnya juga didominasi
oleh materialisme.
Yang paling mendasar dari ajaran Ki Hadjar Dewantara adalah menanamkan
kepribadian baik kepada peserta didik. Secara aplikatif, Ki Hadjar Dewantara
mengajarkan konsep-konsep pendidikan yang sarat akan nilai-nilai perenial. Seperti
among method melalui trilogi kepemimpinannya, hingga pada tahap kesetaraan antara
pendidik maupun peserta didik melalui konsepnya “menghamba kepada sang
anak”.Pendidik harus siap 24 jam untuk „melayani‟ peserta didiknya, walaupun
kenyataannya secara aplikatif memang sulit. Hal ini diupayakan agar anak memiliki
jiwamerdeka lahir dan batin. Kemerdekaan dalam konteks berkarya sebebasbebasnya.Namun, pamong tetap harus dapat meluruskan peserta didiknyaapabila
melenceng dari jalannya. “Meluruskan” ini tentu guru memiliki interpretasinya
masing-masing. Ada yang sekedar menasehati, hingga pada tahap keterpaksaan, yaitu
hukuman. Hukuman ini tentu bukan hukuman fisik, namun lebih kepada sisi
akademik, yaitu pengurangan nilai.
Secara konseptual, konsep-konsep Ki Hadjar Dewantara dapat dilihat di bab
II, yang mana nilai dari konsep-konsep sudah mulai dilupakan oleh masyarakat
modern sebagaimana filsafat perenial.Hal ini tentu membuat aplikasinya menjadi
sulit, karena nilai-nilai tersebut sudah tergeser oleh logika-logika materialisme.
17
Seperti konsep “alam hidup manusia adalah alam hidup perbulatan” misalnya, yang
pada kenyataannya manusia modern telah „sukses‟ memisahkan dirinya dengan alam.
Padahal menurut Ki Hadjar Dewantara, manusia yang dapat menyatu dengan alam
adalah manusia bahagia. Korelasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara, Paulo Freire
dengan filsafat perenial adalah sebagai berikut :
Ki Hadjar Dewantara
“Pendidikan yang
Memanusiakan Manusia”
Paulo Freire
Perenialisme
“Sebuah Pemahaman
Filsafat tentang Fenomena
Masa Lampau yang
Memiliki Nilai-nilai yang
Abadi, seperti etika, moral,
teologi, dan estetika”
“Dehumanisasi, Fenomena
antara Menindas dan
Ditindas”
Dalam gambar di atas dapat kita simpulkan bagaimana pemikiran pendidikan Ki
Hadjar Dewantara dengan Paulo Freire yang mengedepankan nilai-nilai humanistik
(perenial). Artinya, pendidikan harus demi kepentingan semua manusia, agar tidak
lagi terjadi reproduksi dehumanisasi. Pendidikan harus mengentaskan yang tertindas
dari para penindas, bukan justru menciptakan kaum penindas yang baru. Sehingga
menciptakan pendidikan yang “memanusiakan manusia”. Nilai-nilai semacam inilah
yang merupakan hakekat dari filsafat Perenial. Nilai yang lebih humanistis karena
mengakui adanya realitas yang transenden. Lalu, bagaimana kaitannya dalam konteks
globalisasi kontemporer?
18
Dalam perspektif Giddens, salah satu dari empat dimensi globalisasi adalah
ekonomi kapitalisme, dimana pengaruh besar dalam suatu sistem ekonomi dikuasai
oleh pemodal (baca: korporasi) hingga pasar bebas. Dalam hal ini, korporasilah yang
berhak menguasai suatu aset-aset tertentu yang dinilai dapat mendulang profit yang
besar. Implikasinya, tidak sedikit masyarakat lokal yang menjadi „korban‟, dengan
kata lain hanya memperoleh keuntungan yang minimal, bahkan bertendensi pada
kerugian yang dialami golongan rakyat banyak. Kasus semacam ini banyak terjadi di
negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Dalam perspektif Giddens ini,
dapat dinilai bahwa globalisasi sarat akan nilai-nilai materialisme, karena memang
didominasi oleh belahan dunia barat yang memang nilai-nilai perenialnya tak
terlestarikan seperti belahan dunia timur. Yang paling mudah kita lihat adalah
bagaimana korporasi asing ini mengeksploitasi secara berlebihan „karya Tuhan‟ di
Indonesia, hingga alampun telah didominasi oleh manusia. Berbeda dengan nilai-nilai
filsafat perenial yang menempatkan alam dengan manusia sebagai suatu sistem yang
hierarkis.
Walaupun materialisme mendominasi di era globalisasi kontemporer, bukan
berarti filsafat perenial semakin dilupakan. Justru filsafat perenial „dimunculkan
kembali‟ dalam wacana-wacana untuk mengkritisi pelbagai fenomena modernisme
maupun postmodernisme di era globalisasi. Banyak intelektual „kiri‟ yang mengkritisi
bobroknya globalisasi ini menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih „etishumanistik‟ daripada filsafat materialisme yang bersifat pragmatis-mekanistik.
Karena pada dasarnya materialisme menganggap alam semesta sebagai pola yang
mekanistik,sehingga filsafat material telah menciptakan gap antara tubuh dan pikiran.
Salah satu penopangnya adalah logika “cogito ergo sum”nya Descartes yang
menciptakan penekanan pada individualitas absolut yang merupakan salah satu ciri
modernitas19.
19
Ibid, hlm 3.
19
F. Metode Penelitian
F.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana metode
penelitian ini menitikberatkan data tidak berdasarkan statistik atau angka, namun
lebih menitikberatkan data lisan maupun tertulismelalui informan, yang dalam hal ini
merupakan sumber data penelitian. Dengan menggunakan metode ini, data yang
diperoleh dapat lebih mendalam dan valueable.Selain itu, penggunaan metode
kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih umum dan lebih kompleks tentang
kasus atau fenomena yang sulit diungkapkan oleh statistik20.
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus (case study). Studi kasus
sendiri merupakan pendekatan yang paling banyak dilakukan pada penelitian
kualitatif. Data-data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan
dengan objek penelitian (Nawawi, 2003), sehingga data tidak terbatas dari data
lapangan saja melainkan data literatur juga dibutuhkan.
F.2. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian melibatkan daerah dimana terdapat institusi Taman Siswa
di dalamnya, yaitu Kota Yogyakarta, yang notabene merupakan pusat dari Majelis
Luhur Taman Siswa.Kota Yogyakarta juga merupakan saksi berdirinya perguruan
Taman Siswa, yang mana kemudian Kota Yogyakarta sering dikenal sebagai „Kota
Pelajar‟.Tempat pelaksanaan penelitian terdiri dari kantor Majelis Luhur Taman
Siswa dan di Taman Madya Ibu Pawiyatan. Selain itu juga melibatkan lokasi-lokasi
di luar lingkup Taman Siswa, seperti tempat tinggal informan (rumah dan kos)
20
Strauss, Anselm. 2003. Dasar-dasar penelitian kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
20
khususnya terhadap informan murid. Hal ini dilakukan agar informan yang tergolong
masih muda dan labil (14-16 tahun) lebih rileks ketika interview.
Objek Penelitian terdiri dari institusi-institusi Taman Siswa, yaitu Majelis
Luhur Taman Siswa, dan sekolah Taman Madya Ibu Pawiyatan (setingkat SMA).
Sekolah Taman Madya dipilih, karena di usia memasuki SMA inilah siswa mulai
memasuki tahap usia labil menuju kedewasaan. Sehingga peran institusi pendidikan
sangat krusial di usia ini.
F.3. Jenis dan Sumber Data
Data yang dipaparkan di penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan hasil dari interview atau wawancara langsung
terhadap informan yang terkait dengan Taman Siswa. Dengan kata lain, data primer
merupakan data yang diperoleh dari hasil lapangan.
Data sekunder, diperoleh melalui studi dokumentasi, yaitu sumber-sumber
literatur yang terkait. Literatur tersebut dapat berupa koran, buku, jurnal, maupun
media lain yang sifatnya relevan dengan objek yang diteliti. Sehingga antara data
primer dan sekunder yang dipaparkan masing-masing saling terkait relevansinya.
F.4. Informan
Dalam penelitian ini, penulis membagi informan sebagai berikut :
a.
Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa
Pengurus dari Majelis Luhur Taman Siswa, adalah informan yang terkait
dengan seluruh kegiatan Taman Siswa serta memahami seluk beluk dari
metode dan kegiatan Taman Siswa itu sendiri. Dalam hal ini adalah ketua
21
harian Majelis Luhur Taman Siswa, selaku pemantau pusat dari Perguruan
Taman Siswa. Ketua harian Taman Siswa sendiri terdiri darilima orang.
b. Murid
Murid merupakan salah satu unsur krusial dalam proses pendidikan.
Muridlah yang menentukan apakah suatu proses pendidikan dapat terlaksana
dengan semestinya. Dalam penelitian ini, penulis mengambil informan
murid kelas 1, yang masih memiliki ingatan jernih terhadap sekolah tingkat
sebelumnya (SMP). Dari perbandingan ini, penulis ingin melihat apakah
dasar mereka memilih mengenyam pendidikan di Taman Siswa, dan seperti
apa perbedaan proses pengajaran yang mereka rasakan dengan sekolahsekolah mereka sebelumnya.
c.
Guru / Pamong
Guru memiliki peran yang krusial di dalam proses pendidikan, seperti halnya
dengan peran murid dalam proses pendidikan. Dapat dikatakan, peran guru
dan murid dalam proses pendidikan merupakan suatu relasi resiprokal.
Proses pendidikan tidak akan berjalan dengan adanya murid namun tidak ada
guru, begitu pula sebaliknya.Guru, yang kemudian dalam istilah Taman
Siswa disebut Pamong berperan penting dalam perkembangan peserta didik.
Sehingga dengan adanya data dari perwakilan Pamong, kita dapat
mengetahui bagaimana metode-metode pengajaran yang diterapkan di dalam
sekolah Taman Madya, sekaligus aplikasi konsep pedagogis Ki Hadjar
Dewantara.
22
F.5. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan selama penelitianmeliputi
observasi, wawancara (indepth interview) dan studi dokumentasi. Observasi
dilakukan agar peneliti memahami seluk beluk dari objek yang akan diteliti. Peneliti
tidak hanya mencatat data observasi melalui angket atau interview guide yang ada,
tetapi juga mempertimbangkan data tersebut melalui skala-skala tertentu21. Sebagai
contoh, apabila informan mengutarakan fenomena A, peneliti dapat balik bertanya
kepada responden sumber fenomena A tersebut. Tahap observasi telah dilakukan
pada awal penelitian, yang melibatkan ketua harian majelis luhur Taman Siswa. Data
yang diperoleh berupa pemahaman dasar terhadap Taman Siswa seperti konsep
pedagogis, jumlah sekolah, jumlah murid, struktur organisasi, hingga permasalahan
dasar yang membelit Taman Siswa.
Wawancara dilakukan dengan seizin informan. Dalam konteks ini, informan
mengetahui tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penulis membagi
teknik wawancara yang dilakukan menjadi 2, yakni wawancara berstruktur dan tidak
berstruktur. Wawancara berstruktur yang menggunakan kuesioner dan pertanyaanpertanyaan yang sudah ditentukan diperlukan untuk informan yang ada pada institusi
formal, seperti Majelis Luhur Taman Siswa. Selain itu, teknik pengumpulan data
yang digunakan di Majelis Luhur Taman Siswa menggunakan konsep FGD (Forum
Group Discussion). Sedangkan wawancara tidak berstruktur (tanpa terikat oleh
pertanyaan-pertanyaan terstruktur) digunakan kepada informan non formal, seperti
murid. Walaupun tidak berstruktur, penulis tetap berpedoman pada poin penting
objek penelitian.
Terakhir yaitu studi dokumentasi, yang mana data bersifat literatur atau
kepustakaan (library research). Dalam metode dokumentasi, yang diamati adalah
21
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
23
benda mati, bukan benda hidup22. Data-data dalam metode ini berupa jurnal, catatan,
buku, surat kabar, majalah, maupun media lainnya yang terkait relevansinya dengan
objek penelitian. Tahap terakhir kemudian penulis mensinergikan data-data yang
bersifat primer (lapangan) dan sekunder (dokumentasi).
F.6. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data interaktif.
Analisis data ini menurut Miles dan Huberman, terdiri dari beberapa langkah, di
antaranya adalah pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data
atau kesimpulan. Penjabarannya sebagai berikut.
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Verifikasi Data
(Data kasar berupa
hasil inverview,
literatur, dsb)
(Penyederhanaan
atau memperhalus
data kasar)
(Menampilkan
data secara
tertulis)
(Kesimpulan
penelitian melalui
verifikasi datadata penelitian
yang diperoleh
G. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini, sistematika penulisan dibagi menjadi 5 bab. Bab pertama
adalah pendahuluan, yang menjelaskan perihal pemilihan judul dan teknik-teknik
penelitian. Bab kedua sekilas mengenai topik permasalahan yang dibahas dalam
22
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
24
penelitian ini. Bab ketiga dan keempat merupakan pembahasan mengenai topik
permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Dan bab kelima adalah bab terakhir
yang merupakan kesimpulan dari seluruh pembahasan.
25
Download