BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA FASILITATOR DALAM PERJANJIAN KERJA PNPM MANDIRI PERDESAAN 1. HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM Menurut Sudargo Gautama, perlindungan hukum adalah tindakan negara terhadap warga negara yatiu termasuk keamanan warga negara dan haknya. Perlindungan hukum bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa (preventif) dan untuk menyelesaikan masalah (represif).1 Dalam Black’s Law Dictionary, menjelaskan perlindungan hukum yaitu: “The equal protection of the law of a state in extended to persons within its jurisdictions, within the meaning of the constitutional requirement, when its court are open to them on the same conditions as to others, with like rules of evidence and modes of procedure, for the security of their persons and property, the prevention and redress of wrongs, and the enforcement of contracts; when they are subjected to no restrictions in the acquisition of property, the enjoyment of personal liberty, and the pursuit of happiness, which do not generally affect other; when the are liable to no other or greater burdens and charges than such as are laid upon others; and when no different or greater punishment is enforced againt them for a violation of the laws. State v. Montgomery, 94 Me. 192,47 A.165.”2 Maksud dari pengertian di atas adalah persamaan akan adanya perlindungan yang sama terhadap hukum suatu negara, diberikan secara meluas kepada seluruh warga negara termasuk hak umum (dalam arti konstitusional). Pengadilan terbuka dalam kondisi atau keadaan yang sama untuk semua warga negara, seperti contohnya, peraturan mengenai peraturan atas barang bukti dan prosedur-prosedur 1 Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum, Alumni, 1983, hlmn., 25. Campbell Black, Henry, M.A, Black’s Law Dictionary, St., Paul Minn West Pusblishing Co., 1968, yang dikutip dalam Skripsi R. Wahyu Mukti, Fakultas Hukum UKSW, 2004. 2 1 lainnya. Perlindungan hukum untuk keamanan warga negara dan hak miliknya, pencegahan dan perbaikan kesalahan serta mengenai perjanjian kontrak. Hal tersebut muncul ketika warga negara menjadi subjek ketidakterbatasan dalam kepemilikan/penguasan akan hak milik seseorang dan di saat hak untuk menikmati kebebasan pribadi dan mendapatkan kebahagiaan untuk mempengaruhi pihak lainnya. Serta ketika beban dan tuntutan dilimpahkan atau dikenakan kepada orang lain yang tidak bersalah dan juga ketika tidak adanya pembedaan di saat hukuman berat dipaksakan kepada mereka karena adanya pelanggaran hukum. Kemudian dijelaskan lebih lanjut: “Equal protection of the law means that equal protection and security shall be given to all under like circumstances in his life, his liberty and his property, and in the pursuit of happiness, and in the exemption from any greater burdens and charges than are equally imposed upon all others under like circumstances (Sovereign Camp, W.O.W., v. Casodos, D.C.N.M., Supp. 989, 994).”3 Persamaan akan adanya perlindungan hukum berarti bahwa persamaan perlindungan dan keamanan terhadap warga negara harus diberikan kepada semua warga negara dalam tiap kondisi dan situasi, dalam mendapatkan kemerdekaan dan hak milik mereka dalam mendapatkan kebahagiaan dan pembebasan dari segala beban kesalahan dan tuntutan yang dijatuhkan atau dibebankan kepada semua dalam kondisi dan situasi yang sama. Senyatanya dalam Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia secara substansial memuat pengakuan terhadap hak asasi manusia, yaitu tidak lain mengenai pengakuan dan penjaminan atas hak-hak setiap orang sebagai bentuk suatu perlindungan, sebagai yang termuat dalam Pasal 28D yang menyatakan 3 Ibid. 2 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Selanjutnya, dalam bidang ketenagakerjaan, perlindungan hukum terhadap tenaga kerja bertujuan untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Dengan pengertian, pengusaha atau pemberi pekerjaan wajib melaksanakan ketentuan perlindungan sesuai kaidah atau ketentuan peraturan perundang-undangan, bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, termuat dalam Pasal 27 ayat (2). Selanjutnya Pasal 28D ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Perlindungan pekerja dapat dilakukan dengan jalan memberikan tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu. Perlindungan kerja ini akan mencakup:4 1. Norma keselamatan kerja, yang meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja, bahan dan proses pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan, serta cara-cara melakukan pekerjaan; 4 Lalu Husni, Pengantar Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlmn., 96. 3 2. Norma kesehatan kerja dan Higiene Kesehatan Perusahaan yang meliputi, pemeliharaan dan mempertinggi kesehatan pekerja, dilakukan dengan mengatur pemberian obat-obatan, dan perawatan tenaga kerja yang sakit; 3. Norma kerja yang meliputi, perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, tenaga kerja wanita dan anak, kesusilaan, ibadah menurut agama keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatan, dan sebagiannya guna memelihara kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi, serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral; dan 4. Kepada tenaga kerja yang mendapatkan kecelakaan dan/atau menderita penyakit akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan/atau penyakit akibat pekerjaan, ahli warisnya berhak mendapat ganti rugi. Ruang lingkup perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan meliputi:5 1. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha; 2. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja; 3. Perlindungan khusus bagi pekerja perempuan, anak, dan penyandang cacat; dan 5 Ibid. 4 4. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja Dengan pengertian, memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk pengakuan yang sama terhadap penyandang cacat. Dan mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. Menurut Imam Soepomo dalam Zainal Asikin perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 macam yaitu:6 1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja diluar kehendaknya; 2. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi; dan 3. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Ketiga jenis perlindungan di atas mutlak harus dipahami dan dilaksanakan sebaik-baiknya oleh pengusaha sebagai pemberi kerja. Jika pengusaha melakukan pelanggaran, akan dikenakan sanksi. 6 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlmn., 96. 5 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, perlindungan hukum terhadap tenaga kerja diartikan sebagai pengakuan dan jaminan yang diberikan oleh hukum dalam satu hubungan industrial yang menekankan kemitraan dan kesamaan kepentingan, sehingga dapat memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal, melindungi hak-hak dan kepentingan pekerja, menjamin kesempatan kerja dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi, menciptakan hubungan kerja yang harmonis, menciptakan ketenangan bekerja dan ketenangan berusaha, meningkatkan produktivitas perusahaan, memberikan kepastian hukum bagi pekerja dan pada akhirnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, dan merata baik materiil dan spiritual. 2. KAIDAH PERJANJIAN KERJA Dalam subbab ini, akan diuraikan mengenai kaidah perjanjian kerja, dan uraian akan menyangkut, yang pertama adalah tinjauan umum mengenai perjanjian kerja, atau biasa disebut dengan kontrak, yang di dalamnya dibahas tentang peristilahan dan pengertian tentang kontrak, asas-asas hukum kontrak, syarat sahnya kontrak, unsur-unsur kontrak, dan hapusnya suatu kontrak. Lalu, pembahasan kedua akan menyangkut tinjauan tentang kontrak yang lebih spesifik, yaitu kontrak kerjasama. Siapakah para pihak dalam kontrak tersebut, bagaimana pelaksanaannya, apakah yang dimaksud dengan prestasi dan wanprestasi, serta tentang ganti kerugian, semuanya akan dikupas di subbab ini. 2.1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja atau Kontrak Seperti telah dinarasikan di atas, bahwa pembahasan akan dilakukan mulai dari umum lalu ke bagian yang lebih khusus. Agar pembahasan dan analisis dapat 6 dengan mudah dipahami, maka Penulis akan menguraikan atau membahas dan menganalisa secara detail bagian per bagian. Diantaranya adalah sebagai berikut: 2.1.1. Peristilahan dan Pengertian Istilah kontrak dan perjanjian dalam penggunaannya tidak memiliki pengertian yang berbeda, baik dalam teori maupun dalam praktik, sekalipun ada pendapat lain yang secara teoritis menyimpulkan bahwa perjanjian itu dinamakan juga persetujuan bukan kontrak. Dengan dasar pemikiran bahwa karena dalam perjanjian itu terdapat dua pihak yang setuju, sehingga perjanjian dan persetujuan memiliki pengertian yang sama, sedangkan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.7 Walaupun demikian, ada pendapat ahli yang tidak membedakan kontrak dan perjanjian, dengan dasar pemikiran bahwa pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), karena dalam BW hanya mengatur perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undangundang.8 Pengertian kontrak berdasarkan Pasal 1313 BW bahwa, ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Pengertian ini sangat luas dan tidak lengkap, karena kata “perbuatan” mencakup juga perjanjian dalam hukum keluarga dan perbuatan melawan hukum. Selanjutnya tidak lengkap karena kata “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”, 7 Subekti, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlmn., 14. 8 Ibid. 7 maka hanya ditujukan pada kontrak yang sepihak saja, padahal seharusnya juga meliputi kontrak dua pihak.9 Berdasarkan hal tersebut maka pengertian kontrak menurut Penulis adalah suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 2.1.2. Asas-Asas Hukum Kontrak Suatu aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip sebagai rohnya. Merupakan kejanggalan bahkan konyol apabila suatu norma tidak mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip dalam konteks operasionalnya. Suatu norma tanpa landasan filosofis serta pijakan asas, ibarat manusia yang “buta dan lumpuh”. Terkait dengan pengertian “asas” atau “prinsip” yang dalam bahasa Belanda disebut “beginsel” atau “principle” (bahasa Inggris) atau dalam bahasa Latin disebut “principium” (yang berasal dari dua kata yaitu, “primus” artinya pertama, dan “capere” artinya mengambil atau menangkap), secara leksikal berarti bahwa, hal tersebut merupakan sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.10 Kedudukan asas hukum dalam semua sistem hukum yang di dalamnya mengatur sistem norma hukum mempunyai peranan yang penting. Asas hukum merupakan landasan atau pondasi yang menopang kukuhnya suatu norma hukum, yang artinya bahwa posisi asas hukum adalah sebagai meta-norma hukum, yang berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan, serta penilaian 9 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 2005, hlmn., 18. 10 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana, 2010, hlmn., 21. 8 fundamental, mengandung nilai-nilai, dan tuntutan-tuntutan etis bagi keberadaan norma hukum.11 Dapat diketahui bahwa, asas merupakan latar belakang dari peraturan konkret, karena asas sebagai dasar pemikiran umum dan abstrak yang mendasari lahirnya setiap peraturan hukum. Dalam hukum kontrak terdapat beberapa asasasas, yaitu sebagai berikut:12 a. Asas Konsensualisme Asas ini berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Menurut asas ini setiap perjanjian harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak. Suatu perjanjian harus lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua pihak mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek perjanjian. Kesepakatan tidak boleh dengan adanya paksaan, tipuan, kekhilafan, atau ketidaksadaran. Sejak pada detik kesepakatan itulah para pihak telah terikat dengan suatu aturan atau hukum.13 Asas ini terdapat pada Pasal 1320 KUHPerdata ayat (1), yang menjelaskan bahwa, “Salah satu syarat perjanjian adalah sepakat antara kedua belah pihak”. Pihak-pihak yang sudah sepakat berarti terikat pula pada aturan hukum atau undang-undang. Hal ini diatur pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa para pihak yang telah membuat perjanjian yang sah secara hukum berarti telah membuat undang-undang 11 12 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlmn., 45. Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009, hlmn., 79. 13 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perjanjian dalam Kebutuhan Masyarakat, Bandung, PT. Remaja Roskarya, 1995, hlmn., 114-115. 9 bagi dirinya sendiri. Konsekuensi dari suatu undang-undang adalah para pihak terikat dan wajib memenuhi isi dari suatu undang-undang, dan pemenuhannya dapat dipaksakan serta memiliki sanksi bagi yang melanggar. Hal ini juga berlaku dalam perjanjian, karena perjanjian kedudukannya dianggap sama dengan undangundang.14 b. Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dapat diartikan bahwa, asas ini memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mengadakan perjanjian, meliputi sebagai berikut:15 1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan kontrak atau tidak; 2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan kontrak; 3) bebas untuk menentukan isi atau klausul kontrak; 4) bebas untuk menentukan bentuk kontrak; dan 5) kebebasan-kebebasan lainnnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. c. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda) Maksud asas ini adalah setiap orang yang membuat kontrak terikat untuk memenuhi kontrak, karena kontrak itu mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Lebih lanjut, walaupun terhadap sesuatu yang tidak diatur dengan tegas dinyatakan dalam isi perjanjian, tetapi memiliki kekuatan mengikat seperti kebiasaan, kepatuhan, dan kepatutan. Hal ini diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk 14 15 Ibid. Ibid. 10 hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Selain itu, diatur pula pada Pasal 1347 KUHPerdata, menyebutkan: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.”16 d. Asas Iktikad Baik Asas ini dijelaskan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yaitu: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Jadi asas ini mengatur niat para pihak dalam membuat perjanjian, bahwa segala perjanjian harus dilandasi dengan iktikad baik, iktikad baik dalam pelaksanaan isi perjanjian maupun iktikad baik dalam arti kejujuran pihak yang membuatnya.17 e. Asas Keseimbangan Menurut Herlien Budiono, asas keseimbangan di dalam disertasinya diberi makna dalam dua hal, yaitu pertama, Asas keseimbangan sebagai asas etikal yang bermakna suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang”. Makna keseimbangan di sini berarti pada satu sisi dibatasi kehendak (berdasar pertimbangan atau keadaan yang menguntungkan). Dalam batasan kedua sisi tersebut, keseimbangan dapat diwujudkan.18 Kedua, asas keseimbangan sebagai asas yuridikal artinya asas keseimbangan dapat dipahami asas yang layak 16 Ibid. Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perjanjian dalam Kebutuhan Masyarakat, Bandung, PT. Remaja Roskarya, 1995, hlm., 108-113. 18 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlmn., 304-305. 17 11 atau adil, dan selanjutnya diterima sebagai landasan keterikatan yuridikal dalam hukum kontrak Indonesia.19 Berdasarkan pernyataan di atas, disimpulkan bahwa, asas keseimbangan dapat dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak dalam menentukan hak dan kewajibannya dalam perjanjian, sehingga ketidakseimbangan posisi akan menimbulkan ketidakadilan. 2.1.3. Syarat Sahnya Kontrak Syarat sahnya kontrak diatur berdasarkan Pasal 1320 BW, yaitu: 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) suatu hal tertentu; dan 4) suatu sebab yang halal. Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif, disebabkan kedua syarat tersebut mengenai subjek kontrak. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut syarat objektif, disebabkan mengenai objeknya kontrak. Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, tetapi yang penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut.20 Penawaran (aanbod; offerte; offer) diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan kontrak, sedangkan penerimaan (aanfarding; acceptatie; acceptance) merupakan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.21 19 Ibid., hlmn., 307. Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., hlmn., 160. 21 Ibid, hlmn., 162. 20 12 Kesepakatan yang dicapai dapat mengalami kecacatan atau cacat kehendak apabila kesepakatan terjadi karena kekhilafan atau kesesatan, paksaan, dan penipuan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1321 BW, dan penyalahgunaan keadaan yang tidak diatur dalam BW tetapi muncul dalam perkembangan hukum kontrak. Terdapat beberapa teori terjadinya kesepakatan, antara lain:22 a. Teori Pengiriman Teori ini mengajarkan bahwa, sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. b. Teori Penerimaan Teori ini mengajarkan bahwa, kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.23 c. Teori Kehendak Teori ini menitikberatkan kepada kehendak, sehingga pernyataan yang tidak sesuai dengan kehendak tidak mengikat dan karena itu tidak mungkin menimbulkan perjanjian. Teori ini tidak dianut secara murni tetapi diperhalus untuk memenuhi rasa keadilan, maka teori kehendak ini diperlengkap dengan teori bahwa yang menimbulkan bahaya akan adanya salah paham pada pihak lain harus menanggung resiko kerugian dari pihak lain. Mengenai kecakapan, pada dasarnya semua orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum, sedangkan orang-orang yang tidak cakap menurut hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1330 BW, yaitu orang-orang yang belum dewasa, dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. 22 23 Ibid. Ibid, hlmn., 164. 13 Sedangkan ketentuan mengenai orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang adalah orang yang tidak cakap hukum, tetapi dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963, maka orang-orang perempuan tersebut dianggap cakap hukum, sehingga dalam hal melakukan perbuatan hukum tidak perlu lagi dengan bantuan suaminya.24 Ketentuan tidak cakap hukum dalam Pasal 1330 BW mengenai semua orang-orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu, sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap hukum, tetapi hanya tidak berwenang membuat perjanjian tertentu. Tidak cakap dan tidak berwenang adalah sesuatu yang berbeda, yang dimaksud tidak cakap adalah mengenai seluruh kedudukan hukum seseorang, sedangkan yang tidak berwenang hanya mengenai beberapa tindakan hukum yang tidak dapat dilakukan seseorang. khususnya mengenai ketentuan kedewasaan seseorang yang dalam istilah BW adalah kebelumdewasaan, yang adalah orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.25 Hal tertentu merupakan objek perjanjian berupa barang dan jasa atau tidak berbuat sesuatu. Barang yang dimaksud sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1332-1335 BW, yaitu benda-benda yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, dan jasa yang dimaksud yaitu keahlian maupun tenaga, sedangkan tidak berbuat sesuatu yang dimaksud yaitu bukan barang maupun jasa yang diperjanjikan, tetapi prestasi tidak berbuat sesuatu yang diperjanjikan. 24 25 Ibid. Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlmn., 49. 14 Suatu sebab yang halal adalah isi perjanjian. Sebagai maksud yang dituju oleh para pihak, sedangkan alasan atau sebab seseorang membuat perjanjian itu bukan yang dimaksud suatu sebab yang halal. Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan.26 2.1.4. Unsur-Unsur Kontrak Dalam suatu kontrak terdapat 3 (tiga) unsur, yaitu sebagai berikut:27 a) Unsur Essensialia Unsur essensialia merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak, karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur essensialia ini, maka tidak ada kontrak. b) Unsur Naturalia Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang, sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, maka undangundang yang mengaturnya. Unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak sepanjang tidak diatur lain oleh para pihak. c) Unsur Aksidentalia Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak, jika para pihak memperjanjikannya. 26 Ibid. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011, hlmn., 381. 27 15 2.1.5. Hapusnya Kontrak Pada dasarnya perikatan dan kontrak berbeda, tetapi ketentuan mengenai hapusnya perikatan dalam BW merupakan ketentuan hapusnya kontrak. Hal ini yang diatur dalam Pasal 1381 BW, bahwa: “Perikatan-perikatan hapus karena pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan utang, perjumpaan utang atau kompensasi, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, kebatalan atau pembatalan, berlakunya suatu syarat batal, dan lewatnya waktu.” 2.2. Tinjauan tentang Kontrak Kerjasama Seperti telah Penulis janjikan pada narasi subbab di atas, maka pada subbab ini akan dibahas mengenai siapakah yang dimaksud dengan para pihak dalam kontrak tersebut, bagaimana pelaksanaannya, apakah prestasi dan wanprestasinya, serta ganti kerugian. 2.2.1. Para Pihak dalam Kontrak Pada prinsipnya, para pihak baik perorangan atau badan usaha yang bukan badan hukum atau badan hukum dalam kontrak adalah orang atau badan usaha yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan kontrak. Para pihak dalam bentuk perorangan yang dimaksud adalah orang atau manusia (person), dan badan usaha yang bukan badan hukum adalah perusahaan yang bersifat perseorangan, didirikan dengan akta notaris atau tidak dengan akta notaris, dan menurut prosedur hukum tidak perlu untuk dilakukan pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Sedangkan badan usaha 16 yang badan hukum adalah perusahaan yang didirikan dengan akta notaris dan menurut hukum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.28 Menurut Mollengraaff, pengertian perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang secara terus menerus, bertindak keluar untuk mendapatkan penghasilan dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan.29 Dengan demikian, orang, badan usaha yang bukan badan hukum, dan badan usaha yang badan hukum merupakan subjek hukum. Adapun pengertian subjek hukum adalah segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban.30 Setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-undang dalam melakukan kontrak dapat bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri, tetapi dapat juga bertindak atas namanya sendiri untuk kepentingan orang lain, bahkan dapat bertindak untuk kepentingan dan atas nama orang lain.31 Dalam hal bertindak untuk mewakili badan usaha yang bukan badan hukum, maka harus berdasarkan pada bentuk badan usaha tersebut, apabila berbentuk firma maka semua sekutu berhak mewakili perusahaan, dan apabila badan usaha berbentuk perseroan komanditer, maka dalam bertindak perseroan diwakili oleh persero pengurusnya atau yang disebut persero aktif (persero complementer), sedangkan badan usaha yang badan hukum, perusahaan dalam bertindak diwakili oleh direksi.32 28 Ibid. Ibid. 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Ibid. 29 17 Sedangkan pihak-pihak dalam perjanjian yang menjadi objek penelitian Penulis adalah antara Fasilitator dengan Pemerintah. PNPM-MP33 adalah program nasional yang dicanangkan pemerintah yang bertujuan untuk penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan di bawah binaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Kementerian Dalam Negeri. Sebagaimana telah diuraikan di atas mengenai pengertian subjek hukum, selain manusia, badan hukum juga merupakan subjek hukum sehingga merupakan pendukung hak dan kewajiban. Kedudukan sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek hukum mengandung pengertian, yaitu mempunyai kemampuan untuk mengadakan hubungan hukum, dimana hubungan itu akan mempunyai akibat hukum yang disebut hak dan kewajiban. Subjek hukum yang berupa badan hukum ini mempunyai wewenang untuk memiliki hak-hak subjektif dan dapat melakukan perbuatan hukum yang dilakukan oleh anggota yang ditunjuk. Badan hukum mempunyai wewenang melakukan perbuatan-perbuatan hukum atau tindakantindakan seperti orang biasa34, yaitu mengajukan gugatan ke pengadilan, membuat perjanjian-perjanjian, dapat dituntut di muka pengadilan, dan lain sebagainya.35 Ada dua jenis badan hukum, yaitu sebagai berikut: 1. Badan hukum publik, terdiri dari negara, provinsi, kabupaten, kota madya, desa atau kelurahan. 33 Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No: 25/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). 34 Badan hukum sebagai subjek hukum dapat melakukan perbuatan hukum. Dalam hal ini, badan hukum dianggap sama dengan manusia. Anggapan badan hukum sebagai subjek hukum ini didasarkan pada teori yang dikenalkan oleh Von Savigny yang disebut teori fiksi. Oleh karena itu, badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum layaknya manusia. 35 Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006, hlm., 29-30. 18 2. Badan hukum privat, terdiri dari yayasan, perseroan terbatas (PT), koperasi, lembaga-lembaga keagamaan (gereja dan wakaf), dan lembagalembaga sosial. Berdasarkan hal tersebut negara atau pemerintah merupakan subjek hukum, sehingga mampu melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan (PNPM-MP), pemerintah mengadakan kontrak kerja sama dengan beberapa tenaga ahli untuk tujuan terlaksananya program tersebut yang selanjutnya tenaga ahli tersebut disebut pekerja fasilitator. Sesuai dengan objek penelitian Penulis, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah merupakan penganggungjawab daerah untuk melaksanakan program tersebut, dan sebagai kuasa pengguna anggaran. Dalam hal ini perbuatan hukum yang dilakukan pemerintah adalah membuat kontrak/perjanjian kerja dengan para fasilitator. 2.2.2. Pelaksanaan Kontrak Pada tahap pelaksanaan perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah diperjanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah yang disebut sebagai prestasi, sedangkan apabila salah satu pihak atau bahkan kedua pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya, itulah yang disebut dengan wanprestasi. Pihak yang wanprestasi dalam perjanjian dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan, namun pihak yang dituduh melakukan wanprestasi tersebut masih dapat melakukan pembelaan-pembelaan 19 tertentu agar dia dapat terbebas dari pembayaran ganti rugi.36 Agar lebih memahami tentang konsep prestasi dan wanprestasi, maka akan diuraikan sebagai berikut: a. Prestasi Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu kontrak. Prestasi pokok tersebut dapat berwujud:37 a) benda; b) tenaga atau keahlian; dan c) tidak berbuat sesuatu. Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya. Penyerahan tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya saja, sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh pihakpihak yang “menjual” tenaga atau keahliannya. Prestasi yang berupa benda yang harus diserahkan kepada pihak lain, apabila benda tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan benda tersebut berkewajiban merawat benda tersebut sebagaimana dia merawat barangnya sendiri. Sebagai konsekuensi dari kewajiban tersebut adalah apabila ia melalaikannya, ia dapat dituntut ganti rugi, apalagi kalau ia lalai menyerahkannya.38 Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi yang berupa keahlian ini terdapat perbedaan, karena prestasi yang berupa tenaga pemenuhannya dapat diganti oleh orang lain, karena siapapun yang mengerjakannya hasilnya akan sama. Sedangkan prestasi yang berupa keahlian, pemenuhannya tdak dapat diganti 36 Ahmadi Miru, Op. Cit., hlmn., 367. Ibid. 38 Ibid. 37 20 oleh orang lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian tersebut. Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya mungkin akan berbeda.39 Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu, menuntut sikap pasif salah satu pihak atau para pihak karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang diperjanjikan. Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan dalam kontrak, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang. Oleh karena itu, prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak telah ditentukan dalam perjanjian atau diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang, tidak dilakukannya pretasi tersebut berarti telah ingkar janji atau disebut wanprestasi.40 b. Wanprestasi Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik dengan disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja, wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.41 Wanprestasi dapat berupa: 1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi; 2. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna; 3. Terlambat memenuhi prestasi; dan 4. Melakukan apa yang ada dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan. 39 Ibid. Ibid. 41 Ibid. 40 21 Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah pedagang, maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Oleh karena pihak lain dirugikan akibat dari wanprestasi tersebut, pihak wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan:42 - pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi); dan - pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi). Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan, pihak yang wanprestasi tersebut juga dibebani biaya perkara.43 c. Ganti Kerugian Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang dimulai dari Pasal 1240 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata. Sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.44 42 Ibid. Ibid. 44 Ishaq, Op. Cit, hlmn., 52. 43 22 Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dan debitur. Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur adalah sebagai berikut:45 1) kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian; dan 2) keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUH Perdata), ini ditujukan kepada bunga-bunga. Yang diartikan dengan biaya-biaya, yaitu ongkos yang telah dikeluarkan oleh kreditur untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian adalah berkurangnya harta kekayaaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian. Sedangkan bunga-bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditur. Penggantian biaya-biaya, kerugian, dan bunga itu harus merupakan akibat langsung wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.46 Di dalam Pasal 1249 KUHPerdata, ditentukan bahwa penggantian kerugian yang disebabkan wanprestasi hanya disebutkan dalam bentuk uang, namun dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi, bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi materiil, dan ganti rugi immateriil. Kerugian materiil adalah suatu kerugian yang diderita kreditur dalam bentuk uang/kekayaan/benda. Sedangkan kerugian immateriil adalah suatu kerugian yang diderita oleh kreditur yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, malu, dan lain-lain.47 45 Ibid. Ibid. 47 Ibid. 46 23 3. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP FASILITATOR PNPM Berdasarkan hasil penelitian Penulis terhadap perjanjian kerja antara Fasilitator PNPM dengan Pemerintah, bentuk perjanjian tersebut merupakan bentuk perjanjian untuk melakukan suatu jasa tertentu, yang mana satu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut diserahkan kepada pihak lawan itu, dan yang menjadi pihak lawan tersebut merupakan seorang ahli dalam melakukan suatu pekerjaan. Bentuk perjanjian tersebut harus sesuai dengan ketentuan perjanjian kerja yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 3.1 Ketentuan dalam Perjanjian antara Fasilitator PNPM dengan Pemerintah Umum diketahui, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 24 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”. Pasal tersebut secara tegas telah menjelaskan bahwa perjanjian melahirkan perikatan. Dengan kata lain, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa tidak ada suatu perikatan yang berasal dari luar perjanjian dan karena halhal yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara sukarela telah mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.48 Secara ringkas Penulis akan menjelaskan isi perjanjian kerja yang berjudul “SURAT PERJANJIAN KERJA FASILITATOR TEKNIK KECAMATAN” tersebut sebagai berikut: 1) Pasal 1 tentang Ketentuan Umum. Berisi tentang penjelasan mengenai hubungan hukum antara PIHAK PERTAMA (Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah selaku Kuasa Pengguna Anggaran pada Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, yang bertindak untuk dan atas nama Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Pemberdayan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah) dengan PIHAK KEDUA (Pekerja Fasilitator, yang bertindak untuk dan atas nama diri sendiri). Pasal ini berisi 2 (dua) ayat. 2) Pasal 2 tentang Hubungan Kerja dan Jangka Waktu Ikatan Kerja. Pasal yang di dalamnya terdapat 7 (tujuh) ayat ini mengatur mengenai: 48 Ibid., hlmn., 56. 25 a. Pemberian tugas dari PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA sesuai dengan bidang dan keahliannya sebagaimana dimaksud dalam Kerangka Acuan atau Terms of Reference (TOR), dan PIHAK KEDUA menjabarkannya dalam Rencana Kerja (RK), serta untuk bertindak sebagai Fasilitator Teknik Kecamatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (FT PNPM-MP) di lokasi tugas, yang ditetapkan dalam Surat Perintah Tugas (SPT) oleh PIHAK PERTAMA; b. Perpanjangan dan pemersingkat perjanjian kerja tersebut; c. Dimana lokasi PIHAK KEDUA wajib tinggal, termasuk perubahannya; d. Kewajiban bagi PIHAK KEDUA untuk tidak diperkenankan mengadakan ikatan kerja dengan pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung; dan e. Kewajiban bagi PIHAK KEDUA untuk bekerja penuh waktu, dengan jumlah waktu kerja minimal 8 jam per hari dan 6 hari per minggu. 3) Pasal 3 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab. Pasal yang di dalamnya terdapat 9 (sembilan) ayat ini mengatur mengenai: a. PIHAK KEDUA harus mengikuti dan melaksanakan: Kerangka Acuan atau Terms of Reference (TOR), Pedoman Umum (Pedum), Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), Petunjuk Teknis Operasional (PTO) PNPM-MP termasuk Kode Etik Fasilitator dan Konsultan PNPM-MP, Standar Operasional Prosedur (SOP), dokumen-dokumen rujukan lain, surat perintah atau bentuk surat lainnya yang diterbitkan oleh atau dari PIHAK KEDUA; b. PIHAK KEDUA harus melaksanakan tugas dengan segala kemampuan, keahlian, dan pengalaman yang dimilikinya; 26 c. Kewajiban PIHAK KEDUA untuk menyusun laporan khusus atau tugas perbantuan, dan tidak diperkenankan untuk menyerahkan tugas-tugas tersebut kepada pihak lain; d. PIHAK KEDUA menanggung segala tanggung jawab atas segala tugas-tugas yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA; serta e. Tugas-tugas teknis lain yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA. 4) Pasal 4 tentang Balas Jasa dan Cara Pembayarannya. Pasal yang di dalamnya terdapat 7 (tujuh) ayat ini mengatur mengenai: a. PIHAK KEDUA akan menerima imbalan balas jasa berupa honorarium dan tunjangan operasional secara lumpsum49 untuk perumahan, komunikasi, dan operasional kantor. Selain itu, PIHAK KEDUA juga mendapatkan tunjangan biaya transportasi lokasi sesuai dengan kategori lokasi yang telah ditetapkan. PIHAK KEDUA juga mendapatkan tunjangan asuransi kecelakaan dan kesehatan selama masa kontrak. PIHAK KEDUA juga mendapatkan perjalanan dinas dan OSA untuk menghadiri rapat koordinasi setiap bulan. Dan biaya perjalanan dinas pun akan didapatkan PIHAK KEDUA. Sedangkan tunjangan hari raya dan tunjangan kompensasi cuti, tidak diperoleh PIHAK KEDUA; b. Honorarium dan tunjangan akan dibayarkan pada setiap tanggal 1-10 (satu sampai sepuluh) awal bulan berikutnya, dengan catatan tidak adanya keterlambatan PIHAK KEDUA dalam penyusunan laporan dan pengiriman seluruh data pendukung bulan sebelumnya;50 49 Kecuali pada bulan pertama bertugas dan bulan terakhir penugasan, maka besaran honorarium akan diperhitungkan sesuai dengan jumlah hari bertugas. 50 Tetapi dalam pelaksanaannya, justru pemerintah sendiri yang terlambat memberikan upah. Padahal, menurut Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, pemberi kerja yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja. 27 c. Pembayaran honorarium dan tunjangan operasional dilakukan secara langsung oleh PIHAK PERTAMA ke rekening individu masing-masing; d. Pajak Penghasilan PIHAK KEDUA dan/atau pajak-pajak lain akan ditanggung dan dibayar sendiri oleh PIHAK KEDUA;51 dan e. Cuti kerja berhak didapatkan oleh PIHAK KEDUA dengan ketentuan: 1). Cuti tahunan sebanyak 12 (dua belas) hari kerja setelah PIHAK KEDUA bekerja selama12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; 2). Cuti bersama yang ditetapkan oleh pemerintah pusat yang diberikan kepada yang sudah mempunyai hak cuti tahunan. Cuti bersama mengurangi hak cuti tahunan; dan 3). Cuti melahirkan selama maksimal 3 (tiga) bulan berturut-turut. 5) Pasal 5 tentang Penyelesaian Perselisihan. Jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah. Apabila dengan cara musyawarah tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak akan menyelesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Jakarta.52 Apabila masih tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak akan menyelesaikan melalui Pengadilan Negeri Provinsi Jawa Tengah. Menurut Pasal 136 UU Ketenagakerjaan, jika terdapat perselisihan hubungan kerja, maka akan diselesaikan melalui Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 6) Pasal 6 tentang Pemutusan Perjanjian Kerja53 atau Hubungan Kerja. PIHAK PERTAMA wajib memberitahukan kepada PIHAK KEDUA selambat- 51 Menurut Pasal 88 ayat (3) huruf k UU Ketenagakerjaan, upah untuk penghitungan pajak penghasilan adalah hak yang diperoleh pekerja guna memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan hak ini ditetapkan pemerintah untuk melindungi pekerja. 52 Rezim arbitrase tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan. 53 Dalam Perjanjian Kerja antara Fasilitator dengan Pemerintah ini, tidak terdapat klausul mengenai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Lihat Pasal 61 huruf b UU Ketenagakerjaan. 28 lambatnya 1 (satu) bulan sebelumnya dalam hal PHK. PIHAK PERTAMA dapat membatalkan secara sepihak Perjanjian Kerja dengan PIHAK KEDUA apabila:54 a. PIHAK KEDUA meninggal dunia; b. PIHAK KEDUA atas permintaan sendiri memutuskan hubungan kerja; c. PIHAK KEDUA menderita sakit tetap yang berakibat tidak mungkin melaksanakan pekerjaan; d. PIHAK KEDUA mangkir selama 10 (sepuluh) hari kerja berturut-turut atau 20 (dua puluh) hari kerja dalam satu tahun; e. PIHAK KEDUA tidak memenuhi pelaksanaan tugas yang telah disahkan oleh atasan; f. PIHAK KEDUA tidak memenuhi standar nilai evaluasi kinerja reguler; g. Adanya kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan batalnya dan/atau berkurangnya kemampuan dana dan/atau terganggunya pelaksanaan PNPM-MP; h. PIHAK KEDUA tidak menunjukkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya; i. PIHAK KEDUA dinyatakan pernah dan terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Fasilitator; dan j. PIHAK KEDUA melakukan pelanggaran Kode Etik Fasilitator atau menjalani pemeriksaan Kepolisian sebagai tersangka akibat dari penyimpangan, kelalaian, atau tindakan kejahatan, serta pelanggaran hukum terkait PNPM-MP atau lainnya. PIHAK KEDUA dapat mengajukan surat pemutusan perjanjian kerja secara sepihak dalam hal: Apabila PIHAK PERTAMA tidak melakukan kewajiban balas jasa, serta tidak memberikan dukungan administrasi yang 54 Pada dasarnya, sesuai dengan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. 29 diperlukan PIHAK KEDUA, dan PIHAK KEDUA telah melakukan klarifikasi dengan PIHAK PERTAMA secara tertulis. 7) Pasal 7 tentang Berakhirnya Hubungan Kerja. Dengan berakhirnya hubungan kerja, maka: a. PIHAK KEDUA tidak akan mendapatkan uang pesangon55 dan status kepegawaian dari PIHAK PERTAMA; dan b. PIHAK KEDUA wajib menyerahkan seluruh tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya kepada PIHAK PERTAMA atau pihak lain yang ditunjuknya. 8) Pasal 8 soal adanya Lampiran, dan 9) Pasal 9 Penutup. Jika disimak secara teliti, suatu Perjanjian Kerja seharusnya menurut Pasal 56 UU Ketenagakerjaan dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu, tetapi dalam Perjanjian Kerja antara Fasilitator PNPM dengan Pemerintah klausul yang menyatakan ketentuan mengenai waktu tersebut tidak ada. 3.2. Pelaksanaan Perjanjian antara Fasilitator PNPM dengan Pemerintah Jika melihat adanya keterlambatan pembayaran gaji oleh Pihak Pertama tersebut, pada hakikatnya telah terjadi cidera janji atau wanprestasi. Menurut pendapat M. Yahya Harahap, yang dimaksud dengan wanprestasi dalam suatu perjanjian adalah, “pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.”56 55 Menurut Pasal 88 ayat (3) huruf j UU Ketenagakerjaan, uang pesangon adalah hak yang diperoleh pekerja guna memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan hak ini ditetapkan pemerintah untuk melindungi pekerja. 56 Dalam Ahmadi Miru, Op. Cit., hlmn., 368. 30 Kata “tidak tepat pada waktunya dan kata tidak layak“ apabila dihubungkan dengan kewajibannya merupakan perbuatan melanggar hukum, Pihak Pertama sebagian atau secara keseluruhan tidak menepati ataupun berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama. Dalam keadaan normal, perjanjian dapat dilaksanakan sebagaimanamestinya tanpa gangguan ataupun halangan, tetapi pada waktu tertentu, yang tidak dapat diduga oleh para pihak, muncul halangan, sehingga pelaksanaan perjanjian tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Faktor penyebab terjadinya wanprestasi oleh Abdul Kadir Muhammad diklasifikasikan menjadi dua faktor, yaitu faktor dari luar dan faktor dari dalam diri para pihak. Faktor dari luar menurut Abdul Kadir Muhammad adalah, “peristiwa yang diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi ketika perjanjian dibuat”. Sedangkan faktor dari dalam manusia/para pihak merupakan, “kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan tersebut yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian pihak itu sendiri, dan para pihak sebelumnya telah mengetahui akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut.”57 Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak dalam perjanjian ini harus dinyatakan terlebih secara resmi, yaitu dengan memperingatkan kepada pihak yang lalai bahwa Pihak Kedua menghendaki pemenuhan prestasi oleh Pihak Pertama. Menurut undang-undang peringatan tersebut harus dinyatakan tertulis, namun sekarang sudah dilazimkan bahwa peringatan itu pula dapat dilakukan secara lisan asalkan cukup tegas menyatakan desakan agar segera memenuhi prestasinya terhadap perjanjian mereka perbuat.58 57 58 Ibid. Ibid., hlmn., 369. 31 Peringatan tersebut dapat dinyatakan pernyataan lalai yang diberikan oleh pihak kreditur kepada pihak debitur. Pernyatan lalai oleh J. Satrio, memperinci pernyataan lalai tersebut dalam beberapa bentuk, yaitu: Berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis.59 Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri, apabila dalam surat perjanjian telah ditetapkan ketentuan debitur dianggap bersalah jika satu kali saja dia melewati batas waktu yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong Pihak Pertama untuk tepat waktu dalam melaksanakan kewajiban dan sekaligus juga menghindari proses dan prosedur atas adanya wanprestasi dalam jangka waktu yang panjang. Dengan adanya penegasan seperti ini dalam perjanjian, tanpa teguran kelalaian, dengan sendirinya Pihak Pertama sudah dapat dinyatakan lalai, bila ia tidak menempati waktu dan pelaksanaan prestasi sebagaimanamestinya. Jika teguran kelalaian sudah dilakukan, barulah menyusul peringatan (aanmaning) dan bisa juga disebut dengan “somasi”. Dalam somasi inilah Pihak Kedua (Fasilitator) menyatakan segala haknya atas penuntutan prestasi kepada Pihak Pertama (Pemerintah). Jadi, dengan adanya pernyataan lalai yang diberikan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua, maka menyebabkan Pihak Kedua dalam keadaan wanprestasi, bila ia tidak mengindahkan pernyataan lalai tersebut. Pernyataan lalai sangat diperlukan karena akibat wanprestasi tersebut adalah sangat besar, baik bagi kepentingan Pihak Pertama maupun Pihak Kedua. Dalam perjanjian biasanya telah ditentukan di dalam isi perjanjian itu sendiri, hak dan kewajiban para pihak serta sanksi yang ditetapkan apabila Pihak Pertama tidak menepati waktu atau pelaksanaan perjanjian. 59 Ibid. 32 Dalam Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa, “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu”. Pasal tersebut menjelaskan 2 (dua) jenis perjanjian, yaitu: 1) Perjanjian yang dikenal dengan suatu nama khusus, yaitu perjanjian yang diatur secara khusus di dalam undang-undang dan diberi nama resmi di dalam undang-undang, atau disebut juga dengan perjanjian khusus. Yang termasuk perjanjian khusus ialah: a) Perjanjian jual beli, b) Perjanjian tukar menukar, c) Perjanjian sewa menyewa, d) Perjanjian untuk melakukan pekerjaan, e) Perjanjian persekutuan, f) Perjanjian perkumpulan, g) Perjanjian hibah, h) Perjanjian penitipan barang, i) Perjanjian pinjam pakai, j) Perjanjian pinjam meminjam, k) Perjanjian bunga tetap atau bunga abadi, l) Perjanjian untung-untungan, m) Perjanjian pemberian kuasa, n) Perjanjian penanggungan, dan o) Perjanjian perdamaian. 33 2) Perjanjian tidak bernama (innominat contract), yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian ini tidak terbatas dan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan para pihak. Contohnya adalah: a) Perjanjian kerjasama, b) Perjanjian pemasaran, dan c) Perjanjian pengolahan. Berdasarkan sifatnya secara mendasar, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan perjanjian menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu sebagai berikut:60 1) Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian, 2) Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan, dan 3) Perjanjian formal adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut dibuat oleh pejabat umum Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah. Menurut Subekti, dalam hal perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakannya menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:61 a) Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, yang mana suatu pihak menghendaki dari pihak-lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama 60 61 Ibid. Subekti, Op. Cit., hlmn., 57. 34 sekali terserah kepada pihak-lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah seorang ahli dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk jasanya. Contohnya, hubungan antara dokter dan pasien; b) Perjanjian Kerja/Perburuhan dimana yang dimaksudkan dengan jenis ini adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan” yang ditandai dengan adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan, dan adanya “hubungan diperatas” (bahasa Belanda “dienstverhouding”), yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah yang harus ditaati oleh yang lainnya; dan c) Perjanjian Pemborongan Pekerjaan adalah suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak yang pertama menghendaki suatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan. Perjanjian kerja ialah suatu perjanjian dimana seseorang mengikatkan diri untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama. Prinsip yang menonjol dalam perjanjian kerja, yaitu adanya keterikatan seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja dibawah perintah dengan menerima upah. Jadi, bila seseorang telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja, berarti ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja dibawah 35 perintah orang lain. Hal ini yang disebut ahli hukum sebagai “hubungan diperatas”.62 Menurut Manullang, tidak ada 1 (satu) pun peraturan yang mengikat bentuk dan isi perjanjian, karena dijamin dengan “asas kebebasan berkontrak”, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi berbagai macam perjanjian asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan memperhatikan Pasal 1320, Pasal 1335, dan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.63 Perjanjian kerja antara fasilitator PNPM dengan pemerintah seharusnya mengacu dan/atau tunduk kepada KUHPerdata sebagai lex generalis, dan pula tunduk kepada UU Ketenagakerjaan sebagai lex spesialis dari KUHPerdata. Tidak boleh ada peraturan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, hukum mengatakan demikian. Jadi, dengan kata lain perjanjian kerja tersebut harus masuk dan tunduk pada KUHPerdata dan UU Ketenagakerjaan. Secara normatif, perjanjian kerja bentuk tertulis64 menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian. Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena 62 Ibid. Dalam Ahmadi Miru, Op. Cit., hlmn., 370. 64 Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). 63 36 kelaziman, sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurangkurangnya memuat: a) Nama, alamat perusahaan, dan jenis perusahaan; b) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c) Jabatan atau jenis pekerjaan; d) Tempat pekerjaan; e) Besarnya upah dan cara pembayarannya; f) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Berdasarkan jangka waktu (sementara atau terus-menerus) dan jenis suatu pekerjaan (berulang-ulang atau selesainya suatu pekerjaan tertentu), hubungan kerja dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja yang dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).65 Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang dimaksud dengan perjanjian 65 Perjanjian kerja jenis ini tidak Penulis bahas dalam skripsi Penulis. 37 kerja tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis sesuai dengan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya perjanjian kerja. Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan kewajiban antara pemberi kerja dan pekerja/buruh yang diperjanjikan dalam PKWT, dipersyaratkan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.66 Yang dimaksud dengan tidak boleh lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundangundangan yang berlaku adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. Sesuai ketentuan Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (a) Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu, (b) Harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, (c) Tidak boleh ada masa percobaan, 66 Pasal 2 Kep.100/Men/VI/2004 jo. Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 38 (d) Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, dan (e) Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Sedangkan apa yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap67 adalah pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam suatu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Adapun yang dimaksud dengan pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak bergantung pada cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terusmenerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi bergantung pada cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu, pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap, sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu membedakan perjanjian kerja waktu tertentu menjadi 4 (empat) bagian, yaitu: a. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun, yang dimaksud adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya suatu pekerjaan tertentu dan dibuat untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan 67 Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 39 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu, pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, maka dapat dilakukan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu yang dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, tidak boleh ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha, sesuai dengan Pasal 3 ayat (7) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. b. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman, yang dimaksud adalah pekerjaan yang pelaksanaannya bergantung kepada musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu, sesuai ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman ini tidak dapat dilakukan pembaharuan.68 68 Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 40 Nomor c. Perjanjian kerja waktu tertentu yang berhubungan dengan produk baru. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang satu kali paling lama 1 (satu) tahun tetapi tidak dapat dilakukan pembaharuan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.69 d. Perjanjian kerja harian lepas, perjanjian ini mengenai pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Mengenai pekerja/buruh yang bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan 69 Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 41 Nomor Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 42