NASKAH PUBLIKASI DINAMIKA KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS SURVIVOR KEKERASAN SEKSUAL Oleh: MAROEL POESPITA RINI RA. RETNO KUMOLOHADI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008 NASKAH PUBLIKASI DINAMIKA KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS SURVIVOR KEKERASAN SEKSUAL Telah Disetujui Pada Tanggal _________________________ Dosen Pembimbing (RA. RETNO KUMOLOHADI., S.Psi, M.si) DINAMIKA KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS SURVIVOR KEKERASAN SEKSUAL Maroel Poespita Rini RA. Retno Kumolohadi INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika kesejahteraan psikologis survivor kekerasan seksual, bagaimana survivor mendapatkan kembali kesejahteraan psikologisnya, serta factor-faktor yang mempengaruhi tercapainya perkembangan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Subjek penelitian adalah konselor yang mendampingi survivor selama proses konseling. Adapun Alat Ukur yang digunakan adalah wawancara mendalam (In depth Interview) dan dokumentasi. Kekerasan seksual adalah salah satu peristiwa traumatis yang menimbulkan dampak yang besar terhadap kondisi kejiwaan survivor. Dari penelitian ini,diperoleh beberapa hal mengenai dinamika yang dialami survivor setelah mengalami kekerasan seksual, yaitu : Setelah mengalami kekerasan seksual survivor mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), beberapa gejala yang muncul adalah keinginan untuk bunuh diri, hilangnya kepercayaan diri, malu, dan mengalami mimpi buruk. Survivor juga menunjukkan gejala kecemasan, diantaranya adalah gemetar, gelisah, kekhawatiran terhadap lingkungan, masa depan, dan masyarakat. Kekerasan seksual tidak hanya berdampak pada kondisi jiwa, tapi juga kondisi fisik, seperti tertular penyakit menular seks atau PMS, dan keluhan fisik lainnya yang muncul berkaitan dengan kekerasan yang dialami. Bantuan yang diberikan kepada survivor tidak hanya berupa pertolongan secara psikis, namun juga secara medis dan hukum. Faktor utama yang mempengaruhi tercapainya perkembangan dalam kondisi kejiwaan survivor adalah adanya dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat, selain dorongan yang kuat dari dalam diri survivor sendiri. Setelah kegiatan konseling berakhir, kondisi psikis survivor belum dapat dikatakan telah kembali seprti semula. Butuh waktu yang lama untuk memastikan apakah survivor telah benarbenar pulih atau tidak. Kata kunci : Kesejahteraan Psikologis, Kekerasan Seksual Pengantar Latar Belakang Masalah Kekerasan terhadap wanita akhir-akhir ini menjadi sesuatu fenomena yang sering terjadi, dimana wanita sering menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Diberbagai media massa, baik itu televisi, radio, maupun surat kabar, sering dijumpai kasus-kasus kekerasan yang menimpa kaum wanita, dan salah satu kasus yang banyak dijumpai adalah kekerasan seksual, baik itu yang dilakukan oleh pasangan mereka sendiri seperti suami, maupun oleh orang lain seperti tetangga, teman, dan orang asing lainnya, bahkan ada juga yang dilakukan oleh keluarga korban sendiri seperti paman, atau bahkan orang tua kandung atau orang tua angkat. Isu kekerasan terhadap perempuan bukanlah isu baru bagi masyarakat. Isu ini telah sering diperbincangkan, didiskusikan dan dicarikan solusinya. Namun demikian, kekerasan terhadap perempuan tetap saja terjadi bahkan semakin lama semakin meningkat jumlahnya dan juga mengalami perkembangan bentukbentuknya. Selama tahun 2006 kasus kekerasan yang didampingi oleh LBH APIK Jakarta pada sebanyak 41,2% adalah kekerasan seksual. Namun hanya 17 % kasus yang sampai pada putusan di Pengadilan Negeri. Kekerasan terhadap wanita sendiri dapat diartikan sebagai segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan ; termasuk ancaman dari tindakan tsb, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi. (Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan pasal 1, 1983). Sementara itu kekerasan seksual sendiri terdiri dari dua jenis yaitu kekerasan seksual ringan dan kekerasan seksual berat. Kekerasan seksual ringan berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Sedangkan kekerasan seksual berat berupa pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan, pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu, terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi, dan tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera (http://www.lbhapik.or.id/kdrt-bentuk.htm) Kekerasan seksual yang menimpa seseorang hampir dapat dipastikan akan meninggalkan trauma dalam diri survivor. Seperti yang diungkapkan oleh Briere dan Scott (2006) dalam bukunya Principles Of Trauma Therapy, bahwa perkosaan atau kekerasan seksual adalah salah satu peristiwa yang menimbulkan trauma, untuk itu dibutuhkan suatu terapi paska trauma untuk meminimalkan dampak dari peristiwa trauma tersebut. Kegiatan konseling adalah salah satu cara yang umumnya digunakan oleh survivor kekerasan seksual untuk mengurangi dampak trauma. Seperti yang dialami oleh Ny.A, ibu rumah tangga berusia 33 tahun yang mengalami kekerasan seksual oleh suaminya sendiri atau yang biasa disebut dengan marital rape. Ny. A melakukan konsultasi dengan konselor melalui rubrik konsultasi yang ada di harian Kompas. Ny.A menceritakan bahwa setelah sekian tahun menikah dengan suaminya, sang suami tiba-tiba saja berubah dengan sering melakukan tindakan-tindakan yang buruk, misalnya menjadi lebih pemarah, pemukul, dan merusak barang-barang rumah tangga bila sedang marah. Karena sudah merasa tidak tahan dengan perlakuan suaminya Ny.A ingin meminta cerai namun suaminya menolak bahkan suaminya sering memaksa Ny.A untuk berhubungan badan dangan cara yang kasar (www.kompas.com). Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Ny.Ni yang melakukan konsultasi dengan konselor melalui harian Kompas setelah mengalami kekerasan seksual oleh suaminya sendiri. Ny.Ni menceritakan bahwa setelah tujuh tahun menikah, kondisi keluarganya menjadi semakin memburuk, ia sering mendapatkan perlakuan yang kasar dari suaminya, dan yang membuatnya semakin tersiksa adalah sifat suaminya yang sering memaksa untuk melakukan huubungan badan kapanpun ia mau, bahkan disaat Ny.Ni sedang datang bulan, sehingga Ny.Ni mengaku sangat tersiksa baik secara fisik maupun psikis. Tidak ada keberanian dalam diri Ny. Ni untuk melawan suaminya., karena suaminya sering berkata bahwa sebagai perempuan sudah selayaknya kalau ia selalu patuh dan siap melayani suami. Setiap kali suaminya mendekatinya, tubuh Ny. Ni gemetar karena takut dan merasa seolah telah dan akan diperkosa suami sendiri.(www.kompas.com) Berbeda dengan yang diceritakan oleh Ibu N, melalui media yang sama Ibu N bercerita mengenai anak putrinya yang berusia 9 tahun. Setahun yang lalu putrinya mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh temannya sendiri. Belakangan Ibu N merasa khawatir dengan perkembangan putrinya yang jadi berubah drastis, sang anak yang dulunya tomboi dan agak badung berubah menjadi pendiam dan tidak lagi mau berteman dengan anak lain seumurnya. Sebelum peristiwa tersebut terjadi, putrinya lebih sering bermain dengan anak laki-laki, namun sekarang ia lebih suka bermain sendiri. Suatu hari Ibu N pernah dikejutkan oleh penuturan ibu dari teman perempuan putrinya. Si ibu berkata bahwa putri Ibu N mewanti-wanti anaknya agar tidak bermain dengan anak lakilaki agar tidak diperkosa. (www.kompas.com). Beberapa contoh kasus diatas adalah sebagian kecil dari sekian banyak peristiwa-peristiwa kekerasan seksual yang dialami oleh wanita Indonesia, dan sebagin besar dari mereka mengalami berbagai tekanan psikis seperti perasaan takut, trauma, histeris, galau serta perasaan yang tidak menentu, bingung, paranoid, bahkan perubahan kepribadian secara drastis menjadi pribadi yang tertutup. Hal itu tentunya sangat mempengaruhi kondisi kesejahteraan psikologis wanita-wanita tersebut. Kesejahteraan psikologis sendiri secara umum dapat diartikan sebagai suatu bentuk kepuasan terhadap aspek-aspek hidup sehingga mendatangkan atau menimbulkan perasaan bahagia dan perasaan damai pada hidup seseorang, dan tentunya hal ini akan berbeda pada setiap orang, karena standar kepuasan pada setiap orang berbeda atau bersifat subjektif. Ryff (1989), menjelaskan bahwa yang termasuk dalam aspek-aspek kesejahteraan psikologis adalah Self Acceptance atau sikap diri yang positif, Personal Growth atau mengalami perkembangan dalam hidup, Purpose in Life yaitu memiliki tujuan hidup yang jelas, Environmental Mastery yaitu kemampuan dalam mengatur dan menyesuaikan diri dengan lingkungan , Autonomy atau kemandirian, da Positive Relationship With Other yaitu kemampuan dalam membangun hubungan yang positif dengan orang lain. Sementara itu yang merupakan ciri dari ketidaksejahteraan psikologis adalah antara lain anxiety atau kecemasan, disabilities atau perasaan tidak mampu, depresi, self esteem yang rendah, menyendiri, ketidakpuasan terhadap keluarga, dan kekhawatiran yang besar terhadap hubungan sosial (Heady). Kekerasan yang berdampak buruk pada kondisi korban baik fisik maupun psikis tentunya memerlukan pertolongan lebih lanjut, baik dari bidang hukum, kesehatan, maupun dari bidang konseling untuk membantu korban menghilangkan dampak-dampak trauma yang ditimbulkan oleh kekerasan yang dialaminya. Konseling dapat diartikan sebagai hubungan profesional antara konselor terlatih dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individu ke individu. Konseling didesain untuk menolong klien untuk memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk membantu mencapai tujuan penentuan diri (self determination) mereka melalui pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka, dan melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal, Burks dan Stefflre (Latipun, 2001). Tenaga ahli yang menolong klien dalam proses konseling dinamakan konselor. Konselor adalah pihak yang telah secara khusus studi dibidang yang sedang ditangani dan telah dilatih untuk menangani bidang itu, khususnya membantu klien yang mengalami masalah. Dengan demikian konselor adalah pihak yang menguasai dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Latipun (2001) Persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan,yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Stimulus tersbut kemudian oleh individu kemudian diorganisasikan dan dinterpretasikan sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera. Walgito (1997) Dinamika Kesejahteraan Psikologis Dinamika dikatakan dalam kamus populer adalah suatu kegiatan, kedaan bergerak. Sesuatu yang memiliki dinamika disebut dinamis, yaitu selalu berubah yang bersifa minamik atau bergerak maju. Semenara itu, berdasarkan kamu psikologi yang ditulis oleh J.P Chaplin (2004), dinamika berarti manyinggung sistem psikologi yang menekankan masalah motif. Menyinggung perubahan, atau hal-hal yang menimbulakn perubahan. Menyinggung psikologi atau sistem-sistem yang menekankan penyebab tingkah laku yang tidak disadari. Kesejahteraan psikologis memiliki arti yang bereda-beda pada setiap individu. Kesejahteraan psikologis didefinisikan sebagai suatu perasaan, kepuasan dalam atau terhadap hidup, serta kondisi kesehatan mental yang baik, (Searle dan Wad, 1990 ). Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil dari evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap hidupnya baik evaluasi secara kognitif maupun evaluasi secara emosi. Evaluasi secara koginitif, kesejahteraan adalah sebuah bentuk kepuasan dalam hidup, sementara sebagai hasil dari evaluasi emosi yaitu berupa affect atau perasaan senang. Lawton (1991), menjabarkan kesejahteraan psikologis sebagai suatu skema yang terbentuk mengenai hidup yang berkualitas sebagai hasil dari evaluasi terhadap aspek – aspek yang ada pada hidupnya yang dianggap baik atau memuaskan. Okun dan Stock (1987), memperkaya pengertian kesejahteraan psikologis sebagai perasaan bahagia dan kepuasan yang secara subjektif dialami atau dirasakan oleh seseorang. Selain itu Kayes dan Waterman (2003), memberikan teori mengenai kesejahteraan subjektif yang terdiri dari kesejahteraan psikologis, kesejahteraan emosi, dan kesejahteraan sosial. Kesejahteraa psikologis sendiri teridiri dari self esteem yaitu kemampuan seseorang untuk menghargai dirinya sendiri, feeling control yaitu kemampuan seseorang dalam mengontrol perasaannya, voluntarisme yaitu kesukarelaan. Jadi secara umum kesejahteraan psikologis dapat diartikan sebagai suatu bentuk kepuasan terhadap aspek-aspek hidup sehingga mendatangkan atau menimbulkan perasaan bahagia dan perasaan damai pada hidup seseorang, dan tentunya hal ini akan berbeda pada setiap orang, karena standar kepuasan pada setiap orang berbeda atau bersifat subjektif. Ryff (1989), menjabarkan tentang aspek – aspek kesejahteraan psikologis menjadi beberapa bagian yaitu Self Acceptance atau sikap diri yang positif, mau menerima dan mengakui semua yang ada pada diri, dan perasaan yang positif terhadap masa lalu. Personal Growth, selalu mengalami perkembangan yang berkesinambungan, serta membuka diri terhadap pengalaman baru yang bermanfaat. Purpose in Life, memiliki tujuan yang jelas dan meyakini bahwa pangalaman masa lalu dan masa kini adalah bermakna. Environmental Mastery, memiliki kemampuan untuk mengatur atau memanage lingkungan, serta mampu membangun atau membentuk sikap yang sesuai dengan konteks yang ada. Autonomy, mandiri dan mampu menentukan sikap, dan mampu untuk melakukan evaluasi terhadap diri sendiri sesuai dengan standarnya sendiri. Positive Relationship With Other, mampu membangun hubungan yang hangat dan memuaskan dengan orang lain dan perasaan saling percaya. Mampu untuk berempaty, afeksi, dan saling mengerti. Selain Ryff, Berit Ingersoll-Dayton (2001) juga menjabarkan aspek-aspek dari kesejahteraan psikologis dengan spesifikasi masyarakat Asia, yang menurutnya berbeda dengan masyarakat barat. Adapun aspek-aspeknya yaitu Harmony, yaitu keharmonisan bersama orang lain, yaitu kemampuan seseorang dalam membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain seperti keluarga, teman, atau hubungan tetangga Interdependence, yaitu perasaan saling bergantung dan saling membutuhkan satu sama lain. Acceptance atau penerimaan diri terhadap kehidupan, dimana dengan menerima diri dan kehidupan, maka seseorang akan lebih tenang dan damai. Respect yaitu penghormatan dari orang lain. Jika seseorang merasa bahwa orang lain menghormati dirinya, maka hal tersebut akan memunculkan kesejahteraan secara psikologis. Penghormatan dari orang lain menunjukkan bahwa keberadaan seseorang sangat dihargai dalam sebuah komunitas. Enjoyment yaitu kemampuan seseorang dalam menikmati hidupnya secara keseluruhan. Kesejahteraan psikiologis juga dipengaruhi oleh beberapa hal. Bhogel & Prakash (1995) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu Personal control, kemampuan seseorang dalam mengontrol segala emosi dan dorongan yang muncul dati dalam diri. Self Esteem atau harga diri : memiliki harga diri yang seimbang. Positive Affect, perasaan atau emosi yang positif (kesenangan atau kegembiraan). Manage Tension, kemampuan untuk mengatur ketegangan yang keluar dari dalam diri, misalnya kemarahan atau kebahagiaan, sehingga tidak muncul secara berlebihan. Positive thinking, berpikir positif dalam menghadapi peristiwa, suasana, atau individu baru. Ide & Feeling yang efisien, mengeluarkan ide dan perasaan yang tepat dan sesuai dengan konteks serta tidak berlebihan. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual dapat diartikan sebagai pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan (http://www.lbh-apik.or.id/kdrt-bentuk.htm.) Kriminolog Mulyana W. Kusuma (Wahid dan Irfan, 2001) menjabarkan mengenai macam-macam bentuk perkosaan yaitu Sadistic Rape atau perkosaan sadis, Angea Rape yaitu penganiyaan seksual sebagai bentuk pelampiasan perasaan geram dan marah yang tertahan, Dononation Rape yaitu dimana pelaku mencoba menunjukkan kekuasaan dan superioritas terhadap korban, Seduktif Rape yaitu suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tecipta oleh kedua belah pihak, Victim Precipited Rape yaitu perkosaan yang terjadi dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya, dan Exploitation Rape yaitu dimana laki-laki mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomi dan sosial. Pengertian kekerasan seksual menurut Poerwandari (2000) adalah melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban,dengan kekerasan fisik maupun tidak, memaksa melakukan aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban. Selanjutnya Poerwandari (2000) menjelaskan bahwa terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dapat dilihat dari dua penjelasan secara konseptual, yang pertama merupakan penjelasan secara konvensional, yang mengacu pada sisi internal pelaku dan korban. Penjelasan yang kedua mengenai psikologi feministik yang melihat kaitan erat antara struktur sosial dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat dengan aspek internal individu. 1. Kondisi internal, karakteristik pribadi atau psikopatologi pelaku kekerasan, yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan kemudian terjadi. misalnya, kekerasan dilakukan oleh orang yang terganggu, tertekan, memiliki banyak konflik dan masalah yang kemudian direspon dengan cara melakukan kekerasan pada orang-orang di sekitarnya. 2. Karakteristik pribadi korban kekerasan bisa memprovokasi tindak kekerasan. Misalnya tingkah laku yang mengundang, atau korban memiliki karakteristik kepribadian tertentu yang menyebabkannya mudah mengalami kekerasan misalnya penuntut, histerik, masokistik. 3. Menurut psikologi feministik, kekerasan terhadap perempuan merupakan produk struktur sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomor satukan kepentingan dan perspektif laki-laki, sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dan kurang bernilai dibandingkan laki-laki. Pandangan ini menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu hal yang cukup umum terjadi sebagai konsekuensi struktur masyarakat yang mementingkan dan didominasi oleh laki-laki. Pertanyaan Penelitian Secara umum penelitian ini ingin mengetahui dan memahami hal-hal sebagai berikut : Bagaimana dinamika kesejahteraan psikologis survivor kekerasan seksual, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tercapainya kesejahteraan psikologis setelah mengalami kekerasan seksual? METODE PENELITIAN Fokus Penelitian Fokus dari penelitian ini adalah dinamika kesejahteraan psikologis pada survivor kekerasan seksual dan faktor-faktor yang mempengaruhi tercapainya kesejahteraan psikologis setelah mengalami kekerasan seksual. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang akan digunkan adalah study kasus (case study). Studi kasus adalah suatu inkuirisi empiris yang menyelidiki fenomena didalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan jelas, dan dimana multi sumber bukti dimanfaatkan (Yin,1984a: 1981b). Metode penelitian ini merupakan strategi yang cocok digunakan pada pokok pertanyaan penelitian yang berkenaan dengan how dan why, dimana fokus penelitian terletak pada fenomena kontemporer didalam konteks kehidupan nyata. Dengan metode ini, peneliti akan menggali bagaimana perkembangan diri korban, mengapa hal itu terjadi, perilaku korban dan mengapa perilaku tersebut dilakukan, serta bagaimana perilaku berubah dan bagaimana terjadinya perubahan perilaku tersebut, dan penggalian informasi ini dilakukan melalui konselor atau pendamping korban. Konselor sendiri merupakan tenaga profesional yang mendampingi korban selama proses konseling, yang mengetahui dengan baik kondisi korban, baik secara fisik maupun mental. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah wanita yang pernah mengalami kekerasan seksual, dan melakukan kegiatan konseling di Lembaga Rifka Annisa. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode wawancara, dokumen pribadi dan informan. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua belah pihak yang terdiri dari pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. ( Moleong, 2002 ) Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (in depth interview ). Pertanyaan mendalam dilakukan melalui pertanyaan yang bresifat terbuka, yang mengarah pada kedalaman informasi. Hal ini bertujuan untuk penggalian informasi secara lebih jauh dan mendalam. Sebagai pelengkap data, peneliti juga akan memanfaatkan dokumentasi sebagai sumber data. Yin (2004) mengatakan bahwa penggunaan dokumen yang paling penting adalah untuk mendukung dan menambah informasi yang telah didapat dari sumber lain. Adapun dokumen yang akan digunakan adalah dokumen pribadi. Moleong (2006) mengatakan bahwa dokumen pribadi adalah catatan atau karangan seseorang secara tertulis mengenai kejadian, pengalaman, tindakan, atau kepercayaan. Maksud dari mengumpulkan dokumen pribadi adalah untuk memperoleh kejadian nyata tentang situasi dan arti berbagai faktor disekitar subjek penelitian, dan yang temasuk dalam dokumen pribadi adalah buku harian, surat pribadi, dan otobiografi. Selain itu peneliti juga akan menggunakan informan dalam mengumpulkan data. Adapun yang dapat menjadi informan adalah orang-orang yang berkompeten dalam memberikan informasi yang terkait dengan data yang dibutuhkan peneliti. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif dengan menggunakan model langkah analisis dari Miles dan Huberman, Poerwandari (2001) serta Sugiyono (2005). Sugiyono (2005) menyatakan bahwa analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Menurut model dari Miles dan Huberman (Sugiyono, 2005), analisis data selama di lapangan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta verifikasi (conclusion drawing). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan pola. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. Poerwandari (2001) memberikan tahapan-tahapan dalam menganalisis data kualitatif sebagai berikut, yaitu: data ? kata kunci ? tema ? kategori ? hubungan antar kategori-kategori (pola). Hal yang harus dilakukan menurut Poerwandari (2001) adalah mengorganisasikan data, membuat koding dan analisis, kemudian menguji dugaan. Selain itu metode lain yang dapat digunakn adalah proses pengorganisasisn data, yang merupakan langkah awal dalam analisis dan pengolahan data, dimana dengan cara ini data akan diorganisasikan dengan rapi, sistematik dan lengkap. Langkah selanjutnya adalah koding, dan kemudian analisis. Corbin dan Strauss (2003) membagi koding dalam tiga langkah, Koding sendiri terdiri dari tiga lankah yaitu koding terbuka, koding aksial, dan koding selektif. Koding terbuka mengklasifikasikan ekspresi atau jawaban satuan dari subjek kemudian menkategorisasikan kode dengan mengelompokkannya berdasarkan fenomena yang sesuai dengan pertanyaan peneliti, sedangkan koding aksial yaitu mengorganisasikan data dengan dikembangkannya hubungan – hubungan diantara kategori, dan tahap terakhir adalah koding selektif, yaitu dengan menjelaskan ketegori utama yang disusun dari beberapa kategori, dalam hal ini dilakukan penyeleksian ketogori yang paling mendasar kemudian secara sistematis menghubungkannya dengan kategori – ketegori lain. Pembahasan Dari data yang didapatkan dilapangan, peneliti manemukan bahwa ada sebuah dinamika dalam usaha untuk mencapai kembali sebuah bentuk kesejahteraan secara psikologis pada para survivor, yang didasarkan pada persepsi konselor. Kekerasan seksual menurut Poerwandari (2000) adalah melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban,dengan kekerasan fisik maupun tidak, memaksa melakukan aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban Adapun bentuk kekerasa seksual yang dialami oleh para survivor adalah pemerkosaan. Bagi survivor pertama, yaitu Ct, desakan untuk melakukan hubungan seksual dilakukan dengan cara halus (w.s. 748-750) . Pelaku kekerasan adalah orang yang sudah kenal. Pada survivor pertama, pelaku pemerkosaan adalah orang yang selama ini bertugas untuk mengantar dan menjemput sekolah. Meskipun desakan untuk melakukan hubungan seksual dilakukan dengan cara halus, kasus yang menimpa Ct tetap dikatakan sebagai kekerasan seksual karena survivor baru berusia 13 tahun, termasuk dalam anak dibawah umur (w.s.781786). Selain itu, dalam usahanya untuk membujuk survivor agar mau melakukan hubungan seks, pelaku melakukan ancaman dan intimidasi berupa cubitan berkalikali yang membuat survivor merasa takut. Secara fisik, kekerasan seksual yang dialami Ct secara ekstrim berdampak pada kehamilan dan mengalami penyakit menular seks (PMS). Semantara itu, secara psikis dampak yang dialami survivor antara lain ditunjukkan dengan gejala depresi dan kecemasan. Seperti yang diuraikan dalam buku Diagnosis Gangguan Jiwa,PPDGJ III, disebutkan beberapa bentuk gejala depresi, diantaranya adalah kehilangan minat dan kegembiraan, harga diri dan kepercayaan yang berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, dan tidur terganggu. Bentuk-bentuk gejala depresi dapat dilihat pada diri survivor saat setelah mengalami kekerasan, yaitu ditunjukkann dengan dengan dorongan untuk bunuh diri, menjadi lebih pendiam dan murung, perubahan sikap menjadi lebih sering marah-marah, dan perasaan bersalah karena merasa telah membuat malu keluarga, ketakutan, mimpi buruk yang berulang-ulang, dan perasaan malu serta minder. Gejala atau bentuk kecemasan juga terlihat pada survivor setelah mengalami kekerasan. Kecemasan yang ditunjukkan oleh Ct sedikit lebih komplek dari pada Pt. Hal ini berkaitan dengan kehamilan dan PMS yang dideritanya, dimana PMS yang dideritanya membuat ia harus menghadapi kemungkinan menjalani operasi Caesar saat melahirkan (W.I2. 1242-1244). Jika tidak dengan cara itu, maka bayi yang dikandungnya terancam akan lahir cacat (W.I1. 777-778,793-794) . Selain itu, kecemasan yang muncul adalah adanya kekhawatiran terhadap lingkungan dan masyarakat, bagaimanan respon masyarakat terhadap dirinya yang sudah memmiliki anak, bagaimana lingungan akan memperlakukannya, kekhawatiran terhadap masa depan, dan kekhawatiran dalam menghadapi proses hukum. Kecemasan juga muncul dalam bentuk paranoid, dimana survivor merasa sedang dicari-cari oleh pelaku, sehingga menimbulkan kewaspadaan yang tinggi. (w.s.98-103). Kecemasan juga muncul dengan adanya kehawatiran terhadap penilaian masyarakat dan lingkungan(W.R1.325-326). Selain itu, muncul juga kekhawatriran tehadap masa depan, bagaimana ia akan berhadapan dengan lawan jenis dan bagaimana lawan jenis akan memandanganya. Kecemasan juga muncul dalam reaksi fisiologis, seperti gemetar dan nafas yang tidak teratur saat ditanyai mengenai kasus yang menimpanya (W.R1.168-170). Paranoid yang muncul berupa kehawatiran akan terjadinya kembali kekerasan terhadap dirinya. ( W.R2. 96-98) Kekerasan seksual yang menimpa kedua survivor juga berdampak pada terganggunya hubungan sosial, dimana mereka menjadi lebih tertutup karena malu, terhentinya aktifitas yang sebelumya dilakukan sepeti sekolah, bekerja, malu untuk datang ketempat umum, bahkan kegiatan beribadah juga terganggu. Lebih jauh lagi, kekerasan yang menimpanya membuat survivor kedua menjadi tidak lagi dapat percaya kepada lawan jenis, dimana ia menjadi lebih berhati-hati terhadap lawan jenis dan berpandanan serta berfikiran negatif terhadap orang lain. ( W.R2. 177-181) Dalam kondisi ini, dapat dikatakan bahwa survivor, berada dalam fase yang tidak sejahtera secara psikis. Mengacu pada uraian Heady yang mengatakan bahwa yang mencirikan ketidaksejahteraan psikologis adalah antara lain anxiety atau kecemasan, disabilities atau perasaan tidak mampu, depresi, self esteem yang rendah, menyendiri, ketidakpuasan terhadap keluarga, dan kekhawatiran yang besar terhadap hubungan sosial. Dikatakan juga oleh Ryff (1989) yang menjadi ciri ketidaksejahteraan psikologis adalah adanya perasaan-perasaan yang negative, seperti perasaan tertekan, kebingungan, perasaan bersalah, ketakutan, sikap bermusuhan, mudah tersinggung, malu, dan gugup. Bantuan yang diberikan kepada survivor adalah berupa bantuan medis, psikis, dan hukum. Selain bantuan profesional, peneliti juga menemukan bahwa faktor yang ikut mempengaruhi tercapainya kesejahteraan psikologis adalah adanya dorongan dari dalam diri untuk segera bangkit, dukungan orang terdekat seperti keluarga dan teman, lingkungan yang kondusif, serta putusan sidang. Dalam usaha untuk memulihkan kembali kondisi psikis survivor, terdapat juga beberapa hambatan diantaranya sikap dari survivor yang tertutup dan moody. Diantara keluarga yang memeberikan dukungan terhadap survivor, ada juga beberapa perlakuan keluarga yang membuat survivor merasa kurang didukung. Selain keluarga, perlakuan masyarakat terhadap survivor juga menjadi hambatan, dimana ada segelintir masyarakat yang justru menteror survivor, diantaranya dengan cara mengajak survivor untuk “kencan”. Khusus bagi survivor pertama yang selama masa pendampingan tinggal di shelter atau rumah aman, lingkungan tempatnya tinggal juga menjadi salah satu faktor hambatan dalam proses pemulihan, hal ini dikarenakan tertutupnya akses bagi survivor untuk beraktifitas sosial (W.I1. 1059-1060),( W.I2. 1233-1235). Proses hukum terhadap kasus bisa dikatakan menghambat proses pemulihan, hal ini dikarenakan selama proses hukum mulai dari pengusutan hingga pemberian tuntuta terhadap pelaku cukup memberikan kecemasan tersendiri bagi survivor, selain kecemasan, proses hukum juga membuat survivor merasa lelah untuk menjalaninya. Hasil putusan sidang yang terlalu rendah memunculkan kekecawan pada diri survivor. Selain memunculkan rasa kecewa, hasil putusan sidang yang rendah juga menimbulkana kecemasan baru pada diri survivor, dimana survivor menjadi khawatir bahwa pelaku akan dapat segera membalas dendam. Teror juga merupakan salah satu masalah yang muncul salama proses pemulihan. Teror yang didapatkan survivor juga menimbulkan kecemasan. (w.s.397-398) Selama dalam proses pendampingan, survivor mampu untuk membuat beberapa perencaan yang realistis terhadap masa depannya, yaitu dengan merencanakan kepindahan ketempat yang baru. Selain merencakan kepindahan, survivor juga merencanakan aktifitas yang akan mereka lakukan ditempat yang baru. ( W.I2. 962-967), (W.R1.756-759). Melihat para survivor yang sudah mampu membuat perencanaan terhadap masa depan mereka, konselor berpendapat bahwa survivor telah menunjukkan perkembangan yang baik, dengan kata lain kesejahteraan mereka sedikit demi sedikit telah kembali. Hal ini juga didukung dengan perkembangan dari aspek lainnya, misalnya hubungan dengan orang lain yang sudah membaik, dimana survivor sudah mulai membuka diri terhadap orang lain, kepercayaan diri yang sudah mulai kembali, kepedulian terhadap diri sendiri juga sudah kembali, keberanian yang mulai muncul untuk mendatangi tempat umum seperti tempat ibadah, dan sudah tidak terdapat lagi gejala depresi yang cukup ekstrim seperti keinginan untuk bunuh diri. Namun demikian konselor juga mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis pada survivor belum kembali sepenuhnya, hal ini dilihat dari kondisi survivor sekarang , dimana meskipun dalam beberapa hal kondisi survivor sudah membaik seperti penjabaran diatas. Namun ada beberapa hal dimana survivor menunjukkan masih adanya trauma atau rasa takut serta beberapa gejala depresi seperti mimpi buruk ( W.I2. 603-605). Selain itu survivor juga mengatakan masih takut untuk bepergian sendiri, selain itu juga survivor masih belum bisa mempercayai laki-laki ( W.R2. 186-187). Beberapa bentuk kecemasan juga masih nampak, seperti misalnya masih adanya kekhawatiran terhadap masyarakat dan lingkungan, serta kekhawatiran bahwa pelaku akan membalas dendam. ( W.R2. 85-87,90-92). Selain yang ada dalam teori, peneliti menemukan beberapa hal sebagai temuan lapangan yaitu kontribusi Rifka Annisa dalam membantu proses recovery survivor dan adanya kondisi predisposisi survivor yang mempengaruhi kondisi kesejahteraan psikologis survivor kekerasan seksual. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat menarik kesimpulan dalam beberapa hal sebagai berikut. Sebelum mengalami kekerasan seksual, survivor adalah anak yang aktif dan pandai bergaul. Namun demikian, jika melihat latar belakangnya, kita akan menemukan bahwa survivor telah sering mengalami kekerasan oleh anggota keluarga, hal ini ditunjukkan oleh survivor Ct, selain itu ada juga image negatif yang melekat pada diri survivor yang dianggap sebagai “anak nakal”, hal ini ditunjukkan oleh survivor Pt. Pelaku kekerasan seksual bisa jadi adalah orang yang dekat dengan survivor, entah itu tetangga, teman atau bahkan keluarga sendiri, dan bujuk rayu merupakan salah satu cara yang digunakan pelaku dalam melakukan kekerasan seksual, terutama terhadap anak-anak yang belum mengerti apa itu kekerasan seksual. Kekerasan seksual dapat berdampak pada fisik maupun psikis. Secara fisik, salah satu dampak yang cukup fatal adalah kehamilan dan penyakit menular seks. Secara psikis kekerasan seksual dapat bernimbulkan stress paska trauma atau PTSD (post traumatic stress disorder) Faktor yang mempengaruhi cepat atau lambatnya recovery yang terpenting adalah dorongan dari dalam diri, selanjutnya adalah dukungan dari orang-orang terdekat, lingkungan yang kondusif serta kontribusi dari Yayasan Rifka Annisa yang terjun langsung dalam membantu survivor. Berat tidaknya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku juga mempengaruhi afeksi survivor. Jika hukuman yang dijatuhkan dirasa cukup memuaskan, maka muncul perasaan lega dan puas. Namun jika hukuman yang dijatuhka peda pelaku dirasa terlalu ringan, maka menimbulka kekecewaan dalam diri survivor, merasa usaha yang jalaninya menajdi sia-sia, disamping menimbulkan kecemasan aru bahwa pelaku sewaktu-waktu akan membalas dendam. Kekerasan seksual juga berdampak terhadap perilaku seksual, yaitu menjadi seksual aktif atau justru menjadi frigid. Namun hal ini belum dapat dipastikan apakah terjadi kepada kedua survivor. Kecemasan dan kekhawatiran yang cukup kuat dirasakan oleh survivor kekerasan seksual adalah kecemasan terhadap tanggapan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Seperti yang dikatakan oleh subjek bahwa perlakuan masyarakat yang tidak berpihak dapat menjadi ancaman tersendiri bagi suvivor kekerasan seksual. Selain itu, kecemasan terhadap masa depan juga merupakan kecemasan yang cukup kuat dirasakan oleh survivor, bagaimana masa depannya, bagaimana ia harus berhadapan dengan seorang laki-laki yang mungkin akan menjadi pasangannya, apakah mereka akan menerima atau tidak. Dari kedua survivor,dapat dikatakan bahwa kesejahteraan psikologis belum kembali sepenuhnya. Hal ini dilihat dari masih adanya kecemasan dan ketakutan yang dirasakan oleh kedua survivor. Proses pemulihan kondisi psikis survivor kekerasan seksual secara umum memerlukan waktu yang panjang dan dengan kontrol yang berkesinambungan. Saran 1. Bagi Yayasan a). Diharapkan dapat lebih memperluas jaringan kerja, tidak hanya pihak kepolisian, namun juga aparat-aparat desa lainnya, seperti misalnya kepala desa, karena belum tentu semua kasus kekerasan seksual dapat terlacak oleh kepolisian b). Diharapkan membuat program untuk mengurangi jumlahkekerasan seksual, seperti misalnya penyuluhan mengenai apa yang umumnya membuat seseorang melakukan kekerasan seksual, sehingga para remaja putri dapat mengambil sikap positif agar tidak menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual. c). Terapkan program peningkatan religiusitas dalam kegiatan konseling kepada para survivor. Hal ini akan sangat bermanfaat, selain membantu proses recovery, juga bertujuan memperkuat tingkat religiusitas survivor. d). Meningkatkan kegiatan sosial survivor yang tinggal di shelter, agar survivor tidak merasa jenuh, karena menjalin hubungan yang positif dengan orang lain juga mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. 2. Bagi Survivor Kekerasan seksual adalah salah satu peristiwa traumatis yang dapat dicegah, jadi agar hal ini tidak terjadi lagi, sebaiknya proteksi diri dengan sikap yang positif, dan bersikap tegas dalam bergaul jika ada perlakuan teman atau orang lain yang dirasa menyinggung kehormatan dan harga diri. Selain itu, tetaplah untuk berfikir positif dalam menjalani kehidupan, dan dengan menerima diri apa adanya, diharapkan akan dapat mengurangi beban yang dirasakan. 3. Bagi Peneliti Berikutnya Dalam penelitian ini terdapat banyak kekurangan, diantaranya adalah kurangnya pendekatan terhadap keluarga survivor sehingga tidak dapat menggali informasi dari pihak keluarga. Bagi peneliti berikutnya yang ingin meniliti tentang survivor kekerasan seksual, galilah informasi dari survivor langsung dan orang terdekat survivor untuk memperkaya hasil yang didapatkan. Sebelum melaksanakan wawancara mendalam, ada baiknya peneliti paham betul tentang tehnik-tehnik wawancara, dan mendalami topik yang akan diungkap sehingga wawancara benar-benar terarah dan mendalam.